TINJAUAN PUSTAKA
Benalu teh Benalu teh merupakan tumbuhan yang bersifat hemiparasit atau setengah parasit, karena tumbuhan ini masih punya hijau daun (klorofil) sehingga tetap dapat melakukan asimilasi sendiri dan hanya menghisap air serta organik maupun anorganik dari tanaman teh yang ditumpanginya (Suharwadji et al. 1979). Berdasarkan klasifikasi botani benalu teh termasuk tumbuhan dari kelas Dicotyledone, dengan ordo Santalales dan famili Loranthaceae. Salah satu genus dari famili Loranthaceae adalah
Scurrula yang memiliki beberapa spesies
diantaranya Scurrula oortiana, S. atropurpurea , S. junghuni dan S. parasitica. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Simanjuntak dan Murwani (2002) ekstrak air benalu teh S. oortiana mengandung senyawa catechin, phytol flavonoid glikosida dan kafein. Hasil penelitian tim peneliti dari Badan Tenaga Atom Nasional Indonesia bekerjasama dengan Prof. Hirotaka Shibuya dari Universitas Fukuyama dan Prof. Dr Mutsuku Mukai dari Osaka Medical Center, Jepang menunjukkan bahwa dari benalu teh genus Scurrula pada Perkebunan Teh Gunung Mas, Cipanas Jawa Barat, dapat diisolasi 16 senyawa penting. Senyawasenyawa tersebut terdiri dari 6 senyawa asam lemak tak jenuh, 2 senyawa xantin, 2 senyawa flavonol glikosida, 4 senyawa flavonol, 1 senyawa lignan glikosida dan satu senyawa monoterpen glikosida. (Ohashi et al. 2003; Winarno et al. 2003). Ada tiga komponen senyawa kimia flavonol yang diisolasi dari Scurrula feeruginea, yaitu kuersetin, kuersitrin dan 4”-O-asetilkuersitrin (Lohezic-Le Devehat et al. 2002). Berdasarkan hasil uji fitokimia, kandungan senyawa benalu teh genus Loranthus terdiri dari alkaloid, steroid, triterpen, flavonoid, saponin, kuinon, dan tannin (Muslimin 2000). Winarno et al. (2000) melaporkan bahwa infus benalu teh dapat bersifat sebagai imunostimulator, yaitu meningkatkan konsentrasi imunoglobulin G (IgG) pada sistem imun mencit galur C3 H. Sifat imunostimulator benalu teh dipengaruhi oleh kandungan senyawa kuersetin dalam ekstrak benalu teh. Kuersetin mampu menginduksi proliferasi dan pematangan makrofag (Veckenstedt dan Pusztai
1981). Selain itu kuersetin juga mempunyai aktivitas menginduksi faktor sel T atau faktor pematangan limfoid (T-cell factor/lymphoid enhancer factor) (Pahlke et al. 2006) Senyawa utama benalu yang bersifat sitotoksis adalah lektin, alkaloid, viskotoksin. Diantara komponen tersebut diketahui bahwa lektin termasuk senyawa aktif yang paling toksik (Park et al. 1999; Frohne dan Ptander 1984). Mekanisme kerja toksik ini dimungkinkan melalui perubahan ion Ca dari ikatan membran sel.
Gambar 1. Benalu teh dari genus Scurrula
Lektin terdapat pada jaringan kebanyakan organisme dan mempunyai afinitas tinggi dalam mengikat karbohidrat. Benalu teh memiliki tiga jenis lektin yaitu lektin benalu tipe I (misletoe lectin type I /MLI), lektin benalu tipe II (misletoe lectin type II/MLI) dan lektin benalu tipe III (misletoe lectin type III (MLIII). Kandungan tertinggi dalam benalu teh adalah MLI diikuti MLIII dan paling kecil adalah kandungan MLII. Lektin merupakan komponen dari senyawa toksin tipe II RIP’s (Ribosome-Inactivating Proteins) yang bersifat sitotoksis. Barnes et al. (2002) yang menyatakan bahwa lektin dapat menghambat sintesis protein sel. Lektin pada tanaman berfungsi dalam mekanisme pertahanan, stimulasi mitogenik dan transport karbohidrat.
Lektin dapat ditemukan pada
semua bagian tanaman baik batang, daun, maupun biji (Hirabayashi 1998). Lektin berperan penting dalam pengobatan kanker karena lektin dapat berikatan
7
dengan permukaan sel dan bersifat sitostatik. Spesifitas ikatan lektin dengan karbohidrat spesifik berperan penting, karena saat sel normal berubah menjadi sel tumor, beberapa karbohidrat pada permukaan sel berubah dan menyebabkan pembentukan senyawa yang unik untuk dikenali.
MLI bekerja sebagai zat
antikanker dengan cara menginduksi apoptosis, disamping itu MLI juga mampu meningkatkan sistem kekebalan (Niwa et al. 2003). Viskotoksin dapat mempresipitasikan histamin yang dilepaskan leukosit saat terjadi iritasi pada sel mukosa manusia, tanpa menyebabkan kematian sel (Barnes et al. 2002). Sedangkan kandungan alkaloid dalam benalu teh diduga adalah kafein, karena keterikatan benalu teh dengan inangnya, yaitu teh yang mengandung senyawa alkaloid berupa kafein (Muslimin 2000). Beberapa alkaloid dapat digunakan dalam pengobatan yaitu untuk menghilangkan rasa sakit, menurunkan panas, menurunkan tekanan darah tinggi, dan menghambat tumor pada manusia (Suradikusumah 1989). Meskipun demikian semua alkaloid umumnya bersifat toksik dan dapat menyebabkan kematian bila dikonsumsi dalam jumlah besar. Ekstrak benalu teh juga mengandung tyramine (metabolit dari asam amino tyrosin) yang bila kandungannya tinggi dapat menstimulasi sistem syaraf simpatetik dan berdampak pada tekanan darah tinggi. Kuinon dan tannin pada benalu teh diduga mempunyai hubungan dengan sistem bioaktivitas sebagai senyawa antioksidan, antitumor dan antimikroba. Tanin berperan sebagai astringensia yang dapat mempresipitasikan protein karena mempunyai afinitas yang tinggi terhadap molekul protein untuk membentuk kompleks enzim-substrat. Senyawa tanin juga dapat membentuk larutan garam yang tidak larut dengan logam berat, alkaloid dan glikosida sehingga dapat menurunkan efek toksisitasnya (Booth dan McDo nald 1982). Senyawa flavonoid dapat berperan sebagai antioksidan alami yang melindungi sistem biologis dan menghambat oksidasi sel dengan cara mereduksi, menangkap oksigen aktif dan radikal bebas terutama superoksida. Salah satu mekanisme kerja yang al in dari antioksidan adalah dengan meningkatkan lipid peroksidase pada sel. Penelitian Arai et al. (2000) menunjukkan bahwa lipid peroksidase tidak secara langsung berhubungan dengan induksi apoptosis. Hal ini
8
dibuktikan dengan pemberian trolox terhadap sel dan efeknya dapat menurunkan lipid peroksidase namun menghambat induksi apoptosis. Flavonoid mampu mencegah terjadinya ikatan hormon- hormon yang dibutuhkan untuk pertumbuhan kanker (Winarno et al. 2000).
Selain itu
kandungan flavonoid benalu teh sebagai metabolit sekunder juga berguna untuk memperkuat kapiler darah dan diuretik. Flavonoid juga dapat menurunkan kadar prostasiklin (substansi yang diproduksi oleh endotelium pembuluh darah) dan kadar leukotrien, sehingga menyebabkan terjadinya vasodilatasi dan menghambat pembentukan platelet darah. Disamping itu flavonoid juga dapat menghambat pembentukan asam urat dengan cara menghambat kerja enzim xanthine oksidase. Flavonoid diduga mampu merangsang respon kebal dengan mempengaruhi peningkatan produksi sitokin (Pelita 2003). Suatu tumbuhan yang berkhasiat obat sering memiliki perbedaan kandungan senyawa aktifnya, baik dari segi kualitatif maupun kuantitatif karena pengaruh faktor-faktor genetik dan fisiologis serta faktor penyiapannya. Santoso (2001) melaporkan bahwa kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada daun benalu teh Scurrula atropurpurea lebih banyak dibandingkan dengan yang terdapat pada batang. Ohashi et al. (2003) melaporkan senyawa-senyawa kimia yang dikandung benalu teh S. atropurpurea terdiri dari asam lemak, xanthines, flavonol glikosida, glukosida monoterpen, glikosida lignan, dan flavanes. Senyawa aktif dari S. atropurpurea yang berperan dalam pengobatan kanker kemungkinan adalah octadeca-8,10,12-trynoic acid, selain flavanes dan lipid acid alkynic. Disamping itu disebutkan pula bahwa semakin tinggi rantai asam lemak tak jenuh dapat memperkuat aktivitas penghambatan terhadap invasi sel kanker. Ekstrak benalu teh Loranthus parasiticus dapat menghambat replikasi HIV-1 penyebab CPE (Cythopatic Effect) pada dosis efektif (Effective Dose/ ED) = 79,4 µg/ml dengan dosis sitotoksik (Cytotoxic Dose/ CD) = 3,8 µg/ml. CD ini dihitung berdasarkan penurunan kemampuan hidup dari sel MT-4. Ekstrak benalu teh juga dilaporkan dapat mengha mbat pembentukan sel raksasa pada media sel MOLT-4 yang diinfeksi dengan HIV-1 strain HTLV-III. Sel raksasa ini berperan dalam deplesi CD4 + limfosit T pada orang yang terinfeksi HIV dengan cara
9
berikatan dengan reseptor yang berdekatan dengan sel CD4 + untuk terjadinya infeksi baru. Ekstrak air dari benalu teh berpotensi menghambat enzim reverse transcriptase HIV-1 pada konsentrasi penghambat (Inhibitory Concentration/ IC 50 ) 5,0 µg/ml. Diketahui pula bahwa aktivitas penghambatan ini lebih kuat daripada pengaruh penghambatan terhadap enzim protease HIV-1 (Otake et al. 1995). Penelitian Kusumoto et al. (1992) juga melaporkan bahwa ekstrak air benalu teh berpotensi menghambat reaksi Reverse Transcriptase (RT) dari Avian Myeloblastosis Virus (AMV) pada IC 50 = 10 µg/ml. Aktivitas penghambatan RT oleh benalu mengalami penurunan sejalan dengan meningkatnya konsentrasi Bovine Serum Albumin (BSA).
