Tanggapan Komnas Perempuan terhadap Draft RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri
1. Pendapat Umum Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengapresiasi inisiatif DPR untuk memperbaiki Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPTKILN) dengan membuat Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (RUU PPILN). Beberapa langkah maju dalam RUU PPILN memang patut diapresiasi, demikian pula dengan diakomodirnya beberapa usulan masyarakat sipil dan lembaga HAM nasional. Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Migran 1990 dengan Undang Undang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pengesahan International Convention On The Protection Of The Rights Of All Migrant Workers and Members Of Their Families (Konvensi Internasional Mengenai Perlindungan Hak-Hak Seluruh Pekerja Migran Dan Anggota Keluarganya). Konvensi Migran 1990 merupakan standar baku bagi perlindungan pekerja migran dan anggota keluarganya di Indonesia dan implikasinya, maka setiap aturan dan perundangundangan organik yang diterbitkan pemerintah terkait dengan pekerja migran dan keluarganya, harus merujuk pada subtansi konvensi tersebut. Komnas Perempuan membuat catatan kemajuan yang penting, terutama jika dibandingkan dengan UndangUndang PPTKILN adalah: a. Paradigma perlindungan dan non diskriminatif terhadap pekerja migran dan keluarganya sudah mulai digunakan, dengan beberapa catatan. Upaya perlindungan dapat dilihat pada bagian khusus mengenai perlindungan hukum, sosial dan ekonomi; b. Pendidikan dan pelatihan diletakkan sebagai kegiatan prioritas; c. Pelibatan pemerintah daerah; d. Pembagian kewenangan dan tanggungjawab antar lembaga kementerian lebih jelas; e. Pembiayaan lebih jelas; f. Mengakui pentingnya perlindungan bagi anggota keluarga Pekerja Migran. Namun demikian, Komnas Perempuan masih melihat beberapa kelemahan. Terlebih lagi Daftar Isian Masalah (DIM) dan tanggapan Pemerintah terhadap RUU PPILN, merupakan kemunduran (set back) atas draft RUU PPILN itu sendiri. Secara umum kelemahan RUU PPILN ini terlihat pada: a. RUU PPILN ini belum sepenuhnya merujuk pada standar baku perlindungan hak-hak pekerja migran dan anggota keluarganya, sebagaimana tercantum dalam Undang Undang Nomor 6 Tahun 2012 Tentang Ratifikasi Konvensi Migran 1990, seharusnya baik dalam Naskah Akademis maupun dalam RUU harus mengintegrasikan komitmen negara dalam undang undang yang organik ini, demi percepatan implementasinya; b. RUU PPILN ini belum menggunakan analisis gender dalam penyusunan pasal per pasal. Artinya fakta ketidakadilan gender yang selalu dihadapi pekerja migran Indonesia belum menjadi prioritas kerja dalam materi muatan undang-undang; 1
c. RUU PPILN masih memandang pekerja migran sebagai satu entitas secara parsial karena memandang pekerja migran hanya sebagai “pekerja”, tidak memandang bekerja dan pekerja sebagai bagian dari pemenuhan dirinya sebagai manusia dengan segala harkat dan martabat kemanusiaannya, termasuk dirinya dalam berkeluarga, memiliki hasrat dan kebutuhan manusiawi yang perlu dipenuhi selain kebutuhan dan hak sebagai pekerja; d. Terdapat ketimpangan antara Naskah Akademik RUU PPILN dengan isi RUU PPILN, sehingga persoalan dan kebutuhan perbaikan kebijakan yang diuraikan dalam Naskah Akademik tidak terjewantahkan secara komprehensif pada muatan materi RUU PPILN; e. RUU PPILN masih berorientasi bisnis. Peran PPPILN/PPTKIS, Asuransi dan Perbankan masih dominan. Pengaturan terhadap PPPILN/PPTKIS tidak jauh berbeda dengan UU No. 39/2004 tentang PPTKILN; f. Pembagian peran, fungsi, hak dan kewajiban pelaksanaan, pemenuhan hak pekerja migran, termasuk perlindungan belum memenuhi prinsip kewajiban negara, karena justru didelegasikan pada pihak swasta; g. Sanksi dan penghukuman terhadap setiap orang dan badan hukum negara maupun swasta yang terkait penyelenggaraan migrasi pekerja Indoensia belum diatur secara jelas. Hal ini dapat berpotensi RUU ini akan menyalahi prinsip imperatif dari sebuah kebijakan. 