14
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Anak, Hak-hak Anak dan Perlindungan Hukum Terhadap Anak 1. Pengertian Anak Secara umum apa yang dimaksud dengan anak adalah keturunan atau generasi sebagai suatu hasil dari hubungan kelamin atau persetubuhan (sexual intercoss) antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan baik dalam ikatan perkawinan maupun diluar perkawinan. Kemudian di dalam hukum adat sebagaimana yang dinyatakan oleh Soerojo Wignjodipoero yang dikutip oleh Tholib Setiadi, dinyatakan bahwa: ” kecuali dilihat oleh orang tuanya sebagai penerus generasi juga anak itu dipandang pula sebagai wadah di mana semua harapan orang tuanya kelak kemudian hari wajib ditumpahkan, pula dipandang sebagai pelindung orang tuanya kelak bila orang tua itu sudah tidak mampu lagi secara fisik untuk mencari nafkah (Tholib Setiady, 2010: 173). Berikut ini merupakan pengertian anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku Di Indonesia antara lain: 1. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umum 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin.
14
15
2. Undang-Undang No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dinyatakan bahwa anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya. 3. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan anak dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. 4. Convention On The Rights Of Child (1989) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia melalui Keppres Nomor 39 Tahun 1990 disebutkan bahwa anak adalah mereka yang berusia 18 tahun kebawah. 5. UNICEF mendefinisikan anak sebagai penduduk yang berusia 0 sampai dengan 18 tahun. Berdasarkan beberapa pendapat diatas, maka dapat dinyatakan bahwa anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun (0-18 tahun). 2. Hak-hak Anak Berikut ini merupakan hak-hak anak menurut beberapa peraturan perundang-undangan yang berlaku Di Indonesia antara lain: a. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak Dalam Bab II Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, mengatur tentang hak-hak anak atas kesejahteraan, yaitu:
16
1) 2) 3) 4) 5) 6) 7) 8) 9) 10)
Hak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan. Hak atas pelayanan. Hak atas pemeliharaan dan perlindungan. Hak atas perlindungan lingkungan hidup. Hak mendapatkan pertolongan pertama. Hak untuk memperoleh asuhan. Hak untuk memperoleh bantuan. Hak diberi pelayanan dan asuhan. Hak untuk memeperoleh pelayanan khusus. Hak untuk mendapatkan bantuan dan pelayanan.
b. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Hak anak dalam Undang-Undang ini diatur dalam Bab III bagian kesepuluh, pasal 52-66, yang meliputi: 1)
Hak atas perlindungan
2)
Hak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya.
3)
Hak atas suatu nama dan status kewarganegaraan.
4)
Bagi anak yang cacat fisik dan atau mental hak: (a) memperoleh
perawatan,
pendidikan,
pelatihan,
dan
bantuan khusus. (b) untuk menjamin kehidupannya sesuai dengan martabat kemanusiaan, (c) berpartisipasi dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. 5)
Hak untuk beribadah menurut agamanya.
6)
Hak untuk dibesarkan, dipelihara, dirawat, dididik, diarahkan, dan dibimbing.
17
7)
Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum.
8)
Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran.
9)
Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial.
10) Hak untuk tidak dirampas kebebasannya secara melawan hukum. Selain itu, secara khusus dalam Pasal 66 Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang hak anak-anak yang dirampas kebebasannya, yakni meliputi: a. Hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup. b. Hak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. c. Hak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. d. Hak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum. c. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak ini, hak-hak anak diatur dalam Pasal 4 - Pasal 18, yang meliputi: 1)
2) 3) 4) 5) 6)
Hak untuk hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Hak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan. Hak untuk beribadah menurut agamanya. Hak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial. Hak memperoleh pendidikan dan pengajaran. Bagi anak yang menyandang cacat juga hak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga hak mendapatkan pendidikan khusus.
18
7) 8) 9)
Hak menyatakan dan didengar pendapatnya. Hak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang.. Bagi anak penyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial. 10) Bagi anak yang berada dalam pengasuhan orang tua/ wali, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: a) diskriminasi; b) eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; c) penelantaran; d) kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; e) ketidakadilan; dan f) perlakuan salah lainnya. 11) Hak untuk memperoleh perlindungan dari : a) penyalahgunaan dalam kegiatan politik; b) pelibatan dalam sengketa bersenjata; c) pelibatan dalam kerusuhan sosial; d) pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan e) pelibatan dalam peperangan. 12) Hak untuk memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum. 13) Setiap anak yang dirampas kebebasannya hak untuk : a) mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b) memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c) membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. 14) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan. 15) Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya. 3. Perlindungan Hukum Terhadap Anak Dalam kaitannya dengan perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, telah ditegaskan dalam Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa “ Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”. Menindaklanjuti hal tersebut maka pemerintah telah membuat
19
