JURNAL MANAJEMEN BISNIS Volume 1, Nomor 1 Januari 2008 ISSN: 1978−8339
i
DAFTAR ISI
ISSN: 1978−8339
JURNAL MANAJEMEN BISNIS
Halaman Faktor-Faktor yang Meningkatkan Peluang Survive Perusahaan Kesulitan Keuangan Khaira Amalia Fachrudin .....................................................................................................................
1–9
Pengaruh Atribut Produk terhadap Sikap Konsumen pada Green Product Cosmetics (Studi Kasus pada Puri Ayu Martha Tilaar Sun Plaza Medan) Marhayanie dan Eka Laniasti Sihite.....................................................................................................
10 – 17
Analisis Persepsi Pasien Partikulir tentang Kualitas Pelayanan terhadap Tingkat Loyalitas di Ruang Rawat Inap RS Islam Malahayati Medan Tahun 2007 Ritha F. Dalimunthe, Heldy B.Z., dan Puti Puspita Yean.....................................................................
18 – 26
Performance Appraisal pada BPRS Saparuddin Siregar ...............................................................................................................................
27 – 32
Pembelajaran Organisasi: Strategi Membangun Kekuatan Perguruan Tinggi Yeni Absah ............................................................................................................................................
33 – 41
ii
FAKTOR-FAKTOR YANG MENINGKATKAN PELUANG SURVIVE PERUSAHAAN KESULITAN KEUANGAN Khaira Amalia Fachrudin Staf Pengajar FE USU
Abstract This study examines what factors that can increase a company’s survival probability. Thirty financial distress companies in the years 1997-2005 with insolvency type were observed. At the end of 2005, as much as 53,33% companies could survive as an independent company. The data were examined relying on logistic regression. The covariates are operating performance, president director turnover, company’s age, and creditor equity stake. The dependent variable is the company status. Survival is positively affected by its operating performance. The only other factor systematically increasing company’s survival probability is the willingness of creditors to take an equity stake in the companies. Almost of all creditor equity stake in financially-distressed companies was executed by foreign creditor. President director turnover when the distress and company’s age did not increasing company’s survival. Keywords: survival probability, financial distress, and creditor equity stake
PENDAHULUAN Kesulitan keuangan (financial distress) pada perusahaan terjadi ketika perusahaan tidak dapat memenuhi jadwal pembayaran atau ketika proyeksi arus kas mengindikasikan bahwa perusahaan tersebut akan segera tidak dapat memenuhi kewajibannya (Brigham dan Daves, 2003). Perusahaan kesulitan keuangan (financial distress) ditandai dengan kerugian, hampir kehabisan tunai, memiliki kewajiban-kewajiban yang harus dibayar seperti gaji, biaya bunga pinjaman, biaya operasional rutin, dan biaya-biaya tetap lainnya (Djajendra, 2007), dililit hutang, karyawan berseteru dengan top manajemen, mulai ditinggalkan pelanggan karena kualitas layanan yang sangat buruk (Sembel, 2003), mengalami penurunan dalam pertumbuhan, kemampulabaan, dan aset tetap, serta peningkatan dalam tingkatan persediaan relatif terhadap perusahaan yang sehat (Kahya dan Theodossiou, 1999), melemahnya kondisi keuangan, kreditur yang mulai mengambil tindakan, pemasok yang mungkin tak mengirim bahan baku secara kredit, investasi modal yang menguntungkan mungkin harus dilepas, dan pembayaran dividen yang terganggu (Keown et al., 1997). Terdapat lime tipe kesulitan keuangan menurut Brigham dan Gapenski (1997), yaitu economic failure, business failure, technical insolvency, insolvency in bankruptcy, dan legal bankruptcy. Economic failure berarti pendapatan
perusahaan tidak dapat menutupi jumlah biaya, termasuk biaya modalnya. Business failure terjadi bila bisnis menghentikan operasi dengan akibat kerugian ke kreditur. Technical insolvency (equity insolvency menurut istilah Altman, 1983) adalah ketidakmampuan memenuhi kewajiban lancar ketika jatuh tempo, menunjukkan kekurangan likuiditas secara temporer. Pada kasus ini biasanya kreditur mau membantu melalui restrukturisasi hutang. Insolvency in bankruptcy (bankruptcy insolvency menurut istilah Altman, 1983) tergambar dari nilai buku hutang yang melebihi nilai pasar aset. Masalah ini bersifat permanen dan mengarah pada likuidasi bisnis. Legal bankruptcy adalah bangkrut secara hukum, terjadi bila telah diajukan tuntutan secara resmi sesuai undangundang. Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan agar perusahaan kesulitan keuangan dapat bangkit kembali dan meraih survive. Pertama, mencetak laba. Laba dapat ditingkatkan dengan menghemat biaya, misalnya dengan memangkas divisi atau unit bisnis yang merugi, dan memangkas biaya yang tidak realisatis. Pada kasus kesulitan keuangan yang tidak terlalu parah, perbaikan kondisi keuangan dapat dilakukan dengan meningkatkan pendapatan melalui penjualan yang didukung oleh usaha-usaha pemasaran. Analisa pasar perlu dilakukan untuk memenangkan persaingan. Perusahaan juga perlu menemukan keunggulan komparatif sebagaimana
1
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 1 - 9
yang dilakukan beberapa perusahaan penerbangan di Indonesia ketika sedang kesulitan. Kedua, mengubah cash flow menjadi positif, misalnya dengan restrukturisasi hutang dan penghematan. Restrukturisasi hutang dapat dilakukan dengan negosiasi ulang dan penjadwalan kembali hutang. Jika kreditur memilih kebangkrutan perusahaan, maka uang mereka tidak akan kembali, tetapi jika membantu perusahaan, maka perusahaan (contoh Anteve) dapat melakukan perubahan manajemen dan perbaikan perusahaan secara total sehingga uang mereka akan kembali. Gilson (1990) dalam Parker et al. (2002) membuktikan semasa kesulitan keuangan, kontrol manajerial dan klaim terhadap nilai residual perusahaan ditransfer ke kreditur, biasanya bank. Pada saat itu, kreditur meningkatkan representasinya dalam dewan dan kontrol tidak langsungnya melalui kepemilikan saham. Kreditur mungkin ingin memaksimalkan pembayaran penuh jika setelah restrukturisasi perusahaan dapat survive, atau likuidasi. Di satu sisi mareka ingin klaim, bukan kepemilikan. Karena itu, mereka tidak selalu bertindak untuk kepentingan terbaik perusahaan. Tapi di sisi lain, orang dapat berargumen bahwa kontrol kreditur dapat dihubungkan dengan meningkatnya kemungkinan survive perusahaan. Sebagai contoh, restrukturisasi hutang sering mencakup modifikasi perjanjian hutang sebagai upaya agar perusahaan tetap berjalan sehingga akhirnya dapat membayar kewajibannya (Parker et al., 2002). Ketiga, memperbaiki kinerja dengan melakukan perbaikan ke arah yang positif, misalnya dengan merespon keinginan pelanggan. Tindakan ini juga berguna untuk mengembalikan kepercayaan pelanggan. Keempat, membangun budaya positif. Membangun budaya baru dapat dilakukan dengan regenerasi pimpinan yang memiliki highly motivated. Kelima, mendapatkan pinjaman berbiaya rendah. Keenam, membangun kepercayaan - antara lain kepercayaan karyawan, pemegang saham, pelanggan, dan masyarakat umum. Kepercayaan akan future value yang baik pada perusahaan Gillette telah meyakinkan tim manajemen eksekutif untuk samasama berjuang dan meyakinkan ribuan investor sehingga saham mayoritas gagal diambil alih orangorang yang hanya akan mengambil keuntungan pribadi (Sembel, 2003). Ketujuh, menyusun kekuatan. Mengumpulkan orang-orang terbaik dan mengurangi orang yang tidak tepat akan menghasilkan kekuatan inti yang akan memodifikasi atau membuat perubahan radikal (Sembel, 2003). Dalam krisis, peran pemimpin sangat diharapkan. Pemimpin tidak boleh menganggap krisis 2
sebagai halangan, melainkan sarana pembaharuan. Ancaman (threats) dapat digali menjadi peluang (opportunities). Pemimpin perlu mengoptimalkan kehadirannya dalam perusahaan, dan membina diri secara cepat agar dapat melaksanakan multi peran, baik sebagai pemikir, pelaksana, pengawas, maupun penasehat perusahaan (Susanto, 1999). Insider turnover atau turnover manajemen dan direktur atau pemimpin dapat dipandang sebagai peningkatan harapan pengembalian (return) untuk pemegang saham perusahaan yang kesulitan. Dengan mengandaikan bahwa kesulitan keuangan adalah hasil dari buruknya keputusan yang difasilitasi governance yang buruk kehadiran pejabat berupa manajer dan direktur baru akan menghambat kemampuan pemulihan diri perusahaan. Turnover manajer dan direktur (khususnya kemasukan pihak luar yang tidak mempunyai investasi pada proyek yang gagal dan strategis) mungkin memfasilitasi alokasi kembali sumber daya ekonomi perusahaan (Wruck, 1990). Literatur mengenai peran executive turnover telah menghasilkan 2 teori succession (penggantian, suksesi) yang saling bersaing. Menurut teori succession-crisis, penggantian eksekutif mengganggu kinerja organisasi karena hal tersebut menambah ketidakpastian dan konflik, dan menurunkan semangat anggota organisasi. Sedemikian, turnover diharapkan menguatkan “downward spiral” yang dipacu dengan munculnya masalah kinerja (Hambrick dan D’Aveni, 1988). Sebaliknya, succession-adaptation menganjurkan perlunya turnover eksekutif dengan menekankan keuntungan dari keragaman manajerial atas pembuatan keputusan strategik dan kemampuan perusahaan bereaksi terhadap perubahan lingkungan (Virany et. al, 1992). Ada andaian implisit bahwa pengalokasian kembali ini memungkinkan perusahaan terhindar dari kebangkrutan, dan ini merupakan hasil yang diharapkan. Pandangan “succession – adaptation” mengatakan bahwa keragaman manajerial meningkatkan kemampuan organisasi untuk merespon perubahan lingkungan (Hubbard dan Kosnik, 1996). Dalam situasi kesulitan keuangan direktur utama menghadapi tugas yang lebih besar. Terutama masalah arus kas untuk operasi yang masih berlanjut serta melakukan perundingan restrukturisasi hutang dengan kreditur. Masalah ini dan juga masalah ketidakpastian serta reputasi mungkin akan membuatnya berfikir untuk mengundurkan diri. Ini menarik untuk dicermati. Penggantian manajemen puncak (CEO) sering pula dilakukan perusahaan yang sedang recover (memulihkan diri) dari kesulitan agar dapat survive. Alasannya manajer baru meniupkan wawasan baru untuk situasi perubahan, memudahkan tindakan
Khaira Amalia Fachrudin
drastis seperti pemotongan anggaran untuk programprogram yang sudah ditetapkan (Pearce dan Robinson, 2003). CEO atau direktur utama yang baru, sebagai agen perubahan, akan memasuki organisasi dengan amanat yang tepat. Tetapi, direktur utama baru umumnya kurang mengetahui dengan jelas tentang kontrak dan prosedur untuk diperlukan untuk melakukan pekerjaannya dengan sukses, dan pengetahuan-pengetahuan tersebut harus berangsurangsur diperoleh terus menerus (Boeker, 1997; Hambrick and Fukotomi, 1991). Karena itu, keberadaan TMT yang sudah lama menjabat, menguasai, dan mempunyai akses pada jaringan yang sudah mantap sepatutnya menjadi nilai ganda dalam membantu CEO dalam progress melalui proses yang kacau (disruptive). Dalam kasus kesulitan keuangan yang parah, perusahaan dapat menjadi bangkrut atau kehilangan independensi melalui merger. Namun tidak tertutup kemungkinan untuk kembali survive bila strategi yang digunakan tepat. Perusahaan dikatakan telah pulih dari kesulitan keuangan bila arus kas lebih besar dari hutang jangka panjang yang jatuh tempo pada tahun setelah serangan kesulitan keuangan terjadi Whittaker (1999). Kahl (2001) menguraikan tanda perusahaan yang kembali survive sebagai perusahaan independen sebagai berikut: tidak dalam Chapter 11 (undangundang di Amerika yang mengatur kesulitan keuangan perusahaan), tidak dalam kegagalan, tidak dalam proses negosiasi restrukturisasi hutang guna menghindari kegagalan. Untuk dikualifikasi sebagai tahun keluar, satu dari dua kriteria tambahan dilakukan. Pertama, melihat tanda-tanda dalam artikel Dow Jones Interactive dan Lexis/Nexis yang menunjukkan apakah perusahaan secara jelas telah keluar dari kesulitan keuangan. Ini dipertimbangkan dalam kasus jika, misalnya, perusahaan membayar dividen atau menambah dana dalam bentuk hutang atau memasarkan ekuitas. Jika tidak ditemukan bukti yang jelas apakah perusahaan telah keluar dari kesulitan keuangan, digunakan kriteria formal untuk menentukan apakah perusahaan masih tetap dalam kesulitan atau tidak. Sebuah perusahaan dikatakan telah keluar dari kesulitan keuangan jika mempunyai interest coverage di atas satu sekurang-kurangnya dalam satu tahun dan ada tambahan, bahwa harus terpenuhi salah satu dari kriteria-kriteria berikut: book leverage ratio telah berkurang minimal 15 basis point relative terhadap serangan kesulitan atau memiliki rasio leverage yang lebih rendah dari rata-rata perusahaan dalam 2 digit SIC industry code. Laitinen (2005) menentukan perusahaan yang tidak kesulitan keuangan lagi pada akhir tahun 2001
Faktor-Faktor yang Meningkatkan Peluang Survive…
sebagai perusahaan yang survive pada penelitiannya terhadap beberapa perusahaan sampel yang kesulitan keuangan di Finlandia tahun 1997-2001. Asterbo (2002), menentukan survival perusahaan jika skor Z Altman lebih kecil atau sama dengan nol koma lima. Sebanyak 30 perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta (sekarang Bursa Efek Indonesia) mengalami kesulitan keuangan yang agak parah akibat krisis 1997 (Lampiran 1). Perusahaanperusahaan tersebut mengalami kesulitan dengan tipe bankruptcy insolvency, yaitu nilai buku hutang melebihi nilai pasar aset, dan hal tersebut terjadi selama tiga tahun atau lebih pada kurun waktu yang berbeda-beda untuk setiap perusahaan. Kesulitan keuangan tersebut terjadi akibat perusahaan banyak berhutang dalam mata uang asing sehingga ketika krisis 1997 melanda jumlah hutang tersebut meningkat (Fachrudin, 2007). Perusahaan-perusahaan ini juga telah mengalami kerugian negatif selama tiga tahun atau lebih serta mengalami kegagalan hutang sehingga merestrukturisasi hutangnya kepada para kreditur. Sampai akhir tahun 2005, sebanyak 53,33% dari perusahaan tersebut dapat survive sebagai perusahaan independen, sedangkan sisanya belum survive dan bahkan ada yang telah didelisting dari BEJ. Penelitian ini hendak melihat faktor yang menyebabkan perusahaan - perusahaan tersebut dapat kembali survive. Estimasi probabilitas survive perusahaan kesulitan keuangan dilakukan Kahl (2002) dengan menelusuri data perusahaan saat terserang kesulitan sampai beberapa tahun kemudian, ada yang survive dan ada yang tetap kesulitan dengan regresi probit. Sedangkan Parker et al. (2002) meneliti kemungkinan hidup perusahaan kesulitan keuangan dengan menelusuri data perusahaan dari saat survive sampai kesulitan dengan cox proportional hazard regression. Penelitian ini tidak mengadopsi metode Parker et al. (2002) karena penelitian mereka menggunakan data 8 tahun sebelum kesulitan sehingga bila diaplikasikan pada penelitian ini harus dipakai data tahun 1989 – 1997 yang tentu saja tidak up to date diteliti sekarang. Karena itu diadopsi metode Kahl (2002) dan variabelnya yang berupa pulangan aset (return on assets), dan konversi kewajiban menjadi ekuitas (creditor equity stake); selain itu diadopsi variabel pergantian direktur utama dari Parker et al. (2002); dan ditambah lagi dengan variabel umur perusahaan. Umur perusahaan diteliti Chancharat (2007) dalam meneliti probabilitas survive perusahaan kesulitan keuangan. Tetapi, umur perusahaan tersebut kurang signifikan dalam menjelaskan probabilitas survive. Padahal umur perusahaan termasuk dalam faktor-faktor yang mempengaruhi kegagalan perusahaan selain ukuran, 3
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 1 - 9
pertumbuhan, kondisi ekonomi makro, sektor industri, sumber daya manusia, tipe, dan lokasi perusahaan (Storey, 1994 dalam Dylan, 1996). Dengan demikian variabel independen penelitian ini adalah pulangan aset yang diukur dengan rata-rata dari pendapatan usaha terhadap jumlah aset, pergantian direktur utama selama kesulitan, umur perusahaan, dan creditor equity stake. Analisa dilakukan dengan regresi logistik yang sama-sama dapat digunakan untuk variabel independen yang bersifat dikotomi seperti halnya regresi probit, namun tidak memerlukan asumsi distribusi normal. HASIL Estimasi probabilitas survive yang dilakukan terhadap 30 perusahaan kesulitan keuangan dengan tipe bankruptcy insolvency (Lampiran 1) dengan pengamatan terakhir tahun 2005, menemukan bahwa
terdapat 16 perusahaan FD yang survive, sedangkan 14 perusahaan lainnya belum survive. Mean dari variabel independen yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini. Tabel 1. Mean Indikator Keuangan, Karakteristik Tata Kelola Perusahaan, dan Length Perusahaan FD yang Survive dan yang belum Survive pada Masa Kesulitan Keuangan Indikator Mean pada Perusahaan Survive Keuangan Belum Survive x1 0,00 -0,04 x2 0,50 0,64 x3 28,75 25,07 x4 0,88 0,14 Jumlah observasi (n) 16 14 Sumber: Data, diolah
Hasil uji statistik model estimasi ini dengan menggunakan regresi logistik disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2. Hasil Regresi Logistik Variabel Independen Constant x1 x2 x3 x4
B
Exp(B) -5,174 (0,083) 73,113 (0,057) 2,759 (0,243) -0,046 (0,703) 10,277 (0,046)
0,006 5,66E+31 15,787 0,955 29056,689
n 30 Hosmer and Lemeshow 0,764 Nagelkerke R Square 0,815 -2LL 28,264 Percentage Correct 96,7 Angka dalam kurung menunjukkan signifikansi, tanda * menunjukkan signifikan pada alpha 0,1 Variabel dependen adalah variabel dummy status perusahaan yang bernilai 1 jika perusahaan kesulitan keuangan telah survive, 0 selainnya. Variabel independen adalah : x1 = Rata-rata dari : laba usaha / jumlah aset saat kesulitan keuangan dengan tipe bankruptcy insolvency sampai setahun sebelum survive. x2 = jumlah pergantian direktur selama masa kesulitan keuangan x3 = umur perusahaan x4 = creditor equity stake, 1 jika perusahaan melakukan creditor equity stake, 0 selainnya Sumber: Data, diolah
4
Khaira Amalia Fachrudin
Nilai Hosmer and Lemeshow goodness of fit test statistics menunjukkan probabilitas signifikansi 0,764 - lebih besar dari 0,05 - menunjukkan model dapat diterima karena cocok dengan data observasinya dan dapat dipakai untuk analisis selanjutnya. Nagelkerke R Square 0,815 menunjukkan bahwa variabilitas variabel dependen yang dapat dijelaskan oleh variabilitas variabel independen adalah 81,5%. Angka -2LL sebesar 28,264 menunjukkan model fit karena penurunan tersebut lebih besar dari penurunan df dengan alpha 10% sesuai tabel critical values of chi square (x2), yaitu 7,78. Ketepatan klasifikasi menunjukkan angka 96,7%. Penelitian ini menunjukkan bahwa peluang survive berkaitan dengan rata-rata dari rasio pendapatan usaha terhadap jumlah aset dari saat kesulitan keuangan dengan tipe bankruptcy insolvency sampai setahun sebelum survive dan creditor equity stake. Variabel pergantian direktur utama selama kesulitan keuangan dan umur perusahaan tidak berpengaruh untuk meningkatkan peluang survive. PEMBAHASAN Kinerja yang diukur dengan rata-rata dari pendapatan usaha terhadap jumlah aset (x1) signifikan (pada alpha 0,1) mempengaruhi peluang survive perusahaan kesulitan. Dari nilai koefisiennya yang positif dapat disimpulkan bahwa semakin baik kinerja semasa kesulitan keuangan, semakin besar peluang perusahaan untuk survive. Hal ini sesuai dengan temuan Fachrudin (2007). Odds ratio atau Exp (B) menunjukkan bahwa cateris paribus, setiap kenaikan 1 unit x2 akan meningkatkan peluang survive yang sangat besar. Hal ini berarti probabilitas survive adalah 100% bila x2 meningkat 1 unit. Misalnya bila selama masa kesulitan perusahaan dapat meningkatkan pendapatan usaha sebanyak dua kali lipat, maka perusahaan tersebut pasti akan survive. Hal ini agak susah terwujud karena pada saat tidak kesulitan pun hal ini jarang tercapai, apalagi saat kesulitan. Pergantian direktur utama selama kesulitan (x2) tidak signifikan mempengaruhi peluang survive perusahaan kesulitan. Pergantian direktur utama agak jarang dilakukan. Rata-rata x2 perusahaan survive adalah 0,50 sedangkan pada perusahaan yang belum survive adalah 0,64. Berarti selama masa kesulitan, secara rata-rata jumlah pergantian direktur utama tidak sampai 1 kali. Hal ini tampak sesuai dengan teori succession crisis yang mengatakan bahwa pergantian eksekutif mengganggu kinerja organisasi karena menambah ketidakpastian dan konflik, serta menurunkan
Faktor-Faktor yang Meningkatkan Peluang Survive…
semangat anggota organisasi (Hambrick dan D’Aveni, 1988). Juga sesuai dengan Wruck (1990) bahwa manajer yang sudah lama menjabat umumnya memahami operasi perusahaan secara detail. Gibson (2003) yang meneliti 1200 perusahaan dalam 8 emerging market menemukan dua hasil utama. Pertama, CEO di perusahaan emerging market lebih mungkin kehilangan pekerjaannya pada saat kinerja perusahaan memburuk, ini menunjukkan tata kelola perusahaan sudah efektif di emerging market. Kedua, khusus untuk perusahaan dengan kepemilikan lokal yang besar, tidak ada hubungan antara CEO turnover dan kinerja perusahaan, ini menunjukkan tata kelola perusahaan kelihatan tidak efektif. Bila alasan Gibson ini diterapkan di sini maka berarti perusahaan kesulitan keuangan yang memang memiliki kinerja buruk dan tidak signifikan pergantian direktur utamanya menunjukkan indikasi tata kelola yang tidak efektif. Padahal, bila dicermati lebih jauh ternyata ada pembatasan yang dibuat kreditur sehubungan dengan perjanjian kredit. Perjanjian kredit umumnya mensyaratkan perusahaan, antara lain, untuk terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari bank untuk membagikan dividen, melakukan konsolidasi atau penggabungan usaha, menjual atau menerbitkan saham kepada pihak ketiga, menjual atau menyewakan aktiva, mengubah anggaran dasar dan susunan pengurus, direksi dan komisaris perusahaan. Dari 30 perusahaan kesulitan yang diamati dalam kurun waktu 1995 - 2005 ini diperoleh fakta bahwa 17 perusahaan (57%) mempunyai perjanjian kredit yang mensyaratkan persetujuan dari pihak bank untuk merubah struktur manajemennya. Hal ini sesuai dengan teori bahwa dalam konteks insolvency, governance ditujukan untuk memaksimalkan keuntungan bagi kreditur. Masalahnya bukan sematamata nilai likuidasi atau nilai going concern. Tapi bagaimana perusahaan melanjutkan usaha selama periode terbatas. Perusahaan berpeluang melakukan negosiasi dengan kreditur. Pada periode interim ini, governance perusahaan menjadi sangat penting, karena kreditur memerlukan kepercayaan akan kemampuan pengambil keputusan perusahaan untuk merencanakan strategi going forward. Sebagai tambahan, kreditur memerlukan jaminan mengenai kesediaan dan kemampuan manajemen korporat untuk melindungi aset yang tersisa untuk sementara waktu sehingga tidak mengurangi kemampuan recovery kreditur (Davis, 2003). Umur (x3) perusahaan tidak signifikan mempengaruhi peluang survive perusahaan kesulitan. Hal ini menunjukkan bahwa survive atau tidaknya suatu perusahaan tidak bergantung pada usianya. Pengalaman mengelola perusahaan tidak signifikan berhubungan dengan kinerja perusahaan selama 5
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 1 - 9
survive (korelasi menunjukkan angka -0,118 dan tidak signifikan). Temuan ini sejalan dengan Chancharat et al. (2007). Creditor equity stake berpeluang meningkatkan kemungkinan survive perusahaan kesulitan keuangan. Hal ini sesuai dengan Kahl (2001) dan Fachrudin (2007). Menurut Kahl (2001), pada prinsipnya ada dua cara bagi perusahaan untuk menanggulangi kesulitan keuangan, yaitu meningkatkan kinerja operasi atau melalui pengurangan beban bunga (atau kombinasi keduanya). Pengurangan beban bunga bahkan juga hutang perusahaan karena ditukar dengan kepemilikan terbukti mengeluarkan perusahaan dari kesulitan pada penelitian ini. Walaupun hasil penelitian menunjukkan creditor equity stake berpeluang terhadap kemungkinan survive, namun ada segelintir perusahaan yang dapat survive tanpa equity stake. Misalnya SOBI, dengan bantuan penasihat keuangan dari Singapura dan Satuan Tugas Prakarsa Jakarta, berhasil merestrukturisasi sehingga ada pengurangan hutang pokok, transaksi forward dan derivatif. Laba restrukturisasi berjumlah Rp.1.813.068.602.000. Sedangkan IMAS mengalihkan hutangnya ke keluarga Salim dan ditukar dengan obligasi konversi yang kelak dapat ditukar jadi saham juga, serta menjual kepemilikan sahamnya kepada pihak lain. Sebaliknya, ada pula perusahaan kesulitan keuangan yang walaupun sudah melakukan creditor equity stake namun belum survive sampai akhir tahun 2005, yaitu SUDI dan SIPD. SUDI hanya memperoleh sedikit saham dari creditor equity stake yang dilakukan sehingga tidak memadai untuk menjadikan ekuitas menjadi positif. SIPD melakukan creditor equity stake sampai ekuitas menjadi positif tahun 2001, namun sampai tahun 2005 pendapatan bersih tetap negatif dan interest coverage ratio masih di bawah satu karena beban usaha dan beban lain-lain cukup besar.
