i
ii
iii
KATA PENGANTAR Segala
puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan
rahmat dan hidayahNya jualah penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Hanya Allah-lah sumber dari segala ilmu pengetahuan yang maha luas. Dibandingkan dengan ilmu-Nya, maka ilmu yang Allah berikan kepada penulis ibarat setitik air di samudra yang luas. Sekalipun saya telah menjadi ketua Mahkamah Agung dan telah mendapatkan gelar Doktor dalam bidang ilmu hukum, saya tetap merasa sebagai hamba Allah yang memiliki kelemahan dan kekuarangan ilmu, jika dibandingkan dengan ilmu Allah yang tiada terbatas. Dalam sejarah panjang Indonesia, dengan segenap gegap gempita dan diskusi tentang demokrasi yang menyertai perjalan panjang bangsa kita, bahwa Hak Asasi Manusia (HAM) adalah merupakan suatu persoalan penting untuk menentukan demokratis atau tidaknya suatu negara. HAM adalah merupakan pembicaraan tentang kedirian kemanusiaan, dasardasar epistemik seseorang menjadi manusia. Semenjak di dalam perut wanita yang mengandung, persoalan HAM seseorang mulai diperdebatkan. Apakah boleh atau tidak membunuh janin dalam rahim sang wanita yang mengandung, terlepas anak yang dikandungnya diakibatkan oleh hubungan gelap atau hubungan sah, adalah merupakan perdebatan mendasar tentang kehidupan seseorang. Dan sinilah bermula suatu episode sejarah pemikiran HAM itu dimulai, dengan menghargai janin tersebut. Karena dari janin itulah akan lahir manusia yang tumbuh dengan hak-hak dasar yang dimilikinya. Hak ini menjadi
iv
otoritas tunggal sang manusia tersebut, sepanjang sejarah hidupnya dan harus dihormati oleh orang lain. Namun harus ditekankan, penghormatan ini hanya berlaku apabila yang bersangkutan juga menghargai HAM orang lain. Berangkat dari kesadaran akan kedirian manusia inilah, maka penulis terpanggil untuk melakukan upaya-upaya serius untuk menegaskan posisi HAM sebagai sesuatu yang harus dijaga dan dilindungi. Dan perlindungan itu tidak hanya sebatas kampanye dan dukungan akan otoritas HAM yang melekat pada individu tersebut, tetapi yang jauh lebih penting adalah bagaimana HAM bisa terjamin secara hukum. Dengan demikian, universalitas HAM adalah sama dengan universalitas nilai-nilai kemanusiaan. Universalitas nilai-nilai kemanusiaan adalah merupakan turunan dari universalitas "nalar" ketuhanan. Kar€na-nya, pengaturan yang universalitas seperti HAM ini harus menjadi suatu dasar pijakan di masa yang akan datang. Keberadaan buku ini adalah merupakan upaya untuk menghargai kemanusiaan sebagai sesuatu yang universal. Karena dengan cara seperti ini, HAM yang universal itu bisa di dorong untuk ditegakkan. Penegakkan HAM adalah merupakan upaya untuk menemukan kembali dasar-dasar kemanusiaan dan memberikan jaminan bahwa HAM sebagai suatu hak dasar harus di dukung dan dijaga dengan berbagai cara, termasuk menulis dan menerbitkan buku yang dapat menjadi sumber pencerahan bagi pembacanya. Menurut penulis, menulis buku adalah pekerjaan besar untuk menemukan kerangka dasar, menegakkan ideologi, menciptakan wacana, membedah nalar untuk menegakkan peradaban manusia dan kemanusiaan itu sendiri. Sebagai kerja membangun peradaban, menulis adalah merupakan kerja v
berpikir untuk menemukan kerangka pemecahan atas persoalan-persoalan kemanusiaan. Dalam konteks ini, inspirasi menulis sebagai kerja peradaban harus di dukung oleh banyak data, banyak asumsi, banyak teori dan juga banyak nalar. Pada titik inilah penulis sadar akan posisi kemanusiaan yang terbatas itu. Karena itu, sudah pada tempatnya-lah, apabila penulis mengenang kembali ayahanda almarhum dan ibunda, yang dengan penuh kasih sayang telah mengasuh, membesarkan dan mendidik penuis hingga menjadi seperti sekarang ini. Juga kepada ayah dan ibu mertua penulis, yang semasa hidupnya telah banyak memberikan dorongan dan dukungan moril maupun materil untuk mencapai cita-cita yang mulia ini, saya tidak mampu membalas jasa mereka semua. Semoga Allah SWT senantiasa berkenan melimpahkan rahmat dan magfirah-Nya kepada beliau. Doa yang dimohonkan juga kepada yang terhormat dan amat terpelajar bapak Profesor Dr. H. Bambang Poernomo, SH., dan bapak Prof. Dr. FX Soegeng Istanto, SH yang telah memberikan sumbangan pemikiran yang cukup besar dalam proses perjalanan pemikiran penulis, terutama selama menjalani masa kuliah program doktor di UGM. Berhubungan dengan mereka memberikan pengalaman dan telah menambah khasanah keilmuan bagi penulis. Saya tidak melupakan jasa guru, baik disekolah dasar, sekolah lanjutan pertama, sekolah menengah atas, dan Para dosen serta guru besar pada fakultas hukum UNHAS, Program Magister Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana, program Doktor Pascasarjana Universitas Gajah Mada. Secara khusus penulis ingin vi
menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada bapak Prof. Dr. H. Bagir Manan, SH., MCL., selaku mantan ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia, maupun sebagai Guru Besar yang telah banyak memberikan pandanganpandangan dan dorongan moril kepada saya dalam usaha meningkatkan ilmu. Semoga Allah SWT, berkenan membalas jasa beliau dengan pahala-Nya. Ucapan terima kasih disampaikan kepada bapak mantan Rektor UNHAS dan mantan Dekan Fakultas Hukum UNHAS, bapak mantan Rektor dan Ketua Magister program Pascasarjana Universitas Krisnadwipayana dimana penulis menyelesaikan sarjana hukum, Rektor dan Direktur Sekolah Pascasarjana UGM, ketiga universitas inilah yang telah memberikan ilmu yang sungguh tidak bisa dihitung dengan nilai material. Ucapan terima kasih juga ditujukan kepada rekan-rekan Hakim Agung dan staf pada Mahkamah Agung Republik Indonesia yang tidak sempat disebutkan namanya satu persatu yang telah banyak memberikan semangat masukan, sehingga penulis bisa menjadi Ketua Mahkamah Agung. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada ketiga Tim Editor yang telah secara serius mengedit dan mengerjakan buku ini. Mereka adalah Dr. Hamzah Halim, Dr.Slamet Sampuerno Soewondo, serta Fajlurrahman Jurdi, ketiganya adalah penulis muda yang cukup produktif. Di tangan merekalah naskah disertasi saya bisa mewujud dalam bentuk buku yang Nadir ditangan pembaca saat ini. Atas sentuhan tangan ketiganya, serta konsolidasi dan dorongan mereka secara terus menerus, maka buku ini bisa diterbitkan. vii
Akhirnya, secara khusus, karya dan hasil perjuangan ini saya persembahkan kepada istri saya Herawati Sikki, SH., MH., yang dalam suka dan duka mendampingi penulis dan senantiasa dengan penuh kesabaran mendorong serta membantu sehingga buku ini dapat terwujud. Tanpa dorongan dan bantuannya sulit penulis mewujudkan cita-cita seperti sekarang ini. Juga kepada Ananda Andi Hartati Harifin, SE.; Yogo Muntoro SE., MM,; Ir. Andi Julia Cakrawala Harifin, Mst. Dan Ir. Rina Riswanati, Kiki serta cucu saya Adith, Rifda, Rani, Ikhsan dan Hilmi, yang dengan penuh pengertian — hingga kewajiban penulis untuk memenuhi hak-hak dan kebutuhan mereka terabaikan. Kepada Allah SWT, penulis memanjatkan doa semoga berkenan menerima hasil karya ini sebagai aural ibadah kepada-Nya dan semoga pula buku ini bermanfaat bagi Bangsa dan Negara. Amin.
Jakarta, 6 Juni 2009 Harifin A. Tumpa
viii
PENGADILAN KEJAHATAN KEMANUSIAAN . MENEGOSIASIKAN PENEGAKAN HAM DI INDONESIA Dr. Hamzah Halim, Dr. Slamet Sampurno Soewondo & Fajlurrahman Jurdi
Hak asasi manusia adalah merupakan hak yang melekat di dalam diri pribadi individu, dan hak ini merupakan yang paling mendasar bagi setiap individu untuk berdiri dan hidup secara merdeka dalam komunitas-komunitas masyarakat. Bangunan dasar HAM yang melekat di dalam episentrum otoritas individu yang merdeka, merupakan bawaan semenjak lahir, sehingga tidak bisa di gugat dengan banalitas pragmatisme kepentingan kekuasaan, ambisi dan hasrat. Dengan dan atas nama apapun, bahwa dasar-dasar kemanusiaan yang intim harus dilindungi, dipelihara dan tidak dibiarkan berada sama sekali dalam ruang-ruang sosial yang mengalienasinya. Inilah yang akan menjadi dasar epistemologis buku ini, apabila di baca di dalam setiap lekuk-lekuk narasinya dengan perspektif kebebasan dan kemerdekaan akademis. Penelusuran historis dan pentakfiran (pemberitahuan) paham HAM itu harus dimulai dengan memfokuskan penelaahan terhadap satu periodesasi awal sejarah perkembangan HAM itu sendiri. Kajian ini berguna untuk membantu kita agar mampu memverifikasi, dan mentata urutkan keseluruhan ix
silsilahnya, guna mempermudah pentransmisiannya agar tidak mengalami penceceran di dalam proses pengejewantahanya, dari satu konteks pemahaman periodik ke sistematika pemahaman konfrehensif yang utuh —tentang pengakuan HAM sebagai ideologi universal — (total) bukannya yang partikular. Ide ini merupakan parameter untuk mengukur derajat perkembanganya pemahaman dan pemenuhan HAM, dari satu generasi sejarah tertentu menuju ke proses peradaban dan perkembangan HAM itu bersesuaian dengan dimensi perubahan zaman. Ini salah satu fakta mendasar di dalam kehidupan manusia dan hams dikaji, dan dipertahankan terus-menerus di dalam pikiran kita. Sebagai "sejarah dunia" ia merupakan risalah kompleksitas dari proses perjalanan akan kesadaran din dan kebebasan
manusia
untuk
memperjuangkan
jati
diri
dan
pemenuhan
kemartabatannya. Pada periode 1215 kekuatan para bangsawan berhasil mendesak para raja-raja di Inggris untuk segera memberikan Magna Charta Libertatum sebagai wujud realisasi dari pelbagai tuntutan-tuntutan rakyat. Kekuatan kolektif kaum bangsawan ini dipedomani oleh volume dan dinamika konflik yang berkepanjangan yang terjadi pada level aristokrasi berhadapan dengan kalangan feodalis (para raja) hampir selama empat puluh tahun yang kemudian bermuara pada penandatanganan dokumen ini di dekat istana Winsdor. Peristiwa ini memiliki nilai historis yang sangat monumental di dalam "sejarah dunia" umat manusia. Dibalik itu termaktub pengakuan legitimasi paham historis HAM, karena ia memiliki nilai postulat pokok dan merupakan dokumen pertama sejarah HAM yang relatif konstruktif, tertata dan pada prinsipprinsipnya menghargai, sekaligus melindungi hak-hak individu. x
Penafsiran dokumen ini selanjutnya telah di klasifikasikan sebagai ide positivisasi — pembatasan tertulis, bagi kekuasaan raja di negaranegara Eropa dan dijadikan Undang-Undang Kerajaan Inggris yang pertama. Ide dasarnya, perjanjian itu memuat ketetapan-ketetapan yang menentang segala bentuk tekanan, intimidasi maupun tindakan represif terhadap warga negara. Dasar-dasar penetapan perjanjian itu, pun juga pemberian Magna Charta Libertatum (1215), berpedoman pada dua postulat pokok yang dimaksud melarang sistem penahanan, penghukuman dan perampasan benda-benda hak milik manusia dengan sewenangwenang. Sebagai lanjutannya, pada 1679 dihasilkan Habeas Corpus, sebagai suatu dokumen keberadaban hukum yang bersejarah yang menetapkan bahwa orang yang harus ditahan harus diperhadapkan dalam waktu tiga hari kepada seorang hakim yang diberitahu atas tuduhan apa ia ditahan4. Postulat dasar ini merupakan sebuah pondasi bagi upaya untuk melihat kembali masa lalu penegakkan HAM sebagai preferensi awal untuk memahami, bahwa historisitas suatu peristiwa masa lalu yang berkaitan dengan kemanusiaan adalah merupakan suatu kerangka epistemik untuk melihat apa yang terjadi di masa kini. Bahwa penegakkan HAM sebagai suatu nilai dasar kemanusiaan akan terbangun bersama dengan kesadaran sejarah manusia tentang kebangkitan, kemerdekaan dan kebebasan, karena ketiganya tidak akan terpisahkan dari diskursif sejarah yang jatuh bangun, sama persis dengan jatuh bangunnya manusia bersama peradaban yang 4
Emilianus Afandi, Menggugat Negara: Rasionalitas Demokrasi, HAM dan Kebebasan: European Union dan PBHI, Jakarta: 2005, hal. 11-12.
xi
dibentuknya. Pergantian musim sejarah yang bersamaan dengan berputarnya nilai-nilai kemanusiaan, maka perbincangan tentang kemanusiaan beserta hak yang melekat di dalamnya, tidak mungkin bisa diselesaikan dengan teori yang singkat dan indakan yang pragmatic. Kemanusiaan sebagai sumber kesejarahan, adalah merupakan suatu konteks, dimana seluruh instrumen kemanusiaan akan menjadi suatu komunikasi sejarah yang panjang. Sebagaimana juga rotasi kekuasaan basil dari perubahan struktur kekuasaan, maka di dalam Bill of Rights (1689) dengan memberi pengakuan hak parlementaris di Inggris dan pengakuan itu untuk mengafirmasikan satu konklusi, hanya negara Inggrislah pertama-tama di dunia yang menggunakan konstitusi yang modern. Padahal maksud paham ini adalah bahwa hak-hak manusia itu bukan karena diberikan kepadanya oleh masyarakat, jadi bukan juga berdasarkan hukum positif yang berlaku melainkan berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Manusia memilikinya karena ia manusia. Di dalam paham HAM bahwa tidak dapat dihapus atau dinyatakan hilang dan tidak berlaku oleh negara. Negara
apat saja tidak
mengakui hak asasi itu, sehingga hak asasi tidak dapat dituntut di depan hakim. Di dalam perkembangannya, paham ini menyatu dengan satu tesis filosofis John Locke dalam dimensi toleransi religius, yang berpedoman bahwa semua manusia diciptakan sama dan memiliki hak-hak alamiah (natural rights) yang tidak dapat dilepaskan (inalienable) di antaranya hak atas hidup, hak kemerdekaan dan milik, dan juga hak untuk mengusahakan kebahagiaan. Hak-hak ini tidak bisa dilepaskan xii
dari eksistensi manusia sebagai manusia dalam kehidupannya. Tetapi, dan justru itulah yang menentukkan bahwa hak-hak tetap dimiliki dan melekat di dalam diri manusia. Suatu negara yang tidak mengakui hak-hak yang dimiliki manusia sebagai manusia, menunjukan bahwa martabat manusia belum diakui secara sepenuhnya dalam negara itu. Inilah prinsip dasar pemahaman akan HAM. Melalui hak asasi itu tuntutan moral yang prapositif dapat direalisasikan dalam hukum positif. Melihat silsilah dokumen politik HAM ini dapatlah digambarkan bahwa teks-teks ini bukanlah hanya dikodifikasi pertama kali di Inggris, bahkan dikodifikasi juga pada Deklarasi Amerika (1776-1789) dan Deklarasi Perancis (1789), dengan secara tegas mengumandangkan suatu konsepsi khusus tentang manusia dan masyarakat. Dan ini dijadikan pedoman bagi setiap pernyataan tentang pengagungan hak alamiah manusia itu. Bagi deklarasideklarasi ini, "manusia" dapat dikatakan manusia apabila ia telah memenuhi kriteria pokok terhadap pengakuan hak-hak yang dimilikinya. Keutuhan hak-hak alamiah itu melekat di dalam diri manusia sebagai satu-kesatuan yang utuh dalam eksistensi dan kemartabatanya, sehingga ia tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun juga. Adapun hak-hak itu meliputi; hak atas kemerdekaan, kebebasan, menikmati hak miliknya tanpa digangu gugat, tidak ditindas oleh suatu pemerintahan yang tiran, dan mampu menyatakan pendapat dengan bebas. Kebebasan itu rohdari ide awal perumusan perjuangan demokrasi di belahan negaranegara Eropa yang telah menjelma dalam konstatif dari konsep demokrasi dan sistem pembentukan pemerintah. Konstruksi konseptual ide-ide itu tercermin dari sebuah adagium "dada demokrasi tanpa kebebasan" dan bahwa kebebasan dan xiii
demokrasi merupakan satu unit inti yang tidak dapat dipisahkan di dalam pemenuhan HAM.5 Sehingga, kebebasan dan kemerdekaan individu sebagai suatu terma umum demokrasi merupakan sesuatu yang harus tetap dibela. Dan buku ini adalah upaya untuk menegosiasikan kenyataan-kenyataan yuridis internasional dengan realitas lokal penegakkan hak-hak kemanusiaan. Berbagai konvensi, model-model kejahatan, yurisdiksi-yurisdiksi internasional, teori-teori dasar, prinsip-prinsip dan realitas pelanggaran HAM beserta 5
Ibid. 13-14 upaya peradilan yang melingkupinya adalah merupakan suatu kajian
yang sungguh sangat "menggairahkan". Dengan mengikuti narasi Ifdal Kasim 6 , saya melihat buku ini sebagai suatu gagasan yang memiliki akar pengetahuan dan pengalaman yang mendalam mengenai HAM. Beberapa kejahatan yang dicantumkan di dalam konvensi internasional, seperti Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Genosida dan Konvensi Penyiksaan, adalah merupakan konvensi yang secara jelas menunjukkan adanya kewajiban untuk melakukan penghukuman terhadap kejahatan kemanusiaan. Lebih lajut Kasim menjabarkan, sebagai berikut: 1. Konvensi Jenewa 1949. Keempat Konvensi Jenewa dinegosiasikan pada tahun 1949 untuk mengkodifikasi aturan internasional tentang perlakuan terhadap 5
Ibid. 13-14 Ifdal Kasim, Pengadilan Flak Asasi Manusia Dalam Konteks Nasional dan lnternasional: Disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional Ke-VIII, BPHN, Bali 14-18 Juli 2003. 6
xiv
tawanan, perang dan warga sipil di wilayah yang diduduki. Konvensi Jenewa termasuk perjanjian yang paling banyak diratifikasi. Masing-masing konvensi tersebut memuat pernyataan spesifik tentang "pelanggaran berat," yaitu kejahatan perang di bawah hukum internasional yang memiliki liabilitas individual dan wajib diadili oleh negara. 7 Pelanggaran berat tersebut mencakup pembunuhan, penyiksaan atau perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi, menyebabkan penderitaan atau cedera berat terhadap badan atau kesehatan, penghancuran harta Benda secara berlebihan yang secara militer tidak bisa dijustifikasi, secara sengaja tidak memberikan kesempatan pengadilan yang adil bagi penduduk sipil, dan penahanan secara melanggar hukum terhadap warga sipil. Para penandatangan Konvensi jenewa memiliki kewajiban untuk menyelidiki, mengadili dan menghukum para pelaku pelanggaran berat konvensi tersebut kecuali bila mereka menyerahkan para pelaku tersebut untuk diadili pihak negara lainnya. Commentary to the Conventions, yang merupakan sejarah resmi proses negosiasi yang berujung pada disahkannya Konvensi tersebut, memperkuat bahwa kewajiban untuk mengadili tersebut bersifat "mutlak," berarti, inter alia, tidak ada negara yang sudah mengesahkan konvensi tersebut boleh, alam kondisi apa pun, memberikan imunitas atau amnesti dari pengadilan terhadap pelanggaran berat. Namun, kewajiban untuk mengadili tersebut terbatas untuk 7
Lihat Virginia Morris & Michael P. Scharf, An Insider's Guide To The International Criminal Tribunal For The Former Yugoslavia 64-65 (1995).
xv
konteks konflik bersenjata internasional. Ada dua alasan mengapa Konvensi jenewa tidak bisa diberlakukan pada negaranegara
yang
dicontohkan
di
muka,
yang
menolak
mengadili
para
penanggungjawab kekejaman. Penama, perlu ada jumlah kekerasan yang amat besar untuk bisa disebut sebagai konflik bersenjata, untuk membedakannya dari gangguan dengan tingkat lebih rendah seperti kerusuhan atau pertempuran sporadis yang terisolir. 8 Kedua, kekerasan di negara-negara tersebut tidak memiliki karakter internasional seperti yang dimuat di dalam Konvensi Jenewa. Persyaratan konflik intemasional berasal dari keempat Konvensi tersebut, yang menjelaskan konflik intemasional sebagai perang yang dinyatakan secara resmi atau konflikbersenjata lainnya antara dua atau lebih pihak berdaulat, bahkan bila kondisi perang tersebut tidak diakui oleh salah satunya, dankasus-lcasus pendudukan total atau sebagian terhadap wilayah salah satu pihak, bahkan bila pendudukan tersebut tidak dihadapi dengan perlawanan bersenjata9. 2. Konvensi Genosida. Konvensi Genosida mulai berlaku sejak tanggal 12 Januari
1952, dan sudah diratifikasi oleh banyak negara 10 . Seperti konvensi-konvensi Jenewa, Konvensi Genosida memberikan kewajiban mutlak untuk mengadili
8
Lihat THEODOR MERON, HUMAN RIGHTS IN INTERNAL STRIFE: THEIR INTERNATIONAL PROTECTION 46 (1987). Untuk diskusi tentang perkembangan sejarah istilah "perang" dan "konflik bersenjata," lihat Werner Meng, War, dalam 4 ENCYCLOPEDIA OF PUBLIC INTERNATIONAL LAw 282 (1982); Karl Josef Partsch, Armed Conflict, dalam 1 ENCYCLOPEDIA OF PUBLIC INTERNATIONAL Law 249 (1992) 9 Lihat Pasal 2 Konvensi Jenewa I, II, III dan IV, supra catatan kaki 14. 10 Hingga tanggal 31 Desember 1993, 112 negara sudah mengesahkan konvensi ini.
xvi
orangorang yang bertanggung jawab atas genosida, seperti didefinisikan di dalam Konvensi. Konvensi tersebut mendefinisikan genosida sebagai salah satu tindakan berikut ini, bila dilakukan "dengan tujuan untuk menghancurkan, secara keseluruhan maupun sebagian, sebuah kelompok nasional, etnis, rasial atau religius. Konvensi Genosida memiliki dua pembatasan yang menjadikannya tidak bisa diterapkan pada sebagian terbesar kasus di atas. Pertama, konvensi tersebut hanya berlaku pada mereka yang memiliki tujuan spesifik untuk menghancurkan sebagian besar populasi kelompok yang menjadi sasaran. Kedua, para korban harus merupakan salah satu kelompok yang dijelaskan di dalam Konvensi Genosida, yaitu nasional, etnik, rasial atau religius. Perlu diperhatikan bahwa para perancang Konvensi Genosida secara sengaja mengabaikan tindakantindakan yang ditujukan kepada "kelompok politik" dan tidak mencantumkannya di dalam definisi genosida. 3. Konvensi Penyiksaan. Konvensi Penyiksaan mulai berlaku pada tanggal 26 Juni
1987 dan saat ini hanya disahkan oleh 79 negara11 Banyak kejahatan brutal yang dilakukan di negara-negara yang disebutkan di atas; tercakup di dalam definisi ini.
11
Konvensi melawan Penyiksaan dan Pelakuan atau Hukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat, dibuka untuk ditandatangani 4 Februari 1985, UN GAOR Supp. (No.51) hal 197, UN Doc. A/39/51 (1984).
xvii
Tampaknya gagasan ini rnendapatkan relevansi dalam bagian kedua point C di dalam buku ini, yang jugs mendedah secara mendalam tesis-tesis yang berkaitan dengan kejahatan yang tclah di konvensi. Karena Konvensi Jenewa, Genoside, dan Penyiksaan adalah merupakan konvensi paling penting di dalam proses perkembangan penegakkan HAM, maka buku ini telah secara sistematis membangun kerangka dasar pemikiran ke arah itu. Dengan asumsi-asumsi teoritik akademis dan di combaint dengan data-data serta konvensi yang dianalisis oleh penulis dengan bekal ketajaman analisis sebagai seorang ilmuan penyandang gelar doktor dalam bidang hukum serta disandarkan pada kekayaan dan kematangan pengalaman sebagai seorang praktisi hukum kurang lebih 40 tahun, maka buku ini mengajak kita untuk menemukan dasar-dasar epistemik dengan kajian yang berkhasanah intelektual. Yurisdiksi Pengadilan HAM di Indonesia. Di Indonesia pengakuan dan perlindungan serta penegakan HAM secara yuridis telah dijamin dalam berbagai aturan baik pada UUD 1945 maupun dalam undangundang lainnya yang menjadi implementasi dari UUD 1945 sebagai sebuah perwujudan negara yang berdasarkan atas hukum "Rechtstaat" tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka "Machtstaat". Dalam sejarah panjang Indonesia sebagai suatu bangsa merdeka, masalah HAM selalu menjadi kisah yang mengerikan. Dari satu rezim ke-rezim yang lain, masalah HAM menjadi isu yang perlu mendapatkan apresiasi. Masa Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun dengan otoritas kekuasaan yang hampir sempurna xviii
kediktatorannya, pelanggaran HAM telah menjadi dosa kolektif aparat negara pada era itu. Negara yang "angker" di bawah kendali rezim saat itu telah melakukan serangkaian tindakan kejahatan kemanusiaan secara sistematis, dan tindakan itu telah memakan ratusan ribu bahkan jutaan korban jiwa yang tidak berdosa sama sekali. Namun setelah Orde Baru hengkang dari panggung politik, teriakan-teriakan kekuatan penopang demokrasi untuk menegakkan HAM menjadi riuh dimana-mana, serta riset dan advokasi atas pelanggaran HAM masa lalu justeru mendapatkan posisi yang spesial. Bahkan kehadiran buku ini juga adalah merupakan upaya untuk memotret dan mendukung upaya penegakan HAM sebagai satu bentuk apresiasi dan dukungan atas perkembangan demokrasi dan penegakkan HAM di negeri yang sama kita cinta ini. Penegakan dan perlindungan terhadap HAM di Indonesia mencapai kemajuan ketika pada tanggal 6 November 2000 disahkannya Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM oleh DPR RI dan kemudian diundangkan tanggal 23 November 2000. Undang-undang ini merupakan undang-undang yang secara tegas menyatakan sebagai undangundang yang mendasari adanya pengadilan HAM di Indonesia yang akan berwenang untuk mengadili para pelaku pelanggaran HAM berat. Undang-undang ini juga mengatur tentang adanya pengadilan HAM ad hoc yang akan berwenang untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu12.
