BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Air tawar bersih yang layak minum kian langka di perkotaan. Sungai-sungai yang menjadi sumbernya sudah tercemar berbagai macam limbah, mulai dari buangan sampah organik rumah tangga hingga limbah beracun dari industri. Air tanah pun sudah tidak aman dijadikan bahan air minum karena telah terkontaminasi rembesan dari tangki sepitank maupun air permukaan yang tercemar. Namun sebagaimana kita ketahui kebutuhan akan tersedianya air bersih bagi masyarakat merupakan harga mati, maka tidak mengherankan jika akhirakhir ini usaha air minum dalam kemasan (AMDK) yang menggunakan mata air dari pegunungan banyak dikonsumsi, namun harga AMDK dari berbagai merek yang terus meningkat membuat konsumen mencari alternatif baru yang murah. Solusi yang sering digunakan oleh konsumen ialah dengan memanfaatkan air minum isi ulang. Air minum isi ulang bisa diperoleh dari depot-depot air minum dengan harga sepertiga dari produk air minum dalam kemasan yang bermerek, maka tidak mengherankan jika banyak konsumen beralih pada layanan ini. Kabupaten Sleman semenjak tahun 2002 sampai saat ini terdapat 30 depot air minum isi ulang sebagian besar berada di wilayah Depok. Pada awal perkembangannya, depot air minum isi ulang di wilayah Kabupaten Sleman hanya menggunakan izin gangguan usaha (HO). Sementara di beberapa depot air minum menyertakan juga hasil pemeriksaan air baku dari Laboratorium
1
2
Pengawasan Air Dinas Kesehatan pada awal pendirian usahanya. Kualitas air minum isi ulang mulai dipertanyakan setelah Badan POM melakukan pemeriksaan terhadap beberapa depot air minum isi ulang di 5 kota besar pada tahun 2005 salah satu kota yang diteliti adalah Daerah Istimewa Yogyakarta. Hasil pemeriksaan tersebut cukup mencengangkan karena ditemukan kandungan bakteri Colliform pada air hasil produksi depot air minum isi ulang. Bakteri Colliform yang terdapat dalam air minum isi ulang tidak menimbulkan reaksi dalam waktu yang singkat, tetapi dalam jangka waktu tertentu dapat menimbulkan sejumlah penyakit, seperti diare. Terdapatnya kandungan bakteri colliform dalam air minum isi ulang disebabkan oleh faktor ketidaksempurnaan higienitas produksi air minum isi ulang, sanitasi yang rendah, dan sumber air baku yang tercemar. Kualitas air minum isi ulang yang tercemar sebagaimana terurai di atas seharusnya bisa dicegah ataupun diminimalis jika pelaku usaha dalam hal ini pemilik depot air minum mentaati ketentuan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan no 651 tahun 2004 tentang persyaratan teknis depot air minum dan perdagangannya yang didalam lampirannya diatur mengenai alat, bahan baku, serta prosedur yang benar untuk mengolah air baku menjadi air minum. Selain itu dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia no. 907 tahun 2002 tentang syarat-syarat dan kualitas air minum dalam Pasal 2 ayat (2) disebutkan mengenai syarat yang harus dipenuhi untuk kesehatan air minum yaitu : syarat bekteorologis, kimia,radioaktif dan fisik. Pelaku usaha wajib memperhatikan kedua peraturan sebagaimana tersebut diatas agar proses pengolahan air baku
3
menjadi air minum isi ulang sesuai dengan prosedur atau dapat dikatakan telah memenuhi standar mutu yang ditetapkan, sehingga tidak menimbulkan adanya bakteri pathogen yang merugikan konsumen. Tetapi pada kenyataannya pada Kabupaten Sleman terdapat beberapa depot air minum yang standar pengolahan air baku menjadi air minum tidak sesuai dengan ketentuan. Air minum yang dihasilkan mengandung bakteri pathogen dan jika dikonsumsi dalam jangka waktu yang lama akan menjadi penyebab munculnya berbagai penyakit, salah satu penyakit yang paling sering muncul adalah diare. Penyakit yang diderita oleh konsumen merupakan kerugian konsumen, akan tetapi kerugian ini tidak berbanding lurus dengan perlindungan hukum yang maksimal terhadap konsumen. Hal ini terjadi karena kurangnya kepedulian pemilik depot ataupun pelaku