4
TINJAUAN PUSTAKA Empek-empek Empek-empek adalah makanan yang terbuat dari campuran tepung sagu atau tapioka, daging ikan, air dan garam yang diaduk menjadi satu lalu dibentuk, direbus, dikukus, digoreng atau dipanggang dan dimakan dengan cuka. Sehubungan dengan itu, empek-empek diartikan sebagai produk pangan tradisional yang dapat digolongkan sebagai gel ikan, sama halnya seperti otakotak atau kamaboko di Jepang. Empek-empek merupakan makanan tradisional masyarakat Palembang yang terbuat dari bahan dasar ikan giling dan tepung tapioka atau sagu. Empek-empek memiliki cita rasa khas dan disukai masyarakat, memiliki nilai ekonomi dan gizi yang cukup tinggi. Kandungan gizi utama pada empek-empek adalah protein, lemak, dan karbohidrat yang diperoleh dari ikan dan tepung tapioka. Kandungan gizi lainnya berupa vitamin dan mineral. Perbandingan ikan, air, tepung tapioka, dan garam sangat berpengaruh terhadap nilai gizi, rasa, warna, kekenyalan, serta karakteristik lainnya. Penggunaan ikan sangat mempengaruhi cita rasa dan aroma makanan ini. Pada prinsipnya pembuatan empek-empek dilakukan melalui beberapa tahap, yaitu pengolahan ikan, pencampuran, pembentukan dan pemasakan (Komariah, 1995). Tahap pengolahan ikan meliputi proses penyiangan, pencucian, pembuatan fillet dan penggilingan daging ikan. Menurut Suzuki (1981), penyiangan dan pencucian daging ikan bertujuan untuk menghilangkan kotoran berupa darah dan kotoran lain yang dapat menimbulkan bau dan warna yang tidak disukai pada produk akhir. Ikan terlebih dahulu difillet untuk memudahkan pada proses selanjutnya. Setelah itu daging ikan digiling. Pada tahap pencampuran dilakukan penggabungan dari bahan-bahan tersebut dengan proporsi yang tepat sesuai dengan resep yang digunakan. Ketepatan proporsi bahan amat diperlukan karena proporsi atau komposisi sangat berpengaruh terhadap rasa dan kekenyalan empek-empek. Menurut Karmas (1982), Komponen daging ikan dipengaruhi oleh jenis, kesegaran dan komposisi kimia ikan yang digunakan serta metode pengolahan yang dipakai. Penggunaan ikan yang banyak akan membuat rasa empek-empek yang dihasilkan akan terasa semakin enak (Dinas Perindustrian Sumatera Selatan, 1978). Tahap pembentukan bertujuan untuk memantapkan campuran dan membentuknya sehingga diperoleh adonan yang dapat menyatu sampai kalis
5
dan dapat dibentuk sesuia dengan keinginan. Cara pembentukan empek-empek sangat beragam, tergantung dari jenis empek-empek yang akan dibuat (Komariah 1995). Setelah adonan terbentuk, adonan tersebut dapat dibuat menjadi beragam jenis pempek berbentuk pempek lenjeran, telur (kapal selam), pastel (kates), kerupuk (keriting), tahu, lenggang, panggang, serta adaan. Dari sekian jenis pempek, yang paling populer adalah lenjeran (silinder) yang adonannya merupakan adonan dasar bagi jenis pempek lainnya. Setelah pencetakan atau pembentukan langkah selanjutnya adalah pemasakan. Pemasakan perebusan,
pengukusan,
dapat dilakukan dengan penggorengan,
dan
berbagai cara,
pemanggangan.
yaitu Proses
pemasakan tersebut akan menghasilkan pempek rebus, goreng, serta panggang atau lenggang. Untuk empek-empek lenjeran (panjang 15 cm dan diameter 4 cm), pemasakan dilakukan dengan perebusan, yaitu memasukkan lenjeran ke dalam panci berisi air mendidih. Empek-empek yang telah matang akan mengapung di permukaan air perebus dan jika ditekan dengan tangan akan terasa lembut dan kenyal sampai ke bagian dalamnya.