KESIMPULAN Survival secara positif dipengaruhi oleh kinerja operasi. Satu-satunya faktor lain yang secara sistematis meningkatkan peluang survive perusahaan adalah kebersediaan kreditur untuk melakukan konversi hutang menjadi ekuitas perusahaan. Hampir semua konversi hutang menjadi ekuitas pada 53,33% perusahaan kesulitan keuangan dilakukan oleh kreditur asing. 6
Perusahaan kesulitan keuangan dapat survive dengan suntikan modal kreditur asing. Artinya sebahagian besar kepemilikan jatuh ke tangan asing. Perusahaan kesulitan keuangan memang memerlukan dana tambahan. Modal pemerintah tidak mungkin diharapkan karena pemerintah masih harus membenahi masalah-masalah lain seperti kemiskinan, pendidikan, dan pemberantasan korupsi.
SARAN Kesulitan keuangan perusahaan yang diobservasi ini disebabkan oleh membengkaknya pinjaman dalam mata uang asing akibat krisis 1997. Sebaiknya perusahaan melakukan lindung nilai untuk hutang dalam mata uang asing. Perusahaan kesulitan keuangan memerlukan mediasi untuk menegosiasikan hutangnya dengan pihak kreditur. Sebaiknya dalam proses negosiasi dihindarkan kemungkinan bahwa hutang tersebut berpindah ke kreditur asing dan atau hutang tersebut dikonversi menjadi ekuitas pihak asing. Pemerintah, melalui lembaga yang ditunjuk, perlu menjadi mediasi negosiasi yang handal. DAFTAR PUSTAKA Altman, Edward I. 1983. Corporation Financial Distress – A Complete Guide to Predicting, Avoiding, and Dealing with Bankruptcy. John Wiley & Sons. New York. p. 1-7 Anonym a. Industry – Relative Ratios Revisited: The Case of Financial Distress. www.fma.org/neworleans/Papers. February, 20, 2006. Asterbo, Thomas and Joachim K. Winter, 2002. More than a Dummy: The Probability of Failure, Survival and Acquisition of Firms in Financial Distress. Brigham, Eugene G and Louis C. Gapenski. 1997. Financial Management – Theory and Practice. The Dryden Press. Eight Edition. p. 1034 – 1067. Brigham, Eugene F and Phillip R. Daves. 2003. Intermediate Financial Management. Eight Edition. Thomson. South-Western. p.837859. Chancharat, Nongnit., et al. 2007. Firm in Financial Distress, a Survival Model Analysis. Paper. 20th bAustralasian Finance & Banking Conference. August 20, 2007.
Khaira Amalia Fachrudin
Cross, Lisa. 2003. Tools for a Company Turnaround. Graphic Arts Monthly. August. p. 36-38. Deng, Xiaolan and Zongjun Wang, 2006. Ownership Structure and Financial Distress: Evidence from Public Listed Companies in China. International Journal of Management. 23(3): 486-502 Elloumi, Fathi and Jean-Pierre Gueyie, 2001. Financial Distress and Corporate Governance: an Empirical Analysis. Corporate Governance. Bradford: 1 (1): 15 - 23. Fachrudin, Khaira Amalia. 2007. Analisis Kesulitan Keuangan Perusahaan – Studi pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Jakarta Tahun 1995-2005. Disertasi. Program Pascasarjana Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya. Malang. Garson, G. David. 2005. Binary Logistic Regression. PA 765 Statnotes: An Online Textbook.
[email protected]. Guner, Gursoy, 2004. Changing Corporate Ownership in the Turkish Market. Journal of Transnational Management Development. 10(2): 33 Abstract Kahl, Matthias, 2002. Economic Distress, Financial Distress, and Dynamic Liquidation. Journal of Finance. LVII (1): 135 – 145. Kahl, Matthias, 2001. Financial Distress as a Selection Mechanism: Evidence from the United States. Paper. Laitinen, Erkki K, 2005. Survival Analysis and Financial Distress Prediction: Finnish Evidence. Review of Accounting & Finance 4(4): 76-91.
Faktor-Faktor yang Meningkatkan Peluang Survive…
NetTel Africa. Network for Capacity Building and Knowledge Exchange in ICT Policy, Regulation, and Application. 2004. http://www.cbdd.wsu.edu/kewlcontent/ cdoutput/TR505r/page40.htm. 2 Januari 2002. Ohlson, James A, 1980. Financial Ratios and the Probabilistic Prediction of Bankruptcy. Journal of Accounting Research. 18(1): 109131 Parker, Susan, Gary F. Peters, dan Howard F. Turetsky, 2002. Corporate Governance and Corporate Failure: A Survival Analysis. Corporate Governance. Bradford: 2 (2): 4-9. Parker, Susan, Gary F. Peters, dan Howard F. Turetsky, 2005. Corporate Governance Factors and Auditor Going Concern Assessments: 4 (3): 5-30. Pearce and Robinson. 2003. Management Strategic. Eight Edition. McGraw-Hill Education. New York. p. 155 – 182. Sembel, Roy dan Sandra Sembel. 2003. Keluar dari Masa Sulit: Strategi Menyelamatkan Perusahaan Sakit. Sinar Harapan Susanto, A.B; 1999. Survival Management: Implementasi Quantum Leadership dalam manajemen krisis. Usahawan no.09 thn xxviii. Sept 09. Turetsky, Howard F. and Ruth Ann McEwen, 2001. An Empirical Investigation of Firm Longevity: a Model of the Ex Ante Predictors of Financial Distress. Review of Quantitative Finance and Accounting. 16. p.323-323.
7
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 1 - 9
Lampiran 1 No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
8
Nama Perusahaan PT. Prasidha Aneka Niaga Tbk PT. Sekar Laut Tbk PT. Sinar Mas Agro Resources and Tech Corp (SMART)Tbk PT. Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk, dahulu PT. Asia Inti Selera Tbk PT. Argo Pantes Tbk PT. Textile Manufacturing Company Jaya (Texmaco Jaya) Tbk PT. Kasogi International Tbk PT. Primarindo Asia Infrastructure Tbk, dahulu PT. Bintang Kharisma Tbk PT. Holcim Indonesia Tbk, dahulu PT. Semen Cibinong Tbk PT. Sumalindo Lestari Jaya Tbk PT. Surya Dumai Industri Tbk PT. Surabaya Agung Industry Pulp Tbk PT. Eterindo Wahanatama Tbk PT. Polysindo Eka Perkasa Tbk PT. Argha Karya Prima Industry Tbk PT. Alakasa Industrindo Tbk PT. Jakarta Kyoei Steel Works Ltd Tbk PT. Intikeramik Alamasri Industry Tbk PT. Keramika Indonesia Asosiasi Tbk PT. Mulia Industrindo Tbk PT. GT Kabel Indonesia Tbk PT. Voksel Electric Tbk PT. GT Petrochem Industries Tbk PT. Indomobil Sukses International Tbk, dahulu PT. Indomulti Inti Industri Tbk PT. Inter Delta Tbk PT. Pelangi Indah Canindo Tbk PT. Texmaco Perkasa Enginering Tbk PT. Sierad Produce Tbk PT. Sarasa Nugraha Tbk PT. Sorini Corporation Tbk
Kode Emiten PSDN SKLT SMART AISA ARGO TEJA GDWU BIMA SMCB SULI SUDI SAIP ETWA POLY AKPI ALKA JKSW IKAI KIAS MLIA KBLI VOKS ADMG IMAS INTD PICO TPEN SIPD SRSN SOBI
Khaira Amalia Fachrudin
Faktor-Faktor yang Meningkatkan Peluang Survive…
Lampiran 2 Awal Bankruptcy Insolvency, Masa Kesulitan, dan Status per 31 Desember 2005 Perusahaan
Awal Bankruptcy Insolvency 1997 1997 1997 1997
Masa Kesulitan (Tahun) 8 9 9 8 8,5 7 8 3 5 8 4 8 7 7 7 3 6,1 5 7 7 6,3 5 6 6 6 6 6 3 6 5 4 6 5,4 3 3,0
Status per 31 Desember 2005 Survive Belum (Tahun) Survive 2005 ya ya 2005
SKLT INTD SIPD SRSN rata-rata PSDN 1998 GDWU 1998 SMCB 1998 ALKA 1998 JKSW 1998 IKAI 1998 KIAS 1998 VOKS 1998 IMAS 1998 PICO 1998 SOBI 1998 rata-rata AISA 1999 TEJA 1999 POLY 1999 rata-rata SMAR 2000 ARGO 2000 BIMA 2000 SUDI 2000 SAIP 2000 ETWA 2000 AKPI 2000 MLIA 2000 KBLI 2000 ADMG 2000 TPEN 2000 rata-rata SULI 2001 rata-rata Jumlah : 30 perusahaan Persentase perusahaan dengan masa kesulitan : 3 tahun : 13,33 % 4 tahun : 6,67 % 5 tahun : 13,33 % 6 tahun : 23,33 % 7 tahun : 20,00 % 8 tahun : 16,67 % 9 tahun atau lebih : 6,67 %
2005 ya, delisting 2003 2001 2003 ya 2002 ya, delisting 2004 2005 2005 2005 2002 2004 ya, suspensi 2004 ya, suspensi 2004 2005 ya ya ya ya, suspensi 2004 ya 2003 ya 2005 2004 ya, delisting 2004 2005
Sumber: Laporan Keuangan Perusahaan 1995 – 2005, diolah
9
PENGARUH ATRIBUT PRODUK TERHADAP SIKAP KONSUMEN PADA GREEN PRODUCT COSMETICS (Studi Kasus pada Puri Ayu Martha Tilaar Sun Plaza Medan) Marhayanie* dan Eka Laniasti Sihite** * Departemen Staf Pengajar FE USU ** Alumni FE USU
Abstract The purpose of the research is to examine the influence of the product attributes which is consist of the product brand, product quality, product design, product label and product packing to consumer’s attitude toward Green Product Cosmetics, that is for product of Martha Tilaar’s cosmetic. The result of research indicate that the product attributes which is consist of the brand variable, quality, design, label and packing are together have significant effect toward consumer’s attitude. The result also indicates that quality variable and packing variable have positive and significant effect on consumer’s attitude for Green Product Cosmetics, that is for product of Martha Tilaar’s cosmetic, while brand variable and label have positive but not significant effect, and design variable has negative but not significant effect towards consumer attitude. Keywords: the product attributes, the consumer’s attitude
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan produk kosmetik memberi peluang bisnis bagi para produsen kosmetik. Peluang bisnis tersebut menciptakan keanekaragaman produk kosmetik atau produk perawatan kulit yang kini beredar di pasar, yaitu dari produk lokal sampai produk impor, dan produk yang masuk secara legal maupun illegal, sehingga konsumen dapat memilih produk kosmetik yang terbaik bagi dirinya, dan produk kosmetik tersebut dapat diperoleh dengan mudah di pusat-pusat perbelanjaan dan khususnya di klinik kecantikan. Saat ini banyak produk kosmetik yang beredar menggunakan bahan-bahan kimia berbahaya yang dapat mengganggu kesehatan para pengguna kosmetik. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), bahan-bahan kimia yang berbahaya tersebut antara lain Merkuri, Hidroquinon lebih dari 2%, Asam retrinoat, Diethylene Glicol, zat warna Rhodamin B dan Merah K3 serta Chlorofluorocarbon. Penggunaan bahan-bahan kosmetik yang dilarang oleh BPOM tersebut dapat juga menimbulkan masalah lingkungan. Masalah lingkungan tersebut adalah masalah Pemanasan Global atau Global Warming. Adanya isu lingkungan tersebut membentuk sikap dan perilaku konsumen untuk memilih produk yang alami, aman, dan ramah lingkungan. Oleh karena itu perusahaan kosmetik perlu memperluas pasarnya 10
dengan menciptakan produk hijau kosmetik (Green Product Cosmetics) (Johri dan Sahasakmontri, 1998: 265). Martha Tilaar merupakan salah satu perusahaan kosmetik yang menghasilkan produk kosmetik bernuansa ketimuran dan mengandung bahan alami. Produk kosmetik perusahaan Martha Tilaar sudah dikenal sebagai salah satu produk hijau kosmetik (Green Product Cosmetics) di dunia. Hal ini terbukti dari hasil uji laboratorium di Paris yang menyatakan bahwa bahan-bahan yang digunakan pada produk Martha Tilaar bebas dari bahan-bahan kimia berbahaya. Konsumen dalam memilih produk terutama produk kosmetik Martha Tilaar, mereka dapat melihat atribut dari produk tersebut. Atribut produk yang digunakan antara lain merek, kualitas, desain, label, dan kemasan. Konsumen cenderung tertarik pada produk yang memiliki merek yang terpercaya, kualitas yang bagus, desain yang menarik, label yang dapat menerangkan komposisi secara lengkap dari produk, dan kemasan yang unik. Atribut produk tersebut dapat mempengaruhi sikap dan perilaku konsumen sebelum membeli. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan tersebut, maka peneliti dalam hal ini merumuskan masalah yang akan dibahas sebagai berikut: Apakah ada pengaruh atribut produk terhadap sikap konsumen pada Green Product Cosmetics?
Marhayanie dan Eka Laniasti Sihite
1.3 Hipotesis Berdasarkan perumusan masalah yang telah ditetapkan, maka hipotesis yang dikemukakan adalah: “Terdapat pengaruh yang positif dan signifikan dari atribut produk terhadap sikap konsumen pada Green Product Cosmetics.” 1.4 Pembatasan Masalah Penelitian ini dibatasi pada variabel bebas (independent variable) yaitu atribut produk yang terdiri dari merek produk, kualitas produk, desain produk, label produk dan kemasan produk terhadap variabel terikat (dependent variable) yaitu sikap konsumen, pada konsumen Puri Ayu Martha Tilaar Sun Plaza Medan yang telah melakukan pembelian minimal 2 kali. 1.5 Tujuan Penelitian Tujuan peneliti mengadakan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaruh atribut produk terhadap sikap konsumen pada Green Product Cosmetics. 2. METODE PENELITIAN 2.1 Defenisi Operasional Variabel Defenisi variabel-variabel yang diteliti adalah sebagai berikut: a. Variabel Bebas Variabel Bebas yaitu atribut produk (X). Atribut produk ini memiliki beberapa sub variabel, yaitu: Merek Produk (X1), yaitu nama, istilah, tanda, simbol atau desain, atau kombinasi di antaranya agar mudah dikenali oleh konsumen. Kualitas Produk (X2), yaitu kualitas kinerjakemampuan produk untuk melaksanakan fungsi yang diharapkan konsumen. Desain Produk (X3), yaitu desain atau bentuk, ukuran berat, warna, dan gaya yang menarik perhatian konsumen sehingga produk selalu diingat. Label Produk (X4), yaitu mengidentifikasi produk atau merek melalui keterangan-keterangan yang tertera di produk tersebut. Kemasan Produk (X5), yaitu pembungkus fisik untuk melindungi produk dan sekaligus menciptakan identitas unik kepada konsumen. b. Variabel Terikat Variabel Terikat yaitu Sikap Konsumen (Y). Sikap konsumen yaitu menjelaskan motivasi, perasaan emosional, proses kognitif terhadap suatu objek oleh konsumen.