12
Zainal Abidin, Seri Bahan Bacaan Kursus HAM Untuk Pengacar X tahun 2005, match Pengadilan HAM: Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia: Lembaga Studi dan Advokasi
xix
Karena itu, Indonesia memiliki yuridisksi pengadilan internasional. Dan yurisdiksi inilah yang menjadi dasar bagi upaya "penghukuman" bagi pelanggar HAM di Indonesia. Yurisdiksi pengadilan HAM ini meliputi: (i) Material jurisdiction (rationae materiae), yakni jenis pelanggaran HAM yang berat yang bisa diadili oleh pengadilan HAM, meliputi: Kejahatan genosida dan Kejahatan terhadap kemanusiaan (Pasal 4 jo. Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000). Secara lebih terang di dalam Pasal 8, yang dimaksud kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: (a) membunuh anggota kelompok; (b) mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok; (c) menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; (d) memaksakan tindakantindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau (e) memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain. Definisi `kejahatan genosida' di dalam Pasal 8 UU No. 26 Tahun 2000 tersebut sesuai dengan kerangka normatif hukum internasional, khususnya Pasal 6 dari Rome Statute 1998 of International Criminal Court dan Article II Genocide Convention 1948.
Masyarakat, Jakarta: 2005.
xx
Sedangkan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana ditegaskan di dalam Pasal 9 adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, berupa: (a) pembunuhan; (b) pemusnahan; (c) perbudakan; (d) pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa; (e) perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenang-wenang
yang
melanggar
(asas-asas)
ketentuan
pokok
hukum
internasional; (f) penyiksaan; (g) perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan atau sterilisasi secara paksa atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara; (h) penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu atau perkumpulan yang didasari persamaan paham politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan lain yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional; (i) penghilangan orang secara paksa; atau (j) kejahatan apartheid. Jenis pelanggaran tersebut jelas mengadopsi Statuta Roma, namun tidaklah lengkap. Hal ini terlihat dari tiadanya adopsi jenis tindakan dalam kejahatan terhadap kemanusian yang memasukkan Pasal 7 huruf (k) Statuta Roma, "Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health" (Tindakan-tindakan tidak manusiawi lainnya dengan karakter sama secara niat menyebabkan penderitaan hebat, atau luka serius terhadap kesehatan tubuh atau mental atau fisik) ke dalam UU No. 26 Tahun 2000. Padahal, ayat inilah yang bisa membuka penafsiran hukum lebih luas, terbuka, dan xxi
antisipatif terhadap jenis-jenis kejahatan terhadap kemanusiaan lainnya yang tidak secara definitif disebutkan (Wiratraman 2008a). (ii) Temporal jurisdiction (rationae temporis). Berlakunya UU No. 26 Tahun 2000 adalah sejak undang-undang ini diundangkan, atau pada 23 Nopember 2000. Meskipun demikian, berdasarkan Pasal 43 ayat (1), dinyatakan bahwa: Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya Undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM ad hoc. Ini berarti diberlakukan pula asas retroaktif atas penyelesaian kasus-kasus pelanggaran
HAM
berat
sebelum
23
Nopember
2000,
seperti
kasus
pembungihangusan di Timor-Timur pasca jajak pendapat 1999, kasus pembantaian selama DOM Aceh, kasus Tanjung Priok, kasus Talangsari, dan kasus Trisakti, Semanggi I-II. Pasal 43 ayat (1) dan (2) pernah diujimaterialkan oleh Abilio Jose Osorio Soares ke Mahkamah Konstitusi, namun mayoritas hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa retroaktif bisa dijalankan terhadap kasus-kasus kejahatan paling serius sebagai extra-ordinary crimes yang menjadi perhatian masyarakat internasional (Vide: Putusan MKRI No. 065/PUU-II/2004). Menyangkut pelanggaran HAM yang berat masa lalu, pemah pula dipersoalkan mengenai wewenang DPR dan Keputusan Presiden melalui Mahkamah Konstitusi, yang mana kedua lembaga non-yudisiil tersebut mempengaruhi pembentukan Pengadilan HAM ad hoc. Sebelum putusan MK No. 18/PUUV/2007, pengaturan kasus-kasus kategori "masa lalu", haruslah ditempuh melalui DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan Keputusan Presiden, khususnya atas
dugaan xxii
pelanggaran HAM yang berat". Kontrol kekuasaan non-yudisiil terjadi di Indonesia saat itu bisa dipahami karena suasana transisi politik pasca rezim otoritarian,
yang
kekuatan
politiknya
masih
terlampau
kuat
di
eksekutifdanlegislatif. Namun, setelah putusan tersebut, tidak lagi memerlukan "persetujuan politik" DPR dalam mengupayakan penyelidikan Komnas HAM maupun penyidikan Kejaksaan Agung. "Persetujuan politik" memang sudah seharusnya dihapus, karena dinilai mencampuri kewenangan yudisiil dalam mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, dan tidak sesuai dengan upaya mendorong integrated justice system (Wiratraman 2008b). (iii)Personal jurisdiction (rationae personae). Berdasarkan Pasal 6, pengadilan HAM ditujukan pada individu (seseorang), dan tidak berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan oleh seseorang yang berumur di bawah 18 (delapan belas) tahun pada saat kejahatan dilakukan. (iv)Territorial jurisdiction (rationae loci). Pasal 5 UU No. 26 Tahun 2005 menyatakan bahwa Pengadilan HAM berwenang juga memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang dilakukan di luar batas teritorial wilayah negara Republik Indonesia oleh warga negara Indonesia13.
13
R. Herlambang Perdana Wiratrarnan, Hukum Acara Peradilan Hak Asasi Manusia: Pengantar: Makalah untuk Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), IKADIN-PERADI-Fakultas Hukum Univcrsitas Airlangga, Surabaya, S Agustus 200S.
xxiii
Crime Against Humanity (Kejahatan terhadap kemanusiaan) yang rumusannya terdapat dalam Pasal 9 UU No 26 tahun 2000 mengatur, bahwa: "Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, . . .". Rumusan di atas menurut Agung Yudhawiranata14 memiliki kelemahan mendasar yaitu: pertama, tidak jelasnya defenisi kejahatan terhadap kemanusiaan dari tiga elemen penting yaitu: elemen meluas (widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intension). Ketidakjelasan defenisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan. (Sebagai perbandingan lihat pengertian di dalam Statuta Roma dimana "intension" didefinisikan dengan tegas.15) Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatankejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama menjadi sulit sehingga dakwaan menjadi sumir. Kedua, adanya problematika yang timbul dari penerjemahan yang keliru dalam pasal ini oleh undang-undang yaitu kata: directed against any civilian population 14
Agung Yudhawiranata, Pengadilan HAM Di Indonesia: Prosedur Dan Praktek: Draft Paper dipersiapkan untuk matcri Training Hukum HAM untuk Dosen Pengajar Hukum HAM di Fakultas Hukum Negeri dan Swasta di Indonesia, diselenggarakan olch PUSHAM UII dan Norwegian Center for Human Rights (NCHR) Di Yogyakarta, 23-27 Januari 2006. 15 Lihat Pasal 30 ayat 2 & 3, Statuta Roma, yang mengatur mengcnai mental element: "For the purposes of the article, a person has intent where: (2) (a) In relation to conduct, that person means to engage in the conduct; (b) In relation to a consequence that person means to cause that consequence or is aware that it will occur ordinary course of events. (3) For the purposes of this article,"knowledge" means awareness that a circumstance exists or consequence will occur in thw ondinary course of events. "Know" and "knowingly" shall be construed accordingly.". Ibid. Catatan kaki, Hal. 6
xxiv
(bahasa Inggris, pengertian ini berasal dari Statuta Roma) yang seharusnya diartikan: ditujukan kepada populasi sipil, oleh undang-undang ini diartikan: ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kata "langsung" ini bisa berimplikasi bahwa seolah-olah hanya para pelaku langsung di lapangan sajalah yang dapat dikenakan pasal ini sedangkan pelaku di atasnya yang membuat kebijakan tidak akan tercakup oleh pasal ini. Penggunaan kata "penduduk" dan bukannya "populasi" sendiri telah menyempitkan subyek hukum dengan menggunakan batasan-batasan wilayah, dan hal ini secara signifikan juga menyempitkan target-target potensial korban kejahatan terhadap kemanusiaan hanya pada warga negara di mana kejahatan tersebut berlangsung.
xxv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR — v PENGANTAR EDITOR—ix DAFTAR ISI —xxv BAGIAN PERTAMA DILEMA PENEGAKKAN HAM DI INDONESIA — 1 A. Hak Asasi Manusia: Suatu Pengantar —1 B. Pelanggaran HAM di Indonesia: Asumsi-asumsi Epistemik —6
BAGIAN KEDUA PENGADILAN HAM: SUATU PENDEKATAN TEORITIK —17 A. Pengadilan HAM dan Yurisdiksi Pengadilan atas Kejahatan Intemasional — 17 1. Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional Berdasarkan Statuta Roma
1998 —18 2. Pengadilan Pidana Internasional
(International Criminal Court – ICC) — 32 3. Yurisdiksi Pengadilan Terhadap Kejahatan Intemasional —37 4. Jenis Kejahatan Intemasional HAM —39 a. Genosida —39 b. Kejahatan terhadap Kemanusiaan —42 c.
Kejahatan Terhadap Perang —46
d.
5. Prinsip Hukum Pidana Intemasional -50 xxvi
B. Landasan Teori -55 1. Teori Dasar atau Grand Theory -56 2. Sebagai Middle Range Theory -56 3. Applied
Theory, yaitu Teori Sistem Peradilan -59
C. Prinsip-prinsip Umum Peradilan Pidana Indonesia dan Peradilan Pidana Internasional -60 1. Prinsip Kekuasaan Kehakiman -60 2. Prinsip Flak Asasi Manusia -63 3. Konvensi-konvensi tentang Pelanggaran HAM -76 a. Kovensi Jenewa 1949 -77 b. Kovensi Genosida -78 c. Kovensi Penyiksaan -79 d. Kovensi Umum Hak Asasi Manusia -82
BAGIAN KETIGA YURISDIKSI PENGADILAN PIDANA TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT -85 A. Pelaksanaan Yurisdiksi Pengadilan Pidana menurut standar Internasional. -85 1. Pengadilan HAM Internasional Sebelum Berdirinya ICCS tatuta Roma 1998 -85 a. International Military Tribunal (IMT) Nurenberg; -86 b. International Military Tribunal for the Far East
(IMTFE) Tokyo; -88 xxvii
c. International Criminal Tribunal for the Farmer Yugoslavia (ICTY); -92 d. International Criminal Tribunal for Rwanda
(ICTR); -93 e.
Mixed National International Court -95
2. Pelaksanaan Yurisdiksi Pengadilan Pidana Menurut Standar Intemasional (ICC-Statuta Roma 1998) -100 a. Penanganan Perkara Pidana Internasional. -101 b. Mekanisme Penanganan Perkara ICC -105
3. Hukum Acara Pengadilan Pidana Internasional terhadap Pelanggaran HAM Berat -109 1. Susunan Organisasi Pengadilan Pidana Internasional (ICC). -109 2. Tugas Hakim Pengadilan Pidana Internasional. -111 3. Proses Acara
Pengadilan Pidana Internasional (ICC) -113 4. Pelanggaran HAM dalam Yurisdiksi Hukum Pengadilan Pidana
Internasional -131 5. Prakondisi Bagi Berlakunya Yurisdiksi -138 6. Pelaksanaan Yurisdiksi (Kekuasaan Mengadili) -138 7. Penyerahan Suatu Keadaan oleh Negara Peserta -139 8. Kompetensi Yurisdiksi ICC -140 9. Penentuan Kompetensi Yurisdiksi -141
10.Keberatan atas Yurisdiksi Pengadilan -143 11.Hukum Yang Diberlakukan -146 xxviii
12.Prinsip Hukum Pidana Yang Dianut Pengadilan Pidana Internasional -146 13.Tidak Relevannya Jabatan Resmi -149 14.Tanggung Jawab Komandan dan Atasan Lainnya -150 15.Tidak Dapat Diterapkan Ketentuan Pembatasan -151 16.Alasan Penghapusan Tanggung Jawab Pidana -152 B. Pelaksanaan Yurisdiksi Pengadilan Pidana Indonesia Terhadap Pelanggaran HAM Berat -154 1. Yurisdiksi Pengadilan Pidana HAM Berat -154 2. Hubungan Pengadilan HAM Internasional dengan Pengadilan HAM Indonesia -
160 3. Yurisdiksi Pengadilan HAM Indonesia Menurut Undangundang Nomor 26
Tahun 2000 -163 a. Yurisdiksi -163 b. Perintah Atasan dan Ketentuan Hukum -165 c. Fungsi Penegak Hukum dalam Pengadilan HAM -165 d. Wewenang Penyidik dan Penyelidikan -166 e. Penangkapan dan Penahanan -170
BAGIAN KEEMPAT PELANGGARAN HAM BERAT DI INDONESIA-173 A. Kasus Pelanggaran HAM yang Belum Diproses Melalui Pengadilan -174 1. Kasus Pelanggaran HAM Berat di Aceh -178 2. Kasus Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II -180
xxix
B.Kasus Pelanggaran HAM yang Diproses Melalui Pengadilan -185 1.
C.
Kasus Timor Timur —185
2. Kasus
Tanjung Priok —209
3. Kasus
Abepura Irian Jaya/Papua --218
Penyelesaian Pelanggaran HAM Bera t oleh Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP). —222
BAGIAN KELIMA PROSPEK PENGADILAN HAM INDONESIA SESUAI STANDAR INTERNASIONAL —229 A.
Sta tuta Roma Sebagai Ius Konstitutum —229
B.
Pen carian Tuntutan Pemenuhan Rasa Keadilan Masyarakat —238
PENUTUP —245 DAFTAR PUSTAKA —249 BIODATA PENULIS —269 BIODATA EDITOR-277
xxx
BAGIAN PERTAMA PENDAHULUAN
A. HAK ASASI MANUSIA: SUATU PENGANTAR Perkembangan keadaan hukum dalam dua dasawarsa terakhir, khususnya hukum pidana terhadap pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat, mendapat reaksi di berbagai negara. Reaksi hukum pidana terhadap pelanggaran HAM berat, mengakibatkan pemerintah Indonesia dinilai oleh dunia internasional kurang memerhatikan pelanggaran HAM, terutama dengan kasus Timor Timur, GAM di Aceh, dan kasus Tanjung Priok Jakarta. Reaksi dunia internasional itu menghendaki keberlakuan hukum pidana internasional tentang "crime against humanity" dalam kasus tersebut. (Poernomo, 2002) Fenomena tersebut memengaruhi pemerintah Indonesia untuk membentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) ten-tang Kejahatan Berat dalam pelanggaran HAM. Namun draf substansi Perpu tersebut masih banyak kekurangannya. Perpu tersebut kemudian dicabut dan diganti dengan UndangUndang No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, dan ditindaldanjuti dengan UndangUndang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Ad Hoc HAM. Kedua undangundang ini dinilai mengacu pada hukum pidana internasional dan ICC Statuta Roma 1998, juga masih banyak kekurangan. Saat pemerintahan B. J. Habibie, Menteri Kehakiman Muladi telah berusaha untuk melakukan reformasi hukum nasional. Di dalam Keputusan Menteri Kehakiman Nomor 28/1998 tanggal 2 Juni 1998 tentang Pembentukan Tim 1
Reformasi Hukum telah memprogramkan empat bidang pembaruan hukum, antara lain dalam bidang hukum internasional, yaitu meratifikasi konvensi menentang penyiksaan dan perlawanan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat manusia melalui UU No. 5 Tahun 1998. Keempat bidang reformasi tersebut kemudian berkembang menjadi bidangbidang lain yang berkaitan dengan pemerintahan yang bersih (clean government) dan yang berkaitan dengan hak asasi manusia. Menyangkut hak asasi manusia telah menghasilkan Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia dan Pengadilan HAM. Langkah-langkah yang telah diambil pemerintah B. J. Habibie di atas merupakan langkah awal reformasi hukum, misalnya pencabutan Undang-Undang Subversi yang merupakan wujud pemenuhan keinginan dan cita-cita seluruh komponen pro demokrasi dan pejuang hak asasi manusia di Indonesia yang telah lama diperjuangkan. Setelah diundangkannya Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia (Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000), maka dalam beberapa tahun terakhir ini muncul kasus-kasus yang dipandang sebagai pelanggaran hak asasi manusia berat di Pengadilan Ad Hoc Indonesia. Pelanggaran HAM berat di Timor Timur telah selesai seluruhnya, ada yang sudah divonis bersalah dan ada pula yang dibebaskan. Presiden Timor Leste, Xanana Gusmao, sebenarnya sudah mengeluarkan statement, bahwa Negara Timor Leste tidak lagi mempersoalkan kejadian di Timor Timur di masa lalu. Hal ini menunjukkan adanya iktikad baik pemerintah Timor Leste untuk menjalin persahabatan dengan Indonesia. Pernyataan Presiden Xanana tersebut, cukup 2
menyejukkan bagi negara Republik Indonesia, akan tetapi apakah hal ini juga dapat diterima oleh masyarakat internasional, masih tergantung pada sejauh mana Indonesia memperbarui dan menyempurnakan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Menanggapi proses peradilan Abilio Soares yang dinyatakan bersalah, Bambang Purnomo (Wawancara 15 Juli 2004) menyatakan, bahwa hukum itu bukan hanya sekadar apa yang tersurat, tetapi harus ada ratio decidendi-nya (latar belakangnya) sehingga terlihat bahwa pengadilan Abilio Soares tersebut di atas dilandasi dua rangka pemikiran: 1. Hukum yang diterapkan ada "pelintiran", yaitu tidak ada ratio decidendi yang sungguh-sungguh. 2. Pelaksanaan Peradilan HAM di Indonesia tidak dapat meniru peradilan HAM di negara lain, karena pasti kondisinya tidak sama. Selanjutnya Bambang Purnomo (2003) menyatakan, bahwa kedua kerangka pemikiran tersebut, menurut hukum internasional disebut sebagai Victim Crime and Victim of Abuse of Power Authority yang mengakibatkan adanya viktimisasi (membuat korban). Viktimisasi terse-but merupakan salah satu implikasi yang mengurangi citra hukum, khususnya peradilan HAM di Indonesia. Viktimisasi inilah yang mewarnai kasus Abilio Soares, yang dinyatakan bersalah di tingkat pertama sampai kasasi. Namun, pada Peninjauan Kembali, Majelis Hakim membebaskan Abilio Soares. Sejalan dengan pendapat Bambang Purnomo, yaitu: Muladi (Suara Pembaruan, 5/11/2004), menyatakan "menyambut baik 3
pembebasan Abilio. Jangan sampai ada kesan yang dibebaskan hanya tentara saja. Pembebasan ini cukup masuk akal. Ini bukan karena memihak. Tetapi persoalan Timor Timur terjadi bukan karena adanya serangan sistematis kepada penduduk sipil akibat kebijaksanaan negara. Yang terjadi di sana adalah
pertikaian
antarkelompok,
yakni
kelompok
prointegrasi
dan
prokemerdekaan dengan jatuhnya korban kedua belah pihak." Menyusul kasus Timor Timur adalah kasus Tanjung Priok tahun 1984 yang menyebabkan banyak warga sipil yang meninggal dunia, kasus 12 Mei 1998 yang mengakibatkan korban mahasiswa Trisakti, kasus Abepura tahun 2000 yang mengakibatkan banyak penduduk meninggal dunia. Kasus-kasus yang ditangani dan yang akan ditangani oleh pengadilan pidana Indonesia atas pelanggaran hak-hak asasi manusia berat, tampak ada beberapa masalah yang memerlukan penelitian ilmiah, dan hasilnya dapat memberikan masukan agar penanganan proses hukum pidana Indonesia terhadap pelanggaran HAM berat, tidak mendapatkan sorotan internasional dan tidak merendahkan kedaulatan negara RI. Muladi (2003) mengemukakan, bahwa perkembangan peradilan dan pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) tidak terlepas dari Pemakaman terhadap Hukum Pidana International (International Criminal Law), yang merupakan hukum yang banyak berkaitan dengan pengaturan tentang kejahatan internasional (international crime). Menurut Kittichaisaree (2001), bahwa hukum pidana internasional mencakup dua dimensi pemahaman, yaitu 'the penal aspects of international law' di satu pihak termasuk hukum yang melindungi korban konflik ber4
senjata (international humanitarian law), dan di lain pihak merupakan `the international aspects of national criminal law'. Pada waktu pengadilan militer di Nuremberg berlangsung, dijelaskan bahwa 4n international crime is such act universaly recognised as criminal, which is considered a graver matter of international concern and fin-some valid reason cannot be left within the exclusive jurisdiction of the State that would have control over it under ordinary circumstances...'. Selanjutnya, Kittichaisaree (2001) mengemukakan, bahwa pengadilan kejahatan internasional (International Criminal Court) yang dibentuk atas dasar Statuta Roma tahun 1998, ditujukan untuk mengadili 'the most serious crimes of concern to the international community as a whole' (Fourth Preambular paragraph of the ICC Statute), not more violations of human rights law, although the application and interpretation of'the law of the ICC Statute must be consisted with 'internationally recognized human rights' as required by Article 21 (3) of the Statute it self Pemikiran untuk mengadili individu yang telah melakukan kejahatan HAM berat dan kekejaman dalam konflik bersenjata sebenarnya sudah dikenal sejak lama, bahkan sejak zaman Yunani kuno. Semula didasarkan oleh berbagai pemikiran ini yang bersumber pada standar nilai dan norma kemanusiaan yang berakar pada filsafat dan agama. Berkaitan dengan hal di atas, Schabas (2001) mengemukakan dengan mencontoh pengalaman yang terjadi di Austria, bahwa yang diadili atas dasar kekejaman (pembunuhan, perkosaan, memberi keterangan palsu, dan kejahatan lama terhadap 'laws of god and man') yang dilakukan terhadap penduduk sipil dalam 5
rangka mencoba memaksa mereka agar tunduk pada kekuasaan. Begitu pula yang terjadi di Amerika pada saat perang saudara, Abraham Lincoln telah melarang perilaku tidak manusiawi dan mengancam dengan sanksi berat, termasuk pidana mati terhadap pelakunya. Konvensi Den Haag pun menegaskan, betapa pentingnya perlindungan terhadap penduduk sipil, kehidupan manusia, hak milik pribadi, hak dan kehormatan keluarga serta keyakinan agama. Baik penduduk maupun pihak yang berperang tetap harus mendapatkan perlindungan atas dasar asas-asas hukum internasional yang berlaku sebagai kebiasaan di masyarakat beradab, hukum kemanusiaan dan hati nurani. Menurut Muladi (2003), konvensi tersebut tidak terarah pada kewajiban dan tugas-tugas negara, dan tidak dimaksudkan untuk mengatur pertanggungjawaban pidana secara individual. Perkembangan untuk merumuskan kejahatan perang yang memungkinkan para pelakunya untuk dituntut semakin melembaga setelah Perang Dunia Pertama, atas dasar "Traktat Versailles" dan juga dipelopori oleh Liga Bangsa-Bangsa (PBB), sekalipun pada akhirnya mengalami kegagalan karena 'lock of a firm of legal basis'. Penentangan berkisar antara lain, oleh delegasi Amerika Serikat (AS) sebagai 'a question of morality, not law. (Jorgensen, 2000) Peradilan terhadap tentara Jerman yang dituduh melakukan 'war crimes', yang kemudian diserahkan kepada Pengadilan Jerman cenderung lebih bersifat peradilan administrative dari Angkatan Darat Jerman. Menurut Muladi (2003), yang menyedihkan adalah ketika Belanda menolak untuk mengekstradisi Emperor Jerman, 6
Kaisar Wilhelm II, dengan alasan bahwa kejahatan yang dianggap sebagai kejahatan utama terhadap moralitas internasional yang didakwakan bersifat politis dan tidak dipidana menurut hukum Belanda. B. PELANGGARAN HAM DI INDONESIA: ASUMSI-ASUMSI EPISTEMIK Berdasarkan pengalaman dan perkembangan pemikiran yang digambarkan di atas mengenai pentingnya pembentukan pengadilan pidana internasional dan hambatan-hambatan masing-masing negara, pada akhirnya sangat ditentukan oleh hukum nasional suatu negara. Sekalipun harus diakui bahwa usaha permulaan untuk membentuk pengadilan pidana internasional gagal, namun tercermin adanya dedikasi bangsa Indonesia untuk menindaklanjuti cita-cita tersebut melalui kebijakan nasional dalam kaftan dengan pembentukan Pengadilan Pidana Indonesia terhadap pelanggaran HAM berat. Lembaga ini harus memperoleh kewenangan secara atributif melalui undang-undang. Peraturan hukum ini memang perlu dan penting untuk dikaji secara mendalam dengan berbagai argumentasi hukum yang kuat, agar keberadaan International Criminal Court (ICC) memperoleh pembenaran dari berbagai aspek, khususnya aspek hukum pidana nasional Indonesia. Berdasarkan Undang-Undang No. 24 Tahun 2001 tentang Pengesahan Perjanjian Internasional yang dilakukan dengan undangundang, secara politik membuat undang-undang tentang pengesahan Statuta Roma 1998 di satu sisi akan meningkatkan beban pemerintah, antara lain harus lebih intensif dalam memperbaiki pelaksanaan HAM. Di lain sisi juga menjadi beban pemerintah, karena berada dalam
7
pengawasan lembaga kriminal internasional. Konsekuensi kedua hal tersebut, menimbulkan pertanyaan, apakah Statuta Roma 1998 itu bertentangan dengan hukum pidana nasional? Kenyataan yang dihadapi menunjukkan bahwa, upaya penegakan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia setelah Pemilu 1999 dan 2004, para elite politik yang duduk di legislatif dan eksekutif menunjukkan kecenderungan untuk tidak lagi melanjutkan upaya-upaya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) yang pernah didorong oleh mahasiswa setelah turunnya Presiden Soeharto. Mantan Sekretaris Jenderal Komnas HAM Indonesia, Asmara Nababan (Media Indonesia, 27 Maret 2004), menyatakan bahwa telah terjadi kemerosotan di beberapa bidang di dalam penegakan hukum yang dilanda oleh dua pandangan. Pertama, bahwa Indonesia telah berhenti meratifikasi konvensi mengenai hak asasi manusia sejak tahun 1999. Dahulu pemerintah telah mengutarakan akan meratifikasi sekitar 7 hingga 8 konvensi hak asasi manusia. Jadi, kewajiban negara dalam perlindungan hak asasi manusia hanya sebagai dokumen konstitusional saja. Kedua, walau ada lembaga peradilan hak asasi manusia ad hoc yang mengadili pelaku pelanggaran HAM, tidak ada kemajuan dalam penegakan hak asasi manusia yang signifikan. Kasus persidangan oleh Pengadilan Ad Hoc tersebut seharusnya tidak memihak dan harus bersikap jujur. Selain itu, ada kecenderungan bahwa hakhak sipil dan politik masyarakat diberangus di Aceh dan di Papua. Kalaupun ada isu yang menggembirakan yakni pemberian hak politik kepada eks tahanan politik, tetapi itu pun diupayakan oleh Tapol itu sendiri, bukan oleh pemerintah dan tentu bukan 8
oleh elite partai politik yang ada. Kenyataan itu merupakan indikasi bahwa pemerintah sebenarnya cenderung tidak peduli terhadap hak-hak asasi manusia bangsanya. Selain pendapat Asmara Nababan tersebut, hal senada juga dikemukakan oleh Ismail Hasmi (Kompas, 2/12/2004) selaku Sekretaris Jenderal The Human Rights Institutes. Praktik-praktik penegakan hak asasi manusia hingga kini masih belum menunjukkan performance menggembirakan. Meski normanorma hak asasi manusia (HAM) sudah menjadi spirit dan dasar bernegara, tetapi secara formal
pengakuan
dan
upaya
penegakannya
baru
dilakukan
sejak
dikeluarkannya Undang-Undang No. 39 Tahun 1999. Undang-Undang ini adalah pembuka bagi penegakan HAM yang lebih terkonsentrasi. Meski undang-undang ini mereduksi banyak hak yang termuat dalam hukum internasional HAM, kehadirannya memberi optimisme bagi penghormatan, pemenuhan, dan pemajuan HAM di Indonesia. Selanjutnya dikatakan bahwa setelah undang-undang tersebut tentang HAM lahir, diproduksi UndangUndang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM..." Sejak awal kelahiran undang-undang ini menimbulkan kontroversi, sebab secara substantif Undang-Undang Pengadilan HAM mengadopsi Statuta Roma... Pendasaran pada Statuta Roma tidak saja salah kaprah, tetapi menjadikan Indonesia sebagai satu-satunya negara yang memiliki Pengadilan HAM. Lahirnya Undang-Undang
Pengadilan
HAM
merupakan
kesuksesan
negara
memanipulasi dan membiarkan hukum internasional HAM menjadikan 9
Obsurd Obsurditas yang diidap hukum HAM di Indonesia, inilah yang mengakibatkan kinerja Komnas HAM dan perangkat peradilan lain, yang mengadili aneka perkara kejahatan kemanusiaan menjadi siasia, tidak konstruktif bagi pemajuan HAM di Indonesia." Jajak pendapat (Kompas, 28/7/2003) menyatakan bahwa bila sebagian pendapat September 2001 responden yang menilai buruk kondisi HAM di Indonesia sebesar 63 persen. Kini proporsi responden yang menilai buruk sudah menjadi 72 persen. Dengan Tatar belakang tersebut menjadi pertanyaan apakah pemerintah Republik Indonesia akan mampu mewujudkan good governance di bidang perlindungan dan pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia serta menuntaskan pelanggaran HAM berat. Pelanggaran hak asasi manusia berat merupakan kejahatan yang bersifat luar biasa (extraordinary) dan universal, karena dengan dilakukannya kejahatan tersebut, berarti telah tidak menghormati dan tidak melindungi martabat dan hak-hak dasar manusia. (Suwardi Martowirono, 2002) Kecenderungan global terhadap perkembangan hak asasi manusia di Indonesia sangat kuat, sehingga mendorong kedudukan hak asasi manusia seiring dengan proses demokratisasi. Amendemen UndangUndang Dasar 1945 telah menempatkan hak asasi manusia di dalam Bab XA, Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J, yang merupakan tindak lanjut dari Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) No. XVILMPR/ 1998 tentang Hak Asasi Manusia. (Djoko Sarwoko, 2002) Saat ini, ada kecenderungan untuk mengadili kejahatan yang luar biasa 10
tersebut pada tingkat Pengadilan Internasional. Dalam Statuta Roma 1998 yang merupakan statuta pembentukan International Criminal Court atau ICC, yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional memeriksa dan mengadili kejahatan-kejahatan yang tergolong The Crime of Genocide, Crime Against Humanity War Crime, dan The Crime of Agression. Kekuatan berlaku Statuta Roma berdasarkan pengesahan pada tanggal 17 Juli 1998 dalam konferensi diplomatik Perserikatan BangsaBangsa (PBB) di Roma melalui voting dengan perbandingan suara 120 setuju, 7 menolak, dan 21 abstain (termasuk Indonesia). Terhitung 1 Juli 2002, Statuta Roma 1998 kemudian dinyatakan berlaku setelah 60 negara meratifikasinya (Karnasudirdja, 2003). Walaupun pada saat itu Indonesia abstain untuk menyetujui Statuta Roma, namun Statuta Roma tetap mengikat negara Republik Indonesia, mengingat Pasal 25 Piagam PBB jo. Pasal 2 (6) jo. Pasal 49, mengatakan bahwa semua negara di dunia terikat secara hukum internasional untuk mengikuti keputusan-keputusan yang ditetapkan oleh Dewan Keamanan PBB. Jika tidak, maka Dewan Keamanan dapat menjatuhkan berbagai sanksi kepada negara tersebut, seperti menangguhkan hak-hak istimewa sebagai anggota PBB, mengeluarkan dari keanggotaan PBB, melakukan sanksi militer, bahkan
dapat
mengusulkan
pembentukan
pengadilan
pidana
internasional.
