7
TINJAUAN PUSTAKA Bio - Ekologi Pule pandak (Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz ) Taksonomi dan Morpologi Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz, atau dikenal dengan nama daerah pule pandak (Jawa) atau Akar tikus (Indonesia) termasuk famili Apocynaceae bersama-sama dengan Pulai, Pulai pipit, Tapak dara, Alamanda serta Jelutung. Genus dari Rauvolfia sendiri di Jawa memiliki beberapa spesies selain R. serpentina Benth ex. Hook, R. javanica Koord dan Val., R fruticosa Burck, R. madurensis Kahenira, R. reflexa Teijsm dan Binn, R. spectabilis Boerl (Woodson et al., 1957 dalam Anwar, 1998). Menurut Heyne (1987), Tjitrosoepomo (1993), Syamsuhidayat dan Hutapea (1991), tumbuhan ini memiliki taksonomi sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Devisi
: Spermatophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dycotyledoneae
Sukelas
: Asteridae
Ordo
: Gentianales
Famili
: Apocynaceae
Genus
: Rauvolfia L.
Spesies
: Rauvolfia serpentina (L.) Benth. ex Kurz
Secara morpologis pule pandak merupakan tumbuhan yang tergolong perdu, dan memerlukan pelindung. Tinggi antara 15 cm sampai 40 cm dengan bagian akar lebih besar dari bagian tumbuhan diatas tanah (Heyne, 1987). Menurut Hikmat et al., (2000), batang pule pandak mengandung getah, berkayu, silindris, kulit batang coklat abu-abu, mengeluarkan cairan jernih bila dipatahkan. Bentuk daun bulat telur memanjang, tunggal, ujung runcing, pangkal daun menyempit, tepi rata, tulang daun menyirip, permukaan atas berwarna hijau dan permukaan bawah berwarna hijau muda. Bunga majemuk, bentuk payung di ujung cabang, kelopak bertajuk lima, hijau, mahkota merah. Buah berbiji satu,
8
bulat lonjong dan bila sudah masak berwarna hitam. Biji bulat pipih dan akar tunggang berwarna coklat. Basori (1993) mengemukakan bahwa akar pule pandak biasanya lebih panjang dibandingkan dengan batangnya. Akar pule pandak mempunyai rasa yang sangat pahit, berwarna putih dan mengandung zat pati. Kulit akar seperti bunga karang, dari luar bersaluran membujur dari pangkal ke ujung warnanya lebih hitam dari pada kayunya. Sistem perakarannya masuk ke tanah berkelok-kelok dan membesar. Habitat dan Penyebaran Pule pandak tumbuh tersebar di hutan sekunder dan veg etasi semak, pada ketinggian hingga 2100 m dpl. Tumbuh pada iklim lembab maupun iklim panas. Beberapa spesies sangat toleran terhadap lingkungan, juga terdapat di tempat yang terbuka seperti di tepi hutan dan sepanjang sungai. Membutuhkan curan hujan antara 250–500 mm/th dan suhu 10 0C-38 0C. Tanah agak masam dengan pH 5– 6,5 atau tanah yang berkapur, tanah merah, lempung laterik hingga berpasir, juga lempung alluvial tetapi yang paling subur pada tanah kering dan tanah liat yang kaya humus (Sutarno, 2000). Zuhud dan Siswoyo (1995) mengemukakan bahwa pada habitat alaminya, tanaman Pule pandak tumbuh liar di ladang-ladang hutan jati atau tempat-tempat lainnya. Di Jawa tanaman ini biasanya tumbuh di hutan jati yang bersuhu panas dan kering, pada ketinggian 40–100 m dpl, tipe iklim C (menurut Schmit dan Ferguson). Pule pandak menyebar di India, Srilangka, Vietnam, Malaysia, Filipina, sampai ke Indonesia (Wahyono, 1989), sedangkan di Indonesia yang berdasarkan pada material herbarium pule pandak di Herbarium Bogo riense, pule pandak selain ditemukan di Jawa Timur dan Jawa Tengah, juga ditemukan di Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Jawa Barat dan Lombok (Basori, 1993).
