ANIMAL PRODUCTION, September 2007, hlm. 172 - 177 lSSN 14 11 - 2027 Terala-editasiNo. 56/DIKTLKep/2005
Pengaruh Ekstrak Benalu Teh (Scurrula oortiana) sebagai ImunoModulator pada Infeksi Marek's Disease Virus Onkogenik (The effect of Tea Misletoe (Scurrula oortiana) Stem Extract as Imrnuno-Modulator on Oncogenic Marek's Disease Virus Infection) Mahamad ~ a u u i " ,Marthen Benedictus Melldanus Malolez, Wasmen ManaluZ d a n Ekowati ~ a n d h a r j a n i '
'Fakulras PerernaAarr UniversifasJenderal Soedirnran, Punvokerro 'Fakulras Kedokremri Hewan Insrrrur Perranian Bogor, Bogor -4HSTRACT: Marek's disease virus (MDV) is onie of oncogenic herpesvirus. It causes imnunosupresion and cancer in
chicken. Several plaits produce bioactive compounds which are very useful for treatment of many disease, especially hlpei-proliveration and virus infection. This study was aimed to find out mechanism of immuno-modulatory capacity in layer commercial chicken administered orally with extract of tea parasite (Scurrula oortiof~a)in dose of 10 mglkg BW through drinking water, then the chicken were infected by intraperi'oneal oncogenic hfDV in dose of 1,O x103TCIDSoThe shidy used 60 layer commercial day old chicks (DOC) divided I: four group treatments. The treatments were group A (admmistered S, oortiana extract and without MDV infection), B (1 th-r S. oortiana Iior MDV infection), C (administered S. oortiana extract and with MDV infection), and D (without administered S. oortiana extract, but with MDV infection). Results showed that MDV oncogenic caused immunosupresion at a day post infection (p.i) and recovery to be normal based on relative weight of bursa Fabricius and thymus at 40 days p.i. The extract of S, oortiana had a capability as an immunomodulator indicated by the increase of relative weight of bursa Fabricius and thymus at day 20 days p.i. Key Words: Marek 's disease virus (MDV), Scurrula oortiana, imrnuno-modulator
Pendahuluan Marek's disease (MD) disebabkan oleh virus DNA termasuk pada group virusherpes-a penyebab kanker pada ayam. Virus tumbuh dan berkembang pada epitelium folikel bulu kemudian menyebar ke ndara selanjutnya menular melalui ketombe dan debu (Silva et 1 , 2004). Target pertama diantaranya adalah derivat bursa Fabricius (limfosit i3), namun sejumlah derivat timus (limfosit T) juga mengalami infeksi. Selama 3 sampai 6 atau 7 hari pascaiiifeksi ( p i ) terjadi infeksi sitolisis, pembesaran limpa, disertai nekrosis dan atrofi bursa Fabricius dan timus (Calnek et al., 1998). Marek's !ii,,ease virus (MDV) isolat Austalia MPV 57 ~iiel~iirlbulkanimunosupresi pada ayam pedaging bessamaan dengan turunnya bobot relatif bursa E'abricius dan timus, dan peningkatan kepekaan pada iiifrksi Escherichia colli (Islam et al., 2002).
' Pcnulis Korespondensi, e-mail:
[email protected]
Diet aritioksidan eksogen mencegah kerusakan seluler (sitolisis) melalui reaksi yang dilakukan oleh radikal bebas. Ayam yang diberi pakan diet semisintetik rendah antioksidan menunjukkan penurunan stabilitas eritrosit terhadap H202 tetapi terjadi peningkatan pada aktivitas katalase pada hepar, karbonil pada protein otot tak larut (Young et al., 2002). Antioksidan yang berasal dari tanaman telah lama dikeilal potensinya dan telah lama diketahui untuk menstabilkan senyawa radikal yang dapat diukur aktivitas antioksidan tersebut (Kim et al., 2002). Benalu teh secara tradisional digunakan untuk penyembuhan berbagai penyakit diare, kanker, dan amandel. Beberapa publikasi hasil penelitian telah melaporkan efek benalu teh diantaranya sebagai perbaikan sistem imun (Winarno et al., 2003), dan hambatan pertumbuhan sel tumor (Nugroho et al., 2000). Tanaman benalu teh (di benua Eropa disebut Viscum album L.) yang dalam percobaan bersifat imunostimulator melalui pengaktifan sel granulosit dan makrofag yang memberi sifat anti tumor (Achi 2005). Daun dan batang benalu teh mengandung senyawa alkaloid, flavonoid, trepenoid, glikosida, triterpen, saponin, dan tanin (Nugroho et al., 2000 dan Tambunan et al., 2003).
Penger,r~tutrak Benalu T ~ ,Fi a m s ~et el.)
Senyawa p o l i f e n o ~ a .~. ; ~ i , , ~ ~ n r ;~h s - rlavoncrld yang disintesis oleh tanairIan ,iidiiiyu ~namperbaiki kesehatan. Kuersetin d m BtlLtsctii~~ i i k a s i d ayang tersebar pada flavonoid rsci~l~akill~temukail pada buah dan sayur. Seng.a\\~;iit11 wctird luas b e ~ p e r a r ~ pada perbaikan kesehatai~seliii;ggj. nielljadl pentiilg dan menarik (Boyer et dl., 2005, L ,la et ul., 2005). Ikatan dengan protein ;i~engCdziil,~ii~ pelapisan substansi yang merupah~n h d p d g ~ l a s alltioksidan flavonoid. Pada kejadian ir,l penaliibahlil~aktivitas intrinsik dari senyawa, metalil;lisi,;e, ihaian terhadap protein juga menentukan untuk mts~ripiagciruhiefek pemberian flavonoid secaia invi- o (.+I-ts,2002). Penelitian ini bertujuan uiltulr inezigcmbangkan mekanisine imunomodula~oi d ~ n i bcualu teh, menggunakan parameter bobot ;elatif grgan lirnfoid yaitu bursa Fabricius, timus, Jan lilrlpa dari ayam ras petelur yang diinfeksi MDV onkogcnik. Hasil penelitian ini diharapkan dbpat membcrikan informasi tentang potensi benaiu leli strain Jrurrula oortiana mencegah imunosupresi pada agrarn y ang diinfeksi MDV onkogenik.
