ISSN 1693-4849
JURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 10
NOMOR 1
SEPTEMBER 2011
•
Hasil Belajar Siswa Pada Materi Bangun Ruang Melalui Pendekatan Realistik (Suatu Penelitian Pada Anak Kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar) Muhammad Isa (1 – 13 )
•
“Model Project Citizen Untuk Meningkatkan Kecakapan Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Mengembangkan Sikap Nasionalisme” Hafid Maksum
(14 - 19)
•
Efektifitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Tai Teams Assisted Individualization ) Dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas XI Pada Materi Hidrolisis Garam Di SMTI Negeri Banda Aceh Mariati (21 - 25)
•
Pelaksanaan Supervisi Klinis Dalam Meningkatkan Profesional Guru Pada Sma Negeri 1 Ingin Jaya Kab. Aceh Besar Musriadi dan Agus Jumaidi
(26 – 41)
Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam M en in g k at kan K i n er j a Gu r u Pada MTSN 1 Lhokseumawe Jalaluddin
( 42 – 46 )
Landasan Filosofis dalam Pendidikan Irwansyah
(47 – 60)
•
•
Diterbit Oleh FKIP Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu
Volume 10
Nomor 1
Hal 1 - 60
Banda Aceh September 2011
Hasil Belajar Siswa Pada Materi Bangun Ruang Melalui Pendekatan Realistik (Suatu Penelitian Pada Anak Kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar) Oleh Muhammad. Isa, * Abstrak : Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada yang lalu. Yang dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau kongret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan dalam hal ini disebut juga kehidupan seharihari. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa melalui pendekatan realistik pada anak kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar yang tersebar dalam tiga kelas paralel. Berdasarkan hal tersebut penulis tetapkan satu kelas sebagai kelas eksperimen yaitu kelas VIII-2 dengan jumlah siswa 40 orang dan satu kelas sebagai kelas kontrol yaitu kelas VIII-3 dengan jumlah siswa 39 orang. Hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan realistik lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang diajarkan tanpa menggunakan pendekatan realistik pada bangun ruang di SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar. Kata Kunci : Prestasi, Pendekatan Realistik, Materi, Bangunan Sebagaimana tercantum dalam kurikulum matematika sekolah bahwa tujuan diberikannya matematika antara lain agar siswa mampu menghadapi perubahan keadaan di dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur dan efektif. Hal ini jelas merupakan tuntutan yang sangat tinggi yang tidak mungkin di capai hanya melalui hafalan, latihan pengerjaan soal yang bersifat rutin, serta proses pengerjaan soal yang biasa. Untuk menjawab tuntutan tujuan yang demikian tinggi maka perlu di kembangkan materi serta proses pembelajarannya yang sesuai. Berdasarkan teori belajar yang di kemukakan Gagne (1970), bahwa "keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat di lakukan melalui pemecahan masalah''. Suryuadi dkk. (1999) dalam surveinya tentang Current situation on matematics and science education in Bandung'', antara lain menemukan bahwa pemecahan masalah matematika merupakan salah satu kegiatan matematika yang dianggap penting baik oleh para guru maupun siswa di semua tingkatan mulai dari Sekolah Dasar sampai SMU. Sehubungan dengan pemecahan masalah (Problem Solving), National Council of Teachers of Mathematics (NCTM, 2000) Menyatakan bahwa pembelajaran matematika sekolah harus mengupayakan agar siswa dapat (1) membangun pengetahuan matematika melalui pemecahan masalah, (2) memecahkan masalah yang muncul
dalam konteks matematika dan konteks yang lain, jadi pembelajaran matematika di sekolah perlu mengupayakan agar siswa mempunyai kemampuan memecahkan masalah dan menjadi pemecah masalah yang baik. Salah satu karakteristik matematika mempunyai objek yang bersifat abstrak. Sifat abstrak ini menyebabkan banyak siswa mengalami kesulitan dalam matematika. Rendahnya prestasi matematika siswa di sebabkan oleh faktor siswa yaitu mengalami masalah secara konfrehensif Abidin (1989:5) menyatakan bahwa pemecahan masalah dapat membentuk sikap positif pada diri siswa untuk dapat mengambil keputusan yang tepat dalam situasi tertentu. Menurut NCTM (2000: 335), Pemecahan masalah mempunyai dua fungsi dalam pembelajaran matematika. Pertama Pemecahan masalah adalah alat penting mempelajari matematika. Banyak konsep matematika yang dapat dikenalkan secara efektif kepada siswa melalui pemecahan masalah. Kedua pemecahan masalah dapat membekali siswa dengan pengetahuan dan alat sehingga siswa dapat memformulasikan, mendekati, dan menyelesaikan masalah sesuai dengan yang telah mereka pelajari di sekolah. Sebagai implikasinya, maka siswa harus diberi kesempatan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan dan strategi-strategi pemecahan masalah.
Media pembelajaran matematika merupakan alat untuk mengoptimalkan hasil belajar siswa dalam matematika terutama dalam proses pemecahan masalah, selain itu alat peraga dapat lebih membantu siswa agar tidak bosan saat belajar dan lebih terfokus pada masalah yang sedang di pecahkan. Penggunaan alat peraga yang tepat diperlukan agar siswa dapat memahami konsep abstrak pada konsep yang diajarkan. Alat peraga pengajaran diperlukan dalam pembelajaran matematika umumnya dan pada bangun ruang khususnya. Bangun Ruang merupakan sub konsep dari geometri yang berhubungan dengan bentuk dari benda yang mempunyai panjang, lebar dan tinggi sebagai unsur-unsurnya. Hal ini menyebabkan timbulnya kesulitan dalam mengongkritkan sifat-sifat abstrak dalam imajinasi siswa. Siswa juga tidak bisa mengkaitkan persoalan bangun ruang ke dalam persoalan sehari hari. Dan siswa juga tidak bisa menyelesaikan persoalan bangun ruang ke penyelesaian Problem Solving. Berdasarkan permasalahan di atas penulis ingin mengetahui apakah melalui pendekatan realistik bisa meningkatkan pemahaman konsep-konsep kesebangunan dan simetri lipat pada anak. Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Hasil Belajar Siswa Pada Materi Bangun Ruang Melalui Pendekatan Realistik (Suatu Penelitian Pada Anak Kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar). Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Apakah ada peningkatan prestasi belajar siswa pada materi bangun ruang melalui pendekatan matematika realistik di kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar? Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peningkatan prestasi belajar siswa melalui pendekatan realistik pada anak kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar. Manfaat Penelitian a. Sebagai masukan bagi guru, dengan dilaksanakannya penelitian ini guru dapat dengan baik menilai bagaimana pendekatan realistik ini lebih tepat untuk meningkatkan prestasi belajar siswa. Serta dapat memberikan pembelajaran baru dalam dunia pendidikan. b. Sebagai masukan bagi siswa, penelitian ini akan bermanfaat bagi siswa untuk
meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi bangun ruang, serta dapat meningkatkan proses belajar mengajar yang baik. c. Manfaat bagi lembaga terkait dan sekolah, dengan dilaksanakannya penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi Kepala Sekolah dan guru Bidang studi Matematika SMP Negeri 1 Kuta Malaka dalam perbaikan mengajar ke arah yang lebih baik. Anggapan Dasar dan Hipotesis Anggapan dasar adalah sesuatu hal yang diterima sebagai landasan berpikir. Arikunto (2006:65) menyatakan bahwa “Anggapan dasar atau asumsi adalah sesuatu hal yang diyakini kebenarannya oleh peneliti harus dirumuskan secara jelas. Anggapan dasar ini merupakan landasan teori di dalam pelaporan hasil penelitian nanti”. Adapun anggapan dasar dalam penelitian ini adalah model pendekatan Matematika Realistik sebagai salah satu model yang dapat diterapkan dalam pembelajaran matematika dan siswa dianggap berhasil dengan pendekatan Matematika Realistik. Hipotesis adalah dugaan mengenai sesuatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal yang sering dituntut untuk melakukan pengecekannya. Berdasarkan anggapan dasar tarsebut, yang menjadi hipotesis yaitu: Hasil belajar siswa yang diajar dengan Pendekatan Matematika Realistik lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang diajar dengan pembelajaran konvesional pada materi Bangun Ruang di SMPN Kuta Malaka Aceh Besar. Definisi Istilah Untuk menghindari penafsiran yang berbeda terhadap istilah yang digunakan dalam penelitian ini. Maka menjadi definisi operasional dalam penelitian ini adalah : 1.
Hasil Belajar Hasil belajar merupakan perubahan perilaku yang diperoleh pembelajar setelah mengalami aktivitas belajar (Chatarina, 2004:4). Sedangkan menurut Winkel (dalam Sukestiyarno dan Budi Waluya, 2006:6), hasil belajar merupakan bukti keberhasilan yang telah dicapai peserta didik di mana setiap kegiatan belajar dapat menimbulkan suatu perubahan yang khas. Penilaian hasil belajar dilakukan sekali setelah suatu kegiatan pembelajaran dilaksanakan. 2.
Bangun Ruang Bangun ruang adalah bangun yang semua elemen pembentuknya tidak seluruhnya terletak
TINJAUAN PUSTAKA
5. Memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Matematika sekolah tidak dapat dipisahkan sama sekali dari ciri-ciri yang dimiliki matematika. Dua ciri penting matematika menurut GBPP matematika adalah: a. Memiliki obyek kajian yang abstrak. b. Berpola pikir deduktif dan konsisten (Suyitno, 2000:10). Dari kutipan di atas, jelas bahwa tujuan diberikannya Matematika di SMP adalah untuk memahami konsep matematika, memecahkan masalah, mengkomunikasikan gagasan dan memiliki sifat menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam memecahkan masalah. Selain itu juga mempersiapkan siswa dalam menempuh pendidikan yang lebih tinggi, serta berguna untuk membantu siswa dalam mempelajari ilmu pengetahuan.
1. Tujuan Pembelajaran Matematika di SMP Kegiatan belajar dan mengajar matematika seyogianya juga tidak disamakan begitu saja oleh ilmu yang lain. Karena peserta yang belajar matematika itu sebagai ilmu pengetahuan yang dewasa ini berkembang sempat pesat, baik materi maupun kegunaannya merupakan salah satu bidang studi yang diajarkan kepada pendidik dasar, menengah dan tinggi, masing-masing mempunyai tujuan pembelajaran tersendiri. Menurut Badan Standar Nasional Pendidikan (2006: 388) tujuan pembelajaran matematika di SMP berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan adalah sebagai berikut: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma secara luwes, akurat, efisien dan tepat dalam pemecahan masalah. 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat. Melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan menyatakan matematika; 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh. 4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk menjelaskan keadaan atau masalah;
2. Pembelajaran Matematika Realistik a. Sejarah dan landasan filosofis Matematika Realistik Pendidikan matematika realistik atau Realistic Mathematics Education (RME) mulai berkembang karena adanya keinginan meninjau kembali pendidikan matematika di Belanda yang dirasakan kurang bermakna bagi pembelajar. Gerakan ini mula-mula diprakarsai oleh Wijdeveld dan Goffre (1968) melalui proyek Wiskobas. Selanjutnya bentuk RME yang ada sampai sekarang sebagian besar ditentukan oleh pandangan Freudenthal (1977) tentang matematika. Menurut pandangannya matematika harus dikaitkan dengan kenyataan, dekat dengan pengalaman anak dan relevan terhadap masyarakat, dengan tujuan menjadi bagian dari nilai kemanusiaan. Selain memandang matematika sebagai subyek yang ditransfer, Freudenthal menekankan ide matematika sebagai suatu kegiatan kemanusiaan. Pelajaran matematika harus memberikan kesempatan kepada pembelajar untuk “dibimbing” dan “menemukan kembali” matematika dengan melakukannya. Artinya dalam pendidikan matematika dengan sasaran utama matematika sebagai kegiatan dan bukan sistem tertutup. Jadi fokus pembelajaran matematika harus pada kegiatan bermatematika atau “matematisasi” (Freudental,1968). Kemudian Treffers (dalam Diyah, 2007) secara eksplisit merumuskan ide tersebut dalam 2 tipe
pada sebuah bidang datar atau lengkung. Bangun ruang dapat berupa luasan dan bukan berupa luasan, misalnya spiral. Yang dibahas hanya berupa luasan saja. Pada penelitian ini bangun ruang yang dibahas adalah Bangun Ruang Kubus dan Balok. 3.
Pendekatan Realistik Pembelajaran matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas dan lingkungan yang dipahami peserta didik untuk memperlancar proses pembelajaran matematika, sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada yang lalu. Yang dimaksud dengan realita yaitu hal-hal yang nyata atau kongret yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Lingkungan dalam hal ini disebut juga kehidupan sehari-hari.
matematisasi dalam konteks pendidikan, yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Pada matematisasi horizontal siswa diberi perkakas matematika yang dapat menolongnya menyusun dan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Matematisasi vertikal di pihak lain merupakan proses reorganisasi dalam sistem matematis, misalnya menemukan hubungan langsung dari keterkaitan antar konsep-konsep dan strategi-strategi dan kemudian menerapkan temuan tersebut. Jadi matematisasi horisontal bertolak dari ranah nyata menuju ranah simbol, sedangkan matematisasi vertikal bergerak dalam ranah simbol. Kedua bentuk matematisasi ini sesungguhnya tidak berbeda maknanya dan sama nilainya (Freudenthal, 1991 dalam Gusti Putu Suharta, 2008). Hal ini disebabkan oleh pemaknaan “realistik” yang berasal dari bahasa Belanda “realiseren” yang artinya bukan berhubungan dengan kenyataan, tetapi “membayangkan”. Kegiatan “membayangkan” ini ternyata akan lebih mudah dilakukan apabila bertolak dari dunia nyata, tetapi tidak selamanya harus melalui cara itu. b. Karakteristik Pendidikan Matematika Realistik. Pendidikan Matematika Realistik mencerminkan pandangan matematika tertentu mengenai bagaimana anak belajar matematika dan bagaimana matematika harus diajarkan. Pandangan ini tercermin pada 6 prinsip, yang diturunkan dari 5 kaidah yang di kemukakan Treffers (1987) yaitu eksplorasi fenomenologis menggunakan konteks, menjembatani dengan menggunakan instrumen vertikal, konstruksi dan produksi oleh pembelajar sendiri, pembelajaran interaktif, dan jalur-jalur belajar yang saling menjalin. Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut, maka keenam prinsip yang merupakan karakteristik pendidikan matematika realistik akan dipaparkan sebagai berikut. 1) Prinsip kegiatan Pembelajar harus diperlakukan sebagai partisipan aktif dalam proses pengembangan seluruh perangkat perkakas dan wawasan matematis sendiri. Dalam hal ini pembelajar dihadapkan situasi masalah yang memungkinkan ia membentuk bagian-bagian masalah tersebut dan mengembangkan secara bertahap algoritma, misalnya cara mengalikan dan membagi berdasarkan cara kerja nonformal. 2) Prinsip nyata Matematika realistik harus memungkinkan pembelajar dapat menerapkan
pemahaman matematika dan perkakas matematikanya untuk memecahkan masalah. Pembelajar harus mempelajari matematika sedemikian hingga bermanfaat dan dapat diterapkan untuk memecahkan masalah sesungguhnya dalam kehidupan. Hanya dalam konteks pemecahan masalah pembelajar dapat mengembangkan perkakas matematis dan pemahaman matematis. 3) Prinsip bertahap Belajar matematika artinya pembelajar harus melalui berbagai tahap pemahaman, yaitu dari kemampuan menemukan pemecahan informal yang berhubungan dengan konteks, menuju penciptaan berbagai tahap hubungan langsung dan pembuatan bagan yang selanjutnya pada perolehan wawasan tentang prinsip-prinsip yang mendasari dan kearifan untuk memperluas hubungan tersebut. Kondisi untuk sampai tahap berikutnya tercermin pada kemampuan yang ditunjukkan pada kegiatan yang dilakukan. Refleksi ini dapat ditunjukkan melalui interaksi. Kekuatan prinsip tahap ini yaitu dapat membimbing pertumbuhan pemahaman matematika pembelajar dan mengarahkan hubungan longitudinal dalam kurikulum matematika. 4) Prinsip saling menjalin Prinsip saling menjalin ini ditemukan pada setiap jalur matematika, misalnya antar topik-topik seperti kesadaran akan bilangan, mental aritmatika, perkiraan (estimasi), dan algoritma. 5) Prinsip interaksi Dalam matematika realistik belajar matematika dipandang sebagai kegiatan sosial. Pendidikan harus dapat memberikan kesempatan bagi para pembelajar untuk saling berbagi strategi dan penemuan mereka. Dengan mendengarkan apa yang ditemukan orang lain dan mendiskusikan temuan ini, pembelajar mendapatkan ide untuk memperbaiki strateginya. Lagi pula interaksi dapat menghasilkan refleksi yang memungkinkan pembelajar meraih tahap pemahaman yang lebih tinggi. 6) Prinsip bimbingan Pengajar maupun program pendidikan mempunyai peranan terpenting dalam mengarahkan pembelajar untuk memperoleh pengetahuan. Mereka mengendalikan proses pembelajaran yang lentur untuk menunjukkan apa yang harus dipelajari untuk menghindarkan pemahaman semu melalui proses hafalan. Pembelajar memerlukan kesempatan untuk
membentuk wawasan dan perkakas matematisnya sendiri, karena itu pengajar harus memberikan lingkungan pembelajaran yang mendukung berlangsungnya proses tersebut. Artinya mereka harus dapat meramalkan bila dan bagaimana mereka dapat mengantisipasi pemahaman dan keterampilan pembelajar untuk mengarahkannya mencapai tujuan pembelajaran. Dalam hal ini perbedaan kemampuan pembelajar harus diperhatikan, sehingga setiap pembelajar mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan pengetahuannya dengan cara yang paling cocok untuk mereka masing-masing. c, Langkah-langkah Pembelajaran dengan Pendekatan Realistik Pendekatan Matematika Realistik mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut: siswa memiliki seperangkat konsep laternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya; siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri; pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi,penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan; pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya sendiri berasal dari seperangkat ragam pengalaman; setiap siswa tanpa memandang ras, budaya dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika. Konsepsi tentang guru sebagai berikut: guru hanya sebagai fasilitator belajar; guru harus mampu membangun pengajaran yang interaktif; guru harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk secara aktif menyumbang pada proses belajar dirinya, dan secara aktif membantu siswa dalam menafsirkan persoalan riil; dan guru tidak Dunia Nyata
terpancang pada materi yang termaktub dalam kurikulum, melainkan aktif mengaitkan kurikulum dengan dunia-riil, baik fisik maupun sosial. Hartono (dalam Diyah, 2007). Menurut Sudharta (2004), dalam pengajaran matematika realistik, dibutuhkan upaya (1) penemuan kembali terbimbing dan matematisasi progresif, artinya pembelajaran matematika realistik harus diberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengalami sendiri proses penemuan matematika ;(2) fenomena didaktik, artinya pembentukan situasi dalam pemecahan masalah matematika realistic harus menetapkan aspek aplikasi dan mempertimbangkan pengaruh proses dari matematisasi progresif; (3) mengmbangkan model-model sendiri, artinya pemecahan masalah matematika realistic harus mampu dijembatani melalui pengembangan model-model yang diciptakan sendiri oleh siswa dari yang konkrit menuju situasi abstrak, atau model yang diciptakan sendiri oleh siswa untuk memecahkan masalah, dapat menciptakan kreasi dalam keprbadian siswa melalui aktifitas di bawah bimbingan guru. Langkah-langkah pembelajaran matematika dengan PMR dapat digambarkan sebagai berikut (Sudharta, 2004):
Dunia
Masalah Konkrit
Model Matematika
Jawaban Atas Masalah
Jawaban Model
Berdasarkan gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa pembelajaran matematika realistik diawali dengan fenomena yang ada di dalam dunia nyata, kenudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali
dan mengkonstruksi dalam model matematika kemudian membuat jawaban atas model matematika tersebut.Setelah itu diaplikasikan dalam masalah sehari-hari atau dalam bidang lain. Dalam pembelajaran, sebelum siswa masuk pada sistem formal, terlebih dahulu siswa
dibawa ke ‘situasi informal’, misalnya pembelajaran pecahan dapat diawali dengan pembagian menjadi bagian yang sama (misalnya pembagian kue) sehingga tidak terjadi loncatan pengetahuan informal anak dengan konsep-konsep matematika (pengetahuan matematika formal). Setelah siswa memahami pembagian menjadi bagian yang sama, baru dikenalkan istilah pecahan. Ini sangat berbeda dengan pembelajaran konvensional (bukan PMR) di mana siswa sejak awal sudah dicekoki dengan istilah pecahan dan beberapa jenis pecahan. Jadi, Pembelajaran matematika realistik diawali dengan fenomena, kemudian siswa dengan bantuan guru diberikan kesempatan menemukan kembali dan mengkonstruksi konsep sendiri. Setelah itu, diaplikasikan dalam masalah seharihari atau dalam bidang lain. 1.
