TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Gaharu Gaharu menjadi komoditas pertanian paling mahal di dunia. Lantaran populasinya di alam yang kian langka, maka pembudidayaan menjadi alternatif yang paling rasional. Gaharu adalah sejenis kayu yang dengan berbagai bentuk dan warna yang khas, serta memiliki kandungan kadar damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu yang tumbuh secara alami dan telah mati, sebagai akibat dari proses infeksi yang terjadi baik secara atau buatan pada pohon tersebut, dan umumnya terjadi pada pohon Aquilaria sp. (Nama daerah: Karas, Alim, Garu, dan lain-lain). Gaharu memiliki berbagai bentuk dan warna yang khas, memiliki kandungan damar wangi, berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, sebagai akibat infeksi yang terjadi secara alami atau buatan pada pohon Aquilaria sp (Thymelaeaceae). Tumbuhan penghasil gaharu menurut Sumarna (2002) secara botanis memiliki susunan tata nama sebagai berikut: Kingdom
: Plantae
Divisi
: Termatophta
Sub-Divisi
: Angiospermae
Klas
: Dikotiledonae
Ordo
: Myrtales
Famili
: Thymeleaceae
Genus
: Aquilaria
Spesies
: Aquilaria malaccensis Lamk
(Susetya,2012). Saat ini diketahui gaharu dapt diperoleh dari jenis tumbuhan lain famili Thymeleaceae, Leguminaceae, dan Euphorbiaceae yang dapat dijumpai di wilayah hutan
Universitas Sumatera Utara
Cina, daratan Indochina (Myanmar dan Thailand), malay Peninsula (Malaysia, Brunai Darussalam, dan Filipina), serta Indonesia (Sumatera, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Maluku, Mataram dan beberapa daerah lainnya). Potensi produksi gaharu yang ada di Indonesia berasal dari jenis pohon Aquilaria malaccensis, A. filaria, A. birta, A. agalloccba Roxb, A. macrophylum, Aetoxylon sympetalum, Ganystylum bancanus, G. macrobyllus, Enkleia malacensis, Wikstroemia androsaemofolia, W. tenuriamis, Gyrinops cumingiana, dalbergia parvifolia, dan Excoccaria agalloccb. Dari banyaknya jenis pohon yang berpotensi sebagai penghasil gaharu tersebut, hanya satu diketahui penghasil gaharu yang berkualitas terbaik dan mempunyai nilai jual yang tinggi dibanding dengan pohon lainnya yaitu Aquilaria malacensis (Widiastuti, 2011). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Radian, dkk (2007) yang dilakukan di Sengoret daerah Sanggau dan desa Jungat daerah Sintang yang diketahui banyak diperoleh gaharu memiliki kesamaan terhadap jenis pohon penghasil gaharu. Pohon gaharu yang berhasil ditemukan adalah pohon gaharu yang tumbuh secara alami di hutan primer, hutan belukar dan lereng perbukitan. Pada kedua daerah tersebut pohon penghasil gaharu ada tiga jenis dari genus Aquilaria. Sebenarnya masih banyak lagi pohon hutan yang telah diketahui dapat membentuk gaharu tetapi karena pencarian lebih pada upaya untuk mendapatkan gaharu dengan kualitas baik maka hanya didapatkan ketiga jenis pohon diatas. Fokus pencarian yang dilakukan masyarakat setempat kebanyakan pada jenis gaharu yang diminta oleh pedagang sehingga kemungkinan tidak ada keingginan untuk mencari jenis lainnya. Maka wajar jenis pohon gaharu yang diperoleh hanya tiga jenis saja. Ketiga jenis yang diperoleh adalah Aquilaria beccariana, A. malacensis, A. microcarpa. Secara garis besar proses pembentukan gaharu terdiri dari dua, yaitu secara alami dan buatan, yang dua-duanya berkaitan dengan proses patologis yang dirangsang oleh adanya luka pada batang patah cabang atau ranting. Luka tersebut menyebabkan pohon terinfeksi
Universitas Sumatera Utara
