BAB II PENGATURAN SANKSI PIDANA ANAK DIBEBERAPA NEGARA SERTA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP HAK-HAK ANAK A. Pengaturan Sanksi Pidana Anak di Beberapa Negara Peradilan adalah tiang teras dan landasan Negara hukum. Peraturan hukum yang diciptakan memberikan faedah apabila ada peradilan yang berdiri kokoh/ kuat dan bebas dari pengaruh apapun, yang dapat memberikan isi dan kekuatan kepada kaidah-kaidah hukum yang diletakkan dalam undang-undang dan peraturan hukum lainnya. Pengaturan ancaman pidana demikian, dalam praktik seringkali menimbulkan permasalahan terutama berkaitan dengan persoalan disparitas pidana (disparity of Sentencing). 37 Permasalahan disparitas pidana saja muncul dan dirasakan oleh offender sebagai pihak yang terlibat langsung, namun muncul juga dari penilaian masyarakat pada umumnya. Masyarakat sering kali menilai bahwa sanksi yang dijatuhkan kurang bahkan tidak memenuhi rasa keadilan, karena lamanya sanksi pidana yang dijatuhkan terlalu rendah. Pengaturan secara khusus tentang sistem pemidanaan terhadap anak, dalam KUHP diatur dibawah Bab III buku I tentang hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan, atau memberatkan pengenaan pidana. Ketentuan system pemidanaan anak tersebut diatur dalam tiga pasal, yakni Pasal 45,46 dan 47. Ketiga pasal tersebut antara lain mengatur batas usia anak dibawah umur, kewenangan hakim dalam menjatuhkan putusan tentang jenis-jenis sanksi yang 37
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Teori-teori dan kebijakan Pidana, Bandung Alumni 1948 hlm 52
Universitas Sumatera Utara
berupa pidana dan tindakan, serta mengatur tentang lamanya pidana untuk anak yang melakukan tindak pidana. Sebagai bentuk kepedulian Negara terhadap generasi penerus bangsa, sampai saat ini pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hak Anak melalui Kepres Nomor 36 Tahun 1990. Selain itu, pemerintah juga menerbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 Pengadilan Anak, dan Undang-undang No 5 Tahun 1998 sebagai ratifikasi terhadap Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Kemudian, pemerintah mengeluarkan Undangundang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Selanjutnya, ditetapkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta peraturan perundang-undangan lainnya. Diterbitkannya Undang-undang Pengadilan Anak, Antara lain ditujukan untuk memperbaiki hukum pidana anak di Indonesia, agar putusan pengadilan anak menjadi lebih baik dan bekualitas, karena putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan anak dimasa yang akan dating. Apabila dikaji dasar pertimbangan sosiologis maupun filofofis dibentuknya undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, antara lain karena disadari bahwa anak merupakan generasi penerus cita-cita perjuangan bangsa, serta sebagai sumber daya insansi bagi pembangunan nasional. Atas dasar hal itu, terhadap anak diperlukan pembinaan yang terus menerus baik fisik, mental, maupun kondisi sosialnya, serta perlindungan dari segala kemungkinan yang akan membahayakan
Universitas Sumatera Utara
mereka
dan
bangsa
dimasa
depan. 38
Termasuk,
munculnya
fenomena
penyimpangan perilaku di kalangan anak, bahkan perbuatan melanggar hukum yang dapat merugikan baik bagi dirinya sendiri, maupun masyarakat. Dalam hal pelaksanaan proses peradilan pidana, misalnya anak-anak tidak boleh diperlakukan sama seperti orang dewasa. Ketentuan yang ada dalam Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 mengenai Pengadilan Anak telah mengacu pada rambu-rambu semacam ini. Upaya perlindungan terhadap Anak sudah sejak lama menjadi perhatiaan dunia. Kenyataan tersebut, secara normatif dapat dilihat dengan adanya pengaturan-pengaturan khusus masalah anak tersebut, antara lain: a. Sanksi Pidana Anak dalam Hukum Pidana Indonesia Bernes dan Teeters, mengungkapkan salah satu sisi negatif dari sanksi pidana pencabutan kemerdekaan, penjara telah tumbuh menjadi tempat pencemaran yang justru oleh penyokong-penyokong penjara dicoba untuk dihindari, sebab ditempat ini penjahat-penjahat kebetulan pendatang baru didunia kejahatan dirusak melalui pergaulannya dengan penjahat kronis. Bahkan personil yang paling baikpun telah gagal untuk menghilangkan keburukan yang sangat besar dari penjara ini. 39 Dari sudut politik kriminal, tidak terkendalikannya perkembangan kriminalitas yang semakin meningkat, dapat disebabkan oleh tidak tepatnya jenis sanksi pidana yang dipilih dan ditetapkan. Setidak-tidaknya perumusan pidana didalam Undang-undang yang kurang tepat menjadi faktor timbul dan 38 39
Penjelasan umum Undang-undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op. Cit. hlm. 79
Universitas Sumatera Utara
berkembangnya kriminalitas (faktor kriminogen). 40
Penerapan hukum pidana
