TINJAUAN PUSTAKA
Pengertian Gaharu Gaharu merupakan hasil dari pohon atau kayu tertentu di hutan. Gaharu adalah sejenis resin tapi bukan resin yang dihasilkan oleh pohon gaharu, melainkan karena adanya infeksi pada pohon tersebut. Infeksi ini mengakibatkan sumbatan pada pengaturan makanan, sehingga menghasilkan suatu zat phytalyosin sebagai reaksi dari infeksi tersebut. Infeksi didapat dari hasil perlukaan yang disebabkan oleh alam (serangan hama dan penyakit seperti serangga, jamur, bakteri) atau karena sengaja dilukai oleh manusia. Zat phytalyosin inilah yang merupakan resin gubal gaharu di dalam pohon keras dari jenis Aquilaria spp. Zat yang berbau wangi jika dibakar tidak keluar dari batang gubalnya, tetapi mengendap menjadi satu dalam batang. Hal ini terjadi pada tanaman yang sakit dan tidak pada pohon yang sehat. Proses inilah yang menyebabkan terbentuknya gaharu dalam batang. Gubal gaharu adalah bagian gubal gaharu yang mengandung damar wangi dengan konsentrasi yang lebih rendah (Wulandari, 2000). Gaharu terbentuk melalui proses infeksi penyakit yang spesifik yang dikenal dengan “patogenesis”. Patogenesis tumbuhan adalah pertarungan antara inang (pohon gaharu) dengan patogen yang "compatible" dimana hasilnya dipengaruhi
oleh
kondisi
lingkungan
serta
konstitusi
genetik
pohon
(Agrios, 1996). Dari segi morfologi daun, bunga dan buah, tanaman gaharu mempunyai ciri yaitu; daun lonjong memanjang dengan panjang 5–8 cm, lebar 3–4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilat. Bunga berada di ujung ranting atau ketiak atas dan bawah daun. Buah berada dalam polong berbentuk
Universitas Sumatera Utara
bulat telur atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm dan lebar 3 cm. Biji bulat telur yang ditutupi bulu – bulu halus berwarna kemerahan (Sumarna, 2007). Simorangkir
dan
Dwisusanto
(2000)
menyatakan
bahwa
gaharu
merupakan kayu resin atau damar yang dihasilkan oleh pohon gaharu yang terinfeksi oleh jamur, kejadian tersebut telah diketahui beribu-ribu tahun yang lalu. Gaharu dapat dinilai dari aromanya yang dapat digunakan untuk bahan campur obat-obatan. Gaharu yang paling berharga adalah yang diekstraksi dari genus Aquilaria termasuk ke dalam famili Thymeleaceae. Botani Tanaman Gaharu Taksonomi tanaman gaharu (A. malaccensis Lamk.) adalah : Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Divisi
: Spermatophyta (tumbuhan biji)
Sub Divisi
: Angiospermae (tumbuhan biji tertutup)
Kelas
: Dikotil (berbiji belah dua)
Sub Kelas
: Dialypetale (bebas daun bermahkota)
Ordo
: Myrtales (daun tunggal duduknya bersilang)
Famili
: Thymeleaceae (akar berserabut jala)
Genus
: Aquilaria
Species
: A. malaccensis Lamk.
(Tarigan, 2004). Penyebaran Tanaman Penghasil Gaharu (A. malaccensis Lamk) Gaharu berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang berarti kayu berat (tenggelam) sebagai produk damar atau resin dengan aroma keharuman yang khas. Gaharu sering digunakan untuk mengharumkan tubuh dengan cara fumigasi
Universitas Sumatera Utara
dan pada upacara ritual keagamaan. Di Indonesia, gaharu dikenal masyarakat sejak tahun 1200-an. Sebagian besar produksi masih merupakan produksi hutan secara alami. Perkembangan awal perdagangan gaharu di Indonesia ditunjukkan oleh adanya perdagangan dari Palembang dan Kalimantan ke Kwang Tung-China. Puncak perdagangan ekspor gaharu berlangsung antara 1918–1925 dan pada masa penjajahan Belanda dengan volume sekitar 11 ton/tahun. Setelah kemerdekaan, ekspor gaharu terus meningkat ke beberapa negara industri yang berkembang, dan tercatat ekspor gaharu pada tahun 2000, volume ekspor gaharu mencapai 446 ton/tahun dengan nilai US$ 2,2 Juta (Sumarna, 2007). Gaharu adalah salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai sangat tinggi digunakan sebagai bahan parfum, obat-obatan dan bahan kemenyan. Harganya persatuan berat adalah sangat tinggi dan bervariasi tergantung dari kadar resin dan aroma yang dikeluarkan. Sedangkan mutu terendah (kemedangan) berharga kurang dari 100 ribu rupiah. Akibat tingginya harga
gaharu
dan
belum
tersedianya
petunjuk
objek
yang
mampu
mengidentifikasi adanya gaharu di dalam satu pohon maka sampai sekarang banyak ditebang pohon yang tidak berisi gaharu, sehingga pohon gaharu menjadi jenis tanaman langka dan dimasukkan ke dalam CITTES APPENDIX I (Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999). Kayu gaharu juga berfungsi sebagai bahan baku dupa (makmul) dan hio dan bisa dijadikan sebagai bahan untuk aroma terapi. Selain itu kayu gaharu juga dapat digunakan sebagai bahan baku obat-obatan dan minyak wangi/parfum, bahan baku pembuatan minyak gaharu, Sabun, Shampo yang harum semerbak dan berbagai produk kecantikan, bahan baku kerajinan dan ukiran.