Gambar 1 Empek-empek lenjeran atau bulat lonjong atau silinder Lama perebusan dipengaruhi oleh ukuran lenjeran. Namun, biasanya membutuhkan waktu sekitar 20-90 menit. Proses perebusan bertujuan agar pati mengalami proses gelatinisasi, sehingga granula pati mengembang dan proteinnya terdenaturasi. Pengembangan granula pati ini disebabkan molekulmolekul air melakukan penetrasi ke dalam granula dan terperangkap dalam susunan molekul-molekul amilosa dan amilopektin (Muchtadi et al. 1988). Lamanya proses perebusan dan pengukusan harus dikendalikan supaya tidak terlalu banyak menghilangkan zat gizi. Sebagaimana diketahui, zat protein, vitamin, dan mineral dari bahan dapat larut ke dalam air perebus atau pengukus, sehingga kadarnya menjadi berkurang pada pempek.
6
Setelah matang, empek-empek diangkat, ditiriskan, dan didinginkan sesaat agar tidak cepat basi. Daya awet empek-empek relatif rendah, yaitu hanya tahan sekitar 2-3 hari pada suhu kamar karena empek-empek memiliki kadar air tinggi dan Aw (Water Activity) >0.90, apabila penyimpanan terlalu lama, maka pada permukaan produk akan timbul lendir sehingga tidak layak dikonsumsi lagi (Komariah, 1995). Ikan Tuna (Euthinnus afinis) Ikan tuna merupakan marga Thunus, terdiri dari bermacam-macam jenis antara lain yaitu: mandidihang (Thunus albacores), mata besar (Thunus obesus), abu-abu (Thunus tonggol), tongkol (Euthinnus afinis), albakora (Thunus allalunga) dan sirip biru (Thunus thynus). Ikan tuna yang digunakan dalam penelitian ini berjenis tongkol (Euthinnus afinis), dengan mempertimbangkan ketersediaan dan nilai jualnya yang dapat terjangkau oleh semua kalangan masyarakat. Daging ikan tuna terdiri dari dua bagian yaitu daging putih dan daging merah kurang lebih 1/6 bagian. Daging merah mempunyai kandungan mioglobin tinggi, yang diimbangi dengan banyaknya jaringan pengikat dan pembuluh darah, sementara daging putih mempunyai jenis-jenis protein yang berkualitas tinggi. Tabel 1. Kandungan gizi ikan tuna per 100 g daging Komposisi Energi Protein Lemak Abu Kalsium Fosfor (P) Besi (Fe) Sodium (K) Retinol Thiamin (Vit B1) Riboflavin (Vit B2) Niasin (Vit B3) Piridoksin (Vit B6) Kolesterol
Jumlah 131.0 26.2 2.1 1.3 8.0 220,0 4,0 52,0 10,0 0.03 0.15 18.0 6.7 38-45
Satuan Kal G G G Mg Mg Mg Mg Mg Mg Mg mg mg mg
Sumber : Departement of Health, Education and Walfare (1972) yang diacu dalam Maghfiroh (2000)
Dilihat dari komposisi gizinya, tuna mempunyai nilai gizi yang luar biasa. Kadar protein pada ikan tuna hampir dua kali kadar protein pada telur yang selama ini dikenal sebagai sumber protein utama. Kadar protein per 100 gram ikan tuna dan telur masing-masing 26 g dan 13 g. Sebagai salah satu komoditas
7
laut, ikan tuna juga kaya akan asam lemak omega-3. Kandungan omega-3 pada ikan air laut, seperti ikan tuna, adalah 28 kali lebih banyak daripada ikan air tawar. Omega-3 dapat menurunkan kadar kolesterol darah dan menghambat proses terjadinya aterosklerosis (penyumbatan pembuluh darah). Ikan tuna juga kaya berbagai mineral penting yang esensial bagi tubuh. Kandungan iodium pada ikan tuna mencapai 28 kali kandungan iodium pada ikan air tawar. Iodium sangat berperan penting untuk mencegah penyakit gondok dan meningkatkan kecerdasan anak. Selain itu, ikan tuna juga kaya akan selenium. Konsumsi 100 gram ikan tuna cukup untuk memenuhi 52.9 persen kebutuhan tubuh akan selenium. Selenium mempunyai peran penting di dalam tubuh, yaitu mengaktifkan enzim antioksidan glutathione peroxidase. Enzim ini dapat melindungi tubuh dari serangan radikal bebas penyebab berbagai jenis kanker. Dilihat dari perbandingan kalium dan natrium, ikan tuna baik untuk penderita jantung. Makanan ini tergolong makanan sehat untuk jantung dan pembuluh darah bila mengandung rasio kalium dan natrium minimal 5 berbanding 1. Kandungan vitamin A dalam bentuk retinol pada ikan tuna tergolong tinggi, yaitu mencapai 2,183 IU. Konsumsi 100 gram ikan tuna cukup untuk memenuhi 43.6 persen kebutuhan tubuh akan vitamin A setiap hari. Vitamin A sangat baik untuk pemeliharaan sel epitel, peningkatan imunitas tubuh, pertumbuhan, penglihatan, dan reproduksi. Ikan tuna juga merupakan sumber yang baik untuk vitamin B6 dan asam folat.
