Digitally signed by FKIP DN: cn=FKIP, o=FKIP-USM, ou=http://fkip.serambimekkah.ac.id,
[email protected], c=ID Date: 2012.12.12 01:23:44 +07'00' ISSN 1693-4849
JURNAL PENDIDIKAN SERAMBI ILMU (Wadah Informasi Ilmiah dan Kreativitas Intelektual Pendidikan) VOLUME 13
•
NOMOR 2
SEPTEMBER 2012
Pembelajaran Kooperatif Dengan Pendekatan Pendidikan Matematika Realistic (PMR) Muhamad Saleh
(Hal 51–59)
•
Penerapan Pendekatan Matematika Realistik Dalam Mengkonstruksi Algoritma Perkalian Siswa SD Cut Morina Zubainur (Hal 60–65)
•
Penerapan Model Apprentice Training Yang Berwawasan Konstruktivisme Dalam Upaya Meningkatkan Kualitas Pembelajaran Kimia Mariati MR, Cut Nova Riska (Hal 66–69)
•
Relevansi Sikap Ilmiah Siswa Dengan Konsep Hakikat Sains Dalam Pelaksanaan Percobaan Pada Pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh Sardinah, Tursinawati, Anita Noviyanti
(Hal 70-80)
Manajemen Pembelajaran Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan pada BKPP Aceh Sri Rezeki, Murniati, AR, Cut Zahri Harun
(Hal 81–90)
•
•
Manajemen Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Teknologi Informasi (T.I) pada Jurusan Bahasa Arab FAkultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Zulkhairi, Djailani. AR, Nasir Usman (Hal 91-97)
•
Strategi Menebak Makna Kata Berdasarkan Konteks dan Dampaknya Pada Kemampuan Reading dan Pemerolehan Kosakata Aktif dan Pasif Septhia Irnanda, Muhammad Aulia (Hal 98-107)
•
Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair And Share (TPS) Dalam Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa Pada materi Ciri-Ciri Makhluk Hidup di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie Yahya (Hal 108-117)
•
Efektivitas Peningkatan Kemampuan Profesional Guru SMK di Kabupaten Aceh Besar Megawati
(Hal 118-124)
Diterbit Oleh FKIP Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu
Hal Volume 13
Nomor 2
Banda Aceh September 2012
51
PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN PENDEKATAN PENDIDIKAN MATEMATIKA REALISTIC (PMR) Oleh: Muhamad Saleh, S.Pd.,M.Pd Abstrak. Materi matematika sekolah didominasi oleh materi yang bersifat abstrak. Untuk itu perlu upaya pembelajaran matematika yang “disajikan” secara konkret sehingga lebih mudah dipahami oleh siswa. Bila semua guru telah menerapkan model pembelajaran kooperatif melalui pendekatan matematika relisatik diikuti pula dengan pengetahuan procedural yang memadai, akan dapat membantu siswa dalam memahami konsep matematika yaitu makna dan maksud dari apa yang dia lakukan/kerjakan. Lebih lanjut siswa akan memiliki kemampuan memecahkan masalah yang berhubungan dengan matematika dan prosedur penyelesaian matematika dan melalui kerja kelompok akan tertanam pada diri siswa suatu karakter yang menghargai pendapat orang lain. Selain itu kualitas lulusan para siswa akan dapat meningkat khususnya pada materi matematika. Model pembelajaran yang membawa siswa ke Pendekatan realistik matematika ditonjolkan agar materi matem model pemblejaran yang lebih konkret dapat di terapkan melalui Pembelajran Matematika Realistik (PMR). Kata kunci: guru, kooperatif, realistic. Pada tahun 1916 John Dewey seorang staf pengajar di Universitas Chicago menulis sebuah buku yang menetapkan sebuah konsep pendidikan menyatakan bahwa kelas seharusnya cerminan masyarakat dalam sistem sosial dengan menjalankan prosedur demokrasi dan proses ilmiah. Namun sebenarnya model pembelajaran kooperatif merupakan ide lama pada awal abad pertama, dimana seorang filosof berpendapat bahwa untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki teman. Dengan teman dapat berinteraksi dalam belajar untuk mencapai suatu tujuan, (Ibrahim dkk, 2000:12). Tujuan pembelajaran yang diharapkan setelah pebelajar mengikuti serangkaian proses belajar bergantung dari masing-masing mata pelajaran. Matematika salah satu mata pelajaran yang di pelajari oleh siswa di sekolah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Objek dasar yang dipelajari dalam matematika adalah abstrak. Keabstrakan yang terdapat dalam matematika itu perlu diupayakan sehingga dapat diwujudkan lebih konkret dan dapat membantu siswa sehingga mereka lebih mudah memahaminya. Salah satu upaya yang dapat membantu siswa memahami konsep matematika melalui pembelajaran yang lebih konkret atau masalah yang dikemas secara
kontekstual melalui pendekatan matematika realistik. Pendekatan pembelajaran matematika realistik adalah suatu pembelajaran berfokus pada masalah yang dapat dibayangkan siswa sebagai masalah dalam kehidupan nyata mereka atau masalah dalam dunia mereka. Dengan demikian melalui masalah realistik yang dihadapkan kepada siswa memberi peluang untuk mereka jawab sesuai dengan hasil pegamatan yang dilakukan oleh siswa itu sendiri sehingga kesan yang mereka terima labih baik dan lebih lama mereka ingat (Muhamad Saleh, 2003:101). Melalui penerapan pembelajaran kooperatif yang mencakup sekelompok siswa bekerja dalam sebuah tim yang terdiri dari teman sebaya dalam kelompok, mereka dapat berinteraksi untuk mecapai tujuan. Kerja kelompok dapat juga bermanfaat tuntuk mengatasi/mengurangi kefakuman, karena siswa yang mampu diharapkan dapat membimbing temannya yang kurang mampu (Muhamad Saleh, 2003:13). Disisi lain keabstrakan yang terdapat dalam matematika itu perlu diwujudkan lebih konkret sehingga dapat membantu siswa lebih mudah memahaminya. Dengan demikian perlu diupayakan suatu model pembelajaran kooperatif yang penerapannya kepada para
Muhamad Saleh, S.Pd., M.Pd adalah Dosen Kopertis Wil I dpk pada FKIP Univeersitas Serambi Mekkah
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
siswa diajak untuk berdiskusi untuk menyelesaikan masalah matematika melalui masalah kontekstual yang realistik. Demikian halnya yang yang termuat dalam standar isi (2006:139) mengatakan bahwa : “Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika. Untuk meningkatkan keefektifan pembelajaran, sekolah diharapkan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi seperti komputer, alat peraga, atau media lainnya”. Melalui kegiatan diskusi yang dilakukan oleh siswa dalam menyelesaikan masalah kontekstual, diharapkan siswa dapat menemukan suatu prinsip atau konsep matematis dalam bentuk model matematika dan suatu kesimpulan bagaimana cara atau proses penyelesaiannya dan selanjutnya dibimbing oleh guru untuk matematika yang lebih luas dan formal yaitu dengan memanfaatkan atau mentransformasikannya ke dalam bentuk lambang atau simbol-simbol (matematisasi horizontal dan matematisasi vertikal). Struktur tujuan Setiap proses belajar mengandung struktur tujuan yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa. Ada tiga struktur tujuan yang dapat dipedomani oleh para guru dalam melaksanakan proses pembelajaran: 1) Struktur tujuan individualistik. Struktur tujuan individualistic terjadi jika pencapaiana tujuan seorang siswa tidak memerlukan interaksi dengan siswa lain dan tidak bergantung pula dengan hasil baik atau buruknya yang dicapai orang lain. Secara individual, siswa meyakini bahwa untuk mencapai tujuan yang dia inginkan tidak ada hubungannya dengan siswa lain. 2) Struktur tujuan kompetitif Struktur tujuan kompetitif merupakan prinsip persaingan simana siswa berusaha mampu tampil lebih baik sehingga orang/siswa lain dapat ditaklukkan.
52
Dengan demikian struktur tujuan kompetitif, siswa berusaha mencapai suatu tujuan sehingga siswa lain tidak mencapai tujuan tersebut. 3) Struktur tujuan kooperatif Struktur tujuan kooperatif terjadi jika seorang siswa dapat mencapai tujuan beserta siswa lain dengan siapa mereka bekerja sama mencapai tujuan tersebut. Dalam struktur tujuan kooperatif tiaptiap siswa memiliki andil dalam mencapai suatu tujuan. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan seperti dua orang yang bekerja dan berperan saling ketergantungan satu sama lain. Sehingga keberhasilan seseorang merupakan keberhasilan bersama, sebaliknya kegagalan seseorang mempengaruhi kegagalan bersama pula. Dalam struktur ini, bagaikan suatu tim yang terdapat dalam satu sistem yang masing-msing anggota memiliki peran penting dalam kelompoknya. Struktur inilah yang akan diterapkan dalam model pembelajaran bagian kedua. Struktur penghargaan yang diterapkan juga bervariasi, tergantung pada model pembelajaran yang dilaksanakan. Penghargaan individualistic dapat diberikan kepada siapa saja dan tidak tergantung kepada siswa lain. Penghargaan kompetitif diberikan kepada siswa yang mampu mengalahkan pesaingnya di dalam kelas. Dengan edmikian bagi siapa yang memeproleh rngking dalam kelas, maka kepadanya diberikan penghargaan. Sedangkan pengarhgaan kooepratif diberikan kepada satu tim yang mampu bekerja sama dengan baik sehingga menjadi pemenang. Pemberain penghargaan diberikan kepada siswa dengan tujuan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa penerima penghargaan juga siswa lainnya. 1.
Pengertian Belajar Kooperatif Belajar koopratif adalah cara belajar yang menerapkan kerjasama antar siswa dalam sekelompok kecil terdiri dari 3 sampai 5 orang siswa dalam satu kelompok sehingga mereka dapat belajar dalam satu tim untuk mecapai tujuan. Di dalam belajar kooperatif pebelajar
Muhamad Saleh, Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan PMR
berdiskusi dan saling mambantu serta memberikan motivasi serta saling membantu antara satu siswa dengan lainnya dalam rangka pemahaman terhadap isi materi pelajaran (Johnson & Johnson, 1991:6). Belajar dalam satu kelompok yaitu bekerja secara bersama untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan tugas-tugas yang diajukan/dihadapi. Dalam belajar kelompok semua anggota tim memiliki tugas dan tanggung jawab dan secara bersamaan membahas dan menyelesaikan masalah yang dihadapi. Dalam belajar kooperatif tidak hanya sekedar mengelompokkan siswa dalam satu kelas menjadi beberapa kelompok yang duduk saling berdekatan, namun dalam proses dan kegiatan belajarnya hanya seorang diantaranya yang aktif menyelesiakn tugas yang diberikan. Belajar kooeperatif menekankan agar terjadi interaksi antar teman sebaya dalam kelompoknya dalam rangka menyeledaikan tugas kelompok. Kehadiran teman sebaya sebagai kolega dalam belajar memberikan rasa lebih bebas beraktifitas karena dalam ruang lingkup kelompok yang semuanya merupakan orang-orang dekat dan teman bergaul. Dengan demikian setiap siswa akan lebih berarni untuk mengemukakan ideide atau pendapatnya dalam kelompok. 1)
Karakteristik belajar kooperatif Tiga karakteris untuk semua jenis model belajar kooperatif yang dikemukan Slavin dalam Kauchak (1998:235) sebagai berikut: a. Tujuan kelompok (group goals) :adalah menghargai anggota kelompok dari kemampuan yang berbeda untuk bekerja bersama dan membantu satu sama lain untuk mencapai tujuan pembelajaran. b. Tanggung jawab individual (individual accountability): mempunyai pengertaian bahwa setiap anggota kelompok memberikan keinginan untuk menguasai materi, dan setiap anggota diasses oleh anggota yang lain. Hal ini merupakan ide yang sangat penting. Pebelajar yang terlibat dalam belajar kooperatrif akan memahami bahwa mereka diharapkan untuk belajar dan melakukan aktivitas bersama-sama serta
c.
2.
53
dapat menunjukkan bahwa mereka dapat memahami isi materi Kesempatan yang sama untuk sukses (equal oppurtunity for success), mempunyai pengertian bahwa setiap anggota kelompok mempunyai kesempatan yang sama untuk menguasai materi pelajaran dan mendapatkan penghargaan dari kemampuan yang dicapainya.
Unsur-unsur keberhasilan belajar kooperatif Keberhsilan penggunaan model ini menurut Johnson & Johnson (1991:56-59) dapat dicapai dengan memperhatikan lima komponen essensial sebagai berikut: a. Saling ketergantungan positif Setiap anggota kelompok harus merasa adanya rasa saling tergantung secara positif. Mempunyai rasa “satu untuk semua”. Merasa tidak akan sukses jika pebelajar yang lian juga tidak sukses. Dengan demikian tugas/kegiatan kelompok haruslah mencerminkan aspek saling ketergantungan. b. Interaksi langsung Komunikasi verbal antar pebelajar yang didukung oleh saling ketergantungan positif diharapkan akan menghasilkan hasil belajar yang labih sempurna. Posisi di atur sedemikian rupa sehingga mereka bertatapan secara langsung antara satu sama lain sehingga memudahkan mereka saling berkomunikasi. c. Pertanggung jawaban individual (individual accountability and personal responsibility). Penguasaan bahan ajar setiap individual selaku anggota kelompook sangat menentukan sumbangan, dukungan dan bantuan yang diberikan untuk anggota lain di kelompoknya. Dengan demikian setiap anggota kelompok bertanggung jawab untuk mempelajari bahan ajar dan bertanggung jawab pula terhadap hasil belajar kelompok. d. Ketrampilan berinteraksi antar individual dan kelompok (interpersonal and small-group skill)
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
e.
Keterampilan sosial sengat penting dalam belajar kooperatif dan harus diajarkan/disampaikan kepada pebelajar. Pebelajar perlu dimotivasi untuk bekerjasama dan berkolaborasi dengan sesama. Kerjasama ini sangat bermanfaat bagi pebelajar di dalam memahami konsep-konsep sulit. Proses kelompok (group-processing) Efektifitas di dalam belajar kelompok ini dapat dilakukan dengan cara melakukan pembagian tugas untuk memimpin secara bergantian. Pebelajar memantau dan menjelaskan tindakan mana yang dapat menyumbangkan belajar dan mana yang tidak dari setiap kegiatan yang terjadi di kelompok. Hasil dari proses belajar manusia diharapkan dapat meningkatkan pengetahuannya dari yang tidak paham sehingga dapat menjadi paham dan dapat mengaktualisasikannya dalam kehidupan sehari-hari. Untuk memahamkan seseorang dari sesuatu yang belum mereka katahaui, perlu diawali dari apa yang telah mereka ketahui melalui pengenalan maslaah yang sesuai dengan situasi (contextual problem) sesuai dengan yang dimaksud oleh Badan Standare Nasional Pendidikan. Kemudian melalui masalah yang diajukan, guru dapat membimbingnya dengan mengarahkan pola pikir yang dimiliki oleh siswa dan menuju kekonsep yang benar. Poroses belajar seperti ini yang dapat menjadikan proses pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Proses pembelajaran seperti yang dikemukakan di atas, siswa akan lebih mudah memahami dan menemukan apa yang ingin mereka temukan sehingga pemahaman yang mereka terima/miliki merupakan hasil dari membangun pengetahuannya sendiri. Berikut diberikan ilustrasi suatu masalah pecahan yang disajikan dengan pengajuan masalah kontekstual (contextual problem) : Kepada siswa (kelompok) diminta untuk membagi dua sama luas kertas yang telah disediakan.
54
Illustrasi pembelajaran yang sederhana di atas mengajak para siswa menyelesaikan masalah dengan membawa mereka kepada sesuatu yang bukan hal baru bagi mereka dan diselesaikan secara bersama-sama (berkelompok). Belajar merurut pandangan konstruktivis merupakan suatu kegiatan aktif, dimana pebelajar membangun sendiri pengetahunannya. Menurut Suparno (1997:28) bahwa : “konstruktivisme beranggapan bawha pengetahuan adlah hasil konstruksi manusia. Manusia mengkonstruksi pengetahuan mereka melalui intearksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman, dan lingkungan mereka”. Dengan demikian kegiatan mengajar menurut pandangan konstruktivis bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke pebelajar seperti memindahkan air dari suatu wadah ke media/wadah lain. Kegiatan mengajar merupakan kegiatan yang dapat membantu dan memfasilitasi siswa belajar agar mereka dapat membangun pengetahuannya sendiri. Suparno (1997:12) mengatakan : “banyak cara belajar di sekolah didasarkan pada teori konstruktivisme, seperti cara belajar yang menekankan pernan murid dalam membentuk pengetahuannya sedangkan guru lebih berperan sebagai fasilitator yang membantu keaktifan murid tersaebut dalam pembentukan pengetahuannya. Kurikulum pendidikan sains dan matematika mulai disesuaikan berdasarkan prinsip konstruktivime”. Sesuai dengan pandangan konstruktivisme di atas, para siswa perlu diajak belajar dengan memanfaatkan sesuatu yang telah dipahami oleh mereka. 3. Langkah-langkah dalam belajar kooperatif Slavin (1995:75) menyatakan 5 langkah utama di dalam kegiatan pembelajaran untuk setiap bentuk model belajar kooperatif sebagai berikut (1). penyajian kelas (2). kegiatan belajar kelompok (3 ).tes individual (4). skor peningkatan individual dan
Muhamad Saleh, Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan PMR
(5). penghargaan kelompok Sebelum kelima langkah di atas dilaksanakan terlebih dahulu diberikan informasi kepada pebelajar tentang pentingnya materi yang akan dipelajari, tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, penjejakan tentang pengetahuan prasyarat dan pembentukan kelompok. 1. penyajian kelas. Penyajian kelas adalah tahap yang dilakukan dengan penyajian informasi melalui berbagai metoda dengan pendekatan pendidikan realistic matematika. Tahap ini menggunakan waktu 1-2 jam pertremuan. Setiap pembelajaran dengan model STAD, selalu dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajran, memberikan motivasi untuk berkooperatif, menggali pengetahuan prasyarat dan sebagainya, disesuaikan dengan isi bahan ajar/pelajaran dan kemampuan peserta didik/siswa. Langkahlangkah penyajian pembelajran menekankan pada beberapa hal berikut: 1) pembukaan hal yang dilakukan pada kegiatan pembukaan antara lain, (1) memberikan informasi tentuang tujuan pembelajran, menjelaskan kepada pebelajrea apa yangakan dipelajari, dan mengapa pembelajaran ini dinanggap penting, (2). Membangkitkan rasa ingin tahu pebelajar dengan demonstrasi yang mengagumkan misalnya dengan memberikan teka-teki, masalah kehidupan sehari dengan pendekatan realistic, atau berbaagai hal l;ain, (3). Mengajak pebelajar bekerja dikelompok untuk menemukan konsep dan menambah keinginan pebelajar untuk belajar, (4) mengulang atau menggali kembali pengetahuan prasyarat yang diperlukan 2) pengembangan kegiatan yang dilakukan pada umumnya (1) memfokuskan pada tujuan yang ingindiajarkan pada pebelajar, (2) memfokuskan pada pengertian, bukan hafalan, (3)
55
mendemonstrasikan konsep atau keterampilan secara aktif dengan mengggunakan berbagai contoh, (4) sering mengecek pemahaman pebelajar dengan mengajukan pertanyaan, (5) menjelskan mengapa jawaban ini benar atau salah, kecual jika hal tersebut sudah cukup jelas, (6) berpindah kekonsep dengan cepat, begitu pebelajar sudah menguasainya, (7) memelihara situasi dengan menghilangkan gangguan, menanyakan berbagai pertanyaan dan terus melaksanakan pembelajaran dengan teratur. 3) Latihan Terbimbing Kegiatan pembelajaran pada latihan terbimbing antara lain (1) meminta siswa untuk mengerjakan soal atau contoh atau menjawab pertanyaan yang diajukan oleh guru, (2) menunjuk peera didik secara random untuk menjawab pertanyaan, (3) tidak memberikan tugas yang menggunakan waktu yang realtif alam, (4) memberikan waktu kepada siswa untuk bekerja satu atau dua maslah atau contoh, kemudain ,memberikan umpan balik. 2. belajar kelompok Pada tahap ini pebelajar bekerjasama dalam kelompok untuk menyelesaikan tugas-tugas yang diberikan. Dengan melibatkan kemampuan dan potensi yang ada pada diri setiap anggota kelompok diharapkan semua anggota dapat memahami apa yang menjadi jawaban mereka sehingga hal ini menimbulkan konsekwensi setiap anggota kelompok dapat dan mampu mempresentasikan jawaban yang diberikan kelompok. Materi yang digunakan di dalam kegiatan ini adalah dua lembar tugas dan dua lembar kunci jawaban untuk setiap kelompok. Lembar tugs diberikan pada waktu kegiatan belajar kelompok, sdangkan kunci jawban diberikan setelah kegiatan kelompok selesai. Satu kelompok terdiri dari 2-6 orang siswa. Guru membagikan lembar kerja memuat materi/masalah yang dirancang memuat
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
realistic matematika untuk setiap siswa. Dimana satu lembar digunakan oleh dua orang atau lebih, dengan tujuan agar dapat terjalin kerja sama diantara sesame dalam kelompok. Guru memberikan tahapan dan fungsi belajar kelompok tipe STAD, dimana setiap peserta didik mendapatkan peran meimpion anggota-anggota di dalam kelompoknya. Dengan mendapat peran dikelompoknya, diharapkan setiap anggota kelompok termotivasi un tuk membuka wacana dalam diskusi. Dengand emikian diharapkan setiapanggota kelompok mendapat perannya masing-masing, seperti mencari,m enjelaskan dan menuliskan hasil pembicaraan, mengecek jawaban dan saling mengganti peran dalam waktu tertentu.
56
3. tes individual Tes individual adalah tes untuk menguji kinerja dan kemampuan setiap pebelajar.. Pada tahap ini pebelajar tidak diperkenankan saling membantu antara satu anggota dengan anggota lain dalam satu kelompok maupun kelompok lain. Hasil tes individu setiap anggota kelompok berdampak atau memberikan kontribusi skor terhadap kelompoknya. 4. skor peningkatan individual Skor peningkatan secara individual dilakukan berdasarkan skor dasar yang diperoleh secara individu. Lebih lengkapnya poin perkembangan seperti yang di paparkan pada table berikut:
Skor peserta didik Lebih dari 10 poin dibawah skor dasar 10 poin hingga 1 poin dibawah skor dasar Skor dasar sampai 10 poin di atasnya lebih 10 poin di atas skor dasar Nilai sempurna (tidak berdasarkan skor awal)
Poin perkembangan 5 10 20 30 30
5. penghargaan kelompok Penghargaan kelompok didasarkan pada perolehan poin perkembangan kelompok. Penentuan poin pencapaian kelompok digunakan rumus yang diadaptasi dari Slavin (1995:82). Nk adalah keterangan tentang poin perkembangan kelompok yaitu:
Nk =
jumlah total skor perkembangan kelompok banyaknya anggota kelompok
dengan sebutan penghargaan sebagai berikut: a. poin rata-rata 15, sebagai kelompok baik b. poin rata-rata 20 sebagai kelompok hebat c. poin rata-rata 25, sebagai kelompok super 4. Jenis-jenis Model Belajar Kooperatif Pada bagian ini akan disampaikan tiga tipe belajar kooperatif yaitu : 1). Student Teams Achievement Devision (STAD), 2) Team Games Tournament (TGT) dan 3). Teams Assisted Individualitation (TAI). Secara umum dari ketiga jenis belajar kooperatif di atas memiliki cirri-ciri yang sama, yaitu diawali dengan penyajian kelas, kegiatan belajar kelompok, tes individu dan penghargaan atas keberhasilan kelompok.
namun dari masing-masing jenis memiliki karakteristik tersendiri.. Student (STAD)
Teams
Achievement
Division
Student Teams Achievement Division (STAD) merupakan salah satu model yang paling sederhana dari semua model belajar kooperatif, dan merupakan suatu model yang baik untuk pembelajaran yang baru mengenal tentang belajar kooperatif (Slavin, 1986:1). Prosedur dalam model STAD mengikuti tahapan sebagai berikut:
Muhamad Saleh, Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan PMR
Tahap 1. tahapan penyajian guru / Penyajian kelas Langkah-langkah penyajian menekankan pada beberapa hal berikut: 1. Pembukaan, 2. pengembangan dan 3. latihan terbimbing Team Games Tournament (TGT) Team Games Tournament (TGT) tidak menggunakan tes individual, tetapi menggantinya dengan turnamen yang dilakukan terlebih dahulu dengan membentuk kelompok baru yang masing-masing memiliki kemampuan relative sama. Teams Assisted Individualitation (TAI) Teams Assisted Individualitation (TAI) dimulai dengan tes penempatan untuk mementukan tingkat kemampuan prasyarat pebelajar. Setiap anggota kelompok dapat mengerjakan materi yang berbeda-beda. Jika pebelajar mengalami kesulitan, maka ia masih harus menyelesaikan soal lain ditahap tersebut. 5. Pendidikan Matematika Realistik Pendekatan metode pembelajaran merupakan faktor yang mempengaruhi proses pembelajaran (Joni, 1983:68). Pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) telah diteliti dan dikembangkan di Belanda dan telah berhasil meningkatkan prestasi belajar matematika siswa. Di Indonesia istilah Realistic Mathematics Education (RME) dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Pendidikan matematika realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realitas yaitu hal-hal yang nyata atau konkret dan dapat diamati secara langsung sesuai dengan lingkungan tempat siswa berada (Soedjadi, 2001:2). Sedangkan menurut Suharta (2001:9): ”Matematika Realistik (MR) merupakan salah satu pendekatan pembelajaran matematika yang berorientasi pada pematematisasian pengalaman sehari-hari (mathematize everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari (everydaying mathematics)”. Pembelajaran yang berorientasi pada RME dapat dicirikan oleh : (a) pemberian
57
perhatian yang besar pada “reinvention”, yakni siswa diharapkan membangun konsep dan struktur matematika bermula dari intuisi mereka masing-masing; (b) pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang konkret atau dari sekitar siswa; (c) selama pematematikaan, siswa mengkontruksi gagasannya sendiri, tidak perlu sama antar siswa yang satu dengan lainnya, bahkan tidak perlu sama dengan gagasan gurunya; (d) hasil pemikiran siswa dikonfrontir dengan hasil pemikiran siswa lainnya (Treffers dan Panhuizen dalam Yuwono, 2001:3). Dengan pengenalan konsep dan abstraksi melalui hal-hal yang konkret atau dari sekitar siswa akhirnya kebenaran dapat dirujukkan kepada kenyataan yang ada atau realitas, sehingga dalam keadaan ini dapat dikatakan bahwa ‘hakim tertinggi ilmu pengetahuan alam adalah realitas’ (Soedjadi 1999/2000:29). Menurut Gravemeijer (dalam Zulkardi, 2002:652) Realistic Mathematics Education mempunyai lima karakteristik, yaitu : (1) Menggunakan masalah kontekstual (masalah kontekstual sebagai aplikasi dan sebagai titik tolak darimana matematika yang diinginkan dapat muncul) (2) Menggunakan model atau jembatan dengan instrumen vertikal (perhatian di arahkan pada pengembangan model, skema dan simbolisasi dari pada hanya menstransfer rumus atau matematika formal secara langsung). (3) Menggunakan kontribusi murid (kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari konstruksi murid sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal mereka ke arah yang lebih formal atau standar). (4) Interaktivitas (negosiasi secara eksplisit, intervensi, kooperasi dan evaluasi sesama murid dan guru adalah faktor penting dalam proses belajar secara konstruktif di mana strategi informal murid digunakan sebagai jantung untuk mencapai yang formal).
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
(5)
Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya (pendekatan holistik, menunjukkan bahwa unit-unit belajar tidak akan dicapai secara terpisah tetapi keterkatian dan keterintegrasian harus di eksploitasi dalam pemecahan masalah). Dari karakteristik yang terdapat pada matematika realistik, akan membuat siswa mampu menyelesaikan suatu masalah secara logis. Didalam laporannya Shepard, 1975 (dalam Hudojo, 1979:49) mengatakan bahwa anak-anak pada tahap operasi konkrit mampu menyelesaikan suatu masalah secara logis bila masalah tersebut dipilih dengan menggunakan bahasa sederhana-tidak menggunakan bahasa yang kompleks. a. Penekanan Pematematikaan pada Matematika Realistik Dua jenis yang berkaitan dengan pematematikaan yaitu pematematikaan horizontal dan pematematikaan vertikal. Pematematikaan horizontal berkaitan dengan pengetahuan yang telah dimiliki siswa sebelumnya bersama intuisi mereka sebagai alat untuk menyelesaikan masalah dari dunia nyata. Sedangkan pematematikaan vertikal berkaitan dengan proses organisasi kembali pengetahuan yang telah diperoleh dalam simbol-simbol matematika yang lebih abstrak (Traffer 1991:32). Matematisasi horizontal lebih menekankan proses trasnformasi masalah yang dinyatakan dalam bahasa sehari-hari ke dalam bahasa matematika atau sering kita sebut dengan pemodelan dari situasi soal. Pada matematisasi horizontal siswa dengan pengetahuan yang dimilikinya dapat mengorganisasikan dan menyelesaikan masalah yang ada pada situasi dunia nyata dengan kata lain matematika horizontal bergerak dari dunia nyata ke dunia simbol. Hal ini dilakukan melalui interaksi sosial antara siswa. Sedangkan pada matematisasi vertikal, proses pengorganisasian kembali dengan menggunakan matematika itu sendiri atau “dunia nyata” merupakan sumber dari matematisasi sebagai tempat untuk mengaplikasikan kembali konsep-konsep matematika. Sesuai dengan pelaksanaan pembelajaran pecahan dengan pendekatan
58
matematika realistik, kepada anak dihadapkan hal-hal yang berkaitan dengan konteks dalam kehidupan sehari-hari dan disamping itu benda-benda yang dapat diamati juga digunakan. Dengan memanfaatkan apa yang telah biasa pada siswa juga benda yang dapat diamati untuk menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan pecahan akan terjadi suatu aktivitas atau proses pematematikaan horizontal. Sedangkan matematisasi vertikal tidak lain proses yang terjadi dalam matematika itu sendiri yang mengarah pada pengembangan pengetahuan dan keterampilan yang berjalan dalam sistim dunia simbol. Sebelumnya telah disebutkan bahwa dalam pendidikan matematika realistik, pengalaman belajar siswa dimulai dari suatu yang realistik atau hal yang telah terbayangkan oleh siswa. Dengan demikian pembelajaran tidak diawali dengan formal, melainkan lebih banyak berawal dari intuisi siswa. Sebagai contoh dalam matematisasi vertikal adalah proses pembuktian dalam matematika atau mungkin proses mencari selesaian yang menggunakan strategi manipulatif simbolsimbol. Berkaitan dengan dua tipe pematematikaan di atas, Treffers (1987) dan Freudental (1991), (dalam Yuwono 2001:23) mengklasifikasikan pendekatan pembelajaran matematika berdasarkan intensitas pematematikaan: • mekanistik atau pandekatan tradisional, dalam pendekatan ini pembelajaran matematika lebih difokuskan pada drill, dan panghafalan rumus saja, sedangkan proses pematimatikaan keduanya tidak tampak; • emperistik, lebih menekankan kepada pematematikaan horizontal dan cenderung mengabaikan pematematikaan vertikal; • strukturalis, lebih menekankan kepada pematematikaan vertikal dan cenderung mengabaikan pemetematikaan horizontal, pendekatan ini sering disebut ‘new math’ membangun konsep matematika berdasarkan pada teori himpunan; • realistik, memberikan perhatian yang seimbang antara pematematikaan yang horizontal dan vertikal dan disampaikan secara terpadu terhadap siswa.
Muhamad Saleh, Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan PMR
Berkaitan dengan dua pendekatan pembelajaran tersebut, Treffers (1991:32) memberikan gambaran sebagaimana dalam tabel dibawah ini. Tabel 1 Horizontal Vertikal Mekanistik Empiristik Strukturalis Realistik b.
+ +
+ +
Pendidikan Matematika Realistik dan Relevansinya Dengan Pembelajaran Pecahan Pendidikan matematika realistik menggunakan hal ’nyata’. Realistik yang diumaksud dalam tulisan ini adalah hal-hal yang nyata atau konkret yang dapat diamati atau dapat dipahami lewat membayangkan. Dengan demikian mungkin saja digunakan benda-benda konkret dalam meragakan ide matematika untuk menemukan suatu konsep (Marpaung 2001:9) Pecahan yang termasuk dalam cabang matematika, banyak terdapat penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga sebelum anak memperoleh pengetahuan formal disekolah mengenai pecahan, mereka telah memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan pecahan, misalnya ketika anak membagikan sesuatu menjadi dua bagian yang sama. Pengetahuan informal yang selalu diimplementasikan dalam kehidupan seharihari perlu dikembangkan melalui intuisi anak ke dalam bentuk matematika formal termasuk misalnya rumus-rumus yang dinyatakan dalam bentuk simbol-simbol atau variabel. Dengan demikian pada saat anak kembali menghadapi permasalahan dalam konteks kehidupan, mereka telah terbiasa dan lebih lanjut diharapkan dalam pemecahan masalah yang dihadapi tersebut akan lebih baik. Pernyataan tersebut di atas sesuai dengan terdapat dalam panduan pengembangan silabus mata pelajran matamtika bahwa guru perlu mengembangakan sikap menggunakan matematika sebagai alat untuk memecahkan problematika baik di sekolah maupun di rumah.
