BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Hakikat Latihan a. Pengertian Latihan Menurut Harsono dalam Giriwijoyo, dkk (2005: 43) latihan atau training adalah suatu proses berlatih yang sistematis yang dilakukan secara berulang-ulang, dan yang kian hari jumlah beban latihannya kian bertambah. Sistematis berarti bahwa pelatihan dilaksanakan secara teratur, berencana, menurut jadwal, menurut pola, menurut sistem tertentu, metodis, bersinambung dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Berulang-ulang berarti bahwa gerakan yang dipelajari harus dilatih secara berulang kali (mungkin berpuluh atau beratus kali) agar gerakan yang semula sukar dilakukan dan koordinasi gerakan yang masih kaku menjadi kian mudah, otomatis dan reflektif pelaksanaannya. Demikian pula agar pola serta koordinasi gerak menjadi semakin halus sehingga semakin menghemat energi (efisien). Beban kian hari kian bertambah berarti secara berkala beban latihan harus ditingkatkan manakala sudah tiba saatnya untuk ditingkatkan. Sukadiyanto (2010: 7) mengatakan bahwa latihan berasal dalam kata bahasa Inggris yang dapat mengandung beberapa makna seperti: practice, exercises, dan training. Dalam bahasa Indonesia kata-kata tersebut semuanya mempunyai arti yang sama yaitu latihan. Namun,
8
9
dalam bahasa Inggris kenyataanya setiap kata tersebut memiliki maksud yang berbeda-beda. Dari beberapa istilah tersebut, setelah diaplikasikan di lapangan memang nampak sama kegiatanya, yaitu aktivitas fisik. Pengertian latihan yang berasal dari kata practice adalah aktivitas untuk meningkatkan keterampilan (kemahiran) berolahraga dengan menggunakan berbagai peralatan sesuai dengan tujuan dan kebutuhan cabang olahraganya. Artinya, selama dalam kegiatan proses berlatih melatih agar dapat menguasai keterampilan gerak cabang olahraganya selalu dibantu dengan menggunakan berbagai peralatan pendukung. Sebagai contoh, apabila pseorang pemain sepakbola agar dapat menggiring bola dalam penguasaanya penuhm maka perlu practice dalam menggiring bola. Untuk itu diperlukan alat bantu seperti pancang yang disusun berjarak 1 meter sebanyak 10 pancang. Pemain tersebut berusaha lari sambil menggiring bola dengan cara zig-zag melewati pancang-pancang. Dalam proses berlatih melatih practice sifatnya sebagai bagian dari proses latihan yang berasal exercise. Artinya, dalam setiap proses latihan yang berasal dari kata exercises pasti ada bentuk latihan practice. Selain pendapat tersebut, ada beberapa pendapat para ahli di antaranya McMorris & Hale (2006: 97) juga mengemukakan hal yang berkaitan dengan kata practice, yaitu “practice is essential if learning is to take place. To the congnitivists, practice follows instruction. It is the keyfactor in the intermediate and autonomous stages of fits and posner,
10
would see it as being when we move from declarative knowledge (knowing what to do) to procedural knowledge (developing the ability to perform the task)”. Maksud dari pernyataan McMorris & Hale, praktik adalah hal yang penting untuk mengembangkan pengetahuan dengan mengikuti instruksi-instruksi yang diberikan yang akan mengubah pengetahuan deklaratif (mengetahui apa yang harus dilakukan) hingga pengetahuan prosedural (mengembangkan kemampuan untuk melakukan tugas). Menurut Drake (2009: 51) ada beberapa hal penting di dalam practice yang baik, yaitu “offers areas of provision on a continuous basis to enable children to develop ideas and understanding over time. Encourage children as independent learners and thinkers within the environment, organizing provision to promote self selection and decision making”. Maksud dari pernyataan Drake, dengan practice secara terusmenerus maka akan memungkinkan anak untuk mengembangkan ide dan pemahaman dari waktu ke waktu. Practice juga mendorong anak-anak untuk dapat mandiri dan mengembangkan kreativitas dalam pengambilan keputusan. “To achieve excellence in any domain, individuals have to spend a considerable amount of time trying to improve performance through practice related activities” (Ericsson, Krampe, & Tesch-Römer, 1993: 363). Maksud pendapat tersebut yaitu untuk mencapai berbagai domain yang baik, individu menggunakan banyak waktu mencoba untuk
11
meningkatkan kemampuan melalui aktivitas yang berhubungan dengan latihan (practice). Menurut Sukadiyanto (2010: 7) pengertian latihan yang berasal dari kata exercises adalah perangkat utama dalam proses latihan harian untuk meningkatkan kualitas fungsi organ tubuh manusia, sehingga mempermudah olahragawan dalam penyempurnaan geraknya. Latihan exercises merupakan materi latihan yang dirancang dan disusun oleh pelatih untuk satu sesi latihan atau satu kali tatap muka dalam latihan. Birch et al. (2005: 1) mengemukakan latihan yang berasal dari kata exercise yaitu “exercise is defined as repetitive physical activity or movement aimed at improving or maintaining fitness or health”. Maksud dari pernyataan Birch et al. latihan didefinisikan sebagai aktivitas fisik yang berulang atau gerakan yang bertujuan untuk meningkatkan atau mempertahankan kebugaran maupun kesehatan. Pengertian latihan yang berasal dari kata training adalah penerapan dari suatu perencanaan untuk meningkatkan kemampuan berolahraga yang berisikan materi teori dan praktek, metode, dan aturan pelaksanaan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang akan dicapai (Martin dalam Sukadiyanto, 2010: 8). Menurut Bompa (2009: 3) training is usually defined as systematic process of long duration, repetitive, progressive exercises, having the ultimate goal of improving athletic performance.
12
Latihan biasanya didefinisikan sebagai suatu proses sistematis yang dilakukan dalam jangka waktu panjang, berulang-ulang, progresif, dan mempunyai tujuan untuk meningkatkan penampilan fisik. Menurut Reilly (2005: 1) training is an essential part of preparing for sports competition. If training for soccer is to be effective it must be related to the demands of the game. Latihan merupakan bagian penting dari persiapan menuju kompetisi olahraga. Apabila latihan sepakbola, yang efektif seharusnya berhubungan dengan kebutuhan dalam permainan. Selanjutnya Gordon (2009: 90) mengemukakan training can be viewed as a very powerful stimulus which evokes a response in the body, the result of which is adaptation. Maksud dari pernyataan Gordon, latihan dapat
dilihat
sebagai
stimulus
yang sangat
kuat
yang dapat
membangkitkan respon dalam tubuh, yang hasilnya adalah adaptasi. Berdasarkan beberapa pengertian latihan tersebut, diketahui bahwa latihan sangat berperan penting bagi atlet untuk mencapai prestasi, dengan adanya program latihan yang disusun dan di implementasikan secara kontinyu, maka atlet akan terbiasa beradaptasi serta meningkatkan kualitas fisik maupun psikis. Pada prinsipnya latihan merupakan suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik, yaitu untuk meningkatkan: kualitas fisik, kemampuan fungsional peralatan tubuh, dan kualitas psikis anak latih. Jadi dapat disimpulkan bahwa latihan merupakan aktivitas fisik yang dilakukan secara sistematis, dalam jangka waktu yang panjang, dilakukan berulang-ulang, meningkat, dan dengan sebuah metode
13
tertentu sesuai tujuan yang diinginkan. Proses berlatih yang dilakukan secara teratur, terencana, berulang-ulang dan semakin lama semakin bertambah beban, serta dimulai dari yang sederhana ke yang kompleks. Practice adalah suatu bagian dari bentuk aktivitas yang dilakukan dengan menggunakan berbagai peralatan sesuai dengan tujuan dan kebutuhan cabang olahraganya. Exercise adalah aktivitas yang dilakukan dalam satu sesi atau satu kali tatap muka sedangkan training merupakan suatu latihan yang dilakukan secara berulang-ulang, teratur dan terprogram yang berlangsung dalam beberapa hari atau bulan. Salah satu ciri latihan yang baik yang dikemukakan oleh Sukadiyanto (2010: 9) berasal dari kata practice, exercises, maupun training, adalah adanya beban latihan. Oleh karena diperlukanya beban latihan selama proses berlatih melatih agar hasil latihan dapat berpengaruh terhadap peningkatan kualitas fisik, psikis, sikap, dan sosial olahragawan, sehingga puncak prestasi dapat dicapai dalam waktu yang singkat dan dapat bertahan relatif lebih lama. Latihan yang sistematis adalah dilakukan secara teratur, latihan tersebut berlangsung beberapa kali dalam satu minggu, tergantung pada standart atlet dan periode latihan. Selanjutnya latihan tersebut dilakukan berdasarkan suatu sistem yang mengikuti prinsip-prinsip latihan yang bersikap dasar. Dalam penelitian ini latihan dilaksanakan tiga kali pertemuan dalam satu minggu sesuai jadwal latihan ekstrakurikuler atletik SD Negeri Surodadi 1 yaitu pada hari Selasa, Kamis dan Sabtu.
