Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia; Gugusan Gagasan dan Pemikiran Segenap Pejuang Intelektual untuk Negara Maritim Indonesia Penulis: Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D.; Prof. Dr. Apridar, S.E., M.Si.; Kusnadi; Masyhuri Imron; Ary Wahyono; Suryo Sakti Hadiwijoyo Penyunting: Arif Abdulrakhim Hak Cipta © 2016 pada penulis GRAHA ILMU Ruko Jambusari 7A Yogyakarta 55283 Telp: 0274-4462135; 0274-882262; Fax: 0274-4462136 E-mail:
[email protected] Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak atau memindahkan sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun, secara elektronis maupun mekanis, termasuk memfotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainnya, tanpa izin tertulis dari penerbit. Buku ini diterbitkan atas kerjasama Penerbit Graha Ilmu dengan Penerbit Graha Literata ‘Buku untuk Indonesia; Tidak diperjualbelikan’. ISBN: 978-602-262-557-5 Cetakan Pertama, tahun 2016
Sumbangan Pemikiran Dunia Pendidikan untuk Indonesia Sebuah buku berisi kumpulan tulisan yang diterbitkan oleh Penerbit Graha Ilmu yang bekerja sama dengan para penulis dari kalangan perguruan tinggi dan lembaga penelitian. Sebuah gerakan penyebaran ilmu pengetahuan - transferring knowledge from campus to the other - sebagai wujud tanggung jawab sosial, baik penerbit maupun penulis. Sebuah buku yang tidak diperjualbelikan, tetapi dibagikan secara cumacuma kepada semua pihak terkait yang memerlukannya. Dalam satu tahun akan diterbitkan beberapa buku dengan tema yang beragam. Tema-tema yang diagendakan bagi Buku untuk Indonesia tahun 2016, bisa dilihat di www.grahailmu.co.id
KATA PENGANTAR
Rainha de Jepara, Senora Pade Rosa se Rica Dalam sebuah novel berjudul Arya Penangsang, karya Nassirun Purwokartun, ada sebuah sekuel yang menggambarkan hancurnya hati Ratu Kalinyamat. Sekuel ini terjadi pasca pertemuan agung di Keraton Demak yang menetapkan perubahan besar kebijakan politik Kerajaan Demak. Salah satu implementasi atas perubahan policy tersebut, Keraton memutuskan penghentian segala pengiriman armada laut. Fokus Demak tidak lagi ke luar, tetapi ke dalam atau pedalaman. Selama ini dinilai aspek agraris (ke dalam) terlupakan karena sibuk mengurusi aspek maritim (ke luar). Memang, seperti diceritakan dalam sejarah, sejak Raden Patah memerintah, kemudian diteruskan Adipati Unus dan Sultan Trenggono, Kerajaan Demak berkali-kali mengirimkan armada lautnya untuk memerangi Portugis di Malaka. Demak pun menjadi negara maritim yang disegani. Ratu Kalinyamat yang juga putri kandung Sultan Trenggono ini, sangat terpukul dengan arah kebijakan baru Keraton Demak. Persiapan yang sedang dilakukannya di Jepara, dalam rangka penyerangan ke Malaka lagi sudah hampir selesai. Pembuatan kapal-
viii
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
kapal perang yang lebih canggih dari penyerangan sebelumnya sudah siap di dermaga Jepara. Bahkan pengumpulan kebutuhan logistik, sebagian besar sudah siap. Tetapi semua persiapan tersebut harus dihentikan dan tidak boleh diteruskan. Mungkin, kiprah Ratu Kalinyamat belum banyak yang tahu. Dalam pengajaran sejarah, yang paling sering diceritakan hanyalah sebagai seorang istri yang sakit hati karena suaminya, Pangeran Hadiri terbunuh, konon oleh Arya Penangsang. Lalu melakukan tapa tanpa busana, sampai balas dendam kematian suaminya terbalas. Padahal, pada tahun 1550, Ratu Kalinyamat pernah mengirimkan 400 kapal perang Demak dan 4.000 prajurit untuk membantu pembebasan Malaka dari penguasaan Portugis. Bahkan dalam sejarah Portugis, Ratu Kalinyamat ditulis dengan julukan menggetarkan hati, Rainha de Jepara, Senora Pade Rosa se Rica atau Ratu Jepara yang penuh kekuatan dan kekuasaan (dikutip dari laman dosenindonesia.wordpress.com dalam http://rajasamudera. com/2014/09/1550-ratu-kalinyamat-kirim-40-kapal-perangbebaskan-malaka/). Tentunya bukan hal yang sederhana, jika sebuah kadipaten sampai mampu mengorganisir dan mengirimkan armada sebesar itu. Jika tanpa dimiikinya visi kemaritiman yang kuat dan telah dibangun sejak lama serta konsistensi dalam menjalankannya. Sehingga, menurut hemat saya, kemungkinan besar keterpukulan Ratu Kalinyamat bukanlah pembatalan pengiriman kembali armada laut yang telah dia persiapkan, tetapi berubahnya visi Keraton Demak dari visi maritim menjadi visi agraris. Sejarah pun menjadi saksi, semenjak itu, dari Jaman Sultan Hadiwijaya di Pajang sampai Mataram, tidak ada lagi cerita tentang pengiriman armada laut yang besar dari kerajaan-kerajaan di Jawa. Sultan Agung Hanyokrokusuma yang terkenal karena menyerang Batavia beberapa kali, menggunakan pasukan infanteri atau angkatan darat dan bukan angkatan laut.
Kata Pengantar
ix
Sekelumit cerita di atas, saya tulis untuk memulai pengantar atas Buku Untuk Indonesia yang kali ini mengambil tema Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia. Keputusan yang terjadi sekitar 4 abad yang lalu tersebut ternyata cukup mengguratkan pengaruh terhadap mindset atau visi Bangsa Indonesia sampai saat ini, yang telah 71 tahun merdeka. Memang Visi kemaritiman atau ocean based development sudah mulai diperbincangkan kembali, namun masih berada pada tahap ‘diperjuangkan’. Sepertinya perlu usaha cukup panjang untuk menyadarkan segenap bangsa bahwa negara maritim adalah sebuah takdir geostratejik. Bersyukur sekali, kami mendapat sumbangan pemikiran dari 6 pejuang intelektual yang dalam kesehariannya banyak memberikan perhatian kepada dunia maritim dan kelautan. Untuk itu kami mengucapkan terima kasih kepada penulis yang telah berkenan menyumbangakan pemikirannya. Beliau adalah Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D., Prof. Dr. Apridar, S.E., M.Si., Kusnadi, Masyhuri Imron, Ary Wahyono, dan Suryo Sakti Hadiwijoyo. Dan khusus Pak Kusnadi dari Jember, terima kasih atas bantuan mengenalkan kami kepada penulis dan peneliti yang concern di bidang maritim. Mengawali buku ini, kami menampilkan artikel Prof. Ir. Daniel Mohammad Rosyid, Ph.D., yang menuangkan idenya terkait sistem pendidikan dan pembelajaran. Kami meminta tambahan 1 artikel ini karena sepakat dengan pendapat beliau, bahwa perkembangan arsitektur maritim di Indonesia akan ditentukan oleh budaya belajar yang mengutamakan relevansinya dengan konteks maritim negara kepulauan Indonesia. Terakhir, saya teringat kata-kata ST Sunardi dari Realino Sanata Dharma, bahwa tugas para intelektual adalah menyampaikan kebenaran kepada penguasa walau di bawah ancaman moncong senjata.
x
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Perubahan apapun memang harus ada yang memulainya. Sekecil apapun itu. Selamat membaca.
Yogyakarta, Februari 2016
Arif Abdulrakhim - Penyunting
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR DAFTAR ISI
vii xi
REKONSTRUKSI PEMIKIRAN IPTEK: PENGEMBANGAN, KOMPETENSI DAN DISTRIBUSI SDM BIDANG SDA DAN MARITIM Daniel Mohammad Rosyid
1
KOMITMEN MENUJU POROS MARITIM DUNIA Apridar
17
ARSITEKTUR MARITIM DI INDONESIA: A Conceptual Note Daniel Mohammad Rosyid
25
MEMBANGUN DESA PESISIR = MEMBANGUN NEGARA MARITIM INDONESIA Kusnadi
41
DINAMIKA SOSIAL NELAYAN MISKIN DAN STRATEGI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MELALUI PENGEMBANGAN KEPEMILIKAN SARANA KOLEKTIF [CAPITAL SHARING] Ary Wahyono
57
xii
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
PERBATASAN MARITIM INDONESIA DALAM PERSPEKTIF GEOPOLITIK, GEOSTRATEGIS, DAN GEOEKONOMI Suryo Sakti Hadiwijoyo
73
MENJAGA KEDAULATAN MARITIM MELALUI PENINGKATAN PERAN NELAYAN DALAM PENANGANAN ILLEGAL FISHING Masyhuri Imron
115 -oo0oo-
REKONSTRUKSI PEMIKIRAN IPTEK: PENGEMBANGAN, KOMPETENSI DAN DISTRIBUSI SDM BIDANG SDA DAN MARITIM1 Daniel Mohammad Rosyid Guru Besar Riset Operasi dan Optimasi pada Jurusan Teknik Kelautan ITS Surabaya; anggota the Royal Institute of Naval Architects; Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Cabang Surabaya; Ketua Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) Cabang Jawa Timur.
1
Makalah disampaikan dalam acara Kongres Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) ke XI pada 8-9 Oktober 2015 di Jakarta
2
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
RINGKASAN
P
ada saat komunitas ilmiah membanggakan peran iptek yang makin besar dalam menyejahterakan umat manusia, krisis multidimensional yang mencirii awal Abad 21 ini justru menunjukkan adanya krisis iptek sehingga mengharuskan komunitas ilmiah untuk meninjau kembali paradigma iptek yang hingga saat ini berlaku. Indonesia sebagai negara agro-maritim yang sedang berkembang perlu mengambil prakarsa untuk merumuskan paradigma baru ini dalam rangka rekonstruksi kerangka iptek yang organik yang mengakar pada tradisi luhur bangsa ini. Langkah penting dalam rekonstruksi ini adalah mengagendakan deschooling masyarakat kita yang mendorong pengembangan IPTEK sebagai kerja budaya yang mentradisi dan menguatkan sistem pendidikan nasional yang mendorong pembudayaan belajar.
PENDAHULUAN Pengembangan IPTEK bagi kesejahteraan masyarakat kita terhambat oleh budaya belajar yang buruk sebagai kinerja SDM masyarakat tersebut. Ini mengindikasikan bahwa Sistem Inovasi Nasional (SIN) telah dibangun di atas Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) yang tidak relevan karena tidak membudayakan belajar. Kerusakan lingkungan yang makin luas dan dalam yang ditandai oleh pemanasan global dan perubahan iklim, kemiskinan persisten, dan berbagai krisis yang melanda ummat manusia di zaman digital post-modern ini seharusnya menyadarkan komunitas ilmiah bahwa ada krisis paradigma ilmu pengetahuan itu sendiri (Kuhn, 1962) yang selama ini justru menjadi tempat bersandar bagi kebijakan pembangunan (Rosyid, 2007). Sisdiknas yang dikooptasi oleh subsistem persekolahan saat ini ikut bertanggungjawab atas pengerdilan, inkompetensi dan kelangkaan SDM bidang sumberdaya alam dan maritim di negara agro-maritim ini. Padahal Sisdiknas bersama SIN semula diharapkan
Rekonstruksi Pemikiran IPTEK: Pengembangan, Kompetensi dan ...
3
mampu mencerdaskan kehidupan masyarakat untuk berdaulat dalam politik, berkemandirian dalam ekonomi dan berkepribadian dalam budayanya, serta bertuhan dalam kehidupan. Dalam konteks Indonesia saat ini, subsistem persekolahan warisan kolonial tumbuh makin besar, melemahkan subsistem keluarga dan masyarakat gotong royong bangsa ini. Subsistem persekolahan adalah elemen cangkokan yang ahistoris namun dipaksakan secara masiv sejak akhir abad 19 hingga sekarang. Yang terjadi kemudian adalah sebuah masyarakat yang very well schooled, but yet poorly educated yang sekaligus tercerabut dari akar budayanya sendiri, sekaligus makin jauh dari Tuhannya. Masyarakat Indonesia saat ini praktis sudah terjajah di hampir seluruh dimensi kehidupannya. Terjajah berarti bahwa pengembangan IPTEK bersifat eksternal, dan ahistoris karena tidak dilakukan secara mentradisi oleh masyarakat penggunanya sendiri. Dalam rangka mengembangkan IPTEK secara organik oleh bangsa sendiri di abad 21 untuk Kepulauan Indonesia dengan keanekaragaman yang luarbiasa ini, kita harus membangun budaya belajar baru dengan mengagendakan deschooling: mengutamakan belajar, bukan bersekolah, mengutamakan relevansi dan kebermaknaan, bukan mutu. Agenda ini memerlukan revitalisasi pemikiran Tri Pusat Pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu dengan mengurangi monopoli radikal persekolahan (Illich, 1974) dengan menguatkan institusi keluarga dan masyarakat dalam Sisdiknas.
PENJAJAHAN BELUM BERLALU Indonesia di dekade kedua abad 21 praktis sudah terjajah secara ekonomi. Melalui kebijakan ekonomi yang sangat liberal, hampir semua sektor ekonomi sudah dikuasai modal asing, termasuk di sektor strategis seperti energi dan telekomunikasi, serta transportasi. Pertamina harus berjuang ekstra keras agar pengelolaan beberapa blok migas diserahkan kepadanya setelah kontrak oleh Multi
4
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
National Companies seperti TOTAL, dan Chevron usai. Proses deindustrialisasi berlangsung secara terus menerus selama masa reformasi ini. Kita gagal memiliki mobil dan pesawat terbang produksi kita sendiri. Banyak industri di Indonesia saat ini adalah satelit industri China. Sementara itu ketimpangan pendapatan antara penduduk makin buruk. Sebagian besar kue ekonomi nasional dikendalikan oleh sekelompok kecil elite. Sepuluh orang terkaya Indonesia secara konsisten selama 40 tahun terakhir adalah pengusaha elite ini. Ketimpangan ini dilematis dan berpotensi menjadi bom waktu seperti yang terjadi pada 1997-1998 sebagai akhir Orde Baru dan awal orde reformasi. Sementara itu subsistem persekolahan yang mendominasi Sisdiknas saat ini semakin eksklusif, makin memperkuat segregasi kelompok-kelompok sosial. Bersekolah menjadi bagian dari pembentukan identitas sosial sebuah kelompok masyarakat. Diperparah oleh angkutan umum yang buruk dan ketergantungan angkutan pribadi yang makin parah, kohesivitas sosial masyarakat -terutama di kota-kota- Indonesia saat ini makin rapuh. Pada saat yang sama nasib petani dan nelayan di pedesaan dan kawasan pesisir tidak banyak berubah tetap miskin. Nomenklatur birokrasi menyebutnya sebagai daerah tertinggal padahal yang sebenarnya terjadi adalah daerah yang ditinggalkan. Kawasan-kawasan agro- kompleks mengalami brain-drain karena warga muda tidak mau lagi bekerja sebagai petani atau nelayan. Urbanisasi melanda kota-kota Indonesia yang semakin dikungkung kekumuhan, kriminalitas, kemacetan, banjir dan pengangguran. Sementara itu kesenjangan spasial dan pendapatan antara desa-kota, Jawa-Luar Jawa, Kawasan Barat-Timur makin melebar. Rasio Ginie 2014 mencatat 0,42, rekor terburuk dalam sejarah Indonesia modern. Secara budaya Indonesia juga makin tidak berkepribadian. Setelah Gang-nam Korea, sekarang Artis India dan Bollywood se-
Rekonstruksi Pemikiran IPTEK: Pengembangan, Kompetensi dan ...
5
makin merajai dunia hiburan nasional sementara perfileman nasional terpuruk. Pada saat film sejarah Guru Bangsa Tjokroaminoto sepi penonton, setiap konser musik oleh artis asing selalu laris manis walaupun tiketnya ratusan ribu bahkan jutaan Rupiah. Budaya konsumtiv marak yang selanjutnya mendorong perilaku korup. Sikap individual menggusur sikap gotong royong. Ketidakberdaulatan politik sebagian bisa dilihat dari skema pengadaan melalui impor berbagai produk IPTEK di berbagai bidang stratejik: pangan, energi, telekomunikasi, transportasi dan hankam. Ketergantungan Indonesia pada kepentingan asing mengingkari semangat Dasasila Bandung. Ini tidak saja memalukan, tapi juga peremehan atas kemampuan industri strategis nasional. Pengadaan alutsista untuk Hankam, misalnya, seharusnya menjadi wahana bagi penguatan industri nasional, penciptaan lapangan kerja dan sarana pendidikan serta penguasaan IPTEK demi kemandirian bagi para insinyur kita.
SISTEM PENDIDIKAN DAN BUDAYA BELAJAR Dalam perspektif sains, teknologi dan masyarakat, terjajah berarti masyarakat kita adalah konsumen sains dan teknologi. Realitas kasat mata masyarakat Indonesia di awal Abad 21 itu mencerminkan kejumudan budaya belajar sebagai realitas tak-kasat mata. Sebagai budaya belajar, kejumudan mutakhir itu justru dimulai dari lembaga yang selama ini diposisikan sebagai agen perubahan, yaitu persekolahan dan kampus. Banyak sekolah hanya tempat guru mengajar tapi bukan tempat murid belajar. Skandal ijazah asli tapi palsu yang terungkap beberapa tahun terakhir ini adalah gejala puncak gunung es. Kejumudan masyarakat ini justru terjadi karena too much schooling, not the lack of it. Begitu banyak persekolahan tapi begitu sedikit pendidikan. Karena sekolah dan kampus secara konsisten memberi pesan dan kesan sebagai satu-satunya tempat belajar, masyarakat mengalami kerancuan untuk membedakan
6
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
antara belajar (learning) dengan bersekolah (schooling). Hambatan pengembangan IPTEK oleh masyarakat dimulai oleh kerancuan ini. Lalu masyarakat bingung membedakan antara kompetensi dengan ijazah, kemudian isi dengan bungkusnya. Konsep tripusat pendidikan (keluarga, masyarakat dan perguruan) Ki Hadjar Dewantara disingkirkan bagi dominasi persekolahan. Pornografi, penyalahgunaan narkoba, begal dan kekerasan menjangkiti remaja pelajar. Sementara itu pengangguran tersekolah (bukan terdidik) makin banyak. Persekolahan dan kampus adalah benteng konservatisme paling kokoh saat ini. Perubahan memerlukan kreativitas, sementara sekolah sering justru memasungnya atas nama keseragaman melalui standard mutu, sedangkan kreativitas mengandaikan keanekaragaman. Sekolah dan kampus dengan disponsori Pemerintah telah terlalu lama menikmati monopoli sebagai (hampir) satusatunya tempat belajar. Posisi monopolistik sekolah dan kampus di pasar pendidikan itu justru awal dari pengeringan budaya belajar dan inovasi. Wajib sekolah adalah disinsentif bagi inovasi pembelajaran oleh guru. Kekerasan merebak justru di sekolah. Sementara itu anak yang tidak bersekolah hampir pasti dianggap terbelakang dan kampungan, yang tidak memiliki gelar akademik dinilai tidak kompeten. Wajib belajar langsung diartikan sebagai Wajib Sekolah. Kartu Indonesia Pintar dijadikan instrumen untuk Wajib Sekolah. Gatto menyebut ini sekolah paksa (forced schooling). Persekolahan di Nusantara sudah berlangsung 100 tahun lebih. Namun praksis persekolahan nasional praktis tidak banyak berubah dari rancangan awalnya oleh penjajah di akhir abad 19 Hindia-Belanda sebagai hasil dari politik etis. Sekolah-sekolah Belanda di Hindia-Belanda itu memiliki misi tunggal: menyiapkan pribumi untuk menjadi pegawai pemerintahan penjajahan. Misi inilah yang ditentang oleh Kyai Ahmad Dahlan, Ki Hadjar Dewantara, Teuku Abdullah Syafii maupun Hadratus Syeh Hasyim
Rekonstruksi Pemikiran IPTEK: Pengembangan, Kompetensi dan ...
7
Asy’ari. Perlu segera dicermati bahwa tokoh-tokoh mentor para the founding fathers ini justru dibesarkan oleh sistem pesantren yang memiliki akarnya dalam tradisi Majapahit. Majapahit sebagai imperium maritim di abad XIII-XVI dengan kekuatan ekonomi berbasis agrokompleks (Rosyid dan Johnson, 2009) dapat diduga memiliki infrastruktur kompetensi yang kuat. Sementara imperium dengan pengaruh melampaui bentang NKRI ini berbentuk federasi dengan banyak daerah otonom (daerah perdikan), sistem pendidikan masyarakat Majapahit juga didesentralisasikan, kemungkinan besar hingga tingkat keluarga. Penting untuk dicatat bahwa Romo Mangun berpendapat bahwa bentuk negara kesatuan adalah mitos dan ahistoris yang dipaksakan terutama sejak Orde Baru. Wawasan ilmu dan ketrampilan teknolojik diperoleh melalui pemagangan (nyantrik) pada para empu ahli atau kyai dan wali sesuai minat dan bakat. Warga belia belajar melalui skema individualised learning yang disebut sorogan atau learning by doing atau by making useful things. Sistem pendidikan seperti ini berhasil membangun tradisi belajar yang mendorong kreativitas yang dibutuhkan untuk mengembangkan sains dan teknologi yang mengakar pada budaya masyarakat Majapahit.
SCHOOLISM Sayang sekali, sistem pendidikan yang tidak memisahkan secara tegas antara belajar dan bekerja ala Majapahit itu oleh penjajahan diganti oleh sistem persekolahan seiring gelombang industrialisasi yang dipacu oleh penggunaan batubara dan penemuan minyak bumi. Pendidikan oleh Kemendikbud paling tidak selama 15 tahun terakhir telah semakin direduksi hanya sekedar persekolahan belaka. Pendidikan non-formal dinilai tidak sebaik pendidikan formal. Pendidikan informal dipandang lebih rendah lagi dan dinilai tidak bisa diandalkan. Banyak praktek pendidikan di banyak negara, termasuk Indonesia, selama paling tidak 40 tahun terakhir
8
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
ini memperlihatkan gejala schoolism yang kronis. Anak yang tidak bersekolah langsung dinilai tidak terdidik. Sekalipun saat ini sudah ada regulasi yang mengatur sekolah rumah, seringkali anak yang mengikuti home schooling dipersulit untuk mengikuti ujian penyetaraan ataupun masuk ke perguruan tinggi di dalam negeri, walaupun dia banyak membaca buku di rumah bahkan juga menulis buku. Konsep penyetaraan sendiri sangat bias persekolahan. Ujian Nasional dan otak-atik kurikulum dan wacananya yang sok genting adalah puncak dari schoolism yang kronis itu. Dalam CV, riwayat pendidikan seseorang selalu diartikan sebagai riwayat sekolahnya. Banyak orang tua tidak bisa membayangkan belajar di luar sekolah. Bekerja dinilai tidak belajar sehingga anak usia sekolah tidak boleh bekerja tapi harus bersekolah. Padahal, setelah mencermatinya dengan sungguh-sungguh, keterdidikan kita tidak ditentukan di sekolah, tapi justru lebih banyak dibentuk di rumah dan pengalaman hidup di luar sekolah terutama di dunia kerja. Inti dari pendidikan adalah belajar (learning), bukan bersekolah (schooling). Kesalahan terbesar kita adalah gagal membedakan keduanya. Sekolah sering berusaha terlalu keras untuk memberi pesan dan kesan sebagai satu-satunya tempat belajar. Sekolah dengan semua formalismenya justru sering mematikan budaya belajar, seperti kebiasaan membaca. Banyak anak sibuk bersekolah dan mengambil les pribadi sehingga tidak sempat membaca (koran, majalah, apalagi buku) dan menulis. Banyak evaluasi belajar berformat pilihan ganda. Dengan kehadiran TV, budaya yang berkembang adalah budaya menonton. Layanan perpustakaan di banyak sekolah umumnya menyedihkan. Budaya menulis terbengkalai juga oleh rezim evaluasi pilihan ganda. Tingkat literasi kita terbelakang. Gatto menyatakan bahwa tingkat literasi masyarakat AS zaman pra-sekolah Benjamin Franklin justru lebih tinggi daripada di zaman sekolah era Clinton dan Bush.
Rekonstruksi Pemikiran IPTEK: Pengembangan, Kompetensi dan ...
9
Praktek dan pengalaman sehari-hari anak umumnya tidak dihargai guru di sekolah. Guru sibuk “menyelesaikan kurikulum” sehingga tidak tertarik dengan apa yang dilakukan siswa sehari-hari di luar sekolah. Sekolah seringkali menjadi tempat pengasingan anak dari kehidupan mereka sehari-hari. Full day school seolah menjadi solusi bagi keluarga di kota-kota besar di tengah kesibukan orang tua bekerja mencari nafkah. Banyak anak mengalami keyatiman budaya karena orangtua mereka menyerahkan pendidikannya ke sekolah, terutama sekolah yang menyebut diri “unggulan”. Banyak orangtua merasa “tidak (perlu) kompeten” untuk mendidik anakanak mereka sendiri, karena sekolah bisa mengambil alih tugas ini. Tentu untuk “harga” yang cocok. Tidak banyak disadari bahwa sekolah mencatatkan satu keberhasilan penting: menciptakan kesadaran dan gaya hidup konsumtiv. Begitu bersekolah, setiap anak membiasakan diri untuk menjadi konsumen layanan pendidikan oleh guru di sekolah. Tidak bersekolah berarti tidak belajar. Kemandirian belajarnya perlahan tapi pasti berkurang. Semakin lama bersekolah, semakin tidak mandiri belajar. Secara lambat tapi pasti keluarga diubah menjadi satuan konsumtiv, bukan satuan produktiv apalagi investativ, cocok dengan model ekonomi makro yang banyak digunakan dalam perencanaan pembangunan. Dengan perkembangan masyarakat yang semakin konsumtiv itulah sekolah kemudian berkembang menjadi industri jasa pendidikan dengan kapitalisasi yang tidak bisa diremehkan. Sektor ini adalah sektor dengan prospek bisnis yang cerah. Selain rumah sakit, sekolah adalah klien perbankan yang prospektif. Semakin tinggi biaya bersekolahnya, sekolah itu makin menjadi “unggulan” atau “favorit”. Sekolah, seperti tempat kediaman seseorang, menjadi tempat dan simbol untuk menunjukkan status sosial seseorang. Schools are the best places to show off. Ikatan alumni sekolah atau universitas bisa lebih mengikat dari ikatan organisasi lainnya.
10
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Sekolah dengan arsitektur industrialnya telah menjadikan keluarga sebagai konsumen pelayanan publik: pendidikan, kesehatan, keamanan dan relijiusitas. Adalah logika sekolah yang mengajarkan bahwa semakin banyak bersekolah kita akan makin terdidik. Makin banyak rumah sakit kita makin sehat. Makin banyak kantor polisi kita makin tertib. Makin banyak tentara dan tank kita makin aman. Makin banyak masjid dan gereja kita makin relijius. Padahal yang terjadi adalah sebaliknya: kita makin tidak terdidik, tidak sehat, tidak tertib, tidak aman, dan tidak relijius. Kita hidup dalam semesta dengan hukum U-terbalik: jika satu sekolah itu baik, semakin banyak sekolah justru mulai merusak.
DESCHOOLING: MEMBANGUN BUDAYA BELAJAR Budaya belajar masyarakat kita saat ini telah lama dikerdilkan oleh sistem persekolahan yang memonopoli sistem pendidikan nasional. Belajar bagi spesies manusia sesungguhnya tidak pernah mensyaratkan formalisme persekolahan. Budaya belajar kerdil adalah hambatan pengembangan IPTEK oleh masyarakat secara mandiri, historis dan berkelanjutan. Teknologi yang mengakar pada budaya masyarakat dan meningkatkan kreativitas masyarakatnya sendiri itu oleh Ivan Illich disebut teknologi konvivial. Dalam konteks membangun budaya belajar baru inilah deschooling penting untuk tiga alasan. Alasan pertama adalah agar kesempatan belajar menjadi lebih besar bagi lebih banyak warga belajar di manapun mereka berada di Indonesia. Alasan yang kedua adalah agar pendidikan menjadi lebih relevan bagi warga belajar yang beranekaragam bakat, minat dan kekuatannya. Yang ketiga adalah untuk memperkuat keluarga yang akan menjadi tumpuan terakhir peradaban Nusantara hingga akhir zaman. Alasan perrtama mengapa kita harus menghilangkan monopoli sekolah adalah soal akses pada pendidikan. Begitu pendidikan disamakan dengan persekolahan atau belajar harus di
Rekonstruksi Pemikiran IPTEK: Pengembangan, Kompetensi dan ...
11
sekolah, maka pendidikan justru langsung menjadi sumberdaya langka by definition. Oleh karena itu pendidikan bagi semua yang berarti pada pemeraaan distribusi SDM yang kompeten tidak mungkin dicapai melalui sistem persekolahan. Pendidikan universal tidak mungkin dicapai melalui persekolahan. Education for all is possible only by all. Hillary Clinton mengatakan it takes a village to raise a child. Ki Hadjar Dewantara mengajukan konsep Tri-pusat Pendidikan: keluarga, masyarakat dan perguruan/persekolahan. Keluarga harus dipandang sebagai satuan pendidikan yang sah. Berbagai lembaga di masyarakat harus ikut mengemban tugastugas pendidikan bagi masyarakat melalui praktek kehidupan sehari-hari di berbagai bidang kehidupan dan kesempatan magang dalam rangka memasuki dunia kerja. Ketiga pusat pendidikan itu membentuk sebuah jejaring belajar yang lentur dan luwes. Pendidikan melalui jejaring belajar ini menjadi sumberdaya yang melimpah. Alasan yang kedua adalah soal relevansi. Pendidikan di abad digital ini lebih merupakan isu learning, not schooling. Belajar adalah sesuatu yang alamiah sebagai bagian dari proses beradaptasi agar tetap lestari. Proses belajar seharusnya alamiah, tidak manipulatif. Maria Montessori mengatakan bahwa proses pembelajaran harus disesuaikan dengan fitrah perkembangan anak. Belajar model sorogan di pesantren memiliki akar sejak era Majapahit mendahului metode Montessori. Formalisme persekolahan seringkali justru bertentangan dengan fitrah anak. Urbanisasi dan perluasan “daerah tertinggal” adalah akibat dari pendidikan yang kehilangan relevansi. Obsesi pada mutu melalui standard telah mengakibatkan penyeragaman yang luas. Standard pendidikan yang bias kota dan kelas menengah merupakan pendorong bagi urbanisasi warga muda pedesaan ke kota-kota besar untuk menjadi buruh pabrik, penjaga toko, dan buruh kasar lainnya. Penelantaran sektor agro-maritim selama 45
12
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
tahun terakhir merupakan akibat dari sistem persekolahan yang makin dominan. Formalisme persekolahan itu dimulai dari pemaksaan standard melalui kurikulum seragam yang diterapkan dari luar (outside-in) bagi semua anak yang beragam bakat, minat dan status perkembangannya. Melalui penyeragaman ini setiap anak mungkin belajar banyak, kecuali untuk menjadi dirinya sendiri yang unik. Penyeragaman melalui standard ini kemudian dibungkus dengan istilah “mutu” yang lazim dipakai di dunia produksi massal. Tidak sesuai standard berarti tidak bermutu. Akibat obsesi pada mutu inilah pendidikan semakin tidak relevan dengan kebutuhan warga belajar yang beraneka ragam. Sir Ken Robinson bahkan mengatakan bahwa krisis sumberdaya manusia Abad 20 diakibatkan oleh persekolahan yang terobsesi dengan penyeragaman melalui standard ini. Dengan berfokus pada learning, maka pendidikan akan semakin bermakna bagi warga belajar, terutama bagi pembelajar yang bertuhan. Jika belajar adalah sebuah proses memaknai pengalaman, maka konstruksi pengalaman warga belajar sebagai narasi tentang aku, alam dan Tuhan, akan justru mendekatkan warga belajar pada Tuhannya. Ajaran-ajaran agama dan local wisdom sebagai kekayaan budaya nasional akan memperkuat upaya pengembangan kompetensi IPTEK nasional.
