II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teh hijau Teh merupakan minuman ringan yang popular dan memiliki flavor yang baik serta mempunyai efek yang menyehatkan pada tubuh manusia. Berdasarkan proses pengolahannya, khususnya tahap fermentasi, teh digolongkan menjadi tiga jenis teh: teh tanpa fermentasi (teh hijau), teh semi fermentasi (teh oolong), dan fully fermented tea (teh hitam). Teh merupakan spesies tunggal dengan nama latin Camelia sinensis. Beberapa varietas teh, yaitu sinensis, assamica, dan irrawadiensis. Pengklasifikasian teh dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Pengklasifikasian teh Divisi
Spermatophyta (tumbuhan biji)
Subdivisi
Angiospermae (tumbuhan berbiji terbuka)
Kelas
Dicotyledoneae (tumbuhan berbiji terbelah)
Subkelas
Dialypetalae
Ordo (bangsa)
Guttiferales (Clusiales)
Familia(suku)
Camelliaceae (theaceae)
Genus (marga)
Camellia
Spesies (jenis)
Camellia sinensis
Sumber: Tuminah (2004)
Teh hitam merupakan teh yang berasal dari pucuk daun teh segar yang dibiarkan layu sebelum digulung, kemudian daun-daun tersebut dibiarkan selama beberapa jam sebelum dipanaskan dan dikeringkan. Proses pengolahan teh hitam terdiri dari proses pelayuan, penggulungan, fermentasi, dan pengeringan. Pelayuan bertujuan untuk mengeluarkan sebagian cairan sel, merubah susunan sel, dan untuk menciptakan kondisi yang baik untuk proses penggilingan. Pelayuan dilakukan pada suhu 27oC30oC selama 10 jam (Panuju 2008). Penggulungan bertujuan untuk memecah sel-sel daun, mengeluarkan cairan sel, dan merusak jaringan daun yang menyebabkan unsur-unsur di dalamnya termasuk polifenol dan beberapa enzim bergabung menjadi satu. Fermentasi dilakukan secara oksidatif enzimatis selama 40 menit sampai 4 jam pada suhu 25oC-32o C (Panuju 2008). Sedangkan pengeringan dilakukan untuk menghentikan aktivitas enzim sehingga proses fermentasi berhenti dan menurunkan kandungan air sampai kira-kira 3% basis basah (Kusumaningrum 2008). Teh oolong adalah teh yang proses fermentasinya dikontrol pada pembuatannya. Menurut Wan et al. (2009b), proses pembuatannya dimulai dari tahap pemetikan daun teh segar, lalu proses pelayuan, kemudian dilanjutkan dengan proses bruised atau shaken, lalu dilanjutkan dengan proses fermentasi secara parsial, kemudian dilanjutkan dengan proses fixed yang bertujuan untuk
menginaktifasi enzim, lalu tahap berikutnya adalah tahap penggulungan, dan kemudian diakhiri dengan tahap pengeringan (dried). Jenis teh lain yang diketahui beragam manfaatnya adalah teh putih (White Tea). White tea dihasilkan dari minimal treatment, dengan pengukusan dan pengeringan yang cepat. White tea dipanen ketika pucuk teh masih tertutupi oleh rambut putih halus dan daun tersebut belum sepenuhnya terbuka. Setelah dipetik daun teh segar dikeringkan dan dilayukan dengan sinar matahari, dan daun tersebut dijaga agar tetap dalam keadaan lebih segar dibandingkan dengan dengan teh hijau maupun teh hitam. White tea memiliki warna lebih segar dibandingkan teh hijau dan memiliki perbedaan yang jauh dengan jenis teh lainnya (Jiang 2009). Teh hijau dihasilkan dari daun teh tanpa melalui tahap fermentasi, sehingga warnanya masih hijau dan masih mengandung tannin yang relatif tinggi (Anonim, 2000). Dalam proses pengolahan teh hijau, proses fermentasi harus dihindari. Proses dimulai dengan pelayuan yaitu dengan cara daun teh yang baru dipetik, ditebarkan untuk dikurangi kadar airnya hingga menjadi layu. Daun yang telah layu digoreng diatas wajan pada suhu 90oC selama 8-10 menit. Daun teh yang telah layu kemudian didinginkan dan digulung di atas serumbu bambu yang bawahnya telah diletakan arang yang membara atau menggunakan