Technology MEDICAL REVIEW
Pemilihan Antibiotik yang Rasional Lukman Zulkifli Amin PPDS Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia/RSUPN Cipto Mangunkusumo
ABSTRAK Pemilihan antibiotik merupakan suatu kunci penting dalam pengobatan kasus-kasus infeksi. Masalah global yang saat ini dihadapi adalah tingginya angka penggunaan antibiotik yang tidak tepat indikasinya. Beragam penyebab yang menyebabkan penyalahgunaan antibiotik. Dampak pada pengobatan adalah terjadinya resistensi antibiotik. Dengan penggunaan antibiotik secara rasional akan memberikan optimalisasi terapi antibiotik ini sehingga memberikan hasil yang optimal juga. Kata kunci: antibiotik, rasional, aspek farmakologi, aspek penderita, aspek pejamu, pola pemilihan antibiotik PENDAHULUAN Penggunaan antibiotik dalam pengobatan untuk manusia sudah dimulai sejak tahun 1940. Selama 63 tahun, penggunaan antibiotik semakin luas. Hal ini mengakibatkan meluasnya potensi resistensi bakteri. Antibiotik memiliki dua efek utama, secara terapeutik obat ini menyerang organisme infeksius dan juga mengeliminasi bakteri lain yang bukan penyebab penyakit. Efek lainnya adalah menyebabkan perubahan keseimbangan ekosistem antara strain yang peka dan yang resisten, konsekuensinya adalah gangguan ekologi mikrobial alami. Perubahan ini menyebabkan timbulnya jenis bakteri yang berbeda jenisnya atau varian resisten dari bakteri yang sudah ada.2 Penggunaan antibiotik dalam jumlah yang banyak dan penggunaannya yang salah diduga sebagai penyebab utama tingginya jumlah patogen dan bakteri komensal resisten di seluruh dunia. Hal ini menyebabkan peningkatan kebutuhan akan antibiotik-antibiotik baru. Pengurangan jumlah kejadian penggunaan antibiotik yang tidak tepat merupakan cara terbaik untuk melakukan kontrol terjadinya resistensi bakteri.3 Konsep mengontrol penggunaan obat ini sering disebut dengan pengobatan yang rasional. Atau secara sederhana diartikan sebagai “meresepkan obat yang tepat, dalam dosis yang adekuat untuk durasi yang cukup dan sesuai dengan kebutuhan klinis pasien serta dengan harga yang paling rendah”.5 Sedangkan menurut World Health Organization (WHO) Global Strategy, penggunaan anti-
40 MEDICINUS
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Technology MEDICAL REVIEW
biotik yang tepat adalah penggunaan antibiotik yang efektif dari segi biaya dengan peningkatan efek terapeutik klinis, meminimalkan toksisitas obat dan meminimalkan terjadinya resistensi.6 1. Prinsip Kerja Antibiotik Dalam penggunaan antibiotik pada kasus infeksi maka terdapat tiga aspek yang saling berkaitan, yaitu aspek antibiotik, kuman dan host. Penggunaan antimikroba secara prinsip berbeda dengan obat pada umumnya oleh karena target antimikroba adalah sel kuman sedangkan obat lain adalah sel host. Dalam penggunaannya, antibiotik diharapkan mampu mencapai lokasi infeksi dengan kadar yang cukup (melebihi kadar hambat minimal/KHM), masuk/penetrasi ke dalam sel bakteri dan bekerja mengganggu proses metabolisme bakteri sehingga bakteri tersebut menjadi tidak aktif atau mati; namun efek toksik pada sel host diharapkan seminimal mungkin.7 Keberhasilan pengobatan antibiotik dipe-ngaruhi oleh berbagai faktor. Selain jenis antibiotik dan spektrum antimikroba, aspek farmako-logis yaitu farmakokinetik dan farmakodinamik merupakan faktor yang sangat penting. Aspek farmakokinetik mencakup absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat. Sedangkan aspek farmakodinamik mencakup sifat bakteriostatik/bakterisid, timedependent/concentration dependent dan post-antibiotic effect (PAE) antibiotik.7
2. Aspek Farmakologis Antibiotik 2.1. Farmakokinetik Farmakokinetik merupakan aspek yang menjelaskan mengenai perjalanan dan apa yang terjadi pada obat saat berada di dalam tubuh. Di antaranya termasuk absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi.7 Proses absorpsi umumnya dikaitkan dengan penyerapan obat di saluran cerna pada pemberian
Vol. 27, No.3, Desember 2014
oral. Setelah mencapai kadar puncak dalam darah, konsentrasi obat akan menurun secara cepat dalam fase yang disebut dengan fase alfa (α).
