IMPLEMENTASI TATA KELOLA PEMERINTAHAN DAN PROBLEMATIKANYA
Oleh : Kasim A. Usman S.Ag, M.Pd Widyaiswara BDK Manado
ABSTRAK
Tatakelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa merupakan salah satu dari lima agenda utama pembangunan nasional jangka menengah periode kedua (2009 – 2014), selain itu juga menjadi misi kelima Kementerian Agama RI. Buruknya tatakelola pemerintahan merupakan salah satu penyebab krisis ekonomi yang melanda Bangsa kita saat ini. Marak dan meningkatnya tidak pidana korupsi saat ini juga merupakan akibat dari buruknya Tatakelola pemerintahan di Indonesia. Pada hal pemerintah telah mengeluarkan UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan segala ancaman hukuman didalamnya, dianggap kurang memadai atau mugkin terlalu lambat penerapan UU ini pemerintah RI yakni Susilo Bambang Yudoyono mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh pemerintah tapi korupsi tetap dan berkembang laksana jamur dimusim hujan, bahkan ada yang menyebut korupsi berjamah. maraknya korupsi di negeri ini karena sanksi hukuman terhadap koruptor terlalu ringan. Maka solusinya adalah (1) Perbaikan dan Pelaksanaan Tata Kelola Pemerintahan, (2) Penegakan Supermasi Hukum dalam Pemberantasan Korupsi. Key Word : Tata Kelola, Good Gavernance
A. Latar Belakang Mewujudkan tatakelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa merupakan salah satu dari lima agenda utama pembangunan nasional jangka menengah periode kedua (2009 – 2014). Hal ini juga menjadi misi kelima Kementerian Agama RI yang harus diwujudkan oleh semua jajarannya.
Perbaikan tatakelola pemerintahan yang baik menjadi isu yang penting dalam konteks nasional dan internasional. Krisis ekonomi yang melanda bangsa dan rakyat Indonesia sejak dulu sampai sekarang tidak
terlepas dari buruknya tatakelola
pemerintahan, baik disektor pemerintahan maupun swasta. Krisis keuangan global, juga tidak terlepas dari masalah ini. Buruknya tatakelola pemerintahan ini antara lain dapat dilihat dari terjadinya korupsi yang meningkat secara signifikan. Di sisi yang berbeda tapi dalam logika yang sama, Indeks persepsi korupsi terjadi begitu cepat. Hal ini memberikan indikasi bahwa upaya keras pemerintah dalam memperbaiki tatakelola pemerintahan, sudah pada fase yang memprihatinkan. Maka perlu adanya upaya yang lebih keras dan sistematis untuk memperbaiki praktik tatakelola pemerintahan ini. Pembangunan birokrasi yang kuat merupakan elemen penting untuk menjaga agar kelangsungan pembangunan berkelanjutan tetap tercapai. Pemerintah periode 2009 - 2014 telah mulai melakukan pilot project pada beberapa kementerian dan lembaga untuk menerapkan anggaran berbasis kinerja. Elemen reformasi pada kementerian dan lembaga itu menjadi sangat luas dan intensif, termasuk perubahan sistem renumerasi. Pilot project ini diharapkan dapat membuahkan hasil yang positif khususnya dalam perbaikan pelayanan publik dan penanggulangan korupsi. Langkah-langkah yang disebutkan di atas, akan dipercepat dengan menggelindingkan lebih banyak program percepatan aksi reformasi sistem birokrasi yang dikombinasikan dengan sejumlah program aksi lainnya seperti reformasi di bidang hukum. Cakupan perbaikan dalam tatakelola pemerintahan bukan hanya terbatas pada sektor pemerintahan tetapi juga meliputi sektor swasta termasuk pengelolaan BUMN.
