perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA (KAJIAN KRITIS TERHADAP HAK ANAK DI INDONESIA)
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagian Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 Dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh : QONITAH NIM. E 0007186
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA commit to user 2011
i
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user PERSETUJUAN PEMBIMBING ii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERNYATAAN
Nama
: Qonitah
NIM
: E.0007186
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Penulisan hukum (skripsi) berjudul : PERLINDUNGAN
HUKUM
TERHADAP
PEKERJA
ANAK
DI
INDONESIA (KAJIAN KRITIS TERHADAP HAK ANAK DI INDONESIA) adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam Penulisan hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi akademik berupa pencabutan Penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya peroleh dari Penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta,
Juli 2011
yang membuat pernyataan
QONITAH NIM E.0007186
commit to user
iv
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRAK QONITAH. E0007186. PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA (KAJIAN KRITIS TERHADAP HAK ANAK DI INDONESIA). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Penelitian hukum ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja anak di Indonesia dan untuk mengetahui apakah peraturan-peraturan tersebut sudah memenuhi hak-hak anak di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif bersifat preskriptif untuk menelaah isu hukum dengan pendekatan perundang-undangan, khususnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Adapun penulisan hukum ini menggunakan jenis bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier sebagai bahan pengkajian dengan teknik pengumpulan bahan hukum studi dokumen atau bahan pustaka baik dari media cetak maupun elektonik (internet). Selanjutnya bahan hukum tersebut dianalisis dengan metode silogisme deduktif. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan disimpulkan bahwa UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah mengatur hakhak anak secara menyeluruh. Pemerintah telah mengesahkan konvensi-konvensi ILO mengenai usia minimum bagi anak untuk bekerja dan penghapusan pekerjaan-pekerjaan terburuk bagi anak. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan juga telah mengatur mengenai pekerja anak dengan batasan dan ketentuan tertentu. Upaya perlindungan ini terus dilakukan oleh pemerintah bekerja sama dengan lembaga sosial dan masyarakat. Hanya saja pelaksanaan perlindungan hak-hak pekerja anak masih mendapat kendala baik dari pengusaha, keluarga, masyarakat maupun peraturan itu sendiri. UndangUndang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hanya mengatur hak-hak bagi pekerja yang bekerja di sektor formal dan tidak memasukkan pembantu rumah tangga sebagai jenis pekerjaan, padahal kebanyakan anak-anak bekerja di sektor informal dan pembantu rumah tangga anak sehingga hak-hak pekerja anak belum sepenuhnya terpenuhi. Kendala pada umumnya disebabkan masih banyaknya masyarakat yang berada dalam kondisi ekonomi lemah, kurangnya kesadaran orang tua dan masyarakat akan pentingnya pendidikan bagi anak dan kurangnya kesadaran pengusaha untuk tidak mempekerjakan anak di pekerjaan-pekerjaan terburuk.
Kata kunci : Perlindungan Hukum, Pekerja Anak, Hak-Hak Anak
commit to user
v
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
ABSTRACT
QONITAH. E0007186. LEGAL PROTECTION ON CHILD LABOUR IN INDONESIA (CRITICAL STUDY OF CHILDREN’S RIGHTS IN INDONESIA). Faculty of Law University Of Sebelas Maret Surakarta. This legal research aims to find out how the legal protection of child labour in Indonesia and to determine whether the regulations are already fulfilling children's rights in Indonesia. This research is a prescriptive normative legal research to examine the legal issues with the approach of legislation, particularly Act Number 13 of 2003 concerning Employment and Act Number 23 of 2002 concerning Child Protection. As for the writing of this law using the material type of primary law, secondary legal materials and legal materials as a material assessment by tertiary engineering studies document the collection of legal materials or library materials from both print and electronic media (internet). Further legal material was analyzed by the method of deductive syllogism. Based on the results of research and discussion concluded that Act Number 23 of 2002 concerning Child Protection has set up children's rights as a whole. The government has ratified ILO conventions on minimum age for children to work and the elimination of the worst forms of child labour. Act 13 of 2003 concerning Employment has also been set up with restrictions on child labour and specific provisions. Protective measures undertaken by the government continues to cooperate with social agencies and the community. However, the implementation of the protection of the child labour’s rights still get a good constraint of the entrepreneur, family, society and the rules. Act 13 of 2003 concerning Employment only regulate the rights of labourer who employed in the formal sector and do not include domestic servants as the type of work, but actually most children work in the informal sector and domestic rights of the child so that child labour not being fully met. Constraints are generally caused still many people who are in a weak economic conditions, lack of awareness of parents and communities about the importance of education for children and lack of awareness of employers not to employ children in the worst jobs.
Key words: Legal Protection, Child Labour, Children’s Rights
commit to user
vi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
MOTTO
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Al am Nasyrah : 5-6) “Kaya bukan berarti memiliki banyak uang, tetapi memiliki sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang.” (Qonitah)
commit to user
vii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
PERSEMBAHAN
Ku persembahkan skripsi ini untuk :
v Allah SWT , dzat dimana semua dalam genggamannya v Rosulullah SAW, sebagai panutan umat manusia v Ayah dan Ibu tercinta v Adik-adikku tersayang v Gopala Valentara Perhimpunan Mahasiswa Pecinta Alam Fakultas Hukum UNS to user Fakultas Hukum UNS vcommit Almamater viii
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga Penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum/skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak Di Indonesia (Kajian Kritis Terhadap Hak Anak di Indonesia)”. Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Pada kesempatan ini Penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Dr. I. Gusti Ayu Ketut Rackhmi H, S.H., M.M., selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan yang terbaik bagi Penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah mendukung, memberikan kritik, saran, bantuan serta arahan kepada Penulis, sehingga penulisan hukum ini dapat terselesaikan. Ungkapan terima kasih tersebut secara khusus Penulis sampaikan kepada: 1. Ibu Prof. Dr. Hartiwiningsih, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 2. Bapak Pius Triwahyudi, S.H., M.Si selaku Ketua Bagian Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 3. Bapak Mohammad Adnan, S.H., M.Hum selaku Pembimbing Akademik yang telah membimbing dan mengarahkan Penulis selama masa studi. 4. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta, terima kasih untuk semua ilmu yang diberikan kepada Penulis. 5. Staf Tata Usaha, Staf Pendidikan, Staf Kemahasiswaan, Staf Perpustakaan, dan segenap karyawan-karyawati Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. 6. Ayahanda Moch. Naser Falah dan Ibunda Roudhotul Djannah yang senantiasa memberikan cinta dan kasih sayang, membimbing, memberi dukungan baik moril maupun spirituil, memberi masukan dan dorongan serta memanjatkan to user Penulis. doa selalu untuk kebahagiaan commit dan kesuksesan
ix
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7. Adik-adik Penulis, Moch. Sidqul Ahdi, Ati Umniyaty dan Ayu Chasanah yang tak pernah bosan memanjatkan doa, memberi dukungan dan motivasi yang baik serta kasih sayang yang tiada henti. 8. Keluarga besar H. Maksum Oemar dan Keluarga besar Asrori Achmad yang telah memberikan dorongan, doa dan masukan sehingga Penulis dapat menyelesaikan Skripsi ini. 9. Teman-teman lantai I Wisma Kiki, Ninik, Rosi, Kiki, Shinta, Isni, Siwi, Vivin yang senantiasa memberikan keramaian, keceriaan dan persahabatan dalam hangatnya. 10. Keluarga Besar Gopala Valentara PMPA FH UNS, khususnya saudara seperjuangan Diklatsar XXIV serta kakak-kakak dan adik-adik Penulis yang telah memberikan keluarga baru dengan segudang ilmu dan pengalaman berharga. 11. Keluarga Besar LPM Novum Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret, serta adik-adik yang telah memberikan waktu untuk bersama-sama berkarya dan meneteskan kata lewat pena. Sepatah kebenaran nurani keadilan! 12. Agus Hari Wibowo, terima kasih telah mendampingiku dan menjadi penyemangatku. 13. Untuk semua pihak yang tak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu Penulis selama ini, terima kasih semuanya. Akhir kata Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan hukum ini, baik dalam kalimat maupun isinya karena memang tidak ada yang sempurna. Oleh karena itu Penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan hukum ini. Semoga penulisan hukum ini dapat berguna bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan semua pihak yang membutuhkannya. Surakarta, Juli 2011 Penulis,
commit to user
x
QONITAH
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL.................................................................................... HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .................................................... HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... ABSTRAK................................................................................................... ABSTRACT ................................................................................................. MOTTO ....................................................................................................... PERSEMBAHAN........................................................................................ KATA PENGANTAR ................................................................................. DAFTAR ISI ................................................................................................ DAFTAR BAGAN ...................................................................................... DAFTAR TABEL ........................................................................................
i ii iii iv v vi vii viii ix xi xiii xiv
BAB I
PENDAHULUAN ....................................................................... A. Latar Belakang Masalah ......................................................... B. Rumusan Masalah .................................................................. C. Tujuan Penelitian .................................................................... D. Manfaat Penelitian .................................................................. E. Metode Penelitian ................................................................... F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................
1 1 5 6 7 8 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. A. Kerangka Teori ....................................................................... 1. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum............... . a. Pengertian Hukum....................................................... b. Pengertian Perlindungan Hukum ................................ c. Perlindungan Hukum Pekerja Anak ............................ 2. Tinjauan Umum tentang Pekerja Anak ............................ a. Pengertian Anak .......................................................... b. Pengertian Anak yang Bekerja dan Pekerja Anak ...... c. Bentuk-Bentuk Pekerjaan Anak .................................. 3. Tinjauan Umum tentang Hak-hak Anak di Indonesia ...... a. Undang-Undang Dasar 1945 ....................................... b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak .................................................... c. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 ............... d. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ...................................................... B. Kerangka Pemikiran ..............................................................
13 13 13 13 14 15 16 16 18 20 24 24
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN......................... A. Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Anak di Indonesia .... 1. Konvensi Hak Anak jo Keputusan Presiden Nomor 36 commit to user Tahun 1990 .......................................................................
xi
24 25 29 30 32 32 35
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja .......................... 3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentukbentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak ........................... 4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak ............................................................ 5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ................................................................ B. Efektivitas Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Anak dalam Memenuhi Hak-Hak Anak sebagai Pekerja ................ a. Perlindungan Hukum Hak-hak Pekerja Anak Berdasarkan Substansi Hukum ......................................... b. Perlindungan Hukum Hak-hak Pekerja Anak Berdasarkan Struktur Hukum............................................ c. Perlindungan Hukum Hak-hak Pekerja Anak Berdasarkan Budaya Hukum ............................................ BAB IV PENUTUP ................................................................................... A. Simpulan ................................................................................ B. Saran....................................................................................... DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
xii
40
44 52 58 63 67 73 78 86 86 87
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR BAGAN
Bagan I : Kerangka Pemikiran ....................................................................
commit to user
xiii
30
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
DAFTAR TABEL
Tabel I : Anak Berumur 5-17 Tahun menurut Kegiatan dan Jenis Kelamin (dalam ribuan), Indonesia, 2009 ..................................................
commit to user
xiv
33
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemiskinan masih selalu menjadi polemik di berbagai negara, tak terkecuali Indonesia. Sejak krisis moneter yang menimpa Indonesia pada tahun 1997 lalu, angka kemiskinan di negara Indonesia semakin meningkat. Beberapa pekerja terpaksa dikenai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh perusahaan tempat mereka bekerja. Akibatnya, sebagian penduduk kehilangan sumber pendapatannya. Setiap manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam untuk menjamin kehidupan. Untuk memenuhi kebutuhannya tersebut, manusia dituntut untuk bekerja demi memperoleh penghasilan. Kondisi krisis moneter yang berkepanjangan mengakibatkan minimnya lowongan kerja pada perusahaanperusahaan atau instansi-instansi tertentu. Di era globalisasi saat ini, persaingan usaha tidak dapat lagi dihindari. Sebagian orang yang memiliki keahlian, keterampilan dan kemauan yang keras mampu menciptakan lapangan pekerjaan sendiri. Namun, beberapa orang yang masih bergantung pada orang lain banyak yang menjadi pengangguran. Akibatnya, jumlah keluarga miskin semakin meningkat. Salah satu upaya keluarga untuk memenuhi kebutuhannya adalah memanfaatkan tenaga kerja yang ada dalam keluarga. Akibatnya, banyak orang tua yang terpaksa melepaskan anaknya untuk bekerja demi membantu meningkatkan perekonomian keluarga. Hal ini berdampak langsung pada meningkatnya jumlah pekerja anak di Indonesia. Pada dasarnya setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk bekerja dan memperoleh pekerjaan, dan berhak memperoleh perlakuan yang sama tanpa diskriminasi, seperti yang tertuang dalam Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen II yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”. commit to user
1
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 2
Namun, dalam Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan jelas disebutkan bahwa pengusaha dilarang mempekerjakan anak. Hanya saja terdapat pengecualian pada Pasal 69 ayat (1) yaitu bagi anak yang berumur antara 13 (tiga belas) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun untuk melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik, mental, dan sosial. Sedangkan kategori anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. Batas minimal usia anak boleh bekerja sebenarnya mengacu pada hak asasi manusia seorang anak. Anak merupakan amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang di dalam dirinya melekat hak dasar atau hak asasi manusia sejak lahir. Anak yang menjadi tunas bangsa dengan segudang potensi ini kelak akan menjadi generasi muda sebagai penerus cita-cita bangsa dan negara. Oleh karena itu, hakhak dasar anak harus terpenuhi dengan baik demi terwujudnya cita-cita tersebut. Salah satu bentuk hak dasar anak adalah hak untuk tumbuh kembang secara optimal baik fisik, mental, spiritual, sosial maupun intelektual. Timbulnya pekerja anak merupakan bentuk pengabaian terhadap hak anak, karena pada saat bersamaan telah terjadi penelantaran hak-hak yang harus diperoleh seorang anak. Mulai dari hak memperoleh kehidupan yang layak, pendidikan, waktu bermain, kesehatan dan lain-lain. Kondisi seperti ini menjadikan
pekerja
anak
patut
untuk
diberikan
perlindungan
khusus.
Perlindungan khusus ini memerlukan penanganan yang serius dari keluarga, masyarakat, kelompok terkait, dan pemerintah sebagai pembuat kebijakan. Perlindungan anak dalam Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Sedangkan Perlindungan Khusus menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yaitu Perlindungan yang diberikan commit user kepada anak dalam situasi darurat, anaktoberhadapan dengan hukum anak dari
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 3
kelompok minoritas dan terisolasi, anak dieksploitasi secara ekonomi atau seksual, anak yang diperdagangkan, anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, dan lain-lain. Perlindungan anak harus dilakukan sedini mungkin, yakni sejak menjadi janin, karena sejak itu pula hak asasi manusia telah melekat pada dirinya. Peran orang tua dalam upaya perlindungan anak ini sangat penting mengingat tumbuh kembang anak pertama kali berada di lingkungan keluarga. Di dalam Bagian I Pasal 2 Konvensi Hak-Hak Anak menyebutkan, “States parties shall respect and ensure the rights set forth in the present convention to each child within their juridiction without discrimination of any kind, irrespective of the child’s or his or her parent’s or legal guardian’s race, colour, sex, languange, religion, political or other opinion, national, ethnic or social origin, property, disability, birth or other status.”(Negara anggota harus merespon dan menjamin secara permanen hak-hak pada konvensi ini untuk tiap anak dengan yurisdiksi mereka tanpa diskriminasi apapun, tanpa melihat orang tuanya atau perlindungan hukum ras, warna, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat lain, nasional, etnik atau budaya asli, kepemilikan, ketidakmampuan, kelahiran atau status lain). Pada kenyataannya, tidak semua anak memperoleh jaminan untuk tumbuh kembang secara optimal, terlebih pada anak-anak yang orang tuanya tidak mampu secara ekonomi sehingga mereka harus bekerja demi membantu orangtuanya mencari nafkah. Sebenarnya tidak hanya kemiskinan yang menjadi faktor timbulnya pekerja anak. Gagalnya sistem pendidikan di beberapa daerah juga berpengaruh. Terkadang sekolah meminta bayaran uang melebihi kemampuan orang tua murid. Kalaupun ada sekolah gratis, kurikulum yang dipakai tidak tepat dan kualitas kurang baik. Sehingga orang tua berpendapat bahwa anak mereka lebih baik bekerja dan mempelajari keterampilan praktis karena dinilai lebih berguna bagi masa depan. Pada dasarnya, bekerja bagi seorang anak dapat menimbulkan dampak positif apabila dilakukan dalam rangka pengenalan dan persiapan menuju dunia kerja orang dewasa. Sebaliknya, dampak negatif timbul apabila pekerjaan tersebut dapat membawa pengaruh buruk dalam tumbuh kembang anak baik fisik, mental, commit to user sosial dan intelektual.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 4
Dampak lain dari semakin meningkatnya pekerja anak adalah berkurangnya kesempatan kerja bagi orang dewasa. Apalagi jika hasil produktivitas pekerja dewasa dinilai hampir sama dengan pekerja anak, maka tak heran apabila beberapa pengusaha lebih memilih mempekerjakan anak. Selain upah yang harus diberikan kepada pekerja anak relatif lebih rendah, anak-anak juga cenderung tidak menuntut karena rata-rata mereka tidak memahami hak seorang pekerja. Perilaku pengusaha ini tentu saja sudah mengarah pada tindakan eksploitasi anak. Dampak yang sangat besar terkait dengan hal ini adalah hilangnya kesempatan seorang anak untuk memperoleh pendidikan, waktu bermain dan lain-lain. Hal tersebut di atas jelas bertentangan dengan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang merumuskan bahwa “setiap anak memiliki hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain dan berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri”. Sedangkan Pasal 13 menyebutkan bahwa “setiap anak berhak atas perlindungan dari eksploitasi baik ekonomi maupun seksual”. Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen IV juga menyebutkan bahwa “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Selain itu, pemerintah telah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 sebagai penyempurnaan dari Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964 tentang Pokok-Pokok Ketenagakerjaan yang memberikan perlindungan hukum bagi pekerja dan pemberi kerja. Sebagai bentuk ratifikasi dari Konvensi International Labour Organization (ILO) Nomor 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja, Indonesia mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999. Pasal 3 dalam Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa “usia minimum untuk diperbolehkan bekerja di setiap jenis pekerjaan, yang karena sifat atau keadaan lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral orang muda, tidak kurang dari 18 tahun”. Konvensi ini lebih lanjut menyatakan bahwa perundang-undangan nasional commitmereka to useryang berusia sekurang-kurangnya dapat memperbolehkan mempekerjakan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 5
15 (lima belas) tahun tetapi belum menyelesaikan wajib sekolah asalkan pekerjaan tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan dan perkembangan mereka, serta tidak mengganggu mereka untuk bersekolah atau berpartisipasi dalam program latihan kejuruan. Sebagai upaya perlindungan terhadap pekerja anak, pemerintah kembali memperlihatkan komitmennya dengan meratifikasi Konvensi ILO Nomor 182 Tahun 1999 tentang Pelanggaran dan Tindakan Segera Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000. Lebih lanjut, pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang Pembentukan Komite Aksi Nasional Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak (KAN-PBPTA) dan Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak (RAN-PBPTA) serta Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 235/MEN/2003 tentang Jenis-Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak, yang mulai berlaku sejak tanggal 31 Oktober 2003. Pemerintah bersama legislatif telah banyak mengeluarkan peraturan guna menciptakan perlindungan terhadap pekerja anak. Namun, pada implementasinya tidak semua peraturan tersebut dapat terlaksana dengan baik. Sebenarnya peraturan-peraturan
ini
dibuat
untuk
mengatur
pembangunan
terkait
ketenagakerjaan sehingga hak-hak dan perlindungan yang mendasar dapat diperoleh pekerja dan pemberi kerja demi mewujudkan kondisi sosial dan perekonomian yang kondusif dalam dunia usaha. Pada hakikatnya, upaya penanggulangan pekerja anak dapat dilaksanakan secara terpadu oleh masyarakat dan pemerintah. Perlu upaya lebih giat dari kedua belah pihak serta instansi terkait untuk menyelaraskan keadaan sehingga tercapai pemenuhan hak-hak anak sekaligus penurunan angka kemiskinan di Indonesia. Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka penulis tertarik untuk
menyusun
skripsi
dengan judul, ”PERLINDUNGAN commit to user
HUKUM
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 6
TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA (KAJIAN KRITIS TERHADAP HAK ANAK DI INDONESIA)”.