59
Pernyataan di atas dimaksdukan agar siswa belajar matematika di sekolah adalah un tuk mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan di dalam kehidupan dan dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif; mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari ilmu pengetahuan (Depdikbud, 1994 :1). Untuk manecapai maksud di atas, guru perlu memperhatikan dan menumbuh kembangkan daya imajinasi dan rasa ingin tahu siswa kita, juga siswa harus dibiasakan untuk mendapat kesempatan bertanya dan berpendapat sehingga dalam proses belajar matematika tersebut anak merasa bahwa matematika lebih bermakna. Jika siswa telah memiliki kebermaknaan matematika, harapan selanjutnya akan terbentuk rasa ingin tahu dan kecintaan siswa terhadap matematika. Agar siswa merasa matematika lebih bermakna, sebaiknya diupayakan siswa aktif mengkonstruksi pengetahuan matematika itu, dan guru berperan sebagai fasilitator. Artinya bahwa murid harus didorong dan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat sesuai dengan jalan pikirannya dan mungkin juga dapat belajar dari ide-ide temannya sendiri. Aktivitas siswa pada saat menyelesaikan masalah sesuai dengan jalan pikirannya, sesuai dengan karakteristik/prinsip dari pembelajaran pendidikan matematika realistik. Karkteristik/prinsip dari pembelajaran pendidikan matematika realistik adalah suatu kegiatan atau aktivitas konstruktif (Sutawidjaja, 2001 & Marpaung, 2001:3). Landasan filosofi ini dekat dengan filasafat konstrukstivisme yang menyebutkan bahwa pengetahuan itu adalah konstruksi dari seseorang yang sedang belajar (Suparno, 1997:29). Demikian halnya yang dikatakan oleh (Nikson dalam Hudojo, 1988 : 6) bahwa pandangan konstruktivis memandang pembelajaran sebagai usaha membantu siswa dalam mengkonstruk konsep-konsep/prinsipprisnip matematika dengan kemampuannya sendiri melalui proses internalisasi sehingga
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
konsep tesebut terbangun kembali. Belajar dengan kemampuannya sendiri berarti menggunakan hal-hal apa yang telah diketahuinya sebagai pengetahuan awal. Salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi belajar anak adalah apa yang telah diketahuinya, yaitu berupa pengetahuan awal (Novak, 1985: 20). Pengetahuan awal yang telah dimiliki oleh anak akan berkembang secara optimal bila diikuti dengan ketepatan pemanfaatannya dalam hal menerima konsep baru. Guru sangat berperan dalam hal ini, sehingga dituntut agar guru berusaha mengetahui dan memanfaatkan pengetahuan awal siswa yang telah ada dalam pikiraannya sebelum mereka mempelajari lebih lanjut sutu konsep atau pengetahuan baru. Bila dalam belajarnya siswa menghadapi hal atau masalah yang tidak asing atau familiar terhadap dirinya harapan selanjutnya bahwa siswa akan terlibat langsung secara aktif dalam proses pembelajaran. Guru hendaknya dapat memilih dan menggunakan strategi atau metode dalam pelaksanaan proses pembelajaran, sehingga lebih banyak melibatkan siswa secara aktif dalam belajar yaitu aktif secara mental, fisik, maupun sosial. Untuk mensinergikan keaktifan ini dalam pembelajaran dapat saja siswa dibimbing kearah mengamati, menebak, berbuat, mencoba sehingga pada akhirnya mampu menjawab persoalan yang mengarah kepada pertanyaan “mengapa”. Prinsip belajar aktif inilah yang mampu menumbuhkan dan mengarahkan sasaran pembelajaran sesuai dengan tujuan belajar matematika. 2.
Rangkuman Dari uraian yang telah disampaikan, dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: • Belajar kooperatif (kooperatif learning) mengandung pengertian sebagai suatu strategi pembelajaran yang membagi siswa dalam beberapa kelompok yang setiap kelompoknya terdiri dari 4-5 orang. Dalam kelompok tersebut, masing-masing siswa sebagai anggota kelompok aktif dan mereka bekerja bersama dalam menyelesaikan permasalahan ayng diajukan sehingga terjadi suatu diskusi
60
dan saling membagi pengetahuan, saling berkomunikasi, saling membantu untuk memahamkan materi pelajaran. • Karakteristik model belajar kooperatif adalah: - tujuan kelompok - tanggung jawab individu - kesempatan yang sama untuk sukses. • Keberhasilan suatu model belajar kooperatif didasari oleh unsur-unsur berikut: - saling bergantungan - interaksi langsung - pertanggung jawaban individu - keterampilan berintegrasi - prosese kelompok • langkah-langkah dalam penerapan model kooperatif adalah - penyajian - belajar kelompok - kinerja individu dan penghargaan konerja kelompok. • Pelaksanaan pembelajaran kooperatif suatu model pembeljaran yang memusat pada siswa dalam kelompoknya dan guru berperan sebagai fasilitator dan mediator. • Dengan menerapkan model koopeatif dalam pembelajran dapat menimbulkan sikap positif terhadap budaya gotong royong yang merupakan milik budaya rakyat Indonesia dan memiliki prinsip demokrasi • Pendidikan Matematika Relasistik Indonesia (PMRI) adalah suatu pendekatan yang dapat membantu guru melaksanakan proses pembelajaran yang membawa siswa masuk kedalam konteks dunia nyata, sehingga siswa memiliki kesan yang ”berkualitas” karena siswa mengalami langsung dalam menemukan konsep matematika yang dihadapkan dan mereka pelajari. • Pendidikan matematika realistik, memberikan perhatian yang seimbang antara pematematikaan yang horizontal dan vertikal serta disampaikan secara terpadu terhadap siswa. Daftar Pustaka Armanto D. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Pendidikan
Muhamad Saleh, Pembelajaran Kooperatif dengan Pendekatan PMR
Matematika Realistik Indonesia (PMRI). Makalah disajikan pada seminar PMRI di Banda Aceh April 2007. Depdiknas. 2006. Panduan Pengembangan Silabus Mata Pelajaran Matematika, Jakarta. Hudojo. 1979. Pengembangan Kurikulum Matematika & Pelaksanaannya di Depan Kelas. Surabaya: Usaha Nasional. Ibrahim, M, dkk. 2000. Pembelajaran Kooperatif. Universitas Negeri Surabaya, University Pres, Surabaya. Johnson, D.W & Johnson, R.T. 1991. Learning Together and Alone, Coopertive, Competitive, and Individualistic Leraning. (Third Edition). Boston: Allyn and Bacon. Marpaung 2001. Prospek RME Untuk Pembelajaran Matematika di Indonesia. Makalah disajikan dalam seminar Nasional Realistic Mathematics EducationUniv Negeri Surabaya di Jurusan Matematika FMIPA UNESA, Surabaya 24 Feb 2001. Marpaung, Y.2002. Pendidikan Matematika Realistik di Indonesai. Perubahan Paradigma Dalam Pembelajaran Matematika Di Sekolah. Dalam Jurnal Matematika atau Pembelajarannya. Tahun VIII, Edisi Khusus, Juli 2002. Proseding Konfrensi Nasional Matematika XI Bagian I, UM 22-25 Juli 2002. Muhamad Saleh. 2003. Pembelajaran Materi Peluang Melalui Pendekatan Pendidikan Matematika Realistik. Tesis tidak diterbitkan, Malang Program PascaSarjana Universitas Negeri Malang. Novak, J.D, Gowin, D.B. 1985. Learning How to Learn. New York: Glenco Mc Millan/MCc Graw Hill. Slavin, E.R.1995.Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice (Second Editiion). Massachusetts. Allyn and Bacon. Soedjadi. 2001. Pemanfaatan Realitas dan Lingkungan Dalam Pembelajaran
61
Matematika. Makalah Disajikan Pada Seminar Nasional “Realistic Mathematics Education (RME). Surabaya: Jurusan Matematika FMIPA UNESA. 24 Februari 2001. Suharta. 2001. Pembelajaran Pecahan Dalam Matematika Realistik. Makalah Disajikan Pada Seminar Nasional “Realistic Mathematics Education (RME). Surabaya: Jurusan Matematika FMIPA UNESA. 24 Februari 2001. Suparno P. 1997. Filsafat Konstruktifisme Dalam Pendidikan. Kanisius, Yogyakarta. Sutawidjaja, A. 2001. Pendidikan Matematika Realistik. Makalah Disajikan pada stadium general. Jurusan Tadris Matematika Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah, Jakarta. 27 Oktober 2001. Tim MKPBM. 2001. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Univ Pendidikan Indonesia (UPI), Bandung-Indonesia. Treffers. 1991. Didactical Background Of a mathematics program for primary education, dalam L.Streefland (Ed), Realistic Mathematics Education in Primary School (hal 21). Utrecht University, The Netherlands. Yuwono, I. 2001. RME (Realistic Mathematics Education) dan Hasil Studi Awal Implementasinya di SLTP. Makalah disajikan dalam seminar Nasional Realistic Mathematics Education Univ Negeri Surabaya di Jurusan Matematika FMIPA UNESA, Surabaya 24 Feb 2001. Zulkardi. 2002. Pendidikan Realistik Matematika Indonesia: Perkembangan Dan Permasalahan. Dalam jurnal matamatika ataiu pembelajarannya. Tahun VIII. Edisi khusus, Juli 2002. Proseding Konfrensi Nasional Matematika XI bagian I, UM 22-25 juli 2002
62
60
PENERAPAN PENDEKATAN MATEMATIKA REALISTIK DALAM MENGKONSTRUKSI ALGORITMA PERKALIAN SISWA SD Oleh: Cut Morina Zubainur Abstrak: Dalam penerapan PMRI di sekolah, siswa belajar secara mandiri atau berkelompok untuk menentukan strategi penyelesaian kontekstual. Strategi ini dikembangkan dan diciptakan sendiri oleh siswa (free production) dalam bentuk matematika informal (diagram, gambar, kode, simbol, dan lainnya) dan juga matematika formal seperti konsep dan algoritma yang telah mereka pelajari sebelumnya. Guru memfasilitasi pembentukan matematika informal menjadi matematika formal yang standar. Aktifitas belajar berlangsung secara maju melalui diskusi interaktif antara siswa dan guru. Pendekatan realistik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif dan mentalnya dalam mengkonstruksi pengetahuan yang dikaitkan dengan pengalaman kehidupan nyata siswa. Tulisan ini akan membahas contoh soal kontekstual dan alternatif jawaban siswa yang muncul pada proses pembelajaran yang bertujuan mengkonstruksi algoritma perkalian. Proses ini diperlukan untuk menjembatani siswa dalam melakukan perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka. Perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dicapai siswa kelas III semester 1 berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Alternatif jawaban siswa didasarkan pada pengamatan yang dilakukan terhadap siswa SD Negeri 69 Banda Aceh, SDIT Nurul Ishlah Banda Aceh, dan SD Negeri 3 Banda Aceh. Kata kunci: penerapan, PMRI,mengkonstruksi, algoritma, perkalian Pendekatan realistik merupakan pendekatan pembelajaran matematika yang memberikan kesempatan kepada siswa untuk terlibat secara aktif dan mentalnya dalam mengkonstruksi pengetahuan yang dikaitkan dengan pengalaman kehidupan nyata siswa (Hadi, 2005). Pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik pertama sekali dikembangkan di Belanda semenjak tahun 1971 dengan nama RME (Realistic Mathematics Education) yang berdasar pada konsep Fruedenthal yang mengatakan bahwa matematika merupakan aktivitas manusia (Fruedenthal dalam Gravemeijer, 1994). RME di Indonesia dikenal dengan Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI). PMRI didasarkan pada argumen Freudental (1973) bahwa matematika harus tidak disajikan pada siswa dalam bentuk hasiljadi (a ready-made product) tetapi siswa harus belajar menemukan kembali konsep-konsep matematika tersebut. Siswa membentuk sendiri konsep dan prosedur matematika (conceptual mathematization, De Lange,
1987) melalui penyelesaian permasalahan yang realistik dan kontekstual. Hal ini sesuai dengan pandangan teori constructivism yang menyatakan bahwa pengetahuan matematika tidak dapat diajarkan oleh guru tetapi dibangun sendiri oleh siswa (Nur, 2001). Menurut Gravemeijer (1994) terdapat tiga prinsip utama dalam PMRI, yaitu (1) penemuan terbimbing dan bermatematika secara maju (guided reinvention and progressive mathematizartion), (2) realitas (realty principle), dan (3) model pengembangan mandiri (self-developed model). Prinsip penemuan terbimbing berarti siswa diberikan kesempatan untuk menemukan sendiri konsep matematika dengan menyelesaikan berbagai soal kontekstual. Soal kontekstual ini mengarahkan siswa membentuk konsep, menyusun model, menerapkan konsep yang telah diketahui, dan menyelesaikannya berdasarkan kaidah matematika yang berlaku (Treffers & Goffree, 1985). Berdasarkan soal, siswa membangun model dari (model of) situasi soal (dalam
Cut Morina Zubainur, S.Pd, M.Pd adalah Dosen Prodi Pendidikan Matematika FKIP Unsyiah
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
bentuk formal atau tidak), kemudian menyusun model matematika untuk (model for) menyelesaikannya hingga siswa mendapatkan pengetahuan formal matematika. Prinsip bermatematika secara maju dapat dibagi atas dua komponen yaitu bermatematika secara horizontal, siswa mengidentifikasi bahwa soal kontekstual harus ditransver ke dalam soal bentuk matematika untuk lebih dipahami lebih lanjut. Dalam bermatematika secara vertikal, siswa menyelesaikan bentuk matematika formal atau tidak formal dari soal kontekstual dengan menggunakan konsep, operasi dan prosedur (aturan, rumusan, dan kondisi) matematika yang berlaku. Siswa menunjukkan hubungandari rumus yang digunakan, membuktikan aturan matematika yang berlaku, membandingkan model, menggunakan model yang berbeda, mengkombinasikan dan menerapkan model, serta merumuskan konsep matematika dan mengeneralisasikannya (De Lange, 1987). Prinsip realitas (realty principle) menekankan pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Soal kontekstual didefinisikan sebagai soal yang merepresentasikan hadirnya lingkungan yang nyata bagi siswa (Gravemeijer, 1999). Pengertian nyata bukan sebatas apa nyata pada pandangan siswa tetapi juga semua hal yang dapat dibayangkan siswa, terjangkau oleh imajinasinya (Van den Heuvel-Panhuizen, 1996). Dalam hal ini konteks merujuk pada situasi dalam hidup sehari-hari, situasi yang bersifat fantasi, dan juga soal matematika itu sendiri (bare mathematical problems). Prinsip ketiga adalah pengembangan model mandiri (self-developed model) yang berfungsi menjembatani antara pengetahuan matematika tidak formal dan formal dari siswa. Dalam menyelesaikan masalah kontekstual dari situasi nyata, siswa menemukan model untuk (model for) bentuk tersebut (bentuk formal matematika), hingga mendapatkan penyelesaian masalah tersebut dalam bentuk pengetahuan matematika yang standar. Dalam penerapan PMRI di sekolah, siswa belajar secara mandiri atau berkelompok
61
untuk menentukan strategi penyelesaian kontekstual. Strategi ini dikembangkan dan diciptakan sendiri oleh siswa (free production) dalam bentuk matematika informal (diagram, gambar, kode, simbol, dan lainnya) dan juga matematika formal seperti konsep dan algoritma yang telah mereka pelajari sebelumnya. Guru memfasilitasi pembentukan matematika informal menjadi matematika formal yang standar. Aktifitas belajar berlangsung secara maju melalui diskusi interaktif antara siswa dan guru. Pengembangan fenomena pembelajaran dijelaskan oleh Streefland (1990) dalam teori pengajaran 5 x 5 (the five tenets of the instructional theory of RME). a. Belajar merupakan aktivitas konstruksi yang distimulasikan dengan kekonkritan (concreteness) dan mengajar melibatkan penggunaan soal yang dikenal siswa. b. Belajar merupakan proses jangka panjang yang bergerak dari konkrit menuju abstrak dan mengajar memfasilitasi siswa dari pengetahuan matematika tidak formal menuju matematika formal. c. Belajar difasilitasi oleh refleksi terhadap pola pikir mandiri dan pola pikir orang lain, dan mengajar meliputi pendorongan siswa untuk melihat kembali dan merefleksikannya dalam proses belajar. d. Belajar melibatkan konteks sosial-budaya, jadi mengajar meliputi pemberian kesempatan berkomunikasi dan bekerjasama dalam kelompok kecil atau diskusi kelas. e. Belajar merupakan pengkonstruksian pengetahuan dan keterampilan menuju bentuk yang terstruktur, dan mengajar melibatkan berbagai aspek yang saling berkaitan. Berdasarkan uraian prinsip RME di atas, maka pembelajaran matematika yang dilaksanakan di kelas hendaknya memberikan kepada siswa situasi masalah yang dapat mereka bayangkan atau miliki hubungan dengan dunia nyata. Nyata yang dimaksudkan dalam realistik selain dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa, juga dapat dibayangkan (nyata dalam pikiran) siswa. Sehingga proses pembelajaran dapat memberi kesempatan kepada siswa mengkonstruksi pemahamannya
Cut Morina, Penerapan Pendekatan Matematika Realistik
tentang matematika. Hal ini diharapkan dapat mengaktifkan siswa, melatih siswa berlaku demokratis, membuat kelas menyenangkan, dan memacu guru untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Pembahasan Prinsip kedua PMRI menekankan pada pentingnya konteks dalam memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Konteks dimanfaatkan sebagai bahan ilustrasi dari soal matematika. Soal kontekstual dalam PMRI didefinisikan sebagai soal yang merepresentasikan hadirnya lingkungan yang nyata bagi siswa. Nyata yang dimaksud adalah semua kondisi dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa, atau dapat dibayangkan (nyata dalam pikiran), dan terjangkau oleh imajinasi siswa. Hal yang perlu dipertimbangkan adalah bahwa soal kontekstual tersebut cocok untuk proses matematisasi, dimana siswa dapat mengenal situasinya dan dapat menggunakan pengetahuan mereka untuk memodelkan dan menyelesaikannya. Beberapa fungsi utama konteks menurut pendapat Van den Heuvel-Pahuizen (1996) adalah: 1. Konteks membantu agar soal dapat dipecahkan Soal kontekstual yang disajikan dengan menarik akan memudajkan siswa untuk membayangkan soal secara visual dan menangkap maksud soal tersebut serta dapat mengilustrasikannya dalam bentuk yang berbeda (gambar dan bagan). Dalam hal ini siswa dapat menggunakan model matematika yang formal maupun yang tidak formal. Bentuk matematika yang tidak formal seperti membuat gambar/ilustrasi tentang soal tersebut dalam bentuk berbeda dari semula. Misalnya soal yang berkaitan dengan suatu benda yang dikelompokan. Kelompok-kelompok tersebut dapat digambarkan dengan gambar lingkaran, sedangkan bendanya digambarkan dengan bundaran-bundaran dalan lingkaran tersebut sebanyak benda yang disebutkan dalam soal.
62
2.
Konteks menunjang terbentuknya ruang gerak dan transparansi soal Konteks akan memberikan kesempatan bagi siswa menunjukkan kemampuannya. Soal tentang perkalian misalnya jumlah penghapus yang ada dalam 13 kemasan, dimana tiap-tiap kemasan terdiri dari 6 penghapus merupakan contoh dimana siswa dapat menghasilkan konsep perkalian sebagai penjumlahan berulang. 3. Konteks dapat melahirkan berbagai variasi strategi Konteks soal seperti pada butir 2 di atas mengandung saran untuk siswa dalam menggunakan kemampuannya untuk menyusun banyak strategi penyelesaian. Setiap strategi yang dirancang merupakan inspirasi langsung dari soal tersebut. Tingkat kedalaman dan konsep yang digunakan siswa mengindikasikan kedalaman pengetahuan matematika yang telah dimilikinya. Berikut akan diulas contoh soal kontekstual dan alternatif jawaban siswa yang muncul pada proses pembelajaran yang bertujuan mengkonstruksi algoritma perkalian. Proses ini diperlukan untuk menjembatani siswa dalam melakukan perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka. Perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka merupakan salah satu kompetensi dasar yang harus dicapai siswa kelas III semester 1 berdasarkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). Alternatif jawaban siswa didasarkan pada pengamatan yang dilakukan terhadap siswa SD Negeri 69 Banda Aceh, SDIT Nurul Ishlah Banda Aceh, dan SD Negeri 3 Banda Aceh. Soal: Humaira akan membagikan pensil kepada 13 orang temannya yang kurang mampu. Tiaptiap teman-teman Humaira akan mendapatkan 6 pensil. Berapa banyakkah pensil yang harus disiapkan Humaira? Berikut akan disajikan strategi yang digunakan siswa menyelesaikan soal tersebut.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
63
Tujuh anak akan mendapatkan 42 pensil Strategi 1. Satu anak akan mendapatkan 6 pensil Delapan anak akan mendapatkan 48 pensil Dua anak akan mendapatkan 12 pensil Sembilan anak akan mendapatkan 54 pensil Tiga anak akan mendapatkan 18 pensil Sepuluh anak akan mendapatkan 60 pensil Empat anak akan mendapatkan 24 pensil Sebelas anak akan mendapatkan 66 pensil Lima anak akan mendapatkan 30 pensil Dua belas anak akan mendapatkan 72 pensil Enam anak akan mendapatkan 36 pensil Tiga belas anak akan mendapatkan 78 pensil Strategi 2. 13 x 6 = 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 12
12
12
12
24
12
24
12 + 6 24
+6
72 6+ 78 Strategi 3. 13 x 6 = 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 60
18
60 18 + 78 Strategi 4. 13 x 6 = 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 + 6 60 10 x 6 = 60 3 x 6 = 18 + 13 x 6 = 78 Dari strategi 4 untuk pembelajaran pada pertemuan selanjutnya, siswa dapat dimotivasi sehingga bentuk 10 x 6 = 60 3 x 6 = 18 + 13 x 6 = 78 dapat ditulis dalam bentuk lain, misalnya menjadi 13 = 10 + 3 6= 6 x 10 + 8 60 + 0 70 + 8 = 78 Berdasarkan pengalaman, siswa merasa kurang nyaman dengan cara (bentuk) penyelesaian di atas. Perasaan kurang nyaman tersebut juga ditunjukkan siswa saat belajar penjumlahan dengan cara tersebut di kelas II
18
semester 1. Hal ini memberikan kesempatan kepada guru untuk menggali ide siswa menuliskan dalam bentuk lain yang lebih praktis. Bentuk yang lebih praktis misalnya 13 atau 13 6 x 6 x 18 18 6 60 78 78 Pengalaman siswa dalam menyelesaikan soal di atas dapat digunakan untuk menyelesaikan perkalian yang menghasilkan bilangan tiga angka. Siswa mempunyai strategi jawaban berbeda dalam menyelesaikan perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka berikut. 25 x 5 = ....
Cut Morina, Penerapan Pendekatan Matematika Realistik
Strategi 1. 10 x 5 = 50 10 x 5 = 50 5 x 5 = 25 + 25 x 5 = 125 Strategi 2. 20 x 5 = 50 5 x 5 = 25 + 25 x 5 = 125 Dari strategi 2 di atas, siswa dapat dimotivasi sehingga bentuk 20 x 5 = 50 5 x 5 = 25 + 25 x 5 = 125 dapat ditulis dalam bentuk lain, misalnya menjadi 25 = 20 + 5 5= 5 x 20 + 5 100 + 0 + 0 + 100 + 20 + 5 = 125 Karena sebelumnya siswa telah memiliki pengalaman menemukan cara yang praktis dalam menyelesaian 13 x 6 = ...., guru dapat memotivasi siswa menuliskan bentuk di atas dalam bentuk lain yang lebih praktis, misalnya 25 atau 25 5 x 5 x 25 25 100 + 10 + 125 125 Diharapkan dari pengalaman di atas siswa akan menemukan alternatif strategi untuk menyelesaikan perkalian yang menghasilkan bilangan tiga angka lainnya seperti 12 x 13 = ...... 22 x 15 = ..... dst. Proses di atas akan dapat terjadi jika siswa diberi kesempatan yang cukup untuk menemukan alternatif strategi penyelesaian (mungkin berbeda-beda untuk tiap-tiap siswa) tanpa merasa tertekan. Kesempatan yang cukup maksudnya dari segi waktu dan pemahaman terhadap materi prasyarat, misalnya sebelum menemukan 13 = 10 + 3
64
siswa perlu dilatih membuat soal penjumlahan bilangan yang hasilnya 13 (5 dengan 8, 7 dengan 6, atau 5 dengan 6 dan 2, dst). Pada awalnya pembelajaran akan berjalan lambat. Namun kondisi ini lebih bermanfaat dibandingkan jika guru langsung menyajikan cara cepat (cara yang selama ini dilakukan), dimana siswa tidak memahami alasan penggunaan cara cepat tersebut dalam menyelesaikan soal yang diberikan. Siswa hanya diminta menghafal dan melakukan prosedur yang asing baginya. Manfaat lain yang dapat diperoleh siswa antara lain adalah melalui proses seperti di atas guru dapat membangun kepercayaan diri siswa. Karena ternyata soal matematika dapat diselesaikan siswa berdasarkan ide atau strategi yang muncul dalam dirinya. Hal ini diharapkan akan menumbuhkan rasa senang belajar matematika karena sesuai dengan tingkat berpikir siswa. Penutup Pengetahuan matematika tidak dapat diajarkan oleh guru tetapi dibangun sendiri oleh siswa. Siswa harus belajar menemukan kembali dan membentuk sendiri konsepkonsep dan prosedur matematika tersebut. Konteks dapat dimanfaatkan sebagai bahan ilustrasi dalam memperkenalkan topik-topik matematika kepada siswa. Soal kontekstual hendaknya dapat menghadirkan lingkungan yang nyata bagi siswa, artinya dekat dengan kehidupan sehari-hari siswa, atau dapat dibayangkan (nyata dalam pikiran), dan terjangkau oleh imajinasi siswa. Hal yang perlu untuk proses matematisasi, dimana siswa dapat mengenal situasinya dan dapat menggunakan pengetahuan mereka untuk memodelkan dan menyelesaikannya. Konteks sangat membantu dalam mengkonstruksi algoritma perkalian yang hasilnya bilangan tiga angka. Peran guru dalam memfasilitasi pembentukan matematika informal menjadi matematika formal yang standar melalui diskusi interaktif antara siswa dan guru, merupakan suatu hal yang mutlak. Daftar Pustaka De Lange, Jan. (1994). Mathematical
Assessing Skills,
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
Understanding, and Thingking. In Richard Lesh and J. Lamon (Ed), Asessment of Authentic Performance in School Mathematics Texas A&M University, College Station, Texas: AAAS Press. Gravemeijer, K.P.E. (1994) Developing Realistics Mathematics Education. Utrecht, The Netherlands: Freudenthal Institute. Johar R., (2001). Implementasi belajar anak. Semarang: Grafika Press. Johar R.(2004). Strategi belajar mengajar . Banda Aceh. FKIP Unsyiah. Muhammad Noor (2000). Strategi belajar mengajar . Surabaya Pusat Studi Matematika dan IPA Sekolah Dasar dan Menengah Mulyasa, E (2002). Kurikulum berbasis kompetensi konsep dan implementasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E (2008). Kurikulum berbasis kompetensi dalam prakteks. Bandung: Remaja Rosdakarya. McNeil, J.D., (1977), Curriculum: a comprehensive introduction. Boston: Little, Brown and Company. Morina Zubainur Cut,dkk (2008). Kurikulum integratif pada pembelajaran tematik di SD/MI Banda Aceh Unsyiah Darussalam. Morrow, L.M., Smith, J.K., dan Wilkinson, L.Ch., Ed., (1994). Integrated language arts: controversy to concensus. Massachusetts: Allyn & Bacon. Nurdin
Syafruddin, (2005). Mengenali profesional guru. Jakarta: Gramedia.
Nurdin Abubakar dan Ikhsan, (2003). Falsafah pendidikan dan kurikulum.
65
Tanjung Malim Malaysia: Quantum Books. Sabda Saifuddin, (2006). Model kurikulum terpadu IPTEK dan IMTAK. Jakarta: Quantum Teaching Ciputat Press Group. Saedah Siraj, (2007) Pendidikan anak-anak (Children education) (2nd ed.). Selangor, Malaysia: Alam Pintar. Saedah Siraj, (2009). Pengurusan kurikulum (Curriculum management). Selangor, Malaysia: Alam Pintar Saedah Siraj, Ahmad Sobri Shuib, & Halimah Salleh (Eds.), (2008). Pengajaran efektif (Effective teaching). [in writing] Sanders,
J.R, (1994), The evaluation standards, 2nd Ed., Thousand Oaks: Sage Publications.
Santrock, J.W, (1994). Child development. Edisi VI. Wisconsin: Brown & Benchmark. Soefie, Ibrahim,(2009) Penguasaan konsep IPA bagi guru sekolah dasar Jurnal Serambi Ilmu No. XII Vol 3 thn IV. 12-15. Scriven, M, (1991). Evaluation thesaurus, 4th Ed. Thousand Oaks: Sage Publications.
66
PENERAPAN MODEL APPRENTICE TRAINING YANG BERWAWASAN KONSTRUKTIVISME DALAM UPAYA MENINGKATKAN KUALITAS PEMBELAJARAN KIMIA Oleh: Mariati MR dan Cut Nova Riska
Abstrak: Penelitian ini bertujuan meningkatkan kualitas proses pembelajaran, meningkatkan hasil belajar siswa, dan meningkatkan keterampilan siswa pada konsep larutan asam dan larutan basa melalui penerapan model apprentice training yang berwawasan konstruktivisme di SMA Negeri 4 Kota Banda Aceh. Penelitian tindakan ini melibatkan 38 orang siswa. Data penelitian dikumpulkan dengan tes, uji keterampilan, kuisioner, pedoman observasi aktivitas guru dan aktivitas siswa, dan dianalisis analisis secara naratif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada siklus I, proses pembelajaran berlangsung cukup efektif, rerata hasil belajar siswa mencapai 77,6; sedangkan rerata nilai uji keterampilan siswa sebesar 78,7. Pada siklus 11, proses pembelajaran berlangsung lebih efektif, rerata hasil belajar siswa mencapai 80,1; sedangkan rerata nilai uji keterampilan siswa sebesar 80,3. Hasil analisis respon siswa menunjukkan bahwa siswa yang memiliki persepsi dan sikap positif jauh lebih besar dibandingkan yang memiliki respon negative. Kata Kunci : Model apprentice training, konstruktivisme, hasil belajar, keterampilan.
Kedudukan guru dalam proses pembelajaran pada kurikulum ditegaskan bahwa sangatlah strategis dan menentukan. Strategis karena guru akan menentukan kedalaman dan keluasan materi pelajaran, sedangkan bersifat menentukan karena gurulah yang memilih dan memilah bahan pelajaran yang akan disajikan kepada siswa. Salah satu faktor yang mempengaruhi guru dalam upaya mempeluas dan memperdalam materi pelajaran adalah rancangan pembelajaran yang dibuat dan dipilihnya. Melalui fungsi ini proses pembelajaran yang efektif, efisien, menarik dan hasil pembelajaran yang bermutu tinggi dapat dilakukan dan dicapai oleh setiap guru. Berdasarkan pengamatan, guru di lapangan jarang memanfaatkan fungsi ini secara optimal. Hal ini disebabkan oleh kenyataan bahwa tugas yang diemban guru sebagai perancang pembelajaran sangat rumit, karena dia berhadapan dengan dua variable di luar kontrolnya, yaitu cakupan isi pelajaran yang telah ditetapkan tedebih dahulu berdasarkan tujuan yang akan dicapai, dan siswa yang membawa seperangkat sikap, kemampuan awal dan karakteristik perseorangan lainnya ke dalam situasi pembelajaran. Guru hanya berpeluang memanipulasi strategi atau
metode pembelajaran di bawah karakteristik tujuan pembelajaran dan siswa. Hal ini diakui oleh Reigluth (1983) yang menyatakan bahwa pada hakekatnya hanya variable metode pembelajaran yang berpeluang besar untuk dapat dimanipulasi oleh setiap guru dan perancang pembelajaran. Keberhasilan dan kebermaknaan pada pelajaran kimia sangat terkait dengan kesinergian antara pemaparan konsep di kelas dengan kegiatan praktikum di laboratorium. Di kalangan guru dan terlebih lagi di kalangan siswa, masih sangat banyak ditemui keluhan. Pada guru sendiri ditemukan permasalahan rendahnya kemampuan konsep dan keterampilan dalam melaksanakan kegiatan praktikum. Untuk mengantisipasi dampak ini, maka salah satu upaya yang dapat ditempuh adalah melalui perbaikan sistem pembelajaran dengan memberikan suatu tindakan berupa penerapan model apprentice training dalam proses pembelajaran kimia. Model apprentice training merupakan salah satu bentuk gabungan antara pembelajaran di kelas, praktek dan pengalaman kerja di laboratorium yang dilakukan secara terstruktur dan terintegrasi. Guna membantu guru dalam menciptakan
Dra. Mariati MR, M.Si adalah Dosen Tetap Yayasan Serambi Mekkah
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
suasana pembelajaran yang kondusif dan berkualitas maka dicobalakukan penelitian tindakan (action research) dengan menerapkan model apprentice training. Penelitian ini sifatnya on the spot yaitu berawal dari situasi dan kondisi alamiah (realita) untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi oleh guru dalam upaya mendongkrak prestasi belajar siswa ke arah yang lebih baik. Metode Penelitian Subyek pada penelitian ini dipilih secara random 1 (satu) kelas siswa pada kelas XI SMA Negeri 4 Banda Aceh. Penelitian ini dilakukan pada konsep larutan asam dan larutan basa yang dibagi menjadi dua siklus besar, yaitu siklus I dan siklus II. Rancangan penelitian tindakan untuk masing-masing siklus mencakup beberapa tahapan, yaitu perencanaan, tindakan, observasi/evaluasi, dan refleksi. 1. Siklus I a. Perencanaan. Pada tahapan perencanaan ditempuh langkahlangkah: menyiapkan instrumen penelitian, menelusuri pengetahuan awal dan keterampilan awal siswa, manyusun dan menyempurnakan LKS yang berorientasi konstruktivisme, dan menyiapkan buku panduan. b. Tindakan. Pada tahap tindakan dilakukan I-angkah-langkah: melaksanakan program pembelajaran dan pelatihan, sebelum pelatihan, instruktur teriebih dahulu memberikan ceramah dan demonstrasi di hadapan siswa tentang teknik kerja di laboratorium, selanjutnya memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan sendiri di bawah bimbingan dan petunjuk instruktur c. Observasi/evaluasi. Pada tahap ini ditempuh langkah-langkah: mengamati proses pelaksanaan pembelajaran dan pelatihan dengan lembaran observasi, mengevaluasi penguasaan konsep, hasil pembelajaran, dan respon siswa. d. Refleksi. Berdasarkan hasil observasi/evaluasi yang dilakukan pada siklus I, maka dilaksanakan refleksi untuk melakukan tindakan pada siklus berikutnya.
67
2.