9
Kegunaan dan Kandungan Kimia Menurut Rhumphius dalam Heyne (1987), pemanfaatan pule pandak sebagai obat tradisional digunakan untuk pengobatan sesak nafas, nyeri perut, murus, sakit kepala dan gigitan ular. Getah batangnya juga sering diteteskan pada mata untuk menghilangkan bintik -bintik putih pada selaput bening. Pule pandak juga dapat dipergunakan sebagai obat demam, tekanan darah tinggi, obat digigit ular, disentri, kolera, perut mulas, kehilangan selera makan, nyeri rahim, radang usus, radang jantung, radang usus buntu dan lain -lain. Sedangkan kandungan alkoloid berbeda-beda menurut bagian tumbuhan, umur, fase pertumbuhan (vegetatip dan generatip), teknik perbanyakan dan kondisi tempat tumbuh (Yahya, 2001). Kadar tersebut berkisar antara 0,8% sampai 1,5%, tetapi kadang-kadang sampai 2,5%. Disamping alkoloid total, kadar reserpine merupakan faktor utama, biasanya berkisar antara 0,04%-0,09% (Lubis, 1976 dalam Ariani, 1995). Salah satu contoh kandungan persentase kandungan alkoloid akar pule pandak dikemukakan oleh Biswas (1956) dalam Basori (1993), seperti yang tercantum dalam Tabel 1. Tabel 1 Kandungan kimia pada akar pule pandak (R. serpentina) dengan persentase yang dihasilkan. Nama Kimia Ajmaline Isoajmaline Ajmalinine Rauwolfinine Serpenine Yohimbine Sarpagine Corynanthine 3 – epi – a - yohimbine a - yohimbine Rescinnamine Reserpine Reserpoxidined Methylreserpate Deserpidine d - yohimbine Reserpinine Reserpline Serpentine Serpentinine Chanrine
Persentase Hasil 0.1 0.01 0.05 0.02 0.000027 0.0064 0.021 0.019 0.054 0.147 0.014 0.02 0.014 0.08 0.08 0.08
10
Konsep dan Gambaran Umum Embrio somatik Pembentukan embrio somatik secara in vitro adalah pembentukan embrio dari sel-sel non seksual yang dikulturkan. Dalam metode ini eksplan diberi hormon dengan kadar yang cukup tinggi sehingga pertumbuhan normal dan teratur, terbentuk kalus atau sel-sel yang tersuspensi dalam media kultur. Kalus atau sel-sel tersebut akan terus berkembang sehingga mencapai jumlah yang cukup banyak. Kemudian susunan hormon dirubah, sehingga sebagian besar dari sel-sel tersebut mulai memisah dan berubah menjadi embryoid, tidak menjadi akar atau tunas. Embryoid ini dapat dilipat gandakan, dan masing-masing akan tumbuh menjadi tanaman normal (Hartman et al., 1990). Embrio somatik dapat melalui 2 cara : 1. Terjadinya embrio somatik langsung dari eksplan yang dikulturkan. Ini terjadi pada sel-sel yang menentukan preembriogenik, dimana sel-sel telah memasuki perkembangan embrionik dan hanya menunggu untuk dibebaskan. 2. Terjadinya embrio somatik melewati pembentukan kalus, dimana eksplan yang dikulturkan berkembang membentuk sel yang tidak teratur. Kalus ini bila disubkulturkan berulang-ulang dengan mengganti media akan terjadi dua kemungkinan, yaitu : a. Sel berubah menjadi meristemoid yaitu kumpulan sel meristematik yang berisi zat-zat parenkhim padat dengan nukleus yang sangat besar. Sel-sel ini akan tumbuh terus kemudian berdiferensiasi dan berkembang menjadi tunas akar adventif. b. Sel-sel kalus berubah bentuk menyerupai embrio yang dinamakan embrio somatik (Ammirato, 1982). Dasar-dasar Embriogenesis Secara In vitro. Terdapat tiga macam tipe embriogenesis secara in vitro : 1. Adventif Embrio Somatik Embrio somatik dapat dikembangkan dari gabungan antara sel atau kalus dengan bagian reproduksi. Hal ini disebut Preembryonically Determined Cell (PEDC). Sel dan kalus embryogenik dapat dimulai dari jaringan nukleus baik pada spesies jeruk poliembriogenik atau monoembryogenik. Begitu juga dengan
11
