STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG (STUDI KASUS DI KAMPUNG URUMUSU DISTRIK UWAPA KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA)
ZAKEUS PETEGE
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Tugas Akhir Strategi Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung (Studi Kasus di Kampung Urumusu Distrik Uwapa Kabupaten Nabire Provinsi Papua) adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka dibagian akhir tugas akhir ini. Bogor, Mei 2008 Zakeus Petege NRP. I354060145
ABSTRACT ZAKEUS PETEGE. A Strategy in Capacity Improvement of the Management System in Sub-District Government (A Case Study in Urumusu Sub-District, Uwapa District, Nabire Regency, Papua Province). Supervised by TITIK SUMARTI and SARWITITI S. AGUNG. This Final Assignment began with a direct observation, literary studies, in-depth interviews and ended with Focus Group Discussion (FGD). The focus of the study was documents, operational systems and cultures of the Local Government Regulations, Regency instructions, and other regulations as well as other related parties. A qualitative method was used in the analysis. The government attention to sub-districts has improved from year to year. However, the average income per household head in the Sub-District of Urumusu was Rp 1,280,000.00 per month in 2004 and in 2007 dropped to Rp 640,000.00 per month. In addition, the quality of social capital also decreased and politically the people in the sub-district lost their active participation in making decisions. Meanwhile, the results of the evaluation on Sub-District Empowerment Program in 2005 showed that the goals of the program were not achieved because it was not accompanied with supervision and not implemented as a means of learning process for the public. Based on the analysis of documents, operational system, and culture of the Local Government Regulations, Head of Regency’s instructions and decrees, and other regulations as well as information from other related parties, the results of the study were as follows: 1) Some Local Regulations of Nabire Regency on Sub-District management valid from 2001-2007 had not been socialized to all apparatus of SunDistrict and was not accompanied with training and supervision; 2) The Government of Urumusu Sub-District was not given a delegated authority by the Government of Nabire Regency through Local Regulations and Head of Regency’s Decree concerning fiscal, administrative, and political decentralization; 3) The office of Urumusu Subdistrict is a very poor condition and is equipped with working facilities and infrastructure; 4) Sub-district as the local political organization has no capacity and power of regulating the implementation of planning function for the sub-district; 5) According to the regulations, BPK (Sub-District Consultative Board) and other multiparties are given no room to evaluate the development in the sub-district except by the Head of Regency; and 6) The capacity in articulation and aggregation is weak so that BPK has not been able to build democracy. Therefore, what are required in the capacity building for the management of subdistrict government of Urumusu are: 1) fiscal, administrative and political authorities; 2) training and supervision for the management system of sub-district government; 3) multi-parties given room to take active participation in monitoring and evaluating the development of sub-district; 4) sub-district office/building, office equipment, guideline books and modules about the administration of sub-district government; and 5) multiparties, particularly BPK, are given training and guidance as well as supervision in implementing the functions of articulation, aggregation, and legislation. The strategy in improving the capacity in managing the sub-district government is an advocating strategy in public policies at the level of Regency Government of Nabire to enforce changes in public policies such as in creating, reforming and implementing Local Regulations, Head of Regency’s Decree and Instructions related to the improvement of the capacity in the management of sub-district government. Keywords:
management system of sub-district government, strategy in capacity improvement.
RINGKASAN TUGAS AKHIR ZAKEUS PETEGE. Strategi Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung (Studi Kasus di Kampung Urumusu Distrik Uwapa Kabupaten Nabire Provinsi Papua). Dibimbing oleh TITIK SUMARTI dan SARWITITI S. AGUNG. Sebagai bukti perhatiaan pemerintah terhadap Desa, melalui Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Desa diakui sebagai daerah otonom yang dijadikan satu paket dengan otonomi tingkat Kabupaten/Kota. Tujuan yang ingin dicapai dari kebijakan politik ini adalah mendekatkan pelayanan publik pada masyarakat, khususnya masyarakat kampung. Namun rata-rata pendapatan per Kepala Keluarga (KK) di Kampung Urumusu pada tahun 2004 adalah Rp 1.280.000,00 per bulan atau diatas batas Upah Minimum Provinsi maka Pada tahun 2007, rata-rata pendapatan per KK turun menjadi Rp 640.000,00 per bulan. Selain itu, kualitas modal sosial mengalami penurunan dan secara politik, masyarakat kehilangan ruang partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan. Untuk melihat masalah ini lebih mendalam, pengkaji melakukan Kajian Tugas Akhir dengan tujuan sebagai berikut: 1) mendeskripsikan kondisi peta sosial tentang Kampung Urumusu; 2) mengevaluasi Program Pemberberdayaan Kampung yang pernah dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten Nabire pada tahun 2005 dari perspektif penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung; 3) menganalisis kondisi kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dan 4) menemukan kebutuhan dan merencanakan strategi penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu yang disusun secara partisipatif. Proses penyusunan Tugas Akhir diawali dengan pengamatan langsung, studi pustaka, wawancara mendalam dan diakihiri dengan Focus Group Discussion (FGD). Yang menjadi objek kajian adalah kebijakan publik berupa naskah, tata laksana dan budaya dari Peraturan Daerah, Keputusan Bupati dan Instruksi Bupati serta peraturan perundang-undangan dan multi-pihak yang berkepentingan dengan tata kelola pemerintahan kampung. Dalam menganalisis digunakan metode kualitatif. Secara georgafis, Kampung Urumusu berada pada posisi 40,15”LU - 40,40” LS dan 130010” BB -130045” BT. Luas wilayah adalah panjang 28 Km dan lebar 13 Km. Pemanfaatan lahan atau pola tata guna tanah didominasi oleh wilayah hutan tropis alami (60%), sedangkan lokasi pemukiman penduduk dan pertanian kakao (30%), hutan ladang berpindah dan rawa (10%). Jaringan jalan primer, yaitu jalan yang menghubungkan Kabupaten Nabire dan Kabupaten Paniai. Jaringan listrik, telekomukasi, Pos dan air bersih masih belum membuka cabangnya. Fasilitas pemerintahan yang dimiliki adalah Balai Kampung, 1 unit SD Negeri Inpres dan 1 (satu) unit Polindes. Fasilitas perekonomian yang dimiliki adalah 1 (satu) Kelompok Usaha Bersama. Menurut tingkat pendapatan Kepala Keluarga (KK), 83% KK dari total 78 KK di Kampung Urumusu berpendapatan di bawah angka UMP Papua. Sedang berdasarkan mata pencaharian, 73 (94%) KK bermata pencaharian sebagai petani kakao dengan luas lahan 312 hektar. Menurut asal suku, sebanyak 256 (77%) penduduk berasal dari Suku Ekagi dan 82% dari total penduduk kampung berpendidikan di bawah tamatan SD. Hasil evaluasi PPK Tahun Anggaran 2005 di Kampung Urumusu menunjukan bahwa Pemda Kabupaten Nabire tidak dijadikan PPK sebagai sarana proses belajar masyarakat dalam tata kelola pemerintahan kampung sehingga tujuan PPK tidak tercapai. Dalam merealisasikan program tersebut kurang demokratis, kurang prosedural, kurang terorganisir, kurang realistis dan tidak disertai pendampingan. Kondisi ini memapankan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu tetap
berada dalam kondisi ketidakberdayaan. Ketidakberdayaan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu berdampak pada ketidakmampuannya dalam memenuhi kebutuhan nyata multi-pihak (stakeholders) di bidang ekonomi, sosial maupun politik. Kondisi ketidakberdayaan multi-pihak di Kampung Urumusu dapat diukur dari hal-hal sebagai berikut: 1) dari aspek ekonomi, komoditi kakao sebagai produk unggulan di Kampung Urumusu mengalami penurunan tingkat produksi dan pertumbuhan ekonomi mengalami stagnasi. Hal ini ditandai dengan belum adanya penambahan unit usaha ekonomi produktif maupun perlusan lahan kakao selama periode 3 tahun terakhir; 2) dari aspek sosial, multi-pihak di Kampung Urumusu telah kehilangan modal sosial dalam mengatasi masalah ekonomi, sosial dan politik secara kolektif; dan 3) dari aspek politik, multi-pihak di Kampung Urumusu juga telah kehilangan ruang partisipasi aktif dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pemeliharaan dan pengawasan pembangunan. Semua masalah ini adalah merupakan efek dari proses pembangunan yang mengabaikan penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung sebagai pengatur pembangunan. Berdasarkan analisis naskah, tata laksana dan budaya dari Perda, Keputusan Bupati, Instruksi Bupati, peraturan perundang-undangan lainya serta informasi dari multi-pihak menunjukan hal-hal sebagai berikut: 1) Pemerintahan Kampung Urumusu tidak memiliki kapasitas kewenangan fiskal, administratif dan politik sehingga berdampak pada ketidakleluasanya dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; 2) Kapasitas keorganisasian masih lemah sehingga belum mampu menata keorganisasian, mengoptimalkan tata laksana administrasi dan mengembangkan budaya kerja. Selain itu kapasitas kepemimpinan Kepala Kampung sebagai kepala pemerintahan dan juga sebagai pembina lembaga-lembaga kemasyarakatan kurang mampu membangun tim kerja multi-pihak untuk saling bersinergi (bermitra) mengatasi masalah sosial; 3) Pemerintahan Kampung Urumusu tidak didukung dengan kapasitas personil aparat kampung yang berkualitas karena tingkat pendidikan aparat kampung hanya menamatkan sekolah dasar namun tidak didukung dengan pelatihan ketrampilan kerja dan buku-buku petunjuk kerja; 4) Pemerintah Kampung Urumusu tidak didukung kapasitas keuangan yang memadai karena kehilangan hak-haknya melalui desentralisasi fiskal dan tidak diterbitkankan Surat Keputusan Bupati untuk mengakumulasikan anggaran pembangunan secara swadaya, khususnya melalui sumber Pendapatan Asli Kampung; 5) Kapasitas sarana dan prasarana kerja bagi Pemerintahan Kampung Urumusu sangat kurang memadai seperti Balai Pemerintah Kampung dan sarana kerja berupa peralatan kerja utama dan peralatan kerja bantu; 6) Kapasitas fungsi perencanaan pembangunan masih lemah karena Pemda Kabupaten Nabire tidak pernah memfasilitasi Musrenbang Kampung sehingga pembangunan bersifat parsial, tidak terencana, tidak berkelanjutan dan tidak disingkronkan dengan pembangunan daerah; 7) Kapasitas fungsi pengawasan dan evalusi masih lemah karena sesuai peraturan perundang yang berlaku, multi-pihak di Kampung Urumusu tidak diberikan ruang untuk melaksanakan proses evaluasi sebagai sarana merekonstruksi proses pembangunan sesuai kebutuhan dan dinamika multi-pihak di Kampung Urumusu. Selain itu, Pemda Kabupaten Nabire tidak pernah melaksanakan kewajiban pengawasan penyelenggaraan tata pemerintahan sebagai bagian dari pembinaan; 8) Kapasitas fungsi pendokumentasian masih lemah karena tidak didukung pula dengan ketrampilan dan sarana pendokumentasian sehingga semua dokumentasi hasil, masalah dan potensi dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan tidak tertata sesuai tahapan dan langka-langka proses pendokumentasian; dan 9) Kapasitas fungsi artikulasi, agregasi dan legislasi masih lemah karena tidak didukung dengan pengetahuan dan ketrampilan melaksankan fungsi artikulasi, agregasi dan legislasi sehingga multi-pihak di Kampung Urumusu tidak dapat membangun demokrasi yang
sehat serta menginternalisasikan nilai dan norma dalam kebijakan publik di tingkat kampung.
Dalam rangka memperkuat tata kelola Pemerintahan Kampung dari aspek struktural, Pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan perundang-undangan seperti Rekomedasi Nomor 7, Ketetapan MPR No. IV/MPR-RI/2000 tentang otonomi bertingkat 3 dalam NKRI, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, berbagai Kepmendagri tentang Desa, beberapa Perda Kabupaten Nabire tentang Kampung. Peraturan perundang-undangan tersebut terkesan bahwa ditetapkan hanya untuk memenuhi syarat administratif sehingga berbagai hambatan sedang menghadang usaha penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Hal ini tidak terlepas dari usaha mempertahankan status quo oleh Pemda Kabupaten untuk memperkokoh kekuasaan. Status quo pun makin mapan kerena kompetisi antar-partai politik yang lebih mementingkan kepentingan partai dari pada kepentingan masyarakat. Kondisi ini pun telah merambah ke dalam ruang birokrasi sehingga tercipta kesenjangan struktur ekonomi (distribusi pendapatan), struktur sosial (pelapisan masyarakat) dan struktur politik (distribusi kekuasaan) antara penguasa dan rakyat serta masyarakat kota dan pedesaan. Dengan demikian roda proses pemiskinan dari aspek struktural terus berputar sehingga tercipta kondisi seperti: 1) secara ekonomi, masyarakat dan pemerintahan kampung kampung makin termarjinalkan; 2) secara sosial, modal sosial, jaringan sosial kolektif atau lembaga-lembaga kemasyarakatan di kampung tetap berada dalam kondisi ketidakberdayaan sehingga tidak mampu peningkatan ikatan dan jalinan kemitraan (koodinasi, kooperasi, kolaborasi dan networking); dan 3) secara politik, masyarakat dan pemerintahan kampung makin kehilangan wahana institusional untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingannya pada lembaga-lembaga politik. Maka strategi alternatif untuk penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung adalah strategi advokasi kebijakan publik, khususnya pada kebijakan Pemerintahan Kabupaten Nabire dalam rangka mendesak untuk menciptakan, mereformasi dan mengimplementasikan Peraturan Daerah, Keputusan Bupati dan Instruksi Bupati yang berkenaan dengan penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Output yang diharapkan adalah sebagai berikut: 1) Pemda Kabupaten Nabire melaksanakan desentaralisasi fiskal, administratif dan politik kepada Pemerintahan Kampung Urumusu; 2) Pemda Kabupaten Nabire memfasitasi, melatih, membimbing dan mendampingi secara berkelanjutan dalam proses Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrembang) Kampung serta proses Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Kampung; 3) Pemda Kabupaten Nabire membuat Perda tentang Tata Cara Pelaporan dan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan Pemerintahan Kampung dengan mengacu pada Kepmendagri Nomor 35 Tahun 2007 dengan menambahkan pasal khusus yang dapat memberikan ruang partisipasi aktif multi-pihak dalam pengawasan dan evaluasi proses pembangunan kampung; 4) Pemda Kabupaten Nabire mengalokasikan biaya pembangunan balai kampung, perlengkapan kantor, menyediakan buku petunjuk dan modul-modul administrasi kampung; dan 5) Pemda Kabupaten Nabire menyelenggarakan pelatihan, bimbingan dan pendampingan dalam pelaksanaan tugas artikulasi, agregasi dan legislasi bagi BPK agar dapat membangun demokrasi yang sehat, melembagakan nilai, norma dan pola hubungan kerja dalam bentuk Peraturan Kampung sebagai bagian dari usaha pembinaan modal sosial.
Kata Kunci: Tata Kelola Pemerintahan Kampung, Strategi Penguatan Kapasitas.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG (STUDI KASUS DI KAMPUNG URUMUSU DISTRIK UWAPA KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA)
ZAKEUS PETEGE
Tugas Akhir Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesional pada Program Studi Pengembangan Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008 Tugas Akhir
: Strategi Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung (Studi Kasus di Kampung Urumusu Distrik Upawa Kabupaten Nabire Provinsi Papua)
Nama NRP Studi
: Zakeus Petege : I354060145 : Magister Profesional Pengembangan Masyarakat
Disetujui: Komisi Pembimbing,
Dr. Ir. TITIK SUMARTI, MS. Ketua
Dr. Ir. SARWITITI S. AGUNG, MS. Anggota
Diketahui:
Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat,
Dekan Sekolah Pascasarjana,
Dr. Ir. DJUARA P. LUBIS, MS.
Prof. Dr. Ir.Khairil A. Notodiputro, MS.
Tanggal Ujian:
23 Mei 2008
Tanggal lulus:
Penguji Luar Komisi pada Ujian Akhir: Dr. Ir. Lala M. Kopaking, MS.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas karunia-Nya Tugas Akhir ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Nopember 2007 ini adalah Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan, dengan judul Strategi Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung (Studi Kasus di Kampung Urumusu Distrik Uwapa Kabupaten Nabire Provinsi Papua) Terima kasih saya ucapkan kepada: 1. Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti, MS. selaku dosen pembimbing I dan Ibu Dr. Ir. Sarwititi S. Agung, MS. selaku dosen pembimbing II yang dengan penuh kesabaran telah membimbing dalam penyusunan Tugas Akhir ini. 2. Bapak Dr. Ir. Lala M. Kopaking, MS. yang menguji ujian akhir dan Ir. Nuraini W. Prasodjo, MS. yang memfasilitasi ujian akhir. 3. Bapak Dr. Djuara P. Lubis, MS. selaku Ketua Program Studi Magister Profesional Pengembangan Masyarakat. 4. Bapak Prof. Dr. Ir. Khairir A. Notodiputro, MS. selaku Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 5. Bapak Kepala Kampung, Aparat Kampung, Masyarakat Kampung Urumusu yang membantu selama pengumpulan data dan rela mengikuti Focus Goup Discussion hingga larut malam. 6. Bapak A.P. Youw, Bapak Natalis Degei, Bapak Daniel Butu dan Kapala Badan Diklat Depsos RI yang telah memberikan dukungan materi maupun moril selama studi. 7. Nina tersayang, Cika, Alen dan Putri tercinta atas kasih sayangnya. 8. Mama Rosina Tebai, Bapak Zacharias Petege, Bapak Laurensius Petege, Bapak Gabriel Petege, adik tercinta Anastasia Petege (alm), Om Anakletus Tebai (alm), Kakak Rosa Petege serta seluruh anggota keluarga besar atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga Tugas Akhir ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2008
Zakeus Petege
RIWAYAT HIDUP Penulis lahir di Timepa-Paniai pada tanggal 26 Juni 1975 dari Ayah Zacharias Petege dan Ibu Rosina Tebai. Penulis merupakan putra kedua dari delapan bersaudara. Tahun 1994 penulis lulus dari SMA YPPK St. Fransiskus Taruna Dharma Kotaraja Jayapura dan pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Pariwisata Bandung, memilih Jurusan Manajemen Pariwisata. Pada tahun 1998, penulis menyelesaikan seluruh proses belajar di kelas dan juga berhasil menyusun skiripsi dengan judul Perencanaan Pariwisata Berbasis Pedesaan Daram Rangka Pemberdayaan Lingkungan Desa Pagerageung Kabupaten Tasikmalaya Jawa Barat namun tidak mengikuti ujian akhir karena penulis bekerja pada LMPI-Community Development PT. Freeport Indonesia, Kantor Perwakilan Jakarta. Pada tahun 2002 pengkaji berhasil mengikuti ujian akhir dan menyelesaikan pendidikan Strata Satu (S-1). Pada tahun 2002 juga penulis berpindah profesi menjadi Pegawai Negeri Sipil pada Dinas Kesejahteraan Sosial dan Keluarga Berencana Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Pada tahun 2004, penulis dipercayakan menjadi Kepala Sub Bagian Keuangan dan Perencanaan pada instansi yang sama. Pertengahan tahun 2006 penulis diberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di IPB, Depertemen Komunikasi dan Pengembangan masyarakat, Program Magister Profesional Pengembangan Masyarakat atas dukungan beasiswa Pemda Kabupaten Nabire dan Departemen Sosial RI. Penulis juga masih aktif bekerja pada Yayasan Bina Mandiri Utama (YABIMU) Nabire sejak 1996 sampai saat ini.
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL ---------------------------------------------------------------------------------------- xiv DAFTAR BAGAN --------------------------------------------------------------------------------------- xv DAFTAR GAMBAR ------------------------------------------------------------------------------------- xv DAFTARA LAMPIRAN --------------------------------------------------------------------------------- xvi PENDAHULUAN Latar Belakang -------------------------------------------------------------------------------------- 1 Perumusan Masalah ------------------------------------------------------------------------------- 6 Tujuan Kajian --------------------------------------------------------------------------------------- 7 Manfaat Kajian --------------------------------------------------------------------------------------- 7 TINJAUAN PUSTAKA Strategi Penguatan Kapasitas ------------------------------------------------------------------- 8 Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung ------------------------------ 18 Pemerintahan Kampung -------------------------------------------------------------------------- 20 Kerangka Pemikiran -------------------------------------------------------------------------------- 39 METODE KAJIAN Tempat dan Waktu Kajian ------------------------------------------------------------------------ 44 Subjek Kajian ---------------------------------------------------------------------------------------- 46 Metode Pengumpulan Data --------------------------------------------------------------------- 47 Metode Analisis Data ----------------------------------------------------------------------------- 49 Motede Penyusunan Program ------------------------------------------------------------------- 51 PETA SOSIAL KAMPUNG URUMUSU Sejarah Singkat Kampung Urumusu ----------------------------------------------------------- 52 Kondisi Fisik Alami --------------------------------------------------------------------------------- 52 Kondisi Fisik Binaan -------------------------------------------------------------------------------- 54 Kondisi Struktur Komunitas ---------------------------------------------------------------------- 56 Potensi Perekonomian Kampung --------------------------------------------------------------- 59 Masalah Yang Paling Menonjol di Komunitas ---------------------------------------------- 60 Rangkuman Kondisi Komunitas ---------------------------------------------------------------- 70
EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN KAMPUNG (PPK) Deskripsi PPK ---------------------------------------------------------------------------------------- 73 Evaluasi Realisasi PPK --------------------------------------------------------------------------- 74 Dampak PPK Terhadap Pengembangan Ekonomi Lokal -------------------------------- 84 Dampak PPK Terhadap Pengembangan Modal Sosial dan Gerakan Sosial -------- 85 Rangkuman Evaluasi PPK ----------------------------------------------------------------------- 86 ANALISIS KONDISI KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG KAMPUNG URUMUSU Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung di Bidang Kewenangan --------------------------------------------------------------------------------------- 89 Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung di Bidang Keorganisasian ----------------------------------------------------------------------------------- 95 Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung di Bidang Personil --------------------------------------------------------------------------------------------- 99 Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung di Bidang Keuangan ------------------------------------------------------------------------------------------ 102 Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung di Bidang Sarana dan Prasarana Kerja ------------------------------------------------------------------ 106 Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung di Bidang Fungsi Perencanaan Pembangunan -------------------------------------------------------- 108 Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung di Bidang Fungsi Pengawasan dan Evaluasi Pembangunan -------------------------------------- 111 Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung di Bidang Fungsi Pendokumentasian --------------------------------------------------------------------- 114 Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung di Bidang Fungsi Artikulasi, Agregasi dan Legislasi -------------------------------------------------- 118 Rangkuman Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu ------------------------------------------------------------------------------ 121 STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG Kebutuhan Penguatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintahan Kampung Urumusu ---------------------------------------------------------------------------------------------- 126 Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu di Bidang Kewenangan ---------------------------------------------------------- 127 Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu di Bidang Keorganisasian ------------------------------------------------------- 127 Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu di Bidang Personil ---------------------------------------------------------------- 128
xii
Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu di Bidang Keuangan -------------------------------------------------------------- 128 Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu di Bidang Sarana dan Prasarana --------------------------------------------- 129 Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu di Bidang Fungsi Perencanaan ------------------------------------------------ 129 Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu di Bidang Fungsi Pengawasan dan Evaluasi ------------------------------ 130 Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu di Bidang Fungsi Pendokumentasian ---------------------------------------- 130 Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu di Bidang Fungsi Artikulasi, Agregasi dan Legislasi --------------------- 130 Prioritas Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu ---------------------------------------------------------------------------------------------- 131 Penetuan Stakeholders dan Target dalam Program Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu ------------------------------------------- 132 Penyusunan Program Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu ------------------------------------------------------------------------------- 140 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN Kesimpulan ------------------------------------------------------------------------------------------ 148 Rekomendasi Kebijakan -------------------------------------------------------------------------- 153 DAFTAR PUSTAKA ------------------------------------------------------------------------------------ 154 LAMPIRAN-LAMPIRAN -------------------------------------------------------------------------------
xiii
xvii
DAFTAR TABEL 1
Jadwal Pelaksanaan Kajian ----------------------------------------------------------------------- 46
2
Teknik Pengumpulan Data ------------------------------------------------------------------------ 50
3
Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendapatan -------------------------------------- 57
4
Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian ------------------------------------------ 57
5
Komposisi Penduduk Menurut Asal Suku --------------------------------------------------- 58
6
Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan --------------------------------------- 58
7
Kondisi Produksi dan Pendapatan Sebelum Terserang Hama dan Penyakit ------- 61
8
Kondisi Produksi dan Pendapatan Sesudah Terserang Hama dan Penyakit ------- 61
9
Tipologi Partisipasi Publik Berdasarkan Jenis Partisipasi dan Tingkat Keterwakilan ----------------------------------------------------------------------------------------- 66
10 Tahapan Realisasi PPK ---------------------------------------------------------------------------- 77 11 Perbandingan Rencana dan Realisasi Dana Kegiatan PPK ----------------------------- 79 12 Strategi Membangun Sekutu Melalui Analisa Pemetaan Kekuasaan dan Analisa Medan Kekuatan ------------------------------------------------------------------------ 136 13 Strategi Pemetaan Oposisi ---------------------------------------------------------------------- 139 14 Rencana Program Advokasi Kebijakan Terpadu ------------------------------------------ 145
xiv
DAFTAR B A G A N 1
Tahapan Pengembangan Masyarakat -------------------------------------------------------- 17
2
Kerangka Pemikiran -------------------------------------------------------------------------------- 43
3
Pengembangan Modal Sosial Melalui Kebijakan Publik di Tingkat Kampung ------ 64
4
Sistem Perencanaan Pembangunan dan Pembiayaan Pembangunan Pusat, Daerah dan kampung ----------------------------------------------------------------------------- 67
5
Model Pertanggungjawaban Per Tahun Anggaran Kepala Kampung ----------------- 68
6
Monitoring dan Evaluasi Proses Pembangunan Kampung Secara Partisipatif ---- 69
7
Kondisi Kapasitas Kewenangan Pemerintahan Kampung Urumusu ------------------- 94
8
Kondisi Kapasitas Keorganisasian Pemerintahan Kampung Urumusu ---------------- 98
9
Kondisi Kapasitas Personil Pemerintahan Kampung Urumusu-------------------------- 101
10 Kondisi Kapasitas Keuangan Pemerintahan Kampung Urumusu ----------------------- 105 11 Kondisi Kapasitas Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintahan Kampung Urumusu ----------------------------------------------------------------------------------------------- 107 12 Kondisi Kapasitas Fungsi Perencanaan Pembangunan Kampung Urumusu ------- 110 13 Kondisi Kapasitas Fungsi Pengawasan dan Evaluasi Pembangunan Kampung Urumusu --------------------------------------------------------------------------------- 113 14 Kondisi Kapasitas Fungsi Pendokumentasian Pemerintahan Kampung Urumusu ---------------------------------------------------------------------------------------------- 117 15 Kondisi Kapasitas Fungsi Artikulasi, Agregasi dan Legislasi Pemerintahan Kampung Urumusu --------------------------------------------------------------------------------- 120 16 Advokasi Kebijakan Terpadu Untuk Pengembangan Kapasitas Kelembagaan Pemerintahan Kampung ------------------------------------------------------------------------- 147
DAFTAR GAMBAR 1
Proses-Proses Kebijakan Saling Pengaruh Antar Pihak Pengembangan Tata Kelola Pemerintahan Desa ---------------------------------------------------------------------- 36
2
Pohon Masalh Tentang Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung --------------------------------------------------------------------------------------------- 123
xv
DAFTAR LAMPIRAN
1 2 3 4 5 6 7 8
Posisi Kampung Urumusu Dalam Papua ------------------------------------------------Foto Aktifitas FGD di Kampung Urumusu ----------------------------------------------Hasil Rumusan FGD Penentuan Penanganan Priroritas (Issu Strategis) ----------------------------------------------------------------------------------------Proses Musyawarah Umum Yang Dihadiri Seluruh Warga Dalam Pembagian Keuangan Masing-Masing Bidang Pada Program PPK -------------Pekerjaan Sarana Jalan Secara Partisipatif Dalam PPIP 2007 -------------------2 Jenis Kakao Yang Ada Ditanami Masyarakat Kampung Urumusu ------------Hama dan Penyakit Yang Mengancam Komoditi Kakao di Kabupaten Nabire --------------------------------------------------------------------------------------------Daftar Kuisioner --------------------------------------------------------------------------------
xvi
xvii xviii xx xxi xxii xxiii xxiv xxv
PENDAHULUAN
Latar Belakang Paradigma pembangunan masa lalu yang menempatkan pemerintah sebagai aktor utama pembangunan untuk mengejar pertumbuhan ekonomi terbukti tidak mampu
mensejahterakan
rakyat
Indonesia.
Maka
diperlukan
pergeseran
paradigma pembangunan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pembangunan melalui peningkatan partisipasi masyarakat. Oleh sebab itu, Supriatna (1997) mengatakan bahwa transformasi pembangunan sosial yang strategis harus diarahkan pada mewujudkan pelembagaan kelompok miskin guna memberi peluang tumbuhnya kegotong-royongan, keswadayaan serta partisipasi aktif selaku subjek pembangunan. Selain itu terciptanya akses yang terbuka dan sama dalam pelayanan publik kepada seluruh lapisan masyarakat sangat diperlukan dalam proses dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Hal ini dianggap penting karena kesejahteraan masyarakat sangat tergantung pada kemampuan masyarakat dalam memperoleh akses, manfaat, kesempatan, kontrol dan kemampuan menggunakan pelayanan publik. Dengan demikian dalam rangka memberdayaakan masyarakat, perlu melakukan usaha-usaha mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Desentarlisasi adalah salah satu strategi dalam mendekatkan pelayanan publik sejalan dengan esensi dari adanya kebijakan politik tentang otonomi daerah (Sedarmayanti 2005), yaitu: 1) secara filosofis adalah mendorong terciptanya ”keanekaragaman dalam kesatuan”; 2) secara politik adalah mendorong terciptanya demokratisasi, pemerataan dan keadilan; 3) secara ekonomi adalah meningkatkan daya saing daerah dalam menghadapi persaingan global melalui pemberdayaan masyarakat; 4) secara administrasi adalah mendorong terciptanya efektifitas dan efisiensi dengan mendekatkan pelayanan publik pada masyarakat sebagai fokus utama untuk mencapai hasil akhir berupa kesejahteraan masyarakat. Pelaksanaan program pemberdayaan secara terpadu dan berkelanjutan di Indonesia ditandai dengan keluarnya Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 1993 tentang peningkatan Penanggulangan Kemiskinan di Desa-desa Tertinggal, yang selanjutnya lebih populer dengan sebutan Program IDT (Inpres Desa Tertinggal). Lalu disusul dengan Program Pembangunan Prasarana Pendukung Desa Tertinggal (P3DT), Program Pengembangan Kecamatan (PPK), Program
2
Daerah Mengatasi Dampak Krisis Ekonomi (PDMDKE), Program Pemberdayaan Masyarakat dan Pembangunan Desa (PMPD), Program Kemitraan dan Pengembangan Ekonomi Lokal (KPEL), Program Pembangunan Pendukung Desa Tertinggal dan Khusus (P2DTK), Program Pembangunan Prasarana Pedesaan (P2D), Program Pemberdayaan dan Reformasi Tata Pemerintahan dan Kelembagaan (P2RTPD), Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) dan akhirnya muncul Program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang lebih bernuansa charity. Secara lokal pun perhatian Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Nabire terhadap pemberdayaan kampung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Hal ini ditandai dengan adanya Progam Pemberdayaan Kampung (PPK) yang bersumber dana otonomi khusus Provinsi Papua sejak tahun 2005. Pada tahun 2007, seluruh Pemerintahan Kampung di Kabupaten Nabire telah menerima bantuan sebesar Rp 200.000.000,00 (duaratus juta rupiah). Selain itu, Kampung Urumusu telah menerima juga hibah dari Pemerintah (APBN) sebesar Rp 200. 0000. 000,00 (duaratus juta rupiah) melalui Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP). Dengan demikian pada Tahun Anggaran 2007 Kampung Urumusu telah menerima dana pemberdayaan kampung sebesar Rp 400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah). Semua program pemberdayaan yang dilaksanakan Pemerintah seakan tidak pernah ada hasilnya dalam mengatasi masalah sosial di pedesaan. Hasil evaluasi Program Pemberdayaan Kampung (PPK) yang dilaksanakan pada Tahun Anggaran 2005 menunjukan bahwa tujuan PPK tidak tercapai karena realisasinya yang tidak demokratis, tidak prosedural, tidak terorganisir, tidak realistis dan tidak disertai dengan pendampingan serta mengabaikan proses belajar bagi multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dalam mengatasi masalah sosial secara terencana dan mandiri. PPK juga mengabaikan penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung sebagai pelaksana program maupun pendamping pelaksanaan program pemberdayaan di kampung sehingga kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu tetap lemah. Lemahnya kapasitas tata kelola pemerintahan
kampung
berdampak
pada
ketidakmampuan
pemerintahan
kampung dalam memenuhi kebutuhan multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu yang pada akhirnya memapankan kondisi ketidakberdayaan. Kondisi ketidakberdayaan multi-pihak di Kampung Urumusu dapat diukur dari hal-hal sebagai berikut: 1) aspek ekonomi, komoditi kakao sebagai produk unggulan
3
Kampung Urumusu mengalami penurunan tingkat produksi dan pertumbuhan ekonomi Kampung mengalami stagnasi, yang ditandai dengan belum adanya penambahan unit usaha ekonomi produktif maupun perlusan lahan kakao milik masyarakat kampung selama periode 3 tahun terakhir; 2) aspek sosial, multi-pihak di Kampung Urumusu sedang terjadi penurunan kualitas modal sosial sebagai energi sosial dalam mengatasi masalah ekonomi, sosial dan politik secara kolektif; dan 3) aspek politik, multi-pihak di Kampung Urumusu telah kehilangan ruang partisipasi aktif termasuk pengambilan keputusan dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pemeliharaan dan pengawasan pembangunan. Semua masalah ini adalah merupakan efek dari proses pembangunan dan program pemberdayaan kampung yang tanpa memberikan ruang untuk penguatan kapasitas pada pemerintahan kampung sebagai pengelola atas program yang masuk ke kampung. Jika kondisi ini tetap dibiarkan maka peluang tercipta kondisi seperti yang dikatakan Jamasi (2004) angka kemiskinan (ekonomi, sosial dan politik) di Indonesia sedang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sering perkembangan penerapan konsep partisipasi dan pemberdayaan dalam proses pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah maupun swasta. Oleh sebab itu, menurut Putri (2006) dalam pelaksanaan program pemberdayaan, perlu memperhatikan aspek tata pengaturan (governance) atau sistem admnistrasi pemerintahan sebagai faktor penentu pertumbuhan dan perkembangan ekonomi suatu kawasan. Penguatan tata pemerintahan desa sebagai pengatur sama pentingnya dengan program pemberdayaan masyarakat di pedesaan. Sedangkan Wasistiono (2007), keberhasilan suatu program di desa sangat ditentukan oleh kemampuan
atau
kapasitas
tata
kelola
pemerintahan
desa
dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat. Pemerintahan kampung sebagai mesin penggerak pengembangan wilayah harus kuat, kredibel, legitimate dan berkualitas agar dapat berperan sebagai agen pranata sosial, agen pembaharuan dan agen pembangunan. Dengan demikian pemerintahan kampung dapat mendorong partisipasi stakeholder yang lain dalam pembangunan kampung atas dasar kekuatan sendiri. Kekuatan kapasitas tata kelola Pemerintah Kampung sebagai eksekutif dan Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) sebagai legislatif diharapkan dapat mendorong terselenggaranya tata pemerintahan kampung yang baik yang berprinsipkan keberpihakan pada peningkatan kualitas hidup; keterbukaan (transparansi), peran aktif berbagai
4
komponen masyarakat dalam pembangunan (partisipasi), membangun kondisi persaingan yang sehat (demokrasi), pembagian wewenang dan tanggung jawab (desentrasasi)
untuk
dapat
mendorong
produktivitas,
pertanggungjawaban
pekerjaan (akuntabilitas) agar dipercaya rakyat, dan keberlanjutan (pelestarian). Untuk melaksanakan tata pemerintahan yang baik di atas, perangkat pemerintahan kampung harus mempunyai kekuatan kapasitas tata kelola. Kapasitas tata Pemerintahan Desa tersebut menurut Wasistiono (2007) adalah: a) Kapasitas Pemerintah Desa, yang meliputi: kapasitas kewenangan, kapasitas keorganisasian, kapasitas personil, kapasitas keuangan, kapasitas perlengkapan, kapasitas fungsi perencanaan, kapasitas fungsi pengawasan dan fungsi pendokumentasian; serta b) Kapasitas Badan Permusyawaratan Desa (BPD), meliputi kapasitas fungsi agregasi, artikulasi dan fungsi legislasi. Dengan kekuatan kapasitas tata pemerintahan yang dimiliki Kampung diharapkan dapat melaksanakan tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang diamanatkan melalui pasal 206 UndangUndang No. 32 Tahun 2004 jo pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 jo Permendagri Nomor 30 Tahun 2006, meliputi: 1) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; 2) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; 3) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan 4) urusan pemerintah lainya yang oleh peraturan perundangundangan diserahkan kepada desa. Konsekuensi logis dari penyerahan urusan kewenangan ini adalah terjadinya desentralisasi fiskal, administrasitif dan politik kepada Pemerintahan Kampung dan diperkirakan bahwa Kampung akan menjadi pusat perhatian pembangunan, menyusul dikeluarkannya Instruksi Presiden 5 Tahun 2007 Tentang Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat yang mengistruksikan agar semua kementerian dan lembaga negara melaksanakan program percepatan pembangunan pada kedua provinsi tersebut. Desentralisasi tersebut jika tidak dikelola dalam suatu konsep pemberdayaan, sistem tata pemerintahan yang baik atas dukungan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung yang berkemampuan maka desentralisasi tersebut dapat menjadi sumber konflik baru pada aras mikro. Desentralisasi Kampung tidak akan membawa perubahan yang signifikan, terlebih masalah pengentasan kemiskinan di daerah pedesaan. Kebijakan politik yang seharusnya dapat mendukung bagi percepatan pembangunan kampung justru
5
akan menjadi kontra-produktif terhadap proses percepatan pembangunan. Sumber konflik tersebut dapat berkembang ke tingkat regional bahkan nasional. Mashad et al. (2006) mengemukakan bahwa beberapa daerah yang sudah menyerahkan beberapa
kewenangan
kepada
pemerintahan
desa
di
Indonesia,
telah
menimbulkan konflik antar-elite desa maupun antar-masyarakat di tingkat desa yang pada akhirnya melumpuhkan seluruh proses penyelenggaraan tata pemerintahan di tingkat desa, termasuk program pemberdayaan masyarakat dan percepatan pembangunan di kampung. Untuk menghindari kemungkinan munculnya sumber konflik baru dan dalam rangka mengoptimalkan tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan dan tugas pembantuan maka penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung tidak dapat ditunda lagi. Dalam kondisi kapasitas pemerintahan kampung yang kredibel dan berkemampuan (berdaya) maka: 1) program pemberdayaan yang berkualitas akan terlaksana sesuai tujuan dan sasarannya; 2) pemerintahan kampung dapat melaksanakan tugas pokoknya dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan; dan 3) mengkawal perubahan masyarakat secara terencana tanda menimbulkan konflik. Selain potensi sumber konflik yang bersifat internal di atas, potensi konflik lainnya adalah Rekomendasi No 7, Tap MPR No IV/MPR-RI/2000 tentang otonomi bertingkat tiga dalam sistem tata pemerintahan di Indonesia tidak di indahkan dalam pembuatan UU No. 32 Tahun 2004 sehingga otonomi desa dijadikan satu paket dengan otonomi Kabupaten/Kota. Konsekuensi logisnya adalah otonomi kampung akan ada jika ada pendelegasian kewenangan dari Bupati/Walikota. Oleh sebab itu, berbicara tentang upaya penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu, tentu saja akan menimbulkan potensi konflik karena berhubungan erat dengan masalah pembagian kekuasaan, terlebih keuangan dari Bupati Nabire kepada Pemerintahan Kampung Urumusu. Selain berpotensi mempertahankan status quo, kondisi politik saat ini di mana kompetisi antar-partai politik yang tidak sehat dan lebih mementingkan kepentingan partai dari pada kepentingan masyarakat yang mulai merambah ke dalam ruang birokrasi serta para elite di birokrasi yang telah lama menikmati keuntungan dari lemahnya tata kelola pemerintahan telah memapankan kelemahan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Dalam kondisi kemacetan komunikasi politik antara rakyat, partai politik (DPRD) dan Pemerintah Daerah diperlukan strategi alternatif agar dapat menciptakan kebijakan, mereformasi kebijakan dan menjamin
6
kebijakan-kebijakan tersebut diimplementasikan untuk mendorong terciptanya pemerataan pembangunan antara kampung dan kota. Oleh sebab itu, advokasi kebijakan publik merupakan salah satu strategi alternatif karena status quo dilakukan melalui proses-proses kebijakan publik di tingkat pemerintahan kabupaten seperti pada muatan materi naskah, tata laksana dan budaya Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati. LSM lokal diharapkan menjadi unjung tombak dan bersinergis dengan stakeholders lainnya dalam pembaharuan penguatan tata kelola pemerintahan kampung. Advokasi yang dilakukan secara bersinergis
dengan
multi-pihak
diharapkan
dapat
menciptakan
kebijakan,
mereformasi kebijakan dan mendorong pelaksanaan kebijakan-kebijakan (PerdaPerda) yang mengatur tentang penguatan tata kelola pemerintahan kampung, khususnya dalam hal desentralisasi fiskal (kewenangan keuangan), desentralisasi administratif (kewenangan menyelenggarakan pelayanan publik) dan desentralisi politik
(kewenangan
pengambilan
keputusan)
sebagai
prasyarat
dalam
penyelenggaraan tata Pemerintahan Kampung Urumusu yang berprinsipkan Good Governance dan Total Quality Governance (TQG) untuk memenuhi kebutuhan multi-pihak di Kampung Urumusu, yakni pemerintah, swasata dan masyarakat. Berdasarkan latar belakang kajian tersebut, pengkaji memandang perlu melakukan pengkajian melalui Tugas Akhir dengan judul “Strategi Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung (studi Kasus di Kampung Urumusu, Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire Provinsi Papua).
Perumusan Masalah Yang menjadi pertanyaan dalam kajian ini adalah: 1. Bagaimana kondisi peta sosial tentang Kampung Urumusu ? 2. Apakah
Program
Pemberberdayaan
Kampung
(PPK)
yang
pernah
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire pada tahun 2005 telah menguatkan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu ? 3. Bagaimana kondisi kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan ? 4. Apa yang dibutuhkan Pemerintahan Kampung Urumusu dan bagaimana merancang strategi bagi penguatan kapasitas tata kelola secara partisipatif ?
7
Tujuan Kajian Tujuan umum yang ingin dicapai dari Tugas Akhir ini adalah menyusun rencana strategis penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Sedangkan tujuan khusus yang ingin dicapai adalah : 1. Mendeskripsikan kondisi peta sosial tentang Kampung Urumusu. 2. Mengevaluasi Program Pemberberdayaan Kampung (PPK) yang pernah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire pada tahun 2005 dari perspektif penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. 3. Menganalisis kondisi kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. 4. Menyusun strategi penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu secara partisipatif.
Manfaat Kajian Manfaat dari Kajian Tugas Akhir ini dapat ditinjau dalam perpektif praktis, akademis dan strategis, yaitu: 1. Manfaat akademis, mengkayakan literatur tentang teori dan praktek tentang konsep pengembangan kapasitas tata kelola pemerintahan. 2. Manfaat praktis, memberikan masukan tentang konsep pengembangan kapasitas
tata
kelola
pemerintahan
kampung
agar
Kampung
dapat
melaksanakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. 3. Manfaat strategis, memberikan masukan tentang konsep pembangunan pedesaan yang memberdayakan kepada Pemerintah, Pemerintah Provinsi Papua, Pemerintah Kabupaten Nabire dan Lembaga Swadaya Masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA Bagian ini akan memuat dan menjelaskan berbagai pengertian dan pemahaman teoritis yang berkaitan dengan topik kajian sehingga akan memberikan kemudahan tentang gambaran dan pemikiran untuk memahami maksud kajian. Tinjauan teoritis akan membahas tentang strategi penguatan kapasitas, tata kelola pemerintahan dan pemerintahan kampung. Teori-teori tersebut pada bagian akhir akan dihubungkan dengan realitas yang ada melalui kerangka pemikiran kajian.
Strategi Penguatan Kapasitas Menurut
Rangkuti
(2008)
strategi
adalah
perencanaan
induk
yang
komprehensif, yang menjelaskan bagaimana mencapai semua tujuan yang telah ditetapkan berdasarkan misi yang telah ditentukan sebelumnya. Dengan demikian strategi merupakan alat untuk mencapai tujuan dalam jangka waktu panjang, penentuan program tindak lanjut dan kebijakan pemilihan prioritas alokasi sumber daya untuk mencapai keunggulan bersaing. Yang dimaksud dengan tujuan adalah hasil akhir yang ingin dicapai yakni berupa penyataan tentang kualitas dan kuantitas. Sedangkan yang dimaksud dengan misi adalah pernyataan yang menyebutkan alasan mengapa harus ada dan apa yang akan dikerjakan. Dalam menyusun strategi dibutuhkan perencanaan yang komprehensif yang lebih dikenal dengan sebutan perencanaan strategis (strategy planning). Yang dimaksud dengan perencanaan strategis adalah rencana yang difokuskan pada keputusan strategis dari alokasi semua sumberdaya dalam kaitannya dengan pencapaian jangka panjang dan biasanya memiliki periode perencanaan lebih dari satu tahun. Perencanaan strategis tersebut kemudian diimplementasikan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Yang dimaksud dengan implementasi strategi adalah proses menjalankan strategi dan kebijakan (policy) menjadi tindakan yang nyata atau kegiatan yang dapat dilaksanakan secara realistis. Yang dimaksud dengan kebijakan (policy) adalah
pedoman atau petunjuk secara garis besar untuk
pengambilan keputusan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada tiga kegiatan penting yang tercakup di dalam implementasi strategi, yaitu program, prosedur dan anggaran. Program adalah suatu kumpulan tindakan-tindakan kongkret dan spesifik yang akan dilaksanakan dalam implementasi strategi. Yang dimaksud dengan prosedur adalah suatu sistem dari tahap-tahap kegiatan atau teknik yang
9
menjelaskan secara detail tentang cara menjalankan suatu pekerjaan atau tugas dalam implentasi strategi. Sedangkan yang dimaksud dengan anggaran adalah sejumlah biaya yang dikeluarkan dalam implementasi strategi. Sedangkan
menurut
Gaspersz
(2004)
organisasi
pemerintah
perlu
melakukan perencanaan strategis untuk meningkatkan kinerja sektor publik. Dalam perencanaan strategis tersebut akan selalu memiliki pertanyaan dan jawaban sebagai berikut: 1. Dimana kita berada sekarang ? (where are we now ?); pertanyaan ini dapat terjawab dengan cara: a) mengevaluasi atau menganalisis kondisi internal dan eksternal serta kekuatan-kekuatan yang mempengaruhi organisasi; dan b) mengidentifikasi pelanggang dan stakeholders yang terkena dampak (terpengaruh) oleh tindakan-tindakan atau kebijakan publik. 2. Dimana kita ingin berada dimasa mendatang ? (where do we want to be in the future
?); pertanyaan
ini dapat
terjawab
dengan
cara
merumuskan
(menetapkan) visi, misi, prinsip-prinsip, sasaran-sasaran dan tujuan-tujuan. 3. Bagaimana kita mengukur kemajuan ? (how do we measure our progress ?); pertanyaan ini dapat terjawab dengan cara menetapkan ukuran-ukuran kinerja untuk mengukur hasil-hasil dan menjamin pertanggungjawaban seperti input, output, outcome, kualitas dan efisiensi. 4. Bagaimana kita mencapai sasaran dan tujuan ? (how do we get our goals and objectives ?); pertanyaan ini dapat terjawab dengan cara menetapkan rencana tindakan (action plan), yang sering dikenal dengan istilah rencana operasional (operational plan) atau rencana implementasi (implementation plan), yaitu menyangkut penetapan spesifikasi penugasan orang-orang, sumber daya material dan finansial serta jadwal penyelesaian (pelaksanaan). 5. Bagaimana kita menelusuri kemajuan ? ( how do we track our progress ?); pertanyaan ini dapat terjawab dengan cara menetapkan sistem penelusuran (tracking system) untuk memantau kemajuan, mengumpulkan informasi manajemen dan menjaga agar sasaran dan tujuan tetap berada pada jalurnya. Menurut
Winardi
(2005),
perencanaan
strategis
(strategy
planning)
diperlukan oleh sebuah organisasi pemerintah karena orang akan makin menjauhi bentuk organisasi birokrasi-mekanistik dan menuju ke arah sebuah sebuah sistem organik yang bersifat lebih adaptif. Konsep dan pendekatan dalam bentuk organisasi dengan sebuah sistem organik yang bersifat lebih adaptif akan
10
memerlukan perubahan fundamental dalam tujuan-tujuan dan nilai-nilai maupun dalam sistem-sistem struktural, psikososial dan manajerial. Dibandingkan dengan bentuk organisasi birokrasi-mekanistik, bentuk organisasi dengan sebuah sistem organik yang bersifat lebih adaptif juga akan bersifat lebih dinamis dan luwes dalam membangun hubungan-hubungan yang bersifat internal maupun ekternal dan mampu beraksi secara lebih efektif terhadap perubahan-perubahan lingkungan sehingga memberikan peluang yang baik dalam pemeliharaan organisasi dan perubahan organisasi. Dalam pengaturan perubahan organisasi pemerintah di Indonesia dari birokrasi-mekanistik ke bentuk organisasi dengan sebuah sistem organik yang bersifat lebih adaptif dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah, (Wasistiono 2003; Sedarmatyanti 2003) diperlukan 5 (lima) strategi , yaitu: 1) strategi inti (core strategy),
yaitu
perumusan
kembali
tujuan-tujuan
penyelenggaraan
tata
pemerintahan, termasuk otonomi daerah; 2) strategi konsekuensi (consequency strategy),
yaitu
perumusan
dan
penataan
kembali
pola-pola
(prosedur)
kelembagaan; 3) strategi pemakai jasa (customer strategy), yaitu reorientasi dari kepentingan politik pemerintahan kepada orientasi kepentingan kelembagaannya; 4) strategi pengendalian (control strategy), perumusan kembali pengendalian organisasi antara pusat dan daerah termasuk antara Kabupaten/Kota dan Desa; serta 5) strategi budaya (culture strategy), reorientasi perilaku serta budaya aparatur dan budaya birokrasi dalam penyelenggaraan tata pemerintahan. Sedangkan pengertian penguatan kapasitas (capacity building) menurut Syahyuti (2006) adalah upaya penguatan sebuah komunitas dengan bertolak dari kekayaan tata nilai dan kebutuhan prioritas mereka dan mengorganisasikan mereka untuk melakukan sendiri. Capacity building berperan sebagai alat atau instrumen yang mendukung penggunaan potensi dan kapasitas yang ada secara efisien, memperluas kondisi potensi yang ada dan juga berupa membangkitkan potensi-potensi baru. Capacity building juga berfokus pada permasalahan hubungan-hubungan ekonomi, sosial dan politik. Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada 3 (tiga) level yang dapat menjadi objek capacity building, yaitu: 1) level individu dan grup; 2) organisasi; dan 3) level sistem institusi secara keseluruhan mencakup institusi hukum, politik serta kerangka pikir ekonomi dan administratif. Peningkatan kapasitas individu biasanya berupa pelatihan-pelatihan untuk meningkatkan pengetahuan, sedangkan untuk institusi dan organisasi melalui pendekatan social learning process. Ia juga mengatakan bahwa kapasitas
11
masyarakat secara hukum akan tergantung pada institusi yang sehat, pemimpin yang memiliki visi, dukungan finansial dan sumber daya material, ketrampilan sumber daya manusia dan kerja yang efektif termasuk sistem, prosedur, konsistensi dan insentif kerja yang sesuai. Munculnya gerakan demokratisasi, desentralisasi dan reformasi di segala bidang telah merambah sampai ke pelosok sehingga muncul tuntutan agar adanya perubahan atas ketatakelolaan pemerintahan desa menjadi bentuk organisasi dengan sebuah sistem organik yang bersifat lebih adaptif. Untuk tetap eksis terhadap berbagai perubahan, desa sebagai organisasi pemerintahan harus mengembangkan keorganisasiannya untuk beradaptasi dengan perubahanperubahan, khususnya menyangkut ketatakelolaan. Adaptasi atas perubahan tersebut menyangkut usaha mempertemukan kebutuhan masyarakat yang dinamis dan kepentingan pemerintahan. Oleh sebab itu (Beckhard 1987 diacu dalam Wasistiono 2007), mengemukakan bahwa ada 10 (sepuluh) alasan perlunya pengembangan organisasi, yakni sebagai berikut: 1) adanya kebutuhan untuk mengubah strategi manajerial; 2) adanya kebutuhan iklim organisasi lebih konsisten dengan kebutuhan individu maupun kebutuhan perubahan lingkungan; 3) adanya kebutuhan untuk mengubah norma-norma kultural; 4) adanya kebutuhan untuk mengubah struktur dan peranan; 5) adanya kebutuhan untuk meningkatkan
kerjasama
antar-kelompok;
6)
adanya
kebutuhan
untuk
meningkatkan sistem komunikasi; 7) adanya kebutuhan akan perencanaan yang lebih baik; 8) adanya kebutuhan untuk keputusan berkaitan dengan masalahmasalah penggabungan;
9) adanya kebutuhan untuk mengubah motivasi
kekuatan kerja; dan 10) adanya kebutuhan untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru. Dalam pengelolaan perubahan, harus beradaptasi dengan tantangan yang sangat besar maka (Sedarmayanti 2003) dalam pengelolah perubahan harus memperhatikan hal-hal seperti: 1) memahami mekanisme dasar perubahan; 2) mengembangkan program dasar perubahan; 3) menganalisa kekuatan yang mempengaruhi perubahan; 4) mengambil langkah untuk penolakan ataupun penyesuaian terhadap perubahan; 5) membangun komitmen terhadap perubahan; dan 6) meningkatkan dan mengkawal laju perubahan. Selanjutnya ia mengatakan bahwa dalam mengembangkan program dasar perubahan untuk pengembangan organisasi, perlu memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
1)
menetapkan sasaran dan mendefinisikan kondisi organisasi yang diinginkan di
12
masa mendatang setelah perubahan (pengembangan); 2) menganalisa kondisi saat ini dalam kaitannya dengan sasaran; 3) menetapkan kegiatan dan komitmen terhadap masa transisi yang diperlukan untuk mengantisipasi situasi masa yang akan datang; dan 4) mengembangkan strategi dan rencana tindakan untuk mengelola transisi dengan mempertimbangkan analisis faktor yang akan mempengaruhi perubahan. Pengembangan
kapasitas
organisasi
pemerintahan
daerah
sedang
mengalami hambatan struktural karena menurut Dawud (2005), kompetisi antarpartai politik yang tidak sehat akibat kekurangdewasaan para elit politik sehingga lebih mementingkan kepentingan partai dari pada kepentingan masyarakat, telah merambah ke dalam ruang birokrasi, sementara di lain pihak para elite birokrasi yang telah lama menikmati keuntungan dari lemahnya tata kelola pemerintahan, cenderung mempertahankan status quo terhadap kondisi kelemahan yang ada. Oleh sebab itu menurut Sanit (2002), dalam kondisi kemacetan komunikasi politik antara rakyat dan pemerintah maka diperlukan strategi alternatif, yakni membangun kekuatan masyarakat di luar partai politik untuk melakukan perlawanan
politik
dalam
rangka
mendapatkan
keseimbangan
distribusi
pendapatan dan kekuasaan antar-struktur masyarakat, khususnya antara penguasa dan rakyat. Sedangkan Suyanto dan Masyud (2002) berpendapat bahwa keseimbangan antar struktur masyarakat dapat tercipta melalui gerakan civil society yang lebih konseptual dan strategik karena politisasi massa niscaya akan mudah terombang ambing oleh berbagai kelompok kepentingan dan kekuasaan. Menurut Cahniago (2002), pada masa Orde Baru, dengan segala keterbatasan yang ada pada Lembaga Swadaya Masyaratakat (LSM) atau organisasi non pemerintah (Ornop) sedikit memperkuat kapasitas politik dan ekonomi masyarakat lokal yang berada dalam cengkeraman kekuasaan eksekutif yang sangat kuat. Namun LSM dan tokoh aktifis masyarakat sipil dalam membela kepentingan ekonomi dan politik kaum marginal kurang optomal hingga saat ini karena kesalahan bukan terjadi pada perumusan tujuan tetapi lebih pada strategi yang digunakan untuk mencapai tujuan. Oleh sebab itu, menurut Rochman (2002), Ornop berfokus pada: a) mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya untuk pelayanan publik, pengontrolan atas pengunaan sumber daya di Kabupaten/Kota, penguatan organisasi kemasyarakatan melalui pendidikan politik serta penguatan kedudukan kelompok-kelompok masyarakat agar mampu mengontrol alokasi sumber daya keuangan dan alam; b) menjadi garda paling depan dalam
13
pembangunan hukum dan peraturan baru yang dibutuhkan masyarakat, membangun jaringan, dan memberikan metode kerja pada masyarakat marginal; serta c) meningkatkan kapabilitas masyarakat dalam kehidupan berpolitik, meliputi upaya membangun identitas kewarganegaraan, pembentukan forum publik dan mengkonsentralikan diri pada penanganan konflik lokal. Pendapat lain dikemukakan oleh Topatimasang, Fakih dan Rahardjo (2002) advokasi kebijakan merupakan strategi alternatif mengatasi kesenjangan karena advokasi merupkan suatu proses yang menghubungkan antara berbagai unsur progresif dalam masyatakat warga (civil society), melalui terbentuknya aliansialiansi strategis yang memperjuangkan terciptanya keadilan sosial dengan cara mendesakkan terjadinya perubahan-perubahan kebijakan publik. Sedangkan menurut Suharto (2006) advokasi kebijakan publik diperlukan untuk menciptakan kebijakan, mereformasi kebijakan dan menjamin kebijakan-kebijakan tersebut diimplementasikan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial melalui pemerataan pembangunan. Dalam pengembangan kapasitas masyarakat melalui strategi advokasi kebijakan publik perlu dilakukan secara bertahap. Tahapan advokasi kebijakan publik tersebut didahului dengan analisis kebijakan publik. Tahapan analisis kebijakan publik adalah sebagai berikut: 1. Mendefinisikan Masalah kebijakan (masalah sosial), yakni penentuan fokus analisis kebijakan publik dengan mengunakan parameter sebagai berikut: a) faktor, yakni kebijakan publik yang menjadi fokus analisis adalah merupakan faktor penentu (kunci) dalam mengatasi masalah sosial secara luas; b) dampak, yakni kebijakan publik yang menjadi fokus analisis membawa dampak positif terhadap masyarakat luas dari aspek ekonomi, sosial dan politik; c) kecenderungan, yakni kebijakan publik yang menjadi fokus analisis menjadi
issue global dan nasional seperti penguatan good governance,
kedemokratisasi, hak azasi manusia, otonomi daerah dan lainnya; d) Nilai, yakni secara budaya dapat diterima oleh nilai-nilai sosial yang dianut masyarakat lokal. 2. Mengumpulkan bukti tentang masalah, yakni mengumpulkan berbagai fakta berupa data dan informasi baik primer maupun sekunder. 3. Penyajian penyebab masalah, yakni mengidentifikasi faktor yang memberikan kontribusi terhadap masalah sosial.
