Revitalisasi Komponen Strategis Kemaritiman Untuk Mewujudkan Kedaulatan Dan Ketahanan Maritim Indonesia Maulana Ridho Aryanto, Siti Nur Umami, dan Mahmudi Universitas Airlangga;
[email protected] Universitas Airlangga;
[email protected] Universitas Airlangga;
[email protected] Abstrak. Negara Indonesia memiliki 17.500 pulau yang terdata oleh badan statistik, akan tetapi PBB hanya memberikan data sebesar 13.466 pulau di Indonesia. Mengapa demikian karena banyak aparat berwenang yang tidak peduli dengan kondisi Indonesia. Timbul berbagai permasalahan Mulai dari illegal fishing Indonesia mengalami kerugian sebesar US$ 20 miliar per tahun menurut data Bank Dunia. Penggunaan jaring pukat trawl yang dapat merusak ekosistem lingkungan laut. Dalam hal ini untuk mencapai kedaulatan dan ketahanan maritim, maka pertama diperlukan penguatan terhadap perundang-undangan kemaritiman (asas cabotage), yaitu asas yang diakui di dalam hukum dan praktik pelayaran seluruh dunia serta merupakan wujud kedaulatan suatu negara untuk mengurus dirinya sendiri. Kedua, kekuatan diplomasi dan kerja sama dan kerja sama bilateral.Ketiga, pemahaman geomaritim untuk
pelestarian
geomaritim
di
laut
Indonesia
masyarakat
dapat
melalui menjadi
penanaman dorongan
paradigma
pembangunan
nasional dengan memanfaatkan ekosistem perairan laut berserta segenap sumberdaya yang terkandung di dalamnya secara berkelanjutan.
Kata Kunci: Diplomasi, Indonesia, Kemaritiman, Laut, Pulau
1.1
Pendahuluan
Negara Indonesia memiliki 17.500 pulau yang terdata oleh badan statistik, akan tetapi PBB hanya memberikan data sebesar 13.466 pulau di Indonesia. Mengapa demikian karena banyak aparat berwenang yang tidak peduli dengan kondisi Indonesia, mereka hanya peduli tentang eksploitasi kekayaan Indonesia untuk kepentingan pribadi. Siapa yang salah dan benar? Ya kita sendiri yang bisa menjawabnya. Kita harus bisa merapikan hal ini karena data itu menyangkut identitas negara di mata internasional. Apabila
Indonesia
memiliki
data
valid
yang
dapat
dipertanggungjawabkan, hal ini dapat mempengaruhi kedaulatan di mata internasional
sehingga
Indonesia
mampu
mengembangkan
sektor
kelautan dan perikanan lebih optimal dibanding saat ini. Potensi kelautan Indonesia masih sedikit yang tergarap. Padahal potensinya sangat besar. Kita harapkan melalui peran aparat berwenang dan partisipasi seluruh masyarakat Indonesia mampu mewujudkan kemaritiman yang berdaulat.
1.2
Latar Belakang
Kedaulatan Indonesia masih belum bisa dikatakan sangat baik karena sampai sekarang banyak pulau di Indonesia yang belum bernama maupun
diklaim atau dihak miliki oleh negara lain. Sedangkan pengelolaan Maritim Indonesia dari dulu masih dibawah standar dikarenakan para penjaga perairan Indonesia masih lemah, regulasi tidak pasti, dan lemahnya diplomasi. Dewasa ini, pemerintah mencannagkan cita-cita menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia. Ibu Susi Pudjiastuti yang kini menjabat sebagai Menteri Kelautan melakukan beberapa perubahan terhadap pengelolaan semua permasalahan kemaritiman di Indonesia. Mulai dari permasalahan illegal fishing Indonesia mengalami kerugian sebesar US$ 20 miliar per tahun menurut data Bank Dunia. Penggunaan jaring pukat trawl yang dapat merusak ekosistem lingkungan laut.