World’s
Health
Rating
dari
The
George
Mateljan
Foundation
menggolongkan kandungan vitamin B6 tuna ke dalam kategori sangat bagus karena mempunyai nutrient density yang tinggi, yaitu mencapai 6.7 (batas kategori sangat bagus adalah 3.4-6.7). Vitamin B6 bersama asam folat dapat menurunkan level homosistein. Homosistein merupakan komponen produk antara yang diproduksi selama proses metilasi. Homostein sangat berbahaya bagi pembuluh arteri dan sangat potensial untuk menyebabkan terjadinya penyakit jantung. Meskipun ikan tuna mengandung kolesterol, kadarnya cukup rendah dibandingkan dengan pangan hewani lainnya. Kadar kolesterol pada ikan tuna 38-45mg per 100gr daging. Kandungan gizi yang tinggi membuat tuna sangat efektif untuk menyembuhkan berbagai penyakit, salah satunya stroke. Sebuah penelitian yang dipublikasikan pada 6th Congress of The International Society for the Study of Fatty Acids and Lipid pada Desember 2004 membuktikan bahwa ikan tuna dapat mencegah obesitas dan sangat baik untuk penderita
8
diabetes melitus tipe 2. Hal itu disebabkan kandungan EPA (eicosapentaenoic acid) yang tinggi pada ikan tuna dapat menstimulasi hormon leptin, yaitu sebuah hormon yang membantu meregulasi asupan makanan. Dengan regulasi tersebut, tubuh akan terhindar dari konsumsi makanan secara berlebihan, penyebab obesitas. Menurut jurnal Cancer Epidemiology Biomarkers and Prevention dalam publikasi pada tahun 2004 menunjukkan bahwa konsumsi ikan yang kaya asam lemak (seperti ikan tuna) dapat mengurangi risiko penyakit leukemia, multiple myeloma, dan non-hodgkins lymphoma. Ikan tuna juga baik untuk mencegah kanker payudara. Hal tersebut disebabkan kandungan omega-3 pada tuna dapat menghambat enzim proinflammatory yang disebut cyclooxygenase 2 (COX 2), enzim
pendukung
terjadinya
kanker
payudara.
Omega-3
juga
dapat
mengaktifkan reseptor di membran sel yang disebut peroxisome proliferatoractivated receptor (PPAR)-ã, yang bisa menangkap aktivitas sel penyebab kanker. Selain itu, omega-3 juga dapat memperbaiki DNA. Pati Sagu Pati sagu merupakan cadangan makanan yang terdapat di dalam bijibijian atau umbi-umbian, dan merupakan sumber utama karbohidrat yang terdapat dalam bahan pangan. Pati atau karbohidrat secara umum merupakan bahan organik pertama yang diproduksi dari reaksi antara karbondioksida dari udara dan air dari dalam tanah, pada suatu proses fotosintesis dengan menggunakan energi radiasi sinar matahari. Bentuk butir pati secara fisik berupa semikristalin yang terdiri dari unit kristal dan unit amorphous. Pati tersusun paling sedikit oleh tiga komponen utama, yaitu amilosa dan amilopektin serta material antara (intermediate),seperti lipid dan protein. Pati terdiri dari butiran-butiran kecil yang disebut granula. Granula pati sagu berukuran lebuh besar daripada ukuran granula pati kebanyakan (Yiu et al., 2008). Bentuk granula pati sagu adalah ovoidal. Pati sagu mempunyai suhu gelatinisasi yang lebih tinggi (sekitar 690C) jika dibandingkan dengan pati lainnya (Cecil et al.,1982). Hal ini disebabkan oleh populasi granula yang bervariasi dalam ukuran, bentuk dan energi yang diperlukannya
untuk
mengembang.