14
4. Mengevaluasi kebijakan yang ada, yakni menganalisis lebih mendalam tentang produk-produk hukum yang ada saat ini berupa kekurangan dan kelebihannya dalam mengatasi masalah sosial yang menjadi fokus analisis. 5. Mengembangkan alternatif kebijakan, yakni usaha mengembangkan alternatif solusi kebijakan publik dalam mengatasi masalah sosial. 6. Menyeleksi alternatif terbaik dengan pertimbangan sebagai berikut: a) Fisibilitas, yakni kemungkinan (probabilitas) akan diterima atau tidaknya alternatif kebijakan
publik
dengan
pertimbangan
ekonomi,
sosial
dan
politik;
b) Efektifitas, kemungkinan alternatif kebijakan publik yang diusulkan dapat menghasilkan dampak positif dengan intensitas dampa cukup besar terhadap masyarakat luas. 7. Mengidentifikasi manfaat, yakni keuntungan baik yang didapatkan masyarakat dari alternatif kebijakan publik yang diusulkan. 8. Mengidefinisikan biaya atau kerugian, yakni mengidetifikasi dampak negatif yang didapatkan masyarakat dari alternatif kebijakan publik yang diusulkan.
Selajutnya ia mengatakan bahwa setelah analisis kebijakan publik berakhir maka langka selajutnya adalah melakukan advokasi kebijakan publik. Advokasi kebijakan publik biasanya dilakukan oleh orang atau tim yang melakukan analisis kebijakan publik namun ada kalanya dilakukan oleh pihak lain yang berkentingan dengan memanfaatkan analisis kebijakan publik yang sudah dilakukan. Untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan advokasi kebijakan publik dilakukan analisis stakeholders (pemangku kepentingan) dan analisis pemangkau kelembagaan. Yang dimaksud dengan analisis stakeholders adalah sebuah teknik yang dapat digunakan
untuk
mengidentifikasi
kepentingan
orang-orang
kunci,
kelompok-kelompok orang atau lembaga-lembaga yang secara signifikan mempengaruhi berhasilan penerapan kebijakan. Dalam hal ini, perlu dianalisis adalah a) karakteristik dan pengaruh stakeholders; b) konflik kepentingan (kebutuhan) stakeholders; dan c) strategi pendekatan untuk meningkatkan dukungan seperti lobbi, koraborasi dan lainnya. Sedangkan analisis perangkau kelembagaan adalah sebuah teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pendukung dan penentang seperti struktur birokrasi pemerintah, peraturan perundang-undangan dan
15
lainnya yang berhubungan erat dengan issu strategis, sasaran dan tujuan advokasi kebijakan publik. Sedangkan menurut VeneKlasen dan Miller (2002), untuk mendapatkan perubahan kebijakan publik tanpa adanya halangan maka kekuatan stakeholders sangatlah dibutuhkan. Oleh sebab itu, untuk melihat peta kekuatan stakeholders maka dilakukan analisa kekuatan, kawan dan lawan. Dengan analisa ini diharapkan dapat menentukan stakeholders (teman) dan lawan (oposisi atau target). Dua alat utama yang digunakan adalah: 1. Identifikasi kekuatan. Identifikasi kekuatan dilakukan dalam 3 (tiga) tahapan. Tahapan tersebut dianalisa secara berurutan dan merupakan satu kesatuan, yaitu: a. Analisa Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman (KEKEPAN). Analisa ini digunakan untuk mengukur kapasitas seluruh komponen yang berkepentingan (stakeholders) dalam advokasi kebijakan publik.
Untuk
menggunakan
mengukur
(menilai)
kekuatan
dan
kapasitas internal
kelemahan.
Sedangkan
dengan untuk
mengukur kapasitas eksternal dengan mengunakan peluang dan ancaman. b. Analisa Medan Kekuatan. Analisa ini merupakan lanjutan dari analisa KEKEPAN, yakni dari hasil pengukuran kapasitas eksternal. Alat ini digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan (organisasi dan individu) yang berkepentingan
dalam
advokasi
kebijakan
publik.
Mereka
dikelompokkan dalam tiga kelompok, yakni 1) teman primer dan sekunder; 2) kelompok netral; dan 3) lawan (oposisi atau target) primer dan sekunder. c. Analisa Pemetaan Kekuasan. Analisa ini merupakan lanjutan dari analisa medan kekuatan dan merupakan pelengkap. Pada tahapan ini sudah menggerakkan pada proses perencanaan advokasi. Pemetaan kekuasan bertujuan untuk
16
mengetahui pemain (organisasi) dan posisi (individu kunci). Setelah teridentifikasi,
selanjutnya
mengurutkan
menurut
opini
urutan
kepentingan, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Pada bagian akhir mengkategorisasi dengan kode sebagai berikut: O = Oposan (lawan); S = Supporter (pendukung); U = Uncommited (tidak berkomitmen/netral); dan ? = Tidak Tahu. Dengan alat analisa ini akan membantu dalam menentukan strategi pendekatan untuk masing-masing kelompok dengan issu, lobbi, negosiasi
dan
kolaborasi
yang
berbeda-beda
berdasarkan
kepentingan nyata maupun yang tersembunyi. 2. Klasifikasi kawan dan lawan Melalui identifikasi kekuatan (alat analisa 1) telah teridentifikasi organisasi dan individu (tokoh kunci) maka dengan alat analisis ini akan teridentifikasi kawan dan lawan. Alat analisa ini akan membantu mengklasifikasi hal-hal sebagai berikut: a. Analisis Penentuan Target Alat analisa ini digunakan untuk menentukan orang atau organisasi baik target primer maupun target sekunder dengan kekuasaan tertentu yang dimilikinya dapat mengambil keputusan sebagai respon atas advokasi kebijakan publik yang sedang dilakukan. b. Analisis Aliasi (teman/stakeholders) Alat analisa ini digunakan untuk menentukan orang atau organisasi yang mendukung dalam advokasi kebijakan publik. Melalui analisa ini pula teridentifikasi nama orang atau organisasi pemerhati primer maupun sekunder, tingkat dukungannya, motivasi (agenda) dan derajat pengaruh. c. Analisis Lawan atau Musuh Alat analisa ini digunakan untuk menentukan orang atau organisasi yang berlawanan dalam advokasi kebijakan publik. Melalui analisa ini pula teridentifikasi target (oposisi) nama orang atau organisasi lawan primer maupun sekunder yang memiliki kekuasaan maupun
17
yang tidak memiliki kekuasaan, tingkat dukungan di belakang mereka, motivasi (agenda) dan derajat pengaruh serta taktik kita untuk memenangkan advokasi kebijakan dan resiko untuk kita jika gagal memenangkan advokasi kebijakan publik. Menurut Topatimasang, Fakih dan Rahardjo (2002), demi keberhasilan advokasi perlu membangunan kerangka kerja terpadu yang diawali dengan analisis sistem hukum atau proses-proses kebijakan publik yang terdiri dari: a) isi atau naskah kebijakan publik, yakni berupa penjabaran tertulis; b) tata laksana kebijakan publik, yakni berupa pelaksanaan dari isi kebijakan publik; dan c) budaya kebijakan publik yakni berupa persepsi, pemehaman, penafsiran, sikap dan praktek dari isi hukum dan budaya hukum. Sedangkan proses hukum dalam advokasi kebijakan publik dalam rangka pembentukan atau perubahan kebijakan publik dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut: 1. Proses-proses legislasi dan jurisdikasi, yakni pengajuan usul dan konsep tandingan dengan cara menyusun rancangan tandingan, naskah akademik, pembelaan, pengujian substansi dan peninjauan kembali untuk perbaikan isi atau naskah kebijakan publik. 2. Proses-proses politik dan birokrasi, yakni mempengaruhi pendapat umum dan mempengaruhi pelaksana hukum dengan cara melobbi, menegosiasi, mediasi dan kolaborasi untuk perbaikan tata laksana kebijakan publik. 3. Proses-proses sosialisasi dan mobilisasi, yakni pembentukan pendapat umum dan tekanan politik dengan cara kampanye, siaran pers, unjuk rasa, mogok, boikot serta pengorganisasian basis gerakan dan pendidikan politik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan 1 tentang proses-proses pembentukan kebijakan publik dan sasaran advokasi kebijakan publik berikut ini. Bagan 1: Proses-Proses Pembentukan Kebijakan Publik dan Sasaran Advokasi Kebijakan Publik
PROSES PROSES LEGISLASI DAN JURISDIKASI (pengajuan usul, konsep tandingan dan pembelaan pada pembuat hukum )
PROSES-PROSES POLITIK DAN BIROKRASI (mempengaruhi pendapat umum dan mempengaruhi pelaksana hukum)
Mengajukan usulan dan tututan perubahan, menyusun dan mengajukan rancangan tandingan, naskah akademik, pengujian substansi dan peninjauan kembali.
Membangun relasi dengan stakeholders melalui usaha melobi, menegosiasi, mediasi dan kolaborasi serta jika diperlukan maka dapat melakukan praktek intrik, sindikasi, konspirasi dan manipulasi.
Perbaikan Isi atau Naskah Kebijakan Publik
Perbaikan tata laksana kebijakan publik
Pembentukan atau perubahan kebijakan publik
18
PROSES-PROSES SOSIALISASI DAN MOBILISASI (pembentukan pendapat umum pada stakeholders serta tekanan politik pada pembuat dan pelaksana)
Pembentukan kesadaran berpolitik dan pendapat umum melalui pendidikan politik, diskusi, seminar dan debat umum, kampanye, siaran pers serta pengorganisasian basis gerakan untuk unjuk rasa, mogok, boikot, blokade dan lainnya.
Perbaikan Budaya Kebijakan Publik
Sumber: Topatimasang, Fakih dan Rahardjo (2002)
Partisipasi aktif seluruh komponen yang berkepentingan (stakeholder) pada setia tahapan proses advokasi kebijakan publik mempunyai arti penting dari tahap perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi hingga pemanfaatan dan pemeliharaan dari proses advokasi kebijakan untuk mencapai kesejahteraan dan keadilan sosial (Iskandar 1995; Hikmat 2004), karena: 1) masyarakat yang sehat merupakan produk dari masyarakat yang aktif; 2) proses perencanaan yang berasal dan diinginkan oleh masyarakat adalah lebih baik dibandingkan dengan perencanaan yang berasal dari penguasa; 3) proses partisipasi dalam pembangunan merupakan pencegahan berbagai sikap pasif dari individu-individu, khususnya kelompok miskin dan marginal dalam masyarakat; dan 4) proses pemberdayaan merupakan dasar kekuatan bagi masyarakat yang demokratis.
Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Menurut Korten (1988), salah satu kegagalan utama program pembangunan di desa adalah kegagalan menciptakan organisasi yang tepatguna untuk memecahkan masalah di tingkat lokal, yang pada dasarnya adalah merupakan struktur pranata (mediating structure), yaitu lembaga yang berdiri di antara individu dalam kehidupan pribadinya dengan lembaga-lembaga besar dalam kehidupan umum. Sedangkan Wasistiono (2007) berpendapat bahwa masalah struktural di pedesaan disebabkan karena organisasi pemerintah desa sebagai struktur
19
pranata dan sekaligus agen pembahuruan tidak mampu menjalankan fungsinya secara optimal sesuai perkembangan situasi dan kondisi masyarakat desa yang berubah dengan cepat. Masalah keorganisasian Desa tersebut adalah penyebab dari hal-hal sebagai berikut: 1) kedudukan dan bentuk organisasi desa yang mendua (ambivalen), yakni sebagai bentuk organisasi pemerintah dan juga sebagai lembaga kemasyarakatan; 2) tidak mempunyai sumber pendapatan yang memadai; 3) keterbatasan kewenangan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut isi rumah tangganya; dan 4) keterbatasan kualitas dan kuantitas personil. Oleh sebab itu, penguatan kapasitas diperlukan dalam penyelenggaraan tata pemerintahan desa karena (Triwidaryanta 2005) kinerja pemerintahan desa pada masa mendatang diarahkan pada pembentukan indikator pengontrolan kinerja pemerintah desa, proses demokratisasi di segala aspek,
penguatan Badan
Permusyawaratan Desa (BPD) sebagai alat pengontrolan pemerintah desa serta peningkatan
partisipasi
masyarakat
dalam
proses
penyelenggaraan
tata
pemerintahan dan pembangunan di desa. Hal ini tidak terlepas dari kelemahan kinerja pada penyelenggaraan tata pemerintahan di desa seperti pengambilan keputusan di desa yang bias elite, pengelolaan keuangan yang tidak transparan dan adanya mekanisme nonbujeter, kekuasaan elite yang primordialistik yang cenderung untuk menekan dan memobilisasi rakyat serta akuntabilitas pelayanan publik yang masih rendah. Kelemahan di atas tidak terlepas dari kondisi pedesaan di Indonesia yang identik dengan keterbatasan kapasitas sumber daya manusia untuk mengelola perubahan, oleh sebab itulah Bantacut et al. (2001) mengisyaratkan bahwa salah satu prinsip yang harus diperhatikan dalam pemberdayaan masyarakat di pedesaan adalah penguatan kapasitas kelembagaan masyarakat dan pemerintah lokal untuk menghadapi perubahan; serta peningkatan ikatan dan jalinan kemitraan (koodinasi, kooperasi, kolaborasi dan networking) sebagai suatu sistem dengan pemerintah (negara), dunia usaha maupun dengan masyarakat luas (donor dan pemerhati). Sedangkan Rajab (2006) berpendapat bahwa lingkaran kemiskinan di Indonesia sebagai refleksi dari kesenjangan struktur ekonomi (distribusi pendapatan), struktur sosial (pelapisan masyarakat) dan struktur politik (distribusi kekuasaan) antara penguasa dan rakyat sehingga roda proses pemiskinan akan terus berputar sehingga tercipta kondisi yang mapan seperti: 1) secara ekonomi, masyarakat miskin akan makin termarjinalkan; 2) secara
20
sosial, modal sosial seperti jaringan sosial kolektif atau organisasi-organisasi sosial akan tetap berada dalam kondisi ketidakberdayaan; dan 3) secara politik, masyarakat miskin akan makin kehilangan akses atau wahana institusional untuk mengartikulasikan aspirasi dan kepentingannya pada lembaga-lembaga politik. Sedangkan menurut Rozaki et al (2005) bahwa dalam rangka penguatan kapasitas tata kelola desa perlu diberikan penguatan pada: 1) kapasitas regulasi, yakni kapasitas pengatur; 2) kapasitas ekstraksi, yakni kapasitas mengoptimalkan aset desa untuk memenuhi kebutuhan masyarakat; 3) kapasitas distributif, yakni kapasitas menjaga keseimbangan dan keadilan dalam distribusi sumber daya; 4) kapasitas responsif, yakni kapasitas daya tanggap terhadap kebutuhan masyarakat); dan 5) kapasitas jejaring, yakni kapasitas membangun hubungan secara vertikal dan horizontal. Sedangkan Wasistiono (2007) memandang bahwa jika pemerintah desa dipandang sebagai suatu sistem yang saling berinteraksi dinamis antar sub sistem secara struktural, sub sistem tersebut adalah: 1. Subsistem Kepemimpinan, yakni menyangkut kapasitas kepemimpinan (tata kepemimpinan), yang terdiri dari indikator elemen: a) Kapabilitas pemimpin (kepala desa); b) Kematangan pengikut (masyarakat) dan c) Situasi dan kondisi hubungan berpemerintahan (governance relation). 2. Subsistem Kelembagaan Pemerintahan Desa, yakni menyangkut kapasitas kelembagaan pemerintahan desa (tata pemerintahan), yang terdiri dari indikator elemen: a) Pemerintah Desa, meliputi: kewenangan, keorganisasian, personil, keuangan, perlengkapan, fungsi perencanaan, fungsi pengawasan dan fungsi pendokumentasian; dan b) Badan Permusyawaratan Desa, meliputi fungsi agregasi, artikulasi dan fungsi legislasi. 3. Subsistem sumber daya sosial (tata kemasyarakatan), yang terdiri dari indikator elemen: a) sumber daya manusia, meliputi: pendidikan, kesehatan dan daya beli; b) sumber daya sosial politik, meliputi: partisipasi politik masyarakat, stabilitas keamanan dan ketertiban serta eksistensi lembaga kemasyarakatan; c) sumber daya sosial budaya, meliputi: kesenian dan lembaga kesenian serta adat dan lembaga adat; d) sumber daya ekonomi, meliputi: sarana dan prasarana ekonomi pedesaan serta aktifitas ekonomi pedesaan; dan e) sumber daya sosial agama, meliputi: toleransi kehidupan beragama dan sarana Ibadah.
21
4. Subsistem sumber daya sosial (tata Ruang), yang terdiri dari indikator elemen: a) prasarana Desa; b) pemukiman; dan c) daya dukung lingkungan.
Pemerintahan Kampung Pengertian dan Posisi Desa (Kampung) dalam NKRI Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 (Amandemen II), jo Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 2 Tentang Pemerintah Daerah menyebutkan bahwa: ”Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota yang masing-masing mempunyai pemerintah daerah.” Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa susunan pemerintah daerah di Indonesia terdiri dari Provinsi sebagai tingkatan otonomi derajat I dan Kabupaten/Kota tingkatan otonomi derajat II.
Menurut Unang S. (1984) bahwa: ”Desa adalah suatu kesatuan masyarakat hukum berdasarkan adat dan hukum adat yang menetap dalam suatu wilayah tertentu batas-batasnya; memiliki ikatan lahir batin yang sangat kuat, baik karena keturunan maupun karena sama-sama memiliki kepentingan politik, ekonomi, sosial dan keamanan; memiliki susunan pengurus yang dipilih bersama; memiliki kekayaan dalam jumlah tertentu dan berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.” Batasan desa menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, pasal 1 angka 12 adalah sebagai beritikut: ”Desa atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Desa, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwewenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.” Sedangkan batasan desa menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, pasal 1 ayat l adalah: ”Kampung atau disebut dengan nama lain, selanjutnya disebut Kampung, adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asalusul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan nasional dan berada dalam Kabupaten/Kota.”
22
Batasan Desa menurut Unang S, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua maka dapat disimpulkan bahwa sebutan ”desa” mempunyai kesamaan pengertian dengan sebutan ”kampung”. Pengertian pemerintah menurut Bayu Surianingrat (1976) adalah ”Jawatan atau alat-alat perlengkapan negara yang mempunyai wewenang yang sah dan melindungi serta meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pembuatan dan pelaksanaan berbagai keputusan.” Berdasarkan
pengertian-pengertian
di
atas
maka
pemerintah
desa
merupakan jawatan atau alat-alat perlengkapan negara (lembaga pemerintah) dan kesatuan masyarakat hukum (lembaga masyarakat) yang diakui dan dihormati dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk melindungi serta meningkatkan taraf hidup masyarakat melalui pembuatan dan pelaksanaan berbagai keputusan. Bertolak dari batasan Desa menurut Unang S., Undang-Undang Nomor 34 tahun 2004 maupun Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, dapat ditarik kriteria kampung adalah sebagai berikut: 1) berhak dan berkewajiban mengatur dan mengurusi rumah tangganya menurut adat kebiasaan setempat dan menurut peraturan negara ataupun peraturan daerah yang berlaku; 2) Desa wajib melaksanakan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh Pemerintah dan Pemerintah Daerah; dan 3) untuk melaksanakan tugas dan kewenangan tersebut, kepala desa diberikan sumbangan atau bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah. Pembentukan Desa sebagai jawatan atau alat perlengkapan negara (organisasi pemerintah) diamanatkan lewat pasal 200, ayat 1 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 bahwa dalam pemerintah daerah kabupaten/kota dibentuk pemerintahan
desa
yang
terdiri
dari
pemerintah
desa
dan
Badan
Permusyawaratan Desa. Pembentukan desa sebagai kesatuan masyarakat hukum (lembaga masyarakat) diamatkan lewat pasal 200, ayat 2 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 jo Pasal 2, ayat 1, Peraturan Pemerintah RI Nomor 72 Tahun 2005 yang mengatakan bahwa pembentukan, penghapusan dan atau penggabungan desa dengan memperhatikan asal usulnya atas prakarsa masyarakat. Oleh sebab itu, menurut Soerjono (1984), desa dapat dibentuk berdasarkan atas 3 (tiga) sifat, yaitu: 1) berdasarkan geneologis/keturunan; 2) berdasarkan teritorial/wilayah; dan 3) campuran antara geneologis dan teritorial.
23
Kapasitas Pemerintahan Desa (Kampung) Kapasitas kelembagaan (tata kelola) Pemerintahan Desa (Wasistiono 2007) dapat dilihat dari aspek: a) Pemerintah Desa, yang meliputi: kapasitas kewenangan, kapasitas keorganisasian, kapasitas personil, kapasitas keuangan, kapasitas
perlengkapan,
kapasitas
fungsi
perencanaan,
kapasitas
fungsi
pengawasan dan fungsi pendokumentasian; dan b) Badan Permusyawaratan Desa, meliputi kapasitas fungsi agregasi, artikulasi dan fungsi legislasi. Masing-masing aspek kapasitas tata kelola Pemerintahan Desa dapat dijelaskan sebagai berikut:
Aspek Pemerintah Desa 1. Kapasitas Kewenangan Kampung Menurut Wasistiono (2000), otonomi desa adalah hak untuk mengatur dan mengurusi rumah tanggganya sendiri yang muncul bersamaan dengan terbentuknya kesatuan masyarakat hukum tersebut, dengan batas-batas berupa hak dan kewenangan yang belum diatur oleh kesatuan masyarakat hukum yang lebih luas dan tinggi tingkatannya, dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup dan penghidupan kesatuan masyarakat hukum. Pembentukan
daerah
otonom
melalui
desentralisasi
menurut
Sedarmayanti (2005) pada hakekatnya adalah untuk menciptakan efisiensi dan inovasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Desentralisasi juga menjamin integrasi bangsa karena dengan adanya desentralisasi, daerah diberi otonomi untuk mengatur dan mengurusi rumah tangganya sendiri. Sedangkan Terry (1986) pendelegasiaan kewenangan diperlukan karena: a) kemampuan seseorang menangani pekerjaan ada betasnya; dan b) perlu adanya pembagian tugas dan kaderisasi kepemimpinan. Dalam rangka melaksanakan otonomi desa bidang kewenangan, menurut Wasistiono (2002), desa harus diberikan 2 (dua) bentuk kewenangan, yaitu: 1) kewenangan atribut, yakni kewenangan yang melekat dan diberikan kepada institusi atau pejabat berdasarkan peraturan perundang-undangan; dan 2) kewenangan delegatif, yakni kewenangan yang berasal dari pendelegasian dari institusi atau pejabat yang lebih tinggi tingkatannya. Sedangkan Nurrochmat (2006) desentralisasi harus dimaknai dari tiga aspek
24
penting yang saling berkaitan, yakni desentralisasi fiskal (kewenangan keuangan), desentralisasi administratif (kewenangan pelayanan publik) dan desentaralisasi politik (kewenangan pengambilan keputusan). Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pemerintahan desa bukan sebagai daerah otonom karena otonomi desa digabungkan dalam otonomi Kabupaten/Kota, namun menurut ketentuan pasal 14, ayat 1, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, Kepala Kampung diberikan tugas
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan,
pembangunan
dan
kemasyarakatan. Menurut penjelasan peraturan tersebut memberikan batasan atas masing-masing tugas adalah sebagai berikut: 1) Urusan Pemerintahan antara lain pengaturan kehidupan masyarakat sesuai dengan kewenangan desa seperti pembuatan peraturan desa, pembentukan lembaga kemasyarakatan, Pembentukan Badan Usaha Milik Desa, kerjasama antar-desa dan lainnya. 2) Urusan pembangunan antara lain pemberdayaan masyarakat dalam penyediaan sarana dan fasilitas umum desa seperti jalan desa, jembatan desa, irigasi desa, pasar desa dan lainnya. 3) Urusan kemasyarakatan antara lain pemberdayaan masyarakat melalui pembinaan kehidupan sosial budaya seperti bidang kesehatan, pendidikan, adat istiadat dan lainnya. Dalam rangka melaksanakan tugas-tugas di atas, pasal 206 UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 jo pasal 4 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 jo Permendagri Nomor 30 Tahun 2006 menetapkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa, yaitu: 1) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa; 2) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada desa; 3) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan 4) urusan pemerintah lainya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa. Tanjung (2005) mengatakan bahwa dalam pasal 206 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bahwa kewenangan desa untuk mengatur dan mengurusi urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa, kurang jelas rumusannya karena tidak dirinci dalam peraturan perundang-undangan. Selain itu, tugas pembantuan dari pemerintahan yang
25
lebih tinggi tingkatannya (pemerintahan supra desa) dan urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa bukanlah merupakan kewenangan desa tetapi urusan dan kewenangan dari yang menyerahkan tugas pembantuan dan urusan pemerintahan lainnya. Pada pasal 207 mengatakan bahwa tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan urusan pemerintah lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada desa disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana serta sumber daya manusia namun tetap saja bukanlah merupakan kewenangan desa karena pada pasal 1, ayat 9, mengatakan bahwa tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari Pemerintah Provinsi kepada Kabupaten/Kota dan/atau desa serta dari Pemerintah Kabupaten/Kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Menurut
Wasistiono
(2007)
tugas
pembantuan
dari
Pemerintah,
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota; dan urusan pemerintah lainya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada kampung tidak dapat diharapkan untuk melaksanakan otonomi kampung secara utuh (penuh). Sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota
yang
diserahkan
pengaturannya
kepada
desa
adalah
berdasarkan asas bukan-bukan karena penyerahan kewenangan ini bukan berdasarkan dekonsentrasi
asas serta
desentralisasi bukan
pula
dan asas
bukan
juga
pembantuan.
berdasarkan
asas
Kewenangan
ini
merupakan desentralisasi teknis, dimana kewenangan yang disentralisasikan kepada pemerintah tingkat bawahnya (desa) adalah teknis pelaksanaannya. Sedangkan substansi kewenangannya sendiri tetap menjadi kewenangan Pemerintah tingkat atasnya yakni Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Sedangkan menurut Sedarmayanti (2005) fenomena di atas terjadi karena otonomi yang diberikan masih kurang tulus atau otonomi setengah hati. Hal ini akan sangat berpengaruh besar terhadap pemberdayaan masyarakat dan partisipasi warga desa dalam proses pembangunan sebagaimana yang diamatkan pada penjelasan pasal 68, ayat 1, poit c, Peraturan Pemerintah Tahun 2005 Tentang Desa bahwa dana perimbangan pusat dan daerah dari Kabupaten/Kota sebesar 10% yang diberikan langsung kepada desa untuk dikelola oleh pemerintah desa dengan ketentuan 30%
26
digunakan untuk operasional pemerintah desa dan 70% untuk digunakan untuk
kegiatan
pemberdayaan
masyarakat.
Amanat
ini
tidak
dapat
dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan multi-pihak (stakeholders) dalam nuansa otonomi yang utuh (penuh) kerena pada dasarnya kewenangan ini adalah kewenangan teknis. Dengan demikian Kampung hanya melaksanakan apa yang diamanatkan lewat peraturan atau petunjuk teknis dari pemerintahan supra desa yang menyelenggarakan tugas pembantuan ataupun hibah. Kondisi ini akan bertolak belakang dengan esensi dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, karena menurut Sedarmayanti (2005) esensi dari Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
adalah:
1)
Filosofi
yang
digunakan,
yaitu
”keanegaragaman dan kesatuan”; 2) Paradigma politik yang digunakan adalah demokratisasi, pemerataan dan keadilan; 3) Membangun paradigma ekonomi yang menekankan pada meningkatkan daya saing daerah dalam menghadapi persaingan
global
administrasi
yang
melalui
pemberdayaan
menekankan
pada
masyarakat;
efektifitas
4)
dan
Paradigma
efisiensi;
dan
5) Penyelenggaraan pemerintahan yang menekankan pada pelayanan masyarakat (publik) untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dalam rangka melaksanakan program pemberdayaan masyarakat secara
otonom
sesuai
kebutuhan
masyarakat
maka
(Tanjung
2005;
Suwaryono 2005; Wasistiono 2007), penyerahan kewenangan atribut kepada desa haruslah berdasarkan asas desentralisasi penuh bukan berdasarkan desentralisasi teknis. Penerapan asas desentralisasi penuh akan sangat artinya bagi penguatan kapasitas tata kelola pemerintah desa dalam menyelenggarakan tata pemerintahan secara leluasa agar melaksanakan pembangunan dengan konsep pemberdayaan dan mendorong partisipasi aktif bagi multi-pihak sehingga proses pengaturan akan menjadi proses belajar dan menjadi pengalaman baru bagi multi-pihak di desa.
2. Kapasitas Keorganisasian Tidak dapat dipungkiri bahwa organisasi pemerintahan di Indonesia banyak mendapat protes dari berbagai kalangan karena ketidakpuasan dalam mendapatkan pelayanan dan dinilai lamban dalam mengembangkan inovasiinovasi baru dalam menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan (Sedarmayanti 2005). Oleh sebab itu, menurut Osborne dan Gaebler (1995)
27
organisasi pemerintah perlu melakukan perubahan dengan berpegang pada 10 (sepuluh) prinsip, yakni: 1) Catalytic Government: Steering rather rowing; pemerintah mengkonsentrasikan diri pada aspek pengaturan (regulasi) dengan membuat
kebijaksanaan
daripada
menjadi
pelaksana
kebijakan
atau
pemerintah menjadi pelaksana pelayanan umum masyarakat; 2) CommunityOwned
Government:
Empowering
rather
serving;
pemerintah
lebih
berkonsentrasi pada pemberdayaan masyarakat agar masyarakat tidak terlena dan bergantung pada pemerintah. Pemberian pelayanan dan penyediaan fasilitas dilakukan dalam rangka pendewasaan dan pemandirian masyarakat; 3) Competitive Government: Injecting competition into service delivery: menciptakan kompetisi yang sehat dalam memberikan pelayanan antarpenyelenggara pelayanan umum; 4) Mission-driven Government: transforming rule-driving organizations; penyelenggaraan tata pemerintah atau birokrasi diarahkan oleh tujuan dan misi yang telah ditetapkan untuk kepentingan masyarakat, bukan diarahkan oleh aturan; 5) Result-Oriented Government: funding outcomes, not inputs; pemerintahan yang beorientasi bukan pada aspek inputs, melainkan pada aspek output dan outcomes; 6) Customer-driven Government: meeting the needs of the costumer, not the bureaucracy; pemerintahan yang diarahkan oleh kebutuhan masyarakat
bukan
diarahkan
oleh
dari konsumen,
kebutuhan
dari
para
yakni
birokrasi;
7) Enterprising Government: earning rather than spending; penanaman semangat
entrepreneur
dalam
pemerintah,
yakni
berorientasi
untuk
mendapatkan keuntungan untuk penerimaan keuangan (earning money), daripada memikirkan bagaimana menghabiskan anggaran yang dialokasikan (spending money); 8) Anticipatory Government: prevention rather than cure; pemerintahan
yang
antisipatif,
yakni
melakukan
antisipasi
terhadap
kemungkinan terjadinya suatu masalah (perubahan) daripada mengatasi masalah setelah terjadinya permasalahan (perubahan); 9) Decentralized Government: from hierarchy to participation and teamwork; pemerintahan yang melaksanakan desentralisasikan atau mendelegasikan kewenangan kepada unsur-unsur bawahannya, dengan menerapkan manajemen partisipatif dan kerjasama kelompok dalam pencapaian sasaran organisasi; dan 10) MarketOriented Government: leveraging change through the market; pemerintahan yang
mendorong
berlakunya
“mekanisme
pasar”
secara
menyesuaikan tuntutan perubahan pasar dan mekanisme pasar.
sehat
dan
28
Menurut Suwaryono (2005), penyelenggaraan otonomi Desa yang luas (penuh) harus disertai dengan penerapan good governance pada tataran penyelenggaraan pemerintahan desa. Selanjutnya ia mengatakan bahwa good governance tersebut mengandung arti sebagai berikut: 1) Participation, keterlibatan aktif dalam pengambilan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui Badan Permusyawaratan Desa (BPD); 2) Rule of Law, kerangka hukum yang adil dan dilaksanakan tanpa pandang bulu (penegakkan supremasi hukum); 3) Transparancy, keterbukaan dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi, 4) Responsiveness, pemerintahan yang cepat tanggap terhadap kebutuhan masyarakatnya; 5) Consensus Orientation, berorientasi
kepada
kepentingan
masyarakat
desa;
6)
Equity,
penyelenggaraan pemerintahan yang mampu memberikan kesejahteraan dan keadilan bagi setiap warga desa; 7) Efficiency and effektiveteness, pemanfaatan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna dan berhasil guna;
8)
Accountability,
pemerintahan
desa
pertanggungjawaban
kepada
masyarakat;
setiap
dan
9)
penyelenggaraan Strategic
Vision,
penyelenggaraan pemerintahan dan pengembangan masyarakat desa harus memiliki visi jauh ke depan. Menurut Nasdian (2006) dalam penerapan good governance pada tataran penyelenggaraan pemerintahan desa perlu membangun hubungan kolaboratif dan kemitraan yang dapat bersinergis antara tiga kekuatan (”ruang kekuasaan”), yakni masyarakat (civil society), pemerintah (state/government) dan swasta (private sector) sehingga dapat menyelenggarakan sistem pemerintahan desa yang demokratis, desentralistik dan partisipatoris dan lebih menjamin kesejahteraan masyarakat desa. Selanjutnya ia mengatakan bahwa issu sentral tentang ketidakmampuan kelembagaan desa berbasis komunitas yang
patut
diperhatikan
dalam
penguatan
kapasitas
desa
adalah:
1) kelembagaan desa tidak memiliki kemampuan dalam mengorganisasikan diri sendiri; 2) sumber daya manusia yang menopang kelembagaan desa memiliki kompetisi budaya yang rendah sehingga kurang memiliki kemampuan untuk melakukan transformasi politik dan sosial ekonomi di aras desa. Berdasarkan kedua alasan tersebut maka kelembagaan desa membutuhkan dukungan sistem yang radikal dan murah untuk mendukung upaya mentransformasikan dirinya untuk memiliki kapasitas sosial, budaya dan ekonomi yang kuat dalam menghadapi bias kepentingan kekuatan pasar
29
(swasta).
Sedangkan
Kolopaking
(2006)
mengisyaratkan
bahwa
pengembangan jejaring multi-pihak berbasis komunitas pedesaan dalam rangka pengembangan kelembagaan ditentukan oleh 4 (empat) faktor, yakni: 1) kesiapan komunitas di pedesaan dalam membangun kapasitas lembaga atau kelompok atau komunitas untuk berswadaya dan bekerjasama dengan pihak lain; 2) pemerintah di aras kebupaten (eksekutif dan legislatif) memberikan tempat (ruang) serta membangun kemampuan bekerja dan berkomunikasi dengan multi-pihak yang melintas asas birokrasi; 3) kemauan dan kemampuan kapasitas dari pengusaha atau lembaga bisnis swasta untuk terlibat mendorong pengembangan masyarakat melalui pola kerjasama baru; dan
4)
adanya
prakarsa
membangun
sistem
informasi,
mekanisme
pengawasan sosial secara demokratis yang berbasis komunitas dan melibatkan kerjasama jaringan multi-pihak. Dari aspek pemerintahan desa, Supriadi dan Guno (2003) mengisyaratkan bahwa organisasi pemerintah harus mampu menerapkan kombinasi manajemen bisnis dan manajemen pemerintahan agar dalam penyelenggaraan pelaynan publik dapat mencapai Total Quality Governance (TQG) yang mempunyai prinsip: 1) mempertemukan tuntutan masyarakat dan kemampuan pemerintah; 2)
membangun
mekanisme
kerja
yang
berorientasi
pasar;
3) mengaktualisasikan misi lebih penting dari pada mengatur; 4) memfokuskan kerja pada hasil (keluaran) bukan masukan; 5) mengutamakan kualitas; 6) mengutamakan pencegahan daripada memperbaiki atau mengobati; 7) mengutamakan partisipasi daripada mobilisasi; dan 8) membangun hubungan kerja sama (koodinasi, kolaborasi dan kemitraan). Selanjutnya mereka berpendapat bahwa manfaat dari penerapan manajemen TQG adalah: 1) Menjamin kualitas hasil kerja untuk mengurangi pemborosan; 2) membuka jaringan kerja dan komunikasi yang efektif; 3) membangun keterbukaan; partisipasi, kebersamaan dan kekeluargaan; 4) mempercepat penemuan dan memperbaiki kesalahan; 5) mempercepat proses penyesuaian dengan perubahan lingkungan (tuntutan internal dan eksternal); dan 6) Meningkatkan kepuasan dan disiplin kerja.
3. Kapasitas Personil Dalam meningkatakan kualitas tata kelola organisasi pemerintah maka setiap personil harus membangun falsafah kerja yakni nilai-nilai budaya kerja
30
seperti yang dikemukakan Supriadi dan Guno (2003) perlu mengembangkan personil yang memiliki hal-hal sebagai berikut: 1) komitmen dan konsisten terhadap visi, misi dan tujuan organisasi pemerintah, kebijakan negara dan peraturan perundangan yang berlaku; 2) memilki kewenangan dan tanggung jawab; 3) keiklasan dan kejujuran; 4) integritas dan profesionalisme; 5) kreativitas dan kepekaan terhadap lingkungan tugas; 6) kepemimpinan dan keteladanan; 7) kerja sama (kemitraan) dan dinamika kelompok kerja; 8) ketepatan dan kecepatan; 9) rasionalitas dan kecerdasan emosi; 10)
keteguhan
dan
ketegasan;
11)
disiplin
dan
keteraturan
kerja;
12) keberanian dan kearifan; 13) dedikasi dan loyalitas; 14) semangat dan motivasi; 15) keberanian dan kearifan; 16) ketekunan dan kesabaran; serta 17) penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk merealisasikan falsafah kerja di atas bagi seorang pekerja, menurut Moenir (2006) sangat dipengaruhi oleh kondisi ketenangan bekerja seperti: 1) kejelasan dan kepastian status kepegawaian; 2) jaminan atau perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja; 3) adanya jaminan terhadap karier dan mempunyai kejelasan hak-hak dan kewajibannya; 4) adanya jaminan keadilan; dan 5) bebas dari ancaman dan tekanan. Menurut Dawud (2005) Dalam mewujudkan budaya kerja, Good Governance, Total Quality Governance (TQG) dan membangun jejaring multipihak dalam tata pemerintahan di daerah, banyak menemui kendala termasuk masalah personil. Kendala tersebut dapat ditinjau beberapa aspek yakni: 1). Aspek Politik Kompetisi antar-partai politik yang tidak sehat akibat kekurangdewasaan para elit politik sehingga lebih mementingkan kepentingan partai daripada kepentingan masyarakat yang merambah ke dalam ruang birokrasi. Kompetisi politik yang tidak sehat di tingkat desa menurut (Mashad 2006) terjadi karena tidak berhasil membangun hubungan kemitraan antara Badan Permusyawatan Desa (BPD) dan Pemerintah Desa karena adanya kompetisi yang tidak sehat antar oknum dalam kedua lembaga di pemerintahan desa. Hal ini menjadi sumber konflik di beberapa daerah yang melumpuhkan penyelenggaraan tata pemerintahan desa. 2). Aspek Birokrasi
31
Kendala membangun tata kelola pemerintahan dari aspek birokrasi seperti: a) para elite birokrasi yang telah lama menikmati keuntungan dari lemahnya
tata
kelola
antar
sub
sistem
pemerintahan
cenderung
mempertahankan status quo tanpa adanya pembagian kewenangan antarunit organisasi maupun antar-individu dalam satu unit organisasi; b) sistem loyalitas pada atasan dan hubungan paternalistik yang telah lama dibangun mengakibatkan gagasan konstruktif-reformis yang datang dari bawah tidak dapat dilaksanakan oleh pimpinan yang konservatif (status quo) sehingga inovasi dan kreasi bawahan tidak dapat berkembang; c) birokrasi selalu berdasarakan atas aturan tertentu yang kadang tidak relevan lagi dengan tuntutan perubahan masyarakat saat ini sehingga staf kaku dalam melayani masyarakat; d) birokrasi ditempatkan sebagai organisasi yang tertutup dan elitis sehingga tidak mudah diakses dan dipengaruhi oleh siapapun; e) alasan prosedur, prinsip kehati-hatian dan tertib administrasi menjadi tameng bertumbuh suburnya birokratisme (prosedur yang berbelit); f) pengawasan yang lebih menitikberatkan pada laporan administratif sehingga mengabaikan kualitas output, apalagi outcome dan benefits yang dihasilkan sehingga staf tidak termotivasi untuk meraih keberhasilan; dan g) perekrutan SDM yang mengabaikan profesionalisme mengakibatkan kualitas SDM yang rendah. 3). Aspek Sosial Budaya: Kendala membangun tata kelola pemerintahan dari aspek sosial budaya seperti: a) budaya yang terlalu mengagung-agungkan simbol telah mendorong birokrasi yang lebih menonjolkan aspek formalitas dan mengabaikan kualitas, seperti pandangan masyarakat dan birokrasi yang lebih menghormati ijazah (simbol) daripada profesionalisme (kualitas) staf; b) budaya menghormati orang terpandang (elite) dan senioritas yang mengakibatkan ketidakadilan dan pelanggaran hak dalam mendapatkan pelayanan bagi setiap warga negara; dan c) budaya permisif, sesuatu yang salah dilakukan berulang-ulang sehingga tidak takut melakukan kesalahan bahkan menjadi kebiasaan, tumbuh suburnya patologi birokrasi pada aparatur pemerintahan.
4. Kapasitas Keuangan Desa
32
Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 menjelaskan bahwa sumber pendapatan Desa terdiri atas : 1). Pendapatan asli desa, terdiri dari hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang sah; 2). Bagi hasil pajak daerah Kabupaten/Kota paling sedikit 10% (sepuluh per seratus) untuk desa dan retribusi Kabupaten/Kota sebagian diperuntukkan bagi desa; 3). Bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh Kabupaten/Kota untuk Desa paling sedikit 10% (sepuluh per seratus), yang pembagiannya untuk setiap Desa secara proporsional yang merupakan Alokasi Dana Desa (ADD). Yang dimaksud dengan “bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah” adalah terdiri dari dana bagi hasil pajak dan sumber daya alam ditambah dana alokasi umum setelah dikurangi belanja pegawai. Dana dari Kabupaten/Kota diberikan langsung kepada Desa untuk dikelola oleh Pemerintah Desa, dengan ketentuan 30% (sepuluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPD serta 70% (sepuluh per seratus) untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat; 4). Bantuan keuangan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
dalam
rangka
pelaksanaan
urusan
pemerintahan.
Bantuan dari Pemerintah diutamakan untuk tunjangan penghasilan Kepala Desa dan perangkat Desa. Bantuan Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota digunakan bagi akselerasi pembangunan desa; dan 5). Hibah dan sumbangan dari pihak ketiga yang tidak mengikat. Yang dimaksud dengan “sumbangan dari pihak ketiga” dapat berbentuk hadiah, donasi, wakaf, dan atau lain-lain sumbangan serta pemberian sumbangan dimaksud tidak mengurangi kewajiban pihak penyumbang. Yang dimaksud dengan “wakaf” dalam ketentuan ini adalah perbuatan hukum wakaf untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah. Lebih lanjut Perda Kabupaten Nabire Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Keuangan Kampung menetapkan formulasi berdasarkan asas merata dan adil.
33
Asas merata adalah besarnya bagian Alokasi Dana Kampung (ADK) yang sama untuk setiap Kampung, atau disebut Alokasi Dana Kampung Minimal (ADKM). Sedangkan asas adil adalah besarnya bagian Alokasi Dana Kampung (ADK) yang dibagi secara proporsional untuk setiap desa berdasarkan Nilai Bobot Desa yang dihitung dengan rumus dan variabel tertentu (misalnya variabel kemiskinan, keterjangkauan, pendidikan, kesehatan, dll), atau disebut sebagai Alokasi Dana Kampung Proporsional (ADKP). Sedangkan Alokasi Dana Khusus Kampung (ADKK) bagi kampung-kampung tertentu untuk membiayai kegiatan yang sudah ditentukan Pemerintah Kabupaten diatur oleh Bupati melaui Peraturan Bupati. Melalui Perda di atas pula, telah menetapkan penggunaan ADK untuk Kabupaten Nabire dengan ketentuan 40% (empat puluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPK serta 60% (enam
puluh
per
seratus)
digunakan
untuk
kegiatan
pemberdayaan
masyarakat. Perbedaan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 yang membagi 30% (sepuluh per seratus) digunakan untuk biaya operasional pemerintah desa dan BPD dan 70% (sepuluh per seratus) digunakan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat merupakan keputusan yang diambil berdasarkan pertimbangan kondisi geografis Kabupaten Nabire.
5. Kapasitas Sarana Kerja (Perlengkapan Kerja) Menurut Moenir (2006), salah satu faktor yang mempengaruhi kualitas pelayanan adalah faktor sarana pelayanan (perlengkapan kerja) untuk kepentingan sebagai berikut: 1) mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan agar dapat menghemat waktu; 2) meningkatkan produktifitas pelayanan, baik barang maupun jasa; 3) menyediakan kualitas pelayanan yang lebih baik; 4)
terjaminnya
ketepatan
ukuran
dan
stabilitas
ukuran
layanan;
5) mempermudah dalam gerak pelaku pelayan (pegawai); 6) memberikan rasa kenyamanan kerja; dan 7) meningkatkan kepuasan kerja dan kepuasan pelayanan. Sedangkan sarana kerja ditinjau dari segi klasifikasi kegunaannya (utilization), terdiri dari 3 (tiga) golongan, yaitu: 1) peralatan kerja, yaitu semua jenis
benda
yang
berfungsi
langsung
sebagai
alat
produksi
untuk
mengahasilkan barang atau berfungsi memproses suatu barang menjadi barang lain yang berlainan fungsi; 2) perlengkapan kerja, yaitu semua jenis benda yang berfungsi sebagai alat bantu tidak langsung dalam proses
34
produksi, mempercepat proses, membangkitkan atau menambah kenyamanan dalam pekerjaan seperti alat komunikasi, kelengkapan pengolahan data, meja, kursi, lemari dan lainnya; dan 3) perlengkapan alat kerja bantu (fasilitas), yaitu semua jenis benda yang berfungsi membantu kelancaran gerak dalam pekerjaan, seperti absen, jadwal apel pagi dan siang dan lainnya. Peralatan (perlengkapan) kerja ditinjau dari peralatannya terbagi atas 2 (dua) jenis, yaitu: 1) Peralatan kerja tunggal guna (single purpose equipment) yaitu peralatan yang hanya dipakai untuk satu jenis peran, seperti mesin tulis (ketik),hanya untuk mengetik; dan 2) Peralatan kerja serba guna (multyple purpose equipment), peralatan yang dapat dipakai untuk bermacam-macam peran seperti personal computer (PC). Ia dapat mengetik, membuat grafik dan menyimpan data (Moenir 2006). Ia mengatakan juga bahwa fasilitas utama pelayan umum yang harus dimiliki oleh sebuah organisasi pemerintah adalah: 1). Fasilitas Ruangan Kerja, yaitu ruangan tempat bekerja yang aman dan tertib. Dalam penataannya harus memperhitungkan koodinasi yang efektif antar-karyawan maupun dengan pimpinan; 2). Fasilitas Ruangan Tunggu, yaitu ruangan terbuka yang menyediakan berbagai informasi yang berhubungan dengan fungsi dan tugas kantor maupun tata tertib agar tamu dapat memperoleh informasi awal sebelum berhungan dengan bagian yang menangani urusannya; 3). Fasilitas pendukung lainnya, yaitu fasilitas yang tidak berhubungan langsung dengan tugas dan fungsi instansi seperti ruang ibadah, ruang pertemuan, kamar kecil, kantin dan lainnya.
