JSEEs
ISSN e35q-17UX
Serarnbi Ekonorni & Bisnis Volume
1
Nomor
1
Februari 2014
i | Salam Redaksi
ISSN 2354-970X
SALAM REDAKSI Krue seumangat! Telah terbit edisi perdana Jurnal Serambi Ekonomi dan Bisnis Vol. 1 No.1 Februari 2014. Jurnal ini diterbitkan oleh Prodi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Serambi Mekkah. Jurnal ini terbit dua kali dalam setahun (Februari dan Agustus) yang memuat berbagai hasil penelitian dan ide konseptual dalam bidang ekonomi dan bisnis. Edisi perdana jurnal ini hadir dengan sepuluh tulisan hasil penelitian di bidang ekonomi dan bisnis. Penelitian pertama ditulis oleh Murtala yang mengkaji mengenai isu pengaruh modal usaha lembaga keuangan mikro terhadap volume usaha kecil. Tulisan ini menghasilkan dua temuan, yaitu meningkatnya penyaluran kredit dari lembaga keuangan mikro, dan bertambahnya volume usaha kecil dari tahun ke tahun di Kabupaten Aceh Besar. Selanjutnya tulisan kedua ditulis oleh Mahdi menemukan bahwa bahwa investasi swasta baik PMDN maupun PMA di Indonesia adalah bersifat tidak elastis. Untuk melihat potensi ekonomi daerah dimuat pada tulisan ketiga yang ditulis Martahadi. Hasil penelitian menemukan bahwa struktur ekonomi Kabupaten Aceh Utara mengalami pergeseran dalam sektor pertanian, yang bergeser menjadi memiliki keunggulan kompetitif dan berspesialisasi. Di Kota Lhokseumawe hanya sektor jasa-jasa yang mengalami pergeseran menjadi tidak kompetitif dan tidak berspesialisasi pada akhir tahun observasi. Sebaliknya, di Kabupaten Bireuen tidak ada sektor ekonomi yang mengalami pergeseran posisi dari efek alokasi. Berbeda dengan tulisan sebelumnya, tulisan ini mengkaji pentingnya pemanfaatan limbah industri dalam pemeliharaan lingkungan hidup. Tulisan keempat ini ditulis oleh Syaifuddin Yana yang merekomendasikan agar Pemerintah Aceh memberikan perhatian terhadap industri pengolahan limbah plastik ini dengan cara mendukung industri pengolahan limbah plastik ini, khususnya pada kegiatan usaha swasta, tidak hanya pada pengolahan plastik cacahan (plastic chips), akan tetapi sampai menjadi produk plastik yang memiliki memiliki value added. Masih mengenai kajian pemeliharan lingkungan, tulisan kelima yang ditulis oleh Armi ini
menyarankan agar masyarakat dapat memanfaatkan limbah cair industri tahu dengan mengembangkan produksi nata, dimana selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan juga dapat menghasilkan nilai ekonomis. Terkait dengan distribusi pendapatan antar daerah dimuat dalam tulisan keenam yang ditulis oleh Khairul aswadi. Penelitian ini menemukan bahwa ketimpangan pendapatan di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah baik yang dibandingkan dengan Provinsi Aceh maupun yang dibandingkan dengan Kabupaten Induk menunjukkan ketimpangan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan merata di kabupaten tersebut. Tulisan ketujuh ditulis oleh Badaruddin yang mengkaji tentang pengaruh kompensasi terhadap kinerja karyawan menemukan bahwa kompensasi finansial dan kompensasi non finansial berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan. Isu mengenai pendapatan petani terdapat dalam tulisan kedelapan yang ditulis oleh Anwar. Hasil kajian ini menemukan bahwa tingkat pendapatan bersih rata-rata petani kakao di Kecamatan Peusangan Selatan dipengaruhi oleh harga jual di pasaran. Mengenai Derajat Desentralisasi Fiskal dimuat dalam tulisan kesembilan yang ditulis oleh Marlina menemukan bahwa efektifitas realisasi PAD di Provinsi Aceh adalah sangat efektif. Namun, derajat desentralisasi fiskal Pemerintah Aceh selalu berada pada dalam kategori sangat kurang baik. Hal ini disebabkan PAD tidak pernah melebihi 10 persen dari penerimaan Pemerintah Aceh. Dan tulisan kesepuluh ditulis oleh Nasir mengani isu kemiskinan menunjukkan bahwa PDRB perkapita, Pengangguran, dan Inflasi secara bersama-sama berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh. Demikian ulasan singkat redaksi. Semoga hasil penelitan di atas dapat bermanfaat bagi pembaca.
Banda Aceh, Februari 2014 Salam Redaksi ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
ISSN: 2354-970X
Daftar Isi | ii
DAFTAR ISI
SALAM REDAKSI .........................................................................................
i
DAFTAR ISI ....................................................................................................
ii
Pengaruh Modal Usaha Lembaga Keuangan Mikro terhadap Volume Usaha Kecil di Kabupaten Aceh Besar Murtala ..................................................................................................
1-4
Elastisitas Investasi dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian di Indonesia Mahdi
.........................................................................................
5-10
Perubahan Struktur Ekonomi Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe Martahadi
.. .................................................................................. 1
11-18
Optimalisasi Pengolahan Limbah Plastik dengan Simulasi dan Analisis Kelayakan Investasinya di Kota Lhokseumawe Syaifuddin Yana
..1 ............................................................................
19-26
Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu dengan menggunakan Acetobakter Xylinum menjadi Nata De Soya dan Masa Inkubasi terhadap Karakteristik Nata Armi
...................................................................................................
27-34
Ketimpangan Pendapatan antara Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah Khairul Aswadi
..........................................................................
35-40
Pengaruh Kompensasi terhadap Kinerja Karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh Badaruddin
.. ..............................................................................
41-46
Analisis Tingkat Pendapatan Petani Kakao di Kecamatan Peusangan Selatan Kabupaten Bireuen Anwar .....................................................................................................
47-51
Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal, Elastisitas, Efisiensi, dan Efektifitas Pendapatan Asli Daerah Aceh Marlina...................................................................................................
52-58
Pengaruh PDRB, Inflasi dan Pengangguran terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Aceh Nasir .......................................................................................................
59-64
INDEKS PENGARANG .................................................................................
65
PANDUAN PENULISAN ................................................................................
66
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Jurnal Serambi Ekonomi & Bisnis│Vol. 1 No.1 (2014) : 1 – 4
ISSN 2354-970X
PENGARUH MODAL USAHA LEMBAGA KEUANGAN MIKRO TERHADAP VOLUME USAHA KECIL DI KABUPATEN ACEH BESAR Murtala Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh
Abstrak Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh modal usaha Lembaga Keuangan Mikro terhadap volume usaha kecil di Aceh Besar. Penelitian ini dilakukan di kabupaten Aceh Besar, variabel dalam penelitian ini dibatasi hanya variabel jumlah dana yang disalurkan oleh lembaga keuangan mikro kepada usaha kecil dan mikro dan variabel total penerimaan untuk semua usaha kecil dan mikro yang terdapat di kabupaten Aceh Besar dari tahun 2000-2006. Dari hasil penelitian diperoleh perkembangan Lembaga Keuangan Mikro di Kabupaten Aceh Besar dari tahun 20002006 menunjukkan adanya peningkatan yang signifikan. Jumlah Lembaga keuangan Mikro dari tahun 2000 sebanyak 2 unit kemudian bertambah menjadi 3 unit pada tahun 2001 dan 2002, sampai tahun 2006 jumlah Lembaga keuangan Mikro menjadi 8 unit. Dari hasil penelitian diperoleh koefisien determinan (R2) bernilai 0,881 atau 88,1 persen menunjukkan bahwa determinan variabel modal usaha untuk pengembangan usaha kecil berpengaruh terhadap volume usaha kecil di Kabupaten Aceh Besar sebesar 88,1 persen, sedangkan sisanya sebesar 11,9 persen adalah faktor-faktor lain yang tidak dimasukan dalam penelitian ini yang mempengaruhi volume usaha kecil di Kabupaten Aceh Besar. Diharapkan kepada pengusaha kecil dan menengah di Kabupaten Aceh Besar dapat terus meningkatkan kinerjanya, yang pada akhirnya dapat meningkatkan volume usaha, hal ini dapat dilakukan dengan menambah modal, dan strategi pemasaran untuk menarik minat beli dari konsumen. Kata Kunci: Modal usaha, lembaga keuangan mikro, volume usaha kecil
PENDAHULUAN Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, sektor UMKM harus lebih diperhatikan mengingat masih banyak masyarakat Aceh khususnya masyarakat di pedesaan yang belum bisa mengakses jasa perbankan, untuk itu sektor UMKM sangat perlu untuk terus dikembangkan. Pentingnya pengembangan sektor UMKM di Aceh terutama pasca tsunami. Di mana akibat terjadinya bencana gempa bumi dan gelombang tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 telah mengakibatkan sebanyak 20,88 persen (5.176 unit) sektor UMKM hancur, sehingga menyebabkan 170 ribu orang kehilangan pekerjaan. Angka yang sebenarnya mungkin lebih tinggi karena bencana ini menimpa wilayah Kotamadya Banda Aceh. Pasca bencana alam tersebut, kegiatan produksi
beralih pada sektor UMKM. Hal ini dikarenakan sektor UMKM mampu bertahan dalam setiap kondisi apapun. Di mana data BPS menunjukkan bahwa besaran Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) yang diciptakan UMKM di Kota Banda Aceh dari tahun 2000-2005 mengalami kenaikan yang sangat berarti. Pada tahun 2001, PDRB Kota Banda Aceh mencapai Rp 1.318.011,26 juta, naik ketimbang tahun 2000 yang hanya Rp 1.216.609,86 juta. PDRB ini terus meningkat menjadi Rp 1.493.057,77 juta di tahun 2002, kemudian di tahun 2003 menjadi Rp 1.644.289,23 juta, selanjutnya pada tahun 2004 menjadi Rp 1.811.553,74 juta dan pada tahun 2005 meningkat lagi menjadi Rp 1.962.127,97 juta (BPS, 2006). Di Kabupaten Aceh Besar sekarang telah ada 8 LKM yang ikut serta dalam memberdayakan
* Korespondensi Pengarang: Program Studi Ekonomi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Malikussaleh Kampus Utama Cot Tengku Nie Reuleut, Muara Batu, Aceh Utara E-mail:
[email protected]
2 | Murtala
UMKM. Lembaga keuangan mikro berperan penting terhadap perkembangan UMKM di Kabupaten Aceh Besar karena hampir sebahagian besar pekerja adalah wiraswasta yang terlibat dalam kegiatan ekonomi informal, yang sangat tergantung terhadap sektor UMKM. Oleh karena itu, pengembangan sektor UMKM menjadi faktor penting dalam pengembangan ekonomi di Kabupaten Aceh Besar. Guna memberdayakan kembali perekonomian di Kabupaten Aceh Besar, khususnya sektor UMKM, perlu dilakukan pembenahan secara menyeluruh, baik di sisi penyedia jasa keuangan dalam hal ini lembaga keuangan mikro maupun di sisi penerimanya yakni UMKM. Winardi (2002 : 181) mendefinisikan industri sebagai suatu usaha produktif, terutama dalam bidang produksi atau perusahaan tertentu yang menyelenggarakan jasa-jasa. Misalnya transportasi yang menggunakan modal dan tenaga kerja. Menurut BPS “Industri Kecil adalah usaha yang melakukan kegiatan mengubah barang dasar menjadi barang jadi/setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya dengan jumlah tenaga kerja 5-19 orang. Bila tenaga kerjanya antara 20-100 orang disebut usaha sedang dan lebih dari 100 orang disebut usaha besar. Pengertian Industri Kecil menurut Tugiman (2005:6) perlu adanya beberapa pendekatan untuk membuktikan suatu usaha tergolong kedalam usaha kecil. Pendekatan-pendekatan tersebut yaitu : pendekatan tenaga kerja , pendekatan omzet dan assets, dan pendekatan asset. Undang-undang No 9 tahun 1995 tentang Industri Kecil memberikan pengertian Industri Kecil sebagai suatu kegiatan ekonomi rakyat yang berskala kecil dan memenuhi kriteria kekayaan bersih atau hasil penjualan tahunan serta kepemilikannya sebagaimana diatur undang-undang ini, pasal 1 ayat 2 yang berbunyi: ”memiliki kekayaaan bersih paling banyak Rp 200.000.000 (Dua Ratus juta rupiah), tidak termasuk tanah dan tempat usaha; atau Memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak Rp. 1.000.000.000 (Satu milyar Rupiah;Milik warga negara Republik Indonesia. Berdiri sendiri, bukan merupakan anak perusahaan atau cabang langsung maupun tidak langsung dengan usaha menengah atau usaha besar; Berbentuk usaha perseorangan, usaha yang tidak berbadan
hukum, berbadan hukum yang tidak termasuk koperasi.” Badan Pusat Statistik (BPS, 1998: 71) memberikan pengertian tentang Indutri Kecil yaitu usaha yang melakukan kegiatan usaha mengubah barang dasar menjadi barang setengah jadi/barang jadi atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dengan jumlah tenaga kerja 519 orang. Dilihat dari berbagai kriteria, suatu industri dapat diklasifikasikan ke dalam tingkatantingkatan tertentu. Secara umum penggolongan industri didasarkan pada kriteria-kriteria fisik yaitu banyak modal yamg digunakan serta jumlah karyawan atau tenaga kerja yang diperkerjakan dalam kegiatan industri tersebut, baik dengan menggunakan mesin maupun tanpa menggunakan mesin. Hadi (1995 : 20), mengkategorikan industri ke dalam tiga ukuran yaitu, (1) Industri besar yaitu industri yang mempekerjakan buruh 100 orang atau lebih tanpa menggunakan mesin atau industri yang mempekerjakan buruh 50 orang atau lebih tetapi menggunakan mesin; (2) industri sedang yaitu industri yang mempekerjakan buruh 10 sampai 99 orang tanpa menggunakan mesin atau memperkerjakan 5 sampai 49 orang dengan menggunakan mesin; dan (3) industri kecil yaitu industri yang memperkerjakan buruh 1 sampai 9 orang tanpa menggunakan mesin atau industri yang memperkerjakan buruh 1 sampai 4 orang dengan menggunakan mesin. Menurut definisi yang dipakai dalam Microcredit Summit (1997), kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil yang diberikan bagi warga paling miskin untuk membiayai proyek yang dia kerjakan sendiri agar menghasil-kan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya. Sedangkan Bank Indonesia mendefinisikan kredit mikro merupakan kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak Rp 100 juta per tahun. Sementara di BRI, keuangan mikro didefinisikan sebagai pelayanan kredit di bawah Rp 50 juta (Wijono, 2005: 90). Lembaga keuangan mempunyai fungsi sebagai intermediasi dalam aktifitas suatu ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Pengaruh Modal Usaha Lembaga Keuangan Mikro terhadap Volume Usaha Kecil di Kabupaten Aceh Besar | 3
perekonomian. Jika fungsi ini berjalan baik, maka lembaga keuangan tersebut dapat menghasilkan nilai tambah. Banyaknya jenis lembaga keuangan mikro yang tumbuh dan berkembang di Indonesia menunjukkan bahwa lembaga keuangan mikro sangat dibutuhkan oleh masyarakat, terutama kelompok masyarakat berpeng-hasilan rendah, pengusaha kecil dan mikro yang selama ini belum terjangkau oleh jasa pelayanan keuangan perbankan khususnya bank umum. Pada lembaga keuangan mikro ini dapat menumbuhkan minat masyarakat terutama di pedesaan untuk berusaha atau menumbuhkan pengusaha-pengusaha kecil, yang pada akhirnya dapat membantu program pemerintah untuk meningkatkan produktivitas usaha masyarakat kecil di pedesaan, meningkatkan pendapatan pen-duduk desa, menciptakan lapangan kerja baru di pedesaan, serta menunjang program pemerintah dalam mengupayakan pemera-taan pendapatan penduduk desa dan upaya pengentasan kemiskinan (Rudjito, 2003). Kabupaten Aceh Besar merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, memiliki luas wilayah 2.974,12 km2 dengan jumlah penduduk sebesar 263.403 jiwa di tahun 2004, yang tersebar di 22 kecamatan. Sumber utama penghasilan penduduknya adalah sebagai petani, dengan mengarap tanaman pangan. Disegi taraf dan pola konsumsi penduduknya, lebih besar untuk mengkonsumsi bahan makanan sebesar 64,76 persen dan 35,24 persen untuk mengkonsumsi non-makanan dari pengeluarannya (BPS.2004). Hal tersebut merupakan kategori penduduk miskin, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Aceh Besar yaitu, sebesar 89.646 jiwa di tahun 2003 dan 91.576 jiwa di tahun 2004, keadaan ini mengalami peningkatan sebesar 1.930 jiwa atau 97,892 persen di tahun 2004. Dengan jumlah penduduk miskin demikian, Kabupaten Aceh Besar berada pada tingkat nomor 5 dari urutan KabupatenKabupaten yang memiliki penduduk miskin di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh modal usaha Lembaga Keuangan Mikro terhadap volume usaha kecil di Aceh Besar. Dari latar belakang dan landasan teoritis serta penelitian terkait yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat dibuat suatu hipotesis dalam ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
penelitian ini yaitu modal usaha dari Lembaga Keuangan Mikro berpengaruh signifikan terhadap volume usaha kecil di Aceh Besar.
METODE PENELITIAN Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan di kabupaten Aceh Besar, untuk mengetahui pengaruh modal usaha Lembaga Keuangan Mikro terhadap volume usaha kecil di Aceh Besar maka variabel dalam penelitian ini dibatasi hanya variabel jumlah dana yang disalurkan oleh lembaga keuangan mikro yang merupakan modal usaha bagi usaha kecil dan variabel volume usaha kecil di kabupaten Aceh Besar dari tahun 2000-2007. Sumber Data Data yang digunakan di dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu total dana yang disalurkan Lembaga keuangan Mikro kepada Usaha kecil dan total penerimaan Usaha kecil yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Besar, Departemen Perindustrian dan Perdagangan, dan instansi terkait lainnya yang berkaitan dengan topik skripsi ini. Data yang dianalisis adalah dari tahun 2000 sampai tahun 2007. Model Analisis Data Untuk mengetahui pengaruh modal terhadap penerimaan sektor usaha kecil di Aceh Besar periode 2000-2007 maka dilakukan dengan menggunakan regresi linear sederhana menurut Gujarati, (1999:24) sebagai berikut: Y = α + βX + ei di mana: Y = Dependent variable α = Intercept β = Koefisien regresi X = Independent variable ei = Faktor pengganggu Kemudian model tersebut diformulasikan ke dalam model sebagai berikut: V = a + bM + ei di mana : V = Volume usaha a = Intercept b = Koefisien regresi dari variabel modal usaha M = Variabel modal usaha ei = Variabel pengganggu
4 | Murtala
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Modal Usaha Lembaga Keuangan Mikro Terhadap Volume Usaha kecil Di Aceh Besar Untuk menganalisis pengaruh kredit kelayakan usaha terhadap kelangsungan usaha kecil di Kabupaten Aceh Besar akan dianalisis dengan Tabel 1. Hasil Perhitungan Regresi Keterangan R Korelasi R Square Adjusted R Square Constanta Koefisien regresi volume usaha
menggunakan analisis Regresi Linear Sederhana, dimana yang mejadi variabel dependen dalam penelitian ini adalah keuntungan usaha kecil, dan variabel independen yaitu modal usaha untuk usaha kecil, hasil perhitungan akhir adalah sebagaimana ditampilkan pada Tabel 1.
Nilai 0,938 0,881 0,861 -91,419 9,437
Sig
F-hitung 44,250 T-hitung
0,004 0,001
6,652 Sumber Hasil Pengolahan Data (diolah), 2007
KESIMPULAN Perkembangan saluran dana dari Lembaga keuangan Mikro kepada usaha kecil di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2000 mencapai 13,24 milyar rupiah. Pada tahun 2001 meningkat sebesar 15,25 persen atau sebesar 13,41 milyar rupiah, sampai tahun 2007 mencapai 14,98 milyar, fenomana ini memberikan gambaran bahwa perhatian pemerintah terhadap perkembangan usaha kecil di Kabupaten Aceh Besar semakin besar sehingga harus diberdayakan. Perkembangan volume usaha dari usaha kecil di Kabupaten Aceh Besar pada tahun 2000 sebesar Rp. 30,143 milyar. Pada tahun 2001 meningkat menjadi Rp. 35,251 milyar, pada tahun 2002 volume usaha kecil di Kabupaten Aceh Besar kembali meningkat sebesar 8,77 persen atau menjadi Rp. 38,34 milyar,volume usaha dari usaha kecil di Kabupaten Aceh Besar terus meningkat sampai tahun 2007 yaitu mencapai Rp. 47,024 milyar.
REFERENSI Badan Pusat Statistik. 1994. Statistik Industri Kecil. Jakarta. Badan Pusat Statistik. 1998. Aceh Dalam Angka. Banda Aceh. Badan Pusat Statistik. 2005. Indiktor Makro Ekonomi. Nanggroe Aceh Darussalam.
Kakisina, Stephen. 2003. Posisi Strategik Perbankan Mikro dalam Pembiayaan Usaha Mikro Kecil, dan Menengah di Provinsi Papua. Jurnal Studi Pembangunan Interdisiplin. Edisi Desember. Vol: 15. No: 3. Hal: 333 – 347. Rudjito. 2003. Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Otonomi Daerah Guna Menggerakkan Ekonomi Rakyat dan Menanggulangi Kemiskinan: Studi Kasus Bank Rakyat Indonesia”. Jurnal Keuangan Rakyat. Tahun II, No. 1 Maret 2003. Tugiman, Hiro. 1995. Peranan Usaha Kecil dan Koperasi dalam Memamfaatkan Sisa Laba BUMN. Jakarta: Jakarta UU RI No. 9 Tahun 1999 Tentang Usaha Kecil. Direktorat Jendral Pembinaan Pengusaha Kecil. Winardi. 1992. Beberapa Aspek Industri Dalam Pembangunan Regional. Prisma, No.5. LP3ES, Jakarta. Wijono, Wiloejo Wirjo. 2005. “Pemberdayaan Lembaga Keuangan Mikro Sebagai Salah Satu Pilar Sistem Keuangan Nasional: Upaya Konkrit Memutus Mata Rantai Kemiskinan”. Kajian Ekonomi dan Keuangan. Edisi Khusus November 2005. ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
ISSN 2354-970X
Jurnal Serambi Ekonomi & Bisnis│ Vol. 1 No. 1 (2014): 5 – 10
ELASTISITAS INVESTASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP PERTUMBUHAN PDB SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA Mahdi Biro Pembangunan Sekretariat Daerah Provinsi Aceh
Abstrak Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dan besarnya elastisitas investasi terhadap pertumbuhan PDB sektor pertanian di Indonesia. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi linear berganda. Ruang lingkup penelitian mencakup perkembangan investasi dalam pembangunan nasional di Indonesia, dibatasi tahun 1994– 2003. Mengingat luasnya aspek analisis maka akan dibatas hanya pada analisis investasi dalam negeri dan investasi luar negeri terhadap PDB sektor pertanian di Indonesia. Analisis pengaruh investasi terhadap pertumbuhan PDB sektor pertanian di Indonesia dilakukan dengan menggunakan regresi linear berganda yang diolah melalui bantuan komputer pada Program SPSS. Dari hasil penelitian diperoleh kedua koefisien elastisitas untuk variabel bebas dalam peneltian bersifat elstisitas, untuk variabel investasi luar negeri lebih elastis dari pada variabel investasi dalam negeri. Koefisien determinan (R2) bernilai 87,5 % atau 0,875 menunjukkan variabel investasi dalam negeri dan investasi luar negeri mempengaruhi variabel pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 87,5 %, sedangkan sisanya 12,5 % dipengaruhi oleh faktor lainnya. Sesuai dengan hasil estimasi dapat menjelaskan bahwa investasi swasta baik PMDN maupun PMA di Indonesia adalah bersifat tidak elastis. Maka diharapkan supaya kondisi perekonomian dan keamanan bisa lebih bagus di masa yanag akan datang sehingga keinginan untuk berinvestasi lebih besar baik investasi dari dalam negeri maupun luar negeri. Kata Kunci: Investasi, Pertumbuhan Ekonomi, Sektor Pertanian
PENDAHULUAN Suatu perekonomian dikatakan mengalami pertumbuhan apabila tingkat kegiatan ekonomi yang dicapai sekarang lebih tinggi daripada yang dicapai pada masa sebelumnya. Pertumbuhan tercapai apabila jumlah fisik barang-barang dan jasa-jasa yang dihasilkan dalam perekonomian tersebut bertambah besar dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam teori ekonomi pembangunan, Kuznets menunjukkan enam ciri-ciri pertumbuhan ekonomi, yaitu: (1) terdapatnya laju kenaikan produk perkapita yang tinggi untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang cepat; (2) semakin meningkatnya laju produk perkapita terutama akibat adanya perbaikan teknologi dan kualitas input yang digunakan; (3) adanya perubahan struktur ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri dan jasa; (4) meningkatnya jumlah * Korespondensi Pengarang: Biro Pembangunan Setda Aceh, Komplek Kantor Gubernur Aceh Jl. Tengku Nyak Arif No. 219 E-mail:
[email protected]
penduduk yang berpindah dari pedesaan ke daerah perkotaan (urbanisasi); (5) pertumbuhan ekonomi terjadi akibat adanya ekspansi negara maju dan adanya kekuatan hubungan internacional; dan (6) Meningkatnya arus barang dan modal dalam hubungan perdagangan internasional (Jhingan, 1988 : 7390). Para ahli ekonomi pembangunan berpendapat bahwa proses pertumbuhan ekonomi dipengaruhi oleh dua macam faktor, yaitu faktor ekonomi dan faktor non ekonomi. Beberapa faktor ekonomi yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, diantaranya adalah : sumber daya alam dan tenaga kerja, akumulasi modal, organisasi. Kemajuan teknologi dan pembagian kerja serta skala produksi. Sedangkan faktor non ekonomi, seperti: organisasi sosial, agama, budaya, politik dan psikologis mempengaruhi tinggi rendahnya faktor ekonomi. Faktor non ekonomi
6 | Mahdi
mempunyai arti penting dalam analisis kajian dinamika pertumbuhan di luar analisis faktor ekonomi. (Jhingan, 1988 : 85).
Todaro (1998:121) mengatakan bahwa keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok yaitu (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (basic needs), (2) meningkatnya rasa harga diri (self-esteem) masyarakat sebagai manusia, dan (3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih (freedom from servitute) yang merupakan salah satu dari hak asasi manusia. Sektor pertanian merupakan salah satu sektor yang mampu bertahan dalam masa krisis ekonomi dan sektor yang mampu tumbuh positif sebesar 0,26% dan memberikan kontribusi sebesar 17,28% pada akhir tahun 1998. Kontribusi ini meningkat 2,40% dari tahun sebelumnya (1997) yaitu sebesar 14,88%. Meskipun sektor pertanian mampu bertahan pada masa krisis (tahun 1998 dan 1999), namun Tabel 1 juga menunjukkan adanya kecenderungan penurunan kontribusi relatif sektor pertanian terhadap PDB pada masa sebelum krisis. Keadaan ini menurut Soekartawi (1995), merupakan salah satu ciri transformasi srtuktural yang telah terjadi pada perekonomian Indonesia di mana peran relatif sektor pertanian dan sumbangannya pada PDB serta penyerapan tenaga kerja semakin menurun. Agar sektor pertanian dapat berkontribusi dalam perekonomian nasional, menghadapi dinamika globalisasi dan perdagangan bebas diperlukan suatu perencanaan nasional dengan pemilihan atas dasar prioritas dan sasaran dari program pembangunan pertanian. Salah satu aspek yang cukup menentukan keberhasilan pembangunan adalah penyebaran investasi. Investasi yang ditanamkan pada sektor pertanian diharapkan mampu mendorong kenaikan output dan permintaan input sehingga berpengaruh terhadap kenaikan pendapatan dan perluasan kesempatan kerja yang selanjutnya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempercepat pemulihan ekonomi.
Pengaruh proses transformasi struktural pada perekonomian Indonesia semasa Orde Baru telah menggeser struktur ekonomi dari dominan pertanian menjadi dominan industri. Prioritas pembangunan ekonomi nasional yang sebelumnya lebih dititikberatkan pada sektor pertanian, mulai dikurangi, sedangkan peranan sektor-sektor pertanian khususunya industri dan jasa semakin ditingkatkan. Proses transformasi ini dilakukan dengan tergesagesa, sehingga ada tahapan yang terlewati dan berpengaruh negatif pada kondisi perekonomian nasional. Risiko dan ketidakpastian serta struktur kepemilikan asset yang kurang menguntungkan terutama akibat tingginya suku bunga pinjaman, juga berpengaruh negatif terhadap investasi di sektor pertanian, sehingga nilai investasi di sektor pertanian masih sangat rendah dibandingkan sektor lainnya. Nilai investasi di Indonesia tahun 1999 untuk PMDN mencapai Rp 53,6 triliun dengan jumlah proyek 237 buah dan untuk PMA tercatat sebanyak 1.164 proyek dengan nilai Rp 10,9 triliun. Selain itu, sektor industri yang berkembang dengan teknologi modern dan memiliki kemampuan yang tinggi untuk memproduksi barang dan jasa ternyata tidak disertai dengan perluasan lapangan kerja produktif secara memadai sesuai dengan jumlah tenaga kerja tersedia. Atas dasar itu, tulisan ini akan menganalisis dampak investasi dan tenaga kerja terhadap sektor pertanian. Hampir seluruh ahli ekonomi menekankan arti penting penanaman modal (investasi) sebagai salah satu faktor dan penentu utama pertumbuhan ekonomi. Investasi, di satu pihak mencerminkan permintaan efektif, dan di pihak lain ia mencerminkan kemampuan penawaran menciptakan efisiensi produktif bagi produksi di masa depan. Bahkan Rostow mengemukakan bahwa investasi merupakan salah satu kondisi penting yang harus dipenuhi dalam memasuki tahap proses tinggal landas (Jhingan, 1988 : 172).
