TINJAUAN PUSTAKA
Botani Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Taksonomi tanaman gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) adalah : Kingdom
: Plantae (tumbuhan)
Divisio
: Spermatophyta (tumbuhan biji)
Sub Divisio
: Angiospermae (tumbuhan biji tertutup)
Class
: Dicotyledonae (berbiji belah dua)
Sub Class
: Dialypetale (bebas daun bermahkota)
Ordo
: Myrtales (daun tunggal duduknya bersilang)
Family
: Thymeleaceae (akar berserabut jala)
Genus
: Aquilaria
Species
: Aquilaria malaccensis Lamk.
(Tarigan, 2004). Gaharu sebenarnya bukan nama tumbuhan, tetapi sebagai hasil dari pohon atau kayu tertentu di hutan. Gaharu adalah sejenis resin tapi bukan resin yang dihasilkan oleh pohon gaharu, melainkan karena adanya infeksi pada pohon tersebut. Infeksi ini mengakibatkan sumbatan pada pengaturan makanan, sehingga menghasilkan suatu zat phytalyosin sebagai reaksi dari infeksi tersebut. Infeksi didapat dari hasil perlukaan yang disebabkan oleh alam (serangan hama dan penyakit seperti serangga, jamur, bakteri) atau karena sengaja dilukai (oleh manusia). Zat phytalyosin inilah yang merupakan resin gubal gaharu di dalam pohon keras dari jenis Aquilaria spp. Zat yang berbau wangi jika dibakar tidak keluar dari batang gubalnya, tetapi mengendap menjadi satu dalam batang. Hal ini
Universitas Sumatera Utara
terjadi pada tanaman yang sakit dan tidak pada pohon yang sehat. Proses inilah yang menyebabkan terbentuknya gaharu dalam batang. Gubal gaharu adalah bagian gubal gaharu yang mengandung damar wangi dengan konsentrasi yang lebih rendah (Wulandari, 2000). Gaharu terbentuk melalui proses infeksi penyakit yang spesifik yang dikenal dengan “patogenesis”. Patogenesis tumbuhan adalah pertarungan antara inang (pohon gaharu) dengan patogen yang "compatible" dimana hasilnya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan serta konstitusi genetik pohon (Agrios, 1996). Dari segi morfologi daun, bunga dan buah, tanaman gaharu mempunyai ciri yaitu; daun lonjong memanjang dengan panjang 5–8 cm, lebar 3–4 cm, berujung runcing, dan berwarna hijau mengkilat. Bunga berada di ujung ranting atau ketiak atas dan bawah daun. Buah berada dalam polong berbentuk bulat telur atau lonjong, berukuran panjang sekitar 5 cm dan lebar 3 cm. Biji bulat telur yang ditutupi bulu – bulu halus berwarna kemerahan (Sumarna, 2007). Simorangkir
dan
Dwisusanto
(2000)
menyatakan
bahwa
gaharu
merupakan kayu resin atau damar yang dihasilkan oleh pohon gaharu yang setelah terinfeksi oleh jamur, kejadian tersebut telah diketahui beribu-ribu tahun yang lalu. Gaharu dapat dinilai dari aromanya yang dapat digunakan untuk bahan campur obat-obatan. Gaharu yang paling berharga adalah yang diekstraksi dari genus Aquilaria termasuk ke dalam famili Thymeleaceae.