produksi kalus embriogenetik dari embrio somatik dapat dikembangkan dari jaringan ovul yang sangat muda dari spesies tropik lain, rumput, anggur, kopi dan lain-lain. Pada saat jaringan eksplan memiliki genotip yang sama, prosedure ini merupakan metode propagasi klonal dan duplikat apomixis yang potensial. Tipe ini juga dapat dikembangkan secara langsung dari sel tunggal pada permukaan embrio muda atau secara tidak langsung dihasilkan dari kalus. Prosedure ini memungkinkan untuk digunakan pada program pengembangan genetik seperti pada penyelamatan embrio dari keguguran. 2. Poly Embrio Somatik Tipe ini melibatkan transplanting dari embriogenik Embrional Suspensor Mass (ESM), yang mendahului pembentukan embrio. Saat jaringan ESM ditransplanting pada media kultur selama 2–4 minggu setelah fertilisasi, sel berkembang secara langsung menjadi embrio. Poliembriogenesis somatik tidak saja terjadi pada gymnospermae, tetapi juga terjadi pada angiospermae. Embriogenesis tidak melibatkan kalus, tetapi merupakan hasil dari kumpulan jaringan ESM yang asli. 3. Induksi Embrio Somatik Tipe Embriogenesis ini merupakan hasil dari kalus somatik dan suspensi sel setelah jaringan diarahkan pada perlakuan khusus yang menyebabkan induksi embriogenik. Metode ini telah banyak diterapkan pada beberapa tanaman pertanian, seperti wortel, alfalfa, rumput-rumputan, kopi, spesies palem, kedelai dan lain-lain. Ada dua manfaat yang potensial dari prosedure diatas : 1. Propagasi dari biji somatik sintetik Embrio somatik dapat diaplikasikan secara langsung kedalam propagasi klonal berbagai biji tanaman pertanian diantaranya padi, sayuran dan tanaman perkebunan seperti palem, kelapa sawit dan kopi serta tanaman hutan. 2. Program pengembangan genetik kultivar tanaman Embrio somatik berguna untuk mengidentifikasi variasi genetik dalam kumpulan sel. Embrio somatik dapat tumbuh dari kalus, sel ataupun protoplas (Hartmann et al., 1990) .
12
Tahapan Embrio Somatik Hartmann et al., (1990) menyatakan ada beberapa tahap yang harus dilakukan pada pelaksanaan embrio somatik yaitu : 1. Seleksi kultur dan eksplan yang sesuai Seleksi eksplan merupakan langkah yang sangat penting. Langkah pertama adalah produksi kalus, suspensi sel atau protoplas. Beberapa contoh tanaman yang dapat dijadikan eksplan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Beberapa tanaman yang dapat di induksi embrio somatik secara invitro. Spsies Tanaman
Medium
Medicago sativa Blaydes Pheseolus vulgaris 67 - V Brassica oleraceae MS Manihot esculenta MS Allium cepa B5 Pisum sativum MS Beta v ulgaris PBO Cajanus cajan White Pelargonium spp MS Sumber : Gamborg dan Shyluk (1981)
Eksplan Hypocotyl Daun Petiole, Batang Batang Bulb Epicotyl Daun Hypocotyl Petiole
Sumber Bingham et al., 1975 Crocomo et al.,1976 Clare & collin, 1974 Tilquin, 1979 Fridborg, 1971 Malmberg, 1979 de Greef &Janick,1979 Shimada et al., 1969 Shirvin & Janick, 1976
2. Induksi Potensial Embriogenik dalam Eksplan Induksi diperoleh melalui transfer sel dari media dasar dengan konsentrasi auksin tinggi, auksin yang paling efektif adalah 2 , 4–D atau air kelapa plus NAA dengan konsentrasi rendah. Setelah 1–2 minggu maka beberapa proembrio akan muncul. Gumpalan yang lebih besar dan proembrio akan terpisah oleh ukuran sekat yang berbeda, kemudian ditrans fer ke media yang berbeda. Sel-sel yang lebih kecil dapat disubkulturkan untuk melanjutkan produksi embrio somatik. 3. Diferensiasi dan Kematangan Embrio somatik Kumpulan proembrio dipindah kemedia dasar yang bebas auksin, dalam amonium nitrat tinggi. Embrio somatik akan meningkat dari gumpalan sel tunggal. 4. Pembentukan Planlet Embrio somatik yang telah masak dapat ditempatkan pada media bebas auksin tetapi mengandung sitokinin dalam konsentrasi rendah. 5. Aklimatisasi
