II 2.1 2.1.1
TINJAUAN PUSTAKA
Gaharu Definisi dan Manfaat Gaharu Gaharu dikenal juga dengan nama eaglewood, aloewood, agarwood, dan
jinkoh (Barden et al. 2000). Gaharu adalah sejenis kayu dengan warna yang khas (coklat-kehitaman) dan memiliki kandungan kadar damar wangi (Dewan Standar Nasional 1999). Gaharu berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu sebagai akibat dari gangguan dan proses infeksi yang terjadi baik secara alami atau buatan pada pohon tersebut, umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Ng et al. 1997). Beberapa jenis pohon Aquilaria yang terbukti bisa menghasilkan gubal gaharu adalah A. agalocha, A. beccariana, A. crassna, A. filaria, A. hirta, A. malaccensis, dan A. microcarpa (Ng et al. 1997; Soehartono & Newton 2001). Gaharu digunakan untuk berbagai tujuan seperti bahan dasar industri parfum, bahan kosmetik, dan obat-obatan (Barden et al. 2000). Cina telah memanfaatkan gaharu sejak ratusan tahun yang lalu sebagai obat sakit perut, penghilang rasa sakit, kanker, diare, cegukan, ginjal, dan tumor paru-paru. Di Eropa gaharu digunakan sebagai obat kanker dan di India digunakan sebagai obat tumor usus. Selain itu gaharu juga digunakan untuk kegiatan keagamaan, seperti yang dilakukan oleh umat Budha, Hindu, dan Islam (Barden et al. 2000; Compton & Ishihara 2006). 2.1.2
Gejala Pembentukan Gubal Gaharu Banyak pendapat yang berkembang mengenai proses pembentukan gaharu.
Menurut Ng et al. (1997) gaharu terbentuk karena adanya pelukaan atau pelukaan yang diikuti infeksi cendawan. Mohamed et al. (2010) menemukan pembentukan gaharu yang wangi pada bekas luka yang disertai adanya miselium cendawan. Namun secara umum cendawan banyak dilaporkan berpengaruh dalam proses pembentukan gaharu (Qi et al. 2005). Gaharu dihasilkan tanaman sebagai respon tanaman terhadap adanya cendawan yang masuk ke dalam jaringan tanaman yang terluka (Qi et al. 2005; Bhuiyan et al. 2009). Gejala umum yang ditimbulkan akibat infeksi cendawan diantaranya terjadi perubahan warna pada daerah yang diinfeksi dan klorosis daun (Putri et al. 2008).
4
Gejala yang terjadi bisa teramati beberapa hari setelah tanaman diinokulasi cendawan. Namun, pada pohon gaharu alam yang terbentuk secara alami dan terinfeksi selama bertahun-tahun perubahan warna kayu terbentuk hampir pada semua bagian kayu tapi terjadinya klorosis daun tidak terlihat lagi, sehingga ketika dilihat secara visual tanaman terlihat sehat (Barden et al. 2000). Cendawan yang masuk ke dalam jaringan tanaman gaharu merupakan benda asing sehingga sel tanaman akan menghasilkan suatu senyawa, sebagai respon terhadap serangan patogen (Bhuiyan et al. 2009). Senyawa tersebut berupa resin berwarna coklat dan beraroma harum (Ng et al. 1997). Senyawa utama gaharu adalah seskuiterpenoid (golongan terpenoid) dan turunan peniletil kromon. Kedua senyawa tersebut berperan dalam menghasilkan aroma wangi khas gaharu. Berbagai jenis senyawa seskuiterpeoid dan peniletil kromon telah berhasil diisolasi dari berbagai kayu gaharu. Kelompok seskuiterpen tersebut diantaranya turunan guia dienal, selina-dienone, dan selina dienot, isopronoid, a-guaiene, ahumulene dan d-guaiene (Ishihara et al. 1991; Qi 1995; Michiho 2005; Bhuiyan et al. 2009; Okudera & Ito 2009). Kelompok peniletil kromon diantaranya 6,7dimethoxy-2- (2-phenylethyl chromonne, dan 6-methoxy-2- [2-(4-methoxyphenyl) ethyl] chromone (Qi 1995; Konishi et al. 2002; Qi et al. 2005; Fudai et al. 2009; Okudera & Ito 2009). Senyawa–senyawa tersebut akan menumpuk pada jaringan xilem dan membentuk aroma wangi gaharu. 2.1.3