untuk menanggulangi anak nakal sampai saat ini belum mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap menurunnya tingkat kenakalan anak di Indonesia. Melihat fakta yang ada, tampaknya esensi dikeluarkannya Undang-undang Pengadilan Anak sebagai wujud perlindungan terhadap anak bermasalah sangat jauh dari apa yang diharapkan. Adanya Undang-undang (legal substance) yang baik belum tentu dapat memberi jaminan akan dapat menghasilkan hal yang baik, tanpa ditunjang dengan aspek-aspek struktur hukum (legal structure), serta budaya hukum (legal culture) yang baik. Oleh karena itu, upaya pembaharuan hukum harus dilakukan secara menyeluruh, baik substansi, struktur, maupun budaya. Namun demikian, satu hal yang perlu mendapatkan perhatian bahwa walaupun hukum pidana positif di Indonesia saat ini bersumber kepada KUHP buatan Belanda (WvS), tetapi penegakan hukum harus berbeda dengan filosofi penegakan hukum pidana seperti dizaman Belanda. Hal ini karena kondisi lingkungan
atau
kerangka
besar
hukum
nasional
sebagai
tempat
dioperasionalisasikannya sudah jauh berubah. Penegakan hukum pidana positif harus berada dalam konteks ke Indonesian, bahkan dalam konteks Pembangunan Nasional dan Pembangunan Hukum nasional. Dalam salah satu kesimpulan Konvensi Hukum Nasional yang diselenggarakan pada bulan Maret 2008 menyatakan, bahwa; “Penegakan hukum dan sikap masyarakat terhadap hukum
40
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op. Cit. hlm. 98
Universitas Sumatera Utara
tidak boleh mengabaikan keadaan dan dimensi waktu saat hukum itu ditegakkan atau diberlakukan”. 41 Sebagai bagian dari proses peradilan, maka proses pemidanaan tentunya tidak hanya didasarkan pada peraturan perundang-undangan pidana (hukum pidana positif) saja, tetapi harus memperhatikan rambu-rambu penegakan hukum dan keadilan dalam sistim hukum nasional. Rambu-rambu yang dimaksud cukup banyak kita jumpai dalam Undang-undang Kekuasaan kehakiman antara lain menyatakan: 1. Pasal 18 ayat (2) UUD 1945 (amandemen ke dua) “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-undang” 2. Pasal 28 D UUD 1945 (amandemen ke dua) “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum”. 3. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 (amandemen ke tiga), menyatakan: “Kekuasaan
kehakiman
merupakan
kekuasaan
yang
merdeka
untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” 4. Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa:
41
Nandang Sambas. Pembaharuan Sistim Pemidanaan Anak di Indonesia. Bandung, Graha Ilmu, 2010 .,hlm 136
Universitas Sumatera Utara
“Peradilan Negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadian berdasarkan Pancasila”. 5. Pasal 4 ayat (1) Undang-undang nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa: Peradilan dilakukan “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. 6. Pasal 5 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. 7. Pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa: “Segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan tersebut, memuat pula pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”. 8. Pasal 28 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. 42
42
Ibid. hlm 137
Universitas Sumatera Utara
b. Sanksi Pidana Anak dalam Hukum Pidana Belanda Dalam kitab Undang-undang Hukum Pidana Belanda, ketentuan-ketentuan khusus yang mengatur masalah sanksi pidana bagi anak diatur tersendiri dalam Bab VIII A KUHP Belanda, dan terahir diperbaharui dengan Undang-undang 7 Juli 1994 Stb.1994 No. 528. Substansi yang diatur dalam Undang-undang tersebut meliputi: 1. Pasal 77 a, bahwa “Pasal 9 ayat (1), 10-22a, 24c, 37-38i, 44 dan pasal 57-62 tidak dapat diterapkan pada seorang yang telah berumur 12 (dua belas0 tahun tetapi belum 18 (delapan belas) tahun pada saat tindak pidana dilakukan. Ketentuan-ketentuan
khusus
dalam
pasal
77d-77gg
berlaku
sebagai
penggantinya. Pasal yang tidak berlaku bagi anak usia antara 12-18 tahun tersebut meliputi: a. Pasal 9 ayat (1) tentang jenis-jenis pidana pokok b. Pasal 10-22a aturan pidana c. Pasal 24c pembayaran denda cicilan d. Pasal 37-38i penempatan di Rumah sakit jiwa e. Pasal 44 pemberatan pidan karena jabatan f. Pasal 57-62 concursus realis 2. Pasal 77b; “ Dalam hal seseorang telah mencapai usia 16 tahun tetapi belum 18 tahun pada saat delik dilakukan, hakim dapat tidak menerapkan Pasal 77g-77 gg, dan memberlakukan ketentuan dalam bab terdahulu ,apabilaada alasan
Universitas Sumatera Utara
berdasarkn kualitas delik, sifat/ karakter pembuat, atau pembuat ataukeadaankeadaan waktu delik dilakukan”. 3. Pasal 77c: Dalam hal seseorang telah mencapai usia 18 tahun tetapi belum mencapai 21 tahun pada saat delik dilakukan, hakim dapat menerapkan Pasalpasal 77g-77gg. Apabila ada alasan berdasarkan sifat sipembuat, atau keadaankeadan pada saat delik dilakukan. Pidana kurungan anak (juvenile detection) akan dilaksanakan didalam lembaga penjara yang dirancang untuk tujuan itu boleh menteri kehakiman. 4. Pasal 77 d: 1. Batas waktu daluarsa penuntutan dalam pasal 70, untuk kejahatan dikurangi separuh dari tenggang waktu yang berlaku. 2. Ketentuan ayat (1) tidak berlaku untuk kejahatan dalam pasal 240b dan 245-250 ter, yang dilakukan terhadap anak oleh orang yang telah mencapai usia 16 tahun pada saat delik dilakukan. 5. Pasal 77h: 1. Pidana Pokok: a. Untuk kejahatan: kurungan Anak/ denda b. Untuk pelanggaran: denda 2. Satu atau lebih sanksi alternatife berikut ini dapat dikenakan sebagai pengganti pidana pokok dalam ayat(1): a. Kerja social (community sevice) b. Pekerjaan umum memperbaiki kerusakan yang diakibatkan oleh tindak pidana diakibatkan oleh tindak pidana