Universitas Sumatera Utara
Syarat Tumbuh dan Penyebaran Gaharu di Indonesia Syarat untuk tumbuh dengan baik, gaharu tidak memilih lokasi khusus. Umumnya gaharu masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah dengan struktur dan tekstur yang subur, sedang, maupun ekstrem. Gaharu pun dapat dijumpai pada kawasan hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah, ataupun hutan pegunungan dengan tekstur tanah berpasir. Bahkan ditemukan juga jenis gaharu yang tumbuh di celah–celah batuan. Pohon gaharu umumnya dapat ditanam pada lokasi dengan ketinggian 5700 mdpl dengan curah hujan 6 bulan dan sepanjang tahun lebih disukai. Tanaman gaharu dapat dipanen setelah berumur 9-10 tahun. Setelah pohon berdiameter 10 cm (kira-kira pada umur 5 tahun), Produksi gubal gaharu mulai terbentuk setelah satu bulan penyuntikan dengan tanda-tanda pohon tampak sakit, dedaunan menguning dan rontok, kulit batang rapuh, jaringan kayu berwarna coklat tua dan mengeras, dan jika dibakar akan mengeluarkan aroma khas mirip kemenyan. Gaharu dapat dipanen 3–4 tahun kemudian. Daerah penyebaran gaharu di Indonesia antara lain, kawasan hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Jawa. Secara ekologisnya, tanaman gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0–2400 mdpl. Umumnya, gaharu yang berkualitas baik tumbuh pada daerah yang beriklim panas, dengan suhu 28º–34ºC, kelembaban 60–80%, dan curah hujan 1000–2000 mm/tahun. Dari beberapa hasil uji coba serta informasi dan pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa gaharu tidak memerlukan persyaratan khusus untuk membatasi suatu upaya pengembangannya. Oleh karena itu, secara teknis
Universitas Sumatera Utara
pengembangan gaharu dapat dilakukan pada berbagai lahan dengan variasi kondisi lingkungan dan iklim. Namun, pertumbuhan optimal akan diperoleh pada kondisi lahan yang struktur tanahnya lempung, dan liat berpasir, serta solum yang dalam (Sumarna, 2007). Kelas Produk Gaharu Menurut Tarigan (2004), pengkelasan produk gaharu adalah syarat untuk penentuan kualitas dan harga jual. Kualitas gaharu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: a. Gubal Gubal adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat. b. Kemedangan Merupakan kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih ke abu-abuan sampai kecoklat-coklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak. c. Abu (bubuk) Abu merupakan serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan. Sesuai rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh Dewan Standarisasi Nasional (DSN), masing-masing kelompok produk gaharu tersebut dibagi lagi menjadi beberapa kelas seperti pada tabel 1.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 1. Klasifikasi mutu produk gaharu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) No A A1 A2 A3
B B1 B2 B3 B4 B5 B6 B7
C C1 C2 C3