173
d , , l . ~1 ernpat kelompob etrlahuan yaitu : perlakuan A . riii ;ii ekstrak S. 201 r i ~ ~ l tanpa rr infeksi MDV, B tdilp~ pemberian ekstrab S. oortiana dan tanpa intehsi h4DV, C diberi Ghs~rah S. oortiann dan diirtf r,,i h D V , dan 1) tanpa diberi ekstrak S. 70; i+lL4flL~, diinfeksi h l b k Ekstrak benalu teh Jiberikdri secara oral ( d i ~ e k o k )sejak ayam berumur 15 hari sampai akhir percobaan, dengan dosis 10 alc'Lg bobot badan yang dilarutkan dalam air rniilum Ayam diinfeksi deligan virus Marek pada ullliir 2.0 hari secara intraperitoneal (Cho et al., 1999) dengan dosis 1.000 TCID5o (total count illfei.r:>;us dosis 50). 1Jnl~rhinenentukan bobot relatif bursa Fabricius, timus, dan limpa dilakukan penimbangan bobot batisrl ayain. Kemudian dilakukan bedah bangkai dan penimbangan bobot organ bursa Fabrisius, timus dan limpa, kemudian hasil penimbangan bobot oikall tersebut dibagi dengan hasi: penimr,afigan bobot badan masing-masing ayam. sehingga didspatkan bobot relatif bursa Fabricius, tiinis, dan liinpa. Peneli~ian dilakukan dengan menggunakan Rar~cangan A ~ a kLengkap (RAL). Data dianalisis dengall Analisis Variansi dan uji lanjut Kontras Ortogorial (Steel dan Torrie, 199 1) menggunakan Penelitian dilaksanakan di kantlang p~?t.i.~abtl progiain SPSS versi 10 (SPSS, 1999). unggas Fakultas Kedokteran Iiecan, iirstitut Pertanian Bogor (IPB). Pengamatan efek patologi anatomi dilaksanakan di Laboratoriunl Patologi Hasil dan Pembahasan Fakultas Kedokteran IPB. Ayam percobaan adalah ayam ras petelur strairi Isa Brown yang diperoleh Pengaruh Ekstrak Benalu pada Bobot dari peternakan pembibitan "Manggis Fann" desa Relatif Organ Limfoid 20 Hari Pasca Infeksi Tenjoayu Sukabumi, Jawa Barat. Benalu teh spesies Scurrula oorilniln dipeioleh Kinerja sistem imun juga dapat diukur dari bobnt relatif organ limfoid. Bursa Fabricius dari Perkebunan Teh PTP Hancabuli, Cibuni, berpeian pada pematangan limfosit B dan timus Bandung dan ekstraksi dilakuhai~di Labbratorium Bahan Makanan Ternak, IJnivers~tas Diponegoro, bzlperan pada pematangan limfosit T, yang m c r ~ p a k a norgan limfoid primer. Infeksi MDV pada Telukawur Jepara Jawa Tengah, eks,l.aksi dengan ajam diawali dengan periode infeksi sitolisis rnetode reflux menggunakail air settagai pelarut ~~ik 1 prod(i:\tif, MDV mengirifeksi limfosit B pada bursa (Murtini, 2006). Virus Marek o n k ~ ~ e serotipe ini diperoleh dari yang digunakan dalarn peneli~idr~ Fabric ius nlaupun limfosit T pada timus, terjadi replikasi DNA, sin~esisprotein, dan perbanyakan Balai Besar Pengawasiin Mutu dali Sertifikasi Obat Hewan (BPMSOH) Direktorat J e n i i ~ i l lPeternakan, parlike1 virus. Pada puncak infeksi terjadi sitolisis Departemen Pertanian, Gununb Sindllr bogor. dan kenlatian sel, atropi pada bursa fabricius dan Ayam percobaan secara acak ditempatkali dalam timus sehingga terjadi imunosupresi, turunnya bobot kandang, adaptasi ayam percobaan litidk dilakukan relatik organ limfoid bursa Fabricius, dan timus yang karena menggunakan ayam umui sdt~,kari (day old dapat dijadikan sebagai indikator imunosupresi chicken - DOC). Kandang perc o b a a ~ ~yang s e b a g ~ akibat i dari infeksi MDV. digunakan adalah sistem group cuges berukuran 60 l'triode infeksi MDV meliputi 3 bentuk, yaitu x 45 x 30 cm, masing-masing unit tetdiri atas 3 ekor infr.l.si akut (produktif) yang menimbulkan lisis sel, sehingga jumlah kandang seluruhnya 20 unit. Pada dilailjutkan infeksi laten yang bersifat nonproduktif, penelitian ini digunakan 60 ekor dyam dibagi ke dan infeksi transforming. Pada infeksi produktif
-
174
ANIMAL PKIODUCTION,Vol. 9, No. 3,2007 : 172 178
terjadi replikasi DNA virus, sintesis protein, dan menghasilkan partikel virus. Virus menginfeksi dan merusak limfosit B maupun limfosit T. Slelama infeksi terjadi sitolisis pada puncak replikasi virus sehingga menyebabkan imunosupresi, dan nleningkat kepekaan terhadap infeksi, bersamaan dengan turunnya bobot relatif bursa Fabricills dan timus (Calnek et al., 1998, Payne dan Venugopal, 2000, Islam et al., 2002). Replikasi virus lherpes pada bursa Fabricius dan timus menimbulkan transien imunosupresi, perubahan sitolitik akut pada organ ini ditandai dengan atropi. [nfeksi eksperimental terjadi lesi bursa Fabricius mengalami degenerasi folikuler, nekrosis limfoid sehingga mengalami atrofi, dan pembentukan kista. Timus mengalami atrofi, limfosit hilang baik pada kortek maupun medula. Benda inklusi intranuklear dapat muncul pada sel yang mengalami degenerasi (Fadly, 2000). Rataan bobot relatif organ bursa Fabricius 20 hari p.i pada berbagai kelompok perlakuan benalu teh dan infeksi MDV disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis statistik menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan (P<0,05) diantara fraksi kelompok perlakuan pada hari ke 20 p.i. Kelompok perlakuan dengan pemberian benalu teh tanpa infeksi MDV (A) memiliki nilai tertinggi sebesar 0,0037 berbeda dengan kelompok dengan pemberian benalu dan infeksi MDV (C) memiliki nilai 0,0022, dan juga berbeda dengan perlakuan yang tanpa diberi benalu teh dan diinfeksi MDV (D), yaitu 0,002 1. Tingginya ratio bobot bursa Fabricius pada perlakuan A disebabkan oleh pengaruh imunomodulator dari ekstrak benalu teh spesies S. Oortiana 10 mg/kg bobot badan. Rendahnya bobot relatif bursa Fabricius pada kelompok perlakuan C dan D disebabkan oleh infeksi produktif yang menimbulkan sitolisis MDV pada 20 p.i. Pada Gambar 1 disajikan rataan bobot relatif bursa Fabricius pada 20 hari dan 40 hari pascainfeksi.
Terjadinya imunomodulasi pemberian ekstrak benalu teh spesies S. oortiana pada kelompok ayam tanpa in K S ~MDV perlakuan A ditandai dengan perbaikan performan ',ursa Fabricius berdasarkan bobot relatif org:n tersebut, dan kecenderungan terjadinya imunosupresi pada kelompok ayam yang diinfeksi MDV baik yang diberi ekstrak S, oorriana maupun tanpa diberi ekstrak S. oortiana. Kelompok perlakuan B, yaitu tanpa diberi benalu dan tanpa infeksi MDV adalah 0,03 1 tidak berbeda dengan semua kelompok perlakuan. Hal ini menunjukkan belum ada pengaruh imunosupresi pada ayam yang diinfeksi MDV pada 20 hari p.i, baik yang diberi benalu teh maupun tanpa diberi benalu teh. Hasil analisis statistik bobot relatif timus r ~unjukkan adanya perbedaan yang signitikan '35) di antara kelompok perlakuan pada hari ke 26 p.1. Kelompok perlakuan yang diberi benalu teh tanpa infeksi MDV (A) memiliki nilai tertinggi sebesar 0,0054 tidak berbeda dengan kelompok yang diberi' perlakuan tanpa diberi benalu dan tanpa infeksi MDV (B) sebesar 0,0053. Kelompok A dan B berbeda dengan perlakuan D yaitu tanpa diberi benalu teh diinfeksi MDV (0,0019). Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan infeksi MDV menimbulkan imunosupresi dilihat dari turunnya bobot relatif timus. Imunodifisiensi mungkin disebabkan oleh cacat pada pendewasaan limfosit atau aktifasinya atau gangguan pada mekanisme efektor imunitas alami maupun imunitas perolehan. Proses pendewasaan limfosit dari seP stem ke komponen sel fungsional limfosit dewasa termasuk proliferasi, ekspresi reseptor antigen, seleksi sel sehingga memiliki spesifitas, dan perubahan pada ekspresi sejumlah gen (Abbas et al., 2000).