Pengaruh Atribut Produk terhadap Sikap Konsumen…
2.2 Skala Pengukuran Variabel Pengukuran atribut produk terhadap sikap konsumen pada Green Product Cosmetics, melalui skala likert digunakan dengan lima tingkatan yang diberi skor sebagai berikut (Sekaran, 2006: 31): a. Sangat setuju diberi skor lima b. Setuju diberi skor empat c. Ragu-ragu diberi skor tiga d. Tidak setuju diberi skor dua e. Sangat tidak setuju diberi skor satu 2.3 Populasi dan Sampel a. Populasi Berdasarkan pra-survei yang dilakukan peneliti, diketahui bahwa jumlah para pengunjung Puri Ayu Martha Tilaar sejak bulan Januari sampai bulan Maret 2008 sebanyak 2812 orang, dengan ratarata populasi dalam sebulan adalah 937,33 dan dibulatkan menjadi 937 orang. b. Sampel Penetapan jumlah sampel dilakukan dengan menggunakan rumus Slovin. Berdasarkan perhitungan diperoleh sampel sebanyak 90,35 responden dan dibulatkan menjadi 90 responden. Pemilihan sampel dilakukan dengan menggunakan metode purposive random sampling, yaitu teknik penentuan sampel dengan pertimbangan karakter dan ciri-ciri yang ditentukan terlebih dahulu untuk membatasi sampel (Sugiyono, 2004: 78). Adapun karakter yang ditentukan adalah pengunjung yang pernah dan sedang melakukan pembelian, minimal telah 2 kali melakukan pembelian kosmetik mulai dari januari 2008 sampai penelitian dilakukan, dan telah berusia 17 tahun, sebagai pelanggan dewasa yang dapat mengambil keputusan pembelian atau paling tidak mempengaruhi keputusan pembelian. 2.4 Metode Analisis Data a. Analisis Deskriptif Metode analisis deskriptif merupakan metode yang digunakan dengan mengadakan pengumpulan data dan penganalisaaan data yang diperoleh sehingga dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti. b. Analisis Statistik 1. Analisis Regresi Linier Berganda Analisis Regresi Linier Berganda digunakan untuk mengetahui pengaruh dari variabel bebas (Merek produk, kualitas produk, desain produk, label produk, dan kemasan produk) 11
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 10 - 17
terhadap variabel terikat (Sikap konsumen). Dengan persamaan yang digunakan adalah:
disimpulkan bahwa variabel bebas dalam model mempengaruhi variabel terikat. Model hipotesis yang digunakan adalah: H0: b1 = b2 = b3 = b4 = b5=0 artinya variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5) secara bersama-sama tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel terikat (Y). H0: b1 ≠ b2 ≠ b3 ≠ b4 ≠ b5 artinya variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5) secara bersama-sama berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel terikat (Y). Nilai Fhitung akan dibandingkan dengan nilai Ftabel. Kriteria pengambilan keputusan, yaitu: H0 diterima bila Fhitung < Ftabel pada α = 5% H0 ditolak bila Fhitung > Ftabel pada α = 5%
Y=a+b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+e Keterangan: Y a b1,b2,b3,b4,b5 X1 X2 X3 X4 X5 e
= = = = = = = = =
Sikap Konsumen Konstanta Koefisien Regresi Berganda Variabel Merek Produk Variabel Kualitas Produk Variabel Desain Produk Variabel Label Produk Variabel Kemasan Produk Standard Error
Sebelum data tersebut dianalisis, model regresi berganda di atas harus memenuhi syarat asumsi klasik, yaitu Uji Normalitas, Uji Multikolonieritas, Uji Autokorelasi, Uji Heteroskedastisitas. Model regresi yang sudah memenuhi syarat asumsi klasik tersebut akan digunakan untuk menganalisis, melalui pengujian hipotesis sebagai berikut: 1. Pengujian Koefisien Determinan (R2) atau Goodness of Fit Test Digunakan untuk melihat besar pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat. Dari persamaan dengan model persamaan tersebut akan dapat R2 atau Coefficient of Determination yang menunjukkan persentase dari variasi variabel keputusan pembelian yang mampu dijelaskan oleh model. Jika determinan (R2) semakin besar atau mendekati sama, maka variabel bebas (X1, X2, X3, X4, X5) terhadap variabel terikat (Y) semakin kuat. Jika determinan (R2) semakin kecil atau mendekati satu, maka variabel terikat (Y) semakin kecil. 2. Uji Serempak (Uji F) Pengujian ini dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat secara bersama-sama variabel bebas terhadap variabel terikat. Uji F dilakukan secara serentak untuk membuktikan hipotesis awal tentang pengaruh atribut produk melalui variabel merek produk (X1), kualitas produk (X2), desain produk (X3), label produk (X4), kemasan produk (X5) sebagai variabel bebas, terhadap sikap konsumen (Y) sebagai variabel terikat. Pengambilan keputusannya dengan membandingkan nilai Fhitung dengan nilai Ftabel. Bila Fhitung lebih besar dari nilai Ftabel maka dapat
12
3.
Uji secara Parsial (Uji-t). Uji t bertujuan untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial. Variabel bebas dikatakan berpengaruh terhadap variabel terikat bisa dilihat dari probabilitas variabel bebas dibandingkan dengan tingkat kesalahannya (α). Jika probabilitas variabel bebas lebih besar dari tingkat kesalahannya (α) maka variabel bebas tidak berpengaruh, tetapi jika probabilitas variabel bebas lebih kecil dari tingkat kesalahannya (α) maka variabel bebas tersebut berpengaruh terhadap variabel terikat. Model pengujiannya adalah: H0 = bi = 0, artinya variabel bebas secara parsial tidak berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel terikat. Ha: bi ≠ 0, artinya variabel bebas secara parsial berpengaruh positif dan signifikan terhadap variabel terikat. Nilai Thitung akan dibandingkan dengan nilai Ttabel. Kriteria pengambilan keputusan, yaitu: H0 diterima bila Thitung < Ttabel pada α = 5% H0 ditolak bila Thitung > Ttabel pada α = 5%
3. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Pengujian Koefisien Determinasi (R2) atau Goodness of Fit Test Pengujian dengan menggunakan uji koefisien determinasi (R2) atau Goodness of Fit Test, yaitu untuk melihat besarnya pengaruh variabel bebas yaitu merek (X1), kualitas(X2), desain(X3), label(X4), kemasan(X5) terhadap variabel terikat yaitu sikap konsumen (Y) pada Puri Ayu Martha Tilaar Sun Plaza Medan. Ada dua pilihan di sini, apakah memakai R Square atau Adjusted R Square. Jika variabel lebih
Marhayanie dan Eka Laniasti Sihite
Pengaruh Atribut Produk terhadap Sikap Konsumen…
dari dua variabel maka yang dipakai adalah Adjusted R Square.
berupa variabel merek, kualitas, desain, label, dan kemasan terhadap sikap konsumen (Y) pada Puri Ayu Martha Tilaar Sun Plaza Medan.
Tabel 1. Hasil Uji R2 Model Summaryb Model 1
a
R R Square .758(a) .574
Adjusted R Square .549
Tabel 2. Hasil Uji F ANOVAb
Std. Error of the Estimate 1.05378
Sum of Model Squares 1 Regression 125.712 Residual 93.277
Predictors: (Constant), Kemasan, Merek, Label, Kualitas, Desain Dependent Variable: Sikap
b
Total
Sumber: Hasil Olahan SPSS 14.00 (2008)
218.989
Df 5
Mean Square 25.142
84
1.110
F 22.642
Sig. .000(a)
89
a Predictors: (Constant), Kemasan, Merek, Label, Kualitas, Desain b Dependent Variable: Sikap
Tabel 1 menunjukkan angka Adjusted R Square atau determinan (r2) sebesar 0,549 berarti variabel independen yaitu (X1, X2, X3, X4, X5) berupa variabel merek, kualitas, desain, label dan kemasan terhadap sikap konsumen. dengan cara menghitung koefisien determinasi (KD) dengan menggunakan rumus sebagai berikut: KD = r2 x 100% KD = 0,549 x 100% KD = 54,9%
Sumber: Hasil Olahan SPSS 14.00 (2008)
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui nilai Fhitung sebesar 22,642 dengan taraf signifikansi sebesar 0,000. Sedangkan Ftabel sebesar 2,29 dengan taraf signifikansi 0,05 (5%). Maka Fhitung > Ftabel (22.642 > 2,29), sedangkan tingkat signifikan sebesar 0,000 < 0,05. Jadi kesimpulan bahwa H0 ditolak dan Ha diterima, yang artinya bahwa variabel merek, kualitas, desain, label, dan kemasan secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap sikap konsumen (Y) pada Puri Ayu Martha Tilaar Sun Plaza Medan.
Angka tersebut mempunyai maksud bahwa pengaruh merek, kualitas, desain, label, dan kemasan terhadap sikap konsumen adalah 54,9%. Adapun sisanya sebesar 45,1% (100% - 54,5%) dipengaruhi oleh faktor lain.
c. Uji Signifikan Parsial (Uji-t) Uji-t dilakukan untuk melihat secara individu pengaruh secara signifikan independen yaitu (X1, X2, X3, X4, X5) berupa variabel merek, kualitas, desain, label, dan kemasan terhadap sikap konsumen (Y).
b. Uji Signifikan Simultan (Uji F) Uji F (uji serempak) dilakukan untuk melihat secara bersama-sama (serentak) pengaruh signifikan dari variabel independen yaitu (X1, X2, X3, X4, X5) Tabel 3. Hasil Uji-t Coefficients(a)
Standardized Model
Unstandardized Coefficients B
1
Std. Error
(Constant)
.313
1.198
Merek
.131
.092
Kualitas
.279
Desain
Coefficients
T
Sig.
Beta .261
.795
.149
1.428
.157
.097
.287
2.877
.005
-.039
.137
-.033
-.287
.774
Label
.202
.118
.172
1.707
.091
Kemasan
.403
.121
.352
3.331
.001
a Dependent Variable: Sikap Sumber: Hasil Olahan SPSS 14.00 (2008)
13
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 10 - 17
Berdasarkan nilai B pada Tabel 3, maka dapat diperoleh persamaan regresi sebagai berikut: Sikap = 0,313 + 0,131 Merek + 0,279 Kualitas – 0,039 Desain + 0,202 Label + 0,403 Kemasan + e Dari Tabel 3 dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1. Nilai thitung variabel merek adalah 1,428 dan ttabel bernilai 1,980 sehingga thitung < ttabel (1,428 < 1,980) dan nilai signifikan 0,157 di atas (lebih besar dari 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel merek berpengaruh positif dan tidak signifikan secara parsial terhadap sikap konsumen pada Green Product Cosmetics, yaitu pada produk kosmetik Martha Tilaar. Artinya konsumen tidak terlalu memperhatikan merek yang ada pada produk kosmetik Martha Tilaar. Berarti merek produk yang mudah diucapkan, didengar, dibaca dan diingat oleh konsumen tidak mempengaruhi sikap konsumen dalam membeli produk kosmetik Martha Tilaar. Dalam hal ini perusahaan Martha Tilaar harus dapat membangun ekuitas merek yang kuat, dengan memperhatikan seberapa jauh citra merek produk kosmetik Martha Tilaar ada dibenak konsumen serta dekat dengan kehendak pelanggan. Maka dari itu diperlukan tenaga ekstra, pemikiran, uang untuk membangun nama, logo atau slogan tersebut menjadi ekuitas merek yang kuat (Santoso dan Resdianto, 2007: 56). Sehinga jika nama, istilah, tanda, simbol atau desain, atau kombinasi di antaranya dapat ditingkatkan maka konsumen dapat lebih mudah mengidentifikasi produk kosmetik Martha Tilaar dengan produk kosmetik lain, yang pada akhirnya dapat meningkatkan sikap konsumen terhadap produk tersebut, namun hal ini tidak sejalan dengan model regresi. Koefisien regresi untuk variabel merek adalah 0,131, artinya bahwa apabila merek meningkat, maka sikap konsumen pada kosmetik Martha Tilaar akan menurun sebesar 0,131, begitu pula sebaliknya jika terjadi penurunan pada merek, maka sikap konsumen akan meningkat sebesar 0,131. 2. Nilai thitung variabel kualitas adalah 2,877 dan ttabel bernilai 1,980 sehingga thitung > ttabel (2,877 > 1,980) dan nilai signifikan 0,005 di bawah (lebih kecil dari 0,05), sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel kualitas berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap sikap konsumen pada Green Product Cosmetics, yaitu pada produk kosmetik Martha Tilaar. Artinya konsumen sangat memperhatikan kualitas yang ada pada produk 14
kosmetik Martha Tilaar. Dalam hal ini kualitas produk yaitu kinerja-kemampuan produk, keistimewaan produk, daya tahan produk dapat menimbulkan kepercayaan konsumen berarti dapat membentuk sikap konsumen (Kotler, 2005: 192). Jika standar atau spesifikasi kualitas produk Martha Tilaar semakin ditingkatkan maka sikap konsumen akan meningkat terhadap produk tersebut, dan hal ini sejalan dengan model regresi. Koefisien regresi untuk variabel kualitas adalah 0,279, artinya bahwa apabila terjadi peningkatan pada variabel kualitas, maka sikap konsumen juga akan meningkat sebesar 0,279, begitu juga sebaliknya. 3. Nilai thitung variabel desain adalah -0,287 dan ttabel bernilai 1,980 sehingga thitung < ttabel (-0,287 < 1,980) dan nilai signifikan 0,774 di atas (lebih besar dari 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel desain berpengaruh negatif dan tidak signifikan secara parsial terhadap sikap konsumen pada Green Product Cosmetics, yaitu pada produk kosmetik Martha Tilaar. Artinya konsumen tidak terlalu memperhatikan desain yang ada pada produk kosmetik Martha Tilaar. Berarti bentuk produk, berat produk dan kekhasan produk tidak membentuk sikap konsumen terhadap produk kosmetik Martha Tilaar. Menurut Simamora (2001: 149), desain yang baik menghasilkan gaya (style) yang menarik, kinerja yang baik, kemudahan dan kemurahan biaya penggunaan produk serta kesederhanaan dan keekonomisan produksi dan distribusi. Dalam hal ini jika perusahaan Martha Tilaar dapat meningkatkan desain produknya dengan memberikan desain yang menarik, yang berbeda dengan produk sejenis dengan merek yang lain serta adanya kekhasan produk yang dapat menimbulkan ketertarikan konsumen maka dapat meningkatkan sikap konsumen, namun hal ini tidak sejalan dengan model regresi. Koefisien regresi untuk variabel desain adalah -0,039, artinya jika pada desain terjadi peningkatan, maka sikap konsumen akan menurun sebesar 0,039, begitu juga sebaliknya jika terjadi penurunan pada desain, maka sikap konsumen akan meningkat sebesar 0,039. 4. Nilai thitung variabel label adalah 1,707 dan ttabel bernilai 1,980 sehingga thitung < ttabel (1,707 < 1,980) dan nilai signifikan 0,091 di atas (lebih besar dari 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel label tidak berpengaruh signifikan secara parsial terhadap sikap konsumen pada Green Product Cosmetics, yaitu pada produk
Marhayanie dan Eka Laniasti Sihite
kosmetik Martha Tilaar. Artinya konsumen tidak terlalu memperhatikan label yang ada pada produk kosmetik Martha Tilaar. Berarti indikator dari label yaitu kejelasan nama perusahaan, menggambarkan keterangan produk dan menunjukkan kualitas produk tidak dapat membentuk sikap konsumen. Menurut Kotler (2001: 597), label akhirnya akan ketinggalan zaman jika tidak diperbarui karena tidak dapat menarik perhatian konsumen. Agar label dapat menarik perhatian konsumen, maka perusahaan harus dapat memperbarui label produk, baik itu dengan perubahan bertahap dalam ukuran dan desain huruf, serta dapat memberikan aneka gambar yang menarik. Artinya jika perusahaan Martha Tilaar dapat meningkatkan identifikasi produk atau merek, dan juga menggambarkan beberapa hal mengenai produk-yang membuatnya, di mana dibuat, isinya, bagaimana penggunaannya, dan bagaimana menggunakan secara aman, serta label juga dapat mempromosikan produk lewat gambar yang menarik, pada akhirnya label produk dapat membentuk sikap konsumen terhadap produk tersebut, namun hal ini tidak sejalan dengan model regresi. Koefisien regresi untuk variabel label adalah 0,202, artiya bahwa jika terjadi peningkatan pada variabel ini, maka sikap konsumen juga akan menurun sebesar 0,202, begitu juga sebaliknya. 5. Nilai thitung variabel kemasan adalah 3,331 dan ttabel bernilai 1,980 sehingga thitung > ttabel (3,331 > 1,980) dan nilai signifikan 0,001 di bawah (lebih kecil dari 0,05) sehingga dapat disimpulkan bahwa variabel kemasan berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap sikap konsumen pada Green Product Cosmetics, yaitu pada produk kosmetik Martha Tilaar, artinya jika ditingkatkan variabel kemasan satu satuan maka sikap konsumen akan meningkat sebesar 0,403. Artinya konsumen sangat memperhatikan kemasan yang ada pada produk kosmetik Martha Tilaar. Dalam hal ini, kemasan produk mampu menarik perhatian konsumen, melalui keindahan produk, kepraktisan atau kemudahan untuk dibawa, dan dapat melindungi kualitas produk yang pada akhirnya dapat membentuk sikap konsumen terhadap produk kosmetik. Menurut Gitosudarmo (2000: 194), kemasan yang baik adalah kemasan yang indah atau menarik yang dapat menambah hasrat untuk membeli, kemasan yang khas yang memudahkan pembeli untuk mengingat produknya, kemasan yang dapat melindungi kualitas (mutu) produk, memudahkan
Pengaruh Atribut Produk terhadap Sikap Konsumen…
pengangkutan (transportasi), dan memudahkan penyimpanan dan penyusunan di rak toko (show room). Berarti jika perusahaan Martha Tilaar dapat meningkatkan fungsi kemasan produk melalui aspek artistik, warna, bentuk maupun desainnya maka dapat memberikan daya tarik kepada konsumen yang pada akhirnya dapat meningkatkan sikap konsumen terhadap produk tersebut, dan hal ini sejalan dengan model regresi. Koefisien regresi untuk variabel kemasan adalah 0,403, artinya bahwa jika terjadi peningkatan pada variabel ini, maka sikap konsumen juga akan meningkat sebesar 0,403, begitu juga sebaliknya. 4. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data dan pengujian hipotesis yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat Pengaruh Atribut Produk terhadap Sikap Konsumen pada Green Product Cosmetics (Studi Kasus pada Puri Ayu Martha Tilaar Sun Plaza Medan), dengan penjelasan sebagai berikut: 1. Uji Signifikan Simultan (Uji F) membuktikan bahwa atribut produk yang terdiri dari variabel merek, kualitas, desain, label dan kemasan secara bersama-sama berpengaruh signifikan terhadap sikap konsumen. 2. Uji Signifikan Parsial (Uji-t) membuktikan bahwa variabel kualitas (X2) dan variabel kemasan (X5) berpengaruh positif dan signifikan terhadap sikap konsumen pada Green Product Cosmetics, yaitu pada produk kosmetik Martha Tilaar, sedangkan merek (X1), desain (X3) dan label (X4) berpengaruh positif dan negatif namun tidak signifikan terhadap sikap konsumen. 5. SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh dan keterbatasan yang ada dalam penelitian ini, maka mengharuskan peneliti untuk memberikan sarannya, dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut: 1. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh paling dominan adalah kemasan produk, maka bagi pihak perusahaan Martha Tilaar diharapkan dapat mempertahankan dan meningkatkan nilai kemasan produk kosmetiknya, agar sikap konsumen tidak beralih kepada produk yang lain. Sedangkan kualitas berpengaruh secara signifikan setelah kemasan, hal ini membuktikan bahwa kualitas produk 15
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 10 - 17
kosmetik Martha Tilaar harus ditingkatkan agar konsumen semakin yakin terhadap kualitas produk kosmetik tersebut sebagai Green Product Cosmetics. 2. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa variabel merek dan label berpengaruh secara positif, sedangkan variabel desain berpengaruh negatif. Perusahaan Martha Tilaar dalam hal ini, harus dapat meningkatkan citra merek kosmetiknya, agar merek semakin dikenal oleh konsumen, dan label produk yang jelas sebaiknya dapat terus ditingkatkan oleh pihak perusahaan agar konsumen semakin percaya kepada produk kosmetik Martha Tilaar. Variabel desain dalam penelitian ini berpengaruh negatif, olehsebab itu kepada perusahaan Martha Tilaar harus dapat meningkatkan desain produk kosmetiknya agar konsumen semakin tertarik dan menyukai produk kosmetik tersebut. 3. Bagi peneliti selanjutnya yang akan meneliti mengenai sikap konsumen pada Green Product Cosmetics, disarankan dapat menambah variabelvariabel yang berbeda dengan variabel yang sebelumnya untuk memperkaya pengetahuan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi sikap konsumen pada Green Product Cosmetics dan melibatkan jumlah responden yang lebih besar sehingga mendapatkan hasil yang lebih akurat. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Edisi Kelima. Rhineka Cipta, Jakarta. Armstrong, Gary dan Phillip Kottler. 2001. Prinsipprinsip Pemasaran. Jilid kesatu. Jakarta: Erlangga. Ferrinadewi, Erna, 2005. Atribut Produk yang Dipertimbangkan dalam Pembelian Kosmetik dan Pengaruhnya pada Kepuasan Konsumen di Surabaya. Jurnal Manajemen dan Kewirausahaan, Vol. 7. No. 2 pp. 139-151. Ghozali, H. Imam. 2005. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Edisi Ketiga. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Gitosudarmo, Indriyo. 2000. Manajemen Pemasaran. Cetakan keenam. Yogyakarta: BPFE. Irawan, Faried Wijaya, dan M. N. Sudjoni. 2000. Prinsip-prinsip Pemasaran. Yogyakarta: BPFE.