Siklus II Kegiatan yang dilakukan pada siklus II pada prinsipnya sama dengan pada siklus I, tetapi dengan perbaikan-perbaikan berdasarkan hasil refleksi siklus I. 3. Pengumpulan data Data yang dikumpulkan terdiri dari data awal dan data akhir setelah tindakan pada setiap siklus penelitian, yaitu: a. Data hasil belajar siswa tentang konsep larutan asam dan larutan basa dikumpulkan dengan teknik pre-test dan post-test yang berbentuk essay terstruktur. b. Data tingkat keterampilan awal dikumpulkan dengan teknik uji keterampilan. c. Data mengenai proses pembelajaran dan praktikum di laboratorium dikumpulkan dengan teknik observasi. d. Data respon mahasiswa dikumpulkan dengan teknik angket. 4. Analisis data dan indikator penelitian Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara kualitatif dan dideskripsikan secara naratif. Hasil belajar siswa dianalisis secara deskriptif. Keberhasilan siswa dalam pembelajaran tercapai jika nilai rata-rata hasil post-test pada setiap siklus mencapai 70. Data tentang tingkat keterampilan mahasiswa dianalisis secara deskriptif. Keberhasilan siswa dalam menguasai keterampilan tercapai jika nilai rata-rata post-test mencapai minimal 70. Analisis terhadap respon siswa dilakukan perhitungan persentase. Hasil Penelitian Materi ajar yang dibelajarkan pada siklus I adalah larutan asam, yang dilakukan dengan pendekatan/teknik bertanya. Siswa dalam proses pembelajaran tampak masih kurang aktif merespon pertanyaan guru. Kemasan LKS yang kurang menarik, dan keterlambatan dalam pendistribusian LKS kepada siswa cukup menyulitkan siswa mengikuti pembelajaran yang dilakukan. Pada kegiatan praktikum, siswa masih lebih banyak menunggu instruksi dari guru, karena pengetahuan awal siswa tentang larutan asam relatif masih rendah. Rerata nilai hasil belajar dan uji keterampilan praktikum yang diperoleh siswa pada siklus I seperti ditunjukkan pada
68
Mariati Mr Dan Cut Nova Riska, Penerapan Model Apprentice Training Yang
table berikut. Table 1. Nilai uji keterampilan dan hasil belajar siklus I Pre No Aspek X SD 1. Uji Keterampilan 22,8 10,1 2. Hasil Belajar 39,8 11,0
Dari tabel di atas tampak bahwa rata-rata hasil belajar dan tingkat keterampilan siswa setelah tindakan termasuk dalam kategori baik. Bertolak dari hasil yang diperoleh pada siklus I, maka pelaksanaan pembelajaran dan praktikum pada siklus II diusahakan upaya-upaya perbaikan dengan mendistdbusikan LKS sedini mungkin, dan memberikan bimbingan di saat praktikum yang lebih intensif. Materi
Pembahasan Pembelajaran pada konsep larutan asam basa dengan model apprentice training yang berwawasan konstruktivisme diharapkan dapat meningkatkan hasil belajar dan keterampilan praktikum siswa di laboratorium. Penelitian tindakan yang dilakukan terhadap siswa menunjukkan bahwa pembelajaran pada materi larutan asam dan larutan basa dengan penerapan model apprentice training baik pada siklus I maupun siklus II telah menunjukkan peningkatan penguasaan konsep. Peningkatan penguasaan konsep-konsep larutan asam dan larutan basa secara ilmiah akan memberikan kontribusi pada peningkatan kemampuan siswa
SD 8,5 7,6
Gain X 23,8 32,8
SD 10,8 10,1
ajar yang diberikan pada siklus II adalah larutan basa. Pada proses pembelajaran, siswa tampak sudah aktif merespon pertanyaan guru dengan intensitas keterlibatan yang cukup banyak. Rerata nilai hasil belajar dan uji keterampilan yang diperoleh siswa pada siklus II ini seperti ditunjukkan pada tabel 2 berikut.
Table 2. Nilai uji keterampilan dan hasil belajar siklus II Pre No Aspek X SD 1. Uji Keterampilan 38,9 9,6 2. Hasil Belajar 40,1 10,8 Dari tabel di atas tampak bahwa ratarata hasil belajar dan tingkat keterampilan siswa setelah tindakan termasuk dalam kategori baik, namun hasilnya belum optimal karena masih ada siswa yang masih mendapatkan program remedial untuk bias melewati standar KKM yang ditetapkan. Hasil terhadap respon siswa terhadap pelaksanaan pembelajaran larutan asam basa diperoleh bahwa persentase siswa dengan jawaban skor 4 dan 5 sebesar 54.8%, sedangkan jawaban skor 3 sebesar 10%, dan jawaban dengan skor 1 dan 2 sebesar 15,11%.
Pos X 78,7 77,6
Pos X 80,3 80,1
SD 8,1 7,8
Gain X 40,9 47,1
SD 9,8 11,6
untuk menganalisis permasalahan pada materi larutan asam dan larutan basa. Hal ini teriihat dari hasil belajar yang dicapai siswa pada siklus I termasuk kategori baik dengan rerata 78,7 dan 80,1 pada siklus II. Begitu pula terjadi peningkatan gain score dari 32,8 (pada siklus I) menjadi 47,1 (pada siklus II). Hasil belajar yang dicapai siswa baik pada siklus I maupun pada siklus II sudah memenuhi target penelitian tindakan ini. Namun demikian, hasil yang dicapai belum optimal karena masih ada beberapa siswa yang diremedial untuk mencapai nilai KKM yang telah ditetapkan oleh pihak sekolah. Lebih lanjut, pelaksanaan praktikurn pada konsep larutan asam larutan basa telah mampu meningkatkan keterampilan siswa bekerja di laboratorium secara lebih merata pada seluruh siswa (biasanya hanya beberapa siswa saja yang aktif dan terampil). Guru memberikan bimbingan dan latihan yang lebih intensif kepada siswa yang memiliki tingkat keterampilan awal yang relatif masih rendah, dan mengelola proses praktikum sedemikian rupa sehingga siswa yang relatif lebih aktif dan lebih terampil mau membantu siswa yang kurang aktif dan kurang terampil, sehingga pada akhimya siswa dapat bekerja secara mandiri. Dari dua siklus yang dilaksanakan tampak
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
terjadi peningkatan tingkat keterampilan siswa dalam bekerja, dimana pada siklus I rerata nilai uji keterampilan siswa 79,8 dan pada siklus II 80,1. Begitu pula terjadi peningkatan gain score dari 23,8 (pada siklus 1) menjadi 40,9 (pada siklus II). Penerapan model apprentice training menunjukkan telah mampu meningkatkan keterampilan siswa bekerja di laboratorium pada praktikum konsep larutan asam dan larutan basa. Hasil empiris ini mendukung pernyataan Kearsley (1996) yang menyatakan bahwa keterampilan bekerja di laboratorium dalam pelaksanaan praktikum suatu konsep tidak bisa diperoleh dengan pembelajaran konsep yang biasa dilakukan lewat kegiatan demonstrasi. Di samping terjadinya peningkatan hasil belajar dan tingkat keterampilan siswa, penerapan model apprentice trandrig juga memperbaiki respon siswa terhadap pembelajaran kimia. Jawaban angket yang diberikan kepada siswa pada akhir dari siklus II menunjukkan bahwa persentase siswa yang memiliki persepsi dan sikap yang positif sebanyak 54,8% lebih besar dibandingkan persentase siswa yang memiliki persepsi dan sikap negative sebanyak 25,1%. Hal ini menunjukkan bahwa siswa sangat bergairah dalam mengikuti pembelajaran melalui penerapan model apprentice training pada konsep larutan asam dan larutan basa, sehingga proses pembelajaran berlangsung lebih efektif dibandingkan sebelumnya. Kesimpulan • Penerapan model apprentice training yang berwawasan konstruktivisme dapat meningkatkan kualitas hasil belajar siswa pada konsep larutan asam dan larutan basa. • Penerapan model apprentice training yang berwawasan konstruktivisme dapat meningkatkan keterampilan siswa dalam pelaksanaan praktikum pada konsep larutan asam dan larutan basa. • Siswa memiliki respon yang positif terhadap proses pembelajaran kimia dengan penerapan model apprentice training yang berwawasan konstruktivisme. Saran • Perlu adanya penambahan guru pendamping, mengingat bahwa proses kegiatan praktikum di laboratorium yang bertujuan untuk meningkatkan keterampilan siswa secara individual memerlukan jumlah guru pendamping/instruktur yang rnemadai.
•
69
Menindaklanjuti respon positif dari siswa, perlu kiranya penerapan model apprentice training yang berwawasan konstruktivisme ini dilanjutkan pada konsep-konsep lain yang relevan.
Daftar Pustaka Ausubel, D.P., et.al, 1978. Educational Psychology: A Cognitive Vie, 2nd, New York : Holt Rinehart and Winstone. Berg, 1991. Miskonsepsi Fisika dan Remidiasi. Salatiga : Universitas Satya Wacana. Borgia, E.T. & D. Schuler, 2003. Action Research in Early Childhood Education Online, diakses 16 April 2003. Huew,
1994. Modern Teaching Learning Approach. Singapore: John Wiley & Sons.
Kearsley, G., 1982. Training and Technology, A Handbook For HRD Profesionals, Canada: Addison Wesley Publishing Company, Inc. Kemmis, S. & Mc. Taggert, 1988. The Action Research Planner, (3rd ed), Victoria: Deakin University. Moekijat, 1991. Latihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia, Bandung: Mandar Maju. O,Loughlin, M., 1992. "Rethinking Science Beyond Piagetian Constructivism Toward a Socioculture", Model of Teaching and Learning, In Ronal G. Good (Ed), Journal of Research in Science Teaching. 20(8). Reigluth, C.M., 1983. Instruction-Design Teories and Models; An Overview of Their Current Status. London : Lawrence Erlbaum Associates, Publisher. Shasta, J., 1998. "Peranan Pelatihan Tentang Teknik Pemakaian dan Perawatan Alatalat Laboratorium dalam Mengurangi Tingkat Kesalahan dan Kerusakan Alat-alat Laboratorium Pada Saat Mahasiswa Berpraktikum", Journal Pendidikan dan Pengajaran, IKIP Singara
70
RELEVANSI SIKAP ILMIAH SISWA DENGAN KONSEP HAKIKAT SAINS DALAM PELAKSANAAN PERCOBAAN PADA PEMBELAJARAN IPA DI SDN KOTA BANDA ACEH Oleh Sardinah, Tursinawati, dan Anita Noviyanti Abstrak: Hakikat sains adalah landasan untuk berpijak dalam mempelajari IPA. Aspek hakikat sains mengandung tiga aspek yaitu sains sebagai produk, sains sebagai proses, dan sains sebagai sikap ilmiah. Kurangnya penanaman nilai sikap ilmiah dalam proses kegiatan ilmiah berakibat pada peroleh hakikat sains yang tidak utuh dan kurangnya terbentuk sikap ilmiah siswa dalam melaksanakan kegiatan ilmiah. Dengan demikian perlu adanya analisis relevansi sikap ilmiah siswa dengan hakikat sains dalam pelaksanaan percobaan pada pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh. Yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah: Bagaimanakah kemunculan sikap ilmiah, penguasaan konsep hakikat sains siswa, dan hubungan antara sikap ilmiah siswa yang dilaksanakan dalam percobaan pembelajaran IPA SD dengan konsep hakikat sains?. Metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan kuantitatif yang bertujuan untuk melihat relevansi sikap ilmiah siswa dengan hakikat sains dalam melaksanakan percobaan pada pembelajaran IPA SDN Kota Banda Aceh. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian studi deskriptif dan uji korelasi. Penelitian ini akan dilaksanakan pada Sekolah Dasar Negeri di Kota Banda Aceh. Populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas V SDN di Kota Banda Aceh dengan jumlah 71 SDN. Sampel ditetapkan pada 10 SDN. Instrumen yang digunakan dala penelitian ini adalah lembar observasi, dokumentasi, tes, pedoman wawancara guru. Teknik analisis Data menggunakan rumus persentase dan uji korelasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kemampuan dasar siswa terhadap penguasaan konsep hakikat sains menunjukkan rerata 40%. Hal ini menunjukkan pada kategori rendah. Pada kemunculan sikap ilmiah siswa pada pelaksanaan percobaan pada pembelajaran IPA menunjukkan kategori baik. Dan terdapat hubungan antara sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat sains pada pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh dengan ketentuan thitung > ttabel yaitu (30,8 > 1,28). Kata Kunci : Sikap ilmiah, konsep hakikat sains, pelaksanaan percobaan.
Terpuruknya moralitas banga Indonesia adalah bentuk ketidak tercapaian proses pendidikan di negara kita. Jujur, teliti, rasa ingin tahu, tidak berprasangka, bertanggung jawab dan kedisiplinan diri adalah harapan yang ingin dimiliki pada peserta didik kita. Namun hal ini semakin sulit kita temui dalam diri siswa, baik pada siswa SMA, SMP ataupun SD. Maka perlu adanya pembentukan sikap seperti pada pembelajaran IPA, yaitu pembentukan sikap ilmiah yang mengacu kepada sikap yang harus dimiliki seorang ilmuan atau penyelidik dalam melakukan proses penelitian. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Abroscato (1982) sains meliputi aspek sikap di samping sains sebagai produk dan proses. Sains sebagai proses di
dalamnya mengandung sikap ilmiah (Scientific attitude) yang merupakan faktor sentral dalam menyongkong perkembangan ilmu. Pembelajaran IPA di Sekolah Dasar merupakan pondasi awal dalam menciptakan siswa-siswa yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan sikap ilmiah. Pembelajaran IPA diarahkan dengan cara mencari tahu tentang alam secara sistematis, sehingga IPA bukan hanya merupakan penguasaan kumpulan pengetahuan yang berupa faktafakta, konsep-konsep, atau prinsip-prinsip saja, tetapi juga merupakan suatu proses penemuan dan pembentukan sikap ilmiah. Hakikat sains adalah landasan untuk berpijak dalam mempelajari IPA. Banyak cara yang telah dilakukan untuk mencapai aspek
Dra. Sardinah, M. Si, Tursinawati. S.Pd.I. M. Pd, Anita Noviyanti, M. Pd adalah Dosen Tetap Yayasan Serambi Mekkah
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
yang terkandung di dalam hakikat sains, namun belum juga menunjukkan hasil yang memuaskan. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa guru IPA di SD di Aceh menunjukkan bahwa guru telah menerapkan beberapa model pembelajaran yang berorientasi pada siswa, dan banyaknya percobaan telah dilakukan dalam pembelajaran IPA di SD, namun mutu pendidikan IPA di SD belumlah menunjukkan hasil yang memuaskan dan hakikat sains belumlah terwujud secara utuh. Disamping itu juga guru belum memahami konsep hakikat sains. Hal ini sejalan yang diungkapkan Widodo (2007) pembelajaran sains yang hanya membelajarkan fakta, konsep, prinsip,hukum, dan teori sesungguhnya belum membelajarkan sains secara utuh. Dalam membelajarkan sains guru hendaknya juga melatih keterampilan siswa untuk berproses (keterampilan proses) dan juga menanamkan sikap ilmiah, misalnya rasa ingin tahu, jujur, bekerja keras, pantang menyerah, dan terbuka. Untuk mencapai hakikat sains secara utuh membutuhkan upaya dan kompetensi guru untuk memuat aspek hakikat sains dalam proses pembelajaran IPA. Percobaan pada pembelajaran IPA merupakan bentuk sederhana dari aspek sains sebagai proses yaitu melakukan kegiatan ilmiah sehingga membangkitkan motivasi siswa menjadi seorang ilmuan di masa akan datang. Walaupun demikian sikap ilmiah menjadi aspek yang sangat penting dalam melaksanakan percobaan-percobaan (kegiatan ilmiah sederhana). Sikap ilmiah siswa menjadi tolak ukur etika penelitian para ilmuan dalam menjalani kegiatan ilmiah. Apabila sikap ilmiah siswa dalam melaksanakan percobaan tidak dimilikinya, maka akan berdampak negatif kepada produk sains atau teknologi yang mereka hasilkan. Oleh sebab itu sikap ilmiah dalam melaksanakan percobaan pada proses pembelajaran menjadi syarat mutlak yang harus diketahui dan dimiliki oleh peserta didik kita. Dari hasil penelitian menggambarkan pentingnya aspek hakikat sains dalam proses pembelajaran IPA. Tursinawati (2010) menjelaskan tentang peningkatan pemahaman siswa pada aspek sains sebagai sikap berada
71
pada kategori yang paling rendah dibandingkan dari aspek lain pada hakikat sains. Susilawati (2009) menjelaskan bahwa guru belum memahami hakikat sains seutuhnya. Salah satu faktor masih rendahnya pemahaman hakikat sains oleh guru adalah kurangnya pemahaman konsep hakikat sains yang dimiliki guru, hal ini disebabkan guru tidak memperoleh pengetahuan yang jelas tentang hakikat sains. Hakikat sains belumlah menjadi satu kesatuan dalam proses pembelajaran IPA. Pentingnya pengembangan sikap ilmiah siswa dalam melaksanakan kegiatan ilmiah sehingga dapat membentuk sikap saintis yang tepat. Dengan demikian akan tercapailah hakikat sains/IPA secara utuh. Maka perlu adanya suatu penelitian untuk mengetahui relevansi sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat sains dalam pelaksanaan percobaan pada pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh. Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini untuk menjawab pertanyaan sebagai berikut : Bagaimanakah kemunculan sikap ilmiah yang dilaksanakan dalam percobaan pada pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh?; Bagaimanakah penguasaan konsep hakikat sains siswa pada pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh? Adakah hubungan antara sikap ilmiah siswa yang dilaksanakan dalam percobaan pada pembelajaran IPA SD dengan penguasaan konsep hakikat sains siswa? 1. Hakikat sains Hakikat sains merupakan syarat dalam mata pelajaran IPA baik pada jenjang pendidikan SD, SMP, SMA, dan selanjutnya. Karena segala aspek yang termuat dalam pembelajaran IPA baik hasilnya, proses yang dilaksanakan dalam pembelajaran IPA, dan sikap-sikap yang harus dimiliki siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran adalah suatu keutuhan dan aspek hakikat sains. Apabila kita berbicar tentang IPA maka kita sedang membahas aspek-aspek hakikat sains. Hakikat sains mengandung tiga aspek yaitu, sains sebagai produk, sains sebagai proses dan sains sebagai sikap. Sejalan dengan ungkapan Sulistyorini (2007) menyatakan bahwa hakikatnya, IPA dapat dipandang dari segi produk, proses dan dari segi
Sardinah, Tursinawati, dan Anita Noviyanti, Relevansi Sikap Ilmiah Siswa
pengembangan sikap. Artinya, belajar IPA memiliki dimensi proses, dimensi hasil (Produk), dan dimensi pengembangan sikap ilmiah. Ketiga dimensi tersebut bersifat saling keterkaitan. Menurut Mariana dan Praginda (2009) hakikat Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) merupakan makna alam dan berbagai fenomena/perilaku/karakteristik yang dikemas
NO. 1
HAKIKAT SAINS Sains sebagai produk
2
Sains Sebagai Proses
3.
Sains sikap
2.
sebagai
72
menjadi sekumpulan teori dan konsep melalui serangkaian proses ilmiah yang dilakukan manusia. Teori maupun konsep yang terorganisir ini menjadi sebuah inspirasi terciptanya teknologi yang dapat dimanfaatkan bagi kehidupan manusia. Tursinawati (2010) menjabarkan hakikat sains sesuai yang tercantum pada Tabel. 1.
Tabel 1.1 Hakikat Sains INDIKATOR 1) Ilmu pengetahuan berlandaskan pada fakta empiris 2) Teori yang lebih tepat daripada teori sebelumnya dapat mengubah ilmu pengetahuan 3) Pengetahuan ilmiah didasarkan pada bukti eksperimental 4) Ilmu pengetahuan adalah suatu usaha untuk menjelaskan gejala 5) Ilmu pengetahuan berlandaskan pada argumentasi yang logis 6) Ilmu pengetahuan bersifat objektif 7) Ilmu pengetahuan dibangun oleh apa yang telah ada sebelumnya 8) Produk sains berupa hukum, teori, fakta, konsep dan prinsip 9) Ilmu pengetahuan berperan penting dalam teknologi 1) Pengetahuan ilmiah bersifat sementara 2) Ilmu pengetahuan harus dapat diuji 3) Pengetahuan ilmiah berdasarkan pada pengamatan 4) Metode ilmiah merupakan cara untuk melakukan penyelidikan meliputi merumuskan masalah, mengajukan hipotesis, membuktikan hipotesis dan membuat kesimpulan 5) Ilmu pengetahuan yang diuji menjadi kerangka berfikir bagi ilmu pengetahuan 1) Ilmuwan tidak pernah puas terhadap ilmu pengetahuan 2) Ilmu pengetahuan bersifat konsisten 3) Ilmuwan harus terbuka pada ide baru 4) Ilmuwan bersifat jujur 5) Ilmu pengetahuan menjadi bagian dari tradisi intelektual 6) Ilmuwan harus bertanggung jawab terhadap keilmuwannya
Sikap Ilmiah siswa dalam pelaksanaan percobaan pada pembelajaran IPA Makna “sikap” pada pengajaran IPA SD/MI dibatasi pengertiannya pada sikap ilmiah terhadap perolehan ilmu pengetahuan alam sekitar. Menurut Wynne Harlen dalam Hendro Darmojo (dalam Sulistyorini, 2007), setidak-tidaknya ada sembilan aspek sikap dari sikap ilmiah yang dapat dikembangkan pada
anak usia SD/MI, yaitu: Sikap ingin tahu, sikap ingin mendapat sesuatu yang baru, sikap tidak putus asa, sikap tidak berprasangka, sikap mawas diri, sikap bertanggung jawab, sikap berpikir bebas, sikap kedisiplinan diri. Namun demikian sikap ilmiah dapat dikembangkan menjadi beberapa aspek lagi yaitu:
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
73
No 1 2
3
4
5
6 7 8
9
10 11
Tabel. 2. Aspek-Aspek sikap Ilmiah dalam pelaksanaan praktikum pada pembelajaran IPA Aspek-Aspek Sikap Indicator Ilmiah Ilmuan bersifat jujur 1) Melaporkan pemerhatian asal walaupun pemerhatian asal menyangkal hipotesis awal 2) Kesedian untuk menukar pandangan/pendapat Ilmuan harus terbuka pada ide-ide baru 3) Menerima hasil penyelidikan sesuai dengan data walaupun (willnes ti Change tidak sesuai dengan hipotesis Opinions) 4) Menjaga alat dan bahan yang dilakukan dalam Ilmuan harus bertanggung jawab praktikum/penyelidikan terhadap keilmuannya 5) melaksanakan tugas dan kewajibannya yang dibebankan dalam kegiatan percobaan/penyelidikan Ilmuan harus bersikap 6) Sikap mempertimbangkan semua data yang ada sebelum objective sebelum membuat keputusan 7) Melaporkan apa adanya tanpa melakukan manipulasi ke data dan sampai ke atasnya Bekerja sama 8) Menghargai pendapat orang lain (Kooperatife) 9) Berpartisipasi dalam melaksanakan kegiatan kelompok dalam kegiatan pembelajaran 10) Menafsirkan bersama-sama terhadap hasil pengamatan Pemikiran kritikal 11) mencari kejelasan pernyataan atau pertanyaan (Critical mindedness) 12) mencoba memperoleh informasi yang benar Berlandaskan pada bukti 13) Sikap seseorang bergantung kepada fakta, data-data emperikal (respect for evidence) dalam membuat keputusan Rasa ingin tahu 14) Mengajukan dugaan sementara (hipotesis) terhadap fenomena alam 15) Mengamati kejadian atau fenemona yang dilaksanakan dalam praktikum IPA Sikap mawas diri (hati16) Sikap hati-hati dalam melaksanakan praktikum/penyelidikan hati) 17) Menjaga keaman dari bahaya yang ditimbulkan dalam melaksanakan praktikum/penyelidikan Kedisiplinan diri 18) patuh pada berbagai ketentuaan /peraturan laboratorium 19) Menempatkan alat laboratorium pada tempatnya Kesadaran atau peduli 20) Mengembngkan upaya untuk memperbaiki kerusakan alam terhadap lingkungan yang sudah terjadi
Hakikat sains tidak hanya terfokus kepada aspek sains sebagai produk, namun memiliki arti yang lebih luas yaitu kegiatankegiatan ilmiah yang mengarahkan mereka untuk memahami apa sebenarnya yang dipelajari dalam sains/IPA. Artinya disini, terjadinya proses-proses pemerolehan informasi dengan kegiatan inkuiri dengan memiliki sikap ilmiah dalam melaksanakan proses pembelajaran IPA. Sains sebagai sikap hendaknya menjadi penekanan yang amat penting karena semakin terpuruknya moral/sikap orang pada perkembangan sosial
saat ini. Untuk memperbaiki moralitas bangsa, maka usaha yang tepat adalah menanamkan sikap ilmiah sejak dini pada peserta didik kita. Aplikasi pembetukan sikap ilmiah dapat dilaksanakan dalam setiap proses pembelajaran, baik dalam menyampaikan materi, melaksanakan percobaan, dalam menilai hasil percobaan dan prestasi belajar siswa. Sikap ilmiah sangat bermakna dalam interaksi sosial, ilmu pengatahuan dan teknologi. Apabila sikap ilmiah telah terbentuk dalam diri siswa maka akan terwujudlah suri tauladan yang baik bagi peserta didik, baik
Sardinah, Tursinawati, dan Anita Noviyanti, Relevansi Sikap Ilmiah Siswa
74
dalam melaksanakan penyeldikan atau berinteraksi dengan masyarakat. Secara tidak langsung sikap ilmiah dalam proses pembelajaran IPA dapat menyelesaikan masalah-masalah moralitas anak bangsa ini. Pembentukan sikap ilmiah siswa dapat terbentuk apabila guru yang mengajar memiliki kompetensi dan kreativitas dalam mengajar. Guru dituntut untuk dapat memahami konsep hakikat sains, karena apabila guru tidak memahami hakikat sains maka guru kesulitan dalam membentuk sikap ilmiah siswa. Hal ini disebabkan oleh ketidaktahuan guru terhadap aspek-aspek yang terkandung pada hakikat sains sebagai sikap. Selain itu siswa juga dituntut untuk dapat memahami konsep hakikat sains, agar sikap-sikap yang akan terbentuk dalam diri mereka menjadi lebih bermakna dalam kehidupan sosial, ilmu dan teknologi. Firman dan Widodo (2007) menjelaskan bahwa seorang guru sains dituntut untuk mempunyai gambaran yang jelas dan tepat tentang apa itu sains, sebab keyakinan tentang sains akan sangat berpengaruh terhadap bagaimana seorang guru mengajarkan sains. National Science Foundation/ NSF ( 2004) menjelaskan bahwa sebaiknya pendidikan sains membutuhkan pembelajaran konsep ilmiah dan mengembangkan kemampuan berpikir ilmiah. Ruang kelas yang efektif bergantung pada berbagai cara mengajar ilmu tersebut. Apabila proses pengamatan dan pertanyaan muncul, memberikan kesempatan untuk berinteraksi lebih dengan fenomena dan lebih besar potensi untuk pengembangan pemahaman lebih lanjut. Pemahaman hakikat sains penting untuk dipahami oleh guru dan siswa, karena ketika guru dan siswa tidak memahami hakikat dari suatu pembelajaran maka akan memperoleh kebuntuan pencapaian pembelajaran IPA. Pembelajaran sains tidak terarah dan proses yang dilaksanakan dalam pembelajaran IPA menjadi sia-sia, disebabkan kurangnya pemahaman akan hakikat sains. Untuk memberikan pemahaman konsep hakikat sains, guru dapat menentukan model pembelajaran yang berpusat pada siswa seperti model pembelajaran inkuiri terbimbing, pembelajaran kooperatif, pembelajaran
contectual learning, Salingtemas. Beberapa metode pembelajaran yang dapat mendukung model pembelajaran adalah metode demonstrasi, eksperimen, diskusi, kelompok, karya wisata. Trihastuti (2008) menyatakan bahwa pendidikan sains diarahkan untuk inkuiri dan berbuat sehingga dapat membantu peserta didik untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alam sekitar. Metode Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Penelitian kualitatif bertujuan untuk melihat kemunculan sikap ilmiah siswa dalam pelaksanaan percobaan pada pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh. Sedangkan penelitian kuantitatif bertujuan untuk mengetahui hubungan atau relevansi sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat sains dalam pelaksanaan percobaan pada pembelajaran IPA SDN Kota Banda Aceh, dan kemampuan dasar penguasaan siswa terhadap konsep hakikat sains. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian studi deskriptif dan uji korelasi. Penelitian ini akan dilaksanakan pada Sekolah Dasar Negeri di Kota Banda Aceh. Populasi dari penelitian ini adalah siswa kelas V SDN di Kota Banda Aceh dengan jumlah 71 SDN. Sampel dari penelitian ini adalah siswa kelas V SDN di Kota Banda Aceh dengan jumlah 10 SDN yang mewakili setiap kecamatan yang ada pada Kota Banda Aceh. Instrumen penelitian ini adalah observasi, dokumentasi, dan tes. Observasi bertujuan untuk mengamati kemunculan sikap ilmiah siswa dalam pelaksanaan percobaan pada pembelajaran IPAdi SDN Kota Banda Aceh. Tes digunakan untuk mengetahui kemampuan dasar siswa terhadap penguasaan konsep hakikat sains. Sedangkan untuk mengetahui hubungan antara sikap ilmiah dalam pelaksanaan percobaan pada pembelajaran IPA dengan konsep hakikat sains dianalisis antara hasil kemunculan sikap ilmiah dalap pelaksanaan percobaan pada pembelajaran IPA dengan kemampuan dasar siswa dalam penguasaan konsep hakikat sains. Pedoman wawancara guru digunakan sebagai panduan wawancara dengan guru untuk mengetahui pengalaman guru dalam
75
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
memperoleh konsep hakikat sains dan diberikan lembar soal penguasaan konsep pelaksanaan pembelajaran IPA yang hakikat sains pada siswa. Dari hasil analisis mengkaitkan seluruh askpek hakikat sains data dan uji statistik diperoleh bahwa dari 10 khususnya hakikat sains di SDN Kota Banda SD Negeri Kota Banada Aceh kemampuan Aceh. dasara siswa dalam penguasaan konsep hakikat sians berada pada rata-rata 40% Hasil Penelitian dengan kategori rendah. Hal ini menunjukkan a. Penguasaan konsep hakikat sains pada bahwa masih rendahnya penguasaan konsep siswa SD Dalam mengukur kemampuan siswa hakikat siswa siswa di SD. Hal ini dapat dalam penguasaan konsep hakikat sains dilihat pada table di bawah ini: Tabel.3. Kemampuan Dasar Siswa dalam Penguasaan Konsep Hakikat Sains Di SD Kota Banda Jumlah Siswa Yang Menjawab Benar / SDN Jlh Indikator No SD SD SD SD SD SD SD SD SD SD N Hakikat Soal 2 8 56 60 20 51 67 63 03 16 O Sains
Sains 1 Sebagai Produk
Jumlah siswa 1. Ilmu Pengetahuan Berlandaskan Pada 1 Fakta Empiris 2. Teori yang lebih tepat daripada teori 2 sebelumnya dapat mengubah ilmu pengetahuan 3. Pengetahuan ilmiah didasarkan 3 pada bukti eksperimental 4. Ilmu pengetahuan adalah suatu usaha 4 untuk menjelaskan gejala 5. Ilmu pengetahuan berlandaskan pada 5 argumentasi yang logis 6. Ilmu pengetahuan 6 bersifat objektif 7. Ilmu pengetahuan dibangun oleh apa 7 yang telah ada sebelumnya 8. Produk sain berupa hukum, teori, 8 fakta, konsep dan prinsip 9. Ilmu pengetahuan berperan penting
9
%
22
23
26
9
26
22
23
26
22
26
225
12
0
2
0
13
6
10
3
3
14
63
28
10
7
19
6
12
10
13
13
9
12
111
49
11
4
9
4
11
4
9
6
5
17
80
36
15
9
11
1
17
12
14
15
15
19
128
57
17
7
14
2
16
12
15
13
11
18
125
56
19
11
15
3
16
16
13
5
13
18
129
57
2
5
16
3
10
3
9
5
7
9
69
31
2
1
0
1
3
4
2
2
1
1
17
8
13
12
13
3
15
9
13
11
5
14
108
48
R E R A T A
41
76
Sardinah, Tursinawati, dan Anita Noviyanti, Relevansi Sikap Ilmiah Siswa
dalam teknologi
Sains 2 Sebagai Proses
Sains 3 Sebagai Sikap
10. Pengetahuan ilmiah bersifat sementara 11. Ilmu pengetahuan harus dapat diuji 12. Pengetahuan ilmiah berdasarkan pada pengamatan 13.Metode ilmiah merupakan cara untuk melakukan penyelidikan meliputi merumuskan masalah,mengajukan hipotesis, membuktikan hipotesis dan membuat kesimpulan 14. Ilmu pengetahuan yang di uji menjadi kerangka berfikir bagi ilmu pengetahuan 15. Ilmuwan tidak pernah puas terhadap ilmu pengetahuan 16. Ilmu pengetahuan bersifat konsisten 17. Ilmuan harus terbuka pada ide baru 18. Ilmuan bersifat jujur 19. Ilmu pengetahuan menjadi bagian dari tradisi intelektual 20. Ilmuwan harus bertanggung jawab terhadap keilmuwannya TOTAL
10
4
8
4
3
13
5
12
9
7
9
74
33
11
12
6
7
0
7
3
8
4
8
7
62
28
12
10
3
8
2
14
6
15
8
6
17
89
40
13
15
8
13
3
15
15
20
11
15
15
130
58
14
17
7
20
8
18
12
17
11
7
5
136
60
15
14
5
14
2
8
11
17
5
4
95
42
16
0
6
3
2
4
5
3
3
2
3
47
21
17
3
4
5
3
3
3
6
5
4
7
60
27
18
11
12
17
7
11
13
12
11
4
9
125
56
19
3
2
6
5
5
5
1
6
7
3
62
28
20
10
7
6
6
3
6
10
7
5
3
83
37
200 124 202 64
214 160 219 153 138 200 1674 RERAT A
Untuk lebih rinci dapat dijabarkan pada grafik di bawah ini:
40
44
35
77
Jurnal Pendidikann Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor or 2
<ĞŵĂŵƉ ƉƵĂŶĂƐĂƌWĞŶŐƵĂƐĂĂŶ<ŽŶƐĞƉ,ĂŬŝŬĂƚ^ĂŝŶƐ^ŝƐǁĂ Ă^<ŽƚĂ Ɖ Ğ ƌ Ɛ Ğ Ŷ ƚ Ă Ɛ Ğ
ϳϬ ϲϬ ϱϬ ϰϬ ϯϬ ϮϬ ϭϬ Ϭ
ϱϴ ϲϬ
ϱϱϳ ϱϲ ϱϳ ϰϵ ϯϲ Ϯϴ
ϱϲ
ϰϴ ϰϬ
ϰϮ ϯϳ
ϯϯ
ϯϭ
Ϯϴ
Ϯϳ
Ϯϴ
Ϯϭ ϴ
ϭͲϵ͗ƐĂŝŶƐ ƐĞďĂŐĂŝƉƌŽĚƵŬ ϭϬͲϭϰ͗ƐĂŝŶƐ ƐĞďĂŐĂŝƉƌŽƐĞƐ ^ĞƌŝĞƐϭ ϭϱͲϮϬ͗ƐĂŽŶƐ ƐĞďĂŐĂŝƐŝŬĂƉ ŝůŵŝĂŚ
ϭ Ϯ ϯ ϰ ϱ ϲ ϳ ϴ ϵ ϭϬ ϭϭ ϭϮ ϭϯ ϭϰ ϭϱ ϭϲ ϭϳ ϭϴ ϭϵ ϮϬ Gambar.1. Diag agram Kemampuan Dasar Penguasaan Konsep Hakikat Sain ains Siswa SDN Kota Banda
Berdasarkan gam ambar di atas menunjukkan bahwa yang ng berada paling rendah adalah indicator 8 yyaitu produk sain berupa hukum, teori, fakta,, kkonsep dan prinsip memperoleh nilai 8%. Indica cator ini merupakan bagian dari sains sebagai pro produk. Sedangakan yang menunjukkan paling ti tinggi berada pada indicator ilmu pengetahua uan yang di uji menjadi kerangka berf erfikir bagi ilmu pengetahuan memperoleh nnilai sebesar 60%. Indicator ini merupakan bbagian dari sains sebagai proses. Secara keseluruhann kemampuan dasar siswa dalam penguasaan kon onsep hakikat sains rata-rata 40% pada kategorii ti tidak baik.
b.
