KONSISTENSI DAN EFEKTIVITAS STRATEGI PEMBANGUNAN MELALUI PERUBAHAN TATA KELOLA PEMERINTAHAN 2004-2009 Mustopadidjaja AR •) ________________________________________________________________________ Selain harus dapat menjawab berbagai “masalah dan tantangan pembangunan” yang dihadapi bangsa dalam kurun waktu lima tahun ke depan dalam berbagai bidang pembangunan (ekonomi, sosial, budaya, politik, SDM, lingkungan hidup, pertahanan keamanan, hukum, dan aparatur negara) secara arief dan efektif, agenda pembangunan dalam bidang tata kelola pemerintahan dan pembangunan sekaligus juga harus mewujudkan berbagai dimensi nilai yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Dimensi-dimensi nilai itu pulalah yang menjadi landasan dan acuan strategi pemerintahan SBY-MJK sebagaimana dikemukakan dalam kampanye Pilpres-wapres 2004 yang lalu. Hal serupa sebenarnya telah dicoba oleh Bung Karno melalui paradigma Nasakom dan Tubapinya, dan oleh Pak Harto melalui Kesinambungan Kepemimpinan Nasional dan P-4nya. Keberhasilan perjuangan suatu generasi bangsa sesungguhnya tergantung dan dapat diukur dari kemampuannya dalam mengaktualisasikan dan mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa tersebut dalam sistem, proses, dan kinerja penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan, yang antara lain diindikasikan dengan perubahan nasib bangsa secara nyata dalam peta pembangunan bangsa-bangsa, dan dengan peningkatan kualitas individu dan institusi dalam rangka kehidupan bermasyarakat, bebangsa, dan bernegara di seluruh pelosok dan pojok bumi pertiwi tercinta ini. Dapatkah generasi-generasi penerus perjuangan bangsa di Abad 21 ini melakukan perubahan-perubahan yang diperlukan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa sehingga tidak mengulangi kegagalan generasi-generasi terdahulu dalam mewujudkan amanat Pembukaan UUD 1945 tersebut?. Dapat, asalkan persyaratan-persyaratan kualitas sumber daya manusia dan institusi untuk itu dipenuhi. Dalam rangka itu, seraya berupaya mengatasi berbagai permasalahan bangsa secara rasional dan realitsis, agar kita tidak tenggelam dalam pragmatisme dan mengabaikan idealisme perjuangan, agaknya kita perlu melakukan proses learning secara lebih mantap, membangun jati diri, menawarkan bangunan peradaban berbasis imtaq dan iptek, dan mendorong pembangunan peradaban yang sesuai dengan keluhuran nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan yang fitri yang terkandung dalam amanat Pembukaan Konstitusi tersebut.
________________________________________________________________________ Pada kesempatan ini penulis akan mengetengahkan permasalahan-permasalahan pokok pemerintahan sebagai berikut : (1) Masalah dan agenda kebijakan, serta kesiapan sumberdaya pemerintah dalam mengelolanya; (2) Masalah serius dalam organisasi dan manajemen pemerintahan; (3) Penataan organisasi dan manajemen pemerintahan untuk suksesnya program pemerintah lima tahun ke depan; (4) Cara mengatasi kelemahan SDM di dalam birokrasi saat ini dalam jangka pendek (satu tahun); (5) Sistem kepemimpinan seperti apa yang perlu diterapkan di dalam tiap instansi pemerintahan agar birokrasi pemerintah bisa bekerja dengan hasil yang jauh lebih baik; dan (6) Adakah peran khusus yang perlu dilakukan oleh Presiden SBY atau Wapres MJK agar masalah besar dalam tata pemerintahan bisa berkurang secara signifikan?. Masalah yang dihadapi pemerintahan SBY-MJK meliputi hampir seluruh bidang kehidupan, ekonomi, sosial, budaya, politik, SDM, lingkungan hidup, pertahanan keamanan, hukum, dan aparatur negara. Di antara berbagai bidang kehidupan tersebut, tidak satu bidang pun yang tidak menghadapi masalah berat. Pergeseran kekuasaan dari Orde Baru ke Orde Reformasi (1999-2004) yang mengagendakan perubahan total dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, baru menghasilkan perubahan-perubahan di bidang politik dan pokok-pokok manajemen pemerintahan; termasuk beberapa kali pergantian presiden, amandemen •)
Pokok-pokok bahasan dalam tulisan ini pernah disampaikan pada Seminar “Agenda Tata Kelola Pembangunan 20042009”; yang diselenggarakan oleh The Habibie Center, pada 30 November 2004 di Jakarta. Prof. Dr. Mustopadidjaja adalah Guru Besar Kebijakan Publik, UNHAS; UI; STIA-LAN, RI; Anggota Pembina Program Magister Administrasi Publik, UGM; serta Tenaga Ahli bidang Kajian Strategi dan Kebijakan Pembangunan Kelembagaan, Bappenas. Dalam organisasi profesi pernah menjabat Ketua Umum PERSADI (1995-2004), Sekretaris Jenderal KORPRI (2001-2004). Hingga dewasa ini adalah anggota Policy Study Organization dan anggota ISEI, dan anggota Dewan Pakar ICMI sejak (1990).
1
konstitusi, perubahan sistem anggaran, peningkatan pelaksanaan desentralisasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah, perubahan pola redistribusi penerimaan daerah dalam hubungan keuangan pusat dan daerah. Semua itu berisikan koreksi mendasar terhadap sistem dan proses penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan yang dikembangkan tiga dekade sebelumnya (1968-1998). Namun, koreksi konstitusional tersebut belum dapat diterjemahkan secara semestinya dalam sistem dan proses penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan pada pemerintahan paska Orde Baru yang telah berlangsung sepanjang masa transisi 1998-2004. Kinerja tersebut bisa dipahami karena proses amandemen konstitusi itu sendiri berjalan cukup panjang, meliputi empat masa sidang MPR yaitu tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002; sedangkan gejolak sosial politik dan keamanan di berbagai daerah, euforia demokrasi yang berkembang di tanah air, lemahnya penegakan hukum, tidak diindahkannya prinsip-prinsip good corporate governance (GCG) dalam revitalisasi BUMN sepanjang masa transisi tersebut, demikian pula penerapan prinsip-prinsip good governance (GG) dan clean government (CG) dalam manajemen pemerintahan juga berpengaruh besar terhadap kinerja yang dicapai. Semua itu turut mengurangi trust dan optimalitas pemulihan perekonomian dan perubahan-perubahan yang diperlukan dalam penyelenggaraan pemerintahan negara dan pembangunan bangsa 1 . Tidak mengherankan apabila di akhir masa pemerintahan transisi tersebut, Indonesia masih tercatat sebagai negara yang tergolong terkorup di dunia, sistem dan proses perundangundangan dan peradilan tidak mantap, index penerapan prinsip GG dan CG rendah, tingkat pengangguran dan kemiskinan yang besar, pendapatan perkapita termasuk terendah di Asia Tenggara demikian pula indeks pembangunan manusia, serta tingkat daya saing investasi dan perdagangannya. Sedangkan kesenjangan antar daerah terus berlanjut, dan gejala separatisme di beberapa daerah masih tetap merupakan ancaman. Dengan kinerja pemerintahan seperti itu, di samping beberapa kelemahan dalam kepemimpinan, tidak mengherankan pula apabila Presiden Megawati tidak terpilih sebagai presiden dalam Pemilu Pilpres 2004. Pasangan Mega-Hasyim dikalahkan dengan cara yang relatif mudah oleh pasangan SBY-MJK, yaitu dengan “janji perubahan”. “Janji Perubahan” itu pulalah yang agaknya harus dipenuhi dan dibuktikan pemerintahan SBY-MJK berupa karya dan kinerja nyata dalam kurun waktu lima tahun ke depan (2004-2009), bahkan terdapat semacam tuntutan untuk membuktikannya (test case) dalam 100 hari pertama masa pemerintahannya. Janji perubahan tersebut pada masa “Orde Baru” diwujudkan melalui “program kabinet” seperti “tri krida”, “panca krida”, dan sebagainya” dan menjadi arahan presiden pada sidang kabinet pertama setelah pembentukannya. Namun sampai tulisan ini dibuat (akhir 2004), program seratus hari saja belum diumumkan secara luas. Tidak berarti SBY-MJK tidak memiliki konsep mengenai hal tersebut. Sebab, lebih dari itu, mereka sesungguhnya telah memilikinya secara lebih lengkap, berupa “skenario perubahan”, “strategi”, “agenda kebijakan” dan “program” yang telah ditawarkannya kepada publik pada masa kampanye Pilpres-wapres yang lalu 2 .