Suhu
gelatinisasi
dipengaruhi
oleh
pemanasan, pengadukan, dan konsentrasi pati. Pemanasan dan pengadukan dapat
mempercepat
terjadinya
gelatinisasi. Makin
kental larutan,
suhu
9
gelatinisasi makin lambat tercapai. Bahkan pada suhu tertentu, kekentalan larutan pati tidak bertambah bahkan kadang-kadang turun (winarno 1997). Menurut Ahmad et al. (1999), perbandingan amilosa dan amilopektin pada pati sagu adalah 24-31 berbanding 67-76. Perbandingan amilosa dan amilopektin akan mempengaruhi sifat kelarutan dan derajat gelatinisasi pati. Semakin besar kandungan amilopektin maka pati akan lebih basah, lengket dan cenderung sedikit menyerap air. Sebaliknya jika kandungan amilosa tinggi, pati bersifat kering, kurang lengket dan mudah menyerap air. Menurut Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990), pati sagu sebagian besar terdiri dari karbohidrat dan sedikit protein. Kandungan kalori pati sagu relatif besar yaitu 353 kkal. Nilai ini tidak jauh berbeda dengan nilai kalori beras yaitu 364 kkal. Berikut komposisi kimia pati sagu dapat dilihat pada Tabel 2 dan syarat mutu tepung sagu SNI 01-3792-1995 dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 2 Komposisi kimia pati sagu per 100 g bahan Komponen Kalori (kkal) Protein (g) Lemak (g) Karbohidrat (g) Air (g) Fosfor (mg) Kalsium (mg) Besi (mg) Sumber : Direktorat Gizi Departemen Kesehatan RI (1990)
Jumlah 353 0.7 0.2 84.7 14.0 13 11 1.5
Deskripsi, Sifat Fisis dan Kimia Kitosan Kitosan (C6H11O4N)n merupakan polimer karbohidrat (polisakaridal linear) di dalam unit dasar suatu gula amino yang diturunkan dari deasetilasi kitin yang merupakan biopolimer alami yang berlimpah setelah selulosa (No dan Mayers 1995). Kitosan tidak beracun dan bahkan mudah terurai secara hayati (biodegradable). Bentuk fisiknya merupakan padatan amorf yang berwarna putih kekuningan. Keberadaan kitosan di alam umumnya terikat dengan protein, mineral, dan berbagai macam pigmen (Sugita, 2009). Polisakarida ini adalah suatu komponen struktural yang memberikan kekuatan mekanik bagi organisme. Kitosan atau β-1,4-glukosamin (2-amino-2-deoksi-β-D-glukosa) memiliki tiga tipe gugus fungsional reaktif, yaitu sebuah gugus amino serta dua gugus hidroksil primer dan sekunder yang masing-masing berada pada posisi C-2, C-3 dan C-6. Modifikasi kimiawi dari ketiga gugus ini menyebabkan kitosan memiliki banyak kegunaan untuk diaplikasikan pada berbagai bidang (Shahidi et al.,1999).