Kemunculan sikap ilmia iah siswa Untuk mengetahu hui kemunculan sikap ilmiah siswa maka m dilakukan pengamatan langsung terhad adap sikap ilmiah siswa yang dilaksanakan pada p praktikum dalam pembelajaran IPA dii SD Negeri Kota Banda Aceh. Selanjutn utnya dianalisis mengunakan persentasi. Asp spek-aspek sikap ilmiah yang dilaksanakan dala alam pembelajaran IPA di SD Negeri Kota Banda Ba Aceh yang diamati oleh obsover dapat dilihat di pada Tabel. 2. Sedangkan hasil analisis isis data dan uji statistik dapat dijabarkan pada da Gambar. 2.
78
Sardinah, inawati, wa Sardinah,Tursina Tursin sinawati,dan danAnita AnitaNoviyanti, Noviyanti,Relevansi RelevansiSikap SikapIlmiah IlmiahSiswa Sisw iswa
<ĞŵƵŶĐƵůĂŶ^ŝŬĂƉ/ůŵ ůŵŝĂŚƐŝƐǁĂĚĂůĂŵWĞůĂŬƐĂŶĂĂŶWĞƌĐŽďĂĂŶƉĂĚĂWĞŵďĞůĂ ůĂũĂƌĂŶ/W Ěŝ^E͘ĐĞŚ ϵϬ
Ɖ Ğ ƌ Ɛ Ğ Ŷ ƚ Ă Ɛ Ğ
ϴϬ ϳϳϰ͕Ϯ ϳϭ
ϴϬ
ϲϮ͕ϳ ϲϰ͕ϰ
ϳϬ ϲϬ
ϴϵ
ϴϳ͕ϲ
ϴϲ͕Ϯ ϳϵ͕ϭ ϳϳ ϳϮ
ϳϰ͕Ϯ ϳϬ ϲϱ͕ϴ
ϱϭ͕ϭ
ϱϬ ϰϬ ϯϬ
Ϯϯ͕ϱ
ϮϬ ϭϬ
Ϯϭ͕ϯ ϭϲ͕ϰ
Ϯϭ
ϯ͕ϱ
Ϭ ϭ Ϯ ϯ ϰ ϱ ϲ ϳ ϴ ϵ ϭϬ ϭϭ ϭϮ ϭϯ ϭϰ ϭϱ ϭϲ ϭϳ ϭϴ ϭϵ ϮϬ
ϭ Ϯ ϯ ϰ ϱ ϲ ϳ ϴ ϵ ϭϬ ϭϭ ϭϮ ϭϯ ϭϰ ϭϱ ϭϲ ϭϳ ϭϴ ϭϵ ϮϬ
Gambar 2. Uji Stati atistik dari Sikap Ilmiah Siswa Berdasarkan gam ambar di atas menunjukkan bahwa yang ng berada paling rendah adalah indicator 1 yaitu melaporkan pemerhatian asal walaupunn pemerhatian asal menyangkal hipotesis awall memperoleh nilai 3.5%. Indicator ini merupa pakan bagian dari sikap ilmiah sebagai Ilmua uan bersifat jujur. Sedangakan yang menunjuk ukkan paling tinggi berada pada indicato tor 20 yaitu mengembangkan upaya ya-upaya untuk memperbaiki kerusakan al alam yang sudah terjadi memperoleh nila ilai sebesar 89%. Indicator ini merupakan bag agian sikap ilmiah dari kesadaran atau ppeduli terhadap lingkungan. Pada indicator or melaporkan pemerhatian asal walaupunn pemerhatian asal menyangkal hipotesis awall memperoleh nilai 3.5%. Indicator ini merupa pakan bagian dari sikap ilmiah sebagai Ilmua uan bersifat jujur, merupakan indicator teren rendah dari sikap ilmiah dibandingkan denga ngan sikap ilmiah lainnya. Hal ini disebabka kan adalah. Pada indicator ini kurang muncul culnya sikap ilmiah siswa terhadap melaporka kan data-data apa adanya yang ada dalam pelak aksanaan percobaan pada pembelajaran IPA. A. Siswa secara
individual kurang memperha hatikan data yang harus dikumpulkan secara ra apa adanya. Sehingga hal ini menunjukka kan kepada sikap ilmiah siswa kurang jujur. Sedangkan peroleh han persentase tertinggi dari 20 indikator sikap sik ilmiah yaitu pada indicator ke-20 yaitu mengembangkan upaya-upaya untuk memper erbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi memperoleh m nilai sebesar 89%. Indicator ini merupakan m bagian sikap ilmiah dari kesadara aran atau peduli terhadap lingkungan. Hall ini disebabkan karena media yang dig igunakan dalam pelaksanaan percobaan pad ada pembelajaran yang menghindari kerusakan n lingkungan yaitu penggunaan barang bekas.. Hampir seluruh sekolah dari 10 SDN Kot ota Banda Aceh memanfaatkan alat dan bah ahan bekas yang digunakan dalam pra raktikum pada pembelajaran IPA. pengguna naan barang bekas yang tidak dipakai lagi oleh masyarakat m dapat mengurangi pencemaran lingk gkungan. Sikap ini merupakan suatu sikap ilmiah ah kesadaran atau peduli terhadap lingkungan. Secara keseluruhan kemunculan k sikap ilmiah siswa dalam pelaksa sanaan percobaan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
79
pada pembelajaran IPA rerata 60% berada pada kategori cukup. c.
Hubungan antara sikap ilmiah siswa yang dilaksanakan dalam percobaan pada pembelajaran IPA SD dengan penguasaan konsep hakikat sains siswa Berdasarkan hasil perhitungan data diperoleh koefisien korelasi yang muncul antara relevansi sikap ilmiah siswa dan konsep hakikat sains siswa SD adalah 0.90, yang berada pada kategori tinggi. Untuk menguji hipotesis yang dirumuskan, digunakan uji distribusi t, dengan rumus sebagai berikut : ൌ ට
୬ିଶ
ଵି୰;
Hasil perhitungan koefisien korelasi antara sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat sains pada pembelajaran IPA SDN Kota Banda Aceh adalah 0.90, dengan jumlah subjek 225 siswa sebanyak 10 Sekolah Dasar Negeri dalam Kota Banda Aceh. Hasil tersebut akan diuji dengan menggunakan uji distribusi t. Perhitungan uji distribusi t terhadap koefisien korelasi antara sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat sains adalah 30,8. Selanjutnya angka tersebut dibandingkan dengan koefisien korelasi kritik yang tertera dalam daftar t-tabel pada n = 225 dan taraf signifikansi 0.90, yaitu 1,28. Hasil perbandingan kedua nilai tersebut menunjukkan bahwa thitung > ttabel yaitu (30,8 > 1,28). Dengan demikian hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini “terdapat hubungan antara sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat sains pada pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh”. Adapun tingkat korelasi dan pengujian hipotesis terhadap kemunculan sikap ilmiah pada konsep hakikat sains berada pada kategori tinggi. Pembahasan Pembahasan hasil penelitian ini berdasarkan analisis data dan temuan di lapangan. Penelitian ini dioerentasikan pada tiga aspek yaitu kemampuan dasar penguasaan konsep hakikat sains siswa SD, kemunculan sikap ilmiah, dan hubungan atau relevansi sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat siswa pada pelaksanaan percobaan pada pembelajaran IPA.
Berdasarkan hasil atau data diperoleh bahwa masih rendahnya kemampuan dasar siswa dalam penguasaan konsep hakikat sains siswa di Sekolah Dasar yaitu 40%. Hal ini disebabkan karena konsep hakikat sains merupakan hal baru bagi siswa dan pengatahuan guru pada konsep hakikat sains masih rendah. Susilawati (2009) menjelaskan bahwa guru belum memahami hakikat sains seutuhnya. Salah satu faktor masih rendahnya pemahaman hakikat sains oleh guru adalah kurangnya pemahaman konsep hakikat sains yang dimiliki guru, hal ini disebabkan guru tidak memperoleh pengetahuan yang jelas tentang hakikat sains. Pada kemunculan sikap ilmiah dapat digolongkan pada kategori baik. Hal ini disebabkan karena siswa telah melaksanakan kegiatan ilmiah secara baik, khususnya pada kegiatan bekerja sama. Namun siswa masih rendah dalam pemahaman atau penguasaan konsep terhadap hakikat sains. Pada hubungan sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat sains dalam pelaksanaan percobaan pada pembelajaran IPA menunjukkan adanya hubungan yang signifikan yaitu thitung > ttabel yaitu (30,8 > 1,28). Dengan demikian hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini Ha diterima dan Ho ditolak. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa “terdapat hubungan antara sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat sains pada pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh”. Adapun tingkat korelasi dan pengujian hipotesis terhadap kemunculan sikap ilmiah pada konsep hakikat sains berada pada kategori tinggi. Penutup Dari hasil penelitian ini diperoleh kesimpulan sebagai berikut: 1. Kemampuan dasar siswa dalam penguasaan konsep hakikat sains diperoleh secara total rata-rata 40% pada kategori tidak baik 2. Kemunculan sikap ilmiah siswa pada sepuluh SD Negeri diperoleh rata-rata 60% pada kategori cukup. Hal ini disebabkan karena siswa telah melaksanakan kegiatan ilmiah secara baik, khususnya pada kegiatan bekerja sama.
Sardinah, Tursinawati, dan Anita Noviyanti, Relevansi Sikap Ilmiah Siswa
80
3.
Namun siswa masih rendah dalam pemahaman atau penguasaan konsep terhadap hakikat sains. Terdapat hubungan antara sikap ilmiah siswa dengan konsep hakikat sains pada pembelajaran IPA di SDN Kota Banda Aceh, dengan menunjukkan adanya hubungan yang signifikan yaitu thitung > ttabel yaitu (30,8 > 1,28).
NRC. (2000). Inquiry and The National Science Education Standarts. A Guide for Teaching ang Learning. Washington DC: National Academic Press
Daftar Pustaka
National Science Foundation/NSF (2004 ) Inquiry Thoughts, Views, and Strategies for the K–5 Classroom. Arlington: Division of Elementary, Secondary, and Informal Education.
Alberta (2004) Focus on inquiry: a teacher’s guide to implementing inquiry-based learning. Canada:Alberta Learning. http://www.learning.gov.ab.ca (Maret, 2010)
Smolska, Eva Krugly dan taylor, Peter C 92004) Inquiry in Science Education: International Perspectives. International Jurnal Of Science Education.
Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) (2006). Panduan Penyusunan KTSP Jenjang Pendidikan Dasar. Jakarta: BNSP
Sulistyorini, Sri (2007) Pembelajaran IPA Sekolah Dasar, Dan Penerapan Dalam KTSP. Yogyakarta: Unnes dan Tiara Wacana.
Bell, Frederich h. (1978) Teaching And Learning Mathematics (in Secondary School). Dubuque, Lowa: Wm.C. Brown Company.
Tursinawati,. (2008). Penerapan pembelajaran inkuiri terbimbing Untuk meningkatkan penguasaan konsep dan pemahaman hakikat sains siswa. Bandung: UPI Press. [Tesis, tidak diterbitkan]
Hergenhahn dan Olson, Matthew H (2008) Theories Of Learning, Edisi Ketujuh. Jakarta: Kencana. Holbrook, Jack dan Rannikmae, Miia (2007) The Nature of Science Education for Enhancing Scientific Literacy. Intenational Jurnal of Science Education Vol 29, No 11, 3 September 2007, PP. 1347-1362 Liem, Tik L (2007) Asyiknya Meneliti Sains. Jawa Barat: Pundak Scientific. McComas, W.F. dan Olson, J.K. (1998). The Nature of Science in International Science Education Standards Document. In W. F. McComas (Ed), The Nature of Science in Science Education. Dordrecht: Kluwer Academic Publishers. (pp. 41-52)
Trihastuti, Singgih dan Rimy, Yoko (2008) Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikandaerah Istimewa Yogyakarta 2008 . Yogyakarta: LPMP. Widodo, Ari, dkk (2007) Pendidikan IPA Di SD. Bandung: UPI Press.
ϴϭ
AMANAJEMEN PEMBELAJARAN PENDIDIKAN DAN PELATIHAN PRAJABATAN PADA BKPP ACEH Oleh Sri Rezeki, Murniati, AR, Cut Zahri Harun Abstrak: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan hambatan-hambatan yang ditemukan dalam pelaksanaan manajemen pembelajaran diklat prajabatan pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Aceh. Penelitian ini mengunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif, teknik pengumpulan data adalah wawancara, observasi dan studi dokumentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa:(1) Perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran diklat prajabatan dilakukan oleh tenaga pengajar sesuai kompetensi yang ditetapkan Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia; (2) Pelaksanaan pembelajaran diklat prajabatan dilakukan oleh widyaiswara sesuai kompetensi yang ditetapkan Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia; (3) Evaluasi pembelajaran dilakukan untuk mengetahui kemampuan peserta dalam penguasaan materi melalui ujian tertulis setelah seluruh mata diklat dalam kurikulum diberikan; dan (4) Hambatan-hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan manajemen pembelajaran diklat prajabatan adalah kurangnya kemampuan pengelolaan pembelajaran secara efektif oleh widyaiswara, kurangnya motivasi intrinsik peserta diklat, dan kurangnya pemantauan oleh penyelenggara diklat. Kata kunci :manajemen dan pembelajaran diklat
Sumber Daya Manusia (SDM) pada hakekatnya merupakan pelaku utama dalam proses pembangunan. Pemerintah sebagai penggerak, pembimbing, pembina, dan pencipta iklim yang dapat meningkatkan dan menumbuh kembangkan semangat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi guna memperteguh akhlak mulia, kreatif, disiplin, bertanggung jawab dalam mengembangkan kualitas manusia. SDM merupakan unsur utama dalam organisasi dan tidak terlepas dari proses manajemen yakni strategi perencanaan, pengembangan manajemen dan pengembangan organisasi. SDM merupakan kunci keberhasilan organisasi, karena pada dasarnya SDM yang merancang, memasang, mengoperasikan dan memelihara sistem integral input, proses, dan output (Nasution, 2006:27). Dalam organisasi pemerintahan, Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan unsur utama SDM dan mempunyai peranan dalam keberhasilan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Menurut Lembaga Administrasi Negara (2008:18) mengemukakan bahwa untuk melaksanakan tugas pelayanan, sumber daya aparatur dituntut memiliki kompetensi, profesionalisme, wawasan global, dan mampu berperan sebagai unsur perekat Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Kompetensi sumber daya aparatur secara umum berarti kemampuan dan karakteristik yang dimiliki seorang PNS berupa pengetahuan, keterampilan, sikap, dan perilaku, yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Kompetensi dapat ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan (diklat). Diklat merupakan proses pembelajaran yang melibatkan perolehan keahlian, konsep, peraturan dan sikap untuk meningkatkan kinerja dengan hakekat meningkatkan kualitas produktivitas, mengurangi waktu belajar formal, dan pengembangan kepribadian mereka. Smith (Nawawi, 2005:99) memperkuat tentang manfaat pelatihan sebagai berikut: (a) pelatihan dan pengembangan memiliki potensi untuk meningkatkan produktivitas tenaga kerja, (b) pelatihan dan pengembangan dapat memperbaiki kualitas output dan seseorang yang lebih terlatih tidak hanya lebih kompeten terhadap pekerjaannya tetapi juga lebih peka terhadap tindakannya, dan (c) pelatihan dan pengembangan memperbaiki kemampuan organisasi untuk menghadapi perubahan, kesuksesan implementasi perubahan apakah
Sri Rezeki adalah Magister Administrasi Pendidikan, Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Murniati, AR dan Cut Zahri Harun adalah Dosen Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
ϴϮ
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
Secara umum dapat dinyatakan bahwa manajemen sama dengan administrasi. Manajemen merupakan serangkaian kegiatan atau proses yang sumber daya yang tidak berhubungan ke dalam keseluruhan sistem untuk pencapaian tujuan. Manajemen sebagai kekuatan mutlak yang dibutuhkan oleh organisasi atau lembaga yang membutuhkan SDM dengan sumber daya fisik, termasuk lembaga pendidikan atau sekolah. Organisasi adalah wadah aktivitas manajemen (Syafaruddin dan Nasution, 2005:71). Hasibuan (2005:5) menyatakan salah satu pengertian manajemen bahwa manajemen adalah suatu kumpulan pengetahuan yang disistemasi, dikumpulkan dan diterima menurut pengertian kebenaran universal mengenai manajer. Berdasarkan pengertian tersebut, manajemen adalah sebuah proses yang dilakukan oleh seseorang atau bersama-sama dengan memanfaatkan orang lain beserta fungsi-fungsinya secara berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Suwardi (2007:1) menyatakan bahwa manajemen pembelajaran sendiri dapat diartikan sebagai usaha untuk mengelola sumber daya yang digunakan dalam pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Dalam tinjauan Siswanto (2008:73), bahwa manajemen SDM dapat diartikan sebagai kegiatan perencanaan, pengadaan, pengembangan, pemeliharaan dan penggunaan SDM dalam upaya mencapai tujuan individual maupun organisasional. Adapun pelatihan adalah proses pembelajaran yang melibatkan perolehan keahlian, konsep, peraturan, atau sikap untuk meningkatkan kinerja karyawan. Perencanaan adalah usaha sadar yang dilakukan yang terorganisir dan terus menerus dilakukan untuk memilih alternatif yang baik yang bermanfaat dalam pencapaian tujuan pembelajaran. Perencanaan dikatakan berhasil jika kegiatan yang telah dirumuskan dapat terlaksana sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan. Jadi perencanaan pembelajaran menentukan sesuatu yang harus dilaksanakan dan cara melakukannya, sehingga pelaksanaannya sesuai dengan rencana. Fattah (2006:49) menyatakan bahwa perencanaan merupakan tindakan menetapkan apa yang
bersifat teknik atau strategi tergantung pada keterampilan dari SDM dalam organisasi itu. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, antara lain ditetapkan jenis-jenis pendidikan dan pelatihan PNS. Salah satu jenis diklat adalah diklat prajabatan golongan III yang merupakan syarat pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) untuk menjadi PNS golongan III. Diklat prajabatan golongan III dilaksanakan untuk memberikan pengetahuan dalam rangka pembentukan wawasan kebangsaan, kepribadian dan etika PNS. Disamping pengetahuan dasar tentang sistem penyelenggaraan pemerintah Negara, bidang tugas dan budaya organisasinya agar mampu melaksanakan tugas dan peranannya sebagai pelayan masyarakat. Berdasarkan uraian di atas, penulis ingin mengkaji masalah ini secara mendalam, dengan membuat sebuah penelitian tentang ”Manajemen Pembelajaran Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Aceh. Rumusan Masalah Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah manajemen pembelajaran pendidikan dan pelatihan prajabatan pada Badan Kepegawaian Pendidikan dan Pelatihan Aceh?. Teori Pendukung Menurut Usman (2009:5) mengemukakan bahwa manajemen berasal dari bahasa latin yaitu dari kata manus yang berarti tangan dan agere yang berarti melakukan. Penggabungan kata-kata tersebut menjadi kata kerja manager yang berarti menangani managere diterjemahkan dalam bahasa Inggris dalam bentuk kata kerja to manage dengan kata benda management dan manajer untuk orang yang melakukan kegiatan manajemen. Akhirnya management diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi manajemen atau pengelolaan. Sagala (2009:54) menyatakan bahwa administrasi dan manajemen pendidikan adalah mencakup semua kegiatan yang dijalankan oleh institusi pendidikan, khususnya satuan pendidikan pada berbagai tingkatan dan fungsi tugasnya dalam rangka mencapai tujuan.
Sri Rezeki, Murniati, Ar, Cut Zahri Harun, Manajemen Pembelajaran Pendidikan
ϴϯ
dengan sengaja dalam bentuk pemberian bantuan kepada tenaga kerja yang dilakukan oleh tenaga profesional dalam waktu tertentu bertujuan meningkatkan kemampuan kerja guna meningkatkan efektivitas, produktivitas dalam suatu organisasi. Sehingga dapat dipahami bahwa dalam pelatihan terdapat unsur, proses-proses yang disengaja dalam rangka pemberian bantuan kepada peserta diklat yang dilakukan oleh fasilitator yang profesional dalam satuan waktu tertentu bertujuan meningkatkan kemampuan tenaga kerja.
akan dikerjakan, bagaimana mengerjakan, apa yang harus dikerjakan dan siapa yang mengerjakannya. Dengan demikian, perencanaan sangat penting dilakukan agar tujuan yang telah ditetapkan dapat berjalan sebagaimana mestinya, dapat diarahkan menuju arah yang lebih baik dan berpengaruh terhadap pelaksanaannya yang baik pula. Dalam pelaksanaan pembelajaran widyaiswara sangat berperan dalam pencapaian tujuan pembelajaran, menciptakan kegiatan belajar yang efektif sehingga harus dirumuskan tahap perencanaan, pelaksanaan pembelajaran dan evaluasi yang tepat dalam pembelajaran. Widyaiswara hendaknya memahami hal-hal yang berhubungan dengan pembelajaran yaitu dengan membuat GBPP/SAP, menetapkan kegiatan belajar mengajar yang harus dilakukan, menetapkan alat penilaian untuk mengukur keberhasilan pembelajaran. Widyaiswara harus kreatif dalam memotivasi dan menciptakan atmosfir kelas yang kondusif untuk mendorong peserta agar secara sadar memaksa dirinya menggunakan kemampuan verbalnya untuk bertanya dan menjawab pertanyaan. Widyaiswara juga harus memberikan penguatan kepada peserta dengan memberikan pujian apabila bertanya dan menjawab pertanyaan. Keaktifan peserta diklat dalam kegiatan pembelajaran sangat tergantung dari pemanfaatan potensi yang mereka miliki. Karenanya keaktifan peserta dalam menjalani proses belajar mengajar merupakan salah satu kunci keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaan. Peserta diklat akan aktif dalam kegiatan pembelajaran bila ada motivasi, baik motivasi ekstrinsik maupun instrinsik. Berkaitan dengan pendidikan dan pelatihan terdapat beberapa pendapat, Purwanto (2006:7) mengartikan bahwa pendidikan sebagai usaha sadar untuk mempersiapkan peserta didik melalui kegiatan bimbingan, pengajaran bagi peranan dimasa mendatang. Sedangkan pelatihan adalah usaha sadar untuk memperbaiki kinerja pegawai pada pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya (Nawawi, 2005:51). Dalam tinjauan Hamalik (2005:10), konsep sistem pelatihan secara operasional adalah proses yang meliputi serangkaian tindakan yang dilaksanakan
Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, hal ini karena bentuk penelitian ini mempunyai ciri-ciri penting, diantaranya peneliti merupakan instrumen kunci, data bersifat deskriptif, menitik beratkan pada proses, analisis data bersifat induktif dan pemaknaan setiap kejadian dengan perhatian yang esensial. Menurut Creswell (Emzir:2007:27) bahwa pendekatan kualitatif adalah suatu proses penelitian dan pemahaman yang berdasarkan pada metodologi dengan menyelidiki suatu fenomena sosial dan masalah manusia. Selanjutnya Sukardi (2005:15) menyatakan bahwa penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang berusaha menggambarkan obyek atau subyek yang diteliti sesuai dengan apa adanya dengan tujuan menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik obyek yang di teliti secara tepat. Penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata yang tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati (Moleong, 2007:3). Subjek dalam penelitian ini adalah ketua penyelenggara diklat, sekretaris, dan peserta diklat pra jabatan golongan III. Selanjutnya ada beberapa orang subjek tambahan yang tidak disebutkan sebagai trianggulasi data antara lain petugas ruangan, petugas pengamanan kegiatan diklat, dan staf administrasi. Penetapan subjek penelitian ini dipilih karena keterlibatan mereka secara langsung dalam manajemen pembelajaran diklat pra jabatan.
ϴϰ
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
mengajar terlebih dahulu mempersiapkan GBPP/SAP, bahan ajar, dan bahan tayang sehingga dengan adanya perencanaan tersebut widyaiswara lebih mudah dan terarah dalam mengajar dan mencapai tujuan pembelajaran. Perencanaan yang baik akan memberikan pengaruh terhadap proses belajar mengajar.
Moleong (2005:65) mengemukakan bahwa subjek penelitian pada penelitian kualitatif adalah sampel bertujuan artinya menjaring informasi dari berbagai macam sumber dan bentuknya sehingga dapat dirinci kekhususan yang ada dalam konteks yang unik. Dalam menemukan data yang benar tentang manajemen pembelajaran pendidikan dan pelatihan prajabatan pada BKPP Aceh, peneliti mengunakan teknik pengumpulan data melalui: observasi, wawancara dan studi dokumentasi. Selanjutnya untuk menganilisis data yang telah dikumpulkan sejak awal penelitian sampai akhir penelitian dengan teknik reduksi data, penyajian data dan kesimpulan.
Pelaksanaan Pembelajaran Diklat Prajabatan pada BKPP Aceh Untuk memperoleh data terhadap pelaksanaan pembelajaran diklat prajabatan peneliti telah melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran. Adapun pendekatan yang dilakukan adalah andragogi dan menggunakan metode ceramah yang dikombinasikan dengan tanya jawab, diskusi dan simulasi (role playing). Berdasarkan hasil wawancara dan observasi di lapangan widyaiswara menggunakan metode mengajar, media, sarana dan prasarana pembelajaran meskipun masih terbatas namun berdasarkan wawancara dengan peserta, widyaiswara kurang kreatif dalam menciptakan tmosfir kelas yang menarik sehingga proses kominikasi tidak optimal. Dari hasil observasi penelitian membuktikan bahwa pelaksanaan pembelajaran dimulai dengan membuka pembelajaran dan melakukan evaluasi awal pembelajaran untuk mengetahui kemampuan peserta. Terdapat sebagian widyaiswara yang kurang memperhatikan penggunaan waktu sehingga penyampaian materi tidak terstruktur dengan baik. Sebenarnya hal ini bukan disebabkan karena ketidakmampuan widyaiswara dalam menggelola materi pembelajaran, namun disebabkan karena kurangnya pengelolaan waktu.
Hasil Penelitian Perencanaan Pembelajaran Diklat Prajabatan pada BKPP Aceh Hasil penelitian membuktikan bahwa perencanaan pembelajaran diklat prajabatan pada BKPP Aceh berpedoman pada kurikulum dan silabus yang telah ditetapkan Kepala LAN-RI Nomor 18 Tahun 2010. Dalam kurikulum pembelajaran tersebut memuat analisis materi pembelajaran yang memuat tentang standar kompetensi, kompetensi dasar, indikator dan materi pokok. Selanjutnya hasil penelitian membuktikan bahwa widyaiswara diberikan kesempatan untuk menyiapkan GBPP/SAP, bahan ajar, dan bahan tayang serta seluruh perangkat pembelajaran yang diperlukan sesuai dengan kurikulum yang mencakup kompetensi dasar, materi pokok, pengalaman belajar, target pendidikan, penilaian, alokasi waktu dan sumber belajar. Bersadarkan wawancara dengan penyelenggara diklat dapat diketahui bahwa untuk menunjuk tenaga widyaiswara yang akan mengajar pada diklat prajabatan kompetensi yang harus dimiliki widyaiswara pada pembelajaran diklat prajabatan golongan III diantaranya memahami dan mampu membimbing peserta agar memiliki komitmen dan integritas moral serta tanggung jawab profesi sebagai PNS, memahami dan membimbing peserta untuk menegakkan disiplin dan memiliki etos kerja. Dari hasil observasi penelian membuktikan bahwa semua widyaiswara yang
Evaluasi Pembelajaran Diklat Prajabatan pada BKPP Aceh Hasil penelitian memuktikan bahwa sebagian besar widyaiswara melakukan evaluasi pembelajaran saat pertama kali memasuki ruangan. Penilaian tersebut dalam bentuk pertanyaan tentang masalah yang sudah diajarkan ataupun wawasan lainnya yang berhubungan dengan materi diklat. Evaluasi juga dilakukan pada saat diklat berlangsung untuk mengetahui sejauh mana pemaham,an
ϴϱ
Sri Rezeki, Murniati, Ar, Cut Zahri Harun, Manajemen Pembelajaran Pendidikan
peserta terhadap materi yang sedang disampaikan. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa evaluasi yang dilakukan dalam pembelajaran diklat prajabatan adalah penilaian berbasis kelas yang didasarkan pada prinsip, sasaran dan pelaksanaan penilaian berkelanjutan yang lebih akurat dan konsisten sebagai akuntabilitas publik. Hal ini berarti penilaian berbasis kelas harus dilakukan secara terus menerus selama proses belajar mengajar sehingga sistem penilaian tidak hanya didasarkan pada hasil ujian semata, tetapi juga didasarkan pada proses pembelajarannya.
PEMBAHASAN Perencanaan Pembelajaran Diklat Prajabatan pada BKPP Aceh Perencanaan pembelajaran merupakan kegiatan persiapan yang harus dilaksanakan oleh widyaiswara dan merupakan langkah awal dari suatu kegiatan pembelajaran. Langkah pertama yang dilakukan widyaiswara adalah menelaah kurikulum dan silabus yang telah ditetapkan agar dapat dijabarkan dalam GBPP/SAP. Hal ini dilakukan untuk menjaga kesesuaian bahan ajar dan bahan tayang dengan kurikulum yang berlaku. Perencanaan pembelajaran diklat prajabatan telah sesuai dengan tujuannya yaitu, untuk memberi perbekalan kepada PNS untuk memahami lebih lanjut tentang tanggung jawab dan fungsinya dalam lingkungan kerjanya. Hal ini sesuai dengan Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara Nomor 18 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan yang mengemukankan bahwa salah satu tujuan pembelajaran diklat prajabatan adalah untuk dapat membentuk sosok PNS yang mampu menjadi perekat persatuan dan kesatuan bangsa, maka diklat prajabatan tersebut mengarah kepada upaya peningkatan: (a) sikap dan semangat pengabdian yang berorientasi pada kepentingan masyarakat, bangsa, Negara, dan tanah air, (b) kompetensi teknis, manajerial dan kepemimpinan, (c) efesiensi dan efektifitas, dan (d) kualitas pelaksanaan tugas yang dilakukan dengan semangat, kerjasama dan tanggung jawab sesuai dengan lingkungan kerja dan organisasi. Berkaitan dengan perencanaan pembelajaran yang menjadi tanggung jawab widyaiswara terdapat beberapa hal yang berkaitan dengan perencanaan bahan pelajaran diantaranya harus menyusun GBPP/SAP, bahan ajar dan bahan tayang. Hamalik (2005:80) menyatakan bahwa penyusunan program pembelajaran yang efektif membutuhkan pengkajian (analisis) yang cermat. Pada dasarnya, penggunaan analisis merupakan bentuk penerapan pendekatan sistem yang disebut sistem analisis.
Hambatan dalam Pelaksanaan Manajemen Pembelajaran Diklat Prajabatan pada BKPP Aceh Hasil penelitian membuktikan bahwa terdapat berbagai hambatan sehingga target pembelajaran tidak tercapai secara optimal. Beberapa masalah yang dihadapi widyaiswara. Terbatasnya kemampuan widyaiswara dalam mengembangkan GBPP/SAP sehingga masih banyak widyaiswara yang mengadopsi dari widyaiswara lainnya untuk digunakan dalam mengajar. Namun secara umum widyaiswra yang menjadi subjek penelitian ini sudah melakukan sesuai dengan petunjuk. yaitu mengembangkan GBPP/SAP berdasarkan ketentuan LAN-RI. Untuk terlaksananya perencanaan pembelajaran dengan baik, widyaiswara harus aktif mengembangkan potensi dirinya baik melalui diskusi dengan teman sejawat, dan mengikuti pelatihan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh Suwardi (2007:6) bahwa upaya membangun hubungan yang baik dan luas dapat dilakukan dengan membina jaringan kerjasama atau networking untuk membantu meningkatkan kinerja sesama pengajar sebagai suatu profesi. Perencanaan pembelajaran sangat menentukan suksesnya pembelajaran karena itu widyaiswara sangat dituntut agar dapat meningkatkan dan mengembangkan diri secara professional.