Cendawan Penginduksi Gaharu Santoso (1996) menyatakan bahwa ada 17 genus cendawan yang telah
berhasil diisolasi dari gubal gaharu alami yaitu Botryodiplodia, Curvularia, Cercosporella, Chaetomium, Cladosporium, Cythospaera, Diplodia, Fusarium, Pestalotia, Papularia, Phialogeniculata, Phytomyces, Pythium, Rhinocladiella, Rhizoctonia, Spidostibella, dan Trichoderma. Siregar (2009) mengisolasi 6 jenis cendawan (Cladosporium sp, Fusarium sp, Mucor sp, Rhizopus sp, Trichoderma sp, dan Sopulariopsis sp.) di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara. Erari & Ruimassa (2009) menemukan 3 jenis cendawan (Cochliobolus sp, Fusarium lateritum dan Trichoderma sp.) yang berasosiasi dalam pembentukan gubal gaharu di Provinsi Papua. Isnaini et al. (2009) menemukan 3 jenis cendawan (Fusarium spp, Rhizoctania, Trichoderma) di Kep. Lombok. Selain itu Mohamed
5
et al. (2010) berhasil mengisolasi Cunninghamella, Curvularia, Fusarium dan Trichoderma dari bekas patahan tanaman Aquilaria malaccensis. Diantara banyak cendawan yang berhasil diisolasi dari gubal gaharu, Fusarium sp. merupakan cendawan yang paling dominan (Isnaini et al. 2009). 2.2
Fusarium sp. Fusarium sp. termasuk ke dalam kelompok cendawan bermitospora.
Bentuk spora aseksual (konidia) merupakan ciri utama dari cendawan ini. Fusarium sp. memiliki 2 jenis konidia yaitu mikrokonidia memiliki 0-1 septat sederhana yang terdiri atas satu atau dua sel atau makrokonidia yang terdiri atas beberapa sel (2-10 sel) yang berbentuk seperti bulan sabit. Konidia dibentuk di atas monopialid. Selain membentuk makro dan mikro konidia, Fusarium sp. juga membentuk klamidospora ketika kondisi lingkungan dan bahan makan kurang menguntungkan (Groenewald 2005). Selain dapat menginduksi terbentuknya gaharu, Fusarium sp. merupakan cendawan patogen tanaman yang sering menyebabkan berbagai penyakit pada tanaman seperti busuk pangkal batang, tumor akar (root crown), penyakit pembuluh xilem, dan penyakit pasca panen (Wang & Jeffer 2000; Ploetz 2005). 2.3
Patogenesis Patogenesis merupakan proses perkembangan penyakit mulai infeksi sampai
menghasilkan gejala penyakit (Groenewald 2005). 2.3.1
Mekanisme Penetrasi dan Infeksi Patogen Perkembangan penyakit secara umum diawali dengan tahapan pra infeksi
yang mencakup melekatnya spora dan hifa ke permukaan inang, perkecambahan spora, dan pembentukan struktur penetrasi seperti apresorium. Kemudian dilanjutkan dengan tahapan infeksi dan kolonisasi (Prins et al. 2000; Lee & Bostock 2006). Proses pelekatan inokulan merupakan tahapan awal cendawan melakukan kontak dengan permukaan inang yang akan menentukan keberhasilan proses infeksi (Mendgen & Deising 1993). Proses pelekatan dipengaruhi oleh bahan ekstraseluler dan struktur kimia yang dihasilkan cendawan. Penyusun bahan untuk pelekatan cendawan diperkirakan berupa protein serta glukoprotein yang dapat
6