Investasi berarti fungsinya menempatkan sejumlah modal untuk tujuan produksi dan pengeluaran yang digunakan untuk mempertahankan barang-barang modal. Kaum klasik berpendapat bahwa investasi
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Elastisitas Investasi dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian di Indonesia | 7
merupakan suatu pengeluaran yang akan menambah kapasitas produksi masyarakat yang pada akhirnya akan meningkatkan pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi (Dombusch dan Fisher, 1994 : 236). Dengan investasi berarti akan menambah jumlah stok modal dan penggunaan tenaga kerja bagi peningkatan kapasitas produksi dan ekspansi pasar. Peningkatan pendapatan masyarakat akan menaikkan konsumsi masyarakat (permintaan efektif), sehingga para pengusaha akan terdorong untuk memperbesar produksinya dan memperluas perusahaan dengan menambah material, tenaga kerja maupun peralatan lainnya (Sobri, 1997 : 13). Ahli-ahli ekonomi klasik, seperti Smith, Ricardo, Malthus, Mill dan Schumpeter, mengemukakan bahwa pertumbuhan ekonomi suatu negara tercapai secara otomatis melalui mekanisme pasar, yang bergantung pada investasi (Hasibuan, 1988 : 12). Perubahan investasi (∆I) akan meningkatkan pendapatan (∆Y) sebesar koefisien pengganda (multiplier, k = l/s, s= hasrat untuk menabung) dikali perubahan investasi tersebut. Sedangkan berapa besar tambahan modal (I = ∆K = Kt-Kt1) bergantung pada besarnya rasio tambahan modal terhadap tambahan output (w = ICOR), atau dapat dinyatakan, ∆K = w VY. Semakin tinggi ICOR semakin kecil tingkat pertumbuhan ekonomi yang dapat dicapai dan semakin tidak efisien penggunaan kapital. Setiap penambahan stok kapital masyarakat (K) meningkatkan pula kemampuan masyarakat untuk menghasilkan output (Qp). Harrord-Domar menggambarkan hubungan antara K dan Qp sebagai : (Boediono, 1992 : 60-69). Qp = hK ………………………….(1) Hubungan antara K dan Qp adalah proporsional : apabila misalnya K naik dua kali lipat maka Qp juga naik dua kali lipat. Jadi apabila dalam suatu tahun ada investasi sebesar I, maka stock kapital pada akhir tahun tersebut akan bertambah sebesar ∆ K = I, dengan demikian: ∆Qp = h ∆ K = hI ………………...(2)
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Jika pengeluaran investasi sebesar I rupiah, maka (dengan anggapan perekonomian tertutup dan tanpa ada sektor pemerintah) permintaan agregat adalah Z = C + I. Dengan teori multplier tingkat investasi I menimbulkan tingkat permintaan agregat sebesar : ∆Z =
1 1 I = I …………(3) 1−C S
Dari persamaan (2) diketahui ∆Qp = hI. Apabila syarat ∆Z = ∆ Qp harus dipenuhi maka ini berarti ∆Z = hI. Dari persamaan (3) kita mempunyai Z =
1 I Kalau persamaa ∆Z = hI S
dibagi dengan persamaan (3) diperoleh : ∆Z ∆Qp = sh = gw ………(4) Z Qp dalam hal ini s adalah hasrat menabung, dan gw adalah tingkat pertumbuhan yang diinginkan. Laju pertumbuhan yang menjamin keseimbangan antara output potensial dan permintaan agregat dalam jangka panjang adalah gw. Dalam posisi keseimbangan (gw) tingkat investasi harus tumbuh sebesar sh. Jadi posisi keseimbangan di pasar barang, Qp, Z, K, dan I harus tumbuh dengan laju yang sama, yaitu sh (tingkat pertumbuhan yang diinginkan = warranted rate of growth). Dalam posisi ini :
∆Q p ∆Z ∆K ∆I = = = ………(5) Z K I Qp Apabila laju pertumbuhan lebih kecil daripada warranted rate of growth, maka perekonomian akan mengalami kelebihan kapasitas (kapasitas pabrik menganggur). Sebaliknya, apabila laju pertumbuhan perekonomian lebih tinggi dari warranted rate of growth maka akan ada kecenderungan bagi permintaan agregat untuk semakin melebihi output potensial sehingga menimbulkan tekanan inflasi. Secara ekonomi makro, investasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu :(1) investasi otonom (autonomous investment) dan (2) investasi yang diinginkan (induced investement). Investasi otonom adalah investasi yang berdasarkan tabungan nyata. Investasi ini dipengaruhi oleh tingkat bunga, kemajuan teknologi, ramalan keuntungan, pertambahan penduduk, pembukaan daerah baru, dan penemuan kekayaan alam baru.
8 | Mahdi
Sedangkan investasi yang diinginkan adalah investasi yang besarnya dipengaruhi oleh pendapatan nasional dan pertambahan pendapatan uang masyarakat (atau pertambahan permintan efektif) (Sukirno, 2001: 117). Pertambahan permintaan efektif, mula-mula ditujukan kepada barang-barang konsumsi yang akhirnya menimbulkan kenaikan permintaan barang-barang modal sehingga mendorong naiknya kegiatan investasi. Dengan kata lain, investasi adalah fungsi dari pendapatan nasional, tingkat bunga, kemajuan teknologi, ramalan keuntungan, pertambahan penduduk dan penemuan sumber daya baru. Tujuan Penelitian adalah untuk mengetahui
pengaruh investasi terhadap pertumbuhan PDB sektor pertanian di Indonesia. Dan untuk mengetahui elastisitas investasi terhadap pertumbuhan PDB sektor pertanian di Indonesia. Sejalan dengan permasalahan, tujuan penelitian dan teori yang telah diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan hipotesis penelitian ini adalah investasi berpengaruh positif terhadap pertumbuhan PDB sektor pertanian di Indonesia. Dan koefisien elastisitas investasi adalah bersifat inelastis.
METODE PENELITIAN
Untuk keperluan analisis data, akan digunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kualitatif deskriptif meliputi pembahasan perkembangan investasi dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan PDB sektor pertanian di Indonesia. Analisis pengaruh investasi terhadap pertumbuhan PDB sektor pertanian di Indonesia dilakukan dengan menggunakan regresi linear berganda yang diolah melalui bantuan komputer pada Program SPSS. Persamaan regresi linear berganda menurut Gujarati (1999 : 24) sebagai berikut: Y = α + β1X1 + β2X2 + et di mana: Y = Dependent variabel α = Intercept
β1 β2 = Koefisien regresi X1 X2 = Independent variabel ei = Faktor pengganggu Kemudian model tersebut diformulasikan ke dalam model sebagai berikut: PDB = a + b1 IVD + b2 IVL + ei di mana : PDB = Pertumbuhan PDB sektor pertanian a = Intercept b1,b2 = Koefisien elastisitas dari veriabel investasi dalam dan luar Negeri Negeri IVD = Investasi dalam Negeri IVL = Investasi luar Negeri ei = Variabel pengganggu Operasional Variabel Batasan operasional variabel-variabel yang diamati adalah sebagai berikut : a. Produk Domestik Bruto (PDB), adalah keseluruhan nilai produksi barang dan jasa yang dihasilkan masyarakat suatu negara berdasarkan harga kostan yang dihitung dalam jangka waktu tertentu. b. Investasi adalah penanaman modal yang dilakukan oleh pihak swasta di Indonesia baik yang berasal dari PMDN maupun PMA yang dihitung berdasrkan harga konstan tahun 1993. Dalam penelitian ini pengertian investasi termasuk: a) Investasi dalam negeri, yaitu pengeluaran investasi yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia khususnya swasta atas dasar harga konstan tahun 1993 dari tahun 1994-2003 b) Investasi luar negeri, yaitu penanaman modal yang bersumber pihak swasta asing yang diukur berdasarkan harga konstan tahun 1993, dari tahun 19942003
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Elastitas Investasi Terhadap Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian di Indonesia Untuk melihat berapa besar elastisitas dan pengaruh investasi terhadap pertumbuhan PDB sektor pertanian di Indonesia maka akan dilakukan pengujian dengan menggunakan alat ukur regresi linear berganda. Hasil perhitungan
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Elastisitas Investasi dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan PDB Sektor Pertanian di Indonesia | 9
menghasilkan persaman akhir estimasi sebagai berikut : PDB = 10,629 + 0,00932 IVD + 0,073 IVL Persamaan di atas mengandung pengertian bahwa, konstanta sebesar 10,629 berarti tanpa adanya investasi swasta baik investasi dalam negeri maupun investasi luar negeri maka investasi 10,63 persen. Koefisisen elastisitas untuk variabel IVD (Variabel Investasi Dalam Negeri) diperoleh sebesar 0,93 persen, hal ini menggambarkan bahwa apabila variabel IVD mengalami perubahan 1 % maka akan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 0,0093 persen dengan asumsi variabel investasi luar negeri dianggap tetap. Koefisisen elastisitas untuk variabel Investasi Dalam Negeri memiliki elastisitas < 1 artinya persentase perubahan investasi dalam negeri yang lebih besar hanya mengakibatkan sedikitnya perubahan PDB di sektor pertanian. Apabila variabel IVL (Variabel Investasi Luar Negeri) mengalami perubahan 1% maka akan berpengaruh positif terhadap PDB sektor pertanian sebesar 0,0731 persen dengan asumsi variabel investasi dalam negeri dianggap tetap. Koefisien elastisitas Investasi Luar Negeri < 1 artinya persentase perubahan investasi luar negeri yang lebih besar hanya mengakibatkan perubahan yang sedikit terhadap pertumbuhan PDB sektor pertanian. Namun Apabila dilihat dari kedua koefisien elastisitas tersebut ternyata koefisien elstisitas investasi luar negeri lebih elastis. Koefisien determinan (R2) bernilai 87,5 % atau 0,875 menunjukkan variabel investasi dalam negeri dan investasi luar negeri mempengaruhi variabel pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 87,5 % sedangkan sisanya 12,5 % dipengaruhi oleh faktor lainnya. Koefisien korelasi (R) sebesar 93,5% menggambarkan bahwa variabel investasi dalam negeri dan investasi luar negeri sangat erat hubungannya terhadap variabel pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 93,5 %. Pembuktian bahwa variabel variabel investasi dalam negeri dan investasi luar negeri berpengaruh positif dan harga berpengaruh positif variabel PDB sektor pertanian dilakukan pengujian tersendiri secara partial dengan uji-t pada tingkat kepercayaan ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
(Convidence Interval 95%) yaitu: untuk variabel investasi dalam negeri diperoleh t-hit sebesar 5,603 lebih besar dari t-tabel sebesar 3.628. Hal ini menunjukkan bahwa secara partial variabel variabel investasi dalam negeri mempengaruhi variabel PDB sektor pertanian. Sedangkan variabel investasi luar negeri diperoleh t-hit sebesar 6,038 lebih besar dari ttabel sebesar 3.628 artinya variabel variabel investasi luar negeri secara partial mempengaruhi variabel PDB sektor pertanian. Pembuktian terhadap keakuratan variabel investasi dalam negeri dan investasi luar negeri terhadap variabel PDB sektor pertanian dengan menggunakan uji-F. F-hit dalam persamaan ini adalah sebesar 24,416 lebih besar dari F- tabel sebesar 1,20, hal ini menggambarkan bahwa variabel investasi dalam negeri dan investasi luar negeri secara bersama-sama mempengaruhi signifikan variabel PDB sektor pertanian.
KESIMPULAN Dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat di ambil kesimpulan yaitu: hipotesis yang dirumuskan dalam penelitian ini bahwa variabel investasi dalam negeri dan investasi luar negeri terhadap variabel PDB sektor pertanian berpengaruh signifikan terhadap variabel PDB sektor pertanian terbukti kebenarannya. Koefisien determinan (R2) bernilai 87,5 % atau 0,875 menunjukkan variabel investasi dalam negeri dan investasi luar negeri mempengaruhi variabel pertumbuhan PDB sektor pertanian sebesar 87,5 % sedangkan sisanya 12,5 % dipengaruhi oleh faktor lainnya. Secara parsial variabel investasi dalam negeri dan luar negeri berpengaruh signifikan terhadap PDB sektor pertanian.
REFERENSI
Boediono, 1992. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Yogyakarta: BPFEUGM. Dornbusch. R and Fisher Stanley, diterjemahkan oleh Rudy Sitompul, 1994. Makro Ekonomi. Jakarta: Erlangga
10 | Mahdi
Jhingan M.L. 1988. Ekonomi Pembangunan dan Perencanaan. Jakarta: Rajawali Pers. Sobri,
H. 1997. Ekonomi Yogyakarta: BPFE-UGM.
Makro.
Sukrino, Sadono. 2001. Ekonomi Pembangunan. Jakarta: LPFE-UI. Todaro, MP. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga, Edisi Keenam. Jakarta: Erlangga.
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Jurnal Serambi Ekonomi & Bisnis│Vol. 1 No. 1 (2014): 11 – 18
ISSN 2354-970X
PERUBAHAN STRUKTUR EKONOMI KABUPATEN ACEH UTARA, KABUPATEN BIREUEN DAN KOTA LHOKSEUMAWE Martahadi Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Serambi Mekkah
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan struktur ekonomi regional Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe yang diindikasikan dengan pergeseran posisi keunggulan kompetitif dan spesialisasi daerah. Penelitian ini menggunakan formula shift-share Esteban Marquilas. Hasil penelitian menemukan bahwa selama periode 2002-2008 struktur ekonomi Kabupaten Aceh Utara mengalami pergeseran dalam sektor pertanian, yang bergeser dari posisi keunggulan kompetitif dan tidak berspesialisasi pada awal tahun observasi menjadi memiliki keunggulan kompetitif dan berspesialisasi pada tahun akhir observasi. Sedangkan pada tingkat sub sektor terdapat 6 (enam) sub sektor yang mengalami pergeseran posisi serupa, yaitu: sub sektor kehutanan, sub sektor perikanan, sub sektor air bersih, sub sektor bank, sub sektor jasa penunjang angkutan dan sub sektor jasa perorangan dan rumah tangga. Di Kota Lhokseumawe hanya sektor jasa-jasa yang mengalami pergeseran dari posisi tidak kompetitif dan berspesialisasi pada awal tahun observasi menjadi tidak kompetitif dan tidak berspesialisasi pada akhir tahun observasi. Sebaliknya, sektor-sektor ekonomi di Kabupaten Bireuen tidak mengalami pergeseran posisi dari efek alokasi, tetapi pada tingkat sub sektor terjadi pergeseran posisi pada sub sektor jasa perusahaan dari posisi tidak memiliki keunggulan kompetitif dan berspesialisasi menjadi tidak memiliki keunggulan kompetitif dan tidak berspesialisasi. Kata Kunci:
Perubahan struktur ekonomi, keunggulan kompetitif, spesialisasi, efek alokasi
PENDAHULUAN Pembangunan ekonomi suatu daerah merupakan suatu kegiatan yang harus dilaksanakan secara sistematis dan berkelanjutan untuk mewujudkan perekonomian yang lebih baik. Pembangunan yang berkelanjutan dilakukan agar dapat memacu pemerataan pembangunan di setiap daerah/wilayah guna meningkatkan kesejahteraan rakyat. Dengan membaiknya perekonomian daerah akan mempercepat perubahan struktur ekonomi daerah ke posisi yang lebih baik. Terutama dalam sektor industri manufaktur dan jasa. Dengan berkembangnya sektor industri manufaktur dan jasa akan dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan berdampak bagi meningkatnya pendapatan masyarakat, sehingga dapat meningkatkan taraf hidupnya. Selama pembangunan ekonomi
daerah belum merata, maka akan terus terjadi ketimpangan distribusi pendapatan. Oleh karena itu, perlu dibangun infrastruktur perekonomian yang baik guna mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Tingkat pertumbuhan dari perekonomian adalah tingkat di mana PDB meningkat. Secara rata-rata, kebanyakan perekonomian tumbuh beberapa poin persentase per tahun selama beberapa periode yang panjang (Dornbusch, dkk, 2004:10). Selanjutnya Dornbusch, dkk, (2004:10-11) mengemukakan dua alasan yang menyebabkan PDB tumbuh/berubah. Pertama, perubahan PDB adalah tersedianya sejumlah sumber daya sejalan dengan perubahan perekonomian. Yang dimaksud sumber daya di sini adalah modal dan tenaga kerja. Angkatan kerja yaitu orang yang sedang atau tengah mencari pekerjaan, tumbuh sepanjang waktu dan menyediakan satu sumber untuk
* Korespondensi Pengarang: Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Serambi Mekkah Jl. Tengku Imum Lueng Bata, Bathoh, Banda Aceh E-mail:
[email protected]
12 | Martahadi
meningkatkan produksi. Persediaan modal, termasuk gedung-gedung dan mesin, meningkat pula sepanjang waktu, menyediakan sumber lain untuk meningkatkan output. Kenaikan persediaan faktor produksi– tenaga kerja dan modal yang digunakan untuk memproduksi barang dan jasa – karenanya diperhitungkan menjadi bagian dari kenaikan dalam PDB. Kedua, berubahnya PDB karena perubahan efisiensi penggunaan faktor produksi. Peningkatan efisiensi disebut peningkatan produktivitas. Sepanjang waktu, jumlah faktor produksi yang sama akan menghasilkan output yang lebih besar. Peningkatan produktivitas terjadi akibat perubahan dalam teknologi. PDB adalah nilai output yang diproduksi di dalam negeri dalam suatu periode tertentu. PDB berbeda dengan Produk Nasional Bruto (PNB) karena sebagian dari PNB kita dihasilkan di luar negeri dan karena beberapa dari hasil dalam negeri kita diproduksi oleh faktor produksi pihak asing (Dornbusch dan Stanley Fischer, 1997:73; Dornbusch, dkk, 2004:39). Sjafrizal (1997:27-38) mengemukakan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah, kebijakan utama yang perlu dilakukan adalah mengusahakan semaksimal mungkin potensi yang dimiliki oleh propinsi yang bersangkutan, mengingat potensi masingmasing daerah bervariasi maka sebaiknya masing-masing daerah harus menentukan kegiatan sektor dominan. Dalam menggali dan mengembangkan potensi ekonomi, pemerintah daerah harus memfokuskan pembangunan ekonomi daerah untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Pembangunan ekonomi daerah mempunyai tujuan utama yaitu meningkatkan dan memperluas peluang kerja bagi masyarakat yang ada di daerah. Untuk mencapai tujuan tersebut, pemerintah daerah dan masyarakatnya harus bersama-sama mengambil inisiatif memanfaatkan seluruh potensi yang ada secara optimal dalam membangun daerah untuk kesejahteraan masyarakat. Menurut Tambunan (2001:37), walaupun bukan suatu indikator yang bagus, kesejahteraan masyarakat, dilihat dari aspek ekonominya, dapat diukur dengan tingkat pendapatan per kapita. Lebih lanjut Tambunan
(2001:38) mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan prosesnya berkelanjutan merupakan kondisi utama bagi kelangsungan pembangunan ekonomi. Karena penduduk bertambah terus dan berarti kebutuhan ekonomi juga bertambah terus, maka dibutuhkan penambahan pendapatan setiap tahun. Hal ini hanya bisa didapat lewat peningkatan output agregat (barang dan jasa) atau produk domestik bruto (PDB) setiap tahun. Perubahan struktural adalah aspek yang paling kontroversial dalam pertumbuhan ekonomi. Perubahan struktural dalam perekonomian telah mempengaruhi cara orang hidup dalam banyak hal. Mungkin yang paling nyata perubahan gaya hidup telah meningkat tajam dalam proporsi penduduk yang tinggal di daerah perkotaan (Berg, 2005:14). Pasinetti (1981) dalam Memedovic dan Lelio Iapdre (2010:4), mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi terkait dengan perubahan dalam transformasi struktural yang berkelanjutan. Analisis perubahan struktural mengasumsikan bahwa dinamika ekonomi dapat dipelajari dengan memfokuskan pada kelompok yang relatif kecil atau kegiatan yang terdiri dari sistem ekonomi dengan membentuk struktur ekonomi (Silva dan Teixeira, 2008: 273). Teori perubahan struktural menitikberatkan pembahasan pada mekanisme transformasi ekonomi yang dialami oleh negara sedang berkembang, yang semula lebih bersifat subsisten dan menitikberatkan pada sektor pertanian menuju ke struktur perekonomian yang lebih modern, dan sangat didominasi oleh sektor industri dan jasa (Todaro, 1998:89). Dua teori utama yang menggunakan pendekatan perubahan struktural, yaitu teori pembangunan yang dikemukakan oleh Arthur Lewis dengan teori migrasinya, dan Hollis Chenery dengan teori transformasi strukturalnya (Kuncoro, 2006:57). Teori Lewis ini banyak dikritik karena asumsiasumsinya yang menyimpulkan bahwa pertumbuhan sektor industri hanya akan menguntungkan para pengusaha, sementara pendapatan pekerja relatif tetap, dan baru dapat mengalami peningkatan jika penawaran tenaga kerja di daerah perdesaan mengalami penurunan (Kuncoro, 2006:63). Kuncoro (2006:65) mengatakan bahwa transformasi struktural hanya akan berjalan
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Perubahan Struktur Ekonomi Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe | 13
dengan baik jika diikuti dengan pemerataan kesempatan belajar, penurunan laju pertumbuhan penduduk, dan penurunan derajat dualisme ekonomi antara kota dan desa. Jika hal tersebut dipenuhi maka proses transformasi struktural akan diikuti oleh peningkatan pendapatan dan pemerataan pendapatan yang terjadi secara simultan. Analisis shift-share dapat menjelaskan perubahan suatu variabel regional suatu sektor di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu yang dipengaruhi oleh pertumbuhan nasional, bauran industri, dan keunggulan kompetitif (Avrom, 1991:67). Formula shift-share dapat menggambarkan pertumbuhan dari suatu kegiatan ekonomi, terutama melihat perbedaan pertumbuhan baik dalam skala yang lebih luas sebagai wilayah referensi maupun skala yang lebih kecil sebagai wilayah kajian. (Yusuf, 1999:219-233). Analisis shift-share adalah suatu metode yang dapat memberikan gambaran perubahan struktur produksi regional dalam proses pertumbuhan ekonomi nasional. Metode ini berangkat dari anggapan dasar bahwa pertumbuhan ekonomi (D) dipengaruhi oleh tiga komponen utama, yaitu pengaruh pertumbuhan nasional (national growth effect=G), pengaruh pertumbuhan sektoral atau disebut juga pengaruh bauran industri (industry mix effect=M) dan pengaruh daya saing regional atau disebut juga pengaruh posisi kompetitif (competitive position effect=C) (Herzog dan Olsen, 1977) (Ahmad, 2001:15). Perubahan politik sejak era reformasi telah menciptakan peluang-peluang baru untuk terciptanya kehidupan sosial ekonomi masyarakat yang lebih baik. Hal ini tercermin dari lahirnya Undang-undang nomor 22 tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang nomor 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Selanjutnya, perundangundangan tersebut direvisi dengan Undangundang nomor 32 tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan Undang-undang nomor 33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Di samping itu, lahirnya undang-undang otonomi khusus bagi daerah-daerah penghasil sumber daya alam, seperti Aceh dan Papua. Khusus di Aceh telah lahir Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Aceh, di mana pemerintah pusat memberikan kewenangan yang semakin luas bagi Provinsi Aceh untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan lahirnya undang-undang otonomi khusus tersebut diharapkan semakin meningkatnya pelayanan publik di Aceh. Dampak dari diberlakukannya Undang-undang otonomi khusus tersebut adalah Provinsi Aceh memiliki wewenang dan tanggungjawab yang lebih luas untuk mengatur, mengelola dan mengembangkan potensi ekonomi di daerah secara mandiri, sehingga ketimpangan distribusi pendapatan antar kabupaten/kota dapat diperkecil secara bertahab. Di era desentralisasi ini daerah memiliki wewenang dan memikul tanggungjawab yang besar yang harus diimbangi dengan sumber pendapatan daerah yang memadai agar sejumlah urusan yang dibebankan dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan demikian diharapkan pelayanan publik semakin maksimal, sehingga dapat meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat. Provinsi Aceh yang terdiri dari 23 kabupaten/kota, yang di antaranya termasuk Kabupaten Aceh Utara, Kota Lhokseumawe dan kabupaten Bireuen. Kota Lhokseumawe dan kabupaten Bireuen merupakan daerah pemekaran dari kabupaten induk yaitu Kabupaten Aceh Utara. Kabupaten Aceh Utara merupakan salah satu daerah daerah penyumbang utama kekayaan alam bagi pemerintah pusat dan Provinsi Aceh. Kota Lhokseumawe dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 2 tahun 2001 tentang Pembentukan Kota Lhokseumawe. Sedangkan Kabupaten Bireuen dibentuk berdasarkan Undang-undang No. 48 tahun 1999 tentang Pembentukan Kabupaten Bireuen dan Kabupaten Simeulu. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sektor-sektor basis ekonomi yang memiliki keunggulan kompetitif di Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe. METODE PENELITIAN Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah di bidang ekonomi regional dengan pembahasan mengenai perubahan struktur ekonomi regional
14 | Martahadi
di Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe yang diindikasikan dengan pergeseran posisi keunggulan kompetitif dan spesialisasi daerah selama periode 2002-2008 yang diperbandingkan dengan Kabupaten Induk (integrasi dari tiga kabupaten/kota tersebut) sebagai wilayah referensi. Objek yang diteliti dilihat dengan menggunakan data PDRB dengan migas menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000. Sumber dan Jenis Data Dalam penelitian ini menggunakan data time series mengenai PDRB dengan migas menurut lapangan usaha atas dasar harga konstan tahun 2000 Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe selama enam tahun terakhir. Data tersebut diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh, BPS Kabupaten Aceh Utara, BPS Kabupaten Bireuen dan BPS Kota Lhokseumawe dan sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Model Analisis Untuk menghitung pergeseran struktur ekonomi Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe menggunakan analisis Shift-Share EstabanMarquillas (E-M) (Ahmad, 2001:17) yaitu: Dij = Qij rn + Qij (rij – rin) + hQij.(rij – rin ) + (Qij – hQij) . (rij – rin ) ….…… (1) Dij = Gij + Mij + hCij + Aij …………… (2) Dimana: Dij : Perubahan PDRB di sektor i pada kabupaten j Qij : PDRB di sektor i kabupaten j pada tahun dasar analisis hQij : PDRB di sektor i kabupaten j pada tahun akhir analisis
rij rin rn Gij Mij hCij
Aij
: laju pertumbuhan sektor i di kabupaten j laju pertumbuhan sektor i di tingkat : kabupaten induk : laju pertumbuhan ekonomi kabupaten induk : Pengaruh pertumbuhan ekonomi referensi : Pergeseran proporsional : Keunggulan atau ketidakunggulan kompetitif sektor i di wilayah j bila komponen homothetic peubah Q tumbuh LQ=1 : Pengaruh alokasi untuk sektor i di kabupaten j
Dari hasil analisis dapat diketahui posisi sektor-sektor pada masing-masing kabupaten. Terdapat dua tipe yang spesifik dari perubahan tanda yang dihasilkan terhadap komponen pengaruh alokasi, yaitu: Perubahan dari kode 1 kepada kode 2, jika: (rij – rin) < 0 ; (Qij – hQij) > 0 ; (Q*ij – hQ*ij) < 0 …………….. (3) Perubahan dari kode 3 kepada kode 4, jika: (rij – rin) > 0 ; (Qij – hQij) < 0 ; (Q*ij – hQ*ij) > 0 …………….. (4) Perubahan dari negatif ke positif dalam kedua formula dari pengaruh alokasi (allocation effect) berarti adanya perubahan struktural dalam kondisi yang sesuai dengan spesialisasi dan keunggulan kompetitif suatu daerah. Menurut Olsen dan Herzog (Ahmad, 2001:18) perubahan tanda dari pengaruh alokasi memiliki empat kemungkinan. Kemungkinankemungkinan pengaruh alokasi disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Kemungkinan Posisi Pengaruh Alokasi Kode 1
Definisi
Ketidakunggulan kompetitif dan berspesialisasi 2 Ketidakunggulan kompetitif dan tidak berspesialisasi 3 Keunggulan kompetitif dan tidak berspesialisasi 4 Keunggulan kompetitif dan berspesialisasi Sumber: Ahmad (2001)
Pengaruh Alokasi Aij -
(Qij-hQij) +
Keunggulan Kompetitif (rij - rin) -
+
-
-
-
-
+
+
+
+
Spesialisasi
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Perubahan Struktur Ekonomi Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe | 15
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Shift-Share E-M Kabupaten Aceh Utara Perubahan struktur ekonomi Kabupaten Aceh Utara yang dibandingkan dengan Kabupaten Induk dianalisis dengan menggunakan metode shift-share E-M. Berdasarkan Tabel 2, dari empat kemungkinan efek alokasi dapat diamati, bahwa pada akhir periode di Kabupaten Aceh Utara terdapat dua sektor yang berspesialisasi dan memiliki keunggulan kompetitif (kuadran 4), yaitu: sektor pertanian
dan sektor bangunan. Sektor yang memiliki keunggulan kompetitif tetapi tidak berspesialisasi (kuadran 3) adalah sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor jasa-jasa. Selanjutnya, sektor yang tidak berspesialisasi dan tidak kompetitif terdiri dari (kuadran 2): sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas, dan air bersih, sektor perdagangan, hotel dan restoran dan sektor angkutan dan komunikasi. Kemudian sektor yang tidak memiliki keunggulan kompetitif namun berspesialisasi (kuadran 1), yakni: sektor pertambangan dan penggalian.