13
Setelah akar, daun terbentuk, maka planlet dapat diaklimatisasi ke media dalam kontiner atau polybag. Faktor-faktor dan Variabel-variabel yang Mempengaruhi Embrio Somatik Lingkungan kimia dan lingkungan fisik mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap embrio somatik . Faktor kimia terpenting yang terlibat dalam proses munculnya embrio somatik adalah kandungan auksin pada media, campuran nitrogen yang ditambahkan sebagai nutrisi. Vajrabhaya (1988) menyatakan, bahwa proses induksi embriogenesis membutuhkan adanya auksin dan kenaikan ratio dari nitrogen dan auksin. Telah diketahui bahwa auksin tidak terlibat dalam perkembangan embrioid dari kalus, meskipun auksin dibutuhkan untuk pertumbuhan kalus. Embrioid umumnya terbentuk ketika kalus ditransfer dari medium yang ditambahkan auksin ke medium subkultur dengan konsentrasi auksin yang lebih rendah atau tanpa auksin. Faktor fisik seperti temperatur, intensitas cahaya, fotoperiode, udara, keadaan media dan kecepatan pengocokan juga telah dilaporkan mempengaruhi embrio somatik. Temperatur optimum adalah spesifik untuk setiap spesies dan tahap perkembangan. Perlakuan panas atau dingin pada tahap tertentu dapat meningkatkan embriogenesis dan perkecambahan dari embrio somatik dan propagul lain untuk perkembangan yang lebih lengkap.
Eksplan Daucus carota merupakan eksplan yang paling banyak dibiakan dari seluruh spesies tanaman. Hal ini disebabkan beberapa bagian dari tubuh tanaman tersebut hanya memerlukan sedikit waktu untuk menghasilkan embrio somatik dengan sukses (Gamborg dan Shyluk, 1981). Pada beberapa spesies hanya daerah -daerah tertentu dari tubuh tanaman yang respon dalam biakan. Hal ini menjadi masalah pada beberapa monokotil khususnya untuk familie Gramineae. Jaringan yang memiliki pertumbuhan embriogenik adalah jaringan reproduktif dan meristematik. Keadaan fisiologis
14
tanaman dan asal eksplan penting sekali demikian juga dengan musim pada saat eksplan diambil. Ammirato (1982) mengatakan dalam spesies tertentu dengan genotip yang berbeda-beda menunjukkan kemampuan yang bermacam -macam dari embrio somatik. Tiga kultivar Zea mays menghasilkan biakan yang baik dari organogenesis batang, dan hanya satu kultivar yakni A188 yang dengan mudah menghasilkan embrio somatik.
Media Kultur Media kultur jaringan terdiri dari komponen utama dan komponen tambahan. Komponen utama meliputi garam mineral, sumber karbon (gula) dan vitamin. Komponen lain seperti zat pengatur tumbuh, senyawa nitrogen organik dan
beberapa
ekstrak
tambahan
meskipun
tidak
mutlak
tetapi
dapat
menguntungkan ketahanan sel dan perbanyakannya. Sebagai contoh ekstrak buah pisang dan air kelapa merupakan komponen tambahan yang sangat populer untuk media kultur anggrek (George dan Sherington, 1984). Ammirato (1982) mengatakan bahwa media yang digunakan untuk proliferasi jaringan memegang peranan penting untuk terjadinya embriogenesis. Embrio somatik dapat ditumbuhkan pada media White hingga formulasi Gamborg, SH, B5, dan MS yang lebih pekat. Media
B5,
SH
dan
MS
