Serambi Akademica Vol I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Serambi Akademica (Jurnal Pendidikan, Sains, dan Humaniora) Pembina
: Rektor USM Banda Aceh
Pengelola/Penerbit
: Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat
Dewan Redaksi Ketua
: Dr. Razali Abdullah, M.Pd
Sekretaris
: Drs. Muhammad Ridhwan, M.Pd
Anggota
: Drs. Muhammad Isa, M.Pd Drs. Tarmizi Rajab, M.Pd Ir. Lukmanul Hakim, M.P Dra. Ismawirna, M.Pd. Drs. Abubakar A Jalil, M.Si Irhamni, ST, M.T. Nasir, S.E., M.Si
Tata Usaha
: Drs. Anwar, M.Pd
Mitra Bestari
: Dr. Eko Budi Minarno, M.Pd. (UIN Malang) Dr. Muhammad Ali Sarong (Unsyiah) Dr. Zainal Abidin, M.Pd. (IAIN Ar Raniry) Dr. Saiman, M.Pd (UNSAM Langsa) Dr. Evi Apriana Usman, M.Pd (USM)
Sirkulasi
: Drs. Burhanuddin A.G., M.Pd
Alamat Redaksi
: Kampus Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Jalan Tgk. Imum Lueng Bata Bathoh Banda Aceh
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Daftar Isi Deiksis dalam Tuturan Anak Usia 3 – 5 Tahun? Oleh : M. Usman
1 – 11
Kemampuan dan Disiplin Guru Sertifikasi pada SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh 12 – 21 Oleh : Syarifuddin Pengajaran Matematik dengan Pendekatan Pengajaran Mengikuti Konteks di Sekolah Vocational 22 – 32 Oleh : Murni, Mohd Uzi Dollah, Noor Shah Saad Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Peningkatan Hasil 33 - 46 Belajar Biologi Siswa SMA Kota Banda Aceh Oleh : Musriadi, Djufri, Muhibuddin Kurikulum Integratif pada Pembelajaran Sains di Sekolah Dasar Oleh : Nurahimah Bt Mohd Yusoff , Ibrahim
47 - 55
Aklimatisasi Mikroalga Hijau dalam Limbah Peternakan untuk Meningkatkan 56 – 64 Penyisihan Nutrien dan Produksi Lipida Oleh : Irhamni, Elvitriana, Vera Viena Implementasi Manajemen Bebasis Sekolah di SMA se Kabupaten Aceh Utara Oleh : Jalaluddin, Munawar, Zainal Abidin Suwarja
65 - 71
Pengaruh Pemberian Urine Domba (Capra sp) dan Interval waktu Pemberian 72 – 80 terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum) Oleh : Nurmaya Sari, M. Ridhwan, Anita Noviyanti Pengaruh Prestasi Microteaching terhadap Prestasi PPL Mahasiswa Pendidikan 81 - 89 Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Oleh : Rita Hermina, Anwar
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
DEIKSIS DALAM TUTURAN ANAK USIA 3-5 TAHUN M. Usman ABSTRAK Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya keunikan pada penggunaan deiksis oleh anak usia 3-5 tahun. Permasalahan dalam penelitian ini di antaranya; 1) Bentuk lingual deiksis apa saja yang muncul pada tuturan anak usia 3-5 tahun?; 2) Maksud deiksis apa saja yang terbentuk pada tuturan anak usia 3-5 tahun; 3) Deiksis mana saja yang sering muncul pada tuturan anak usia 3-5 tahun; 4) Bagaimana kekhasan deiksis pada tuturan anak usia 3-5 tahun? Yang menjadi pembahasan ini di antaranya; menemukan pengunaan deiksis oleh anak, mendeskripsikan maksud yang terkandung dalam deiksis, menunjukan deiksis yang sering muncul. dan mendeskripsikan kekhasan penggunaan deiksis oleh anak. Dari hasil penelitian ini, pada usia tersebut penggunaan deiksis oleh seorang anak masih sangat terbatas. Terbukti kemunculan deiksis yang cendrung sering terjadi pengulangan. Penggunaan deiksis waktu tampaknya menjadi deiksis yang jarang digunakan, Untuk menunjukan waktu, seorang anak cenderung menggunakan kata-kata yang terkadang tidak dimengerti. Pada deiksis persona, seorang anak lebih sering menggunakan leksem keakraban. Sedangkan penggunaan deiksis ruang, bentuk kata. nomina mempermudah seorang anak dalam menunjukan sebuah tempat. Temuan penggunaan deiksis dalam tuturan anak usia 3-5 tahun menjadi salah satu kekhasan tuturan anak. Kata Kunci: Dieksis, Tuturan Anak PENDAHULUAN Pada hakikatnya, bahasa adalah bunyi-bunyi yang bermakna (Pateda, 1994). Bahasa merupakan media bagi masusia untuk mencurahkan apa yang ada dalam perasaannya. Untuk mendapatkan kemampuan berbahasa, seseorang akan melalui tahapan-tahapan penting dalam pemerolehan bahasanya. Pemerolehan bahasa (Language acquisition) dimulai sejak kita lahir. Bayi berusia 0-3 bulan sudah mampu berbahasa melalui crying atau menangis. Kemudian. bayi berusia 3 – 9 bulan sudah mampu berceloteh atau babling, anak berusia 9-14 bulan mampu menyimpan kata dalam memorinya atau lebih dikenal sebagai one word atau holofrasis, anak berusia 14 bulan sampai 2 tahun mampu menuturkan simple sentences artinya mampu berujar lebih dari satu kata yaitu dua kata atau lebih. Anak usia 2 - 3 tahun mulai menghasilkan ujaran yang dapat digolongkan sebagai ujaran ganda atau multiple word utterences. Ketika anak di atas 3 tahun, mereka akan mampu mengucapkan ujaran-ujaran yang kompleks dan disebut sebagai Complex word. Tahapan yang dilewati oleh manusia dalam memperoleh bahasa menyimpan keunikan-keunikan yang khas dan akan dialami oleh setiap individu. Kekhasan yang muncul pun akan beragam. Pada umumnya kekhasan yang muncul adalah berupa ujaran-ujaran yang unik, ini terjadi pada usia balita ketika seorang anak mampu mengutarakan kalimat yang kompleks atau disebut pula dengan tahapan complex word (Yudi Cahyono,1995 : 289). Anak bertutur sesuai dengan perkembangannya dan setiap tahapan akan dilalui. Sebuah tuturan sering kali mengandung unsur deiksis. Deiksis menurut pandangan tradisional adalah tuturan luar. Menurut pandangan ini, yang menjadi pusat orientasi deiksis senantiasa pembicara yang tidak merupakan unsur di dalam bahasa itu sendiri. Deiksis adalah kata-kata yang memibki referen berubah-ubah atau berpindah-pindah (Wijana. 1998: 6). Selain itu, deiksis adalah suatu cara untuk mengacu ke hakikat tertentu 1
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
dengan menggunakan bahasa yang hanya dapat ditafsirkan menurut makna yang diacu oleh penutur dan dipengaruhi situasi pembicaraan (Yudi Cahyono, 1995: 217). Berdasarkan hal di atas, peneliti mencoba meneliti deiksis yang muncul dari tuturan anak (TA) usia 3 - 5 tahun. Pemilihan anak usia 3-5 tahun ini melalui pertimbangan bahwa usia 3 - 5 tahun merupakan masa perkembangan kognisi anak. Selain itu, pada usia ± 3,5 tahun si anak boleh dikatakan sudah mampu menguasai ("tata bahasa") bahasa ibunya (Sumarsono. 2002:136). Dalam bukunya, Kaswanti Purwo (1984: 4) menyebutkan bahwa seorang anak ternyata mengalami kesukaran dalam mempergunakan kata-kata deiksis. Referen kata-kata deiksis yang berganti-ganti atau berpindah-pindah itu bagi seorang anak sangat membingungkan. Hal ini menyebabkan terkadang ujaran-ujaran yang muncul dari anak usia 3-5 tahun memiliki kekhasan atau keunikan seperti yang terdapat pada contoh berikut. (1) Tante : "Ima teh bobo di mana?" (2) Ima : "Di Teteh." Percakapan antara seorang tante dan seorang anak ini memunculkan kekhasan penggunaan deiksis persona (DP) untuk menunjukkan deiksis ruang (DR). Dalam ujarannya, si anak menjawab sebuah tempat dengan menggunakan DP untuk menunjukkan sebuah tempat. Walaupun demikian, tujuan yang ingin dicapai anak untuk menjawab pertanyaan tantenya sudah cukup tercapai. Hal demikianlah yang menjadi ketertarikan untuk diteliti. Penelitian ini akan mencoba meneliti penggunaan deiksis waktu (DW), DP (deiksis waktu), dan DR (deiksis waktu) yang terdapat pada ujaran anak usia 35 tahun. Permasalahan mengenai pengunaan deiksis dalam tuturan anak memang sangat menarik untuk dikaji. Pengetahuan anak mengenai kosa kata yang masih terbatas membuat tuturan yang dihasilkan pun masih terbatas. Hal ini mempengaruhi pada penggunaan deiksis yang memiliki referen berubah-ubah sehingga membuat seorang anak akan mengalami kesulitan untuk menggunakan kata-kata deiksis. Oleh karena itu, peneliti akan meneliti mengenai penggunaan deiksis dalam tuturan anak agar mampu memotret gejala : bahasa yang ada pada anak usia 3 – 5 tahun. Sesuai dengan latar belakang masalah diatas, identifikasi masalah yang terdapat pada kajian ini adalah: 1) ditemukannya bentuk lingual DW (deiksis waktu). DP (Deilsis persona), DR (deiksis ruang) pada TA usia 3-5 tahun; 2) terdapat kekhasan penggunaan deiksis pada TA usia 3-5 tahun; 3) terdapat hubungan antara penggunaan deiksis pada TA (tuturan anak) usia 3-5 tahun dan pemerolehan bahasanya; 4) terdapat hubungan antara penggunaan deiksis dan perkembangan psikologis seseorang. Berdasarkan identifikasi masalah di atas, kajian ini akan dibatasi pada hal-hal berikut: 1) penelitian ini akan ditekankan pada penggunaan deiksis pada tuturan anak usia 3-5 tahun; 2) deiksis yang dikaji adalah DW, DP. dan DR; 3) data yang digunakan adalah data lisan yang diambil secara sembunyi-sembunyi yaitu ketika si anak beraktivitas; 4) pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: 1) bentuk lingual DW, DP, dan DR pada TA usia 3-5 tahun; 2) maksud dari penggunaan DW, DP, dan DR pada TA usia 3-5 tahun; 3) DW, DP, dan DR yang sering digunakan oleh anak usia 3-5 tahun; 4) kekhasan penggunaan deiksis pada TA usia 3-5 tahun.
2
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
METODE PENELITIAN Dalam kajian ini pendekatan yang dipilih yaitu pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif, yang menggambarkan hasil dari pengumpulan data apa adanya. Metode penyelidikan deskriptif mencakup berbagai teknik deskriptif diantaranya penyelidikan yang menuturkan. menganalisis, dan mengklasifikasi. Data dan Sumber Data Sumber data yang terdapat dalam penelitian ini adaiah TA (tuturan anak) usia 3-5 tahun. Anak usia 3-5 tahun yang menjadi responden berjumlah 5 orang. Penelitian ini melibatkan dua orang anak dengan usia 3 tahun, satu anak berusia 4 tahun. dan dua anak dengan usia 5 tahun. Terdapat dua data yang digunakan dalam penelitian ini, data primer yang akan digunakan adalah TA usia 3-5 tahun yang mengandung unsur deiksis dan data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adaiah catatan selama penelitian berlangsung. Data yang digunakan adalah TA (tuturan anak) yang mengandung unsur deiksis. Teknik Pengumpulan / Pengolahan Data Teknik pengumpul data yang digunakan mengenai penggunaan deiksis pada TA usia 3-5 tahun ini adalah teknik rekam dan catat. Dengan demikian diperlukan rekaman setiap tnturan yang keluar dari subjek serta mencatat semua kejadian yang dianggap penting saat pengambilan data berlangsung. Melalui metode penelitian deskriptif di atas, maka kita harus menempuh beberapa langkah untuk memilih data yang akurat hingga menganalisisnya. Langkah-langkah yang harus ditempuh adalah: 1) mentranskrip data yang telah didapat, 2) mereduksi data yang telah ditranskrip atau dikumpulkan, 2) mengklasifikasikan data yang telah direduksi, 3) menganalisis data. Instrumen Penelitian Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu data yang memuat TA (tuturan anak) usia 3-5 tahun yang mengandung deiksis. Penggunaan kartu data ini dilakukan sebagai upaya untuk mempermudah dalam menganalisis data. ANALISIS DAN PEMBAHASAN 1.Deskripsi Data Setelah menempuh penelitian yang bertujuan menemukan penggunaan deiksis pada tuturan anak usia 3-5 tahun, akhirnya dapat ditemukan beberapa bentuk deiksis yang dipakai oleh anak di usia tersebut. Bentuk-bentuk deiksis yang muncul, keberagamannya sangat ditentukan dari kosakata yang dikuasai oleh anak tersebut. Menurut hasil penelitian, deiksis yang digunakan oleh anak usia 3-5 tahun memang tidak terlalu beragam dan masih terbatas pada apa yang mereka mengerti dan pahami saja. Maksud yang dimunculkan pun terkadang tidak sesuai dengan makna sebenarnya dari bentuk deiksis tersebut. Berikut analisis dan maksud yang muncul dari bentuk-bentuk lingual DW pada TA usia 3-5 tahun di Jalan Percetakan Negara X-B No. 6 Blok C Rawasari, Jakarta Pusat.
3
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 DW 1 R1 Tante R1 Tante R1
ISSN : 2337 - 8085
: “Ini punya orang?” : “Iya.” : “Teteh.” : “Iya, punya teteh yang kemarin.” : “Yang kemarin?”
Konteks: Pada saat penelitian berlangsung, peneliti hanya mengamati dari dekat tanpa terlibat langsung dalam percakapan tersebut. Pada saat percakapan, keadaan R1 sedang berkumpul dan bermain bersama beberapa anggota keluarganya, namun yang terlibat dalam percakapan ini hanya R1 dan Tante R1. Analisis: Dw yang muncul pada tuturan ini adalah kemarin. DW kemarin yang dituturkan oleh R1 maksud yang ingin dicapainya memang sudah sesuai. DW ini digunakan untuk menunjukkan waktu satu hari sebelum hari pada saat tuturan ini dituturkan. Namun, munculnya DW yang dituturkan R1 merupakan stimulus dari tuturan Tantenya yang pertama kali menuturkan DW kemarin. Stimulus ini memungkinkan RI mengikuti tuturan yang dituturkan oleh Tantenya. Selain R2 yang menggunakan DW ini, beberapa responden lain pun pernah menggunakan DW yang sama. DW 2 R1 Ibu R1 Ibu R1
: “Ibu yang itu Bu, yang Gasibu.” : “Tegal Lega.” : “Tegal Lega.” : “Kayak pernah ke Gasibu.” : “Pernah, jam sepuluh tea.”
Konteks: Pada saat penelitian berlangsung, peneliti hanya mengamati dari dekat tanpa terlibat langsung dalam percakapan tersebut. Pada saat percakapan, keadaan R1 sedang berkumpul dan bermain bersama keluarganya,kali ini terlibat dalam percakapan bersama R1 adalah Ibu R1. Analisis: DW yang muncul pada tuturan ini adalah jam sepuluh. Melihat dari percakapan antara R1 dan Ibu R1, maksud yang ingin dicapai dari DW yang dituturkan R1 ini adalah waktu yang telah lampau dan tidak jelas tepatnya keadaan tersebut berlangsung. Selain R2 yang menggunakan DW ini, beberapa responden lain pun pernah menggunakan DW yang sama. DW 3 Rl : "Ikan mana, Bu?" Ibu : "Itu di sana." Rl : "Mana?" Ibu : "Apa? Belinya. tadikan Ibu bilang di Tegal Lega." Rl : "Oh. di Tegal Lega. Malem ya, Bu!" Ibu : "Iya malem." Konteks: Percakapan ini berlangsung ketika Ibu Rl sedang menyuapi makanan pada R1. Peneliti tidak terlibat langsung dalam penelitian ini, hanya mengamati dari dekat saja walaupun terkadang terlibat percakapan dengan intensitas yang tidak banyak. 4
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Analisis: DW yang muncul pada tuturan ini adalah malem. Sama halnya dengan DW yang digunakan pada tuturan sebelumnya, DW malem yang digunakan oleh R1ingin menjelaskan waktu yang telah lampau dan tidak jelas tepatnya keadaan tersebut berlangsung. Selain R2 yang menggunakan DW ini, beberapa responden lain pun pemah menggunakan DW yang sama. DW4 R2 : "Aku teh pengen sekolah TK, sokr Tante R2 : "Fi, main yuk!" R2 : "Ayo. sekarang kemarin? Aa. ayo main." Tante R2 : "Bodor kamu mah." Konteks: Percakapan berlangsung antara R2 dan Tantenya, namun pada saat itu pun terdapat beberapa anggota keluarga lainnya. Peneliti berada di tengah-tengah situasi tersebut tetapi tidak terlibat langsung dalam percakapan. Sifat pemalu R2 yang membuat peneliti tidak mampu berinteraksi terlalu banyak. peneliti hanya mengamati dari dekat. Percakapan ini berlangusng ketika R2, bermain dan makan. Analisis: Terdapat dua buah penggunaan DW. DW yang ditemukan adalah sekarang dan kemarin. Kedua DW yang digunakan oleh R2 pada saat itu merupakan pilihan kepada mitra tuturnya. Tawaran bermam, apakah bermainnya akan dilaksanakan sekarang atau kemarin0. Penggunaan DW sekarang sudah sesuai, namun untuk penggunaan kemarin sebagai lawan kata dari sekarang dirasa kurang sesuai. DW yang dirasa sesuai menggantikan kemarin adalah DW nanti. Hal "ini sebenarnya tidak mengubah maksud yang ingin dicapai, karena pada akhirnya antara R2 sebagai penutur dapat menvampaikan maksudnya kepada mitra tutur. Selain R2 yang menggunakan DW ini, beberapa responden lain pun pernah menggunakan DW yang sama. DW5 Peneliti: "Ma, kapan datang ke sini?" R3 : "Sama mamah." Peneliti : "Kapan?" R3 : "Jadi." Peneliti : "Kapan tadi teh.7 R3 :"Sore." Konteks: Percakapan ini berlangsung di rumah peneliti, ketika R3 tengah bermain bersama peneliti. Analisis: DW yang muncul pada tuturan di atas adalah tadi dan sore. Untuk memunculkan penggunaan deiksis pada responden temtama R3 ini, peneliti memberikan stimulus berupa pertanyaan-pertanyaan yang sekiranya akan memunculkan deiksis. Maksud yang ingin disampaikan oleh R3 dengan penggunaan DW tadi dan sore adalah menyatakan waktu yang telah lampau. Namun, DW ini sering digunakan R3 untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berhubungan dengan waktu. Dalam beberapa pertanyaan meng^nai waktu, R3 tetap akan menjawabnya dengan DW tadi dan sore. Selain R3 yang mengguna-kan DW ini. beberapa responden lain pun pernah menggunakan DW yang sama. 5
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 DP1 R1 Tante R1 R1 Tante R1
ISSN : 2337 - 8085
:”Ini punya orang? :”Iya” :”Teteh” :”Iya, punya Teteh yang kemrin”
Konteks: Percakapan terjadi antara Rl, Tantenya. dan Ibunya. Ketika percakapan berlangsung, keadaan mereka sedang bermain. Saat pengambilan data ini, peneliti tidak terlibat langsung dan hanya mengamati dari jarak dekat. Analisis: Terdapat dua buah pengunaan DP. DP yang pertama adalah orang, maksud yang terbentuk dari DP ini adalah orang lain yang berkedudukan sebagai orang ketiga tunggal. Hal ini dipertegas dengan tuturan berikutnya yaitu DP kedua yaitu Teteh. Teteh adalah panggilan untuk kakak perempuan, karena posisinya pada saat itu orang yang dibincangkan tidak berada pada saat tuturan dituturkan, maka kedudukannya sebagai orang ketiga tunggal. DP2 Rl Ibu Rl Rl
: "'Yang kemarin? Aya-aya, Dede mah manyun. Uda pergi jauh." : "Pergi ke mana?" :"Jauh."
Konteks: Percakapan terjadi antara Rl dan Ibu Rl. Peneliti memang tidak terlibat langsung dalam percakapan ini, namun peneliti tetap mengamati dari jarak dekat. Saat percakapan ini berlangsung, situasi Rl dalam keadaan bermain dan Ibu Rl ikut menemani. Analisis: DP yang ditemukan pada tuturan ini adalah Dede. Dalam tuturan ini DP Dede menunjukan kata ganti orang pertama tunggal. Rl lebih sering dipanggil Dede oleh seluruh anggota keluarga daripada dipanggil dengan nama aslinya. Kebiasaan ini mengakibatkan Rl pun akan selalu menyebutkan DP ini untuk menunjuk dirinya. Namun ketika Rl sedang berkomunikasi dengan orang lain terutama dengan anak seumurnya. Rl akan menggunakan nama sendiri sebagai panggilannya. Dalam beberapa kesempatan saat melakukan penelitian, DP ini sangat sering muncul dibandingkan dengan penggunaan nama untuk menunjukan DP. DP3 Ibu Rl : "Dede siapa, sih?" Rl : "Punya Dede, punya aku." Konteks: Percakapan terjadi antara Rl dan Ibu Rl. Peneliti memang tidak terlibat langsung dalam percakapan ini, namun peneliti tetap mengamati dari jarak dekat. Saat percakapan ini berlangsung, situasi Rl dalam keadaan bermain dan Ibu Rl ikut menemani. Analisis: Terdapat dua buah penggunaan DP. Leksem Dede telah dijelaskan pada analisis sebelumnya. Laksem aku digunakan Rl sebagai kata ganti pertama tunggal. Leksem ini pun sempat digunakan beberapa kali ketika penelitian ini berlangsung. Biasanya leksem ini muncul apabila Rl tengah bermanja-manja atau terkadang ketika dia ingin mempertegas sesuatu. Misalnya untuk mempertegas hak kepemilikan barang yang dimilikinya.
6
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
DP4 Ibu Rl : "Ke sini. De!" Rl : "Gak mau, Ate mana? Dadah, mau pergi. Mah, mau ipin upin. Teteh sini. Ate ngomong." Konteks: Percakapan terjadi antara Rl dan Ibu Rl. Peneliti memang tidak terlibat langsung dalam percakapan ini, namun peneliti tetap mengamati dari jarak dekat. Saat percakapan ini berlangsung, situasi Rl dalam keadaan bermain dan Ibu Rl. Analisis: Dalam tuturan ini ditemukan beberapa penggunaan DP. Leksem Ate maksudnya digunakan R1 sebagai panggilan kepada Tantenya, leksem Ate /atƏ/ diambil dari leksem Tante, digunakan sebagai kata ganti orang kedua tunggal. Menurut informasi yang diberikan oleh salah satu anggota keluarganya, Rl memang pada awalnya sudah dibiasakan untuk menggunakan DP ini sebagai panggilan untuk saudara kandung dari ibu atau Ayahnya. Selain itu, leksem lain yang ditemukan adalah mah. Leksem ini digunakan Rl sebagai penggilan untuk neneknya, penggilan ini terbentuk dari pengamatan Rl yang sering mendengarkan Ibu kandungnya menggunakan leksem mah untuk memanggil neneknya. Namun, singkatan dari sebuah leksem apabila tidak diikuti oleh penggunaan nama diri maka tidak dapat dikatakan sebagai deiksis. DP lain yang ditemukan adalah teteh yang telah dijelaskan pada analisis sebelumnya. DP 5 Rl : '"Mau minum." Ayah Rl: "Minum air biasa.ya! Jangan air manis." Rl : "Kulkas, Bu! Dapur owe-owe" Ibu Rl' :"Hayu." Rl : "Ibu mana balon?" Konteks: Percakapan terjadi antara Rl, Ayahnya. dan Ibunya. Ketika percakapan berlangsung keadaan mereka sedang berkumpul. Terkadang ada beberapa anggota keluarga yang ikut serta dalam percakapan ini. namun intensitasnya tidak terlalu banyak. Dari hasil analisis mengenai DP pada tuturan anak usia 3-5 tahun, DP yang ditemukan sangat beragam. Setiap penggunaan penunjuk persona, setiap responden menunjukan fenomena yang serupa. Meskipun apa yang mereka tuturkan berbeda, namun pada dasarnya mereka menggunan DP yang serupa dan dengan kekhasannya masingmasing. Berikut maksud dan analisis yang muncul dari penggunaan DR pada tuturan anak usia 3-5 tahun di Jalan Percetakan Negara X-B No. 6 Blok C Rawasari, Jakarta Pusat DR1 Ibu R1 : "Pergi kemana?" Rl :"Jauh." Ibu R1 : "Jauh kemana?" Rl : "Ke Jogja (pusat perbelanjaan). terus ke Bandung." Konteks: Percakapan terjadi antara Rl, Tantenya. dan Ibunya. Ketika percakapan berlangsung keadaan mereka sedang bermain. Analisis: Pada tuturan di atas. Rl menggunakan bentuk nomina untuk menyatakan DR. Laksem yang berupa nomina baru dapat menjadi DR apabila dirangkaikan dengan preposisi hal ruang (Kaswanti Purwo, 1984: 37). Dalam tuturan Rl, preposisi hal ruang 7
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
melekat pada nomina. sehingga leksem Jogja dan Bandung dapat dijadikan penunjuk ruang (DR) karena dirangkaikan dengan preposisi hal ruang yaitu ke. Maksud dari leksem Jogja yang dituturkan Rl adalah pusat perbelanjaan yang biasa R1 kunjungi bersama orang tuanya, sedangkan DR ke Jakarta. Rl tuturkan untuk menunjukan sebuah tempat yang ia ketahui dari tuturan orang-orang disekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari tuturan berikutnya yang menyatakan bahwa kota Jakarta merupakan sebuah kampung. Berikut tuturan yang melengkapi tuturan di atas. Ibu Rl : "Kenapa Ade tadi tidurnya sebentar? Eh. Jakarta teh di mana?" R1 : "Di kampung." Tuturan yang digarisbawahi pun bersifat ruang karena bentuk nomina diikuti oleh preposisi hal ruang. DR2 Rl : "Susu, Bikinin susu Dede haus susu. Ayah kemana? Maa ke bawah?" Ayah Rl : "lya, mau pergi." Rl : "Naik motor. Yah?" Konteks: Percakapan terjadi antara Rl. Ayahnya. dan Ibunya. Ketika percakapan berlangsung keadaan mereka sedang berkumpul. Analisis: Maksud yang ingin disampaikan dari penunjuk ruang dia atas adalah ruangan yang berada di bawah, karena pada saat tuturan berlangsung Rl dan Ayahnya tengah berada di lantai dua. DR3 Ibu Rl : "Balon apa, Sa?" Rl : "Ibu, itu Bu yang di Gasibu." Ibu Rl : "Tegal Lega." Rl : 'Tegal Lega." Konteks: Percakapan terjadi antara Rl. Ayahnya. dan Ibuiiya. Ketika percakapan berlangsung keadaan mereka sedang berkumpul. Analisis: Penggunaan nomina untuk menunjukan hal ruang digunakan kembali oleh Rl pada tuturan ini. Nomina ini data menjadi penunjuk ruang saat dirangkaikan dengan preposisi hal ruang seperti ke. Dapat dilihat dari tuturan Rl yang menuturkan ke Gasibu. Lain halnya dengan nomina Tegal Lega yang tidak dirangkaikan dengan preposisi hal ruang maka leksem ini tidak dapat dikatakan sebagai DR. Dalam tuturan lain laksem yang sama yaitu Tegal Lega dapat dikatakan DR karena dirangkaikan dengan preposisi hal ruang, berikut tuturannya. Ibu Rl : Apa? Belinya? Tadi kan udah bilang di Tegal Lega." Rl : "Oh, di Tegal Lega malem ya bu." DR4 Ibu R2 : “Fi, Ali ke mana?" R2 : "Ke mesjid. Itu naon?" Tante R2 : "Jangan yah." 8
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Konteks. Percakapan terjadi antara R2, Tantenya, dan Ibunya. Ketika percakapan berlangsung keadaan mareka sedang bermain dan makan. Analisis:Sama halnya dengan penggunaan DR sebelumnya, nomina sering digunakan sebagai penunjuk hal ruang dengan penggunaan preposisi hal ruang. Seperti pada tuturan di atas yang mengandung penunjuk ruang ke mesjid. DR ke mesjid yang dimaksud adalah untuk menunjukan keberadaan kakaknva yang ditanyakan oleh Tantenya. DR5 Ibu R2 : "Sini, Afi nya." R2 :"Mau jajan." Tante R2: "Mau jajan di mana?" R2 : "Di warung." Konteks: Percakapan terjadi antara R2, Tantenya, dan Ibunya. Ketika percakapan berlangsung keadaan mereka sedang bermain dan makan. Analisis: Sama halnya dengan penggunaan DR sebelumnya, nomina sering digunakan sebagai penunjuk hal ruang tentunya dengan penggunaan preposisi hal ruang. Seperti pada tuturan di atas yang mengandung penunjuk ruang di warung. DR di warung yang dimaksud adalah untuk menunjukan tempat yang ingin dituju oleh R2. Deiksis yang Sering Digunakan pada Tuturan Anak Usia 3-5 Tahun di Jalan Percetakan Negara X-B No. 6 Blok C Rawasari, Jakarta Pusat Berdasarkan hasil pendeskripsian dan analisis data pada penelitian ini, beberapa jenis deiksis mendominasi dalam penggunaannya. Peneliti menemukan kurang lebih 15 situasi tuturan, dalam setiap tuturan tersebut mengandung satu atau bahkan lebih unsur deiksis. Deiksis yang ditemukan pun beragam jenisnya, seperti DW. DP, DR. dan bahkan deiksis sosial. Deiksis yang menjadi objek penelitian adalah DW, DP, dan DR. Dari ketiga jenis deiksis yang terdapat pada TA usia 3-5 tahun. DP merupakan jenis deiksis yang cukup sering digunakan. Dari kurang lebih 54 deiksis yang ditemukan, DP termasuk deiksis yang sering muncul. Berikut jumlah jenis deiksis yang sering muncul: 1) DW berjumlah 14 buah" 2) DP berjumlah 20 dan 3) DR yang berjumlah 20 buah. Setiap jenis deiksis di atas, banyak leksem yang digunakan baik itu sebagai penunjuk waktu, penunjuk persona, dan penunjuk ruang. Berikut bentuk-bentuk lingual DW yang sering digunakan pada tuturan anak usia 3-5 tahun di Jalan Percetakan Negara X-B No. 6 Blok C Rawasari, Jakarta Pusat Menurut temuan penggunaan DW yang ditemukan pada TA (tuturan anak) usia 3-5, leksem penunjuk waktu kemarin dan tadi menjadi leksem yang sering digunakan. Persentase 16% pada masing-masing leksem membuktikan bahwa dua leksem tersebut merupakan leksem yang lebih sering digunakan. Menurut temuan penggunaan DP yang ditemukan pada TA usia 3-5, leksem kekerabatan Ibu, Ayah, Kakak,dm Iain-lain merupakan leksem yang sering digunakan. Jumlah 74 leksem kekerabatan yang ditemukan, merupakan jumlah keseluruhan dari macam-macam leksem kekerabatan yang digunakan. Leksem ini sering digunakan karena dalam kegiatannya sehari-hari anak tidak akan lepas dari orang-orang yang berada disekitarnya terutama anggota keluarga. Faktor inilah yang membuat leksem kekerabatan lebih sering digunakan oleh anak usia 3-5 tahun karena pada dasamya mereka masih sangat tergantung pada anggota keluarga lainnva. 9
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
TA usia 3-5, laksem rumahlah yang sering digunakan. Dari 38 buah leksem, leksem rumah ditemukan 12 kali penggunaannya. Pada dasamya DR yang digunakan oleh anak usia 3-5 tahun lebih sering memunculkan kelas kata nomina yang sebenamya tidak dapat digunakan sebagai penunjuk ruang. Namun, kelas kata nomina baru dapat merjadi penunjuk ruang apabila dirangkaikan dengan preposisi hal ruang, dan inilah yang digunakan oleh anak usia 3-5 tahun. Mereka lebih sering menggunakan DR seperti itu dibandingkan dengan penggunaan DR proksimal, semi proksimal, dan distal. Berdasarkan hasil penelitian ini, usia 3-5 tahun merupakan usia ketika seorang anak kritis dalam menerima hal-hal baru termasuk kritis dan peka terhadap pemerolehan bahasa. Namun, penggunaan deiksis belum terlalu banyak digunakan oleh anak pada usia ini. Seperti yang telah disebutkan bahwa referen ' yang berganti-ganti membuat anak kesulitan untuk menggunakan deiksis. Menurut hasil penelitian bersama lima responden yang terlibat dalam penelitian ini, penggunaan DW oleh mereka masih sebatas penunjuk waktu yang sering mereka dengar saja tanpa mengetahui makna leksikal dari penunjuk waktu tersebut. Misalnya pada leksem tadi, makna dari leksem tadi adalah waktu yang belum lama berlalu. Namun, terdapat responden yang menggunakan leksem ini untuk menyatakan waktu yang telah lama berlalu. Dari kelima responden yang terlibat dalam penelitian ini, hampir seluruh responden melakukan hal yang serupa meski menggunakan leksem yang tak sama. Ini merupakan sebuah kekhasan yang muncul dari penggunaan DW oleh anak usia 3-5 tahun. Untuk penggunaan DP, anak pada usia ini lebih sering menggunakannya. Hal ini dapat diperkuat dari banyaknya intenitas kemunculan DP pada setiap tuturan responden. Yang menjadi kekhasan penggunaan DP pada tuturan anak usia 3-5 tahun adalah sering ditemukannya nama diri sebagai penunjuk persona. Nama diri yang mudah diingat membuat anak di usia ini lebih sering menggunakannya dibandingkan menggunakan kata ganti persona aku, saya, kamu, kalian, mereka, dan Iain-lain, walaupun kata ganti tersebut diterhukan pula dalam beberapa tuturan. Selain nama diri, leksem kekerabatan seperti Ayah, Ibu, Mamah, Bapak, Kakak, juga sering muncul. Namun, nama diri penggunaannya lebih dominan dibandingkan dengan penggunaan penunjuk persona lainnya. DR yang ditemukan pada TA usia 3-5 tahun. memiliki kekhasannya tersendiri. Penggunaan kelas kata nomina yang sangat mendominasi membuat hampir seluruh temuan DR berbentuk nomina. Kelas kata nomina ini tidak berdiri sendiri, karena kelas kata nomina dapat dijadikan penunjuk ruang apabila dirangkaikan dengan preposisi hal ruang seperti ke, dari dan di. Misalnya DR ke sekolah, ke rumah. di warung, merupakan bentuk lingual deiksis yang sering muncul. Bentuk-bentuk demikian digunakan oleh anak karena kekayaan kosakata mereka terbatas pada referen apa yang mereka ketahui. Dalam kegiatan sehari-sehari, seorang anak hanya akan berkutat pada tempat-tempat yang biasa mareka kunjungi saja,dan tentunya ini sangat berpengaruh terhadap pengetahuan mareka mengenai kosa kata. KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis penggunaan deiksis dalam TA (tuturan anak) usia 3-5 tahun di Jalan Percetakan Negara X-B No. 6 Blok C Rawasari Jakarta Pusat, dapat diambil kesimpulannya sebagai bfcrikut. 1. Ditemukannya bentuk-bentuk lingual dari DW, DP. dan DR. a. Bentuk lingual DW yang ditemukan: di antaranya adalah kemarin, penunjuk waktu (jam delapan, jam sembilan, jam sepuluh), malam. sekarang, (tadi, sore, besok, nanti, waktu itu, senin, dan selasa. 10
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