1.3 Tujuan Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis
komponen-komponen
yang
mengambil
peran
dalam
menciptakan kedaulatan dan ketahanan maritim Indonesia. Disamping itu, penjabaran
beberapa
aturan-aturan
diharapkan
dapat
menambah
wawasan pembaca akan Indonesia sebagai Negara Kepulauan sehingga mampu berperan aktif dan paradigm geomaritim dalam meningkatkan ketahanan maritim Indonesia. Di lingkup nasional, aparat yang berwenang dapat membenahi sistem yang sudah bagus dengan langkah evaluasi dan integrasi bersinergi, serta menciptkan keselarasan antara undang-undang dengan
implementasi
diplomasi-diplomasi
lapangan.
dan
kerja
Di sama
lingkup
internasional,
bilateral
untuk
tercipta
menghindari
kesalahpahaman dan konflik. 2. Studi Literatur 2.1
Pertahanan
kedaulatan
wilayah
maritime
melalui
Asas
Cabotage Cabotage Principle merupakan asas yang diakui di dalam hukum dan praktik pelayaran seluruh dunia serta merupakan wujud kedaulatan suatu negara untuk mengurus dirinya sendiri, dalam hal ini pengangkutan dalam negeri (darat, laut dan udara), sehingga tidak dapat begitu saja dianggap sebagai proteksi, yaitu perlindungan atau perlakuan istimewa yang kurang wajar bagi perusahaan domestik sehingga menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Beberapa negara menggunakan Asas Cabotage sebagai landasan untuk memperkuat sistem kemaritiman. Contohnya saja Amerika Serikat yang sangat protektif terhadap industri angkutan lautnya
dengan
memberlakukan cabotage principle secara ketat. Melalui “Jones Act 1920”, asas Cabotage mempersyaratkan bahwa pelayaran laut nasional Amerika
Serikat harus menggunakan kapal berbendera Amerika (US Registered), kapal yang dibuat di Amerika (US Built) dan dimiliki oleh warga negara Amerika (US Owned), di samping itu dioperasikan oleh perusahaan yang dikendalikan oleh warga negara Amerika (US Controlled Companies), dengan awak warga negara Amerika (US Crew). Di India, asas cabotage, ditetapkan di Bab XIV Pasal 406 & 407 dari “Merchant Shipping Act 1958” tapi tidak mutlak. Menurut ketentuan ini, hanya kapal bendera India yang dapat mengangkut muatan dari satu pelabuhan di India ke pelabuhan India lainnya. Namun, izin dapat diberikan ke kapal berbendera asing untuk mengangkut muatan antara pelabuhan India jika kapal berbendera India yang tidak tersedia. Filipina termasuk negara yang sudah lama memberlakukan asas cabotage melalui “Republic Act (RA) 1937” atau “The Tariff and Customs Code of the Philippines”, dan “RA 9295” atau “The Domestic Shipping Development Act of 2004”. Malaysia memperkenalkan asas ini pada tahun 1980 melalui amandemen “Merchant Shipping Act 1952” Pasal 65A untuk memproteksi dan membantu mengembangkan kapasitas perdagangan domestik dan logistik Malaysia. Lain halnya dengan negara pemilik garis pantai terpanjang kedua di dunia setelah Canada dengan panjang garis pantai 95.181 km, Indonesia tercatat pernah mengalami kejayaan di bidang transportasi laut pada tahun 1960an setelah proses nasionalisasi sebuah perusahaan pelayaran Belanda, NV. KPM (Koninklijk Paketvaart Maatschappij), berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 1960 Tanggal 24 September 1960. Tapi kemudian meredup seiring dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri No 57 Tahun 1984 yang melarang pengoperasian kapal di atas usia 25 tahun. Hal ini menyebabkan pengusaha harus menggunakan kapal asing untuk mengisi kekosongan alat angkut dan ini terjadi setidaknya sampai dengan tahun 2005.