diklasifikasikan sebagai media garam tinggi, khususnya MS konsentrasinya mencapai kurang lebih 10 kali konsentrasi garam dari media White. Dilaporkan bahwa 70% dari eksplan dibiakan pada media MS atau modifikasinya. Keistimewaan media MS dibandingkan dengan media lain adalah kandungan amonium nitrat dan potasiumnya yang tinggi. Hal ini akan mempertinggi proses embriogenesis. Ciri lain dari media MS dan media penting lainnya untuk embriogenesis adalah keberadaan chelated iron yang sering dalam bentuk Fe- EDTA. Tanpa ada besi perkembangan embrio gagal melalui tahap dari globular sampai bentuk hati. Wetter dan Constabel (1991), menyatakan bahwa media yang sebaiknya digunakan untuk menguji pembentukan kalus adalah MS dan B5 yang dilengkapi dengan kasein hydrolysat 0,05%–0,2%. Kalus yang baik akan terbentuk dalam
15
waktu satu bulan. Pada tanaman pisang, media dasar yang sering digunakan adalah media MS atau modifikasinya (Damasco dan Barba, 1985) dan eksplan yang digunakan berasal dari mata tunas dan titik tumbuh. Beberapa penelitian lain yang telah dilakukan juga menunjukkan bahwa med ia untuk induksi kalus yang paling banyak digunakan adalah media MS (Tabel 2). Chen (1990) juga mengatakan bahwa media MS banyak digunakan sebagai media dasar dalam pembentukan kalus dan diferensiasi kalus dengan penambahan hormon 2, 4 – D pada komposisi medianya. Pada Citrus nampak bahwa proses embriogenesis dipertinggi oleh NH4NO3, seperti dilaporkan oleh Reinert dan Tazawa (1969 dalam Gamborg dan Shyluk, 1981), untuk kultur suspensi sel Daucus . Gamborg dan Shyluk (1981) juga mengutip percobaan Halperin dan Wetherel pada tahun 1965 yang menyatakan bahwa ion amonium dan casein hidrolysat pada level rendah hormon mendorong embriogenesis. Lebih lanjut dijelaskan bahwa keseimbangan level hormon menyebabkan diferensiasi embrioid. Ekstrak gandum (Malt Extract/ ME) bermanfaat untuk kultur nuclear dan dapat dikombinasikan dengan NAA, Adenin dan Kinetin. Demikian pula dengan penambahan air kelapa dan casein hidrolysat yang dapat membantu keberhasilan embriogenesis. Hal ini disebabkan air kelapa mengandung sitokinin dan dapat memacu pertumbuhan embrio. Namun penambahan air kelapa sulit dijadikan pegangan, karena kepekatannya berbeda berdasarkan jenis dan umur, bahkan pada umur yang sama terkadang berbeda (Priyono dan Daminihardja, 1992). George dan Sherrington (1 984) mengatakan bahwa casein hidrolysat merupakan
senyawa
kompleks
yang
mengandung
asam
amino,
serta
mempengaruhi osmorilitas media yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan embrio. Priyono dan Daminihardja (1992) juga melaporkan bahwa penambahan casein hidrolysat sebanyak 250 mg/l tanpa air kelapa memacu pertumbuhan embrio.
16
Tabel 3 Macam media dan zat pengatur tumbuh untuk induksi kalus pada berbagai jenis tanaman Tanaman
Asal Eksplan
Media
Zat Pengatur Tumbuh
Sumber
Bawang Putih
Tunas Pucuk
MS
1 ppm IAA + 2 ppm NAA
Daisy,P.S, 1992
Kentang
Tunas Pucuk
MS
1 ppm 2,4-D+ 2 PPM Kin
Tao, 1992
Tebu
Batang pucuk
MS
Tembakau
Daun muda
MS
3 ppm NAA, atau 3 ppm 2,4-D 2 ppm IAA + 3 ppm Kin
Melon
Biji
MS
1 ppm NAA + 3 ppm Kin
Begonia
Daun muda
MS
1 ppm IAA
Asparagus
Endosperm
MS
1 ppm 2,4-D
Jagung Paku-pakuan
Endosperm Daun muda
N6 MS
Apel Anggrek Catlieya Anggrek Dendrobium Melinjo Wortel Kapri
Tunas pucuk Keiki
MS VW
Keiki
VW
Biji Ploem Epikotil
MS MS B5
5 ppm NAA 2 ppm Kin + 0,1 ppm NAA 1 ppm BAP 1.75 ppm IBA + 1,75 ppm NAA 100 gr Pisang + 100 gr Kentang 4 ppm NAA 3 ppm 2,4-D + 2 ppm Kin 1 ppm 2,4- D
Suryowinoto, 1991 Suryowinoto, 1991 Suryowinoto, 1991 Suryowinoto, 1985 Suryowinoto, 1991 Poedji L, 1992 Suryowinoto, 1987 Ishihara, 1982 Sagawa, 1982 Sagawa, 1982
Sriani H, 1982 Ari W, 1992 Suryowinoto, 1987 Kenanga Daun MS 0.5 ppm 2,4-D Endang S,1991 Sumber : Penelitian-penelitian yang telah berhasil dilaksanakan sejak tahun 1980 – 1992 dalam Hendaryono dan Wijayani, 1994.
