6
TINJAUAN PUSTAKA Gaharu Gaharu merupakan produk hasil hutan non kayu yang sangat berharga. Dalam SNI 01-5009.1-1999 (BSN 1999), gaharu didefinisikan sebagai sejenis kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon dalam berbagai bentuk dan warna yang khas dan memiliki kandungan damar wangi, sebagai akibat dari suatu proses infeksi yang terjadi secara alami maupun buatan pada beberapa jenis pohon penghasil gaharu. Di tingkat internasional, harga gubal gaharu kualitas double super yang ditandai warna kehitaman dapat mencapai Rp 25 juta per kilogram (GSA 2005). Produk ini dihasilkan terutama oleh pohon-pohon dari genus Aquilaria, Aetoxylon, Enkleia, Phaleria, Wilkstroemia, dan Gyrinops, family Thymeleacea. Genus Aquilaria dan Gyrinops sejak tahun 2004 telah masuk dalam Appendix II CITES karena sumber dayanya yang berkurang di alam (Blanchette 2006; CITES 2004; Sumarna 2005a; Suhartono dan Mardiastuti 2002; Barden et al. 2000). Departemen Kehutanan telah menetapkan kuota ekspor gaharu sebesar 130 ton/tahun dengan perincian 30 ton/tahun untuk gaharu dari bagian barat Indonesia (genus Aquilaria) dan 100 ton/tahun untuk gaharu dari Indonesia timur (genus Aquilaria dan Gyrinops) (Direktorat Jenderal PHKA 2007), karena adanya kekhawatiran punahnya spesies penghasilnya di Indonesia. Gaharu ini sebenarnya merupakan endapan resin yang terakumulasi pada jaringan kayu sebagai reaksi pohon terhadap pelukaan atau infeksi patogen. Kayu gaharu yang dijuluki ‘kayu para dewa’ ini telah diperdagangkan sejak ratusan tahun lalu. Di Indonesia, perdagangan gaharu pertama kali tercatat sejak abad ke5 masehi, dimana China merupakan pembeli utama produk ini (Suhartono dan Mardiastuti 2002). Gaharu diperdagangkan dalam bentuk bagian kayu (cip, bongkahan, atau bentuk tak beraturan), serbuk, dan minyak hasil sulingan. Perdagangan produk dalam bentuk cair biasanya sangat jarang di Indonesia.
Warna bagian kayu
bervariasi dari coklat terang hingga coklat gelap mendekati hitam. Semakin gelap warna produk, semakin tinggi kandungan resin dan kualitasnya.
Sedangkan
7
produk berbentuk serbuk biasanya berwarna coklat terang hingga coklat (BSN 1999; Suhartono dan Mardiastuti 2002). Pemerintah Indonesia membedakan kualitas gaharu ke dalam tiga belas kelas mutu yang dikelompokkan menjadi tiga sortimen (BSN 1999). Namun, dalam pasar lokal dan mungkin juga dalam perdagangan internasional, produk ini dibagi menjadi enam hingga delapan kelas kualitas tergantung daerahnya. Klasifikasi dibuat berdasarkan kandungan resin, meskipun tidak terdapat standar formal kandungan resin untuk setiap kelas (Suhartono dan Mardiatuti 2002). Tabel 1 Klasifikasi kualitas gaharu 1.
2.
3.
Tanda mutu Sortimen gubal gaharu U I II Sortimen kemedangan I
Kelas kualitas
Nama kualitas gaharu
Mutu Utama Mutu pertama Mutu kedua
Mutu super Mutu AB Sabah super
Mutu pertama
II II IV V VI VII Sortimen abu gaharu U I II
Mutu kedua Mutu ketiga Mutu keempat Mutu kelima Mutu keenam Mutu ketujuh
Tanggung A/tanggung kemedangan 1 Sabah 1 Tanggung AB Tanggung C Kemedangan 1 Kemedangan 2 Kemedangan 3
Mutu utama Mutu pertama Mutu kedua
Mutu utama Mutu pertama Mutu kedua
Sumber: BSN (1999)
Aquilaria spp. Pohon-pohon penghasil gaharu termasuk dalam family Thymeleacea. Family ini terdiri dari Gonystyloideae, Aquilariodeae, Thymelaeiodeae, dan Gilgiodaphniodeae.
Salah satu genus dalam famili Thymeleacea yang
menghasilkan gubal gaharu kualitas terbaik dengan permintaan pasar yang cukup tinggi adalah Aquilaria. Aquilaria termasuk jenis cepat tumbuh yang dapat memulai pertumbuhan generatifnya pada umur awal empat tahun (Anonim 2002). Jenis-jenis ini tersebar di Asia Selatan dan Asia tenggara, dari kaki bukit
8
Pegunungan Himalaya hingga di hutan hujan di Papua New Gunea, dan dapat tumbuh mulai dari ketinggian beberapa meter hingga 1.000 m dpl dengan pertumbuhan terbaik di sekitar 500 m dpl. Aquilaria dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah, bahkan pada tanah marjinal. Tabel 2 Jenis-jenis Aquilaria yang menghasilkan gaharu Negara/daerah Asia Selatan Indonesia
Indochina -
Jenis Aquilaria Aquilaria agalocha Aquilaria malaccensis, A. beccariana, A. cummingiana, A. filarial, A. hirta, A. microcarpa Aquilaria crassna Aquilaria grandiflora Aquiaria chinensis
Sumber: Anonim (2002); Wiriadinata dan Sidiyasa dalam Suhartono dan Mardiastuti (2002)
Sumarna (2005b) menyebutkan Indonesia memiliki kekayaan 27 species penghasil gaharu dari 8 genus dan 3 famili, yang tersebar di di hutan dataran rendah dan tinggi di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Irian.