Tabel i Rataan bobot relatif bursa fabricius, timus, dan limpa 20 hari p.i. Peubah Perlakuan A B C Bursa Fabricius 0,00378k 0,0003 0,003 lsbk0,0002 0,0022~*0,0008 Timus Limpa
0,0054' 0,0039'
0,0007 * 0,0007 k
0,0053'k 0,0003 0,0034'k 0,0004
D
0,0021~ O , O O O F
0,0033~~*0,0025 0,0019~k 0,0003 0,0042'k 0,001 1 0,0029' k 0,0010
Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang.sama menunjukkan ada perbedaan pada P<0,05 A = diberi ekstrak S.oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa dil nfeksi MDV C = diberi ekstrak S.oortiana dan diinfeksi hfDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV
a'b
Pengaiuh Eksbak Benalu The (Samsi el el)
20 hmrl p.l
Paoca Infekol (harl)
40 hmrl p.1
A = diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S, oortiana dan diinfeksi MDV D tanpa diberi ekstrak S, oortiana diinfeksi MDV
-
Gambar 1. Bobot relatif bursa fabricius pada 20 hari dan 40 hari pascainfeksi Kriteria dari imunosupresif meliputi: (1) kejadian awal infeksi sitolisis, (2) atropi bursa fabricius dan timus yang diukur dari proporsi bobot organ limfoid terhadap bobot tubuh pada 8-14 pascainfeksi (pi), dan (3) perubahan histopatologi yaitu nekrosis dan atropi organ limfoid. Disimpulkan bahwa tingkat imunosupresi adalah berhubungan dengan virulensi dan ukuran organ yang mengalami perubahan atrofi bursa Fabricius dan timus dapat digunakan sebagai pengukuran patotipe pada isolat baru MDV (Calneck er al., 1998) Kelompok dengan pemberian benalil teh speeies S. oortiana dan diinfeksi MDV (C) memiliki nilai 0,0033 tidak berbeda dengan semua kelompok Hal ini perlakuan baik A, B, maupun D. menunjukkan bahwa perlakuan pemberian ekstrak benalu teh mampu menghambat proses terjadinya sitolisis pada timus akibat infeksi sitolitik MDV. Perlakuan C tidak terpengaruh adanya imunosupresi yang disebabkan oleh MDV diimbangi oleh pengaruh imunomodulasi oleh ekstrak benalu teh spesies S.oortiana. Karena itu efek protektif dari antioksidan pada pencegahan kerusakan membran sel dan reseptor terhadap peroksidasi lipid dapat memberikan keuntungan pada perbaikan kinerja sistem imun. Pada Gambar 2 disajikan rataan bobot relatif timus pada 20 hari dan 40 hari pascainfeksi. Adanya imunomodulator berdasarkan bobot relatif bursa Fabricius pada pemberian ekstrak benalu teh tanpa infeksi MDV dan imunomodulator berdasarkan bobot relatif timus pada kombinasi pemberian benalu teh dan disertai infeksi MDV
Maka ekstrak benalu teh spesies S. oortiana mampu memperbaiki performan sistem imun organ limfoid primer baik pada bursa Fabricius maupun timus pada 20 hari psi. Kemampuan benalu teh menghambat kerusakan oksidatif yang disebabkan oleh radikal bebas berkaitan dengan aktivitas bahan aktif pada benalu teh sebagai antioksidan. Daun dan batang tanaman ini mengandung alkaloid, flavonoid, glikosida, triterpen, saponin, dan tanin yang berperan sebagai antioksidan (Windardi dan Rahajoe, 1998; Achi, 2005) Ekstrak benalu teh speeies Scurrula atropurpurea mengandung 16 bahan bioaktif yang terdiri dari enam senyawa asam lemak, dua santin, dua glikosida flavonol, satu glikosida monoterpen, satu glikosida lignan, dan empat flavon (Ohashi et al., 2003). Uji aktivitas antioksidan menggunakan radikal bebas 1,l-difenil-2-pikrilhidrazil (DPPH), dilakukan pada ekstrak daun benalu teh S. oortiana. Semakin rendah nilai IC,O semakin tinggi potensi antioksidannya. Nilai IC,O ekstrak n-heksan adalah 697,68 ug/ml, ekstrak etilasetat adalah 617,03 ug/ml, ekstrak metanol 9 3 3 9 uglml, dan ekstrak air adalah 121,17 ug/ml (Simanjuntak, dkk., 2004). Hasil pengukuran bobot relatif limpa pada 20 p.i. tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan diantara keempat kelompok perlakuan (Tabel 1). Kondisi tersebut menjelaskan tidak ada pengaruh perlakuan yang diberikan terhadap bobot relatif organ atau tidak terjadi imunomodulasi terhadap limpa.
ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, NO. 3,2007 : 172 - 178
A = diberi ekstrak S. oortiana tallpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oorti~matanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortirrna diinfeksi MDV
Gambar 2. Rataan bobot relatif timus pada 20 hari dan 40 hari pascainfeksi Tabel 2. Rataan bobot relatif bursa fabricius, timus, dan limpa 40 hari p.i. Perlakuan Organ A B C D Bursa Fabricius 0,0009'k 0,0003 0,0009'k 0,000 1 0,00 11'k 0,0002 0,00 1Oak 0,0002 Timus 0,0059'k 0,0016 0,0058'k 0,0027 0,0047k 0,0001 0,0063°k 0,0008 0,003 1% 0,0005 0,0029'f 0,0004 0,0027'f 0,0009 0,0028'f 0,0013 Limpa
' Superskrip dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05). A = diberi ekstrak S, oortiana tanpa diinfeksi MDV B = tanpa diberi ekstrak S. oortiana tanpa diinfeksi MDV C = diberi ekstrak S. oortiana dan diinfeksi MDV D = tanpa diberi ekstrak S. oortiana diinfeksi MDV
Pengaruh Ekstrak Benalu pada Bobot Relatif Organ Limfoid 40 Hari Pasca Infeksi Pada akhir masa perlakuan yaitu pada 40 p.i. bobot relatif organ bursa fabricius, timus, maupun limpa (Tabel 2) tidak berbeda di antara keempat kelompok perlakuan. Hal ini dimungkinkan sudah berakhirnya masa imunosupresi sebagai tahapan awal infeksi MDV yang bersifat transien (sementara) imunosupresi, yaitu bersifat sementara. Islam et al. (2002) dan Fadly (2000) menyatakan bahwa ayam komersial mengandung antibodi maternal MDV dan kejadian imunosupresi sebagai akibat infeksi MDV tergantung pada variabel yang diukur, efek supresi pada sistem imun dapat terjadi dari awal infeksi yaitu hari ketiga sampai dengan 35 pascainfeksi. Ekstrak benalu teh spesies S. oortiana berkhasiat sebagai imunomodulator karena mampu meningk.
kelompok yang diberi ekstrak dikombinasi dengan infeksi MDV maupun kelompok ayam yang hanya diinfeksi MDV 20 hari p.i.. Bobot relalatif t h u s pada kelompok ayam yang diberi ektrak S. oortiana dan diinfeksi MDV tidak mengalami penurunan pada 20 hari pascainfeksi, ha1 ini menunjukkan bahwa ekstrak S. oortiana mampu menghambat imunosupresi akibat infeksi MDV.