14
b. Tujuan Latihan Tujuan utama latihan adalah untuk membantu atlet meningkatkan keterampilan dan prestasinya semaksimal mungkin. Agar dapat mencapai hal itu ada empat aspek latihan yang perlu diperhatikan dan dilatih secara seksama oleh atlet, yaitu: 1) Latihan Fisik (physical training) tanpa kondisi fisik yang baik atlet tidak bias mengikuti latihan-latihan dengans empurna. Latihan fisik hendaklah menunjang perkembangan fisik secara menyeluruh. 2) Latihan Teknik (technical training) latihan untuk mempermahir teknik-teknik gerakan yang diperlukan untuk melakukan cabang olahraga yang dilakukan atlet. Latihan teknik juga bermanfaat untuk membentuk dan mengembangkan kebiasaan-kebiasaan motorik atau perkembangan neuromuscular. 3) Latihan Taktik (tactical training) bertujuan untuk menunjukan perkembangan interpretatif atau daya tafsir pada atlet. Teknik gerakan-gerakan yang sudah dikuasai dengan baik harus dituangkan dan diorganisir dalam bentuk-bentuk, strategi-strategi dan taktiktaktik, sehingga berkembang menjadi satu kesatuan gerak yang sempurna. 4) Latihan Mental (psychological training) untuk mempertinggi efisiensi mental atlet terutama apabila atlet dalam situasi stress yang komplek. Latihan mental adalah latihan-latihan yang lebih menekan pada perkembangan kedewasaan atlet serta perkembangan emosional.
15
Sedangkan menurut Sukadiyanto (2010: 9) tujuan latihan adalah: 1) Meningkatkan kualitas fisik dasar secara umum dan menyeluruh. 2) Mengembangkan dan meningkatkan potensi fisik yang khusus. 3) Menambah dan menyempurnakan teknik. 4) Mengembangkan dan menyempurnakan strategi. 5) Meningkatkan kualitas dan kemampuan psikis olahragawan dalam bertanding. c. Prinsip Latihan A basic principle of training is that the biological system to be affected is overloaded. The training stimulus or stress presented is greater than that which the individual is normally accustomed to (Reilly 2007: 2). Prinsip dasar dari latihan adalah memberikan pengaruh maksimal terhadap sistem dalam tubuh. Stimulus latihan atau rangsang yang dilakukan lebih besar dari pada ketika individu beraktivitas normal seperti biasa. Menurut Sukadiyanto (2010: 18) prinsip latihan merupakan hal-hal yang harus ditaati, dilakukan atau dihindari agar tujuan latihan dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan. Prinsip-prinsip latihan memiliki peranan penting terhadap aspek fisiologis dan psikologis bagi olahragawan.
Dengan
memahami
prinsip-prinsip
latihan
akan
mendukung upaya dalam meningkatkan kualitas suatu latihan. Selain itu, akan dapat menghindarkan olahragawan dari rasa sakit dan timbul cedera selama dalam proses latihan. Menurut Furqon (1995: 5) prinsip-prinsip latihan adalah garis pedoman suatu latihan terorganisasi dengan baik
16
yang harus digunakan. Prinsip-pinsip semacam itu menunjuk pada semua aspek dan kegiatan latihan, prinsip-prinsip itu menentukan isi, cara dan metode serta organisasi latihan. Menurut Sukadiyanto (2010: 19) macam-macam prinsip latihan adalah sebagai berikut: 1) Prinsip kesiapan; 2) Prinsip individual; 3) Prinsip adaptasi; 4) Prinsip beban lebih; 5) Prinsip progresif; 6) Prinsip spesifikasi; 7) Prinsip variasi; 8) Prinsip pemanasan dan pendinginan; 9) Prinsip latihan jangka panjang; 10) Prinsip berkebalikan; 11) Prinsip moderat (tidak berlebih); 12) Prinsip sistematik. Menurut Husein, et al. (2007: 46) bahwa prinsip latihan ada empat yaitu prinsip pedagogik, prinsip individual, prinsip keterlibatan aktif dan prinsip variasi. Menurut Irianto (2002: 43) tiga prinsip latihan yaitu: 1) Prinsip Beban Lebih (Overload). Tubuh manusia tersusun atas berjuta-juta sel yang masing-masing mengemban tugas sesuai dengan fungsinya, sel-sel tersebut mempunyai kemampuan untuk menyesuaikan diri terhadap latihan. Apabila tubuh diberikan beban latihan yang tepat, dengan kian hari menambah beban latihan maka tubuh akan mengalami peningkatan kemampuan. 2) Prinsip Kembali Asal (Reversible). Maksudnya, adaptasi latihan yang dicapai akan berkurang bahkan hilang, jika latihan tidak dilakukan secara teratur dengan takaran yang tepat. 3) Prinsip Kekhususan (Specifity). Model latihan yang dipilih harus disesuaikan dengan tujuan latihan yang hendak dicapai. Dalam satu kali tatap muka, seluruh prinsip latihan dapat diterapkan secara bersamaan dan saling mendukung. Apabila ada prinsip latihan yang tidak diterapkan, maka akan berpengaruh terhadap keadaan fisik dan psikis olahragawan (Sukadiyanto, 2010: 18). Menurut Irianto,
17
dkk (2009: 43) bahwa untuk mencapai tujuan latihan atau fitness secara optimal, maka perlu mengetahui prinsip-prinsip dasar dalam latihan fitness yang memiliki peranan yang sangat penting terhadap aspek fisiologis maupun psikologis. Menurut Husein et al. (2007: 46) bahwa prinsip latihan ada empat yaitu: Prinsip pedagogik, prinsip individual, prinsip keterlibatan aktif dan prinsip variasi. d. Komponen Latihan Menurut Sukadiyanto (2010: 40) komponen latihan merupakan kunci atau hal penting yang harus dipertimbangkan dalam menentukan dosis dan beban latihan. Selain itu komponen latihan sebagai pedoman dan tolok ukur yang sangat menentukan untuk tercapai tidaknya suatu tujuan dan sasaran latihan yang telah disusun dan dilaksanakan. Menurut Reilly (2007: 4) the dimensions of exercise are its intensity, its duration and its frequency. A consideration relevant to these factors is the type of exercise performed. Dimensi dari latihan adalah intensitas, durasi dan frekuensi. Sebuah pertimbangan yang berhubungan dengan faktor ini adalah tipe latihan yang dilakukan. Menurut Bompa & Haff (2009: 79) semua komponen latihan harus ditingkatkan sesuai dengan perbaikan atau kemajuan yang dicapai atlet secara keseluruhan dan terpantau dengan benar. Komponen-komponen latihan antara lain volume latihan, intensitas latihan, densitas latihan dan kompleksitas latihan.