6. Kapasitas Fungsi Perencanaan Kampung Perencanaan adalah seluruh proses pemikiran dan penentuan secara sistematis dari hal-hal yang akan dikerjakan pada masa mendatang untuk mencapai tujuan dengan hasil yang maksimal dari penggunaan sember daya secara efektif dan efisien (Tjokroamidjojo 1996). Sedangkan cakupan perencanaan
menurut
Jayadinata
(1984)
meliputi:
1)
Analisis,
yaitu
merupakaan keabsahan (uraian) data; 2) Kebijakan (policy), yaitu pemilihan rencana yang terbaik untuk pelaksanaan; dan 3) Rancangan (design), yaitu perumusan atau sajian rencana.
35
Tujuan
Perencanaan
menurut
Tjokroamidjojo
(1996)
adalah:
1) mengarahkan kegiatan berdasarkan pedoman pelaksanaan yang telah ditetapkan; 2) mengetahui perkiraan tentang potensi (sumber daya) yang akan digunakan
dan
untuk
meramalkan
prospek
perkembangannya
serta
mengetahui resiko dan hambatan yang mungkin akan dihadapi sehingga dapat membatasi suatu ketidakpastian; 3) mempermudah memilih alternatif terbaik dari berbagai alternatif yang ada; 4) mempermudah penentuan skala prioritas sesuai tujuan, sasaran dan target yang telah ditetapkan; dan 5) mempermudah mengatur standar dalam melakukan pengawasan dan evaluasi. Menurut Sirajuddin et al (2006), perencanaan yang dilakukan secara partisipatif dari seluruh stakeholders mampunyai kegunaan sebagai berikut: 1) menuju masyarakat yang lebih bertanggung jawab; 2) meningkatkan proses belajar; 3) mengeliminir perasaan terasing; 4) menimbulkan dukungan dan penerimaan dari rencana tersebut; 5) menciptakan kesadaran politik; 6) meningkatkan kepuasan dari hasil peran serta; 7) mencerminkan kebutuhan dan keinginan dari peserta; 8) menjadi sumber informasi yang berguna dan menjamin keterbukaan; dan 9) menjadi komitmen sistem demokratis. Oleh sebab itu, prinsip-prinsip yang harus dipegang dalam melakukan perencanaan adalah: 1) prinsip partisipasi; 2) prinsip transparansi dan sosialisasi; 3) prinsip akuntabilitas; 4) prinsip keadilan dan kesejahteraan publik; serta 5) prinsip efektif dan efisiensi. Sedangkan menurut Putri (2006), secara filisofis, ada dua perspektif teori pengembangan wilayah yang berkenaan dengan tata kelola desa, yakni: 1). Growth Machine Theory (GMT) atau Teori Mesin Pertumbuhan Teori ini
lebih dikenal dengan sebutan teori politik lokal, yang
berpandangan bahwa pertumbuhan ekonomi lokal dapat terbentuk sebagai akibat langsung dari aktifitas tata pengaturan administrasi politik lokal atau organisasi politik lokal. Oleh sebab itu, desa sebagai kekuatan organisasi politik lokal atau mesin penggerak pengembangan wilayah secara lokal maka desa harus mempunyai kemampuan dan kekuatan pengaturan. 2). New
Institutional
Economics
Theory
(NIE)
atau
Teori
Ekonomi
Kelembagaan Baru Teori ini mengatakan bahwa mendorong pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
didekati
melalui
perubahan
kelembagaan
dan
penataan
36
kelembagaan
sebagai
prasarana
pengembangan
wilayah
tentang
perencanaan pembangunan dan perencanaan tata ruang desa. Selanjutnya ia mengatakan bahwa Desa sebagai administrasi politik lokal (organisasi politik lokal) harus diberdayakan, termasuk sistem pengaturannya agar mampu memberikan ruang publik yang memadai bagi segenap stakeholders di desa untuk berpartisipasi aktif dalam perumusan kebijakan pengembangan wilayah dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi desa. Dalam proses ini (Kolopaking 2006) mengatakan bahwa masyarakat perlu didampingi agar memiliki akses kepada proses pengambilan keputusan, terutama menyangkut nasib mereka melalui penguatan kapasitas dengan pendekatan partisipatif, sehingga dapat dicapai: 1) penguatan kapasitas masyarakat
dalam
beradu
argumentasi,
sehingga
masyarakat
dapat
melakukan particypatory planning atau perencanaan yang mengikutsertakan masyarakat, melaksanakan dan melakukan pemantauan serta penilaian pembangunan; dan 2) membentuk simpul yang dapat melakukan ikatan dengan multi-pihak di desa-desa lain dalam satuan kawasan dalam kerangka pemberdayaan ekonomi masyarakat. Artinya bahwa desa-desa menjadi simpul dengan
tidak
ditentukan
oleh
batas-batas
administrasi
pemerintahan,
melainkan berdasarkan fungsi, ciri dan karakteristik potensi ekologi kawasan, seperti pada gambar 1 berikut ini.
Gambar 1: Proses-Proses
Kebijakan
Saling
Pengaruh
Antar-Pihak
Pengembangan Tata-Kelola Pemerintahan Desa. Perpektif Makro Pembangunan Kawasan dan Daerah “Penetrasi Top-Down”
Pemerintah
Otonomi Daerah/Khusus Revitalisasi Adat
Otonomi Daerah/Khusus
Pedesaan Kelompok Strategis / Lembaga Adat
Lembaga Bisnis/ Swasta
“Kekuatan Bottom-Up”
Perpektif Mikro Pemberdayaan Masyarakat
Revitalisasi Adat
37
Sumber: Kolopaking (2006)
7. Kapasitas Fungsi Pengawasan dan Pembinaan Sesuai
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004,
Kepala
Desa
bertanggung jawab kepada Bupati/ Walikota melalui Camat. Kepada Badan Permusyawaratan Desa (BPD), Kepala Desa wajib memberikan keterangan laporan pertanggungjawaban dan kepada rakyat menyampaikan informasi pokok-pokok pertanggungjawabannya, namun tetap memberi peluang kepada masyarakat dan BPK untuk menanyakan dan/atau meminta keterangan lebih lanjut hal-hal yang bertalian dengan pertanggungjawaban dimaksud. Menurut Suwaryono (2005) BPD sendiri tidak memiliki kapasitas untuk menyatakan menolak atau menerima pertanggungjawaban. Yang mempunyai kapasitas menyatakan menerima atau menolak pertanggungjawaban Kepala Desa adalah Bupati sesuai hasil laporan pertanggungjawaban kepala kampung. Model pertanggungjawaban Kepala Desa tersebut kongruen dengan model pertanggungjawaban Kepala Daerah. Selanjutnya ia mengatakan bahwa kelemahan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tidak memberikan ruang partisipasi langsung dari rakyat dalam melaksanakan evaluasi atas pembangunan desaya. Hal ini merupakan akibat dari Pemerintah mejenarisasikan hubungan yang tidak serasi antara Kepala Desa dan BPD pada 6 (enam) desa di Indonesia. Pemerintah tidak melihat pada ratusan desa di Indonesia yang sedang membangun demokrasi yang sehat. Ini juga merupakan bagian usaha melegitimasi kembali kekuasaan pemerinatah di desa sebagaimana terjadi pada masa Pemerintahan Orde Baru. Oleh sebab itu dalam rangka merealisasikan good governcance maka langka pertama yang dilakukan adalah mengurangi intervensi dan memberikan otoritas penuh kepada Desa untuk mengurusi rumah tangganya sendiri. Ini merupakan subsidi (bantuan) yang tak ternilai harganya bagi pemerintahan dan masyarakat desa agar dapat mengatur dan menata diri secara mandiri sambil memperbaikinya melalui evaluasi secara mandiri sebagai proses belajar masyarakat. Sedangkan
langka
kedua
adalah mendorong
terciptanya
demokrasi di desa yang sehat dengan berprinsipkan good governcance dalam tata pemerinathan desa.
38
Dalam rangka pembinaan, pasal 102, PP Nomor 72 Tahun 2005 mengamanatkan agar camat menyelenggarakan kewajiban pembinaan kepada pemerintahan desa seperti: 1) memfasilitasi Peraturan Desa dan Keputusan Keputusan Kepala Desa; 2) memfasilitasi administrasi tata pemerintahan desa; 3) memfasilitasi tata pengelolaan keuangan kampung dan penggunaan aset desa; 4) memfasilitasi pelaksanaan urusan Otonomi daerah kabupaten yang diserahkan kepada desa; 5) memfasilitasi pelaksanaan tugas kepala Desa dan aparat
Desa;
6)
memfasilitasi
penerapan
dan
penegakan
peraturan
perundang-undangan; 7) memfasilitasi upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum; 8) memfasilitasi pelaksanan tugas, fungsi dan kewajiban lembaga kemasyarakatan; 9) memfasilitasi penyusunan pembangunan yang partisipatif; 10) memfasilitasi kerja sama antar desa dan kerja sama dengan pihak ketiga; 11) memfasilitasi pelaksanaan pemberdayaan masyarakat desa; 12) memfasilitasi kerjasama antar-lembaga kemasyarakatan dengan pihak ketiga; 13) Memfasilitasi bantuan teknis dan pendampingan kepada lembaga kemasyarakatan; dan 14) Memfasilitasi koordinasi unit kerja pemerintahan dalam pengembangan lembaga kemasyarakatan. Sedangkan menurut Wasistiono (2007) dalam rangka melaksanakan tugas pembinaan penyelenggaraan pemerintahan desa, dikembangkan pola hubungan kerja antara Camat dengan Kepala Desa, antara lain: 1) hubungan kerja fasilitatif; 2) hubungan kerja koordinatif; 3) hubungan kerjasama; dan 4) hubungan pembinaan dan kerjasama.
8. Kapasitas Fungsi Pendokumentasian (Administrasi dan Kearsipan) Menurut Moenir (2006) fungsi kantor adalah sebagai: 1) pusat pemikiran kehidupan, kemajuan dan perkembangan organisasi, baik bersifat strategis, administratif dan operasional; 2) pusat administrasi (pelayanan) baik kepada manajemen untuk pengambilan keputusan maupun kepada masyarakat luas; dan 3) pusat data dan informasi. Data dan informasi bagi sebuah organisasi sangatlah penting karena menurut Terry (1986) data dan informasi berfungsi sebagai: 1) bahan bukti secara hukum; 2) bahan pemecahan masalah dan pengambilan keputusan; 3) bahan penulisan laporan; 4) bahan pendukung suatu rencana program; dan 5) bahan penelitian untuk antisipasi keadaan di masa mendatang.
39
Dari berbagai alasan di atas maka data dan informasi dalam tata pemerintahan desa perlu didokumentasikan (diarsipkan). Menurut Moenir (2006) proses dokumentasi ada 4 (empat) tahapan yaitu: 1) tahap kegiatan pencatatan; 2) tahap kegiatan pengelompokan; 3) tahap kegiatan komunikasi; dan 4) tahap pengarsipan dan manipulasi. Selanjutnya ia mengemukakan bahwa 2 (dua) langka pengarsipan, yaitu: 1) langka klasifikasi, yaitu pengelompokan surat atau data dan informasi berdasarkan pertimbangan tidak penting, penting (bermanfaat), dan sangat penting; 2) langka penyimpanan dengan beberapa pertimbangan, yakni penyimpanan atas dasar waktu, masalah, unit organisasi, klasifikasi barang dan jasa dan abjad. Langka kedua ini dapat disesuaikan dengan keputusan organisasi tentang kearsipan.
Aspek Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Badan Permusyawaratan Desa (BPD) dalam melaksanakan fungsi legislasi, yakni merancang dan menetapkan Peraturan Desa bersama Kepala Desa terlebih dahulu melakukan fungsi artikulasi, yakni proses menggali, menampung, menghimpun
dan
merumuskan
aspirasi
masyarakat
untuk
selanjutnya
melaksanakan fungsi agregasi, yakni menyalurkan aspirasi masyarakat oleh BPD pada saat pembahasan rancangan. Oleh karenanya keanggotaan BPD berasal dari masyarakat desa. Disamping menjalankan fungsinya sebagai jembatan penghubung antara Kepala Desa dengan rnasyarakat desa, juga harus dapat menjalankan fungsi utamanya, yakni fungsi representasi atau fungsi keterwakilan dalam membawa amanat dari komunitas yang mengutusnya. karena itu, penguatan kapasitas bagi BPD harus diarahkan untuk memiliki kemampuan melaksankan fungsi agregasi, artikulasi dan legislasi (Wasistiono, 2007). Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, keanggotaan BPD terdiri dari wakil penduduk desa yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Masa jabatan BPD 6 (enam) tahun dan dapat dipilih kembali untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya.
Kerangka Pemikiran Tuntutan perubahan pada penyelenggaraan tata kelola pemerintahan di tingkat global seperti penghargaan atas HAM, demokratisasi, transparansi, supremasi hukum, civil society, desentralisasi, pemberdayaan, partisipasi,
40
kemiskinan, kewirausahaan pemerintahan, good governance, Total Quality Gavernanca (TQG) dan lainnya, kini mulai menjadi tuntutan perubahan di tingkat lokal. Kecanggihan teknologi informasi menghantarkannya menjadi isu-isu di tingkat lokal, termasuk pada tataran Kampung. Namun perlu dipahami pula bahwa salah satu permasalahan dalam proses pembangunan di kampung selama ini adalah telah mengalami kegagalan dalam menciptakan organisasi yang tepatguna untuk memecahkan masalah di tingkat lokal, yang pada dasarnya adalah merupakan struktur pranata (mediating structure), yaitu lembaga yang berdiri di antara individu dalam kehidupan pribadinya dengan lembaga-lembaga besar dalam
kehidupan
umum.
Hal
ini
memberikan
kontribusi
terhadap
ketidakberdayaan 4 (empat) sub sistem kampung, yakni sub sistem kapasitas sarana dan prasarana, kapasitas kemasyarakatan, kapasitas pemerintahan dan kapasitas
kepemimpinan.
Mengubah
kondisi
ketidakberdayaan
tersebut
membutuhkan kemauan politik dari Pemerintah Daerah untuk merumuskan dan penataan kembali pola-pola (prosedur) hubungan kelembagaan antara Pemerintah Daerah Kabupaten dan Pemerintahan Kampung. Penataan kembali pola hubungan
tersebut
diharapkan
dapat
menguatkan
kapasitas
tata
kelola
pemerintahan kampung sebagai agen pranata sosial, pembangunan dan agen pembaharuan. Untuk mencapai hal tersebut memerlukan perubahan fundamental dalam tujuan-tujuan dan nilai-nilai maupun dalam sistem-sistem struktural, psikososial dan manajerial. Perubahan tersebut harus disertai dengan peningkatan kapasitas individu pengelola pemerintahan kampung melalui pelatihan, bimbingan dan pendampingan untuk meningkatkan pengetahuan dan disertai dengan desentralisasi fiskal, administratif dan politik agar dalam pelaksanaan dapat dijadikan sebagai social learning process.
Dalam rangka memperkuat tata kelola Pemerintahan Kampung dari sisi
struktural,
Pemerintah
telah
menetapkan
berbagai
peraturan
perundang-undangan seperti Rekomedasi Nomor 7, Ketetapan MPR No. IV/MPR-RI/2000 tentang otonomi bertingkat 3 dalam NKRI, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, berbagai Keputusan Menteri Dalam Negeri tentang Desa, beberapa Perda Kabupaten Nabire tentang Kampung. Peraturan perundangundangan tersebut terkesan bahwa ditetapkan hanya untuk memenuhi syarat administratif sehingga berbagai hambatan sedang menghadang
41
usaha penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya political wiil Pemerintahan Daerah sehingga tetap mempertahankan status quo oleh pemerintahan di tingkat kabupaten untuk memperkokoh kekuasaan. Status quo pun makin mapan kerena adanya kompetisi antar-partai politik yang lebih mementingkan kepentingan partai dari pada kepentingan masyarakat yang telah merambah ke dalam ruang birokrasi. Sementara di lain pihak para elite birokrasi yang telah lama menikmati keuntungan dari lemahnya tata kelola pemerintahan, cenderung mempertahankan kondisi kelemahan tersebut. Tidak dapat disangkal bahwa kondisi ini telah menciptakan kesenjangan struktur ekonomi (distribusi pendapatan), struktur sosial (pelapisan masyarakat) dan struktur politik (distribusi kekuasaan) antara penguasa dan rakyat serta masyarakat kota dan pedesaan. Dengan demikian roda proses pemiskinan dari aspek struktural terus berputar sehingga tercipta kondisi yang mapan seperti: 1) secara
ekonomi,
masyarakat
dan
pemerintahan
kampung
makin
termarjinalkan; 2) secara sosial, modal sosial, jaringan sosial kolektif atau lembaga-lembaga kemasyarakatan di kampung tetap berada dalam kondisi ketidakberdayaan sehingga tidak mampu peningkatan ikatan dan jalinan kemitraan (koodinasi, kooperasi, kolaborasi dan networking); dan 3) secara politik, masyarakat dan pemerintahan kampung makin kehilangan akses atau
wahana
institusional
untuk
mengartikulasikan
aspirasi
dan
kepentingannya pada lembaga-lembaga politik. Masalah di atas merupakan bukti bahwa sedang terjadi kemacetan komunikasi politik sehingga keinginan masyarakat dan pemerintahan kampung dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire tidak berjalan sebagaimana mestinya. Olel sebab itu diperlukan strategi alternatif dalam membangun kekuatan masyarakat di luar partai politik untuk melakukan perlawanan politik dalam rangka mendapatkan keseimbangan distribusi pendapatan dan kekuasaan antara Kampung dan Kabupaten karena keseimbangan kekuasaan fiskal, administratif dan pilitik akan tercipta melalui gerakan civil society yang lebih konseptual dan strategik. LSM lokal diharapkan menjadi unjung tombak dan bersinergis dengan stakeholders
42
lainnya dalam pembaharuan penguatan tata kelola pemerintahan kampung karena Pemerintah Kabupaten Nabire mempertahankan kondisi kelemahan kapasitas ketatakelolaan melalui proses-proses kebijakan publik di tingkat pemerintahan kabupaten seperti pada muatan materi naskah, tata laksana dan budaya Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati. Oleh sebab itu advokasi
kebijakan
menjadi
strategi
alternatif
dalam
mengatasi
kesenjangan antara muatan materi naskah dan tata laksana serta budaya Peraturan Daerah dan Keputusan Bupati. Advokasi menjadi strategi alternatif karena advokasi merupakan suatu proses yang menghubungkan antara berbagai unsur progresif dalam masyatakat warga (civil society), melalui terbentuknya aliansi-aliansi strategis untuk memperjuangkan terciptanya
keadilan
sosial
dengan
cara
mendesakkan
terjadinya
perubahan-perubahan kebijakan publik seperti menciptakan kebijakan, mereformasi
kebijakan
dan
menjamin
kebijakan-kebijakan
tersebut
diimplementasikan. Dalam penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung melalui strategi advokasi kebijakan perlu dilakukan secara bertahap. Tahapan tersebut didahului dengan analisis kebijakan publik untuk mengidentifisikan kebijakan, mengumpulkan bukti tentang masalah, penyajian penyebab masalah, mengevaluasi kebijakan yang ada. Aspek-aspek yang menjadi parameter adalah sebagai berikut: 1) kapasitas kewenangan, 2) kapasitas keorganisasian, 3) kapasitas personil,
4) kapasitas keuangan, 5)
kapasitas sarana dan prasarana; 6) kapasitas fungsi perencanaan, kapasitas
fungsi
pengawasan
pendokumentasian serta
dan
evaluasi;
8)
kapasitas
7)
fungsi
9) kapasitas fungsi agregasi, artikulasi dan
legislasi. Pada masing-masing point dianalisis tentang keterkaitan antara muatan materi naskah kebijakan, tata laksana kebijakan dan budaya kebijakan, khususnya dalam peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan kampung dan dampaknya terhadap kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Setelah menyelesaikan tahapan analisis, maka tahap berikutnya adalah mengembangkan alternatif atau opsi-opsi kebijakan dan menyeleksi alternatif terbaik.
43
Untuk mencapai keberhasilan dalam melakukan advokasi kebijakan publik atas alternatif terbaik yang terpilih, maka selanjutnya dilakukan analisis
stakeholders
(pemangku
kepentingan)
dan
analisis
pemangkau
kelembagaan dengan mengunakan dua alat utama yaitu identifikasi kekuatan dan klasifikasi kawan dan lawan. Melalui melalui analisis kebijakan dan analisis stahohders, diharapkan dapat mengadvokasi kebijakan publik, khususnya pada beberapa Perda tentang pemerintahan kampung agar dapat menciptakan kebijakan, mereformasi kebijakan dan menjamin kebijakan-kebijakan tersebut diimplementasikan sehingga tercipta kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu yang mapan dan berkemampuan dalam menyelenggarakan pembangunan kampung dengan berprinsipkan Good Governance dan Total Quality Governance (TQG) untuk memenuhi kebutuhan multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu di bidang ekonomi, sosial dan politik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada bagan 2 tentang kerangka pikir berikut ini.
Bagan 2: KERANGKA BERPIKIR PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG URUMUSU Kondisi Aktual Tata Pemerintahan Kampung Urumusu
Tuntutan Perubahan Tata Kelola Pemerintahan di Tingkat Global Arus Infokom
Faktor Perdukung Secara Struktural Untuk Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung
Input
Proses
Out Put
Out Come
Faktor Penghambat Secara Struktural Untuk Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung
4 Sub Sistem Kelembagaan Kampung Yang Dalam Kondisi Ketidakberdayan
Tuntutan Perubahan Tata Pemerintahan di Tingkat Kampung
Mengkaji tentang:
1. Kondisi
kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dalam pemenuhan tuntutan perubahan pelayanan publik oleh stakeholders.
4 sub sistem pendukung perubahan di Kampung dalam kondisi ketidakberdayaan
2. Kebutuhan penguatan kapasitas
Fokus Kajian Penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung sebagai agen pembangunan, pranata sosial dan agen pembaharuan
K E T I D A K B E R D A Y A A N (P O W E R L E S S)
tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dan merancangan strategi penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu untuk pemenuhan tuntutan perubahan pelayanan publik oleh stakeholders.
Implementasi strategi penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu
Kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu yang berkemampuan
Penyelenggaraan tata Pemerintahan Kampung Urumusu yang berprinsipkan Good Governance dan Total Quality Governance (TQG) untuk memenuhi kebutuhan stakeholders (pemerintah, swasata dan masyarakat)
Feed Back
P EM B E R D A Y A A N ( E M P O W E R M E N T)
BERDAYA (POWER)
43
METODE KAJIAN
Tempat dan Waktu Kajian Tempat pelaksanaan kajian Tugas Akhir adalah Kampung Urumusu, Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua. Yang menjadi alasan pemilihan lokasi kajian adalah: 1. Kampung Urumusu, Distrik Uwapa merupakan lokasi kegiatan Praktek Lapangan I dan Praktek Lapangan II oleh pengkaji. 2. Tetangga kampung di sekitar Kampung Urumusu adalah warga transmigrasi dari Pulau Jawa dan Kampung Urumusu merupakan kampung yang dibuka dengan adanya program Komunitas Adat Terpencil (masyarakat terasing) oleh Depsos RI pada tahun 1985. Hampir seluruh penduduk Kampung Urumusu adalah Orang Papua Asli maka Kampung Urumusu menjadi barometer pembinaan Orang Papua Asli (ras melanesia) untuk hidup berdampingan dengan non Orang Papua Asli. 3. Perhatian
Pemerintah
pemberdayaan,
Daerah
khususnya
Kabupaten
pemberdayaan
Nabire bagi
terhadap
masyarakat
program kampung
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, termasuk jumlah anggaran yang disiapkan pun mengalami peningkatan. Namun 94% dari total penduduk Kampung Urumusu yang bermata pencaharian sebagai petani kakao justru mengalami penurunan tingkat pendapatan keluarga. Pada tahun 2004, ratarata pendapatan per Kepala Keluarga adalah Rp 1.280.000 per bulan atau berada di atas batas Upah Minimum Provinsi Papua, yakni Rp 956.000, namun pada tahun 2007 turun menjadi Rp 640.000 per bulan. 4. Prediksi adanya kemungkinan pengimplementasian Ketetapan MPR Nomor IV/MPR-RI/2000, bidang Rekomendasi Penyelenggaraan Otonomi Daerah, khususnya rekomendasi Nomor 7 yang menghendaki adanya otonomi bertingkat III dalam NKRI, yaitu Pemerintahan Provinsi, Pemerintahan Kabupaten/Kota dan Pemerintahan Desa. Namun Pemda tidak melakukan pembaharuan dan penguatan tata kelola pemerintahan kampung serta cenderung mempertahankan kondisi kelemahan kapasitas ketatakelolaan melalui proses-proses kebijakan publik di tingkat pemerintahan kabupaten seperti pada muatan materi atau naskah, tata laksana dan budaya Peraturan Daerah, Keputusan Bupati dan Instruksi Bupati sehingga dirasa perlu untuk
45
melakukan analisis kebijakan atas Perda-Perda tentang Pemerintahan Kampung agar dapat dilakukan advokasi kebijkan oleh kelompok yang berkepentingan, khususnya Lembaga Swadaya Masyarakat dan bersinergis dengan stakeholder lainnya. 5. Peraturan Daerah Nomor 32 Tahun 2007 Tentang Pengaturan Kewenangan Kampung
mengisyaratkan
bahwa
Pemda
Kabupaten
Nabire
akan
menyerahkan kewenangan fiskal, administratif dan politik kepada Kampung secara bertahap. Selain itu, melalui Perda tersebut pula diisyaratakan bahwa akan menarik kembali kewenangan jika kapasitas pemerintahan kampung belum mampu melaksanakan kewenangan tersebut selama 2 (dua) tahun, terhitung mulai tanggal penyerahan kewenangan. Melalui kajian diharapkan dapat menemukan strategi alternatif untuk penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. 6. Diprediksikan bahwa Kampung akan menjadi pusat perhatian pembangunan, menyusul
dikeluarkannya
Instruksi
Presiden
5
Tahun
2007
Tentang
Percepatan Pembangunan di Provinsi Papua dan Papua Barat. Melalui instrumen hukum ini mengistruksikan agar semua kementerian dan lembaga negara untuk melaksanakan program percepatan pembangunan pada kedua provinsi tersebut. Bappenas sebagai koordinator pelaksana Inpres, telah menetapkan beberapa strategi percepatan pembangunan, diantaranya adalah pembukaan daerah-daerah isolasi dan pengembangan kapasitas masyarakat desa. Sedangkan kegiatan kajian dilaksanakan melalui tiga tahap, yakni: Tahap pertama, Praktek Lapangan I dilaksanakan di Kampung Urumusu pada tanggal 29 Desember 2006 sampai dengan 05 Januari 2007. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah pemetaan sosial tentang Kampung Urumusu. Kegiatan ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang komprehensip tentang situasi kependudukan, sistem sosial, struktur komunitas, organisasi kelembagaan, sumber dan potensi lokal dan masalah-masalah sosial yang berhubungan dengan tata kelola pemerintahan kampung. Tahap kedua, Praktek Lapangan II dilaksanakan di Kampung Urumusu pada tanggal 09 – 20 Mei 2007. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah mengenali dan mengevaluasi program pengembangan masyarakat yang telah dilaksanakan oleh Pemda Kabupaten Nabire dari perspektif penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung.
46
Tahap ketiga, ialah pelaksanaan kajian Tugas Akhir ini adalah di Kampung Urumusu pada tanggal 03 Agustus sampai dengan tanggal 5 Desember 2007. Kegiatan yang dilakukan pada tahap ini adalah mengumpulkan data dan informasi tentang kondisi aktual dan membandingkannya dengan muatan materi atau naskah, tata laksana dan budaya Peraturan Daerah, Keputusan Bupati dan Instruksi
Bupati
untuk
selanjunya
melakukan
analisis
kebijakan
serta
merencanakan dan menentukan strategi alternatif secara partisipatif untuk penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Jadwal proses pelaksanaan kajian secara rinci dapat dilihat pada tabel 1 berikut ini: Tabel 1: Jadwal Pelaksanaan Kajian Tugas Akhir
No 1 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Jenis Kegiatan 2 Praktek Lapangan I Praktek Lapangan II Penyusunan Rencana Kerja Lap./ Kolokium Kerja Lapangan Penulisan Laporan Seminar dan Ujian Perbaikan dan Penggandaan Laporan
2006 Des. 3
Mei 4
Agust 5
2007 Sept Okt 6 7
Nov 8
Des 9
Sumber: Rancangan Kegiatan Kajian Lapangan 2007
Subyek Kajian Yang menjadi subjek kajian Tugas Akhir ini adalah: 1. Masyarakat, khususnya petani yang berjumlah 73 Kepala Keluarga maka mereka diwakili oleh 15 (30 %) Kepala Keluarga 2. Aparat pemerintahan kampung, yakni pemerintah kampung (kepala kampung dan 9 orang aparatnya), 5 orang anggota Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) serta Pemerintah Kabupaten Nabire, yang diwakili oleh Bagian Tata Pemerintahan Setda Kabupaten Nabire, Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung dan Kantor Distrik Uwapa yang mana masing-masing instansi diwakili 1 orang. 3. Stakeholder lainnya seperti pelaku bisnis, tokoh masyarakat (pimpinan lembaga masyarakat, tokoh adat, tokoh agama dan LSM) di Kampung
47
Urumusu berjumlah 10 orang. Yang dimaksud dengan pelaku bisnis di sini adalah mereka yang memilki usaha tambahan di luar komoditi kakao dan berpendapatan di atas Upah Mininimum Provinsi Papua. 4. Muatan materi atau naskah, tata laksana dan budaya Peraturan Daerah, Keputusan Bupati dan Instruksi Bupati yang berlaku dari tahun 2001 sampai dengan 2007 maupun yang baru berlaku, khususnya yang berhubungan dengan pengaturan tata kelola pemerintahan kampung; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tentang Desa dan beberapa Keputusan Menteri Dalam Negeri yang berhubungan dengan tata kelola pemerintahan kampung.
Metode Pengumpulan Data. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan teknik: 1. Observasi Langsung Tahun Anggaran 2007, Kampung Urumusu mendapat Program Pemberdayaan Kampung (PPK). Sumber dana tersebut berasal dari Tugas Pembantuan (program bantuan) Provinsi Pupua dan Kabupaten Nabire serta Hibah dari Pemerintah melalui Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan (PPIP) yang dikerjakan selama 2 (dua) bulan maka pengkaji memanfaatkan aktifitas tersebut untuk ikut bergabung dengan masyarakat sambil mengamati proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. 2. Wawancara Dalam
mengumpulkan
data
melalui
wawancara
mendalam,
pengkaji
memanfaatkan waktu istirahat dan waktu senggang di rumah setelah selesai mengerjakan pekerjaan dari program PPK dan PPIP. Selain itu pada hari libur, pengkaji ikut ke kebun sambil mengamati dan mewawancarai. Bagi aparat pemerintahan, wawancara dilakukan di kantornya. Fokus wawancara adalah hal-hal yang berhubungan dengan muatan materi atau naskah, tata laksana dan budaya Peraturan Daerah, Keputusan Bupati dan Instruksi Bupati yang berlaku dari tahun 2001 sampai dengan 2007 maupun yang baru berlaku, khususnya yang berhubungan dengan pengaturan tata kelola pemerintahan kampung; Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tentang Desa dan beberapa
48
Keputusan Menteri Dalam Negeri yang berhubungan dengan tata kelola pemerintahan kampung. 4. Focus Group Discussion (FGD) Fokus FGD adalah hal-hal yang berhubungan dengan muatan materi atau naskah, tata laksana dan budaya Peraturan Daerah, Keputusan Bupati dan Instruksi Bupati yang berlaku dari tahun 2001 sampai dengan 2007. Kegiatan FGD dilaksanakan oleh pengkaji dalam rangka mendapatkan gambaran data dan informasi yang lebih akurat untuk menyusun rencana strategi alternatif dalam penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung sesuai kebutuhan
multi-pihak
(masyarakat,
pelaku
bisnis
dan
pemerintahan
kampung). Topik FGD adalah masalah kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung dalam memberdayakan atau memenuhi multi-pihak di kampung. Dalam pelaksanaannya, FDG dibagi dalam 3 kelompok, yakni masyarakat, pemerintahan dan stakeholders lainnya. Ketiga kelompok tersebut masing-masing mendiskusikannya pada topik kajian masing-masing tentang masalah dan kebutuhannya. Pertanyaan yang menjadi topik pembahasan adalah hal-hal yang dianggap penting dan didapatkan melalui pengamatan, wawancara mendalam dan studi literatur. Untuk saling mengetahui kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung dan kebutuhan masing-masing kelompok
kepentingan
maka
FGD
tahap
kedua
digabungkan
dan
membacakan hasil FGD masing-masing kelompok kepentingan. Setelah saling mengetahui masalah dan kebutuhan masing-masing, maka tahap ke tiga adalah menyusun rencana strategis penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung secara terpadu untuk memenuhi kebutuhan multipihak (stakeholders) di Kampung Urumusu. 5. Studi Literatur Teknik pengumpulan data dan informasi melalui studi literatur yaitu pengumpulan data dan informasi melalui teori-teori yang berkaitan dengan kajian, profil kampung, laporan tahunan kampung, buku kepala dusun, laporan dan data yang bersumber dari instansi terkait baik yang ada di tingkat Kabupaten maupun Distrik serta peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tata kelola pemerintahan kampung, khusus Undang-Undang nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tentang Desa, beberapa Keputusan Menteri Dalam Negeri dan
49
beberapa Peraturan Daerah kabupaten Nabire yang berlaku dari tahun 2001 sampai dengan 2007 maupun yang baru berlaku.
Motede Analisis Data. Berbagai data yang telah terkumpul, selanjutnya, diolah sedemikian rupa dalam
rangka
menjawab
persoalan-persoalan
dalam
kajian.
Teknik
menganalisisnya adalah dengan menggunakan analisis data kualitatif dengan tahapan sebagai berikut: 1. Reduksi
data
adalah
proses
pemilihan,
pemusatan
perhatian
serta
penyederhanaan, pengabstrakkan dan mentransformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Untuk menghimpun data menjadi informasi maka setiap hari membuatkan catatan harian berdasarkan catatan lapangan saat observasi, wawancara mendalam dan FGD. 2. Penyajian data adalah sekumpulan data yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Dalam penyajian data, pengkaji mengunakan alat analisa masalah berdasarkan muatan materi atau naskah, tata laksana dan budaya kebijakan publik serta hubungan sebab, akibat dan dampaknya pada kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung serta efeknya terhadap keberdayaan ekonomi, sosial dan politik stakeholders di Kampung Urumusu. 3. Kesimpulan adalah proses menemukan makna data yang bertujuan untuk memahami tafsiran dalam konteksnya dengan masalah secara keseluruhan. Secara rinci tentang tujuan kajian, data yang diperlukan dan cara pengumpulan data dalam proses kajian pengembangan masyarakat di Kampung Urumusu dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:
50
Tabel 2: Teknik Pengumpulan Data
No
Tujuan Kajian
Data yang Diperlukan
Sumber Data
Teknik
Instrumen
1.
Menjelaskan kondisi Data peta sosial Kampung peta sosial Kampung Urumusu: geografis, demoUrumusu grafis, sosial, ekonomi dan politik, khususnya yang berkenaan dengan penyelenggaraan tata kelola pemerintahan kampung
Masyarakat kampung, aparat pemerintahan kampung, aparat pemerintah Kabupaten Nabire serta Stakeholder lainnya.
Wawancara, Observasi, dan Studi dokumentasi
Pengamatan berperan serta,profil kampung dan pedoman wawancara mendalam
2.
Mengevaluasi Program Pemberberdayaan Kampung (PPK) yang pernah dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire pada tahun 2005 dari perspektif penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung.
Gambaram umum program PPK, keberhasilan pengembangan ekonomi melalui PPK, pengembangan modal sosial melalui PPK, pembinaan demokrasi (politik) pembangunan di Kampung melalui PPK, dan usahausaha penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung melalui PPK.
Masyarakat kampung, aparat pemerintahan kampung, aparat pemerintah Kabupaten Nabire serta Stakeholder lainnya seperti pelaksana PPD, PCI, tokoh masyarakat dan lainnya
Wawancara, Observasi, dan Studi dokumentasi
Laporan PL I, pengamatan berperan serta, Petunjuk Teknis PPK, pedoman wawancara mendalam.
3.
Menganalisis kondisi kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Kondisi kapasitas kelemba- Masyarakat kampung, gaan dari perpektif tata kelola aparat pemerintahan Pemerintahan Kampung: kampung, aparat pemerintah Kabupaten a. Pemerintah Desa: Nabire serta Kapasitas kewenangan, Stakeholder lainnya. Organisasi, Personil, Keuangan, Perlengkapan, Perencanaan, Pengawasan dan Dokumentasi
Wawancara, Observasi, dan Studi dokumentasi
Laporan PL I, II , pengamatan berperan serta, peraturan perundangundangan tentang Kampung dan pedoman wawancara
b. Badan Permusyawaratan Kampung: Kapasitas pelaksanaan fungsi agregasi, artikulasi dan fungsi legislasi. 4.
Menemukan kebutuhan a. Daftar kebutuhan dan dan merencanakan masalah tentang pengustrategi penguatan atan kapasitas tata kelola kapasitas tata kelola pemerintahan kampung Pemerintahan untuk memenuhi kebutuKampung Urumusu han stakeholders. yang disusun secara b. Daftar prioritas penguatan partisipatif. kapasitas tata kelola pemerintahan kampung untuk memenuhi kebutuhan stakeholders. Sumber: Hasil olahan pengkaji
Masyarakat kampung, FGD aparat pemerintahan kampung, aparat pemerintah Kabupaten Nabire serta Stakeholder lainnya.
Pedoman wawancara FGD dan hasil rekaman proses point 1-3 dan Peraturan perundangundangan tentang Kampung
51
Metode Penyusunan Program Untuk mengidentifikasi masalah dan potensi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung maka telah didapatkan data dan informasi aktual dengan mengunakan metode wawancara mendalam kepada masyarakat kampung, aparat Pemerintahan Kampung Urumusu, aparat Pemerintah Kabupaten Nabire dan stakeholder lainnya. Sesuai dengan data dan informasi tersebut, maka selanjutnya menganalisis kebijakan publik yang berkenaan dengan tata kelola pemerintahan kampung serta menganalisis kebutuhan (masalah), potensi dan kondisi penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung serta menyusunan rencana strategi untuk penguatan kapasitas kelembagaan pemerintahan kampung dengan mengunakan metode FGD secara partisipatif. Saat FGD pengkaji bertindak sebagai fasilitator, sehingga peran dan tanggung jawabnya adalah mengumpulkan data dan memfasilsitasi FGD untuk menyusun program dan strategi alternatif yang tepat dalam penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pengkaji berkaitan dengan fungsinya sebagai fasilitator adalah: a. Melakukan identifikasi kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung melalui teknik observasi, wawancara mendalam dan studi dokumentasi untuk selanjutnya membandingkannya dengan muatan materi atau naskah, tata laksana dan budaya Peraturan Daerah, Keputusan Bupati dan Instruksi Bupati yang berlaku dari tahun 2001 sampai dengan 2007. b. Memfasilitasi terlaksananya diskusi terfokus (FGD) pada masing-masing komponen (masyarakat kampung, aparat Pemerintahan Kampung Urumusu, aparat Pemerintah Kabupaten Nabire dan stakeholder lainnya). Selanjutnya diikuti dengan FGD gabungan yang bertujuan menemukan berbagai pilihan kebutuhan (issue strategis) penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Bagian ini merupakan proses penyadaran kebutuhan nyata untuk merencanakan strategi alternatif dalam penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung secara partisipatif. Untuk mendapatkan dukungan dari berbagai pihak, pengkaji bersama partisipan melakukan analisis dari berbagai pihak yang berkepentingan (stakeholders) melalui metode analisa pemetaan kekuatan, kawan dan lawan, pemetaan oposisi serta hal-hal lain yang dibutuhkan dalam strategy planning untuk capacity building.
PETA SOSIAL KAMPUNG URUMUSU
Sejarah Singkat Kampung Urumusu Sebelum tahun 1982, wilayah Distrik Uwapa pada umumnya termasuk Kampung Urumusu adalah daerah hutan rimba. Hutan tersebut secara ulayat dimiliki oleh Marga Wakei dan Madai dan beberapa marga lainnya yang merupakan lokasi perburuan dari marga-marga tersebut. Memasuki tahun 1983, Departemen Kehutanan memberikan Izin Hak Pengelolaan Hutan (IHPH) kepada PT. Djajanti Group di wilayah tersebut. Pada tahun yang sama juga Departemen Transmigrasi merencanakan untuk menempatkan transmigrasi di lokasi bekas pengambilan hasil hutan konsesi IHPH PT. Djajanti Group. Oktavianus Wakei (alm) sebagai kepala suku, meminta Pemerintah untuk memukimkan 100 Kepala Keluarga di Kampung Urumusu sebagai kompensasi atas penggunaan tanah ulayatnya oleh pemerintah untuk program transmigrasi dan pengambilan hasil hutan. Menyikapi permintaan tersebut, pada tahun 1984, lewat Departemen Sosial RI memukimkan 85 Kepala Keluarga pemilik ulayat di Kampung Urumusu. Sebelumnya, mereka adalah penduduk yang dimukimkan adalah warga Distrik Mapia, kurang lebih 138 kilo meter sebelah selatan dari Kampung Urumusu. Pada saat masih bermukim di Distrik Mapia, mereka adalah petani kopi dan kacang tanah. Kondisi fisik alami tidak memungkinkan mereka tetap menjadi petani kopi dan kacang tanah maka pada tahun 1985, Departemen Pertanian membuka lahan hutan seluas 87 hektar untuk menanam kakao. Setiap kepala keluarga mendapat bagian 1 (satu) hektar tanaman kakao. Pertengahan tahun 1986 sudah melakukan panen perdana. Penambahan luas lahan kakao bagi setiap keluarga dilakukan secara mandiri dan bertahap. Tanah garapan sekitar rumahpun ditanami kakao, rambutan dan pisang. Dengan demikian luas lahan tanaman kakao di Kampung Urumusu pada saat ini sudah mencapai 312 hektar.
Kondisi Fisik Alami Kampung Urumusu Kondisi fisik alami merupakan gambaran fisik daerah yang bersifat alamiah yang mempengaruhi pola hidup dan proses pembangunan, termasuk tata kelola pemerintahan. Kondisi fisik alamiah tersebut antara lain yakni posisi administratif, geografis, topografi, hidrologi, geologi, morfologi dan klimatologi.
53
Batas Administratif dan Geografis Kampung Urumusu secara administratif adalah merupakan bagian dari Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire, Provinsi Papua dan berada pada posisi: Sebelah Utara Sebelah Selatan Sebelah Timur Sebelah Barat
: Kampung Topo Jaya. : Distrik Siriwo. : Distrik Napan. : Kampung Argomulyo.
Secara georgafis, Kampung Urumusu berada pada posisi 40, 15” LU - 40, 40” LS dan 130010” BB -130045” BT. Kampung Urumusu terletak di sebelah selatan dari Kota Nabire, dengan jarak 36 Km dari ibu kota kabupaten dan 1 (satu) Km dari Topo, Ibu kota Distrik Uwapa. Letak ketinggian dari dasar laut adalah 38 meter diatas permukaan laut. Luas wilayah Kampung Urumusu adalah panjang 28 Kilometer dan lebar 13 Kilometer.
Kondisi Topografi dan Hidrologi Kampung Urumusu adalah merupakan daerah perbukitan dengan tingkat kemiringan 0-1 % untuk sekitar pemukiman penduduk dan daerah sekitar Gunung Gamei, tingkat kemiringan mencapai 5-20 %. Secara hidrologi Kampung Urumusu dilalui oleh 2 (dua) sungai besar dan dalam perkampungan dilalui 6 buah kali (anak sungai) yang masih bersih. Selain itu, masih banyak ditemui rawa dengan kubangan-kubangan air di wilayah Kampung Urumusu.
Kondisi Geologi dan Morfologi Kabupaten Nabire, termasuk Kampung Urumusu pada umumnya terletak pada pertemuan dua lempengan kerak bumi yaitu lempeng Pasifik yang bergerak ke arah barat dan lempengan Samudera Indonesia-Australia-Papua yang bergerak relatif ke arah Utara. Akibat pergeseran lempengan tersebut, terjadi lipatan pegunungan dan patahan yang sering menyebabkan gempa bumi. Kabupaten Nabire terdapat dua lipatan (sasar), yakni Sasar Wondama dan Sasar Siriwo. Sasar Siriwo kira-kira terletak pada posisi 14 km dari Kampung Urumusu ke arah selatan. Dengan demikian Kampung Urumusu merupakan daerah rawan gempa bumi. Berdasarkan peta geologi yang telah dikaji secara khusus litologi dan geologi lainnya menunjukan bahwa batuan di Kampung Urumusu adalah jenis batuan tua
54
dan keras, kecuali hasil sedimentasi alamiah di sekitar Gunung Gamei dan hasil pelapukan yang sudah menjadi agregasi tanah penutup.
Kondisi Klimatologi, Erosi dan Kondisi Vegetasi Hasil survei Badan Meteorologi dan Geofisika Nabire, sifat curah hujan masih pada batas normal, yakni 1.894,5 mm/tahun. Laju angin, suhu udara dan kelembaban udara masih pada batas normal sehingga tidak membahayakan ekosistem yang ada. Sedangkan suhu rata-rata adalah 27-27,5 0 Celsius per hari. Tingkat kerawanan erosi tertinggi di Kampung Urumusu berada di sekitar Gunung Gamei (6 Km arah selatan dari perkampungan). Walaupun curah hujan masih pada batas normal, sering terjadinya erosi akibat aktifitas pendulangan emas tradisional di beberapa anak sungai, pengambilan hasil hutan tanpa reboisasi dan kondisi tingkat kemiringan tanah yang tinggi. Kondisi vegetasi di hutan masih hutan alamiah dan ditumbuhi oleh pohon merbau, agatis, matoa, damar dan lainnya. Sekitar rumah penduduk ditanami pohon kakao, rambutan, pisang dan di sepanjang jalan provinsi yang menghubungkan Kabupaten Nabire dan Kabupaten Paniai, mulai berkembang populasi tanaman albesia dan agasia.
Kondisi Fisik Binaan Kampung Urumusu Kondisi fisik binaan (artificial features) merupakan gambaran fisik saat ini dari karya dan cipta manusia (man made features) yang mempengaruhi pola hidup dan proses pembangunan. Kondisi fisik binaan merupakan serangkaian usaha-usaha pemerintah dalam membuka akses dan memeratakan hasil-hasil pembangunan dan pelayanan publik. Aspek fisik binaan tersebut meliputi sarana dan prasarana meliputi:
Pola Tata Guna Tanah Pemanfaatan lahan atau pola tata guna tanah di Kampung Urumusu didominasi oleh wilayah hutan tropis alami (60 %). Sedangkan selebihnya adalah lokasi pemukiman penduduk dan pertanian kakao (30 %), hutan ladang berpindah dan rawa (10 %).
55
Jaringan Jalan dan Jaringan Listrik Jaringan jalan primer, yaitu jalan yang menghubungkan Kabupaten Nabire dan Kabupaten Paniai. Sedangkan jalan sekunder dibangun oleh perusahaanperusahaan kayu yang mengantongi IHPH di wilayah Distrik Uwapa, telah menghubungkan Kampung Urumusu-Kampung Marga Jaya-Kampung Gamey Jaya-Kampung Yaro Makamur di Distrik Yaro dan Distrik Wanggar untuk mengangkut kayu. Sejak tahun 2001, PLN membuka anak ranting di Distrik Uwapa, termasuk Kampung Urumusu namun hanya bisa beroperasi selama 1 tahun dan kini tidak beroperasi lagi karena rusak. Bagi sebagian warga, kebutuhan penerangan didapatkan dari lampu petromaks, genset dan lilin.
Jaringan Air Bersih, Jaringan Telekomunikasi dan pos Kebutuhan air bersih bagi warga didapatkan dari beberapa buah anak sungai (kali) yang mengalir di sekitar rumah penduduk. Sedangkan warga lainnya yang tinggal jauh dari anak sungai, kebutuhan air bersih didapatkan dari perigi (sumur) dan air hujan. Sedangkan jaringan telekomunikasi masih belum terpasang termasuk PT. Pos Indonesia juga belum membuka cabang di Distrik Uwapa, termasuk Kampung Urumusu.
Jaringan Fasilitas Umum: Fasilitas pemerintahan yang dimiliki adalah Balai Kampung. Balai tersebut dibangun oleh Depsos RI pada tahun 1984. Kondisi fisik bangunan tidak terawat dan sudah tidak layak digunakan. Dengan demikian kegiatan pemerintahan khususnya event tertentu seperti pertemuan warga ataupun pertemuan dengan pihak luar hanya dilaksanakan di rumah Kepala Kampung. Fasilitas pendidikan yang dimiliki Kampung Urumusu adalah 1 unit SD Negeri Inpres yang dibangun tahun 1984 oleh Depdikbud dan dibangun kembali pada Tahun Anggaran 2006 oleh Pemda Kabupaten Nabire lewat dana rekonstruksi bencana gempa bumi. Aktifitas belajar mengajar sudah tidak berjalan selama 9 tahun terakhir karena tidak ada guru yang bertugas, sehingga sebagin murid memilih melanjutkan pendidikan di Kampung Argomulyo maupun di Kampung Topo. Sedangkan bagi yang berumur kecil (kelas 1-2) memilih tidak
56
sekolah karena jaraknya ditempuh yang cukup jauh dengan berjalan kaki kira-kira 3 kilo meter. Fasilitas kesehatan, yakni Puskesmas maupun Puskesmas Pembantu masih belum ada, sehingga warga Kampung Urumusu berobat di Pustu Kampung Marga Jaya atau di Puskesmas Topo yang berjarak 3 Km. Sedangkan kegiatan tertentu yang berhubungan dengan kesehatan seperti pos yandu, imunisasi dan lainnya, sejak tahun 2007 sudah dibangunkan 1 (satu) unit Poliklinik Kampung. Fasilitas perekonomian yang dimiliki adalah 1 (satu) Kelompok Usaha Bersama (KUBE). KUBE tersebut hanya menjual sembilan bahan makanan pokok. Sedangkan pasar tradisional, koperasi, bank dan fasilitas ekonomi lainnya masih belum dibangun. Untuk mendukung usaha kakao, sudah dibentuk 3 (tiga) kelompok tani namun belum ada aktifitas dalam mengatasi masalah hama dan penyakit serta mengatasi masalah pasar dan produksi. Fasilitas peribadatan yang dimiliki adalah Gereja Katholik St. Yahanes dan Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Pekabaran Injil Bedeida. Sedangkan fasilitas peribadatan bagi agama yang lain masih belum dibangun. Hal ini disebabkan karena warga non kristen, yakni beragama Islam hanya 3 Kepala Keluarga. Mereka melaksanakan jumatan dan aktifitas ibadah lainnya di Masjid Kampung Argomulyo atau ke Kilo 38.
Kondisi Struktur Sosial Kampung Urumusu
Komposisi Penduduk Berdasarkan Pendapatan dan Mata Pencaharian Pelapisan masyarakat berdasarkan kategori ini, dibagi kedalam 3 (tiga) kelompok masyarakat, yaitu: 1. Masyarakat berpendapatan rendah, mempunyai ciri-ciri seperti: a) Masih menempati rumah pemukinan sosial belum dimodifikasi; b) Pendapatan ratarata kurang dari Rp 655.999 perbulan; c) Lahan kakao yang dimiliki kurang dari 2 hektar, tidak memiliki hutan kayu merbau dan bahan galian golongan C. 2. Masyarakat berpendapatan sedang, mempunyai ciri-ciri: a) Masih menempati rumah pemukiman sosial yang sudah dimodifikasi; b) Berpendapatan rata-rata Rp 656.000 sampai dengan Rp 955.999 perbulan; dan c) Lahan kakao yang dimiliki kurang dari 3 hektar dan memiliki tanaman bernilai ekonomis serta memiliki salah satu dari hutan kayu merbau atau lahan bahan galian gol. C.
57
3. Masyarakat
berpendapatan
tinggi,
mempunyai
ciri-ciri:
a)
Mempunyai
bangunan rumah dalam bentuk baru dan ukuran lebih besar dan luas; b) Pendapatan rata-rata di atas Rp 956.000 ke atas perbulan; c) Lahan kakao yang dimiliki lebih dari 3 hektar dan memiliki tanaman bernilai ekonomis lainnya serta memiliki hutan kayu merbau, lahan bahan galian C dan mempunyai lahan pendulangan emas. Tabel 3 berikut ini adalah komposisi penduduk menurut tingkat pendapatan keluarga.
