PEMANFAATAN TANDAN SAWIT SEBAGAI KOMPOS DENGAN PENAMBAHAN AKTIVATOR EM4 DAN KATALEK SERTA APLIKASINYA PADA SEMAI GAHARU (AQUILARIA MALACCENSIS LAMK.) Sri Ngapiyatun1 dan Wawan Kustiawan2 1
2
Politeknik Pertanian Negeri Samarinda, Samarinda. Laboratorium Silvikutur Fahutan Unmul, Samarinda
ABSTRACT. The Use of Oil Palm Bunches as Compost with the Addition of EM4 and Katalek Activators and Its Application in Agarwood (Aquilaria malaccensis Lamk.) Seedlings. This study was based on the effort to use waste from oil palm plantations in the form of empty fruit bunches (EFB) whose presence overflowing in the garden and polluting the environment; through composting, this problem may be overcome. This research was conducted at the green house of Politeknik Pertanian Negeri Samarinda. The aims of this study were (1) to find out where the most rapidly decomposing activator to produce the best compost from waste of oil palm garden. (2) to determine the compost that meets the requirements to be used as organic fertilizer in the not too long. (3) to determine the effect of using compost from different activators and appropriate dose for the growth of agarwood seedlings in the nursery. Based on the results obtained, it can be concluded that: (1) the most rapidly activator decomposed EFB into compost was EM4, where the produced compost had the best nutrition content compared with Katalek and without activator. (2) compost produced in this study when compared with the standard SNI 19-7030-2004, all the three compost were still in standard. It meant that the compost produced in this study was good, because they had meet the quality standard of SNI. But the best among the three was the treatment of EFB with the addition of EM4 activator. (3) treatment of compost with the addition of the EM4 activator at a dose of 25 g/polybag was the best based on the increments of seedlings height, amount of leaves, stem diameter, shoot quantity and color of leaves in comparison with other treatments. From the research results it can be suggested that: (1) in the composting with raw materials of EFB, the activator EM4 should be used to speed up composting. (2) it is suggested to use compost with a dose of 25 g/polybag to produce agarwood seedlings in the polybag sized of 12 cm height and 18 cm diameter. Kata kunci: tandan kosong sawit, aktivator EM4, Katalek, SNI 19-7030-2004, gaharu
Limbah bukanlah barang tak berguna, namun bahan baku yang belum terolah. Mencampakkan limbah lalu membiarkannya mencemari lingkungan justru akan menimbulkan masalah baru. Limbah sawit adalah sisa hasil tanaman kelapa sawit yang tidak termasuk dalam proses utama atau merupakan hasil ikutan dari proses pengolahan buah sawit. Salah satu jenis limbah kebun sawit adalah tandan kosong sawit (TKS). Pengolahan atau pemanfaatan TKS oleh pabrik sawit di Indonesia masih sangat terbatas. Sebagian besar pabrik sawit di Indonesia masih membakar 100
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
101
TKS dalam incenerator, meskipun cara ini sudah dilarang oleh pemerintah karena menimbulkan polusi udara, yang pada akhirnya menimbulkan efek gas rumah kaca. Alternatif pengolahan lainnya adalah dengan menimbun, dijadikan mulsa di perkebunan sawit atau diolah menjadi pupuk organik yang ramah lingkungan, yaitu kompos. Pada akhir Desember 2003, Kementerian Lingkungan Hidup meluncurkan Program Subsidi kompos untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). GRK salah satunya CH4 (methane) adalah gas yang menyebabkan pemanasan global jika konsentrasinya melebihi normal. Pemanasan global adalah gejala naiknya suhu permukaan bumi akibat meningkatnya konsentrasi GRK. Meningkatnya suhu bumi diperkirakan akan mengakibatkan terjadinya perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut. Tempat pembuangan limbah organik dari pabrik sawit merupakan salah satu sumber gas methane karena adanya proses penguraian limbah secara anaerobik (tanpa oksigen) oleh jasad renik (Isroi, 2008b). Limbah padat dan cair organik tidak saja memerlukan tempat yang luas untuk pembuangannya, tetapi juga biaya yang tinggi. Penanganan dengan cara dibuang langsung ke lapangan dalam keadaan mentah di areal pertanaman menimbulkan masalah polusi, ancaman ledakan hama kumbang dan potensial menghasilkan air lindi serta rendahnya efisiensi ketersediaan hara pupuk. Melalui pengomposan masalah-masalah ini dapat diatasi. Pemanfaatan limbah kebun sawit menjadi kompos belum banyak dilakukan oleh pabrik sawit karena adanya beberapa kendala, yaitu waktu pengomposan, fasilitas yang harus disediakan dan biaya pengolahan TKS tersebut. Dengan cara konvensional, dekomposisi TKS menjadi kompos dapat berlangsung dalam waktu 6 bulan sampai dengan 1 tahun. Lamanya waktu ini berimplikasi pada luas lokasi, tenaga kerja dan fasilitas yang diperlukan untuk pengomposan TKS tersebut (Anonim, 2004). Teknologi pengomposan yang efisien adalah yang cepat, murah, mutu memadai dan tidak menimbulkan bau tidak sedap. Secara alami limbah organik akan terurai menjadi kompos. Namun dengan membiarkan begitu saja, proses pengomposannya membutuhkan waktu yang cukup lama. Saat ini banyak aktivator yang beredar di pasaran. Aktivator merupakan bahan yang terdiri dari enzim, asam humat dan mikroorganisme yang berfungsi untuk mempercepat proses pengomposan. Aktivator yang digunakan dalam penelitian ini adalah EM4 dan Katalek. EM4 yang diperkenalkan pertama kalinya oleh Prof. Dr. Teruo Higa dari Universitas Ryukyu Jepang diketahui merupakan bahan berupa cairan yang berisi berbagai mikroorganisme berupa Lactobacillus, ragi, bakteri fotosintetik, Actinomyces serta jamur pengurai selulosa (Anonim, 1995). Bahan tersebut sangat efektif untuk mempercepat proses penguraian bahan-bahan organik sehingga sangat bermanfaat bila digunakan untuk penyediaan media bagi penyiapan bibit tanaman di persemaian. Katalek merupakan bibit pembuatan kompos yang mengandung beberapa mikroba, yang mana mikroba ini efektif dalam merombak bahan-bahan organik menjadi unsur hara yang berguna bagi tanah. Katalek mengandung beberapa macam mikroba yang berperan dalam penguraian atau dekomposisi limbah organik sampai berubah menjadi kompos yang baik. Masing-masing mikroba mempunyai fungsi spesifik yang mampu memperbaiki dan mempercepat proses pengomposan yang
102
Ngapiyatun dan Kustiawan (2010). Pemanfaatan Tandan Sawit Sebagai Kompos
dilakukan. Mikroba tersebut antara lain: mikroba lignolitik, mikroba selulolitik, mikroba proteolitik, mikroba lipolitik, mikroba amilolitik dan mikroba fiksasi nitrogen non simbiotik (Indrapuri, 2007). Masing-masing aktivator ini memiliki kemampuan untuk mempercepat dekomposisi limbah kebun sawit sehingga proses pengomposan akan lebih cepat. Dalam kegiatan kehutanan di Kalimantan Timur, PT Inhutani I Long Nah telah mencoba EM4 untuk mempercepat penguraian bahan-bahan organik berupa campuran alang-alang, sekam dan dedak yang selanjutnya digunakan sebagai campuran media bagi penyediaan bibit meranti, mahoni dan jati dengan hasil yang menggembirakan (Anonim, 1998). Katalek belum pernah digunakan sebagai aktivator untuk mendekomposisi limbah kebun sawit, dari beberapa literatur yang ada umumnya bahan baku kompos berupa sampah organik hasil pertanian seperti jerami dengan campuran kotoran ternak (Indrapuri, 2007). Dengan demikian perlu dikembangkan inovasi baru tentang pengomposan, salah satunya dengan pemanfaatan limbah TKS sebagai kompos dengan bantuan aktivator EM4 dan Katalek. Selain dapat mengatasi masalah limbah yang dapat mencemari lingkungan, juga dapat memberikan manfaat lebih yaitu sebagai pupuk organik. Sebagai uji coba digunakan semai gaharu (Aquilaria malaccensis Lamk.), yang mana semai gaharu ini sangat cocok menjadi tanaman andalan karena mempunyai fungsi ganda, yakni selain nilai ekonomis tinggi juga untuk konservasi lahan. Pemanfaatan gaharu sampai saat ini sebagian besar dalam bentuk produk bahan baku, yaitu bentuk kayu bulatan, cacahan, bubuk, fosil kayu yang telah terkubur. Setiap bentuk produk gaharu tersebut memiliki sifat dan warna yang berbeda. Kandungan resin atau damar wangi mengeluarkan aroma keharuman khas. Aroma tersebut sangat populer dan sangat disukai masyarakat di berbagai negara. Gaharu dibutuhkan sebagai bahan baku industri parfum, kosmetika, dupa dan pengawet berbagai jenis asesori (Tarigan, 2004). Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui aktivator mana yang paling cepat mendekomposisi limbah kebun sawit dan menghasilkan kompos terbaik, mengetahui kompos yang memenuhi syarat digunakan sebagai pupuk organik dalam waktu yang tidak terlalu lama dan mengetahui pengaruh penggunaan kompos dari aktivator yang berbeda dan dosis kompos yang tepat untuk pertumbuhan semai gaharu di persemaian. Hasil yang diharapkan dari penelitian ini adalah lingkungan kebun sawit menjadi bebas dari masalah limbah, limbah kebun sawit dibuat menjadi pupuk organik yang bisa membantu mengurangi masalah kelangkaan pupuk, menciptakan lapangan kerja dan menumbuhkembangkan usaha kecil menengah (UKM) serta industri kecil menengah (IKM), sehingga menanggulangi masalah pengangguran dan dapat memberikan informasi kepada pihak kehutanan khususnya bidang hutan tanaman gaharu bahwa kompos TKS dapat digunakan sebagai media tumbuh tanaman di persemaian.