2. Pendapat terhadap Sejumlah Isu Krusial a. Judul Undang Undang Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri (UU PPILN), secara umum masih belum menunjukan cara pandang yang komprehensif terhadap pekerja migran sebagai manusia utuh, bukan semata pekerja, namun juga manusia yang berjenis kelamin, memiliki atau menjadi anggota keluarga, sehingga entitas pekerja migran semestinya tidak dilepaskan dari hal-hal tersebut. Komnas Perempuan mengusulkan agar judul RUU Perlindungan Pekerja Indonesia di Luar Negeri diubah menjadi RUU Perlindungan Pekerja Migran Indonesia dan Anggota Keluarganya. b. Definisi dan Ruang Lingkup Terkait definisi dan ruang lingkup pekerja migran dan anggota keluarganya, Komnas Perempuan berpendapat agar RUU ini langsung merujuk pada Konvensi Migran 1990 Pasal 2 Ayat (2). c. Hak dan Kewajiban Pekerja Migran dan Keluarganya Perihal hak dan kewajiban pekerja migran dan anggota keluarganya, Komnas Perempuan berpendapat agar semua hak yang tertulis dalam Konvensi Migran 1990 secara eksplisit dirujuk oleh undang-undang ini. d. Kontrak Mandiri Di beberapa negara tujuan kerja seperti Hongkong, Singapura dan Taiwan, maka pekerja migran yang telah berpengalaman dan memiliki informasi untuk mendapatkan dan memilih pengguna jasa, memilih melakukan kontrak mandiri, yaitu kontrak langsung antara pekerja migran dengan pengguna jasa tanpa menggunakan perantara/jasa agen, perekrutan secara tradisional atau melalui keluarga, yaitu model lama yang dijadikan PRT dalam perekrutan. Hal tersebut penting menjadi perhatian. Namun, hal tersebut terkendala oleh aturan yang tetap mewajibkan pekerja migran menggunakan jasa agen. RUU PPILN ini penting untuk menegaskan pengaturan hak pekerja migran yang ingin melakukan kontrak mandiri dan bebas dari intervensi serta intimidasi. 2
e. Informasi dan Pendaftaran Salah satu persoalan mendasar dalam proses migrasi Pekerja Migran Indonesia adalah terbatasnya informasi yang dimiliki oleh pekerja migran tentang bagaimana cara bermigrasi yang aman. Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, maka selama ini yang menjadi sumber informasi utama atau rujukan adalah sponsor/calo yang merupakan petugas lapangan perekrut dari Perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Swasta (PPTKIS). RUU PPILN harus memuat kewajiban negara untuk menyebarluaskan informasi mengenai migrasi aman dan pendaftaran bagi warga yang berminat menjadi pekerja migran, yang selama ini masih belum jelas. Penyebaran informasi mengenai tata cara migrasi aman harus mencapai samapi ke pelosok desa, sehingga pihak yang menjadi kunci penyebaran informasi mengenai migrasi aman ini bukan lagi PPTKIS atau petugas lapangan, namun pemerintah daerah. Perihal pendaftaran untuk bekerja ke luar negeri, termasuk proses administrasi sebaiknya dimulai di tingkat kelurahan dan pendaftaran di dinas tenaga kerja kabupaten. Setelah melakukan proses pendaftaran untuk menjadi pekerja migran, maka setidaknya beberapa informasi lain juga harus diketahui dan diterima oleh pekerja migran, yaitu: a. b. c. d. e. f.