Universitas Sumatera Utara
c. Mengikuti proyek pelatihan 3. Pidana tambahan terdiri dari: a. Perampasan b. Pencabutan SIM 4. Tindakan-tindakan terdiri dari: a. Penempatan pada lembaga khusus untuk anak b. Penyitaan c. Perampasan keuntungan dari perbuatan melawan hukum d. Ganti rugi atas kerusakan. 5. Pasal 77 I: 1. Kurungan Anak: a. Minimal 1 hari dan maksimal 12 bulan dalam hal seseorang belum mencapai usia 16 tahun pada saat kejahatan dilakukan, b. Maksiamal 24 bulan untuk kasus-kasus 2. Kurungan anak ditetapkan dalam hari, minggu atau bulan. 3. Pasal 26 dan 27 dapat dikenakan untuk seseorang yang dijatuhi pidana “kurungan anak” 4. Kurungan anak harus dilaksanakan dilembaga Negara atau fasilitas yang ditentukan pasal 65 UU Pemberian Bantuan Anak yang disubsidi untuk tujuan itu oleh Menteri Kehakiman, seperti diatur dalam pasal 56 UU tersabut. 43
43
Nandang Sambas, Op,Cit .hal 147
Universitas Sumatera Utara
c. Sanksi Pidana Anak dalam Hukum Pidana Yugoslavia Sama halnya dengan Belanda, ketentuan yang mengatur masalah sanksi dan tindakan untuk anak dalam KUHP Yugoslavia ditentukan dalam bab khusus. 44 1. Ketentuan Umum Berdasarkan Pasal 64 ketentuan bagi anak yang melakukan tindak pidana berlaku ketentuan yang diatur dalam Bab VI, serta ketentuan-ketentuan laian sepanjangtidak ditentukan lain. Berdasarkan Pasal 65: Ayat (1) terhadap “anak” yang pada saat tindak pidana dilakukan belum mencapai 14 tahun tindak dapat dipidana maupun tindakan edukatif (educative meansure) atau tindakan keamanan (security meansure). Ayat (2) dinyatakan bahwa terhadap anak itu, badan perwalian akan mengambil tindakan-tindakan yang diperlukan sesuai dengan kewenangannya. 2. Tindakan-tindakan Edukatif (Edukative Meansure) Tujuan dari tindakan edukatif, sebagaimana diatur dalam Pasal 68, yaitu: untuk melindungi pendidikan, perbaikan dan pengembangan para pelaku anak dengan memperluas perlindungan, bantuan dan pengawasan kepada mereka, dan juga untuk mencegah mereka melakukan tindak pidana. Jenis dari tindakan diatur dalam Pasal 69 terdiri atas: 1. Tindakan disiplin (disciplinary meansure) a. Teguran keras atau pencercaan
44
Muladi dan Barda Nawawi Arif, Op, Cit, hlm. 99-105
Universitas Sumatera Utara
b. Dimasukkan ke Pusat Pendisplinan atau Penertiban Anak. 2. Tindakan Pengawas Intensif (Meansures of Intensitief supervion): a. Pengawasan orang tua atau wali b. Pengawasan dalam keluarga lain atau badan-badan perwalian. 3. Tindakan Intitusional (Institutional meansure) a. Penempatan di Lembaga Pendidikan; b. Penempatan pada panti asuhan pendidikan korektif c. Penempatan pada panti asuhan anak cacat. Pedoman Pemilihan Tindakan dalam pasal 70 bahwa; 1. Dalam
pemilihan
tindakan-tindakan
edukatif,
pengadilan
harus
mempertimbangkan usia anak, tingkat perkembangan kejiwaan anak, kecenderungan-kecenderungannya, motif melakukan tindak pidana yang dilakukan, apakah pernah mendapatkan tindakan edukatif atau pidana sebelumnya. 2. Tindakan pendisplinan harus diberikan kepada anak yang kepadanya tidak perlu dilakukan tindakan edukatif dan reformatif yang diperluas, dan khususnya apabila ia telah melakukan tindak pidana karena kekurangajaran. 3. Tindakan pengawasan intensif harus diberikan apabila perlu dilakukan tindakan-tindakan edukatif dan reformatif yang diperluas terhadap anak itu, dan pengasingan dari lingkungannya tidak diperlukan. 4. Tindakan institusional diberikan kepada anak apabila perlu dilakukan tindakan edukatif dan reformatif yang diperluas dan perlu dilakukan pengasingan (isolasi) dari lingkungannya.
Universitas Sumatera Utara
Teguran Keras (Reprimet) dalam pasal 71, yaitu: 1. Teguran keras diberikan apabila hal itu cukup untuk mencela atas tindak pidana yang dilakukannya. 2. Dalam menjatuhkan teguran hakim menunjukkan kepada anak sifat berbahaya anak dan perbuatannya dan member peringatan bahwa tindakan lebih berat dikenakan kepadanya apabila ia melakukan lagi tindak pidana lain. Pusat Pendisplinan Anak dalam pasal 72 yaitu: 1. Pengadilan akan memasukkan anak kepusat pendisplinan apabila hal itu diperlukan
untuk
mempengruhi
kepribadian
dan
perilakunya
dengan
mengenakan tindakan-tindakan berjangka waktu pendek yang sesuai. 2. Pengadilan dapat memasukkan anak kepusat pendisplinan: a. Untuk beberapa jam tertentu pada hari libur dan tidak boleh lebih dari empat hari libur berturut-turut; b. Untuk beberapa jam tertentu dalam sehari, tetapi tidak boleh lebih dari satu bulan; c. Untuk tinggal terus-menerus dalam beberapa hari, tetapi tidak lebih dari 20 hari; 3. Dalam menjatuhkan tindakan ini, harus diperhatikan dengan teliti bahwa anak itu meninggalkan pendidikan formalnya sebagai akibat dari tindakan ini. 4. Dalam pusat pendisplinan, anak itu dipekerjakan pada pekerjaan yang bermanfaat sesuai dengan usianya.