(Karnasudirdja, 2003) Statuta Roma 1998 terkenal dan dipahami sebagai dasar hukum bagi kejahatan kemanusiaan dan genosida. Ketentuan Roma ini dipandang sebagai hukum yang berlaku, terlepas apakah hal itu disetujui atau tidak. Penerimaan seperti itu 11
disebut "just cogen". Amerika Serikat menyatakan secara tegas menolak bahwa pertumbuhan (growth) dan perkembangan (development) dari just cogen ditentukan oleh konsensus masyarakat internasional. Bahkan, melanggar tata urutan hukum positif dan ditolak. Sebab "Prinsip Roma" ini dinilai sebagai sesuatu yang bersifat utopis (any appeal to Niger law as utopian). (Nisar, 2006) Pembentukan ICC, merupakan upaya masyarakat internasional secara bersama dalam menanggulangi kejahatan-kejahatan luar biasa yang mengancam perdamaian dan keamanan internasional serta kesejahteraan dunia. Lembaga ICC merupakan badan baru di lingkungan PBB, yang merupakan badan peradilan pidana internasional yang bersifat tetap (permanent). Dengan demikian, pembentukan badan peradilan ICC bukan bersifat temporer, atau dengan kata lain tidak mengadili suatu kejahatan tertentu yang terjadi di suatu tempat atau negara tertentu, yang selalu dikaitkan dengan adanya suatu peristiwa tertentu, seperti dalam peradilan HAM (a) Nuremburg dan Tokyo Tribunal, (b) International Criminal Tribunal of Farmer Yugoslavian (ICTY), (c) International Criminal Tribunal of Rwanda (ICTR). ICC sebenarnya kreasi pengadilan pidana baru yang mengadili pelanggaran HAM berat dengan objektif dan adil. Pembentukan lembaga ICC untuk peradilan terhadap pelanggaran HAM sejalan dengan usaha masyarakat internasional untuk: 1. Memperoleh kepercayaan pada Hak Asasi Manusia (Preambul Piagam PBB 1948). 2. Mendorong dan meningkatkan penghormatan dan penghargaan terhadap Hak 12
Asasi Manusia (Pasal 1 Ayat 3 dan 55 (e) Piagam PBB 1948). 3. Menghormati Hak Asasi Manusia seluruh dunia (Pasal 55 (e) Piagam PBB 1948). 4. Membantu pelaksanaan Hak Asasi Manusia (Pasal 13 Ayat 1 (b) Pia-gam PBB 1948). 5. Mendorong anggota-anggota PBB dalam memenuhi kewajiban internasionalnya untuk mengambil tindakan bersama maupun sendiri-sendiri dengan bekerja sama dengan PBB untuk mencapai tujuan, antara lain penghormatan Hak Asasi Manusia seluruh jagat. (Martowirono, 2002). Fungsi lembaga ICC merupakan pelengkap (komplemen) dari yurisdiksi peradilan pidana nasional (asas pelengkap atau asas komplemen), sebagaimana terdapat di dalam statuta tentang tujuan dan pembentukan ICC, yaitu (a) menghukum pelaku kejahatan, (b) mencegah terulangnya lagi kejahatan-kejahatan itu, (c) mengakhiri dan mencegah adanya "impunity" (keadaan masih bebasnya pelaku atau tersangka kejahatan dari tuntutan hukum). (Martowirono, 2002) Apabila suatu kejahatan luar biasa atau extraordinary crime dilakukan di dalam suatu wilayah nasional negara tertentu, maka terhadap kejahatan-kejahatan tersebut harus dijamin adanya penuntutan yang efektif dengan mengambil tindakan hukum di tingkat nasional, termasuk mengadilinya. Berdasarkan asas kedaulatan negara, tindakan hukum di tingkat nasional harus didahulukan, namun apabila ternyata tindakan hukum nasional tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, barulah ICC dapat melaksanakan yurisdiksinya. Menurut Martowirono (2002), bahwa kedudukan ICC sebagai pelengkap atau komplemen, bukan sebagai pengganti 13
peradilan nasional sesuai konsiderans dari Panel I Statuta Roma. Di dalam Pasal 17 Statuta Roma tentang issues of admissibility atau penerimaan berkas, ditentukan norma yang dirumuskan secara negatif bahwa perkara yang tidak dapat diterima oleh ICC untuk diadili. Ada dua perkara yang tidak dapat diterima oleh ICC untuk diadili, yaitu: 1. Jika perkara tersebut sedang diadili atau dituntut oleh negara yang mempunyai yurisdiksi atas perkara tersebut, dan 2. Perkara sudah disidik oleh negara yang mempunyai yurisdiksi atas perkara itu dalam negara itu, telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang bersangkutan,
kecuali
jika
keputusan
itu
didasarkan
pada
unwilling
(ketidaksediaan) atau unable (tidak mampu) untuk melakukan penyidikan dan penuntutan. (Martowirono, 2002) Rumusan ketentuan norma internasional ini menunjukkan bahwa di dalam menangani perkara pelanggaran HAM berat yang dikategorikan kejahatan luar biasa diutamakan yurisdiksi pengadilan nasional. Pada dasarnya ketentuan tersebut di atas lebih dahulu mengatur ten-tang ketidakwenangan ICC, yaitu bilamana perkara tersebut sedang disidik atau dituntut atau sudah dihentikan penyidikan oleh negara yang mempunyai yurisdiksi atas perkara tersebut. Pengecualian kewenangan ICC dapat mengadili perkara tersebut, yaitu di dalam hal: 1. Negara tersebut sungguh-sungguh "unwilling" (ketidakmauan) atau "unable" (tidak sanggup). 2. Negara yang bersangkutan telah menghentikan penuntutan seseorang didasarkan 14
pada "unwillingness" (keengganan) atau "inability" (ketidakmampuan). Ketentuan "unwillingness" (Pasal 17 Ayat 2a, b, dan c) ialah, (a) proses pemeriksaan yang bertujuan untuk melindungi orang yang bertanggung jawab atas tindak pidana tersebut; (b) penundaan dalam proses pemeriksaan; dan (c) proses pemeriksaan tidak independen atau memihak. Adapun yang dimaksud dengan "inability" (Pasal 17 Aayat 3), ialah ketidaksanggupan sesuai dengan kondisi nyata yang objektif, karena kehancuran total atau substansial atau tidak tersedianya sistem peradilan nasional, atau negara tidak dapat menangkap tersangka atau mendapatkan bukti atau saksi yang diperlukan, atau sebaliknya tidak mampu melakukan proses pemeriksaan. Jadi, yang dimaksud tidak dapat berjalan efektif atau berjalan sebagaimana mes - tinya adalah jika terdapat unwilling, unable, unwillingness, dan inability (Martowirono, 2002). Apabila suatu negara tetap mengadili seseorang, namun didasarkan pada "unwillingnes" yaitu dengan tetap melindungi terdakwa atau tidak bebas atau memihak, maka ICC dapat mengadili kembali perkara yang bersangkutan (Pasal 20 Ayat 3a dan b Statuta). Mengadili ulang perkara ini tentunya mengesampingkan asas "ne bis in idem". Selain prinsip pelengkap atau complementary principle tersebut, harus pula ditegakkan dua prinsip ikutannya: 1. Paling utama berwenang menuntut dan mengadili kejahatan atas pidana internasional yang menjadi keprihatinan masyarakat internasional adalah pengadilan nasional suatu negara. Sedangkan pengadilan pidana internasional hanya bersifat pelengkap. Dengan demikian, pembentukan pengadilan pidana 15
internasional model Yugoslavia atau Rwanda Tribunal, Baru mungkin dibentuk sesuai dengan prinsip complementer, apabila pengadilan Indonesia tidak menuntut dan mengadili pelakunya. 2. Harus berpedoman pada asas "presumption of admissibility", yakni kehadiran dan kewenangan pengadilan pidana internasional untuk memeriksa kejahatan kemanusiaan di suatu kawasan atau negara harus selamanya dianggap tidak dapat diterima menyingkirkan kedudukan dan kewenangan pengadilan nasional. Pada dasarnya, prinsip presumption of admissibility mempertegas prinsip complementary serta sekaligus memperkecil peran penting inherent yurisdiction dari pengadilan pidana internasional. Suatu asas terpenting yang dimuat di dalam undangundang yang merupakan perlindungan atas HAM adalah asas praduga tak bersalah atau presumption of innocence.
16
Bagian Kedua KAJIAN TEORETIS PERADILAN HAK ASASI MANUSIA
A. TINJAUAN PUSTAKA Sebagai narasumber awal, yang disadari oleh penulis yang merasa masih memerlukan wawasan mengenai Pengadilan HAM berkaitan dengan yurisdiksi Pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia dalam hubungannya dengan ICC-Statuta Roma 1998 dan instrumen Hukum Internasional terkait, maka penulis telah memilih lima butir yang diupayakan memenuhi standar kelayakan sebagai bekal ilmiah untuk melakukan penelitian ilmiah dan pembahasan basil penelitian, yaitu pokok-pokok bahasan sebagai berikut: 1. Pembentukan Pengadilan Pidana Internasional menurut Statuta Roma; 2. Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal CourtICC); 3. Yurisdiksi Peradilan terhadap Kejahatan Internasional; 4. Jenis-jenis Kejahatan Internasional; dan 5. Prinsip Hukum Pidana Internasional. Kelima butir dasar acuan pustaka ini akan dipapar berikut ini.
17
1. PEMBENTUKAN
PENGADILAN
PIDANA
INTERNASIONAL
BERDASARKAN STATUTA ROMA 1998 Statuta Roma 1998 dimaksudkan untuk menjadi momentum di Milenium III bagi pergerakan, Hak Asasi Manusia (HAM) yang cenderung meningkat sejak Perang Teluk, di mana PBB telah bekerja dengan kecepatan tinggi untuk membuat sebuah perjanjian yang dapat disepakati bersama hanya dalam waktu 27 bulan. Pada waktu itu, konferensi diplomatik dari negara-negara berkuasa (yang didukung oleh lembagalembaga swadaya masyarakat) membuat persetujuanpersetujuan sebelum konferensi tersebut diakhiri. Akibatnya, pertemuan hanya menghasilkan suatu pengadilan yang biasa-biasa saja dan bersifat umum, tepat pada saat pertemuan itu berakhir menurut jadwal, 17 Juli 1998. Hal ini seharusnya menandai kemenangan hukum internasional atas aspirasi dan dominasi negara superpower. Namun di dalam realitasnya hanya memperlihatkan sejauh mana pergerakan Hak Asasi Manusia (HAM) harus terus diupayakan sebelum menjadi kenyataan yang dapat mengejar retoriknya. Robertson (2000), di dalam bukunya Crimes Againts Humanity: The Struggle for Global Justice, menjelaskan: The idea of a world criminal court received its first concrete shape in 1937, when a draft statute fort a court to try international terrorists was produced by the league of Nations. After the Nuremburg and Tokyo Tribunals, the UN made a passing reference to an international penal tribunal' in the 1948 Genocide Convention and draft statutes were produced over the next few years by the International Law Commission. But the project soon went into 18
the deep freeze of the Cold War, and was not brought out again until the 1980, when Gorbachev suggested it as a measure againts terrorism and Trinidad urged it as a means of combating drug trafficking. Setelah hambatan karena Perang Dingin yang Baru berakhir pada tahun 1970an, maka perkembangan rancangan tersebut oleh Majelis Umum PBB kemudian meminta
Komisi
Hukum
Internasional
untuk
meneruskan
pekerjaannya,
menyelesaikan rancangan tersebut pada tahun 1993, setelah munculnya tanggapan publik yang baik atas dibentuknya Pengadilan Kejahatan Perang untuk bekas Yugoslavia. Rancangan Komisi Hukum Internasional kemudian diserahkan pada tahun 1994. Pada tahun berikutnya Majelis Umum PBB membentuk `komite persiapan' untuk membuat perjanjian tertulis yang dapat diserahkan pada treaty conference, 1998. Komite itu bertemu selama lima sesi di dalam pertemuan yang cukup melelahkan sebelum dilakukannya Konferensi Roma. Penyusunannya melewati masa ketika pemerintah mendapat tekanan dari para aktivis LSM Hak Asasi Manusia untuk mendukung pembentukan Pengadilan Kejahatan Internasional, yang dianggap
merupakan
harapan
bersama
negara-negara
yang
mendambakan
perdamaian. Namun, merupakan masalah yaitu jenis pengadilan apa yang harus dibentuk, menjadi perdebatan yang panjang dalam Konferensi Roma. Mengenai fenomena ini Robertson (2000) mengetengahkan, bahwa terdapat alternatif konsep yang diserahkan kepada perwakilan negara-negara di Roma. Pada awal konferensi, yang keadaannya, sebagai berikut: 19
The like-minded' group of 42 nations, led by Canada and Germany (and joined, since the advent of the Blair government, by the previously hostile UK), wanted a powerful prosecutor and a court genuinely independent of the Security Council, endowed with universal jurisdiction over war crime—pect anywhere in the world. They wanted, in other words, a court that would never work against the interests of the United States. The model preferred by the US, joined by China and France, was a court controlled by the Security Council, where they could use their superpower veto againts any embrassing prosecutions. The third group—all the usual suspects, like Iraq, Iran, Libya and Indonesia—did not want a court at all. This group had surprisingly, been led at preparatory committee sessions by India, its motives becoming apparent shortly before the Rome Conference when it test-exploded a nuclear weapon. Harapan bagi para pembela Hak Asasi Manusia yang tergabung di dalam beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat melakukan penekanan untuk segera dibentuknya Pengadilan Kejahatan Internasional untuk menghukum para pelanggar Hak Asasi Manusia, merupakan sesuatu yang betul-betul diharapkan. Namun, ironisnya semangat mereka yang begitu besar untuk membentuk pengadilan tersebut melanggar hak dasar terdakwa sendiri. Amnesti Internasional (1997), mengkritik naskah utama The International Criminal Court, yang menyatakan bahwa: Meminta jaksa yang sangat berkuasa. Alasannya, praktik-praktik negara menunjukkan bahwa jaksa tidak mungkin menangani kasus yang bukti-buktinya 20
sangat lemah. Tuntutan semacam itu, yang di masa lalu ditolak oleh Amnesty Internasional ketika dibuat oleh pemerintah, diseri tai dengan panggilan untuk menghilangkan pembelaan-pembelaan tradisional. Amnesty International meminta Statuta Roma menghapuskan pembelaan kepentingan dan pembelaan akan kebutuhan, bahkan pembelaan diri, kecuali jika terdakwa dapat membuktikan bahwa dia telah diperlakukan dengan sangat buruk. Amnesty International, yang pertama kali menyadari bahwa bahaya dari kesalahan penghukuman paling besar untuk tuntutan kejahatan paling mengerikan, adalah pada saat terdakwa disidang se-lama bertahun-tahun, juga pada saat para jaksa dan mungkin hakim memanfaatkan keadaan ini untuk pengembangan karier atau interest mereka. Konferensi Roma tidak mengkhawatirkan bagaimana mencegah para terdakwa
itu
dibebaskan.