KELUARGA: PEMBUDAYAAN BELAJAR Alasan ketiga mengapa kita harus menghilangkan monopoli persekolahan adalah untuk memperkuat keluarga dan masyarakat. Dominasi subsistem persekolahan dalam Sisdiknas ini telah melemahkan keluarga sebagai subsistem lain yang sebenarnya lebih vital dan primer. Memberdayakan keluarga sebagai simpul belajar akan mengurangi kelangkaan SDM yang kompeten. Masyarakat sejak peradaban dimulai tidak mungkin dibentuk tanpa keluarga,
Rekonstruksi Pemikiran IPTEK: Pengembangan, Kompetensi dan ...
13
sementara persekolahan adalah rekayasa baru selama 200 tahun terakhir ini saja terutama untuk menyokong revolusi industri yang kemudian dibesarkan oleh pemakaian batubara dan penemuan minyak bumi. Keluarga adalah institusi yang paling dilemahkan oleh persekolahan dan industri massal. Keluarga sebagai satuan pendidikan telah dibegal oleh sekolah dan sebagai satuan produksi telah dibegal oleh pabrik. Tidak mengherankan jika model ekonomi makro menempatkan sekolah hanya sebagai satuan konsumsi belaka. Pada saat peran pendidikan dan produksi keluarga menghilang maka sendi-sendi keluarga itupun lepas satu persatu. Yang luput dari banyak analisis pembangunan umumnya dan kinerja pendidikan khususnya dari sebuah bangsa adalah peran keluarga di rumah. Sebagai anak kandung dari revolusi industri Barat, sekolah adalah lembaga yang paling bertanggung jawab atas keruntuhan peran pendidikan oleh keluarga di rumah. Sir Ken Robinson, bahkan mengatakan bahwa sekolah seringkali menjadi ladang pembantaian kreativiti. Rumah yang sebelum revolusi industri mengemban fungsi-fungsi edukativ dan produktiv, justru kehilangan fungsi-fungsi penting ini justru setelah sistem persekolahan diciptakan untuk menyediakan tenaga-tenaga trampil di pabrik-pabrik. Akibatnya, tidak saja keluarga semakin terpuruk, keluarga juga menjadi institusi yang semakin konsumtiv. Model ekonomi makro selalu mengandaikan bahwa keluarga adalah sumber konsumsi, bukan sumber investasi. Fokus pada pemberdayaan keluarga di rumah akan membawa perubahan mendasar di masyarakat. Tidak saja masyarakat akan lebih terdidik, tapi masyarakat juga akan semakin produktiv dengan model bisnis berskala kecil dengan konsumsi energi rendah. Kelangkaan SDM bidang SDA maritim akan dicukupi. Ekonomi biru yang diusulkan oleh Gunther Pauli hanya masuk akal dalam jangka panjang jika model bisnis yang menumpu ekonomi sebuah masyarakat berskala kecil. Artinya, memperkuat keluarga
14
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
di rumah tidak saja akan meningkatkan kinerja pendidikan, tapi sekaligus akan meningkatkan kinerja ekonomi dan lingkungan. Karakter anak yang sehat akan tumbuh dari keluarga yang sehat. Deschooling dengan demikian merupakan instrumen bagi degrowth, sebuah paradigma pembangunan yang tidak terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi.
PENUTUP Sudah semakin jelas bahwa di abad internet ini belajar sebagai jantung pendidikan semakin tidak membutuhkan formalisme persekolahan. Zaman otodidak telah datang kembali. Google sudah banyak menggantikan Guru. Tembok-tembok sekolah lambat tapi, suka atau tidak, pasti bertumbangan diterjang internet. Tentu amat mengherankan jika kita masih menyibukkan diri dengan bongkarpasang kurikulum sementara sekolahnya sendiri justru terancam ambruk dan tergusur. Pasi Sahlberg saat berbicara tentang kesuksesan pendidikan Finlandia baru-baru iji menunjukkan satu hal: kinerja pendidikan negeri liliput yang menakjubkan itu justru dicapai melalui less schooling, if not deschooling. Ketertinggalan Indonesia dalam pengembangan IPTEK, inkompetensi dan kelangkaan SDM yang trampil mengelola SDA maritimnya disebabkan oleh budaya belajar yang dikerdilkan oleh sistem persekolahan yang memonopoli pendidikan dan terobsesi oleh penyeragaman melalui standard yang urban-based. Yang terjadi adalah mass forced schooling, bukan sebuah learning society yang menyuburkan kreativitas. Masyarakat Indonesia masih menjadi konsumen sains dan teknologi asing. Sebagai faktor eksternal, pemanfaatan sains dan teknologi seringkali membawa dampakdampak buruk bagi masyarakat. Oleh Illich teknologi semacam itu disebut tidak konvivial: tidak meningkatkan kreativitas dan kemandirian masyarakat, tapi malah memperbudaknya. Hanya melalui budaya belajar yang otentik, IPTEK dapat dikembangkan
Rekonstruksi Pemikiran IPTEK: Pengembangan, Kompetensi dan ...
15
melalui proses yang lebih historis dan berkelanjutan sebagai bagian dari pemecahan masalah masyarakat. Majapahit sebagai imperium agro-maritim bisa menjadi model masyarakat belajar yang berhasil mengembangkan sains dan teknologi konvivial ini. Penguatan peran edukativ keluarga dan masyarakat serta menghilangkan monopoli persekolahan dengan demikian adalah upaya pengembangan IPTEK sebagai satu kerja budaya masyarakat yang mandiri.
KEPUSTAKAAN Gatto, John T. ”The Underground History of American Education”. Oxford Village Press. 2001. Goodman, Paul, “Growing Up Absurd: problems of Youth in Organized Society”. Random House. 1960. Illich, Ivan, “Deschooling Society”. Harper and Row. 1970 Kuhn, Thomas “The Structure of Scientific Revolution”. 1962 Pauli, Gunther, “Blue Economy”. Paradigm Publication. 2010. Robinson, Ken, “Shifting Education Paradigms”. Royal Society of Arts Lectures. October 2010. Rosyid, D.M. ”Islamisasi Sains Revisited” dalam “Pendidikan di Era Reformasi: Mau Ke Mana? “. Surabaya Intellectual Club. 2007. Rosyid, D. M and Johnson, R.M. “The Reconstruction of Majapahit Ships”. Proceedings of RINA Conference on Historical Ships. London 2009. Rosyid, Daniel M. “Belajar, Bukan Bersekolah: Agenda Deschooling untuk Indonesia Abad 21”. ITS Press dan QBaca Telkom. 2014. Rosyid, Daniel M. “Persekolahan Tanpa Pendidikan”. Opini Jawa Pos. 2014. Ki Hadjar Dewantara, “Sistem Trisentra”. Wasita Th. Ke 1 no. 4. Juni 1935. Dalam “Ki Hadjar Dewantara: Pemikiran, Konsepsi,
16
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Keteladanan, Sikap Merdeka”. Buku I. Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa. 2013.
-oo0oo-
KOMITMEN MENUJU POROS MARITIM DUNIA Apridar Guru Besar dan Rektor Universitas Malikussaleh [Unimal] Aceh
18
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
B
ANGSA ini ditakdirkan sebagai negara kepuluan dengan laut yang membentang, terdiri dari 17.000 pulau dan tercatat sebagai negara kepulauan terbesar dunia plus dilengkapi dengan 95.181 km garis pantai, 70 persen wilayah berupa laut. Ingat, garis pantai negeri ini kedua terpanjang setelah Kanada. Laporan United Nation Conference on Trade and Development 2012 lalu menyebutkan 45 persen dari seluruh komoditas dan produk yang diperdagangkan di dunia dengan nilai USD1.500 triliun/tahun dikapalkan melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia. Potensi ini disadari benar oleh elit bangsa ini. Sehingga, mantan Presiden Abdurahman Wahib pada September 1999 mencanangkan fokus pembangunan kembali ke laut (Rokhmin Dahuri, 2015). Diteruskan oleh Megawati Sukarno Putri hingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) saat ini. Sayangnya, niat membangun laut itu timbul tenggelam, bagai kapal yang sedang dihantam gelombang. Komitmen pemerintah pusat dan daerah patut diragukan. Salah satu contohnya, belum ada cetak biru bagaimana memaksimalkan potensi laut, jalur tol laut, dan diplomasi laut yang akan digunakan di seluruh nusantara. Ketiadaan cetak biru ini membuat pembangunan Pelabuhan Perikanan Nusantara (PPN) telantar, salah satunya terdapat di Kecamatan Lapang, Aceh Utara yang telantar sejak tahun 2004. Awalnya, pelabuhan itu akan dijadikan sentra perikanan di Aceh yang terkoneksi ke Pelabuhan Belawan Sumatera Utara hingga ke Pork Klang Malaysia. Namun, hingga kini bangunan itu mangkrak tak jelas kapan difungsikan. Ini salah satu contoh nyata, gagal fokus negara untuk membangun laut. Harapan baru muncul ketika sejak masa kampanye hingga saat ini Presiden Jokowi dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menganggas kedaulatan maritim. Mengingat acak kadutnya pembangunan maritim, konsep Jokowi dan JK niscaya menjadi suatu keharusan untuk diimplementasikan. Jangan sampai, konsep itu hanya
Komitmen Menuju Poros Maritim Dunia
19
tersimpan dalam arsip negara, mengawang dalam ingatan dan menjadi petarungan wacana antar elit bangsa.
CETAK BIRU Untuk mewujudkan kedaulatan maritim, tol laut dan mendorong jalur perdagangan laut, pemerintah pusat tampaknya mulai berbenah. Mulai merancang Kawasan Ekonomi Kelautan (KEK) di sejumlah daerah, untuk Aceh dipusatkan di Lhokseumawe dengan fokus Pelabuhan Internasional Krueng Geukuh, Aceh Utara. Presiden Jokowi dalam tiga kali kunjungannya sepanjang 2015 ke Aceh menyebutkan KEK Lhokseumawe menjadi fokus perhatian, mengingat kawasan itu adalah jalur lalu lintas perdagangan internasional. Ribuan kapal melintas laut tersebut saban hari, namun tak satu pun singgah-sekadar mengisi air mineral-di Pelabuhan Krueng Geukuh Aceh Utara. Alih-alih berharap menjadi pelabuhan ekspor-impor, pelabuhan itu bahkan sejak Agustus hingga awal September 2015 mati suri. Tak ada kegiatan bongkar muat atau kapal bersandar. Sebelumnya, kapal kayu sekali waktu memuat sejumlah komudity pertanian ekspor ke Malaysia, sebaliknya mengimpor keset kaki, bahan elektronik dan lainnya ke Indonesia lewat Pelabuhan Krueng Geukuh. Kini, pelabuhan senyap, hening dan hanya terdengar deru ombak sesekali membentur dinding pelabuhan. Kondisi ini kurang lebih juga dialami oleh pelabuhan di Kalimantan, Papua, Sulawesi dan kepulauan lainnya di Indonesia. Sejatinya, tujuh bulan Presiden Jokowi memegang kendali negara ini, pelabuhan mati suri itu tidak terdengar lagi. Di sinilah komitmen semua pihak dan lembaga diuji. Benarkah mendukung program poros maritim? Berkomitmenkah membuat tol laut? dan rentetan panjang pertanyaan lainnya.
20
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Pemerintah daerah tampaknya masih gamang dan bingung dengan konsep tol laut itu. Di sinilah perlu cetak biru pembangunan laut setidaknya jangka pendek untuk empat tahun dan jangka panjang sampai 2020 mendatang. Cetak biru ini bisa digunakan oleh presiden berikutnya untuk melanjutkan program Jokowi-JK. Kita terbiasa dengan beda rezim, beda kebijakan dan beda fokus pembangunan. Jika cetak biru ini telah disusun dengan komprehensif, maka rakyatlah yang akan menilai, rezim mana yang berkomitmen menjaga laut Indonesia. Tugas lintas kementerian seperti Kementerian Perhubungan, Kementerian Perdagangan, Kementeri Kelautan dan Perikanan, Bea Cukai, Syahbandar, Kementerian Kesehatan, operator pelabuhan dan seluruh stakeholder untuk melaksanakan cetak biru itu. Tampaknya Menko Kemaritiman perlu kerja keras untuk menyusun cetak biru itu dan mensosialisasikan cetak biru tersebut ke seluruh kabupaten/kota dan provinsi yang memiliki garis pantai. Jika ini tidak dilakukan, maka tol laut akan menjadi wacana, akan bergerak stagnan dan selalu diributkan ketika presiden berkunjung ke daerah yang memiliki luas pantai memadai. Salah satu contoh lambannya program poros maritim ini dapat dilihat bagaimana pemerintah daerah lambat merespon ide presiden untuk membentuk KEK. Terkesan daerah hanya menunggu kapan program itu tiba. Terkesan itu bukan program bupati/walikota atau gubernur. Namun semata-mata program presiden atau pemerintah pusat. Hal ini bisa dilihat juga belum adanya tata ruang wilayah laut di nusantara. UU 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir jelas mengamanahkan harus dibuat zonasi pesisir di seuruh provinsi. Faktanya hingga kini hanya 15 persen dari seluruh provinsi di Indonesia yang memiliki zona pesisir. Di sini komitmen pemerintah daerah kembali diuji.
Komitmen Menuju Poros Maritim Dunia
21
Anggapan bahwa poros maritim adalah pogram pusat itu patut dihapuskan dalam setap benak elit daerah. Jika ingin berkata jujur, anggapan itu pasti terbersit dalam benak elit kabupaten/kota dan provinsi di seluruh negeri ini. Mengapa itu terjadi? Karena, belum seluruh bupati/walikota dan gubernur memiliki pemahaman yang sama dengan Jokowi-JK soal poros maritim. Setidaknya, dalam tahun ini, persamaan sudut pandang soal maritim harus tuntas di semua tingkatan, baik itu kementerian, provinsi dan kabupaten/kota. Ingat, konsitusi mengamanahkan masa kerja presiden dan wakil presiden hanya lima tahun dalam satu periode. Rasanya tidak cukup untuk menyelesaikan persoalan poros maritim dengan waktu sesingkat itu. Namun, kita berharap, di akhir masa jabatan Jokowi, ada satu atau dua jalur maritim yang telah berhasil dan dapat dinikmati rakyat.
MULAI MENGGELIAT Dari sekian banyak kementerian yang terintegrasi dengan poros maritim, tampaknya Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang telah menunjukkan kinerja nyata dengan membom kapalkapal pelaku illegal fishing di negeri ini. Menteri Susi Pudjiastuti dan TNI AL sangat bersemangat menegakkan kedaulatan laut Indonesia akhir-akhir ini. Semangat itu perlu dijaga, jangan sampai sirna di tengah jalan. Ikan Indonesia sejatinya menjadi milik anak bangsa dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Untuk mendukung penegakan hukum di laut, membom kapal ilegal dan lain sebagainya, tentu diperlukan penambahan armada TNI AL. Penambahan kapal selam dan kapal lainnya menjadi suatu keharusan dan mendesak dilakukan. Sehingga, TNI AL dan Polisi Air dan Udara (Polairud) bisa menjaga kedaulatan bangsa di
22
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
laut dan menangkap pelaku illegal fishing yang menangkap jutaan ton ikan kita saban tahun. Untuk itu, pembangunan industri perkapalan dalam negeri patut dipercepat. Sembari itu, penyiapan sumber daya manusia (SDM) di bidang kelautan, teknologi kelautan, dan lain sebagainya harus dilakukan. Dan, doktrin pembangunan di laut patut dimasukkan dalam kurikulum pendidikan, sehingga generasi masa depan sadar bahwa laut adalah masa depan dan pusat kejayaan bangsa. Ini untuk menghindari perubahan fokus kebijakan ketika rezim berganti. Untuk mendorong percepatan poros maritim, tidak cukup sekadar konsep, gagasan dan alih teknologi semata. Semua itu membutuhkan dana besar. Untuk itu, mengingat sistem penganggaran bangsa ini melalui dua pintu yaitu eksekutif dan legislatif, maka legislatif pun patut mendukung anggaran untuk pembangunan poros maritim ini. Jika bicara poros maritim, mari melupakan perdebatan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) dan Koalisi Merah Putih (KMP). Lalu, mari membentuk koalisi baru dengan nama Koalisi Maritim Indonesia (KMI) di parlemen. Sehingga, parlemen bisa fokus memplot anggaran untuk mendukung seluruh langkah untuk percepatan poros maritim. Satu hal lagi, mengingat begitu besar dana yang dibutuhkan, sulit membayangkan Indonesia mampu mendanai program poros maritim itu. Maka, kemitraan antar negara pemilik laut seperti Kanada, Singapura, Australia, India dan lain sebagainya patut digagas bersama. Sehingga, negara sahabat itu bisa turut berperan aktif dalam mewujudkan poros maritim Indonesia sebagai cikal bakal poros maritim dunia.
PENGAWASAN Mengingat begitu besar dana yang digelontorkan untuk mewujudkan poros maritim tersebut, maka diperlukan pengawasan ektra
Komitmen Menuju Poros Maritim Dunia
23
ketat dari lembaga penegak hukum (Polri, Kejaksaan dan KPK). Sehingga, dana itu tepat sasaran dan tidak menjadi skandal korupsi. Ingat, korupsi telah menjadi budaya di negeri ini. Untuk itulah, pengawasan anggaran harus dilakukan ekstra ketat dan secara berkelanjutan. Sehingga, seluruh dana itu benar-benar terserap untuk pembangunan, bukan untuk memperkaya diri sendiri dan golongan. Pada akhirnya, laut adalah kita. Nenek moyang kita orang pelaut, di sana kemakmuran terjamin. Dan, mengutip kalimat veteran angkatan laut Amerika, Alfred Thayer Mahan (18401941) penguasaan atas laut adalah kunci menguasai dunia, jalur perdagangan dunia berada di laut, dan bangsa yang maju adalah bangsa yang memfokuskan dirinya menjadi sea power. Mari, seluruh anak bangsa berkomitmen untuk membangun bangsa ini dari laut.
KEPUSTAKAAN Apridar. Ekonomi Kelautan. Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, 2010. ............., Mengawal Pembangunan Pesisir. Sinar Harapan, 10 Februari 2015 Dahuri, Rokhmin, Menuju Poros Maritim Dunia, Seputar Indonesia, 25 Maret 2015 Satria, Arif, Peta Jalan Poros Maritim, Media Indonesia, 18 Mei 2015 Jayadatri, Burhan. 2015. Membangun Jatidiri Negeri Bahari. Artikel tidak diterbitkan
-oo0oo-
ARSITEKTUR MARITIM DI INDONESIA: A Conceptual Note1 Daniel Mohammad Rosyid Guru Besar Riset Operasi dan Optimasi pada Jurusan Teknik Kelautan ITS Surabaya; anggota the Royal Institute of Naval Architects; Ketua Persatuan Insinyur Indonesia (PII) Cabang Surabaya; Ketua Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) Cabang Jawa Timur.
1
Makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Menghadapi MEA oleh IAI Jawa Tengah 21 Agustus 2015 di Semarang
26
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
ABSTRAK
V
isi maritim yang dikumandangkan Presiden Jokowi menuntut perubahan paradigmatik dalam perencanaan pembangunan, dan perancangan artefak yang digunakan manusia untuk memenuhi kebutuhan dan aspirasinya. Kemaritiman menyangkut semua kegiatan manusia di laut (dan sungai) sebagai ruang kehidupan (lebens raum). Arsitektur maritim memiliki tiga dimensi: dimensi bantaran sungai, pesisir dan dimensi laut. Ini akan menentukan tiga artefak utama yaitu rumah, dermaga dan kapal. Untuk kepulauan Indonesia, ini juga berarti arsitektur tropis yang harus beradaptasi dengan sinar matahari yang melimpah, curah hujan dan kelembaban yang tinggi, serta air. Lingkungan buatan di bantaran sungai dan pesisir akan menentukan perancangan kapal laut maupun kapal sungai seperti perancangan dermaga ditentukan oleh karakter pesisir serta pada gilirannya akan menentukan rancangan kapal yang akan sandar di dermaga tersebut. Perkembangan arsitektur maritim di Indonesia akan ditentukan oleh budaya belajar yang mengutamakan relevansinya dengan konteks maritim negara kepulauan Indonesia.
PENDAHULUAN Salah satu terobosan penting yang diusung oleh Presiden Joko Widodo adalah visi maritimnya. Jokowi membawakan narasi Bung Karno dalam Nawa Citanya. Sebagai sebuah visi, visi ini bukan baru, karena sudah dideklarasikan oleh Ir. Djuanda pada 1957 dan dikembangkan oleh Bung Kano kemudian hingga kejatuhannya. Namun visi ini menuntut perubahan paradigmatik dalam banyak aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, sejak perencanaannya. Selama kekuasaan Soeharto praktis Indonesia melupakan jatidirinya sebagai negara kepulauan. Obsesi pertumbuhan ekonomi tinggi yang menghinggapi para perencana pembangunan era Soeharto telah secara sistematik meminggirkan kemaritiman sebagai syarat
Arsitektur Maritim di Indonesia: A Conceptual Note
27
bagi pemerataan pembangunan di kepulauan Indonesia dengan bentang alam seluas Eropa ini. Sektor maritim adalah sektor yang sengaja dikorbankan dalam model pembangunan yang terobsesi pertumbuhan ekonomi tinggi tsb. (Rosyid, 2014). Bahkan reformasi telah memperlebar kesenjangan dan memperburuk ketimpangan ekonomi sebagaimana ditunjukkan oleh Ginie Ratio yang mendekati 0.42. Ini terburuk dalam sejarah Indonesia modern. Dalam arti ini sila Persatuan Indonesia terancam terganggu. Salah satu gejala terpenting abad 20 adalah urbanisasi besar-besaran yang berlanjut hingga awal abad 21 ini. Urbanisasi umumnya melanda kota-kota pesisir terutama di pulau Jawa dan Sumatra sebagai kawasan dengan dinamika yang tinggi. Sayang sekali, kota-kota pesisir di Indonesia justru berkembang membelakangi sungai dan pesisirnya. Seperti kawasan bantaran sungai di perkotaan yang kumuh, kawasan pesisirnya juga kawasan yang “ditinggalkan”. Di Pulau Jawa, sungai yang semula memiliki fungsi-fungsi transportasi secara perlahan mengalami degradasi seiring dengan penebangan hutan di kawasan upstream sehingga debit sungai menjadi tidak memadai untuk memfasilitasi pelayaran sungai. Baik bantaran sungai maupun kawasan pesisir dipandang oleh banyak pihak bukan sebagai kawasan premium. Kemacetan, kualitas udara yang buruk, perumahan kumuh, serta persampahan adalah ciri-ciri banyak kota-kota besar Indonesia. Salah satu konsekuensi penting obsesi pertumbuhan itu adalah ketimpangan konsumsi energi, terutama melalui kepemilikan kendaraan pribadi, terutama mobil. Seiring dengan peningkatan kemakmuran masyarakat, mobil menjadi simbol kelas menengah perkotaan, namun sekaligus pendorong ketidakadilan. Hal ini diperburuk oleh kebijakan subsidi BBM. Kota-kota di Indonesia, termasuk perumahan penduduknya, praktis dirancang dengan paradigma car mobililty, bukan people mobility. Akibatnya kita bisa lihat sekarang: kota-kota besar Indonesia praktis dilumpuhkan oleh kemacetan lalu-lintas. Para pejalan kaki dan pesepeda adalah para
28
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
pecundang di kota-kota sementara para pemilik mobil ber-cc besar adalah para rajanya (Rosyid, 2014). Pada saat ini, Indonesia praktis sudah terjerumus kedalam jebakan moda tunggal jalan (pribadi). Pembangunan jalan tol dibangga-banggakan sebagai kemajuan, padahal akan memperdalam keterperosokan kita ini. Hanya beberapa tahun terakhir ini moda kereta api memperoleh perhatian lebih besar dari Pemerintah. Angkutan sungai dan penyeberangan mengalami degradasi, seperti terjadi setelah pembangunan Jembatan Suramadu. Rencana pembangunan Jembatan Selat Sunda juga merupakan buah sesat pikir yang ditimbulkan oleh paradigma pulau besar yang memandang infrastruktur adalah jembatan dan jalan saja, sementara armada pelayaran dipandang bukan infrastruktur.
PENGEMBANGAN ARSITEKTUR MARITIM Arsitektur maritim sebagai sebuah proses interaksi kreatif antara manusia dengan material yang ada lingkungan sungai, pesisir dan laut di Indonesia sangat ditentukan perkembangannya oleh budaya belajar masyarakatnya. Budaya belajar masyarakat Indonesia mengalami perubahan mendasar secara besar-besaran sejak sistem persekolahan diperkenalkan oleh pemerintahan kolonial Belanda. Sebelumnya, selama berabad-abad, arstitektur maritim telah berkembang secara organik dan konvivial sehingga menghasilkan beragam karya rumah pesisir tropis dan perahu-perahu Nusantara yang menginspirasi dunia bahkan sebelum zaman Mesir kuno. Kedua jenis artefak ini merupakan respons kreatif dan jenial dari manusia Nusantara sebagai respons atas tantangan yang dibawa oleh iklim tropis, lingkungan sungai, pesisir dan laut. Prinsipprinsip green and sustainability telah menjadi bagian penting yang melekat dalam karya-karya aritektur maritim Nusantara itu, jauh sebelum buzz words ini diperkenalkan oleh pemikir-pemikir Barat selama 50 tahun terakhir ini.
Arsitektur Maritim di Indonesia: A Conceptual Note
29
Tradisi pendidikan informal –seperti dalam pesantren- yang telah membentuk budaya belajar organik masyarakat Nusantara kemudian digusur secara perlahan tapi pasti oleh persekolahan formal yang dirancang untuk kepentingan penjajahan: menyiapkan pegawai yang patuh dan taat. Persekolahan formal adalah instrumen terpenting proses industrialisasi sebagai agenda penting kolonialisme Barat: menciptakan pasar-pasar baru dengan selera seragam melalui paradigma standar dan mutu. Secara perlahan, obsesi mutu berbasis standar ini menggusur relevansi dan kebermaknaan. Melalui mass forced schooling inilah budaya belajar masyarakat diubah menjadi budaya bersekolah yang konsumtiv sebagai syarat bagi kejayaan kepitalisme (Rosyid, 2014). Budaya belajar masyarakat Nusantara melalui sistem persekolahan formal itu diubah menjadi budaya bersekolah. Belajar dan bekerja dipisahkan secara tegas. Bahkan ada istilah “anak usia sekolah” yang berarti harus bersekolah dan tidak boleh bekerja bahkan untuk membantu orangtuanya bertani atau melaut. Wajib belajar diartikan sebagai wajib sekolah. Banyak warga bersekolah bertahun-tahun bahkan sampai menjadi sarjana, kemudian setelah lulus sibuk mencari lowongan pekerjaan. Belajar tidak diposisikan sebagai cara untuk memperbaiki cara bekerja, tapi untuk lulus kemudian memperoleh pengakuan melalui ijazah. Melalui formalisme persekolahan ini pendidikan tidak dirumuskan sebagai strategi kebudayaan. Pengembangan karya arsitektur maritim akan ditentukan oleh pengembangan budaya maritim.
PENGEMBANGAN BUDAYA MARITIM Dalam negara Pancasila, pembangunan budaya harus menempatkan pendidikan dalam strategi kebudayaan. Tanpa ini, pendidikan hanya membangun raga manusia, bukan jiwanya, dan pengembangan sains dan teknologi akan bersifat cangkokan-eksternal (Rosyid, 2015). Selama 50 tahun terakhir ini pendidikan di Indo-
30
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
nesia direduksi menjadi persekolahan (school system) sebagai instrumen teknokratik untuk mendukung budaya urban-industrial berbasis minyak ala Barat. Dalam sistem persekolahan massal itu, mutu dinilai lebih penting daripada relevansi. Pembelajaran bermakna hilang, karena yang terpenting adalah pencapaian Standar Kelulusan, bahkan standar internasional. Urbanisasi besar-besaran adalah bukti bahwa persekolahan tidak relevan dengan potensi keberagamn agro-maritim kita yang melimpah ruah tapi terbengkalai. Untuk konteks Indonesia sebagai negara kepulauan, dampak persekolahan yang terobsesi dengan mutu itu adalah kelumpuhan budaya maritim dan penelantaran kekayaan pesisir, laut dan pulau-pulau kecilnya. Saat ini kita praktis telah mengkerdilkan pendidikan menjadi sekedar persekolahan (schooling) belaka. Kurikulum 2013 yang gencar diwacanakan menentukan nasib bangsa ini adalah bukti mutakhir betapa keterdidikan bangsa ini seolah akan hanya ditentukan oleh formalisme persekolahan. Kegagalan membedakan antara pendidikan dan persekolahan ini menunjukkan sebuah gejala schoolism kronis. Heboh jual beli ijazah aspal, lalu perjokian skripsi, thesis bahkan disertasi, baru-baru ini menunjukkan bahwa masyarakat dihinggapi penyakit schooliosis. Gejala awal schooliosis itu adalah kebingungan membedakan mana belajar mana bersekolah. Stadium berikutnya adalah perasaan bahwa makin lama bersekolah makin terdidik. Stadium selanjutnya merasa bahwa makin panjang gelarnya makin merasa kompeten. Yang paling menyedihkan adalah bahwa orang yang tidak bersekolahpun terkena penyakit ini: karena tidak bisa bersekolah maka tidak perlu belajar. Akibatnya adalah seiring dengan pembesaran persekolahan dengan anggaran yang makin besar, masyarakat justru makin tidak terdidik. Kehidupan bangsa tidak semakin cerdas, tapi hanya semakin lama bersekolah.