Penyebaran Tanaman Gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.) Gaharu berasal dari Bahasa Sansekerta, yaitu “aguru” yang berarti kayu berat (tenggelam) sebagai produk damar atau resin dengan aroma keharuman yang
Universitas Sumatera Utara
khas. Gaharu sering digunakan untuk mengharumkan tubuh dengan cara fumigasi dan pada upacara ritual keagamaan. Di Indonesia, gaharu dikenal masyarakat sejak tahun 1200-an. Sebagian besar produksi masih merupakan produksi hutan secara alami. Perkembangan awal perdagangan gaharu di Indonesia ditunjukkan oleh adanya perdagangan dari Palembang dan Kalimantan ke Kwang Tung-China. Puncak perdagangan ekspor gaharu berlangsung antara 1918–1925 dan pada masa penjajahan Belanda dengan volume sekitar 11 ton/tahun. Setelah kemerdekaan, ekspor gaharu terus meningkat ke beberapa negara industri yang berkembang, dan tercatat ekspor gaharu pada tahun 2000, volume ekspor gaharu mencapai 446 ton/tahun dengan nilai US$ 2,2 Juta (Sumarna, 2007). Gaharu adalah salah satu komoditas Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang bernilai sangat tinggi digunakan sebagai bahan parfum, obat-obatan dan bahan kemenyan. Harganya persatuan berat adalah sangat tinggi dan bervariasi tergantung dari kadar resin dan aroma yang dikeluarkan. Harga setiap kg kelas mutu tertinggi (super) adalah lebih dari satu juta rupiah. Sedangkan mutu terendah (kemedangan) berharga kurang dari 100 ribu rupiah. Akibat tingginya harga gaharu dan belum tersedianya petunjuk objek yang mampu mengidentifikasi adanya gaharu di dalam satu pohon maka sampai sekarang banyak ditebang pohon yang tidak berisi gaharu, sehingga pohon gaharu menjadi jenis tanaman langka dan
dimasukkan
ke
dalam
CITTES
APPENDIX
II
(Sumadiwangsa dan Zulnely, 1999). Syarat Tumbuh dan Penyebaran Gaharu di Indonesia Syarat untuk tumbuh dengan baik, gaharu tidak memilih lokasi khusus. Umumnya gaharu masih dapat tumbuh dengan baik pada kondisi tanah dengan
Universitas Sumatera Utara
struktur dan tekstur yang subur, sedang, maupun ekstrem. Gaharu pun dapat dijumpai pada kawasan hutan rawa, hutan gambut, hutan dataran rendah, ataupun hutan pegunungan dengan tekstur tanah berpasir. Bahkan ditemukan juga jenis gaharu yang tumbuh di celah–celah batuan (Sumarna, 2007). Pohon gaharu umumnya dapat ditanam pada lokasi dengan ketinggian 5-700 mdpl dengan curah hujan 6 bulan dan sepanjang tahun lebih disukai. Tanaman gaharu dapat dipanen setelah berumur 9-10 tahun. Setelah pohon berdiameter 10 cm (kira-kira pada umur 5 tahun), proses inokulasi dapat dilakukan dengan cara (1) melukai bagian batang pohon, (2) menyuntikkan mikroorganisme jamur Fusarium, (3) menyuntikkan oli dan gula merah, atau dengan (4) memasukan potongan gaharu ke dalam batang tanaman. Produksi gubal gaharu mulai terbentuk setelah satu bulan penyuntikan dengan tanda-tanda pohon tampak sakit, dedaunan menguning dan rontok, kulit batang rapuh, jaringan kayu berwarna coklat tua dan mengeras, dan jika dibakar akan mengeluarkan aroma khas mirip kemenyan. Gaharu dapat dipanen 3–4 tahun kemudian (Sumarna, 2007). Daerah penyebaran gaharu di Indonesia antara lain, kawasan hutan Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, Nusa Tenggara, dan Jawa. Secara ekologisnya, tanaman gaharu di Indonesia tumbuh pada daerah dengan ketinggian 0–2400 mdpl. Umumnya, gaharu yang berkualitas baik tumbuh pada daerah yang beriklim panas, dengan suhu 28º–34ºC, kelembaban 60–80%, dan curah hujan 1000–2000 mm/tahun (Sumarna, 2007). Dari beberapa hasil uji coba serta informasi dan pengalaman di lapangan menunjukkan bahwa gaharu tidak memerlukan persyaratan khusus untuk
Universitas Sumatera Utara
membatasi suatu upaya pengembangannya. Oleh karena itu, secara teknis pengembangan gaharu dapat dilakukan pada berbagai lahan dengan variasi kondisi lingkungan dan iklim. Namun, pertumbuhan optimal akan diperoleh pada kondisi lahan yang struktur tanahnya lempung, dan liat berpasir, serta solum yang dalam (Sumarna, 2007).