b. Bentuk lingual DP yang ditemukan di antaranya: bentuk-bentuk leksem kekerabatan seperti: Kakak,Tante,Ibu,Ayah,Mamah,Bapak,Teteh.Selain laksem kekerabatannya itusendiri. Pengunaan singkatan dari laksem kekerabatan yang dirangkaikan dengan nama diri pun sering ditemukan. c. Bentuk lingual DR ditemukan penggunaan kelas kata nomina yang dirangkaikan dengan preposisi hal ruang sehingga mampu dijadikan sebagai penunjuk ruang. 2. Referen deiksis yang berpindah-pindah atau berganti-ganti membuat seorang anak menggunakan dan memahami penggunaan deiksis. Maksud yang terbentuk pada penggunaan sebuah deiksis memang sangat bergantung pada konteks pada saat tuturan berlangsung. Maksud yang ingin dicapai penutur terkadang berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh mitra tuturnya. terkadang deiksis yang digunakan oleh anak maksudnya berbeda dengan makna sebenarnya dari deiksis tersebut. Misalnya dalam kasus penggunaan DP om Rahmat yang maksudnya digunakan sebagai penunjuk ruang yaitu warung milik pak Rahmat. 3. Menurut hasil penelitian penggunaan deiksis dalam tuturan anak usia 3-5 tahun. menurut jenisnya, DP lebih dominan dibandingkan dengan deiksis lainnya. Dari 54 buah bentuk lingual deiksis yang ditemukan, penggunaan DP mendapatkan jumlah terbanyak yaitu 25 buah. Di susul oleh pengunaan DR ditemukan 24 buah dan terakhir adalah bentuk lingual DW yang berjumlah 25 buah tersebut tidak terlepas dari leksemleksem yang digunakan sebagai penunjuk persona. 4. Kekhasan penggunaan deiksis pada TA usia 3-5 tahun sebenarnya tidak jauh berbeda dengan kekhasan pada tuturan anak usia 3-5 tahun. Jika pada dasarnya tuturan anak memiliki kekhasan penggunaan kosakata yang masih bergantung pada keterbatasan pengetahuan mereka akan referennya. DAFTAR PUSTAKA Chaer, Abdul. (2002). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. Darjdowidjojo, Soenjono. (2008). Psikolinguistik: Pengantar Pemahaman Bahasa Manusia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. (1992). Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Harras, Kholid A. Dan Andika Dutha Bachari. (2009). Dasar-dasar Psikolinguistik. Bandung: UPI PRESS Kushartanti, Untung Yuwono. dan Multamia RMT Lauder. (2009). Pesona Bahasa: Langkah Awal Memahami Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka "-- Utama. Kridalaksana, Harimurti. (2001). Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. M.S., Mahsun. (2005). Metode Penelitian Bahasa: Tahapan Strategi, Metode, dan Tekniknya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Nadar, Franciscus Xaverius. (2009). Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
11
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
KEMAMPUAN DAN DISIPLIN GURU SERTIFIKASI PADA SMP NEGERI 1 KOTA BANDA ACEH Syarifuddin ABSTRAK Sertifikasi guru merupakan salah satu upaya pemerintah dalam meningkatkan kualitas guru sehingga proses pembelajaran di sekolah menjadi berkualitas. Keberadaan sertifikasi diharapkan dapat meningkatkan pendidikan yang berkualitas, karena untuk mewujudkan pendidikan berkualitas tidak dapat dipisahkan dengan peran tenaga pendidik dan kependidikan. Sebagai tenaga pendidik, guru memiliki peran yang sangat penting dan strategis dalam proses belajar mengajar. Sosok guru, merupakan sebuah profesi yang mulia, karena dari gurulah, semua orang mengetahui ilmu pengetahuan dan etika. Berdasarkan asumsi diatas, focus kajian pada penelitian ini tentang bagaimana kemampuan dan kedisiplinan guru yang sudah lulus sertifikasi pada SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pedagogik, kemampuan professional, dan kepribadian guru SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Teknik pengumpulan data melalui observasi dan studi dokumentasi. Subjek penelitian adalah kepala sekolah dan guru yang sudah lulus sertifikasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: (1) Kemampuan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMPN 1 Kota Banda Aceh berkenaan dengan kemampuan pedagogik menunjukkan hasil yang baik, kemampuan ini dilaksanakan melalui berbagai program kegiatan seperti meningkatkan kompetensi melalui MGMP, Kemampuaan guru dalam Pelaksanaan pengelolaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dilakukan berdasarkan standar isi dan standar kompetensi kelulusan dan peraturan pelaksanaannya. Kemampuan guru terhadap kompetensi pedagogik terlihat mengacu kepada peningkatan yang lebih baik. (2) Kedisiplinan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMP Negeri 1 Banda Aceh telah menuju kearah yang lebih baik, kedisiplinan guru ini dilaksanakan dengan cara konseptual, yang meliputi kehadiran dalam kelas dan luar kelas. Melaksanakan tugas sebagai guru piket dan memperhatikan kesiapan siswa dalam kelas untuk memenuhi proses pembelajaran sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. Kepala sekolah dalam menegakkan disiplin guru sering menegur yang datang ke sekolah terlambat, juga menegur guru yang tidak membuat persiapan mengajar, serta memberi himbauan kepada seluruh guru pada saat pertemuan rapat guru tentang pentingnya penegakan disiplin di sekolah. Kata Kunci : Kemampuan dan Kedisiplinan Guru PENDAHULUAN Untuk kemajuan bangsa ini ke arah yang lebih baik terletak pada keberadaan pendidikan yang berkualitas pada saat ini. Pendidikan yang berkualitas hanya akan muncul apabila terdapat lembaga pendidikan yang berkualitas. Karena itu, upaya peningkatan mutu pendidikan yang dilakukan pemerintah merupakan harapan masyarakat untuk menciptakan dan mendapatkan pendidikan yang berkualitas. Dalam hal ini peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia melalui sektor pendidikan menempatkan Sekolah sebagai pendidikan formal bukan hanya sebagai system terbuka, tetapi 12
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
merupakan fungsi utnuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, namun harus peka dalam menyesuaikan diri dan dapat mengantisipasi perkembangan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu. Namun berbagai kendala atau hambatan tetap saja dijumpai guru dalam pelaksanaan pembelajaran dan hal ini mempengaruhi kinerja guru di lapangan, baik kendala yang bersifat internal maupun eksternal. Salah satu perkembangan yang terjadi diantaranya adalah peningkatan kualitas Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan serta peningkatan kompetensi tenaga pendidik yang diberikan melalui sertifikasi. Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Bab XVI Pasal 61 ayat (3) “Sertifikat kompetensi diberikan oleh penyelenggara pendidikan dan lembaga pelatihan kepada peserta didik dan warga masyarakat sebagai pengakuan terhadap kompetensi untuk melakukan pekerjaan tertentu setelah lulus uji kompetensi yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi”. Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merasa tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “Kemampuan dan Kedisiplinan Guru yang Sudah Lulus Sertifikasi pada SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: a. Kemampuan pedagogik guru SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh yang sudah sertifikasi. b. Kemampuan profesional guru SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi. c. Kepribadian guru SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh yang sudah lulus sertifikasi. LANDASAN TEROTIS Konsep Kompentesi Guru Dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 Bab XI, Pasal 39 ayat 2 dinyatakan bahwa:”Pendidik merupakan tenaga profEsional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengambdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi”. Pengertian Kompetensi Glickman dalam Bafadal (2004:6) menyatakan bahwa: ”seseorang guru dapat dikatakan profesional bilamana memiliki kemampuan tinggi (high level of abstract) dan motivasi kerja tinggi (high level of commitment)”. Komitmen lebih luas daripada concern sebab komitmen itu mencakup waktu dan usaha. Tingkat Komitmen guru terbentang dalam satu garis kontinum, bergerak dari yang paling rendah menuju yang paling tinggi. Profesionalisme Guru Guru profesional adalah guru yang mampu menerapkan hubungan yang berbentuk multidimensional. Guru yang demikian adalah guru yang secara internal memenuhi kriteria administratif, akademis dan kepribadian. Menurut Nurdin (2004:20) persyaratan guru yang profesional adalah “sehat jasmani dan rohani, bertakwa, berilmu pengetahuan, berlaku adil, berwibawa, ikhlas, 13
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
mempunyai tujuan, mampu merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan serta menguasai bidang yang ditekuninya”. Peranan Sertifikasi Guru Sertifikasi guru adalah proses pemberian sertifikasi pendidik kepada guru yang teelah memenuhi persyaratan tertentu yaitu memiliki kualifikasi akademik, kompetensi, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional yang dibarengi dengan peningkatan kesejahteraan yang layak. (Muslich, 2007:2). Landasan yuridis diberilakukan sertifikasi guru dan dosen antara lain: (1) Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; (2) peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan; (3) UndangUndang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen; (4) Draff Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang rencananya Oktober 2006 akan segera diberlakukan bahkan menurut Dirjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) Depdiknas Dr. Fasla Djalal, Ph. D. (Pikiran Rakyat, 6 Oktober 2006 hal. 12) mengatakan bahwa: ‘’Awal Januari 2007 take home pay guru Minimal 3 juta”. Tujuan sertifikasi dijelaskan oleh Samani (2006:10) adalah untuk menentukan tingkat kelayakan seseorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikat pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji sertifikasi. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang berusaha untuk mendeskripsikan peningkatan kemampuan dan kedisiplinan guru yang sudah disertifikasi pada SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh. Berdasarkan ruang lingkup kajian penelitiannya, maka penulis menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh. Penelitian lebih difokuskan pada guru-guru yang telah lulus sertifikasi dari seluruh bidang studi yang ada pada SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh. Waktu penelitian secara resmi dilaksanakan sesuai jadwal yang telah disahkan bagian akademik, yaitu pada Awal bulan September 2012 sampai dengan 1 Januari 2013. Subjek Penelitian Subjek dalam penelitian ini adalah 1 orang kepala sekolah dan guru-guru pada SMP Negeri 1 Kota Banda Aceh, serta 1 orang koordinator pengawas sekolah (Korwas), Kesemua Subjek ini diharapkan sebagai informasi bagi keperluan penelitian. Instrumen Penelitian Adapun instrumen penelitian yang dimaksudkan dalam penelitian kwalitatif adalah peneliti sendiri, karena peneliti mampu menyesuaikan dengan keadaan realitas di lapangan. Berdasarkan pada variabel, sub variabel dan indikator di atas, maka perlu dijelaskan lebih lanjut pada pedoman wawancara dan pedoman observasi sebagai persiapan permulaan yang perlu diperbaiki kembali jika terjadi penambahan fenomena di lapangan. 14
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Teknik pengumpulan data Alat yang digunakan oleh penulis dalam mengumpulkan data yaitu menggunakan observasi, Wawancara dan Dokumentasi. 1). Observasi Dalam kegiatan observasi peneliti melakukan pencatatan secara sistematis, semua kejadian, perilaku, objek yang dilihat. Pertama – tama penyelidikan secara umum, disini peneliti berusaha untuk mengumpulkan informasi, fakta dan data sebanyakbanyaknya. 2). Wawancara Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara yang dibuat berdasarkan kisi-kisi pengumpulan data. Pedoman ini dibuat dan dirumuskan dalam bentuk terbuka. 3) Dokumentasi Walaupun dalam penelitian kualittif kebanyakan data diperoleh dari sumber data melalui observasi dan wawancara, dokumentasi digunakan juga untuk memperoleh data tentang aktivitas pendidikan sekolah, program kerja dan evaluasi, tingkat pendidikan dan pengalaman, serta penataran-penataran penting yang diikuti yang mencerminkan kompetensi seorang guru. Studi dokumentasi, yaitu mempelajari data-data yang telah didokementasi berupa aktivitas Kepala Sekolah, program Kepala Sekolah/Program supervisi, serta evaluasi. Teknik analisa data Langkah-langkah analisis data mengikuti langkah-langkah reduksi data, display data dan mengambil kesimpulan dan verifikasi. 1. Tahap Reduksi Dalam tahap ini kegiatan yang dilakukan adalah menelaah seluruh data yang telah dikumpulkan dari lapangan penelitian, sehingga dapat ditemukan hal-hal pokok daripada objek yang diteliti. Kegiatan yang dapat dilakukan adalah mengumpulkan data atau informasi dari catatan hasil observasi, wawancara dan studi dokumentasi dan selanjutnya mencari inti atau pokok-pokok yang dianggap penting dari setiap aspek yang diteliti. 2. Tahap Display Adapun kegiatan yang dapat dilakukan pada tahap ini adalah merangkum data dan temuan-temuan penelitian dalam suatu situasi yang sistematis untuk mengetahui makna pelayanan perpustakaan sekolah yang diteliti. Selanjutnya melalui display data dapat memudahkan bagi peneliti untuk menginterprestasikan terhadap data yang telah dikumpulkan. 3. Tahap Verifikasi Pada tahap ini dilakukannya verifikasi data maka perlu dilakukan pengkajian tentang kesimpulan yang telah diambil dengan data pembanding dari teori yang relevan. Pengujian dimaksud adalah untuk melihat kebenaran hasil analisis, sehingga melahirkan kesimpulan yang dapat dipercaya.
15
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
HASIL PENELITIAN Berdasarkan data lapangan sesuai dengan permasalahan dan tujuan penelitian, hasil penelitian disajikan di bawah ini. 1. Kemampuan Guru yang Telah Lulus Sertifikasi Hasil wawancara dengan semua subjek penelitian dapat disimpulkan bahwa kemampuan guru yang telah lulus sertifikasi di SMPN 1 Banda Aceh sebagai berikut : Kemampuan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMPN 1 Banda Aceh dilakukan dengan program peningkataan kompetensi melalui MGMP, melalui penyusunan silabus, RPP, program tahunan, KKM, dan rincian minggu efektif, peningkatan mutu dalam proses pembelajaran, mengadakan supervisi PBM/KBM, supervisi ADM serta menindak lanjuti proses PBM Berdasarkan hasil wawancara dengan guru menyatakan bahwa: “kepala sekolah sering membimbing dan mengadakan spervisi terhadap guru-guru yang telah lulus sertifikasi pada saat proses belajar mengajar dengan tujuan agar pencapaian peningkatan guru dapat terlaksana dengan baik”.(Guru 1) Hasil wawancara dengan guru menyatakan bahwa : “program yang telah dilakukan oleh kepala sekolah terhadap kami yang telah lulus sertifikasi dilakukan melalui MGMP, tata cara penyusunan silabus, RPP berkarakter, program tahunan, KKM, dan rincian mingu efektif, mengadakan supervise dalam proses pembelajaran, mengadakan supervisi PBM/KBM, supervisi ADM serta menindak lanjuti proses PBM”.(Guru 2) Keterlibatan guru yang telah disertifikasi dalam kegiatan peningkatan profesionalisme sangat penting dirasakan, baik dari sisi kompetensi pofesional, kompetensi pedagogik maupun kompetensi kepribadian dan social. Hasil wawancara dengan guru, menyatakan bahwa: “Dalam hal bimbingan yang dilakukan oleh pengawas terhadap kami guru yang telah lulus sertifikasi, pengawas sering melakukan supervisi ADM, melakukan supervisi terhadap teknik mengajar yang dapat dapat membuat siswa agar tertarik terhadap materi yang diajarkan dengan pendekatan model pembelajaran yang sesuai”.(Guru 3) Kompetensi guru yang telah lulus sertifikasi pada SMPN 1 Kota Banda Aceh dalam pelaksanaan tentang pengelolaan kurikulum tingkat satuan (KTSP) yang dilakukan oleh guru disusun secara bersama-sama oleh warga sekolah. Dalam pelaksanaan pembelajaran guru melibatkan peserta didik secara aktif, demokratis, mendidik, dan memotivasi serta mendorong kreativitas siswa dengan tujuan agar peserta didik mencapai pola pikir dan kebebasan berpikir sehingga dapat melaksanakan aktivitas intelektual yang berupa dapat berdiskusi, beragumentasi, mempertanyakan, serta mengkaji, dan menemukan solusi dengan pendekatan pola pembelajaran kooperatif. Kenyataan yang telah terjadi disekolah SMPN 1 Banda Aceh masih ada guru yang telah lulus sertifikasi yang belum melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran yang berlaku saat sekarang ini yaitu pendekatan model pembelajaran kooperatif. Hasil wawancara dengan guru menyatakan bahwa: “Dalam hal peningkatan kemampuan kompetesi guru yang teelah lulus sertifikasi pada SMP Negeri 1 Banda Aceh, kepala sekolah sering melakukan pertemuan dengan tujuan agar pelaksanaan pengelolaan kurikulum tingkat satuan (KTSP) dapat terlaksana dengan baik dan sesuai dengan yang diharapkan”.(Guru 4) 16
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan seorang guru yang berkenaan dengan pemahaman peserta didik dan pengelolaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Secara substantive kompetensi pedagogic ini mencakup kemampuan pemahaman terhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasi hasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimiliki oleh peserta didik. Hasil wawancara dengan guru, menyatakan bahwa: “berhubungan dengan kompetensi pedagogik yang telah dilakukan oleh kepala sekolah terhadap kami, kepala sekolah sering menegur dan mengarahkan kami untuk membuat berbagai perencanaan peningkatan terhadap masing-masing guru bidang studi, seperti setiap guru harus membuat strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, menentukan tingkat ketuntasan belajar siswa serta setiap guru bidang studi harus dapat mengembangkan peserta didik dengan berbagai potensi yang ada pada peserta didik sehingga dapat menonjolkan kemampuan yang ada dari siswa tersebut”.(guru 5) Kemampuan seorang guru terhadap kegiatan belajar mengajar sebagai salah satu kegiatan yang rutin yang umumnya dilaksanakan oleh seorang guru di kelas, bukanlah suatu yang berdiri sendiri, akan tetapi, ia terkait dengan berbagai faktor dan unsur yang menunjang. Dengan demikian, eksistensi seorang guru tidak hanya diukur dari kemampuan penguasaan materi pelajaran atau menyiapkan perangkat-perangkat media yang diperlukan, tetapi juga diukur dari kemampuan menciptakan kondisi belajar atau iklim kelas yang kondusif bagi terwujudnya proses belajar mengajar yang optimal di tempat ia mengajar. 2. Kedisiplinan Guru yang Telah lulus sertifikasi Hasil wawancara dengan kepala sekolah sebagaii subjek penelitian terhadap peningkatan kedisiplinan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMPN 1 Kota Banda Aceh dapat disimpulkan bahwa : Peningkatan kedisiplinaan terhadap guru yang telah lulus sertifikasi dilakukan dengan berbagai cara yang diantaranya melakukan bimbingan dan supersivi guru padda saat PBM, melakukan tata cara dalam menyusun silabus, RPP, program tahunan, program semester, serta melakukan rincian minggu efektif. Berdasarkan hasil wawancara dengan kepala sekolah menyatakan bahwa : “Untuk menghindari terjadinya ceplak menyeplak silabus, RPP dari satu sekolah dengan sekolah yang di bawah kepemimpinannya, maka ditegaskan kepada seluruh guru, agar tidak menyeplak atau mengkopi silabus, RPP dari sekolah lainnya. Hal ini dilakukan untuk agar guru lebih kreatif dalam bekerja serta dapat menjalankan aturan dengan disiplin kerja yang baik bagi guru tersebut.” (Guru 2). a. Faktor Pendukung peningkatan kemampuan dan disiplin guru Berdasarkan hasil wawancara dengan semua sbjek penelitian yang menjadi factor pendukung dalam peningkatan kemampuan guru yang telah disertifikasi berupa keinginan dan kemauan kepala sekolah untuk meningkatkan kualitas pendidikan bagi guru yang telah disertifikasi sangat besar, hal ini ditandai dengan suatu kebijakan yang diambil oleh kepala sekolah dilakukan secara bersama-sama dengan warga, sebagaimana kepala sekolah menjadikan warga sekolah sebagai mitra kerja yang aktif dalam mengembangkan sekolah. Memberikan informasi kepada guru tentang fungsi dan peranan kepala sekolah untuk membantu/meyakinkan guru agar lebih komitmen dalam bekerja, (Depdiknas, 17
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
2006) terdapat Sembilan peran utama kepala sekolah yaitu: (1) educator (pendidik); (2) maanajer; (3) administrator; (4) supervisor (penyelia); (5) leader (pemimpin); (6) pencipta iklim kerja; dan (7) wirausahawan; (8) figure dan (9) mediator. Dalam wawancara peneliti dengan kepala sekolah menyatakan bahwa : ”saya selalu mencari dan mendalami tugas dan peran utama kepala sekolah yaitu, sebagai educator (pendidik), manajer, administrator, supervisor, leader, pencipta iklim kerja dan wirausahawan, figure dan mediator. Apabila saya tidak memahami tugas dan fungsi saya dapat mengembangkan potensi bahkan mengembangkan potensi educaktif yang ada disekolah ini. Peran ini tidak dapat saya jalankan apabila tidak mendapat dukungan dari para warga sekolah seperti guru, staf pegawai, siswa dan masyarakat serta stakeholder sekolah. Hal ini saya utarakan kepada warga sekolah karena ada anggapaan bahwa seorang kepala sekolah hanya berdiri-diri saja, duduk-duduk saja dikantor kepala sekolah, tetapi berdasarkan peran kepala sekolah ini seorang kepala sekolah harus siap menerima/memberikan penejlasan terhadap pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan oleh guru”. (Wawancara, Kp) Berdasarkan hasil penelitian terhadap kedisiplinan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMPN 1 Kota Banda Aceh adalah penegakkan disiplin melalui: pembinaan, pengawasan, dan tindakan. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala Sekolah SMPN 1 Kota Banda Aceh menyebutkan bahwa: “Dalam rangka menegakkan disiplin bagi guru-guru, baik guru yang telah lulus sertifikasi maupun yang belum lulus sertifikasi dan bahkan bagi seluruh warga masyarakat sekolah, dilakukan melalui pengarahan dan himbauan baik dalam rapat dan teguran serta melalui pengawasan dan tindakan. Sebagai contoh bagi warga sekolah yang tidak mematuhi kedisiplinan yang telah ditetapkan pada setiap hari senin pada jam upacara, maka bagi mereka tidak diberikan kesempatan untuk masuk kedalam perkarangan sekolah hingga upacara bendara selesai dilaksanakan, dan bagi mereka yang terlambat harus menghadap ke kantor untuk membuat suatu surat pernyataan atau berjanji tidak akan mengulangi perbuatan ketidak disiplinan. Dan bagi guru yang tidak membuat persiapan mengajar memberikan himbauan agar membuat persiapan mengajar sebelum dilakukan proses pembelajaran dikelas”. (Kp) b. Faktor Penghambat dalam peningkatan kemampuan Sedangkan yang menjadi factor penghambat dalam peningkataan kemampuan dan kedisiplinan guru yang telah lulus sertifikasi berdasarkan informasi subjek penelitian dapat disimpulkan bahwa : Belum semua guru dapat melaksanakan kebijakan yang diterapkan pada pengelolaan pembelajaran, hal ini dapat dilihat berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru SMPN 1 Kota Banda Aceh yang menyatakan bahwa: “Dalam melaksanakan tugas dan kebijakan yang diterapkan kepala sekolah dengan berbagai cara, akan tetapi dalam kenyataannya masih banyak guru yang belum menguasai teknik mengajar yang dapat membuat siswa menarik terhadap pelajaran yang dikelolakannya. Hal ini diakibakannya oleh karena banyaknya guru yang tidak hadir pada pertemuan MGMP dan kegiatan-kegiatan lainnya dalam peningkatan kemampuan guru”(Gr.1)
18
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Disamping itu, supervisi yang dilakukan oleh pengawas sekolah, belum semuanya berjalan singkron dengan apa yang telah dilakukan guru disekolah. Hal ini dikarenakan keterbatasan waktu dan dana yang dimiliki oleh setiap guru secara individu maupun sekolah tersebut dalam melaksanakan supervisi. PEMBAHASAN 1. Kemampuan Guru yang Telah Lulus Sertifikasi Sebagai guru yang telah menyandang sertifikasi, sudah semestinya memiliki kinerja yang baik dibandingkan dengan guru-guru yang belum mendapat atau menyandang sertifikasi. Kemampuan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMPN 1 Kota Banda Aceh dilaksanakan melalui berbagai program kegiatan seperti meningkatkan kompetensi melalui MGMP dapat penulis mengindentifikasikan bahwa masih sebatas penyusunan silabus, RPP, program tahunan, KKM, dan rincian mingu efektif. Hal ini didasarkan pada Wina Sanjaya (2006:145) menyatakan bahwa”sebagai suatu profesi, terdapat sejumlah kompetensi yang harus dimiliki oleh seorang guru, yaitu meliputi kompetensi pribadi, kompetensi profesioanl dan kompetensi social kemasyarakatan”. Dalam hal pelaksanaan program, seorang pemimpin harus melakukan berbagai tahapan agar program tersebut dapat berjalan dengan baik. Siagian (2002:15) tahap tersebut yaitu : a) Tahap perumusan misi organisasi, b) Tahap penentuan profil organisasi, c) Tahap eksternal, d) Tahap analisis dan perilaku, e) Tahap penetappan jangka panjang, f) Tahap penentuan strategi, g) Taha penentuan jangka pendek, h) Tahap perumusan kebijakan, i) Tahap pelembagaan strategi, j) Tahap penciptaan sistem penilaian”. Peningkatan kompetensi profesional guru dapat dilakukan melalui berbagai program, dalam hal ini Depdiknas (2008: 3) menetapkan bahwa: program penataran dilakukan melalui berbagai program mencakup: (a) Penataran peningkatan teknis dan professional guru sebagai akibaat dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan kiat mendidik, (b) Penataran penyegaran, yaitu untuk menyegarkan kemampuan gur yang telah berada dan bekerja di lapangan yang diperkirakan kurang mendapat kesempatan untuk berhubungan dengan suasana mutakhir kependidikan, (c) Penataran untuk menyampaikaan berbagai informassi mengenai pembaharuan di bidang pendidikan, (d) Penataran untuk menyampaikan berbagai kebijaksanaan baru dalam bidang pendidikan. Berdasaarkan dari teori-teori tersebut, maka tujuan sertifikasi yang dilakukan tidak lain adalah untuk peningkatan kemampuan guru dari segala bidang. Samani (2006;10) menyebutkan bahwa “untuk menentukan tingkat kelayakan seseorang guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran di sekolah dan sekaligus memberikan sertifikasi pendidik bagi guru yang telah memenuhi persyaratan dan lulus uji sertifikasi. Dengan kata lain tujuan dari sertifikasi untuk meeningkatkan mutu dan meneentukan kelayakan guru dalam melaksanakan tugas sebagai agen pembelajaran dan mewujudkan tujuan pendidikan nasional”. Pemberdayaan guru, salah satunya dapat dilakukan melalui pembagian tanggung jawab. Keberadaan guru sebagai staf dalam proses pembelajaran dan pengajaran di sekolah menjadi salah satu pilar kepeemimpinan pendidikan dengan diserahkan tanggung jawab tertentu oleh kepala sekolah kepadanya. Menurut Marks (dalam Sutheja, 1999:103), bahwa;”salah satu factor utama yang sangat menentukan keefektifan kerja guru adalah semangat kerja”. Kemampuuan seorang guru menurut Castetter (1999:78) dapat diklasifikasikan empat kriteria yang memiliki kinerja sebagai berikut: 19
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
a) Kriteria karakteristik perorangan meliputi penampilan, kesetiaan, motivasi kerja dan hubungan antar perorangan. b) Kriteria proses meliputi tingkah laku dalam kelas, prestasi guru, pertanyaan, gaya mengajar, gaya yang efektif dan individualisasi, tingkah laku diluar kelas, tanggung jawab diluaar pengajaran. c) Kriteria priduk merupakan suatu set sasaran pelaksanaan yang ditentukan atau tingkat pertumbuhan yang akaan diselesaikan, produk-produk yang berarti hasil atau hasil anggota staf individu. d) Kriteria ganda merupakan kombinasi cirri, produk ataau proses. Keterlibatan guru yang telah disertifikasi dalam kegiatan peningkatan profesionalisme sangat penting dirasakan, baik dari sisi kompetensi pofesional, kompetensi pedagogik maupun kompetensi kepribadian dan social. 2. Kedisiplinan Guru yang telah lulus sertifikasi Peningkatan disiplin guru merupakan hal yang mutlak dalam proses pendidikan. Peningkataan disiplin guru dapat dilaksanakan dengan supervisi. Secara konseptual bahwa salah satu indicator tingginya kinerja seorang guru ditandai dengan adanya penegakan kedisiplinan disekolah tersebut. Disiplin guru meliputi kehadiran dalam kelas dan luar kelas. Disiplin diluar kelas meliputi kehadiran ke sekolah tepat waktu, mempersiapkan materi ajar yang akan diajarkan kepada siswa sesuai dengan kurikulum dan prosedur yang telah ditetapkan. Cara yang ditempuh oleh kepala sekolah SMPN 1 Kota Banda Aceh dalam menegakkan kedisiplinan guru yang telah lulus sertifikasi berupa pemberian hukuman bagi guru dan siswa yang terlambat hadir kesekolah dengan menunggu di depan pintu gerbang sekolah setiap jam pertama pelajaran pada hari senin, setelah jam upacara selesai baru bagi mereka yang tidak disiplin di bolehkan masuk kedalam perkarangan sekolah dengan memberi absensi pernyataan bahwasannya tidak akan mengulangi keterlambatan pada saat upacara dimulai. KESIMPULAN Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Kemampuan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMPN 1 Kota Banda Aceh berkenaan dengan kemampuan pedagogik menunjukkan hasil yang baik, kemampuan ini dilaksanakan melalui berbagai program kegiatan seperti meningkatkan kompetensi melalui MGMP, penyusunan silabus, RPP, program tahunan, KKM, dan rincian minggu efektif. Kemampuaan guru dalam Pelaksanaan pengelolaan kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) dilakukan berdasarkan standar isi dan standar kompetensi kelulusan dan peraturan pelaksanaannya. Kemampuan guru terhadap kompetensi pedagogik terlihat mengacu kepada peningkatan yang lebih baik. 2. Kedisiplinan guru yang telah lulus sertifikasi pada SMP Negeri 1 Banda Aceh telah menuju ke arah yang lebih baik, kedisiplinan guru ini dilaksanakan dengan cara konseptual, yang meliputi kehadiran dalam kelas dan luar kelas. DAFTAR RUJUKAN Azhari (2003), Supervisi Rencana Program Pembelajaran. Jakarta: Rian Putra. Bafadal, Ibrahim, (2004), Peningkatan Profesionalisme Guru Skeolah Dasar (dalam Kerangka Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah). Jakarta: Bumi Aksara. Dharma, Agus, (2004). Manajemen Supervisi. Jakarta: Raja Grafindo. 20
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Djauzak (2006) Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan. Jakarta: Direktorat Tenaga Kependidikan Departemen Pendidikan Nasional Delin, M (2010) Upaya Pengawas Pendidikan dalam Meningkatkan Kemampuan Profesional Guru pada Skeolah Dasar di Kabupaten Simeulue: Tesis pada unsyiah Banda Aceh, tidak diterbitkan. Fajar, Arnie. (2006). Peranan Sertifikasi Guru dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru. Dalam Makalah Seminar Nasional Sosialisasi Sertifikasi Guru dalam memaknai UU No. 14 Tahun 2005. Bandung: Disdik Jawa Barat. Hamalik, Oemar (2009). Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta:PT. Bumi Aksara Hamzah B Uno. (2008). Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara. Moleong, Lexy J.(2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Nasir, Usman, (2007), Manajemen Peningkatan Kinerja Guru, Mutiara Ilmu – Bandung. Samani, Muchla. (1999). Manajemen Sekolah. Jakarta : Dirjen Dikdasmen Sanjaya, Wina. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana Preanada Media Group. Sagala, Syaiful. (2006). Administrasi Pendidikan Kontemporer, Bandung : Alfabeta. Sahertian, Piet A. (2003). Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan dalam Rangka Pengembangan Sumber daya Manusia. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen. 2006. Jakarta: Eka Jaya.