Kriteria Pemilihan Media Pada Bangun Ruang
Ely (Ariel 2005:85) mengatakan bahwa pemilihan seyogyanya tidak terlepas dari konteksnya bahwa media merupakan komponen dari sistem instruksional secara keseluruhan. Karena itu meskipun tujuan dan isi sudah diketahui, faktor-faktor lain seperti karakteristik siswa, strategi belajar mengajar, Organisasi kelompok belajar, alokasi waktu dan sumber, serta prosedur penilaiannya perlu di pertimbangkan. Menurut Azhar (2004:75) bahwa ada beberapa kriteria yang patut diperhatikan dalam memilih media yaitu sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, tepat untuk mendukung isi pelajaran yang sifatnya fakta konsep, prinsip dan generalisasi, praktis, lues dan bertahan, dan guru terampil menggunakannya, pengelompokan sasaran dan mutu teknis. METODE PENELITIAN 1. Populasi dan Sampel Menurut Margono (2005:118), populasi adalah keseluruhan data yang menjadi perhatian kita dalam suatu ruang lingkup dan waktu yang kita tentukan. Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar yang tersebar dalam tiga kelas paralel. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi yang diteliti (Margono, 2005:121). Sampel dari penelitian ini dipilih dua kelas yang mempunyai kemampuan sama, berdasarkan dari pengamatan guru bidang studi matematika pada sekolah tersebut dan diperkuat dari hasil tes awal yang penulis berikan pada kedua kelas. Dari pengolahan hasil tes awal dan pengujian terhadap hipotesis didapat bahwasanya siswa kelas VIII-2 dan siswa kelas VIII-3 mempunyai kemampuan yang homogen. Berdasarkan hal
tersebut penulis tetapkan satu kelas sebagai kelas eksperimen yaitu kelas VIII-2 dengan jumlah siswa 40 orang dan satu kelas sebagai kelas kontrol yaitu kelas VIII-3 dengan jumlah siswa 39 orang. Kelas eksperimen adalah kelas yang digunakan untuk penerapan pembelajaran dengan pendekatan Realistik, sedangkan kelas kontrol adalah kelas yang proses belajarnya tanpa menggunakan pendekatan Realistik. Jumlah keseluruhan sampel dari kedua kelas tersebut adalah 79 orang. b. Teknik Pengumpulan Data Adapun perangkat pembelajaran yang dipersiapkan dalam penelitian ini adalah Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan Lembar Kerja Siswa (LKS), sedangkan instrumen pengumpulan data yang disiapkan adalah lembaran tes, yang terdiri dari tes awal dan tes hasil belajar. LKS dan lembaran tes yang penulis siapkan berlaku untuk kedua kelas tersebut. Untuk memperoleh data dalam penelitian ini peneliti terlebih dahulu memberikan tes awal yang bertujuan untuk mengetahui homogenitas sampel dari kedua kelas yang akan diteliti. Selanjutnya pada kelas eksperimen pembelajaran dilanjutkan dengan menerapkan pembelajaran pendekatan Realistik pada materi Bangun Ruang. Pada akhir pertemuan, untuk kedua kelas tersebut (eksperimen dan kontrol) diadakan tes hasil belajar yang diberikan dalam bentuk essay sebanyak 5 butir soal. Nilai yang diperoleh dari kedua hasil tes tersebut inilah yang diambil sebagai data penelitian. c. Teknik Pengolahan Data Data yang telah terkumpul kemudian diolah dengan menggunakan statistik uji-t pada taraf signifikan α = 0,05 . Adapun statistik lainnya yang diperlukan sehubungan dengan pengujian uji-t adalah: 1. 2.
Menstabulasikan data ke dalam daftar distribusi frekuensi. Menentukan nilai rata-rata ( x ) dan 2
varians ( s ) 3. Uji Normalitas Sebaran Data 4. Uji Homogenitas Varians Uji homogenitas varians berguna untuk mengetahui apakah penelitian ini berasal dari populasi yang sama atau bukan. Menurut Sudjana (2001:250) uji homogenitas dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
F=
var ians terbesar var ians terkecil
Kriteria
F ≥ Fα ( n1 −1, n2 −1) dengan α = 0,05.
pengujian
tolak
H0
jika
dan dalam hal lain H0 diterima
5.
Pengujian Hipotesis Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan uji-t pihak kanan, dengan taraf signifikan α = 0,05. Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah: H0 : µ1 = µ 2 Hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan Realistik pada materi Bangun Ruang di SMPN 1 Kuta Malaka sama dengan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran selain pendekatan Realistik . H1 : µ1 > µ 2 Hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan Realistik pada materi Bangun Ruang di SMPN 1 Kuta Malaka lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran selain pendekatan Realistik. Untuk menguji hipotesis yang telah dirumuskan dapat digunakan rumus uji-t yang menurut Sudjana (2001: 239) ialah:
t=
x1 − x2 1 1 + s gab n1 n2
Dimana varians gabungan (s2gab), menurut Sudjana (2001:239) dapat dihitung dengan rumus: 2 sgab =
(n1 − 1) s12 + (n2 − 1) s22 n1 + n2 − 2
Untuk pengujian digunakan dk = n1 + n2 – 2 dengan peluang (1 - α ), kriteria pengujian adalah: terima H 0 jika harga t lainnya.
thit < ttab dan tolak H 0 untuk
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 1.
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian diproleh dari tes hasil belajar yang diberikan pada pertemuan terakhir untuk kedua kelas tersebut. Adapun rincian nilai tes hasil belajar dari masingmasing kelas adalah sebagai berikut:
Tabel 4.1 Daftar Nilai Tes Hasil Belajar Siswa yang diajarkan dengan Pembelajaran dengan pendekatan realistik (Kelas Eksperimen) No Kode Total No Kode Total Sampel Nilai Sampel Nilai 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X7 X8 X9 X10 X11 X12 X13 X14 X15 X16 X17 X18 X19 X20
100 70 80 75 70 100 90 100 85 100 70 85 60 90 75 85 100 90 70 90
21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
X21 X22 X23 X24 X25 X26 X27 X28 X29 X30 X31 X32 X33 X34 X35 X36 X37 X38 X39 X40
60 80 85 90 70 90 85 90 80 60 90 85 85 80 100 85 85 80 80 75
Tabel 4.2 Daftar Nilai Tes Hasil Belajar Siswa yang diajarkan dengan Pembelajaran Non pendekatan realistik (Kelas Kontrol) No Kode Total No Kode Total Sampel Nilai Sampel Nilai 1
Y1
75
21
Y21
60
2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
Y2 Y3 Y4 Y5 Y6 Y7 Y8 Y9 Y10 Y11 Y12 Y13 Y14 Y15 Y16 Y17 Y18 Y19 Y20
85 80 60 60 60 65 75 60 70 75 55 65 70 50 65 70 65 75 65
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39
Y22 Y23 Y24 Y25 Y26 Y27 Y28 Y29 Y30 Y31 Y32 Y33 Y34 Y35 Y36 Y37 Y38 Y39
60 75 65 80 50 80 65 70 90 85 70 70 50 80 90 70 90 55
2. Pengolahan Data • Nilai tes hasil belajar siswa kelas eksperimen Tabel 4.3 Daftar Distribusi Frekuensi Nilai Tes Hasil Belajar Kelas Eksperimen di SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar Nilai fi xi fixi xi2 fixi2 59 − 64 3 61,5 184,5 3782,25 11346,75 65 − 70 5 67,5 337,5 4556,25 22781,25 71 − 76 3 73,5 220,5 5402,25 16206,75 77 − 82 6 79,5 477 6320,25 37921,5 83 − 88 9 85,5 769,5 7310,25 65792,25 89 − 94 8 91,5 732 8372,25 66978 95 − 100 6 97,5 585 9506,25 57037,5 Jumlah 40 3306 278064
x1 =
∑fx ∑f i
i
=
i
3306 40
2
2 1
s =
= 82,65
n ∑ f i x i − (∑ f i xi )
2
n (n − 1)
40(278064) − (3306) 2 = 40(40 − 1)
= 123,66
s1 = 123,66 = 11,12 • Nilai tes hasil belajar siswa kelas kontrol Tabel 4.4 Daftar Distribusi Frekuensi Nilai Tes Hasil Belajar Kelas Kontrol di Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar Nilai fi xi fixi xi2 fixi2 50 − 55 5 52,5 262,5 2756,25 13781,25 56 − 61 6 58,5 351 3422,25 20533,5 62 − 67 7 64,5 451,5 4160,25 29121,75 68 − 73 7 70,5 493,5 4970,25 34791,75 74 − 79 5 76,5 382,5 5852,25 29261,25
80 − 85 86 – 91 Jumlah
x2 =
∑fx ∑f i
6 3 39
i
=
i
82,5 88,5 -
2701,5 39
= 69,26
2
2 2
s =
495 265,5 2701,5
n ∑ f i x i − (∑ f i xi )
2
n (n − 1)
39(191823,75) − (2701,5) 2 39(39 − 1) 183024 = = 123,49 1482 s2 = 123,49 = 11,11 =
Sebelum dilakukan analisa data dengan menggunakan uji-t, maka terlebih dahulu data dari masing-masing kelas harus memenuhi syarat-syarat normalitas dan homogenitas variansi.
2. Uji Normalitas Sebaran Data Uji normalitas diperlukan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh dari masing-masing kelas dalam penelitian ini berdistribusi normal atau tidak. Adapun hipotesis yang digunakan adalah: H0 : data berdistribusi normal H1 : data tidak berdistri normal Kriteria pengujian menurut Sudjana (2001:273): ”tolak H0 jika
2 χ hitung
2
≥ χ tabel , dengan
α = 0,05 dalam hal lain H0 diterima.
6806,25 7832,25 -
40837,5 23496,75 191823,75
Tabel 4.5 Daftar Uji Normalitas Nilai Tes Hasil Belajar Kelas Eksperimen di Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar
Nilai
Batas Kelas (x)
Zscore
Ls. DKN
58,5
-2,17
0,4850
64,5
-1,63
0,4484
70,5
-1,09
0,3621
76,5
-0,55
0,2088
82,5
-0,01
0,0040
88,5
0,52
0,1985
94,5
1,06
0,3554
59 − 64 65 − 70 71 − 76 77 − 82 83 − 88 89 − 94
Ls. DKI
Frekuensi Diharapkan (Ei)
0,0366
1,46
0,0863
3,45
0,1533
6,13
0,2048
8,19
6
0,1945
7,78
9
0,1569
6,27
0,0898
3,59
11,04
9,86
95 − 100
Frekuensi Pengamatan (Oi)
11
14
100,5 1,60 0,4452 Keterangan: Ls. DKN = luas daerah kurva normal Ls. DKI = luas daerah kurva interval Berdasarkan tabel diatas diperoleh:
(O i − E i ) 2 Ei i =1 k
χ2 =
χ2 =
∑
(11 − 11,04) 2 (6 − 8,19) 2 (9 − 7,78) 2 (14 − 9,86) 2 + + + 11,04 8,19 7,78 9,86
χ 2 = 0,0001 + 0,58 + 0,19 + 1,73 χ 2 = 2,50 2
Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan (dk) = 4 – 3 = 1, maka diperoleh nilai tabel χ 0.95(1) 2
= 3,84. Karena χ hitung = 2,50 <
2 χ tabel
= 3,84, maka H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi
normal. Tabel 4.6 Daftar Uji Normalitas Nilai Tes Hasil Belajar Kelas Kontrol di Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar
Nilai
Batas Kelas (x)
Zscore
Ls. DKN
49,5
-1,77
0,4616
55,5
-1,23
0,3907
50 − 55 56 − 61 61,5
-0,69
0,2549
67,5
-0,15
0,0596
73,5
0,38
0,1480
62 − 67 68 − 73 74 − 79
Ls. DKI
Frekuensi Diharapkan (Ei)
0,0709
2,76
0,1358
5,29
0,1953
7,61
0,0884
3,44
0,1732
6,75
8,05
Frekuensi Pengamatan (Oi)
11
7
10,19
12
79,5
0,92
0,3212
85,5
1,46
0,4279
80 − 85
2,00
χ2 =
(O i − E i ) Ei i =1
0,0493
1,92
9
0,4772
Berdasarkan tabel diatas diperoleh: k
4,16 6,08
86 − 91 91,5
0,1067
dapat disimpulkan bahwa kedua kelas berasal dari populasi yang sama berarti kedua varians homogen.
2
∑
4.Tinjauan terhadap Hipotesis
Pengujian hipotesis dalam penelitian ini (11 − 8,05) 2 (7 − 7,61) 2 (12 − 10,19) 2 (9 − 6,08) 2 χ2 = + + + menggunakan uji-t pihak kanan, dengan taraf 8,05 7,61 10,19 6,08signifikan α = 0,05. Hipotesis yang diuji dalam penelitian ini adalah: H0 : µ 1 = µ 2 Hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan Realistik pada materi Bangun Ruang di SMPN 1 Kuta Malaka sama dengan hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran selain pendekatan Realistik . H1 : µ 1 > µ 2 Hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan Realistik pada materi Bangun Ruang di SMPN 1 Kuta Malaka lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran selain pendekatan Realistik. Sebelum mencari thit terlebih dahulu dicari standar deviasi gabungan dari kedua sampel yaitu:
2
χ = 1,08 + 0,04 + 0,32 + 1,40 χ 2 = 2,84 Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan derajat kebebasan (dk) = 4 – 3 =1, maka diperoleh nilai tabel
χ 02.95(1)
2
= 3,84. Karena χ hitung = 2,84 <
2 χ tabel
=
2,84, maka H0 diterima dan dapat disimpulkan bahwa data berdistribusi normal. 3. Uji Homogenitas Varians Uji homogenitas varians berguna untuk mengetahui apakah sampel dari penelitian ini berasal dari populasi yang sama atau bukan, sehingga generalisasi dari penelitian ini hasilnya berlaku bagi populasi. Adapun hipotesis yang akan diuji adalah: H0 : σ 12 H1 : homogen) Statistik
F =
= σ 22 (varians data homogen)
σ 12 > σ 22 yang
s
(varians data tidak digunakan
2 gab
adalah
F ≥ Fα ( n − 1,n2 − 1) dan
(40 −1)(123,66) + (39 − 1)(123,49) 40 + 39 − 2 9515,36 = = 123,57 77 = 123.57 = 11,12 =
var ians terbesar , dengan kriteria pengujian var ians terkecil
adalah tolak H0 jika
(n1 − 1) s12 + (n 2 − 1) s 22 = n1 + n 2 − 2
dalam
s gab
hal lain H0 diterima (Sudjana, 2001:251). Dari hasil perhitungan data sebelumnya diperoleh:
s12 = 123,66 Dengan demikian dapat dihitung nilai t 2 n2 = 39 ; x 2 = 69,26 ; s 2 = 11,11 ; s 2 = sebagai 123,49 berikut: 82,65 − 69,26 x1 − x 2 123,66 = t= F = sehingga: 1 1 1 1 123,49 11,12 + s gab + F = 1,001 40 39 n1 n2 Dengan taraf signifikan α = 0,05 maka dari 13,39 = tabel distribusi F diperoleh: F ≥ F0,05(39,38) = 1,71. 39 40 Ternyata Fhitung < Ftabel maka H0 diterima, sehingga 11,12 + 1560 1560 n1 = 40
; x 1 = 82,65
; s1 = 11,12
;
=
13,39
=
11,12 0,0506 13,39 = = 5,47 2,4464
13,39 (11,12)(0,22)
Dengan taraf signifikan α = 0,05 dan dk = (40 + 39 - 2) = 77 maka
t hitung > ttabel
t 0,95 (77) = 1,67 .
Karena
yaitu 5,47 >1,67, maka H0 ditolak dan
diterima H1. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan realistik lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pembelajaran selain pendekatan realistik pada materi bangun ruang (kubus dan Balok) di kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar.
4. Pembahasan Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penulis menganalisis pengaruh penerapan pembelajaran dengan pendekatan Realistik hasil belajar siswa pada materi bangun ruang di kelas VIII SMP Negeri 1 Kuta Malaka Aceh Besar. Penelitian ini dilakukan lima kali pertemuan, pada pertemuan pertama dilakukan tes awal untuk menguji homogenitas kemampuan siswa pada kedua kelas (kontrol dan eksperimen) yang penulis teliti. Dari pengujian tersebut didapat bahwasanya siswa pada kedua kelas tersebut mempunyai kemampuan yang homogen. Selanjutnya pada pertemuan kedua sampai ke empat dilakukan proses pembelajaran dengan pendekatan realistik. Model ini juga diberlakukan untuk kedua kelas, hanya saja pada kelas eksperimen (kelas VIII-2) pendekatan realistik. Pada pertemuan terakhir dilakukan tes hasil belajar. Dari hasil pengolahan data dan analisis data yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa pada dasarnya siswa dapat menguasai materi bangun ruang, baik itu dengan menggunakan pendekatan realistik maupun tanpa menggunakan pendekatan realistik. Ini dapat dilihat dari nilai rata-rata hasil tes kedua kelas tersebut. Nilai rata-rata hasil tes kelas yang diajarkan dengan pendekatan realistik adalah 82,65, sedangkan nilai rata-rata hasil tes kelas yang diajarkan tanpa pendekatan realistik adalah 69,26. Selisih nilai rata-rata dari kedua kelas tersebut adalah 13,39. Sehingga terdapat perbedaan hasil belajar siswa pada materi sistem persamaan linear dua variabel yang diajarkan dengan menggunakan pembelajaran pendekatan realistik dibandingkan
tanpa menggunakan pembelajaran pendekatan realistik. Hal ini disebabkan dalam pembelajaran pendekatan realistik siswa yang tadinya tidak berani bertanya atau malu untuk bertanya pada guru utama (berada di depan) dapat bertanya pada assistant teacher (berada di belakang), sehingga guru dapat membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi siswa dengan segera. Tingkat keberhasilan proses belajar mengajar pada kedua kelas dapat dilihat dari nilai rata-rata hasil tes belajar siswa. Dengan demikian, tingkat keberhasilan proses belajar mengajar dengan pembelajaran pendekatan realistik berada pada tingkat baik sekali atau optimal, sedangkan tingkat keberhasilan proses belajar mengajar tanpa pembelajaran pendekatan realistik berada pada tingkat baik atau minimal. Secara umum kedua kelas telah mencapai ketuntasan belajar. Hal ini ditinjau menurut kurikulum tingkat satuan pendidikan, yaitu suatu kelas dikatakan tuntas belajar apabila 85% atau lebih dari jumlah siswa dalam satu kelas mendapatkan nilai di atas 65. Namun secara individual, pada kelas yang menerapkan pembelajaran pendekatan realistik terdapat 3 orang siswa yang tidak mencapai ketuntasan belajar dan pada kelas yang tidak menerapkan pembelajaran pendekatan realistik terdapat 11 orang siswa yang tidak mencapai ketuntasan belajar. Hal ini mungkin disebabkan oleh beberapa faktor, baik yang berasal dari dalam diri siswa sendiri maupun dari luar diri siswa. Dalam proses belajar, pada kelas yang menerapkan pembelajaran pendekatan realistik siswanya terlihat lebih aktif baik secara fisik maupun mental dibandingkan dengan kelas yang tidak menerapkan pembelajaran pendekatan realistik. Siswa dengan bebas mengeluarkan pendapat dalam memahami konsep dan siswa saling berinteraksi baik antara siswa maupun dengan guru, baik itu dengan guru utama ataupun dengan assistant teacher dalam berdiskusi. Pengetahuan siswa mengenai materi bangun ruang juga lebih lengkap karena diberikan dan ditinjau oleh guru-guru yang pandangan dan pengetahuannya saling melengkapi, sehingga siswa tidak hanya dapat memahami materi tetapi juga dapat menguasai fakta, konsep serta prinsip-prinsip yang digunakan dalam menyelesaikan soal-soal materi persamaan linear dengan dua variabel terutama dalam mengubah soal yang berbentuk cerita ke dalam kalimat matematika. Hasil penelitian Rahmayani (2009:71) juga menemukan bahwa dengan adanya bimbingan yang lebih fokus dari dua orang guru siswa lebih konsentrasi dalam belajar. Siswa juga tidak berani mengganggu temannya karena mereka diawasi/diamati oleh dua orang guru. Konsentrasi yang tinggi dalam belajar mengakibatkan hasil
belajar yang lebih baik, sehingga prestasi belajar matematika siswa juga meningkat. Pembelajaran dengan pendekatan realistik tidak hanya meningkatkan hasil belajar, tetapi juga dengan adanya kolaborasi dua orang guru di dalam kelas, maka proses observasi terhadap siswa lebih intens. Catatan khusus terhadap perilaku, ketidakbiasaan, kesulitan siswa akan terekam dengan baik, sehingga setiap permasalahan yang muncul dalam proses pembelajaran dapat diatasi secara bersama-sama. Walaupun pembelajaran dengan pendekatan realistik dapat mencapai hasil belajar yang lebih baik (optimal), namun masih terdapat kekurangan dalam pelaksanaan pembelajaran ini seperti team mudah kembali kepada kerja individual sehingga tanggung jawab kelompok terabaikan. Sulit untuk membentuk team yang kompak terutama saat membagi peran di dalam kelas.