Kesimpulan Uji tantang MDV onkogenik dengan dosis 1,O X lo3 TCIDSOpada ayam ras petelur betina menimbulkan imunosupresi pada 20 hari p.i. berdasarkan ukuran bobot relatif bursa fabricius dan bobot relatif timus. Terjadi pemulihan menjadi normal pada 40 hari p.i. berdasarkan ukuran bobot relatif bursa Fabricius dan timus. Pemberian ekstrak benalu teh spesies S. oortiana dosis 10 mgkg bb pada ayam ras petelur betina berpotensi sebagai imunomodulator ditandai dengan peningkatan bobot relatif bursa fabricius dan bobot relatif t h u s pada 20 hari p.i.
Pengaruh Ekstrak Benalu The (Samsi ef el.)
Daftar Pustaka Abbas, A.K., A.H. Lichtman and J.S. Pober, 2000. Celluler and Molecular Immunologi. 4th Edition. W.B. Ssaunders Company. Hacourt Health Science Company. Achi, A.A., 2005. Misletoe and clinical use. United State Pharmacology 30 10 1: 12- 18. Arts M.J., 2002. Interaction between flavonoids and proteins: Effect on the total antioxidant capacity. Journal of Agriculture and Food Chemistry 50:1184-1187. Boyer, J. D., Brown and R.H. Liu, 2005. Invitro digestion and lactase treatment Influence uptake of quercetin and quercetin glukosida by the caco-2 cell monolayer. Nutrition Journal 10: 1 186- 119 1. Calnek, B.W., R.W. Harris, C. Bucaglia, K.A. Schat and B. Lucio, 1998. Relationship between the immunosuppressive potential and the pathotype of marek's disease virus isolates, Avian Disease 42: 124- 132. Cho, KO, K. Ohashi and M. Onuma, 1999. Electron microcopic and immunohistochemical localization of Marek's disease (MD) herpesvirus particles in MD Skin Lymphomas. Veterinary Pathology 36: 3 14-320. Fadly, A.M., 2000. Neoplastic disease. Poultry Disease. CRC Press Boca Raton, New York. Islam, A.M., C.W. Wong, S.W. Walken-Brown, I.G. Colditz, K.E. Arzey and P.J. Groves, 2002. Immunosuppresive effects of marek's disease virus MDV) and herpesvirus of turkey (HVT) in broiler chickens and protective efect of HVT vaccination challenge. Avian Pathology 3 1: 449-46 1. Kim, D.O., K.W. Lee, H.J. Lee and C.Y. Lee, 2002. Vitamin C Equivalent Antioxidant Capacity VCEAC) of Phenolic Phytochemicals. Journal of Agriculture and Food Chemistry 50: 3713-3715. Lila, M.A., G.Y. Gad, J. Yong and M.W. Connie, 2005. Sorting out bioactivity in flavonoid mixtures. Symposium : Relative Bioactivity of Functional Foods and Related Dietary Supplements. Journal ofNutrition 135: 1231-1235. Murtini, S., 2006. Kajian ekstrak benalu the (Scurrula oortiana) sebagai antivirus terhadap virus Marek pada telur ayam berembrio. [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Nugroho, Y.A., B. Nuratmi dan Suhardi, 2000. Daya Hambat Benalu teh (Scurrulla atropurpurea) terhadap Proliferasi Sel Tumor Kelenjar Susu Mencit (Mus musculus L) C3H. Cermin Dunia Kesehatan 127: 15- 17.
177
Ohashi, K., M. Mukai, P. Simanjuntak and P. H. Shibuya, 2003. Cancer cell invasion inhibitory effects of chemical constituents in the parasitic plant Scurrula artopurpurea (Lorantaceae). Chemical Pharmacology Bulletin 5 l(3): 343-345. Payne, L.N., and K. Venugopal, 2000. Neoplastic disease: Marek's disease, avian leucosis and reticuloendotheliosis. lnternational Epizothyology 19(2): 544-554. Silva, R.F., S. Reddy and B. Lupiani, 2004. Expansion of a unique region in the marek's disease virus genome occurs concomitantly with attenuation but is not sufficient to cause attenuation. Journal of Virology 78(2): 733-740. Simanjuntak, P., T. Parwati, L.E. Lenny, S. Tamat dan R. Murwani, 2004. Isolasi dan identifikasi senyawa antioksi dan dari ekstrak benalu teh, Scurrula oortiana (Korth) danser (Lorantaceae). Jurnal Ilmu Kefarmasian Indonesia 2(1): 6-9. SPSS Inc., 1999. SPSS for Windows: Base Systems Users's Guide Release 10.0. Michigan Avenue, Chicago. Steel, R.G.D., dan J.H. Torrie, 1991. Prinsip dun Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik. B. Sumantri (penerjemah). Terjemahan dari: Principles and Procedures of Statistics, A Biometrical Approach. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Tambunan, R., M. Bustanussalam, P. Simanjuntak dan R. Murwani, 2003. Isolasi dan identifikasi kafein dalam ekstrak air daun benalu teh, Scurrula junghuni, Lorantaceae. Jurnal Nmu Kefarmasian Indonesia l(2): 16-18. Winarno, H., K. Ohashi, M. Mukai, P. Simanjuntak dan H. Shibuya, 2003. Uji Bioaktivitas terhadap Invasi Sel ~ a n k e rdari ~ e b e r a ~Senyawaan a Flavonoid, Santin, Terpen, dan Ligan yang Diisolasi dari Benalu teh (Scurrulla atropurpurea) Lorantaceae. Proseding Seminar dun Pameran Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXIV. Pusat Studi Biofarmaka LP-IPB Darmaga, Bogor 19 - 20 September 2003. Hlm. 141-149. Windardi, F.I., dan J.S. Rahajoe, 1988. Keanekaragaman Benalu Teh di Pulau Jawa. Warta Tumbuhan Obat Indonesia 4: 25-29. Young, J.F., C.L. Steffensen, J.H. Neilsen, S.K. Jensen and J. Stagsted, 2002. Chicken model for studying dietary antioxidant reveal that apple (Cox's orange)/Broccoli (Brassica oleracea L. var. italica) stabilizes erythrocytes and reduces oxidation of insoluble muscle proteins and lipids in cooked liver. Journal of Agriculture and Food Chemistry 50: 5058-5062.