21
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
PENGAJARAN MATEMATIK DENGAN PENDEKATAN PENGAJARAN MENGIKUT KONTEKS DI SEKOLAH VOCATIONAL Murni, S.PD, M.PD DR. MOHD Uzi Dollah PROF. Madya DR. Noor Shah Saad
PENDAHULUAN Matematik adalah satu mata pelajaran yang sangat penting di Indonesia, mesti diajarkan kepada semua pelajar pada tiap-tiap peringkat pendidikan menengah (Depdiknas, 2002; Depdiknas 2003). Tetapi, matematik dianggap sebagai suatu pelajaran yang kurang menarik, kaku, dan membosankan. (Wan Zah et al., 2005; Mohd Uzi & Sam, 2009). Persoalan ini kerana pengajaran yang kurang berkesan, serta gagal mengaitkan matematik dengan kehidupan keseharian. Mandat Undang-Undang nombor: 14 tahun 2005 tentang guru dan pensyarah serta Peraturan Kebangsaan Indonesia nombor: 19 tahun 2005 pendidikan kebangsaan agar guru sentiasa berusaha untuk meningkatkan fasa ajaran profesionnya. Guru-guru profesional akan menjalankan pengajaran dan pembelajaran yang interaktif, memberi inspirasi, menyeronokkan, merangsang minat para pelajar mengambil bahagian secara aktif, bersedia menjana pengetahuan baru berasaskan pada pengetahuan dan minat pelajar sedia ada. Dalam pengajaran matematik bermakna mestilah pelajar mempelajari sesuatu pengetahuan atau konsep matematik yang baru. Pelajar juga mestilah secara aktif membabitkan diri dalam proses pembelajaran, seperti dalam perbincangan kelas, menyelesaikan masalah matematik dan melaksanakan aktiviti atau projek matematik. Akan tetapi, pengajaran dan pembelajaran lebih berkemungkinan menggunakan pendekatan yang rasmi, iaitu mengendalikan bilik darjah dengan menggunakan pendekatan pengajaran yang baik dan berkesan menurut pandangan guru itu sendiri, tanpa memikirkan kepelbagaian corak pelajar dalam bilik darjah (Nickson, 1992). Apakah guru, secara am kurang menyedari matlamat yang telah dirangka oleh kerajaan dalam kurikulum 2006? Pernyataan Masalah Kemampuan pelajar di sekolah sangat bergantung pada apa yang dijalankan guru selama proses belajar mengajar (Furner & Kumar 2007). Kejayaan dari setiap proses belajar mengajar, terutama di ruangan kelas sangat dipengaruhi oleh proses yang dijalankan oleh guru serta peralatan sekolah, kurikulum dan sistem pendidikan. Guru yang dapat mendorong pelajar lebih aktif terlibat dalam pekerjaan mereka kemungkinan akan mempunyai pelajar yang berminat dalam matematik. Oleh itu, diperlukan pengajaran yang berkemahiran untuk mengaitkan antara teori matematik dengan keadaan sebenar. Pengajaran mengikut konteks adalah sebuah konsep mengajar yang menolong para guru untuk menghubung kaitkan material pengajaran yang mereka ajarkan dengan kehidupan sebenar, dan 22
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
boleh menolong pelajar untuk membuat hubungan antara ilmu pengetahuan dan aplikasinya terhadap kehidupan sebenar. Oleh itu, kegiatan pengajaran mengikut konteks boleh mengarahkan pelajar untuk dapat mengaplikasikan teori matematik dengan lebih berkesan (Pearson, 2003). Walau bagaimanapun, pengajaran mengikut konteks dalam pengajaran matematik mengikut konteks di Indonesia masih lagi baru dan belum menyeluruh. Satu sudut yang masih kurang jelas dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah berkenaan pengaplikasian pengajaran mengikut konteks dalam pengajaran matematik di bilik darjah. Walaupun Kurikulum 2006 penekanan pada mengikut konteks, tetapi sama ada adakah ia suatu realiti dalam proses pengajaran dan pembelajaran matematik dalam bilik darjah? Dan apakah pengajaran mengikut konteks akan memberikan keputusan yang lebih baik? Inilah adalah merupakan satu persoalan asasi yang membawa kepada kecenderungan penyelidikan membuat kajian pengajaran dalam pendidikan matematik khususnya pada sekolah SMK/Vokasional. Kerangka Konsep Idea-idea daripada para ahli falsafah dan pakar seperti Piaget (1983); Ausubel (1963) dan Bruner (1990) menjadi asas yang kukuh dalam pembinaan teori tentang pengajaran dan pembelajaran matematik. Satu teori yang mengambil kira pelajar membina pengetahuan baru secara aktif berasaskan pengetahuan sedia ada adalah daripada perspektif fahaman konstruktivisme. Jean Piaget (1970), mengatakan bahawa untuk mengetahui suatu objek kita harus melakukan aksi terhadap objek tersebut dan mentransformasikannya. Menurut Piaget, menjadi tahu adalah suatu proses aktif dalam keadaan mana individu berinteraksi dengan lingkungan dan mentransformasikannya di dalam fikiran dengan menggunakan struktur-struktur yang telah ada dalam fikiran. Berkaitan dengan pemerolehan pengetahuan, pendapat Von Glasersfeld berbeza secara radikal dengan konsepsi pemerolehan pengetahuan tradisional terutama dalam kaitan antara pengetahuan dan realiti. Von Glasersfeld berpendapat bahawa pengetahuan dan realiti tidak memiliki nilai mutlak, dan pengetahuan diperoleh secara aktif dan dikonstruksi melalui indera atau melalui komunikasi. Von Glasersfeld (1984) mengemukakan bahawa konstruktivisme radikal tidak diinterpretasikan sebagai gambaran daripada realiti secara mutlak, tetapi sebagai model pengetahuan dan kemungkinan memperoleh pengetahuan dalam kognisi dengan cara mengkonstruksi pengetahuan berdasarkan pengalaman sendiri. Dalam pembelajaran, konstruktivisme radikal tergolong konstruktivisme individu, sebagaimana konstruktivisme kognitif yang dikemukakan Piaget. Teori Konstruktivisme Vygotsky, Vygostsky adalah seorang sarjana Hukum, tamat dari Universitas Moskow pada tahun 1917, kemudian beliau melanjutkan studi dalam bidang filsafat, psikologi, dan sastra pada fakultas Psikologi Universitas Moskow dan menyelesaikan studinya pada tahun 1925 dengan judul disertasi “The Psychology of Art”. Vygotsky wafat pada tahun 1934. Vygotsky (1925) mengatakan Art is the social technique of emotion, a tool of 23
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
society which brings the most intimate and personal aspects of our being into the circle of social life. It would be more correct to say that emotion becomes personal when every one of us experiences a work of art; it becomes personal without ceasing to be social. Wujud enam ciri utama pengajaran berasaskan penerapan pembelajaran mengikut konteks di bilik darjah di ubah suai (Hull, 1997; Jhonson, 2002; Siswono, 2002; Rustana, 2002; Nurha di, 2002; suyanto, 2002; Depdiknas, 2003), sehingga terbina seperti rajah 1.1. Enam ciri pengajaran mengikut konteks iaitu : belajar bermakna, inkuiri, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, penaksiran autentik, hal ini didapatkan dan disimpulkan juga atas dasar proses pengalaman pengakaji sebagai pensyarah pada FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) dan pada PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) serta hasil perbincangan beberapa pensyarah berpengalaman pada FKIP Banda Aceh.
PEMBELAJARAN
MASYARAKAT
BERMAKNA
BELAJAR
INKUIRI
PEMODELAN PENGAJARAN MENGIKUT KONTEKS
PENAKSIRAN AUTENTIK
REFLEKSI
Rajah 1.1 Kerangka konsep pengajaran matematik dengan pendekatan pengajaran mengikut konteks. Tujuan Kajian Kajian ini dijalankan bermatlamat untuk mendedahkan secara lengkap pengajaran mengikut konteks. Fokus utama diberikan kepada menerangkan kaedah perancangan, pelaksanaan, dan semakan pengajaran matematik dengan pendekatan mengikut konteks di bilik darjah. 24
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Soalan Kajian Secara khusus, soalan penyelidikan dalam kajian ini adalah: 1. Apakah perancangan pengajaran guru dengan pendekatan pengajaran mengikut konteks? 2. Bagaimana pelaksanaan pengajaran guru dengan pendekatan pengajaran mengikut konteks dalam bilik darjah? 3. Apakah masalah yang dihadapi guru dalam pelaksanaan pengajaran mengikut konteks di dalam bilik darjah? PENGAJARAN MENGIKUTI KONTEKS Mata pelajaran matematik adalah kumpulan material kajian dan pelajaran tentang kuantiti melalui penggunaan nombor dan simbol dalam aritmetik, aljabar, geometri, trigonometri, statistik dan kalkulus yang memberikan peruntukan kepada manusia untuk berfikiran secara logik dan kritis. Matematik yang bersifat sejagat berguna sebagai peralatan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sebenar. Tambahan pula, mengkaji matematik juga melatih intelek seseorang dan mempengaruhi kemahiran berfikir logik. Untuk itu, mengubah tanggapan yang matematik adalah sukar dan menakutkan untuk menjadi menyeronokkan hendaklah diperlakukan (Turmudi, 2008; Noor Shah Saad, 2002). Reka Bentuk Kajian Matlamat kajian ini adalah untuk menelusuri keberkesanan pengajaran matematik melalui pendekatan pengajaran mengikut konteks. Pengajaran mengikut konteks adalah suatu pengajaran yang boleh menolong guru untuk menjadikan kandungan sukatan pengajaran berkait dengan kehidupan sebenar ke dalam bilik darjah (Siswono, 2002; Nurhadi, 2003; Hull, 1997; Rustana, 2002). Kaedah Pengumpulan Data Empat kaedah pengumpulan data telah digunakan dalam kajian ini iaitu: pemerhatian, catatan lapangan, temu bual dan pengumpulan dokumen. Pengumpulan Dokumen Pengkaji akan melakukan pengumpulan dokumen yang dirasa perlu untuk penyelidikan. Pengumpulan dokumen yang digunakan oleh sesuatu masyarakat dapat memberi gambaran tentang pengalaman dan pengetahuan yang mereka miliki (Cheah, 2001). Ini menunjukkan, dokumen seperti buku-buku, lembaran kerja, rancangan pengajaran, alat bantu mengajar dan nota-nota personal peserta yang digunakan dalam proses pengajaran bilik darjah, mempunyai maklumat tertentu yang boleh mempengaruhi pengajaran bilik darjah. Peserta kajian Peserta kajian ini adalah terdiri daripada tiga orang guru matematik Tingkatan empat Sekolah Vokasional di Kota Banda Aceh. Kota Banda Aceh 25
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
merupakan ibu negeri propinsi Aceh. Terdapat tiga sekolah vokasional, iaitu SMK 1, SMK 2 dan SMK 3. Walau bagaimanapun, guru yang terbabit dalam kajian ini adalah daripada dua sekolah vokasional, yang ditentukan berasaskan kepada kesanggupan pihak pengurusan sekolah untuk bekerjasama dengan membenarkan gurunya terlibat dalam kajian. Sekolah vokasional dipilih kerana sekolah ini mengutamakan pratikal dan kerja amali. Tata Cara Pengumpulan Data Peringkat 1: Temu Bual Prapengajaran; Peringkat 2: Pengajaran; Peringkat 3: Temu Bual Setelah Pengajaran
Pemerhatian
Kajian Rintis Satu kajian rintis dibuat terhadap dua orang guru Matematik tingkatan empat di SMK 3 dan dijalankan dalam keadaan pengajaran bilik darjah sebenar. Matlamat membiasakan pengkaji tentang tatacara kajian, disamping untuk mendapat pengalaman dengan kaedah pemerhatian (membuat rakaman video), pengumpulan dokumen, temu bual membuat rakaman audio, serta membuat catatan ketika pemerhatian, temu bual dan membuat analisis awal kajian rintis. Hasil kajian rintis menunjukkan bahawa kedua-dua orang guru kurang upaya tentang ciri pengajaran mengikut konteks. Keboleh Percayaan dan Ketekalan Satu cara mempertingkatkan kebolehpercayaan adalah dengan melakukan triangulasi (Mazulewicz dan Fenton, 2006; Golafshani, 2003). Satu strategi triangulasi yang digunakan dalam kajian ini adalah dengan mempelbagaikan kaedah pengumpulan data. Empat alat pengumpulan data yang digunakan dalam kajian ini adalah pemerhatian, temu bual, catatan lapangan dan pengumpulan dokumen. Rekaman audio temubual dan rekaman video pengajaran ditranskribkan oleh orang yang dilantik pengkaji Triangulasi dibuat terhadap transkripsi bertulis bagi meningkatkan keboleh percayaan cara yang digunakan ialah dengan melantik dua orang penyemak transkripsi bertulis ini, disamping disemak sendiri oleh pengkaji . Prosedur Penganalisisan Data Peringkat 1: Maklumat daripada rakaman audio temu bual prapengajaran, dan temu bual pascapengajaran; Peringkat 2: Transkripsi lengkap proses pengajaran bilik darjah, Peringkat 3: Membuat pembahagian dan pengkodan.; Peringkat 4: Penganalisisan data fokus diberikan kepada menjawap tiga persoalan utama, iaitu: pertama, Apakah perancangan pengajaran guru dengan pendekatan pengajaran mengikut konteks?; kedua, Bagaimana pelaksanaan pengajaran guru dengan pendekatan pengajaran mengikut konteks?; ketiga, Apakah masalah yang 26
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
dihadapi guru dalam pelaksanaan pengajaran mengikut konteks?; Peringkat 5: Kesimpulan dibuat secara merentas peserta tentang pengajaran mengikut konteks. Hasil Dapatan Soalan Kajian 1 Apakah perancangan guru dengan pendekatan pengajaran mengikut konteks? Jadual 5.1: Ciri Pengajaran Mengikut Kontek Yang Dirancang Oleh Ketiga-Tiga Guru P1 P2 Jenis Jenis Ciri Pendekatan Pendekatan Mengikut Konteks
P3
GBE
GBA
GPR
GBE
GBA
GPR
GBE
GBA
GPR
R
R
R
R
R
R
R
R
R
t
L
td
D
t
tt
D
G
D
tt
D
tt
D
tt
Dtt
Pembelajaran Bermakna
D
Inkuiri
T
Dt
T
Dtt
Dtt
G
Dtt
Dtt
Dtt
Masyarakat Belajar Pemodelan
Dt
Dt
Dt
Dtt
Dtt
Dtt
Dtt
Dtt
Dtt
Dtd
Dt
T
Dtt
Dtt
Dtt
Dtt
Dtt
Dtt
Refleksi
T
Dtd
Dtd
G
Dtt
Dtt
Dtt
Dtt
Dtt
Penaksiran
Dt
Dt
Dt
Dtt
Dtt
Dtt
Dtt
Dtt
Dtt
Autentik
Hasil Dapatan Soalan Kajian 2 Bagaimana pelaksanaan pengajaran guru dengan pendekatan mengikut konteks dalam bilik darjah? Jadual 5.2: Ciri Pengajaran Mengikut Kontek Yang Dilaksanakan Oleh P1 P2 Jenis Jenis Ciri Pendekatan Pendekatan Mengikut Konteks
27
Ketiga-Tiga Guru P3
GBE
GBA
GPR
GBE
GBA
GPR
GBE
GBA
GPR
P
P
P
P
P
P
P
P
P
Pembelajaran Bermakna
L
td
rr
TL
L
TL
L
Inkuiri
TL
Ltd
TL
Lr
Lrr
TL
Masyarakat Belajar Pemodelan
Ltd
Ltd
Ltd
Lrr
Lrr
TL
Ltd
TL
Lr
Refleksi
TL
TL
TL
Penaksiran
Ltd
Ltd
Ltd
Autentik
pengajaran
td
rr
Lrr
Lrr
Lrr
Lrr
Lrr
Lrr
Lrr
Lrr
Lrr
Lr
Lrr
Lrr
Lrr
TL
Lr
Lr
Lrr
Lrr
Lrr
Lrr
Lrr
Lrr
Lrr
Lrr
Lrr
L
rr
L
rr
L
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Hasil Dapatan Soalan Kajian 3 Apakah masalah yang dihadapi guru dalam melaksanakan pengajaran mengikut konteks di dalam bilik darjah? Jadual 4.5: Semakan Pengajaran Mengikut Konteks Yang Dilakukan Oleh Ketiga-Tiga Guru Jenis
P1
Jenis Ciri
P2
P3
GBE
GBA
GPR
GBE
GB A
GPR
GB E
GB A
GPR
S
S
S
S
S
S
S
S
S
A
TA
A
A
TA
A
A
A
A
TA
A
TA
A
A
TA
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
Pemodelan
TA
A
TA
A
A
A
A
A
A
Refleksi
TA
TA
TA
TA
A
A
A
A
A
A
A
A
A
A
At
A
A
A
Pendekatan
Pendekatan
Pembelajaran
Mengikut
Bermakna
Konteks Inkuiri Masyarakat Belajar
Penaksiran Autentik
Berdasarkan ketiga-tiga pengajaran yang dilakukan oleh tiga peserta kajian, mereka mengaku mengalami beberapa masalah semasa menerapkan enam ciri pengajaran mengikut konteks. Setiap peserta kajian masing-masing mengalami masalah yang berbeza. Analisis Merentas Peserta Setelah membuat analisis secara subjek, iaitu kes demi kes, bahagian ini akan membincangkan analisis merentas peserta. Perbandingan di buat merangkumi persamaan dan perbezaan dalam pendekatan pengajaran mengikut konteks antara peserta.
28
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
29
ISSN : 2337 - 8085
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
PENUTUP Dapatan kajian menunjukkan bahawa ketiga-tiga peserta menghadapi masaalah dalam melaksanakan pengajaran mengikut konteks, walaupun diberi pemahaman dalam Kurikulum Pendidikan Menengah di Indonesia. Ketiga-tiga peserta pada pengajaran pertama belum berupaya merancang dan melaksanakan sepenuhnya ciri pengajaran mengikut konteks dalam pengajarannya. Pengajaran kali pertama, kelihatan ketiga-tiga peserta hanya dapat merancang tiga ciri sahaja secara tersirat dan melaksanakan pengajaran mengikut konteks, dengan situasi tidak tahu nama ciri yang dilaksanakan dalam pengajarannya. Setiap selesai pengajaran, ketiga-tiga guru selalu melakukan semakan. Semakan dilakukan oleh ketiga-tiga guru agar pada pengajaran selanjutnya tidak terjadi masaalah yang sama. Semakan dilakukan terhadapa ciri pengajaran mengikut konteks yang dilaksanakan dalam bilik darjah. pada pengajaran pertama, ketiga-tiga guru melakakukan terhadap tiga daripada eman ciri pengajaran mengikut konteks. Pada pengajaran Kedua, setelah diberikan penjelasan oleh pengkaji mengenai enam ciri pengajaran mengikut konteks, ketiga-tiga peserta sudah dapat merancang dan melaksanakan lima ciri pengajaran mengikut konteks. Walaupun dua daripada tiga peserta dapat melaksanakan tiga ciri dengan yakin dan dua ciri kurang yakin dalam pengajarannya. Satu daripada tiga peserta dapat melaksanakan empat ciri dengan yakin dan satu ciri kurang yakin dalam pengajarannya. Pada pengajaran kedua, ketiga-tiga guru melakukan semakan terhadap lima daripada enam ciri pengajaran mengikut konteks. Pada pengajaran ketiga, setelah diberi penjelasan lagi mengenai pengajaran mengikut konteks, ketiga-tiga peserta berupaya dengan sendirinya merancang enam ciri pengajaran mengikut konteks secara bertulis dan melaksanakan enam ciri pengajaran mengikut kontek dengan yakin dalam pengajarannya. Pada pengajaran ketiga, ketiga-tiga guru melakukan semakan terhadap semua ciri daripada pengajaran mengikut konteks.Untuk itu, guru tersebut dituntut mesti sabar untuk menjadikan dirinya menjadi guru yang kreatif iaitu guru yang mesti banyak membaca beberapa buku matematik lainnya yang berkenaan dengan tajuk pengajaran kelasnya. Sehingga peristiwa tersebut dapat membimbing dan mengarahkan guru tersebut menjadi guru matematik yang dicintai pelajar, guru yang disenangi pelajar dan guru yang dirindukan pelajar serta guru yang dinanti-natikan pelajar di bilik darjah. Guru dalam mempersembahkan pengajaran mesti mempunyai kesabaran yang tinggi serta pengajarannya harus selalu berkiblat kepada kateristik daripada pelajar di bilik darjah dengan demikian guru dalam mempersembahkan pengajarannya akan berkeyakinan tinggi pula; penggunaan bahasa dalam pengajaran kadangkala seorang peserta kajian harus menggunakan dua bahasa iaitu bahasa indonesia dan bahasa aceh dalam menjelaskan subjek pengajaran ini bertujuan supaya pelajar dalam keseluruhan bilik darjah faham isi daripada pengajaran guru. Oleh itu, pengajaran guru dapat bermakna tidak hanya bagi pelajar tetapi bermakna pula bagi karier guru itu sendiri dan dapat menyumbangkan prestasinya dimana tempat guru itu mengabdi. Sehingga, guru 30
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
tersebut dapat menjemput apa yang ditekankan oleh menteri pendidikan serta visi dan misi dari sekolah tersebut. DAFTAR RUJUKAN . Bruce, W.C & J.K. Bruce. (1992). Teaching With Inquiry. Maryland: Alpha Publishing Company, Inc. Depdiknas. (2002). Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), Kurikulum dan Hasil Belajar Matematika jenjang SD-MI, SLTP-MTs,SMU-MA Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas, Jakarta. Depdiknas. (2003) Kurikulum Berbasis Kopetensi (Draf Juni 2002). Jakarta : Balitbang Depdikbud. Hull D. (1997). Who Are You Calling Stupid? Waco : CORD Communication, Inc. Johnson, E.B. (2002). Contectual Teaching and Learning: What it is and Why it is. Here to stay. Thousands Oaks, California: Corwin Press, Inc. Mohd. Uzi, D. (2006). Pengajaran dan Pembelajaran Matematik melalui Penyelesaian Masalah. Dewan Bahasan dan Pustaka Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka. Mulholland J., & Wallace J. (2001). Teacher induction and elementary science teaching: Nickson, M. (1992). The culture of the matematics classroom: An unknown quantity? In D. A. Grouws (Ed), Handbook of research on mathematics teaching and learning, pp. 101-114. New York: Macmillan Publishing Company. Noor Shah Bin Hj. Saad. (2002). Teori&Perkaedahan Pendidikan Matematik: Siri I. Edisi Kedua.Petaling Jaya, Selangor: Prentice Hall, Pearson Malaysia Sdn.Bhd. Authentitic Assessment for Engl. Piaget, J. 1970. Genetic Epislemology. New York: Columbia University Press. Siswono, Tatag Y.E. (2002). Penilaian Autentik dalam Pembelajaran Kontekstual. Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. VII (Edisi Khusus): 608:612. Taylor.1993.”Vygotskian Influences in Mathematics Education With Particular Refrences to Attitude Development”. Dalam Jurnal Focus on Learning in Mathematics.Vol 15 No. 2 hal.3-17. Turmudi. (2008). Landasan Filsafat dan Teori Pembelajaran Matematika : Paradigma Eksploratf dan Investigatif. Jakarta: Leuser Cita Pustaka. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen [http://hukum.jogjakota.go.id/upload/14-Th-2005.PDF] Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional [http://www.dikti.go.id/Archive2007/UUno20th2003Sisdiknas.htm] Von. Glassersfeld, E. 1984. An Introduction to Radical Constructivism. Author’s translation in P. Watzwalick (Ed), The Invented Reality. Newyork: Norton, 1984. Originally published P. Watzlawick (Ed), Die Erfundene 31
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Wirklichkeit. Munich: Piper, 1981. Erns von Glasersfeld, on line paper, html. Vygotsky, L. (1925). The Psychology of Art. Thesis pada fakultas Psikologi Universitas Moskow. Vygotsky, L. (1978). Interaction Between Learning and Development. From Mind and Society (ms. 79-91). Cambridge, MA: Harvard University Press. Vygotsky’s Educational Theory in Cultural Context, Cambridge Universty press, 2003.
32
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN BERBASIS MASALAH TERHADAP PENINGKATAN HASIL BELAJAR BIOLOGI SISWA SMA KOTA BANDA ACEH Musriadi1 Djufri2 Muhibuddin3 ABSTRAK Telah dilakukan penelitian dengan judul Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Peningkatan Hasil Belajar Biologi Siswa SMA Kota Banda Aceh. Dengan bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil belajar siswa, tanggapan siswa terhadap model pembelajaran berbasis masalah dengan model pembelajaran konvensional dan tanggapan siswa terhadap materi jamur (fungi) yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dengan konvensional di SMA Kota Banda Aceh. Penelitian ini mengunakan pendekatan kuantitatif dengan metode eksperimen dengan desain penelitian Pretest-posttest Control Group Design. Dalam penelitian ini terdapat kelompok eksperimen kelas X1 dan kelompok kontrol kelas X2 dengan populasi siswa SMA Inshafuddin Kota Banda Aceh. Pengumpulan data dilakukan dengan pretes, postes dan angket dengan tehnik analisis data mengunakan uji t pada taraf signifikansi 0,05. Untuk tanggapan siswa dengan deskripsi. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada kedua kelas dengan thitung 2,292 dan ttabel 1,645 serta tanggapan siswa terhadap model pembelajaran berbasis masalah 16,17% sangat senang, 50,93% senang, 32,73% kurang senang dan 2,57% tidak senang. Model pembelajaran konvensional 9,71% sangat senang, 47,37% senang, 38,37% kurang senang dan 4,53% tidak senang. Tanggapan positif siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah 38,2% sangat senang, 43,5% senang, 16,8% kurang senang, dan 2,5% tidak senang. Tanggapan negatif siswa 3% senang, 15,8% kurang senang, 43% tidak senang, dan 38,2% sangat tidak senang tidak ada siswa yang memberikan tanggapan sangat senang. Tanggapan positif siswa yang diajarkan dengan model pembelajaran konvensional 32,9% sangat senang, 38,9% senang, 18,3% kurang senang, dan 5,6% tidak senang. Tanggapan negatif siswa 8,8% senang, 20,6% kurang senang, 37,9% tidak senang dan 32,7% sangat tidak senang. Kata Kunci : Pembelajaran Berbasis Masalah, Hasil Belajar, Tanggapan Siswa, Jamur (Fungi). 1
Mahasiswa Magister Pendidikan Biologi Universitas Syiah Kuala Pembimbing utama, Dosen Magister Pendidikan Biologi Universitas Syiah Kuala 3 Pembimbing pembantu, Dosen Magister Pendidikan Biologi Universitas Syiah Kuala
2
33
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
PENDAHULUAN Mengacu pada masalah pembelajaran biologi yang dialami siswa di SMA Kota Banda Aceh di atas diperlukan suatu penelitian yang mengkaji perbaikan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran berbasis masalah. Namun, mengingat pembelajaran merupakan proses yang bersifat irreversible perlu dilakukan pengujian terlebih dahulu sebelum suatu model pembelajaran dapat diterapkan dalam pembelajaran di kelas secara umum. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Suci (2012) menunjukkan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis masalah dengan pendekatan kooperatif diantaranya meningkatkan aktivitas (partisipasi) mahasiswa dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM), meningkatkan hasil belajar mata kuliah teori akuntansi, mendapat respon yang positif dari mahasiswa karena pembelajaran menjadi lebih bermakna. menyimpulkan bahwa Hasil belajar baik pada Ranah Kognitif, Afektif dan Psikomotor mengalami peningkatan setelah diimplikasikan pembelajaran berbasis masalah. Lestari (2008) juga mengatakan bahwa penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dalam pembelajaran fisika di tingkat SMP dapat lebih meningkatkan penguasaan konsep fisika dan keterampilan berpikir kreatif siswa dibanding penggunaan model pembelajaran tradisional dan penggunaan pembelajaran berbasis masalah (PBM) dapat lebih meningkatkan kemahiran berfikir kreatif dan kritis, kemahiran proses sains dan pencapaian dalam mata pelajaran fisika, dibandingkan penggunaan pembelajaran tradisional Penelitian yang dilakukan di atas oleh beberapa peneliti diatas mengunakan sintaks yang tidak jauh berbeda antara peneliti yang satu dengan peneliti yang lainnya dan dilakukan pada pembelajaran fisika, namun untuk pembelajaran biologi khususnya dengan pembelajaran berbasis masalah belum dicobakan. Oleh karena itu penulis ingin melanjutkan penelitian tersebut dengan sintaks pembelajaran yang berbeda dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya, perbedaan yang penulis lakukan terdapat fase pembelajaran. Dalam penelitian ini hanya membahas mengenai konsep Jamur (Fungi). Kegiatan penelitian yang akan dilakukan adalah tentang “Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Peningkatan Hasil Belajar Siswa SMA Kota Banda Aceh”. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan umum pada penelitian ini adalah : ”Apakah ada peningkatan hasil belajar siswa dan motivasi siswa setelah diterapkan Model Pembelajaran Berbasis Masalah?” Untuk memperjelas permasalahan dalam penelitian ini, maka perumusan masalah di atas diuraikan menjadi beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah ada perbedaan hasil belajar siswa yang di ajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dibandingkan dengan penerapan pembelajaran konvensional ? 2. Bagaimanakah tanggapan siswa terhadap proses pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran konvensional? 3. Bagaimanakah tanggapan siswa terhadap materi jamur (fungi) yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran konvensional? Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan permasalahan diatas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui : 34
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 1. 2. 3.