usaha terhadap kualitas air minum isi ulang yang dihasilkan, pelaku usaha cenderung hanya memperhatikan keuntungan dengan mengabaikan kesehatan dari konsumen. Sementara di lain pihak konsumen juga kurang memahami ataupun kurang pengetahuan mengenai payung hukum dan lembaga yang dapat membantu untuk mejaga agar hak-haknya selaku konsumen dapat terpenuhi. Hal ini menunjukkan bahwa pelaksanaan perlindungan hukum terhadap konsumen air minum isi ulang pada Kabupaten Sleman masih belum maksimal ataupan dapat dikatakan perlindungan hukum terhadap konsumen masih berupa idealita. Pelaku usaha (pemilik depot air minum isi ulang) dalam prakteknya ketika menjalankan usahanya tidak memberikan informasi yang jujur kepada konsumen terkait produk air minum isi ulang yang diproduksi, biasanya tentang sumber air baku dan proses pengolahannya. Hal ini jelas-jelas bertentang dengan ketentuan
4
UU No.8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Pasal-pasal dalam UU Perlindungan Konsumen yang patut diduga dilanggar oleh pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usahanya, yaitu : Pasal 8 ayat (1) huruf a Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang : tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan
dan
ketentuan peraturan perundangundangan; Pasal 9 ayat (1) huruf a Pelaku usaha dilarang menawarkan, memproduksikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah : barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus,standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu. Pasal 10 huruf e Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai: bahaya penggunaan barang dan/atau jasa. Selain permasalahan sebagaimana terurai diatas, terkait dengan perlindungan hukum konsumen air minum isi ulang terdapat satu permasalahan yang menarik untuk dikaji yaitu mengenai Balai Besar POM Yogyakarta. Sebagaimana kita ketahui bahwa kualitas air minum isi ulang terkait standarisasinya perlu
5
mendapatkankan perhatian, hal ini karena terdapat pelaku usaha yang mengesampingkan kualitas demi keuntungan yang besar. Akibatnya
terdapat
depot air minum yang kualitas air minumnya tidak sesuai standar sehingga air yang dihasilkan mengandung bakteri pathogen yang bermuara pada kerugian terhadap konsumen. Permasalahan menjadi semakin rumit jika ternyata konsumen yang mengkonsumsi air yang mengandung bakteri pathogen tersebut sakit setelah mengkonsumsi air minum isi ulang. Sehingga dalam hal ini patut dipertanyakan bagaimana kemungkinan Balai Besar POM Yogyakarta dipertanggugatkan, jika muncul permasalahan konsumen mengadu pada Balai Besar POM Yogyakarta atas kualitas air minum isi ulang yang tidak sesuai standar dan membuat konsumen dirugikan karena sakit setelah mengkonsumsi air minum isi ulang tersebut. Berdasarkan uraian diatas maka perlu diadakan suatu penelitian untuk mengetahui lebih mendalam tentang bagaimana pelaksanaan perlindungan hukum bagi konsumen air minum isi ulang di Kabupaten Sleman. Serta kemungkinan Balai Besar POM Yogyakarta dipertanggunggugatkan atas pengaduan konsumen yang mengalami kerugian setelah mengkonsumsi air minum isi ulang.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah sebagaimana telah diuraikan diatas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana perlindungan hukum bagi konsumen air minum isi ulang di Kabupaten Sleman?
6
2. Apakah Balai Besar POM Yogyakarta dapat dipertanggunggugatkan terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi air minum isi ulang yang tidak sesuai standar?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan dari permasalahan tersebut di atas maka tujuan diadakannya penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui perlindungan hukum bagi konsumen air minum isi ulang di Kabupaten Sleman. 2
Untuk mengetahui kemungkinan Balai Besar POM Yogyakarta dipertanggunggugatkan terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi air minum isi ulang yang tidak sesuai standar.