ϴϲ
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
untuk menumbuhkan keberanian peserta diklat untuk bertanya dan menjawab pertanyaan. Karena itu perlu dibiasakan keberanian dalam pengambilan keputusan, bertanya dan menjawab pertanyaan-pertanyaan dari peserta diklat. Widyaiswara juga harus kreatif dalam menciptakan atmosfir kelas yang kondusif untuk mendorong peserta agar secara sadar memaksa dirinya menggunakan kemampuan verbal untuk bertanya dan menjawab pertanyaan. Keaktifan peserta diklat dalam kegiatan pembelajaran sangat tergantung dari kemampuan widyaiswara dalam pemanfaatan potensi yang mereka miliki, karenanya perlu senantiasa memberikan motivasi pembelajaran pada peserta. Beberapa hal yang dapat merangsang tumbuhnya motivasi belajar peserta diklat sebagaimana yang tercantum dalam (LAN, 2008:32) antara lain: (a) penampilan widyaiswara yang hangat dan menumbuhkan partisipasi positif, (b) peserta diklat mengetahui maksud dan tujuan pembelajaran, (c) tersedianya fasilitas, media, sumber belajar, dan lingkungan belajar yang mendukung kegiatan pembelajaran, (d) adanya prinsip pengakuan penuh atas pribadi setiap peserta diklat, (e) adanya konsistensi dalam penerapan aturan atau perlakuan oleh widyaiswara dalam pembelajaran, dan (f) adanya pemberian reinforcement atau penguatan dalam proses pembelajaran.
Pelaksanaan Pembelajaran Diklat Prajabatan pada BKPP Aceh Dalam pelaksanaan pembelajaran widyaiswara merupakan fasilitator dan dituntut untuk memfasilitasi proses belajar mengajar sesuai dengan pendekatan orang dewasa sehingga diperlukan kemampuan berkomunikasi secara efektif, pengelolaan kelas menyenangkan dan mengembangkan metode pembelajaran yang sesuai. Pelaksanaan pembelajaran hendaknya dilaksanakan secara terstruktur dan diawasi agar kegiatan belajar terarah sesuai dengan tujuan pembelajaran. Pengawasan tersebut turut membantu kegiatan belajar secara optimal dan merangsang peserta untuk belajar. Salah satu faktor yang mendukung kondisi belajar dalam diklat kemampuan widyaiswara memberikan motivasi pembelajaran selama proses belajar yang dilakukan. Dalam proses belajar mengajar terjadi komunikasi langsung dari widyaiswara dan peserta secara timbal balik. Kedua belah pihak berperan dan berbuat secara aktif dalam kerangka kerja dengan menggunakan cara dan kerangka berpikir yang disepakati dan dipahami bersama. Dengan demikian kriteria keberhasilan dari rangkaian keseluruhan proses interaksi belajar mengajar tersebut hendaknya dapat dilihat pada perubahan-perubahan yang diharapkan terjadi pada perilaku dan pribadi peserta diklat. Selama proses pembelajaran berlangsung, yang menjadi inti aktivitas belajar adalah terciptanya komunikasi pembelajaran yang efektif yang mencakup asas kejelasan pesan, asas konsistensi, asas ketepatan waktu, asas distribusi pesan, dan asas pesan yang menarik dan mudah dipahami. Dengan memperhatikan asas-asas tersebut pelaksanaan pembelajaran menjadi lebih bermakna. Pelaksanaan pembelajaran dikatakan berhasil apabila peserta diklat mengalami perubahan-perubahan signifikan setelah menjalani proses belajar. Perubahan tersebut meliputi tahapan pengetahuan, keterampilan dan perilaku sebagaimana yang diharapkan. Sebagai pemberi motivasi, hendaknya widyaiswara mengembangkan sikap percaya diri dan mencoba menemukan apa yang peserta biasa lakukan. Widyaiswara dituntut
Evaluasi Pembelajaran Diklat Prajabatan pada BKPP Aceh Evaluasi merupakan suatu kegiatan yang merupakan kewajiban bagi setiap tenaga pengajar. Dikatakan kewajiban karena setiap widyaiswara pada akhirnya harus dapat memberikan informasi kepada lembaga dan kepada peserta sendiri, bagaimana dan sampai dimana penguasaan dan kemampuan yang telah dicapai tentang materi tertentu yang telah dipelajarinya. Tidak ada pembelajaran tanpa penilaian, karena penilaian merupakan proses menetapkan kualitas hasil belajar atau proses untuk menentukan tingkat pencapaian tujuan pembelajaran oleh peserta didik. Mengingat kompleksnya proses penilaian, widyaiswara dituntut untuk menguasai pengetahuan,
ϴϳ
Sri Rezeki, Murniati, Ar, Cut Zahri Harun, Manajemen Pembelajaran Pendidikan
kemampuan dan potensi yang mereka miliki, maka perlu dipikirkan ketepatan penempatan siswa pada kelompok yang sesuai. Selain dari fungsi tersebut di atas, evaluasi juga berfungsi sebagai wacana psikologis yang sangat signifikan bagi peserta diklat dan fasilitator. Bagi peserta diklat, penilaian merupakan alat bantu untuk mengatasi kekurangan dan kelemahan dalam menilai kemampuan dan kemajuan dirinya sendiri. Bagi fasilitator, evaluasi menjadi kebutuhan untuk mengidektifikasi hasil usaha dan tanggungjawabnya dalam mengembangkan potensi belajar peserta diklat. Pengetahuan seperti ini dapat menimbulkan semangat pada widyaiswara dalam menentukan langkah pendidikan lanjutan bagi peserta diklat. Dari penjelasan di atas, jelaslah bahwa fasilitator yang berhasil dalam pembelajaran tidak saja mampu menyampaikan materi, menggunakan metode dan media dengan baik, tetapi juga harus didukung oleh kegiatan evaluasi yang tepat. Sebab dari hasil evaluasi itulah dapat diketahui kemampuan fasilitator dan peserta diklat dalam proses pembelajaran. Pada saat merumuskan alat penilaian juga harus melihat tingkat kesulitan soal yang dibuat oleh trainer diklat. Dengan demikian evaluasi yang diterapkan dapat dimulai dengan perencanaan evaluasi yang dikembangkan dan dirancang oleh fasilitator diklat, pelaksanaan evaluasi yang sesuai dengan perencanaan, selanjutnya melakukan analisis dari hasil pelaksanaan penilaian, dan pemanfaatan hasil evaluasi untuk kepentingan tindak lanjut program pembelajaran yang berkesinambungan.
ketrampilan, dan sikap yang memadai tentang penilaian itu sendiri. Evaluasi bukan akhir dari pembelajaran, tetapi merupakan proses kontinu untuk membantu peserta dalam rangka pencapaian tujuan pembelajaran. Evaluasi pembelajaran diklat prajabatan yang diterapkan oleh widyaiswara dan penyelenggara pada BKPP Aceh meliputi aspek penguasaan materi yang dilaksanakan secara tertulis. Indikator penguasaan tersebut adalah angka yang dihasilkan dari jawaban peserta dalam ujian tertulis, yang dilakukan setelah seluruh mata diklat dalam kurikulum diberikan. Tujuan evaluasi pembelajaran adalah untuk mendapatkan data pembuktian yang akan menunjukkan sampai di mana tingkat kemampuan dan keberhasilan peserta didik dalam pencapaian tujuan-tujuan kurikulum. Di samping itu dapat digunakan untuk mengukur dan menilai sampai di mana tingkat keefektifan pengalaman belajar, kegiatankegiatan belajar, dan metode mengajar yang digunakan. Dengan demikian, dapat dikatakan betapa penting peranan dan fungsi evaluasi proses pembelajaran. Dalam melaksanakan penilaian tenga pengajar dituntut untuk membuat laporan tentang hasil penilaiannya tentang kemajuan pembelajaran peserta. Sehubungan dengan deskripsi hasil evaluasi belajar, Syafaruddin dan Nasution (2005:139) menjabarkan fungsi-fungsi evaluasi hasil belajar tersebut antara lain sebagai berikut: (a) untuk diagnostik dan pengembangan, penggunaan hasil dari kegiatan evaluasi hasil belajar sebagai dasar diagnosis kelemahan dan keunggulan peserta didik dan sebab-sebabnya. Diagnosis inilah yang dapat dilakukan guru terhadap pengembangan kegiatan pembelajaran untuk meningkatkan hasil belajar, (b) untuk seleksi, hasil dari kegiatan evaluasi belajar seringkali digunakan sebagai dasar untuk menentukan siswa-siswa yang paling cocok untuk jenis jabatan atau jenis pendidikan tertentu karena hasil dari evaluasi ini bertujuan untuk seleksi, (c) untuk kenaikan kelas, menentukan apakah seorang siswa dapat dinaikkan ke kelas yang lebih tinggi atau tidak, memerlukan informasi yang dapat mendukung keputusan yang dibuat guru, dan (d) untuk penempatan, agar siswa dapat berkembang sesuai dengan tingkat
Hambatan dalam Pelaksanaan Manajemen Pembelajaran Diklat Prajabatan pada BKPP Aceh Widyaiswara merupakan faktor penting dalam pelaksanaan pembelajaran karena kemampuannya sangat mempengaruhi proses pembelajaran. Sebagai tenaga pengajar Widyaiswara mempunyai ruang lingkup tugas, tanggung jawab, dan wewenang untuk mendidik, mengajar dan/atau melatih PNS pada lembaga diklat pemerintah.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
ϴϴ
adalah peralatan dan perlengkapan yang secara langsung dipergunakan dan menunjang proses pendidikan, khususunya proses belajar mengajar, seperti gedung, ruang kelas, meja, kursi, serta alat-alat dan media pengajaran. Adapun yang dimaksud dengan prasarana pendidikan adalah fasilitas yang secara tidak langsung menunjang jalannya proses pendidikan atau pengajaran, seperti halaman, kebun, taman, sekolah, jalan menuju sekolah, tetapi jika dimanfaatkan secara langsung untuk proses belajar mengajar, seperti taman sekolah islami untuk pengajaran biologi, halaman sekolah sekaligus lapangan olah raga, komponen tersebut merupakan sarana pendidikan. Diperlukan pemahaman akan pentingnya manajemen sarana dan prasarana pendidikan pada setiap lembaga pendidikan dan pelatihan. Deskripsi di atas semakin mempertebal pemahaman kita akan pentingnya pemahaman manajemen sarana dan prasarana pendidikan di setiap lembaga pendidikan dan pelatihan. Dalam pengelolaan bidang manajemen sarana dan prasarana pendidikan khususnya, faktor penting dalam memajukan lembaga pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan adalah tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang sejajar dan sesuai kebutuhan. Dalam pengelolaan bidang manajemen sarana dan prasarana pendidikan khususnya, faktor penting dalam memajukan lembaga pendidikan dan pelatihan dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan adalah tersedianya sarana dan prasarana pendidikan yang sejajar dan sesuai kebutuhan. Bila hal ini dipenuhi oleh masing pengelola administrasi setiap lembaga diklat tentunya penyelenggaraan proses belajar mengajar akan dapat terlaksana dengan baik dan menyenangkan. Di samping itu, manajemen sarana dan prasarana pendidikan di sekolah berkaitan erat dengan aktivitas-aktivitas perencanaan, pengadaan, pendistribusian, penggunaan, perawatan, inventarisasi, serta penghapusan. Hal ini menunjukkan bahwa perlunya suatu proses dan keahlian seorang penyelenggara dalam kegiatan pengelolaan dan tindakan preventif yang tepat terhadap
Artinya, selain pada peserta pelatihan itu sendiri, keberhasilan peserta pelatihan dalam menyerap, mengerti dan memahami materi yang disampaikan dalam sebuah kegiatan pelatihan sebagian besar terletak pada widyaiswara. Bila dilihat dari aspek tenaga pengajar, maka kendala yang dihadapi BKPP Aceh mencakup aspek-aspek berikut: (a) rendahnya kompetensi widyaiswara dalam pengelolaan pembelajaran diklat secara efektif, (b) kurangnya waktu yang tersedia untuk menanamkan kompetensi-kompetensi yang diharapkan dari peserta diklat, (c) kurangnya keterlibatan peserta diklat dalam proses belajar sehingga pembelajaran tidak optimal, dan (d) kurangnya kemampuan widyaiswara dalam melakukan evaluasi awal pembelajaran sehingga tidak mengetahui kemampuan kelas. Dari aspek peserta diklat, kendala yang dihadapi BKPP Aceh mencakup komponen berikut, yaitu kurangnya motivasi intrinsik peserta diklat untuk mendalami materi pembelajaran sehingga pembelajaran yang diajarkan hanya untuk melengkapi syarat sebagai PNS saja. Deskripsi tersebut merupakan hambatan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara diklat dan widyaiswara dalam perannya sebagai tenaga pegajar yang mampu membangkitkan motivasi belajar para peserta diklat. Dalam proses belajar, motivasi sangat diperlukan, sebab seseorang yang tidak mempunyai motivasi dalam belajar, tak akan mungkin melakukan aktivitas belajar. Hal ini merupakan pertanda bahwa sesuatu yang dikerjakan itu tidak menyentuh kebutuhannya. Sedangkan pada aspek pengelola diklat, kendala dihadapi BKPP Aceh mencakup aspek-aspek penyediaan sarana dan prasarana pembelajaran, yaitu: (a) modul pembelajaran, (b) LCD/projector (c) white board dan flip chart (d) jaringan komputer dan internet (e) tehnologi multimedia. Pelaksanaan manajemen pembelajaran tidak akan berjalan maksimal apabila tidak memiliki fasilitas pembelajaran yang memadai. Pengelolaan sarana dan prasarana pendidikan merupakan kegiatan yang amat penting, karena keberadaannya akan sangat mendukung suksesnya proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mulyasa (2007:49), bahwa sarana pendidikan
Sri Rezeki, Murniati, Ar, Cut Zahri Harun, Manajemen Pembelajaran Pendidikan
ϴϵ
masing-masing fasilitas yang dimiliki terhadap sarana dan prasarana. 2. Kesimpulan Dari hasil temuan penelitian, ada beberapa hal yang dapat penulis simpulkan, yaitu: 1. Perencanaan pembelajaran diklat prajabatan pada BKPP Aceh dilakukan dengan penyusunan kurikulum seluruh mata pembelajaran diklat prajabatan yang dilakukan oleh widyaiswara sesuai dengan jenis komponen pembelajaran, dan relevansi bahan ajar yang dikemas dalam format RPP pembelajaran sesuai dengan konsentrasinya masing-masing kelompok kerja widyaiswara. 2. Pelaksanaan pembelajaran diklat prajabatan pada BKPP Aceh dilakukan dengan: (a) membuat GBPP/SAP, (b) menetapkan kegiatan belajar dengan peserta diklat, dan (c) menetapkan alat penilaian untuk mengukur keberhasilan pengajaran. 3. Adapun dalam proses belajar mengajar dilakukan dengan pendekatan interaksi dengan peserta diklat, sedangkan widyaiswara hanya berperan sebagai fasilitator pembelajaran sehingga menimbulkan nuansa pembelajaran yang aktif. 4. Evaluasi pembelajaran diklat prajabatan pada BKPP Aceh dilakukan dalam bentuk tiga aspek antara lain: (a) evaluasi program pembelajaran diklat yang diajarkan, (b) evaluasi proses pembelajaran diklat yang diajarkan, dan (c) evaluasi hasil pembelajaran diklat. 5. Hambatan dalam pelaksanaan manajemen pembelajaran diklat prajabatan pada BKPP Aceh antara lain dipengaruhi oleh aspek tenaga pengajar, peserta diklat, dan pengelola diklat
3.
4.
Daftar Pustaka Emzir. (2007). Metode Penelitian Pendidikan Kuantitatif dan Kualitatif, Jakarta:Raja Grafindo Persada. Fatah, Nanang. (2006). Landasan Manajemen Pendidikan. Bandung:Remaja Rosdakarya. Hamalik, Oemar. (2005). Proses Belajar Mengajar. Bandung:Bumi Aksara. Hasibuan, J.J. (2005). Proses Mengajar, Bandung: Rosdakarya.
Belajar Remaja
Lembaga Administrasi Negara. (2008). Modul Diklat:Analisis Kebutuhan Diklat, Jakarta:Tim Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia. Moleong, Lexy J. (2005). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosdakarya.
Saran Adapun saran-saran yang diajukan adalah sebagai berikut: 1. Perencanaan pembelajaran diklat prajabatan hendaknya disiapkan dengan baik agar pelaksanaan pembelajaran yang meliputi tujuan pembelajaran, materi, interaksi belajar mengajar, media dan
sumber belajar, bentuk dan teknik evaluasi dapat berjalan dengan lancar. Dalam pelaksanaan pembelajaran, widyaiswara diharapkan dapat mengelola pembelajaran, memodifikasi metode pembelajaran dengan lebih bervariasi sehingga peserta diklat terlibat langsung dalam proses pembelajaran. Evaluasi pembelajaran diklat memberi banyak manfaat bagi peserta diklat, untuk itu penyelenggara diharapkan dapat menyampaikan hasil evaluasi secara akurat kepada peserta diklat sehingga dapat mengetahui kompetensi yang harus ditingkatkan individu masing-masing. Untuk menanggulangi hambatan dan permasalahan manajemen pembelajaran diklat prajabatan, diperlukan leader komitmen dan kerjasama tim dengan tanggung jawab yang tinggi secara terus menerus.
-------------, (2007). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Mulyasa, E. (2007). Manajemen Berbasis Sekolah, Bandung:Remaja Rosdakarya.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
ϵϬ
Nasution. (2006). Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta:Bina Aksara. Nawawi, Hadari. (2005). Personel Untuk Produktivitas Kerja, Intermedia.
Administrasi Peningkatan Jakarta:Haji
Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan PNS. Purwanto, Ngalim. (2006). Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya. Sagala,
Syaiful. (2009). Kemampuan Profesional Guru dan Tenaga Kependidikan, Bandung:Alfabeta.
Siswanto, H. B. (2008). Pengantar Manajemen, Jakarta:Bina Aksara. Sukardi, Dewa Ketut. (2005). Bimbingan dan Penyuluhan Belajar di Sekolah. Surabaya: Usaha Nasional. Suwardi. (2007). Manajemen Pembelajaran: Mencipta Guru Kreatif dan Berkompetensi, Jakarta:Temprina Media Grafika. Syafaruddin dan Irwan Nasution, (2005). Manajemen Pembelajaran, Jakarta:Quantum Teaching. Usman, Husaini. (2009). Manajemen:Teori, Praktek, dan Riset Pendidikan, Jakarta:Bumi Aksara.
ϵϭ
MANAJEMEN PEMBELAJARAN BAHASA ARAB BERBASIS TEKNOLOGI INFORMASI (T.I) PADA JURUSAN BAHASA ARAB FAKULTAS TARBIYAHIAIN AR-RANIRY BANDA ACEH Oleh Zulkhairi, Djailani. AR, Nasir Usman Abstrak: Dalam era globalisasi dan perkembangan Teknologi Informasi dan Komunikasi (T.I.K) yang bergerak begitu cepat, mengharuskan semua sistem dan tatanan pendidikan untuk menyesuaikan diri baik, visi, misi, tujuan serta strateginya demi tercapainya pendidikan yang berkualitas dan bermutu. Salah satunya dengan melaksanakan pengelolaan pembelajaran bahasa arab berbasis Teknologi Informasi pada Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah angket wawancara dan observasi dokumentasi. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa para dosen bahasa Arab pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh yang mengajar di kelas ternyata belum seluruhnya membuat perencanaan pembelajaran berupa Satuan Acara Perkuliahan (SAP) dengan baik dan benar dalam ketikan Microsoft Word bahasa Arab. Dalam pelaksanaan pembelajaran menunjukkan bahwa dalam membuka pelajaran, menjelaskan materi perkuliahan, kebanyakan para dosen bahasa Arab sudah mampu dan mahir dalam melaksanakannya dengan baik terutama dalam menyiapkan alat-alat pendukung pembelajaran seperti leptop, flashdisk, infokus, dan layanan wifi internet online. Hasil penelitian melalui observasi mengenai penilaian perkuliahan mahasiswa pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh belum baik. Hasil wawancara dengan salah seorang dosen pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN AR-Raniry Banda Aceh yaitu Bapak Marzun R menunjukkan bahwa belum semuanya berupaya meningkatkan evaluasi dalam pembelajaran di ruang belajar, karena penilaian yang dilakukan adalah penilaian proses dan produk. Kata Kunci : Manajemen Pembelajaran, Bahasa Arab, dan Teknologi Informasi (T.I) terwujudnya student center. Maka salah satu komponen penting dalam meningkatkan mutu dan kualitas pendidikan di era globalisasi ini adalah dengan melaksanakan pengelolaan proses pembelajaran (manajemen pembelajaran) dengan dukungan berbagai fasilitas Teknologi Informasi (T.I) dan multimedia pembelajaran, sehingga pembelajaran menjadi lebih terbuka, kreatif, efektif dan dinamis, yang akhirnya kita bisa merapatkan barisan untuk sejajar dalam globalisasi dunia pendidikan nasional bahkan Internasional. Kenyataan menunjukkan bahwa dalam penerapan pembelajaran berbasis Teknologi Informasi dan multimedia oleh para dosen di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh masih banyak ditemui kendala, terutama yang berkaitan dengan Sumber Daya Manusia (SDM) maupun kelengkapan sarana dan prasarananya, dan untuk mengatasi kendalakendala tersebut, tentu menjadi suatu keharusan bagi para dosen dan akademisi pendidikan melakukan perencanaan dan
Sejalan dengan perkembangan zaman di era globalisasi serta kemajuan dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat pesat, khususnya dalam bidang pendidikan, maka pembaharuan dalam lembaga pendidikan harus segera dilakukan, demi terciptanya pendidikan yang terarah, bermutu dan berkualitas. Untuk menghasilkan pendidikan yang berkualitas, diperlukan manajemen yang baik dan terarah yang dapat mendukung tercapainya tujuan pendidikan. Pasca pengesahan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional tersebut terjadi perubahan besar dalam konteks pengelolaan proses pendidikan di Indonesia. Dalam undang-undang tersebut tidak lagi dikenal istilah pengajaran, namun menggunakan istilah pembelajaran. Pada konsep pengajaran akan memunculkan kondisi teacher center. Sedangkan pada konsep pembelajaran dosen lebih bersifat fasilitator yang membuat siswa belajar sendiri. Pada konsep ini pula sangat mungkin dan relevan
Zulkhairi adalah Magister Administrasi Pendidikan, Pascasarjana Universitas Syiah Kuala Djailani. AR, dan Nasir Usman Harun adalah Dosen Pascasarjana Universitas Syiah Kuala
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
ϵϮ
lebih luas dari pada kata “pengajaran”, jika kata pengajaran ada dalam konteks dosenmurid dikelas (ruang) formal, akan tetapi pembelajaran atau instruction mencakup pula kegiatan belajar mengajar yang tidak dihadiri dosen secara fisik, oleh karena dalam instruction yang ditekankan adalah proses belajar, maka usaha-usaha yang terencana dalam memanipulasi sumber-sumber belajar agar terjadi proses belajar dalam diri siswa, yang kita sebut dengan pembelajaran (Sadiman dkk. 2008:7). Sebagaimana dikemukakan oleh Wina Sanjaya (2008:78) kata pembelajaran adalah terjemahan dari “instruction” yang banyak dipakai dalam dunia pendidikan di Amerika Serikat. Istilah ini banyak dipengaruhi oleh Psikologi Kognitif-Holistik yang menempatkan siswa atau mahasiswa sebagai sumber dari kegiatan. Pembelajaran dapat didefinisikan sebagai suatu proses kegiatan atau perubahan lewat reaksi dari suatu situasi yang dihadapi. Sebagaimana ungkapan Hilgard dan Bower dalam Bonoma (1987:6) yaitu :“Learning is the process by wich an activity originates or is changed through reacting to an encountered situation” Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran terjadi ketika anda berubah karena suatu kejadian dan perubahan yang tejadi bukan secara alami seperti menjadi dewasa dengan sendirinya, akan tetapi lebih karena reaksi dari situasi yang dihadapi (Jogiyanto, 2006:12).
pengaturan yang matang tentang pemanfaatan fasilitas Teknologi Informasi dan Komunikasi (T.I.K) dalam proses pembelajaran. Berdasarkan permasalahan di atas, maka yang menjadi fokus dalam rumusan penelitian ini adalah “Bagaimanakah profesionalitas para dosen dalam melaksanakan pengelolaan pembelajaran bahasa Arab dengan menggunakan alat-alat (hardware dan software) Teknologi Informasi (T.I) pada Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh? Landasan Teori Kata manajemen berasal dari bahasa Prancis “ménagement” yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Bahasa Prancis lalu mengadopsi kata ini dari bahasa Inggris menjadi “management” yang memiliki arti seni melaksanakan dan mengatur. Sedangkan menurut Siswanto (2006:3) memberikan batasan manajemen sebagai berikut; “Manajemen adalah seni dan ilmu dalam perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pemotivasian dan pengendalian terhadap orang dan mekanisme kerja untuk mencapai tujuan”. Menurut Widjaja (2002:6) bahwa fungsi-fungsi atau bagian-bagian proses manajemen terdiri dari : (1) perencanaan, (2) pengorganisasian, (3) pengarahan, (4) pengendalian. Sedangkan menurut Siagian (2005:32) berpendapat bahwa: Pada dasarnya para ilmuwan telah sepakat tentang fungsifungsi manajerial dapat digolongkan dalam dua jenis utama, yaitu fungsi organik dan fungsi penunjang, fungsi-fungsi organik tersebut merupakan penjabaran kebijaksanaan dasar atau strategi organisasi yang harus digunakan dalam bertindak, diantara klasifikasi fungsi-fungsi organik manajemen yaitu; Perencanaan, pengorganisasian, penggerakan, pengawasan dan penilaian. Sedangkan fungsi penunjang adalah meliputi berbagai kegiatan yang diselenggarakan oleh satuan kerja dalam organisasi dan dimaksudkan mendukung semua fungsi organik para manajer. Kata “pembelajaran” sengaja dipakai sebagai padanan kata “instruction” dari kata bahasa Inggris, kata instruction atau pembelajaran mempunyai pengertian yang
Metode Penelitian Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan bersifat analisis deskriptif. Pendekatan yang bersifat analisis deskriptif adalah sebuah bentuk pengumpulan data secara kaya dari suatu fenomena yang ada untuk dianalisis, sehingga diperoleh gambaran terhadap apa yang sudah diteliti. data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dokumen, serta tingkah laku. Selain itu peneliti bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam, menemukan pola, hipotesis dan teori (Sugiyono 2006:399). Selain alasan tersebut, peneliti juga mempunyai beberapa pertimbangan-pertimbangan. Pertama, menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan
Zulkhairi, Djailani. AR, Nasir Usman Manajemen Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Teknologi ϵϯ
dosen pangkat serta golongannya maupun bidang keahlian yang dimilikinya. Analisis data hasil penelitian ini dilakukan secara induktif dan dilakukan secara terus menerus, kegiatan ini dilakukan mulai sejak pengumpulan data dan dikerjakan lagi sesudah meninggalkan lapangan tempat penelitian. Analisa data ini dilakukan oleh peneliti dengan mengikuti proses analisis data kualitatif interaktif, sebagaimana dikemukakan oleh Milles dan Huberman dalam Rachman (1999:20) bahwa metode analisis interaksi dimana komponen reduksi data dan sajian data dilakukan bersamaan dengan proses pengumpulan data.
dengan kenyataan jamak. Kedua, metode ini menyajikan secara langsung hakikat hubungan antara peneliti dan responden. Ketiga, metode ini lebih peka dan dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong 2004:10). Dalam penelitin ini, lokasi yang peneliti pilih adalah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh. Mengenai waktu dan masa penelitian dimulai pada awal bulan mei tahun 2010 dan pada waktu itu peneliti sedang melakukan perbaikan proposal penelitian hingga selesai penelitian. Dalam penelitian ini yang menjadi instrumen penelitian adalah para dosen bahasa Arab yang masi aktif sebagai staf pengajar tetap pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, yang berjumlah 10 orang dosen. Penentuan subjek penelitian tersebut berpedoman pada pendapat arikunto (2001:154), yaitu sampel yang diambil dalam sebuah penelitian jika populasinya kurang dari 100, maka lebih baik diambil seluruhnya, sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Apabila populasinya lebih besar dari 100 maka dapat diambil 10-15% atau 20-25% atau lebih. Adapun teknik-teknik yang digunakan adalah sebagai berikut : (1) Metode Observasi. Metode observasi dilakukan dengan cara melakukan pengamatan secara langsung terhadap fenomena yang akan diteliti. Dimana dilakukan pengamatan atau pemusatan perhatian terhadap obyek dengan menggunakan seluruh alat indera. Jadi mengobservasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman, pendengaran dan pengecap (Arikunto, 1997:204). (2) Metode Wawancara. Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Teknik Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara terstruktur dengan menggunakan alat bantu yaitu pedoman wawancara. (3) Metode Dokumentasi. Dokumentasi yaitu teknik yang digunakan untuk mencari data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat, agenda, dan sebagainya (Arikunto, 1997:206). Metode ini digunakan untuk memperoleh data mengenai perangkat pembelajaran para dosen, daftar nama-nama mahasiswa, daftar nama-nama
Hasil Penelitian Berdasarkan temuan dilapangan, dari hasil observasi, data hasil wawancara dengan ketua jurusan bahasa Arab dan masingmasing dosen pengajar bahasa Arab di IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Peneliti paparkan secara lengkap dan rinci sesuai fakta yang ada pada Jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh sebagaimana berikut ini: 1. Gambaran Umum lokasi Penelitian Sebagaimana dengan permasalahan di atas, penelitian ini dilaksanakan pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN ArRaniry Banda Aceh, termasuk Dekan Fakultas Tarbiyah, ketua jurusan bahasa Arab beserta para dosen pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. Fakultas Tarbiyah yang dulunya terletak di sebelah barat kantor biro Rektor kemudian karena musibah tsunami maka untuk sementara proses pembelajaran di kampus terutama Fakultas Tarbiyah dipindahkan ke lokasi Gedung Universitas Iskandar Muda (UNIDA) di Surin arah dekat monumen kapal PLTD apung yang diterjang ombak tsunami beberapa tahun lalu. a. Profil IAIN Ar-Raniry Banda Aceh Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry Banda Aceh adalah sebuah lembaga pendidikan Islam resmi yang ada di Aceh yang terletak di kota Banda Aceh tepatnya di komplek mahasiswa Darussalam dibawah naungan Kementerian Agama Republik Indonesia. Adapun struktur organisasinya dipimpin oleh seorang rektor yaitu Prof. Dr. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA masa Periode 2009 sampai dengan sekarang. Adapun pembantu rektor I yaitu Prof. Dr.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
ϵϰ
pelajaran, kebanyakan para dosen bahasa Arab sudah mampu dan mahir dalam melaksanakannya dengan baik terutama dalam menyiapkan alat-alat pendukung pembelajaran seperti leptop, flashdisk, infokus, dan layanan wifi internet online. Ada sebahagian dosen yang masih kurang mampu membuka pelajaran dengan fasilitas Teknologi Informasi (T.I) langsung menulis di papan tulis (whiteboard) tema dari isi mata kuliah yang akan di ajarkan serta tidak memotivasi mahasiswa dengan pertanyaanpertanyaan. b) Menjelaskan Materi Kuliah Hasil penelitian berdasarkan observasi pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh diperoleh data bahwa kegiatan yang dilakukan oleh para dosen dalam proses pembelajaran untuk penyampaian materi perkuliahan meliputi menulis isi materi kuliah yang akan dipelajari dan menjelaskannya, dan ada juga dosen yang memaparkannya melalui leptop, infokus dan proyektor atau dinding kelas, lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan, meminta para mahasiswa memperhatikan dan menanggapi jawaban temannya, mengarahkan mahasiswa bekerja dalam kelompok, memberi bimbingan kepada mahasiswa yang mengalami kesulitan dalam memahami materi perkuliahan.
Amirul Hadi MA, dengan berbagai bidang dan seksi masing-masing. IAIN Ar-Raniry Banda Aceh terdiri dari fakultas-fakultas, diantaranya Fakultas Syari’ah, Fakultas Tarbiyah, Fakultas adab (sastra), Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Dakwah. Penelitian ini dilakukan pada Fakultas Tarbiyah yang dipimpin oleh seorang dekan yaitu Bapak DR. Muhibbuthabry, M.Ag, yang didalamnya terdapat program studi atau jurusan-jurusan, diantanya; jurusan pendidikan bahasa Inggris, jurusan pendidikan bahasa Arab, jurusan pendidikan Fisika, jurusan pendidikan Biologi, jurusan pendidikan matematika, jurusan pendidikan kimia. Adapun tempat penelitian ini berlangsung pada jurusan bahasa Arab yang dipimpin oleh seorang Ketua Jurusan (KAJUR) yaitu Bapak Drs. Suhaimi, M.Ag beserta para dosen. b. Kualifikasi Tingkat Pendidikan Dosen Jurusan Bahasa Arab Berdasarkan hasil observasi, wawancara, dan studi dokumentasi jumlah diperoleh data sebagaimana paparan berikut ini: (1) Suhaimi, Drs. M.Ag, dimana jenjang pendidikannya adalah Strata dua (S2), (2) Azwir, MMLS, jenjang pendidikannya adalah Strata dua (S2), (3)Bukhari Muslim, M.Ag. Dr. Jenjang pendidikannya adalah Strata Tiga (S3), (4) Wardi A.Wahab, Drs. M.Ag. jenjang pendidikan adalah Strata Dua (S2). (5) Muakhir, MA dengan jenjang pendidikannya Strata Dua (S2), (6) Qusaiyen, M, Ag dengan jenjang pendidikannya Strata Dua (S2), (7) Jamaluddin, MA dengan jenjang pendidikannya Strata Dua (S2), (8) Hilmi, M.Ed dengan jenjang pendidikannya Strata Dua (S2), (9) Tarmizi, Ninoersy, MA dengan jenjang pendidikannya Strata Dua (S2) dan (10) Marzun R, Drs. M.Ag, jenjang pendidikannya adalah S2.