mesin pengering yang mempunyai suhu masuk 80-100oC dan suhu keluar 55-60o C selama 6-10 menit sehingga kadar air daun teh turun menjadi sebesar 5-8 %. Tahap akhir yang dilakukan adalah proses sortasi untuk memisahkan antara daun teh yang rusak dan yang tidak (Muchidin 1994). Kandungan polifenol yang terdapat di dalam daun teh sekitar 35% berat kering. Polifenol yang terdapat di dalam daun teh dibagi menjadi 4 subkelas flavonoid [(-)-epicatechin gallate (ECG), (-)epigallocatechin (EGC),(-)-epigallocatechin gallate (EGCG), dan (+)-catechin (C)], flavonol (quercetin, kaempferol, dan glikosida), flavon (vitexin dan isovitexin), flovanon, asam fenolat, dan depsides (asam galat, asam klorogenat, dan theogallin). Struktur dasar flavonoid dapat dilihat pada Gambar 1. Komposisi polifenol yang terkandung dalam teh tergantung dari 4 faktor, yaitu varietas teh, kondisi lingkungan, situasi agronomi, dan kondisi geografis (Shahidi dan Naczk 2004). Komposisi polifenol pada daun teh dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Komposisi polifenol daun teh Komponen polifenol Total polifenol Flavanol (katekin dan gallokatekin)
Komposisi (%) Berat kering 18 – 36 17-30
Flavonol + flavonol glikosida
3-4
Flavandiol
2-3
Phenolic acid + depsides
5
Sumber: Shahidi dan Naczk (2004)
Kandungan senyawa kimia pada teh hijau seperti yang tertera pada Tabel 3 menentukan spesifikasi kualitas teh hijau. Komponen-komponen yang paling menentukan spesifikasi kualitas dari teh hijau adalah polifenol, kafein, asam-asam amino dan komponen aroma (Lelani 1996). Daun teh yang telah dikeringkan dan dipanaskan akan menginaktivasi enzim endogenous yang terdapat dalam 3
daun teh sehingga kandungan polifenol yang dimilikinya sebagian besar masih sama seperti yang dimiliki dalam daun teh. Golongan katekin yang paling dominan pada teh hijau adalah EGCG dan memiliki aktivitas antioksidatif yang sangat kuat. Stabilitas katekin dipengaruhi oleh pH dan suhu. Semakin tinggi pH dan suhu maka jumlah katekin pun akan semakin menurun. Jika katekin teroksidasi, maka EGCG, ECG, EGC, dan GC akan mengalami epimerisasi menjadi GCG, CG, GC, dan C (Chen et al. 2001). Fenol teroksidasi menghasilkan produk hasil oksidasi berupa pbenzokuinon, asam dikarboksilat, dan karbondioksida. (Volgina et al. 2005). Tabel 3. Komposisi Kimia daun teh Komposisi Kimia daun teh Protein Selulosa dan serat kasar Klorofil dan pigmen Pati Tanin Kafein Asam-asam amino Mineral Abu
Kandungan (%) berat kering 17 34 1,5 8.5 25 4 8 4 5,5
Sumber: Nasution dan Tjiptadi (1975)
Teh hijau memiliki aktivitas antioksidatif dan hipokolesterolemik. Pemberian ekstrak teh hijau ke dalam ransum tikus sebanyak 10 g/kg akan memberikan efek penurunan kadar malonaldehid dalam serum darah dan homogenat hati secara nyata (Hartoyo dan Astuti 2002). Dou (2009) menjelaskan polifenol pada teh, terutama EGCG pada teh hijau memberikan efek biologis dan potential molecular target dalam meningkatkan inhibisi proteasosm dan aktivitas anti kanker payudara, prostat, dan kolon. Menurut Friedmen dan Jurgens (2000) meneliti kestabilan senyawa polifenol tanaman pada rentang pH 3-11 dengan menggunakan spektrofotometer UV-Vis. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa polifenol jenis kafeat, klorogenat, dan asam galat tidak stabil pada pH tinggi dan ketidakstabilannya bersifat tidak dapat balik, polifenol jenis asam klorogenat stabil pada pH asam, serta polifenol jenis katekin, epigalokatekin, asam ferulat, rutin, dan asam trans sinamat cenderung tahan degradasi akibat perubahan pH. Perbedaan tersebut dipengaruhi kekuatan resonansi dalam menstabilkan ion fenoksida dan quinon pada senyawa polifenol tersebut.