Tabel 3: Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendapatan Keluarga Tingkat Pendapatan Perbulan
Jumlah KK
Kepemilikan Lahan Kakao
Prosentase
Rendah (
27
< 2 Ha
34
Sedang (Rp 656.000 - Rp 955.999)
38
< 3 Ha
49
Tinggi (> Rp 956.000)
13
> 3 Ha
17
JUMLAH
78
100
Sumber: Dinas Kesejahteraan Sosial dan Keluarga Berencana Kabupaten Nabire, 2006
Berdasarkan data di atas menunjukan bahwa rata-rata pendapatan Kepala Keluarga yang kurang dari Upah Minimim Provinsi Papua adalah sebesar (83%) dan dianggap miskin. Upah Minimun Provinsi Papua yakni Rp 956.000 per bulan. Tabel 4 berikut ini adalah komposisi penduduk menurut mata pencaharian.
Tabel 4 : Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian Mata Pencaharian
Jumlah KK
Prosentase
PETANI
73
94
PNS
3
3
JASA
2
3
JUMLAH
78
100
Sumber: Dinas Kesejahteraan Sosial dan Keluarga Berencana Kabupaten Nabire, 2006
Dari tabel di atas menunjukan bahwa hampir seluruh (94%) masyarakat Kampung Urumusu adalah petani (petani kakao).
58
Komposisi Penduduk Berdasarkan Asal Suku Komposisi penduduk berdasarkan asal suku lebih banyak didominasi oleh Suku Ekari. Lebih jelasnya seperti yang disajikan pada tabel 5 berikut ini.
Tabel 5: Komposisi Penduduk Menurut Asal Suku Asal Suku
Jumlah Jiwa
Prosentase
Ekari
256
77
Non Papua
38
11
Papua Non Ekari
34
12
Jumlah
328
100
Sumber: Dinas Kesejahteraan Sosial dan Keluarga Berencana Kabupaten Nabire, 2006
Dari tabel di atas menunjukan bahwa sebagian besar (77%) penduduk Kampung Urumusu berasal dari Suku Ekagi. Oleh sebab itu pola hidup masyarakat Kampung Urumusu lebih banyak dipengahui oleh tradisi Suku Ekagi.
Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Masyarakat masih menganggap bahwa mereka yang berpendidikan tinggi, kelasnya lebih tinggi dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Tabel 6 berikut ini adalah komposisi penduduk menurut tingkat pendidikan.
Tabel 6 : Komposisi Penduduk Menurut Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan
Jumlah Jiwa
Prosentase
Belum Tamat SD
123
38
Tamat SD
144
44
Tamat SLTP
49
15
Tamat SLTA
12
4
328
100
Jumlah
Sumber: Dinas Kesejahteraan Sosial dan Keluarga Berencana Kabupaten Nabire, 2006
Dari tabel di atas menunjukan bahwa sebagian besar (82%) penduduk Kampung Urumusu dibawah tamatan SD. Dengan demikian disimpulkan bahwa penduduk Kampung Urumusu berpendidikan rendah. Hal ini sangat berdampak pada akses sumber daya dan pembangunan Kampung Urumusu.
59
Potensi Perekonomian Kampung Urumusu
Sektor Pertanian Hasil pertanian di Kampung Urumusu adalah kakao, rambutan, mangga dan pisang dan sayuran. Kakao merupakan komoditi utama dan pohon buah-buahan yang lainnya ditanam sebagai sombar (penyejuk) bagi tanaman kakao. Hasil kakao dijual langsung ke Nabire. Biaya perawatan tanaman kakao cukup rendah karena hanya membutuhkan biaya pemangkasan, pembersihan dan pemetikan. Pekerjaan tersebut dapat dikerjakan oleh 1 (satu) orang tenaga kerja untuk 1 (satu) hektar dalam 2-3 hari kerja. Pembersihan dan pemangkasan dilakukan setiap 1 (satu) bulan sekali. Peningkatan produktifitas pertanian, dalam hal ini memperluas lahan pertanian kakao agak sulit karena jiwa kewirausahaan sangat rendah. Selain itu, biaya tenaga kerja cukup tinggi karena sulit mendapatkan buruh. Kondisi kebun pada umumnya kurang terawat sehingga tingkat produksi kakao jauh lebih rendah dari kapasitas maksimun yang dapat dicapai yang pada akhirnnya menjadi sarang hama dan penyakit tanaman. Pola pertanian berpindah masih dilakukan untuk memenuhi kebutuhan sayuran dan umbian. Setiap KK mempunyai 3-4 petak lahan berpindah. Luas setiap petaknya adalah 1,5-2 hektar. Sebagian besar waktu dan tenaga dihabiskan untuk mengurusi lahan berpindah untuk memenuhi kebutuhan pangan dan tambahan penghasilan.
Sektor Pertambangan Kampung Urumusu merupakan daerah penambangan emas tradisional. Selain itu, kampung ini mempunyai potensi tambang bahan galian golongan C, yakni batu dan pasir. Penguasaan lahan pertambangan, termasuk hutan dikuasai oleh marga wakei, madai dan iyai. Batas masing-masing klien (marga) sudah ditentukan oleh nenek moyangnya.
Kehutanan Hasil hutan yang terkenal adalah kayu merbau, agatis, matoa dan lainnya. Namun sayangnya tidak ada industri pengolahan kayu karena hasil hutan tersebut diolah di Kota Nabire maupun di luar Pulau Papua bahkan ke luar negeri. Harga 1 (satu) pohon merbau berkisar antara Rp 500.000,00-Rp 1. 000.000,00. Sedangkan
60
matoa dan agatis berkisar di bawah Rp 500.000,00. Penentuan harga dipengaruhi oleh jarak ke jalan raya dan ukuran besarnya pohon. Penguasaan lahan hutan dikuasai oleh marga wakei, madai, iyai dan beberapa marga lainnya. Batas masing-masing klien sudah ditentukan oleh nenek moyangnya. Seperti halnya lahan tambang, pengambilan hasil hutan dalam lahan kepemilikan setiap marga, sudah terbagi dalam masing-masing kepala keluarga. Belum ada lembaga yang mengorganisir pengambilan dan penjualan hasil hutan dan masyarakat mengatur lahannya masing-masing. Hal ini berdampak pada konservasi sumber daya hutan dan penaataan ruang kampung.
Sektor Jasa Perekonomian sektor jasa masih belum berkembang. Hal ini berhubungan dengan masalah kurangnya tenaga kerja, pasar dan keterbatasan biaya produksi.
Kondisi Peran Pemerintahan Kampung Dalam Mengatasi Masalah Sosial di Kampung Urumusu
Masalah Sosial di Kampung Urumusu Bidang Perekonomian Komoditi kakao sebagai produk unggulan di Kampung Urumusu mengalami penurunan tingkat produksi sebesar 50 % dari kapasitas produksi maksimal per hektar per musim sejak tahun 2004. Masalah ini berimbas pada penurunan pendapatan keluarga per bulan. Sebelum tahun 2004, tingkat produksi kakao mencapai 320 kilo gram per musim perhektar (Kg/musim/Ha), atau 640 kilo gram per hektar per tahun (Kg/Ha/Thn), maka pada tahun 2007, tingkat produksi menurun menjadi 160 Kg/musim/Ha atau 320 Kg/Ha/Thn. Sering penurunan tingkat produksi kakao, pendapatan keluarga juga ikut menurun. Rata-rata pendapatan per Kepala Keluarga yang sebelum tahun 2004 adalah Rp 1.280. 000,00 per bulan atau diatas batas Upah Minimum Provinsi Papua, yakni Rp 956.000,00 kini turun menjadi Rp 640.000,00 per bulan. Tingkat produksi maksimum dari 312 hektar kakao di Kampung Urumusu dapat memproduksi 99.840,00 kilo gram per musim atau 199.680,00 kilo gram per tahun dengan omset Rp 1. 198. 080.000,00 per musim atau Rp 2. 396.160. 000,00 per tahun kini turun menjadi 49.920,00 kilo gram per musim atau 99.840,00 kilo gram
61
per
tahun
dengan
omset
Rp
599.
040.000,00
per
musim
atau
Rp 1. 198.080. 000,00 per tahun. Penyebab masalah adanya penurunan pendapatan adalah serangan hama yang diduga helopeltis sp dan penyakit phytoptora sp, yang merupakan dampak dari pengembangbiakan pohon inang hama dan hama pengantar penyakit, kondisi lahan kakao yang tidak terawat yang menyebabkan tingginya tingkat kelembaban udara di lokasi kebun serta kondisi fisik alami di Kampung Urumusu yang memungkinkan berkembangbiaknya hama dan penyakit tersebut. Sebagai perbandingan, pada tabel 7 dan 8 ditampilkan kondisi produksi dan pendapatan per KK sebelum dan sebelum terserang hama dan penyakit.
Tabel 7: Kondisi Produksi dan Pendapatan Sebelum Terserang Hama dan Penyakit No
Produksi Rata-Rata
1 2 3 4*
320 640 53.33 106.67
Pendapatan Rata-Rata Kg Kg Kg Kg
Rp Rp Rp Rp
3,840,000.00 7,680,000.00 640,000.00 1,280,000.00
Keterangan Per Ha Per Musim Per Ha Per Tahun Per Ha Per bulan Per KK Per Bulan
Sumber: Olahan data hasil wawancara oleh pengkaji.
Keterangan: 1 Harga rata-rata 1 kg adalah Rp.12.000,2 Waktu 6 bulan untuk sekali musin panen 3 *) Rata-rata Per KK memiliki 2 Ha lahan kakao
Tabel 8: Kondisi Produksi dan Pendapatan Sesudah Terserang Hama dan Penyakit No 1 2 3 4*
Produksi Rata-Rata 160 320 26.67 53.33
Pendapatan Rata-Rata Kg Kg Kg Kg
Rp Rp Rp Rp
1,920,000.00 3,840,000.00 320,000.00 640,000.00
Sumber: Olahan data hasil wawancara oleh pengkaji.
Keterangan: 1 Penurunan tingkat produksi mencapai 50% 2 Harga rata-rata 1 kg adalah Rp.12.000,3 Waktu 6 bulan untuk sekali musin panen 4 *) Rata-rata Per KK memiliki 2 Ha lahan kakao
Ket Per Ha Per Musim Per Ha Per Tahun Per Ha Per bulan Per KK Per Bulan
62
Serangan hama dan penyakit makin sporadis karena: 1) Pemerintah Kampung Urumusu tidak melaksanakan program terpadu atas pengentasan hama dan penyakit; 2) Pemerintah Kampung Urumusu mempraktekkan ketidaktepatan sasaran dan ketidaktepatan implementasi dalam pelaksanaan tugas pembantuan dari pemerintah supra desa yang diterima selama ini. Untuk mengatasi masalah hama dan penyakit sebagai bagian dari pemberdayaan multi-pihak (stakeholders) di bidang ekonomi maka: 1) Pemerintah Kampung Urumusu melaksanakan pembersihan lahan dan pemangkasan pohon kakao di seluruh Kampung Urumusu dan perbaikan pengairan yang dipadukan dengan pengembangan usaha perikanan air tawar melalui APB Kampung; 2) Pemerintah Kampung Urumusu berkoordinasi dan membangun hubungan kemitraan dengan Dinas Kehutanan dan Perkebunan untuk mencarikan solusi atas pengendaliaan hama dan penyakit tanaman kakao yang dipadukan dengan program reboisasi hutan terpadu; dan 3) melaksanakan tugas pembantuan dari pemerintah supra desa untuk mengatasi masalah hama dan penyakit kakao serta masalah sosial lainnya.
Masalah Sosial di Kampung Urumusu Bidang Modal Sosial Selain masalah ekonomi, terjadi menurunnya kualitas modal sosial dan gerakan sosial multi-pihak di Kampung Urumusu dalam mengatasi masalah hama dan penyakit kakao serta masalah sosial lainnya secara kolektif dan mandiri. Penyebab menurunnya kualitas modal sosial adalah: 1) multi-pihak di Kampung Urumusu masih trauma dengan bangkrutnya KUD dan Kopermas yang pernah dibangun bersama; 2) lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti Kelompok Tani kurang efektif dalam memperjuangkan aspirasi anggotanya; 3) Pemerintah Kampung
dalam
hal
ini
Kepala
Kampung
sebagai
pembina
lembaga
kemasyarakatan di tingkat kampung kurang efektif dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan langsung pada lembaga kemasyarakatan; dan 4) Pemerintahan Kampung Urumusu tidak melaksanakan usaha pembinaan modal sosial melalui kebijakan publik di tingkat kampung. Keempat penyebab masalah inilah yang menimbulkan lunturnya modal sosial yang ditandai dengan praktek proses penanganan masalah sosial secara parsial dan perorangan yang kental dengan
sikap
individualisme
dan
egoisme
serta
berkurangnya
kuantitas
musyawarah untuk mengatasi masalah secara kolektif. Untuk mengatasi masalah lunturnya modal sosial dan gerakan sosial, kebutuhan multi-pihak di Kampung Urumusu dalam rangka pemberdayaan bidang
63
sosial adalah: 1) Pemerintah Kampung Urumusu mengefektifkan pertemuan (diskusi)
membahas
masalah-masalah
dalam
tugas
penyelenggaraan
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dengan melibatkan multi-pihak di Kampung Urumusu sebagai bagian dari proses terapi untuk pengembalian kepercayaan masyarakat kepada pemerintahan kampung dan rasa saling percaya di antara multi-pihak di Kampung Urumusu; 2) Pemerintah Kampung Urumusu memperkuat soliditas sosial serta membangun komitmen multi-pihak di Kampung Urumusu atas dasar saling percaya secara berkelanjutan melalui proses pelembagaan norma-norma, membangun pola hubungan kerja dan sistem nilai yang dapat dilakukan melalui penetapan Peraturan Kampung dan Keputusan Kepala Kampung yang memberdayakan; 3) Pemerintah Kampung Urumusu melaksanakan tugas dan kewajiban pembinaan dan pengawasan secara langsung pada lembaga kemasyarakatan. Sebagai gambaran, melalui bagan 3 berikut ini disajikan proses memperkuat soliditas sosial serta membangun komitmen multi-pihak di Kampung Urumusu atas dasar saling percaya secara berkelanjutan melalui proses pelembagaan normanorma, membangun pola hubungan kerja dan sistem nilai yang dapat dilakukan melalui kebijakan publik, yakni Peraturan Kampung dan Keputusan Kepala Kampung yang memberdayakan.
64
Bagan 3: Pengembangan Modal Sosial Melalui Kebijakan Publik di Tingkat Kampung
MASYARAKAT KAMPUNG
BUPATI
Partisipasi masyarakat Kampung secara lisan atau tertulis
BPK
Pemerintah Kampung
Memprakarsai Rancangan PERKamp
Usul Inisiatif Rancangan PERKamp Asas-asas pembentukan Perkamp: kejelasan tujuan, kembagaan yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan keterbukaan
PEMBAHASAN RANCANGAN
Kepala Distrik
Persetujuan Oleh BPK
Perkamp tentang APBKam.,Pengutan dan Penataan Ruang paling lambat 3 hari untuk evaluasi
hasil evaluasi dikembalikan paling lambat 20 hari. Jika belum ada hasil evaluasi dalam 20 hari, Kepala Kampung dapat menetapkan Rancanagan Perkamp menjadi Perkamp.
paling lambat 7 hari setelah disetujui BPK, Pimpinan BPK menyerahkan kapada Kepala Kampung untuk menetapkan Rancangan Perkamp menjadi Perkamp.
KEBIJAKAN PUBLIK (PERATURAN KAMPUNG)
Ditetapkan dan Ditandatangani oleh Kepala Kampung Penyampaian hasil paling lambat 7 hari setelah penetapan agar Setda memuat dalam Berita Daerah
Penyampaian sebagai informasi hasil penetapan Perkamp kepada konstituen
Pelaksanaan Peraturan Kampung
Kewajiban Pengawasan dan Pembinaan
Proses merancang, menetapkan dan melaksanakan secara partisipatif, demokratis, keterbukaan dan berkeadilan.
Partisipasi dalam pengawasan dan evaluasi
Meningkatkan derajat (tingkat) legitimasi dan partisipasi aktif (penuh) seluruh komponen
Tumbuhnya saling
PRODUK
KEBIJAKAN PUBLIK
Interaksi efektif antara
Tumbuhnya niat baik, MODAL kepercayaan SOSIAL Berkembangnya sifat kegotong-royongan, kelektifitas, kohesifikasi dan keyakinan untuk
Sumber Energi dalam Penyeleng
Urusan Pemerintahan. Urusan Pembangunan Urusan Kemasyarakatan
Keterangan: Tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku namun menjadi satu kebutuhan untuk pengembangan modal sosial. Sumber: disesuaikan dari Suharto (2007) dan Perda Kab. Nabire No. 30 Tahun 2007
65
Masalah Sosial di Kampung Urumusu Bidang Politik Secara politik, multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu juga telah kehilangan ruang partisipasi aktif dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pemeliharaan dan pengawasan dan evaluasi proses pembangunan Kampung. Yang menjadi indikator ketidakberdayaan masyarakat bidang politik di tingkat kampung adalah: 1) Pemerintahan Kampung Urumusu tidak pernah mengadakan Musrenbang Kampung dan proses APB Kampung sebagai satu kesatuan dari sistem perencanaan dan pembangunan nasional; 2) BPK Kampung Urumusu kurang efektif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya; dan 3). Pemerintah Kampung tidak pernah melaksanakan pertanggungjawaban dan evaluasi kepada multi-pihak di Kampung Urumusu atas proses penyelenggaraan pembangunan. Ketiga masalah tersebut telah mendorong terselenggaranya proses pembangunan kampung yang tidak mengedepankan partisipasi aktif multi-pihak di Kampung Urumusu dalam proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan dan pemeliharaan serta tidak terlaksananya proses pengawasan dan evaluasi sebagai sarana rekonstruksi proses pembangunan, khususnya dalam pelaksanaan program bantuan pemberdayaan masyarakat pada akhir program. Sebagai gambaran tabel 9 berikut ini menampilkan tipologi partisipasi publik berdasarkan jenis partisipasi dan tingkat keterwakilan di Kampung Urumusu.
66
Tabel 9:
Kondisi tipologi partisipasi publik berdasarkan jenis partisipasi dan tingkat keterwakilan di Kampung Urumusu
Jenis Keterwakilan
Tingkat keterwakilan Sempit
Luas
Palsu
Keputusan : kurang trasparan dibuat oleh Pemerintah (Kepala Kampung). Partisipasi : bersifat simbolik, hanya segelintir orang yang terlibat.
Parsial
Keputusan : dibuat oleh sekelompok elit Kampung dengan mempertimbangkan masukan dari kelompok kepentingan yang terbatas Partisipasi : hanya melibatkan kelompok kepentingan yang memiliki pengaruh, sedangkan sebagian besar masyarakat tidak mempunyai kesempatan sama sekali
Keputusan : dibuat oleh pemerintah dengan pengaruh yang sangat sedikit dari partisipasi masyarakat Partisipasi : melibatkan berbagai kelompok kepentingan namun peluang berpartisipasi disediakan dalam sesi yang sangat terbatas
Penuh
Keputusan : dibuat oleh pemerintah dan kelempok kepentingan yang terpilih. Partisipasi : melibatkan sekelompok kepentingan yang mempunyai Pengaruh, namun sebagian besar warga Negara tetap kurang memiliki kesempatan
Keputusan : dibuat oleh pejabat pemerintah dengan pengaruh yang sangat kuat dari partisipasi masyarakat Partisipasi : masyarakat luas terlibat dalam diskusi yang cukup intensif dengan pemerintah.
Keputusan: dibuat oleh Pemerintah (Kepala Kampung dan Kepala Distrik). Partisipasi : simbolik, meskipun melibatkan berbagai kelompok yang ada dalam masyarakat
Sumber: disesuaikan dari Sirajuddin (2006) Keterangan: Kondisi Partisipasi Masyarakat dalam Pelaksanaan Tugas Pembantuan di Kampung Urumusu
Dengan demikian kebutuhan multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu di bidang penguatan kapasitas politik adalah: 1. Pemerintahan Kampung Urumusu melaksanakan Musrembang Kampung dan melaksanakan proses APB Kampung dengan prinsip pemberdaayaan (empowerment), keterbukaan (transparancy), akuntabilitas (accountability), berkelanjutan (sustainability), partisipasi (participation), aspiratif, efektif dan efisiensi agar dapat mengatasi masalah ekonomi, khusunya pengentasan hama dan penyakit tanaman kakao, perluasan lahan kakao, pengadaan sarana produksi dan pengembangan potensi ekonomi lainnya. Bagan 4 berikut ini disajikan keterkaitan Musrenbang Kampung dan proses APB Kampung sebagai satu kesatuan dari sistem perencanaan dan pembangunan nasional yang dibutuhan oleh masyarakat.
Bagan 4: Sistem Perencanaan Pembangunan dan Pembiayaan Pembangunan Pusat, Daerah dan Kampung
Pemerintah Pusat
Proses Perencanaan Pembangunan Nasional dari Kampung, Daerah sampai Pusat Sebagai Sistem (satu kesatuan) Yang Tidak Dapat Dipisahkan
RPJP Nasional
Pemerintah Daerah
RPJP Daerah
pedoman
Pemerintah Kampung
dijabarkan
RKP
Diserasikan: Kebutuhan Daerah dan Nasional melalui Musrenbang Nasional
RPJM Daerah
dijabarkan
Rincian APBN
pedoman
RAPBN
APBN
Tanggal 16 Agustus Mulai Bulan Juni
Minggu ke II Desember Minggu ke III-VI Desember
pedoman
RAPBD
APBD
pedoman
RKA - SKPD
Rincian APBD
diacu pedoman
Renstra SKPD
Renja - SKPD
Diserasikan: Kebutuhan Daerah dan Kampung melalui Musrenbang Daerah
Bulan Maret
dijabarkan
RKP Kamp.
Bulan Desember pedoman
Bulan Minggu I Januari
RAPBKampung
APB Kampung
RKA - LPM Kampung
Rincian APB Kampung
diacu
pedoman
Renstra LPM Kampung
Output: Daftar Prioritas Kegiatan yang dibiayai Kampung Daftar Kegiatan yang dilakukan melalui ADK Daftar Prioritas Kegiatan yang diajukan ke RKPD/Renja-SKPD DPA SKPD Kab. dan Provinsi Daftar nama delegasi yg diutus ke Musrenbang Distrik.
RKA - KL
Bulan April Mei
RKP Daerah
Pedoman
RPJM Kamp
pedoman
Sumber-Sumber Pendapatan Kampung Untuk Pemberdayaan Masyarakat Kampung
diacu
RPJM Nasional
diperhatikan
diperhatikan
¾
Renja - KL
pedoman pedoman
diacu
¾ ¾ ¾
pedoman
Renstra KL
Proses Politik Anggaran Pembangunan Nasional Untuk Pemberdayaan Masyarakat Kampung
pedoman
Renja – LPM Kampung
pedoman
Bulan Januari-Februari Musrenbang Kampung Tim Fasilitator: Kepala Kampung, Kabupaten dan Distrik
Kordinator: LPM Kampung
70 % Biaya Pemberdayaan Masyarakat
Nara Sumber/Peserta: Ketua RT/RW/LPMKamp. dan semua Lembaga Kemasyarakatan
DPA-LPMK
30 % Belanja Aparatur dan Operasional Kampung
1. Bantuan keuangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah. 2. Hibah Pemerintah Provinsi dan Pemerintah. 1. Bagi hasil pajak Kabupaten: a. Bagi hasil pajak Kabupaten b. Bagi hasil PBB c. Dan seterusnya 2. Bagi hasil retribusi Kabuapten 3. Alokasi dana perimbangan keuangan pusat daerah a. Alokasi Dana Kampung (ADK), yakni ADKM dan ADKP. b. Alokasi Dana Khusus (ADKK). 4. Bantuan keuangan Kabupaten 5. Hibah Pemda Kabupaten 1. Pendapatan Asli Kampung: a. Hasil Usaha Kampung b. Hasil Pengelolaan Kekayaan Kampung c. Hasil Swadaya dan Partisipasi d. Hasil gotong royong e. Lain-lain Pendapatan Asli Kampung yang sah 2. Hibah dari perorangan/Orsos/Orpol dan lainnya 3. Sumbangan pihak ketiga 4. Bantuan keuangan kampung lain. 5. Penerimaaan pembiayaan: a. SILPA Tahun sebelumnya. b. Hasil Penjualan Kekayaan Kampung yang Dipisahkan c. Pinjaman kampung
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT KAMPUNG
Sumber: Kolaborasi dari Wriatnolo RR (2006), UU. No. 25 Tahun 2004 dan Perda Kab. Nabire No. 29 Tahun 2007.
67
71
Jaringan Fasilitas Umum: Fasilitas pemerintahan yang dimiliki adalah Balai Kampung namun kondisi fisik bangunan tidak terawat dan sudah tidak layak digunakan. Fasilitas pendidikan adalah 1 unit SD Negeri Inpres namun aktifitas belajar mengajar sudah tidak berjalan selama 9 tahun terakhir. Fasilitas kesehatan, sejak tahun 2007 sudah memilki 1 (satu) unit Polindes. Fasilitas perekonomian yang dimiliki adalah 1 (satu) Kelompok Usaha Bersama (KUBE). KUBE tersebut hanya menjual sembilan bahan makanan pokok. Sedangkan Fasilitas peribadatan yang dimiliki adalah Gereja Katholik St. Yahanes dan GKII Bedeida. Yang beragama Islam melakukan aktifitas ibadah di Masjid Kampung Argomulyo atau ke Kilo 38.
Kondisi Struktur Sosial Komunitas Rata-rata pendapatan Kepala Keluarga kurang yang Upah Minimim Provinsi Papua adalah sebanyak 65 KK (83%). Sedangkan 73 KK (94%) bermata pencaharian sebagai petani kakao. Menurut asal suku, sebanyak 256 jiwa (77%) penduduk berasal dari Suku Ekagi dan 82% penduduk di bawah tamatan SD.
Masalah Sosial Dan Peran Tata Kelola Pemerintahan di Kampung Urumusu Dalam Mengatasi Masalah Sosial Secara ekonomi, komunitas sedang tidak berdaya karena Komuditi kakao sebagai produk unggulan di Kampung Urumusu mengalami penurunan tingkat produksi sebesar 50 % dari kapasitas produksi maksimal per hektar per musim. Masalah ini berimbas pada penurunan pendapatan keluarga per bulan. Selain itu pada beberapa tahun terakhir, pertumbuhan ekonomi Kampung mengalami stagnasi. Pada tiga tahun yang lalu tingkat produksi kakao mencapai 320 kilo gram per musim perhektar (Kg/musim/Ha), atau 640 kilo gram per hektar per tahun (Kg/Ha/Thn), kini turun menjadi 160 Kg/musim/Ha atau 320 Kg/Ha/Thn. Rata-rata pendapatan per Kepala Keluarga pada tiga tahun yang lalu adalah dari Rp 1.280. 000,00 per bulan (di atas Upah Minimum Provinsi Papua, yakni Rp 956.000,00), kini turun menjadi Rp 640.000,00 per bulan. Penyebabnya adalah serangan hama yang diduga species helopeltis dan penyakit species phytoptora, yang merupakan dampak dari pengembangbiakan pohon inang hama dan hama pengantar penyakit, kondisi lahan kakao yang tidak terawat serta kondisi fisik
68
2. BPK dan lembaga kemasyarakatan di Kampung Urumusu melaksanakan tugas dan fungsinya dalam menggali, menampung, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada Pemerintah Kampung terutama kebutuhan bagi kelompok marginal di Kampung Urumusu; dan 3. Pemerintah Kampung melaksanakan pertanggung jawaban dan evaluasi atas proses pembangunan sebagai sarana rekonstruksi proses pembangunan.
Bagan 5 berikut ini ditampilkan pola pertanggungjawaban kepala kampung namun tidak pernah dipraktekkan dalam tata kelola pemerintahan Kampung Urumusu.
Bagan: 5 Model Pertanggungjawaban Pertahun Anggaran Kepala Kampung
KEPALA DISTRIK Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Kampung (LPPK) Akhir Tahun Anggaran berupa laporan dan sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan 3 Urusan dan 1 Tugas Pembantuan
Paling lambat tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir
Laporan Keterangan Pertangung Jawaban (LKPJ) Akhir Tahun Anggaran Kepala Kampung berupa pelaporan laporan dan sebagai bentuk pertanggung jawaban atas 3 Urusan dan 1 Tugas Pembantuan termasuk APB Kampung
KEPALA KAMPUNG
Sekurangkurangnya 1 kali dalam setahun
Paling lambat tiga bulan setelah tahun anggaran berakhir
BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG (BPK)
Pengimformasian Laporan Penyelenggaran Pemerintahan Kampung (LPPK) Akhir Tahun Anggaran Kepala Kampung berupa informasi pokok-pokok kegiatan tentang pelaksanaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang langsung kepada masyarakat melalui media informasi Kampung.
MASYARAKAT KAMPUNG
Penyampaian hasil temuan kepada yang mempunyai kapasitas untuk menolak atau menerima LPPK
BUPATI
Penyampaian hasil temuan atas informasi pokok-pokok kegiatan
Sumber: Disesuaikan dari Wasistiono (2007) dan Kepmendri No.35 Tahun 2007
69
Sedangkan yang ideal adalah monitoring dan evaluasi pembangunan secara partisipatif yang dilakukan multi-pihak di Kampung Urumusu untuk selanjutnya dapat menghasilkan rekaman proses dan ringkasan proses evaluasi yang menjadi input bagi rekonstruksi pembangunan kampung pada tahun anggaran berikutnya seperti yang disajikan pada bagan 6 beritu ini. Bagan 6: Monitoring dan Evaluasi Proses Pembangunan Kampung Secara Partisipatif
BIDANG EKONOMI
FASILITATOR/PEMANDU:
PEMANTAU:
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung (LPMK)
Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Utusan Kantor Distrik/ Kabupaten/LSM
Kelompok Tani, Perikanan air tawar dan jasa
BIDANG PEREMPUAN
PKK, Pemerhati Masalah Perempuan dan anak
Evaluasi Pembangunan Kampung: BIDANG KEPEMUDAAN
Karang Taruna, Mudika dan Kaum Muda
BIDANG PEMERINTAHAN
Kepala Kampung dan Aparatnya serta BPK
1. Pencapaian: Apa yang sudah dicapai (kualitas & kuantitas) sampai saat ini ? 2. Perkembangan: Apa saja yang dicapai tahun ini dari rencana awal ? 3. Efisiensi dan efektifitas: Berapa biaya yang dikeluarkan dan apa dampak (manfaat) nya bagi masyarakat ? 4. Metode atau pendekatan: Mengapa tercapai/tidak tercapai ? 5. Proses belajar dan bertukar pengalaman: Apakah ada pengalaman baru ? 6. Informasi untuk rencana berikutnya: Apa saja yang belum dan perlu dikerjakan ?
BIDANG KESEHATAN
Petugas Medis, Pos Yandus dan Pemerhati Kesehatan Masyarakat
BIDANG PENDIDIKAN
Guru SD, Tutor PLS, Guru PAUD
Ouput Evaluasi: Informasi Dasar Untuk Musrenbang Kampung
ª Rekaman Proses Evaluasi ª Ringkasan Hasil Evaluasi
REKONSTRUKSI PROSES PEMBANGUNAN KAMPUNG
Sumber: Olahan data hasil wawancara oleh pengkaji.
Informasi Dasar Untuk LPPK Ke Bupati
70
Rangkuman Peta Sosial Kampung Urumusu
Kondisi fisik alami Kampung Urumusu Sebelum tahun 1984 komunitas petani kakao di Kampung Urumusu adalah petani kopi dan kacang tanah yang tinggal di Distrik Mapia. Perbedaan kondisi fisik alami Distrik Mapia dan Distrik Uwapa, mereka harus beralih pekerjaan menjadi petani kakao sebagai bagian dari upaya rekayasa sosial. Luas lahan kakao yang dimiliki saat ini sudah mencapai 312 hektar. Secara georgafis, Kampung Urumusu berada pada posisi 40, 15” LU - 40, 40” LS dan 130010” BB -130045” BT serta berjarak 36 Km dari Kota Nabire, dan 3 (satu) Km dari Topo, Ibu kota Distrik Uwapa. Letak ketinggian dari dasar laut adalah 38 meter dengan Luas wilayah adalah panjang 28 Kilo meter dan lebar 13 Km. Secara topologi, Kampung Urumusu merupakan daerah dataran rendah dan perbukitan dengan tingkat kemiringan 0-1 % untuk sekitar pemukiman serta secara hidrologi Kampung Urumusu dilalui oleh 2 (dua) sungai besar dan masih banyak ditemui rawa (kubangan air). Sedangkan secara klimatologi sifat curah hujan masih pada batas normal, yakni 1.894,5 mm/tahun. Sedangkan suhu ratarata adalah 27-27,5
0
Celsius per hari. Kondisi vegetasi di hutan masih hutan
alamiah yang ditumbuhi oleh pohon merbau, agatis, matoa, damar. Selain itu di sekitar perkampungan mulai berkembang populasi tanaman albesia dan agasia.
Kondisi fisik Binaan Kampung Urumusu Pemanfaatan lahan atau pola tata guna tanah di Kampung Urumusu didominasi oleh wilayah hutan tropis alami (60 %). Sedangkan selebihnya adalah lokasi pemukiman penduduk dan pertanian kakao (30 %), hutan ladang berpindah dan rawa (10 %). Jaringan jalan primer, yaitu jalan yang menghubungkan Kabupaten Nabire dan Kabupaten Paniai. Sedangkan jalan sekunder dibangun oleh perusahaan HPH yang telah menghubungkan Kampung Urumusu dengan kampung-kampung sekitarnya. PLN membuka anak ranting di Kampung Urumusu namun hanya bisa beroperasi selama 1 tahun dan kini tidak beroperasi. Kebutuhan air bersih bagi warga didapatkan dari beberapa buah anak sungai yang mengalir di sekitar rumah penduduk. Sedangkan jaringan telekomunikasi masih belum terpasang termasuk PT. Pos Indonesia juga belum membuka cabangnya.
72
alami yang memungkinkan berkembangbiaknya hama dan penyakit tersebut. Serangan hama dan penyakit makin sporadis karena: 1) Pemerintah Kampung tidak melaksanakan program terpadu atas pengentasan hama dan penyakit; 2) Pemerintah Kampung Urumusu mempraktekkan ketidaktepatan sasaran dan dalam pelaksanaan tugas pembantuan dari pemerintah supra desa. Selain masalah ekonomi, terjadi menurunnya kualitas modal sosial dalam mengatasi masalah hama dan penyakit kakao secara kolektif dan mandiri. Penyebabnya adalah: 1) multi-pihak di Kampung Urumusu masih trauma dengan bangkrutnya KUD dan Kopermas yang pernah dibangun bersama; 2) lembagalembaga
kemasyarakatan
seperti
Kelopok
Tani
kurang
efektif
dalam
memperjuangkan aspirasi anggotanya; 3) Pemerintah Kampung dalam hal ini Kepala Kampung sebagai pembina lembaga kemasyarakatan di tingkat kampung kurang efektif dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan langsung pada lembaga kemasyarakatan; dan 4) Pemerintahan Kampung Urumusu tidak melaksanakan usaha pembinaan modal sosial pada multi-pihak di Kampung Urumusu melalui kebijakan publik di tingkat kampung. Secara politik, multi-pihak di Kampung Urumusu juga telah kehilangan ruang partisipasi
aktif
dalam
proses
perencanaan,
pelaksanaan,
pemanfaatan,
pemeliharaan dan pengawasan dan evaluasi proses pembangunan Kampung. Yang menjadi penyebab ketidakberdayaan multi-pihak di Kampung Urumusu adalah:
1)
Pemerintahan
Kampung
Urumusu
tidak
pernah mengadakan
Musrenbang Kampung dan proses APB Kampung dengan melibatkan multi-pihak di Kampung Urumusu sebagai satu kesatuan dari sistem perencanaan pembangunan nasional; 2) BPK Kampung Urumusu kurang efektif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya; dan 3). Pemerintah Kampung tidak pernah melaksanakan pertanggungjawaban dan evaluasi atas proses pembangunan kepada multi-pihak. Dari hasil analisa peta sosial kampung, dapat disimpulkan bahwa multi-pihak di Kampung Urumusu sedang berada dalam kondisi ketidakberdayaan secara ekonomi, sosial dan politik yang disebabkan oleh rendahnya tingkat pendidikan, pendapatan,
kurangnya
fasilitas
pelayanan
umum
serta
ketidakmampuan
pemerintahan kampung sebagai agen pembaharuan dan pranata sosial dan agen pembangunan dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
EVALUASI PROGRAM PEMBERDAYAAN KAMPUNG (PPK) DI KAMPUNG URUMUSU
Deskripsi Program Pemberdayaan Kampung (PPK)
Gambaran Umum PPK Model pembangunan yang menonjolkan konsep pemberdayaan adalah model yang didasarkan oleh respons terhadap kebutuhan pembangunan di wilayah
tertinggal
dan
kebutuhan
untuk
mensejahterakan
multi-pihak
(stakeholders) secara merata. Berdasarkan asumsi di atas, maka diperlukan usaha-usaha perlindungan (jaminan sosial) bagi penduduk yang berkategori fakir miskin, pemberdayaan bagi penduduk yang berkatogori miskin dan penguatan bagi penduduk yang berkatogori setengah miskin. Ketiga kategori di atas membutuhkan konsep penanganan yang berbeda pula. Bagi penduduk miskin agar mempunyai usaha atau melakukan atau memiliki suatu pekerjaan tertentu maka dapat di tempu dengan cara memberi peluang atau pekerjaan yang dapat menambah atau memberikan tambahan penghasilan. Sedangkan bagi yang fakir miskin disertai dengan jaminan sosial (jaminan hidup) dan perlindungan sosial. Bagi yang setengah miskin dapat ditempuh dengan penguatan kapasitas usaha agar usahanya tetap berkelanjutan. Berdasarkan asumsi di atas, Program Pemberdayaan Kampung (PPK) dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Nabire berkolaborasi dengan Tim Konsultan Manajemen Kabupaten (KM-Kab) dari Program Pemberdayaan Distrik (PPD) Provinsi Papua pada tahun 2005. Sesuai nota kesepahaman, Tim Konsultan Manajemen Kabupaten (KM-Kab) dan seluruh tenaga pendamping PPD Provinsi
Papua
di
Kabupaten
Nabire
bertanggung
jawab
memberikan
pendampingan di tingkat kampung. Anggaran tidak langsung (biaya operasional) dalam pelaksanaan PPK seperti biaya transportasi, honor dan lainnya dibiayai langsung dari PPD Provinsi Papua. Pemda Kabupaten Nabire hanya bertanggung jawab menyediakan anggaran pemberdayaan langsung. Kolaborasi kedua institusi dalam program ini berawal dari hasil evaluasi yang menunjukkan keberhasilan pelaksanaan PPD Provinsi Papua selama 3 tahun di Kabupaten Nabire dalam memberdayakan masyarakat miskin. Kampung Urumusu menjadi salah satu lokasi sasaran program PPD yang hasilnya dapat dilihat sampai saat ini adalah masih
74
berdirinya 1 unit Kelompok Usaha Bersama (KUBE) Sembako, Pusat Kegiatan Pos Yandu yang pada tahun 2007 ditingkatkan menjadi Polindes serta terbentuknya 3 kelompok tani. Dengan ditunjuknya pelaksana Program Pemberdayaan Distrik (PPD) Provinsi Papua di Kabupaten Nabire sebagai pendamping lapangan (di kampung) maka disepakati pula bahwa semua aturan (norma), pengorganisasian masyarakat di tingkat kampung dan prosedur pelaksanaan disesuaikan dengan semua aturan (norma), pengorganisasian masyarakat di tingkat kampung dan prosedur pelaksanaan yang berlaku dalam Pemberdayaan Distrik (PPD) Provinsi Papua.
Tujuan PPK Tujuan dari pada Program Pemberdayaan Kampung (PPK) yang dirumuskan oleh Pemda Kabupaten Nabire dan Tim Konsultan Manajemen Kabupaten (KMKab), Program Pemberdayaan Distrik (PPD) Provinsi Papua di Kabupaten Nabire adalah sebagai berikut: 1. Meningkatkan peranserta multi-pihak (stakeholders) terutama kelompok miskin dan perempuan dalam pengambilan keputusan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, pemanfaatan dan pelestarian pembangunan; 2. Melembagakan
pengelolaan
pembangunan
partisipatif
dengan
mendayagunakan sumber daya lokal yang telah dirintis PPD; 3. Mengembangkan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung dalam memfasilitasi pengelolaan pembangunan kampung yang berkelanjutan; 4. Menyediakan sarana dan prasarana sosial dasar serta ekonomi yang diprioritaskan oleh multi-pihak (stakeholders); dan 5. Melembagakan pengelolaan keuangan mikro dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin.
Strategi dan Sasaran PPK Strategi dan pendekatan yang digunakan adalah pendekatan pemberdayaan melalui kelompok. Lokasi sasaran adalah distrik yang memiliki kampung miskin relatif lebih banyak. Dalam menentukan lokasi yang dianggap kampung miskin, PPK
menggunakan
dasar
pemikiran
yang
sama
dengan
PPD
yakni:
1) Ketersediaan infrastruktur sosial dasar; 2) Ketersedian infrastruktur ekonomi;
75
dan 3) Kondisi Indeks Pembangunan Manusia. Berdasarkan 3 (tiga) pertimbangan di atas maka Pemda Kabupaten Nabire menetapkan kriteria lokasi sasaran PPK sebagai berikut: 1) Distrik yang pernah dan telah selesai mendapatkan bantuan Program Pengembangan Distrik (PPD); 2) Distrik yang termasuk dalam kategori "distrik bermasalah" yang diukur berdasarkan ketersediaan Kebutuhan Sosial Dasar Minimum. Kelompok sasaran PPK adalah masyarakat miskin di kampung sasaran PPK. Kriteria miskin dan warga ketegori miskin ditentukan oleh masyarakat kampung melalui forum kampung.
Program Bantuan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Melalui PPK Lembaga pelaksana adalah Lembaga Kemasyakatan yang berjenjang dari tingkat kelompok masyarakat, marga, dusun hingga kampung. Hal-hal lain yang dilaksanakan dalam rangka penguatan kelembangaan Kampung yaitu:
Bantuan Tenaga Pendamping secara Berjenjang Kelompok masyarakat miskin yang telah teridentifikasi mendapatkan bantuan teknis dari para personel tenaga pendamping PPD secara berjenjang selama dua tahun. Bantuan personil tenaga pendamping secara berjenjang adalah sebagai berikut: 1) Koordinator Provinsi (Korprov) beserta personel Regional Management Unit (RMU); 2) Tim Konsultan Manajemen Kabupaten (KM-Kab); 3) Fasilitator Distrik
(FD)
untuk
memfasitasi
perencanaan,
pelaksanaan,
pemanfaatan,
pengawasan dan pemeliharaan; 4) Asisten Fasilitator Distrik (AFD)/Pendamping Lapangan (PL); dan 5) Fasilitator Kampung (FK); setiap kampung disediakan 2 personel.
Bantuan Pelembagaan Unit Pengelola Kegiatan Unit Pengelola Keuangan atau Unit Pengelola Kegiatan (UPK) merupakan lembaga yang bertanggung jawab menandatangani kuitansi pada Bendahara Proyek di Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK). UPK selanjutnya menyalurkan dana tersebut kepada kelompok masyarakat miskin sesuai petunjuk teknis bupati. Usulan-usulan berupa kegiatan pembangunan prasarana atau sarana fisik, kegiatan Usaha Ekonomi Produktif (UEP) atau Simpan Pinjam
76
Kelompok
Perempuan
(SPP),
Kesehatan,
Keimanan
dan
ketaqwaan,
Kepemudaan dan lainnya.
Forum-Forum Pengambilan Keputusan dalam PPK dan Pelembagaan Tim Pemelihara Hasil Kegiatan Forum atau media musyawarah untuk mengambil keputusan yang lebih dikenal dengan Lembaga Kemasyarakatan (LK). LK yang berjenjang dari tingkat kelompok, marga, dusun hingga kampung. Di tingkat kampung ada Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) yang terdiri dari 5 orang. Mereka bertugas menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat. Tim Pemelihara Hasil Kegiatan (TPHK) merupakan lembaga yang bertanggung jawab menjamin pemeliharaan. Pelembagaan TPHK diperlukan agar fasilitas yang telah terbangun dapat dipertahankan daya manfaat atau usia produktifnya selama mungkin.
Siklus Pelaksanaan PPK Siklus kegiatan diawali dari penggalian gagasan di tingkat kelompok, marga, dusun hingga kampung. Dalam setiap jenjang, masing-masing usulan telah melewati kompetisi secara demokratis. Hal ini dianggap penting untuk memberi ruang agar kegiatan yang didanai betul-betul kebutuhan riil masyarakat dan telah melewati tahapan proses penyaringan secara demokratis. 1. Tahapan proses pelaksanaan kegiatan dalam program PPK adalah satu kesatuan dari pada proses pembangunan Daerah. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut sebagai berikut: 1) Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Kampung; 2) Musyawarah Rencana Pembangunan tingkat Distrik; 3) Musyawarah Rencana Pembangunan Kabupaten; 4) BPK lewat Lembaga Kemasyarakatan maupun secara langsung kepada masyarakat melalui usaha menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada kepala kampung; 5) Kepala kampung
menyusun
rancangan
APB
Kampung
berdasarkan
aspirasi
masyarakat yang diterima lewat BPK; 6) Kepala Kampung dan BPK membahas dan menetapkan APB Kampung melalui Peraturan Kampung; 7) Lembaga Pemberdayaan Kampung (LPK) melaksanakan kegiatan dan di lain pihak BPK bersama masyarakat mengawasi pelaksanaan APB Kampung;
77
dan 8) Kepala Kampung melaporkan pertangungjawaban penyelenggaraan pemerintahan kepada Bupati dan kepada BPK dalam musyawarah BPK. Secara konseptual sesuai petunjuk teknis bupati bahwa pelaksanaan program PPK mengikuti 13 (tiga belas) tahapan kegiatan sebagaimana diringkas dalam tabel 10 berikut ini.
Tabel 10 : Tahapan Kegiatan Program Pemberdayaan Kampung (PPK) No 01
Tahap Kegiatan 02
Uraian Kegiatan 03
1.
Musyawarah Kampung 1
Memilih Fasilitator Kampung, Tim Teknis, dan sebagainya.
2.
Pelatihan Kampung
Pelatihan bagi fasilitator pelaksana PPK
3.
Penggalian gagasan
4.
Musyawarah perempuan
5.
Musyawarah Kampung 2
Memutuskan usulan Kampung
6.
Penulisan usulan
Persiapan usulan kampung dan kelompok perempuan dengan/tanpa desain serta rencana anggaran.
7.
Verifikasi usulan kegiatan
Kunjungan verifikasi atau kelayakan masukan kepada masyarakat kampung.
Fasilitator
Menggali, menampung, menghimpun dan merumuskan aspirasi oleh Fasilitator Kampung. khusus
Musyawarah Kampung khusus perempuan untuk memutuskan usulan kelompok perempuan di tingkat organisasi masyarakat setempat.
untuk
memberi
• Merangking usulan kegiatan. 8.
Musyawarah Kampung 2
• Fasilitator Kampung (FK) dan Pendamping Teknis (TK) membantu persiapan desain dan anggaran bagi usulan yang diprioritaskan. • Alat Bantu: Formulir Village Visioning. • Memilih kegiatan kampung yang akan didanai. • Pembentukan Tim Pelaksanaan dan Pemantau kegiatan.
9.
Musyawarah Kampung 3
10.
Pencairan dana di BPD via Kepala Bagian Keuangan SETDA Kab. Nabire
11.
Monitoring dan evaluasi
• Supervise pelaksanaan kampung-kampung.
12.
Musyawarah Kampung Serah Terima
Musyawarah serah terima pekerjaan dan pertanggungjawaban pengeluaran keuangan.
13.
Pembentukan Tim Pemelihara
• Persiapan dan Pelaksanaan Kegiatan rekrutmen tenaga kerja, pengadaan bahan, dan sebagainya. Penyaluran Dana dan Pelaksanaan Kegiatan kepada kelompok masing-masing. • Musyawarah Pertanggungjawaban Keuangan. kegiatan,
kunjungan
• Pemeliharaan (untuk kegiatan pembangunan prasarana/sarana fisik) • Pengembalian pinjaman (khusus UEP/SPP).
Sumber: Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kampung Kabupaten Nabire, 2006
ke
78
Jenis Kegiatan dan Jumlah Anggaran Yang Didanai PPK Dana PPK disediakan lewat APBD. Pemda sebesar Rp 35.000.000,00 bagi setiap kampung yang menjadi lokasi sasaran PPK dengan rincian sebagai berikut: 1. Iman dan Ketaqwaan
Rp 5. 250. 000, 00
2. Pendidikan
Rp 5. 250. 000, 00
3. Kesehatan
Rp 7. 000. 000, 00
4. Ekonomi Kerakyatan
Rp 7. 000. 000, 00
5. Pembangunan Infrastruktur
Rp 8. 700. 000, 00
6. Operasional Kampung
Rp 1. 800. 000, 00
Evaluasi Umum Realisasi Program Pemberdayaan Kampung
Penyelenggaraan program PPK adalah kolaborasi antara PPD Papua dan Pemda Kabupaten Nabire. Namun kenyataan tidak demikian, seperti yang diunggapkan oleh mantan Fasilitator PPD Distik Uwapa, Frids Agapa berikut ini. ”Pencairan dana dan pendampingan masyarakat tidak sesuai dengan ketentuan yang disepakati Tim Konsultan Manajemen Kabupaten (KM-Kab), Program Pemberdayaan Distrik (PPD) Provinsi Papua di Kabupaten Nabire dan Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire. Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kampung (BPMK) sebagai penanggung jawab program, sangat tertutup dan tidak ingin ada kerjasama dengan pendamping PPD di distrik. Pencairan dana dilakukan sekali, yang seharusnya dilakukan tiga kali secara bertahap. Setiap tahapan dilakukan proses perencanaan, pengawasan dan pengendalian program. Khusus Kampung Urumusu, saya mengumpulkan masyarakat untuk mengarahkan bahwa melaksanakan program didahului dengan perencanaan penggunaan anggaran. Namun sebelum rapat, dana sudah terbagi sama rata secara tunai bagi setiap Kepala Rumah Tangga. Pada saat pengarahan maupun pembagian dana, BPMK tidak mengarahkan maupun memberi informasi kepada aparat kampung bahwa penggunaan dana tersebut akan didampingi oleh PPD. Disini saya melihat bahwa Kepala Kantor BPMK berkeinginan menghilangkan sebagian anggaran. Distrik Uwapa tidak terjadi demikian, tetapi di Distrik Kamu, Kamu Utara, Sukikai dan Siriwo, setiap kampung menerima jauh di bawah jumlah anggaran yang ditetapkan Pemda Kabupaten Nabire. Alasan yang digunakan adalah sebagian uang kas yang dibawakan dalam kantong terbawah arus sungai pada saat menyeberangi di Sungai Kasuari. Hal ini tidak logis karena saat itu musim kemarau panjang dan tidak ada laporan kecelakaan dari Kepolisian Resort Mapia”.
79
Realisasi atas daya pemberdayaan yang berasal dari APBD sebesar Rp 35.000.000,00 (tiga puluh lima juta rupiah) bagi Kampung Urumusu di realisaikan sebagaimana disajikan pada tabel 11 berikut ini. Tabel: 11 Perbandingan Rencana dan Realisasi Dana Kegiatan PPK NO
1 2 3 4 5 6
RENCANA
BIDANG Keimanan dan Ketaqwaan Pendidikan Kesehatan Ekonomi Kerakyatan Pemb. Infrastruktur Operasional Kampung TOTAL
REALISASI
ALOKASI
%
5,250,000
15
5,250,000 7,000,000
15 20
7,000,000
20
7000,000
25
1,800,000
5
35,000,000
100
BIDANG Keimanan dan Ketaqwaan Pendidikan Kesehatan Ekonomi Kerakyatan Pemb. Infrastruktur Operasional Kampung TOTAL
ALOKASI
%
3,000,000
9
-
-
31,200,000
89
-
-
800,000
2
35,000,000 100
Sumber: Olahan hasil wawancara dari berbagai sumber, 2006
Evaluasi Ketepatan Sasaran Program Pemberdayaan Kampung Realisasi penetapan kelompok sasaran (target group) PPK tidak tepat sasaran karena program yang dikhususnya untuk kelompok marginal di kampung tidak terlaksana karena dana dibagi sama rata kepada 78 Kepala Keluarga di Kampung Urumusu. Menanggapi realisasi tersebut, Agapetus Gobay, Sekretaris Kampung Urumusu mengatakan bahwa: ”Masyarakat takut bahwa uang tersebut kalau tertahan lebih dari satu hari maka akan hilang karena ada pengalaman sebelumnya. Dengan demikian penggunaan dana dalam bentuk kelompok (kolektif) tidak memungkinkan. Apararat Kampung ingin melaksanakan sesuai petunjuk teknis namun keingin masyarakat juga didukung oleh Badan Permusyawaratan Kampung. Pos lain kami hilangkan, karena kalau hanya membagi dari pos ekonomi kerakyatan hanya tersedia dana Rp 7. 000.000. Setiap Kepala Keluarga mendapat dana sebesar Rp 400.000. Kami sudah sarankan untuk setiap Kepala Keluarga menambah unit usaha baru namun saya yakin sebagian besar dana tersebut sudah digunakan untuk kepentingan konsumsi”. Menanggapi kegagalan PPK dalam mencapai sasaran, Petrus Petege dari LSM-Project Concern International (PCI) yang sedang melakukan pendampingan bidang kesehatan di Distik Uwapa, termasuk di Kampung Urumusu berkomentar sebagai berikut:
80
”PPK belum ada model pendampingan terpadu dan berkelanjutan sampai ke masyarakat kampung. Tidak ada usaha untuk memandirikan masyarakat. Masalah pokok yang dihadapi di jajaran Pemda yakni lingkaran pengambil keputusan di bawah Bupati belum sepenuhnya memahami pemperdayaan, partisipasi, penguatan kapasitas dan kemandirian masyarakat. Banyak penjabat yang menganggap bahwa pemberdayaan adalah memberikan uang kepada masyarakat. Akibatnya adalah Program Pemberdayaan Kampung (PPK) ini pun banyak salah sasaran. Seharusnya masyarakat harus diarahkankan untuk mendorong kemauan dan penyadaran, kemudian barulah pengetahuan dan ketrampilan. Mengajarkan masyarakat mengikuti proses hingga mencapai keberdayaan jauh lebih penting daripada mempraktekkan program pemberdayaan yang bernuasa politik namun tidak ada hasilnya. Program pemberdayaan dikatakan berhasil jika dapat merubah pola dan prilaku masyarakat secara terencana sehingga masyarakat yang konsumtif menjadi masyarakat yang produktif”.