Klasifikasi dan kelas mutu Gubal Mutu utama (U) setara dengan mutu super Mutu pertama (I) setara dengan mutu AB Mutu kedua (II) setara dengan Sabah Super (SBI) Kemedangan Mutu I, setara TG-A (Tanggung A) Mutu II, setara SBI Mutu II, setara TAB Mutu IV, setara TG-C (Tanggung C) Mutu V, setara mutu M1 (Kemedangan 1) Mutu VI, setara mutu M2 (Kemedangan 2) Mutu VII, setara mutu M3 (Kemedangan 3) Abu Mutu utama (U) Mutu pertama (I) Mutu kedua (II)
Warna
Kandungan damar wangi Tinggi Cukup Sedang
Aroma
Coklat kehitaman Coklat bergaris hitam Coklat bergaris putih Coklat bergaris putih Kecoklatan bergaris putih lebar Putih keabuan garis hitam tipis Putih keabuan
Tinggi Cukup Sedang Sedang Sedang Kurang Kurang
Agak kuat Agak kuat Agak kuat Agak kuat Kurang kuat Kurang kuat Kurang kuat
Hitam Coklat kehitaman Putih kecoklatan atau kekuningan
Tinggi Sedang Kurang
Kuat Sedang Kurang kuat
Hitam merata Hitam coklat Hitam kecoklatan
Kuat Kuat Agak kuat
(Sumber : Badan Standarisasi Nasional)
Gubal gaharu terakumulasi pada jaringan yang terdapat diantara xylem sekunder dan floem sekunder pada batang. Jaringan pengakumulasi ini telah terbenuk pada tanaman gaharu umur 4 bulan, penemuan ini mendasari inokulasi pada umur muda, walaupun jaringan yang terbentuk masih sangat tipis. Gubal kulit, merupakan bukti bahwa resin gaharu terdeposit pada jaringan floem. Anatomi kulit bagian dalam tersusun dari jaringan floem, yang berfungsi sebagai
Universitas Sumatera Utara
transport hasil asimilat dari daun ke seluruh bagian tanaman. Jaringan ini merupakan tempat terakumulasinya resin gaharu (Rawana, 2009). Inokulasi adalah kontak awal patogen pada suatu tanaman yang mungkin terinfeksi. Inokulum adalah bagian dari patogen yang dapat memulai infeksi. Tidak semua inokulum mampu melakukan infeksi pada tanaman, hanya inokulum patogen berpotensi untuk menginfeksi tumbuhan (Agrios, 1996). Inokulan Pembentuk Gaharu Inokulan Pembentuk Gaharu merupakan jamur protista nonfotosintesis yang berkembang biak dengan spora. Jalinan filament (hifa) yang dikenal dengan sebutan miselium (mycelium). Meskipun hifa memiliki sekat-sekat, namun sekat ini berlubang sehingga inti dan sitoplasma bias leluasa melewatinya. Jadi secara utuh organisme ini adalah Coenocyte (berinti banyak yang sitoplasmanya saling berhubungan) berada dalam deretan tabung-tabung yang bercabang. Tabungtabung ini dibentuk dari polisakarida seperti kitin, yang mirip dengan dinding sel. Secara evolusi jamur merupakan bagian dari protozoa. Jamur dibagi menjadi empat kelas yaitu Zygomycotina (phycomycetes), Ascomycotina (ascomycetes), Basidiomycotina (basidomycetes) dan Deuteromycotina (fungi imperfekti) (Brooks dkk, 2001). Jamur merupakan mikroorganisme tidak berklorofil, berbentuk hifa/sel tunggal eukarotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, bereproduksi seksual dan aseksual. Dalam dunia kehidupan jamur merupakan kingdom tersendiri karena cara mendapatkan makanannya berbeda dari organism eukarotik lainnya, yaitu melalui absorpsi (Gandjar dkk, 1999).