Kelas Produk Gaharu Menurut Tarigan (2004), pengkelasan produk gaharu adalah syarat untuk penentuan kualitas dan harga jual. Kualitas gaharu dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: a. Gubal adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dan aroma yang agak kuat, ditandai oleh warnanya yang hitam atau kehitaman berseling coklat. b. Kemedangan adalah kayu yang berasal dari pohon atau bagian pohon penghasil gaharu, memiliki kandungan damar wangi dengan aroma yang lemah, ditandai oleh warnanya yang putih ke abu-abuan sampai kecoklatcoklatan, berserat kasar dan kayunya yang lunak. c. Abu (bubuk) adalah serbuk kayu gaharu yang dihasilkan dari proses penggilingan atau penghancuran kayu gaharu sisa pembersihan atau pengerokan Sesuai rancangan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang ditetapkan oleh Dewan Standarisasi Nasional (DSN), masing-masing kelompok produk gaharu tersebut dibagi lagi menjadi beberapa kelas seperti pada (Tabel 1). Tabel 1. Klasifikasi mutu produk gaharu berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI)
Universitas Sumatera Utara
No
Klasifikasi dan kelas mutu
A Gubal A1 Mutu utama (U) setara dengan mutu super A2 Mutu pertama (I) setara dengan mutu AB A3 Mutu kedua (II) setara dengan Sabah Super (SBI)
Kandungan damar wangi
Aroma
Hitam merata
Tinggi
Kuat
Hitam coklat
Cukup
Kuat
Hitam kecoklatan
Sedang
Agak kuat
Tinggi
Agak kuat
Cukup
Agak kuat
Sedang
Agak kuat
Sedang
Agak kuat
Sedang
Kurang kuat
Kurang
Kurang kuat Kurang kuat
Warna
B Kemedangan B1 Mutu I, setara TG-A Coklat (Tanggung A) kehitaman B2 Mutu II, setara SBI Coklat bergaris hitam B3 Mutu II, setara TAB Coklat bergaris putih B4 Mutu IV, setara TG-C Coklat bergaris (Tanggung C) putih B5 Mutu V, setara mutu M1 Kecoklatan (Kemedangan 1) bergaris putih lebar B6 Mutu VI, setara mutu M2 Putih keabuan garis hitam tipis (Kemedangan 2) B7 Mutu VII, setara mutu M3 Putih keabuan (Kemedangan 3)
C Abu C1 Mutu utama (U) C2 Mutu pertama (I) C3 Mutu kedua (II)
Hitam Coklat kehitaman Putih kecoklatan atau kekuningan
Kurang
Tinggi Sedang
Kuat Sedang
Kurang
Kurang kuat
Gubal gaharu terakumulasi pada jaringan yang terdapat diantara xylem sekunder dan fhloem sekunder pada batang. Jaringan pengakumulasi ini telah terbenuk pada tanaman gaharu umur 4 bulan, penemuan ini mendasari inokulasi pada umur muda, walaupun jaringan yang terbentuk masih sangat tipis. Gubal kulit, merupakan bukti bahwa resin gaharu terdeposit pada jaringan floem.
Universitas Sumatera Utara
Anatomi kulit bagian dalam tersusun dari jaringan floem, yang berfungsi sebagai transport hasil asimilat dari daun ke seluruh bagian tanaman. Jaringan ini merupakan tempat terakumulasinya resin gaharu (Rawana, 2009).