oleh penyakit (bakteri, virus, jamur) yang diduga mengubah pentosan atau selulosa menjadi resin atau damar. Semakin lama kinerja penyakit berlangsung, kadar gaharu menjadi semakin tinggi (Siran, 2010). Gaharu (A. malaccensis Lamk.) merupakan salah satu komoditi Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang dihasilkan oleh beberapa spesies pohon gaharu. Proses pembentukan gubal pada gaharu hingga saat ini masih harus diteliti. Di alam tidak semua pohon penghasil gaharu membentuk gaharu atau hanya sedikit sekali menghasilkan gaharu. Pada gaharu budidaya, proses produksi gaharu sangat ditentukan kuantitasnya oleh jumlah lubang atau luka yang diinokulasi dan kualitasnya tergantung dengan lamanya waktu sejak inokulasi hingga panen. Semakin lama maka semakin banyak resin wangi yang terakumulasi dan semakin tinggi kualitas gaharu yang dihasilkan. Dengan demikian, maka pengembangan gaharu hasil budidaya dan inokulasi dapat jauh lebih efisien dibandingkan produksi yang mengandalkan gaharu bentukan alam (Mucharromah, 2010). Tinggi tanaman mencapai 40-60 m dan diameter 60 cm. Kulit kayu muda berwarna cokelat terang dengan rambut-rambut halus, sedangkan kulit kayu yang lebih tua dengan warna yang keputih-putihan. Kayu tanpa resin berwarna putih, ringan dan lembut, ketika kayu memiliki resin menjadi lebih keras, berwarna gelap dan berat. Susunan daunnya alternate, berbentuk elips, lebarnya 3-3,5 cm dan panjangnya 6-8 cm dengan 12-18 daun pasang setiap ranting. Susunan bunganya terminal atau axillary. Bunga bersifat hermaprodit, dengan panjang lebih dari 5 mm, harum, dan berwarna hijau kekuningan atau putih kekuningan (Adelina, 2004). Fungi Untuk mendapatkan gambaran dari golongan jamur seluruhnya dapat diberikan ihtisar sebagai berikut (menurut Alexopoulus, 1962). Thallophyta yang tidak berklorofil dibagi atas: 1. phylum Schizomycophyta (bakteri)
Universitas Sumatera Utara
2. phylum Myxomycophyta (jamur lendir) 3. phylum Eumycophyta (jamur benar) Phylum Eumycophyta terbagi atas 4 kelas, yaitu: 1. kelas Phycomycetes (jamur ganggang) 2. kelas Ascomycetes 3. kelas Deuteromycetes atau fungi imperfecti (jamur tak sempurna) 4. kelas Basidiomycetes Adapun yang penting dalam pembicaraan mikrobiologi ialah kelas Myxomycetes, kelas Phycomycetes, kelas Ascomycetes, dan kelas Deuteromycetes
(Dwidjoseputro,
1989). Fungi yang hidup di darat dapat menghasilkan spora yang terbentuk di dalam sel-sel khusus (askus), jadi merupakan endospora, ada yang di luar basidium dan disebut eksospora. Di damping itu kebanyakan jamur dapat membiak aseksual dengan konidium. Pembuiakan seksual dapat berlangsung dengan berbagai cara yaitu isogami, anisogami, oogami, gametangiogami (perkawinan dua gametangium yang berlainan jenis kelaminnya) dan somatogami (perkawinan dua sel talus yang tidak mengalami diferensiasi). Beberapa jenis jamur dapat mengubah sel-sel tertentu menjadi alat-alat untuk mengatasi kala yang buruk, yang disebut teletospora, klamidospora, atau gemma. Dapat juga sekumpulan benang-benang miselium merupakan badan seperti umbi dan dinamakan sklerotium (Tjitrosoepomo, 2005). Jamur hidup sebagai saprofit atau parasit, ada yang di dalam air, kebanyakan di daratan. Dalam laut jarang sekali terdapat. Kebanyakan dari yang hidup sebagai saprofit dapat dipiara pada subtrat buatan. Sebagai zat makanan cadangan terdapat glikogen, lemak, dan kadang-kadang juga manit dan ureum (Tjitrosoepomo, 2005). Secara alami, jamur dapat tumbuh pada musim tertentu dalam satu tahun. Hal ini terjadi karena ketergantungan hidupnya pada suhu (temperatur) dan kelembaban tertentu.