16
Johri, Lalit. M dan Kanokthip Sahasakmontri, 1998. Green Marketing of Cosmetics and Toiletries in Thailand. Journal of Consumer Marketing, Vol. 15 No. 3 pp. 265-281. Kotler, Philip. 2005. Manajemen Pemasaran. Edisi kesebelas. Jakarta: PT Indeks Kelompok Gramedia. Lanasier, Evi Vileta, 2002. Perilaku Konsumen Hijau Indonesia Tinjauan Sudut Demografi dan Psikografi. Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Usakti, Vol. 2, No. 2 pp. 89-111, Jakarta. Rahardja, Dimas Aditya. 2007. Pengaruh Atribut Produk Terhadap Ssikap Konsumen Pada Mie Sedaap (Suatu Survey Pada Mahasiswa Jurusan Manajemen Fakultas Ekonomi Angkatan 2003-2006). Skripsi. UNIKOM: Bandung Santoso, Yussy dan Ronnie Resdianto, 2007. Brand Sebagai Kekuatan Perusahaan Dalam Persaingan Global. Business & Management Journal Bunda Mulia, vol: 3, No. 2. Sekaran, Uma. 2006. Research Methods for Business. Buku kedua. Jakarta: Salemba Empat. Setiadi, Nugroho J. 2005. Perilaku Konsumen. Cetakan kedua. Jakarta: Prenada Media. Simamora, Bilson. 2001. Memenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan Profitabel. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. ________, 2003. Membongkar Kotak Hitam Konsumen. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Simamora, Henry. 2000. Manajemen Pemasaran Internasional. Jilid kedua. Jakarta: Salemba Empat. Situmorang, Syafrizal Helmi et al, 2008. Analisis Data Penelitian. Medan: USU Press. Sugiyono, 2006. Metode Penelitian Bisnis. Cetakan kesembilan. Bandung: CV. Alfbeta. Sumarwan, Ujang. 2003. Perilaku Konsumen. Jakarta Selatan: PT Ghalia Indonesia dengan MMA-IPB. Susanto, A.B. dan Philip Kottler. 2001. Manajemen Pemasaran di Indonesia. Jakarta: Salemba Empat. Sunarto, 2004. Prinsip-prinsip Pemasaran. Edisi kedua. Yogyakarta: Amus. Tjiptono, Fandy. 2006. Pemasaran Jasa. Cetakan kedua. Malang: Bayumedia Publishing. Tranggono, Retno Iswari dan Fatma Latifah. 2007. Buku Pegangan Ilmu Pengetahuan Kosmetik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Marhayanie dan Eka Laniasti Sihite
Umar, Husein. 2005. Riset Pemasaran dan Perilaku Konsumen¸ Cetakan keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Frontier, Merek-merek Top 2008. Majalah Marketing, edisi khusus vol. 1/2008. www.gatra.com, “Langkah tiga perempuan di Tiga Zaman” diakses oleh Eka Laniasti Sihite tanggal 8 Maret 2008, pukul 10:30 Wib. www.kapanlagi.com, “BPOM Keluarkan Daftar Kosmetik Berbahaya” diakses oleh Eka Laniasti Sihite tanggal 9 Maret 2008, pukul 19:09 Wib.
Pengaruh Atribut Produk terhadap Sikap Konsumen…
www.indonesia.go.id, “Kunjungan ke Martha Tilaar Group” diakses oleh Eka Laniasti Sihite tanggal 4 Maret 2008, pukul 21:13 Wib. www.marthatilaar.com, diakses oleh Eka Laniasti Sihite tanggal 27 Juni 2008, pukul 11:49 Wib. www.rmexpose.com, “Garap Luar Negeri, Omzet Martha Tilaar Naik 20 Persen” diakses oleh Eka Laniasti Sihite tanggal 8 Maret 2008, pukul 10:33 Wib. www.sinarharapan.co.id, “Martha Tilaar Tekad Keras Melahirkan industri kosmetika berkualitas” diakses oleh Eka Laniasti Sihite 8 Maret 2008, pukul 10:30 Wib.
17
ANALISIS PERSEPSI PASIEN PARTIKULIR TENTANG KUALITAS PELAYANAN TERHADAP TINGKAT LOYALITAS DI RUANG RAWAT INAP RS ISLAM MALAHAYATI MEDAN TAHUN 2007 Ritha F. Dalimunthe*, Heldy B.Z.*, dan Puti Puspita Yean** * Staf Pengajar USU ** Karyawan RS Islam Malahayati
Abstract Hospital, especially the private one, must always pay attention to and improve its competitiveness to survive in competing and how to make its patients satisfied with the health service it provides that the patients eventually give a high level of loyalty needed by a hospital to keep being superior in the course of a long-run competition. The purpose of this survey study with analytical approach is to analyze the influence of service quality on the level of loyalty of private patients hospitalized in Malahayati Hospital Medan. The population for this study was all of the 53 private patients who had been hospitalized twice in the in-patient ward of Malahayati Hospital Medan from January to July 2007. Through total sampling technique, all of 53 private patients was selected as the samples for this study. The data for this study were obtained through the questionnaires distributed to all samples. The result of multivariate regression analysis shows that four variables have an influence on the loyalty of the private patients such as emphaty with p = 0.016, responsiveness with p = 0.041, assurance with p = 0.036 and reliability with p = 0.032. The variable of tangible does not have any influence on the level of loyalty of the private patients hospitalized in the in-patient ward of Malahayati Hospital Medan (p = 0.531). The most dominant variable that influences the level of loyalty of the private patients hospitalized in the in-patient ward of Malahayati Hospital Medan is emphaty. Malahayati Hospital Medan pays attention more to its human resource development by providing trainings to improve the knowledge and skills of its personnel, such as to doctors, nurses and workers about emphaty of the private patients hospitalized. Improving reliability and assurance in providing health service through a safe, appropriate and easy procedure system, in providing medical check-up service, treatment, nursing and administration service. Improving responsiveness in providing health service such as in nursing services pay attention more to their rewards in order to make them motivated. Beside that, the lay out of nurse station and computerized system need to considered in order to easier and faster patient services system. Keywords: service quality, level of loyalty
PENDAHULUAN Perkembangan dunia bisnis saat ini mencatat perkembangan yang menakjubkan, terutama dalam industri jasa yang telah mendominasi persaingan pasar. Menurut Etzel, Walker & Stanton dalam Tjiptono (2005), negara maju seperti Amerika Serikat, sektor jasa menyumbang sekitar 2/3 dari Gross Domestic Product (GDP) dan lebih dari 50% total pengeluaran konsumen dibelanjakan untuk jasa.1 Sektor jasa di Indonesia juga mengalami peningkatan yang pesat. Salah satu jenis industri jasa yang juga mengalami perkembangan pesat adalah industri rumah sakit. Di Indonesia sendiri khususnya di Sumatera Utara perkembangan industri rumah sakit ini menunjukkan angka pertumbuhan yang pesat. Hal 18
ini dapat dilihat berdasarkan data dari Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Utara tahun 2006, menunjukkan bahwa jumlah rumah sakit pemerintah sebanyak 27 buah, rumah sakit BUMN sebanyak 19 buah, rumah sakit TNI POLRI sebanyak 9 buah, rumah sakit swasta sebanyak 75 buah. Jika dilihat dari angka-angka tersebut, maka rumah sakit swasta lebih menunjukkan tingkat perkembangan dan persaingan yang ketat, khususnya di Medan, dimana jumlah rumah sakit swasta mencapai 41 buah. Rumah sakit merupakan salah satu pelayanan jasa yang dalam melakukan aktivitasnya, tidak boleh lepas dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua hal tersebut meningkatkan kesadaran dan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan jasa kesehatan yang semakin baik. Hal ini
Ritha F. Dalimunthe, Heldy B.Z., dan Puti Puspita Yean
juga menyebabkan nilai (value) masyarakat berubah terhadap pelayanan jasa kesehatan yang lebih bermutu. Perubahan ini merupakan tantangan bagi pihak rumah sakit yang dihadapkan pada lingkungan usaha yang berubah. 2 Fenomena ini dapat dilihat pada tahun 2005, sebanyak 200.000 (20%) dari satu juta kunjungan wisatawan Indonesia ke Malaysia setiap tahun, datang untuk tujuan pemeriksaan kesehatan (medical check up) dan pengobatan. Dari jumlah tersebut, Malaysia berhasil meraup empat puluh juta dolar AS. Ditargetkan, tahun 2006 jumlah tersebut meningkat dua kali lipat. 3 Tentu saja fenomena ini sangat menyedihkan, ditengah-tengah tingginya tingkat persaingan industri rumah sakit di Indonesia, khususnya di Medan. Rumah sakit khususnya rumah sakit swasta harus selalu memperhatikan dan meningkatkan kelebihan bersaingnya untuk survive dalam persaingan dan bagaimana membuat pasien puas terhadap pelayanan kesehatan di rumah sakit yang pada akhirnya diikuti dengan tingkat loyalitas yang tinggi yang sangat diperlukan oleh rumah sakit untuk tetap menjadi unggul dalam persaingan jangka panjang. Setiap organisasi dan semua elemen-elemen dalam organisasi harus berupaya meningkatkan kualitas jasa pelayanannya secara terus menerus. Semakin tinggi tingkat pemahaman masyarakat terhadap pentingnya kesehatan untuk mempertahankan kualitas hidup, maka masyarakat pengguna akan semakin kritis dalam menerima produk jasa, oleh karena itu peningkatan kualitas kinerja rumah sakit perlu terus menerus dilakukan.4 Kualitas dan kepuasan tidak dapat dipisahkan, seperti layaknya dua sisi mata uang. Kualitas memberikan suatu dorongan kepada pasien untuk menjalin ikatan yang kuat dengan rumah sakit. Dalam jangka panjang, ikatan seperti ini memungkinkan rumah sakit untuk memahami dengan seksama harapan pasien serta kebutuhan mereka. Dengan demikian, rumah sakit dapat meningkatkan kepuasan pasien dimana rumah sakit memaksimumkan pengalaman pasien yang menyenangkan dan meminimumkan atau meniadakan pengalaman yang kurang menyenangkan. Yang pada akhirnya, kepuasan pasien dapat menciptakan kesetiaan atau loyalitas pasien kepada rumah sakit yang memberikan kualitas memuaskan.5 Rumah sakit Islam Malahayati merupakan rumah sakit swasta Kelas C dengan kapasitas yang tersedia 68 tempat tidur. Berdasarkan data dari rekam medis RS. Islam Malahayati, diketahui bahwa kinerja pelayanan pada rumah sakit ini bervariasi sejak tahun 2002-2006. Nilai BOR (Bed Occupancy Rate) pada
Analisis Persepsi Pasien Partikulir tentang Kualitas…
tahun 2002 sebesar 42,5% dan mengalami penurunan pada tahun 2003 dan tahun 2004 yaitu 41% dan 39,5%. Pada tahun 2005 mengalami peningkatan menjadi 48,2%, namun mengalami penurunan lagi pada tahun 2006 menjadi 43,6%. Hal ini mengindikasikan bahwa pemanfaatan rumah sakit yang semakin menurun dan tidak sesuai dengan standar nasional yang seharusnya adalah 75%-85%.4 Nilai LOS (Length Of Stay) juga belum memenuhi standar nasional yaitu 7-10 hari karena nilai rata-rata setiap tahun di rumah sakit ini adalah empat hari. Begitu juga dengan TOI (Turn Over Interval), tahun 2002 sebesar 6,8 hari, tahun 2003 sebesar 6,7 hari, tahun 2004 mengalami penurunan menjadi 7,4 hari, tahun 2005 mengalami peningkatan menjadi 5,5 hari dan tahun 2006 mengalami penurunan lagi menjadi 7,5 hari. Nilai–nilai ini sangat jauh dari nilai standar nasional yaitu 1-3 hari. 4 Tingkat efisiensi penggunaan tempat tidur di RS. Islam Malahayati Medan masih belum optimal. Keadaan tersebut diduga dipengaruhi rendahnya kualitas pelayanan yang menyebabkan ketidakpuasan pasien sehingga tidak memanfaatkan RS. Islam Malahayati Medan sebagai tempat pencarian pelayanan kesehatan. Pada data Survei Kepuasan Pasien yang dilakukan oleh bagian Pemasaran di Instalasi Rawat Inap RS. Islam Malahayati Medan tanggal 12-21 Februari 2006 dengan jumlah responden 55 orang, diperoleh informasi bahwa penilaian tentang sarana prasarana rumah sakit: buruk (10%), kurang (70%), baik (20%); keramahan perawat: buruk (0%), kurang (72%), baik (28%); pelayanan administrasi: buruk (0%), kurang (68%), baik (32%) dan pelayanan dokter: buruk (0%), kurang (65%), baik (35%). Hasil survey menunjukkan bahwa pelayanan yang diterima pasien belum optimal, dan hal ini tentu sangat berpengaruh pada kepuasan yang dirasakan oleh pasien, karena bagaimanapun, kepuasan pelanggan dalam hal ini pasien yang diikuti dengan tingkat loyalitas yang tinggi akan sangat diperlukan oleh perusahaan/rumah sakit untuk tetap menjadi unggul dalam persaingan jangka panjang. Pada penelitian ini terdapat 53 orang pasien partikulir dan dianggap loyal terhadap RS. Islam Malahayati Medan karena telah dirawat inap lebih dari dua kali pada bulan Januari 2007 – Juli 2007. Pentingnya penegasan pembagian kelompok pasien partikulir karena kelompok pasien ini memiliki status membayar sendiri biaya pelayanan rumah sakit dan tidak memiliki keterkaitan apapun yang mengharuskan pasien berobat di RS. Islam Malahayati. Pasien bebas memilih tempat berobat sesuai dengan pilihan pasien sendiri berdasarkan kualitas yang dianggap sesuai dan memuaskan. 19
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 18 - 26
Menurut Parasuraman dalam Tjiptono (1999), penilaian pasien terhadap kualitas ditentukan oleh dua hal, yaitu: harapan pasien terhadap kualitas (expected quality) dan persepsi pasien atas kualitas (perceived quality).6 Berdasarkan pertimbangan tersebut, maka pengukuran keberhasilan suatu perusahaan jasa dalam hal ini rumah sakit, lebih banyak ditentukan oleh penilaian dan persepsi pasien tentang kualitas pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit tersebut dengan segala unsur yang ada dalam lingkungan internalnya, dan unsur yang berada di luar perusahaan yang saling berinteraksi dan mempengaruhi keberhasilan perusahaan jasa/rumah sakit tersebut dalam mencapai kepuasan pasien, yang akhirnya dapat menciptakan loyalitas pasien. Persepsi pasien tentang pelayanan memegang peranan yang sangat penting. Kualitas pelayanan akan terpenuhi apabila proses penyampaian jasa dari pemberi jasa kepada pasien sesuai dengan apa yang dipersepsikan oleh pasien. Menurut Philip Kotler dalam Tjiptono (2004), kualitas harus dimulai dari kebutuhan pelanggan dan berakhir pada persepsi pelanggan.7 Rifai (2005) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa persepsi masyarakat tentang jasa pelayanan kesehatan dan pengaruhnya terhadap pemanfaatan jasa pelayanan kesehatan merupakan indikator utama keberhasilan jasa pelayanan kesehatan.8 Pada penelitian yang dilakukan oleh Haryati (2004) disimpulkan bahwa mutu sangat subjektif tergantung pada persepsi, sistim nilai, latar belakang sosial, pendidikan, ekonomi, budaya dan banyak faktor lainnya pada masyarakat atau pribadi yang terkait dengan jasa pelayanan.9 Brady, Cronin Thomas (2000) dalam kajiannya menyimpulkan bahwa kepuasan pelanggan berpengaruh secara signifikan terhadap loyalitas pelanggan. 10 Hasil kajian Caruana (2002) juga menyimpulkan bahwa terdapat hubungan antara service quality dan kepuasan pelanggan terhadap loyalitas pelanggan. 11 Berdasarkan data rekam medis RS. Islam Malahayati dan Hasil Survey Kepuasan Pasien, kinerja rumah sakit belum cukup optimal, sehingga berdasarkan fakta-fakta dilapangan dan hasil penelitian-penelitian terdahulu, jelaslah bahwa untuk menciptakan loyalitas pasien yang tinggi dalam menghadapi perubahan nilai masyarakat terhadap pelayanan dan persaingan antar rumah sakit perlu dilakukan penelitian pengaruh persepsi pasien partikulir tentang kualitas pelayanan rumah sakit dalam hal ini pelayanan rawat inap terhadap tingkat loyalitas.
20
METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian survey dengan pendekatan analitik untuk menganalisis pengaruh persepsi pasien partikulir tentang kualitas pelayanan, yang meliputi tangibles (bukti fisik), responsiveness (daya tanggap), reliability (reliabilitas), assurance (jaminan), dan emphaty (empati) terhadap tingkat loyalitas pasien di ruang rawat inap RS. Islam Malahayati Medan. Penelitian dilaksanakan di RS. Islam Malahayati Medan yang merupakan rumah sakit milik swasta berkelas C di kota Medan. Pelaksanaan penelitian dilaksanakan pada bulan Mei-September Tahun 2007. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien partikulir yang telah dirawat inap lebih dari dua kali pada bulan Januari 2007 – Juli 2007 di RS. Islam Malahayati Medan sebanyak 53 orang. Seluruh populasi dijadikan sampel dalam penelitian (total sampling), dengan kriteria sebagai berikut: - Pasien berdomisili di kawasan Medan sekitarnya. - Pasien telah dirawat inap minimal tiga hari, karena setelah tiga hari pasien telah mendapatkan hampir seluruh pelayanan rawat inap. - Pasien mampu berkomunikasi dengan baik. - Pasien menilai kualitas pelayanan rumah sakit pada saat kunjungan terakhirnya di rumah sakit. - Pasien anak akan diwakili oleh orang tuanya atau walinya. Metode pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan wawancara secara langsung menggunakan pedoman wawancara (kuesioner) tentang kualitas pelayanan sebagai faktor yang mempengaruhi tingkat loyalitas pasien,dan data laporan atau registrasi RS. Islam Malahayati Medan. Teknik analisis menggunakan uji Korelasi Spearman dan. analisis regresi linier berganda. HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Pasien Partikulir di Ruang Rawat Inap RS. Islam Malahayati Medan Tahun 2007 1. Berdasarkan Umur Tabel 1. Distribusi Berdasarkan Umur Pasien Partikulir di Ruang Rawat Inap RS Islam Malahayati Medan Tahun 2007 No. 1 2 3 4 5 6 7
Umur 18-25 26-33 34-41 42-49 50-57 58-64 65-73 Total
Jumlah 2 6 4 16 17 6 2 53
% 3,8 11,3 7,5 30,2 32,1 11,3 3,8 100
Ritha F. Dalimunthe, Heldy B.Z., dan Puti Puspita Yean
Pada tabel terlihat bahwa karakteristik pasien partikulir di ruang rawat inap RS. Islam Malahayati Medan tahun 2007 berdasarkan umur yang terbanyak adalah umur 50-57 tahun yaitu sebanyak 17 orang (32,1%) dan yang paling sedikit adalah umur 18-25 tahun dan 65-73 tahun yaitu sebanyak 2 orang (3,8%). 2. Berdasarkan Jenis Kelamin Tabel 2. Distribusi Berdasarkan Jenis Kelamin Pasien Partikulir di Ruang Rawat Inap RS Islam Malahayati Medan Tahun 2007 No 1 2
Jenis Kelamin Pria Wanita Total Sumber: hasil penelitian (2008)
Jumlah 30 23 53
% 56,6 43,4 100
Pada tabel terlihat bahwa karakteristik pasien partikulir di ruang rawat inap RS. Islam Malahayati Medan tahun 2007 berdasarkan jenis kelamin yang terbanyak adalah pria yaitu sebanyak 30 orang (56,6%) dan yang paling sedikit adalah wanita yaitu sebanyak 23 orang (43,4%).
Analisis Persepsi Pasien Partikulir tentang Kualitas…
Pada tabel terlihat bahwa karakteristik pasien partikulir di ruang rawat inap RS. Islam Malahayati Medan tahun 2007 berdasarkan pekerjaan yang terbanyak adalah wiraswasta yaitu sebanyak 17 orang (32,1%) dan yang paling sedikit adalah Pegawai negeri/ABRI/pensiunan yaitu sebanyak 3 orang (5,7%). Analisis Univariat 1. Variabel Assurance Persepsi pasien tentang kualitas pelayanan di RS. Islam Malahayati Medan dilihat dari aspek assurance, ternyata sebanyak 32 responden (60,4%) menilai pengetahuan dan kemampuan dokter dalam menetapkan diagnosa penyakit baik dan sebanyak 28 responden (52,8%) menilai kemampuan para medis di rumah sakit dan kerahasiaan penyakit di rumah sakit baik. Sedangkan sebanyak 32 responden (60,4%) dan 28 responden (52,8%) menilai kesopanan dan keramahan petugas di rumah sakit dan kepercayaan serta keamanan terhadap perilaku perawat di rumah sakit dalam kategori sedang.