18
1) Volume Latihan Sebagai komponen utama latihan, volume adalah persyaratan yang sangat penting untuk mendapatkan teknik yang tinggi, taktik dan khususnya pencapaian fisik (Bompa & Haff, 2009: 79). Menurut Sukadiyanto (2010: 40) volume adalah ukuran yang menunjukkan kuantitas (jumlah) suatu rangsang atau pembebanan. Adapun dalam proses latihan cara yang digunakan untuk meningkatkan volume latihan dapat dilakukan dengan cara diperberat, diperlama, dipercepat, atau diperbanyak. Menurut Bompa (2009: 40) volume latihan disebut dengan jangka waktu yang dipakai selama sesi latihan atau durasi yang melibatkan beberapa bagian secara integral yang meliputi: waktu atau jangka waktu yang dipakai dalam latihan, jarak atau jumlah tegangan yang dapat ditanggulangi atau diangkat persatuan waktu, jumlah pengulangan bentuk latihan atau elemen teknik yang dilakukan dalam waktu tertentu. Sehingga diperkirakan bahwa volume terdiri dari jumlah keseluruhan dari kegiatan yang dilakukan dalam latihan. Volume diartikan sebagai jumlah kerja yang dilakukan selama satu kali latihan atau selama fase latihan. Peningkatan volume latihan merupakan puncak latihan dari semua cabang olahraga yang memiliki komponen aerobik, hal yang sama terjadi juga pada cabang olahraga yang menuntut kesempurnaan teknik atau keterampilan taktik.
19
Menurut Sukadiyanto (2010: 40) adapun dalam proses latihan cara yang digunakan untuk meningkatkan volume latihan dapat dilakukan
dengan
cara
menambah
berat,
memperlambat,
mempercepat, atau memperbanyak latihan itu sendiri. Apabila volume latihan telah mencukupi, maka lebih bijaksana untuk meningkatkan jumlah satuan latihan daripada menambah volume kerja. 2) Intensitas Latihan Menurut Suharjana (2008: 15) intensitas latihan adalah fungsi dari kekuatan rangsangan syaraf yang dilakukan dalam latihan dan kekuatan rangsangan tergantung dari beban kecepatan gerakan, variasi interval atau istirahat di antara tiap ulangan. Elemen yang tidak kalah penting adalah tekanan kejiwaan sewaktu latihan. Jadi intensitas dapat diukur sesuai dengan kecepatan. Menurut Bompa (2009: 4) intensitas adalah tinggi rendahnya beban (ambang rangsang) yang akan digunakan untuk latihan. Intensitas latihan dapat diperkirakan dengan cara menghitung persentase denyut jantung saat latihan dari denyut jantung maksimal. Sukadiyanto (2010: 43) intensitas adalah ukuran yang menunjukkan kualitas (mutu) suatu rangsang atau pembebanan. Untuk menentukan besarnya ukuran intensitas antara lain ditentukan dengan cara sebagai berikut:
20
a) Denyut jantung per menit Denyut jantung per menit sebagai ukuran intensitas dihitung berdasarkan denyut jantung maksimal. Denyut jantung maksimal orang kebanyakan biasanya dihitung menggunakan rumus 220 – usia. Pada umumnya bagi orang yang terlatih cenderung memiliki denyut jantung istirahat yang lebih sedikit daripada orang kebanyakan atau yang tidak terlatih. b) Kecepatan (waktu tempuh) Kecepatan dapat sebagai ukuran intensitas, yaitu lamanya waktu tempuh yang digunakan untuk mencapai jarak tertentu. Misalnya pelari berlari menempuh jarak 100 meter dengan lama waktu tempuh 12:50 detik. Untuk menentukan intensitas latihannya dengan cara jarak tempuh dibagi waktu tempuh, menjadi 100/12:50 detik = 8 meter/detik. Artinya kecepatan pelari tersebut setiap 8 meter memerlukan waktu tempuh 1 detik, sehingga ukuran intensitas latihannya adalah 8 meter/detik. c) Jarak tempuh Jarak tempuh dapat sebagai ukuran intensitas, yaitu kemampuan seseorang dalam menempuh jarak tertentu dalam waktu tertentu. Sebagai contoh adalah kebalikan dari kecepatan (waktu tempuh) tersebut, yaitu intensitas latihan dengan menggunakan kecepatan 8 meter/detik. Sedangkan dalam intensitas yang menggunakan jarak
21
tempuh 8 meter/detik diartikan bahwa dalam setiap 1 detik pelari tersebut mampu berlari menempuh jarak 8 meter. d) Jumlah repetisi (ulangan) per waktu tempuh (menit/detik) Jumlah repetisi dapat sebagai ukuran intensitas, yaitu dengan cara melakukan satu bentuk aktivitas dalam waktu tertentu dan mampu melakukannya dalam beberapa ulangan. Contohnya seseorang melakukan aktivitas seperti sit ups, back ups, atau push ups sebanyak-banyaknya dalam waktu 30 detik mampu melakukan 25 kali. e) Pemberian waktu recovery dan interval Semakin singkat pemberian waktu recovery dan interval selama latihan, berarti semakin tinggi intensitas latihannya. Menurut Sukadiyanto (2010: 43) recovery adalah waktu istirahat yang diberikan pada saat antar set atau antar repetisi (ulangan). Interval adalah waktu istirahat yang diberikan pada saat antar seri, antar sirkuit, atau antar sesi per unit latihan. Pada prinsipnya pemberian waktu recovery selalu lebih pendek (singkat) daripada pemberian waktu interval. 3) Densitas latihan Menurut Sukadiyanto (2010: 44) bahwa densitas latihan adalah ukuran yang menunjukkan padatnya waktu perangsangan (lamanya pembebanan). Padat atau tidaknya waktu perangsangan (densitas) ini sangat dipengaruhi oleh lamanya pemberian waktu recovery dan
22
interval. Semakin pendek waktu recovery dan interval yang diberikan, maka densitas latihan semakin tinggi (padat), sebaliknya semakin lama waktu recovery dan interval yang diberikan, maka densitas latihan semakin rendah (kurang padat). Sebagai contoh waktu latihan (durasi) selama 3 jam dalam satu kali tatap muka, densitas latihan (waktu efektif) dapat hanya berlangsung selama 1 jam 30 menit karena dikurangi total waktu recovery dan interval yang lama, sehingga dapat dikatakan densitas latihan menjadi berkurang (rendah). 4) Kompleksitas latihan Kompleksitas latihan dikaitkan kepada kerumitan bentuk latihan yang dilaksanakan dalam latihan (Bompa & Haff, 2009: 28). Menurut Bompa& Haff (2009: 28) kompleksitas dari suatu keterampilan dapat menjadi penyebab yang penting dalam menambah intensitas latihan. Keterampilan teknik yang rumit atau sulit, mungkin akan menimbulkan permasalahan dan akhirnya akan menyebabkan tekanan tambahan terhadap otot, khususnya selama tahap di mana koordinasi syaraf otot berada dalam keadaan lemah. Semakin sulit bentuk latihan semakin besar juga perbedaan individual serta efisiensi mekanismenya. 2. Metode Latihan Drill Menurut Rusman (2012: 290) metode drill adalah suatu metode dalam latihan dengan melatih atlet terhadap materi yang diberikan. Melalui metode drill akan ditanamkan kebiasaan tertentu dalam bentuk latihan.