Habitat
tanaman ini biasanya tersebar di wilayah hutan primer dan sekunder 0 – 700 m dpl, dengan curah hujan 1.500-6.500 mm/tahun, suhu 22 – 34 °C, Rh : 70 – 80 %. Pohon Aquilaria merupakan pohon yang hijau selama hidupnya (evergreen), tumbuh dengan tinggi tanaman mencapai 15 - 40 m dengan diameter 0,5 – 2,5 m (Hayne 1987). Kayu yang sehat (kayu tanpa resin) berwarna putih cerah dan lunak; sedangkan kayu yang mengandung resin berwarna gelap, keras dan berat. Daunnya berbentuk elips atau lanceolate, berukuran lebar 3-3,5 cm dan panjang 6-8 cm, serta memiliki 12-16 pasang tulang daun.
Bunganya hermaproditik
dengan warna kuning kehijauan atau putih, panjang mencapai 5 cm. Buah dari pohon ini berwarna hijau berbentuk kapsul telur dengan panjang 4 cm dan lebar 2,5 cm; exocarp dan berambut halus; terdapat dua benih per buah (Adelina 2004).
9
Aquilaria crassna Aquilaria crassna memiliki klasifikasi dan nama ilmiah sebagai berikut (The IUCN Red List of Treatened Species 2007): Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Class
: Dicotyledoneae
Ordo
: Myrtales
Famili
: Thymeleacea
Genus
: Aquilaria
Species
: Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte
Penghasil gaharu ini dapat mencapai tinggi 15 – 20 m dan diameter 40 – 50 cm, dengan tajuk yang kecil dan batang yang lurus. Jenis ini dapat ditemukan di berbagai tipe hutan, hutan primer ataupun hutan sekunder, pada daerah dengan ketinggian 300 – 800 m dpl dan curah hujan 1.200 – 2.000 mm/ tahun. Tumbuhan ini tumbuh pada berbagai tipe tanah, tapi cenderung lebih baik pada tanah berbatu dengan lapisan tanah ferralitic yang dangkal (Loc dan Luu 2007; Jensen 2007). A. crassna mulai berbunga pada usia 6-8 tahun, antara bulan Maret dan April, dan berbuah antara bulan Mei – Juli. Jenis ini mengalami penyerbukan dengan bantuan serangga. Dengan sekitar 4.500 benih per kg dan tingkat perkecambahan mencapai 80-90%, maka seharusnya tidak terdapat masalah dalam pembudidayaan jenis ini.
Pohon penghasil gaharu ini merupakan jenis yang
membutuhkan naungan pada saat awal pertumbuhan tapi memerlukan cahaya matahari untuk pertumbuhan selanjutnya (Loc dan Luu 2007; Jensen 2007). Aquilaria microcarpa Aquilaria microcarpa merupakan tanaman dalam family Thymelaeaceae yang ditemukan di Indonesia dan Singapura. Seperti halnya spesies dalam genus Aquilaria yang lain, pemanfaatan dan perdagangan produk dari jenis ini dibatasi karena termasuk dalam status konservasi vulnerable dan tercantum dalam Appendix II CITES.
Jenis penghasil gaharu ini tersebar di Semenanjung
Malaysia, Sumatra (Sijunjung, Palembang, dan Lampung), Bangka, Belitung, dan hampir di seluruh pulau Kalimantan. A. microcarpa tumbuh pada hutan dataran rendah hingga daerah dengan ketinggian 200 m dpl (CITES 2004).
10
Klasifikasi dan nama ilmiah A. microcarpa adalah sebagai berikut (GRIN 2008): Divisio
: Spermatophyta
Sub divisio
: Angiospermae
Class
: Magnoliopsida
Ordo
: Thymelaeales
Famili
: Thymeleacea
Genus
: Aquilaria
Species
: Aquilaria microcarpa Baill
Kandungan Kimiawi Gaharu Gubal gaharu sebenarnya adalah resin yang tidak dieksudasikan, melainkan terdeposit dalam jaringan kayu pada pohon. Deposit resin ini mengakibatkan kayu yang seratnya lepas dan berwarna putih berubah menjadi kompak padat berwarna hitam serta wangi.
Resin ini termasuk golongan sesquiterpena yang mudah
menguap (Ishihara et al. 1991). Sebagian besar komponen dalam gaharu teridentifikasi sebagai golongan sesquiterpenoid. Salah satu komponen wangi utama dari gaharu yang pertama diidentifikasi oleh Bhattacharyya dan Jain adalah agarol yang merupakan senyawa monohidroksi (Prema dan Bhattacharyya 1962). Penelitian Nakanishi berhasil mengkarakterisasi jinkohol (2β-hydroxy-(+)prezizane) dari gaharu asal Indonesia melalui ekstraksi benzene. Tim ini juga menemukan dua sesquiterpena baru dari Aquilaria malaccensis asal Indonesia, yaitu jinkoh eremol dan jinkohol II yang disebut sebagai tipe B untuk membedakannya dengan tipe A dari A. agallocha, serta mengisolasi alphaagarofuran dan (-)-10-epi-gamma-eudesmol, oxo-agarospirol sebagai konstituen utama pada gaharu tipe B (Burfield 2005a). Dalam Burfield (2005a) disebutkan bahwa Yoneda telah berhasil mengidentifikasi sesquiterpena utama yang terdapat pada gaharu tipe A (pada A. agallocha) dan tipe B (pada A. malaccensis). Tipe A ditemukan mengandung βagarofuran 0,6%, nor-ketoagarofuran 0,6%, agarospirol 4,7%, jinkoh-eremol 4,0%, kusunol 2,9%, dihydrokaranone 2,4%, dan oxo-agarospirol 5,8%.
11
Sedangkan pada tipe B, teridentifikasi senyawa-senyawa α-agarofuran(-)-10-epiγ -eudesmol 6,2%, agarospirol 7,2%, jinkohol 5,2%, jinko-eremol 3,7%, kusunol 3,4%, jinkohol II 5,6%, dan oxo-agarospirol 3,1%.