1
Sementara itu dapat juga kita mencatat bahwa dalam kurun waktu tersebut sepertinya ada erosi kepercayaan akan makna dan peran Pancasila sebagai dasar negara, yang mungkin timbul sebagai akibat berbagai penyimpangan dari rezim-rezim pemerintahan sebelumnya yang keseluruhannya berakhir dengan krisis multi dimensi. 2
Analog dengan itu, dan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai serta agenda kebijakan yang akan ditempuh, bisa saja Kabinet Indonesia Besatu merumuskan “program kabinet” ke dalam “Tri Krida Pembangunan” atau ”Tri Agenda Pemerintah,” seperti krida pertama, Membangun Indonesia Yang Aman dan Damai; krida kedua, Membangun Indonesia Yang Adil dan Demokratis; dan krida ketiga, Membangun Indonesia Yang Sejahtera; dan sebagainya.
2
Agenda kebijakan pemerintahan SBY-MJK lima tahun kedepan dapat dicermati melalui platform semasa kampanye mereka 3 . Dengan mempertimbangkan berbagai perkembangan, permasalahan dan tantangan lingkungan strategik yang dihadapi, mereka mengembangkan perspektif perkembangan lima tahun kedepan yang dikemasnya ke dalam visi pembangunan jangka menengah (2004-2009) yang terarah pada (1) terwujudnya kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang aman, bersatu, rukun, dan damai; (2) terwujudnya masyarakat, bangsa, dan negara yang menjunjung tinggi hukum, kesetaraan, dan hak-hak asasi manusia; dan (3) terwujudnya perekonomian yang mampu menyediakan kesempatan kerja dan penghidupan yang layak serta memberikan fondasi yang kokoh bagi pembangunan yang berkelanjutan. Visi tersebut kemudian dijabarkan ke dalam misi pembangunan (2004-2009), (a) Mewujudkan Indonesia yang aman dan damai, (b) Mewujudkan Indonesia yang adil dan demokratis, dan (c) Mewujudkan Indonesia yang sejahtera. Secara singkat, yang hendak diwujudkan pemerintahan SBY-MJK adalah kehidupan bangsa dan negara Indonesia yang (a) aman dan damai, (b) adil dan demokratis, dan (c) sejahtera. Sebagai upaya mewujudkan visi dan misi tersebut, pasangan SBY-MJK mengembangkan strategi yang sekaligus dipandang merupakan agenda besar kebangsaan yang harus dijalankan secara berkesinambungan, meliputi (1) Strategi Penataan Kembali Indonesia, berisikan upaya untuk menyelamatkan sistem ketata-negaraan Republik Indonesia berdasarkan semangat, jiwa, nilai, dan konsensus dasar yang melandasi berdirinya Negara Kebangsaan Republik Indonesia yang meliputi Pancasila, UUD 1945 (terutama bagian Pembukaan); tetap tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan tetap berkembangnya pluralisme dan keberagaman di atas dasar prinsip Bhineka Tunggal Ika; (2) Strategi Pembangunan Indonesia, meliputi pemba-ngunan di segala bidang, antara lain ekonomi, sosial, politik, budaya, hukum, lingkungan, dan keamanan; merupakan upaya untuk mengemban dan mewujudkan amanat yang tertera dengan jelas dalam Pembukaan UUD 1945. Strategi (1) Penataan Kembali Indonesia dimaksudkan untuk membangun sistem sosial dan politik yang benar dan mampu menyeimbangkan antara (a) Perkembangan perekonomian dan tuntutan keadilan sosial, (b) Pengembangan masyarakat sipil dengan penguatan institusi negara, (c) Kebebasan berdemokrasi dengan pemeliharaan kedamaian sosial dan harmoni antar kelompok, golongan, etnis dan agama, (d) Reformasi ekonomi dengan reformasi politik, sosial dan budaya secara seimbang, dan (e) Kepentingan nasional dengan otoritas lokal. Sistem ketatanegaraan, sosial dan politik yang terbangun nanti hendaknya mampu mengatasi goncangan di berbagai sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, dan mampu menjadi landasan pembangunan untuk mencapai masyarakat yang aman dan damai, adil dan demokratis, dan sejahtera. Strategi ini juga dimaksudkan untuk membangun demokrasi yang dijiwai oleh Pancasila dan Pembukaan UUD 1945. Strategi (2) Pembangunan Indonesia merupakan “pembangunan kebangsaan yang membebaskan rakyat dari berbagai belenggu yang menghambat ruang gerak bersama dalam mengekspresikan dan mewujudkan nilai-nilai dan tujuan bersama”, yang ditempuh melalui (2-1) pemenuhan hak-hak dasar rakyat, yaitu hak rakyat untuk memperoleh: (a) pekerjaan yang layak bagi kemanusiaan, (b) perlindungan hukum, (c) rasa aman, (d) akses untuk memenuhi kebutuhan pendidikan, (e) akses untuk memenuhi kebutuhan kesehatan, (f ) keadilan; dan hak rakyat untuk (g) memiliki akses atas kebutuhan hidupan (sandang, pangan, dan papan) yang terjangkau, (h) berpartisipasi dalam politik dan perubahan, (i) berinovasi, (j) memeluk agamanya masing-masing dan untuk 3
Lihat Susilo Bambang Yudhoyono dan M Jusuf Kalla; Membangun Indoneisa : Yang Aman, Adil, Dan Sejahtera, Visi, Misi, dan Program; Bahan Kampanye Pilpres-wapres, 2004.
3
beribadat menurut agama dan kepercayannya itu; dan melalui (2-2) Penciptaan landasan pembangunan yang kokoh, yang menjamin terselenggaranya pembangunan secara berkelanjutan dan mampu mewujudkan (a) Ekonomi stabil, mandiri, dan tumbuh dengan cepat; (b) Ada jaminan dan kepastian hukum serta aturan-aturan kondusif, dan (c) Kapasitas diri dan kualitas kehidupan warga negara yang meningkat. Secara tegas tertulis bahwa “Strategi kedua ini merupakan perwujudan dari amanat yang telah tertera dengan jelas dalam Pembukaan UUD 1945” 4 . Jabaran lebih jauh dari visi, misi, dan strategi tersebut adalah agenda kebijakan dan program-program pembangunan yang akan ditempuh lima tahun ke depan 5 . Berdasar visi, misi, strategi, dan agenda kebijakan serta program tersebut ditetapkan sasaran yang ingin dicapai lima tahun ke depan secara lebih spesifik, sebagai berikut, (1) Sasaran pembangunan pertahanan, keamanan, politik, dan harmoni sosial, meliputi (a) Terselesaikannya konflik di berbagai daerah, terutama di Aceh, Poso, Maluku, dan Papua, serta bertambah baiknya pertahanan dan keamanan negara, (b) Menurunnya ketegangan dan ancaman konflik antar kelompok ataupun golongan masyarakat, (c) Meningkatnya daya cegah dan tangkal negara terhadap ancaman bahaya terorisme, (d) Menurunnya angka kriminalitas secara nyata di perkotaan dan di perdesaan, (e) Menurunnya secara nyata angka perampokan dan kejahatan di lautan dan penyelundupan lintas batas, (f) Semakin kokohnya NKRI yang berdasarkan Pancasila, UUD 1945, dan Bhineka Tunggal Ika; (2) Sasaran pembangunan keadilan, hukum, HAM, dan demokrasi, meliputi (a) Berkurangnya secara nyata praktik korupsi di birokrasi, dan dimulai dari tataran (jajaran) pejabat paling atas, (b) Terciptanya sistem pemerintahan dan birokrasi yang bersih, akuntabel, transparan, efisien, dan berwibawa, (c) Terhapusnya aturan, peraturan, dan praktik yang bersifat diskriminatif terhadap warga negara, kelompok, atau golongan masyarakat, (d) Terjaminnya keadilan jender dalam berbagai produk perundangan, program pembangunan, dan kebijakan publik, (e) Terciptanya sistem hukum yang sederhana dan efektif, (f) Diterapkannya hukum secara adil, konsekuen, dan tidak diskriminatif, (g) Meningkatnya partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik, (h) Terjaminnya konsistensi seluruh peraturan pusat dan daerah, dan tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang lebih atasnya, (i) Terselenggaranya pemilihan umum yang demokratis, jujur, dan adil; dan (3) Sasaran pembangunan ekonomi dan kesejahteraan, meliputi (a) Meningkatnya aktivitas perekonomian yang ditandai oleh pertumbuhan ekonomi dari 4,1 persen pada tahun 2003 menjadi 7,6 persen pada tahun 2009, (b) Meningkatkan kesempatan kerja yang ditandai oleh turunnya angka pengangguran terbuka dari 10,1 persen pada tahun 2003 menjadi 5,1 persen pada tahun 2009, (c) Meningkatnya 4