ANIMAL PRODUCTION, S ?ter 2007, h h . 1,78 - 183 ISSN 1411 - 2027 Terakreditasi No 56/DIKTVKep/2005
Efektivitas Pemberian Ekstritk Temulawrk (Curcumae xanthoriza) dan Kunyit (Curcumae domestica) dan sebagai Immunostimulator Flu Burung padla Ayam Niaga Pedaging (Effectiveness of Temulawak (Curcumrz xanthoriza) and Kunyit (C'urcumae domestica) Extracts to Enhance Productivity and as [mmunostimulator of Avian Influenza in Broiler) Sufiriyalr~todan Mohandas Indradji Fakultas Peternakafi' Unrversitas Jenderal Soeilrrman, Purwokerro
ABSTRACT: The objective of the experiment was to investigate the effectiveness of treating broiler with temulawak
(Curcuma xanthoriza) and kunyit (Curcumae domestica) extracts to enhance productivity and as immunostimulator of avian influenza. Broilers were given either temulawak, kunyit or temulawak+kunyit extracts. The treatments, inciuding a control, were arranged in a factorial design. Variables measured were production index and immune titter with haemaglutination inhibition (HI) test at 35 days of age. Results showed that control, temulawak-, kunyit- and temulawak+kunyit-treated chicken have production indexes of 302.80, 382.30, 327.71, and 358.30, respectively. HI test results were all negative. It can be concluded that neither temulawak, kunyit nor temulawak+kunyit extracts is effective immunostimulator of avian influenza in broiler. Nevertheless, temulawak-treated chicken showed highest production index. Key Words: Avian influenza, haemaglutination inhibition, temulawak, kunyit
Pendahuluan Penyakit Flu burung (Avian Influenza) terjadi outbreak (wabah) di beberapa daerah, disebabkan oleh virus H5N1 yang terjangkit di beberapa daerah Jawa Tengah, Jawa Barat dan Jawa Timur pada tahun 2003. Selanjutnya timbul wabah kedua tahun 2004-2005, daerah Sulawesi Utara (Gorontalo), di Sulawesi Selatan (Makasar) yang menyerang populasi ayam petelur, di pulau Jawa (Sukabumi, Cirebon, Boyolali dan Tegal). Pengendalian penyakit pada tahun 2003 melalui program vaksinasi dianggap cukup berhasil mereda terjangkitnya penyakit Flu burung. Tingkat keberhasilan vaksinasi berdasarkan uji titer antibodi Hemaglutinasi Inhibisi (HI), sampel darah diambil 3 minggu setelah vaksinasi, dengan nilai titer HI minimal 16 (24). Hasil dilapangan sangat bervariasi tergantung banyak faktor yang mempengaruhi titer antibodi tersebut, diantaranya faktor manajemen. Adapun faktor manajemen yang dapat dilakukan peternak adalah mempersiapkan ayam sebelum vaksinasi agar mencapai tingkat kekebalan optimal dengan melplui perilberian vitamin atau obat-obatan tradisional (herbal medicine). Pemberian temulawak dan kunyit dapat meningkatkan kekebalan tubuh karena kandungan
fitokimia kurkumin temulawak adalah desmetoksikurkumin dan bisdesmetoksikurkumin, fitokimia kunyit adalah desnietoksikurkumiri. Zat fitokimia inilah yang ber fungsi untuk meningkatkan nafsu makan, meningkatkan sekresi empedu, memperbaiki fungsi hati dan memperbaiki tampilan limfosit darah. Apabila ayam sehat dan kebal dari penyakit maka nilai produktivitasnya menjadi optimal. Untuk menilai produktivitas ayam niaga pedaging digunakan standard nilai indeks produksi, semakin tinggi nilai indeks produksi maka semakin baik cara pemeliharaannya. Perhitungan indeks produksi ditentukan oleh besaran pertambahan bobot badan harian (daily gains), angka kematian (mortaliq) dan nilai konversi pakan (Feed Convertion Ratio, FCR). Penelitian bertujuan untuk meningkatkan produktivitas ayam niaga pedaging berdasarkan nilai Indeks Produksi (IP), dan mengetahui kemampuan sifat iinmunostimulator terhadap titer kekebalan Flu burung berdasarkan uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI test).
Metode Penelitian Materi Penelitian Penelitian dilaksanakan menggunakan ayam niaga pedaging sebanyak 60 ekor, pakan starter 60 kg, pakan finisher 150 kg, vitamin, vaksin ND,
Efektivitas Pemberian EkstrakTemulawak (Svfinyanto dan Indraj~)
vaksin Gumboro, vaksin Flu burung (AI), ternpat pakan dan tempat minum 20 set d a ~ petak i kandang 20 unit, ekstrak temulawak dan ekstrak knnyit.
Rancangan Penelitian Penelitian eksperimental telah dilaksanakan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Perlakuan Po sebagai kontrol, P I pemberian ekstrak temulawak 0,5 g/L, P2 pemberian ekstrak kunyit 0,5 g/L dan P3 pemberian temulawak dicampur kunyit (1: 1) 0,5 g/L, setiap unit kandang berisi 3 ekor dan diulang sebanyak 5 kali. Pemberian ekstrak temu lawak dan atau kunyit mulai umur 20 hari lewat air minum. Peubah yang diamati adalah illdeks produksi dan titer antibodi A1 (HI test) pada ayam niaga pedaging umur 35 hari. Pengambilan sampel darah untuk uji titer kekebalan, diambil melalui vena Brachialis sebanyak 2 ml per ekor pada umur 35 hari (pemeriksaan hematologis), untuk satu unit diambil satu ekor (Siregar, 1988). Data dianalisis dengan analisis ragarn, dan apabila terdapat perbedaan dilanjutkan dengan uji BNJ (Steel dan Torrie, 1980).