Secara
tertulis,
Statuta
Roma
berusaha
untuk
mengonsolidasikan manfaat dari gagasan-gagasan di dalam hukum mengenai hak asasi manusia internasional, yaitu: Kejahatan terhadap kemanusiaan mungkin dilakukan pada masa damai, sebagaimana juga pada saat perang internal dan perang internasional. Sedangkan kejahatan perang mungkin dilakukan selama konflik internal. Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, menjadi dasar pertanggungjawaban kejahatan individu daripada hanya menjadi janji-janji yang tak terlaksana, yang menjamin bahwa suatu negara tak mungkin menghancurkan masyarakatnya sendiri. Beberapa kelemahan di dalam Statuta Roma yang dibuat sedemikian rupa untuk mendapatkan dukungan Amerika Serikat atas hasil konferensi. Kelemahan21
kelemahan ini kemudian tetap melekat pada statuta tersebut, bahkan setelah AS menolaknya. Dengan kepolos an dan maksud baiknya, kelompok negara-negara yang berpikiran sama telah mengizinkan AS melemahkan suatu pengadilan, di mana AS kemudian membalik keputusannya untuk menentang pembentukan Pengadilan Pidana Internasional untuk mengadili para pelanggar HAM berat. Meskipun demikian, kontroversi tetap saja terjadi pada pemerintahan Clinton, yang sebelumnya telah menganjurkan pengadilan kejahatan internasional, dan Clinton sendiri meminta adanya pengadilan tersebut dalam kunjungannya ke Rwanda, 1998, namun popularitasnya kemudian berkurang sejak merebaknya skandal Lewinsky. Akibatnya, Clinton menyerah kepada Pentagon, yang selama beberapa bulan telah memberikan pengarahan kepada atase-atase militer dari negara-negara sekutunya bahwa Pengadilan Internasional semacam itu akan menimbulkan bahaya bagi aliansi negara-negara Barat. Jesse Helms (1998), Ketua Senat Komite Hubungan Luar Negeri, dalam A New World Court mengumumkan, bahwa Statuta Roma tak akan dapat berkutik jika diajukan ke Kongres, karena ada kemungkinan dakwaan terhadap tentara Amerika Serikat. Berdasarkan pandangan tradisional bahwa AS berada di atas hukum internasional, seharusnya sudah jelas bagi para diplomat dari kelompok negaranegara yang berpikir sama, bahwa AS tak akan pernah meratifikasi Statuta Roma selama bertahun-tahun, sampai pengadilan bisa berjalan sesuai keinginan AS. Tetapi, mereka mencoba dengan berbagai cara untuk membujuk Senator Helms (yang meminta perlindungan 100% bagi tentara AS) misalnya, dengan mengusulkan agar 22
harus ada persetujuan negara sebelum warga AS bisa diajukan ke pengadilan tersebut. (Bayangkan, misalnya apabila ketentuan ini diperlakukan terhadap Kamboja yang dipimpin oleh Pol Pot dan meminta persetujuan darinya untuk menyerahkan Pol Pot atau anak buahnya untuk diadili). Bahkan pada akhirnya, penghormatan atas kedaulatan ini belumlah cukup untuk mendapatkan suara AS dalam voting, yang kemudian mengalami kekalahan ketika Konferensi berkeras, bahwa: Pengadilan harus memiliki yurisdiksi atas penjaga perdamaian PBB (yang berarti dapat meliputi tentara AS juga). Meskipun dalam prinsipnya, Pasukan Helms Biru (Blue Helmets) harus dapat dipertanggungjawabkan, ini hampir tidak dapat dianggap sebagai prioritas. Ini merupakan desakan kecil atas prinsip tersebut, ketika banyak negara yang telah menyerah. Inilah yang kemudian membangkitkan ketakutan AS sehingga kemudian mengizinkan Pentagon untuk mengambil alih kewenangan Presiden Clinton. Delegasi Amerika Serikat dengan keras menolak prinsip yurisdiksi universal atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Jorgen Wouters (1998) menyatakan bahwa: Menteri Pertahanan AS, William Cohen, mengancam Jerman dan Korea Selatan akan menarik tentara AS dari wilayah negara-negara itu apabila mereka tetap memberikan dukungan untuk pengesahan statuta. Namun pada akhirnya, Statuta Roma memberikan yurisdiksi kepada pengadilan baik dengan cara pembatalan oleh Dewan Keamanan yang bertindak sesuai Piagam PBB, atau melalui izin dari negara yang warga negaranya menjadi terdakwa atau izin dari negara tempat kejahatan itu terjadi. 23
Peraturan mengenai keharusan adanya izin dari negara yang bersangkutan menunjukkan bahwa tak seorang pun yang `sedang' memiliki kekuatan politik atau militer di negara mana pun (bahkan di negara-negara yang sudah meratifikasi statuta) akan dapat diadili, kecuali jika mereka menyerang negara lain dan melakukan kejahatan perang di wilayah tersebut. Setiap penjahat perang yang sudah pensiun (seperti Pinochet di Chili) akan tetap memiliki kekuatan di negara asalnya, sehingga pada akhirnya akan tetap selamat. Ini disebabkan karena sejak mereka pensiun, mereka tidak lagi merupakan ancaman bagi perdamaian dunia seperti yang tercantum dalam Piagam PBB. Sementara negaranya sendiri tidak akan berupaya untuk menyerahkan Pinochet kepada pengadilan internasional. Penjahat yang akan paling banyak dituntut di Pengadilan Den Haag terdiri dari orang-orang yang melakukan kejahatan yang tidak manusiawi di suatu negara tetapi mengalami kegagalan untuk memprosesnya, karena negara tersebut tidak memiliki sarana yang cukup untuk mengadilinya. Pengadilan Den Haag kemudian dapat memutuskan untuk menyerahkan mereka ke Pengadilan Internasional. Sebaliknya, ICC akan menjadi semacam Tengadilan Ad Hoc' permanen yang tergantung pada referensi dari Dewan Keamanan PBB untuk menyelidiki negara-negara seperti Rwanda dan Yugoslavia, yang tak satu pun memiliki dukungan superpower. Pemerintahan Netanyahu di Israel menolak hasil konferensi, setelah konferensi tersebut menegaskan bahwa penguasaan suatu wilayah dengan paksa dikategorikan sebagai kejahatan perang. Israel telah membangun perkampungan Yahudi di Tepi Barat dan Jalur Gaza setelah perang pada tahun 1967. Namun, karena 24
peraturan itu tak berlaku surut, maka ketakutan Israel akan kemungkinan bahwa pemimpinnya akan diadili menjadi tak beralasan. Perpindahan penduduk secara paksa dapat menjadi sarana yang paling tepat untuk pembersihan etnis, seperti yang dilakukan Serbia di Kosovo awal 1999. Keputusan Israel untuk menentang adanya Pengadilan Internasional tersebut, hanya karena statutanya memasukkan perpindahan secara paksa sebagai kejahatan potensial yang merupakan suatu pengkhianatan terhadap holocaust. Meskipun demikian, Statuta Roma dapat dikatakan sebagai suatu keberhasilan, yaitu sebuah perjanjian terbaik yang dapat dihasilkan dari gerakan hak asasi manusia, mengingat kondisi kekuatan politik dari kekuasaan negara menjelang akhir abad ke-20. Dalam kaitan ini adalah wajar untuk memilih satu dari dua model yang baik, apakah sistem pengadilan yang independen yang disukai oleh negara-negara yang berpikir sama, tetapi tanpa dukungan Amerika. Atau, pengadilan yang dikendalikan oleh Dewan Keamanan PBB, yang didukung oleh AS dan Cina, karena mereka dapat memveto tuntutan atas warga negara atau sekutunya? Model kedua ini tentu saja menyalahi prinsip, karena menawarkan impunitas bagi terdakwa yang dilindungi oleh negara superpower. Tetapi dalam daerah operasinya yang terbatas, pengadilan tersebut akan memperoleh dukungan dana dan logistik yang diperlukan untuk membuat keputusannya mengikat. Sikap model tersebut menawarkan dengan caranya sendiri dan keterbatasannya masing-masing, suatu pengadilan internasional yang logis dan dapat bekerja. Dengan berjalannya waktu dan kekuatan penampilannya, mungkin pengadilan tersebut nantinya akan dapat mengatasi kekurangannya. Kesalahan yang dibuat di 25
Roma adalah membuat kompromi-kompromi yang kemudian diterima oleh AS, bahkan dengan tidak diplomatis menutup pintu negosiasi dengan klausul yang melarang amendemen statuta tersebut sampai 7 tahun setelah statuta diberlakukan. (Ruth Wedgwood, 1998). Di dalam mukadimah Statuta Roma 1998 untuk gerakan pertama dari keadilan global diperkenalkan melalui ungkapan: "Conscious that all people are united by common bond, their cultures pieced together in a shared heritage, and concerned that this delicate mosaic may be shattered at any time." Upaya desakan seperti ini, dalam berbagai literatur bergerak dengan perkembangan yang tidak berarti, dari sekadar ikatan ke pola budaya, kemudian menjadi suatu mosaik yang mudah terpilah -pilah. Gambaran ikatan tersebut di atas terlihat di dalam masalah Timor Timur. Sejak tahun 1973, Timtim telah menjadi agenda PBB, karena sejak wilayah tersebut ditinggalkan Portugis telah terjadi konflik ber - senjata dan dianggap dalam wilayah pengawasan PBB. Sehubungan dengan peranan PBB dalam kasus Timtim, pengamat Hukum Internasional mengomentari bahwa belum pernah terjadi sebelumnya, begitu banyak mekanisme kerja yang dilakukan berbagai badan PBB seperti dalam menghadapi masalah Timor Timur. (Steiner dalam Karnasudirdja, 2003) Selain itu, sejumlah pengamat hukum internasional dan LSM baik di dalam maupun di luar negeri seperti Human Rights Watch, Amnesty International, para diplomat dan lainnya yang berkecimpung dalam HAM, turut menyuarakan perhatian dan keprihatinannya. 26
Richard
Woolcott
dalam
Karnasudirdja
(2003)
berpendapat,
bahwa
tampaknya terlalu cepat bagi Timtim untuk melaksanakan jajak pendapat. Akibatnya, kerusuhan yang terjadi bulan September 1999, seharusnya dapat diperkirakan, namun ternyata tidak diperhatikan oleh pemerintah Australia. Menurut Zacky Anwar Makarim (1999), yang pada intinya berpendapat bahwa UNHCR pernah mengusulkan kepada Majelis Umum PBB agar dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc oleh Dewan Keamanan untuk mengadili pelaku yang disangka melakukan pelanggaran HAM yang berat di Timtim. Di dalam rekomendasi UNHCR melalui Commission on Human Rights Resolution 1999, menyesali telah terjadinya pelanggaran kemanusiaan di Timtim, dan mengusulkan agar diadakan penelitian oleh International Commission of Inquiry untuk mengumpulkan fakta-fakta di lapangan dan melaporkan hasilnya ke Sekretaris Jenderal PBB. Berdasarkan report of the commission of inquiry dalam UNHCR direkomendasikan pembentukan International Human Rights Tribunal Ad Hoc untuk mengadili para pelaku kejahatan kemanusiaan di Tim-tim. Security Council Resolution No. 1264 tanggal 15 September 1999, berisikan antara lain: a. Dewan Keamanan PBB menyatakan sangat prihatin atas memburuknya situasi keamanan di Timtim, khususnya terjadinya kekerasan yang berlanjut yang dilakukan terhadap penduduk sipil di Timtim sehingga mengakibatkan pemindahan yang sangat luas, termasuk laporan pelanggaran yang berat terhadap hukum humaniter dan HAM. b. Dewan Keamanan PBB mendesak agar orang-orang yang melakukan kekerasan27
kekerasan itu memikul tanggung jawabnya. c. Dewan Keamanan PBB mengutuk semua tindakan kekerasan di Timtim dan minta kepada Pemerintah Indonesia agar mereka yang bertanggung jawab terhadap kekerasan-kekerasan tersebut dibawa ke pengadilan. Berkaitan dengan resolusi tersebut, menjadi pertanyaan apakah kasus tersebut dapat dibawa ke ICC. Walaupun sudah di bentuk International Criminal Court (ICC) berdasarkan Rome Statute Tahun 1998, namun Baru pada bulan Juli 2002 secara formal dapat melaksanakan tugasnya, yaitu dengan dipenuhinya persyaratan ratifikasi oleh 60 negara. Dengan demikian, pelanggaran kemanusiaan di Timtim yang terjadi pascajajak pendapat tahun 1999, dan kini telah diselesaikan oleh Pengadilan HAM Ad Hoc di Indonesia, sebenarnya bukan merupakan yurisdiksi ICC berdasarkan asas nonretroaktif yang dianut oleh ICC. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa atas desakan dunia internasional, dan demi untuk melindungi kepentingan nasional yang lebih besar, maka pemerintah Indonesia
akhirnya
setuju
untuk
membentuk
Pengadilan
HAM
dengan
mengundangkan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagai pengganti Perpu No. 1 Tahun 1999 tentang Pengadilan HAM (Suryokusumo, 2000). Kemudian dengan Keputusan Presiden RI No. 53 Tahun 2001 ten-tang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang bertugas untuk mengadili pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timtim pascajajak pendapat dan di Tanjung Priok tahun 1984.
28
Namun Keppres No. 53 Tahun 2001 dipandang terlalu luas, sehingga dengan Keputusan Presiden Nomor 96 Tahun 2001, telah mengubah Keppres No. 53 Tahun 2001, tentang tempus dan locus delicti, sehingga kewenangan Pengadilan HAM Ad Hoc lebih dibatasi, yaitu hanya untuk mengadili pelanggaran yang terjadi di Timtim dalam wilayah Licuisa, Dilli, dan Soae pada bulan April dan September tahun 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok pada September 1984. Sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, bahwa pembentukan Pengadilan HAM untuk mengadili pelanggaran HAM yang berat dimaksudkan: Untuk membantu memelihara perdamaian dunia dan menjamin pelaksanaan hak asasi manusia serta memberi perlindungan, kepastian, keadilan dan perasaan aman kepada perorangan atau masyarakat pada umumnya. Menurut undang-undang tersebut, Pengadilan HAM merupakan Pengadilan Khusus di lingkungan Peradilan Umum. Oleh karena itu, dapat dilihat bahwa masuknya rekomendasi dari Commission of Inquiry ke Sekretaris Jenderal PBB dan Dewan Keamanan, maka pelaksanaan peradilan oleh Pengadilan HAM Ad Hoc bagi mereka yang disangka melakukan kejahatan kemanusiaan di Timtim pascajajak pendapat haruslah dilakukan dengan sungguhsungguh, profesional, independen dan konsisten, sesuai dengan standar peradilan internasional. Dengan demikian, sistem peradilan dalam konsep PBB tersebut tampaknya lebih mengacu ke sistem Common Law. Pemeriksaan di tingkat kasasi harus diajukan ke MA dan tidak boleh berhenti atau final di pengadilan tertinggi Timtim raja. 29
Statuta Roma 1998, tidak akan melindungi kejahatan terhadap kemanusiaan, yang biasanya dilakukan dengan mengatasnamakan upaya mempertahankan budaya tertentu yang merasa tidak mampu untuk hidup berdampingan dengan budaya lain. Mengingat "kekejaman-kekejaman yang tak terbayangkan" (walaupun sekarang ini sangat mudah dibayangkan) pada abad ke-20. Kekejaman-kekejaman tersebut kemudian ditegaskan sebagai kejahatan-kejahatan yang "mengancam perdamaian, keamanan, dan ketenangan dunia". Ini merupakan rumusan faktual yang diperlukan untuk menarik campur tangan PBB sesuai dengan Piagam PBB. Dalam mukadimah PBB tersebut secara signifikan dinyatakan, bahwa suatu keharusan, suatu kewajiban moral, `kejahatan yang paling serius akan mengancam masyarakat internasional tak boleh dibiarkan bebas begitu saja'. Mukadimah juga menyatakan suatu kebulatan tekad untuk `mengakhiri segala bentuk impunitas' melalui yurisdiksi bagi para pelaku kejahatan, yang awalnya hanya berada pada tingkat negara. ICC dibentuk sebagai pengadilan permanen yang merupakan yurisdiksi `komplementer'. Istilah ini cocok untuk merefleksikan yurisdiksi universal atas kejahatan terhadap kemanusiaan, walaupun di dalam mukadimah mengakui adanya kedaulatan negara. Hal ini ditunjukkan melalui `penegasan' bahwa tak satu pun dalam Statuta Roma dapat digunakan sebagai izin bagi suatu negara untuk ikut campur di dalam konflik bersenjata dalam negeri negara lain. Ini meyakinkan pemerintah bahwa Statuta tidak mendorong intervensi kemanusiaan atau mengadakan serangan melintasi batas negara untuk memaksa terdakwa ke Pengadilan Pidana Internasional (ICC) di 30
Den Haag. Mukadimah membatasi pengadilan melalui yurisdiksi atas `kejahatan paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan'. Mukadimah juga membangun peran penyokong terhadap sistem peradilan nasional yang telah gagal. Alasan pembentukan pengadilan ini berasal dari keyakinan bahwa `kejahatan yang sangat mengguncangkan kesadaran manusia' akan mengancam perdamaian dunia atau setidaknya `ketenangan dunia'. Hal ini benar, dalam arti bahwa jiwa akan menderita menyaksikan kejahatan yang dilakukan oleh sesama manusia. Pengadilan itu sendiri didefinisikan sebagai `pengadilan kejahatan internasional permanen yang independen dalam hubungannya dengan sistem PBB. Definisi ini merupakan rangkaian kata-kata yang disusun secara hati-hati untuk menghindari menyebutkan secara jelas hubungan tersebut. Apabila dicermati, akan tampak bahwa Dewan Keamanan PBB memegang kendali. Pengadilan akan memiliki yurisdiksi atas pimpinan politik yang mungkin akan mundur dari jabatannya karena adanya intervensi dari Dewan Keamanan di bawah piagam PBB. Dengan pengecualian ini, kedaulatan Negara tetap dianggap sakral, bahkan ketika negara itu sedang dilanda perang saudara. Tak ada satu pun kekuatan dalam pengadilan atau negara lain yang dapat menahan para penjahat super dalam perang saudara tersebut. Pengadilan yang dibentuk menurut Statuta Roma 1998 merupakan institusi permanen dengan yurisdiksi untuk menkadili orang-orang dengan tuduhan kejahatan yang paling serius berdasarkan penilai internasional dan akan menjadi pelengkap yurisdiksi hukum pidana national (Pasal 1 ICC). Pengadilan masih dilengkapi dengan 31
legalitas internasional, yang berarti bahwa pengadilan memiliki kapasitas untuk membuat kontrak dan komitmen yang diperlukan untuk mencapai tujuannya. Namun, pengadilan itu hanya dapat memberlakukan kekuatan dan fungsi perundangundangannya di wilayah negara pihak dan dalam wilayah negara lain melalui kesepakatan khusus. Kenyataannya, negara-negara yang telah meratifikasi Statuta Roma adalah negaranegara yang tidak mungkin diatur oleh atau menyembunyikan orang-orang yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Biasanya mereka yang melakukan kejahatan kemanusiaan akan tinggal atau bersembunyi di negaranegara yang tidak ikut menandatangani statuta. Negara-negara seperti ini tak mungkin mengizinkan pengadilan dan jaksa penuntutnya beroperasi kecuali `dengan kesepakatan khusus', atau adanya tekanan dari Bank Dunia, IMF, dan Amerika Serikat (yang pada tahun 1997 bergabung untuk mengancam Kroasia dengan tekanan ekonomi kecuali Kroasia menyerahkan tersangkanya pada Pengadilan Den Haag). Di dalam Pasal 3 Statuta Roma diatur kedudukan pengadilan di Den Haag Belanda, dianggap sebagai pilihan yang tepat karena sudah menjadi tuan rumah bagi Pengadilan Pidana Internasional. Statuta Roma menyusun struktur pengadilan sedemikian rupa, yang terdiri dari badan peradilan dan penuntutan yang saling terkait. Disebutkan bahwa, ketua pengadilan `berkoordinasi' dengan Jaksa Penuntut (Pasal 38 Ayat (4)) kemudian panitera, ketua dan jaksa penuntut bersamasama dalam memutuskan persoalan kepegawaian (Pasal 44); Jaksa Penuntut dan Panitera juga dikonsultasikan tentang prosedur dan per - aturan pengadilan (Pasal 52). Kantor Panitera pun akan beroperasi 32
sebagai kantor bagi Jaksa Penuntut dan Hakim. Tugas Panitera menurut Pasal 43 termasuk mengatur Unit Korban dan Saksi, yang berhubungan dengan kantor jaksa penuntut yang mengatur konseling dan perlindungan bagi para korban yang menjadi saksi, biasanya untuk pengajuan tuntutan. Dengan cara ini, administrasi pengadilan dimanfaatkan untuk membantu jaksa penuntut. Pengaturan seperti ini terlalu dekat dan saling berhubungan, sehingga prinsip impartialitas yang membutuhkan pemisahan secara menyeluruh, baik secara prosedural maupun fisik antara jaksa penuntut dengan hakim tidak terlihat. Bagaimanapun, tuntutan atas keadilan yang imparaial harus dipenuhi baik secara organisasi maupun arsitekturnya. Berdasarkan uraian di atas, pada akhirnya dapat dipahami bahwa apa yang menjadi persoalan dan perdebatan awal mengenai perlunya pembentukan pengadilan kejahatan internasional yang muncul di dalam Konferensi Roma 1998, yang pada intinya menyangkut persoalan doktrin kedaulatan negara, khususnya kedaulatan hukum bagi setiap negara peserta (Doctrine of State Sovereignity or State Immunity), yang membentengi atau melindungi suatu perbuatan negara terhadap langkah hukum negara lain. 2. PENGADILAN PIDANA CRIMINAL COURT-ICC)
INTERNASIONAL
(INTERNATIONAL
Secara historis, terbentuknya ICC merupakan buah dari usaha yang panjang dan sarat dengan kendala, bahkan tragedi-tragedi kemanusiaan di dunia. Pemikiran
33
untuk mengadili individu yang telah melakukan kejahatan HAM berat dan kekejaman dalam konflik ber - senjata sebenarnya sudah dikenal sejak lama, bahkan sejak zaman Yunani kuno. Semula hal ini dilandasi oleh pelbagai pemikiran yang bersumber pada standar nilai dan norma kemanusiaan yang berakar pada filsafat dan agama (Muladi, 2003). Begitu pula yang terjadi di Amerika pada saat perang saudara, Abraham Lincoln telah melarang perilaku tidak manusiawi dan mengancam dengan sanksi berat, termasuk pidana mati terhadap pelakunya. (Schabas, 2001) Perkembangan untuk merumuskan kejahatan perang yang memungkinkan para pelakunya untuk dituntut semakin melembaga setelah Perang Dunia I, atas dasar "Traktat Versailles" pada tahun 1919. Perang Dunia I, yang sebenarnya diharapkan sebagai 'the war to end all wars' (Jorgensen, 2000). Namun, yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu meledaknya Perang Dunia II yang menimbulkan akibat lebih dahsyat dan mengerikan dari sisi kemanusiaan. Sejak saat itu boleh dikatakan telah terjadi kurang lebih 250 konflik dalam segala bentuknya dan proses viktimisasi yang dilakukan oleh rezim-rezim tiranis telah mengorbankan lebih kurang 170 juta orang. Yang teramat mengejutkan adalah bahwa sebagian besar pelaku genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang diuntungkan melalui praktik 'impunity'. (Muladi, 2003) Yurisdiksi ICC ada empat. Pertama, mengenai `ratione materiae' yang berkaitan dengan empat kejahatan yang sangat berat, yaitu 'genocide, crimes against humanity, war crimes, and agression". Kedua, mengenai 'temporal jusrisdiction", ditegaskan bahwa ICC berlaku setelah Stauta ICC berlaku (entry into force) dan 34
konsisten menegakkan AsasLegalitas (`nunum crimen nulla poena sine lege'). Ketiga, mengenai "space/territorial jurisdiction". ICC mempunyai jurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan dalam wilayah negara peserta, tanpa mempertimbangkan kewarganegaraan pelaku, termasuk kejahatan di wilayah negara penerima jurisdiksi atas dasar pernyataan ad hoc dan, atau wilayah yang ditentukan oleh Dewan Keamanan PBB. Keempat, mengenai 'personal jurisdiction' ditentukan bahwa ICC mempunyai jurisdiksi terhadap warga negara dari negara peserta yang dituntut atas suatu kejahatan. ICC dapat juga mempunyai yurisdiksi warga negara bukan peserta yang telah menerima yurisdiksi yang bersifat ad hoc atau mengikuti Dewan Keamanan PBB. Prinsip 'equally to all persons', 'irrelevance of official capacity' diterapkan termasuk mereka yang berkedudukan sebagai kepala pemerintahan atau kepala negara. Imunitas atas dasar hukum internasional tidak menghalangi yurisdiksi ICC. Selanjutnya diatur pula 'responsibility of commanders and the superiors'. (Schabas, 2001) Sepanjang mengenai ICC, di samping semakin banyaknya negara yang telah melakukan ratifikasi, beberapa negara bahkan telah mengeluarkan perundangundangan domestik yang komprehensif untuk memberlakukan Statuta Roma seperti Canada, New Zealand, Inggris, Australia. Hal ini merupakan salah satu kunci efektif bagi berfungsinya ICC. Di samping perkembangan positif tersebut, juga terjadi hal yang memprihatinkan sehubungan dengan sikap Amerika Serikat di bawah Kepresidenan Bush, yang cenderung tidak mendukung ICC dan tidak akan mengajukan Statuta 35
Roma kepada Kongres untuk ratifikasi. Bahkan Kongres AS telah menerbitkan American Service members Protection Act' (ASPA) tahun 2002, yang melarang setiap kerja sama AS dengan ICC. ASPA juga sering disebut sebagai The Hague Invasion Act' karena juga memberikan wewenang kepada AS untuk menggunakan segala cara yang diperlukan untuk membebaskan warga AS atau sekutunya yang ditahan atas dasar usul ICC. Sikap ini kontras dengan usaha AS untuk menciptakan suatu koalisi guna memerangi terorisme dan sebagai pelopor HAM di dunia. (Muladi, 2003) Paling tidak ada empat langkah AS yang memprihatinkan bagi perkembangan ICC, yaitu (a) mundur dari komitmen terhadap ICC; (b) mendesak Dewan Keamanan PBB untuk mengeluarkan resolusi yang mengecualikan 'international peacekeepers' terutama pasukan Amerika Serikat dari Yurisdiksi ICC; (c) menekan pelbagai negara untuk menandatangani perjanjian bilateral untuk tidak memprakarsai penuntutan terhadap pasukan AS dan begitu Pula sebaliknya. Diperkirakan sudah 30 negara yang menandatangani perjanjian dengan Amerika Serikat, termasuk Kamboja baru-baru ini. Alasan yang digunakan AS dapat digambarkan dari pernyataan bahwa 'Washington argues that the court could subject Americans to politically motivated trials' (Associated Press, Friday, June 27, 2003); dan (d) banyak negara-negara di Asia belum meratifikasi Statuta Roma 1998. Sikap Amerika Serikat cukup menarik perhatian, dengan mengenang kembali penanganan kasus Letnan William Calley, yang diadili Pengadilan Militer karena pembunuhan massal di My Lay selama perang Vietnam, di mana 22 bayi, anak-anak, wanita, dan orang tua dibunuh. Pada tahun 1971, dia dipidana seumur hidup dengan 36
kerja keras. Dalam proses pengadilan banding yang bersangkutan dibebaskan setelah menjalani pidananya selama enam bulan penjara. Sebelumnya Calley memperoleh pembebasan bersyarat (parole). Dengan demikian, di masa datang ICC akan menghadapi tiga tantangan signifikan, yaitu (a) Eksepsionalitas (exceptionality), seperti yang dilakukan Amerika Serikat; kemudian (b) keamanan (security) sehubungan dengan berkembangnya ancaman berupa terorisme global yang perlu dimasukkan dalam Yurisdiksi ICC; dan (c) Enforceability, yang memerlukan kerja sama dan bantuan seluruh negara terutama dalam mengejar pelaku dan menjamin keadilan bagi para korban. Halhal di atas jelas memerlukan pendidikan dan sosialisasi serta capacity-building programmes. (Muntarbhorn, 2003) Namun harus diakui bahwa di samping kesulitan-kesulitan di atas, ICC telah mendukung hukum humaniter internasional melalui pelbagai hal seperti berikut: a. Certainty, berupa pendefinisian pelbagai gagasan yang sebelumnya masih kabur, misalnya definisi tentang kejahatan perang, genocide dan kejahatan terhadap kemanusiaan specifity', dalam bentuk pemisahan yang jelas antara yurisdiksi ICC dengan hukum humaniter dan memisahkan antara Konvensi Jenewa 1949 dengan dua Protokol 1997; b. Predictability, sebab pada masa lalu penegakan dan akuntabilitas terhadap hukum humaniter sepenuhnya tergantung pada tindakan nasional dan lokal yang penuh dengan hal-hal yang tidak konsisten dan tidak terduga; c. Complementarity, sebab apabila yurisdiksi nasional benar-benar diharapkan 37
menggunakan prioritasnya terhadap pelaku dan apabila di tingkat nasional telah gagal, maka ICC menggunakan yurisdiksinya; d. Universality, mengingat sebagai lembaga permanen yang bersifat global, ICC harus mengadopsi pendekatan universal terhadap kejahatan internasional, yang mengundang partisipasi dari masyarakat global, baik pemerintah maupun nonpemerintah; e. Representativity, sebab sejarah terbentuknya ICC beserta pengaturan hukumnya merupakan basil dari kerja sama orang-orang yang mewakili baik negara maju maupun negara berkembang, baik dari pemerintahan maupun non-pemerintahan; f. Victim-sensibility, karena baik statuta maupun hukum acaranya menggambarkan perhatian yang lebih besar terhadap korban dan `gendersensitifity'. (Muntarbhorn, 2003) Berkaitan dengan hal-hal yang disebutkan di atas, oleh Muladi (2003) dikemukakan beberapa hal penting dalam ICC, yaitu (a) Dua dokumen pelengkap, yaitu dokumen The Element of Crime dan dokumen Rule of Procedure and Evidence; (b) ICC dibentuk atas dasar Statuta Roma; (c) Berbeda dengan ICTY dan ICTR, yang menentukan prinsip 'primacy' terhadap pengadilan nasional, ICC menerapkan prinsip 'complementary' yang lebih santun; (d) Asas legalitas dihormati; (e) Asas ne bis in idem diberlakukan dengan perkecualian tertentu. Selanjutnya, Muladi (2003) mengetengahkan, doktrin individual criminal responsibility, tetap mengecualikan state responsibility. Masuk kategori ini siapa saja yang dengan sengaja 'commits, orders, solicits induces, aids, abets, assist, contributes, attempted commission of such 38
by group of persons acting within a common purpose, attempts'. Berkaitan kasus genocide terdapat istilah mereka yang melakukan incitement (menghasut, mendorong), pengaturan responsibility of commanders and civilia superiors; a. Larangan peradilan in absentia; b. Diizinkan penggunaan in camera atau ex parte proceedings; c. Pengaturan jelas tentang reparasi korban, termasuk restitusi, kompensasi dan rehabilitasi; d. Tidak mengatur pidana mati; e. Pengaturan kerja sama internasional yang komprehensif. 3. YURISDIKSI PENGADILAN INTERNASIONAL
TERHADAP
KEJAHATAN
Wilayah atau teritori negara merupakan landasan utama untuk menentukan yurisdiksi pengadilan kejahatan internasional, demikian Muladi (2003), yang menambahkan bahwa alasan primer masyarakat internasional untuk memaksakan rezim hukum pidana internasional, untuk menuntut dan memidana pelaku kekejaman yang dilakukan di dalam teritori suatu negara berdaulat, adalah karena kekejaman terse-but sering kali diperintahkan dan bahkan diampuni oleh orang-orang yang berkuasa yang kebal secara de jure dan/atau de facto dari tuntutan pidana di bawah sistem hukum domestik atau hukum nasional suatu negara. Sumber kewenangan hukum dan legitimasi (legal jurisdiction) dari pengadilan nasional atau dengan meminjam istilah yang digunakan Muladi, pengadilan supranasional (dikutip dari Fairchild and Dammer, 2001) dapat didekati dari tiga dimensi, yaitu:
39
1. PBB sebagai badan internasional dan dukungan procedural dari anggotaanggotanya, khususnya melalui Dewan Keamanan. Tan-pa persetujuan PBB tidak mungkin ada pengadilan supranasional atau pengadilan kejahatan internasional. 2. Pelbagai konvensi dan traktat internasional, misalnya Konvensi Jenewa 1949, Konvensi tentang Genosida tahun 1948, Statutes Roma tahun 1998, dan sebagainya. 3. Asas hukum umum justcogen' (peremptory norms of international ICM), yakni norma-norma fundamental yang diakui oleh masyarakat internasional berstatus "superior" terhadap norma-norma lain. Keberadaan pelbagai kejahatan internasional harus diakui mempunyai tujuan yang bersifat luas. Tujuan-tujuan tersebut menurut Muladi (2003), antara lain adalah usaha untuk mengakhiri praktik impunity, menciptakan detterent effect dan mekanisme untuk mengakhiri konflik di suatu bangsa, mengambil alih atas dasar prinsip primacy (ICTY dan ICTR) atau prinsip komplementer (ICC) seandainya pengadilan nasional tidak mau atau tidak mampu atau tidak berdaya; berusaha untuk memberikan perlindungan dan restorasi terhadap korban melalui restitusi, kompensasi dan rehabilitasi, serta pemeliharaan perdamaian. Yurisdiksi ICC terdiri dari empat jenis kejahatan, yaitu genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Ini akan menjadi agenda Review Conference, 7 tahun setelah statuta diberlakukan. Empat kategori ini didefinisikan sebagai kejahatan yang paling serius yang mengancam masyarakat internasional secara keseluruhan. Diharapkan, pengujian dari `keseriusan' tersebut 40
akan dipakai untuk memutuskan penuntutan dalam kasus-kasus aktual yang mungkin bukan merupakan contoh serius dari kejahatan yang dipertanyakan. Bagaimanapun, pengadilan tak akan dapat mencapai tujuannya apabila targetnya terbatas pada prajurit seperti Dusko Tadic, yang kejahatannya (walaupun kejam) adalah kecil jika dibandingkan dengan orang-orang yang menghasut atau melakukan kejahatan seperti yang didefinisikan di dalam Statuta Roma. Kejahatankejahatan dalam yurisdiksi ICC tersebut saling tumpang-tindih. Misalnya genosida yang sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan kejahatan perang. Kemudian dalam kejahatan perang ada tindakan-tindakan yang pada waktu damai diklasifikasikan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Sebagaimana ditunjukkan oleh Pengadilan Tingkat Banding dalam kasus Tadic, tak ada alasan yang tepat mengapa tindakan negara dalam keadaan perang harus dinilai dengan cara yang berbeda dengan yang berlaku dalam konflik internal negara. Perbedaan menurut hukum ini telah lama ada dalam Pengadilan Den Haag, dan hal yang sama juga akan terjadi dalam pelaksanaan ICC. Sulit untuk dimengerti mengapa pengadilan ini tidak memiliki yurisdiksi terhadap suatu kejahatan yang sama hanya karena perbedaan waktu terjadinya. Yurisdiksi ICC atas kejahatan terhadap kemanusiaan, akan meliputi baik yang dilakukan pada masa perang, saat perang internal negara, saat terjadi pemberontakan atau kerusuhan, atau saat damai. Orang-orang yang bertanggung jawab atas pola meluas dari kekejaman yang dilakukan oleh negara (melalui politisi atau kepolisian atau militernya) atau oleh organisasi-organisasi militer yang berjuang untuk memperoleh atau menambah 41
kekuasaannya, juga harus dituntut. Tuntutan terhadap mereka seharusnya tidak tergantung pada persoalan teknis karakterisasi legal dari latar belakang konflik. 4. JENIS KEJAHATAN INTERNASIONAL HAM Denis kejahatan internasional HAM dalam kaftan dengan ICC Satuta Roma adalah genocide, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Namun, yang terakhir ini tidak diuraikan karena belum ada penuntun untuk agresi: a. Genosida Theodor Meron (1987), mengemukakan di dalam bukunya Human Rights in Internal Strife; Their International Protection, bahwa Konvensi Genosida yang mulai berlaku sejak tanggal 12 Januari 1952 dan sudah diratifikasi oleh banyak negara. Konvensi tersebut mendefinisikan genosida sebagai salah satu tindakan, bila dilakukan `dengan tujuan untuk menghancurkan, secara keseluruhan maupun sebagian, sebuah kelompok, nasional, etnis, rasial atau religius'. Definisi tersebut, mengandung pembatasan sehingga tidak mudah dapat diterapkan oleh beberapa negara yang telah meratifikasi. Menurut Ifdal Kasim (2003), bahwa konvensi genosida memiliki dua pembatasan yang menjadikannya tidak bisa diterapkan pada sebagian terbesar kasus yang terjadi. 1) Konvensi tersebut hanya berlaku pada mereka yang memiliki tujuan spesifik untuk menghancurkan sebagian besar populasi kelompok yang menjadi sasaran. 2) Para korban harus merupakan salah satu kelompok yang dijelaskan di dalam
42
Konvensi Genosida, yaitu nasional, etnik, rasial atau religius. Perlu diperhatikan bahwa para perancang Konvensi Genosida secara sengaja mengabaikan tindakantindakan yang ditujukan kepada "kelompok politik" dan tidak mencantumkannya dalam definisi genosida. Robertson (2000) mengemukakan, bahwa Genosida adalah kejahatan yang pertama kali masuk yurisdiksi universal. Pasal 6 Konvensi Genosida 1952 mendefinisikannya dengan istilah yang sama yang dipakai pada Konvensi Genosida 1948. Robertson sejalan dengan pemikiran Ifdal Kasim (2004) di atas, bahwa unsur penting yang harus dibuktikan adalah adanya `tujuan untuk menghancurkan baik sebagian maupun seluruhnya dari suatu negara, kelompok etnis, kelompok ras atau agama, atau kelompok semacamnya.' Selain, melalui pembunuhan atau penyiksaan, aksi penghancuran yang dilakukan membuat penderitaan hidup yang berakhir dengan kematian dan `secara paksa memindahkan anak-anak dari satu kelompok ke kelompok
lainnya'.