3. Berdasarkan Pendidikan Tabel 3. Distribusi Berdasarkan Pendidikan Pasien Partikulir di Ruang Rawat Inap RS Islam Malahayati Medan Tahun 2007 No 1 2 3 4 5 6
Pendidikan Tidak sekolah/Tidak tamat SD Lulus SD Lulus SLTP Lulus SMU Lulus Akademi Lulus Perguruan Tinggi Total Sumber: hasil penelitian (2008)
Jumlah 6 9 19 11 4 4 53
% 11,3 17 35,8 20,8 7,5 7,5 100
Pada tabel terlihat bahwa karakteristik pasien partikulir di ruang rawat inap RS. Islam Malahayati Medan tahun 2007 berdasarkan pendidikan yang terbanyak adalah lulus SLTP yaitu sebanyak 19 orang (35,8%) dan yang paling sedikit adalah lulus Akademi dan lulus Perguruan Tinggi yaitu sebanyak 4 orang (7,5%). 4. Berdasarkan Pekerjaan Tabel 4. Distribusi Berdasarkan Pekerjaan Pasien Partikulir di Ruang Rawat Inap RS Islam Malahayati Medan Tahun 2007 No 1 2 3 4 5
Pekerjaan Tidak bekerja/pengangguran Ibu rumah tangga Wiraswasta Pegawai negeri/ABRI/pensiunan Pegawai swasta Total Sumber: hasil penelitian (2008)
Jumlah 9 15 17 3 9 53
% 17 28,3 32,1 5,7 17 100
2. Variabel Reliability Persepsi pasien partikulir tentang kualitas pelayanan di RS. Islam Malahayati Medan dilihat dari aspek reliability, ternyata sebanyak 32 responden (60,4%) menilai prosedur pelayanan di rumah sakit baik dan sebanyak 28 responden (52,8%) menilai penjelasan yang diberikan dokter baik. Namun sebanyak 34 responden (64,2%) menilai jadwal dokter jaga dalam kategori sedang. 3. Variabel Responsiveness Persepsi pasien partikulir tentang kualitas pelayanan di RS. Islam Malahayati Medan dilihat dari aspek responsiveness, ternyata sebanyak 32 responden (60,4%) menilai personil Unit Gawat Darurat di rumah sakit baik dan sebanyak 29 responden (54,7%) menilai kesiapan petugas dalam membantu pasien baik. Sedangkan sebanyak 35 responden (66%) dan 30 responden (56,6%) menilai ketepatan waktu perawat saat membutuhkan pertolongan dan kecepatan petugas dalam memberikan pelayanan dalam kategori sedang. 4. Variabel Tangible Persepsi pasien partikulir tentang kualitas pelayanan di RS. Islam Malahayati Medan dilihat dari aspek tangible, ternyata sebanyak 31 responden (58,5%) menilai ruangan kamar rumah sakit baik dan sebanyak 28 responden (52,8%) menilai penampilan petugas di rumah sakit baik. Sedangkan sebanyak 17 responden (32,1%) menilai peralatan dan fasilitas yang dimiliki rumah sakit tidak baik, dan sebanyak 34 21
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 18 - 26
responden (64,2%) dan 30 responden (56,6%) menilai kondisi ruang tunggu di rumah sakit serta kondisi fasilitas parkir di rumah sakit dalam kategori sedang. 5. Variabel Emphaty Persepsi pasien tentang kualitas pelayanan di RS. Islam Malahayati Medan dilihat dari aspek emphaty, ternyata sebanyak 33 responden (62,3%) menilai kecukupan waktu bagi keluarga untuk berkonsultasi baik dan sebanyak 28 responden (52,8%) menilai perhatian petugas dalam memperhatikan kebutuhan spesifik baik. Sedangkan sebanyak 33 responden (62,3%) menilai sikap peduli petugas dalam kategori sedang dan 31 responden (58,5%) menilai kesungguhan petugas dalam mendengarkan keluhan pasien dan keluarga dalam kategori sedang. 6. Variabel Trust Loyalitas pasien partikulir di RS. Islam Malahayati Medan dari aspek trust yang paling banyak adalah pelayanan yang diberikan oleh perawat di rumah sakit sebanyak 33 orang (62,3%) menyatakan sedang. 7. Variabel Psychological Commitment Loyalitas pasien partikulir di RS. Islam Malahayati Medan dari aspek psychological commitment yang paling banyak adalah kesabaran para staf dalam memberikan pelayanan di rumah sakit sebanyak 39 orang (73,6%) menyatakan sedang. 8. Variabel Switching Cost Loyalitas pasien partikulir di RS. Islam Malahayati Medan dari aspek switching cost yang paling banyak adalah bila dilakukan perubahan manajemen demi kemajuan rumah sakit sebanyak 42 orang (79,2%) dan kenyamanan selama dirawat di rumah sakit ini daripada rumah sakit lain sebanyak 42 orang (79,2%) menyatakan sedang.
Analisis Bivariat Analisis bivariat bertujuan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen untuk melihat variabel kualitas pelayanan yang berhubungan dengan tingkat loyalitas pasien. Analisa bivariat dalam penelitian ini menggunakan uji Korelasi Spearman dengan nilai α=0,05. Tabel 5. Hasil Analisa Bivariat Variabel Kualitas Pelayanan dan Variabel Tingkat Loyalitas Pasien di RS Islam Malahayati Medan Tahun 2007 No 1. 2. 3. 4. 5.
Kualitas Pelayanan Assurance Reliability Responsiveness Tangible Emphaty
Pada tabel di atas diketahui bahwa seluruh variabel kualitas pelayanan (assurance, p= 0,002; reliability, p= 0,017; responsiveness, p= 0,000; tangible, p= 0,000; emphaty, p= 0,000;) menunjukkan hubungan yang signifikan dengan variabel tingkat loyalitas. Sedangkan variabel yang paling besar memiliki hubungan adalah variabel emphaty dengan nilai correlation coefficient = 0,551. Analisis Multivariat Analisis multivariat bertujuan untuk mengetahui pengaruh secara bersamaan antara variabel independen terhadap variabel dependen yang dilakukan dengan uji regresi linier berganda dengan α=0,05, untuk melihat pengaruh variabel kualitas pelayanan terhadap tingkat loyalitas pasien. Tabel 6. Hasil Analisis Multivariat Uji Regresi Linier Berganda Variabel Kualitas Pelayanan terhadap Tingkat Loyalitas Pasien di RS Islam Malahayati Medan Tahun 2007 Kualitas Pelayanan
9. Variabel Word of Mouth Loyalitas pasien partikulir di RS. Islam Malahayati Medan dari aspek word of mouth yang paling banyak adalah keramahan perawat di rumah sakit sebanyak 42 orang (79,2%) menyatakan sedang. 10. Variabel Cooperation Loyalitas pasien partikulir di RS. Islam Malahayati Medan dari aspek cooperation yang paling banyak adalah pengalaman yang kurang baik diceritakan kepada rumah sakit ini sebagai bahan masukan bagi rumah sakit sebanyak 38 orang (71,7%) menyatakan sedang.
22
Tingkat Loyalitas Pasien Sig (2Correlation tailed) Coefficient 0,002 0,413 0,017 0,326 0,000 0,536 0,000 0,489 0,000 0,551
Konstanta Assurance Reliability Responsiveness Tangible Emphaty
B
Sig
0,507 0,482 0,473 0,595 0,358 0,682
0,030 0, 036 0,032 0,041 0,531 0,016
Berdasarkan hasil uji regresi linier berganda di atas dapat dilihat bahwa variabel assurance, reliability, responsiveness dan emphaty secara bersama-sama berpengaruh terhadap tingkat loyalitas pasien (P < 0,05) dengan variabel yang paling dominan berpengaruh terhadap tingkat loyalitas pasien adalah variabel emphaty.
Ritha F. Dalimunthe, Heldy B.Z., dan Puti Puspita Yean
PEMBAHASAN Pengaruh Persepsi Kualitas Pelayanan Pasien Partikulir tentang Assurance terhadap Tingkat Loyalitas Pasien di RS Islam Malahayati Medan Tahun 2007 Berdasarkan hasil analisis multivariat, didapatkan nilai β = 0, 482, p = 0,036 < 0,05 hal ini berarti menunjukkan bahwa persepsi kualitas pelayanan pasien partikulir tentang assurance mempunyai pengaruh terhadap tingkat loyalitas pasien partikulir di bagian rawat inap rumah sakit Islam Malahayati Medan. Penelitian Brady, Cronin Thomas (2000), menyatakan bahwa service quality, service value, dan satisfaction secara kumulatif mempunyai hubungan langsung terhadap loyalitas. 10 Penelitian Brady, Cronin Thomas sesuai dengan penelitian yang dilakukan di rumah sakit Islam Malahayati Medan, dimana diperoleh hasil bahwa variabel assurance yang termasuk kedalam dimensi service quality mempunyai hubungan dan pengaruh yang signifikan dengan variabel loyalitas. Kualitas pelayanan mencakup tentang atributatribut kualitas pelayanan seperti keandalan, daya tanggap, tanggung jawab, simpati, kenyamanan, kebersihan dan keramahan. Dari sudut pandang pasien parikulir di rumah sakit Islam Malahayati Medan, kualitas pelayanan bisa berarti suatu assurance terpenuhinya akan kebutuhan pasien, sehingga pelayanan di rumah sakit harus selalu berusaha memenuhi kebutuhan serta harapan pasien, dan diberikan dengan cara yang ramah dan sopan pada waktu mereka berada di dalam masa perawatan di rumah sakit Islam Malahayati Medan. Tjiptono (1998) mengemukakan tentang pengertian pelayanan jasa yang unggul (service excellence): yaitu suatu sikap atau cara petugas dalam melayani pelanggan secara memuaskan. Sasaran dan manfaat dari service excellence secara garis besar terdapat empat unsur pokok yaitu: Kecepatan, ketepatan, keramahan, dan kenyamanan. Keempat unsur pokok tersebut merupakan suatu kesatuan pelayanan yang terintegrasi, artinya pelayanan atau jasa menjadi tidak sempurna bila ada salah satu dari unsur tersebut diabaikan. 12 Pengaruh Persepsi Pasien Partikulir tentang Reliability terhadap Tingkat Loyalitas Pasien di RS Islam Malahayati Medan Realiabilty adalah kemampuan memberikan pelayanan/profesionalisme sesuai dengan yang dijanjikan, terpercaya, akurat, konsisten.
Analisis Persepsi Pasien Partikulir tentang Kualitas…
Berdasarkan hasil analisis multivariat pada penelitian di rumah sakit Islam Malahayati Medan, didapatkan nilai β = 0, 473, p = 0,032 < 0,05 hal ini menunjukkan bahwa persepsi pasien partikulir tentang reliability mempunyai pengaruh terhadap tingkat loyalitas pasien partikulir di bagian rawat inap rumah sakit Islam Malahayati Medan. Menurut Lovelock dan Wright (2005), reliability adalah kesesuaian pelayanan medis yang diberikan dari apa yang dibutuhkan dari waktu ke waktu. 13 Sehingga di dalam pelaksanaannya jika aspek reliability memenuhi syarat seperti lingkungan yang baik dan fasilitas pendukung termasuk peralatan medis yang memadai, aspek proses kehandalan, ketanggapan dan rasa simpati paramedis dan perasaan aman yang dirasakan oleh pasien, semuanya direspon tidak baik oleh pasien partikulir, maka bisa dikatakan bahwa pelayanan yang diberikan merupakan pelayanan yang tidak prima sehingga belum bisa memuaskan pasien yang berakhir kepada rendahnya loyalitas pasien partikulir. Pelayanan yang konsisten adalah yang paling diinginkan oleh pasien rawat inap khususnya pasien partikulir, dalam arti pelayanan tersebut harus bisa diandalkan. Pelayanan yang bisa diandalkan mengandung unsur: melakukan apa yang sudah dijanjikan kepada pasien, profesional dalam melayani pasien dan ketepatan dalam memberikan informasi kepada pasien. Jika hal tersebut yang diberikan kepada pasien maka akan memberikan persepsi yang baik atas pelayanan dan selanjutnya akan berpengaruh pada tingginya loyalitas pasien di rumah sakit Islam Malahayati Medan. Pengaruh Persepsi Pasien Partikulir tentang Responsiveness terhadap Tingkat Loyalitas Pasien di RS Islam Malahayati Medan Responsiveness yaitu keinginan membantu pelanggan dan memberikan pasien pertolongan yang segera. Berdasarkan hasil analisis multivariat, didapatkan nilai β = 0, 595, p = 0,041 < 0,05 hal ini berarti menunjukkan bahwa persepsi pasien partikulir tentang responsiveness mempunyai pengaruh terhadap tingkat loyalitas pasien di bagian rawat inap rumah sakit Islam Malahayati Medan. Penelitian Sabihaini (2002) menyimpulkan bahwa peningkatan kualitas jasa akan memberikan dampak yang baik untuk meningkatkan loyalitas.14 Penelitian Sabihaini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di rumah sakit Islam Malahayati Medan yang ternyata menunjukkan bahwa variabel responsiveness dan variabel tingkat loyalitas mempunyai hubungan yang signifikan dan juga mempunyai pengaruh yang signifikan.
23
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 18 - 26
Tanggap berarti siap, ada ditempat, bisa dihubungi dan bersedia membantu masalah pasien. Beberapa harapan pasien didalam mendapat pelayanan yang berhubungan dengan ketanggapan diantaranya adalah kesiapan peralatan kesehatan yang akan digunakan, kemudahan dalam proses administrasi, petugas segera bertindak dan membantu saat pasien membutuhkan pertolongan segera. Jika variabel ketanggapan dalam memberikan pelayanan lebih ditingkatkan lagi oleh setiap personil rumah sakit, maka persepsi pasien terhadap rumah sakit akan semakin baik yang akan diikuti dengan tingginya tingkat loyalitas pasien partikulir terhadap rumah sakit Islam Malahayati Medan. Pengaruh Persepsi Pasien Partikulir tentang Tangible terhadap Tingkat Loyalitas Pasien di RS Islam Malahayati Medan Tangible adalah wujud kenyataan secara fisik yang meliputi fasilitas, peralatan, pegawai, dan sarana informasi/komunikasi. Berdasarkan hasil analisis multivariat pada penelitian di rumah sakit Islam Malahayati Medan memperlihatkan bahwa, tangible (bukti fisik) tidak mempunyai pengaruh terhadap tingkat loyalitas pasien partikulir di bagian rawat inap RS. Islam Malahayati Medan dengan nilai signifikan (p=0, 531) dan nilai koefisien regresi = 0,358. Menurut Lovelock (2005), karena kinerja jasa tidak berwujud, bukti fisik memberi petunjuk tentang kualitas jasa dan dalam beberapa hal akan sangat mempengaruhi pelanggan dalam menilai jasa tersebut, sehingga perlu dipikirkan secara cermat sifat dari bukti fisik bagi pelanggan. 13 Pernyataan tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan, ternyata bukti fisik rumah sakit tidak berpengaruh terhadap tingkat loyalitas pasien walaupun memiliki hubungan yang signifikan. Penampilan rumah sakit yang baik namun tidak diikuti oleh pelayanan yang cepat terhadap kebutuhan pasien, tidak peduli dan perhatian terhadap keluhan pasien serta tidak mampu memberikan perasaan aman kepada pasien, tidak akan mampu membuat pasien loyal terhadap rumah sakit tersebut. Harapan pasien yang paling utama ialah ia ingin agar masalahnya segera diidentifikasi dengan tepat untuk memperoleh kejelasan atau informasi tentang penyakit yang dideritanya, dilayani secepat mungkin dan ditangani oleh tangan-tangan yang profesional. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurnia (2007) yang menyimpulkan bahwa variabel tangible tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kepuasan pasien dengan nilai signifikan sebesar 0,389.15
24
Oleh karena itu rasa simpati petugas, kehandalan, kecepatan dan keamanan pelayanan perlu ditingkatkan untuk meningkatkan loyalitas pasien. Jika pasien partikulir merasa puas atas pelayanan yang diberikan, maka hal ini akan menjadikan pengalaman yang baik, yang selanjutnya akan meningkatkan loyalitas pasien. Loyalitas pasien ini cenderung akan menguntungkan rumah sakit Islam Malahayati Medan, yaitu pasien partikulir akan loyal terhadap rumah sakit ini dan bersedia memberikan rekomendasi kepada orang lain untuk menggunakan jasa pelayanan kesehatan di rumah sakit Islam Malahayati Medan. Secara tidak langsung akan mendatangkan pasien baru tanpa mengeluarkan dana untuk promosi. Variabel tangible walaupun tidak berpengaruh terhadap tingkat loyalitas pasien partikulir di rumah sakit Islam Malahayati Medan, namun pihak rumah sakit tetap berupaya meningkatkan kinerjanya dalam pemberian pelayanan secara menyeluruh. Misalnya lebih memperhatikan kebersihan dan kenyamanan rumah sakit, kondisi ruang tunggu, kondisi fasilitas parkir, penampilan petugas, peralatan yang lebih canggih. Jika rumah sakit Islam Malahayati Medan mampu memberikan fasilitas dan pelayanan kesehatan yang lebih prima bagi para pasien khususnya pasien partikulir di bagian rawat inap yang memenuhi harapan mereka, pada akhirnya akan menciptakan loyalitas pasien yang tinggi. Pengaruh Persepsi Pasien Partikulir tentang Emphaty terhadap Tingkat Loyalitas Pasien di RS Islam Malahayati Medan Emphaty adalah kemampuan untuk memberikan perhatian penuh kepada pasien, kemudahan dalam kontak, komunikasi yang baik, dan memahami kebutuhan pelanggan secara individual. Berdasarkan hasil analisis multivariat, didapatkan nilai β = 0, 682, p = 0,016 < 0,05 hal ini berarti menunjukkan bahwa persepsi pasien partikulir tentang emphaty mempunyai pengaruh dan merupakan variabel yang paling dominan terhadap tingkat loyalitas pasien di bagian rawat inap rumah sakit Islam Malahayati Medan. Penelitian yang dilakukan oleh Haryono, Kusnanto dan Nusyirwan (2006) yang berjudul Hubungan Persepsi terhadap Kualitas Pelayanan dengan Minat Pemanfaatan Pelayanan Rawat Inap Puskesmas dan Balai Pengobatan Swasta di Kabupaten Tapanuli Tengah memperlihatkan hasil bahwa variabel emphaty merupakan variabel yang paling dominan di Balai Pengobatan Swasta. 16 Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan di RS. Islam Malahayati Medan, dimana
Ritha F. Dalimunthe, Heldy B.Z., dan Puti Puspita Yean
Analisis Persepsi Pasien Partikulir tentang Kualitas…
variabel emphaty merupakan variabel yang paling dominan. Setiap pasien khususnya pasien partikulir di rumah sakit Islam Malahayati Medan, pada dasarnya ingin diperlakukan khusus artinya lain dari pada pasien yang lainnya. Dengan demikian rasa simpati dari paramedis merupakan alat utama untuk memenuhi harapan pasien akan perlakuan yang istimewa tersebut. Simpati berarti berdiri di tempat pasien, maksudnya ialah mencoba memahami apa yang diinginkan dan dirasakan oleh pasien. Oleh karena itu keluhan-keluhan ataupun permintaanpermintaan pasien harus di dengar dengan seksama, menyesuaikan pelayanan dan mengajukan pertanyaan dengan tepat. Jika hal tersebut diperhatikan oleh paramedis maka pasien juga akan simpati kepada paramedis yang merawatnya dan ini juga akan berpengaruh pada tingginya loyalitas pasien terhadap rumah sakit. Pasien jika sudah mempunyai rasa memiliki dan ikatan emosional pada sebuah rumah sakit, biasanya mereka tidak mau pindah untuk dirawat di rumah sakit yang lain, meskipun ada terjadi perubahan harga di rumah sakit tersebut. Mereka sudah merasa nyaman, percaya dan simpati pada rumah sakit tersebut dan mereka akan dengan mudahnya mempromosikan rumah sakit kepada orang lain, sehingga secara tidak langsung rumah sakit telah dipromosikan tanpa mengeluarkan cost dan akan berdampak positif bagi perkembangan rumah sakit Islam Malahayati Medan.
Square sebesar 0, 542, hal ini menunjukkan bahwa variabel kualitas pelayanan yang meliputi assurance, reliability, responsiveness, tangible, dan emphaty dapat menerangkan pengaruhnya terhadap tingkat loyalitas pasien partikulir adalah sebesar 54,2% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti kemungkinan dari faktor harga, lokasi, promosi.
KESIMPULAN 1.
2.
3.
Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa seluruh variabel kualitas pelayanan mempunyai hubungan yang signifikan dengan variabel tingkat loyalitas (assurance, p = 0,002; reliability, p = 0,017; responsiveness, tangible dan emphaty masing-masing mempunyai nilai p = 0,000). Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa variabel emphaty mempengaruhi tingkat loyalitas pasien partikulir di bagian rawat inap RS. Islam Malahayati Medan dengan nilai β = 0, 682, diikuti variabel responsiveness dengan nilai β = 0, 595, variabel assurance dengan nilai β = 0, 482 dan variabel reliability dengan nilai β = 0, 473. Variabel tangible tidak mempunyai pengaruh terhadap tingkat loyalitas dengan nilai p=0, 531. Variabel yang paling dominan mempengaruhi tingkat loyalitas pasien adalah variabel emphaty. Hasil analisis multivariat menunjukkan bahwa r
DAFTAR PUSTAKA Tjiptono, F., 2005. Pemasaran Jasa, Jawa Timur: Bayumedia. Supriyantoro., 2000. Peluang RS Dalam Meraih Keunggulan Bersaing Melalui Strategi Pemasaran 3-D, Jurnal Manajemen & Administrasi Rumah Sakit Indonesia Volume 4 No. 1 Januari 2003, Jakarta. 200.000 WNI berobat ke Malaysia, 23 Agustus 2006, http://www.Pikiran Rakyat.com, Juni 2007. Muninjaya, G.A.A., 2004. Manajemen Kesehatan, Jakarta: Penerbit Buku ECG. Suryadi, Sofjan., 2001. Biaya atau Kepuasan Pasien, http://www.pdpersi.co.id, Juni 2007. Tjiptono, F., 1999. Perspektif Manajemen dan Pemasaran Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Andi. _____________, 2004. Manajemen Jasa, Yogyakarta: Penerbit Andi. Rifai, Achmad., 2005. Pengaruh Persepsi Masyarakat Terhadap Pemanfaatan Pelayanan Pengobatan di Puskesmas Binjai Kota Tahun 2004, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Haryati, Catur., 2004. Analisis Persepsi Mutu Pelayanan Terhadap Kepuasan Pasien di Ruang Rawat Inap RSUD Langsa Tahun 2003, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Cronin, J Joseph, Brady Michael. K and Hult. G Thomas M., 2000. Assesing The Effects of Quality, Value, and Customer Satisfaction on Consumer Behavioral Intentions in Service Environment, Journal of Retailing, Vol. 76: 193- 218. Caruana, Albert and Malta Msida, 2002. Service Loyalty: The Effects of Service Quality and the Mediating Role of Customer Satisfaction, European Journal of Marketing, Vol. 36: 811828. Tjiptono, F., 1998. Perspektif Manajemen dan Pemasaran Kontemporer, Yogyakarta: Penerbit Andi. 25
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 18 - 26
Lovelock, Wright., 2005. Manajemen Pemasaran Jasa. Edisi Bahasa Indonesia, PT. Index Jakarta. Sabihaini, 2002. Analisis Konsekuensi Keperilakuan Kualitas Layanan; Suatu Kajian Empirik, Usahawan, No. 02 Tahun xxxi pp. 29-36
Kurnia., 2007. Pengaruh Persepsi Pasien Partikulir Tentang Kualitas Pelayanan Terhadap
26
Kepuasan Pasien Rawat Inap di RSU. PTPN2 Tembakau Deli Medan Tahun 2006, Tesis Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan. Haryono, Kusnanto., 2006. Hubungan Persepsi terhadap Kualitas Pelayanan dengan Minat Pemanfaatan Pelayanan Rawat Inap Puskesmas dan Balai Pengobatan Swasta di Kabupaten Tapanuli Tengah, Working Paper Series No.4, April, First Draft.