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
103
METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Produksi Pupuk dan Green House Politeknik Pertanian Negeri Samarinda dan dilanjutkan di Laboratorium Ilmu Tanah Pusat Penelitian Hutan Tropis Universitas Mulawarman. Penelitian di lapangan dan laboratorium memakan waktu selama 7 bulan yaitu terhitung mulai bulan Juli 2009 sampai dengan Januari 2010, meliputi persiapan, pembuatan kompos, analisis kompos, penanaman dan pengumpulan data. Penelitian ini terdiri dari 2 kegiatan yaitu: pembuatan kompos dan aplikasi kompos pada semai gaharu. Kompos dibuat dari TKS dengan penambahan aktivator EM4 dan Katalek serta sebagai pembanding dibuat kompos murni dari TKS tanpa penambahan aktivator. Selama proses pengomposan dilakukan pengamatan fisik kompos berupa warna, bau, bentuk dan suhu. Pengamatan fisik kompos dilakukan setiap hari selama 80 hari. Setelah kompos matang diuji kandungan kimia kompos di laboratorium kemudian dibandingkan dengan standar kompos SNI 19-7030-2004. Aplikasi kompos pada semai gaharu dilakukan dengan cara kompos yang sudah jadi/matang diaplikasikan pada semai gaharu di persemaian selama 3 bulan dan dilakukan pengamatan mengenai pertambahan tinggi semai, pertambahan jumlah daun, pertambahan diameter batang, pertambahan jumlah tunas dan perubahan warna yang diamati setiap 2 minggu sekali selama 3 bulan. Sejalan dengan tujuannya, maka penelitian ini dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) Faktorial yang terdiri dari 2 faktor yaitu: (1) Kompos (K) terdiri dari 3 taraf perlakuan yaitu K0 = TKS tanpa penambahan aktivator, K1 = TKS dengan penambahan aktivator EM4 dan K2 = TKS dengan penambahan aktivator Katalek. (2) Dosis (D) terdiri dari 3 taraf perlakuan yaitu: D1 = 25 g/polybag (25 g kompos : 600 g tanah), D2 = 50 g/polybag (50 g kompos : 550 g tanah) dan D3 = 75 g/polybag (75 g kompos : 500 g tanah). Kombinasi dari 2 faktor yang diberikan menghasilkan 9 kombinasi perlakuan yang diulang sebanyak 3 kali dan tiap ulangan terdapat 10 semai, sehingga jumlah semai seluruhnya adalah 270 semai, dengan polybag ukuran 12x18 cm. Data dari hasil pengamatan kemudian diolah dengan uji statistik Analisis Sidik Ragam (Uji F), jika terdapat perbedaan signifikan maka dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf 5%. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Fisik Kompos Dalam proses pengomposan selama 80 hari telah dilakukan pengamatan terhadap sifat fisik kompos yang meliputi warna, bau, bentuk dan suhu kompos. Pengukuran terhadap suhu dilakukan setiap hari pada awal sampai akhir pengomposan. Pengukuran suhu setiap hari di awal pengomposan dilakukan untuk mengetahui dinamika peningkatan suhu selama proses dekomposisi berlangsung. Untuk mengetahui efektivitas penggunaan aktivator (mikroba aktivator) dilakukan pengamatan terhadap kecepatan masa pengomposan yang diketahui dari lamanya
104
Ngapiyatun dan Kustiawan (2010). Pemanfaatan Tandan Sawit Sebagai Kompos
bahan baku kompos berubah menjadi kompos dan siap dipanen. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kompos jadi atau matang terjadi pada hari ke-75 dari perlakuan TKS dengan penambahan aktivator EM4 dan pada hari ke-77 dari perlakuan TKS dengan penambahan aktivator Katalek, serta pada hari ke-78 pada TKS murni tanpa tambahan aktivator. Kompos jadi (matang) ditandai dengan warna kompos kehitaman, tidak berbau, struktur atau bentuknya remah (hancur bila diremas) dan suhu kompos sudah stabil pada suhu 30C atau sama seperti suhu dalam ruangan tempat pengomposan berlangsung. Pengomposan ini dilakukan selama 80 hari, secara visual kematangan kompos dapat diketahui antara lain dari: a. Bau. Kompos yang sudah matang berbau seperti tanah dan harum. Pada awal pengomposan tercium bau tidak sedap. Hal ini diduga terhambatnya aerasi sehingga terjadi proses anaerob yang menghasilkan bau tidak sedap. Proses anaerob akan menghasilkan senyawa-senyawa yang berbau tidak sedap seperti asam-asam organik, amonia dan H2S (Isroi, 2008b). Aerasi dapat ditingkatkan dengan melakukan pembalikan pada tumpukan kompos. b. Warna. Warna kompos yang sudah matang adalah kehitaman. Perubahan warna dari coklat tua pada awal pengomposan hingga hitam pada akhir pengomposan disebabkan oleh terdekomposisinya bahan organik oleh aktivitas bermacam-macam mikroorganisme. Proses dekomposisi aerob ditunjukkan dengan terjadinya perubahan warna menjadi kehitaman (Sutanto, 2002). c. Suhu. Suhu kompos yang sudah matang mendekati suhu awal pengomposan atau suhu ruang pengomposan. Suhu meningkat pada awal pengomposan (≥30C) dan tetap tinggi selama waktu tertentu. Menurut Isroi (2008b), hal ini menunjukkan terjadinya proses dekomposisi/penguraian bahan organik yang sangat aktif. Mikroba-mikroba di dalam kompos dengan menggunakan oksigen akan menguraikan bahan organik menjadi CO2, uap air dan panas. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu berangsur-angsur mengalami penurunan. Pada saat itu terjadi pematangan kompos, yaitu pembentukan komplek humus liat. Menurut Salundik dan Simamora (2008), suhu sangat berpengaruh terhadap proses pengomposan karena berhubungan dengan jenis mikroorganisme yang terlibat. Suhu optimum bagi pengomposan adalah 4060C dengan suhu maksimum 75C. Jika suhu pengomposan mencapai 40C, aktivitas mikroorganisme mesofil akan digantikan oleh mikroorganisme termofil. Jika suhu mencapai 60C, fungi akan berhenti bekerja dan proses perombakan dilanjutkan oleh actinomyces serta strain bakteri pembentuk spora (spore forming bacteria). d. Struktur/bentuk. Kompos yang telah matang bersifat remah, terasa lunak ketika dihancurkan, ketika diremas-remas mudah hancur dan terjadi penyusutan volume/bobot kompos seiring dengan kematangan kompos. Dalam penelitian ini volume kompos mengalami penyusutan, yang mana kompos murni penyusutannya 25%, kompos yang dihasilkan dengan penambahan aktivator EM4 penyusutannya 40% dan kompos yang dihasilkan dengan penambahan aktivator Katalek
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
105