Zat Pengatur Tumbuh Menurut Abidin (1982), zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik yang dalam jumlah sedikit mampu mendorong, merubah dan menghambat proses fisiologis tumbuhan. Hartmann et al., (1990) mengatakan bahwa zat pengatur tumbuh memainkan peranan yang sangat penting terhadap pertumbuhan dan perkembangan, pembelahan, pembesaran dan diferensiasi sel. Tanpa zat pengatur tumbuh tidak ada pertumbuhan dan perkembangan tanaman sebab untuk pembelahan sel dan pembesaran volume sel suatu jaringan harus tersedia zat pengatur tumbuh tertentu. Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam
media
dan
yang
diproduksi
secara
endogen
menentukan
arah
17
perkembangan suatu kultur. Menurut Wattimena (1997), auksin dan sitokinin digunakan untuk mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan eksplan. Auksin Untuk biakan yang diambil dari jaringan yang berbeda-beda, zat pengatur tumbuh didalam medium terutama auksin atau auksin yang dikombinasikan dengan sitokinin nampaknya penting bagi permulaan pertumbuhan dan induksi embriogenesis. Beberapa spesies dengan cepat menghasilkan kultur embriogenik dengan auksin yang berbeda-beda, sebagai contoh kultur embriogenik pada wortel yang telah dihasilkan dengan NAA, 2, 4–D dan IAA. Pada spesies yang lain pemilihan zat pengatur tumbuh lebih terbatas, misalnya pada biakan millet seperti halnya tanaman sejenis rumput-rumputan dan sereal yang lain, hanya 2, 4–D yang efektif. Auksin untuk media primer dan sekunder dapat sama atau berbeda, satu atau beberapa auksin dapat digunakan dalam media yang sama. Untuk beberapa biakan perubahan dalam konsentrasi atau tipe auksin merupakan pemulaan yang penting untuk perkembangan embrio somatik. George dan Sherington (1984) serta Gunawan (1988) menyatakan bahwa auks in digunakan secara luas untuk menginduksi pembentukan kalus, auksin yang sering digunakan adalah 2, 4–D. Ditinjau dari peran zat pengatur tumbuh dikatakan oleh Wetherel (1982), peran auksin yang pertama dalam kultur adalah merangsang pembelahan dan pembesaran sel yang terdapat pada pucuk tanaman dan menyebabkan pertumbuhan pucuk-pucuk baru. Penambahan auksin dalam jumlah besar atau penambahan auksin yang lebih stabil misalnya 2, 4–D, NAA akan cenderung menyebabkan terjadinya pertumbuhan kalus dari eksplan dan menghambat regenerasi pucuk, sedangkan peran auksin yang kedua adalah merangsang pembentukan akar. Pemilihan jenis auksin dan konsentrasinya menurut Gunawan (1988) ditentukan oleh : 1. Taraf auksin endogen 2. Tipe pertumbuhan yang dikehendaki 3. Kemampuan jaringan mensintesa auksin 4. Golongan zat tumbuh lain yang ditambahkan.
18
Sitokinin. Peranan sitokinin dalam mikropropagasi adalah merangsang pembelahan sel dalam jaringan eksplan dan merangsang pertumbuhan tunas daun (Wetherel, 1982). Ammirato (1982) menambahkan bahwa sitokinin juga membantu perkembangan kotiledon dan pemasakan embrio somatik, dan diperlukan untuk pertumbuhan embrio menjadi planlet. Sitokinin yang banyak digunakan adalah kinetin, zeatin dan benzyladenin. Kisaran konsentrasi yang efektif untuk kinetin 0,5uM-5,0 uM. Pada umumnya kebutuhan kinetin untuk tanaman golongan monokotil sekitar 1 ppm, untuk menginduksi kalus kinetin diberikan sebanyak 0,1 mg/l atau 10%–15% (Ammirato,1982). Akan tetapi pemakaian sitokinin eksogen pada
jaringan Sitokinin
meristematik juga
dapat
berpengaruh
menghambat
pada
terhadap
pembelahan
perkembangan
sel.