Hal ini dimungkinkan karena ekstrak benalu
mengandung senyawa yang mempunyai afinitas pengikatan molekul protein tinggi sehingga dapat mengikat sisi aktif enzim RT atau berhubungan dengan pembentukan kompleks enzim-substrat. Senyawa yang diduga adalah tannin yang terkandung dalam jumlah cukup tinggi pada benalu teh, yaitu sekitar 5,8% . Hasil isolasi dari daun Scurrula fusca menunjukkan adanya kompleks perseitol (heptitol) dan ion kalium yang diketahui dapat mempengaruhi aktivitas beberapa enzim, seperti
laktat dehidrogenase, keratin phosphat, glutamat
oxaloacetat transaminase, glutamat piruvat transaminase, alkalin fosfatase, serta amilase terhadap sel tumor ascites Erhlich pada tikus. +
(perseitol + ion K ) dilaporkan
Kompleks BAP-W
dapat menghambat ikatan antara 3 H-Leucin
dengan sel tumor ascites Erhlich (Shibuya et al. 1999). Murwani (2003) melaporkan bahwa ekstrak batang dan daun dari Scurrula oortiana secara langsung bersifat sitotoksis terhadap sel tumor WEHI-164. Ekstrak ini dapat meningkatkan sensitivitas sel terhadap TNF-a, namun tidak berpengaruh terhadap sel fibroblast yang normal. Hasil pemberian konsentrasi ekstrak dari batang maupun daun pada dosis dua kali lipat memperlihatkan penurunan sensitifitas sel tumor terhadap TNF-a. Berbagai kajian khasiat benalu the dari berbagai spesies tersaji pada Tabel 1.
10
Tabel 1. Kajian khasiat benalu teh yang telah dilakukan oleh para peneliti. Spesies benalu Loranthus parasiticus
Bentuk sediaan Ekstrak air dan ekstrak metanol
Media uji
Khasiat
Pustaka
Kultur sel EL4 dari sel T limfoma mencit C57BL6 In vitro
Penghambatan enzim reverse transkriptase dari virus avian myeloblastosis Anti oksidan
Kusumoto et al. 1992
Loranthus parasiticus Scurrula atropurpurea S. lepidota Scurrula sp.
Infusum
Infusum 20% daun benalu
Tikus putih
Diuretikum
Sasmito 1998
Scurrula atropurpurea
Infusum 10%
Tikus putih
Anti diare
Sa’roni et al. 1998
Scurrula atropurpurea
Infusum
Mencit
Imunomodulator
Winarno et al. 2000
Scurrula atropurpurea
Infusum
Mencit
Anti tumor kelenjar susu
Nugroho et al. 2000
Scurrula atropurpurea
Asam lemak Monoterpen glikosida Lignan glikosida Flavane Asam lemak Monoterpen glikosida Lignan glikosida Flavane Kuersetin, Kuersitrin, 4”-Oasetil kuersitrin Doksorubisin
Rat mesothelial cell dari tikus Donryu (Jepang) Rat mesothelial cell dari tikus Donryu (Jepang) Sel kanker manusia U251, K562, DU145, MCF-7 In vitro
Anti kanker
Ohashi et al. 2003
Anti kanker
Ohashi et al. 2003
Anti kanker
LohezicLe Devehat et al. 2002
Anti oksidan
Kultur sel WEHI-164 dan MA-1
Sensitivitas sel tumor terhadap TNF - a
Simanjuntak et al. 2004 Murwani 2003
Scurrula atropurpurea
Scurrula feruginea
Scurrula oortiana Scurrula oortiana
Ekstrak air, heksan,metanol, asetil asetat Ekstrak air
Leswara dan Katrin 1998
11
Polisakarida
dikenal
sebagai
imunostimulan
alami
yang
dapat
meningkatkan sekresi antibodi dan sitokin, baik dengan meningkatkan fungsi sel Natural Killer (sel NK) maupun limfosit T dan B. Chinese Herbal Polysaccharides (achyranthan) atau disebut ACH secara signifikan dapat meningkatkan konsentrasi serum Ca+. Ca+ ini berperan sebagai pengatur fungsi limfosit dalam kaitannya dengan transduksi sinyal limfosit serta mendukung proliferasi limfosit (Chen et al. 2003).
Mekanisme antikanker dari ekstrak benalu teh Empat senyawa asam lemak tak jenuh yang berhasil diidentifikasi oleh Winarno et al.(2003) dari ekstrak benalu teh adalah, (Z)-9-octadecenioc acid, (Z,Z)-octadeca-9,12-dienoic acid, (Z,Z,Z)-octadeca-9,12,15-trienoic acid dan (Z)- octadeca-8,10,12-trynoic acid.
Hasil uji bioaktifitas senyawa octadeca-
8,10,12-trynoic acid terhadap kanker MM1 secara in vitro menggunakan kultur sel kanker MM1 yang diisolasi dari Ascites Hematoma AH 130 pada tikus, menunjukkan bahwa senyawa tersebut mampu me nghambat invasi dan metastasis sel kanker sebesar 99,4% pada konsentrasi 10 mg/ml. Senyawa octadeca-8,10,12trynoic acid merupakan senyawa asam lemak tak jenuh yang mengandung 18 atom karbon dengan ikatan rangkap tiga sebanyak tiga buah pada posisi C 8, 10 dan 12. Kompleks perseitol (heptitol) dan ion kalium pada S. fusca mempengaruhi aktivitas beberapa enzim, seperti laktat dehidrogenase, keratin fosfat, glutamat oksaloasetat transaminase, glutamat piruvat transaminase, alkalin fosfatase, serta amilase dari sel tumor ascites Erhlich pada tikus (Shibuya et al. 1999). Berbagai species benalu teh memiliki kemampuan meningkatkan sensitivitas sel tumor fibrosarkoma terhadap molekul TNFα (Murwani 2005). S. oortiana mengandung catechin, phytol, dan flavonoid dimana masing- masing senyawa memiliki aktifitas antioksidan dan anti kanker (Simanjuntak dan Murwani 2003). Senyawa
kuersetin dari S. feruginea dilaporkan memiliki aktivitas
sitotoksis bertindak sebagai antikanker
terhadap U251 (human glioblastoma
cells) pada dosis penghambatan sebanyak 35 µg/ml (Lohezic-Le Devehat et al. 2002). Senyawa flavonoid kuersetin dalam benalu diperkirakan bekerja sebagai
12
inhibitor enzim isomerase DNA sel kanker. Hasil penelitian laboratorium menunjukkan bahwa ekstrak benalu teh kemungkinan dapat menstabilisasi DNA sehingga mencegah sel mengalami mutasi (Hartono 1999).
Peranan kuersetin
dalam menghambat pertumbuhan sel kanker ini berkaitan dengan kemampuan kuersetin menginduksi terjadinya apoptosis,
sehingga sel kanker mati akibat
paparan kuersetin (Rosner et al. 2006). Senyawa flavonoid dapat berperan sebagai antioksidan alami yang dapat melindungi sistem biologis dan menghambat oksidasi sel dengan cara mereduksi, menangkap oksigen aktif dan radikal bebas terutama superoksida. Salah satu mekanisme kerja yang lain dari antioksidan adalah dengan menurunkan lipid peroksidase.
Penyakit Marek Penyakit Marek merupakan penyakit limfoproliferatif pada ayam yang disebabkan oleh Alpha herpesvirus serotipe 1 atau Gallid herpesvirus 2 yang bersifat cell-associated. Penyakit Marek secara alami berkembang dengan masa inkubasi yang panjang. Semua virus Marek yang bersifat virulen dan oncogenik diklasifikasikan sebagai serotipe 1, sedangkan virus Marek non patogen pada ayam dan herpes virus pada kalkun (turkey herpesvirus) diklasifikasikan sebagai serotipe 2 dan 3. Virus dari kelompok serotipe 2 dan 3 biasanya digunakan sebagai virus vaksin (Calnek 1986).