Informasi permintaan tenaga kerja dari negara tujuan (job order) Budaya/adat istiadat Sistem hukum dan ketenagakerjaan Identitas pengguna jasa Situasi umum calon pengguna jasa Anggota keluarga pengguna jasa
f. Posisi dan Tanggungjawab Sektor Swasta dalam Tata Kelola Migrasi Tenaga Kerja Peran sektor swasta dalam proses migrasi Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri selama ini sangat dominan. Mulai dari soal penyebaran informasi, perekrutan, pendidikan dan pelatihan, asuransi hingga pemberangkatan. Penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi pekerja migran dan keluarganya, maka PPTKIS adalah tempat yang dirujuk pertama kali oleh pekerja migran dan keluarganya, meskipun ini menyangkut dalam hal penyelesaian masalah antar negara. Perlu adanya ketegasan mengenai peran-peran yang semestinya menjadi tanggung jawab utama negara dan yang bisa didelegasikan kepada pihak swasta dan organisasi masyarakat. Komnas Perempuan berpendapat bahwa kewajiban perlindungan dan pemenuhan hak pekerja migran dan anggota keluarganya merupakan tugas utama pemerintah, sedangkan untuk beberapa bidang dapat melibatkan atau didelegasikan pada pihak swasta dan masyarakat. Demikian juga tidak semua bagian dalam tata kelola migrasi dan perlindungan pekerja migran dapat didelegasikan kepada pihak swasta. Pada tabel berikut dapat terlihat peran yang menjadi tanggung jawab pemerintah dan peran yang dapat didelegasikan kepada pihak swasta atau kelompok masyarakat.
3
Pemerintah • Pendidikan & Pelatihan • Informasi & Pendaftaran • Penempatan • Asuransi dan Jaminan Sosial • Pengawasan Internal • Pemenuhan Hak Korban
Sektor Swasta • Pendidikan & Pelatihan • Transportasi & Akomodasi • Asuransi (optional) • Pemulihan Korban dalam Makna Luas
Kelompok Masyarakat Warga • Pengawasan (Check & Balance) • Pendidikan & Pelatihan oleh CSO/TU • Pemulihan Korban dalam Makna luas
Kewajiban korporasi (sektor swasta) dalam konteks HAM sebagaimana dalam Guiding Principles for the Implementation of the Protect, Respect and Remedy Framework,1 antara lain: 1. Setiap tindakan korporasi untuk mencegah, mengukur dampak dan menghormati Hak Asasi Manusia harus sesuai dengan standar hukum Hak Asasi Manusia Internasional, dan diterapkan secara internal dalam semua struktur korporasi; 2. Kewajibannya korporasi dalam menjalankan harus memiliki kebijakan untuk mengukur efek yang ditimbulkan oleh operasinya ataupun yang berhubungan dengan aktifitasnya, dalam berbagai skala, dengan cara identifikasi, mencegah, mengurangi dan memulihkan berbagai pelanggaran HAM dan tindakan yang merugikan dan dapat mempertanggungjawabkannya; 3. Kegiatan mengidentifikasi, mencegah dan mengurangi dampak yang merugikan Hak Asasi Manusia, korporasi melakukan proses due diligence yang harus mencakup penilaian aktual dan potensial akan dampak Hak Asasi Manusia, menanggapi sesegera mungkin atas temuan dan mempertanggungjawabkan kinerjanya. Penilaian aktual ini harus disadari terus-menerus, karena kondisi Hak Asasi Manusia juga dapat berubah, dan juga harus diintegrasikan dalam upaya pemulihan dan operasional korporasi; 4. Keterlibatan dengan kelompok-kelompok yang berpotensi terkena dampak dan para pemangku kepentingan terkait lainnya, sesuai dengan ukuran, sifat dan konteks operasional; 5. Guna mempertanggungjawabkan kinerja Hak Asasi Manusia, korporasi harus terbuka untuk komplain atau suara kekhawatiran dari masyarakat yang potensial terkena dampak. Begitu pula memberi laporan secara berkala atas operasi yang dilakukan, khususnya berkaitan dengan resiko. Sementara itu kewajiban Negara dalam pengaturan korporasi atau pihak swasta untuk menghormati HAM yang terdapat dalam dokumen yang sama, yaitu: 1. Negara harus melindungi dari bisnis yang berhubungan dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia di dalam wilayah mereka dan/atau yurisdiksi dengan mengambil langkah yang tepat untuk mencegah,
1
Dokumen Guiding Principle on Business and Human Right Implementing the United nation “Protect, Respect and Remedy” Framework, diunduh dari http://www.ohchr.org/Documents/Issues/Business/A-HRC-17-31_AEV.pdf.