Inokulan Pembentuk Gaharu Jamur merupakan protista nonfotosintesis yang berkembang biak dengan spora. Jalinan filament (hifa) yang dikenal dengan sebutan miselium (mycelium). Meskipun hifa memiliki sekat-sekat, namun sekat ini berlubang sehingga inti dan sitoplasma bias leluasa melewatinya. Jadi secara utuh organisme ini adalah Coenocyte (berinti banyak yang sitoplasmanya saling berhubungan) berada dalam deretan tabung-tabung yang bercabang. Tabung-tabung ini dibentuk dari polisakarida seperti kitin, yang mirip dengan dinding sel. Secara evolusi jamur merupakan bagian dari protozoa. Jamur dibagi menjadi empat kelas yaitu Zygomycotina (phycomycetes), Ascomycotina (ascomycetes), Basidiomycotina (basidomycetes) dan Deuteromycotina (fungi imperfekti) (Brooks et al, 2001). Jamur merupakan mikroorganisme tidak berklorofil, berbentuk hifa/sel tunggal eukarotik, berdinding sel dari kitin atau selulosa, bereproduksi seksual dan aseksual. Dalam dunia kehidupan jamur merupakan kingdom tersendiri karena cara mendapatkan makanannya berbeda dari organism eukarotik lainnya, yaitu melalui absorpsi (Gandjar et al, 1999). Inokulasi adalah kontak awal patogen pada suatu tanaman yang mungkin terinfeksi. Inokulum adalah bagian dari patogen yang dapat memulai infeksi. Tidak semua inokulum mampu melakukan infeksi pada tanaman, hanya inokulum patogen berpotensi untuk menginfeksi tumbuhan (Agrios, 1996).
Universitas Sumatera Utara
Menurut Agrios (1996), untuk menentukan apakah jamur yang ditemukan bersifat patogen atau saprofit maka pertama kali yang harus dipelajari adalah morfologi miselium, struktur buah, dan sporanya di bawah mikroskop. Pada banyak kasus, pada awal perkembangan penyakit baik struktur buah ataupun spora tidak dijumpai pada jaringan yang sakit, dan oleh karena itu tidak ada hal yang memungkinkan untuk mengidentifikasi jamur tersebut. Untuk beberapa jenis jamur, telah tersedia beberapa medium biakan khusus untuk isolasi selektif, identifikasi atau untuk merangsang sporulasi. Kebutuhan lain adalah dengan cara menginkubasi di bawah kondisi suhu, udara, atau cahaya tertentu untuk menghasilkan spora. Akan tetapi, pada sebagian besar kasus, struktur buah dan spora dapat dihasilkan pada jaringan inang yang sakit jika jaringan tersebut ditempatkan dalam gelas atau plastik “ruang lembab” (moisture chamber), yaitu wadah yang di dalamnya ditambahkan kertas saring yang basah untuk meningkatkan kelembaban udara dalam gelas atau plastik tersebut. Secara teknis, garis besar tahapan rekayasa produksi gaharu dimulai dengan isolasi jamur pembentuk yang diambil dari pohon penghasil gaharu sesuai jenis dan ekologi sebaran tumbuh pohon yang dibudidayakan. Isolat tersebut kemudian diidentifikasi berdasar taksonomi dan morfologi lalu dilakukan proses skrining untuk memastikan bahwa jamur yang memberikan respon pembentukan gaharu sesuai dengan jenis pohon penghasil gaharu agar memberikan hasil optimal. Tahap selanjutnya adalah perbanyakan jamur pembentuk gaharu tadi, kemudian induksi, dan terakhir pemanenan. Untuk saat ini, produksi gaharu buatan yang dipanen pada umur 1 tahun berada pada kelas kemedangan dengan harga jual US$ 100 per kilogram (Dephut RI, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Mengingat jenis isolat penyakit pembentuk gaharu berbeda-beda sesuai kondisi iklim dan lingkungan maka penyedia inokulan perlu melakukan isolasi jenis penyakit yang berprospek memproduksi gaharu. Adapun tahapan teknik pengembangan inokulan sebagai berikut: 1. Pilih pohon gaharu alami yang sudah terinfeksi mikroba penyakit pembentuk gaharu. 2. Ambil potongan cabang atau kupasan batang pohon gaharu terpilih. Potongan cabang atau kupasan batang ini disebut preparat. 3. Bawa preparat tersebut ke laboratorium dan upayakan agar suhu dan kelembapannya tetap terjaga dengan cara dimasukkan dalam kotak es. 4. Kembangkan spora dari preparat cabang dan atau batang tersebut di dalam media agar untuk diidentifikasi jenis mikrobanya sebagai biakan murni. 