10
. Gambar 2 Struktur kimia selulosa, kitin dan kitosan Kitin dan kitosan mempunyai sifat fungsional dan sifat kimia yang unik. Kitin tidak larut dalam air (bersifat hidrofobik), alkohol serta tidak larut dalam asam maupun alkali encer. Kitin dapat larut dengan proses degradasi menggunakan asam-asam mineral pekat, seperti asam formiat anhidrous, namun tidak jelas apakah semua jenis kitin dapat larut dalam asam formiat anhidrous (Lee, 1974). Mudah tidaknya kitin terlarut sangat tergantung pada derajat kristalisasi, karena hanya ß-kitin yang terlarut dalam asam formiat anhidrous. Sifat kitin yang penting untuk aplikasinya adalah kemampuan mengikat air dan minyak yang hilang dari polimer kitin, interaksi antara ikatan hidrogen dari kitosan akan semakin kuat. Namun dengan modifikasi kimiawi dapat diperoleh senyawa turunan kitin yang mempunyai sifat kimia yang lebih baik, yaitu kitosan. Kitosan tidak larut dalam air namun larut dalam asam, memiliki viskositas cukup tinggi ketika dilarutkan, sebagian besar reaksi karakteristik kitosan merupakan reaksi karakteristik kitin. Adapun berbagai solvent yang digunakan umumnya tidak beracun untuk aplikasi dalam bidang makanan. Solvent yang digunakan untuk melarutkan kitosan adalah asam format/air, asam asetat/air, asam laktat/air dan
11
asam glutamat/air. Kitosan yang dalam keadaan cair sensitif terhadap kekuatan ionik tinggi, daya tolak menolak antara fungsi amin menurun sesuai dengan fleksibilitas rantai kitosan dan pendekatannya dalam ruang distabilkan oleh kekuatan hidrogen yang akan menghasilkan suatu molekul yang tahan terhadap stress mekanik dan kemampuan berkembangnya bertambah (Ornum 1992). Bentuk yang spesifik dan adanya kandungan asam amino dalam rantai karbonnya menyebabkan kitosan bermuatan positif. Tabel 3 Spesifikasi (standar mutu) kitin dan kitosan Spesifikasi
Deskripsi Kitin Air (%) 2 – 10 Nitrogen (%) 6–7 Derajat Diasetilasi (%) < 10 Abu (%) < 1.0 Sumber : Muzzareli (1985) dalam Handayani (2004)
Kitosan 2 – 10 7 – 8.4 > 70 < 1.0
Oleh karena sifat-sifat fungsional yang dimilikinya, saat ini terdapat lebih dari 200 aplikasi dari kitin dan kitosan serta turunannya di industri makanan, pemrosesan
makanan,
bioteknologi,
pertanian, farmasi,
kesehatan, dan
lingkungan (Balley et al., 1977). Kitosan dapat diaplikasikan sebagai bahan antimikroba, pelapis (edible film dan edible coating), BTP (bahan tambahan pangan), perbaikan kualitas gizi pangan, pemulihan bahan-bahan padat dari limbah pengolahan makanan, penjernih air dan aplikasi lainnya (Shahidi et al., 1999). Kitosan sebagai antimikroba bersifat bakterisidal dan fungisidal. Kitosan sebagai bahan tambahan pangan antara lain berfungsi sebagai pengemulsi, bahan pengendali tekstur, penstabil dan pengental (Shahidi et al., 1999), antioksidan (Thomas 2007) serta bahan penjernih dan penurun tingkat keasaman pada jus buah-buahan (Park et al., 2005). Kitosan dilaporkan bersifat hipokolesterolemik dan hipolipidemik serta bahan enkapsulasi mikronutrien (Han et al., 2008). Kitosan Sebagai Pembentuk Gel (Hidrogel) Gelasi atau pembentukan gel merupakan fenomena yang menarik dan sangat kompleks. Pada prinsipnya, pembentukan gel terjadi karena terbentuknya jaringan tiga dimensi dari molekul primer, yang terentang pada seluruh volume gel dan memerangkap sejumlah pelarut di dalamnya. Jika ikatan silang pada rantai panjang polimer dalam jumlah yang cukup banyak, akan terbentuk bangunan tiga dimensi yang berkesinambungan. Molekul pelarut akan terjebak di
12
antaranya dan termobilisasi, sehingga terbentuk struktur kaku dan tegar yang tahan terhadap gaya atau tekanan tertentu. Menurut depkes (1995), gel merupakan sistem semipadat yang berupa suspensi partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, yang terpenetrasi oleh suatu cairan. Gel yang dapat menahan air disebut hidrogel (Wang et al.,2004). Air dalam gel ini merupakan tipe air ambibisi, yaitu air yang masuk ke dalam suatu bahan dan menyebabkan pengembangan volume, tetapi bukan merupakan komponen penyusun bahan tersebut. Berger et al., (2004) menyebutkan, bahwa hidrogel merupakan jaringan makromolekul yang dapat membengkak dalam air atau larutan biologis. Keuntungan hidrogel adalah hidrofasilitas, permeabilitas yang selektif, dapat membengkak, kapasitas air yang relatif tinggi, kekentalan seperti karet yang lunak dan ketegangan antar muka yang rendah. Reaksi unik dari suatu hidrogel adalah kemampuannya untuk menyusut,
membengkak,
dan
membengkok.