berbagai peraturan perundang-undangan yang memuat mengenai hakhak anak. Wagiati Soetodjo dalam bukunya Hukum Pidana Anak mengklasifikasikannya sebagai berikut: a. Bidang hukum, melalui Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Peradilan Anak. b. Bidang kesehatan melalui Undang-Undang No. 9 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Kesehatan, diatur dalam Pasal 1, Pasal 3 ayat (1), dan Pasal 9 ayat (2). c. Bidang pendidikan 1) Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 31 ayat (1). 2) Undang-Undang No. 12 Tahun 1954 tentang Dasar-dasar Pendidikan dan Pengajaran di Sekolah, diatur dalam Pasal 19 dan Pasal 17. d. Bidang ketenagakerjaan, melalui Ordonansi tanggal 17 Desember 1925 tentang Peraturan Pembatasan Kerja Anak dan Kerja Malam bagi Wanita jo Ordonansi tanggal 27 Februari 1926 stbl. No. 87 Tahun 1926 ditetapkan tanggal 1 Mei 1976 tentang Peraturan Mengenai Keselamatan Kerja Anak-anak dan Orang-orang muda di atas Kapal jo Undang-Undang No. 1 Undang-Undang Keselamatan Kerja stbl. 1947 No. 208 jo Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 yang memberlakukan Undang-Undang Kerja No. 12 Tahun 1948 di Republik Indonesia. e. Bidang kesejahteraan sosial, melalui Undang-Undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak (Wagiati Soetodjo, 2010: 67-68). Dalam perkembangannya perlindungan terhadap anak di bidang hukum juga ditur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Perlindungan hukum terhadap anak di Indonesia, telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun secara khusus diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Menurut pasal 1 nomor 2 , Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa:
20
Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, meliputi: a. Perlindungan di bidang Agama 1) Perlindungan untuk beribadah menurut agamanya. 2) perlindungan anak dalam memeluk agamanya dijamin oleh negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, orang tua, wali, dan lembaga sosial. Perlindungan anak dalam memeluk agamanya meliputi pembinaan, pembimbingan, dan pengamalan ajaran agama bagi anak. b. Perlindungan di bidang Kesehatan 1) Pemerintah wajib menyediakan fasilitas dan menyelenggarakan upaya kesehatan yang komprehensif bagi anak. 2) Orang tua dan keluarga bertanggung jawab menjaga kesehatan anak jika tidak mampu melaksanakan tanggung jawab, maka pemerintah wajib memenuhinya. 3) Negara,
pemerintah,
keluarga,
dan
orang
tua
wajib
mengusahakan agar anak yang lahir terhindar dari penyakit yang mengancam kelangsungan hidup dan/atau menimbulkan kecacatan 4) Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari upaya transplantasi organ tubuhnya untuk pihak lain.
21
Negara, pemerintah, keluarga, dan orang tua wajib melindungi anak dari perbuatan : a) pengambilan organ tubuh anak dan/atau jaringan tubuh anak tanpa memperhatikan kesehatan anak; b) jual beli organ dan/atau jaringan tubuh anak; dan c) penelitian kesehatan yang menggunakan anak sebagai objek penelitian tanpa seizin orang tua dan tidak mengutamakan kepentingan yang terbaik bagi anak. c. Perlindungan di bidang Pendidikan 1) Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan dasar minimal 9 (sembilan) tahun untuk semua anak. 2) Anak yang menyandang cacat fisik dan/atau mental diberikan kesempatan yang sama dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan biasa dan pendidikan luar biasa. 3) Anak yang memiliki keunggulan diberikan kesempatan dan aksesibilitas untuk memperoleh pendidikan khusus. 4) Pemerintah bertanggung jawab untuk memberikan biaya pendidikan dan/atau bantuan cuma-cuma atau pelayanan khusus bagi anak dari keluarga kurang mampu, anak terlantar, dan anak yang bertempat tinggal di daerah terpencil. 5) Anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola
22
sekolah
atau
teman-temannya
di
dalam
sekolah
yang
bersangkutan, atau lembaga pendidikan lainnya. d. Perlindungan di bidang Sosial 1) Pemerintah perawatan
wajib anak
menyelenggarakan terlantar
dalam
pemeliharaan
hal
dan
penyelenggaraan
pemeliharaan dan perawatan pengawasannya dilakukan oleh Menteri Sosial. 2) Pemerintah
dalam
menyelenggarakan
pemeliharaan
dan
perawatan wajib mengupayakan dan membantu anak, agar anak dapat : a) berpartisipasi; b) bebas menyatakan pendapat dan berpikir sesuai dengan hati nurani dan agamanya; c) bebas menerima informasi lisan atau tertulis sesuai dengan tahapan usia dan perkembangan anak; d) bebas berserikat dan berkumpul; e) bebas beristirahat, bermain, berekreasi, berkreasi, dan berkarya seni budaya; dan f) memperoleh sarana bermain
yang memenuhi syarat
kesehatan dan keselamatan. 3) Anak terlantar karena suatu sebab orang tuanya melalaikan kewajibannya, maka lembaga, keluarga, atau pejabat yang
23
berwenang dapat mengajukan permohonan ke pengadilan untuk menetapkan anak sebagai anak terlantar. 4) Penetapan menetapkan
pengadilan
sebagaimana
tempat
penampungan,
dimaksud
sekaligus
pemeliharaan,
dan
perawatan anak. e. Perlindungan Khusus 1) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi pengungsi dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum humaniter. 2) Perlindungan khusus bagi anak korban kerusuhan, korban bencana, dan anak dalam situasi konflik bersenjata, meliputi: a) pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu: pangan, sandang, pemukiman, pendidikan, kesehatan, belajar dan berekreasi, jaminan keamanan, dan persamaan perlakuan; dan b) pemenuhan kebutuhan khusus bagi anak yang menyandang cacat dan anak yang mengalami gangguan psikososial. 3) Perlindungan khusus bagi anak yang berhadapan dengan hukum, anak yang berkonflik dengan hukum dan anak korban tindak pidana, meliputi: a) perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak; b) penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c) penyediaan sarana dan prasarana khusus;
24
d) penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e) pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f) pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan g) perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. 4) Perlindungan khusus bagi anak yang menjadi korban tindak pidana meliputi: a) upaya rehabilitasi, baik dalam lembaga maupun di luar lembaga; b) upaya perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi; c) pemberian jaminan keselamatan bagi saksi korban dan saksi ahli, baik fisik, mental, maupun sosial; dan d) pemberian aksesibilitas untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara. 5) Perlindungan khusus bagi anak dari kelompok minoritas dan terisolasi dilakukan melalui penyediaan prasarana dan sarana untuk dapat menikmati budayanya sendiri, mengakui dan melaksanakan ajaran agamanya sendiri, dan menggunakan bahasanya sendiri.