Kelompok
yang
dimaksudkan
tidak
termasuk
dalam
pengelompokan `sosial' atau `politik'. Dengan demikian, Jenderal Vindela yang secara keji memerintahkan untuk menculik bayi-bayi dari ibu-ibu anggota sayap kiri di Argentina dan menyerahkan mereka kepada keluarga-keluarga tentara yang setia, tidak dapat didakwa sebagai pelaku genosida. Kebijaksanaan negara Australia mengambil bayi-bayi dan anakanak kecil dari ibu-ibu suku Aborigin, dan menjadikan mereka anak asuh pada keluarga kulit putih telah dinyatakan sebagai genosida. Namun, hal ini tergantung pada apakah digunakan paksaan (ketimbang ajakan) dan apakah tujuan kebijakan (asimilasi) itu adalah untuk 43
memusnahkan kelompok `tertentu' melalui upaya untuk mengubah kebudayaannya. Atas desakan Vatikan, aksi genosida juga termasuk `mengeluarkan peraturan untuk mencegah kelahiran dalam suatu kelompok' (Ifdal Kasim, 2004). Keluarga Berencana, meskipun didukung oleh perundang-undangan, bukanlah kejahatan yang setara dengan pembunuhan massal. Hal itu hanya dapat dianggap sebagai genosida apabila didukung oleh peraturan-peraturan yang diskriminatif dan bukan ditujukan untuk kesehatan melainkan untuk memusnahkan kelompok ras tertentu. Genosida bukanlah suatu istilah yang tepat untuk menjelaskan tindakan suatu negara berdaulat yang pergi berperang dengan tujuan menghancurkan negara musuhnya. Tindakan semacam ini seharusnya dinyatakan sebagai kejahatan `agresi' oleh PBB. Menurut ICJ (2 Juni 1999), bahwa pada saat Yugoslavia menghidupkan Konvensi Genosida pada 1999 melalui tuntutannya bahwa pengeboman NATO merupakan tindakan genosida terhadap Serbia, ICJ menyatakan bahwa suatu ancaman atau penggunaan kekuatan terhadap Satu negara' tidak dapat dikatakan sebagai tindakan genosida. Tujuannya harus untuk memusnahkan umat manusia berdasarkan ras mereka, bukan untuk mendisiplinkan, membagi atau bahkan menghancurkan negara yang melakukan tindakan pembunuhan terhadap kelompok ras tersebut. b. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pasal 7 Statuta Roma berisi definisi tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Pasal 7 tersebut mengatur, bahwa: (1) "For the purpose of this Statute, "crime against
44
humanity " means any of the following act when committed as part of a widespread or systematic attack directed against any civilian population, with knowledge of the attack." Artinya sendiri sebagian besar adalah kejahatan yang menimbulkan penderitaan besar dan tak perlu terjadi, pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan bentuk lain dari pelecehan seksual, perbudakan, dan pengasingan. Ada hal yang memprihatinkan, yaitu bahwa kejahatan itu dilakukan dengan sengaja sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematis (yang melibatkan banyak pihak) dan ditujukan kepada setiap penduduk sipil, mengikuti atau mendorong kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan serangan semacam itu (Ifdal Kasim, 2004). Definisi ini menggabungkan intisari dari paragraf 1 Pasal 2 dengan subparagraf 2 huruf (a), yang secara limitatif menambahkan elemen-elemen penting dari kejahatan. Definisi ini dianggap terlalu sempit oleh LS M yang lebih menyukai arti yang lebih luas sebagaimana disarankan oleh Komisi Hukum Internasional, yaitu setiap aksi yang tak berperikemanusiaan, yang dihasut atau dipimpin oleh pemerintah atau organisasi atau kelompok (Ifdal Kasim, 2004). Para delegasi di Roma bertindak benar ketika menentang definisi semacam itu. Sebab, definisi itu akan mendorong pengadilan internasional juga mengadili para antek dan prajurit. Definisi itu setidaknya menjamin bahwa ICC harus membatasi diri hanya pada kejahatankejahatan yang paling berbahaya, yang dilakukan secara sistematis ketimbang yang dilakukan secara spontan, serta mengikuti kebijakan yang disusun baik oleh aparat negara (seperti kepolisian atau tentara) maupun oleh suatu entitas organisasi untuk 45
membedakannya dari kelompok kriminal biasa. Definisi yang terkandung di dalam Pasal 7 (1) menjelaskan, bahwa suatu tuntutan dapat dibuat atas suatu aksi tunggal sepanjang diketahui oleh terdakwa sebagai bagian dari rangkaian perbuatan yang melibatkan berbagai tindakan kekejaman terhadap warga sipil. Namun sejauh mana entitas yang melakukan kejahatan tersebut harus `terorganisir' sehingga anggotaanggotanya dapat menjadi subjek penahanan. Tidak ada persyaratan bahwa hal tersebut harus berkaitan dengan kekuasaan, sehingga sebuah kekuatan oposisi seperti IRA atau ANC dalam perjuangannya meraih kemerdekaan, dapat memenuhi kualifikasi. Demikian juga halnya dengan kelompok teroris, jika terorganisir dalam Skala seperti yang dipimpin oleh Osama bin Laden, yang melatih ribuan pengikutnya dan bertanggung jawab atas pengeboman kedutaan besar Amerika Serikat di Kenya dan Tanzania, 1998, yang merenggut nyawa ratusan warga sipil. Berbagai aksi pembunuhan ini merupakan bagian dari serangan sistematis terhadap populasi warga sipil, yang merupakan kelanjutan dari kebijakan organisasi untuk melakukan serangan-serangan seperti itu. Dalam bahasa sehari-hari, pengeboman adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Walaupun Konferensi Roma menolak yurisdiksi atas kejahatan terorisme tertentu, namun tampaknya tak ada alasan legal mengapa para jaksa penuntut tak dapat menyelidiki kelompok-kelompok teroris yang sering melakukan kekejaman, yang menyebabkan hilangnya nyawa warga sipil. Begitu pula, suatu organisasi kriminal dengan agenda politik seperti Kartel Obat Terlarang Medellin ketika organisasi ini secara sistematis membunuh para hakim, wartawan, dan politisi, serta 46
menghancurkan jalur penerbangan. Ketentuan-ketentuan tambahan mengizinkan negara-negara untuk memilih melakukan yurisdiksi atas warga negara yang ditahan. Walaupun pengalaman Columbia di masa lalu (ketika, pada suatu waktu tertentu, keadilan tidak dapat diterapkan terhadap Pablo Escobar dan pemimpin kartel lainnya karena intimidasi mereka terhadap pengadilan setempat) telah memberikan contoh kasus yang tepat untuk dipindahkan ke pengadilan internasional. Apartheid,
juga
dikategorikan
kembali
sebagai
kejahatan
terhadap
kemanusiaan. Namun, definisinya lebih hati-hati dibandingkan dengan yang tercantum
dalam
Konferensi
Apartheid.
Selanjutnya,
kejahatan
ini
harus
menunjukkan perbuatan tak berperikemanusiaan dengan tujuan untuk memelihara hegemoni dari rezim melalui penindasan rasial secara sistematik. (Karnasudirdja, 2003) Terdapat sejumlah kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti diatur di dalam Pasal 7, yang hanya benar-benar cocok jika didakwakan pada pimpinan politik atau militer. Ini disebabkan karena prajurit dan pembantu sipil mungkin melakukannya tanpa maksud untuk bertindak tidak berperikemanusiaan. Kejahatan `penindasan' didefinisikan sebagai `pencabutan hakhak dasar' dengan sengaja dan keji yang bertentangan dengan hukum internasional, yang dilakukan terhadap kelompok yang diidentifikasikan berdasarkan politik, ras, atau budaya. Kejahatan ini bisa didakwakan bagi para pemimpin yang melakukan `pembersihan etnis' yang tidak jauh berbeda dengan genosida. Ini juga berlaku bagi mereka yang membantu tindakan tersebut. Sebagai contoh adalah para sopir Ford 47
Falcons yang digunakan oleh `pasukan kematian' di Argentina, dokter-dokter yang hadir untuk mengatur penyiksaan atas tindakan `subversif di pusat-pusat yang didirikan oleh Pinochet, hakim-hakim yang memberikan instruksi politik untuk menolak permintaan habeas corpus, dan lain sebagainya. Pengetahuan terdakwa bahwa tindakan yang dituduhkan kepadanya mempunyai hubungan dengan suatu kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan, merupakan unsur yang paling mendasar dalam tindakan kejahatan penindasan. Bagaimanapun, kejahatan penindasan yang definisinya membingungkan karena tumpang-tindih antara Pasal 7 (I) huruf (h) dan Pasal 7 (2) huruf (g) akan menjadi sarana bagi jaksa penuntut untuk menjaring para pengacara, bankir, tukang propaganda, orang-orang yang menggunakan ijazah profesional mereka untuk membersihkan tangan mereka dari darah yang tumpah di rezim klien-kliennya. (Karnasudirdja, 2003) Pengadilan Den Haag untuk bekas Yugoslavia adalah pengadilan pertama yang mengakui perkosaan sebagai kejahatan yang berkaitan dengan masalah politik, yang pada titik tertentu dapat menjadi kejahatan terhadap kemanusiaan. Statuta Roma memasukkan kemajuan dari definisi ini di dalam Pasal 7 yang mencantumkan perkosaan, bersama dengan perbuatan seksual, kehamilan yang dipaksakan, pemaksaan pelacuran dan sterilisasi, sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan jika dilakukan secara sistematis. Namun bukan kebijakan negara Serbia, tetapi merupakan pikiran jahat yang meracuni para prajurit dan per - wira tinggi di dalam beberapa Batalyon Serbia. Oleh karenanya masih dapat dianggap sebagai lebijakan organisasi' 48
yang termasuk di dalam Pasal 7 Konvensi tersebut. Masuknya `perbudakan seksual' dan `pemaksaan terhadap pelacuran' merupakan pengakuan yang terlambat, seperti perbudakan tentara Jepang atas `wanita-wanita penghibur' dari Korea dan Taiwan untuk melayani mereka selama Perang Dunia II, sebenarnya juga merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Namun, pada tahun 1946, masalah itu tak terpikirkan oleh Sekutu sebagai kejahatan yang seharusnya dapat dihukum. Jepang sendiri tidak merasa perlu untuk meminta maaf sampai 1996. Kehamilan secara paksa berarti perkosaan yapg kemudian diikuti oleh `persalinan yang tidak sah' untuk `mengubah komposisi suatu etnis'. Vatikan sendiri khawatir dengan menjadikan kehamilan secara paksa sebagai subjek kejahatan terhadap kemanusiaan nantinya akan menjustifikasi pemusnahannya melalui aborsi. Vatikan bersikeras bahwa `definisi ini dengan cara apa pun tidak berarti dapat mengubah hukum nasional tentang kehamilan.' Negara yang memandang dalam perspektif religius, yang dinilai secara salah oleh komunitas internasional sebagai suatu negara ter - sebut, bertanggung jawab dalam memasukkan Pasal 7 (3), yang dinilai pasal yang paling konyol dari seluruh perjanjian internasional. Tenindasan' telah didefinisikan dalam Pasal 7 (I) (h) meliputi penindasan berdasarkan gender. Vatikan, serta negara-negara Katolik dan Islam lainnya, bersikeras untuk menambahkan Pasal 7 (3) bahwa di dalam statuta ini, dipahami bahwa terminologi 'gender' mengacu pada dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan dalam konteks masyarakat. Terminologi gender tidak menunjukkan arti 49
selain yang telah disebutkan di atas. c. Kejahatan Perang Pasal 8 Statuta Roma merumuskan, kejahatan perang, di mana ICC mempunyai yurisdiksi, apabila dilakukan sebagai bagian dari suatu rencana atau kebijakan, atau sebagai bagian dari perbuatan yang mempunyai dampak berskala besar dari tindak pidana tersebut. Kejahatan perang ini terbagi menjadi empat kategori, yang merefleksikan evolusi historis dari subjek dengan membedakan antara kejahatan yang dilakukan pada saat konflik internasional dan pada saat konflik bersenjata internal. Kategori pertama, Pasal 8 Ayat (2) huruf (a), meliputi semua `pelanggaran berat' Konvensi Jenewa 1949. Kategori kedua, Pasal 8 Ayat (2) huruf (b), meliputi `pelanggaran yang berat terhadap hukum dalam kerangka hukum internasional'. Ada sebanyak 26 pelanggaran semacam itu diatur di dalam pasal ini, yang bertujuan untuk menambah konsep yang muncul pada tahun 1949 yang lebih sempit. Oleh karena itu, kategori ini sekarang meliputi juga serangan atas pasukan penj'aga perdamaian atau mereka yang memberikan bantuan kemanusiaan di bawah naungan PBB, yaitu: 1) Subparagraf (ii), serangan yang dilakukan dengan sengaja dan mengetahui bahwa serangan itu menimbulkan kematian atau cedera terhadap penduduk sipil, atau mengakibatkan `kerusakan sangat berat dan berjangka waktu lama terhadap lingkungan nasional' yang secara tegas melampaui batas dalam kaitannya dengan tujuan militer mana pun;
50
2) Subparagraf (iv), serangan secara sengaja terhadap target nonmiliter seperti tempat ibadah, sekolah, museum, rumah sakit, dan tempat-tempat bersejarah atau yang memiliki nilai kebudayaan (subparagraf ix); dan penggunaan asphyxiating atau gas-gas beracun (subparagraf xviii). Tindakan orang-orang Serbia Bosnia yang menjadikan para penjaga perdamaian PBB yang diculik sebagai sandera untuk melawan serangan bom udara NATO, memberikan pemikiran bagi kejahatan perang yang Baru, yaitu menggunakan warga sipil atau orang yang dilindungi untuk membuat suatu wilayah militer atau pasukan militer kebal dari operasi militer (subparagraf xxiii). Ada pula kejahatan melibatkan anak-anak di bawah umur 15 tahun ke dalam Angkatan Bersenjata atau menggunakan mereka untuk ikut serta secara aktif dalam pertempuran, merupakan alasan dakwaan atas para perekrut `tentara anak-anak' di Afrika (subparagraf xxvi). Penghukuman yang tegas atus perkosaan dan pelecehan seksual di Pengadilan Den Haag terulang kembali. Di bawah Pasal 7 tindakan-tindakan tersebut merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan, pada scat terjadi konflik internasional, tindakantindakan tersebut menjadi kejahatan perang sesuai dengan Pasal 8, baik dilakukan sebagai bagian dari kebijakan maupun hanya untuk mengacaukan moralitas masyarakat. Pasal 8 Konvensi menyediakan yurisdiksi atas dua kelompok kejahatan perang jika dilakukan pada lonflik bersenjata yang tidak mempunyai karakter internasional.' Kelompok konflik ini secara tegas dibedakan dari `situasi kekacauan dan ketegangan internal' seperti huru-hara dan kerusuhan yang dicirikan oleh 51
tindakan kekerasan yang terisolasi dan sporadis. Kejahatan yang dilakukan pada situasi yang terakhir ini bukan merupakan `kejahatan perang' berdasarkan Pasal 8 konvensi tersebut. Oleh karena itu, tindakan-tindakan tersebut harus mempunyai kualifikasi genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan jika ICC ingin menggunakan kekuasaannya untuk menghukum pelakunya. Hal ini memberikan akibat yang luas dan menimbulkan pertanyaan bagi pemerintah yang sedang memerangi gerakan separatis dan kelompok bersenjata lainnya yang bermotif politik. Jika `legitimasi' berarti hanya sebagai justifikasi di bawah hukum domestik', maka tidak satu pun kepala pemerintahan yang melakukan penahanan dan penghukuman tanpa proses pengadilan akan dapat dituntut di ICC. Pasal 8 Ayat (2) huruf (c) konvensi tersebut memperluas yurisdiksi atas konflik bersenjata internal, berkaitan dengan seluruh pelanggaran serius dari Pasal 3 Konvensi Jenewa 1949, yaitu serangan tidak manusiawi terhadap warga sipil atau orang yang sedang sakit atau prajurit yang sudah menyerah. Terhadap kejahatan-kejahatan inti ini, Pasal 8 Ayat (2) huruf (e) menambahkan sejumlah 12 kejahatan perang yang terdaftar di dalam Pasal 8 Ayat (2) huruf (b) sebagai pendorong munculnya konflik internasional. Kejahatan ini mencakup penggunaan anak-anak sebagai tentara, atau keterlibatan dalam kejahatan seksual secara sistematis, atau penyerangan terhadap pasukan perdamaian PBB atau target-target bersejarah, budaya, dan kemanusiaan. Kedua belas kejahatan tersebut mencerminkan hukum kebiasaan internasional yang telah berkembang dari konflik internal, yang secara spesifik didefinisikan 52
sebagai konflik bersenjata yang mengambil tern-pat di teritorial satu negara, di mana terjadi konflik bersenjata yang berkepanjangan antara otoritas pemerintah dengan kelompok bersenjata yang terorganisir, atau antarkelompok tersebut. Hal ini jelas menunjukkan bahwa jika kekuatan teroris atau tentara pembebasan tidak tersentuh oleh Pasal 3 Konvensi Jenewa, maka pemimpin mereka dapat dibawa ke hadapan ICC untuk tindakan kekejaman terhadap warga sipil. Organisai pembunuh seperti Renamo di Mozambik, sebelum sebuah amnesti memberikannya status politik yang tidak pernah dicita-citakan dapat ditangkap. (Karnasudirdja, 2003) Demikian juga halnya dengan pemimpin dari 'Shining Path' di Peru yang mungkin akan dapat ditahan secara internasional, di mana kejahatan mereka yang sangat kejam dan tidak terhapuskan terhadap perempuan, akan memperoleh pengadilan yang lebih adil ketimbang pengadilan mana pun di Peru. Organisasi ini telah membunuh 12 pemimpin gerakan feminis dan mendorong tindakan pemerkosaan secara meluas. (Karnasudirdja, 2003) Apa yang dipertunjukkan di dalam menyusun Pasal 8 tersebut terdapat masalah yang tetap mewarnai asumsi bahwa pemimpin negara sama sekali tidak melakukan kejahatan ketika is mengumumkan dan melaksanakan perang yang mengakibatkan terbunuhnya jutaan pejuang dan warga sipil. Lebih lanjut, Karnasudirdja (2003) menyatakan, "Tindakan perang untuk memperluas wilayah, seperti pendudukan Saddam Hussein terhadap Kuwait dan invasi Galtieri ke Kepulauan Falkland, harus diperhitungkan sebagai kejahatan yang paling keji, karena terdapat banyak upaya dan mekanisme internasional yang dapat mencegah hal 53
tersebut, misalnya melalui negosiasi atau arbitrase. Di masa mendatang, `perang demi keadilan' (just wars) hanya akan diperangi oleh pihak yang menghalanginya, atau dilakukan demi kepentingan kemanusiaan sebagai satu-satunya cara untuk menghentikan negara yang melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketidakmampuan untuk mencapai kata sepakat atas definisi kejahatan agresi, pada umumnya merupakan pendahuluan dari konflik internasional, merupakan suatu kegagalan yang serius, mengingat bahwa hal ini sudah dibicarakan di Pengadilan Nuremburg dan rancangannya sudah diperdebatkan oleh Komisi Hak Asasi Manusia dan Komisi Hukum Internasional sejak 1948. Kegagalan ini semakin diperburuk dengan berpura-pura memasukkan kejahatan ini dalam suatu mekanisme, tetapi menunda pelaksanaannya sampai dicapai kesepakatan mengenai definisinya, yang akan dibicarakan pada saat peninjauan ulang terhadap statuta, setelah 7 tahun statuta tersebut diberlakukan (yaitu Baru menjelang akhir tahun 2010). Dengan demikian, yang paling dibutuhkan adalah definisi kejahatan perang yang dapat memenjarakan para pemimpin seperti Saddam Hussein dan Jenderal Galtieri seumur hidup. Sedihnya, negara-negara yang berkumpul di Roma kehilangan kesempatan untuk akhirnya mencabut perlindungan hukum atas perang sebagai instrumen kebijakan nasional. 5. PRINSIP HUKUM PIDANA INTERNASIONAL Bagian ketiga Statuta Roma 1998 mengadopsi prinsip-prinsip dasar yang ditemukan di dalam sistem hukum yang berlaku universal. Prinsip-prinsip tersebut
54
antara lain, jaksa penuntut harus membuktikan bahwa aksi kejahatan yang dilakukan terdakwa, dengan mens rea (yaitu secara sengaja dan telah mengetahui konsekuensinya). Terdakwa harus bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan secara bersama- sama atau dengan tujuan yang sama, untuk tindakan membantu atau memerintahkan kejahatan, melakukan kejahatan, dan berusaha melakukan kejahatan dengan mengambil langkah-langkah penting untuk menyelesaikannya. Statuta Roma diberlakukan bagi kepala negara, wakil-wakil yang terpilih dan mereka yang telah melakukan aksi dalam kapasitas resmi. Pembelaan din mereka bahwa `tindakannya dilakukan atas nama negara' tidak akan diperhatikan lagi. Pasal 25 tentang pertanggungjawaban kejahatan menjelaskan bahwa kejahatan genosida termasuk penghasutan terhadap orang lain untuk melakukannya. Hal ini merupakan pengakuan terhadap peranan radio dalam mendorong pembunuhan besar-besaran di Rwanda. Selain itu, hal ini juga mengesampingkan setiap argumen mengenai kejahatan ini. Yurisdiksi dibatasi pada individu, baik laki-laki maupun perempuan, pada pemerintahan atau perusahaan atau partai politik. Ini adalah suatu kekeliruan, karena reparasi tidak dapat diperintahkan melawan partai-partai yang tidak bertanggung jawab atas kejahatan tersebut. Mengapa perusahaan kimia multinasional (termasuk direkturnya) tidak dapat dituntut karena telah menyuplai gas beracun, padahal mereka mengetahui bahwa gas tersebut akan digunakan untuk kejahatan terhadap kemanusiaan? Berkenaan dengan hal tersebut timbul pertanyaan, mengapa perusahaan itu, 55
jikalau dihukum tidak dapat diperintahkan untuk membayar ganti rugi yang besar kepada orang-orang yang bertahan hidup dan keluarga korban? Pengecualian lain yang menimbulkan pertanyaan (dalam Pasal 26) adalah tentang anak-anak di bawah usia 18 tahun pada saat melakukan kejahatan. Beberapa kejahatan yang mengerikan telah dilakukan oleh `tentara anak-anak'. Pasal 8 menganggap perbuatan menghasut anak-anak di bawah usia 15 tahun untuk ikut serta dalam permusuhan sebagai kejahatan perang. Oleh karena itu, mengapa mereka yang berusia 16 atau 17 tahun, yang cukup dewasa untuk berpartisipasi penuh dalam perang, kebal terhadap tuntutan kejahatan perang? Para
delegasi
di
Konferensi
Roma
menentang
permintaanAmnesty
International dan LSM lainnya bahwa pengadilan harus menolak beberapa pembelaan dari mereka yang diduga melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang pada masa lalu harus tersedia sebagai tahanan politik. Pembelaan diri, paksaan, kesalahan yang meniadakan mens rea, penyakit jiwa dan keadaan tidak sadar, akan meniadakan tanggung jawab pada kasus yang sesuai. "Tanggung jawab komando" didefinisikan secara tepat di dalam Pasal 28: "A military commander or person effectively acting as a military commander shall be criminally responsible for crimes within the jurisdiction of the Court committed by forces under his or her effective command and control, or effective authority and control as the case may be, as a result of his or her failure to exercise control properly over such forces ..." Ini adalah pengesahan dari Prinsip Yamashita, yang digunakan di dalam Pengadilan Den Haag untuk menuntut Karadzic dan Mladic. Namun, Statuta Roma melemahkan satu 56
prinsip yang ada di dalam pengadilan Nuremberg, yaitu bahwa `perintah atasan' dapat mengurangi hukuman, namun tak akan pernah dapat menjadi pembebasan. Pasal 33 menyatakan bahwa setiap perintah, oleh penguasa militer, kepolisian, pemerintahan, atau otoritas sipil, memang dapat memberikan pembelaan kepada orang-orang yang berada di bawah lewajiban hukum' untuk mematuhi perintah (seperti tentara dan polisi) dan yang tidak mengetahui bahwa perintah itu melanggar hukum karena perintah itu tidak terlihat melanggar hukum. Meskipun perintah untuk melakukan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan dianggap `mempunyai muatan melanggar hukum', ini tidak terjadi dalam operasi militer yang menjadi kejahatan perang. Seorang perwira yang diperintahkan untuk menjatuhkan senjata nuklir akan berada di bawah kewajiban hukum untuk mematuhi perintah tersebut, yang tidak mempunyai muatan melanggar hukum. Ini merupakan kemenangan lain bagi lobbying Pentagon, yang menganggap bahwa tentara seharusnya tidak dibujuk untuk melanggar perintah yang dianggap meragukan. Di dalam Pasal 29 diatur bahwa yurisdiksi pengadilan seharusnya tidak dipengaruhi
oleh
batas
waktu
atau
statuta.