Lihat SBY-MJK, hal 18-28. Agenda kebijakan dan program pembangunan (2004-2009), meliputi (1) Agenda pertahanan, keamanan, politik, dan harmoni sosial untuk menuju Indonesia yang aman dan damai, terdiri dari (a) Peningkatan saling percaya dan harmoni antar kelompok masyarakat, (b) Pencegahan dan penanggulangan separatisme, (c) Penegakan hukum dan ketertiban serta Pencegahan dan penanggulangan kriminalitas, (d) Pencegahan dan penanggulangan gerakan terorisme, (e) Peningkatan kemampuan pertahanan negara, dan (f) Pemantapan politik luar negeri dan peningkatan kerjasama internasional; (2) Agenda keadilan, hukum, HAM, dan demokrasi untuk menuju masyarakat yang adil dan demokratis, terdiri dari (a) Pembenahan sistem dan politik hukum (substansi, struktur, dan kultur) yang menjamin penegakan dan kepastian hukum, (b) Penciptaan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa, (c) Penghapusan diskriminasi dalam berbagai bentuknya, (d) Pengembangan seluas-luasnya kebudayaan yang berlandaskan pada nilai-nilai luhur, (e) Revitalisasi proses desentralisasi dan otonomi daerah, (f) Penghormatan dan pengakuan atas hak asasi manusia, dan (g) Peningkatan kualitas kehidupan dan peran perempuan; dan (3) Agenda ekonomi untuk menuju masyarakat sejahtera, terdiri dari (a) Perbaikan dan penciptaan kesempatan kerja, (b) Peningkatan kinerja dan stabilitas ekonomi makro, (c) Penghapusan kemiskinan, (d) Peningkatan akses rakyat terhadap pendidikan yang lebih berkualitas, (e) Peningkatan akses rakyat terhadap terhadap layanan kesehatan yang lebih berkualitas, (f) Penghapusan ketimpangan dalam berbagai bentuknya, dan (g) Perbaikan pengelolaan sumber daya alam dan pelestarian mutu lingkungan hidup. Selanjutnya, berdasar agenda pembangunan tersebut dikembangkan program pembangunan (2004-2009). 5
4
pendapatan masyarakat yang ditandai oleh meningkatnya pendapatan perkapita dari USD 968 pada tahun 2003 menjadi USD 1731 pada tahun 2009, (d) Membaiknya perekonomian rakyat yang ditandai oleh turunnya angka kemiskinan dari 17,4 persen pada tahun 2003 menjadi sekitar 8,2 persen pada tahun 2009, (e) Membaiknya stabilitas perekonomian yang ditandai oleh laju inflasi yang rendah dan terkendali, nilai tukar rupiah yang stabil, dan suku bunga SBI yang menurun yang diikuti secara proporsional oleh suku bunga pinjaman sehingga mendorong sektor riil untuk bergerak, (f) Meningkatnya akses masyarakat terhadap pendidikan dan meningkatnya mutu pendidikan, yang antara lain ditandai oleh (f-1) menurunnya jumlah penduduk yang buta huruf dari sekitar 10 persen pada tahun 2003 menjadi di bawah 5 persen pada tahun 2009, dan (f-2) meningkatnya secara nyata persentase penduduk yang dapat menyelesaikan program wajib belajar 9 tahun, (g) Meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang antara lain ditandai oleh meningkatnya angka harapan hidup, menurunnya tingkat kematian bayi dan kematian ibu melahirkan, (h) Meningkatnya ketahanan pangan rakyat, yang antara lain ditandai oleh (h-1) perbaikan status gizi ibu dan anak pada golongan masyarakat yang rawan pangan, dan (h-2) membaiknya akses rumah tangga golongan miskin terhadap pangan, (i) Berkembangnya pendidikan vocational yang ditandai oleh meningkatnya tenaga terampil, (j) Membaiknya mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam di perkotaan dan di perdesaan, (k) Membaiknya kondisi infrastruktur yang ditunjukan oleh meningkatnya kuantitas dan kualitas berbagai prasarana penunjang pembangunan, dan (l) Meningkatnya kesejahteraan dan kualitas masyarakat Indonesia yang ditandai oleh membaiknya Indeks Pambangunan Manusia (IPM), yang saat ini berada pada peringkat 112 naik menjadi lebih baik dari peringkat 91 6 . Pada hemat penulis tak ada masalah dengan rumusan visi dan misi tersebut di atas, demikian pula halnya dengan rumusan agenda kebijakan, program, dan sasaran-sasaran pembangunan yang ingin dicapai lima tahun ke depan, hanya mungkin perlu beberapa penegasan dan penyesuaian. Dengan demikian pada dasarnya visi, misi, strategi, kebijakan, program, dan sasaran tersebut dapat dijadikan agenda kebijakan pemerintahan SBY-MJK, dengan beberapa penyesuaian dalam berbagai sasaran dan instrumen atau langkah-langkah kebijakan dan program yang akan ditempuh. Pada rumusan strategi pembangunan, yang pada pokoknya didasarkan dan diarahkan pada perwujudan amanat Pembukaan UUD 1945, terdapat beberapa catatan. Pada strategi (1) substansi yang ingin dikembangkan agaknya adalah “membangun komitmen bangsa untuk senantiasa mengaktualisasikan amanat Pembukaan UUD 1945” secara arief dan efektif. Ini mengindikasikan suatu pendekatan budaya, pendekatan perilaku, atau pendekatan “peradaban”; yang mengedepankan learning dan knowledge base society. Memang berbagai langkah perlu dikembangkan untuk itu, serta perlu senantiasa terjaga konsistensi rumusan dan efektivitas pelaksanaannya. Sebab itu paradigma (mind set) yang mendasarinya juga perlu dipertegas sehingga memudahkan konseptualisasi lebih lanjut yang diperlukan dalam membangun konsensus, dukungan, dan partisipasi serta saling hubungan yang harmonis antar berbagai stakeholders yang berkembang demikian majemuk dalam kehidupan masyarakat bangsa kita. Sedangkan rumusan yang digunakannya untuk strategi (1) adalah “penataan kembali Indonesia” untuk menyelamatkan sistem ketatanegaraan Republik Indonesia 7 , suatu pendekatan atau ungkapan yang terasa lebih bernuansa politis, yang dapat menimbulkan berbagai praduga, dan dapat memancing
6
Dilihat dari berbagai sasaran yang ingin dicapai lima tahun ke depan, dengan kepemimpinan dan manajemen yang baik, agaknya pemerintahan SBY-MJK tidak akan terlalu sulit untuk dapat mencapai sasaran-sasaran tersebut; kecuali mungkin dalam beberapa hal, utamanya dalam pembangunan keadilan, hukum, HAM, dan demokrasi.
7
Lihat SBY-MJK, hal. 18 – 23.
5
kontroversi yang malah mungkin akan mempertajam konflik kepentingan 8 . Maksud rumusan strategi (1) tersebut, saya kira pada essensinya adalah membangun komitmen, konsistensi, dan kompetensi bangsa dalam mewujudkan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945; dan itu akan lebih sejiwa dengan agenda kebijakan yang perlu dikembangkan untuk mengimplementasikan baik strategi (1) maupun strategi (2). Implementasi yang efektif dari berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 mensyaratkan perubahan perilaku yang memprasyaratkan komitmen dan kompetensi untuk mengaktualisasikannya dalam sistem dan proses serta kinerja penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa. Konsistensi perubahan perilaku tersebut merupakan persyaratan bagi suksesnya strategi 1 dan 2. Berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 9 adalah merupakan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa yang sudah seharusnya (a) menjadi acuan setiap institusi dalam memilih paradigma, menyusun visi, misi, strategi, dan dalam mengembangkan kebijakan, program-program, dan berbagai indikator kinerja pembangunan; serta (b) melandasi, mengarahkan, memotivasi, dan menjadi acuan prilaku setiap individu dalam kegiatan penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, sesuai posisi dan perannya masing-masing dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Perlu dicatat bahwa kegagalan rezim pemerintahan masa lalu, utamanya Orde Lama (1959-1966) dan Orde Baru (1968-1998) yang sama-sama mewariskan krisis multi dimensi di akhir pemerintahan masing-masing, adalah kegagalan dalam mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara konsisten dan efektif. Pemerintahan masa transisi 1966-1968 saya pandang cukup berhasil, karena masih mampu mempertahankan misi perjuangan untuk kembali kepada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, di samping mampu mencapai sasaran program stabilisasi dan rehabilitasi serta menyiapkan landasan pembangunan jangka menengah dan panjang 10 . Sedangkan pemerintahan masa transisi reformasi 1998-2004, kecuali pemerintahan BJ Habibie, tak pernah jelas landasan nilai dan paradigma yang mendasari langkah-langkah kebijakannya sehingga terasa kurang melahirkan sinergi yang diharapkan; kesan yang timbul sepertinya malah alergi terhadap Pancasila. Memang Pembukaan UUD 1945 tidak mengalami amandemen, namun euforia demokrasi yang timbul, lemahnya penegakan hukum, dan meluasnya KKN merupakan bukti dari erosi tata nilai yang terkandung dalam pembukaan konstitusi tersebut dalam kehidupan banhgsa. Mendisain strategi pembangunan dan agenda kebijakan penyelesain masalah-masalah bangsa yang didasarkan dan ditujukan pada 8
Jadi yang mungkin merupakan sasaran dan alternatif rumusannya adalah revitalisasi sistem dan proses penyelenggaraan negara sehingga lebih mengaktualisasikan amanat Pembukaan UUD 1945. Dengan catatan, bahwa dalam penyelenggaraan negara berperan baik segenap unsur aparatur negara maupun warga negara, baik lembaga-lembaga negara maupun lembagalembaga yang berkembang dalam kehidupan masyarakat bangsa. Aktualisasi nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 merupakan tanggung jawab segenap aparatur negara dan warga negara dari Sabang sampai Meraoke.
