SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
B.
Permukiman
Permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (Undang-Undang Nomor.4 Tahun 1992, tentang Perumahan dan Permukiman). Permukiman adalah kawasan yang didominasi oleh lingkungan yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan dan tempat kerja yang memberikan pelayanan dan kesempatan kerja yang terbatas untuk mendukung perikehidupan dan penghidupan, sehingga fungsinya dapat berdaya guna dan berhasil guna. Apabila dilihat dari difinisi diatas dan Undang-Undang Nomor.4 Tahun 1992, tentang Perumahan dan Permukiman, kota Jakarta sebagian besar masih belum bisa dikatakan memiliki permukiman yang ideal bagi sebagian warganya, hal ini apabila dilihat dengan banyaknya permasalahan yang ada di kota Jakarta cukup beragam, mulai dari pengangguran, kriminalitas, kemiskinan, sampai ke perumahan kumuh di daerah kota.Apabila dilihat pada penduduk yang bertempat tinggal di lokasi kumuh pada Tahun 2014 mencapai 947.298 rumah tangga,dan yang tinggal di bantaran sungai sebesar 32.067 rumah tangga, maka pada Tahun 2015 penduduk yang bertempat tinggal di lokasi kumuh mencapai 947.298 rumah tangga,dan yang tinggal di bantaran sungai sebesar 102.395 rumah tangga, hal ini telah terjadi peningkatan untuk yang bertempat tinggal diwilayah bantaran kali sebesar 70.328 rumah tangga, hal ini bisa terjadi karena banyaknya warga yang ingin mengadu untung di Ibukota Jakarta. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel dibawah : TABEL : III.70. JUMLAH RUMAH TANGGA MENURUT LOKASI TEMPAT TINGGAL TAHUN 2015 NO
LOKASI PERMUKIMAN
JUMLAH RUMAH TANGGA
1
Mewah
NA
2
Menengah
NA
3
Sederhana
NA
4
Kumuh
947.298
5
Bantaran Sungai
102.395
6
Pasang Surut
Sumber Keterangan
: BPS Provinsi DKI Jakarta 2015 : Tabel SE-1B (T) pada Buku Data SLHD Tahun 2015 Kategori 1-3, 5 data tidak tersedia
NA
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
Dalam kaitan tersebut diatas bahwa berdasarkan gambaran tentang kondisi perumahan di DKI Jakarta secara umum menunjukkan bahwa kualitas bangunannya secara umum cukup baikdan terus mengalami peningkatan. Khusus untuk penanganan lokasi tempat tinggal yang berada didaerah kumuh, bantaran sungai terus diupayakan untuk dilakukan penataan, misalnya melalui perbaikan lingkungan, sarana dan prasarana kota serta pembangunan rumah susun. Dengan upaya ini diharapkan kualitas perumahan dan lingkungan di DKI Jakarta akan meningkat dibandingkan waktu sebelumnya. 4.1.
Jumlah Rumah Tangga Miskin
Pencemaran lingkungan di Kota besar seperti
Jakarta
sebagian
besar
disebabkan oleh permukiman atau limbah domestik, inilah
yang
menyebabkan
bahwa pencemaran Situ, Sungai, Air Tanah, Laut dan Udara di DKI Jakarta masih banyak yang diatas ambang batas (Tabel SD-14, SD-15, SD-16 SD-17 dan Permukiman di Waduk Pluit sebelum adanya penantaan
SD-18 Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015). Kota Jakarta sebagai
Ibukota Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 menyebabkan banyak orang yang ingin mengadu untung di Provinsi DKI Jakarta, hal inilah yang menyebabkan Provinsi DKI Jakarta menjadi wilayah terpadat apabila dibandingkan dengan Provinsi lain di Indonesia. Dengan jumlah penduduk DKI Jakarta pada Tahun 2015 yang mencapai 10.177.931 jiwa dan luas wilayah yang hanya 662,33 Km2, serta kepadatan penduduk yang rata-rata mencapai 15.211,90 Jiwa/Km2 (Tabel DE-1 Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015), dengan adanya migran masuk di Provinsi DKI Jakarta pada Tahun 2015 sebesar 3.872.958 jiwa {Tabel DE-2D (T), Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015} serta sedikitnya lapangan pekerjaan yang hanya sebesar 2.924.653 pekerjaan {Tabel DE-3C (T), Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015} serta banyak warga yang memaksakan untuk hidup di tempat yang kurang layak menjadi tempat tinggal menyebabkan penduduk miskin akan selalu ada di kota-kota besar akibat adanya urbanisasi, hal ini bisa dlihat dari jumlah rumah tangga miskin yang mencapai 286.075 KK (Tabel SE-1, Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015). Dengan sempitnya lapangan pekerjaan dan luas lahan yang ada menyebabkan permukiman di Jakarta banyak yang kurang layak sebagai tempat hunian, hal ini bisa dilihat dari banyak Rumah Tangga yang tidak mempunyai tempat buang air besar yang layak, dimana pada Tahun 2015 warga DKI Jakarta yang menggunakan fasilitas umum dan tidak ada mencapai 53.134 KK (Tabel SP-8, Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015). Apabila dibandingkan Tahun 2014 sudah banyak terjadi penurunan yaitu hanya sebanyak 115.415 KK (Tabel SP-8, Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014), hal ini bisa terjadi
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
penurunan angka kemiskinan karena banyaknya sosialisasi dari aparat serta banyaknya penertiban perumahan kumuh di sepanjang bantaran kali dan direlokasi ke rumah susun. Selain hal tersebut untuk mengurangi jumlah rumah tangga miskin di Provinsi DKI Jakarta telah melakukan program diantaranya: 1. Dibidang kesehatan telah disiapkan bagi penduduk DKI Jakarta adalah Kartu Jakarta Sehat (KJS). 2
Dibidang pendidikan pemerintah Provinsi DKI Jakarta selain membebaskan biaya sekolah sampai dengan SMA, juga menyiapkan Kartu Jakarta Pintar.
3. Memberikan kredit bergulir tanpa bunga, yang dapat digunakan untuk berusaha dengan dikoordinir oleh Kelurahan dan dilaksanakan oleh warga masyarakat,. dan menyiapkan keterampilan bagi masyarakat yang kurang mampu. 4. Pemerintah DKI Jakarta dalam meningkatkan kualitas kebutuhan dasar Masyarakat telah melakukan pembangunan dan pengembangan Rumah Susun dan melakukan peningkatan kualitas permukiman dan perbaikan kampung diantaranya : a. Pembangunan Rumah Susun diantaranya :
MHT Plus di Provinsi DKI Jakarta dan 5 wilayah kota dan 1 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
Pembangunan Rumah Susun Dinas Pemadam Kebakaran Pegadungan 2 Blok
Pembangunan Rumah Susun Dinas Pemadam Kebakaran Boker Jakarta Timur 2 Blok
Pembangunan Rumah Susun Waduk Pluit 4 Blok Jakarta Utara (penyelesaian).
Pembangunan Rumah Susun Pulo Gebang Dinas Blok 3 dan 4 Jakarta Timur.
Pembangunan Rumah Susun Cakung Barat 2 Blok Jakarta Timur.
Pembangunan Rumah Susun Daan Mogot Blok 1 dan 2 Jakarta Barat.
Pembangunan Rumah Susun Daan Mogot Blok 3 dan 4 Jakarta Barat.
Pembangunan Rumah Susun Daan Mogot Blok 5 dan 6 Jakarta Barat.
Pembangunan Rumah Susun Jatinegara Kaum Blok 1 dan 2 Jakarta Timur.
Pembangunan Rumah Susun jalan Raya Bekasi Km 2 Blok 1 dan 2 Jakarta Timur.
Pembangunan Rumah Susun Rawa Bebek Blok 1 dan 2 Jakarta Timur.
Pembangunan Rumah Susun 5 lokasi.
Penyiapan target group penghuni Rumah Susun.
MHT Plus di Provinsi DKI Jakarta dan 5 wilayah kota dan 1 Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu.
b. Penataan jumlah permukiman sehat (ditinjau aspek fisik, ekonomi dan sosial) dan MHT Plus pada 98 RW di wilayah DKI Jakarta diantaranya :
Wilayah Jakarta Selatan sebanyak 24 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Pusat sebanyak 20 Rukun Warga
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
c.