Universitas Sumatera Utara
3.
Pemidanaan Anak Senior (antara usia 16-18 tahun) Berdasarkan Pasal 79C, Pengadilan dapat menjatuhkan pidana kepada
anak-anak senior yang mampu bertanggaung jawab apabila ia melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana lebih dari 5 (lima) tahun penjara. Pasal 79D menetapkan bahwa pidana penjara anak tidak boleh kurang dari 1 (satu) tahun dan tidak boleh lebih dari 10 (sepuluh) tahun dan pelaksanaan pidana ini tidak boleh ditunda. Pidana penjara anak dilaksanakan dalam lembaga khusus (penal corrective home) atau “lembaga koreksi penal” dimana mereka dapat berada disana sampai mencapai usia 23 tahun. Berdasarkan Pasal 79I, seorang dewasa hanya dapat diadili untuk tindak pidana yang dilakukannya sebagai anak senior apabila ia belum mencapai usia 21 (dua puluh satu) tahun dan apabila pidana lebih dari 5 (lima) tahun penjara diancam untuk tindak pidana yang dilakukannya. Berdasarkan Pasal 79J, seorang dewasa yang diadili seorang dewasa yang diadili untuk tindak pidana yang dilakukan sebagai anak senior dapat dikenakan tindakan berupa penempatan pada lembaga koreksi-edukatif atau dikenakan pidana penjara anak. 45 d. Sanksi Pidana Anak dalam Hukum Pidana Jepang Jepang merupakan salah satu Negara yang diakui paling aman didunia. Berdasarkan pasal 2 Undang-undang Anak nomor 168 Tahun 1948, yang dikategorikan sebagai “Anak” (Shoonem) adalah mereka yang berumur kurang 45
Nandang Sambas. Op, Cit .hal 156
Universitas Sumatera Utara
dari 20 (dua puluh) tahun. Adapun seorang anak yang digolongkan sebagi pelaku kenakalan yang dapat diajukan kepengadilan diklasifikasikan kedalam tiga kriteria, yaitu: 1. Anak pelaku kejahatan (juvenile offender), yaitu anak yang sudah berumur diatas 14 (empat belas) tahun sampai 20 (dua puluh) tahun yang melakukan kejahatan. 2. Anak Pelanggar Hukum (children offender) yaitu anak yang belum mencapai umur 14 (empat belas) tahun yang melakukan kejahatan. 3. Anak predeliguen (pre-delinquent juvenile) yaitu anak yang mempunyai salah satu kecenderungan sifat, serta dapat dipandang akan melakukan kejahatan atau perbuatan pelanggaran hokum. Sifat/sikap yang cenderung dimiliki anak predelinquen, antara lain: a. Tidak menaati pengawasan dan bimbingan orang tua; b. Meninggalkan rumah tanpa alasan yang sah. c. Bergaul dengan orang-orang pelaku tidak bermoral atau sering mengunjunggi tempat-tempat yang tidak pantas bagi anak. d. Melakukan perbuatan yang merugikan diri sendiri atau orang lain. 46 Perbedaan antara anak pelaku kejahatan dan anak pelaku pelanggaran hukum terletak pada batas usia sebelum 14 (empat belas) tahun dan setalah 14 (empat belas) tahun. Hal tersebut didasarkan kepada ketentuan tentang kemampuan bertanggung jawabbsebagaimana diatur dalam Pasal 41 Undang46
.Tatsuya Ota, “Situasi Pembinaan Anak Nakal di Dalam Lembaga Jepang, Depok, Universitas Indonesia, 1995, hal 11.
Universitas Sumatera Utara
undang hokum Pidana (UHP) Jepang Nomor Tahun 1907. Dalam pasal ini ditegaskan bahwa orang yang berumur kurang dari 14 (empat belas) tahun dianggap belum mampu bertanggung jawab atas perbuatannya. Walaupun setiap anak yang melakukan kejahatan akan ditetapkan perlakuan, namun anak yang melakukan pelanggaran hukum tidak dikirim kepengadilan keluarga
47
, namun
diserahkan ke Pusat Bimbingan Anak dan Perlakuan berdasarkan Undang-undang Kesejahteraan Anak. Menurut UUA di Jepang, terdapat perbedaan prosedur penanganan bagi anak yang melakukan kejahatan disebut “Prosedur Perlindungan” prosedur ini sangat berbeda dengan “Prosedur Pidana” yang diberlakukan terhadap orang dewasa yang melakukan kejahatan. Karena penanganan anak dilandasi pada tujuan kesempatan untuk mencari tindakan yang paling cocok bagi perlindungan dan pembinaan anak, namun diakui bahwa tindakan inipun dianggap sebagai tindakan yang membatasi hak-hak anak serta tindak menguntungkan bagi anak. Oleh karena itu, maka penanganan terhadap perkara anak hakim menentukan pilihan sebagai berikut: 48 1.