ISSN : 2337 - 8085
Untuk mengetahui pengaruh penerapan model pembelajaran berbasis masalah terhadap hasil belajar siswa pada materi jamur (fungi) Untuk mengetahui Tanggapan siswa terhadap penerapan model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran konvensional? Untuk mengetahui Tanggapan siswa terhadap materi jamur (fungi) yang dibelajarkan dengan penerapan model pembelajaran berbasis masalah dan penerapan model pembelajaran konvensional?
METODE PENELITIAN Model pembelajaran yang digunakan dalam model pembelajaran berbasis masalah adalah pembahasan secara klasikal dikelas dengan metode diskusi dan tanya jawab, dan kegiatan praktikum. Kelas kedua sebagai kelas kontrol, yaitu kelas menggunakan model pembelajaran konvensional. Pada kelas kontrol ini model pembejaran yang diterapkan adalah pemaparan materi pembelajaran oleh guru dengan bantuan media pembelajaran power point. Desain metode eksperimen “Pretest-posttest Control Group” disajikan pada tabel berikut (Tabel-3.1). Tabel-3.1 : Desain Pretest-posttest Control Group Design Sampel Kelompok Pretes Perlakuan Acak A(Eksperimen) O X1 Acak B (Kontrol) O X2 Ket. : X1 X2 O O
Postes O O
= Model Pembelajaran berbasis masalah = Model Pembelajaran konvensional = Pretes = Postes
Tahapan penelitian ini dibagi menjadi lima langkah yaitu merumuskan masalah yang akan dikaji, studi pendahuluan, perancangan penerapan model pembelajaran berbasis masalah, implementasi model pembelajaran berbasis masalah, pengumpulan dan analisis data, serta pengambilan kesimpulan. Tahapan penelitian tersebut digambarkan dalam bentuk alur penelitian seperti yang ditunjukan pada gambar 3.1. Tempat dan Subyek Penelitian Penelitian ini dilakukan di salah satu SMP Negeri di Kota Banda Aceh, Propinsi Aceh. Sedangkan subyek penelitian ini adalah siswa kelas X sebanyak 120 siswa, yang tersebar pada empat kelas paralel, dengan rata-rata jumlah siswa 30 siswa per kelas. Dari populasi ini, diambil secara acak sebanyak 30 siswa yang dijadikan sebagai kelas eksperimen (pembelajaran dengan model pembelajaran berbasis masalah) dan 30 siswa sebagai kelas kontrol (model pembelajaran konvensional). Pengelompokan siswa ke dalam kelas eksperimen dan kelas kontrol didasarkan pada kemampuan awal penguasaan konsep (hasil pretes) sama atau tidak berbeda nyata antara kedua kelas. Proses Pengumpulan Data Data yang dikumpulan dalam penelitian ini terdiri dari empat macam data, yaitu : (1) data kemampuan hasil belajar awal siswa yang diukur dengan pretest, (2) data kemampuan hasil belajar siswa setelah proses pembelajaran yang diukur dengan postest, 35
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
(3) data peningkatan hasil belajar yang diukur dengan menghitung selisih antara skor postest dengan skor pretest, (4) data tanggapan siswa tentang pelaksanaan strategi dan materi pembelajaran yang diukur dengan skala sikap. Tehnik Pengolahan Data Untuk keperluan pengujian penerapan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dengan model pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar siswa dan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan, data yang dikumpulkan adalah skor pretes (kemampuan awal) dan skor posttest (kemampuan akhir). Data tanggapan siswa terhadap model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dengan model pembelajaran konvensional, serta tanggapan siswa terhadap materi jamur (fungi) yang dibelajarkan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) dengan model pembelajaran konvensional diperoleh melalui angket setelah proses belajar dilaksanakan. Analisis Data Dari data skor pretest dan skor postes tersebut, selanjutnya dihitung dengan “Gain” dengan cara mengurangi skor poster dengan skor pretest. Untuk menghindari kesalahan dalam mengiterpretasikan perolehan Gain masing-masing siswa, maka dilakukan normalisasi Gain dengan menggunakana rumus dari Hake (Cheng, et al., 2004). Data hasil belajar, siswa dihitung menggunakan rumus g factor (gain score normalized) sebagai berikut : Skor Postes – Skor Pretes N-gain = -------------------------------------------- x 100 Skor Postes Tertinggi – Skor Pretes
Dengan kategori perolehan N-Gain : Tinggi : N-Gain > 70; Sedang : 30 ≤ N-Gain≤ 70; Rendah : N-Gain < 30. Skor rata-rata gain normalisasi (N-Gain) antara kedua kelompok eksperimen digunakan sebagai data untuk membandingkan kemampuan hasil belajar. Perbedaan kedua rata-rata antara kelompok eksperimen dilakukan dengan “uji-t”. jenis “uji-t” yang digunakan adalah independen sample t-test. Sebagai persyaratan “uji-t” antara kedua kelompok eksperimen harus berdistribusi normal dan memiliki varian yang sama (homogen). Oleh karena itu sebelum dilakukan “uji-t”, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas (data N-gain) kedua kelas eksperimen, dan uji homogenitas (data N-gain) antara kelas eksperimen. Jika hasil tersebut menunjukkan data berdistribusi normal dan homogen, maka dilanjutkan uji beda dua rata-rata dengan uji-t test. Jika hasil uji tidak berdistribusi normal atau tidak homogen, maka uji beda dua rata-rata yang dilakukan adalah uji non parametric dengan menggunakan Uji Mann-whitney. Data tanggapan siswa terhadapa implementasi model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran konvensional dianalisis dengan menghitung persentase item pernyataan dan dianalisis dengan membandingkan kecenderungan sikap positif dan sikap negatif siswa.
36
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Uji Hipotesis Uji hipotesis yang digunakan dalam melihat perbedaan hasil belajar siswa menggunakan uji-t, sebelum melakukan uji-t terlebih dahulu dirumuskan kedalam bentuk statistik yaitu : 1. Uji beda dua rata-rata (Ho :µ2) 2. Uji beda dua rata-rata (Ha : µ1 ≠ µ2) Hipotesis dalam penelitian ini adalah µ1 ≠ µ2, pengujian dilakukan dengan menggunakan taraf signifikansi 0,05 dengan kriteria pengujian sebagai berikut : 1. Jika t-hitung > t-tabel (α = 0,05) maka Ho ditolak, Ha diterima 2. Jika t-hitung < t-tabel (α = 0,05) maka Ho diterima, Ha ditolak. HASIL PENELITIAN Kemampuan utama yang diamati dalam penerapan model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran konvensional kemampuan penguasaan konsep atau hasil belajar siswa dan sikap siswa. Hasil belajar siswa ditempuh dengan dua tahap yaitu pertama tahap pengetahuan awal siswa, kedua membandingkan pengetahuan baru dengan pengetahuan awal siswa. Tanggapan siswa yang diamati ada dua jenis, yang pertama tanggapan siswa terhadap model pembelajaran, dan yang kedua tanggapan siswa terhadap materi jamur yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dan model pembelajaran konvensional. Hasil Belajar Siswa 1. Kemampuan Awal Siswa Siswa yang menjadi sampel penelitian untuk Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol berasal dari SMA Inshafuddin Kota Banda Aceh. Siswa-siswa tentunya telah pernah mengikuti pembelajaran tentang jamur (fungi) ketika di bangku SMP/MTs. Hasil analisis kemampuan pengetahuan awal siswa menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara siswa yang ada di Kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol setelah dilakukan pretes (Tabel 4.1). Tabel 4.1. Rata-rata nilai pretes siswa pada kelas eksperimen dan kelas control Pretes Rata-Rata Pretest
EXP 49.83
Kelas KNTRL 38.80
EXP Normal X2Hitung = -10.7127
Normalitas KNTRL Normal X2Hitung = -12.4120
Homogenitas EXP-KNTRL Homogen Fhitung =1.58
Signifikansi Tidak Signifikan thitung = 0.517 thitung < ttabel 0.517 < 1.645
X2tabel (α = 0.05) dk (5-3=2) = 5.9915 Ftabel (α = 0.05) dk (58) = 1.85 Ttabel (α = 0.05) dk (n1+n2-2 = 58) = 1.645
Hasil analisis table 4.1 menunjukkan bahwa siswa yang ada dikelas Eksperimen dan Kelas Kontrol memiliki kemampuan awal yang sama, dan memiliki nilai pretes yang sama terlihat dari nilai thitungnya lebih kecil dari ttabel. Uji normalitas menggunakan uji Chi-Kuadrat sedangkan homogenitas sampel digunakan uji F 2.
Hasil Belajar Siswa pada Akhir Pembelajaran Hasil belajar siswa pada akhir pembelajaran tentang jamur (fungi) diukur melalui postes. Soal postes yang diberikan pada kelas Eksperimen dan Kelas Kontrol
37
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013 8085
ISSN : 2337 -
adalah soal yang sama sebanyak 60 soal. Postes dilaksanakan setelah materi jamur (fungi) diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah di kelas X-1dan model konvensional di kelas X-2. Pada kedua terdapat perbedaan hasil belajar siswa yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas control yang tertera pada table 4.2. TABEL 4.2. Rata-rata N-Gain siswa pada kelas experiment dan kelas kontrol N-Gain Rata-Rata N-Gain
EXP 57.80
Kelas KNTRL 54.07
EXP Normal X2Hitung = 2.7985
Normalitas KNTRL Normal X2Hitung = 2.2376
Homogenitas (EXP-KNTRL Homogen Fhitung = 1.19
Signifikansi Signifikan thitung = 2.292 thitung > ttabel 2.292 > 1.645
X2tabel (α = 0.05) dk (5-3=2) = 5.9915 Ftabel (α = 0.05) dk (58) = 1.85 Ttabel (α = 0.05) dk (n1+n2-2 = 58) = 1.645
Skor Rata Rata
Setelah diperoleh nilai pretes dan postes pada kedua kelas dilakukan uji signifikansi peningkatan hasil belajar siswa. Untuk menguji signifikansi peningkatan hasil belajar siswa antara kelas eksperimen dan kelas control di tempuh dengan menguji rata-rata pretes, postes, skor gain dan N-gain pada kedua kelas. Pada kedua kelas tampak ada peningkatan seperti yang tertera pada gambar 4.1
60 50 40 30 20 10 0
57.84 54.06
49.83 44.5
39.37 38.8
10.47 5.7
Postes
Pretes Kelas Experimen
Gambar
Gain
N-Gain
Kelas Kontrol
4.1. Perbandingan Hasil Belajar Siswa di Kelas Experimen dan Kelas Kontrol Gambar 4.1 tampak bahwa saat pretes siswa di kelas eksperimen dan di kelas control memiliki rata-rata skor yang tidak jauh berbeda, yaitu 39,37 untuk kelas eksperimen dan 38,80 di kelas kontrol. Setelah dilaksanakan proses belajar mengajar (PBM) di kelas eksperimen dan control tampak terdapat perbedaan peningkatan hasil belajar siswa baik di kelas eksperimen dan kelas control. Kelas eksperimen rata-rata postes 49,83 dan kelas kontrol 44,50 sedangkan rata-rata N-Gain kelas eksperimen 57,82 dan kelas control 54,06. Perbedaan hasil belajar siswa di kelas Eksperimen dan kelas control digunakan uji t, data uji t yang digunakan adalah data N-Gain siswa pada kedua kelas. Diperoleh thitung sebesar 2.292 dan ttabel 1,645, dengan asumsi terima Ho bila thitung < ttabel dan tolak Ho bila 38
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
thitung > ttabel pada taraf signifikan 0,05. Hasil penghitungan uji t diperoleh thitung > ttabel atau 2,292 > 1,645. Hipotesis yang menyatakan ada perbedaan hasil belajar siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah dan model konvensional pada materi jamur (fungi) diterima. 4.1.2 Tanggapan siswa terhadap model pembelajaran berbasis masalah dan model konvensional Tanggapan siswa terhadap model pembelajaran berbasis masalah dan model konvensional diberikan kepada siswa berupa angket dengan 20 pertanyaan tentang materi jamur (fungi) yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masaah dan model konvensional, angket diberikan setelah selesai materi diajarkan. Analisis tanggapan siswa terhadap model pembelajaran berbasis masalah dan model konvensional menggunakan persentase siswa. Sebelumnya pernyataan terlebih dahulu dikelompokkan menjadi tujuh kelompok pernyataan, lalu setiap kelompok soal diambil rata-rata persentase siswa seperti yang tertera pada table 4.3. Tabel 4.3 Skor Rata-rata sikap siswa terhadap model pembelajaran Kelompok Pernyataan menarik, kepuasan belajar dan tidak membosankan mudah memahami prinsip dan konsep biologi Membantu memecahkan masalah dalam belajar Meningkatkan motivasi Meingkatkan semangata kerja sama dalam kelompok Perasaan dihargai dalam mengemukakan pendapat Meningkatkan semangat belajar
Kelas Eksperimen Kurang Senang
Sangat Senang
Senang
14,2
49,2
15,6
Kelas Kontrol Senang Kurang Senang
Tidak Senang
Sangat Senang
Tidak Senang
34,2
2,5
10,8
50,8
35
3,3
50
31,1
3,3
8,9
51,1
34,4
5,6
15
41,7
43,3
0
10
45
43,3
1,7
16,7
48,9
32,2
2,2
6,7
42,2
46,7
4,4
20
46,7
30
3,3
8,3
52,5
34,2
5
15
55
25
5
13,3
40
40
6,7
16,7
65
33,3
1,7
10
50
35
5
Tanggapan siswa di kelas eksperimen pada kelompok menarik, kepuasan belajar dan tidak membosankan 4,2% siswa merasa sangat senang, 49,2% Senang, 34,2% Kurang senang, dan 2,5 % Tidak Senang. Kelompok Mudah memahami prinsip dan konsep biologi, 15,6% siswa merasa sangat senang, 50% Senang, 31,1% Kurang senang, dan 3,3% tidak senang. Kelompok membantu memecahkan masalah dalam belajar 15% siswa merasa sangat senang, 41,7% Senang, 43,3% Kurang senang, dan 0% Tidak senang, kelompok meningkatkan motivasi 16,7% siswa merasa sangat senang, 48,9% Senang, 32,2% Kurang senang, dan 2,2% Tidak senang. Kelompok meningkatkan semangat 39
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Skor Rata Rata
kerjasama kelompok 20% siswa merasa sangat senang, 46,7% Senang, 30% Kurang senang dan 3,3% Tidak senang. Kelompok perasaan dihargai dalam mengemukakan pendapat 15% siswa merasa sangat senang, 55% Senang, 25% Kurang senang dan 5% Tidak senang. Kelompok meningkatkan semangat belajar 16,7% siswa merasa sangat senang, 65% Senang, 3,3% Kurang senang dan 1,7% Tidak senang, dan terlihat jelas pada gambar 4.2. 65 70 55 60 50 49.2 48.9 46.7 41.743.3 50 34.2 33.3 32.2 40 31.1 30 25 30 20 16.7 16.7 15.6 15 15 20 14.2 5 3.3 3.3 2.5 2.2 1.7 10 0 0
Sangat Senang
Senang
Kurang Senang
Tidak Senang
Gambar 4.2 Tanggapan Siswa terhadap model pembelajaran berbasis masalah Tanggapan siswa di kelas control pada kelompok menarik. Kepuasan belajar dan tidak membosankan 10,8% siswa merasa sangat senang, 50,8% Senang, 35% Kurang Senang, dan 3,3% Tidak Senang. Kelompok mudah memahami prinsip dan konsep biologi 8,9% siswa merasa sangat senang, 51,1% Senang, 34,4% Kurang Senang, dan 5,6% Tidak Senang. Kelompok membantu memecahkan masalah dalam belajar 10% siswa merasa sangat senang, 45% Senang, 43,3% kurang senang, dan 1,7% Tidak Senang. Kelompok meningkatkan motivasi 6,7% siswa merasa sangat senang, 42,2% Senang, 16,7% Kurang senang, dan 4,4% Tidak senang. Kelompok meningkatkan semangat kerjasama dalam kelompok 8,3% siswa merasa sangat senang. 52,5% Senang, 34,2% kurang senang, dan 2% Tidak senang. Kelompok perasaan dihargai dalam mengemukakan pendapat 13,3% siswa merasa sangat senang, 40% Senang, 40% Kurang senang, dan 6,7% Tidak senang. Kelompok meningkatkan semangat belajar 10% siswa merasa sangat senang, 50% senang, 35% kurang senang, dan 5% tidak senang dan terlihat jelas pada gambar 4.3.
40
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
60
52.5
51.1
50.8
Skor Rata Rata
35
50
46.7
4543.3
50 40
ISSN : 2337 - 8085
42.2
4040
34.4
35
34.2
30 20
10.8
10
8.9 3.3
5.6
10 1.7
6.7
4.4
8.3
13.3 6.7
5
10
5
0
Sangat Senang
Senang
Kurang Senang
Tidak Senang
Gambar 4.3 Tanggapan siswa terhadap model konvensional 4.1.3 Tanggapan Siswa Terhadap Materi Pembelajaran jamur Tanggapan siswa terhadap materi jamur (fungi) terbagi atas dua pernyataan, yaitu pernyataan positif dan pernyataan negatif. Angket diberikan setelah mengikuti pembelajaran tentang materi jamur menggunakan model pembelajaran berbasis masalah dan model konvensional Dari angket diperoleh tanggapan positif dan tanggapan negatif dari kelas Eksperimen dan kelas control. Tanggapan siswa terhadap materi jamur (fungi) di kelas eksperimen dan kelas control tertera pada table 4.4.
Tabel 4.4. Tanggapan Siswa Terhadap Materi Jamur (Fungi) No
Kriteria
1 2 3 4 5
Sangat Senang Senang Kurang Senang Tidak Senang Sangat Tidak Senang
Kelas Eksperimen Tanggapan Tanggapan Positif Negatif 38.2 43.5 3 16.8 15.8 2.5 43 38.2
Kelas Kontrol Tanggapan Tanggapan Positif Negatif 32.9 38.9 8.8 18.3 20.6 5.6 37.9 32.7
Table 4.4 memperlihatkan bahwa tanggapan positif siswa terhadap materi jamur (fungi) yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah 38.2% sangat senang, 43.5% senang, 16.8% kurang senang, dan 2.5% tidak senang dan tidak ada siswa memberikan tanggapan sangat tidak senang. Sedangkan tanggapan negatif siswa terhadap materi jamur (fungi) yang diajarkan dengan model pembelajaran berbasis masalah 3% senang, 15.8% kurang senang, 43% tidak senang, dan 38.2% sangat tidak senang tidak ada 41
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
Skor Rata Rata
siswa memberikan tanggapan sangat senang. Pernyataan tanggapan siswa terhadap materi jamur (fungi) kelas eksperimen dapat terlihat jelas pada gambar 4.4.
Gambar 4.4 Tanggapan siswa terhadap materi di kelas PBL Tanggapan positif siswa terhadap materi yang diajarkan dengan model konvensional 32.9% sangat senang, 38.9% senang, 18.3% kurang senang, dan 5.6% tidak senang dan tidak ada siswa yang memberikan tanggapan sangat tidak senang. Tanggapan negatif siswa terhadap materi yang diajarkan dengan model konvensional 8.8% senang, 20.6% kurang senang, 37.9% tidak senang, dan 32.7% sangat tidak senang tidak ada yang memberikan tanggapan sangat tidak senang. Pernyataan tanggapan siswa terhadap materi di kelas control dapat terlihat jelas pada gambar 4.5.
42
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 - 8085
38.9
37.9
40 35
32.9
32.7
Skor Rata Rata
30 25
20.6 18.3
20 15 10
5.6
5 0 0 sangat senang
senang
kurang senang
Tanggapan Positif
tidak senang sangat tidak senang Tanggapan negatif
Gambar 4.5 Tanggapan Siswa Terhadap Materi Di kelas Konvensional PEMBAHASAN Pembelajaran berbasis masalah adalah pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik sehingga siswa dapat menyusun pengetahuan sendiri, menumbuhkan keterampilan yang lebih tinggi dan inquiri, memandirikan siswa, dan dapat meningkatkan kepercayaan diri sendiri. Masalah autentik diartikan sebagai masalah kehidupan nyata yang ditemukan siswa dalam kehidupan sehari-hari. Pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berfikir kritis dan ketrampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran. Pembelajaran berbasis masalah digunakan untuk merangsang berfikir tingkat tinggi dalam situasi berorientasi masalah. Pembelajaran berbasis masalah adalah pembelajaran yang ciri utamanya pengajuan pertanyaan atau masalah, memusatkan pada keterkaitan antar disiplin, penyelidikan autentik, kerjasama dan menghasilkan karya atau hasil peraga. Model pembelajaran menyajikan masalah autentik dan bermakna sehingga siswa dapat melakukan penyelidikan dan menemukan sendiri. Pada penelitian ini terbukti dari hasil pretes kelas kontrol dan eksperimen yang homogen dapat diasumsikan bahwa kemampuan kedua kelas ini setara dan sama. Perlakuan apapun yang diberikan kepada kelas eksperimen nantinya akan memberikan hasil seberapa besar pengaruh tindakan yang dilakukan dan apakah bernilai positif atau 43
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
sebaliknya. Dari hasil penelitian, hasil belajar kelas eksperimen terbukti lebih tinggi daripada kelas kontrol dengan metode konvensional. Model pembelajaran berbasis masalah yang diterapkan ke kelas eksperimen bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa sehingga melatih dan meningkatkan kemampuan berfikir kritis dan menyelesaikan masalah, serta mendapat pengetahuan konsep-konsep penting. Pendekatan pembelajaran ini mengutamakan proses belajar dimana tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai ketrampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berdasarkan masalah penggunaannya di dalam tingkat berpikir lebih, dalam situasi berorientasi pada masalah, termasuk dalam proses belajar (Ibrahim dan Nur, 2005). Data N-Gain penelitian menunjukkan bahwa peningkatan yang diperoleh oleh 2 (dua) kelas tersebut berbeda-beda, dengan rata-rata peningkatan tertinggi berada pada kelas eksperimen. Meskipun kedua kelas tersebut tidak mempunyai skor yang jauh berbeda dalam hal peningkatan belajarnya, namun peningkatan hasil belajar siswa di kelas eksperimen lebih baik jika dibandingkan dengan peningkatan hasil belajar siswa di kelas kelas kontrol. Peningkatan hasil belajar siswa kelas ekperimen tersebut tidak terlepas dari aktivitas yang dilakukan oleh guru maupun siswa dalam kelasnya. Guru sendiri berperan sebagai pembimbing teman-temannya yang mengalami kesulitan dalam hal memahami materi yang telah disampaikan oleh guru, membuat teman-teman dkelasnya lebih aktif dalam bertanya dan mengeluarkan pendapat, dikarenakan guru itu adalah teman mereka sendiri, sehingga mereka tidak ada rasa malu ataupun enggan utnuk bertanya atau sekedar mengeluarkan pendapatnya. Siswa relatif bebas bersikap dan berpikir, bebas memilih perilaku yang dapat diterima/tidak diterima oleh teman-teman sebayanya. Trianto (2007) menyebutkan bahwa siswa dapat lebih aktif dalam berkomunikasi dengan perasaan bebas yang dimilikinya jika mereka merasa akrab dengan gurunya, sehingga dapat mempermudah dalam memahami konsep/materi yang sedang diajarkan. Hasil observasi aktifitas siswa pada metode pembelajaran berbasis masalah didapatkan bahwa aktifitas-aktifitas yang dilakukan seluruhnya memperoleh rata-rata persentase yang tinggi. Perasaan butuh belajar dan berharap berhasil tetap terjaga dan konsisten sampai akhir pembelajaran terbukti dengan aktifitas menyelesaikan masalah dan aktifitas mencapai tujuan belajar tetap memperoleh persentase yang tinggi. Selain itu sikap siswa yang tertarik untuk belajar dilakukan oleh seluruh siswa kelas eksperimen (100%), sikap bertanggung jawab juga mendominasi (88%) siswa tau kewajiban dan harapan dari guru pada pembelajaran ini. Sanjaya (2008) mengatakan bahwa pembelajaran berbasis masalah (PBM) memiliki beberapa kelebihan, diantaranya: dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa, dapat meningkatakan aktivitas pembelajaran siswa, membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Disamping itu, juga dapat mendorong siswa untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya dan mengembangkan minat siswa untuk secara terus menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir. Motivasi siswa meningkat terbentuk dan akan terus meningkat tajam, mempertahankan proses belajar mengajar tetap menjadi perhatian utama para siswa selama waktu tertentu jika menggunakan metode pembelajaran seperti ini. 44
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Guru dalam pembelajaran berdasarkan masalah berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog membantu menyelesaikan masalah, dan memberi fasilitas penelitian. Selain itu guru menyiapkan dukungan dan dorongan yang dapat meningkatkan pertumbuhan intelektual siswa. Pembelajaran berdasarkan masalah hanya dapat terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan membimbing pertukaran gagasan. Berdasarkan kajian empirik dan teoritis tersebut diatas, dapat dipaparkan bahwa metode pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa dan hasil belajar siswa. Hal ini terlihat dari perbedaan peningkatan hasil belajar antara kelas eksperimen, yang belajar dengan guru yang menerapkan metode pembelajaran berbasis masalah, lebih baik dibandingkan dengan peningkatan hasil belajar siswa pada kelas kontrol, yang belajar dengan guru yang menerapkan metode pembelajaran konvensional pada materi Jamur (Fungi). KESIMPULAN Berdasarkan pembahasan hasil penelitian di atas dapat diketahui bahwa penerapan metode pembelajaran berbasis msalah dapat meningkatkan hasil belajar dan motivasi siswa pada materi Jamur (Fungi) dengan kesimpulan: 1. Kemampuan hasil belajar materi Jamur (Fungi) menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik dibandingkan dengan kemampuan hasil belajar materi Jamur (Fungi) menggunakan model pembelajaran konvensional. Dengan menggunakan pembelajaran berbasis msalah dapat menjadikan siswa lebih kreatif, berpikir tingkat tinggi dan aktif. 2. Motivasi belajar siswa pada belajar materi Jamur (Fungi) menggunakan model pembelajaran berbasis masalah lebih baik dibandingkan dengan kemampuan hasil belajar materi Jamur (Fungi) menggunakan model pembelajaran konvensional. Siswa lebih menyukai pembelajaran berbasis masalah karena interaksi-interaksi yang muncul membuat mereka lebih mudah dan cepat dalam memperoleh tujuan belajar. Sikap tertarik yang ditampilkan siswa memberikan motivasi yang tinggi pada proses pembelajaran. Hasil temuan penelitian menjelaskan bahwa kelas siswa yang mendapat model pembelajaran berbasis masalah lebih baik daripada kelas siswa yang tidak menggunakan model pembelajaran berbasis masalah (konvensional). Kelas model pembelajaran berbasis masalah mempunyai motivasi lebih tinggi dalam belajar dibandingkan kelas konvensional. DAFTAR KEPUSTAKAAN Arifin, Z. (2008). Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya : Lentera Cendikia. Arikunto, S. (2006a). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Arikunto, S. (2006b). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Bumi Aksara. Abbas, N. (2000a). Penerapan Model Pembelajran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction) dalam Pembelajaran Matematika di SMU. Tersedia: http://www.Depdiknas.go.id/jurnal/51/040429%.pdf. diakses 10 Januari 2013. Abbas, N. (2000b). Penerapan Model Pembelajran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction) dalam Pembelajaran Matematika di SMU. Tersedia: http://www.Depdiknas.go.id/jurnal/51/040429%.pdf. diakses 10 Januari 2013.
45
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Abbas, N. (2000c). Penerapan Model Pembelajran Berdasarkan Masalah (Problem Based Instruction) dalam Pembelajaran Matematika di SMU. Tersedia: http://www.Depdiknas.go.id/jurnal/51/040429%.pdf. diakses 10 Januari 2013. Arends, (2009a). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep,Landasan dan Implementasi Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Arends, (2009b). Mendesain Model Pembelajaran Inovatif-Progresif: Konsep,Landasan dan Implementasi Pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Jakarta : Kencana Prenada Media Group. Ali, R., Akhter, A., Shahzad, S., Sultana, N., & Ramzan, M. (2011). The impact of motivation on students’ academic achievement in mathematics in problem based learning environment. International Journal of Academic Research. 3 (1). 306-309. Barrows, H. (1996). New direction for teaching and learning “Problem Based Learning medichine and beyond: A brief overbiew. Jossey Bass Publishers. Boud, D. and G. Feletti. (2007). The Challenge of Problem Based Learning. London : Kogan Page Dahar, R. W. (1989). Teori-teori Belajar. Jakarta : Erlangga. Duch, J. B. (1995a). Problem Based Learning in Physics: The Power of Student Teaching Student. Tersedia: http://www.udel.edu/pbl/jan95-phys.html diakses pada tanggal 08 Januari 2013. Duch, J. B. (1995b). What is Problem Based Learning?. Tersedia di : http://www.udel.edu/pbl/jan95-phys.html diakses pada tanggal 08 Januari 2013. Duch, J. B. (2008). A Key Factor in PBL. Tersedia di : http://www.udel.edu/pbl/jan95phys.html diakses pada tanggal 08 Januari 2013. Duch, J. B. (2001). The Power Of Problem Based Learning. Virginia: Sterling. Dimyati, M. (1999). Belajar dan Pembelajaran. Jakarta :Rieneka Cipta Ehreberg, R. G.,Brewer, D.J.,Gamoran,A.,Wilms,J.D (2001). Class Size and Studentachiecement.American Psychologycal Society (2 (1),1:28 Ennis. R. H. (1985). Developing Mind : Goal for a critical Thinking Curriculum. Arethur L. Costa Editor Glazer, E. (2001a). Problem Based Instruction. In M. Orey (Ed.), Enginering Perspectives on learning, teaching, and technology Tersedia.