melindungi spora dari metabolit sekunder yang dihasilkan inangnya. Spora yang telah stabil akan berkecambah dengan membentuk tabung kecambah. (Prins et al. 2000; Li et al. 2005; Lee & Bostock 2006). Spora membutuhkan kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembapan yang optimum untuk bisa berkecambah (Prins et al. 2000). Gula dan asam amino yang diekresikan oleh inang dapat mempercepat terjadinya proses perkecambahan (Mendgen & Deising 1993; Prins et al. 2000). Kebanyakan spora bisa langsung berkecambah setelah spora matang dan lepas dari sel pembentukannya, namun beberapa spora lainnya membutuhkan periode dormansi untuk beberapa saat sebelum berkecambah dengan membentuk klamidospora ketika kondisi lingkungan kurang menguntungkan (Groenewald 2005). Proses penetrasi dapat dibagi dua yaitu penetrasi secara aktif dan penetrasi pasif melalui jaringan yang terluka atau terbuka (Prins et al. 2000). Mekanisme penetrasi yang dilakukan oleh cendawan mencakup aktivitas penetrasi secara fisik, enzimatik, dan toksisitas. Mekanisme patogenesis secara fisik terjadi dengan kemungkinan terbentuknya struktur khusus penetrasi seperti apresorium. Apresorium dibentuk pada ujung tabung kecambah sebagai penyangga hifa penetrasi. Terbentuknya apresorium dan hifa penetrasi tergantung pada faktor lingkungan, struktur fisika (hidropobisitas dan topografi) permukaan kayu, dan bahan kimia yang dihasilkan tanaman seperti monomer kutin, etilen, dan lilin (Mendgen & Deising 1993; Dean et al. 1995; Lee & Bostock 2006). Sebagian cendawan akan membentuk apresorium sebelum menembus jaringan inang, namun pada sebagian cendawan tidak membentuk apresorium. Secara umum Fusarium sp. tidak membentuk apresorium (Kang & Buchenenauer 2002 Lagopodi et al. 2002; Kikot et al. 2009). Fusarium oxysporum tidak membentuk apresorium dan tidak mampu menembus permukaan luar tanaman gandum yang masih utuh (Kang & Buchenauer 2002). Ketika cendawan patogen tidak membentuk apresorium, enzim pendegradasi dinding sel diduga berperan dalam proses patogenesis (Mendgen & Deising 1993). Enzim oksidatif dan hidrolitik yang dikeluarkan cendawan berfungsi untuk mengurai dinding sel tanaman menjadi sederhana. Enzim oksidatif merupakan enzim non spesifik yang bekerja melalui mediator bukan protein yang berperan
7
dalam degradasi lignin, sedangkan enzim hidrolitik untuk mendegradasi selulosa dan hemiselulosa yang bekerja pada substrat spesifik (Perez et al. 2002). Enzim perombak lignin tergolong dalam kelompok enzim peroksidase yang mampu mengoksidase gugus non fenolik dalam lignin serta kelompok enzim fenol oksidase yang mampu mengoksidasi gugus δ-dan p-fenol serta gugus aromatik amina menjadi quinon (Hatakka 2001; Lankinen 2004). Contoh enzim peroksidase adalah mangan peroksidase (MnP) mengoksidasi Mn+2 menjadi Mn+3 yang kemudian mengoksidasi unit non fenol menjadi radikal fenoksi. Lignin peroksidase (LiP) yang mengoksidasi unit fenol dan non fenolik lignin melalui pelepasan satu elektron menghasilkan kation dan fenoksi (Hatakka 2001; Lankinen 2004). Sedangkan enzim fenol oksidase dibagi menjadi dua. Kelompok pertama terdiri dari enzim polifenol oksidase, tirosinase, dan katekol oksidase, kelompok kedua adalah enzim lakase (Ogel et al. 2006). Enzim selulase dibagi dalam tiga kelompok yang pertama endoglukanase atau endo-ß-1,4-glukanase (disebut juga Cx, CMC (Carboxymethyl Cellulose)-ase atau 