Gambar 1. Struktur dasar flavonoid (Wan et al. 2009a)
B. Tanin Senyawa fenol adalah aneka ragam senyawa yang berasal dari tumbuhan dengan ciri-ciri sama yaitu cincin aromatik yang mengandung gugus hidroksil dirangkai pada suatu atom karbon dari 4
lingkar benzena. Fenol merupakan zat cair bertitik didih tinggi dan mudah larut dalam air karena sifatnya yang sering berikatan dengan gula sebagai glikosida dan terdapat dalam vakuola sel (Harbone 1987). Tanin adalah kelompok senyawa polifenol yang mempunyai sifat dalam menyamak kulit. Seperti diketahui bahwa kulit binatang adalah suatu bahan yang banyak mengandung protein (kolagen), dimana protein pada umumnya dapat diendapkan oleh tanin. Tabel 4. Penggolongan tanin pada tumbuhan Tata nama
Struktur
kisaran bobot molekul
Endapan protein
Oligomer katekin dan flavan 3,4-diol
1000-3000
++++
Galotanin
Ester aam galat dan glukosa
1000-1500
+++++
Eligatanin
Estar asam heksahidroksi difenat dan glukosa
1000-3000
+++++
Katekin (dan galokatekin) flavan 3,4-diol
200-600
+
Tannin terkondensasi Proantosianidin(atau flavolan) Tannin terhidrolisis
Protanin Prazat tanin
Sumber : Harbone (1987)
Tanin pada umumnya terdapat pada setiap tanaman yang letak dan jumlahnya berbeda tergantung pada jenis tanaman, umur, dan organ dari tanaman itu sendiri. Pada beberapa tanaman, kulit kayunya banyak mengandung tannin, sedangkan pada tanaman lain tannin berasal dari getah (lendir yang keluar dari kulit tanaman yang luka) tanaman itu sendiri (Winarno 1981). Penggolongan tanin pada tumbuhan dapat dilihat pada Tabel 4. Secara kimia tanin dapat dipandang dari segi dapat atau tidaknya tannin untuk dihidrolisis, maka tanin dapat digolongkan menjadi hydrolizable tannin dan condensed tannin. Tanin yang dapat dihidrolisis baik oleh asam, basa, maupun enzim akan menghasilkan senyawa seperti asam galat, asam elegat, atau asam-asam lainnya, dimana penyebarannya ada pada tumbuhan berkeping dua. Sedangkan tanin yang tidak dapat dihidrolisis merupakan stuktur kompleks yang terdiri dari katekin dan leucoanthosianin, dimana molekulnya dapat terpolimerisasi, dan penyebarannya ada pada tanaman paku-pakuan, dan Gymnospermae, serta menyebar luas dalam Angiospermae, terutama pada jenis tumbuhan berkayu. Kedua jenis tanin itu dapat dijumpai bersamaan dalam satu tumbuhan yang terdapat pada kulit dan daunya (Winarno 1981). Tannin terkondensasi terbentuk karena kondensasi katekin tunggal yang membentuk senyawa dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Ikatan karbon-karbon menghubungkan satu satuan flavolan dengan satuan berikutnya melalui ikatan 4-8 atau 6-8. Nama lain tanin terkondensasi adalah proantosianidin karena bila direaksikan dengan panas, maka beberapa ikatan karbon-karbon penghubung satuan akan putus dan akan membebaskan monomer antosianidin. Kebanyakan
5
proantosianidin adalah prosianidin, yang apabila direaksikan dengan asam akan menghasilkan sianidin (Harborne 1987). Tannin terhidrolisis terdiri dari dua kelas sederhana. Pada jenis pertama, inti berupa glukosa yang dikelilingi oleh lima gugus ester galoil atau lebih. Pada jenis kedua, inti molekul berupa senyawa dimer asam galat, yaitu asam heksahidroksidifenat yang berikatan dengan glukosa. Bila dihidrolisis elagitanin ini menghasilkan asam elagat (Harborne 1987). Gambar 2 menunjukkan beberapa jenis tanin.
Gambar 2. Struktur kimia dari asam galat , asam ferulat, dan ellagitanin (Dai et al. 2010). Menurut Winarno (1981) secara menyeluruh tannin akan berkurang selama proses pematangan dan pendewasaan pada buah-buahan. Pada jaringan tanaman, semakin tua maka semakin tinggi kandungan tanninnya. Terjadinya penurunan kadar tannin disebabkan adanya tannin yang terdegradasi atau tannin dalam buah sudah tidak mampu mengendapkan lagi protein, karena polimerisasi, depolimerisasi, dan oksidasi tannin. Jenis-jenis tanin dan sumbernya ditunjukkan pada Tabel 5.