Tidak ada tindakan, dimana hakim karena alasan tertentu menyelesaikan perkara terhadap anak tanpa ada tindakan apapun. Penanganan seperti ini terjadi karena hakim menganggap perbuatan yang dituduhkan tidak terbukti, atau dianggap kasusnya ringan.
2.
Tindakan Perlindungan terdiri dari: 47
Organisasi Pengadilan di Jepang berdasarkan Courts At (Saibansho Ho) 1947 Mandar maju, Perbandingan Hukum Pidana. 1996, hlm. 81-83 48 Tatsuya Ota, Ibid, hlm. 117
Universitas Sumatera Utara
a. Menyerahkan anak kepada Sekolah Pendidikan Anak b. Menyerahkan kepada Panti Pelatihan dan Latihan Anak c. Menyerahkan anak kepada masyarakat dengan pengawasan dan bimbingan oleh pekerja social (pengawas social, probation). 3. Menyerahkan kembali ke kejaksaan, merupakan perkara yang akan ditangani dengan acara pidana yang sama sebagaimana perkara orang dewasa. 4. Menyerahkan ke Gubernur atau Ketua Pusat Bimbingan Anak merupakan acara kesejahteraan. Dalam perkara anak yang melakukan kejahatan diancam dengan hukuman mati, penjara atau hukuman tutupan, hakim pengadilan keluarga berpendapat bahwa perkara lebih cocok dikirim kembali ke kejaksaan untuk dilakukan penuntutan, sesuai dengan berat ringannya kejahatan yang dilakukan. Berdasarkan Pasal 20 UUA , tindakan demikian hanya diterapakan terhadap anak yang berusia diatas 16 tahun. Walaupun anak terbukti bersalah, namun sanksi pidana yang dijatuhkan disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku bagi anak. 49 Apabila terhadap anak dijatuhkan pidana perampasan kemerdekaan, yaitu pidana penjara atau tutupan, berarti sianak dijatuhkan pidana yang masa pidananya tidak tetap. Kecuali pidana bersyarat, maka anak ditampung di penjara Anak yang terpisah dari lembaga untuk orang dewasa. 50
49
Berdasarkan Pasal 51 UUA , terhadap anak yang berumur kurang dari 18 tahun pada melakukan kejahatan diancam pidana mati, pidana seumur hidup, pidana penjara atau pidana tutupan antara 10 tahun dan 15 tahun. 50 Tatsuya Ota, Ibid., hlm 117
Universitas Sumatera Utara
Berikut tabel batas usia minimum dan maksimum anak pelaku tindak pidana dibeberapa Negara. Tabel 1. Batas usia Minimal dan Usia Maksimal Anak Pelaku Tindak Pidana di Beberapa Negara. Negara
Batas usia Minimal
Batas usia Maksimal
Amerika Serikat
8 Tahun
18 tahun
Belanda
12 Tahun
16 Tahun
Inggris
12 Tahun
18 Tahun
Jepang
14 Tahun
20 Tahun
Kamboja
15 Tahun
18 Tahun
Malasya
7 Tahun
18 Tahun
Sumber: Buku Sri Widoyati Wiratmo Soekito
Universitas Sumatera Utara
A. Perlindungan Hukum Terhadap Anak dan Hak-haknya. a. Hak-hak Anak yang Berlawanan dengan Hukum Hak tersangka meliputi: Hak untuk mendapatkan surat perintah penahanan atau penahan lanjutan atau penetapan Hakim (Pasal 21 ayat (2) KUHAP); Hak untuk menerima tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau penetapan Hakim (Pasal 21 ayat (3) KUHAP); Hak untuk mengajukan keberatan terhadap perpanjangan penahanan (Pasal 29 ayat(7) KUHAP); hak-hak anak yang menjadi sorotan utama dalam proses ini adalah sebagai berikut; sebagi tersangka, hak-hak yang diperoleh sebagai tindakan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan (fisik, psikologis dan kekerasan) : (viktim) hak untuk yang dilayani kerena penderitaan fisik, mental, dan sosial atau penyimpangan perilaku sosial; hak didahulukan dalam proses pemeriksaan, penerimaan laporan, pengaduan dan tindakan lanjutan dari proses pemeriksaan; hak untuk dilindungi dari bentukbentuk ancaman kekerasan dari akibat laporan dan pengaduan yang diberikan. 51 Hak-hak anak dalam proses penuntutan, meliputi sebagai berikut: menetapkan masa tahanan anak cuma pada sudut urgensi pemeriksaan, membuat dakwaan yang dimengerti anak, secepatnya melimpahkan perkara ke Pengadilan, melaksanakan ketetapan hakim dengan jiwa dan semangat pembinaan atau mengadakan rehabilitasi. Hak-hak anak pada saat pemeriksaan di Kejaksaan sebagai berikut; hak untuk mendapatkan keringanan masa/ waktu penahanan, hak untuk mengganti status penahanan dari penahanan Rutan (Rumah Tahanan 51
1998/1999. Perumusan Harmonisasi Hukum Bidang Penyerasian KUHAP dengan KUHP Baru, Jakarta; Badan Pembinaan Hukum nasional Departemen Kehakiman.