penyusutannya 50%. Menurut pendapat Murbandono (2009), dalam timbunan bahan-bahan organik pada pembuatan kompos terjadi aneka perubahan hayati yang dilakukan oleh jasad-jasad renik. Perubahan hayati yang penting yaitu: 1). Penguraian hidrat arang, selulosa, hemiselulosa dan lain-lain menjadi CO2 dan air. 2). Penguraian zat lemak dan lilin menjadi CO2 dan air. 3). Penguraian zat putih telur, melalui amida-amida dan asam-asam amino menjadi amoniak, CO2 dan air. 4). Terjadi pengikatan beberapa jenis unsur hara di dalam tubuh jasad-jasad renik, terutama nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K). Unsur-unsur tersebut akan terlepas kembali bila jasad-jasad tersebut mati. 5). Pembebasan unsur-unsur hara dari senyawa-senyawa organik menjadi senyawa anorganik yang berguna bagi tanaman. Akibat perubahan tersebut, berat dan isi bahan kompos menjadi sangat berkurang. Sebagian besar senyawa zat arang hilang, menguap ke udara. Kadar senyawa N yang larut (amoniak) meningkat. Peningkatan ini tergantung pada perbandingan C/N bahan asal. Perbandingan C/N bahan yang semakin kecil berarti bahan tersebut mendekati C/N tanah. Idealnya, C/N bahan sedikit lebih rendah dibanding C/N tanah. Dalam penelitian waktu yang diperlukan hingga kompos matang sekitar 75 hari, yaitu lebih lambat dari proses pengomposan yang semestinya. Hal ini disebabkan karena bahan aktivator yang digunakan murni bahan aktivator tanpa penambahan sumber energi seperti gula yang merupakan sumber tenaga bagi mikroorganisme yang ada pada EM4 dan Katalek pengaya yang merupakan sumber tenaga/energi pada Katalek, sehingga dapat diketahui efektivitas aktivator tersebut tanpa tambahan sumber energi. Selain itu dari bahan baku kompos yang digunakan hanya tandan kosong sawit tanpa ada campuran bahan lain sehingga ini berpengaruh pada proses dekomposisi bahan dan kandungan unsur hara yang dihasilkan. Hal ini dapat dipahami mengingat tandan sawit memiliki serat yang keras dan sulit lapuk. Menurut pendapat Murbandono (2009), bahwa variasi bahan yang digunakan sangat berpengaruh, yaitu makin bervariasi bahan baku yang digunakan dalam pembuatan kompos maka penguraiannya relatif lebih cepat dibandingkan bahan baku yang sejenis. Untuk itu, kompos dari tandan sawit ini lebih lambat penguraiannya karena bahan baku yang digunakan sejenis atau murni tandan sawit tanpa adanya campuran bahan lain. Hasil Analisis Kimia Kompos Tandan kosong sawit sebelum dibuat kompos dilakukan uji laboratorium terlebih dahulu untuk mengetahui kandungan C/N. Hasil analisis kimia tandan kosong sawit sebelum diolah menjadi kompos mempunyai kadar C/N yang tinggi, yaitu 56. Tetapi setelah melalui proses pengomposan yang berjalan selama 80 hari dan dengan bantuan aktivator serta tanpa bantuan aktivator, dihasilkan kompos yang memiliki kandungan nutrisi yang sangat baik dan kadar C/N yang rendah. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa kandungan C/N kompos mengalami penurunan setelah
106
Ngapiyatun dan Kustiawan (2010). Pemanfaatan Tandan Sawit Sebagai Kompos
melalui proses pengomposan untuk semua perlakuan, baik yang menggunakan aktivator maupun yang tidak menggunakan aktivator, yaitu TKS murni C/N = 14,47, TKS dengan penambahan aktivator EM4 C/N = 17,99 dan TKS dengan penambahan aktivator Katalek C/N = 13,93. Nisbah karbon dan nitrogen (nisbah C/N) sangat penting untuk memasok hara yang diperlukan oleh mikroorganisme selama proses pengomposan berlangsung. Karbon diperlukan oleh mikroorganisme sebagai sumber energi dan nitrogen untuk membentuk protein. Tandan kosong sawit dalam penelitian ini sebelum dilakukan pengomposan mempunyai nisbah C/N = 56 yang dapat menurunkan ketersediaan N pada tanah karena N terimobilisasi dalam proses perombakan bahan organik oleh mikroba tanah. Oleh karena itu, dibutuhkan proses pengomposan untuk menurunkan kadar C/N hingga mendekati C/N tanah. Menurut Sutanto (2002), bila ketersediaan karbon berlebihan (C/N >45) jumlah nitrogen sangat terbatas, maka merupakan faktor pembatas pertumbuhan mikroorganisme, proses dekomposisi menjadi terhambat karena kelebihan karbon harus dibakar/dibuang oleh mikroorganisme dalam bentuk CO2. Nisbah C/N yang cukup besar juga menunjukkan sebagai bahan yang sukar terdekomposisi. Penggunaan aktivator yang mengandung bahan aktif EM4 dan Katalek mempunyai kemampuan untuk menghancurkan bahan organik dalam waktu yang singkat. Mikroba ini mengeluarkan enzim penghancur lignin dan selulosa. Dengan hancurnya lignin dan selulosa, kadar karbon akan turun dan kadar nitrogen meningkat sehingga C/N menjadi kecil (Indriani, 2002). Dari hasil analisis kimia kompos secara keseluruhan dapat diketahui, bahwa TKS dengan penambahan aktivator EM4 adalah yang paling baik jika dilihat dari kandungan nutrisinya. Tetapi secara keseluruhan kandungan nutrisinya tidak jauh berbeda pada semua perlakuan, baik untuk pH, C/N, bahan organik, kemampuan ikat air, C-organik, kadar air dan kandungan unsur hara makro maupun mikro. Kandungan nutrisi kompos dari hasil penelitian jika dibandingkan dengan standar kualitas kompos berdasarkan SNI 19-7030-2004 adalah masih dalam standar, artinya kompos dari hasil penelitian kualitasnya masih dalam standar kompos SNI, yang mana kompos hasil penelitian jika dibandingkan dengan standar SNI yang menjadi kekurangan hanya faktor pH, kadar air dan kemampuan ikat air (Tabel 1). Tabel 1. Perbandingan Antara Kompos Hasil Penelitian dengan Standar Kompos SNI 19-70302004 Parameter pH H2O Calsium (CaO) Kemampuan ikat air Bahan organik Rasio C/N N-total C-organik Kadar air Potassium (K2O) Phosphorus (P2O3) Pb (timbal) Cd (cadmium)
Standar SNI 6,80-7,49 >25,5 >58 27-58 10-20 >0,4 9,8-32 <50 >0,2 >0,1
TKS murni 5,92 0,23 25,93 52,89 14,47 2,15 31,11 66,40 2,01 0,11 167,08 1,03
TKS+EM4 6,32 0,44 20,16 64,23 17,99 2,10 37,78 61,90 2,25 0,18 25,80 0,50
TKS+Katalek 6,07 0,38 25,84 49,49 13,93 2,09 29,11 63,00 2,02 0,10 26,63 0,55
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
107
Tabel 1 (lanjutan) Parameter Cu (tembaga) Zn (seng) Mn (mangan) Fe (besi)
Standar SNI
TKS murni 49,24 76,68 120,96 1330,56
TKS+EM4 55,11 87,60 123,00 1522,20
TKS+Katalek 56,24 80,32 122,36 1432,16