embrio,
memperlambat proses penghancuran butir klorofil. Pengaruh sitokinin terhadap proses fisiologis tanaman diduga terjadi pada sintesis protein mengingat sesama struktur sitokinin dengan adenin yang merupakan komponen pembentuk DNA atau RNA (Wattimena, 1987). Interaksi antara Auksin dan Sitokinin Interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi secara end ogen, menetukan arah perkembangan suatu kultur (Gunawan, 1988). George dan Sherington (1984) mengatakan, untuk proses morpogenesis akar dan tunas dari kultur kalus biasanya dibutuhkan imbangan taraf auksin dan sitokinin, karena itu tidak ada formula satupun yang terbaik bagi setiap penggunaan. Jadi untuk usaha mikropropagasi dari suatu tanaman yang belum dikerjakan sebelumnya, haruslah dilakukan percobaan dengan berbagai jenis dan kadar dari masing-masing zat pengatur tumbuh tersebut. Sitokinin berinteraksi dengan auksin sedemikian rupa sehingga pemakaian keduanya secara bersama-sama harus mempertimbangkan kadar maupun perbandingannya
dalam
media.
Secara
umum
dapat
dikatakan
bahwa
perbandingan sitokinin dan auksin yang tinggi baik untuk daun, sedangkan
19
perbandingan yang rendah baik untuk pembentukan akar (Wetherel, 1982), contoh zat pengatur tumbuh yang terdapat dalam perdagangan terlihat pada Tabel 4. Tabel 4 Zat pengatur tumbuh yang digunakan secara komersial dalam mikropropagasi tanaman . Zat Pengatur Tumbuh
Singkatan
Keterangan
Auksin alami tidak stabil
I. Kelompok Auksin •
Asam Indo-3-Asetat
IAA
•
Asam Indo-3-Butirat
IBA
•
Asam Alfa Naftalen Asetat
NAA
Asam 2, 4 Diklorofenoksi Asetat
2, 4–D
-
•
Stabil Stabil kuat
II. Kelompok Sitokinin •
Bensil Adenin
•
Kinetin
•
Bensil Amino Purin
•
Thidiazuron
•
Zeatin
BA BAP -
III. Kelompok Giberellin •
Asam Giberelat
GA3
Dapat merangsang pertumbuhan, kadangkadang menghalangi pertumbuhan tunas
Sumber : Wetherell (1982)
George dan Sherington (1984) mengatakan bahwa interaksi dari zat pengatur tumbuh sering terjadi, namun pengaruhnya pada tanaman tidak dapat digeneralisasikan karena : a. Pada tanaman tertentu perbanyakan dengan cepat tunas samping disebabkan oleh sitokinin maupun auksin. b. Pada tanaman monokotil pertumbuhan kalus hanya dapat berlangsung apabila konsentrasi auksin tinggi dan tanpa sitokinin.
20
c. Morpogenesis dan organogenesis sering dirangsang ketika eksplan dipindahkan pada media yang konsentrasi auksinnya sudah dikurangi. Peranan dan Perkembangan Embrio somatik Embrio somatik mempunyai potensi yang sangat penting pada bidang pertanian yaitu sebagai alat untuk mempelajari dan menganalis a peristiwa molekuler dan biokimia. Dalam bidang pertanian embrio somatik dapat digunakan untuk propagasi klonal pada beberapa kelompok tanaman seperti anggrek, beberapa kultivar tanaman hias dan pada beberapa spesies yang digunakan untuk peremajaan hutan. Embrio somatik pada beberapa klon dapat diperoleh dalam jumlah besar melalui embriogenesis. Kegunaan lain dari embrio somatik adalah untuk menghasilkan atau memperoleh persediaan tanaman yang bebas penyakit, pengembangan genetik tanaman, dan untuk penyebaran serta penyimpanan germplasm. Perkembangan teknik kultur jaringan sampai embriogenesis sudah berhasil bukan saja pada sel soma tetapi juga pada sel generatip yaitu serbuk sari bunga jantan
(pollen).