9
Pada Pembukaan UUD 1945 terdapat tiga dimensi nilai, yaitu dimensi spiritual (alinea 3, berisikan pengakuan akan eksistensi dan kemahakekuasaan Allah dalam perjuangan bangsa), dimensi kultural (alinea 4, berisikan dasar negara, Pancasila), dan dimensi institusional (aline4, berisikan tujuan bernegara dan pokok-pokok sistempenyelenggaraan pemerintahan negara yaitu negara hukum dan demokrasi). Lihat Mustopadidjaja AR; Dimensi-Dimensi Pokok SANKRI.
10
Orde Lama bangkit dengan Dekrit 5 Juli 1959 dengan heroisme perjuangan kembali pada UUD 1945, namun yang kemudian terjadi adalah penyimpangan bukan saja dari Pembukaannya tetapi juga dari batang tubuhnya. Orde Baru bangkit untuk mengkoreksi kekeliruan Orde Lama dengan semangat kembali pada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen, tetapi penyelenggaraan negara kemudian mengabaikan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik sehingga pemerintahan Orde Baru tumbang, berakhir pada tahun 1998 dengan mewariskan krisis multi dimensi seperti dialami pada akhir pemerintahan Orde Lama di tahun 1966, sekitar tiga dekade sebelumnya.
6
perwujudan nilai-nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 secara optimal merupakan pilihan yang tepat; namun sejarah menunjukan bahwa untuk mewu-judkannya secara konsisten dan efektif, tidak mudah. Dalam hubungan itu, mungkin pemerintahan SBY-MJK juga akan mengalami kegagalan seperti rezim-rezim pemerintahan republik ini sebelumnya, apabila janji perubahan untuk mewujudkan amanat Pembukaan UUD 1945 yang dikampanyekan selama Pilpres-wapres tersebut tidak secara konsisten dan efektif diaktualisasikan dan diwujudkan dalam kenyataan. Sebab itu, permasalahan dan tantangan utama yang dihadapi pemerintahan SBY-MJK adalah perubahan perilaku utamanya pada jajaran aparatur negara yang dituntut untuk senantiasa konsisten dengan berbagai dimensi nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Jangan lagi berbagai kebohongan dan penyimpangan dari amanat konstitusi yang terjadi pada beberapa pemerintahan terdahulu itu terulang kembali. Upaya untuk mengaktualisasikan berbagai dimensi nilai pada Pembukaan UUD 1945 secara konsisten dan efektif dalam sistem dan proses penyelenggaraan negara artinya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan dasar pemikiran dari thesis perubahan SBY-MJK memang bukan pekerjaan mudah, namun tidak boleh tertunda karena berbagai permasalahan besar yang dihadapi negara dan bangsa justru timbul sebagai akibat terabaikannya aktualisasi berbagai dimensi nilai tersebut secara konsisten dan efektif dalam sistem dan proses penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa. Dengan demikian, perubahan perilaku merupakan prasyarat bagi pengembangan dan implementasi strategi yang harus tercerna dalam keseluruhan sistem administrasi pemerintahan, dan diterjemahkan bukan saja dalam bentuk sumpah atau pun janji, tapi diwujudkan dalam berbagai kebijakan dan program yang tepat, serta dibuktikan dengan sikap, tindakan nyata, dan akuntabilitas capaian kinerja pemerintahan kepada publik. Sesungguhnya perubahan perilaku tersebut juga perlu terwujud pada lembaga-lembaga negara lainnya, dan lembaga-lembaga yang berkembang dalam kehidupan masyarakat. Sebab itu yang perlu dibangun adalah konsensus dan komitmen serta kompetensi untuk mewujudkan berbagai dimensi nilai pada Pembukaan UUD 1945 dalam keseluruhan sistem dan proses penyelenggaraan negara, yang melibatkan seluruh unsur aparatur negara masyarakat bangsa, sesuai posisi dan peran masing-masing dalam Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia (SANKRI). Yang menjadi masalah kemudian adalah bagaimana mewujudkan konsistensi nilai dari amanat Pembukaan UUD 1945 yang mendasari strategi pembangunan SBY-MJK tersebut ke dalam agenda kebijakan, program, dan indikator kinerja pemerintahan, serta bagaimana sistem dan proses implementasinya secara efektif 11 . Salah satu indikator penting dari eksis tidaknya komitmen dan kompetensi tersebut antara lain adalah “tingkat kepedulian pada kepentingan publik” yang berorientasi pada capaian kinerja tujuan bernegara dan kontribusi masing-masing di dalamnya. Legal dan financial accountability dalam hubungan ini cukup jelas tercantum antara lain dalam Pasal 7, Undang11
Apabila kita tempatkan berbagai sasaran dalam ketiga agenda kebijakan tersebut sebagai kinerja yang ingin dicapai dan melihat relevansi dan korelasinya dengan berbagai dimensi nilai pada Pembukaan UUD 1945 utamanya dari sudut tujuan bernegara, maka yang agaknya belum terungkap adalah sasaran mengenai peran Indonesia dalam membangun perdamaian dunia. Saya cukup yakin sebagian pejabat professional karier pada birokrasi kita dibekali pengalaman dan kemampuan teknis dan manajerial dalam pengelolaan kebijakan; dengan contoh dan kepemimpinan yang baik, birokrasi pemerintahan kita akan dapat meningkatkan kapasitasnya untuk melakukan berbagai penyesuaian dan perubahan yang diperlukan, dan menyusunnya dalam bentuk tingkatan dan lingkup kebijakan dan program pembangunan jangka menengah dan tahunan, serta menuangkannya dalam berbagai kebijakan dan kegiatan-kegiatan operasional sesuai bidang tugas masing-masing.