Meskipun pH kompos dari hasil penelitian dari ketiga perlakuan kompos masih di bawah standar SNI, namun demikian keseluruhan kompos yang dihasilkan masih dalam rentang netral yaitu 5,926,32. Hal ini disebabkan menginggat bahan baku kompos yang digunakan murni tandan sawit tanpa campuran bahan lain yang bisa menaikkan pH seperti pupuk kandang, kapur dan lain-lain. Dalam hal ini Isroi (2008a) menyatakan, bahwa proses pengomposan akan menyebabkan perubahan pada pH bahan itu sendiri, sebagai contoh proses pelepasan asam secara temporer akan menurunkan pH, sedangkan produksi ammonia dari senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen akan meningkatkan pH pada fase-fase awal pengomposan. pH kompos yang telah matang biasanya mendekati netral. Kompos murni hasil penelitian yang tanpa menggunakan aktivator pH yang dihasilkan adalah 5,92, hal ini disebabkan pada bahan baku yang akan digunakan dalam pembuatan kompos tanpa ditambah dengan aktivator. Uji kematangan kompos dilakukan dengan uji laboratorium. Salah satu kriteria kematangan kompos adalah nisbah C/N. Bila nisbah C/N kompos 20 atau lebih kecil berarti kompos tersebut siap digunakan (Sutanto, 2002). Kompos yang dihasilkan dari penelitian ini telah cukup matang karena mempunyai nilai C/N di bawah 18. Parameter yang dianalisis pada kompos hasil penelitian dibandingkan dengan standar kualitas kompos SNI 19-7030-2004 ternyata juga telah memenuhi persyaratan. Artinya TKS dapat dimanfaatkan untuk dijadikan kompos tanpa penambahan/pencampuran bahan baku. Berdasarkan uji laboratorium kandungan nutrisinya sudah cukup memenuhi standar kompos SNI, sehingga limbah sawit yang keberadaannya menumpuk dan menjadi sarang penyakit dapat dimanfaatkan menjadi barang yang memiliki nilai jual yang tinggi, ekonomis dan ramah lingkungan serta dapat mengatasi masalah kelangkaan pupuk. Dalam penelitian ini dilakukan analisis kandungan unsur logam (Pb dan Cd) serta unsur mikro (Cu, Zn, Mn dan Fe), keberadaan unsur ini penting bagi tanaman, sehingga perlu diketahui. Pupuk organik (kompos) memiliki kandungan unsur hara yang lengkap baik makro maupun mikro meskipun jumlahnya sedikit tetapi lengkap. Tanaman untuk tumbuh dan berkembang memerlukan unsur hara makro dan mikro. Kandungan unsur logam seperti Pb dan Cd dalam kompos perlu diketahui, sebab unsur logam ini sangat berbahaya bagi tanaman jika keberadaannya berlebih. Menurut pendapat Salundik dan Simamora (2008), kualitas pupuk organik berdasarkan standar Internasional dengan kandungan nilai logam Pb <150 mg/kg dan Cd <3 mg/kg. Kompos hasil penelitian untuk semua perlakuan memiliki kandungan Cd <3 mg/kg dan Pb <150 mg/kg kecuali perlakuan TKS murni nilai Pb = 167,08 mg/kg. Keberadaan Pb dan Cd dalam kompos tergantung dari pH, jika pH dalam kompos itu netral, maka keberadaan Pb dan Cd akan lebih sedikit dibanding
108
Ngapiyatun dan Kustiawan (2010). Pemanfaatan Tandan Sawit Sebagai Kompos
kompos yang pH-nya rendah. TKS murni memiliki kandungan Pb dan Cd yang tinggi karena TKS murni memiliki pH yang lebih rendah yaitu 5,92 dibandingkan dengan TKS dengan penambahan aktivator EM4 dan Katalek. Soepardi (1983) menjelaskan, bahwa Pb (timbal) tidak akan larut ke dalam tanah jika tanah tidak terlalu masam. Pengapuran tanah mengurangi ketersediaan timbal dan penyerapan oleh tanaman. Menurut pendapat Tarumingkeng dkk. (2004) bahwa pengapuran tanah akan mengurangi ketersediaan Pb dan Cd pada tanah. Pupuk kompos umumnya memiliki kandungan unsur logam Pb dan Cd, mengingat kompos merupakan pupuk organik yang berasal dari bahan organik seperti sisa tumbuh-tumbuhan. Dalam penelitian ini menggunakan bahan baku kompos dari TKS, yang mana diketahui dalam budidaya sawit tidak lepas dari pemupukan yang menggunakan pupuk fosfat dan nitrat, sedangkan pemasok utama logam Pd dan Cd adalah dari pupuk fosfat dan nitrat. Menurut pendapat Subowo dkk. (1999) bahwa pemasok logam berat dalam tanah pertanian antara lain bahan agrokimia (pupuk dan pestisida), asap kendaraan bermotor, bahan bakar minyak, pupuk organik, buangan limbah rumah tangga, industri dan pertambangan. Pupuk yang digunakan dalam kegiatan pertanian juga merupakan pemasok logam berat dalam tanah seperti: pupuk fosfat mengandung Pb = 7225 mg/kg dan Cd = 0,1170 mg/kg, pupuk nitrat mengandung Pb = 227 mg/kg dan Cd = 0,058,5 mg/kg, pupuk kandang mengandung Pb = 1,127 mg/kg dan Cd = 0,10,8 mg/kg serta kompos mengandung Pb = 1,32240 mg/kg dan Cd = 0,01100 mg/kg. Hasil Analisis Semai a. Pengaruh umur. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan, bahwa perbedaan umur semai menyebabkan perbedaan yang sangat signifikan terhadap pertambahan tinggi semai (Tabel 2). Tabel 2. Pengaruh Umur, Kompos, Dosis Kompos dan Interaksinya terhadap Pertambahan Tinggi, Jumlah Daun, Diameter Batang dan Jumlah Tunas pada Semai Gaharu (Aquilaria malaccensis) Perlakuan Umur (MST): 2 4 6 8 10 12 Kompos: K0 K1 K2 Dosis: D1
tinggi (cm) f
0,35 e 0,69 d 0,98 c 1,26 b 1,61 a 2,09 b
1,06 a 1,28 ab 1,16 1,21
a
Pertambahan jumlah daun (helai) diameter batang (mm) f
0,30 e 0,76 d 1,34 c 1,78 b 2,55 a 2,96 a
1,66 a 1,64 a 1,55 1,80
a
f
0,08 e 0,14 d 0,22 c 0,29 b 0,36 a 0,46 ab
0,26 a 0,28 b 0,24 0,28
a
jumlah tunas d
0,26 cd 0,38 c 0,47 c 0,53 b 0,67 a 1,01 a
0,64 a 0,57 b 0,45 0,66
a
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
109
Tabel 2 (lanjutan) Perlakuan
tinggi (cm) a 1,26 b 1,02
Pertambahan jumlah daun (helai) diameter batang (mm) b b 1,53 0,25 b b 1,52 0,24
jumlah tunas b D2 0,49 b D3 0,51 Interaksi KxD: a a a K0D1 1,12 0,23 0,79 a a a K0D2 0,99 0,27 0,49 a a a K0D3 1,07 0,27 0,63 a a a K1D1 1,47 0,34 0,87 a a a K1D2 1,40 0,26 0,43 b a a K1D3 0,97 0,24 0,42 a a b K2D1 1,06 0,28 0,31 a a a K2D2 1,39 0,23 0,53 a b a K2D3 1,02 0,20 0,49 Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda signifikan berdasarkan uji Duncan taraf 5%. MST = minggu setelah tanam
Dari hasil uji Duncan menunjukkan bahwa semai yang berumur 12 MST adalah yang paling besar pertambahan tingginya dan pertambahan tinggi semai dari umur 2 sampai 12 MST saling berbeda signifikan yang berarti bahwa pertambahan tingginya konsisten dan tidak terhambat seiring dengan bertambahnya umur semai selama masa pertumbuhan vegetatif. Selain itu faktor lingkungan seperti sinar matahari dan kelembapan udara sangat berpengaruh dalam proses pertumbuhan terutama pertambahan tinggi semai. Dalam penelitian ini semai diletakkan di green house dengan suhu rata-rata 40C, kelembapan udara rata-rata 62% dan penyinaran matahari yang merata ke seluruh semai, kondisi seperti ini sesuai untuk pertumbuhan semai A. malaccensis sampai umur 12 MST. Menurut pendapat Lakitan (1996), tinggi tanaman merupakan indikator pertumbuhan yang paling mudah untuk diukur dan ini sangat dipengaruhi oleh intensitas cahaya yang optimal, tinggi tanaman lebih terpacu jika tanaman ditumbuhkan pada tempat dengan intensitas cahaya yang rendah. b. Pengaruh kompos. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan, bahwa perbedaan kompos menyebabkan perbedaan sangat signifikan terhadap pertambahan tinggi semai A. malaccensis. Dari hasil uji Duncan (Tabel 2) menunjukkan, bahwa kompos yang berasal dari TKS yang diberi EM4 menghasilkan pertambahan tinggi semai terbaik dan berbeda signifikan dengan pertambahan tinggi semai yang diberi kompos tanpa aktivator dan kompos dari TKS yang diberi Katalek, masing-masing 1,28 cm, 1,16 cm dan 1,06 cm. Hal ini berarti mikroorganisme yang ada di dalam EM4 dapat mengubah TKS menjadi kompos secara maksimal sehingga mudah terurai di dalam tanah menjadi nutrisi yang mudah diserap oleh semai A. malaccensis di dalam polybag. Menurut Anonim (1998), EM4 sebagian besar mengandung mikroorganisme Lactobacillus sp. yaitu bakteri penghasil asam laktat, serta dalam jumlah sedikit bakteri fotosintetik, Streptomyces sp. dan ragi. EM4