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, Azhar. 2004. Media pembelajaran. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada. Arikunto, S. 2002. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara. Baroody. A.J. 1993. Problem Solving, Reasoning, and Communicating. Macmillan Publising, New York. Freudenthal, H. 1977. Antwoord door Prof. Dr. H. Freudenthal na het verlenen van het eredoctoraat [Speech by Prof. H. Freudenthal upon being granted an honorary doctorate]. Euclides. Freudenthal, H. 1968. Why to Teach Mathematics so as to Be Useful. Educational Studies in Mathematics. Dordrecht, Reidel.
PENUTUP 1. Simpulan
Freudenthal, H. 1991. Revisiting Mathematics Education. China Lectures. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers.
Berdasarkan hasil pengolahan data dan pengujian hipotesis yang dilakukan pada siswa kelas VIII SMP N 1 Kuta Malaka Aceh Besar pada materi bangun ruang dapat di simpulkan bahwa, “Hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan realistik lebih baik dari pada hasil belajar siswa yang diajarkan tanpa menggunakan pendekatan realistik pada bangun ruang di SMP N 1 Kuta Malaka Aceh Besar”.
Gagne
2, Saran
Hudojo.
Mengingat penerapan dengan pendekatan realistik membawa pengaruh positif terhadap prestasi belajar siswa, maka: a) Diharapkan kepada guru untuk dapat menerapkan strategi, model dan metode pembelajaran yang sesuai dengan materi pelajaran dalam meningkatkan ketuntasan belajar siswa. b) Diharapkan kepada siswa untuk lebih sering belajar, baik secara individu maupun berkelompok karena hasil yang didapat akan lebih baik dan memuaskan. c) Disarankan kepada pihak lain untuk melakukan penelitian selanjutnya terhadap bidang studi matematika pada pokok bahasan lainnya untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang dengan pendekatan realistic.
1970. Realistic Mathematics. http://www.depdiknas.co.id/editorial:jurn al pendidikan Indonesia. (diakses Januari 2010)
Gravemeijer, K. 1994. Educational Development and Developmental Research in Mathematics Education. Journal for Research in Mathematics Education 1997. Strategi Belajar Mengajar Matematika. Malang. IKIP Malang.
Junaedi, Samsul. 2004. Matematika SMP untuk Kelas VII. Jakarta: Erlangga. Junaedi, Dedi. 1999. Penuntun Belajar Matematika Untuk SLTP Kelas 3. Jakarta: Mizan. Maschke Kathy L., Gagne: The Condition of Learning, www.nc.gsu/~mstswh/course/it7000/paper s/robert.htm. Musser, Gary L and Brnger. 1994. Mathematics for Ellementary Teachers A Cotemporary Approuh. New York: Macmillan Publishing Co.
M. Cholik Adinawan, Sugijono. 2006. Matematika SMP Kelas VIII. Jakarta: Erlangga. National Council of Teachers of Mathematics (2000). Principles and standards for school mathematics. Reston: Author. Polya, G. How to solve it. 1957. Garden City, NY: Doubleday and Co., Inc. Suryuadi. 1999. Current situation on matematics and science education in Bandung. http://www.ditnagadikti.org/ditnaga/files/PIP/MRE. (akses Januari 2010)
Sudjana. 1996. Metode Statistik. Bandung. Tarsito. Sukestiyarno, dan Budi Waluya. 2006. Upaya Meningkatkan Penguasaan Konsep dan Membentuk Mahasiswa menjadi Matematikawan yang Filsafati Melalui Pembelajaran Filsafat Ilmu dengan Strategi Student Team Heroic Leadership. Laporan Teaching Grant: Pend. Matematika Unnes Treffers. A. 1987. Thee Dimensions, A Model of Goal and Theory Description in Mathematics Instruction, The Wiskobas project, D. Reidal Publishing Company
“Model Project Citizen Untuk Meningkatkan Kecakapan Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Mengembangkan Sikap Nasionalisme” Oleh : Hafidh Maksum Abstrak. Salah satu model pembelajaran untuk meningkatkan kecakapan pendidikan kewarganegaraan dalam pengembangan sikap nasionalisme siswa adalah dengan model Project citizen, yaitu sebuah model pembelajaran berbasis portofolio. Melalui model ini para siswa bukan hanya diajak untuk memahami konsep dan prinsip keilmuan, tetapi juga mengembangkan kemampuannya untuk bekerja secara kooperatif melalui kegiatan belajar praktik empirik. Dengan demikian pembelajaran akan semakin menantang, mengaktifkan dan lebih bermakna. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan hasil pretest dan postest antara siswa yang proses belajar mengunakan project citizen dengan siswa yang belajar secara konvensional dalam meningkatkan kecakapan pendidikan kewarganegaraan dalam pengembangan sikap nasionalisme. Penelitian ini didasarkan pada teori bahwa strategi instruksional yang digunakan dalam model ini, pada dasarnya bertolak dari strategi “inquiriy, discovery, problem solving, research-oriented,” yang dikemas dalam model ”project” ala John Dewey. Dalam hal ini ditetapkan langkah-langkah sebagai berikut: mengindentifikasi masalah, memilih masalah untuk dikaji oleh kelas, mengumpulkan informasi, mengembangkan portofolio kelas, menyajikan portofolio, dan melakukan refleksi pengalaman belajar. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif. Metode yang digunakan adalah eksprimen kuasi dengan desain ”nonequivalent control group pre-test dan posttest design.” Dalam desain ini kedua kelompok tidak dipilih secara radom. Pengumpulan data dilakukan dengan pre-test dan post-test dengan mengunakan test angket. Hasil analisis menunjukkan adanya peningkatan signifikan pada kecakapan intelektual, dan peningkatan kategori sedang pada kecakapan kewarganegaraan dan kecakapan partisipatoris antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol. Analisis data dapat menunjukkan bahwa siswa merespon positif pembelajaran PKn dengan menggunakan model project citizen. Dari hasil diatas rekomendasi penelitian ini ditujukan kepada pengajar agar mempraktekkan pembelajaran PKn dengan model project citizen karena terbukti disenangi siswa dan dapat meningkatkan kecakapan kewarganegaraan. Kata Kunci: Project Citizen, Kecakapan pendidikan kewarganegaraan dan Pengaruh konflik yang berkepanjagan di Aceh telah menimbulkan masalah baru yaitu memudarnya rasa nasionalisme sesama anak bangsa. Arus masalah tersebut dapat mempengaruhi identitas nasional sebuah bangsa. Kalau kita perhatikan dewasa ini jika ditinjau dari segi sikap nasionalisme (sebagai elemen penting dalam penumbuhan nasionalisme), kita banyak mengalami kemunduran. Generasi muda Aceh khususnya dan generasi muda indonesia pada umumnya pada saat ini telah berada jauh dari rentang waktu kepahlawanan ’45 (Nilai nilai nasionalisme atau nilai nilai semangat kebangsaan pejuang kita tahun 1945). Hal inilah yang kemudian membuat generasi muda tidak terlalu peduli dengan hari kebangsaan. Mereka perlu mengingat kembali peristiwa kolonial (penjajah) di masa lampau. Dalam menjawab persoalan ini, kecakapan pendidikan kewarganegaraan dapat berpengaruh dalam penyelesaian masalah masalah nasionalisme terutama terhadap siswa yang tinggal di daerah konflik dan daerah pasca konflik.
Nasionalisme.
Identitas nasional erat kaitannya dengan nasionalisme. Kecakapan PKn diyakini sebagai salah satu cara untuk menumbuhkan sikap dan jiwa nasionalisme. Pendapat ini nampaknya sesuai dengan usulan Ernest Gelner yang dikutip oleh Tilaar (2007: 25) yang berpendapat bahwa : Kewarganegaraan merupakan suatu keanggotaan moral (moral membership) dari suatu masyarakat modern. Keanggotaan itu diperolehnya melalui pendidikan nasional dan biasanya menggunakan bahasa yang dipilih sebagai bahasa ibu atau bahasa nasional. Tilaar (2007: 25) berpendapat bahwa pendidikan merupakan faktor penting untuk menumbuhkan nasionalisme disamping bahasa dan budaya. Pendidikan kewarganegaraan sangat kental dan erat dengan nilai-nilai nasionalisme dan patriotisme. Hal tersebut bukanlah sebuah mitos belaka. Karena memang secara substanstif pendidikan kewarganegaraan bertujuan untuk membentuk warga negara yang baik, yang salah satu didalamnya kental nuansa nasionalisme-nya.
Nasionalisme sebagai ungkapan perasaan senasib sepenanggungan dalam lingkup bangsa dalam bentuk kepedulian dan kepekaan akan masalahmasalah yang dihadapi bangsa, termasuk didalamnya masalah yang berkaitan dengan rasa solidaritas sebangsa dan setanah air, dan pada saat kini perlu terus ditumbuh kembangkan. Dalam hal ini dapat diyatakan bahwa nasionalisme adalah suatu kepercayaan yang dimiliki oleh sebagian besar individu di mana mereka menyatakan rasa kebangsaan sebagai perasaan yang secara bersama di dalam suatu bangsa. Nasionalisme hari ini tentunya berbeda dengan nasionalisme pada masa perjuangan perebutan kemerdekaan bangsa Indonesia dulu, sebagaiman dikemukakan oleh Cohyo (1995: 30) Nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang integralistik, dalam arti yang tidak membeda-bedakan masyarakat atau warga negara atas dasar golongan atau yang lainnya, melainkan mengatasi segala keanekaragaman itu tetap diakui. Singkatnya nasionalisme bangsa Indonesia dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan (Bhineka Tunggal Ika). Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa kebanggaan akan bangsa negara sendiri dan rasa cinta terhadap tanah air perlu dimiliki. Karena hal tersebut merupakan wujud dari sikap seorang warga negara yang siap berjuang, berkorban dan menegakkan kehidupan berbangsa dan neagra didalam berbagai bidang. Jiwa Nasionalisme sangat penting untuk dimiliki setiap individu terutama generasi muda . Namun, ada anggapan yang mengatakan generasi muda tidak memiliki jiwa nasionalisme. Bahkan ada pula yang mengatakan jiwa nasionalisme itu ada. Hanya saja tidak ada pemicu yang dapat membuat jiwa nasionalisme itu tampak. Berbagai cara harus dilakukan untuk memicu jiwa nasionalisme dalam diri generasi muda. Siswa sebagai generasi muda penerus bangsa memegang peranan penting dalam menumbuhkan sikap dan jiwa nasionalisme. Salah satu hal yang dapat dilakukan oleh para generasi muda untuk mewujudkan sikap dan jiwa nasionalisme yaitu dengan memanfaatkan pendidikan dengan sebaik-baiknya, karena pendidikan merupakan salah satu hal penting dalam hal pembinaan sikap nasionalisme. Menurut Somantri (2001: 279) pendidikan kewarganegaraan memiliki tujuan mendidik warga negara yang baik, yang dapat dilukiskan dengan ‘warga negara negara yang patriotik, toleran, setia terhadap bangsa dan negara, beragama, demokratis…, Pancasila sejati. Kecerdasan yang dimiliki warganegara harus tercermin dalam tiga aspek. yaitu pengetahuan
kewarganegaraan (civic knowledge), kecakapan pendidikan kewarganegaraan (civic skill), dan watakwatak kewarganegaraan (civic disposition). Senada dengan hal ini Wahab (2006: 62) mengemukakan bahwa "...kewarganegaraan yang dikembangkan haruslah mengandung pengetahuan. keterampilanketerampilan. nilai-nilai. dan disposisi yans idealnya dimiliki warganegara". Jika warganegara sudah tercerdalam aspek aspek tersebut maka tujuan Pkn sudah dapat dikatakan berhasil Sekolah sebagai lembaga formal penyelenggara pendidikan sudah barang tentu memiliki peran yang sentral dalam hal ini. Terlebih sekolah merupakan pranata yang digunakan untuk mengimplementasikan tujuan penyelenggaraan pendidikan nasional yang sesuai dengan idealita yang tertera dalam Undang-Undang negara kita. Siswa sebagai generasi muda penerus bangsa tentunya harus memiliki pengetahuan yang kuat akan dinamika kehidupan kebangsaan. Sekolah tentu saja mempunyai tanggungjawab untuk melakukan hal tersebut. Dalam kacamata kewarganegaraan siswa diyakini sebagai warga negara baru tumbuh, yakni warga negara yang masih harus dididik menjadi seorang yang sadar akan hak dan kewajibannya baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Terlebih sikap nasionalisme sangat harus dimiliki oleh generasi muda yang kelak akan menjalankan roda kehidupan negeri ini. Salah satu model pembelajaran dalam pengembangan nasionalisme siswa adalah dengan model Project citizen, yaitu sebuah model pembelajaran berbasis potofolio, Melalui model ini para siswa bukan hanya diajak untuk memahami konsep dan prinsip keilmuan, tetapi juga mengembangkan kemampuannya untuk bekerja secara kooperatif melalui kegiatan belajar praktikempirik. dengan demikian pembelajaran akan semakin menantang, mengaktifkan dan lebih bermakna Menurut Budimansyah (2009: 2) ,dengan model prozect citizen dapat meningkatkan pemahaman siswa terhadap apa yang dikaji khususnya tengtang kewarganegaraan. Program tersebut mendorong para siswa untuk terlibat aktif dengan organisasi organisasi pemerintah dan masyarakat sipil untuk memecahkan satu persoalan di sekolah atau masyarakat dan untuk mengasah kecerdasan social dan intelektual yang penting bagi kewarganegaraan demokratis yang bertanggungjawab. Berangkat dari pemaparan di atas, maka penulis merasa tertarik untuk melakukan sebuah pengkajian mengenai pengembangan sikap nasionalisme siswa. Hal tersebut dilatar belakangi pula oleh adanya sebuah keyakinan bahwa
pendidikan dan sekolah merupakan pranata yang dapat membentuk pikiran, sikap, mental serta semangat siswa. Atas dasar itulah maka judul yang diambil ialah Model Project Citizen Untuk meningkatkan kecakapan Pendidikan kewarganegaraan pada konsep Pengembangan Sikap Nasionalisme siswa. (Studi Kuasi Eksprimental Pada SMA Negeri 12 Banda Aceh ) Metode Penelitian. Penelitian ini mengunakan pendekatan kuantitatif dengan metode kuasi eksprimen. Dalam penelitian, yang menjadi fokus adalah model project citizen untuk mengembangkan kecakapan sikap nasionalisme siswa. Metode yang digunakan adalah penelitian kuasi eksperimen (Best, 1982). Metode tersebut dilakukan untuk memperoleh informasi yang merupakan perkiraan bagi informasi yang dapat diperoleh dengan eksperimental sesungguhnya, dalam keadaan tidak memungkinkan untuk mengontrol atau mengendalikan semua variabel. Untuk mendapatkan gambaran implementasi model project citizen untuk mengembangkan sikap nasionalisme siswa melalui pendidikan kewarganegaraan, digunakan metode quasi eksperiment dengan desain "randomized control group pre-test post-test design" (Fraenkel,1993). Dengan desain ini sampel dibagi dalam 2 kelompok yaitu satu kelompok dengan eksperimen dan satu kelompok lagi dengan kelompok kontrol. Kelompok eksperimen mendapatkan pembelajaran konsep nasionalisme dengan model project citizen sedangkan kelompok control mendapatkan pelajaran dengan model konvensional. Hasil Penelitian dan Pembahasan Pembelajaran PKn dengan Model project citizen berpengaruh kategori sedang terhadap kecakapan Kewarganegaraan, Berdasarkan output SPSS diatas, karena varians tidak sama, maka untuk melihat hasil uji t memakai hasil pada baris ke dua (equal varians not assumed). Diperoleh nilai p-value sebesar 0,503, karena nilai p-value > 0,05 maka dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan rerata skor kecakapan partisipatoris dengan indikator kemampuan partisipasi umum yang signifikan antara kelas kontrol dan eksperimen. Tetapi berpengaruh kategori sedang. Hal ini menunjukkan bahwa model project citizen berpengaruh secara sedang untuk meningkatkan kecakapan kewarganegaraan. Adanya pengaruh kategori sedang antara model project citizen untuk meningkatkan kecakapan
kewarganegaraan dapat dianalisis dari beberapa hal: Pertama: model project citizen bersifat alamiah bagi siswa. Artinya, memberikan kesempatan kepada siswa untuk mempraktikkan berpikir kritis, berinteraksi dan berdiskusi dengan teman-teman sekelas, melakukan negosiasi, bekerjasama dan membuat keputusan terbaik untuk kepentingan umum. Hal tersebut sejalan dengan paham konstruktivistik yang dikemukakan oleh Glaserfeld dalam Budiningsih dalam Adha (2010: 160) bahwa ada beberapa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkonstruksi pengetahuan, yaitu; (1) perlakuan.kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu dari pada lainnya. Manusia dapat mengetahui sesuatu dengan menggunakan indranya. Melalui interaksinya dengan objek lingkungan, misalnya dengan melihat, mendengar, menjamah, membau, atau merasakan, seseorang dapat mengetahui sesuatu. Pengetahuan bukanlah sesuatu yang sudah ditentukan, melainkan sesuatu proses pcmbentukan. Semakin banyak seseorang berinteraksi dengan objek dan lingkungannya, pengetahuan dan pemaliamannya akan objek dan lingkungan akan lebih meningkat. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari otak seorang (guru) ke kepala orang lain (siswa). Siswa sendirilah yang hams mengartikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalamanpengalaman mereka (Lorsbach & Tobin dalam Komalasari, 2008). Pembelajaran PKn dengan Model Project Citizen berpengaruh senifikan terhadap Kecakapan Intelektual (intelectual skill) siswa Model Project Citizen untuk meningkatkan kecakapan kewarganegaraan berpengaruh secara signifikan, Berdasarkan output SPSS , karena varians tidak sama, maka untuk melihat hasil uji t memakai hasil pada baris ke dua (equal varians not assumed). Diperoleh nilai p-value sebesar 0,000, karena nilai pvalue < 0,05 maka dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan rerata skor kecakapan intelektual dengan indikator mengidentifikasi masalah yang signifikan antara kelas kontrol dan eksperimen. Kuatnya pengaruh secara signifikan antara model project citizen untuk meningkatkan kecakapan intelektual dapat dianalisis dari beberapa hal: Pertama: model project citizen dalam proses pembelajaran, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari siswa, sehingga dapat membentuk kecakapan hidup dan menambah wawasan siswa yang sesuai dengan kehidupan nyata di masyarakat.
Kecakapan hidup itulah yang nantinya digunakan oleh anak didik memasuki kehidupan nyata di masyarakat. Dalam hal ini siswa dituntut untuk lebih dapat berpikir secara lebih mendalam, dengan melihat permasalahan apa saja yang terjadi di sekitar lingkungan tempat mereka tinggal. Dan dalam proses inilah maka terjadi proses belajar bagi siswa itu sendiri. Senada dengan yang dikemukakan oleh Surya dalam Sutrisno (1997) : "belajar dapat diartikan sebagai suatu proses yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya". Berdasarkan pendapat tersebut dapat dijelaskan bahwa dengan belajar maka perubahan perilaku secara keseluruhan akan terjadi, dimana hal tersebut didapat dari interaksi antar manusia dan lingkungan dimana siswa tinggal. Dengan demikian siswa dapat dapat berpikir secara lebih kritis dan mampu mengembangkan kecakapan intelektualnya. Kedua, dengan menggunakan model Project Citizen lebih menekankan sikap dan perilaku yang lebih baik dalam proses pembelajaran erat kaitannya dengan kecakapan intelektual. Seperti yang dikemukakan oleh Andriyan (2007) bahwa Intelektualitas, sebagaimana yang selalu kita pahami adalah seperangkat sikap dan perilaku yang lebih bijak, lebih mengarahkan kepada pendekatan otak dan rasional serta selalu menimbang-nimbang apa yang akan diambil berdasarkan resiko yang akan terjadi kemudian. Pendek kata, orang intelektual adalah orang yang selalu mengedepankan prinsip kehati-hatian dan pertimbangan-pertimbangan yang rasional dibandingkan emosional. Intelektual, selalu akan mencoba menghindari segala hal yang bersifat kekerasan dan irasionalitas yang justru akan merusak sisi intelektualitasnya. Sebab, intelektual selalu mencari cara dan solusi yang lebih baik daripada hanya mengedepankan otot dan perilaku kasar semata. Senada dengan yang dikemukakan oleh Susanto (2008) bahwa pendidikan merupakan sebuah proses penting dalam kehidupan manusia, karena melalui proses ini manusia dibentuk dan dilahirkan sebagai seorang manusia yang utuh dan sebenamya. Pendidikan semestinya bertanggungjawab terhadap proses pencerdasan bangsa dan berimplikasi kuat pada proses empowerment (pemberdayaan). Hal ini perlu ditegaskan kembali, karena tingkat pendidikan yang meningkat ternyata tidak selalu inheren dengan tingkat pemberdayaan, dan karenanya tidak inheren pula dengan tingkat kemandirian. Pembelajaran PKn dengan Model Project Citizen tidak berpengaruh signifikan terhadap
Kecakapan Partisipatoris (partisipatory skill) siswa. Tetapi kategori sedang. Berdasarkan output SPSS diatas, karena varians sama, maka untuk melihat hasil uji t memakai hasil pada baris pertama (equal varians assumed). Diperoleh nilai p-value sebesar 0,064, karena nilai pvalue > 0,05 maka dapat diketahui bahwa tidak terdapat perbedaan rerata skor kecakapan partisipatoris dengan indikator keahlian pemecahan masalah yang signifikan antara kelas kontrol dan eksperimen. Model Project Citizen untuk meningkatkan kecakapan partisipatoris berpengaruh kategori sedang, adanya pengaruh secara sedang antara model Project Citizen untuk meningkatkan kecakapan partisipatoris dapat dianalisis dari beberapa hal: yaitu adanya perubahan sikap. Hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan memberikan kecenderungan bertindak dalam menghadapi suatu obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran, perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk bertindak. Kesimpulan Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang model project citizen untuk meningkatkan kecakapan pendidikan kewarganegaraan pada konsep pengembangan sikap nasionalisme pada SMA Negeri 12 Banda Aceh. secara umum dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dan kategori sedang. Secara Umum dan khusus dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Kesimpulan Umum
Dari hasil analisis dan pengujian terhadap hipotesis yang dilakukan oleh peneliti serta hasil pembahasan, secara umum dapat disimpulkan bahwa penggunaan model project citizen dipandang dapat mempengaruhi dalam meningkatkan kecakapan kewarganegaraan (civic skills) pada konsep pengembangan sikap nasionalisme, yang pada dasarnya disenangi oleh siswa , ketika dalam pembelajaran di dalam dan di luar kelas. Model belajar project citizen merupakan suatu pembaharuan proses belajar dalam pendidikan yang cukup baik untuk dipratekkan dalam mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan karena dirasakan bermanfaat untuk siswa dalam kehidupannya. umumnya dan memecahkan suatu permasalahan pada khususnya.