5. Kembangkan spora dan miselium biakan murni tersebut ke dalam media padat seperti serbuk gergaji pohon gaharu atau dalam media cair berisi unsur makro dan mikro sebagai energi hidup. 6. Masukkan media berspora ke dalam inkubator pembiakan dan kondisikan suhu dan kelembapan inkubator pembiakan tersebut pada keadaan optimal, yaitu suhu 240–320 C dan kelembapan 80%. Biarkan sekitar 1-2 bulan. 7. Tempatkan spora yang sudah dibiakkan tersebut ke dalam wadah berupa botol kaca, botol plastik, atau botol infus bekas. 8. Simpan botol dalam freezer inkubator. Inokulan ini sudah siap diinokulasikan ke tanaman gaharu. (Sumarna, 2007)
Universitas Sumatera Utara
Inokulan yang diproduksi di laboratorium penyedia inokulan ada beberapa macam, yaitu inokulan padat, inokulan cair, dan inokulan biakan murni. a. Inokulan padat Inolukan padat dapat dibuat dan dikembangkan di dalam media padat berupa serbuk gergaji atau tepung yang berasal dari pohon gaharu atau jenis lain seperti kayu sengon. Media ini harus dalam kondisi steril. Adapun tahapan pembuatan inokulan padat tersebut sebagai berikut (Sumarna, 2007) : 1. Kumpulkan media dari kayu-kayu gaharu yang dianggap limbah. 2. Masukkan media kayu berbentuk serbuk atau tepung tersebut di dalam botol yang sudah disterilkan dengan volume sekitar 1 ons atau 100 gram. 3. Tempatkan botol tersebut di dalam ruang biakan yang sudah dilengkapi dengan laminair air flow dan lampu ultraviolet. 4. Ambil spora atau miselium dari biakan murni dengan menggunakan pinset. 5. Masukkan spora atau miselium tersebut ke dalam botol secara steril di atas lampu spiritus. Ini dilakukan agar terhindar dari kontaminasi mikroba lain. Pemasukan spora ini pun dilakukan dengan pinset. 6. Tutup botol tersebut dengan kapas steril, lalu tutup lagi dengan aluminium foil pada ujung botol. 7. Simpan botol biakan pengembangan spora inokulan dalam ruang simpan bersuhu kamar. 8. Amati dan uji kenampakan pertumbuhan spora dan miselium yang terbentuk. 9. Simpan botol dalam inkubator atau freezer bila miselium sudah memenuhi tepian botol (sekitar 1-2 bulan kemudian) agar spora diistirahatkan
Universitas Sumatera Utara
(didormankan). Setelah itu, inokulan sudah siap diinokulasikan ke tanaman gaharu. b. Inokulan cair Selain padat, inokulan pun dapat diproduksi dalam bentuk cairan. Seperti halnya inokulan padat, inokulan cair pun dimasukkan dalam botol dengan volume tertentu. Botol infus bekas di rumah sakit dapat digunakan sebagai wadah inokulan cair, tetapi harus melalui tindakan sterilisasi. Adapun tahapan produksi inokulan cair ini sebagai berikut (Sumarna, 2007) : 1. Larutkan media cair yang berisi energi berupa mineral, karbohidrat, dan vitamin dengan aquadest (air murni). 2. Sterilkan media tersebut dalam autoclave. 3. Masukkan media cair tersebut ke dalam botol infus bekas. 4. Beri lubang pada bagian atas botol infus untuk memudahkan pemasukan spora inokulan ke dalam botol. 5. Tempatkan botol infus dalam ruang pembiakan inokulan yang dilengkapi dengan lampu ultraviolet. 6. Ambil biakan murni inokulan, lalu masukkan ke dalam botol infus bekas. Pemasukan inokulan ini dilakukan di atas nyala spiritus agar steril. 7. Tutup lubang pada botol yang digunakan untuk pemasukan spora dengan selotip. 8. Simpan botol tersebut pada rak inkubasi dalam suhu kamar. 9. Biarkan spora berkembang dalam waktu sekitar sebulan. 10. Amati pertumbuhan spora di bawah mikroskop. Bila dijumpai koloni spora inokulan minimal 50 spora/cm bidang pengamatan maka botol infus dapat
Universitas Sumatera Utara
diistirahatkan di dalam inkubator atau freezer. Setelah itu, inokulan sudah bisa diinokulasikan ke tanaman gaharu. c. Biakan murni Biakan murni mikroba penyakit pembentuk gaharu perlu tetap tersedia di dalam laboratorium pengembangan. Bahkan biakan murni tersebut harus selalu diperbaharui secara berkala setiap dua bulan sekali. Hal ini sangat diperlukan bila sewaktu-waktu inokulan tersebut diperlukan (Sumarna, 2007).