Evaluasi Pencapaian Tujuan Program Pemberdayaan Kampung Evaluasi pencapaian program diukur menurut masing-masing point tujuan pelaksanaan Program Pemberdayaan Kampung adalah sebagai berikut:
Evaluasi Tujuan PPK Dalam Meningkatkan Peranserta Masyarakat. Tujuan meningkatkan peranserta masyarakat terutama kelompok miskin dan perempuan
dalam
pengambilan
keputusan
perencanaan,
pelaksanaan,
pemantauan, pemanfaatan dan pelestarian pembangunan tidak tercapai dalam realisasi program ini. Bukti kegagalan pencapaian tujuan ini terlihat jelas dari tahapan proses perencanaan dimana tidak dilaksanakannya proses-proses yang seharusnya dilalui seperti: 1) Musyawarah Rencana Pembangunan
Kampung
secara partisipatif; 2) Badan Permusyawatan Kampung (BPK) lewat Lembaga Kemasyarakatan tidak melaksanakan tugas dan fungsinya dalam menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada kepala kampung; 3) Kepala Kampung tidak pernah menyusun rancangan APB Kampung secara partisipatif; dan 4) Kepala Kampung bersama BPK tidak pernah menetapkan APB Kampung melalui Peraturan Kampung. Sedangkan pada tahapan proses pengawasan dapat dilihat dari tidak terlaksananya proses seperti:1) BPK bersama masyarakat tidak diberikan ruang untuk mengawasi pelaksanaan dan evaluasi pelaksanaan PPK; 2) Kepala Kampung
tidak
pernah
mempertanggungjawabkan
penyelenggaraan
pemerintahan kepada Bupati dan kepada BPK dalam musyawarah BPK dan
81
3) BPK tidak pernah memanfaatkan haknya dalam mengajukan pertanyaan, mengajukan usul dan pendapat.
Evaluasi Tujuan PPK Dalam Pelembagaan Pengelolaan Sumber Daya Lokal Tujuan PPK dalam melembagakan pengelolaan pembangunan secara partisipatif dengan mendayagunakan sumber daya lokal yang telah dirintis PPD tidak tercapai karena dana belum adanya peningkatan pendapatan, penambahan unit usaha baru serta belum teratasinya masalah hama dan penyakit yang menyerang kakao sebagai sumber pendapatan utama masyarakat kampung. Selain itu belum ada penambahan unit usaha ekonomi produktif milik kampung.
Evaluasi Tujuan PPK Dalam Pengembangan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Yang Berkelanjutan Tujuan
pengembangan
kapasitas
Pemerintahan
Kampung
dalam
penyelenggaran tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang berkelanjutan tidak tercapai karena: a. Pemerintah Kampung tidak dapat mengotimalkan pelaksanaan kewenangan teknis Kampung untuk mengsingkronisasikan dengan visi, misi dan Rencana Strategi Pembangunan Kabupaten. b. Tidak tercapai usaha peningkatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung melalui optimalisasi ketatalaksanaan adminitrasi dan pengembangan budaya organisasi pada Pemerintahan Kampung Urumusu. c. Tidak tercapai usaha peningkatan kapasitas SDM aparat pemerintahan dan masyarakat kampung karena pelaksanaan PPK tidak menjadi sarana proses belajar kepemimpinan dan pengorganisasian masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan bagi aparat kampung dan masyarakat di kampung. d. Tidak
dapat
mengoptimalkan
penerimaan
dan
pengelolaan
keuangan
kampung melalui pelaksanaan PPK untuk mengatasi kebutuhan nyata masyarakat, penyempurnaan manajemen keuangan, penyempurnaan sistem penganggaran serta melaksanakan pertanggungjawaban keuangan kampung. e. Tidak
dapat
mengoptimalkan
pelaksanaan
PPK
untuk
meningkatkan
ketersedian sarana dan prasarana pemerintahan kampung dalam rangka menunjang Urumusu.
pelayanan
kepada
multi-pihak
(stakeholders)
di
Kampung
82
f.
Tidak dapat meningkatkan efektivitas fungsi perencanaan, melalui proses Musrenbang dan APB Kampung secara partisipatif serta mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung (LPMK) dan lembaga kemasyarakatan lainnya sebagai lembaga perencana dan pelaksana dalam kegiatan PPK.
g. Tidak
mengalami
peningkatan
efektivitas
fungsi
pengawasan
Pemda
Kabupaten Nabire, masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan di kampung dalam pelaksanaan PPK. h. Tidak mengalami peningkatan kualitas ketatalaksanaan dan ketatausahaan administrasi kampung melalui pelaksanaan PPK. i.
Tidak
dapat
mengoptimalkan
fungsi
artikulasi
dan
agregasi
Badan
Permusyawaratan Kampung (BPK) sebagai lembaga permusyawaratan yang bertugas menggali, menyaring, menampung, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam pelaksanaan PPK kepada pemerintah kampung. j.
Tidak
dapat
mengoptimalkan
fungsi
legislasi
BPK
sebagai
unsur
penyelenggara pemerintahan kampung, seperti membahas dan menetapkan berbagai Peraturan Kampung yang berhubungan dengan PPK bersama Kepala Kampung.
Evaluasi Tujuan PPK Dalam Penyediaan Sarana dan Prasarana Ekonomi serta Sarana dan Prasarana Sosial Dasar. Tujuan PPK untuk menyediakan sarana dan prasarana sosial dasar serta ekonomi yang diprioritaskan oleh masyarakat melalui pelaksanaan PPK tidak terlaksana karena 89 persen dana PPK digunakan untuk membagi secara tunai untuk kepentingan pengembangan ekonomi kerakyatan dengan mengorbankan penyediaan kebutuhan sarana sosial lainnya.
Evaluasi Tujuan PPK Dalam Melembagakan Pengelolaan Keuangan Mikro Tujuan PPK dalam melembagakan pengelolaan keuangan mikro dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat miskin tidak tercapai karena tidak terbentuk Unit Pengelola Keuangan atau Unit Pengelola Kegiatan (UPK) yang diharapan adanya pengelolaan dana bergulir. Menanggapi kegagalan pencapaian tujuan PPK, mantan Fasilitator PPD Distik Uwapa, Frids Agapa mengatakan bahwa:
83
”Saya dan masyarakat, khususnya masyarakat Kampung Urumusu tidak berdaya menghadapi pola-pola pemberdayaan yang dilakukan setahun sebelumnya sudah mengajarkan cara perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pemanfaatan dan pemeliharaan secara partisipatif. Namun hal ini tidak perlu dipersalahkan kepada masyarakat karena pengalaman saya, masyarakat di kampung-kampung, termasuk aparat kampung, sangat patuh kepada pemerintah. Dengan demikian, yang salah adalah yang mengarahan, yakni BPMK. Kasus kehilangan di beberapa distrik, sudah diketahui oleh aparat kampung sehingga Pemerintah Kabupaten Nabire ikut merusak mentalitas aparat kampung yang lugu dengan tindakan-tindakan tidak terpuji yang diperlihatkan di depan mata aparat dan masyarakat kampung. Dari sistem yang dikembangkan, saya melihat bahwa ada pembiaran dan malahan diajari bertumbuhnya mental korupsi di tingkat aparat kampung. Sebernarnya hal yang paling penting adalah mengubah mentalitas konsumtif orang Papua, termasuk masyarakat di Kampung Urumusu melalui proses yang memberdayakan. Segalanya sudah disiapkan oleh alam. Kami dimanjakan oleh sumber daya alam yang berlimpah. Alam Papua yang serba tersedia, kami terbiasa berpikir untuk makan hari ini. Mentalitas ini sangat berpengaruh terhadap semua program pemberdayaan. Seharusnya Pemda sebagai yang empunya program hanya ikut mendampingi dan memberikan tools bukan ikut mengambil kabijakan yang bersifat teknis. Biarlah masyarakat yang menetapkan program yang sesuai kebutuhannya. Inikan hal teknis. Kita memberikan kail untuk mencari ikan, kita tidak memberdayakan jika kita hanya memberikan ikan. Program pemberdayaan seperti ini tetap dipertahankan maka tidak menutup kemungkinan menciptakan masyakakat bermental pengemis. Kerena keinginan hati ingin menolong masyarakat miskin malahan akan kehilangan kreasi untuk mempertahan hidup dan menjadi tidak berdaya. Kalau sudah tidak berdaya, maka selanjutnya akan selalu mengharapkan bantuan dari Pemerintah ”.
Evaluasi Realisasi Siklus Pelaksanaan PPK Pelaksanaan program PPK mengikuti 13 (tiga belas) tahap kegiatan namun pada kenyataan tidak terrealisasi. Hal ini menggindikasikan bahwa masyarakat kampung kehilangan kesempatan untuk membangun demokrasi dalam kehidupan bermasyarakat, khususnya dalam mengatasi masalah sosial dikampungnya secara demokratis. Menanggapi kegagalan menerapkan siklus pelaksanaan PPK, Kepala Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kabupaten Nabire, Thomas Tigi mengatakan bahwa: Pada tingkat Distrik sudah kami mengatakan tentang perubahan paradigma perencanaan bahwa perencanaan dimulai dari bawah. Tetapi jajaran di distrik belum menyesuaikan diri dengan paradigma baru tersebut. Masalah yang dihadapi dalam hal penerapan PPK adalah kemampuan SDM pada kantor distrik dan Kampung. Kebijakan Bupati cukup tepat, implementasinya yang perlu dibina lebih lanjut. Selain masalah SDM di tingkat kampung dan distrik, masalah lain yang tidak kalah pentingnnya adalah kurang adanya kerjasama antar instansi terkait, yakni Bappeda, Kantor Pemberdayaan Masyarakat Kampung, Bagian Keuangan Setda dan Kantor Distrik. Kita jalan
84
masing-masing dengan kepentingannya sendiri-sendiri. Program Pemberdayaan Kampung yang dilakukan di Kabupaten Nabire, saya menilai baik tapi belum ada koordinasi yang baik antar instansi teknis.
Evaluasi PPK Terhadap Pengembangan Ekonomi Lokal
Evaluasi Dampak PPK Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Masyarakat. Peningkatan Pendapatan Keluarga secara berkelanjutan dan pertumbuhan ekonomi masyarakat tidak begitu nampak kerena pembagian dana PPK diperkirakan digunakan untuk konsumsi. Dampak
yang ditimbulkan dari
keputusan di atas adalah antara lain: 1. Hilangnya kesempatan mengakumulai modal usaha secara kolektif dan hilangnya sarana mengakses modal secara berkelanjutan. 2. Hilangnya kesempatan menambah unit usaha baru (investasi) maupun perawatan dan perluasan unit usaha yang lama. 3. Tingkat produksi tanaman kakao terus mengalami penurunan karena tidak dapat membelanjakan obat hama dan penyakit serta pembersihan lahan kakao melalui bantuan dana PPK. Menanggapi adanya anggapan bahwa PPK tidak memberikan dampak positif terhadap pengembangan ekonomi lokal, menurut Kepala Distrik Uwapa, Yunus Wenda, bahwa: ”Saya melihat penyelewengan dana dalam jumlah yang tidak banyak tetapi proyek salah sasaran jauh lebih banyak. Masalah pokok yang dihadapi dalam pelaksanaan PPK ialah minimnya kualitas SDM aparat pemerintahan kampung yang berdampak pada pengelolaan dana PPK, pertanggungjawaban administrasi dan pelaporan penggunaan dana. Setiap usaha transformasi, termasuk PPK menjalani tahap perkembangan, mulai dari pengenalan, penerapan, pembelajaran dari pengalaman, pengambilan keputusan untuk perbaikan. Menurut saya Program PPK baru memasuki tahap pengenalan. Saya kurang setuju kalau dikatakan bahwa PPK tidak berhasil. Ini merupakan tahun pertama dan tahun pengenalan. PPK harus diadakan secara berkelanjutan. Masyarakat dan pemerintah akan memperbaikinya dari kesalahan”.
85
Evaluasi Modal Sosial dan Pengorganisasian Masyarakat Kampung Urumusu Dalam PPK Lemahnya kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya sendiri dalam PPK adalah cerminan lemahnya modal sosial untuk mengatasi masalah sosial secara kolektif. Lemahnya modal sosial seperti lemahnya nilai dan norma, tidak saling percaya, kelemahan dalam membangun jaringan secara vertikal dan horizontal mempunyai kontribisi besar dalam kegagalan program PPK di Kampung Urumusu. Kelemahan kapasitas modal sosial ini terkoreksi di dalam aktualisasi dari lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada seperti PKK, Pos Yandu, Kelompok Tani, Organisasi Kepemudaan, Keagamaan dan Pemerintahan Kampung. Kelemahan kapasitas modal sosial ini mengakibatkan ketidakmampuan dalam mengambil keputusan secara kolektif dan demokratis pada saat menghadapi masalah seperti yang terjadi pada pelaksanaan PPK. Lembagalembaga kemasyarakatan yang menaungi dan mengkoordinir masyarakat pun kurang
berwibawa.
PPK
merupakan
peluang
yang
tersia-siakan
untuk
memperkuat kembali kualitas modal sosial pada multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu yang mulai menurun. Lemahnya kapasitas multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dalam mengorganisir
dirinya
sendiri,
tidak
terlepas
dari
lemahnya
kapasitas
kepemimpinan. Kepala Kampung sebagai kepala pemerintahan dan juga sebagai pembina
lembaga-lembaga
kemasyarakan
di
kampung
belum
mampu
mengaktualisasi dirinya sebagai pemimpin yang baik. Beberapa indikator lain yang menjadi ukuran bahwa kapasitas kepemimpin Kepala Kampung masih lemah dalam pelaksanan PPK adalah: 1. Kurang mampu mengamankan kebijakan daerah (perintah atasan). Realisasi PPK, khususnya dalam pembagian dana menurut bidang-bidang tertentu tidak direalisasikan sesuai Petunjuk Pelaksanaan PPK dari Bupati. Hal ini sebagai bukti ketidakmampuan mengambil kebijakan teknis berdasarkan petunjuk
Bupati.
Akibatnya
adalah
kekegagalan
menerapakan
prinsip
mengutamakan yang terabaikan (keberpihakan), seperti fakir miskin, cacat fisik permanen, janda dan jompo miskin dan penyandan masalah sosial lainnya. 2. Kurang mampu berpikir realitis, inisiatif dan kreatif. Kejanggalan berawal dari ketidakpatutan BPMK Kabupaten Nabire dalam merealisasikan PPK sesuai dengan kontrak kerjasama di antara Bupati Nabire
86
dan PPD Papua. Namun demikian Kepala Kampung kurang berinisiatif dalam meminta saran dan pendapat kepada koodinator PPD Distrik Uwapa. Selain itu kurang realistis dan kurang kreatif dalam menterjemahkan tujuan pelaksanaan PPK. Dengan demikian ia tidak dapat mengaktualisasikan dirinya menjadi agen pembahuruan dan agen pembangunan yang baik. 3. Kurang mampu membangun tim kerja. Realisasi PPK di Kampung Urumusu tidak dilaksanakan atau dikoordinir oleh satu tim kerja yang solit. Pembagian tugas dan tanggung jawab yang kurang jelas. Hal ini ini berhubungan erat dengan kurangnya intensitas rapat aparat kampung sendiri maupun dengan multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu untuk melaksanakan koordinasi kerja. Dengan demikian Kepala Kampung tidak dapat menjadi komunikator, fasilitator dan penasehat yang baik dalam mengoptimalkan hasil dari PPK. 4. Kurang Percaya Diri. Kurangnya rasa percaya diri pada Kepala Kampung telah membuatnya menjadi pemimpin yang selalu tidak tegas dan ragu-ragu dalam setiap pengambilan keputusan. Selain itu ia tidak dapat mengkoordinir dan mengarahkan multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dengan penuh wibawah sebagai seorang pemimpin.
Rangkuman Evaluasi PPK di Kampung Urumusu Program PPK dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten Nabire bekerjasama dengan PPD Papua pada tahun 2005. Kampung Urumusu menjadi salah satu lokasi sasaran program PPK. Secara konsepsi Program Pemberdayaan Kampung (PPK) mengandung pengertian suatu gerakan yang tumbuh dari, oleh dan untuk masyarakat, tetapi dalam pelaksanaannya belum menerapkan prinsip-prinsip pengembangan masyarakat secara optimal. Pelaksanaan PPK yang tidak demokratis, tidak prosedural dan tidak terorganisir sehingga telah memberikan kontribusi yang besar dalam kekegagalan program PPK di Kampung Urumusu. PPK menjadi program yang sia-sia jika diukur menurut tujuan yang ingin dicapai, artinya PPK tidak membawa dampak yang berarti bagi pengembangan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan, memperkuat modal sosial serta penguatan kelembagaan pemerintahan dan lembaga kemasyarakatan di kampung.
87
Dampak
PPK
terhadap
pengembangan
ekonomi
kerakyatan
yang
berkelanjutan tidak tercapai dana yang dikucurkan Pemda menjadi sia-sia karena: 1)
Multi-pihak
di
Kampung
Urumusu
telah
kehilangan
kesempatan
mengakumulasikan modal usaha secara kolektif dan hilangnya sarana mengakses modal secara berkelanjutan; 2) multi-pihak di Kampung Urumusu telah kehilangan kesempatan menambah unit usaha baru (investasi) maupun perawatan dan perluasan unit usaha yang lama; dan 3) multi-pihak di Kampung Urumusu telah kehilangan kesempatan mengatasi masalah hama dan penyakit kakao melalui bantuan dana PPK. Begitupun halnya dengan pengembangan modal sosial tidak tercapai karena lemahnya kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya sendiri dalam PPK. Hal ini juga merupakan cerminan lemahnya modal sosial untuk mengatasi masalah sosial secara kolektif. Lemahnya modal sosial seperti lemahnya nilai dan norma, tidak saling percaya, kelemahan dalam membangun jaringan secara vertikal dan horizontal mempunyai kontribisi besar dalam kegagalan program PPK di Kampung Urumusu.
PPK
menjadi peluang
yang
tersia-siakan
untuk
memperkuat kembali kualitas modal sosial yang mulai menurun. Secara politik adanya indikasi proses pembiaran dan pembodohan karena multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu kehilangan kesempatan belajar mengatasi masalah secara mandiri serta PPK telah mengabaikan roh (prinsip) dari konsep pemberdayaan, yakni keberpihakan pada peningkatan kualitas hidup, keterbukaan
(transparansi),
keterlibatan
aktif
dalam
berbagai
kegiatan
(partisipasi), bersaing secara baik (kompetisi sehat atau demokrasi), pembagian wewenang dan tanggung jawab (desentralisasi), pertanggungjawaban pekerjaan (akuntabilitas) dan keberlanjutan (pelestarian) sehingga pengembangan kapasitas pemerintahan, lembaga kemasyarakatan dan masyarakat kampung tidak tercapai. Kepentingan penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung juga tidak tercapai karena: 1) Pemerintah Kampung tidak dapat mengotimalkan kewenangan teknisnya untuk mengsingkronisasikan dengan visi, misi dan Rencana Strategi Pembangunan Kabupaten, 2) Tidak tercapai usaha peningkatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung melalui optimalisasi ketatalaksanaan adminitrasi dan pengembangan budaya organisasi pada pemerintahan kampung; 3) Tidak tercapai usaha peningkatan kapasitas SDM aparat pemerintahan dan masyarakat kampung karena pelaksanaan PPK tidak menjadi sarana proses belajar kepemimpinan bagi aparat kampung dan masyarakat di kampung; 4) Tidak
88
dapat mengoptimalkan penerimaan dan pengelolaan keuangan kampung melalui pelaksanaan PPK untuk mengatasi kebutuhan nyata masyarakat, penyempurnaan manajemen melaksanakan
keuangan,
penyempurnaan
pertanggungjawaban
sistem
keuangan
penganggaran
kampung;
5)
Tidak
serta dapat
mengoptimalkan pelaksanaan PPK untuk meningkatkan ketersediaan sarana dan prasarana pemerintahan kampung dalam rangka menunjang pelayanan kepada masyarakat; 6) Tidak dapat meningkatkan efektivitas fungsi perencanaan, melalui proses Musrenbang dan APB Kampung secara partisipatif serta mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung (LPMK) dan lembaga kemasyarakatan lainnya sebagai lembaga perencana dan pelaksana dalam kegiatan PPK; 7) Tidak mengalami peningkatan efektivitas fungsi pengawasan Pemda Kabupaten Nabire, dan multi-pihak di Kampung Urumusu dalam
pelaksanaan
PPK;
8)
Tidak
mengalami
peningkatan
kualitas
ketatalaksanaan dan ketatausahaan administrasi kampung (pelayanan publik) melalui pelaksanaan PPK; 9) Tidak dapat mengoptimalkan fungsi artikulasi dan agregasi BPK sebagai lembaga permusyawaratan yang bertugas menggali, menyaring, menampung, merumuskan dan menyalurkan aspirasi multi-pihak di Kampung Urumusu dalam pelaksanaan PPK kepada pemerintah kampung; dan 10) Tidak dapat mengoptimalkan fungsi legislasi Badan Permusyawaran Kampung sebagai unsur penyelenggara pemerintahan kampung, seperti merancang, membahas dan menetapkan berbagai Peraturan Kampung yang berhubungan dengan PPK bersama kepala kampung.
ANALISA KONDISI KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG URUMUSU
Melalui uraian peta sosial Kampung Urumusu dan evaluasi program PPK tergambar bahwa adanya ketidakmampuan Pemerintahan Kampung, yakni pemerintah kampung dan Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) dalam mengatasi masalah ketidakberdayaan multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu bidang ekonomi, sosial dan politik sehingga pengentasan hama dan penyakit kakao sebagai komoditi utama dan masalah sosial lainnya di Kampung Urumusu belum teratasi hingga saat ini. Oleh sebab itu, melalui analisis ini akan menganalisa faktor-faktor yang menjadi tolok ukur kekuatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung antara lain; 1) aspek Pemerintah Kampung meliputi kapasitas kewenangan, kapasitas keorganisasian, kapasitas personil (aparat), kapasitas
keuangan,
kapasitas
sarana
dan
prasarana,
kapasitas
fungsi
perencanaan, kapasitas fungsi pengawasan, kapasitas fungsi pendokumentasian dan 2) aspek Badan Pemberdayaan Kampung meliputi kapasitas fungsi artikulasi, agregasi dan legislasi. Masing-masing tolok ukur dapat dianalisa sebagai berikut:
Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu Dari Aspek Pemerintah Kampung
Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintah Kampung Urumusu Bidang Kewenangan Kapasitas
kewenangan
Pemerintah
Kampung
Urumusu
dalam
menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sangat lemah. Kelemahan kapasitas kewenangan ini sebagai akibat dari Pemerintah Kampung Urumusu tidak diberikan kewenangan delegatif dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, urusan pembangunan dan urusan kemasyarakatan dari Pemerintah Kabupaten Nabite melalui Surat Keputusan Bupati sebagai peraturan pelaksana atas desentralisasi fiskal (keuangan), desentralisasi
administratif
(pelayanan
publik)
dan
desentralisasi
politik
(pengambilan keputusan) kepada Kampung sehingga tidak tercapai esensi dari adanya otonomi daerah, yaitu: 1) secara filosofis adalah mendorong terciptanya ”keanekaragaman dalam kesatuan”; 2) secara politik adalah mendorong
90
terciptanya demokratisasi, pemerataan dan keadilan; 3) secara ekonomi adalah meningkatkan daya saing daerah dalam menghadapi persaingan global melalui pemberdayaan masyarakat; 4) secara administrasi adalah mendorong terciptanya efektifitas dan efisiensi dengan mendekatkan pelayanan publik pada masyarakat sebagai fokus utama untuk mencapai hasil akhir berupa kesejahteraan multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu. Dengan demikian pemerintah kampung kehilangan proses belajar masyarakat untuk penguatan kapasitas. Beberapa kapasitas kewenangan yang hilang tersebut antara lain: 1) kapasitas kewenangan regulasi, yakni pengaturan di bidang urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan;
2)
kapasitas
kewenangan
ekstraksi
yakni
kapasitas
mengoptimalkan aset desa untuk memenuhi kebutuhan multi-pihak di Kampung Urumusu; 3) kapasitas kewenangan distributif, yakni kapasitas menjaga keseimbangan dan keadilan dalam distribusi sumber daya bagi multi-pihak di Kampung Urumusu; 4) kapasitas responsif, yaitu kemampuan daya tanggap terhadap kebutuhan multi-pihak di Kampung Urumusu; dan 5) kapasitas jejaring, yakni kemampuan membangun hubungan baik vertikal maupun horizontal untuk mendorong percepatan pembangunan. Pemerintah Kabupaten Nabite tidak memberikan kewenangan delegatif berupa desentralisasi fiskal, desentralisasi admnistratif dan desentralisasi politik kepada Pemerintah Kampung yang dipraktekkan melalui sistem hukum atau proses-proses kebijakan publik, yakni pada aras proses isi atau naskah, tata laksana dan budaya dari kebijakan publik, seperti: 1. Tiga belas buah Perda Kabupaten Nabire tentang Pemerintahan Kampung yang berlaku sejak tahun 2001-2007, tidak satupun di antara Perda-Perda tersebut yang mengatur tentang penyerahan kewenangan kepada Kampung sehingga Bupati tidak pernah menyerahkan kewenangan kepada kampung melalui Surat Keputusan Bupati tentang penyerahan kewenangan. PerdaPerda tersebut dibuat berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1999 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa sehingga posisi kewenangan desa sudah dilemahkan oleh peraturan perundangundangan yang lebih tinggi dari Perda. Melalui produk hukum yang lebih tinggi dari
Perda
tersebut,
desa
diberikan
kewenangan
sebagai
berikut:
1) kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa; 2) kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum
91
dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah; dan 3) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Namun kewenangan Kampung untuk mengatur dan mengurusi kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul desa dan kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan belum dilaksanakan oleh Daerah dan Pemerintah tidak dapat diimplementasikan oleh Daerah dan Pemerintah karena kewenangan atribut tersebut kurang jelas rumusannya dan tidak dirinci batang tubuh maupun penjelasan dalam peraturan perundang-undangan yang telah disebutkan di atas. Sedangkan tugas pembantuan mulai dilaksanakan sejak tahun 2005. Dengan demikian, 13 Perda tersebut hanya sekedar memenuhi kewajiban administrarasi negara karena pada kenyataannya tidak memberikan dampak yang berarti bagi penyelenggaraan Pemerintahan Kampung dan penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. 2. Selain ketidakjelasan rumusan naskah, tata laksana dan budaya dari kebijakan publik tentang kewenangan yang telah diuraikan di atas tidak terlepas dari keinginan
Pemerintah
untuk
mempertahankan
status
quo
terhadap
Rekomendasi No 7, Tap MPR No IV/MPR-RI/2000 untuk memperkokoh kekuasaan di Desa. Melalui Tap MPR ini, telah merekomendasikan pelaksanaan otonomi bertingkat 3 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yakni Provinsi, Kabupaten/Kota dan Desa tidak dijabarkan ke dalam revisi naskah Undang-Undang Dasar 1945 sehingga berpengaruh terhadap muatan
naskah
Undang-Undang
Nomor
32
Tahun
2004
Tentang
Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa. Akibatnya adalah melalui peraturan perundang-undangan di atas, Kampung (desa) dimasukan ke dalam otonomi tingkat 2 yakni Kabupaten/Kota. Dengan demikian kewenangan Kampung bukanlah sebagai kewenangan atribut tetapi menjadi kewenangan delegatif. Dengan demikian, kewenangan kampung akan ada jika Pemerintah Kabupaten/Kota memberikan (melimpahkan) sebagian kewenangan kepada Kampung atas kewenangan yang telah diterima dari Pemerintah. Hal ini menunjukan bahwa keberpihakan setengah hati dalam membagi sebagian kewenangan kepada Pemerintahan Kampung dan mempraktekkan perilaku menikmati keuntungan dari lemahnya kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung oleh para elite birokrasi Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire.
92
3. Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire kurang fleksibel (kaku) dalam menyesuikan diri dengan perubahan peraturan perundang-undangan di tingkat pusat seperti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999, Kepmendagri Nomor 64 Tahun 1999, Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 dan lainnya. Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire juga kehilangan arah karena perubahan peraturanperundangan dalam jangka waktu yang singkat. Kondisi ini lebih memapankan Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire untuk mempertahankan status guo atas kekuasaan di kampung melalui sentralisasi kekuasaan di tingkat Pemerintahan Kabupaten.
Sementara
Pemerintahan
Kampung
tidak
dapat
menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan dengan berpedoman pada aturan yang baru di tingkat nasional yang merupakan hasil penyesuaian diri atas tuntutan perubahan masyarakat yang dinamis. Dengan demikian hingga saat ini Pemerintahan Kampung kehilangan berbagai kewenangan yang sudah diatur melalui peraturan perundangundangan yang telah disebutkan di atas, kecuali tugas pembantuan yang sudah mulai diterima sejak tahun 2005, seperti PPK yang menjadi bahan evaluasi oleh pengkaji. 4. Penyerahan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten/kota yang diserahkan pengaturannya kepada pemerintahan kampung melalui Pemerintah Daerah (Perda) Kabupaten Nabire Nomor 32 Tahun 2007 Tentang Pengaturan
Kewenangan
Kampung
dan
beberapa
Perda
lain
yang
berhubungan dengan penyelenggaraan kewenangan belum diberlakukan secara penuh karena masih pada tahap sosialisasi. Yang menjadi dasar hukum (konsiderans) Perda ini adalah Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan fiskal, administratif dan politik kepada Pemerintahan Kampung namun dapat diprediksikan bahwa Perda ini pun akan bernasib sama dengan Perda-perda sebelumnya mengingat beberapa pasal yang memungkinkan untuk tidak melakukan penyerahan kewenangan dan melakukan penarikan kembali kewenangan, seperti: a) pasal 5 ayat 1, yang memungkinkan
tidak
menyerahkan
kewenangan
dengan
pertimbangan
kemampuan personil Kampung, kemampuan keuangan daerah (APBD), efisiensi dan efektifitas; b) pasal 8 ayat 3, yang memungkinkan menarik kembali kewenangan dengan pertimbangan pelaksanaan kewenangan tidak
93
efektif selama 2 (dua) tahun sejak penyerahan kewenangan; c) pasal 10 ayat 2 dimana pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan kewenangan Kampung diserahkan kepada Distrik yang pada saat ini berada dalam kondisi ketidakberdayaan. 5. Kampung hingga saat ini belum menerima kewenangan delegatif, sehingga hanya dapat melaksanakan tugas pembantuan dan hibah dari Pemerintah, Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kabupaten namun kewenangan ini tidak dapat secara leluasa mengatasi seluruh masalah pembangunan di Kampung karena kewenangan melaksanakan tugas pembantuan hanyalah merupakan kewenangan teknis. Kewenangan penuh berada pada Pemerintah, Pemerintah Provinsi atau Pemerintah Kabupaten yang memberikan tugas pembantuan. Dampak yang ditimbulkan dari lemahnya kapasitas kewenangan fiskal, administrasi dan politik pada Pemerintah Kampung adalah Kampung tidak dapat secara
leluasa
melaksanakan
urusan
pemerintahan,
pembangunan
dan
kemasyarakatan seperti: membina lembaga kemasyarakatan, melaksanakan Musyawarah
Perencanaan
Pembangunan
(Musrenbang)
melaksanakan proses Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB)
Kampung, Kampung,
mengamankan aksi pencurian dan pengrusakan Sumber Daya Alam (SDA), membangun Badan Usaha Milik Kampung (BUMK), tidak dapat mengendalikan penduduk musiman (penambang emas rakyat), tidak dapat membangun hubungan kemitraan dengan pihak ke tiga dalam mengatasi masalah sosial dan lainnya. Efek yang ditimbulkan dari aspek ekonomi pada multi-pihak (stakeholders) dari kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang kewenangan adalah
multi-pihak
di
Kampung
Urumusu
kehilangan
kesempatan
mengembangkan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan seperti: 1) multi-pihak kehilangan kesempatan mengakumulasi modal usaha secara kolektif dan berkelanjutan untuk menjadi masyarakat produsen; 2) multi-pihak kehilangan kesempatan menambah unit usaha baru termasuk melakukan inovasi yang kreatif maupun perawatan dan perluasan unit usaha yang lama sebagai multiplier effect atas desentralisasi fiskal; 3) multi-pihak kehilangan kesempatan mengatasi masalah hama dan penyakit kakao serta menciptakan kelebihan (keunggulan) dari kekurangan yang dimilikinya; 4) multi-pihak kehilangan kesempatan belajar untuk membangun hubungan kemitraan (sejajar) dalam melaksanakan aktifitas ekonomi. Sedangkan efek yang ditimbulkan dari aspek sosial pada multi-pihak (stakeholders) di
Kampung Urumusu dari kondisi kapasitas tata kelola
94
pemerintahan kampung bidang bidang kewenangan adalah sebagai berikut: 1) multi-pihak kehilangan kesempatan mendapatkan pelayanan yang murah dan cepat (inefisiensi) akibat tidak terlaksananya desentralisasi administrasi; 2) multipihak kehilangan kesempatan untuk memperkuat dan mengembangkan modal sosial melalui peningkatan intensitas musyawarah (berkumpul dan berinteraksi) untuk mengatasi masalah sosial secara kolektif melalui pelaksanaan kewenangan fiskal, administrasi dan politik secara partisipatif aktif. Efek yang ditimbulkan dari aspek politik pada multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dari kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang kewenangan adalah: 1) multi-pihak kehilangan kesempatan belajar mengatasi masalah secara mandiri dan partisipatif melalui keputusan-keputusan yang penting bagi dirinya dan kemajuan kampungnya dalam proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, pemantafaatan dan pemeliharaan atas hasil-hasil pembangunan kampung; 2) multi-pihak di kampung tidak dapat memajukan demokrasi dalam pelaksanaan kewenangan fiskal, administratif dan politik dan terjadi proses pembodohan tersistematis melalui pembiaran yang pada akhirnya akan memapankan stigma bahwa masyarakat kampung adalah “orang bodoh” sehingga semua pengaturan diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten Nabire. Untuk lebih jelasnya melalui bagan 7 berikut ini menyajikan tentang kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang kewenangan dan efeknya terhadap multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu.
95
Bagan 7 : Kondisi Kapasitas Kewenangan Pemerintah Kampung Urumusu
Kapasitas Kewenangan Kampung Masih Lemah
Pemerintah Kampung Urumusu tidak diberikan kewenangan delegatif dari Pemerintah Kabupaten Nabite melalui Surat Keputusan Bupati sebagai peraturan pelaksana atas desentralisasi fiskal (keuangan), desentralisasi administratif (pelayanan publik) dan desentaralisasi politik (kewenangan) kepada Kampung
13 Perda tentang Kampung yang berlaku sejak tahun 2001-2007, tidak satupun yang mengatur tentang penyerahan kewenangan kepada Kampung sehingga Bupati tidak pernah menyerahkan kewenangan kepada kampung. Perda-Perda tersebut dibuat berdasarkan UU No. 22 Tahun 1999 dan Kepmendagri No. 64 Tahun 1999 yang tidak mengatur tentang penyerahan kewenangan kepada Kampung. Tugas pembantuan pun mulai dilaksanakan sejak tahun 2005. Alasan Pemda bahwa kehilangan arah akibat perubahan peraturan perundang-undangan dalam waktu singkat sehingga Perda tentang penyerahan kewenangan mulai ada sejak ditetapkannya Perda No. 32 Tahun 2007 Tentang Penyerahan Kewenangan Kepada Kampung namun saat ini masih pada tahap sosialisasi dan akan melaksanakan penyerahan kewenangan secara bertahap. Perda ini pun bisa bernasib sama dengan Perda-Perda sebelumnya karena Otonomi Kampung, sesuai UU No. 32 Tahun 2004, dimasukan ke dalam otonomi Kabupaten/Kota.
tidak dapat secara leluasa melaksanakan hal-hal sebagai berikut: membina lembaga kemasyarakat, melaksanakan Musrenbang Kampung, melaksanakan proses ABD Kampung, mengamankan aksi pencurian dan pengrusakan SDA, membangun BUMK, tidak dapat mengendalikan penduduk musiman (penambang emas rakyat), tidak dapat membangun hubungan kemitraan dengan pihak ke tiga dalam mengatasi masalah komunitas. Ketidakberdayaan multi-pihak (stakeholders) di bidang ekonomi, sosial dan politik. Pemda mempertahankan status quo terhadap Rekomendasi No 7, Tap MPR No IV/MPR-RI/2000 yang merekomendasi melaksanakan otonomi bertingkat III, UU No. 32 Tahun 2004 dan PP No. 72 Tahun 2005 sehingga Pemda tidak fleksibel terhadap perubahan peraturan perundang undangan tersebut yang mengatur tentang penyerahan kewenangan kepada kampung. Hal ini juga merupakan bukti keberpihakan setengah hati dalam memajukan pemerintahan dan masyarakat Kampung.
Sumber: hasil olahan data oleh Pengkaji
Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintah Kampung Urumusu Bidang Keorganisasian Kondisi kapasitas tata kelola Pemerintah Kampung Urumusu bidang keorganisasian
masih
lemah.
Kelemahan
kapasitas
tata
kelola
bidang
keorganisasian adalah sebagai akibat dari ketidakmampuan kepala dan aparat kampung dalam menata keorganisasian Kampung, mengoptimalkan tata laksana administrasi dan mengembangkan budaya kerja dalam tugas penyelenggaraan
96
urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan karena tidak didukung dengan pengetahuan yang cukup untuk menjalankan fungsi manajemen tata kelola pemerinathan kampung. Selain itu, kapasitas kepemimpinan Kepala Kampung sebagai kepala pemerintahan dan juga sebagai pembina lembagalembaga kemasyarakatan, kurang mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai pemimpin yang baik (visioner). Yang menjadi indikator lemahnya kapasitas kepemimpinan Kepala Kampung adalah: a) kurang mampu mengamankan kebijakan daerah (perintah atasan); b) kurang mampu berpikir realitis, inovatif dan kreatif; c) kurang mampu membangun tim kerja antara multi-pihak di Kampung Urumusu; dan d) kurang percaya diri. Berbagai pemerintahan
masalah bidang
ketidakmampuan
keorganisasian
dalam
adalah
penyelenggaran
merupakan
penyebab
tata dari
ketidakberpihakan Pemerintah Kabupaten Nabire terhadap pengutan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung yang dipraktekkan melalui sistem hukum atau proses-proses kebijakan publik, yakni pada aras proses isi atau naskah, tata laksana dan budaya dari kebijakan publik, seperti: 1. Kurang optimal dalam menjalankan kewajiban pembinaan dan pengawasan oleh kantor distrik sebagaimana diamanatkan pasal 102, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 sehingga tidak dapat membangun pola hubungan kerja antara Kepala Distrik dan Kepala Kampung, seperti: a) hubungan kerja fasilitatif, yaitu Kepala Distrik menjadi penghubung antara Kampung Urumusu dengan kebijakan Pemerintah Kabupaten Nabire; Contoh; Pelaksanaan Musrenbang Kampung dan APB Kampung untuk selanjutnya menyampaikan hasil pelaksanaan kepada Bupati dan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD); b) hubungan kerja koordinatif, yaitu Kepala Distrik mengkoordinasikan proses pembangunan bagi kampung-kampung yang ada di wilayahnya agar memenuhi
asas
sinkronisasi
dan
integrasi
dengan
arah
kebijakan
pembangunan Daerah, Contohnya: bekerjasama dengan kampung lain dalam tugas
penyelennggaraan
urusan
pemerintahan,
pembangunan
dan
kemasyarakatan; c) hubungan kerjasama (kemitraan), yaitu Kepala Distrik yang memimpin satuan unit pemerintahan bekerjasama dengan Kepala Kampung yang memimpin satu unit pemerintahan dimana kedudukan setara untuk mencapai tujuan bersama, contohnya kerjasama dengan kampung lain dan distrik dalam tugas-tugas pembantuan; dan d) hubungan pembinaan, yaitu Kepala Distrik melaksanakan fungsi pembinaan dan pengawasan terhadap
97
jalannya roda Pemerintahan Kampung sebagai usaha pembinaan bagi penguatan kapasitas ketatakelolaan Pemerintahan Kampung. 2. Kurang optimal dalam menjalankan kewajiban pembinaan dan pengawasan oleh pemerintahan supra desa sebagaimana diamanatkan pasal 98-102 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005. Dampak yang ditimbulkan adalah ketidakmampuan Pemerintahan Kampung dalam melaksanakan hal-hal sebagai berikut: a) menyusunan Peraturan Kampung dan Peraturan Kepala Kampung; b) menata administrasi pemerintahan kampung; c)
mengelola
keuangan
kampung
dan
mengoptimalkan
aset
kampung;
d) menegakkan peraturan perundang-undangan; e) melaksanakan tugas dan fungsi kepala kampung serta perangkat kampung; f) membantu dan mendampingi pelaksanaan tugas, fungsi dan kewajiban lembaga kemasyarakatan di tingkat kampung; g) memfasilitasi penyusunan perencanaan pembangunan secara partisipatif; h) membangun kerjasama dengan kampung lain dan kampung bekerjasama dengan pihak ketiga; i) melaksanaan usaha pemberdayaan masyarakat;
j)
membangun
kerjasama
(kemitraan)
dengan
lembaga
kemasyarakatan dan lembaga kemasyarakatan dengan pihak ketiga; dan k) membangun hubungan koordinasi dan kemitraan dengan unit kerja Pemerintah Daerah dalam pengembangan lembaga kemasyarakatan; l) mengembangkan komoditi kakao sebagai basis atau usaha ekonomi unggulan dan pengembangan potensi-potensi ekonomi lokal lainnya; serta m) menginventarisasi potensi sosial, masalah sosial dan potensi ekonomi; Keterbatasan pembinaan selama ini, Kepalaa Kanpung dan Aparat Kampung dalam memimpin dan menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di Kampung Urumusu dilaksanakan sesuai dengan pengalaman, meminta petunjuk secara lisan ke Kantor Distrik atau BPMK serta menggunakan buku-buku petunjuk tentang penyelenggaraan pemerintahan kampung yang pernah didapatkan pada tahun 1980-an bukan berdasarkan Perda Kabupaten Nabire Nomor 04 Tahun 2001 dan peraturan perundangan yang berlaku (terbaru). efek yang ditimbulkan pada multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dari tugas penyelenggaraan tata pemerintahan kampung bidang keorganisasian adalah multi-pihak kehilangan kesempatan mengkaderkan caloncalon pemimpin yang visioner, berbakat dan berkemampuan dalam menciptakan prinsip Total Quality Governance (TQG) dan Good Covernance dalam tata kelola
98
pemerintahan kampung sehingga lebih memapankan ketidakberdayaan multipihak. Ketidakberdayaan multi-pihak di Kampung dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda seperti: 1) secara filosofis adalah tidak terciptanya kondisi yang kondusif untuk mendorong berkembangnya ”keanekaragaman dalam kesatuan” melalui pemikiran-pemikiran yang inovatif dari multi-pihak di Kampung Urumusu dalam rangka memperkaya konsep pemberdayaan; 2) secara politik adalah tidak terciptanya kondisi yang kondusif untuk mendorong demokratisasi, pemerataan dan keadilan bagi multi-pihak; 3) secara ekonomi adalah tidak terciptanya kondisi yang kondusif untuk meningkatkan daya saing daerah dalam menghadapi persaingan global melalui pemberdayaan multi-pihak di Kampung Urumusu; 4) secara sosial adalah tidak terciptanya kondisi yang kondusif untuk mendorong usaha-usaha pengembangan modal sosial dan jejaring; 5) secara hukum adalah tidak terciptanya kondisi yang kondusif untuk kepastian keamanan dari pelayanan yang didapatkan multi-pihak; dan 6) secara administrasi adalah tidak terciptanya kondisi yang kondusif untuk mendorong terciptanya efektifitas dan efisiensi melalui usaha mendekatkan pelayanan publik pada multi-pihak di Kampung Urumusu sebagai fokus utama untuk mencapai hasil akhir berupa kesejahteraan dan keadilan. Kondisi inilah yang memapankan ketidakberdayaan multi-pihak di Kampung Urumusu bidang ekonomi, sosial dan politik. Untuk lebih jelasnya melalui bagan 8 berikut ini menyajikan tentang kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang keorganisasian dan efeknya terhadap multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu.
99
Bagan 8: Kondisi Kapasitas Keorganisasian Kampung Urumusu
Kepala dan aparat kampung kurang mampu menata keorganisasian Kampung, mengoptimalkan tatalaksana administrasi dan mengembangkan budaya kerja karena tidak didukung dengan pengetahuan yang cukup untuk menjalan-kan fungsi manajemen Kampung Kapasitas kepemimpinan Kepala Kampung sebagai kepala pemerintahan dan juga sebagai pembina lembaga-lembaga kemasyarakatan, kurang mampu mengaktualisasikan dirinya sebagai pemimpin yang baik (visioner)
Kapasitas Keorganisasian Kampung Masih Lemah Kepala Distrik dan Kepala Kampung kurang efektif dalam membangun hubungan kerja koodinatif, kerjasama (kemitraan), pembinaan dan pengawasan, khususnya dalam melaksanakan 14 tugas fasilitatif Distrik dalam rangka pembinaan kepada Kampung sebagaimana diamanatkan dalam pasal 102, PP No. 72 Tahun 2005.
pemerintahan supra desa kurang efektif dalam melaksanakan kewajiban pembinaan dan pengawasan kepada Kampung sebagaimana diamatkan dalam pasal 98-102, PP 72 Tahun 2005.
Tidak dapat mengkaderkan calon-calon pemimpin yang visioner, berbakat dan berkemampuan dan tidak mendapatkan pelayanan yang prima seperti yang diisyaratkan dalam prinsip Total Quality Governance (TQG) dan Good governance dalam tata kelola pemerintahan kampung sehingga lebih memapankan ketidakberdayaan multi-pihak (stakeholders) komunitas di bidang ekonomi, sosial dan politik.
Sumber: hasil olahan data oleh Pengkaji
Pemerintahan Kampung tidak mampu melaksanakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, seperti: membina dan membentuk lembaga kemasyarakatan, mengamankan aksi pencurian dan pengrusakan SDA, membentuk BUMK, mengendalikan penduduk musiman (penambang emas rakyat), membangun hubungan kemitraan dengan pihak ke tiga, membina dan mengorganisir masyarakat secara optimal, membina perekonomian, kesehatan dan pendidikan dan lainya Pemerintahan Kampung tidak dapat melaksanakan fungsi manajemen organisasi pemerintah seperti: melaksanakan fungsi perencanaan (proses Musrenbang; ABD Kampung), fungsi pengorganisasian, fungsi pengawasan dan evaluasi, fungsi pendokumentasian (administrasi), serta fungsi artikulasi, agregasi dan legislasi. Kapasitas kepemimpin Kepala Kampung tetap lemah sehingga kurang mampu mengamankan kebijakan daerah (perintah atasan), kurang mampu berpikir realitis, inovatif dan kreatif, kurang mampu membangun tim kerja dan kurang percaya diri.