25
6) Perlindungan khusus bagi anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, meliputi: a) penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual; b) pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan c) pelibatan berbagai instansi pemerintah, perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual. 7) Perlindungan
khusus
bagi anak
yang
menjadi
korban
penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya (napza), dan terlibat dalam produksi dan distribusinya, dilakukan melalui upaya pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. 8) Perlindungan khusus bagi anak korban penculikan, penjualan, dan perdagangan anak dilakukan melalui upaya pengawasan, perlindungan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat. 9) Perlindungan khusus bagi anak korban kekerasan meliputi kekerasan fisik, psikis, dan seksual dilakukan melalui upaya : a) penyebarluasan
dan
sosialisasi
ketentuan
peraturan
perundang-undangan yang melindungi anak korban tindak
26
kekerasan; dan pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi. 10) Perlindungan khusus bagi anak yang menyandang cacat dilakukan melalui upaya : a) perlakuan anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak anak; b) pemenuhan kebutuhan-kebutuhan khusus; dan c) memperoleh perlakuan yang sama dengan anak lainnya untuk mencapai integrasi sosial sepenuh mungkin dan pengembangan individu. 11) Perlindungan khusus bagi anak korban perlakuan salah dan penelantaran dilakukan melalui pengawasan, pencegahan, perawatan, dan rehabilitasi oleh pemerintah dan masyarakat.
B. Tinjauan mengenai Tindak Pidana Anak 1. Pengertian Tindak Pidana Anak Tindak pidana anak adalah tindak pidana yang dilakukan oleh anak-anak. Tindak pidana anak dapat dihubungkan dengan istilah Juvenile Deliquency, yang dalam Bahasa Indonesia dikenal dengan beragam istilah, yaitu kenakalan anak, kenakalan remaja, kenakalan pemuda, taruna tersesat, ataupun jalin quersi anak. Secara etimologis dapat dijabarkan bahwa “Deliquency”
berarti
“Juvenile” berarti “anak”
“kejahatan”.
Dengan
demikian
sedangkan “Juvenile
27
Deliquency”
adalah “Kejahatan Anak ”, sedangkan apabila
menyangkut subjek atau pelakunya, maka Juvenile Deliquency berarti penjahat anak atau anak jahat (Tholib Setiady, 2010: 176). Romli Atmasasmita yang dikutib oleh Wagiati Soetodjo menyebutkan bahwa yang dimaksud juvenile delinquency adalah: Setiap perbuatan atau tingkah laku seseorang anak di bawah umur 18 tahun dan belum kawin yang merupakan pelanggaran terhadap norma-norma yang berlaku serta dapat membahayakan perkembangan pribadi si anak yang bersangkutan (Wagiati Soetodjo, 2010: 11). Selain itu, Dr. Fuad Hasan dalam Sudarsono juga merumuskan bahwa juvenile delinquency,
adalah perbuatan anti sosial yang
dilakukan oleh anak remaja yang bilamana dilakukan orang dewasa dikualifikasikan sebagai tindak pidana (Sudarsono, 2004: 11). Kartini Kartono dalam Tholib Setiady juga merumuskan bahwa yang dikatan sebagai juvenile delinquency adalah: Perilaku jahat/dursila, atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda, merupakan gejala sakit (patologi) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial sehingga mereka itu mengembangkan bentuk pengabaian tingkah laku yang menyimpang (Tholib Setiady, 2010: 177). A Qiram SM dalam Rusli Muhammad dan Hanafi menyatakan bahwa tingkah laku orang dewasa adalah tingkah laku yang sempurna, sedangkan perangai anak si anak apabila diselidiki adalah merupakan suatu kritik nilai saja, karena dalam proses pertumbuhan ke masa remaja, sedang dalam proses mencari identitas diri (Rusli Muhammad dan Hanafi, 1994: 91). Dalam proses pencarian jati diri tersebut,
28
terkadang anak-anak tidak dapat mengendalikan diri sehingga mudah melakukan kenakalan yang menjurus pada tindak kejahatan. 2. Bentuk Tindak Pidana Anak Menurut Sudarsono, norma-norma hukum yang sering dilanggar oleh anak-anak remaja pada umumnya adalah pasal-pasal tentang: a. Kejahatan-kejahatan kekerasan 1) Pembunuhan 2) Penganiayaan b. Pencurian 1) Pencurian biasa 2) Pencurian dengan pemberatan c. Penggelapan d. Penipuan e. Pemerasan f. Gelandangan g. Anak sipil h. Remaja dan narkotika (Sudarsono, 2004: 32). Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dinyatakan bahwa tindak pidana anak merupakan salah satu dari pelanggaran terhadap pasal 489, 490, 492, 497, 503, 505, 514, 517, 518, 519, 526, 531, 532, 536, dan 540, yaitu: a. Pelanggaran keamanan umum, seperti: 1) Mabuk di muka umum dan merintangi lalu lintas, menganggu ketertiban, atau mengancam keamanan orang lain. 2) Menyebabkan kebakaran di muka umum. b. Melakukan pelanggaran terhadap ketertiban, meliputi: 1) Membuat kegaduhan, masyarakat. 2) Menggelandang.