Arsitektur Maritim di Indonesia: A Conceptual Note
31
Schoolism sebagai paham telah menjadikan persekolahan sebagai sebuah industri dengan pasar dan kapitalisasi yang makin besar yang tidak bisa diremehkan. Schoolism inilah yang mendominasi politik pendidikan nasional sejak Orde Baru hingga saat ini. Politik pendidikan nasional menjadikan—melalui persekolahan paksa secara massif—pendidikan sebagai instrumen teknokratik untuk mendukung kepentingan sebuah budaya urbanindustrial berbasis minyak bumi.
RELEVANSI, BUKAN MUTU Mutu adalah mantra budaya urban-industri massal. Perlu dicermati bahwa, perdefinisi, bermutu berarti sesuai dengan standar. Tidak sesuai standar berarti tidak bermutu. Persekolahan sebagai instrumen revolusi industri dirancang dengan logika lini produksi massal. Yang diutamakan adalah keseragaman yang konsistensi terhadap standar, bukan keragaman. Melalui persekolahan massal, keunikan dan keragaman bakat, minat dan kondisi anak dihilangkan secara sistematik untuk mencapai standar kompetensi yang sama. Anak-anak mungkin belajar banyak, kecuali menjadi dirinya sendiri. Krisis budaya dimulai dari sini karena yang terjadi adalah miseducation of the mass. Membangun budaya adalah membangun kesadaran warga negara melalui pembelajaran yang bermakna. Tanpa ini, sesungguhnya tidak pernah terjadi pembelajaran, hanya indoktrinasi belaka. Belajar adalah sebuah proses memaknai pengalaman. Pengalaman adalah dongeng tentang “aku” dan sekeliling”ku”. Oleh karena itu, proses memaknai mensyaratkan “ aku” yang jelas. Tanpa identitas diri “aku” yang jelas, pembelajaran menjadi proses yang sulit, justru karena tidak bermakna. Penyeragaman melalui rezim standar itu mengaburkan—jika bukan membunuh—”aku” warga belajar yang unik. Konsep penting lain dalam konstruksi pengalaman manusia adalah “Tuhan”. Tanpa Tuhan, Aku bisa tumbuh liar tak terkendali.
32
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Pembangunan budaya dengan demikian mensyaratkan pembelajaran yang bermakna bagi warga belajar dengan semua keberagamannya. Pembangunan budaya Indonesia harus menghargai dan mengembangkan kebhinnekaan. Fokus pada mutu harus kita ganti dengan fokus pada relevansi: kesesuaian dengan konteks lokal spasial, temporal, dan personal.
BUDAYA MARITIM Budaya maritim adalah kumpulan tata nilai, cara pandang dan sikap hidup yang berpusat pada air sebagai sumber kehidupan. Karena massa air di planet bumi ini kebanyakan di laut, maka budaya maritim diartikan lebih berdimensi laut terutama laut sebagai ruang kehidupan (lebensraum). Ciri pokok air adalah aliran atau gerakan (motion). Diperlukan kepekaan waktu untuk memahami aliran sebagai fenomena dinamik. Untuk diam dalam aliran, kita harus dijangkar ke dasar samudra. Tanpa jangkar, kita sudah berubah koordinat begitu detik berlalu. Budaya maritim dengan demikian menghormati waktu dan gerak. Perlu dicermati bahwa konstruksi pengalaman sebagai dongeng tentang “aku” dan sekeliling”ku” mensyaratkan kesadaran ruang dan waktu yang tinggi. Jika belajar adalah proses memaknai pengalaman, sementara konstruksi pengalaman mensyaratkan kepekaan ruang dan waktu, maka budaya maritim adalah budaya belajar. Budaya darat pulau besar dicirikan oleh statisme. Pohon kelapa di belakang rumah akan tetap berada di sana sampai ditebang. Berbeda dengan permukaan air yang rata, rupa bumi dihiasi oleh dataran, lembah dan perbukitan hingga dataran tinggi. Ciri masyarakat darat seringkali feodal dengan klas-klas sosial piramidal, sementara masyarakat maritim lebih egaliter. Deklarasi Djuanda 1957 merupakan bentuk pengakuan kesadaran ruang yang baru melengkapi Pancasila dan konsepsi
Arsitektur Maritim di Indonesia: A Conceptual Note
33
negara RI yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta. Sila ke-3 Pancasila “Persatuan Indonesia” mensyaratkan kesadaran ruang maritim. Menjadi negara maritim adalah keniscayaan geostratejik untuk berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya.
ARSITEKTUR MARITIM: PERANCANGAN KAPAL LAYAR BERMOTOR Belanda kolonial tidak menyiapkan pendidikan tinggi berorientasi maritim di Indonesia. Technische Hogescool di Bandung (ITB) tidak mengajarkan pendidikan teknik Perkapalan. Baru tahun 1960 Bung Karno menegrikan Perguruan Tinggi Institut Teknologi 10 Nopember (ITS) di Surabaya dengan Fakultas Teknik Perkapalan. Teknik Perkapalan disebut Naval Architecture dalam khasanah Barat. Sebagian besar dosennya waktu itu adalah personil TNI AL dan sipil lulusan Jerman Barat dan USSR. Rupanya Bung Karno menyadari taktik Belanda ini: menguasai Hindia-Belanda adalah menguasai lautnya. Pendidikan Teknik Perkapalan di Indonesia memang diawali di ITS dan di Universitas Pattimura di Ambon terutama dengan bantuan sekutu Indonesia saat itu yaitu Uni Sovyet. Hingga tahun 1980-an, pendidikan teknik perkapalan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh literatur dan rujukan dari USSR. Fokus kompetensi pendidikan teknik perkapalan adalah pada kemamuan perancangan, dan produksi kapal-kapal baja. Sayang sekali studi tentang kapal- kapal tradisional Nusantara serta sejarah maritim Nusantara relatif terbatas. Perhatian pada kapal-kapal tradisional hanya disajikan dalam Mata Kuliah Kapal non-baja. Tugas Akhir sarjana umumnya menyangkut perancangan kapal-kapal baja berukuran 100 meter atau lebih. Perhatian pada small craft technology relatif terbatas.
34
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Pada pertengahan 1990-an, penulis bersama Roger M. Johnson, seorang maritime ethonologist dari Inggris, mulai mengembangkan studi kapal-kapal tradisional Madura. Kemudian dilahirkan sebuah karya perkawinan dua arsitektur Nusantara (Bugis-Bajo dan Madura), disebut Bago-Lambo untuk rancangan kapal penangkap ikan bagi nelayan Jembrana di Bali. Rancangan ini disajikan dalam sebuah konferensi internasional di London yang diselenggaraakan oleh the Royal Institution of Naval Architects pada 2007 (Rosyid and Johnson, 2007). Basic design kapal ini kemudian dipakai oleh PT. PAL Indonesia dalam rangka pengadaan kapal ikan bagi nelayan Nanggro Aceh Darussalam yang terlanda tsunami. Rancangan Bago-lambo ini mengusulkan layar agar digunakan kembali dalam kapal-kapal ikan Indonesia yang telah lama dimanjakan oleh motorisasi sejak 1970-an dan harga solar yang murah. Layar secara perlahan tapi pasti ditinggalkan nelayan. Nelayan banyak menggunakan kapal penangkap ikan dengan motor berdaya berlebihan. Rancangan kapal ini semula ditertawakan oleh banyak kelompok nelayan karena daya mesinnya “cuma” 50 pk. Baru-baru ini saja, nelayan menyadari bahwa mereka harus kembali menggunakan layar sebagai teknologi yang memanfaatkan energi angin, sebuah bentuk energi terbarukan yang melimpah. Fabrikasi kapal Bago-Lambo ini pun menggunakan standar yang tinggi mengikuti good craftmanship. Dengan menggunakan ulin untuk lunas, merbau untuk lambung dan jati untuk geladak dan interiornya, serta 4 sekat melintang, kapal kayu ini merupakan sebuah revolusi atas praktik perancangan dan fabrikasi kapal ikan di Indonesia. Praktik perancangan dan fabrikasi kapal-kapal ikan di Indonesia selama ini didominasi oleh bahan kayu ilegal, tanpa menggunakan sekat melintang dan menggunakan motor penggerak yang boros BBM. Layar, jika ada, hanya hiasan belaka. Rancangan Bago-Lambo ini selanjutnya dikembangkan untuk kapal layar untuk keperluan survey maupun wisata (Lihat Gambar
Arsitektur Maritim di Indonesia: A Conceptual Note
35
1 yang menunjukkan Rencana Umum kapal tersebut). Kapal ini saat ini digunakan untuk melayani wisata bahari di sekitar Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya dan Jembatan Suramadu.
Gambar 1. Rencana Umum Kapal Bago-Lambo untuk Survey-wisata
36
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Proses perancangan artefak seperti rumah atau kapal dipijakkan pada postulat bahwa fungsi (function) menentukan bentuk (form). Artinya, fungsi lebih primer daripada bentuk (Rosyid, 1991). Fungsi kapal sebagai sebuah functionable system dinyatakan dalam Owner’s Requirements, kemudian arsitek memilih tata letak, bentuk, bahan dan ukuran kapal. Di atas postulat ini, telah dicobakembangkan rekonstruksi kapal era Majapahit. Melalui telaah atas karya sastra mayor seperti Negara Kertagama dan karya sastra minor seperti cerita rakyat dan folklore, sebuah replica kapal era Majapahit telah diusulkan (Rosyid dan Johnson, 2009).
Gambar 2. Rencana Umum Kapal Cepat LAN Trimarran 70 penumpang Perancangan sebuah kapal cepat Long And Narrow Trimarran 70 penumpang juga telah diajukan untuk melayani trayek Semarang-Jepara-Karimunjawa (Rosyid dan Johnson, 2010) atas permintaan PT. Sarana Pembangunan Jawa Tengah. Konsep ini diajukan sebagai alternativ atas layanan dengan Kapal Cepat RA Kar-
Arsitektur Maritim di Indonesia: A Conceptual Note
37
tini dengan rancangan konvensional berlambung tunggal. Konsep yang sama ditawarkan untuk melayani trayek Surabaya-GresikBawean, dan trayek di kepulauan Natuna. Konsep fast LAN trimarran berkecepatan 25 knots ini diajukan sebagai jalan tengah antara kapal ferry besar namun berkecepatan rendah (10–12 knots), dan pesawat terbang kecil berkecepatan sangat tinggi (sekitar 80–100 knots). Lihat Gambar 2.
AGENDA PENGARUSUTAMAAN MARITIM Sejak Orde Baru, praktis Indonesia meninggalkan agenda maritim yang telah dirintis Bung Karno. Soeharto praktis melaksanakan rekomendasi ekonom-ekonom lulusan AS yang berpikir ekonomi benua. Paradigma pertumbuhan—sekalipun ditambahi pemanis pemerataan dan stabilitas—akhirnya berakhir tragis karena membuahkan stabilitas semu di atas ketimpangan dan kesenjangan yang makin lebar. Obsesi pertumbuhan itu masih menjadi panglima hingga era Jokowi ini. Sementara itu rasio Ginie Indonesia 2014 telah mencapi 0,42 terburuk dalam sejarah Indonesia modern. Sektor maritim adalah sektor yang paling dikorbankan oleh model pembangunan yang terobsesi pertumbuhan tinggi. Investasi maritim dalam bentuk armada pelayaran dan pelabuhan serta kawasan marina adalah investasi jangka panjang yang slow yielding. Dibutuhkan wawasan jangka panjang negarawan untuk konsisten membangun sektor maritim. Wawasan jangka pendek politikus tidak kondusif bagi pembagunan maritim nasional. Kita harus bisa menerima pertumbuhan yang lebih rendah, tapi lebih merata untuk memiliki kesanggupan membangun sektor kemaritiman kita (Rosyid dan Ekowanti 2014). Dalam hal kebudayaan, kita membutuhkan upaya deschooling (Illich, 1970) justru untuk membangun budaya belajar yang dibutuhkan untuk membangun budaya maritim dan mengembangkan arsitektur maritim. Deschooling menggeser perhatian pen-
38
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
didikan pada perluasan kesempatan belajar (learning opportunity), bukan membesarkan persekolahan. Perluasan kesempatan belajar itu dilakukan melalui penguatan keluarga sebagai satuan pendidikan yang sah dan penguatan masyarakat untuk menyediakan kesempatan belajar melalui berbagai bentuk Self Organized Learning Environment (SOLE), maupun praktik dan magang. Deschooling juga menggeser fokus pada mutu pendidikan selama ini melalui penyeragaman standar ke fokus pada relevansi melalui pembelajaran yang bermakna. Konteks maritim akan menjadi bagian dari kebermaknaan pembelajaran bagi warga muda Indonesia.
PENUTUP Pada abad Internet ini, untuk kepulauan Indonesia dengan bentang alam seluas Eropa ini, pembangunan budaya maritim sebagai bagian dari pengembangan kapasitas aristektur maritim serta penguatan jati diri bangsa, memerlukan sistem pendidikan nasional yang lebih berorientasi relevansi daripada mutu. Melalui inilah kebhinnekaan dirayakan sebagai modal kreatif bangsa. Pendekatan instrumenteknokratik melalui persekolahan yang supply-orientated terbukti bias urban- industrial yang memarjinalkan potensi keberagaman agro-maritim yang melimpah. Dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa itu, pemerintah perlu memfasilitasi keluarga dan masyarakat untuk membangun proses-proses pembelajaran yang bermakna. Melalui pendidikan seperti itulah Negara Pancasila akan memiliki kemampuan membangun infrastruktur kompetensi nasional yang menguatkan kedaulatan politik, kemandirian ekonomi, dan kepribadian berbudaya sebagai bangsa maritim.
KEPUSTAKAAN Illich, Ivan. “Deschooling Society”. Harper and Row. 1971 Illich, Ivan. “Tools for Conviviality”. Marion Boyars. 1973
Arsitektur Maritim di Indonesia: A Conceptual Note
39
Rosyid, Daniel M dan Johnson, Roger M. “Developement of Fishing Vessels in 21st Century”. RINA Transaction 2007. Rosyid, Daniel M dan Johnson, Roger M. ”Reconstruction of a Majapahit Era ships”. Prosiding Seminar RINA on Historical Ships. 2010. Rosyid, Daniel M. “Belajar, bukan Bersekolah”. ITS Press dan QBaca TELKOM. 2014 Rosyid, Daniel M. “Modernitas Baru Indonesia Abad 21: Perspektif Energi dan Maritim”. UHT Press. 2014. Rosyid, Daniel M dan Ekowanti, Masroro L.”Obsesi Pertumbuhan dan Visi World Class Navy”. Jurnal Pertahanan. Universitas Pertahanan. 2014. Rosyid, Daniel M. “Pengembangan Sains dan Teknokogi di Indonesia: sebuah Agenda Deschooling”. Masukan dalam FGD KIPNAS IPTEK. LIPI. 2015.
-oo0oo-
MEMBANGUN DESA PESISIR = MEMBANGUN NEGARA MARITIM INDONESIA Kusnadi Penulis adalah Antropolog Fakultas Sastra Universitas Jember dan Kepala Pusat Penelitian Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Universitas Jember (2003-2009)
42
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Laut adalah masa depan Indonesia. Sebagai negara maritim, Indonesia mesti fokus terhadap perkembangan kelautan karena hal itulah yang akanmewujudkan kemakmuran bangsa. (Wakil Presiden Boediono, Kompas 14 Desember 2011:18)
Bumi Indonesia ditakdirkan bernature maritim. Mengingkari takdir ini berarti mengabaikan particular natural endowments yang dianugerahkan Tuhan Yang Maha Kuasa kepada kita. (Daoed Joesoef, Mendikbud 1978-1983, Kompas 26 November 2012:6)
S
ejarah pembangunan di bidang kemaritiman dapat ditelusuri sejak masa akhir kekuasaan Presiden Soekarno ketika membentuk Kabinet Dwikora (27 Agustus 1965-21 Februari 1966). Dalam kabinet tersebut terdapat Menteri Koordinator (Menko) Maritim, yang membawahi tiga kementerian teknis, yaitu Menteri Perhubungan Laut, Menteri Perikanan dan Pengolahan Laut, serta Menteri Industri Maritim. Kabinet ini tidak dapat bekerja dengan baik karena situasi politik nasional yang tidak stabil pasca Peristiwa G30S/PKI (Kusnadi, 2007:130-131). Pergantian rezim politik ke rezim Orde Baru justru menjadi “kabar buruk” bagi pembangunan kemaritiman. Orde Baru tidak memiliki kepedulian terhadap sumber daya maritim sebagai sektor strategis pembangunan nasional. Bahkan urusan maritim yang sangat kompleks dan luas, cukup ditangani oleh “satu dirjen”, yaitu Dirjen Perikanan di Departemen Pertanian. Berbagai problem pembangunan di bidang kemaritiman yang sekarang kita hadapi merupakan produk dan warisan dari ketidakpedulian rezim Orde Baru. Berakhirnya rezim Orde Baru dan memasuki era reformasi telah membawa perubahan politik dan perbaikan pemikiran pembangunan. Meskipun cukup singkat (Oktober 1999-Juli 2001) mengemban tanggung jawab sebagai Presiden Republik Indo-
Membangun Desa pesisir = Membangun Negara Maritim Indonesia
43
nesia, Gus Dur telah meninggalkan jejak bersejarah yang sangat penting untuk merealisasikan eksistensi negara maritim dengan dibentuknya Departemen Eksplorasi Kelautan, yang kemudian berubah nama menjadi Departemen Kelautan dan Perikanan dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Orientasi pembangunan di bidang kemaritiman semakin mantap pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla (2014–2019) dengan dibentuknya Menko Kemaritiman. Kegiatan pembangunan di bidang kemaritiman mulai dibenahi secara intensif, seperti pembangunan pelabuhan, pembenahan industri galangan kapal nasional, pemberantasan pencurian ikan, pembangunan kawasan terdepan, dan peningkatan akses perbankan bagi masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil. Manfaat nasional dari investasi pembangunan di bidang kemaritiman ini akan dinikmati oleh generasi mendatang dan jika konsisten dilaksanakan, upaya menuju “Indonesia sebagai poros maritim dunia” akan menjadi kenyataan. Bagi pemerintah kabupaten dan masyarakat desa, masa lima tahun ke depan merupakan kesempatan politik yang berharga untuk memulai kerja-kerja pembangunan lokal berbasis potensi sumber daya maritim dalam rangka mengatasi masalah-masalah pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan sosial masyarakat. Masa otonomi daerah dan terbukanya ruang partisipasi pembangunan akan membantu menumbuhkan pikiran kreatif dan inovatif bagi pemerintah daerah dan masyarakatnya untuk menginisiasi program dan kegiatan pembangunan yang bersifat kontekstual dengan kebutuhan masyarakat. Keberhasilan pembangunan di aras lokal, desa, atau kawasan pinggiran merupakan basis bagi keberhasilan pembangunan di tingkat daerah dan nasional.
PROBLEMATIK DESA-DESA PESISIR Secara umum, masalah sosial-ekonomi yang terjadi di daerah pedesaan adalah kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesempatan
44
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
kerja. Sejak era reformasi, ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat kita terus meningkat, seperti terlihat dari indeks gini rasio. Pada tahun 1998, indeks gini rasio 0,36, tahun 2002 menjadi 0,33, tahun 2009 sebesar 0,37 dan selama 2011-2013 meningkat menjadi 0,41. Ketimpangan juga terjadi antarwilayah, seperti antara Jawa dan Luar Jawa sebagai akibat dari kebijakan pembangunan nasional yang tidak merata dan terbatasnya ketersediaan infrastruktur, khususnya di wilayah Indonesia Timur. Kondisi demikian menjadikan biaya-biaya pembangunan dan kebutuhan ekonomi masyarakat semakin tinggi sehingga berdampak terhadap tingkat kualitas pembangunan masyarakat. Dari sisi tingkat kesejahteraan sosial, sekitar 60% penduduk miskin berada di daerah pedesaan. Indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia masih menduduki peringkat 76 dari 156 negara yang dinilai dan berada di bawah peringkat Singapura (30), Thailand (36), Malaysia (56), dan Vietnam (63) (Kompas, 5 Juni 2014:7). Jika tingkat kesejahteraan tidak kunjung membaik, ketimpangan sosial antargolongan masyarakat dan kemiskinan terus merisaukan publik, nilai tukar petani/nelayan yang tidak bergerak meningkat, hal-hal demikian akan menghambat proses pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Dengan memperhatikan adanya masalah sosial ekonomi yang krusial di daerah pedesaan dan pada sisi lain, ketersediaan anggaran pembangunan desa semakin meningkat, maka membangun masyarakat desa merupakan suatu keniscayaan dan pilihan strategis untuk mewujudkan kesejahteraan sosial. Kondisi yang sama juga terjadi di desa-desa pesisir di berbagai wilayah Nusantara. Selain masalah sosial di atas, masyarakat pesisir juga menghadapi persoalan degradasi sumber daya lingkungan dan keterisolasian geografis sehingga membatasi akses ekonomi mereka terhadap pasar, modal, dan teknologi. Berbagai keterbatasan dan persoalan pembangunan di desa-desa pesisir merupakan buah dari keterabaian perhatian pembangunan nasional selama ini, sehingga
Membangun Desa pesisir = Membangun Negara Maritim Indonesia
45
potensi sumberdaya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil tidak dapat dikelola secara optimal untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pesisir. Sumber utama dari timbulnya problematik sosial-ekonomi di kawasan pesisir adalah pada aspek kebijakan pembangunan dan strategi yang diambil untuk mengelola potensi pembangunan, seperti terbaca dari kurang kuatnya pilihan atas kebijakan pembangunan maritim secara nasional dan masih bertahannya secara masif pendekatan pembangunan sektoral hingga saat ini. Karena kedua hal tersebut, segala kebijakan pembangunan yang diterapkan kepada masyarakat di kawasan pesisir, termasuk pula beragam kegiatan pemberdayaan masyarakat, tetap tidak mampu mengatasi secara mendasar persoalan sosial ekonomi masyarakat pesisir. Contoh dari kondisi involutif desa-desa pesisir yang terjadi sebagai akibat dari sifat kebijakan dan strategi pembangunan selama ini dapat dilihat pada kasus Desa Pesisir, Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo, Provinsi Jawa Timur. Sebagian besar penduduk Desa Pesisir bermatapencaharian sebagai nelayan. Sejak saya menginjakkan kaki pertama kali di Desa Pesisir pada tahun 1996 untuk melakukan riset kemiskinan nelayan dan tahun 2009, 2010, 2011 kembali melakukan riset yang sama, serta pada tahun 2013–2015 bertandang lagi ke desa tersebut untuk observasi sosialekonomi, kondisi kesejahteraan masyarakat nelayan setempat tidak banyak berubah, bahkan cenderung involutif (Kusnadi, 1998; Kusnadi, Sutjitro, dan Prasodjo, 2011). Perolehan pendapatan yang layak dari kegiatan melaut semakin sulit dan terus menurun, sedangkan diversifikasi pekerjaan off-fishing tidak berkembang. Masa paceklik melaut menjadi berkepanjangan sebagai akibat dari dampak perubahan iklim. Tekanan ekonomi dan ketidakmampuan mengakselerasi usaha penangkapan dan usaha ekonomi lainnya tidak hanya dihadapi oleh nelayan buruh dan nelayan-nelayan kecil/tradisional, tetapi
46
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
juga terjadi pada nelayan pemilik perahu sleret (purse seine). Meskipun pemerintah pusat memberi program pemberdayaan, pelatihan keterampilan (life skill), dan dilakukannya perbaikan infrastruktur desa, tetapi upaya-upaya tersebut tidak berdampak cukup signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat. Masyarakat nelayan terus bergulat dengan kemiskinan. Selain itu, kualitas sumberdaya lingkungan laut dan pesisir terus menurun, sehingga mempengaruhi kondisi potensi sumberdaya perikanan di perairan setempat. Salah satu jalan bagi masyarakat nelayan agar tetap mampu bertahan hidup secara subsistensi adalah dengan bekerja kasar di sektor informal atau bermigrasi ke kota-kota besar. Dengan kapasitas kewirausahaan yang ulet (cakang, Madura), hanya sepertiga dari warga masyarakat nelayan di Desa Pesisir yang dapat memanfaatkan peluang-peluang ekonomi yang bisa dieksplorasi, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Persoalan sosial ekonomi yang melanda Desa Pesisir tersebut juga terjadi pada desa-desa nelayan lainnya di Jawa Timur. Sampai sekarang belum ada kebijakan pembangunan yang bersifat komprehensif dari pemerintah kabupaten untuk mengatasinya seiring dengan perhatian meningkatnya ketersediaan anggaran pembangunan desa dari pemerintah pusat dalam rangka melaksanakan amanat Undang-undang No. 6/2014 tentang Desa. Sikap responsif dari pemerintah daerah dan stakeholders terkait masih jauh dari harapan dan kebutuhan pembangunan masyarakat di desa-desa pesisir.
ETIKA PEMBANGUNAN LOKAL Seiring dengan terbitnya Undang-undang No. 6/2014 tentang Desa dan terbentuknya Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, posisi desa sebagai unit pemerintahan
Membangun Desa pesisir = Membangun Negara Maritim Indonesia
47
terendah semakin strategis dalam konteks pembangunan nasional. Dari waktu ke waktu, jumlah desa terus berkembang. Pada tahun 2001 terdapat 61.562 desa, tahun 2012 bertambah menjadi 72.944 desa dan tahun 2015 telah terbentuk 74.093 desa. Pada tahun 2015, pemerintah pusat melalui APBN telah menggelontorkan dana pembangunan desa sebesar Rp 20,766 triliun untuk 74.093 desa dan pada tahun 2016 alokasi dana desa akan ditingkatkan menjadi Rp 47 triliun. Pada masa mendatang, perubahan sosial ekonomi akan bergerak intensif di pedesaan dengan segala konsekuensinya. Berdasarkan Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, No. 5/2015, penggunaan dana desa diprioritaskan untuk keperluan: (1) pembangunan sarana dan prasarana desa, (2) pengembangan potensi ekonomi lokal, serta (3) pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan desa. Pada dasarnya, alokasi dana desa dipergunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana serta pengembangan ekonomi masyarakat desa. Pembiayaan pembangunan ini merupakan langkah awal menjadikan desa dan masyarakatnya sebagai subjek pembangunan nasional. Posisi demikian diperoleh desa setelah 70 tahun masa kemerdekaan. Pengembangan Ekonomi Lokal (PEL) adalah upaya terencana dan sistematis dalam mengoptimalkan pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumberdaya lokal dengan melibatkan pemerintah, dunia usaha (pasar), masyarakat lokal dan kelembagaan sosialnya untuk mengembangkan aktivitas ekonomi pada suatu wilayah dalam rangka mewujudkan kesejahteraan sosial. PEL mempunyai keunggulan secara sosial, yaitu (a) dapat memberdayakan masyarakat lokal dan memperkuat dialog-dialog lokal, (b) membangun institusi lokal yang bersifat transparans dan akuntabel, dan (c) memperkuat kapasitas civil society di tingkat lokal. Secara ekonomis, PEL memiliki keunggulan dalam menciptakan kesempatan kerja secara berkelanjutan dan meningkatkan kualitas pekerjaan (Saragih,
48
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
2015:57–59). PEL mempunyai relevansi dengan arah pembangunan desa ke depan. Oleh sebab itu, diperlukan prinsip–prinsip etis yang mendasari praktik PEL agar pembangunan pada tataran lokal mampu mewujudkan kemakmuran dan kesejahteraan sosial. Ketiga prinsip etis pembangunan dalam konteks PEL tersebut adalah sebagai berikut: (a) pembangunan merupakan jalan perdamaian untuk memuliakan manusia secara beradab, adil, dan sejahtera; (b) melibatkan partisipasi seluruh perwakilan elemen-elemen masyarakat desa; dan (c) pembangunan harus berorientasi pada peningkatan kualitas sumber daya generasi mendatang secara berkelanjutan. Ketiga prinsip etis tersebut harus menjadi dasar tanggung jawab sosial para pemangku kepentingan di tingkat desa, yakni pemerintah, swasta, dan masyarakat lokal. Untuk mengemban tanggung jawab pembangunan desa yang mereferensi pada etika pembangunan lokal harus ditunjang oleh: (1) peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pengemban (subjek) pembangunan lokal, (2) penguatan kelembagaan pemerintahan dan masyarakat lokal sebagai entitas yang akan mengelola aspirasi dan potensi sumberdaya sosial-ekonomi lokal, serta (3) perluasan akses masyarakat ke sumberdaya modal, pasar, dan teknologi. Strategi yang dapat ditempuh untuk merealisasikan ketiga hal tersebut adalah sebagai berikut. Pertama, eksistensi dan kinerja lembaga-lembaga sosial formal dan informal, seperti Pemerintah Desa, Badan Permusyawaratan Desa (BPD), BUMDes, dan organisasi masyarakat supaya dirajut secara sistemik-sinergis. Kedua, meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan cara memperbesar peluang memasuki lembaga pendidikan formal sampai ke jenjang tertinggi, memasok informasi berbasis internet, dan melaksanakan pelatihan keterampilan sesuai dengan kebutuhan. Ketiga, memperluas akses perbankan masyarakat, serta menye-
Membangun Desa pesisir = Membangun Negara Maritim Indonesia
49
diakan infrastruktur dan teknologi informasi yang mendukung kegiatan pemasaran produk industri lokal. Strategi pengelolaan potensi sumber daya pesisir dan laut yang akan dilakukan oleh subjek pembangunan lokal didasarkan pada prinsip kehati-hatian dengan optimisme masa depan sebagai berikut: (a) memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mendukung peningkatan produktivitas; (b) bersifat terpadu-sinergi: antarpelaku pembangunan dan antarpotensi sumberdaya dalam rangka mendukung penciptaan peluang kerja, nilai tambah, dan kemajuan perekonomian lokal; (c) berorientasi pada kearifan lokal (local wisdom) dan keberlanjutan sumber daya lingkungan; (d) menjamin akses setiap warga dalam memanfaatkan sumber daya secara adil dan merata; serta (e) berorientasi pada pemecahan masalah sosial ekonomi untuk memudahkan pencapaian kesejahteraan warga secara efektif. Implementasi kelima prinsip di atas akan mendukung praktik ekonomi biru (blue economy) sehingga masyarakat memiliki dan memperoleh nilai tambah yang optimal dan tidak ada residu yang terbuang sia-sia dari pengolahan sumber daya lingkungan. Misalnya, limbah yang dihasilkan dari industri tepung ikan masih bisa diolah lagi menjadi minyak ikan dan pupuk cair organik, sehingga tidak terdapat sisa limbah terbuang percuma yang dapat mencemari lingkungan. Kalaupun masih ada sisa limbah cair yang akan dibuang, limbah demikian harus dipastikan tidak mengandung unsur kimiawi yang dapat merusak lingkungan. Dengan kemampuan iptek, seluruh limbah tepung ikan dapat diubah menjadi produk yang bernilai ekonomi. Hilirisasi produk perikanan tangkap ini mampu meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir dan kesejahteraannya sehingga sangat potensial sebagai pilar ekonomi yang berkelanjutan untuk mengikis
50
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
kemiskinan, pengangguran, dan ketimpangan sosial. Keberhasilan hilirisasi berbasis ekonomi biru ini akan memperkokoh eksistensi masyarakat madani (civil society) di masa mendatang.