2.
Kesimpulan Khusus Dari hasil analisis data dan temuan yang diperoleh dari lapangan tentang implementasi model project citizen untuk meningkatkan kecakapan kewarganegaraan siswa di SMA Negeri 12 Banda Aceh, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1.
Kelas eksperimen yang mendapatkan pembelajaran model project citizen terlihat perbedaan yang tidak senifikan tetapi mengalami peningkatan kategori sedang, untuk kecakapan kewarganegaraan. Pada pengukuran kecakapan kewarganegaraan terdapat perbedaan yang signifikan kecakapan kewarganegaraan antara siswa yang menggunakan model project citizen dengan pembelajaran konvensional. Hal ini dikarenakan pada tahap pengukuran kecakapan kewarganegaraan tersebut, siswa pada kelas eksperimen dapat melakukan sedikit lebih baik untuk indikator kecakapan intelektual dan kecakapan partisipatoris dilihat dari hasil pengukurannya melalui insrrumen untuk kecakapan intelektual dan kecakapan partisipatoris. 2. Kelas eksperimen yang mendapatkan pembeljaran model project citizen terlihat perbedaan yang signifikan untuk kecakapan intelektual. Terdapat perbedaan yang signifikan antara hasil siswa yang menggunakan model project citizen dengan kelas kontrol pada pengukuran akhir (post-test) untuk kecakapan intelektual. Hal ini dikarenakan pada tahap pengukuran kecakapan intelektual tersebut, siswa pada kelas eksperimen dapat melakukan dengan sangat baik bagaimana untuk berpikir kritis mengenai permasalahan yang menjadi bahan kajian kelas dimana siswa dapat berpikir dengan lebih efektif dan bertanggung jawab berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya. Dengan demikian siswa dapat mengidentifikasi dan membuat deskripsi, menjelaskan dan menganalisis mengenai permasalahan yang ada di sekitarnya. 3. Kelas eksperimen yang mendapatkan pebelajaran model project citizen terlihat perbedaan yang tidak senifikan untuk kecakapan partisipatoris. Tetapi tetapi adanya peningkatan kategori sedang. ,Pada pengukuran kecakapan partisipatoris terdapat perbedaan yang signifikan kecakapan partisipatoris antara siswa yang menggunakan model project citizen dengan yang tanpa perlakuan. Hal ini dikarenakan pada tahap pengukuran kecakapan tersebut, siswa pada kelas eksperimen dapat melakukan sedikit lebih baik untuk indicator kecakapan partisipatoris pada tahap pengukuran, siswa pada kelas eksperimen dapat melakukan dengan baik bagaimana untuk
berpartisipasi yang bertanggung jawab, efektif dan ilmiah, dimana siswa dapat berkomunikasi dan bekerjasama dengan baik dan santun. Kemudian pada tahap tersebut siswa dapat belajar dan berinteraksi dengan kelompok-kelompok kecil dalam rangka mcngumpulkan informasi, bertukar pikiran, dan menyusun rencana-rencana tindakan sesuai dengan pengetahuan yang siswa miliki. DAFTAR PUSTAKA Adha Mona. (2010), Model Projec Citizen Untuk Meningkatkan KecakapanKewarganegaraan Pada Konsep Kemerdekaan Mengemukakan Pendapat UPI, Bandung:Tidak diterbitkan. Arikunto, Suharsimi (2006) Prosedur Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik Jakarta; PT Rineka Cipta. Azra, A. (2006). “Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif Multikulturalisme”. Dalam Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas dan Modernitas. Bogor: Brighten Press. Branson, M.S. (1998). The Role of Civic Education. Calabasas: CCE. Budimansyah, D. (2009). “Project Citizen”UPI Bandung. ---------------------, (2002). Model Pembelajaran dan Penilaian Berbasis Portofolio. Bandung: PT. Genesindo. Budi
Utomo, (1995). Dinamika Pergerakan Kebangsaan Indonesia dari Kebangkitan Hingga Kemerdekaan. Semarang : IKIP Semarang Press.
Burhan, A.S. dan Muhammad, Agus (Eds.). 2001. Demokratisasi dan Demiliterisasi: Wacana dan Pergulatan di Pesantren. Jakarta: P3M. Dault, Adhyaksa.( 2005). Islam dan Nasionalisme: Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional. Jakarta: Pustaka al-Kautsar.. Danial AR, Endang dan Nanan Warsiah. 2007. Metode Penulisan Karya Ilmiah. Bandung : Laboratorium PKN FPIPS UPI.
Djahiri, K. (2003). Pemilihan Strategi Dan Media Pembelajaran dan Fortofolio Learning and Evalation Based. Jakarta: Depdiknas Komalasari,. (2008). Pengaruh pembelajaran Kontekstual Dalam pendidikan Kewarganegaraan Terhadap Kompetensi Kewarganegaraan Siswa SMP. Disertasi Doktor pada Sekolah Pascasarjana Universitas pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan. ---------------,. (2008). Pengaruh pembelajaran Kontekstual Dalam pendidikan Kewarganegaraan Terhadap Kompetensi Kewarganegaraan Siswa SMP. Acta Civicus, Vol. 2, No. 1, Oktober 2008, 77. Kahim, George Mc Turnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia. Refleksi Pergumulan Lahirnya Republik. Semarang: UNS Press. Maududi, Abul A’la. Tanpa Tahun. Islam Kaffah: Menjadikan Islam Sebagai Jalan Hidup. Terjemahan oleh Muhammad Humaidi. 2004. Jogjakarta: Cahaya Hikmah Maleong, Lexy J. 1999. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya. Nasution, S. 2001. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Bandung : Bumi Aksara. Somantri, M. Numan. (2001). Menggagas Pembaharuan Pendidikan IPS. Bandung: Remaja Rosdakarya. Suparlan, P. (2005). Sukubangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian. Suryadi, A. (2009). Mewujudkan Masyarakat Pembelajaran: Konsep, Kebijakan dan Implimentasi. Bandung: Genesindo.
Purwoko, Dwi. 2002. Dari bung Karno ke Megawati. Dalam Mega Wati Soekarno Putri,Presiden Republik Indonesia.Depok : Rumpun Dian Nugraha, Gema Pesona. Ristina, (2009), Pengaruh Project Citizent (Pembelajaran Berbasis Fortofolio) Dalam PKn Terhadap Pengetahuan Warga Negara (Civic Knowlage). Tesis Magister Pada Sekolah Pascasarjana UPI Bandung: Tidak diterbitkan. Triantoro,H.B. (2008). Erosi rasa kebangsaan Indonesia. Yayasan pananjung wibawa mukti: Jakarta. Tilaar, H.A.R. 2007. Mengindonesia Etnisitas dan Identitas Bangsa Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem pendidikan nasional Winataputra, Udin S. dan Budimansyah D, (2007), Civic Education, Konteks, landasan, Bahan Ajar dan Kuitul Kelas, Bandung,UPI Pres. -------------------------, (2007), Pendidikan Kewarganegaraan Dalam perspektif Internasional.Acta civicus, No. 1, Oktober 2007, Wahab, A.A. (2006). Pengembangan Konsep dan paradigm Kewarganegaraan baru Indonesia Bagi Terbinanya warga Negara Dimensional Indonesia” Dalam Pendidikan Nilai Moral dimensi PKn Menyanbut 70 tahun Prof.Drs. H.A.Kosasih Djahiri. Bandung: Laboratorium PKn FPIPS UPI. Yatim, Badri.( 2001). Soekarno, Nasionalisme. Bandung: Nuansa
Islam,
Dan
Efektifitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Tai ( Teams Assisted Individualization ) Dalam Peningkatan Hasil Belajar Siswa Kelas Xi Pada Materi Hidrolisis Garam Di Smti Negeri Banda Aceh Oleh : MARIATI MR Abstrak. Telah dilakukan penelitian ”Efektivitas Model Pembelajaran Kooperatif Tipe TAI (Teams Assisted Individualization) pada materi Hidrolisis Garam di SMTI Negeri Banda Aceh”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Teams Assisted Individualization) dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi Hidrolisis Garam. Populasi dan sampel dalam penelitian ini adalah siswa SMTI Negeri Banda Aceh kelas XI-A yang berjumlah 31 siswa yang terdiri dari 25 orang siswa laki-laki dan 6 orang siswa perempuan. Untuk mengetahui pengaruh efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Teams Assisted Individualization) pada materi Hidrolisis Garam dilakukan pre-test dan post-test, obsevasi terhadap keaktifan siswa, kemampuan guru dalam mengajar dan tanggapan siswa dari angket. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap aktivitas siswa dari pertemuan pertama sampai pertemuan kedua mengalami peningkatan dari 80,5% menjadi 83.3% dan keterampilan guru mengalami peningkatan dari pertemuan pertama sebesar 3,10 (75,5%) menjadi 3,30 (82,5%) pada pertemuan kedua. persentase ketuntasan hasil belajar siswa meningkat dari 80,5 % menjadi 83,3 %. Dengan demikian, hasil belajar siswa tuntas secara klasikal, aktivitas siswa dan keterampilan guru mengalami peningkatan dan sebagian besar siswa memberikan respon yang positif terhadap efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe TAI yaitu sebesar 87,9 %. Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan terhadap keaktifan siswa dan guru baik berdasarkan kriteria yang telah ditetapkan. Untuk mengetahui hasil belajar siswa dengan efektifitas model pembelajaran tipe TAI dilakukan analisis ketuntasan hasil belajar siswa. Berdasarkan data hasil pekerjaan rumah diperoleh 75%. Dengan demikian, ketuntasan hasil belajar secara klasikal dengan menerapkan tipe TAI telah tercapai. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa efektivitas model pembelajaran kooperatif tipe TAI pada materi Hidrolisis Garam di kelas XI-A SMTI Negeri Banda Aceh dalam meningkatkan hasil belajar siswa dan tanggapan siswa baik. Kata Kunci: Cooperative Learning Model, Type TAI. Pendidikan memegang peranan penting dalam proses pembangunan bangsa. Proses pendidikan perlu diarahkan untuk menyediakan atau membentuk tenaga terdidik yang profesional bagi kepentingan bangsa Indonesia. Pendidikan berkualitas merupakan hal yang penting yang merupakan dasar kualitas manusia Indonesia. Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan melalui perbaikan-perbaikan baik sarana maupun prasarana pendidikan. Seorang guru dituntut untuk memiliki kemampuan keterampilan, menampilkan materi yang akan diberikan oleh guru kepada siswanya. Apabila guru dapat menciptakan suasana yang membuat siswa termotivasi dan aktif dalam mengajar maka akan meningkatkan hasil belajar siswa sesuai dengan yang diharapkan.
Sehubungan dengan peranan guru, menurut Kuswana (2005:5) “salah satu kemampuan yang harus dimiliki oleh guru adalah memilih, menentukan metode dan model yang tepat dalam proses belajar mengajar”. Model pembelajaran sangat menentukan keberhasilan mengajar selain didukung oleh faktor materi, metode, kemampuan mengajar, serta realitas dan situasi kelas yang ada. Dalam memilih suatu model pembelajaran harus disesuaikan dengan realitas dan situasi kelas yang ada, serta pandangan hidup yang akan dihasilkan dari proses kerjasama yang dilakukan antara guru dan peserta didik. Menurut Jailani (2003:36) “tujuan pembelajaran kooperatif ini adalah untuk memotivasi siswa agar saling membantu meningkatkan kemampuan anggota kelompok, sehingga dapat meningkatkan motivasi sosial dan siswa akan bekerja keras sehingga hasilnya dapat
member sumbangan kepada kelompoknya”. Penerapan model pembelajaran yang bervariasi akan dapat mengurangi kejenuhan siswa dalam menerima pelajaran. Materi hidrolisis garam sangat sulit, karena pada sub materi hidrolisis garam siswa harus menentukan garam yang bersifat asam dan garam yang bersifat basa dari sifat larutan garam, menentukan sifat larutan garam dan konsep hidrolisis kemudian menghitung pH larutan garam sehingga dapat diterapkan model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Teams Assisted Individualization) dalam meningkatkan hasil belajar siswa didalam proses pembelajaran. Menurut Lie (2004:115) “Model pembelajaran kooperatif tipe TAI mengelompokkan siswa kedalam kelompok kecil yang dipimpin oleh seorang ketua kelompok yang mempunyai pengetahuan yang lebih dibandingkan anggotanya”. Kesulitan pemahaman materi yang dialami oleh siswa dapat dipecahkan bersama dengan ketua kelompok serta dengan bimbingan guru. Materi hidrolisis garam merupakan salah satu materi yang dapat diterapkan dengan mengunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Teams Assisted Individualization). Pemilihan materi hidrolisis garam ini, karena merupakan materi yang mempelajari tentang sifat larutan garam dan konsep hidrolisis, serta menghitung pH larutan garam. Berdasarkan uraian di atas, maka dilakukan penelitian guna membantu siswa dalam menguasai materi pada hidrolisis garam. METODE PENELITIAN 1. Pengumpulan Data Penelitian yang penulis laksanakan bersifat eksperimen, maka untuk memperoleh data yang diperlukan dalam penelitian ini penulis menggunakan instrumen penelitian sebagai berikut:
1) Tes awal (Pre-tes) Tes ini diberikan kepada siswa sebelum dimulai proses belajar mengajar. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan awal siswa sebelum proses belajar mengajar dimulai. 2) Tes Akhir (post-tes). Tes ini diberikan kepada siswa setelah berlangsungnya proses belajar mengajar. Tes ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan/ pengetahuan siswa setelah diterapakan pembelajaran kooperatif tipe TAI pada materi hidrolisis garam. a.
Angket. Angket pada penelitian ini berisikan tentang respon siswa terhadap model pembelajaran kooperatif tipe TAI yang telah diterapkan, dimana angket tersebut berisikan 8 pertanyaan dan di setiap pertanyaan terdapat alternatif jawaban ”ya” atau ”tidak” juga disertai alasan siswa mengapa memilih salah satu alternaif jawaban yang telah ditentukan. Angket ini akan diberikan pada pertemuan terakhir sebelum jam pelajaran berakhir. b.
Data yang diperoleh dalam penelitian ini kemudian dianalisis untuk mengetahui perkembangan yang dialami siswa dari setiap pertemuan, baik dari segi keaktifan siswa maupun hasil belajar siswa. 1. Aktivitas siswa. Aktivitas siswa diperoleh dari lembaran pengamatan, dianalisis dengan rumus seperti yang dikemukakan oleh Sudirman (2005 ) 100% 2.
a. Observasi. Penulis mengadakan pengamatan langsung ke lokasi penelitian yaitu pada SMTI Negeri Banda Aceh. Pengamatan tersebut bertujuan untuk mengetahui apakah penulis dapat melakukan penelitian dan apakah model pembelajaran kooperatif tipe TAI sudah diterapkan atau belum di sekolah tersebut. Penulis juga mengadakan pendekatan pada guru bidang studi, guna mengetahui masalah materi yang akan diajarkan dan juga untuk mengetahui jumlah siswa yang akan dijadikan sampel dalam penelitian tersebut. b. Tes. Tes merupakan sejumlah soal yang diberikan kepada siswa yang terpilih sebagai sampel. Tes ini diberikan kepada siswa dalam 2 tahap yaitu:
Analisis Data Dan Indikator Penelitian
Tes. Tes ini dilakukan untuk mengetahui hasil belajar siswa dengan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dengan rumus deskriptif persentase seperti yang dikemukakan oleh Sudjana (1992:5). 100% keterangan: P = Angka persentase. f = Frekuensi yang sedang dicari presentasenya. n = Jumlah keseluruhan sampel yang diteliti. Nilai yang diperoleh setelah dianalisis dengan rumus tersebut diatas telah tercapai jika memenuhi
3.
kriteria ketuntasan minimal (KKM) untuk materi hidrolisis garam yaitu sebesar 60. Nilai ketuntasan ini disesuaikan dengan nilai KKM di SMTI Negeri Banda Aceh tempat dilakukannya penelitian ini. Angket Angket pada penelitian ini terlampir di lampiran kuisioner respon siswa terhadap penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TAI (Teams Assisted Individualization) Pada materi hidrolisis garam di SMTI Negeri Banda Aceh.
HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Hasil Penelitan Untuk mengawali proses pembelajaran, peneliti memberikan tes awal (pre-test) yang tujuannya untuk mengukur kemampuan awal siswa. Data hasil belajar tahap awal dapat diperoleh dari pemberian soal pre-test yang dapat dipersentasekan dari hasil belajar siswa yang disajikan pada tabel dibawah ini.
Hasil Tes Awal (Pre-test) Siswa Kelas XI-A di SMTI Negeri Banda Aceh. Nilai Pre-Test
Keterangan (KKM ≥ 60)
Jumlah Siswa Tuntas dan Tidak Tuntas
60 - 100
Tuntas
13 siswa
Tidak 18 siswa Tuntas Sumber : Data diolah berdasarkan hasil penelitian di SMTI N Banda Aceh (2011) 0 - 59
Berdasarkan Tabel diatas maka dapat diketahui nilai ketuntasan hasil belajar siswa pada soal pre-test sebagai berikut: 1. Jumlah siswa yang tuntas secara individu adalah: 13 orang 2. Jumlah siswa yang tuntas secara klasikal adalah: 100% 13 100% 31
41,9% Data penelitian ketuntasan hasil belajar dapat diperoleh dari pemberian soal pos-test sebanyak 5 soal yang diberikan di akhir pembelajaran pada pertemuan kedua. Data penelitian ketuntasan hasil belajar siswa tersebut dapat dilihat dalam Tabel berikut ini.
Tabel Ketuntasan Hasil Belajar Siswa Kelas XI-A (Post-test)
Nilai Post-Test
Keterangan (KKM ≥ 60)
Jumlah Siswa Tuntas dan Tidak Tuntas
60 - 100
Tuntas
25 siswa
0 - 59
Tidak Tuntas
6 siswa
Sumber : Data di olah berdasarkan penelitian di SMTI N Banda Aceh (2011)
Berdasarkan Tabel diatas maka dapat diketahui nilai ketuntasan belajar siswa pada soal post-test: 1. Jumlah siswa yang tuntas secara individu adalah: 25 orang
2.