4
menyelidiki, menghukum dan ganti rugi atas pelanggaran tersebut melalui kebijakan yang efektif, regulasi, dan ajudikasi; 2. Negara seharusnya mendorong perusahaan bisnis yang berdomisili di wilayah mereka dan/ atau yurisdiksi mereka untuk menghormati Hak Asasi Manusia di seluruh operasi global mereka, termasuk yang dilakukan oleh anak perusahaan dan badan hukum lainnya yang terkait; 3. Sebagai bagian dari fungsi kebijakan dan regulasi, maka negara harus mengatur dengan jelas harapan mereka untuk semua bisnis perusahaan yang beroperasi atau berdomisili di wilayah mereka dan/ atau yurisdiksi untuk menghormati Hak Asasi Manusia, dan mengambil langkah yang diperlukan untuk mendukung, mendorong dan jika perlu meminta mereka untuk melakukan, termasuk upaya: a. Menegakkan hukum yang mengharuskan perusahaan bisnis untuk menghormati Hak Asasi Manusia; b. Memastikan bahwa hukum dan kebijakan yang mengatur pembentukan perusahaan bisnis baru maupun yang sedang berjalan, seperti hukum perusahaan, tidak membatasi tetapi memungkinkan bisnis untuk menghormati Hak Asasi Manusia; c. Memberikan bimbingan yang efektif untuk perusahaan bisnis tentang bagaimana menghormati Hak Asasi Manusia; d. Mendorong, dan bila dibutuhkan, perusahaan bisnis untuk menyediakan komunikasi yang memadai terhadap kinerja Hak Asasi Manusia mereka. Standar Internasional yang secara khusus terkait dengan posisi agen penyalur tenaga kerja adalah Konvensi ILO 181 tentang Penyalur Tenaga Kerja Swasta. Konvensi ini semestinya harus dijadikan pedoman dalam pelaksanaan penyalur tenaga kerja swasta. Komnas Perempuan berpandangan bahwa peran sektor swasta dalam sistem migrasi tenaga kerja tidak bisa dihapus begitu saja, namun tidak boleh juga mendapat peran besar sebagaimana yang terjadi sebelumnya. Prinsip-prinsip umum yang harus dijalankan penyalur tenaga kerja swasta sesuai Konvensi ILO 181 adalah : 1. Badan penyalur tenaga kerja swasta memperlakukan para pekerja tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin, agama, pandangan politik, keturunan, kedudukan sosial, atau bentuk diskriminasi lainnya yang diatur dalam undang undang dan ketentuan umum di negara yang bersangkutan, seperti usia dan kecacatan; 2. Pengolahan data pribadi para pekerja oleh badan penyalur tenaga kerja swasta harus: a. Dilaksanakan dengan cara yang melindungi data ini dan menjamin kerahasiaan para pekerja sesuai hukum dan ketentuan umum di negara masing-masing; b. Terbatas pada hal-hal yang menyangkut kualifikasi dan pengalaman profesional dari pekerja yang bersangkutan serta informasi lainnya yang benar-benar berkaitan. 3. Badan Penyalur Tenaga Kerja Swasta tidak boleh membebankan langsung maupun tidak langsung, seluruhnya atau sebagiannya, biaya dari para pekerja; 4. Pekerja anak tidak digunakan atau disediakan oleh badan penyalur tenaga kerja swasta; 5. Adanya perlindungan yang memadai atas pekerja yang diterima oleh badan penyalur tenaga kerja swasta menyangkut: a. Kebebasan berserikat; b. Perundingan kesepakatan kerja bersama; c. Upah minimum; d. Jam kerja dan kondisi kerja lainnya; e. Jaminan sosial berdasarkan undang undang; f. Akses ke pelatihan; g. Keselamatan dan kesehatan kerja; h. Ganti rugi bila terjadi kecelakaan atau penyakit yang berhubungan dengan pekerjaan; 5
i.