Pengkulturan
serbuk
sari
bukan
hanya
sampai
pada
embriogenesis, tetapi sudah sampai pada pembentukan tanaman sempurna. Pada studi awal sistem suspensi sel, Steward dan teamnya pada tahun 1958, menemukan bahwa perlakuan dengan air kelapa pada tanaman wortel, sel wortel tidak berkembang (menggandakan diri), tetapi terpisah menjadi strukturstruktur kecil seperti embrio yang disebut embrioid. Studi yang lebih rinci ditunjukkan oleh Reinert pada tahun yang sama, bahwa embrio dapat muncul dari kalus pada medium agar. Sejak saat itu banyak spesies lain ditemukan memiliki kemampuan membentuk embrio somatik atau dengan induksi melalui perlakuan kultur (Vajrabhaya, 1988). Pada
wortel
dan
beberapa
spesies
lain,
induksi
pertumbuhan
embriogenesis dapat dilakukan melalui salah satu dari dua cara. Beberapa sel mungkin hanya membutuhkan medium basal yang sederhana untuk memulai embriogenesis, sementara yang lainnya mungkin membutuhkan medium yang
21
lebih kompleks dengan penambahan auksin. Nadar, Soeprapto, Heinz dan Ladd (1978) melaporkan bahwa untuk inisiasi kalus tebu dibutuhkan 3.0 mg/l 2, 4–D. Terello, Symington dan Rufner (1978) melaporkan, bahwa pertumbuhan kalus dari 2 varietas Red fescue lebih ditingkatkan dengan perlakuan 2, 4–D, dan didapatkan konsentrasi optimum 20 uM. Regenerasi dapat ditingkatkan dengan penurunan konsentrasi selama sub kultur. Dari tanaman Rygrass tahunan terjadi peningkatan regenerasi yang nyata dengan penurunan konsentrasi 2, 4–D dari 10 mg/l hingga 5 mg/l. Man Si Wang dan Zapata (1987) melaporkan tentang embrio somatik pada padi kultivar IR 40 yang membutuhkan imbangan antara auksin dan sitokinin yaitu 2 mg/l 2, 4–D dan 0.2 mg/l BAP. Untuk regenerasi, medium MS ditambah dengan 4 mg/l BAP dan 0.5 mg/l IAA. Regenerasi tanaman melalui embrio somatik adalah suatu hal yang sangat penting bagi perbaikan tanaman. Cara regenerasi tanaman melalui embrio genesis cenderung lebih menguntungkan jika dibandingkan dengan organogenesis karena dapat digunakan untuk memanipulasi genetik atau membuat mutan tanaman. Individu tanaman yang berasal dari pembentukan embrio somatik adalah sama dengan tanaman yang berasal dari embrio zygotik. Embrio somatik yang berasal dari kalus dan regenerasinya telah dilakukan pada banyak tanaman dan berbagai kelompok tanaman, diantaranya padaWheat (Ahloowalia, 1982), Red fescue (Torello et al., 1984), Sacarum officinarum (Nadar et al., 1978) , Oil palm (Nualsri, Sampong dan Wangtana, 1987) dan Soya bean (Komatsuda et al., 1991). Embrio somatik yang berasal dari eksplan hipokotil Apiaceae telah dilakukan pada spesies Ammi majus, Anethum graveolens, Apium graveolens dan Dacus carota. Jasrai et al. (1992) melakukan penelitian pada tanaman Trachyspermum ammi (L) Sprague untuk mengetahui kemampuan embrio somatik dalam menghasilkan variabilitas dan untuk mendapatkan tanaman yang resisten terhadap penyakit Down mildew.
22
Perbanyakan in vitro pisang (Musa sp) melalui embriogenesis dapat dilakukan dengan kultur protoplas, kultur suspensi sel dan kultur kalus. Novak et al., (1989) melaporkan bahwa proembriogenic dari pisang buah (AA dan AAA) dan pisang olah (ABB) dapat diinisiasi dari seludang daun dan jaringan akar yang ditanam pada media SH dengan 30 uM 3-6-dichloro -2-methoxybenzoic acid (Dicamba), kemudian disuspensi ke media ½ MS yang dilengkapi dengan 20 uM Dicamba. Pada kultur suspensi sel pisang olah cv. Bluggoe (Musa sp–ABB Group) embrio somatik diperoleh secara langsung dari sel tanpa melalui kalus. Eksplan yang digunakan adalah mata tunas dan ditanam pada media MS yang dilengkapi dengan 5 uM 2, 4–D dan 1uM Zeatin (Dhed ’ a et al., 1991), sedangkan Megia et al. (1993) melaporkan bahwa dari kultur protoplas pisang olah cv. Bluggoe (Musa sp ABB Group), 10% embrio dapat tumbuh menjadi planlet bila disubkultur dalam 2,2 uM 6-BAP dan 2 uM 4 amino-3,5,6 trichloropicolinic acid selama 1 minggu sebelum ditransfer pada media MS yang mengandung 10 uM 6-BAP.