7
undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menetapkan bahwa “(1) Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara; (2) Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahahn untuk mencapai tujuan bernegara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun disusun APBN dan APBD”. Ini berarti segenap kebijakan dan program yang dikembangkan pemerintahan pusat dan daerah harus terarah secara pasti pada pencapaian tujuan NKRI 12 . Dalam hubungan itu, peran internal dan external audit institutions (BPKP, Inspektorat, dan Bawasda; serta BPK) harus memperhatikan ketentuan Pasal 7, Undang-Undang No 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang mengisyaratkan dan mengamanatkan peningkatan produktivitas atau paling tidak keseimbangan antara financial cost dan performance dalam keseluruhan kegiatan penyelenggaraan negara tersebut. Dalam pada itu, sistem anggaran negara dan daerah pada dasarnya sudah diorientasikan pada kinerja; yang kemudian perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh adalah, apakah berbagai kegiatan dan pembiayaan serta indi-kator kinerja yang dikembangkan dalam perencanaan dan penganggaran itu berkorelasi secara nyata dengan tujuan bernegara; dan bagaimana cara-cara yang ditempuh dalam tata kelola pemerintahan (“proses penyusunan, pelaksanaan, dan pertanggungan jawaban kebijakan dan program”), agar konsistensi dan akuntabilitas capaian kinerjanya terwujud. Dalam hubungan itu, perlu dipertanyakan apakah rencana, kebijakan, program, dan anggaran yang baik, otomatis akan membuahkan kinerja yang diharapkan?. Jawabannya jelas, belum tentu. Masalah terbesar yang akan dihadapi agaknya bukan pada penyusunan berbagai kebijakan dan program operasional sebagai jabaran dari strategi dan agenda kebijakan, tetapi pada tahap implementasinya. Good policy agenda and program belum tentu membuahkan good performances, apabila tidak disertai good implementation system and process, serta integritas dan kompetensi manusianya. Sebab itu, selain peningkatan dalam komitmen dan kompetensi SDM pada keseluruhan jajaran pemerin-tahan dalam mewujudkan prinsip-prinsip good governance dan clean government, pemantauan dini atas perkembangan pelaksanaan kebijakan dan program, koreksi yang lugas atas berbagai penyimpangan, peran internal dan eksternal audit perlu dioptimalkan, dan penegakan hukum harus dilakukan tanpa pandang bulu lagi. Reformasi “aparatur negara” yang akan ditempuh, termasuk aparatur pemerintah atau birokrasi dan “tata kelola pemerintahan” di dalamnya, tentunya tak lepas dari skenario dan strategi perubahan yang bertolak dan terarah pada perwujudan amanat Pembukaan UUD 1945 tersebut. Dalam hubungan itu, maksud dan tujuan pembentukan setiap organisasi pemerintahan harus dinyatakan secara tegas, yaitu untuk mewadahi berbagai upaya yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencapai tujuan bangsa dalam bernegara. Sedangkan upayaupaya yang dilakukan harus senantiasa konsisten dengan tata nilai konstitusional dan prinsip penyelenggaraan negara yang baik, serta sesuai dengan tuntutan perkembangan lingkungan strategik yang dihadapi. Ini penting, sebab kalau kita perhatikan Keppres-keppres tentang 12
Pada dasarnya kebijakan dan program yang dikembangkan pemerintah pusat dan daerah langsung atau pun tak langsung mempunyai implikasi keuangan dan anggaran (finance and budget implications) baik pada sektor/institusi publik maupun swasta/masyarakat yang dicerminkan pada pos penerimaan (revenue) dan pengeluaran (spending) masing-masing institusi. Misalnya regulasi yang bersasaran meningkatkan penerimaan akan meningkatkan pengeluaran (costs) pada sektor bisnis terkait dan masyarakat, dan kemungkinan akan menurunkan arus investasi ataupun perdagangan; akibatnya upaya meningkatkan pertumbuhan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat umum dapat terkendala secara tidak seimbang dengan subsidi yang disalurkan untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan kelompok masyarakat tertentu. Opsi-opsi kebijakan untuk mewujudkan optimalitas sosial (social optimality) yang menyeimbangkan pertumbuhan dan pemerataan secara berkeadilan harus menjadi perhatian.
8
pembentukan berbagai organisasi pemerintah, seperti Departemen, LPND, Perangkat Daerah, dan sebagainya, tak pernah secara eksplisit menyatakan bahwa “tujuan, tugas, dan fungsi” organisasi tersebut adalah “mencapai tujuan bernegara” sesuai dengan bidang tugas dan wilayah kerja masing-masing 13 . Pernyataan tersebut diperlukan sebagai dasar untuk memenuhi tuntutan akuntabilitas publik, dan rambu-rambu untuk mencegah organisasiorganisasi pemerintahan mengembangkan berbagai program dan kegiatan yang tidak jelas kontribusinya terhadap pencapaian tujuan bernegara; apalagi kalau program itu hanya diartikan sebagai sekumpulan proyek, dan produktivitas atau efektivitas diartikan sebagai identik dengan “sisa anggaran = 0”. Permasalahan besar lainnya adalah tugas dan fungsi yang tumpang tindih, seperti antara lain tampak pada Kantor Kementerian Negara dengan sejumlah LPND yang dalam lingkup kewenangan koordinasinya. Implikasinya bukan saja secara rutin menimbulkan inefisiensi, tapi juga dismotivasi untuk melakukan reinvensi atau perubahan yang perlu dilakukan dalam pendayagunaan berbagai sumber daya nasional 14 . Perubahan struktur yang selalu berulang merupakan tradisi dalam organisasi pemerintahan selama ini. Hal itu tampak antara lain dalam restrukturisasi perangkat daerah; serta dalam penghapusan, pemisahan, dan penggabungan beberapa Departemen dan Direktorat Jenderal kemudian dihidupkan atau dipisahkan lagi, dan sebagainya. Sementara itu, apabila kita bandingkan nomen-klatur Eselon II di beberapa LPND seperti Bappenas dengan yang di Departemen seperti Departemen Keuangan atau Departemen Teknis tertentu, maka tampaknya nomenklatur “Direktorat” digunakan baik di Departemen/Kementerian maupun di LPND/Non-Kementerian. Apakah tugas dan fungsi mereka (Direktorat di LPND dan Departemen) sama-serupa?. Sebab itu, finalisasi RUU tentang Kementerian Negara dan Non Kementerian Negara yang menghapus berbagai keganjilan tersebut di atas termasuk kemungkinan transaction costs di dalamnya perlu mendapatkan perhatian serius dalam program legislasi nasional dan pemerintahan SBY-MJK. Dalam tatanan organisasi yang kompleks dengan tingkat tumpang tindih yang cukup besar, sedangkan tugas dan fungsi masing-masing tidak dinyatakan terarah pada pencapaian tujuan bernegara, maka pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen akan sulit dikoordinasikan, konsistensi langkah-langkah kebijakan juga tak mudah untuk diwujudkan, dan jelas efisiensi sulit dicapai. Sebab itu, inefisiensi dan pemborosan merupakan realitas keseharian. Lemahnya koordinasi dan kurangnya konsistensi kebijakan antar sektor dan antar daerah dan dalam hubungan pusat dan daerah merupakan masalah manajemen publik keseharian yang sudah berlangsung lama sekali. Dan semua itu akan berdampak pada tingkat efisiensi dan efektiktivitas aparatur bahkan pada tingkat produktivitas nasional. Namun, efisiensi, kreativitas, dan efektivitas manajemen tidak hanya dipengaruhi oleh tatanan organisasi makro dan mikro dari lembaga-lembaga pemerintahan. Hal itu juga akan banyak dipengaruhi oleh sistem dan proses manajemen dalam mengemban tugas dan tanggung jawab organisasi, serta pada integritas, komitmen dan kompetensi sumber daya manusia di dalamnya, termasuk kompetensi teknis, manajerial, dan kepemimpinan (technical, managerial, and leadership
13
Demikian pula halnya dalam konsep RUU Tentang Kementerian Negara.
14
Dalam kasus lingkungan hidup misalnya, tragedi pertambangan Newman, siapa yang perlu didengar Bappedal yang secara tehnis mengadakan evaluasi dan pelaporan kerusakan lingkungan, ataukah Kantor Kementerian Lingkungan Hidup yang memiliki “kewenangan politik” .mengkoordinasikan Bappedal. Sulitnya dalam praktik, koordinasi sering diartikan sebagai subordinasi dan bahkan dominasi, padahal maknanya yang hakiki adakah kesederajatan dan kebersamaan yang melahirkan sinerji, kreativitas, efisiensi, dan efektivitas. Hal ini dapat mengakibatkan dismotivasi dan uncertenty seperti terlihat dalam realitasnya. Mungkin “Model Pembinaan Diklat LAN terhadap Badan Diklat Pusat dan Daerah” atau “Model Hubungan Fungsional Perencanaan antara Bappenas dan Bappeda Provinsi dan Kabupaten/Kota” dapat dijadikan sistem hubungan kelembagaan pusat dan daerah di mana desentralisasi dan otonomi daerah berkembang sesuai amanat konstitusi.