Universitas Sumatera Utara
Jamur merupakan protista nonfotosintesis yang berkembang biak dengan spora. Jalinan filament (hifa) yang dikenal dengan sebutan miselium (mycelium). Meskipun hifa memiliki sekat-sekat, namun sekat ini berlubang sehingga inti dan sitoplasma bias leluasa melewatinya. Jadi secara utuh organisme ini adalah Coenocyte (berinti banyak yang sitoplasmanya saling berhubungan) berada dalam deretan tabung-tabung yang bercabang. Tabung-tabung ini dibentuk dari polisakarida seperti kitin, yang mirip dengan dinding sel. Secara evolusi jamur merupakan bagian dari protozoa. Jamur dibagi menjadi empat kelas yaitu Zygomycotina (phycomycetes), Ascomycotina (ascomycetes), Basidiomycotina (basidomycetes) dan Deuteromycotina (fungi imperfekti) (Brooks dkk, 2001). Menurut Agrios (1996), untuk menentukan apakah jamur yang ditemukan bersifat patogen atau saprofit maka pertama kali yang harus dipelajari adalah morfologi miselium, struktur buah, dan sporanya di bawah mikroskop. Pada banyak kasus, pada awal perkembangan penyakit baik struktur buah ataupun spora tidak dijumpai pada jaringan yang sakit, dan oleh karena itu tidak ada hal yang memungkinkan untuk mengidentifikasi jamur tersebut. Untuk beberapa jenis jamur, telah tersedia beberapa medium biakan khusus untuk isolasi selektif, identifikasi atau untuk merangsang sporulasi. Kebutuhan lain adalah dengan cara menginkubasi di bawah kondisi suhu, udara, atau cahaya tertentu untuk menghasilkan spora. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus, struktur buah dan spora dapat dihasilkan pada jaringan inang yang sakit jika jaringan tersebut ditempatkan dalam gelas atau plastik “ruang lembab” (moisture chamber), yaitu wadah yang di dalamnya ditambahkan kertas saring yang basah untuk meningkatkan kelembaban udara dalam gelas atau plastik tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Inokulan yang diproduksi di laboratorium penyedia inokulan ada beberapa macam, yaitu inokulan padat, inokulan cair, dan inokulan biakan murni. a. Inokulan padat Inolukan padat dapat dibuat dan dikembangkan di dalam media padat berupa serbuk gergaji atau tepung yang berasal dari pohon gaharu atau jenis lain seperti kayu sengon. Media ini harus dalam kondisi steril. Adapun tahapan pembuatan inokulan padat tersebut sebagai berikut : 1. Pengumpulan media dari kayu-kayu gaharu yang dianggap limbah. 2. Memasukkan media kayu berbentuk serbuk atau tepung tersebut di dalam botol yang sudah disterilkan dengan volume sekitar 1 ons atau 100 gram. 3. Botol yang sudah steril tersebut dimasukkan di dalam ruang biakan yang sudah dilengkapi dengan laminair air flow dan lampu ultraviolet. 4. Mengambil spora atau miselium dari biakan murni dengan menggunakan pinset. 5. Spora atau miselium tersebut lalu dimasukkan ke dalam botol secara steril di atas lampu spiritus. Ini dilakukan agar terhindar dari kontaminasi mikroba lain. Pemasukan spora ini pun dilakukan dengan pinset. 6. Lalu botol ditutup dengan kapas steril dan dilapisi dengan aluminium foil 7. Botol biakan pengembangan spora inokulan kemudian disimpan dalam ruang bersuhu kamar. 8. Diamati dan uji kenampakan pertumbuhan spora dan miselium yang terbentuk. 9. Setelah di amati, botol disimpan kembali dalam inkubator atau freezer bila miselium sudah memenuhi tepian botol (sekitar 1-2 bulan kemudian) agar
Universitas Sumatera Utara
spora diistirahatkan
(didormankan). Setelah itu, inokulan sudah siap
diinokulasikan ke tanaman gaharu. b. Inokulan cair Selain padat, inokulan pun dapat diproduksi dalam bentuk cairan. Seperti halnya inokulan padat, inokulan cair pun dimasukkan dalam botol dengan volume tertentu. Botol infus bekas di rumah sakit dapat digunakan sebagai wadah inokulan cair, tetapi harus melalui tindakan sterilisasi. Adapun tahapan produksi inokulan cair ini sebagai berikut (Sumarna, 2007) : 1. Dilarutkan media cair yang berisi energi berupa mineral, karbohidrat, dan vitamin dengan aquadest (air murni). Lalu disterilkan dalam autoclave. 2. Setelah steril, media cair tersebut dimasukkan ke dalam botol infus bekas. 3. Diberikan lubang pada bagian atas botol infus untuk memudahkan pemasukan spora inokulan ke dalam botol. 4. Lalu botol infus dimasukkan dalam ruang pembiakan inokulan yang dilengkapi dengan lampu ultraviolet. 5. Kemudian diambil biakan murni inokulan, lalu masukkan ke dalam botol infus bekas. Pemasukan inokulan ini dilakukan di atas nyala spiritus agar steril. 6. Setelah itu lubang pada botol yang digunakan untuk pemasukan spora ditutup dengan menggunakan selotip. Kemudian di simpan botol tersebut pada rak inkubasi dalam suhu kamar. 7. Dibiarkan spora berkembang dalam waktu sekitar sebulan. 8. Setelah sebulan, diamati pertumbuhan spora di bawah mikroskop. Bila dijumpai koloni spora inokulan minimal 50 spora/cm bidang pengamatan