Jumlah siswa yang tuntas secara klasikal adalah: 100% 25 100% 31
80,6% 2, Pembahasan Sebelum dilaksanakan proses pembelajaran peneliti terlebih dahulu membuat suatu rumusan hipotesis. Rumusan hipotesis merupakan tanggapan awal sebelum melakukan penelitian, dimana tanggapan tersebut hasilnya bisa sesuai dengan keinginan kita dan juga bisa berbeda dengan hasil penelitian. Setelah test awal dikerjakan siswa, dilanjutkan dengan kegiatan pembelajaran pertemuan pertama yang dilaksanakan pada hari kamis tanggal 8 April 2011 pada pukul 09:15 sampai 10:45 WIB di kelas XI-A yang berjumlah 31 siswa. Dalam kegiatan belajar mengajar, peneliti menyampaikan materi hidrolisis garam sesuai dengan RPP yang telah disusun dengan menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe TAI yang sintak atau langkah-langkah pembelajarannya dilaksanakan secara sistematis, siswa dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil yaitu 6 kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 5 orang siswa. Langkah selanjutnya adalah menyampaikan tujuan pembelajaran dan mengarahkan siswa untuk dapat berdiskusi di kelompok masing-masing mengenai materi hidrolisis garam. Setelah melakukan pre test dan post test, peneliti terlebih dahulu melihat KKM yang ada di sekolah yang akan di teliti sesuai dengan standar kopetensi sekolah tersebut dengan materi Hidrolisis Garam. Setelah di dapatkan nilai KKM SMTI Negeri Banda Aceh, barulah peneliti mencari nilai ketuntasan secara individu dan ketuntasan secara klasikal di dalam proses belajar mengajar. Dari hasil penilitian diperolah nilai pre-test secara klasikal 55,4% (cukup) nilai ketuntasannya, dan nilai ketuntasan individunya 68,95, nilai post-test ketuntasan secara klasikal 72,9% (baik). dan nilai ketuntasan individunya 77,4%, hasil nilai pekerjaan rumah (PR) secara klasikal 75%. Kendala dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan tipe TAI pada pertemuan pertama adalah keterbatasan waktu yang dialokasikan untuk mata pelajaran kimia kelas XI hanya 90 menit dimana kesempatan siswa untuk berdiskusi sangat singkat sedangkan materi yang dibahas harus jelas dan tepat. Hal ini merupakan kelemahan dari tipe TAI yang membutuhkan waktu berdiskusi sekurangkurangnya 90 menit, jika waktu yang tersedia dapat lebih dari 90 menit maka pembelajaran akan lebih optimal.
KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan diatas maka dapat disimpulkan bahwa: a. Efektifitas model pembelajaran kooperatif tipe TAI dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada materi hidrolisis garam di SMTI Negeri Banda Aceh. Tingkat keberhasilan siswa pada materi hidrolisis garam secara klasikal mencapai ketuntasan 72,9% nilai post-test, dari 55,4% hasil nilai pre-test sebelumnya dan ketuntasan hasil nilai pekerjaan rumah (PR) secara klasikal mencapai 75%. b. Siswa sangat tertarik penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dilihat dari tanggapan (respon) positif siswa dalam lembaran angket yang dibagikan pada akhir pembelajaran yaitu sebesar 87,9%. 2.
Saran
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka penerapan model pembelajaran kooperatif tipe TAI dapat memberi pengaruh positif terhadap ketuntasan belajar dan mampu meningkatkan hasil belajar siswa kelas XI-A SMTI Negeri Banda Aceh. Namun demikian, untuk hasil yang lebih baik lagi diharapkan kepada guru bidang studi kimia agar dapat melakukan uji coba pembelajaran kooperatif tipe TAI untuk materi pokok bahasan lain yang dianggap sesuai. DAFTAR PUSTAKA Hakim, Thursan. 2002. Belajar Secara Efektif, Jakarta: Puspa Swaran, Rineka Cipta. Jailani, 2003. Pembelajaran Kooperatif. Jakarta: Bumi Aksara. Kuswana. 2005. Model, strategi, metode, gaya, (Online) (http: // Scied. Edu/Hassard/Mos/.,) diakses 4 Januari 2011. Lie, A. 2004. Cooperative Learning Memperaktekkan Kooperatif learning Diruang Kelas. Jakarta: PT.Gramedia Widiasarana Indonesia. Nurhadi. 2004. Pembelajaran Kooperatif. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. Purba, Micheal. 2006. Kimia Untuk SMA Kelas XI. Jakarta; Erlangga.
_____________2004. Kimia Untuk SMA Kelas XI. Jakarta; Erlangga. Slavin.
2002. Cooperative Learning, Theory, Research And Practi. Boston: Allyn and Bacon
Sudirman. 2005. Interaksi dan Motivasi Berlajar Mengajar, Jakarta: Rajawali Pers. Sudjana. 2001. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung, PT. Remaja Rosda Karya. Yuliadi, Dkk. 2007. Kimia 2 Tekhnologi Industri. Bandung: Armico
Pelaksanaan Supervisi Klinis Dalam Meningkatkan Profesional Guru Pada Sma Negeri 1 Ingin Jaya Kab. Aceh Besar Oleh Musriadi* dan Agus Jumaidi** ABSTRAK: Supervisi klinis terhadap guru merupakan salah satu bentuk aktivitas yang direncanakan untuk membantu para guru dalam melakukan pekerjaan secara efektif. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Tehnik pengumpulan data observasi, wawancara, studi dokumentasi. Subjek penelitian adalah kepala sekolah 1 orang, pengawas sekolah 1 orang dan guru 5 orang jadi totalnya sabjek penelitian adalah 7 orang. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa : (1) program supervise klinis yang dilaksanakan kepala sekolah dalam meningkatkan profesional guru melalui: (a) kegiatan kelompok, dilakukan dengan meningkatkan hubungan kerjasama yang harmonis antar guru, dan memotivasi keterlibatan guru dalam kelompok, dan (b) Kegiatan belajar individual guru, dilakukan pengawas sekolah dengan meningkatkan kemampuan akademik guru (penyusunan program pengajaran, pelaksanaan program pengajaan, pelaksanaan program pengajaran serta evaluasi hasil proses belajar) dan meningkatkan rasa sosial guru dengan pembinaan mental, moral, fisik (2). Pelaksanaan supervisi klinis dalam meningkatkan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya. kepala sekolah sangat berperan, karena kepala sekolah sebagai supervisor harus mampu melakukan pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan profesionalitas tenaga kependidikan.(3).Upaya pelaksanaan supervisi klinis dalam meningkatkan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya adalah dengan cara mengikutsertakan guru pada pelatihan- pelatihan, seminar, mengadakan rapat khusus yang mencakup tentang pembinaan dan peningkatan profesionali guru yakni KKG (Kelompok Kerja Guru) yang diadakan satu bulan sekali agar guru-guru di SMA Negeri 1 Ingin Jaya mempunyai wawasan yang lebih luas lagi tentang dunia pendidikan.(4). Hambatan supervisi klinis dalam meningkatkan kemampuan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya. Kurangnya kemampuan kepala sekolah mengadakan supervisi klinis secara efektif baik dari teknik-teknik supervisi yang digunakan maupun cara pemberian bimbingan merupakan salah satu penghambat kepala sekolah melaksanakan supervisi klinis. Kata Kunci: Supervisi, Klinis dan Profesional Guru
Era globalisasi merupakan era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang telah menimbulkan persaingan dalam berbagai bidang, yang menuntut masyarakat Indonesia untuk memantapkan diri dalam peningkatan kualitas dan sumber daya manusia yang unggul, mampu berdaya saing, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi serta mempunyai etos kerja yang tinggi. Suatu organisasi akan berhasil dalam mencapai tujuan dan programprogmmya jika orang-orang yang bekerja dalam organisasi tersebut dapat melaksanakan tugas-tugasnya dengan baik sesuai dengan bidang dan tanggung jawabnya. Agar orang-orang dalam organisasi tersebut dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, maka diperlukan seorang pemimpin yang dapat mengarahkan segala sumber daya menuju kearah pencapaian tujuan. Dalam suatu
organisasi, berhasil atau tidaknya tujuan tersebut sangat dipengaruhi oleh due faktor, yaitu Pemimpin dan orang yang dipimpinnya. Agar kepemimpinan yang dilaksanakan oleh pemimpin tersebut efektif dan efesien, salah satu tugas yang harus dilakukan adalah memberikan kepuasan kepada orang yang dipimpinnya. Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana, untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, Bangsa dan Negara.
Dalam pelaksanaan fungsi dan tugasnya, guru sebagai profesi menyandang persyaratan tertentu sebagaimana tertuang di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam pasal 39 (1) dan (2) dinyatakan bahwa: Tenaga kependidikan bertugas melaksanakan administrasi, pengelolaan, pengembangan, pengawasan, dan pelayanan teknis untuk menunjang proses pendidikan pada satuan pendidikan.Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan proses pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Untuk dapat melaksanakan tugas dan tanggung jawab diatas, seorang guru dituntut memiliki beberapa kemampuan dan ketrampilan tertentu. Kemampuan dan ketrampilan tersebut sebagai bagian dari kompetensi professional guru. Kompetensi merupakan suatu kemampuan yang mutlak dimiliki oleh guru agar tugasnya sebagai pendidik dapat terlaksana dengan baik. Percepatan arus informasi dalam era globalisasi dewasa ini menuntut semua bidang kehidupan untuk menyesuaikan visi, mini dan tujuan serta strateginya agar sesuai dengan kebutuhan dan tercapainya tujuan pembangunan. Peningkatan kualitas sumber days manusia (SDM) merupakan prayarat mutlak untuk mencapai tujuan pembangunan. Wahana untuk meningkatkan kualitas SDM tersebut adalah pendidikan, sehingga kualitas pendidikan harus senantiasa ditingkatkan. System pendidikan nasional senantiasa harus dikembangkan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan yang terjadi baik di tingkat local, nasional maupun global. Usaha untuk meningkatkan kualitas pendidikan yang paling mendasar adalah melalui proses pembelajaran disekolah, dimana sekolah sebagai lembaga terdepan dalam meningkatkan mute pendidikan dan tempat berlangsungnya kegiatan pembelajaran. Peningkatan SDM di sekolah, guru merupakan ujung tombak personil pendidikan di sekolah yang berhadapan langsung dengan peserta didik sehingga guru merupakan komponen pendidikan yang harus dibina dan dikembangkan terns
menerus. Sehubungan dengan hal tersebut, Surya (2003: 2) menyatakan: "Guru merupakan unsur utama dalam keselunthan proses pendidikan, khususnya di tingkat sekolah. Tanpa guru pendidikan hanya menjadi slogan muluk karena segala bentuk kebijakan dan progam pada akhimya ditentukan oleh kinerja guru". Guru mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk mendidik peserta didik dalam mengembangkan kepribadiannya, baik yang berlangsung di sekolah maupun di luar sekolah. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 14 Pasal 1 Tahun 2005 tentang guru menetapkan bahwa: "Guru adalah pendidik professional dengan tugas utama mendidik, mengajar, mengarah, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah". Upaya yang dilakukan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan membawa akibat pula kepada guru-guru yang ada sekarang. Perubahan yang tedadi akhibat perubahan kurikulum, penggunaan buku pelajaran dan proses belajar mengajar yang diseragamkan dalam kurikulum memerlukan penyesuaian terhadap guru-guru baik dalam memberi pelajaran, metode, yang dipergunakan, teknik dalam mengajar maupun sikap dalam mengajar yang serasi. Kepemimpinan seorang kepala sekolah sedikit banyak dapat mempengaruhi pendidikan di lingkungan sekolah. Sekolah jugs membutuhkan figur seorang pemimpin yang siap bekerja keras untuk dapat memajukan sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan di lingkungan sekolah yang dipimpinnya. Faktor lain yang berperan mempengaruhi pendidikan adalah kinerja guru yang berkualitas. Seorang guru dituntut untuk dapat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pendidikan di lingkungan sekolah terutama dalam hal belajar mengajar. Dunia pendidikan yang terns menerus dituntut untuk dapat menghasilkan, sumber daya manusia yang handal, sehingga dapat mengikuti perkembangan zaman. Pendidikan merupakan hak seluruh warga sesuai dengan tujuan negara yang terdapat dalam undangundang 1945 yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Dalam era globalisasi seperti sekarang ini, pendidikan merupakan salah satu kewajiban yang hares ditempuh oleh personal maupun sosial yang tidak bisa ditawar lagi. Karena pada dasarnya
pendidikan adalah merupakan proses sosial yang bertujuan untuk mengembangkan potensi hidup manusia guna menghadapi tuntutan zaman dimasa yang akan datang, seiring dengan perkembangan dan perubahan zaman yang semakin lama semakin bergeser. Peran tersebut sejalan dengan maksud supervisi pendidikan yang memberikan bantuan, layanan kepada guru dalam mengembangkan proses pembelajaran, dalam hubungan ini, maka supervisi pendidikan merupakan salah satu fungsi khusus dare pengawasan dalam manajemen pendidikan, kegiatan supervisi bukan saja memperbaiki kemampuan mengajar tipe jugs pengembangan kualitas guru.yang dilakukan cenderung kepada pemberian bantuan dalam rangka memajukan dan meningkatkan proses pembelajaran. Guru memengang peranan yang sangat penting dalam keseluruhan upaya proses belajar dalam pembelajaran. Semua upaya perubahan dapat di lihat kurikulum maupun penerapan metode mengajar yang bare sangat tergantung pada guru. Apabila seorang guru tidak meguasai bahan pelajaran, srategi belajar mengajar, motivasi siswa belajar siswa untuk maraih prestasi yang tinggi, maka segala upaya peningkatan kualaitas pendidikan tidak akan mencapai hasil yang maksimal. Guru yang profesional setidaktidaknya memiliki ciri sebagai berikut: mempunyai komitmen kepada peserta didik dan proses belajarnya, menguasai secara mendalam bahan pelajaran yang akan di ajarkannya, serta cara menyampaikannya kepada siswa, bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mampu berpikir sistematis tentang apa yangdi lakukannya, mengadakan refleksi dan koreksi, belajar dari pengalaman dan perhitungan dampaknya pada proses belajar mengajar, seyogiyanya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, sehingga tedadi interaksi yang luas dan profesional. Kemampuan profesional adalah kemampuan yang di isyaratkan kepada seseorang untuk dapat menyelesaikan pekedaan atau menduduki jabatan secara efektif dan efesien. Keahlian atau kemahiran dapat memiliki hanya dengan melalui proses pendidikan spesialisasi. Dengan demikian standar kemampuan profesional guru keahlian dan kemahiran yang secara baku di
persyaratkan pada guru untuk menyelesaikan tugas-tugas sebagai tenaga pendidikan. Undang-undang Republik Indonesia No. 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen menegaskan bahwa: profesi guru merupakan bidang pekedaan khusus yang di laksanakan bersadarkan prinsip sebagai berikut: memilki bakat, minat, panggilan jiwa dan idialisme, memiliki komitmen untuk memingkatkan mute pendidikan, keimanan, ketagwaan, dan akhlak mulia, memilki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas, memiliki kompetansi yang di perlukan sesuai dengan bidang tugas, memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan, memperoleh penghasilan yang di tentukan sesuai dengan prestasi kerja, memiliki kesempatan untuk mengembangkan profesional secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat, memiliki jaminan perlindungan hokum dan melaksanakan tugas keprofesionalan, memilki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur halhal yang berkaitan dengan tugas professional guru". Departemen pendidikan dan kebudayaan (2005: 73) menegaskan bahwa: "rendahnya pendidikan dewasa ini disebabkan rendahnya kemampuan guru dalam mengelola proses pembelajaran".Bertolak dari kenyataan bahwa para guru dewasa ini belum mampu bekerja sebagai guru profesional. METODE Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Data yang diperoleh dari responden digunakan sebagaimana adanya. Dengan demikian data hasil pengamatan diinterpretasi langsung dengan mengacu pada konsep dan teori yang relevan, kemudian disimpulkan. Moleong, (2005: 12) mengatakan: "Penelitian kualitatif pada hakekatnya mengandung ciri-ciri yaitu: Mempunyai sifat induktif (pengembangan konsep yang didasarkan atas data yang ads, (2) Melihat setting dan respons secara keseluruhan, (3) Memahami responden dari titik tolak pandangan peneliti, (4) Menekankan validitas penelitian pada kemampuan peneliti, (5) Menekankan setting alarm, (6) Mengutamakan proses daripada hasil, (7) Menggunakan nonprobablitas sampling, (8) peneliti sebagai instrument, (9) menganjurkan penggunaan
trianggulasi, (10) Menggantungkan pada teknik dasar studi lapangan dan (11) Mengadakan analisis data sejak awal penelitian. Inti penelitian secara kualitatif adalah sampainya temuan peneliti terhadap makna perilaku atau terra budaya yang merupakan alasan seseorang atau kelompok dalam melakukan suatu latar sosial. Lokasi penelitian pada seluruh SMA Negeri 1 Ingin Jaya, beralamat di Jalan Desan Lubuk Pasi Kecamatan Ingin Jaya. Penelitian dilaksanakan dari tanggal 13 September 2011 sampai dengan tanggal 22 November 2011. Penelitian ini mengambil lokasi pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya Maka subjek penelitian adalah kepala sekolah 1 orang, pengawas sekolah satu orang dan guru lima orang jadi totalnya sabjek penelitian adalah tujuh orang. Instrumen dalam penelitian adalah peneliti sendiri, sebab dalam penelitian yang menggunakan pendekatan kualitatif peneliti merupakan instrumen pokok sebagai peneliti sebagaimana yang dikatan oleh Nasution (2005: 18) yaitu: 1. Peneliti sebagai alat peka dan dapat bereaksi terhadap stimulus dare lingkungan yang harus diperkirakan bermakna, 2. Peneliti sebagai alat yang dapat menyesuaikan dire terhadap semua aspek keadaan Berta dapat mengumpulkan aneka data sekaligus, 3. Tiap situasi merupakan suatu keseluruhan. Tidak ada, suatu instrumen berupa tes atau angket yang dapat menangkap keseluruhan situasi, kecuali manusia. 4. Suatu situasi yang melibatkan interaksi manusia tidak dapat dengan pengetahuan semata-mata. Untuk memahami, kita perlu merasakannya, menyelaminya berdasarkan penghayatan kita. 5. Peneliti sebagai instrumen dapat segera menganalisis data yang diperoleh dan menafsirkannya. 6. Hanya manusia sebagai instrumen yang dapat mengambil kesimpulan berdasarkan data yang dikumpulkan pada suatu saat dan segera mengunakannya sebagai balikan untuk memperoleh penegasan, perubahan, perbaikan dan penolakan Sedangkan untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan supervise klims
dalam meningkatkan profesional guru pada di SMA Negeri 1 Ingin jays Aceh Besar, peneliti menggunakan wawancara dengan berpedoman pada pertanyaan yang telah dipersiapkan terhadap Kepala Sekolah Pengawas Sekolah dan Guru. Selain itu dokumentasi yang peneliti lakukan adalah untuk melihat kejadian terhadap proses supervisi klinis baik tentang teknik yang digunakan maupun kegiatan supervisi klinis. Sumber data dalam penelitian adalah subjek dare mana data diperoleh. Apabila peneliti menggunakan wawancara dalam pengumpulan datanya, maka sumber data disebut responden, yaitu orang yang merespon atau menjawab pertanyaanpertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan. Apabila peneliti menggunakan teknik observasi, maka datanya bisa berupa bends, gerak atau proses sesuatu. Peneliti mengamati tentang supervisi klinis dalam meningkatkan profesional guru, sedang objek penelitiannya adalah kepala sekolah dan guru. Apabila peneliti mengunakan dokumentasi, maka dokumen atau catatanlah yang menjadi sumber data, sedang catatan subjek penelitian atau variabel penelitian. Dalam penelitian ini, penulis sebagai human instrumen, menggunakan slat bantu seperti kamera digital , tape recorder, dan buku cacatan untuk memper elas ketika wawancara dengan responden. Peneliti sebagai instrumen mempunyai days penyesuaian yang cukup tinggi dengan situasi yang berubah. Nasution (2005: 59) mengatakan bahwa Catatan lapangan disusun melalui observasi, wawancara dan studi dokumen tali. Matra pengumpulan data pads kegiatan penelitian ini di lakukan dengan mengunakan teknik-teknik tersebut. Ketiga teknik ini dikombinasikan dan dapat diaplikasikan secara bersama, dengan diharapkan dapat memberikan informasi untuk memporoleh data yang diperlukan sehinga Baling melengkapi dan menunjang. Untuk memperoleh data dalam penelitian kualitatif ini secara akurat dan kredibel serta dapat di pertangung jawabkan, dan data yang di hasil kan tersebut benarbenar sesuai dengan masalah di lapangan yaitu dengan mengunakan metode observasi, wawancara, dan studi dokumentasi dengan rinciannya sebagai berikut: Teknik ini digunakan unuk mengamati gejala- gejala yang terwujud
ditempat penelitian, dengan metode ini peneliti dapat dengan lengkap memperoleh gambaran mengenai peristiwa dan gejalagejala yang bermakna bagi peneliti dan tempat dilakukan penelitian, Nasution (2005: 71). Pada kegiatan penelitian ini peneliti melakukan observasi. Di SMA Negeri 1 Ingin Jaya . Personil yang diobservasi adalah kepala Sekolah, wakil kepala sekolah dan lima orang guru, yang menjadi sorotan dalam observasi ini adalah supervise klinis dalam meningkatkan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Wawancara dilkukan sesuai dengan pendapat Nasution (2005: 71) mengatakan bahwa "peneliti hares mengetahui bagaimana responden yang sebenarnya, dalam penelitian kualitatif untuk mengetahui bagaimana persepsi responden terhadap dunia kenyataannya Peneliti berkomunikasi langsung dengan responden melalui wawancara. Teknik ini digunakan untuk menggali dan memperoleh data atau informasi lebih dalam dan relevan dengan masalah yang diteliti, teknik wawancara berstruktur dan wawancara tak berstruktur, wawancam berstruktur ditujukan kepada kepala sekolah dan guru. Teknik wawancara berstruktur yang ditujukan kepada kepala madrasah dan guru dilakukan melalui pertanyaan yang telah dipersiapkan sesuai dengan masalah yang diteliti dengan berpedoman pada daftar wawancara da dibantu dengan subjek penelitian sebagai responder. Sedangkan wawancara tidak berstruktur muncul apabila informasi berkembang diluar pertanyaan- pertanyaan berstruktur namun tidak lepas dari permasalahan penelitian. Kegiatan wawancara ini dimaksud unutk mengetahui supervisi klinis dalam meningkatkan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya Kabupaten Aceh Besar. Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi, meskipun data penelitian naturalistik, kebanyakan data diperoleh dari sumber manusia melalui observasi dan wawancara untuk melengkapinya dilakukan studi dokumentasi, yang dimaksud dengan dokumentasi adalah tulisan, catatan harian, surat dan dokumen resmi, digunakan untuk mengkaji terhadap peristiwa, objek dan tmdakan yang dimkam dalam bentk tulisan lainnya. Melalui studi dokumentasi dapat ditemukan perbadaan antara hasil observasi dan wawancara dengan yang terdapat dalam