keramaian
sehingga
mengaganggu
29
3) Penadah. 4) Pemalsuan. 5) Perusakan informasi di muka umum. c. Melakukan pelanggaran kesusilaan, meliputi: 1) Menyanyikan lagu, berpidato, dan menyebarkan tulisan yang melangggar kesusilaan di muka umum. 2) Mabuk di muka umum. 3. Macam-macam Kenakalan Anak dan Sebab-sebab Kenakalan Anak a. Macam-macam Kenakalan Anak Sri Widowati Wiratmo Soekito yang dikutib oleh Tholib Setiady mengatakan bahwa pada umumnya terdapat empat macam kenakalan anak-anak (remaja) yaitu: 1) Delik kriminal yang dilakukan anak-anak (para remaja) 2) Delik lain yang tidak dicantumkan dalam peraturanperaturan yang berlaku bagi orang dewasa 3) Pre-deliquency atau pelanggaran terhadap norma educatif 4) Anak-anak yang berada (in need of care and protection) atau memberikan ketentuan-ketentuan kesejahteraan anak (Tholib Setiady, 2010: 179). Dr. Wagiati Soetodjo, S.H., M.S yang dikutib oleh Tholib Setiady, menyatakan bahwa gejala kenakalan anak (remaja) akan terungkap apabila kita meneliti bagaimana cirri-ciri khas atau cirri umum yang amat menonjol pada tingkah laku dari anak-anak puber tersebut, antara lain:
30
1) Rasa harga diri yang semakin menguat dan gengsi yang terlalu besar serta kebutuhan untuk memamerkan diri, sementara lingkungan masyarakat dewasa ini sedang demam materiil di mana orang mendewakan kehidupan luk atau kemewahan, sehingga anak-anak muda usia yang emosi dan mentalnya belum matang serta dalam situasi labil maka dengan mudah ia ikut terjangkit nafsu serakah dunia materiil. Apabila anak tidak mampu mengendalikan emosi-emosi yang semakin menekan, kemudian pengawasan dan pendidikan dari orangtua kurang, maka akan mudah sekali anak muda (remaja) terjerumus dengan melakukan kriminal misalnya mencuri, menodong, dan menggarong demi mendapatkan penghasilan tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga dan cucuran keringat. 2) Energi yang berlimpah-limpah memanifestasikan diri dalam bentuk keberanian yang condong melebih-lebihkan kemampuan diri sendiri misalnya terefleksi pada kesukaan anak muda untuk kebut-kebutan di jalan raya. 3) Senang mencari perhatian dengan jalan menonjolkan diri, misalnya dengan jalan mabuk-mabukan minuman keras. 4) Corak hidupnya bercorak asocial dan keluar daripada dunia objektif kearah dunia subjektif sehingga ia tidak lagi suka pada kegunaan-kegunaan teknis yang sifatnya pragmatis, melainkan lebih suka bergerombol dengan kawan sebaya. 5) Pencarian suatu identitas kedewasaan cenderung melepaskan diri dari identitas maupun identifikasi lama dan mencari aku “ideal” sebagai identitas baru serta substitusi identifikasi yang lama (Tholib Setiady, 2010: 181-182). Hal-hal tersebut, dapat dimengerti dimana fase remaja merupakan fase transisi dimana tingkah laku anti sosial yang potensial menimbulkan kehilangan kontrol dan kendali emosi. Apabila tidak diiringi dengan tanpa adanya pembinaan dan pengawasan yang tepat dari semua pihak, anak gejala kenakalan ini akan menjadi tindakan-tindakan yang mengarah kepada tindakan yang bersifat kriminalitas.
31
Lebih tegas lagi dinyatakan oleh Adler yang dikutib oleh Tholib Setiady, yang menyatakan bahwa tingkah laku yang menjurus kepada masalah juvenile delinquency menurutnya adalah: 1) Kebut-kebutan di jalananan mengganggu keamanan lalu lintas yang membahayakan jiwa sendiri dan orang lain. 2) Perilaku ugal-ugalan, berandal, urakan yang mengacaukan ketentraman lingkungan sekitarnya. Tingkah laku ini bersumber pada kelebihan energi dan dorongan primitif yang tidak terkendali serta kesukaan menteror lingkungan. 3) Perkelahian antar geng, antar kelompok, antar sekolah, antar suku (tawuran), sehingga kadang-kadang membawa korban jiwa. 4) Membolos sekolah lalu bergelandang sepanjang jalan atau bersembunyi di tempat-tempat terpencil sambil melakukan eksperimen bermacam-macam kedurjanaan dan tindakan a-susila. 5) Kriminalitas anak, remaja dan adolesens antara lain berupa perbuatan mengancam, intimidasi, memeras, mencuri, mencopet, merampas, menjambret, menyerang, merampok, menganggu, menggarong, melakukan pembunuhan dengan jalan menyembelih korbannya, mencekik, meracun, tindak kekerasan, dan pelanggaran lainnya. 6) Berpesta pora sambil mabuk-mabukkan, melakukan hubungan seks bebas atau orgi (mabuk-mabukan yang menimbulkan keadaan kacau balau) yang menganggu sekitarnya. 7) Perkosaan (Tholib Setiady, 2010: 180-181). b. Sebab-sebab Kenakalan Anak Kenakalan remaja dapat terjadi karena beberapa sebab, hal tersebut timbul karena ada motivasi dari remaja itu sendiri. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, motivasi adalah dorongan yang timbul pada diri seseorang secara sadar atau tidak sadar untuk melakukan suatu perbuatan dengan tujuan tertentu. Motivasi juga sering diartikan sebagai usaha-usaha yang menyebabkan seseorang
32
atau kelompok tertentu tergerak untuk melakukan suatu perbuatan karena ingin mencapai tujuan yang dikehendakinya atau membuat kepuasan dengan perbuatannya (Tim Penyusun, 2008: 1043). Motivasi tersebut dapat berbentuk motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik. Dr Wagiati Soetodjo dalam Tholib Setiady, menyatakan bahwa motivasi motivasi intrinsik adalah dorongan atau keinginan pada diri seseorang yang tidak perlu disertai perangsang dari luar, sedangkan motivasi ektrinsik adalah dorongan yang datang dari luar diri seseorang (Tholib Setiady, 2010: 182). Selanjutnya Romli Atmasamita, menyatakan bahwa: 1)
2)
Yang termasuk motivasi intrinsik dari kenakalan remaja a) Faktor intelegensia b) Faktor usia c) Faktor kelamin d) Faktor kedudukan anak dalam keluarga Yang termasuk motivasi ektrinsik dari kenakalan remaja a) Faktor keluarga b) Faktor pendidikan dan sekolah c) Faktor pergaulan anak d) Pengaruh mass-media (Tholib Setiady, 2010, 183-189).