PELAJARAN DARI DESA LES DAN DELEGAN Pelajaran berharga tentang pengelolaan sumber daya pesisir dan laut secara berkelanjutan yang telah memberi manfaat ekonomi bagi masyarakat pesisir dapat ditimba dari pengalaman warga masyarakat nelayan di Desa Les, Kecamatan Tejakula, Buleleng, di Pesisir Utara Bali (Kompas, 14 Oktober 2005: 36; Kartodiharjo dan Jhamtani, 2006:248-255) dan masyarakat Desa Delegan, Kecamatan Panceng, Gresik, di Pesisir Utara, Jawa Timur (Kompas, 17 Januari 2012:24). Masyarakat nelayan di Desa Les yang tegabung dalam Kelompok Nelayan Mina Bakti Soansari telah berhasil membebaskan perairan setempat dari sianida dan perusakan terumbu karang. Sebelumnya, mereka menggunakan sianida untuk menangkap ikan hias, sehingga merusak terumbu karang, berurusan dengan pihak berwajib, dan mengancam kelangsungan usaha. Perairan Desa Les kaya dengan jenis ikan hias, yakni sekitar 420 jenis. Mereka mengembangkan budaya konservasi laut, membuat norma-norma penangkapan, dan selektif dalam menjaring ikan hias. Jika ada yang melanggar akan dikenai sanksi adat, seperti pengucilan diri dari seluruh warga desa. Para nelayan terus berjuang agar usahanya berkembang dan memperoleh kepercayaan pasar. Bersama Yayasan Bahtera Nusantara dan Telapak Indonesia, mereka mendirikan perusahaan kolektif ikan hias dengan nama PT Bahtera Lestari, September 2003. Saham perusahaan ini ditopang secara bersama: Kelompok Nelayan Mina Bakti Soansari 23,5%, pemilik tanah 22%, desa dinas dan adat 10%, serta Yayasan Bahtera Nusantara 26%. Total modal usaha Rp 112 juta. Dengan adanya potensi sumber daya perikanan hias dan terumbu karang yang terhampar di bawah
Membangun Desa pesisir = Membangun Negara Maritim Indonesia
51
laut Desa Les, masyarakat nelayan setempat juga berupaya keras mengembangkan ekowisata untuk mendukung pariwisata Bali. Hal ini menggambarkan tumbuhnya gagasan untuk mengembangkan potensi ekonomi lokal berbasis potensi ikan hias dan terumbu karang dan ekowisata bahari secara sinergis/terpadu. Dari berbagai informasi terakhir, masa depan usaha nelayan ikan hias di Desa Les ini sangat prospektif, sehingga dapat menjamin kelangsungan hidup masyarakat setempat. Hubungan antara manusia dengan alam terajut dengan baik. Para nelayan hias berjuang keras ”menghidupi alam” melalui budaya konservasi dan norma-norma kolektif pengelolaan sumber daya perikanan ramah lingkungan yang harus dipatuhi, sebaliknya juga ”alam menghidupi mereka” secara berkelanjutan. Inilah gambaran hubungan yang harmonis, saling bergantung, dan saling menunjang antara manusia dan alam di Desa Les. Selain Desa Les, Desa Delegan merupakan desa pantai dan telah dikembangkan sebagai daerah tujuan wisata bahari yang diberi ikon “Wisata Segara Indah Delegan” (Wasid) untuk memenuhi kebutuhan piknik masyarakat. Pantai ini memiliki tekstur pasir yang lembut dan putih, serta debur ombak yang tidak begitu besar, sehingga membuat para pengunjung, khususnya anak-anak, tidak merasa takut untuk berenang agak ke tengah laut. Setiap hari ada saja pengunjung ke pantai ini untuk melepaskan kepenatan diri dari rutinitas hidup. Pada saat liburan sekolah, hari raya keagamaan, akhir pekan, dan akhir tahun, Pantai Delegan selalu ramai pengunjung, hingga mencapai 13.000 orang setiap hari. Semula potensi wisata pantai ini dikelola oleh perorangan dan sejak tahun 2007, Pemerintah Desa Delegan mengambil alih pengelolaannya. Pengunjung dewasa dikenakan tiket wisata Rp 4.000 dan anak-anak Rp 3.000 per orang. Pada masa liburan, harga tiket masuk ke pantai melonjak menjadi Rp 5.000 per orang. Pihak pengelola terus berupaya melengkapi sarana wisata yang dapat
52
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
memanjakan pengunjung. Para pengunjang tidak hanya dari desa-desa sekitarnya, tetapi juga datang dari Gresik, Lamongan, Surabaya, dan Sidoarjo. Keberadaan wisata pantai benar-benar mampu mendongkrak ekonomi desa dan menambah pendapatan warga masyarakat sekitar pantai. Kontribusi wisata terhadap pendapatan asli daerah Gresik mencapai Rp 750 juta (2010) dan Rp 825 juta tahun 2011. Ramainya pengunjung menjadi berkah bagi pemilik usaha sarana wisata, pemilik perahu, pemilik warung makanan dan minuman, dan pelaku usaha lainnya untuk memperoleh pendapatan yang lumayan. Warung sea food memanfaatkan hasil tangkapan nelayan setempat sebagai menu andalan dan hal ini menggambarkan adanya sinergi antara sektor wisata dan sektor penangkapan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pengunjung wisata. Harga yang ditawarkan juga terjangkau oleh kemampuan pengunjung. Penduduk setempat berharap wisata pantai tetap menjadi tujuan piknik keluarga yang merakyat dan dengan biaya yang terjangkau oleh semua kalangan masyarakat. Warga setempat berencana ingin mengembangkan desa wisata terpadu, yang mencakup wisata perbukitan, waduk, dan pantai. Masyarakat berharap Pemerintah Kabupaten Gresik hanya memberikan bantuan pembangunan sarana dan prasarana wisata tanpa melakukan intervensi mengambil alih pengelolaannya. Masyarakat harus diberi ruang untuk berpartisipasi dalam pengelolaannya. Konsep yang diusung masyarakat dalam mengembangkan wisata pantai adalah “pariwisata berbasis masyarakat lokal”. Dengan terbitnya Undang-undang No. 6/2014 tentang Desa, BUMDes berpeluang untuk mengelola beberapa potensi strategis ekonomi desa. Dua kasus pengelolaan sumber daya pesisir dan laut di atas memberikan pelajaran kepada kita bahwa masyarakat di desa-desa pantai memiliki kemampuan untuk mengelola potensi pembangunan lokal, jika memang ada niat yang kuat, jeli melihat
Membangun Desa pesisir = Membangun Negara Maritim Indonesia
53
peluang ekonomi, dan mendapat dukungan kerja sama dari pemerintah desa. Inisiatif awal pengelolaan sumber daya bisa saja datang dari pemerintah desa atau masyarakat setempat, yang dalam pengelolaannya kedua pihak harus saling bekerja sama. Model kerja sama demikian secara konstitusional tetap sah karena posisi desa sebagai manifestasi politik “unit pemerintahan terendah” sudah dijamin oleh undang-undang dan ditempatkan sebagai “basis utama” otonomi daerah. Jika dalam konteks nasional, otonomi daerah terletak di tingkat kabupaten, tetapi dalam konteks pemerintahan kabupaten/kota, otonomi daerah terletak di tingkat desa. Di tingkat desa, pemerintah lokal berhadapan langsung dengan warga masyarakat sebagai pemilik utama saham republik. Dengan cara berpikir demikian, tidak cukup alasan pemerintah kabupaten mengambil alih hak-hak pemerintah dan masyarakat desa dalam mengelola potensi sumber daya pembangunan yang dimiliki. Sebaiknya, pemerintah kabupaten harus ditempatkan sebagai fasilitator dan dinamisator pembangunan pedesaan. Pemerintah Desa bersama BPD sudah memiliki kewenangan sebagai regulator dengan mengeluarkan peraturan desa (perdes) untuk menangani rumah tangganya dan pembangunan lokal. Aspirasi desa harus memperoleh tempat yang proporsional karena rakyat secara umum berdomisili di desa. Kemajuan pembangunan di tingkat desa secara otomatis akan menciptakan kemajuan di tingkat kabupaten. Secara substantif, cara pandang memahami otonomi daerah seharusnya berangkat dari desa dan bukan dari kabupaten sebagai pengejawantahan dari konsep pembangunan partisipatif yang berporos pada kedaulatan rakyat.
KESIMPULAN Undang-undang No. 6/2014 tentang Desa telah memberikan ruang partisipasi yang lebar bagi masyarakat dan pemerintah
54
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
desa, khususnya di kawasan pesisir, untuk menjadi subjek utama dalam pembangunan pedesaan. Kemampuan dan kejelian kedua pihak, yakni masyarakat dan pemerintah desa pesisir, mengidentifikasi potensi-potensi sumber daya ekonomi strategis dan mengelolanya secara tepat akan berdampak besar terhadap dinamika perekonomian di kawasan pesisir. Jika desa-desa pesisir memiliki perkembangan ekonomi yang berkelanjutan dan variatif sektor ekonominya serta tidak semata-mata mengandalkan sektor perikanan tangkap, masalah kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan akan mudah diatasi secara bertahap. Membangun sebuah desa pesisir diperlukan adanya perubahan wawasan dan cara berpikir dari pemerintahan desa dan masyarakatnya, penguatan kelembagaan sosial, dan penyemaian orientasi kewirausahaan secara berkelanjutan. Untuk keperluan demikian, biasanya dibutuhkan keterlibatan pihak-pihak lain, seperti dilakukan oleh Yayasan Bahtera Nusantara dan Yayasan Telapak Indonesia di Desa Les, yakni mengubah mentalitas nelayan lokal dari perusak lingkungan menjadi pelestari sumber daya kelautan dan mengubah orientasi ekonomi warga dari ekonomi subsistensi ke ekonomi bisnis. Karena itu, masyarakat dan pemerintah desa pesisir membutuhkan ruang sosial yang lebih luas agar dapat bekerja sama dengan pihak-pihak lain untuk kepentingan transfer ilmu pengetahuan dan teknologi mengingat mereka memiliki berbagai keterbatasan kemampuan. Pengelolaan atas beragam potensi sumber daya lingkungan di pesisir sudah saatnya berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi untuk menciptakan nilai tambah ekonomi yang lebih baik bagi kepentingan masyarakat. Intervensi pemberdayaan pengetahuan ini merupakan suatu kebutuhan untuk mengakselerasi kemajuan sosial ekonomi di kawasan pesisir. Pelajaran yang terpenting dari Desa Les dan Desa Delegan di atas adalah tersemainya pemikiran pada tingkat lokal tentang
Membangun Desa pesisir = Membangun Negara Maritim Indonesia
55
pentingnya mengelola potensi sumber daya ekonomi desa secara terpadu atau sinergi. Di Desa Les, kegiatan penangkapan ikan hias akan dipadukan dengan aktivitas ekowisata bahari. Di Desa Delegan, ekonomi wisata bahari disinergikan secara internal dengan wisata waduk dan wisata perbukitan, serta integrasi keluar dengan aktivitas penangkapan ikan untuk menyuplai kebutuhan konsumsi (sea food) pengunjung wisata pantai. Gerakan “ekonomi wisata terpadu” merupakan upaya sistematis untuk mengoptimalkan pengelolaan potensi sumber daya ekonomi desa, sehingga memberi peluang kerja yang luas bagi masyarakat. Warga masyarakat yang akan terlibat kerja semakin banyak dan distribusi kesejahteraan sosial juga akan lebih merata. Cara berpikir sinergis seperti di atas harus dikembangkan di desa-desa pesisir untuk memutar roda ekonomi secara terusmenerus. Ketergantungan pada satu sektor ekonomi, seperti sektor penangkapan, sangat rawan kemiskinan dan menyulitkan kita untuk menciptakan kesejahteraan yang berkelanjutan bagi masyarakat pesisir. Pengelolaan potensi sumber daya pesisir dan laut yang bersifat terpadu-sinergis, serta integrasi tanggung jawab pembangunan kawasan pesisir antara pemerintah lokal, masyarakat, dan swasta berpotensi besar untuk mempermudah mengatasi kemiskinan masyarakat pesisir berdasarkan kekuatan sosial yang tersedia di suatu desa pesisir (Kusnadi, 2015). Oleh sebab itu, desa-desa pesisir yang sebagian atau seluruh warga masyarakatnya bergantung kehidupannya pada pengelolaan potensi sumber daya maritim (pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil) merupakan sabuk pengaman sosial, ekonomi, dan politik terdepan dari sebuah negara maritim. Masyarakat pesisir yang sejahtera akan menjadi modal pembangunan untuk menjaga kedaulatan negara maritim dan mereka tidak mudah disuap untuk melindungi pencurian ikan oleh nelayan asing, tidak tergoda menjadi kurir narkoba atau terlibat penyelundupan imigran gelap lintas negara,
56
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
dan perbuatan kriminal lainnya. Sebaliknya, masyarakat pesisir yang miskin dan terbelakang akan menjadi sumber potensial bencana nasional. Dengan demikian, keberhasilan membangun desa-desa pesisir di seluruh pelosok negeri sama dengan kesuksesan membangun negara maritim Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA Kartodiharjo, Hariadi dan Hira Jhamtani. 2006. Politik Lingkungan dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox. Kusnadi. 1998. “Jaringan Sosial sebagai Strategi Adaptasi Masyarakat Nelayan: Studi Kasus di Desa Pesisir, Kecamatan Besuki, Kabupaten Situbondo, Jawa Timur”. Jakarta: Tesis Magister Antropologi, Program Studi Antropologi, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. ______. 2007. Jaminan Sosial Nelayan. Yogyakarta: LKiS. ______. 2015. Pembangunan Wilayah Pesisir Terpadu. Yogyakarta: Graha Ilmu. Kusnadi, Sutjitro, dan Adi Prasodjo. 2011. “Model Adaptasi Ekonomi Berbasis Modal Sosial sebagai Respons Masyarakat Nelayan terhadap Kondisi Tangkap Lebih (Overfishing) dan Kemiskinan di Kawasan Pesisir Selat Madura, Jawa Timur”, Jember: Laporan Penelitian Hibah Bersaing, Lembaga Penelitian, Universitas Jember. Saragih, Jef Rudianto. 2015. Perencanaan Wilayah dan Pengembangan Ekonomi Lokal Berbasis Pertanian: Teori dan Aplikasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
-oo0oo-
DINAMIKA SOSIAL NELAYAN MISKIN DAN STRATEGI PENINGKATAN KESEJAHTERAAN MELALUI PENGEMBANGAN KEPEMILIKAN SARANA KOLEKTIF [CAPITAL SHARING] Ary Wahyono Staf Peneliti, Kelompok Penelitian Maritim pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan-LIPI Jakarta
58
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
PENDAHULUAN
P
engelolaan sumberdaya perikanan seringkali menempatkan nelayan miskin sebagai obyek sasaran kebijakan pemerintah yang tidak pernah melibatkan mereka dalam proses pengambilan keputusan. Kebijakan pemerintah mulai dari kegiatan pra produksi, penangkapan, budidaya ikan, pasca panen sampai pada dukungan kegiatan lainnya seperti pembangunan dan penyediaan sarana dan prasarana perikanan, akses terhadap jasa lembaga keuangan, teknologi, penyuluhan, aspek pemasaran dan kelembagaan tidak pernah menngikutsertakan masyarakat nelayan. Berbagai kebijaksanaan itu juga tidak pernah mempertimbangkan keberadaan pluralitas komunitas masyarakat nelayan, baik yang menyangkut alat tangkap, jumlah ABK, struktur hubungan kelompok kerja, wilayah tangkap, status penguasaan dan jenis sumberdaya yang diinginkan, kemudian antara nelayan lokal dan pendatang serta pluralitas etnis. Kurangnya pemahaman terhadap pluralitas komunitas nelayan menyebabkan seringkali setiap upaya pengembangan perikanan tidak menyentuh sasaran program (target group). Kasus Pengembangan TPI, sebenanya dapat meningkatan pendapatan nelayan kecil seandainya mekanisme pelelangan benarbenar sesuai dengan mekanisme pasar tetapi dalam kenyataannya harga lebih banyak ditentukan oleh pedagang, karena pasar ikan sangat monopolistik. TPI pada akhirnya tidak digunakan untuk pelelangan tetapi tempat penampungan hasil tangkapan pada pedagang ikan, yang pada juga pemilik kapan penangkapan ikan. Demikian pula, koperasi nelayan atau koperasi mina bahari yang diharapkan menjadi wadah organisasi ekonomi masyarakat nelayan tetapi dalam realitasnya lebih banyak menyuarakan aspirasi pedagang ikan. Jadi dengan demikian, pada akhirnya nelayan kecil, teruatama buruh/ABK kapal perikanan tidak pernah mendapat
Dinamika Sosial Nelayan Miskin dan Strategi Peningkatan ...
59
keuntungan apa-apa dengan adanya sarana dan prasarana sarana dan prasarana kelembagaan perikanan. Dinamika sosial nelayan kecil masih menghadapi kemiskinan. Kebanyakan nelayan miskin yang tinggal di kawasan pesisir masih hidup dalam berbagai keterbatasan ekonomi, sosial, dan politik. Tatangan hidup yang mereka hadapi tidak terbatas pada kondisi lingkungan yang mempengaruhi orientasi pemanfaatan sumberdaya dan pengelolaannya melainkan juga dampak penerapan teknologi maju dalam pengelolaan sumberdaya oleh pihak luar yang cenderung eksploitatif dan ekspansif. Penggunaan trawl, purseine dan teknologi penangkapan lainnya menyebabkan nelayan miskin semakin terpinggirkan. Dihadapkan pada kondisi ketidakberdayaan, nelayan mau tidak mau harus melakukan pilihan-pilhan, apakah melakukan penyesuaian diri dengan perkembangan teknologi dan lingkungan, atau sebaliknya melarikan diri dari kenyataan yang dihadapi karena ketidakberdayaan tersebut, atau bahkan ekstrem melakukan perlawanan dengan kekerasan. Pembakaran kepal-kapal perikanan oleh nelayan kecil, penggunaan bom, bahan beracun atau atau destructive fishing lainnya adalah salah satu pilihan lain yang dilakukan nelayan di dalam menghadapi tekanan lingkungan yang dianggap menguras sumberdaya ikan (environmental scarcity). Penyesuaian diri terhadap perubahan lingkungan bagi nelayan sebenarnya tidak mudah karena kondisi kemiskinan yang dialami. Jadi dalam hal ini ibarat seperti antara telur dan ayam, antara membeli peralatan atau teknologi terlebih dulu atau keluar dari kondisi kemiskinan struktural sehingga bisa mengakses modal dan teknologi. Jaringan sosial nelayan terbatas kecuali dengan tengkulak. Kemampuan nelayan untuk mengembangkan organisasi ke luar lingkungan kerabat dan komunitas setempat masih lemah. Nelayan jauh dari pusat kekuasaan. Secara fisik, mungkin sebuah komunitas nelayan yang tinggal di daerah pesisir tidak lagi terasing,
60
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
namun realitanya mereka tidak mampu ambil bagian dalam kegiatan ekonomi pasar secara menguntungkan. Kalaupun kawasan pesisir tumbuh menjadi bandar yang besar seringkali penduduk lokal tidak mampu bersaing dengan penduduk pendatang karena masih kuatnya pengaruh tradisi masyarakat yang bertumpu pada ekonomi subsisten (Budhisantosa, 1998). Upaya menolong nelayan kecil memang sudah banyak dilakukan tetapi seringkali upaya pemberdayaan nelayan miskin kurang mempersiapkan nelayan kecil dalam menghadapi tantang ekonomi pasar. Bantuan modal usaha diberikan kepada kelompokkelompok usaha yang diciptakan seringkali tanpa memperhatikan kesatuan sosial dan produksi masyarakat yang tergantung dari hasil laut, dan juga kemampuan mereka untuk memasarkan hasil pengolahan yang melebihi konsumsi kebutuhan keluarga mereka sehari-hari, dan sebagainya . Tulisan ini ingin mengingatkan pentingnya memahai dinamika social-budaya kenelayanan dalam setiap melaakukan pemberdayaaan nelayan kecil.
KETIDAKPASTIAN DALAM KEHIDUPAN Nelayan hidup dalam suatu lingkungan yang tidak menentu (uncertainity) dan serba tidak homogen. Ketidakmenentuan yang menjadi karakteristik kehidupan nelayan berakar dari kondisi lingkungan fisik, dan juga dari lingkungan sosial-tempat kegiatan nelayan berlangsung. Laut adalah lingkungan fisik-tempat nelayan mencari ikan atau biota laut lainnya merupakan lingkungan yang berbahaya. Manusia dibekali kemampuan terbatas untuk dapat hidup diatasnya. Artinya, nelayan memerlukan peralatan atau teknologi tertentu untuk melakukan aktivitas di laut. Laut di dalamnya terdapat berbagai macam biota atau binatang laut yang beraneka ragam ukuran, sifat kehidupan dan tingkah-lakunya. Ikan adalah contoh biota laut yang tidak mudah ditangkap. Namun letak kesulitan terjadi bukan karena ikan ber-
Dinamika Sosial Nelayan Miskin dan Strategi Peningkatan ...
61
pindah-pindah atau migrasi sesuai dengan musimnya melainkan pula ia dapat bertambah atau berkurang jumlahnya-dimana para ahli perikanan tidak mudah untuk memperkirakan kecenderungan-kecenderungan yang terjadi (Acheson, 1981:276)). Demikian halnya apabila nelayan berhasil melakukan penangkapan ikan belum tentu menjamin penghasilannya. yang memadai. Hal ini terjadi karena nelayan memiliki keterbatasan untuk bisa mengkuti mekanisme pasar. Keterbatasan ini terjadi juga karena nelayan secara fisik tidak selalu ada di daratan. Belum lagi faktor tingkat fluktuasi harga ikan di pasar begitu tinggi dan sangat sulit diramalkan semakin menambah ketidakpastian (Acheson, 1981:282). Singkatnya, bahwa kegiatan nelayan pada level produksi maupun pemasaran hasil tangkapan dihadapkan pada berbagai persoalan yang diakibatkan oleh karakteristik lingkungan yang penuh ketidakpastian.
TEKNOLOGI PENANGKAPAN Teknologi diakui memiliki peran penting dalam pembangunan, akan tetapi belum semua masyarakat terutama di daerah pesisir memiliki akses terhadap teknologi yang dibutuhkan. Salah satu respon nelayan yang cukup penting menghadapi kondisi lingkungan yang penuh ketidakpastian yakni pemanfaatan teknologi. Teknologi adalah salah satu kunci kegiatan nelayan yang bisa dijalankan. Sebagaimana disebutkan dimuka bahwa laut merupakan lingkungan fisik yang berbahaya, karena itu agar manusia dapat melakukan aktivitas di laut, memerlukan peralatan, seperti kapal, perahu, alat penyelam dan teknologi lainnya. Masalah teknologi bagi kehidupan nelayan tidak hanya persoalan teknis semata, seperti teknologi penangkapan tetapi juga berhubungan dengan jenis sumberdaya laut (ikan) yang ada. Atau dengan kata lain bahwa pengoperasian suatu jenis teknologi membawa serangkain berbagai masalah sebagai konsekuensinya.
62
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Di antaranya adalah, pertama masalah yang berhubungan dengan akses nelayan terhadap sumber daya laut. Apakah teknologi alat tangkap digunakan oleh nelayan berkaitan dengan usaha nelayan untuk memperoleh sumber daya ikan yang ada di lingkungannnya ?. Jika sumberdaya ikan merupakan common property, bagaimana nelayan bisa yakin kalau teknologinya yang dipakainya bisa mendapat keleluasaan untuk menangkapnya. Masalah lainnya adalah bagaimana nelayan mendapat jaminan kelanggengan penggunaan alat tangkap yang dipakainya itu dapat operasional dalam batas waktu yang relatif panjang. Kedua, adalah masalah yang berhubungan dengan modal. Seperti diketahui jenis teknologi yang dipakai cenderung terkait dengan besarnya modal yang harus diinvestasikan. Semakin tinggi teknologi semakin mahal harganya. Sementara modal yang dituntut pada usaha nelayan bukan lah hanya modal untuk mengadakan teknologi tetapi justru yang tidak kalah pentingnya adalah modal pemeliharaan teknologi. Dikatakan demikian karena kasus-kasus kerusakan alat tangkap bahkan kehilangan perlengkapan melaut merupakan hal yang umum terjadi pada nelayan (Acheson, 1981:280). Nelayan bisa setiap saat mengalami seperti itu karena terkait dengan karakteristik laut yang berbahaya dan tidak menentu. Implikasinya pada permodalan, yaitu tuntutan akan adanya biaya untuk memperbaiki atau mengganti teknologi pada saat-saat yang sukar diketahui. Kegagalan-kegagalan introduksi teknologi dan kredit perikanan kepada nelayan dari pemerintah adalah contoh bagaimana masalah modal menjadi hal yang kritis. Ketiga adalah masalah yang berhubungan dengan tuntutan untuk membentuk suatu kelompok kerja.yang relatif stabil dan kompak. Keberhasilan di laut bahkan keselamatan melaut tidaklah tergantung pada kemampuan individual dari anggotaanggota kelompok namun juga bergantung kekompakan kerja keseluruhan anggota kelompok. Masalah yang kemudian lahir
Dinamika Sosial Nelayan Miskin dan Strategi Peningkatan ...
63
adalah bagaimana merekrut anggota kelompok sedemikian rupa sehingga stabilitas dan kekompakan bisa dipertahankan. Hal-hal ini merupakan masalah yang cukup rumit bagi nelayan, seperti dikatakan Acheson sebagai berikut : “..the safety and effectiveness of a vessel depend on the ability of a crew to work together. For this reason it is critical to choose crews men who are compatible with each other, “ (Acheson, 1981:280)
Keempat, adalah masalah yang lahir setelah kegiatan produksi, yakni bagaimana memasarkan surplus hasil tangkapan. Salah satu sasaran adari peningkatan teknologi tentu saja adalah meningkatkan kuantitas hasil tangkapan. Jika hasil tangkapan telah melebihi kebutuhan konsumsi, maka muncul pertanyaan dengan cara apa surplus hasil tangkapan dipasarkan. Semenetara itu, nelayan memiliki keterbatasan untuk mengikuti mekanisme pasar, karena itu tumbul masalah, apakah dengan keterbatasan itu nelayan mampu memasarakan surplusnya itu. Jika tidak, maka masalah lain kemudian muncul, yakni siapa bisa menjembatani mereka dengan pasar (middleman)?. Selanjutnya hubungan kerja seperti apa yang bisa menjamin bahwa dalam kondisi bagaimanapun middleman itu tetap mau mendistribusikan hasil tangkapan? . Berbagai bukti menunjukkan bahwa hasil tangkapan melimpah tidak ada orang yang memasarkan, maka hasil tangkapan itu sia-sia dan dibuang lagi ke laut.
RESPON NELAYAN Berbagai studi menunjukkan bahwa nelayan melakukan respon yang berbeda-beda di dalam mengatasi masalah yang lahir dari tuntutan penggunaan teknologi, Beberapa respon yang dilakukan nelayan adalah: pertama, upaya untuk dapat menguasai wilayah penangkapan ikan (fishing ground). Jika sumberdaya perikanan di laut merupakan sumberdaya milik umum (common good), maka
64
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
upaya untuk mengatasi konsekuensi dari karakteristik ini adalah nelayan membentuk sistem penguasaan atas wilayah penangkapan tertentu, baik bersifat temporal maupun kontinyu. Beberapa contoh penguasaan yang temporal diciptakan dengan mekanisme siap yang pertama kali pada suatu lokasi penangkapan, maka dialah yang berhak atas lokasi penangkapan (Acheson, 1981:281; Akimichi, 1984:49). Untuk mendapatkan akses terhadap sumberdaya, ada cara lain yang dilakukan, misalnya mengembangkan penggunaan teknologi penangkapan tertentu sehingga nelayan lain tidak dapat menangkap jenis ikan tersebut. Dengan cara seperti ini secara defacto nelayan tersebut menguasai sumberdaya ikan tertentu. Dalam hal pengadaan modal, nelayan menjalin hubungan dengan pihak lain selain mengupayakan modal sendiri. Pengadaan modal usaha sendiri biasanya merupakan hasil tabungan baik yang bersumber dari usaha penangkapan maupun dari sumber lain. Usaha pengadaaan modal sendiri diupayakan pula melalui sistem bagi hasil dan dalam hal demikian peralatan melaut turut mendapat bagian jauh lebih besar dari pada kelompok kerja. Usaha memperoleh kredit dari pemerintah adalah contoh upaya mendapatkan modal melalui jalinan hubungan dengan pihak luar. Namun demikian, meskipun diupayakan perolehan modal melalui pinjaman dari pemerintah, tetapi jalinan hubungan lain juga dilakukan. Jalinan hubungan lain ini nampaknya lebih mengakar pada masyarakat nelayan. Seperti diketahui kebutuhan modal terutama untuk keperluan perbaikan dan penggantian alat produksi, seringkali merupakan kebutuhan mendadak. Dalam kondisi demikian para nelayan membutuhkan bentuk hubungan kerja yang memungkinkan dia mendapat bantuan modal secara spontan. Jalinan dengan pihak luar (non pemerintah) itulah yang menyelamatkan nelayan dari kebutuhan modal mendadak. Tanggapan terhadap tuntutan akan pembentukan kelompok yang stabil dan kompak lahir karena tingginya tingkat ketergan-
Dinamika Sosial Nelayan Miskin dan Strategi Peningkatan ...