Tabel 2. Perubahan Pengaruh Alokasi Sektor-sektor Ekonomi dalam Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Aceh Utara LAPANGAN USAHA
Pengaruh Alokasi (Aij)
(1)
KOMPONEN Keunggula Spesialisasi n Tahun Dasar Kompetitif (Qij - hQ ij)
2008
(6) 3
(7) 4
(2) (27,285.50)
2. Pertambangan dan Penggalian
(11,419.65)
4,243,510.57
(0.00)
1,847,316.28
1
1
3. Industri Pengolahan
420,064.72
(3,039,417.31)
(0.14)
(1,339,372.56)
2
2
411.78
(2,864.28)
(0.14)
(2,456.00)
2
2
3,596.31
18,825.62
0.19
68,510.10
4
4
55,292.41
(627,928.99)
(0.09)
(510,708.72)
2
2
9,685.02
(101,525.93)
(0.10)
(37,074.94)
2
2
8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
(55,961.06)
(18,660.10)
3.00
(3,708.80)
3
3
9. Jasa-jasa
(55,400.11)
(110,716.77)
0.50
(77,249.20)
3
3
5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Angkutan dan Komunikasi
(4)
2002
(Q*ij - hQ*ij)
1. Pertanian
4. Listrik, Gas dan Air Bersih
(3) (361,222.81)
rij - rin
KUADRAN Spesialisasi Tahun Terminal
0.08
(5) 54,743.85
Sumber: BPS, (Hasil Analisis Shift-Share E-M)
Jika dilihat berdasarkan sub sektor, maka terdapat sembilan sektor yang berada dalam keunggulan kompetitif dan berspesialisasi (kuadran 4), yakni: sub sektor kehutanan, sub sektor perikanan, sub sektor pertambangan migas, sub sektor air bersih, sub sektor bangunan, sub sektor angkutan udara, sub sektor jasa penunjang angkutan, sub sektor bank dan sub sektor Jasa perorangan dan rumah tangga. Sub sektor yang berada dalam keunggulan kompetitif tetapi tidak berspesialisasi (kuadran 3) adalah: sub sektor tanaman bahan makanan, sub sektor sewa bangunan, sub sektor jasa perusahaan dan sub sektor pemerintahan umum. Sub sektor yang masuk dalam kuadran 1 (tidak memiliki keunggulan kompetitif dan berspesialisasi) yaitu: sub sektor tanaman perkebunan, sub sektor makanan, minuman, dan tembakau, sub sektor jasa sosial masyarakat dan sub sektor jasa hiburan dan kebudayaan. ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Selama kurun waktu 2002-2008, hanya sektor pertanian yang mengalami pergeseran. Namun secara sub sektor terdapat 6 (enam) sub sektor yang mengalami pergeseran yaitu: sub sektor kehutanan, sub sektor perikanan, sub sektor air bersih, sub sektor bank, sub sektor jasa penunjang angkutan dan sub sektor jasa perorangan dan rumah tangga. Sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor yang mengalami pergeseran dari memiliki keunggulan kompetitif namun tidak berspesialisasi (kuadran 3) menjadi memiliki keunggulan kompetitif dan berspesialisasi (kuadran 4). Sedangkan pada tingkat sub sektor terdapat 6 (enam) sektor yang mengalami pergeseran posisi dari dari kuadran 3 menjadi kuadran 4, yaitu: sub sektor kehutanan, sub sektor perikanan, sub sektor air bersih, sub sektor bank, sub sektor jasa penunjang angkutan dan sub sektor jasa perorangan dan rumah tangga.
16 | Martahadi
Sektor yang berada dalam keunggulan kompetitif dan tidak berspesialisasi (kuadran 3) yaitu: sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Selanjutnya sektor yang tidak memiliki keunggulan kompetitif dan tidak berspesialisasi (kuadran 2) adalah sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor jasa-jasa.
Analisis Shift-Share E-M Kota Lhokseumawe Perubahan pengaruh alokasi sektor-sektor Ekonomi dalam Pertumbuhan Ekonomi Kota Lhokseumawe selama periode 2002-2008 dapat damati pada Tabel 3. Terdapat 3 (tiga) sektor yang memiliki keunggulan kompetitif dan berspesialisasi (kuadran 4), yakni: sektor industri pengolahan, sektor bangunan, dan sektor perdagangan, hotel dan restoran.
Tabel 3. Perubahan Pengaruh Alokasi Sektor-sektor Ekonomi dalam Pertumbuhan Ekonomi Kota Lhokseumawe LAPANGAN USAHA
Pengaruh Alokasi (Aij)
(1) 1.
Pertanian
2.
Pertambangan dan Penggalian
3.
Industri Pengolahan
4.
Listrik, Gas dan Air Bersih
5.
Bangunan
6.
Perdagangan, Hotel dan Restoran
7. 8.
Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan Jasa-jasa
9.
KOMPONEN KeungguSpesialisasi lan Tahun Dasar Kompetitif (Qij - hQij)
rij - rin
KUADRAN Spesialisasi Tahun Terminal
2002
2008
(6) 2
(7) 2
(Q*ij - hQ*ij)
(2) 18,183.61
(3) (264,399.19)
(4) (0.07)
(5) (549,065.62)
(3,415,846.13)
(3,436,374.88)
0.99
(1,320,070.08)
3
3
31,065.10
3,348,821.91
0.01
1,792,866.05
4
4
289.44
(546.55)
(0.53)
(3,327.78)
2
2
0.00
84,791.28
0.00
92,771.91
4
4
7,217.47
225,770.22
0.03
139,878.46
4
4
321.79
8,174.14
0.04
(41,276.09)
4
3
(2,396.98)
(1,768.94)
1.36
(7,655.98)
3
3
(32,769.54)
35,532.01
(0.92)
(104,120.88)
1
2
Sumber: BPS, (Hasil Analisis Shift-Share E-M)
Berdasarkan sub sektor, terdapat 5 (lima) sub sektor yang berada pada posisi keunggulan kompetitif dan berspesialisasi (kuadran 4). Kelima sub sektor itu adalah sub sektor gas alam cair, sub sektor perdagangan, sub sektor hotel, dan sub sektor angkutan laut, sub sektor jasa perusahaan. Sub sektor yang berada dalam keunggulan kompetitif dan tidak berspesialisasi (kuadran 3) adalah sub sektor makanan, minuman dan tembakau, sub sektor barang lainnya, sub sektor bank, sub sektor sewa bangunan, sub sektor jasa sosial masyarakat, dan sub sektor jasa hiburan dan kebudayaan. Selanjutnya yang tidak memiliki keunggulan kompetitif dan tidak berspesialisasi (kuadran 2) adalah sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih, sektor jasa-jasa. Sedangkan pada tingkat sub sektor terdiri dari sub sektor tanaman bahan makanan, sub sektor tanaman perkebunan, sub sektor peternakan, sub sektor kehutanan, sub sektor perikanan, sub sektor penggalian, sub sektor listrik, sub sektor
restoran, sub sektor jasa penunjang angkutan, dan sub sektor pemerintahan umum. Di Kota Lhokseumawe tidak terdapat sektor yang berada dalam posisi ketidakunggulan kompetitif dan berspesialisasi (kuadran 1). Namun demikian terdapat beberapa sub sektor yang berada dalam posisi tersebut, yaitu: sub sektor air bersih, sub sektor lembaga keuangan bukan bank dan sub sektor jasa perorangan dan rumah tangga. Selama periode observasi hanya satu sektor ekonomi yang mengalami pergeseran, yaitu sektor jasa-jasa yang bergeser dari posisi tidak kompetitif dan berspesialisasi (kuadran 1) menjadi tidak kompetitif dan tidak berspesialisasi (kuadran 2). Analisis Shift-Share E-M Kabupaten Bireuen Perubahan struktur ekonomi Kabupaten Bireuen yang dibandingkan dengan Kabupaten Induk terhadap perubahan struktur ekonomi Kota Lhokseumawe selama kurun waktu 20022008 disajikan dalam Tabel 4. Dari efek alokasi, spesialisasi dan posisi kompetitif
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Perubahan Struktur Ekonomi Kabupaten Aceh Utara, Kabupaten Bireuen dan Kota Lhokseumawe | 17
sektor-sektor ekonomi di Kabupaten Bireuen pada akhir periode observasi terdapat 5 (lima) sektor yang berspesialisasi dan memiliki keunggulan kompetitif (kuadran 4), yaitu: sektor listrik, gas dan air bersih, sektor bangunan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor angkutan dan komunikasi, sektor jasa-jasa. Sedangkan sub sektor yang berada dalam posisi tersebut sebanyak 13 (tiga belas) sub sektor, yaitu: sub sektor tanaman perkebunan, sub sektor peternakan, sub sektor penggalian, sub sektor listrik, sub sektor air bersih, sub sektor perdagangan, sub sektor
hotel, sub sektor restoran, sub sektor angkutan jalan raya, sub sektor komunikasi, sub sektor lembaga keuangan bukan bank, sub sektor dan sub sektor pemerintahan umum. Di Kabupaten Bireuen tidak terdapat sektor yang berada dalam posisi keunggulan kompetitif tetapi tidak berspesialisasi (kuadran 3). Namun, pada tingkat sub sektor terdapat 5 (lima) sub sektor yang berada pada posisi tersebut, yakni: sub sektor makanan, minuman, dan tembakau, sub sektor bank, sub sektor jasa sosial masyarakat, sub sektor jasa hiburan dan kebudayaan dan sub sektor jasa perorangan dan rumah tangga.
Tabel 4. Perubahan Pengaruh Alokasi Sektor-sektor Ekonomi dalam Pertumbuhan Ekonomi Kabupaten Bireuen
LAPANGAN USAHA
Pengaruh Alokasi (Aij)
(1)
KOMPONEN Keunggula Spesialisasi n Tahun Dasar Kompetitif (Qij - hQij)
rij - rin
(924,557.69)
1.40
(7) 1
3
3
3
3
4
4
Industri Pengolahan
(254,816.78)
(357,014.27)
0.71
Listrik, Gas dan Air Bersih
1,219.51
3,327.77
0.37
5.
Bangunan
6,702.12
99,779.92
0.07
117,807.02
4
4
6.
Perdagangan, Hotel dan Restoran
7,116.94
389,204.37
0.02
329,964.95
4
4
7.
Angkutan dan Komunikasi
11,366.98
88,912.53
0.13
65,066.85
4
4
8.
Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan
(41,021.31)
20,020.45
(2.05)
7,828.28
1
1
9.
Jasa-jasa
43,838.03
72,138.66
0.61
161,635.39
4
4
Pertambangan dan Penggalian
(1,292,941.72)
(6) 1
3.
2.
(4) (0.07)
2008
4.
Pertanian
(3) 608,188.26
2002
(5) 443,994.45 (608,019.37 ) (523,729.37 ) 5,451.79
1.
(2) (42,533.41)
KUADRAN Spesialisasi Tahun Terminal (Q*ij hQ* ij)
Sumber: BPS, (Hasil Analisis Shift-Share E-M)
Selanjutnya, sektor yang tidak berada dalam posisi keunggulan kompetitif tetapi berspesialisasi adalah sektor pertanian dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Di samping itu, juga terdapat 5 (lima) sub sektor yang berada pada posisi yang sama (sub sektor tanaman bahan makanan, sub sektor kehutanan, sub sektor perikanan, sub sektor jasa penunjang angkutan, dan sub sektor sewa bangunan. Secara umum sektor ekonomi Kabupaten Bireuen belum mengalami pergeseran posisi dari efek alokasi, tetapi pada tingkat sub sektor terjadi pergeseran efek alokasi pada sub sektor jasa perusahaan dari posisi tidak memiliki keunggulan kompetitif dan berspesialisasi (kuadran 1) menjadi tidak memiliki keunggulan kompetitif dan tidak berspesialisasi (kuadran 2). ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
KESIMPULAN Perubahan struktur ekonomi Kabupaten Aceh Utara dalam kurun waktu 2002-2008 memperlihatkan bahwa sektor pertanian merupakan satu-satunya sektor yang mengalami pergeseran (memiliki keunggulan kompetitif namun tidak berspesialisasi menjadi memiliki keunggulan kompetitif dan berspesialisasi). Sedangkan pada tingkat sub sektor terdapat 6 (enam) sub sektor yang mengalami pergeseran posisi yang sama (sub sektor kehutanan, sub sektor perikanan, sub sektor air bersih, sub sektor bank, sub sektor jasa penunjang angkutan dan sub sektor jasa perorangan dan rumah tangga). Kondisi ini dipengaruhi oleh efek positif pengaruh alokasi, efek positif spesialisasi dan efek positif keunggulan kompetitif. Secara umum perekonomian di Kota Lhokseumawe tidak mengalami perubahan
18 | Martahadi
struktural, hanya sektor jasa-jasa yang mengalami pergeseran posisi (dari posisi tidak kompetitif dan berspesialisasi menjadi tidak kompetitif dan tidak berspesialisasi). Artinya, kondisi ini dipengaruhi oleh efek positif pengaruh alokasi, efek negatif spesialisasi dan efek negatif keunggulan kompetitif. Perekonomian Kabupaten Bireuen pada akhir periode observasi juga tidak mengalami pergeseran posisi dari efek alokasi, tetapi pada tingkat sub sektor terjadi pergeseran efek alokasi pada sub sektor jasa perusahaan dari posisi tidak memiliki keunggulan kompetitif dan berspesialisasi menjadi tidak memiliki keunggulan kompetitif dan tidak berspesialisasi. Artinya, kondisi ini dipengaruhi oleh efek positif pengaruh alokasi, efek negatif spesialisasi dan efek negatif keunggulan kompetitif.
-------------------. 2010. Produk Domestik Regional Bruto dan Analisis Indikator Ekonomi Kota Lhokseumawe Tahun 2005-2008. BPS dan Bappeda Kota Lhokseumawe Dornbusch dan Stanley Fischer. 1997. Ekonomi Makro. Edisi Kelima. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Dornbusch, dkk. 2004. Makroekonomi. Edisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Media Global Edukasi. Kuncoro, Mudrajad. 2006. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan Kebijakan. Edisi Keempat. Yogyakarta: Penerbit UUP STIM YKPN.
REFERENSI
Memedovic, O dan Lelio Iapdre. 2010. “Structural Change in the World Economy: Main Features and Trends”. UNIDO, Research and Statistics Branch, Working Paper No. 24/2009.
Ahmad, Djakfar. 2001. “Pergeseran Posisi Kompetitif dan Spesialisasi dalam Perubahan Struktur Produksi Regional Aceh”. Mon Mata, No.43 h. 13-26
Silva E. G. and A.C. Teixeira. 2008. “Surveying structural change: Seminal contributions and a bibliometric account.” Structural Change and Economic Dynamics, No 19.
Avrom, Bendavid-Val. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practitioners. Fourth Edition. Wesport, Connecticut: Praeger. BPS. 2006. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Aceh Utara Tahun 20002004. BPS dan Bappeda Kabupaten Aceh Utara. -------------------. 2009. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Aceh Utara Tahun 2000-2007. BPS dan Bappeda Kabupaten Aceh Utara. BPS. 2008. Produk Domestik Regional Bruto (Menurut Lapangan Usaha) 2002-2006. BPS dan Bappeda Kabupaten Bireuen. -------------------. 2009. Produk Domestik Regional Bruto (Menurut Lapangan Usaha) 2003-2007. BPS dan Bappeda Kabupaten Bireuen. BPS. 2006. Produk Domestik Regional Bruto dan Analisis Indikator Ekonomi Kota Lhokseumawe Tahun 2000-2004. BPS dan Bappeda Kota Lhokseumawe.
Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat. Prisma, III (3):35-36. Tambunan, Tulus T.H. 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia. Todaro, Michael P. 1997. Economic Development. Sixth Edition. London and New York: Longman. ------------------. 1998. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Edisi Keenam Jilid 1. Jakarta: Erlangga. Berg, Hendrik Van Den. 2005. Economic Growth and Development. International Edition. New York: McGraw-Hill/Irwin. Yusuf, Maulana. 1999. “Model Rasio Pertumbuhan (MRP) sebagai salah satu alat Analisis Alternatif Dalam Perencanaan Wilayah dan Kota, Aplikasi Modal: Wilayah Bangka Balitung”. EKI, Volume XLVII (2):219233.
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Jurnal Serambi Ekonomi & Bisnis│Vol. 1 No. 1 (2014): 19 – 26
ISSN 2354-970X
OPTIMASI PENGOLAHAN LIMBAH PLASTIK DENGAN SIMULASI DAN ANALISIS KELAYAKAN INVESTASINYA DI KOTA LHOKSEUMAWE Syaifuddin Yana Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah
Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis optimasi dan kelayakan pengolahan limbah plastik menjadi produk plastik cacahan (chips) dengan menggunakan mesin grinding sederhana sehingga diperoleh hasil olahan yang bernilai ekonomis. Riset ini juga ingin melihat bagaimana kemungkinan peluang yang dilakukan oleh industri kecil untuk tetap eksis dalam melakukan kegiatan mereka dalam perubahan fluktuasi harga dan permintaan terhadap limbah plastik setelah masa krisis. Kajian pengolahan limbah plastik ini dilakukan di Kota Lhokseumawe Provinsi Aceh. Penelitian ini menggunakan model maksimasi keuntungan berdasarkan asumsi dengan menggunakan simulasi dari rencana pengolahan limbah plastik dalam kurun waktu setahun dengan mempertimbangkan mengikuti harga yang berlaku dipasar dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir. Disamping itu, untuk menilai kelayakan pengolahan limbah plastik yaitu dengan menggunakan parameter investasi seperti Benefit Cost Ratio (BCR), Net Present Value (NPV), Internal Rate of Return (IRR), Payback Period (PP) dan Profitabilitas Index (PI). Hasil dari pengolahan data yang diperoleh menunjukkan bahwa optimalisasi pengolahan limbah plastik menjadi plastik cacah berdasarkan simulasi dari 3 (tiga) variabel simulasi yaitu X1, X2 dan X3 yaitu pada kondisi dimana i = 18% dimana X1 = 100% dan X2 dan X3 = 0%, dengan keuntungan yang diperoleh yaitu sebesar Rp 127.604.565. Kata Kunci : Optimasi, simulasi pengolahan limbah plastik, parameter investasi, benefit cost ratio, net present value, internal rate of return, payback period dan profitabilitas index, mesin grinding. PENDAHULUAN Industri pengolahan sampah atau limbah plastik yang berada di sekitar kita saat ini adalah suatu kegiatan yang sudah banyak dilakukan oleh kelompok usaha kecil untuk menghasilkan suatu income yang bernilai ekonomi bagi si pelaku usaha tersebut. Industri pengolahan limbah plastik tergolong kepada salah satu industri pengolahan yang sangat sederhana, namun dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat kelompok kecil yang mencari nafkah melalui limbah plastik atau plastik bekas. Disamping itu juga, kegiatan ini dapat menciptakan nilai tambah dan dapat menciptakan lapangan kerja yang berantai dimulai dari kelompok terkecil yaitu pemulung, pengumpul dan agen sampai kesentra industri pengolahan baik pengolahan sederhana sampai kepada industri pengolahan plastik jadi yang bernilai ekonomi tinggi.
* Korespondensi Pengarang: Fakultas Teknik Universitas Serambi Mekkah Jl. Tengku Imum Lueng Bata, Bathoh, Banda Aceh E-mail:
[email protected]
Kondisi tersebut di atas menjadi sangat kontras ketika sebagian besar masyarakat kita menganggap bahwa limbah atau sampah plastik dewasa ini menjadi permasalahan atau momok bagi masyarakat, dimana keberadaannya jika tidak dapat ditanggulangi dengan metode yang benar dan komprehensif maka dapat menyebabkan berbagai permasalahan seperti yang paling sederhana yaitu tersumbatnya selokan yang dapat menyebabkan banjir, menimbulkan berbagai macam penyakit dan dapat menyebabkan kerusakan nyata terhadap lingkungan seperti pencemaran di darat, pada air dan udara seperti: CO2 (karbon dioksida), NO (nitrogenmonoksida), S2 (gas belerang), amoniak, dan lainnya. Pencemaran ini tentunya sangat berbahaya bagi kehidupan manusia dan mahluk hidup secara keseluruhan. Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang
20 | Syaifuddin Yana
Pengelolaan Lingkungan Hidup; pada Bab III Hak, Kewajiban, Dan Peran Masyarakat; Pasal 6.1: Setiap orang berkewajiban memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan menanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Selanjutnya Pasal 7.1: Masyarakat mempunyai kesempatan yang sama dan seluas luasnya untuk berperan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan Undang-undang tertera di atas jelas bahwa baik individu maupun masyarakat wajib untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup yang dapat berdampak luas kepada masyarakat apabila diabaikan dan tidak menjadi perhatian bersama dalam penanggulangan terhadap dampak lingkungan. Undang-Undang Republik Indonesia No. 18 tahun 2008 Tentang Pengolahan Sampah; Bab II Asas dan Tujuan; pasal 3 berbunyi: Pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan asas tanggung jawab, asas berkelanjutan, asas manfaat, asas keadilan, asas kesadaran, asas kebersamaan, asas keselamatan, asas keamanan, dan asas nilai ekonomi. Dan pasal 4 berbunyi: Pengelolaan sampah bertujuan untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan serta menjadikan sampah sebagai sumber daya.
Tabel 1. Jumlah Produksi Plastik oleh Beberapa Industri Plastik di Medan Tahun 2008 Nama Pabrik
Jumlah (kg/hari)
Jumlah (kg/bulan)
Jumlah (kg/tahun)
Duta Plastik Maju Plastik Sabang Plastik Jakarta Plastik Golgon Makmur Plastik Dunia Plastik Pentaco Plastik Jumlah Total
14.000 2.000 16.000 20.000 30.000 2.000 13.000 9.000 106.000
350.000 50.000 400.000 500.000 750.000 50.000 325.000 225.000 2.650.000
4.200.000 600.000 4.800.000 6.000.000 9.000.000 600.000 3.900.000 2.700.000 31.800.000
Sumber: Data Survey oleh Palapa Plastic Recycle di Beberapa Industri Plastik Recycle di Medan (Diolah)
Berdasarkan gambaran Tabel 1 di atas, besarnya jumlah kebutuhan limbah plastik di kawasan industri pengolahan limbah plastik di Medan menunjukkan potensi permintaan pasar industri yang relatif besar, menurut lembaga Palapa Plastic Recycle trend permintaan limbah plastik cenderung meningkat pada tahun-tahun berikutnya. Beberapa alasan mengapa banyak limbah plastik yang berasal dari Aceh mengalir ke Medan (Sumatra Utara) dan sekitarnya diantaranya adalah karena harga jual yang ditawarkan oleh industri Medan tersebut relatif lebih baik harganya dibandingkan dengan di Aceh.
Pada saat ini, hampir sebagian besar baik sampah non plastik dan juga termasuk plastik, baik itu bahan baku limbah plastik dan juga produk setengah jadi seperti plastik cacahan mengalir ke Medan yang disebabkan dengan ketidak hadirannya atau ketidakadaan industri pengolahan limbah plastik menjadi suatu produk plastik jadi di daerah Aceh. Keterbatasan industri yang ada saat ini adalah pengolahan limbah plastik menjadi plastik cacah (chips) yang di olah dengan menggunakan mesin grinding sederhana.
Dengan berubahnya waktu, tahun demi tahun dan perbaikan ekonomi secara menyeluruh, perubahan iklim usaha limbah plastik dan pengolahannya masih sangat diharapkan oleh pelaku usaha limbah plastik pada tahun mendatang. Untuk penyelesaian permasalahan di atas, dapat dilakukan beberapa pendekatan pemecahan permasalahan yaitu dengan estimasi sumberdaya, analisis fungsi produksi, optimasi produksi dan analisis kelayakan usaha.
Jumlah industri pengolahan limbah plastik dengan menggunakan mesin grinding tersebut juga jumlahnya masih sangat sedikit jika dibandingkan dengan kuantitas jumlah limbah plastik yang ada di seluruh kabupaten/kota yang ada di Aceh saat ini.
Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat kelayakan usaha industri pengolahan limbah plastik menjadi plastik cacahan (plastik chips) di Kota Lhokseumawe dan mendapatkan hasil yang optimal dari pengolahan industri limbah plastik ini.
Sedangkan gambaran kebutuhan akan plastik baik harian maupun tahunan di beberapa industri pengolahan limbah plastik di Kota Medan Sumatra Utara adalah dapat dilihat pada tabel berikut.
METODE PENELITIAN Sumber informasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan data ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Optimalisasi Pengolahan Limbah Plastik dengan Simulasi dan Analisis Kelayakan Investasinya | 21
sekunder. Data sekunder tersebut didapat dari hasil survey oleh lembaga Palapa Plastic Recycle Foundation (PPRF) terhadap limbah plastik di beberapa wilayah NAD dan industri plastik baik di Aceh maupun di Provinsi Sumatra Utara, data internal PPRF, Sea Defend Consultant tahun 2008, BPS, observasi yaitu melihat secara langsung terhadap hal-hal yang berkaitan dengan penelitian dan data-data lainnya yang terkait baik yang berada di Kota Lhokseumawe, Banda Aceh, NAD, data nasional dan lainnya. Disamping itu dikumpulkan informasi kepustakaan dan referensi-referensi lain yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti dan dapat menunjang terlaksananya penelitian.
dilakukan analisis terhadap faktor-faktor produksi dan analisa kelayakan usaha pengolahan limbah plastik yang menghasilkan plastik cacahan. Sedangkan analisis kelayakan usaha menggunakan perhitungan Net B/C ratio, Net Present Value (NPV), Break Event Point (BEP) dan Pay back Period (PP).
Metode Analisis Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam konsep teoritis, strategi pengolahan plastik cacahan melalui urutan proses tertentu dan proses produksi. Pada bagian analisis akan
Hasil pengolahan data untuk perhitungan NPV dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini
HASIL DAN PEMBAHASAN Net Present Value (NPV) NPVadalah merupakan kriteria yang paling sederhana dibandingkan kriteria lainnya, NPV = PV Benefit – PV Cost NPV =
(
)
Tabel 2. Tabel Perhitungan Net Present Value (i = 18%) Tahun
PF
Ct
Bt
PF (Ct)
PF (Bt)
NPV
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)= (2) (3)
(6) = (2) (4)
(7) = (6) - (5)
0
1
200.000.000
0
-200.000.000
1
0,8475
1.133.424.668
200.000.000
1.245.234.500
0
960.577.406
1.055.336.239
94.758.833
2
0,7182
1.239.869.884
1.325.742.300
890.474.551
952.148.120
61.673.569
3
0,6086
1.758.404.904
1.793.087.800
1.070.165.225
1.091.273.235
21.108.011
4
0,5158
1.267.150.899
1.247.306.047
653.596.434
643.360.459
-10.235.975
5
0,4371
2.046.048.025
2.148.350.426
894.327.592
939.043.971
44.716.379
NPV(i=18%) = NPV t =
Berdasarkan hasil pengolahan pada NPV pada tabel 1 di atas, maka NPV diperoleh sebagai berikut: NPV = Rp 12.020.817,- (NPV ≥ 0) Maknanya yaitu usaha industri pengolahan limbah plastik menjadi plastik cacahan (chips) di Kota Lhokseumawe yang dilakukan oleh Palapa Plastic Recycle Foundation adalah layak (bermanfaat) untuk dilaksanakan. Dimana industri pengolahan limbah plastik ini mengembalikan lebih besar dari social opportunity cost of capital. Dengan demikian usaha industri pengolahan limbah plastik menjadi plastik cacahan oleh Palapa Plastic Recycle adalah dapat diterima.
ISSN: 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
12.020.817
Benefit Cost Ratio (BCR) Rasio manfaat usaha industri pengolahan limbah plastik bersih (discount net benefit) dengan discount net cost: (B − C ) ∑ (1 + i) NetBCratio = (C − B ) ∑ (1 + 1) Kriteria, jika Net BCR > 1, berarti NPV ≥ 0 maknanya adalah pekerjaan layak untuk dilaksanakan. Jika Net BCR <1, maknanya pekerjaan ditolak dimana NPV <0. Lebih lanjut Suryana (2006: 196), menjabarkan dengan formulasi sebagai berikut: ∑
()
=∑
( (
) ; )
BCR(i) = 1,002574524;
BCR(i) > 1, ini berarti investasi pengolahan limbah plastik ini layak secara ekonomis.