23
Dengan latihan yang terus menerus, maka akan tertanam dan kemudian akan menjadi kebiasaan. Misalnya yaitu dengan melakukan gerakan teknik-teknik secara berulang-ulang. Menurut Ma’mum & Subroto (2001: 7) metode drill adalah cara belajar yang lebih menekankan komponen-komponen teknik. Menurut Sudjana dalam Patrianti (2014: 16) metode drill adalah suatu kegiatan melakukan hal yang sama, berulang-ulang secara sungguhsungguh
dengan
tujuan
untuk
memperkuat
suatu
asosiasi
atau
menyempurnakan suatu keterampilan agar menjadi bersifat permanen. Menurut Sugiyanto (1993: 371) dalam metode drill siswa melakukan gerakan-gerakan sesuai dengan apa yang diinstruksikan guru dan melakukannya secara berulang-ulang. Latihan berulang-ulang gerakan ini dimaksudkan agar terjadi otomatisasi gerakan. Oleh karena itu, dalam metode drill perlu disusun tata urutan pembelajaran yang baik agar siswa terlibat aktif, sehingga akan diperoleh hasil belajar yang optimal. Keaktifan siswa melakukan tugas ajar sangat dituntut dalam metode konvensional. Kelangsungan proses latihan pada tahap berikutnya ialah penguasaan teknik yang ideal. Hal ini tergantung pada inisiatif dan selfactivity dari pihak siswa itu sendiri. Sedangkan guru bertugas mengarahkan penguasaan gerak, melakukan koreksi dan evaluasi setiap terjadi kesalahan teknik adalah penting terhindar dari pola gerakan yang salah dari teknik yang dipelajari. Seperti dikemukakan Sugiyanto (1993: 372) bahwa, setiap pelaksanaan drill perlu selalu mengoreksi agar perhatian tertuju pada kebenaran gerak.
24
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut disimpulkan bahwa metode latihan drill adalah metode dalam latihan dengan melakukan hal yang sama, berulang-ulang secara sungguh-sungguh dengan tujuan untuk memperkuat suatu asosiasi atau menyempurnakan suatu keterampilan agar menjadi kebiasaan yang bersifat permanen. 3. Metode Latihan Interval Latihan secara interval merupakan serentetan latihan yang diselingi dengan istirahat tertentu. Faktor istirahat haruslah diperhitungkan setelah jasmani melakukan kerja berat akibat latihan. Sistem latihan secara interval digunakan hampir pada semua cabang olahraga. Menurut Suharno (1993: 17) prinsip interval sangat penting dalam latihan yang bersifat harian, mingguan, bulanan, kuwartalan, tahunan yang berguna untuk pemulihan fisik dan mental atlet dalam menjalankan latihan. Pada dasarnya istilah interval terkait erat dengan recovery sebab kedua istilah tersebut memiliki makna yang sama, yaitu pemberian waktu istirahat yang diberikan pada saat antar set atau antar repetisi (ulangan) (Sukadiyanto 2010: 41). Latihan interval adalah suatu metode latihan yang diselingi oleh interval yang berupa istirahat. Interval training untuk daya tahan biasanya intensitas larinya rendah sampai medium sekitar 50% -70% dari kemampuan maksimal. Ada beberapa faktor yang harus dipenuhi dalam menyusun interval training yaitu : 1. Lamanya latihan 2. Intensitas latihan
25
3. Ulangan (repetisi) 4. Masa istirahat setiap repetisi latihan Menurut Sukadiyanto (2010: 41) metode latihan interval adalah suatu metode latihan yang diselingi oleh interval yang berupa istirahat. Interval adalah waktu istirahat yang diberikan pada saat antar seri, antar sirkuit, atau antar sesi per unit latihan. Selanjutnya Sukadiyanto (2010: 156) pemberian waktu recovery dan interval merupakan faktor penting agar latihan kekuatan dapat diadaptasi oleh otot. Waktu recovery dan interval tergantung dari macam kekuatan yang dilatih, jumlah otot yang terlibat, kemampuan olahragawan, irama dan durasi latihan. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut disimpulkan bahwa dasar latihan interval adalah olahraga yang memberikan jeda di sela-sela aktivitas fisik. Misalnya, dengan mengubah kecepatan setiap menit secara bertahap adanya istirahat yang diselingkan pada waktu melakukan latihan. Istirahat diantara latihan tersebut dapat berupa istirahat pasif atau pun aktif. Interval yang dimaksud dalam penelitian ini adalah metode interval training bertujuan untuk meningkatkan kecepatan lari sejauh 50 meter siswa SD Negeri Surodadi 1 Candimulyo Magelang. 4. Hakikat Rasio Panjang Tungkai dan Tinggi Badan Panjang tungkai adalah jarak vertikal antara telapak kaki sampai dengan pangkal paha yang diukur dengan cara berdiri tegak. Panjang tungkai sebagai bagian dari postur tubuh memiliki hubungan yang sangat erat kaitannya sebagai penolak disaat melakukan lari dan lompatan. Panjang
26
tungkai sebagai salah satu anggota gerak bawah memiliki peran penting dalam unjuk kerja olahraga khususnya cabang olahraga atletik nomor lari 50 meter. Sebagai anggota gerak bawah, panjang tungkai berfungsi sebagai penopang gerak anggota tubuh bagian atas, serta penentu gerakan baik dalam berjalan, berlari, melompat. Panjang tungkai melibatkan tulangtulang dan otot-otot pembentuk tungkai baik tungkai bawah dan tungkai atas. Tulang-tulang pembentuk tungkai meliputi tulang-tulang kaki, tulang tibia dan fibula, serta tulang femur (Raven 1981: 14). Seperti definisinya tulang adalah penyangga/penopang tubuh dan terdiri atas kolagen, suatu protein yang berisi kalsium fosfat dan mineral yang memerikan kekuatan untuk menyangga seluruh organ tubuh. Ada berbagai jenis tulang diantaranya adalah tulang panjang, tulang pipih, dan tulang ireguler. Akan tetapi dalam hal ini yang termasuk di dalamnya adalah tulang anggota gerak bawah dikaitkan pada batang tubuh dengan perantara gelang panggul, yaitu tulang pangkal paha (coxae), tulang paha (femur), tulang kering (tibia), tulang betis (fibula), tempurung lutut (patela), tulang pangkal kaki (tarsalia), tulang telapak kaki (meta tarsalia), ruas jari-jari kaki (phalangea) (Syarifuddin (1992: 31). Berikut ini merupakan gambar dari struktur otot tungkai:
27
Gambar 1. Struktur Otot Tungkai (Sumber: Syarifuddin 1992: 31) Otot merupakan penggerak tulang. Otot dapat bergerak karena adanya sel otot. Otot bekerja dengan cara berkontraksi (memendek) dan berileksasi (memanjang) sehingga otot disebut alat gerak aktif. Ada beberapa jenis otot diantaranya adalah otot kepala, otot leher, otot pernapasan, otot anggota gerak atas, otot anggota gerak bawah dan lainlain. Otot-otot pembentuk tungkai yang terlibat pada pelaksanaan lari 50 meter adalah otot-otot anggota gerak bawah. Otot-otot anggota bawah terdiri dari beberapa kelompok otot, yaitu otot pangkal paha, otot tungkai atas, otot tungkai bawah, otot kaki (Raven 1981: 14). Perbandingan panjang tungkai dengan tinggi badan merupakan rasio ukuran anthropometrik yang secara biomekanikal dapat mendukung pencapaian prestasi lompat jauh dimana di dalam gerakan tubuh yang terjadi sebagai batang pengungkit adalah tulang paha atau femur, sebagai sumbu