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah disusun guna mengidentifikasikan permasalahan yang akan diteliti. Hal ini diperlukan untuk memudahkan penulis dalam mengumpulkan data, menyusun data dan menganalisis data, sehingga sasaran yang hendak dicapai jelas sesuai dengan apa yang diharapkan. Berdasarkan
uraian
dan
latar belakanag yang telah
dipaparkan
sebelumnya, maka penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja anak di Indonesia? 2. Apakah pengaturan mengenai pekerja anak di Indonesia dapat memenuhi hak anak di Indonesia?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian diperlukan oleh setiap penulis guna merumuskan arah dan sasaran yang hendak dicapai sehingga dapat memberikan solusi atas permasalahan yang dihadapi (tujuan obyektif) dan dapat memenuhi kebutuhan perseorangan (kebutuhan subyektif). Adapun tujuan penelitian yang hendak dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Tujuan Obyektif a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap pekerja anak di Indonesia. b. Untuk mengetahui seberapa jauh pengaturan mengenai pekerja anak di Indonesia dapat memenuhi hak-hak anak di Indonesia. 2. Tujuan Subyektif a. Untuk memperoleh data-data dan informasi secara lengkap dan terperinci dalam
penyusunan
penulisan hukum commit to user
sebagai
prasayarat
guna
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 7
menyelesaikan studi dalam meraih gelar kesarjanaan pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. b. Untuk menambah dan memperluas pengetahuan dan pengalaman penulis di bidang Hukum Administrasi Negara. c. Untuk menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian Suatu penulisan diharapkan dapat memberikan suatu manfaat. Berdasarkan hal tersebut, manfaat yang hendak dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis a. Hasil penelitian dari penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan sumbangan
pemikiran
dan
pengetahuan
yang
bermanfaat
bagi
perkembangan ilmu hukum, terutama yang berkaitan dengan Hukum Administrasi Negara. b. Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi referensi bagi karya ilmiah atau penelitian sejenis. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat mendukung terciptanya perlindungan bagi pekerja anak sesuai dengan hak-hak anak di Indonesia. b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kesadaran bagi masyarakat akan pentingnya peranan masyarakat dalam mendukung terciptanya perlindungan terhadap pekerja anak terkait dengan hak-hak anak di Indonesia. c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap Lembaga Perlindungan Anak dalam menyelenggarakan perlindungan pekerja anak serta memberikan dukungan sarana dan prasarana dalam penyelenggaraan perlindungan anak. Sehingga penelitian ini memberikan kontribusi yang nyata bagi terjaminnya perlindungan, pemeliharaan dan commit to user kesejahteraan anak.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 8
d. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi inspirasi bagi pemerintah agar para perumus perundang-undangan dapat mengatur lebih khusus mengenai perlindungan hak anak bagi pekerja anak. e. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu penulis untuk belajar lebih memahami hak-hak anak serta tanggung jawab dan peran mayarakat dalam mewujudkan anak yang dapat berguna bagi negara, nusa dan bangsa.
E. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan oleh penulis adalah penelitian hukum normatif. “Penelitian hukum normatif adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya” (Johny Ibrahim, 2006:57). Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 2. Sifat Penelitian Berdasarkan uraian mengenai jenis penelitian di atas, maka penelitian ini bersifat preskriptif. “Sebagai ilmu yang bersifat preskriptif, ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum” (Peter Mahmud Marzuki, 2006:22). Penelitian preskriptif juga merupakan studi yang berorientasi pada pemecahan masalah sebagai rekomendasi. 3. Pendekatan Penelitian Adapun pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach). Pendekatan undang-undang dilakukan dengan menelaah semua undangundang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani untuk menelaah unsur filosofis adanya suatu peraturan perundang-undangan tertentu yang kemudian dapat disimpulkan ada atau tidaknya benturan filosofis antara undang-undang dengan isu hukum yang ditangani. Selain itu juga digunakan berbagai pendekatan terhadap masalah yang ingin dicari pemecahan dan jalan keluarnya akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan commit(Peter to userMahmud Marzuki, 2006: 93).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 9
Pendekatan perundang–undangan dalam penelitian ini menggunakan kaidah–kaidah hukum serta ketentuan peraturan perundang–undangan mengenai ketenagakerjaan dan perlindungan anak. 4. Jenis dan Sumber Data Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis dan sumber data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier, yaitu: a. Bahan hukum primer, merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundangundangan dan putusan-putusan hakim (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 141). Bahan hukum primer yang digunakan dalam penyusunan ini, antara lain : 1) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945. 2) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia. 3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia. 4) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. 5) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. 6) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Untuk Penghapusan Bentuk – Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. 7) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 mengenai usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. 8) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-Hak Asasi Manusia. 9) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak 10) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. 11) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Pokok Perkawinan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 10
b. Bahan hukum sekunder, yang terutama adalah buku-buku hukum, termasuk skripsi, tesis, disertasi hukum dan jurnal-jurnal hukum, disamping itu juga, kamus-kamus hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki, 2006: 155). c. Bahan hukum tersier yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus (hukum), eksiklopedia (Amiruddin dan Zainal Asikin, 2008: 32). 5. Teknik Pengumpulan Data Berkaitan dengan jenis penelitian pada penelitian ini, maka teknik yang digunakan dalam mengumpulkan data adalah melalui studi kepustakaan, yaitu pengumpulan
bahan-bahan
penelitian
berupa
buku-buku,
peraturan
perundang-undangan, karya ilmiah, makalah, artikel, surat kabar dan bahan pustaka lainnya yang berhubungan dengan permasalahan yang akan diteliti. 6. Teknik Analisis Data Untuk memperoleh jawaban terhadap permasalahan dalam penelitian hukum ini digunakan silogisme deduktif dengan interpretasi sistematis. Metode silogisme deduktif adalah metode yang berpangkal dari pengajuan premis mayor yaitu aturan hukum kemudian diajukan premis minor yang merupakan fakta hukum dan dari kedua premis tersebut kemudian ditarik kesimpulan (silogisme). Premis mayor dalam penelitian hukum ini adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sedangkan premis minornnya adalah fakta hukum yang menggambarkan sejauh mana pemenuhan hak-hak anak di Indonesia terhadap pekerja anak. Selanjutnya dari premis mayor dan premis minor tersebut dibahas, dikorelasikan dan dianalisis untuk kemudian diperoleh suatu kesimpulan dari hasil pembahasan dan penelitian penulisan hukum ini. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 11
F. Sistematika Penulisan Hukum Sistematika laporan penulisan hukum yang telah Penulis susun adalah sebagai berikut: BAB I
: PENDAHULUAN Dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, yang berisi tentang isu perlindungan hukum terhadap pekerja anak dengan mengkaji secara kritis pemernuhan hak-hak anak sebagai pekerja di Indonesia dengan menitikberatkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagai pokok regulasi perlindungan pekerja anak. Sehingga rumusan masalah Penulis meliputi perlindungan hukum terhadap pekerja anak di Indonesia dan keefektivan perlindungan hukum tersebut dalam memenuhi hak-hak pekerja anak Indonesia.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Pada bab ini penulis menguraikan tentang kerangka teori dan kerangka pemikiran dari masalah yang penulis angkat. Kerangka teori yang Penulis gunakan meliputi tinjauan tentang perlindungan hukum, tinjauan tentang pekerja anak dan tinjauan tentang hak-hak anak di Indonesia. BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini penulis memaparkan pembahasan dan hasil penelitian berdasarkan rumusan masalah, yaitu mengenai perlindungan hukum terhadap pekerja anak di Indonesia dan mengenai efektivitas pengaturan mengenai pekerja anak di Indonesia dalam memenuhi hakhak anak di Indonesia dilihat dari teori bekerjanya hukum milik Lawrence M Friedman, yang terdiri dari unsur substansi hukum, struktur hukum dan budaya hukum terkait dengan payung hukum dari perlindungan terhadap pekerja anak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 12
BAB IV : PENUTUP Bab ini merupakan penutup yang menguraikan secara singkat kesimpulan dari pembahasan dan saran-saran yang ditujukan pada pihak-pihak terkait dengan permasalahan yang diteliti ini. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori 1. Tinjauan Umum tentang Perlindungan Hukum a. Pengertian Hukum Istilah “hukum” memiliki makna yang luas. Hampir semua Sarjana Hukum memberikan batasan pengertian hukum yang berlainan. Berikut ini merupakan definisi hukum dari beberapa Sarjana Hukum, antara lain : 1) Utrecht Hukum adalah himpunan petunjuk-petunjuk hidup yang berisi perintah-perintah dan larangan-larangan yang mengurus tata tertib suatu masyarakat dan karena itu harus ditaati oleh masyarakat itu (Titik Triwulan Tutik, 2006 : 27). 2) Mochtar Kusumaatmadja Hukum adalah keseluruhan kaidah-kaidah serta asas-asas yang mengatur pergaulan hidup manusia dalam masayarakat yang bertujuan memelihara ketertiban juga meliputi lembaga-lembaga dan prosesproses guna mewujudkan berlakunya kaidah sebagai kenyataan dalam masyarakat (Titik Triwulan Tutik, 2006 : 33). 3) Prof. Soedikno Mertokusumo Hukum adalah keseluruhan kumpulan peraturan-peraturan atau kaidahkaidah dalam suatu kehidupan bersama, keseluruhan peraturan tingkah laku yang berlaku dalam suatu kehidupan bersama, yang dapat dipaksakan pelaksanaannya dengan sanksi (Soedikno Mertokusumo, 1991 : 24). Dari beberapa perumusan pengertian hukum tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hukum mengandung beberapa unsur, yaitu: 1) Peraturan mengenai tingkah laku manusia 2) Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib commit to user 3) Bersifat memaksa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 14
4) Mempunyai sanksi yang tegas Hukum dapat berupa perintah dan larangan yang harus dipatuhi setiap orang. Bentuk dari hukum bisa tertulis seperti peraturan perundangundangan dan tidak tertulis seperti hukum adat. Keanekaragaman masyarakat dengan segala jenis hubungan dan kepentingan di dalamnya memerlukan suatu peraturan sendiri agar tidak terjadi kekacauan. Hukum di sini bertujuan untuk menjamin keseimbangan dalam hubungan antara anggota masyarakat. b. Pengertian Perlindungan Hukum Perlindungan hukum menurut Sudikno Mertokusumo adalah adanya jaminan hak dan kewajiban manusia dalam rangka memenuhi kepentingan sendiri maupun di dalam hubungan dengan manusia lain (Soedikno Mertokusumo, 1991: 9). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HakHak Asasi Manusia, ”perlindungan hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang atau lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada”. Perlindungan hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu: 1) Perlindungan Hukum Preventif Perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam melakukan suatu kewajiban. 2) Perlindungan Hukum Represif Perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang diberikan apabila sudah terjadi sengketa atau telah dilakukan suatu pelanggaran. (Philipus M. Hadjon, 1987 : 2) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 15
Perlindungan hukum akan melahirkan pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia dalam wujudnya sebagai makhluk individu dan makhluk sosial. Peran manusia sebagai subjek hukum berlangsung selama masa hidupnya, dimulai sejak dalam kandungan dan berakhir ketika ia meninggal dunia. c. Perlindungan Hukum Pekerja Anak Anak merupakan tunas bangsa yang memiliki segudang potensi dan merupakan generasi muda yang diharapkan menjadi penerus cita-cita bangsa. Ia memiliki peran strategis dan ciri serta sifat khusus yang kelak akan menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara di masa depan. Berdasarkan pertimbangan di atas, patut kiranya anak memperoleh perhatian khusus dengan upaya memberikan perlindungan kepadanya. Namun, bersamaan dengan tingginya angka kemiskinan di Indonesia, didukung dengan kondisi ekonomi keluarga, anak dituntut untuk membantu orang tua dan keluarganya sehingga anak terpaksa harus menjadi pekerja. Namun, dikhawatirkan hal ini dapat menjadi gaya hidup anak masa kini yang dianggap wajar bagi lingkungannya, tanpa memperhitungkan resiko mereka yang telah terperangkap dalam eksploitasi fisik. Menurut Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Undang-Undang Perlindungan Anak ini merupakan perangkat yang ampuh dalam melaksanakan Konvensi Hak Anak di Indonesia. UndangUndang ini dibuat berdasarkan empat prinsip Konvensi Hak Anak: 1) non diskriminasi; 2) kepentingan yang terbaik bagi anak; commit tohidup, user dan perkembangan; dan 3) hak untuk hidup, kelangsungan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 16
4) penghargaan terhadap pendapat anak (Lilik HS, 2006 : 55). Bentuk-bentuk perlindungan anak di Indonesia: 1) Perlindungan yang bersifat yuridis, yang meliputi bidang hukum publik atau pidana dan bidang hukum perdata Perlindungan anak dalam perkara pidana dikategorikan sebagai perlindungan khusus yang membutuhkan perlakuan khusus dalam penanganan perkaranya. Sedangkan perlindungan hukum di bidang perdata antara lain meliputi: a) hak dan kewajiban anak, orang tua, pemerintah dan masyarakat terhadap anak; b) pemberian identitas anak dengan pencatatan kelahirannya; c) pencabutan kekuasaan pada orang tua atau kuasa asuh yang lalai; d) pengasuhan dan pengangkatan anak serta perwalian; e) perlindungan anak dalam beragama, kesehatan, pendidikan dan sosial anak. 2) Perlindungan yang bersifat non yuridis, meliputi perlindungan di bidang sosial, kesehatan dan pendidikan. (http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2109742-bentukbentuk-perlindungan-anak-di/, diakses pada tanggal 19 April 2011). 2. Tinjauan Umum tentang Pekerja Anak a. Pengertian Anak Tidak sedikit peraturan perundang-undangan di Indonesia yang mengatur tentang anak. Akibatnya, terjadi pluralisme hukum terhadap kriteria anak di Indonesia. Berikut ini disebutkan definisi anak berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya, yaitu: 1) Hukum Pidana Pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana mendefinisikan anak yang belum dewasa ialah apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun. Oleh karena itu, ketika ia tersangkut dalam perkara pidana commit to supaya user hakim boleh memerintahkan anak tersebut dikembalikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 17
kepada
orang
tuanya,
walinya
atau
pemeliharanya,
atau
memerintahkannya supaya diserahkan kepada pemerintah dengan tidak dikenakan suatu hukuman. Ketentuan Pasal 45, 46 dan 47 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini sudah dihapuskan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. 2) Hukum Perdata Berdasarkan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, orang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu kawin. 3) Undang-Undang Pengadilan Anak Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak merumuskan, bahwa anak adalah orang dalam perkara Anak Nakal yang telah mencapai umur 8 (delapan) tahun, tetapi belum mencapai 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah menikah. Sedangkan syarat kedua si anak belum pernah kawin. Maksudnya tidak sedang terikat dalam perkawinan ataupun pernah kawin dan kemudian cerai. Apabila si anak sedang terikat dalam perkawinan atau perkawinannya putus karena perceraian, maka si anak dianggap sudah dewasa, walaupun umurnya belum genap 18 tahun. 4) Undang-Undang Perkawinan Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menyebutkan, “seorang pria hanya diijinkan kawin apabila telah mencapai usia 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita telah mencapai umur 16 tahun (enam belas) tahun”. Penyimpangan atas hal tersebut hanya dapat dimintakan dispensasi kepada Pengadilan Negeri. 5) Undang-Undang Perlindungan Anak Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, “anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”. commit to user 6) Undang-Undang Ketenagakerjaan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 18
Berdasarkan Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dirumuskan bahwa anak adalah setiap orang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun. 7) Undang-Undang Kesejahteraan Anak Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Perbedaan kriteria anak ini berdampak pada sulitnya menentukan usia seseorang untuk dapat dikategorikan sebagai anak. Terlebih lagi jika tidak mempunyai akta kelahiran. Ciri-ciri lahiriah terkadang tidak menjamin seseorang tersebut masih anak-anak atau sudah dewasa. Sebenarnya, untuk memastikan usia anak dapat dilakukan dengan berbagai cara, misalnya berdasarkan pengakuan atau wawancara dengan pekerja tersebut. Pengakuan bisa didapat dari pekerja yang bersangkutan, pemeriksaan dokumen mengenai data diri pekerja maupun dari orang tua/wali dari pekerja tersebut. Wawancara juga bisa dilakukan terhadap orang tua, saudara, teman, tetangga, atau pihak terkait lainnya. Hendaknya penggunaan peraturan yang ada disesuaikan dengan kasus yang dihadapi, sehingga tidak menimbulkan kerancuan kebijakan. Sebagai contoh untuk masalah anak yang berperkara menggunakan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, sedangkan untuk kasus anak sebagai tenaga kerja menggunakan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan sebagainya. Berdasarkan hal tersebut, penulis membatasi pengertian anak dalam penulisan ini adalah di bawah 18 (delapan belas) tahun sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. b. Pengertian Anak yang Bekerja dan Pekerja Anak Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 commit to user adalah setiap orang yang bekerja tentang Ketenagakerjaan, “Pekerja/buruh
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 19
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”. Pada perkembangannya, kriteria pekerja tidak hanya terdapat pada orang dewasa. Kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang kurang mendukung menjadikan seorang anak untuk turut serta memikul beban hidup keluarga. Keterlibatan anak dalam melakukan pekerjaan ini dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu anak yang bekerja dan pekerja anak. 1) Anak yang Bekerja Anak yang bekerja adalah anak yang melakukan pekerjaan karena membantu orang tua, latihan keterampilan dan belajar bertanggung jawab. Misalnya anak yang mengerjakan tugas kecil di sekitar rumah atau yang mengerjakan pekerjaan dalam jumlah sedikit sepulang sekolah. Anak yang bekerja cenderung melakukan pekerjaan yang wajar dilakukan untuk tingkat perkembangan anak seusianya dan yang memungkinkan
anak
memperoleh
keterampilan
praktis
serta
mengembangkan tanggung jawab. sebagai proses sosialisasi dan perkembangannya menuju dunia kerja. Indikator anak membantu melakukan pekerjaan ringan adalah: a) Anak membantu orang tua untuk melakukan pekerjaan ringan b) Ada unsur pendidikan atau pelatihan c) Anak tetap bersekolah d) Dilakukan pada saat senggang dengan waktu yang relatif pendek e) Terjaga keselamatan dan kesehatannya (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005:10). 2) Pekerja Anak Anak yang melakukan segala jenis pekerjaan yang memiliki sifat atau intensitas yang dapat mengganggu pendidikan, membahayakan keselamatan, kesehatan serta tumbuh kembangnya dapat digolongkan sebagai pekerja anak. Disebut pekerja anak apabila memenuhi indikator antara lain: a) Anak bekerja setiap hari b) Anak tereksploitasicommit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 20