65
tungan antara anggota kelompok kerja sebagai akibat dari berbahanya lingkungan laut yang diwujudkan melalui pola rekrutmen dan pengorganisasian kelompok. Usaha yang dilakukan nelayan dalam merekrut orang-orang yang dianggap bias diajak bekerjasama dengan baik adalah pola rekrutmen berdasarkan pertalian kekerabatan, persahaban, keahlian atau gabungan. Berbagai studi menyebutkan bahwa kelompok nelayan yang anggotanya masih ada pertalian kerabat relatif lebih stabil dari kelompok lainnya. Tetapi pada kasus lain justruk kelopok nelayan yang terbentuk karena persahabatanlah yang memenuhi tuntutan kestabilan. Para nelayan dengan teknologi yang benar-benar memperthatikan spesialisasi pekerjaan, tidak jarang pula pola rekrutmen lebih didasari atas keahlian orang yang bersangkutan. Satu ciri menonjol dari pola organisasi kerja nelayan adalah sifat egalitarian. Walaupun dalam setiap kelompok kerja memiliki pemimpin, tetapi karena kebutuhan akan koordinasi kerja dan pada saat-saat tertentu dibutuhkan pengambilan keputusan yang cepat, namun seringkali peran pemimpin kerja tidak tampak menonjol. Pengaturan kelompok kerja secara egaliter ini berhubungan langsung dengan besarnya resiko, misalnya resiko kehilangan alat tangkap, resiko kegagalan penangkapan. Selain pola kerja yang egaliter, sistem bagi hasil tangkapan merupakan upaya lain untuk meningkatkan stabilitas dan kekompakan kelompok. Sistem bagi hasil tangkapan dengan cara prosentase menyebabkan hasil tangkapan setiap anggota kelompok bergantung pada pendapatan kelompok. Jadi dengan demikian tidak ada alasan bagi seseorang untuk tidak bekerja dengan baik karena berapa hasil tangkapan yang akan diperoleh bergantung pada besarnya hasil tangkapan kelompok. Pada proses distribusi hasil tangkapan, keterbatasan nelayan dalam mengikuti mekanisme pasar dibatasi oleh jalinan hubungan kerja dengan satu pihak yang bisa menjembatani mereka dengan
66
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
pasar. Pada masyarakat nelayan yang relatif masih sederhana, fungsi distribusi biasanya ditempati oleh istri nelayan sendiri. Adanya praktek istri nelayan sebagai middleman memiliki fungsi ganda, yakni berfungsi ekonomis dan pemberi informasi pasar. Peranan istri nelayan sebagai middleman, maka keuntungan dari hasil pemasaran kembali ke rumah tangga nelayan itu sendiri, sedangkan sebagai pemberi informasi pasar, maka terjadi jaminan kelancaran distribusi hasil produksi dapat diperoleh nelayan karena kegagalan distribusi bisa berakibat pada kerugian, dan pendapatan rumah tangga. Pada masyarakat nelayan yang sudah kompleks, jika terjadi surplus produksi hasil tangkapan berlimpah maka middleman tidak lagi diperankan oleh istri nelayan melainkan para tengkulak. Berbagai studi memperlihatkan bahwa keterlibatan tengkulak akan menjamin kontinyuitas hubungan bisnis antara nelayan dan tengkulak, dan hal ini merupakan kesepekatan mereka untuk selalu menjual dan membeli hasil tangkapan dalam kondisi apapun. Hubungan hutang-piutang antara nelayan-tengkal ini biasanya diadakan dalam rangka kebutuhan modal produksi, dan juga untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi rumah tangga nelayan sebagai bentuk penyelamatan nelayan dari berhentinya kegiatan produksi akibat kekurangan modal. Hubungan hutan-piutang juga dapat dilihat dalam konteks terjaminnya kelancaran produksi dan pembagian resiko kerugian menghadapi lingkungan yang penuh ketidakpastian, misalnya sifat sumberdaya yang cepat rusak (fugitive) (Emerson, 1980). Oleh sebab itu, melihat kasus hubungan hutang dan pituang antara nelayan-tengkulak tidak hanya merupakan hubungan eksploitasi nelayan oleh tengkulak yang menjadikan adanya keterikatan hutang nelayan pada tengkulak sehingga menyebabkan posisi nelayan menjadi lemah pada saat tawar-menawar harga pada proses penjualan hasil tangkapan (Yusmar, 1993:7).
Dinamika Sosial Nelayan Miskin dan Strategi Peningkatan ...
67
CAPITAL SHARING: SOLUSI PENINGKATAN KESEJAHTERAHAAN NELAYAN MISKIN Ide dasar dari pengembangan capital sharing ini sebenarnya berangkat dari konsep “milik”, yakni suatu istilah yang menunjuk pada seperangkat hak-hak dalam penggunaan dan pengalihan dalam penggunaan sumberdaya (melalui penjualan, penyewaan, pewarisan, dsb). Sedangkan istilah “milik bersama” adalah istilah yang merujuk pada pembagian hak-hak atas sumberdaya dimana beberapa pemilik mempunyai hak yang sama untuk untuk mempergunakan sumberdaya tersebut (Bishop & Wantrup,1986). Pola pemilikan sarana penangkapan sebenarnya bukan kelembagaan baru pada masyarakat nelayan. Kelembagaan pemilikan bersama dapat dijumpai pada masyarakat nelayan tradisional dimana pengelolaan sumberdaya perikanan diatur secara adat dan memiliki tradisi dalam pengelolaan tradisional. Kolektifitas dalam usaha penangkapan ikan masih menonjol dibandingkan perorangan. Kemudian, sejalan dengan perkembangan, pola pemilikan kolektif berkurang atau hilang sejalan dengan tumbuhnya usaha perikanan yang komersial. Meskipun terdapat kelompok nelayan dalam kegiatan penangkapan ikan tetapi prinsip pemilikan perorangan tetap ada. Kepemilikan dan penguasaan pengetahuan bahari dan ketrampilan mengoperasikan alat tangkap dan mengemudikan kapal motor menjadi unsure pertimbaangan dalam pembagian hasil pendapatan melaut. Pengembangan pemilikan modal bersama (capital sharing) adalah sebuah solusi alternatif yang dapat dilakukaan untuk melepaskan nelayan miskin dari kondisi keterbelakangan, kemiskinan struktural. Kesulitan utama yang dihadapi pada masyarakat nelayan adalah akses terhadap teknologi alat tangkap. Masyarakat nelayan tidak pernah menghadapi persoalan pemilikan sumberdaya lahan sebagaimana terjadi pada pertanian. Ukuran kesenjangan sosial pada masyarakat agraris seringkali diukur
68
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
dari penguasan lahan pertanian, sedangkan kesenjangan pada masyarakat nelayan diukur dari tingkat penguasaan teknologi penangkapan. Pengembangan pemilikan modal bersama adalah upaya mengembalikan modal sosial dan kolektifitas kegiatan penangkapan ikan [jika dahulu pernah ada] karena terkisis oleh adanya komersialisasi hasil tangkapan dan pasar. juga dapat digunakan untuk mengatasi kelangkaan institusi permodalan yang benar-benar memihak pada nelayan miskin-nelayan yang selalu menghadapi kesulitan mencari modal untuk pengembangan usaha. Dengan adanya modal pemilikan bersama memungkinkan munculnya akumulasi modal di antara nelayan, dan pendapatan hasil tangkapan tidak terakumulasi pada perorangan [pemilik tunggal sarana penangkapan]. Pengembangan pemilikan modal bersama merupakan teknologi (sosial) tepat guna yang dapat digunakan untuk mengatasi kelangkaan institusi permodalan yang benar-benar memihak pada nelayan miskin-nelayan yang selalu menghadapi kesulitan mencari modal untuk pengembangan usaha perikananan. Penguasaan kapal ikan secara kolektif maka nelayan yang tergabung dalam kelompok nelayan ini sekaligus sebagai pemilik kapal yang dimiliki secara kolektif, tetapi mereka juga harus sekaligus bertindak sebagai ABK kapal yang dioperasikan sendiri. Meskipun tidak ada pemilikan perorangan [juragan darat] tetapi prinsip bagi hasil tidak berubah. Penerapan sistem bagi hasil pendapatan tetapi dilakukan seperti lazim yang diterapkan selama ini. Sistem bagi hasil nelayan merupakan bentuk kelembagaan sudah lama berkembang pada masyarakat nelayan, yang didasarkan pada pemilikan sarana penangkapan. Porsi pendapatan yang diperoleh dari pemilikan sarana penangkapan ini merupakan penghasilan bersama yang dapat digunakan untuk tujuan-tujuan lain seperti angsuran pinaman modal, perawatan kapal, modal kelompok, kesejahteraan,
Dinamika Sosial Nelayan Miskin dan Strategi Peningkatan ...
69
asuransi nelayan, simpan-pinjam, dsb. Sedangkan, nelayananggota kelompok mendapat penghasilan harian, seperti biasa yang dilakukan selama ini, yakni mendapat dari bagian hasil tangkapan sebagai ABK. Dalam kurun waktu tertentu, angsuran yang dikumpulkan dapat digulirkan ke kelompok lain, dan apabila ini dapat berjalan dengan baik, maka tidak mungkin akan terjadi pengalihan nelayan pantai (inshore fishing) ke perairan lepas pantai (offshore fishing) secara pelan-pelan dengan tidak tumbuh yang tidak terkendali memungkinkan terjadi mobilitas vertikal dari nelayan buruh menjadi nelayan pemilik secara alamiah. Pola pemilikan kolektif sarana penangkapan dapat membawa perubahan status ekonomi yang lebih baik dari kondisi sebelumnya. Pertumbuhan pemilikan bersama sarana penangkapan tersebut setidaknya telah mengurangi jumlah nelayan pekerja (ABK) disatu sisi dan pada sisi lain akan menambah jumlah nelayan pemilik. Mobiltas sosial ini menandakan terjadinya peningkatan pendapatan nelayan warga desa tersebut. Pola pemilikan kolektif telah menumbuhkan proses akumulasi modal keuntungan secara merata dan tidak terkonsentrasi kepemilikan sarana penangkapan yang dikuasai secara perorangan, dan distribusi penguasaan pemilikan sarana penangkapan selama cenderung tidak terkonsentrasi pada seseorang yang disebut juragan darat.
DAFTAR PUSTAKA Acheson, J. M. 1981. “Anthropology of Fishing” dalam Annual Review of Anthropology, pp. 275-307. Akimichi, T. 1984. “The Historical Development of Teritorial Rights and Fishery Regulation in Okinawa Inshor Water” Dalam Ruddle Kenneth dan Tomaya Akimichi. Osaka, Senri Ethnological Studies: Maritime Institions In Western Pacific. Pp37-88.
70
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Ary Wahyono, dkk. 1992. Nelayan dan Strategi menghadapi Ketidakpastian ( di Beo, Sathean dan Demta). Jakarta, PMB LIPI. Bailey, C., 1988. “Mengelola Sumber Daya yang Terbuka: Kasus Penangkapan Ikan di Daerah Pantai”. Dalam Buku Pembangunan Berdimensi Kerakyatan. (Penyunting D.C. Korten & Sjahrir). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. BishOp, C.R., dan S.V. Ciracy-Wantrup, 1986. “Milik Bersama Sebagai Konsep Kebijaksanaan Sumberdaya Alam”. Dalam Buku Ekonomi Perikanan, Dari Terori Ekonomi sampai Pengelolaan Perikanan (Penyunting Ian R. Smith dan Firial Marahuddin). Jakarta: Yayasan Obor dan PT. Gramedia. Budhisantosa, 1998. Komuniti Lokal di Kawasan Pesisir dan Pemberdayaannya. Makalah pada Lokakarya Kebijakan dan Masalah Sosial Kependudukan dalam Pengelolaan Sumberdaya Kawasan Pesisir, Jakarta, Jurusan Antropologi FISIP UI. Cheung, S.N.S.,1986. “Penetapan Kontrak dan Alokasi Sumber Daya Perikanan Laut” . Dalam Buku Ekonomi Perikanan, Dari Terori Ekonomi sampai Pengelolaan Perikanan (Penyunting Ian R. Smith dan Firial Marahuddin). Jakarta: Yayasan Obor dan PT. Gramedia. Emerson DK., 1980. Rethinking Artisana Fisheries Development: Western Concepts, Asian Experiences. Wahington, World Bank Staff Working Paper No.423 Yusman Yusuf..1993. Relasi Tauke-Nelayan Di Riau: Pembangunan Konsep Dengan Perhatian Utama Pada Fungsinya Dalam Konflik Sosial Dan Pemeliharaan Sistem Sosial. Makalah Pada Lokakarya Hasil Penelitian Program Bantuan Penelitian YIIS Dan Toyota Faoundation.
Dinamika Sosial Nelayan Miskin dan Strategi Peningkatan ...
71
Masyhuri dan Ary Wahyono. 1998. “Pemilikkan Kolektif, Pemerataan Pendapatan dan Pengembangan Ekonomi Nelayan. Dalam Buku Strategi Pengembangan Desa Nelayan Tertinggal: Organisasi Ekoomi Masyarakat Nelayan (Penyunting Masyhuri). Jakarta, Puslitbang Ekonomi LIPI. Hal. 89-95, Pollnac, R.B.,1988. “Karakteristik Sosial Budaya dalam Pembangunan Perikanan Berskala Kecil”. Dalam Buku Mengutamakan Manusia di Dalam Pembangunan, Variabel-variabel Sosiologi di Dalam Pembangunan Pedesaan (Editor Michel M. Cernea). Jakarta, Penerbit Universitas Indonesia.
-oo0oo-
PERBATASAN MARITIM INDONESIA DALAM PERSPEKTIF GEOPOLITIK, GEOSTRATEGIS, DAN GEOEKONOMI Suryo Sakti Hadiwijoyo Penulis adalah PNS pada Bagian Organisasi Setda Pemerintah Kota Salatiga Kota Salatiga, dan Dosen TidakTetap pada Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Komunikasi (FISKOM) Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, mengampu Mata Kuliah Geopolitik dan Geostrategis. Penulis merupakan alumni Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada Jogjakarta, dan pernah bertugas di Direktorat Wilayah Administrasi dan Perbatasan – Ditjen Pemerintahan Umum – Kementerian Dalam Negeri (2001-2007)
74
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
PENDAHULUAN Wilayah negara merupakan salah satu unsur utama dari negara, dimana wilayah merupakan tempat dimana negara menyelenggarakan yurisdiksinya atas masyarakat, segala kebendaan serta segala kegiatan yang terjadi di dalam wilayah. Kedaulatan negara seperti ini disebut juga dengan kedaulatan teritorial (Pussurta Mabes TNI, 1984:5). Kedaulatan teritorial akan berakhir pada batas-batas terluar wilayah teritorial negara bersangkutan, dan karena yurisdiksi teritorial suatu negara akan meliputi pula perairan teritorial, maka pada hakikatnya batas terluar wilayah negara adalah batas terluar laut teritorial. Sehubungan dengan hal tersebut, maka bagi Indonesia sebagai negara kepulauan, batas-batas wilayah negara sebagian diatur dalam UNCLOS 1982 yang kemudian telah diratifikasi melalui Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS 1982, sebagian lagi diatur melalui perjanjian-perjanjian atau treaty antata Indonesia dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Australia, Papua Nugini, Timor Leste, dan Vietnam. Perjanjian-perjanjian atau traktat/treaty itulah yang menjadi dasar dalam penetapan batas wilayah Negara Republik Indonesia. Wilayah negara sebagai suatu ruang, tidak saja terdiri atas daratan atau tanah tetapi juga perairan dan ruang udara. Wilayah daratan dan wilayah ruang udara dimiliki oleh setiap negara. Sedangkan wilayah perairan, khususnya wilayah laut hanya dimiliki oleh negara pantai atau negara yang dihadapan pantainya terdapat laut. Tegasnya bagian wilayah-wilayah negara itu meliputi daratan termasuk tanah di bawahnya, udara, perairan, dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara. Wilayah perairan atau disebut juga perairan teritorial adalah bagian perairan yang merupakan wilayah suatu negara. Ini berarti bahwa, di samping perairan yang tunduk pada kedaulatan negara karena merupakan bagian wilayahnya ada pula bagian perairan
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
75
yang berada di luar wilayahnya atau tidak tunduk pada kedaulatan negara. Perairan seperti ini misalnya adalah laut lepas (high sea). Tidak semua negara di dunia ini memiliki wilayah perairan. Misalnya negara-negara yang seluruh wilayahnya daratan dikelilingi oleh wilayah daratan negara lain. Negara-negara seperti ini dikenal dengan sebutan negara tak berpantai atau negara buntu (land lock states). Seperti misalnya negara Afganistan, Laos, Nepal, dan Bhutan di Asia, negara Afrika Tengah, Uganda, Niger, dan Chad di Afrika, negara Swiss, Austria, Honggaria dan Luxemburg di Eropa, negara Paraguay di Amerika Latin. Dalam konteks hukum nasional, Wilayah Perairan diatur melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Wilayah Perairan atau Perairan Teritorial (territorial Waters) Indonesia meliputi Laut teritorial (Teritorial Sea), Perairan Kepulauan (Archipelagic Waters), dan Perairan Pedalaman (Inlands Waters). Sedangkan Perairan Pedalaman (Inland Waters) terdiri atas Laut Pedalaman (Internal Sea) dan Perairan Darat (Inlands Waters). Wilayah Perairan Indonesia adalah segala perairan di sekitar, di antara, dan yang menghubungkan pulau-pulau atau bagianbagian pulau yang termasuk daratan Negara Republik Indonesia yang berada di bawah kedaulayan Negara Republik Indonesia. Lebih lanjut, berkaitan dengan kedaulatan negara, melalui Pasal 4 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 dikatakan bahwa kedaulatan Negara Republik Indonesia di Perairan Indonesia meliputi Laut Teritorial, Perairan Kepulauan, dan Perairan Pedalaman, serta dasar laut dan tanah di bawahnya termasuk sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
PERBATASAN DAN KEDAULATAN NEGARA Pengertian perbatasan secara umum adalah sebuah garis demarkasi antara dua negara yang berdaulat. Pada awalnya perbatasan sebuah negara atau states border dibentuk dengan lahirnya negara.
76
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Sebelumnya penduduk yang tinggal di wilayah tertentu tidak merasakan perbedaan itu, bahkan tidak jarang mereka berasal dari etnis yang sama. Namun dengan munculnya negara, mereka terpisahkan dan dengan adanya tuntutan negara itu mereka mempunyai kewarganegaraan yang berbeda (Darmaputera, 2009:3). Menurut pendapat ahli geografi politik, pengertian perbatasan dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu boundaries dan frontier. Kedua definisi ini mempunyai arti dan makna yang berbeda meskipun keduanya saling melengkapi dan mempunyai nilai yang strategis bagi kedaulatan wilayah negara. Perbatasan disebut frontier karena posisinya yang terletak di depan (front) atau di belakang (hinterland) dari suatu negara. Oleh karena itu, frontier dapat juga disebut dengan istilah foreland, borderland, ataupun march. Sedangkan istilah boundary digunakan karena fungsinya yang mengikat atau membatasi (bound or limit) suatu unit politik, dalam hal ini adalah negara. Semua yang terdapat di dalamnya terikat menjadi satu kesatuan yang bulat dan utuh serta saling terintegrasi satu dengan yang lain. Boundary paling tepat dipakai apabila suatu negara dipandang sebagai unit spasial yang berdaulat. Beberapa pendapat para ahli geopolitik tentang boundaries dan frontier antara lain sebagai berikut: Menurut A.E. Moodie dalam Daldjoeni (1991:141–143) Dalam bahasa Inggris, perbatasan memiliki dua istilah, yaitu boundaries dan frontier. Dalam bahasa sehari-hari, kedua istilah tersebut tidak ada bedanya. Tetapi, dalam perspektif geografi politik, kedua istilah tersebut mempunyai perbedaan makna. Menurut A.E. Moodie dalam bukunya yang berjudul, boundaries diartikan sebagai garis-garis yang mendemarkasikan batas-batas terluar dari wilayah suatu negara.
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
77
Sementara, frontier merupakan zona (jalur) dengan lebar yang berbeda yang berfungsi sebagai pemisah dua wilayah yang berlainan negaranya. (Moodie dalam Daldjoeni, 1991).
Menurut Hans Weiger dalam bukunya yang berjudul Principles of Political Geography: boundaries dapat dibedakan menjadi boundaries zone dan boundaries line. Boundaries line adalah garis yang mendemarkasikan batas terluar, sedangkan boundaries zone mempunyai pengertian yang tidak jauh berbeda dengan frontier. Boundaris zone diwujudkan dalam bentuk kenampakan ruang yang terletak antara dua wilayah. Ruang tersebut menjadi pemisah kedua wilayah negara dan merupakan wilayah yang bebas. Boundary line diwujudkan dalam bentuk garis, wooden barrier, a grassy path between field (jalan setapak rumput yang memisahkan dua atau lebih lapangan), jalan setapak di tengah hutan, dll.
Selanjutnya melangkapi pendapat Weiger dan Moodie, Kristof seorang ahli geografi politik dalam tulisannya yang berjudul The Nature of Frontiers and Boundarie (1982:269–382) membedakan boundaries dan frontier sebagai berikut. 1)
Frontier mempunyai orientasi keluar, sedangkan boundaries lebih berorientasi ke dalam. Frontier merupakan sebuah manifestasi dari kekuatan sentrifugal, sedangkan boundaries merupakan manifestasi dari kekuatan sentripetal. Perbedaan ini bersumber pada perbedaan orientasi antara frontier dan boundaries.
78
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
2)
Frontier merupakan suatu faktor integrasi antara negara-negara tersebut di satu pihak, sedangkan boundaries merupakan suatu faktor pemisah. Boundaries berupa suatu zone transisi antara suasana kehidupan yang berlainan, yang juga mencerminkan kekuatan-kekuatan yang saling berlawanan dari negara yang saling berbatasan. Sedangkan frontier masih memungkinkan terjadinya saling interpenetrasi pengaruh antar dua negara yang berbatasan/bertetangga.
Sedangkan menurut D. Whittersley dalam Dhiksit (1982:101–102): Boundary adalah batas wilayah negara atau perbatasan dimana secara demarkasi letak negara dalam rotasi dunia yang telah ditentukan, dan mengikat secara bersama-sama atas rakyatnya di bawah suatu hukum dan pemerintah yang berdaulat. Frontier adalah daerah perbatasan dalam suatu negara yang mempunyai ruang gerak terbatas, tetapi karena lokasinya berdekatan dengan negara lain, sehingga pengaruh luar dapat masuk ke negara tersebut yang berakibat munculnya masalah pada sektor ekonomi, politik, dan sosial budaya setempat yang kemudian berpengaruh pula terhadap kestabilan dan keamanan serta integritas suatu negara.
Berdasarkan pendapat-pendapat tersebut, maka menurut penulis, yang dimaksud dengan wilayah perbatasan adalah: wilayah geografis yang berhadapan dengan negara tetangga, yang mana penduduk yang bermukim di wilayah tersebut disatukan melalui hubungan sosio-ekonomi dan sosio-budaya setelah ada kesepakatan antarnegara yang berbatasan. Lain daripada itu, dalam konteks perjanjian perbatasan antara Indonesia dan Papua New Guinea, berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Basic Agreement Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government of The Republic of Indpendent State of Papua New
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
79
Guinea, daerah perbatasan terdiri dari census divisions di Papua New Guinea dan desa-desa perbatasan di Republik Indonesia sebagaimana ditetapkan, dimana perbatasan merupakan bagian dari batas-batas kecamatan-kecamatan dan census divisions di perbatasan. Sedangkan menurut Pemufakatan Dasar Lintas Batas antara Indonesia dengan Malaysia Tahun 1967 yang dimaksud Perbatasan Malaysia adalah daerah perbatasan tertentu di Negara Bagian Sarawak sebagaimana tercantum dalam Lampiran A Pemufakatan Dasar ini. Daerah perbatasan tertentu ini meliputi Distrik Administration Lundu dalam First Division Sarawak, Distrik Administration Pensiagaan, Tenon, Sipitang, dan Tawau di Negara Bagian Sabah. Sedangkan Perbatasan Indonesia adalah daerah perbatasan tertentu sebagaimana tercantum dalam Lampiran B Pemufakatan Dasar ini (Kecamatan Perbatasan di Provinsi Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Pantai Timur Sumatera). Lebih lanjut, sebagai bentuk komitmen pemerintah Pusat terhadap kedaulatan, integritas wilayah maupun masyarakat di perbatasan, pada Tahun 2008, Pemerintah Pusat telah menerbitkan regulasi yang mengatur tentang Wilayah Negara, termasuk didalamnya adalah batas wilayah negara dan pengelolaannya, melalui Pasal 1 Undang-Undang No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Melalui undang-undang ini, yang dimaksud dengan Batas Wilayah Negara adalah garis batas yang merupakan pemisah kedaulatan suatu negara yang didasarkan atas hukum internasional. Berdasarkan pasal tersebut tampak bahwa Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat tidak dapat melepaskan diri dari sendisendi hukum internasional, bahkan untuk menentukan dan menetapkan sesuatu yang merupakan simbol dari kedaulatan wilayah negara. Hal ini menunjukkan bahwa hukum internasional dapat menjadi sumber hukum bagi penetapan atau pembuatan
80
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
hukum nasional. Lain daripada itu, melalui Pasal ini pula ditunjukkan bahwa penentuan kedaulatan wilayah suatu negara sebaiknya juga harus memperhatikan kedaulatan dan integritas wilayah negara lain/negara tetangganya. Lebih lanjut, dalam kaitan dengan konsep ruang, batas wilayah kedaulatan negara (boundary) amatlah penting di dalam dinamika hubungan antara negara/antarbangsa. Hal ini karena batas antarnegara atau delimitasi sering menjadi penyebab konflik terbuka. Sungguhpun demikian, penentuan delimitasi telah diatur dalam berbagai konvensi internasional. Tetapi, latar belakang sejarah setiap bangsa/negara dapat memberikan nuansa politik tertentu yang mengakibatkan penyimpangan dalam menarik garis boundary tadi dan akhirnya bertabrakan dengan negara lain. Kasus konflik teritorial di antara negara-negara berkembang adalah contoh yang amat sangat nyata karena boundary yang ditetapkan oleh penguasa kolonial tidaklah sejalan dengan sejarah bangsa maupun aspirasi politik dari bangsa yang telah menjadi merdeka. Kenyataan di lapangan membuktikan bahwa boundary tidak selamanya ditaati oleh penduduk perbatasan (terutama di daerah terpencil) yang melakukan aktifitas lintas batas untuk mengunjungi sanak keluarga di seberang boundary, atau saling berdagang secara bebas seolah-olah tidak ada boundary. Interaksi dinamis antar penduduk dua negara, atau interaksi dinamis antara dua budaya dapat membentuk satu batas semu atau frontier yang berbeda letaknya secara geografis dengan boundary aslinya. Terbentuknya frontier di dalam ruang negara yang disebabkan oleh penetrasi pengaruh seberang boundary, yang terjadi adalah daerah asimilasi (daerah di sepanjang kawasan perbatasan) dimana penduduknya cenderung untuk mendapatkan akses pelayanan ke negara tetangga yang berbatasan atau ke seberang boundary dibandingkan kepada pemerintah daerah atau pusatnya sendiri. Hal ini disebabkan karena dua hal, yaitu: pertama, kurangnya perhatian
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
81
pemerintah pusat maupun daerah terhadap masyarakat yang tinggal di sepanjang kawasan perbatasan (frontier area) atau yang lazim disebut dengan daerah asimilasi; kedua, masih terbatasnya sarana dan prasarana sosial maupun ekonomi di sepanjang kawasan perbatasan dengan negara tetangga yang mengakibatkan rentannya wilayah tersebut terhadap penetrasi budaya, politik, ekonomi dan sebagainya yang kurang sesuai. Semakin lama daerah asimilasi tidak ditangani atau diperhatikan oleh pemerintah maka ia bisa menjadi semakin meluas. Oleh karena itulah, frontier bersifat sangat dinamis. Berkaitan dengan perbatasan antarnegara, hukum internasional memberikan kontribusi yang cukup penting, terutama dalam pelaksanaan perundingan dan penandatanganan persetujuan atau perjanjian perbatasan antarnegara. Hukum internasional secara jelas dan tegas memberikan batasan tentang pemanfaatan sementara wilayah perbatasan antarnegara, tanpa harus memengaruhi klaim oleh para pihak. Hal ini dapat terjadi, terlepas dari fakta bahwa para pihak masih belum menyepakati garis batas tersebut. Persetujuan atau perjanjian perbatasan di wilayah darat maupun di wilayah laut (batas maritim) yang telah disepakati dengan negara tetangga secara tidak lengsung merupakan bukti pengakuan kedaulatan negara atas wilayahnya, tetapi kesepakatan tersebut seyogyanya perlu dituangkan dalam bentuk perjanjian, sedangkan yang sudah disepakati agar diratifikasi dalam bentuk undang-undang, hal ini pada dasarnya untu mempermudah bagi para pihak sekiranya terjadi perbedaan penafsiran terhadap pelaksanaan persetujuan atau perjanjian tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut guna mendukung pelaksanaan program pembangunan di wilayah perbatasan serta menjamin kedaulatan dan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, pada tahun 2008 telah terbit Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, dimana dengan
82
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
terbitnya regulasi tersebut maka diharapkan tidak akan timbul disharmonisasi dalam hubungan antarnegara yang tentu juga akan berpengaruh pada pola sikap dan pola tindak kita dalam mengamankan wilayah negara. Hal ini merupakan konsekuensi logis dan yuridis akan adanya sebuah limit termasuk pada suatu wilayah atau dengan kata lain di perbatasan-lah sovereinitas suatu negara akan mulai berlaku dan berakhir.
PERBATASAN MARITIM INDONESIA Laut adalah warisan bersama umat manusia, namun di dalamnya banyak sekali permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan aspek politik, sosial, dan budaya. Oleh sebab itu sejak dahulu kala orang sudah banyak membicarakan masalah peraturan-peraturan yang berkaitan dengan masalah penggunaan laut sebagai warisan bersama itu, tanpa merugikan pihak manapun tentunya. Indonesia sebagai sebuah negara yang berdaulat dan diakui keberadaannya oleh dunia internasional sudah barang tentu memiliki wilayah kedaulatannya. Wilayah kedaulatan indonesia yang berupa lautan telah mengalami beberapa kali perubahan seiring dengan perkembangan jaman dan kesadaran akan pentingnya keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pasal 25 E Undang-undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batasbatas dan hal-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Dalam kaitannya dengan pasal tersebut, ialah bangsa Indonesia harus memahami secara baik dan benar potensi-potensi yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan kemudian ditetapkan strategi pembangunannya sedemikian rupa sehingga mampu memanfaatkan secara optimal semua potensi untuk meningkatkan kualitas hidup rakyat Indonesia (SULASDI;2001).