100
Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola
Pemerintah Kampung Urumusu
Bidang Personil Kapasitas personil aparat kampung masih lemah. Lemahnya kapasitas personil aparat kampung adalah sebagai akibat dari hal-hal sebagai berikut: 1) Aparat Pemerintahan Kampung Urumusu tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya; 2) Aparat dan Kepala Kampung Urumusu kurang mamahami tugas dan fungsinya masing-masing; 3) Aparat dan Kepala Kampung Urumusu kurang mampu melaksanakan fungsi manajemen Kampung; dan 4) Aparat dan Kepala Kampung Urumusu sering lalai dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Lemahnya kapasitas personil aparat kampung di atas merupakan penyebab dari ketidakberpihakan Pemerintah Kabupaten terhadap pengutan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung yang dipraktekkan melalui sistem hukum atau proses-proses kebijakan publik, yakni pada aras proses isi atau naskah, tata laksana dan budaya dari kebijakan publik, seperti: 1. Sosialisasi atas Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 04 Tahun 2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa dilakukan di tingkat Distrik dan dihadiri sebagian mantan aparat pemerintahan kampung. 2. Pemerintah Daerah (Pemda) Kabupaten Nabire kaku (tidak fleksibel) dalam penyesuaian dengan perubahan peraturan perundangan seperti Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa dan peraturan perundangundangan lainnya sehingga tidak pernah melasanakan pelatihan, bimbingan dan pendampingan dari Pemda Kabupaten Nabire, khususnya Kantor Distrik secara berkelanjutan sebagai suatu kewajiban (kewenangan atribut) yang diamatkan melalui peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Pemda Kabupaten Nabire tidak pernah menyediakan buku petunjuk kerja seperti yang ditetapkan dalam Kepmendagri Nomor 32 Tahun 2006 Tentang Pedoman Administrasi Desa, Kepmendagri Nomor 04 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa, Kepmendagri Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa dan berbagai pedoman lainnya tentang pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing perangkat kampung. 4. Personil Kampung kurang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dalam melaksanakan tugasnya karena hanya Kepala Kampung dan Sekretaris Kampung sajalah yang berpendidikan SLTA sedangkan 8 orang staf lainnya
101
hanya
menamatkan
pendidikan
Sekolah
Dasar
namun
tidak
pernah
memberikan pelatihan keterampilan bekerja tentang pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing perangkat kampung; 5. Pemda Kabupaten Nabire tidak memotivasi bawahan melalui penghargaan bagi yang berprestasi dan memberikan sanksi bagi yang lalai dalam tugas. Dampak yang ditimbulkan pada personil aparat kampung dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan adalah antara lain: 1) kurang komitmen dan konsisten terhadap visi dan misi pembangunan Kabupaten Nabire; 2) kurang paham sehingga kurang efektif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan kebijakan daerah dan peraturan perundangan yang berlaku; 3) kurang memiliki rasa tanggung jawab; 4) kurang profesionalisme; 5) kurang memiliki kreativitas; 6) kurang miliki jiwa kepemimpinan dan keteladanan; 7) kurang komitmen dalam membangun kerjasama (kemitraan) dan membangun dinamika kelompok kerja; 8) kurang mampu menciptakan ketepatan dan kecepatan kerja; 9) kurang mampu dalam mengambil keputusan dan ketegasan; 10) kurang disiplin 11) kurangnya keberanian dan kearifan; 12) kurangnya dedikasi dan loyalitas kepada kepala kampung sebagai pemimpinnya; serta 13) kurang semangat dan motifasi bekerja. Efek yang ditimbulkan pada multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dari kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang kapasitas personil adalah multi-pihak di Kampung Urumusu kurang mendapatkan pelayanan secara optimal (prima) melalui penerapan prinsip Total Quality Gavernance dan good governance dalam tata kelola Pemerintahan Kampung seperti: 1) secara filosofis adalah tidak terciptanya ”keanekaragaman dalam kesatuan” melalui pemikiran-pemikiran yang inovatif dari aparat kampung dalam melaksanakan tugas sebagai pelayan publik; 2) secara politik adalah tidak mendorong terciptanya demokratisasi, pemerataan dan keadilan dalam proses pelayanan publik; 3) secara ekonomi adalah tidak dapat meningkatkan daya saing daerah dari tingkat kampung dalam menghadapi persaingan global melalui pelayanan administrasi
yang
mudah
dan
murah
bagi
multi-pihak
dan
mendorong
pengembangan kawasan; 4) secara sosial adalah multi-pihak di Kampung Urumusu tidak mendapatkan peluang untuk mendorong pengembangan modal sosial dan jejaring melalui penyelenggaraan tugas pelayanan publik dari aparat kampung; 5) secara hukum adalah tidak menciptakan kondisi kepastian (konsistensi) atas keamanan dari pelayanan yang didapatkan oleh multi-pihak; dan
102
6) secara administrasi adalah tidak terciptanya efektifitas dan efisiensi dengan mendekatkan pelayanan publik pada masyarakat sebagai fokus utama untuk mencapai hasil akhir berupa kesejahteraan masyarakat. Kondisi ini mendorong terciptanya ketidakberdayaan multi-pihak di bidang ekonomi, sosial dan politik. Untuk lebih jelasnya melalui bagan 9 berikut ini menyajikan tentang kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang kapasitas personil pada Pemerintahan Kampung Urumusu dan efeknya terhadap multi-pihak. Bagan 9: Kondisi kapasitas personil Pemerintahan Kampung Urumusu
Aparat Pemerintahan Kampung Urumusu tidak memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Aparat dan Kepala Kampung Urumusu kurang mamahami tugas dan fungsinya masing-masing. Aparat dan Kepala Kampung Urumusu kurang mampu melaksanakan fungsi manajemen Kampung Aparat dan Kepala Kampung Urumusu sering lalai dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
Kapasitas Personil Kampung Masih Lemah Pemerintahan supra desa kurang efektif dalam melaksanakan kewajiban pembinaan dan pengawasan kepada Kampung sebagaimana diamatkan dalam pasal 98-102, PP 72 Tahun 2005. Perda Kab. Nabire No. 04 Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Desa tidak disosialisasikan kepada seluruh aparat Kampung serta kurang fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan perubahan peraturan perundang undangan. Tidak pernah menyerahkan 3 urusan kewenangan selain tugas pembantuan untuk dapat dijadikan sebagai sarana proses belajar masyarakat Pemerintah Kabuapaten Nabire tidak pernah menyediakan bukubuku petunjuk kerja dari 3 Kaur dan 5 orang staf hanya berpendidikan menamatkan SD Pemerintah Kabupaten Nabire dan Kepala Kampung tidak pernah memotifasi bawahan seperti memberikan penghargaan kepada yang berprestasi, honor tidak diberikan perbulan (setahun sekali)
Sumber: hasil olahan data oleh Pengkaji
Aparat dan Kepala Kampung sering dipraktekkan hal-hal seperti 1) kurang komitmen dan konsisten terhadap visi dan misi pembangunan Kabupaten Nabire; 2) kurang memiliki rasa tanggung jawab; 3) kurang miliki jiwa kepemimpinan dan keteladanan; 4) kurang komitmen dalam membangun dinamika kelompok kerja; 5) kurang mampu menciptakan ketepatan dan kecepatan kerja; 6) kurang mampu dalam keteguhan dan ketegasan; 7) kurang disiplin dan membangun keteraturan kerja; 8) kurangnya keberanian dan kearifan; 9) kurangnya dedikasi dan loyalitas kepada kepala kampung sebagai pimpinannya; 10) kurang semangat dan motifasi dalam bekerja dan lainnya.
kurang optimal dalam menerapkan prinsip Total Quality Gavernance dan Good Govenance dalam tata kelola Pemerintahan Kampung sehingga multi-pihak (stakeholders) tidak berdaya di bidang ekonomi, sosial dan politik
103
Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola
Pemerintah Kampung Urumusu
Bidang Kapasitas Keuangan Pemerintah Kampung Urumusu tidak didukung kapasitas keuangan yang memadai. Lemahnya kondisi kapasitas keuangan kampung diakibatkan karena: 1) Pemerintah Kampung Urumusu tidak memiliki payung hukum (SK Bupati) untuk memobilisasi Pendapatan Kampung sehingga tidak melaksanakan proses APB Kampung dalam kurung waktu tahun 2001-2007; 2) Aparat Pemerintah Kampung Urumusu kurang memahami cara memobilisasi pendapatan Kampung melalui sumber-sumber pendapatan kampung; dan 3) Pemerintah Kampung Urumusu kehilangan hak-hak keuangan Kampung melalui desentralisasi fiskal
dalam
kurung waktu tahun 2004-2007. Lemahnya kondisi kapasitas keuangan kampung di atas adalah peyebab dari ketidakberpihakan Pemerintah Kabupaten terhadap pengutan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung yang dipraktekkan melalui sistem hukum atau prosesproses kebijakan publik, yakni pada aras proses isi atau naskah, tata laksana dan budaya dari kebijakan publik, seperti: 1. Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten Nabire Nomor 07 Tahun 2001 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa serta Perda Nomor 06 Tahun 2001 tentang Sumber Pendapatan Desa tidak disosialisasikan kepada seluruh aparat Kampung serta tidak pernah mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Bupati sebagai aturan pelaksana untuk memobilisasi dana melalui sumbersumber Pendapatan Kampung selain melalui tugas pembantuan. 2. Pemerintahan
supra
desa
tidak
pernah
melatih,
membimbing
mendampingi Kampung untuk memobilisasi sumber-sumber kampung, khususnya
Pendapatan Asli Kampung (PAK)
dan
pendapatan sebagaimana
diamanatkan dalam pasal 98-102, Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005. 3. Ketidakpastian jumlah anggaran melalui tugas pembantuan, hibah dan sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat yang diterima oleh Kampung pada setiap tahun anggaran serta Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun
2001
Tentang
Penyelengggaraan
Tugas
Pembantuan
tidak
disingkronisasikan dengan Perda Kabupaten Nabire Nomor 07 Tahun 2001 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa serta Perda Nomor 06 Tahun
104
2001 tentang Sumber Pendapatan Desa yang berlaku selama tahun 2001 sampai tahun 2007; 4. Belum ada SK Bupati untuk pembentukan lembaga kemasyarakatan kampung yang dapat berperan memobilisasi dana melalui sumber-sumber pendapatan kampung seperti LPMK sebagaimana diamatkan Perda Nomor 12 Tahun 2001. 5. Pemda Kabupaten Nabire kurang fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan perubahan
peraturan
perundang
undangan
yang
memuat
tentang
desentralisasi fiskal bagi kampung seperti Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah serta Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 Tentang Penyelengggaraan Tugas Pembantuan, UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Dampak yang ditimbulkan dari rumusan isi naskah, tata laksana dan budaya kebijakan publik di atas terhadap kapasitas keuangan Kampung Urumusu adalah: 1. Kampung kehilangan kesempatan mendapakan hak-hak keuangan melalui desentralisasi fiskal melalui APBD Kabupaten Nabire, antara lain: a) Bagi hasil pajak Kabupaten minimal 10 % kepada Kampung tertentu; b) Bagi hasil retribusi Kabupaten minimal 10 % kepada Kampung tertentu; c) Alokasi dana perimbangan keuangan pusat dan daerah sebesar 10 % setelah dikurangi belanja aparatur kepada Kampung, yang terdiri dari: 1) Alokasi Dana Kampung (ADK), yakni Alokasi Dana Kampung Minimal (ADKM) dan Alokasi Dana Kampung Proporsional (ADKP); dan 2) Alokasi Dana Khusus (ADKK). 2. Kampung
kehilangan
kesempatan
memobillisasi
sumber
pendapatan
Kampung non desentralisasi fiskal seperti: a) Pendapatan Asli Kampung seperti hasil usaha kampung, hasil pengelolaan kekayaan kampung, hasil swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong dan lain-lain pendapatan asli kampung yang sah; b) Hibah dari perorangan/Orsos/Orpol dan lainnya; c) Sumbangan pihak ketiga; d) Bantuan keuangan kampung lain; dan d) Penerimaaan dari pembiayaan seperti Sisa Hasil Perhitungan Anggaran (SILPA) tahun sebelumnya, hasil penjualan kekayaan kampung yang dipisahkan dan pinjaman kampung. 3. Kampung kehilangan kesempatan belajar dalam memberdayakan masyarakat melalui politik anggaran yakni melalui proses APB Kampung.
105
Efek yang ditimbulkan dari aspek ekonomi pada multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dari kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang
kapasitas
keuangan
adalah
multi-pihak
di
kampung
kehilangan
kesempatan mengembangkan ekonomi kerakyatan yang berkelanjutan seperti: 1) multi-pihak kehilangan kesempatan mengakumulasi modal usaha secara kolektif dan berkelanjutan untuk menjadi masyarakat produsen; 2) multi-pihak kehilangan kesempatan menambah unit usaha baru melalui inovasi-inovasi yang kreatif maupun perluasan unit usaha yang lama akibat multiplier effect dari desentralisasi fiskal; 3) multi-pihak kehilangan kesempatan mengatasi masalah hama dan penyakit kakao serta menciptakan keunggulan dari kekurangan yang ada; dan 4) multi-pihak kehilangan kesempatan belajar untuk membangun hubungan kemitraan multi-pihak dalam melaksanakan aktifitas ekonomi. Sedangkan efek yang ditimbulkan dari aspek sosial pada multi-pihak (stakeholders) di
Kampung Urumusu dari kondisi kapasitas tata kelola
pemerintahan kampung bidang kapasitas keuangan adalah sebagai berikut: 1) multi-pihak kehilangan kesempatan mendapatkan pelayanan yang murah dan cepat (inefisiensi) karena tidak terlaksananya desentralisasi fiskal; 2) multi-pihak kehilangan kesempatan untuk memperkuat dan mengembangkan modal sosial melalui peningkatan intensitas musyawarah (berkumpul dan berinteraksi) untuk mengatasi masalah sosial secara kolektif melalui pelaksanaan kewenangan fiskal, khususnya melalui proses APB Kampung secara partisipatif aktif. Efek yang ditimbulkan dari aspek politik pada multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dari kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang keuangan adalah: 1) multi-pihak kehilangan kesempatan belajar mengatasi masalah secara mandiri melalui keputusan-keputusan yang penting bagi dirinya dan kemajuan kampungnya dalam proses perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi, pemantafaatan dan pemeliharaan atas hasil-hasil pembangunan kampung; 2) multi-pihak kehilangan kesempatan belajar memajukan demokrasi dan partisipasi aktif dari seluruh komunitas dalam pelaksanaan
kewenangan
fiskal
sehinggga
terjadi
proses
pembodohan
tersistematis melalui pembiaran yang pada akhirnya lebih memapankan stigma bahwa masyarakat kampung adalah “orang bodoh”; 3) menciptakan multi-pihak yang bermental pengemis melalui tugas pembantuan (program bantuan) yang tanpa disertai dengan pelaksanaan penyerahan kewenangan fiskal. Tugas pembantuan tersebut telah membunuh kreasi-kreasi yang inovatif untuk mencari
106
dana pembangunan secara swadaya sehingga hanya menunggu bantuan pemerintahan supra desa. Untuk lebih jelasnya melalui bagan 10 berikut ini menyajikan tentang kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang keuangan dan efeknya terhadap multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu. Bagan 10 : Kondisi Kapasitas Keuangan Kampung Kapasitas Keuangan Kampung Masih Lemah Tahun 2001-2007 Pemerintah Kampung Urumusu tidak memiliki payung hukum (SK Bupati) untuk memobilisasi Pendapatan Kampung Aparat Pemerintah Kampung Urumusu kurang memahami cara memobilisasi pendapatan Kampung melalui sumber-sumber pendapatan kampung Tahun 2004-2007 Pemerintah Kampung Urumusu kehilangan hak-hak keuangan Kampung melalui desentralisasi fiskal
Ketidakpastian jumah anggaran melalui tugas pembantuan, hibah dan sumbangan pihak ketiga yang tidak mengikat yang diterima oleh Kampung pada setiap tahun anggaran
Perda Kab. Nabire No. 06 dan 07 Tahun 2001 tidak disosialisasikan kepada seluruh aparat Kampung serta tidak pernah mengeluarkan SK Bupati sebagai aturan pelaksana untuk memobilisasi dana melalui sumber-sumber Pendapatan Kampung selain melalui tugas pembantuan. Tidak pernah melaksanakan pelatihan, bimbingan dan pendampingan untuk memobilisasi dana melalui sumber-sumber pendapatan kampung, khususnya Pendapatan Asli Kampung oleh pemerintahan supra desa kepada Kampung Belum ada SK Bupati untuk pembentukan lembaga kemasyarakatan kampung yang dapat berperan memobilisasi dana melalui sumber-sumber pendapatan kampung seperti LPMK sebagaimana diamatkan Perda No 12 Tahun 2001 Pemda kurang fleksibel dalam menyesuaikan diri dengan perubahan peraturan perundang undangan seperti UU No. 34 Tahun 2000, PP No. 52 Tahun 2001, UU No. 32 Tahun 2004, dan, PP No. 58 Tahun 2005 yang memuat tentang desentralisasi fiskal bagi kampung.
Kampung kehilangan kesempatan mendapatkan hak-hak pendapatan Kampung melalui desentralisasi fiskal (APBD Kab.), seperti: 1. Bagi hasil pajak Kabupaten: a. Bagi hasil pajak Kabupaten b. Bagi hasil PBB c. Dan seterusnya 2. Bagi hasil retribusi Kabupaten 3. Alokasi dana perimbangan keuangan pusat dan daerah: a. Alokasi Dana Kampung (ADK), yakni ADKM dan ADKP. b. Alokasi Dana Khusus (ADKK). Kampung kehilangan kesempatan memobillisasi sumber pendapatan Kampung dari non desentralisasi fiskal seperti: 1. Pendapatan Asli Kampung: a. Hasil Usaha Kampung b. Hasil Pengelolaan Kekayaan Kampung c. Hasil Swadaya dan Partisipasi d. Hasil gotong royong e. Lain-lain Pendapatan Asli Kampung yang sah 2. Hibah dari perorangan/Orsos/Orpol 3. Sumbangan pihak ketiga 4. Bantuan keuangan kampung lain. 5. Penerimaaan pembiayaan: a. SILPA Tahun sebelumnya. b. Hasil Penjualan Kekayaan Kampung yang Dipisahkan c. Pinjaman kampung Kampung kehilangan kesempatan ruang belajar memberdayakan masyarakat melalui politik anggaran yakni proses APBKamp Ketidakberdayaan multi-pihak (stakeholders) di bidang ekonomi, sosial dan politik
Sumber: hasil olahan data oleh Pengkaji
107
Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu Bidang Kapasitas Sarana dan Prasana Kerja Kondisi kapasitas sarana dan prasarana kerja bagi Pemerintah Kampung Urumusu sangat kurang memadai. Kelemahan kapasitas sarana dan prasarana kerja merupakan akibat beberapa hal berikut ini: 1) balai Pemerintah Kampung Urumusu sebagai fasilitas utama pelayan umum yang harus dimiliki oleh sebuah organisasi pemerintah sudah tidak layak untuk digunakan; 2) tidak memiliki sarana kerja berupa peralatan kerja seperti peralatan kerja tunggal guna (single purpose equipment) dan peralatan kerja serba guna (multiple purpose equipment); 3) perlengkapan alat kerja dan alat kerja bantu (fasilitas) tidak memadai. Keterbatasan kapasitas sarana dan prasarana kerja bagi Pemerintahan Kampung
Urumusu
adalah
merupakan
penyebab
dari
ketidakberpihakan
Pemerintah Kabupaten terhadap pengutan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung yang dipraktekkan melalui sistem hukum atau proses-proses kebijakan publik, yakni pada aras proses isi atau naskah, tata laksana dan budaya dari kebijakan publik di tingkat kabupaten, seperti: 1. Pemerintah Kabupaten tidak memberikan kewenangan melalui Keputusan Bupati untuk memobilisasi jenis-jenis pendapatan kampung non desentralisasi fiskal yang menjadi sumber penerimaan keuangan kampung sebagaimana diatur dalam Perda Kabupaten Nabire Nomor 06 Tahun 2001 Tentang Sumber Pendapatan Desa dan Perda Nomor 07 Tahun 2001 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa untuk membangun Balai Kampung dan melengkapi sarana kerja secara swadaya. 2. Sumber pendapatan dari tugas pembantuan dari Pemerintah supra desa melalui Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 bahwa 10% dana bantuan untuk operasional pemerintahan kampung hanya diperbolehkan untuk membiayai ATK yang berhubungan dengan program bantuan tersebut dan 80% untuk pemberdayaan masyarakat kampung. 3. Perda Nomor 06 Tahun 2001 ditetapkan berdasarkan Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 sehingga tidak memuat tentang desentralisasi fiskal yang dapat menjadi sumber pendapatan kampung untuk membelanjakan sarana dan prasarana kerja. 4. Pemerintah supra desa tidak pernah menyediakan dana khusus untuk pembangunan balai kampung dan segala perlengkapannya sebagai bagian
108
dari penyediaan sarana dan prasarana untuk percepatan pembangunan sebagaimana diatur dalam pasal 98-101 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Lemahnya kapasitas sarana dan prasarana kerja memberi dampak buruk pada penyelenggaraan fungsi pelayanan
umum, seperti a) tidak dapat
mempercepat proses pelaksanaan pekerjaan agar dapat menghemat waktu; b) tidak dapat meningkatkan produktifitas pelayanan, baik barang maupun jasa; c) Menyediakan kualitas pelayanan yang lebih baik; d) tidak adanya jaminan ketepatan ukuran dan stabilitas ukuran layanan; e) tidak dapat mempermudah dalam gerak pegawai; f) tidak dapat memberikan rasa kenyamanan kerja; g) tidak dapat meningkatkan kepuasan kerja dan kepuasan pelayanan; h ) kurang efektif dalam membangun hubungan kerja antar aparat pemerintahan kampung karena aparat kampung bekerja di rumah masing-masing. Efek yang ditimbulkan pada multi-pihak di Kampung Urumusu dari kondisi kapasitas sarana dan prasana adalah pelayanan yang didapatkan tidak dapat memenuhi kebutuhan multi-pihak dan tidak mendapatkan pelayanan yang prima sesuai dengan prinsip Total Quality Governance (TQG) dan good governance dalam mendapatkan pelayanan di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sehingga multi-pihak di kampung menjadi tidak berdaya secara ekonomi, sosial dan politik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui bagan 11 yang menyajikan tentang kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang kondisi kapasitas sarana dan prasarana dan efeknya terhadap multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu.
109
Bagan 11: Kondisi Kapasitas Sarana dan Prasarana Kerja Kampung
Kapasitas Sarana dan Prasarana Kerja Pemerintahan Kampung masih lemah Kantor (Balai) Kampung dalam kondisi rusak berat dan tidak layak untuk digunakan.
Tidak ada SK Bupati untuk memobilisasi anggaran melalui Pendapatan Asli Kampung untuk membelanjakan sarana dan prasarana secara mandiri.
Tidak memiliki peralatan kerja tunggal maupun serba guna.
Perda No. 06 Tahun 2001 tidak memuat tentang alokasi sumber pendapatan Kampung yang berasal dari desentralisasi fiskal karena yang menjadi hukum konsiderans Perda tersebut adalah UU. No. 22 Tahun 1999 untuk membelanjakan sarana dan prasarana secara mandiri.
Tidak memiliki perlengkapan alat kerja utama dan alat kerja bantu.
Bantuan keuangan dan hibah dari pemerintah supra desa melalui PP 52 Tahun 2001 hanya di izinkan menggunakan 10% dari total anggaran untuk membelanjakan ATK yang berhubungan bantuan dan hibah yang diterima. Tidak ada bantuan sarana dan prasarana kerja termasuk pembangunan balai kampung dari Pemerintah supra desa.
Ketidakefektiktifan dalam membagun hubungan kerja kerena bekerja di rumahnya masing-masing. Tidak dapat memberikan kualitas pelayanan yang baik dalam hal kecepatan dan ketepatan hasil kerja serta kualitas hasil kerja yang kurang maksimal Ketidakpusaan kerja dan ketidakpuasan memberikan pelayanan dari diri aparat kepada masyarakat Kampung sehingga menjadikannya malas bekerja.
multi-pihak (stakeholders) tidak mendapatkan pelayanan yang prima sesuai prinsip Total Quality Governance (TQG) sehingga menjadi tidak berdaya secara ekonomi, sosial dan politik.
Sumber: hasil olahan data oleh Pengkaji
Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu Bidang Fungsi Perencanaan Pembangunan Kapasitas fungsi perencanaan Kampung Urumusu masih lemah dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Hal ini merupakan akibat dari Pemerintah Kampung Urumusu sebagai organisasi politik lokal tidak memiliki kemampuan dan kekuatan pengaturan dalam pengembangan wilayah
sehingga
tidak
pernah
melaksanakan
Musyawarah
Perencanaan
Pembangunan (Musrenbang) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)
dari
tingkat
Marga,
Dusun
hingga
Kampung
dengan
prinsip
110
pemberdaayaan
(empowerment),
keterbukaan
(transparancy),
akuntabilitas
(accountability), berkelanjutan (sustainability), partisipasi (participation) dan efektif. Lemahnya kapasitas fungsi perencanaan kampung adalah merupakan penyebab dari ketidakberpihakan Pemerintah Kabupaten terhadap pengutan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung yang dipraktekkan melalui sistem hukum atau proses-proses kebijakan publik, yakni pada aras proses isi atau naskah, tata laksana dan budaya dari kebijakan publik, seperti: 1. Surat edaran Bupati Surat Edaran Bupati Nomor 334/08/ Set tentang Tata Cara Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Nabire sebagai petunjuk pelaksanaan atas Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanan Pembangunan Nasional dan Surat Edaran Bersama antara Menteri Dalam Negeri dan Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua BAPPENAS Tahun 2005 Nomor 0259/M. PPN/I/2005 dan 050/166/SJ tentang Tata Cara Penyelenggaraan Musyawarah Perencanaan Pembangunan tidak ditindaklanjuti oleh aparat distrik yang berwewenang memfasilitasi Musrenbang Kampung dengan alasan tidak disertai dengan dana dan alasan geografis (jangkauan). Musrenbang selalu dilaksanakan hanya di tingkat distrik dan bersifat formalitas. 2. Kepala Distrik dan aparatnya tidak pernah melaksanakan kewenangan atribut, yakni kewajiban memfasilitasi Musrenbang sebagai bagian dari pembinaan kepada Kampung sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 tahun 2005 serta SK Bersama Mendagri dan Menteri Negara PPN/Ketua BAPPENAS Tahun 2005 Nomor 0259/M. PPN/I/2005 dan 050/166/SJ Tentang Petunjuk Musrenbang. 3. Kantor
Distrik
kemasyarakatan
Uwapa
belum
tertentu
yang
memfasilitasi menjadi
patner
pembentukan dalam
lembaga
merencanakan
pembangunan dan merencanakan penghasilan dari sumber pendapatan kampung dan melaksanakannya melalui Anggaran Pendapaan dan Belanja Kampung sebagaimana diatur dan diamanatkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Pembentukaan Lembaga Kemasyarakatan di Desa, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa, Permendagri Nomor 5 Tahun 2007 tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan, Permendagri Nomor 7 Tahun 2007 tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat, Permendagri Nomor 19 Tahun 2007 tentang
111
Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa, Permendagri Nomor 38 Tahun 2007 tentang Kerjasama Desa serta peraturan perundangan lainnya. 4. Pemerintah supra desa tidak pernah melatih, membimbing dan mendampingi proses Musrenbang dan APB Kampung sebagaimana diatur dalam pasal 98101 Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005. Sedangkan dampak yang ditimbulkan dari lemahnya kapasitas fungsi perencanaan kampung adalah: 1) Pemerintahan Kampung tidak memiliki dokumen RPJM sebagai acuan rencana pembangunan selama lima tahun ; 2) Pemerintahan Kampung tidak mendapatkan ouput Musrenbang sebagai acuan Rencana Kerja Pemerintahan Kampung (RKPK) dan Rencana Kerja - Lembaga Pengembangan Masyarakat Kampung (Renja-LPMK) dan APB Kampung seperti: a) Daftar Prioritas Kegiatan yang dibiayai Kampung; b) Daftar Kegiatan yang dibiayai melalui ADK; c) Daftar Prioritas Kegiatan yang diajukan ke RKPD atau RenjaSKPD Kabupaten dan Provinsi; d) Daftar nama delegasi yang diutus ke Musrenbang Distrik dan sebagai tim negosiasi ke Musrenbang Kabupaten dan Tim asistensi APBD Kabupaten dan Provinsi; 3) Tidak tercapai azas sinkronisasi antara rencana pembangunan Kampung, Daerah dan Pusat; dan 4) Kampung sebagai organisasi politik lokal tidak dapat menjadi Growth Machine dalam pengembangan wilayah dan mendorong pertumbuhan ekonomi desa. Semua masalah di atas menimbulkan efek tidak tercapainya azas sinkronisasi antara kebutuhan multi-pihak dengan rencana dan pelaksanaan pembangunan Kampung, Daerah dan Pusat secara terencana dan berkelanjutan sehingga proses pembangunan bersifat parsial sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan nyata multi-pihak, yang pada akhirnya memapankan ketidakberdayaan secara ekonomi, sosial dan politik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui bagan 12 menyajikan tentang kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang fungsi perencanaan pada Pemerintahan Kampung Urumusu dan efeknya terhadap multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu
112
Bagan 12 : Kondisi Kapasitas Fungsi Perencanaan Kampung Urumusu Kapasitas Funsi Perencanaan Kampung Masih lemah
Tidak pernah melaksanakan Musrenbang dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dengan prinsip pemberdaayaan, keterbukaan, akuntabilitas, berkelanjutan, partisipatif, berkeadilan, efektif dan efisiensi karena Kampung sebagai organisasi politik lokal tidak memiliki kemampuan dan kekuatan pengaturan dalam pengembangan wilayah.
SK Bupati untuk memfasilitasi pelaksanaan Musrembang Kampung tidak pernah ditindaklanjuti oleh Kepala Distik dengan alasan tidak disertai dengan dana dan alasan geografis (jangkauan) sehingga Musrenbang hanya dilaksanakan di tingkat distrik dan bersifat formalitas.
Pemerintahan Kampung tidak memiliki dokumen RPJM sebagai acuan rencana pembangunan selama lima tahun.
Kepala Distrik dan aparatnya tidak pernah melaksanakan kewenangan atribut, yakni kewajiban memfasilitasi Musrenbang sebagai bagian dari pembinaan kepada Kampung sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2004, UU No. 32 Tahun 2004, PP No. 72 tahun 2005 serta SK Bersama Mendagri dan Menteri Negara PPN/Ketua BAPPENAS Tahun 2005 Nomor 0259/M. PPN/I/2005 dan 050/166/SJ.
Pemerintahan Kampung tidak mendapatkan ouput Musrenbang sebagai acuan RKP Kampung dan Renja-LPMK dan APB Kampung seperti: 1 Daftar Prioritas Kegiatan yang dibiayai Kampung. 2 Daftar Kegiatan yang dibiayai melalui ADK. 3 Daftar Prioritas Kegiatan yang diajukan ke RKPD/Renja-SKPD DPA SKPD Kab. dan Provinsi. 4 Daftar nama delegasi yg diutus ke Musrenbang Distrik dan sebagai tim negosiasi ke Musrenbang Kabupaten dan tim asistensi RKPD/Renja-SKPD Kab. dan Provinsi.
Pemerintah supra desa, LSM maupun akademisi tidak pernah melatih, membimbing dan mendampingi proses Musrenbang.
Tidak tercapai azas sinkronisasi antara rencana pembangunan Kampung, Daerah dan Pusat.
Kepala Distrik dan Kabupaten belum memfasilitasi pembentukan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung (LPMK) sebagai fasilitator Musrenbang Kampung.
Kampung sebagai organisasi politik lokal tidak dapat menjadi Growth Machine dalam pengembangan wilayah dan mendorong pertumbuhan ekonomi desa secara terencara dan berkelanjutan.
Tidak tercapai azas sinkronisasi antara kebutuhan stakeholders dengan rencana dan pelaksanaan pembangunan Kampung, Daerah dan Pusat secara terencana dan berkelanjutan sehingga proses pembangunan selama ini tidak mampu mengatasi masalah stakeholders, yang pada akhirnya memapankan ketidakberdayaan multi-pihak (stakeholders) secara ekonomi, sosial dan politik. Sumber: hasil olahan data oleh Pengkaji
113
Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola
Pemerintah Kampung Urumusu
Bidang Fungsi Pengawasan dan evaluasi Pembangunan Kondisi kapasitas fungsi pengawasan dan evalusi masih lemah sehingga Pemerintah Kampung Urumusu tidak pernah mengevaluasi dan memberikan ruang partisipasi kepada multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu untuk melakukan pengawasan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Hal ini merupakan akibat dari hal-hal sebagai berikut: 1)
BPK
tidak
dapat
memanfaatkan
hak-haknya
seperti
mengawasi
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, meminta keterangan, mengajukan pertanyaan, pendapat dan usul kepada Pemerintah Kampung; 2) Pemerintah Kampung tidak pernah menetapkan Peraturan Kampung tentang APB Kampung sehingga masyarakat tidak memilki alat pengawasan; dan 3) Masyarakat, BPK dan Bupati atau pejabat yang ditunjuk tidak pernah meminta dan mendapatkan laporan pertanggungjawaban Kepala Kampung tentang penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Lemahnya kapasitas fungsi pengawasan dan evalusi di atas adalah sebagai penyebab dari ketidakberpihakan Pemerintah Kabupaten terhadap pengutan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung yang dipraktekkan melalui sistem hukum atau proses-proses kebijakan publik, yakni pada aras proses isi atau naskah, tata laksana dan budaya dari kebijakan publik, seperti: 1. Sosialisasi Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 05 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Badan Perwakilan Kampung (Baperkam/BPK) dan pembentukan lembaga kemasyarakan lainnya dilakukan di tingkat distrik dan tidak disertai dengan pelatihan, bimbingan dan pendampingan dari Kantor Distrik, Pemda Kabupaten, LSM dan akademisi secara berkelanjutan sehingga BPK tidak memanfaatkan haknya dalam fungsi pengawasan yaitu meminta keterangan penyelenggaraan pembangunan kepada Kepala Kampung; 2. Hak
BPK
untuk
menyatakan
menolak
atau
menerima
Laporan
Pertanggungjawaban Kepala Kampung sesuai amanat Perda Nomor 05 Tahun 2001 tidak berlaku lagi sejak ditetapkannya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah karena yang menjadi dasar hukum Perda tersebut
adalah
Undang-Undang
Nomor
22
Tahun
1999
Tentang
Pemerintahan Daerah sementara dilain pihak, para pembantu Bupati kurang efektif
dalam
melaksanakan
kewajiban
pengawasan
sebagaimana
114
diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah 72 Tahun 2005 dan peraturan lainnya; 3. Sesuai Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Peratutan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa dan peraturan perundang undangan lainnya yang berlaku saat ini, masyarakat kampung dan BPK tidak diberikan ruang untuk mengevaluasi proses pembangun
di
Kampung
kecuali
oleh
Bupati
dari
hasil
Laporan
Pertanggungjawaban Kepala Kampung sedangkan bagi masyarakat cukup dengan mendapatkan pokok-pokok informasi pertanggungjawaban dan BPK cukup dengan mendapatkan keterangan atas laporan pertanggungjawaban dari Kepala Kampung kepada Bupati; 4. BPK tidak memiliki alat kontrol karena tidak pernah menyusun APB Kampung sedangkan kewajiban pertanggungjawaban Kepala Kampung atas program bantuan dan hibah yang dilaksanakan selama ini hanya kepada pemerintahan supra desa yang melimpahkan tugas pembantuan ataupun hibah. Dampak
yang
ditimbul
dari
penyebab
lemahnya
kapasitas
fungsi
pengawasan dan evaluasi pembangunan dalam tata kelola pemerintahan kampung adalah masyarakat dan Pemerintahan Kampung secara partisipatif tidak dapat mengukur hasil-hasil pembangunan seperti: 1) pencapaian pembangunan yang sudah dicapai (kualitas dan kuantitas); 2) perkembangan tentang rencana dan realisasi telah dicapai; 3) berapa biaya yang dikeluarkan (efisinsi) dan dampak bagi masyarakat (efektifitas); 4) ketepatan atas metode yang digunakan; 5) pengalaman baru yang didapatkan sebagai proses belajar dan bertukar pengalaman; dan 6) mendapatkan Informasi untuk formulasi (rencana) berikutnya. Sehingga efek yang dihasilkan dari masalah lemahnya kondisi kapasitas tata kelola
pemerintahan
pembangunan
kampung
adalah
tidak
bidang
fungsi
terselenggaranya
pengawasan proses
dan
fungsi
evaluasi evaluasi
pembangunan yang melibatkan multi-pihak di Kampung Urumusu sehingga Pemerintah Kampung tidak mendapatkan ouput dari evaluasi pembangunan seperti rekaman proses evaluasi dan ringkasan hasil evaluasi sebagai informasi dasar bagi perencanaan pembangunan berikutnya dan juga informasi dasar bagi pembuatan
laporan
pertanggungjawaban.
Dengan
demikian
tidak
dapat
merekonstruksi proses pembangunan Kampung dalam rangka menjawab kebutuhan multi-pihak di Kampung Urumusu yang berkembang seiring tuntutan perubahan di tingkat global di bidang ekonomi, sosial dan politik.
115
Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui bagan 13 berikut ini menyajikan tentang kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang fungsi pengawasan dan evaluasi dan efeknya terhadap multi-pihak. Bagan 13:
Kondisi Kapasitas Fungsi Pengawasan dan Evaluasi Pembangunan Kampung Urumusu
Kapasitas Fungsi Pengawasan dan Evaluasi Pembangunan Kampung masih lemah BPK tidak pernah memanfaatkan haknya dalam meminta keterangan, mengajukan pertanyaan, pendapat dan usul dalam pelaksanaan pembangunan. Pemerintahan Kampung bersama masyarakat tidak pernah melaksanakan evaluasi proses pembangunan, khusus progam bantuan yang dilaksanakan Kampung selama ini. Pemerintah supra desa tidak pernah melihat realisasi lapangan atas laporan pelaksanaan tugas pembantuan yang yang dilaksanakan Kampung selama ini.
Perda No, 05 Tahun 2001 tidak pernah disosialisasikan maupun melatih, membimbing dan mendampingi anggota BPK sehingga BPK tidak mengetahui fungsi pengawasannya. Hak BPK untuk menyatakan menolak atau menerima Laporan Pertanggungjawaban Kepala Kampung sesuai amanat Perda No. 05 Tahun 2001 tidak berlaku lagi sejak ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 karena yang menjadi dasar hukum Perda tersebut adalah UU No. 22 Tahun 1999 dan Bupati kurang efektif dalam melaksanakan kewajiban pengawasan sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 32 Tahun 2004, PP 72 Tahun 2005 dan peraturan lainnya. Sesuai UU No. 32 Tahun 2004 dan PP 72 Tahun 2005 dan peraturan perundang-undangan lainnya yang berlaku saat ini, masyarakat kampung dan BPK tidak diberikan ruang untuk mengevaluasi proses pembangun di Kampung kecuali oleh Bupati dari hasil Laporan Pertanggungjawaban Kepala Kampung dan bagi masyarakat cukup dengan mendapatkan pokok-pokok informasi pertanggungjawaban. BPK tidak memiliki alat kontrol karena tidak pernah menyusun APB Kampung sedangkan kewajiban pertanggungjawaban Kepala Kampung atas program bantuan dan hibah yang dilaksanakan selama ini hanya kepada pemerintahan supra desa yang melimpahkan tugas pembantuan dan hibah.
Sumber: hasil olahan data oleh Pengkaji
Masyarakat dan Pemerintahan Kampung (secara partisipatif) tidak dapat mengukur hasil-hasil pembangunan seperti: 1) pencapaian pembanguna yang sudah dicapai (kualitas & kuantitas); 2) perkembangan tentang rencana dan realisasi telah dicapai; 3) berapa biaya yang dikeluarkan (efisinsi) dan dampak (manfaat) bagi masyarakat (efektifitas); 4) ketepatan atas metode atau pendekatan yang digunakan; 5) pengalaman baru yang didapatkan sebagai proses belajar dan bertukar pengalaman; dan 6) mendapatkan Informasi untuk formulasi (rencana) berikutnya. Sementara dilain pihak Pemeirntah Kampung tidak pernah mendapat hasil evaluasi dari Bupati.
Pemerintah Kampung tidak mendapatkan Ouput Evaluasi: ª Rekaman Proses Evaluasi ª Ringkasan Hasil Evaluasi
sebagai sarana untuk merekonstruksi proses pembangunan Kampung sehingga multipihak (stakeholders) menjadi tidak berdaya secara ekonomi, sosial dan politik
116
Analisa Kondisi Kapasitas Pemerintah Kampung Urumusu Bidang Fungsi Pendokumentasian Kondisi kapasitas fungsi pendokumentasian (kearsipan) masih lemah sehingga semua dokumentasi (kearsipan) hasil, masalah dan potensi dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di Kampung Urumusu tidak tertata sesuai tahapan dan langka-langka proses pendokumentasian. Kelemahan dalam kapasitas fungsi pendokumentasian di atas adalah sebagai akibat dari ketidakberpihakan Pemerintah Kabupaten terhadap pengutan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung yang dipraktekkan melalui sistem hukum atau proses-proses kebijakan publik, yakni pada aras proses isi atau naskah, tata laksana dan budaya dari kebijakan publik, seperti: 1. Tidak pernah mengadakan kegiatan pelatihan, bimbingan dan pendampingan dari pemerintahan supra desa maupun akademisi dan LSM dalam rangka pelaksanaan
tertib
administrasi
Kampung
sebagaimana
diatur
dalam
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 47 Tahun 2002 dan hasil revisi Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2006 Tentang Pedoman Administrasi Desa; 2. Pemerintah Kabupaten Nabire tidak pernah menyediakan sarana dan prasarana kerja memadai untuk melakukan aktifitas pendokumentasian (kearsipan), termasuk pengadaan buku-buku modul administrasi seperti yang diamanatkan melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2006 Tentang Pedoman Administrasi Desa. 3. Pemerintah Kabupaten Nabire tidak pernah melengkapi segala perlengkapan untuk
mendukung terciptanya tertib admnistrasi sesuai amanat Keputusan
Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2006 Tentang Pedoman Administrasi Desa, khususnya kantor kampung yang berfungsi sebagai: a) pusat pemikiran kehidupan, kemajuan dan perkembangan organisasi, baik bersifat strategis, administratif dan operasional; b) pusat administrasi (pelayanan) baik kepada Pemerintah Kampung untuk pengambilan keputusan maupun kepada multipihak; dan c) pusat data dan informasi pemikiran kehidupan. Kelemahan kapasitas fungsi pendokumentasian mengakibatkan hal-hal sebagai berikut: 1) Pemeritah Kampung Urumusu kurang mampu melaksanakan langka-langka pengarsipan sebagai bagian dari usaha penyelenggaraan tertib administrasi seperti: a) langka klasifikasi yaitu pengelompokan surat atau data dan informasi berdasarkan pertimbangan tidak penting, penting (bermanfaat), dan
117
sangat penting; b) langka penyimpanan dengan beberapa pertimbangan, yakni penyimpanan atas dasar waktu, masalah, unit organisasi, klasifikasi barang dan jasa, abjad
dan lainnya; 2) Pemeritah Kampung Urumusu kurang mampu
melaksanakan 4 (empat) tahapan proses pendokumentasian yaitu: a) tahap kegiatan pencatatan; b) tahap kegiatan pengelompokan; c) tahap kegiatan komunikasi; dan d) tahap pengarsipan dan manipulasi; serta 3) Pemeritah Kampung
Urumusu
belum
mendapatkan
kewenangan
delegatif
melalui
desentralisasi administrasi selain pendataan penduduk. Lemahnya kapasitas pendokumentasian kampung ini berdampak pada halhal sebagai berikut: 1) Pemeritah Kampung Urumusu tidak memiliki sebagian dokumen yang dapat berfungsi sebagai: a) bahan bukti secara hukum; b) bahan untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan; c) bahan penulisan laporan; d) bahan pendukung dalam suatu rencana atau program; dan e) bahan penelitian untuk antisipasi keadaan di masa mendatang; dan 2) Pemeritah Kampung Urumusu tidak dapat menyediakan data dan informasi (administrasi) bagi
penyelenggaraan
pelayanan
publik
sebagai
berikut:
a)
Buku-buku
administrasi umum, seperti: buku data peraturan kampung, keputusan kepala kampung, inventaris Kampung, aparat Pemerintahan kampung, kekayaan atau tanah kas Kampung,
tanah di desa, agenda dan ekspedisi; b) Buku-buku
administrasi penduduk seperti buku data induk pendududuk, mutasi penduduk, rekapitulasi jumlah penduduk dan penduduk sementara; c) Buku-buku administrasi keuangan seperti buku anggaran pemerimaan; d) pengeluaran rutin, pengeluaran pembangunan, kas umum, kas pembantu penerimaan, kas pembantu pengeluaran rutin dan kas pembantu pengeluaran pembangunan; e) Buku-buku administrasi pembangunan seperti buku rencana pembangunan, kegiatan pembangunan, inventaris proyek serta kader pembangunan dan pemberdayaan masyarakat; f) Buku-buku administrasi Badan Permusyawaratan Kampung (BPK), seperti buku data anggota BPK, keputusan BPK, kegiatan BPK, agenda BPK dan ekspedisi BPK
serta
Buku-buku
administrasi
pendukung
lainnya
seperti
buku
pengurus/anggota Lembaga Kemasyarakatan, register, monografi serta profil kampung
sebagai
buku
rangkuman
atas
segala
masalah
dan
potensi
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Efek yang timbulkan pada multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dari kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang fungsi pendokumentasian adalah multi-pihak (stakeholders)
kurang mendapatkan
118
pelayanan secara optimal (prima) melalui penerapan prinsip Total Quality Gavernance dan good governance dalam tata kelola Pemerintahan Kampung seperti: 1) secara filosofis adalah tidak terciptanya ”keanekaragaman dalam kesatuan” melalui pemikiran-pemikiran yang inovatif dari aparat kampung dalam melaksanakan tugas desentralisasi administratif dalam rangka memenuhi kebutuhan multi-pihak; 2) secara politik adalah tidak terciptanya demokratisasi, pemerataan dan keadilan dalam proses pendokumentasian (administrasi); 3) secara ekonomi adalah tidak terjadi peningkatan daya saing daerah dari tingkat kampung dalam menghadapi persaingan global melalui pelayanan adaministrasi yang mudah dan murah dalam rangka pemberdayaan multi-pihak dan mendorong pengembangan kawasan; 4) secara sosial adalah tidak tercipta peluang untuk mendorong usaha-usaha pengembangan modal sosial dan jejaring melalui penyelenggaraan tugas desentralisasi administratif; 5) secara hukum adalah tidak adanya kepastian keamanan dari pelayanan yang didapatkan dari aparat pemerintahan kampung kepada multi-pihak; dan 6) secara administrasi adalah tidak terciptanya efektifitas dan efisiensi dengan mendekatkan pelayanan publik pada multi-pihak sebagai fokus utama untuk mencapai hasil akhir berupa kesejahteraan
masyarakat.
Kondisi-kondisi
inilah
yang
memapankan
ketidakberdayaan multi-pihak di bidang ekonomi, sosial dan politik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui bagan 14 berikut ini menyajikan tentang kondisi kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang fungsi pengawasan dan evaluasi pembangunan dan (stakeholders) di Kampung Urumusu.
efeknya terhadap multi-pihak
119
Bagan 14 : Kondisi Kapasitas Kampung Urumusu
Fungsi
Pendokumentasian
Kapasitas pendokumentasian Kampung masih lemah Pemerintah Kampung Urumusu Kurang mampu melaksanakan langka-langka pengarsipan sebagai bagian dari usaha penyelenggaraan tertib administrasi Pemerintah Kampung Urumusu kurang mampu melaksanakan 4 (empat) tahapan proses pendokumentasian Aparat pemerintahan Kampung tidak memiliki pengetahuan yang cukup untuk melakukan aktifitas administrasi dan pendokumentasian
Pemerintah Kampung tidak memiliki dan tidak dibekali dengan sarana dan prasarana kerja yang memadai termasuk keuangan untuk melakukan aktifitas pendokumentasian dan pengarsipan. Pemerintahan Kampung tidak pernah dilatih, dibimbing dan didampingi oleh Pemerintahan supra desa sebagaimana diamanatkan dalam Permendagri No 47 Tahun 2002 maupun hasil revisinya yakni Permendagri No. 32 Tahun 2006 Tentang Pedoman Admistrasi Desa. Pemerintah Kampung Urumusu tidak memiliki kantor (balai) kampung yang berfungsi sebagai: 1 pusat pemikiran kehidupan, kemajuan dan perkembangan organisasi, baik bersifat strategis, administratif dan operasional 2 pusat administrasi (pelayanan) baik kepada Pemerintah Kampung untuk pengambilan keputusan maupun kepada masyarakat luas; dan 3 pusat data dan informasi
Sumber: hasil olahan data oleh Pengkaji
Pemerintahan
Pemeritah Kampung Urumusu tidak memiliki sebagian dokumen yang dapat berfungsi sebagai: 1. bahan bukti secara hukum; 2. bahan untuk pemecahan masalah dan pengambilan keputusan; 3. bahan penulisan laporan; 4. bahan pendukung dalam suatu rencana atau program; dan 5. bahan penelitian untuk antisipasi keadaan di masa mendatang. Pemeritah Kampung Urumusu tidak dapat menyediakan data dan informasi melalui bukubuku administrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik seperti: buku-buku administrasi umum, bukubuku administrasi kependudukan, buku-buku administrasi keuangan, bukubuku administrasi pembangunan, buku-buku administrasi BPK, Buku-buku administrasi pendukung lainya.
Pemerintah Kampung tidak dapat memenuhi kebutuhan multi-pihak (stakeholders) dengan mengedepankan prinsip Total Quality Governance (TQG) dan good governance dalam menyelenggarankan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan sehingga multipihak (stakeholders) menjadi tidak berdaya secara ekonomi, sosial dan politik.
120
Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu Dari Aspek Badan Permusyawaratan Kampung
Analisa Kondisi Kapasitas Kelembagaan Pemerintahan Kampung Urumusu Bidang Fungsi Artiklasi, Agregasi dan Legislasi Kapasitas
fungsi
artikulasi,
agregasi
dan
legislasi
sebagai
sarana
membangun demokrasi pembangun di Kampung yang dilaksanakan oleh Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) kurang optimal karena anggota BPK di Kampung Urumusu tidak memahami tugas pokok, fungsi dan hak-haknya serta BPK tidak memiliki partnernya dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Lemahnya kapasitas fungsi artikulasi, agregasi dan legislasi disebabkan karena ketidakberpihakan Pemerintah Kabupaten terhadap pengutan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung yang dipraktekkan melalui sistem hukum atau proses-proses kebijakan publik, yakni pada aras proses isi atau naskah, tata laksana dan budaya dari kebijakan publik, seperti: 1. Sosialisasi atas Perda Kab. Nabire Nomor 03 Tahun 2001 Tentang Bentuk dan Tata Cara Penetapan Peraturan Desa dan Peraturan Daerah Kabupaten Nabire
Nomor
12
Tahun
2001
Tentang
Pembentukaan
Lembaga
Kemasyarakatan di Desa dilakukan di tingkat distrik dan dihadiri sebagian mantan aparat kampung. Selain itu, sejak pertengahan tahun 2006, BPK periode 2006-2012 sudah terpilih namun tidak pernah ada kegiatan pelatihan, bimbingan dan pendampingan dari Kantor Distrik dan Pemda Kabupaten. 2. Pemerintah Kampung Urumusu dan Kantor Distrik Uwapa belum memfasilitasi pembentukan Lembaga Kemasyarakatan tertentu sebagai partner BPK dalam menggali, menampung, merumuskan dan menyalurkan aspirasi multi-pihak sebagaimana diamanatkan dalam Perda Kabupaten Nabire Nomor 03 Tahun 2001 dan Perda Kabupaten Nabire Nomor 12 Tahun 2001; 3. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Badan Permusyawaran Kampung, Perda Kabupaten Nabire Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Kampung, Perda Kabupaten Nabire Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penetapan Peraturan Kampung dan Perda Kabupaten Nabire Nomor 33 Tahun 2007 Tentang Lembaga Kemasyarakatan masih pada tahap sosialisasi.
121
Kelemahan kapasitas fungsi artikulasi, agregasi, legislasi berdampak pada hal-hal sebagai berikut: 1. BPK bersama Pemerintah Kampung tidak pernah melaksanakan tugas seperti merancang, membahas, merumuskan dan menetapkan Peraturan Kampung. 2. BPK tidak pernah melaksanakan tugas dan fungsinya, seperti: a) mengawasi pelaksanaan Peraturan Kampung dan Peraturan Kepala Kampung;
dan
b)
dan
melaksanakan
kegiatan
menggali,
menampung,
merumuskan
menyalurkan aspirasi multi-pihak kepada pemerintah kampung. 3. BPK tidak pernah memanfaatkan hak-haknya, seperti: mengajukan rancangan Peraturan Kampung, meminta keterangan kepada Pemerintah Kampung, mengajukan pertanyaan, pendapat dan usul tentang pelaksanaan Peraturan Kampung. Kelemahan kapasitas fungsi artikulasi, agregasi dan legislasi secara langsung maupun tidak langsung memberikan efek pada ketidakberdayaan multipihak di Kampung Urumusu di bidang ekonomi, sosial dan politik, seperti: 1. Bidang ekonomi adalah tidak tercapainya azas sinkronisasi antara kebutuhan multi-pihak dengan rencana dan pelaksanaan pembangunan Kampung, Daerah dan Pusat melalui proses menggali, menampung, merumuskan dan menyalurkan (artikulasi dan agregasi) sehingga multi-pihak kehilangan sarana penyaluran aspirasi yang pada akhirnya kehilangan pula kesempatan mengembangkan ekonomi, sosial dan politik yang berkelanjutan dalam satu sistem perencanaan pembangunan nasional. 2. Bidang sosial adalah multi-pihak di kampung kehilangan kesempatan untuk memperkuat dan mengembangkan modal sosial melalui peningkatan intensitas musyawarah (berkumpul dan berinteraksi) untuk mengatasi masalah sosial secara kolektif melalui proses menggali, menampung, merumuskan dan menyalurkan (artikulasi dan agregasi) untuk selanjutnya ditetapkan dalam bentuk Peraturan Kampung dan Keputusan Kepala Kampung sebagai upaya internalisasi nilai dan norma. 3. Bidang politik adalah: a) masyarakat kehilangan kesempatan belajar mengatasi masalah secara mandiri melalui keputusan-keputusan yang penting bagi dirinya dan kemajuan kampungnya melalui proses artikulasi dan agregasi yang dilaksanakan oleh BPK; b) terjadi proses pembodohan tersistematis sehingga tidak dapat memajukan demokrasi dan partisipasi aktif dari multi
122
pihak melalui proses menggali, menampung, merumuskan dan menyalurkan (artikulasi dan agregasi). Hal ini akan lebih memapankan stigma bahwa masyarakat kampung adalah “orang bodoh” sehingga konsep pembangunan harus diturunkan dari atas (top down planning); 3) menciptakan multi-pihak di kampung menjadi bermental pengemis dan pasif karena tidak dilaksanakannya proses menggali, menampung, merumuskan dan menyalurkan sehingga tidak dapat mengembangkan dirinya untuk berpikir kreatif dan inovatif dalam rangka menemukan konsep-konsep pembangunan yang tepat. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat melalui bagan 15 berikut ini menyajikan tentang kondisi kapasitas fungsi artikulasi, agregasi dan legislasi serta efeknya terhadap multi-pihak di Kampung. Bagan 15
: Kondisi Kapasitas Fungsi artikulasi, agregasi dan legislasi
Kapasitas artikulasi, agregasi dan legislasi Kampung masih lemah
Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) tidak memahami tugas, fungsi dan haknya BPK tidak memiliki partner dalam tugas dan fungsinya
Sosialisasi atas Perda Kab. Nabire No. 03 dan 12 Tahun 2001 dilakukan di tingkat distrik dan dihadiri sebagian mantan aparat kampung. Selain itu, sejak pertengahan tahun 2006, BPK periode 2006-2012 sudah terpilih namun tidak pernah ada kegiatan pelatihan, bimbingan dan pendampingan dari Kantor Distrik, Pemda Kabupaten, LSM dan akademisi Pemerintah Kampung Urumusu dan Kantor Distrik Uwapa belum memfasilitasi pembentukan Lemba-ga Kemasyarakatan tertentu sebagai partner BPK dalam menggali, menampung, merumus-kan dan menyalurkan aspirasi masyarakat sebagaimana diatur dan diamanatkan dalam Perda Kabupaten Nabire No 03 Tahun 2001 dan Perda Kabupaten Nabire No 12 Tahun 2001 Perda Kab. Nabire No. 28, 29, 30, dan 33 Tahun 2007 masih pada tahap sosialisasi.
Sumber: hasil olahan data oleh Pengkaji
BPK bersama Pemerintah Kampung tidak pernah melaksanakan tugas seperti merancangan, membahas merumuskan dan menetapkan Peraturan Kampung BPK tidak pernah melaksanakan tugas dan fungsinya seperti: 1. melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Peraturan Kampung dan Peraturan Ka. Kampung; 2. melaksanakan kegiatan menggali, menampung, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat kepada pemerintah kampung BPK tidak pernah memanfaatkan hak-haknya seperti meminta keterangan kepada Pemerintah Kampung, mengajukan rancangan Peraturan Kampung. Ketidakberdayaan multi-pihak (stakeholders) di bidang ekonomi, sosial dan politik.