C. Jenis Pidana dan Tindakan Bagi Anak Nakal Berdasarkan ketentuan Pasal 69 Undang-Undang No. 11 tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, dinyatakan bahwa seorang anak dapat dijatuhi pidana setelah berumur 14 tahun, sedangkan anak yang belum berusia 14 tahun hanya dapat dikenai tindakan. Selanjutnya jenis pidana dan tindakan yang dapat dijatuhkan bagi anak nakal, yakni:
33
1. Jenis Pidana Bagi Anak Nakal Selanjutnya dalam Pasal 71 Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, anak dapat dijatuhi pidana sebagai berikut: a. Pidana Pokok 1) 2)
3) 4) 5)
pidana peringatan pidana dengan syarat: a) pembinaan di luar lembaga b) pelayanan masyarakat, atau c) pengawasan. pelatihan kerja pembinaan dalam lembaga, dan penjara.
b. Pidana tambahan terdiri atas: 1) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, atau 2) pemenuhan kewajiban adat. Selanjutnya apabila dalam hukum materiil diancam pidana kumulatif berupa penjara dan denda, pidana denda diganti dengan pelatihan kerja. Pelaksanaan pidana yang dijatuhkan kepada Anak dilarang melanggar harkat dan martabat anak. 2. Tindakan Bagi Anak Nakal Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak menurut Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, meliputi: 1) 2) 3) 4)
pengembalian kepada orang tua/Wali penyerahan kepada seseorang perawatan di rumah sakit jiwa perawatan di LPKS
34
5) kewajiban mengikuti pendidikan formal dan/atau pelatihan yang diadakan oleh pemerintah atau badan swasta 6) pencabutan surat izin mengemudi; dan/atau g. perbaikan akibat tindak pidana.
D. Tinjauan Mengenai Pembinaan Anak Pidana 1. Pengertian Anak Pidana Anak Pidana termasuk dalam anak didik pemasyarakatan selain anak negara dan anak sipil. Menurut Undang-Undang No 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, Anak Pidana yaitu anak yang berdasarkan putusan pengadilan menjalani pidana di LAPAS Anak paling lama sampai berumur 18 (delapan belas) tahun. 2. Pembinaan Anak Pidana Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, dinyatakan bahwa: Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Berdasarkan pengertian tersebut, maka inti dari pemasyarakatan berarti pembinaan terhadap WBP supaya nantinya dapat kembali ke masyarakat dengan baik (Nashriana, 2011: 153). Guna melaksanakan pembinaan tersebut diperlukan suatu sistem, yang dinamakan sistem pemasyarakatan. Selanjutnya dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa: Sistem pemasyarakatan diselenggarakan dalam rangka membentuk Warga Binaan Pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak
35
mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. sistem pemasyarakatan juga berfungsi untuk menyiapkan Warga Binaan Pemasyarakatan agar dapat berintegrasi secara sehat dengan masyarakat, sehingga dapat berperan kembali sebagai anggota masyarakat yang bebas dan bertanggung jawab. Pembinaan terhadap anak Pidana, menurut ketentuan dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dilakukan di Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA). Proses Pembinaan
terhadap
narapidana
yang
dalam
Undang-Undang
Pemasyarakatan menggunakan istilah Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). dimulai sejak yang bersangkutan masuk ke dalam Lembaga Pemasyarakatan. Pembinaan yang dilaksanakan dalam sistem pemasyarakatan tidak terlepas dari instansi pelaksananya. Pembinaan yang dilakukan hanya dapat diberikan kepada narapidana bukan kepada tahanan, karena di samping kasusnya belum tuntas dan belum memperoleh keputusan dari pengadilan yang mempunyai ketetapan hukum yang tetap dan ia juga masih dalam proses penyidikan dan berstatus tersangka. Menurut Peraturan Pemerintah No 31 tahun 1999 Tentang Pembinaan dan Pembibingan
Warga Binaan Pemasyarakatan,
Pembinaan adalah kegiatan untuk meningkatkan kualitas ketaqwaan
36
kepada Tuhan Yang Maha Esa, intelektual, sikap dan perilaku, profesional, kesehatan jasmani dan rohani Narapidana dan Anak Didik Pemasyaraktan. Menurut Keputusan Menteri Kehakiman Republik Indonesia No. M. 02-PK.04. 10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan, Pembinaan dan Pola Pembinaan ini meliputi: a. Pelayanan Tahanan ialah segala kegiatan yang dilaksanakan dari mulai penerimaan sampai dengan tahap pengeluaran tahanan. b. Pembinaan Narapidana dan Anak didik ialah semua usaha yang ditujukan untuk memperbaiki dan meningkatkan akhlak (budi pekerti) para narapidana dan anak didik yang berada di dalam Lembaga Pemasyarakatan/Rutan (intramural treatment). Dalam ketentuan Bab IV