Asas Cabotage di Indonesia dimulai dari Instruksi Presiden (Inpres) No 5 Tahun 2005 mengenai Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional. Sebagai tindak lanjut dari Inpres No 5/2005, diterbitkanlah Keputusan Menteri Perhubungan No 71 tahun 2005 mengenai 13 jenis komoditas yang harus diangkut oleh kapal-kapal berbendera merah putih. Asas cabotage ini kemudian diakomodir dalam Undang-Undang Pelayaran No 17 Tahun 2008 (Pasal 8 ayat 1 dan 2). UU ini juga memuat sanksi atas pelanggaran asas cabotage, yaitu sanksi administratif dan pidana. Namun demikian, berdasarkan Keputusan Menteri No 48 Tahun 2011 tentang Penerapan asas Cabotage Hulu Migas, pemerintah masih memberikan dispensasi pengoperasian kapal asing untuk kegiatan lepas pantai dan pengerjaan bawah air hingga akhir tahun ini. Selain itu, dispensasi penggunaan kapal asing untuk kegiatan pengeboran lepas pantai juga berakhir pada Desember 2015. Substansial
tata
peraturan
perundang-undangan
kemaritiman
Indonesia lebih rumit dari negara-negara lain, mengalami perubahan, serta terjadinya tumpang tindih peraturan satu dengan peraturan lainnya menyebabkan terjadinya dispensasi dan lemahnya perundang-undangan. Tidak sedikit nelayan-nelayan yang melanggar undang-undang dan asas cabotage yang dijalankan Indonesia karena tidak ada pengawasan berkelanjutan di lapangan. 2.2 Pertahanan Diplomasi Guna Mewujudkan Kedaulatan Indonesia mencatat pengakuan internasional Indonesia terhadap konsepsi negara kepulauan dalam bidang hukum laut dan memperkokoh kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ketika pada tanggal 13 Desember 1957 Perdana Menteri Djuanda Kartawidjaja mengeluarkan sebuah deklarasi mengenai wilayah perairan Indonesia yang
sekarang
dikenal
sebagai
Deklarasi
Djuanda.
Pengumuman
pemerintah Indonesia
yang menyatakan Indoensia
sebagai negara
kepulauan dalam Deklarasi Djuanda mendapat protes dari Amerika Serikat, Australia, Inggris, Belanda, dan New Zealand, tetapi medapat dukungan dari Uni Soviet, Republik Rakyat Cina, Filipina, dan Ekuador. Meskipun demikian Indonesia terus melanjutkan kebijakan tersebut karena kedaulatan wilayah maritim beserta sumber daya yang terkandung dengan dipertegas secra yuridis formil oleh Undang Undang Nomor 4/Prp Tahun 1960 tentang perairan Indonesia Dalam tataran masyarakat Internasional melalui Perserikatan BangsaBangsa terus melakukan berbagai upaya kodifikasi hukum laut melalui konferensi-konferensi Internasional, yaitu Konferensi Hukum Laut di Jenewa tahun 1958 (United Nations Conference on the Law of the sea – UNCLOS). Konferensi ini dilakukan sebanyak tiga kali karena hasilnya selalu gagal menemui kata sepakat karena adanya kepentingan dari berbagai macam negara hingga pada UNCLOS III berhasil membentuk sebuah Konvensi PBB tentang hukum laut 1982. Indonesia adalah negara kepuluan. Negara Kepulauan adalah suatu Negara yang seluruh wilayahnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Kepulauan berarti suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau, perairan diantaranya, dan wujud ilmiah lain yang erat
hubungannya
sehingga
membentuk
suatu
kesatuan
geografi,
ekonomi, dan politik yang hakiki. Indonesia secara yuridis formis sudah sangat kuat, konsekuensinya Indonesia harus mampu mempertahankan penegakan kedaulatan di atas negara-negara lain. Pertahanan ini sangat penting adanya supaya tidak terjadi perebutan wilayah. Sebagaimana permasalahan yang pernah terjadi, seperti lepasnya Pulau Pasir serta Pulau Sipadan dan Ligitan. Diplomasi politik antar negara memiliki andil fundamental dalam konsepsi ini. 2.3 Kedaulatan Kemaritiman Berbasis Geomaritim
Indonesia patut bangga menjadi Negara Kepulauan, tapi bangga saja tidak cukup. Indonesia harus menjaga dan memanfaatkan kekuatan maritimnya, sumber daya alamnya maupun kedaulatannya. Apabila Indonesia tidak mampu menjaga sumber daya alam yang terkandung di dalamnya, maka semakin banyak kasusu illegal fishing, perompakan, pencemaran,
perusakan
secara
terus
menerus.