123
Rangkuman Analisa Kondisi Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu Kondisi Kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu sangat lemah
karena
ketidakberpihakan
Pemerintah
Kabupaten
Nabire
terhadap
pengutan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung yang dipraktekkan melalui sistem hukum atau proses-proses kebijakan publik, yakni pada aras proses isi atau naskah, tata laksana dan budaya dari kebijakan publik, seperti: 1. Pemda Kabupaten Nabire tidak diberikan kewenangan delegatif kepada Pemerintah Kampung Urumusu melalui Perda dan Surat Keputusan Bupati tentang desentralisasi fiskal, desentralisasi administratif dan desentaralisasi politik sebagai diamanatkan dalam Rekomendasi No 7, Tap MPR No IV/MPRRI/2000, UU No. 34 Tahun 2000, PP No. 52 Tahun 2001, UU No. 32 Tahun 2004, PP No. 58 Tahun 2005 dan PP No. 72 Tahun 2005. Hal ini memberikan dampak pada kehilangan sumber pendapatan kampung yang berasal dari desentralisasi fiskal, tidak dapat melaksanakan pelayanan publik (dan tidak memiliki kekuasaan pengaturan dalam tugas penyelenggaraan urusan pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan, seperti: membina lembaga kemasyarakata, melaksanakan Musrenbang Kampung; melaksanakan proses ABD Kampung, mengamankan aksi pencurian dan pengrusakan SDA, membangun
BUMK,
tidak
dapat
mengendalikan
penduduk
musiman
(penambang emas rakyat), tidak dapat membangun hubungan kemitraan dengan pihak ke tiga dalam mengatasi masalah sosial dan lainnya. 2. Beberapa Perda Kabupaten Nabire tentang Kampung yang berlaku sejak 2001-2007
tidak
disosialisasikan
kepada
seluruh
aparat
Pementahan
Kampung dan tidak diikuti dengan pelatihan, bimbingan dan pendampingan sebagaimana diamatkan dalam pasal 98-102, PP 72 Tahun 2005 dan peraturan perundangan lainnya. Dengan demikian terjadi proses pembodohan secara sistematis melalui pembiaran. Hal ini berdampak pada kemampuan Pemerintahan Kampung dalam melaksanakan tugas karena akibatnya adalah tidak dapat melaksanakan fungsi manajemen organisasi pemerintahan, kurang mampu menata keorganisasian Kampung, kurang mampu mengoptimalkan tatalaksana
administrasi
dan
mengembangkan
budaya
kerja
dalam
menyelenggarakan tatakelola Kampung. 3. Kantor (Balai) Kampung Urumusu dalam kondisi rusak berat dan tidak layak untuk digunakan serta tidak mendapat dukungan bantuan sarana dan
124
prasarana kerja dari Pemerintahan supra desa. Hal ini berdampak pada; a) ketidakefektiktifan dalam membagun hubungan kerja kerena bekerja di rumahnya masing-masing; b) tidak dapat memberikan kualitas pelayanan yang baik dalam hal kecepatan dan ketepatan hasil kerja serta kualitas hasil kerja yang maksimal; dan c) ketidakpuasan kerja dan ketidakpuasan memberikan pelayanan dari diri aparat kampung kepada multi-pihak di Kampung Urumusu sehingga menjadikannya malas bekerja. 4. Kampung sebagai organisasi politik lokal tidak memiliki kemampuan dan kekuatan
pengaturan
dalam
pengembangan
wilayah
karena
Pemda
Kabupaten Nabire dan Kantor Distrik tidak pernah melaksanakan kewajiban memfasilitasi Musrenbang dan memberikan kewenangan menata ruang kampung sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 25 Tahun 2004, UU No. 32 Tahun 2004, PP No. 72 tahun 2005 serta SKBM Mendagri dan Meneg PPN/Ketua BAPPENAS Tahun 2005 No. 0259/M. PPN/I/2005 dan 050/166/SJ. Hal ini berdampak pada: a) Pemerintahan Kampung tidak memiliki dokumen RPJM
sebagai
acuan
rencana
pembangunan
selama
lima
tahun;
b) Pemerintahan Kampung tidak mendapatkan ouput Musrenbang sebagai acuan RKP Kampung dan Renja-LPMK dan APB Kampung; c) tidak tercapai azas sinkronisasi antara rencana pembangunan Kampung, Daerah dan Pusat; d) Kampung sebagai organisasi politik lokal tidak dapat menjadi Growth Machine dalam pengembangan wilayah dan mendorong pertumbuhan ekonomi desa secara terencara dan berkelanjutan. 5. BPK dan masyarakat kampung tidak secara leluasa diberikan ruang untuk mengevaluasi proses pembangunan di Kampung kecuali oleh Bupati dari hasil Laporan Pertanggungjawaban Kepala Kampung, sesuai UU No. 32 Tahun 2004 dan PP 72 Tahun 2005 dan peraturan lainnya yang berlaku. Hal ini berdampak pada multi-pihak di Kampung Urumusu tidak dapat mengukur hasil-hasil pembangunan seperti: a) pencapaian pembangunan yang sudah dicapai (kualitas dan kuantitas); b) perkembangan tentang rencana dan realisasi telah dicapai; c) berapa biaya yang dikeluarkan (efisiensi) dan dampak bagi multi-pihak di Kampung Urumusu (efektifitas); d) ketepatan atas metode atau pendekatan yang digunakan; e) pengalaman baru yang didapatkan sebagai proses belajar dan bertukar pengalaman antara multipihak; dan f) mendapatkan Informasi untuk formulasi (rencana) berikutnya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar pohon masalah berikut ini:
125
Gambar 2: Pohon Masalah Tentang Kondisi Kapasitas tata kelola Kampung Urumusu
kurang mampu melaksanakan fungsi artikulasi, agregasi dan legislasi
kurang mampu membina lembaga kemasyarakatan
kurang mampu membangun tidak dapat hubungan mengendalikan kemitraan kurang mampu kurang mampu penduduk musiman mengoptimalkan menyelenggaran dan melaksanakan tatalaksana proses Musrenbang fungsi pengawasan administrasi dan APB Kampung kurang mampu lainnya. mengembangkan budaya kapasitas kapasitas kerja kepemimpinan kapasitas politik kampung tidak administratif Kepala Kampung (kewenangan) menjadi Growth (pelayanan lemah kampung lemah Machine dalam publik) kampung kurang mampu pengembangan lemah menata wilayah kapasitas fiskal keorganisasian sarana evaluasi (keuangan) Pembangunan kampung lemah Kampung lemah Kampung tidak tidak memeliki memiliki RPMJ kapasitas responsif dan RKT dan kapasitas Kapasitas sarana tidak memiliki jejaring. dan prasarana kewenangan kampung lemah regulasi, ekstraksi, dan distributif.
Pemerintah Kampung Urumusu tidak s diberikan kewenangan delegatif dari Pemda Kabupaten Nabire melalui Perda dan Surat Keputusan Bupati tentang desentralisasi fiskal (keuangan), desentralisasi administratif (pelayanan publik) dan desentaralisasi politik (kewenangan)
Beberapa Perda Kab. Nabire tentang Kampung yang berlaku sejak 2001-2007 tidak disosialisasikan kepada seluruh aparat Pemerintahan Kampung dan tidak diikuti dengan pelatihan, bimbingan dan pendampingan.
Sumber: hasil olahan data oleh Pengkaji
Balai Kampung Urumusu dalam kondisi rusak berat dan tidak mendapat dukungan bantuan sarana dan prasarana kerja dari Pemerintahan supra desa dalam melaksanakan tugas urusan pemerintahan, pembagunan dan kemasyarakatan.
Kampung (organisasi politik lokal) tidak memiliki kemampuan dan diberikan kekuatan pengaturan dalam pengembangan wilayah karena Pemda tidak memfasilitasi Musrenbang dan memberikan kewenangan menata ruang kampung
BPK bersama masyarakat tidak secara diberikan ruang untuk mengevaluasi proses pembangun di Kampung kecuali oleh Bupati dari hasil Laporan Pertanggungjawaban Ka. Kampung
126
efek yang ditimbulkan bagi multi-pihak adalah lebih memapankan ketidakberdayaan karena : 1) secara filosofis adalah tidak terciptanya kondisi yang kondusif untuk mendorong berkembangnya ”keanekaragaman dalam kesatuan” melalui pemikiran-pemikiran yang inovatif dari multi-pihak di kampung dalam rangka memperkaya konsep pemberdayaan;
2) secara politik adalah tidak
terciptanya kondisi yang kondusif untuk mendorong demokratisasi, pemerataan dan keadilan; 3) secara ekonomi adalah tidak terciptanya kondisi yang kondusif untuk meningkatkan daya saing daerah dalam menghadapi persaingan global melalui pemberdayaan multi-pihak dari tingkat kampung; 4) secara sosial adalah tidak
terciptanya
kondisi
yang
kondusif
untuk
mendorong
usaha-usaha
pengembangan modal sosial dan jejaring; 5) secara hukum adalah tidak terciptanya kondisi yang kondusif untuk kepastian keamanan dari pelayanan yang didapatkan multi-pihak dan 6) secara administrasi adalah tidak terciptanya kondisi yang kondusif untuk mendorong terciptanya efektifitas dan efisiensi melalui usaha mendekatkan pelayanan publik pada multi-pihak di kampung. Masalah-masalah di atas telah memapankan ketidakberdayaan multipihak. Fakta-fakta yang terungkap melalui analisis ini merupakan bukti bahwa konsep pembangunan yang dilaksanakan selama ini kurang efektifnya dalam: 1. mengkaderkan calon-calon pemimpin kampung yang visioner, berbakat dan berkemampuan dan menciptakan kondisi tata kelola pemerintahan kampung yang berprinsipkan Total Quality Governance (TQG) dan Good Covernance dalam rangka memperkuat kapasitas multi-pihak di Kampung Urumusu. 2. membangun gerakan pembangunan yang terencana guna meningkatkan taraf hidup melalui desentaralisasi dan partisipasi aktif multi-pihak guna mendorong perubahan yang positif pada pengetahuan, keyakinan, sikap dan niat individu untuk meraih kesuksesan atas dasar kekuatan sendiri untuk dapat menepis timbulnya rasa kehilangan menikmati kemerdekaan secara bermartabat. 3. melaksanakan
proses
pembangunan
yang
dapat
memperhatikan
kelangsungan hidup, menjujung tinggi kehormatan diri sebagai manusia dan kebebasan menentukan masa depan dirinya dan kampungnnya melalui proses pembangunan kampung yang berkeadilan dan berkelanjutan. 4. menciptakan kualitas diri manusia berupa keotentikan dan identitas diri serta kemuliaan, kehormatan dan pengakuan sebagai ciptaan Tuhan yang paling mulia (citra Allah).
STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAHAN KAMPUNG URUMUSU
Penyusunan
strategi penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan
kampung adalah untuk memenuhi kebutuhan seluruh stakeholder agar dapat mencapai keberdayaan di bidang ekonomi, sosial dan politik. Melalui penyusunan strategi ini pula diharapkan dapat mengsinkronisasikan (mempertemukan) kebutuhan penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung dengan kebutuhan multi-pihak (stakeholders) lainnya dalam rangka menghadirkan penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang berprinsipkan pada good governance dan Total Quality Management (TQM) dalam tata pengaturan pemerintahan di Kampung Urumusu.
Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu Pemerintahan
Kampung
Urumusu
sedang
berada
pada
kondisi
ketidakberdayaan dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Kelemahan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung dapat dilihat dari berbagai bidang, yakni bidang kapasitas kewenangan, kapasitas keorganisasian, kapasitas personil, kapasitas keuangan, kapasitas sarana dan prasarana, kapasitas fungsi perencanaan pembangunan, kapasitas fungsi pengawasan
pembangunan
dan
kapasitas
fungsi
pendokumentasian
(administrasi) pembangunan serta kapasitas fungsi artikulasi, agregasi dan artikulasi. Dalam kondisi ketidakberdayaan seperti ini, pemerintahan kampung tidak
memungkinkan
(stakeholders)
lainnya
untuk di
memenuhi
Kampung
tuntutan
Urumusu.
kebutuhan
Oleh
sebab
multi-pihak itu,
untuk
memberdayakan multi-pihak di Kampung Urumusu, terlebih dahulu harus melakukan penguatan kapasitas pemerintahan kampung sebagai kompenen yang memiliki kekuasaan pengaturan sebagaimana diamanatkan dalam berbagai petaruran perundang-undangan. Artinya bahwa keberdayaan multi-pihak di Kampung Urumusu sangat ditentukan oleh kapasitas (kemampuan) pengaturan pemerintahan kampung. Dengan kapasitas pemerintahan kampung yang mapan maka akan mampu mengatur (menyelenggarakan) tata pemerintahan. Kebutuhan
128
untuk penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu yang teridentifikasi melalui hasil FGD adalah sebagai berikut:
Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Bidang Kapasitas Kewenangan Pemerintah Kampung Urumusu tidak memiliki kewenangan yang luas (otonomi kampung) dalam penyelenggaraan tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, maka kebutuhan pemerintahan kampung untuk penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan bidang kewenangan (kekuatan pengaturan) adalah sebagai berikut: 1. Pemda Kabupaten Nabire menyerahan sebagian kewenangan yang diterima dari Pemerintah, selanjutnya diserahkan kepada Pemerintah Kampung Urumusu (desentalisasi fiskal, administratif dan politik) untuk dapat membantu dirinya
sendiri
dalam
tugas
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan. 2. Desentralisasi politik, administratif dan fiskal perlu disertai dengan bimbingan, pelatihan dan pendampingan yang berkelanjutan oleh pemerintah supra desa, akademisi dan LSM dalam pelaksanaan tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan.
Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Bidang Keorganisasian Kapasitas keorganisasian Pemerintah Kampung Urumusu masih lemah sehingga belum mampu menata keorganisasian kampung, mengoptimalkan tata laksana administrasi dan mengembangkan budaya kerja dalam penyelenggaraan pemerintahan, pemerintahan
pembangunan kampung
untuk
dan
kemasyarakatan.
penguatan
kapasitas
Maka tata
kebutuhan
kelola
bidang
keorganisasian adalah: 1. Pemerintah Kabupaten Nabire khususnya Kantor Distrik Uwapa, LSM dan akademisi melaksanakan pelatihan, bimbingan dan pendampingan secara berkelanjutan
bidang
keorganisasian,
kepemimpinan
dan
tata
kerja
pemerintahan kampung. 2. Pemerintah Kabupaten Nabire khususnya Kantor Distrik Uwapa sebaiknya mengefektifkan kewajiban tugas fasilitatif, khususnya pendampingan dalam
129
legislasi mulai dari proses perumusan, pembahasan dan penetapan Peraturan Kampung dan Peraturan Kepala Kampung.
Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Bidang Personil Kapasitas personil aparat kampung dalam penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan masih lemah, maka kebutuhan pemerintahan kampung untuk penguatan kapasitas tata kelola bidang personil adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Kabupaten Nabire khususnya Kantor Distrik Uwapa mengoptimalkan pembinaan, pendampingan, supervisi dan pengawasan serta menyediakan buku petunjuk tentang pelaksanaan tugas dan fungsi masingmasing perangkat aparat kampung dalam menyelenggarakan urusan-urusan sebagai berikut: a) urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal usul; b) urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan kabupaten yang diserahkan pengaturannya kepada kampung; c) tugas pembantuan dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten; dan d) urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan diserahkan kepada Kampung. 2. Pemerintah
Kabupaten
Nabire
khususnya
Kantor
Distrik
Uwapa
mengoptimalkan usaha-usaha memotivasi bawahan melalui penghargaan bagi yang berprestasi dan memberikan sanksi bagi yang lalai dalam melaksanakan tugas dan fungsinya.
Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Bidang Keuangan Kapasitas keuangan kampung dalam mendukung tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan masih lemah, maka kebutuhan Pemerintahan Kampung Urumusu untuk mencapai keberdayaan bidang kapasitas keuangan adalah sebagai berikut: 1. Perlu adanya Keputusan Bupati sebagai bukti legalitas penyerahan kewenangan politik dan administratif serta petunjuk pelaksanaannya kepada pemerintahan kampung untuk memobilisasi dana melalui sumber-sumber
130
pendapatan kampung yang berasal dari non desentralisasi fiskal serta melaksanakan desentralisasi fiskal yang menjadi hak Kampung. 2. Pemda Kabupaten Nabire menetapkan petunjuk pelaksanaan tentang pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Kampung, termasuk penyediaan buku-buku modul administrasi keuangan kampung. 3. Pemerintah Kabupaten Nabire khususnya Kantor Distrik Uwapa, LSM, Akademisi perlu melaksanakan bimbingan, pendidikan dan latihan dalam penyusunan, pelaksanaan dan pengawasan proses APB Kampung.
Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Bidang Sarana dan Prasarana Kerja Kapasitas sarana dan prasarana kerja pemerintahan kampung dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan masih lemah maka kebutuhan pemerintahan kampung untuk penguatan kapasitas tata kelola bidang sarana dan prasarana kerja adalah Pemerintah Kabupaten Nabire mengalokasikan anggaran pembangunan balai kampung dan segala perlengkapan kantor melalui APBD Kabupaten Nabire.
Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Bidang Fungsi Perencanaan Pembangunan Kapasitas
fungsi
perencanaan
pembangunan
kampung
untuk
menyelenggarakan tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan masih lemah maka kebutuhan pemerintahan kampung untuk penguatan kapasitas tata kelola bidang fungsi perencanaan pembangunan adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Kabupaten Nabire khususnya Kantor Distrik Uwapa memfasilitasi, melatih dan membimbing pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kampung agar kampung dapat menjadi mesin penggerak pembangunan dan pengembangan wilayah secara terpadu. 2. Pemerintah Kabupaten Nabire khususnya Kantor Distrik Uwapa memfasilitasi pembentukan lembaga kemasyarakat tertentu yang dapat menjadi partner dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta dapat mendata, menggali dan mengelola masalah dan potensi sumber daya kampung.
131
Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Bidang fungsi Pengawasan dan Evaluasi Pembangunan Kapasitas fungsi pengawasan dan evaluasi dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan masih lemah, maka kebutuhan pemerintahan kampung untuk penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung bidang fungsi pengawasan dan evaluasi pembangunan adalah bimbingan dan pendampingan berkelanjutan serta memberikan ruang untuk melaksanakan pengawasan dan evaluasi secara partisipatif atau dengan melibatkan multi-pihak di Kampung Urumusu.
Kebutuhan Penguatan Kapasitas Kelembagaan Pemerintahan Kampung Bidang Pendokumentasian Kapasitas
fungsi
pendokumentasian
hasil,
masalah
dan
potensi
pembangunan kampung dalam tugas menyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan masih lemah, maka kebutuhan pemerintahan kampung untuk penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan bidang fungsi pendokumentasian (administrasi) pembangunan adalah: 1. Pemerintah
Kabupaten
Nabire
khususnya
Kantor
Distrik
Uwapa
menyelenggarakan kegiatan pelatihan, bimbingan dan pendampingan secara berkelanjutan dalam penyelenggaraan tertib administrasi kampung. 2. Pemerintah Kabupaten Nabire menyediakan modul-modul buku administrasi kampung melalui sumber APBD Kabupaten Nabire.
Kebutuhan Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Bidang Fungsi Agregasi, Artikulasi dan Legislasi Kapasitas
fungsi
agregasi,
artikulasi
dan
legislasi
dalam
tugas
penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan masih lemah, maka kebutuhan pemerintahan kampung untuk penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan bidang fungsi agregasi, artikulasi dan legislasi adalah:
1. Pemerintah Kabupaten Nabire khususnya Kantor Distrik Uwapa menyelenggarakan pelatihan, bimbingan dan pendampingan dalam pelaksanaan tugas artikulasi, agregasi, legislasi dan pengawasan.
132
2. Pemerintah Kabupaten Nabire khususnya Kantor Distrik Uwapa mengoptimalkan
tugas
fasilitatif,
khususnya
dalam
memfasilitasi
pembentukan Lembaga Kemasyarakatan Kampung sebagai patner BPK dalam pelaksanaan tugas artikulasi, agregasi dan legislasi.
Issue Strategis Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Urumusu
Berangkat dari asumsi bahwa sumberdaya yang tersedia sangat terbatas maka prioritas penanganan diarahkan pada bidang-bidang yang staregis agar dapat memberikan dampak langsung kepada multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu. Maka melalui FGD pula, ditentukan bidang-bidang terpilih melalui rangking point sebagai issue strategis yang menjadi prioritas penguatan tata kelola pemerintahan kampung, yaitu: 1. Pemerintah Kampung Urumusu tidak memiliki kekuatan secara politik (kewenangan
pengambilan
keputusan)
dan
administratif
(kewenangan
penyelenggaraan pelayanan publik) serta kapasitas fiskal (kewenangan pengaturan keuangan) kampung dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire melaksanakan desentralisasi fiskal, administratif dan politik kepada pemerintahan kampung. 2. Kapasitas
fungsi
perencanaan
pembangunan
kampung,
dalam
tugas
penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan, masih lemah, maka Pemerintah Kabupaten Nabire khususnya Kantor Distrik Uwapa, LSM dan akademisi memfasilitasi, melatih, membimbing dan mendampingi
secara
berkelanjutan
dalam
pelaksanaan
Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kampung, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Kampung serta pelaksanaan APB Kampung. 3. Kapasitas fungsi pengawasan dan evaluasi dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan kampung masih lemah, maka Pemerintah Kabupaten Nabire khususnya Kantor Distrik Uwapa mengoptimalkan kewajiban supervisi dan pengawasan sebagai bagian dari pembinaan. Sedangkan kapasitas fungsi pengawasan dan evaluasi dari multipihak lainnya di Kampung Urumusu masih lemah juga kerena peraturan
133
perundang-undangan yang berlaku, tidak diberikan ruang untuk melaksanakan fungsi pengawasan dan evaluasi pembangunan kampung secara partisipatif maka Pemerintah Kabupaten Nabire membuat Perda tentang Pedoman Umum Tata
Cara
Pelaporan
dan
Pertanggungjawaban
Penyelenggaraan
Pemerintahan Kampung dengan mengacu pada Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2007 dan menambahkan pasal khusus yang dapat memberikan ruang partisipasi aktif multi-pihak di Kampung Urumusu dalam pengawasan dan evaluasi pembangunan kampung. 4. Kapasitas sarana dan prasarana kerja pemerintahan kampung dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan kampung masih lemah, maka Pemerintah Kabupaten Nabire mengalokasikan pembangunan balai kampung, perlengkapan kantor, menyediakan buku petunjuk dan modul-modul administrasi kampung melalui APBD. 5. Kapasitas
fungsi
agregasi,
artikulasi
dan
legislasi
dalam
tugas
penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan kampung masih lemah, maka Pemerintah Kabupaten Nabire khususnya Kantor Distrik Uwapa, LSM dan akademisi menyelenggarakan pelatihan, bimbingan dan pendampingan dalam pelaksanaan fungsi artikulasi, agregasi dan legislasi bagi Badan Permusyawaratan Kampung dan lembaga kemasyarakatan.
Penentuan Stakeholders dan Target Dalam Program Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Berdasarkan analisis dan kebutuhan prioritas, maka penyerahan kewenangan, keuangan dan pembinaan dari penguasa (Pemda Kabupaten) yang sedang mempertahankan status quo terhadap amanat Rekomendasi Nomor 7, Keputusan MPR No IV/MPR-RI/2000, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 dengan menetapkan beberapa Perda tentang Kampung pada Bulan Desember 2007 yang memungkinkan untuk tidak memberikan atau menarik kembali desentralisasi fiskal, administratif dan politik serta memberikan kewenangan pembinaan desentralisasi fiskal, administratif dan politik kepada Kantor Distrik yang berada dalam kondisi ketidakberdayaan, maka intervensi yang
134
tepat adalah advokasi kebijakan untuk penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Mengingat kapasitas SDM peserta FGD yang pada umumnya tamatan Sekolah Dasar (SD), maka pengkaji terlebih dahulu memaparkan beberapa pendekatan penanganan masalah beserta teknik penanganan dan dampaknya. Setelah masyarakat mengetahuinya, maka disepakati bahwa penanganan 5 (lima) issue strategis, dilakukan melalui pendekatanpendekatan yang sering digunakan dalam penanganan konflik dan penguatan kapasitas organisasi (capacity building). Alasan adalah issue strategis dalam penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan lebih banyak mengarahkan
pada
perubahan
kebijakan
pemerintahan
di
tingkat
Kabupaten. Sementara di lain pihak, Pemerintah Kabupaten Nabire lebih memilih mempertahankan status Quo. Multi-pihak di Kampung Urumusu menginginkan adanya pembagian kekuasan, yakni
dengan jalan
melaksanakan desentalisasi fiskal (keuangan), adminstratif (pelayanan publik)
dan
politik
(pengambilan
keputusan).
Hal
ini
berpeluang
menimbulkan konflik kepentingan. Dengan alasan inilah penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung memilih pendekatan konflik dan penguatan kapasitas organisasi untuk memperkuat posisi tawar pemerintahan kampung terhadap pihak Pemda Kabupaten Nabire. Sedangkan
pendekatan
penguatan
kapasitas
organisasi
(cappacity
building) juga penting untuk menentukan visi, misi, prinsip (nilai), issu strategis, sasaran, tujuan, strategi, program, kegiatan, stakeholders dan lainnya yang tersaji pada tabel 14 pada halaman 146 dan bagan 16 pada halaman 147. Dengan pendekatan diharapkan dapat menjadi sarana mencapai perubahan yang diinginkan multi-pihak di Kampung Urumusu. Untuk mendapatkan perubahan tanpa adanya konfik, maka didahului dengan analisa kekuatan, kawan dan lawan. Dengan analisa ini diharapkan dapat menentukan stakeholders potensial dan lawan potensial. Dengan teridentifikasinya stakeholdes potensial akan sangat bermanfaat dalam menggalang sekutu dalam advokasi kebijakan untuk terhadap penguatan
135
kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Dua alat utama yang digunakan adalah: 1. Identifikasi kekuatan, yang terdiri dari 3 (tiga) tahapan. Ketiga tahapan dianalisa secara berurutan dan merupakan satu kesatuan, yaitu: a. Analisa Kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman (KEKEPAN). Analisa ini digunakan untuk mengukur kapasitas seluruh komponen yang berkepentingan (stakeholders) di Kampung Urumusu dalam mengadvokasi 5 (lima) issue strategis. Untuk mengukur (menilai) kapasitas internal dengan menggunakan kekuatan dan kelemahan. Sedangkan
untuk
mengukur
kapasitas
eksternal
dengan
mengunakan peluang dan ancaman.
b. Analisa Medan Kekuatan. Analisa ini merupakan lanjutan dari analisa KEKEPAN, yakni dari hasil pengukuran kapasitas eksternal. Alat ini digunakan untuk mengidentifikasi kekuatan-kekuatan (organisasi dan individu) yang berkepentingan
dengan
penyelenggaraan
Pemerintahan
di
Kabupaten Nabire. Mereka dikelompokkan dalam tiga kelompok, yakni 1) kelompok kawan (pemerhati) pemerintahan kampung dan masyarakat kampung; 2) kelompok netral; dan 3) kelompok lawan (status guo) atas perubahan 5 issue strategis. c. Analisa Pemetaan Kekuasan. Analisa ini merupakan lanjutan dari analisa medan kekuatan dan merupakan pelengkap. Pada tahapan ini sudah menggerakkan pada proses perencanaan advokasi. Pemetaan kekuasan bertujuan untuk mengetahui pemain (organisasi) dan posisi (individu kunci). Setelah teridentifikasi,
selanjutnya
mengurutkan
menurut opini
urutan
kepentingan, baik yang terang-terangan maupun yang tersembunyi. Pada bagian akhir mengkategorisasi dengan kode sebagai berikut: O
136
= Oposan (lawan); S = Supporter (pendukung); U = Uncommited (tidak berkomitmen/netral) dan ? = Tidak Tahu. Dengan alat analisa ini akan membantu dalam menentukan strategi pendekatan untuk masing-masing kelompok dengan issu promosi keberpihakan pada penguatan kapasitas pemerintahan kampung yang berbeda-beda berdasarkan kepentingan nyata maupun yang tersembunyi. 2. Klasifikasi kawan dan lawan Melalui identifikasi kekuatan (alat analisa 1) telah teridentifikasi organisasi dan individu (tokoh kunci) yang mendukung advokasi penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung dan kelompok lawan (status guo) yakni organisasi dan individu (tokoh kunci) yang akan menentang
tujuan
advokasi.
Maka
langka
selanjutnya
adalah
melakukan klasifikasi kawan dan lawan. Alat analisa ini akan membantu mengklasifikasi hal-hal sebagai berikut: a. Analisis Penentuan Target Alat analisa ini digunakan untuk menentukan siapa target (orang atau organisasi) baik target primer maupun target sekunder dalam pembuat keputusan penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung.
b. Analisis Aliasi (teman/stakeholders) Alat analisa ini digunakan untuk menentukan siapa target (orang atau organisasi) yang bersimpati pada penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Melalui analisa ini pula teridentifikasi nama orang atau organisasi pemerhati primer maupun sekunder, tingkat dukungannya, motivasi atau agenda dan derajat pengaruh. c. Analisis Lawan atau Musuh Alat analisa ini digunakan untuk menentukan mereka yang berlawanan dengan penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan
137
kampung. Melalui analisa ini pula teridentifikasi nama orang atau organisasi lawan primer maupun sekunder, tingkat dukungan di belakang mereka, motivasi atau agenda dan derajat pengaruh, taktik kita dan resiko untuk kita. Berdasarkan semua analisa di atas maka kekuatan, kawan dan lawan potensial teridentifikasi. Kekuatan, kawan dan lawan potensial dimaksud tersaji seperti pada tabel 12 di halaman 137. Semua strategi pendekatan dan issue penawaran bagi masing-masing organisasi yang teridentifikasi di dalam tabel ini akan dimanfaatkan pada saat menggalang sekutu untuk melakukan
advokasi
kebijakan
penguatan
kapasitas
tata
kelola
pemerintahan kampung. Peta kekuatan, kawan dan lawan potensial yang telah teridentifikasi, maka langka selanjutnya adalah memetakan oposisi dalam advokasi kebijakan penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung. Melalui alat analisa ini tergambar target lawan utama (oposisi), peta kekuatan pendukung penguasa (oposisi) serta taktik multi-pihak (stakeholders) untuk menandingi agenda atau kebutuhan yang kelihatan maupun yang tersembunyi serta mendapatkan gambaran resikonya yang akan dihadapi jika mengalami kegagalan dalam mengadvokasi. Analisa pemetaan oposisi dalam advokasi kebijakan penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung dapat dilihat pada tabel 13 di halaman 140.
Tabel: 12 STRATEGI MEMBANGUN SEKUTU (ALLIENCE) MELALUI ANALISA PEMETAAN KEKUASAAN DAN ANALISA MEDAN KEKUATAN
NO
TARGET (NAMA ORGANISASI DAN PIMPINANNYA)
1 I
2
PEMETAAN KEKUASAAN TEMAN Dekat Jauh
3
4
LAWAN Dekat
Jauh
5
6
MEDAN KEKUATAN PENGARUH PELUANG KE MASDUKUYARAKAT NGAN
MOTiVASI/ AGENDA/KEBUTUHAN KELIHATAN
TERSEMBUNYI
HUB. STRATEGI DGN PENDEPENGUKATAN ASA
ISSUE PENAWARAN
WAKTU KETEMU
7
8
9
10
11
12
13
14
Koordinator advokasi Otonomi dan pemberdayaan Kampung untuk pengikatan usaha EKORA bagi masyarakat adat agar dapat meraih legitimasi dan prestasi
12/2007
LSM
01
YABIMU
9
Besar
Besar
Keberhasilan pendampingan EKORA, masyarakat adat dan advokasi kebijakan
Mendapatkan prestasi (penghargaan) dan Legitimasi dari masyarakat dan pemerintah
Jauh
Kolaborasi
02
PCI
9
Kecil
Besar
Keberhasilan pendampingan peningkatan kualitas kesehatan masyarakat
Mendapatkan prestasi (penghargaan) dan Legitimasi dari masyarakat dan pemerintah
Netral
Pendampingan kesehatan masyarakat secaLobi dan ra berkelanjutan bersama kapasitas pemerin12/2007 negosiasi tahan kampung yang mapan untuk meraih legitimasi dan prestasi melalui pendampingan
Netral
Pendampingan EKORA secara berkelanjutan Lobi dan bersama kapasitas pemerintahan kampung 12/2007 negosiasi yang mapan untuk meraih legitimasi dan prestasi melalui pendampingan
Kecil
Keberhasilan pendampingan dalam peningkatan kualitas kesehatan masyarakat
Legitimasi dari masyarakat, pemerintah dan dukungan dana dari pemerintah
Dekat
Pendampingan kesehatan masyarakat secaLobi dan ra berkelanjutan bersama kapasitas pemerin12/2007 negosiasi tahan kampung yang mapan untuk meraih legitimasi dan prestasi melalui pendampingan
Jauh
Pendampingan hukum dalam advokasi kebikolaborasi jakan untuk mendapat legitimasi dan prestasi 09/2010 dalam menegakkan supremasi hukum
Netral
Pendampingan EKORA secara berkelanjutan Lobi dan bersama kapasitas pemerintahan kampung 12/2007 negosiasi yang mapan untuk meraih legitimasi dan prestasi melalui pendampingan
03
PPD PAPUA
9
Sedang
Mendapatkan prestasi (penghargaan) dan Legitimasi dari masyarakat dan pemerintah
04
PRIMARI
05
ELSHAM Papua Cab. Nabire, LBH Jayapura dan Pengacara Yustinus dan rekan
9
Besar
Besar
Mendapatkan prestasi Keberhasilan program (penghargaan) dan Legiadvokasi HAM dan timasi dari masyarakat supremasi hukum dan pemerintah
06
OXFAM
9
Sedang
Besar
Keberhasilan pendampingan dalam peningkatan EKORA
9
Kecil
Keberhasilan penSedang dampingan dalam peningkatan EKORA
Mendapatkan prestasi dan Legitimasi dari masyarakat dan pemerintah
137
1
2
II
ORMAS DAN ORPOL
01
Forum Petani Kakao Kabupaten Nabire
02
Forum Antar Kampung di Setiap Distrik dan Forum Antar Kampung di seluruh Kabupaten Nabire
03
Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Kampung di seluruh Kabupaten Nabire
3
4
5
6
9
7
8
Besar
Besar
Pengentasan hama dan penyakit oleh Pemda
Besar
Penyerahan kewenangan, Dukungan keuangan keuangan dan ketrampilan untuk pemberdayaan pengelolaan untuk memKampung oleh Pemda berdayakan Kampung secara mandiri
Besar
Dukungan keuangan Penyerahan kewenangan, untuk pemberdayaan keuangan dan ketrampilan Kampung oleh Pemda pengelolaan untuk memberdayakan Kampung secara mandiri
Besar
9
Besar
9
9
10
Pengentasan hama dan penyakit secara mandiri
11
12
13
14
Netral
Pemberdayaan petani kakao secara mandiri Kolaborasi dan berkelanjutan melalui penguatan kapasitas pemerintahan kampung
09/2008
Netral
Pemberdayaan masyarakat kampung bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyaLobi dan rakatan secara mandiri dan berkelanjutan negosiasi melalui penguatan kapasitas pemerintahan kampung
09/2008
Netral
Pemberdayaan masyarakat kampung bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyaLobi dan rakatan secara mandiri dan berkelanjutan negosiasi melalui penguatan kapasitas pemerintahan kampung
09/2008
Netral
Pemberdayaan masyarakat kampung bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyaLobi dan rakatan secara mandiri dan berkelanjutan negosiasi melalui penguatan kapasitas pemerintahan kampung
09/2008
04
Kepala Kampung di seluruh Kabupaten Nabire
9
Besar
Besar
Dukungan keuangan Penyerahan kewenangan, untuk pemberdayaan keuangan dan ketrampilan Kampung oleh Pemda pengelolaan untuk memberdayakan Kampung secara mandiri
05
Partai Politik dan politisi non anggota DPRD
9
Besar
Besar
Kebutuhan affeksi (berorganisasi)
Penghargaan melalui dukungan politik pada Pemilu Legislatif
Netral
Lobi dan Mendapatkan legitimasi dan dukungan politik 09/2009 negosiasi pada Pemilu Legislatif
06
Calon Bupati dan Wakil Bupati
9
Sedang
Besar
Kebutuhan affeksi (berorganisasi)
Penghargaan melalui dukungan politik pada Pemilihan Bupati
Jauh
kolaborasi
07
Lembaga-lembaga keagamaan dan adat
Besar
Besar
Membina kesejahteraan dunia dan akhirat bagi masyarakat kampung oleh Pemda
Membina kesejahteraan dunia dan akhirat bagi masyarakat kampung secara mandiri.
Netral
Pemberdayaan masyarakat kampung bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyaLobi dan rakatan (keimanan dan adat) secara man-diri negosiasi dan berkelanjutan melalui penguatan kapasitas pemerintahan kampung
09/2008
08
TNI, POLRI, Kejaksaan, Pengadilan dan PNS (staf)
Besar
Besar
Adanya jaminan keamanan dan tertib hukum
Legitimasi dari masyarakat dan aktualisasi diri
Nertal
Jaminan keamanan dengan adanya penguaLobi dan tan kapasitas pemerintahan kampung yang negosiasi mapan dan pemberdayaan masyarakat.
09/2010
9
9
Mendapatakan legitimasi dan dukungan pada 08/2008 Pemilihan Bupati
138
1
2
3
4
5
6
7
8 Besar
09/2010
Kecil
Keberlanjutan usaha Dukungan keuangan dari pemerintah secara dan mendukung berkelanjutan stabilitas daerah
Dekat
Penguatan kapasitas pemerintahan kamLobi dan pung untuk pemberdayaan masyarakat negosiasi secara mandiri untuk peningkatan pandapatan konsumen (perluasan pasar)
09/2008
Besar
Memanjukan kesejLegitimasi dari masahteraan umum yarakat dengan seluruh masyarakat di sentralisasi kekuasaan Kab. Nabire
Penawaran konsep tandingan (penyerahan Lobi dan sebagain kekuasan) untuk mendapat negosiasi legitimasi dan memajukan kesejahteraan umum
09/2008
Besar
Besar
Memanjukan kesejLegitimasi dari masahteraan umum yarakat dengan seluruh masyarakat di sentralisasi kekuasaan Kab. Nabire
Dekat
Penawaran konsep tandingan (penyerahan Lobi dan sebagain kekuasan) untuk mendapat negosiasi legitimasi dan memajukan kesejahteraan umum
09/2008
Besar
Besar
Memanjukan kesejahteraan umum seluruh masyarakat di Kab. Nabire
Dukungan keuangan dan kekuasaan dari Bupati untuk pembinaan masyarakat Kampung
Dekat
Jaminan peningkatan keuangan dan keLobi dan kuasaan dari Bupati untuk pembinaan negosiasi Kampung.
09/2008
Besar
Memanjukan kesejahteraan umum tingkat kelurahan di Kab. Nabire
Dukungan keuangan dan kekuasaan dari Kepala Distrik untuk pembinaan masyarakat Kampung
Netral
Jaminan penyerahan kewenangan dan keuangan dari Bupati melalui Distrik sebagai Lobi dan usaha pembinaan Kelurahan bersamaan negosiasi dengan penguatan kapasitas pemerintahan kampung
09/2010
Tokoh adat bentukan pemerintah
9
Kecil
11
TVRI, Papua Pos dan Pengusaha
9
Besar
14
Kantor Distrik dan Badan Pemberdayaan Masyarakat Kampung
15
Kelurahan
Besar
9
9
9
14
Lobi dan Otonomi dan pemberdayaan Kampung negosiasi secara mandiri
10
Ketua dan Anggota DPRD
13
Dekat
Besar
13
12
Dukungan keuangan dari pemerintah
9
9
11
Pemberdayaan masyarakat kampung secara Lobi dan mandiri dan berkelanjutan melalui penguatan 09/2010 negosiasi kapasitas pemerintahan kam-pung akan peningkatan pandapatan mahasiswanya
Universitas SWM Nabire
Bupati
10
Dekat
09
12
9
Besar
Keberlajutan lembaga Dukungan keuangan dari kampus pemerintah
Legitimasi dari masSedang yarakat , pemerintah dan aktualisasi diri
139
Tabel: 13 STRATEGI PEMETAAN OPOSISI NAMA ORGANISASI YANG MENENTANG 1. Kantor Distrik dan BPMK 2. TVRI, Papua Pos Nabire dan pengusaha 3. Tokoh adat bentukan Penguasa. 4. Universitas SWM Nabire 5. TNI, POLRI, Kejaksaan, Pengadilan dan PNS NAMA OPOSISI DAN KEBUTUHAN/AGENDA
Target: 1. Bupati (target utama) 2. Ketua dan Anggota DPRD (target kedua) Agenda: Memajukan kesejahteraan umum melalui sentralisasi kekuasaan.
LEVEL DUKUNGAN DI BELAKANG MEREKA
Sangat besar karena didukung oleh penguasa
TUJUAN KITA UNTUK MENANDINGI MEREKA Pemberdayaan masyarakat kampung melalui penanganan 5 (lima) issue strategis dalam rangka penguatan kapasitas pemerintahan kampung sebagai bagian dari upaya memajukan kesejahteraan umum dan mendapatkan legitimasi dari masyarakat melalui revisi beberapa Perda, dan menetapkan Peraturan Bupati sebagai aturan pelaksana dan mengimplementasikannya dalam penyelenggaraan Pemerintan Daerah dan Pemerintahan Kampung.
AGENDA/MOTIFASI/KEBUTUHAN
1. Memilih rasa aman dan menjaga stabilitas daerah. 2. Mendapat dukungan keuangan dari penguasa (Pemda Kabupaten) 3. Keberlangsungan usaha
DERAJAT PENGARUH MEREKA Pengaruh mereka sangat besar dan sangat berpeluang untuk menggandeng teman jauh melalui kekuatan kekuasan, keuangan, kekuatan hukum dan kekuatan media massa.
TAKTIK KITA
RESIKO
1. Mempromosikan 5 (lima) issue strategis, yakni penyerahan sebagian kewenangan (kekuasan); keuangan; penguatan kapasitas perencanaan; pengawasan dan evaluasi; sarana dan prasarana serta agregasi, artikulasi dan legislasi untuk memunculkan konsep tandingan, mempengaruhi pelaksana dan pembuat kebijakan, mempengaruhi pandapat umum dan melancarkan tekanan. 2. Menggalang sekutu baik teman dekat, teman jauh dan lawan jauh untuk mendukung advokasi kebijakan melalui rancangan konsep tandingan, mempengaruhi pelaksana dan pembuat kebijakan, mempengaruhi pendapat umum dan melancarkan tekanan untuk melaksanakan penanganan atas 5 (lima) issue strategis. Selain itu, penggalangan sekutu diharapkan untuk mobilisasi sarana pendu-kung (dana, logistik, informasi, akses) dan pengorganisasian serta penyadaran masyarakat untuk perubahan sosial. 3. Membangun basis gerakan sosial untuk perubahan sosial melalui melancarkan tekanan atau konfrontasi terhadap target utama.
Kegagalan menggalang sekutu di pihak kita akan beresiko karena berpelung menjadi sekutu lawan yang pada akhirnya menjadi kekuatan lawan (target). Hal ini akan berpeluang besar pada kegagalan advokasi dan mendapatkan lebel pengganggu Kantibmas.
140
142
Penyusunan Rencana Penguatan Kapasitas Tata Kelola Pemerintahan Kampung Secara Terpadu
Hal-hal yang dibutuhkan dalam menyusun strategi untuk advokasi kebijakan dalam rangka penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung secara terpadu adalah sebagai berikut: 1. Penentuan
Issue
strategis
penguatan
kapasitas
tata
kelola
Pemerintahan Kampung Urumusu Yang menjadi Issu strategis yang menjadi fokus perhatian dalam penguatan kapasitas pemerintahan kampung adalah 5 (lima) issue strategis yang sudah teridentifikasi melalui FGD gabungan dengan menggunakan alat analisa Masalah dan Kebutuhan. Kelima issue tersebut kemudian akan dikemas semenarik mungkin sebagai bahan promosi untuk mempengaruhi pembuat dan pelaksanan kebijakan serta mempengaruhi pendapat umum. 2. Penentuan sasaran dan tujuan penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu. Sasaran yang ingin dicapai adalah menciptakan kebijakan, mereformasi kebijakan dan mendorong pelaksanaan (implementasi) kebijakankebijakan, khususnya Perda-Perda yang mengaturan tentang tata kelola pemerintahan kampung. Sedangkan tujuan yang ingin dicapai untuk penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung adalah:
143
a. Pemda Kabupaten Nabire menyerahkan sebagian urusan kewenangan fiskal, administratif dan politik yang diterima dari Pemerintah kepada Pemerintahan Kampung Urumusu agar dapat memberdayakan komunitas petani kakao secara mandiri dan berkelanjutan. b. Kantor Distrik Uwapa memfasilitasi, melatih dan membimbing, mendampingi secara berkelanjutan dalam pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kampung, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung serta pelaksanaan APB Kampung. c. Pemerintah Kabupaten Nabire dan Distrik Uwapa mengoptimalkan supervisi, pengawasan dan pembinaan serta memberikan ruang partisipasi aktif seluruh stakeholder dalam pengawasan dan evaluasi proses penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di kampung. d. Pemerintah Kabupaten Nabire mengalokasikan pembangunan balai kampung, perlengkapan kantor, menyediakan buku petunjuk dan modulmodul administrasi kampung melalui APBD Kabupaten Nabire. e. Pemda Kabupaten Nabire melalui Kantor Distrik Uwapa menyelenggarakan pelatihan, bimbingan dan pendampingan dalam pelaksanaan tugas artikulasi, agregasi dan legislasi bagi Badan Permusyawaratan Kampung dan lembaga kemasyarakatan kampung agar dapat melembagakan (internalisasi) nilai dan norma dalam bentuk Peraturan Kampung sebagai sarana pembinaan modal sosial melalui kebijakan publik.
3. Strategi penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu. Strategi yang digunakan penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu adalah Advokasi Kebijakan. Peserta FGD memilih pendekatan ini karena
Perda-perda tentang pemerintahan kampung yang
berlaku dari tahun 2001-2007 tidak diimplementasikan dan hanya ditetapkan untuk memenuhi syarat administrasi negara. Sedangkan Perda Kabupaten Nomor 32
Tahun 2007
Tentang Pengaturan Kewenangan Kampung
diprediksikan bahwa akan bernasib sama dengan perda-perda sebelumnya mengingat beberapa pasal yang memungkinkan untuk tidak melakukan penyerahan dan atau penarikan kewenangan, seperti: a) pasal 5 ayat 1, yang memungkinan
tidak
menyerahkan
kewenangan
dengan
pertimbangan
144
kemampuan personil Kampung, kemampuan keuangan daerah (APBD), efisiensi dan efektifitas; b) pasal 8 ayat 3, yang memungkinan menarik kembali kewenangan dengan pertimbangan pelaksanaan kewenangan tidak efektif selama 2 (dua) tahun sejak penyerahan kewenangan; dan c) pasal 10 ayat 2 dimana pembinaan dan pengawasan atas penyelenggaraan kewenangan Kampung diserahkan kepada Distrik yang pada saat ini berada dalam kondisi ketidakberdayaan. Selain itu Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, Peraturan Pemerintah No. 75 Tahun 2005, Kepmendagri No. 35 Tahun 2007 Tentang Pedoman Umum Tata Cara Pelaporan dan Pertanggung Jawaban Penyelenggaran Pemerintahan Desa tidak memberikan ruang untuk melakukan pengawasan dan evaluasi secara partisipatif. Yang berhak
mengevalusi
proses
pembangunan
Kampung
adalah
Bupati
berdasarkan Laporan Pertanggungjawaban Tahunan. Masyarakat Kampung hanya mempunyai hak untuk mendapatkan informasi atas penyelenggaran tugas
pemerintahan,
pembangunan
dan
kemasyarakatan
Kampung
sebagaimana diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan diatas. Peserta FGD beranggapan bahwa pengawasan dan evaluasi penyelenggaraan tugas pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara partisipatif dari warga kampung sangat dibutuhan untuk melakukan rekonstruksi pembangunan yang berkenjutan sesuai kebutuhan dan keinginan serta dinamika masyarakat kampung dibandingkan dengan sekedar menerima informasi dari ringkasan Laporan Pertanggungjawaban Tahunan kepada Bupati. Selain itu, peserta FGD beranggapan bahwa yang merasakan hasil dan dampak dari pembangunan di kampung adalah masyarakat kampung, bukan
Bupati,
maka
yang
berhak
mengevaluasi
pelaksanaan
tugas
penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan adalah masyarakat kampung sebagai penerima dampak dari pembangunan.
4. Program penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu. Program penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu adalah sebagai berikut: a. Mempromosikan keberpihakan pada penguatan kapasitas tata kelola pemerinta-han Kampung (menjual issue strategis), terlebih diarahkan pada
145
orang atau organisasi yang menentang (lawan) dan teman jauh serta oposisi (Bupati dan DPRD). b. Menggalang sekutu (alliance atau stakeholders) untuk advokasi penguatan kapasitas Kampung. c. Membangun basis gerakan sosial untuk advokasi perubahan sosial (penguatan kapasitas Kampung).
5. Kegiatan penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu. Kegiatan penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dilakukan secara bertahap dengan urutan tahapan sebagai berikut: a. Memunculkan konsep tandingan melalui saran-saran perbaikan penguatan kapasitas dari kajian komunitas; b. 1). Mempengaruhi pembuat dan pelaksanaan kebijakan melalui Lobi, Negosiasi, Mediasi dan Kolaborasi; 2). Mempengaruhi pendapat umum melalui jajak pendapat, selebaran, stiker, pamflet, policy paper, ulasan pers, dialog Interaktif.
c. Melancarkan tekanan atau konfrontasi melalui unjuk rasa, siaran pers, pernyataan mosi tidak percaya, mogok, boikot dan aksi massa lainnya. 6. Penentuan Stakeholders Berdasarkan hasil identifikasi kekuatan kawan dan lawan potensial serta pemetaan oposisi, maka yang menjadi koordinator dalam advokasi kebijakan ini adalah YABIMU. Sedangkan stakeholders utama lainnya yang akan bergandeng melaksanakan advokasi ini adalah OXFAM, PCI, PPD Papua, Forum antar kampung, Forum kepala kampung, Forum BPK dan Forum petani kakao. Stakeholders potensial yang akan digandeng adalah Calon Bupati dan Wakil Bupati Nabire periode 2009-2014, Partai Politik, Politisi Non DPRD dan seluruh Kelurahan yang ada di Nabire. Target oposisi yang menjadi fokus pendekatan stakeholders adalah sebagai berikut: a) target oposisi primer (oposisi utama) adalah Bupati Kabupaten Nabire dan DPRD kabupaten Nabire; dan b) target oposisi sekunder (lawan jauh) dalah Kantor Distrik dan BPMK, TVRI, Papua Pos
146
Nabire, pengusaha, Tokoh adat bentukan penguasa, Universitas SWM Nabire, TNI, POLRI, Kejaksaan, Pengadilan dan PNS.
7. Waktu Pelaksanaan Penentuan waktu merupakan penyesuaian dari agenda politik daerah dan nasional serta kebutuhan kawan dan lawan, seperti pemilu legislatif, pemilihan kepala daerah, proses APBD Kabupaten Nabire, musin panen kakao dan lainnya. Waktu pelaksanaan dalam advokasi kebijakan erat kaitannya dengan tahapan intervensi pada point 3 (tiga) diatas maka waktu pelaksannaan direncanakan dalam 3 (tiga) tahapan yakni sebagai berikut: a. Intervensi tahap pertama akan dilakukan pada tahun 2008 Pada tahapan ini akan memunculkan konsep tandingan dan agenda politik daerah pada tahun ini adalah Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Nabire yang akan menjadi sasaran lobi dan negosiasi. b. Intervensi tahap kedua akan dilakukan pada tahun 2009 Pada tahapan ini akan mempengaruhi pembuat dan pelaksanakan kebijakan. Agenda politik daerah pada tahun ini adalah 100 hari pertama Bupati dan Wakil Bupati terpilih Kabupaten Nabire, Pemilu Nasional dan APBD. Bupati dan Wakil Bupati terpilih, anggota legislatif (DPRD) dan Calon legislatif akan menjadi sasaran lobi dan negosiasi.
c. Intervensi tahap ketiga akan dilakukan pada tahun 2010 Pada tahapan ini akan menggalang sekutu dan membangun basis gerakan sosial yang lebih erat untuk melancarkan tekanan atau konfrontasi jika tidak terjadi perubahan atas 5 (lima) issue strategis pada rancangan APBD Kabupaten Nabire Tahun Anggran 2010 di Bulan Desember 2009. Agenda penting pada tahun ini adalah teman jauh dan lawan jauh akan menjadi sasaran lobi dan negosiasi dan teman dekat menjadi sasaran kolaborasi. Informasi tenting menyangkut advokasi kebijakan, yakni target advokasi, pemetaan kekuatan, medan kekuatan, motivasi atau kebutuhan stakeholders, hunbungan penguasa dan stakeholders, strategi pendekatan, issue penawan
147
dalam kolaborasi, lobi dan negosiasi serta jadwalnya dapat dilihat pada tabel 12 di halaman 137. Pada tabel 14 pada halaman 146 menyajikan rencana program advokasi terpadu atau tabel kerangka logis advokasi kebijakan terpadu serta bagan 16 pada halaman 147 disajikan tentang kerangka logis advokasi kebijakan terpadu.