46
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
KURIKULUM INTEGRATIF PADA PEMBELAJARAN SAINS DI SEKOLAH DASAR Prof. Madya. Dr. Nurahimah Bt Mohd Yusoff. Drs. Ibrahim. M.Pd 2
1
ABSTRAK Kurikulum integratif mempunyai pengertian yang subjektif terhadap penerapan dan tujuan dari pelaksanaanya. Integratif diartikan sebagai kesepaduan yaitu menekankan perkembangan individu secara menyeluruh dan bersepadu ke arah melahirkan insan yang baik berdasarkan kepercayaan, keyakinan serta kepatuhan kepada Tuhan. Kurikulum integratif juga dapat diartikan kesepaduan bermacam ketrampilan dalam satu pengajaran dan pembelajaran atau mungkin juga kesepaduan keberagaman disiplin ilmu dalam sesuatu subjek yang di ajarkan kepada siswa-siswi. Fokus uraian tentang pengembangan kurikulum integratif kepada tiga landasan pendidikan dan pengetahuan yaitu: Pertama, integratif dari segi kesepaduan bahan ajar yang diajarkan kepada peserta didik, artinya setiap ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam proses belajar mrngajar harus dapat difahami oleh semua siswa di jenjang sekolah dasar. Kedua pada keperluan yang komprehensif dan bersepadu bukannya terpecah-pecah dalam mengikuti bahan ajar yang sesuai akan membuat siswa mudah mengerti. Ketiga setiap siswa dapat mempelajari sesuatu ilmu atau pengetahuan yang disediakan bagi mereka tentu sejalan dengan pengetahuan dan perkembangan jasmani dan rohani tingkat sekolah dasar. Untuk mengembangkan Kurikulum Integratif untuk mengajarkan materi IPA Sains, sekaligus menumbuhkan sikap arif pada diri siswa terhadap nilai-nilai yang diintegrasikan. Penerapan Kurikulum Integratif diharapkan dapat memberikan manfaat ganda bagi siswa, yaitu pemahaman dan penguasaan materi IPA sains, tumbuhnya sikap arif pada diri siswa terhadap nilai-nilai yang diintegrasikan, khususnya nilai-nilai kearifan lokal (KL), dan keberagaman budaya (KB). Tujuan jangka panjang yang akan dicapai adalah mengimplementasikan nilai-nilai syariat Islam dalam pembelajaran tematis di kelas rendah sebagaimana yang diamanatkan Qanun Pendidikan Provinsi Aceh, dan membantu guru dalam melaksanakan amanat pendidikan nasional saat ini, yaitu melaksanakan Pendidikan Berkarakter. Sedangkan target khusus yang dicapai adalah tersedianya perangkat pembelajaran Kurikulum Integratif untuk kelas awal SD/MI. Kata Kunci: Kurikulum Integratif, pembelajaran IPA Sains, SD/MI
1 2
Dosen CAS University Utara Malaysia, Sintok Kedah Darul Aman Malaysia. Dosen Prodi Biologi Pendidikan FKIP USM Banda Aceh
47
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
PENDAHULUAN Perkembangan budaya dalam masyarakat Aceh terus berkembang dan sejalan dengan kaedah ajaran agama Islam yang dijalan secara turun-temurun dalam setiap jenjang pendidikan formal. Nilai-nilai Islami itu telah diamalkan secara turun temurun dan menjadi adat tradisi dalam masyarakat Aceh, yang juga dapat diwarisi dari generasi ke generasi melalui pendidikan dalam keluarga, masyarakat, dalam rangka mendidik pribadi-pribadi muslim yang berakhlakul karimah. Dikarenakan pengaruh dalam modernisasi, sekarang ini dalam masyarakat telah terjadi pergeseran nilai-nilai yang berkenaan agama Islam dan budaya orang Aceh. Sebaiknya nilai-nilai yang ada dalam masyarakat dapat dijadikan azas budaya dan pendidikan merupakan bagian penting dalam kegiatan pendidikan (Morina, 2010). Setelah tsunami tahun akhir Desember 2004 yang lalu, terjadilah proses keterbukaan daerah Aceh, mengakibatkan masyarakat Aceh mengalami paparan terhadap berbagai budaya negara luar terutama pada akses agama, pendidikan dan budaya. Sementara itu, keadaan sanitasi, kesehatan masyarakat di Aceh pasca musibah gempa dan tsunami tersebut sangat mengkhawatirkan. Banyak sumber air bersih di daerah yang terkena tsunami tercemar dengan minyak, mikroba tanah, arsen kerak bumi sehingga tidak dapat dicomsumsi oleh masyarakat. Air dengan kualitas yang baik menjadi sesuatu yang mahal bagi masyarakat Aceh. Meskipun disebagian daerah masyarakatnya masih dapat mengandalkan perusahaan daerah air minum, namun distribusi air ke rumah-rumah penduduk tidak lancar bahkan ada kendala jaringan air bersih yang belum tersambung hingga saat ini (Serambi Indonesia,2013). Upaya mendukung pelaksanaan syariat Islam diselur wilayah Provinsi Aceh serta mengembangkan sistem pendidikan Islami yang sekarang dikembangkan di Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), adalah seyogianya budaya Islami dan adat Aceh dihidupkan kembali. Untuk itu, Pemda NAD telah menyusun Qanun Pendidikan no 5 tahun 2008 menegaskan bahwa: Pendidikan Provinsi NAD adalah pendidikan yang berlandaskan pada Al-Quran dan al Hadist, falsafah negara Pancasila, UUD 1945, dan kebudayaan Aceh yang Islami. Sejalan dengan Qanun Pendidikan di provinsi NAD di atas, dikeluarkan kebijakan dalam bidang pendidikan, salah satunya kebijakan tentang pengembangan kurikulum yang relevan dengan pembelajaran aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan serta disesuaikan dengan kebutuhan lokal, khususnya terkait dengan pelaksanaan syariat Islam. Masalah pendidikan Aceh menjelaskan bahwa salah satu aspek terpenting dari penyelenggaraan keistimewaan Aceh yang bersendikan syariat Islam adalah sistem pendidikan yang mampu mendukung cita-cita melahirkan sumber daya manusia berkualitas unggul dan kompetitif baik kualitas iman dan taqwa (IMTAQ) maupun kualitas imu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) Sulaiman (2008). Selanjutnya , Rusdi Sufi (2009) menjelaskan bahwa keadaan budaya yang Islami dalam penerapan sistem pendidikan di Aceh belum menampakkan kesan yang kuat sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemberlakuan syariat Islam. Banyak hal yang terlihat belum menunjang penataan sistem tersebut, antara lain bahan ajar yang belum tertata dengan baik dan kurikulum berbasis kompetensi versi NAD yang belum tersedia untuk dipergunakan oleh guru. Berkenaan dengan pelaksanaan kurikulum 2013, pada awal semester ini maka bahan ajar siswa ditekankan bahwa salah satu prinsip pengembangan silabus adalah aktual dan kontekstual. Selain itu, pembelajaran yang dilakukan memberikan penekanan pada karakter pelajar/siswa, kebutuhan sekolah, dan muatan lokal kebijakan daerah. Pembelajaran tersebut 48
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
salah satunya adalah pembelajaran yang mengacu pada Kurikulum Integratif, yaitu suatu kurikulum yang dikembangkan untuk mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 berkarakter. Pelaksanaan Kurikulum Integratif dilakukan melalui pengembangan dan pelaksanaan pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal (KL) & keberagaman budaya (KB) Aceh. Tujuan utama tulisan ini adalah bagaimana upaya melaksanakan Kurikulum Integratif pada pembelajaran sains di SD/MI. Sehingga dilakukan kegiatan sebagai berikut. (1) Dapatkah guru menlaksanan proses belajar mengajar dengan Kurikulum Integratif pada pembelajaran sains untuk mengajarkan materi IPA sains di sekolah dasar. (2) Apa saja perangkat pendukung Kurikulum Integratif pada pembelajaran sains yang meliputi: RP, LKS, Buku Panduan Belajar, Panduan Pengembangan Kurikulum Integratif yang harus dipergunakan oleh siswa. (3) Mengembangkan kopetensi siswa dan mengetahui kualitas Kurikulum Integratif yang akan dipergunakan oleh guru/ siswa dan akan dikembangkan sejara berjenjang pada semua sekolah tingkat SD/MI. Kurikulum Integratif Islami mempunyai pengertian yang subjektif terhadap penerapan dan tujuan dari penlaksanaanya. Integratif diartikan sebagai kesepaduan yaitu menekankan perkembangan individu secara menyeluruh dan berpaduan ke tujuan yang dapat melahirkan insan yang berakhlakul karimah. Kurikulum integratif juga boleh memberi arti kesepaduan pada berbagai keahlian dalam suatu proses belajar mengajar atau multi disiplin ilmu yang perlu di ajarkan kepada peserta didik. Dalam membidik uraian tentang pengembangan sebuah produk kurikulum yang dapat mengintegrasikan aspek, agama islam, budaya dan kearifan lokal serta pengetahuan dasar/karakter yang harus dimiliki setiap siswa. PEMBAHASAN Integratif dari sudut pandang mengaitkan materi ajar pada suatu informasi yang harus disampaikan kepada siswa-siswi. Dalam arti jamak lainnya kontek ilmu pengetahuan dan pengalaman dalam proses belajar mengajar yang perlu difahami peserta didik sesuai dengan perkembangan usia mereka. Kata integrasi (integration) berarti pencampuran, pengkombinasian dan perpaduan secra sistematik dan terpola dengan benar. Integrasi secara umum dapat dilakukan terhadap dua hal atau lebih, dan masing-masing dapat saling mengisi tanpa bersinggungan atau paradoks (Woodford, 2003). Berdasarkan pengertian-pengertian di atas dapat dijelaskan bahwa pengertian dari integrasi pembelajaran sains dan agama islam dalam tulisan ini adalah menyepadukan dan mengkombinasikan cara pandang atau kerangka pikir yang biasa dipakai di dalam sains, yakni rasional-empiris-ilmiah dengan agama yang cenderung normatif-teologis-dalam proses pembelajaran yang berakhlakul karimah. 1. Pengertian Pendidikan Islam Perdasarkan logika dan pemikiran bahwa suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Dapat ditafsirkan bahwa dari pengalaman selama proses belajar mengajar merupakan tujuan yanga akan dicapai oleh peserta didik. Pada dasarnya 49
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
pendidikan merupakan usaha yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam membantu arah tujuan yang harus dicapai oleh siswa. Namun sebelum masuk pada pembahasan mengenai fungsi dan tujuan Pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian Pendidikan Islam. Pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya; beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini terciptanya manusia yang berakhlakulkarimah setelah proses pendidikan berakhir. Amri (2012) berpendapat bahwa pendidkan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan potensi manusia lain atau memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya kepada orang lain. Dalam proses pemindahan nilai itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah, pertama melalui pengajaran yaitu proses pemindahan nilai berupa (Ilmu) pengetahuan dari seorang guru kepada murid-muridnya dari suatu generasi kegenerasi berikutnya. kedua melalui pelatihan yang dilaksanakan dengan jalan membiasakan seseorang melakukan pekerjaan tertentu untuk memperoleh keterampilan mengerjakan pekerjaan tersebut. ketiga melalui indoktrien yang diselenggarakan agar orang meniru atau mengikuti apa saja yang diajarkan orang lain tanpa mengizinkan si penerima tersebut mempertanyakan nilai-nilai yang diajarkan secara bebas. Apabila ingin membahas seputar Islam dalam Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat menarik terutama dalam kaitannya dengan upaya pembangunan Sumber Daya Manusia muslim, sebagaimana Islam di pahami sebagai pegangan hidup yang diyakini mutlak kebenarannya akan merai arah dan landasan etis serta moral pendidikan, atau dengan kata lain hubungan antara Islam dan pendidikan bagaikan dua sisi keping mata uang. Artinya, Islam dan pendidikan mempunyai hubungan filosofis yang sangat mendasar baik secara ontologis, epistimologis maupun aksiologis. Pemikiran di atas sejalan dengan falsafah bahwa sebuah usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentu arah maka hasilnya adalah tidak lebih dari pengalaman selam perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakn. Namun sebelum masuk dalam pembahasan mengenai fungsi dan tujuan pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian Pendidikan Islam itu sendiri dan fungsinya untuk masyarakat. Peran lembaga pendidikan memberikan perhatian dan menyelenggarakan riset tentang Islam yang tercermin dalam program sebagai ilmu yang diperlukan seperti ilmu-ilmu lain yang setara. Pengertian di atas dalam arti lembaga tersebut memperlakukan Islam sebagai sumber nilai bagi sikap dan tingkah laku (karakter) yang harus tercermin dalam penyelenggaraannya pendidikan untuk kepentingan bangsa. 2. Kurikulum Integratif. Walaupun Fogarty (1991) mengartikan bahwa kurikulum sebagai model untuk menyepadukan ketrampilan, tema, konsep, dan topik dalam bahan bantu pengajaran sains Biologi atau menggabungkan kedua-dua masalah metode, teknik yang perlu dipersiapkan oleh guru. Sebagai model kurikulum integratif yang menawarkan beberapa kemungkinan tentang perpaduan dan berhubungan antara aktivitas dengan pengalaman di sekolah atau pengalaman pendidikan. 50
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Perpaduan dan kombinasi dua paradigma ini menjadi salah satu variabel terwujudnya integrated curriculum. Menurut Drake, (1998) kurikulum integratif (integated curriculum) adalah model kurikulum yang disusun dan dilaksanakan dengan mengedepankan berbagai perspektif, di dalamnya terangkum berbagai pengalaman belajar, dan menjembatani berbagai ranah pengetahuan sehingga proses belajar mengajar leih bermakna. Kemudian Siraj, (2001) menyatakan bahwa model kurikulum ini banyak memberikan manfaat kepada anak didik, dari sisi keilmuan maupun pengalaman yang berguna bagi kehidupannya di masa mendatang /life skill. (Sabda, 2005).Integrated curriculum tersebut pada akhirnya akan menghasilkan interconnected curriculum atau interdependent curriculum. Penjelasan makna integrated curriculum dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti kolaborasi penggabungan (fusion) beberapa topik menjadi satu bahagian bahan ajar yang mudah disampaikan kepada siswa. Misalnya topik tentang kesehatan, lingkungan hidup, perubahan ekologi, panas bumi, kerusakan hutan, banjir dan perilaku masyarakat digabungkan menjadi satu dalam kajian tentang biologi. Menyepadukan sub disiplin keilmuan ke dalam induknya menjadi satu kesatuan seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, ilmu kimia, biologi, fisika dan sain teknologi dimasukkan ke dalam kelompok MIPA- ilmu murni (pure science). Ada juga dengan cara menghubung-hubungkan satu topik dengan pengetehuan-pengetahuan lain yang sedang dipelajari oleh siswa tetapi berbeda jam. Ini diistilahkan Sabda dengan multidisciplinary. Misalnya, ketika jam tertentu siswa belaj ar tentang biologi mahluk hidup, maka guru dapat meminta siswa untuk mengigat atau mengungkapkan pengetahuan yang diperolehnya dalam pelajaran lain yang masih ada kaitannya. Proses penyampaian materi satu topik dengan menggunakan berbagai perspektif dalam waktu bersamaan. Ini disebut Drake (1998) dengan istilah interdicplinary. Misalnya, topik lingkungan dijelaskan melalui perspektif agama islam, adat dan budaya Aceh, tradisi yang sering berinteraksi disekitar masyarakat. Langkah ini biasanya cenderung mengedepankan pendekatan bandingan (comparative spective).antara peserta didik dengan lingkungan sekitar atau antara siswa dengan siswa. Usaha mengaitkan suatu topik dengan nilai-nilai, peristiwa, isu-isu terkini (current issues) yang sedang berkembang dalam prakteknya penyusunan dan pelaksanaan kurikulum tidak dimulai dari apa yang tertulis, tetapi berdasarkan pertanyaan siswa terhadap permasalahan tertentu, tentang sesuatu yang dianggap urgen. Langkah-langkah di atas, menurut Ibrahim (2012) harus tetap berada dalam bingkai korelasi (correlation) dan harmonisasi (harmonization). Artinya, dalam mewujudkan kurikulum integratif, baik pada level konsep maupun implementasi, kata kuncinya adalah korelasi dan harmonisasi. Dengan demikian, perspektif yang beragam, pengalaman yang bermacam-macam, pendekatan dan bidang keilmuan yang variatif harus tetap memiliki keterkaitan antara satu sarna lain dan tidak saling bertentangan atau dipertentangkan, agar dapat saling mengisi dan melengkapi. Pada tataran praktis, penciptaan korelasi dan harmonisasi dalam kurikulum integratif sangat ditentukan kemampuan melakukan eksplorasi (terutama guru) terhadap berbagai isu penting yang sedang berkembang, dan menghindari pengulangan-pengulangan yang membingungkan siswa. Secara implementatif dalam wilayah pembelajaran, yang menggunakan model integratif islami meliputi ranah filosofis, dan ranah strategi Morina (2012). Ranah filosofis dalam pembelajaran berarti bahwa eksistensi dalam kaitannya dengan disiplin ilmu lainnya. Integratif ditandai dengan pengintegrasian materi satu disiplin ilmu 51
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
dengan lainnya untuk saling melengkapi dan menguatkan metode pembelajaran mengharuskan penggunaan berbagai pendekatan keilmuan, sedangkan pada ranah strategi pembelajaran integratif ditunjukkan dengan penerapan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip pembelajaran aktif. 3.
Pengembangan Kurikulum Integratif Islami
Usaha menyepadukan kurikulum ilmu pengetahuan sains dan pendidikan agama Islam pada asasnya membentuk keupayaan kurikulum mata pelajaran sains dengan pendidikan agama Islam yang sejalan dengan waktu dan kemauan institusi pendidikan. Makna pengembangan kurikulum dapat dilihat dari program atau inovasi dalam kurikulum agar dapat dilaksanan dengan baik oleh guru, sekolah atau pihak ibu wali murid yang perlu di ditunjukkan dengan penetapan strategi pembelajaran yang variatif dengan prinsip pembelajaran aktif, Syafruddin Sabda (2006) merencanakan tiga cara untuk pengembangan kurikulum integratif Islam, adalah: 1)
Integrasi pengetahuan sains dan pendidikan Islam
Berkenaan dengan masalah ini kurikulum mata pelajaran sains seperti Biologi, Fisika, Kimia dan lain-lain semua data tertulis untuk menggabungkan konsep, teori, nilai-nilai Islam didalamnya komponen objektif, isi, proses dan hasil yang diharapkan akan lebih baik dan berguna kepada siswa. 2)
Integrasi pendidikan agama Islam dalam bahan ajar.
Untuk meng integrasikan bahan ajar sains dalam pendidikan agama Islam seperti uraian di atas maka model kurikulum integratif tersebut dikaitkan dengan pendidikan agama. Program kurikulum integratif bukan hanya pada penguatan isi pelajaran atau bahan ajar tetapi juga melibatkan strategi pengantar materi ajar, cara evaluasi. Masalah ini boleh dilakukan dengan (a) mengintegrasikan bahan ajar pendidikan agama dengan masalahmasalah subjek sains untuk memperkaya pengetahuan siswa dan (b) mengintegrasikan subjek pendidikan agama dengan konsep teori mata pelajaran sains diluar mata pelajaran yang wajib diajarkan di sekolah. Kemudian penilaian yang menyeluruh terhadapa bahan ajar dan proses yang dijalankan oleh pihak sekolah. 3)
Integrasi pengetahuan dan pendidikan agama Islam saling berkaitan.
Pada bagian ketiga ini upaya menggabungkan dua cara yang mempunyai uraian dalam proses 1 dan 2, bahwa maksud mengajar bermacam disiplin sains diajar dalam cara yang sepadan dengan agama Islam. Kemudian pakar kurikulum seperti Collin (1991), Case (1991), Brophy (1993) Maurer (1994),Blanc (1995), Mulyasa (2010), konsep kurikulum integastif yang bagus dapat menggabungkan antara beberapa keahlian, konsep, tema dan topik secara linier pada disiplin 52
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
ilmu senantiasa mudah diikuti oleh pelajar didalam kelas. Achsin (2007), kurikulum integratif adalah (1) memadukan ilmu agama dan umum dalam kurikulum yang dilaksanakan di sekolah, (2) memadukan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (imtek) dan Imtak (Iman dan Taqwa) dan (3) integrasi antara institusi dengan kemauan ibu-wali pelajar, yaitu bagaimana sekolah/yayasan dalam mendidik anak juga melibatkan wali murid yang dapat membantu pendanaan. Sejak diperkenalkannya reformasi pendidikan sains yang dilakukan dalam adopsi dari pendekatan terpadu untuk mengajar ilmu pengetahuan di Amerika Serikat, Australia, dan Eraopa, banyak negara telah mengadopsi pendekatan saisn teknologi dan masyarakat. Namun, filosofis didasarkan pada kesamaan dari semua ilmu pengetahuan atau semua disiplin ilmu dalam kaitannya dengan konsep-konsep ilmiah, prinsip, nilai-nilai sikap dan ilmu pengetahuan proses serta dalam kaitannya dengan sifat antar-disiplin dari masalah kehidupan nyata menjadi ditangani melalui ilmu pengetahuan, Ibrahim (2010).. Ilmu yang harus disampaikan kepada siswa dalam terpadu atau holistic model sehingga dapat mencerminkan kesempatan belajar dalam berbagai konteks. Bahwa aktivitas transfer pengetahuan, keterampilan dan teknik belajar di kelas, merupakan salah satu dasar dari argumen pedagogis Ada juga kebutuhan praktis untuk siswa dalam meningkatkan pengetahuan ilmiah, yang semakin meningkat. Siswa dapat memperoleh wawasan mendasar/konsep ilmu yang akan berfungsi sebagai referensi awal setelah meninggalkan sekolah dan beradaptasi dalam masyarakat. 4. Pembelajaran Terpadu Bentuk Tematik Kemampuan untuk memecahkan masalah nyata berarti kompetensi (Baez dan Alles, 1973). Memang, pemecahan masalah memerlukan membuat pertimbangan nilai dan pengambilan keputusan. Ini pada gilirannya melibatkan membuat pilihan mengingat interaksi yang kompleks dari ilmu pengetahuan dan teknologi di satu sisi dan masyarakat, budaya dan lingkungan di sisi lain. Latihan pilihan dalam kaitannya dengan ilmiah Kegiatan adalah tindakan tanggung jawab yang besar. Tiga konsep, terhadap ingin tahu, kasih sayang dan kompetensi yang terkait erat satu sama lain. Selain itu, mereka merupakan penting aspek pendidikan umum individu. Memasukkan mereka ke ilmu yang tidak dipisahkan program untuk sekolah sangat penting.diantaranya: 1. Landasan yuridis dalam pembelajaran tematik berkaitan dengan berbagai kebijakan atau peraturan yang mendukung pelaksanaan pembelajaran tematik disekolah dasar. Landasan yuridis tersebut adalah UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya (pasal 9). UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menyatakan bahwa setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pelayanan pendidikan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya 2. Landasan filosofis dalam pembelajaran tematik sangat dipengaruhi oleh tiga aliran filsafat yaitu: (1) progresivisme, (2) konstruktivisme, dan (3) humanisme yang berlaku pada masyarakat setempat dan pengaruh sosial. Hakikat pembelajaran terhadap proses 53
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
pembelajaran perlu ditekankan padapembentukan kreatifitas, pemberian sejumlah kegiatan, suasana yang alamiah (natural), dan memperhatikan pengalaman peserta didik/siswa. 3. Aliran konstruktivisme meihat pengalaman langsung peserta didik (direct experiences) sebagai kunci dalam pembelajaran. Menurut aliran ini, pengetahuan adalah hasil konstruksi atau bentukan manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuannya melalui interaksi dengan obyek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seorang guru kepada anak, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh masing-masing peserta didik. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, melainkan suatu proses yang berkembang terus menerus. Keaktifan peserta didik yang diwujudkan oleh rasa ingin tahunya sangat berperan dalam perkembangan pengetahuannya. 4. Aliran humanisme melihat peserta didik dari segi keunikan/kekhasannya, potensinya, dan motivasi yang dimilikinya suatu tempat atau wilayah tertentu yang berhubungan dengan aktivitas siswa dan guru. Hal ini berkaitan dengan perkembangan atau psikologis anak didik dalam pembelajaran tematik terutama berkaitan dengan psikologi perkembangan peserta didik dan psikologi belajar. Psikologi perkembangan diperlukan terutama dalam menentukan isi/materi pembelajaran tematik yang diberikan kepada peserta didik agar tingkat keluasan dan kedalamannya sesuai dengan tahap perkembangan peserta didik. Psikologi belajar memberikan kontribusi dalam hal bagaimana isi/materi pembelajaran tematik tersebut disampaikan kepada peserta didik dan bagaimana pula peserta didik harus mempelajarinya sesuai dengan perkembangan jasmani dan kematangan emosionalnya. KESIMPULAN Bermacam masalah untuk melakukan pembaharuan pendidikan bahwa salah satu aspek terpenting dari penyelenggaraan mengisi keistimewaan Aceh yang bersendikan syariat Islam. Tujuan dan cita-cita melahirkan sumber daya manusia berkualitas unggul dan kompetitif baik kualitas iman dan taqwa (IMTAQ) maupun kualitas imu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Para pakar pendidikan menjelaskan bahwa keadaan budaya yang Islami dalam penerapan sistem pendidikan di Aceh belum menampakkan perubahan yang kuat sehingga tidak terlihat perbedaan yang signifikan antara sebelum dan sesudah pemberlakuan syariat Islam. Banyak hal yang terlihat belum menunjang penataan sistem tersebut, antara lain bahan ajar yang belum tertata dengan baik dan kurikulum berbasis kompetensi versi NAD yang belum tersedia untuk dipergunakan oleh guru. Sejalan dengan pelaksanaan kurikulum 2013, pada awal semester ini maka bahan ajar siswa ditekankan bahwa salah satu prinsip pengembangan silabus adalah aktual dan kontekstual. Selain itu, pembelajaran yang dilakukan memberikan penekanan pada karakter pelajar/siswa, kebutuhan sekolah, dan muatan lokal kebijakan daerah. Pembelajaran tersebut salah satunya adalah pembelajaran yang mengacu pada Kurikulum Integratif, yaitu suatu kurikulum yang dikembangkan untuk mendukung pelaksanaan Kurikulum 2013 berkarakter. Pelaksanaan Kurikulum Integratif dilakukan melalui pengembangan dan pelaksanaan pembelajaran yang mengintegrasikan nilai-nilai kearifan lokal & keberagaman budaya Aceh.
54
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
SARAN Nilai-nilai kearifan dalam kehidupan sehari-hari merupakan karakter siswa diharapkan untuk dimasukkan sebagai tujuan pembelajaran dapat dilakukan dengan Kuriulum Integratif dicantumkan pada panduan bahan ajar, yang dapat dilakukan oleh institusi dan guru. Untuk memadukan ilmu agama dan umum dalam kurikulum yang dilaksanakan di sekolah, memadukan Teknologi dan Imtak (Iman dan Taqwa) yaitu tujuan sekolah/lembaga dalam mendidik siswa-siswa yang berkarakter. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman Mas'ud, (2002). Menggagas Format Pendidikan Nondikotomik (Humanisme Religius Sebagai Paradigma Pendidikan Islam), Yogyakarta: GAMA MEDIA. Amin Abdullah, dkk.2003, Menyatukan Kembali Ilmu-IImu Agama dan Umum, Yogyakarta: SUKA Press. Arends, Richard I. (1997). Classroom Instruction and Management. New York: Mc GrawHill Bahrum, Teuku, dkk. (2002). Peulajaran Basa Aceh. Pabelan: Medan. Cut Morina Zubainur,Ibrahim dan Su’id (2008). Kurikulum integratif pada pembelajaran tematik di SD/MI Banda Aceh Darussalam. Unsyiah Collins, Gillians & Hazel, Dixon, (1992) Integrated learning planned curiculum. 3 Australia Bookshelf Publishing and Multi Media International (UK) Ltd. Depdiknas (2003). Kurikulum 2004. Balitbang Depdiknas: Jakarta. ------------ (2005). Paket Pelatihan Awal untuk Sekolah dan Masyarakat. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah: Jakarta. Eggen, Paul.D& Kauchak, Donald. P. (1996). Strategies for Teachers. Teaching Content and Thinking Skills. Allyn and Bacon: USA Gravemeijer, K.P.E. (1994) Developing Realistics Mathematics Education. Utrecht: CD-β Press, The Netherlands. Haidar Bagir, (1999)"Sains Islami: Suatu Alternatif', dalam Jurnal Ulumul Qur 'an, XII Vol 2 thn IX. 123-128. Heuvel-Panhuizen. (1998). Realistic Mathematics Education, Work in Progress. Makalah disampaikan dalam NORMA-lecture di Kristiansand, Norwegia. Juni, 5-9 1998. Hudojo, Herman (2001) Pengembangan Kurikulum dan Pembelajaran Matematika. JICA. Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA Universitas Negeri Malang Ibrahim, (2000). Saint teknologi masyarakat. Thesis Pasca sarjana Malang Jawa Timur.Universitas Negeri Malang. Ibrahim, (2012) Penerapan kurikulum integratif islami dapat meningkatkan prestasi belajar siswa SMP di Aceh. Jurnal Serambi Ilmu No. XII Vol 2 thn IX. 123-128. Ibrahim, (2012) Penerapan kurikulum integratif islami dalam pengajaran IPA-sains pada SD/MI di Provinsi Aceh. Jurnal Biologi Education. No. I Vol I. 13-18. Ibrahim, (2012) Faktor-faktor yang memepengaruhi pelaksananaan kurikulum integratif yang islami pada pengajaran dan pembelajaran IPA-Biologi tingkat SMP di Provinsi Aceh. Jurnal Ragam Ilmu No. 3 Vol I. 46-53.