Hasil dan Yembahasan Produktivitas Ayam Pedaging Produktivitas ayam niaga pedaging diukur berdasarkan nilai Indeks Produksi (IP). IP adalah perbandingan antara pertambahan bobot badan harian (g) dikalikan daya hidup (100% - persentase mortalitas) dibagi konversi pakan (FCR) dikalikan sepuluh (Chapmann, 1988). IP hasil penelitian ini menunjukkan non signifikan yang berarti pemberian ekstrak temulawak dan kunyit memberikan efek produktivitas sama dengan kontrol atau pemberian vitamin dan antibiotika, dengan kata lain bahwa temulawak dan kunyit dapat digunakan untuk mengganti antibiotika dan vitamin pada pemeliharaan ayam niaga pedaging mulai umur 21 hari sampai dengan umur 35 hari. IP hasil penelitian ini menunjukkan perbedaan secara biologis, Po kontrol indeks produksi sebesar 303,98; PI perlakuan temulawak 382,06; Pz perlakuan kunyit 327,5 1 dan P3 perlakuan campuran temulawak dan kunyit sebesar 358,26. Hal ini diduga pemberian temulawak dan kunyit mampu membunuh kuman patogen Escherichia coli (E. coli) dalam saluran pencernaan (Hadi, 1985) sehingga kuman non patogen tumbuh menjadi optimal, karena kandungan kurkuminoid dan minyak atsiri (Purnomowati dan Yoganingrum, 198 1)
179
bersitat membur~uh kuman E. coli dan kurnan patogen lain dalan~usus, sesuai dengan Sufiriyanro (1 998) yang menyatakan bahwa pemberian probivtik (Lactobacillus sp) dapat membunuh kuman E. coli sebesar 80% pada. ayam niaga pedaging sehingga dapat meningkatkan bobot badan (pada umur 6 minggu dari kontrol 1723 g menjadi 1868 gj. menu]-unkan konversi pakan, meningkatkan protein efisiensi dan meningkatkan indeks produksi dari 229 menjadi 290. Pada penelitian ini, pemberian temulawak dosis 0,5 g per liter memberikan IP sebesar 382,06 dan hasil ini dikategorikan berhasil baik sesuai dengall Chaprnann (1988) yang menyatakan bahwa IP merupakan indikator pemeliharaan ayam niaga pedaging (kategori kurang baik bila IP dibawah 200. kategori baik bila IP 200-250, dan kategori bait sekali bila IP 250-300, serta sangat baik sekali bila Fadilah dan Polana (2004) IP di atas 300). menyatakan bahwa IP ayam niaga pedaging dikatakan baik apabila mempunyai nilai diatas 200, semakin tinggi nilai indeks produksi menunjukkar. pemeliharaannya semakin baik. Hasil indeks produksi ini dipengaruhi b o b s badan, pada penelitian ini bobot badan umur 35 hart mencapai 1.824,46 g dengan perlakuan pemberiari temulawak. Hal ini lebih baik dibandingkan dengar1 standard North dan Bell (1990) yang menyatakan ayam umur 5 minggu bobot badan 1460 g dan umul. 6 minggu mencapai bobot badan 1890 g, sedangkan Pauzenga (1990)' mengatakan bahwa bobot badan 1800- 2000 g dicapai pada ayam niaga pedaging umur 40-42 hari. Secara umum pertumbuhan ayam pedaging akan berkembang sesuai dengan perkembangan kemajuan teknologi pakan dan genetik sehingga dari waktu ke waktu hasil pencapaian bobot badan akan berubah sesuai dengan kualitas, kondisi dan situasi setempat. Konversi pakan pada penelitian menunjukkan tidak berbeda nyata secara statistik (P>0,05), tetapi secara biologis menunjukkan perbedaan yaitu pada Po (kontrol) konversi pakan sebesar 2,09, PI sebesar 1,91; Pz sebesar 2,03 dan P3 sebesar 1,97. Angka konversi pakan semakin kecil menunjukkan hasil yang optimal ditunjukkan pada perlakuan PI atau perlakuan pemberian ekstrak temulawak sebesar 0,5 g per liter air minum. Hal ini sesuai dengan Guritno (2002) menyatakan pemberian temulawak dapat menurunkan konversi pakan sehingga secara otomatis dapat meningkatkan indeks produksi dari 290,52 menjadi 302.
ANIMAL PRODUCTION Vol. 9, NO. 3,2007: 178 - 183
Kenaikan bobot badan harian ayam niaga pedaging mulai umur 21 sampai 35 hari pada penelitian ini menunjukkan Po (kontrol) sebesar 61,60 g, PI (temulawak) sebesar 72,78 g, P2 (kunyit) sebesar 64,30 g dan P3 (temulawak dan kunyit) sebesar 70,09 g. Pemberian ekstrak temulawak dengan. dosis sebesar 0,5 g per liter air rr~inum memberikan hasil penambahan bobot badan harian yang paling optimal dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini sesuai dengan per~dapat Nataamijaya et al. (2000) bahwa pembarian Ikunyit pada ayam pedaging mampu meningkatkan bobot badan dari kontrol 1,37 kg menjadi 1,55 kg dangan pemberian jamu kunyit dan lempuyang perlakuan K5L4 'atau kunyit 0,04% dan lempuyang 11,02% diracik dalam pakan ayam pedaging dibt:rikan selama 5 minggu. Peningkatan pertambahan bobot badan juga terjadi pada kelinci yang Jiberi temulawak dalam pakan pada level 0,80% (Haryanto, 2006). Kandungan kurkuminoid meningkatkan kecernaan pakan (Guritno, 2001), bersifat laktagoga (Achyas dan Rasydah, 2005) dan apabila kunyit level 0,04% dalam ransum dicampur dengan lempuyang level 0,16% dapat meningkatkan bobot badan dan menurunkan angka kematian pada ayam niaga pedaging (Nataamijaya et al., 2000). Anang dan Ihsan et al. (2000) melaporkan bahwa pemberian temulawak dan kunyit dapat meningkatkan kekebalan tubuh dan menyembuhkan penyakit hepatitis.
Tingkat Kekebalan Titer HI pada A1 Pada waktu ayam niaga pedaging berumur 21 hari dilaksanakan vaksinasi flu burung sebany~k0,5 ml per ekor secara injeksi subcutan, pelaksanaan pengarnbilan darah pada umur 35 hari. Hasil penelitian menunjukkan titer no1 atau dapat dikatakan tidak adanya kekebalan berdasarkeln uji Hemaglutinasi Inhibisi (HI test), kemungkinan lain adalah faktor dari kualitas vaksin (Nurhandayani, 2004; Kawaoka et a1.,1987; Kodihalli et al., 1994), faktor strain virus (Dharmayanti et al., 2005b; Kamaludin, 2006), faktor individual ayam (Harimoto dan Kawaoka, 2001; Dharmayanti et al., 2005a; Sufiriyanto dan Indradji, 2005) dan faktor kurang pekanya metode titer HI test sehingga diperlukan uji lebih canggih seperti uji PCR (Polymerase Chain Reaction). Walaupun hasil titer kekebalan A1 no1 atau negatif tetapi ayam masih mampu hidup, ha1 ini kemungkinan di dalam tubuh telah terjadi proses kekebalan yang bersifat lseluler (Abbas et al., 1991; Rantam et al., 2004), tetapi