Ganti rugi bila terjadi ketidakmampuan pemberi kerja untuk membayar upah serta perlindungan atas tuntutan para pekerja, seperti: Perlindungan serta jaminan terhadap pekerja wanita yang hamil, serta perlindungan dan jaminan mengasuh bayi.
Dua standar internasional tersebut yaitu Guiding Principle on Business and Human Right Implementing the United nation “Protect, Respect and Remedy” Framework dan Konvensi ILO 181 tentang Penyalur Tenaga Kerja Swasta harus menjadi rujukan dalam mengatur keterlibatan sektor swasta dalam tata kelola migrasi tenaga kerja, baik itu dalam bentuk badan usaha agen penyalur, asuransi, agen travel dan badan-badan swasta lain yang terlibat. g. Pembiayaan Perihal biaya penempatan (cost structure) pekerja migran merupakan salah satu persoalan yang belum diatur dengan jelas pada UU 39/2004 tentang PPTKILN. Baik itu komponen, besaran biaya dan pihak yang menanggung biaya tersebut. Pada setiap negara tujuan kerja maka kebijakan mengenai pembiayaan migrasi berbeda. Yang jelas pada beberapa negara, seperti: Hongkong, Taiwan dan Singapura, pembiayaan migrasi dibayarkan melalui pemotongan upah pekerja migran. Sedang negara negara tujuan kerja di kawasan Timur Tengah membebankan pembiayaan kepada pengguna jasa/pemberi kerja. Pembebanan biaya migrasi kepada pengguna jasa sekilas nampak menguntungkan pekerja migran, namun praktik pembebanan biaya sepenuhnya ada pada pengguna jasa, berkonotasi pada “pembelian” tenaga kerja yang siap diperkerjakan tanpa standar kerja yang layak. Komnas Perempuan berpandangan, pada prinsipnya, beban biaya migrasi dapat dibagi kepada berbagai pihak, sehingga besaran biaya bekerja keluar negeri tidak boleh membebani para pekerja migran, hal ini terlalu berat dan menjadi eksploitatif. Standar biaya penempatan (cost structure) pekerja migran harus ditentukan berdasarkan standar pada masing-masing negara tujuan kerja. Sedangkan perihal siapa yang menanggung beban biaya, menurut Komnas Perempuan dapat dibagi sebagai berikut: 1. Pekerja migran menanggung biaya pengurusan dokumen pribadi seperti; KTP, paspor dan asuransi (yang bersifat sukarela); 2. Pemerintah menanggung biaya pendidikan dan pelatihan, ujian kompetensi, biaya perlindungan dan pemulihan; 3. Pemberi kerja menanggung biaya visa, permit kerja, tiket pesawat PP, asuransi; 4. Agensi menanggung biaya asuransi dan perlindungan, dengan catatan bila negara tujuan masih mensyaratkan penggunaan jasa agensi. h. Pendidikan dan Pelatihan Komnas Perempuan mengusulkan agar penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan dapat dilakukan oleh pemerintah melalui BLK yang tersedia, baik dari pihak swasta dan juga memberi ruang bagi organisasi masyarakat warga atau serikat buruh untuk menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan. Sebagaimana telah disebutkan pada bagian sebelumnya bahwa ketika pelibatan pihak swasta maka standar, aturan dan pengawasan harus dilakukan secara komprehensif. Demikian pula dalam hal keterlibatan organisasi masyarakat warga dan serikat buruh, maka pemerintah harus memiliki sistem, standar, kurikulum dan pengawasan yang komprehensif terhadap terselenggaranya pendidikan dan pelatihan tersebut.