28
adalah sendi panggul, yang menghasilkan gaya adalah kontraksi otot-otot ektensor sendi panggul, dan sebagai tahanan adalah berat bagian badan di atas sendi panggul. Pada sendi lutut, sebagai batang pengungkit adalah tulang tungkai bawah yang terdiri dari 2 bagian yaitu tibia dan fibula, sebagai sumbu adalah sendi lutut, yang menghasilkan gaya adalah kontraksi otot-otot ekstensor sendi lutut, dan sebagai tahanan adalah berat bagian badan mulai dari paha ke atas. Panjang tungkai bisa dikatakan relatif panjang apabila ditinjau dari segi perbandingannya dengan tinggi badan. Pada postur yang normal, panjang kaki dibanding togok pada orang dewasa adalah berimbang. Tetapi dalam kenyataan, tidak semua individu memiliki ukuran anthropometrik yang seimbang seperti itu. Ada individu yang memiliki kaki yang secara proporsional lebih panjang dibanding togok; dan sebaliknya ada juga yang memiliki togok yang lebih tinggi dibanding kakinya. Variasi perbandingan ukuran bagian-bagian tubuh tersebut terjadi karena adanya sebab tertentu. Salah satu faktor penyebab yang dikaji secara seksama adalah faktor irama pertumbuhan dan tempo perkembangan kematangan. Espenschade & Eckert dalam Lesmana (2008: 28) ada individu yang cepat matang, pada usia dewasanya akan memiliki kaki yang relatif lebih panjang dibanding togoknya. Pada individu yang lambat matang memiliki kaki yang relatif lebih panjang dibanding togoknya. Sedangkan perkembangan kematangan normal memilki kaki dan togok yang panjangnya seimbang.
29
Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa rasio panjang tungkai dengan tinggi badan adalah perbandingan prosentase ukuran anthropometrik jarak vertikal antara telapak kaki sampai dengan pangkal paha dengan jarak vertikal antara telapak kaki sampai dengan ujung kepala yang diukur dengan cara berdiri tegak. 5. Kecepatan Lari 50 Meter a. Pengertian Kecepatan Lari Menurut Sajoto (1995: 9) kecepatan adalah kemampuan seseorang unutk mengerjakan gerakan kesinambungan dalam waktu yang sesingkat singkatnya. Bompa (1994: 123) membagi kecepatan menjadi dua jenis yaitu kecepatan umum dan kecepatan khusus. Kecepatan umum adalah kemampuan untuk melakukan beberapa gerakan, melalui reaksi motorik dengan cara yang cepat. Sedangkan kecepatan khusus adalah kemampuan untuk melakukan suatu latihan atau keterampilan pada kecepatan-kecepatan tertentu dan biasanya pada kecepatannya yang sangat tinggi sesuai dengan cabang olahraga. Jonath (1987: 89) membagi kecepatan menjadi kecepatan siklik dan kecepatan asiklik. Kecepatan siklik adalah kecepatan hasil yang dihitung dari panjang dan frekuensi langkah. Sedangkan kecepatan asiklik adalah kecepatan yang terbatas pada kecepatan kontraksi otot. Menurut Sudjarwo (1993: 20) kecepatan lari adalah kemampuan untuk bergerak kedepan dengan kekuatan dan kecepatan maksimal yang dihasilkan oleh banyaknya frekuensi gerakan kaki serta panjang langkah.
30
Berdasarkan
uraian
beberapa
pendapat
tersebut,
dapat
disimpulkan bahwa kecepatan lari adalah suatu aktivitas fisik (berlari) yang dilaksanakan dengan menggunakan kecepatan tinggi tentu saja agar seorang atlet dapat berlari dengan kekuatan dan kecepatan yang maksimal. Lari cepat merupakan olahraga dalam cabang atletik dimana peserta berlari dengan kecepatan maksimal sepanjang jarak yang ditempuh. b. Lari 50 Meter Lari termasuk pada kategori keterampilan gerak siklis (cyclic movement). Struktur gerakkan lari secara utuh merupakan rangkaian gerak yang meliputi: start, gerakan lari, dan finish. Tujuan utama lomba lari adalah menempuh jarak tertentu (lari tanpa rintangan atau dengan rintangan) dengan waktu yang secepat mungkin. Menurut Soedarminto, dkk (1994: 12) pada gerak lari ada 3 faktor penting yang perlu diperhatikan yaitu: (1) Mula-mula pelari harus melakukan awalan sedini mungkin dan sekuat mungkin; (2) Mengubah kecepatan geak; (3) Memelihara kecepatan gerak setelah maksimal tercapai. Jika pelari bermaksud menambah kecepatan, pada umumnya cara yang dilakukan adalah memperpanjang langkah dan bukan memperbanyak langkah (step). Ini berarti pada saat itu pelari harus memperbesar power tolakan kaki kearah belakang. Untuk memelihara kecepatan lari, pelari harus mempertahankan sikap kemiringan tubuhnya, sedemikian rupa sehingga proyeksi titik berat jatuh tepat pada tumpuan
31
kaki depan dengan tanah. Kemiringan tubuh dimaksud juga dapat mengurangi gaya hambatan dari udara. Lari cepat atau sprint itu sendiri adalah semua perlombaan lari dimana peserta berlari dengan kecepatan maksimal sepanjang jarak yang harus ditempuh, sampai dengan jarak 400 meter masih dapat digolongkan dalam lari cepat. Menurut Muhajir (2004: 25) sprint atau lari cepat yaitu, perlombaan lari dimana peserta berlari dengan kecepatan penuh yang menempuh jarak 100 m, 200 m, dan 400 m. Pada umumnya dikenal 3 cara melakukan start atau tolakan yaitu: 1) Start berdiri (standing start) 2) Start melayang (flying start) 3) Start jongkok (crouching start) Sesuai aba-aba yang diberikan, urutan gerakan dan sikap dalam start jongkok dibagi menjadi 3 tahapan yaitu: sikap start setelah aba-aba “bersedia”, sikap start setelah aba-aba “siap”, dan sikap start setelah abaaba “ya” atau terdengar letusan pistol. Menurut Chaniago (2010: 11) lari 50 meter merupakan salah satu nomor sprint yang digunakan untuk perlombaan atletik usia SD yang juga memerlukan pembinaan yang serius agar dapat berprestasi. Dalam pembinaan atlet lari 50 meter, diperlukan rangkaian latihan yang terarah dan terprogram. Pada umumnya prestasi lari 50 meter berhubungan erat dengan faktor genetik, yaitu komposisi serabut FT (fast-twitch) yang memiliki kecepatan berkedut sampai 40 kali perdetik
32