110
Ngapiyatun dan Kustiawan (2010). Pemanfaatan Tandan Sawit Sebagai Kompos
mampu meningkatkan dekomposisi limbah dan sampah organik, meningkatkan ketersediaan nutrisi tanaman serta menekan aktivitas serangga hama dan mikroorganisme patogen. c. Pengaruh dosis. Hasil analisis sidik ragam pengaruh perbedaan dosis kompos terhadap pertambahan tinggi semai A. malaccensis selama waktu 3 bulan pengamatan yang menunjukkan bahwa perbedaan dosis kompos menyebabkan perbedaan sangat signifikan terhadap pertambahan tinggi semai, setelah dilakukan uji Duncan (Tabel 2) ternyata pertambahan tinggi semai yang diberi kompos 25 g/polybag dan 50 g/polybag tidak berbeda signifikan, tetapi berbeda signifikan dengan pertambahan tinggi semai yang diberi kompos dengan dosis 75 g/polybag, yang mana masing-masing pertambahan tingginya masing-masing 1,21 cm, 1,26 cm dan 1,02 cm. Berarti dosis 25 g/polybag dan 50 g/polybag sama baiknya, sedangkan dosis 75 g/polybag kurang baik untuk pertambahan tinggi semai. Dosis kompos 25 g/polybag dan 50 g/polybag yang ditambahkan ke media tanam tersebut sudah mampu dan efektif untuk pertumbuhan semai, sehingga menghasilkan rata-rata pertambahan tinggi masing-masing 1,21 cm dan 1,26 cm. Hal ini sesuai dengan pendapat Soepardi (1983) yang menyatakan, bahwa untuk pertumbuhan dan produksi tanaman yang baik diperlukan keseimbangan unsur hara dalam jumlah optimal, sehingga kebutuhan tanaman akan metabolisme dapat dipenuhi. Jadi pemberian kompos dengan dosis 25 g/polybag dan 50 g/polybag sudah cukup menambah kandungan unsur hara dalam media tersebut untuk pertumbuhan terutama pertambahan tinggi tanaman. d. Pengaruh interaksi antara kompos dengan dosis. Hasil sidik ragam menunjukkan, bahwa pengaruh interaksi antara kedua faktor perlakuan yaitu kompos dengan dosis selama 3 bulan pengamatan memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pertambahan tinggi semai. Hal ini berarti untuk meningkatkan pertambahan tinggi semai A. malaccensis secara signifikan dapat juga dilakukan dengan pemberian jenis kompos tertentu pada dosis tertentu. Pada penelitian ini semua perlakuan kombinasi K1D1, K1D2, K2D2, K0D1, K0D3, K2D1, K2D3 dan K0D2 sama baiknya kecuali kombinasi K1D3. Pertambahan Jumlah Daun a. Pengaruh umur. Hasil analisis sidik ragam terhadap pertambahan jumlah daun semai A. malaccensis pada umur 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 MST menunjukkan, bahwa perbedaan umur berpengaruh sangat signifikan terhadap pertambahan jumlah daun. Dari hasil uji Duncan (Tabel 2) menunjukkan, bahwa pertambahan jumlah daun pada semai umur 2 MST sampai 12 MST saling berbeda signifikan, yang mana semakin bertambah umur semai semakin besar pertambahan jumlah daun. Dari umur 2 MST sampai 12 MST rata-rata pertambahan jumlah daunnya 0,30 helai, 0,76 helai, 1,34 helai, 1,78 helai, 2,55 helai dan 2,96 helai. Hal ini berarti pertumbuhan semai A. malaccensis konsisten tidak mengalami hambatan dikarenakan media dan faktor lingkungannya sesuai. Menurut Lakitan (1996), faktor lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan daun antara lain intensitas cahaya,
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
111
suhu udara, ketersediaan air dan unsur hara. Daun akan terbentuk maksimal pada intensitas cahaya yang tinggi, tetapi luas daun maksimal telah tercapai pada intensitas cahaya yang relatif rendah. Pertambahan jumlah daun semai menunjukkan pertambahan yang terus mengalami kenaikan seiring dengan bertambahnya umur semai. Hal ini disebabkan pada penelitian ini media tanah yang digunakan adalah top soil yang memiliki kandungan unsur hara yang relatif lebih banyak dibanding lapisan tanah di bawahnya. Penyiraman semai dalam penelitian ini dilakukan dua kali sehari yaitu pada pagi dan sore dengan melihat kondisi tanah, jika tanah basah atau lembap penyiraman ditiadakan, penyiraman ini penting karena air diperlukan tanaman untuk proses pertumbuhan. Menurut Purbayanti dan Andani (1998), air adalah pelarut yang sangat baik dan ideal untuk banyak reaksi biokimia; air juga sebagai suatu medium yang cocok untuk transport molekul-molekul organik (contohnya sukrose di phloem), ion anorganik (hara dari akar ke daun di dalam xylem) dan gas dari atmosfer (pergerakan oksigen ke tempat respirasi). b. Pengaruh kompos. Hasil analisis sidik ragam pengaruh perbedaan kompos menyebabkan perbedaan yang tidak signifikan terhadap pertambahan jumlah daun semai gaharu selama 3 bulan pengamatan. Hal ini berarti bahwa baik kompos dari TKS yang diberi EM4, Katalek maupun tanpa aktivator sama baiknya dalam memacu pertambahan jumlah daun. Hasil ini membuktikan bahwa pengaruh aktivator tidak ada karena TKS sudah berubah menjadi kompos, sehingga bahanbahan aktif yang semula terdapat pada EM4 dan Katalek sudah tidak aktif lagi dan kemungkinan sudah mati. Selain itu faktor lingkungan seperti sinar matahari, temperatur dan kelembapan udara yang ada di dalam green house cukup merata, sehingga pengaruhnya merata ke semai gaharu dan kondisi seperti ini sangat diperlukan oleh daun untuk berfotosintesis dan menghasilkan tunas-tunas baru. Menurut Heddy (1990), daun adalah organ-organ khusus yang mempunyai fungsi sebagai tempat proses fotosintesis, yang mana daun merupakan bagian tanaman yang mempunyai fungsi sangat penting karena semua fungsi yang lain tergantung kepada daun secara langsung atau tidak langsung. c. Pengaruh dosis. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan, bahwa perbedaan dosis kompos menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap pertambahan jumlah daun semai gaharu selama waktu 3 bulan pengamatan. Berdasarkan uji Duncan (Tabel 2) terlihat, bahwa pertambahan jumlah daun semai yang paling banyak adalah semai yang diberi dosis 25 g/polybag yang berbeda signifikan dengan yang diberi dosis 50 g/polybag dan 75 g/polybag. Hal ini berarti bahwa dosis 25 g/polybag adalah yang terbaik untuk memacu pertambahan jumlah daun, sedangkan bila dosis kompos dinaikkan menjadi 50 dan 75 g/polybag ternyata tidak dapat memperbesar pertambahan jumlah daun. Dengan demikian pada tingkat semai sampai berumur 12 minggu, dosis kompos yang diperlukan hanya 25 g/polybag. Penambahan dosis diperlukan bila semai telah berumur lebih dari 12 minggu.