mengenai Metode Pembinaan
dinyatakan bahwa metode pembinaan/bimbingan meliputi : a. Pembinaan berupa interaksi langsung yang sifatnya kekeluargaan antara pembina dengan yang dibina (warga binaan pemasyarakatan). b. Pembinaan bersifat persuasif edukatif yaitu berusaha merubah tingkah lakunya melalui keteladanan dan memperlakukan adil di antara sesama mereka sehingga menggugah hatinya untuk melakukan hal-hal yang terpuji, menempatkan warga binaan pemasyarakatan sebagai manusia yang memiliki potensi dan
37
memiliki harga diri dengan hak-hak dan kewajibannya yang sama dengan manusia lainnya. c. Pembinaan berencana, terus menerus dan sistematis. Berdasarkan Peraturan pemerintah No 31 tahun 1999 tentang pembinaan
dan
pembibingan
Warga
Binaan
Pemasyarakatan,
dijelaskan dalam Pasal 15 ayat (1) bahwa, Pelaksanaan pembinaan Anak Didik Pemasyarakatan dilakukan oleh Pembina Pemasyarakatan. Selanjutnya dalam Pasal 19 meliputi: a. Pembinaan tahap awal meliputi: 1) masa pengamatan, pengenalan dan penelitian lingkungan paling lama 1 (satu) bulan; 2) perencanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; 3) pelaksanaan program pembinaan kepribadian dan kemandirian; dan 4) penilaian pelaksanaan program pembinaan tahap awal. b. Pembinaan tahap lanjutan meliputi: 1) perencanaan program pembinaan lanjutan; 2) pelaksanaan program pembinaan lanjutan; 3) penilaian pelaksanaan program pembinaan lanjutan; dan 4) perencanaan dan pelaksanaan program asimilasi. c. Pembinaan tahap akhir meliputi: 1) perencanaan program integrasi; 2) pelaksanaan program integrasi; dan 3) pengakhiran pelaksanaan pembinaan tahap akhir. Selanjutnya dalam Keputusan Menteri Kehakiman No: M. 02PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/Tahanan, dijelaskan secara lebih lanjut mengenai tahap-tahap pembinaan bagi anak didik pemasyarakatan berdasarkan lamanya pidana/ masa pidana yang meliputi: a. Proses pembinaan bagi anak didik yang masa pembinaannya melebihi 1 (satu) tahun, melalui 6 (enam) tahap :
38
1) Tahap pertama, dimulai sejak diterima dan didaftar hingga enam bulan pertama. 2) Tahap kedua, dimulai sejak berakhirnya tahap pertama hingga akhir enam bulan kedua. 3) Tahap ketiga, dimulai sejak berakhirnya tahap kedua hinqga akhir enam bulan ketiga. 4) Tahap keempat, dimulai sejak berakhirnya tahap ketiga hingga akhir enam bulan keempat. 5) Tahap kelima, dimulai sejak akhir tahap keempat hingga akhir enam bulan kelima. 6) Tahap keenam, dimulai sejak berakhirnya tahap kelima hingga: (a) anak didik/anak negara mencapai batas umur 18 tahun. (b) anak didik/anak sipil mencapai batas umur 21 tahun. b. Proses pembinaan bagi anak didik yang sisa masa pidananya lebih satu tahun ada 4 (empat) tahap: 1) Tahap pertama, sejak diterima sampai sekurang-kurang-nya 1/3 bagian dari masa pidana yang sebenarnya. 2) Tahap kedua, sejak 1/3 sampai sekurang-kurangnya 1/2 dari masa pidana vang sebenarnya. 3) Tahap ketiga, sejak 1/2 sampai 2/3 dari masa pidana yang sebenarnya. 4) Tahap keempat, sejak 2/3 sampai selesai masa pidana-nya. c. Proses pembinaan bagi anak didik yang sisa pidananya sampai dengan 1 (satu) tahun ada tiga tahap : 1) Tahap pertama, sejak diterima sampai sekurang-kurangnya 1/2 dari masa pidana sebenarnya sebenarnya. 2) Tahap kedua, sejak 1/2 sampai sekurang-kurangnya 2/3 dari masa pidana sebenarnya. 3) Tahap ketiga, sejak 2/3 masa pidana yang sebenarnya sampai selesai. Selanjutnya dalam peraturan ini, juga diatur mengenai wujud pembinaan yang diberikan kepada anak didik pemasyarakatan, yang meliputi pembinaan: a. Umum: pemberantasan tiga buta (buta aksara, buta angka dan buta bahasa). b. Mental spiritual: pendidikan agama, PMP, kepribadian/ budi pekerti. c. Sosial budaya: etika pergaulan, seni lukis, seni tari, seni suara dan seni karawitan. d. Latihan ketrampilan : kursus menjahit/merenda/ menjahit/memasak/menganyam, kepramukaan, pembinaan generasi muda dan sebagainya.