Vaksinasi dapat melindungi ayam dari
pembentukan tumor namun tidak menghindarkan ayam dari infeksi virus dan biasanya timbul infeksi tanpa disertai gejala klinis (Witter 2001). Unggas yang rentan terhadap infeksi virus Marek ini antara lain adalah ayam, kalkun, puyuh dan itik. Namun demikian hanya ayam inang yang sangat rentan bila terinfeksi virus secara alami akan terbentuk tumor.
Penyakit ini
dicirikan dengan adanya proliferasi sel-sel limfoid keberbagai jaringan dan organ termasuk syaraf tepi. Adanya tumor limfoid dapat dijumpai pada berbagai organ vicera terutama limpa dan gonad, tumor juga dapat timbul di otot rangka dan kulit (Sharma 1998).
Infeksi virus Marek dengan strain neurotropik menyebabkan
pembengkakan syaraf peripheral. Infeksi pada syaraf menyebabkan perubahan berupa adanya edema, warna syaraf menjadi keabu-abuan dan garis-garis
13
melintang pada syaraf menjadi tidak tampak.
Secara mikroskopis lesio yang
disebabkan oleh penyakit Marek ini ditandai dengan adanya infiltrasi sel-sel mononuklear yang bersifat heterogen pada hampir semua organ tubuh (Calnek dan Witter 1997). Gejala klinis yang timbul akibat infeksi syaraf dapat berupa kelumpuhan, sedangkan infilterasi infiltrasi sel-sel mononuklear menyebabkan timbulnya tumor pada organ interna (Sharma 1998). Infeksi virus Marek dapat terjadi melalui saluran pernafasan saat inhalasi debu-debu di kandang ayam. Meskipun gambaran klinis penyakit pada fase awal belum begitu jelas, tahapan infeksi virus Marek pada ayam yang rentan dapat dikelompokkan sebagai berikut : (1) Infeksi sitolitik dini, (2) Infeksi laten, (3) Infeksi sitolitik lanjut yang menyebabkan imunosupresi, serta (4) Transformasi neoplastik. Virus Marek merupakan virus limfotropik dengan target sel limfosit. Selsel limfosit merupakan sel utama pada sistem kekebalan tubuh. Sel limfosit B yang merupakan sel pembentuk antibodi merupakan target pertama serangan virus Marek. Infeksi selanjutnya terjadi pada sel limfosit T teraktivasi berupa lisis sel limfosit T. Sel limfosit T merupakan sel kekebalan yang penting dan terlibat dalam system kekebalan tubuh berperantara sel.
Awal infeksi yang bersifat
sitolitik tersebut menyebabkan terjadinya perubahan berupa atropi dari bursa Fabricius dan timus.
Infeksi berlanjut kearah melemahnya sistem kekebalan
tubuh yang parah, hal tersebut ditandai dengan adanya imunosupresi. Beredarnya virus Marek yang berasosiasi dengan sel ke seluruh pembuluh darah di tubuh (Viremia of the cell-associated) berlangsung pada tahap perkembangan infeksi. Viremia tersebut menyebabkan virus beredar dan masuk keseluruh organ dan jaringan tubuh termasuk epitel folikel bulu. Dari epitel folikel bulu tersebut selanjutnya virus Marek dikeluarkan dan mengkontaminasi lingkungan (Payne dan Venugopal 2000). Awal infeksi Marek terjadi sitolitik sel limfosit, setelah fase sitolitik tersebut infeksi berubah ke fase laten. Fase laten terjadi pada sel-sel limfosit T yang terinfeksi berupa perubahan regresif pada organ-organ limfoid. Infeksi laten pada sel-sel limfosit T ini juga diikuti dengan transformasi neoplastik pada sel tersebut yang menghasilkan lesio limfomatosis pada beberapa organ visceral.
14
Secara alami patogenesa penyakit Marek ini sangat bervariasi sehingga masa inkubasi dari penyakit ini bisa beragam dari beberapa minggu sampai beberapa bulan (Payne dan Venugopal 2000). Infeksi virus Marek menginduksi terjadinya imunosupresi baik yang melibatkan sistem kekebalan humoral maupun kekebalan seluler. Kejadian imunosupresi ini berkaitan dengan terjadinya limfopenia akibat lisisnya sel limfosit B dan T. Kondisi limfopenia yang sangat parah dapat terjadi akibat infeksi virus Marek dari strain dengan virulensi tinggi. virus Marek mengalami atropi timus akibat
Ayam yang teriinfeksi
terjadinya apoptosis pada sel-sel
timosit CD4 + dan CD8 +. Kejadian ini juga menyebabkan penurunan sel T CD4+ dalam sirkulasi. Selain hal-hal tersebut diatas infeksi virus Marek juga menyebabkan defisiensi fungsi sel-sel efektor seperti regulasi ekspresi dari sel limfosit CD8 dan molekul Major Histocompatibility Complex (MHC). Kondisi tersebut menyebabkan imunosupresi yang berakibat ayam mudah terinfeksi penyakit lain seperti koksidiosis dan cryptosporidiosis (Islam et al. 2002).
Virus Marek Alphaherpesvirus serotipe 1 atau Gallid herpesvirus 2 merupakan anggota dari subfamili Alphaherpesvirinae, famili Herpesviridae. Keterkaitan antigenisitas diantara virus-virus dari famili herpesviridae ini sangat kompleks, terdapat kesamaan antigen diantara virus di dalam satu famili tetapi masing- masing spesies mempunyai glikoprotein amplop yang berbeda.
Hal tersebut yang kadang
menyulitkan dalam pengklasifikasian virus. Sebagai contoh pada virus Marek bila berdasarkan sifat kesukaan virus (tropism) untuk berbiak pada limfosit T dan kemampuan onkogeninya maka virus ini diklasifikasikan
dalam kelompok
Gammaherpesvirus, tetapi berdasarkan analisis sekuen gennya maka virus Marek diklasifikasikan dalam alphaherpesvirus.
Keunikan tersebut membuat virus
Marek diklasifikasikan sendiri dalam sub famili Alphaherpesvirinae, famili Herpesviridae (Murphy et al. 1999). Virion Herpesvirus berdiameter 150 nm dilapisi amplop dengan beberapa peplomer glikoprotein pada permukaannya (Gambar 2).
Asam inti dari
Herpesvirus berupa asam deoksi ribonukleat (DNA). DNA ini dikelilingi oleh
15
nukleokapsid yang berdiameter sekitar 100 nm. Kapsid pembungkus DNA mempunyai 162 buah lekuk kapsomer yang terdiri dari 150 buah heksamer dan 12 buah pentamer. Bagian luar kapsid dikelilingi lapisan material globular yang disebut tegumen dan terletak di bawah lapisan amplop (Murphy et al. 1999). Genom DNA virus Marek tersusun atas molekul linier tunggal dari DNA utas ganda dengan ukuran 170 kbp.
Utas DNA ini memiliki struktur yang unik
dengan daerah panjang (U1) diapit satu set gen dengan urutan basa terbalik (TRL dan IRL). Disamping itu DNA ini juga memiliki utas pendek yang diapit satu set gen lain dengan urutan basa terbalik (TRs dan IRs). Susunan genom virus Marek seperti Alfa Herpesvirus lainnya dari kiri ke kanan adalah TRL - U L - IRL - TRs – Us - IRs (Gambar 3) (Payne dan Venugopal 2000). Genom virus Marek mempunyai kemampuan untuk menyandikan paling sedikit 70 macam protein, 60 jenis protein yang disandikan tersebut sama seperti pada protein yang disandikan oleh famili Herpesviridea lainnya. Keenam puluh jenis protein tersebut meliputi protein struktural, enzim-enzim untuk metabolisme dan protein transactivating seperti VP16 dan ICP4. Paling tidak ada 10 gen dari virus Marek yang tidak memiliki kesamaan dengan gen pada famili Herpesviridea lainnya (Payne dan Venugopal, 2000). Seperti halnya pada famili Herpesviridea lainnya gen-gen virus Marek dikelompokkan dalam tiga kategori yaitu : (1) gen penyandi protein yang berhubungan dengan proses replikasi virus, (2) gen penyandi protein struktural, (3) gen yang bersifat khusus setiap pada setiap genus, gen ini berupa satu set heterologous yang ditemukan pada satu genus herpesvirus tapi tidak ditemukan pada genus herpesvirus lainnya, biasanya gen ini tidak esensial untuk replikasi pada kultur sel (Murphy et al 1999).