6
Persoalan mendasar dalam pendidikan dan pelatihan yaitu muatan materi dan kurikulum pendidikan, yang hanya mencakup keterampilan dan bahasa dengan muatan yang belum memadai. Sementara pengetahuan mengenai hak-hak pekerja migran, kondisi sosial, hukum, kebiasaan dan budaya dari negara tujuan kerja hanya diberikan saat proses Pemberangkatan Akhir Pemberangkatan (PAP). Dampak dari lemahnya kurikulum pendidikan dan pelatihan adalah berbagai persoalan yang dihadapi pekerja migran. Terbatasnya pengetahuan pekerja migran atas sistem hukum dan adat kebiasaan negara tujuan mengakibatkan pekerja migran terjerat kasus hukum. Pendidikan dan pelatihan pekerja migran yang diselenggarakan oleh pemerintah dilakukan melalui BLK yang dimiliki oleh pemerintah yang tersebar di daerah-daerah. Konsekuensi dari fungsionalisasi semua BLK milik pemerintah adalah rehabilitasi infrastruktur yang telah ada dan penambahan jumlah BLK di daerahdaerah yang merupakan daerah asal pekerja migran. i. Pekerja Rumah Tangga Migran Data menyebutkan kurang lebih 80% Pekerja Migran Indonesia bekerja pada sektor domestik sebagai Pekerja Rumah Tangga (PRT). Kerentanan bidang dan ruang kerja pekerja rumah tangga, membutuhkan perhatian dan aturan khusus dalam RUU PPILN ini. Komnas Perempuan mengusulkan agar ada bab khusus dalam RUU PPILN ini yang membahas pekerja rumah tangga. Aturan dan jaminan perlindungan PRT migran tersebut merujuk pada Konvensi ILO 189 tentang Kerja Layak bagi PRT. Paradigma yang menempatkan pekerjaan rumah tangga sebagai pekerjaan tanpa keterampilan dalam RUU PPILN ini harus diubah. Lewat sistem pendidikan dan pelatihan yang terstandar dengan baik, PRT memiliki keterampilan dalam hal membidangi pekerjaan-pekerjaan seperti memasak, merawat anak dan orang tua serta jasa kebersihan. Penting juga membatasi beban kerja PRT seturut keterampilan dan kompetensi yang dimiliki. Para pemberi kerja dilarang mempekerjakan PRT dengan beban kerja berlapis-lapis. j. Pemenuhan Hak Pekerja Migran yang Menjadi Korban Penanganan dan pemenuhan hak pekerja migran yang menjadi korban, maka pemerintah harus menyediakan layanan untuk penyelesaian perselisihan, bantuan hukum dan pemulihan. Dalam proses migrasi persoalan yang dialami oleh pekerja migran dapat dibedakan menjadi perselisihan yang terkait dengan hubungan kerja atau hubungan industrial dan persoalan yang terkait dengan pelanggaran Hak Asasi Manusia. Berbagai perselisihan dan kasus tersebut dapat terjadi di setiap tahapan migrasi. Terkait dengan penyelesaian perselisihan dan bantuan hukum, Komnas Perempuan mengusulkan agar dalam perubahan Undang Undang Nomor 39/2004 tentang PPTKILN, memuat kewajiban pemerintah untuk membangun sistem terpadu penyelesaian perselisihan, bantuan hukum dan pemulihan bagi pekerja migran dan anggota keluarganya, baik di dalam dan di luar negeri. Penyediaan layanan bantuan hukum dan penyelesaian perselisihan merupakan bagian dari upaya pemenuhan hak-hak pekerja migran sebagai warga negara dan khususnya juga pemenuhan hak-hak pekerja migran yang menjadi korban, dalam hal ini hak atas keadilan, kebenaran dan pemulihan. Sistem terpadu penyelesaian perselisihan, bantuan hukum dan pemulihan yang dimaksud antara lain: 1. Adanya desk khusus bagi pekerja migran di perwakilan RI di luar negeri yang terpadu dan terkoordinasi dengan Lembaga/Kementerian terkait di dalam negeri sebagai rujukan utama pekerja migran; 7