9
competences), serta memadai tidaknya sistem, aturan dan proses pelaksanaan reward dan punishment. Apabila organisasi pemerintahan itu dibentuk untuk mewadahi perjuangan mencapai tujuan bernegara, maka proses manajemen dalam keseluruhan fungsinya dimaksudkan untuk mencapai tujuan tersebut secara sistematis, realistis, rasional, demokratis, dan manusiawi berdasarkan prinsip-prinsip penyelenggaraan pemerintahan dalam negara hukum yang demokratis, dan sesuai dengan dimensi-dimensi nilai dalam Pembukaan UUD 1945 yang juga mengimperasikan diterapkannya prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik (good governance) dan pemerintahan yang bersih (clean government). Yang perlu diperhatikan adalah bahwa penyelenggaraan pemerintahan di negara hukum yang demokratis, seperti NKRI, itu dilakukan melalui kebijakan publik. Yang perlu diwujudkan adalah ketepatan kebijakan (putusan dan format perundang-undangannya) serta konsistensi dari berbagai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah, sehingga melahirkan sinergi dan optimalitas kinerja yang diharapkan, baik pada lingkup nasional maupun daerah. Yang perlu dibumikan adalah prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dan bersih dalam manajemen pemerintahan kita. Sebab itu komitmen dan kompetensi dalam managing public policy process (formulasi, implementasi, dan evaluasi kinerja), termasuk dalam managing public services di dalamnya, menurut prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dan bersih merupakan kualifikasi yang perlu diaktualisasikan dalam sistem dan proses manajemen dari setiap organisasi pemerintahan kita, baik pusat mau pun daerah. Banyaknya kebijakan yang tidak konsisten yang dikeluarkan berbagai aparat pusat mau pun daerah serta dalam hubungan pusat dan daerah, seperti tampak antara lain ratusan Perda yang harus dicabut, dapat dipandang sebagai indikator masih lemahnya kompetensi dan/atau komitmen aparatur pemerin-tahan dalam managing public policy proecess tersebut; atau merupakan akibat dari tak adanya pedoman yang mantap dalam hal tersebut. Tidak jalannya prinsip-prinsip pelayanan prima dalam pengelolaan pelayanan publik merupakan bukti lain dari kelemahan mendasar yang masih kita hadapi, yang mungkin selain merupakan akibat masih lemahnya sistem remunerasi dan masih rendahnya tingkat penghasilan pegawai republik ini; juga masih rendahnya kapasitas aparatur pemerintah dalam menetapkan e-Administration atau e-Government dalam pengelolaan pelayanan dan kebijakan publik. Pemulihan perekonomian yang diharapkan juga ditandai revitalisasi dan peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial, merupakan agenda penting pemerintahan SBY-MJK, sungguh memerlukan perubahan dalam manajemen proses kebijakan dan pelayanan publik tersebut, yang terarah pada penciptaan iklim yang kondusif bagi kehidupan perekonomian dan berkembangnya enterpreneurship di masyarakat. Berbagai regulasi dan pelayanan yang mengakibatkan biaya tinggi dan reluktansi dalam investasi dan perdagangan perlu dipangkas. Seiring dengan itu berbagai kebijakan dan program yang dapat membangkitkan UMKM (Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah) perlu dikembangkan. Dalam hubungan upaya pemberdayaan masyarakat dan revitalisasi perekonomian tersebut, prinsipprinsip kepemerintahan yang baik dan bersih dalam pengelolaan (= formulasi, implementasi, dan evaluasi kinerja)) kebijakan dan pelayanan publik perlu mendapatkan perhatian sungguhsungguh 15 . Demikian pula penerapan prinsip-prinsip good corporate governance pada dunia usaha. Optimalitas sosial diharapkan dapat tewujud dalam sistem “demokrasi ekonomi” yang menyeimbangkan mekanisme pasar dan kebijakan pemberdayaan perekonomian rakyat, sehingga struktur ekonomi dan dunia usaha nasional dalam berbagai skala ekonomi dapat berkembang mantap, saling menunjang, dan memiliki daya saing tinggi.
10
Revitalisasi perekonomian dan pemberdayaan masyarakat memerlukan semangat untuk melayani publik ("a spirit of public services"), dan menjadi mitra masyarakat ("partner of society"); atau melakukan kerja sama dengan masyarakat ("co production"). Hal tersebut memerlukan perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik ("code of ethical conducts") yang didasarkan pada dukungan lingkungan ("enabling strategy") yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik pusat maupun di daerah. Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Prinsipprinsip pelayanan tersebut jauh dari realitas dan praktik birokrasi kita. Makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara secara luas, yang esensinya "melayani publik" di mana birokrasi termasuk di dalamnya, harus benar-benar dihayati para penyelenggara pemerintahan negara dan tidak boleh dipandang hanya merupakan tuntutan terhadap birokrat 16 . Kelemahan lain dari manajemen pemerintahan kita selama ini adalah kekurang pedulian terhadap sistem dan proses serta kinerja implementasi berbagai regulasi, kebijakan, dan program. Ketidakpedulian terhadap proses implementasi dan kinerja kebijakan, juga ditunjukan dengan kemalasan dalam membuat laporan akuntabilitas, yang diperintahkan Inpres No 7 Tahun 1999 tetang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah. Sementara itu, berbagai laporan pengawasan dan pemeriksaan dari lembaga-lembaga audit internal dan eksternal juga kurang mendapat responsis yang sungguh-sungguh. Dalam pada itu, program yang puluhan tahun terbukti tidak produktif masih diulangi pelaksanaannya tanpa perubahan signifikan, sekalipun tujuan progam tidak pernah tercapai. Demikian pula halnya dalam penyaluran berbagai subsidi, termasuk subsidi tingkat bunga (subsidised loans) yang mengakibatkan puso pinjaman sampai mencapai ratusan milyar, bahkan mungkin apabila pinjaman bersubsidi sejak pola KIK dan KNKP awal 1970-an dihitung telah mencapai angka puluhan trilyun, namun diulangi dengan menyalurkan KUT, dan sebagainya. Sisi lain dari kelemahan manajemen pemerintahan kita adalah pada proses pembuatan keputusan yang sering mengabaikan partisipasi publik, sehingga terkesan sangat elitis, akibatnya berbagai peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dan daerah itu didemo, dan kemudian dicabut atau direvisi. Berbagai kelemahan dalam sistem organisasi dan manajemen tersebut, memang juga tak lepas dari unsur SDM aparatur negara kita, baik mereka yang mendisain sistem dan kiebijakan maupun mereka yang bertugas dan bertanggung jawab dalam mengimplementasikannya. Namun sekali lagi tidak seluruh pegawai negeri sipil dalam birokrasi kita itu buruk, “sampah, malas, tidak disiplin, dan korup”. Masalah yang dihadapi aparatur negara kita memerlukan pendayagunaan secara mendasar dan sistemik dalam keseluruhan unsurnya (organisasi, manajemen, dan SDM aparatur baik political appointees maupun birokrat professional karier), yang terarah pada bangunan SANKRI yang mengakomodasikan berbagai dimensi nilai dalam Pembukaan UUD 1945. Namun strategi perubahan aparatur yang komprehensif seperti itu memerlukan waktu yang relatif lama, sebab itu dapat diagendakan menurut time frame jangka pendek (A) dan jangka panjang (B), yang saling terkait. Strategi perubahan 16
Lihat Mustopadidjaja AR; Reformasi Birokrasi, Perwujudan Good Governance, Dan Pembangunan Masyarakat Madani, Disampaikan Pada Silaknas ICMI 2001, Jakarta, 26 Desember, 2001.