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
83
Konsep Wawasan Nusantara pada mulanya dianggap orang sebagai perwujudan “Konsep Kekuatan” yang tercermin dalam berbagai Wawasan, di mana segenap potensi nasional kita hendak di tuangkan ke dalam salah satu matra kekuatan. Pada waktu itu belum tampak adanya satu kesatuan Wawasan yang utuh dan menyeluruh yang sekaligus berperan melindungi segenap bangsa dan dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal tersebut tercermin dalam bentuk integrasi yang serasi dan seimbang dari Wawasan Benua yang merupakan manivestasi dari Land Power, Wawasan Bahari yang merupakan manivestasi dari Sea Power, serta Wawasan Dirgantara yang merupakan perwujudan dari Air Power. Pemanfaatan secara optimal ketiga kekuatan tersebut akan dapat menjadi pedoman bagi pembinaan kelangsungan hidup bangsa Indonesia. Penegasan Wawasan Nusantara sebagai pedoman bagi pembinaan kelangsungan hidup bangsa dan sekaligus sebagai wawasan nasional bagi bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan nasional yang mencakup; perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan ideology, politik, Sosial Budaya, Ekonomi dan satu kesatuan Pertahanan dan Keamanan secara de jure mulai berlaku sejak ditetapkannya TAP MPR No. IV/MPR 1973. Dalam TAP MPR tersebut menjelaskan bahwa Wawasan Nusantara bukanlah semata-mata sebagai ‘Wawasan Pertahanan Keamanan”, tetapi sudah merupakan Wawasan bagi pembangunan nasional. Dengan demikian sebagai bentuk tindak lanjut dari hal tersebut, maka Wawasan Nusantara suatu wawasan yang dijadikan pedoman dan dasar dalam penyusunan Ketahanan Nasional disegala bidang kehidupan bangsa dan negara. Dengan demikian ruang lingkup wawasan Nusantara tidak hanya terbatas dan terpaku pada masalah pertahanan dan keamanan saja melainkan telah meliputi segenap ruang lingkup kehidupan bangsa dan negara. Sehubungan dengan hal tersebut maka hasil akhir tata kehidupan
84
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
bangsa dan negara seyogyanya merupakan implementasi dari Wawasan Nusantara di Negara Kepulauan Indonesia. Indonesia sebagai negara kepulauan dan memiliki panjang pantai 81.290 kilometer (Dishidros TNI-AL, 2003). Sejak ditetapkan (Tahun 1957) melalui Deklarasi Juanda dan dikukuhkan oleh UU No.4/PrP/l96o, yang kemudian diganti dengan Undang-Undang RI No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia serta diakui secara internasional melalui Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS) 1982, maka perairan Indonesia menjadi suatu wilayah yang utuh, dimana batas lautnya diukur dari titik pulau-pulau terluarnya. Sesuai dengan UNCLOS (1982) dan Undang-Undang RI No. 6 tahun 1996, luas Kepulauan Indonesia dan laut teritorialnya adalah 3,1 juta kilometer persegi (diukur 12 mil dari garis pangkal pada surut terendah), sedangkan Indonesia mempunyai hak berdaulat memanfaatkan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 2,7 juta kilometer persegi yang menyangkut eksplorasi, eksploitasi dan pengelolaan sumberdaya hayati dan non hayati. Batas terluar ZEE ini adalah 200 mil dari garis pangkal pada surut rendah (low water line) (Undang-Undang RI No. 5 Tahun 1983). Jadi total luas keseluruhan Kepulauan Indonesia dan perairannya termasuk ZEE adalah 5,8 juta kilometer persegi. Negara Kesatuan Republik Indonesia di wilayah maritim berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara yakni: (1) India di ujung utara Sumatera (dengan Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam, dimana pulau terluarnya yaitu Pulau Raya, Pulau Rusa, Pulau Benggala, Pulau Rondo); (2) Malaysia disepanjang Selat Malaka, dengan pulau yang merupakan titik terluar adalah Pulau Berhala di Sumatera Utara, Pulau Anambas di Provinsi Riau, Pulau Sebatik di Provinsi Kalimantan Utara); (3) Singapura disepanjang Selat Philip, dimana pulau terluarnya adalah Pulau Nipa (Provinsi Riau);
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
85
(4) Thailand dibagian Utara Selat Malaka dan Laut Andaman (pulau terluarnya adalah Pulau Rondo (Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam); (5) Vietnam didaerah Laut Tiongkok Selatan dengan pulau terluarnya adalah Pulau Sekatung (Provinsi Riau Kepulauan, Kabupaten Natuna); (6) Philipina di daerah utara Selat Makasar, dengan pulau-pulau terluarnya adalah Pulau Marore dan Miangas yang terletak di Provinsi Sulawesi Utara; (7) Republik Palau didaerah utara Laut Halmahera, dimana pulau terluarnya adalah: Pulau Fani, Fanildo dan Bras (Provinsi Papua); (8) Australia disekitar selatan Pulau Timor dan Pulau Jawa; (9) Timor Lester di sekitar wilayah Maluku dan NTT dengan pulau terluarnya adalah Pulau Asutubun (Provinsi Maluku Tenggara), Pulau Batek (Provinsi NTT), Pulau Wetar (Provinsi Maluku Tenggara); (10) Papua Nugini di sekitar wilayah Jayapura dan Merauke (merupakan perbatasan darat dan tidak memiliki pulau terluar). Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan oleh Dishidros TNI-AL tahun 2003, terdapat 92 pulau kecil terluar yang keberadaannya mempengaruhi luas wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tersebar di 17 provinsi. Pengelolaan pulau terluar tersebut kemudian ditetapkan melalui Peraturan Presiden RI Nomor 78 Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Pulau-pulau Kecil Terluar Dengan panjangnya garis perbatasan maritim, serta banyaknya pulau-pulau terluar (92 pulau) yang potensial untuk dikembangkan tetapi juga memiliki potensi konflik, serta banyaknya negara yang berbatasan (10 negara), maka perlu disusun suatu kebijakan yang menyeluruh dari kebutuhan perencanaan, mengembangkan, serta pengawasannya. Hal ini diperlukan karena dalam pelaksanaannya
86
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
terdapat berbagai pihak, baik pusat maupun daerah yang terkait. Hingga saat ini, pengembangan perbatasan baik laut maupun darat belum dilakukan optimal. Demikian juga seandainya terjadi konflik di perbatasan ataupun permasalahan lainnya (aktivitas pelintas batas) menyebabkan penanganannya kurang cepat akibat perangkat aturan pelaksananya juga belum tersedia. Pemerintah daerah, yang seharusnya dapat cepat bertindak, tidak dapat melakukan apa-apa akibat keterbatasan kewenangan yang dimiliki. Melalui penyusunan sebuah kebijakan, program yang terintegrasi antar sektor diharapkan akan dapat memperkuat peran masingmasing instansi secara bersinergi melakukan pembangunan dan pengawasan perbatasan maritim Indonesia. Wilayah Perairan Indonesia merupakan bagian dari Wilayah Negara dimana Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat. Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap laut dan wilayah pesisirnya yang menjadi Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus diartikan sebagai hak bagi negara untuk melakukan penguasaan dan pengelolaan terhadap laut guna dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Kondisi perbatasan laut yang terdiri dari wilayah laut yang berbatasan dengan negara lain beserta 92 pulau kecil terluar sebagai lokasi titik pangkal hingga saat ini masih memerlukan perhatian khusus. 92 Pulau Kecil Terluar ini tersebar di 19 Provinsi, dan 40 Kabupaten. Masih banyak segmen garis-garis batas laut yang belum disepakati antara RI dengan negara tetangga, baik batas landas kontinen, bataslaut teritorial, maupun ZEE . Hal ini berpotensi menjadi akar sengketa ekonomi dan kedaulatan dengan negara tetangga jika tidak dikelola dengan baik Perbatasan laut terdiri dari Batas Laut Teritorial (BLT), Batas Landas Kontinen (BLK) dan batas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE). Batas Laut Teritorial berhubungan dengan kepastian garis batas di laut, Batas Landas Kontinen berhubungan dengan hak atas
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
87
pemanfaatan sumber daya alam nonhayati di dasar laut, sedangkan Zona Ekonomi Eksklusif berhubungan dengan hak atas pemanfaatan sumber daya perikanan. Penegasan batas wilayah negara di laut diwujudkan dengan cara menentukan angka koordinat geografi yang digambar di atas peta laut, sebagai hasil kesepakatan bersama melalui perundingan bilateral. Upaya untuk menangani perbatasan laut diarahkan pula pada peningkatan pemberdayaan 92 pulau kecil terluar. Di sembilan puluh dua pulau ini, terdapat titik-titik dasar (TD) yang dilegalkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografi Titik-titik Pangkal Kepulauan Indonesia. Hal ini berarti, pulau-pulau tersebut menjadi penentu kepastian tiga jenis batas di laut, yaitu batas teritorial laut, batas landas kontinen, dan batas Zona Ekonomi Eksklusif. Pulau-pulau ini amat strategis bagi bangsa dan rawan konflik karena mereka sebagai penentu volume wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Wilayah Perairan Indonesia merupakan bagian dari Wilayah Negara dimana Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat. Kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap laut dan wilayah pesisirnya yang menjadi Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia harus diartikan sebagai hak bagi negara untuk melakukan penguasaan dan pengelolaan terhadap laut guna dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Indonesia, dengan luas wilayah 3,5 juta mil terbagi daratan dan perairan (1/3 daratan dan 2/3 lautan), kurang lebih ada 13.000 buah pulau menghiasi wilayah perairan ini. Pada dasarnya ada tiga garis pantai, yaitu: (1) Garis Pantai Utara menghadap Laut Tiongkok Selatan, Sulu dan Pulau Sulawesi. (2) Garis Pantai Selatan, menghadap samudera Indonesia, Laut Timur dan Laut Arafuru. (3) Garis Pantai Tengah merupakan lautan Nusantara.
88
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Adapun selat-selat yang menghubungkan garis pantai adalah: Selat Sumatera, Selat Singapura, Selat Berkala, Selat Bangka, Selat Gaspar, Selat Karimata, Selat Sunda dan Selat Makasar. Batas laut territorial dihitung 12 mil diukur dari garis dasar yang dibuat dengan menghubungkan ujung-ujung terluar dari pulau-pulau kita (point to point sistem). Dengan diakuinya Indonesia sebagai suatu negara kepulauan sejak Deklarasi Juanda sampai sekarang, dimana posisinya terletak di persilangan 2 benua dan 2 samudra, maka telah disepakati untuk membuka jalur-jalur pelayaran yang dapat dilayari oleh pelayaran internasional. Jalur-jalur pelayaran ini ada 3 (tiga), yaitu: (1) Alur Laut Kepulauan Indonesia I (ALKI I) yang meliputi Selat Malaka, Selat Sunda dan Laut Cina Selatan. (2) Alur Laut Kepulauan Indonesia II (ALKI II) yang meliputi Selat Lombok, Selat Makasar sampai Laut Sulawesi. (3) Alur Laut Kepulauan Indonesia III (ALKI III) yang meliputi alur pelayaran dari NTT, Maluku dan Papua sampai ke Philipina Dari ketiga ALKI yang ada saat ini baru ALKI I yang sudah sangat ramai dilayari oleh pelayaran-pelayaran internasional, dan banyak membuka peluang-peluang bisnis dan pertumbuhan ekonomi di wilayah sekitarnya sedangkan ALKI II dan III masih sangat jarang dilayari oleh kapal-kapal besar niaga asing. Selain peluang yang ada, terdapat berbagai ancaman yang timbul akibat dibukanya ALKI sebagai jalur terbuka pelayaran internasional, seperti kemungkinan pencemaran akibat tumpahnya tanker-tanker pengangkut minyak atau bahan berbahaya dan beracun lainnya, serta risiko kemungkinan kecelakaan akibat tabrakan kapal makin tinggi. Pada umumnya negara-negara kepulauan relatif lebih menguntungkan daripada negara yang dekat dengan daratan luas, karena: (1) Pada umumnya mempunyai potensi perdagangan internasional.
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
89
(2) Secara politis dapat lebih memainkan peranannya dalam percaturan dunia. (3) Lebih aman dan terlindung dari serangan-serangan invasional negara-negara daratan. Efektivitas kedaulatan negara di wilayah laut tergantung pada ability dan capability pemerintah dalam pemeliharaan keamanan dan penegakan hukum di wilayah laut dan pesisir perbatasan untuk selanjutnya mendukung peran segenap komponen bangsa dalam pengelolaan wilayah Perbatasan dengan negara tetangga. Potensi pulau-pulau terluar di perbatasan wilayah laut cukup besar dan bernilai ekonomi dan lingkungan yang tinggi. Beberapa pulau di Kepulauan Riau misalnya, dapat dikembangkan sebagai wilayah konservasi penyu dan wilayah wisata bahari karena kondisi alamnya yang indah. Selain itu, cukup banyak pula pulau yang memiliki potensi perikanan sehingga dapat dikembangkan untuk meningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Namun, tidak seluruh pulau dapat dikembangkan karena kondisi yang tidak memungkinkan. Dari keseluruhan pulau-pulau terluar yang ada, hanya 33 pulau berpenghuni. Pulau-pulau yang tidak dapat dihuni pada umumnya berupa pulau berbatu/pulau karang dengan luasan yang kecil sehingga sulit untuk didarati oleh kapal. Secara umum, pulau-pulau kecil terluar menghadapi permasalahan yang hampir serupa. Sebagian besar pulau-pulau kecil terluar merupakan pulau terpencil dengan aksesibilitas yang rendah serta tidak memiliki infrastruktur yang memadai. Karena jauhnya keterjangkauan dari pulau utama, pulau-pulau kecil terluar ini berpotensi bagi sarang perompak dan berbagai kegiatan ilegal. Di samping itu sebagai wilayah perbatasan, sebagian besar pulau kecil terluar belum memiliki garis batas laut yang jelas dengan negara lain serta rawan terhadap ancaman sosial budaya, pertahanan, dan keamanan.
90
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Diindikasikan pula terjadi penurunan kualitas lingkungan dan sumber daya alam akibat aktivitas manusia yang tidak terkendali seperti penambangan pasir maupun degradasi lingkungan secara alamiah (abrasi) serta belum optimalnya pemanfaatan potensi sumberdaya alam yang ada. Hal-hal tersebut dapat menyebabkan terancamnya keberadaan dan fungsi pulau-pulau kecil terluar. Tidak berkembangnya pulau-pulau terluar di perbatasan Indonesia dapat menyebabkan lunturnya wawasan kebangsaan dan nasionalisme masyarakat setempat, terancamnya kedaulatan negara karena hilangnya garis batas negara akibat abrasi atau pengerukan pasir laut, terjadinya penyelundupan barang-barang ilegal, pencurian ikan oleh nelayan asing, adanya imigran gelap dan pelarian dari negara tetangga, hingga ancaman okupasi oleh negara asing. Dari keseluruhan pulau-pulau kecil terluar yang ada, terdapat 12 pulau terluar yang diprioritaskan penanganannya oleh pemerintah karena memiliki arti strategis bagi pembangunan baik di bidang ekonomi, konservasi maupun pertahanan dan keamanan. Pulau-pulau tersebut tersebar di 6 (enam) provinsi, yaitu: Sumatera Utara, Kepulauan Riau, Sulawesi Utara, Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Daftar pulau-pulau terluar yang diprioritaskan pengembangannya disajikan pada tabel 1. Indonesia hingga kini baru menyelesaikan 15 status batas maritimnya sejak 1969 dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Thailand, dan Australia. selain keempat negara tersebut, Indonesia juga telah menyelesaikan status batas maritimnya dengan Papua New Guinea, Vietnam, dan India. Pada 1969 RI dan Malaysia telah meratifikasi perjanjian Garis Batas Landas Kontinen antara kedua negara, sedangkan pada 1970 kedua negara juga telah meratifikasi garis batas laut wilayah RI dan Malaysia.
P. Berhala
P. Nipah
P. Sekatung
P. Marampit
P. Marore
P. Miangas
P. Fani
P. Fanildo
P. Bras
p. Dana
P. Batek
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
Kupang
Rote Ndao
Supiori
Supiori
Raja Ampat
Kep. Talaud
Kep. Sangihe
Kep. Talaud
Natuna
Batam
Serdang Bedagai
Sabang
Kabupaten/Kota
Sumber: Dinas Hido-oseanografi TNI AL, 2003.
P. Rondo
Nama Pulau
1
No.
NTT
NTT
Papua
Papua
Papua Barat
Sulawesi Utara
Sulawesi Utara
Sulawesi Utara
Kep. Riau
Kep. Riau
Sumatera Utara
NAD
Provinsi
Vietnam
2
25 Ha
---
3,375 km
0,1 km2
9 km2
3,15 km 2
214,49 Ha
12 km2
Timor-Leste
Australia
Palau
Palau
Palau
Philipina
Philipina
Philipina
Singapura
2
0,3 km
60 km
Malaysia
India
Negara yang Berbatasan
2
2,5 km2
0,3 km2
Luas Wilayah (km/Ha)
Tabel 1. Pulau-pulau Terluar Prioritas
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ... 91
92
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Pada 1971, RI dan Australia meratifikasi perjanjian tentang Garis Batas Dasar Laut Tertentu (Landas Kontinen) RI-Australia. Pada tahun yang sama RI juga mempertegas status batas maritimnya dengan meratifikasi perjanjian Batas Landas Kontinen dengan Thailand, serta ratifikasi perjanjian Batas Landas Kontinen RI-Malaysia-Thailand. Pada 1972 Indonesia kembali meratifikasi perjanjian Batas Laut Tertentu (Landas Kontinen) Tambahan dengan Australia dan setahun kemudian RI meratifikasi perjanjian Garis Batas Laut Wilayah RI-Singapura. Pada 1973, RI dan PNG meratifikasi perjanjian tentang Garis Batas Tertentu kedua negara, dan pada 1974 Indonesia meratifikasi perjanjian Garis Batas Landas Kontinen dengan India. Dengan Thailand, Indonesia kembali meratifikasi perjanjian Garis Batas Dasar Laut kedua negara, dan dua tahun kemudian, RI-India meratifikasi perjanjian perpanjangan Batas Landas Kontinen hang telah disepakati kedua negara pada 1974. Sementara pada 1978 diratifikasi perjanjian Penetapan Titik Pertemuan Tiga Garis Batas dan Penetapan Garis Batas Landas Kontinen RI-Thailand-India dan dua tahun kemudian RI meratifikasi perjanjian Batas Maritim dan Kerja Sama tentang masalah yang bersangkutan RI-PNG. Terakhir, Indonesia meratifikasi perjanjian Garis Batas Landas Kontinen RI-Vietnam. Sedangkan ratifikasi Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Bagian Barat Selat Singapura antara RI dan Singapura, kini masih dalam proses. Indonesia senantiasa berupaya agar sengketa perbatasan maritim dengan negara tetangga dapat diselesaikan segera mungkin, karena penyelesaian yang baik akan meningkatkan hubungan bilateral dan multilateral yang makin baik pula. Itikad baik untuk menyelesaikan sengketa perbatasan dari berbagai pihak yang berkepentingan, sangat diperlukan agar sengketa tersebut tidak menjadi konflik yang besar.
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
93
PERSPEKTIF GEOPOLITIK Sebelum lebih lanjut mengulas tentang perspektif geopolitik tehadap perbatasan dan kedaulatan wilayah suatu negara, harus dipahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan geopolitik tersebut. Geopolitik diartikan sebagai sistem politik atau peraturanperaturan dalam wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional geografik (kepentingan yang titik beratnya terletak pada pertimbangan geografi, wilayah atau territorial dalam arti luas) suatu negara, yang apabila dilaksanakan dan berhasil akan berdampak langsung kepada sistem politik suatu negara. Sebaliknya, politik Negara itu secara langsung akan berdampak pada geografi negara yang bersangkutan. Geopolitik bertumpu pada geografi sosial (hukum geografis), mengenai situasi, kondisi, atau konstelasi geografi dan segala sesuatu yang dianggap relevan dengan karakteristik geografi suatu negara. Terkait dengan geopolitik, Gearad O Tuathail (1998:14) menyatakan sebagai berikut: “Geopolitics, as a form of power/knoledge, was born in the era of imperialist rivalry between the decades from 1870s to 1945 when competiting empires clashed and fought numerous war, all the time producing, arranging and then altering and revising the lines of power that werw the borders of the world political map.” Selanjutnya Geopolitik dapat dikatakan sebagai perkembangan dari geografi politik, dimana negara dipandang sebagai suatu organisme yang hidup dan berkembang dari waktu ke waktu. Perkembangan atau evolusi tersebut berlangsung secara spatial dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat bangsanya atau tuntutan kebutuhan akan ruang (Lebensraum). Di tangan para ahli geografi (geograf) Jerman pada saat itu, khususnya Haushofer, geopolitik berkembang dengan pesat sebagai salah satu cabang ilmu pengetahuan, dimana politik dan ruang merupakan fokus
94
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
utamanya. Sehingga kemudian Houshofer menamakan geopolitik sebagai science of the state yang mencakup bidang-bidang politik, ruang, ekonomi, sosiologi, antropologi, sejarah, dan hukum. Jika politik diartikan sebagai pendistribusian kekuasaan (power) serta kewenangan (rights) dan tanggung jawab (responsibilities) dalam kerangka mencapai tujuan politik (nasional), maka geografi politik berupaya mencari hubungan antara konstelasi geografi dengan pendistribusian tersebut di atas. Hal ini karena bagaimanapun juga pendistribusian itu harus “ditebarkan” pada hamparan geografi yang memiliki ciri-ciri ataupun watak yang tidak homogen diseluruh wilayah negara. Inilah cirinya yang ditengarai sebagai sebab mengapa efek dan efektivitas pendistribusian itu terhadap masyarakat juga tidaklah homogen sifatnya, yang disebabkan oleh dampak dan intensitas pendistribusian yang bervariasi di seluruh wilayah negara. Geopolitik suatu negara harus mampu mempertimbangkan dan memperhitungkan kerugian lokasi dan posisi geografisnya berdasarkan sudut pandang ilmu politik. Hans J. Morgenthau menyatakan bahwa letak dan kondisi geografis yang strategis merupakan salah satu unsur kekuatan nasional (element of national power). Bahkan letak dan kondisi geografi suatu negara digolongkan ke dalam unsur kekuatan nasional yang tangible. Sehubungan dengan hal tersebut, batas wilayah/perbatasan suatu negara yang nota bene juga termasuk unsur-unsur geografis memegang peranan yang sangat penting bagi penguatan potensi pertahanan dan keamanan nasional baik dari aspek ideologi, politik, sosial-budaya, perekonomian, maupun dari aspek pertahanan dan keamanan itu sendiri. Geopolitik suatu negara harus mampu mempertimbangkan dan memperhitungkan kerugian lokasi dan posisi geografisnya berdasarkan sudut pandang ilmu politik. Dalam hal ini yang menjadi dasar perhitungan adalah peta bumi politik, dan peta bumi
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
95
sumberdaya strategis, yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi. Perhitungan geopolitik dapat dilakukan suatu negara bagi kepentingan negara itu sendiri. Namun demikian, perhitungan geopolitik suatu negara dapat dilakukan oleh negara lain dan digunakan untuk kepentingannya terhadap posisi dan potensi politik dan ekonomi suatu negara, yang diwujudkan dalam keputusan-keputusan politik baik secara internal maupun eksternal, sebagaimana dikemukakan oleh Robert Mc.Coll dalam Patti Djalal (1996:5) sebagai berikut: “Geopolitics is a perfectly legitimate and useful word with explisit meaning and simply refers to geographical factors that lie behind political decisions”. Pernyataan Mc.Coll tersebut menunjukkan bahwa faktor-faktor geografis menjadi dasar penentuan keputusan-keputusan politik, dimana letak geografis suatu negara atau sekelompok negara ikut menentukan pola hubungan politik antarbangsa. Terkait dengan hal tersebut, Hans J. Morgenthau (1990:170) menyatakan bahwa letak dan kondisi geografis yang strategis merupakan salah satu unsur kekuatan nasional (element of national power). Bahkan letak dan kondisi geografi suatu negara digolongkan ke dalam unsur kekuatan nasional yang tangible. Pendapat Hans J. Morgenthau tersebut diperkuat oleh Paul Kennedy (Rivai Rass, 2001: 22) yang menyatakan bahwa faktor geografis sangat signifikan sebagai unsur kekuatan nasional yang mengedepankan arti pentingnya lokasi strategis di samping unsurunsur lainnya dalam dinamika organisme negara guna menciptakan kesejahteraan, seperti dikemukakan sebagai berikut: “...term here is not merely such elements as a country’s climate, raw materials, fertility of agriculture, and acces to trade routes-important thought they all were to its overall prosperity- but rather the critical issues of strategical location.....”
96
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Sehubungan dengan pandangan di atas, dalam konteks Indonesia sebagai negara kesatuan yang berbentuk Republik sekaligus sebagai Negara Kepulauan, maka konteks geopolitik Indonesia tercermin pada letak, lokasi, maupun posisi yang strategis, sebab secara geografis terletak pada posisi silang antara dua benua dan dua samudera. Hal yang lebih strategis lagi apabila dikaitkan dengan adanya pergeseran centre of gravity geopolitik dunia ke arah Asia Pasifik yang lebih berorientasi pada kepentingan-kepentingan laut, sehingga pada gilirannya dapat memperkuat dimensi ekonomi wilayah. Hal ini berbeda jauh dari konsep geopolitik yang dikemukakan Haushofer yang cenderung mengandalkan kekuatan nasional (power of nation) bukannya ketahanan nasional. Dampak dari geopolitik versi Haushofer ini adalah munculnya kecenderungan untuk memperluas wilayah teritorial yang pada gilirannya akan memunculkan bentuk imperialisme baru yang melanggar kedaulatan dan integritas suatu negara. Berbeda dengan para ahli geopolitik seperti Hans J. Margenthau dan Hausheover maupun para ahli geografi politik Jerman, seperti Ratzel, Ritter dan sebagainya yang lebih berorientasi daratan, Alfred Thayer Mahan lebih berorientasi pada kekuatan laut atau lebih berorientasi laut. Alber Thayer Mahan berpendapat bahwa kekuatan satu negara tidak hanya tergantung pada faktor luas wilayah daratan dan seisinya, tetapi tergantung pula pada faktor luasnya akses ke laut berikut bentuk pantai dari wilayah negara. Akses suatu negara terhadap laut akan memudahkan perdagangan yang pada ujungnya membawa kesejahteraan dan penguasaan perekonomian; sedangkan bentuk pantai yang menguntungkan akan menarik masyarakat lebih berorientasi ke arah laut. Mahan memfokuskan perhatiannya pertama kali ke wilayah Laut Tengah yang pada abad XVI–XVIII selalu menjadi
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
97
ajang perebutan dan peperangan laut. Bentuk pantai wilayah pinggiran Laut Tengah membuat penduduknya berorientasi pada laut dan perdagangan. Hal inilah yang membuat wilayah Laut Tengah pada pada saat itu menjadi pusat perdagangan dunia. Dengan berkembangnya jalur-jalur pelayaran ke Timur jauh dan Afrika serta bertambah majunya tepian barat Atlantik, maka bergeserlah persaingan perdagangan di antara negara-negara tepian di Eropa yang menjurus ke arah persaingan pengendalian jalur pelayaran tadi. Inilah awal dari pelbagai jenis konflik terbuka di Atlantik antara kekuatan-kekuatan laut besar saat itu. Sebagai ahli geopolitik yang berorientasi laut, Mahan berpandangan bahwa suatu negara dapat mempertahankan dirinya apabila negara tersebut mempunyai Angkatan Laut yang kuat. Kekuatan laut yang kuat sudah pasti akan dapat menjamin terciptanya kondisi yang stabil dalam pertumbuhan, kemakmuran, dan keamanan nasional. Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat 6 (enam) faktor yang dapat menjamin terciptanya kekuatan laut suatu negara, yaitu: (1) Letak Geografis; (2) Perwujudan Corak Pengawasan Wilayah/ Teritorial; (3) Cara Pembagian Pengawasan Wilayah/Teritorial; (4) Jumlah Penduduk yang Memadai; (5) Corak Kepribadian Nasional dan Bangsa yang Bersangkutan; dan (6) Sifat dan Sistem Pemerintahan yang Mendukung Pengembangan Potensi dan Kekuatan Laut. Sehubungan dengan konsep geopolitik dan geografi politik tersebut maka konsep geopolitik Indonesia sebagai suatu negara kepulauan dan negara maritim, memberikan pengertian sebagai suatu pengetahuan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan konstelasi geografis negara, dan memanfaatkan keuntungan letak geografis tersebut untuk kepentingan penyelenggaraan pemerintahan nasional dan berbagai penentuan kebijakan secara ilmiah berdasarkan kepada realitas dan cita-cita bangsa Indonesia.
98
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Geopolitik Indonesia tersebut secara eksplisit tertuang pada doktrin Wawasan Nusantara yang berbunyi sebagai berikut: Wujudkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagai suatu negara kepulauan (archipelagic state), yang merupakan satu kesatuan politik, satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial-budaya, dan satu kesatuan pertahanan dan keamanan negara, dalam rangka mencapai citacita perjuangan bangsa Indonesia melalui pembangunan nasional segenap potensi darat, laut, dan angkasa secara terpadu. Dalam perspektif Wawasan Nusantara tersebut, geopolitik Indonesia bukan merupakan pandangan yang bersifat politik belaka atau yang menjurus pada perluasan wilayah teritorial, tetapi lebih pada upaya memberikan arahan, aspirasi, maupun motivasi bagi bangsa Indonesia menuju pencapaian tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undangundang Dasar 1945. (Sunardi RM, 1997) . Pengelolaan, penataan maupun penegasan batas wilayah negara sebagai salah satu bentuk pembangunan nasional dan upaya pencapaian tujuan dan kedaulatan negara dalam perspektif geopolitik, secara tidak langsung terkait erat dengan prinsip geoplitik Indonesia yang tercermin secara eksplisit dalam Wawasan Nusantara, dimana batas wilayah negara mencerminkan kedaulatan negara, baik itu kedaulatan dalam bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, maupun kedaulatan dalam bidang pertahanan dan keamanan. Sehubungan dengan hal tersebut serta dengan memerhatikan potensi sumber daya hayati laut dan konsep negara laut, diperlukan strategi dan kebijakan penanganan kawasan perbatasan khususnya di wilayah laut.