2. Adaya SOP penyelesaian perselisihan pekerja migran dan anggota keluarganya baik di dalam dan di luar negeri; 3. Adanya penyediaan Advokat dan Paralegal untuk mendampingi proses penyelesaian perselisihan dan kasus hukum yang dialami sampai tuntas; 4. Penyelesaian perselisihan, bantuan hukum dan pemulihan mencakup semua persoalan yang dihadapi pada setiap tahapan migrasi; 5. Tersedianya layanan untuk rehabilitasi fisik, psikis, sosial dan ekonomi yang komprehensif hingga ke daerah asal. k. Asuransi Perlindungan pekerja migran seringkali disederhanakan dalam skema asuransi. Padahal, untuk beberapa resiko-resiko yang terkait dengan pelanggaran HAM dan kejahatan kemanusiaan tidak dapat ditanggung oleh asuransi, misalnya kekerasan seksual, pemerkosaan dan penyiksaan. Terkait dengan perlindungan dan pemenuhan hak-hak pekerja migran yang menjadi korban, sistem dan pelaksanaan asuransi pekerja migran saat ini tidak memadai dan tidak bisa diletakkan sebagai satu-satunya skema perlindungan bagi pekerja migran. Asuransi hanya salah satu bentuk perlindungan pekerja migran yang bersifat sekunder. Asuransi harus ditempatkan menjadi bagian dari skema besar perlindungan pekerja migran di mana penanggungjawab utamanya adalah pemerintah. Beberapa pelanggaran dan kekerasan yang dialami oleh pekerja migran seperti kekerasan seksual, pemerkosaan, penganiayaan, kecacatan fisik, dan deportasi tidak dapat dimasukan dalam skema resiko yang ditanggung oleh asuransi, karena beberapa resiko tersebut masuk dalam kategori pelanggaran HAM, maka penanggungjawab utamanya adalah pemerintah. Pemerintah bertanggungjawab untuk memenuhi hak korban untuk keadilan, kebenaran dan pemulihan. Sementara resiko-resiko lain khas pekerja migran, seperti: kerja tidak sesuai kontrak, majikan bermasalah, dipindahkan kerjakan tanpa kesepakatan, gagal berangkat, dapat diletakkan dalam skema asuransi, namun beban pembiayaan premi asuransi harus ditanggungkan kepada pemerintah melalui dana perlindungan pekerja migran. Sedangkan resiko lain, seperti: kecelakaan kerja dan program asuransi kesehatan, asuransi jiwa dan pendidikan dapat dibebankan pada pengguna jasa. l. Kewenangan, Tanggung Jawab dan Kelembagaan Pembagian peran dan kewenangan harus lebih diperjelas untuk menghindari tumpang tindih dan kerancuan kewenangan. Peran-peran pelaksana perlindungan dan pengawasan tidak boleh dilakukan oleh lembaga yang sama, kecuali dalam hal pengawasan internal atas kinerja kementerian dan lembaga bersangkutan. Terkait dengan kewenangan dan tanggung jawab Kementerian Luar Negeri dalam perlindungan Pekerja Migran Indonesia, maka penguatan perwakilan RI di negara-negara tujuan kerja Pekerja Migran Indonesia adalah keharusan. Peningkatan jumlah dan peran atase tenaga kerja hanya akan berdampak signifikan bila didukung dengan peningkatan kualitas dan kuantitas tenaga kekonsuleran. Komnas Perempuan juga mengusulkan adanya muatan materi HAM dan gender dalam konteks penanganan dan pelayanan kepada pekerja migran dalam pendidikan diplomat dan konsul, sebagai upaya peningkatan kualitas pelayanan terhadap pekerja migran di luar negeri. 8