menurut Aamir et al. (2005) bahwa titer no1 sangat rentan terhadap penyakit karena ayam dapat dikatakan mampu meliridungi uji tantang A1 minimal skor 10 sedangkan titer HI dikatakan mampu melindungi ternak ayam apabila uji titer kekebalan HI menunjukkan Geometrik HI 15 atau 24. Titer kekebalan yang baik apabila lebih besar atau sama dengan 24 sesuai dengan Priyono (2004), Nurhandayatii (2004) yang mengatakan bahwa titer antibodi ayam sehabis di vaksin dianggap berhasil apabila nilainya Iebih besar atau sama dengan 24 dan kisaran tersebut dianggap mampu melindungi ternak ayam dari serangan penyakit A1 (Swayne et al., 2000; Tabbu, 2000; Setijanto, 2005). Pengambilan sampel darah pada tiga rninggu setelah vaksinasi AI, kemungkinan hasil tersebut kurang optimal sebab untuk titer HI sebaiknya dilaksanakan satu bulan sampai dua bulan setelah vaksinasi (Hofstad et al., 1978; Kristina et dl., 2004). Menurut Wood et ul. (1585) waktu empat minggu ini diperlukan tubuh untuk mengadakan reaksi antigen (vaksin) dengan immunoglobulin sehingga terbentuk antibodi (Akoso, 1993). Tingkat kekebalan atau antibodi lnenunjukkan kemampuan tubuh untuk proteksi terhadap agen infeksi (Alexander et al., 1986; Abbas et ul., 1991). Pemeriksaan ini penting untuk penelitian lapangan pada tempat-tempat individu yang divaksinasi dan yang belum pernah divaksinasi yang dipilih secara acak (Barus, 2004). Kemampuan vaksin tidak ditentukan oleh perarlgsangan terjadinya antibodi serum saja tetapi lebih dipengaruhi adanya penambahan proteksi terhadap penyakit (Bellanti, 1993). Manurut Tizzard (1983) bahwa tanggap kebal atau sensitifitas ternak dapat ditentukan dengan menemukan antibodi khusus didalani serum darah karena hewan atau ternak terpapar atau terinfeksi antigen tertentu. Ayam pedagitig yang tidak divaksin A1 kemungkinan besar melindungi diri dari serangan penyakit melalui mekanisme resistensi nonimunologis. Faktor-faktor yang berperan antara lain adalah lisozim, empedu dan hati, sumsunl tulang, kelenjar timus dan yang utama adalah faktor interferensi dan interferon. Mekanisme pertahanan antiviral non-imunologis interferensi adalah istilah nama penghambatan replikasi virus karena adanya virus lain, karena virus lain tersebut menghasilkan interferon (Kimball, 1994) dan interferon dilepaskan sel yang terinfeksi atau tertulari virus dalam beberapa jam setelah invasi virus maka interferon sudah terproduksi dalani jumlah yailg banyak
Efeittivibs PelllDerian Ekstrak Temulawak (Sufiriyanto dan Indraji)
181
(T~zzard,1983). Interferon t e i b e ~ ~ t uapabila k terjadi adanya perbedaan kelcebalan antara perlakuan dengain kontrol. infeksi virus yang pertallla atau penyakit baru muncul dan yang terbentuk adalah interferon tipe 1 Daftar Pustaka (IFN type I ) yang berfungsi menghannbat proses replikasi virus dan biasanya bersarnaar~dengall kerja Aamir, G., N. Shaamoori, Y Mohammed, and N. Jawad, NK (Natural Killer cell) yang herfungsi nielisiskan 2005. Immunomodullatory effects of multistrain sel target infeksi (Abbas e t a1 ., 199 1). probiotics (Protexin) on broiler chicken vaccinated Sistem kekebalan ayam niaga pcdagi~rg yang againts Avian Influenza Virus (H9). International Journal of Poultry Science 4(10): 777-780. sakit A1 maka pada awal inifeksi tubuh inerl~be~ituk kekebalan melalui peningkatan sitoh111 sedarlgkan Abbas, A.K., A.H. Lichtrnan and Y.S.Pober, 1991. sitokin sendiri dalam tubuh niacamrlysi banyak sckali Cellular and Molecular I m m u n o l o ~ . WB. sehingga diantara sitokin b e r s i f a ~ a ~ ~ t a g o ~ i i s , Saunders Company. Philadelphia London Toronto mengakibatkan gaga1 pernafasa~i atau prieunlor~ia Montreal Sydney Tokyo. Pp. 4-6, 38-45, 309-3 10. akut. Pemberian temulawak dan kuriyit mampu Achyat, D.E., dan R. Kasyidah, 2005. Kunyit (Curcumae menekan sitokin, sehingga secara tidak langsung domestics Val). http//www.asiama~a.com/iamu/isi/ dapat menekan kejadian A1 pada ayaln. h l e n u ~ ~ ~ t ku~~yitcurcumaedomestica.htm. ( 10 September Nidom (2005) bahwa pemberian temulawak dapat 2007). menghambat menekan jumlah sitokin dan Akoso, H.T., 1993. Manual Kesehatan Unggas. Kanisius. perkembangan virus saat virus mengaldmi Yogyakarta, Hlm. 93-94. perbanyakan diri (replicatio~l). Kandungan zat fitokimiawi ternulawak dan Alexander, D.J., G. Parsons and R.S. Manvell, 1986. Experimental assesment of the pathogenicity of kunyit berfungsi memperbaiki fungsi hati atau eight avian influensa a virusses of H5 sub type for berfungsi hepatoprotektor (Dalimartha, 2000ab) dan chickens Turkeys, duck and quail. Aviun Pathol dari tanaman obat bekerjasama mempcrkuat sel 15: 647 - 662. terhadap serangan virus pada berbagai lini niulai dari mencegah penetrasi, mencegah niultiplikasi Anang, S.F.R., dan M.M. lhsan, 2000. Temulawak dan kunyit sembuhkan hepatitis. PT. Jamu Iboe. Dalam: sampai dengan mencegah keluarnya virus dari dalam htt~/www.iamuiboe.com.artikel 04php. (10 sel, lebih baik lagi apabila mengekstrah teinulawak September 2007). dan kunyit menggunakan air panas (Mursito, 2001). Selain efek menghambat replikasi virus, t e ~ n u l a w a k Barus, R.A., 2004. Kronologi Wabah Avian Influenza (AI) di dapat berfungsi sebagai immunostimulator fagositoIndonesia. Warta Kesehatan Hewan. Media Informasi Direktorat Kesehatan Hewan. Januari-April2004. sis dan meningkatkan kemampuan limfosit (Dalimartha, 2000a), hepato stimulan (Liang e t al., 1985) Bellanti, J.A., 1993. Immunology III. Gajah Mada dan hepatoprotektor karena mencegah kerusakan sel University Press. Yogyakarta. hati sehingga proses metabolisme dapat berlangsung Chapmann, J.J., 1988. Probiotics. Accidifers and Yeasr lancar (Harmanto, 2007). Hal ini sesuai dengan Culture a Plate for Natural Additives in Pig and pendapat Endrini (2007) bahwa flu burung dapat Poultry Production. Biotrchnology in the Feed ditanggulangi dengan minum tananian obat Indistries. Proceedings of Alltechs for Fourth tradisional yang bersifat antivirus dan bersifat Annual Symposium.Pp.2 19-223. immunostimulan serta tanaman obat yang memiliki Dalimartha, S., 2000a. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. efek konstruktif yaitu mampu memperbaiki jaringan Trubus Agriwidya, Jakarta. dan kelenjar yang rusak.