Universitas Sumatera Utara
Negara) menjadi tahanan rumah atau tahanan kota, hak untuk mendapatkan perlindungan dari ancaman, penganiayaan, pemerasan dari pihak yang beracara, hak untuk mendapatkan fasilitas dalam rangka pemerisaan dan penuntutan, hak untuk didampingi oleh penasehat hukum. Hak-hak anak dalam proses persidangan antara lain adalah; hak untuk memperoleh pemberitahuan datang kesidang pengadilan (Pasal 145 KUHAP), hak untuk menerima surat penggilan guna menghadiri sidang pengadilan (Pasal 146 ayat (1) KUHAP), hak untuk memperoleh apa yang didakwakan (Pasal 51 hurub b KUHAP), hak untuk mendapatkan juru bahasa atau penerjemah (Pasal 53, Pasal 177, Pasal 165 ayat (4) KUHAP), hak untuk mengusahakan atau mengajukan saksi (Pasal 65 dan Pasal 165 ayat (4) KUHAP) Hak anak selama persidangan, masih dibedakan lagi dalam kedudukannya sebagai pelaku, korban dan sebagai saksi. Hak anak selama persidangan dalam kedudukannya sebagai pelaku: 1. Hak mendapatkan penjelasan mengenai tata cara persidangan kasusnya. 2. Hak untuk mendapatkan pendamping dan penasihat selama persidangan. 3. Hak untuk mendapatkan fasilitas ikut serta memperlancar persidangan mengenai dirinya. 4. Hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap tindakan yang merugikan penderitaan mental, fisik, sosial dari siapa saja. 5. Hak untuk menyatakan pendapat. 6. Hak untuk memohon ganti kerugian atas perlakuan yang menimbulkan penderitaan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
Universitas Sumatera Utara
alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. 7. Hak untuk mendapatkan perlakuan pembinaan/ penghukuman yang positif, yang masih mengembangkan dirinya sebagai manusia seutuhnya. 8. Hak akan persidangan tertutup demi kepentingannya. Pengembanan hak-hak anak dalam proses peradilan pidana merupakan suatu hasil interaksi anak dengan keluarga, masyarakat, penegak hukum yang saling mempengaruhi. Keluarga, masyarakat, dan penegak hukum perlu meningkatkan kepedulian terhadap perlindungan dan memperhatikan hak-hak anak demi kesejahteraan anak. 52 Hak-hak yang diperoleh anak di PKPA sebagai pelaku tindak kejahatan: 53 1.
Memperoleh bantuan hukum dan bantuan hukum lainnya secara efektif mulai dari proses kepolisian, kejaksaan sampai kepengadilan.
2.
Tidak dipublikasikan Identitasnya
3.
Untuk tidak ditangkap, ditahan atau dipenjara kecuali upaya terahir.
b. Tujuan dan Pedoman Pemidaan Anak Hukuman yang terbaik bagi anak dalam peradilan pidana bukan hukuman penjara, melainkan tindakan ganti rugi menurut tingkat keseriusan tindak pidananya. “Ganti Rugi yang dimaksud adalah sebuah sanksi yang diberikan oleh
52
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak. Bandung PT Refika Aditama 2010 hlm 113-135 53 Wawancara dengan Ibu Azmiati Zuliah (Kordinator) di PKPA Setia Budi Medan, 20 Mei 2011
Universitas Sumatera Utara
sistem peradilan pidana/pengadilan yang mengharuskan pelaku membayar sejumlah uang atau kerja, baik langsung maupun pengganti”. 54 Hukum pidana untuk anak yang diatur dalam UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dianggap belum memberikan perlindungan kepada anak yang berkonflik dengan hukum. Oleh karena itu perlu adanya perubahan dan pembaruan. Tujuan dan dasar pemikiran dari peradilan pidana anak tidak dapat dilepaskan dari tujuan utama mewujudkan kesejahteraan anak yang pada dasarnya merupakan bagian integral dari kesejahteraan sosial. Lady Wotton, menyatakan tujuan dari hukum pidana untuk mencegah terjadinya perbuatan-perbuatan yang dapat merusak masyarakat dan bukanlah untuk membalas kejahatan yang telah dilakukan pembuat dimasa yang lampau akan doktrin yang telah berlaku secara konvensional ini telah menempatkan mens rea ditempat yang salah.
55
Mens rea itu hanya penting setelah penghukuman,
sebagai suatu petunjuk tentang ukuran-ukuran apakah yang akan diambil untuk mencegah terulangnya kembali perbuatan-perbuatan terlarang itu. Marlina, menyatakan tujuan dari hukum pidana anak adalah untuk menyembuhkan kembali keadaan kejiwaan anak yang telah terguncang akibat perbuatan pidana yang telah dilakukannya. Jadi tujuan pidana tidak semata-mata menghukum anak yang sedang bersalah, akan tetapi membina dan menyadarkan kembali anak yang telah melakukan kekeliruan aatau telah melakukan perbuatan 54
Burt Galaway and Joe Hudson. Offender Restiturion in Theory and Actions, Lexington: Mass eath, 1978, hlm 1 55 Roeslan Saleh. Pertanggung Jawaban Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia. 1982 Cetakan I. hlm. 30
Universitas Sumatera Utara
menyimpang. Hal ini penting mengingat bahwa apa yang telah dilakukannya perbuatan salah yang melanggar hokum. Untuk itu penjatuhan pidana bukanlah satu-satunya upaya untuk memproses anak yang telah melakukan tindak pidana. 56 Dalam perkembangannya banyak yang mempersoalkan kembali manfaat penggaunaan pidana penjara sebagai salah satu sarana untuk menanggulangi masalah kejahatan, yang sering dipersoalkan adalah efektifitasnya. Bender OP menyatakan, hukum pidana itu ialah hukum alam, sebagai tandanya ialah pada zaman dan disebuah negara selalu ada suatu hukum pidana, hanya saja yang satu lebih sempurna dari yang lain. Tetapi di manapun akan ada hukuman pidana. Dengan alasan sudah pembawaan alami manusia menuntut agar hak-haknya dipertahankan dengan selayaknya, dan hal tidak bisa terjadi jika orang-orang tidak hidup didalam suatu masyarakat dengan hukum pidan posititif. 57 Menurut Alf Ross pidana adalah merupakan tanggung jawap sosial di mana terdapat pelanggaran terhadap aturan hokum yang dibuat. Tanggung jawab untuk menegakkan aturan terhadap aturan tersebut dilaksanakan oleh lembaga yang mengatasnamakan penguasa. Selanjutnya Plato dan Aristoteles mengatakan bahwa pidana itu dijatuhkan bukan karena telah berbuat jahat melainkan agar jangan berbuat kejahatan lagi. 58 Berbicara masalah pidana tentu tidak lepas dari pembicaraan mengenai pemidanaan. Menurut Prof. Soedarto dikatakan bahwa: 56
Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2009 Cetakan I., hlm 158 57 Lili Rasjidi. Filsafat Hukum Apakah Hukum itu. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya, 1991 hlm 151-152 58 Roeslan Saleh. Stelsel Pidana Indonesia, Jakarta: Aksara Baru, 1978 hlm. 5.