dokumen. Kemudian ditelaah dan diinterpretasikan secara menyeluruh, dengan demikian data dokumetasi yang diperoleh dari madmsah benar- benar berfungsi sebagai data tambahan untuk mendukung kesempurnaan dari data yang dibutuhkan, Nasution (2005: 71). Sebagai telah dijelaskan bahwa bahwa penelitian ini bersifat deskripsi evaluatif, maka dalam upaya mengolah dan menafsir data yang sudah terkumpul dilakukan melalui proses membandingkan dengan teori-teori maupun petunjuk pelaksanaan, artinya dasar tersebut di arahkan untuk mengevaluasi kondisi realistic kegiatan pelaksanan dilapangan. Untuk kepentingan itu peneliti melakukan pengolahan dan penafsiran data dengn tehnik analisis kualitatif Teknik kualitatif tersebut bertujuan untuk mengungkapkan hambatan hambatatan serta usaha-usaha yang dilakukan oleh supervesor terhadap guru disekoalah tersebut. Analisis data dalam penelitian kualitatif ini dilakukan dengan mengikuti prosedur atau langkah-langkah seperti yang dikemukan oleh Moleong (2005 : 129-130) yaitu reduksi data, display data dan mengambil kesimpulan dan verifikasi. Tehnik dan penafsiran data tersebut dilkaukan dengan tahapan sebagai berikut: a. Verifikasi data, dalam kegiatan ini peneliti melakukan pengujian atau kesimpulan yang telah diambil dan membandingkan dengan teori-teori yang relevan serta petunjuk pelaksanaan. Penetapan pengujian kesimpulan di hubungkan dengan data awal melalui kegiatan memberchek sehingga akan menghasilkan suatu penelitian. b. Reduksi data, pada tahap ini data yang sudah terkumpul diolah dengan tujuan untuk menemukan hal-hal pokok dalam pemberian bantuan oleh supervesor terhadap guru pada sekoalah tersebut. c. Display data, pada tahap ini peneliti membuat rangkuman temuan penelitian secara sistematis sehingga pola dan fokus pelaksanaan dan hambatan mudah diiketahui , melalui kesimpulan, data tersebut diberi makna yang relevan dengan fokus penelitian. Derajat kepercayaan sebagai proses memperoleh data secara akurat sesuai dengan fakta yang sebenamya, dilakukan untuk mendukung kebenaran fakta sehingga tidak ter adi bias dalam menerjemahkan
informasi sumber data. Peneliti berupaya melakukan komunikasi kepada sumber data sehingga data lebih terjamin kebenarannya. Seluruh proses ini dilakukan secara tekun, dan tidak henti-hentinya melakukan triangulasi ke berbagai data. Seluruh proses kepercayaan dilakukan dengan mengkonfirmasinya secara berulang kepada sumber data. Pada saat yang bersamaan, proses internal itu diiringi dengan proses transferabilitas. Derajat kepercayaan ini akan mendukung proses keterahlian hasil penelitian sehingga memngkinkan dapat diterima dan digunakan dalam situasi tertentu. Proses internal dan eksternal telah berlangsung sebagai proses pensahihan data, untuk selanjutnya adalah menguji data apakah sudah dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya. Proses ini memerlukan persamaan jawaban, sehingga diketahui bahwa hasil penelitian ini relatif sama jika dilakukan dalam situasi yang lain. Langkah selanjutnya untuk menunjukkan bahwa kesemua proses pensahihan ini dapat dipertanggungjawabkan, adalah melakukan uji kebenaran terhadap seluruh data yang telah dikumpulkan. Seluruh langkah-langkah yang telah dilakukan tidaklah terpisah sate sama lainnya, secara bersamaan untuk membuktikan kebenaran data, upaya konfirmasi dilakukan dengan mengecek kebenaran data dari berbagai sumber yang dapat memberikan data secara utuh. Upaya konfirmasi secara terus-menerus dilakukan untuk menjamm kebenaran data. Kriteria kebenaran data mengutamakan hasilhasil dengan prinsip objektivitas, tujuannya agar diperoleh data sesuai dengan fakta sehingga menghindari bias dalam menedemahkan data yang diperoleh dari setiap responden. Bab ini mengemukakan tentang hasil penelitian yang diperoleh dari wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Selain informasi yang diperoleh dari kepala sekolah, informasi juga diperoleh berdasarkan hasil triangulasi dengan guru guna mencari keabsahan data. Hasil penelitian selanjutnya dideskripsikan, kemudian dilakukan pembahasan. Informasi yang dikehendaki adalah pelaksanaan supervisi klinis dalam meningkatan profesional guru pada SMA Negeri I Ingin Jaya Aceh Besar. Banyak informasi yang didapat dan juga beberapa temuan yang perlu dikaji, terutama dari pihak Pengawas Sekolah dan
peningkatan profesional guru tentang peningkatkan professional guru. Sistematika bab ini dimulai dari pendeskripsian, penafsiran dengan trianggulasi kemudian di akhiri dengan kegiatan member check, sesuai dengan metode penelitian yang digunakan. A. Hasil Penelitian 1.Program supervisi Klinis dalam meningkatkan kemampuan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya. Program pelaksanaan supervisi klinis dalam meningkatkan profesional guru berdasarkan hasil wawancara adalah: a) Pembinaan kinerja guru dalam kelompok, dan b) Pembinaan individual guru Berilkut merupakan penjabaran dari hasil wawancara dengan pengawas sekolah tentang kegiatan supervisi klinis dalam meningkatan profesional guru pads SMA Negeri 1 Ingin Jaya Aceh Besar. a. Kegiatan pembinaan kelompok Guru merupakan bahagian paling penting dari pelaksanaan PBM, maka keberadaan guru yang profesional merupakan kebutuhan mutlak. Kualitas mengajar guru sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan dengan bidang studi yang diasuhnya. Berdasarkan hasil wawancara. dengan pengawas sekolah dalam meningkatan profesional guru melalui pengingkatan ker asama guru dalam kelompok, kepala sekolah melakukan kegiatan berupa: (1) menggerakkan guru, dan (2) mendorong keterlibatan seluruh guru. Menggerakkan guru melalui keda sama kelompok dimaksudkan untuk meningkatkan keda sama dengan guru dan pihak lain yang terkait dalam melaksanakan setiap kegiatan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepala sekolah senantiasa berusaha untuk mendayagunakan seluruh sumber-sumber daya organisasi dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Hasil wawancara dengan pengawas sekolah tentang peningkatan profesional guru sebagai berikut: Saya membina kegiatan kelompok pads guru karena guru senantiasa bekerja dengan melalui orang lain, berusaha untuk senantiasa bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkan setiap tindakannya dengan waktu dan menggunakan semua sumber daya yang ada untuk menghadapi berbagai persoalan, melalui ker asama dalam kelompok, saya mengharapkan guru dapat berfikir secara
analitik dan konseptual. Pengawas Sekolah berdasarkan hasil wawancara, mengatakan kepala sekolah dalam pembinaan kelompok jugs menjadi penengah dalam memecahkan berbagai masalah yang dihadapi oleh pars guru dalam pelaksanaan ker asama, serta berusaha untuk mengambil keputusan yang bijak bagi semua bawahannya. Pengawas Sekolah dalam suatu wawancara mengatakan pendapatnya mengenai pembinaan kedasama guru dalam kelompok, yaitu: Dalam membina kegiatan kelompok melalui kerjasarna antara guru, saya melakukan pembinaan peningkatan disiplin, motivasi, komitmen, memberikan keteladanan, mendorong kreatifitas, memperkenalkan berbagai ide dan mengadakan pendekatan pribadi (hubungan personal) balk terhadap guru, maupun terhadap pegawai administrasi. Dari kesemuanya itu, yang paling penting dan paling berat adalah bagaimana menjalin kekompakan seluruh guru di sekolah, sehingga semuanya menyadari tugas dan kewajiban masing-masing. Selanjutnya, hasil wawancara dengan Pengawas Sekolah mengatakan bahwa: Pembinaan Pengawas Sekolah terhadap professional guru dalam kegiatan kelompok adalah memotivasi guru agar terlibat dalam setiap kegiatan sekolah, dan berusaha untuk mendorong keterlibatan semua guru dalam setiap kegiatan di sekolah (partisipatif). Kepala sekolah melakukan arahan ker asama dalam kelompok biasanya dilakukan jika ada kegiatan-kegiatan di sekolah, hal ini dilaksanaka agar guru menyadari tugasnya dalam kelompok, sehingga tidak akan adanya ketimpangan dalam pelaksanaan tugas dalam kelompok. Hasil penelitian partisipatif guru yang dilaksanakan Pengawas Sekolah berpedoman pada asas tujuan, asas keunggulan, asas mufakat, asas kesatuan, asas persatuan, asas empirisme, asas keakraban dan asas integritas. Dalam membina kegiatan kelompok, Pengawas Sekolah juga. melaksanakan. "team teaching" yaitu mengembangkan kegiatan pembelajaran dimana dalam satu mats pelajaran dipegang oleh beberapa guru (team), sesuai dengan keahlian masingmasing. Mengembangkan metode mengajar dengan menggunakan infocus, televise (TV) dan video compact disk (VCD). b. Kegiatan pembinaan individual
Pembina kinerja individual guru, dilakukan kepala sekolah melalui supervise terhadap kemampuan mengajar guru (akademik) dan meningkatkan rasa sosial guru terhadap tugas dan tanggung jawab. Kegiatan Pengawas Sekolah terhadap tanggung jawab guru dalam mengajar berhubungan dengan: penyusunan program pengajaran, pelaksanaan program pengajaran dan evaluasi hasil proses belajar. Pengawas Sekolah berdasarkan hasil wawancara mengatakan bahwa membina guru dalam membuat perencanaan program pengajaran berupa program kerja tahunan. Pemberian bimbingan, perencanaan yang dilakukan berpijak pada program yang telah disusun dan terdiri atas beberapa sub bidang. Pengawas Sekolah terhadap guru dalam upaya perencanaan program pengajaran, berdasarkan hasil penelitian adalah: (1) memotivasi dan meminta tiap kelompok MGMP menyusun program pengajaran, (2) menyediakan dan membagi kalender pendidikan, buku tulis dan alai tulis, (3) memberi dispensasi untuk merevisi program pengajaran yang telah dibuat, (4) memanggil guru untuk. memperlihatkan program pengajaran yang telah disusun dan (5) mencatat kelengkapan program pengajaran dalam buku pembinaan staf (guru). Selanjutnya hasil wawancara dengan Pengawas Sekolah tentang pelaksanaan program pengajaran adalah: Pembinaan terhadap guru dalam penguasaan materi pelajaran dilakukan kepala sekolah dengan membuat kelompok MGMP di ruang guru, menyediakan buku-buku sumber yang diperlukan oleh guru, mendorong guru-guru untuk mendalami materi pelajaran, mendorong guru untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang strata lebih tinggi dan mengaktifkan MGMP. Upaya ini sangat bermanfaat dalam meningkatkan tanggung jawab guru Hasil penelitian jugs menunjukkan bahwa pembinaan kepala Pengawas Sekolah dalam memilih dan mengembangkan media pendidikan adalah: menyediakan buku-buku sumber, mendorong guru untuk mengkaji tentang memilih dan mengembangkan media dalam kegiatan MGMP, mendorong berlatih memilih media yang tepat, mendorong berlatih untuk membuat media yang sederhana, dan berlatih menggunakannya dan menyediakan media dan bahan untuk membuatnya. Evaluasi hasil proses mengajar
merupakan proses akhir dari sebuah per alanan proses belajar mengajar di kelas pads setiap akhir dari sebuah materi pelajaran. Evaluasi diperlukan untuk melihat sejauh mana kemampuan siswa dalam menyerap materi yang telah diajarkan. Namur demikian proses evaluasi yang dilakukan oleh guru haruslah mendapat pembinaan dari kepala sekolah, agar diperoleh hasil dan tujuan sesuai yang diharapkan. Pembinaan kepala sekolah terhadap guru dalam membuat evaluasi meliputi: (a) kegiatan evaluasi dan (b) melaksanakan program perbaikan dan pengayaan. Hasil wawancara dengan Pengawas Sekolah, Kegiatan kepala sekolah dalam membina guru untuk memahami kegiatan penilaian adalah : (1) mendorong guru untuk menyusun program evaluasi, (2) menyediakan buku petunjuk penilaian dan (3) mendorong guru untuk mengkaji kegiatan penilaian dalam kelompok MGMP. Hasil wawancara dengan Pengawas Sekolah mengatakan: Kegiatan terhadap guru dalam melakukan program perbaikan dan pengayaan bertujuan: (a) mendorong guru-guru untuk menganalisis hasil evaluasi, (b) mendorong guru-guru untuk membuat dan melaksanakan program perbaikan dan pengayaan dan (c) mendorong guru membuat program perbaikan dan pengayaan jadwal jam tatap muka. Selanjutnya, kegiatan pembinaan social yang dilakukan Pengawas Sekolah terhadap guru melalui: pembinaan mental, moral, fisik, dan artistik. Berdasarkan hasil wawancara dengan Pengawas Sekolah tentang kegiatan pembinaan mental guru seperti berikut: Kegiatan pembinaan mental berkaitan dengan penciptaan suasana yang kondusif agar setiap guru dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaikbaiknya, sesuai dengan tugasnya masingmasing secara professional. Pembinaan moral dilakukan untuk membina para guru tentang hal-hal yang berkaitan dengan ajaran baik buruk mengenai perbuatan, sikap dan kewajiban sesuai dengan tugas setiap guru secara proposional. Kegiatan pembinaan fisik, Pengawas Sekolah dalam suatu wawancara mengatakan bahwa kepala sekolah membina para guru tentang hal-hal yang berkaitan dengan kondisi jasmani atau badan, kesehatan dan penampilan mereka secara lahiriah. Misalnya kepala sekolah senantiasa memberikan dorongan agar para
guru terlibat secara aktif dalam kegiatan olah raga di sekolah, terutama senam pagi yang dilaksanakan setiap hari jum'at. Pembinaan astistik, yaitu membina guru tentang hal-hal yang berkaitan dengan kepekaan manusia terhadap seni dan keindahan. Menurut Pengawas Sekolah, hal ini biasanya dilakukan melalui kegiatan karya wisata yang dilaksanakan setiap akhir tahun ajaran yaitu mengisi kekosongan jam pelajaran, dimana sekolah membuat kegiatan ekstrakulikuler berupa berbagai perlombaan. 2.Supervisi KliniS dalam meningkatkan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya. Dalam pelaksanaan supervisi klinis dalam meningkatkan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya kepala sekolah sangat berperan, karena kepala sekolah sebagai supervisor harus mampu melakukan pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan profesionalitas, tenaga kependidikan. Pengawasan dan pengendalian ini merupakan kontrol agar kegiatan kependidikan disekolah terarah pada tujuan yang telah ditetapkan. Pengawasan dan pengendalian juga merupakan tindakan preventif untuk mencegah agar tenaga kependidikan tidak melakukan penyimpangan dan lebih berhati-hati dalam melakukan peker aannya. Dalam menjalankan tugas sebagai supervisor kepala sekolah dibantu oleh staf-staf bawahannya sesuai dengan tugasnya masing-masing. Sebagai supervisor kepala sekolah SMA Negeri 1 Ingin Jaya harus senantiasa memberi stimulus pada guru-guru didalam menjalankan tugasnya dengan sebaikbaiknya. Berkenaan dengan hal ini peneliti melakukan wawancara dengan bapak kepala sekolah SMA Negeri 1 Ingin Jaya: "Untuk mengaktifkan guru-guru dan pars pegawai sekolah dalam menjalankan tugasnya kami melakukan musyawarah setiap sate minggu sekali yang dilakukan setiap hari jumat. Menurut kami musyawarah merupakan hal yang paling penting". Selain itu kepala sekolah hares senantiasa berusaha mengadakan dan melengkapi alai-alai perlengkapan sekolah
termasuk media instruksional yang diperlukan bagi kelancaran proses belajar. Mengenai hal ini peneliti melakukan wawancara dengan waka kurikulum sebagai berikut: "Kepala sekolah selalu mendorong dan memotivasi guru, memfasilitasi guru dengan menyediakan media pembelajaran yang dibutuhkan. Guru tidak mengeluarkan dana untuk pembelajaran, sehingga guru tidak merasa keberatan dan selalu termotivasi untuk memajukan anak didiknya. Selain itu kepala sekolah senantiasa mempertinggi ilmu pengetahuan guru dengan mengadakan pelatihan-pelatihan, mengirim mereka untuk mengikuti seminar, diktat, MGW dan hal-hal yang meningkatkan profesionalitas mereka. Dengan demikian berdasarkan hasil wawancara dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan supervisi klinis dalam meningkatkan profesional guru belum efektif pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya. 3. Upaya pelaksanaan supervisi klinis dalam meningkatkan kemampuan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya. Upaya pelaksanaan supervisi klinis dalam meningkatkan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya adalah dengan cam mengikutsertakan guru pada pelatihanpelatihan, seminar, mengadakan rapat khusus yang mencakup tentang pembinaan dan peningkatan profesionali guru yakni KKG (Kelompok Ke6a Guru) yang diadakan satu bulan sekali agar guru-guru di SMA Negeri 1 Ingin Jaya mempunyai wawasan yang lebih lugs lagi tentang dunia pendidikan. Sama halnya yang diungkapkan oleh waka kurikulum yaitu: "Upaya yang sudah dilakukan kepala sekolah untuk meningkatkan profesional guru adalah mengupayakan guru untuk mengikuti berbagai seminar, workshop, diklat khusus untuk penulisan karya ilmiah, dan MGMP, yang diadakan didalam maupun diluar sekolah". Selain yang diupayakan oleh kepala sekolah, ada upaya yang dilakukan oleh guru sendiri dalam meningkatkan profesionalnya. Berikut hasil wawancara dengan guru SMA Negeri 1 Ingin. Jaya: " Kami sebagai guru juga melakukan upaya sendiri dalam meningkatkan profesional, yaitu dengan melanjutkan studi seperti: mengikuti kursus, selalu mengikuti
perkembangan pendidikan dan membaca buku-buku kontemporer yang berkaitan dengan tugas guru dalam membangun anakanak bangsa, serta rajm membaca koran, majalah,dan lain-lain" Selanjutnya wawancara dilakukan dengan guru yang berbeda, menjelaskan tentang upayanya sendiri dalam meningkatkan profesional. guru: "Upaya yang kami lakukan sendm dalam memngkatkan profesional guru yakni dengan mengadakan musyawarah antar guru untuk membahas masalah yang berkaitan dengan peningkatan profesional, dan juga dengan banyak membaca bukubuku tentang pendidikan dan kami juga Bering melakukan sharing dengan guruguru lainnya". Oleh karena. itu Bapak selaku kepala sekolah di SMA Negeri 1 Ingin jaya memiliki peran penting dalam membangkitkan semangat kerja guru-guru yang dipimpinnya, sehingga setiap ada pertemuan seperti rapat, beliau selalu menggerakkan dan memotivasi scluruh para. guru agar mereka selalu bersikap, aktif dalam bekerja dan selalu berusaha untuk mengembangkan diri sesuai dengan bidangnya. Dengan demikian maka pars guru semakin cakap dan terampil dalam melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dibidang tersebut. dan dengan diadakannya pelatihanpelatihan seperti kegiatan work shop, MGMP, dan rapat diharapkan dapat meningkatkan profesional guru dalam proses belajar mengajar dan dapat menyelesaikan problem-problem pendidikan yang muncul serta dapat membuat kiat-kiat khusus dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan di SMA Negeri 1 Ingin Jaya. 4.Hambatan supervisi klinis dalam meningkatkan kemampuan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya. Dalam mewujudkan peningkatan profesional guru, seringkali dihadapi berbagai masalah yang dapat menghambat perwujudannya. Secara garis besar hambatan-hambatan itu menurut kepala sekolah adalah: "Hambatan yang dihadapi adalah tidak semua guru memiliki motivasi yang sama dalam meningkatkan kuahtas dirinya, sehingga ada guru yang mampu mengikuti dengan cepat dan menyesuaikan
dengan lingkungan, tetapi juga ada yang tidak mampu mengikuti pola yang kits kembangkan sesuai dengan harapan". Kurangnya kemampuan kepala sekolah mengadakan supervisi klinis secara efektif baik dare teknik-teknik supervisi yang digunakan maupun cars pemberian bimbingan merupakan salah satu penghambat kepala sekolah melaksanakan supervise klinis. Hasil wawancara dengan Pengawas Sekolah mengatakan: Pelaksanaan supervisi yang saya lakukan selama ini belum membawa hasil yang optimal dalam meningkatkan kemampuan professional guru. Supervisi klinis yang saya lakukan hanya observasi kelas dan melihat pendatan mengajar guru serta mengadakan pendekatan dengan memanggil guru yang kurang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan baik. Dalam diskusi kelompok saya hanya memantau perkembangan diskusi kelompok tanpa ikut terlibat di dalamnya. Berikut adalah hasil wawancara berkaitan dengan hambatan yang dihadapi dalam Kepala Sekolah dalam hal pelaksonsan supervisi klinis di SMA Negeri 1 Ingin Jaya menurut kepala sekolah. Selaku kepala sekolah SMA Negeri 1 Ingin Jaya mengatakan sebagai berikut : "Dalam hal pelaksanaan supervisi klivis guru merasa kesulitan dalam. mengadakan penilaian guru secara mandiri, hal ini dikarenakan guru yang kurang sadar terhadap tugas dan tanggung jawabnya sebagai guru. Hambatan selanjutnya yaitu dalam hal pelaksanaan model-model pembelajaran. Misalnya pada saat guru tersebut diutus oleh kepala sekolah untuk mengikuti pelatihan maka guru tersebut tidak pernah mempresentasikan hasil pelatihannya kepada guru-guru lain. Wawancara dengan Pengawas Sekolah mengenai hambatan supervisi klinis yang dilakukan kepala sekolah adalah: Supervisi yang dilakukan kepala sekolah dalam satu tahun pelajaran cuma satu kali, kemudian supervisi juga dilakukan oleh guru senior yang ditunjuk oleh kepala sekolah. Mungkin kepala sekolah banyak kegiatan lain yang hares diselesaikan. Hasil supervisi diberitahukan kepada kepala sekolah, kami hanya dipanggil dan diberi arahan mengenai beberapa kelemahan dalam pembelajaran di dalam kelas. Namun ada beberapa guru, kepala sekolah langsung mengadakan
supervisi dalam kelas. Tetapi kepala sekolah tidak pernah mendemonstrasikan cara mengajar yang baik. Hasil wawancara dengan Pengawas Sekolah mengatakan bahwa supervisi yang dilakukan kepala sekolah secara terbuka, konsisten, dan penuh humor namun tidak berkesinambungan artinya supervisi yang dilaksanakan tidak dilakukan hanya sekali dalam satu tahun, seharusnya kepala sekolah secara kontinue melakukan supervisi, terutama terhadap guru yang masih kurang mampu dalam mengajar. B. Pembabasan Hasil Penelitian. 1.