39
e. Rekreasi : olah raga, catur, hiburan dan kunjungan keluarga. Perlakuan
dan perlindungan terhadap anak-anak di lembaga
pemasyarakatan merupakan masalah yang sangat penting, yakni dengan pemberian perlakuan dan perlindungan yang baik selama berada di dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan, hal ini dikarenakan bahwa pada dasarnya perlakuan dan perlindungan tersebut menyangkut soal fisik dan psikis dari orang yang bersangkutan terlebih dalam hal anakanak. Disamping fungsinya yang penting, perlakuan dan perlindungan ini juga merupakan suatu masalah yang sangat kompleks di dalam menentukan masa depan anak-anak tersebut. Lingkungan akan mempengaruhi jiwanya yang sedang berkembang kearah kedewasaan dan akan membentuk kepribadian bagi masa depannya. Di dalam menjalani masa perkembangannya maka lembaga pemasyarakatan sangat diperlukan untuk dapat menciptakan suasana dan keadaan yang baik dalam memperlakukan dan memberikan perlindungan kepada anak-anak
tersebut,
sehingga
anak-anak
di
dalam
lembaga
pemasyarakatan akan dapat berkembang dengan baik dan menjadi orang yang patut di tiru yang pada akhirnya dapat diterima kembali dengan baik dalam masyarakat sebagai warga masyarakat. Selanjutnya
perlu
untuk
diketahui
bahwa
dalam
masa
perkembangan si anak maka faktor lingkungan ataupun faktor keluarga perluk untuk diperhatikan. Para petugas yang berpengalaman mendidik anak-anak dalam lembaga pemasyarakatan berupaya untuk merubah
40
sifat dan tingkah laku si anak dimaksud. Sewaktu anak sedang berada dalam penahanan hendaknya anak dimaksud diperlakukan sebagai seorang anak dan jangan sampai menimbulkan kesan terhadap si anak bahwa dirinya adalah seorang penjahat atau seorang anak nakal. Kita sadari bahwa sesuai dengan keberadaan Negara Indonesia sebagai
negara
kesatuan
yang
berdasarkan
Pancasila
wajib
memperlakukan anak dan memberikan perlindungan, demikian pula halnya dalam lembaga pemasyarakatan para petugas pemasyarakatan wajib memperlakukan dan melindungi anak yang sedang menjalani hukuman mengingat hal-hal sebagai berikut: a. setiap orang adalah manusia meskipun ia telah berbuat sesat dengan melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum yang berlaku akan tetapi kita janganlah memperlakukan mereka dengan tindakan yang dapat menyebarkan permusuhan. b. Sebagai seorang anak yang sedang menjalani hukuman di lembaga pemasyarakatan nantinya setelah selesai menjalani hukumannya harus dapat dikembalikan ke masyarakat dan harus diterima kembali sebagai warga masyarakat yang berguna. Jangan samapai anak tersebut nantinya merasa terbuang dan merasa dikucilkan oleh masyarakat. c. Anak yang berada di dalam lingkungan lembaga pemasyarakatan hanyalah menjalani pidana yang dijatuhkan saja dengan tanpa kehilangan kemerdekaan untuk bergerak
41
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat kita simpulkan bahwa sistem pembinaan terhadap anak-anak di lembaga pemasyarakatan adalah sistem pemasyarakatan yang bertujuan tidaklah semata-mata untuk menghukum anak melainkan memberikan bimbingan dan pengarahan yang benar agar si anak tidak menjadi terganggu jiwa dan mentalnya di dalam menjalani hukumannya. Berhasil atau tidaknya anak-anak menjalani hukuman dalam lembaga pemasyarakatan agar menjadi manusia yang baik dan berguna untuk masyarakat tidaklah tergantung hanya dari keterampilan para petugas pemasyarakatan dan lengkapnya sarana pembinaannya melainkan juga tergantung pada pihak-pihak
yang
lainnya
yang
harus
ikut
serta
dan
ikut
bertanggungjawab atas pembinaan anak-anak tersebut. Hal ini diutarakan dengan harapan supaya anak-anak di dalam lembaga pemasyarakatan tersebut akan menjadi manusia dan warga negara yang baik serta sebagai generasi penerus perjuangan bangsa dari negeri kita tercinta (Tholib Setiady, 2010: 213-214). 3. Hak-hak Anak Pidana Hak-hak anak pidana diatur dalam Pasal 22 ayat (1) UndangUndang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang menyatakan bahwa seorang anak pidana memperoleh hak-hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Kecuali huruf g, dengan demikian hak-hak anak tersebut meliputi: a. melakukan ibadah kepercayaannya;
sesuai
dengan
agama
atau
42
b. mendapat perawatan, baik perawatan rohani maupun jasmani; c. mendapatkan pendidikan dan pengajaran; d. mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak; e. menyampaikan keluhan; f. mendapatkan bahan bacaan dan mengikuti siaran media massa lainnya yang tidak dilarang; g. menerima kunjungan keluarga, penasihat hukum, atau orang tertentu lainnya; h. mendapatkan pengurangan masa pidana (remisi); i. mendapatkan kesempatan berasimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga; j. mendapatkan pembebasan bersyarat; k. mendapatkan cuti menjelang bebas; dan l. mendapatkan hak-hak lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku Dalam Undang-Undang 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, hak anak-anak yang dirampas kebebasannya diatur dalam Pasal 66, yakni meliputi: a. Hak untuk tidak dijatuhi hukuman mati atau hukuman seumur hidup. b. Hak untuk mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya. c. Hak untuk memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku. d.
Hak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.