C. Enzim Alfa-Amilase dan Enzim Alfa-Glukosidase Enzim α-amilase ( 1 , 4 - α - D - glukan 4-glukanohidrolase, EC 3.2.1.1 ) adalah endoenzim yang bekerja dengan menghidroslisis pati pada ikatan α-1,4 glukosidik menjadi monosakarida dan disakarida. Enzim alfa-amilase secara acak akan memutuskan ikatan α-1,4 dibagian dalam molekul baik pada amilosa maupun pada amilopektin (Fogarty 1983). Dalam industri pangan, α-amilase berperan dalam mempercepat proses hidrolisis pati dan menurunkan viskositas pati (Nigam dan Singh 1995). Mikroba penghasil α-amilase antara lain adalah kapang Rhizopus, Aspergillus niger, Aspergillus oryzae, dan Aspergillus candidus, bakteri Clostridium, Bacillus subtilis, B. stearothermophilus, B. coagulans, B.licheniformis, dan Pseudomonas saccharophila (Windish dan Mhatre 1965). Enzim alfa-amilase yang biasa digunakan berasal dari bakteri Bacillus licheniformis dan B. subtilis. Enzim ini mempunyai aktivitas optimum pada pH 6.0-7.0. Bakteri Bacillus subtilis menghasilkan alfa-amilase yang dapat digunakan untuk menghidrolisa pati sampai suhu 90oC dan alfa-amilase dari B. licheniformis masih dapat menghidrolisis pati pada suhu 105-110oC (Aunstrup 1979). 6
Tabel 5. Jenis-jenis tanin dan sumbernya Jenis Tanin
Sumber
Nama Ilmiah
Tanin Terhidrolisis
Bearberry leaves
Galotanin
Rhubarb Clove Hammamelis
Aractostaphyllus uvaursi Rheumofficinalis Eugenia caryophyllus Hammamelis virginiana Quercus infectorea Punica granatum
Elagitanin
Tanin terkondensasi
Pseudotanin Asam klorogenat Asam galat Katekin
Turkish gall Pomegranate bark and rind Myrobalam Malabar kino Eucalyptus kino Chest nut Chinchona bark Wild cerry bark Rhatany roots Kola seeds Areca seeds Green tea leaves Catechu Mangrove cutches Butea gum Coffee Mate Rhubarb Catechu Cocoa Guarana
Terminalia chebula Pterocarpus marsupium Eucalyptus rostata Castance spp Chincona spp Prunus serotina Krameria triandra Cola acuminata Areca catechu Camelia sinensis Acacia catechu Rhizophora spp Butea frondosa Coffee arabica Ilex paraguansis Rheum officinalis Acacia catechu Theobroma cacao Paullinia cupana
Sumber : Rangari (2007)
Kerja enzim alfa-amilase pada molekul amilosa meliputi dua tahap. Pertama, degradasi amilosa menjadi maltotriosa yang terjadi secara acak. Degradasi ini terjadi sangat cepat dan diikuti dengan penurunan viskositas dengan cepat pula. Pada tahap kedua terjadi pembentukan glukosa dan maltosa sebagai hasil akhir. Proses ini berlangsung dengan sangat lambat dan terjadi secara tidak acak. Sedangkan hidrolisa enzim alfa-amilase pada molekul amilopektin akan menghasilkan glukosa, maltosa, dan berbagai jenis α-limit dekstrin yaitu oligosakarida yang terdiri dari empat atau lebih residu gula yang semuanya mengandung ikatan α-1,6 (Winarno 1980). Pada umumnya alfa-amilase bersifat stabil pada kisaran pH antara 5.5 dan 8.0 dan masih tahan terhadap keadaan pH ekstrim bila tersedia kalsium dalam jumlah yang cukup (Fogarty 1983). Dengan adanya kalsium, enzim α-amilase bersifat tahan terhadap perlakuan suhu dan pH ekstrim, perlakuan dengan urea, atau reaksi-reaksi dengan enzim protease. Enzim α-amilase yang bebas dari kalsium 7
sangat peka terhadap denaturasi asam, panas, atau urea, dan cepat terdegradasi oleh protease (Fogarty 1983). Enzim alfa-glukosidase (α-D-glukosid. Glukohidrolase, EC 3.2.1.20) adalah enzim yang mengkatalisasi pemecahan ikatan 1,4 α-glikosida pada ujung non pereduksi dari maltooligosakarida dengan melepas β-D-glukosa. Enzim ini juga dapat menghidrolisis secara lambat ikatan 1,6-α-Dglukosidik sehingga dapat melanjutkan kerja alfa amilase, yaitu menghidrolisis lanjut α-limit dekstrin menjadi glukosa (Berdanier et al. 2006). Enzim alfa-glukosidase pada pencernaan mamalia berada pada permukaan membran brush border sel usus halus dan merupakan enzim yang mengkatalisis proses akhir pencernaan karbohidrat pada proses pencernaan (Leboviz 1997).