1,4- ß-D-glukan-4-glukanohidrolase), kedua eksoglukanase atau ekso-ß-1,4glukanase, dan yang ketiga 1,4-glukosidase (Lymar et al. 1995; Perez et al. 2002). Enzim endoglukanase menghidrolisis molekul selulosa secara acak dan menyerang disembarang lokasi dan menghasilkan oligosakarida dengan fragmen yang berbeda membentuk ujung rantai baru (Lynd et al. 2002). Enzim eksoglukanase bekerja terhadap lokasi khusus dekat ujung yang tidak tereduksi dan menghasilkan fragmen dengan bobot molekul yang rendah, melepaskan unitunit selobiosa atau glukosa dari ujung selulosa yang tidak tereduksi seperti ß-1,4glukan selobiohidrolase. Endo dan eksoglukanase berperan dalam perombakan selulosa pertama karena menyukai selulosa dengan bobot tinggi, yang akan menghasilkan molekul selobiosa. Hidrolisis selulosa secara efektif memerlukan enzim 1,4-glukosidase (Perez et al. 2002). Fusarium spp. dapat menghasilkan berbagai jenis enzim lignoselulase. Diantaranya Fusarium oxysporum dapat menghasilkan enzim fenol oksidase, lignin peroksidase dan selulase (Tamuli et al. 2008; Ramanathan et al. 2010).
8
Cendawan kadang menghasilkan senyawa toksin yang disekresikan saat penetrasi jaringan inang untuk merubah fisiologi tanaman dan mengganggu permeabilitas dinding sel tanaman (Bushnell 1995). Terganggunya permeabilitas sel tanaman akibat ikatan toksin pada membran sel menyebabkan kerusakan struktur membran (Bushnell 1995). Kebanyakan toksin merupakan senyawa sekunder berbobot molekul rendah yang dikeluarkan secara ekstraseluler oleh cendawan (Prins et al. 2000). Beberapa jenis toksin yang dihasilkan Fusarium spp. diantaranya enniatin, fumonisin, sambutoksin, dan trikotesen (Kim et al. 1995; Hermann et al. 1996; Seo et al. 1996; Kang & Buchenenauer 2002; Langevin et al. 2004). Cendawan juga bisa menghasilkan zat pengatur tumbuh (ZPT) yang bisa mengganggu perkembangan tanaman seperti asam absisat (ABA), etilen, dan auksin (Prins et al. 2000; Groenewald 2005). ZPT dalam konsentrasi tinggi bisa menyebabkan pertumbuhan abnormal inang yang menguntungkan pertumbuhan patogen, seperti ABA yang dihasilkan cendawan patogen pada umbi kentang dapat menghambat akumulasi fitoaleksin risitin dan albumin (Prins et al. 2000). Struktur polisakarida dinding sel cendawan juga bisa mengganggu permeabiltas sel tanaman dan menginduksi terbentuknya fitoaleksin pada tanaman inang. Infeksi merupakan tahapan cendawan yang berada pada kondisi stabil dan menetap di dalam sel atau jaringan inang dan memperoleh nutrisi dari inangnya. Cendawan membentuk hifa infeksi setelah cendawan masuk ke dalam sel inang. Hifa infeksi merupakan perpanjangan hifa penetrasi. Pada beberapa cendawan setelah terbentuk hifa penetrasi terbentuk vesikel dan selanjutnya membentuk hifa infeksi. Terakhir cendawan akan menghasilkan haustorium agar dapat memanfaatkan nutrisi sel inang (Mendgen & Deising 1993). Secara umum Fusarium spp. tidak membentuk struktur seperti haustorium (Kikot et al. 2009). Setelah proses infeksi, cendawan melakukan kolonisasi dengan berkembang atau memperbanyak diri, atau dua-duanya dalam jaringan tanaman (Prins et al. 2000; Lee & Bostock 2006). Berdasarkan sifat patogenesis dan interaksinya dengan sel inang, cendawan dikategorikan menjadi dua kelompok yaitu cendawan nekrotof dan biotrof.