55
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Joyce, Bruce; Weils, Marsha and Showers, Beverly. (1992). Model of Teaching. Massachusetts: Allyn and Bacon Publishing Company. Mulyasa, E. (2003) Kurikulum Berbasis Kompetensi. Rosda Karya: Bandung Mulyasa, E. (2011) Menajemen Kurikulum Berkarakter . Rosda Karya: Bandung Saedah Siraj (Ed.), (2001). Perkembangan kurikulum: teori dan amalan (Curriculum development: theory and practice) (2nd ed.). Selangor, Malaysia: Alam Pintar [See also, University Libraries, The Ohio State University at http://osu.worldcat.org. Sanaky, Hujair, AH. (2003) Paradigma Pendidikan Islam: Membangun Masyarakat Madani Indonesia. Yogyakarta: Safria Insani Press. Sulaiman, Darwis. A. (2005) Revitalisasi Budaya Masyarakat Aceh dalam Meningkatkan Tanggung Jawab Orang Tua terhadap Pendidikan Anak. Makalah Disampaikan pada Diskusi Panel Nasional “Recovery Pendidikan Nanggroe Aceh Darussalam”, Forum Mahasiswa Pascasarjana Aceh Malang, di Malang pada Tanggal 18-19 Juni 2005. Susan M. Drake, (1998) Creating Integrated Curriculum Proven Ways to Increse Student Learning, California: Corwin Press. Ted Peters Gaymon Bennet, (2004) (ed.), Menjembatani Sains dan Agama, terjemah oleh Jessica Cristiana Pattinasarany, Jakarta: BPK Gunung Mulia. Lil Amri (2011) Pendidikan Islam dan Tantangan Perkembangan Teknologi. Jakarta Mizan Press. Zakiah Daradjat, dkk. (2008). Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
56
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
AKLIMATISASI MIKROALGA HIJAU DALAM LIMBAH PETERNAKAN UNTUK MENINGKATKAN PENYISIHAN NUTRIEN DAN PRODUKSI LIPIDA Irhamni*, Elvitriana, Vera Viena* Dosen Teknik Lingkungan Universitas Serambi Mekkah, ABSTRAK Mikroalga memiliki kemampuan untuk menyerap berbagai bentuk nitrogen, dan posfor. Penelitian mengenai aklimatisasi mikroalga hijau dalam fotobioreaktor volume 2 liter untuk menyisihkan nutrien dalam limbah cair peternakan dengan konsentrasi limbah yang berbeda, yaitu 25, 50 dan 100%, dan siklus pencahayaan 24 jam dan 12 jam (on/off) telah dilakukan.. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan mikroalga hijau terbaik diperoleh dari mikroalga teraklimatisasi dengan kandungan biomassa tertinggi sebesar 1,65 gr/L berat kering, dikuti dengan 1,4 dan 1,35 gram/liter berat kering pada kultur limbah cair peternakan 25, 50 dan 100% (v/v). Pertumbuhan alga hijau tanpa aklimatisasi sangat lambat dengan masa kultivasi yang sama yaitu 16 hari, kandungan biomassa hanya berkisar antara 0,65–1,1 gram/liter berat kering. Proses metabolisme mikroalga hijau teraklimatisasi terbukti mampu menyisihkan nutrien amonium, nitrat dan pospat dalam limbah cair peternakan 6098%, sehingga dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan mikroalga hijau lokal untuk penyisihan limbah peternakan dapat dilakukan sebagai salah satu metode alternatif penanggulangan limbah cair, sedangkan biomassa alga dapat dimanfaatkan untuk produksi lipid minyak alga. Kata kunci: aklimatisasi, mikroalga hijau, biomassa, penyisihan nutrien, produksi lipid ABSTRACT Microalgae has ability to absorp various forms of Nitrogen dan Phosfor. Research on green microalgae cultivated in photobioreactor volume 2 liter to remove the nutrient content in the livestock waste by considering the effect of different waste concentration,e.i 100%, 50% and 25% and length of illumination time, e.i 24 hour and 12 hour (on/off) on biomass produced has been done. The result showed that the highest microalgae growth is obtained from the acclimatized culture of the livestock waste 25% with biomass content 1,65 gram/liter dry weight, and followed by the livestock waste (50% and 100%) , with biomass content 1,4 gram/liter dry weight and 1,35 gram/liter dry weight, respectively. The non-acclimatized microalgae showed a 57
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
very slow growth within the same cultivation time, e.i 16 days with biomass range from 0,65–1,1 gram/liter dry weight. Metabolism process of acclimatized green microalgae was proven to be able to remove the nutrient content of ammonium, nitrate, and phosphate in range 60-98%, thus we concluded that the usage of local green microalgae for livestock waste removal can be done as one of the alternative methods for wastewater treatment, while algae biomass can be utilized for the production of algae oil lipid. Keywords: acclimatization, green microalgae, biomass, nutrient removal, lipid production
PENDAHULUAN Eutrofikasi pada badan air (misalnya danau atau aliran sungai) dapat terjadi pada kondisi kaya nutrien dalam sistem yang menimbulkan perkembangan alga (algal bloom). Pertumbuhan alga yang berlebih, dapat menyebabkan penurunan pada kualitas air, seperti; menurunnya kejernihan air, bau, penurunan kandungan oksigen, dan kemungkinan dapat membunuh ikan. Sumber-sumber nutrien tersebut dapat berasal dari instalasi pengolahan limbah, detergen buangan rumah tangga, septik sistem, sedimen, kotoran ternak, dan penggunaan pupuk komersil (Hoyle, dkk., 2003). Penggunaan mikroalga untuk pengolahan limbah cair menawarkan beberapa keuntungan lebih daripada pengolahan limbah secara tradisional, diantaranya dalam hal efektifitas biaya untuk menyisihkan BOD, Posfor, Nitrogen dan dapat menghilangkan bakteri patogen dibandingkan sistem lumpur aktif. Melalui proses pengolahan limbah cair dngan alga dapat ditumbuhkan biomassa dalam jumlah besar (Woertz, 2007). Alga secara alamiah bekerja untuk mereduksi kadar Nitrogen dan Posfor pada limbah cair peternakan (Johnson, 2009). Nutrien seperti nitrogen dan posfor dapat dihilangkan dari limbah cair dengan beberapa cara. Cara yang paling umum adalah dengan menghilangkan nitrogen melalui proses denitrifikasi yang mereduksi nitrat menjadi nitrogen gas, yang dilepaskan ke atmosfer (Metcalf & Eddy, 2004). Biomassa mikroalga mengandung sejumlah besar senyawa seperti protein dan lipid. Mikroalga memiliki kemampuan untuk menyerap berbagai bentuk nitrogen, dan posfor, dimana mikroalga ini dapat menggunakan berbagai senyawa organik, khususnya senyawa eutrofik yang mengandung nitrogen dan posfor sebagai sumber karbon (Lee, dkk., 1998). Mikroalga pada dasarnya memanfaatkan berbagai senyawa organik terutama pada perairan yang tercemar senyawa organik mengandung Nitrogen dan Posfor bersama Karbon dalam fotosintesis. Oleh karena itu, kultur mikroalga dalam limbah cair akan tumbuh baik dan sekaligus berperan positif dalam upaya pengelolaan limbah cair. Kultur Botryococcus braunii adalah mikroalga hijau yang 58
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
potensial dalam menghasilkan lipid, tetapi laju pertumbuhannya agak lambat. Optimasi media pertumbuhan terbukti dapat meningkatkan laju pertumbuhan dan produksi lipida (Tran, dkk., 2010) Penelitian oleh Wang dkk., (2009) menunjukkan feasibilitas kultivasi Chlorella sp. dalam sampel limbah cair yang diambil dari empat lokasi berbeda dari Pabrik Pengolahan Limbah Cair Pemukiman (MWTP). Diamati bahwa Chlorella sp. dapat beradaptasi dengan baik pada keempat limbah cair dengan tanpa fase lag (fase adaptasi). Pertumbuhan alga meningkat cepat pada bagian tengah kolam pengolahan karena tingginya kadar nitrogen, posfor dan COD dibandingkan dengan 3 lokasi limbah cair lainnya. Sreesai, dkk., (2002) juga telah mempelajari aplikasi mikroalga lainnya untuk pengolahan limbah cair peternakan babi di Bangkok. Proses kultur Chlorella sp didalam limbah cair menyebabkan transformasi zat-zat organik dan nutrien dalam limbah menjadi biomassa alga. Hasil penelitian membuktikan bahwa sistem kultur ini berhasil mengolah limbah cair peternakan babi dan mengembalikan organisme air lain yang menguntungkan bagi lingkungan. Hal tersebut telah mendorong peneliti untuk mengkaji mikroalga sebagai salah satu solusi untuk pengendalian pencemaran akibat pembuangan limbah cair peternakan ke badan-badan air dengan cara memanfaatkan mikroalga hijau yang diperoleh dari wilayah Banda Aceh dan melakukan tahapan aklimatisasi mikroalga hijau tersebut didalam limbah peternakan pada konsentrasi yang berbeda-beda. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah; (1) mengkaji pengaruh aklimatisasi mikroalga hijau terhadap pertumbuhan mikroalga hijau yang berasal dari daerah Banda Aceh, (2) membandingkan tingkat penyisihan nutrien limbah peternakan oleh mikroalga hijau yang diaklimatisasi, (3) mengembangkan dan membudidayakan kultur mikroalga hijau terbaik dengan biomassa berkadar lipid yang tinggi. Akhir penelitian ini diperoleh metode pertumbuhan mikroalga yang terbaik dalam menyisihkan sejumlah nutrien yang terdapat didalam limbah cair peternakan dan juga diperoleh biomassa dengan kandungan lipid tinggi sebagai salah satu sumber alternatif minyak nabati dari mikroalga hijau. BAHAN DAN METODE Bahan Sampel mikroalga hijau diperoleh dari kolam terbuka di wilayah Darussalam, Banda Aceh. Sampel mikroalga diambil menggunakan net planton dan dicentrifuge. Mikroalga campuran yang diperoleh kemudian dikultur didalam media pertumbuhan BG-11 (Rippka dkk.,1979), dengan komposisi (g/L): NaNO3 1,5; Na2HPO4 0,04; MgSO4.7H2O 0,075; ZnCl2 dihidrat 0.036; asam sitrat 0,006; ferric ammonium citrate, 0.006; Na2-EDTA 0.001; Na2CO3 0.02; dan larutan trace metal 1 ml (H3BO3 2.86 g, MnCl2.4H2O 1.81 g, ZnSO4.7H2O 0.222 g, Na2MoO4.2H2O 0.390 g, CuSO4.5H2O 79
59
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
mg and Co(NO3)2.6H2O 49.4 mg per liter) pada pH 7,4. Kloroform, Metanol (p.a). Bahan kimia ini keseluruhan diperolah secara komersil dari Merck. Sampel limbah cair hasil peternakan diperoleh dari kandang peternakan sapi di Darussalam, Banda Aceh. Limbah peternakan ini disaring sebelum digunakan dalam perlakuan. Prosedur Penelitian Analisa Karakteristik Limbah (sebelum dan sesudah perlakuan) Limbah cair peternakan dibuat dalam konsentrasi yang berbeda (100%, 50%, dan 25% v/v) untuk melihat pengaruh konsentrasi limbah terhadap pertumbuhan mikroalga dan kemampuan menyisihkan limbah pada kondisi pekat dan dengan pengenceran. (1) Parameter pH limbah sebelum diinokulasi diukur dengan pH meter. (2) Analisa NH4, NO3, PO4 (mg/L), dilakukan dengan cara APHA (2005) sebelum diinokulasi dengan isolat. Pengukuran parameter nutrien limbah pada kultur perlakuan dilakukan setelah mencapai fase stasioner. Aklimatisasi Mikroalga Mikroalga lokal yang diperoleh dari sumber kolam terbuka di wilayah Banda Aceh dan sekitarnya, disentrifugasi, dan dikembangbiakkan dalam Media BG-11 serta dibuat stok kulturnya dari mulai 10 ml, 100 ml, 500 ml dan 1000 ml sebanyak 2 wadah kultur. Salah satu wadah disimpan sebagai stok kultur dan wadah kultur lainnya digunakan sebagai working kultur untuk selanjutnya diaklimatisasi didalam limbah cair peternakan selama 14 hari sebelum digunakan untuk pengolahan limbah cair. Kultivasi Mikroalga dalam Fotobioreaktor dengan Variasi Perlakuan Mikroalga yang telah diaklimatisasi digunakan didalam penanganan limbah cair peternakan dengan cara mengambil inokulum sebesar 10% (V.inokulum/V.media) dan ditanam didalam erlenmeyer 3000 ml yang mengandung 2000 mL media cair (BG-11 disterilkan langsung, sedangkan limbah cair lainnya disaring halus). Kultur vessel diinkubasi pada keadaan tetap dengan suhu ruangan dan intensitas pencahayaan kontinyu (lampu 4 x 8 watt) dengan aerasi udara tetap. Kultur dianalisa untuk melihat kurva pertumbuhan mikroalga dengan menentukan kandungan biomassa (dry weight) per 2 hari, sedangkan kandungan lipid biomassa hanya diukur pada akhir masa kultivasi (16 hari). Mikroalga juga diberi perlakuan kultivasi 5 hari, 10 hari dan 15 hari untuk melihat pengaruh waktu tinggal mikroalga dalam menyisihkan nutrien limbah dalam bentuk kandungan NH4, NO3, PO4 dalam media sisa setelah dipisahkan dari biomassanya.
60
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Analisa Kultur Hasil Kultivasi (1) Kurva Pertumbuhan Mikroalga Kurva pertumbuhan mikroalga didapat dengan menentukan berat biomassa kering dengan 2 (dua) hari interval. (2) Kandungan biomassa
Kandungan biomassa ditentukan dengan cara spektrofotometri menggunakan panjang gelombang 680 nm (Lee dkk., 1998). (3) Kandungan total lipid biomassa Metode dasar analisa ini merupakan modifikasi dari Bligh dan Dyer (1959). Sel alga yang dipanen dihancurkan dengan mortar dan dipindahkan kedalam corong pemisah. Lipid diekstraksi dengan larutan kloroform metanol (2:1, v/v) dan terpisah menjadi lapisan cairan kloroform dan metanol dengan penambahan metanol dan air untuk menghasilkan rasio pelarut akhir dari kloroform : metanol : air sebesar 1:1:0.9. Lapisan kloroform dicuci dengan 20 ml larutan NaCl 5%, dan diuapkan sampai kering, total lipid ditentukan secara gravimetri (Lee dkk., 1998). HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Aklimatisasi Mikroalga Hijau terhadap Pertumbuhan Mikroalga Hijau Mikroalga hijau yang dikultivasi dalam limbah cair peternakan terlebih dahulu diberi perlakuan aklimatisasi selama 14 hari untuk memperkuat daya tahan hidup dan kemampuan adaptasi mikroalga terhadap konsentrasi limbah cair yang berbeda. Alga hijau yang tumbuh kemudian diaplikasikan untuk menyisihkan kandungan nutrien yang terkandung di dalam limbah peternakan agar aman dibuang ke lingkungan. Gambar 1 dan 2 dapat dilihat ciri-ciri mikroalga hijau yang tumbuh didalam media limbah cair peternakan.
Gambar 1dan 2. Mikroalga hijau campuran dalam limbah peternakan
61
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Kandungan Biomassa (g/L)
Kurva Kalibrasi Antara Absorbansi Dengan Biomassa Kurva hubungan antara absorbansi dengan biomassa kering mikroalga merupakan kurva kalibrasi untuk mengetahui kandungan biomassa mikroalga pada saat mengukur hasil biomassa mikroalga selama tahap kultivasi. Hasil hubungan antara absorbansi (A) dengan kandungan biomassa (dalam berat kering) mikroalga (g/l) untuk kurva kalibrasi ditunjukkan pada Gambar 3. Kurva kalibrasi dibuat dengan menentukan absorbansi mikroalga pada konsentrasi inokulum mikroalga awal yang berbeda-beda yaitu 1, 5, 10, 15, 20 % v/v (volume inokulum per volume media cair). Absorbansi diukur setelah pertumbuhan mencapai tahap logaritmik (7 hari) dan pengukuran kandungan biomassa (dalam satuan berat kering g/l) dilakukan dengan memisah biomassa dari media cair dan dikeringkan pada suhu 1050C pada oven. 1.4 1.2 1 0.8 y = 2.2942x - 0.0466 R2 = 0.9853
0.6 0.4 0.2 0 0
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
Abs orbans i (A)
Gambar 3. Kurva kalibrasi absorbansi (A) terhadap kandungan biomassa kering alga (g/L) pada limbah peternakan Kultur mikroalga hijau teraklimatisasi dikultivasi pada keadaan tetap dengan suhu ruangan dan intensitas pencahayaan kontinyu (lampu 4x8 watt) untuk mengetahui pengaruh aklimatisasi terhadap kandungan biomassa mikroalga pada konsentrasi limbah cair yang berbeda. Kultur dianalisa untuk melihat kurva pertumbuhan mikroalga dengan menentukan kandungan biomassa (dry weight) per 2 hari dan hasilnya diilustrasikan pada Gambar 4.
62
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Gambar 4. Pengaruh konsentrasi limbah cair peternakan terhadap kandungan biomassa mikroalga teraklimatisasi. Pertumbuhan mikroalga hijau sangat dipengaruhi oleh media tumbuh yang digunakan, karena mikroalga lokal yang telah diaklimatisasi dalam limbah peternakan dan yang tidak diaklimatisasi menunjukkan kurva pertumbuhan yang berbeda jauh. Pada Gambar 5, pertumbuhan mikroalga yang tidak diaklimatisasi sangat lambat dalam menyesuaikan diri dengan konsentrasi limbah peternakan yang pekat sehingga butuh waktu lebih lama untuk fase pertumbuhan limbah cair peternakan pada 50 dan 100%. Kurva pertumbuhan pada media limbah peternakan masih harus menyesuaikan diri dengan tingkat kepekatan yang terkandung dalam limbah cair yang telah mengalami masa aklimatisasi. Kandungan biomassa mikroalga yang telah diaklimatisasi antara 0,3–1,6 g/l, dengan biomassa tertinggi diperoleh pada media kontrol saat pertumbuhan 12 hari, dan pada media limbah cair peternakan 25% saat pertumbuhan 16 hari.
Gambar 5. Pengaruh konsentrasi media terhadap kandungan biomassa alga yang tidak diaklimatisasi dalam masa kultivasi 16 hari 63
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Media cair yang berasal dari limbah peternakan dapat menjadi media tumbuh yang baik bagi pertumbuhan mikroalga hijau lokal dan berpotensi sebagai medium alternatif pertumbuhan massal mikroalga hijau lokal dimasa yang akan datang. Bertoldi, dkk (2006), menyebutkan bahwa alternative media kultur yang telah dievaluasi untuk kultivasi mikroalga diantaranya limbah cair industri dan pertanian, yang mengandung residu kaya akan nutrien dan dapat diubah menjadi nutrisi bagi pertumbuhan biomassa aquakultur. Hu dkk, (2004), juga menyebutkan bahwa beberapa jenis mikroalga hijau seperti Scenedesmus sp. dan Chlorella sp., mampu tumbuh baik dalam limbah cair peternakan, tanpa pengenceran dengan air. Konsentrasi limbah sangat berpengaruh pada pertumbuhan mikroalga hijau, dimana semakin tinggi kepekatan limbah cair peternakan maka pertumbuhan menjadi semakin lambat dan butuh fase pertumbuhan yang lebih lama untuk tumbuh. Penelitian proses aklimatisasi mikroalga hijau lokal selama 14 hari agar mikroalga tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan limbah cair peternakan. Pertumbuhan mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya memerlukan cahaya, karbondioksida, air dan garam anorganik dan suhu antara 20-30 0 C. Pertumbuhan mikroalga hijau membutuhkan karbondioksida sebagai sumber utama pencahayaan dan nutrien. Pertumbuhan mikroalga hijau lokal sangat dipengaruhi oleh masa kultivasi, konsentrasi limbah cair dan siklus pencahayaan. Kandungan biomassa terus meningkat pada siklus cahaya 24 jam dan mulai menurun pada siklus cahaya 12 jam. Berkurangnya pencahayaan dan kandungan nutrien dalam limbah cair sehingga proses fotosintesis berjalan agak lambat dan jumlah biomassa yang dihasilkan lebih sedikit dibandingkan siklus cahaya 24 jam pada konsentrasi limbah cair 100%. Konsentrasi limbah peternakan 100%, mula-mula kandungan bahan organik yang tinggi belum mampu terdegradasi sempurna oleh mikroalga sehingga butuh waktu 5 hari untuk dapat beradaptasi sampai tercapai pertumbuhan biomassa tertinggi pada 15 hari. Kandungan biomassa pada media tumbuh, limbah cair peternakan sangat dipengaruhi oleh siklus pencahayaan dan konsentrasi limbah, dimana pada kondisi pekat 100% limbah dan siklus cahaya 24 jam, mikroalga masih tetap beradaptasi pada kondisi turbiditas tinggi dan mulai tumbuh baik pada hari ke-5. Konsentrasi limbah yang sama dan pencahayaan 8 jam, kandungan biomassa meningkat lebih tinggi dari pada siklus 24 jam. dipengaruhi oleh faktor tingginya kandungan nutrien yang terdapat didalam limbah peternakan sehingga dengan pencahayaan kontinyu mikroalga terus memakan nutrien yang ada sehingga setelah nutrien habis pertumbuhan akan menurun, sedangkan dengan pencahayaan 12 jam mikroalga lokal ini masih dapat beristirahat sambil terus berasimilasi memanfaaatkan nutrien dalam limbah cair peternakan sebagai sumber makanannya.
64
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Penyisihan Nutrien oleh Mikroalga Hijau Limbah peternakan diperoleh dari kolam penampungan limbah peternakan warga diwilayah Kota Banda Aceh dengan ciri fisik berwarna hitam kecoklatan yang mengandung endapan organik berwarna hijau, berbau menyengat dan bercampur antara feses dengan urin ternak. Analisa pH limbah dilakukan beberapa saat setelah pengambilan sampel, dan kemudian dilanjutkan dengan analisa kandungan COD, BOD, dan nutrien berupa ammonium, nitrat dan posfat yang ditunjukkan dalam Tabel 1 berikut. Kandungan pH limbah peternakan berkisar antara 9,1–9,6. Kandungan pH yang tinggi pada limbah cair ini disebabkan oleh kandungan bahan organik dan juga nutrien yang terdapat didalam limbah sehingga dibutuhkan pengolahan terhadap limbah agar aman dibuang ke perairan dan tidak menimbulkan eutrofikasi. Tabel 1. Data karakteristik limbah cair peternakan sebelum perlakuan. Konsentrasi Limbah Peternakan (v/v) Parameter limbah 100 50 25 pH 9,6 9,4 9,0 COD (mg/L) 1120 960 160 BOD (mg/L) 628 471 73 NH4 (mg/L) 1,0 0,62 0,36 NO3 (mg/L) 8,208 4,980 2,700 PO4 (mg/L) 6,836 5,552 6,453
Kontrol 8,2 10 4 0,82 0,622 0,946
Kemampuan mikroalga hijau lokal dalam menyisihkan nutrien yang terkandung dalam limbah cair peternakan dalam bentuk kandungan Amonium, Nitrat dan Posfat. Kandungan pH limbah diukur, sedangkan analisa kandungan nutrien NH4, NO3, PO4 (mg/l), dilakukan dengan cara APHA (2005) sebelum diinokulasi dengan inokulum mikroalga teraklimatisasi. Hasil analisa penurunan nutrien limbah cair peternakan setelah dikultur selama 16 hari, dapat dilihat pada Tabel 2 berikut. Tabel 2. Persen penyisihan limbah cair peternakan setelah kultivasi 16 hari Konsentrasi Limbah Persen Penyisihan Nutrien Kontrol Parameter Peternakan (v/v) limbah LP100 LP50 LP25 (BG-11) LP100 LP50 LP25 (BG11) pH 9,6 9,4 9,0 8,2 9,6 9,4 9,0 8,2 COD (mg/L) 192 80 32 4,8 82,86 91,67 80 50 BOD (mg/L) 0 2 1 1 100 99,68 76,19 75,19 NH4 (mg/L) 0,181 0,139 0,146 0,401 81,9 77,58 59,44 51,1 NO3 (mg/L) ND 0,53 0,274 0,16 ND 89,18 89,85 74,28 PO4 (mg/L) ND ND ND 0,767 ND ND ND 18,92 ND = tidak terdeteksi.
65
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Hasil analisa kandungan nutrien limbah setelah 15 hari kultivasi menunjukkan bahwa parameter COD dan BOD mampu diturunkan sampai 98-100%, sedangkan nutrien nitrat mampu diturunkan oleh kultur mikroalga sampai 89%, kemudian diikuti dengan nutrien Amoniak. Penurunan nutrien Posfat tidak dapat terdeteksi pada sisa media kultur alga 16 hari, sehingga kecenderungan penurunan nutrien jenis Posfat tidak terbaca. Produksi Lipid Mikroalga Hijau Pada Tabel 3 diperlihatkan kemampuan mikroalga teraklimatisasi dalam memproduksi total lipida setelah masa kultivasi 16 hari. Tabel 3. Produksi Total Lipida Mikroalga Hijau setelah masa kultivasi 16 hari Media Kultur Total Lipida (%) Kontrol (BG-11) 35,72 LP100 16,00 LP50 15,12 LP25 38,53
KESIMPULAN 1. Pertumbuhan mikroalga hijau yang diaklimatisasi dan yang tidak diaklimatisasi menunjukkan perbedaan yang nyata pada kurva pertumbuhannya. 2. Kultivasi mikroalga selama 16 hari menunjukkan kemampuan mikroalga teraklimatisasi dalam menurunkan kandungan nutrien Amonium, Nitrat dan Pospat dalam limbah peternakan. 3. Mikroalga hijau yang teraklimatisasi dalam limbah peternakan mampu memproduksi lipid 15-38%. SARAN 1. Perlu dikaji lebih lanjut tingkat pertumbuhan dan penyisihan nutrien dalam limbah peternakan pada faktor-faktor lainnya seperti; intensitas pencahayaan, dan penambahan aerasi karbondioksida terhadap kandungan biomassa dan lipida dari mikroalga hijau. 2. Perlu pengembangan penelitian mikroalga hijau teraklimatisasi untuk metode ekstraksi terbaik sebagai penghasil minyak nabati berkadar asam lemak tinggi yang berpotensi sebagai biodiesel.
66
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
DAFTAR PUSTAKA American Public Health Association (APHA0, (2005), Standards Methods for the Examination of Water and Wastewater, 21st ed.; American Public Health Association: Washington, D.C. Bertoldi, F.C., Sant’Anna, E., da Costa Braga, M.V., and Oliveira, J.G.B., (2006), Lipids, Fatty Acids Composition And Carotenoids of Chlorella Vulgaris Cultivated In Hydroponic Wastewater, Grasas y aceites, 57 (3), 270-274. Bligh, A., Dyer, W.J. (1959), A Rapid Method of Total Lipid Extraction and Purification, Can. J. Biochem. Physiol. 37, 911-917. Hoyle, B.D., Lerner, K.L., Richmond, E., (2003). Algal Blooms in Fresh Water. 1, 2124. Hu, Q., dan Sommerfeld, M., (2004), Selection of High Performance Microalgae for Bioremediation of Nitrate-Contaminated Groundwater, Technical Report for Grant Number 01-HO-GR-0113, School of Life Sciences Arizona State University. Johnson, M. B., (2009), Microalgal Biodiesel Production through a Novel Attached Culture System and Conversion Parameters, Master Thesis of Virginia Polytechnic Institute and State University Lee, S.J., Kim, S. -B., Kim, J.-E., Kwon, G. -S., Yoon, B. -D., and Oh, H. -M.. (1998). Effects of harvesting method and growth stage on the flocculation of the green alga Botryococcus braunii, Letters in Applied Microbiology, 27, 14–18. Metcalf and Eddy, Inc (2004), Wastewater Engineering: Treatment and Reuse, 4th Edition, McGraw-Hill International, New York. Rippka, R., J. Deruelles, J.B. Waterbury, M. Herdman, and R. Y. Stanier. (1979), Genetic Assignments, Strain Histories and Properties of Pure Cultures of Cyanobacteria. J. Gen. Microbiol. 111: 1-61. Sreesai, S., Asawasinsopon, R., and Satitvipawee, P., (2002), Treatment and Reuse of Swine Wastewater, Thammasat Int. J. Sc. Tech., Vol 7. No.1 Tran, H.L., Kwon, J.S., Kim, Z.H., Oh, Y., Lee, C.G., 2010, Statistical Optimization of culture media for growth and lipid production of Botryococcus braunii LB572, J.Biotechnology and Bioprocess Engineering, Vol 15, No.2, pp 277 – 284. Wang, L., Min Min., Li. Y., Chen. P., Chen, Y., Liu, Y., Wang, Y., and Ruan, R., (2009), Cultivation of Green Algae Chlorella sp. in Different Wastewaters from Municipal Wastewater Treatment Plant, Appl Biochem Biotechnol., DOI 10.1007/s12010-009-8866-7 Woertz, I. C., (2007), Lipid Productivity Of Algae Grown On Dairy Wastewater As A Possible Feedstok For Biodiesel, Master Thesis of California Polytechnic University, San Louis Obispo. 67
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
IMPLEMENTASI MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH DI SMA SE KABUPATEN ACEH UTARA Oleh Jalaluddin Munawar Zainal Abidin Suwarja
ABSTRAK Manajemen Berbasis Sekolah merupakan salah satu model manajemen yang memberikan kewenangan yang luas kepada sekolah untuk pengelolaan sekolah sesuai dengan potensi, tuntutan dan kebutuhan sekolah. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah yang dikeluarkan oleh Direktorat Pendidikan Menegah Umum, diungkapkan beberapa indikator yang menjadi karakteristik dari konsep MPBS sekalugus merefleksikan peran dan tanggung jawab masing-masing pihak antara lain sebagai berikut: (1) Lingkungan sekolah yang aman dan tertip; (2) Sekolah memiliki misi dan target mutu yang ibgin dicapai; (3) Sekolah memilki kepemimpinan yang kuat; (4) Adanya harapan yang tinggi dari personil sekolah (kepala sekolah,guru, dan staf lainnya, termasuk siswa) untuk berprestasi; (5) Adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK; (6) Adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administrative, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan dan atau perbaikan mutu; (7) Adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua siswa dan masyarakat. Untuk meningkatkan implementasi manajemen berbasis sekolah di SMA Se-Kabupaten Aceh Utara melalui seminar, pelatihan dan panduan pelaksana manajemen berbasis sekolah. Untuk meningkatkan keharmonisan sekolah dengan masyarakat dalam peningkatan dalam peningkatan mutu sekolah. Komite sekolah harus menjadi mitra sekolah, sehingga sekolah bisa lebih konsentrasi melakukan proses pembelajaran, sedangkan komite sekolah mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh sekolah. Sekolah menyusun rencana kerja tahunan dan rencana kerja empat tahun dengan mengembangkan bidang kurikulum dan pembelajaran, kesiswaan, ketenagaan, sarana dan prasarana, keuangan, peran serta masyarakat dan pelayanan khusus; Sedangkan evaluasi sekolah meliputi, supervisi, evaluasi pembelajaran, evaluasi diri sekolah, dan akreditasi sekolah; Yang menjadi faktor pendukung, Jumlah dan kompetensi guru memadai, komitmen warga sekolah, pembagian tugas guru sesuai dengan kemampuan guru, sarana dan prasaran sekolah memadai. Sedangkan faktor penghambat adalah partisipasi masyarakat belum optimal, kompetensi guru perlu ditingkatkan, dana serta sarana dan prasarana belum mencukupi, hasil evaluasi belum ditindaklanjuti secara benar. Keywords: Manajemen berbasis sekolah, dan mutu pendidikan 68
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
PENDAHULUAN Manajemen Berbasis Sekolah (MBS), merupakan salah satu jawaban dari pemberian otonomi daerah di bidang pendidikan dan telah diundang-undangkan dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidik Nasional Pasal 48 ayat (1) menyatakan bahwa “Pengelolaan dana pendidikanberdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi dan akuntabilitas publik” Sejalan dengan hal diatas, maka pemerintah juga mengeluarkan peraturan pemerintah yang melandasi pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) di satuan pendidikan yaitu, Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 Pasal 19 ayat (1) menyatakan bahwa “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan Manajemen Berbasis Sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”. Desentralisasi pendidikan menawarkan paradigma baru bagi kepala sekolah untuk lebih mandiri dan mengembangkan seluruh sumber daya sekolah menjadi sekolah unggul. Tuntutan tersebut diperkirakan berimplikasi terhadap penyusunan kurikulum dan manajemen sekolah. Perubahan manajemen pendidikan menjadi suatu keniscahyaan, sehingga sekolah-sekolah juga dituntut melakukan perubahan mananjemen agar lulusan sekolah benar-benar berkualitas.Sistem yang sentralistik selama ini telah menghalangi peluang berkembangnya profesionalisme di bidang pendidikan baik faktor pembiayaan pemdidikan yang masih rendah, sumber daya yang kurang memadai, manajemen yang kurang efektif, maupun faktor ekternal yaitu bidang politik, ekonomi, hukum dan iptek yang turut memberikan kontribusi rendahnya mutu pendidikan. Strategi manajemen ini menekan adanya program peningkatan mutu berkelanjutan, ketelibatan orang tua siswa dalam perbaikan sekolah, bidang pengajaran, guru dan pegawai, siswa, keuangan, sarana dan prasarana, hubungan masyarakat. Manajemen Berbasis Sekolah diperkirakan mempunyayi peluang besar dalam mendorong gerakan perbaikan mutu pendidikan dalam era otonomi daerah. Namun pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah sangat tergantung pada mutu sumber daya manusia. Terutama kemampuan kepala sekolah dalam menerapakan ide-ide baru dan perbaikan mutu sesuai dengan ide, tujuan dan fungsi Manajemen Berbasis Sekolah. Hubungan kerja sama antara personil sebagai inti dari proses manajerial yang dilakukan oleh manajer sehingga program kerja organisasi dalam bidang pendidikan dapat terlaksana dengan baik pelaksanaan proses belajar mengajar, administrasi, pembinaan siswa, evaluasi kependidikan dalam rangka efektivitas organisasi pendidikan dengan peningkatan mutu secara berkelanjutan. Manajemen Berbasis Sekolah secara konsepsional akan membawa perubahan terhadap peningkatan kinerja sekolah dalam peningkatan mutu, efesiensi manajemen keungan, pemerataan kesempatan dan pencapaian tujuan politik (demokrasi) suatu 69
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
bangsa lewat perubahan kebijakan desentralisasi diberbagai aspek baik politik, edukatif, administrativ, maupun aggaran pembiayaan pendidikan. Manajemen Berbasis Sekolah selain akan meningkatkan kualitas belajar mengajar dan efisiensi operasional pendidikan, juga tujuan politik terutama demokrasi di sekolah Permadi, (2001:17) Berdasarkan kenyataan tersebut di atas, perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan, salah satunya adalah memberikan otonomi yang luas kepada sekolah untuk pengambilan keputusan secara partisiatif dengan melibatkan masyarakat secara secara langsung. Diyakini bahwa Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) merupakan suatu model Pelaksanaan kebijakan desentralisir bidang pendidikan, sehingga dapat dijadikan suatu konsep inovatif dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Keberhasilan pelaksanaan MBS sangat di tentukan oleh kebijakan dari pemerintah dan juga keterampilan kepala sekolah, guru, dan partisipasi masyarakat. Kepala sekolah, guru, orang tua, dan masyarakat harus mengerti bentuk pengembangan program pendidikan yang tepat dan layak di berikan pada peserta didik, serta dapat merencanakan segala program yang lebih operasional sesuai dengan kebutuhan mereka. Terkait dengan unsur-unsur yang terlibat dan bertanggung jawab terhadap efektifnya MBS di sekolah. Menurut Nurkolis (2003:42) bahwa Manjemen Berbasis Sekolah adalah unsur pokok sekolah memegang kontrol yang lebih besar pada setiap kejadian yang terjadi di sekolah. Unsur pokok sekolah inilah yang kemudian menjadi lembaga non-struktur yang disebut dewan sekolah yang anggotanya terdiri dari guru, kepala sekolah, administrator, orang tua, anggota masyarakat dan murid. Seiring dengan semakin gencarnya tuntutan akuntabilitas para lulusan sebagai salah satu indikator keberhasilan pendidikan, MBS menjadi sekolah target utama penilaian, dan membebaninya dengan serangkaian kewajiban untuk melakukan banyak hal dalam rangka memenuhi segala kebutuhan pendidikan para peserta didik. Semenjak adanya pemberian otonomi kesekolah dengan menerapkan konsep MBS, berbagai permasalahan muncul baik dari segi kesiapan SDM kepemimpinan kepala sekolah, guru, ketersediaan sarana dan prasarana dan partisipasi mayarakat. Permasalahan lain adalah perencanaan analisis SWOT dan strategi yang digunakan dalam melaksanakan MBS di sekolah. TINJAUAN PUSTAKA Siahaan, (2006:31) menyatakan bahwa “dalam model sekolah yang menerapakan pendekatan MPBS dalam pengelolaannya, guru dan staf lainya dapat menjadi lebih efektif karena adanya partisifasi mereka dalam membuat keputusan”. Dengan demikian, rasa kepemilikan terhadap sekolah menjadi lebih tinggi dan 70
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
pengunaan sumber daya pendidikan lebih optimal sehingga diperoleh hasil yang lebih baik. Menurut Fattah (2000:8) Manajemen Berbasis Sekolah adalah sebagai: pengalihan dan pengambilan keputusan dari tingkat pusat sampai ke tingkat sekolah. Pemberian kewenangan dalam pengambilan keputusan di pandang sebagai otonomi di tingkat sekolah dalam pemanfaatan semua sumber daya sehinga sekolah mampu secara mandiri, mampu mengali, mengalokasikan, menentukan piroritas, memanfaatkan, mengendalikan dan mempertanggung jawabkan kepada setiap pihak yang berkepentingan. Mulyasa (2004:41) menyatakan bahwa: “untuk menjamin efektivitas pengembangan kurikulum dan program pengajaran dalam MBS, kepala sekolah sebagai pengelola program pengajaran bersama dengan guru harus menjabarkan isi kurikulum secara lebih rinci dan operasional ke dalam program tahunan, semesteran dan bulanan” Manajemen Berbasis Sekolah diartikan sebagai “model manajemen yang memberikan otonomi atau kemandirian yang lebih besar kepada sekolah”.Sagala, (2006:133) Model manajemen ini mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan langsung semua warga sekolah sesuai dengan standar mutu yang berkaitan dengan kebutuhan sarana dan prasarana, fasilitas sekolah, peningkatan kualitas kurikulum, dan pertumbuhan jabatan guru. Mulyasa (2004 : 33) mengatakan bahwa: Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) atau School Berbasis Manajemen merupakan strategi untuk mewujudkan sekolah yang efektif dan produkif. Hal ini disebabkan dalam konsep MBS, pengambilan keputusan diletakkan pada posisi yang paling dekat dengan pembelajaran yaitu sekolah, meskipun standar pelayanan minimnya ditetapkan oleh pemerintah, akan tetapi sekolah lebih leluasa dalam mengelola sumber daya, sumber dana, sumberbelajardalammengalokasikannya sesuai dengan prioritas kebutuhan di sekolah. Penerapan Manajemen Berbasis Sekolah di jajaran sekolah yang berstatus negeri, memang memerlukan sosialisasi, dari kantor cabang Dinas Pendidikan dan Pengajaran di tingkat kecamatan melalui berbagai upaya seperti: 1. Memberikan penjelasan bahwa telah terjadi perubahan paradigma manajemen pendidikan dari yang bersifat birokratis hirarkis menuju demokratis. 2. Menjelaskan keuntungan yang diperoleh dengan di terapkan Manajemen Berbasis Sekolah. 3. Menjelaskan bahwa Manajemen Berbasis Sekolah adalah salah satu wujud demokratisasi pendidikan di persekolahan. 4. Dengan diterapkan Manajemen Berbasis Sekolah, maka kepala sekolah memiliki wewenang yang besar dalam manentukan berbagai kebijakan sekolah.