Universitas Sumatera Utara
maka botol infus dapat diistirahatkan di dalam inkubator atau freezer. Setelah itu, inokulan sudah bisa diinokulasikan ke tanaman gaharu. (Sumarna, 2007) c. Biakan murni Biakan murni mikroba penyakit pembentuk gaharu perlu tetap tersedia di dalam laboratorium pengembangan. Bahkan biakan murni tersebut harus selalu diperbaharui secara berkala setiap dua bulan sekali. Hal ini sangat diperlukan bila sewaktu-waktu inokulan tersebut diperlukan (Sumarna, 2007). Teknik Inokulasi Teknik inokulasi dengan inokulan terhadap pohon gaharu berbeda-beda sesuai dengan inokulannya. Pada pelaksanaannya penginokulasian terhadap pohon gaharu ini, harus diperhatikan umur dan diameter batangnya. Batas minimal suatu pohon dapat diinokulasi ditandai dengan pohon yang mulai berbunga. Biasanya umur tanaman tersebut sekitar 4-5 tahun atau diameter batang sudah mencapai 810 cm (Sumarna, 2007). a. Inokulasi dengan inokulan padat Teknik inokulasi pohon gaharu menggunakan inokulan padat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: 1. Dibuat lubang pada batang kayu gaharu dengan menggunakan bor. Diameter lubang bor sekitar 0,8-1 cm. Kedalaman optimal pemboran ini perlu disesuaikan dengan ukuran diameter batang, biasanya sekitar 5 cm. Setiap batang dibuatkan banyak lubang dengan jarak antar lubang bor sekitar 20 cm. 2. Tangan pelaku inokulasi terlebih dahulu dibersihkan dengan air hingga bersih dan dibilas dengan alkohol sebelum pelaksanaan inokulasi.
Universitas Sumatera Utara
3. Memasukkan inokulasi padat ke dalam setiap lubang. Jumlah inokulan yang dimasukkan disesuaikan dengan kedalaman lubang. Sebagai patokan, pemasukan ini dilakukan hingga terisi penuh dengan inokulan. Agar pemasukan inokulan menjadi mudah, gunakan potongan kayu atau bambu yang ukurannya sesuai diameter lubang. 4. Setiap lubang yang sudah diberi inokulan ditutup untuk menghindari masuknya air ke dalam lubang. Penutupan lubang ini dilakukan dengan pasak kayu gaharu. Penutupan pun dapat dilakukan dengan “lilin malam”. (Sumarna, 2007). b. Inokulasi dengan inokulan cair Teknik inokulasi menggunakan inokulan cair dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: 1. Dilakukan pengeboran pada pangkal batang pohon dengan posisi miring ke bawah. Kedalaman pemboran disesuaikan dengan diameter batang pohon, biasanya sekitar 1/3 diameter batang. Sementara mata bor yang digunakan berukuran sama dengan selang infus sekitar 0,5 cm. Selang infus tersebut biasanya sudah disediakan produsen inokulan pada saat pembelian inokulan. Namun, bila belum tersedia, selang infus dapat disediakan sendiri oleh petani. 2. Dimasukkan selang infus yang ada pada botol inokulan cair ke dalam lubang. 3. Besarnya aliran inokulan cair tersebut harus diatur dengan baik. Hentikan aliran infus bila cairan inokulan sudah keluar dari lubang. 4. Ditutup bagian tepi di sekitar selang infus dengan menggunakan “lilin malam”.
Universitas Sumatera Utara
5. Pengaturan aliran masuknya cairan infus ke dalam lubang di ulangi setiap 1-2 hari, tergantung keadaan cairan dalam lubang. Pengaturan aliran dilakukan bila lubang sudah tidak terdapat lagi cairan inokulasi. 6. Penginokulasian ini di lakukan hingga inokulan cair di dalam botol infus tersebut habis. Penginokulasian diulang kembali dengan botol inokulasi baru bila belum ada tanda-tanda kematian fisik dan fisiologis (Sumarna, 2007). Luas infeksi dihitung berdasarkan sebaran browning secara vertikal dan horisontal. Sebaran browning secara vertikal lebih besar dari pada horisontal hal ini karena infeksi vertikal mengikuti arah jaringan pembuluh batang tanaman yang tersusun atas sel-sel vessel secara vertical dan berfungsi sebagai jalur transportasi air dan cairan nutrisi, di mana hifa jamur dapat menggunakan sel-sel tersebut untuk memperluas invasi. Perkembangan infeksi secara horizontal cenderung melambat seiring waktu (Novriyanti, 2008).
Universitas Sumatera Utara