D. Inhibitor Enzim Inhibitor enzim adalah zat yang dapat menghambat kerja enzim. Sebagian besar enzim dapat diracuni atau dihambat oleh senyawa kimiawi tertentu. Penghambat enzim dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu penghambat yang bekerja secara tidak balik (irreversible) dan dapat balik (reversible). Penghambat tidak dapat balik adalah penghambat yang bereaksi dengan atau merusak suatu gugus fungsional pada molekul enzim yang penting bagi aktivitas katalitiknya (Lehninger 1982). Penghambat dapat balik dibagi menjadi dua golongan, yaitu kompetitif dan non kompetitif. Penghambat kompetitif berlomba dengan substrat untuk berikatan dengan sisi aktif enzim, tetapi apabila sekali terikat maka tidak dapat diubah oleh enzim tersebut. Penghambat kompetitif ini dapat dibalikkan atau diatasi hanya dengan meningkatkan konsentrasi substrat. Penghambat kompetitif biasanya menyerupai substrat normal pada struktur dimensinya. Penghambat non kompetitif terjadi bila penghambat berikatan pada sisi enzim selain sisi tempat substrat berikatan, mengubah konformasi molekul enzim sehingga mengakibatkan inaktifasi dapat balik sisi katalitik. Menurut Lehninger (1982) penghambat nonkompetitif berikatan secara dapat balik pada kedua molekul enzim bebas dan kompleks enzim-substrat (ES), membentuk kompleks enzim-inhibitor (EI) dan kompleks enzimsubtrat-inhibitor (ESI) yang tidak aktif. Berbagai jenis fitokimia telah dilaporkan memiliki daya hambat terhadap enzim. Phaseolamin adalah salah satu senyawa aktif pada tanaman kacang merah yang mempunyai kemampuan dalam menghambat aktifitas enzim alfa-amilase (Iguti dan Lajolo 1991 diacu dalam Obiro et al. 2008). Mekanisme penghambatan phaseolamin terhadap enzim alfa-amilase menunjukan bahwa senyawa inhibitor secara efektif menghambat penyerapan karbohidrat dengan mencegah akses substrat terhadap bagian aktif enzim (Obiro et al. 2008). Sneha et al. (2011) menyatakan bahwa ekstrak metanolik dan etil asetat dari Clerodendrum multiflorum mempunyai daya hambat enzim alfa-amilase sebaik daya hambat acarbose. Zat fitokimia yang terkandung dalam Clerodendrum multiflorum adalah flavonoid, komponen fenolik, sterol/triterpenoid, alkaloid, dan tanin. Farsi et al. (2011) menyatakan bahwa ekstrak Ficus deltoidea memiliki kemampuan dalam menghambat enzim alfa-amilase pancreatic porcine dan enzim alfa-glukosidase. Senyawa fitokimia lain yang memiliki daya hambat terhadap enzim adalah vasicine dan vasicinol pada daun Adhatoda vasica Nees sebagai inhibitor enzim alfa amilase, alfa glukosidase, dan sukrase (Gao et al. 2008). Senyawa rosmarinic acid, quersetin, protocatechuic acid, dan para-Coumaric acid pada tanaman herbal oregano dilaporkan dapat menghambat porcine pankreas amilase in vitro (McCue et al. 2004). Kayu secang mengandung komponen kuersetin yang dapat berperan dalam inhibisi enzim α-amilase dan α-glukosidase (Cai et al. 2007). Enzim alfa glukosidase dapat dihambat secara efektif oleh naringenin, kaemferol, luteolin, apigenin, katekin dan epikatekin, diadzein dan epigalokatekin galat (Tadera et al. 2006). Berbagai kelas senyawa fenolik memang telah banyak diberitahukan sebagai inhibitor enzim alfa glukosidase. 8
McDougall et al. (2009) mengutarakan bahwa elagitanin, proantosianidin, dan polifenol pada buah berry (strawberry, claudberry, dsb) dapat menghambat enzim lipase. Pada teh hijau terdapat katekin yang diketahui memiliki aktifitas dalam penghambatan kerja enzim. Epigalokatekin gallat (EGCG) memiliki aktivitas inhibisi terhadap UVB-induced phophatidylinositol-3-kinase (PI3K). Lin et al. (2009) melaporkan bahwa ekstrak teh dan polifenol teh, seperti EGCG (epigalokatekin gallat) dan TF-3 (theaflavin 3,3’-digallat) menghambat enzim yang berperan dalam lipogenesis fatty acid synthase (FAS).
9