Subsidi Kesehatan (bukan) untuk Orang Miskin Lola Amelia Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) secara resmi diimplementasikan pada 1 Januari 2014 silam. Untuk kepesertaan per September 2015, total ada 146, 927,633 peserta JKN (BPKS, 2015). Dari total tersebut ada 74,405,258 peserta laki-‐laki dan 72,522,375 peserta perempuan. Dari data tersebut juga terlihat bahwa peserta untuk golongan Peserta Bantuan Iuran (PBI) adalah sebesar 71 persennya, formal sektor 18,1 persen dan peserta mandiri adalah sebesar 11 persennya. Belum genap 2 tahun, Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), lembaga wali amanat yang ditunjuk sebagai pelaksana program ini memberikan pernyataan yang mengejutkan bahwa di satu tahun pelaksanaan program ini saja, mereka merugi sebesar 2 Triliun dan di tahun 2015 ini diperkirakan akan sampai 5 Triliun. Penyebab dominan dari kerugian ini adalah adanya moral hazard dari oknum peserta mandiri JKN. Misalnya, mereka baru satu kali melakukan pembayaran iuran JKN, tapi kemudian sudah gunakan fasilitas JKN untuk operasi jantung yang memerlukan biaya yang besar. Setelah sembuh, tidak rutin lagi membayarkan iuran JKN. Di sisi lain, jamak kita lihat di media massa, kasus-‐kasus dimana peserta JKN dari kelompok Penerima Bantuan Iuran (PBI), yaitu dari kelompok fakir miskin dan orang tidak mampu tidak bisa akses layanan JKN. Data BPJS menunjukkan bahwa dari total utilitas program JKN yang sebesar 9,53 persen, hanya 3,8 persen dari total tersebut dari kelompok PBI dan kelompok peserta mandiri sebesar 32,49 persen. Dari hasil riset The Indonesian Institute terungkap bahwa rendahnya penggunaan JKN oleh kelompok PBI karena ada faktor eksternal dan internal PBI itu sendiri. Eksternal misalnya, jauhnya fasilitas kesehatan dari domisili, kamar perawatan yang tersedia penuh, kuota pelayanan pasien terbatas dan lain sebagainya. Untuk faktor internal PBI misalnya ongkos yang dikeluarkan ke fasilitas kesehatan besar disebabkan karena domisili mereka yang jauh dari fasilitas kesehatan terdekat, ketidakpahaman para pemegang kartu JKN tentang bagaimana bisa mengakses layanan yang disediakan program ini, kartu yang masih dipegang oleh kelurahan dan lain sebagainya. Dari dua ilustrasi di atas, terlihat bahwa di satu sisi ada kelompok yang mengakses program JKN ini dengan tagihan yang besar, sementara di sisi lain kelompok PBI yang nota bene diprioritaskan pemerintah dengan diberi subsidi melalui Anggaran Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah tidak mengakses program tersebut.