Berdasarkan
kebutuhan sintesa protein dan replikasi DNAnya gen-gen virus Marek ini dibagi dalam tiga kelas kinetik yaitu gen
yang berperan saat (1) immediate early
infection, (2) early infection, dan (3) late infection (Payne dan Venugopal 2000). Ketiga kelas gen tersebut terdiri dari mRNA α, β, dan γ yang ditranskripsikan secara sekuensial oleh RNA polimerase II dari sel inang. mRNA α adalah DNA yang ditranskripsi pada stadium immediate early infection untuk ditranslasi menjadi protein α.
Protein α akan menginisiasi transkripsi mRNA β pada
stadium early infection. mRNA β akan ditranslasi menjadi protein β. Produksi
16
protein
β akan menekan transkripsi mRNA α selanjutnya.
Selanjutnya
dimulailah proses replikasi
DNA virus menggunakan protein α dan β, serta
protein dari sel inang.
Program transkripsi selanjutnya berubah untuk
menghasilkan mRNA γ pada stadium late infection. mRNA γ ditranskripsi dalam genom sel inang yang selanjutnya ditranslasi menjadi protein γ. Protein α dan β merupakan komponen dari enzim yang dihasilkan oleh virus, serta
protein
pengikat DNA, sedangkan Protein γ merupakan protein struktural (Murphy et al. 1999).
Protein amplop
Amplop lemak Nukleokapsid
ADN tegumen
Gambar 2. Struktur virus Marek (Sumber : Anonimous 2005)
Gambar 3. Organisasi genom virus Marek (Sumber : Anonimous 2005)
17
Berdasarkan serotipenya virus Marek dibedakan atas tiga serotipe yaitu : a. Serotipe 1 adalah semua strain virus Marek yang bersifat patogenik dan onkogenik. b. Serotipe 2
adalah kelompok strain virus Marek yang secara alami tidak
patogen c. Serotipe 3 merupakan kelompok virus herpes dari kalkun (Turkey herpes virus / HVT), serta virus-virus non onkogenik dari kalkun yang sekerabat dengan virus Marek. Berbagai strain virus yang merupakan anggota ketiga serotipe tesebut dapat dilihat pada Tabel 2 (Payne dan Venugopal 2000).
Tabel 2. Serotipe dan patotipe dari Virus Marek Serotipe 1
Patotipe
Contoh strain
Mild (mMDV)
HPRS-B14, CU2, Conn-A
Virulent (vMDV)
HPRS-16, JM, GA
Very virulent (vvMDV)
RB1B,
ALA-8,
Md5,
Md11 Very virulent + (vv+MDV)
610A, 648A
2
Non-onkogenik
SB-1, HPRS-24, 301B/1
3
Non-onkogenik
HVT-FC126, HPRS-26
Sumber : Payne dan Venugopal (2000)
Patogenesa Infeksi Virus Marek Ayam biasanya mulai terpapar dengan virus Marek dan patogen lain di kandang pada usia 1-3 hari (Schat 2004).
Terdapat empat fase infeksi virus
Marek in vivo yaitu (1) infeksi awal yang bersifat produktif terbatas, infeksi tahap ini menyebabkan perubahan degeneratif awal pada organ-organ tertentu, (2) infeksi laten, (3) infeksi sitolitik fase kedua yang diikuti dengan imunosupresi permanen, (4) fase proliferatif yang melibatkan infeksi sel-sel limfoid yang bersifat nonproduktif, pada fase ini dapat berlanjut dengan pembentukan limfoma (Calnek dan Witter 1991).
Menurut Xing dan Schat (2000a), patogenesa
penyakit Marek terdiri atas tiga fase.
Fase pertama ditandai adanya infeksi
18
terbatas pada sel limfosit B yang berakibat pada kematian sel dan imunosupresi sementara. Virus bereplikasi di sel B pada fase pertama dan berubah menginfeksi sel T teraktivasi CD4 + pada fase kedua. Selama fase kedua berlangsung dan terjadi infeksi laten pada sel T, proses ini berlangsung pada 5 sampai 10 hari pasca infeksi. Fase ketiga ditandai dengan reaktivasi virus pada ayam yang rentan, akibat reaktivasi tersebut berupa siklus lisis sel kedua dan diikuti dengan imunosupresi serta berkembangnya kondisi limfoma . Patogenesa infeksi virus Marek menurut Schat (2004) dimulai dari masuknya virus Marek melalui saluran pernafasan saat inhalasi debu-debu di kandang aya m (Gambar 4).
Virus akan mulai menginfeksi sel B dan infeksi sel
B pada limpa dapat dideteksi 3-4 hari setelah infeksi. Sel B yang terinfeksi akan mengekspresikan antigen virus Marek pada permukaannya dan mulai mengifeksi sel B lainnya. Pada fase infeksi sitolisis dini, sel B yang terinfeksi akan lisis dan mengeluarkan sitokin berupa vIL-8 yang akan memediasi infeksi ke sel T. Sel T yang terinfeksi adalah sel T yang telah teraktivasi, bukan sel T yang tidak aktif (resting T cell). Saat terjadi infeksi sampai hari ke-14 pasca infeksi sel menghasilkan interferon gamma, dan pada hari keempat mulai dihasilkan iNOS. Interferon gamma akan menginduksi sel pematangan NK sel dan menginduksi terjadinya apoptosis. iNOS yang diproduksi akan mengubah -l arginin menjadi NO yang akan menghambat replikasi virus, dapat menurunkan tingkat infeksi. Bila interferon gamma dan iNOS tidak mampu menghadapi infeksi virus Marek maka pada hari ke-5 sampai 7 setelah masuknya virus infeksi pada sel T menjadi infeksi yang bersifat laten
(Schat 2004).
Infeksi laten pada sel T akan
mentransformasi sel T menjadi sel tumor yang akan berproliferasi keseluruh jaringan tubuh. Virus Marek memasuki tubuh melalui saluran pernafasan, selanjutnya dengan proses fagositosis virus masuk ke dalam sel (Calnek dan Witter 1991). Sesaat setelah masuknya virus ke dalam sel, terjadi infeksi sel yang bersifat sitolitik. Infeksi tersebut dapat dideteksi pada sel-sel bursa Fabricius, limpa dan timus. Puncak infeksi yang bersifat sitolitik ini terjadi 3-6 hari setelah infeksi. Pada fase ini sel target dari infeksi virus Marek pada ketiga organ tersebut diatas adalah sel B dan kadang-kadang juga sel T yang teraktivasi. Sel B dan T yang
19
terinfeksi mengalami degenerasi (Shek et al. 1983 dalam Calnek dan Witter 1991). Perlawanan terhadap infeksi dilakukan oleh sel T yang belum teraktivasi (resting T cells) (Calnek et al. 1985 dalam Calnek dan Witter 1991). Pada awal infeksi ini terjadi nekrosis pada sel-sel B dan T di ketiga organ. Efek nekrosis pada awal infeksi ini memprovokasi reaksi peradangan akut yang disertai infiltrasi sel-sel makrofag, granulosit dan sel-sel limfosit lainnya. Respon hiperplasia limpa dapat terjadi pada hari ke-7 infeksi virus Marek yang diikuti dengan imunosupresi sementara akibat adanya supresor makrofag. Akibat infeksi tersebut akhirnya akan terjadi atropi bursa dan timus. Baik pada ras ayam peka maupun resisten keparahan infeksi ini terjadi pada umur tertentu.
Virus Marek
Mikroorganisme carier
0
Ekspresi antigen virus Marek Sel B
Sel B terinfeksi
1
Hari
Apoptosis sel
Infeksi Sel B
vIL-8
2
3
Virus Marek di Limpa
Antigen Virus Marek
IFN-γ + INOS
4 NK sel
Sel T inaktif
Infeksi laten pada sel T
vIL-8 Sel T aktif
Sel T terinfeksi
Melekat pada sel B yang terinfeksi Hari
4
5
6
IFN-γ - INOS NK sel
7
CTL, Ab LMF, IL-1
Gambar 4. Patogenesa infeksi virus Marek (Schat 2004)
20
Pada periode sitolitik diawal infeksi ini jumlah virus sangat tinggi.
Namun
keparahan tingkat infeksinya sangat tergantung pada patogenitas strain virus yang menginfeksinya, sebagai contoh infeksi virus Marek strain onkogenik (Md/5) tingkat kerusakan dan atropi organ limfoid jauh lebih parah dan menyebabkan kematian akibat adanya infeksi sitolitik dibandingkan dengan infeksi virus Marek dari strain yang tidak onkogenik (Calnek dan Witter 1991). Pada hari ke 6-7 setelah infeksi, terjadi perubahan bentuk periode infeksi dari sitolitik diawal infeksi menjadi infeksi laten. Hal itu berkaitan dengan mulai berkembangnya tanggap kebal terhadap infeksi Marek. Kekebalan berperantara sel berperan penting dalam terjadinya perubahan bentuk infeksi sitolitik menjadi laten. Diduga perubahan bentuk infeksi tersebut akibat adanya mediator terlarut (sitokin) yang dikeluarkan oleh sel-sel kekebalan. Infeksi laten terjadi pada selsel T yang aktif kadang-kadang juga pada sel B. Infeksi laten ini bersifat persisten dan berlangsung selama masa hidup unggas. Infeksi laten pada sel selain sel limfoid belum diketahui dengan pasti tetapi pernah dilaporkan adanya infeksi laten pada sel Schwann dan sel-sel satelit ganglia spinalis. Unggas ya ng secara genetik resisten terhadap infeksi virus Marek tidak mengalami fase kedua (fase laten) pada saat terinfeksi. Namun pada unggas yang peka, selama fase kedua infeksi virus Marek dapat terjadi fase infeksi sitolitik kedua
pada 2-3 minggu setelah infeksi. Kondisi tersebut berkaitan dengan
terjadinya imunosupresi yang bersifat tetap (permanent). Organ-organ limfoid kembali terinfeksi dalam infeksi kedua ini, selain itu infeksi juga ditemukan pada berbagai organ viscera seperti ginjal, pankreas, kelenjar adrenal, proventrikulus serta kulit. Pada kulit infeksi terutama terjadi di epitel folikel bulu, di sel tersebut replikasi virus berlangsung sempurna dan virus dikeluarkan (shedding) dari sel tersebut. Organ yang terinfeksi sel-selnya mengalami nekrosis fokal. Reaksi radang terjadi di sekitar organ yang terinfeksi.