B. Permasalahan Permasalahan korupsi yang telah tumbuh dengan subur di negeri ini sebenarnya yang menjadi pilot project dari tata kelola pemerintahan. Pemerintah Republik Indonesia 1999 telah berupaya mengantisipasi berkembangnya korupsi di Indonesia dengan bukti dikeluarkannya undang-undang Republik Indonesia nomor 31 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Belum cukup dengan UU No. 31 tahun 1999, pemerintah memperbaharui UU ini dengan mengeluarkan undang-undang republik Indonesia nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dengan segala ancaman hukuman didalamnya. Mungkin dianggap kurang memadai atau dianggap terlalu lambat penerapan UU ini pemerintah RI yakni Susilo
Bambang Yudoyono mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. Upaya dan usaha pemerintah dalam memberantas korupsi sudah begitu kompleks, namun disadari bahwa sangat tidak mudah menerapkan segala aturan serta Undangundang itu. Bahkan sangat tidak mudah mengambil keputusan apakah korupsi adalah milik para koruptor ataukah milik kita bersama. Juga tidak gampang mengukur kadarnya sebagai “penyakit sistem” (struktural), sebagai “penyakit manusia”, atau “penyakit budaya” suatu masyarakat yang berada dalam sistem yang sama. Ia sangat cair, seakanakan merupakan serbuk yang rata menabur, atau bagaikan asap halus yang tak kasat mata, sehingga tidak bisa serta merta bisa disimpulkan bahwa perilaku korupsi adalah semacam anomali atau penyakit khusus yang berlaku pada sejumlah orang, ataukah ia memiliki “infrastruktur” budaya yang memang mendarah daging secara lebih menyeluruh pada kehidupan masyarakat kita. Berbagai upaya telah dilaksanakan oleh pemerintah tapi korupsi tetap dan berkembang laksana jamur dimusim hujan, bahkan ada yang menyebut korupsi berjamah. Fenomena di atas mengundang sejumlah pertanyaan “ Apa dan siapa yang salah” 1. Apakah yang salah adalah sistem nilai dari tata kelola pemerintahan? 2. Apakah sistem penegakan supermasi hukum (rule of law) kurang tepat dan sanksi hukuman terhadap koruptor terlalu ringan? 3. Ataukah ada ítem-item yang salah terhadap upaya-upaya pemberantasan korupsi? Jika kita mengorek kegalauan
atas pertanyaan pertama “Apakah yang salah
adalah sistem nilai dari tata kelola pemerintahan”. Maka jawabannya adalah “ya” karena jujur harus diakui, substansi peraturan pemerintah yang sedang diterapkan dari beberapa kerumitan aturan hukum yang ada. Selama ini, banyak ketentuan yang terasa melindungi pelaku korupsi. Misalnya, pejabat harus mendapat izin lebih dulu sebelum diperiksa. Kelemahan lain dari sistem nilai adalah tidak ada keharusan bagi penegak hukum untuk menahan pelaku korupsi. Karena kelemahan itu, banyak pelaku korupsi yang tetap bebas meski sudah dinyatakan bersalah oleh pengadilan. Singkatnya, sebagian besar aturan yang ada gagal memberi efek jerah terhadap pelaku korupsi. Melihat substansinya, draf perpu tidak hanya berupaya menerobos Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, tetapi juga melakukan lompatan besar yang selama ini cenderung diabaikan. Terobosan itu misalnya: perlindungan saksi, ancaman bagi penegak hukum yang memperjualbelikan penanganan kasus korupsi, pencantuman asas pembuktian terbalik, dan asas praduga tak bersalah.
Intinya, substansi memberantas korupsi terlalu lemah jika dipandang dari sisi sistem nilai. Apakah korupsi merajalela karena ”sistem penegakan supermasi hukum (rule of law) yang kurang tepat dan sanksi hukuman terhadap koruptor terlalu ringan” jawabannya adalah “benar”. Bayangkan saja
pada
Pasal 11 UU No 30/2002 tentang Komisi
Pemberantasan Korupsi menyebutkan bahwa KPK dapat menangani kasus korupsi yang merugikan keuangan negara paling sedikit satu miliar rupiah. Itupun terkesan melindungi pelaku korupsi yang bernilai puluhan bahkan ratusan miliar. Hal ini perlu diperbaiki karena kuat indikasi bahwa kasus korupsi yang terjadi di jajaran pejabat negara (baik di eksekutif, legislatif, maupun yudikatif) lebih banyak berkisar di bawah Rp 100 miliar. Saya percaya banyak yang sependapat kalau definisi itu diletakkan dalam angka minimal satu miliar rupiah. Yang perlu diingat, jika mau melakukan terobosan, jangan tanggungtanggung, apalagi kalau ada kesan melindungi pelaku korupsi. Jika pertanyaan dilanjutkan ” Apakah maraknya korupsi di negeri ini karena sanksi hukuman terhadap koruptor terlalu ringan, maka jawabanya juga “Ya”. Dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2001tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Pasal 3 menyebutkan “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”. Dari paparan ini tertera jelas bahwa sanksi hukuman bagi para koruptor terlalu ringan. Kita bisa bayangkan jika seorang koruptor mengeruk uang negara sebesar Rp. 50.000.000.000.00 (Lima puluh miliyar rupiah) hanya di denda 1 miliar, berarti koruptor secara matematis untung sebesar Rp. 49.000.000.000.00 (Empat puluh Sembilan miliyar rupiah). Nilai yang fantastis bagi para koruptor, apalagi kurungan penjara hanya 1,8 tahun.