c) Anak bekerja pada waktu yang panjang d) Waktu sekolah terganggu/tidak sekolah (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005:10). Pekerja anak bukanlah anak yang mengerjakan tugas kecil di sekitar rumah atau yang mengerjakan pekerjaan dalam jumlah sedikit sepulang sekolah. Pekerja anak juga tidak mencakup anak yang melakukan
pekerjaan
yang
wajar
dilakukan
untuk
tingkat
perkembangan anak seusianya dan yang memungkinkan anak memperoleh keterampilan praktis serta mengembangkan tanggung jawab. c. Bentuk-Bentuk Pekerjaan Anak Pekerja anak adalah semua anak yang bekerja pada pekerjaan yang mengganggu proses kehidupan kanak-kanak mereka dan karena itu harus dihentikan. Berikut ini adalah beberapa bentuk pekerjaan yang diketahui banyak dikerjakan oleh sejumlah besar pekerja anak: 1) Pekerjaan di bidang pertanian Sejumlah besar anak bekerja di pertanian dan perikanan. Anakanak ini mulai bekerja sejak usia dini dan jam kerja mereka lebih panjang daripada jam kerja anak-anak di perkotaan. Anak-anak sering kali dijumpai sedang bekerja di ladang milik keluarga atau lahan sewaan. Tak jarang satu keluarga, termasuk anak-anak, dipekerjakan sebagai satu unit oleh perusahaan pertanian. 2) Pekerjaan rumah tangga Bentuk pekerja anak ini sangat umum dijumpai di Indonesia dan banyak orang menganggapnya sebagai suatu hal yang dapat diterima. Pekerjaan rumah tangga dapat dikerjakan anak di rumah orangtuanya seperti membersihkan rumah, memasak dan menjaga adik-adiknya. Masalah timbul ketika pekerjaan itu dilakukan di rumah tangga orang lain. Pekerja anak di sektor ini diharuskan bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang, tanpa diberi kesempatan untuk bersekolah dan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 21
dalam keadaan terkucil dari orang tua dan teman-temannya. Mereka juga berisiko dianiaya secara badani maupun seksual oleh majikannya. 3) Pekerjaan di tambang dan galian Pekerja anak juga digunakan dalam pertambangan skala kecil di Indonesia dan di banyak negara lainnya. Mereka bekerja dengan jam kerja yang panjang tanpa diberi alat pelindung, pakaian kerja atau pelatihan yang memadai, dan harus menghadapi tingkat kelembaban tinggi dan suhu ekstrem. Pekerja anak di pertambangan berisiko menderita cedera otot karena ketegangan yang berlebihan pada otot sewaktu berusaha menarik, membawa atau mengangkat barang berat, kelelahan/kehabisan tenaga dan gangguan otot serta tulang, dan berisiko menderita cedera yang serius karena tertimpa benda jatuh. 4) Pekerjaan dalam proses manufaktur Pekerjaan
manufaktur
adalah
pekerjaan
pengolahan
untuk
membuat atau menghasilkan suatu produk. Beberapa anak ada yang dipekerjakan secara tetap atau hanya dipekerjakan dan diberhentikan menurut kebutuhan, secara legal atau ilegal, baik sebagai bagian dari usaha orang tuanya/keluarganya maupun orang lain. Jenis-jenis pekerjaan seperti ini antara lain meliputi pekerjaan mengasah batu permata, membuat pakaian dan alas kaki, kuningan, kaca, kembang api, dan korek api. Pembuatan produk-produk tersebut dapat membuat anak-anak terkena bahan-bahan kimia berbahaya, terpaksa harus berada di ruangan yang pengap karena ventilasinya buruk, berisiko terkena kebakaran, dan ledakan, keracunan, mendapat penyakit pernafasan, menderita luka tergores, menderita luka bakar dan bahkan menyebabkan kematian. 5) Perbudakan dan kerja paksa Kerja paksa paling banyak dijumpai di daerah-daerah pedesaan karena dapat dengan lebih mudah disembunyikan sehingga tidak diketahui oleh pihak berwajib serta tidak sampai tersiar keluar hingga commit to user menarik perhatian masyarakat. Kerja paksa juga kadang-kadang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 22
dikaitkan dengan penindasan etnis kaum minoritas dan penduduk pribumi. 6) Pekerjaan dalam perekonomian informal Pekerjaan informal banyak dilakukan di jalanan. Anak yang disuruh mengerjakannya hanya dibekali dengan perlengkapan minim, misalnya, pekerjaan mengangkut beban di tempat konstruksi dan di pembuatan batu bata, menyemir sepatu, mengemis, menarik becak, menjadi kernet angkutan kota, berjualan koran, menjadi tukang sampah, dan memulung (International Labour Organization-International Programme on the Elimination, 2009:8). Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI memklasifikasikan bentuk pekerjaan menjadi 2 (dua) macam, yaitu bentuk pekerjaan yang diperbolehkan untuk anak dan bentuk pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk anak (Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI, 2005:15). 1) Bentuk Pekerjaan yang Diperbolehkan untuk Anak Pada prinsipnya anak tidak boleh bekerja, dikecualikan untuk kondisi dan kepentingan tertentu anak diperbolehkan bekerja sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. International Labour Organization (ILO) mengklasifikasikan jenis pekerjaan menjadi pekerjaan ringan, yaitu pekerjaan yang tidak berbahaya bagi anak, tidak mengganggu jam sekolah, jam-jam kerja tidak panjang, dan pekerjaan berbahaya yaitu pekerjaan yang berdasar sifat atau kondisinya dapat membahayakan kesehatan dan keselamatan anak. Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, bentuk-bentuk pekerjaan yang diperbolehkan untuk anak diklasifikaskan dalam: a) Pekerjaan ringan, dengan ketentuan anak berusia 13-15 tahun melakukan pekerjaan yang tidak mengganggu perkembangan dan commit to user kesehatan fisik, mental dan sosial.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 23
b) Pekerjaan dalam rangka bagian kurikulum pendidikan atau pelatihan atau pemagangan, dengan syarat usia anak minimal 14 tahun dan harus diberi petunjuk yang jelas tentang tata cara pekerjaandan
mendapat bimbingan serta pengawasan dalam
melaksanakan
pekerjaan,
serta
harus
diberi
perlindungan
keselamatan dan kesehatan kerja. c) Pekerjaan untuk mengembangkan minat dan bakat, selama dikerjakan dan diminati anak sejak usia dini, berdasarkan kemampuan anak dan menambah kreativitas serta sesuai dengan dunia anak. 2) Bentuk Pekerjaan yang Tidak Diperbolehkan untuk Anak Banyak anak yang terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya misalnya di bidang konstruksi, pertambangan, penggalian, penyelaman di laut dalam. Terkadang juga dijumpai jenis pekerjaan yang selintas tidak berbahaya, namun sebenarnya tergolong berbahaya bagi anak karena akibatnya akan terasa beberapa waktu yang akan datang misalnya bekerja di tempat kerja yang sempit, penerangan yang minim, posisi kerja duduk di lantai, atau menggunakan peralatan kerja yang besar dan berat melebihi ukuran tubuhnya. Pekerjaan yang berbahaya tersebut digolongkan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang tidak boleh dilakukan oleh anak. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak merupakan bentuk pekerjaan yang diyakini, jika dikerjakan oleh seorang anak, akan berpengaruh sangat buruk terhadap tumbuh kembang anak baik secara fisik, mental, sosial dan intelektualnya. Untuk itu pemerintah telah melakukan perlindungan terhadap pekerja anak melalui UndangUndang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Bentuk Pekerjaan terburuk untuk anak menurut Pasal 74 ayat (2) UU No 13 Tahun 2003, meliputi: a) Segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 24
b) Segala
pekerjaan
menawarkan
anak
yang untuk
memanfaatkan, pelacuran,
menyediakan, produksi
atau
pornografi,
pertunjukan porno atau perjudian. c) Segala
pekerjaan
yang
memanfaatkan,
menyediakan
atau
melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika , psikotropika dan zat adiktif lainnya. d) Semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak. 3. Tinjauan Umum tentang Hak-Hak Anak di Indonesia Negara Indonesia menjunjung tinggi keberadaan hak asasi manusia, tak terkecuali hak anak. Hak-hak anak adalah berbagai kebutuhan dasar yang seharusnya diperoleh seorang anak untuk menjamin kelangsungan hidup, tumbuh kembang dan perlindungan dari segala bentuk perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran terhadap anak, baik yang mencakup hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya (Zulkhair dan Soeaidy, 2001 : 4). Penekanan tentang hak anak telah dirumuskannya dalam beberapa peraturan perundang-undangan. a. Undang-Undang Dasar 1945 Hak asasi anak yang paling mendasar adalah hak untuk hidup, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada amandemen II pasal 28B ayat (2) yang berbunyi: “Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. b. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 9 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak mengatur hak-hak anak atas kesejahteraan, yaitu sebagai berikut: 1) Hak atas Kesejahteraan Perawatan, Asuhan, dan Bimbingan commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 25
Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan, baik dalam keluarganya maupun dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar. 2) Hak atas Pelayanan Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa untuk menjadi warga negara yang baik dan berguna. 3) Hak atas Pemeliharaan dan Perlindungan Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan, dari segala aspek kehidupan yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar. 4) Hak Diberi Pelayanan dan Asuhan Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan mendorong mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.
Pelayanan dan asuhan
diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim. 5) Hak Memperoleh Pelayanan Khusus Anak cacat berhak memperoleh pelayanan khusus untuk mencapai tingkat pertumbuhan dan perkembangan sejauh batas kemampuan dari kesanggupannya agar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar. 6) Hak Mendapat Bantuan dan Pelayanan Anak berhak mendapat bantuan dan pelayanan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan anak tanpa membedakan jenis kelamin, agama, pendidikan dan kedudukan sosial. c. Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Hak anak pertama kali dinyatakan pada tahun 1923 oleh seorang tokoh perempuan bernama Eglantyne Jebb, yang kemudian disahkan oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) sebagai pernyataan hak anak. Ia membuat 10 to user pernyataan hak-hak anak,commit yaitu hak atas persamaan, kesehatan, rekreasi,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 26
bermain, nama, makanan, kebangsaan, lingkungan, pendidikan dan peran dalam pembangunan. Pada tahun 1959 Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) mengumumkan pernyataan hak-hak anak ini. Selain itu, pada tahun 1979 diputuskan adanya Hari Anak Internasional. Dan pada tanggal 20 November PBB mengesahkan Konvensi Hak Anak (Child Right Convention), dilanjutkan peratifikasian oleh Indonesia pada tanggal 25 Agustus 1990 dalam bentuk Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990. Adapun hak anak menurut Konvensi Hak Anak jo Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 adalah sebagai berikut : 1) Hak Hidup ( Survival Rights), yang meliputi: a) Anak mempunyai hak untuk hidup (Pasal 6); b) Hak atas kehidupan yang layak terkait kesehatan dan pelayanan kesehatan (Pasal 24). 2) Hak Mendapatkan Perlindungan (Protection Right), yang meliputi: a) Larangan diskriminasi anak (1)
Nondiskriminasi terhadap anak (Pasal 2);
(2)
Hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan (Pasal 7);
(3)
Hak anak cacat (Pasal 23);
(4)
Hak anak kelompok minoritas (Pasal 30).
b) Larangan eksploitasi anak (1)
Hak berkumpul dengan orang tua (Pasal 10);
(2)
Kewajiban negara mencegah atau mengatasi penculikan (Pasal 11);
(3)
Hak memperoleh perlindungan khusus bagi anak yang kehilangan keluarga (Pasal 20);
(4)
Adopsi hanya dilakukan untuk kepentingan anak (Pasal 21);
(5)
Peninjauan periodik atas anak yang ditempatkan dalam pengasuhan negara karena alasan pengawasan, perlindungan dan penyembuhan (Pasal 25);
(6)
Hak anak atas perlindungan dari pekerjaan yang mengancam commit todan userperkembangan anak (Pasal 32); kesehatan, pendidikan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 27
(7)
Hak anak atas perlindungan penyalahgunaan obat bius dan narkotika, baik dalam proses produksi maupun distribusi (Pasal 33);
(8)
Hak
anak
atas
perlindungan
dari
eksploitasi
dan
penganiayaan seksual termasuk prostitusi dan keterlibatan pornografi (Pasal 34); (9)
Kewajiban negara mencegah penjualan, penyelundupan dan penculikan anak (Pasal 35);
(10) Hak atas perlindungan dari segala bentuk eksploitasi yang belum tercantum dalam Konvensi Hak Anak; (11) Larangan penyiksaan perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan terhadap anak (Pasal 37); (12) Kewajiban negara menjamin anak korban konflik bersenjata, penganiayaan, penelantaran, salah perlakuan atau eksploitasi untuk memperoleh perawatan yang layak demi penyembuhan reintegrasi sosial mereka (Pasal 39); (13) Hak anak yang didakwa ataupun yang diputuskan telah melakukan pelanggaran untuk tetap dihargai hak asasinya dan khususnya untuk menerima manfaat dari segala proses hukum atau bantuan hukum lainnya dalam upaya pengajuan pembelaan mereka (Pasal 40); c) Perlindungan anak dalam krisis dan darurat Perlindungan ini meliputi : (1)
Anak dalam situasi darurat (Children ini situation of emergency), seperti anak dalam pengungsian (Pasal 22) dan anak korban peperangan/konflik bersenjata (Pasal 38).
(2) Anak yang berkonflik dengan hukum (Children in conflict in the law), seperti: to anak user (Pasal 40); (a) Prosedur commit peradilan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 28
(b) Anak yang berada dalam penekanan kebebasan(Pasal 37); (c) Reintegrasi sosial anak-anak dan penyembuhan fisik dan psikologi anak (Pasal 39). (3) Anak-anak dalam situasi eksploitasi (Children in situation of exploitation), seperti: (a) Eksploitasi ekonomi (b) Pekerjaan anak (Pasal 32); (c) Penyalahgunaan obat bius dan narkotika (Pasal 33); (d) Eksploitasi dan penyalahgunaan seksual (Pasal 34); (e) Bentuk-bentuk eksploitasi lainnya (Pasal 36); (f) Perdagangan, penculikan dan penyelundupan anak (Pasal 35). (4) Anak-anak
dari
kelompok
minoritas
atau
anak-anak
penduduk suku terasing (Pasal 30). (5) Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights), meliputi: (a) Hak mengambil langkah legislasi dan administrasi (Pasal 4); (b) Hak hidup (Pasal 6); (c) Hak untuk mempertahankan identitas (pasal 8); (d) Hak anak untuk dipisahkan dari orang tuanya (Pasal 9); (e) Hak menjamin repatriasi keluarga (pasal 10); (f) Hak menyatakan pendapat secara bebas dan untuk didengar (pasal 13); (g) Hak untuk kemerdekaan berpikir (Pasal 14); (h) Hak atas kebebasan berkumpul (Pasal 15); (i) Hak memperoleh informasi (Pasal 17); (j) Hak menikmati norma kesehatan tertinggi (Pasal 24); (k) Hak mendapat pendidikkan, baik formal maupun informal (Pasal 28 dan Pasal 29); (l) Hak bermain dan berekreasi keluar negeri. commit to user (6) Hak berpartisipasi (Participation Rights), meliputi:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 29
(a) Menjamin pandangan anak (Pasal 12); (b) Hak untuk menyatakan pendapat secara bebas (Pasal 13); (c) Hak anak untuk berkumpul (Pasal 15). d. Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Secara garis besar, dalam Pasal 4 sampai Pasal 18 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak merumuskan hak-hak anak sebagai berikut: 1) Hak untuk hidup dan berkembang dengan layak Setiap anak berhak mendapatkan kehidupan yang layak dan terpenuhinya tumbuh kembang secara wajar tanpa halangan. Mereka berhak untuk mengetahui identitasnya, mendapatkan pendidikan, perawatan kesehatan, bermain, beristirahat, bebas mengemukakan pendapat, memilih agama, mempertahankan keyakinan, dan semua hak yang memungkinkan mereka berkembang secara maksimal sesuai potensi, kebutuhan fisik dan mental. 2)
Hak untuk mendapat perlindungan Setiap
anak
berhak
mendapat
perlindungan
dari
perlakuan
diskriminasi, eksploitasi baik ekonomi maupun seksual, penelantaran, kekejaman, kekerasan, penganiayaan, ketidak adilan dan perlakuan salah. Selain itu, seorang anak harus mendapat perlindungan dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan, dan pelibatan dalam peperangan. 3) Hak untuk berperan serta Setiap anak berhak untuk berperan aktif dalam masyarakat termasuk kebebasan untuk berekspresi, kebebasan untuk berinteraksi dengan orang lain dan menjadi anggous ta suatu perkumpulan. 4)
Hak untuk memperoleh pendidikan Setiap anak berhak memperoleh pendidikan minimal tingkat dasar. Bagi anak yang terlahir dari keluarga yang tidak mampu dan yang commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 30
tinggal
di
daerah
terpencil,
pemerintah
berkewajiban
untuk
bertanggung jawab untuk membiayai pendidikan mereka.
B. Kerangka Pemikiran
Pekerja Anak
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Bentuk Perlindungan Hukum
Hak-Hak Anak di Indonesia
Memenuhi atau Belum Memenuhi Hak-hak Anak di Indonesia
Hambatan-Hambatan dalam Pelaksanaan
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Keterangan : Kemampuan ekonomi keluarga yang terbilang rendah dan situasi lingkungan yang mendukung, membuat anak terpaksa menjadi pekerja demi kelangsungan hidupnya. Negara memang melarang adanya pekerja anak. Namun demikian, untuk menangani masalah ini pemerintah tidak bisa langsung mengubah committidak to user keadaan mengingat di Indonesia sedikit keluarga yang hidup miskin.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 31
Sebagai mengeluarkan
upaya
perlindungan
Undang-Undang
Nomor
terhadap 23
anak,
Tahun
pemerintah
2002
tentang
Perlindungan Anak guna menjamin hak-hak anak di Indonesia. Terkait dengan keberadaan pekerja anak, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebenarnya melarang adanya pekerja anak, hanya saja terdapat pengecualian tertentu, antara lain anak yang bekerja berdasarkan minat dan bakat atau untuk mengasah keterampilan semata. Seiring perkembangan zaman, permasalahan pekerja anak semakin kompleks dan belum terselesaikan. Pekerja anak tidak ada yang sempat menikmati keindahan masa kanak-kanak, mendapat kesempatan bermain atau pendidikan dan kehidupan yang wajar. Sebaliknya, berbagai ancaman terpaksa harus mereka rasakan di masa kanak-kanaknya. Masih kerap ditemui kasus pekerja anak yang diperlakukan secara tidak sesuai dengan norma yang ada. Mereka kerap dijadikan obyek perbudakan, ekploitasi dan kekerasan. Para pekerja anak menghadapi berbagai macam perlakuan kejam dan eksploitasi, termasuk perlakuan kejam secara fisik dan seksual, pengurungan paksa, upah tidak dibayar, tidak diberi makan dan fasilitas kesehatan, serta jam kerja yang sangat panjang tanpa hari libur. Pemerintah memang tidak tinggal diam dengan hal ini. Berbagai peraturan terkait pekerja anak telah dikeluarkan guna menjamin perlindungan hukum terhadap mereka. Meskipun pekerja, anak tetaplah anak. Di Indonesia, dikenal hak-hak anak yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan hal tersebut, penulis ingin menyoroti sejauh mana perlindungan hukum terhadap pekerja anak di Indonesia dapat memenuhi hak-hak anak di Indonesia. Sehingga apabila ditemukan hambatan-hambatan dalam pelaksanaan perlindungan hukum tersebut, dapat dilakukan penanganan yang lebih jelas dan terarah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Anak di Indonesia Pekerja anak berdasarkan International Labour Organization (ILO) adalah semua anak yang bekerja pada jenis pekerjaan yang oleh karena hakikat dari pekerjaan tersebut atau oleh karena kondisi-kondisi yang menyertai atau melekat pada pekerjaan tersebut ketika pekerjaan tersebut dilakukan, membahayakan anak, melukai anak (secara jasmani, emosi dan atau seksual), mengeksploitasi anak, atau membuat anak tidak mengenyam pendidikan (ILO-IPEC, 2009 : 7). Secara historis, pekerja anak sudah ada sejak masa penjajahan kolonial Belanda. Mayoritas anak-anak bangsa Indonesia asli pada masa itu tidak dapat mengenyam pendidikan formal, sehingga sebagian besar dari mereka harus bekerja pada pertanian berskala besar maupun industri-industri yang dikelola oleh bangsa Belanda. Kalaupun ada, mereka adalah anak pribumi yang berasal dari golongan bangsawan.