9
Cendawan nekrotrof akan menyebabkan kematian inangnya ketika cendawan mengkolonisasi sel inang. Cendawan biotrof merupakan cendawan yang memanfaatkan nutrisi dari sel tanaman yang masih hidup, sehingga perlu untuk menjaga kelangsungan hidup sel tanaman dalam periode waktu yang lama. Pada cendawan biotrof, jaringan terinfeksi sering menjadi „sink‟ metabolit yang mengubah arah pergerakan fotosintat dari bagian lain ke jaringan terinfeksi. (Mendgen & Deising 1993). Sedangkan cendawan biotrof yang dapat ditumbuhkan pada media sintetik termasuk kedalam kelompok hemibiotrof (Mendgen & Deising 1993; Cooke 1978). Proses kolonisasi bisa hanya terjadi pada daerah antara kutikula dan epidermis (kolonisasi subkutikula), terdapat pada permukaan tanaman tapi mengirim haustoria ke dalam semua jaringan tanaman yang diinfeksinya, atau berkembang diantara sel tanaman dengan miselium interseluler. Sedangkan pada Fusarium sp. yang menyebabkan vascular wilt, cendawan menyerang jaringan pembuluh xilem secara sistemik menembus pori yang terdapat dalam jaringan xilem, kemudian berkembang ke jaringan parenkima. Mikrokonidia akan terbentuk dalam jaringan tersebut (Groenewald 2005). 2.3.2
Mekanisme Pertahanan Tanaman dari Serangan Patogen Secara umum tumbuhan akan memberikan respon terhadap serangan
patogen dan respon tersebut akan bertanggung jawab terhadap resistensi tanaman terhadap patogen. Tanaman akan mempertahankan diri dengan dua cara, pertama dengan adanya sifat-sifat struktural pada tanaman yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan akan menghambat patogen untuk masuk dan menyebar di dalam sel tanaman. Kedua respon biokimia berupa reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tanaman sehingga patogen dapat mati atau terhambat pertumbuhannya (Groenewald 2005). Permukaan tanaman merupakan penghalang struktural pertama patogen. Patogen harus bisa menembus penghalang tersebut sebelum menyebabkan infeksi. Struktur-struktur seperti lapisan lilin dan bulu-bulu halus mencegah terbentuknya lapisan air dan mencegah patogen berkecambah dan memperbanyak diri. Kutikula yang menutupi sel epidermis menghalangi terjadinya penetrasi secara langsung. Dinding sel tersusun atas selulosa yang berikatan kuat dengan hemiselulosa dan
10
lignin menghambat proses infeksi (Perez et al. 2002). Kematian sel atau jaringan yang terserang oleh patogen dapat melindungi tanaman dari serangan selanjutnya. Kejadian tersebut disebut nekrotik atau reaksi pertahanan hipersensitif (hypersensitive defense reaction). Sel dan jaringan inang akan bereaksi terhadap kerusakan, baik yang disebabkan oleh patogen atau karena mekanik dan kimia melalui serangkaian reaksi biokimia untuk mengisolasi gangguan dan menyembuhkan luka (Mert-Turk 2002). Ketahanan biokimia dapat disebabkan oleh senyawa penghambat patogen yang memang telah dibentuk dalam metabolisme tanaman walaupun tidak terjadi serangan patogen atau senyawa penghambat patogen yang terbentuk ketika adanya serangan patogen yang disebut fitoaleksin (Mert-Turk 2002). Senyawa fitoaleksin adalah senyawa antimikrob dengan berat molekul rendah yang dihasilkan tanaman setelah terjadi gangguan (Mert-Turk 2002). Setiap tanaman menghasilkan fitoaleksin yang berbeda. Fitoaleksin dihasilkan oleh sel sehat yang berdekatan dengan sel-sel rusak dan nekrotik untuk mencegah patogen berkembang. Fitoaleksin yang terbentuk bisa berupa senyawa fenolik, alkaloid, atau terpenoid (Zwenger & Basu 2008). Akumulasi fitoaleksin dipicu oleh molekul abiotik atau biotik yang disebut elisitor (Mert-Turk 2002). Pada cendawan, elisitor bisa berupa struktur polisakarida dinding sel cendawan. Inokulasi cendawan pada tanaman gaharu dapat menginduksi terbentuknya senyawa pertahanan berupa seskuiterpenoid yang merupakan kelompok terpenoid (Ishihara et al. 1991; Qi 1995; Michiho 2005; Bhuiyan et al. 2009; Okudera & Ito 2009). Serangan dan infeksi cendawan dapat mengganggu proses fisiologis dan morfologi tanaman (Nieamann & visintini 2005; Lee & Bostock 2006). Berdasar kan perluasan gejala yang terjadi dikenal gejala lokal dan gejala sistimetik (Christiansen et al. 1999). Gejala lokal adalah gejala yang hanya terdapat di daerah inokulasi primer. Sedangkan gejala sistemik adalah gejala yang terjadi jauh dari derah inokulasi.