Olek
karena
itu,
pembentukan pola pikir geomaritim memiliki urgensi dalam masyarakat dewasa ini. "Kebijakan pemerintah dalam rangka poros maritim harus bersamaan dengan membangun paradigma geomaritim. Masyarakat harus diberikan pemahaman dulu pentingnya pengetahuan geomaritim," kata Ketua Umum Ikatan Geograf Indonesia (IGI) Hartono. Geomaritim merupakan kosep untuk menjembatani dunia akademis dan masyarakat dalam membangun kemaritiman Indonesia. Hal ini berkaitan dengan kemaritiman, sumber daya maritime, sosial-ekonomi maritime, budaya, kewarganegaraan, dan konstelasi global maritim.
3. Pembahasan
3.1
Pertahanan
kedaulatan
wilayah
maritim
melalui
Asas
Cabotage Implementasi asas cabotage yang terintegrasi dan sinergi, yaitu terciptanya kemandirian untuk mengambil keputusan dan bertindak di dukung dengan komponen-komponen yang saling bersinergi memperkuat pertahanan maritime Indonesia. Namun, Indonesia belum sepenuhnya mengimplementasikan asas cabotage yang terintegrasi dan sinergi. Marthin Hadiwinata, Kepala Bidang Pengembangan Hukum dan Pembelaan Nelayan DPP KNTI menyatakan bahwa Inefektifitas pengawasan laut ini juga disebabkan oleh permasalahan tumpang tindih kewenangan pengawasan dan penegakan hukum di wilayah laut. Situasi ini terjadi antara berbagai lembaga negara yang meliputi: Kementerian Kelautan dan Perikanan, TNI AL, Kejaksaan, Kepolisian, Menteri Luar Negeri, Bakamla sendiri dan berbagai lembaga lainnya yang mencapai 13 lembaga negara. Akibat dari ini tidak ada pengelolaan anggaran yang efektif, efisien, tepat sasaran, tepat guna, perbedaan standar yang melemahkan pengawasan laut. Pengawasan laut guna memastikan perundang-undangan dan asas cabotage berjalan beriringan dengan kenyataan di lapangan juga megalami keterbatasan dalam hal ketersediaan bahan bakar minyak dan armada patroli. Maka dari itu, sinergi antar aparat yang berwenang dengan kewenangan masing-masing serta optimalisasi partisipasi peran aktif organisasi nelayan melindungi wilayah perikanannya dapat meningkatkan ketahanan dan kedaulatan maritim Indonesia. 3.2 Pertahanan Diplomasi Guna Mewujudkan Kedaulatan Dewasa
ini
Menteri
Kelautan
dan
Perikanan,
Susi
Pudjiastuti
meningkatkan peran pemerintah dalam meneggakkan kedaulatan dan ketahannan maritime Indonesia. Salah satunya dengan dikeluarkannya moratorium bagi kapal eks-asing. Nantinya, setelah masa moratorium selesai, proses perizinan bagi kapal eks-asing akan kebali semula dengan
menyertakan syarat-syarat seperti mendapat hasil analisis wilayah penegelolaan perikanan (WPP)
Data Penenggelaman kapal ikan hasil tangkapan per Oktober 2015 Sumber data:Kompas.com N o 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7.
Negara
Jumlah (kapal)
Malaysia Filipina China Thailand Vietnam Papua New Guinea Indonesia Total
6 34 1 21 33 2 4 101
Penenggelaman tersebut terkait dengan pelanggaran-pelanggaran beberapa ketentuan, diantaranya: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Menggunakan nahkoda dan ABK berkewarganegaraan asing. Tidak mendaratkan ikan di pelabuhan pangkalan Melakukan tindak pidana perdagangan orang dan perbudakan. Menggunakan BBM illegal Melanggar jalur penangkapan ikan. Tidak mengaktifkan Sistem Pemantauan Kapal Perikanan (SPKP)
online 7. Menggunakan alat tangkap tidak sesuai Surat Izin Penangkapan (SIPI). 8. Melakukan ekspor impor barang tanpa izin kepabeanan 9. Melakukan alih muat illegal (illegal transhipment) di tengah laut. 10. Tidak membangun/bermitra dengan unit pengelola ikan (UPI) Selain sinergi aparat yang berwenang, optimalisasi partisipasi peran aktif organisasi nelayan, diplomasi menjadi benteng pertahanan terkuat maritim Indonesia. Masuknya kapal-kapal asing secara ilegal, maupun lepasnya beberapa pulau di Indonesia termasuk klaim Republik Rakyat Cina terhadap Pulau Natuna tidak terlepas dari peran diplomasi antar
negara. Kerja sama dan MoU guna mempublikasikan perundang-undangan yang tegas dan pemahaman regulasi laut agar tidak ada kesalahpahaman dalam hubungan bilateral.