11
yang fokus pada revitalisasi terbatas jangka pendek merupakan bagian dari strategi perubahan komprehensif jangka panjang. Strategi perubahan jangka pendek, First Step Institutional Changes Strategy (A), adalah strategi yang perlu ditempuh secepatnya berisikan revitalisasi kelembagaan terbatas yang fokus pada (a) pemanfaatan struktur kelembagaan yang tersedia dengan (b) mendayagunakan (rotasi, mutasi) SDM yang memenuhi persyaratan integritas dan kompetensi yang diperlukan berdasar prinsip the right man (woman) in the right place, dan (c) mendorong sistem dan proses manajemen pemerintahan menerapkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dan bersih, (d) ketepatan sasaran dan instrumen kebijakan dan program, serta arahan, supervisi, dan pengendalian pelaksanaan yang ketat untuk mencapai kinerja optimal; serta (e) tidak menutup kemungkinan pembenahan kelembagaan yang tumpang tindih dan/atau yang tidak produktif serta tidak jelas kontribusinya pada pencapaian tujuan bernegara. Sasaran antara Strategi A ini adalah mengembangkan langkah-langkah kebijakan yang tepat utamanya dalam penanganan masalah yang memerlukan pembuktian kinerja yang cepat namun berdampak jangka panjang, seperti penciptaan iklim yang kondusif bagi investasi dan perdagangan, penegakan hukum, pemberantasan KKN, penanggulangan kemiskinan dan pengangguran, mendorong pengembangan prinsip good governance dan clean government dalam manajemen pemerintahan, dengan prioritas pada lembaga-lembaga yang memiliki peran strategis di dalam pencapaian sasaran tersebut, serta melakukan hal-hal yang sulit dilakukan birokrasi. Strategi yang diharapkan mulai dilaksanakan pada tahun 2004-2006, mempunyai sasaran akhir antara lain berupa meningkatnya pertumbuhan ekonomi, arus investasi dan perdagangan, kesempatan kerja, market share dalam perdagangan dunia, kesejahteraan sosial, indkes pembangunan manusia secara memadai, sesuai rencana. Strategi perubahan jangka panjang, Sedangkan Second Step Institutional Changes Strategy (B), adalah strategi perubahan kelembagaan secara komprehensif, pada pokoknya berisikan restruktrurisasi kelembagaan publik, pemantapan penerapan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik dan bersih, serta proses akulturasi dan institusionalisasi nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945, termasuk pengembangan komitmen dan kompetensi seluruh individu dan institusi dalam mengaktualisasikan nilai dan prinsip-prinsip tersebut serta melembaganya sistem kepemimpinan nasional yang telah diredefinisikan dalam sistem dan proses penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa. Sasaran antara Strategi B ini antara lain adalah terbangunnya sistem dan proses penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa menurut prinsip-prinsip kepeme-rintahan yang baik dan bersih secara mantap; meningkatnya komitmen, kompetensi, konsistensi, dan efektivitas individu dan institusi dalam mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa sehingga semakin dapat mendukung perjuangan bangsa dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara secara arief dan efektif. Sasaran akhir Strategi B ini antara lain adalah tercapainya berbagai sasaran yang ditetapkan dalam ketiga agenda kebijakan pokok secara penuh, sesuai harapan publik; melembaganya sistem kepemimpinan nasional yang telah diredefinisikan, serta terwujud dan terjaganya harmoni dan kontinuitas perjuangan mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara sesuai dimensi-dimensi nilai dalam Pembukaan UUD 1945, sehingga selanjutnya perjuangan bangsa dapat berlangsung secara konsisten, efektif, akuntabel, dan lestari. Dengan demikian, janji perubahan SBY-MJK harus dijabarkan ke dalam berbagai kebijakan dan program serta dilaksanakan secara sebaik-baiknya sehingga membuahkan hasil yang ditetapkan dan diharapkan publik. Hal tersebut mensyaratkan adanya dukungan sistem administrasi publik yang mantap serta sumber daya manusia yang memiliki integritas dan kompetensi yang tinggi. Sementara itu, kelemahan-kelemahan “birokrasi” yang muncul dalam 12
berbagai fenomena organisasi dan manajemen pemerintahan tersebut di atas masih memerlukan waktu yang relatif lama untuk merubahnya sesuai dengan harapan. Dengan catatan bahwa dalam birokrasi pemerintah masih banyak tenaga professional yang handal dalam bidangnya, namun terhambat intensitas pengabdiannya kepada bangsa dan negara karena beberapa penyakit tradisional-birokrasi, maka dikembangkan Strategi A untuk mendayagunakan “organisasi, manajemen, dan sumber daya manusia” tersebut secara cepat sehingga “janji perubahan” SBY-MJK dapat dilaksanakan dan menghasilkan kinerja sebaikbaiknya secara tepat waktu. Termasuk dalam Strategi A antara lain adalah manfaatkan “lembaga think tanks” yang ada, seperti Dewan Ekonomi Nasional dan Dewan Ketahanan Nasional atau integrasikan keduanya menjadi DEKAN (Dewan Ekonomi dan Ketahanan Nasional) dengan tugas melakukan review perkembangan pelaksanaan strategi dan kebijakan serta rekomendasi perubahan baik yang menyangkut Strategi (1) maupun Strategi (2) yang ditawarkan pada masa kampanye; pengisian DEKAN dengan orang-orang yang memiliki integritas dan kompetensi yang teruji, dan kembangkan dengan struktur dan manajemen serta agenda kegiatan dan kinerja yang jelas; adakan reevaluasi pengisian jabatan eselon satu dan dua pada lembaga-lembaga pemerintahan, berdasar kinerja masing-masing dan prinsip persyaratan integritas dan kompetensi dalam pelaksanaan tugas jabatan; susun pedoman mengenai sistem dan proses manajemen pemerintahan berdasar prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, yang diperlukan untuk menjaga konsistensi kebijakan pemerintahan pusat dan daerah, serta antara pemerintahan pusat dan daerah; mungkinkan adanya political appointee pada kementeriankementerian dan pemerintahan provinsi paling tidak setingkat eselon satu yang memenuhi kualifikasi integritas dan profesionalitas yang tinggi, dengan penugasan yang sifatnya assitensif pada pimpinan dan dapat berkoordinasi dengan Dewan Ekonomi dan Ketahanan Nasional atau DEKAN yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden tersebut. Pada akhirnya suksesnya penyelenggaraan negara juga akan tergantung pada komitmen, integritas, dan kompetensi pimpinan lembaga-lembaga pemerintahan negara dan lembagalembaga yang berkembang dalam kehidupan masyarakat bangsa, di samping pada ketepatan konsep mengenai sistem kepemimpinan yang berkembang dalam penyelenggaraan negara. Dengan kata lain, suksesnya bangsa dalam mencapai tujuannya bernegara, juga tergantung pada sistem kepemimpinan nasionalnya, dan pada kualitas manusia yang berada dalam posisi dan berperan sebagai pimpinan dalam lembaga-lembaga terkait. Perlu diingat bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara tak lepas dari struktur dan dinamika penyelenggaraan negara, yang melibatkan seluruh unsur negara, yaitu individu atau kelompok individu dan berbagai institusi (pemerintahan, masyarakat, dan dunia usaha) yang berkembang dan eksis di seluruh wilayah negara. Setiap invidu dan institusi di dalam negara kita mempunyai hak dan kewajiban atau posisi dan peran tertentu dalam negara sebagaimana ditentukan dalam konstitusi negara, termasuk dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara, utamanya mereka yang berada dalam posisi pimpinan lembaga-lembaga tersebut. Jangan membayangkan bahwa pimpinan nasional itu hanya terdiri dari pejabat-pejabat negara atau pejabat-pejabat pemerintahan, melainkan juga mereka yang berada pada di luar organisasi kenegaraan namun memiliki pengaruh, peran, tugas, tanggung jawab, dan rasa tanggung jawab dalam mencapai sukses perjuangan mewujudkan nilai-nilai kebangsaan dan pejuangan bangsa, dalam mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara. Tujuan tersebut hanya mungkin dicapai secara arief, konsisten, dan efektif apabila orang-orang dalam posisi pimpinan tersebut merasakan dirinya sebagai bagian dari sistem kepemimpinan nasional, lembaga apapun yang dipimpinnya. Cita-cita dan tujuan bernegara bangsa ini terlalu luhur untuk dapat dipikul oleh 13
seseorang, dan pilihan terhadap negara hukum yang demokratis mengisyaratkan perlu adanya tanggung jawab dari seluruh orang, utamanya dari mereka yang berada dalam posisi pimpinan lembaga-lembaga pemerintahan dan lembaga-lembaga yang berkembang dalam masyarakat, dari Sabang hingga Meraoke. Dalam hubungan itu, diperlukan redifinisi mengenai sistem kepemimpinan nasional dalam sistem dan proses penyelenggaraan negara kita, atau dalam SANKRI; dan perlu diidentifikasi siapa saja yang menduduki posisi dan memikul tanggung jawab kepemimpinan di dalamnya. Pada hemat penulis, kepemimpinan nasional dalam SANKRI diartikan sebagai sistem kepemimpinan dalam rangka penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, meliputi berbagai unsur dan struktur kelembagaan yang berkembang dalam kehidupan pemerintahan negara dan masyarakat bangsa, yang berperan mengemban misi perjuangan mewujudkan citacita dan tujuan NKRI sesuai posisi masing-masing dalam pemerintahan dan masyarakat. Secara struktural, kepemimpinan nasional terdiri dari pejabat lembaga-lembaga pemerintahan negara dan pimpinan lembaga-lembaga yang berkembang dalam kehidupan masyarakat bangsa, yang secara fungsional berperan dan berkewajiban memimpin orang dan atau lembaga yang dipimpinnya dalam upaya mewujudkan cita-cita dan tujuan bernegara. Sebab itu, baik secara individual maupun institusional masing-masing harus memiliki integritas dan kompetensi dalam mengatasi berbagai permasalahan masyarakat bangsa dan dalam melakukan pengelolaan berbagai kebijakan guna mencapai tujuan bernegara sesuai dengan posisi dan peran kelembagaan masing-masing, serta mampu menjaga