11
2.4
Studi Sitologi Patogenesis Studi sitologi interaksi patogen inang dapat dipelajari menggunakan
mikroskop konfokal, mikroskop cahaya, atau mikroskop elektron (Kunoh 1995). Mikroskop konfokal bisa digunakan untuk mengamati terjadinya perubahanperubahan ultrastruktur dan komposisi di dalam sel tanaman inang secara langsung (Kunoh 1995). Mikroskop konfokal bisa membedakan struktur antar organel sel dengan sangat baik. Namun studi dengan cara ini memiliki kelemahan karena kadang sukar untuk memperoleh gambar sel terinfeksi yang berbeda dengan sel yang sehat. Sel yang terserang patogen atau sel yang tidak diserang patogen kadang memiliki arsitektur sel yang sama (Kunoh 1995). Studi histopatologi dan histokimia merupakan salah satu pendekatan studi sitologi. Studi ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai perilaku patogen dalam sel inang sekaligus dapat memberikan dasar pengetahuan mengenai respon fisiologi untuk penelitian selanjutnya ditingkat molekuler (Kunoh 1995). Studi histopatologi dapat digunakan untuk mempelajari perkembangan patogen di dalam jaringan-jaringan inang dan studi histokimia dapat digunakan untuk mempelajari terbentuknya akumulasi senyawa pertahanan sebagai respon terhadap serangan cendawan. Uji histokimia terbentuknya senyawa terpenoid
dapat
dilakukan
dengan
menggunakan
tembaga
asetat
yang
menyebabkan senyawa terpenoid menjadi bewarna coklat kekuningan (Martin et al. 2002). Pengamatan struktur cendawan di dalam sel menggunakan mikroskop cahaya atau mikroskop elektron memerlukan proses preparasi terlebih dahulu. Preparasi yang dilakukan bisa dengan mewarnai sel cendawan sehingga dapat dibedakan dengan sel tanaman atau dengan melakukan fiksasi agar sel cendawan tidak berubah. Metode pewarnaan cendawan merupakan metode yang memanfaatkan zat pewarna (staining) untuk mewarnai dinding sel cendawan. Pewarna yang digunakan diantaranya lactofenol blue, biru tripan dan chlorazol black E. Pewarna tersebut akan bereaksi dengan dinding sel cendawan baik cendawan yang masih hidup atau yang sudah mati (Waller 2002). Penggunaan mikroskop elektron seperti mikroskop pemindai elektron (SEM) bisa digunakan
12
untuk studi detil arsitektur permukaan sel. SEM tidak memerlukan sampel yang ditipiskan, sehingga bisa digunakan untuk melihat obyek dari sudut pandang 3 dimensi. Sebelum dilakukan pengamatan menggunakan SEM dilakukan preparasi terlebih dahulu agar tidak terjadi perubahan arsitektur dari sel tanaman atau cendawan (Flegler et al. 1993).