Gambar 1 Beberapa struktur kimia komponen gaharu. Yagura et al (2003) menemukan turunan kromone baru, yaitu 5-hydroxy-6methoxy-2-(2-phenylethyl) chromone,
chromone,
6-hydroxy-2-(2-hydroxy-2-phenylethyl)
8-chloro-2-(2-phenylethyl)-5,6,7–trihydroxy-5,6,7,8-
tetrahydro
chromone, dan 6,7-dihydroxy-2-(2-phenylethyl)-5,6,7,8-tetrahydrochromone yang diisolasi dari ekstrak MeOH kayu buangan Aquilaria sinensis, disamping tujuh komponen gaharu lainnya yang telah dikenal.
Budidaya dan Pembentukan Gaharu Sampai saat ini, gaharu masih dihasilkan dari populasi di hutan alam. Permintaan gaharu yang semakin tinggi telah menyebabkan eksploitasi yang berlebihan dan akhirnya memicu langkanya sumber daya penghasil gaharu di alam.
Tercantumnya dua genus utama penghasil gaharu dalam Appendix II
CITES (CITES 2004) menyebabkan ditetapkannya kuota bagi ekspor produk ini. Kuota ditetapkan Departemen Kehutanan pada tahun 2007 sebesar 130 ton/tahun (Direktorat Jenderal PHKA 2007). Penelitian Suhartono dan Newton (2001) menyebutkan terdapat dua teknik pemungutan gaharu di alam, yaitu tebang langsung dan mengerik/mengikis bagian batang yang terinfeksi tanpa menebang. Observasi yang dilakukan menunjukkan frekuensi Aquilaria spp. yang ditebang di Kalimantan Timur lebih tinggi dibandingkan di Kalimantan Barat dan Sumatra timur (Riau), dimana di Kalimantan timur empat pohon ditebang per hari.
12
Pemburu-pemburu gaharu menentukan suatu pohon mengandung akumulasi resin hanya berdasarkan pengalaman.
Seringkali pohon yang telah ditebang
ditinggalkan terbengkalai begitu saja karena ternyata sama sekali tidak mengandung apa yang dicari. Sampai saat ini tidak ada suatu ciri morfologi tertentu yang dengan sangat pasti menunjukan suatu pohon mengandung gaharu dalam kuantitas dan kualitas tertentu. Beberapa penelitian budidaya dan produksi gaharu buatan telah dimulai sejak lama.
Pemerintahan Indonesia melalui Departemen Kehutanan telah
mewajibkan setiap eksportir gaharu membudidayakan pohon gaharu di lahan seluas minimal dua hektar. Di Indonesia tercatat terdapat 28 perusahaan di bidang gaharu ini (GSA 2005). Budidaya tanaman penghasil gaharu telah banyak dilakukan, baik oleh perorangan, perusahaan swasta maupun lembaga penelitian dan pengembangan. Propagasi tanaman penghasil gaharu dapat dilakukan secara generatif (benih) maupun vegetatif (anakan alam, stump atau cabutan, stek pucuk), dan dapat juga dikembangkan dalam kultur vegetatif (Sumarna 2005b). Budidaya ideal adalah pada kawasan dengan intensitas cahaya masuk sekitar 60 %, seperti pada hutan campuran, bekas tebangan, HTI daur panjang, Hutan Rakyat, atau dalam pola diversifikasi dengan kebun karet rakyat, kelapa sawit, dan lain-lain. Konservasi ex-situ sumber genetik A. malaccensis dan A. microcarpa telah dilakukan pada tiga lokasi masing-masing di Pekanbaru (50 m dpl), Bogor (200 m dpl) dan Tondano (600 m dpl) dengan menanam 1.000 bibit yang berasal dari klon-klon teridentifikasi hasil mikropropagasi. Hasil percobaan seleksi 80 pohon dengan menggunakan inokulum tunggal F menunjukkan bahwa 33% pohon A. malaccensis (8 dari 24 pohon) dan 24% pohon A. microcarpa (13 dari 54 pohon) berpotensi menghasilkan gaharu (Umboh 2006). Menurut Sumarna (2005a), gaharu potensial yang ditanam sudah dapat diinokulasi mikroba untuk pembentukan gubal pada umur lima tahun atau pada saat telah terbentuk organ reproduktif (berbunga dan berbuah). Suatu penelitian lembaga nonprofit, The Rainforest Project Foundation, mempelajari pembentukan resin pada Aquilaria dan Gyrinops serta menemukan metode untuk menghasilkan resin pada tanaman gaharu budidaya.
Teknik yang dilakukan adalah dengan
13
melukai pohon dengan cara-cara tertentu dan memberi perlakuan untuk memicu respon pertahanan alami pohon.
Penggunaan teknik ini akan mendukung
dihasilkannya resin secara berkelanjutan dari pohon budidaya (Blanchette 2006). Baik pada habitat alaminya di hutan tropis maupun di hutan tanaman/ budidaya, tidak semua pohon mengandung gaharu dan mekanisme pembentukan alaminya terjadi sangat lambat. Ciri-ciri visual pada pohon seperti bentuk tajuk yang tidak sehat, daun merana dan menguning, batang dan kulit mengering atau patah, tidak menjamin kandungan yang dimiliki pohon tersebut secara pasti. Di habitat alami, diperkirakan hanya satu dari sepuluh pohon dewasa dengan diameter di atas 20 cm yang menghasilkan gaharu (Giano diacu dalam Barden et al. 2000).
Disebutkan juga bahwa pohon dengan dbh di atas 20 cm yang
mengandung gaharu diperkirakan menghasilkan sekitar 1 kg gaharu per pohon. Sadgopal (Barden et al. 2000), memperkirakan hasil gaharu yang terbaik diperoleh pada pohon berumur 50 tahun atau lebih.