D. Tinjauan Pustaka Konsumen dalam berbagai kondisi sering kali ditempatkan pada posisi yang lemah, bila dibandingkan dengan produsen. Hal tersebut menyebabkan hukum perlindungan konsumen dianggap penting keberadaannya, disamping disebabkan faktor lain seperti semakin beragamnya jumlah produk yang beredar di pasar. Kemajuan teknologi sering kali memunculkan beragam produk-produk baru yang dapat memenuhi kebutuhan konsumen. Salah satunya adalah produk air minum isi ulang. Produk ini disambut baik oleh konsumen sebagai salah satu alternatif solusi dari sulitnya mendapatkan air yang layak dikonsumsi. Harga yang ditawarkan produsen air minum isi ulang jauh lebih murah jika dibandingkan
7
dengan air minum dalam kemasan pada volume yang sama. Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 651 tahun 2004 tentang persyaratan tekhnis depot air minum dan perdagangannya, dapat disimpulkan mengenai pengertian air minum isi ulang yaitu air baku yang telah diproses oleh depot air minum sehingga aman untuk diminum. Air minum isi ulang belum ada standar nasional seperti air minum dalam kemasan, yang ada hanya pedoman untuk depot air minum agar menghasilkan air isi ulang yang baik yang terdapat dalam lampiran Menteri Perindustrian dan Perdagangan nomor 651 tahun 2004 dan Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 907 tahun 2002 tentang syarat-syarat pengawasan dan kualitas air minum. Dalam KUH Perdata yang paling banyak digunakan atau berkaitan dengan asas-asas hukum mengenai hubungan dan masalah konsumen adalah buku ketiga yang memuat berbagai hubungan hukum konsumen, yaitu perikatan yang terjadi baik berdasarkan undang-undang maupun persetujuan (Pasal 1233 KUH Perdata), dan buku keempat tentang pembuktian dan kadaluawarsa. Dalam KUH Perdata Pasal 1313 dijelaskan tentang pengertian perjanjian yaitu,”suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih“. Sedangkan menurut Prof. Subekti,S.H. suatu perjanjian adalah suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. 1
1
Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, 2002, hlm.1
8
Perjanjian yang akan dikupas dalam penelitian ini adalah perjanjian jual beli hal ini karena hubungan hukum awal yang terjadi antara konsumen dan pelaku usaha dalam hal ini adalah pemilik depot air minum adalah berupa perjanjian jualbeli dengan obyeknya berupa air minum isi ulang. Perjanjian jual beli merupakan perjanjian yang paling lazim diadakan diantara masyarakat. Sedang dalam perekonomian, seorang penjual melepaskan hak miliknya atas suatu barang oleh karena dianggap kurang perlu untuk memenuhi kebutuhan perekonomiannya secara mendapat hak milik atas barang itu. Maka adalah layak apabila dianggap bahwa tujuan perekonomian adalah memindahkan hak milik atas suatu barang dari seorang tertentu kepada orang lain. 2 Jual beli merupakan suatu perjanjian timbal balik, dimana pihak yang satu (penjual) berjanji untuk menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang lain (pembeli) untuk membayar harga yang terdiri atas sejumlah uang sebagai imbalan atas perolehan atas hak milik tersebut 3 Dari pengertian jual beli tersebut, perjanjian jual beli membebankan 2 kewajiban, yaitu 4 : 1. Kewajiban pihak penjual, menyerahkan barang yang dijual kepada pembeli 2. Kewajiban pihak pembeli, membayar harga barang yang dibeli kepada penjual.
2
Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Persetujuan-Persetujuan Tertentu, Sumur Bandung, Jakarta, 197, hlm. 17. 3 Subekti, Aneka Perjanjian, Ctk. Kesembilan, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1992, hlm. 1 4 M. Yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Ctk. Kedua, Penerbit Alumni, Bandung, 1986, hlm. 18.