71
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
5. Mendorong kepemimpinan kepala sekolah untuk secara terus menerus mempersiapkan diri menerima dan melakukan perubahan sesuai dengan tuntutan masyarakat sebagai penguna jasa lembaga pendidikan. 6. Menyadarkan pengelola atau penyelengara sekolah bahwa masyarakat berhak memiliki akses kesekolah. METODE PENELITIAN a. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk meliput data dalam penelitian, Instrumen penelitian yang diperlukan adalah pedoman wawancara, pedoman observasi dan pedoman dokumentasi. Arikunto (2002:174) mengemukakan bahwa: keberhasilan penelitian kualitatif sangat ditentukan oleh ketelitian dan kelengkapan catatan lapangan yang disusun peneliti. Catatan lapangan disusun berdasarkan hasil pengamatan (observasi), wawancara dan studi dokumentasi. Sedangkan untuk penulisan tesis ini penulis menggunakan pedoman wawancara, pedoman observasi dan pedoman dokumentasi. b. Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan dengan mengikuti prosedur atau langkah-langkah seperti dikemukakan Nasution (1992:126-141), yaitu: (a) reduksi data, (b) display data, (c) kesimpulan, dimana proses berlangsungya secara sirkuler selam penelitian berlangsung. Pada tahap awal pengumpulan data, fokus peneliti masih melebar dan belum tamapak jelas, sedangkan observasi masih bersifat umum dan luas. Setelah fokus semakin jelas maka peneliti mengunakan observasi yang lebih berstruktur untuk mendapatkan data yang lebih spesifik. Penelitian ini dilakukan pada bulan April s.d Oktober pada SMA Negeri 1 Samudra,SMA Negeri Bina Bangsa Lhokseukon, SMA Negeri 1 Matangkuli, SMA Negeri 1 Syamtalira Aron dan SMA Negeri 1 Payabakong semuanya berada pada Kabupaten Aceh Utara yang sudah menerapkan konsep Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Dalam penelitian ini yang menjadi subyek penelitian adalah Kepala Sekolah, Pendidik (Guru), Komite Sekolah dan Tokoh Masyarakat. HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA A. Manajemen Kepala Sekolah Di Kabupaten Aceh Utara MBS telah dilaksanakan mulai sejak 2001 dan sekolah terakhir yang mulai menerapan MBS tersebut adalah pada tahun 2009 yang lalu. Artinya usia MBS di kabupaten Aceh Utara secara teori sudah sangat lama sekali. Namun dengan usianya yang sudah diatas 10 tahun ternyata tidak semua personil sekolah paham akan apa itu MBS, bahkan ada 1 sekolah sampel yang seluruh personilnya tidak tahu MBS. Sosialisasi yang dilakukan oleh para atasan untuk 72
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
memperkenalkan MBS ini hanya berupa pertemuan, dan dimasukkan dalam rapat (100%), tidak ada juknis atau tindakan, apa apa yang harus dilakunkan untuk membantu mengenalkan MBS ini ke staf sekolah. Visi Misi Tujuan Sekolah diketahui oleh semua kepala sekolah, jelas sekali mereka terlibat terlalu banyak dan dinia pendikan. Kekuatan pendukung MBS ini beraneka ragam di sekolah penelitian sampel ini. Visi misi dan tujuan sekolah telah dipahami dan diketahui betul oleh para kepala sekolah karena mereka turut menyusun dan mengoreksinya serta membantu mensosialisasikannya. Kekuatan MBS disekolah sampel berbeda-beda ada yang mengandalkan sarana prasarana, ada juga perangkat pembelajaran. Namun 50% adalah kualifikasi pendidik yang S1 dan mengajar sesuai bidangnya. Kelemahan sebagian besar (70%) berkutat di perilaku masyarakat yang Aceh, tidak mendukung selain pemerintah juga belum maksimal memberikan dana dan menyediakan tenaga pengajar. Bentuk partisipasi masyarakat selain moril dan materil juga keamanan siswa, hadir dalam rapat namun seluruh Kepala Sekolah sepakat bahwa bantuan dalam bentuk biaya (dana) tidak bisa diandalkan dari para masyarakat. Sistem pengelolaan manajemen dan kurikulum dijalankan sesuai standar, tupoksi dan mengacu pada faktor pendukung dan dasar hukum. Kerjasama yang dilakukan oleh para kepala sekolah dan guru dilakukan dengan baik dalam bentuk kerja sama, musyawarah dan dukungan serta kesempatan kepada para guru untuk kreatif dan inovatif. Bentuk kemandirian program kesiswaaan dilakukan dengan cara melibatkan siswa dengan tetap mengacu pada visi missi sasaran dan tujuan sehingga terbentuk PICK, KRR, PMR, OSIS, Seni bahkan unit kewirausahaan. Pengelolaan program dan kurikulum 60% sudah akuntabel, sisanya sedang ditindak lanjuti dan tidak akuntabel. Untuk kuantitas pekerjaannya telah dilaksanakan minimal 70% namun tidak ada yang mencapai 90% lebih. Hal tersebut terjadi karena kemampuan guru, dana, masyarakat yang tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah dan solusi yang diharapkan oleh para kepala sekolah tersebut adalah dengan meningkatkan disiplin, kemampuan guru (SDM) dan siswa serta kepeduliaan dari para stakeholders. Pelaksanaan program dilakukan melalui musyawarah yang dilakukan dengan membentuk MGMP dan menegakkan disiplin, inovasi pendidikan serta masalahmasalah pendidikan juga sering dibahas. Untuk berjalan efektif monev dilakukan dengan memberikan sanksi pada setiap yang melaggar proposal kerja dan meminta pertanggung jawaban penanggung jawab program tersebut. Dan akhirnya hasilnya terjadi peningkatan yang signifikan dan positif, termasuk dalam bidang prestasi akademik dan non akademik. Sekolah dapat menghasilkan siswa yang aktif dan inovatif serta berprestasi dan diterima di PTN.
73
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Selain itu para siswa mewakili sekolah, kabupaten bahkan provinsi untuk berbagai kejuaraan. Seluruh hasil itu tentunya berdampak positif terhadap sekolah walaupun juga menimbulkan ekses negative yaitu tanggung jawab sekolah dalam segala hal menjadi penuh. Namun secara umum hal tersebut tetap memberikan respon yang baik, positif dan menyenangkan bagi kepala sekolah, bahkan tidak merasa MBS ini menganggu kewenangan mereka para kepala sekolah. Untuk kesejahteraan personil juga meningkat, karena ada banyak insentif dan penghargaan bagi para personil yang bermutu kreatif. Mereka pun bereaksi positf dengan semakin bertanggung jawab dan berkompetensi. B. Manajemen Guru dan Personil Sekolah Pola sosialisasi yang dilakukan para kepala sekolah yaitu dengan rapat-rapat rutin maupun briefing pada waktu tertentu. Para guru pun dilibatkan penuh pada penyusunan visi misi tujuan sasaran sekolah dan tentu saja program yang diusulkan dan dijalanakan sudah sesuai dengan keinginan sekolah secara umum dan kearifan lokal (kultur masyarakat) serta melewati tahap SWOT dan didukung oleh transparansi sistem pengelolaan baik manajemen sekolah maupun kesiswaan. Program-program tersebut dilaksanakan dengan jadwal dan waktu yang telah diprediksi sebelumnya, jikapun terjadi perubahan disesuiakan kembali pelaksanaanya dan itu menjadi tanggung jawab masing-masing kepala program. Monev yang dilakukan dalam bentuk pemantauan secara kualitatif dan berjangka 1 bulan. Untuk bidang akademik dan non akademik, sejalan dengan kepala sekolah, seluruh guru sepakat hasilnya sangat meningkat dan membanggakan serta teratur. Tidak ada guru yang tertekan dengan adanya MBS ini, bahkan kesejahteraan personil meningkat karena tersedianya dana lebih dan secara garis besar seluruh guru sepakat MBS ini berdampak positif. C. Komite Sekolah Pola sosialisasi yang diterima komite/masyarakat dalam bentuk rapat (gabungan atau rutin) yang dilakukan oleh sekolah. Serupa dengan guru para komite juga dilibatkan dalam penyusunan visi misi tujuan sasaran sekolah sehingga mereke berpendaapat program-program tersebut secara umum baik, sesuai dan bisa dijalankan. Untuk bidang keuangan, hanya 40% komite yang tahu secara lengkap laporannya, sedangkan sebagian besar tidak tahu tentang laporan keuangan lengkap sekolah tiap tahunnya. Para komite dan masyarakat hanya bisa memberikan bantuan dalam bentuk tenaga, material dan moril, walaupun ada sebagian (20%) memberikan bantuan dana. Walaupun begitu mereka tetap berniat dan ingin bekerjasama dengan tetap mendungkung sekolah, menganalisis kebutuhan sekolah serta ikut dalam setiap rapat yang diadakan. Sedikit kejanggalan, seluruh komite sekolah sepakat adanya 74
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
transparasi di sekolah, padahal sebelumnya mereka menjawab tidak mengetahui secara rinci dana yang masuk dan keluar, terjadi inkosisten pada jawaban ini. Menurut mereka lagi anggaran telah sistematis dan teratur, dapat dipertanggung jawab kan dan dikelola dengan akuntabilitas yang tinggi. Kemandirian penyusunan program dengan membentuk sebuah tim kerja kemudian tim ini diarahkan untuk menyusun dan mengembangkan program sehingga diharapkan hasil yang diharapkan dapat meningkatkam mutu, partisisipatif dan positif. Para komite telah diakomodir dengan pertemuan, Tanya jawab, rapat bahkan dengan kotak saran yang disediakan. Monev dilakan dengan mengajukan pertanyaan, tinjauan langsung, memantau bahkan intervensi secara efektif. Dampak positif dari MBS ini adalah target dan sistem pendidikan lebih dipahami dan diterima oleh masyarakat. Dan secara umum masyarakat dan komite sangat medukung dan memberikan respon positif pada MBS ini. KESIMPULAN 1. Kepala sekolah memiliki peran yang kuat dalam mengkoordinasikan,menggerakkan dan menyerasikan semua sumber daya pendidikan yang tersedia 2. Kepemimpinana kepala sekolah merupakan salah satu faktor yang dapat mendorong sekolah untuk dapat meujudkan visi, misi, tujuan dan sasaran sekolahnya melalui program-program yang dilaksanakan secara terencana dan bertahap. 3. Guru dan komite sekolah secara bersama-sama ikut serta penyusunan manajemen untuk meningkatkan potensi belajar siswa dalam menyusun program perencanaan kegiatan. Kelemahan terlihat dari kemampuan yang dimiliki oleh guru dan komite dalam hal melayani penggunaan sumberdaya sekolah. DAFTAR KEPUSTAKAAN Arikunto, Suharsimi, (2002). Evaluasi Program Pendidikan. Jakarta: Bina Aksara. Bedjo Sujanto, (2007). Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Jakarta: CV. Sagung Seto. Depertemen Pendidikan Nasional, (2001).Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah. Buku 1 Jakarta. Depdiknas. Dedi, Hamid, (2003). Undang-Undang No. 20 tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta: Purat Bahagia. Duhou, Abu Ibtisam, (1999). School Based Management. Jakarta: Logos. Fattah, Nanang, (2000). Manajemen Berbasis Sekolah, Andira, Bandung. Gaffar, (1989), Perencanaan Pendidikan Teori dan Metodelogi. Jakarta: P2LPTK. Huberman, (1992), Analisis Data Kualitatif, Terjemahan Tjetjeb Rohindi, Jakarta: Ui Press
75
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Jalal, Fasli dan Dedi Supriadi, (2001). Reformasi pendidikan dalam konteks otonomi Daerah. Yogyakarta: Adicipta. Mukhtar Dan Suparto, Widodo, (2003). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: CV. Fijamas. Mulyasa. E, (2004). Menjadi Kepala Sekolah yang Profesional. Bandung. PT Remaja Rosda Karya. Mulyasa, E., (2002). Manajemen Berbasis Sekolah Konsep Strategi dan Implementasi, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, Mulyana, Deddy, (2002). Metodelogi Penelitian Kualitatif. Remaja Rosdakarya, Bandung. Moleong, Lexy, J. (2000), Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rordakarya, Bandung. Nasution, (1992) Metode Penelitian Naturalistik-Kualitatif. Bandung : Tarsito. Nurkolis, (2003). Manajemen Berbasis Sekolah. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Nurkolis, (2005). Manajemen Berbasis Sekolah, Jakarta: PT. Grasindo, cet ke 2. Permadi, Dedi, (2001). Manajemen Berbasis Sekolah Dan Kepemimpinan Mandiri Kepala Sekolah, PT. Sara Panca Karya Nusa, Bandung. Satori, Djam’an, (2001). Manajemen Berbasis Sekolah (School Baed Management) Basic Educational Project. Jawa Barat, Bandung. Salisbury, D, F. (1996). Five Technologies For Educational Chage, New Jersey: Educational Technology Publications, Englewood Campany. Sidi, Indra Djati, (2003), Menuju Masyarakat Belajar, Menggagas Paradigma Baru Pendidikan, Paramadina Jakarta. Siagian, Sondang P. (1995). Manajemen Stratejik. Jakarta. Bina Aksara. Siahaan. Dkk, (2006). Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah. Quantum Teaching. Ciputat. Suryadi, Ace, (1998). Manajemen Pendidikan Nasional dalam Kerangka Kemandirian Bangsa. Idepdikbud. Jakarta. Supriadi, dkk, (2001), Reformasi Pendidikan Dalam Kontek Otonomi Daerah, Adcita Karya Nusa,Yokyakarta. Sujanto, Bedjo (2007). Manajemen Pendidikan Berbasis Sekolah, Sagung Seto, Jakarta.
76
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
PENGARUH PEMBERIAN URINE DOMBA (CAPRA SP ) DAN INTERVAL WAKTU PEMBERIAN TERHADAP PERTUMBUHAN VEGETATIF TANAMAN CABAI MERAH ( CAPSICUM ANNUM ) Nurmaya Sari M. Ridhwan Anita Noviyanti ABSTRAK Penelitian tentang pengaruh pemberian urine domba (Capra sp) dan interval waktu pemberian terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicun annum, L), dilaksanakan di Desa Lampeuneuen, Kecamatan Darul Kamal, Kabupaten Aceh Besar mulai pada tanggal 14 Juli 2013 sampai tanggal 8 September 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak pemberian urine domba (Capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum L), untuk mengetahui pengaruh interval waktu pemberian urine domba (Capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum L), untuk mengetahui interaksi dampak pemberian urine domba dan interval waktu pemberian urine domba (capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum L). Penelitian ini dilakukan pada tanaman cabai merah yang telah berumur 4,6,8 minggu. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak kelompok (RAK) Faktorial, terdiri dari 2 faktor dengan 16 kombinasi perlakuan dan 2 ulangan sehingga terdapat 32 plot penelitian dan 1 plot penelitian terdapat 5 polybag. Faktor-faktor yang diteliti terdiri dari faktor perlakuan urine domba dengan simbol”U” terdiri dari 4 taraf yaitu U0 = kontrol, U1 = 100 ml/l air, U2 = 200 ml/l air, dan U3 = 300 ml/l air. Faktor interval waktu pemberian urine domba dengan simbol “I” terdiri dari 4 taraf yaitu I0 = tanpa perlakuan, I1 = 1 minggu sekali pemberian urine, I2 = 2 minggu sekali pemberian urine, dan I3 = 3 minggu sekali pemberian urine. Parameter yang diukur dalam penelitian ini meliputi tinggi tanaman (cm), jumlah daun (helai) dan lebar daun (cm). Pengaruh pemberian urine domba tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman pada umur 4 sampai 6 minggu setelah tanam, dan pada umur 8 minggu setelah tanam berpengaruh sangat nyata. Kata kunci: urine domba, pertumbuhan vegetatif, cabai merah PENDAHULUAN Cabai merah berasal dari benua Amerika bersamaan dengan petualangan Christoper Colombus pada 1492. Colombus yang juga disebut penemu benua Amerika mengetahui bahwa, Suku Indian yang pribumi benua tersebut, ternyata memanfaatkan cabai yang diperkirakan ada sejak tahun 5.000 SM. Colombus lalu membawa tanaman cabai tersebut ke benua Eropa, hingga akhirnya menyebar ke Afrika, hingga Asia termasuk Indonesia. Bertanam cabai merah sebetulnya sudah dilakukan masyarakat Indonesia, baik secara tradisional, semi intensif, maupun intensif.Meski demikian, suplai cabai merah dalam negeri terus mengalami peningkatan. Terutama menjelang musim penghujan, pasokan cabai berkurang yang mengakibatkan harga cabai merah naik berlipat-lipat (Santika, 1999:35).
77
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Negara-negara pengekspor cabai merah yang utama adalah India, Pakistan, Bangladesh, Cina, dan Singapura. Hal ini menunjukkan bahwa cabai merah mempunyai potensi pemasaran baik untuk tujuan domestik maupun tujuan ekspor.Berdasarkan hasil pengamatan, harga cabai merah mencapai puncaknya secara periodik tahunan pada hari-hari besar seperti hari raya (Anonimus, 2000:20). Cabai merah merupakan tanaman perdu dari family terung – terungan yang memiliki nama ilmiah Capsicum sp. Tanaman cabai merah banyak ragam tipe dan pertumbuhan dan bentuk buahnya diperkirakan terdapat 20 spesies yang sebagian besar hidup di Negara asalnya. Masyarakat pada umumnya hanya mengenal beberapa jenis saja, yakni cabai besar, cabai keriting, cabai rawit dan paprika (Anonimus, 2012:12). Buah berkhasiat stimulan, meningkatkan nafsu makan ( stomakik ), perangsang kulit, dan sebagai obat gosok. Cabai merah mengandung antioksidan dan berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan radikal bebas.Kandungan vitamin c yang cukup tinggi pada cabai dapat memenuhi kebutuhan harian setiap orang, namun harus di konsumsi secukupnya untuk menghindari nyeri lambung. Cabai merah juga mengandung Lasparaginase dan Capsaicin yang berperan sebagai zat anti kanker (Novi, 2011:29). Cabai merah ( Capsicum annum, L ) merupakan salah satu komoditas unggulan yang bernilai ekonomis tinggi serta mempunyai prospek pasar yang menarik dan sebagai bumbu masak kaya vitamin A, C serta kalsium yang tinggi. Tanaman ini dapat dibudidayakan di dataran tinggi maupun rendah, di lahan sawah atau pun dilahan kering/tegalan, dan dapat juga di tanam didalam pot atau polybag, tanpa memerlukan persyaratan agroklimat terlalu khusus. Untuk mencegah terjadinya fluktuasi produksindan fluktuasi harga yang sering merugikan petani, maka perlu diupayakan budidaya yang dapat berlangsung sepanjang tahun antara lain dengan cara mengatur pola tanam di masing-masing sentra produksi khususnya di Jawa Barat. Sehingga dapat memenuhi permintaan pasar dan diharapkan harga selalu stabil (Novi, 2011:29). Cabai merah atau Lombok gede ( Jawa ), atau cabe ( Sunda ) adalah jenis buah yang dihasilkan dari pohon yang disebut pohon cabai. Cabai merah mempunyai tinggi pohon sekitar 50 cm. batang pohon cabai merah berwarna hijau, bunga berwarna putih berbentuk terompet.Buah cabai merah berwarna hijau tua jika masih muda dan berwarna merah jika sudah masak.Ukuran cabai merah sedikit lebih besar dibandingkan cabai rawit. Cabai merah berukuran panjang sekitar 6-10 cm. cabai merah dapat tumbuh di daerah dataran rendah dan dataran tinggi.Cabai merah dapat tumbuh subur jika ditanam di lahan gambut yang banyak terdapat humus, tidak tergenang air. Pupuk organik adalah pupuk yang terbuat dari bahan organik atau makhluk hidup yang telah mati. Bahan organik ini akan mengalami pembusukan oleh mikroorganisme sehingga sifat fisiknya akan berbeda dari semula. Pupuk organik termasuk pupuk organik lengkap karena kandungan unsur hara nya lebih dari satu unsur dan mengandung unsur mikro. Pupuk kandang mengandung 3 golongan komponen, yaitu kotoran/sampah, bahkan keluaran padat dari binatang,dan urin. Sifat/keadaan dan konsentrasi relatif dari komponenkomponen ini dalam macam-macam pupuk kandang adalah sangat berbeda, tergantung jenis binatangnya.Cara pemberian makanannya dan pemeliharaan binatang-binatang tersebut.Sisasisa tanaman yang merupakan kotoran pada pupuk kandang biasanya tinggi kandungan 78
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
karbohidrat, terutama selulosa dan rendah kandungan nitrogen maupun mineral.Nitrogen dan mineral terkandung tinggi pada urin dan kandungan karbohidratnya sangat kecil. Pupuk organik cair adalah larutan dari hasil pembusukan bahan-bahan organik yang berasal dari sisa tanaman, kotoran hewan, dan manusia yang terkandung unsur hara nya lebih dari satu unsur. Kelebihan dari pupuk organik cair adalah dapat secara cepat mengatasi defesiensi hara, tidak bermasalah dalam pencucian hara, dan mampu menyediakan hara secara cepat. Salah satu pupuk organic cair adalah urine domba. Urine domba merupakan pupuk olahan yang mengandung hormon auksin yang dapat mempercepat pertumbuhan akar pada perbanyakan tanaman. Urine domba mengandung kadar N 36,90 % sampai 37,31 %, P 16,5 % sampai 16,8 %, dan K sampai 1,27 % (Anonimus,2011:15) Dari uraian diatas maka penulis ingin melaksanakan penelitian dengan judul “Pengaruh Pemberian Urine domba (Capra sp) dan Interval Waktu Pemberian Terhadap Pertumbuhan Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L)’’. Rumusan Masalah Bedasarkan latar belakang masalah diatas yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : a. Bagaimanakah dampak pemberian urine domba (Capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum L)? b. Bagaimanakah pengaruh interval waktu pemberian urine domba (Capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum L)? c. Adakah interaksi antara pemberian urine domba dan interval waktu pemberian urine domba (capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum L)? Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah : a. Untuk mengetahui dampak pemberian urine domba (Capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum L). b. Untuk mengetahui pengaruh interval waktu pemberian urine domba (Capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum L). c. Untuk mengetahui interaksi pemberian urine domba dan interval waktu pemberian urine domba (capra sp) terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum L). Urine Domba sebagai Pupuk Cair Urine domba merupakan pupuk olahan yang mengandung hormon auksin yang dapat mempercepat pertumbuhan akar pada perbanyakan tanaman. Urine domba mengandung kadar N 36,90 % sampai 37,31 %, P 16,5 % sampai 16,8 %, dan K sampai 1,27 % (Anonimus,2011:15). Kandungan hara makro pupuk kandang cair dapat dilihat pada Tabel 1.
79
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Tabel 1. Kandungan Hara Makro Pupuk Kandang Cair Beberapa Jenis Ternak Kandungan Hara Makro % Jenis Ternak
Jenis Kotoran
Nitrogen
Fosfor
Kalium
Kalsium
Kuda
Cair
1,24
0,004
1,26
0,32
Kerbau
Cair
0,62
-
1,34
-
Domba
Cair
1,43
0,01
0,55
0,11
Sapi
Cair
0,52
0,01
0,56
0,007
Babi
Cair
0,31
0,05
0,81
-
Sumber : Sukamto Hadisuwito (1999). Dari tabel di atas dapat terlihat bahwa pupuk kandang cair dari hewan domba memiliki sumber nitrogen (N) terbesar dibandingkan dengan pupuk kandang cair dari hewan yang lain yaitu sebesar 1,43 %, Fosfor sebanyak 0,01%, Kalium sebanyak 0,55%, dan Kalsium sebanyak 0,11%. Selain itu, dalam pupuk kandang cair juga mengandung unsur mikro seperti seng ( ZN ), tembaga ( Cu ), besi (Fe ), molybdenum ( Mo ).Pemberian pupuk kandang cair ini paling baik diberikan pada tanaman yang sedang dalam masa vegetatif dan masa perkembangbiakan. Hadisuwito (2007:34) mengemukakan bahwa, didalam urine domba terdapat dua unsur hara yaitu unsur hara makro dan unsur hara mikro. METODE PENELITIAN Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih cabai merah dan pupuk urine domba. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Polybag, Kayu, Cangkul, Parang, gembor, meteran, papan plang, spidol, kertas, alat tulis, gelas ukur. Rancangan Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK ) Faktorial, terdiri dari 2 faktor dengan 16 kombinasi perlakuan dan 2 ulangan sehingga terdapat 32 plot penelitian. Pelaksanaan Penelitian Adapun pelaksanaan penelitian ini antara lain :
80
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Persiapan Lahan Bersihkan lahan dari rumput liar yang mengganggu, kemudian dicangkul dan diratakan, setelah itu, dibuat plot-plot penelitian dengan ukuran 50 x 50 cm, jarak antar blok 30 cm dan jarak antar barisan 50 cm. Persiapan Benih Cabai Merah Sebelum disemai, benih cabai merah terlebih dahulu direndam dalam air hangat (50°C) atau direndam dengan ZPT Grow Quik (1cc) selama 20 menit untuk mempercepat perkecambahan, pertumbuhan dan menghilangkan hama dan penyakit yang terbawa benih. Pembuatan Persemaian Pada persemaian cabai merah perlu diberikan naugan agar sinar matahari tidak sepenuhnya menyinari tanaman. Naungan dibuat dari tiang bambu seperti para-para dengan tinggi 100 cm bagian timur dan 50 cm bagian barat dan diberi atap penutup dari plastik. Sedangkan untuk lebar dan panjangnya disesuaikan dengan kebutuhan, naungan menghadap Timur-barat. Tinggi bedengan persemaian 20-50 cm dengan lebar 80-100 cm dan panjangnya sesuai kondisi dilapangan. Penanaman Untuk melakukan penanaman cabai merah kedalam polybag/wadah, yang perlu diperhatikan adalah diameter dan kedalaman wadah, hal ini terkait dengan perakaran cabai yang menyebar menembus cukup dalam antara 30-50 cm. Sebelum memindah benih cabai merah kedalam polybag, polybag terlebih dahulu di isi dengan tanah gembur atau topsoil. Setelah itu benih cabai merah yang tumbuh dan memiliki 2 helai daun dapat dipindahkan kedalam polybag yang telah terisi tanah gembur atau top soil dengan kedalaman lubang tanam ± 2 cm. Pemberian Pupuk Urine Domba Pupuk urine domba diaplikasikan pada saat umur tanaman 21 hari. Sesuai dengan taraf perlakuan yaitu tanpa perlakuan, 100 ml/L (air), 200 ml/L (air), 300 ml/L (air). Diaplikasikan dengan cara disiram ketanaman. Pemupukan bertujuan menyediakan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman, dengan pemberian pupuk urine domba, tanaman dapat tumbuh pesat sehingga dapat cepat berbunga dan berbuah (Cahyono, 2003). Pemeliharaan Pemelihaan tanaman dilakukan yaitu penyiraman dilakukan 2 kali sehari (pagi dan sore). Penyiangan dilakukan secara rutin dengan cara dicabut dengan tangan. Pemberantasan hama dan penyakit tanaman cabai merah dilakukan dengan cara menyemprotkan pestisida. Parameter yang Diamati Adapun parameter yang diamati adalah tinggi tanaman, jumlah daun, dan lebar daun. Metode Analisa Data Metode analisa data yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengambil kesimpulan menggunakan model linier yang diasumsikan untuk Rancangan Acak Kelompok ( RAK ) faktorial yaitu dengan ANAVA.