PERFORMANCE APPRAISAL PADA BPRS Saparuddin Siregar Staf Pengajar IAIN Medan
Abstract Rural Islamic Bank (BPRS), is an unique bank, where designed to serve the very small Industry (UMK). BPRS operated in a small area with the capital started from Rp 500 million. BPRS perhaps also has a small number of employees. Eventhough BPRS is a small entity, but it must be managed with the principles of Good Corporate Governance (GCG). In consequence BPRS have to apply the modern management in its human resource development. Otherwise the BPRS will not grow better, or even will be loss. Developing the human resources covers the construction to moral integrity, knowing the technical operation of the transaction and bank product especially the ability to sell the funding and lending product. Construction to various factors above will not succeed without available of adequate program training, existence of qualified Performance Appraisal. Management of the BPRS expected to apply this qualified Performance Appraisal which will push the employees to increase their performance and which in turn will improve the employees productivity and improve the ability BPRS yields the profit.
A. PENDAHULUAN Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) adalah perbankan yang unik, dimana bank ini beroperasi dalam sekala kecil, diperuntukkan melayani Usaha Kecil dan Mikro (UMK), dan tidak diperkenankan melayani simpanan dalam bentuk rekening Giro. BPRS beroperasi pada wilayah kabupaten ataupun kotamadya dengan jangkauan yang terbatas sebagaimana permodalannya yang relative kecil. Namun meskipun pada satu sisi BPRS adalah perbankan yang beroperasi terbatas, dengan permodalan mulai dari Rp 500 juta, yang tentunya pula dengan bilangan jumlah karyawan yang kecil, namun tidak dapat dipungkiri bahwa BPRS adalah sebuah Bank atau suatu lembaga kepercayaan, yang harus dikelola sesuai prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG). Karena itu tidak dapat ditawartawar bahwa BPRS harus menerapkan manajemen modern dalam pengembangan sumber daya manusianya (Sumber daya Insani atau SDI), jika tidak dilakukan maka dikuatirkan BPRS tidak akan tumbuh dengan baik, atau bahkan akan mengalami kehancuran. Pengembangan SDI di BPRS meliputi pembinaan terhadap integritas moral, penguasaan tekhnis transaksi maupun produk bank., termasuk kemampuan memasarkan produk penghimpunan dana dan juga kemampuan menyalurkan dana bank dengan tetap frudent (hati-hati). Pembinaan terhadap berbagai factor yang disebut di atas tidak akan berhasil tanpa tersedianya program training yang memadai, adanya
rotasi yang teratur dan adanya evaluasi yang teratur pula terhadap prestasi karyawan (Performance Appraisal atau PA) Manajemen BPRS sangat berkepentingan terhadap adanya Performance Appraisal (PA) yang dapat menggambarkan secara objectif prestasi karyawan, di samping pula PA diharapkan dapat memenuhi sasaran yaitu dapat mendorong karyawan untuk meningkatkan kinerjanya yang pada gilirannya meningkatkan produktifitas karyawan dan pada akhirnya meningkatkan kemampuan BPRS menghasilkan laba. Namun mengingat organisasi BPRS yang relative kecil maka PA harus memenuhi persyaratan antara lain: 1. PA harus dapat diterima oleh karyawan sebagai metode yang adil (fair) 2. PA harus mengukur kinerja karyawan secara objektif 3. PA harus dapat mendorong karyawan untuk meningkatkan prestasi 4. PA harus simple dan mudah dilaksanakan. B. PERFORMANCE APPRAISAL 1. Pengertian Performance Appraisal Dalam literatur Manajemen Sumber Daya Manusia, Istilah Performance Appraisal digunakan dengan arti yang sama sebagai penilai prestasi ataupun penilaian kinerja. Veithzal Rizal dalam bukunya Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan: Dari Teori ke Praktik, ketika menjelaskan 27
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 27 - 32
tentang Kinerja yang dibaurkan dengan istilah Prestasi. Veithzal menguraikan bahwa Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Kinerja merupakan perilaku nyata yang ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan perannya dalam perusahaan. Dengan demikian prestasi karyawan adalah hasil kerja karyawan dalam lingkup tanggung jawabnya. Lebih jauh beberapa pengertian dari Kinerja dikutip dari beberapa ahli sebagai berikut: a. Kinerja adalah seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta (Stolovitch and Keeps,1992). b. Kinerja adalah fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan, seseorang harus memliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan keterampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya (Hersey and Blanchard, 1993). c. Kinerja merujuk kepada tingkat keberhasilan dalam melaksanakan tugas serta kemampuan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kinerja dinyatakan baik dan sukses jika tujuan yang diinginkan dapat tercapai dengan baik (Donnelly, Gibson and Ivancevich, 1994). d. Kinerja merupakan fungsi interaksi antara kemampuan atau ability (A), motivasi atau motivation (M) dan kesempatan atau opportunity (O), yaitu kinerja = ƒ (A x M x O). Artinya: kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan (Robbins, 1996). Dengan demikian, kinerja ditentukan oleh faktor-faktor kemampuan, motivasi dan kesempatan. Kesempatan kinerja adalah tingkat-tingkat kinerja yang tinggi yang sebagian merupakan fungsi dari tiadanya rintangan-ringtangan yang mengendalakan karyawan itu. Meskipun seorang individu mungkin bersedia dan mampu, bisa saja ada rintangan yang menjadi penghambat. 2. Tujuan Performance Appraisal Penilaian prestasi karyawan di BPRS antara lain bertujuan: a. Dengan adanya Performance Appraisal karyawan, maka memungkinkan bagi pimpinan perusahaan untuk mengetahui kinerja masing-masing karyawan, apakah 28
b. c.
d.
e.
f.
terjadi peningkatan prestasi atau tidak terjadi sama sekali. Sebagai dasar bagi manajemen untuk mengevaluasi job description Dengan dilakukannya penilaian prestasi, maka dapat diketahui apakah seorang karyawan mampu memikul tanggungjawabnya dengan baik, atau didapati fakta-fakta bahwa karyawan tidak sesuai dengan bidang pekerjaananya saat ini, sehingga perlu dimutasikan ke bidang kerjaan lainnya. Sebagai bahan bagi karyawan sendiri untuk mengetahui pandangan karyawan lain terhadap dirinya. Dengan demikian dapat diketahui sisi-sisi kelemahan maupun keunggulan karyawan, sehingga ia dapat memperbaiki dirinya dimana perlu dan mempertajam lagi sisi-sisi yang dipandang unggul oleh sejawatnya. Dengan adanya penilaian prestasi kerja karyawan, maka akan didapati peringkat prestasi karyawan mulai dari yang berprestasi terbaik sampai dengan yang berprestasi terendah. Karyawan yang mempunyai prestasi lebih tinggi sudah selayaknya akan memperoleh peningkatan gaji yang lebih tinggi. Sebaliknya yang berprestasi rendah akan memperoleh kenaikan yang lebih rendah atau dipertimbangkan tidak meperoleh kenaikan gaji. Bagi karyawan yang berprestasi tinggi dan mempunyai human relationship yang baik akan memungkinkan untuk diberi tanggungjawab yang lebih tinggi. Kepada mereka dapat diserahi kepercayaan untuk memimpin melalui peningkatan, misalnya ditingkatkan dari fungsi sebagai staff menjadi supervisor
3. Beberapa Metode Performance Appraisal Dari sisi pelaku penilai (yang melakukan penilaian), maka penilaian prestasi kerja dapat dilakukan oleh: a. Penilaian hanya oleh atasan; yaitu penilaian yang dilakukan oleh atasan langsung karyawan. Penilaian yang dilakukan atasan langsung ini sangat praktis karena dapat dilaksanakan dengan cepat dan tidak melibatkan banyak orang, bahkan atasan telah memiliki catatan terhadap prestasi masing-masing bawahannya sebelum Performance Appraisal dilakukan. Penilaian oleh atasa langsung ini memiliki kelemahan yaitu akan terjadi standard penilaian yang berbeda oleh atasan yang berbeda, dimana mereka memiliki
Saparuddin Siregar
bawahan masing-masing pada perusahaan yang sama. Misalnya pada BPRS terdapat dua bagian, yaitu bagian marketing dan operasional, lalu masing-masing bagian ini disupervisi oleh supervisor masing-masing. Maka dapat terjadi bahwa standard penilaian oleh supervisor marketing berbeda dengan penilaian oleh supervisor operasional. b. Penilaian oleh kelompok lini; yaitu penilaian yang dilakukan oleh atasan langsung dan atasannya lagi. Penilaian dilakukan bersama-sama dengan cara membahas kinerja dari bawahannya yang dinilai. Penilaian ini memiliki keuntungan bahwa objektivitasnya lebih akurat dibandingkan kalau hanya oleh atasan sendiri, namun atasan yang lebih tinggi dapat mendominasi penilaian. c. Penilaian oleh bawahan dan sejawat. Penilaian dengan metode ini mungkin akan sangat subjektif, namun selaku atasan tidak akan memiliki kendala psikologis terhadap hasil penilaian, karena penilaian diserahkan kepada karyawan. Dari sisi aspek-aspek yang dinilai, penilaian meliputi: pengetahuan tentang pekerjaanya, kepemimpinan, inisiatif, kualitas pekerjaan, kerja sama, pengambilan keputusan, kreativitas, dapat diandalkan, perencanaan, komunikasi, intelegensi (kecerdasan), pemecahan masalah, pendelegasian, sikap, usaha maupun motivasi, namun asfek ini dapat disederhanakan dengan pengelompokan sebagai berikut: a. kemampuan teknis, yaitu kemampuan menggunakan pengetahuan, metode, teknik, dan peralatan yang dipergunakan untuk melaksanakan tugas serta pengalaman dan pelatihan yang diperolehnya. b. Kemampuan konseptual, yaitu kemampuan untuk memahami kompleksitas perusahaan dan penyesuaian bidang gerak dari unit masingmasing ke dalam bidang operasional perusahaan secara menyeluruh, yang pada intinya individual tersebut memahami tugas, fungsi serta tanggung jawabnya sebagai seorang karyawan. c. Kemampuan hubungan interpersonal, yaitu antara lain kemampuan untuk bekerja sama dengan orang lain, memotivasi karyawan, melakukan negosiasi, dan lain-lain. Pendekatan pada orientasi penilaian dapat dilakukan terhadap kinerja masa lalu maupun terhadap kinerja masa depan. Dengan mengevaluasi prestasi kinerja di masa lalu, karyawan dapat memperoleh umpan balik dari upaya-upaya mereka. Umpan balik ini selanjutnya bisa mengarah kepada perbaikanperbaikan prestasi. Metode penilaian berorientasi
Performance Appraisal pada BPRS
masa depan menggunakan asumsi bahwa karyawan tidak lagi sebagai objek penilaian yang tunduk dan tergantung pada penyelia, tetapi karyawan dilibatkan dalam proses penilaian. Karyawan mengambil peran penting bersama-sama dengan penyelia dalam menetapkan tujuan-tujuan strategis perusahaan. Karyawan tidak saja bertanggung jawab kepada penyelia, tetapi juga bertanggung jawab kepada dirinya sendiri. Kesadaran ini adalah kekuatan besar bagi karyawan untuk selalu mengembangkan diri. Inilah yang membedakan perusahaan modern dengan yang lainnya dalam memandang karyawan (SDM). Namun untuk organisasi yang sederhana seperti BPRS penilaian dengan orientasi masa lalu akan lebih mudah untuk dilaksanakan. Beberapa tekhnik yangdigunakan untuk penilaian yang berorientasi masa lalu antara lain:: a. Skala peringkat (Rating Scale) para penilai diharuskan melakukan suatu penilaian yang berhubungan dengan hasil kerja karyawan dalam skala-skala tertentu, mulai dari yang paling rendah sampai yang paling tinggi. Penilaian didasarkan pada pendapat para penilai. Pada umum nya penilai diberi formulir, yang berisi sejumlah sifat dan ciri-ciri hasil kerja yang harus diisi, seperti kemandirian, inisiatif, sikap, kerja sama dan seterusnya. Keuntungan dari metode ini adalah biayanya yang murah dalam penggunaan dan pengembangannya, penilai membutuhkan sedikit pelatihan atau waktu untuk menyerpurnakan formulir yang ada, dan metode ini bisa digunakan untuk banyak karyawan. Kelemahan dari metode ini juga ada, yaitu prasangka penilai biasanya akan tampak pada subjektivitasnya. Penilaian yang deskriptif ini dipengaruhi oleh penafsiran dan prasangka individu. b. Daftar pertanyaan (Checklist) Penilaian berdasarkan metode ini terdiri dari sejumlah pertanyaan yang menjelaskan beraneka macam tingkat perilaku bagi suatu pekerjaan tertentu. Penilai tinggal memilih kata atau pernyataan yang menggambarkan karakteristik dan hasil kerja karyawan. Selain itu, sebagai penilai biasanya atasan langsung. Keuntungan dari checklist adalah biaya yang murah, pengurusannya mudah, penilai hanya membutuhkan pelatihan yang sederhana, dan distandarisasi. Kelemahannya meliputi kepekaan pada penyimpangan penilai, terutama hallo effect. Hallo effect adalah terpengaruhnya penilaian prestasi kerja yang disebabkan oleh persepsi 29
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 27 - 32
pribadi penilai. Dapat terjadi penilaian ini lebih mengedepankan kriteria-kriteria pribadi karyawan dalam menentukan kriteria-kriteria hasil kerja. Kesalahan menafsirkan materi-materi checklist, dan penentuan bobot nilai seharusnya dihindari.. c. Metode peristiwa kritis (Critical Incident Methode) Metode ini merupakan pemilihan yang mendasarkan pada catatan kritis penilai atas perilaku karyawan, seperti sangat baik atau sangat jelek di dalam melaksanakan pekerjaan. Kategorikategori, misalnya kontrol keselamatan dan pengembangan karyawan. Metode ini bermanfaat untuk memberi karyawan umpan balik yang terkait langsung dengan pekerjaanya. Hal ini juga mengurangi penyimpangan penilai, jika penilai mencatat kejadian selama masa penilaian. Tentu saja, kelemahan yang utama adalah penilai sering kali tidak mencatat ketika insiden terjadi. d. Metode catatan prestasi Metode ini berkaitan erat dengan metode peristiwa kritis, yaitu catatan penyempurnaan, yang banyak digunakan terutama oleh para professional. Misalnya penampilan, kemampuan berbicara, peran kepemimpinan, dan aktivitas lainyang berhubungan dengan pekerjaan. Informasi ini secara khusus digunakan untuk menghasilkan detail laporan tahunan tentang kontribusi seorang professional selama satu tahun. Selanjutnya, laporan akan digunakan oleh atasan untuk menentukan kenaikan dan promosi dan untuk memberikan saran-saran tentang hasil kerjanya untuk masa yang akan datang. Penafsiran terhadap materi-materi mungkin subjektif, dan biasanya terjadi penyimpangan, karena hanya memberikan sesuatu yang baik saja terhadap apapun yang dilakukan karyawan. e. Metode Alokasi Angka Metode ini yang terjadi ialah bahwa penilai memberi nilai dalam bentuk angka kepada semua karyawan yang dinilai. Karyawan yang mendapat angka tertinggi berarti dipandang sebagai karyawan ‘terbaik’ dan karyawan yang mendapat angka paling rendah merupakan karyawan yang dinilai paling tidak mampu bekerja. Jumlah nilai bagi semua karyawan ditentukan oleh departemen SDM. Misalnya jumlah 100 yang ‘didistribusikan’ pada sepuluh orang karyawan, sehingga terlihat penilaian sebagai berikut:
30
4. Formulir Penilaian Prestasi Kerja Karyawan Untuk melakukan penilaian prestasi kerja, BPRS menggunakan Formulir Penilaian Performane Karyawan. Pada Formulir penilaian prestasi karyawan terdapat 13 (tigabelas) aspek yang dinilai, yaitu: 1) Keramahtamahan sesama karyawan Penilaian ini dilakukan untuk mengukur kemampuan karyawan berinteraksi dengan sesama karyawan. Keramahtamahan ini akan tercermin dalam kesehari-harian karyawan. Beberapa pertanyaan yang menjadi indikasi keramahtamahan ini antara lain, apakah seorang karyawan menyapa rekannya apabila bertemu pertama sekali pada pagi hari, apakah karyawan selalu memperlihatkan wajah yang manis/selalu tersenyum, apakah karyawan suka membaur atau suka terdiam menyendiri seperti orang asing. 2) Sikap loyal terhadap atasan Sikap loyal terhadap atasan dapat diindikasikan dari beberapa perilaku karyawan antara lain; apakah karyawan selalu menunjukkan sikap respect terhadap atasan, apakah karyawan mematuhi instruksiinstruksi yang disampaikan atasannya, apakah karyawan senantiasa bekerja dengan sungguh sungguh meskipun tanpa pengawasan langsung dari atasan. Apakah karyawan di belakang pimpinan selalu mencela atau bahkan lebih ekstrim ingin menjatuhkan pimpinan dengan menyampaikan keteranganketerangan yang tidak benar kepada pihakpihak tertentu. 3) Ketelitian kerja Ketelitian kerja dapat diukur dengan keseharian pekerjaan karyawan, beberapa indikasi antara lain; apakah teller sering mengalami selisih kas pada akhir hari, apakah karyawan sering keliru dalam melakukan entry data ke computer, apakah staf marketing selalu keliru dalam mengetik data nasabah ketika menyusun usulan-usulan pembiayaan. 4) Kecepatan Kerja Kecepatan Kerja karyawan diindikasikan oleh kemampuannya mengerjakan pekerjaan dengan waktu yang singkat dengan akurasi yang tinggi. Kemampuan ini dapat diperbandingkan antara satu karyawan dengan karyawan lainnya. Ketika diberi penugasan apakah karyawan dapat menyelesaikan tugas
Saparuddin Siregar
dengan segera dan dapat mengatasi sendiri hambatan-hambatan yang dialaminya. 5) Penguasaan Teknis Pekerjaan Penguasaan teknis adalah kemampuan karyawan memahami pekerjaannya secara teknis, misalnya apakah seorang karyawan administrasi pembiayaan memahami dengan baik Peraturan Bank Indonesia tentang Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif, apakah seorang teller menguasi dengan baik prosedur kerja menyangkut pengelolaan uang tunai, apakah karyawan marketing memahami dengan baik prinsip-prinsip syariah bidang tanggung jawabnya. Apakah karyawan marketing memahami karakteristik dari masing-masing jenis pembiayaan dan dapat menjelaskannya dengan baik kepada nasabah, apakah petugas penanggungjawab pajak memahami dengan baik peraturan perpajakan. 6) Kerjasama di dalam Tim Kerjasama didalam tim adalah sikap proaktif yang ditunjukkan karyawan ketika ia menjadi bagian daripada tim kerja. Beberapa indikasi antara lain; apakah ia koperatif melayani permintaan rekan kerja lain yang berhubungan dengan dirinya. Misalnya; sebagai seorang karyawan administrasi kredit apakah karyawan segera menyiapkan surat-surat keterangan yang dibutuhkan nasabah ketika diminta oleh staf marketing. Apakah seorang staf umum segera memenuhi pengadaan barang-barang sebagaimana diminta rekan kerja lainnya. 7) Membagi pengetahuan sesama karyawan Membagi pengetahuan sesama karyawan adalah kesediaan karyawan untuk membagi pengetahuan kepada rekan kerjanya. Indikasinya dapat terlihat, ketika terjadi mutasi karyawan apakah karyawan yang terdahulu menguasi bidang pekerjaan itu berkenaan membagi pengetahuan kepada temannya yang menggantikan. 8) Penguasaan Komputer Penguasaan komputer dengan mudah diketahui dari kemampuan karyawan mengoperasikan komputer, misalnya operasi Excel, Word maupun program aplikasi tabungan, deposito dan General Ledger. Penguasaan itu meliputi berbagai tekhnik pengoperasian, sehingga mampu menampilkan berbagai format dan menguasai
Performance Appraisal pada BPRS
fasilitas-fasilitas yang program komputer.
tersedia
didalam
9) Kemampuan berkomunikasi menyampaikan ide Kemampuan berkomunikasi menyampaikan ide ini dapat dilihat dari kemampuan karyawan berkomunikasi menyampaikan usulan, gagasan maupun pemikiran sehingga dapat dipahami oleh lawan bicara. Keterampilan ini akan terlihat pada ketika dilakukan rapat-rapat karyawan. Di samping itu bagi staf operasional maupun marketing keterampilan ini akan tampak pada ketika mereka melakukan kontak dengan nasabah, baik secara langsung maupun melalui telepon. Di samping itu keterampilan komunikasi dapat dilihat juga melalui komunikasi tulisan, surat menyurat maupun pada bentuk-bentuk usulan pembiayaan yang disusun oleh staf marketing. 10) Kemampuan Supervisi Kemampuan supervisi ini dikhususkan penilaiannya kepada karyawan yang telah menjabat supervisor. Karyawan yang menjabat supervisor artinya adalah karyawan yang dalam jabatannya melakukan supervisi kepada satu orang atau lebih staf. Kemampuan Supervisi ini adalah kemampuan manajerial sebagaimana fungsi-fungsi manajemen; planning, organizing, controlling. 11) Ketegasan dalam bersikap Ketegasan dalam bersikap juga menjadi bagian penilaian kepada supervisor. Ketegasan dalam bersikap ini tercermin pada ketika supervisor diminta memberikan pertimbangan-pertimbangan terutama menyangkut staf-staf di bawah supervisinya. 12) Kehadiran pagi hari Kehadiran pagi hari adalah bagian dari disiplin karyawan yang dievaluasi secara terus menerus. Kedisiplinan untuk hadir pagi hari ini akan menjadi modal untuk kedisiplinan sisi-sisi lainnya. 13) Kerajinan Kerajinan karyawan dapat dinilai melalui aktifitas sehari-harinya, volume kerja maupun keaktifannya dalam bekerja.