Keparahan infeksi pada fase ini
tergantung pada beberapa faktor seperti faktor pengatur timbulnya tumor. Pada unggas yang peka fase ini menyebabkan infeksi yang hebat dan menyebar keseluruh bagian tubuh. Perubahan limfoproliferatif merupakan bentuk akhir dari infeksi Marek. Fase ini yang akan berkembang menjadi tumor, meskipun demikian penurunan
21
lesio dapat terjadi sebelum maupun setelah munculnya limfoma. Kematian akibat limfoma dapat terjadi 3 minggu setelah munculnya kejadian limfoma. Komposisi limfoma sangat kompleks terdiri dari berbagai sel-sel neoplastik, sel radang dan sel-sel limfosit baik sel T maupun sel B.
Sistem Kekebalan terhadap Infeksi Marek pada Unggas Peranan sistem kebal terhadap keberhasilan dan keberlangsungan infeksi virus Marek belum diketahui sepenuhnya, namun beberapa studi mengindikasikan peranan tanggap kebal spesifik dan nonspesifik berperan dalam mekanisme kekebalan terhadap virus Marek. Kekebalan no nspesifik terhadap infeksi virus Marek bekerja pada awal infeksi melibatkan berbagai sitokin serta inducible Nitric Oxide synthase (iNOS).
iNOS akan dikatalisasi menjadi Nitric Oxide
(NO), yang dikenal sebagai faktor penting dalam sistem kekebalan nonspesifik karena memiliki aktivitas anti mikroba terhadap protozoa, fungi (kapang dan khamir), bakteri dan virus (Xing dan Schat 2000). Limfosit T sitotoksik yang spesifik terhadap antigen protein-protein virus Marek mulai terdeteksi pada hari ke-6 setela h infeksi. Sementara itu peningkatan kadar gamma interferon (IFN-?) mRNA dan iNOS mRNA dilaporkan terjadi masing- masing antara hari ke 3 dan 15, serta antara hari ke-6 dan 15 setelah infeksi (Xing dan Schat 2000b).
Gamma INF (IFN-?)
mengaktifkan Natural Killer (NK) Cell,
berfungsi untuk
yang akan meningkatkan ekspresi
antigen-antigen dari major histocompatibility complex (MHC) kelas I dan II, serta beberapa komponen lain yang diperlukan untuk presentasi antigen non-peptida oleh MHC kelas I. IFN-? juga dapat menstimulasi makrofag memproduksi inducible Nitric Oxide synthase (iNOS) yang berfungsi dalam pembentukan Nitric Oxide (NO) yang dapat menghambat replikasi virus Marek (Xing dan Schat 2000b; Djeraba et al. 2000). Produksi NO dalam jumlah besar juga bertanggung jawab dalam menekan terjadinya proses mitogen sel-sel tumor. Respon kebal spesifik terhadap Marek dapat terdeteksi pertama kali pada hari ke tujuh setelah infeksi. Pembentukan antibodi ini berkaitan erat dengan masa awal patogenesis dari infeksi virus.
Peran antibodi yang dihasilkan
kaitannya dengan kema mpuan proteksi antibodi tersebut dalam mencegah infeksi
22
masih belum banyak diketahui. Virus Marek bersifat berasosiasi dengan sel dalam tubuh pada saat infeksi. Pada saat sel lisis, virus bebas dari ikatan (asosiasi) dengan sel dan berpindah menginfeksi sel lain. Pada saat itulah virus dapat dinetralisasi oleh antibodi, namun saat tersebut belum banyak diketahui. Maternal antibody (antibodi asal induk) diduga dapat mengurangi infeksi pada fase lisis awal.
Mekanisme antibodi dalam mereduksi infeksi pada fase lisis
masih belum banyak diketahui, namun diketahui bahwa makrofag sangat berperan dalam proses penyingkiran kompleks antibodi- virus (Schat 2004).
Peranan nitric oxide dalam mekanisme pertahanan tubuh Nitric oxide (NO) adalah senyawa radikal bebas yang waktu edarnya pendek.
NO merupakan mediator pada berbagai proses fisiologis maupun
patofisiologis. Senyawa ini diproduksi secara enzimatis oleh nitric oxide synthase (NOS) di dalam tubuh. NOS mengkonversi senyawa prekusor yaitu asam amino L-arginine menjadi NO dan L-citrulline dengan bantuan beberapa ko- faktor seperti tetrabiopterin, flavine mononucleotide (FMN), flavine adenine dinucleotide (FAD), nicotinamide-adenine-dinucleotide phosphate (NADPH) dan molekul oksigen. NO disintesa dan dilepaskan oleh berbagai jenis sel seperti melanosit, sel-sel endotelial, makrofag, neutrofil, fibroblas dan keratinosit. NO merupakan molekul hidrofobik dengan jangkauan ikatannya mencapai radius 3-4 angstrom. Molekul ini dengan cepat berdifusi melintasi semua membran biologis (Ghaffari et al. 2006; Reiss dan Komatsu 1998). NO dengan cepat akan bereaksi terhadap protein atau H2 O2 dan membentuk ONOO- atau peroxynitrite yang bersifat sangat toksik.
NO juga dengan cepat dapat terikat pada protein heme
termasuk
hemoglobin dan enzimnya sendiri. Bentuk reaksi NO dengan protein atau H2 O2 dan membentuk ONOO- tersaji pada Gambar 5 (Reiss dan Komatsu 1998). Enzim nitric oxide synthase (NOS) mempunyai tiga isoform (bentuk isomer) yang disandikan oleh gen-gen tertentu.
Ketiga bentuk NOS tersebut
adalah neuronal NOS (tipe I nNOS), inducible NOS (tipe II iNOS) dan endotelial NOS (tipe III eNOS) (Knowles dan Moncada 1994). nNOS berfungsi sebagai neurotransmitor, sedangkan NO yang diproduksi oleh eNOS identik dengan endothelium-derived relaxing factor yang merupakan sinyal utama pada relaksasi
23
sel otot polos dari endotel. selain itu NO yang yang diproduksi oleh eNOS juga mempunyai aktivitas anti trombotis.
Dengan demikian
nNOS dan eNOS
merupakan bentuk enzim NOS yang penting yang berfungsi dan disekresi pada kondisi fisiologis normal. Kedua enzim tersebut ada di dalam sel dan sekresinya diaktivasi oleh adanya aliran ion Ca (Ca2+) ke dalam sel selanjutnya dihasilkan NO dalam jumlah kecil (Moshage 1997).
L-Arginine
+RSH
RSNO+H++e(Nitrosylating reaction)
Nitric Oxide Synthase
NO
+O2
ONOO- (Peroxynitrite)
+H2O2
O2 L-Citrulline Gambar 5. Reaksi NO dengan protein atau H2 O2 dan membentuk ONOO(Sumber : Reiss dan Komatsu 1998)
Inducible NOS (tipe II iNOS) tidak diekspresikan pada kondisi fisiologis normal. Produksi iNOS diinduksi oleh adanya sitokin atau endotoksin selama proses peradangan ataupun dalam proses infeksi. Pada saat itu iNOS diproduksi sejumlah besar NO akan diproduksi selama periode tertentu.
iNOS dapat
diproduksi oleh berbagai jenis sel seperti hepatosit, makrofag, neutrofil, sel-sel otot polos serta chondrosit. NO yang diproduksi oleh iNOS memiliki aktivitas antimikrobial dan terlibat dalam proses pembunuhan sel-sel tumor (Moshage 1997). NO juga dikenal sebagai faktor penting dalam sistem kekebalan nonspesifik karena aktivitas anti mikroba terhadap protozoa, cendawan (kapang dan khamir), bakteri dan virus. Telah banyak dilakukan penelitian penggunaan NO sebagai bahan antiviral pada berbagai jenis virus baik virus RNA maupun DNA. Berbagai penelitian yang mengkaji khasiat NO sebagai bahan antiviral tersaji pada Tabel 3.