PERSPEKTIF GEOSTRATEGI Pemikiran tentang geostrategis ini diawali oleh pandangan dari Alfred Thayer Mahan, seorang Laksamana Angkatan Laut Amerika Serikat (1840–1914). Menurut pandangan Mahan, geostrategis
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
99
merupakan suatu upaya meraih kekuatan yang besar dalam kancah politik internasional melalui konsep penguasaan laut (sea power). Gagasan ini menempatkan laut sebagai suatu jalan raya (a great highway) dengan sifatnya “a wide common, over which man may pass in all directions but to chosose certain lines of travel rather than others”. Lokasi laut suatu negara memberikan keuntungan bagi kemajuan sektor politik dan perekonomian negara yang bersangkutan. Sebaliknya lokasi yang terjepit (transcontinental, landlocked state) sangat merugikan perkembangan suatu negara. Berdasarkan ulasan di atas nampak bahwa yang dimaksud dengan “geostrategis” adalah strategi yang diterapkan dengan berdasarkan pada unsur atau kondisi geopolitik suatu wilayah. Geostrategi merupakan suatu kajian mengenai penentuan langkahlangkah berlandaskan faktor letak dan posisi geografis tempat atau wilayah tertentu yang menjadi obyeknya (T. May Rudy, 1992). Geostrategi dapat juga diartikan sebagai kebijakaan pelaksanaan yang menentukan tujuan-tujuan dan sarana-sarananya serta cara penggunaan sarana-sarana tersebut dan pencapaian tujuan-tujuan dengan memanfaatkan konstelasi geografis suatu negara. Oleh sebab itu, pada awalnya geostrategis merupakan perkembangan dari geopolitik, yang menitikberatkan pada bidang kemiliteran. Dalam aplikasinya di Indonesia, geostrategis diartikan sebagai suatu cara atau metode untuk mewujudkan cita-cita Proklamasi, sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Geostrategi Indonesia tumbuh dan berkembang dari kesadaran bahwa bangsa dan negara Indonesia mempunyai potensi-potensi konflik yang apabila tidak diorganisir dan dikelola akan membawa dampak pada muncul dan tumbuhnya semangat disintegrasi bangsa yang pada gilirannya dapat mencabik-cabik persatuan dan kesatuan bangsa. Oleh sebab itu, geostrategi Indonesia diharapkan dapat memberikan arahan tentang bagaimana membuat strategi pembangunan guna mewujudkan masa depan yang lebih baik,
100
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
lebih aman, tanpa mengabaikan pada jiwa dan semangat persatuan dan kesatuan. Sebagai negara kepulauan, dimana sebagian besar wilayahnya (teritorial) berupa lautan, sudah barang tentu pandangan Mahan tentang konsep geostrategis sejalan dengan konsep pembangunan Indonesia sebagai negara laut dan negara kepulauan yang mempunyai letak dan posisi silang dan sangat strategis. Berkaitan dengan letak dan posisi silang Indonesia, maka hal tersebut membawa dampak yang berpengaruh pada perikehidupan bangsa. Secara garis besar terdapat 7 (tujuh) aspek geografis yang bersifat non-fisis yang perlu mendapat perhatian, yaitu: (1) Secara demografis, Indonesia berpenduduk lebih dari 200 juta jiwa, diapit oleh negara yang berpenduduk sedikit di sebelah selatan (Australia), dan oleh negara yang berpenduduk padat di sebelah utara (RRC dan Jepang); (2) Secara ideologis, negara Indonesia yang berideologi Pancasila diapit oleh negara-negara yang berideologi liberalisme di sebelah selatan dan negara yang berideologi komunis di sebelah Utara; (3) Secara politis, negara kita terletak di antara negara yang menganut sistem pemerintahan demokrasi parlementer di sebelah Selatan dan sistem pemerintahan diktator proletariat di sebelah Utara; (4) Secara ekonomi, negara kita terletak di antara negara-negara yang menganut sistem perekonomian liberal/kapitalisme di sebelah Selatan dan sistem ekonomi terpusat di sebelah Utara; (5) Secara sosial, terletak individualisme di Selatan dan sosialismekomunisme di sebelah Utara; (6) Secara kultural, terletak di antara negara penganut budaya barat di sebelah Selatan dan negara penganut kebudayaan timur di sebelah Utara;
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
101
(7) Secara pertahanan dan keamanan, terletak di antara negara yang menganut sistem pertahanan darattal (menonjolkan kekuatan darat) di sebelah Utara dan sistem pertahanan yang berbasis kelautan (laut) di sebelah Barat, Selatan, dan Timur. (Sunardi RM, 1997) Berkaitan dengan uraian tersebut, geostrategi Indonesia tercermin pada Konsepsi Ketahanan Nasional. Dimana Ketahanan Nasional merupakan kondisi dinamis suatu bangsa yang berisi ketangguhan dan keuletan dari bangsa tersebut dan mengandung kemampuan mengembangkan kekuatan nasional, dalam rangka menghadapai ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan, baik yang datang dari dalam maupun dari luar, yang langsung maupun tidak langsung yang dapat membahayakan integritas, identitas, kelangsungan hidup bangsa dan negara serta perjuangan mengejar tujuan perjuangan nasionalnya. Konsepsi Ketahanan Nasional ini, tidak semata-mata menggunakan kekuatan fisik dan tidak hanya untuk kepentingan politik dan militer semata, akan tetapi juga memanfaatkan daya dan potensi lain yang dimiliki oleh bangsa tersebut. Oleh sebab itu, Ketahanan Nasional diwujudkan dengan mempergunakan pendekatan kesejahteraan maupun pendekatan keamanan. Dalam perspektif geostrategis tersebut, Indonesia diharapkan dapat berperan sebagai subyek yang mampu berperan sebagai centrifugal of power, dan sekaligus juga mampu memperluas sphere of influence. Hal ini dapat dicapai melalui kerja sama regional di antara negara-negara wilayah baik di tingkat subregional Asia Tenggara maupun regional Asia Pasifik dalam rangka meningkatkan Ketahanan Regional. Seperti telah diuraikan sebelumnya, berkaitan dengan letak dan kondisi geografis yang strategis pada posisi silang, maupun bentuk negara sebagai negara kepulauan dan negara laut, ternyata apabila tidak dikelola dengan baik, hal tersebut menyimpan potensi konflik yang dapat mengakibatkan disintegrasi bangsa dan
102
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
lunturnya semangat nasionalisme. Hal tersebut terutama banyak dijumpai di kawasan perbatasan dan pulau-pulau terluar/pulau kecil yang belum dapat ditangani secara optimal, baik dari aspek keamanan maupun kesejahteraan. Penanganan dan pengendalian potensi konflik yang mungkin timbul di kawasan perbatasan maupun pulau-pulau terluar/kecil hanya dapat diantisipasi dan di atasi dengan menggunakan konsep Ketahanan Nasional. Pendekatan yang berdasarkan pada konsep Ketahanan Nasional ini memperhatikan aspek alamiah dan aspek kemasyarakatan/sosial (Haryo Mataram, 1970). Aspek Alamiah dikenal dengan istilah Tri Gatra, yang meliputi: (1) Letak geografis negara; (2) Keadaan dan Kekayaan Alam; dan (3) Keadaan dan Kemampuan Penduduk. Sedangkan Aspek Sosial/Kemasyarakatan atau yang dikenal dengan istilah Panca Gatra, terdiri atas: (1) Ideologi; (2) Politik; (3) Ekonomi; (4) Sosial-Budaya; dan (5) Pertahanan dan Keamanan. Secara keseluruhan semua aspek tersebut dikenal dengan istilah Hasta Gatra (delapan gatra). Berdasarkan pada sudut pandang geostrategis Indonesia, kawasan perbatasan martim maupun pulau-pulau terluar dan pulau kecil di wilayah Indonesia merupakan suatu potensi yang harus dimanfaatkan dan dikembangkan dalam bentuk politik bertetangga yang baik. Dimana akan terwujud suatu “Keutuhan Nusantara” yang pada gilirannya akan membentuk dan membina Integrasi Nasional dalam rangka menciptakan Ketahanan Nasional Bangsa Indonesia.
PERSPEKTIF GEOEKONOMI Perspektif geoekonomi pada hakekatnya juga merupakan perkembangan lebih lanjut dari perspektif geopolitik maupun geostrategis. Hal ini karena pada dasarnya potensi ekonomi suatu
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
103
wilayah tidak dapat lepas dari faktor politik dan letak strategis suatu wilayah. Potensi ekonomi di sini lebih ditekankan pada masalah potensi kependudukan atau yang lebih dikenal dengan istilah demografi maupun letak geografis pada posisi silang jalur perdagangan internasional. Berkaitan dengan bentuk dan kedudukan Indonesia sebagai negara maritim dan kepulauan, fungsi kekuatan armada laut maupun penguasaan konsep kewilayahan laut mutlak untuk di kuasai. Sehubungan dengan hal tesebut, ada beberapa hal yang membuat wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia mempunyai peran dan fungsi yang strategis, khususnya dipandang dari sudut pandang/perspektif geoekonomi, yaitu: (1) Secara geografis Indonesia terletak di posisi silang jalur perdagangan internasional Sering dengan pergeseran center of gravity geopolitik dunia ke arah Asia Pasifik ini, maka hal tersebut menimbulkan konsekuensi semakin banyak dan kompleksnya tantangan yang harus dihadapi dalam upaya peningkatan pertumbuhan perekonomian dan perdagangan di wilayah jalur perdagangan internasional tersebut, terutama di bidang ekonomi, politik dan pertahanan keamanan. Sehingga perlu adanya kerja sama khusus melalui forum internasional baik yang sifatnya bilateral maupun multilateral (Abdul Rivai Raas, 2001). Hal tersebut secara kasuistis nampak pula terjadi di wilayah Indonesia, terutama dalam kaitannya dengan letak Indonesia di posisi silang perdagangan internasional. Sebagai negara laut sudah sejak jaman kerajaan-kerajaan Hindu sampai dengan kerajaan Islam, Indonseia (d/h Nusantara) sudah menguasai jalur perdagangan internasional, seperti Selat Malaka, Selat Makassar, dan Laut Jawa. Oleh sebab itu, sebagai konsekuensi yang harus dipikul dari posisi yang terletak di jalur perdagangan
104
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
internasional tersebut adalah banyaknya kapal-kapal yang melintasi jalur tersebut, sehingga perlunya pengawasan teritorial yang lebih cermat dan akurat, sehingga kemungkinan terjadinya pelanggaran batas teritorial kedaulatan negara terutama di wilayah laut dan perairan akan dapat dieliminir. (2) Adanya potensi sumber daya alam seperti mineral, perikanan, biota laut, potensi wisata bahari, bahkan minyak dan gas bumi di kawasan perbatasan, wilayah perairan maupun di pulau-pulau terluar serta pulau kecil yang dapat dijadikan sebagai satu sumber peningkatan pendapatan negara di sektor perekonomian. Banyak kawasan perbatasan, baik itu perbatasan di darat maupun di laut, termasuk di dalamnya pulau-pulau terluar dan pulau-pulau kecil menyimpan potensi sumber daya alam yang dapat dijadikan modal dasar bagi pembangunan nasional. Akan tetapi potensi yang dimiliki ini dapat pula menjadi sebuah potensi konflik, apabila tidak dikelola dan di-manage dengan baik. Pada kenyataannya memang masih banyak dijumpai potensi-potensi yang belum terolah dengan baik. Sesuatu yang belum disadari atau bahkan mungkin tidak ada keinginan menyadari terutama oleh mereka yang memiliki kewenangan adalah lemahnya pengawasan dan koordinasi dalam penangananan potensi di kawasan perbatasan serta pulau-pulau terluar maupun pulau-pulau kecil. Hal tersebut nampak dari masih sering dijumpainya berbagai kasus pelanggaran hukum yang terjadi di kawasan perbatasan, perairan maupun pulau-pulau terpencil tersebut, seperti penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan senjata dan obatobatan terlarang, penyusupan nelayan-nelayan asing, illegal logging, eksploitasi sumber daya alam oleh pihak asing. Ditinjau dari konsep Ketahanan Nasional, sebenarnya semua permasalahan ini bukan semata-mata pelanggaran hukum se-
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
105
mata, tetapi sudah merupakan bentuk pelanggaran kedaulatan wilayah negara, yang apabila hal tersebut dibiarkan, maka akan dapat menimbulkan munculnya ancaman baru bagi utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia, terutama dalam aspek ekonomi. Menyikapi hal tersebut, maka diperlukan adanya koordinasi dan kerja sama dalam penanganan kawasan perbatasan, baik batas darat maupun batas laut, termasuk di dalamnya wilayah perairan dan pulau-pulau terluar. Di samping itu, diperlukan pemahaman yang cukup mengenai konsep wilayah dan kewilayahan, terutama yang menyangkut Indonesia sebagai negara laut dan negara kepulauan (archipelagic state). (3) Selain potensi sumber daya alam, maupun posisi silang di jalur perdagangan internasional, aspek demografi merupakan aspek yang cukup menonjol/strategis dari sudut pandang geoekonomis. Penduduk merupakan potensi yang menentukan bagi pengembangan suatu wilayah. Aspek kependudukan disini, meliputi: Jumlah Penduduk, Tingkat Pertumbuhan Penduduk, Penyebaran Penduduk (distribusi penduduk), maupun Komposisi penduduk. Semua unsur tersebut mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pola dan arah pengembangan potensi suatu wilayah. Sebagai contoh, masih banyak pulau-pulau terpencil yang mempunyai potensi dan letak strategis, akan tetapi tidak berpenghuni karena tidak dilengkapi dengan sarana prasarana yang memadai. Kondisi ini akan memancing warga negara asing untuk singgah di tempat tersebut, secara perlahan-lahan mereka akan menetap disana yang pada gilirannya akan mengakibatkan munculnya klaim sepihak dari negara tetangga atas pulau-pulau tersebut, dengan berbagai dalih dan alasan, termasuk di dalamnya alasan telah memanfaatkan potensi yang ada di pulau-pulau
106
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut dirasakan perlu adanya distribusi penduduk ke pulau-pulau terluar dan pulau-pulau kecil maupun ke kawasan perbatasan dengan terlebih dulu disediakan sarana dan prasarana penunjang di wilayah tersebut. Dengan demikian, kemungkinan infiltrasi atau pendudukan secara sepihak oleh warga negara asing dapat dicegah atau diminimalisasikan. Dalam perspektif geoekonomi, posisi perbatasan maritim Indonesia yang strategis serta berbatasan dengan 10 negara tetangga mengindikasikan adanya peluang kerjasama yang dapat dikembangkan menjadi peluang-peluang ekonomi lainnya. Kerjasama perbatasan maritim yang dapat dikembangkan antara lain adalah: (1) Kerja sama pengelolaan lingkungan perairan seperti terumbu karang, mangrove, serta aspek-aspek lingkungan lainnya seperti membatasi terjadinya lalu lintas angkutan; (2) Kerja sama dalam mengatasi penyelundupan, pendatang illegal serta perdagangan manusia, contoh pelayaran ferry antara Batam - Singapura, Tanjung Pinang - Johor Baharu, Nunukan Tawau; (3) Kerja sama dalam pengembangan teknologi kelautan; (4) Kerja sama dalam pengelolaan pulau-pulau di perbatasan; (5) Kerja sama investasi dan keuangan; (6) Kerja sama pengembangan SDM kelautan; (7) Berbagai kerja sama lainnya di perairan perbatasan RI.
PENUTUP Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbatasan dengan 10 (sepuluh) negara, baik perbatasan darat maupun laut. Batas darat wilayah Republik Indonesia berbatasan langsung dengan negara-negara Malaysia, Papua New Guinea (PNG), dan Republik Demokratik Timor Leste (RDTL). Wilayah perbatasan darat Indonesia tersebar di 3 (tiga) pulau (Kalimantan, Papua, Timor).
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
107
Sedangkan wilayah laut Indonesia berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura, Filipina, Republik Palau, Papua Nugini (PNG), Australia, dan Republik Demokratik Timor Leste. Selain dengan Australia, sampai saat ini untuk batas ZEE masih belum ditetapkan, sedangkan untuk batas landas kontinen masih dalam perundingan, dan terakhir pada tahun 2004 telah disepakati batas landas kontinen antara Indonesia dengan Vietnam. Berbagai faktor memengaruhi tersendatnya pelaksanaan penyelesaian perjanjian perbatasan antanegara tersebut, dimana antar negara yang satu dengan yang lain sudah barang tentu memiliki perbedaan penyebabnya, sehingga tidak mudah untuk menggenarlisasikan permasalahan yang ada. Penyelesaian masalah perbatasan merupakan hal yang prioritas untuk diselesaikan, mengingat sampai saat ini banyak terjadi pelanggaran kedaulatan wilayah maupun klaim sepihak yang dilakukan oleh negaranegara tetangga kita. Namun dalam upaya mencapai persetujuan tentang garis batas ini sudah barang tentu akan dilakukan tanpa mengorbankan kepentingan nasional, mengingat kawasan perbatasan baik darat maupun laut (maritim) menyimpan potensi yang sangat strategis. Secara umum dalam pengembangan kawasan perbatasan diperlukan suatu pola atau kerangka penanganan kawasan perbatasan yang menyeluruh (holistic) meliputi berbagai sektor dan kegiatan pembangunan serta koordinasi dan kerja sama yang efektif yang dapat dimulai dari pemerintah pusat sampai ke tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pola penanganan tersebut dapat dijabarkan melalui penyusunan kebijakan dari tingkat makro sampai tingkat mikro dan disusun berdasarkan proses yang partisipatif baik secara horisontal di pusat maupun vertikal dengan pemerintah daerah, sedangkan jangkauan pelaksanaannya bersifat strategis sampai dengan operasional.
108
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
KEPUSTAKAAN AE. Modie, Geography behind politics, Chinsoun University Library, London, 1963 Anwar, Chairul, “Hukum Internasional: Horizon Baru Hukum Laut Internasional – Konvensi Hukum Laut 1982”, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1989. Anwar, Donillo, 2002, “Potensi dan Nilai Strategis Batas Antarnegara: Ditinjau dari Aspek Hukum Perjanjian Internasional”, (Materi dalam Forum Komunikasi dan Koordinasi teknis Batas Wilayah dengan tema “Mengoptimalkan Peran dan Fungsi Survei Pemetaan Dalam Pengelolaan Batas Wilayah”), Bakosurtanal bekerjasama dengan Depdagri, Forum Komunikasi dan Koordinasi Teknis Batas Wilayah, Bogor, 2002. Arsana, I Made Andi, Batas Maritim Antarnegara Sebuah Tinjauan Teknis dan Yuridis, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 2007 BAPPENAS, Kawasan Perbatasan ”Kebijakan dan Strategi Nasional Pengelolaan Kawasan Perbatasan Antarnegara di Indonesia”, Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasioanl/ BAPPENAS, Jakarta, 2004. Daldjoeni, N, Dasar-Dasar Geografi Politik, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1991. Danuredjo, Sumitro LS, HUKUM INTERNASIONAL LAUT INDONESIA – Suatu Usaha Untuk Mempertahankan Deklarasi 1957, Bharata, Jakarta, 1971. Danusaputro, St. Munadjat., Wawasan Nusantara (dalam Pendidikan dan Kebudayaan), Buku III, Alumni, Bandung, 1983 Darmaputera, Rizal., Manajemen Perbatasan dan reformasi Sektor Keamanan, Panduan Pelatihan Tata Kelola Sektor Keamanan
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
109
Untuk Organisasi Masyarakat Sipil: Sebuah Toolkit, Institute for Defense, Security and Peace Studies (IDSPS) – Geneva Centre for Democratic Control of Armed Forces (DCAF), IDSPS Press, Jakarta, 2009 Dhiksit, RD., Political Geography: a contemporary perspective, Tata/ Mc.Graw-Hill, New Delhi, 1982, Diantha, I Made Pasek,“Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982”, Cetakan Pertama, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2002. Direktorat Kelembagaan Internasional, Batas-Batas Maritim Indonesia – Negara Tetangga, Ditjen Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran – DKP, Jakarta, 2005. Dinas Hidro-Oseanografi TNI-AL, Pulau-pulau Terluar Negara Kesatuan Republik Indonesia, Jakarta, 2003. Ditjen Pemerintahan Umum Depdagri, Kebijakan Kewenangan Pengelolaan Kawasan Perbatasan, Jakarta, 2002. Ditjen Strategi Pertahanan Dephan, Pedoman Penyelesaian 10 (Sepuluh) Permasalahan Perbatasan RI-Malaysia, Departemen Pertahanan, Jakarta, 2006. Direktorat Kelembagaan Internasional, Batas-Batas Maritim Indonesia dan Negara Tetangga, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, 2005, Diantha, I Made Pasek,“Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia Berdasarkan Konvensi Hukum Laut PBB 1982”, Cetakan Pertama, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 2002. Djalal, Dino Patti., The Geopolitics of Indonesia’s Marritime Territorial Policy, CSIS, Jakarta, 1996, Istanto, Sugeng, Hukum Internasional, Penerbit Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Yogyakarta, 1998.
110
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Jusnadi, Achmad, Herie Saksono, dan Suryo Sakti H., Platform Penanganan Permasalahan Perbatasan Antarnegara, Ditjen Pemerintahan Umum – Departemen Dalam Negeri, Cetakan Kedua, Jakarta, 2005. Hadiwijoyo, Suryo Sakti., Batas Wilayah Negara Indonesia “Dimensi, Permasalahan, dan Strategi Penanganan” (Sebuah Tinjauan Empiris dan Yuridis), Gava Media, Yogyakarta, 2009. _________________, Perbatasan Negara dalam Dimensi Hukum Internasional, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011 _________________, Aspek Hukum Wilayah Negara Indonesia, Graha Ilmu, Yogyakarta, 2012 Harsthorne, Sugestion of the terminology of political boundaries, AAAG. Vol. 26, 1936, Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajagrfindo Persada, jakarta, 1996 Kristof, The Nature of frontier and Boundaries, AAAG. Vol 49, Kusumaatmadja, Mochtar, “Bunga Rampai Hukum Laut”, Binacipta, Jakarta, 1978. _________________, Pengantar Hukum Internasional, Buku I – Bagian Umum, Bina Cipta, Bandung,1982 _________________, “Konsepsi Hukum Negara Nusantara: Pada Konferensi Hukum Laut III”, Diterbitkan atas Kerjasama Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum dan Pembangunan dan Penerbit PT. Alumni, Edisi Kesatu, Cetakan Pertama, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2003. Lembaga Pertahanan Nasional, “Bunga Rampai Wawasan Nusantara I dan II”, LEMHANNAS, Jakarta, 1981. . _________________, “Bunga Rampai Pertahanan Nasional (Konsep dan Teori) I”, LEMHANAS, Jakarta, 1980.
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
111
Margenthau, Hans J., Politik Among Nations: The Struggle for Power and Peace (Politik Antar Bangsa, terjemahan Yayasan Obor Indonesia), Edisi Keenam, Jakarta, 1990 Mataram, Haryo., Ketahanan Nasional, Lemhanas, Jakarta, 1970. O Tuathail, Gerard., Thinking Critically About Geopolitics dalam Gerard O Tuathail (ed), Geopolitics Reader, Routlede – The Taylor and Francis Group, London, 1998 Parthiana, I Wayan,“Pengantar Hukum Internasional”, Cetakan Pertama, Penerbit Mandar Maju, Bandung, 1990. Pusat Survei dan Pemetaan (PUSURTA) – MABES ABRI, Wilayah Indonesia Dasar Hukum dan Permasalahannya (untuk kalangan terbatas dan tidak dipublikasikan), Jakarta, 1984, Pusat Survei dan Pemetaan (Pussurta)-MABES ABRI, Terjemahan Perjanjian Belanda –Inggris mengenai Perbatasan RI-Malaysia di Kalimantan (Perjanjian Tahun 1891, Persetujuan Tahun 1915, Perjanjian Tahun 1928), Mabes ABRI, Jakarta, 1986. Raas, Abdul Rivai., Konflik Laut Cina Selatan dan Ketahanan Regional Asia Pasifik, Sudut Pandang Indonesia, APSINDO, Jakarta, 2001. Rusyadi, Aspek Yuridis Pengamatan Selat di Indonesia (Implementasi Wawasan Nusantara dari Aspek Hukum Laut), Makalah Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Tanpa Tahun. Sumardiman, Adi, Aspek Yuridis Dalam Penataan Batas Negara, Makalah disampaikan pada Pertemuan Forum Komunikasi dan Koordinasi Teknis Batas Wilayah, Diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri dan Bakosurtanal, Bogor 8-9 Juli 2002. ______________, Seri Hukum Internasional – WILAYAH INDONESIA DAN DASAR HUKUMNYA – BUKU I – Perbatasan Indonesia – Papua New Guinea (disertai Implementasi Hukum Laut 1982), Pradnya Paramita, Jakarta, 1992.
112
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Sunardi, RM, Geostrategi Indonesia, Pengkajian Ketahanan Nasional, Pasca sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 1997. ______________, Ketahanan Regional, Pengkajian Ketahanan Nasional, Pasca Sarjana Universitas Indonesia, Jakarta, 2000. ______________,Pembinaan
Ketahanan Bangsa dalam Rangka Memperkokoh Kesatuan
Negara Republik Indonesia, PT Kuaternita Adidarma, Jakarta, 2004
T. May Rudi, Hukum Internasional I, Refika Aditama, Bandung, 2002 Weiger, Hans W, “Principle of Political Geography”, Appleton Century Crof. Inc, New York, 1957 Konvensi/Treaty/Agreement: Basic Agreement on Border Arrangements Between The Government of The Republic of Indonesia and The Government The Independent State of Papua New Guinea, 2003. Convention between Great Brittain and the Netherlands defining Boundaries on Borneo, 20 June 1891 Convention respecting the further Delimitation of the Frontier between the States in Borneo under British Protection and the Netherlands Territory in that Island, 26 March 1928. Protocol between Great Britain and the Netherlands relative to the Boundary between the State of North Borneo and the Dutch Possesions in Borneo, 28 September 1915 United Nation Convension of Law Of The Sea (UNCLOS) 1958 United Nation Convension of Law Of The Sea (UNCLOS) 1982 Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1803/XVII, tanggal 14 Desember 1962 tentang “Kedaulatan Permanen atas Sumber Kekayaan dan Sumber Daya Alam”
Perbatasan Maritim Indonesia dalam Perspektif Geopolitik, ...
113
Peraturan Perundang-Undangan: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 beserta amandemen Undang-Undang Nomor 1 tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 tentang Ratifikasi UNCLOS Undang-Undang Nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Undang-Undang Nomor 24 tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional Undang-Undang Nomor 43 tahun 2008 tentang Wilayah Negara Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2001 Tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Garis Pantai Kepulauan Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 78 tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-pulau Terluar Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2006 Tentang Tim Nasional Pembakuan Nama Rupabumi
-oo0oo-
MENJAGA KEDAULATAN MARITIM MELALUI PENINGKATAN PERAN NELAYAN DALAM PENANGANAN ILLEGAL FISHING Masyhuri Imron Peneliti Utama Sosiologi Maritim pada Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2KK – LIPI)
116
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
ILLEGAL FISHING DAN PERMASALAHANNYA Sebagai sebuah negara maritim, Indonesia memiliki wilayah laut yang lebih luas daripada daratan, yaitu sekitar 6,32 juta km2, terdiri dari 3,37 juta km2 wilayah kedaulatan Indonesia dan 2,94 juta km2 wilayah perairan berdaulat (meliputi wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif dan wilayah perairan landas kontinen) (Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014). Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor Kep. 45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia, lautan Indonesia menyimpan potensi lestari stok sumber daya ikan laut yang cukup besar, yaitu diperkirakan sebesar 6,5 juta ton per tahun. Potensi sebesar itu yang sudah termanfaatkan mencapai 5.345.729 ton pada tahun 2011. Realitas di lapangan, pemanfaatan sumber daya perikanan dipastikan jauh lebih besar karena selain belum semua hasil penangkapan ikan terdata dengan baik, juga banyak pencurian ikan yang dilakukan oleh kapal nelayan asing yang beroperasi di wilayah laut Indonesia, yang tidak dapat dihitung jumlah hasil tangkapannya. Tidak ada data yang pasti tentang jumlah nelayan asing yang beroperasi secara ilegal di wilayah perairan Indonesia. Sampai dengan awal tahun 2014, diperkirakan jumlahnya mencapai ribuan. Keberadaan kapal nelayan asing di wilayah Indonesia bermula dari peluang yang diberikan oleh pemerintah kepada para pengusaha perikanan, untuk menggunakan kapal perikanan berbendera asing, untuk melakukan penangkapan ikan di wilayah ZEE Indonesia. Untuk itu, para pengusaha bisa melakukan kerja sama dengan orang asing, atau badan hukum asing, baik dalam bentuk sewa kapal atau dalam bentuk yang lain. Peluang itu dibuka oleh pemerintah melalui Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan. Di dalam Pasal 4 PP tersebut dinyatakan
Menjaga Kedaulatan Maritim Melalui Peningkatan Peran Nelayan dalam ... 117
bahwa perusahaan perikanan dapat bekerja sama dengan nelayan dan atau petani ikan dalam suatu bentuk kerja sama yang saling menguntungkan berdasarkan pedoman yang ditetapkan oleh menteri. Adapun Pasal 5 Ayat (1) menyatakan bahwa perusahaan perikanan dapat menggunakan kapal perikanan berbendera asing untuk melakukan penangkapan ikan di ZEEI melalui kerja sama atau sewa dengan orang atau badan hukum asing. Di dalam Ayat (2) pasal yang sama dinyatakan bahwa cara kerja sama atau sewa sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh menteri. Peluang itu dibuka dengan satu tujuan, yaitu untuk meningkatkan produksi hasil laut, sehingga pendapatan pemerintah dari sektor kelautan menjadi besar. Peningkatan produksi melalui penggunaan kapal nelayan asing itu dianggap perlu dilakukan, karena armada penangkapan yang dimiliki oleh para pengusaha perikanan selain terbatas, juga kemampuan teknologinya masih kurang memadai. Sebagaigambaran, data tahun 201 3menunjukkan bahwa jumlah kapal perikanan sebanyak 639.708 unit. Dari jumlah itu,sebanyak 175.510 kapal merupakan perahu tanpa motor, dan 237.625 unit menggunakan motor tempel. Adapun yang menggunakan motor dalam (inboard motor),sebanyak 151.939 unit memiliki kapasitas<5 GT (Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014). Dari data tersebut dapat diketahui bahwa sebanyak 565.074unit kapal, atau sekitar 88,33% kapal perikanan yang digunakan oleh nelayan Indonesia adalah berbobot maksimum 5 GT. 1 Permasalahan muncul karena banyak pengusaha perikanan yang sudah mendapatkan ijin untuk menggunakan kapal perikanan berbendera asing itu tidak munggunakannya sendiri, tetapi justru menjual ijin yang dimiliki kepada nelayan asing. Akibatnya banyak kapal nelayan asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia secara tidak resmi. Diperkirakan kerugian negara akibat beroperasinya kapal asing ilegal itu mencapai 101 trilyun per tahun.2 se-
118
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
hingga setiap tahunnya Indonesia mengalami kerugian sekitar 1,4 milyar sampai dengan 4 milyar dollar AS. Hal ini tentunya sangat menyedihkan, karena nilai sebesar itu sebetulnya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat terutama nelayan, yang pada saat ini masih banyak yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Mengingat kerugian besar yang dialami oleh negara, saat ini pemerintah sangat serius dalam menangani permasalahan nelayan asing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia, antara lain dengan cara menengelamkan kapal asing yang tertangkap. Gebrakan ini cukup berhasil, namun perlu dukungan dari berbagai pihak, termasuk para nelayan dan masyarakat pesisir pada umumnya. Tulisan ini menjelaskan bagaimana peran yang bisa dilakukan oleh nelayan dalam mengatasi terjadinya ilegal fishing tersebut.