Kesirnpulan Indeks Produksi optimal pada pelielitian ini adalah 382,30 yang diperoleh pada pemberian ekstrak temulawak dosis 0,5 g per liter air n ~ i n u m . Pemberian kunyit dosis 0,25 g per liter air minuni menghasilkan Indeks Produksi sebesar 327,80, dan pada campuran temulawak dan kunyit menghasilkan Indeks Produksi sebesar 358,30. Titer HI pada AI tidak menunjukkan
Dalimartha, S., 2000b. Tiga Puluh Enam Resep Tumbuhan Obat untuk Menurunkan Kolesterol. Panebar Swadaya, Jakarta. Dharmayanti. N.L.P.1, R. Indriani, R. Damayanti, A. Wiyono dan R.M.A. Adjid, 2005. Karakter virus avian influensa isolat Indonesia pada wabah gelombang ke dua. Jurnal Ilmu Ternak dun b'eteriner 10(3;1 : 21 7-226. Dharrnayanti, N.L.F1.I, R. Indriani, R. Damayanti, A. \Yiyono dan R.M.A. Adjid, 2005. Isolasi dan
ANIMAL PRODUCTION, Vol. 9, No. 3,2007 : 178 - 183
identifikasi wabah avian influensa pada bulan Oktober 2004-Maret 2005 di Indonesia. Jurnal Biologi Indonesia. 3:34 1-350. Endrini, S., 2007. Tanaman Obat Heboh Flu ,Flurung. Herba Indonesia. Edisi 58. Yayasan Pengembang Tanaman Obat Karyasari. Jakarta. Fadilah, R. dan A. Polana, 2004. Panduotr Pen;;elolan Peternakan Ayam Broiler Komersial. PT Agromedia Pustaka. Depok. Jakarta. Fenner, F.J, E.P.J. Gibbs, F.A. Murphy, I.R. Roii:t, M.J. Studdent and D.O. White, 1993. Virology Vei'eriner. Academic Press Inc. New York. Guritno, D., 2002. Pengaruh pemberian ternulawak dan mengkudu terhadap efisiensi pakan dan protein efisinsi rasio pada ayam pedaging. [Skripsi] Fakultas Peternakan Universitas Jenderal Soedirman. Punvokerto. Hadi, S., 1985. Manfaat temulawak ditinjau dari segi kedokteran. Prosiding Simposium Nasional Temulawak. Lembaga Penelitian Yniversitas Padjadjaran. Bandung. Hlrn. 139- 145. Harimoto, T., and Y. Kawaoka, 2001. Pandemic treatposed by avian influensa a viruses. Clinical Microbial Review 14: 129- 149. Harmanto, N., 2007. Avian Influenza, Mengapa Harus Takut. Dalam: Herba Indonesia. Edisi 58. Yayasan Pengembang Tanaman Obat Karyasari. Jakarta. Haryanto, B., 2006. Pebaikan pertumbuhan dan produksi karkas melalui permberian temulawak (Curcumae xanthoriza roxb) pada ransum. Animal Production Jurnal Produksi Ternak 3(8): 190- 195. Hofstad, M.S., B.W. Calnek, C.F. Helmbolt, W.M. Reid and H.W. Yoder, 1978. Diseases Poultry. 7th edition. Iowa State University Press. Ames Iowa. Pp. 5 13-532. Kamaludin, Z., 2006. Vaksin A1 Homolog Konvensional Versus Reverse Genetic. Infovet 14 1. Kawaoka, Y., A. Nestoro Wics, D.J. Alexander and R.G. Webstar, 1987. Molecular Analysis of The Haemagglutinin Genes of H5 Influensa A Viruses Origin of Virulent Turkey Strain. Virology 158: 21 8-227. Kodihalli, S., V. Sivanandan, K.V. Nagaraja, D. Shaw, and D.A. Halvorson, 1994. A Type-Specivic Avian Influenza Virus Subunit Vaccine for Turkeys: Induction of Protective Immunity to Challenge Infection. Vaccine 12: 1467- 1472. Kristina, C., Isminah dan L. Wulandari, 2004. Flu Burung. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan. Jakarta.
Kimball, J. W., 1994. Biofogi. Jilid I . Penerbit Erlangga Jakarta. Hlm. 5 15-565. Liang, O.B., Y. Apsorton, T. M'idjaja dan S. Puspa, 1985. Beberapa Aspek Isolasi, Identifikasi dan Penggunaan Komponen - komponeri Curcumae xanthoriza Roxb dan Curcumae domestica Val. Prosiding Seminar hlusional Temuluwak. Universitas Padjadj aran. Bandung. Mursito, B. 200 1. Sehat di Usia Lanjut Dengan Ramuan Tradisional. Panebar Swadaya. Jakarta. Nataamijaya, A.G., S.N. Jdnlari, U. Kusnadi dan L. Prakarani, 2000. Pengaruh Pemberian Kunyit (Curcumae domestica Val) dan Lempuyang (Zingiber aronzaticum Val) terhadap Bobot Badan dan Konversi Pakail pada Broiler. Proslding Seminar Nasional Peternakan Veteriner. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan. Bogor. Nidom, C.A., 2005. Tangerang Miniatur Indonesia. Poultry Indonesia 305. Jakarta. Nidom, C.A., 2006. Ekonomi Bisnis. Infovet. Edisi 141 North, O.M. and D.D. Bell, 1990. Commercial Chicken Production Mannual. 4th ed. Avi. Pub. New York. Nurhandayani, A., 2004. Avian Influenza (Fowl Plague). Swadesi l(1): 1-8. Pauzenga, U., 1990. Animals Production in the 90.s in Harmony With Nature : A Case Study in The Nederland. Biotechnology in the Feed Industries. Asia Pacific Lecture Tour. Alltech Technical Publication. Pp. 12 1 - 13 1. Priyono, W.B., 2004. Avian Influenza Gejala Klinis. Perubahan Patologis Anatomis dun Penanganannya. Departemen Kesehatan. Yogyakarta. Hlm. 1-9. Rantam, F.A., A.P. Rahardjo, dan A.T.S. Estoepangestie, 2004. Deteksi Dini Penyakit Avian Influenza (A0 pada Ayam Secara in Vitro dun in Vivo. Makalah Pertemuan llmiah Tahunan Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia, 27-28 Agustus 2004. Hlm. 4 1. Universitas Diponegoro. Semarang. Retno, F.D. dan J. Suryani, 1998. Penyakit-penyakit Pentingpada Ayam. Edisi ke 4. Medion. Bandung. Setijanto, H,, 2005. Avian Influenza: Epidemiologi Penyakit dun Stratzgi Pencegahonnya. Diskusi Pelaksanaan Penelitian, 20 Desember 2005. Dikti. Jakarta. Steel, R.G.D. and J.H. Torrie, 1980. Principles and Procedure of Statistics. 21d ed., Mc. Graw Hill., International Book. Co., Singapura.
Efektivitw Pemberian Ekstrak Temulawak (Sufiriyanto dan Indraji)
Subbarao, K., H. Chen, D. Swayne, L. Mingay, E. Fodor, G. Bromnlee., X. Xu. X. LA, J. Katz, N. Cox, and Y. Matsuoka, 2003. Evaluation of a genetically modified reasortant H5N1 influenza a virus vaccine candidate generated by plsmid based reverse genetics. Virology 305: 192-200. Sufiriyanto, 1998. Pengaruh Pemberian Campuran Amilase, Protease dan Probiotik Melalui Air Minum Terhadap Kinerja Ayam Ras Pedaging. [Tesis]. Program Studi Sain Veteriner. Fakultas Kedokteran Hewan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta Sufriyanto dan M. Indradji, 2005. Uji Coba Lapang field trial) Efektivitas Vaksin Avian Influenza (Flu Burung) pada Ayam Kampung di Kabupaten Banyumas. [Laporan Penelitian]. Fakultas Petemakan Unsoed (tidak dipiblikasilan). Swayne, D.E., M. Garcia, J.R Beck, N. Kinney, and D.I. Suarez, 2000. Protection against diverse higly
183
pathogenic H5 avian influenza viruses in chickens immunized with a recombinant fowlpox vaccine containing an H5 avian influenza hemagglutinin gene insert. Vaccine 18: 1088-1095. Penyakit Ayum dun Tabbu, C.R., 2000. Penanggulangannya. Penyakit Bakterial Mikal dun Viral. Volume 1. Penerbit Kanisius Yogyakarta Hlm. 233- 245.
Tizzard, I., 1983. Pengantar Immunologi Veteriner. Airlangga University Press. Surabaya. Hlm.143275. Underwood, J.C.E., 2000. Patologi Umum clan Sistematik. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Wood, J.M, Y. Kawaoka, L.A. Newberry, E. Bordwell, and R.G. Webster, 1985. Standardization of inactivated H5N2 influenza vaccine and efficacy against lethal A. Avian Diseases 29: 68-78.