Faktor-faktor
yang
dapat
mempengaruhi perubahan hidrogel adalah pH, suhu, kekuatan ionik, dan tipe garam (Wang et al., 2004; Berger et al., 2004; Geimenhart, 2005). Berdasarkan jenis ikatannya, hidrogel dapat diklasifikasikan menjadi hidrogel fisika dan kimia. Hidrogel kimia dibentuk oleh reaksi yang tidak dapat dibalik, sedangkan hidrogel fisika dibentuk oleh reaksi yang dapat dibalik. Hidrogel kimia contohnya hidrogel kitosan berikatan kovalen. Hidrogel fisika dapat berinteraksi secara ionik seperti ikatan silang ionik hidrogel. Pelarutan kitosan dalam asam asetat merupakan cara sederhana untuk membentuk hidrogel kitosan. Hidrogel kitosan yang dibentuk oleh penambahan senyawa penaut silang disebut hidrogel kitosan kovalen atau ionik. Penaut silang yang digunakan merupakan molekul berbobot molekul lebih rendah daripada bobot molekul kedua rantai polimer yang akan ditautkan. Kitosan Sebagai Edible Coating Edible coating merupakan lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan. Bahan ini digunakan di atas atau diantara produk dengan membungkus, merendam, mengikat, atau menyemprot untuk memberikan ketahanan yang selektif terhadap transmisi gas dan uap air serta memberikan perlindungan terhadap kerusakan mekanis (Gennadios dan Welter 1990). Edible Coating adalah produk yang ramah lingkungan tanpa efek negatif, tidak seperti pengemas sintetik yang tidak dapat didegradasi. Edible Coating salah satu alternatif dalam pengemasan alami bagi produk pangan untuk menjaga kualitas
13
dan memperpanjang daya awet suatu produk. Edible coating dan edible film merupakan satu terobosan baru yang dapat menjawab tantangan yang berkembang dalam melindungi makanan yang bergizi, aman, berkualitas tinggi, stabil dan ekonomis. Sebenarnya, tidak ada perbedaan yang jelas antara edible coating dan edible film. Edible coating biasanya langsung digunakan dan dibentuk di atas permukaan produk, sedangkan edible film dibentuk secara terpisah dan kemudian baru digunakan untuk membungkus produk (Krochta 1992). Komponen yang berasal dari hidrokoloid merupakan barrier (penghalang) yang baik terhadap O2, CO2, dan lipid. Kebanyakan jenis hidrokoloid ini mempunyai sifat mekanis yang diinginkan sehingga berguna untuk meningkatkan integritas bahan pangan yang mudah rusak (Perishable food). Wong et al (1994) menyatakan bahwa secara teoritis, bahan pelapis edible harus memiliki sifat (1) menahan kehilangan kelembapan produk, (2) memiliki permeabilitas selektif terhadap gas tertentu, (3) mengendalikan perpindahan padatan terlarut untuk mempertahankan warna pigmen alami dan gizi serta (4) menjadi pembawa bahan aditif seperti pewarna, pengawet dan penambah aroma yang memperbaiki mutu bahan pangan. Komponen edible coating dibedakan menjadi tiga kategori, yaitu (1) hidrokoloid seperti protein, turunan selulosa, alginat, pektin, pati dan polisakarida lainnya. (2) golongan lipid seperti lilin (wax), asilgliserol dan asam lemak. (3) komposit, yaitu bahan yang mengandung komponen hidrokoloid pada lipid (Krochta et al., 1994). Salah satu jenis polisakarida yang dapat digunakan sebagai edible coating
adalah kitosan. Kualitas pelapisan kitosan tergantung dari butiran
kitosan yang homogen, tingkat diasetilasi dan kelarutannya di dalam asam. Tingkat keasaman kitosan optimal pada pH 5,6 (pKa 6,2), dimana pada pH ini kitosan memiliki aktifitas biologi yang optimal (Leuba dan Stossel, 1984 dalam El Grauth et al., 1991). Bahan dasar pembentuk pelapis edible sangat mempengaruhi sifat-sifat pelapis edible itu sendiri. Pelapis edible yang berasal dari hidrokoloid memiliki ketahanan yang bagus terhadap gas O2 dan CO2, meningkatkan kekuatan fisik, namun memiliki ketahanan terhadap uap air yang sangat rendah akibat sifat hidrofiliknya. Oleh karena itu protein dan polisakarida tidak dapat digunakan sebagai barrier terhadap bahan yang mempunyai Aw permukaan tinggi (Wong et al 1994). Pelapisan dengan kitosan dapat menghambat atau mempertahankan