Program supervisi Klinis dalam meningkatkan kemampuan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya.
Supervisi klinis dalam meningkatkan profesional guru merupakan suatu proses bimbingan dari pihak yang berkompeten kepada guru-guru dan par personalia sekolah lainnya yang langsung menangani belajar para siswa, untuk memperbaiki situasi belajar mengajar, agar para siswa dapat belajar secara efektif dengan prestasi belajar yang semakin meningkat. Istilah pembimbingan mengacu kepada usaha yang bersifat manusiawi, demokratis dan tidak otoriter, yang dilakukan oleh pihak yang memiliki kompetensi dalam bidang supervisi. Memperbaiki situasi beker a dan belajar efektif mengandung makna beke6a dan belajar secara berdisiplin, bertanggung jawab dan memenuhi akuntabilitas. Purwanto (2005:76) mengemukakan bahwa. "Pembinaan terhadap guru merupakan salah satu bentuk/jenis aktivitas pembinaan yang direncanakan untuk membantu para. guru dalam melakukan peker aan mereka secara efektif'. Salah satu supervisi klinis yang dilakukan oleh kepala sekolah dalam membina guru secara kontinu adalah membina tanggung jawab dalam menjalankan tugas. Tugas guru yang utama dalam kegiatan pembelajaran adalah menyusun program, melaksanakan program pengajaran, dan mengevaluasi hasil pengajaran. Kemampuan guru untuk mengelola proses belajar mengajar tidak te6adi secara kebetulan, melainkan hares dilakukan pembinaan terutarna oleh kepala. sekolah. Pembinaan itu diarahkan agar guru mampu melaksanakan pembelajaran yang
efektif yaitu dalam arti positif, efektif dan dalam suasana yang menyenangkan. Hamalik (2006:40) mengatakan: Guru bertanggung jawab melaksanakan kegiatan pendidikan di sekolah dalam arti memberi bimbingan dan memberi pengajaran kepada para siswa. Tanggung jawab ini direalisasikan dalam bentuk melaksanakan pembinaan kurikulum, menuntun para siswa belajar, serta menilai kemampuan belajar para siswa, agar mampu mengemban dan melaksanakan tanggung jawabnya, maka, setiap, guru harus memiliki berbagai kompetensi yang relevan dengan tugas dan tanggung jawab tersebut. Proses belajar mengajar sebagai inti dari proses di sekolah, dalam hal ini gurulah sebagai pemegang peranan utama. Berad, keberhasilan pembelajaran ditentukan oleh kemampuan guru dalam mengelolaa proses belajar mengajar. Pembinaan utama, secara umum adalah sebagaimana dijelaskan Mulyasa, (2005: 141) adalah: (1) pembinaan kemampuan guru dalam merencanakan pengajaran, (2) pembinaan kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar dan (3) pembinaan kemampuan mengevaluasi/penilaian pengajaran. Supervisi klinis dalam meningkatkan professional guru merupakan hal yang penting dan perlu mendapat perhatian kepala sekolah, baik secara kualitatif maupun kuantitatif Guru yang professional diharapkan mampu melaksanakan tugas dengan baik.. Supervisi klinis dalam meningkatkan professional guru yang dilakukan dengan berbagai kegiatan seperti kesempatan untuk mengikuti kegiatan formal ke jenjang yang lebih tinggi, penataran, diskusi, saran, bimbingan, teguran, kritikan, dan sebagainya, diharapkan guru memperoleh pengetahuan dan pengalaman yang dapat meningkatkan profesionalnya.
2.
Pelaksanaan supervisi klinis dalam meningkatkan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya.
Dalam menjalankan tugas sebagai supervisor kepala sekolah dibantu oleh stafstaf bawahannya sesuai dengan tugasnya masing-masing. Sebagai supervisor kepala
sekolah SMA Negeri 1 Ingin Jaya hams senantiasa memberi stimulus pada guruguru didalam menjalankan tugasnya dengan sebaik-baiiknya, Mulyasa (2005:111) Supervisi berfungsi membantu, memberi support dan mengajak mengikutsertakan. Dilihat dari fungsinya, tampak dengan jelas peranan supervise itu. Peranan itu tampak dalam kiner a supervisor yang melaksanakan tugasnya. Mengenai peranan supervisor, Sahertian (2005: 25) mengemukakan: "Seorang supervisor dapat berperan sebagai (1) koordinator, (2) konsultan, (3) Pemimpin kelompok dan (4) Evaluator". Berikut merupakan uraian dari 4 (empat) pesan supervisor". a) Sebagai koordinator, supervisor dapat mengkoordinasi program belajar mengajar, tugas-tugas anggota staf berbagai kegiatan yang berbedabeda diantara guru-guru. Contoh konkret mengkoordinasi tugas mengajar sate mats pelajaran yang dibina oleh berbagai guru. b) Sebagai konsultan, supervisor dapat memberi bantuan, bersama mengkonsultasikan masalah yang dialami guru baik secara individual maupun secara kelompok. Sebagai pemimpin kelompok, supervisor dapat memimpin sejumlah staf guru dalam mengembangkan potensi kelompok, pada saat mengembangkan kurikulum, materi pelajaran dan , kebutuhan profesional guru-guru secara bersama. Sebagai pemimpin kelompok, supervisor dapat mengembangkan keterampilan dan kiat-kiat dalam bekerja untuk kelompok, bekerja dengan kelompok dan bekerja melalui kelompok. c) d) Sebagai evaluator, supervisor dapat membantu guru-guru dalam menilai hasil dan proses belajar, dapat menilai kurikulum yang sedang dikembangkan. la juga, belajar menatap dirinya sendiri. Supervisor dibantu dalam merefleksi dirinya, yaitu konsep dirinya, ide/citacita dirinya, realitas dirinya. Sebagai motivator, kineda yang dilakukan kepala sekolah adalah memberikan motivasi kepada guru dan tenaga kependidikan dan administrasi sehingga mereka bersemangat dan bergairah dalam menjalankan tugasnya dalam rangka meningkatkan mutu. pendidikan. Motivasi bisa diberikan dalam
bentuk hadiah atau hukuman baik fisik maupun nonfisik. Namur, dalam rangka memberikan motivasi ini hares dipertimbangkan rasa keadilan dan kelayakannya. Dalam hal ini penting bagi kepala, sekolah untuk menciptakan iklim yang kondusif. Kemampuan guru di depan kelas tidak lain adalah kemampuan mengajar, yaitu kemampuan untuk membuat murid lebih gist belajar. Kemampuan tersebut meliputi beberapa segi, yakni segi pengetahuan, keterampilan dan sikap. Segi pengetahuan mencakup penguasaan materi bidang studi yang diajarkan, pengetahuan tentang berbagai metode dan alai yang dapat di pilih untuk menyampaikan materi, pengetahuan tentang murid dari sudut ilmu jiwa dan teori belajar. Ketrampilan dalam mengajar mencakup antara lain keterampilan berkomunikasi, menggunakan bahasa, memilih dan menerapkan metode dan alai sesuai dengan kemampuan sasaran. Hal ini membantu peningkatan proses belajar murid dan hasil belajarnya. Peningkatan kemampuan mengajar guru, kepala sekolah hendaknya melakukan supervisi dengan memilih teknik-teknik supervisi yang tepat, sesuai dengan tujuan yang akan dicapai. Untuk kepentingan tersebut, teknik-teknik yang digunakan dalam melakukan supervisi adalah (a) kunjungan dan observasi kelas, (b) pembicaraan individual, (c) diskusi kelompok, dan (d) demonstrasi mengajar. Kepala sekolah sebagai supervisor harus diwujudkan dalam kemampuan menyusun, dan melaksanakan program supervisi pendidikan, serta memanfaatkan hasilnya. Kemampuan menyusun program supervisi pendidikan harus diwujudkan dalam penyusunan program supervisi kelas, pengembangan program supervisi untuk kegiatan eksft-akurikuler, pengembangan progam supervisi perpustakaan, laboratorium, dan ujian. Kemampuan melaksanakan program supervisi dan program supervisi kegiatan ekstrakurikuler. 3.
Upaya pelaksanaan supervisi Minis dalam meningkatkan kemampuan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya.
Upaya pelaksanaan supervisi klinis dalam meningkatkan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya adalah dengan cara mengikutsertakan guru pada
pelatihan- pelatihan, seminar, mengadakan rapat khusus yang mencakup tentang pembinaan dan peningkatan profesionali guru yakni KKG (Kelompok Kerja Guru) yang diadakan sate bulan sekali agar guruguru di SMA Negeri 1 Ingin Jaya mempunyai wawasan yang lebih lugs lagi tentang dunia. pendidikan. Dengan demikian maka para guru semakin cakap dan terampil dalam melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan tuntutan perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dibidang tersebut. dan dengan diadakannya pelatihanpelatihan seperti kegiatan work shop, MGMP, dan rapat diharapkan dapat meningkadm profesional guru dalam proses belajar mengajar dan dapat menyelesaikan problem-problem pendidikan yang muncul serta dapat membuat kiat-kiat khusus dalam rangka meningkatkan mute pendidikan di SMA Negeri 1 Ingin Jaya. Indikator keberhasilan supervise pendidikan terhadap kiner a guru, hakekatnya Anwar (2005: 63) menyatakan bahwa: "Supervise kinerja guru ditekankan pads tiga kemampuan dasar, yaitu: (1) Kemampuan professional, (2) Kemampuan pribadi, dan (3) Kemampuan social". Berikut merupakan uraian kinerja guru ditinjau dare kemampuan professional, kemampuan pribadi, dan kemampuan social. Masing, musing poin di atas dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Kemampuan Profesional Guru dituntut untuk dapat menciptakan situasi belajar yang dapat mendorog siswa untuk belajar, menguasai materi pelajaran, menguasai metode mengajar. Di selama tidak meninggalkan kaedah didaktik. Setelah melaksanakan proses pembelajaran guru diharapkan dapat melaksanakan evaluasi dengan tujuan yang ingin dicapai. Penggunaan teknik evaluasi harus benar dan tepat agar siswa termotivasi belajar. Secara rinci komponen kemampuan profesional yang seharusnya dimiliki seorang guru, menurut Purwanto (2005: 43) adalah sebagai berikut: (1) Dapat merumuskan tujuan pembelajaran, (2) Memanfaatkan somber belajar, (3) Mengorganisasikan materi belajar, (4) Memilih dan menggunakan media belajar, (5) Menciptakan interaksi belajar-mengajar yang menyenangkan, (6)
mengevaluasi dan mengadministrasikannya, serfs (7) Mengembangkan semua kemampuannya sehingga berdaya guna dan berhasil guna. 2. Kemampuan pribadi Pendidikan adalah proses yang direncanakan agar siswa tumbuh dan berkembang melalui kegiatan belajar. Guru sebaik pendidik dengan sengaja mempengaruhi tata nilai yang dianggap baik di masyarakat. Adapun tata nilai tersebut berupa norms etika, estetika dan ilmu pengetahuan yang mempengaruhi prilaku siswa sebagai pribadi dan sebagai anggota masyarakat. Penerapan disiplin yang baik dalam proses pembelajaran akan menimbulkan sikap mental dan kepribadian siswa yang kuat. Siswa akan berdisiplin apabila guru memberikan contoh kedisiplinan dalam tugasnya sehari-hari. Kemampuan pribadi tersebut akan terwujud dan melekat pads seorang guru apabila: 1) memahami identitas dirinya, 2) komit terhadap tugas dan tanggung jawab dan, 3) mengembangkan diri secara sehat dan cepat tanggap terhadap perubahan yang terjadi terutama di bidang pendidikan.
3. Kemampuan sosial Keahlian guru dalam berinteraksi baik dengan rekan ker a maupun dengan atasannya akan memperlancar kegiatan dalam PBM. Setiap guru hares memiliki ketiga kemampuan dasar tersebut sebagai bekal untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab. Fattah (2006: 101) mengemuklan bahwa : "Seorang guru hares di evaluasi pekedaannya baik oleh kepala sekolah maupun oleh pengawas. Pengawasan adalah proses paksa, memaksa agar kegiatan pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan rencana, yang telah ditetapkan". Secara, umum Sahertian (2005: 34) menyatakan bahwa guru yang professional memiliki kompetensi yang tinggi (skill ability). Dengan demikian tujuan supervise ialah memberikan layanan dan bantuan untuk meningkatkan kualitas mengajar guru di kelas yang pada gilirannya untuk meningkatkan kualitas belajar siswa. Bukan saja memperbaiki kemampuan mengajar tape juga, untuk pengembangan potensi kualitas guru. 4.
Hambatan supervisi Klinis dalam meningkatkan kemampuan profesional guru pada SMA Neged 1 Ingin Jaya.
Secara garis besar hambatanhambatan itu menurut kepala sekolah hambatan yang dihadapi adalah fidak semua guru memiliki motivasi yang sama dalam meningkatkan kualitas dirinya, sehingga ada guru yang mampu mengikuti dengan cepat dan menyesuaikan dengan lingkungan, tetapi jugs ada yang tidak mampu mengikuti pola yang kits kembangkan sesuai dengan harapan" Kurangnya kemampuan kepala sekolah mengadakan supervisi klinis secara efektif baik dare teknik-teknik supervisi yang digunakan maupun cars pemberian bimbingan merupakan salah satu penghambat kepala sekolah melaksanakan supervise klinis. Masalah-masalah yang dialami guru disekolah dapat mempenganihi kineda. di sekolah, maka diperlukan adanya upaya pemberian bantuan atau bimbingan ke arch supervise yang baik sehingga setiap guru bermasalah perlu dibina agar masalahnya terselesaikan dan dapat kembali melaksanakan tugas dengan baik. Sahertian (2005:130) menyebutkan usaha-usaha membina dan mengembangkan potensi sumber daya guru dan profesi mengajar, adalah a. Masalah-masalah umum yang dihadapi dalam tugas mengajar dan mendidik yang mencakup : 1. Membantu guru dalam menedemahkan kurikulum dan pusat ke dalam bahasa belajar mengajar. 2. Membantu guru-guru dalam meningkatkan program belajar mengajar 3. Membantu dalam merancang program belajar-mengajar. 4. Membantu dalam melaksanakan proses belajar-mengajar. 5. Membantu dalam menilai proses dan hasil belajar-mengajar b. Masalah-masalah khusus yang dihadapi guru, antara lain : 1. Membantu guru dalam menghadapi kesulitan dalam mengajarkan tiap mata pelajaran. 2. Membantu guru dalam memecahkan masalah-masalah pribadi (personel problem). 3. Membantu guru dalam menghadapi masalah khusus ditiap tingkat mulai SD sampai SMA. Memperhatikan kutipan di atas,
betapa pentingnya supervise klinis terhadap guru bermasalah karena setiap guru bermasalah paste menghadapi banyak persoalan persoalan baik persoalan secara umum persoalan khusus yang pada akfurnya akan mempengaruhi pekerja yang akan ditangani terutama dalam mengajar di sekolah. Disiplin guru meliputi kehadiran dalam kelas dan diluar kelas. Disiplin diluar kelas meliputi kehadiran kesekolah tepat waktu, mempersiapkan materi pelajaran yang akan diajarkan kepada siswa sesuai dengan kurikulum dan prosedur yang berlaku dan melaksanakan tugas sebagai piket dan memperhatikan kesiapan siswa dalam kelas untuk memulai proses pembelajaran. Disiplin guru di dalam kelas meliputi masuk kelas sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan, melaksanakan pembelajaran secara tertib sesuai dengan kurikulum, membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam belajar mengajar, menjaga kebersihan dan iklim kelas yang mengalami kesulitan dalam belajar mengajar, menjaga kebersihan dan iklim kelas yang menyenangkan sehingga proses belajar mengajar siswa berjalan ekektif Dalam supervisi klinis jugs terdapat beberapa teknik yang perlu dilakukan agar pelaksanaan supervisi klinis dapat bedalan dengan baik (Sudiyono 2011: 160). Adapun teknik-teknik supervisi Minis adalah sebagai berikut 1. Supervisor sebaiknya mendengar dengan cermat permasalahan yang disampaikan guru dan berbicara seperlunya saja. 2. Memberikan komentar yang tepat, artinya komentar disesuaikan dengan permasalahan guru. 3. Menegaskan ertanyaan/peryataan guru agar lebih jelas dan mudah dipahami Prosedur supervisi klinis berlangsung dalam suatu proses berbentuk siklus terdiri dari tiga tahap yaitu: tahap pendahuluan, tahap pengamatan dan tahap pertemuan balikan. Pada tahap pendahuluan, supervisor dan guru bersama-sama membicarakan rencana tentang materi observasi yang akan dilaksanakan. Pada tahap berikutnya guru melatih kemampuan mengajar berdasarkan komponen keterampilan yang telah disepakati dalam pertemuan pendahuluan. Supervisor mengamati dan mencatat atau merekam tingkah laku guru ketika mengajar
berdasarkan komponen keterampilan yang diminta oleh guru untuk direkam. Supervisor dapat juga mengadakan observasi dan mencatat tingkah laku siswa di kelas serta interaksi antara guru dan siswa. Sebelum tahap pertemuan balikan dilaksanakan, supervisor mengadakan analisis pendahuluan terhadap rekaman observasi yang dibuat. Supervisor harus mengusahakan data yang obyektif, menganalisis dan menginterpretasikan secara kooperatif dengan guru tentang apa yang telah berlangsung dalam mengajar. Hal ini perlu sebagai rujukan dan pedoman terhadap proses pembinaan dan peningkatan kemampuan profesional guru. Dalam proses pengkajian terhadap berbagai cara pemecahan yang mungkin dilakukan, setiap alternatif pemecahan dipelajari kemungkinan keterlaksanaannya dengan cara mempertimbangkan faktor-faktor peluang yang dimiliki seperti fasilitas dan kendala yang mungkin dihadapi. Alternatif pemecahan masalah yang terbaik adalah alternatif yang paling mungkin dilakukan, dalam arti lebih banyak faktor-faktor pendukungnya dibandingkan dengan kendala yang dihadapi selain memiliki nilai tambah yang paling besar bagi pengingkatan mutu proses dan hasil belajar siswa. A. Kesimpulan
1. Program
2.