Ini
akan
menjamin
bahwa
komplementaritas tidak dapat diminta atas nama orang-orang yang diduga melakukan kejahatan yang melewati batas waktu penuntutan yang dijalankan oleh sistem hukum nasional, mengingat banyak negara Francophone, misalnya melarang adanya penuntutan setelah jangka waktu 15 tahun, bahkan untuk kasus pembunuhan sekalipun. (Robertson, 2000) Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah kejahatan yang serius, maka harus 57
dipertanggungjawabkan selama pelakunya masih hidup. Namun, banyak sistem hukum nasional memberikan kekuasaan pada pengadilan untuk menggagalkan penuntutan yang tertunda untuk waktu yang lama, setidaknya jika keterlambatan bukan disebabkan oleh terdakwa, misalnya dengan menghindar dari penahanan. ICC tidak mempunyai kekuasaan untuk menangani kasus yang tidak dapat diterima karena ada penundaan yang merugikan yang dilakukan oleh pihak jaksa penuntut dalam mempersiapkan penuntutan tersebut. (Karnasudirdja, 2003) Di dalam sistem nasional, hal ini telah memberikan kekuatan yang bermanfaat untuk menghindari ketidakadilan terhadap terdakwa yang penuntutannya tidak kompeten, bersifat menekan, atau tidak adil (Robertson, 2000). Namun, dalam keadaan yang demikian, Trial Division dapat menolak kasus tersebut Pasal 64 (2) memberikan mandat kepada majelis agar pengadilan berjalan dengan adil dan penuh penghargaan terhadap hak-hak terdakwa. Salah satunya menurut Pasal 67 (c), adalah `diadili tanpa penundaan yang tidak perlu'. Apabila penundaan itu tidak sah dan merugikan, serta disebabkan oleh ketidakmampuan jaksa penuntut atau faktor-faktor lain di luar kekuasaan terdakwa, maka satu-satunya cara yang dapat dilakukan oleh pengadilan untuk memenuhi prinsip tersebut adalah membatalkan tuntutan dan membebaskan terdakwa. Hal ini telah dilakukan dalam Pengadilan Tingkat Banding Den Haag untuk kasus Barayagwiya. Di dalam Pasal 66 mengabadikan prinsip praduga tak bersalah dan menempatkan bebannya pada jaksa penuntut untuk membuktikan kesalahan dengan alasan-alasan yang meyakinkan. Pasal 67 (1) menyarankan bahwa bukti-bukti dan 58
`bantahan' tidak dibebankan kepada terdakwa, meskipun banyak pembelaan yang dinyatakan dalam statuta, seperti rperintah atasan' dan `paksaan', menempatkan bebanbeban tersebut kepada terdakwa. Karnasudirdja
(2003),
menyatakan
bahwa
walaupun
ICC
dibentuk
berdasarkan Rome Statute tahun 1998, namun berlakunya secara formal baru pada tahun 2002, yaitu setelah dipenuhinya persyaratan ratifikasi. Dengan demikian, pelanggaran kemanusiaan di Timtim yang terjadi pascajajak pendapat tahun 1999 dan sudah diproses pada peradilan di Pengadilan HAM Ad Hoc, bukan merupakan yurisdiksi ICC berdasarkan asas nonretroaktif yang dianut oleh ICC. Karena desakan dunia internasional akhirnya, pemerintah Indonesia setuju membentuk Pengadilan HAM dengan mengundangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 (LN Tahun 2000 Nomor 208). Hasil penelitian dari Karnasudirdja (2003) mengemukakan beberapa hal yang penting dengan terbentuknya pengadilan HAM di Indonesia dan perkembangan selanjutnya, dengan memerhatikan hal-hal, sebagai berikut: a. Pentingnya penyempurnaan perangkat perundang-undangan dengan mengacu pada substansi ICC- Statuta Roma; b. Independensi, wawasan dan integritas pejabat yang terlibat di dalamnya serta melaksanakan
tugas-tugas
agar
konsisten
dan
sungguh-sungguh
perlu
ditingkatkan untuk menghindari turut campurnya ICC; c. Perlu kerja sama yang sungguh-sungguh dari setiap lembaga dan pejabat yang berkaitan dengan pelaksanaan peradilan HAM di Indonesia kini dan di masa 59
datang; d. Hakim mempunyai peran yang menentukan dalam proses peradilan HAM, sudah seyogianya apabila kepada para hakim diberikan perangkat pengetahuan secara berkelanjutan baik di dalam maupun di luar negeri. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, Robertson (2000), menguraikan bahwa kejahatan kemanusiaan harus diserahkan ke pengadilan, sebuah klaim untuk melakukan intervensi terhadap persoalan internal negeri berdaulat berdasarkan kepentingan kemanusiaan. Dengan demikian, keadilan sebagai prinsip utama hubungan global yang dicapai melalui perkembangan kekuatan bukan hak asasi manusia internasional yang membawa keharusan just cogent dalam pengadilan nasional maupun pengadilan internasional yang makin bertambah banyak.
B. LANDASAN TEORI Landasan teori dalam pembahasan mengenai Yurisdiksi Peradilan Pidana Indonesia terhadap Pelanggaran HAM Berat dalam rangka Penerapan Statuta Roma di Indonesia, adalah teori berperingkat, yang meliputi: 1. Teori Dasar atau Grand Theory Grand Theory adalah Teori Universalisme, yang merupakan teori klasik mengenai hak asasi manusia yang bertumpu pada pemikiran teori hukum alam (Lubis, 2001). Berdasarkan teori hukum alam pemikiran yang berkaitan dengan hak asasi manusia, meliputi: a. Hak asasi manusia dimiliki secara alami oleh setiap orang berdasarkan pemikiran, 60
bahwa seseorang dilahirkan sebagai manusia yang memiliki kebebasan; b. Hak asasi manusia bisa dilakukan secara universal kepada setiap orang tanpa memandang lokasi geografinya; c. Hak asasi manusia tidak membutuhkan tindakan atau program dari pihak lain, apakah mereka individu, kelompok, atau pemerintah. Perkembangan teori yang berlandaskan universalime cukup berpengaruh di beberapa negara yang memiliki dokumen Bill of Rights ( 1689) . 2. Middle Range Theory Adalah Teori Treaty yang berlaku di dalam hukum nasional. Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan memiliki kriteria umum, yaitu tindakan yang tidak manusiawi, tersebar luas atau sistematis, diarahkan terhadap penduduk sipil dan dilakukan atas dasar nasional, politic, etnis, rasial atau agama. Ifdal Kasim (2003), mengemukakan empat kriteria: a. Membedakan kejahatan terhadap kemanusiaan dari tindakan yang tidak melanggar hukum (seperti pemenjaraan atau deportasi) yang dilakukan setelah keputusan hukum atau administratif yang valid setelah proses yang lengkap dan adil; b. Mensyaratkan bahwa tindakan tidak manusiawi tersebar luas, dan sistematis, bukan hanya tindakan terisolisasi atau random; c. Menunjukkan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan dibatasi pada tindakan tidak manusiawi yang dilakukan terhadap warga sipil, bukan anggota angkatan
61
bersenjata; d. Mencakup tindakan yang dilakukan atas dasar politik, menunjukkan perbedaan penting antara kejahatan terhadap kemanusiaan dalam hukum kebiasaan internasional dan kejahatan genosida yang oleh Konvensi Genosida dibatasi di luar kelompok politik. Secara tradisional, para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan diperlakukan seperti bajak Taut, sebagai hostis humani generis (musuh umat manusia), dan semua negara, termasuk negara mereka, bisa menghukum mereka melalui pengadilan domestiknya. Dengan ketiadaan traktat yang memuat prinsip aut dedere judicare (mengekstradisi atau mengadili), "yurisdiksi universal" ini sebenarnya bersifat memungkinkan, dan bukan memaksa. Namun, seperti dicatat di muka, beberapa pakar menganggap bahwa hukum kebiasaan internasional tidak hanya mengizinkan pengadilan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, namun mewajibkan pengadilan terhadap mereka, dan sebaliknya melarang pemberian amnesti bagi orangorang tersebut. (Ifdal Kasim, 2003) Hukum kebiasaan internasional, yang memiliki kekuatan mengikat sama terhadap negara dengan hukum perjanjian, timbul dari "praktik umum dan konsisten terhadap negara-negara yang diikuti karena perasaan kewajiban hukum" yang dikenal sebagai opinio juris. Dalam anggapan tradisional tentang hukum kebiasaan internasional, "yang penting adalah tindakan, tidak hanya kata-kata", menurut Ifdal Kasim (2003). Namun, mereka yang menganggap bahwa hukum kebiasaan internasional melarang amnesti untuk kejahatan terhadap kemanusiaan mendasarkan 62
posisi mereka pada Resolusi Sidang Umum yang tidak mengikat, deklarasi seruan konferensi internasional, yang tidak diratifikasi secara luas, bukan praktik yang dilakukan oleh banyak negara konsisten dengan aturan tersebut. Robertson (2000), mengatakan para pakar sering kali mengutip Deklarasi Suaka Teritorial sebagai pengakuan internasional pertama terhadap kewajiban hukum untuk mengadili para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Deldarasi tersebut menyatakan bahwa negara tidak boleh memberikan suaka "bagi semua orang yang perlu diperhatikan dengan serius bahwa is melakukan, kejahatan terhadap kemanusiaan." Namun, menurut catatan historis deklarasi ini, "sebagian anggota menekankan bahwa rancangan deklarasi ini tidak ditujukan untuk menyarankan norma hukum Baru atau mengubah aturan hukum internasional yang sudah ada, akan tetapi memberi dasar prinsip kemanusiaan dan moral yang luas yang bisa dijadikan patokan dalam menyeragamkan praktik mereka berkaitan dengan suaka." Ini menjadi bukti bahwa sejak awalnya Sidang Umum memberikan peran bagi dirinya sebagai penasihat dan bukan pencipta aturan mengikat untuk mengadili kejahatan terhadap kemanusiaan. (Robertson, 2000) Bila ada praktik negara yang tersebar luas dalam bidang ini, itu adalah praktik pemberian amnesti atau impunitas de facto bagi para pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan. Bahkan, segera setelah diciptakannya istilah "kejahatan terhadap kemanusiaan", terkait dengan pembantaian warga Armenia pada Perang Dunia Pertama, komunitas internasional menyepakati pemberian amnesti bagi warga Turki yang melakukannya. Pengadilan juga diabaikan setelah perang Aljazair, ketika, 63
setelah Kesepakatan Evian pada tahun 1962, Perancis dan Aljazair memutuskan untuk tidak mengadili para pelaku kekejaman. Demikian untuk tidak mengadili warga Pakistan yang dituduh melakukan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai imbalan pengakuan politik Bangladesh oleh Pakistan. Akhirnya, seperti dibahas di depan, sejumlah negara, sering kali dengan dukungan PBB, memberikan amnesti bagi para pelaku kejahatan yang tampaknya termasuk dalam kejahatan terhadap kemanusiaan. Karnasudirdja (2003), menganggap bahwa terdapat kewajiban dalam hukum kebiasaan internasional untuk menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan menyikapi banyaknya praktik negara yang bertentangan dengan menyatakan bahwa "bahkan negara-negara yang mengesahkan perundang-undangan amnesti dan dengan demikian menciptakan impunitas tidak membantah eksistensi secara mendasar kewajiban untuk mengadili, namun menggunakan pertimbangan lain, seperti rekonsiliasi nasional atau instabilitas proses demokratisasi." Dukungan bagi pemikiran ini bisa ditemukan dalam keputusan Mahkamah Internasional dalam kasus Nikaragua dan dalam opini Pengadilan Banding Tingkat Dua Amerika Serikat di dalam kasus Filartiga yang se-ring kali dikutip. (Robertson, 2000) 3. Applied Theory, yaitu Teori Sistem Peradilan E. Cotran, et al., (1997), di dalam buku The Role of the Judiciary in the Protection of Human Rights, menggambarkan bahwa: The effective protection of human rights, nevertheless, depends on a feasible
64
mechanism that guarantees their proper implementation. It is evident that the judiciary is the cornerstone in such a mechanism. Only through efficient judicial activism can human right be safeguard and developed. This is simply because courts and judges are the final authority to determine the true meaning and dimensions of human rights as they are embodied in both constitutional and legislative text. This fact undoubtedly Sheds light on the importance of the role played by the judiciary in the human rights area. Conducting studies, exchanging views and stimulating discussion of human rights are, therefore, meaningful efforts to promote human rights. Dari kutipan di atas dapat dipahami betapa penting peranan pengadilan dan hakim dalam penegakan hak asasi manusia (HAM), penegakan hukum yang baik akan tercipta apabila sistem peradilan pidana bekerja secara objektif, tidak memihak dan independen serta memerhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguhsungguh nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat. Apabila kebijakan para aparat penegak hukum menangani dan menyelesaikan kejahatan yang terjadi dalam masyarakat, tidak menghayati dan menghormati serta melaksanakan nilai-nilai dan norms yang ada dalam masyarakat, serta bertentangan dengan rasa keadilan akan mendapatkan reaksi yang keras dari masyarakat, maka akan berakibat tidak saja bagi pengadilan sendiri yang dipandang tidak berwibawa, bahkan juga akan menyangkut kredibilitas negara di mata masyarakat internasional. Oleh karena itu, sistem peradilan pidana dalam penanganan kasus pelanggaran berat HAM di Indonesia, sistem dan mekanisme peradilan HAM bersifat strategic atau 65
penentu. C. Prinsip-Prinsip Umum Peradilan Pidana Indonesia Dan Peradilan Pidana Internasional 1. Prinsip Kekuasaan Kehakiman Upaya memperkuat prinsip kekuasaan kehakiman yang merdeka sesuai dengan tuntutan reformasi di bidang hukum telah dilakukan perubahan terhadap UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, diganti dengan UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Perubahan tersebut mengandung pengertian dilaksanakannya kekuasaan bebas dari segala campur tangan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif. Prinsip kemandirian kekuasaan kehakiman dalam kaitannya dengan pembentukan pengadilan pidana internasional, dapat dibedakan menjadi tiga aspek, yaitu kemandirian lembaga atau institusinya, kemandirian proses peradilannya, dan kemandirian hakim. Mengenai ketiga aspek kemandirian kekuasaan kehakiman yang dimaksud dapat dijelaskan di bawah ini. a. Kemandirian Lembaga Peradilan Kemandirian kekuasaan kehakiman melalui pengadilan pidana internasional adalah kemandirian yang berkaitan dengan lembaga peradilannya. Tolok ukur mandiri atau tidaknya pengadilan pidana internasional sebagai suatu lembaga peradilan dapat dikemukakan pertanyaan, yaitu: 1. Apakah ICC sebagai lembaga peradilan mempunyai ketergantungan atau saling 66
memengaruhi terhadap kemandiriannya dalam melaksanakan tugas dengan lembaga internasional atau negara lain? Kalau pengadilan pidana internasional sebagai
lembaga
peradilan
ternyata
dapat
dipengaruhi
integritas
dan
kemandiriannya oleh negara atau lembaga internasional tersebut, hal ini merupakan salah satu indikator bahwa pengadilan pidana sebagai lembaga peradilan tidak lagi mandiri, atau setidak-tidaknya kurang mandiri. Potensi untuk tidak mandiri atau kurang mandiri tidak dapat dilepaskan dari pengaruh global dari negara superpower, sebagai lembaga negara yang mempunyai kedudukan yang kuat dalam penegakan hukum terhadap kejahatan internasional dan dapat memengaruhi kedaulatan suatu negara yang lain. 2. Apakah pengadilan pidana nasional sebagai lembaga peradilan mempunyai hubungan hukum formal secara hierarkis baik vertikal maupun horizontal terhadap hukum nasional suatu negara asing. Bilamana campur tangan lembaga negara asing memengaruhi kebebasan atau kemandirian asas peradilan yang bebas bagi suatu negara, dapat dikatakan melanggar prinsip negara hukum, yaitu prinsip pemisahan kekuasaan dan kemandirian kekuasaan kehakiman. b. Kemandirian Proses Peradilan Kemandirian proses peradilan dimaksud terutama dimulai dari proses pemeriksaan, penyidikan, penuntutan, dan mengadili, pembuktian sampai pada putusan yang diputuskan oleh hakim pengadilan pidana internasional. Ukuran mandiri atau tidaknya suatu proses peradilan ditandai dengan ada tidaknya campur
67
tangan (intervensi) dari pihak-pihak asing atau pihak lain di luar kekuasaan kehakiman, yang dengan berbagai upaya memengaruhi jalannya proses peradilan baik secara langsung maupun tidak langsung. Untuk mengetahui ada tidaknya intervensi dapat diketahui dari sikap hakim dalam proses dikaitkan dengan kasusnya. c. Kemandirian Hakim Persyaratan dari negara hukum dalam hubungan dengan pemisahan kekuasaan dan dapat dikontrol pelaksanaan pemerintahan adalah hakim yang independen atau mandiri bagi warga negara yang berkepentingan, yang tidak hanya menyelesaikan perselisihan antarwarga negara, tetapi juga memutuskan pelaksanaan pelanggaran HAM berat itu sejalan dengan norma-norma yang sesuai dengan hukum pidana nasional. Kemandirian hakim di sini dibedakan tersendiri, karena hakim secara fungsional merupakan unsur terpenting dalam penegakan hukum pidana Indonesia dalam proses persidangan dan memberikan putusan kepada warga negara pencari keadilan yang dijamin oleh hukum nasional Indonesia. 2. Prinsip Hak Asasi Manusia (HAM) Prinsip perlindungan HAM merupakan bagian yang khas dari negara hukum, dan merupakan sifat negara hukum yang sebenarnya. Namun, tidak berarti bahwa jaminan-jaminan HAM pertama-tama muncul dengan lahirnya pemikiran tentang negara hukum pada akhir abad ke-18, tetapi jaminan-jaminan HAM tersebut telah ada sebelumnya. Sejak abad pertengahan, menurut dokumen konstitusi suatu negara yang ditemukan, disebutkan bahwa jaminan-jaminan itu ditetapkan untuk mencegah 68
kekuasaan pemerintah yang sewenang-wenang. Sebagai contoh Magna Carta Lihertatum (1215), yang merupakan perjanjian antara bangsawan feodal Inggris dan Tuan Tanahnya (leenheer), di mana hak-hak pihak yang menguasai tanah dijamin terhadap penyalahgunaan kekuasaan dari pihak kerajaan. (Friedrich, 1969) Menurut Locke dalam bukunya, Two Tretises of Government, dikutip dari Burkens, (1990), bahwa di Belanda dapat dilihat pada Pasal XIII dari Unie van Utrecht (1579), di mana kebebasan beragama secara pribadi diakui. Di Inggris pada tahun 1679 lahir Habeas Corpus Act dan tahun 1688 lahir Bill of Right karena Glorious Revolution. Locke, dikutip dalam Friedrich (1969) mengemukakan, jaminan hukum tersebut biasanya disepakati oleh kelompok masyarakat tertentu dan tidak berlaku secara umum. Hal yang terakhir ini menurut Rousseau (1762) dalam bukunya Du Contract Sosial ou Principes du Droit Politique dialihbahasakan "Perihal Kontrak Sosial atau Prinsipprinsip Hukum Politik", mengetengahkan bahwa: Segala yang dialienasi dari kekuasaan (soeverign), harta benda, kebebasan melalui fakta sosial hanyalah mencakup sebagian saja yang penting bagi masyarakat, namun harus disepakati pula bahwa hanya kekuasaanlah yang berhak menentukan mana yang penting. Segala pengabdian yang dapat dipersembahkan seorang warga bagi negaranya, harus dilaksanakan begitu kekuasaan memintanya. Namun di pihak lain kekuasaan tidak boleh membebani warganya dengan tugas yang tidak berguna bagi masyarakat, bahkan is tidak boleh menghendakinya. Keputusan yang diambil oleh 69
kekuasaan adalah keputusan seluruh rakyat, atau warga seluruhnya. Keputusan-keputusan kekuasaan (soeverign) dibatasi oleh kepentingan umum dan tidak berlaku bagi kasus-kasus pribadi. Kutipan dari Rousseau di atas menunjukkan perbedaan gagasan, yang menyatakan bahwa alienasi individu harus bersifat mutlak, dengan gagasannya sendiri. Sesungguhnya, alienasi tersebut harus dilaksanakan di dalam batas-batas kepentingan umum. Dengan kata lain, harus dibedakan antara hak-hak sebagai warga negara serta kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi oleh individu dalam kedudukannya sebagai subjek, dan hak alami yang harus dapat dinikmatinya sebagai manusia. Gagasan kekuasaan (soeverign) tidak pernah mendapat hak untuk membebani seorang warga lebih dari yang lain, sebab tatkala hakhak menjadi pribadi, kekuasaannya tidak memiliki wewenang lagi. (Rousseau, 1762) Perkembangan ke arah HAM modern diawali oleh John Locke, yang pada tahun 1689 memublikasikan pemikiran filsafat hukum mengenai kekuasaan negara, Second treatise of government. Ditemukan untuk pertama kali teori negara sistematis, di mana HAM merupakan hak manusia. HAM tidak diberikan oleh pemerintah, bukan apa yang sebenarnya bisa dilakukan atau diwariskan oleh pemerintah. Secara prinsip HAM tidak berada di bawah kekuasaan pemerintah. Dalam konteks yang terakhir ini Wignjosoebroto (2003), mengetengahkan bahwa: Konsep Baru tentang hubungan kekuasaan antara (para pejabat) negara dan (warga) masyarakatnya mulai dicoba dipraktikkan di Amerika dan Perancis, 70
ialah demokrasi yang bertandem dengan konsep komplementernya tentang eksistensi kodrati manusia sebagai penyandang yang paling asasi. Hak-hak asasi ini dipahamkan sebagai perangkat hak yang melekat secara kodrati pada diri setiap makhluk yang bersosok manusia, dan a contrario bukan sekali-kali berasal dari pemberian para penguasa mana pun. Konsep demokrasi yang secara harfiah bermakna bahwa rakyat (demos) itulah yang merupakan pemegang kekuasaan tertinggi (kratein) berkonsekuensi logis pada konsep bahwa sejak dalam statusnya yang di dalam kodrati, sampai pun ke statusnya sebagai warga negara, manusia itu memiliki hak-hak yang karena sifatnya yang asasi tidak akan mungkin diambil alih, diingkari dan/atau dilanggar oleh siapa pun yang tengah berkuasa. Bahkan para penguasa itulah yang harus dipandang sebagai pejabat yang memperoleh kekuasaannya yang sah karena mandat para warga negara melalui suatu kontraktualnya akan diwujudkan dalam bentuk konstitusi. Di dalam kehidupan bernegara dan berbangsa yang modern umumnya yang hendak dituruti di dalam hubungan kekuasaan antara negara dan masyarakat bukan lagi autokratik tetapi demokratik, dengan keyakinan bahwa bukan kekuasaan negara itu yang bersifat kodrati, melainkan hak-hak manusia individual warga negara itu yang asasi dan ash. Paradigma ini menunjukkan kekuasaan para pejabat negara itu hanya derivat saja dari hak-hak asasi manusia warga negara, oleh sebab itu harus diterima sebagai sesuatu yang limitatif sifatnya. 71
Asshiddiqie (2004) mengemukakan, gagasan mengatur dan membatasi kekuasaan ini secara alamiah muncul karena adanya kebutuhan untuk merespons perkembangan peran relatif kekuasaan umum di dalam kehidupan manusia. Konsep bagi setiap negara modern adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas rakyat mengenai hubungan yang diidealkan berkenaan dengan negara. Locke secara teoretis (Burkens, et al, 1990) menggunakan konstruksi hukum dari abad pertengahan mengenai perjanjian kemasyarakatan yang bertujuan untuk: Menjamin hidup, kebebasan, dan hak milik rakyat dan bahwa pemerintah harus menghormati HAM tersebut. Makna dari perjanjian kemasyarakatan itu terletak pada adanya jaminan atas hak-hak tersebut. HAM menurut cara berpikir ini mempunyai apa yang disebut sebagai sifat pra-konstitusional. HAM merupakan hak yang diterima terlepas dari ikatan kenegaraan (staatsverband). Suatu ikatan kenegaraan yang tidak menjamin HAM sebenarnya telah kehilangan dasar keberadaannya. Cara berpikir demikian telah memberikan pengaruh yang luar biasa, terutama di negara-negara Anglo-Saxon. Pada masa perjuangan kemerdekaan Amerika, banyak koloni yang dalam konstitusinya dengan cara pra-konstitusional diawali dengan penjelasan mengenai HAM. Dalam pernyataan kemerdekaan Amerika 1776, diawali dan dilhami oleh artikel Jon Locke sebagaimana dikutip dari Burkens, dkk. (1990), yaitu:
72
That all men are by nature equally free and independent and have certain inherent rights, of which, when they enter into a state of society, they cannot by any compact deprive or divest their posterity; namely the enjoyment of life and liberty, with the means of acquiring and prossessing property and pursuing and obtaining happiness and safety. Pernyataan tersebut memuat beberapa hak-hak dan kebebasan konkret. Hakhak dan kebebasan tersebut juga dimuat di dalam konstitusi federal (bonds constitutie) 1787. Hak Asasi Manusia adalah hak-hak dan kebebasan-kebebasan fundamental harus dijaminkan dalam bentuk HAM, dengan kata lain hak-hak itu harus dimuat dalam sebuah dokumen dari peraturan yang lebih tinggi (UUD), sehingga hak-hak ini juga dapat membatasi kewenangan pembentuk undangundang itu sendiri. Pada dekade terakhir ini, Asia telah muncul sebagai salah satu pusat perhatian beberapa kekuatan gerakan HAM Internasional. Gerakan paling menonjol adalah perdebatan
tentang nilai-nilai
Asia
yang
sangat
dipolitisir
mulai
gencar
mempersoalkan pretensi-pretensi rezim HAM Internasional. Tampaknya yang lebih fundamental lagi adalah: "the experiencies of Asia State over the last five decades challenged two widely held of some what inconsistent views: first, that democracy was the key to economic growth, or, reversing the casual direction, that economic growth would inevitably lead to political reforms, democratization and better protection of human right". (Peerenboom, 2004)
73
Penelitian tentang HAM di Asia yang dikemukakan Peerenboom (2004) bahwa beberapa negara Asia seperti Singapura, Malaysia, dan Camboja cenderung terabaikan dari perhatian masyarakat HAM internasional, karena negara-negara tersebut menerapkan sistem semi otoriter, semi diktator, dan semi demokrasi. Bahkan Peerenboom mengatakan, beberapa negara Asia lainnya Korea Selatan, Taiwan, Jepang, dan terakhir Indonesia cenderung menafsirkan dan menerapkan HAM dengan cara yang berbeda dibandingkan dengan negaranegara demokrasi liberal di Barat, sehingga memancing pertanyaan sampai sejauh mana negara-negara tersebut dapat dideskripsikan sebagai negara demokrasi liberal. Di samping itu, beberapa negara Asia menjadi fokus perhatian komunitas HAM Internasional karena buruknya catatan yang dimiliki oleh negara-negara Asia tersebut terutama dalam hal penghormatan terhadap hak-hak sipil dan hak-hak politik warga negaranya. Di dalam kasus Cina, negara ini menjadi fokus perhatian komunitas HAM internasional karena luas wilayah dan arti penting geopolitik yang dimiliki Cina. Sementara itu, negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam terusmenerus diawasi oleh Amerika Serikat, sejak negara terse-but melancarkan perang terhadap terorisme. Hal ini memunculkan kekhawatiran bahwa negara-negara Asia tersebut akan menerapkan undang-undang keamanan nasional dalam Skala luas yang dikhawatirkan dapat mengganggu kemerdekaan individu warga negara, tidak hanya bagi para tertuduh teroris, tetapi juga lawan-lawan politik dan bahkan warga negara biasa. Peerenboom (2004), juga membandingkan keadaan tersebut dengan Perancis 74
dan Amerika. Kedua negara ini sama-sama menganut paham demokrasi liberal dan telah maju secara ekonomi, namun masih memiliki perbedaan-perbedaan dalam berbagai isu HAM tertentu. Sekalipun Amerika Serikat dan Perancis memiliki skor yang tinggi dalam banyak indikator HAM dibandingkan dengan banyak negara Barat yang lain (sehingga tidak dapat dikatakan mempresentasikan kawasan Eropa secara keseluruhan). Namun, dalam banyak hal yang lain dapat dikatakan jauh dari sempurna terutama dalam hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya. Lebih jauh lagi, dalam lembaga-lembaga hukum yang bertugas memberikan perlindungan HAM, Amerika Serikat sebuah negara yang menganut sistem Common Law dan Perancis yang menganut sistem Civil Law, ternyata memiliki pengaruh yang sangat signifikan sebagai sumber transplantasi hukum. Beberapa sistem hukum di Asia telah mencontoh Civil Law Perancis, sedangkan sistem Common Law yang dianut Amerika Serikat sangat besar pengaruhnya terhadap sistem hukum di Filipina dan Jepang, bahkan Amerika terus berupaya untuk menyebarkan pengaruhnya lebih luas ke kawasan Asia melalui kebijakankebijakan luar negeri bernuansa HAM yang agresif. (Burkens, et al, 1990) Awal berdirinya negara Indonesia, HAM terumus dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), namun menuai pertentangan antara pihak Yamin di satu sisi, dengan pihak Soepomo pada sisi lain, dalam risalah sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) pada tahun 1945, diterbitkan oleh Setneg (1997), yaitu: 75
Pandangan Soepomo, HAM sangat identik dengan ideologi liberal individual, dengan pemikiran sangat tidak cocok dengan sifat masyarakat Indonesia. Soepomo tidak pernah membayangkan kalau negara yang berasaskan kekeluargaan akan terjadi konflik atau penindasan negara kepada rakyatnya karena negara atau pemerintahan merupakan satu kesatuan, antara pemerintah dengan rakyat adalah tubuh yang sama. Yamin, menolak pandangan Soepomo, menurutnya tidak ada dasar apa pun yang dapat dijadikan alasan untuk menolak memasukkan HAM dalam Undang-Undang Dasar yang sedang mereka rancang. Akhirnya, dari pertentangan tersebut dicapai kompromi untuk memasukkan beberapa prinsip HAM ke dalam UUD. Wujud dari kompromi tersebut adalah apa yang diatur pada 7 pasal HAM dalam UUD 1945. Memerhatikan risalah sidang BPUPKI tersebut tampak dengan jelas terlihat bahwa perancang UUD 1945, masih mengaitkan HAM dengan individualisme dan liberalisme. Paham ini sangat ditentang oleh hampir semua anggota BPUPKI. Mereka menolak semua paham yang berbau liberal. Hal ini dapat kits pahami, karena para perancang hukum dasar tersebut merasakan betapa getirnya hidup di masa kolonialis. Penolakan Soepomo memasukkan norma-norma HAM ke dalam UUD 1945 bukan berarti is anti-HAM. Perubahan sikap Soepomo terhadap HAM dapat dilihat dengan dimasukkannya hak-hak dasar warga negara dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950, di mana Soepomo terlibat secara langsung dalam perancangannya. Sekitar 36 pasal prinsip-prinsip HAM dimuat di bawah payung hak-hak kebebasan 76
dasar manusia yang dijabarkan dari Pasal 7 sampai Pasal 43 UUDS 1950. (BPUPKI, Setneg, 1997) Sejak Indonesia kembali kepada UUD 1945 melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pengaturan HAM kembali berdasar kepada beberapa Pasal dalam UUD 1945. Seiring dengan perkembangan perjalanan sejarah, di dunia internasional instrumen HAM semakin berkembang dalam berbagai konvensi dan kovenannya. Perlindungan HAM kemudian dijadikan salah satu norma standar untuk berhubungan dengan negara luar khususnya negara-negara Barat. Perkembangan ini yang mendorong pemerintah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional dan mengatur dalam Ketetapan MPR RI Nomor XVII/MPR/1998 tentang HAM serta melahirkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan juga Peradilan HAM. Kemudian MPR melakukan amendemen untuk memasukkan norma-norma HAM ke dalam Batang Tubuh UUD 1945. Perspektif norma yang terkandung dalam UUD 1945 merupakan sumber hukum (rechtsgulle) bagi aturan yang ada di bawahnya. Konstruksi ini mempunyai makna bahwa norma-norma yang ada dalam UUD harus dijabarkan dalam perundang-undangan di bawahnya, berupa norma original atau norma jabaran yang lebih konkret. Norma tersebut dapat dijabarkan dalam perundang-undangan yang lebih rendah atau perundang-undangan yang lebih rendah dapat memberikan norma tafsiran dari norma yang lebih tinggi. Menurut Stammler dikutip oleh Notohamidjojo (1970) bahwa norma HAM yang terdapat dalam UUD adalah sebagai arah bagi pembuatan undang-undang di 77
bawahnya agar selaras dengan nilai-nilai HAM yang berlaku secara universal. Berkaitan dengan pandangan ini, dapat dikemukakan sifat jaminan negara hukum atas HAM, dan pembatasan kewenangan pemerintah terhadap HAM. a. Sifat Jaminan Negara Hukum atas HAM Apabila kembali pada arti sifat negara hukum yang khas dari HAM. Negara hukum, ini menunjukkan dasar fundamental dari kekuasaan kenegaraan diletakkan kepada hukum dan pelaksanaan kekuasaan ini ditempatkan di bawah kekuasaan hukum. Bagian yang penting dalam HAM menciptakan tembok penghalang terhadap tindakan pemerintah yang sewenang-wenang dan menekan, dengan konkret HAM hampir selalu membentuk reaksi atas tindakan pemerintah seperti itu. (Burkens, et al, 1990). Menurut John Locke dalam Friederich (1969), bahwa HAM memperoleh pengertian yang lebih fundamental dalam arti sebagai kebebasan yang prinsipiil dari rakyat. Tindakan pemerintah harus menghargai kebebasan, agar tidak kehilangan legitimasinya sendiri. Pendapat mengenai HAM ini memperoleh arah yang Baru dengan pemikiran yang bersifat negara hukum dari kekuasaan hukum. Kekuasaan hukum juga dapat menekan (oppressrief), apabila hukum tidak dibatasi. Justru karena hukum itu menjadi positif, artinya tidak sekadar berasal dari tradisi, tetapi berasal dari tindakan yang bersifat menciptakan hukum, maka hukum dapat menjadi cukup menekan, bahkan pembatasan oleh hukum tradisional (hukum kebiasaan) akan menghilang. Sifat negara hukum demikian, membutuhkan mekanisme pengamanan
78
terhadap pelanggaran undang-undang. HAM di sini harus mengaturnya. Menurut Burkens (1990), negara hukum memperjelas penciptaan hukum harus tetap berada di dalam batas-batas HAM, juga berlaku bagi pembentuk undangundang formal. Pembentuk undang-undang formal tidak berarti mempunyai wewenang dan boleh melakukan segalanya, tetapi juga harus memerhatikan HAM, yang dijamin di dalam UUD. Pembuat undang-undang tidak boleh menguji hal ini, karena adanya larangan untuk menguji di dalam sistem hukum Belanda (Pasal 120 Grond Wet). Pengamanan yuridis terhadap penghapusan HAM dari UUD tidak ada, tetapi hanya dapat memercayakan pada penjelasan hukum yang berlaku umum, bahwa hal seperti itu tidaklah diperbolehkan, karena akan mengganggu inti dari negara hukum itu sendiri. Perlindungan HAM saat ini, juga dijamin dalam perjanjian internasional. Pembatalan dari perjanjian ini, walaupun secara yuridis dimungkinkan (bandingkan Pasal 56 dari Perjanjian Wina mengenai hukum perjanjian), tetapi hanya mungkin secara teori. (Burkens, et al., 1990) b. HAM dan Prinsip Pembatasan Kewenangan Pemerintah Pada sisi lain HAM mempunyai arti fundamental bagi negara hukum yang memberikan gambaran mengenai karakter terbatas dari kewenangan pemerintah. Tindakan pemerintah yang memengaruhi kehidupan dan hak-hak milik warga negara dalam negara hukum, harus selalu dapat dijabarkan berdasarkan asas legalitas menjadi perundangundangan formal. Pemberian kuasa sedemikian rupa menjadikan
79
tindakan pemerintah selalu spesifik berupa tindakan hukum tertentu dari pemerintah yang diperbolehkan. (Notohamidjojo, 1970) Tindakan pemerintah selalu membutuhkan motivasi tertentu, yang diambil dari pengelolaan kepentingan umum dan kewenangan pemerintah selalu spesifik bersifat terbatas. Berlawanan dengan itu, di sisi lain ada kebebasan prinsip dari warga negara untuk melakukan dan membiarkan apa yang diinginkan, sejauh tidak ada kewenangan dari pemerintah untuk menghalangi kebebasan warga negara tertentu, walaupun kebebasan itu dijamin pada bidang-bidang yang terancam pelanggaran oleh HAM. (Burkens, 1990) Bagaimana warga negara menggunakan hak asasinya, adalah urusannya sendiri tidak perlu diberikan motivasi untuk itu. Contohnya, dalam pelaksanaan haknya untuk mengeluarkan pendapat, tidak perlu memerhatikan kepentingan umum dalam menggunakan kebebasannya untuk motif-motif yang murni komersial atau bahkan motif yang sama sekali irrasional. (Friederich, 1969) Hak asasi manusia merupakan pelengkap dari pembagian kekuasaan, yaitu mengenai pemberian kewenangan kepada pemerintah untuk menetapkan pembatasan pembagian antara pemerintah dan warga negara. Pemerintah melaksanakan kewenangan tertentu dan terbatas, yang diarahkan pada pengelolaan kepentingan umum. Warga negara pada awalnya bebas untuk memberi bentuk pada hidupnya, menurut pandangannya sendiri. Pada saat haknya terancam, maka ia dijamin kebebasannya untuk dapat menggunakan haknya, sebagaimana diatur di dalam Pasal 29 dan 30 UU Nomor 30 Tahun 1999, bahwa "Setiap orang berhak atas perlindungan 80
diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya. Dan setiap orang berhak atas rasa aman dan tenteram serta perlindungan terhadap ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat." Hakikat HAM adalah menjamin kebebasan warga negara. Pemerintah tidak dapat membatasi pelaksanaan HAM tersebut, tetapi pemerintah hanya diberi kuasa sesuai dengan asas legalitas, bahwa untuk membatasi HAM harus ada dasarnya dalam UUD itu sendiri yang bersifat hukum dasar. Hal ini didasarkan pada apa yang disebut sebagai proses penentuan klausul tambahan (clausuleringen) yang membatasi pemerintah, agar HAM menjadi jaminan dalam UUD 1945. Burkens (1990), mengemukakan bahwa dalam suatu negara hukum sifat khas dari HAM adalah, suatu hak itu diakui setelah diikuti klausul pembatasan, di mana pembentuk undang-undang diberi kewenangan untuk membuat aturan-aturan pembatasan,
berdasarkan
penyerahan
wewenang
yang diperbolehkan.
Juga
dimungkinkan penggunaan terminologi `ditetapkan dengan undang-undang' atau ditetapkan dengan atau berdasarkan undang-undang. Di dalam Pasal 28 dan Pasal 29 UUD 1945, ditentukan bahwa kebebasan itu ada dan warga negara boleh menghapusnya atau menggunakannya. Pembatasan-pembatasan atas kebebasan warga negara hanya mungkin atas dasar asasasas legalitas (clausulering). Pembatasan yang dibuat oleh pembentuk undang-undang harus mengemukakan alasan pembatasanpembatasan itu. (Notohamidjojo, 1970) Kadang-kadang kewajiban tersebut masih dispesifikasikan lebih lanjut, karena klausul pembatasannya menyatakan bahwa pengaturan yang bersifat undang-undang 81
(wettelijk) hanya diizinkan dengan memerhatikan pengelolaan kepentingankepentingan tertentu, mengenai sistematika pembatasan menurut apa yang disebut sebagai kriteria tujuan. Kadang-kadang pembatasan juga diikat oleh peraturanperaturan mengenai prosedur. Contohnya, clausulering dari hukum rumah pada Pasal 12 bagian kedua, Grondwet Belanda, menentukan bahwa untuk memasuki rumah tanpa izin pemilik, berlaku peraturan prosedur bahwa pengesahan awal dan pemberitahuan tujuan memasuki rumah harus ada, sedangkan setelahnya harus ada pemberitahuan tertufis mengenai itu. (Burkens, 1990) Di Indonesia telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, khususnya Pasal 31 yang mengatur, bahwa: Tempat kediaman siapa pun tidak boleh diganggu. Menginjak atau memasuki suatu pekarangan tempat kediaman atau memasuki suatu rumah bertentangan dengan kehendak orang yang mendiaminya, hanya diperbolehkan dalam halhal yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Elemen terpenting dari sistematika pembatasan atas HAM dibentuk oleh penunjukan dari lembaga negara dengan wewenang terbatas. Ketentuan UUD Belanda menggunakan susunan yang khas seperti tersebut di atas, yang secara umum hanya mengakui kewenangan terbatas pembentuk undang-undang formal saja, walaupun kadang-kadang dimungkinkan untuk didelegasikan. Redaksional HAM menunjukkan variasi yang kebanyakan merupakan khayalan, tanpa mempunyai konsekuensi yuridis. Kadangkadang sebuah HAM tidak diformulasi sebagai sebuah hak kebebasan, tetapi sebagai sebuah larangan untuk 82
pemerintah agar tidak melanggar kebebasan tertentu, dan HAM dianggap sebagai norma kompetensi negatif, yaitu norma yang menyatakan bahwa pemerintah tidak memiliki kewenangan tertentu. HAM seperti itu disebut juga sebagai hakhak penangkal atau "afweerrechten". (Burkens, 1990) 3. Konvensi-Konvensi Tentang Pelanggaran HAM Hak negara untuk memberikan amnesti terhadap suatu kejahatan dapat dilangkahi oleh perjanjian yang ditandatangani negara tersebut. Seperti dijelaskan Pasal 27 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian, "salah satu pihak tidak boleh menggunakan ketentuan hukum nasionalnya sebagai justifikasi atas kegagalannya menaati sebuah perjanjian." Terdapat beberapa konvensi internasional yang jelas menunjukkan adanya kewajiban untuk mengadili kejahatan kemanusiaan atau hak asasi yang didefinisikan di dalamnya. Dianggap penting di antaranya adalah Konvensi Jenewa 1949, Konvensi Genosida dan Konvensi Penyiksaan. (Ifdal Kasim, 2003) Dalam pemberlakuan konvensi-konvensi tersebut, pemberian amnesti terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas terjadinya kejahatan yang didefinisikan di dalamnya, merupakan pelanggaran terhadap kewajiban yang dimuat dalam konvensi tersebut. Namun perlu dicatat bahwa konvensi-konvensi tersebut dinegosiasikan dalam konteks Perang Dingin dan dengan demikian dirancang untuk berlaku hanya dalam beberapa situasi-situasi tertentu saja. (Morris & Scharf, 1995)
83
a. Kovensi Jenewa 1949 Keempat Konvensi Jenewa dinegosiasikan pada tahun 1949 untuk mengkodifikasi aturan internasional tentang perlakuan tawanan perang dan warga sipil di wilayah yang diduduki. Konvensi Jenewa termasuk memuat pernyataan spesifik tentang "pelanggaran berat", yaitu kejahatan perang di bawah hukum internasional yang memiliki liabilitas individual dan wajib diadili oleh negara. Pelanggaran berat tersebut mencakup pembunuhan, penyiksaan serta perlakuan tidak manusiawi, termasuk eksperimen biologi, menyebabkan penderitaan atau cedera berat terhadap badan atau kesehatan, penghancuran harta benda secara berlebihan yang secara militer tidak bisa dijustifikasi, secara sengaja tidak memberikan kesempatan pengadilan yang adil bagi penduduk sipil, dan penahanan secara melanggar hukum terhadap warga sipil. (Ifdal Kasim, 2003) Para penandatangan Konvensi Jenewa memiliki kewajiban untuk menyelidiki, mengadili, dan menghukum para pelaku pelanggaran be-rat konvensi tersebut, kecuali bila menyerahkan para pelaku tersebut untuk diadili pihak negara lainnya. Commentary to the Conventions, yang merupakan sejarah resmi proses negosiasi sampai disahkannya konvensi tersebut, menunjukkan adanya kewajiban untuk mengadili tersebut bersifat `mutlak', yang berarti, interalia, tidak ada negara yang sudah meratifiksi konvensi tersebut, dalam kondisi apa pun, boleh memberikan imunitas atau amnesti terhadap pelanggaran berat. Namun, kewajiban untuk mengadili tersebut terbatas untuk konflik bersenjata internasional. (Ifdal Kasim, 2003) 84
Menurut Theodor Meron (1987), ada dua alasan mengapa Konvensi Jenewa tidak bisa diberlakukan pada negara yang menolak mengadili para penanggung jawab kekejaman, yaitu: 1) Perlu ada sejumlah kekerasan yang besar untuk bisa disebut sebagai konflik bersenjata, untuk membedakannya dari gangguan dengan tingkat lebih rendah seperti kerusuhan atau pertempuran sporadis yang terbatas; 2) Kekerasan di negara-negara tersebut tidak memiliki karakter internasional seperti yang dimuat dalam Konvensi Jenewa. Persyaratan konflik internasional yang berasal dari keempat konvensi tersebut, menjelaskan bahwa konflik internasional sebagai perang yang dinyatakan secara resmi atau konflik bersenjata lainnya antara dua atau lebih negara berdaulat, bahkanbila kondisi perang tersebut tidak diakui oleh salah satunya, dan kasus-kasus pendudukan total atau sebagian terhadap wilayah salah satu pihak, walaupun pendudukan tersebut tidak dihadapi perlawanan bersenjata (Pasal 12 Konvensi Jenewa 1, II, III dan IV). b. Kovensi Genosida Konvensi Genosida mulai berlaku sejak tanggal 12 Januari 1952, dan sudah diratifikasi oleh 112 negara serta mengesahkannya konvensi ini hingga Desember 1993 (Ifdal Kasim, 2003). Seperti Konvensi Jenewa, Konvensi Genosida memberikan kewajiban mutlak untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab atas genosida, seperti didefinisikan di dalam konvensi. Menurut konvensi tersebut
85
genosida didefinisikan sebagai salah satu tindakan berikut ini, yaitu bila dilakukan "dengan tujuan untuk menghancurkan, secara keseluruhan maupun sebagian, sebuah kelompok, nasional, etnis, rasial atau religius." Konvensi Genosida memiliki dua pembatasan yang menjadikannya tidak bisa diterapkan pada sebagian besar kasus, yaitu: 1) Konvensi tersebut hanya berlaku pada mereka yang memiliki tujuan spesifik untuk menghancurkan sebagian besar populasi kelompok yang menjadi sasaran. 2) Para korban harus merupakan salah satu kelompok yang dijelaskan dalam Konvensi Genosida, yaitu nasional, etnik, rasial, atau religius. Perlu diperhatikan bahwa para perancang Konvensi Genosida secara sengaja mengabaikan tindakan-tindakan yang ditujukan kepada "kelompok politik" dan tidak mencantumkannya dalam definisi genosida (Ifdal Kasim, 2003). Di dalam konvensi ini, genosida didefinisikan sebagai tindakan dengan kehendak menghancurkan sebagian atau keseluruhan kelompok nasional etnis, ras, dan agama. Definisi ini mencerminkan pemikiran sebagaimana yang dinyatakan oleh Robertson (1999), bahwa: This definition reflects contemporary preoccupation with genocidal Nazi policy toward the Jews as revealed at Nuremburg: it is wide enough to cover ethnic cleansing and religious pogroms, but it does not address Stalin's extermination of a particular economic class (tha Kulaks) or the millions he liquidated for suspected dissidence or disloyalty.
86
c. Kovensi Penyiksaan Konvensi Penyiksaan mulai berlaku pada tanggal 26 Juni 1984 dan saat ini hanya disahkan oleh 79 negara. Konvensi melawan penyiksaan dan perlakuan atau hukuman lain yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat, dibuka untuk ditandatangani pada tanggal 4 Februari 1985. Kejahatan yang dilakukan di banyak negara tercakup dalam definisi ini. Konvensi Penyiksaan mensyaratkan bahwa semua penandatangannya menjadikan semua tindakan penyiksaan sebagai pelanggaran hukum domestiknya. Pasal 4 Konvensi penyiksaan tersebut juga mensyaratkan negara untuk memidanakan tindakan yang menunjukkan pemufakatan atau partisipasi dalam penyiksaan, menerapkan yurisdiksinya terhadap pelanggaran demikian bila, interalia, tersangka pelaku adalah warga negara tersebut, dan bila negara tidak-mengekstradisi tersangka penyiksaan, konvensi mewajibkannya untuk menyerahkan kasus tersebut pada otoritas yang kompeten untuk proses pengadilan. Deklarasi anti penyiksaan menegaskan bahwa tidak ada pengecualian, baik di masa perang atau instabilitas atau situasi darurat yang dapat membenarkan penyiksaan (Robertson, 1999). Penyiksaan didefinisikan: any act by wich severe paint or suffering, whether physical or mental, is internationally inflicted by or at the instigation of a public official on a person for such purposes as obtaining from him or a third person information or confession, punishing him for an act he has committed or is suspected of having committed or intimidating him or other persons.