14
senyawa-senyawa yang dapat menimbulkan bau atau aroma makanan seperti glukosa-6-fosfat, prolina, aldehid, hidrogensulfida, minyak atsiri, metri merpaktan, dimetilsulfida, dan pirazina serta asam-asam amino lainnya pada daging ikan yang dapat bereaksi dengan gula pereduksi dalam reaksi maillard (Buckle et al.,1987). Chitosan sangat berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan antimikroba, karena mengandung enzim lysosim, gugus aminopolysacharida, polikation bermuatan positif yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba dan efisiensi daya hambat chitosan terhadap bakteri tergantung dari konsentrasi pelarutan chitosan. kemampuan dalam hal menekan pertumbuhan bakteri disebabkan chitosan memiliki polikation bermuatan positif yang mampu menghambat pertumbuhan mikroba (Wardaniati, 2009), dan mampu berikatan dengan senyawa-senyawa yang bermuatan negative seperti protein, polisakarida, asam nukleat, logam berat dan lain-lain (Murtini dkk., 2008). Selain itu, molekul chitosan memiliki gugus N yang mampu membentuk senyawa amino yang merupakan komponen pembentukan protein (Irianto dkk, 2009) dan memiliki atom H pada gugus amina yang memudahkan chitosan berinteraksi dengan air melalui ikatan hidrogen dan memiliki sifat hidrofobik (Rochima, 2009). Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan-IPB (2006) menyatakan bahwa chitosan tidak dapat dicerna tanpa adanya enzim chitonase, oleh karena itu penggunaan chitosan harus dilarutkan dahulu dalam larutan asam asetat 2 %. Hasil akhir larutan tersebut mempunyai PH 5-6. Baldwin(1994)
mengemukakan
bahwa
pelapis
kitosan
dengan
konsentrasi 1-2% pada RH (Relative Humidity) di bawah 70% bersifat impermeable terhadap gas, sedangkan pada RH mencapai 100% terjadi penetrasi gas O2 dan CO2 masing-masing 44 µl/cm2/jam dan 3 µl/cm2/jam. Selanjutnya dikemukakan bahwa kitosan dapat dilalui uap air dengan kecepatan 0.8 mg/cm2/jam.
15
Keamanan Kitosan Winterowd dan Sandford (1995), telah melaporkan nilai keamanan kitosan dengan menentukan nilai Lethal Dosage (LD50)-nya, yaitu 16.5 – 17.9 g/hari/kg berat badan tikus dan menganjurkan konsentrasi kitosan yang diberikan adalah kurang dari 15% dari total makanan yang dikonsumsi karena tidak ditemukan adanya efek samping yang merugikan (Hirano 1996 dalam Hardjito 2006). Hennen (1996) menjelaskan faktor keamanan kitosan dengan nilai LD50 16 g/hari/kg berat badan tikus. Tikus bukan manusia, sehingga untuk tujuan keamanan, data yang diperoleh dari tikus dibagi 12 untuk memperoleh nilai ekuivalen pada manusia, sehingga untuk keamanan manusia Acceptable Daily Intake (ADI) relatif adalah 1.33 g/kg BB/hari, artinya bila manusia memiliki berat badan 60 kg, maka efek kitosan akan menjadi toksik bagi orang tersebut bila dikonsumsi > 79 g/hari, namun untuk lebih aman lagi, jumlah tersebut dihitung dibawah tingkat 10% menjadi 71 g/hari. Koide (1998) menjelaskan beberapa efek samping yang dapat terjadi bila mengkonsumsi kitosan berlebihan. Kitosan adalah suatu polisakarida yang yang membentuk gel dalam lambung yang bersifat asam. Kitosan memiliki sifat dapat mengikat lipida dan mineral, sehingga berpotensi pula mengikat vitamin larut lemak seperti A, D, E dan K. Defisiensi vitamin tersebut dalam tubuh dapat merugikan dalam jangka panjang. Kitosan dapat mempengaruhi metabolisme tulang karena mengurangi kalsium dan mengabsorbsi vitamin D, sehingga tidak dianjurkan oleh anak usia < 2 tahun, wanita yang sedang hamil dan menyusui, orang yang memiliki penyakit saluran pencernaan dan lansia beresiko.