24
Tabel 3. Berbagai penelitian efek antiviral NO yang telah dipublikasikan
Virus uji
Jenis pengujian
Pustaka
Poliovirus
Pemberian glycerin trinitrate sebagai donor NO pada kultur sel HeLa dan U937 dapat menghambat replikasi poliovirus (pengujian in vitro).
LopezGuerrero JA and L. Carrasco (1998) Penambahan SNAP (donor NO) menghambat Komatsu et replikasi poliovirus dengan penghambatan al. (1996) ekspresi reseptor human poliovirus pada sel murine neoblastoma (pengujian in vitro).
Theler’s murine encephalomyelitis virus(Picornavirus)
Ekspresi mRNA dan protein iNOS tidak Oleszak et al. berhubungan dengan kemampuan virus dalam (1997) menginduksi demyelinisasi.
CVB3 (Picornavirus)
Pemberian SNAP sebagai donor NO pada Zaragoza et kultur sel HeLa dapat menghambat sintesa al. (1997) RNAvirus dan PFU yang dihasilkan (pengujian in vitro).
Rhinovirus (Picornavirus)
Pemberian NONOate sebagai donor NO pada Sanders et al. kultur sel human respiratiry epithelial dapat (1998) menghambat pertumbuhan rhinovirus (pengujian in vitro).
JEV (Flavivirus)
NO yang diproduksi oleh sel RAW yang diberi Lin et IFN? dapat menghambat propagasi JEV pada (1997) sel N18 neuroblastyoma (pengujian in vitro) Peningkatan mortalitas mencit yang diberi LNMA (NO inhibitor) dan diinfeksi JEV. (pengujian in vivo)
al.
HSV-1 (herpesvirus) NO yang diproduksi oleh sel RAW yang diberi Karupiah et IFN? dapat menghambat pertumbuhan HSV-1 al. (1993) (pengujian in vitro). Epstein-Barr virus Penghambatan ekspresi Zta EBV dan infeksi (EBV) latennya oleh NO (pengujian in vitro). (Herpesvirus) Marek’s Diseases Virus (MDV) (Herpesvirus)
Mannick et al. (1994)
Efek penghambatan replikasi virus Marek in Xing dan vitro dan in vivo oleh NO dan IFN? Schat 2000a Penghambatan replikasi virus Marek oleh NO Djeraba et al Nitric oxide bukan satu-satunya faktor pada 2000 mekanisme pemghambatan virus yang dimediasi oleh IFN? (pengujian in vitro).
25
Selain itu NO juga berperan penting pada patogenesa infeksi virus Reovirus dan Gumboro (infectious bursal disease) (Xing dan Schat 2000a). NO seringkali merupakan mediator penting penghambatan replikasi virus di dalam sel yang berdampak pada penurunan jumlah virus yang dihasilkan serta peningkatan efisiensi pembersihan infeksi dalam tubuh induk semang yang mengarah pada penyembuhan. NO tidak hanya bertindak sebagai penghambat replikasi virus di dalam sel karena banyak protein IFN-inducible yang memblok viral pathway (Staeheli 1990) Disamping sebagai senyawa yang berguna dalam mekanisme penyingkiran mikroba dalam sel, NO juga berperanan dalam kerusakan jaringan terutama bila terjadi aktivasi sejumlah besar makrofag
untuk memproduksi NO. Namun
kejadian kerusakan jaringan akibat kerja NO ini sering dapat diatasi oleh tubuh karena banyak enzim yang tersedia sebagai inhibitor. Bebarapa jenis virus tidak terhambat replikasinya oleh NO, seperti Borna virus dan Herpes Simpleks Virus 1 pneumonia, bahkan pada
penyakit tersebut iNOS diinduksi untuk diproduksi
lebih banyak dengan menekan enzim antagonisnya.
Telur Ayam Berembrio Telur ayam berembrio (TAB) merupakan salah satu media penumbuh yang telah umum digunakan. Berbagai jenis virus seperti virus Newcastle Disease (ND), Avian Influenza, dan Campak dibiakkan menggunakan TAB sebagai media penumbuh.
Beberapa tahun terakhir telur ayam berembrio banyak digunakan
sebagai model untuk mempelajari proses perkembangan tumor dan pengobatan tumor pada manusia, proses angiogenesis dan sistem vascularisasi serta dampak zat adiktif seperti alkohol pada janin manusia (Becker dan Shibley 1998; Jilani et al. 2003; Ribatti et al. 2000). Metode pengujian in ovo ini memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pengujian in vitro menggunakan kultur sel, yaitu peralatan yang digunakan lebih sederhana, biaya relatif murah dan lebih mudah penanganannya. Telur berembrio merupakan sistem biologis yang dinamis karena dalam telur tersebut metabolisme dan perkembangan yang terus menerus.
terjadi
Zat anti virus dapat
diinokulasikan ke dalam telur dan dilihat pengaruhnya terhadap virus dan
26
embrio nya.
Efek bahan terhadap virus dipengaruhi oleh umur embrio, rute
pemberian, kemampuan penyerapan bahan oleh embrio, dan struktur farmakologi dari bahan itu sendiri (Johnston et al. 1997). Di dalam telur unggas terkandung semua bahan-bahan yang diperlukan untuk perkembangan embrio selain oksigen.
Oksigen yang diperlukan oleh
embrio diambil dari lingkungan di luar telur dengan cara difusi melalui pori-pori yang ada pada kerabang telur.
Telur ayam mempunyai dua lapis membran
fibrosa yang melekat di bagian dalam kerabang. Membran tersebut memisahkan kerabang dari isi telur (Romanoff dan Romanoff 1949 dalam Smith 1997). Albumin berada mengelilingi kuning telur dan berfungsi untuk melindungi kuning telur tersebut.
Albumin ini bersifat sangat elastis mampu menyerap goncangan-
goncangan dan merupakan bahan yang semisolid serta kaya akan air. Albumin bersama kuning telur
berfungsi menyiapkan kebutuhan untuk perkembangan
embrio dalam telur selama tiga minggu.
Kerabang secara mekanis berfungsi
selain melindungi persediakan makanan dan air di dalam telur juga berfungsi sebagai sarana pertukaran gas untuk penyediaan oksigen bagi embrio (Reizis et al 2005). Perkembangan embrio bermula dari bagian blastoderm.
Segera setelah
telur diinkubasikan, titik penebalan sel yang akan berkembang menjadi embrio mulai tampak. Titik sel tersebut merupakan bagian caudal dari embrio. Area tersebut merupakan garis awal dan sumbu longitudinal dari embrio.
Setelah
inkubasi berlangsung kurang dari 24 jam mulai terjadi proses organogenesis. Kepala embrio mulai dapat dibedakan, bakal saluran pencernaan serta usus bagian depan mulai terbentuk, pulau-pulau haemopoesis
mulai tampak dan nantinya
akan berkembang menjadi sistem peredaran darah, lipatan syaraf mulai terbentuk yang nantinya akan berkembang menjadi celah pada otak serta mata mulai terbentuk (Smith 1997). Pada hari kedua masa inkubasi, pulau-pulau haemopoesis mulai membentuk saluran dan sistem vaskular/peredaran darah mulai terbentuk sementara itu di bagian lain jantung juga mulai terbentuk. Pada jam ke 44 masa inkubasi jantung mulai berdenyut dan bersatu dengan sistem vaskular. Selama masa inkubasi kantung udara terbentuk di ujung telur di antara dua membran
27
bagian dalam kerabang. Selama inkubasi kantung udara membesar sejalan dengan adanya penguapan. Ukuran kantung udara tersebut umumnya mencapai 15% dari total volume telur (Ar dan Rahn 1980). Sekitar 80% oksigen yang dikonsumsi selama masa inkubasi disuplai melalui kantung udara itu (Smith 1997). Pada perkembangan embrio selanjutnya berkembang dua sistem peredaran darah ekstra embrionik. Pertama adalah sistem sirkulasi vitelin yang bertugas mengangkut nutrisi dari kuning telur ke embrio yang sedang tumbuh. Sebelum empat hari masa inkubasi, darah yang mengalir pada sistem vitelin ini telah mengandung oksigen. Kedua adalah sistem peredaran darah yang terbentuk dari vena- vena alantoik, sistem sirkulasi ini bertanggung jawab pada proses respirasi serta pembuangan sisa-sisa metabolisme ke dalam cairan alantois. Saat embrio sudah menetas maka kedua sistem sirkulasi tersebut tidak berfungsi lagi (Smith 1997).
Alantois
Albumin
Amnion
Kuning telur
Hari ke 5
Alantois
Amnion
Albumin
Kuning telur
Hari ke 10
Gambar 6. Perkembangan embrio dan bagian-bagiannya pada umur 5 dan 10 hari masa inkubasi (Sumber : Smith 1997)
28
Paruh
embrio
mulai
berkembang
dan
bagian
panggul
tempat
berkembangnya sayap dan kaki mulai tampak pada akhir hari ketiga masa inkubasi. Tiga celah visceral terbentuk pada masing- masing sisi bagian kepala dan leher.