dalam vitro. Hal ini menimbulkan ungkapan “pelari cepat itu dilahirkan bukan dibuat”. Menurut Sidik (2009: 5) lari sprint dapat dibagi ke dalam beberapa bagian atau fase yang mewakili setiap gerakan per jaraknya. Fase tersebut adalah (1) kecepatan reaksi pada saat keluar dari balok start, (2) acceleration atau percepatan pada jarak 0-30 meter, (3) kecepatan maksimal pada jarak 30-80 meter (4) perlambatan dan pemeliharaan kecepatan pada jarak 80-100 meter. Berdasarkan pendapat tersebut, untuk nomor lari yang dilombakan pada kelompok usia sekolah dasar yaitu 50 meter maka fase yang sangat penting adalah kecepatan reaksi, percepatan, dan kecepatan maksimal. Teknik lari sprint 50 meter dapat dirinci menjadi tahap-tahap sebagai berikut: tahap reaksi dan dorongan, tahap lari akselerasi, tahap transisi/perubahan, tahap kecepatan maksimum, tahap pemeliharaan kecepatan, dan finish. Lomba lari sprint yang lain mengikuti pola dasar yang sama, tetapi panjang dan pentingnya tahapan relatif bervariasi. Dalam aspek biomekanika kecepatan lari ditentukan oleh panjang langkah dan frekuensi langkah (jumlah langkah per satuan waktu). Untuk bisa berlari lebih cepat seoarang atlet harus meningkatkan satu atau kedua-duanya. Hubungan optimal antara panjang langkah dan frekuensi langkah bervariasi bagi tahap-tahap lomba yang berbeda-beda. Seiring dengan kemajuan teknologi dan penelitian-penelitian ilmiah yang terus berkembang, prestasi lari sprint tidak hanya
33
dipengaruhi oleh kecepatan, namun melibatkan faktor yang kompleks. Faktor yang mempengaruhi di antaranya taktik, mental, dan komponen biomotor (kekuatan, kelentuaran, koordinasi dan daya tahan). Secara sistematis, prestasi lari sprint 50 meter dipengaruhi oleh komponenkomponen sebagai berikut:
Gambar 2. Parameter-Parameter yang Berkaitan dengan Prestasi Sprint (Sumber: IAAF 2001: 20) 6. Hakikat Ekstrakurikuler a. Pengertian Ekstrakurikuler Menurut Saputra (1998: 6) kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan di luar jam pelajaran sekolah biasa, yang dilakukan di sekolah atau di luar sekolah dengan tujuan untuk memperluas pengetahuan siswa, mengenai hubungan antara mata pelajaran, menyalurkan bakat dan minat serta melengkapi pembinaan manusia seutuhnya”. Ekstrakurikuler adalah
34
kegiatan yang dilakukan siswa sekolah atau universitas, di luar jam belajar kurikulum standar. Kegiatan-kegiatan ini ada pada setiap jenjang pendidikan
dari
sekolah
dasar
sampai
universitas.
Kegiatan
ekstrakurikuler ditujukan agar siswa dapat mengembangkan kepribadian, bakat, dan kemampuannya di berbagai bidang di luar akademik. Kegiatan ini diadakan secara swadaya dari pihak sekolah maupun siswa-siswi itu sendiri untuk merintis kegiatan di luar jam pelajaran sekolah. Kegiatan ekstrakurikuler ini sendiri dapat berbentuk kegiatan pada seni, olahraga, pengembangan kepribadian, dan kegiatan lain yang bertujuan positif untuk kemajuan dari siswa-siswi itu sendiri (Wikipedia 2012: 1). Berdasarkan beberapa pendapat tentang kegiatan ekstrakurikuler tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekstrakurikuler merupakan kegiatan di luar jam pelajaran sekolah yang menekankan kepada kebutuhan siswa agar mengembangkan wawasan, sikap dan keterampilan siswa diluar akademik serta melengkapi pembinaan manusia seutuhnya. b. Tujuan Kegiatan Ekstrakurikuler Mengenai tujuan kegiatan dalam ekstrakurikuler dijelaskan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1995: 2) sebagai berikut: 1) Siswa dapat memperdalam dan memperluas pengetahuan keterampilan mengenai hubungan antara berbagai mata pelajaran, menyalurkan bakat dan minat, serta melengkapi upaya pembinaan manusia seutuhnya yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat rohani dan jasmani, berkepribadian yang mantap dan mandiri, memilki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.
35
2) Siswa mampu memanfaatkan pendidikan kepribadian serta mengaitkan pengetahuan yang diperolehnya dalam program kurikulum dengan kebutuhan dan keadaan lingkungan. Menurut Yudha M. Saputra (1998: 16) kegiatan ekstrakurikuler bertujuan memberikan sumbangan pada perkembangan kepribadian anak didik, khususnya bagi mereka yang berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Bahkan Depdikbud menetapkan susunan program tersebut sebagai peningkatan kualitas siswa pada seluruh jenjang pendidikan. Jadi perkembangan anak didik tersebut, intelektual dan juga perilaku, merupakan tujuan mendasar untuk dicapai melalui ekstrakurikuler. Berdasarkan beberapa pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah kegiatan di luar jam pelajaran yang dilaksanakan di sekolah maupun di luar sekolah yang bertujuan untuk menambah wawasan dan keterampilan siswa menurut kegiatan ekstrakurikuler yang diikuti oleh siswa. Pada hakikatnya tujuan kegiatan ekstrakurikuler yang ingin dicapai adalah untuk kepentingan siswa. Dengan
kata
lain,
kegiatan
ekstrakurikuler
memiliki
nilai-nilai
pendidikan bagi siswa dalam upaya pembinaan manusia seutuhnya. 7. Hakikat Atletik a. Pengertian Atletik Atletik berasal dari bahasa Yunani yaitu athlon yang berarti pertandingan, perlombaan, pergulatan atau perjuangan, sedangkan orang yang melakukannya dinamakan athleta (atlet). Atletik adalah salah satu cabang olahraga yang terdiri dari nomor-nomor jalan, lari, lompat dan
36
lempar. Atletik menjadi inti sari atau ibu dari seluruh cabang olahraga (Syarifuddin 1992: 1). IAAF (International Amateur Athletic Federation) adalah induk organisasi atletik dunia, dibentuk pada tahun 1912, sedangkan induk organisasi cabang olahraga atletik Indonesia adalah PASI (Persatuan Atletik Seluruh Indonesia) yang didirikan pada tanggal 3 September 1951 di Semarang. Atletik merupakan aktivitas jasmani yang terdiri dari gerakangerakan dasar yang dinamis dan harmonis, yaitu jalan, lari, lompat dan lempar. Atletik juga merupakan sarana untuk pendidikan jasmani dalam upaya meningkatkan kemampuan biomotorik, misalnya daya ledak otot, panjang tungkai, keseimbangan, kekuatan, daya tahan, kecepatan, dan sebagainya. Selain itu juga sebagai sarana untuk penelitian bagi para ilmuan (Purnomo. 2007: 1). Atletik adalah satu cabang olahraga yang diperlombakan yang meliputi nomor-nomor jalan, lari, lempar, lompat (Syarifuddin 1992: 2). Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa atletik adalah salah satu cabang olahraga yang terdiri dari nomor-nomor jalan, lari, lompat dan lempar yang dapat menjadi sarana untuk pendidikan jasmani dalam upaya meningkatkan kemampuan biomotorik, misalnya daya ledak otot, panjang tungkai, keseimbangan, kekuatan, daya tahan, kecepatan, dan sebagainya.