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN
Kesimpulan Sebelum tahun 1984, masyarakat di Kampung Urumusu adalah penduduk Distrik Mapia. Mata pencaharian utama penduduk adalah petani kakao. Luas lahan kakao yang dimiliki masyarakat saat ini sudah mencapai 312 hektar. Secara georgafis, Kampung Urumusu berada pada posisi 40,15”LU - 40,40” LS dan 130010” BB -130045” BT. Luas wilayah adalah panjang 28 Km dan lebar 13 Km. Pemanfaatan lahan atau pola tata guna tanah di Kampung Urumusu didominasi oleh wilayah hutan tropis alami (60 %). Sedangkan lokasi pemukiman penduduk dan pertanian kakao (30 %), hutan ladang berpindah dan rawa (10%). Jaringan jalan primer, yaitu jalan yang menghubungkan Kabupaten Nabire dan Kabupaten Paniai. Jaringan listrik, telekomukasi, Pos dan air bersih masih belum membuka cabangnya. Fasilitas pemerintahan yang dimiliki adalah Balai Kampung, 1 unit SD Negeri Inpres dan 1 (satu) unit Polindes. Fasilitas perekonomian yang dimiliki adalah 1 (satu) Kelompok Usaha Bersama (KUBE). Sedangkan Fasilitas peribadatan yang dimiliki adalah Gereja Katholik St. Yahanes dan GKII Bedeida. Menurut tingkat pendapatan Kepala Keluarga (KK), 83 % KK dari total 78 KK di Kampung Urumusu berpendapatan di bawah angka Upah Minimim Provinsi (UMP) Papua. Sedang berdasarkan mata pencaharian, 73 (94%) KK bermata pencaharian sebagai petani kakao. Menurut asal suku, sebanyak 256 jiwa atau 77% penduduk Kampung Urumusu berasal dari Suku Ekagi dan 82% penduduk Kampung Urumusu berpendidikan di bawah tamatan SD. Kondisi ekonomi, sosial dan politik masyarakat sedang tidak berdaya karena: 1) Pemerintah Kampung kurang mampu melaksanakan usaha-usaha pengentasan hama dan penyakit secara terpadu serta masalah sosial lainnya; 2) Pemerintah Kampung
sering
mempraktekkan
ketidaktepatan
sasaran,
prosedur
dan
pengorganisasian dalam pelaksanaan tugas pembantuan dari pemerintah supra desa. 3) masyarakat masih trauma dengan bangkrutnya KUD dan Kopermas yang pernah dibangun bersama; 4) lembaga-lembaga kemasyarakatan kurang efektif dalam memperjuangkan aspirasi anggotanya; 5) Kepala Kampung sebagai pembina lembaga kemasyarakatan kurang efektif dalam melaksanakan tugas pembinaan dan pengawasan langsung pada lembaga kemasyarakatan; dan 6)
149
Pemerintahan Kampung kurang mampu melaksanakan usaha pembinaan modal sosial melalui kebijakan publik di tingkat kampung. Selain itu secara politik, masyarakat
juga
telah
kehilangan
ruang
partisipasi
aktif
dalam
proses
perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan, pemeliharaan serta pengawasan dan evaluasi
proses
pembangunan
Kampung.
Yang
menjadi
penyebab
ketidakberdayaan di bidang politik adalah: 1) Pemerintahan Kampung Urumusu kurang mampu menyelenggarakan Musrenbang Kampung dan proses APB Kampung sesuai prosedur yang merupakan satu kesatuan
dari sistem
perencanaan dan pembiayaan pembangunan nasional; 2) BPK Urumusu kurang efektif dalam melaksanakan tugas dan fungsinya; dan 3) Pemerintah Kampung tidak pernah
melaksanakan
pertanggungjawaban
dan
evaluasi
atas
proses
pembangunan, khususnya dalam pelaksanaan tugas pembantuan. Hasil evaluasi Program Pemberdayaan Kampung (PPK) menunjukan bahwa tujuan PPK untuk pengembangan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu dalam tugas penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan yang berkelanjutan tidak tercapai karena realisasi PPK yang tidak demokratis, tidak prosedural, tidak terorganisir, tidak realistis dan tidak disertai dengan pendampingan. Kondisi ini mencerminkankan bahwa kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu tetap lemah. Lemahnya kapasitas tata kelola Pemerintahan
Kampung
Urumusu
berdampak
pada
ketidakmampuan
pemerintahan kampung dalam memenuhi kebutuhan multi-pihak (stakeholder) di kampung, seperti: 1) belum mampu mengotimalkan kewenangan teknis dalam program pembantuan untuk mengsingkronisasikan dengan visi, misi dan Rencana Strategi
Pembangunan
Kabupaten;
2)
kapasitas
keorganisasian
dalam
melaksanakan ketatalaksanaan adminitrasi dan mengimplementasikan budaya organisasi yang baik masih lemah; 3) kapasitas SDM aparat pemerintahan dan masyarakat kampung masih lemah karena pelaksanaan PPK tidak menjadi sarana proses belajar masyarakat dalam melaksanakan tata pemerintahan; 4) kapasitas keuangan (penerimaan) dan pengelolaan keuangan seperti manajemen keuangan, penyusun
sistem
penganggaran
keuangan
kampung
masih
serta
lemah;
5)
melaksanakan kapasitas
pertanggungjawaban
sarana
dan
prasarana
pemerintahan kampung dalam rangka menunjang pelayanan kepada masyarakat tidak memadai; 6) kapasitas fungsi perencanaan masih lemah sehingga tidak pernah melaksanakan proses Musrenbang dan APB Kampung secara partisipatif serta mengoptimalkan pelaksanaan fungsi Lembaga Pemberdayaan Masyarakat
150
Kampung (LPMK) dan lembaga kemasyarakatan lainnya sebagai lembaga perencana dan pelaksana dalam proses pembangunan; 7) fungsi pengawasan Pemda Kabupaten Nabire, masyarakat dan lembaga-lembaga kemasyarakatan di kampung tidak berjalan efektif; 8) kapasitas fungsi pendokumentasian masih lemah sehingga kualitas ketatausahaan administrasi kampung belum tercipta; 9) kapasitas fungsi artikulasi dan agregasi Badan Permusyawaran Kampung (BPK)
sebagai
lembaga
permusyawaratan
yang
bertugas
membangun
demokratisasi melalui menggali, menyaring, menampung, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat belum berjalan secara optimal; 10) kapasitas fungsi legislasi BPK sebagai unsur penyelenggara pemerintahan kampung belum mampu
merancang,
merumuskan,
membahas
dan
menetapkan
berbagai
Peraturan Kampung yang berhubungan dengan pembangunan kampung bersama kepala kampung sebagai bagian dari pembinaan modal sosial melalui kebijakan publik di tingkat kampung. Semua masalah ini juga tidak terlepas akumulasi dari berbagai kebijakan Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire yang tidak memihak kepada peningkatan kualitas tata kelola pemerintahan kampung. Ketidakberpihakan Pemda tersebut dapat dilihat dari hal-hal berikut ini: 1. Pemerintahan Kampung Urumusu tidak diberikan kewenangan delegatif dari Pemda Kabupaten Nabire melalui Perda dan Surat Keputusan Bupati tentang desentralisasi fiskal (kewenangan pengaturan keuangan), desentralisasi administratif (kewenangan melaksanakan pelayanan publik) dan desentralisasi politik (kewenangan pengambilan keputusan). Hal ini memberikan dampak pada
kehilangan
sumber
pendapatan
kampung
yang
berasal
dari
desentralisasi fiskal, tidak dapat melaksanakan pelayanan publik dan tidak memiliki
kekuasaan
pengambilan
keputusan
yang
terpenting
dalam
penyelenggaraan urusan pembangunan, pemerintahan dan kemasyarakatan. 2. Beberapa Perda Kabupaten Nabire tentang Kampung yang berlaku sejak 2001-2007
tidak
disosialisasikan
kepada
seluruh
aparat
Pementahan
Kampung dan tidak diikuti dengan pelatihan, bimbingan dan pendampingan. Hal ini berdampak pada ketidakmampuan Pemerintahan Kampung dalam melaksanakan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan serta tidak dapat melaksanakan fungsi manajemen organisasi pemerintahan, kurang
mampu
mengoptimalkan
menata tata
keorganisasian
laksana
Kampung,
administrasi
dan
kurang
mampu
kurang
mampu
151
mengembangkan
budaya
kerja
dalam
menyelenggarakan
tata
kelola
Kampung. 3. Kantor (Balai) Kampung Urumusu dalam kondisi rusak berat dan tidak layak untuk digunakan serta tidak mendapat dukungan bantuan sarana dan prasarana kerja dari Pemerintahan supra desa. Dampak yang ditimbulkan dari masalah ini adalah: a) ketidakefektiktifan dalam membagun hubungan kerja kerena aparat kampung bekerja di rumahnya masing-masing; b) tidak dapat memberikan kualitas pelayanan yang baik dalam hal kecepatan dan ketepatan hasil kerja serta kualitas hasil kerja yang maksimal; dan c) ketidakpusaan kerja dan ketidakpusan memberikan pelayanan dari diri aparat kampung kepada masyarakat Kampung sehingga menjadikannya malas bekerja. 4. Kampung sebagai organisasi politik lokal tidak memiliki kemampuan dan kekuatan
pengaturan
dalam
pengembangan
wilayah
karena
Pemda
Kabupaten Nabire dan Kantor Distrik tidak pernah melaksanakan kewajiban memfasilitasi Musrenbang dan memberikan kewenangan menata ruang kampung (desentralisasi politik). Hal ini berdampak pada hal-hal sebagai berikut: a) Pemerintahan Kampung tidak memiliki dokumen RPJM sebagai acuan rencana pembangunan selama lima tahun; b) Pemerintahan Kampung tidak mendapatkan ouput Musrenbang sebagai acuan RKP Kampung dan Renja-LPMK dan APB Kampung; c) tidak tercapai azas sinkronisasi antara rencana pembangunan Kampung, Daerah dan Pusat; d) Kampung sebagai organisasi politik lokal tidak dapat menjadi Growth Machine dalam mendorong pertumbuhan ekonomi desa secara terencara dan berkelanjutan. 5. Peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak memberikan ruang untuk BPK dan masyarakat kampung secara leluasa melaksanakan proses evaluasi pembangunan
di
Kampung
kecuali
oleh
Bupati
dari
hasil
Laporan
Pertanggungjawaban Kepala Kampung. Hal ini berdampak pada masyarakat dan Pemerintahan Kampung tidak dapat mengukur hasil-hasil pembangunan seperti: a) pencapaian pembangun yang sudah dicapai baik kualitas maupun kuantitas; b) perkembangan tentang rencana dan realisasi telah dicapai; c) berapa biaya yang dikeluarkan (efisinsi) dan dampak
bagi masyarakat
(efektifitas); d) ketepatan atas metode atau pendekatan yang digunakan; e) pengalaman baru yang didapatkan sebagai proses belajar dan bertukar pengalaman; dan f) mendapatkan Informasi untuk formulasi berikutnya.
152
Pemerintahan kampung sebagai lembaga pemerintahan yang paling dekat dengan rakyat dan yang diberikan kewenangan untuk menyelenggaran urusaan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan harus berkemampuan dan memiliki
kekuatan
pengaturan
agar
dapat
memberdayakan
multi-pihak
(stakeholders) di Kampung Urumusu melalui pelayanan publik. Yang menjadi kebutuhan dalam penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung adalah: 1. Pemerintahan Kampung Urumusu memiliki kewenangan fiskal, administratif dan
politik
agar
dapat
memberdayakan
seluruh
komponen
yang
berkepentingan di Kampung Urumusu secara mandiri dan berkelanjutan. 2. Aparat Pemerintahan Kampung Urumusu mendapatkan pelatihan, bimbingan, pendampingan
secara
berkelanjutan
dalam
pelaksanaan
Musyawarah
Perencanaan Pembangunan Kampung, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Kampung serta pelaksanaan APB Kampung. 3. Multi-pihak di Kampung Urumusu diberikan ruang partisipasi aktif dalam mengawasi dan mengevaluasi proses penyelenggaraan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. 4. Pemerintahan Kampung Urumusu memiliki balai kampung, perlengkapan kantor, buku petunjuk dan modul-modul administrasi pemerintahan kampung. 5. Multi-pihak di Kampung Urumusu, khususnya BPK mendapatkan pelatihan, bimbingan dan pendampingan secara berkelanjutan dalam pelaksanaan fungsi artikulasi, agregasi dan legislasi. Metode pendekatan untuk penguatan kapasitas tata kelola pemerintahan kampung adalah strategi advokasi Kebijakan karena pemerintahan
kampung
yang
berlaku
dari
tahun
Perda-perda tentang 2001-2007
tidak
diimplementasikan dan hanya ditetapkan untuk memenuhi syarat administrasi negara. Sedangkan Perda Kabupaten Nomor 32 Tahun 2007 Tentang Pengaturan Kewenangan Kampung diprediksi bahwa akan bernasib sama dengan perdaperda sebelumnya mengingat beberapa pasal yang memungkinkan untuk tidak melakukan penyerahan dan penarikan kembali kewenangan yang sudah diberikan.
153
Rekomendasi Kebijakan Rekomendasi kebijakan yang dapat diberikan Kepada Pemerintah Kabupaten Nabire dalam rangka penguatan kapasitas tata kelola Pemerintahan Kampung Urumusu adalah sebagai berikut: 1. Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire sebaiknya melaksanakan desentralisasi fiskal, admistratif dan politik kepada Pemerintahan Kampung Urumusu. 2. Pemerinthan Kabupaten Nabire, khususnya Kantor Distrik Uwapa sebaiknya memfasiitasi, melatih, membimbing melalui pendampingan yang berkelanjutan dalam pelaksanaan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) Kampung, penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja (APB) Kampung serta pelaksanaan APB Kampung. 3. Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire sebaiknya membuat Peraturan Daerah tentang Tata Cara Pelaporan dan Pertanggungjawaban Penyelenggaraan Pemerintahan Kampung dengan mengacu pada Kepmendagri Nomor 35 Tahun
2007
Tentang
Pertanggungjawaban
Pedoman
Umum
Penyelenggaraan
Tata
Cara
Pelaporan
Pemerintahanan
Desa
dan dan
menambahkan pasal khusus yang dapat memberikan ruang partisipasi aktif bagi multi-pihak (stakeholders) di Kampung Urumusu dalam melaksanakan pengawasan
dan
evaluasi
penyelenggaraan
urusan
pemerintahan,
pembangunan dan kemasyarakatan. 4. Pemerintah
Daerah
Kabupaten
Nabire
sebaiknya
mengalokasikan
pembangunan balai kampung, perlengkapan kantor, menyediakan buku petunjuk dan modul-modul administrasi kampung melalui APBD Kabupaten Nabire. 5. Pemerintah Daerah Kabupaten Nabire, khususnya Kantor Distrik Uwapa sebaiknya menyelenggarakan pelatihan, bimbingan dan pendampingan secara berkalanjutan dalam pelaksanaan tugas artikulasi, agregasi dan legislasi bagi Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) dan lembaga kemasyarakatan di kampung.
DAFTAR PUSTAKA
Adimihardja K, Hikmat H. 2003. Pratipatory Research Appraisal dalam Pelaksanaan Pengabdian Masyarakat. Bandung: Humaniora Utama Press. Albrecht, Karl. 1985. Pengembangan Organisasi. Penerjemah; Bandung: Angkasa. Terjemahan dari: Organisation Building. Bantacut T, Sutrisno, Rawi DFA. 2001. Pengembangan Ekonomi Berbasis Usaha Kecil dan Menengah. Di dalam: Haeruman, Eriyatno. editor. 2001. Kemitraan Dalam Pengembangan Ekonomi Lokal Bunga Rapai. Jakarta: Yayasan Mitra Pembangunan Desa-Kota dan BIC-Indonesia. hlm 162-170. Bayu S. 1976. Pemerintahan dan Administrasi Desa. Jakarta: Yayasan Beringin Korpri, Depdagri. Beckhard R R T. Hardin. 1987. Organizational Transition, Managing Complex Change. Di dalam: Wasistiono S, Tahir MI. 2007. Prospek Pengembangan Desa. Bandung: Fokusmedia. hlm 61-62. Chaniago Andrianof A. 2002. Rintangan-Rintangan Demogratisasi di Indonesia. Di dalam: Maruto dan Anwari. editor. 2002. Reformasi Politik dan Kekuasaan Rakyat. Jakarta: LP3ES. hlm 23-39. Dawud Joni. 2005. Landasan Filosofis Penataan Kelembagaan Pemerintah Daerah. Di dalam: Sobandi B. editor. 2005. Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah. Bandung: Humaniora. hlm 26-39. Gaspersz Vincent. 2004. Perencanaan Strategik Untuk Peningkatan Kinerja Sektor Publik. Jakarta: Gramedia. Hikmat RH. 2004. Strategi Pemberdayaan Masyarakat. Bandung. Humaniora Utama Press. Iskandar J. 1995. Strategi Dasar Membangun Kekuatan Masyarakat. Bandung: KOPMA STKS. Jayadinata TJ. 1993. Tata Guna Tanah Dalam Perencanaan Pedesaan, Perkotaan dan Wilayah. Bandung: ITB Pres. Jayaputra A. 2005. Kendala Perkembangan Potensi Masyarakat. J IKPSUKS BPPS DEPSOS RI Vol 8. 2: 1-18. Jamasi Owin. 2004. Keadilan, Pemberdayaan dan Penanggulangan Kemiskinan. Jakarta: Belantika. Kolopaking Lala M. 2006. Proses-Proses Pengembangan Kebijakan Tata-Kelola Pemerintahan Desa Berbasis Lokal. Di dalam: Dharmawan A.H. editor. 2006. Pembaharuan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan. Bogor: LPPM-IPB dan UNDP. hlm 153-174. Mashad D, Gayatri IH, Nurhasim M, Ratnawati T. 2006. Konflik Antar Elit Desa. Jakarta: Pustaka Pelajar. Moenir HAS. 2006. Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia. Jakarta: Bumi Aksara. Moleong. Lexy J. 2004. Metode Penelitian Kualitatif. Rosdakarya.
Bandung: Remaja
155
Nasdian F T. 2006. Kemitraan Dalam Tata Pemerintahan Desa dan Pemberdayaan Komunitas Pedesaan Dalam Perspektif Kelambagaan. Di dalam: Dharmawan A.H. editor. 2006. Pembaharuan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan. Bogor: LPPM-IPB dan UNDP. hlm 67-110. Nurrochmat. 2006. Desentralisasi Pemerintahan Desa: Menakar Identitas dan Realitas Politik Lokal. Di dalam: Dharmawan A.H. editor. 2006. Pembaharuan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan. Bogor: LPPM-IPB dan UNDP. hlm 46-66. Osborne D, Gabler T. 1995. Kewirausahaan Birokrasi. Penerjemah: Abdul Roshid. Jakarta: Pustaka Binaman Presindo. Terjemahan dari: Reinventing GavernmentHow the Entrepleneural Sprit is Transforming the Public Sector. Putri E.I.K. 2006. Pengembangan Wilayah dan Desentralisasi Desa: Pendekatan dan Aplikasinya. Di dalam: Dharmawan A.H. editor. 2006. Pembaharuan Tata Pemerintahan Desa Berbasis Lokalitas dan Kemitraan. Bogor: LPPM-IPB dan UNDP. hlm 241-272. Rajab B. 2006. Strategi Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pendekatan Struktural. J Analis CSIS Vol 35. 4:410-429. Rangkuti Freddy. 2008. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis, Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis Untuk Menghadapi Abad 21. Jakarta: Gramedia. Rochman-Meuthia Gani. 2002. Peran Organisasi Non Pemerintah dalam Reformasi Sosial. Di dalam: Maruto dan Anwari. editor. 2002. Reformasi Politik dan Kekuasaan Rakyat. Jakarta: LP3ES. hlm 179-192. Rozaki A. et al. 2005. Memperkuat Kapasitas Desa Dalam Prakarsa Desantralisasi dan Otonomi Desa. Yogyakarta: IRE. Sanit Arbi. 2002. Demokrasi, Kekuatan Rakyat dan Strategi Alternatif. Di dalam: Maruto dan Anwari. editor. 2002. Reformasi Politik dan Kekuasaan Rakyat. Jakarta: LP3ES. hlm 127-138. Sedarmayanti. 2003. Good Governance Dalam Rangka Otonomi Daerah, Upaya Membangun Organisasi Efektif dan Efisien melalui Restrukturisasi dan Pemberdayaan. Bandung: Mandar Maju. -------. 2004. Good Governance: Membangun Sistem Manajemen Kinerja Guna Meningkatkan Produktifitas. Bandung: Mandar Maju. -------. 2005. Menata Ulang Kelembagaan Pemerintah Daerah Untuk Meningkatkan Kinerja Dan Mewujudkan Pemerintahan Yang Baik di Era Baru Pemerintahan. Di Dalam: Sobandi B. editor. 2005. Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah. Bandung: Humaniora. hlm 3-39. Silalahi Uber. 2006. Metode Penelitian Sosial. Bandung: Unpar Pres Sirajuddin, Ed, 2006, Hak Rakyat Mengontrol Negara, Membangun Model Partisipasi Masyakat Dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah. Jakarta: YAPPIKA. Soerjono, Soekanto. 1984 Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, cetakan kedua. Jakarta: Rajawali Pres. -------1986 Talcot Persons-Fungsionalme Imperatif. Jakarta: Rajawali Pres Suharto Edi. 2006. Analisis Kebijakan Publik. Bandung: PT. Refika Aditama.
156
-------2007. Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik. Bandung: PT. Refika Aditama. Supriatna T. 1997. Birokrasi, Pemberdayaan dan Kemiskinan. Bandung: Humaniora Utama Press. Supriyadi G. Gono Tri. 2003. Budaya Kerja Organisasi Pemerintah, Bahan Ajar Diklat Prajabatan Golongan III . Jakarta: LAN-RI. Suwaryo Utang. 2005. Pergeseran Penyelenggaraan Pemerintahan dan Good Governance di Tingkat Desa. J Governance: Vol. 1:2. April-Juni: 8-15. Suyanto B. Mashud M. 2002. Gerak Politik Rakyat, dari Radikalisme ke Civil Society. Di dalam: Maruto dan Anwari. editor. 2002. Reformasi Politik dan Kekuasaan Rakyat. Jakarta: LP3ES. hlm 162-177. Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara. Tanjung HS. 2003. Administrasi Desa. Jatinangor: Alqaprint. Terry RG .1986. Asas-Asas Manajemen. Penerjemah: Winardi. Bandung: Alumni. Terjemahan dari: Principles of Management. Tjokroamidjojo B. 1996. Perencanaan Pembangunan. Jakarta: Gunung Agung. Topatimasang R, Fakih M, Rahardjo T. Ed. 2002. Merubah Kebijakan Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Triwidaryanta. 2005. Kinerja Pemerintahan Desa dan Demokrasi Desa. Di Dalam: Gunawan Jamil et al. Ed. 2005. Desentralisasi, Globalisasi dan Demokrasi Lokal. Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia. hlm. 364-381. Unang SRH. 1984. Tinjauan Sepintas Tentang Pemerintah Desa dan Kelurahan. Bandung: Tarsito. VeneKlasen L, Miller V. 2002. Pertalian baru Atas Kekuasaan, rakyat dan Politik: Panduan Aksi bagi Advokasi dan Partisipasi Rakyat. Bandung: Garis Pergerakan. Penerjemah: Kampung Kreasi Yogyakarta. Terjemahan dari: New Weave of Power, Poeple and Politicts. Wasistiono S. 2000. Pengembangan Keorganisasian Pemerintah Desa [Disertasi]. Bandung: Program Pascasarjana UNPAD. -------. 2002. Esensi UU Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintah Daerah (Bunga Rapai). Jatinangor : Alqaprint. -------. 2003. Kapita Selekta Manajemen Pemerintahan Daerah. Bandung: Fokusmedia. Wasistiono S., Tahir MI. 2007. Prospek Pengembangan Desa. Bandung: Fokusmedia. Winardi J. 2006. Manajemen Perubahan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Wrihatnolo RR, Nugroho DR. Media Komputindo. -------. 2006. Manajemen Komputindo.
2007.
Manajemen Pemberdayaan. Jakarta: Alex
Pembangunan
Indonesia.
Jakarta:
Alex
Media
157
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR/2000 Tentang Rekomendasi Kebijakan Dalam Penyelenggaran Otonomi Daerah. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Pajak dan Retribusi Daerah. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Undang-Undang Nomor 25 Pembangunan Nasional.
Tahun
2004
Tentang
Sistem
Perencanaan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2001 Tentang Penyelenggaran Tugas Pembantuan. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 Tentang Desa. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 79 Tahun 2005 Tentang Pembinaan dan Pengawasan Atas Penyelenggaran Pemerintahan Daerah. Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2005 Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 27 Tahun 2006 Tentang Penetapan dan Penegasan Batas Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 28 Tahun 2006 Tentang Penetapan, Penghapusan, Penggabungan dan Perubahan Status Desa Menjadi Kelurahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2006 Tentang Pedoman Pembentukan dan Mekanisme Penyusunan Peraturan Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 30 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Penyerahan Urusan Pemerintahan Kabupaten/Kota Kepada Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 32 Tahun 2006 Tentang Pedoman Administrasi Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 4 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Kekayaan Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 5 tahun 2007 Tentang Pedoman Penataan Lembaga Kemasyarakatan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Kader Pemberdayaan Masyarakat. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 2007 Tentang Pelatihan Pemberdayaan Masyarakat dan Desa/Kelurahan. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 35 Tahun 2007 Tentang Pedoman Umum Tata Cara Pelaporan dan Pertanggungjawaban Pemerintahan Desa. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Desa Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 38 Tahun 2007 Tentang Kerjasama Desa
158
Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 64 Tahun 1999 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional dan Menteri Dalam Negeri Nomor 0259/M.PPN/I/2005 dan 050/166/SJ Tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaran Musrenbang Tahun 2005. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 03 Tahun 2001 Tentang Bentuk dan Tata cara Penetapatan Peraturan Desa. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 04 Tahun 2001 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Desa. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 05 tahun 2001 Tentang Pembentukan Badan Perwakilan Desa. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 06 Tahun 2001 Tentang Sumber Pendapatan Desa Desa. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 07 Tahun 2001 Tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 08 Tahun 2001 Tentang Tata Cara Pencalonana, Pemilihan, Pelantikan dan Pemberhentian Kepala Desa. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 09 Tahun 2001 Tentang Pembentukan, Penghapusan dan Pengabungan Desa. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 12 Tahun 2001 Tentang Pembentukan Lembaga Kemasyarakan di Desa. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Keuangan Kampng. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Organisasi dan Tata Kerja Pemerintahan Kampng. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Badan Permusyawaratan Kampung. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 29 Tahun 2007 Tentang Musyawarah Perencanaan Pembangunan Kampung/Kelurahan, Kerjasama Kampung dan Penataan Kawasan Perkampung. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 30 Tahun 2007 Tentang Tata Cara Penetapan Peraturan Kampung. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 31 Tahun 2007 Tentang Pembentukan, Penghapusan, Penggabungan Kampung dan Perubahan Status Kampung Menjadi Kelurahan. Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 32 Tahun 2007 Tentang Pengaturan Kewenangan Kampung Peraturan Daerah Kabupaten Nabire Nomor 33 Tahun 2007 Tentang Lembaga Kemasyarakatan.
Lampiran 1: POSISI KAMPUNG RUMUSU DALAM PETA PAPUA
Keterangan: Kampung Urumusu. Kabupaten Nabire
xvii
Lampiran 2: FOTO AKTIFITAS FGD DI KAMPUNG RUMUSU
Pengkaji Memberikan Penjelasan Tentang Topik dan Prosedur FGD Kepada Petani Kakao Sebagai Pengantar FGD
Kelompok Petani Kakao Sedang Melakukan FGD
Pengkaji Memberikan Penjelasan Tentang Topik dan Prosedur FGD Kepada Pemerintah Kampung Sebagai Pengantar FGD
Kelompok Pemerintah Sedang Melakukan FGD
xviii
Kelompok BPK Sedang Melakukan FGD
Peserta FGD Sedang Mengikuti Penyampaian Laporan Hasil FGD Kelompok Pemerintah Kampung
FGD Gabungan Antara Pemerintah Kampung, BPK dan Petani Kakao Untuk Menentukan Issu Prioritas
Pengkaji Memfasilitasi Proses Penyusunan Rencana Intervesi
xix
Lampiran 3:
a. Tempat b. Waktu c. Fasilitator
HASIL RUMUSAN DISKUSI TERFOKUS PENENTUAN PENANGANAN PRIORITAS : Kampung Urumusu : Selasa, 04 Desember 2007/ Pukul: 15.30-16.00 WIT : Zakeus Petege
PENYEBAB MASALAH
SOLUSI/KEBUTUHAN
PENDEKATAN)*
Belum adanya kewenangan yang luas melalui SK Bupati/Perda Kepada Pemerintah Kampung pada bidang urusan tertentu sehingga semua kewenangan ada di Kabupaten.
Pemerintah Kabupaten Nabire ADVOKASI menyerahan kewenangan fiscal, KEBIJAKAN administratif dan politik kepada Pemerintah Kampung Urumusu untuk dapat membantu dirinya sendiri secara berkelanjutan.
Pemerintah Kabupaten dan Distrik kurang optimal dalam melaksanakan pembinaan, pendampingan, supervisi dan pengawasan dalam pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing perangkat aparat kampung.
Pemerintah Kabupaten dan ADVOKASI Distrik harus mengoptimalkan KEBIJAKAN pembinaan, pelatihan, pendampingan, supervisi dan pengawasan yang disertai dengan menyediakan buku petunjuk serta modul-modul adminisrasi pemerintahan kampung
Pemerintah Kabupaten Nabire tidak pernah menyediakan dana khusus untuk melengkapi sarana dan prasarana kerja bagi Pemerintah Kampung.
Pemerintah Kabupaten Nabire ADVOKASI membangun balai kampung KEBIJAKAN serta menyediakan sarana dan prasarana kerja bagi Pemerintah Kampung.
Pemerintah Kabupaten Nabire tidak pernah menyampikan hasil evaluasi penyelenggaran pembangunan Kampung.
Pemerintah Kabupaten Nabire ADVOKASI memberikan ruang evaluasi KEBIJAKAN penyelenggaran pembangunan Kampung secara partisipatif
BPK tidak mengetahui teknikteknik pelaksanaan fungsi artikulasi, agregasi, legislasi dan pengawasan
Pemda Kabupaten Nabire, ADVOKASI Kantor Distrik Uwapa, LSM dan KEBIJAKAN akademisi menyelenggrakan pelatihan, bimbingan dan pendampingan dalam pelaksanaan tugas artikulasi, agregasi dan legislasi
xx
Lampiran 4: PROSES MUSYAWARAH UMUM YANG DIHADIRI SELURUH WARGA URUMUSU DALAM PEMBAGIAN KEUANGAN BIDANG PADA PROGRAM PPK 2007
xxi
MASING-MASING
Lampiran 5:
PEKERJAAN SARANA PROGRAM PPIP 2007
JALAN
xxii
SECARA
PARTISIPATIF
DALAM
Lampiran 6: 2 Jenis Kakao Yang Ada Ditanami Masyarakat Kampung Urumusu
COKLAT FORASTERO (Bulk Cacao)
COKLAT CRIOLO (Choiced Cacao)
xxiii
Lampiran 7:
HAMA DAN PENYAKIT YANG MENGANCAM KOMODITI KAKAO SEBAGAI PRODUK PERTANIAN UNGGULAN DI KAPUPATEN NABIRE UMUMNYA DAN KAMPUNG URUMUSU PADA KHUSUSNYA
Tahap 1
Tahap 2
Tahap 3
Tahap 4
xxiv
Lampiran 8:
DAFTAR KUISIONER
KAJIAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAH KAMPUNG (STUDI KASUS DI KAMPUNG URUMUSU DISTRIK UWAPA KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA)
A. PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM UNTUK MASYARAKAT a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Nama : ________________________________________________ Umur : ________________________________________________ Jenis kelamin : ________________________________________________ Agama : ________________________________________________ Pendidikan : ________________________________________________ Pekerjaan : ________________________________________________ Alamat Rumah : ________________________________________________ Status Sosial/Jabatan : ________________________________________________ Tempat : ________________________________________________ Waktu : ________________________________________________ Pewawancara/Fosilit. : ________________________________________________
PERTANYAAN PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 1. POLITIK a. Apakah ada peningkatan kemampuan menyampaikan (komunikasi) dan menyalurkan aspirasi kepada Pemerintahan Kampung pada dua tahun terakhir ? b. Bilamanakah Bapak/i menyampikan aspirasinya pada Pemerintahan Kampung ? c. Apakah ada yang memfasilitasi Bapak/i untuk menyampikan Pemerintahan Kampung ?
aspirasinya pada
d. Bagaimana mereka memfasilitasi Bapak/i untuk menyampikan Pemerintahan Kampung ?
aspirasinya pada
e. Apakah Bapak/i dilibatkan dalam perencanaan program pemberdayaan dan pembangunan di Kampung ? f. Seperti apa keterlibatan Bapak/Ibu dalam proses perencanaan ? g. Apakah Bapak/i dilibatkan dalam pelaksanaan program pemberdayaan dan pembangunan di Kampung ? h. Seperti apa keterlibatan Bapak/Ibu dalam proses pelaksanaan ? i. Apakah Bapak/i dilibatkan dalam pengawasan program pemberdayaan dan pembangunan di Kampung ? j. Seperti apa keterlibatan Bapak/Ibu dalam proses pengawasan ? k. Apakah ada yang mengajarkan cara merencanakan dan mengawasi proses pembangunan di Kampung ? l. Apakah Bapak/Ibu senang jika diajak merencanakan, melaksanakan dan mengawasi proses pembangunan di Kampung ?
xxv
m.Bagaimana peran BDK dalam menjaring aspirasi masyarakat untuk pembangunan di Kampung ? n. Bagaimana peran pemerintah kampung dalam melayani kebutuhan mayarakat di Kampung ? o. Apakah kaum perempuan dan fakir miskin ikut dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan kampung ? 2. SOSIAL BUDAYA a. Bagaimana caranya Bapak/ibu mengatasi masalah sosial seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi dan lainnya ? b. Bagaimana caranya memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai di Kampung ? c. Bagaimana caranya Bapak/ibu membangun hubungan kemitraan dalam lingkungan masyarakat kampung maupun dengan orang luar kampung dalam mengatasi masalah sosial ? d. Apakah Bapak/ibu senang berkumpul dan bermusyawarah dalam mencari solusi mengatasi masalah sosial ? 3. EKONOMI a. Apakah ada peningkatan/penurunan pendapatan, khususnya hasil kakao selama periode 2 tahun terakhir ? b. Mengapa terjadi ? c. Apakah ada peluasan lahan kakao maupun penambahan unit usaha ataupun pengurangan selama periode 2 tahun terakhir ? d. Mengapa terjadi ? e. Bagimana membangun jaringan usaha untuk mengakses sumber daya dan pasar ?
xxvi
KAJIAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAH KAMPUNG (STUDI KASUS DI KAMPUNG URUMUSU DISTRIK UWAPA KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA)
B. PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM BAGI PEMERINTAHAN KAMPUNG a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Nama Umur Jenis kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat Rumah Status Sosial/Jabatan Tempat Waktu Pewawancara/Fosilit.
: _________________________________________ : _________________________________________ : _________________________________________ : _________________________________________ : _________________________________________ : _________________________________________ : _________________________________________ : _________________________________________ : _________________________________________ : _________________________________________ : _________________________________________
KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAH KAMPUNG 1.
Pelaksanaan Kewenangan yang Dimiliki Pemerintah Kampung. a. Sejauh mana anda ketahui tentang kewenangan pemerintah kampung ? b. Apakah anda tahu, ada jenis (bidang) kewenangan tertentu yang pengurusannya sudah diserahkan ke pemerintah kampung dari Pemerintah Kabupaten Nabire ? c. Apakah penyerahan jenis (bidang) kewenangan tertentu yang pengurusannya sudah diserahkan ke pemerintah kampung dari Pemerintah Kabupaten Nabire disertai dengan pembiayaan ? d. Apa yang anda tahu tentang cara mengkoordinir masyarakar dalam pelaksanan kewenangan yang pengurusannya sudah diserahkan ke pemerintah kampung dari Pemerintah Kabupaten Nabire ? e. Apakah anda tahu atau pernah diberikan petunjuk pelaksanaan tentang kewenangan pemerintah kampung ? f. Apakah anda paham tentang petunjuk pelaksanaan tentang kewenangan pemerintah kampung ? g. Apakah pernah diberi tahu atau dilatih tentang menyusun Rancangan Peraturan Kampung dan Keputusan Pemerintah Kampung ? h. Apakah pernah ada Tugas Pembantuan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten kepada Pemerintah Kampung ? i.
Apakah anda tahu atau pernah diberikan petunjuk pelaksanan Tugas Pembantuan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten ?
j.
Apa yang anda tahu tentang cara mengkoordinir masyarakar dalam pelaksanan Tugas Pembantuan Pemerintah Provinsi dan Kabupaten ?
k. Apakah Bapak Kepala Kampung dan Perangkatnya mengetahui tentang sangksi hukum dan mekanisme penanganan dalam penyalagunaan wewenang ?
xxvii
2 Kapasitas Organisasi Pemerintahan Kampung a. Apakah ada Peraturan Daerah Kabupaten Nabire yang terbaru tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kampung ? b. Apakah masyarakat dan pemerintah kampung pernah dilibatkan dalam menyusun rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Nabire yang terbaru tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kampung ? c. Apakah anda tahu dan paham tentang tata cara penyususunan struktur organisasi, perangkat pemerintah kampung, tugas dan fungsinya masing-masing perangkat serta membangun hubungan kerja sesuai Peraturan Daerah Kabupaten Nabire ? d. Apakah pernah diberi tahu atau dilatih tentang menyusun Rancangan Peraturan Kampung Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kampung? 3 Pembinaan Aparat Pemerintahan Kampung a. Apakah penataan organisasi Pemerintah Kampung Urumusu sesuai dengan Peraturan Daerah Kabupaten Nabire tentang Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kampung ? b. Apakah pernah ada pendidikan, pelatihan, bimbingan dan pendampingan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM aparatur kampung ? c. Apakah perangkat pemerintah kampung melaksanakan tugas dan fungsinya masing-masing secara bertanggung jawab dan membangan hubungan kerja antar perangkat pemerintah kampung dengan baik sesuai Peraturan Kampung ? d. Kalau tidak, apa masalahnya ? dan Bagaimana sebainya ? e. Apakah ada sangsi bagi pelanggara dan penghargaan bagi kampung yang melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai Peraturan Kampung dari Kepala Kampung ?. f. Apakah ada sangsi bagi pelanggara dan penghargaan bagi yang melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai Pedoman Penyusunan Organisasi dan Tata Kerja Pemerintah Kampung dari Bupati ?. g. Apakah Sekretaris Kampung berstatus Pegawai Negeri Sipil ? h. Seperti apa, Sekretaris Kampung yang anda inginkan ? i.
Apakah ada Peraturan Daerah Kabupaten Nabire tentang Perangkat Kampung Lainnya yang isinya memuat tentang persyaratan calon, mekanisme pengangkatan, masa jabatan, kedudukan keuangan, uraian tugas, larangan dan mekanisme pemberhentian ?
j.
Apakah anda paham benar tentang Peraturan Daerah Kabupaten Nabire tentang Perangkat Kampung Lainnya yang isinya memuat tentang persyaratan calon, mekanisme pengangkatan, masa jabatan, kedudukan keuangan, uraian tugas, larangan dan mekanisme pemberhentian ?
k. Kalau tidak ada, apa masalahnya ? dan Bagaimana mengatasinya selama ini ? 4 Efektifitas dan Optimalisasi Penerimaan dan Pengelolaan Keuangan Kampung a. Apakah ada penyerahan kewenangan bidang pajak dan retribusi daerah kepada Pemerintah Kampung Urumusu ? b. Apakah ada Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) di Kampung Urumusu ? c. Apakah pernah adakan pendidikan, pelatihan, bimbingan dan pendampingan dalam dari pihak pemerintah, swasta dan LSM tentang potensi pengembangan dan pengelolaan Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) di Kampung Urumusu ? d. Apakah ada petunjuk teknis pelaksanaan, pengelolaan dan pengawasan Alokasi Dana Kampung (ADK) di Kampung Urumusu ?. e. Kalau tidak ada, apa masalahnya ? dan Bagaimana mengatasinya selama ini ?
xxviii
f. Bagaimana caranya memberikan ruang partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan atau pengelolaan dan pengawasan Alokasi Dana Kampung (ADK) di Kampung Urumusu ?. 5 Ketersediaan dan Optimalisasi Pemanfaatan Sarana dan Prasarana Pemerintah Kampung a. Pemerintah Kampung Urumusu sampai saat ini tidak memiliki kantor kampung, selama ini bekerja dimana ? b. Apakah mempengaruhi produktifitas kerja di Kampung Urumusu ? c. Apakah ada pengaruhnya dalam koordinasi kerja dengan aparat pemerintah kampung dan pemerintahan kampung di Kampung Urumusu ? d. Apakah ada pengaruhnya membangun partisipasi pembangunan dengan masyarakat dan lembaga kemasyarakatan yang ada di Kampung Urumusu ? e. Pemerintah Kampung Urumusu sampai saat ini tidak memiliki kantor kampung, menurut anda siapa yang bertanggung jawab membangun kantor pemerintahan kampung ? f. Mulai tahun 2007 ini Pemerintahan kampung akan menerima Alokasi Dana Kampung (ADK) dari Pemerintah Provinsi dan Kabupaten sebesar Rp. 200. 000.000,-. Bisakah membangun kantor kampung dengan anggran tersebut ? g. Apakah ada sarana kerja pendukung lainnya pemerintahan di Kampung Urumusu ?, Apa saja ?
bagi
penyelenggaran
tata
h. Pernakah ada bantuan sarana pendukung kerja bagi pemerintahan kampung dari pihak pemerintah, swasta atau LSM ?, Apa saja ? 6 Efektifitas Fungsi Perencanaan Pembangunan Kampung a. Apakah pernah mengadakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung (RPJMK) di Kampung Urumusu ? b. Siapa saja yang terlibat dalam PJMK di Kampung Urumusu ? c. Apakah Pemerintah Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire, ataupun LSM yang datang mendampingi Musyawarah Pembangunan Kampung ? d. Apakah biasa mengadakan Rencana Kerja Pembangunan (RKP) Kampung pada setiap Tahun Anggran di Kampung Urumusu ? e. Apakah Pemerintah Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire, ataupun LSM yang datang mendampingi dalam penyusunan RKP Kampung Urumusu ? f. Siapa saja yang terlibat dalam menyusun RKP Kampung di Kampung Urumusu ? g. Apakah anda mengetahui cara menetapkan RPJMK dan RKP Kampung ? h. Apakah punya data/profil kampung ? i.
Apakah ada Peraturan Daerah Kabupaten Nabire tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Kampung ?
j.
Apakah ada Lembaga Pemberdayaan Masyarakay Kampung (LPMK)? Bagaimana mereka bekerja ?
k. Apakah ada Forum Musyawarah Perencanaan Pembengunan Kampung di Kampung Urumusu ?
xxix
7 Efektifitas Fungsi Pengawasan Pembangunan Kampung a. Siapa yang mengawasi pelaksanaan pembangunan di Kampung Urumusu ? Bagaimana caranya ? b. Sejauh mana keefektifan lembaga-lembaga kemasyarakatan pelaksanaan pembangunan di Kampung Urumusu ?
mengawasi
c. Sejauh mana keefektifan Pemerintah Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire membinan dan mengawasi pelaksanaan pembangunan di Kampung Urumusu ? 8 Efektifitas Fungsi Dokumentasi dan Kearsipan Pemerintah Kampung. a. Siapa yang mendokumentasikan pelaksanaan pembangunan di Kampung Urumusu ? Bagaimana caranya ? b. Sejauh mana ketersediaan sarana dokumentasi pada Pemerintah Kampung Urumusu ? c. Sejauh mana keefektifan pembangunan di Kampung Urumusu ?
xxx
KAJIAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAH KAMPUNG (STUDI KASUS DI KAMPUNG URUMUSU DISTRIK UWAPA KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA)
C. PEDOMAN WAWANCARA MENDALAM BAGI BPK a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Nama Umur Jenis kelamin Agama Pendidikan Pekerjaan Alamat Rumah Status Sosial/Jabatan Tempat Waktu Pewawancara/Fosilit.
: ____________________________________________ : ____________________________________________ : _____________________________________________ : ____________________________________________ : ____________________________________________ : ____________________________________________ : ____________________________________________ : ____________________________________________ : ____________________________________________ : ____________________________________________ : ____________________________________________
KAPASITAS KELEMBAGAAN BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG (BPK) 1.
Fungsi Artikulasi dan Agregasi BPK sebagai Lembaga Permusyawaratan di Tingkat Kampung. a. Apakah sudah terbentuk BPK di Kampung Urumusu ? Kalau ada, Siapa saja ? b. Sejauh mana keefektifan BPK dalam menggali, menampung, menghimpun, merumuskan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pembangunan di Kampung Urumusu ? Bagaimana caranya ? c. Apakah ada Perda Kabupaten Nabire tentang BPK ? Kalau ada, apakah anda paham atas semua ini Perda tersebut ? Bagaimana keefektifan pelaksaan Perda tersebut di Kampung Urumusu ?
2.
Fungsi Legislasi BPK sebagai Unsur Penyelenggara Pemerintahan Kampung. a. Sejauh mana keefektifan BPK dalam membahas maupun mengajukan Rancangan Peraturan Kampung di Kampung Urumusu ? Bagaimana caranya ? b. Sejauh mana keefektifan BPK dalam mengawasi pelaksanaan Peraturan Kampung dan Peraturan Kepala Kampung di Kampung Urumusu ? Bagaimana caranya ? c. Sejauh mana keefektifan Pemerintah Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire membinan dan mengawasi pelaksanaan Peraturan Desa di Kampung Urumusu ? Seperti apa caranya mereka membina dan mengawasi ?
xxxi
KAJIAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAH KAMPUNG (STUDI KASUS DI KAMPUNG URUMUSU DISTRIK UWAPA KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA)
D. INSTRUMRN FGD BAGI KEBERDAYAAN MASYARAKAT a. b. c. d.
Tempat Waktu Fasilitator Moderator
: ____________________________________________________ : ____________________________________________________ : ____________________________________________________ : ____________________________________________________
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT 1. POLITIK, HAM DAN TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK (GOOD COVERNANCE) a. Seperti apa seharusnya membangun ruang untuk menyampaikan dan menyalurkan aspirasi ? b. Seperti apa seharusnya membangun ruang untuk melakukan perencanaan yang partisipatif ? c. Seperti apa seharusnya membangun ruang untuk pelaksanaan (pengorganisasian) dalam program pemberdayaan secara partisipatif ? d. Seperti apa seharusnya membangun ruang untuk pengawasan dan evaluasi dalam program pemberdayaan dan pembangunan di Kampung ? e. Seperti apa seharusnya peran pemerintah kampung dalam melayani kebutuhan mayarakat di Kampung ? 2. SOSIAL BUDAYA a. Bagaimana caranya dapat mengatasi masalah sosial seperti pendidikan, kesehatan dan ekonomi secara partisipatif ? b. Seperti apa seharusnya memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai di Kampung ? c. Seperti apa seharusnya membangun hubungan kemitraan dalam lingkungan masyarakat kampung maupun dengan orang luar kampung dalam mengatasi masalah sosial ? 3. EKONOMI a. Apa saja yang seharusnya dilakukan secara bersama untuk meningkatkan pendapatan, khususnya hasil kakao ? b. Selain kakao, potensi ekonomi lokal apa saja yang dapat dikembangkan dan bagaimana cara pengembangannya ? c. Bagimana membangun jaringan usaha untuk mengakses sumber daya dan pasar ? l. Bagaimana carannya kaum perempuan dan fakir miskin ikut dilibatkan dalam proses perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan kampung ?
xxxii
KAJIAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAH KAMPUNG (STUDI KASUS DI KAMPUNG URUMUSU DISTRIK UWAPA KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA)
E. INSTRUMEN FGD BAGI PEMERINTAHAN KAMPUNG a. b. c. d.
Tempat Waktu Fasilitator Moderator
: ____________________________________________________ : ____________________________________________________ : ____________________________________________________ : ____________________________________________________
KAPASITAS KELEMBAGAAN PEMERINTAH KAMPUNG 1. Pelaksanaan Kewenangan yang Dimiliki Pemerintah Kampung Seharusnya seperti apa dan bagaimana mengurusu jenis (bidang) kewenangan yang pengurusannya sudah diserahkan ke pemerintah kampung dari Pemerintah, Pemerintah Provinsi Papua dan Pemerintah Kabupaten Nabire ? 2. Kapasitas Organisasi Pemerintahan Kampung a. Seharusnya seperti apa penyusunan organisasi dan Tata Kerja Kampung ?
Pemerintah
b. Seperti apa perangkat organisasi pemerintah kampung yang dengan tugas dan fungsinya dapat memenuhi kebutuhan masyarakat ? c. Seharusnya seperti apa untuk membangun hubungan kerja antar perangkat Pemerintah Kampung dan organisasi diluar kampung ? 3. Pembinaan Aparat Pemerintahan Kampung a. Pendidikan, pelatihan, bimbingan dan pendampingan apa saja yang diperlukan dalam rangka meningkatkan kualitas SDM aparatur kampung ? b. Apa saja yang perlu dilakukan agar pegawai bertanggung jawab dan membangan hubungan kerja antar perangkat pemerintah kampung dengan baik ? c. Seperti apa saja sangsi bagi pelanggara dan penghargaan bagi kampung yang melaksanakan tugas dan fungsinya dengan baik ?. d. Seharusnya seperti apa persyaratan calon, mekanisme pengangkatan, masa jabatan, kedudukan keuangan, uraian tugas, larangan dan mekanisme pemberhentian aparat kampung ? 4. Efektifitas dan Optimalisasi Penerimaan dan Pengelolaan Keuangan Kampung a. Kewenangan bidang pajak dan retribusi daerah apa saja yang seharusnya diserahkan kepada Pemerintah Kampung Urumusu ? b. Badan Usaha Milik Kampung (BUMK) seperti apa yang perlu dibangun di Kampung Urumusu ? c. Apakah yang diperlukan dalam pelaksanaan, pengelolaan dan pengawasan Alokasi Dana Kampung (ADK) di Kampung Urumusu ?.
xxxiii
5. Ketersediaan dan Optimalisasi Pemanfaatan Sarana dan Prasarana a. Sarana dan prasaran apa saja yang dibutuhkan oleh Pemerintah Kampung Urumusu untuk meningkatkan ? b. Bagaimana cara melengkapi sarana dan prasaran tersebut ? 6. Efektifitas Fungsi Perencanaan Pembangunan Kampung a. Apakah perlu Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kampung (RPJMK) dan Pencana Anggaran Pembangunan dan Belanja Kampung (RAPBK) ? b. Siapa saja yang terlibat dalam PJMK dan RAPBK di Kampung Urumusu ? c. Apakah perlu Lembaga Pemberdayaan Masyarakay Kampung (LPMK) dan Forum Musyawarah Perencanaan Pembengunan Kampung di Kampung Urumusu ? 7. Efektifitas Fungsi Pengawasan Pembangunan Kampung Sebaiknya siapa yang seharusnya mengawasi pelaksanaan pembangunan di Kampung Urumusu ? Bagaimana caranya ? 8. Efektifitas Fungsi Dokumentasi dan Kearsipan Pemerintah Kampung. Apa saja yang diperlukan dalam mendokumentasikan, menyurat dan mengarsipkan pelaksanaan pembangunan di Kampung Urumusu ?
KAJIAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT STRATEGI PENGUATAN KAPASITAS TATA KELOLA PEMERINTAH KAMPUNG (STUDI KASUS DI KAMPUNG URUMUSU DISTRIK UWAPA KABUPATEN NABIRE PROVINSI PAPUA)
F. INSTRUMEN FGD BAGI BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG a. b. c. d.
Tempat Waktu Fasilitator Moderator
: ____________________________________________________ : ____________________________________________________ : ____________________________________________________ : ____________________________________________________
KAPASITAS KELEMBAGAAN BADAN PERMUSYAWARATAN KAMPUNG (BPK) 1. Fungsi Artikulasi dan Agregasi BPK sebagai Lembaga Permusyawaratan di Tingkat Kampung Sejauh mana keefektifan BPK dalam menggali, menampung, menghimpun, merumuskan, dan menyalurkan aspirasi masyarakat dalam proses penyelenggaraan pembangunan di Kampung Urumusu ? Jika ada masalah, apa masalahnya dan bagaimana mengatasinya ? 2. Fungsi Legislasi BPK sebagai Unsur Penyelenggara Pemerintahan Kampung. a. Sejauh mana keefektifan BPK dalam membahas maupun mengajukan Rancangan Peraturan Kampung di Kampung Urumusu ? Jika ada masalah, apa masalahnya dan bagaimana mengatasinya ? b. Sejauh mana keefektifan BPK dalam mengawasi pelaksanaan Peraturan Kampung dan Peraturan Kepala Kampung di Kampung Urumusu ? Bagaimana caranya ? c. Sejauh mana keefektifan Pemerintah Distrik Uwapa, Kabupaten Nabire membinan dan mengawasi pelaksanaan Peraturan Desa di Kampung Urumusu ? Seperti apa seharusnya mereka membina dan mengawasi dan bagaimana seharausnya ?
xxxiv