Universitas Sumatera Utara
Menurut kemampuan hidup pada suhu tertentu, jamur terbagi dalam tiga golongan, yaitu psikrofilik, mesofilik, dan termofilik. Jamur psikrofilik merupakan jamur yang tumbuh pada kisaran suhu 0º-30ºC dengan suhu optimum sekitar 15ºC. Jamur mesofilik merupakan jamur yang tumbuh pada kisaran suhu 25º-37ºC dengan suhu optimum sekitar 30ºC. Sementara itu, jamur termofilik merupakan jamur yang tumbuh pada kisaran suhu tinggi, yaitu 40º-75ºC, dengan suhu optimum sekitar 55ºC (Sinaga,2011). Fungi dapat ditemukan pada aneka substrat, baik dilingkungan darat, periran, mapupun udara. Tidaklah sulit menemukan fungi di alam, karena bagian vegetatifnya yang umumnya berupa miselium berwarna putih mudah terlihat pada substrat yang membusuk (kayu lapuk, buah-buahan yang terlalu masak, makanan yang membusuk). Konidianya atau tubuh buahnya dapat mempunyai aneka warna (merah, hitam, jingga, kuning, krem, putih, abu-abu, coklat, kebiruan, dan sebagainya) pada daun, batang kertas, tekstil, kulit, dan lainlain. Tubuh buah fungi lebih mencolok karena langsung dapat dilihat dengan kasat mata, sedangkan miselium vegetatif yang menyerap makanan hanya dapt dilihat dengan menggunakan mikroskop (Gandjar et al. ,1999). Proses Pembentukan Gaharu Gaharu adalah sejenis resin yang dihasilkan oleh pohon gaharu dimana terbentuk karena adanya infeksi pada pohon tersebut. Infeksi ini mengakibatkan sumbatan pada pengaturan makanan, sehingga menghasilkan suatu zat phytalyosin sebagai reaksi dari infeksi tersebut. Infeksi didapat dari hasil perlukaan yang disebabkan oleh alam (serangan hama dan penyakit seperti serangga, jamur, bakteri) atau karena sengaja dilukai oleh manusia. Zat phytalyosin inilah yang merupakan resin gubal gaharu di dalam pohon karas dari jenis Aquilaria spp. Zat yang berbau wangi jika dibakar ini tidak keluar dari batang gubalnya, tetapi mengendap menjadi satu dalam batang. Hal ini terjadi pada tanaman yang sakit dan tidak pada pohon yang sehat. Proses inilah yang menyebabkan terbentuknya gaharu dalam
Universitas Sumatera Utara
batang. Gubal gaharu adalah bagian gubal gaharu yang mengandung damar wangi dengan konsentrasi yang lebih rendah (Wulandari, 2000). Hasil uji laboratoris (screening) terhadap isolat yang diperoleh dari pohon penghasil yang telah terinfeksi penyakit, sesuai jenis pohon dan kondisi ekologis lingkungan tumbuh pada media agar (PDA) dijumpai variasi beberapa genus jamur penyakit yang hidup berasosiasi. Hasil pengamatan terhadap isolat dari pohon terinfeksi, sesuai jenis dan kondisi ekologis lingkungan tempat tumbuh, teridentifikasi adanya jamur (fungi) penyakit antara lain genus Fusarium sp., Phytium sp., Rhizoctonia sp., Libertella sp., Lasiodiplodia sp., Thielaviopsis sp., Trichoderma sp., Botrydiplodia sp., Diplodia sp., Penicilium sp., Cylindracarpon sp., dan Acremonium sp. Hasil uji dominansi menunjukkan bahwa penyakit dari genus Fusarium spp. diduga kuat merupakan penyakit utama dalam proses terbentuknya gaharu pada berbagai jenis pohon penghasil (Sumarna,2002). Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan fungi yang banyak dijadikan inokulan dalam penginfeksi gaharu adalah dari spesies Fusarium sp dan Acremonium sp. Pada penelitian Wulandari (2009) beliau mencoba mengkombinasikan pemakaian kedua jenis fungi ini untuk meninduksi A.malaccensis. dari hasil penelitiannya didapatkan bahwa sema pohon yang inokulasi menurun kebugarannya sejal 1 bulan setelah inokulasi. Intensitas warna kayu, panjang dan leba zona perubahan warna serta tingkat wangi kayu pada pemberian inokulan ganda cenderung tinggi dibandingkan pemberian inokulan tunggal. Inokulan ganda AF merangsang pembentukan wangi dengan tingkat dan frekuensi titik inokulasi yang wanginya lebih tinggi daripada FA. Semua inokulan, kecuali inokulan tunggal A merangsang pohon membentuk triterpenoid. Berdasarkan hasil penelitian Iskandar dan ahmad (2012) inokulasi yang menggunakan 4 isolat Fusarium, didapatkan bahwa perlakuan inokulasi berpengaruh nyata terhadap potensi hasil gaharu. Inokulan yang paling potensial pada peringkat pertama dari hasil penelitian
Universitas Sumatera Utara
adalah F4, kemudian diikuti oleh F1,F3,F2,F0(kontrol). Fusarium F4 adalah inokulan yang dikembangkan oleh badab Litbang Kehutanan Bogor dengan asal isolat dari Gorontalo. Inokulan yang berasal dari Gorontalo ini relatif efektif dalam merangsang pembentukan gaharu dan wangi pada pengukuran 3 bulan setelah inokulasi dibandingkan dengan Fusarium yang berasal dari daerah lain. Pada penelitian Fauzi, et al. (2010) yang mencoba menginfeksikan Fusarium pada gulma enceng gondok didapatkan hasil bahwa suhu dan lama kebasahan daun mempengaruhi tingkat intensitas penyakit yang disebabkan oleh jamur Fusarium sp. pada gulma eceng gondok. Suhu yang ditunjukkan dengan perlakuan inokulasi pada waktu yang berbeda (pagi dan sore) menunjukkan pada suhu bagaimana tanaman terekspos (terpapar) segera setelah inokulasi. Inokulasi pagi hari, akan menyebabkan tanaman terpapar pada suhu panas (tinggi) siang segera setelah inokulasi, sedangkan inokulasi sore hari akan menyebabkan tanaman terpapar pada suhu malam yang dingin(rendah) segera setelah inokulasi. perkembangan penyakit dipengaruhi oleh suhu segera setelah inokulasi, dimana gulma yang terpapar pada suhu rendah cenderung penyakitnya berkembang lebih lambat dibandingkan dengan penyakit pada gulma yang terpapar pada suhu tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa jamur Fusarium sp. lebih sesuai untuk tumbuh dan berkembang pada suhu tinggi dibandingkan dengan suhu rendah. Beberapa penelitian tentang kebutuhan suhu jamur Fusarium sp. menunjukkan hasil yang sama dengan penelitian yang dilaporkan ini. Berdasarkan penelitian ini dapat kita ketahui bahwa pertumbuhan Fusarium sp. dipengaruhi oleh suhu yang juga didukung oleh beberapa penelitian lainnya. Hal ini bisa jadi juga berlaku pada saat penginokulasian pada tanaman penghasil gaharu dengan memperhatikan suhu pada saat dilakukan inokulasi agar fungi dapat berkembang secara maksimal di dalam batang gaharu dan menghasilkan intensitas gubal yang besar.