Pembentukan celah tersebut penting untuk perkembangan sistem
sirkulasi, tuba eustachia, muka, rahang dan saluran kelenjar-kelenjar. Pada saat itu cairan amnion mulai menyelubungi embrio untuk melindunginya.
Cairan
amnion ini menjaga perkembangan embrio agar tumbuh secara sempurna. Pada hari ketiga ini juga mulai tampak adanya ekor dan ruang alantois. Vesikel alantois itu berfungsi sebagai organ respirasi dan sekresi bagi embrio.
Makanan dari
albumin dan kalsium dari kerabang disalurkan ke embrio melalui vesikel alantois tersebut (Smith 1997). Posisi embrio selama masa pengeraman/inkub asi sampai dengan hari keempat terus bergerak 90o sampai posisi embrio berada di sebelah kiri kuning telur. Kepala dan ekor embrio saling mendekat sehingga membentuk huruf C. Mulut, lidah dan lubang hidung berkembang sebagai bagian dari perkembangan traktus digestivus dan respiratorius. Jantung embrio tumbuh terus dan membesar hampir menutup tubuhnya serta tampak berdenyut bila telur dibuka. Pada akhir hari keempat masa pengeraman seluruh organ tubuh yang diperlukan untuk hidup embrio setelah menetas telah terbentuk dan bisa diidentifikasi.
Pada kondisi
tersebut embrio ayam tidak bisa dibedakan dari bentuk embrio mamalia (Smith 1997). Membran korioalantois (CAM) yang merupakan fusi antara membran khorio dan alantois mulai berkembang pada hari kelima masa inkubasi. Pada hari ke-11 membran tersebut telah terbentuk secara sempurna dan berada di bawah membran bagian dalam dari kerabang (Romanoff 1960 dalam Smith 1997). Secara bersamaan membran tersebut berfungsi sebagai organ respirasi. CAM yang kaya akan pembuluh darah ini juga banyak digunakan dalam penelitian perkembangan buluh darah dengan menggunakan embrio ayam sebagai model (Reizis et al. 2005). Embrio tumbuh dan berkembang sangat cepat. Pada hari ketujuh masa pengeraman tulang-tulang digitalis mulai tampak di kaki dan sayap, jantung sudah berada di rongga dada dan embrio sudah tampak menyerupai unggas. Bulu dan
29
bakal bulu mulai tampak serta paruhnya mulai mengeras pada 10 hari pengeraman. Pada hari ke-14 kukunya mulai terbentuk dan embrio berpindah ke posisi siap menetas. Pasokan nutrisi dari albumin pada hari ke-16 telah habis sehingga kuning telur menjadi satu-satunya sumber nutrisi sampai telur menetas (Smith 1997). Sistem Pertahanan Tubuh Unggas Sistem pertahanan tubuh memiliki mekanisme dapat membedakan antara bagian dari tubuh dan bukan bagian dari tubuh (bahan asing) untuk melindungi individu. Terdapat dua sistem pertahanan tubuh hewan yaitu sistem pertahanan tubuh bawaan dan dapatan.
Termasuk dalam pertahanan tubuh bawaan adalah
pertahanan non imunologis yang sudah ada sejak individu tersebut dilahirkan. Sistem pertahan tubuh dapatan merupakan sistem pertahanan tubuh yang muncul akibat adanya paparan substansi asing bagi tubuh (Benjamini dan Leskowitz, 1991). Sistem pertahanan tubuh bawaan dapat bekerja dengan cepat menanggapi adanya invasi mikroba ke dalam tubuh. Komponen sistem pertahanan bawaan meliputi : (1) pertahanan fisik dan kimia seperti epitel mukosa dan substansi antimikroba yang diproduksi oleh permukaan epitel, (2) sel-sel fagositosis seperti neutrofil, makrofag dan natural killer cell (NK cell), (3) protein-potein dalam darah termasuk sistem komplemen dan mediator inflamasi, (4) protein lain seperti sitokin yang berperan dalam pengaturan sel-sel yang terlibat dalam sis tem pertahanan bawaan ini. Sistem pertahan bawaan ini merupakan pertahan tubuh awal dan bersifat tidak spesifik dan tidak memiliki memori terhadap agen yang dimusnahkan (Abbas et al. 2000). Sistem pertahanan dapatan bekerja sangat spesifik terhadap substansi asing yang masuk kedalam tubuh dan memiliki sel memori. Sistem pertahanan tubuh dapatan ini terdiri atas respon kebal seluler dan humoral. Komponen pada sistem pertahanan ini adalah sel limfosit yang terdiri atas sel limfosit T dan B. Progenitor kedua sel limfosit ini berasal dari sumsum tulang kemudian berdeferensiasi dan matang di timus dan bursa Fabricius. Sel limfosit T banyak
30
berperan pada sistem kekebalan seluler sedangkan sel limfosit B bekerja pada sistem kekebalan humoral (Weng 2002). Sistem kekebalan
pada unggas secara umum sama seperti pada hewan
mamalia. Kedua jenis pertahanan tubuh (bawaan dan dapatan) ditemukan juga pada unggas. Sebagai pertahan tubuh awal pada saat menghadapi invasi bahan asing/patogen bekerja pertahanan fisik seperti kulit, silia dan membran mukosa. Bila pertahanan fisik ini gagal mencegah masuknya patogen ke dalam sel tubuh maka pertahanan nonspesifik lain, seperti makrofag, heterofil, trombosit dan NK cell akan bekerja. Sel-sel pertahanan nonspesifik tersebut akan membunuh atau mengurangi populasi patogen yang masuk sampai saat sistem kekebalan spesifik bekerja (Wakenell 1999). Makrofag bertanggung jawab untuk memproses antigen yang selanjutnya akan dipresentasikan kepada sel T. Makrofag juga memproduksi berbagai jenis sitokin yang berperan pada mekanisme peradangan (inflamasi), yaitu interleukin 1 (IL-1) dan tumor- nekrosis faktor - α (TNF-α). Interleukin 1 (IL-1) dan tumor nekrosis faktor -α (TNF-α) akan menginduksi pembentukan kollagenase dan timbulnya demam serta proliferasi sel T (Endres 1996). TNF-α hanya diproduksi oleh monosit dan bersifat toksik pada sel tumor. Baik IL-1 maupun tumor nekrosis faktor - α (TNF-α) keduanya sangat penting dalam proses respon peradangan (Weng 2002) Kekebalan spesifik muncul setelah antigen diproses oleh sel tertentu yang berfungsi sebagai antigen presenting cell (APC) seperti makrofag.
Antigen
selanjutnya dipresentasikan kepada sel B dan sel T (Wakenell 1999). Sekali antigen dipresentasikan dan dikenali oleh sel B dan sel T maka berlangsung proses produksi antibodi yang akan menetralkan antigen serta mengeluarkannya dari tubuh. Selain itu dibentuk pula sel memori yang akan mengenali antigen tersebut bila pada suatu waktu menyerang kembali (Weng 2002). Kekebalan spesifik lain adalah kekebalan berperantara sel atau kekebalan seluler (Cell-mediated immunity).
Pada mekanisme kekebalan seluler ini
diperlukan molekul major histocompatibility complex (MHC) untuk mengikat antigen agar dikenali oleh sel T.
Sel T dapat dikelompokan dalam dua famili
berdasarkan penanda pada permukaan selnya atau cluster-determinant (CD), yaitu sel T CD4 (T helper cell) dan sel T CD8 (T cytotoxic cell). Sel T CD4 dapat
31
mengenali antigen yang dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II , sedangkan sel T CD8 hanya mengenali antigen yang berikatan dengan molekul MHC kelas I. Interaksi antara sel T dengan molekul permukaan MHC tersebut sangat spesifik dengan maksud untuk mencegah terjadinya penghancuran sel tubuh sendiri selama adanya respon kekebalan terhadap antigen. Secara umum molekul MHC kelas I dapat ditemukan pada permukaan semua sel yang mencerna antigen, seme ntara molekul MHC kelas II hanya ada di permukaan sel-sel yang imunokompeten saja (Toivanen dan Toivanen 1987). Sel T sitotoksik (CD8) mempunyai kemampuan membunuh agen penyakit yang menginfeksi seperti bakteri dan virus dengan cara melubangi membran dari sel bakteri maupun sel yang terinfeksi virus. Sel T (CD4) yang teraktivasi akan memproduksi sitokin yang berperan dalam proses produksi antibodi, perubahan kelas imunoglobulin yang akan diproduksi serta proliferasi sel. Berdasarkan jenis sitokinnya sel T CD4 dibagi atas dua kelompok yaitu sel T helper 1 (TH1) dan sel T helper 2 (TH2). Sel T helper 1 (TH1) menghasilkan sitokin interleukin 2 (IL-2) and interferon -? ? (IFN- ?), kedua sitokin ini berperan penting pada sistem kekebalan seluler (kekebalan berperantara sel).