22 | Syaifuddin Yana
menggambarkan kemampuan modal untuk menghasilkan (earning power of capital). IRR dengan formulasi:
Internal Rate of Return (IRR) IRR dari usaha industri pengolahan limbah plastik adalah tingkat diskonto untuk mencapai NPV =0 atau PV Benefit =PV Cost. IRR
IRR = +
(
")
( " − ′)
Tabel 3: Tabel Perhitungan Net Present Value (i = 21%) Tahun
PF
Ct
Bt
PF (Ct)
PF (Bt)
NPV
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)= (2) (3)
(6) = (2) (4)
(7) = (6) - (5)
0
1
0
200.000.000
0
-200.000.000
1
0,8264
1.245.234.500
936.662.146
1.029.061.791
92.399.645
2
0,6830
1.325.742.300
846.831.131
905.481.991
58.650.860
3
0,5644
1.758.404.904
1.793.087.800
992.443.728
1.012.018.754
19.575.027
4
0,4665
1.267.150.899
1.247.306.047
591.125.894
581.868.271
-9.257.623
5
0,3855
2.046.048.025
2.148.350.426
788.751.514
828.189.089
39.437.576
200.000.000 1.133.424.668 1.239.869.884
NPV(i=21%) = NPV t =
805.484
Tabel 4: Tabel Perhitungan Net Present Value (i = 24%) Tahun
PF
Ct
Bt
PF (Ct)
PF (Bt)
NPV
(1)
(2)
(3)
(4)
(5)= (2) (3)
(6) = (2) (4)
(7) = (6) - (5)
0
1
1 2
200.000.000
0
200.000.000
0
0,8065
1.133.424.668
0,6504
1.239.869.884
3
0,5245
4 5
1.245.234.500
914.106.995
1.004.281.624
90.174.630
1.325.742.300
806.411.373
862.262.792
55.851.419
1.758.404.904
1.793.087.800
922.283.372
940.474.551
18.191.179
0,4230
1.267.150.899
1.247.306.047
536.004.830
527.610.458
-8.394.372
0,3411
2.046.048.025
2.148.350.426
697.906.981
732.802.330
34.895.349
NPV(i=24%) = NPV t =
NPV(i=18%) = 12.020.817 NPV(i=21%) = 805.484 NPV(i=24%) = - 9.281.796 NPV = 0, terletak antara tingkat suku bunga 21% dan 24%. Selain diantara angka-angka tersebut NPV tidak sama dengan nol. Dengan menggunakan interpolasi, maka: i = 21% NPV = 805.484 i = 24% NPV = -9,281,796 I R R = 0,2124
-200.000.000
-9.281.796
Disamping itu juga suatu usaha dapat dikatakan memiliki keuntungan ekonomis apabila: = − >0 =
− (
=
=
(
+ ∑ +
)>0 )
>0
= 1,02 >0 Profitability Index (PI)
Karena pada tingkat suku bunga 21,24% nilai NPV = 0, maka industri pengolahan limbah plastik ini adalah layak secara ekonomis.
ℎ ℎ PI = 1,0626; PI > 1, Investasi ini layak untuk dilaksanakan
Payback Period Total Investasi modal = Rp 200.000.000. Jadi pada tahun ke 3 investasi sudah kembali, industri pengolahan limbah plastik sudah dapat mengembalikan modal usaha dan memperoleh keuntungan dalam kegiatan usaha tersebut.
Optimasi Pengolahan Limbah Plastik Optimasi pengolahan limbah plastik pada bagian ini yaitu dengan menggunakan simulasi dengan menggunakan tiga variabel yaitu X1, X2 dan X3. Dari tujuh jenis limbah plastik
=
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Optimalisasi Pengolahan Limbah Plastik dengan Simulasi dan Analisis Kelayakan Investasinya | 23
yang diproduksi dikelompokkan berdasarkan menjadi tiga variabel tersebut dengan asumsi dalam satu variabel memiliki harga jual yang relatif sama dan pada umumnya dalam pengolahan dan penjualan dari setiap plastik cacah tersebut secara bersamaan. Asumsi ketiga variabel tersebut yaitu: X1 untuk limbah plastik jenis PP gelas dan HDPE, X2 untuk limbah plastik jenis PP injeksi dan PE, sedangkan X3 limbah plastik jenis PET, PC dan PS. Simulasi yang dimaksudkan dalam pengolahan data ini adalah dengan menggunakan ketiga variabel tersebut, baik secara sendiri maupun dengan cara mengkombinasikan dengan memberikan porsi yaitu 100%, 75%, 50% dan 25% dari setiap kombinasinya yaitu X1 terhadap X2 dan X3 dan demikian sebaliknya. Optimasi dari setiap kombinasi tersebut akan dapat dilihat dengan pendekatan indikator NPV (Net Present Value), BCR (Benefit Cost Ratio), PI (Profitability Index) dan PP (Payback Period). Dari percobaan dengan kombinasi pada 3
(tiga) variabel tersebut, maka akan didapatkan kombinasi yang memberikan optimasi dengan pendekatan indikator sebagaimana yang tersebut di atas. Simulasi yang dilakukan ini adalah mengambil asumsi yaitu produksi untuk tiga variabel X1, X2 dan X3 selama satu tahun dengan input produksi rata-rata sebesar 25.000 kg (25 ton) dari ketiga jenis limbah plastik tersebut. Optimasi yang diperoleh dengan kombinasi persentasi dari masing-masing variabel X1 terhadap X2 dan X3, seterusnya dan sebaliknya. Hasil Pengolahan Simulasi Produksi Limbah Plastik Perhitungan Kombinasi X1 terhadap X2 dan X3 Kombinasi X1 terhadap X2 dan X3 untuk i = 18%, 21%, 24% dan 48%, maka NPV dapat diperoleh melalui pendekatan matematis dengan hasil akhir perhitungan dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 5: Tabel Perhitungan NPV Pada Kombinasi Variabel X1 Terhadap X2 dan X3 (i = 18%, 21%, 24% dan 48%) NPV
No.
Komposisi Variabel
1
X1 (100%)
127,604,565
2
X1 (75%)
3
X1 (50%)
4
X1 (25%)
18%
21%
X2 dan X3
24%
48%
116,778,103
107,723,921
68,888,277
122,287,708
111,912,349
103,235,425
66,017,602
25% (50 : 50)
116,970,851
107,046,594
98,746,928
63,147,271
50% (50 : 50)
111,653,994
102,180,840
94,258,431
60,276,941
75% (50 : 50)
Kombinasi X1 terhadap X2 dan X3 untuk i = 18%, 21%, 24% dan 48%, maka BCR, PI dan PP dapat diperoleh melalui pendekatan
0%
matematis dengan hasil akhir perhitungan dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 6: Tabel Perhitungan BCR, PI dan PP Pada Kombinasi Variabel X1 Terhadap X2 dan X3 ( i = 18%, 21%, 24% dan 48%) BCR
No.
Komposisi Variabel
18%
21%
24%
48%
1
X1 (100%)
1.1765
1.1765
1.1765
2
X1 (75%)
1.1830
1.1830
3
X1 (50%)
1.1908
1.1908
4
X1 (25%)
1.2000
1.2000
PI
PP
X2 dan X3
1.1765
1.0521
Bulan ke-7
0%
1.1830
1.1830
1.0970
Bulan ke-7
25% (50 : 50)
1.1908
1.1908
1.1492
Bulan ke-7
50% (50 : 50)
1.2000
1.2000
1.0369
Bulan ke-6
75% (50 : 50)
Perhitungan Kombinasi X2 terhadap X1 dan X3 Kombinasi X2 terhadap X1 dan X3 untuk i = 18%, 21%, 24% dan 48%, maka NPV dapat
ISSN: 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
diperoleh melalui pendekatan matematis dengan hasil akhir yaitu dapat dilihat melalui tabel berikut.
24 | Syaifuddin Yana
Tabel 7. Tabel Perhitungan NPV Pada Kombinasi Variabel X2 Terhadap X1 dan X3 (i = 18%, 21%, 24% dan 48%) No.
NPV
Komposisi Variabel
18%
21%
24%
48%
X1 dan X3
1
X2 (100%)
113,426,280
103,802,758
95,754,597
61,233,718
0%
2
X2 (75%)
113,426,280
103,802,758
95,754,597
61,233,718
25% (50 : 50)
3
X2 (50%)
113,426,280
103,802,758
95,754,597
61,233,718
50% (50 : 50)
4
X2 (25%)
113,426,280
103,802,758
95,754,597
61,233,718
75% (50 : 50)
Kombinasi X2 terhadap X1 dan X3 untuk i = 18%, 21%, 24% dan 48%, maka BCR, PI dan PP dapat diperoleh melalui pendekatan
matematis dengan hasil akhir perhitungan dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 8. Tabel Perhitungan BCR, PI dan PP Pada Kombinasi Variabel X2 Terhadap X1 dan X3 ( i = 18%, 21%, 24% dan 48%) BCR
No.
Komposisi Variabel
18%
21%
24%
48%
1
X2 (100%)
1.2051
1.2051
1.2051
2
X2 (75%)
1.2019
1.2019
3
X2 (50%)
1.1988
1.1988
4
X2 (25%)
1.1957
1.0000
PI
PP
X1 dan X3
1.2051
1.0544
Bulan ke-6
0%
1.2019
1.2019
1.0405
Bulan ke-6
25% (50 : 50)
1.1988
1.1988
1.0271
Bulan ke-6
50% (50 : 50)
1.1957
1.1957
1.0139
Bulan ke-6
75% (50 : 50)
Perhitungan Kombinasi X3 terhadap X1 dan X2 Kombinasi X3 terhadap X1 dan X2 untuk i = 18%, 21%, 24% dan 48%, maka NPV dapat
diperoleh melalui pendekatan matematis dengan hasil akhir yaitu dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 9. Tabel Perhitungan NPV Pada Kombinasi Variabel X3 Terhadap X1 dan X2 (i = 18%, 21%, 24% dan 48%) No.
Komposisi Variabel
NPV
X1 dan X2
18%
21%
24%
48%
90,827,413
83,785,272
53,579,503
1
X3 (100%)
99,247,995
2
X3 (75%)
104,564,852
95,693,168
88,273,769
56,449,834
25% (50 : 50)
3
X3 (50%)
109,881,709
100,558,922
92,762,266
59,320,164
50% (50 : 50)
4
X3 (25%)
115,198,566
105,424,676
97,250,762
62,190,495
75% (50 : 50)
Kombinasi X3 terhadap X1 dan X2 untuk i = 18%, 21%, 24% dan 48%, maka BCR, PI dan PP dapat diperoleh melalui pendekatan
0%
matematis dengan hasil akhir perhitungan dapat dilihat melalui tabel berikut.
Tabel 10. Tabel Perhitungan BCR, PI dan PP Pada Kombinasi Variabel X3 Terhadap X1 dan X2 ( i = 18%, 21%, 24% dan 48%) No.
Komposisi Variabel
1
X3 (100%) X3 (75%) X3 (50%) X3 (25%)
2 3 4
BCR 18%
21%
24%
48%
1.2188 1.2092 1.2013 1.1946
1.2188 1.2092 1.2013 1.1946
1.2188 1.2092 1.2013 1.1946
1.2188 1.2092 1.2013 1.1946
Berdasarkan hasil pengolahan data yang diperoleh di atas, maka optimasi keuntungan
PI
PP
X1 dan X2
1.1551 1.0965 1.0471 1.0049
Bulan ke-6 Bulan ke-6 Bulan ke-6 Bulan ke-6
0% 25% (50 : 50) 50% (50 : 50) 75% (50 : 50)
maksimum yang diperoleh dari simulasi ketiga variabel X1, X2 dan X3 pada kondisi dimana i ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Optimalisasi Pengolahan Limbah Plastik dengan Simulasi dan Analisis Kelayakan Investasinya | 25
= 18%, X1 =100%, X2 dan X3 sebesar 0% dengan keuntungan yang diperoleh yaitu sebesar Rp127.604.565. Pada kondisi simulasi ini, maka parameter investasi lainnya diperoleh yaitu BCR = 1.1765, PI = 1,0521 dan PP jatuh pada bulan ke-7. Sensitivitas Terhadap Harga Dari hasil pengolahan data, pada kondisi keuntungan minimum penjualan yang masih
layak (diperbolehkan) adalah sebagai berikut: X1 yaitu Rp 5.200 per kg, X2 yaitu Rp 4.000 per kg, dan X3 yaitu Rp 3.300,- per kg. Ratarata keuntungan penjualan adalah Rp 100 per kg atau dua persen dari harga penjualan normal. Tabel di bawah, memperlihatkan perolehan produksi plastik cacah untuk input 25 ton per bulan selama setahun dari variabel X1, X2 dan X3.
Tabel 11: Tabel Perbandingan Pendapatan Terhadap Ketiga Variabel X1, X2 dan X3 (Pendapatan Pada Harga Normal Terhadap Pendapatan Pada Harga minimum) Bulan ke-
X1_Normal
X1_Minimum
X2_Normal
X2_Minimum
X3_Normal
X3_Minimum
1
150,000,000
130,000,000
117,500,000
100,000,000
97,500,000
82,500,000
2
151,050,000
130,910,000
118,322,500
100,700,000
98,182,500
83,077,500
3
149,895,000
129,909,000
117,417,750
99,930,000
97,431,750
82,442,250
4
150,120,000
130,104,000
117,594,000
100,080,000
97,578,000
82,566,000
5
150,075,000
130,065,000
117,558,750
100,050,000
97,548,750
82,541,250
6
149,865,000
129,883,000
117,394,250
99,910,000
97,412,250
82,425,750
7
151,125,000
130,975,000
118,381,250
100,750,000
98,231,250
83,118,750
8
150,450,000
130,390,000
117,852,500
100,300,000
97,792,500
82,747,500
9
151,245,000
131,079,000
118,475,250
100,830,000
98,309,250
83,184,750
10
150,825,000
130,715,000
118,146,250
100,550,000
98,036,250
82,953,750
11
151,005,000
130,871,000
118,287,250
100,670,000
98,153,250
83,052,750
12
151,005,000
130,871,000
118,287,250
100,670,000
98,153,250
83,052,750
Sensitivitas Terhadap Kapasitas (Tonase Limbah Plastik) Produksi limbah plastik dengan input 2 ton, maka rata-rata keuntungan yang diperoleh oleh ketiga variabel X1, X2 dan X3 per bulannya adalah sebagai berikut: untuk variabel X1 sebesar Rp 12.044.400 atau 15%, variabel X2 sebesar Rp 9.434.780 atau 13%,
dan variabel X3 sebesar Rp 7.828.860 atau 12% dari keuntungan pada harga normal. Tabel di bawah memperlihatkan perbandingan perolehan keuntungan produksi plastik cacah antara input 25 ton dengan 2 ton per bulan selama setahun dari ketiga variabel X1, X2 dan X3.
Tabel 12: Tabel Perbandingan Perolehan Dari Tiga Variabel X1, X2 dan X3 Pada Kapasitas Produksi Normal Terhadap Produksi Minimum yang Masih Dibenarkan (25 ton Terhadap 2 ton) Bulan ke-
X1 (25 ton)
X1 (2 ton)
X2 (25 ton)
X2 (2 ton)
X3 (25 ton)
X3 (2 ton)
1
150,000,000
12,000,000
117,500,000
9,400,000
97,500,000
7,800,000
2
151,050,000
12,084,000
118,322,500
9,465,800
98,182,500
7,854,600
3
149,895,000
11,991,600
117,417,750
9,393,420
97,431,750
7,794,540
4
150,120,000
12,009,600
117,594,000
9,407,520
97,578,000
7,806,240
5
150,075,000
12,006,000
117,558,750
9,404,700
97,548,750
7,803,900
6
149,865,000
11,989,200
117,394,250
9,391,540
97,412,250
7,792,980
7
151,125,000
12,090,000
118,381,250
9,470,500
98,231,250
7,858,500
8
150,450,000
12,036,000
117,852,500
9,428,200
97,792,500
7,823,400
9
151,245,000
12,099,600
118,475,250
9,478,020
98,309,250
7,864,740
10
150,825,000
12,066,000
118,146,250
9,451,700
98,036,250
7,842,900
11
151,005,000
12,080,400
118,287,250
9,462,980
98,153,250
7,852,260
12
151,005,000
12,080,400
118,287,250
9,462,980
98,153,250
7,852,260
ISSN: 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
26 | Syaifuddin Yana
KESIMPULAN Berdasarkan Analisa Kriteria Investasi/ Analisa Biaya Manfaat (Benefit Cost Analysis), maka dapat disimpulkan bahwa usaha industri pengolahan limbah plastik yang dijalankan industri kecil seperti lembaga Palapa Plastic Recycle di Kota Lhokseumawe (dengan pendekatan simulasi yang diperoleh) adalah layak diusahakan, Karena dengan tingkat suku bunga 18% setelah 3 tahun (pada periode tahun perhitungan 2006 – 2009) keuntungan dapat diperoleh: Net Present Value (NPV) = Rp 12.020.817, (NPV ≥ 0). Maknanya yaitu usaha industri pengolahan limbah plastik menjadi plastik cacahan di Kota Lhokseumawe yang dilakukan oleh Palapa Plastic Recycle Foundation adalah layak (bermanfaat) untuk dilaksanakan. Benefit Cost Ration (BCR) = 1,00257. Nilai perhitungan BCR ≥ 1 (1,00257 ≥ 1). Maknanya investasi pengolahan limbah plastik oleh Palapa Plastic Recycle di Kota Lhokseumawe pada periode 2005-2009 adalah layak secara ekonomis. Internal Rate of Return (IRR) = 0,2124 atau 21,24%. IRR yang diperoleh > tingkat bunga berlaku. Karena pada tingkat suku bunga 21,24% nilai NPV = 0, maka industri pengolahan limbah plastik ini adalah layak secara ekonomis. Payback Period (PP) = pada tahun ketiga. Pada tahun ketiga dari usaha industri pengolahan limbah plastik telah memperoleh keuntungan sebesar Rp 32.365.144. Profitabilitas Index (PI) = 1,0626 PI > 1, maka investasi ini layak untuk dilaksanakan. Optimasi keuntungan maksimum produksi limbah plastik Palapa Plastic Recycle di Kota Lhokseumawe berdasarkan simulasi pada ketiga variabel X1, X2 dan X3 yaitu pada kondisi dimana i = 18%, X1 = 100%, X2 dan X3 sebesar 0% dengan keuntungan yang diperoleh yaitu sebesar Rp127.604.565. Pada kondisi simulasi ini, maka parameter investasi lainnya diperoleh yaitu BCR = 1.1765, PI = 1,0521 dan PP jatuh pada bulan ke-7. Sensitivitas pada harga minimum untuk input 25 ton, diperoleh pada kondisi keuntungan minimum penjualan yang masih layak (diperbolehkan) adalah: X1 yaitu Rp 5.200 (biaya produksi Rp 5.100) per kg, X2 yaitu Rp 4.000 (biaya produksi Rp 3.900) per kg, dan X3 yaitu Rp 3.300 (biaya produksi Rp 3.200) per kg. Rata-rata keuntungan penjualan adalah Rp 100 per kg atau dua persen dari harga
penjualan normal. Sensitivitas pada kapasitas produksi minimum diperoleh pada produksi limbah plastik dengan input 2 ton. Rata-rata keuntungan yang diperoleh oleh ketiga variabel X1, X2 dan X3 per bulannya: variabel X1 sebesar Rp 12.044.400 atau 15%, variabel X2 sebesar Rp 9.434.780 atau 13%, dan variabel X3 sebesar Rp 7.828.860 atau 12% dari keuntungan pada harga normal. Sebaiknya, Pemerintah Aceh memberikan perhatian terhadap industri pengolahan limbah plastik ini dengan cara mendukung atau meningkatkan industri pengolahan limbah plastik ini, khususnya pada kegiatan usaha swasta tidak hanya pada pengolahan sampai menjadi plastik cacahan (plastic chips), akan tetapi lebih jauh lagi yaitu menjadi produk plastik jadi. Jika pengolahan dari limbah plastik menjadi produk plastik jadi berada di wilayah Aceh, maka dapat menguntungkan Pemerintah Aceh, yaitu melalui penyerapan tenaga kerja yang relatif besar, pendapatan pemerintah daerah melalui pajak dan kentungan lainnya yang dapat diperoleh.
REFERENSI Harahap, Sofyan Safri. 2001. Budgeting Peranggaran Perencanaan Lengkap, Untuk Membantu Manajemen. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. Jakarta Post 29 September 2009 Selasa 13.15 wib, Plastics Makers Expect Zero Growth in Sales. Kadariah L, Karlina, Clive G. 1999. Pengantar Evaluasi Proyek. Jakarta: Lembaga Penerbit Ekonomi Universitas Indonesia. Suryana. 2006. Kewirausahaan. Pedoman Praktis: Kiat dan Proses Menuju Sukses. Bandung: Salemba Empat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2008, Tentang Pengelolaan Sampah, Bab II Asas dan Tujuan; pasal 3 dan 4. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup; Bab III Hak, Kewajiban, dan Peran Masyarakat; pasal 6.1 dan 7.1. ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Optimalisasi Pengolahan Limbah Plastik dengan Simulasi dan Analisis Kelayakan Investasinya | 27
ISSN: 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Jurnal Serambi Ekonomi & Bisnis│Vol. 1 No. 1 (2014): 27 – 34
ISSN 2354-970X
PEMANFAATAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TAHU DENGAN MENGGUNAKAN ACETOBAKTER XYLINUM MENJADI NATA DE SOYA DAN MASA INKUBASI TERHADAP KARAKTERISTIK NATA Armi Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Serambi Mekkah
Abstrak Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pemanfaatan limbah cair industri tahu dengan menggunakan Acetobakter xylinum dapat dijadikan nata de soya dan pengaruh ketinggian media dalam loyang serta masa inkubasinya. produk yang lebih bermanfaat merupakan alternatif terbaik yang dapat ditawarkan kepada pengusaha tahu dan masyarakat. Cairan limbah pembuatan tahu biasanya dibuang dan menjadi bahan pencemar lingkungan baik pada tanah, kolam disekitar pabrik tahu, dan sungai tempat membuang limbah cair tersebut. Air limbah masih mengandung beberapa bahan organik, salah satunya adalah protein dari kedelai. Pada pembuatan nata jumlah cairan media akan mempengaruhi hasil nata, demikian juga waktu inkubasi media akan mempengaruhi ketebalan nata. Metode percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap Faktorial dengan 3 taraf. Faktor ketinggian media cairan terdiri atas 1, 1/2, 2/3 dari tinggi wadah inkubasi. Sedang faktor inkubasi terdiri atas 8, 10 dan 12 hari. Pengamatan dilakukan terhadap nata de soya yang dihasilkan meliputi: ketebalan dan uji organoleptik (kekenyalan dan warna). Hasil percobaan menunjukkan nata de soya paling tebal (10,8 mm) dihasilkan pada perlakuan ketinggian cairan 2/3 dan waktu inkubasi 12 hari. Untuk kekenyalan juga pada interaksi perlakuan yang sama. Sedangkan warna nata pada penelitian ini hanya pada masa inkubasi yang berpengaruh nyata, sedangkan ketinggian medianya tidak berpengaruh. Kata Kunci: Limbah tahu, inkubasi, nata de soya PENDAHULUAN Tahu merupakan makanan sumber protein yang sangat populer di masyarakat. Bahan baku pembuatan tahu adalah kedelai. Komponen terpenting dari tahu yang menentukan kualitas tahu adalah protein. Tahu merupakan salah satu makanan tradisional yang populer. Selain rasanya enak, harganya murah dan nilai gizinya pun tinggi. Bahan makanan ini diolah dari kacang kedelai. Meskipun berharga murah dan bentuknya sederhana, ternyata tahu mempunyai mutu yang istimewa dilihat dari segi gizi. Hasil studi menunjukkan bahwa tahu kaya protein bermutu tinggi, tinggi sifat komplementasi proteinnya, ideal untuk makanan diet, rendah kandungan lemak jenuh dan bebas kolesterol, kaya mineral dan vitamin (Koswara, 2006). Industri pembuatan tahu tersebar di masyarakat. Proses pembuatan tahu yang
dilakukan industri masyarakat sangat sederhana. Pada proses pembuatan tahu didapat hasil samping berupa limbah padat (ampas tahu) dan limbah cair (whey tahu). Air limbah tahu merupakan masalah utama yang mengganggu kesehatan lingkungan, khususnya pada musim kemarau. Air limbah tahu adalah air sisa penggumpalan tahu (whey tofu) yang dihasilkan selama proses pembuatan tahu (Lestari, 1994). Nata merupakan jenis makanan yang diperoleh dari hasil fermentasi oleh bakteri Acetobacter xylinum. Makanan ini berbentuk padat, putih, kenyal,dan transparan. Produksi ini biasanya dijual dalam kemasan plastik. Kandungan terbesarnya adalah air, karena itu produk ini dipakai sebagi sumber makanan rendah kalori untuk program diet. Selain itu nata juga mengandung serat yang sangat diperlukan oleh tubuh. Pembuatan nata pada prinsipnya adalah pembentukan selulosa sintesis melalui
* Korespondensi Pengarang:
Laboratorium Pendidikan Biologi Universitas Serambi Mekkah Jl. Tengku Imum Lueng Bata, Bathoh, Banda Aceh E-mail:
[email protected]
28 | Armi
fermentasi gula oleh bakteri Acetobacter xylinum. Untuk hidup, semua organisme membutuhkan sumber energi, yang diperoleh dari metabolisme bahan pangan tempat organisme hidup di dalamnya.
METODE PENELITIAN
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Nadiyah (2002), menunjukkan bahwa bakteri Acetobacter xylinum memiliki kemampuan mengubah karbohidrat bekatul menjadi selulosa. Bakteri Acetobacter xylinum yang difermentasikan di dalam medium dengan suasana asam (pH 4) dan kadar gula yang tinggi akan membentuk nata (Anonim, 2002).
Alat dan Bahan Penelitian Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: a. Alat 1. Alat untuk Penyiapan Biakan Murni:Alat pensteril, Tabung reaksi, kapas, Jarum ose, Kotak inokulasi, Lampu spritus, Gelas piala, Kompor, Kotak inkubasi, Lemari pendingin (kulkas), Timbangan, pH meter. (Solechan, 2013) 2. Pembuatan Starter: Botol bermulut lebar, Kertas koran, Ruang inkubasi, Wadah perebus media, Timbangan, pH meter.
Limbah cair industri tahu yang akan dijadikan sampel adalah limbah cair yang di peroleh dari home industri tahu produksi M. Nasir Jln. Tgk Lampoh bungoeng Banda Aceh. Berdasarkan observasi pada home industri tahu tersebut setiap harinya mengolah 100 kg kedelai untuk dijadikan tahu. Untuk mengolah 100 kg kedelai akan menghasilkan limbah cair sebanyak 150 - 430 liter dengan nilai Biochemical Oxygen Demand (BOD) 2.800 – 4.300 mg/l, Total Suspended Solid (TSS) 615 – 629 mg/l, PH 3,4 – 3,8 dan Dissolved Oxygen (DO) 1,5 – 2,2 mg/l (Musanif dan sulaeman, 2009). Limbah cair yang dihasilkan dari pengolahan tahu tersebut dibuang bebas kesungai tanpa ada pengolahan sebelumnya. Limbah cair tahu mengandung bahan organik yang tinggi, jika terurai akan menimbulkan bau busuk sehingga akan mengurangi nilai estestika lingkungan. Untuk mengurangi kuantitas air limbah tahu yang dibuang bebas keperairan, maka upaya peningkatan nilai ekonomis air limbah tahu menjadi produk nata de soya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan limbah cair industri tahu dengan menggunakan Acetobakter xylinum dapat dijadikan nata de soya, dan untuk mengetahui pengaruh ketinggian media dan masa inkubasi terhadap karakteristik nata de soya.
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium SMK-SMTI Kecamatan Kuta Alam Banda Aceh.
b.
Bahan Bahan baku yang digunakan dalam percobaan ini adalah whey tahu (segar) yang diperoleh dari home industri tahu produksi M. Nasir Jln.Tgk Lampoh Bungoeng, bathoh Banda Aceh. Sebagai bahan pelengkap meliputi: gula pasir, asam cuka glasial, (NH4)2SO4, serta cairan starter (bibit) yang mengandung biakan Acetobacter xylinum yang diperoleh dari SMK-SMTI Negeri Banda Aceh.