Penelitian terbaru yang
dilakukan oleh The Rain Forest Project (TRP) di Vietnam menunjukkan pembentukan gaharu dapat terjadi pada pohon budidaya berumur 3 tahun, yang telah dikonfirmasi berdasarkan analisis kimia (Barden et al. 2000). Mekanisme pembentukan gaharu masih menjadi pertanyaan yang belum terjawab tuntas. Interaksi ekologis antara pohon inang, pelukaan dan/atau jamur dalam pembentukan gaharu masih belum dipahami. Faktor-faktor lain seperti umur pohon, perbedaan antar pohon, pengaruh musim, variasi lingkungan, dan variasi genetik juga berperan penting dalam pembentukan gaharu. Tiga hipotesis disebutkan sebagai penyebab terbentuknya gaharu, yaitu hasil dari patologis, pelukaan yang diikuti patologis, dan proses nonpatologis. Namun begitu, penelitian yang dilakukan masih belum memberi cukup bukti untuk mendukung hipotesis tersebut (Ng et al diacu dalam Barden et al. 2000). Patogenesis pada tumbuhan adalah pertarungan antara inang dengan patogen yang kompatibel, yang menurut Agrios (1997) keberhasilan proses infeksi oleh suatu patogen sehingga dapat menginduksi gaharu di pengaruhi oleh: 1. Inang yang rentan, yaitu jenis pohon gaharu. 2. Patogen yang virulen, artinya organisme patogen yang potensial menyebabkan penyakit pada pohon inang gaharu.
14
3. Lingkungan yang mendukung. 4. Peranan manusia memodifikasi lingkungan, patogen dan pohon inang. Beberapa ahli lain berpendapat pelukaan dan perlakuan mekanis pada pohon merupakan pemicu terbentuknya gaharu, yang kemudian diikuti aktivitas mikroba (Van Beek diacu dalam Barden et al. 2000; Pojanagaroon dan Kaewrak 2006), sementara yang lain berpendapat asosiasi mikroorganisme yang menstimulasi pohon merespon dengan senyawa pertahanan (Prema dan Bhattacharyya 1962; Burfield 2005a; Sumarna 2005b). Tabel 3 Cendawan yang berasosiasi dengan pohon gaharu Peneliti yang mengisolasi Bose (1939) Battcaharrya (1952) Guangdong Institut of Botany (1976) Jalaluddin (1977) Subansenee et al. (1985)
Parman et al. (1996); Santoso (1996); Rahayu et al. (1998)
Hawksworth et al. (1976); Gibson (1977) Tamuli et al. (1999) Tamuli et al. (2000)
Jenis cendawan Cendawan imperfekti Epicoccum granulatum Melanotus flavolinus Cytosphaera mangiferae, Penicillium, Aspergillus, Fusarium Cercosporella, Chaetomium, Cladosporium, Curvularua, Diplodia, Pestalotia, popularia, Phialogeniculata, Pithomyces, Rhizopus, Spiculostillella, Trichoderma Diplodia sp., Phytium sp., Fusarium solani, F. lateritium, F. bulbigenum, Popularia sp., Rhinocladiella sp., Rhizoctonia sp., Acremonium, Libertella, Scytalidium, Thielaviopsis, Trichoderma Philophora parasitica Fusarium sp., Penicillium sp., Epicoccum sp. Fusarium oxysporum, Chaetum globosum
Disarikan dari Isnaini (2004) dan Burfield (2005b)
Pojanagaroon dan Kaewrak (2006) menstimulasi pembentukan gaharu pada A. crassna dengan perlakuan berbagai metode mekanis, dan menunjukan semakin lama waktu proses akan menyebabkan warna pada daerah infeksi menjadi semakin gelap.
Semakin besar objek yang digunakan untuk melukai pohon,
semakin luas daerah yang mengalami perubahan warna. Pembentukan perubahan warna di daerah pelukaan terjadi tiga kali lebih cepat di musim hujan dibandingkan di musim kering.
15
Zat Ekstraktif Kayu Metabolit sekunder dalam pohon meliputi berbagai senyawa, seperti flavanoid, terpena, fenol, alkaloid, sterol, lilin, lemak, tanin, gula, gum, suberin, asam resin, dan karotenoid. Komponen ini bukan merupakan bagian struktural kayu seperti polisakarida atau lignin.
Kandungan metabolit sekunder sangat
bervariasi antar jaringan, antar pohon dalam spesies yang sama, antar spesies, dan antar musim ke musim. Jenis-jenis tropis dan sub-tropis umumnya mengandung jumlah ekstraktif yang lebih banyak dibanding jenis-jenis di daerah temperet. Konsentrasi metabolit ini bervariasi antar spesies, antar jaringan (konsentrasi tertinggi berada di kulit, kayu teras, akar, pangkal percabangan, dan jaringan luka), antar pohon dalam spesies yang sama, dan antar musim (Forestry Commission GIFNFC 2007). Produksi dan akumulasi berbagai senyawa organik merupakan mekanisme utama pertahanan tanaman terhadap herbivora, serangan mikroba penyakit, dan hama. Senyawa-senyawa tersebut merupakan hasil metabolisme sekunder tanaman. Di samping berperan sebagai senyawa pertahanan tanaman, metabolit sekunder atau zat ekstraktif ini juga merupakan sinyal kimiawi untuk menarik binatang dalam membantu penyerbukan dan penyebaran benih.