Kondisi
masyarakat
yang
berlapis
dan
diskriminatif
ini
mengakibatkan sebagian besar anak-anak Indonesia pada masa itu telah akrab dengan “bekerja” baik di sektor domestik maupun sektor publik yang bermotifkan pada membantu kehidupan keluarga. Setelah 65 tahun bangsa Indonesia terbebas dari penjajahan, permasalahan pekerja anak masih juga belum tertuntaskan. Hasil Survei Pekerja Anak di Indonesia 2009 yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) bekerja sama dengan Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang diluncurkan pada 11 Februari 2010 menunjukkan sedikitnya terdapat 4 (empat) juta dari 58,8 juta anak usia 5-17 tahun di Indonesia yang terpaksa bekerja. Dari angka tersebut, sedikitnya 1,7 juta adalah pekerja anak. Survei tersebut dilakukan di 248 (dua ratus empat puluh delapan) kabupaten dengan mengambil sampel sebanyak 12.000 (dua belas ribu) rumah tangga yang terdaftar. Jadi belum termasuk anak jalanan yang tidak mempunyai rumah. Jumlah responden itu ditentukan untuk mendapatkan estimasi nasional (Warta ILO Jakarta, 2010 : 1). commit to user
32
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 33
Diantara hasil utama Survei Pekerja Anak 2009 diperoleh laporan bahwa dari total jumlah anak usia 5-17 tahun, 48,1 juta atau 81,8 persen sekolah, 24.3 juta atau 41,2 persen terlibat dalam kegiatan kerumahtanggaan dan 6,7 juta atau 11,4 persen dari anak-anak dianggap sebagai 'idle'; baik sekolah maupun rumah tangga. Selanjutnya Sekitar 50 persen dari anakanak yang bekerja minimal bekerja 21 jam per minggu dan 25 persen 12 jam per minggu. Rata-rata, anak-anak bekerja 25,7 jam per minggu. Ratarata, pekerja anak bekerja 35,1 jam per minggu. Beberapa bekerja sebanyak 20,7 persen anak-anak bekerja dalam situasi berbahaya karena mereka menghabiskan lebih dari 40 jam per minggu (BPS-ILO, 2010 : xi) Berikut ini merupakan data yang diperoleh dari hasil Survei Pekerja Anak Indonesia 2009 ILO dengan BPS Indonesia: Tabel 1.1 Anak Berumur 5-17 Tahun menurut Kegiatan dan Jenis Kelamin (dalam ribuan), Indonesia, 2009 Anak Usia 5-17 Berdasarkan Jenis Kegiatan dan jenis Kelamin (000) Agustus 2009 Jenis Kegiatan Laki-Laki Perempuan Total Anak dalam kegiatan ekonomi 2.612,6 1.915,8 4.528,4 Anak yang bekerja 2.391,3 1.661,5 4.052,8 Mencari kerja 221,4 254,2 475,6 Anak di luar kegiatan ekonomi 27.517,7 26.791,1 54.308,9 Total 30.130,3 28.706,9 58.837,2 Yang bekerja saja 585,0 101,6 686,6 Yang bekerja dan sekolah 1.147,4 988,1 2.135,5 Yang bekerja dan bekerja di rumah 1.433,1 1.423,6 2.856,8 Yang bekerja, sekolah dan bekerja di rumah 774,3 851,8 1.626,1 Sekolah saja 16.159,9 10.491,5 26.651,4 Sekolah dan merawat rumah 7.941,4 13.014,8 20.956,2 Merawat rumah saja 651,6 1.417,6 2.069,2 Pasif (sisa) 3.760,5 2.973,2 6.733,7 Anak yang bekerja A. Standar (standar Sakernas) 2.391,3 1.661,5 4.052,8 B. Dipertajam* 2.496,5 1.788,2 4.284,8 C. Diperluas** 3.237,8 2.432,3 5.670,2 *) A Termasuk anak-anak yang tidak bekerja (sesuai standar Sakernas) tetapi melakukan kegiatan ekonomi. **) B Termasuk anak-anak yang tidak bekerja maupun melakukan kegiatan ekonomi, tetapi melakukan kegiatan-kegiatan dengan nilai ekonomi nyata di rumah. Badan Pusat Statistik – Organisasi Perburuhan Internasional, 2010 : 59) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 34
Semakin beragam jenis pekerja anak menimbulkan kompleksitas masalah dalam perlindungan anak. Problematika pekerja anak apabila ditinjau dari perspektif pendidikan, pekerja anak akan kehilangan haknya untuk memperoleh pendidikan formal dengan layak. Dari segi sosial budaya, pekerja anak akan kehilangan waktu bermain dan bersosialisasi dengan teman-teman sebaya layaknya anak-anak lain. Terkadang untuk bertahan hidup, mereka terpaksa harus bekerja di sektor pekerjaan yang berbahaya, dengan minimnya bentuk keselamatan kerja yang dapat memperburuk kesehatan, upah yang minimal dan dengan waktu kerja yang sama dengan pekerja dewasa. Ancaman lainnya bisa berupa perlakuan kejam baik secara fisik maupun seksual. Sebagai contoh adalah kasus perlakuan sadis di Surabaya yang menimpa Marlena, seorang pekerja rumah tangga berusia 17 (tujuh belas) tahun. Sejak usia belia Marlena telah mengabdi dan bekerja di rumah majikannya yang kejam. Alihalih diperlakukan layaknya kerabat atau orang yang telah berjasa meringankan tugas domestik rumah tangga, Marlena yang sudah bekerja tiga tahun justru mengalami hari-hari yang menyedihkan. Hampir setiap hari Marlena bukan saja kerap ditendang, diinjak, dan disundut sutil panas. Dia juga pernah dirantai, disiram air panas, dan perlakuan-perlakuan lain yang di luar batas kemanusiaan. Bahkan tidurnya pun disatukan dengan anjing (Jawa Pos, Bagong Suyanto, Penganiayaan dan Perlindungan PRT, Edisi Cetak: Selasa, 24 Mei 2011). Segala bentuk simpati dan perhatian publik biasanya baru muncul ketika kasus penganiayaan dan pelanggaran hak sudah terjadi. Untuk mencegah terjadinya hal-hal serupa seperti di atas, dibutuhkan jaminan hukum dan jaminan sosial. Sasaran utama pembangunan ketenagakerjaan di Indonesia diarahkan untuk menjamin hak-hak tenaga kerja dan kesamaan kesempatan demi mewujudkan kesejahteraan pekerja. Untuk itu, diperlukan tatanan hukum guna menunjang pembangunan tersebut. Secara tegas telah dinyatakan dalam konstitusi Negara Republik Indonesia bahwa negara Indonesia adalah Negara Hukum (Rechtsstaat). Menurut Freidrich Julius Stahl, suatu negara disebut negara hukum apabila mengandung unsurcommit to usermanusia, adanya pemisahan atau unsur, yaitu adanya perlindungan hak asasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 35
pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu, adanya pemerintahan yang berdasarkan
pada
peraturan
perundang-undangan
dan
adanya
peradilan
administrasi dalam perselisihan (Jimly Ashiddiqie, 1989 : 90). Setiap anak memiliki hak asasi manusia sejak lahir. Sebagai negara hukum, Indonesia harus melindungi hak-hak tersebut demi mewujudkan keadilan dalam suatu masyarakat. Terlebih lagi, Indonesia termasuk negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak (KHA) pada tanggal 25 Agustus 1990. Secara hukum internasional, Indonesia harus mengakui adanya hak-hak anak dan berkewajiban untuk melaksanakan dan menjamin terlaksananya hak-hak anak melalui hukum nasional Indonesia. Menurut Abdul Hakim Garuda Nusantara, masalah perlindungan hukum bagi anak merupakan satu sisi pendekatan untuk melindungi anak-anak Indonesia, tidak saja melalui pendekatan yuridis, tetapi perlu pendekatan lebih luas termasuk dari segi ekonomi, sosial dan budaya (Bentuk-bentuk Perlindungan Anak. http://id.shvoong.com/law-and-politics/criminal-law/2109742-bentuk-bentukperlindungan-anak-di/, diakses pada 22 April 2011 pukul 07.03 WIB) Ruang lingkup perlindungan meliputi: 1. Perlindungan pokok, yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, kesehatan, hukum, jasmani, rohani, kebutuhan primer dan kebutuhan sekunder 2. Jaminan pelaksanaan perlindungan, yaitu hendaknya dituangkan dalam suatu peraturan tertulis baik dalam bentuk peraturan perundang-undangan atau peraturan daerah, dengan perumusan yang sederhana, disesuaikan dengan kondisi dan situasi di Indonesia, sekaligus dapat dipertanggungjawabkan serta disebarluaskan secara merata dalam masyarakat. Demi
mewujudkan
hasil
yang
optimal,
pemerintah
Indonesia
mengeluarkan berbagai regulasi yang mengatur tentang perlindungan anak, terkait dengan pemenuhan hak pekerja anak. Instrumen hukum yang mengatur perlindungan hukum bagi hak-hak pekerja anak, yaitu: 1. Konvensi Hak Anak jo Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 Satu tahun setelah diterimanya Convention on the Rights of the Child commitatau to user (Konvensi tentang Hak-hak Anak) yang sering disebut Konvensi Hak
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 36
Anak (KHA) pada tanggal 20 November 1989 oleh Perserikatan BangsaBangsa (PBB), Indonesia menandatangani pengesahan atas konvensi tersebut di New York, Amerika Serikat pada tanggal 26 Januari 1990. Konvensi Hak Anak dilahirkan oleh masyarakat internasional guna menjawab permasalahan hak anak yang belum diatur secara spesifik oleh instrumen Hukum Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yang sudah ada sebelumnya. KHA bersifat sui generis (berdiri sendiri) karena mengatur anak sebagai subyek hak (rights holder). KHA menjadi instrumen yang melengkapi instrumen HAM lain dengan menonjolkan karakteristik hak anak yang spesifik dan khas melekat pada setiap anak, seperti hak untuk bermain, hak memperoleh pendidikan dasar dan hak untuh bertumbuh kembang dengan baik. KHA bertujuan untuk menetapkan standar universal bagi hak-hak anak dan melindungi anak-anak dari tindakan penganiayaan, eksploitasi dan penyalahgunaan. Jadi, KHA merupakan piranti standar perlindungan terhdap anak-anak agar anak dapat tumbuh dan berkembang secara wajar sesuai dengan potensi dasarnya untuk membentuk jati diri dan menjadi produktif. Konvensi merupakan perjanjian internasional yang mengikat secara yuridis bagi negara yang meratifikasi perjanjian tersebut. Oleh karena itu, konvensi dapat dikatakan sebagai suatu hukum internasional. Konsekuensi dari suatu negara melakukan ratifikasi perjanjian internasional seperti Konvensi Hak Anak, menurut Syahmin AK adalah: a. Merumuskan/menyatakan atau menguatkan kembali aturan hukum internasional yang sudah ada b. Mengubah/menyempurnakan ataupun menghapus kaidah-kaidah hukum internasional yang sudah ada, untuk mengatur tindakan-tindakan yang akan datang c. Membentuk kaidah-kaidah hukum internasional yang baru sama sekali yang belum ada sebelumnya (Absori, 2005: 83). Dalam Pasal 4 Konvensi tentang Hak-Hak Anak disebutkan bahwa: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 37
“Negara-negara Pihak akan melakukan semua tindakan legislatif, administratif, dan tindakan lain yang tepat untuk pelaksanaan hak-hak yang diakui dalam Konvensi ini. Mengenai hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, maka Negara-negara Pihak harus melakukan tindakantindakan tersebut sampai pada jangkuan semaksimum mungkin dari sumber-sumber mereka yang tersedia dan apabila dibutuhkan dalam kerangka kerjasama internasional.” Tindakan legislatif yang dimaksud dalam pasal tersebut dapat berupa peraturan perundang-undangan atau peraturan-peraturan lainnya yang bersifat mengikat dan memaksa, yang diperkuat dengan dikenai sanksi pidana kurungan, pidana penjara atau denda dalam jumlah tertentu. Sedangkan tindakan administratif dapat dilakukan dengan mengeluarkan teguran, peringatan tertulis, pembatasan kegiatan usaha, pembekuan kegiatan usaha, pembatalan persetujuan, pembatalan pendaftaran, penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi hingga pencabutan ijin. Selanjutnya Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Convention on the Rights of the Child (Konvensi tentang Hak-hak Anak) pada tanggal 25 Agustus 1990 dan mulai berlaku sejak 5 Oktober 1990. Dengan diratifikasinya Konvensi Hak Anak, kesejahteraan anak di Indonesia tidak lagi hanya menjadi tanggung jawab keluarga dan masyarakat setempat, tetapi juga menjadi tanggung jawab negara dan masyarakat internasional. Definisi anak dalam Pasal 1 Konvensi Hak Anak adalah setiap orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas). Secara garis besar, isi dari konvensi tersebut menegaskan bahwa setiap anak tanpa memandang ras, suku bangsa, jenis kelamin, asal usul keturunan, agama maupun bahasa memiliki hak yang meliputi empat bidang : a. Hak atas kelangsungan hidup, yang mencakup hak hidup dan hak memperoleh pelayanan kesehatan yang memadai. b. Hak tumbuh kembang, yang mencakup semua jenis pendidikan (formal dan informal) dan hak menikmati standar kehidupan yang layak bagi tumbuh kembang fisik, mental, spiritual, moral dan sosial. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 38
c. Hak atas perlindungan, yang mencakup perlindungan dari diskriminasi, penyalahgunaan dan pelalaian, perlindungan bagi anak-anak tanpa keluarga dan perlindungan bagi anak-anak pengungsi. d. Hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat, meliputi hak untuk menyampaikan pendapat dalam semua hal menyangkut nasib anak itu. Dari empat komponen di atas, hanya hak atas kelangsungan hidup dan tumbuh kembang yang sudah mendapat perhatian luas di Indonesia. Sementara hak-hak perlindungan sedang dikembangkan oleh pihak-pihak berwenang melalui berbagai jalur. Sedangkan hak-hak partisipasi masih sangat kecil pelaksanaannya. Penyusunan rencana dan kegiatan yang berkaitan dengan perlindungan anak dapat dilakukan dengan memahami 4 (empat) prinsip umum dalam Konvensi Hak Anak, yaitu: a. Universalitas/non diskriminasi, artinya setiap anak berhak memperoleh perlindungan demi menjamin kehidupannya tanpa membedakan jenis kelamin, suku, agama, ras, golongan, etnik, budaya, bahasa, status hukum, urutan kelahiran anak, serta kondisi fisik dan/atau mental (Pasal 2 KHA). b. Yang terbaik bagi anak, artinya bahwa dalam segala tindakan yang menyangkut anak, maka apapun yang terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan yang utama (Pasal 3 KHA). c. Hak untuk kelangsungan hidup dan berkembang, artinya bahwa harus ada pengakuan dan jaminan terhadap hak hidup yang melekat pada diri setiap anak dan hak anak atas kelangsungan hidup dan perkembangannya (Pasal 6 KHA). d. Penghargaan terhadap pandangan/pendapat dan partisipasi anak, artinya bahwa
pendapat
mempengaruhi
anak,
terutama
kehidupannya,
jika
perlu
menyangkut diperhatikan
hal-hal dalam
yang setiap
pengambilan keputusan (Pasal 12 KHA). Berdasarkan strukturnya, Konvensi Hak Anak dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu: commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 39
a. Bagian I (Pasal 1-41), yang berisi tentang definisi anak dan hak-hak asasi anak. b. Bagian II (Pasal 42-45), yang berisi tentang desiminasi, Komite Hak Anak, laporan-laporan negara peserta, badan-badan khusus dana PBB untuk anak. c. Bagian III (Pasal 46-54), yang berisi tentang ratifikasi, pelaksanaan konvensi, penyempurnaan dan penyimpanannya. Apabila
dilihat
dari
segi
isi,
terdapat
empat
cara
untuk
mengkategorisasikan Konvensi Hak Anak, yaitu: a. Berdasarkan konvensi induk HAM dikatakan bahwa Konvensi Hak Anak mengandung hak sipil, hak politik, hak ekonomi, hak sosial dan budaya. b. Berdasarkan pihak yang berkewajiban melaksanakan HAM (negara) dan yang bertanggungjawab untuk memenuhi hak anak (orang dewasa pada umumnya), maka ada 3 kata kunci yang bisa dipakai untuk memahami isi Konvensi Hak Anak, yaitu penuhi, lindungi dan hargai. Sementara Penulis mengkategorikan hak-hak anak sebagai pekerja berdasarkan Pasal-Pasal Konvensi Hak Anak adalah sebagai berikut: a. Kesehatan dan kesejahteraan dasar (Pasal 6 ayat (2), 18 ayat (3), 23, 24, 26 dan 27 ayat (1) dan (3)) b. Pendidikan, rekreasi dan kegiatan budaya/kesenian (Pasal 28, 29 dan 31) c. Langkah-langkah perlindungan khusus: peradilan anak dan perampasan kemerdekaan (Pasal 37, 39 dan 40); eksploitasi (Pasal 32, 33, 34, 35, 36 dan 39); dan kelompok minoritas atau pribumi (Pasal 30). Pemerintah Indonesia telah mengambil langkah-langkah strategis guna mendukung terjaminnya hak pekerja anak di Indonesia, yaitu melalui penyusunan dan penetapan: a. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak, yaitu dengan dibentuknya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Eksploitasi Seksual Komersial Anak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 40
b. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 88 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak. c. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, yaitu dengan dibentuknya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. d. Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2004-2009, yaitu dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2004 tentang Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia Tahun 2004-2009. e. Rencana Aksi Nasional Pendidikan Untuk Semua Tahun 2015. f. Program Pengembangan Model Kota Layak Anak. Program ini bertujuan untuk merealisasikan Program Nasional Bagi Anak Indonesia (PNBAI) 2015 melalui pengarusutamaan hak-hak anak ke dalam perencanaan pembangunan kota. Indonesia bekerjasama dengan UNESCO juga telah melakukan upaya sebagai berikut: a. Memperluas kepedulian dan pendidikan anak usia dini. b. Pengadaan sarana gratis dan mewajibkan pendidikan dasar untuk semua. c. Mendukung pembelajaran dan keterampilan bagi anak dan orang dewasa. d. Meningkatkan angka melek aksara pada orang dewasa menjadi 50 persen. e. Mencapai kesetaraan gender pada 2015. f. Meningkatkan kualitas pendidikan.
2. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 138 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja Dibentuknya Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja merupakan wujud keseriusan to userpekerja anak. Sebagai anggota lembaga internasional untukcommit mengatasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 41
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan International Labour Organization (ILO), Indonesia menghargai, menjunjung tinggi, dan berupaya menerapkan keputusan-keputusan lembaga internasional tersebut. Konvensi tersebut dipandang selaras dengan keinginan bangsa Indonesia untuk secara terus menerus menegakkan dan meningkatkan pelaksanaan hak-hak dasar anak dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Oleh karena itu, pada tanggal 7 Mei 1999, pemerintah meratifikasi Konvensi ILO dalam bentuk Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja. Secara umum, tujuan dirancangnya kebijakan nasional ini adalah: a. Menjamin penghapusan secara efektif keberadaan pekerja anak baik dalam sektor formal maupun informal. b. Secara bertahap meningkatkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja sampai pada suatu tingkat yang sesuai dengan perkembangan fisik dan mental sepenuhnya dari anak. c. Meningkatkan mutu pendidikan bagi anak. d. Melindungi anak dari hambatan perkembangan mental, fisik, pendidikan dan sosial dalam proses pengasuhan akibat dipekerjakannya mereka. e. Mengakhiri semua bentuk keberadaan jenis pekerja anak hingga yang paling tidak dapat ditoleransi. Pokok-pokok dalam Konvensi tersebut menyebutkan bahwa: a. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menetapkan kebijakan nasional untuk menghapuskan praktek mempekerjakan anak dan meningkatkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja. b. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak harus diupayakan tidak boleh kurang dari 18 (delapan belas) tahun, kecuali untuk pekerjaan ringan tidak boleh kurang dari 16 (enam belas) tahun. c. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib menetapkan usia minimum untuk diperbolehkan bekerja, aturan mengenai jam kerja, to user dan menetapkan hukumancommit atau sanksi guna menjamin pelaksanaannya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 42
d. Negara anggota ILO yang mengesahkan Konvensi ini wajib melaporkan pelaksanaannya. Sesuai dengan lampiran Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1999 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 138 mengenai Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja, Pemerintah Republik Indonesia menyatakan bahwa usia minimum untuk diperbolehkan bekerja adalah 15 (lima belas) tahun. Meskipun begitu, terdapat ketentuan-ketentuan lain dalam Konvensi tersebut menyangkut usia minimum seorang anak untuk bekerja dengan berbagai perkecualian, yaitu: a. Pasal 3 ayat (1) membatasi usia minimum untuk diperbolehkan bekerja di setiap jenis pekerjaan, yang karena sifat atau keadaan lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak, tidak boleh kurang dari 18 (delapan belas) tahun. b. Pasal 3 ayat (2) memperbolehkan anak berusia 16 (enam belas) tahun ke atas untuk bekerja, dengan syarat bahwa kesehatan, keselamatan, dan moral mereka dilindungi sepenuhnya dan mereka telah memperoleh pendidikan atau pelatihan kejuruan khusus mengenai cabang kegiatan yang bersangkutan. c. Pasal 7 ayat (1) menegaskan bahwa peraturan atau perundang-undangan nasional dapat memperbolehkan anak berusia 13-15 tahun untuk bekerja dalam pekerjaan ringan yang tidak membahayakan kesehatan dan perkembangan anak tersebut. Pekerjaan tersebut juga tidak boleh mengganggu waktu mereka untuk mengikuti pelajaran sekolah, mengikuti orientasi kejuruan atau program latihan atau membatasi kemampuan mereka untuk mendapatkan manfaat dari pelajaran yang diterima. Unsur-unsur yang dapat dipertimbangkan pada waktu menentukan pekerjaan ringan mencakup hal-hal sebagai berikut: 1) jam bekerja hendaknya tidak melebihi jumlah spesifik yang telah ditetapkan dan tidak bersamaan dengan jam-jam sekolah. 2) pekerjaan tersebut dilakukan di bawah pengawasan yang patut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 43
3) pekerjaan yang dilakukan tersebut memungkinkan anak-anak pulang ke rumah di malam hari. d. Pasal 7 ayat (2) memperbolehkan peraturan atau perundang-undangan nasional mempekerjakan orang berusia sekurang-kurangnya 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan dengan ketentuan belum menyelesaikan pendidikan sekolah wajib. Dalam kondisi-kondisi tertentu, Pasal 8 Konvensi ILO Nomor 138 memungkinkan pengecualian bagi larangan bekerja di bawah usia minimum yang ditentukan. Pengecualian ini dapat dilakukan pada kasus individual seperti keikutsertaan dalam pertunjukan seni, menjadi peragawati atau model, dan kegiatan lainnya yang dilakukan untuk mengembangkan minat dan bakat. Konvensi ILO Nomor 138 mempunyai klausul-klausul fleksibilitas yang
melekat
dan
memungkinkan
negara-negara
dengan
fasilitas
perekonomian dan pendidikan yang belum memadai perkembangannya, untuk dapat menetapkan usia 14 (empat belas) tahun sebagai usia minimum seorang anak untuk bekerja, dan usia 12-14 (dua belas sampai empat belas) tahun untuk dapat melakukan pekerjaan ringan. Akan tetapi, tidak ada fleksibilitas usia minimum bagi anak untuk melakukan pekerjaan yang sifat atau keadaannya kemungkinan akan membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak. Untuk jenis pekerjaan seperti ini usia minimum masuk kerja adalah 18 (delapan belas) tahun, bagaimanapun kondisi ekonomi dan fasilitas pendidikan di negara tersebut. Ketentuan usia minimum pada Konvensi ini wajib diberlakukan pada berbagai pekerjaan di bidang pertambangan dan penggalian; pengolahan; bangunan; listrik, gas, dan air, perusahaan sanitari; pengangkutan, pergudangan, dan perhubungan; serta perkebunan dan usaha pertanian lainnya yang hasil utamanya untuk tujuan perdagangan, kecuali perusahaan keluarga dan usaha kecil yang menghasilkan barang untuk konsumsi lokal dan tidak secara teratur mempekerjakan tenaga bayaran. Konvensi ini tidak akan berlaku bagi pekerjaan yang dilakukan oleh commit to user anak dan orang muda di sekolah umum untuk pendidikan umum, kejuruan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 44
atau teknik atau di lembaga-lembaga pelatihan lain, atau bagi pekerjaan yang dilakukan oleh anak yang sekurang-kurangnya berusia 14 (empat belas) tahun dalam perusahaan.