Rancangan Percobaan Penelitian Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, dengan faktor A adalah ketinggian cairan media dan faktor B adalah waktu inkubasi. Faktor ketinggian cairan media (A) sebanyak 3 taraf yaitu 1, 1/2 dan 2/3 wadah (loyang) untuk inkubasi. Sedang taraf waktu inkubasi (B) terdiri atas 3 taraf, yaitu 8, 10 dan 12 hari. Sehingga diperoleh 9 kombinasi perlakuan dengan 2 kali ulangan sehingga menjadi 18 unit percobaan. Adapun susunan kombinasi perlakuan dapat dilihat pada tabel dibawah ini:
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu dengan menggunakan Acetobakter Xylinum menjadi Nata De Soya | 29
Tabel 1 Susunan Kombinasi Perlakuan Jenis bahan baku (J)
Ulangan
I II I J II I II Ket: J= Limbah Air Tahu B1= 8 hari B2= 10 hari B3= 12 hari
Massa inkubasi (B) B1=8 Hari B2=10 Hari B3= 12 Hari
A1= 1 loyang A2= 1/2 loyang A3= 2/3 loyang
Model matematika untuk melihat variasi respon pada rancangan acak lengkap faktorian yang digunakan adalah: Yijk = µ + Ai + Bj + (AB)ij + Σk(ij) Dimana: Yijk = Hasil pengamatan observasi ke-k yang terjadi karena pengaruh taraf ke-i faktor ketinggian media (A) dan taraf ke-j faktor inkubasi (B). µ = Nilai tengah atau pengaruh rata-rata yang sebenarnya Ai = pengaruh faktor A pada taraf ke-i Bj = pengaruh faktor B pada taraf ke-j (AB)ij = pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i dan faktor B taraf ke-j Σk(ij) = pengaruh dari taraf ke-k dalam kombinasi perlakuan Σ. Apabila terdapat pengaruh yang nyata antara perlakuan maka akan diteruskan dengan uji lanjut Beda Nyata BNJα = qα (v) x
√
Keterangan: qα : nilai baku pada taraf uji α dan derajat bebas galat v KT : kuadrat tengah galat baku derajat devisiasi R : jumlah ulangan Prosedur Penelitian 1. Pembuatan biakan murni (Solechan, 2013, yang dimodifikasi) 2. Pembuatan starter : a) Air tahu disaring sebanyak 500 ml, untuk satuan unit percobaan. b) Ditambahkan gula pasir sebanyak 250 gram, dan ZA sebanyak 50 gram kedalamnya, untuk setiap unit percobaan. ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Ketinggian media (A) A1=1 loyang B1A1 B1A1 B2A1 B2A1 B3A1 B3A1
A2=1/2 loyang B1A2 B1A2 B2A2 B2A2 B3A2 B3A2
A3=2/3 loyang B1A3 B1A3 B2A3 B2A3 B3A3 B3A3
I= Loyang ke- 1 II= Loyang ke- 2
c) Lalu dipanaskan pada suhu 100ºC selama 30 menit sambil diaduk hingga larut. d) Didalam keadaan panas, media dituangkan kedalam botol kaca yang telah disterilkan dan ditutup dengan kertas koran. e) Setelah media dingin, ditambahkan 50 ml suspense Acetobakter xylinum kedalam masing-masing botol kaca. f) Kemudian difermentasikan pada suhu kamar selama 4-7 hari sampai terlihat padatan memutih. Pembuatan Nata De Soya 1. Air tahu disaring sebanyak 15 liter. 2. Larutan yang sudah tersedia dipanaskan pada suhu 100ºC selama 15 menit sambil diaduk hingga larut. 3. Ditambahkan gula sebanyak 1500 gram dan ZA 75 gram , dan ditambahkan asam asetat CH3COO 75 ml. 4. Dalam keadaan mendidih media dituangkan ke dalam wadah fermentasi yang telah disterilkan sesuai dengan perlakuan tinggi cairan media yaitu (1 loyang, 1/2 loyang, dan 2/3 loyang). 5. Setelah media dingin, ditambahkan cairan starter (Axetobacter xylinum) sebanyak 200 ml ke dalam wadah, lalu ditutup kembali. 6. Media yang telah mengandung Acetobacter xylinum kemudian diinkubasi selama 8, 10 dan 12 hari. 7. Nata yang terbentuk kemudian dipanen dan dilakukan pengamatan terhadap sifat fisiknya. Diagram Alir Pembuatan Starter Air kelapa/ Air Tahu (Solechan, 2013. Yang dimodifikasikan).
30 | Armi
Air tahu 5 liter
Disaring sebanyak 5 liter Ditambahkan gula 500 g Amonium sulfat (ZA) 100 g Asam cuka glasial
Dipanaskan
Ampas
T = 100 0C T = 15
Dituangkan dan didinginkan selama 5 jam Acetobacter xylinum 50 mL
Media yang sudah dingin Ditutup dan diikat Difermentasi Starter
Air tahu 15 liter
Disaring sebanyak 15 liter Ditambahkan gula 1500 g Amonium sulfat (ZA) 75 g Asam Cuka glasial secukupnya
Ampas
Dipanaskan
Dituangkan ke dalam loyang (1, 1/2, 2/3 loyang) dan didinginkan selama 12 jam Acetobacter xylinum 200 mL
Media yang sudah dingin
Ditutup dan diikat
Difermentasi Analisis : 1. Ketebalan 2. Uji Organoleptik (warna dan kekenyalan)
Nata de Soya
Gambar 1. Diagram Alir Pembuatan Nata De Soya
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu dengan menggunakan Acetobakter Xylinum menjadi Nata De Soya | 31
Analisis Data Parameter yang dianalisis meliputi, ketebalan, masa inkubasi dan organoleptik (warna dan kekenyalan). Prosedur analisisnya seperti dibawah ini: 1. Analisis Ketebalan Nata De Soya (mm). 2. Analisis Masa Inkubasi Nata De Soya • Masa Inkubasi 8 hari (ketebalan, warna, dan kekenyalan) • Masa Inkubasi 10 hari (ketebalan, warna, dan kekenyalan) • Masa Inkubasi 12 hari (ketebalan, warna, dan kekenyalan) 3. Uji organoleptik Uji organoleptik yang dilakukan pada produk berupa nata de soya adalah uji hedonik. Uji hedonik merupakan uji berdasarkan atas tingkat kesukaan konsumen terhadap warna dan kekenyalan. Pengujian dilakukan oleh 20 siswa sebagai pinalis semi terlatih. Tingkat kesukaan terhadap warna nata de soya menggunakan 3 skala skor yaitu putih 3 skor, putih keabu-abuan 2 skor dan putih kekuningan 1skor, sedangkan untuk tingkat kesukaan terhadap kekenyalan nata adalah dengan cara di makan, jika kenyal maka diberi nilai skonya 2 dan jika tidak kenyal maka diberi skornya 1.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Ketebalan Nata De Soya Ketebalan nata bisa digunakan sebagai acuan dari sempurnanya proses fermentasi oleh starter (Acetobacter xylinum) yang menentukan kualitas nata de soya yang dihasilkan. Ketebalan nata diukur dengan menggunakan jangka sorong. Dari hasil penelitian ketebalan nata de soya dapat ditunjukkan pada Tabel 2 berikut.
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Tabel 2 Data Analisis ketebalan Nata de Soya Ulangan Perlakuan Total I II A1B1 5 mm 5.7 mm 10.7 A1B2 5.9 mm 6.2 mm 12.1 A1B3 6.5 mm 6.9 mm 13.4 A2B1 6 mm 6.2 mm 12.2 A2B2 7.3 mm 7.2 mm 14.5 A2B3 7.8 mm 8 mm 15.8 A3B1 8.1 mm 8 mm 16.1 A3B2 9.6 mm 9.4 mm 19 A3B3 10.8 mm 10.9 mm 21.7 Total 67 68.5 135.5
Ratarata 5.35 6.05 6.7 6.1 7.25 7.9 8.05 9.5 10.85 7.53
Tabel 2 Hasil analisis nata de soya menunjukkan bahwa ketebalan nata yang diperoleh berkisar antara 5-10.9 mm dengan rata-rata 7.53 mm. Analisis varian (ANAVA) terhadap ketebalan nata de soya dapat disajikan pada tabel 4.2 sebagai berikut. Tabel 3. Uji Anava terhadap Ketinggian Media dan Masa Inkubasi terhadap Ketebalan Nata De Soya. Sidik Keragaman
F-tabel JK
Db
KT
F-hitung 5%
1%
Perlakuan
50.131
8
6.266
113.92
3.23
5.47
A
37.141
2
18.571
375.58
4.26
8.02
B
11.848
2
5.924
119.809
4.26
8.02
Galat
0.445
8
0.05
Total
50.576
17
Keterangan: Db: Derajat bebas Jk: jumlah kuadrat KT: Kuadrat Tengah
Berdasarkan analisis varian ketebalan nata menunjukkan bahwa ketinggian media dan masa inkubasi berpengaruh nyata terhadap ketebalan nata de soya yang terbentuk, dimana F hitung perlakuan > F tabel yaitu F hitung 113.92 dan F tabel 3.23, sedangkan pada ketinggian media F tabel > F hitung yaitu 375.58 dan F tabel 4.26 dan masa inkubasi juga F hitung > F tabel yaitu 119.809 dan F tabel 4.26 Hal ini karena jumlah media pada wadah lebih banyak sehingga jumlah bakteri pembentuk nata dan sumber makanan untuk pertumbuhan juga lebih banyak. Dari Tabel 3, tampak bahwa semakin lama waktu inkubasi, nata yang terbentuk semakin tebal. Hal ini dapat diterima karena, dengan waktu inkubasi
32 | Armi
yang lebih lama, pembentukan lapisan nata oleh bakteri masih berlangsung. Karena terdapat perbedaan yang nyata terhadap ketebalan nata di setiap perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Jujur (BNJ), sebagai berikut:
0,049 KTG = 5,6 ⋅ 2 Ulangan BNJ 5% = 5,6 ⋅ 0,1572 = 0,88
BNJ 5% = q (9;9)
Tabel 2. Hasil Uji Lanjut Interaksi dengan BNJ 5% Perlakuan
A1
A2
A3
B1
5,35a
6,1ab
8,05c
B2
6,05ab
7,25bc
9,5d
B3
6,7b
7,9c
10,85e
Uji Organoleptik Nata De Soya Nilai organoleptik merupakan faktor yang penting untuk menguji penerimaan konsumen terhadap produk makanan. Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji hedonik atau uji kesukaan. Penilaian uji organoleptik yang dilakukan terhadap nata de soya meliputi uji hedonik terhadap warna, dan kekenyalan. Pengujian dilakukan oleh 20 siswa SMK-SMTI Kuta Alam Banda Aceh untuk warna nata menggunakan 3 skala (skor 1= Putih Kekuningan, skor 2= Putih keabu-abuan, skor 3=Putih bening). Sedangkan untuk kekenyalan dilakukan dengan cara digigit natanya, kekenyalan nata menggunakan 2 skala (1= tidak kenyal, 2= kenyal).
KESIMPULAN Ketinggian media dan waktu inkubasi serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap ketebalan nata de soya yang terbentuk. Nilai nata de soya paling tebal diperoleh pada ketinggian media 2/3 dari tinggi wadah dan waktu inkubasi 12 hari (10,9 mm) serta interaksi keduanya 10,85 mm. Masa inkubasi berpengaruh nyata terhadap warna nata de soya yang
terbentuk, tetapi tidak dipengaruhi secara nyata oleh ketinggian medianya, nata de soya paling bagus warnanya pada ketinggian media 2/3 dengan masa inkubasi 10 hari (putih bening). Masa inkubasi dan ketinggian medianya berpengaruh tidak nyata terhadap kekenyalan nata de soya yang terbentuk. Kekenyalan yang di sukai yaitu A2B3 dengan masa inkubasi 12 hari dan ketinggian medianya 1/2 Loyang. Nata de soya pada masa inkubasi lebih baik disimpan pada keadaan gelap atau tidak terkena cahaya matahari langsung, jika ditempat gelap maka pertumbuhan bakteri akan lebih cepat berlangsung. Pada masa inkubasi nata de soya sedang berlangsung maka nata tidak boleh ada sentuhan karena akan mengganggu proses pertumbuhan nata. Diharapkan bagi masyarakat agar dapat mengembangkan produksi nata, selain dapat mengurangi pencemaran lingkungan juga dapat menghasilkan nilai ekonomis.
REFERENSI Anonim. 2011. Pengaruh Jenis Bahan Baku Konsentrasi Gula dan ZA dalam Perbanyakan Starter Nata Terhadap Kualitas Nata De Soya. Skripsi. Fakultas Pertanian, Universitas Syiah Kuala. Anonim, 2011. Nata De soya. http:// warintek.progression.or.id./by.rans [10 maret 2013] Darsono. 2007. Pemanfaatan Air Limbah Industri Tahu. http://www. teknologi/natadesoya.html [8 maret 2013] Elradhie Nour Ambiya, 2009. Proses Pengolahan Nata De Soya. Berita Peluang Bisnis Air Limbah Tahu Mampu Selamatkan Lingkungan.
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Pemanfaatan Limbah Cair Industri Tahu dengan menggunakan Acetobakter Xylinum menjadi Nata De Soya | 33
Emma, S. 2010. Pengaruh Media Starter Antara Air Kelapa Dengan Air Nira Aren Terhadap Kualitas Nata De Arenga. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Sains, Universitas Sumatra utara. Fardiaz, S. 1992. Mikrobiologi Pangan. Jakarta: Gramedia. Hasbunallah, 2001. Teknologi Tepat Guna Agroindustri Kecil Sumatra Barat. Dewan Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan Industri, Sumatra Barat. Jenie, Betty Sri Laksmi dan Rahayu, Winalti Pudji. 1993. Penanganan Limbah Industri pangan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Kurniadi, A. D. 1990. Pertumbuhan Starter Nata De Coco (acetobacter xylinum) pada Medium Sari Buah. Skripsi Jurusan Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi Pertanian, Bogor. Lingga, P., dan Marsono. 2005. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Jakarta: Penebar Swadaya. Mashudi, 1993. Mempelajari Pengaruh Penambahan Amonium Sulfat dan Waktu Penundaan Bahan Baku Air Kelapa Terhadap Laju Pertumbuhan dan Struktur Gel Nata De Coco. Skripsi. Jurusan Teknologi Pertanian IPB, Bogor. Nisa,
2002. Pengaruh Penambahan Sukrosa dan Asam Asetat Glasial Terhadap Kualitas NataDari Whey Tahu dan Subtrat Air Kelapa. Jurnal Industri Nata Whey Tahu, Teknologi Industri Pertanian FTBUB.
Noffiar, 2009. Pemanfaatan Limbah Tahu Menjadi Produk Nata De Soya, Solusi Penanganan Pencemaran
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Lingkungan. Skripsi. Fakultas Ilmu Kesehatan, Pekalongan. Nurosid, 2008. Pelatihan Pembuatan Nata De Soya dari Limbah Tempe Di Desa Pliken, Kecamatan Kembaran Banyumas. Jurnal Ilmiah Indonesia. Pembanyun, R. 2002. Teknologi Pengolahan Nata De coco. Yogyakarta: Kanasius. Sadzali, 2010. Pemanfaatan Limbah Tahu Sebagai Selulosa Mikrobial Untuk Pembuatan Selulosa Asetat. Proposal Teknologi Kimia. Syiah Kuala, Banda Aceh Safriani, 2000. Pemanfaatan Limbah Tahu Sebagai Selulosa Mikrobial Untuk Pembuatan Selulosa Asetat. Proposal Teknologi Kimia. Syiah Kuala, Banda Aceh Sarwono, B dan Y.P Saragih. 2001. Membuat Aneka Tahu. Jakarta: Penebar Swadaya. SNI. 1992. Standarisasi Mutu Nata Dalam Kemasan. 01 – 281 – 1992. Saragih, Y.P. 2004. Membuat Nata De Coco. Jakarta: Puspa Swara. Soepardi, 1984. Sifat dan Gizi Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian IPB, Bogor. Suryani, A., E. Hambali, dan P. Suryadarma.2005. Membuat Aneka Nata. Jakarta: Penebar Swadaya. Sutarminingsih, C.L. 2004. Peluang Usaha Nata de Coco. Yogyakarta: Kanisius. Wahyudi, A., E. Hambali dan A. Suryadarma. 2005. Membuat Aneka Nata. Jakarta: Penebar Swadaya.
34 | Armi
Waluyo Lud, 2004. Mikro Biologi Umum. Universitas Muhammadiyah, Malang. Warisno.2004. Mudah dan praktis Membuat Nata De coco. Jakarta: Agromedia Pustaka. Winarno, F. G. 1992. Pangan Gizi. Teknologi dan Konsumen. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
ISSN 2354-970X
Jurnal Serambi Ekonomi & Bisnis│Vol. 1 No. 1 (2014): 35 – 40
KETIMPANGAN PENDAPATAN ANTARA KABUPATEN ACEH TENGAH DAN KABUPATEN BENER MERIAH Khairul Aswadi Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Serambi Mekkah
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ketimpangan pendapatan antara Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah dan pergeseran kompetitif sektor-sektor ekonomi unggulan. Penelitian ini menggunakan Indeks Williamson dan Analisis ShiftShare Esteban Marquilas. Hasil penelitian selama kurun waktu 2003-2009 menunjukkan bahwa Koefisien Indeks Williamson di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah baik yang dibandingkan dengan Provinsi Aceh maupun yang dibandingkan dengan Kabupaten Induk menunjukkan ketimpangan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan merata di kabupaten hasil pemekaran Kabupaten Aceh Tengah. Selanjutnya hasil analisis shift share Kabupaten Aceh Tengah yang dibandingkan dengan Provinsi memperlihatkan bahwa pada akhir periode observasi terdapat dua sektor yang yang berspesialisasi dan memiliki keunggulan kompetitif yaitu sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Sedangkan di Kabupaten Bener Meriah hanya sektor bangunan yang berspesialisasi dan memiliki keunggulan kompetitif. Sedangkan hasil analisis shift share Kabupaten Aceh Tengah yang dibandingkan dengan Kabupaten Induk memperlihatkan bahwa pada akhir periode observasi terdapat satu sektor yang berada dalam posisi keunggulan kompetitif tetapi tidak berspesialisasi yaitu sektor pertanian. Sedangkan di Kabupaten Bener Meriah pada akhir periode observasi terdapat tiga sektor yang yang berspesialisasi dan memiliki keunggulan kompetitif yaitu sektor industri pengolahan, sektor listrik, gas dan air bersih dan sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Kata Kunci: Ketimpangan pendapatan, index williamson, shift-share esteban marquilas
PENDAHULUAN Distribusi pendapatan ini tidak hanya pada tingkat nasional saja, tetapi juga pada tingkat daerah. Keberhasilan pembangunan daerah menjadi landasan yang baik bagi keberhasilan pembangunan nasional. Hal ini karena pembangunan nasional tidak terlepas dari kinerja pembangunan daerah. Keberhasilan pembangunan daerah mempunyai korelasi yang cukup erat dengan peningkatan hasil pembangunan nasional. Pembangunan ekonomi suatu daerah adalah program kerja yang harus dilaksanakan berkesinambungan untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang lebih baik. Dengan semakin baiknya perekonomian daerah maka akan terwujudnya pemerataan pembangunan yang akan berpengaruh dalam
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Meningkatnya kesejahteraan rakyat merupakan salah satu indikator terjadinya pertumbuhan ekonomi yang semakin baik. Menurut Arsyad (2002:7) pertumbuhan ekonomi diartikan sebagai kenaikan Gross Domestik Produk (GDP) dan Gross National Produk (GNP) tanpa memandang kenaikan itu lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau terjadi perubahan struktur ekonomi maupun tidak. Sedangkan menurut Boediono (1992: 1) pertumbuhan ekonoomi merupakan suatu proses kenaikan output perkapita dalam jangka panjang. Ada tiga faktor utama dalam pertumbuhan ekonomi setiap negara (Todaro, 2006:118) yaitu (1) Akumulasi modal yang meliputi semua bentuk atau jenis investasi baru yang
* Korespondensi Pengarang: Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Serambi Mekkah Jl. Tengku Imum Lueng Bata, Bathoh, Banda Aceh E-mail:
[email protected]
36 | Khairul Aswadi
ditanamkan pada tanah, peralatan fisik dan modal atau sumber daya manusia; (2) Pertumbuhan penduduk yang beberapa tahun selanjutnya akan memperbanyak jumlah angkatan kerja; dan (3) Kemajuan teknologi. Dalam pembangunan ekonomi regional terdapat beberapa teori yang penting, yaitu: teori basis ekspor dan model pertumbuhan interregional. Kedua teori ini terkait langsung dengan ekonomi regional dan asli dikembangkan dalam ekonomi regional (Tarigan, 2005:47). Untuk mengukur perubahan struktur ekonomi dalam kajian ini menggunakan pendekan shiftshare analysis Metode shift-share adalah salah satu teknik analisis dalam Ilmu Ekonomi Regional yang bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor utama yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi suatu daerah (Sjafrizal, 2009:179). Metode analisis ini bertitik tolak dari anggapan dasar bahwa pertumbuhan ekonomi suatu daerah dipengaruhi oleh tiga komponen utama yang saling berhubungan satu sama lainnya, yakni pertumbuhan ekonomi (national growth component), pertumbuhan sektoral (indus-trial mix component), dan pertumbuhan daya saing wilayah (competitive effect component) (Tambunan, 2001:291). Sedangkan untuk menentukan tingkat ketimpangan pendapatan antar wilayah/ regional lazimnya oleh para ahli di bidang ekonomi regional biasanya menggunakan Indeks ketimpangan Williamson dan Indeks Entropi Theil, sedangkan Indeks Gini dan distribusi pendapatan menurut Bank Dunia biasanya digunakan dalam mengukur distribusi pendapatan perorangann dan antar kelompok masyarakat (Sjafrizal, 2008:108). Perubahan tatanan politik sejak terjadinya penandatanganan MoU Helsinki telah memberi ruang bagi pemulihan ekonomi Aceh yang sempat terpuruk akibat perang antara Pemerintah Indonesia dengan Gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka selama hampir 30 tahun. Hal ini diwujudkan melalui lahirnya Undang-undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, di mana pemerintah pusat memberikan kewenangan yang semakin luas bagi Provinsi Aceh untuk mengatur rumah tangganya sendiri.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat ketimpangan pendapatan dan untuk mengetahui sektor-sektor ekonomi yang memiliki potensi keunggulan kompetitif untuk dikembangkan guna mengurangi ketimpangan pendapatan antara Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah.
METODE PENELITIAN Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini adalah di bidang ekonomi pembangunan dan ekonomi regional dengan pembahasan mengenai ketimpangan pendapatan antara kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah. Objek yang diteliti dilihat dengan menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), Pendapatan Per Kapita dan jumlah penduduk masingmasing kabupaten yang diukur mulai periode 2003-2009. Sumber dan Jenis Data Data yang digunakan di dalam penelitian ini berupa data time series, yaitu data Pendapatan Per Kapita, jumlah penduduk dan PDRB menurut lapangan usaha atas harga konstan tahun 2000 Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah selama sembilan tahun terakhir yaitu periode 2003-2009. Data tersebut diperoleh dari publikasi Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh, BPS Kabupaten Aceh Tengah, BPS Kabupaten Bener Meriah dan sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. Model Analisis Metode analisis
yang
digunakan
dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Untuk melihat tingkat ketimpangan Pendapatan antara Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah digunakan Formula Koefisien Williamson, yaitu (Sjafrizal, 2008 : 108):
Vw =
∑(
)
Keterangan : Vw = Koefisien Williamson, nilai berkisar antara 0 dan 1 Yi = Pendapatan perkapita kabupaten i Y = Pendapatan perkapita Provinsi Aceh fi = Jumlah populasi kabupaten i n = Jumlah populasi Provinsi Aceh ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Ketimpangan Pendapatan antara Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah | 37
Dengan indikator bahwa apabila angka indeks ketimpangan Williamson semakin mendekati nol maka menunjukkan ketimpangan yang semakin kecil dan bila angka indeks menunjukkan semakin jauh dari nol maka menunjukkan ketimpangan yang semakin melebar.
rin
Laju pertumbuhan sektor i di tingkat nasional (Provinsi Aceh) rn : Laju pertumbuhan ekonomi nasional (Provinsi Aceh) Gij : Pengaruh pertumbuhan ekonomi nasioanal/referensi Mij : Pergeseran proporsional hCij : Keunggulan atau ketidakunggulan kompetitif sektor i di wilayah j bila komponen homothetic peubah Q tumbuh dengan LQ=1 Aij : Pengaruh alokasi untuk sektor i di kabupaten j :
b. Analisis Shift-share Untuk menghitung pergeseran struktur ekonomi dan sektor-sektor yang memiliki keunggulan kompetitif dan berspesialisasi di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah meng-gunakan analisis Shift-Share Estaban-Marquillas (E-M) (Ahmad, 2001:17) yaitu:
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dij = Qij rn + Qij (rij – rin ) + hQij(rij – rin) + (Qij – hQij) . (rij – rin) .….…....(3.1) Dij = Gij + Mij + hCij + Aij …………(3.2)
Ketimpangan Pendapatan antara Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah
Keterangan: Dij : Perubahan PDRB di sektor i pada kabupaten j Qij : PDRB di sektor i kabupaten j pada tahun dasar analisis hQij : PDRB di sektor i kabupaten j pada tahun akhir analisis rij : Laju pertumbuhan sektor i di kabupaten j
Untuk mengetahui ketimpangan pendapatan antara Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah di Provinsi Aceh digunakan formula Koefisien Williamson, dari hasil peneliti-an yang dilakukan maka diperoleh Koefisien Williamson yang tertera dalam Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Koefisien Williamson Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah, Periode 20032009 di bandingkan dengan Provinsi Aceh Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009
Koefisien Williamson Aceh Tengah Bener Meriah 0.0136 0.0171 0.0028 0.0081 0.0030 0.0063 0.0015 0.0020 0.0088 0.0053 0.0134 0.0011 0.0052 0.0002
Rata-rata
0.0069
0.0057
Sumber: BPS (data diolah, 2011)
Berdasarkan Tabel 1 di atas, dapat digambarkan bahwa angka Koefisien Williamson di Kabupaten Aceh Tengah cenderung berfluktuasi sedangkan di Kabupaten Bener Meriah memperlihatkan kecenderungan menurun. Pada tahun 2003 angka Koefisien Williamson untuk Kabupaten Aceh Tengah adalah sebesar 0.0136, selanjutnya pada tahun 2004 Koefisien Williamson di Aceh Tengah turun menjadi 0.0028, yang dipengaruhi oleh kenaikan pendapatan per kapita sebesar 10.77 persen. ISSN: 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Tahun 2005 Koefisien Williamson di Aceh Tengah naik menjadi 0.0030 seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk sebesar 2.39 persen. Berikutnya tahun 2006 Koefisien Williamson di Aceh Tengah kembali turun menjadi 0.0015 karena meningkatnya pendapatan perkapita sebesar 3.79 persen. Sementara itu pada tahun 2007 dan 2008 Koefisien Williamson di Aceh Tengah kembali memperlihatkan kecenderungan kenaikan, masing-masing sebesar 0.0088 pada tahun 2007 dan sebesar 0.0134 pada tahun 2008,
38 | Khairul Aswadi
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk sebesar 4.74 persen pada tahun 2007 dan menurunnya tingkat pendapatan per kapita sebesar minus -2.06 persen pada tahun 2008. Pada tahun 2009 sebagai tahun terakhir observasi Koefisien Williamson di Aceh Tengah kembali memperlihatkan kecenderungan menurun sebesar 0.0052 seiring kenaikan pendapatan per kapita sebesar 0.79 persen.
Analisis Shift-Share Esteban Marquilas Kabupaten Aceh Tengah Pergeseran struktur ekonomi Kabupaten Aceh Tengah yang dibandingkan dengan struktur ekonomi Provinsi Aceh dianalisis dengan menggunakan metode shift-share E-M. Hasil analisis shihft-share E-M terhadap perubahan struktur ekonomi Kabupaten Aceh Tengah selama kurun waktu 2003-2009 disajikan dalam Tabel 2 di bawah ini.
Tabel 2. Hasil Analisis Shift-Share E-M Perubahan Pengaruh Alokasi Sektor Ekonomi Kabupaten Aceh Tengah Dibandingkan dengan Sektor Ekonomi Provinsi Aceh
LAPANGAN USAHA
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8.
Pertanian Pertambangan dan Penggalian Industri Pengolahan Listrik, Gas dan Air Bersih Bangunan Perdagangan, Hotel dan Restoran Angkutan dan Komunikasi Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa
Pengaruh Alokasi (Aij) + + + -
KOMPONEN Spesialisasi Keunggula Tahun n Dasar Kompetitif (Qij - hQij) rij - rin + + + + + + -
+ +
KUADRAN Spesialisasi Tahun Terminal (Q*ij - hQ*ij) + + +
2003
200 9
4 2 3 1 1 3 2
4 2 3 2 1 3 2
3
3
3
4
Sumber: BPS (diolah, 2011)
Berdasarkan Tabel 2 di atas dapat dideskripsikan perubahan pengaruh alokasi dari sektor-sektor ekonomi dalam pertumbuhan ekonomi Kabupaten Aceh Tengah selama tahun 2003 dan 2009. Jika Aij<0 diikuti oleh (rij-rin)<0 dan (Qij-hQij)>0, berarti sektor i di daerah j berada dalam posisi ketidakunggulan kompetitif, namun daerah j berspesialisasi pada sektor tersebut (kuadran 1). Hasil analiis pengaruh alokasi di Kabupaten Aceh Tengah menunjukkan bahwa pada awal periode terlihat dua sektor berada dalam tipe ini yaitu; sektor gas, listrik dan air bersih dan sektor bangunan. Pada akhir periode observasi hanya satu sektor yang mengalami pergeseran posisi yaitu sektor listrik, gas dan air bersih. Hal ini menunjukkan bahwa pengaruh alokasi kurang menguntungkan, karena daerah j belum berspesialisasi pada sektor i, artinya sektor i di daerah j belum berkembang secara lebih meluas, walaupun sektor i berada dalam posisi keunggulan kompetitif. Selanjutnya, jika Aij>0 diikuti oleh rij-rin<0 dan Qij-hQij<0, berarti sektor i berada dalam posisi ketidakunggulan kompetitif dan daerah j
tidak berspesialisasi pada sektor i tersebut (kuadran 2). Dalam hal ini pengaruh alokasi bertanda positif menunjukkan daerah j sudah lebih rasionil, karena tidak berspesialisasi pada sektor yang tidak unggul. Bila sektor-sektor serupa ini lebih dominan di daerah j, maka daerah j cenderung kurang berkembang, walaupun Aij>0. Di Kabupaten Aceh Tengah pada awal periode terdapat dua sektor yang berada dalam tipe ini yaitu sektor pertambangan dan penggalian dan sektor angkutan dan komunikasi, dan hingga akhir periode observasi sektor tersebut masih belum menunjukkan perubahannya yang cukup berarti. Jika Aij<0 diikuti oleh (rij-rin)>0 dan (QijhQi)<0. Ini menunjukkan bahwa pengaruh alokasi kurang menguntungkan, karena daerah j belum berspesialisasi pada sektor i, artinya sektor i di daerah j belum berkembang secara lebih meluas, walaupun sektor i berada dalam posisi keunggulan kompetitif (kuadran 3). Di Kabupaten Aceh Tengah pada awal periode terdapat empat sektor berada dalam tipe ini yaitu: sektor industri pengolahan, sektor
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Ketimpangan Pendapatan antara Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah | 39
perdagangan, hotel dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan sektor jasa-jasa dan pada akhir periode hanya tiga sektor yang masih tetap bertahan, yaitu sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan. Jika Aij>0 diikuti oleh rij-rin>0 dan QijhQij>0, artinya sektor i berada dalam posisi keunggulan kompetitif serta daerah j berspesialisasi dalam sektor i tersebut (kuadran 4). Di Kabupaten Aceh Tengah pada awal periode terlihat satu sektor yang berada dalam tipe ini, yaitu sektor pertanian. Pada akhir
periode observasi sektor-sektor tersebut tetap berada dalam posisi keunggulan kompetitif.