Teknik Inokulasi Teknik inokulasi dengan inokulan terhadap pohon gaharu berbeda-beda sesuai dengan inokulannya. Pada pelaksanaannya penginokulasian terhadap pohon gaharu ini, harus diperhatikan umur dan diameter batangnya. Batas minimal suatu pohon dapat diinokulasi ditandai dengan pohon yang mulai berbunga. Biasanya umur tanaman tersebut sekitar 4-5 tahun atau diameter batang sudah mencapai 8-10 cm (Sumarna, 2007). a. Inokulasi dengan inokulan padat Teknik inokulasi pohon gaharu menggunakan inokulan padat dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: 1. Buat lubang pada batang kayu gaharu dengan menggunakan bor. Diameter lubang bor sekitar 0,8-1 cm. Kedalaman optimal pemboran ini perlu disesuaikan dengan ukuran diameter batang, biasanya sekitar 5 cm. Setiap batang dibuatkan banyak lubang dengan jarak antar lubang bor sekitar 20 cm. 2. Bersihkan tangan pelaku inokulasi dengan air hingga bersih dan dibilas dengan alkohol sebelum pelaksanaan inokulasi.
Universitas Sumatera Utara
3. Masukkan inokulasi padat ke dalam setiap lubang. Jumlah inokulan yang dimasukkan disesuaikan dengan kedalaman lubang. Sebagai patokan, pemasukan ini dilakukan hingga terisi penuh dengan inokulan. Agar pemasukan inokulan menjadi mudah, gunakan potongan kayu atau bambu yang ukurannya sesuai diameter lubang. 4. Tutup setiap lubang yang sudah diberi inokulan untuk menghindari masuknya air ke dalam lubang. Penutupan lubang ini dilakukan dengan pasak kayu gaharu. Penutupan pun dapat dilakukan dengan “lilin malam”. (Sumarna, 2007). b. Inokulasi dengan inokulasi cair Teknik inokulasi menggunakan inokulan cair dilaksanakan dengan cara sebagai berikut: 1. Lakukan pengeboran pada pangkal batang pohon dengan posisi miring ke bawah. Kedalaman pemboran disesuaikan dengan diameter batang pohon, biasanya sekitar 1/3 diameter batang. Sementara mata bor yang digunakan berukuran sama dengan selang infus sekitar 0,5 cm. Selang infus tersebut biasanya sudah disediakan produsen inokulan pada saat pembelian inokulan. Namun, bila belum tersedia, selang infus dapat disediakan sendiri oleh petani. 2. Masukkan selang infus yang ada pada botol inokulan cair ke dalam lubang. 3. Atur besarnya aliran inokulan cair tersebut. Hentikan aliran infus bila cairan inokulan sudah keluar dari lubang. 4. Tutup bagian tepi di sekitar selang infus dengan menggunakan “lilin malam”.
Universitas Sumatera Utara
5. Ulangi pengaturan aliran masuknya cairan infus ke dalam lubang setiap 1-2 hari, tergantung keadaan cairan dalam lubang. Pengaturan aliran dilakukan bila lubang sudah tidak terdapat lagi cairan inokulasi. 6. Laksanakan penginokulasian ini hingga inokulan cair di dalam botol infus tersebut habis. Penginokulasian diulang kembali dengan botol inokulasi baru bila belum ada tanda-tanda kematian fisik dan fisiologis (Sumarna, 2007).
Universitas Sumatera Utara