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak Di Indonesia, pekerja anak merupakan fenomena yang umum dan telah lama masuk dalam data nasional dengan nama “pekerja anak”. Krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997 telah mengubah struktur pekerja anak. Akibat perubahan signifikan dalam pasar tenaga kerja setelah krisis, terjadi informalisasi pekerja anak, jumlah anak yang bekerja di berbagai sektor berlipat ganda, dan menurunnya upah riil (Chris Manning, 2000 : 10). Lebih jauh lagi, terjadi peningkatan pada jumlah anak yang bekerja pada pekerjaan yang tidak menyenangkan, tanpa pengaturan yang jelas, tidak terlindungi dan membahayakan kesehatan dan keselamatannya. Mereka yang bekerja dalam pekerjaan-pekerjaan yang berbahaya dan bentuk pekerjaan lain yang lebih buruk menuntut perhatian khusus dan penanganan yang bersifat segera. Menyadari hal itu, Pada tanggal 17 Juni 1999 dunia internasional melalui Konferensi Ketenagakerjaan Internasional ke delapan puluh tujuh di Jenewa membentuk Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. Lahirnya konvensi ini didorong dengan adanya Konvensi Hak-hak Anak dan Konvensi ILO Nomor 138 Tahun 1973 mengenai Usia Minimum untuk Diperbolehkan Bekerja yang nantinya akan saling melengkapi dalam upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Dan sebagai bentuk keseriusannya dalam melindungi pekerja anak, Indonesia membentuk Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 45
Konvensi ini mendefinisikan anak sebagai orang yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan melarang anak di bawah usia tersebut terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak sendiri mengandung pengertian: a. segala bentuk perbudakan atau praktik-praktik sejenis perbudakan, seperti penjualan dan perdagangan anak-anak, kerja ijon (debt bondage) dan perhambaan serta kerja paksa atau wajib kerja, termasuk pengerahan anakanak secara paksa atau wajib untuk dimanfaatkan dalam konflik bersenjata b. pemanfaatan, penyediaan atau penawaran anak untuk pelacuran, untuk produksi pornografi, atau pertunjukan-pertunjukan porno c. pemanfaatan,penyediaan atau penawararan anak untuk kegiatan haram, khususnya untuk produksi dan perdagangan obat-obatan sebagaimana diatur dalam perjanjian Internasional yang relevan d. pekerjaan yang sifatnya atau lingkungan tempat pekerjaan itu dilakukan dapat membahayakan kesehatan, atau moral anak-anak. Pada era otonomi daerah, dalam rangka untuk menanggulangi dan melindungi pekerja anak, telah dikeluarkan Kepmendagri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak (PPA). Salah satu isi pokok di dalamnya adalah melakukan penanggulangan pekerja anak melalui penghapusan, pengurangan dan perlindungan pekerja anak yang berusia di bawah 15 (lima belas) tahun agar terhindar dari pengaruh buruk pekerjaan berat dan berbahaya, sehingga dapat mengganggu pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, moral dan intelektual. Kepmenakertrans Nomor Kep. 235/Men/ 2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak mengklasifikasikan pekerjaan terburuk bagi anak meliputi : a. Jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja: 1) Pekerjaan yang berhubungan perakitan/pemasangan, pengoperasian dan perbaikan mesin, pesawat, traktor, pemecah batu, instalasi listrik, pemadam kebakaran, atau saluran listrik. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 46
2) Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang mengandung bahaya fisik, bahaya kimia dan bahaya biologis. 3) Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu, seperti konstruksi bangunan, jembatan, irigasi/jalan, penebangan, pengangkutan, bongkar muat, penangkapan ikan yang dilakukan di lepas pantai atau perairan laut dalam, pekerjaan yang dilakukan di daerah terisolir dan terpencil. b. Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Moral Anak: 1) Pekerjaan pada usaha bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat atau tempat prostitusi. 2) Pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras., obat perangsang seksualitas dan/atau rokok. Pemerintah Daerah berkewajiban untuk melakukan langkah-langkah pengaturan lebih lanjut dalam pelaksanaan kegiatan penanggulangan pekerja anak. Menurut Pasal 5 Kepmendagri dan Otonomi Daerah Nomor 5 Tahun 2001 tentang Penanggulangan Pekerja Anak, program penanggulangan pekerja anak meliputi: a. Melakukan pelarangan dan penghapusan segala bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. b. Melakukan pemberian perlindungan yang sesuai bagi pekerja anak yang melakukan pekerjaan ringan. c. Melakukan perbaikan pendapat keluarga agar anak tidak bekerja dan menciptakan suasana tumbuh kembang anak dengan wajar. d. Melakukan sosilisasi program PPA kepada pejabat birokrasi, pejabat politik, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat. Program khusus dalam penanggulangan pekerja anak meliputi: a. mengajak kembali pekerja anak yang putus sekolah ke bangku sekolah dengan memberikan bantuan beasiswa. b. memberikan pendidikan nonformal. c. mengadakan pelatihan keterampilan bagi anak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 47
Setiap negara yang meratifikasi konvensi ini wajib mengambil tindakan segera dan efektif untuk menjamin pelarangan dan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak sebagai hal yang mendesak. Berdasarkan Pasal 6 Konvensi ILO Nomor 182, setiap anggota diwajibkan merancang dan melaksanakan program aksi sebagai upaya penghapusan bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Sejalan dengan hal tersebut, dibentuklah Komite Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak (KAN-PBPTA) berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2001 tentang Komite Aksi Nasional Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. KAN-PBPTA yang diketuai langsung oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini bertugas: a. menyusun Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak (RAN-PBPTA) b. melaksanakan pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan RAN-PBPTA c. menyampaikan
permasalahan-permasalahan
yang
terjadi
dalam
pelaksanaan RAN-PBPTA kepada instansi atau pihak yang berwenang guna menyelesaikannya sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak akhirnya disusun berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan BentukBentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. RAN-PBPTA merupakan pedoman bagi pelaksanaan Program Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak. Keputusan Presiden Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak menyebutkan 13 (tiga belas) bentuk pekerjaan terburuk untuk pekerja anak yang dieksploitasi secara fisik maupun ekonomi, yaitu: a. Mempekerjakan anak-anak sebagai pelacur; to user b. Mempekerjakan anak-anakcommit di pertambangan;
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 48
c. Mempekerjakan anak-anak sebagai penyelam mutiara; d. Mempekerjakan anak-anak di bidang konstruksi; e. Menugaskan anak-anak di anjungan penangkapan ikan lepas pantai/jermal; f. Mempekerjakan anak-anak sebagai pemulung; g. Melibatkan anak-anak dalam pembuatan dan kegiatan yang menggunakan bahan peledak; h. Mempekerjakan anak-anak di jalanan; i. Mempekerjakan anak-anak sebagai tulang punggung keluarga; j. Mempekerjakan anak-anak di industri rumah tangga (cottage industries); k. Mempekerjakan anak-anak di perkebunan; l. Mempekerjakan anak-anak dalam kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan usaha penebangan kayu untuk industri atau mengolah kayu untuk bahan bangunan dan pengangkutan kayu gelondongan dan kayu olahan; m. Mempekerjakan anak-anak dalam berbagai industri dan kegiatan yang menggunakan bahan kimia berbahaya. Program ini telah menetapkan lima dari 13 jenis pekerjaan terburuk itu sebagai prioritas dalam lima tahun pertama pelaksanaan program tersebut yang direncanakan berlangsung selama 20 tahun ini. Kelima bentuk pekerjaan terburuk itu adalah anak-anak yang terlibat dalam penjualan, produksi, dan perdagangan narkoba, anak-anak yang diperdagangkan untuk dijadikan pelacur dan anak-anak yang bekerja di penangkapan ikan lepas pantai, pertambangan dan pembuatan alas kaki (ILO Jakarta, Menghapuskan Bentuk-Bentuk Terburuk Pekerja Anak, 2004, hal 4). Rencana Aksi Nasional ini dibagi dalam beberapa tahapan. Tahapan program-program yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Tahap pertama, sasaran yang ingin dicapai setelah 5 (lima) tahun pertama: 1) tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menghapus bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak; 2) terpetakannya permasalahan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak dan upaya penghapusannya; 3) terlaksananya program penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk commit to user untuk anak dengan prioritas pekerja anak di anjungan lepas pantai dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 49
penyelaman air dalam, pekerja anak yang diperdagangkan untuk pelacuran, pekerja anak di pertambangan, pekerja anak di industri alas kaki, pekerja anak di industri dan peredaran narkotika, psikotropika, prekursor, dan zat adiktif lainnya. b. Tahap kedua, sasaran yang ingin dicapai setelah 10 (sepuluh) tahun, yaitu: 1) replikasi model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang telah dilaksanakan pada tahap pertama di daerah lain; 2) berkembangnya program penghapusan pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak lainnya; 3) tersedianya kebijakan dan perangkat pelaksanaan untuk penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. c. Tahap ketiga, merupakan sasaran yang ingin dicapai setelah 20 (dua puluh) tahun: 1) pelembagaan gerakan nasional penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak secara efektif; 2) pengarusutamaan penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. Secara rinci, kegiatan yang dilakukan untuk mendukung rencana Aksi Nasional ini meliputi beberapa cara, yaitu: a. Penelitian dan Dokumentasi Jangkauan penelitian dan dokumentasi untuk pekerja anak tersebut meliputi : 1) data statistik mengenai pekerja anak dari usia 10 tahun keatas; 2) data statistik mengenai pekerja anak usia di bawah 18 tahun yang terlibat dalam bentuk pekerjaan terburuk; 3) data statistik kriminal yang dilakukan anak menyangkut jumlah kasus, jenis kasus, jumlah korban, pelaku, modus, lokasi dan waktu kejadian. b. Kampanye Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, meliputi kegiatan : 1) menyebarluaskan informasi tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuk commit toluas; user untuk anak kepada masyarakat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 50
2) memfasilitasi tumbuhnya kelompok masyarakat yang peduli pekerja anak; 3) sosialisasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; 4) mendorong peranan media massa dalam penyebaran informasi baik di tingkat Nasional, Propinsi dan Kabupaten/Kota. c. Pengkajian dan Pengembangan Model Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak, meliputi: 1) lembaga-lembaga yang terlibat dalam penanganan pekerja anak; 2) karakteristik bentuk pekerjaan terburuk bagi anak; 3) model-model penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang mencakup antara lain cara advokasi, bantuan langsung, pemulihan, dan reintegrasi dengan basis masyarakat; 4) panduan replikasi model; 5) panduan bagi pekerja sosial pendamping; 6) panduan pemantauan dan evaluasi. d. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, meliputi : 1) menetapkan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak yang membahayakan kesehatan, keselamatan dan moral anak. 2) menetapkan bahwa melibatkan anak dalam pekerjaan terburuk merupakan tindak pidana. 3) merumuskan kebijakan, menetapkan upaya dan tindakan dalam pencegahan dan penanggulangan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak, baik secara preemptif, preventif maupun represif. e. Peningkatan Kesadaran dan Advokasi, meliputi : 1) penyusunan metode dan modul sosialisasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; 2) sosialisasi Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak; 3) membangun sistem pengaduan masyarakat bagi kasus-kasus pelibatan commit to user anak dalam pekerjaan terburuk.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 51
f. Penguatan Kapasitas, melalui pelatihan, kerjasama teknis antar instansi pemerintah, organisasi pengusaha dan pekerja/buruh, serta lembaga swadaya masyarakat, magang dan studi banding maupun pemberdayaan masyarakat dan keluarga dilaksanakan pada tingkat Nasional, Propinsi, Kabupaten/Kota. g. Integrasi Program Penghapusan Pekerja Anak dalam Institusi Terkait, melalui : 1) penetapan kebijakan di Pemerintah Pusat, Pemerintah Propinsi, maupun Pemerintah Kabupaten/Kota; 2) perencanaan terpadu; 3) koordinasi lintas sektor maupun lintas fungsi. Kegiatan tahap kedua disusun berdasarkan hasil kegiatan yang dicapai dalam tahap pertama. Demikian pula kegiatan tahap ketiga akan disusun berdasarkan hasil yang dicapai dalam tahap kedua. Dalam penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak, Indonesia dengan dukungan ILO menyusun berbagai program, yaitu: a. Program penarikan dan pencegahan pekerja anak melalui pendidikan formal dan informal. b. Program penarikan dan pencegahan pekerja anak melalui kegiatan pengembangan
keterampilan
dan/atau
kecakapan
hidup
melalui
pendidikan informal. c. Program penarikan dan pencegahan pekerja anak melalui kegiatan konseling. d. Program penarikan dan pencegahan pekerja anak melalui pemberian pelayanan kesehatan. e. Program penarikan dan pencegahan pekerja anak melalui peningkatan kondisi tempat kerja. Saat ini ILO tengah melaksanakan tahap kedua proyek dukungannya terhadap Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk
untuk
Anak
di
Indonesia melalui Program Internasional to user Penghapusan Pekerjaan untukcommit Anak (ILO-IPEC) di Indonesia. Proyek empat
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 52
tahun yang dimulai akhir 2007 hingga 2011 ini bertujuan mengurangi jumlah pekerja anak yang terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan yang bersifat eksploitatif di Indonesia melalui empat tujuan, yakni: a. Pendidikan bagi anak-anak yang ditarik dari pekerjaan eksploitatif atau dicegah untuk memasuki pekerjaan tersebut b. Peningkatan dan perbaikan pelaksanaan program, kebijakan dan kerangka perundangan untuk pekerja anak c. Peningkatan kapasitas para pihak terkait pelaksanaan aksi menghapuskan pekerja anak d. Peningkatan kesadaran tentang bentuk-bentuk pekerjaan terburuh untuk anak dan pentingnya pendidikan bagi semua anak (Warta ILO Jakarta - April 2008 : 6).
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Pada tanggal 22 Oktober 2002 Konvensi Hak Anak berhasil dituangkan dalam bentuk Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-undang ini menegaskan bahwa orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara bertanggung jawab dalam menjamin terlaksananya kegiatan perlindungan hak-hak anak secara terus menerus dan berkelanjutan. Hal ini dimaksudkan untuk mewujudkan kehidupan terbaik bagi anak yang diharapkan sebagai penerus bangsa yang potensial, tangguh, memiliki nasionalisme yang dijiwai oleh akhlak mulia dan nilai Pancasila, serta berkemauan keras menjaga kesatuan dan persatuan bangsa dan negara. Perlindungan anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak digambarkan sebagai kegiatan yang bertujuan menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Guna mengerti dan memahami hal-hal apa saja yang harus to user dilindungi dari seorang anak,commit maka seyogyanya perlu diketahui hak-hak dari
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 53
seorang anak. Hak-hak anak menurut Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dirumuskan dalam Pasal 4-19. Secara garis besar, Penulis menguraikan hak-hak anak sebagai pekerja anak berdasarkan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak adalah sebagai berikut: a. Pasal 4 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. b. Pasal 8 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial. c. Pasal 9 menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Dan apabila anak tersebut memiliki keunggulan, maka ia berhak memperoleh pendidikan khusus. Selain itu, juga terdapat hak untuk memperoleh pendidikan luar biasa bagi anak yang menyandang cacat. d. Pasal 10 menyatakan bahwa setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima, mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan. e. Pasal 11 menyatakan bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. f. Pasal 13 ayat (1) huruf a, b, e, dan f yang menyatakan bahwa setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan
diskriminasi,
eksploitasi ekonomi commit user ketidakadilan, dan perlakuan salahtolainnya.
maupun
seksual,
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 54
Bentuk-bentuk penyelenggaraan perlindungan anak telah dirumuskan dalam Pasal 42-58, yang meliputi perlindungan agama, kesehatan, pendidikan, sosial, dan perlindungan khusus. Dari uraian hak-hak anak sebagai pekerja di atas, maka Penulis akan menguraikan upaya penyelenggaraan perlindungan pekerja anak berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagai berikut: a. Pasal 44 sampai dengan Pasal 47 mengenai perlindungan kesehatan anak Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya perlindungan kesehatan yang komprehensif bagi anak didukung dengan peran serta masyarakat. Upaya menyelenggarakan kesehatan yang komprehensif meliputi upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif, baik untuk pelayanan kesehatan dasar maupun rujukan dimanapun anak berada. Upaya kesehatan yang komprehensif juga dilakukan secara cumacuma bagi keluarga yang tidak mampu. b. Pasal 48 sampai dengan Pasal 54 mengenai perlindungan pendidikan anak Pendidikan sangat penting bagi seorang anak, mengingat anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa. Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada
anak
untuk
memperoleh
pendidikan.
Pemerintah
wajib
menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk seluruh anak Indonesia. Hal ini untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Bahkan pemerintah bertanggung jawab memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil. Perlindungan pendidikan harus diberikan kepda anak yang memiliki keunggulan dengan memberi kesempatan dan aksesibilitas bagi mereka untuk memperoleh pendidikan khusus. Pemerintah juga harus memberi kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa bagi anak yang menyandang to user cacat fisik dan/atau mentalcommit diberikan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 55
Pendidikan yang dimaksud tidak hanya menyangkut materi tertulis yang berisi pengetahuan umum berdasarkan kurikulum sekolah saja. Pendidikan mencakup seluruh nilai-nilai dan norma-norma yang berguna untuk menjalani kehidupan agar anak dapat mengembangkan bakat, kemampuan mental dan fisik sampai mencapai potensi yang optimal. Menjadikan anak memiliki rasa hormat terhadap hak dan kebebasan asasi manusia, hormat terhadap orang tua, identitas budaya, bahasa dan perbedaan budaya serta siap untuk kehidupan yang bertanggung jawab. Perlindungan pendidikan tidak hanya bergantung pada fasilitas yang diberikan pemerintah, tetapi juga peran orang tua dan keluarga sebagai wadah pendidikan sekaligus pembentukan karakter seorang anak. Kerjasama yang baik antara orang tua dan pemerintah dapat mewujudkan seorang manusia yang berpendidikan sekaligus berakhlak mulia. c. Pasal 55 sampai dengan Pasal 58 mengenai perlindungan sosial anak Aspek sosial sangat berpengaruh pada tumbuh kembang seorang anak. Pemerintah wajib menyelenggarakan pemeliharaan dan perawatan anak terlaantar, baik di dalam maupun di luar lembaga. Upaya-upaya yang dilakukan dimaksudkan agar anak dapat ikut berpartisipasi, berserikat, berkumpul, bebas berpendapat dan berpikir sesuai hati nurani dan agamanya. Masa perkembangan anak harus didukung dengan kebebasan anak memperoleh informasi sesuai dengan tahapan dan usia mereka. Hal yang paling penting adalah mereka memiliki kebebasan untuk beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya sesuai dengan minat dan bakat mereka. Situasi dan kondisi anak Indonesia saat ini masih mencerminkan adanya penyalahgunaan (abuse), eksploitasi, diskriminasi, dan beberapa tindak kekerasan yang membahayakan perkembangan jasmani, rohani, dan sosial anak. Oleh karena itu, pemerintah juga memberikan bentuk perlindungan khusus kepada anak-anak Indonesia yang berada dalam keadaan sulit tersebut. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 56
Berikut ini merupakan uraian Penulis mengenai bentuk perlindungan khusus yang diberikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak terkait hak-hak pekerja anak: a. Pasal 66 mengenai perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, dilakukan melalui: 1) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; 2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan 3) pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. b. Pasal 67 mengenai perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintah melarang setiap orang dengan sengaja menempatkan, membiarkan, melibatkan, menyuruh melibatkan anak dalam penyalahgunaan, produksi dan distribusi napza dan obatobatan terlarang lainnya. c. Pasal 68 mengenai perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan dan perdagangan anak, dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. d. Pasal 69 mengenai perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan fisik, psikis dan seksual, dilakukan melalui: 1) penyebarluasan dan sosialisasi ketentuan peraturan perundangundangan yang melindungi anak korban tindak kekerasan. 2) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. Terkait dengan perlindungan pekerja anak, telah dirumuskan delapan to user hal yang dikategorikan sebagaicommit eksploitasi terhadap pekerja anak, yaitu:
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 57
a. Kerja penuh waktu pada umur yang terlalu dini. b. Terlalu banyak waktu yang digunakan untuk bekerja. c. Melakukan pekerjaan yang penuh tekanan fisik, sosial maupun psikologis. d. Upah yang tidak sesuai (tidak mencukupi). e. Tanggungjawab yang terlalu banyak. f. Melakukan pekerjaan yang menghambat peluang untuk mendapatkan. g. dan atau mengakses pendidikan. h. Melakukan pekerjaan yang mengurangi martabat atau harga diri. i. Melakukan pekerjaan yang merusak perkembangan sosial dan psikologis. (UNICEF, 2000:80) Dari delapan kategori eksploitasi terhadap pekerja anak di atas, yang paling banyak terjadi adalah kategori kerja penuh waktu pada umur yang terlalu dini, terlalu banyak waktu yang dipergunakan untuk bekerja dan kategori upah yang tidak sesuai atau tidak mencukupi. Melakukan kerja penuh waktu dengan jam kerja sama dengan jam kerja orang dewasa akan membawa dampak pada bentuk eksploitasi menghambat peluang untuk memperoleh pendidikan bahkan bermain. Kondisi tersebut terdapat pada sektor formal maupun sektor informal. Bentuk eksploitasi lain yang terjadi yaitu adanya pemberian upah di bawah ketentuan Upah Minimum Kerja (UMK) yang berlaku. Hal ini akan membawa dampak terhadap tidak terpenuhinya hak kelangsungan hidup bagi pekerja anak serta hak untuk memperoleh standar kesehatan tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Kondisi eksploitasi ini akan tetap bertahan dengan tidak maksimalnya aksi kerja yang dilakukan oleh aparat yang berwenang. Untuk menghindari tindakan eksploitasi pemerintah telah memberikan pembatasan-pembatasan untuk pekerja anak. Secara formal Menteri Tenaga Kerja dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 1 Tahun 1987 tentang Perlindungan Anak yang Terpaksa Bekerja telah menetapkan syarat-syarat mempekerjakan anak, yaitu: commit userdari 4 jam sehari. a. Tidak boleh mempekerjakan anak to lebih
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 58
b. Tidak boleh dipekerjakan pada malam hari antara jam 18.00 - 06.00. c. Pengusaha wajib membayar upah sesuai ketentuan yang berlaku, sebanding dengan jam kerjanya. d. Pengusaha wajib mendukung program kerja dan belajar (Kejar), melalui kerjasama dengan pihak lain. e. Menciptakan dan melaporkan identitas anak yang dipekerjakan. f. Pengusaha wajib melakukan pengurangan pekerja anak secara bertahap. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) telah dibentuk berdasarkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Komisi ini bertugas melakukan sosialisasi seluruh peraturan perundangundangan yang terkait dengan perlindungan anak, mengumpulkan data dan informasi,
menerima
pemantauan,
evaluasi,
pengaduan dan
masyarakat,
pengawasan
melakukan
terhadap
penelaahan,
penyelenggaraan
perlindungan anak. Komisi serupa juga dapat dibentuk di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Hingga saat ini, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) telah terbentuk di sembilan provinsi dan tujuh kabupaten/kota. Sebelum terbentuknya KPAI dan KPAID pada tahun 2004, pelaksanaan perlindungan anak dan pemantauan hak-hak anak dilakukan oleh Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas Perlindungan Anak) dan Lembaga Perlindungan Anak yang terdapat di setiap provinsi dan beberapa kabupaten/kota.
5. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Komitmen bangsa Indonesia dalam pembangunan ketenagakerjaan sekaligus penghargaan terhadap hak asasi manusia di tempat kerja ini antara lain diwujudkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan merumuskan ketentuan anak pada Pasal 68 hingga Pasal 75. Secara jelas disebutkan pada Pasal 68 Undang-Undang Nomor 13 commit to user bahwa “pengusaha dilarang Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 59
mempekerjakan anak”. Namun Undang-Undang tersebut tidak sepenuhnya melarang adanya pekerja anak, karena “bekerja” memiliki definisi yang berbeda-beda sesuai dengan tujuannya. Anak dianggap bekerja apabila berada di tempat kerja. Bentuk-bentuk pekerjaan yang diperbolehkan untuk anak tersebut antara lain: a. Pekerjaan Ringan Anak yang berusia 13 sampai dengan 15 tahun diperbolehkan melakukan pekerjaan ringan sepanjang tidak mengganggu perkembangan dan kesehatan fisik,mental dan sosial. Pengusaha yang mempekerjakan anak pada pekerjaan ringan harus memenuhi persyaratan: 1) izin tertulis dari orang tua atau wali; 2) perjanjian kerja antara pengusaha dengan orang tua atau wali; 3) waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam; 4) dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah; 5) keselamatan dan kesehatan kerja (K3); 6) adanya hubungan kerja yang jelas; dan 7) menerima upah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bagi anak yang bekerja pada usaha keluarganya, tetap diberikan batasan tertentu, yakni waktu kerja maksimum 3 (tiga) jam selama siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah serta memperoleh jaminan keselamatan dan kesehatan kerja. Apabila anak dipekerjakan bersamasama dengan pekerja/buruh dewasa, maka tempat kerja anak harus dipisahkan dari tempat kerja pekerja/buruh dewasa. Karena tingkat keselamatan dan jaminan kesehatan yang diperoleh tidak akan sebanding dengan usia dan kondisi badan anak-anak yang sedang tumbuh berkembang. Dikhawatirkan lingkungan tempat kerja pekerja/buruh dewasa akan menghambat atau mengganggu tumbuh kembang anak. b. Pekerjaan dalam rangka bagian kurikulum pendidikan atau pelatihan Anak dapat melakukan pekerjaan yang merupakan bagian dari commit to user kurikulum pendidikan atau pelatihan yang disahkan oleh pejabat yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 60
berwenang dengan ketentuan usia anak tersebut paling sedikit 14 (empat belas) tahun dan harus memenuhi syarat: 1) Diberi petunjuk yang jelas tentang cara pelaksanaan pekerjaan serta mendapat bimbingan dan pengawasan dalam melaksanakn pekerjaan. 2) Diberi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja c. Pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat. Untuk mengembangkan bakat dan minat anak dengan baik, anak perlu diberikan kesempatan untuk menyalurkan bakat dan minatnya.Untuk menghindarkan terjadinya eksploitasi terhadap anak, pemerintah telah mengesahkan
kebijakan
berupa
Kepmenakertrans
No.
Kep.
115/Men/VII/2004 tentang Perlindungan bagi Anak Yang Melakukan Pekerjaan Untuk Mengembangkan Bakat dan Minat. Dalam Kepmenakertrans tersebut dijelaskan bahwa pekerjaan untuk mengembangkan bakat dan minat, harus memenuhi kriteria : 1) Pekerjaan tersebut bisa dikerjakan anak sejak usia dini 2) Pekerjaan tersebut diminati anak 3) Pekerjaan tersebut berdasarkan kemampuan anak 4) Pekerjaan tersebut menambahkan kreativitas dan sesuai dengan dunia anak Dalam mempekerjakan anak untuk mengembangkan bakat dan minat yang berumur kurang dari 15 tahun, pengusaha wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut: 1) Membuat perjanjian kerja secara tertulis dengan orang tua/wali yang mewakili anak dan memuat kondisi dan syarat kerja sesuai dengan ketentuan yang berlaku. 2) Mempekerjakan di luar waktu sekolah. 3) Memenuhi ketentuan waktu kerja paling lama 3 ( tiga ) jam sehari dan 12 (dua belas) jam seminggu. 4) Melibatkan orang tua/wali di lokasi tempat kerja untuk melakukan pengawasan langsung. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 61
5) Menyediakan tempat dan lingkungan kerja yang bebas dari peredaran dan penggunaan narkotika, perjudian, minuman keras, prostitusi dan hal-hal
sejenis
yang
memberikan
pengaruh
buruk
terhadap
perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. 6) Menyediakan fasilitas tempat istirahat selama waktu tunggu 7) Melaksanakan syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja Pada perkembangannya, banyak anak yang terlibat dalam pekerjaan yang berbahaya atau kondisi dan situasi yang berbahaya, misalnya di bidang konstruksi, pertambangan, penggalian, dan penyelaman di laut dalam. Selain pekerjaan tersebut seringkali ditemukan pekerjaan yang dilakukan pekerja anak yang selintas tidak berbahaya, namun sebenarnya tergolong berbahaya karena akibatnya akan terasa beberapa waktu yang akan datang, misalnya bekerja dengan kondisi kerja yang tidak layak antara lain tempat kerja yang sempit, penerangan yang minim, posisi kerja duduk di lantai, menggunakan peralatan kerja yang besar dan berat melebihi ukuran tubuhnya, dan waktu kerja yang panjang. Pekerjaan yang berbahaya tersebut digolongkan sebagai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk yang tidak boleh dilakukan oleh anak. Bentuk-bentuk pekerjaan terburuk anak merupakan bentuk pekerjaan yang diyakini, jika dikerjakan oleh seorang anak, akan berpengaruh sangat buruk terhadap tumbuh kembang anak baik secara fisik, mental, sosial dan intelektualnya. Untuk itu, Pasal 74 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menegaskan bahwa setiap orang atau badan dilarang mempekerjakan dan melibatkan anak pada pekerjaan-pekerjaan yang terburuk. Bentuk-bentuk pekerjaan yang terburuk untuk anak menurut Pasal 74 ayat (2) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, meliputi: a. segala pekerjaan dalam bentuk perbudakan atau sejenisnya; b. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau menawarkan anak untuk pelacuran, produksi pornografi, pertunjukan porno, atau perjudian; commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 62
c. segala pekerjaan yang memanfaatkan, menyediakan, atau melibatkan anak untuk produksi dan perdagangan minuman keras, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya; dan/atau d. semua pekerjaan yang membahayakan kesehatan, keselamatan, atau moral anak. Dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Keputusan 235/Men/2003 tentang Jenis-jenis Pekerjaan yang Membahayakan Kesehatan, Keselamatan atau Moral Anak menyebutkan bentuk pekerjaan terburuk bagi anak meliputi : a. Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja : 1) Pekerjaan yang berhubungan dengan mesin, pesawat, instalasi & peralatan
lainnya,
meliputi:
pekerjaan
pembuatan,
perakitan/pemasangan, pengoperasian dan perbaikan mesin-mesin; pesawat; alat berat seperti traktor, pemecah batu, grader, pencampur aspal, mesin pancang; instalasi pipa bertekanan, instalasi listrik, instalasi pemadam kebakaran dan saluran listrik; peralatan lainnya seperti tanur, dapur peleburan, lift, pecancah; bejana tekan, botol baja, bejana penimbun, bejana pengangkut dan sejenisnya. 2) Pekerjaan yang dilakukan pada lingkungan kerja yang berbahaya meliputi bahaya fisik, bahaya kimia dan bahaya biologis. 3) Pekerjaan yang mengandung sifat dan keadaan berbahaya tertentu : a) Konstruksi bangunan, jembatan, irigasi/jalan b) Pada
perusahaan
pengolahan
kayu
seperti
penebangan,
pengangkutan dan bongkar muat c) Mengangkat dan mengangkut secara manual beban di atas 12 (dua belas) kg untuk anak laki-laki dan 10 (sepuluh) kg untuk anak perempuan. d) Dalam bangunan tempat kerja terkunci. e) Penangkapan ikan yang dilakukan di lepas pantai atau perairan laut commit to user dalam.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 63
f) Dilakukan di daerah terisolir dan terpencil. g) Di kapal. h) Dalam pembuangan dan pengolahan sampah atau daur ulang barang-barang bekas. i) Dilakukan antara pukul 18.00 – 06.00 b. Jenis-Jenis Pekerjaan Yang Membahayakan Moral Anak: 1) Pekerjaan pada usaha bar, diskotik, karaoke, bola sodok, bioskop, panti pijat atau lokasi yang dapat dijadikan tempat prostitusi. 2) Pekerjaan sebagai model untuk promosi minuman keras, obat perangsang seksualitas dan/atau rokok. Pekerjaan yang sifat dan keadaan dalam pelaksanaan membahayakan kesehatan, keselamatan atau moral anak sebagaimana disebutkan di atas dapat ditinjau kembali guna menyesuaikan dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta tingkat kemajuan masyarakat.
B. Efektivitas Perlindungan Hukum terhadap Pekerja Anak dalam Memenuhi Hak-Hak Anak sebagai Pekerja Tujuan pokok hukum adalah menciptakan ketertiban dan keseimbangan dalam masyarakat. Terciptanya ketertiban dalam masyarakat diharapkan dapat melindungi kepentingan manusia. Sistem perlindungan hukum terhadap pekerja anak ditujukan agar hubungan antara majikan dengan pekerja anak berlangsung tertib dan seimbang sehingga hak-hak dan kepentingan anak dapat terlindungi. Tertib berarti menggunakan etika dan aturan yang benar dan yang diberlakukan. Seimbang berarti tidak ada pihak yang dirugikan karena ditegakkannya asas keadilan dan nondiskriminasi. Jadi sistem perlindungan hukum pekerja anak adalah suatu kesatuan yang terdiri dari unsur-unsur sebagai berikut: 1. Peraturan perundang-undangan sebagai unsur yang mengatur interaksi antara pekerja anak dengan majikan dan antara majikan dengan pemerintah. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 64
2. Pemerintah dan lembaga penegak hukum yang ada, sebagai unsur yang memiliki wewenang untuk menegakkan perlindungan hukum agar tidak terjadi atau apabila terjadi konflik antara pekerja anak dan majikan/pengusaha. 3. Pekerja anak dan majikan/pengusaha, sebagai obyek dari sistem hukum sekaligus unsur yang senantiasa berinteraksi dalam proses kegiatan ekonomi yang dapat menimbulkan konflik. Pemerintah Indonesia telah memiliki sistem perlindungan hukum pekerja anak
dengan
seperangkat
peraturan
perundang-undangan
baik
sebagai
perlindungan hukum preventif maupun perlindungan hukum represif terhadap pekerja
anak
dengan
Dinas
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
sebagai
penanggungjawab atas terlaksananya sistem perlindungan tersebut. Larangan mempekerjakan anak sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Larangan ini merupakan perlindungan preventif yang paling mendasar yang dengan tegas dapat menghentikan timbulnya tenaga kerja anak atau pekerja anak. Seharusnya, larangan ini bersifat mutlak tanpa pengecualian. Pada kenyataannya, larangan ini tidak diikuti dengan upaya-upaya nyata, misalnya dengan pemberlakuan secara tegas wajib belajar 9 (sembilan) tahun disertai pemberian beasiswa dan atau pembebasan biaya pendidikan dasar bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu. Pemberian beasiswa atau pembebasan biaya pendidikan ini sesuai dengan yang dimaksudkan Pasal 33 ayat (2) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 bahwa: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Juga yang terdapat dalam Pasal 33 ayat (3) yaitu: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Tidak terlaksananya amanat amandemen UUD 1945 telah memicu munculnya pekerja anak. Jumlah pekerja anak memang terus meningkat dan belum mengalami penurunan yang signifikan menandakan lemahnya sistem penegakan hukum yang dilakukan. Menurut Jimly Ashhidiqie,“Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya ataucommit berfungsinya to usernorma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 65
hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti yang terbatas atau sempit. Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau melakukam sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum. Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu diperkenankan untuk menggunakan daya paksa” (Jimly Ashhidiqie, 2010: 10). Dalam proses penegakan hukum banyak faktor yang mempengaruhi bekerjanya suatu hukum. Hukum tidak hanya mengacu pada aturan (codes of rules) dan peraturan (regulations), tetapi mencakup bidang yang luas, meliputi struktur, lembaga dan prosedur yang mengisinya serta terkait dengan hukum yang hidup dalam masyarakat dan budaya hukum. Sebagaimana dijelaskan Lawrence Meir Friedman bahwa efektivitas hukum dipengaruhi oleh tiga unsur penting yang dikenal dengan Teori Bekerjanya Hukum, yaitu Substansi Hukum (Legal Substance), Struktur Hukum (Legal Structure) dan Budaya Hukum (Legal Culture). Ketiga faktor ini sangat tergantung satu sama lainnya, karena apabila substansi hukumnya sudah baik harus didukung oleh struktur hukum yang baik pula, demikian juga budaya hukum. Karena faktor budaya juga melahirkan apa yang dinamakan dengan kesadaran hukum. Secara singkat, Lawrence M. Friedman menggambarkan ketiga unsur hukum tersebut secara unik. Struktur hukum diibaratkan sebagai mesin. Substansi hukum digambarkan sebagai apa yang dikerjakan dan dihasilkan oleh mesin tersebut. Sedangkan budaya hukum adalah apa atau siapa saja yang memutuskan untuk menghidupkan dan mematikan mesin itu, serta memutuskan bagaimana mesin itu digunakan. Struktur merupakan kerangka atau bagian yang tetap bertahan, bagian commit to user yang memberi semacam bentuk dan batasan terhadap keseluruhannya. Komponen
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 66
struktur yaitu kelembagaan yang diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsi di dalamnya guna mendukung bekerjanya sistem itu, dimana komponen ini dimungkinkan untuk melihat bagaimana sistem hukum itu memberikan pelayanan terhadap penggarapan bahan-bahan hukum secara teratur (Esmi Warassih, 2005:30). Selanjutnya, menurut Friedman substansi hukum adalah aturan, norma dan pola perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem hukum itu. Substansi juga berarti produk yang dihasilkan oleh orang yang berada dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan yang mereka keluarkan, aturan baru yang mereka susun. Substansi juga mencakup hukum yang hidup (living law) dan bukan hanya aturan yang ada dalam kitab perundang-undangan. Komponen substantif yaitu sebagai output dari sistem hukum yang berupa peraturan-peraturan, keputusan-keputusan yang digunakan baik oleh pihak yang mengatur maupun yang diatur (Esmi Warassih, 2005:30). Sedangkan yang dimaksud budaya hukum adalah sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum kepercayaan, nilai, pemikiran serta harapan. Pemikiran dan pendapat ini sedikit banyak menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Tanpa budaya hukum, maka sistem hukum itu sendiri tidak berdaya, seperti ikan mati yang terkapar di keranjang. Komponen kultural terdiri dari nilai-nilai dan sikap-sikap yang mempengaruhi bekerjanya hukum. Budaya hukum inilah yang berfungsi sebagai jembatan penghubung antara peraturan hukum dengan tingkah laku hukum seluruh warga masyarakat (Esmi Warassih, 2005:30). Budaya hukum sebagai nilai dan sikap yang merupakan pengikatan sistem substansial dan struktural di tengah-tengah budaya bangsa secara keseluruhan. Budaya hukum juga dapat diberikan batasan yang sama dengan kesadaran hukum dengan indikatornya meliputi pengetahuan masyarakat, pemahaman hukum, sikap hukum, dan pola perilaku hukum masyarakat. Keempat indikator tersebut akan sangat menarik untuk dikaji dalam hubungannya dengan pembicaraan tentang budaya hukum, karena hukum dipakai sebagai sarana untuk merubah tingkah laku to user masyarakat terutama, masyarakat commit pedesaan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 67
Berbagai bentuk peraturan perundang-undangan memang telah dibentuk guna menanggulangi permasalahan pekerja anak. Hanya saja bukan tidak mungkin suatu peraturan tidak mengalami hambatan dalam pelaksanaannya. Begitu pula yang terjadi pada peraturan yang berisi perlindungan hukum terhadap hak-hak pekerja anak di Indonesia. Kedua peraturan perundang-undangan yang paling berkaitan erat dengan perlindungan hak-hak atas pekerja anak, yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan akan menjadi sorotan utama Penulis. Dalam hal ini, Penulis akan manganalisis tentang penegakan hukum perlindungan hak-hak anak sebagai pekerja anak di Indonesia dilihat dari teori bekerjanya hukum. 1. Perlindungan Hukum Hak-Hak Pekerja Anak Berdasarkan Substansi Hukum Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sudah baik dan sistematis dalam mengatur mengenai masalah perlindungan anak. Undang-undang ini telah mengatur mengenai hak-hak anak dan kewajiban orangtua, pemerintah, dan masyarakat dalam melindungi hak-hak anak. Dalam kaitannya dengan perlindungan pekerja rumah tangga anak, undang-undang ini telah mengatur sanksi yang tegas terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap pekerja anak (baik kekerasan fisik maupun seksual) dan pelaku tindak pidana eksploitasi anak (baik eksploitasi ekonomi maupun seksual). Apabila dilihat dari substansi hukum, negara Indonesia telah mengatur perlindungan terhadap pekerja anak dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang diimplementasikan ke dalam peraturan perundang-undangan. Misalnya Pasal 27 ayat (2) yang menyatakan bahwa "Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Pasal 28D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Kedua pasal ini kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang commit to user Ketenagakerjaan.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 68
Demikian juga dengan hak anak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang
serta
hak
mendapat
perlindungan
dari
kekerasan
dan
diskriminasi, yang termaktub dalam Pasal 28B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. ketentuan ini lebih lanjut dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Di samping itu, Indonesia sebagai negara anggota PBB dan masyarakat Internasional, telah meratifikasi Konvensi Hak Asasi Manusia dan Konvensi Hak Anak. Hal ini membuktikan adanya
usaha
dan
kesungguhan
dari
pemerintah
Indonesia
untuk
menanggulangi pekerja anak dan melindungi hak-hak anak Indonesia. Kemudian Pada tahun 2003, pemerintah Indonesia meloloskan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan guna mewujudkan perlindungan baik kepada majikan/pengusaha maupun pekerja. Undang-Undang ini mengandung ketetapan-ketetapan yang mengatur hak-hak pokok para pekerja termasuk upah minimum dan pengupahan yang sama, pembatasan jam kerja, cuti, dan hak untuk bergabung dengan serikat buruh. Undang-undang ini juga menyertakan ketetapan yang menyinggung kebutuhan khusus perempuan, termasuk cuti melahirkan dan regulasi tentang pekerja anak. Undang-Undang ini dengan jelas membahas pengaturan bagi pemutusan hubungan kerja dan penyelesaian perselisihan industrial, serta memperinci sanksi-sanksi pidana dan administratif bagi pelanggaran terhadap ketetapan-ketetapan yang ada dalam Undang-Undang ini. Akan tetapi, meskipun besarnya niat yang dicantumkan di mukadimahnya, hak-hak yang dituliskan dalam Undang-Undang ini tidaklah berlaku luas bagi semua pekerja di Indonesia. Bila dikaitkan dengan teori Lawrence M. Friedman tentang teori efektifitas dari implementasi dari suatu produk hukum, faktor substansi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 sudah baik karena telah mengatur sanksi yang tegas terhadap pelaku tindak pidana kekerasan terhadap pekerja anak (baik kekerasan fisik maupun seksual) dan pelaku tindak pidana commitekonomi to user maupun seksual). Lain halnya eksploitasi anak (baik eksploitasi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 69
dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang belum bisa berlaku efektif dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja rumah disebabkan faktor substansi atau materi dari undang-undangnya sendiri. Undang-Undang Ketenagakerjaan membuat perbedaan antara dua badan yang mempekerjakan orang, yaitu “pemberi kerja” dan “pengusaha”. Pemberi kerja atau biasa disebut majikan dijabarkan sebagai orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang memperkerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pengusaha didefinisikan sebagai orang perseorangan, persekutuan atau badan hukum yang mengoperasikan perusahaan milik sendiri (atau) perusahaan bukan milik sendiri. Selanjutnya perusahaan didefinisikan sebagai setiap bentuk usaha berupa usaha-usaha sosial atau usaha-usaha yang mempunyai pengurus. Semua perlindungan hak-hak pokok pekerja yang ada dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan hanya berlaku bagi para pekerja untuk para pengusaha dan pada pekerjaan di sektor formal karena UndangUndang ini tidak mengatur pekerjaan di sektor informal. Secara jelas, Undang-Undang Ketenagakerjaan tidak mengkategorikan pembantu rumah tangga sebagai pekerja/buruh. Padahal, pembantu rumah tangga lebih didominasi oleh perempuan dan anak-anak. Akibatnya pembantu rumah tangga perempuan dan dibiarkan tanpa perlindungan hukum atas hakhak kerja mereka. Memang, kondisi kerja yang wajar akan diterima oleh pembantu rumah tangga jika kebetulan majikan yang ditemui memperlakukannya dengan baik. Namun sialnya, ada saja majikan yang tega mempekerjakan anak untuk pekerjaan orang dewasa karena upahnya sedikit dan anak cenderung tidak berani melawan sehingga anak dieksploitasi bahkan terkadang dianiaya apabila melawan. Sedangkan ketika akan memperkarakan kasus pembantu rumah tangga, yang bermasalah pun akan mengalami kesulitan karena tidak adanya acuan dalam memutuskan perkara. Sehingga tak jarang dari waktu ke waktu kasus pembantu rumah tangga hanya berhenti di tengah jalan, tanpa ada commit to user penyelesaian hukum secara adil (Muryanti, 2005:14).