43
Selanjutnya berdasarkan ketentuan yang temuat dalam Pasal 16 ayat (3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak dinyatakan bahwa penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir. Selain itu, dalam Pasal 17 dijelaskan lebih lanjut mengenai hak dari anak yang dirampas kebebasannya, yakni meliputi: a. Mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; b. Memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan c. Membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Selain memperoleh hak-hak diatas, seorang anak
yang
berhadapan dengan hukum juga hak mendapatkan perlindungan khusus seperti yang yang diatur dalam ketentuan Pasal 64 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yakni: a. Perlakuan atas anak secara manusiawi sesuai dengan martabat dan hak-hak anak. b. Penyediaan petugas pendamping khusus anak sejak dini; c. penyediaan sarana dan prasarana khusus;
44
d. penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan yang terbaik bagi anak; e. pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan anak yang berhadapan dengan hukum; f. pemberian jaminan untuk mempertahankan hubungan dengan orang tua atau keluarga; dan g. perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa dan untuk menghindari labelisasi. Secara lebih lanjut, dalam Pasal 4 (1) Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak , dinyatakan bahwa anak yang sedang menjalani masa pidana berhak untuk: a. b. c. d. e. f. g.
mendapat pengurangan masa pidana; memperoleh asimilasi; memperoleh cuti mengunjungi keluarga; memperoleh pembebasan bersyarat; memperoleh cuti menjelang bebas; memperoleh cuti bersyarat; dan memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
E. Tinjauan Mengenai Petugas Pemasyarakatan Petugas pemasyarakatan yang melakukan pembinaan terhadap warga binaan pemasyarakatan adalah Pembina pemasyarakatan.
Pembina
pemasyarakatan menurut Pasal 1 angka 4 Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1999 tentang Pembinaan dan Pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan, adalah petugas pemasyarakatan yang melaksanakan pembinaan narapidana dan anak didik pemasyarakatan di LAPAS.
45
Selanjutnya dalam pelaksanakan pembinaan, Kepala LAPAS menetapkan petugas pemasyarakatan yang bertugas sebagai wali narapidana dan anak didik pemasyarakatan. Kemudian menurut Keputusan Menteri Kehakiman No. M. 02PK.04.10 Tahun 1990 Tentang Pola Pembinaan Narapidana/ Tahanan, Pembina adalah: a.
Pegawai pemasyarakatan yang melakukan pembinaan secara langsung terhadap narapidana, anak negara dan tahanan (intramural treatment).
b.
Mereka yang terdiri dari perorangan, kelompok atau organisasi yang secara langsung maupun tidak langsung ikut melakukan atau mendukung pembinaan narapidan,
anak
negara
dan tahanan
(intramural treatment).
F.
Tinjauan Mengenai Lembaga Pemasyarakatan Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) adalah unit pelaksana teknis pemsyarakatan yang menampung, merawat dan membina narapidana. Dapat dikatakan juga bahwa LAPAS adalah merupakan sarana pembinaan narapidana dalam sistem pemasyarakatan (Tolib Setiady, 2010 : 137). Lembaga Pemasyarakatan menurut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang selanjutnya disebut LAPAS adalah tempat untuk
melaksanakan
pembinaan
Narapidana
dan
Anak
Didik
Pemasyarakatan. Lembaga Pemasyarakatan (LAPAS) merupakan ujung tombak
pelaksanaan
asas
pengayoman,
yang
merupakan
tempat
46
pelaksanaan pembinaan melalui pendidikan, rehabilitasi, dan reintegrasi (Dwidja Prayitno, 2009: 103). Lembaga Pemasyarakatan (disingkat LP atau LAPAS) adalah tempat untuk melakukan pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemasyarakatan di Indonesia. Sebelum dikenal istilah lapas di Indonesia, tempat tersebut di sebut dengan istilah penjara. Lembaga Pemasyarakatan merupakan Unit Pelaksana Teknis di bawah Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (dahulu Departemen Kehakiman). Penghuni Lembaga Pemasyarakatan bisa narapidana (napi) atau Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP) bisa juga yang statusnya masih tahanan, maksudnya orang tersebut masih berada dalam proses peradilan dan belum ditentukan bersalah atau tidak oleh hakim. Pegawai negeri sipil yang menangangi pembinaan narapidana dan tahanan
di
lembaga
pemasyarakatan
di
sebut
dengan
Petugas
Pemasyarakatan, atau dahulu lebih di kenal dengan istilah sipir penjara. Konsep pemasyarakatan pertama kali digagas oleh Menteri Kehakiman Sahardjo pada tahun 1962, dimana disebutkan bahwa tugas jawatan kepenjaraan bukan hanya melaksanakan hukuman, namun tugas yang jauh lebih berat adalah mengembalikan orang-orang yang dijatuhi pidana ke dalam masyarakat. Pada tahun 2005, jumlah penghuni LP di Indonesia mencapai 97.671 orang, lebih besar dari kapasitas hunian yang hanya untuk 68.141 orang. Maraknya peredaran narkoba di Indonesia juga salah satu penyebab terjadinya over kapasitas pada tingkat hunian LAPAS
47
(http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Pemasyarakatan,
Diakses
pada
tanggal 10 Januari 2013).
G. Tinjauan Mengenai Over Capacity Over capacity terjadi karena laju pertumbuhan penghuni LAPAS tidak sebanding dengan sarana hunian LAPAS. Prosentase input narapidana baru jauh melebihi output narapidana sangat tidak seimbang, dengan perbandingan input narapidana baru jauh melebihi output narapidana yang selesai menjalani masa pidana penjaranya dan keluar dari Lembaga Pemasyarakatan (Angkasa, 2010: 213). Kelebihan hunian (over crowding) dalam Lapas sangat berpotensi membawa berbagai dampak yang bersifat negatif. Diantaranya perkelahian antara sesama narapidana maupun antara napi dan petugas, berbagai bentuk kekerasan, banyaknya pelarian narapidana, kualitas makanan, lingkungan dan kesehatan yang buruk. Dengan tingkat keadatan penghuni dalam Lembaga Pemasyarakatan akan mengakibatkan pembinaan narapidana tidak dapat dilaksanakan dengan baik disbanding apabila tingkat kepadatan tidak terlalu besar (Dwidja Prayitno, 2009: 121).