Analisis Shift Share Esteban Marquilas Kabupaten Bener Meriah Perubahan struktur ekonomi Kabupaten Bener Meriah yang dibandingkan dengan Provinsi Aceh dianalisis dengan menggunakan metode shift-share E-M. Hasil analisis shihft-share EM terhadap perubahan struktur ekonomi Kabupaten Bener Meriah selama kurun waktu 2003-2009 disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Hasil Analisis Shift Share E-M Perubahan Pengaruh Alokasi Sektor Ekonomi Kabupaten Bener Meriah Dibandingkan dengan Sektor Ekonomi Provinsi Aceh KUADRAN
KOMPONEN LAPANGAN USAHA
1. Pertanian 2. Pertambangan dan Penggalian 3. Industri Pengolahan 4. Listrik, Gas dan Air Bersih 5. Bangunan 6. Perdagangan, Hotel dan Restoran 7. Angkutan dan Komunikasi 8. Keuangan, Persewaan dan Jasa Perusahaan 9. Jasa-Jasa
Pengaruh Alokasi
Spesialisasi Tahun Dasar
Keunggulan Kompetitif
(Aij)
(Qij - hQij)
rij - rin
Spesialisasi Tahun Terminal (Q*ij - hQ*ij)
+ + + -
+ + + -
+ + + + +
+ + + -
2003
2009
1 2 3 1 4 3 2 3 3
1 2 3 1 4 3 2 3 3
Sumber: BPS, 2011 (diolah)
Berdasarkan Tabel 3 di atas dapat dideskripsikan perubahan pengaruh alokasi dari sektor-sektor ekonomi dalam pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bener Meriah selama tahun 2003 dan 2009. Jika Aij<0 diikuti oleh (rij-rin)<0 dan (Qij-hQij)>0, berarti sektor i di daerah j berada dalam posisi ketidakunggulan kompetitif, namun daerah j berspesialisasi pada sektor tersebut (kuadran 1). Hasil analiis pengaruh alokasi di Kabupaten Bener Meriah menunjukkan bahwa pada awal periode terdapat dua sektor berada dalam tipe ini yaitu; sektor pertanian, sektor listrik, gas dan air bersih. Sampai dengan akhir periode kedua sektor tersebut masih tetap bertahan berada dalam tipe ini. Selanjutnya, jika Aij>0 diikuti oleh rij-rin<0 dan Qij-hQij<0, berarti sektor i berada dalam posisi ketidakunggulan kompetitif dan daerah j tidak berspesialisasi pada sektor i tersebut (kuadran 2). Dalam hal ini pengaruh alokasi bertanda positif menunjukkan daerah j sudah lebih rasionil, karena tidak berspesialisasi pada ISSN: 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
sektor yang tidak unggul. Bila sektor-selaor serupa ini lebih dominan didaerah j, maka daerah j cenderung kurang berkembang, walaupun Aij>0. Di Kabupaten Bener Meriah pada awal periode terlihat dua sektor yang berada dalam tipe ini yaitu sektor pertambangan dan penggalian dan sektor angkutan dan komunikasi, dan sampai dengan akhir periode observasi sektor tersebut masih belum menunjukkan perubahannya. Jika Aij<0 diikuti oleh (rij-rin)>0 dan (QijhQi)<0. Ini menunjukkan bahwa pengaruh alokasi kurang menguntungkan,karena daerah j belum berspesialisasi pada sektor i, artinya sektor i di daerah j belum berkembang secara lebih meluas, walaupun sektor i berada dalam posisi keunggulan kompetitif (kuadran 3). Di Kabupaten Bener Meriah pada awal periode terlihat satu sektor berada dalam tipe ini yaitu: sektor industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan restoran, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan dan
40 | Khairul Aswadi
sektor jasa-jasa. Pada akhir periode keempat sektpr tersebut masih tetap bertahan dalam tipe ini. Jika Aij>0 diikuti oleh rij-rin>0 dan QijhQij>0, artinya sektor i berada dalam posisi keunggulan kompetitif serta daerah j berspesialisasi dalam sektor i tersebut. Di Kabupaten Bener Meriah pada awal periode terdapat satu sektor yang berada dalam tipe ini, yaitu sektor bangunan. Pada akhir periode observasi sektor tersebut masih tetap berada dalam posisi keunggulan kompetitif.
REFERENSI Ahmad, Djakfar. 2001. Pergeseran Posisi Kompetitif dan Spesialisasi dalam Perubahan Struktur Produksi Regional Aceh. Mon Mata, No.43 h.13-26. Arsyad,
Lincolin. 2002. Pengantar Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah. Edisi 2, Yogyakarta: BPFE.
Boediono. 1992. Teori Pertumbuhan Ekonomi. Edisi 1. Yogyakarta: BPFE KESIMPULAN
Koefisien Indeks Williamson di Kabupaten Aceh Tengah dan Kabupaten Bener Meriah baik yang dibandingkan dengan Provinsi Aceh maupun yang dibandingkan dengan Kabupaten Induk menunjukkan ketimpangan yang rendah. Hal ini menunjukkan bahwa distribusi pendapatan di dua Kabupaten hasil pemekaran dari Kabupaten Aceh Tengah itu merata. Hasil analisis shift share Kabupaten Aceh Tengah yang dibandingkan dengan Provinsi memperlihatkan bahwa pada akhir periode observasi terdapat dua sektor yang yang berspesialisasi dan memiliki keunggulan kompetitif yaitu sektor pertanian dan sektor jasa-jasa. Sedangkan di Kabupaten Bener Meriah hanya sektor bangunan yang berspesialisasi dan memiliki keunggulan kompetitif. Sedangkan hasil analisis shift share Kabupaten Aceh Tengah yang dibandingkan dengan Kabupaten Induk memperlihatkan bahwa pada akhir periode observasi terdapat satu sektor yang berada dalam posisi keunggulan kompetitif tetapi tidak berspesialisasi yaitu sektor pertanian. Sedangkan di Kabupaten Bener Meriah pada akhir periode observasi terdapat tiga sektor yang yang berspesialisasi dan memiliki keunggulan kompetitif yaitu sektor industri pengolahan, sektor listrik gas dan air bersih, sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan.
BPS. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Aceh Tengah Tahun 2000-2008. BPS dan Bappeda Kabupaten Aceh Tengah. BPS. 2010. Produk Domestik Regional Bruto Kabupaten Bener Meriah Tahun 2000-2008. BPS dan Bappeda Kabupaten Bener Meriah. Sjafrizal. 2008. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Jakarta: Baduose Madia. Sjafrizal. 2009. Teknik Praktis Penyusunan Perencanaan Pemerintah Daerah. Jakarta: Baduose Madia. Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat. Prisma, III (3):35-36. Tarigan, Robinson. 2005. Ekonomi Regional: Teori dan Aplikasi. Edisi revisi. Jakarta: Bumi Aksara. Todaro, M.P. 2006. Pembangunan Ekonomi. Edisi Kesembilan. Jakarta: Penerbit Erlangga. Tambunan, Tulus T.H . 2001. Perekonomian Indonesia: Teori dan Temuan Empiris. Jakarta: Penerbit Ghalia Indonesia.
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Jurnal Serambi Ekonomi & Bisnis│Vol.1 No.1 (2014) 41 – 46
ISSN 2354-970X
PENGARUH KOMPENSASI TERHADAP KINERJA KARYAWAN PADA PT. PERTAMINA (PERSERO) UNIT PEMASARAN I CABANG BANDA ACEH Badaruddin Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serambi Mekkah
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kompensasi terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh baik secara parsial dan simultan. Responden penelitian sebanyak 54 orang karyawan instansi tersebut yang diambil dengan menggunakan metode sensus. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dan selanjutnya data dianalisis dengan menggunakan peralatan statistik regresi linier berganda. Penelitian menemukan bahwa kompensasi finansial dan kompensasi non finansial berpengaruh positif terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh. Semakin baik kompensasi finansial dan kompensasi non finansial semakin tinggi pula kinerja kerja karyawan tersebut. Diantara dua variabel independen tersebut, variabel kompensasi non finansial memiliki pengaruh paling dominan terhadap kinerja karyawan, kemudian diikuti oleh variabel kompensasi finansial. Hasil penggujian statistik menunjukkan nilai F hitung > F tabel (18.512>3.183), dan nilai t hitung > t tabel kompensasi finansial sebesar (3.324>2.005) dan kompensai non finansial nilai t hitung>t tabel sebesar (4.502>2.005). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompensasi finansial dan kompensasi non finansial secara simultan maupun parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh. Maka, hipotesis Ha diterima dan sebaliknya hipotesis Ho ditolak. Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah kinerja karyawan pada PT. Pertamina (persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh secara nyata dipengaruhi oleh kompensasi finansial dan kompensasi non finansial. Karena itu, PT. Pertamina (persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh sebaiknya lebih memperhatikan kompensasi yang diberikan kepada karyawan dan kenyamanan lingkungan kerja perlu ditingkatkan lagi agar kinerja karyawan dapat meningkat. Kata Kunci: Kompensasi finansial, kompensasi non finansial, kinerja
PENDAHULUAN
Sumber daya manusia (SDM) merupakan modal utama dalam menunjang keberhasilan organisasi apabila dikelola dengan baik dan pengelolaan tersebut sudah dimulai semenjak mereka akan dibutuhkan, diperkerjakan sampai dengan diberhentikan. Sebagaimana diketahui bahwa Manajemen Sumber Daya Manusia merupakan suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengkoordinasian, pelaksanaan dan pengawasan terhadap pengadaan, pengembangan, pemberian
balas jasa, pengintegrasian, pemeliharaan dan pemisahan tenaga kerja dalam rangka mencapai tujuan organisasi (Mangkunegara, 2005:2). Bekerja pada suatu perusahaan/organisasi dengan memperoleh imbalan juga biasanya didasarkan keyakinan bahwa dengan bekerja pada perusahaan/ organisasi itu seseorang akan dapat memuaskan berbagai kebutuhannya, tidak hanya dibidang material, seperti sandang, pangan, papan dan kebutuhan kebendaan lainnya, akan tetapi juga berbagai kebutuhan lainnya
* Korespondensi Pengarang:
Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Jl. Tengku Imum Lueng Bata, Bathoh, Banda Aceh E-mail:
[email protected]
42 | Badaruddin
yang bersifat sosial, prestise, kebutuhan psikologis dan intelektual (Siagian, 2000). Organisasi pada umumnya percaya bahwa untuk mencapai keunggulan harus mengusahakan kinerja individual yang setinggi-tingginya, karena pada dasarnya kinerja individu mempengaruhi kinerja tim atau kelompok kerja pada akhirnya akan mempengaruhi kinerja organisasi secara keseluruhan. Kinerja menurut Prawirosentono (Purnomo 2008:71) adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi, sesuai dengan wewenangnya dan tanggung jawabnya masing- masing untuk mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara illegal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral etika. Menurut Susanto (2003:7) kinerja diartikan sebagai hasil karya seorang tenaga kerja selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai kemungkinan, misalnya standar, target/sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Kinerja merupakan sistem yang memuat pengelolaan kinerja satuan kerja hingga ke individu dalam suatu organisasi atau institusi. Proses pengelolaan itu dapat diintegrasikan dalam sistem Business Intelligent untuk tujuan menggambarkan penyelarasan beban tugas antar bagian dan menilai kinerja setiap bagian dalam mencapai target yang ditetapkan untuk setiap tahun berjalan (Nitisemito, 2005:4). Terpenuhinya kompensasi yang baik tentu saja akan meningkatkan produktivitas serta kinerja para karyawan. Sedangkan menurut Marihot Tua E.H. (2002) kinerja adalah hasil kerja yang dihasilkan oleh pegawai atau perilaku nyata yang ditampilkan sesuai dengan perannya di organisasi. Kinerja karyawan merupakan suatu hal yang sangat penting dalam usaha organisasi untuk mencapai usahanya. Menurut Handoko (1992), yang dimaksud dengan kompensasi adalah segala sesuatu yang diterima oleh karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka. Kompensasi dapat diberikan dalam berbagai macam bentuk, seperti: dalam bentuk pemberian uang,
pemberian material dan fasilitas dan dalam bentuk pemberian kesempatan berkarir (Singodimedjo, 2000). Menurut Mangkunegara (2005:83) bahwa kompensasi adalah proses administrasi upah atau gaji yang melibatkan pertimbangan atau keseimbangan perhitungan. Kompensasi acap kali juga disebut penghargaan dan dapat didefinisikan sebagai setiap bentuk penghargaan yang diberikan kepada karyawan sebagai balas jasa atas kontribusi yang mereka berikan kepada organisasi (Mutiara S.Panggabean, 2002). Menurut Bejo Siswanto (2003) kmpensasi merupakan istilah luas yang berkaitan dengan imbalan- imbalan finansial yang diterima oleh orang- orang melalui hubungan kepengawaian mereka dengan organisasi. Menurut Dessler (1997) kompensasi karyawan adalah setiap bentuk pembayaran atau imbalan yang diberikan kepada karyawan dan timbul dari dipekerjakannya karyawan itu. Menurut Hani Handoko (1993) kompensasi adalah segala sesuau yang diterima para karyawan sebagai balas jasa untuk kerja mereka. Kinerja karyawan merupakan aspek yang penting dalam manajemen sumber daya manusia. Sedarmayanti (2007:18) menyatakan bahwa kinerja merupakan sistem yang digunakan untuk menilai dan mengetahui apakah seorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya secara keseluruhan atau merupakan perpaduan dari hasil kerja (apa yang harus dicapai seseorang) dan kompetensi (bagaimana seseorang mencapainya). Mangkunegara (2005:67) menyatakan kinerja adalah hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seseorang pengawai dalam kemampuan melaksanakan tugas- tugas sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan oleh atasan kepadanya.Selain itu, kinerja dapat juga diartikan sebagai suatu hasil dan usaha seseorang yang dicapai dengan adanya kemampuan dan perbuatan dalam situasi tertentu. Dari pendapat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kinerja merupakan suatu sikap optimis yang mengharapkan adanya hasil perbandingan antara output dengan input yang lebih baik di masa yang akan datang, sehingga dituntut keterlibatan semua pihak dalam organisasi untuk memanfaatkan tenaga dan sumber daya secara optimal. ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Pengaruh Kompensasi terhadap Kinerja Karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Cabang Banda Aceh | 43
Oleh karena itu, salah satu cara terbaik untuk meningkatkan kapasitas kinerja karyawan adalah dengan menghubungkan kompensasi dengan perkembangan karyawan. Jika program kompensasi dirasakan adil dan kompetitif oleh pengawai, maka kantor atau perusahaan akan lebih mudah untuk menarik pengawai/karyawan yang potensial, mempertahankannya agar lebih meningkatkan kinerjanya, sehingga produktivitas meningkatkan dan kantor/perusahaan mampu menghasilkan produk dengan harga yang kompetitif. Pada akhirnya, kantor/perusahaan bukan hanya unggul dalam persaingan, namun juga mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya, bahkan mampu meningkatkan profitabilitas dan mengembangkan usahanya (Triyono Nugroho, 2009). PT. Pertamina Unit pemasaran 1 Cabang Banda Aceh sebagai sebuah cabang pemasaran perusahaan milik negara yang bergerak dibidang usaha minyak dan gas bumi beserta kegiatan usaha terkait lainnya baik di dalam maupun luar negeri. PT. Pertamina senantiasa berupaya untuk memberikan yang terbaik serta kontribusi nyata bagi kesejahteraan bangsa dan negara dalam memanfaatkan setiap potensi yang dimiliki Indonesia. Dengan inisiatif dalam memanfaaatkan sumber daya dan potensi yang dimiliki untuk mendapatkan sumber energi baru dan disamping bisnis utama yang saat ini dijalankannya, PT. Pertamina bergerak maju dengan mantap untuk mewujudkan visi perusahaan, menjadi perusahaan energi nasional kelas dunia.
likert untuk semua variabel dan untuk satu pilihan nilai (skor) dengan jarak interval. Skor dari pilihan tersebut menggunakan skala model likert yang berisi lima pilihan yaitu seperti dalam Tabel 1: Tabel 1. Skala Pengukuran Alternatif Jawaban Sangat Tidak Puas Tidak Puas Kurang Puas Puas Sangat Puas
Singkatan STP TP KP P SP
Nilai 1 2 3 4 5
Responden diminta untuk memberikan jawaban sampai seberapa puas atau tidak puasnya atas sejumlah pertanyaan yang berhubungan dengan pengaruh kompensasi terhadap kinerja karyawan PT. Pertamina (persero) Unit Pemasaran 1 Cabang Banda Aceh.
Metode Analisis Data Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini akan dianalisis dengan menggunakan alat ukur regresi linear berganda. Secara matematis alat ukur regresi linear berganda diformulasikan sebagai berikut (Gujarati, 2001 :24).
Y=a+b1x1+b2x2+e Keterangan: Y = kinerja a = constant b1 = koefisien regresi kompensasi finansial b2 = koefisien regresi kompensasi non finansial x1 = kompensasi finansial x2 = kompensasi non finansial e = error
METODE PENELITIAN Populasi dan sampel Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh karyawan kantor PT. Pertamina (persero) unit pemasaran 1 Cabang Banda Aceh dengan jumlah keseluruhan populasi sebanyak 54 orang berdasarkan golongan atau pangkat. Karena semua populasi dijadikan sampel maka penelitian ini termasuk sensus.
Untuk mempermudah pengolahan dan analisis, maka dalam penelitian ini digunakan program SPSS. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini merupakan data yang memiliki pengukuran ordinal, sedangkan syarat dalam uji regresi linier adalah data sekurangkurangnya berskala interval, maka untuk keperluan analisis regresi linier data harus dinaikkan skala pengukurannya dari skala ordinal menjadi skala interval.
Skala Pengukuran Variabel dalam penelitian ini diukur dengan model skala interval. Data yang diperoleh melalui kuesioner dalam bentuk kualitatif dikomposisikan terlebih dahulu agar menjadi data yang kuantitatif. Adapun nilai kuantitatif dikomposisikan dengan menggunakan skala ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Analisis Pengaruh Kompensasi Terhadap Kinerja Karyawan Pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh
Untuk melihat kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I
44 | Badaruddin
Cabang Banda Aceh, maka perlu mengetahui pengaruh kompensasi terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda
Aceh. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien regresi masing-masing variabel seperti terlihat dalam bagian output SPSS berikut.
Tabel 2. Nilai Koefisien Regresi Masing-masing Variabel Independen Coefficientsa Unstandardized Standardized Coefficients Coefficients Model B Std. Error Beta 1 (Constant) 9.403 5.592 Kompensasi .366 .110 .359 Finansial Kompensasi Non 1.109 .246 .486 Finansial a. Dependent Variable: Kinerja Karyawan Sumber: Data Primer (Diolah), 2014. Berdasarkan bagian output SPSS di atas maka persamaan regresi yang memperlihatkan kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh sebagai fungsi dari kompensasi finansial dan kompensasi non finansial dapat diformulasikan dalam persamaan berikut: Y = 9.403+ 0.366X1+ 1.109X2 Dari persamaan regresi diatas dapat diketahui bahwa hasil penelitian sebagai berikut :
Koefisien Regrisi (β) Konstanta sebesar 9.403 artinya jika kompensasi finansial (X1) dan kompensasi non finansial (X2) dianggap konstan, maka besarnya kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh adalah sebesar 9.403 pada satuan skala. Koefisien regresi kompensasi finansial (X1) sebesar 0.366, artinya bahwa setiap 100% perubahan dalam variabel kompensasi finansial, maka secara relatif akan mempengaruhi kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh sebesar 36.6% dengan demikian semakin tinggi pengaruh kompensasi finansial akan semakin mempengaruhi kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh.
Collinearity Statistics Toleran ce VIF
t 1.681
Sig. .099
3.324
.002
.975
1.026
4.502
.000
.975
1.026
Koefisien regresi kompensasi non finansial (X2) sebesar 1.109, artinya bahwa setiap 100% perubahan dalam variabel kompensasi non finasial, maka secara relatif akan mempengaruhi kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh sebesar 110,9% dengan demikian semakin tinggi pengaruh kompensasi non finansial akan semakin mempengaruhi kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh Berdasarkan hasil analisis diatas dapat diketahui bahwa dari kedua variabel yang diteliti, ternyata variabel kompensasi non finansial (X2) mempunyai pengaruh dominan terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh, dengan nilai koefisien sebesar 1.109, kemudian diikuti oleh variabel kompensasi finansial (X1) dengan nilai koefisien sebesar 0.366. Koefisien Korelasi dan Determinasi Untuk melihat hubungan dan pengaruh dari variabel bebas terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh berdasarkan korelasi dan determinasi dapat dilihat pada tabel berikut ini:
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Pengaruh Kompensasi terhadap Kinerja Karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Cabang Banda Aceh | 45
Tabel 3. Nilai Koefisien Korelasi (R) dan Nilai Koefisien Determinasi (R2) Model Summaryb Std. Error Change Statistics R Adjusted of the R Square F Model R Square R Square Estimate Change Change df1 df2 1 .649a .421 .398 1.883 .421 18.512 2 51 a. Predictors: (Constant), Kompensasi Non Finansial, Kompensasi Finansial b. Dependent Variable: Kinerja Karyawan Sumber: Data Primer (Diolah), 2014.
Koefisien korelasi (r) sebesar 0.649 yang menunjukkan bahwa derajat hubungan (korelasi) antara variabel bebas dengan variabel terikat sebesar 64.9%, artinya kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh mempunyai hubungan yang cukup erat dan positif dengan kompensasi finansial (X1) dan kompensasi non finansial (X2). Korelasi determinasi (r2) sebesar 0.421, artinya sebesar 42.1% perubahanperubahan dalam variabel terikat (kinerja) dapat dijelaskan oleh perubahan-perubahan dalam kompensasi finansial (X1) dan kompensasi non finansial (X2). Sedangkan selebihnya yaitu sebesar 57.9% dijelaskan oleh variabel lain diluar dari pada penelitian ini, artinya kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh masih banyak dipengaruhi oleh faktor lain dari variabel yang diteliti. Pembuktian Hipotesis Hasil pengujian statistik menunjukkan nilai F hitung sebesar 18.512 Nilai F tabel pada tingkat keyakinan 95 persen menunjukkan angka sebesar 3,183. Karena nilai F hitung > F tabel (18.512>3.183) dapat diartikan secara simultan kedua variabel independen
Sig. F DurbinChange Watson .000 1.787
(kompensasi finansial dan kompensasi non finansial) berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh, sehingga hipotesis Ha diterima dan sebaliknya hipotesis Ho ditolak. Selanjutnya untuk menguji signifikansi pengaruh masing-masing variabel independen terhadap kinerja karyawan digunakan statistik uji t. Hasil pengujian statistik menunjukkan nilai t hitung sebesar 3.324 untuk variabel kompensasi financial (X1). Nilai t tabel pada tingkat keyakinan 95 persen menunjukkan angka sebesar 2,005. Karena nilai t hitung> t tabel dapat diartikan secara parsial kompensasi finansial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh Selanjutnya nilai t hitung untuk variabel kompensasi non finansial (X2) menunjukkan angka sebesar 4.502, juga lebih besar bila dibandingkan dengan nilai t tabel pada tingkat keyakinan 95 persen menunjukkan angka sebesar 2,005. Dengan demikian dapat diartikan secara parsial kompensasi non finansial juga berpengaruh signifikan terhadap terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh. Untuk lebih jelasnya mengenai hasil uji F dan uji t sebagai tolok ukur pengujian hipotesis dapat dilihat Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Ringkasan Pengujian Hipotesis Nilai Statistik Bentuk Pengujian F-hitung F-tabel Pengujian secara simultan 18.512 3,183
Keterangan
Pengujian secara parsial t-hitung Kompensasi Finansial 3.324 Kompensasi Non Finansial 4.502 Sumber: Data Primer (Diolah), 2014.
Kompensai Finansial berpengaruh signifikan Kompensasi Non Finasial berpengaruh signifikan
t-tabel 2,005 2,005
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Kedua variabel berpengaruh signifikan (hipotesis Ha diterima, hipotesis Ho ditolak).
46 | Badaruddin
Berdasarkan Tabel 4 di atas jelaslah bahwa baik secara simultan maupun secara parsial kompensasi finansial dan Kompensasi non finansial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (Persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh. Hal ini berarti bahwa kompensasi finansial dan kompensasi non finansial, secara nyata dapat meningkatkan kinerja Karyawan tersebut.
dan kompensasi non finansial secara simultan maupun parsial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh. Dengan demikian hipotesis Ha diterima dan sebaliknya hipotesis Ho ditolak.
REFERENSI KESIMPULAN
Kompensasi finansial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh. Hal ini berarti bahwa untuk meningkatkan kinerja karyawan dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan pemberian kompensasi finansialnya. Kompensasi non finansial berpengaruh signifikan terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh. Hal ini berarti bahwa untuk meningkatkan kinerja karyawan dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan kompensasi non finansial karena dapat meningkatkan kinerja karyawan pada PT. Pertamina (persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh . Kompensasi finansial dan Kompensasi non finansial berpengaruh signifikan terhadap terhadap kinerja karyawan pada PT. Pertamina (persero) Unit Pemasaran I Cabang Banda Aceh. Semakin baik kompensasi finansial dan kompensasi non finansial karyawan semakin tinggi pula kinerja karyawan tersebut. Diantara dua variabel independen tersebut, variabel kompensasi non finansial memiliki pengaruh paling dominan terhadap kinerja karyawan, kemudian diikuti oleh variabel kompensasi finansial. Hasil penggujian statistik menunjukkan nilai F hitung > F tabel (18.512>3.183), dan nilai t hitung > t tabel kompensasi finansial sebesar (3.324>2.005) dan kompensai non finansial nilai t hitung>t tabel sebesar (4.502>2.005). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kompensasi finansial
Dessler, Gary. 1997. Manajemen Sumber Daya Manusia Edisi Bahasa Indonesia Jilid 2. Jakarta: Prenhallindo. Handoko, Hani. 2002. Manajemen personalia dan Sumber Daya Manusia. Jogyakarta: BFPE. Mangkuprawira. 2004. Manajemen Sumber 77 Refika Daya Manusia. Bandung: Aditama. Mangkunegara Anwar Prabu. 2005. Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung : PT Remaja Rosda karya. Nitisemito, Alek.S. personalia. Indonesia.
2005. Manajemen Jakarta: Ghalia
Panggabean, Mutiara S. 2002. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia. Prawirosentono. 2008. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Penerbit Bumi Aksara. Sedarmayanti. 2007. Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Bandung: Mandar Maju. Singodimedjo, Markum. 2000. Manajemen Sumber Daya Manusia. Surabaya: SMMAS. Siagian, Sondang P. 2006. Manajemen Sumber Daya Manusia. Ed.1. Cet.13. Jakarta: Jakarta. __________. 2000. Audit manajemen. Jakarta: Bumi Aksara.