112
Ngapiyatun dan Kustiawan (2010). Pemanfaatan Tandan Sawit Sebagai Kompos
Pertambahan Diameter Batang a. Pengaruh umur. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan, bahwa perbedaan umur semai menyebabkan perbedaan yang sangat signifikan terhadap pertambahan diameter batang semai. Dari hasil uji Duncan (Tabel 2) menunjukkan, bahwa semai yang berumur 12 MST adalah yang paling besar pertambahan diameternya dan pertambahan diameter semai dari umur 2 sampai 12 MST saling berbeda signifikan yang berarti bahwa pertambahan diameternya konsisten tidak terhambat. Pertambahan diameter semai seperti ini terjadi pada kondisi temperatur rata-rata 40C dan kelembapan udara 62% yang berarti sesuai untuk pertumbuhan semai A. malaccensis sampai umur 12 MST. Menurut Atmojo (2003), A. malaccensis pada umumnya dapat tumbuh pada temperatur 32C dan kelembapan udara sekitar 70%. Dengan kondisi temperatur dan kelembapan udara yang terdapat dalam green house tempat penelitian berlangsung, ternyata semai mampu beradaptasi dan tumbuh dengan baik. Umumnya A. malaccensis yang berkualitas baik tumbuh pada daerah beriklim panas dengan suhu 2834C dan kelembapan udara 6080% (Sumarna, 2007). Pada penelitian ini suhu ruang green house rata-rata 40C dan kelembapan udara rata-rata di atas 62%, pada kondisi seperti ini, semai mampu beradaptasi dengan baik, sehingga dapat menunjang pertumbuhan vegetatif semai terutama pertambahan diameter batang. b. Pengaruh kompos. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan, bahwa perbedaan kompos menyebabkan perbedaan sangat signifikan terhadap pertambahan diameter batang semai A. malaccensis. Dari hasil uji Duncan (Tabel 2) menunjukkan, bahwa kompos yang berasal dari TKS yang diberi EM4 menghasilkan pertambahan diameter batang semai terbesar dan berbeda signifikan dengan pertambahan diameter batang semai yang diberi kompos tanpa aktivator dan kompos dari TKS yang diberi Katalek, masing-masing 0,28 mm, 0,26 mm dan 0,24 mm. Hal ini berarti mikroorganisme yang ada di dalam EM4 dapat mengubah TKS menjadi kompos secara maksimal sehingga mudah terurai di dalam tanah menjadi nutrisi yang mudah diserap oleh semai gaharu di dalam polybag. Menurut Anonim (1995), pemberian bokashi (TKS dengan penambahan EM4) dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah. Menurut Umpel (1997), dengan penggunaan bokashi sebagai pupuk organik dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, yaitu tanah menjadi sehat, gembur, porous dan aman dari gangguan penyakit serta dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. c. Pengaruh dosis. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan dosis kompos menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap pertambahan diameter batang semai A. malaccensis selama 3 bulan pengamatan. Berdasarkan uji Duncan (Tabel 2) terlihat, bahwa pertambahan diameter batang semai yang paling besar adalah semai yang diberi dosis 25 g/polybag yang berbeda signifikan dengan yang diberi dosis 50 g/polybag dan 75 g/polybag. Hal ini berarti bahwa dosis 25 g/polybag adalah yang terbaik dan optimal untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan semai, sehingga menghasilkan pertambahan diameter batang rata-rata 0,28 mm, sedangkan bila dosis kompos dinaikkan menjadi 50 dan 75 g/polybag
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
113
ternyata tidak dapat memperbesar pertambahan diameter batang. Menurut Harjadi (1987), tersedianya unsur hara yang cukup pada saat yang tepat dalam fase vegetatif dapat menunjang laju pembentukan karbohidrat dan pembentukan sel-sel baru serta sistem perakaran. Dengan demikian pada tingkat semai sampai berumur 12 minggu, dosis kompos yang diperlukan hanya 25 g/polybag. Penambahan dosis dimungkinkan bila semai telah berumur lebih dari 12 minggu. d. Pengaruh interaksi antara kompos dengan dosis. Hasil sidik ragam menunjukkan, bahwa pengaruh interaksi antara kedua faktor perlakuan yaitu kompos dengan dosis selama 3 bulan pengamatan memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pertambahan diameter batang. Hal ini berarti untuk meningkatkan pertambahan diameter batang semai A. malaccensis secara signifikan dapat juga dilakukan dengan pemberian jenis kompos tertentu pada dosis tertentu. Pada penelitian ini semua perlakuan kombinasi K1D1, K2D1, K0D2, K0D3, K1D2, K1D3, K2D2 dan K0D1 sama baiknya kecuali kombinasi K2D3. Hal ini diduga disebabkan oleh pemberian kompos ke dalam tanah dengan dosis tertentu, sehingga tanah menjadi subur, yang mana kompos sangat berperan untuk meningkatkan kesuburan tanah. Menurut Simamora dan Salundik (2008), komponen kompos yang paling berpengaruh terhadap sifat kimia tanah adalah kandungan humusnya, humus yang menjadi asam humat dapat melarutkan zat besi (Fe) dan aluminium (Al). Kedua unsur ini sering mengikat senyawa fosfat (PO42) yang merupakan sumber fosfor (P) bagi tanaman, bila fosfat ini diikat oleh Fe dan Al akibatnya tidak dapat diserap tanaman. Namun, adanya asam humat yang dapat melarutkan Fe dan Al, senyawa fosfat akan lepas dan menjadi senyawa fosfat tersedia yang dapat diserap tanaman. Pertambahan Jumlah Tunas a. Pengaruh umur. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan, bahwa perbedaan umur semai menyebabkan perbedaan yang sangat signifikan terhadap pertambahan jumlah tunas semai. Dari hasil uji Duncan (Tabel 2) menunjukkan, bahwa semai yang berumur 12 MST adalah yang paling banyak pertambahan jumlah tunasnya dan pertambahan jumlah tunas semai dari umur 4 sampai 8 MST tidak berbeda signifikan yang disebabkan pada umur itu, semai A. malaccensis sudah bertunas dan sedang dalam proses pembesaran serta pembentukan daun sempurna, sehingga tidak terbentuk tunas baru. Perbedaan pertambahan jumlah tunas yang signifikan antara semai yang berumur 12 MST dengan umur-umur yang lebih muda diduga pada semai A. malaccensis daun yang terbentuk sudah sempurna, sehingga pada saat itu mulai bermunculan tunas baru dan memperlihatkan hasil yang signifikan. Selain itu juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti sinar matahari. Tempat penelitian ini kondisi ruangnya homogen, sehingga penyinaran matahari kemungkinan besar bisa merata ke semai gaharu dan kondisi seperti ini sangat diperlukan oleh daun untuk berfotosintesis serta menghasilkan tunas-tunas baru. Menurut Heddy (1990), daun adalah organ khusus yang mempunyai fungsi sebagai tempat proses fotosintesis, yang mana daun merupakan bagian tanaman yang mempunyai fungsi sangat penting karena semua fungsi yang lain tergantung kepada