Pada fase selanjutnya yaitu fase beta (β) maka konsentrasi antibiotik akan menurun secara perlahan dan stabil. Pada fase beta ini yang menentukan waktu paruh (t1/2) dari suatu antibiotik. Pada proses absorpsi ini, tidak semua obat akan mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh/aktif, dan jumlah persentase obat yang mencapai sirkulasi sistemik dalam keadaan utuh atau aktif disebut bioavailabilitas. Sedangkan kesetaraan jumlah obat dalam sediaan dengan kadar obat dalam darah atau jaringan disebut bioekuivalensi.7 Setelah diabsorpsi, obat akan berkaitan dengan albumin sebagai protein dominan dalam serum dan kemudian didistribusikan ke seluruh tubuh melalui sirkulasi darah. Persentase antibiotik yang terikat secara reversibel terhadap albumin serum digambarkan dengan istilah protein binding. Obat kemudian akan melepaskan diri dari ikatannya dengan albumin, dan menembus beberapa membran sel sesuai dengan gradien konsentrasi dan mencapai tempat infeksi lalu berikatan de-ngan protein jaringan. Distribusi obat antara lain dipengaruhi oleh aliran darah, pH, protein bin-ding, dan volume distribusi.7 Pasca distribusi obat, obat kemudian akan mengalami metabolisme oleh berbagai enzim dan yang terpenting di antaranya adalah enzim sitokrom P450, sehingga pemberian obatobatan yang dapat meningkatkan atau menghambat kerja enzim ini dapat mempengaruhi aktivitas antibiotik.7 Obat yang dalam keadaan aktif akan ditingkatkan kelarutannya sehingga lebih mudah diekskresikan, dan umumnya obat menjadi inaktif. Sedangkan untuk obat dalam bentuk prodrug, enzim akan mengaktivasi obat tersebut menjadi bentuk yang aktif.7
MEDICINUS
41
Technology MEDICAL REVIEW
Antibiotik umumnya dieliminasi melalui ginjal dan diekskresikan melalui urin dalam bentuk metabolit aktif dan inaktif. Antibiotik juga dapat dieliminasi melalui empedu dan diekskresikan ke dalam usus. Dari dalam usus sebagian obat akan dibuang melalui feses, dan sebagian akan kembali diserap dan dibuang melalui ginjal. Sebagian kecil obat juga diekskresikan melalui keringat, liur, air mata, dan air susu.7 2.2. Farmakodinamik Farmakodinamik menggambarkan efek kerja suatu obat. Secara umum, aktivitas antibiotik dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu bakteriostatik (menghambat pertumbuhan mikroba) dan bakterisidal (membunuh mikroba). Contoh antibiotik yang bersifat bakterisidal antara lain aminoglycoside, beta-lactam, metronidazole, kuinolon, rifampicin, pirazinamide, vancomycin, isoniazide, dan bacitracin. Sedangkan antibiotik yang memiliki sifat bakteriostatik antara lain chloramphenicol, clindamycin, ethambutol, macrolide, sulfonamide, tetracycline dan trimethoprim. Namun sifat bakteriostatik dan bakterisid dari antimikroba tidak mutlak karena antibiotik dengan sifat bakteriostatik dapat pula bersifat bakterisid bila kadarnya ditingkatkan.7 Kadar antibiotik minimal yang diperlukan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba dikenal dengan istilah kadar hambat minimal (KHM) dan kadar bunuh minimal (KBM). Fungsi antibiotik terhadap KHM dapat dibagi menjadi fungsi terhadap konsentrasinya (concentration dependent) dan terhadap waktu (time dependent). Pada antibiotik golongan concentration dependent maka semakin tinggi kadar obat dalam darah maka semakin tinggi pula daya kerjanya sehingga kecepatan dan efektivitas kerjanya dapat ditingkatkan dengan menaikkan kadar obat dalam darah hingga jauh di atas KHM. Sedangkan pada antibiotik jenis time dependent, selama kadarnya dapat dipertahankan sedikit di atas KHM sepanjang masa kerjanya, kecepatan dan efektivitas kerja obat
42
MEDICINUS