PRAKTIK ILLEGAL FISHING: KASUS SEBATIK DAN KEPULAUAN ANAMBAS Pulau Sebatik merupakan salah satu pulau yang ada di wilayah Kabupaten Nunukan, kalimantan Timur,3 yang memiliki wilayah perairan yang berbatasan langsung dengan wilayah Malaysia (Sabah, Malaysia Timur). Bahkan wilayah daratan Pulau Sebatik juga terbagi dua, yaitu Sebatik Indonesia dan Sebatik Malaysia. Posisi Sebatik Indonesia berhadapan langsung dengan Kota Tawau Malaysia, dan bisa ditempuh hanya dengan waktu sekitar 30 menit perjalanan laut menggunakan speed boat. Posisi wilayah Sebatik yang berbatasan dengan Malaysia tersebut mengakibatkan terjadinya kerawanan gangguan keamanan, baik yang berasal dari daerah lain di wilayah Nunukan maupun yang berasal dari negara tetangga, Malaysia. Karena wilayahnya yang berbatasan langsung dengan perairan Malaysia, maka banyak kapal Malaysia yang beroperasi secara ilegal di perairan Sebatik,terutama jenis kapal trawl dengan
Menjaga Kedaulatan Maritim Melalui Peningkatan Peran Nelayan dalam ... 119
kapasitas kapal sampai dengan 30 GT. Kapal-kapal trawl itu bukan hanya beroperasi di perairan Sebatik, melainkan juga di sekitar perairan Kabupaten Berau (Kompas, 16 Maret 2005). Beroperasinya trawl Malaysia di perairan Sebatik selain dilakukan oleh nelayan Malaysia, juga banyak dilakukan oleh nelayan Sebatik dan Nunukan. Meskipun demikian, trawl yang dioperasikan oleh nelayan Sebatik maupun Nunukan tersebut sebetulnya sebagian besar adalah trawl milik warga Malaysia, yang pengelolaannya diserahkan kepada orang Sebatik atau Nunukan. Cara yang dilakukan adalah toke (pengusaha) dari Malaysia meminjamkan trawl kepada masyarakat lokal, sehingga menimbulkan kesan bahwa kapal itu milik orang Indonesia. Pengoperasian trawl Malaysia oleh orang Indonesia juga dilakukan dengan cara nelayan lokal membeli trawl dari pengusaha ikan di Tawau, yang pembayaran dilakukan dengan cara mengangsur melalui penjualan hasil tangkapan ikan. Hal itu dapat dilakukan karena banyak nelayan di Sebatik dan Nunukan yang menjual ikan hasil tangkapannya di Tawau, Malaysia, karena tidak adanya pasar ikan di daerah Nunukan. Untuk mengimbangi trawl Malaysia, sekitar tahun 2005 pemerintah mengijinkan beroperasinya trawl di perairan perbatasan Indonesia-Malaysia. Tujuannya adalah untuk menunjukkan kepada negara lain bahwa perairan di Blok Ambalat dan Karang Ungaran yang diklaim Malaysia adalah wilayah Indonesia.4 Permasalahan yang muncul adalah selain hal itu dianggap merugikan nelayan kecil, ternyata trawl yang dioperasikan oleh nelayan Indonesia itu juga milik nelayan Malaysia, sehingga berakibat pada semakin banyaknya trawl Malaysia yang beroperasi di wilayah Indonesia. Oleh karena itu “legalisasi” trawl di perbatasan Malaysia tersebut kemudian dihapus. Jika Pulau Sebatik berbatasan dengan Malaysia, maka Kepulauan Anambas, yang merupakan wilayah bagian barat dari Kabu-
120
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
paten Natuna, sehingga disebut juga sebagai Natuna Barat, berbatasan dengan laut Cina Selatan di sebelah utara dan selatan, dan berbatasan dengan Malaysiadi sebelah utara. Keberadaan kapal asing menjadi masalah tersendiri bagi nelayan di wilayah Kabupaten Anambas. Kapal asing yang banyak beroperasi secara ilegal di wilayah perairan Anambas adalah kapal asing dari Thailand dan Vietnam. Kehadiran nelayan dari Vietnam yang beroperasi di wilayah perairan Anambas merupakan permasalahan pelanggaran hukum yang sangat serius,karenakapal yang digunakan adalah trawl dan masuk di wilayah jalur tiga, yang merupakan jalur penangkapan nelayan tradisional. sehingga menguras sumberdaya laut yang ada dan merugikan masyarakat nelayan. Hal itu tentu saja sangat merugikan nelayan, karena mereka terpaksa harus bersaing dengan nelayan asing, yang memiliki alat tangkap yang lebih eksploitatif. Lebih dari itu, nelayan Thailand khususnya, kadang juga mengambil hasil kebun penduduk, seperti tanaman dan buahbuahan, tanpa ada keberanian penduduk untuk mencegahnya. Ironisnya, pada saat itu, nelayan Thailand banyak yang berdomisili di Desa Nyemuk dan Kiabu, dan melakukan bongkar muat logistik di wilayah itu. Hal itu terjadi karena adanya kerjasama antara beberapa nelayan setempat dengan nelayan Thailand, karena dengan kerjasama itu beberapa nelayan merasa diuntungkan. Dengan adanya kerjasama, tidak jarang nelayan Thailand memberikan minyak dan bahan makan untuk kebutuhan pihak-pihak yang melakukan kerjasama dengannya.
PENGAMANAN ILLEGAL FISHING Geram melihat praktik illegal fishing yang dilakukan oleh nelayan asing, Menteri Kelautan dan perikanan saat ini mengambil tindakan tegas dengan menenggelamkan kapal-kapal asing yang tertangkap di wilayah perairan Republik Indonesia. Praktik penenggelaman kapal yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut
Menjaga Kedaulatan Maritim Melalui Peningkatan Peran Nelayan dalam ... 121
merupakanshock therapy yang bisa menimbulkan jera pada pelaku illegal fishing. Meskipun demikian, semua itu baru bisa dilakukan apabila praktik illegal fishing berhasil ditemukan di lapangan. Untuk menemukan terjadinya illegal fishing bukan hal yang mudah, karena terbatasnya kapal pengawas yang dimiliki oleh pemerintah. Data tahun 2014 misalnya, di seluruh Indonesia hanya terdapat 27 kapal pengawas (Barakuda dan Hiu dan sejenisnya) dengan ukuran 17 – 42 m, dan 83 kapal pengawas berupa speedboatdengan ukuran yang lebih kecil (6,5 – 12 meter) milik Kementerian Kelautan dan perikanan yang tersebar di beberapadaerah. Tabel 1 Jumlah kapal pengawas dan lokasi penempatannya (2014) No
Jumlah Kapal Pengawas
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23
4 2 2 1 1 3 3 1 2 2 1 1 2 2 4 3 2 12 2 2 1 2 2
Provinsi lokasi Penempatan Provinsi Bali Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat DIY Jakarta Sulawesi Tengah Sulawesi Tenggara Sulawesi Selatan Sulawesi Utara Sulawesi Barat Gorontalo Kalimantan Selatan Kalimantan Timur Kalimantan Barat Nusa Tenggara Barat Nusa Tenggara Timur Papua Irian Jaya Barat Papua Barat Sumatera Barat Lampung Riau
122
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
No
Jumlah Kapal Pengawas
24 25 26 27 28 29 30 31
5 2 1 5 1 5 1 4
Provinsi lokasi Penempatan Kepulauan Riau Jambi Bengkulu Sumatera Utara Bangka Belitung Aceh Maluku Maluku Utara
Sumber: Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014. Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan
Selain milik Kementerian Kelautan dan Perikanan, untuk melakukan pengawasan laut juga terdapat kapal patroli milik Polair yang menurut Dir Polair Baharkam Mabes Polri pada tahun 2015 berjumlah 74 kapal ( http://megapolitan.kompas.com/ read/2015/06/22/21191201/Keterbatasan.Kapal.Polair.Sulit.Cegah.Penyelundupan.Narkoba). Jika ditambahkan keseluruhan hanya ada 184 kapal pengawas yang melakukan pengawasan laut Indonesia. Jumlah tersebut memang bisa ditambah dengan jumlah kapal patroli miliki Angkatan laut yang berjumlah 40 unit (http:// nasional.tempo.co/read/news/2015/05/13/078666079/tangkalnarkoba-tni-al-butuh-500-kapal-patroli), atau bisa ditambah lagi dengan 60 kapal perang milik Angkatan Laut yang bisa beroperasi (dari 151 kapal perang yang dimiliki) untuk mengamankan wilayah laut (http://www.merdeka.com/peristiwa/tni-al-baru-punya151-kapal-perang-idealnya-400-kri-siap-tempur.html)5. Namun dengan jumlah total kapal di bawah 300 unit tersebut masih jauh dari memadai untuk melakukan pengawasan laut, yang luasnya mencapai 6,32 juta km2 dengan garis pantai sepanjang 99,093 km (Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014). Dengan kondisi tersebutpengawasan terhadap illegal fishingmasih sangat sulit dilakukan. Kondisi tersebut masih ditambah dengan bahan bakar yang tidak mencukupi untuk mengoperasikan kapal.
Menjaga Kedaulatan Maritim Melalui Peningkatan Peran Nelayan dalam ... 123
Tabel 2 Jumlah kapal pengawas laut dan kapal perang Republik Indonesia Instansi
Jenis Kapal
Jumlah (Unit)
Kementerian Kelautan dan Perikanan
Kapal pengawas 17 – 42 meter Speedboat
27 83
Polair
Kapal patroli
TNI AL
Kapal patroli Kapal perang
Jumlah
74 40 60 284
Kasus di di wilayah Sebatik dan Anambas misalnya, merupakan gambaran sulitnya aparat pengawas untuk menekan terjadinya illegal fishing. Di dua wilayah tersebut,aparat pengawas dari Dinas Kelautan dan Perikanan mengadakan patroli laut secara terpadu dengan mengikut sertakan Polisi Air (Polair) di wilayah masing-masing. Di Anambas, upaya menekan illegal fishing bahkan dilakukan juga dengan koordinasi dengan Pangkalan Angkatan Laut (Lanal) di wilayah itu. Akan tetapi, hal itu tidak mudah dilakukan, karena adanya beberapa kendala. Minimnya bahan bakar merupakan kendala utama, sehingga patroli bersama hanya bisa dilakukan beberapa kali dalam satu tahun. Hal itu sesuai dengan pandangan para nelayan Sebatik, yang menyatakan bahwa kegiatan patroli laut itu jarang dilakukan oleh aparat terkait. Mereka yang berpandangan demikian jumlahnya sangat besar, yaitu 80%.
124
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Gambar 1 Pandangan Nelayan tentang Pelaksanaan Kegiatan Patroli Laut di Sebatik Sumber:
Studi Penerapan Hak Pengusahaan Perairan pesisir (HP3) pada Masyarakat Pulau Kecil di Pulau Sebatik: Persepsi, Sikap dan Aspirasi Masyarakat, 2010
Selain bahan bakar, kendala lain yang dihadapi dalam mengadakan patroli laut adalah infrastruktur untuk pengawasan yang kurang memadai, karena untuk patroli kapal yang tersedia kapasitas mesinnyakebanyakan hanya 50 PK. Hal itu berakibat pada sulitnya melakukan pengejaran jika melihat ada pelanggaran. Kondisi yang sama terjadi pada Polair, karena kapal yang dimiliki tingkat kecepatannya juga rendah, sehingga untuk mengejar kapal nelayan asing yang memiliki kecepatan tinggi yang masuk ke wilayah perairan Indonesia mereka tidak mampu. Di Nunukan, Polair memang mendapatkan dukungan berupa dua kapal cepat bantuan dari Amerika.Namun biaya operasional untuk itu kurang memadai, sehingga kapal tersebut jarang digunakan. Di Anambas, Angkatan Laut sering tidak bisa melakukan tindakan apapun untuk menangkap kapal asing yang beroperasi di saat gelombang besar, karena kapal yang dimiliki hanya kapal fiber yang tidak mampu menghadapi gelombang laut.
Menjaga Kedaulatan Maritim Melalui Peningkatan Peran Nelayan dalam ... 125
Sejak tahun 2007 penindakan terhadap nelayan asing banyak dilakukan di Nunukan. Berdasarkan data dari Polres Nunukan, pada tahun 2007 ada dua nelayan yang diproses secara hukum karena terbukti mengoperasikan trawl, dan pada tahun 2008 ada tiga nelayan yang diproses. Pada bulan Juni 2009, polisi bahkan menangkap 11 kapal pukat harimua asal Tawau, Malaysia di perairan utara Kaltim (Imron, 2010). Sejak terjadinya krisis Ambalat, di wilayah perbatasan perairan Sebatik dan Malaysia pemerintah menempatkan satu armada Kapal Perang Republik Indonesia (KRI). Akan tetapi, keberadaan KRI itu ternyata tidak bisa membendung trawl dari Malaysia, karena personel-personel Angkatan Laut lebih terfokus untuk menjaga kedaulatan wilayah Republik Indonesia.
UPAYA MASYARAKAT MENANGANI ILLEGAL FISHING Masyarakat sebetulnya tidak tinggal dalam menyikapi masuknya kapal asing ilegal di wilayah mereka. Di Anambas misalnya, masyarakat menyikapi perilaku nelayan asing yang dianggap merugikan dengancara melaporkan kepada Lanal, sebagai instansi yang dianggap bertanggungjawab mengamankan wilayah laut. Akan tetapi menurut masyarakat, laporan mereka tidak pernah mendapatkan respons positif dengan berbagai alasan. Dalam versi Lanal, banyak laporan masyarakat yang dilakukan terlambat, sehingga pada waktu akan dilakukan penangkapan mereka sudah pergi. Selain itu, menurut versi Lanal, penangkapan ikan yang dilakukan oleh kapal asing umumnya terjadi pada saat cuaca tidak baik yang gelombang lautnya tinggi, sehingga dengan armada yang dimiliki tidak memungkinkan pihak Lanal untuk pelakukan patroli di tengah laut. Hal ini karena armada yang dimiliki oleh Lanal umumnya terbuat dari fiber yang tidak tahan mengahadapi gelombang tinggi, selain jumlah kapal patroli yang terbatas.
126
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Beberapa argumen yang diberikan oleh pihak Lanal ternyata disanggah oleh masyarakat. Menurut masyarakat, sangat mudah untuk menangkap nelayan Thailand, karena mereka melakukan pelanggaran secara mencolok mata. Selain itu, keberadaan mereka di Nyemuk dan Kiabu juga dianggap sebagai bukti adanya persekongkolan antara pihak Lanal dengan masyarakat. Karena itu masyarakat mengalami frustrasi karena akumulasi kekecewaan yang terus-menerus. Frustrasi yang dialami masyarakat itu mengakibatkan hilangnya kepercayaan mereka terhadap keseriusan Lanal dalam mengamankan wilayah perairan laut di sekitar Anambas, sehingga mendorong mereka untuk main hakim sendiri dengan membakar dua kapal Thailand yang berhasil ditangkap oleh warga. Hilangnya kepercayaan warga terhadap aparat keamanan (khususnya Lanal) juga dipicu oleh banyaknya pengeboman di wilayah ini, yang dianggap kurang mendapatkan perhatian yang serius dari aparat. Memang benar ada beberapa pengebom dan beberapa kapal asing yang ditangkap, namun dalam persepsi warga, hal itu dilakukan hanya sebagai lip service, dan dilakukan karena kurangnya setoran yang dibayarkan kepada aparat. Kondisi yang sama juga terjadi di Sebatik, Nunukan. Untuk mengatasi permasalahan trawlMalaysia di perairan Nunukan dan Sebatik, masyarakat Sebatik juga tidak tinggal diam. Untuk itu mereka telah melakukan penangkapan trawl Malaysia seperti yang terjadi pada tahun 1999 dan 2003. Pada tahun 1999, enam kapal trawl Malaysia ditangkap masyarakat dan diserahkan ke Dinas perikanan Kabupaten Nunukan, selanjutnya pelaku dibawa ke Tarakan. Meskipun demikian masyarakat kecewa karena pelaku tidak diproses hukum, melainkan justru dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten. Sejak saat itulah jumlah trawl dari Malaysia semakin banyak (Imron, 2010).
Menjaga Kedaulatan Maritim Melalui Peningkatan Peran Nelayan dalam ... 127
Pada tahun 2003 masyarakat melakukan pembakaran trawl dari Malaysia. Namun karena dianggap telah melakukan tindakan anarkhis, pelaku pembakaran kemudian ditahan dan diproses hukum. Kondisi tersebut membuat jera masyarakat. Meskipun demikian, pada Tahun 2004 masyarakat melakukan demontrasi di kantor Camat Sebatik, yang menuntut penghapusan trawl. Tindakan anarkhis dalam mengatasi kapal asing yang tertangkap itu bukan karena masyarakat tidak mau melaporkan ke aparat, tetapi karena laporan yang diberikan ke aparat selalu dianggap terlambat, sehingga pada saat aparat sampai ke lokasi nelayan asing yang dilaporkan itu sudah tidak ada. Itu semua terjadi karena nelayan tidak pernah diberdayakan untuk membantu aparat dalam mengatasi illegal fishing.
MENINGKATKAN PERAN MASYARAKAT Pada saat ini pengelolaan yang sentralistis dengan mengandalkan pada aparat pemerintah sudah tidak tepat lagi. Hal itu karena tidak sebandingnya wilayah laut yang harus diawasi dengan jumlah petugas yang harus mengawasi wilayah laut. Lebih-lebih mereka tidak didukung dengan sarana dan prasarana yang memadai.Begitu pula masyarakat tidak bisa dibiarkan sendiri untuk melakukan tindakan pelanggaran di laut, karena akan memunculkan anarkhi. Mengingat pelanggaran penangkapan ikan yang dilakukan oleh nelayan asing sangat marak, begitu pula banyaknya penangkapan ikan dengan alat tangkap ilegal, maka penegakan hukum perlu segera ditingkatkan. Untuk itu perlu ada koordinasi antara pemerintah dengan masyarakat dalam mengamankan wilayah laut, sehingga kinerja aparat keamanan dapat ditingkatkan. Oleh karena itu untuk melakukan pengawasan perlu dilakukan pendekatan yang inklusif, baik melakukan sinergitas antar instansi terkait, maupun dengan mengikutsertakan masyarakat. Dengan demikian prin-
128
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
sip-prinsip demokratisasi dan partisipasi dalam menjaga keamanan laut lebih dikedepankan (McCay, Bonnie J. and Jentoft, Svein, 1996). Terkait dengan hal itu, yang perlu dilakukan untuk pengamanan laut adalah melakukan sinergi bukan saja antara instansi pemerintah yang terkait, melainkan juga antara pemerintah dengan masyarakat, juga dengan pelaku usaha perikanan. Untuk itu dalam mengatasi illegal fishing, koordinasi antar instansi perlu ditingkatkan, dengan memperbanyak patroli bersama. Oleh karena keterbatasan anggaran yang dimiliki setiap instansi, perlu dipertimbangkan agar dana yang dimiliki setiap instansi bisa digabungkan untuk mengadakan patroli bersama. Dengan cara ini maka frekuensi patroli laut bisa lebih ditingkatkan, sehingga menimbulkan ketakutan bagi pihak-pihak untuk melakukan pelanggaran, baik yang berkaitan dengan illegal fishing maupun tindak kejahatan di laut. Selain itu, perlu ada perubahan politik anggaran di tingkat pusat, sehingga anggaran yang mendukung penanganan illegal fishing bisa diperbesar. Upaya untuk melibatkan nelayan dalam pengamanan laut juga perlu dilakukan, mengingat mereka dalam kehidupannya sehari-hari berada di sekitar laut, sehingga mereka akan dapat mengetahui secara lebih cepat kejadian-kejadian yang ada di laut. Hal itu juga didukung oleh potensi jumlah nelayan sebesar 2.640.095 orang, yang menghuni 12.827 desa pesisir (Kelautan dan Perikanan dalam Angka, 2014). Belum lagi jika pengawasan melibatkan jumlah penduduk pesisir sekitar 140 juta (https://alsaprudin.wordpress. com/kuliah/populasi-masyarakat-pesisir). Perlunya melibatkan nelayan dalam mengawasi terjadinya illegal fishingjuga karena keterbatasan aparat untuk melakukan pengawasan, disebabkan luasnya wilayah laut yang harus diawasi. Pelibatan masyarakat dalam menjaga wilayah laut, menurut Octavian dan Bayu (2014), juga disebabkan pemanfaatan lingkungan laut merupakan bagian integral dari masalah sosial
Menjaga Kedaulatan Maritim Melalui Peningkatan Peran Nelayan dalam ... 129
di dalam masyarakat. Hal itu bisa dipahami karena dampak dari pengoperasian kapal asing secara ilegal itu merugikan masyarakat nelayan. Dengan demikian bagi Octavian dan Bayu, diperlukan strategi untuk melibatkan masyarakat dalam berpartisipasi menjaga keamanan di sekitar wilayah perairan. Untuk melibatkan nelayan dalam mengawasi terjadinya illegal fishing, yang dapat dilakukan adalah meminta nelayan untuk melaporkan kepada aparat terkait jika melihat ada kapal asing yang beroperasi di sekitar perairan mereka. Untuk keperluan tersebut, beberapa nelayan perlu difasilitasi dengan alat komunikasi, sehingga mereka dapat dengan cepat melaporkan jika terjadi pelanggaran di laut. Pada nelayan Sebatik misalnya, hal itu akan sangat efektif karena di sana ada nelayan bagan yang setiap hari beroperasi di perairan perbatasan antara Indonesia dan Malaysia. Lokasi bagan yang diperbatasan maka setiap hari mereka bisa melihat dengan jelas terjadinya pelanggaran oleh nelayan asing yang menangkap ikan di wilayah Sebatik. Dengan demikian keberadaan bagan tersebut memiliki fungsi politis strategis, yaitu sebagai barier masuknya kapal asing dari Malaysia. Permasalahan yang terjadi adalah walaupun mereka setiap hari bisa melihat dengan jelas masuknya kapal-kapal asing dari Malaysia, namun mereka mengalami kesulitan untuk melaporkan karena tidak ada alat komunikasi. Berdasarkan kenyataan tersebut, maka pemberian alat komunikasi kepada nelayan perbatasan (walaupun hanya diberikan ke beberapa nelayan) perlu dilakukan. Dengan adanya alat komunikasi, mereka bisa segera melaporkan ke Polair atau ke Dinas Perikanan jika ada kapal nelayan asing yang masuk ke wilayah Sebatik. Begitu pula dengan nelayan di Anambas yang sehari-harinya mereka bisa melihat dengan jelas jika ada kapal asing yang beroperasi di wilayah perairan mereka. Untuk itu, kepada nelayan perlu diberikan penjelasan kepada siapa mereka harus melapor dan bagaimana cara melaporkannya.
130
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Selain di Sebatik dan Anambas, untuk memantau terjadinya pelanggaran oleh nelayan asing, sebetulnya bisa dilakukan oleh setiap nelayan dan masyarakat pesisir di kawasan perbatasan, karena sudah ada instrumen untuk itu, yaitu berupa Pokwasmas atau kelompok pengawasan oleh masyarakat yang merupakan realisasi dari program sistem pengawasan berbasis masyarakat (Siswasmas), yaitu suatu sistem pengawasan yang melibatkan peran aktif masyarakat dalam mengawasi dan mengendalikan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan secara bertanggungjawab, agar dapat diperoleh manfaat secara berkelanjutan. Program ini berdasarkan pada Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor Kep.58/Men/2001 tentang Cara Pelaksanaan Sistem Pengawasan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pemanfaatan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan.Melalui Siswasmas, pemerintah bertujuan agar masyarakat pesisir dapat ikut partsisipasi untuk melakukan pengawasan lingkungan laut agar tidak terjadi kegiatan yang merusak lingkungan. Untuk merealisasikan program siswasmas itulah maka di beberapa wilayah dibentuk Pokwasmas, yang pada dasarnya merupakan pelaksana pengawasan di tingkat lapangan, yang anggotanya terdiri dari tokoh-tokoh masyarakat, nelayan, tokoh adat, LSM serta anggota masyarakat lainnya. Dengan demikian keberadaan Pokwasmas merupakan modal sosial yang dimiliki oleh negara untuk memantau terjadinya pelanggaran di laut. Di wilayah perbatasan keberadaan Pokwasmas itu bisa diperkuat dengan memberikan bantuan peralatan untuk pengawasan seperti peralatan komunikasi dan kapal, yang bisa digunakan untuk mengawasi dan melaporkan terjadinya illegal fishing.
SIMPULAN Maraknya illegal fishing yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia merupakan realitas yang tidak terbantahkan. Kehadiran
Menjaga Kedaulatan Maritim Melalui Peningkatan Peran Nelayan dalam ... 131
kapal-kapal asing yang beroperasi secara ilegal di wilayah perairan Indonesia tersebut sangat merugikan Indonesia, karena banyak sumber daya ikan yang harusnya bisa mensejahterakan nelayan Indonesia justru dimanfaatkan oleh nelayan asing. Untuk menekan terjadinya illegal fishing oleh kapal-kapal asing, gebrakan yang dilakukan oleh Menteri Kelautan dan Perikanan dengan cara menenggelamkan kapal asing ilegal yang berhasil ditangkap, merupakan terobosan yang patut diacungi jempol, karena bisa membuat jera nelayan-nelayan asing yang akan melakukan penangkapan ikan secara ilegal di wilayah perairan Indonesia. Meskipun demikian, untuk bisa menangkap kapal-kapal asing yang beroperasi secara ilegal itu bukan hal yang mudah, karena keterbatasan sarana dan prasarana yang dimiliki oleh aparat untuk memaqntau terjadinya pelanggaran di laut. Lebih-lebih jumlah aparat keamanan sangat terbatas, dibandingkan dengan wilayah laut yang begitu luas. Untuk mengatasi hal tersebut, pelibatan nelayan dan masyarakat pesisir untuk mengawasi pelanggaran di laut sangat diperlukan. Hal itu karena kegiatan nelayan yang sehari-hari di laut, sehingga mudah mendeteksi terjadinya pelanggaran yang terjadi di lautan. Untuk itu beberapa nelayan tertentu perlu difasilitasi dengan radio komunikasi, sehingga dapat mempermudah pelaporan jika terjadi kegiatan pelanggaran di laut. Bagi masyarakat yang melakukan penangkapan terhadap pelaku pelanggaran di laut, seperti penangkapan pengoperasian trawl, semestinya tidak direspons secara negatif dengan tuduhan telah melakukan tindakan anarkhis, karena dapat menimbulkan keengganan masyarakat untuk berpartisipasi dalam penjagaan keamanan di laut. Sebaliknya kepada mereka perlu diberi apresiasi karena telah ikut serta melakukan pengamanan laut. Meskipun demikian agar ke depan peristiwa main hakim sendiri itu tidak terulang kembali, kepada masyarakat perlu disosialisasikan hal-hal
132
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan jika melihat terjadinya pelanggaran. Selain itu, yang tidak kalah penting adalah konsistensi dalam penegakan hukum, untuk menimbulkan efek jera bagi pelaku pelanggaran di laut. Konsistensi penegakan hukum itulah yang selama ini dirasakanlemah oleh masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA Balland, Jean-Marie danPlatteau, Jean-Philippe, 1996.Halting Degradation of Natural Resources: Is There a Role for Rural Communities?New York, FAO danClaredon Press. https://alsaprudin.wordpress.com/kuliah/populasi-masyarakatpesisir/ (diakses 12 Desember 2015) http://nasional.tempo.co/read/news/2015/05/13/078666079/ tangkal-narkoba-tni-al-butuh-500-kapal-patroli (diakses 12 Desember 2015) http://www.antarasumsel.com/berita/285781/besarnyakerugian-perikanan-indonesia-akibat-penjarah-asing . Diakses tanggal 3 Desember 2015 http://www.merdeka.com/peristiwa/tni-al-baru-punya-151kapal-perang-idealnya-400-kri-siap-tempur.html (diakses 12 Desember 2015) Imron, Masyhuri, dkk., 2010. Studi Penerapan Hak Pengusahaan Perairan Pesisir (HP3) pada Masyarakat Pulau Kecil di Pulau Sebatik: Persepsi, Sikap dan Aspirasi Masyarakat. Jakarta, LIPI Press. Imron, Masyhuri, dkk., 2011. Permasalahan Kelautandi Pulau Sebatik (Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta Rekomendasi Pengelolaan). Jakarta, LIPI Press.
Menjaga Kedaulatan Maritim Melalui Peningkatan Peran Nelayan dalam ... 133
Jentoft, Svein, 1989. Fisheries Management: Delegating Government Responsibility to Fishermen’s Organizations, dalam Marine Policy, 0308-597X/89/020137, April. Kelautan dan Perikanan dalam Angka Tahun 2014. Pusat Data, Statistik dan Informasi Kementerian Kelautan dan Perikanan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) Nomor Kep. 45/Men/2011 tentang Estimasi Potensi Sumberdaya Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia Kompas, 16 Maret 2005 McCay, Bonnie J. and Jentoft, Svein, 1996. “From the Bottom Up: Participatory Issues in Fisheries Management”, dalam Society and Natural Resources, 9:237-250. Octavian, Amarulla dan Bayu A. Yulianto, 2014, Budaya, Identitas dan Masalah keamanan Maritim. Jakarta, Universitas Pertahanan Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1990 tentang Usaha Perikanan Radar Kaltim, 2005. Melanggar, tapi Tetap Diizinkan, Saingi Malaysia, Kapal Trawl Nunukan Boleh Beroperasi. Minggu, 03 April.
1
2 3
Berdasarkan kategori di dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan yang menggunakan kapal perikanan berukuran paling besar 5 GT disebut sebagai nelayan kecil Menurut Ditjen PSDKP KKP, jumlah kerugian Negara tersebut dihitung dari hilangnya potensi sumber daya ikan yang ditangkap secara illegal dikalikan indeks investasi bidang perikanan di Indonesia ditambah dengan kerugian terkait ketenagakerjaan SaatiniProvinsi Kalimantan TimursudahdimekarkanmenjadiProvinsi Kalimantan Utara, sehinggaPulauSebatik, KabupatenNunukanmenjadibagiandariProvinsi Kalimantan Utara
134
4 5
Menuju Kedaulatan Maritim Indonesia
Radar Kaltim “Melanggar, tapi Tetap Diizinkan, Saingi Malaysia, Kapal Trawl Nunukan Boleh Beroperasi”. Minggu, 03 April 2005. 60 kapal laut miliki Angkatan Laut tersebut beroperasi mengamankan wilayah laut di tigajaluralurlautkepulauan Indonesia (ALKI)
-oo0oo-