31
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 27 - 32
DAFTAR PUSTAKA Casio, Waynw F. 1992. Managing Human Resources: Productivity, Quality of Work Life, Profit (Singapore: McGraw Hill) Donelly, James H, Gibson, James L and Ivancevich, John. 1994. Fundamental of Management (Texas: Bussiness Publication) Griffin, Ricky W. 1987, Management, (Boston: Houghton Miffin). Hersey, Paul and Blanchard, Kenneth H. 1993, Management of Organizational Behaviour: Utilizing Human Resources (New Jersey Prentice-Hall Inc). Mondy, R. Wayne and Shane R. Premeaux: 1993, Management: Concept, Practices and Skills (Boston, Allyn and Bacon).
32
Rivai, Veithzal and Mohd. Basri, Ahmad Fauzi, Performance Apraisal: Sistem yang tepat untuk menilai kinerja karyawan dan meningkatkan daya saing perusahaan (Jakarta: Raja Grafindo, 2005). Rivai, Veithzal, 2005, Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Perusahaan: Dari Teori ke Praktik, Jakarta: RajaGrafindo. Schermerhorn, John. R, Hunt James. G and Osborn, Richard N. 1991. Managing Organizational Behaviour. (New York: Jhon Willey & Sons) Stolovitch, Harold. D and Keeps, Erica J. 1992. Handbook of Human Performance Technology A Comprehensive Guide for Analysis and Solving Performance Problem in Organizations (San Fransisco: Jprney-Bass Publisher).
PEMBELAJARAN ORGANISASI: STRATEGI MEMBANGUN KEKUATAN PERGURUAN TINGGI Yeni Absah Staf Pengajar FE USU
Abstract Under the turbulent conditions associated with globalisation, a critical characteristic of organizations will be their capacity to learn from experience and adapt continuously to changing external conditions. Organizational learning is an evort to show it’s commitment to learning sustain and improve itselves. Universities that implement organizational learning, will attempt to improve the quality of their teaching and learning processes. Keywords: organizational learning, university, organization
PENDAHULUAN Kehidupan setiap organisasi tidak terlepas dari pengaruh lingkungan eksternal, karena organisasi sebagai suatu sistem selalu berinteraksi dengan lingkungannya. Semua organisasi belajar, namun beberapa organisasi tidak dapat belajar cukup cepat untuk bertahan. Organisasi yang tidak responsif dan adaptif terhadap perkembangan lingkungan yang kompleks dan penuh ketidakpastian sudah tentu tidak menguntungkan organisasi dalam menghadapi dunia persaingan yang semakin ketat. Espejo et al. (1996) menyatakan “the competitive landscape is changing, and new models of competitiveness are needed to deal with challenges a head“. Pernyataan tersebut menunjukkan bahwa organisasi dituntut untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya sehingga mampu memberikan produk dan jasa yang berkualitas kepada pelanggannya mengingat tingkat persaingan ‘kin meningkat. Kemampuan organisasi untuk tetap memperbaharui pengetahuannya melalui proses pembelajaran terasa lebih penting sekarang ini. Agar dapat bersaing organisasi sekarang dan akan datang diharapkan untuk lebih fleksibel. Kefleksibelan membutuhkan komitmen jangka panjang dalam membangun dan mengembangkan sumberdaya strategis. Dalam lingkungan yang serba dinamis, organisasi harus berorientasi pada konsep pembelajaran organisasi (learning organization). Demikian pula halnya dengan perguruan tinggi. Lingkungan persaingan baru telah terbentuk sebagai hasil dari perubahan demografi, teknologi, bentuk perguruan tinggi, dan ekonomi global yang serba kompleks (Blustain et al., 1999). Dengan terbentuknya lingkungan persaingan baru tersebut, berbagai tantangan baru juga muncul bagi perguruan
tinggi antara lain pertanggungjawaban kepada masyarakat yang semakin besar, harapan yang lebih besar dalam meningkatkan akses kerjasama, perhatian yang lebih pada upaya peningkatan kualitas, serta masalah biaya pendidikan. Perguruan tinggi terus dihadapkan pada tuntutan untuk melakukan perubahan. Dalam hal ini, perubahan berkaitan dengan efektivitas proses belajar mengajar. Untuk menghadapi situasi tersebut, perguruan tinggi diharapkan mengadopsi prosesproses khusus agar dapat mendorong perbaikan proses belajar mengajar. Untuk itu, perguruan tinggi baik secara eksplisit maupun implisit harus membangun kesadaran akan pentingnya pembelajaran serta ide pembelajaran sebagai dasar dan pendorong pengembangan perguruan tinggi. KONSEP DAN DEFINISI Banyak penjelasan dan definisi pembelajaran organisasi yang dikenal dalam literatur bisnis dan manajemen. Namun tidak ada definisi universal dari pembelajaran organisasi. Beberapa definisi mengacu kepada kegiatan yang berorientasi pada tindakan (action-oriented) dan fokus pada implementasi, yang merupakan sebuah pendekatan konkret dan menentukan (Dill, 1999; Tsang, 1997). Garvin (2000:11) mendefinisikan pembelajaran organisasi sebagai keahlian organisasi untuk menciptakan, memperoleh, menginterpretasikan, mentrasfer dan membagi pengetahuan, yang bertujuan memodifikasi perilakunya untuk menggambarkan pengetahuan dan wawasan baru. Sedangkan menurut Taylor pembelajaran organisasi merupakan kesempatan yang diberikan kepada pegawai sehingga organisasi menjadi lebih efisien (Luthans, 1995:173). 33
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 33 - 41
Pembelajaran organisasi didasarkan pada prinsipprinsip dasar pembelajaran yakni menerima dan mengumpulkan informasi, menginterpretasikannya, dan bertindak berdasarkan interpretasi dari informasi tersebut (Garvin, 2000:13). Pembelajaran organisasi menyediakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar yang memungkinkan organisasi belajar (Cleveland dan Plastrik, 1995). Pembelajaran organisasi juga dapat digambarkan sebagai seperangkat perilaku organisasi yang menunjukkan komitmen untuk belajar dan terus melakukan perbaikan. Seperti halnya yang dinyatakan oleh Senge (1994), bahwa pembelajaran organisasi memiliki orientasi yang kuat pada sumberdaya manusia, dengan menyatakan: “People continually expand their capacity to create the results they desire, where new and expansive patterns of thinking are nurtured, where collective aspiration is set free, and where people are continually learning how to learn together (Senge, 1994:3). Istilah “learning organization” dan “organizational learning” sangat erat kaitannya dan kadangkala penggunaannya sering kali saling dipertukarkan, walaupun terdapat perbedaan diantara keduanya. Konsep organizational learning mulai dikenal luas di tahun 1970-an, yang diperkenalkan oleh Argyris dan Schon (Fulmer et al., 1998). Organizational learning merupakan jenis aktivitas dalam organisasi dimana sebuah organisasi belajar sementara learning organisation adalah bentuk organisasi (Ortenblad, 2001). Intinya menurut Tsang (1997), sebuah organisasi menjadi organisasi pembelajaran (learning organization) melalui implementasi dari pembelajaran organisasi (organizational learning). Namun perbedaan antara organizational learning dengan learning organization akan sulit dilakukan. Perilaku dari sebuah organisasi pembelajaran adalah mengumpulkan, menginterpretasikan dan mengaplikasikan data untuk meningkatkan kinerja organisasi. Pembelajaran organisasi menolak stabilitas dengan cara terus menerus melakukan evaluasi diri dan eksperimentasi. Baldwin et al. (1997) menyatakan bahwa anggota organisasi dari semua tingkatan, tidak hanya manajemen puncak, terus melakukan pengamatan lingkungan dalam upaya memperoleh informasi penting, perubahan strategi dan program yang diperlukan untuk memperoleh keuntungan dari perubahan lingkungan, dan bekerja dengan metode, prosedur, dan teknik evaluasi yang terus menerus diperbaiki. Organisasi yang bersedia untuk melakukan eksperimen dan mampu belajar dari pengalamanpengalamannya akan lebih sukses dibandingkan dengan organisasi yang tidak melakukannya (Wheelen dan Hunger, 2002:9). 34
PROSES PEMBELAJARAN ORGANISASI Sebuah organisasi belajar melalui beberapa cara. Dixon, 1994 dalam Pearn et al. (1995:180) menyatakan bahwa pembelajaran organisasi menekankan penggunaan proses pembelajaran pada tingkat individu, kelompok dan sistem untuk mentransformasikan organisasi ke dalam berbagai cara yang dapat meningkatkan kepuasan para stakeholder. Kim (1993:37) menekankan pentingnya hubungan antara pembelajaran individu dengan pembelajaran organisasi dengan menyatakan bahwa “....organisasi terutama belajar dari anggota organisasi.“ Pembelajaran individu dan pembelajaran organisasi tidak dapat dipisahkan. Organisasi belajar melalui individu-individu yang menjadi bagian dari organisasi. Orang-orang dipekerjakan karena memiliki kompetensi atau pengetahuan tertentu, yang mereka peroleh dari pekerjaan mereka ataupun dari pelatihan-pelatihan formal. Dapat dikatakan bahwa pendidikan formal merupakan satu cara untuk meningkatkan kemampuan individu dan bahwa organisasi memperoleh keuntungan dari berbagai aktivitas individu terdidik tersebut. Berdasarkan pandangan ini, pembelajaran merupakan sebuah fenomena dimana organisasi memperoleh keuntungan dari anggota organisasinya yang terampil. Namun, hal ini tidaklah sederhana. Sekarang ini, pembelajaran individu tidaklah menjamin pembelajaran organisasi, tetapi pembelajaran organisasi tidak akan terjadi tanpa pembelajaran individu (Garvin, 2000; Kim, 1993:39). Konsep pembelajaran individu menjelaskan secara implisit bahwa manusia memiliki kemampuan untuk belajar dan berubah untuk mencapai pendewasaan dirinya. Manusia diharuskan untuk mampu menempatkan dirinya sesuai dengan kapasitas dirinya, sehingga ia mampu memberikan kontribusi terbaik minimal untuk dirinya, dan lebih luas untuk menciptakan kesejahteraan bagi organisasi, masyarakat atau lingkungannya. Organisasi juga belajar dari organisasi lainnya. Ketika sebuah perusahaan mengakuisisi atau merger dengan perusahaan lain, perusahaan tersebut dapat menyerap cara-cara dan prosedur perusahaan tersebut atau menggabungkannya dengan cara dan prosedurnya sendiri, sehingga terbentuk pengetahuan baru baik proses maupun personalianya. Pembelajaran organisasional merupakan wadah untuk membangun masyarakat yang dewasa yaitu kelompok manusia yang memiliki potensi yang beranekaragam dan mampu melakukan kerjasamacerdas sehingga mampu melaksanakan proses berbagi visi, berbagi model mental dan berbagi pengetahuan, untuk disinergikan dan ditransformasikan menjadi
Yeni Absah
modal maya organisasi. Tanpa mekanisme pembelajaran organisasi, maka organisasi tidak akan mampu menjaga konsistensi pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga tidak mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih besar bagi stakeholders Pada dasarnya tidak ada perbedaan mendasar antara proses belajar individu dengan proses belajar organisasional. Perbedaan terdapat pada (a) jumlah anggota yang terlibat, sehingga konsep utama dari proses pembelajaran organisasi adalah belajar bersama (melibatkan seluruh anggota organisasi), dimana mekanisme berbagi (baik berbagi cara berpikir, berbagi cara pandang, berbagi model mental atau berbagi visi bersama) menjadi kunci utama keberhasilan dari proses pembelajaran organisasi, dan (b) setelah pembentukan pengetahuan tasit organisasi, dilanjutkan dengan proses institusionalisasi untuk mengubah pengetahuan tasit organisasi menjadi pengetahuan eksplisit organisasi. Secara umum, indikasi dari keberhasilan proses pembelajaran organisasi adalah makin luas dan makin intensifnya mekanisme belajar bersama (organisasi), karena: (a) organisasi mampu melakukan proses perbaikan berkelanjutan, melalui peningkatan kualitas cara pandang dan cara berpikirnya, dan (b) organisasi mampu melakukan proses inovasi sosial, melalui peningkatan kualitas paradigmanya. Sasaran utama proses pembelajaran organisasi adalah institusionalisasi pengetahuan kolektif yang dimiliki para anggota sebagai hasil integrasi (berbagi pengetahuan dan atau berbagi model mental), yang diaktualisasikan dalam bentuk strategi, program, sistem, atau pedoman organisasi. Pembelajaran organisasi merupakan visi bagaimana sebuah organisasi dapat menjadi sebuah organisasi yang ideal (Kofman dan Senge, 1995) dengan menggunakan lima disiplin dasar (five fundamental disciplines), dimana tiap-tiap disiplin memberikan kontribusi dalam memperbaiki kehidupan dan kapasitas organisasi untuk belajar. Lima disiplin tersebut adalah: 1. Personal Mastery Sumber keunggulan bersaing dalam bisnis hanya akan datang dari kesuksesan perusahaan dalam pembelajaran, bagaimana mengetuk komitmen dan kapasitas orang-orang untuk belajar pada semua tingkatan dalam organisasi. Dalam mengelola orang-orang, organisasi harus memberdayakannya. Tujuan pendekatan ini adalah agar karyawan dapat mengembangan kreativitas, memiliki motivasi, dan selalu ingin belajar dan memperbaiki diri, untuk mencapai tujuan personal yang sejalan dengan tujuan organisasi. Organisasi seperti ini akan tercipta
Pembelajaran Organisasi: Strategi Membangun…
2.
3.
4.
melalui praktek jangka panjang dari serangkaian disiplin. Dengan demikian akan tercipta organisasi yang dikelola oleh individu-individu yang bekerjasama menuju visi bersama, bukan lagi atas dasar perintah. Awareness of mental models Merupakan pemikiran atau gambaran internal seseorang yang dipegang secara mendalam mengenai bagaimana dunia bekerja, yakni gambaran yang melatarbelakangi kita dalam bertindak dan berpikir. Model ini dapat sangat kuat menentukan tindakan seseorang baik perilaku yang positif atau justru membatasi perilaku. Masalah mental models ini bukanlah karena seseorang memilikinya, namun masalah mental models ini akan meningkat ketika model ini “diam“ yakni ketika gambaran itu muncul di bawah tingkat yang dapat diterima. Senge berpendapat bahwa masalah dengan struktur mental terjadi ketika pemikiran seseorang mengikuti suatu model tanpa ada kemungkinan kesediaannya untuk mengubah pemahaman atau membangun pemahaman baru. Building a shared vision Pada tingkat yang paling sederhana, shared vision adalah jawaban dari pertanyaan “Apa yang ingin kita ciptakan? Meskipun membangun disiplin pertama (personal mastery) dapat membantu dalam membangun visi personal, pengembangan tersebut sungguh tidak akan membantu organisasi kecuali jika terdapat kesejajaran antara visi personal dengan visi organisasi. Dengan demikian tidak hanya visi organisasi yang penting bagi karyawan, namun visi personal karyawan juga harus dinilai dan dihargai oleh organisasi. Team learning Kesejajaran antara visi personal dengan visi organisasi bukanlah masalah kesempatan atau bahkan hanya merupakan persoalan sederhana mengenai rekrutmen karyawan (misalnya organisasi dapat merekrut orang-orang dengan visi yang sejalan dengan visi organisasi). Team learning merupakan masalah praktek dan proses. Senge menyebut proses ini sebagai “team learning dan menjelaskan bahwa hal ini merupakan disiplin yang ditandai dengan tiga dimensi penting, yakni: a. kemampuan untuk memiliki wawasan berpikir mengenai masalah-masalah penting b. kemampuan untuk bertindak dengan caracara yang inovatif dan koordinatif c. kemampuan untuk memainkan peranan yang berbeda pada tim yang berbeda
35
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 33 - 41
5.
Systems thinking Disiplin ini merupakan kerangka kerja dalam melihat hubungan saling keterkaitan diantara disiplin yang ada. Dalam organisasi bisnis, dapat diidentifikasi sejumlah sistem dan hubungan yang sistematis, namun transfer infromasi tidak selamanya mengikuti rantai hubungan ini, seringkali transfer informasi dilakukan melalui jaringan sosial. Transfer informasi dapat terjadi pada jaringan komunikasi informal yang umumnya bersifat “grapevine“ (kabar angin) dan hirarki formal, selain itu juga terdapat jaringan ketiga, yang disebut juga dengan kelompok inti yang mengendalikan organisasi. Kelompok ini tidak muncul pada bagan organisasi formal tetapi meliputi banyak individu yang juga terdiri dari teman atau kerabatnya, semacam “klan” yang tidak terlalu tersembunyi dalam organisasi.
Marquardt (1996:30) kemudian menambahkan satu keterampilan dari lima disiplin dasar Senge dengan menyatakan ada enam keterampilan yang harus dimiliki setiap anggota organisasi demi terwujudnya proses pembelajaran organisasi, yaitu: personal mastery, mental models, shared vision, team learning, systems thingking dan dialogue yakni kemampuan untuk mendengar, berbagi dan komunikasi tingkat tinggi diantara anggota organisasi. Keterampilan berdialog ini menuntut kebebasan dan kreatifitas mengeksplorasi isu-isu, kemampuan untuk saling mendengar secara mendalam, dan menangguhkan pandangannya sendiri. KARAKTERISTIK KUNCI PEMBELAJARAN ORGANISASI Ada tiga karakteristik kunci dari pembelajaran organisasi, yakni: pertama, organisasi harus memiliki komitmen terhadap pengetahuan. Artinya, organisasi memiliki komitmen untuk terus menerus mengupayakan memperoleh pengetahuan. Kedua, pembelajaran organisasi harus memiliki sebuah mekanisme pembaharuan (a mechanism of renewal) dalam organisasi. Departemen dan unit-unit lain dalam organisasi secara perlahan masuk ke dalam birokrasi. Organisasi berhenti beradaptasi; yang berarti berhenti belajar. Organisasi mengalami kesulitan untuk mencapai kesuksesan. Ketiga, pembelajaran organisasi harus memiliki keterbukaan (openess) terhadap dunia luar. Hal ini melibatkan berbagai cara, sebab begitu banyak hal yang harus dipelajari organisasi dari lingkungannya. Berbagai hal yang menyangkut keterbukaan misalnya 36
para manajer membutuhkan pengetahuan mengenai bagaimana lingkungan bisnis berubah secara periodik serta kemauan untuk terus mengikuti pendidikan formal. Bagian pemasaran harus tanggap terhadap perubahan selera konsumen dan pemasok. Semua ini merupakan contoh keterbukaan terhadap dunia luar. Pembelajaran Organisasi pada Perguruan Tinggi Perguruan tinggi merupakan wadah yang menghasilkan dan menyampaikan ilmu pengetahuan. Namun sampai sekarang ini perguruan tinggi belum dianggap sebagai organisasi pembelajaran yakni organisasi yang menggunakan proses pembelajaran dalam proses sistematisnya untuk melakukan perbaikan (Dill, 1999). Pembelajaran organisasi berdasarkan tim bukanlah model utama dalam organisasi akademik, namun prinsip-prinsip pembelajaran organisasi jelas terlihat dalam banyak proses yang dirancang institusi dalam melakukan perbaikan. Dill (1999) telah mempelajari karakteristik organisasi dari pembelajaran organisasi akademik, dengan meneliti 12 studi kasus pada institusi pendidikan di Eropa. Ia menemukan bahwa dengan meningkatkan perhatian pada tangungjawab akademik, perguruan tinggi harus lebih terampil dalam menciptakan ilmu pengetahuan baru untuk memperbaiki kegiatan belajar mengajar dan dengan demikian menyesuaikan perilakunya dengan ilmu pengetahuan baru tersebut. Lingkungan baru akan mendukung proses adaptasi pada struktur dan pengelolaan organisasi untuk mencapai perbaikan kegiatan belajar mengajar. Peningkatan jumlah pusatpusat kajian studi telah meningkatkan dukungan pada proses belajar mengenai kurikulum yang diterapkan melalui informasi yang diperoleh berkaitan dengan pengalaman kerja lulusan, atau melakukan reorganisasi unit akademik untuk meningkatkan kerjasama dengan dunia kerja misalnya dengan membentuk komite akademik. Perubahan lingkungan menciptakan kebutuhan akan pembelajaran perguruan tinggi. Perguruan tinggi yang belajar adalah institusi pendidikan yang menempatkan mahasiswa dan kegiatan belajar mengajar sebagai prioritas. Perguruan tinggi yang belajar merupakan wadah yang menciptakan perubahan pada mahasiswa, menggunakan pola belajar aktif, menawarkan pilihanpilihan studi, memberikan kesempatan melakukan kerjasama dalam belajar yang didorong oleh kebutuhan dosen dan kebenaran pembelajaran (O’Banion, 1997). Pada tingkat departemen (program studi), Angelo (2000:80-86) mengajukan tujuh ide panduan praktis untuk mentransformasikan departemen ke dalam komunitas pembelajaran yang produktif.