9
Jual beli dalam konteks perjanjian dinyatakan bersifat konsensual, artinya perjanjian dianggap telah terjadi jika sudah ada kesepakatan. Pendapat ini diperkuat lagi dengan melihat ketentuan Pasal 1458 KUH Perdata yang menyatakan : “ jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang kebendaan tersebut dan harganya meskipun kebendaan tersebut belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Perjanjian jual beli juga bersifat obligatoir, dimana pihak-pihak sepakat untuk melakukan penyerahan suatu benda kepada pihak lain, sebagaimana diatur dalam Pasal 1459 KUH Perdata, “hak milik atas barang yang dijual tidaklah berpindah kepada si pembeli, selama penyerahannya belum dilakukan menurut Pasal 612, 613 dan 616”. Selain kedua sifat tersebut diatas, dalam perjanjian terdapat beberapa asas yang terdapat di dalamnya diantaranya asas kebebasan berkontrak, asas pacta sund servanda atau mengikat seperti undang-undang, dan asas iktikad baik. Pengertian perlindungan konsumen terwujud dalam ketentuan Pasal 1 ayat(1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yaitu “ segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen”. Kalimat yang menyatakan “segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum”, diharapkan sebagai benteng untuk meniadakan tindakan sewenang-wenang yang merugikan pelaku usaha hanya
10
demi untuk kepentingan perlindungan konsumen. 5 Pengertian tersebut kemudian diparalelkan dengan definisi konsumen yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999,”konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/ atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain, maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. Pernyataan tidak untuk diperdagangkan yang dinyatakan dalam definisi dari konsumen ini ternyata memang dibuat sejalan dengan pengertian pelaku usaha yang diberikan oleh Undang-Undang, di mana dikatakan bahwa yang dimaksud dengan pelaku usaha adalah : 6 Setiap perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan usaha dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Baik konsumen dan pelaku usaha, selain mempunyai hak, mereka
juga
mempunyai kewajiban baik yang timbul karena perjanjian antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan hukum tersebut maupun yang lahir karena undangundang. UU Perlindungan Konsumen mengatur tentang hak konsumen yang terdapat pada Pasal 4, yaitu: a.
hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa;
5
Ahmadi Miru, Sutarman Yodo, Hukum Perlindungan Konsumen, Cetakan Kesatu, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2004, hlm. 1. 6 Gunawan Widjaja, Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, Cetakan Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003, hlm. 5
11
b.
hak untuk memilih dan mendapatkan barang dan/atau jasa sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.
hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa;
d.
hak untuk didengar pendapat dan keluhannya atas barang dan/atau jasa yang digunakan;
e.
hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.
hak untuk mendapat pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.
hak untuk diperlakukakan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.
hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya;
i.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Kewajiban konsumen diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999
tentang Perlindungan Konsumen , yaitu: a.
membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian atau pemanfaatan barang dan/atau jasa demi keamanan dan keselamatan;
b.
beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa;
c.
membayar sesuai dengan nilai tukar yang disepakati;
12
d.
mengikuti upaya penyelesaian hukum sengketa perlindungan konsumen secara patut. hak pelaku usaha menurut Pasal 6 Undang-Undang No.8 Tahun 1999, yaitu:
a.
hak untuk menerima pembayaran yang sesuai dengan kesepakatan mengenai
kondisi
dan
nilai
tukar
barang
dan/atau
jasa
yang
diperdagangkan; b.
hak untuk mendapat perlindungan hukum dari tindakan konsumen yang beriktikad tidak baik;
c.
hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
d.
hak untuk rehabilitasi nama baik apabila terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
e.
hak-hak yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. Selain hak-hak tersebut dibebankan pula atas kewajiban-kewajiban pelaku
usaha yang diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999, yaitu: a.
beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
b.
memberikan informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jaa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan, dan pemeliharaan;
c.
memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
13
d.
menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
e.
memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan atau di perdagangkan;
f.
memberi kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian. Untuk diperolehnya hak konsumen dan pelaku usaha serta dilaksanakannya
kewajiban masing-masing pihak tersebut diperlukan adanya pembinaan serta pengawasan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen. Salah satu badan non departemen yang melakukan pengawasan agar produk yang tersedia di pasaran sesuai dengan standar adalah Badan POM. Badan POM ini pada awalanya berada di bawah Dinas Kesehatan, namun sejak tahun 2001 tidak lagi di bawah Dinas Kesehatan, Badan POM
merupakan lembaga
non departemen yang
independen. Badan POM mempuyai Tugas dan Wewenang : 1. Pengaturan, regulasi, dan standardisasi; 2. Lisensi dan sertifikasi industri di bidang farmasi berdasarkan Cara-cara Produksi yang baik; 3. Evaluasi produk sebelum diizinkan beredar ; 4. Post marketing vigilance termasuk sampling dan pengujian laboratorium; pemeriksaan sarana produksi dan distribusi, penyidikan dan penegakan
14
hukum; 5. Pre-audit dan pasca-audit iklan dan promosi produk; 6. Riset terhadap pelaksanaan kebijakan pengawasan obat dan makanan, dan; 7. Komunikasi, informasi dan edukasi publik termasuk peringatan publik. Badan Pengawas Obat dan Makanan dalam menjalankan fungsinya sebagaimana
E.