37
b. Nomor-Nomor Atletik Menurut Purnomo (2007: 1) nomor-nomor dalam atletik yang sering diperlombakan dapat diperinci sebagai berikut: 1) Nomor Jalan dan Lari a) Jalan cepat yang diperlombakan untuk putri adalah 10 km dan 20 km, putra 20 km dan 50 km. b) Lari, ditinjau dari jarak yang ditempuh dapat dibedakan: (1) Lari jarak pendek (sprint) mulai dari 60 m sampai dengan 400 m (2) Lari jarak menengah (middle distance) adalah 800 m dan 1500 m (3) Lari jarak jauh (long distance) adalah 3000 m sampai dengan 42,195 km (marathon) c) Lari, ditinjau dari lintasan atau jalan yang dilewati: (1) Lari dari lintasan tanpa melewati rintangan (flat) yaitu 100 m, 200 m, 400 m, 800 m, 1500 m, 5000 dan 10.000 m (2) Lari ladang atau cross country atau lari lintas alam (3) Lari 3000 m halang rintang (steplechase) (4) Lari gawang 100 m, 400 m gawang untuk putri, 110 m dan 400 m gawang untuk putra d) Lari, ditinjau dari jumlah peserta dan jumlah nomor yang dilakukan dapat dibedakan: (1) Lari estafet yaitu 4 x 100 m untuk putra dan putri, 4 x 400 m untuk putra dan putri (2) Combined event (nomor lomba gabungan) yaitu panca lomba (untuk kelompok remaja), sapta lomba (junior putra-putri dan senior putri), dan dasa lomba (senior putra) 2) Nomor Lompat a) Lompat tinggi (high jump) b) Lompat jauh (long jump) c) Lompat jangkit (triple jump) d) Lompat tinggi galah (polevoult) 3) Nomor Lempar a) Tolak peluru (shot put) b) Lempar lembing (javelin throw) c) Lempar cakaram (discus throw) d) Lontar martil (hammer) Nomor lari 50 meter dalam penelitian ini dapat digolongkan ke dalam nomor lari jarak pendek cabang olahraga atletik. Menurut Eddy Purnomo (2007: 30) lari jarak pendek adalah lari yang menempuh jarak
38
antara 50 m sampai dengan jarak 400 m. Oleh karena itu kebutuhan utama untuk lari jarak pendek adalah kecepatan. Kecepatan dalam lari jarak pendek adalah hasil kontraksi yang kuat dan cepat dari otot-otot yang dirobah menjadi gerakan halus, lancar dan efisien. Start yang digunakan dalam nomor lari jarak pendek adalah start jongkok (crouch start). Menurut Purnomo (2007: 23) start adalah suatu persiapan awal seorang pelari akan melakukan gerakan berlari. Suatu start yang baik ditandai dengan sifat-sifat berikut ini: (1) konsentrasi penuh dan menghilangkan semua gangguan dari luar saat dalam posisi aba-aba “Bersediaaaa”; (2) menyesuaikan sikap yang sesuai pada posisi aba-aba “Siaaap”; (3) suatu dorongan eksplosif oleh kedua kaki terhadap tumpuan pada start blok dalam suatu sudut yang optimal. Suatu analisa struktural prestasi lari jarak pendek dan kebutuhan latihan dan pembelajaran untuk memperbaikinya harus dilihat sebagai suatu kombinasi yang kompleks dari proses biomekanika, biomotor dan energetik. Menurut Purnomo (2007: 31) lari jarak pendek bila dilihat dari tahap-tahap berlari, terdiri dari beberapa tahap, yaitu: 1) Tahap reaksi dan dorongan (reaction and drive) 2) Tahap percepatan (acceleration) 3) Tahap transisi/perobahan (transition) 4) Tahap kecepatan maksimum (speed maximum) 5) Tahap pemeliharaan kecepatan (maintenance speed) 6) Finish.
39
Menurut Purnomo (2007: 32) tujuan lari jarak pendek adalah untuk memaksimalkan kecepatan horizontal, yang dihasilkan dari dorongan badan ke depan. Kecepatan lari ditentukan oleh panjang langkah dan frekuensi langkah (jumlah langkah persatuan waktu). Oleh karena itu, seorang pelari jarak pendek harus dapat meningkatkan satu atau kedua-duanya. 8. Karakteristik Anak Usia Sekolah Dasar Masa sekolah dasar (SD) ini, pada umumnya lebih mudah diasuh dibanding masa sebelumnya (masa kanak-kanak) dan sesudahnya (masa remaja). Masa pra-sekolah dan masa remaja termasuk fase yang penuh dengan gejolak (masa keguncangan). Usia sekolah dasar disebut juga masa intelektual,
karena
keterbukaan
dan
keinginan
anak
mendapatkan
pengetahuan, keterampilan dan pengalaman serta sifat yang sangat khas. Menurut Annarino yang dikutip oleh Sukintaka (1992: 62), bahwa anak kelas IV-VI (10-12 tahun), mempunyai karakteristik sebagai berikut: a. Pertumbuhan otot, lengan, dan tungkai makin bertambah b. Ada kesadaran mengenai badannya. c. Anak laki-laki lebih menguasai permainan kasar. d. Pertumbuhan tinggi dan berat tidak baik. e. Kekuatan otot tidak menunjang pertumbuhan. f. Waktu reaksi makin baik. g. Perbedaan akibat jenis kelamin makin nyata. h. Koordinasi makin baik. i. Badan lebih sehat dan kuat. j. Tungkai mengalami masa pertumbuhan yang lebih kuat bila dibandingkan dengan bagian anggota atas. k. Perlu diketahui bahwa ada perbedaan kekuatan otot dan keterampilan antara anak laki-laki dan putri.