Sel T helper 2 (TH2)
memproduksi sitokin interleukin 4 (IL-4) dan interleukin 5 (IL-5) yang membantu sel B dalam memproduksi antibodi. Sitokin yang dihasilkan oleh sel TH1 berkerja antagonis terhadap sitokin yang diproduksi oleh sel TH2. Dengan demikian pada saat sistem kekebalan merespon patogen, sitokin yang dihasilkan tergantung pada sistem kekebalan yang dipilih baik seluler atau humoral (Benjamini dan Leskowitz 1991). Meskipun sistem pertahanan unggas tidak berbeda dengan mamalia, namun perkembangan sistem kekebalan unggas berbeda dari mamalia. Anak ayam pada saat menetas sistem kekebalannya belum berkembang secara sempurna. Mereka mendapatkan antibodi yang sudah disiapkan dari induknya melalui kuning telur dan cairan amnion yang tertelan saat menetas. Antibodi asal induk itu akan berada di dalam tubuh anak ayam sampai sistem kekebalan tubuhnya berkembang. Sistem kekebalan unggas berkembang sempurna pada saat mencapai kematangan seksual. Sistem kekebalan anak ayam berkembang menjadi berbagai jenis untuk menghadapi tantangan dari patogen selama hidupnya. Pada unggas
32
terdapat organ pertahanan yang unik dan tidak dimiliki oleh hewan lain yaitu bursa Fabricius (Wakenell 1999). Masa yang terpenting saat perkembangan sistem kekebalan terjadi pada enam minggu pertama dan masa kritisnya pada tiga minggu pertama. Sistem kekebalan berkembang di bursa Fabricius dan melalui konversi gen. Konve rsi gen adalah mekanisme pembelajaran bagi limfosit B di dalam bursa.
Unggas tidak seperti mamalia, saat menetas unggas secara genetis
tidak memiliki pustaka informasi genetik bagi sel B yang akan digunakan saat memproduksi antibodi.
Dengan demikian sel B di dalam bursa mengalami
penataan gen-gennya agar dapat mengenali dan membentuk berbagai variasi antibodi untuk menghadapi beragam patogen (Wakenell 1999).
Bila masa
konversi gen ini terlewatkan maka sel B tidak akan dapat membentuk antibodi spesifik yang diperlukan dalam menghadapi agen penyakit.
Sel B setelah
mengalami konversi gen akan meninggalkan bursa menuju orga n sistem kekebalan lain. Bursa akan terus menghasilkan sel B sampai saat involusi, setelah itu fungsi bursa sebagai penghasil sel B digantikan oleh sumsum tulang (Schmidt 1997). Bursa Fabricius dan Timus Bursa Fabricius dan timus merupakan organ tempat perkembangan sel-sel limfosit. Sel limfosit berdiferensiasi dari bentuk semula sebagai lymphoid stem cells kemudian berproliferasi dan matang menjadi sel limfosit yang fungsional. Lymphoid stem cells selanjutnya berdiferensiasi menjadi limfosit T dan B pada organ timus dan bursa Fabricius (Roitt et al. 2000). Calon sel-sel organ bursa mulai tampak pada hari keempat masa inkubasi. Sejumlah besar sel amoeboid yang berasal dari mesenkhim berkumpul dan terakumulasi di bawah epitel coprodermia embrio. Pada tempat tersebut epitel dari bagian pantat ayam akan berkembang dan masuk ke dalam lapisan mukosa sampai hari ke-12.
Pada saat sel-sel epitel pantat tersebut berkembang, sel-sel
amoeboid masuk menyisip diantara sel-sel epitel. Mulai hari kedelapan masa inkubasi lymphoid stem cells basofilik bermigrasi ke bursa embrionik, diduga migrasi itu terjadi karena adanya pengaruh kemotaksis.
Selanjutnya terjadi
proliferasi sel-sel epitel pantat itu menuju ke pembentukan folikel limfoid. Bagian
33
medula folikel limfoid ini terbentuk pada masa embrionik sedangkan bagian korteksnya berkembang sesaat setelah menetas. Selama masa proliferasi didalam bursa itu lymphoid stem cells mengekspresikan karakteristik permukaan sel B. Diperlukan kontak antara lymphoid stem cells dengan sel epitel agar lymphoid stem cells tersebut nantinya berdiferensiasi menjadi berbagai jenis sel granulosit (Cullen 1982). Sel limfosit pada bursa Fabricius akan berkembang dalam suatu folikel limfoid yang berbentuk seperti kancing bulat (button).
Semakin banyak sel
limfosit yang berkembang dan matang maka folikel limfoid tersebut akan padat penuh berisi sel limfosit (Gulmez dan Aslan 1999). Folikel limfoid terdapat pada plika yang merupakan epitel permukaan bagian dalam bursa dengan struktur berlipat- lipat yang menjulur ke arah lumen bursa (Gulmez dan Aslan 1999). Plika mulai tampak pada hari ke-10 masa embrional (Glick dan Olah 1993). Berdasarkan gambaran histologinya ada tiga tipe sel yang berkembang yaitu sel limfoid, sel granulosit dan precursor sel granulosit. Sel-sel tersebut mulai tampak berdiferensiasi pada hari ke 9-10 masa inkubasi embrio ayam. Pada hari ke-11 sel-sel tersebut akan ditutupi oleh mikrovilli.
Mikrovilli akan
berkurang jumlahnya pada hari ke -14. Pada hari ke- 15 sampai ke-21 secara cepat mikrovilli akan menghilang sehingga permukaan sel menjadi gundul. Dengan demikian pada hari ke-21 permukaan sel limfoid maupun granulosit akan tampak halus (Schoenwolf dan Singh 1981). Folikel limfoid pada bursa terdiri dari bagian korteks dan medula,. Pada bagian korteks terdapat sel-sel limfosit, sel plasma dan makrofag, sedangkan bagian medula terdiri atas sel-sel limfoblast dan limfosit (Tizard 1992). Pengamatan lebih jauh menunjukkan bahwa bursa tidak hanya berperan sebagai organ limfoid karena
bursa Fabricius juga dapat menjerat antigen serta
memproduksi antibodi dalam jumlah tertentu.
Selain sel B didalam bursa juga
terdapat sel T dalam jumlah kecil. Hormon-hormon tertentu juga dihasilkan oleh bursa, yaitu bursin yang merupakan hormon untuk mengaktivasi sel B tetapi tidak dapat mengaktivasi sel T (Tizard 1992). Bursa merupakan tempat pertama kali sel limfoid mengekspresikan keberadaan
determinan
imunoglobulin.
Sel-sel
dengan
kandungan
34
imunoglobulin M (IgM) pada sitoplasma tampak pada permukaan bursa dihari ke10 masa inkubasi. inkubasi.
Jumlah sel-sel tersebut meningkat mulai hari ke-12 masa
Berdasarkan banyak penelitian dalam sel-sel tersebut mengandung
sejumlah besar rantai berat dari IgM dan IgG. Adanya IgG pertama kali dideteksi pada 16 hari masa inkubasi. Sejumlah kecil IgM diproduksi oleh sel B diluar bursa sesaat sebelum menetas (Cullen 1982). Selain bursa Fabricius organ limfoid primer yang penting dalam sistem kekebalan tubuh adalah timus. Disamping sebagai penghasil sel limfosit T yang matang timus juga berperan pada perkembangan organ limforetikular lainnya. Timus unggas berada di sepanjang leher bagian kiri maupun kanan sampai ke bagain dorsal jantung di rongga dada. Bentuk timus unggas berlobus-lobus dan seekor unggas dapat memiliki 5 sampai 9 lobus tergantung spesiesnya (Gulmez dan Azlan 1999). Secara histologis struktur timus unggas mirip dengan timus mamalia. Tiap lobus terdiri dari beberapa lobulus yang masing- masing dipisahkan oleh jaringan ikat. Tiap lobus tersusun atas bagia n korteks yang berwarna lebih gelap dan medula dengan warna yang lebih terang. Pada bagian medula maupun korteks terdapat sel-sel limfosit, benda Hassal, sel myoid, sel plasma dan granulosit eosinofilik serta
makrofag.
Pembuluh darah yang berasal dari kapsula dan
jaringan ikat tersebar di sepanjang bagian medula dan korteks (Gulmez dan Azlan 1999). Sel limfosit pada timus selain berdiferensiasi menjadi sel yang matang, juga belajar mengenali molekul major histocompatibility complex (MHC). Pada masa embriogenesis terjadi perkembangan reseptor γ/d sel T (γ/d TcR) . Puncak produksi sel itu terjadi pada hari ke 14-15 masa inkubasi,
dua hari sebelum
mencapai puncak produksi γ/d TcR mulai muncul di usus. γ/d TcR akan berada diusus sampai beberapa bulan. Jumlah γ/d TcR diusus mencapai puncak pada sesaat sebelum telur menetas (Dunon et al. 1992). Bagian medula pada timus merupakan zona yang mengandung sel-sel limfosit T yang telah matang, sedangkan bagian korteks adalah daerah tempat pematangan sel-sel limfosit T muda. Semakin luas bagian medula menunjukkan semakin banyaknya sel-sel T yang telah matang (Roitt et al. 2000).
35