81
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
HASIL DAN PEMBAHASAN Tinggi Tanaman (cm) Dari hasil penelitian setelah di analisa secara statistik menunjukkan bahwa pemberian urine domba memberikan pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 4 sampai 6 minggu setelah tanam, tetapi memberikan pengaruh sangat nyata pada umur 8 minggu setelah tanam. Pada pemberian interval waktu memberikan pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 4 sampai 6 minggu setelah tanam, tetapi memberikan pengaruh sangat nyata pada umur 8 minggu setelah tanam. Interaksi pemberian urine domba dan interval waktu pemberian memberikan pengaruh tidak nyata terhadap parameter tinggi tanaman pada umur 4, 6 dan 8 minggu setelah tanam. Dari hasil penelitian bahwa pemberian urine domba memberikan pengaruh sangat nyata terhadap parameter tinggi tanaman pada umur 8 minggu setelah tanam. Tanaman yang tertinggi dijumpai pada perlakuan U1 yaitu 15,40 cm yang berbeda tidak nyata terhadap perlakuan U0 yaitu 12,43 cm, dan U3 yaitu 15,03 cm berbeda tidak nyata terhadap U2 yaitu 14,15 cm. Sedangkan pada perlakuan U3 berbeda sangat nyata terhadap U0. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa interval waktu pemberian memberikan pengaruh sangat nyata terhadap tinggi tanaman pada umur 8 minggu setelah tanam. Tanaman yang tertinggi dijumpai pada perlakuan I3 yaitu 16,18 cm yang berbeda tidak nyata terhadap perlakuan I2 yaitu 15,73 cm, dan terhadap I1 yaitu 16,00 cm tetapi berbeda sangat nyata I0 yaitu 13,95 cm. Pada perlakuan I2 berbeda tidak nyata terhadap I1, tetapi berbeda nyata terhadap I0 dan I1 berbeda tidak nyata terhadap I0. Jumlah Daun (Helai) Dari hasil penelitian setelah di analisa secara statistik menunjukkan bahwa pemberian urine domba memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun pada umur 4 sampai 6 minggu setelah tanam, tetapi memberikan pengaruh sangat nyata pada umur 8 minggu setelah tanam. Pada pemberian interval waktu memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun pada umur 4 sampai 6 minggu setelah tanam, tetapi memberikan pengaruh nyata pada umur 8 minggu setelah tanam. Interaksi pemberian urine domba dan interval waktu pemberian memberikan pengaruh tidak nyata terhadap parameter jumlah daun pada umur 4, 6 dan 8 minggu setelah tanam. Dari Hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa pemberian urine domba memberikan pengaruh sangat nyata terhadap parameter jumlah daun pada umur 8 minggu setelah tanam. Jumlah daun terbanyak dijumpai pada perlakuan U3 yaitu 7,60 helai berbeda nyata terhadap perlakuan U2 yaitu 7,00 helai dan berbeda nyata terhadap U1 yaitu 7,20 helai berbeda sangat nyata terhadap U0 yaitu 7,10 helai. Selanjutnya dapat dijelaskan bahwa interval waktu pemberian urine domba memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun pada umur 8 minggu setelah tanam. Jumlah daun terbanyak dijumpai pada perlakuan I3 yaitu 7,75 helai yang berbeda tidak nyata terhadap perlakuan I2 yaitu 7,00 helai, dan terhadap I1 yaitu 6,90 helai tetapi berbeda tidak nyata terhadap I0 yaitu 7,30 helai. Sedangkan pada perlakuan I3 berbeda sangat nyata terhadap I0.
82
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Lebar Daun (cm) Dari hasil penelitian setelah di analisa secara statistik menunjukkan bahwa pemberian urine domba memberikan pengaruh tidak nyata terhadap lebar daun pada umur 4 sampai 6 minggu setelah tanam, tetapi memberikan pengaruh sangat nyata pada umur 8 minggu setelah tanam. Pada pemberian interval waktu memberikan pengaruh tidak nyata terhadap lebar daun pada umur 4 sampai 8 minggu setelah tanam. Interaksi pemberian urine domba dan interval waktu pemberian memberikan pengaruh tidak nyata terhadap parameter lebar daun pada umur 4, 6 dan 8 minggu setelah tanam. Hasil penelitian dapat dijelaskan bahwa pemberian urine domba memberikan pengaruh sangat nyata terhadap parameter luas daun pada umur 8 minggu setelah tanam. Lebar daun terbesar dijumpai pada perlakuan U3 yaitu 18,35 cm yang berbeda sangat nyata terhadap perlakuan U2 yaitu 18,00 cm, U1 yaitu 17,55 cm berbeda nyata terhadap U0 yaitu 17,25 cm. Sedangkan pada perlakuan U3 berbeda sangat nyata terhadap U0. Selanutnya dapat dijelaskan bahwa interval waktu pemberian urine domba memberikan pengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun pada umur 8 minggu setelah tanam. Lebar daun terbesar dijumpai pada perlakuan I3 yaitu 18,15 cm yang berbeda tidak nyata terhadap perlakuan I2 yaitu 17,80 cm, I1 yaitu 17,55 cm dan I0 yaitu 17,20 cm. Pada perlakuan I2 berbeda tidak nyata terhadap I1 dan I1 berbeda tidak nyata terhadap I0. Pembahasan Pemberian Urine Domba(Capra sp) terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L) Dari hasil penelitian setelah di analisa secara statistik menunjukkan bahwa pemberian urine domba tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar daun pada umur 4 dan 6 minggu setelah tanam. Perlakuan pemberian urine domba berpengaruh tidak nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar daun pada umur 4 dan 6 minggu setelah tanam. Hal tersebut disebabkan karena pemberian urine domba yang diberikan pada tanaman cabai merah belum dapat dipergunakan secara sempurna karena tanaman cabai merah belum tumbuh dengan sempurna terutama pada pertumbuhan akar di dalam tanah, sehingga nutrisi yang terkandung dalam urine domba belum dapat diserap oleh akar tanaman secara maksimal untuk dipergunakan oleh tanaman dalam meningkatkan pertumbuhan, keadaan tersebut mengakibatkan perlakuan pemberian urine domba memberikan pengaruh tidak nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar daun pada umur 4 dan 6 minggu setelah tanam. Pada umur 8 minggu setelah tanam memberikan pengaruh sangat nyata pada pemberian urine domba terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar daun, hal ini disebabkan karena pupuk urine domba yang diberikan pada tanaman cabai merah mengandung unsur N 36,90 sampai 37,31%, P 16,5 sampai 16,8%, dan K 0,67 sampai 1,27% yang diperlukan oleh tanaman untuk meningkatkan serta mengembangkan pertumbuhan tanaman terutama pertumbuhan vegetatif pada tanaman cabai merah.
83
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Menurut Hadisuwito (2007) menyatakan pemberian pupuk cair paling baik diberikan pada tanaman yang sedang dalam masa vegetatif dan masa perkembangbiakan. Interval Waktu Pemberian Urine Domba(Capra sp) terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L) Dari hasil penelitian setelah di analisa secara statistik menunjukkan bahwa interval waktu pemberian urine domba tidak berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar daun pada umur 4 dan 8 minggu setelah tanam. Interval waktu pemberian urine domba pada tanaman cabai merah memberikan pengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman dan jumlah daun pada umur 4 dan 6 minggu setelah tanam, secara angka terjadi pertambahan tinggi tanaman dan jumlah daun. Setelah di analisa secara statistik menunjukkan perbedaan angka yang tidak terlalu jauh. Hal tersebut disebabkan karena tanaman cabai merah yang diberi perlakuan interval waktu pemberian urine domba masih mengalami adaptasi terhadap lingkungannya. Jumin (2002) menyatakan bahwa, adaptasi adalah proses di mana individu, populasi atau spesies dalam beberapa hal berubah fungsi atau bentuk menjadi lebih baik pada lingkungan yang baru diterimanya. Dalam rangka penyesuaian tersebut biasanya terjadi perubahan fisiologis dan morfologis secara berangsur-angsur. Parameter jumlah daun pada umur 8 minggu setelah tanam memberikan pengaruh nyata pada interval waktu pemberian urine domba. Hal tersebut disebabkan karena pertambahan jumlah daun sangat dipengaruhi oleh sifat genetik oleh tanaman itu sendiri yang tidak dapat dirubah atau dipengaruhi perlakuan yang diberikan. Interval waktu pemberian urine domba juga berpengaruh tidak nyata terhadap parameter lebar daun, pada umur 4 sampai 8 minggu setelah tanam. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya perbedaan laju pertumbuhan dari masing-masing perlakuan sehingga tidak terjadinya perbedaan dalam penyerapan unsur hara dari dalam tanah yang dipergunakan untuk meningkatkan pertumbuhan tanaman. Dengan tidak adanya perbedaan dalam penyerapan unsur hara pada tanaman maka indeks lebar daun (leaf area indeks) tidak berbeda pula guna mendukung proses fotosintesa terhadap unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Interaksi Urine Domba dan Interval Waktu Pemberian Urine Domba(Capra sp) terhadap Pertumbuhan Vegetatif Tanaman Cabai Merah (Capsicum annum L) Dari hasil penelitian setelah di analisa secara statistik menunjukkan bahwa interaksi pengaruh pemberian urine domba dan interval waktu pemberian memberikan pengaruh tidak nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar daun, pada umur 4 sampai 8 minggu setelah tanam. Hal tersebut disebabkan karena antara urine domba dan interval waktu pemberian urine domba sangatlah singkat dalam mempengaruhi pertumbuhan tanaman cabai merah. Dari hasil penelitian yang dianalisis dengan menggunakan metode RAK faktorial pada tingkat signifikan 0,05 dapat disimpulkan bahwa pemberian urine domba (Capra sp) dan interval waktu pemberian terhadap pertumbuhan vegetatif tanaman cabai merah (Capsicum annum), terhadap tinggi tanaman cabai merah, jumlah daun (helai) tanaman cabai merah dan 84
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
lebar daun tanaman cabai merah dengan konsentrasi yang berbeda berpengaruh tidak nyata. Dimana Fhitung lebih besar dari Ftabel (Fhitung > Ftabel). Menurut kriteria analisis varian bahwa apabila nilai Fhitung lebih besar dari Ftabel (Fhitung > Ftabel) maka hipotesis alternatif (Ha) yang diajukan ditolak atau dengan kata lain antar perlakuan terdapat perbedaan yang tidak nyata. KESIMPULAN Dari hasil penelitian setelah dianalisis secara statistik maka dapat diambil beberapa kesimpulan, antara lain: 1. Pada umur 4 sampai 8 minggu setelah tanam pada pemberian urine domba berpengaruh sangat nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar daun. 2. Pada umur 8 minggu setelah tanam pada interval waktu pemberian berpengaruh sangat nyata terhadap parameter tinggi tanaman. 3. Interaksi antara pengaruh pemberian Urine Domba dan Interval Waktu Pemberian memberikan pengaruh tidak nyata terhadap parameter tinggi tanaman, jumlah daun dan lebar daun, pada umur 4 sampai 8 minggu setelah tanam. DAFTAR PUSTAKA Amin. (2010).Klasifikasi Cabai Merah. Jakarta, diakes 18 Februari 2013 dari (http://amintabin.blogspot.com/2010/09/klasifikasi-cabai-merah-capsicumannum.html) Anonimus. (2000).Budidaya Tanaman Cabai. Jawa Barat, diakses 19 Februari 2013 dari (http://www.diperta.jabarprov.go.id) Hadisuwito, S. (2007). Membuat Pupuk Kompos Cair. Jakarta: PT Agro Media Pustaka Nawangsih. (2001).Klasifikasi Cabai Merah. Jakarta: PT Mitratani Mandiri Perdana Pracaya. (1994). Bertanam 30 Jenis Sayuran. Jakarta: Swadaya Sastrosupadi. (2000).Perancang Percobaan. Jakarta: Rajawali Sumarni, N dan A. Muharam. (2005). Budidaya Cabai Merah. Paduan Teknis PPT Cabai Merah. Widodo. (2002).Teknologi Budidaya Cabai. Lampung, diakses 18 Februari 2013 Dari ( http://lampung.litbang.deptan.go.id ) Djuarnani, N., Kristian, dan Budi S.S.(2004). Cara Cepat Membuat Kompos. Jakarta : PT Agromedia pustaka. Setiadi. (1999). Menanam Cabai Merah. Jakarta : Diakses 18 Februari 2013 dari (http://Setiadi.com/menanam-cabe) Widodo. (2002). Teknologi Budidaya Cabai. Jakarta : Diakses 18 Februari 2013 dari (http://Lampung.litbang.deptan.go.id)
85
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
PENGARUH PRESTASI MICRO TEACHING TERHADAP PRESTASI PPL MAHASISWA PENDIDIKAN EKONOMI UNIVERSITAS SERAMBI MEKKAH BANDA ACEH Rita Hermina Anwar
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui deskripsi prestasi micro teaching dan deskripsi prestasi PPL mahasiswa Pendidikan Ekonomi serta untuk mengetahui pengaruh prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh. Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah data-data mengenai prestasi micro teaching dan prestasi PPL mahasiswa Pendidikan Ekonomi, sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah kepala bagian pengajaran, staf pengajaran, dan mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh. Teknik pengumpulan data adalah penelitian kepustakaan dan penelitian lapangan dengan cara dokumentasi, sedangkan teknik analisis data dilakukan dengan pendekatan kuantitatif dan mengunakan software SPSS versi 16. Berdasarkan pembahasan, diperoleh nilai koefisien korelasi (r) = 0,441 dimana nilai tersebut menjelaskan adanya pengaruh antara prestasi micro teaching dengan prestasi PPL. Koefisien determinasi (r2) dengan nilai sebesar 0,195 menunjukkan bahwa 19,5% prestasi micro teaching yang mempengaruhi prestasi PPL sedangkan selebihnya 80,5% prestasi PPL dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini. Dari hasil pengujian data diperoleh nilai thitung sebesar 2,603 sementara ttabel pada tingkat dk = n-2 (dk = 28) dengan taraf signifikan 5% adalah sebesar 1,701. Dengan demikian nilai thitung lebih besar dari ttabel (2,603 ≥ 1,701) sehingga hipotesis dalam penelitian ini yang menyatakan ada pengaruh antara prestasi micro teaching dengan prestasi PPL mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh diterima (H0 ditolak dan H1 ditrima). Dilihat dari terdapatnya pengaruh antara prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL, maka hendaknya guru mengajarkan cara mengaplikasikan konsep mengajar dengan sungguh-sungguh. Kata-kata Kunci : Microteaching, PPL. PENDAHULUAN Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) sebagai salah satu fakultas dari suatu perguruan tinggi Universitas Serambi Mekkah (USM) yang menyelengarakan pendidikan calon guru yang profesional. Di mana pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam kehidupan manusia, sebab pendidikan merupakan salah satu proses pembentuk manusia untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada. Kompetensi profesional seorang guru (Uno, 2007:18) adalah seperangkat kemampuan yang harus dimiliki oleh seorang guru agar ia dapat melaksanakan tugas mengajarnya dengan berhasil. Guru merupakan suatu profesi, yang berarti suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru dan tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang diluar bidang pendidikan. Walaupun pada kenyataannya masih terdapat hal-hal tersebut diluar bidang kependidikan. Kalau diperhatikan secara lebih seksama, baik guru maupun peserta didik, 86
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
mempunyai peranan yang sama penting dalam mewujudkan kegiatan belajar mengajar di kelas. Dalam upaya perwujudan kegiatan belajar mengajar, maka guru dan siswa adalah manusia yang pada hakikatnya merupakan makhluk yang sama. Perbedaanya terletak pada fungsi dan peranan masing-masing. Guru bukanlah orang yang serba mengetahui, dan siswa bukanlah orang yang serba tidak tahu. Guru mempunyai kelebihan tertentu yang harus digunakan untuk membelajarkan siswa. Guru dan peserta didik keduanya adalah manusia yang menjadi fokus dari strategi belajar mengajar. Guru secara individual sebagai pihak yang menyampaikan ilmu dan siswa secara individual melakukan kegiatan belajar untuk membentuk selfoncept bagi dirinya sendiri. Usaha-usaha meningkatkan keguruan tenaga profesinya dibidang keguruan ini sebetulnya sudah ada sejak lama dan berbagai lembaga pendidikan guru, termasuk IKIP dan FKG/FKIP dilingkungan universitas. Hanya mungkin model dan caranya berbeda. Oleh karena itu, guru merupakan profesi utama yang menjadi lapangan kerja bagi lulusan FKIP. Untuk mempersiapkan calon guru yang berkompetensi sebagaimana disebut diatas, kiranya tidak cukup bila calon guru yang hanya dibekali materi yang bersifat teoritas saja, mengingat tugas utama guru adalah mengajar oleh karena itu, di FKIP ada program pengalaman lapangan yang merupakan kegiatan praktik mengajar disekolah-sekolah. Sehubungan dengan ini, Asril (2010:91) mengatakan bahwa Program Pengalaman Lapangan (PPL) merupakan muara dan aplikasi dari seluruh materi yang diterima peserta didik dari selama mengikuti pembelajaran dibangku kuliah. Sebelum mahasiswa terjun untuk mengikuti PPL, langkah pertama yang harus diambil adalah latihan mengajar yang disebut dengan Micro teaching. Micro teaching merupakan syarat mutlak bagi calon guru untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman berdiri di depan kelas dan melatih kemampuan bertindak sebagai administrator pendidikan, baik disekolah maupun diluar sekolah. Pembelajaran mikro bagi setiap calon guru sebagai bekal persiapan menghadapi praktik lapangan. Calon guru dilatih untuk menunjukkan keaktifan dan kemampuannya sebagai guru, baik kepada para teman seprofesi, dan dosen pembimbing. Perlu ditambahkan bahwa mungkin sekali calon guru yang melakukan real class room teaching akan membawa akibat yang cukup fatal dalam rangka memenuhi maksud proses belajar mengajar. Dikatakan oleh Brown dalam buku interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar (Sadirman, 2007:182), bahwa mahasiswa calon guru yang sedang praktek mengajar senantiasa akan membelajarkan siswa-siswanya (siswa belajar sesuatu pengetahuan) dan sekaligus ia sendiri belajar mengajar. Dengan demikian kalau calon guru harus langsung berhadapan dengan 30 siswa atau lebih, untuk menyampaikan pesan atau misi satuan pelajaran yang padat dan komplek, maka akan dirasakan sebagai beban yang berat. Oleh sebab itu, mata kuliah Micro teaching adalah mata kuliah yang wajib lulus bagi mahasiswa S1 kependidikan. Karena melalui mata kuliah ini mahasisiwa dibekali keterampilan mengajar dilapangan. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka penulis tertarik untuk mengdakan penelitian dengan judul “Pengaruh Prestasi Micro Teaching Terhadap Prestasi PPL Mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh”. Tujuan penelitian Berdasarkan uraian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah: a. Untuk mengetahui prestsi micro teaching mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Tahun Akademi 2011/2012. 87
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
b. Untuk mengetahui prestasi PPL mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Tahun Akademi 2011/2012. c. Untuk mengetahui pengaruh prestasi Micro teaching terhadap prestasi PPL di Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh.
TINJAUN PUSTAKA Pengajaran Mikro dalam Proses Pendidikan Guru Robert F. Schuck dalam buku Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi (Hamalik, 2002:151) membahas perihal konsep pengajaran mikro, proyek pendidikan guru Stanford pengembangan keterampilan dalam pengajaran mikro, program Universitas Brigham young, study the san Juse State College, dan suatu assessment. Pendidikan melakukan fungsinya melalui tiga cara, atau proses pendidikan memiliki tiga dimensi, Hamalik (2002:151) yakni: a. Dimensi substantif, tentang apa yang diajarkan. b. Dimensi tingkah laku, tentang bagaiman mengajar atau dinamika pembuatan mengajar belajar. c. Dimensi lingkungan, keadaan lingkungan secara fisik dimana berlangsung belajar. Ketiga dimensi ini telah disusun dalam bentuk model konseptual (model proses pendidikan) oleh Lawrence Downey dalam buku Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi (Hamalik, 2002:151) sebagaimana tertera dibawah ini. Sejak bertahun-tahun lamanya orang terlibat dalam proses pendidikan guru, dengan maksud menemukan metode yang paling efektif dan efisien dalam rangka mempersiapkan calon guru yang sanggup mengemban peranan profesionalnya. Pengembangan dalam bidang teknologi telah membantu membuka dimensi baru dalam pendidikan guru dengan digunakannya pengajaran mikro. Hubungan Pembelajaran Mikro dengan Program Pengalaman Lapangan Pembelajaran mikro bukan pengganti praktik lapangan, melainkan bagian dari program penglaman lapangan yang berusaha untuk menimbulkan, mengembangkan serta membina keterampilan-keterampilan tertentu dari calon-calon guru dalam menghadapi kelas. Sehubungan dengan hal tersebut diatas berikut ini dikemukakan beberapa alternatif yang dapat menggambarkan kedudukan program pengajaran mikro dalam ruang lingkup program pengalaman lapangan, dapat dilihat dalam bagan 2.2 berikut : Pembelajaran Mikro dan PPL (Alternatif 1) Observasi kegiatan/proses belajar mengajar dalam kelas dan diskusi
Melaksanakan micro teaching
Praktik mengajar real class room teaching
88
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Gambar 2.2 Bagan Pembelajaran Mikro dan PPL Alternatif 1 Sumber: Asril, Micro teaching (2010:56)
Pembelajaran Mikro dan PPL (Alternatif 2)
Class room teaching
Observasi proses pembelajaran dalam kelas
Melaksanakan micro teaching Praktik mengajar (real class room teaching)
Gambar 2.3 Bagan Pembelajaran Mikro Dan PPL Alternatif 2 Sumber: Asril, Micro teaching (2010:57) Pemilihan dua alternatif diatas dapat dilakukan antara lain berdasarkan latar belakang pendidikan/pengalaman dari peserta didik/mahasiswa. Umpamanya bagi mahasiswa yang berasal dari SMA diharuskan memilih alternatif I, sedangkan dari SPG memilih alternatif II yang manapun dipilih, haruslah tetap mengikuti prinsip yang sama yakni latihan-latihan keterampilan terbatas yang dilakukan secara terisolasi dalam pengajaran mikro haruslah dilatihkan kembali secara interaksi dalam real class room teaching. Sebagai bagian dari program pengalaman lapangan pengajaran mikro perlu ditempatkan pada kedudukan organisasi pengelolaan pengalaman lapangan yang terdapat di LPTK. Agar pengelolaan pengajaran mikro tersebut dapat terlaksana dengan baik, diperlukan staf yang mempunyai keahlian yang berbeda-beda antara lain: a. Pimpinan, yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan serta kerja dari unit pengajaran mikro, serta bertanggung jawab dalam mengadakan hubungan demi kelancaran pelaksanaan mikro dikenal dengan UPT-PLL.
89
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
b. Staf teknisi, menangani dan bertanggung jawab terhadap alat-alat yang diperlukan dalam pengajaran mikro. c. Staf peneliti atau ahli, mengadakan penelitian guna mengembangkan program pengajaran mikro. d. Staf dosen pembimbing (supervisor atau dosen pembimbing lapangan), membimbing calon guru yang sedang melaksanakan pengajaran mikro. Salah satu kemungkinan tentang hal diatas, diberikan ilustrasi bagaimana struktur dan organisasi pengelola program pengalaman lapangan dalam kegiatannya dengan pengajaran mikro sebagai tergambar pada bagan 2.4.
Pembelajaran Mikro dan Pengelolaan PPL Lembaga pengelola program pengalaman
Unit media
Staf teknis
Unit pengajaran
Staf penelliti
Unit sekolah
Supervisor dosen pem. Guru Pamong
mahasiswa
Gambar 2.4 Bagan Pengajaran Mikro Dalam Pengelolaan PPL Sumber: Asril, Micro teaching (2010:59) METODE PENELITIAN Objek dan Subjek Penelitian Adapun yang menjadi objek dalam penelitian ini adalah data-data mengenai prestasi micro teaching dan prestasi PPL mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh, sedangkan subjek dalam penelitian ini adalah kepala bagian pengajaran, staf pengajaran, dan mahasiswa Pendidikan Ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh. Teknik Pengumpulan Data 90
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Untuk memilih data yang konkret tentang masalah yang diteliti maka penelitian menggunakan metode kuantitatif. Teknik Analisis Data Setelah data terkumpul melalui hasil penelitian dengan menggunakan dokumentasi kemudian data diolah dengan menggunakan metode statistik yaitu dengan menggunakan rumus statistik regresi linier sederhana dan korelasi yang diolah melalui komputer dengan mengunakan software SPSS versi 16. Selanjutnya untuk menguji hipotesis diterima atau ditolak maka diuji dengan uji-t , rumusnya:
t hitung =
r n−2 1− r 2
HASIL PENELITIAN DANPEMBAHASAN Hasil Penelitian Berikut ini penulis memaparkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh pada tanggal 24-25 juli 2012. Dalam mengolah data penelitian langkah yang diambil yaitu dengan mengumpulkan data dokumentasi dari pengajaran pendidikan ekonomi. Langkah berikutnya data-data yang telah diambil dimuat dalam table. Analisis variabel micro teaching tergolong dalam kategori baik, hal ini dapat dilihat dari perolehan nilai rata – rata keseluruhan sebesar 77 yang berada diantara rentang interval 71 – 85. Analisis variabel PPL tergolong dalam kategori baik, hal ini dapat dilihat dari perolehan nilai rata – rata keseluruhan sebesar 77 yang berada diantara rentang interval 71 – 85. Analisis Regresi, Determinasi, dan Korelasi 1. Analisis Regresi Analisis regresi linier memperlihatkan berapa banyak perubahan nilai micro teaching terhadap nilai PPL. Langkah pertama dengan mencari nilai a.
∑ Y (∑ X ) − ∑ X (∑ XY ) n∑ X − (∑ X ) n∑ X Y − (∑ X ) ( ∑ Y ) b= n ∑ X − (∑ X ) 2
a=
2
i
i
2
i
2
i
i
2
i
Tabel 1. Coefficientsa Unstandardized coefficients B Std. Error 1 (constant) 11.752 46.319 Micro teaching 0.152 0.396 Sumber: Perhitungan SPSS Model
Standardized coefficient Beta 0.441
t 3.941 2.603
Sig 0.000 0.015
91
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Setelah kita mendapatkan nilai a dan b dari pengolahan data maka kita mendapatkan persamaan linear yang menunjukkan pengaruh antara prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL mahasiswa pendidikan ekonomi Universitas Serambi Mekkah dengan rumus: Y = 46,319 + 0,396X Dari persamaan regresi diatas, diketahui bahwa nilai konstanta (a) sebesar 46,319 dan nilai koefisien regresi (b) sebesar 0,396, artinya ketika prestasi micro teaching meningkat sebesar satu satuan, maka prestasi PPL akan meningkat sebesar 0,396 karena koefisien regresi bertanda positif. 2. Analisis Determinasi Untuk mencari pengaruh antara varaibel prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL maka kita harus menghitung nilai koefisien determinasi. Tabel 2. Model Summaryb Model
R
Adjusted R Square
R Square a
1 0.441 0.195 Sumber: Perhitungan SPSS
Std. Error of the Estimate
0.166
3.34660
Nilai koefisien determinasi r2 = 0,195 ini menunjukkan bahwa prestasi micro teaching memiliki pengaruh sebesar 19,5% terhadap prestasi PPL. Sedangkan 80,5% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini. 3. Analisis Korelasi Untuk mencari pengaruh antara variabel prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL maka kita harus menghitung nilai korelasi.
r=
n.∑ X i Y − (∑ X i )(∑ Yi )
{n.∑ X (∑ X ) (n.∑ Y 2
2
i
i
2
i
− (∑ Yi ) 2 )}
Tabel 3 Correlations PPL Pearson Correlation PPL Microteaching
Microteaching
1.000
0.441
0.441
1.000
.
0.007
Sig. (1-tailed)
PPL
N
Microteaching PPL
0.007 30
. 30
Microteaching Sumber: Perhitungan SPSS
30
30
92
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
Tabel diatas menunjukkan bahwa pengaruh antara prestasi micro teaching dengan prestasi PPL sebesar 0,441 atau 44,1%, sedangkan 55,9% pengaruh antara PPL dengan variabel lain. Selanjutnya untuk menguji hipotesis diterima atau ditolak maka diuji dengan uji-t sebagai berikut:
t hitung =
r n−2 1− r 2
Tabel 4.6. Coefficientsa Unstandardized coefficients B Std. Error 1 (constant) 46.319 11.752 Micro teaching 0.396 0.152 Sumber: Perhitungan SPSS Model
Standardized coefficient Beta 0.441
t 3.941 2.603
Sig 0,000 0,015
Berdasarkan perhitungan yang telah diselesaikan diatas, maka nilai penelitian yang didapat yaitu thitung = 2,603, untuk membandingkan dengan ttabel maka dicari dahulu derajat kebebasan dengan mengunakan rumus:
dk = n − 2 dk = 30 − 2 dk = 28 Harga t dengan signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan 28 dari tabel distribusi diperoleh ttabel = 1,701 sedangkan thitung = 2,603. Sehingga dapat disimpulkan bahwa thitung lebih besar dari ttabel (2,603 > 1,701). Ini menunjukkan bahwa H0 ditolak dan H1 diterima. Pembahasan Analisis korelasi digunakan untuk mengetahui pengaruh antara prestasi micro teaching terhadap presatasi PPL, sehingga diperoleh gambaran tentang keeratan pengaruh antara prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL, sedangkan untuk mengetahui seberapa besar faktor antara prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL digunakan hasil perhitungan koefisien determinasi (r2), interprestasi hasil perhitungan diatas diperoleh hasil koefisien korelasi (r) sebesar 0,441. Hal ini menunjukkan pengaruh agak rendah antara variabel X (prestasi micro teacing) dan variabel Y (prestasi PPL). Nilai koefisien korelasi yang agak rendah tersebut menunjukkan pengaruh antara prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL, sehingga diperoleh gambaran pengaruh antara prestasi micro teaching terhadap prestasi PPL. Selanjutnya dengan mengunakan hasil perhitungan koefisien determinasi (r2) diperoleh hasil sebesar 0,195 ini berarti bahwa prestasi micro teaching dapat mempengaruhi prestasi PPL sebesar 19,5%. Sedangakan sisanya sebesar 80,5% (100-19,5%) dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini. Dari hasil perhitungan diperoleh thitung = 2,603 pada taraf signifikan α = 0,05 dengan derajat kebebasan (30-2) = 28 maka diperoleh ttabel sebesar 1,701. Dengan demikian thitung > ttabel yaitu 2,603 > 1,701 maka Ho ditolak H1 diterima, sehingga hipotesis yang berbunyi 93
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
“diduga prestasi micro teaching berpengaruh terhadap prestasi PPL mahasiswa pendidikan ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh”. Sesuai dengan hasil penelitian. KESIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan penelitian dapat disimpulkan bahwa: 1. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai koefisien korelasi (r) = 0,441 dimana nilai tersebut menjelaskan adanya pengaruh antara prestasi micro teaching dengan prestasi PPL. Sementara itu koefisien determinasi (r2) yang diperoleh dengan nilai sebesar 0,195 menunjukkan bahwa 19,5 % prestasi micro teaching yang mempengaruhi prestasi PPL, sedangkan sisanya sebesar 80,5% dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak dijelaskan dalam penelitian ini. 2. Adanya pengaruh yang signifikan antara variabel prestasi micro teaching dengan prestasi PPL mahasiswa pendidikan ekonomi Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh. Hal ini dibuktikan dari hasil perhitungan thitung > ttabel yaitu thitung sebesar 2,603 sedangkan ttabel sebesar 1,701 pada taraf signifikan 5% dan dk = 28. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (2006), Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta. PT Rineka Cipta Asril, Zainal. (2010), Micro teaching. Jakarta. Raja Wali Pers. Gulo. (2002), Strategi Belajar Mengajar, Jakarta. PT Gramedia Widiasarana Indonesia Hamalik, Oemar. (2002), Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi. Jakarta. PT Bumi Aksara Jl Sawo Raya No 18. Hasibuan, J. J, dan Moedjiono. (2006), Proses Belajar Mengajar. Bandung. PT Remaja Rosdakarya. Kristanti, Pramonilya. (2011), Pengaruh Prestasi Perencanaan Pengajaran Akutansi dan Micro Teaching Terhadap Prestasi Mahasiswa Program Pengalaman Lapangan Jurusan Pendidikan Akutansi 2007. Universitas Muhammadiyah Surakarta Roestiyah. (2001), Strategi Belajar Mengajar. Jakarta. PT Rineka Cipta. Rohani, Ahmad. (2004) Pengelolaan Pengajaran Edisi Revisi. Jakarta PT. Rineka Cipta Sardiman. (2007), Interaksi Dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta. PT Raja Grafindo Persada. Sukmadinata, Nana Syaodih. (2010), Metode Penelitian Pendidikan, Bandung. PT Remaja Rosda Karya. TIM UPT-PPL USM. (2012), Buku Pedoman Pelaksanaan Program Pengalaman Lapangan FKIP-USM, Banda Aceh. UPT-PPL USM Uno, Hamzah. (2007), Profesi Kependidikan, Jakarta. PT Bumi Aksara Usman dan akbar. (2006), Pengantar Statistika, jakarta. PT Bumi Aksara
94
Serambi Akademica Vol. I No. 2, November 2013
ISSN : 2337 – 8085
95