3. Evaluasi Pembelajaran Bahasa Arab berbasis Teknologi Informasi (T.I) Hasil penelitian melalui observasi mengenai penilaian belajar mahasiswa pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh belum baik. Upaya dosen dalam menentukan keberhasilan mahasiswa terbatas pada hasil test yang biasa dilakukan secara tertulis. Sasaran penilaian hanya terbatas untuk mengetahui kemampuan peserta didik mengisi soal yang biasa keluar dalam test. Dosen belum memiliki keterampilan yang cukup dalam mendemonstrasikan alat alat Teknologi Informasi (T.I) seperti leptop, flashdisk, proyektor, infokus, sarana wifi kampus yang dapat memotivasi mahasiswa untuk belajar lebih giat dan bersemangat, dan juga tidak adanya fasilitas kampus yang lengkap dalam menunjang belajar siswa dengan menggunakan komputer atau leptop berbahasa Arab atau minimal memiliki
2. Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Teknologi Informasi Peneliti telah melakukan pengamatan terhadap pelaksanaan pembelajaran bahasa Arab pada jurusan bahasa Arab yang dilakukan di ruang kelas gedung Lantai I, dan lantai II komplek kampus Universitas Iskandar Muda yang terletak di kawasan Surin sebagaimana gambaran berikut: a) Membuka Pembelajaran Hasil penelitian observasi menunjukkan bahwa dalam membuka
Zulkhairi, Djailani. AR, Nasir Usman Manajemen Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Teknologi
ϵϱ
dalam kurikulum, 2004 (KBK) dan KTSP bahwa dosen atau dosen seharusnya memberi kesempatan kepada peserta didik atau mahasiswanya untuk membangun sendiri pengetahuannya dengan bantuan dosen terhadap suatu masalah secara realistis. Proses mengkonstruksi materi perkuliahan yang dialami peserta didik perlu dipahami oleh dosen tersebut. Oleh karena itu dosen seyogyanya harus mampu mengupayakan proses rekonstruksi ini sedernikian bagus sehingga peserta didik dapat belajar dengan pendekatan konstruktivisme. Dalam penyampaian bahan ajar, dosen seharusnya mampu meningkatkan pemahaman dan keterampilannya dalam mengembangkan materi perkuliahan yang terkait dengan tema. Kemampuan dosen dalam mengembangkan materi perkuliahan ini erat hubungannya dengan pernillihan tema yang menarik sehingga menjadi fokus mahasiswa dalam proses pelaksanaan pembelajaran. Pemilihan tema yang dekat dengan diri dan lingkungan mahasiswa sangat membantu dosen dalam mengembangkan materi perkuliahan. Tindakan seperti ini, dari hasil penelitian yang dilakukan pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, ternyata dilakukan oleh sebahagian besar para dosen. Pelaksanaan perkuliahan yang belum baik oleh sebahagian dosen pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh ternyata juga terkait dengan penguasaan materi perkuliahan yang belum baik pada sebagian dosen. Hal ini ditunjukkan oleh prilaku tertentu misalnya teknik penyampaian materi perkuliahan yang monoton, dosen lebih banyak duduk dikursi membaca dan memerintahkan peserta didik membuka buku paketnya masing-masing untuk membuat tugas. Perilaku dosen yang demikian dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan peserta didik sehingga akan sulit mengendalikan ruangan belajar dengan baik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dosen bahasa Arab pada jurusan bahasa Arab Fakultas tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh menunjukkan sebahagian dosen yang mampu membuka pembelajaran dengan baik. Sebelum pelajaran dimulai dosen berusaha menarik perhatian mahasiswa dengan berbagai cara, bertanya tentang pembelajaran yang sudah pernah diajarkan atau
program Mikrosoft Word bahasa Arab. 4. Hambatan Pembelajaran Bahasa Arab berbasis Teknologi Informasi (T.I) Hasil wawancara dengan dosen bahasa Arab jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN AR-Raniry Banda Aceh menunjukkan bahwa hanya sebahagian dosen saja yang melengkapi langkah langkah pembelajaran bahasa Arab dengan baik dan menyampaikannya dengan menggunakan media atau alat-alat Teknologi Informasi (T.I),. Pembahasan Pembahasan yang diuraikan disini mengenai manajemen pembelajaran bahasa Arab berbasis Teknologi Informasi pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh. (a) Perencanaan Pembelajaran Bahasa Arab berbasis Teknologi Informasi (T.I). Hasil penelitian menunjukkan, bahwa upaya dosen bahasa Arab jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh yang mengajar masih menggunakan pembelajaran manual dan kurang membuat perencanaan pembelajaran dengan fasilitas dan alat-alat Teknologi Informasi (T.I) seperti; Komputer, leptop, flashdisk, sarana wifi. Berikut ini ada beberapa langkah pembelajaran yang dikeluarkan oleh badan Standar Nasional (BSNP). (b) Pelaksanaan Pembelajaran Bahasa Arab berbasis Teknologi Informasi (T.I) Berdasarkan observasi, dokumentasi dan wawancara menunjukkan bahwa dosen bahasa Arab pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh masih kurang mampu melaksanakan pembelajaran atau perkuliahan dengan baik, karena terlihat dosen mengalami kesulitan dalam hal sebagai berikut; (1) Belum dikomunukasikannya tujuan dan kegiatan perkuliahan yang akan dilakukan kepada mahasiswa secara jelas. (2) Belum dipahami dan digunakannya media dan alat-alat Teknologi Informasi (T.I) dalam pelaksanaan perkuliahan. (3) Pada akhir kegiatan inti dosen tidak melakukan pembahasan maupun mengarahkan mahasiswa untuk selalu memanfaatkan alat-alat Teknologi Informasi (T.I) dalam pembelajaran baik di kampus maupun diluar kampus. Hal ini bertentangan dengan pendekatan konstuktivisme yang terdapat
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
ϵϲ
pengorganisasian, pengarahan dan pengawasan, usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber dayasumber daya organisasi lainnya agar rnencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. (2) Pelaksanaan pembelajaran bahasa Arab jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh menekankan pada dosen tentang penyusunan silabus dan penyusunan Satuan Acara Perkuliahan (SAP) dan penyampaian pembelajaran di kelas. (3) Seorang dosen maupun dosen harus memahami dan mengerti tentang unsur-unsur serta komponen proses pengelolaan pembelajaran (manajemen pembelajaran) yang terdiri dari; Perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan beserta evaluasinya dalam pengajaran baik dilingkungan sekolah maupun diperguruan tinggi. (4) Evaluasi dalam pembelajaran bahasa Arab yang dilakukan pada jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN ArRaniry Banda Aceh adalah tes formatif dan tes sumatif untuk mengukur tingkat kemajuan peserta didik. (5) Hambatan yang dihadapi oleh dosen bahasa Arab diantaranya kurangnya pemahaman dosen tentang Teknologi Informasi (T.I) yang berhubungan dengan pembelajaran bahasa Arab.
mengumpulkan tugas rumah, atau yang lainnya. (2) Menjelaskan Materi Kuliah.Hasil penelitian menunjukkan kemampuan dosen bahasa Arab yang sebagian kecil belum baik dalam menyampaikan atau menjelaskan materi perkuliahan kepada mahasiswa. Berdasarkan data hasil penelitian terhadap program evaluasi yang dilakukan oleh dosen bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh ternyata semua dosen melakukan evaluasi untuk menentukan keberhasilan, belajar peserta didik terbatas pada hasil test yang dilakukan secara tertulis. Akibatnya sasaran pembelajaran hanya terbatas pada kemampuan peserta, didik untuk mengisi soal yang biasa keluar dalam test. Seharusnya penilaian yang dilaksanakan dosen juga mengcakup ulangan harian atau ulangan setelah selesai pembelajaran kompetensi dasar tertentu dengan istilah perKD, sedangkan ujian semester akhir dilaksanakan setelah menyelesaikan sejumlah KD yang telah ditetapkan pada semester tersebut dan biasanya dilaksanakan pada batas akhir waktu pembelajaran yang telah ditetapkan. Selanjutnya dari temuan penelitian dosen bahasa Arab jurusan bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh kurang memperhatikan penilaian proses dan cenderung hanya melakukan penilaian hasil saja. Padahal untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, evaluasi sebaiknya bukan dilakukan pada hasil belajar saja, akan tetapi juga terhadap proses belajar karena pada dasarnya penilaian merupakan salah satu bagian yang terintegrasi dengan pembelajaran. Dalam proses belajar yang dinilai adalah bagaimana langkah-langkah berpikir peserta didik dalam menyelesaikan masalah pembelajaran. Hal ini sesuai dengan pendapat Sanjaya (2008:33): "Untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, evaluasi sebaiknya dilakukan bukan hanya terhadap hasil belajar, akan tetapi juga proses belajar".
Saran Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang “Manajemen Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Teknologi Informasi (T.I) pada Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN ArRaniry Banda Aceh” maka penulis menyarankan sebagai berikut : (1) Kepada para dosen bahasa arab pada Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, diharapkan untuk terus belajar memahami tentang perangkat komputer serta alat-alat multimedia pembelajaran lainnya serta mengerti cara-cara penggunaannya, sehingga para dosen-dosen bahasa arab lebih maju dari segi keilmuan dalam bidang Teknologi Informasi (T.I) dan multimedia pendidikan. (2) Kepada pihak fakultas disarankan untuk lebih memperbanyak workshop, pelatihan serta bimbingan kepada seluruh dosen di lingkungan kampus IAIN Ar-Raniry Banda Aceh di bidang penggunaan Teknologi Informasi dan Multimedia dalam pembelajaran. (3) Kepada pihak jurusan
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian saya mengenai Manajemen Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Teknologi Informasi (T.I) pada Jurusan Bahasa Arab Fakultas Tarbiyah IAIN Ar-Raniry Banda Aceh, dapat saya simpulkan sebagai berikut : (1) Manajemen adalah suatu proses perencanaan,
Zulkhairi, Djailani. AR, Nasir Usman Manajemen Pembelajaran Bahasa Arab Berbasis Teknologi ϵϳ
Murniati, A.R. (2008). Manajemen Stratejik, Peran Kepala Sekolah dalam Pemberdayaan. Bandung : Cita Pustaka Media Perintis.
terutama ketua jurusan bahasa arab dan sekretarisnya untuk lebih banyak lagi mengarahkan para staff pengajarnya agar selalu menggunakan dan memanfaatkan media pembelajaran berbasis Informasi dan Teknologi (Infotech) dalam tiap-tiap pertemuan pembelajarannya agar suasana proses belajar-mengajar lebih inovatif dan aktif.
Moh. Gade (2005) “Kesiapan Dosen dalam Pengimplementasian Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK, Tesis (tidak diterbitkan).
Daftar Kepustakaan Anonim, (2003). Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 Tahun 2003, Jakarta : Sinar Grafika , PT.
Mulyasa, E. (2006). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; Sebuah Panduan Praktis. Bandung : PT Remaja Rosdakary
Arikunto, Suharsimi. (2002). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Edisi Revisi V. Jakarta : Rineka Cipta. Arsyad, Azhar. (2005). Media Pembelajaran. Jakarta : Raja Grafindo Persada, PT.
Munir, (2008). Kurikulum Berbasis Teknologi Informasi dan Komunikasi, Bandung : Alfabeta CV, Kerjasama Sekolah Pascasarjana UPI. Nasution, S. (2003). Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: PT. Tarsito.
Away, Yuwaldi. (2008). Sistem Informasi Manajemen Pendidikan. Modul Kuliah Mhs. Program Studi. Administrasi Pendidikan, UNSYIAH.
Oetomo, Dharma, Budi Oetomo. (2002). EEducation, Konsep Teknologi dan Aplikasi Internet Pendidikan. Yoyakarta ; Andi, PT.
Bafadal Ibrahim, (2004). Dasar-Dasar Manajemen dan Supervisi pada Taman Kanak-Kanak, Jakarta : Bumi Aksara, PT.
Rohani, Ahmad, H.M. (2004). Pengelolaan Pengajaran. Jakarta : PT. Rineka Cipta, PT.
Djamarah Bahri Syaiful, Zein Aswan. (2002). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Asdi Mahasatya. HM.
Sanjaya, Wina. (2009). Perencanaan dan Desain Sistem Perencanaan. Jakarta : Kencana Prenada Media Group.
Jogiyanto. (2006). Filosofi, Pendekatan, dan Penerapan Pembelajaran Metode Kasus. Yogyakarta ; Andi, PT.
Simamora, L. (2003). Cakrawala Pendidikan E-Learning : Konsep dan Perkembangan Teknologi yang Mendukung. Jakarta : U.T.
Hamalik, Oemar. (1989). Media Pendidikan, Bandung : Citra Aditya Bakti, PT
Siswanto H.B.(2005), Pengantar Manajemen. Jakarta : Bumi Aksara.
Heriyanto Dwi. (2005). Belajar dan Mengajar Bahasa Inggris dengan Menggunakan Teknologi Modern. Yogyakarta ; Pustaka Widyatama. Lexy J Moleong (2007) Metode Penelitian Kualitatif, Bandung : Remaja Risdakarya, PT. (Edisi Revisi).
Wena Made. (2009). Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta; Bumi Aksara, PT. W.Gulo. (2005). Strategi Belajar Mengajar. Jakarta : Gramedia PT. Yamin, Martinis. H. (2009). Strategi Pembelajaran berbasis Kompetensi. Ciputat ; Gaung Persada Press
Miarso, Yusuf Hadi. (2005). Menyemai Benih Teknologi Pendidikan. Jakarta; Prenada Media,
98
STRATEGI MENEBAK MAKNA KATA BERDASARKAN KONTEKS DAN DAMPAKNYA PADA KEMAMPUAN READING DAN PEMEROLEHAN KOSAKATA AKTIF DAN PASIF Oleh Septhia Irnanda dan Muhammad Aulia
Abstract: Konteks dapat membantu seseorang untuk memahami ide-ide di dalam teks, sekaligus menambah kosakata. Penelitian ini ingin melihat apakah (1) strategi menebak makna kata yang diaplikasikan pada kegiatan membaca akan mampu meningkatkan kemampuan mahasiswa memahami teks?, dan (2)apakah makna kata yang diperoleh dengan menggunakan strategi menebak berdasarkan konteks lebih dapat diingat (kosakata pasif) dan digunakan dalam skil bahasa produktif (kosakata aktif) dibandingkan dengan kata-kata yang diperoleh maknanya tanpa strategi menebak atau dengan strategi melihat kamus. Penelitian merupakan sebuah eksperimen yang melibatkan dua kluster; eksperimen dan kontrol. Hasil menunjukkan bahwa (1)tidak ada perbedaan signifikan antara kelas eksperimen dengan kelas reading dalam kemampuan Reading comprehension setelah strategi diterapkan, namun (2) kelas eksperimen dapat mengingat kata dengan lebih baik dan lebih banyak menggunakannya dalam kalimat dibandingkan kelas kontrol. Keywords: strategi menebak makna kata, konteks, teks, kamus, kosakata aktif , kosakata pasif Kemampuan menebak makna kata merupakan sesuatu yang penting bagi seorang pembelajar bahasa inggri karena dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan kemampuan menghubungkan pada siswa karena mereka mengaktifkan skil tersebut saat menebak makna kata. Keingintahuan mereka akan makna kata tersebut mendorong mereka untuk menghubungkan kata tersebut dengan konteks kalimat. Pada akhirnya, saat mereka berhasil menebak dengan benar, mereka akan lebih percaya diri untuk mencoba cara ini dikesempatan yang lain. Gu dan Johnson (1996) menyebutkan bahwa pembelajaran kosakata bahasa kedua (L2) meliputi strategi-strategi seperti metakognitif, kognitif, memori dan aktifasi. Kognitif strategi dalam taksonomi Gu dan Johnson meliputi strategi menebak, penggunaan kamus yang bijaksana dan strategi mencatat (note-taking). Kemampuan menebak kata adalah penting bagi pembelajar bahasa Inggris pada khususnya. Mikulecky and Jeffries (1996:49) menyatakan bahwa strategi ini efektif karena: 1. Cepat dan pembaca tidak terganggu kegiatan membacanya.
2.
Membantu meningkatkan pemahaman dalam membaca karena pembaca tetap fokus pada isi bacaan yang sedang dibaca. 3. Membantu membangun kosakata karena cenderung lebih mengingat kata yang ditebak. 4. Membuat pembaca lebih menikmati kegiatan membaca karena tidak perlu berhenti sebentar-sebentar. Qian menyatakan dalam jurnalnya bahwa skil menebak makna kata (berdasarkan konteks) adalah skil yang paling penting bagi pembaca untuk mendapatkan kosakata baru. Pendapat ini beralasan karena skil ini memang sangat bermanfaat bagi para pembelajar bahasa pada kondisi-kondisi seperti saat mereka sedang mengikuti tes membaca dimana kamus tidak boleh dipergunakan, atau pada kondisi dimana kamus tida tersedia dan tidak ada orang yang dapat ditanyai. Dalam website English Online, disebutkan bahwa: “Yet when using the dictionary, students have to learn to consider the context of the word as the explanations in dictionaries can be confusing. Students should therefore learn strategies to guess
Septhia Irnanda, M.TESOL dan Muhammad Aulia, M.TESOL adalah Dosen Tetap Yayasan Serambi Mekkah
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
the meaning of a word before referring to the dictionary. This will also encourage them to use their thinking and linking skills and making a good guess builds up their confidence.” “Namun saat menggunakan kamus, siswa harus belajar mempertimbangkan konteks dari kata karena penjelasan di dalam kamus dapat saja membingungkan. Siswa harus belajar strategi menebak mana kata sebelum merujuk ke kamus. Cara ini akan mendorong mereka untuk menggunakan skil berpikir dan skil menghubungkan mereka dan ketika mereka berhasil menebak dengan benar, kepercayaan diri mereka dapat bertambah” Jadi, skil menebak makna kata ini dapat mengembangkan kemampuan siswa dalam berpikir dan menghubungkan informasi karena mereka mengaktifkan skil-skil ini saat mereka mencoba menebak makna kata di dalam teks. Keingintahuan mereka untuk mengetahui makna kata mendorong mereka untuk menghubungkan kata-kata dengan konteks dalam kalimat. Pada akhirnya, ketika mereka berhasil menebak, mereka akan percaya diri untuk mencoba teknik yang sama dikemudian hari. Dalam website developing teacher.com, McDonough and Shaw (2003) menyatakan bahwa: “Prediction is crucial in reading and to become efficient readers our learners need to develop this skill. Predicting will allow them to react with the text by having expectations and ideas about the purpose of the text, as well as ideas about possible outcomes. Predicting will help them become selective about what is significant and insignificant in the passage and how to pick up the key words in reading, which will ultimately lead to better fluency and reading speed. It also leads the student to become sensitive to contextual and extratextual clues in creating meaning.” Singkatnya, memprediksi atau menebak makna kata penting dalam kegiatan membaca karena cara ini memiliki banyak keuntungan bagi pembaca, khususnya pembelajar bahasa asing yang sangat bergantung pada kamus untuk meningkatkan kosakatanya.
99
Tujuan daripada penelitian ini adalah untuk mengetahui keefektifan strategi menebak makna kata berdasarkan konteks terhadap peningkatan kosakata mahasiswa Pendidikan Bahasa Inggris Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh. A. Contextual Guessing/ Berdasarkan Konteks Teknik memperoleh makna kata sulit didalam teks dengan cara melihat konteks dikenal dengan contextual guessing atau context identification atau penggunaan petunjuk konteks (Qian, 2005:4). Konteks memainkan peran penting dalam pengidentifikasian kata-kata di dalam teks (Gough dikutip dari Dycus 1997). Rapaport (2001:1) menyatakan bahwa pemerolehan kokata melalui ‘konteks’ adalah pemerolehan kata yang aktif dan bersengaja dengan cara menarik pemahaman dari petunjuk-petunjuk tekstual dan pengetahuan yang sudah dimilki termasuk kemampuan dan hipotesis tetang bahasa, tanpa bantuan eksternal seperti dari orang lain ataupun kamus. Memiliki kemampuan menganalisa konteks adalah salah satu persyaratan dalam membaca kritis. Kontekstualisasi adalah sebuah strategi membaca kritis yang memungkinkan pembelajar bahasa membuat kesimpulan tentang pemilihan konteks historical maupun cultural untuk melihat perbedaan antara konteks didalam teks dengan konteks yang kita miliki (Axelrod, 1996:432). Context Clues / Konteks sebagai Petunjuk Kustaryo (1988:23) menyatakan bahwa “kata-kata yang terisolasi seringkali tidak memberikan makna yang berarti. Kata-kata memiliki makna yang berbeda tergantung pada konteks. Contohnya kata banks, makna sebenarnya ditentukan oleh penggunaannya. She placed all her money in the bank. (a place to deposit money) The river bank overflowed from the storm. (the earth sides of a river) A plane appeared out of the fog, banked, and stopped. (to tilt and cause to turn) Dengan kata lain, sebuah kata akan menunjukkan makna sebenarnya ketika B.
Septhia Irnanda dan Muhammad Aulia, Strategi Menebak Makna Kata Berdasarkan Konteks
diletakkan didalam kalimat. Inilah yang disebut makna secara konteks. Penelitian telah menunjukkan konteks dapat memberikan pengaruh yang besar pada perbendaharaan kata pembelajar (Stahl, 1999). Belajar kosakata melalui konteks dipercaya lebih baik daripada belajar kosakata dengan mengahapal urutan kata dan maknanya (list learning). Pertama karena konteks memberikan ruang yang lebih besar untuk menghubung-hubungkan materi pembelajaran sehingga dapat lebih bermakna. Kedua, konteks menyediakan sebuah situasi yang mirip dengan situasi belajar langsung (discovery learning). Menurut Qian (2005:15), petunjuk konteks memiliki beberapa kegunaan di dalam membaca: 1. Petunjuk dari konteks dapat membantu pembaca mendapatkan cara baca dan makna dari kata yang tidak diketahui didalam teks.
2.
Petunjuk dari konteks juga dapat membantu dalam menentukan penekanan (accentuation) dari kata-kata yang mirip namun dalam konteks yang berbeda, atau penggunaan dalam tata bahasa yang berbeda juga akan mempengaruhi makna. 3. Konteks memberikan petunjuk dari makna kata-kata yang bervariasi berdasarkan subjek area yang digunakan. a) Mengidentifikasi Hubungan-Hubungan Didalam Konteks Setiap teks memiliki kohesi leksikal atau hubungan yang mengikat setiap kata-kata di dalamnya menjadi sebuah kesatuan. Hubungan itu antara lain ditunjukkan dengan adanya pronoun atau kata ganti, sinonim, antonym, kata hubung maupun sekedar pengulangan (restatement/repetition). Berikut adalah ilustrasi hubungan leksikal yang oleh Henry (2004).
Tabel 2.1 Jenis-Jenis Petunjuk Kontekstual Clue Word & Definition Synonym or Restatement Antonym or Contrast
Monition – warning of impending danger. Ignoble – not having high moral character.
Example
Altruistic unselfish
General Sense of Passage
Elevations – heights
1.
100
Sentence
Tabloid newspapers must love to print the monitions of Nostradamus. It seems every other week his warnings of impending danger are on the front page. To be a thief is to be ignoble. If one were a thief, having a strong moral character would not be important. Many wealthy people take up altruistic causes; for instance, Princess Diana worked to help people with AIDS, the poor, and the victims of land mines. A climber must think about the harmful impact high mountain elevations can have on her body.
Synonyms atau Restatement Sebuah sisnonim adalah dua atau lebih kata-kata yang memiliki makna yang sama atau mirip (Hancock 1995:19). Saat seorang penulis menggunakan sebuah istilah yang sulit, mereka seringkali menggunakan juga sebuah sinonim untuk kata tersebut untuk membuat makna menjadi lebih jelas. Contoh: The old man was cantankerous. He was ill-tempered, mean and extremely quarrelsome.
Restatement atau pengulangan juga merupakan penyebutan kata yang sama dalam cara yang berbeda, biasanya dengan penjelasan yang lebih sederhana (Hancock, 1995:19). Contoh: Polygamy, the practice of having many mates, is unlawful, in the United States. 2.
Antonym atau Contrast Antonim adalah sebuah kata yang memilki makna yang berlawanan. Sebuah makna yang berlawanan yang diletakkan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
101
dalam sebuah konteks akan memberikan petunjuk kontras kepada makna kata yang tidak diketahui. Kata hubung seperti ‘walaupun’, ‘tetapi’ dan ‘namun’ menjadi sinyal hubungan kontras ini. Contoh: The sea lion is a cumbersome animal on land, but in the water it is one of the most graceful 3.
Example Cara lain memberi petunjuk kepada pembaca dalam menemukan makna kata sulit adalah dengan menggunakan contoh. Seorang penulis dapat memberikan satu atau lebih contoh. Contoh-contoh ini tidaklah sama dengan sinonim. Kata-kata mengindikasi seperti, ‘ such as’, ‘including’, dan ‘consists of’. Tanda baca seperti colon (:) dan dash (-) juga dapat menjadi petunjuk pemberian contoh/example. Contoh: The river was full of noxious materials such as cleaning agents from factories and pesticides from the nearby farms. 4.
General sense of Passage Menurut perpesktif Dycus (1997:2), konteks bukanlah sesuatu yang absolut ada didalam teks, namun kadang kala diciptakan sendiri oleh si pembaca. Dengan kata lain, pembaca memiliki kontribusi dalam membangun makna dari sbuah kata di dalam konteks. Contoh: The cat springs on the rat. Kata ‘spring’ dalam kalimat diatas dapat ditebak maknanya karena kita dapat membangun makna berdasarkan logika umum dari kalimat tersebut. Kucing biasanya, dalam konteks nyata kehidupan, melakukan sesuatu yang menyakiti tikus. Jadi, kita telah menyempitkan makna dari spring disini; bahwa maknanya pastilah suatu aksi yang bernilai negatif. Beberapa ahli menganggap jenis petunjuk ini petunjuk yang dating dari pembaca sehingga mereka mengelompokkannya ke dalam pengetahuan awal atau prior knowledge.
C. Pemerolehan kosakata secara kontekstual/Contextual Vocabulary Acquisition (CVA) CVA adalah salah satu cara untuk meningkatkan perbendaharaan kata. Rapaport (2000) mendefinisikannya sebagai pemerolehan kosakata secara sengaja maupun tidak sengaja dengan cara melakukakan proses reasoning terhadap petunjuk-petunjuk kontekstual, pengetahuan awal,tanpa bantuan eksternal seperti kamus atau orang lain. Dibawah akan diilustrasikan proses pemerolehan kata melalui CVA: What does ‘brachet’ mean? There came a white hart running into the hall with a white brachet next to him, and thirty couples of black hounds came running after them. As the hart went by the sideboard, the white brachet bit him. The knight arose, took up the brachet and rode away with the brachet. A lady came in and cried aloud to King Arthur, “Sire, the brachet is mine”. There was the white brachet which bayed at him fast. The hart lay dead; a brachet was biting on his throat, and other hounds came behind. (Adopted from: Rapaport: 2000) Paragraf diatas menceritakan tentang sesuatu bernama ‘brachet’. Sebelum membaca, seorang pembaca tidak mengetahui arti kata ‘brachet’. Namun setiap kalimat dianalisa dengan mendalam dengan memperhatikan konteks dan menggunakan pengetahuan awal yang sudah dimiliknya (prior knowledge), sehingga makna kata ‘brachet’ bisa diketahui. Berikut adalah analisa dari kalimat pertama: There came a white hart running into the hall with a white brachet next to him, and thirty couples of black hounds came running after them. Pembaca akan berpikir bahwa ‘brachet’ pastilah sebuah objek fisik karena hanya objek fisiklah yang bisa memiliki warna. Tapi pembaca belum dapat memastikan objek fisik apakah ‘brachet’ itu. Apakah benda hidup atau benda mati. Untuk itu dianalisa kalimat kedua, As the hart went by the sideboard, the white brachet bit him. Pada kalimat diatas pembaca menemukan petunjuk lain tentang ‘brachet’
Septhia Irnanda dan Muhammad Aulia, Strategi Menebak Makna Kata Berdasarkan Konteks
bahwa ternyata ‘brachet’ bisa menggigit. Menggunakan logika, dapatlah diasumsikan sementara bahwa ‘brachet’ adalah seekor hewan. Karena yang biasanya menggigit adalah hewan. The knight arose, took up the brachet and rode away with the brachet. Pada tahap ini, pembaca mendapatkan inforasi lain lagi tentang ‘brachet’, bahwa ternyata ia dapat diambil dan dibawa (took up, rode away with), kesimpulan yang bisa diambil adalah bahwa ‘brachet’ adalah binatang yang ukurannya lebih kecil dari manusia sehingga bisa dibawa. A lady came in and cried aloud to King Arthur, “Sire, the brachet is mine”. Kalimat terakhir member petunjuk lain yang dapat pembaca tambahkan dan asosiasikan pada informasi-informasi yang terdahulu. Potongan kalimat “brachet is mine” menunjukkan bahwa binatang ‘brachet’ ini dapat dimiliki. Menggunakan pengetahuna kita tentang budaya (cultural knowledge), dapat disimpulkan bahwa binatang yang dapt dimiliki adalah binatang peliharaan dan bukanlah binatang buas atau liar. There was the white brachet which bayed at him fast Kata ‘bay’ adalah sinonim kata ‘bark’ yang berarti menggonggong. Hewan peliharaan yang menggonggong adalah anjing. Sekarang, pembaca telah mendaptakan gambaran yang cukup jelas tentang ‘brachet’ yang pastilah seekor anjing atau sejenis anjing. The hart lay dead; a brachet was biting on his throat, and other hounds came behind. Pada kalimat terakhir, diperlukan prior knowledge tentang pola atau aturan dalam bahasa inggris dimana : X and the other Y X is a Y Luisa is and the other girls Luisa is a girl A brachet is…. And the other hounds brachet is a hound Hound adalah kata benda untuk hunt yang bermana ‘memburu’. Maka dapat diasumsikan bahwa hound berarti pemburu. Maka pebaca mendapatkan ide bahwa ‘brachet’ adalah anjing pemburu.
102
Dari pembahasan diatas, dapatlah kita simpulkan untuk menebak makna kata dalam teks, kita bergantung pada konteks pada setiap kalimat yang kita asosiasikan satu persatu dengan pengetahuan yang sudah kita miliki sebelumnya, baik dari budaya, pengalaman hidup, maupun pembelajaran. Metodologi Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang melibatkan dua grup mahasiswa dimana satu grup menjadi grup eksperimen dan yang lain adalah grup kontrol. Sampling data menggunakan teknik purposive sampling yang memilih mahasiswa Bahasa Inggris yang telah lulus Reading III. Masingmasing kelas terdiri dari 20 mahasiswa, sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 40 orang. Data dikumpulkan melalui dua macam tes. Pertama adalah instrument pre tes – treatment – lalu post test. Kelas eksperimen diberikan pelatihan reading comprehension menggunakan strategi menebak makna kata dan dilarang menggunakan kamus kecuali diakhir pelajaran. sedangkan kelas kontrol bebas menggunakan kamus didalam kelas dan bebas saling bertanya makna kata dengan teman-teman sekelompoknya. Kedua, tes kosakata atau tes vocabulary. Tes ini diberikan diakhir pelatihan terhadap kedua grup yang selama pelatihan memperoleh materi teks yang didalamnya terdapat kata-kata sulit yang sama. Tes kosakata diberikan dengan 4 cara yaitu; secara tulisan, membaca, mendengar dan berbicara. Tujuannya untuk membandingkan apakah kosakata yg didapat dengan menebak diterima dan disimpan lebih baik dari kosakata yang didapat dengan strategi melihat kamus. Hasil pre-test dan post-test Reading akan dianalisis menggunakan uji-t untuk melihat apakah ada perbedaan pencapaian dalam hal memahami teks setelah mahasiswa mempelajari strategi menebak makna kata. Untuk tes kosakata, hasil tes ke-empat skil (skil reading, listening, speaking dan writing) dari grup kontrol akan dibandingkan dengan hasil ke-empat tes dari grup eksperimen. Semua analisis ini akan menggunakan SPSS dengan rumus analisis uji t.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
103
Hasil dan Diskusi 1. hasil pre-tes dan pos-tes grup kontrol dan eksperimen Tabel 4.5 Hasil pre-tes dan pos-tes kelas Kontrol No
Nilai
Nama Pre Test
Post Test
gain
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Siswa group A 1 Siswa group A 2 Siswa group A 3 Siswa group A 4 Siswa group A 5 Siswa group A 6 Siswa group A 7 Siswa group A 8 Siswa group A 9 Siswa group A 10 Siswa group A 11 Siswa group A 12 Siswa group A 13 Siswa group A 14 Siswa group A 15 Siswa group A 16 Siswa group A 17 Siswa group A 18
45 35 35 60 30 20 40 50 45 50 50 40 50 40 55 10 40 40
40 40 30 55 35 30 30 75 45 65 70 50 75 60 40 40 50 50
-5 5 -5 -5 5 10 -10 25 0 15 20 10 25 20 -15 30 10 10
19 20
Siswa group A 19 Siswa group A 20
40 65
65 45
25 -20
Mean
42
49.5
Tabel diatas menunjukkan nilai pre-tes dan pos-tes kelas kontrol serta selisih nilai kedua tes (n-gain). Nilai rata-rata mengalami peningkatan sebanyak 7,5. Tabel 4.6 Hasil Pre-tes dan Pos-tes Kelas Eksperimen No
Nilai
Nama Pre Test
Post Test
gain
1
Mahasiswa grup B 1
35
40
5
2
Mahasiswa grup B 2
55
40
-15
3
Mahasiswa grup B 3
25
30
5
4
Mahasiswa grup B 4
55
60
5
5
Mahasiswa grup B 5
50
65
15
6
Mahasiswa grup B 6
55
25
-30
7
Mahasiswa grup B 7
25
40
15
8
Mahasiswa grup B 8
50
55
5
9
Mahasiswa grup B 9
60
60
0
Septhia Irnanda dan Muhammad Aulia, Strategi Menebak Makna Kata Berdasarkan Konteks
104
10
Mahasiswa grup B 10
55
55
0
11
Mahasiswa grup B 11
25
45
20
12
Mahasiswa grup B 12
85
80
-5
13
Mahasiswa grup B 13
30
45
15
14
Mahasiswa grup B 14
45
30
-15
15
Mahasiswa grup B 15
65
60
-5
16
Mahasiswa grup B 16
30
55
25
17
Mahasiswa grup B 17
40
55
15
18
Mahasiswa grup B 18
55
70
15
19
Mahasiswa grup B 19
35
60
25
20
Mahasiswa grup B 20
45
45
0
46
50.75
Mean
Tabel diatas menginformasikan hasil tes (pretes dan postes) kelas eksperimen yang menggunakan modul strategi menebak makna kata, serta selisih nilai (n-gain). Nilai rata-rata mengalami peningkatan sebesar 4,7. Dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata yang dialami kelas eksperimen lebih rendah daripada kelas kontrol.