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Jurnal Serambi Ekonomi & Bisnis│Vol. 1 No. 1 (2014): 47 – 51
ISSN 2354-970X
ANALISIS TINGKAT PENDAPATAN PETANI KAKAO DI KECAMATAN PEUSANGAN SELATAN KABUPATEN BIREUEN Anwar Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Serambi Mekkah
Abstrak Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui tingkat pendapatan rata-rata setiap bulan dan kendala yang dialami oleh petani kakao di Kecamatan Peusangan Selatan Kabupaten Bireuen. Penelitian ini dilakukan melalui pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode penelitian survei. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani kakao di Kecamatan Peusangan Selatan kabupaten Bireuen yang berjumlah 215 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan simple random sampling, dimana prosedur pengambilan sampel secara acak sederhana. Jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 34 orang petani kakao di Kecamatan Peusangan Selatan kabupaten Bireuen. Analisis data menggunakan rumus rata-rata dan persentase. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tingkat pendapatan bersih rata-rata petani kakao per bulan adalah Rp.1.245.000,per hektar luas lahan yang cenderung dipengaruhi oleh harga jual per kilo di pasaran. Sedangkan yang menjadi kendala para petani kakao antara lain: gagal panen, harga pupuk yang cenderung mahal, tingginya biaya produksi dan operasional buruh tani dalam masa panen, hama dan penyakit tanaman kakao yang menyebabkan tanaman kakao tidak mau berbuah. Kata Kunci: Pendapatan petani, tanaman kakao, peusangan selatan PENDAHULUAN Tanaman kakao (coklat) berasal dari hutanhutan tropis di Amerika Tengah dan Amerika Selatan bagian utara. Kenyataannya, para ahli botani berpendapat bahwa pohon kakao atau coklat (Theobroma cacao) sudah tumbuh di daerah Amazon dan lembah Orinoko sejak ribuan tahun yang lalu. Penduduk yang pertama kali mengolah coklat dan mengusahakannya sebagai bahan makanan atau minuman adalah suku Indian Maya dan suku Astek (Aztec) yang hidup di wilayah Amerika Tengah. Mereka memanfaatkan kakao sebelum orang-orang kulit putih di bawah pimpinan Christopher Colombus menemukan Amerika. Kedatangan suku Astek dari utara kemudian menaklukkan suku Maya dan menguasai kebun-kebun kakao milik suku Maya. Mereka mulai belajar menanam serta mengolah kakao menjadi makanan dan minuman cokelat. (Azwar, 2008) Tanaman kakao di Indonesia pertama kali dibudidayakan pada tahun 1921 dan
berkembang pesat di daerah-daerah pulau Jawa. Dewasa ini tanaman kakao sudah menyebar ke seluruh wilayah Indonesia. Hal ini dikarenakan semakin meningkatnya kebutuhan terhadap tanaman jenis tersebut, baik untuk konsumsi dalam negeri maupun ekspor luar negeri. Kakao merupakan salah satu komoditi unggulan pertanian Indonesia. Kakao berperan dalam pembangunan perekonomian Indonesia dengan nilai devisa sebesar US$ 574 juta pada tahun 2004. Pendapatan nasional tidak hanya ditingkatkan melalui komoditinya. Penyerapan tenaga kerja sekitar 800.000 kepala keluarga pada tahun 2004 (Herman, Wahyudi, 2006). Kakao merupakan salah satu komoditi yang mempunyai prospek yang cukup cerah untuk menambah pendapatan para petani kakao di Indonesia. Demikian juga dengan para petani di kecamatan Peusangan Selatan kabupaten Bireuen. Dengan tingginya pendapatan dari hasil panen kakao, dapat meningkatkan motivasi tersendiri bagi petani untuk lebih
* Korespondensi Pengarang: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Serambi Mekkah Jl. Tengku Imum Lueng Bata, Bathoh, Banda Aceh E-mail:
[email protected]
48 | Anwar
mengembangkan dan meningkatkan produksinya dengan harapan agar pada saat panen, memperoleh hasil penjualan tinggi guna memenuhi kebutuhannya. Dumairy (1999:56) menambahkan bahwa, “pendapatan adalah jumlah balas jasa yang diterima oleh faktorfaktor produksi yang turut serta dalam proses produksi meliputi upah (gaji), sewa tanah, bunga dan keuntungan. Disamping itu, Simangunsong (2004:6) mengemukakan bahwa, “pendapatan adalah bertambahnya aktiva perusahaan atau uang tunai, piutang, kekayaan lain yang berasal dari penjualan barang atau jasa yang mengakibatkan modal bertambah”. Menurut Basu Swastha (1990:86), pendapatan adalah semua penghasilan yang diterima oleh setiap individu atau orang dalam kegiatan perekonomian pada suatu periode tertentu. Setiap orang dalam melakukan aktivitas ekonomi termasuk dalam hal ini petani kakao selalu mengharapkan hasil yang maksimal. Kemudian pendapatan yang diperoleh seseorang sangat dipengaruhi oleh faktorfaktor produksi yang dimiliki seperti jumlah modal, luas areal, tingkat kecakapan yang dimiliki. Berkaitan dengan hal tersebut menurut Komarudin (1990:25), pendapatan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain: besar kecilnya usaha, kuantitas dan kualitas produksi, modal yang digunakan dan tingkat pengetahuan masyarakat. Selain dari pada itu, Sueharjo (2005:69), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi pendapatan seseorang yaitu: luas lahan, biaya produksi dan tenaga kerja. Dengan demikian, tingkat pendapatan petani secara umum dipengaruhi oleh beberapa komponen yaitu: jumlah produksi, harga jual, dan biaya-biaya yang dikeluarkan petani dalam pertaniannya. Setiap petani tanaman kakao mengharapkan hasil panen yang menguntungkan untuk memenuhi kebutuhan hidup baik untuk dirinya maupun untuk keluarganya. Namun, seringkali pada kenyataannya ketika panen, harga mendadak turun, dan diperparah lagi dengan hasil produksi yang tidak sesuai dengan yang telah direncanakan oleh petani akibat dari berbagai macam masalah diantaranya yaitu timbulnya berbagai macam penyakit/hama tanaman kakao.
Untuk memperoleh pendapatan yang memuaskan, petani dituntut agar cermat dalam mempelajari perkembangan harga sebagai solusi dalam menentukan pilihan, apakah ia memutuskan untuk menjual atau menahan hasil produksinya. Namun bagi petani kakao di kecamatan Peusangan Selatan kabupaten Bireuen yang secara umumnya menggantungkan hidupnya dari bertani, mereka senantiasa tidak memiliki kemampuan untuk menahan hasil panen kecuali sekedar untuk konsumsi sehari-hari dan membayar biaya produksi yang telah dikeluarkan. Namun kondisi pendapatan nominal yang dapat diperoleh petani coklat setiap bulan tidak diketahui secara pasti karena sepanjang pengetahuan peneliti belum ada yang meneliti. Padahal gambaran umum tentang tingkat pendapatan suatu masyarakat sangat penting untuk diketahui karena tingkat pendapatan tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu tolok ukur untuk menentukan tingkat kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pendapatan rata-rata setiap bulan dan kendala-kendala yang dihadapi petani kakao di kecamatan Peusangan Selatan kabupaten Bireuen. METODE PENELITIAN Populasi dan Sampel Populasi adalah keseluruhan subjek yang akan diteliti. Yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh petani kakao di kecamatan Peusangan Selatan kabupaten Bireuen yang berjumlah 215 orang. Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah menggunakan simple random sampling, dimana prosedur pengambilan sampel adalah secara acak sederhana. Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 15% dari jumlah keseluruhan 215 orang petani kakao di wilayah kecamatan Peusangan Selatan kabupaten Bireuen yang memiliki lahan perkebunan masyarakat dengan status milik sendiri. Dengan demikian jumlah sampel dalam penelitian ini yaitu sebanyak 34 orang yang terdiri dari 3 desa dengan perincian; desa Darul Aman sebanyak 12 orang, Desa Tanjong
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Analisis Tingkat Pendapatan Petani Kakao di Kecamatan Peusangan Selatan Kabupaten Bireuen | 49
Beuridi sebanyak 12 orang dan Desa Blang Mane sebanyak 10 orang petani kakao. Teknik Analisis Data Untuk menganalisis pendapatan rata-rata setiap petani kakao secara perorangan di wilayah kecamatan Peusangan Selatan kabupaten Bireuen, dihitung menggunakan rumus ratarata: (Sudjana, 2002:54)
x
=
∑x
i
n
Keterangan: x = Pendapatan rata-rata petani setiap bulan xi = Pendapatan petani yang diamati untuk bulan tertentu n = Jumlah bulan pengamatan
HASIL DAN PEMBAHASAN Berikut ini adalah data pendapatan rata-rata petani kakao yang dapat diamati pada Tabel 1.
Tabel 1. Pendapatan Rata-rata Petani Kakao per Bulan Pendapatan Kotor Ratarata per Bulan per Ha Nama Desa No. Luas Lahan (Rupiah) 1. 1.700.000,2. 1.555.000,3. 1.900.000,4. 1.650.000,5. 1.300.000,6. 1.350.000,Darul Aman 7. 1.725.000,8. 1.425.000,9. 1.575.000,10. 2.000.000,11. 1.925.000,12. 1.400.000,1. 2.000.000,2. 1.900.000,3. 2.000.000,4. 1.500.000,5. 1.750.000,6. 2.000.000,Tanjung Beuridi 7. 2.000.000,8. 1.600.000,9. 1.600.000,10. 1.700.000,11. 1.575.000,12. 2.000.000,1. 1.800.000,2. 1.950.000,3. 2.500.000,4. 1.800.000,5. 1.900.000,Blang Mane 6. 2.000.000,7. 1.500.000,8. 1.500.000,9. 2.200.000,10. 2.000.000,Jumlah 60.280.000,Rata-rata 1.772.941,Sumber: Data Hasil Penelitian, Tahun 2012
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Biaya Operasional Rata-rata per Bulan per Ha Luas Lahan (Rupiah) 500.000,600.000,500.000,500.000,600.000,500.000,500.000,500.000,600.000,500.000,500.000,550.000,600.000,500.000,600.000,500.000,500.000,500.000,600.000,500.000,500.000,500.000,600.000,500.000,600.000,500.000,500.000,500.000,600.000,500.000,500.000,500.000,500.000,500.000,17.950.000,527.941,-
Pendapatan Bersih Rata-rata per Bulan per Ha Luas Lahan (Rupiah) 1.200.000,955.000,1.400.000,1.150.000,700.000,850.000,1.225.000,925.000,975.000,1.500.000,1.425.000,850.000,1.400.000,1.400.000,1.400.000,1.000.000,1.250.000,1.500.000,1.400.000,1.100.000,1.100.000,1.200.000,975.000,1.500.000,1.200.000,1.450.000,2.000.000,1.300.000,1.300.000,1.500.000,1.000.000,1.000.000,1.700.000,1.500.000,42.330.000,1.245.000,-
50 | Anwar
Secara grafik (bar-graphic) pendapatan ratarata para petani untuk masing-masing wilayah desa yang menjadi sampel penelitian dapat diperlihat sebagai berikut. 2,500,000
2,000,000 Pendapatan Kotor 1,500,000
1,000,000
Biaya Operasiona l
500,000
Pendapatan Bersih
0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Gambar 1. Pendapatan Rata-rata Petani di Desa Darul Aman
mahal, tingginya biaya produksi dan operasional buruh tani dalam masa panen, hama dan penyakit tanaman kakao yang menyebabkan tanaman kakao tidak mau berbuah. Dari hasil survei dan observasi lapangan diketahui bahwa sejauh ini peran pemerintah dan dinas pertanian (dinas terkait) cenderung sudah optimal terutama untuk mengatasi permasalahan-permasalahan para petani melalui bimbingan dan penyuluhan pertanian. Akan tetapi peran pemerintah dari aspek penyediaan pupuk murah di pasaran dan penentuan stabilitas harga jual kakao di pasaran masih belum maksimal.
2,500,000
KESIMPULAN
2,000,000 Pendapatan Kotor
1,500,000
Biaya Operasional
1,000,000
Pendapatan Bersih
500,000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12
Gambar 2. Pendapatan Rata-rata Petani di Desa Tanjung Beuridi
Tingkat pendapatan bersih rata-rata petani kakao per bulan di wilayah kecamatan Peusangan Selatan kabupaten Bireuen yang dijadikan sampel adalah Rp.1.245.000,- per hektar luas lahan. Penghasilan para petani kakao tersebut cenderung sangat dipengaruhi oleh faktor harga jual per kilo di pasaran yang berkisar antara Rp.10.000,- (harga terendah) sampai Rp.16.000,- (harga tertinggi).
3,000,000 2,500,000 Pendapatan Kotor
2,000,000 1,500,000
Biaya Operasional
1,000,000 Pendapatan Bersih
500,000 0 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Gambar 3. Pendapatan Rata-rata Petani di Desa Blang Mane
Jadi, dapat disimpulkan bahwa rata-rata pendapatan bersih sejumlah petani kakao per bulan yang dijadikan sampel di wilayah penelitian adalah Rp.1.245.000,- per hektar luas lahan. Penghasilan para petani kakao tersebut cenderung sangat dipengaruhi oleh faktor harga jual per kilo di pasaran yang berkisar antara Rp.10.000,- (harga terendah) sampai Rp.16.000,- (harga tertinggi). Disamping itu, banyak faktor-faktor lainnya yang menjadi kendala para petani dalam memperoleh penghasilan per bulannya antara lain: gagal panen, harga pupuk yang cenderung
Faktor-faktor yang menjadi kendala para petani kakao di wilayah kecamatan Peusangan Selatan kabupaten Bireuen dalam memperoleh penghasilan per bulannya antara lain: gagal panen, harga pupuk yang cenderung mahal, tingginya biaya produksi dan operasional buruh tani dalam masa panen, hama dan penyakit tanaman kakao yang menyebabkan tanaman kakao tidak mau berbuah. Bimbingan dan penyuluhan yang menjadi program Dinas Pertanian secara rutin agar dapat lebih dimaksimalkan, terutama untuk menjawab kendala-kendala yang dialami oleh petani kakao di wilayah Kecamatan Peusangan Selatan Kabupaten Bireuen.
REFERENSI Azwar, Hasan. 2008. Sejarah Tanaman Kakao di Indonesia. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Swastha, Basu & Irwan. 2000. Manajemen Pemasaran Modern. Liberty: Yogyakarta. ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Analisis Tingkat Pendapatan Petani Kakao di Kecamatan Peusangan Selatan Kabupaten Bireuen | 51
Dumairy. 1999. Statistik Ekonomi. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Herman, Wahyudi. 2006. Teori Pendapatan Petani Indonesia. Yogyakarta: Rineka Cipta. Simangunsong, M.P. 2004. Ekonomi Makro. Jakarta: Gramedia. Sudjana, Nana dkk. 2002. Media Pengajaran. Bandung: Sinar Baru Algensindo. Soekarwati, 2003. Teori Ekonomi Produksi. Jakarta: Rajawali Press. ________. 2006. Analisis Usaha Tani. Jakarta: UI Press. Supriyono. 2002. Ilmu Ekonomi Perusahaan. Yogyakarta: Kanisius. Swastha, Basu. 1984. Economic Growth in Developing Country. Jakarta: Gramedia.
ISSN 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Jurnal Serambi Ekonomi & Bisnis│Vol. 1 No. 1 (2014): 52 – 58
ISSN 2354-970X
ANALISIS DERAJAT DESENTRALISASI FISKAL, ELASTISITAS, EFISIENSI, DAN EFEKTIFITAS PENDAPATAN ASLI DAERAH ACEH Marlina Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Serambi Mekkah
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui elastisitas PAD terhadap PDRB, efisiensi dan efektifitas PAD, dan derajat Desentralisasi fiskal di Aceh. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data sekunder periode 2000 sampai 2010 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik. Penelitian ini menggunakan model regresi linier untuk menghitung elastisitas PAD terhadap PDRB Aceh dan formula yang telah distandarkan digunakan untuk menghitung nilai efisiensi, efektifitas, dan derajat Desentralisasi fiskal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahan PAD tidak elastis terhadap perolehan PDRB Aceh. Nilai efektifitas PAD rata-rata sebesar 106,71 persen dan tergolong sangat efektif. Nilai efisiensi rata-rata sebesar 9,34 dan tergolong sangat tidak efisien. Derajat desentralisasi fiskal Pemerintah Aceh selalu berada dalam kategori sangat kurang. Pemerintah Aceh diharapkan mampu meningkatkan efisiensi dan mempertahankan efektifitas pencapaian PAD setiap tahunnya. Kata Kunci: Efisiensi, efektifitas, elastisitas, desentralisasi fiskal
PENDAHULUAN Daerah-daerah di Indonesia mendapat kebebasan dalam menjalankan dan mengelola keuangan daerahnya. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada pemerintah daerah dan pendanaan ini menganut prinsip money flows function yaitu pendanaan mengikuti fungsi pemerintah yang mengikuti fungsi pemerintah yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masingmasing. Dalam mengimplementasikan otonomi daerah, maka menurut undang-undang tersebut pemerintah pusat akan mengalokasikan sumber penerimaan daerah terdiri atas pendapatan daerah yang bersumber dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan dan pendapatan lain-lain. Kebijakan tersebut diharapkan mampu menciptakan penyelanggaraan yang lebih efektif . Kebutuhan dana untuk melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan secara optimal dapat
diperoleh dari sumber-sumber yang dimiliki. Kebutuhan dana untuk menjalankan tugas dan pemerintahan tersebut dikenal sebagai kebutuhan fiskal (fiscal need). Sedangkan dana yang dapat diperoleh dari sumber-sumber yang dimiliki dan dilimpahkan kepada unit pemerintah dalam pengertian akademis disebut sebagai kapasitas fiskal (fiscal capacity). Jika dibandingkan kapasitas fiskal dengan kebutuhan fiskal disebut sebagai posisi fiskal (fiscal position). Unit pemerintahan akan dapat menjalankan tugas dan fungsinya jika posisi fiskalnya lebih besar dari satu (> 1). Artinya haruslah tersedia penerimaan yang lebih besar atau paling sedikit sama dengan jumlah pengeluaran yang akan diperlukan untuk membayar belanja rutin dan pembangunan. Dalam sejarah pemerintahan daerah di Indonesia sejak kemerdekaan sampai sekarang, posisi fiskal daerah provinsi dan kabupaten/kota secara rata-rata tidak lebih dari 20 persen, ini berarti daerah-daerah di Indonesia belum mampu memenuhi 20 persen pengeluarannya melalui pendapatan asli daerah (PAD). Hal ini terjadi karena sumber-sumber yang dimiliki dan dilimpahkan kepada
* Korespondensi Pengarang: Program Studi Pendidikan Ekonomi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Serambi Mekkah Jl. Tengku Imum Lueng Bata, Bathoh, Banda Aceh E-mail:
[email protected]
Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal, Elastisitas, Efisiensi, dan Efektifitas Pendapatan Asli Daerah Aceh | 53
pemerintah daerah oleh pemerintah pusat kapasitasnya sangat kecil. Baik kerena jenis sumber yang dilimpahkan jumlahnya terbatas maupun karena potensi masing-masing jenisnya yang relatif kecil. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa otonomi daerah belum sepenuhnya berhasil meningkatkan efektifitas, efisiensi, dan elastisitas daerah.
dikatakan sangat boros dalam hal pengeluaran belanja pegawai. PAD yang diperoleh sangat rendah jika dibandingkan pengeluaran bagi aparatur dalam upaya perolehan PAD. PAD yang dihasilkan dari pengeluaran aparatur sangat tidak seimbang. PAD yang dihasilkan tidak lebih kecil dibandingkan belanja aparatur.
Efektiftas PAD dapat diukur dengan melihat realisasi pencapaian PAD setiap tahunnya. Realisasi PAD menunjukkan keseriusan daerah dalam menciptakan dan mengelola sumbersumber PAD daerah. Selain melihat efektifitas PAD, suatu daerah yang dikatakan telah mencapai kemandirian juga dapat dilihat dari efisiensi PAD daerahnya. Untuk mengukur efsiensi daerah maka dapat digunakan persentase pengeluaran daerah terhadap nilai realisasi PAD setiap tahunnya.
Berdasarkan latar belakang di atas mengenai kondisi kemandirian keuangan Pemerintah Aceh pasca diberlakukannya otonomi daerah maka penulis tertarik untuk melakukan kajian tentang PAD Aceh dengan judul ”Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal, Elastisitas, Efisiensi, dan Efektifitas Pendapatan Asli Daerah Aceh”.
Dalam menganalisis elastisitas (kepekaan) PAD terhadap PDRB adalah dengan menggunakan konsep koefisien elastisitas yang dapat mendukung perubahan PAD (buoyancy of tax). Dalam hal ini koefisien elastisitas dipengaruhi oleh perubahan PAD dan perubahan PDRB. Elastisitas PAD terhadap PDRB di daerah tersebut merupakan salah satu cara untuk memdeteksi struktur pajak di suatu daerah atau suatu jenis pajak tertentu. Dengan diketahuinya elastisitas PAD dapat diketahui kepekaan perubahan pajak terhadap PDRB. Jika lebih besar atau sama dengan satu berarti tiap perubahan dalam PDRB sebesar satu persenakan mengakibatkan perubahan dalampenerimaan PAD lebih besar dari satu. Ini mengandung arti PAD daerah tersebut elastis, atau struktur pajak daerah tersebut kuat. Provinsi Aceh sebagai salah satu provinsi di Indonesia tidak terlepas dari permasalahan PAD yaitu belum mampu memenuhi 20 persen pengeluaran pemerintah. Pada tahun 2010, pendapatan Pemerintah Aceh sebesar Rp 6.697 miliar yang terbagi ke dalam tiga kelompok yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar Rp 796 miliar, Pendapatan transfer sebesar Rp 6.139 miliar, dan lain-lain pendapatan yang sah sebesar Rp 31 miliar. Pada tahun 2010, efisiensi keuangan pemerintah Aceh dapat dikatakan rendah. Jika dilihat dari ratio pengeluaran belanja pegawai dengan PAD, Pemerintah Aceh dapat
Tujuan penelitian ini adalah sebagai untuk mengetahui elastisitas, efisiensi, efektivitas PAD terhadap PDRB Aceh dan derajat desentralisasi fiskal Aceh.
METODE PENELITIAN Jenis Penelitian Berdasarkan pada tujuan penelitian maka bentuk penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian deskriptif mencoba memaparkan posisi fiskal daerah dan juga kondisi keuangan Aceh. Penelitian kuantitatif dalam studi ini mencoba untuk menghitung kekuatan elastisitas, efisiensi dan efektifitas PAD dalam mendukung otonomi daerah Aceh. Metodologi diuraikan berdasarkan model empiris yang diestimasi dan teknik ekonometrik yang digunakan dalam estimasi. Pengamatan empiris dilakukan dengan menggunakan data time series dari tahun 2000 sampai 2010. Model Analisis Data Dalam menganalisis data sekunder yang telah dikumpulkan akan digunakan model-model sebagai berikut: 1. Elastisitas Koefisien elastisitas PAD terhadap PDRB akan dijadikan salah satu ukuran untuk menentukan struktur PAD di daerah Aceh. Semakin elastis PAD, maka semakin baik struktur PAD di daerah. Perhitungan elastisitas menggunakan teknik regresi sederhana, yang secara matematis dapat ditafsirkan sebagai koefisien elastis dengan formula sebagai berikut: ISSN: 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
54 | Marlina
LnPAD = Lna + b LnPDRB + u Di mana: PAD = PDRB = a = b = u =
Efektivitas Total pendapatan asli daerah PDRB menurut harga berlaku Konstanta Koefisien Elastisitas kesalahan pengganggu (term of error)
2. Efesiensi Untuk melihat upaya mengoptimalkan kombinasi penggunaan input, atau untuk menghasilkan tingkat output tertentu dengan jumlah ongkos yang minimum, atau kemampuan untuk menghasilkan output sebesar mungkin dari jumlah input tertentu. Formula yang digunakan untuk menghitung efisiensi PAD adalah: Efisiensi =
Biaya Pungutan
100
Biaya pengumpulan pajak = biaya untuk memperoleh PAD yang didekati melalui anggaran yang dialokasikan pada pendapatan daerah untuk kegiatan-kegiatan rutin. 3. Rasio Derajat Desentralisasi Fiskal Derajat desentralisasi fiskal atau otonomi fiskal daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan asli daerah guna membiayai pembangunan. Derajat Desentralisasi Fiskal dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: =
100
Dimana: DDF = Derajat Desentralisasi Fiskal PAD = Total Pendapatan Asli Daerah tahun t TPD = Total Pendapatan Daerah tahun t 4. Efektifitas Untuk menganalisis produktifitas dari hasil yang diinginkan, dilihat dari hubungan antara hasil penerimaan PAD dengan anggapan semua kewajiban pajak/retribusi dapat dibayar. Untuk melihat efektifitas dapat digunakan formula sebagai berikut:
ISSN: 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
100
Dimana realisasi = hasil penerimaan PAD maksimal yang mampu dikumpulkan dalam satu tahun anggaran tertentu. Sedangkan target PAD = nilai objek × tarif.
HASIL DAN PEMBAHASAN Efektifitas Pendapatan Asli Daerah Aceh Analisis efektifitas merupakan hubungan antara realisasi penerimaan yang bersumber dari komponen PAD terhadap target penerimaan dari komponen PAD yang digunakan untuk menghitung besarnya penerimaan dari komponen-komponen PAD sesuai dengan target yang ada. Analisis efektivitas keuangan daerah otonom menunjukkan kemampuan pemerintahan daerah dalam merealisasikan pendapatan asli daerah yang direncanakan dibandingkan dengan target yang ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah. Perhitungan PAD Aceh selama tahun 2000 sampai 2010 dapat diperhatikan pada Tabel 1. Berdasarkan Tabel 1 di bawah dapat diketahui bahwa realisasi PAD Aceh berfluktuasi. Pada tahun 2000, realisasi PAD Aceh menunjukkan nilai yang sangat baik yaitu mampu mencapai 113,43 persen, dari target PAD sebesar 28.290 miliar, Pemerintah Aceh mampu merealisasikan PAD sebesar 32,090 miliar. Pada tahun 2001, Pemerintah Aceh mengalami kelemahan dalam mencapai PAD yang telah ditargetkan. Pencapaian realisasi PAD yang hanya mampu mencapai 81,26 persen merupakan pencapaian terendah yang terjadi selama periode 2000-2010. Setelah tahun 2001, realisasi PAD Aceh terus meningkat dan selalu berada pada level pencapaian 100 persen. Pada tahun 2004, target PAD yang ditetapkan sangat tinggi dari tahun sebeblmunya. Pada tahun 2003, Pemerintah menetapkan target PAD sebesar Rp 97.020 dan tahun 2004, target meningkat tinggi menjadi Rp 182.250. target yang tinggi tersebut berhasil direalisasikan sebesar Rp 198.403 atau 108,86 persen.
Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal, Elastisitas, Efisiensi, dan Efektifitas Pendapatan Asli Daerah Aceh | 55
Tabel 1. Efektiftas PAD Aceh Target PAD Tahun (miliar Rupiah) 2000 28.290 2001 39.490 2002 86.490 2003 97.020 2004 182.250 2005 151.476 2006 366.629 2007 563.106 2008 795.708 2009 795.872 2010 795.487 Rata-rata 354.710,73
Realisasi PAD (miliar Rupiah) 32.090 32.090 92.800 105.500 198.403 211.188 473.226 587.487 717.977 724.090 796.949 361072,73
Efektifitas (persen) 113,43 81,26 107,30 108,74 108,86 139,42 129,07 104,33 90,23 90,98 100,18 106,71
Sumber: BPS, Aceh Dalam Angka, 2012 (diolah)
Berdasarkan perhitungan dan nilai rata-rata realisasi yang sebesar 106,71 persen maka dapat dikatakan bahwa efektifitas realisasi PAD di Provinsi Aceh selama periode 20002010 adalah sangat efektif. Hal ini ditungjukkan nilai realiasi PAD yang mampu mencapai angka 100 persen Efisiensi Upaya Perolehan Pendapatan Asli Daerah Aceh Efisiensi anggaran merupakan amanat pemerintah terhadap Pemerintah Daerah, tidak terkecuali Aceh. Efisiensi daerah merupakan wujud dari keseriusan pemerintah daerah dalam mencapai PAD dengan biaya yangs yang proporsional. Pemerintah yang memiliki efisiensi yang tinggi menunjukkan pemerintah bekerja optimal dan maksimal. Perhitungan efisiensi anggaran Pemrintah Aceh dapat dilakukan dengan membagi nilai realisasi PAD dengan total belanja, atau dengan kata lain, efisiensi anggaran adalah persentase PAD terhadap total pengeluaan daerah. Perhitungan efisiensi Pemerintah Aceh dapat diperhatikan pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 di bawah ini dapat diketahui bahwa besar realisasi PAD selama tahun 2000-2010 tidak pernah melampui 20 persen dari pengeluaran Pemerintah Aceh. Pengeluaran pada tahun 2000 yang sebesar Rp 963,360 miliar tidak dibarengi kemampuan Pemerintah untuk menghasilkan PAD yang besar.
Pemerintah Aceh hanya mampu menghasilkan PAD Rp 32,090 miliar atau hanya 3,33 persen dari pengeluaran pemerintah. Persentase PAD tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan pada tahun 2001, bahkan persentase PAD lebih rendah. Pada tahun 2001, PAD hanya 2,82 persen dari pengeluaran Pemerintah Aceh. Efisiensi pada tahun ini menunjukkan nilai yang sangat rendah selama periode 2000-2010. Dari total belanja yang sebesar Rp 1.137 miliar, pemerintah hanya mampu memperoleh PAD sebesar Rp 32,090 miliar. Pada tahun 2002, terdapat kenaikan persentase PAD dari pengeluaran yaitu menjadi 6,70 persen. Persentase terbesar terjadi pada tahun 2006 yaitu sebesar 19,37 persen. Pada tahun tersebut, pengeluaran pemerintah sebesar Rp 2.442 miliar dengan nilai realisasi PAD sebesar Rp 473 miliar. Kondisi efisiensi pada tahun 2006 lebih baik dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum dan sesudahnya teramsuk tahun 2010 yang hanya 10,59 persen. Rata-rata persentase PAD terhadap pengeluaran Pemerintah Aceh selama priode 2000-2010 adalah 9,34. Dari perhitungan diatas dapat disumpulkan bahwa efisiensi Pemerintah Aceh dalam menjalankan kegiatan pemerintah adalah sangat rendah atau dengan kata lain sangat tidak efisien.