Misalnya,
antosianin dan monoterpena jika berada di daun berperan sebagai insektisida dan antimikrobial, namun pada bunga berperan sebagai atraktan serangga untuk membantu penyerbukan (Forestry Commission GIFNFC 2007). Metabolit sekunder pada kayu dapat disebut sebagai zat ekstraktif. Zat ekstraktif didefinisikan sebagai senyawa-senyawa yang dapat diekstrak dari kayu atau kulit kayu dengan pelarut polar dan non polar (Hills 1987). Zat ekstraktif yang terdiri dari bermacam-macam bahan ini memiliki fungsi yang penting dalam daya tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi bau, rasa dan warna pada kayu. Zat ekstraktif berpengaruh dalam ketahanan alami pada kayu (Findlay 1978). Beberapa kayu dari hutan tropis mengandung zat ekstraktif yang bersifat racun, seperti alkaloid yang dapat menyebabkan iritasi dan gatal-gatal bagi orang yang menyentuhnya. Zat ekstraktif pada kayu teras dapat menjadi pertahanan pohon terhadap agen perusak meskipun pengaruhnya sangat bervariasi pada
16
berbagai habitat (Hills 1987). Rowell (1984) menyatakan bahwa diantara fungsi zat ekstraktif adalah sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon terhadap serangan mikroorganisme. Metabolit sekunder tanaman efektif dalam melawan hama dan agen penyakit karena analog dengan komponen vital tertentu dari sistem sinyal seluler, atau dapat terlibat dengan enzim vital dan memblokir jalur metabolisme. Metabolit sekunder tanaman telah dimanfaatkan manusia sejak ribuan tahun lalu, misalnya saja untuk penyamak (indigo, sikonin), pemberi rasa (vanilin, kapsaicin), pewangi (minyak esensial), stimulan (kafein, nikotin), halusinogen (morfin, tetrahidrokanabinol), racun (strikniin), dan obat-obatan (kuinin, atropin) (Forestry Commission GIFNFC 2007). Achmadi (1989) menggelompokkan zat ekstraktif menjadi dua yaitu fraksi lipofilik dan fraksi hidrofilik. Fraksi lipofilik adalah lemak, lilin, terpena, terpenoid dan alkohol alifatik tinggi, sedangkan yang termasuk fraksi hidrofilik adalah senyawa fenolik (tanin, lignan dan stilbena), karbohidrat terlarut, protein, vitamin, dan garam anorganik. Sjostrom (1995) menyatakan bahwa secara kimiawi ekstraktif kayu dapat digolongkan menjadi tiga bagian, yaitu komponen alifatik, terpena dan terpenoid, serta senyawa fenolik.
Komponen-komponen alifatik merupakan kelompok
lemak dan lilin. Termasuk dalam kelompok ini adalah berbagai macam senyawa alifatik yang terdapat dalam resin seperti n-alkana, alkohol lemak, asam lemak, lemak (ester gliserol), lilin (ester dari alkohol), dan suberin. Kelompok alkana bersifat lipofilik dan mantap. Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester dan merupakan komponen utama resin parenkim di dalam kayu daun jarum maupun daun lebar. Ester dan alkohol lain biasanya berupa alkohol alifatik atau terpenoid alami, yang dikenal sebagai lilin. Terpena dalam kelompok kedua merupakan hasil kondensasi dari dua atau beberapa unit isoprena (C5H8) yang menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Rumus umum terpena adalah (C5H8)n. Menurut jumlah unit isoprena (n), terpena dikelompokkan lagi menjadi monoterpena (n=2), seskuiterpena (n=3), diterpena (n=4), triterpena (n=6), tetraterpena (n=8) dan politerpena (n>8). Terpena adalah hidrokarbon murni, sedangkan terpenoid mengandung gugus
17
fungsi seperti hidroksil, karbonil, karboksil atau ester. Contoh dari terpenoid adalah poliprenol. Ekstraktif kayu daun jarum mengandung semua jenis terpena, dari monoterpena sampai tri dan tetraterpena, kecuali seskuiterpena yang tergolong sangat langka. Sesquiterpenoid merupakan kandungan senyawa yang teridentifikasi pada gaharu. Terpena yang paling penting adalah α-pinena dan limonena yang terdapat pada semua kayu daun jarum. Beberapa monoterpena merupakan unsur pokok oleoresin dari beberapa kayu tropika.
Fenolik dan Senyawa Pertahanan Tanaman Kelompok ketiga dalam penggolongan ekstraktif kayu oleh Sjostrom (1995) adalah senyawa fenolik. Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dapat dibuat menjadi lima kelas, yaitu: 1.
Stilbena (turunan-turunan dari 1,2-difeniletilena), yang mempunyai ikatan ganda terkonjugasi sehingga komponen-komponennya bersifat sangat reaktif, contohnya adalah pinosilvin.
2.
Lignan, yaitu pengabungan oksidatif dua unit fenilpropana (C 6C3), contohnya konidendrin, pinoresinol, hidroksimatai-resinol, dan asam plikatat.
3.
Tanin terhidrolisis: produk hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat serta gula, biasanya glukosa merupakan produk utama
4.
Flavanoid, memiliki kerangka karbon trisiklik C6C3C6, misalnya saja krisin dan taksifolin (dihidrokuersetin).
5.
Tanin terkondensasi, merupakan polimer-polimer flavanoid, contohnya adalah katekin. Forestry Commission GIFNFC (2007) menyebutkan bahwa fenolik adalah
senyawa organik yang dicirikan oleh keberadaan grup hidroksil (-OH) yang terikat pada cincin benzena atau struktur cincin aromatik komplek lainnya. Marinova et al. (2005) menyebutkan fenolik sebagai senyawa metabolit sekunder yang jumlahnya melimpah dalam tanaman. Fenolik mencakup kelompok dengan kandungan bioaktif yang sangat besar (lebih dari 8.000 senyawa), mulai dari molekul fenol sederhana hingga struktur polimerik dengan berat molekul di atas 30.000. Berdasarkan jumlah subunit fenol, fenolik diklasifikasikan ke dalam dua
18
kelompok dasar, fenol sederhana dan polifenol.