C. Pembahasan
Pembahasan dalam upaya penyelesaian masalah di atas, maka penulis memberikan solusi yang harus melakukan sebagai prioritas program, yaitu :
1. Perbaikan dan Pelaksanaan Tata Kelola Pemerintahan
Agenda perbaikan dan pelaksanaan tata kelola pemerintahan, akan meliputi dua program aksi yaitu; pertama, meneruskan dan mengawasi pelaksanaan reformasi birokrasi dan pelayanan publik; dan kedua penguatan aksi anti korupsi dan perbaikan tata kelola yang baik (good governance). Kedua program aksi itu terdiri dari: a. Meneruskan reformasi birokrasi di lembaga-lembaga pemerintah (Kementerian dan lembaga serta pemerintah daerah) secara bertahap, terukur dan terus dijaga kualitas hasil kinerjanya serta pertangungjawaban publik. b. Program perbaikan peraturan yang menyangkut rekrutmen, perkembangan karier secara ransparan, akuntabel dan berdasarkan prestasi (merit based), serta aturan disiplin dan pemberhentian pegawai negeri sipil. c. Meningkatkan kinerja dengan memperbaiki prosedur kerja (business rocess), pemanfaatan teknologi untuk peningkatan kecepatan dan keakuratan layanan, dan mengatur kembali truktur organisasi agar makin efisien dan efektif dalam menjalankan fungsi pelayanan publik, regulasi, pengawasan dan penegakan aturan. d. Memperbaiki remunerasi sehingga makin mencerminkan resiko, tanggung jawab, beban kerja yang realistis dan berimbang. e. Memperbaiki sistem dan tunjangan pensiun agar mencerminkan imbalan prestasi yang manusiawi namun tetap dapat dipenuhi oleh kemampuan anggaran. f. Melakukan pengawasan kinerja dan dampak reformasi, termasuk pemberantasan korupsi dan penerapan disiplin dan hukuman yang tegas bagi pelanggaran sumpah jabatan, aturan, disiplin, dan etika kerja birokrasi. g. Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas layanan pemerintahan dengan perumusan standar pelayanan minimum yang diketahui masyarakat beserta pemantauan pelaksanaannya oleh masyarakat.
2. Penegakan Hukum dalam Pemberantasan Korupsi Implementasi agenda reformasi penegakan hukum akan dilakukan dalam dua program aksi yaitu reformasi penegakan hukum (rule of law) dan penegakan ketertiban umum, dengan cara: a. Memperbaiki law enforcement. b. Memperkuat kinerja dan pengawasan kepolisian dan kejaksaan melalui reformasi kepolisian dan kejaksaan, perbaikan kinerja kepolisian dan kejaksaan di daerah,
baik melalui program quick win maupun perbaikan struktural menyeluruh dan komprehensif pada kepolisian dan kejaksaan. Peningkatan Kinerja dengan perbaikan mutu dan integritas para aparat kepolisian dan kejaksaan, dan meningkatkan pengawasan serta seleksi personel dan pejabat struktural yang strategis yang langsung bertugas melayanan masyarakat pencari keadilan. c. Meninjau ulang dan memperbaiki peraturan yang menyangkut penegakan hukum termasuk pengaturan hak-hak polisi, peraturan-peraturan pelaporan, dan aturan pelayanan dari aparat penegak hukum. Dengan demikian dapat diberikan jaminan pelayanan, kepastian, dan keadilan kepada masyarakat pencari keadilan. d. Mendukung perbaikan adminsitrasi dan anggaran di Mahkamah Agung dan peradilan di bawahnya. e. Pencegahan dan penindakan korupsi secara konsisten dan tanpa tebang pilih. f. Pemberantasan terhadap cikal bakal terjadinya korupsi dengan hukuman mati atau eksekusi mati perhadap koruptor dan disiarkan langsung melalui media masa (TV). Para koruptor itu pantas di eksekusi mati karena mereka telah membunuh banyak orang bahkan beberapa gererasi.
D. Kesimpulan Berdasarkan permasalahan dan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Tatakelola pemerintahan yang bersih dan berwibawa merupakan salah satu dari lima agenda utama pembangunan nasional jangka menengah dan juga menjadi misi kelima Kementerian Agama RI yang harus diwujudkan oleh semua jajarannya. 2. Supermasi Hukum harus ditegahkan sebagai salah satu upaya dalam usaha memberantas korupsi, termasuk penerapan Inpres Nomor 5 tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi. 3. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai salah satu lembaga penegah hukum harus menerapkan hukum atau sanksi yang tegas terhadap para koruptor. Terhadap pejabat Negara atau lembaga yang teridentifikasi melakukan korupsi langsung diperiksa dan tidak perlu menunggu Surat Izin Pemeriksaan dari atasan pejabat. 4. Adanya kesadaran Pejabat Negara, PNS sebagai abdi negara dan abdi masyarakat serta seluruh unsur masyarakat untuk mewujudkan Good Gavernance.
F. Referensi
Inpres Nomor 5 tahun 2004 Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi Kartini.K (2004).Pemimpin Dan Kepemimpinan. Jakarta: PT Raja GrafindoPersada Thoha Miftah. 1996. Perilaku Organisasi “Konsep Dasar dan Aplikasinya”. Edisi Ketujuh. Penerbit PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Suprapti, W., Sri Ratna.(2001). Pengenalan dan Pengukuran Potensi Diri.Bahan Ajar Diklatpim Tingkat IV. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara – RI. Sedarmayanti.(2009). Reformasi Administrasi Publik, Reformasi Kepemimpinan Masa Depan. Bandung: Refika Aditama
Birokrasi,
dan
UU RI nomor 20 tahun 2001 tentang perubahan atas undang-undang nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi UU RI nomor 30 tahun 2002 tentang komisi pemberantasan tindak pidana korupsi