Pemerintah daerah harus menjadi pihak kunci dalam proses penyebaran dan informasi bagi pekerja migran dan anggota keluarganya. Hal lain yang harus menjadi perhatian adalah pengawas di lintas batas agar disiapkan pos pengaduan untuk mengatasi masalah pekerja migran. m. Pengawasan dan Partisipasi Masyarakat Pengawasan terhadap penyelenggaraan layanan migrasi tenaga kerja dapat dilakukan dalam dua hal, yaitu pengawasan internal dan eksternal. Pengawasan internal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga atau kementerian terkait secara internal untuk memantau proses pelaksanaan kewenangan dan tanggung jawab yang menjadi tugas kementerian atau lembaga tersebut. Pengawasan eksternal adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga atau kelompok atau masyarakat di luar kementerian atau lembaga yang menyelenggarakan layanan. Pengawasan internal RUU PPILN sudah cukup memuat kewajiban tersebut, namun terkait pengawasan eksternal, perlu diperjelas model pengawasan seperti apa agar pelayanan publik terkait migrasi tenaga kerja ini dapat dilaksanakan dengan baik. Sasaran pengawasan adalah setiap pelayanan dan penyelenggaraan migrasi tenaga kerja pada setiap tahapannya agar dilakukan oleh lembaga dan kementerian terkait. n. Pengakuan Serikat Pekerja Migran dan Partisipasi Masyarakat Pengakuan serikat pekerja migran dan pelibatan mereka dalam setiap pembuatan kebijakan dan program yang terkait dengan mereka harus juga diatur dalam RUU PPILN. Di banyak negara tujuan kerja, serikat pekerja migran berperan penting dalam negosiasi dan pendamping utama bagi pekerja migran yang menghadapi kasus dan mengalami masalah. (1) Serikat pekerja migran dan masyarakat memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk seluas-luasnya
berperan aktif dalam perlindungan, pemenuhan dan pemajuan hak-hak pekerja migran Indonesia dan keluarganya, yang meliputi: pengawasan terhadap proses perlindungan kepada pekerja migran dan anggota keluarganya, pemberian informasi, pemberian usul, saran, pengaduan, pendampingan kepada pekerja migran dan anggota keluarganya; (2) Serikat pekerja migran dan masyarakat berhak terlibat dalam setiap proses penyusunan pengambilan keputusan, dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan program, terkait perlindungan pekerja migran dan anggota keluarganya. o. Pemidanaan & Penghapusan Impunitas Praktik impunitas terhadap pelaku kekerasan dan pelanggaran terhadap pekerja migran merupakan salah satu persoalan serius yang mengakibatkan berulangnya kasus-kasus pekerja migran. Pelaku kekerasan dan pelanggaran terutama badan hukum selama ini hanya diberi sanksi administratif semata. Bahkan setelah pencabutan izin operasional masih memungkinkan untuk mendirikan perusahaan yang baru. RUU PPILN penting untuk menegaskan aspek pidana dan pemidanaan terhadap pelaku kekerasan dan pelanggaran terhadap pekerja migran, baik bagi pelaku perorangan maupun badan hukum.
Jakarta, Januari 2016
9