Wilayah Jakarta Timur sebanyak 13 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Barat sebanyak 14 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Utara sebanyak 18 Rukun Warga
Wilayah Kepulauan Seribu sebanyak 10 Rukun Warga
Penataan jumlah permukiman kumuh agar dapat terpenuhi sarana dan prasarana dasar pada 266 RW di wilayah DKI Jakarta diantaranya :
Wilayah Jakarta Selatan sebanyak 85 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Pusat sebanyak 35 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Timur sebanyak 149 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Barat sebanyak 198 Rukun Warga
Wilayah Jakarta Utara sebanyak 65 Rukun Warga
Wilayah Kepulauan Seribu sebanyak 8 Rukun Warga
6. Membuat Kampung Deret bagi perumahan kumuh yang belum tertata sanitasinya di lima wilayah Kota dan Kabupaten. 7. Pemerintah Provinsi membangun 15 kampung yang akan memiliki ciri khas, yang nantinya kampung tersebut akan dikembangkan yang mempunyai ciri khusus seperti kampung batik, kampung ikan atau kampung herbal, selain itu untuk masa yang akan datang konsep penataan kampung yaitu membagi berdasarkan kategori yaitu kampung deret, kampung vertikal atau rumah susun dimana untuk setiap kampung akan dibuatkan communal septic tank agar dapat mengurangi pencemaran pada air tanah yang saat ini sudah sangat mengkawatirkan. 8. Dalam rangka menuntaskan permukiman kumuh, pemerintah Provinsi DKI Jakarta dalam lima tahun kedepan akan fokus mengatasi 360 titik kumuh yang tersebar di lima wilayah kota Jakarta. Dana yang akan diambil untuk penataan selain menggunakan dana APBD Provinsi DKI Jakarta juga menggunakan program Corpotrate social responsibility (CSR) dari perusahaan swasta. 9. Dalam rangka mengurangi permukiman kumuh di Provinsi DKI Jakarta, maka sejak Tahun 2013 pemerintah daerah telah memberikan bantuan dalam bentuk hibah pada masyarakat yang tinggal di perkampungan kumuh guna merenovasi rumah mereka agar layak huni. Nilai hibah adalah Rp. 1,5 juta/M2, dengan maksimum bantuan sebesar Rp. 54 juta atau rumah yang memiliki luasan 36 M2, jika luas rumah penduduk diatas tersebut, maka sisanya ditanggung warga sendiri, hal ini dilakukan untuk mengurangi kantong-kantong perumahan kumuh di wilayah DKI Jakarta. Untuk Tahun 2013 telah dilakukan perbaikan kualitas lingkungan diantaranya dengan membangun 27 (dua puluh tujuh) rumah deret di wilayah DKI Jakarta diantaranya adalah wilayah Jakarta Pusat : Tanah Tinggi, Kemayoran, Petojo, Galur, Karang Anyar, Bungur, Cempaka Putih, Kebon Sirih, Bendungan Hilir, dan Utan Panjang; wilayah Jakarta Barat : Tambora, Kali Anyar dan Kapuk;
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
wilayah Jakarta Utara : Tanjung Priuk, Semper Barat, Tugu Utara, Cilincing, Pejagalan, Marunda dan Pademangan Timur; wilayah Jakarta Selatan : Petogokan, Gandaria dan Pasar Minggu; wilayah Jakarta Timur : Klender, Jatinegara, Cipinang Besar Selatan, dan Pisangan Timur. 4.2.