40
Pemberian pembatasan umur pada pendapat di atas menandakan bahwa dalam pemberian aktivitas jasmani, disesuaikan dengan fase dan sifat siswa dalam pemberian pendidikan, dalam hal ini pendidikan jasmani yang diberikan pada siswa oleh guru dalam pembelajaran pendidikan jasmani perlu mendalami dan memahami karakteristik siswa sebagai peserta didik. Adapun karakteristik dan kebutuhan menurut Nursidik Kurniawan (2007: 1) adalah sebagai berikut: a. Senang bermain. Karakteristik ini menurut guru sekolah dasar untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran yang bermuatan permainan. Terlebih untuk kelas rendah. Guru seyogyanya dapat merancang model-model pembelajaran yang mengandung unsurunsur permainan. Penyususnan jadwal pelajaran diselang-seling antara pelajaran serius seperti matematika, IPA, IPS, dengan pelajaran yang bersifat permainan seperti pendidikan jasmani atau keterampilan. b. Senang bergerak. Orang dewasa dapat duduk berjam-jam sedangkan adat duduk dengan tenang paling lama 30 menit. Oleh sebab itu hendaknya guru merancang model pembelajaran yang memungkinkan anak berpindah atau bergerak. Menurut anak untuk duduk yang rapi dengan jangka yang lama merupakan siksaan. c. Senang bekerja sama dalam kelompok. Dalam pergaulan dengan teman sejawat mereka belajar aspek-aspek penting dalam proses sosialisasi seperti, belajar memenuhi aturan kelomopok, belajar setia kawan, belajar bertanggung jawab, belajar bersaing dengan teman lain secara sehat (sportif). Dengan
karakteristik
ini
guru
dapat
merancang
model
pembelajaran dengan membentuk kelompok kecil dan memberi tugas secara kelompok untuk menyelesaikannya. Senang merasakan atau melakukan sesuatu secara langsung. Ditinjau dari teori perkembangan kognitif, anak sekolah dasar memasuki tahap operasional kongkrit. Dari
41
apa yang dipelajari di sekolah, belajar menghubungkan konsep baru dengan konsep lama. Berdasarkan pengalaman ini siswa membentuk konsep-konsep tentang angka, ruang, waktu, jenis kelamin, fungsi-fungsi badan, dan sebagainya. Bagi siswa sekolah dasar penjelasan guru tentang materi pelajaran akan lebih dipahami bila anak mengalami langsung sama halnya dengan orang dewasa. Dengan demikian hendaknya guru merancang model-model pembelajaran yang memungkinkan anak terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Berdasarkan
pendapat
di
atas
dapat
disimpulkan
bahwa
karakteristik anak sekolah dasar adalah masa-masa perkembangan yang mencakup perkembangan fisik, pola gerak, perkembangan dalam berpikir. Selain dalam hal perkembangan, masa ini adalah masa seorang anak memiliki rasa keingintahuan yang lebih terhadap hal yang baru dikenal. B. Kerangka Pikir Berdasarkan landasan teori dan penelitian yang relevan di atas, maka dilanjutkan dengan kerangka berpikir peneliti. Atletik adalah induk cabang olahraga, unsur atletik banyak dilakukan oleh anak-anak. Karena pada dasarnya anak usia SD termasuk dalam tahap pola gerak dasar. Gerak dasar yang banyak dilakukan anak-anak SD diantaranya adalah lari. Teknik untuk melakukan lari pada dasarnya yaitu melakukan suatu bentuk gerakan dengan cara memindahkan badan ke depan melalui gerakan langkah kaki. Sehingga rasio panjang tungkai dengan tinggi badan seorang atlet akan mempengaruhi panjang langkah. Namun dengan adanya perbedaan jarak yang ditempuh dalam
42
perlombaan lari, tekniknya pun harus disesuaikan dengan jarak yang akan ditempuh, baik mengenai kecondongan badan, gerakan kaki, ayunan lengan atau tangan maupun cara pengaturan pernafasan. 1. Perbedaan pengaruh metode latihan drill dan interval terhadap kecepatan lari 50 meter Kaitannya dengan pelaksanaan program latihan metode latihan drill dan
metode
latihan
interval
untuk
meningkatkan
prestasi
siswa
ekstrakurikuler atletik SD Negeri Surodadi 1 Candimulyo, apabila dikaji dari landasan teori maka metode drill yang dalam latihan dengan melakukan hal yang sama, berulang-ulang secara sungguh-sungguh dengan tujuan untuk memperkuat suatu asosiasi atau menyempurnakan suatu keterampilan agar menjadi kebiasaan yang bersifat permanen. Sedangkan metode interval dengan mengubah kecepatan setiap menit secara bertahap adanya istirahat yang diselingkan pada waktu melakukan latihan. Istirahat diantara latihan tersebut dapat berupa istirahat pasif atau pun aktif. Maka dalam hal ini dimungkinkan metode drill akan lebih baik dari pada metode interval dalam meningkatkan kecepatan lari 50 meter, karena dalam lari sprint pada saat keluar dari balok start merupakan fase kecepatan reaksi. Kemudian pada jarak 0-30 meter adalah fase acceleration atau percepatan, pada jarak 30-80 meter merupakan kecepatan maksimal, pada jarak 80-100 meter perlambatan dan pemeliharaan kecepatan. Berdasarkan pendapat tersebut, untuk nomor lari yang dilombakan pada kelompok usia sekolah dasar yaitu 50 meter maka fase yang sangat penting adalah kecepatan reaksi, percepatan, dan kecepatan maksimal. Metode latihan drill dirasa lebih baik
43
untuk meningkatkan aspek tersebut, sedangkan metode interval dirasa lebih baik dalam meningkatkan aspek daya tahan dalam pemeliharaan kecepatan. Perlu dibuktikan secara ilmiah apakah metode yang sudah diterapkan pelatih selama ini yaitu metode latihan drill atau metode latihan interval (interval training) berpengaruh terhadap prestasi kecepatan lari siswa atau tidak. 2. Perbedaan pengaruh rasio panjang tungkai tinggi dan rasio panjang tungkai rendah terhadap kecepatan lari 50 meter Setiap siswa ekstrakurikuler atletik SD Negeri Surodadi 1 Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang memiliki perbedaan antara individu satu dengan lainnya, salah satunya yaitu rasio panjang tungkai dengan tinggi badan. Rasio panjang tungkai dengan tinggi badan secara teori berpengaruh pada panjang langkah yang merupakan unsur penting dalam kecepatan lari. Menurut Corn & Nulson (2003) secara mekanis bahwa kecepatan berlari dapat didefinisikan sebagai hasil dari frekuensi langkah (stride rate) dan panjang langkah (stride length). Maka dalam hal ini perlu dibuktikan pengaruh rasio panjang tungkai dengan tinggi badan yang terdiri dari kategori tinggi dan rendah terhadap kecepatan lari 50 meter siswa ekstrakurikuler atletik SD Negeri Surodadi 1 Kecamatan Candimulyo Kabupaten Magelang. 3. Interaksi metode latihan dan rasio panjang tungkai terhadap kecepatan lari 50 meter Tentu adanya faktor perbedaan rasio panjang tungkai kategori tinggi dan rasio panjang tungkai kategori rendah yang dimiliki siswa ini menjadi tambahan pertimbangan pelatih dalam menentukan metode yang akan
44
diterapkan untuk setiap karakteristik siswa. Belum diketahui apakah lebih efektif menggunakan metode latihan drill atau metode latihan interval. Berdasarkan penerapan metode latihan yang tepat sesuai dengan karakteristik siswa diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan pertimbangan dalam penyusunan program latihan yang efektif untuk mencapai prestasi maksimal. Sehingga dalam penelitian ini akan dilakukan pembuktian secara ilmiah, penerapan metode latihan drill atau metode latihan interval kepada siswa ekstrakurikuler atletik SD Negeri Surodadi 1 Candimulyo. Setelah melakukan program latihan dengan dua kelompok metode tersebut diharapkan siswa dengan karakteristik rasio panjang tungkainya masingmasing akan mengalami peningkatan kecepatan lari secara signifikan. Namun juga perlu diketahui kelompok siswa dengan karakteristik rasio panjang tungkai dan dengan metode latihan yang manakah yang efektif untuk mencapai prestasi maksimal. Berdasarkan landasan teori dan penelitian yang relevan, maka akan dilanjutkan dengan kerangka berpikir sebagai berikut: Siswa Ekstrakurikuler Atletik
Rasio Panjang Tungkai Tinggi
Latihan
Metode Drill
Rasio Panjang Tungkai Rendah
Latihan
Metode Interval
Metode Drill
Kecepatan Lari 50 Meter Gambar 3. Kerangka Pikir Penelitian
Metode Interval
45
C. Hipotesis Berdasarkan kajian teoritik dan kerangka berpikir diatas maka dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut: 1. Ada perbedaan pengaruh metode latihan drill dan metode latihan interval terhadap kecepatan lari 50 meter pada siswa ekstrakurikuler atletik. Metode latihan drill lebih berpengaruh dari pada metode latihan interval dalam meningkatkan kecepatan lari 50 meter pada siswa ekstrakurikuler atletik 2. Ada perbedaan pengaruh kecepatan lari 50 meter pada siswa ekstrakurikuler atletik yang memiliki rasio panjang tungkai tinggi dan rasio panjang tungkai rendah. Rasio panjang tungkai tinggi lebih berpengaruh dari pada metode latihan interval dalam meningkatkan kecepatan lari 50 meter pada siswa ekstrakurikuler atletik 3. Ada interaksi antara metode latihan dan rasio panjang tungkai dengan tinggi badan terhadap kecepatan lari 50 meter pada siswa ekstrakurikuler atletik.