ISSN: 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
56 | Marlina
Tabel 2. Pengeluaran, PAD, dan Persentase PAD terhadap Pengeluaran Pemerintah Aceh Pengeluaran APBA PAD Tahun Persentase (miliar Rupiah) (miliar Rupiah) 963,36 32,090 3,33 2000 1.137,38 32,090 2,82 2001 1.384,49 92,800 6,70 2002 2.906,07 105,500 3,63 2003 1.610,54 198,403 12,32 2004 2.173,12 211,188 9,72 2005 2.442,72 473,226 19,37 2006 4.823,77 587,487 12,18 2007 5.715,62 717,977 12,56 2008 7.642,81 724,090 9,47 2009 7.528,52 796,949 10,59 2010 3.484,40 361,070 9,34 Rata-rata Sumber: BPS, 2012 (diolah) Derajat Desentralisasi Fiskal Aceh Derajat desentralisasi merupakan ukuran keberhasilan pemerintah daerah dalam memenuhi kebutuhan pembangunan daerah. Pengukuran derajat desentralisasi menjadi hal yang penting untuk melihat keberhasilan program desentralisasi pemerintah Indonesia yang diberikan ke pada pemerintah daerah. Nilai derajat desentralisasi fiskal di Aceh selama tahun 2000 samapi 2010 sangat fluktuasi. Setelah diberlakukannya
desentralisasi fiskal pada tahun 2001, nilai derajat desentralisasi fiskal Indonesia belum pernah menunjukkan angka 2 digit. Hal ini membuktikan bahwa Aceh belum mampu memberikan kontribusi yang besar terhadap upaya pemenuhan kebutuhan daerah dengan upaya pemerintah Aceh sendiri. Untuk lebih jelas mengenai perubahan derajat desentralisasi fiskal dapat diperhatikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Kontribusi PAD terhadap Penerimaan Aceh Pendapatan Tahun (juta) 2000 269.180 2001 515.722 2002 1.533.687 2003 2.061.070 2004 2.257.960 2005 4.322.510 2006 5.891.260 2007 6.434.360 2008 10.041.180 2009 11.162.810 2010 10.374.036 Rata-rata 4.987.615
PAD (juta) 32.090 32.090 92.800 105.500 198.403 211.188 473.226 587.487 717.977 724.090 796.949
Derajat Kontribusi 11,92 6,22 6,05 5,12 8,79 4,89 8,03 9,13 7,15 6,49 7,68
361.072
7,41
Sumber: BPS, 2012 (data diolah)
Pendapatan pemerintah Aceh selama tahun 2000 sampai 2010 terus mengalami peningkatan. Peningkatan terjadi diketiga komponen besar pembentuk pendapatan daerah yaitu PAD, dana bagi hasil, dan ISSN: 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
pendapatan sah lainnya. Pada tahun-tahun tertentu, pendapatan pemerintah Aceh juga diperoleh melalui sisa dana pada tahun sebelumnya. Selama periode 2001-2010, derajat desentralisasi terbesar terjadi pada
Analisis Derajat Desentralisasi Fiskal, Elastisitas, Efisiensi, dan Efektifitas Pendapatan Asli Daerah Aceh | 57
tahun 2006 yaitu mencapai 9,13 persen. Peningkatan pendapatan pada tahun 2006 dari tahunn 2007 yang lebih dari 100 persen (dari Rp 211.118 juta menjadi Rp 473.226 juta) menaikan nilai derajat desentralisasi fiskal. Walaupun pada tahun 2009 Aceh mencapai derajat desentralisasi tertinggi, nilai ini masih dalam kategori sangat kurang. Nilai terendah terjadi pada tahun 2005 yang mana nilai derajat desentralisasi hanya mencapai 4,89 persen. Kondisi ini disebabkan terganggunya tata kelola pemerintahan akibat terjadinya bencana tsunami di akhir tahun 2004 yang telah menggangu pemerintahan termasuk penerimaan-penerimaan daerah.
Elastisitas Pendapatan Asli Daerah Aceh Koefisien elastisitas PAD terhadap PDRB akan dijadikan salah satu ukuran untuk menentukan struktur PAD di daerah Aceh. Semakin elastis PAD, maka semakin baik struktur PAD di daerah. Perhitungan elastisitas menggunakan teknik regresi sederhana dalam bentuk ln dengan bilangan pokok e, yang secara matematis dapat ditafsirkan sebagai koefisien elastis dengan formula sebagai berikut: Ln PDRB = Ln a + b Ln PAD + u Hasil uji dengan SPSS ditunjukkan pada tabel di bawah ini:
Tabel 4. Hasil Uji Elastisitas PDRB terhadap PAD Aceh Model
Unstandardized Coefficients
B 1 (Constant) 9,673 LnPAD 0,343 a. Dependent Variable: LnPDRB
Std. Error 0,276 0,024
Hasil uji dapat diintepretasikan bahwa, koefisien PAD (b) sebesar 0,343 memiliki makna bahwa peningkatan PAD sebesar 1 persen dapat menaikan PDRB daerah sebesar 0,343 persen dengan asumsi faktor lain di luar penelitian ini tetap. Hasil uji-t dengan tingkat keyakinan 99 persen (α=0,01) menunjukkan hasil bahwa PAD Aceh mempengaruhi secara signifikann terhadap PDRB Aceh. Nilai diterminasi (R) sebesar 0,978 menunjukkan hasil bahwa PAD mampu menjelaskan perubahan nilai PDRB sebesar 97,8 persen, sedangkan sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar penelitian ini. Dengan kata lain, PDRB Aceh dipengaruhi sebesar 97,8 persen oleh PAD. Koefisien elastisitas PAD terhadap PDRB adalah sebesar 0,343. Hal ini bermakna bahwa PAD tidak elastis terhadap PDRB Provinsi Aceh.
Standardized Coefficients Beta 0,978
t
Sig.
35,103 14,107
0,000 0,000
dikatakan bahwa efisiensi Pemerintah Aceh dalam menjalankan kegiatan pemerintah adalah sangat rendah atau dengan kata lain sangat tidak efisien. Derajat desentralisasi fiskal Pemerintah Aceh selama periode 20012010 selalu berada pada dalam kategori sangat kurang. Hal ini disebabkan nilai PAD tidak pernah melebihi 10 persen dari nilai penerimaan Pemerintah Aceh. Berdasarkan uji regresi linear pengaruh PAD terhadap PDRB maka dapat disimpulkan bahwa nilai PAD tidak elastis terhadap perolehan PDRB Aceh. Koefisien PAD (b) sebesar 0,343 memiliki makna bahwa peningkatan PAD sebesar 1 persen dapat menaikan PDRB daerah sebesar 0,343 persen dengan asumsi faktor lain di luar penelitian ini tetap.
REFERENSI KESIMPULAN Selama periode 2000-2010 nilai rata-rata realisasi PAD sebesar 106,71 persen, oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa efektifitas realisasi PAD di Provinsi Aceh adalah sangat efektif. Rata-rata persentase PAD terhadap pengeluaran Pemerintah Aceh selama priode 2000-2010 adalah 9,34, oleh karenanya dapat
Adi, Priyo Hari. 2006. Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Kritis. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana. Brodjonegoro, Bambang dan Jorge Martines Vasques. 2002. An Analysis of Indonesia’s Transfer-System: Recent Performance and Future Prospect.
ISSN: 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
58 | Marlina
Working Paper. George State University. Andrew Young School of Policy Studies. Halim,
Abdul. 2004. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah. Edisi Revisi. Jakarta: UPP AMP YKPN.
Kuncoro, Mudrajad. Pembangunan Erlangga.
2004. Otonomi & Daerah. Jakarta:
Badan Pusat Statistik. 2005. Produk Domestik Regional Bruto Aceh 1999-2003. Banda Aceh: BPS dan Bappeda NAD Badan Pusat Statistik. 2005. Aceh dalam Angka. Banda Aceh: BPS dan Bappeda NAD. Saragih, Juli Panglima. 2003. Desentralisasi Fiskal dan Keuangan daerah dalam Otonomi. Jakarta: Ghalia Indonesia. Stine, William. 1994. Is the Local Government Revenue Response to Federal Aid Symmetrical? Evidence From Pennsylvania County Government in an Era of Retrenchment. National Tax Journal. Vol. 47. No. 4. Hal : 799-816 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 34 Tahun 2000, Tentang Perubahan atas Undang-undang RI Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah beserta Penjelasannya. Bandung: Citra Umbara.
ISSN: 2354-970X © JSEB Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
ISSN: 2354-970X
Jurnal Serambi Ekonomi dan Bisnis│ Vol. 1 No. 1 (2014): 59 – 64
PENGARUH PDRB, INFLASI DAN PENGANGGURAN TERHADAP JUMLAH PENDUDUK MISKIN DI PROVINSI ACEH Nasir Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serambi Mekkah
Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengaruh PDRB perkapita, pengangguran dan inflasi terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh. Penelitian ini menggunakan data time series yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu tahun 2003-2012. Metode penelitian yang digunakan dalam analisis ini adalah Ordinary Least Square dengan menggunakan metode regresi linear berganda dan alat yang dipakai untuk mengololah data yaitu SAZHAM 9.0. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa PDRB perkapita, Pengangguran, dan Inflasi secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh. Kata Kunci: Kemiskinan, PDRB perkapita, inflasi, pengangguran PENDAHULUAN Kemiskinan merupakan momok yang selalu dibicarakan di sejumlah negara sedang berkembang separti negara kita Republik Indonesia tercinta, salah satu tujuan pembangunan nasional adalah meningkatkan kinerja perekonomian agar mampu menciptakan lapangan kerja dan kehidupan yang layak bagi seluruh rakyat yang pada gilirannya akan mewujudkan kesejahteraan penduduk. Jika salah satu sasaran pembangunan nasional adalah menurunkan tingkat kemiskinan dimana seolah kemiskinan merupakan warisan yang telah ada dari tempo dulu maka masalah kemiskinan memang masalah yang paling dihindari oleh negaranegara maju. Ada perbedaan kemiskinan masa lalu dengan kemiskinan kekinian yaitu ; jika masa lalu umumnya masyarakat menjadi miskin bukan karena kurang pangan, tetapi miskin dalam bentuk minimnya kemudahan atau materi. Namun jika ditinjau dari sisi kehidupan modern pada masa kekinian mereka-mereka yang tidak menikmati fasilitas pendidikan, pelayanan kesehatan, dan kemudahan- kemudahan lainnya yang tersedia pada jaman modern. Penduduk miskin akan lebih banyak atau bahkan seluruh pendapatannya digunakan untuk kebutuhan makanan, dibandingkan penduduk kaya. Akibatnya penduduk miskin tidak memiliki
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan dan pelayanan kesehatan yang layak jika hanya mengandalkan pendapatannya. para ekonom Bank Dunia seperti, Ahluwalia, Carter, dan Chenery menyimpulkan bahwa, hampir 40 persen dari penduduk di negara negara sedang berkembang termasuk Indonesia hidup dalam tingkat kemiskinan absolut yang dibatasi pengertiannya dalam hubungannya dengan tingkat pendapatan yang kurang mencukupi untuk menyediakan kebutuhan gizi makanan yang memadai. Istilah kemiskinan muncul ketika seseorang atau sekelompok orang tidak mampu mencukupi tingkat kemakmuran ekonomi yang dianggap sebagai kebutuhan minimal dari standar hidup tertentu. Dalam arti proper, kemiskinan dipahami sebagai keadaan kekurangan uang dan barang untuk menjamin kelangsungan hidup. Dalam arti luas, Chamber (Suryawati, 2005) mengemukakan bahwa kemiskinan adalah suatu intergrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: 1) kemiskinan (proper), 2) ketidakberdayaan (powerless), 3) kerentanan menghadapi situasi darurat (state of emergency), 4)ketergantungan (dependence), dan 5) keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Kemiskinan merupakan masalah pembangunan manusia di negara-negara berkembang. Jutaan orang di dunia hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk memberdayakan masyara-
* Korespondensi Pengarang:
Program Studi Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Jl. Tengku Imum Lueng Bata, Bathoh, Banda Aceh E-mail:
[email protected]
60 | Nasir
kat miskin dari perangkap kemiskinan, banyak kebijakan dari semua dimensi harus dilaksanakan secara bersamaan. Tapi pembuat kebijakan yang paling tidak memahami multidimensi kemiskinan. Pemahaman kemiskinan multidimensi akan mengakibatkan pengaturan kebijakan yang lebih berpihak pada orang miskin (Suryawati, 2005). Nanga (2001 : 249) mengemukakan bahwa pengangguran sebagai suatu keadaan dimana seseorang yang tergolong dalam kategori angkatan kerja (labor force) tidak memiliki pekerjaan dan secara aktif sedang mencari pekerjaan. Seseorang yang tidak bekerja, tetapi secara aktif mencari pekerjaan tidak dapat digolongkan sebagai penganggur. Untuk mengukur pengangguran dalam suatu negara biasanya digunakan apa yang dinamakan tingkat pengangguran (unemployment rate). Yaitu jumlah penganggur dinyatakan sebagai persentase dari total angkatan kerja (labor force). Sedangkan angkatan kerja itu sendiri adalah jumlah orang yang bekerja dan tidak bekerja, yang berada dalam kelompok umur tertentu. Edwards (Todaro;1995) membedakan lima bentuk kurangnya pemanfaatan tenaga kerja: (1) Pemekerja terbuka, baik yang sukarela (Yaitu orang –orang yang tidak dimasukkan kedalam pertimbangan beberapa pekerjaan yang dapat dipakai untuk mengklasifikasikan mereka, termasuk beberapa sarana pendukung lain dari aspek pemekerjaan) dan yang tidak sukarela; (2) Semi Pengangguran. Mereka yang bekerja sedikit (perharinya, per Minggunya atau permusimnya) padahal mereka ingin bekerja lebih banyak dan lebih lama; dan (3) Tampaknya aktif tapi kurang dimanfaatkan, yaitu mereka yang tidak tergolong sebagai pengangguran maupun semi pengangguran berdasarkan batasan tersebut diatas. Mereka sebenarnya bekerja tetapi berdasarkan alternatif yang berkaitan denga waktu tertentu (marking time). Senada dengan pendapat di atas, Octaviani (2001) mengatakan jumlah pengangguran erat kaitanya dengan kemiskinan di Indonesia yang penduduknya memiliki ketergantungan yang sangat besar atas pendapatan gaji atau upah yang diperoleh saat ini. Hilangnya lapangan pekerjaan menyebabkan berkurangnya sebagian besar penerimaan yang digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Yang artinya
bahwa semakin tinggi pengangguran maka akan meningkatkan kemiskinan. Jika pengangguran tinggi maka akam menyebabkan berkurangnya daya beli masyarakat. Apalagi jika diikuti inflasi tinggi dimana banyak tenaga kerja yang diputuskan hubungan kerja (PHK) karena dapat berdampak pada tidak efisiennya perusahaan. Menurut Boediono (1982) inflasi merupakan kecenderungan harga-harga naik secara umum dan terus menerus. Hal yang sama juga diungkapkan Khalwaty (2000) yang menyatakan bahwa inflasi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kenaikan harga secara tajam (absolut) yang berlangsung terus menerus dalam jangka waktu yang lama. Seirama dengan kenaikan harga-harga tersebut nilai uang turun secara tajam pula sebanding dengan kenaikan harga tersebut. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah mempunyai tujuan memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional,rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab serta mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah. Dengan kebijaksanaan otonomi daerah diikuti oleh kebijaksanaan desentralisasi fiskal diharapkan akan terjadi pemerataan dan pertumbuhan ekonomi daerah sehingga kesejahteraan masyarakat meningkat. Dalam konteks otonomi tersebut mungkin saja kendala-kendala yang dihadapi oleh masingmasing daerah jelas berbeda, di Aceh khususnya permasalahan kemiskinan tidak luput dari konflik yang berkepanjangan disamping itu gempa dan tsunami juga telah meluluhlantakkan bumi serambi mekkah juga merupakan kendala besar dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi sehingga juga akan berimbas pada jumlah penduduk miskin yang ada di Bumi Serambi Mekkah. Namun demikian rasanya tidak adil jika kita menoleh kemiskinan yang diakibatkan oleh bencana semata karena hal ini bersifat uncontrollable yakni diluar kendala yang sanggup di pikirkan oleh manusia, karenanya banyak faktor-faktor lain yang mengkibatkan negeri ini miskin selain kebejatan aparatur yang korup juga dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan, yang tentunya berimbas terhadap variabel-varibel
ISSN: 2354-970X © Jurnal Serambi Ekonomi dan Bisnis Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Pengaruh PDRB, Inflasi dan Pengangguran terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Aceh | 61
lain yang keberadaannya akan mengakibatkan peningkatan atau kenaikan jumlah penduduk miskin di suatu daerah, seperti ukuran tingkat pertumbuhan Ekonomi, tingkat inflasi dan juga jumlah manusia yang menganggur Dari beberapa permasalahan diatas tentunya kita berharap memiliki formulasi untuk mengatasi kemiskinan yang terjadi di bumi iskandarmuda ini dengan melihat latar belakang yang menyebakan terjadinya kemiskinan di Aceh, berikut dapat dilhat persentase jumlah penduduk miskin dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Bila kita menilik lebih jauh maka sebenarnya angka kemiskinan di propinsi Aceh bila dibandingkan dengan daerah lainnya masih menduduki posisi sepuluh besar ditinaju dari persentase kemiskinan, namun jika ditinjau dari sebaran berdasarkan jumlah penduduk mungkin saja masih relative sedikit karena jumlah pendudk Propinsi Aceh lebih sedikit dibandingkan daerah lainnya seperti di pulau Jawa. Provinsi Aceh merupakan salah satu daerah yang memiliki jumlah penduduk miskin yang tinggi, jumlah penduduk miskin saat ini di Provinsi Aceh berjumlah 909,04 ribu jiwa. Akan tetapi jumlah ini relatif mengalami penurunan. Seperti telah diungkap diatas banyak faktor penyebab terjadinya penurunan tersebut tentunya pelaksanaan program pengentasan kemiskinan yang dilakukan pemerintah. seperti bantuan instan berupa kebutuhan dasar hidup, pelayanan kesehatan,Jaminan Kesehatan Aceh (JKA), pendidikan gratis, dan pemberdayaan masyarakat lainnya layaknya berupa program kemanfaatan kredit usaha mikro, kecil dan menengah dan lain sebagainya yang tentunya berpola pada kebijakan kebijakan daerah dengan otonomi khususnya di propinsi Aceh. X1 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pengaruh PDRB perkapita, pengangguran dan inflasi terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh. Berdasarkan landasan teori di atas maka, hipotesis penelitian ini adalah PDRB, tingkat pengangguran dan inflasi berpengaruh signifikan terhadap jumlah penduduk Miskin diprovinsi Aceh
METODE PENELITIAN Ruang Lingkup Daerah Penelitian Dalam menentukan suatu lokasi penelitian, maka sangat diperlukan suatu lokasi yang sesuai dengan keperluan sipeneliti. Dalam hal ini penelitian dilakukan di Provinsi Aceh. Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data ata sekunder yang diperoleh dari Biro Pusat Statistik (BPS) pada kurun waktu 2000- 2012. Metode dan Teknik Pengumpulan Data Dalam riset ini digunakan suatu metode penelitian yaitu penelitian kepustakaan (Library research) yaitu penelitian yang dilakukan melalui bahan-bahan kepustakaan berupa buku-buku literature,tulisan-tulisan ilmiah,dan laporanyang berkaitan dengan topik yang akan diteliti. Teknik pengumpulan data yang dipergunakan adalah dengan melakukan pencatatan langsung berupa data time series yaitu tahun 2002 - 2012. Model Analisa Data Model analisis yang digunakan dalam menganalisa data adalah regresi berganda. Adapun model persamaannya adalah sebagai berikut: Y= f (X , X2 X3, ,)……………...(1) 1 Kemudian fungsi diatas ditransformasikan ke dalam model ekonometrika dengan persamaan regresi linear berganda sebagai berikut : =
..................(2)
LnY = Lnβ0+β1 LnX1+β3LnX3 +β2 X2+ µ ...(3) Dimana : Y = Jumlah Penduduk Miskin β0 = Intercept (konstanta) = PDRB perkapita X2 = Pengangguran X3 = Inflasi β1 β2 β3 = Koefisien regresi µ = Term of error Bentuk hipotesanya adalah sebagai berikut : < 0 Artinya terjadi kenaikan pada X ₁
1
(PDRB perkapita) maka Y (Jumlah penduduk miskin ) akan mengalami penurunan, ceteris paribus.
ISSN: 2354-970X © Jurnal Serambi Ekonomi dan Bisnis Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
62 | Nasir
₂
₃
>0
Artinya, jika terjadi kenaikan pada
X2 (Pengangguran Inflasi) maka Y (jumlah penduduk miskin) akan mengalami kenaikan, cateris paribus. > 0 Artinya jika terjadi kenaikan pada X3 (Inflasi) maka Y(Jumlah penduduk miskin) akan mengalami kenaikan, cateris paribus.
PEMBAHASAN Koefisien determinasi ( R²) Berdasarkan hasil output program SHAZAM 9.0, diperoleh nilai koefisien determinasi (R²) sebesar 0.9437 yang berarti bahwa variabel-
variabel bebas yaitu PDRB perkapita, Pengangguran, Inflasi, dan Pengeluaran perkapita secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap jumlah penduduk miskin sebesar 94,37 persen sedangkan sisanya sebesar 5,63 persen dijelaskan oleh variabel lain yang tidak dimasukkan dalam model estimasi. Uji Statistik F Pengujian terhadap pengaruh semua variabel independen di dalam model dapat dilakukan dengan uji simultan (uji F). Uji statistik F pada dasarnya menunjukkan apakah semua variabel independen yang dimasukkan dalam model mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel dependen.
Tabel 1. Analisis Varian Faktor- faktor yang Mempengaruhi Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Aceh REGRESSION ERROR TOTAL
ANALYSIS OF VARIANCE - FROM ZERO SS DF MS 0.10847E+08 4. 0.27118E+07 7008.2 6. 1168.0 0.10854E+08 10. 0.10854E+07
F 2321.656 P-VALUE 0.000
Sumber : Hasil pengolahan data (2014)
Dari regresi pengaruh PDRB perkapita, Pengangguran, Inflasi, dan Pengeluaran perkapita terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh, maka diperoleh F-Tabel sebesar 4,53 (α: 5% dan df: 10-4 = 6). Sedangkan f-statistik/F hitung sebesar 2321,656 dan nilai probabilitas F-Statistik 0.000. Maka dapat disimpulkan bahwa variabel independen secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen ( F-hitung > Ftabel).
Dalam regeresi pengaruh PDRB perkapita, Pengangguran, Inflasi, dan Pengeluaran perkapita terhadap jumlah penduduk miskin Provinsi Aceh dengan α; 5% dan df = 6 (n-k= 10-4), maka diperoleh nilai t- tabel sebesar 2,447. Berdasarkan nilai t- tabel tersebut dan dengan asumsi t-statistik/t hitung > t–tabel, variabel independen yang signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh adalah variabel PDRB (t-hitung 9.871) dan variabel pengangguran ( t- hitung 3.909).
Uji Statistik T Uji statistik t pada dasarnya menunjukkan seberapa jauh pengaruh masing-masing variabel independen secara individual dalam menerangkan variasi variabel dependen.
Uji Analisis Regresi Berganda Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah diperpoleh Dari hasil penelitian,maka hasil tersebut dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
Tabel 2. Output Regresi Linear Berganda Secara Parsial Analisis Faktor- Faktor yang Mempengaruhi jumlah penduduk Miskin di Provinsi Aceh VARIABLE NAME PDRB U I CONSTANT
ESTIMATED STANDARD T-RATIO COEFFICIENT ERROR 6 DF 0.31389E-01 0.3180E-02 9.871 51.026 13.05 3.909 -1.9181 2.533 -0.7573 -594.73 147.2 -4.040
PARTIAL STANDARDIZED ELASTICITY P-VALUE CORR. COEFFICIENT AT MEANS 0.000 0.971 0.7910 1.1088 0.008 0.847 0.6680 0.4838 0.478-0.295 -0.1297 -0.0168 0.007-0.855 0.0000 -0.5758
Sumber: Hasil pengolahan data (2014)
ISSN: 2354-970X © Jurnal Serambi Ekonomi dan Bisnis Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
Pengaruh PDRB, Inflasi dan Pengangguran terhadap Jumlah Penduduk Miskin di Provinsi Aceh | 63
Berdasarkan tabel diatas dapat dibuat hasil model estimasi sebagai berikut : Y= -594,73 + 0,31389PDRB + 51.026U + -1,9181I
Dari hasil regresi ditemukan bahwa tingkat pengangguran memberikan pengaruh yang positif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh. Kenaikan tingkat pengangguran sebesar satu persen akan menyebabkan jumlah penduduk miskin akan naik sebesar 51.026 persen. Hasil ini sesuai dengan pendapat Sukirno (2004), yang menyatakan bahwa dampak buruk dari pengangguran adalah mengurangi pendapatan masyarakat, dan ini mengurangi tingkat kemakmuran yang mereka capai. Ditinjau dari sudut individu, pengangguran menimbulkan berbagai masalah ekonomi dan sosial kepada yang mengalaminya. Keadaan pendapatan menyebabkan para penganggur harus mengurangi pengeluaran konsumsinya. Apabila pengangguran di suatu negara sangat buruk, kekacauan politik dan social selalu berlaku dan menimbulkan efek yang buruk bagi kepada kesejahteraan masyarakat dan prospek pembangunan ekonomi dalam jangka panjang. Semakin turunnya kesejahteraan masyarakat karena menganggur tentunya akan meningkatkan peluang mereka terjebak dalam kemiskinan karena tidak memiliki pendapatan. Variabel inflasi tidak signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh. Hal ini dibuktikan dari nilai t hitung sebesar 0.7573 dengan nilai signifikansi sebesar 0.478 dan koefisien regresi memiliki arah negative sebesar -1,9181. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa dalam penelitian ini inflasi tidak berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh. Hal tersebut terjadi karena adanya keadaan daya beli antara golongan yang ada di masyarakat tidak sama (heterogen), maka selanjutnya akan terjadi realokasi barang-barang yang tersedia dari golongan masyarakat yang memiliki daya beli yang relatif rendah kepada masyarakat yang memiliki daya beli yang lebih besar. Kejadian ini akan terus terjadi di masyarakat. Sehingga, laju inflasi akan berhenti hanya apabila salah satu golongan masyarakat tidak bisa lagi memperoleh dana (tidak lagi memiliki daya beli) untuk membiayai pembelian barang pada tingkat harga yang berlaku, sehingga permintaan efektif masyarakat secara keseluruhan tidak lagi melebihi supply barang.
Variabel PDRB Perkapita berpengaruh signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh dengan arah yang negatif. Artinya setiap kenaikan satu persen PDRB perkapita akan menyebabkan jumlah penduduk di Provinsi Aceh menurun sebesar 0,31389 persen. Pertumbuhan ekonomi suatu daerah dapat dilihat peningkatan PDRB perkapita di setiap daerah.
KESIMPULAN PDRB Perkapita berpengaruh negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh pada tingkat kepercayaan 95 persen. Artinya jika PDRB perkapita naik maka jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh menurun. Variabel Pengangguran berpengaruh positif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh pada tingkat kepercayaan 95 persen. Artinya jika pengangguran naik maka jumlah penduduk miskin akan naik. Sedangkan inflasi tidak berpengaruh jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh. Dalam mengurangi angka kemiskinan, Pemerintah Provinsi Aceh harus mampu membuka lapangan pekerjaan yang baru guna menyerap tenaga kerja yang terus menerus tumbuh, sehingga dampak dari masalah pengangguran dapat diatasi atau dikurangi, karena tingkat pengangguran juga memberikan kontribusi terhadap meningkatnya jumlah penduduk miskin di Provinsi Aceh.
REFERENSI Badan Pusat Statistik. 2009. Aceh Dalam Angka. Banda Aceh: BPS Aceh dan
Bappeda Aceh. …………,2012 Statistik Sosial Ekonomi Rumah
Tangga
Provinsi
Aceh.
Banda Aceh: BPS Aceh dan Bappeda Aceh. ………….,2013 Indikator Sosial Ekonomi Provinsi Aceh 2010. Banda Aceh: BPS Aceh dan Bappeda Aceh. …………..2012 Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Aceh. Banda Aceh: BPS Aceh dan Bappeda Aceh.
ISSN: 2354-970X © Jurnal Serambi Ekonomi dan Bisnis Vol. 1 No. 1 Tahun 2014
64 | Nasir
Bank Indonesia. 2013. Kajian Ekonomi Regional Provinsi Provins Aceh Triwulan 2013. Boediono. 2001, Seri sinopsis Pengantar Ilmu Ekonomi 2. Pengantar Ekonomi Makro. Yogyakarta: BPFE-UGM. Octaviani, Dian. 2001. Inflasi, Pengangguran, dan Kemiskinan di Indonesia: Analisis Indeks Forrester Greer & Horbecke. Media Ekonomi, Vol. 7, No. 8 Hal. 100-118. Khalwaty, Tajul. 2000. Inflasi dan Solusinya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nanga Muana. 2001. Makroekonomi, Teori, Masalah, dan Kebijakan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Sukirno, Sadono. 2004. Makro ekonomi Modern. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Todaro,Michael P,1995, Ekonomi Untuk Negara Berkembang; Suatu Pengantar Tentang Prinsip-Prinsip, Masalah, dan, Kebijakan Pembangunan, Edisi Ketiga. Jakarta: Bumi Aksara. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Daerah beserta Penjelasannya. Bandung: Citra Umbara.
ISSN: 2354-970X © Jurnal Serambi Ekonomi dan Bisnis Vol. 1 No. 1 Tahun 2014