Yeni Absah
Angelo menawarkan saran-saran berikut kepada ketua departemen, yakni: 1) membangun kepercayaan; 2) menciptakan situasi saling memotivasi; 3) membangun komunikasi; 4) merancang sistem umpan balik dan proaktif dalam bekerja; 5) berpikir dan bertindak secara sistematis; 6) lakukan apa yang anda yakini; 7) jangan berasumsi. Visi dan kepemimpinan terdapat dalam panduannya untuk saling memotivasi, dan merancang umpan balik dan bekerja proaktif. Saling memotivasi terbangun melalui berbagi visi. Berdasarkan pada berbagi visi, fakultas dapat merancang strategi dan aktivitasnya untuk mencapai tujuan-tujuan departemen (program studi). Atribut pembelajaran organisasi mengenai ilmu pengetahuan dan manajemen komunikasi disebut dengan berdialog dan kebutuhan untuk bertanya dibandingkan berasumsi. Berdialog penting untuk mendapatkan komunikasi yang efektif agar dapat saling memahami dan selanjutnya komunikasi yang efektif tersebut akan menurunkan penggunaan asumsi. Prinsip-prinsip yang mendukung terbangunnya rasa kepercayaan, pemikiran dan tindakan yang sistematis, menunjukkan konsep budaya pembelajaran dalam upaya meningkatkan kinerja. Kepercayaan menggambarkan bahwa fakultas berada dalam lingkungan yang dapat membuat departemen merasa dihargai, bernilai, dan aman. Pemikiran yang sistematis memungkinkan individu-individu dalam departemen (program studi) merasa bahwa mereka merupakan bagian dari sistem yang lebih besar, yakni fakultas dan universitas (Angelo, 2000). Hatfield (1999:1) mengaplikasikan prinsipprinsip perbaikan terus menerus pada departemen (program studi), dan hal ini menunjukkan prinsipprinsip pembelajaran organisasi. Harfield menjelaskan bahwa tujuan dari inisiatif melakukan perbaikan secara terus menerus bagi departemen (program studi) adalah menjadi departemen (program studi) yang mampu memandang diri sendiri (self-regarding), memonitor diri sendiri (self-monitoring) dan mengoreksi diri sendiri (self-correcting). Harfield (1999:1) menyatakan bahwa “rencana penilaian tingkat departemen (program studi) harus mengidentifikasi misi dari departemen (program studi), tujuan yang dikaitkan dengan visi, berbagai aktivitas atau proses yang mendukung pencapaian tujuan, dan sejumlah pengukuran yang memberikan indikasi tingkat keberhasilan pencapaian tujuan. Implementasi rencana membutuhkan pengumpulan, analisis, dan perbandingan data, proses revisi, dan komunikasi mengenai hasil yang dicapai“. Universitas dan fakultas memiliki sejumlah proses yang sistematis dalam upaya melakukan perbaikan. Usaha-usaha ini dapat dilakukan pada tingkat universitas maupun pada fakultas. Melihat
Pembelajaran Organisasi: Strategi Membangun…
perhatian yang diberikan pada setiap usaha perbaikan, maka dapatlah dipandang universitas sebagai universitas pembelajaran organisasi (university learning organization). a. Visi Pernyataan visi, misi, aktivitas rencana jangka panjang menggambarkan karakteristik pembelajaran organisasi. Umumnya perguruan tinggi memiliki pernyataan formal mengenai tujuannya, yang biasanya disebut sebagai pernyataan misi. Lang dan LopersSweetman (1991) menyatakan beberapa peran dari pernyataan misi insitusi. Pernyataan misi berperan sebagai penjelasan dari tujuan, sebagai penyaring dari para oportunis, deskripsi mengenai siapa mereka, aspirasinya, atau pola pemasarannya. Walaupun terdapat berbagai kegunaan dari pernyataan misi, umumnya misi berhubungan dengan masa depan institusi. Visi dalam sebuah universitas yang melakukan pembelajaran organisasi benar-benar terealisasi pada tingkat departemen (program studi). Penelitian terhadap 200 ketua departemen terbaik oleh Creswell et al. (1990) menunjukkan bahwa ketua departemen (program studi) bertanggung jawab membangun visi atau fokus bersama departemen. Visi departemen haruslah sejalan dengan visi dan misi institusi dan dimiliki oleh fakultas melalui keterlibatan mereka dalam proses formulasi (Creswell et al., 1990). Departemen (program studi) harus memiliki konsep kesepakatan mengenai siapa yang ingin dilayani, dengan cara apa, dan hasil apa yang ingin dicapai (Gardiner, 2000). Misi departemen (program studi) haruslah diterjemahkan ke dalam tujuan, sasaran, dan aktivitas yang lebih spesifik dibandingkan pernyataan misi dan merupakan panduan operasional. Lebih luas lagi, ketua departemen sebagai faktor kunci dalam mentransformasikan departemen ke dalam komunitas pembelajaran melalui visi pengajaran yang lebih efektif, pembelajaran yang lebih baik lagi, beasiswa yang lebih tepat sasaran, dan kerjasama yang lebih banyak. b. Kepemimpinan Bimbaum (1998:102-104) menjelaskan posisi pemimpin perguruan tinggi sebagai posisi yang diharapkan dapat mempengaruhi tanpa memaksa, mengarahkan tanpa sanksi, dan mengawasi tanpa menyebabkan pemencilan dalam pembelajaran organisasi. Bimbaum menawarkan tujuh aturan bagi para pemimpin di lingkungan perguruan tinggi, yakni: 1) menghidupkan norma-norma kelompok; 2) menyesuaikan diri dengan harapan kelompok tentang kepemimpinannya; 3) menggunakan jalur komunikasi yang telah terbangun; 4) tidak memberikan perintah 37
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 33 - 41
yang tidak mungkin dilaksanakan; 5) mendengarkan; 6) menurunkan perbedaan status; 7) mendorong pengendalian diri sendiri. Prinsip-prinsip kepemimpinan collegial juga berkaitan dengan kepemimpinan fakultas. Fakultas mengeluarkan pernyataan visi fakultas namun memberikan kepercayaan pada departemen (program studi) untuk mengambil keputusan dan strategi guna mencapai visi tersebut. Dekan berperan sebagai fasilitator dalam hal kerjasama dan penghubung dengan fakultas lain. Menurut Murray (1997) dalam lingkup akademik, kepemimpinan partisipatif diketahui paling baik untuk digunakan. Pembelajaran organisasi dalam perguruan tinggi berarti memberikan kebebasan dan tanggung jawab kepada fakultas dan departemen. Wergin (1994:5) menjelaskan pentingnya tanggung jawab bersama pada tingkat fakultas. Langkah pertama, aspirasi individu dimasukkan ke dalam tujuan-tujuan departemen (program studi) dimana hal ini akan menimbulkan komitmen bersama. Selanjutnya adalah dengan menekankan pentingnya membangun usaha pemahaman bersama mengenai tujuan fakultas dan bagaimana harus mencapainya. Perguruan tinggi harus memiliki pernyataan visi, misi dan kepemimpinan yang menekankan partisipasi. Usaha-usaha untuk mencapai misi dan tujuan dapat direalisasikan oleh fakultas. Dekan fakultas berperan penting dalam memfasilitasi lingkungan kerjasama di dalam universitas yang melakukan pembelajaran organisasi (university learning organization). c. Manajemen Ilmu Pengetahuan dan Komunikasi Universitas memiliki sejumlah mekanisme pengumpulan informasi dalam mengambil keputusan dan upaya perbaikan. Secara internal, universitas mengawasi kualitasnya sendiri berdasarkan standar yang ada. Kualitas fakultas diukur melalui kesepakatan yang dibuat, promosi, dan prosedur masa jabatan. Kualitas mahasiswa ditunjukkan dengan syarat yang harus dipenuhi agar diterima sebagai mahasiswa, indeks prestasi, dan penghargaan yang diterima mahasiswa. Penelitian dan publikasi ilmiah menggambarkan kualitas penelitian dan beasiswa. Syarat penerimaan mahasiswa, penilaian mahasiswa mengenai sistem pengajaran, dan pengembangan departemen (program studi) menggambarkan kurikulum yang dijalankan. Secara eksternal akreditasi, peraturan pemerintah, dan peringkat yang dibuat oleh lembaga eksternal merupakan informasi tambahan mengenai kinerja perguruan tinggi (Trow, 1998). Lembaga penelitian merupakan sumber lain yang menyediakan informasi lengkap mengenai perguruan tinggi. Lembaga penelitian harus menaungi 38
berbagai penelitian yang membawa perbaikan pemahaman, perencanaan, dan operasi institusi pada pendidikan tinggi. Lembaga penelitian berperan dalam mengkaji lingkungan yang dihadapi oleh perguruan tinggi. Peterson (1999) menyatakan bahwa lembaga penelitian haruslah memiliki sifat adaptif yang tinggi karena tingginya arus informasi dan cepatnya perubahan yang terjadi. Pada tingkat fakultas, informasi mengenai kinerja departemen (program studi) dikumpulkan untuk tujuan evaluasi. Evaluasi kinerja departemen (program studi) digunakan untuk berbagai tujuan, tetapi umumnya berkaitan dengan pengambilan keputusan mengenai kinerja individu misalnya tingkat pembayaran gaji, promosi, dan masa jabatan. Kinerja departemen (program studi) biasanya dievaluasi melalui pengukuran kualitatif dan kuantitatif dalam tiga fungsi yang saling berkaitan yakni pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat. di Indonesia dikenal dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi. Alat untuk mengevaluasi pendidikan (pengajaran) umumnya meliputi tingkat kehadiran, nilai mahasiswa, dan portofolio pendidikan. Sementara evaluasi terhadap penelitian umumnya melihat pada pentingnya kontribusi penelitian tersebut terhadap berbagai kegiatan akademik, termasuk publikasi ilmiah dan memenangkan dana penelitian. Sedangkan evaluasi dari pengabdian pada masyarakat dinilai dari sumbangan perguruan tinggi pada masyarakat. Hecht et al. (1999:236) melihat adanya kebutuhan yang tinggi terhadap data fakultas. Hecht et al. menyatakan bahwa fakultas harus mengumpulkan data yang berkaitan dengan keluar masuknya mahasiswa, jumlah lulusan dan jumlah mahasiswa yang ada, sarjana yang dihasilkan, sumberdaya fisik dan finansial, serta benchmarking antar fakultas dalam perguruan tinggi. Perguruan tinggi harus mengumpulkan semua informasi mengenai kinerjanya untuk diberikan baik pada pihak internal maupun eksternal. Informasi tersebut digunakan sebagai panduan bagi perguruan tinggi untuk mengambil keputusan. Fakultas memiliki wewenang untuk menilai kinerja departemen (program studi) yang berada di bawah lingkup keilmuannya. d. Budaya Belajar Dalam universitas yang menjadi organisasi pembelajaran, salah satu aktivitas paling nyata yang dihubungkan dengan budaya belajar adalah pengembangan departemen (program studi). Pengembangan departemen (program studi) dirancang untuk mencapai pertumbuhan dan pembangunan yang pesat dari departemen (program studi) itu sendiri dan staf pengajar sehingga mereka dapat melaksanakan
Yeni Absah
tugasnya lebih efektif. Pengembangan ini umumnya dalam hal program pelayanan pendidikan, program mentoring, pusat pendidikan, dan kehadiran pada seminar akademik (Bensimon et al., 2000). Tucker (1992) menjelaskan dua pendekatan program pengembangan departemen (program studi) yakni pengembangan departemen (program studi) yang berarti pengembangan staf pengajar dan pengembangan departemen (program studi) yang berarti pengembangan fakultas. Budaya belajar dalam sebuah perguruan tinggi bersifat terbuka dan saling percaya yang berarti adanya pengawasan kinerja dan nilai-nilai kerjasama. Menurut Wergin (1994) kerjasama di dalam fakultas membutuhkan kebersamaan tanpa melepaskan otonomi departemen (program studi). Wergin (1994) menyatakan jika unit akademik mendefinisikan dirinya sendiri sebagai sebuah kesatuan bersama, dan jika mereka setuju untuk memikul tanggungjawab bersama, maka unit akademik tersebut secara keseluruhan harus menerima tanggungjawab atas apa yang dilakukan serta dampak yang ditimbulkan bersama. Fakultas yang memiliki kerjasama efektif akan menggunakan dialog bersama, pengawasan bersama, praktek bersama, dan mengakui prestasi dan keberhasilan bersama. Fakultas harus melakukan evaluasi dan memberikan balas jasa atas produktifitas bersama tersebut (Hecth et al., 1999). Perguruan tinggi yang melakukan pembelajaran organisasi memiliki budaya yang meningkatkan pembelajaran guna memperbaiki kinerjanya. Perguruan tinggi harus memiliki struktur dan proses yang mendorong pengembangan individu dan mengawasi kemajuan institusi. Perguruan tinggi juga harus mendukung peningkatan kerjasama, khususnya pada tingkat fakultas, yang berarti peningkatan kinerja. PENUTUP Organisasi yang menuju pada pembelajaran organisasi membutuhkan perubahan dalam budaya organisasi dengan memiliki komitmen jangka panjang. Gephart et al. (1996) menyatakan bahwa pembelajaran organisasi tidaklah mudah, terdapat hubungan yang selaras antara kapasitas pembelajaran organisasi dengan tindakan atau hasil. Sejumlah hal dapat menghalangi organisasi dalam melakukan tindakan-tindakan yang sesuai dengan kapasitas pembelajarannya, seperti hambatan politis, sanksi hukum, dan kesenjangan sumberdaya. Garvin (2000) mengidentifikasi bahwa ketidakmampuan belajar selama aplikasi tahap pembelajaran ditunjukkan oleh ketidaksediaan untuk berubah, tidak cukupnya waktu
Pembelajaran Organisasi: Strategi Membangun…
untuk mempraktekkan keahlian-keahlian baru, dan ketakutan akan kegagalan. Sedangkan Senge (1994) mengidentifikasi tujuh ketidakmampuan belajar, yakni: 1) I’m my pisition; 2) the enemy is out of there; 3) the illution of taking charge; 4) the fixation on events; 5) the parable of the boiled frog; 6) the delusion of learning from experience; dan 7) the myth of the management team. Senge (1994) menjelaskan bahwa I’m my pisition adalah ketidakmampuan yang terjadi ketika karyawan mengidentikkan dirinya dengan posisinya di perusahaan. Dengan kata lain, karyawan dibatasi oleh posisinya dan tidak merasa bertanggungjawab terhadap tujuan organisasi secara keseluruhan. The enemy is out of there menunjukkan adanya sikap menyalahkan seseorang atau sesuatu atas masalah-masalah yang ada ataupun kegagalan yang terjadi. The illution of taking charge merujuk pada pengumuman menjadi proaktif. Hal ini kemudian disebut ke-proaktifan. The fixation on events berfokus pada kejadian saat sekarang, yakni mengalihkan perhatian dari pemahaman yang lebih mendalam mengenai penyebab dan pola dari setiap kejadian. The parable of the boiled frog adalah kegagalan pada sesuatu yang datang perlahan, yakni hambatanhambatan bertahap yang dapat mengganggu kemampuan untuk bertahan hidup. The delusion of learning from experience adalah ketidakmampuan yang terjadi ketika muncul rasa ketidakmungkinan untuk selalu belajar dari pengalaman saat itu karena beberapa keputusan merupakan keputusan jangka panjang dan memakan waktu beberapa tahun atau dekade untuk melihat hasilnya. Terakhir, the myth of the management team adalah ketidakmampuan belajar yang mempertanyakan keefektifan pengumpulan manajer-manajer berpengalaman dari berbagai bidang dan kemampuan organisasi untuk mengatasi ketidakmampuan belajar yang telah disebutkan sebelumnya. Organisasi pembelajaran adalah organisasi yang memiliki komitmen pada keinginan terus menerus untuk melakukan perbaikan. Sejumlah faktor dapat saja menghalangi organisasi untuk belajar, namun organisasi harus bersedia untuk mengerahkan segala usahanya untuk berubah menjadi organisasi pembelajaran. DAFTAR PUSTAKA Angelo, T.A., (2000). Transforming Departements into Productive Learning Communities, In A.F. Lucas & Associates, Leading Academic Change: Essential Roles for Department Chairs, pp.74-89, San Francisco: Jossey-Bass Inc. 39
Jurnal Manajemen Bisnis, Volume 1, Nomor 1, Januari 2008: 33 - 41
Baldwin, T.T., C.Danielson, dan W. Wiggenhorn, 1997. The Evolution of Learning Strategies in Organizations: From Employee Development to Business Redefinition. Academy of Management Executive, November, pp.4758. Bensimon, E.M., K. Ward dan K. Sanders (2000). The Departement Chair’s Role in Developing New Faculty and Scholars, Bolton, MA: Anker Publishing. Birnbaum, R., (1998). How Colleges Work: The Cybernetics of Academic Organization and Leadership. San Francisco: Jossey-Bass Inc. Blustain, H., P. Goldstein dan G. Lozier (1999). Assessing teh New Competitive Landscape in R. Katz & Associates (Eds), Dancing with the Davil: Information ecjnology abd the new Competition in Higher Education, pp. 51-71, San Francisco, Jossey-Bass, Inc. Cleveland, J. dan P. Plantrik (1995). Learning, Learning organization and TQM. In A.M. Hoffman and D.J. Julius (Eds), Total Quality Management: Implications for Higher Education, pp. 233-243, Maryville, MO: Prescott. Creswell, J.W., D.W. Wheeler, A.T. Seagren, N.J. Egly dan K.D. Bayer (1990). The Academic Chair Person’s Handbook, Lincoln: University Of Nebraska Press. Dill, D.D., (1999). Academic Accountability and University Adaptation: The Architecture of an Academic Learning Organization, Higher Education, 38, Pp.127-154. Espejo, R., W. Schuhmann, M. Schwaninger dan U. Bilello (1996). Organizational Transformation and Learning: A Cybernatic Approch to Management Fulmer, R.M., P. Gibbs dan B. Keys (1998). The Second Generation Learning Organizations: New Tool for Sustaining Competitive Advantage, Organizational Dynamics, 27 (2), pp.6-21. Gardiner, L.F. (2000). Monitoring and Improving Educational Quality in the Academic Departement. In A.F. Lucas & Associates, Leading Academic Change: Essential Roles for Department Chairs, pp.165-194. Garvin, D.A. (2000). Learning in Action: A Guide to Putting the Learning Organization to Work, Boston: Harvard Business School Press. Gephart, M.A., V.J. Marsick, M.E. Von Buren, dan M.S. Spiro (1996). Learning Organization Come Alive, Training and Development, December, pp. 35-45.
40
Harfield, S.R. (1999). The Vision Thing in Higher Education, Higher Education, 23(4), pp.8-14. Hecht, I.W.D., M.L. Higgerson, W.H. Gmelch and A. Tucker (1999). The Departement Chairs as a Academic Leader, phoenix, AZ: Oryx Press. Kim, D.H. (1993). The Link between Individual and Organizational Learning, Sloan Management Review, fall, pp.37-50. Kofman, F. dan P.M. Senge (1995). Communities of Commitment: The Heart of Learning Organizations, Learning Organizations, Eds S.Chawla dan J. Renesh, Oregon: Productivity Press. Lang, D.W. dan R. Lopers-Sweetman (1991). The Role of Statements of Institusional Purpose, Research in Higher Education, December, 32(6), pp.599-624. Luthans, Fred, 1995. Organizational Behavior, Seventh Edition, International Edition, New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Marquardt, Michael J., 1996. Building the Learning Organization. New York: McGraw-Hill Companies, Inc. Murray, J. (1997). Succesful Development and Evaluation: The Complete Teaching Portfolio, ASHE-ERIC Higher Education Report, No.8, Washington, DC. O’Banion, T. (1997). Learning College for the 21st Century, Phoenix, AZ: Oryx Press. Ortenblad, A. (2001). On Differences between Organizational Learning and Learning Organization, The Learning Organization, Vol. 8, No. 3, pp. 125-133. Pearn, M., C. Roderick, dan C. Mulrooney (1995). Learning Organization in Practice, London: McGraw-Hill. Peterson, M.W. (1999). The Role of Institutional Research: From Improvement to Redisign. In J.F. Volkwein (Ed), What is Institutional Research All About? A Critical and Comprehensive Assesment of the Profession, New Directions for Institutional Research, winter, pp.83-103. Senge, P.M. (2000). The Academy as a Learning Community: Contradiction in Terms or Realizable Future? In A.F. Lucas and Associates, Leading Academic Change: Essential Roles for Departement Chairs, pp.275-300. Senge, P.M. (1994). The Fifth Discipline: The Art and Practice of the Learning Organization, New York: Doubleday.
Yeni Absah
Tsang, E.W.K. (1997). Organizational Learning and Learning Organization: A Dichotomy between Decriptive and Prescriptive Research, Human Relations, pp.73-89. Tucker, A. (1992). Chairing the Academic Departement: Leadership Among Peers, New York: MacMillan.
Pembelajaran Organisasi: Strategi Membangun…
Wergin, J.F. (1994). The Collaborative Departement: How Five Campuses are Inching toward Cultures of Collective Responsibility, Washington, DC: American Association for Higher Education. Wheelen, Thomas L. dan J. David Hunger (2002). Strategic Management and Business Policy, Eighth Edition, New Jersey: Prentice-Hall
41