tersebut akan mencapai nilai maksimal. Contoh antibiotik golongan concentration dependent adalah quionolone dan aminoglycoside, sedangkan contoh antibiotik golongan time dependent adalah beta-lactam.7 Beberapa golongan antibiotik masih dapat menunjukkan aktifitas dalam menghambat pertumbuhan mikroorganisme meskipun kadarnya lebih rendah dari KHM. Fenomena ini disebut post-antibiotic effect. Efek ini dipengaruhi oleh jenis antibiotik dan mikrooragnismenya sendiri, contohnya quionolone dan aminoglycoside yang memiliki post-antibiotic effect yang cukup lama terhadap kuman gram negatif.7 2.3. Cara Kerja Antibiotik Antibiotik memiliki cara kerja yang berbedabeda dalam membunuh atau menghambat pertumbuhan mikroorganisme. Klasifikasi berbagai antibiotik dibuat berdasarkan mekanisme kerja tersebut, yaitu : 1. Antibiotik yang menghambat sintesis dinding sel bakteri. Contohnya adalah penicilin, cephalosporin, carbapenem, monobactam dan vancomycin. 2. Antibiotik yang bekerja dengan merusak membran sel mikroorganisme. Antibitoik golongan ini merusak permeabilitas membran sel sehingga terjadi kebocoran bahan-bahan dari intrasel. Contohnya adalah polymyxin. 3. Antibiotik yang menghambat sintesis protein mikroorganisme dengan mempengaruhi subunit ribosom 30S dan 50S. Antibiotik ini menyebabkan terjadinya hambatan dalam sintesis protein secara reversibel. Contohnya adalah chloramphenicol yang bersifat bakterisidal terhadap mikroorganisme lainnya, serta macrolide, tetracycline dan clindamycine yang bersifat bakteriostatik. 4. Antibiotik yang mengikat subunit ribosom 30S. Antibiotik ini menghambat sintesis protein dan mengakibatkan kematian sel. Contohnya adalah aminoglycoside yang bersifat bakterisidal.
Vol. 27, No.3, Desember 2014
Technology MEDICAL REVIEW
5. Antibiotik yang menghambat sintesis asam nukleat sel mikroba. Contohnya adalah rifampicin yang menghambat sintesis RNA polimerase dan kuinolon yang menghambat topoisomerase. Keduanya bersifat bakterisidal. 6. Antibiotik yang menghambat enzim yang berperan dalam metabolisme folat. Contohnya adalah trimethoprime dan sulfonamide. Keduanya bersifat bakteriostatik. 2.4. Kombinasi Antibiotik Kombinasi antimikroba digunakan pada infeksi berat yang belum diketahui dengan jelas kumankuman penyebabnya. Dalam hal ini pemberian kombinasi antimikroba ditujukan untuk mencapai spektrum antimikrobial yang seluas mungkin. Selain itu, kombinasi antimikroba juga digunakan untuk mencapai efek sinergistik dan juga untuk menghambat timbulnya resistensi terhadap obat-obatan antimikroba yang digunakan.8 2.5. Efek Samping Antibiotik Efek samping dapat berupa efek toksik, alergi, atau biologis. Efek samping seperti paralisis respiratorik dapat terjadi setelah instilasi neomicin, gentamicin, tobramycin, streptomycin atau amikacin secara intraperitoneal atau intrapleural. Erithromycin estolac sering menyebabkan hepatitis kolestatik. Antibiotik seperti rifampicin, cotrimoxazole dan isoniazide potensial hematotoksik dan hepatotoksik. Pemakaian chloramphenicol yang melampaui batas keamanan akan menekan fungsi sumsum tulang dan berakibat anemia dan neutropenia. Anemia aplastik secara eksplisit merupakan efek samping yang dapat mengakibatkan kematian pasien setelah pemakaian chloramphenicol.8 Efek samping alergi terutama disebabkan oleh penggunaan penicilin dan cephalosporin. Keadaan yang paling jarang adalah kejadian syok anafilaktik. Kejadian yang lebih sering timbul adalah ruam dan urtikaria. Efek samping biolo-
Vol. 27, No.3, Desember 2014
gis disebabkan karena pengaruh antibiotik terhadap flora normal di kulit maupun di selaputselaput lendir tubuh. Biasanya terjadi pada penggunaan obat antimikroba berspektrum luas.8 Di lingkungan rumah sakit selalu dikhawatirkan penyebaran dari jenis kuman Meticillin Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA). Enterokolitis yang berat dan yang membutuhkan pengobatan intensif dapat juga disebabkan oleh penggunaan antibiotik seperti clindamycin, tetracycline dan obat antibiotik berspektrum luas lainnya.8 3. Aspek Mikrobiologik Kuman Jenis kuman patogen hendaknya diidentifikasi sebelum dimulainya terapi. Pemeriksaan