Fenol sederhana meliputi
kelompok asam fenolat atau fenol dengan grup karboksil. Sedangkan polifenol mengandung sedikitnya dua cincin fenol. Sejumlah senyawa aktif telah didefinisikan sebagai senyawa anti jamur. Eusiderin, sejenis neo lignan dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) (Syafii et al. 1985) dan angolensin yang diekstrak dari kayu Pterocarpus indicus bersifat racun terhadap jamur Coriolus versicolor dan Tyromyces polutris (Pilotti et al. 1995). Ohashi et al. (1994) melaporkan bahwa 3 jenis komponen bioaktif yaitu 8asetoksielemol, 8-hidroksielemol dan hinociic acid yang diisolasi dari daun kayu Juniperus chineensis var pyramidalis terbukti dapat menghambat pertumbuhan beberapa jenis jamur, dan dari kayu Cunninghamia lanceolata berhasil diidentifikasi senyawa cedrol yang bersifat anti jamur (Shieh dan Sumimoto 1992). Forestry Commission GIFNFC (2007) menyatakan bahwa lignan yang merupakan produk penggabungan oksidatif dari polifenol dengan ikatan β-βpada sisi rantai, menunjukkan aktivitas biologis sebagai penghalang pertumbuhan jamur, racun ikan, dan antifeedan serangga. Meskipun fenolik terkondensasi terdapat dalam jumlah sedikit di dalam kayu teras, kulit dan xilem, namun fenolik ini mempunyai fungsi sebagai fungisida dan secara efektif melindungi kayu dari serangan organisme perusak kayu. Fenolik seperti tanin terkondensasi dengan berat molekul tinggi atau substansi-terikat dinding sel, secara in vitro menunjukan sifat anti jamur terhadap beberapa penyakit tertentu (Sjostrom 1995). Namun, ekstrak kasar metanol pohon norway spruce (yang diharapkan mengandung setidaknya stilbena, flavanoid, dan konjugasi fenol sederhana) memperlihatkan sedikit sekali sifat anti jamur dalam percobaan in vitro. Kemungkinan situasi in vitro berbeda, karena pada kondisi in vivo terdapat enzim aktif maupun faktor lain (Schmidt et al. 2007). Mekanisme resistensi pada tanaman dikategorikan oleh Dickinson (2003) menjadi dua, yaitu pasif (konstitusif) dan aktif (induced).
Mekanisme pasif
melibatkan elemen struktural seperti kulit ari atau sel pembatas di akar, serta preformed senyawa kimia antimikrobial yang disebut fitoantisipin.
Tanaman
memiliki berbagai mekanisme pertahanan aktif atau inducible, yang meliputi respon hipersensitif (kematian sel tanaman secara lokal), dan induksi ekspresi gen
19
tertentu. Ekspresi gen ini misalnya perbaikan atau penguatan struktur pertahanan dinding sel, biosintesis atau penambahan senyawa antimikrobial (fitoaleksin), enzim, atau protein terkait-pertahanan. Gaharu merupakan senyawa fitoaleksin dari pohon gaharu sebagai mekanisme pertahanannya terhadap infeksi patogen. Kayu beresin ini merupakan metabolit sekunder yang dibentuk tanaman sebagai respon terhadap infeksi patogen. Pohon gaharu sehat tidak pernah memproduksi sesquiterpenoid sebagai metabolit sekunder yang beraroma harum dari pohon tersebut (Yuan diacu dalam Isnaini 2004).
Tanaman dapat mensintesis dan mengakumulasi metabolit
sekunder sebagai respon terhadap infeksi oleh agen tertentu, rangsangan fisiologi, maupun keadaan cekaman (Goodman et al. diacu dalam Isnaini 2004). Fungsi metabolit sekunder dalam sistem pertahanan tanaman, baik Fitoantisipin maupun fitoaleksin, memainkan peranan penting (Verpoorte et al. 2000). Fitoantisipin adalah senyawa aktif antimikrobial yang telah terdapat pada tanaman dan kadangkala terpicu pengaktifannya saat pelukaan.
Sedangkan
Fitoaleksin adalah senyawa aktif antimikrobial yang diproduksi secara de novo setelah pelukaan atau infeksi. Biosintesis keduanya terpicu pada level gen. (Verpoorte et al. 2000; Vidhyasekaran 2000). Senyawa fenol dan sesequiterpena termasuk dalam kelompok metabolit sekunder dalam tanaman.
Senyawa fenol telah diketahui bersifat racun dan
merupakan substansi antibakterial (Vidyasekaran 2000).
Daya racun fenol
beragam pada jenis fenol yang berbeda dan daya racunnya terhadap germinasi spora, pertumbuhan miselia, dan produksi enzim juga bervariasi. Penelitian yang dilakukan Le Tourneau et al. menunjukkan daya racun fenol tergantung pada strukturnya (Vidhyasekaran 2000). Pada banyak kasus, kandungan total fenol telah diamati berpengaruh terhadap resistensi tanaman terhadap penyakit. Peningkatan total fenol pada sel yang terinfeksi mengindikasikan bahwa sintesis fenol terjadi selama infeksi ataupun akan ditransportasikan dari jaringan disekitarnya. Keberadaan inhibitor fenol sebelum infeksi (atau disebut sebagai preformed phenolic) dilaporkan hanya dalam sedikit kasus, misalnya saja penelitian Walter dan Stahman yang menunjukan kelimpahan asam protocathechuic dan cathecol pada lapisan terluar
20
varietas bawang yang resisten, atau konsentrasi catechin yang tinggi pada anakan kapas yang resisten terhadap Rhizoctonia solani. Namun, pada berbagai interaksi dengan penyakit, bukan preformed fenolik tetapi fenol yang disintesis setelah infeksi yang seringnya berkaitan dengan resistensi penyakit.
Dan meskipun
senyawa fenol telah diketahui merupakan substansi beracun dalam tanaman, namun dalam beberapa kasus senyawa ini mungkin saja tidak terlibat dalam resistensi penyakit, contohnya tidak adanya perbedaan signifikan antara kandungan fenol yang diamati pada tanaman gandum sehat dan yang diinokulasi patogen (Vidhyasekaran 2000). Metabolit sekunder tanaman yang diturunkan dari terpenoid memiliki berbagai
fungsi
dalam
tanaman,
diantaranya
sebagai
minyak
esensial
(monoterpenoid); atraktan serangga; fitoaleksin (sesqui-, di-, dan triterpena) sebagai agen antimikrobial. Berdasarkan berbagai fungsi tersebut, ekspresi dari jalur biosintesis yang terlibat akan berbeda.