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 70
Waktu kerja yang lebih dari delapan jam per hari dan dilakukan secara monoton menyebabkan pembantu rumah tangga anak kehilangan hak-haknya sebagai anak. Anak akan kehilangan waktu untuk bersekolah, bermain bahkan akan menurunkan kreativitas anak akibat melakukan kerja yang sama jenisnya secara terus-menerus. Hal ini sama saja melanggar hak anak untuk memperoleh pendidikan, hak untuk tumbuh berkembang dan hak untuk bermain. Undang-Undang Ketenagakerjaan juga tidak mengatur perlindungan hukum bagi pekerjaan di sektor informal. Padahal pekerja yang bekerja di sektor informal kebanyakan berasal dari anak jalanan, seperti tukang semir sepatu, pengamen, atau tukang parkir, berada dalam kondisi yang rentan dengan eksploitasi ekonomi, fisik maupun psikis. Tak terkecuali bagi pembantu rumah tangga anak. Sebenarnya berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, pembantu rumah tangga anak dapat dikategorikan sebagai pekerja yang disewa oleh seseorang atau oleh sebuah perusahaan karena pada kenyataannnya pembantu rumah tangga anak adalah pekerja. Mereka memberikan kontribusi yang luar biasa besar bagi keluarga-keluarga di Indonesia. Akan tetapi di atas dokumen hukum, pembantu rumah tangga dan pekerja di sektor informal tidak diakui oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan sebagai bentuk pekerjaan yang layak diberikan perlindungan oleh peraturan hukum yang ada. Hal inilah yang telah membuka peluang dan potensi bagi bentuk-bentuk eksploitasi ekonomi, fisik, maupun psikis terhadap pekerja anak. Implikasinya, banyak kekerasan yang terjadi pada pekerja di sektor informal dan pembantu rumah tangga anak, hanya dipandang sebagai tindakan kejahatan minor bahkan dinilai sebagai urusan domestik yang privat. Berdasarkan Undang-Undang Ketenagakerjaan, pembantu rumah tangga adalah pekerja yang memenuhi standar dan kriteria sebagai pekerja dan oleh karena itu harus mendapatkan pengakuan sebagai pekerja. Istilah pekerja formal dan informal dapat menjebak dan mengaburkan hak-hak anak sebagai to userpembantu rumah tangga anak. pekerja di sektor informal dancommit yang menjadi
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 71
Kategori yang dibangun tentang pekerja informal seolah-olah menjadi legitimasi atas perlakukan yang tidak layak bagi pembantu rumah tangga, seperti harus bekerja dengan jam kerja yang panjang dan upah yang rendah. Oleh karena itu, seharusnya perlindungan hukum dan hak-hak pekerja seperti yang tercakup dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mutlak harus diberlakukan kepada pembantu rumah tangga dan pekerja di sektor informal. Undang-Undang Ketenagakerjaan memang memuat sejumlah kecil ketetapan yang berkaitan dengan kewajiban para pemberi kerja, namun ketetapan itu semua tidak berhubungan dengan hak-hak pekerja mana pun yang mereka pekerjakan. Hanya satu sub-bab dari sebuah ketetapan menjelaskan kewajiban seorang pemberi kerja terhadap yang diberi kerja, dengan
menentukan
bahwa
dalam
mempekerjakan
orang,
para
majikan/pemberi kerja wajib memberikan perlindungan bagi kesejahteraan, keamanan dan kesehatan mereka, baik mental maupun fisik. Pelanggaran atas ketetapan ini bisa dikenai hukuman sanksi pidana berupa kurungan minimum satu bulan dan maksimum empat tahun dan/atau hukuman denda minimum Rp 10.000.000,- (sepuluh juta rupiah) dan maksimum Rp 400.000.000,- (empat ratus juta rupiah). Namun, tanpa adanya patokan atau hak-hak yang spesifik, konsep yang samar-samar ini bebas diinterpretasikan bermacam-macam dan menunjukkan pemisahan besar dan diskriminatif dari serangkaian luas jaminan khusus yang berlaku untuk para pekerja untuk para pengusaha di pasal-pasal lain dalam Undang-Undang ini. Terlebih dari itu, dalam praktiknya ketetapan ini tidak banyak berarti bagi kenyataan sehari-hari para pembantu rumah tangga dan pekerja di sektor inromal di Indonesia. Pembatasan dan ketidakjelasan ini sudah pasti tidak memberikan dasar hukum kepada para para pekerja di sektor informal sekaligus pembantu rumah tangga anak untuk menuntut upah minimum, peraturan mengenai jam kerja yang layak, atau hak-hak lain yang dijamin untuk
para pekerja lain
Ketenagakerjaan.
di Indonesia berdasarkan commit to user
Undang-Undang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 72
Penegakan hukum di bidang pengawasan umur minimum untuk bekerja dan kondisi pekerjaan terhitung lemah. Pola penanganan pekerja anak masih bersifat represif dan kuratif. Program yang ada belum menyentuh aspek preventif dan komprehensif. Masih belum ada peraturan yang mengatur tentang pekerja anak di sektor informal, sehingga perlindungan pekerja anak di sektor itu belum bisa terlaksana dengan baik. Pemerintah baru bisa melakukan pendataan pekerja anak di sektor formal saja, itupun hanya di daerah-daerah tertentu. Celakanya, anak-anak lebih banyak bekerja di sektor informal dibanding sektor formal. Anak-anak ini bisa saja bekerja di industri besar, tetapi jumlahnya tidak diketahui karena dokumen yang membuktikan usia mereka mudah dipalsukan. Pada umumnya, di sektor informal, anak-anak menjadi tukang koran, tukang semir, tukang parkir, pembantu rumah tangga, bahkan bekerja di tempat-tempat berbahaya seperti menjadi pemulung dan tukang sampah, atau di jermal ikan dan lepas pantai. Di kota-kota besar hidup perkumpulan anak jalanan. Sebagian besar dari mereka menjadi pengamen yang beroperasi di persimpangan jalan atau berpindah dari satu angkutan umum ke angkutan umum lainnya. Bahkan terkadang mereka menjadikan pengemis sebagai sebuah profesi.Tidak tersedianya pengaturan
tentang perjanjian
kerja di
sektor informal
menyebabkan pemerintah kurang bisa menjalankan fungsi perlindungan dengan baik. Terkadang perusahaan atau orang yang mempekerjakan anak tidak menetapkan batasan usia dan perjanjian kerja terkait upah, waktu kerja dan jaminan kesehatan dan keselamatan kerja sehingga mereka dapat leluasa mengekploitasi anak. Apalagi jika terjadi penganiayaan atau kekerasan, anak dilarang memberitahukan kepada orang lain dengan ancaman tertentu. Seperti yang terjadi pada pembantu rumah tangga anak yang terpaksa kehilangan waktu bermain, belajar dan menjalani kehidupan kanak-kanak dengan keharusannya bekerja dalam waktu yang panjang dan upah yang sedikit. Permasalahan lainnya, adanya kerancuan pada ketentuan usia anak to user ringan. Pada pasal 69, anak yang diperbolehkan bekerja commit untuk pekerjaan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 73
diperbolehkan bekerja untuk pekerjaan ringan apabila berumur 13-15 tahun. Ketentuan ini tampak tidak beralasan karena secara tidak langsung melarang anak yang berusia di atas 15 tahun untuk melakukan pekerjaan ringan. Kemudian terjadi ketidaksinkronan antara ketentuan Pasal 76 dengan Pasal 68 ayat (2) huruf c dan d. Pasal 76 melarang pengusaha mempekerjakan anak perempuan di bawah usia 18 tahun antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00. Sedangkan pada Pasal 68 ayat (2) huruf c dan d disyaratkan bagi anak yang melakukan pekerjaan ringan diperbolehkan bekerja maksimal 3 jam, dilakukan pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah. Pasal 76 secara tersurat menggambarkan bahwa seorang anak perempuan di bawah usia 18 tahun diperbolehkan bekerja pada jam setelah pukul 07.00 pagi hingga sebelum pukul 11.00 malam. Hal ini sama saja memperbolehkan anak bekerja pada pagi hari sejak pukul 07.00 hingga malam hari sampai pukul 11.00. Padahal ketentuan sebelumnya menyatakan bahwa anak hanya diperbolehkan bekerja pada siang hari dan tidak mengganggu waktu sekolah. Pertanyaan lain juga muncul ketika hanya pekerja anak perempuan saja yang diatur demikian, sedangkan pekerja anak laki-laki tidak. Uraian-uraian tersebut menunjukkan bahwa masih terdapat kekurangan pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dalam memberikan perlindungan terhadap pekerja anak.
2. Perlindungan Hukum Hak-Hak Pekerja Anak Berdasarkan Struktur Hukum Secara struktural, peran negara dan pemerintah bukan hanya cukup dengan membuat peraturan perundang-undangan saja, tetapi lebih dari itu adalah melaksanakan dan mewujudkan peraturan yang telah dibuat (Jurnal, 2010 : 129). Sebagai negara hukum (rechtstaat) yang menjamin keadilan kepada setiap warganya, pemerintah dituntut melindungi segenap bangsa sebagai asas persatuan seluruh bangsa Indonesia dan asas perlindungan tanpa diskriminasi. Artinya negara harus turut campur dan bertanggung jawab dalam commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 74
upaya meningkatkan harkat dan martabat manusia, bukan saja dalam memelihara ketertiban, tetapi juga menjamin kesejahteraan masyarakat. Salah satu bentuk campur tangan negara adalah di bidang ekonomi dan kesejahteraan sosial atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi warga negaranya. Setiap warga negaranya diharapkan mendapatkan pekerjaan yang layak sesuai dengan kesanggupan dan kemampuannya dengan menerima pengupahan yang adil tanpa diskriminasi dalam pelaksanaan hubungan kerja. Bentuk pekerjaan yang dimaksud bukan merupakan penindasan dan eksploitasi baik ekonomi, fisik maupun psikis. Oleh karena itu, peran negara melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Departemen Sosial, Departemen Pendidikan, Departemen Kesehatan, dan departemen terkait lainnya sangat penting, termasuk pemerintah daerah. Demikian juga, lembaga perlindungan anak, seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dituntut perannya secara intensif dalam menanggulangi masalah anak yang dipekerjakan pada bentuk pekerjaan terburuk. Sebelumnya, Menteri Tenaga Kerja dalam Pasal 8 Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu, menyatakan bahwa Pegawai Pengawas Ketenagakerjaan dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi berwenang: a. Memasuki tempat kerja. b. Meminta keterangan baik lisan maupun tertulis kepada pengusaha atau pengurus, dan atau tenaga kerja tanpa dihadiri oleh pihak ketiga. c. Menjaga, membantu dan memerintahkan pengusaha atau pengurus dan atau
tenaga
kerja
agar
mentaati
peraturan
perundang-undangan
ketenagakerjaan. d. Menyelidiki keadaan ketenagakerjaan yang belum jelas dan atau tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan. e. Memberikan peringatan atau teguran terhadap penyimpangan peraturanperaturan yang telah ditetapkan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 75
f. Meminta bantuan polisi apabila ditolak memasuki perusahaan atau tempat kerja atau pihak-pihak yang dipanggil tidak memenuhi panggilan. g. Meminta pengusaha atau pengurus seorang pengantar untuk mendampingi dan melakukan pemeriksaan. Pasal 12 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.03/Men/1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu, menyatakan bahwa Pegawai pengawas ketenagakerjaan mempunyai tugas dan kewajiban: a. Melaksanakan pemeriksaan pertama atau kontrol di perusahaan atau tempat kerja b. Memberikan bimbingan, pembinaan dan penyuluhan kepada tenaga kerja dan pengusaha atau pengurus tentang peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan. c. Merahasiakan segala sesuatu yang diperoleh yang perlu dirahasiakan dalam menjalankan tugas dan kewajibannya. d. Melaporkan semua kegiatan yang berhubungan dengan tugas dan kewajiban. e. Mencatat hasil pemeriksaan dalam buku Akte Pengawas Ketenagakerjaan dan disimpan oleh pengusaha dan pengurus. Secara teknis pola penindakan atau penegakan hukum yang harus dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan melalui 3 (tiga) macam cara penindakan yang mengarah kepada pelaksanaan hukum melalui tahapan: a. Penindakan yang bersifat preventif edukatif, yaitu berupa pemeriksaan, pengujian, bimbingan teknis atau konsultasi setelah mendapat informasi atau pengaduan ataupun pelaksanaan rutin sesuai dengan rencana. b. Penindakan yang bersifat represif non yustisial, yaitu upaya pemaksaan dalam bentuk surat pernyataan di luar pengadilan apabila pelaku tidak melakukan perbaikan. c. Penindakan yang bersifat represif yustisial, yaitu pelaporan kepada pihak berwajib atau aparat penegak hukum apabila kasus tersebut bersifat memaksa untuk segera diselesaikan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 76
Peran pemangku kepentingan sangat diperlukan dalam penghapusan pekerja anak pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk, baik pemerintah, lembaga non pemerintah maupun ormas yang peduli anak disarankan dalam upaya penghapusan pekerja anak pada BPTA pemerintah harus berperan sebagai: a. Regulator 1) Menetapkan peraturan perundang-undangan, kebijakan, program, strategi, prioritas penanganan pekerja anak pada BPTA. 2) Memobilisasi sumber daya dan sumber dana secara bersamaan dalam upaya pengahpusan BPTA. 3) Mengarusutamakan kebijakan pekerja anak dalam program kemiskinan dan wajib belajar 9 tahun. b. Fasilitator 1) Melaksanakan program pengahapusan BPTA melalui sektor pendidikan, sosial, ketenagakerjaan dan penegakan hukum. 2) Mengefektifkan koordinasi di semua tingkatan (pusat, provinsi, dan kabupaten atau kota). 3) Memfasilitasi terbentuknya Komite Aksi dan Rencana Aksi PBPTA. 4) Melakukan sosialisasi penghapusan BPTA kepada para pemangku kepentingan. 5) Penguatan kapasitas kelembagaan dan pemangku kepentingan. c. Motivator Memberikan dorongan (motivasi) kepada semua pihak dan pemangku kepentingan agar berperan aktif dalam upaya penghapusan BPTA dan program perlindungan anak sebagai pemenuhan hak anak. d. Penegakan Hukum Memaksimalkan sosialisasi peraturan perundangan terkait dengan penghapusan BPTA, melakukan pengawasan, melakukan penindakan bagi yang melakukan pelanggaran ketenagakerjaan menurut tingkatan serta pengembangan sitem pengawasan. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 77
Komisi Perlindungan Anak Indonesia merupakan lembaga independen yang kedudukannya setingkat dengan komisi Negara yang dibentuk berdasarkan amanat Keppres Nomor 77 Tahun 2003 Pasal 74 tentang Perlindungan Anak (Winika Indrasari, 2008 : 41). Lembaga ini dibentuk oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, guna meningkatkan efektivitas penyelenggaraan perlindungan anak. Tugas KPAI adalah melakukan sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan
yang
berkaitan
dengan
perlindungan
anak,
mengumpulkan data dan informasi, menerima pengaduan masyarakat, melakukan penelaahan, pemantauan, evaluasi, dan pengawasan terhadap penyelenggaraan perlindungan anak, serta memberikan laporan, saran, masukan, dan pertimbangan kepada presiden dalam rangka perlindungan anak. Di sisi lain, struktur hukum tak dapat menanggapi permasalahan sesuai dengan harapan. Mekanisme hukum dalam penyelesaian kasus-kasus pelanggaran hak-hak anak sering dibuat berbelit-belit, cenderung lama dan membutuhkan biaya besar sehingga kasus tersebut jarang ada yang terselesaikan. Padahal kasus pelanggaran terhadap hak anak biasanya lebih banyak terjadi pada anak dari kalangan tidak mampu. “Sosialisasi Undang Undang Perlindungan Anak dari pemerintah masih sangat kurang. Pemerintah terkesan setengah hati karena, saya menilai, perhatiannya masih kurang dalam menyikapi kekerasan yang terjadi pada anak, khususnya kekerasan seksual yang menyangkut eksploitasi seks anak di bawah umur", kata Sekjen Lembaga Bantuan Hukum Perlindungan Anak (LBH PA) Adwin T dalam percakapan dengan Pelita, di Jakarta, kemarin. Menurutnya, penyebabnya tak lain dari banyaknya pejabat yang turut menjadi konsumen atau pengguna jasa pekerja seks anak. Bila UUPA benar-benar diterapkan hal itu tentu saja akan merugikan mereka dan mengancam kedudukan mereka. Mengingat kasus kekerasan pada anak biasanya lebih banyak terjadi pada anak dari kalangan bawah, dia mencontohkan, pihak kepolisian umumnya akan malas menanganinya. Karenanya, menurut Adwin, kasus-kasus anak itu tidak bisa dijadikan lahan memperoleh uang. Sebaliknya, kalau pelaku kekerasan berasal dari golongan kaya, yang mampu membayar polisi, jaksa dan hakim, pelaku akan dibebaskan dengan mudah (Banyak Kendala Penerapan UU Perlindungan Anak. http://www.pelita.or.id/baca.php?id=28551, diakses pada 17 Juni 2011 pukul 18.46 WIB). commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 78
Uang pelicin sepertinya sudah menjadi budaya hukum di Indonesia. Hingga terdapat pernyataan bahwa hukum dapat dikalahkan dengan uang. Faktor lain yang menjadi hambatan penegakan Undang-Undang Perlindungan Anak adalah minimnya sarana dan prasarana untuk memproses kasus-kasus yang melibatkan anak. Selain itu, kelemahan juga terletak pada sumber daya manusia yang bertugas menangani kasus anak. Ruang Perlakuan Khusus, misalnya, yang seharusnya disediakan di setiap kantor polisi, baru terdapat sampai tingkat Polres, belum ke Polsek-Polsek. Sementara di tempat-tempat yang belum ada RPK, anak biasanya akan dicampur dengan tahanan dewasa padahal hal itu tidak baik sebab memungkinkan terjadinya kekerasan yang dilakukan tahanan dewasa terhadap anak pelaku kekerasan….Dalam hal ini para polisi wanita (polwan), di mana jumlahnya masih sangat sedikit. Selain itu, pemahaman para aparat tentang hukum yang menyangkut anak pun tegolong rendah. Jaksa, misalnya, masih jarang yang menggunakan Undang-Undang Perlindungan Anak untuk menuntut para pelaku kekerasan pada anak. Kondisi krisis seperti ini menuntut budaya hukum yang baik untuk memicu keefektivan peraturan perundangundangan (Banyak Kendala Penerapan UU Perlindungan Anak. http://www.pelita.or.id/baca.php?id=28551, diakses pada 17 Juni 2011 pukul 18.46 WIB). 3. Perlindungan Hukum Hak-Hak Pekerja Anak Berdasarkan Budaya Hukum Secara kultural peran orang tua, keluarga, masyarakat dituntut untuk memberikan perlindungan terhadap anak jangan sampai dipekerjakan pada bentuk-bentuk pekerjaan terburuk. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak telah menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus menerus demi terlindunginya hak-hak anak. Hanya saja, beberapa pihak tersebut belum sepenuhnya mendukung pelaksanaan perlindungan anak. Upaya perlindungan anak, baik dalam keluarga dan masyarakat oleh berbagai elemen dalam masyarakat masih bersifat parsial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing elemen tersebut atau dengan kata lain masih terbatas. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 79