2. Hasil Tes Kosakata Grup Kontrol Dan Eksperimen Tabel 4.7 Nilai Tes Kosakata Kelas Kontrol Kosakata No
Nama
Pasif
Aktif
Listening
Reading
Writing
Speaking
1
Mahasiswa Grup A1
86.7
100.0
80
90
2
Mahasiswa Grup A2
26.7
53.3
0
0
3
Mahasiswa Grup A3
66.7
73.3
30
50
5
Mahasiswa Grup A4
60.0
80.0
40
80
6
Mahasiswa Grup A5
40.0
73.3
20
30
8
Mahasiswa Grup A6
60.0
53.3
40
40
9
Mahasiswa Grup A7
40.0
40.0
40
20
10
Mahasiswa Grup A8
0.0
0.0
0
10
11
Mahasiswa Grup A9
33.3
40.0
20
10
12
Mahasiswa Grup A10
46.7
73.3
60
60
13
Mahasiswa Grup A11
73.3
66.7
50
10
14
Mahasiswa Grup A12
33.3
26.7
10
40
15
Mahasiswa Grup A13
93.3
80.0
40
30
16
Mahasiswa Grup A14
60.0
60.0
70
60
105
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
18
Mahasiswa Grup A15
60.0
66.7
60
50
19
Mahasiswa Grup A16
60.0
66.7
20
20
20
Mahasiswa Grup A17
40.0
46.7
20
50
21
Mahasiswa Grup A18
46.7
40.0
20
20
22
Mahasiswa Grup A19
53.3
46.7
50
40
23
Mahasiswa Grup A20
73.3
93.3
50
40
52.7
59.0
36
37.5
Mean
Tabel 4.8. Hasil tes Kosakata Grup Eksperimen Kosakata No
Nama
Aktif
Listening
Reading
Writing
Speaking
1
Mahasiswa grup B 1
80.0
93.3
40
70
2
Mahasiswa grup B 2
73.3
73.3
40
20
3
Mahasiswa grup B 3
80.0
100.0
90
70
4
Mahasiswa grup B 4
80.0
93.3
70
60
5
Mahasiswa grup B 5
86.7
100.0
90
40
6
Mahasiswa grup B 6
53.3
60.0
40
10
7
Mahasiswa grup B 7
93.3
93.3
50
30
8
Mahasiswa grup B 8
86.7
100.0
90
50
9
Mahasiswa grup B 9
93.3
100.0
100
40
10
Mahasiswa grup B 10
86.7
73.3
50
40
11
Mahasiswa grup B 11
80.0
86.7
70
10
12
Mahasiswa grup B 12
93.3
100.0
90
70
13
Mahasiswa grup B 13
93.3
80.0
60
10
14
Mahasiswa grup B 14
80.0
86.7
60
50
15
Mahasiswa grup B 15
93.3
80.0
70
40
16
Mahasiswa grup B 16
53.3
66.7
20
20
8
Mahasiswa grup B 17
66.7
73.3
40
100
18
Mahasiswa grup B 18
80.0
86.7
40
40
19
Mahasiswa grup B 19
93.3
100.0
100
60
20
Mahasiswa grup B 20
86.7
86.7
60
60
81.7
86.7
63.5
44.5
Mean a.
Pasif
Analisis data nilai pre-tes dan pos-tes menggunakan SPPS uji-t Menggunakan rumus uji-t dengan program SPSS, didapatkan bahwa taraf
signifikan hasil post-tes dari grup eksperimen dan grup kontrol adalah 0,38. Ini berarti bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
Septhia Irnanda dan Muhammad Aulia, Strategi Menebak Makna Kata Berdasarkan Konteks
106
antara kedua grup dalam kemampuan Reading Comprehension sebelum perlakuan dilakukan. Setelah diberikan training terhada kedua grup, dimana grup eksperimen memperoleh training membaca dengan strategi menebak makna kata tanpa kamus, sedang grup kontrol hanya training membaca saja dengan bantuan kamus, maka didapatkan hasil post-tes dimana taraf signifikan adalah 0,78. Ini artinya tidak ada perbedaan yang signifikan pada kemampuan Reading Comprehension antara kedua grup setelah diberikan treatment yang berbeda. b.
Analisis Data Tes Kosakata Pasif dan Aktif Menggunakan SPSS uji-t 1. Tes Kosakata Pasif;Listening-Reading Uji-t pada tes kosakata Listening mendapatkan taraf signifikan sebanyak (t=0,00) dimana berarti ada perbedaan signifikan antara kemampuan mengingat kosakata yang diberikan selama pelatihan antara grup eksperimen dan grup kontrol, dimana grup eksperimen lebih mampu mengingat kosakata dengan lebih baik ketika kosakata tersebut diperdengarkan secara audio. Taraf signifikan yang sama ditunjukkan pada uji t hasil tes kosakata Reading (t=0,00) sehingga didapatkan kesimpulan bahwa grup eksperimen lebih mampu mengingat kosakata baru ketika kosakata tersebut dihadirkan secara tekstual. Tes Kosakata Aktif; Speaking-Writing Ketika dites untuk menghadirkan kosakata yang diperoleh selama pelatihan, peserta daro grup kontrol dan grup eksperimen mengikuti tes koskata secara speaking dan writing. Uji t tes Speaking menunjukkan taraf signifikan 4,97 yang berarti tidak ada perbedaan antara kedua grup. Sementara itu, dari uji tes kemampuan kosakata secara writing, taraf signifikan yang didapat adalah (t=0,01) dimana berarti tidak ada perbedaan signifikan pada hasil tes kedua grup. 2.
Kesimpulan Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil penyajian data sebelumnya adalah bahwa strategi menebak makna kata ternyata
(1) tidak mempengaruhi kemampuan Reading Comprehension seseorang, namun dapat meningkatkan kosakata pasif seseorang walau belum terbukti dapat meningkatkan kosakata aktif. Ini membuktikan bahwa pengajaran kosakata lewat konteks adalah sangat efektif. Oleh karena itu, pengetahuan tentang menganalisa konteks seperti diatas, patut dimiliki oleh siswa ataupun mahasiswa yang belajar bahasa inggris. Akan menjadi pertanyaan pengajaran konteks yang seperti apakah yang dapat mempengaruhi tidak ahanya kosakata pasif namun juga kosakata pasif seorang pembelajar bahasa Inggris? Daftar Pustaka Axelrod, R. B and Cooper, C. R. (1996). Reading Critically Writing Well. Fourth Edition. New York. St. Martin’s Press. Inc. Dycus,
David. (1997). Guessing Word Meaning from Context:Should we encourage it? Aichi Shukutoku University. Available at: http://www2.aasa.ac.jp. Accesssed on Wednesday, February 18, 2009. Gu. Y & Johnson, R.K (1996). Vocabulary Learning Strategies and Language Learning Outcomes. Available at: www-writing.berkeley.edu. Accessed on Tuesday, February 17, 2009 Hancock. O. H. (1995). Reading Skills for College Students. Third Edition. New Jersey. Prentice Henry, D.J. 2004. The Skilled Reader. New York: Person Education Inc. Kustaryo, Sukirah. (1998). Reading Techniques for College Students. Jakarta: Depdikbud.
Mikulecky, B S. and Jeffries, L. (1996). More Reading Power. Addison Wesley Publishing Company. Inc.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
----
Developing teachers.com. Available at: www.developing teachers.com. Accessed on Thursday, April 2, 2009.
Qian, T.(2005). On Contextual Guessing in Reading Comprehension. US-China Foreign Language. Available at: www.linguist.org . Accessed on Tuesday, February 17, 2009. Rapaport. J. W. (2000). What is the ‘Context’ for Contextual Vocabulary Acquisition? Available at: http://www.cse.buffalo.edu/_rapaport /cva.html. Accessed on Monday, September 15, 2008.
107
ϭϬϴ
PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE THINK PAIR AND SHARE (TPS)DALAM MENINGKATKAN PRESTASI BELAJAR SISWA PADA MATERI CIRI-CIRIMAKHLUK HIDUP DI SMP NEGERI 2 SAKTI KABUPATEN PIDIE Oleh: Yahya Abtraks: Penelitian tentang penerapan model pembelajaran Tipe Think Pair and Chare (TPS) dalam meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk hidup di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie telah dilaksanakan pada tanggal 28 Agustus sampai dengan 10 September 2012. Permasalah yang dikaji dalam penelitian adalah: Apakah Penerapan Pembelajaran koopratif tipe think pair and chare mampu meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk hidup di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui secara terperinci ada tidaknya peningkatan prestasi belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk hidupmelalui penerapanmodel pembelajaran kooperatif tipe think pair and chare di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie. Sampel penelitian siswa kelas VII A sebanyak 23 orang sebagai kelompok kontrol dan kelas VII B sebanyak 22 orang sebagai kelompok eksperimen. Teknik pengumpulan data dengan memberi tes, yaitu pretes dan postes. Teknik pengolahan data dengan menggunakan statistik uji-t. Hasil analisis data diperoleh t hitung t tabel yaitu 2,01 1,68 pada taraf signifikan 0,05. Berdasarkan data tersebut, maka Ha dapat diterima dan menolak Ho. Maka dapat disimpulkan: Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair and Chare dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi cari-ciri makhluk hidup di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie. Kata Kunci : Pembelajaran, think pair and chare, ciri-ciri makhluk hidup Pendidikan merupakan pewarisan nilainilai kebudayaan, pengetahuan, keterampilan dari generasi ke generasi berikutnya melalui berbagai fasilitas dan kesempatan. Selain itu pendidikan juga merupakan upaya yang dilakukan manusia untuk meningkatkan taraf hidup yang lebih baik.Pendidikan yang dilakukan harus sesuai dengan tujuan pendidikan nasional yaitu “membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa, beretika (beradab dan berwawasan budaya bangsa Indonesia) memiliki nalar (maju, cakap, kreatif, dan bertanggung jawab), berkemampuan komunikasi sosial (tertip dan sadar hukum, komperatif, kompetitif, demokratis) dan berbadan sehat sehingga menjadi manusia mandiri” (Mulyana, 2008:5). Proses belajar mengajar pada hakekatnya selalu diarahkan agar peserta didik dapat belajar dengan baik, sesuai dengan apa yang tertuang dalam tujuan pendidikan nasional, sehingga dapat menghasilkan manusia yang bermanfaat bagi bangsa, negara serta agama. “Belajar dan mengajar merupakan dua konsep yang tidak
bisa dilepaskan satu sama lain. Dua konsep tersebut menjadi terpadu dalam suatu kegiatan manakala terjadi interaksi antara guru dan siswa serta siswa dengan siswa. Pada saat pengajaran itu berlangsung interaksi guru dan siswa sebagaimana proses pengajaran dan memegang peranan penting untuk mencapai tujuan pengajaran yang efektif” (Nurhadi, 2003:7). Banyak kalangan siswa menganggap belajar adalah aktifitas yang kurang menyenangkan, duduk berjam-jam dengan mencurahkan perhatian dan pikiran pada suatu pokok bahasan, baik yang sedang disampaikan guru maupun yang sedang dihadapi di meja belajar. Kegiatan itu hampir nselalu dirasakan sebagai beban dari pada upaya aktif untuk memperdalam ilmu. Sungguh ironis sekali sangkaan demikian masih menyelimuti para peserta didik. Mungkin tidak banyak dari sejumlah anak yang memiliki keasadaran bahwa belajar merupakankewajiban yang harus dijalani. Menurutnya gairah belajar, selalu disebabkan oleh karena tidak sesuainya metodologis, juga berakar pada paradigma pendidikan konvensional yang selalu
Drs. Yahya, M.Si adalah Staf pengajar Kopertis Wil I dpk FKIP Unigha Sigli
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
ϭϬϵ
menggunakan metode pengajaran klasikaldan ceramah, tanpa pernah diselingi berbagai metode yang menantang untuk berusaha, sehingga banyak siswa tidak termotivasi dan kurang bersemangat dalam mengikuti pelajaran khususnya pelajaran Biologi. Untuk mengatasi hal tersebut guru perlu menerapkan metode pembelajaran yang dapat meningkatkan semangat belajar siswa sehingga dapat meningkatkan prestasi belajarnya. Metode thing pair and chare merupakan salah satu alternatif metode pembelajaran yang dapat diterapkan dalam proses belajar mengajar sebagai upaya untuk menumbuhkan semangat belajar siswa. Metode think pair and chare memberikan waktu kepada siswa untuk berpikir dan merespon serta saling membantu dalam mengkaji permasalahan yang disajikan guru. Dalam proses belajar mengajar seperti ini guru bukan lagi sebagai internal fokus belajar, tetapi lebih diarahkan kepada bagaimana anak didik lebih aktif belajardi bawah bimbimbingan guru. “Guru tidak lagi merupakan sumber informasi utamadidalam suatu proses belajar mengajar, situasi berubah pada siswa menjadi sumber utama pada sesama mereka, sedangkan guru bertindak sebagai pemandu dan pembimbing (Nurhadi, 2004:25). Ciri-ciri makhluk hidup merupakan salah satu materi pelajaran Biologi yang diajarkan pada semester II kelas VII ditingkat SLTP. Pemilihan mertode think pair and chare pada materi ciri-ciri makhluk hidup diharapkan agar siswa dapat berpikir lebih kritis dan sistematis serta dapat berbagi pengalaman ataupun informasi dengan sesama anggota kelompok yang terbentuk. Ciri-ciri makhluk hidup erat kaitannya dengan kehidupan manusia, hal itu memudahkan siswa dalam mengkaji gejalagejala yang menyangkut dengan ciri khas makhluk hidup. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakangn masalah di atas, maka permasalah dapat dapat dirumuskan adalah : Apakah penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair and chare dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk hidup di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie.
Tujuan Penelitian Sesuai dengan permasalah yang telah dirumuskan, maka peneltian ini memiliki tujuan yaitu: Untuk mengetahui secara rinci ada tidaknya peningkatan prestasi belajar siswa dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair and chare pada materi ciri-ciri makhkluk hidup di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie. Hipotesis Penelitian Dalam peneltian ini yang menjadi hipotesis adalah sebagai berikut: Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair and chare dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk hidup di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie. Manfaat Penelitian Penelitian yang dilakukan diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1.Bagi siswa, dengan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe think pair and chare diharap lebih meningkatkan prestasi belajar siswa terutama pada materi ciri-ciri makhluk hidup. 2.Bagi guru, menjadi salah satu bahan masukan dalam usaha meningkatkan hasil belajar mengajar Biologi dengan penerapan kooperatif tipe think pair and chare. 3.Bagi Sekolah, hasil penelitian ini memberikan sumbangan pikiran pada sekolah dalam rangka meningkat mutu pendidikan di sekolah. 4.Bagi peneliti, lebih mempertajam pemikiran dan kajian penelitian di berbagai bidang khususnya dibidang pendidikan Biologi. LANDASAN TEORETIS Pengertian Belajar Dalam proses pendidikan di sekolah, kegiatan belajar merupakan kegiatan yang fondamental. Hal ini berti berhasil tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada proses belajar mengajar yang berlangsung. Pandangan seseorang tentang belajar akan mempengaruhi tindakan-tindakan yang berhubungan dengan belajar. Tiap orang memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang belajar. Menurut Gie (1982:39) “Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku seseorang melalui suatu aktivitas yang dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan sehingga
Yahya, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair And Share
ϭϭϬ
hasilnya akan nampak dari peri lakunya”. Perubahan ntingkah laku dalam waktu yang relatif lamadan disertai usaha orang tersebut, sehingga dari tidak mampu untuk melkukan sesuatu menjadi mampu melakukannya. Usaha untuk mencapai perubahan tingkah laku itu sendiri merupakan proses belajar. Slameto (2003:2) mengartikan “belajar sebagai proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhansebagai nhasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya”. Kemudian Sardiman (2003:23) mengatakan bahwa: “Belajar berarti berusaha merubah tingkah laku yang membawa suatu perubahan pada individu yang belajar. Perubahan itu tidak hanya berkaitan dengan penambahan ilmu pengetahuan, tetapi juga berbentuk kecakapan, keterampilan, sikap, pengertian harga diri. Jelasnya menyangkut perubahan disegala aspek, tingkah laku dan keperibadian seseorang”. Belajar merupakan suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan yang positif pada diri seseorang baik dari segi keterampilan, kebiasaan, pengetahuan, pemahaman, tingkah laku, kecakapan dan kemampuan yang dihasilkan dari pengalaman dan pelatihan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Syaodih (2004:155) menyatakan bahwa: “Belajar merupakan perubahan dalam keperibadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respon baru yang berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan, pengetahuan ndan kecakapan”. Dari beberapa pendapat para ahli dapat diambil suatu kesimpulan bahwa belajar amat penting dalam kehidupan manusia, karena dapat mewarnai kehidupan sehingga tampil lebih disiplin serta memberi landasan berpikir kritis, kreatif serta ikut serta dalam perubahan diri ke arah yang lebih baik. Belajar memberi pola baru dalam kehidupan modern serta ikut perkembangan zaman, sehingga pola-pola berpikir klasikal ditinggalkan, Akhirnya belajar memberi makna kehidupan yang labih maju. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Belajar Dalam usaha mencapai tujuan belajar yang baik dipengaruhi oleh berbagai faktor. Slameto (2003:54) mengemukakan
bahwa: “Faktor-faktor yang mempengaruhi belajar siswa dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor internal dan eksternal”. Faktor Internal Faktor internal ialah faktor yang timbul dari dala individu itu sendiri. Faktor ini dibagi dua yaitu Faktor Jasmani dan Psikologis. 1)Faktor Jasmani Faktor jasmani adalah faktor yang erat hubunganya dengan fisik dan panca indra seseorang (Slameto:2003:53). Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organorgan tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi jika disertai pusing-pusing misalnya dapat menurunkan ranah kognitif, sehingga materi yang dipelajari akan nkurang berbekas, Menurut Syah (2002:153) “Untuk mempertahankan tonus jasmani agar tetap bugar, bahwa sangat dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan dan minuman yang bergizi”. Selain nitu siswa juga memilih waktu sitirah yang cukup, serta secara rutin memlakukan olahraga. Hal ini amat penting sebab perubahan pola makan dan minum dan pengaturan jam istirahat yang minimum akan menimbulkan reaksi tonus yang negatif dan akan mempengaru phisik psikologis seseorang. 2)Faktor psikologis Faktor psikologis merupakan faktor yang berhubungan dengan rohaniah. “ Faktor psikologis dapat mempengaruhi belajar siswa antara lain intelegensi, minat, bakat dan motivasi. Siswa yang memiliki tingkat intelegensinyang tinggi akan lebih berhasil dalam belajar dari pada siswa yang memiliki tingkat intelegensi yang rendah. Minat dan motivasi juga besar peran dalam menentukan keberhasilan seseorang dalam belajar. Dengan demikian faktor internal ini yang berkaitan dengan jasmani perlu dijaga dandibina serta dilatih untuk terbiasa melakukan sesuatu yang berkaitan dengan belajar. Konsep belajar akan lebih mudah bila kondisi fisik dalam keadaan sehat. Akan nampak sulit belar bagi seseorang yang kondisi fisiknya kurang sempurna. Bukan bearti orang kurang fisik akan menemukan
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
ϭϭϭ
kegagalan dalam belajar, akan tetapi banyak menemukan kesulitan-kesulitan dalam belajar. Faktor eksternal Faktor eksternal adalah berkaitan dengan faktor luar individu dan dapat mempengaruhi proses belajar mengajar seseorang. Menurut Slameto (2003:60) mengemukakan bahwa: “Faktorfaktoreksternal dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat”. Lingkungan keluarga merupakan tempat pertama sekali melalui proses belajar bagi anak. Lalu mulai mengenal keluarga, peran ibu bapak ikut mewarna perkembangan dan pertumbuhan si anak. Lalu yang terakhir faktor sekolah ikut berperan menjadi penyeimbang dalam mendapat ilmu pengetahuan. Sekolah mulai perlu dan amat penting perannya dalam kehidupan si anak. Pembelajaran Kooperatif Perkembangan model pembelajaran dari waktu ke waktu terus mengalami perubahan. Model-model pembelajaran tradisional kini mulai ditinggalkan berganti dengan model-model pembelajaran yang lebih modern. Salah satu model pembelajaran yang kini banyak mendapat respon adalah model pembelajaran kooperatif think pair and chare. Perhatian guru amat penting untuk memotivasi siswa agar lebih giat dalam belajar, serta dapat mengatasi masalahnya sendiri. Siswa dituntut untuk dapat bekerja sama untuk dapat mengatasi permasalahannya sendiri dalam proses belajar mengajar, inilah yang banyak dibahas dalam model pembelajaran kooperatif tipe thing pair and chare. Isjoni (2009:16) mengatakan bahwa; “Pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang saat ini banyak digunkan untuk mewujudkan kegiatan belajar mengajar yang berpusat pada siswa (Studen oriented), terutama untuk mengatasi permasalahan yang ditemui guru dalam mengaktifkan siswa yang tidak dapat bekerja sama dengan orang lain”. Menurut Lie (2000:34) “Pembelajaran kooperatif adalah sisten pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk bekerja sama dengan siswa lain dalam tugastugas terstruktur”.
Pembelajaran kooperatif memberi makna meningkatkan pelayanan kepada siswa dengan mengarahkan agar lebih meningkat dalam mengatasi permasalahpermasalahan yang dijumpai dalam proses belajar mengajar. Guru berperan sebagai pembimbing unjtuk mengarahkan sisiwa agar lebih meningkat dalam kerja sama dengan semua pihak. Peran Guru Dala Pembelajaran Kooperatif Dalam Model pembelajaran kooperatif seorang guru memegang peranan penting. Walaupun dalam model ini siswa dituntut memilki peran lebih, tetapi bukan berati guru menjadi pasif. Dalam kegiatan belajar mengajar peran guru sangat dibutuhkan. Hal ini tentu untuk lebih mudah tercapainya tujuan belajar yang sesungguhnya, yaitu adanya perubahan. Perubahan diharapkan dapat berupa penambahan ilmu pengetahuan maupun perubahan tingkah laku menuju ke dewasaan. Baik dewasa dalam berpikir, bersikap, maupun bertidak untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaan model pembelajaran kooperatif dibutukan kemauan serta kearifan guru dalam mengelola lingkungan kelas. Sehingga dengan menggunakan model pembelajaran ini guru bukan menjadi pasif, tetapi harus nlebih aktif terutama saat menysusun Rencana Pembelajaran yang lebih matang. Pengaturan kelas saat model pebelajarana berlangsung, serta mempersiapkan tugastugas yang harus dikerjakan para siswa. Menururt Soematri (2001:35) “Dalam model pembelajaran kooperatif guru haru harus mampu menciptakan kelas sebagai laboratorium yang lebih demokrtais, supaya peserta didi terlatih dan terbiasa berbeda pendapat”. Kebiasaan ini amat penting dikondisikan semenjak di bangku sekolah, agar peserta didik lebih jujur, sportif serta mengakui kelemahannya sendiri dan menghargai pendapat orang lain. Selanjutnya Isjoni (2009:67) menyebutkan “Peran guru dalam pelaksanaan pembelajaran kooperatif adalah sebagai fasilitator, mediator, director, motivator dan evaluator. Jadi peran guru bertambah luas, karena itu seorang guru dituntut memiliki pengalaman dan kemampuan yang lebih sehingga tidak salah
Yahya, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair And Share
ϭϭϮ
dalam meneraspkan model pembelajaran kepada siswa.
S2/2 = Simpangan baku dari kelompok kontrol
METODE PENELITIAN Tempat dan Watu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie semenjak 28 Agustus sampai dengan 10 September 2012. Populasi dan Sampel Penelitian Adapun yang menjadi populasi dalam penelitian ini seluruh siswa kelas VII SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie Tahun Ajaran 2011/2012. Sampelnya siswa kelas VII A sebanyak 23 orang dan siswa Kelas VII B sebanyak 22 orang.
4. Untuk menguji hipotesi menggunakan rumus Uji-t : ͳ െ ʹ ݐൌ ଵ ͳȀʹ ୬ଵ Keterangan : t = harga t hitung X1= nilai rarta-rata kelas eksperimen X2= nilai rata-rata kelas kontrol Sgab = Varian gabungan antara S1 dan S2 masing-masing tes n1 = jumlah siswa mengikuti tes pada kelas eksperimen n2=Jumlah siswa mengikuti tes pada kelas kontrol. Data yang terkumpul kemudian dikelompokkan dalam tabel distribusi frekwensi. Adapun langkah ini yang harus dilakukan sebelum membuat daftar distribusi frekwensi adalah sebagai berikut : 1)Rentang adalah data terbesar dikurangi data terkecil 2)Banyak kelas interval yang sesuai dengan menggunakan aturan sytruggles yaitu banyak kelas = 1 +3,3 log n 3)Panjang kelas interval ( P ) P = Rentang/banyak kelas
Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data menggunakan tes untuk melihat ada tidaknya meningkat prestasi siswa SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie melalui penerapan model pembelajaran kooperatic tipe think pair and chare. Tes diberikan dalam bentuk pretes dan postes dalam belajar mengajar ciri-ciri makhluk hidup.Pretes dan Postes diberikan kepada kelas kontrol dan kelas kelas eksperimen. Setelah proses belajar mengajar berlangsung baru diberikan Postes. Teknik Pengolahan Data Teknik ini menggunakan statistik Uji-t. Data yang diperoleh dalam penelitian ini diolah dengan menggunakan rumus Uji-t dua pihak dengan taraf kepercayaan 5% ߙ = 0,05) ... Sudjana (2005:70). σ ௫ 1.Rumus untuk mencari rat-rata : σ ǥ
Keterangan : X = nilai rata-rata siswa Xi= nilai tengah Fi = frekwensi kelas kontrol.
2.Rumus untuk mencari Varians (S2) :
ሺσሻሺ௫ି௫ሻ మ ିଵ
Keterangan : S2 = Varians n = Jumlah sampel 3.Rumus untuk menentukan golongan: ୬ଵିଵሻାଶିଵሻௌଶ ܾܵ݃ܽ ൌV ሺ୬ଵା୬ଶିଶሻ
Selanjutnya untuk mengetahui apakah objek penelitian (kelas eksperimen dan kelas kontrol) memiliki kemampuan yang sama atau tidak, maka perlu diuji homogenetitas sampel dengan menggunakan rumus sebagai berikut: ௧௦ P = ଵ௧ସ Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan Uji pihak kanan dengan kritieria pengujian : Jika t hitung t tabel maka terima Ho tolak Ha ika t hitung t tabel terima H=a tolak Ho Derajat kebebasan untuk daftar distribusi t adalah dk =n1 +n2-2 dengan Į = 0,05
varian
Keterangan : n1 = jumlah siswa kelompok eksperimen n2 = jumlah siswa kelompok kiontrol S1/2 =simpangan baku dari kelompok eksperimen
HASIL PENELITIAN Data-data penelitian yang terkumpulkan dalam penelitian ini nilai siswa kelas VII B sebagai kelas kelas eksperimen dan kelas VII A sebagai kelas kontrol. Data-data yang telah terkumpul dapat disajikan dalam tabel berikut :
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
ϭϭϯ
Tabel 4.1 Nilai Pretes dan Postes kelas Eksperimen No Kode Nilai Nilai sampel/nama Pretes postes 1
2
Abthal Auzan Dedi Sutensi Fakhrurrazi AB Fakhrurrazi IB Fauzi Firdaus Fitriani Heri Saputra Ina Anzaina M. Haikal Mutaharuddin Nailul Khairan Rahmani Sarah Nadia Sri Wahyuni Taslima Irlanda Pranto Yusrizal Fahrol Miftahul Jannah Wahyu Zikri Hayana
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20 21. 22.
3
4
60 40 58 65 70 80 25 30 80 72 50 45 35 75 70 55 67 60 50 55 68 60
70 50 68 77 80 90 45 55 90 80 69 70 58 78 82 63 72 67 75 65 75 85
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17 18. 19. 20. 21. 23 22.
Herizal Ikhsan Juliana Kamisah Kudri Mastura Maulida Wati Mutia Sari Nora Nova Sari Rahma Zania Rizki Saskia Ilmi Fauna Zuhra Zikrina Aula Mutia Zikrina Ambia
58 38 30 35 60 55 50 47 48 45 40 44 35 40 20 25 25 42
35 50 48 55 80 60 77 70 45 65 58 85 80 58 68 66 75 60
Tabel 4.2 nilai pretes dan postes Kelas kontrol No Kode Nila Nilai sampel/Nama Pretes Postes 1
2
1. 2, 3. 4. 5.
Arif Munandar Afrijal Ayu Natasya Cut Sarah Erlia Watierni
3
4
50 50 40 45 60
75 70 60 65 85
Hasil Nilai Pretes 1. Kelas Eksperimen a) Menentukan Rentang Rentang (R) = Nilai tertinggi – nilai terendah, = 80 – 25= 55 b) Menentukan banyak kelas interval Interval kelas (K) = 1 + 3,3 log n, = 1 + 3,3 log 22, = 1 + 3,3 (1,34), = 1 + 4,42, = 5,42 (K -6) c) Menentukan Panjang Interval (P) ோ௧ ହହ P= , P= , P = 10 ௬௦
ହǡସଶ
Tabel 4.3 Daftar Distribusi Frekwensi Nilai Pretes Kelas Eksperimen Interval Fi Xi Fi - Xi (Xi – X) (Xi – X) Fi (Xi – X)2 Kelas 1
2
3
4
5
6
7
25 - 34 35 - 44 45 - 54
2 2 3
29,5 39,5 49,5
59 79 148,5
-30 -20 -10
900 400 100
1800 800 300
Yahya, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair And Share
ϭϭϰ
55 - 64 65 – 74 75 - 84
5 7 3 22
59,5 69,5 79,5
297,5 486,5 238,5 1309
0 10 20
0 100 400
5 700 1200 4805
Nilai Rata-rata Pretes kelas eksperimen dari tabel 4.3 adalah sebagai berikut: σி ଵଷଽ ൌ , Xi = , Xi = 59,5 σி
ଶଶ
Selanjutnya Varians dan simpangan baku dapat diperoleh : Si2 =
σிሺିሻଶ ିଶ
,
2 i
=
ସ଼ହ
, Si2 =
ଶଶିଵ
ସ଼ହ ଶଵ
, Si2 = 228,80, Si = 228,80, Si = 15,12
2. Kelas Kontrol a. Menentukan Rentang Ruang (R) = Nilai Tertinggi – Nilai Terrendah, 60 – 20 = 40 b. Menentukan banyak kelas interval Interval Kelas (K) = 1 + 3,3 log n, = 1 + 3,3 log 23, = 1 + 3,3 (1,36), = 1 + 4,48, = 5,48 (K=5) c. Menentukan Panjang Interval (P): ோ௧ P= , P=8 ௬௦
Tabel 4.4 Daftar Distribusi Frekwensi Nilai Pretes kleas Kontrol Interval Fi Xi Fi - Xi XI – X (XI – F (Xi-X)2 Kelas X)2 1 2 3 4 5 6 7 24 72 -18,17 330,14 990,42 20 – 28 3 32,5 130 -9,67 93,50 374 29 – 36 4 40,5 202,5 -1,67 2,78 13,9 37 – 44 5 48,5 339,5 6,33 40,06 280,42 45 – 52 7 53 - 60 4 56,5 14,33 14,33 205,34 821,36 23 970 2480,33 Nilai Rata-rata Pretes Kelas Kontrol dari tabel 4.4 sebagai berikut: σி ଽଶ X2 = σி , X2 = ଶଷ , X2 = 42,17 Selanjutnya Varians dan Simpangan Baku dapat diperoleh: σிሺିሻଶ ଶସ଼ǡଵ S22 = , S22 = ଶଶ , S22 = 112,73, S12, =¥ 112,73, S2 = 10,81 ିଵ Uji Homogenitas Pretes Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui sampel penelitian ini berasal dari populasi yang sama, sehingga hasil penelitian dapat berlaku bagi populasi. Untuk menguji homogenitas diguanakan ௦்௦ rumus : F = ௦ா௧ Hipotesis yang akan diuji pada taraf Signifikans Į = 0,05. Untuk Pengujiann Homogenitas dua sampel dapat ditulis : Ho =S1 = S2, Ha = S1 = S22. Dengan kriteria pengujian adalah tolak Ho jika F Hitung F Į ( n1-1, n2 -2) dala hal lain Hasil nilai Postes 1. Nilai Postes kelompok eksperimen a. Menentukan Rentang
Ho diterima. Berdasarkan persamaan di atas diperoleh : S ௌଵଶ ଶଶ଼ǡ଼ , F Hitung = , F hitung = F Hitung = ௌଶଶ
ଵଵଶǡଷ
2,02, F Į (n1 – 1, n2 -1) = F 0,05 (21 – 22) = 209 Karena pengujian adalah “ Tolak Ho jika F hitung F (n1 – 1, n2 – 1) dalam hal ini Ho diterima “ Dari hasil analisis ternyata F hitung F tabelyaitu 1,56 2,09, maka Ho Diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa varians-varians kedua kelas adalah Homogen.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
ϭϭϱ
Rentang (R) = Nilai Tertinggi – Nilai terendah 90 – 45 = 45 b. Menentukan banyak kelas interval Interval Kelas (K) = 1+ 3,3 Log n, = 1 + 3,3 log 25, = 1 + 3,3 (1,39), = 1 + 4,58, = 5,58 (K + 6) c. Menentukan Panjang Interval ோ௧ ସହ P = ହǡହ଼, P = 8,06 (P =8) P = ௬௦ , Tabel 4.5 Daftar Distribusi Frekwensi Nila Postes kelas eksperimen: Interval Fi Xi Fi - Xi (Xi – X) (Xi – X)2 Fi (Xi – X)2 Kelas 1
2
3
4
5
6
7
45 – 52 53 – 60 61 – 68 69 – 76 77 – 84 85 - 92
3 2 4 6 5 3 22
48,5 56,5 64,5 72,5 80,5 88,5
97 113 258 435 402,5 265,5 1571
-22,9 -14,9 -6,9 1,1 9,1 17,1
524,41 222,01 47,61 1,21 82,81 292.41
1048,82 444,02 190,44 7,26 414,05 877,23 2981,82
Nilai rata-rata postes siswa kelas eksperimen dari tabel 4.5 adalah sebagai berikut : σ ிூǤ௫ூ ଵହଵ X1 = σூ , xI = ଶଶ , Xi = 71,40 Selanjutnya Varians dan simpangan baku dapat diperoleh: Si2 =
σிሺିሻଶ ଶଶିଵ
, Si2 =
ଶଽ଼ଵǡ଼ଶ ିଵ
, Si2 =
ଶଽ଼ଵǡ଼ଶ ଶଶିଵ
, S12 = 135,53, S1 = ¥135,53, Si = 11,64
2. Nilai Postes kelompok kontrol a. Menetukan Rentang Rentang (R) = Nilai Tertinggi – Nilai Terendah 85 -3= 50 b. Menentuakan banyak Kelas interval Interval Kelas (K) = 1 + 3,3 log n, 1 + 3,3 log 23, 1, 3,3 (1,36), 1 + 4,48, 5,48 (K=5) ௧ ହ c. Menentukan Panjang Interval (P): P = ௬௦, P= ହ , P = 10 Tabel 4.6 Daftar Distribusi Frekwensi Nila Postes kelas kontrol Interval Fi Xi Fi - Xi Xi - X (Xi – X)2 Fi (Xi-X)2 Kelas 1
2
3
4
5
6
7
35 – 45 46 – 56 57 – 67 68 – 78 79 - 89
2 40 80 -24,36 593,40 1186,8 3 50,5 151,5 -23,86 192.09 576,27 7 60,5 423,5 -3,86 14,89 104,23 6 70,5 423 6,14 37,69 226,14 5 80,5 402,5 16,14 360,49 1302,45 32 1480,5 3395,89 Nilai rata-rata postes kellas kontrol dari tabel 4.6 adalah sebagai berikut : σூି ଵସ଼ǡହ X2 = σி , X2 = ଶଷ , X2 = 64,36
Selanjutnyan varians dan simpangan baku dapat diperoleh: σூି ଷଷଽହǡ଼ଽ ଷଷଽହǡ଼ଽ S22 = , S22= , S22= , S22 = 154, 35, S2 = ¥154,35, S2 = 12,42 σி
ଶଷିଵ
ଶଶ
Uji Homogenitas postes Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui sampel penelitian ini berasal dari pipulasi yang sama, sehingga hasil penelitian dapat berlaku bagi populasi.