Universitas Sumatera Utara
“Perkataan pemidaan sinonim mengenai istilah “penghukuman”. Penghukuman sendiri berasal dari kata “hukum”, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumannya (brechten). Menetapkan hukuman ini sangat kuat artinya, tidak hanya dalam bidang hukum pidana saja tetapi juga bidang hukum lainya. Oleh karena istilah tersebut harus disempitkan artinya yaitu penghukuman dalam perkara pidana yang kerap kali sinonim dengan pemidanaan atau pemberian atau penjatuhan pidana oleh hakim. 59 Sedangkan Profesor Flew pada tahun 1954 menyatakan bahwa hukuman diberikan karena terjadinya sebuah kejahatan dan perbuatan tidak menyanangkan pada korban dan melanggar aturan yang ditetapkan oleh lembaga yang berwenang. 60 Pendapat Profesor Flew mengatakan bahwa hukuman harus meliputi halhal yang jahat dan tidak menyenangkan bagi korban (pelakunya), hukuman itu merupakan suatu yang menderitakan diberikan pada pelaku kejahatan dan merupakan pekerjaan atau kegiatan agen manusia/ perwakilan yang dikerjakan oleh lembaga perwakilan masyarakat dan hukum harus dijatuhkan oleh penguasa setempat/ lembaga-lembaga peradilan yang telah menetapkan aturan tersebut.
c. Penerapan Sanksi Pidana Terhadap Anak Peradilan pidana Anak mewujudkan kesejahteraan anak, sehingga anak diadili secara tersendiri. Segala aktivitas yang dilakukan dalam Peradilan Pidana Anak, seyogianya dilakukan oleh Penyidik Anak , Penuntut Umum Anak , Hakim 59
Laminating. Op.cit, hlm 49 Philip Bean. Punishment (A Philosophical and Criminologikal Inquiry), Oxfor: Martin Roberston, University, 1981 Laiden Bibl, hlm 6 60
Universitas Sumatera Utara
Anak atau petugas Lembaga Pemasyarakatan Anak, berdasarkan prinsip demi kesejahteraan anak. Hakim menjatuhkan pidana atau tindakan dimaksudkan untuk memberikan yang paling baik bagi, tanpa mengorbankan kepentingan masyarakat dan tegaknya wibaya hokum. Sanksi pidana yang dijatuhkan kepada anak didasarkan kepada kebenaran, keadilan dan kesejahteraan Anak. Peradilan Pidana Anak, pada dasarnya juga untuk melakukan koreksi, rehabilitasi, sehingga cepat atau lambat, anak dapat kembali ke kehidupan masyarakat normal dan bukan untuk mengakhiri harapan dan potensi masa depannya. Penjatuhan pidana atau tindakan merupakan suatu tindakan yang harus dipertanggaungjawabkan dan dapat bermanfaat bagi anak. Setiap pelaksanakan pidana atau tindakan, diusahakan tidak menimbulkan korban, penderitaan, kerugaian mental, fisik, dan sosial. Mencegah akibat-akibat yang tidak diinginkan yang sifatnya merugikan , perlu diperhatikan dasar etis bagi pemidanaan tersebut, yaitu keadilan sebagai satu-satunya dasar pemidanaan, setiap tindakan pemidanaan dinilai tidak hanya berdasarkan sifat keadilan saja, melainkan juga sifat kerukunan yang akan dicapainya, karena dalam kerukunan tercermin pula keadilan, pemidanaan merupakan tindakan terhadap anak nakal yang dapat mempertanggung jawapkan perbuatannya, penilaian anak nakal, tidak selalu didasarkan pada kualitas kemampuan rohaniah dan psikis pada waktu kenakalan dilakukan, tetapi terutama didasarkan pada kemampuan mereka berhak untuk menerima pidana dan tindakan. 61
61
Maidin Gultom, Perlindungan Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia. Bandung . Refika Aditama. 2008 Cetakan I.hlm. 124
Universitas Sumatera Utara
Hakim tidak boleh menjatuhkan kumulasi hukuman kepada terdakwa, artinya pidana dan tindakan tidak boleh dijatuhkan sekaligus. Namun dalam perkara Anak Nakal dapat dijatuhkan pidana pokok dan pidana tambahan sekaligus, misalnya pidana penjara atau ganti rugi. Dalam menjatuhkan pidana atau tindakan, Hakim harus memperhatikan berat ringannya tindakan pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak. Hakim wajib mempertimbangkan keadaan anak, keadan rumah tangga, orang tua/wali/orang tua asuhnya, hubungan anggota keluarga, keadaan lingkungan, dan Laporan Pembimbing Kemasyarakatan. 62