biakan dan resistensi sebaiknya dilakukan sebelum pemberian terapi, namun karena hasilnya membutuhkan waktu lama maka terapi empirik dapat diberikan dengan panduan pemeriksaan yang lebih sederhana seperti pewarnaan gram.7 Dalam pemilihan antibiotik untuk terapi empirik, data mikrobiologi khususnya mengenai pola kepekaan kuman dan data patogen resisten di rumah sakit setempat merupakan hal yang sangat penting. Pola kepekaan kuman yang berasal dari komunitas atau kuman nosokomial terhadap tiap jenis antibiotik merupakan panduan untuk menentukan antibiotik yang akan diberikan dalam terapi empirik. Semakin luas cakupan suatu antibiotik terhadap patogen akan meningkatkan probabilitas keberhasilan pengobatan.7 Selain data mengenai pola kepekaan, data surveilans patogen resisten baik yang berasal dari komunitas (misalnya penicillin resistance S.pneumoniae/PRSP) atau kuman nosokomial (methicillin resistance S.aureus/MRSA), extended spectrum beta-lactamase/ESBL juga merupakan pertimbangan dalam menentukan pilihan antibiotik.7
MEDICINUS
43
medical review
4. Aspek Penderita Beberapa aspek dari penderita perlu diperhatikan dalam pemberian antibiotik, antara lain derajat infeksi, tempat infeksi, usia, berat badan, faktor genetik, penyakit komorbid, status imunitas, adanya kehamilan atau laktasi, riwayat alergi dan faktor sosio ekonomi.7 Dari segi derajat infeksi pada penderita, perlu diperhatikan berat ringannya infeksi dari gejala klinik, jenis dan patogenitas mikroba, serta status imunitas penderita. Pada infeksi ringan, pemberian antibiotik tidak perlu diberikan seketika. Penundaan pemberian antibiotik justru akan memberikan kesempatan kepada tubuh untuk merangsang timbulnya mekanisme kekebalan tubuh. Namun pada infeksi yang berat dan atau telah berlangsung lama, terapi antibiotik dapat segera dimulai.7 Tempat infeksi juga mempengaruhi pertimbangan pemberian antibiotik seperti organ yang memiliki vaskularisasi sedikit seperti tulang, atau organ yang memiliki sawar khusus seperti susunan saraf pusat. Pada organ tersebut, pemberian antibiotik harus meliputi antibiotik yang dapat menembus lapisan tersebut sehingga obat dapat bekerja secara efektif. Selain itu adanya abses, jaringan nekrotik, mukus yang banyak, benda asing, dan sebagainya juga dapat mengurangi efektifitas kerja antibiotik sehingga diperlukan tindakan seperti pembersihan luka insisi dan sebagainya sebelum antibiotik diberikan.7 Usia juga mempengaruhi pertimbangan dalam pemberian antibiotik. Pada neonatus karena kerja berbagai organ seperti hepar dan ginjal yang belum sempurna akan meningkatkan risiko terjadinya toksisitas dari obat. Demikian pula pada usia lanjut dengan adanya penurunan berbagai fungsi organ karena proses penuaan.7 Adanya penyakit komorbid seperti kelainan hati atau ginjal juga harus diperhatikan karena da-
44
MEDICINUS
pat menurunkan efektifitas obat dan memperberat efek toksisitas. Selain itu, kelainan genetik seperti defisiensi enzim Glucose-6-Phospate Dehydrogenase (G6PD) juga dapat menimbulkan anemia hemolitik pada pemberian antibiotik tertentu seperti chloramphenicol dan sulfonamide.7 Status imunitas baik imunitas selular maupun humoral pada penderita harus menjadi pertimbangan dalam pemilihan jenis antibiotik. Pada penderita yang imunokompeten, antibiotik dengan efek bakteriostatik mungkin cukup efektif untuk mengendalikan infeksi tertentu, sedangkan pada pasien dengan penurunan status imun, pada infeksi yang sama mungkin diperlukan antibiotik dengan efek bakterisidal untuk mengatasinya.7 Adanya kehamilan dan laktasi akan mempengaruhi pemilihan antibiotik karena beberapa antibiotik dapat menembus sawar darah plasenta dan masuk ke peredaran darah janin serta menimbulkan efek yang tidak diinginkan, seperti efek teratogenik dan sebagainya. Ibu hamil juga pada umumnya lebih peka terhadap pengaruh obat obat tertentu, termasuk