konsistensinya dengan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945 17 . Dengan demikian setiap unsur pimpinan dalam lembaga-lembaga pemerintahan negara dan masyarakat merupakan bagian dari sistem kepemipinan nasional yang memiliki tanggung jawab mengaktualisasikan nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa dan membumikannya dalam kehidupan nyata. Kepemimpinan yang dibutuhkan dalam rangka itu adalah bukan saja yang memiliki integritas dan kompetensi dalam pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik, tetapi juga yang menyadari adanya kesetaraan antar lembaga-lembaga yang merupakan pilar-pilar dari masyarakat madani atau civil society, yaitu “pemerintahan, masyarakat, dan dunia”, dan mampu mengembangkan kemitraan intra dan antar lembaga dalam mewujudkan tujuan bangsa dalam bernegara; dengan demikian juga memiliki komitmen dan kompetensi dalam menerapkan prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik. Sistem kepemimpinan seperti itulah yang kiranya perlu diterapkan dalam setiap instansi pemerintahan agar birokrasi pemerintah bisa bekerja dengan hasil yang jauh lebih baik. Yaitu kepemimpinan yang memiliki integritas dan kompetensi dalam pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik (competences in managing public policies and public serivices) sehingga keseluruhan lembaga yang dipimpinnya terselenggara secara prima menurut prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik, serta terarah pada pencapaian kinerja yang dibutuhkan dan dituntut publik. Pada hgemat saya fungsi pimpinan adalah “leading and managing”. Leading berati memberi visi dan menetapkan misi, strategi, prioritas dan pokok-pokok kebijakan, serta melakukan evaluasi terhadap perkembangan pelaksanaannya; managing berarti menetapkan rencana, kebijakan dan program, serta melakukan supervisi dan pengendalian pelaksanaan (pemantauan atas perkembangan pelaksanaan serta koreksi-koreksi yang diperlukan untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelaksanaan) sehingga terjamin akuntabilitasnya 18 . 17
Lihat Mustopadidjaja AR; Dimensi-Dimensi Pokok Sistem Administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. 18
Pada tahun 1990 John P. Kotter pada satu pihak mengidentifikasi tiga tugas prinsipil kepemimpinan, yaitu (1) Establishing direction, developing a vision and strategies for the future of the business; (2) Aligning people - getting others to ‘understand, accept and line up in the chosen direction’, dan (3) Motivating and inspiring people by appealing to very
14
Pada tataran praktis, perubahan dalam sistem dan proses pengelolaan kebijakan dan pelayanan publik tersebut juga memerlukan contoh dan keteladanan pimpinan. Seperti dalam agenda revitalisasi perekonomian dan pemberdayaan masyarakat yang dikatakan memerlukan semangat untuk melayani publik ("a spirit of public services"), dan menjadi mitra masyarakat ("partner of society"); atau melakukan kerja sama dengan masyarakat ("co production"). Hal tersebut memerlukan perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik ("code of ethical conducts") yang didasarkan pada dukungan lingkungan ("enabling strategy") yang diterjemahkan ke dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum, dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah baik di pusat maupun di daerah-daerah. Dan telah dikemukakan bahwa pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan bangsa dalam membangun, yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku "melayani, bukan dilayani", "mendorong, bukan menghambat", "mempermudah, bukan mempersulit", "sederhana, bukan berbelit-belit", "terbuka untuk setiap orang, bukan hanya untuk segelintir orang". Perubahan perilaku tersebut memerlukan contoh dan keteladanan pimpinan pada seluruh jenis dan tingkatan kelembagaan. Misalnya KKN itu membudaya karena adanya interplays antar berbagai stakeholders, bukan saja pejabat atau staff yang memberikan pelayanan (perizinan, dan sebagainya) tetapi juga pejabat pimpinan yang bertanggung jawab memenej kebijakan dan pelayanan tersebut, serta dunia usaha dan masyarakat yang membutuhkan layanan. Permasalahan terakhir dalam konteks sistem kepemimpinan nasional yang perlu kita diskusikan adalah berkisar pada pertanyaan “Adakah peran khusus yang perlu dilakukan oleh Presiden SBY atau Wapres MJK agar masalah besar dalam tata pemerintahan bisa berkurang secara signifikan?”. Peran umum yang perlu digaris bawahi adalah memimpin (lead and manage) kabinet yang telah dibentuk agar mencapai kinerja perubahan yang diharapkan, sesuai visi, misi, dan strategi yang secara umum telah diterima masyarakat, atau menyempurnakannya secara lebih baik ke dalam RPJM dan RPJT utamanya RPJT-2005 yaitu APBN 2005 plus Perubahan-perubahan Kebijakan-kebijakan yang Mendesak, termasuk yang telah ditetapkan dalam Program 100 Hari. Peran khusus yang perlu pertimbangan lebih jauh adalah memantapkan Strategi A, tersebut di atas dan melakukan koordinasi pelaksanaan tugas dan fungsi para appointees yang ditugasi untuk mengelolanya sehingga serasi dan saling mendukung dengan tugas dan tanggung jawab kabinet, termasuk dalam menyiapkan Strategi B. Sebagai catatatan akhir, dapat dikemukakan bahwa perubahan tata kelola peme-rintahan bukan sesuatu yang berdiri sendiri, atau terpisah dari dinamika perkembangan lingkungan strategik dan lepas dari dimensi-dimensi nilai yang menghikmati kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Bahkan ia merupakan bagian tak terpisah dari stategi perubahan, yang akan menentukan ketepatan rumusan strategi dan konsistensi serta efektifitas pelaksanaanya. Perkembangan lingkungan strategik ditandai oleh gelombang globalisasi, tuntutan demokratisasi dan desentralisasi; serta dipengaruhi semangat liberalisasi dan kecanggihan tehnologi informasi, dan terakhir issues global terorism. Semua itu menuntut ketangguhan sistem sosial ekonomi politik serta pertahanan dan keamanan setiap negara basic but often untapped human needs, value and emotions. Pada lain pihak, ia pun mendefinisikan empat peran manajemen berikut, (1) Planning and budgeting, setting short-to medium-term targets; (2) Establishing steps to reach them and allocating resources; (3) Organizing and staffing, establishing an organizational structure to accomplish the plan, staffing the jobs; communicating the plan, delegating responsibility and establishing systems to monitor implementatio; dan (4) Controolling and problem solving, monitoring results, identifying problems and organizing to solve them (lihat Mustopadidjaja AR; DimensiDan Dinamika Kepemimpinan Abad 21).
15
bangsa, termasuk nilai-nilai kebangsaan dan perjuangan bangsa yang mendasarinya, dan akhirnya harus teraktualisasikan dalam sistem dan proses penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, dalam tatanan organisasi dan manajemen pemerintahan serta tata kelola pemerintahan yang baik pula. Ini berati kita perlu mempunyai “ideologi yang tangguh, tatanan organisasi pemerintahan yang tangguh, manajemen pemerintahan yang tangguh, dan SDM aparatur yang tangguh”. Sesungguhnya kita sudah memiliki “ideologi” yang tangguh yang beranjak dari dimensidimensi nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, tinggal menyusunnya dalam logical order yang mantap, disertai pengembangan komitmen dan kompetensi dalam mewujudkannya secara konsisten, arief, dan efektif sehingga merupakan kekuatan perubahan dan pembangunan peradaban yang tangguh. Pengalaman Orde Lama dan Orde Baru menunjukan bahwa kegagalan dalam mewujudkan berbagai dimensi nilai tersebut secara konsisten dan efektif telah melahirkan tragedi nasional berupa krisis multi dimensi (1996 dan 1998) yang mengenaskan. Sebab itu, adalah tepat apabila strategi pembangunan dan perubahan kelembagaan serta tata kelola pemerintahan dewasa ini dan di masa-masa datang didasarkan dan diarahkan pada perwujudan dimensi-dimensi nilai yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Namun langkah tersebut perlu dikuti secara seimbang oleh lembagalembaga negara lainnya, dan oleh lembaga-lembaga yang berkembang dalam masyarakat. Setiap anak bangsa harus memiliki keyakinan akan keunggulan kompetitif dari “ideologi” nasional tersebut, dan harus memiliki kompetensi, knowledge dan know how, dalam menerjemahkannya sebagai suatu paradigma, mengaktualisasikan dalam sistem dan proses penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa, dan membumikannya dalam kehidupan nyata. Untuk mengembangkan konsensus dan komitmen nasional tersebut serta untuk membangun kompetensi yang relevan agaknya diperlukan lembaga independen, atau mungkin dapat ditugaskan pada DEKAN. Yang selanjutnya perlu kita perhatikan adalah terjaganya konsistensi perilaku institusi dalam keseluruhan tatanan organisasi dengan berbagai dimensi nilai yang diamanatkan Pembukaan UUD 1945 yang dalam praktek keseharian termanifestasikan dalam etos kerja, ketepatan kebijakan dan program, efektivitas pelaksanaan, dan akuntabilitas kinerja masing-masing; yang dalam tataran individu antara lain termanifestasikan dalam sikap amanah, jujur, bersih, santun, adil, cerdas, dan bertanggung jawab, yang juga merupakan manifestasi dari eksisnya imtaq dan termanifestasikan dalam penguasaan iptek. Dalam rangka itu, seraya berupaya mengatasi berbagai permasalahan bangsa secara rasional dan realitsis, agar kita tidak tenggelam dalam pragmatisme dan mengabaikan idealisme perjuangan, agaknya kita perlu melakukan proses learning secara lebih mantap, membangun jati diri, menawarkan bangunan peradaban berbasis imtaq dan iptek, dan mendorong pembangunan peradaban yang sesuai dengan keluhuran nilai-nilai ketuhanan dan nilai-nilai kemanusiaan yang fitri yang terkandung dalam amanat pembukaan konstitusi tersebut.
16