Terdapat jalur biosintesis yang
terpicu pada level gen setelah pelukaan atau infeksi, dan ada yang terjadi pada level senyawa dimana senyawa yang telah ada secara enzimatis dirubah menjadi senyawa aktif ketika pelukaan. Sebagai contoh, biosintesis sesquiterpena tertentu pada Solanaceae terpicu oleh infeksi mikroba, sedangkan pada tanaman lain biosintesis sesquiterpenoid merupakan ekspresi pembentukan yang umum, misalnya saja pada Morinda citrifolia, anthraquinone biasa ditemukan di seluruh bagian tanaman (Verpoorte 2000).
Analisis senyawa Fenolik Kebanyakan senyawa fenol (terutama flavanoid) dapat dideteksi pada kromatogram berdasarkan warnanya atau flourensinya dibawah lampu UV, warnanya diperkuat bila diuapi amonia. Pigmen senyawa fenol berwarna dan dapat dilihat sehingga mudah diamati selama proses isolasi dan pemurnian (Harborne 1987). Cara terbaik untuk memisahkan dan mengidentifikasi senyawa fenol sederhana adalah dengan kromatografi lapis tipis (KLT).
Jaringan fenol
dihidrolisis dalam suasana asam atau basa setelah pemekatan ekstrak tumbuhan dalam etanol-air. Hidrolisis suasana asam dilakukan dengan HCl 2 M selama 30
21
menit, larutan kemudian didinginkan dan disaring sebelum diekstraksi. Hidrolisis basa dengan NaOH 2M pada suhu kamar selama 4 jam dalam lingkungan nitrogen, dan sebelum diekstraksi harus diasamkan dulu. Fenol yang terbebaskan dari kedua cara ini diekstraksi dengan eter dan ekstrak eter ini dicuci, dikeringkan, dan diuapkan sampai kering. Sisa penguapan dilarutkan dalam eter, kemudian dikromatografi pada silika gel dengan pengembang asam asetat-kloroform dan etil asetat-benzena. Fenol menyerap di daerah UV pendek dan dapat dideteksi pada pelat silika gel yang mengandung indikator flouresensi gelombang 253 nm, terlihat sebagai bercak gelap dengan latar belakang berflouresensi.
Bila
digunakan pereaksi Folin-Ciocalteau, fenol yang berinti katekol (chatecol) atau hidrokuinon terlihat sebagai bercak biru. Fenol lainnya terlihat sebagai bercak biru sampai kelabu bila pelat diuapi amonia. Pereaksi vanilin-HCl (1 g vanilin dalam 10 ml HCl pekat) dan vanilin-H2SO 4 pekat (2:1) dengan turunan resorsinol dan fluoroglusinol menghasilkan warna merah muda (Harborne 1987). Brignolas et al. (1998) mengamati fenolik sebagai penduga keresistenan pohon norway spruce (Picea abies) terhadap kumbang dan jamur. Strip kulit kayu berukuran 100 x 10 mm diambil dari area lubang inokulasi dan area steril, pada 6 dan 12 hari sejak inokulasi dilakukan. Sampel strip dari area steril juga diambil pada saat inokulasi dilakukan. Setelah sampel dihaluskan, dilakukan ekstraksi dua tahap pada suhu 40C. Pertama, ekstraksi menggunakan pelarut pentana untuk menghilangkan komponen resin, dan selanjutnya mengekstrak fenolik terlarut dengan metil alkohol 80%.
Komposisi ekstrak monofenol dilakukan dengan
reverse-phase HPLC, menggunakan kolom silika C-18.
Fase bergerak
menggunakan campuran acetonitril dan asam asetat-air (1/99, v/v). Hasil yang diperoleh diekspresikan dalam vanilil alkohol ekuivalen per gram floem kering. Cvikrova et al. (2006) mengekstrak fenolik dari norway spruce yang terinfeksi Ascocalyx abietina.
Asam fenolik bebas, terikat-ester, dan terikat
glikosida diperoleh dengan mengekstrak jaringan kayu yang telah dihaluskan dalam nirogen cair, dengan melarutkannya dalam metanol. Fraksi asam fenolik terikat ester dinding sel diperoleh setelah hidrolisis alkalin dari residu ekstraksi metanol.
Asam
fenolik
dianalisis
HPLC
menggunakan
Dionex
Liquid
Chromatograhp dengan kolom C18 Spherisorb 5 ODS (250 mm x 4,6 mm).
22
Asam-asam fenolik ditentukan berdasarkan absorbsi maksimal dan dibandingkan dengan senyawa referensi otentik. Metode analisis fenolik menggunakan HPLC dilakukan oleh Nyman dan Julkunen-Tiitto (2000) pada sampel dari pohon willow.
Sampel jaringan
ditimbang 1,3 – 30,6 mg dan ditempatkan dalam tabung eppendorf, kemudian dihancurkan dengan batang gelas, lalu ditambahkan 0,45 ml metanol murni. Setelah homogenisasi, larutan ini disimpan dalam es selama 15 menit, kemudian dihomogenisasi kembali, dan selanjutnya disentrifus (3 menit, 16.000 rpm). Supernatan yang terbentuk diambil, residunya diekstrak kembali menggunakan 0,45 ml metanol (2 menit dalam es). Supernatan yang dihasilkan kemudian di evaporasi dibawah aliran nitrogen. Ekstrak selanjutnya dilarutkan kembali dalam 1 ml metanol, 0,5 ml larutan yang terbentuk digunakan untuk HPLC. Sampel yang digunakan untuk HPLC dievaporasi dengan nitrogen cair dan disimpan pada 220C. Sebelum HPLC, sampel yang disimpan tadi dilarutkan lagi dalam 0,4 ml metanol-H2O (1:1). HPLC kemudian di-run. Metode pendugaan total fenolik dalam akar kelapa yang diinokulasi dengan Pseudomonas flourescens, Trichoderma viride dan T. harziannum yang dilakukan oleh Karthikeyan et al. (2006) menggunakan metode Folin-Ciocalteau.