Jumlah Rumah Tangga dan Sumber Air Minum
Air merupakan salah satu kebutuhan penting bagi seluruh makhluk hidup, termasuk umat manusia. Mengingat besarnya jumlah penduduk DKI Jakarta yang membutuhkan air bersih, maka penyediaan sumber air bersih menjadi sangat penting. Selain itu fasilitas sumber air minum penduduk juga menjadi faktor penting yang harus diperhatikan. Secara umum sumber air bersih sebenarnya dapat berasal air tanah, air sungai dan air permukaan sepanjang terpenuhi syarat-syarat kesehatannya. Fasilitas air minum yang dimiliki rumah tangga dapat mencerminkan tingkat sosial ekonomi rumah tangga tersebut. Pada umumnya, rumah tangga dengan keadaan ekonomi yang sudah mapan memiliki fasilitas air minum sendiri. Ini menunjukkan semakin banyak rumah tangga yang memiliki fasilitas air minum sendiri, semakin tinggi kesejahteraannya. Pada Tahun 2015 sebagian besar rumah tangga di DKI Jakarta telah mempunyai fasilitas sumber air minum sendiri (86,98 persen), lebih tinggi dibandingkan dengan Tahun 2014 (77,86 persen). Ini menunjukkan bahwa sebagian besar rumah tangga di DKI Jakarta memiliki kemudahan untuk mendapatkan air minumnya. Sebanyak 12,15 persen rumah tangga masih menggunakan fasilitas air minum secara bersama-sama dengan rumah tangga lain. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan Tahun 2014 yang mencapai 17,91 persen rumah tangga. Pada Tahun 2014 sekitar 3,79 persen rumah tangga masih menggunakan fasilitas air minum umum, pada Tahun 2015 jumlahnya menurun menjadi 0,78 persen rumah tangga. Sedangkan rumah tangga yang tidak mempunyai fasilitas air minum pada Tahun 2014 mencapai 0,44 persen, menurun pada Tahun 2015 menjadi hanya 0,09 persen., {Tabel SE-2C(T) Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015} Apabila dicermati antar wilayah, tampak bahwa rumah tangga yang tidak mempunyai fasilitas air minum paling hanya terdapat di Kabupaten Kepulauan Seribu sebanyak 750 rumah tangga atau sekitar 13.91 persen dari total rumah tangga di Kabupaten Kepulauan Seribu. Sedangkan di wilayah kota, pada Tahun 2015 sudah tidak ditemukan lagi rumah tangga yang tidak mempunyai fasiltias air minum. Cara rumah tangga memperoleh air minum di kelompokkan menjadi tiga yaitu membeli, langganan, dan tidak membeli. Pada Tahun 2014 sekitar tiga perempat (77,91 persen) rumah tangga di DKI Jakarta memperoleh air minum dengan cara membeli. Jumlah ini menurun menjadi 63,98 persen rumah tangga pada Tahun 2015. Penurunan jumlah rumah tangga yang memperoleh air minum dengan cara membeli ini diikuti oleh meningkatnya jumlah rumah tangga yang memperoleh air minum secara berlangganan. Rumah tangga yang cara memperoleh air minumnya langganan pada Tahun 2014 mencapai 8,51 persen meningkat drastis pada Tahun 2015 menjadi 22,51 persen. Secara keseluruhan jumlah rumah tangga yang memperoleh air minum dengan cara membeli dan berlangganan sepanjang Tahun 20142015 tidak berubah secara signifikan, yaitu sebanyak 86,42 persen pada Tahun 2014 dan 86,49 persen
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
pada Tahun 2015. Sedangkan rumah tangga yang tidak membeli air minum mencapai 13,51 persen pada Tahun 2015 tidak jauh berbeda dengan kondisi pada Tahun 2014 yaitu sebesar 15,58 persen. Rumah tangga yang memperoleh air minum dengan cara tidak membeli paling banyak terdapat di Kota Jakarta Selatan dan Kota Jakarta Timur, masing-masing mencapai 31,35 persen dan 18,78 persen rumah tangga dari total rumah tangganya. Di Kota Jakarta Pusat, hanya sebanyak 2,98 persen rumah tangga yang cara memperoleh air minumnya tidak membeli. Sedangkan seluruh rumah tangga di Kota Jakarta Utara memperoleh air minum dengan cara membeli atau berlangganan dan tidak ada rumah tangga yang tidak membeli air untuk minum. {Tabel SE-2D (T) Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015}. Rumah