114
Ngapiyatun dan Kustiawan (2010). Pemanfaatan Tandan Sawit Sebagai Kompos
daun secara langsung atau tidak langsung. Menurut Gardner dkk. (1991), fase pertumbuhan vegetatif mengindikasikan penggunaan hasil-hasil fotosintesis melalui proses metabolisme untuk perkembangan akar, batang dan daun. b. Pengaruh kompos. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan, bahwa perbedaan kompos menyebabkan perbedaan sangat signifikan terhadap pertambahan jumlah tunas semai A. malaccensis. Dari hasil uji Duncan (Tabel 2) menunjukkan, bahwa kompos yang berasal dari TKS murni menghasilkan pertambahan jumlah tunas semai terbanyak dan tidak berbeda signifikan dengan kompos dari TKS yang diberi EM4 tetapi berbeda signifikan dengan kompos dari TKS yang diberi Katalek, masing-masing 0,64 tunas, 0,57 tunas dan 0,45 tunas. Hasil ini membuktikan, bahwa pengaruh aktivator tidak ada karena TKS sudah berubah menjadi kompos, sehingga bahan-bahan aktif yang semula terdapat pada EM4 dan Katalek sudah tidak aktif lagi dan kemungkinan sudah mati. Perbedaan pertambahan jumlah tunas antara yang diberi kompos dari TKS murni dan TKS yang diberi EM4 adalah tidak signifikan, hal ini disebabkan karena kandungan nitrogen pada kompos TKS murni hanya berbeda sedikit yaitu TKS murni 2,15%, kompos dari TKS yang diberi EM4 2,10% dan kompos dari TKS yang diberi Katalek 2,09%, yang mana unsur nitrogen berfungsi untuk pertumbuhan fase vegetatif tanaman, salah satunya adalah memacu terbentuknya tunas baru. Menurut Sutedjo dan Kartasapoetra (2002), nitrogen berfungsi untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman, menyehatkan hijau daun (khlorofil), meningkatkan kadar protein dalam tubuh tanaman, meningkatkan kualitas tanaman yang menghasilkan daun dan meningkatkan berkembangbiaknya mikroorganisme dalam tanah yang penting bagi kelangsungan pelapukan bahan organik. Selain pengaruh kompos, hal ini sangat berkaitan dengan media tempat tumbuhnya, yang mana media tumbuh yang digunakan adalah top soil yang pada umumnya memiliki tingkat kesuburan tanah yang tinggi sehingga dapat mendukung pertumbuhan semai seperti terbentuknya tunas baru. Selain itu juga faktor lingkungan berpengaruh seperti sinar matahari, sinar matahari sangat diperlukan tanaman untuk berfotosintesis, sehingga penambahan kompos tidak terlalu memberikan pengaruh yang signifikan pada parameter pertambahan jumlah tunas. c. Pengaruh dosis. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan, bahwa perbedaan dosis kompos menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap pertambahan jumlah tunas semai gaharu selama waktu 3 bulan pengamatan. Berdasarkan uji Duncan (Tabel 2) terlihat, bahwa pertambahan jumlah tunas semai yang paling banyak adalah semai yang diberi dosis 25 g/polybag yang berbeda signifikan dengan yang diberi dosis 50 g/polybag dan 75 g/polybag. Penambahan dosis dimungkinkan bila semai telah berumur lebih dari 12 minggu. Hal ini berarti bahwa dosis 25 g/polybag adalah yang terbaik dan optimal untuk memacu pertumbuhan dan perkembangan semai, sehingga menghasilkan pertambahan jumlah tunas rata-rata 0,66 tunas, sedangkan bila dosis kompos dinaikkan menjadi 50 dan 75 g/polybag ternyata tidak efektif dan efisien, sehingga tidak dapat memperbanyak pertambahan jumlah tunas. Meskipun pemberian kompos dapat memperbaiki pertumbuhan semai gaharu, namun pemberian kompos dengan dosis lebih dari 25 g/polybag sudah tidak efektif dan efisien lagi, bahkan dapat menghambat pertumbuhan tunas. Menurut Daryono
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
115
(1989), kekurangan dan kelebihan unsur hara dapat mengganggu atau menghambat pertumbuhan semai. d. Pengaruh interaksi antara kompos dengan dosis. Hasil sidik ragam menunjukkan, bahwa pengaruh interaksi antara kedua faktor perlakuan yaitu kompos dengan dosis selama 3 bulan pengamatan memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap pertambahan jumlah tunas. Hal ini berarti untuk meningkatkan pertambahan diameter batang semai A. malaccensis secara signifikan dapat juga dilakukan dengan pemberian jenis kompos tertentu pada dosis tertentu. Pada penelitian ini semua perlakuan kombinasi K1D1, K0D1, K0D3, K2D2, K2D3, K0D2, K1D2 dan K1D3 sama baiknya kecuali kombinasi K2D1. Interaksi yang sangat signifikan ini disebabkan karena pengaruh penambahan kompos dengan dosis tertentu ke media tanam, sehingga tanah menjadi subur dan mampu menyediakan serta melepaskan unsur hara yang terkandung dalam kompos meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Dengan penambahan unsur hara akibat pemberian kompos tersebut mampu meningkatkan jumlah daun. Dugaan ini sesuai dengan pendapat Gardner dkk. (1991), bahwa perkembangan daun-daun baru pada tanaman dipengaruhi oleh pasokan asimilat yang berasal dari daun lain yang lebih dewasa. Asimilat tersebut digunakan untuk pembelahan dan pembesaran sel, sehingga daundaun baru terbentuk dan ukurannya bertambah besar. Daun-daun dewasa dapat menjalankan fotosintesis dengan baik kalau faktor-faktor pendukungnya tersedia, antara lain adalah ketersediaan hara. Perubahan Warna Daun Berdasarkan data hasil pengukuran perubahan warna daun semai A. malaccensis dari 9 perlakuan pemupukan selama 3 bulan dengan rentang waktu pengukuran setiap 2 minggu sekali, bahwa hasil terbaik adalah perlakuan K1D1 (kompos dari TKS yang diberi aktivator EM4 dengan dosis 25 g/polybag) dan hasil terjelek pada K0D1 (kompos dari TKS murni dengan dosis 25 g/polybag). Perubahan warna daun terbaik selama pengamatan terdapat pada perlakuan K1D1, yang mana berdasarkan hasil pengamatan warna awal yaitu 2,5 GY 7/8, 2,5 GY 6,5/7 dan 2,5 GY 6,5/7. Setelah diberi perlakuan pemupukan dengan dosis 25 g/polybag selama 3 bulan, diperoleh perubahan warna pada akhir pengamatan yaitu 5 GY 6/7, 5 GY 5/6 dan 5 GY 5/6. Perubahan warna daun terjelek pada minggu ke-2 sampai ke-12 terdapat pada perlakuan K0D1, yang mana hasil pengamatan warna pada awal pengamatan yaitu 2,5 GY 7/8, 2,5 GY7,5/7 dan 2,5 GY 7/7, setelah dilakukan pengamatan selama 3 bulan diperoleh perubahan warna terakhir pada minggu ke-12 menjadi 5 GY 6/7, 5 GY 6/6 dan 5 GY 6/6. Perubahan warna daun terbaik disebabkan karena tanah yang sudah diberi pupuk sebagai media tumbuh ternyata mampu menyediakan dan melepaskan unsur hara yang terkandung dalam kompos dari TKS meskipun dalam jumlah yang relatif kecil. Dengan penambahan unsur hara akibat pemberian kompos TKS mampu meningkatkan perubahan warna daun. Perlakuan K1D1 adalah kompos dari TKS yang diberi aktivator EM4, di mana kandungan unsur hara yang berhubungan dengan warna daun pada perlakuan ini adalah yang paling baik yaitu bahan organik