1 g
sampel akar dihomogenisasi dalam 10 ml metanol 80% (v/v), kemudian diagitasi atau diputar selama 15’ pada suhu 700 C. Ekstrak metanol ini diambil 1 ml dan ditambahkan 5 ml air detilasi dan 250 µl reagent Folin-Ciocalteau (1 N), larutan ini selanjutnya dsimpan pada suhu 250C. Absorban warna biru yang muncul diukur pada 725 nm. katekol digunakan sebagai standar, dan jumlah fenolik diekspresikan sebagai µg katekol/mg berat segar sampel. Fusarium spp. Jamur Fusarium spp. merupakan jamur penyebab penyakit pada banyak tanaman. Klasifikasi dan nama ilmiah jamur ini adalah (Doctorfungus 2007): Kingdom Filum Ordo Famili Genus
: : : : :
Fungi Ascomycota Hypocreales Hypocreaceae Fusarium
23
Fusarium adalah jamur saprofitik berfilamen yang tersebar luas pada tanaman dan tanah. Genus Fusarium terdiri dari lebih 20 spesies, yang paling umum adalah F. solani, F. oxysporum, dan F. chlamydosporum.
Fusarium
berbeda dari Acremonium, Lecythophora, dan Phialemonium karena memiliki makrokonidia, dan berbeda juga dari Cylindrocarpon karena makrokonidianya memiliki sel kaki dan ujung yang meruncing (Doctorfungus 2007). Fusarium spp. tumbuh dengan cepat di sabouraud dextrose agar (SDA) pada suhu 25°C dan menghasilkan penyebaran koloni seperti wol atau kapas yang datar. Satu-satunya spesies yang lambat tumbuh adalah F. dimerum. Dari depan, koloni bisa berwarna putih, krem, tan, salmon, cinamon, kuning, merah, violet, merah muda, ataupun, ungu.
Dari bagian belakang, koloni ini bisa tidak
berwarna, atau tan, merah, ungu gelap, dan coklat. Sclerotium adalah massa hifa yang tetap dorman pada kondisi yang tidak kondusif, yang dapat diamati secara makroskopis dan berwarna biru tua. Sedangkan sporodochium, lembar berbentuk bantal dari hifa yang mendukung konidiospora di permukaannya, biasanya tidak muncul pada kultur, namun ketika muncul dia berwarna krem, tan, atau oranye, kecuali untuk F. solani yang berwarna biru kehijauan (Doctorfungus 2007). Pengamatan mikroskopis menunjukan hifa hyaline septate, konidiospora, fialides, makrokonidia, dan mikrokonidia. Sebagai tambahan untuk elemenelemen dasar tadi, F. chlamydosporum, F. napiforme, F. oxysporum, F. semitectum, F. solani, and F. sporotrichoides menghasilkan klamidospora. fialides berbentuk silender, soliter atau sebagai komponen sistem percabangan yang komplek. Makrokonidia (3-8 x 11-70 µm) dibentuk dari fialides pada konidiospora yang bercabang ataupun yang tidak, terdiri dari 2 atau lebih sel berdinding tebal; halus; dan berbentuk silender. Sebaliknya, mikrokonidia (2-4 x4-8 µm), merupakan konidiospora sederhana yang panjang ataupun pendek, terdiri dari 1 sel (kadang 2 atau 3 sel), halus, berbentuk ovoid hingga silindris, tersusun dalam bentuk bola (kadang berbentuk rantai), dan berdinding tipis (Doctorfungus 2007). Genus Fusarium mencakup berbagai spesies yang sangat bervariasi sehubungan dengan struktur genetiknya dan juga karena adaptasi yang tinggi dengan merubah morfologinya sesuai perubahan lingkungan.
Banyak spesies
24
Fusarium yang cenderung bermutasi dengan cepat, sehingga menyulitkan dalam mengidentifikasinya. Bentuk spesifik dari makrokonidia yang langsing berbentuk seperti pisang atau bulan sabit merupakan karakteristik identifikasi yang utama. Beberapa spesies dapat dibedakan dari sekuen mikrokonidia, dan beberapa yang lain dari keragaman pola klamidospora (Cullison 2008). Ykema dan Stutz (1991) mengisolasi Fusarium sp. dari bagian akar tanaman guayule yang nekrosis. Sampel nekrosis ditempatkan pada bagian mulut toples yang telah dilapis oleh cheesecloth, kemudian dicuci dengan air mengalir selama 10 menit. Bagian akar selanjutnya dicuci dengan air destilasi, dan disterilisasi permukaannya dengan sodium hipoklorida 1% selama 30 detik, dikeringkan, dan dicuci lagi dengan air destilasi steril. Untuk menginduksi pertumbuhan miselial, potongan akar kemudian ditempatkan pada agar-air di petri disk yang diinkubasi pada suhu kamar. Isolat spora tunggal dipindahkan ke V8 juice agar dan potatoe dextrose agar (PDA) dan diidentifikasi jenisnya. Ykema Stutz (1991) juga mengevaluasi patogenisitas Fusarium sp. pada anakan guayule. Anakan berumur 2 minggu dipindahkan ke cangkir styrofoam yang berisi UC-soilless medium yang telah dipastuerisasi, kemudian disimpan di rumah kaca dan disiram selama 8 hari. Fusarium spp. ditumbuhkan di V8 juiceagar dibawah lampu flourescent pada suhu 250C selama 1 minggu. Suspensi yang mengandung mikro- dan makrokonidia disiapkan, konidia dihitung dengan hemacytometer. Konsentrasi akhir konidia dijadikan 2 x 105 spora per ml. Tanaman diinokulasi dengan membuat 3 lubang di media soilless dengan pisau kemudian 40 ml suspensi spora dimasukkan ke dalam setiap lubang.
Untuk
kontrol, suspensi spora diganti 40 ml air destilasi. Anakan-anakan ini selanjutnya ditempatkan di rumah kaca selama 2 minggu. Pengamatan dilakukan terhadap tanaman-tanaman yang menunjukkan gejala penyakit, berupa jumlah tanaman yang terkena penyakit dan berat segar tanaman ditimbang. Hasilnya 75%-96% mengalami nekrosis dan gejala penyakit yang disebabkan Fusarium spp.