tangga yang memperoleh air minum dengan cara tidak membeli, pada umumnya dengan memanfaatkan sumber air minum yang berasal dari air sumur. Beberapa wilayah di bagian timur Kota Jakarta Timur dan Jakarta Selatan memang kondisi tanah dan lingkungannya masih cukup bagus dan memungkinkan masyarakatnya memanfaatkan sumber air minum dari sumur mereka. Misalnya daerah Cipayung, Cibubur, Jagakarsa, dan sekitarnya. Tetapi di Kabupaten Kepulauan Seribu masih ada rumah tangga yang memanfaatkan air hujan sebagai sumber air minumnya, yang jumlahnya mencapai 13,90 persen dari total rumah tangganya. Sumber air minum dari sumur sangat sedikit di Kabupaten Kepualaun Seribu, hanya mencapai 1,48 persen rumah tangga, ini mengingat kualtias air sumur yang kemungkinan kurang bagus. Berbeda dengan di wilayah lain yang kemungkinan kondisi air tanahnya sudah kurang layak untuk diminum sehingga lebih sedikit rumah tangga yang menggunakannya sebagai sumber air minum. Di Kota Jakarta Barat nya 7,12 persen rumah tangga yang menggunakan air tanah sebagai sumber air minum pada Tahun 2014 berkurang menjadi 6,20 persen pada Tahun 2015. Sedangkan di Jakarta Pusat pada Tahun 2014 sebanyak 4,55 persen rumah tangga menggunakan air sumur sebagai sumber air minum menurun menjadi 3,13 persen pada Tahun 2015. Di Kota Jakarta Utara yang berbatasan dengan laut utara bahkan sudah tidak ada lagi rumah tangga yang menggunakan air tanah sebagai sumber air minumnya. Kualitas air tanah di Jakarta Utara selain kemungkinan sudah tercemar oleh limbah cair dari aktifitas industri juga sudah tercemar oleh intrusi air laut. Fenomena masih cukup banyak rumah tangga di DKI Jakarta yang menggunakan air tanah sebagai sumber air minum harus mendapat perhatian lebih dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Hal ini mengingat tingginya tingkat pencemaran yang terjadi pada air tanah dan air permukaan di DKI Jakarta, baik akibat limbah buangan industri terutama di beberapa lokasi yang berdekatan dengan kawasan perindustrian, maupun pencemaran yang diakibatkan oleh limbah rumah tangga. Selain itu adanya pengaruh intrusi air laut maupun penurunan tanah (land subsidence), seyogyanya jumlah rumah tangga pengguna air tanah ini dapat dikurangi dan mulai beralih ke air PAM. Disamping kesadaran dari warga
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
sendiri, tampaknya jangkauan jaringan PAM perlu ditingkatkan pula. Hal ini akan berpengaruh pada peningkatan derajat kesehatan lingkungan maupun kesehatan masyarakat secara umum. Cara memperoleh air minum dengan membeli identik dengan pemakaian air bersih karena sumber airnya selain berasal dari air kemasan termasuk juga ledeng. Jumlah rumah tangga yang menggunakan air kemasan pada Tahun 2014 sebesar 70,91 persen, sedikit menurun menjadi 70,60 persen pada Tahun 2015. Rumah tangga dengan sumber air minum ledeng masih tetap berkisar 15,40 persen, tetapi jumlah rumah tangga yang menggunakan sumur mengalami penurunan dari 13,50 persen pada Tahun 2014 menjadi 14,98 persen pada Tahun 2015. Sumber air minum yang berasal dari air hujan masih digunakan oleh rumah tangga di Kabupaten Kepualuan Seribu saja, hanya sebanyak 0,03 persen dari total rumah tangga di Provinsi DKI Jakarta pada Tahun 2015. GRAFIK : III.137.
70,00
70,60
80,29 64,69
63,57
80,00
66,03
75,77
90,00
84,04
PERSENTASE RUMAH TANGGA MENURUT KABUPATEN/KOTA DAN SUMBER AIR MINUM, 2015
14,39 14,98 0,03
0,00 0,00
6,20 0,00
27,77
3,13 0,00
20,30 0,00
3,93
0,00
10,00
0,46
20,00
0,58 1,48
30,00
13,90
40,00
32,18
35,97
50,00
19,71
60,00
0,00 Kep. Seribu Jakarta Selatan Jakarta Timur Jakarta Pusat Jakarta Barat Jakarta Utara DKI JAKARTA KEMASAN Sumber Keterangan
LEDENG
SUMUR
HUJAN
: BPS Provinsi DKI Jakarta, 2015 :