3.
supervisi klinis dalam meningkatkan kemampuan profesional guru pads SMA Negeri 1 Ingin Jaya adalah melalui: (a) kegiatan kelompok, dilakukan dengan meningkatkan hubungan kerjasama, yang harmonis antar guru, dan memotivasi keterlibatan guru dalam kelompok, dan (b) Kegiatan belajar individual guru, dilakukan pengawas sekolah dengan meningkatkan kemampuan akademik guru (penyusunan program pengajaran, pelaksanaan program pengajaran, pelaksanaan program pengajaran serta evaluasi basil proses belajar) dan meningkatkan rasa sosial guru dengan pembinaan mental, moral, fisik dan artistik. Supervisi klinis dalam meningkatkan profesional guru pada SMA Negeri 1 Ingin Jaya. kepala sekolah sangat berperan, karena kepala sekolah sebagai supervisor harus mampu melakukan pengawasan dan pengendalian untuk meningkatkan profesionalitas tenaga kependidikan Pelaksanaan supervisi klinis dalam
4.
meningkatkan profesional guru pads SMA Negeri 1 Ingin Jaya adalah dengan cars mengilcutsertakan guru pads pelatihanpelatihan, seminar, mengadakan rapat khusus yang mencakup tentang pembinaan dan peningkatan profesionali guru yakni KKG (Kelompok Keda Guru) yang diadakan satu bulan sekali agar guruguru di SMA Negeri 1 Ingin Jaya mempunyai wawasan yang lebih luas, lagi tentang dunia pendidikan. Hambatan supervisi klinis dalam meningkatkan kemampuan profesional guru pads SMA Negeri 1 Ingin Jaya. Kurangnya kemampuan kepala sekolah mengadakan supervisi Minis secara efektif baik dare teknik-teknik supervisi yang digunakan maupun pemberian bimbingan merupakan salah satu penghambat kepala sekolah melaksanakan supervisi klinis
DAFTAR KEPUSTAKAAN Anwar,
Idochi, Mohc. H, (2005), Administrasi Pendidikan dan Manajemen Biaya Pendidikan: Teori, Konsep dan Isu, Bandung, Alfabeta.
Arif, Jamil. M, (2006), Strategi Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Profesionalisme Guru, Banda Aceh, Program Pasca Sarjana, Universitas Syiah Kuala.
Huntua, Ismet, (2000), Analisis Kerja, Bandung, Dinas pendidikan. Husaini,
(2005), Pengembangan Profesional Guru (Studi terhadap Upaya Kepala Sekolah dan Pengawas dalam Membina Profesional Guru di Kabupaten Aceh Timur), Banda Aceh, Program Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Idris, Jamaluddin, (2005), Analisis Krisis Mutu Pendidikan, Penerbit Taufiqiah Sa’adah, Yogyakarta. Indrawijaya, Ibrahim, Adam, (2001), Kepemimpinan dalam Organisasi, Jakarta, Lembaga Administrasi Negara. Malik, Ghulam, Farid, (2000), Pedoman Manajemen Madrasah, Forum Kajian Agama dan Budaya, Yogyakarta. Moleong, Lexy. J, (2005), Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosda Karya Mulyana, Dedy, (2004), Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Rosda Karya. Mulyasa. E, (2005), Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung, Rosda Karya.
Arikunto, Suharsimi, (2002), Prosedur Penelitian, Suatu pendekatan Praktek, Jakarta, Rineka Cipta.
Nawawi. Hadari, (2003), Perencanaan SDM untuk Organisasi Profit yang Kompetitif, Yogyakarta, Gajah Mada University Press
Fattah,
Nanang, (2000), Landasan Manajemen Pendidikan, Bandung, Rosda Karya.
Nurkolis, (2003), Manajemen Berbasis Sekolah : Teori, Model, dan Aplikasi, Jakarta, Gramedia
Fattah,
Nanang, (2004), Konsep dan Manajemen Berbasis Sekolah dan Dewan Sekolah, Bandung, Pustaka Bani Quraisy.
Permadi. D, (2001), Manajemen Berbasis Sekolah dan Kepemimpinan Mandiri Kepala Sekolah, Bandung, Sarana Panca Karya Made, (2000), Landasan Kependidikan, Jakarta, Rineke Cipta
Hamalik, Oemar, (2006), Pendidikan Guru Berdasarkan Pendekatan Kompetensi, Jakarta, Bumi Aksara.
Pidarta,
Hasibuan. Malayu, SP, (2003), Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta, Bumi Aksara.
Purwanto, Ngalim. M, (2005), Administrasi dan Supervisi Pendidikan, Bandung, Rosda Karya
Sahertian, Piet, (2000), Konsep Dasar dan Teknik Supervisi Pendidikan, Jakarta, Rineke Cipta Siagian, Sondang. P, (2002), Manajemen Strategik, Jakarta, Bumi Aksara Siagian, Sondang. P, (2002), Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta, Bumi Aksara. Supriadi, Dedi, (2001), Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta, Adicita Karya Nusa. Surya,
Mohammad, (2003), Percikan Perjuangan Guru, Semarang, Aneka Ilmu.
Suryosubroto, (2002), Proses Mengajar di Sekolah, Rineke Cipta.
Belajar Jakarta,
Suryosubroto, (2004), Manajemen Pendidikan di Sekolah, Jakarta, Rineke Cipta.
Susilo,
Joko, Muhammad, (2007), Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
Syafruddin, Nasution, (2005), Manajemen Pembelajaran, Jakarta, Quantim Teaching. Tilaar, (2006), Manajemen Pendidikan Nasional, Bandung, Remaja Rosda Karya. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003, (2003), Sistem Pendidikan Nasional, Jakarta, Sinar Grafika. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005, (2005), UndangUndang Guru dan Dosen, Jakarta, Penerbit Cemerlang. Usman, Nasir, (2007), Manajemen Peningkatan Kinerja Guru, Bandung, Mutiara Ilmu.
Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Me ni n g ka t ka n K i ner ja G ur u Pada MTSN 1 Lhokseumawe Oleh Jalaluddin
Abstrak. Kepala sekolah memegang peranan penting dalam upaya peningkatan dan pembinaan terhadap kinerja guru, disiplin, dan komitmen guru. Berdasarkan pemikiran tersebut, fokus penelitian ini adalah bagaimana kepemimpinan kepala sekolah dalam meningkatkan kinerja guru pada MTs Negeri 1 Lhokseumawe. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran tentang upaya kepala sekolah dalam meningkatkan tanggung jawab, disiplin dan komitmen dalam meningkatkan kinerja guru pada MTs Negeri 1 Lhokseumawe. Penelitian ini menggunakan deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Data dikumpulkan melalui observasi, wawancara dan dokumentasi. Subjek penelitian ini adalah kepala sekolah dan guru. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya kepala sekolah dalam penyusunan kinerja guru yang meliputi perencanaan belum optimal sedangkan upaya penguasaan landasan pendidikan dan penyusunan program pengajaran sudah optimal. Kepala sekolah telah melakukan upaya menegakkan disiplin kerja guru. meliputi, pembinaan, pengawasan, dan tindakan dalam disiplin di MTs Negeri 1 Lhokseumawe secara efektif. Kepala sekolah telah melakukan upaya meningkatkan komitmen dan tanggung jawab guru. meliputi, mengikutsertakan guru dalam penataran, melibatkan guru dalam Musyawarah Guru Mata Pelalajaran (MGMP) dengan baik Kata Kunci : Kepemimpinan Kepala Sekolah dan Kinerja Guru Dalam keseluruhan proses pendidikan khususnya pendidikan di sekolah, guru memegang peranan yang paling utama. Perilaku guru dalam proses pendidikan akan memberikan pengaruh dan warna yang kuat bagi pembinaan perilaku dan kepribadian siswa. Kepemimpinan kepala sekolah dapat mempengaruhi pendidikan di lingkungan sekolah. Sekolah juga membutuhkan figur seorang pemimpin siap bekerja keras untuk dapat memajukan sekolah untuk meningkatkan mutu pendidikan di lingkungan sekolah yang dipimpinnya. Faktor lain yang berperan mempengaruhi pendidikan adalah kinerja guru yang berkualitas. Seorang guru dituntut untuk dapat memberikan kontribusi yang sangat besar terhadap pendidikan di lingkungan sekolah terutama dalam hal belajar mengajar. Peran kepala sekolah sebagai pemimpin diharapkan mampu mewujudkan fungsi-fungsi kepemimpinan dalam keseluruhan proses pendidikan disekolah. Keberhasilan pendidikan disekolah ditentukan oleh kemampuannya mempengaruhi, membimbing, menggerakkan dan memotivasi individuindividu (guru-guru) yang terlibat dalam tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Dalam mengatasi rendahnya kinerja guru harus menjadi perioritas utama dalam upaya peningkatan mutu pendidikan pada akhirnya ditentukan oleh kinerja guru dalam mengembangkan proses belajar mengajar
dikelas. Untuk meningkatkan kinerja guru kepala sekolah dituntut untuk bekerja keras melakukan pembinaan terhadap guru-guru di bawah kepemimpinannya. Melalui pembinaan yang terprogram dan terus menerus kepala sekolah diharapkan akan mampu memperbaiki kinerja guru-guru dibawah pimpinannya. METODE PENELITIAN a.
Pendekatan Penelitian
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yang dimaksud dengan metode kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa katakata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, sebagai suatu kebutuhan. b. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan pada MTsN 1 Lhokseumawe. Data penelitian ini dikumpulkan pada bulan Juli sampai dengan bulan September 2011. c.
Subjek Penelitian
Populasi atau subjek dalam penelitian ini adalah kepala sekolah, dan dewan guru pada MTsN 1 Lhokseumawe.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
d. Instrumen Penelitian Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk meliput data dalam penelitian, Instrumen penelitian yang diperlukan adalah pedoman wawancara, pedoman observasi dan pedoman dokumentasi.
e.
Teknik Pengumpulan Data
1. Wawancara Wawancara ini di gunakan untuk menggali dan memperoleh data atau informasi yang lebih mendalam dan relevan dengan masalah yang diteliti. Wawancara ini ditujukan kepada kepala sekolah dan guru MTsN 1 Lhokseumawe melalui pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan sesuai dengan permasalahan yang diteliti dengan berpedoman pada daftar wawancara.
2. Observasi Observasi (pengamatan) dilakukan untuk memperoleh data tentang kepemimpinan yang dapat mempengaruhi kinerja guru. Observasi dilakukan pada kondisi kegiatan pelaksanaan kepemimpinan kepala sekolah dalam bimbingan dan arahan terhadap guru baik secara individu maupun secara kelompok di MTsN 1 Lhokseumawe.
3. Dokumentasi Penelitian Teknik ini digunakan untuk mengumpulkan data dan informasi tentang Kepemimpinan kepala sekolah dalam rangka meningkatkan kinerja guru Pada MTsN 1 Lhokseumawe f.
Teknik Analisis Data
Data dan informasi yang telah diperoleh peneliti selanjutnya dianalisis dan diinterprestasikan mulai awal penelitian sampai akhir penelitian, dengan merujuk kepada landasan teori yang berhubungan dengan masalah yang diteliti. Analisis adalah proses penyusunan data agar dapat ditafsirkan.
Hasil penelitian akan dilihat dari upaya kepala sekolah yang menyangkut strategi kepemimpinan kepala sekolah dalam menyusun program peningkatan kinerja, disiplin, komitmen dan tanggung jawab guru pada MTs Negeri 1 Lhokseumawe. a.
Upaya kepala sekolah dalam menyusun program pengajaran
Upaya kepala sekolah dalam menyusun program pengajaran meliputi, perencanaan, landasan kependidikan, dan program pengajaran.
1) Dalam membuat perencanaan Hasil penelitian menunjukkan upaya kepala MTs Negeri 1 Lhokseumawe dalam membina kinerja guru dalam membuat perencanaan program pengajaran. Berdasarkan data, dapat dijelaskan bahwa kepala MTs Negeri 1 Lhokseumawe telah membuat perencanaan berupa program kerja tahunan. 2) Dalam penguasaan kependidikan
landasan
Hasil penelitian menunjukkan upaya kepala sekolah dalam membina tanggung jawab guru dalam menguasai landasan kependidikan antara lain: a) Membagikan kurikulum kepada guru-guru. b) Mengirim guru untuk mengikuti penataran. c) Mendorong guru untuk memberikan hasil penelitiannya kepada temannya. Kepala MTs Negeri 1 Lhokseumawe sudah berusaha dalam meningkatkan kinerja guru tentang landasan kependidikan sebagai salah satu kemampuan guru dalam peningkatan penguasaan landasan pendidikan. 3) Dalam menyusun pengajaran
program
Kepala MTs Negeri 1 Lhokseumawe berupaya memotivasi dan meminta tiap kelompok MGMP untuk menyusun program pengajaran pada hari libur, menyediakan dan membagi kalender pendidikan, buku tulis, dan alat tulis. Memberi dispensasi untuk merevisi program pengajaran yang telah dibuat tahun lalu, memanggil guru untuk memperlihatkan
program pengajaran yang telah disusun dan mencatat kelengkapan program pengajaran dalam buku pembinaan staf (guru). b. Upaya kepala sekolah dalam melaksanakan program pengajaran Dalam melaksanakan program pengajaran akan dilihat mengenai upaya kepala sekolah dalam penguasaan materi pelajaran, memilih dan mengembangkan media pengajaran serta dalam melaksanakan program pengajaran. 1) Dalam penguasaan materi pelajaran Hasil penelitian menunjukkan upayaupaya kepala MTs Negeri 1 Lhokseumawe dalam peningkatan kinerja guru dan penguasaan materi meliputi: a) Guru membuat forum diskusi kecil untuk menjawab permasalahan mata pelajaran b) Mengupayakan guru untuk melengkapi semua sumber buku pelajaran. c) Mendorong guru untuk menjadwalkan pendalaman materi pelajaran. d) Merekomendasi dan memotivasi guru untuk melanjutkan pendidikan. e) Memotivasi guru untuk mengaktifkan MGMP. 2) Dalam memilih dan mengembangkan media pengajaran Hasil penelitian mengungkapkan bahwa upaya kepala sekolah dalam memilih dan mengembangkan media pendidikan pada MTs Negeri 1 Lhokseumawe sebagai berikut: a) Menyediakan buku-buku sumber. b) Mendorong guru untuk mengkaji tentang memilih dan mengembangkan media kegiatan MGMP. c) Mendorong berlatih memilih media yang tepat. d) Mendorong berlatih untuk membuat media yang sederhana, dan berlatih menggunakannya. e) Menyediakan media dan bahan untuk membuatnya 3) Dalam melaksanakan pengajaran
program
mengatur ruang belajar, dan menglola interaksi belajar mengajar dengan baik. b) Memeriksa/memperbaiki program (Rencana Pembelajaran) yang akan digunakan dalam pembelajaran. c) Menyediakan buku-buku sumber dan buku pelengkap untuk guru. d) Menyediakan sarana dan prasarana yang diperlukan. e) Mendorong guru untuk membagikan hasil penataran kepada kelompok MGMP. 2) Upaya kepala sekolah meningkatkan disiplin guru
dalam
Kedisiplinan sangat perlu dalam menjalankan tugas dan kewajibannya sebagai pengajar, pendidik dan pembimbing siswa. Disiplin yang tinggi akan mampu membangun kinerja yang profesional sebab pemahaman disiplin yang baik guru mampu mencermati aturan-aturan dan langkah strategis dalam melaksanakan proses kegiatan belajar mengajar. Kemampuan guru dalam memahami aturan dan melaksanakan aturan yang tepat, baik dalam hubungan dengan personalia lain di sekolah maupun dalam proses belajar mengajar di kelas sangat membantu upaya membelajarkan siswa ke arah yang lebih baik. Kedisiplinan bagi para guru merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa upaya pengembangan kinerja guru yang dilaksanakan kepala MTs Negeri 1 Lhokseumawe adalah menegakkan disiplin guru disekolah melalui: pembinaan, pengawasan, tindakan dalam disiplin. 3) Upaya kepala sekolah dalam meningkatkan tanggung jawab guru a.
Mengikutsertakan penataran
guru
dalam
Guna meningkatkan kinerja guru, perlu dilakukan pelatihan dan penataran yang intens pada guru. Pelatihan yang diperlukan adalah pelatihan yang disesuaikan dengan kebutuhan guru yaitu pelatihan yang mengacu pada tuntutan kompetensi guru. b. Melibatkan Guru dalam MGMP
Hasil penelitian diperoleh data bahwa upaya kepala MTs Negeri 1 Lhokseumawe dalam meningkatkan kinerja guru dalam melaksanakan program pengajaran adalah: a) Mendorong guru untuk mampu menciptakan iklim belajar yang tepat,
Peningkatan profesionalisme guru diarahkan pada aspek kegiatan yang meliputi peningkatan penguasaan guru terhadap kurikulum dan pedoman pelaksanaannya,
peningkatan pengusaan guru terhadap materi pelajaran yang harus diajarkan dikelas.
----------, (2007), Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung, Remaja Rosda Karya.
Kesimpulan 1. Upaya kepala sekolah dalam penyusunan program kinerja guru yang meliputi perencanaan belum optimal. Sedangkan upaya penguasaan landasan pendidikan dan penyusunan program pengajaran sudah optimal. 2. Kepala sekolah telah melakukan upaya menegakkan disiplin kerja guru. meliputi, pembinaan, pengawasan, dan tindakan dalam disiplin di MTs Negeri 1 Lhokseumawe secara efektif. 3. Kepala sekolah telah melakukan upaya meningkatkan komitmen dan tanggung jawab guru. meliputi, mengikutsertakan guru dalam penataran, melibatkan guru dalam Musyawarah Guru Mata Pelalajaran (MGMP) dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, Suharsimi. (2005). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek, Jakarta, Rineke cipta. Al-Abrasyi, M. Athiyah (2006). Dasar-Dasar Pokok Pendidikan Islam (Terjemahan). Jakarta, Bulan Bintang Asmara, Uray, Husna (2005), Pengantar Kepemimpinan Pendidikan, Jakarta, Galia Indonesia. Bogdan, Robert C & Biklen S.K (2006), “Qualitative Research for Education: An Introduction to Theory and Method. Bustn: Allynabd Bacon inc. Darmayanto (2008), Administrasi Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta. Danim, Sudarwan, Soparno (2009), Manajemen dan Kepemimpinan Transformasional Kekepalasekolahan, Jakarta, Rineka Cipta. Dharma Agus. (2007). Gaya Kepemimpinan yang Efektif bagi Para Manajer. Jakarta, CV. Sinar Baru. Fattah, Nanang (2005), Manajemen Berbasis Sekolah (School Based Management). CV. Aditra Bandung.
Fauziah. (2009). Pengelolaan Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Tesis Magister Administrasi Pendidikan pada PPS Unsyiah, tidak diterbitkan. Gaffar,
M. Fakri (2007). Perencanaan Pendidikan Teori dan Metodologi. Jakarta. PPLPTK Depdikbud.
Husen Ghazali Al (2005). Upaya Kepala Sekolah dalam Meningkatkan Kinerja Guru. Tesis Magister Administrasi Pendidikan pada PPS Unsyiah, tidak diterbitkan. Louis, K.S. (2008). Effects of teacher quality of work life in secondary schools on commitment and sense of efficacy. School Effectiveness and School Improvement. Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Bandung, PT. Remaja Rosdakarya. Moleong, Leexy J, (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung, CV. Remaja Karya. Mulyana, Deddy (2005). Metodelogi Penelitian Kualitatif, Bandung,Remaja Rosdakarya. Mulyasa, (2005). Menjadi Kepala Sekolah Profesoinal. Bandung CV. Remaja Rosda Karya. Nasution, S. (2006). Metode Naturalistis Kualitatif. Tarsito.
Penelitian Bandung,
Nitisemoto, Alex S. (2006) Manajemen Personalia. Jakarta, Ghalia Indonesia. Notoatmodjo, Soekidjo, (2008) Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta, Rineka Cipta. Soeganda, Poerbakawatja R. Ensiklopedia Pendidikan. Gunung Agung.
(2005) Jakarta,
Purwanto Ngalim, (1987). Administrasi dan Supervisi Pendidikan. Bandung, PT. Remaja Rosada Karya.
Sugiyono. (2007). Metode Penelitian Pendidikan. Bandung, Alfabeta. Sukardi
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. (2005) Nomor 19. Tentang Standar Nasional Pendidikan. http://www.depdiknas.go.id Siagian, Sondang P (2007). Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta, Bina Aksara. Simanjuntak, Payaman J. (2005) Manajemen dan Evaluasi Kinerja Jakarta. LPFEUI Sudjana, Nana. (2006). Manajemen Program Pendidikan. Bandung, Falah Production. -------------, (2006). Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung. Sinar Baru
(2008), Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta, Bumi Aksara.
Suprihanto, John. (2007). Manajemen Sumber Daya Manusia II. Jakarta, Karunika UT. Supriadi. (2008). Kebenaran Ilmiah, Metode Ilmiah, dan Paradigma Riset Kependidikan.. Bandung, PPS FKIP. Sutarto. (2006). Dasar-dasar Kepemimpinan Administrasi. Yogyakarta. Gajah Mada University Press. Suyanto. (2005). Kepemimpinan Tranformasiona”. Jakarta, Kompas.
48