Sebenarnya pelaksanaan perlindungan terhadap hak-hak anak tidak hanya bergantung pada pemerintah dan aparat penegak hukum saja. Peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah juga harus mendapat dukungan dari masyarakat. Oleh sebab itu diperlukan kesadaran hukum dari masyarakat setempat. Berl Kutchinky telah mengembangkan suatu teori mengenai kesadaran hukum, yang sebenarnya merupakan penerapan dari teori-teori yang mulamula diketengahkan oleh Adam Podgorecki (Otje Salman, 1989:42). Teori Kutschinky mengatakan bahwa kesadaran hukum merupakan variabel yang berisi empat komponen, yaitu: a. Legal Awareness, yaitu aspek mengenai pengetahuan terhadap peraturan hukum yang dimiliki oleh masyarakat. Jadi teori hukum menyatakan bahwa ketika hukum ditegakkan maka mengikat. Menurut Teori Residu, semua orang dianggap tahu hukum. Namun, kenyataannya tidak begitu, maka perlu adanya Legal Awareness. b. Legal Acquaintances, yaitu pemahaman hukum. Jadi orang memahami dan mengetahui isi atau substansi dari peraturan hukum tersebut, baik secara tersurat maupun tersirat. c. Legal Attitude, yaitu sikap hukum. Artinya seseorang sudah memberikan apresiasi dan memberikan sikap terhadap baik tidaknya suatu peraturan perundang-undangan
dengan
segala
manfaat,
kelebihan
dan
kelemahannya. d. Legal Behavior, yaitu perilaku hukum. Orang tidak sekedar tahu, memahami tapi juga sudah bisa mengaplikasikan peraturan itu. Banyak orang yang tidak tahu hukum memiliki perilaku sesuai hukum, sebaliknya banyak juga orang yang tahu hukum tapi justru perilakunya melanggar hukum. (Anonim, Bahan Kuliah Sosiologi Hukum, 2009:24) Sistem perlindungan hukum pekerja anak memang sudah tersedia, tetapi pelaksanaannya masih jauh dari optimal. Dalam Keputusan Presiden RI commit to user Nomor 59 Tahun 2002 tentang Rencana Aksi Nasional Penghapusan Bentuk-
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 80
Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak, disebutkan sejumlah masalah terkait penghapusan pekerja anak, antara lain: a. Belum tersedianya data serta informasi yang akurat dan terkini tentang pekerja anak baik tentang besaran (jumlah pekerja anak), lokasi, jenis pekerjaan, kondisi pekerjaan, dan dampaknya bagi anak. b. Belum tersedianya informasi mengenai bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. c. Rendahnya pengetahuan, kesadaran, dan kepedulian masyarakat dan berbagai pihak lainnya dalam upaya penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. d. Belum adanya kebijakan yang terpadu dan menyeluruh dalam rangka penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk bagi anak. Pemerintah dan aparat penegak hukum bukan sasaran yang mutlak harus dipersalahkan karena penegakan hukum ini juga mengharapkan beberapa pihak terkait, seperti keluarga, masyarakat dan pengusaha untuk turut serta. Pada kenyataannya, keluarga merupakan elemen utama yang dapat membentuk jati diri anak. Lemahnya kondisi ekonomi sebuah keluarga akan menyebabkan si anak terpaksa bekerja demi membantu perekonomian keluarga. Budaya masyarakat menganggap anak bekerja sebagai hal yang lumrah dan sudah sepatutnya dilakukan demi membantu orang tua. Bekerja bagi anak dijadikan alasan untuk pendidikan dan pembelajaran sedari dini agar anak bisa mandiri saat dewasa kelak. Namun, akhirnya bekerja menjadi sesuatu yang permanen bagi anak, bahkan tak jarang yang menjadi korban eksploitasi. Selain faktor ekonomi, banyak masyarakat Indonesia yang belum begitu mengerti pentingnya pendidikan bagi anak. Di masyarakat Indonesia terdapat stigma: “untuk apa sekolah, nanti saya kerja juga”. Masyarakat seperti ini tidak terlalu berharap pada pendidikan. Mereka berasumsi bahwa seseorang juga bisa bekerja tanpa bersekolah. Diskriminasi terhadap kaum perempuan juga berdampak pada pandangan masyarakat. Tak jarang orang tua to user yang mengutamakan anak commit laki-laki daripada anak perempuan untuk
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 81
bersekolah. Akibatnya banyak anak perempuan yang menjadi pembantu rumah tangga, buruh tani, bahkan prostitusi. Children are working more in areas that have lost protection relative to the national trend, but most of this work involves girls working around their family. Moreover, relatively more children are neither working as a principal activity nor attending school. For these children, their primary economic contribution to their family appears to be the avoidance of schooling costs, which can be considerable for a poor family. (Anak-anak lebih banyak bekerja di daerah yang relatif telah kehilangan perlindungan terhadap warga negaranya, tetapi kebanyakan dari pekerjaan ini melibatkan anak-anak perempuan dalam keluarga mereka. Selain itu, anak-anak relatif tidak menjadikan bekerja ataupun sekolah sebagai kegiatan utama. Bagi anak-anak ini, tampaknya kontribusi ekonomi utama untuk keluarganya adalah dengan menghindari biaya sekolah, yang mana sangat dapat mencukupi bagi keluarga miskin) (Eric Edmonds.Trade and Child Labour. http://www.voxeu.org/index.php?q=node/399, diakses pada 21 Juni 2011 pukul 14.15 WIB). Masyarakat tidak menyadari bahwa dengan bekerja, anak menjadi kehilangan
waktu
untuk
bersekolah,
bermain
dan
mengembangkan
kreativitasnya. Anak yang tidak bisa baca tulis akan menimbulkan tindakan eksploitasi karena anak tersebut dianggap mudah untuk ditipu dengan disuruh bekerja dalam tempo lama dan gaji sedikit, serta tidak akan ada perlawanan karena anak tidak mengerti dan merasa memiliki dasar hukum yang kuat untuk membela diri. Sebagian besar anak-anak yang tidak bersekolah atau tidak meneruskan sekolah adalah mereka dari golongan ekonomi lemah yang tidak bisa berkompromi dengan biaya pendidikan yang semakin mahal. Pemerintah memang sudah menggembar-gemborkan “sekolah gratis”. Namun kenyataan yang terjadi, sekolah masih meminta uang pendidikan dengan harga yang cukup tinggi dan tidak terjangkau bagi masyarakat ekonomi lemah. Sehingga orang tua lebih memilih anaknya untuk bekerja agar memperoleh uang daripada sekolah yang hanya dianggap menghabiskan uang mereka. Bahkan anak yang menjadi pekerja cenderung akan meninggalkan pendidikannya karena sudah mengenal uang. Anak tersebut lebih memilih bekerja
karena
akan
menghasilkan uang commit to user
dibanding
sekolah
yang
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 82
menghabiskan uangnya. Gaya hidup konsumerisme, tekanan kelompok sebaya serta drop out sekolah mendorong anak untuk mencari keuntungan material. Pemerintah sudah sejak lama mencanangkan program Keluarga Berencana (KB) dengan maksud menekan jumlah penduduk. Hanya saja masyarakat ekonomi lemah yang menjadi sasaran utama kurang bisa bekerjasama mewujudkan tujuan dari program KB. Padahal mereka menyadari bahwa pengeluaran untuk memenuhi kebutuhan lebih besar dibanding pemasukan yang diperoleh. Akan tetapi sempitnya pemikiran masyarakat untuk menerima terobosan baru membuat mereka tetap pada pendiriannya. Apabila dilihat dari paparan di atas, sosialisasi pemerintah terhadap Undang Undang terkait perlindungan hak-hak anak sebagai pekerja anak masih sangat kurang, terutama di daerah pedesaan. Kebanyakan dari orang tua, keluarga dan masyarakat setempat tidak mengetahui adanya peraturan perundang-undangan yang melarang mereka mempekerjakan anak sedemikian rupa sehingga menyebabkan anak kehilangan hak-hak asasinya. Ketentuan tertulis mengenai perlindungan hukum terhadap hak-hak anak pun tidak banyak yang tahu, karena tidak semua warga desa bisa baca tulis. Rendahnya kesadaran akan pendidikan bagi anak juga ikut mempengaruhi mereka untuk lebih mengutamakan dan memakai hukum adat dan mempertahankan budaya daerah setempat dibanding peraturan hukum nasional yang tentu saja tidak begitu mereka ketahui. Tak hanya warga desa, masyarakat kota juga tidak semua mengetahui adanya hukum yang mengatur perlindungan anak dan pelarangan eksploitasi anak baik secara ekonomi, fisik maupun psikis. Buktinya kebanyakan kasus eksploitasi pekerja anak terjadi di kota-kota besar. Padahal pemerintahan lebih banyak terletak di kota-kota besar, sehingga sudah seharusnya pengetahuan hukum di masyarakat perkotaan lebih baik. Sebenarnya masyarakat yang tahu hukum belum tentu mengerti dan memahami maksud dari hukum itu dibuat. Mereka sebatas mengerti adanya perlindungan hukum terhadap pekerja anak, tetapi tidak memahami segala isi commit to user dan substansi yang ada dalam peraturan tersebut. Masyarakat belum paham
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 83
betul tentang hak-hak seperti apa yang harus dilindungi dan bagaimana bentuk perlindungan yang harus dilakukan dalam rangka melindungi hak-hak anak. Hal ini juga mengakibatkan lemahnya pelaksanaan perlindungan anak di Indonesia. Selain masyarakat, pengusaha memiliki pengaruh besar dalam mewujudkan perlindungan hak-hak pekerja anak. Pengusaha sebagai pihak yang senantiasa berinteraksi dengan pekerja anak diketahui masih banyak melakukan pelanggaran hukum terhadap peraturan perlindungan anak. Pada umumnya, pelanggaran hukum yang dilakukan para pengusaha berupa pemberlakuan lama kerja lebih dari 4 (empat) jam setiap harinya. Padahal bekerja penuh waktu akan manghambat perkembangan kepribadian anak. Bekerja secara terus menerus dan monoton untuk waktu yang lama, meski tidak merasa jenuh, hal ini tetap dapat mempengaruhi perkembangan kreativitasnya sehingga mereka cenderung menjadi anak yang tidak cerdas dan tidak kreatif. Di samping itu, tidak sedikit pengusaha yang memberikan upah jauh di bawah upah minimum kerja. Dalam hal ini pengusaha telah melanggar hak anak untuk memperoleh pendidikan, bermain dan mengembangkan kreativitas serta hak untuk memperoleh penghidupan yang layak. Kebanyakan pengusaha memang lebih memilih mempekerjakan anak karena menyadari bahwa upahnya yang kecil dan tidak mampu melawan apabila dieksploitasi. Anak menganggap diri mereka tak tampak karena suara mereka tak didengar, tak memiliki kekuatan dan kekayaan, atau hanya merupakan bagian dari masyarakat yang lemah posisinya. Child labor will be more harmful if it interferes with school, recreation and rest; the younger the child is; the worst the nature of the work schedule, the longer the hours or the frequency of the nocturnal work; the more hazardous the occupation and the lower the wage. (Pekerja anak akan lebih berbahaya jika mengganggu sekolah, rekreasi dan istirahat; mudanya seorang anak; jadwal kerja yang buruk, jam kerja atau frekuensi kerja di malam hari yang lebih lama; pekerjaan yang penuh dengan resiko dan upah yang rendah) commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 84
(Fassa, A.G, International Journal of Occupational and Environmental Health,Vol 6, No 1, Jan-Mar 2000: 3). Pada hakekatnya upah minimum diberikan kepada pekerja lajang dengan masa kerja kurang dari satu tahun, dan kepada pekerja anak diberikan upah sesuai dengan peraturan pengupahan yang ada. Pekerja anak diberi upah di bawah ketentuan Upah Minimum Kerja yang berlaku tidak terkecuali yang telah memiliki masa kerja lebih dari satu tahun, Hal ini disamping bertentangan dengan Pasal 4 ayat (3) Permenaker Nomor 1 Tahun 1987, juga bertentangan dengan Pasal 14 ayat (2) Permenaker Nomor 1 Tahun 1999. Di sisi lain, kebanyakan perusahaan yang mempekerjakan anak, tidak satupun melakukan wajib lapor ketenagakerjaan, sehingga keberadaan pekerja anak yang bekerja pada perusahaan tersebut tidak diketahui. Sehingga menyebabkan sulitnya pendataan pekerja anak terutama di sektor-sektor informal. Selain itu, kebanyakan perusahaan yang mempekerjakan anak, tidak satupun dari mereka yang menyelenggarakan jaminan sosial, khususnya jaminan pemeliharaan kesehatan. Dengan demikian apa yang dilakukan oleh pengusaha tersebut telah melanggar hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tidak ditaatinya peraturan perlindungan anak oleh pengusaha sebenarnya tidak perlu terjadi apabila pemerintah, dalam hal ini Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi khususnya pegawai pengawas ketenagakerjaan dapat menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya, yaitu benar-benar melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan kepada para pelaku produksi dan melakukan penindakan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Sebagai satu sistem perlindungan hukum, pegawai pengawas ketenagakerjaan yang melakukan tindakan mengawasi pelaksanaan peraturan hukum mengenai ketenagakerjaan hendaknya dapat melakukan penegakan hukum mengenai kondisi kerja dan perlindungan tenaga kerja dan peraturan commit to user yang menyangkut waktu kerja, pengupahan, keselamatan, kesehatan dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 85
penggunaan tenaga kerja anak dan orang muda serta masalah-masalah lain yang terkait. The evidence is clear that when individuals make a commitment, when communities mobilize, when societies come together and decide that child labor is no longer acceptable, great progress can be made toward the goal of ensuring that children are not denied a childhood and a better future. However, it.s tough going. (Sudah jelas bahwa ketika seseorang membuat komitmen, ketika komunitas bergerak, ketika masyarakat datang bersamasama dan menyatakan bahwa pekerja anak tidak dapat diterima lagi, kemajuan yang besar ini dapat mewujudkan cita-cita untuk menjamin bahwa anak-anak tidak ditolak sebagai kanak-kanak dan terhadap masa depan yang lebih baik. Bagaimanapun, itu hal yang sulit)(Juan Somavia, 2005 : 10). Berdasarkan uraian di atas, persoalan pekerja anak tidak hanya berhubungan dengan kemiskinan, pendidikan, fenomena budaya lokal, perhatian pengusaha, tetapi juga peraturan yang mendasarinya serta aparatur negara yang melaksanakan perlindungan hak-hak pekerja anak. Untuk itu, diperlukan kesatuan sistem hukum yang satu dan kerjasama yang komprehensif dari semua komponen masyarakat dan pemerintah.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB IV PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah Penulis paparkan, maka simpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut: 1. Perlindungan hukum terhadap pekerja anak di Indonesia diatur dalam UndangUndang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang mengatur tentang pelarangan mempekerjakan anak kecuali dengan persyaratan tertentu dan usia minimum tertentu, dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang secara garis besar mengatur perlindungan terhadap hak-hak anak yang meliputi hak atas kelangsungan hidup, hak tumbuh kembang, hak atas pendidikan, kesehatan, hak untuk bermain, berkreasi dan mengembangkan kemampuan sesuai minat dan bakat, serta melalui peratifikasian konvensi-konvensi ILO mengenai usia minimum bagi anak untuk diperbolehkan bekerja juga pelarangan dan tindakan segera penghapusan bentuk-bentuk pekerjaan terburuk untuk anak. 2. Pengaturan mengenai pekerja anak di Indonesia belum dapat sepenuhnya memenuhi hak anak di Indonesia, karena berdasarkan teori bekerjanya hukum, secara substansial, rumusan hak-hak anak pada Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sudah mencakup keseluruhan hak asasi anak. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak diatur tentang pekerjaan di sektor informal dan pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, dimana lebih banyak dilakukan oleh anak-anak. Juga adanya kerancuan pada ketentuan pelarangan jam kerja malam bagi perempuan di bawah usia 18 tahun pada pukul 11.00 malam hingga 07.00 pagi, karena menyiratkan bahwa pekerja anak perempuan diperbolehkan bekerja selain dari waktu tersebut padahal pasal lain mensyaratkan pekerja anak untuk bekerja dengan batas waktu maksimum 3 jam dan tidak mengganggu waktu sekolah. Secara struktural, tidak semua commit to user pemerintah dan aparat penegak hukum melaksanakan tugasnya dengan baik.
86
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 87
Sosialisasi dan penyebarluasan kurang menyeluruh. Penegakan hukum terhadap pelanggaran hak asasi anak tidak sepenuhnya dilakukan karena adanya kepentingan pribadi dan politik. Secara kultural, pengaruh ekonomi dan kesadaran anak, keluarga, pengusaha dan masyarakat terhadap pendidikan dan kesehatan masih sangat kurang. Hal inilah yang menjadi pengaruh terbesar terhadap lemahnya pelaksanaan perlindungan hak-hak pekerja anak. B. Saran 1. Meningkatkan ranah pendataan pekerja anak terutama di sektor informal sebagai dasar dalam penentuan kebijakan dan penyusunan strategi penghapusan pekerja anak di Indonesia. 2. Melanjutkan usaha menghapus pekerja anak dengan melakukan penelitian penyebab eksploitasi ekonomi dan penanganan pekerja anak melalui penghapusan kemiskinan dan akses pendidikan serta mengembangkan sistem monitoring pekerja anak yang komprehensif dan kolaboratif dengan melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat, aparat penegak hukum, pekerja social, dokter anak, psikiater anak, dan lain-lain. 3. Perlunya program Wajib Pendidikan Dasar Gratis dan pengadaan sekolah kejuruan yang bebas biaya pendidikan baik bagi orang tua maupun anak-anak dari keluarga tidak mampu, agar orang tua tidak lagi bergantung pada anaknya dan bagi anak, pembekalan sejak dini diharapkan dapat membantu saat dewasa kelak serta memungkinkan peminimalisiran angka pengangguran. 4. Perlunya sosialisasi dan penyebarluasan informasi secara menyeluruh dan terpadu yang dapat diartikulasikan seperti mendidik masyarakat tentang fenomena pekerja anak dan pentingnya perlindungan hak-hak anak sebagai pekerja sesuai Undang-Undang Nomor Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sehingga masyarakat, terutama di daerah pedesaan dan daerah terpencil agar dapat mengurangi dan menghapuskan segala bentuk eksploitasi ekonomi terhadap anak. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id 88
5. Kewajiban membuat perjanjian kerja dalam bentuk tertulis di setiap pelaksanaan hubungan kerja, sebagai upaya mencapai kepastian hukum dan untuk melindungi pekerja dari tindakan sewenang-wenang pengusaha. 6. Perlunya peninjauan ulang terhadap Undang-Undang Nomor 13 Tahuun 2003 tentang Ketenagakerjaan terkait pengaturan ulang mengenai kebijakan perlindungan anak di dalamnya.
commit to user