Dengan kata lain, subsidi untuk fakir miskin dan orang tidak mampu, dipergunakan oleh yang mampu. Jadi, apakah benar subsidi negara untuk menjamin kesehatan masyarakatnya yang miskin dan tidak mampu bisa tetap sasaran dengan program JKN ini? Landasan Yuridis Program JKN Pada prinsipnya, sistem jaminan kesehatan yang diadposi oleh Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) adalah jaminan untuk seluruh masyarakat Indonesia, atau yang dikenal dengan Universal Health Coverage (UHC). Prinsip-‐prinsip UHC ini jika ditilik lebih jauh, sudah termaktub di dalam konstitusi negara Indonesia. Artinya adalah bahwa jaminan atas hak jaminan sosial warga negara dilindungi oleh Konstitusi. Negara wajib memenuhi hak tersebut. Aturan di dalam konstitusi ini kemudian dikuatkan di dalam Undang-‐Undang (UU) Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. UU ini mengatur soal kepesertaan, iuran, jenis program dan juga memandatkan dibentuknya badan penyelenggaran jaminan sosial tersebut. Atas dasar inilah kemudian dirumuskan UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS). Untuk pelaksanaan program ini khususnya yang terkait dengan Jaminan Kesehatan Nasional dibuatlah Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan. Di dalam Peraturan Presiden ini termaktub semacam peta jalan pencapaian UHC yang ditargetkan tercapai pada tahun 2019. Khusus terkait PBI ada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 101 Tahun 2012 tentang Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan dan baru baru ini diganti dengan Peraturan Pemerintah RI No. 76 Tahun 2015. Beberapa poin penting dari perubahan ini adalah terkait pemutakhiran data PBI. Jika sebelumnya hanya diatur soal penghapusan dan penambahan, namun di aturan yang baru juga diatur soal penggantian. Ini penting, agar data PBI Jaminan Kesehatan ini terkini dan sesuai dengan kondisi di lapangan. Benar mereka adalah dari kelompok fakir miskin dan tidak mampu. Juga diatur lebih spesifik data fakir miskin dan orang tidak mampu yang bisa menggantikan dengan berbagai ketentuan spesifik. Implementasi Jaminan Kesehatan Nasional Selain masih rendahnya utilitas program JKN ini, apalagi untuk kelompok PBI, masih ada beberapa masalah lain. Pertama yaitu terkait data, terutama data PBI. Data peserta kelompok PBI saat ini adalah berasal dari Kementerian Sosial yang kemudian ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan. Namun, data saat ini adalah data 2011 dan pembaharuan
data tak dilakukan rutin. Dampaknya kemudian, data tidak valid, misalnya masih mencakup orang yang telah meninggal atau orang yang statusnya misalnya sudah tidak miskin lagi. Hal lainnya adalah terkait tugas dan wewenang para pemangku kepentingan program JKN ini yang masih tumpang tindih. Misalnya, antara Kemenkes sebagai regulator dan BPJS sebagai operator. BPJS yang menerbitkan berbagai peraturan operasional dinilai melampaui kewenangannya. Sementara itu, Dinas-‐dinas Kesehatan yang melakukan sosialisasi di daerah-‐daerah khususnya, dinilai tidak tepat karena hal ini merupakan tupoksi BPJS. Kemudian terkait hubungan pemerintah-‐daerah. Seperti kita ketahui ada banyak program-‐ program jaminan kesehatan yang sudah diinisiasi oleh pemerintah daerah jauh sebelum JKN dibuat. Misalnya di Jakarta ada program Kartu Jakarta Sehat. Ketika ada program JKN, pemerintah daerah diminta untuk mengintegrasikan program yang ada di daerah mereka dengan program JKN itu sendiri. Perbedaan karakteristik program sering menimbulkan kesulitan/masalah. Misalnya, jenis dan jumlah penyakit yang bisa dicover KJS lebih banyak dari pada yang bisa dicover JKN. Masalah mendasar lainnya adalah masih sedikit dan atau tidak memadainya fasilitas dan tenaga kesehatan kita. Indonesia yang begitu luas, dengan keadaan geografis yang berbeda satu dan yang lainnya, dibutuhkan banyak jenis dan tipe fasilitas kesehatan dan kondisi saat ini masih belum memadai. Selain jumlah dan fasilitas yang belum memadai di fasilitas-‐fasilitas kesehatan tersebut. Dan selain fasilitas kesehatan, tenaga kesehatan di sana juga masih kurang secara kuantitas dan kualitas. Kualitas dalam hal rendahnya keterampilan para tenaga kesehatan dalam menghadapi pelbagai persoalan kesehatan. Tenaga kesehatan terkesan belum bisa “berkompetisi” dengan jenis dan bentuk keluhan kesehatan baru dari masyarakat saat ini. Dengan demikian, peningkatan jumlah kuantitas dan kualitas fasilitas kesehatan dan tenaga kesehatan menjadi mutlak untuk memaksimalkan implementasi program JKN. Pemerintah dalam nota keuangan RAPBN 2016, mengusulkan penambahan dana kesehatan menjadi 5 persen. Jumlah ini sebenarnya memang adalah mandat dari UU No. 9 Tahun 2009 tentang kesehatan yang mengatur bahwa alokasi anggaran kesehatan adalah sebesar 5 persen dari belanja negara. Menurut penulis, meskipun dari 7 arah kebijakan kesehatan yang diajukan, hanya satu yang secara eksplisit mencantumkan SJSN Kesehatan1 sebagai salah satu langkah yang 1
Secara detail berbunyi “memantapkan efektivitas pelaksanaan SJSN kesehatan, baik dari sisi demand side maupun supply side, termasuk pemenuhan kebutuhan dan kualitas pelayanan kesehatan tingkat pertama.”