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan penelitian Novriyanti (2008) yang melihat pengaruh zat ekstraktif terhadap pembentukan gaharu pada Aquilaria crassna Pierre ex Lecomte dan Aquilaria microcarpa Baill diperoleh hasil melalui Analisis mikrobiologi dilakukan per periode 2 bulanan untuk mengetahui perubahan mikrobiologis yang terjadi pada titik luka inokulasi. Analisis dilakukan dengan mengambil bagian batang antara area nekrosis dengan area yang sehat, dimana bagian yang mengandung miroba ini kemudian dibiakkan pada media agar. Koloni-koloni mikroba yang muncul selanjutnya diisolasi dan diidentifikasi jenisnya. Dari hasil analisis mikrobiologis ini diketahui bahwa pada umur enam bulan inokulasi belum terjadi perubahan mikroorganisme yang bersifat predasi pada pohon-pohon A. microcarpa dan A. crassna. F. Bulbigenum yang diinokulasikan merupakan satu-satunya jamur yang ditemukan di daerah nekrosis batang A. crassna dan A. microcarpa. Namun, terjadi asosiasi antara F. bulbigenum dengan serangga kecil seperti semut dan kumbang di daerah inokulasi tersebut. Berdasarkan penelitian ini dapat diketahui bahwa zat ekstraktif juga berpengaruh terhadap pembentukan gaharu. Karena pada tanaman A. crassna yang diteliti Novriyanti (2008) ini mengandung senyawa fenolik yang merupakan metabolit sekunder yang diketahui memiliki fungsi sebagai senyawa pertahanan terhadap pengaruh lingkungan dan penyakit. Sehingga berpengaruh terhadap efektifitas penginokulasian pada pohon penghasil gaharu. Dalam penelitian Radian, dkk (2007) juga diperoleh bahwa yang fungi yang membentuk gubal gaharu yang teridentifikasi adalah dari genus Fusarium dan Thielaviopsis. Kedua genus fungi ini tercatat sebagai patogen lemah yang menyerang tanaman ketika dalam kondisi pertumbuhan yang kurang baik. Mikroba ini berasosiasi dengan setiap gubal yang diambil. Ada 3 spesies dari genus Fusarium yaitu Fusarium solani, Fusarium oxysporum dan Fusarium monilifone. Genus Fusarium terkenal sebagai patogen tanah yang terkadang dapat menyerang tanaman dan menimbulkan gejala layu. Tanaman yang menjadi inangnya banyak,
Universitas Sumatera Utara
mulai dari tanaman semusim sampai tahunan. Biasanya akhir dari serangan Fusarium dapat mengakibatkan kematian tanaman. Rahmawati et al. (2006) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa dalam uji ganda antar isolat Acremonium spp. (isolat Sr dan F) dengan planlet A. malaccensis menunjukkan bahwa seluruh cendawan yang diuji bersifat patogenik dan mampu menghasilkan tingkat wangi yang beragam. Seluruh isolat Sr dan F menghasilkan tingkat wangi yang lebih menyengat dibandingkan dengan isolat MP, sedangkan isolat LM2 tidak menghasilkan aroma wangi. Rahmawati et al. (2006), juga melaporkan bahwa berdasarkan ciri-ciri morfologi koloni semua isolat yang diuji, hanya terdapat sedikit perbedaan bentuk koloni, warna koloni, dan miselium udara. Di samping itu, kecepatan tumbuh isolat juga berbeda. Pada umumnya, koloni isolat yang diuji berwarna oranye pucat, sedangkan koloni isolat Sr2 dan Sr5 yang berasal dari inang Aquilaria spp., dari Sorong, koloninya berwarna sedikit kemerah-merahan. Sebagian besar dari isolat memiliki miselium udara yang agak tipis. Hasil pengamatan histologis menunjukkan adanya tingkat kesamaan yang tinggi antar sebagian besar isolat Sr dengan isolat F. Berdasarkan hasil penelitian Ilyas (2006) didapatkan hasil bahwa Kapang marga Fusarium diperoleh hampir di seluruh rizosfir akar tanaman yang menjadi sampel penelitian, terkecuali pada akar ampupu, jambu biji, kacang tanah, kentang, kopi, sayur putih, dan tebu. Kapang tersebut dikenal sebagai salah satu kapang parasit pada tanaman tingkat tinggi.
Universitas Sumatera Utara