d. Jenis-jenis Sanksi bagi Anak Secara gradual, jenis-jenis sanksi bagi anak diatur ketentuan Pasal 22-32 Undang-undang Nomor: 3 dan dapat berupa pidana atau tindakan. Apabila diperinci lagi, pidana tersebut bersifat Pidana pokok dan Pidana Tambahan. Pidana pokok terdri dari: ▪ Pidana penjara ▪ Pidana kurungan ▪ Pidan denda; dan ▪ Pidana Pengawasan Pidana Tambahan terdiri dari ▪ Perampasan barang-barang tertentu ▪ Pembayaran ganti rugi Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak nakal ialah:
62
Ibid. hlm. 125
Universitas Sumatera Utara
▪ Mengembalikan Kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; ▪ Menyerahkan kepada Negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja ▪ Menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi sosial kemasyarakatan yang bergerak dibidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. Pada asasnya, identik dengan Hukum Pidana Umum (Ius Commune) maka pengadilan Anak hanya mengenal penjatuhan 1 (satu) pidana pokok saja. Tegasnya, komulasi 2 (dua) pidan pokok diarang. Konkretnya, terhadap Anak Nakal yang melakukan tindak pidana (Pasal 1 angka 2 hurup a UU 3/ 1997) Hakim dapat menjatuhkan salah satu pidana pokok atau tindakan sedangkan terhadap anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan (Pasal 1 ayat (2) hurup b UU 3/1997) Hakim hanya dapat menjatuhkan tindakan (Pasal 25 ayat (1), (2) UU 3/1997. Selanjutnya, dalam menentukan pidana atau tindakan yang dapat dijatuhkan kepada anak, Hakim memperhatikan berat ringannya tindak pidana atau kenakalan yang dilakukan oleh anak yang bersangkutan. Hakim juga wajib memperhatikan keadaan anak, rumah tangga, orang tua, wali, atau orang tua asuh, hubungan antar anggaota keluarga dan lingkungannya. Demikaian pula, Hakim wajib memperhatikan laporan Pembimbing Kemasyarakatan. 63
63
Lilik Mulyadi. Pengadilan Anak di Indonesia dan Teori, Praktik dan Permasalahannya. Bandung. Mandar Maju.2005 hlm. 133 Undang-undang Pengadilan Anak Nomor 3 Tahun 1997
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2. Data Tersangka Pelaku Kriminal Sejajaran PUSPA/ PKPA Sumatera Utara Tahun 2007-2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Sejajaran Polda Sumut Asahan Binjai Dairi Deli Serdang Dolok Masihol Karo Labuhan Batu Langkat Madina Medan Nias P. Berandan P. Sidempuan P . Siantar Serdang Bedagai Simalungun T anjung Balai Tebing Tinggi Tapanuli Selatan Tapanuli Utara Tebing Tinggi Rantau Parapat Sibolga
2007 24 9 3 17 6 7 10 2 56 4 1 4 3 2 1 2 1 1 -
2008 3 11 59 7 2 15 96 2 7 5 3 2 2
2009 11 4 23 2 15 1 1 62 1 2 11 -
2010 11 14 1 11 7 11 37 1 1 -
Jumlah
153
214
133
94
Tahun
Sumber : Startistika Pusat Kajian Perlindungan Anak Sumatera Utara 2010. Tabel 2 menunjukkan bahwa terlihat tahun 2007 jumlah pelaku kriminal secara keseluruhan 153 orang. Tahun 2008 berjumlah 214 orang. Tahun 2009 jumlah tersangka pelaku kriminal adalah 133 orang dan tahun 2010 berjumlah 94 orang.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 3. Data Kasus Anak Berkonflik dengan Hukum Usia 13-18 yang ditangani PUSPA/ PKPA Sumatera Utara 2007-2010 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16
Jenis Kejahatan Penganiayaan Pencurian Narkoba Pencabulan Terhadap ketertiban Perampokan Pembunuhan Pemerkosaan Illegal Loging Uang Palsu Sumpah palsu Ingkar janji Pengrusakan Penjambretan Perjudian Inces Jumlah
2007 6 67 32 8 13 6 13 1 1 147
TAHUN 2008 2009 9 1 94 6 59 9 5 9 1 1 1 1 10 9 1 208 8
2010 49 15 3 19 86
Jumlah 16 216 106 20 24 22 6 14 1 1 1 1 1 10 9 1 449
Sumber : Data Statistik Pusat Kajian Perlindungan Anak 2010 Tabel 4 tersebut menunjukkan bahwa peningkatan yang sangat menonjol pada tahun 2008 dengan kasus 208, yang sebelumnya tahun 2007 hanya berjumlah 147 kasus. Berdasarkan Tabel diatas, dalam kurun waktu empat tahun mulai tahun 2007-2010 ada empat jenis tindak pidana yang terbesar yang dilakukan oleh anak. Pertama tindak pidana pencurian berjumlah 216 kasus. Kedua, tindak pidana Narkoba 106 kasus. Ketiga, tindak pidana ketertiban 24 kasus. Keempat, tindak pidana perampokan 22 kasus.
Universitas Sumatera Utara