Secara keseluruhan lebih banyak rumah tangga yang menggunakan air kemasan karena lebih praktis dan tidak perlu diolah sebelum diminum. Apabila dibandingkan kondisi antar kabupaten/kota tampak bahwa penggunaan sumber air minum berupa air kemasan berkisar antara 60-80 persen dari total rumah tangga di setiap wilayah. Pada Tahun 2015 sumber air minum berupa air kemasan tertinggi digunakan oleh rumah tangga di Kabupaten Kepulauan Seribu mencapai 84,04 persen rumah tangga, selanjutnya di Kota Jakarta Utara yang mencapai 80,29 persen rumah tangga. Rumah tangga di Jakarta Timur yang menggunakan air kemasan mencapai 75,77 persen, sedangkan di Jakarta Pusat mencapai 64,69 persen. Penggunaan air minum kemasan paling sedikit di Kota Jakarta Selatan sebesar 63,57
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
persen rumah tangga. Hal yang menarik adalah meningkatnya jumlah rumah tangga di Kabupaten Kepulauan Seribu dari sebelumnya yang hanya sebesar 58,09 persen rumah tangga menjadi 84,04 persen atau meningkat sekitar 25,95 persen. Air ledeng juga banyak digunakan karena bersih dan sehat. Air ledeng ini terbanyak digunakan oleh rumah tangga yang tinggal di Kota Jakarta Pusat mencapai 30,89 persen rumah tangga pada Tahun 2014 dan meningkat pada Tahun 2015 menjadi 32,18 persen rumah tangga. Sumber air minum ledeng jgua banyak digunakan oleh rumah tangga di Kota Jakarta Barat mencapai 27,77 persen rumah tangga dan di Kota Jakarta Utara mencapai 19,71 persen rumah tangga. Rumah tangga yang menggunakan sumber air minum ledeng di Kota Jakarta Timur, Kabupaten Kepulauan Seribu, dan Kota Jakarta Selatan sangat sedikit, masing-masing hanya sebesar 3,93 persen, 0,58 persen, dan 0,46 persen rumah tangga. 4.3.
Jumlah Rumah Tangga dan Fasilitas Tempat Buang Air Besar
Jakarta sebagai Ibukota Negara Republik Indonesia dengan penduduk pada Tahun 2015 sebesar 10.177.931 jiwa dan luas wilayah yang mencapai 662,33 Km2, serta kepadatan penduduk yang ratarata mencapai 15.211,90 Jiwa/Km2 (Tabel DE-1 Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015) dan jumlah rumah tangga miskin yang mencapai 286.075 KK dari seluruh Rumah Tangga di DKI Jakarta yang mencapai 2.659.205 KK (Tabel SE-1, Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015) dan mengalir sebanyak 13 (tiga belas) sungai baik alami maupun buatan, apabila limbah dari tempat buang air besar tidak dikelola dengan sempurna akan menyebabkan pencemaran air tanah dan sungai akan terus semakin besar. Apabila dilihat dari jumlah Rumah Tangga dan jumlah tempat buang air besar pada Tahun 2015 yang menggunakan fasilitas umum dan tidak ada mencapai 53.134 KK (Tabel SP-8, Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015) kemungkinan limbah dari kedua point diatas akan terbuang ke sungai atau mencemari air tanah akan semakin tinggi, sedangka pada Tahun 2014 .Tempat Buang Air Besar yang mengunakan fasilitas umum dan tidak ada 115.415 KK KK (Tabel SP-8, Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014), hal ini terjadi penurunan angka karena banyaknya sosialisasi dari apparat tentang pentingnya menggunakan Jamban yang baik, serta banyaknya penertiban perumahan kumuh di sepanjang bantaran kali dan direlokasi ke ruma susun, selain hal tersebut pemerintah DKI Jakarta dalam mengurangi pencemaran yang diakibatkan oleh fasilitas buang air besar di DKI Jakarta diantaranya : 1. Menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun tentang Pengelolaan Sampah. 2. Membuat IPAL Komunal di berbagai wilayah DKI Jakarta, baik yang berasal dari bantuan lembaga asing, pemerintah pusat, maupun membuat ipal komunal terpusat di Kepulauan Seribu. 3. Membuat pengelolaan limbah terpusat di ibu kota Jakarta sebanyak 12 zona dengan anggaran hingga Rp 125 triliun yang akan diselesaikan sampai Tahun 2032.
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
4.4.