antibiotik. Demikian pula dengan laktasi, karena beberapa antibiotik juga dapat ditemukan dalam air susu. Untuk itu, pertimbangan baik untuk ibu maupun janin harus diperhatikan untuk menghindari efek yang tidak diinginkan.7 Dalam pertimbangan biaya, selain harga obat harus pula diperhatikan lama dan interval pemberian obat, sehubungan dengan jumlah obat yang diperlukan. Biaya pengobatan tersebut merupakan salah satu aspek sosioekonomi dari suatu penyakit.7 5. Pola Pemberian Antimikroba Berdasarkan ketiga aspek tersebut maka antibiotik dapat diberikan berdasarkan beberapa pola tertentu, antara lain : direktif, kalkulatif, interventif, omnisprektif dan profilaktif.8
Vol. 27, No.3, Desember 2014
medical review
Pada terapi antibiotik direktif, kuman penyebab infeksi sudah diketahui dan kepekaan terhadap antibiotik sudah ditentukan, sehingga dapat dipilih obat antibiotik efektif dengan spektrum sempit. Kesulitan yang akan dihadapi adalah tersedianya fasilitas pemeriksaan mikrobiologis yang cepat dan tepat.8 Terapi antibiotik kalkulatif memberikan obat secara best guess. Dalam hal ini, pemilihan harus didasarkan pada antibiotik yang diduga akan ampuh terhadap mikroba yang sedang menyebabkan infeksi pada jaringan atau organ yang dikeluhkan. Penilaian keadaan klinis yang tepat dan kemungkinan kuman penyebab sangat penting dalam penerapan terapi antibiotik kalkulatif.8 Pada infeksi tertentu metoda penggunaan antibiotik harus selalu berpedoman pada sebuah protokol pemberian antibiotik dan dapat menambah kelompok obat antibiotik lainnya. Bila respon yang didapat tidak memuaskan, maka protokol-protokol ini akan menyesuaikan dengan perkembangan dan pengalaman terkini tentang penggunaan berbagai jenis antibiotik baru. Cara pengobatan ini dikenal sebagai terapi antimikrobial interventif.8 Terapi antibiotik omnispektrif diberikan bila hendak dijangkau spektrum antibiotik seluas-luasnya dan dapat diberikan secara empirik. Beberapa keadaan yang membutuhkan terapi ini yaitu infeksi pada leukemia, luka bakar, peritonitis dan syok septik.8 Sebagai terapi profilaksis, obat antibiotik dapat digunakan untuk mencegah infeksi baru pada seseorang atau untuk mencegah kekambuhan dan terutama digunakan untuk mencegah komplikasikomplikasi serius pada waktu dilakukan tindakan pembedahan.8 KESIMPULAN Pemberian antibiotik secara rasional meliputi pemilihan tepat jenis, dosis, cara pemberian dan penghentian obat yang berkualitas baik yang manfaatnya sudah terbukti, aman pada pemakaian dan terjangkau harganya oleh pasien.7,8
daftar pustaka 1. Barbosa TM, Levy SB. The Impact of Antibiotic use on Resistance Development and Persistence. Drug Resistance Updates 2000;3.303-311. 2. Sulastrianah, Badaruddin F, Massi N. Rasionalisasi Penggunaan Antibiotik di RSUP.DR.Wahidin Sudirohusodo Periode November 2011 – Januari 2012 dan Maret – Mei 2012 [Tesis].Universitas Hasanuddin Makassar; 2012. 3. Brunton L. Parker K, Blumenthal D, Buxton I. Goodman & Gilman’s Manual of Pharmacology and Therapeutics. International Edition. McGraw-Hill. New York 2008:707797. 4. Wax R et al. Bacterial Resistance to Antimicrobials, 2nd edition. Boca Raton, FL:CRC Press 2008:46. 5. World Health Organization. Antibiotic resistance : syn-
Vol. 27, No.3, Desember 2014
thesis of recommendation by expert policy groupsAlliance for the Prudent Use of Antibiotics. WHO 2001. 6. Ambwani S, Mathur AK. Rational Drug Use. Health Administrator XIX 2006. 7. Pohan HT. Dasar-dasar Pemilihan Antibiotik pada Infeksi Komunitas. Dalam : Setiati et al. Naskah Lengkap Pertemuan Ilmiah Tahunan Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam, Fakultas kedokteran Universitas Indonesia 2005:50-55. 8. Nelwan RHH. Pemakaian Antimikroba Secara Rasional Di Klinik. Dalam : Sudoyo AW et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : Interna Publishing. Cetakan kedua 2010:2896-2900.
MEDICINUS
45