3.3 Kedaulatan Kemaritiman Berbasis Geomaritim Ketahanan dan kedaulatan tidak melingkupi perundang-undangan dan diplomasi saja, akan tetapi peran pengelolaan tidak terlepas dari penigkatan ketahanan menujudkan kedaulatan maritim. Penanaman paradigma geomaritim di masyarakat dapat menjadi dorongan pembangunan nasional dengan memanfaatkan ekosistem perairan laut berserta segenap sumberdaya yang terkandung di dalamnya secara berkelanjutan. Konsep geomaritim ini tidak lepas dari peran akademisi di bidang kelautan, pemahaman masyarakat tentang bagaimana harus mengelola sumberdaya yang terkandung, penggunaan jaring pukat trawl yang dapat merusak ekosistem atau alat tangkap yang tidak sesuai dengan UPI, serta peningkatan sumber daya manusia nelayan Indonesia. Sebagai wujud nyata, Asosiasi Industri Boatyard Indonesia (AIBINDO), yaitu kerja sama 36 galangan kecil sebagai wadah kerjasama mereka yang akan dideklarasikan resmi pada Hari Nusantara, 13 Desember 2015. Program asosiasi akan memprioritaskan pada kerjasama dalam desain dan pembangunan, tenaga kerja serta menetapkan standartisasi mutu produk boat. Kapal yang berhasil ditangkap terkait IUU fishing Sumber data:Kompas.com Negara Jumlah (kapal)
No 1. 2. 3. 4. 5.
Indonesia Malaysia Filipina Thailand Vietnam Total
60 6 17 7 46 136
Dari tabel diatas masih banyak kapal-kapal dari Indonesia sendiri yang melanggar undang-undang dan aturan-aturan yang berlaku. Oleh karenanya, peran aktif seluruh komponen dapat mendorong terciptanya kedaulatan
dan
ketahanan
maritim
Indonesia,
baik
aparat
yang
berwenang, diplomasi, dan paradigma geomaritim diharapkan dapat mendukung terciptanya kedaulatan dan ketahanan maritime Indonesia sebagai upaya mewujudkan Indonesia sebagai poros maritim dunia. "Jalesveva Jayamahe" mengembalikan Indonesia sebagai negara maritim. Samudra, laut, selat, dan teluk adalah masa depan peradaban kita. 4. Penutup Indonesia adalah negara kepuluan. Negara Kepulauan adalah suatu Negara yang seluruh wilayahnya terdiri dari satu atau lebih kepulauan dan dapat mencakup pulau-pulau lain. Kepulauan berarti suatu gugusan pulau termasuk bagian pulau, perairan diantaranya, dan wujud ilmiah lain yang erat
hubungannya
sehingga
membentuk
suatu
kesatuan
geografi,
ekonomi, dan politik yang hakiki. Dalam hal ini untuk mencapai kedaulatan dan ketahanan maritim maka diperlukan penguatan terhadap perundang-undangan kemaritiman (asas cabotage), kekuatan diplomasi dan kerja sama bilateral, dan pemahaman geomaritim untuk pelestarian laut Indonesia.
5. Referensi
1. Redaksi Kompas, Paradigma Geomaritim, Strategi Mewujudkan Poros Maritim,
http://print.kompas.com/baca/2015/10/24/Paradigma-
Geomaritim%2c-Strategi-Mewujudkan-Poros-Ma? utm_source=bacajuga, diakses pada 8 Desember 2015, 7.37 WIB 2. AQson,
Mengingat
(lagi)
Asas
Cabotage,
http://jurnalmaritim.com/2015/12/mengingat-lagi-asas-cabotage/, diakses pada 8 Desember 2015, 7.22 WIB 3. Indi Catur, Makalah Hukum Laut dan Kemaritiman UNCLOS III (1982), https://www.scribd.com/doc/53863181/9/UNDANG-%E2%80%93UNDANG-NOMOR-17-TAHUN-1985, diakses pada 8 Desember 2015, 7.11 WIB