Perkiraan Jumlah Timbulan Sampah per Hari
Dengan jumlah penduduk yang mencapai 10.177.931 jiwa dan luas wilayah yang hanya 662,33 Km2, serta kepadatan penduduk yang rata-rata mencapai 15.211,90 Jiwa/Km2 (Tabel DE-1 Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015) dan jumlah rumah tangga miskin yang mencapai 286.075 KK dari seluruh Rumah Tangga di DKI Jakarta yang mencapai 2.659.205 KK (Tabel SE-1, Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015), dimana dari jumlah tersebut yang masuk kategori kumuh sebanyak 947.298 KK dan yang menempati bantaran sungai sebanyak 102.395 KK {Tabel SE-1B (T), Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015} dengan rata-rata sampah yang dihasilkan sebanyak 1 kg sampah per orang per hari, menyebabkan sampah di DKI Jakarta perlu penanganan yang serius agar tidak terjadi permasalahan yang lebih kompleks. Dengan melihat data timbulan sampah pada Tahun 2014 adalah sebanyak 32.513,85 m3/hari, (Tabel SP-9 Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2014), dan data timbulan sampah pada Tahun 2015 sebesar 34.609,04 M3/Hari (Tabel SP-9 Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015) yang berasal dari kegiatan rumah tangga, pasar, industri, komersial, taman, jalan dan sungai, maka masalah sampah di Provinsi DKI Jakarta perlu segera diatasi. Dalam kaitan tersebut Pemerintah DKI Jakarta dalam mengurangi sampah dari sumbernya bersama wara masyarakat mendirikan bank sampah dan pengurangan sampah untuk kompos {Tabel SP-9E (T) Data SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015}. Selain hal tersebut untuk menindaklanjuti Peraturan Pemerinta Republik Indonesia Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Pemerintah DKI Jakarta pada Tahun 2015 telah menempuh berbagai cara untuk mengatasi masalah sampah diantaranya : 1. Tahapan pemusnahan sampah dilakukan di Tempat Pembuangan Akhir (TPA) yang berlokasi di Bantar Gebang Bekasi Provinsi Jawa Barat seluas ± 108 Ha dan TPA ini merupakan satu-satunya pembuangan sampah untuk DKI Jakarta dan telah beroperasi sejak Agustus 1989. 2. Menerbitkan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 2013 tentang Pengelolaan sampah. 3. Menyerahkan penanganan sampah di pasar tradisional mulai tanggal 1 April 2014 kepada PD Pasar Jaya, diharapkan PD Pasar Jaya dapat melakukan pengelolaan secara mandiri, hal ini terkait dengan sampah yang dihasilkan oleh sebanyak 153 pasar rata-rata mencapai 10.000 meter kubik per bulannya. 4. Pemerintah DKI Jakarta akan menyiapkan Intermediate Treatment Facility (ITF) diantaranya : Intermediate Treatment Facility (ITF) Cakung Cilincing dengan kapasitas 1.300 Ton/hari Intermediate Treatment Facility (ITF) Duri Kosambi dengan Kapasitas 2.000 Ton/Hari. Intermediate Treatment Facility (ITF) Sunter dengan kapasitas 1.000 Ton/Hari. Intermediate Treatment Facility (ITF) Marunda dengan kapasitas 2.000 Ton/Hari.
SLHD Provinsi DKI Jakarta Tahun 2015
5. Pemerintah DKI Jakarta sedang mengkaji adanya pembagian zona komersial tentang penanganan sampah melalui Keputusan Gubernur, diharapkan timbul rasa keadilan karena pemerintah tidak lagi menangani sampah di area komersial, tetapi fokus di permukiman warga. 6. Mengubah pola pikir Pemerintah masyarakat, dan pengusaha yaitu ”Menyelesaikan persoalan sampah bukan hanya melalui solusi teknis”. Pemerintah dan masyarakat juga perlu mengubah pola pikir mereka. Persoalan sampah harus diselesaikan di sumbernya. Dengan begitu, tidak akan ada lagi persoalan sampah menumpuk. 7. Jakarta telah menfasilitasi bank pengolahan sampah sebagai wujud kepedulian dalam pengelolaan sampah dimana sampai dengan tahun ini ada sekitar 120 bank sampah yang berada di Ibu Kota Jakarta, selain hal tersebut diatas Bank sampah di Malaka Sari Jakarta Timur saat ini merupakan satu-satunya bank sampah di Jakarta yang berstandar “gold” dilihat dari jumlah nasabahnya dan sampah yang terserap dari masyarakat, dimana jumlah nasabahnya sudah lebih dari 300 orang dan sampah yang terserap setiap bulan bisa mencapai 2-2,5 ton,” Standarisasi tersebut diberikan oleh Pemda DKI Jakarta melalui program “Jakarta Green and Clean”.