akan ditempuh untuk meningkatkan layanan kesehatan di 2016. Namun, kebijakan-‐ kebijakan lain sebenarnya secara tidak langsung mendukung pelaksanaan program JKN. Enam kebijakan lain tersebut adalah: 1) meningkatkan akses dan kualitas continumm of care pelayanan kesehatan ibu, anak, remaja, dan lanjut usia; 2) mempercepat dan meningkatkan akses dan mutu paket pelayanan gizi masyarakat; 3) meningkatkan pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan melalui peningkatan surveilans epidemiologi faktor resiko dan penyakit; 4) mengembangkan dan meningkatkan efektivitas pembiayaan kesehatan; 5) peningkatan ketersediaan obat publik dan perbekalan kesehatan dan 6) mengendalikan kuantitas penduduk dengan meningkatkan akses dan kualitas pelayanan KB yang merata. Terlihat bahwa keenam kebijakan ini mendukung efektifnya implementasi program JKN, karena jika membaca lagi bagian capaian dan tantangan di atas, kebijakan-‐kebijakan ini seharusnya ditujukan untuk menjawab tantangan-‐tantangan tersebut. Terkait peluang ini, hal yang perlu diwaspadai untuk tahun 2016, pemerintah menargetkan jumlah penduduk miskin dan tidak mampu yang terdaftar sebagai peserta PBI melalui JKN adalah sebesar 92,4 juta jiwa. Jumlah ini meningkat cukup besar, dari sebelumnya yang hanya ditarget 84 jutaan jiwa. Jumlah yang meningkat artinya, subsidi yang dikeluarkan negara juga lebih besar. Namun, jika melihat tantangan implementasi program PBI di atas, dimana kelompok yang paling besar memanfaatkan layanan JKN adalah kelompok peserta mandiri, tentu bisa dikatakan bahwa subsidi ini salah sasaran. Sama halnya seperti subsidi BBM. Catatan lainnya adalah, dengan bertambahnya jumlah PBI yang ditetapkan juga mengindikasikan bahwa kemiskinan makin bertambah. Padahal jika ditilik kembali filosofi dari hadirnya program ini adalah agar konsumsi kesehatan masyarakat miskin berkurang atau bahkan hilang karena sudah diambil alih pemerintah, dan masyarakat miskin dapat menggunakan penghasilan mereka untuk kegiatan produktif. Dengan kata lain, JKN diharapkan dapat menciptakan masyarakat Indonesia yang sehat, sehingga bisa produktif dan berdaya guna. Lola Amelia adalah peneliti bidang sosial di The Indonesian Institute sejak Februari 2011. Pada bulan Februari 2014, selain sebagai peneliti, Lola juga diamanatkan menjadi Manajer Program TII. Lola tertarik mengkaji isu-‐isu sosial seperti, jaminan sosial, anak, perubahan iklim dan kemiskinan. Lola bisa dihubungi melalui email di
[email protected] dan twitter @ameliaislola