116
Ngapiyatun dan Kustiawan (2010). Pemanfaatan Tandan Sawit Sebagai Kompos
(BO) = 64,23%, Zn = 87,60 mg/kg, Mn = 123,00 mg/kg dan Fe = 1522,20 mg/kg (Tabel 5), sehingga dapat memacu perubahan warna daun. Menurut Dwidjoseputro (1994), tanda-tanda jika tanaman kekurangan unsur Fe: tanaman klorosis yaitu lembaran daun menjadi kuning atau pucat sedangkan urat-urat daun tetap berwarna hijau; kekurangan Mn: tanaman klorosis dan kekurangan Zn: mengakibatkan salah tumbuh (kerdil) pada ujung akar dan akhirnya menghambat pertumbuhan seluruhnya. Menurut pendapat Anonim (1995), pemberian bokashi (TKS dengan penambahan aktivator EM4) dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologis tanah. Menurut Umpel (1997), dengan penggunaan bokashi sebagai pupuk organik dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, yaitu tanah menjadi sehat, gembur, porous dan aman dari gangguan penyakit serta dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dalam Tabel 1 dapat dilihat bahwa kandungan nitrogen dan C-organik untuk perlakuan TKS yang diberi aktivator EM4 adalah cukup tinggi yaitu N = 2,10% dan C-organik = 37,78%, kedua unsur ini diperlukan oleh semai untuk zat hijau daun/warna daun dalam fase vegetatif. Menurut Hardjowigeno (1987), fungsi nitrogen adalah untuk memperbaiki pertumbuhan vegetatif, yang mana semai yang cukup kandungan nitrogennya, maka daunnya akan berwarna lebih hijau (hijau tua). Menurut Salundik dan Simamora (2008), fungsi karbon (C) adalah membantu membentuk karbohidrat, lemak dan protein bagi pertumbuhan tanaman, membentuk selulose dinding sel dan memperkuat bagian tanaman, menciptakan rasa dan wangi pada air dalam buah dan bunga, serta membentuk warna daun dan bunga. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Aktivator yang paling cepat mendekomposisi tandan kosong sawit menjadi kompos adalah EM4 dan kompos yang dihasilkannya memiliki kandungan nutrisi yang terbaik dibandingkan perlakuan dengan Katalek dan tanpa pemberian aktivator. Kompos yang dihasilkan dalam penelitian ini jika dibandingkan dengan standar kompos SNI 19-7030-2004 ketiganya masih memenuhi standar, namun yang terbaik di antara ketiganya adalah perlakuan TKS dengan penambahan aktivator EM4, TKS dengan penambahan aktivator Katalek dan TKS tanpa penambahan aktivator. Berarti kompos yang dihasilkan dalam penelitian ini kualitasnya baik karena memenuhi standar SNI. Perlakuan kompos dari TKS dengan penambahan aktivator EM4 dan dosis 25 g/polybag adalah yang terbaik, kemudian disusul oleh dosis 50 g/polybag serta dosis 75 g/polybag dilihat dari pertambahan tinggi, jumlah daun, diameter batang, jumlah tunas dan perubahan warna daun semai A. malaccensis. Saran Dalam pembuatan kompos dengan bahan baku tandan kosong sawit sebaiknya menggunakan aktivator EM4 untuk mempercepat dekomposisi. Disarankan dalam pembibitan A. malaccensis selama di persemaian sebaiknya menggunakan pupuk kompos dengan dosis 25 g/polybag untuk polybag ukuran tinggi 12 cm dan diameter 18 cm
JURNAL KEHUTANAN TROPIKA HUMIDA 3 (1), APRIL 2010
117
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1995. Bokashi - Fermentasi Bahan Organik dengan Teknologi EM4. Cara Pembuatan dan Aplikasi. Songgolangit Persada, Jakarta. Anonim. 1998. Bokashi - Fermentasi Bahan Organik dengan EM4 Saptakreasi Group, Jakarta. Anonim. 2004. SNI Spesifikasi Kompos dari Sampah Organik Domestik. Standar Nasional Indonesia 19-7030-2004. Badan Standardisasi Nasional, Jakarta. Atmojo, K.S. 2003. Sudah Gaharu Super Pula. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta. Daryono, H. 1989. Diktat Teknik Persemaian. Pusat Pembinaan Pendidikan dan Latihan Kehutanan, Bogor. Gardner, F.P; R.B. Pearce dan R.L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (Terjemahan H. Susilo). UI Press, Jakarta. Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Mediyatama Sarana Perkasa, Jakarta. Harjadi, M.M.S.S. 1987. Pengantar Agronomi. Gramedia, Jakarta. Heddy. S. 1990. Biologi Pertanian. CV Rajawali, Jakarta. Indrapuri. 2007. Buat Pupuk atau Kompos dengan Katalek. Produksi CV Agri Medika Raharja, Bogor. Indriani. Y.H. 2002. Membuat Kompos Secara Kilat. Penebar Swadaya, Jakarta. Isroi. 2008a. Kompos. Makalah. Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia, Bogor. Isroi. 2008b. Cara Mudah Mengomposkan Tandan Kosong Kelapa Sawit. http://isroi.wordpress.com Lakitan, B. 1996. Fisiologi Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman. PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Murbandono, H.S. 2009. Membuat Kompos. Penebar Swadaya, Jakarta. Purbayanti dan S. Andani. 1998. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Salundik dan S. Simamora. 2008. Meningkatkan Kualitas Kompos. PT Agro Media Pustaka, Jakarta. Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Proyek Peningkatan Mutu Perguruan Tinggi Faperta IPB, Bogor. Subowo; M.M. Sutedjo; Widodo dan Asep Nugroho. 1999. Status dan Penyerapan Pb, Cd dan Pestisida pada Lahan Sawah Intensifikasi di Pinggir Jalan Raya. Prosiding, Bahan Kimia dan Bioteknologi Tanah, Puslitanak, Bogor. Sumarna, Y. 2007. Budidaya Gaharu. Penebar Swadaya, Jakarta. Sutanto, R. 2002. Penerapan Pertanian Organik. Kanisius, Yogyakarta. Sutedjo, M.M. dan A.G. Kartasapoetra. 2002. Pengantar Ilmu Tanah. Terbentuknya Tanah dan Tanah Pertanian. Rineka Cipta, Jakarta. Tarigan, K. 2004. Profil Pengusahaan (Budidaya) Gaharu. Departemen Kehutanan, Pusat Bina Penyuluhan Kehutanan, Jakarta. Tarumingkeng, C.; Z. Coto dan Hardjanto. 2004. Pencemaran Logam Berat Timbal (Pb) dan Cadmium (Cd) pada Sayur-sayuran. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Umpel. 1997. Pengalaman Penerapan Teknologi Effective Microorganism 4 (EM4). Makalah Disampaikan pada Seminar Nasional Pertanian Organik, Jakarta.