Metode Penelitian 1. Obyek Penelitian Perlindungan hukum bagi konsumen Air Minumt Isi Ulang di Kabupaten Sleman 2. Subyek Penelitian a. Lembaga Konsumen Yogyakarta b. Balai Besar Pengawasan Obat dan Makanan Yogyakarta c. Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Sleman d. Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman d. Konsumen air minum depot isi ulang di wilayah Kabupaten Sleman e. Pengelola depot isi ulang air minum di wilayah Kabupaten Sleman 3. Sumber Data Penelitian a. Data Primer Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari responden penelitian.
15
b. Data Sekunder Data sekunder ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier yaitu : 1) Bahan hukum primer Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang bersifat mengikat yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan, meliputi : a. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata; b. Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; c. Keputusan Menteri Kesehatan No. 907/MenKes/SK/VII/2002 tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air minum; d. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No. 651/MPP/Kep/10/2004 tentang Persyaratan Teknis Depot Air Minum dan Perdagangannya; e. Peraturan Derah Kabupaten Tingkat II Sleman No.16 Tahun 2003 Tentang Izin Di Bidang Industri,dan; f. Peraturan Daerah Kabupaten Tingkat II Sleman No.18 Tahun 1996 Tentang Pengawasan Kualitas Air. 2) Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, meliputi : buku-buku hasil-hasil penelitian, dan makalah-makalah yang terkait dengan
16
masalah perlindungan hukum bagi konsumen produk air minum depot isi ulang. 3) Bahan hukum tersier Bahan hukum tersier yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder, meliputi : a. Kamus Hukum; b. Kamus Bahasa Indonesia. 4. Tekhnik Pengumpulan Data a. Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut : 1) Wawancara dengan mengadakan tanya-jawab secara langsung kepada responden mengenai hal-hal yang terkait dengan obyek penelitian. 2) Kuesioner dengan menggunakan model kuesinor gabungan yaitu pertanyaan telah tersusun rapi sementara jawaban telah tersedia tinggal dipilh oleh responden tetapi masih tetap member kesempatan pada responden untuk menjawab dengan kalimatnya sendiri. b. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut : Studi
Pustaka
dengan
mengkaji
berbagai
peraturan
perundang-
undangan dan literatur yang berhubungan dengan masalah penelitian.
17
5. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan adalah Yuridis-Normatif, yaitu cara pandang dengan melihat ketentuan atau peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan permasalahan yang ada, dimana dalam hal ini adalah perlindungan hukum konsumen air minum depot isi ulang. 6. Analisa Data Data yang diperoleh penulis dari studi pustaka maupun studi lapangan kemudian dianalisis secara diskriptif kualitatif yaitu dengan mengolah data yang langsung dinyatakan oleh subyek penelitian baik secara tertulis maupun secara lisan yang dituangkan dalam bentuk uraian kalimat sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang dapat menjawab permasalahan yang ada.
F. Sistematika Untuk memudahkan memahami materi penelitian ini, maka sistematika dibuat sebagai berikut : Bab I adalah bab pendahuluan yang mengemukakan secara singkat keseluruhan pokok isi tulisan yang didalamnya mencakup masalah, rumusan masalah,
latar belakang
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian,dan sistematika. Bab II membahas tentang Perjanjian pada umumnya, perjanjian jual-beli, dan hukum perlindungan konsumen.
18
Bab III membahas mengenai gambaran umum industri air minum isi ulang di Kabupaten Sleman, serta bagaimana perlindungan hukum terhadap konsumen air minum isi ulang di Kabupaten Sleman dan kemungkinan Balai Besar POM Yogyakarta dipertanggunggugatkan terhadap konsumen yang mengalami kerugian akibat mengkonsumsi air minum isi ulang yang tidak sesuai standar. Bab IV penutup yang berisi kesimpulan yang berhasil diperoleh setelah mengadakan pembahasan pada bab-bab sebelumnya dan beberapa saran yang semoga ada manfaatnya untuk dikaji.