Untuk menguji homogenitas digunakan ௦்௦ rumus: F = ௧ Hipotesis yang akan diuji pada taraf signifikan Į = 0,05, Untuk pengujian
Yahya, Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Think Pair And Share
ϭϭϲ
F Į (n1 – 1, n2 – 1 = F 0,05 (21,22) = 2,09 Berdasarkan harga F hitung = 1,13 dan F tabel = 2,09, maka F hitung F tabel , dan Ho diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa varians-varians kedua kelas adalah homogen.
homogenenitas dua sampel dapat ditulis: Ho = Si = S2 Ha = S12 = S22 Dengan kriteria pengujian adalah tolak Ho jika F hitung F Į (n1 -1, n2 -2). Dalam hal lalu Ho diterima. Berdasar persamaan di atas ௌଶଶ ଵହସǡଷହ , F hitung = ǡ maka: F hitung = ௌଵଶ
ଵଷହǡହଷ
ൌ ͳǡͳ͵ Tinjauan Terhadap Hipotesis Tinjauan terhadap hipotesis bertujuan untuk mengetahui apakah hipotesis yang diumuskan dapat diterima atau ditolak. Dari perhitungan sebelumnyadiperoleh nilai Mean dan Standar Deviasi pada masing-masing kelas yaitu kelas eksperimen (X = 71,40) dan Varians (S12 = 135,53) dan Variansnya (S12 = 135,53) maka : ሺଵିଵሻௌଵଶାሺଶିଵሻௌଶȀଶ ሺଶଶିଵሻଵଷହǡହଷାሺଶଷିଵሻଵହସǡଷହ ሺଶଵሻଵଷହǡହଷାሺଶଶሻଵହସǡଷହ S2 = , S2 = , S2 = = ଵାଶିଶ
ଶଶାଶଷିଶ
ସଷ
S2 = 145,15, S¥145,15, S = 12,04, maka nilai t diperoleh t = t=
ଵǡସିହସǡଷ
ଵଶǡସට
భ ାଵȀଶଷ మమ
, t=
ǡସ
, t=
ଵଶǡସሺǡଶଽሻ
Dengan taraf signifikan X =0,05 dan derajad kebebasan dk = (n1+n2-2) = (22+23-2) = 43. Maka dari daftar distribusi t diperoleh t (0,95)(43) = 1,68. Pengujian hipotesis dilakukan pada taraf signifikan Į=0,05 dan derajad kebebasan 43. Rumusan hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1) Ho : t hitung t tabel = Penerapan pembelajaran kooperatif tipe TPS tidak dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk hidup. 2) Ha : t hitung t tabel = Penerapan pembelajaran kooperatif tipe TPS dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk hidup. Berdasarkan hasil pengolahan data diperoleh harga t hitung = 2,01 sedangkan t tabel = 1,68 sehingga Ha dapat diterima, yaitu hasil belajar siswa yang diajarkan dengan pendekatan tipe Think pair and share (TPS) lebih baik dari hasil belajar siswa yang diajarkan tanpa menggunakan pembelajaran kooperatif tipe Think Pair And Share pada materi ciri-ciri makhluk hidup. Pembahasan Perdasarkan penelitian di SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie dan hasil pengujian hipotesis yang telah dilakukan peneliti dengan menggunakan uji-t pada taraf signifikan Į = 0,05 dengan derajad
ǡସ ଷǡସଽ
ଵିଶ
ௌට
భ ାଵȀଶ భ
, t = 2,01
kebebasan (dk) =43, ternyata diperoleh t hitung t tabel yaitu 2.01 1,68. Berati hipotesis yang dirumuskan yaitu: Penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think Pair And Chare dapat meningkatkan prestasi belajar siswa pada materi ciri-ciri makhluk hidup di SMP Negeri 2Sakti Kabupaten Pidie. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa prestasi belajar siswa yang diajarkan dengan metode TPS mengalami peningkatan yang signifikan dibandingkan hasil belajar yang lain. Dalam model pembelajaran kooperatif tipe TPS guru harus mampu menciptakan kelas sebagai laboratorium demokratis, supaya anak didik terlatih dan terbiasa berbeda pendapat. Kebiasaan ini menjadi amat penting, agar anak didik menghargai pendapat orang lain, jujur, sportif dan mengakui kekurangannya sendiri dan siap menerima pendapat orang lain yang lebih baik serta mampu mencari jalan pemecahannya. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis data dari hasil penelitian ini tentang penerapan model pembelajaran kooperatif tipe Think pair and chare maka dapat diambil beberapa kesimpulan: 1.Prestasi belajar siswa SMP Negeri 2 Sakti Kabupaten Pidie pada materi ciri-ciri
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
ϭϭϳ
makhluk hidup yang diajarkan dengan menggunakan model pembelajaran tipe hink Pair And Chare dapat meningkat, hal tersebut dapat diketahui dari hasil analisis data dengan menggunakan statistik uji-t diperoleh t hitung t tabel, yaitu 2,01 1,68. 2. Guru tidak lagi menjadi salah satu sumber belajar utama, tugas guru hanya menyediakan sarana belajardan membimbing siswa dalam menemukan dan mempelajari materi ciri-ciri makhluk hidup.
Nurhadi, dkk. 2003. Pembelajaran Konsuptual dan Penerapannya Dalam KBK. Universitas Negeri Malang : Malang Nurhadi. 2004. Kurikulum 2004 Pertenyaan dan Jawaban. Grasindo : Jakarta Sardiman. 2005. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Grafindo : Jakarta Slameto. 2003. Belajar dan Faktor-Faktor yang Mempengaruhinya. Rhineka Capta : Jakarta
Saran Adapun beberapa saran yang dapat disampaikan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1.Diharapkan kepada guru untuk dapat menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe think pair and chare dalam pokok-pokok bahasan yang disesuaikan dengan tujuan pengajaran. 2.Diharapkan kepada siswa supaya lebih memperhatikan penjelasan guru saat mengajar, memanfaatkan waktu denganbaik, seperti diskusi, bekerja sama dalam memecahkan masalah agar memperoleh hasil yang maksimal. 3. Meski pembelajaran kooperatif tipe think pair and chare memerlukan waktu yang relatif lama, guru diharapkan terampil dalam menciptakan suasana belajar yang lebih baik agar waktu lebih efisien. DAFTAR PUSTAKA Arikunto, S. 1996. Prosudur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rhineka cipta : Jakarta Isjoni.
2009. Coorparatif Learning, Pengembangan Kemampuan Belajar Berkelompok. Altabeta : Bandung
Gie, L. 1982. Cara Belajar yang Efisien. Gajah Mada Universiti Press : Yogyakarta Gie,
L. 2002. Cooperative Grasindo : Jakarta
Learning.
Mulyasa, E. 2008. Kurikulum Berbasis Kompetensi (Konsep Karakteristik dan Implimentasi). Rosda Karya : Bandung
Sriyono. 1992. Teknik Belajar Mengajar Dalam CBSA. Rhineka Cipta : Jakarta Syamsuri, Istamar. 1994. IPA- Biologi. CV. M2S : Bandung
118
EFEKTIVITAS PENINGKATAN KEMAMPUAN PROFESIONAL GURU SMK DI KABUPATEN ACEH BESAR Oleh: Megawati Abstacs: Professional ability step-up teacher is done to increase science and teacher skill. This observational approaching is kualitatif's approaching. Data collecting tech is observation, interview, and studi documents. Subject is research it is headmaster, headmaster representative, majorschairman / studi's program, supervisor, senior teacher and MGMP. Result observationaling to point out that abilities increasing program professional teacher be arranged to side school and is performed activity thru supervision, training, seminar, diklat, upgrading, MGMP, higher learning and another activity. Its performing is done at school and outside school, even still effective reducing. Faced constraint are its reducing funds, equipment, its reducing is socialization sides on duty Education, teacher teaches knowledge area unsuitably with expertise it, partly teacher can't yet gain control technology, and its low willingness learns for amends. Key Words: Increasing Effectiveness, Professional and Teacher. Pendidikan merupakan suatu strategi dasar yang dilakukan secara sadar dan terencana dalam mengembangkan semua potensi peserta didik. Pendidikan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Melalui pendidikan, karakter manusia dapat dibentuk sehingga memberikan kontribusi terhadap kemajuan dan pembangunan karakter bangsa (Nation Character Building). Sumber daya manusia (human resources) adalah penduduk yang siap dan mampu menjalankan tugas yang dibebankan kepadanya sehingga dapat memberi kontribusi bagi pembangunan bangsa. Dalam rangka menciptakan sumber daya manusia yang berkualitas, cerdas, terampil, kreatif, inovatif, berbudi pekerti luhur, bertanggungjawab dan untuk mencegah meningkatnya angka pengangguran, pemerintah mengupayakannya melalui pendidikan sekolah menengah seperti SMA/ MA dan SMK. Pemerintah merencanakan memperbanyak SMK daripada SMA/MA, dengan perbandingan 60% : 40%. Program ini bertujuan untuk melahirkan tenaga kerja menengah yang berkualitas sehingga bagi siswa yang tidak melanjutkan pendidikan dapat berkiprah di dunia kerja. Melalui sekolah menengah kejuruan, peserta didik dibekali keterampilan kerja melalui kegiatan praktek kejuruan (mata pelajaran produktif), sedangkan pengetahuan umum diperoleh melalui sejumlah mata pelajaran umum (mata pelajaran adaptif dan normatif). Selain itu, sekolah berupaya menyelenggarakan kegiatan praktek kerja
lapangan (PKL) yang dilakukan melalui kerjasama dengan industri atau perusahaan yang relevan dengan jurusan yang dipelajari masing-masing peserta didik. Jadi seorang peserta didik yang lulus sekolah kejuruan akan memiliki dua Ijazah yaitu tanda lulus sekolah kejuruan sebagaimana yang diberikan di sekolah menengah umum lainnya dan sertifikat uji kompetensi dari industri atau perusahaan tempat mereka melaksanakan praktek kerja lapangan (PKL). Suatu pertanyaan yang muncul dan menjadi dilema bagi peserta didik yang lulus dan pemerintah adalah, apakah pembekalan ilmu melalui kegiatan praktek yang diberikan di SMK sudah memenuhi standar yang ditetapkan oleh dunia usaha dan dunia industri dan mampukah para lulusan menciptakan lapangan kerja dengan bekal ketrampilan kerja yang diperolehnya selama belajar di SMK? Jawabannya belum. Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor yang menghambat pelaksanaan pendidikan di SMK Kabupaten Aceh Besar. Oleh karena itu, untuk memperoleh lulusan SMK yang berkualitas, dipengaruhi oleh berbagai faktor yang kadangkadang sulit diprediksi. Salah satu faktor yang secara dominan mempengaruhi keberhasilah SMK dalam melahirkan lulusan yang berkualitas adalah guru. Seorang guru harus memiliki kompetensi sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 20 tahun 2005 tentang guru dan dosen yaitu: ”Kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial”. Keempat kompetensi tersebut merupakan modal utama bagi guru untuk
Megawati : Mahasiswa Pasca Sarjana MAP Unsyiah
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
dapat berkiprah sebagai guru profesional. Oleh karena itu, guru harus meningkatkan kemampuannya dalam mengajar. Dengan adanya upaya tersebut, diharapkan guru mampu mengembangkan proses pembelajaran yang lebih bermutu, baik dalam penguasaan ilmu, keterampilan maupun memiliki kepribadian yang baik. Namun, data empirik menunjukkan bahwa umumnya kemampuan profesional guru-guru SMK di Kabupaten Aceh Besar masih tergolong sedang, karena penguasaan materi pembelajaran yang diampunya masih rendah. Sebagaimana kita ketahui bahwa kurikulum SMK berkembang sesuai dengan tuntutan zaman, sementara guru bersikap apatis. Untuk mengatasi permasalahan ini, peningkatan kemampuan profesional guru harus menjadi prioritas utama dalam upaya meningkatkan mutu lulusan di SMK. Hal ini mendorong penulis untuk melakukan penelitian tentang peningkatan kemampuan profesional guru SMK di Kabupaten Aceh Besar. METODE PENELITIAN Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitiannya adalah SMK Negeri 1 Mesjid Raya, berada di Jalan Laksamana Malahayati Kilometer 15 Neuheun dan SMK Negeri 1 Kota Jantho, berada di Jalan Cut Mutia No.1 Jantho. Penelitian dilakukan selama tiga bulan. Subjek penelitiannya kepala sekolah, wakil kepala sekolah, ketua jurusan/prodi, pengawas, guru senior dan MGMP. Instrumen penelitiannya adalah peneliti sendiri dengan pedoman wawancara dan observasi. Penelitian dilakukan untuk memperoleh data yang akurat tentang fokus permasalahan. Uji kredibilitas data antara lain dilakukan dengan perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan dalam penelitian, triangulasi, diskusi dengan teman sejawat, analisis kasus negatif dan membercheck. Langkah yang ditempuh dalam pengolahan data adalah reduksi data, display data, serta pengambilan kesimpulan dan verifikasi. KAJIAN PUSTAKA Konsep Efektivitas Efektivitas berawal dari kata “efektif” dan kata dasarnya adalah”effect” yang berarti pengaruh, akibat, berhasil sesuai rencana. Efektivitas merupakan efek atau akibat yang diinginkan dari suatu kegiatan atau pekerjaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
119
(2008:284) efektif adalah “Adanya efek (akibat, pengaruh, kesannya), manjur, mujarab, dapat membawa hasil, berhasil guna (usaha, tindakan)”. Jadi efektivitas merupakan suatu pengukuran tercapainya sasaran dan tujuan yang diharapkan. Indikator Efektivitas Indikator ialah komponen yang menjadi ukuran untuk menentukan efektifnya suatu kegiatan. Indikator pendidikan tersebut yaitu: 1. Indikator Input; 2. Indikator Process; 3. Indikator Output; dan 4. Indikator Outcome. (Mulyasa, 2009:91) Pengembangan Personel Pengembangan berasal dari bahasa Inggris “Development”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:662) dijelaskan bahwa “Pengembangan merupakan proses, cara, perbuatan mengembangkan”. Pengembangan merupakan upaya memperluas, membawa suatu keadaan kearah yang lebih lengkap dan kompleks. Pengembangan lebih ditujukan pada peningkatan pengetahuan dan keterampilan teknis dalam melaksanakan pembelajaran. Hasibuan (2005:69) mendefinisikannya sebagai berikut: Pengembangan personil adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoretis, konseptual, dan moral personil sesuai dengan kebutuhan pekerjaan melalui pendidikan dan latihan. Pendidikan meningkatkan keahlian teknis, teoretis, konseptual, dan moral personil, sedangkan latihan bertujuan meningkatkan ketrampilan teknis pelaksanaan pekerjaan. Pengembangan bertujuan meningkatkan kemampuan guru yang disesuaikan dengan kebutuhan guru itu sendiri, melalui kegiatan pelatihan dan pendidikan. Proses dan Jenis Pengembangan Personel Pengembangan kemampuan guru dilakukan untuk meningkatkan produktivitas kerja guru, meningkatkan pemahaman konseptual guru. Melalui pengembangan personil, organisasi sekolah dapat meningkatkan kontinuitas dan semakin besarnya rasa keterkaitan personil dengan tempatnya bertugas. Pengembangan adalah faktor kunci dalam mempertahankan kualitas personil. Flippo (Usman, 2012:61) menyatakan bahwa “Pengembangan staff
Megawati, Efektivitas Peningkatan Kemampuan Profesional Guru
dapat dilakukan dalam dunia industri memiliki empat macam metode yakni: latihan ditempat kerja; sekolah vestibule; magang (apprenticeship); pendidikan Khusus. Kompetensi Guru Kompetensi mengacu pada kemampuan melaksanakan sesuatu yang diperoleh dari pendidikan, yang memerlukan pengetahuan, keterampilan dan kepribadian yang baik. Dalam UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen pasal 1 ayat 10 dijelaskan bahwa: “Kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati, dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan”. Selanjutnya dalam UU No.14 tahun 2005, bahwa “Guru sebagai agen pembelajaran pada semua jenis dan jenjang pendidikan wajib memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional, dan kompetensi sosial”. Keempat kompetensi tersebut harus diperoleh melalui pendidikan profesi. 1. Kompetensi Pedagogik Merupakan kemampuan mengelola pembelajaran meliputi pemahaman wawasan/landasan kependidikan; pemahaman terhadap peserta didik; pengembangan kurikulum/silabus; pelaksanaan pembelajaran yang mendidik dan dialogis; perancangan pembelajaran; evaluasi hasil belajar; dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. 2. Kompetensi Kepribadian Merupakan sejumlah kompetensi yang berhubungan dengan kemampuan pribadi dengan segala karakteristik yang mendukung pelaksanaan tugas guru. Mukhtar & Iskandar (2009:117) menyatakan bahwa “Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif, berwibawa, disiplin, bijaksana, berakhlak mulia, menjadi teladan bagi peserta didik dan masyarakat, mengevaluasi kinerja sendiri dan mengembangkan diri secara berkelanjutan”.
3. Kompetensi Profesional Merupakan kemampuan penguasaan materi pembelajaran secara luas dan mendalam yang memungkinkan untuk
120
membimbing peserta didik memenuhi standar kompetensi yang telah ditetapkan dalam Standar Nasional Pendidikan (SNP). Kompetensi ini harus dimiliki guru dalam perencanaan dan pelaksanaan pembelajaran. 4. Kompetensi Sosial Merupakan kemampuan guru untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan kerja dan lingkungan sekitar sekolah. Dalam SNP, penjelasan pasal 28 ayat 3 butir d (Mulyasa, 2009:173) bahwa “Yang dimaksud dengan kompetensi sosial adalah kemampuan guru sebagai bagian dari masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua peserta didik, dan masyarakat sekitar”. Strategi Peningkatan Profesional Guru 1. Peningkatan Kemampuan Profesional Guru Melalui Supervisi Pendidikan Supervisi ialah suatu bimbingan yang diberikan kepada personil sekolah agar mereka dapat meningkatkan kemampuan. Supervisi bukan untuk mencari kesalahan, tapi memperbaiki dan mengembangkan kemampuan yang dimiliki guru. Supervisi adalah suatu usaha menstimulir, mengkoordinir, dan membimbing secara kontinu pertumbuhan guru-guru sekolah, baik secara individual maupun kolektif, Boardman (Daryanto, 2006:170). Fungsi utama supervisi adalah untuk perbaikan pengajaran. Sedangkan tujuan inti supervisi yaitu: memahami karakteristik dan kemampuan siswa secara individual dalam proses belajar; menciptakan suasana yang mendorong siswa aktif belajar sendiri; dan menjadikan kegiatan belajar di sekolah bersifat dinamis dan kreatif, serta mempunyai arti untuk kehidupan manusia, Burhanuddin (Herabudin, 2009:226). Untuk mencapai kualitas belajar mengajar yang baik, perlu direncanakan bentuk supervisi yang digunakan nantinya, salah satunya adalah melalui supervisi pendidikan. Supervisi pendidikan dapat didefinisikan sebagai proses pemberian layanan bantuan supervisi hal kepada guru untuk meningkatkan kemampuannya dalam melaksanakan tugas-tugas pengelolaan proses pembelajaran secara efektif.
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
Supervisi pendidikan merupakan bantuan yang diberikan kepada personil pendidikan untuk mengembangkan proses pendidikan yang lebih baik dan upaya meningkatkan mutu pendidikan. Supervisi pendidikan bertujuan mengembangkan situasi belajar mengajar kearah yang lebih baik. Olive (Sahertian, 2005:19) menyatakan bahwa “Sasaran (domain) supervisi pendidikan: a) mengembangkan kurikulum yang sedang dilaksanakan di sekolah; b) meningkatkan proses belajar mengajar di sekolah; dan c) mengembangkan seluruh staf di sekolah”. 2. Peningkatan Kemampuan Profesional Guru Melalui MGMP Forum MGMP merupakan wadah kegiatan profesional guru mata pelajaran sejenis yang bertujuan untuk membahas berbagai permasalahan yang berhubungan dengan proses belajar mengajar. MGMP bertujuan untuk meningkatkan kompetensi, mendiskusikan permasalahan yang dihadapi dan menemukan cara pemecahannya dalam melaksanakan tugas, memberi kesempatan kepada guru untuk berbagi informasi dan pengalaman, serta membangun kerja sama yang baik dengan semua pihak dalam upaya meningkatkan kualitas lulusan. 3. Peningkatan Kompetensi Guru Melalui Kegiatan Pelatihan Pelatihan merupakan salah satu proses mempersiapkan guru untuk suatu pekerjaan, membantu memperbaiki penampilan, dan mengembangkan potensi sepenuhnya. Latihan lebih berkenaan dengan penerapan pengetahuan dari pada penguasaan pengetahuan. Latihan adalah proses pengubahan yang tertuju pada pembentukan tingkah laku yang diharapkan. Sistem pelatihan biasanya mencakup pelatihan diluar tempat kerja (off-job) dan ditempat kerja (on-job). Mudyahardjo (2009:201) membedakan dua bentuk pelatihan guru: a. Latihan melalui pendidikan prajabatan (pre-inservice education/training) diselenggarakan di lembaga pendidikan formal. b. Latihan melalui pendidikan selama bekerja (in-service education/training) dilakukan dalam dua macam bentuk, yaitu: On-job training (latihan selama bekerja) dilaksanakan ditempat kerja yang bersangkutan, dan Off-job training
121
(latihan selama bekerja) yang dilakukan diluar tempat kerja. Selanjutnya, Usman (2007:123) mengemukakan bahwa “Strategi pengembangan mutu profesional guru dapat dilakukan melalui dua cara yaitu pendidikan on the job training dan pendidikan di luar pekerjaan (off the job training).” Untuk pelaksanaan pelatihan, sebaiknya diidentifikasi masalah yang ada dan menetapkan program apa yang akan digunakan, merumuskan tujuan, merancang materi dan media pembelajaran, merancang metode dan media , menetapkan instrumen penilaian untuk mengukur keberhasilan program, mengalokasi anggaran, dan menentukan program tindak lanjutnya. Selanjutnya perlu diperhatikan juga beberapa faktor berikut, yaitu: ”Guru yang akan dikembangkan, kemampuan guru yang akan dikembangkan, dan kondisi lembaga, seperti dana, fasilitas, dan orang yang bisa dilibatkan sebagai pelaksana”, Bafadal (2005:46). Faktor-faktor tersebut merupakan pertimbangan dasar yang harus diperhatikan, agar program yang akan dijalankan nantinya dapat memberi hasil yang efektif. HASIL PEMBAHASAN 1. Program Peningkatan Profesional Guru.
Kompetensi
Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pihak sekolah sudah berupaya untuk meningkatkan kemampuan profesional guru dengan dilakukannya penyusunan program khusus bagi peningkatan kemampuan guru. Program disusun dengan melibatkan kepala sekolah, wakil kepala sekolah, ketua jurusan/prodi, pengawas, MGMP, dan guru senior. Program tersebut berisi tentang pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan di sekolah dan di luar sekolah, seperti supervisi, pelatihan, penataran, diklat, magang guru, seminar, dan kegiatan lain yang dibutuhkan guru. Program peningkatan kemampuan guru dilaksanakan untuk memberikan bantuan dan memperbaiki kerja guru dalam meningkatkan kualitas mengajar agar lebih efektif. Suhardan (2010:182) menjelaskan bahwa ”Bantuan yang diberikan dapat berupa saran dan nasihat, menunjukkan sumber, menyediakan waktu, meminta bantuan sesama guru, mengunjungi kelas, menyediakan fasilitas, memberi izin untuk mengikuti kegiatan akademik diluar”.
Megawati, Efektivitas Peningkatan Kemampuan Profesional Guru
Program peningkatan kemampuan profesional guru mutlak disusun, karena di SMK guru membutuhkan skill yang memadai dalam mengajar. Melalui kegiatan pengembangan, guru dapat menyadari pentingnya meningkatkan kemampuan untuk dapat menyesuaikan kompetensinya dengan kemajuan dunia pendidikan khususnya SMK. Suhardan (2010:191) menyatakan bahwa ”Pengembangan guru harus dilakukan ketika guru dalam keadaan baik yang sangat memungkinkan dilakukan pengembangan yaitu ketika guru sedang membutuhkan dan penuh kesadaran”. Jadi, pengembangan tidak dapat dilakukan kapan pun sesuai kemauan supervisor, akan tetapi supervisor harus dapat membaca waktu yang tepat. 2. Pelaksanaan Peningkatan Kompetensi Profesional Guru Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pihak sekolah sudah melaksanakan program pengembangan guru baik di lingkungan sekolah maupun diluar lingkungan sekolah. Pelaksanaan di lingkungan sekolah dilakukan dalam bentuk pengembangan guru secara teori dan pratikum. Secara teori berupa kegiatan seminar, pembentukan dan pengaktifan MGMP dan kegiatan lainnya. Sedangkan secara praktikum pernah dilakukan dalam bentuk supervisi dan pelatihan, seperti pelatihan komputer. Program pengembangan guru diluar lingkungan sekolah dilakukan dengan kegiatan magang guru, pengiriman guru untuk mengikuti pelatihan/diklat apabila ada pemanggilan peserta dari pihak terkait. Mengajar pada dasarnya merupakan kegiatan akademik yang berupa interaksi komunikasi antara guru dan siswa. Melalui interaksi ini guru dapat mengaktifkan proses belajar siswa dengan menggunakan berbagai macam metode belajar, sehingga pembelajaran dapat menjadi lebih menarik bagi siswa. Untuk mencapai interaksi yang efektif dan bermakna, potensi guru perlu ditingkatkan. Pengembangan potensi guru dapat dilakukan melalui program pengembangan yang disesuaikan dengan kebutuhan guru. Upaya yang dapat dilakukan kepala sekolah untuk meningkatkan kemampuan guru, diantaranya: (a) Pemberian kesempatan mengikuti pendidikan dan pelatihan; (b) Mengirim guru untuk mengikuti penataran
122
atau pelatihan, dan (c) Memfasilitasi kegiatan MGMP. 3. Kendala-kendala yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan Peningkatan Kemampuan Profesional Guru Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelaksanaan program peningkatan kemampuan profesional guru sudah terlaksana sesuai perencanaan. Namun masih saja terdapat kendala, baik itu kendala yang berasal dari lembaga sekolah, dari guru maupun dari instansi terkait, yang dapat menghambat keefektifan kegiatan tersebut. Diantara kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan program ini adalah pendanaan, kurangnya sosialisasi dari Dinas, guru mengajar bukan dibidang keahliannya, sebagian guru kurang menguasai teknologi, kurangnya sarana prasarana sekolah, rendahnya kemauan guru untuk mengembangkan diri, serta masih kurangnya pengawas sekolah yang memahami kurikulum SMK. Pada dasarnya, kendala merupakan aspek yang tak terpisahkan dari suatu kegiatan. Menyadari akan hal itu, langkah yang dapat ditempuh oleh pihak sekolah mengenai permasalahan pendanaan adalah dengan mengajukan penganggaran (budgetting) sesuai kebutuhan sekolah dalam jumlah dan kurun waktu tertentu ke pihak dinas pendidikan. Selanjutnya kebutuhan sekolah akan sarana prasarana yang memadai dapat menunjang proses pembelajaran. Pengadaan sarana dan prasarana pendidikan menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. Sarana pendidikan berupa peralatan pendidikan, media belajar, buku dan sumber belajar, bahan habis pakai, serta perlengkapan lain yang diperlukan untuk menunjang pembelajaran. Prasarana pendidikan meliputi ruang kelas, ruang kepala sekolah, ruang guru, ruang tata usaha, ruang perpustakaan, laboratorium, ruang bengkel kerja, ruang unit produksi, kantin, lapangan olahraga, tempat beribadah, dan ruang lain yang diperlukan di sekolah. Kebutuhan tenaga guru juga tidak kalah penting, karena guru merupakan tombak dari kebermaknaan dan keberhasilan pendidikan. Sekolah membutuhkan guru yang mengajar sesuai dengan bidang ilmunya. Namun di SMK masih ditemukan guru yang mengajar tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikannya. Selanjutnya, SMK membutuhkan pengawas sekolah yang benar-benar memahami
Jurnal Pendidikan Serambi Ilmu, Edisi September 2012, Volume 13 Nomor 2
kurikulum SMK dan memiliki kemampuan dalam memberikan bantuan kepada guru untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi dalam pelaksanaan pembelajaran. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. Program peningkatan kemampuan profesional guru dilakukan sesuai dengan kebutuhan guru yang disusun setiap tahunnya dengan melibatkan kepala sekolah, para wakil kepala sekolah, ketua jurusan/prodi, pengawas sekolah, forum MGMP, dan guru senior. Program berisi upaya pengembangan kompetensi guru yang akan dilaksanakan di sekolah dan diluar sekolah. 2. Pelaksanaan peningkatan kemampuan profesional guru sudah dilakukan di sekolah dan diluar sekolah. Guru yang telah mengikuti kegiatan pengembangan/ pelatihan seharusnya mensosialisasikan ilmu yang diperolehnya kepada guru lain, namun belum berjalan maksimal. 3. Kendala-kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan peningkatan kemampuan profesional guru diantaranya adalah pendanaan, kurangnya sosialisasi dari dinas pendidikan, bidang ilmu yang diampu guru tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan, masih ada guru yang belum menguasai ilmu teknologi, sarana prasarana juga merupakan kendala yang masih dihadapi sekolah. Saran-saran 1. Program peningkatan kemampuan profesional guru SMK yang telah disusun sebaiknya dapat dirumuskan kembali dengan melibatkan kepala sekolah, pengawas, para wakil kepala sekolah, forum MGMP sekolah dan para guru yang akan di latih/dikembangkan. Karena jika melibatkan orang-orang yang akan terlibat dalam pelaksanaannya, akan memudahkan pemilihan tehnik pengembangan bila lebih dahulu diketahui permasalahan yang dihadapi para guru dalam pembelajaran. 2. Pelaksanaan peningkatan kemampuan profesional guru harus dilakukan sesuai dengan tujuan untuk memperbaiki pembelajaran. Kegiatan pelatihan perlu lebih ditingkatkan lagi dan perlu disosialisasikan kembali ke tempat pelatihan khususnya pelatihan di luar sekolah, agar materi yang sampaikan
123
sesuai dengan perkembangan dan perubahan kurikulum SMK. 3. Semua kendala yang dihadapi dapat teratasi jika dilibatkan semua orang yang terlibat dalam kegiatan ini, yaitu pelatih dan pihak yang dilatih. Pengembangan hendaknya lebih mengutamakan kebersamaan, saling membutuhkan, saling berbagi, sehingga dapat terciptanya hubungan yang harmonis, dan tujuan yang ingin diraih dapat tercapai dengan maksimal yang berdampak kepada peningkatan mutu pendidikan ke depan. DAFTAR PUSTAKA Bafadal, Ibrahim, 2005, Peningkatan Profesionalisme Guru Sekolah Dasar Dalam Kerangka Manajemen Peningkatan Mutu berbasis Sekolah, Jakarta, Edisi Revisi, Bumi Aksara. Daryanto, HM, 2006, Administrasi Pendidikan, Jakarta, Rineka Cipta. Depdiknas, 2008, Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Jakarta. Depdiknas, 2005, Undang-undang Republik Indonesia No.14 Tahun 2005, Tentang Guru dan Dosen, Jakarta, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Hasibuan, Malayu, 2005, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta, Haji Mas Agung. Herabudin, 2009, Administrasi & Supervisi Pendidikan, Bandung, Pustaka Setia. Mudyahardjo, Redja, 2009, Pengantar Pendidikan, Sebuah Studi Awal Tentang Dasar-dasar Pendidikan Pada Umumnya dan Pendidikan Di Indonesia, Jakarta, Raja Grafindo Persada. Mukhtar dan Iskandar, 2009, Orientasi Baru Supervisi Pendidikan, Jakarta, Gaung Persada. Mulyasa, 2009, Standar Kompetensi Dan Sertifikasi Guru, Bandung, Remaja Rosdakarya. Sahertian, Piet, 2005, Konsep Dasar Dan Teknik Supervisi Pendidikan Dalam Rangka Pengembangan Sumber Daya Manusia, Jakarta, Rineka Cipta.
Megawati, Efektivitas Peningkatan Kemampuan Profesional Guru
Suhardan, Dadang, 2010, Supervisi Pendidikan, Layanan Dalam Meningkatkan Mutu Pembelajaran Di Era Otonomi Daerah, Bandung, Alfabeta. Usman, Nasir, 2007, Manajemen Peningkatan Kinerja Guru, Bandung, Mutiara Ilmu. Usman, Nasir, 2012, Manajemen Peningkatan Mutu Kinerja Guru, Konsep, Teori dan Model, Bandung, Citapustaka Media Perintis.
124