87
Beberapa ahli menyatakan bahwa penggunaan istilah dan gaya bahasa dalam Konvensi Penyiksaan memberikan kemungkinan untuk amnesti, sementara dalam Konvensi Genosida terdapat kewajiban yang lebih mutlak untuk mengadili dan menghukum. Argumen ini berfokus pada kenyataan bahwa Konvensi Genosida mewajibkan agar orang yang melakukan genosida `harus dihukum' dan mewajibkan negara untuk `memberikan sanksi yang efektif', sementara Konvensi Penyiksaan hanya mewajibkan negara untuk menyerahkan kasus itu kepada `otoritas yang kompeten untuk proses peradilan' dan hanya mewajibkan negara untuk menjadikan penyiksaan `dapat dihukum dengan sanksi yang tepat dengan mengingat sifatnya yang mengerikan'. Maka, menurut Para pengamat tersebut; Konvensi Penyiksaan `tidak secara eksplisit mewajibkan terlaksananya pengadilan, apalagi pemberian sanksi hukuman. (Ifdal Kasim, 2003) Argumen demikian sebenarnya salah mengartikan sifat formulasi "mengadili atau mengekstradisi" yang digunakan dalam Konvensi Penyiksaan, dan diulang dalam beberapa konvensi kriminal internasional modern lainnya. Konvensi penyiksaan dirancang dengan gaya bahasa yang hati-hati untuk mencerminkan perkembangan dalam standar proses hukum internasional yang terjadi dalam hampir 40 tahun setelah Konvensi Genosida dirancang pada tahun 1948. Salah satu hal penting adalah pengesahan Konvenan Hak-hak Sipil dan Politik pada tahun 1966, yang mewajibkan negara untuk menjamin hak tersangka, termasuk hak untuk "dianggap tidak bersalah" dan hak "untuk diperiksa di muka pengadilan", sehingga pengadilan tersebut dapat segera menentukan keabsahan peranannya dan membebaskannya bila penahanan 88
tersebut tidak sesuai dengan hukum." Agar konsisten dengan hak-hak tersebut, Konvensi Penyiksaan harus dibahasakan sedemikian rupa untuk menghindarkan kesan proses pengadilan yang dirancang untuk mencapai hasil tertentu dan untuk mengakui bahwa terdapat alasan yang sah untuk menghentikan penyelidikan atau sebuah kasus sebelum pengadilan dimulai. Juga, sedikit perbedaan dalam klausul hukuman kedua konvensi tersebut tidak perlu dikhawatirkan. Tujuan kedua konvensi tersebut adalah untuk menjamin bahwa orang yang dituduh melakukan genosida atau penyiksaan dikenai hukuman yang berat. Merujuk pada perancang Konvensi Penyiksaan, "dalam menerapkan Pasal 4 (yaitu bahwa negara wajib memberikan `sanksi yang tepat dalam mengingat sifatnya yang mengerikan'), bisa dikatakan bahwa hukuman bagi penyiksa haruslah serupa dengan sanksi yang diberikan pada pelaku pelanggaran yang paling berat dalam sistem hukum domestik". Maka, pembahasan dalam Konvensi Penyiksaan tidak bisa dianggap memberikan kemungkinan amnesti atau pengampunan. Sayangnya, sebagian besar negara di dunia belum mengesahkan Konvensi Penyiksaan. Namun beberapa pakar menganggap bahwa konvensi tersebut masih tetap relevan, berdasarkan keputusan Komisi Penyiksaan pada tahun 1990 tentang Undang-Undang Amnesti Argentina. Dalam kasus tersebut, Komisi Penyiksaan, yang merupakan badan yang dibentuk melalui Konvensi Penyiksaan untuk mengawasi penerapannya, memutuskan bahwa laporan warga sipil Argentina ten-tang sanak keluarganya yang disiksa oleh militer tidak dapat diterima karena Argentina Baru 89
meratifikasi konvensi tersebut setelah UndangUndang Amnesti diberlakukan. Namun, dalam diktum, Komisi Penyiksaan menyatakan bahwa, "bahkan sebelum diberlakukannya Konvensi terhadap Penyiksaan, terdapat aturan umum dalam hukum internasional yang seharusnya mewajibkan semua negara untuk mengambil tindakan efektif untuk mencegah penyiksaan dan menghukum pelaku tindakan tersebut." Pernyataan komisi tersebut tidak bisa pula disalahartikan bahwa hukum kebiasaan internasional melarang amnesti bagi para pelaku penyiksaan. Dengan menggunakan kata "seharusnya", komisi menunjukkan bahwa pernyataannya bersifat aspirasional dan bukan suatu kewajiban. Dengan dasar keputusan itu, komisi menyerukan kepada Argentina untuk memberikan kompensasi bagi para korban penyiksaan dan keluarganya. Ia tidak menyatakan bahwa hukum internasional mewajibkan Argentina melakukan hal itu. Ia juga tidak menyatakan bahwa kompensasi tersebut berupa pengadilan terhadap mereka yang bertanggung jawab, namun dapat berupa ganti kerugian. Keputusan komisi tersebut menunjukkan bahwa Konvensi Penyiksaan tidak mewajibkan negara-negara yang tidak mengesahkannya untuk mengadili para pelaku penyiksaan. d. Kovensi Umum Hak Asasi Manusia Berbeda dari konvensi kejahatan internasional yang dibicarakan di depan, konvensi umum hak asasi manusia' seperti konvensi-konvensi di bawah ini. Konvenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik yang diterima 19 Desember 1966 dan mulai berlaku 23 Maret 1976, Konvensi Eropa untuk Perlindungan Hak
90
Asasi Manusia dan Kebebasan Mendasar, diterima 4 November 1950 dan berlaku 5 September 1953; dan Konvensi Amerika tentang Hak Asasi Manusia, diterima 7 Januari 1970, tidak memuat adanya kewajiban untuk menghukum pelanggaran hakhak yang mereka lindungi. Namun konvensi-konvensi umum tersebut memang mewajibkan negara untuk "menjamin" hak-hak yang dimuat di dalamnya. Beberapa ahli menganggap bahwa kewajiban untuk menjamin hal ini berarti kewajiban untuk mengadili para pelanggar. Thomas Bergenthal (1981), menyatakan bahwa kewajiban untuk menjamin adalah hak menciptakan kewajiban negara, misalnya untuk mendisiplinkan pejabatnya. Untuk mendukung pandangan ini, para pakar tersebut menunjukkan Interpretasi otoritatif" susunan Komisi Hak Asasi Manusia, yang dibentuk untuk mengawasi ketaatan terhadap Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik (Ifdal Kasim, 2003). Komisi terse-but diberi wewenang untuk memberikan pendapat terhadap laporan yang diterima dari individu yang berasal dari negara-negara yang telah meratifikasi Protokol Opsional untuk konvenan tersebut, yang mengaku bahwa mereka mengalami pelanggaran hak yang dilindungi oteh kovenan tersebut (UN GAOR supp, 1966). Pendapat komisi tersebut perlu diperhatikan. Di dalam jawabannya terhadap laporan tentang penyiksaan di Zaire, komisi menyatakan bahwa Zaire "memiliki kewajiban... untuk mengadakan penyelidikan tentang terjadinya penyiksaan (para korban) tersebut, menghukum mereka yang ditemukan bersalah dan mengambil langkah untuk menjamin bahwa pelanggaran serupa tidak terjadi di masa depan. (Muteba, Comm, 1984)
91
Di dalam jawaban terhadap laporan tentang eksekusi di luar hukum di Suriname, komisi menyerukan pemerintah "untuk mengambil langkah yang efektif untuk menyelidiki pembunuhan tersebut, dan mengadili orang-orang yang bertanggung jawab (Suriname, Comm, 1985). Dalam kasus penghilangan (penculikan paksa oleh agen negara yang diikuti bantahan tentang pengetahuan keberadaan para korban tersebut) di Uruguay, komisi menyimpulkan bahwa pemerintah Uruguay harus mengambil langkah yang efektif untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab. (Cuinteros dkk, 1983) Selain itu, Komisi Hak Asasi Manusia secara teratur menyusun "Komentar Umum" yang menjabarkan sifat: kewajiban negara yang telah mengesahkan konvenan, menurut berbagai pasalnya. Pada tahun 1992, komisi menerbitkan komentar umum yang menyatakan, bahwa amnesti bagi para penyiksa pada umumnya tidak sesuai dengan kewajiban negara untuk menyelidiki hal itu; untuk menjamin kebebasan dari tindakan demikian sesuai yurisdiksinya; dan untuk menjamin bahwa hal tersebut tidak akan terjadi di masa depan. Demikianlah Applied Theory yang mengenai sistem peradilan dalam peradilan pidana internasional yang berkaitan dengan konvensi-konvensi internasional.
92
Bagian Ketiga PERKEMBANGAN PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL
A. PELAKSANAAN YURISDIKSI PENGADILAN PIDANA MENURUT STANDAR INTERNASIONAL 1. Pengadilan HAM Internasional Sebelum Berdirinya ICC-STATUTA Roma 1998 Sebelum berdirinya ICC-Statuta Roma 1998 terhadap Para pelaku kejahatan pelanggaran HAM berat telah diadili di beberapa kota di negara-negara tertentu yang menjadi kasus-kasus pengadilan internasional yang terkenal. Adapun pengadilan internasional yang dimaksudkan adalah sebagai berikut: a. International Military Tribunal (IMT) Nurenberg; b. International Military Tribunal for the Far East (IMTFE) Tokyo; c. International Criminal Tribunal for the Farmer Yugoslavia (ICTY); d. International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR); e. Mixed International Court;
Special Court for Sierra Leone;
Extraordinary Chambers in the Court of Cambodia;
Special Panels pada Pengadilan Distrik Dili.
93
Pengadilan Pidana International atau Pengadilan Pidana yang mengadili Penjahat Perang sebelum ICC-Statuta Roma memiliki identitas dan karakter sendiri yang berbeda dengan ICC-Statuta Roma 1998, seperti yang akan dibahas berikut ini. a. International Military Tribunal (IMT) Nurenberg Berdasarkan Deklarasi Moskow 1 November 1943 dan London Conference, maka pada 8 Agustus 1945 diadopsi The Agreement for the Prosecution and Punishment of Major War Criminals of the European Axis, and Establishing the Charter of the IMT, yang ditandatangani oleh empat negara yaitu Inggris, Perancis, Uni Soviet, dan Amerika Serikat, dan didukung oleh 19 negara. Pada Oktober 1945, 24 tokoh NAZI diadili dan selesai setahun kemudian, dan secara keseluruhan berhasil mengadili 99 orang terdakwa, 12 di antaranya dijatuhi hukuman mati. Yurisdiksi IMT menyangkut tiga kategori kejahatan 'crimes against peace, war crimes, and crimes against humanity'. Mengingat kejahatan sudah terjadi sebelum Charter disusun, maka terjadi penentangan atas dasar 'ex post facto criminalization'. Untuk menjawab tantangan tersebut, IMT menunjuk dua Konvensi Den Haag dan '1928 KellogBriand Pact', atas dasar 'crimes against peace'. Di samping itu, dikatakan bahwa apabila larangan pemberlakuan kejahatan secara retroaktif didasarkan atas keadilan, adalah lebih tidak adil apabila penjahat-penjahat Perang NAZI yang telah melakukan kejahatan kemanusiaan dan genosida tidak dipidana.
94
Pada bulan Desember 1945 Charter dimodifikasi dan menghasilkan apa yang dinamakan 'Control Council Lair No. 10' yang menjadi dasar pelbagai peradilan baik yang dilakukan oleh negara-negara sekutu maupun pengadilan sipil di Jerman yang berlanjut beberapa dekade kemudian. Menurut Muladi (2003) yang menarik adalah penerapan `crimes against humanity' terlepas dari keadaan perang, sehingga bisa menjangkau kejahatan-kejahatan yang terjadi sebelum tahun 1939 yang dilakukan terhadap penduduk sipil. American Military Tribunal juga menjadi kelompok: terdakwa seperti hakim, dokter, birokrat, dan perwira militer atas dasar Control Council Law No. 10 di atas. Di Nuremberg, penjahat perang NAZI didakwa oleh jaksa telah melakukan `genosida', tetapi terminologi ini tidak tercantum di Statuta dan IMT memidana mereka telah melakukan 'crimes against humanity' atas pelbagai kekejaman yang dilakukan terhadap orangorang Yahudi Eropa. Karena itu pada bulan Desember 1946 muncul resolusi bahwa "genosida" merupakan kejahatan terhadap hukum internasional dan mendesak agar dibentuk suatu konvensi. Dua tahun kemudian (1948), Majelis Umum PBB mengadopsi 'the Convention for the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide'. Definisi `genosida' ini kemudian dimasukkan dalam Article 6 Statuta Roma. Harus diakui bahwa apa pun argumentasinya IMT di Nuremberg telah menciptakan 'precedents' yang dapat menembus asas legalitas (principle of legality), yang sangat bermanfaat di masa-masa sesudahnya dalam rangka penerapan hukum pidana internasional. (Kittichaisarre, 2001) IMT Nuremberg juga menyimpulkan bahwallum crime sine lege' tidak 95
merupakan suatu pembatasan kedaulatan (limitation of sovereingnity), tetapi secara umum merupakan suatu asas keadilan (a principle of justice). Memidana dengan melanggar asas legalitas memang tidak adil, tetapi membiarkan orang yang bersalah untuk tidak dipidana juga tidak adil. IMT Nuremberg juga menolak doktrin kedaulatan negara yang melindungi individual terhadap pertanggungjawaban pidana. Di wilayah Pasifik, tentara sekutu yang menang perang membentuk IMT Far East untuk mengadili para penjahat perang Jepang atas dasar ketentuan yang berlaku di Nuremberg. Kondisinya lebih maju, karena para hakim direkrut dari 11 negara termasuk India, Cina dan Filipina, sedangkan pada IMT Nuremberg para hakim hanya ditunjuk dari Amerika Serikat, Inggris, Perancis, dan Soviet Rusia (Schabas, 2001). Kritik yang sama sebagaimana dilakukan terhadap Tribunal Nuremberg juga terjadi pada Tribunal Tokyo. Penerapan 'victor justice' juga terjadi karena Jepang dilarang untuk menuntut Amerika Serikat sehubungan dengan penjatuhan born atom di Hiroshima dan Nagasaki. Begitu pula pelanggaran Soviet Rusia terhadap Perjanjian Netralitas 13 April 1941. Demikian pula persoalan pelanggaran asas legalitas. Kontroversi tentang asas legalitas di dua tribunal (IMT dan IMTFE) sebagaimana diatur dalam 'Charter of the Nuremberg Tribunal and the nudgement of the Tribunal' pada akhirnya dianggap selesai ketika dengan suara bulat hal itu diadopsi (unanimously adopted) oleh Sidang Umum PBB melalui Resolusi 95(1) pada tanggal 11 Desember 1946. Asas-asas tersebut selanjutnya dirumuskan oleh International Law Commission dalam bentuk tujuh Principles yang pada tanggal 12 96
Desember 1950 diterima oleh Sidang Umum PBB. b. International Military Tribunal For the Far East (IMTFE) Tokyo Berkenaan dengan proses peradilan di Nuremberg dan kota-kota lain di Eropa, negara-negara sekutu mengadakan peradilan terhadap pelanggar HAM berat yang disebut penjahat perang di wilayah Timur Jauh, yang berpusat di Tokyo dan beberapa kota lain di Jepang. The "Tokyo War Crimes Trials" yang berlangsung dari tahun 1946 sampai tahun 1948 merupakan pengadilan untuk mengadili pelaku utama (major criminals) kejahatan perang dengan tuntutan atau dakwaan (a) melakukan kejahatan terhadap perdamaian; (b) kejahatan perang konvensional; dan (c) kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain peradilan yang dilakukan IMT, pengadilan militer lain yang biasa disebut Military Commission telah mengadili ribuan anggota militer Jepang dan penjahat lainnya dengan dakwaan melakukan conventional war crimes, seperti melakukan eksekusi mati tanpa melalui pengadilan terhadap tawanan perang. Dengan persetujuan negara-negara sekutu, Mac Arthur melakukan pengadilan bagi pelanggar kejahatan dengan mengeluarkan piagam yang terkenal yang disebut Charter of the International Military Tribunal for the Far East pada tanggal 19 Januari 1946. Dengan terbentuknya The International Military Tribunal yang berkedudukan tetap di Tokyo untuk mengadili para pelaku utama yang mengorganisasi dan merencanakan perang sebagaimana diatur dalam Article 1, Tribunal Established, The IMTFE Tokyo.
97
Di dalam charter tersebut terdiri dan 17 pasal diatur hukum acara yang meliputi (a) tempat pengadilan; (b) pengangkatan hakim majelis yang terdiri dan sedikitnya 6 orang dan sebanyak-banyaknya 12 orang; (c) pejabat sekretariat, administrasi perkara; (d) yurisdiksi pengadilan; (e) hak-hak terdakwa; (f) pembuktian; (g) tata tertib persidangan; h) tempat persidangan; (i) tata penjatuhan pidana; (j) kemungkinan review atas pidana yang dijatuhkan mahkamah. Yurisdiksi tribunal menurut Pasal 5 IMT, adalah: 1) Kejahatan terhadap perdamaian (crimes against peace), yaitu merencanakan, mempersiapkan, memulai, atau menyulut peperangan secara terang-terangan (declared) atau secara diam-diam (undeclared) suatu perang agresi, atau suatu perang yang melanggar hukum international, atau berpartisipasi dalam rencana umum atau konspirasi untuk menyelesaikan hal-hal tersebut di atas; 2) Kejahatan perang konvensional (conventional war crimes), pelanggaran hukum atau kebiasaan; 3) Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity), pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap orang-orang sipil, sebelum atau sesudah perang terjadi, atau perkosaan hak-hak dasar berdasarkan alasan-alasan politik ras, dalam pelaksanaan atau dalam kaftan dengan kejahatan yang menjadi yurisdiksi tribunal, tanpa memerhatikan apakah melanggar hukum nasional tempat dilakukannya perbuatan tersebut (kursif penulis). Selain melaksanakan pengadilan terhadap pelanggaran kejahatan perang oleh 98
IMT, pengadilan militer lainnya yang disebut Military Commission telah melakukan proses peradilan bagi 5.000 bekas militer Jepang dengan dakwaan melakukan kejahatan perang biasa (International Journal of Naval History, April 2002). Terdakwa secara keseluruhan dibagi atas dua kelompok, yaitu: Pertama, yang didakwa melakukan 'crimes against peace', termasuk di sini ialah para pemimpin dan tokoh utama, ialah yang merencanakan dan memimpin perang, diadili oleh IMT di Tokyo. Kedua, yang telah melakukan kejahatan perang biasa (conventional war crimes). International Military Tribunal (IMT) Tokyo dan military commission dalam pengadilan terhadap kelompok pertama di atas, telah dinyatakan bersalah terhadap sebagian besar terdakwa, di mana 900 orang telah dipidana mati, dan lebih dari setengah dipidana seumur hidup, sedangkan yang lainnya dengan pidana penjara yang lebih ringan. Terdakwa tidak mempunyai hak banding, sedangkan hak untuk memohon peninjauan kembali (review) hanya terbatas kepada masalah pidana yang dijatuhkan oleh IMT, dan harus diajukan kepada Supreme Commander of the Allied Forces (Pasal 17 IMT Tokyo). Supreme Commander boleh mengubah pidana yang dijatuhkan, tetapi tidak boleh menjatuhkan pidana yang lebih berat. Pengadilan bagi kelompok kedua terhadap pelanggaran kejahatan perang di atas dilaksanakan oleh Military Court lain, seperti U. S . Navy Military Court yang dikenal dengan 'The Military Commission', yang melaksanakan persidangan antara lain di Kepulauan Kwajalein dan Guam. Military Commission ini mempunyai yurisdiksi atas Kepulauankepulauan Mariana, Marshall dan Gilbert, Pulau Bonin, dan 99
Caroline. Pengadilan Angkatan Laut ini mempunyai kewenangan untuk mengadili bekas anggota Angkatan Laut maupun anggota Angkatan Darat Jepang. Terdakwa dijatuhi pidana mati, oleh karena terbukti melakukan pembunuhan atau perlakuan kejam terhadap anggota Angkatan Udara Amerika Serikat yang ditangkap ketika kapal terbangnya ditembak jatuh. Sejumlah anggota militer AS yang ditangkap oleh tentara Jepang dieksekusi mati dengan ditembak atau dipancung dengan pedang tanpa melalui peradilan. Terdakwa R. Admiral Masuda didakwa telah memerintahkan eksekusi terhadap beberapa anggota angkatan udara yang tertangkap di Jaluit Atol. Namun sebelum pengadilan dimulai Admiral Masuda melakukan bunuh diri (harakiri), namun sebelum bunuh diri mengakui telah memerintahkan eksekusi tersebut. Kamasudirdja (2003), dua terdakwa Perwira Menengah dinyatakan bersalah membantu pelaksanaan eksekusi tersebut. Meskipun dibantu oleh pengacaranya bahwa kedua terdakwa hanya melaksanakan perintah atasan. Tetapi Military Commission menolak pembelaan tersebut dan berpendapat bahwa seharusnya mereka menolak perintah tersebut oleh karena perintah itu tidak berdasarkan hukum (a soldier is bound to obey only the lawful orders of his superiors). Selain itu, ada juga yang didakwa melakukan kejahatan perang, yaitu antara lain telah mengeksekusi 98 tawanan perang di Wake Island tanpa melalui proses pengadilan pada bulan Oktober 1946. (Takeshita, 1997)
100
c. International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (ICTY) ICTY dibentuk melalui Resolusi Dewan Keamanan PBB pada tahun 1993 guna menginvestigasi, menuntut, dan mengadili individu-individu yang bertanggung jawab atas terjadinya pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional selama konflik bersenjata sejak tahun 1991. ICTY berkedudukan di Den Haag. ICTY masih diperlukan sampai saat ini sebab restorasi atas perdamaian dan keamanan dalam wilayah itu mensyaratkan adanya keadilan bagi Para korban dan mereka yang selamat dan kejahatan yang terjadi. Yurisdiksi ICTY juga meliputi Macedonia dan Kosovo. Yurisdiksi materi dan ICTY mencakup pertanggungjawaban pidana secara individual (individual criminal responsibility) atas kejahatan: 'genocide, crimes against humanity, graves breaches of the Geneva Conventions, and violations of the laws and customs of war (war crimes)' yang dilakukan di dalam wilayah bekas Yugoslavia sejak 1 Januari 1991 sampai dengan tanggal yang akan ditetapkan setelah terlaksananya restorasi perdamaian. Dalam hal ini juga diatur 'Command Responsibility', baik yang bersifat aktif maupun pasif (crimes by omission). ICTY mempunyai kedudukan 'primacy' terhadap pengadilan nasional. Peradilan 'in absentia' tidak dimungkinkan. Dengan asas individual criminal responsibility, maka tidak dimungkinkan penuntutan pidana terhadap negara, organisasi, dan asosiasi. Asas ini juga berlaku pada pelbagai pengadilan pidana internasional yang lain (ICTY, ICTR, dan ICC). Konsep kedaulatan tampaknya sangat kuat untuk 101
menghambat konsep 'State Responsibility' yang pernah diusulkan oleh International Law Commission (ILC) pada tahun 1976, yaitu dalam bentuk Article 19 pada 'Draft Article on State Responsibility'. (Karnasudirdja, 2003) Di dalam hukum pidana internasional kontemporer misalnya, yang dilaksanakan dalam kasus-kasus genosida yang terjadi di Croasia, Bosnia dan Herzegovina, ICT hanya menentukan bahwa dalam kerangka 'State Responsibility' negara diizinkan untuk minta agar negara yang bertanggung jawab terhadap genosida segera menghentikan perbuatan tersebut terhadap warga negara korban. Selanjutnya, menghapuskan (wipe out) pelbagai akibat genosida dan mengembalikan situasi seperti semula dan memerhatikan hak-hak negara korban warga negara yang bersangkutan memberikan kompensasi atas segala kerugian yang terjadi. d. International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) ICTR dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB pada bulan November 1994 berlokasi di Arusha, Tanzania. ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orangorang yang bertanggung jawab atas terjadinya `genosida' dan kejahatan-kejahatan berat lain yang melanggar hukum humaniter internasional di Rwanda oleh perang orang Rwanda di negara-negara tetangga, khususnya yang dilakukan oleh ekstremis Suku Hutu. Diperkirakan 800.000 orang telah tewas pada 1994, dan sebagian besar adalah warga suku Tutsi dan orang-orang modern dan suku Hutu selama kurang lebih tiga bulan terjadi perang saudara. (Steiner, Henry J, Aiston Philip, 2000). Yurisdiksi ICTR meliputi kejahatan-kejahatan genocide, violations of
102
Common Article 3 of the Geneva Conventions and Additional Protocol II of 1977, and crimes against humanity. S eperti ICTY, ICTR juga mempunyai concurrent jurisdiction dan sekaligus primary jurisdiction terhadap pengadilan nasional baik di Rwanda maupun di negara lain. Peradilan 'in absentia' juga dilarang. Prinsip 'Individual
responsibility'
juga
berlaku.
Sebagaimana
ICTY,
ICTR
juga
memberlakukan asas `nebis in idem', kecuali apabila karakter perbuatan yang diadili oleh pengadilan nasional tidak berkaitan dengan karakter statuta tribunal atau bilamana tidak ada jaminan terhadap sikap tidak memihak (impartiality), kebebasan (independence), atau peradilan yang efektif dalam pengadilan nasional. Melalui Statuta ICTR inilah tegas-tegas dirumuskan bahwa 'crimes against humanity' tidak ada kaitannya dengan konflik bersenjata (war crimes). Jadi, bisa terjadi di masa perang atau damai (no nexus with an armeded conflict). Persamaanpersamaan (similarities) antara ICTY dan ICTR adalah: 1) Keduanya dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB atas dasar Chapter VII UN Charter; 2) Keduanya merupakan 'subsidiary organs' Dewan Keamanan; 3) Keduanya terikat untuk menerapkan hukum internasional yang merupakan bagian dan hukum internasional; 4) Keduanya memiliki struktur yang sama. Selain persamaan di antara keduanya, terdapat pula perbedaanperbedaan (differences) sebagai berikut: 1) ICTY memiliki yurisdiksi terhadap pelbagai kejahatan balik di dalam 103
'international armed conflict' maupun 'international armed conflict'. ICTR memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan dalam 'internal armed conflict'. 2) ICTY memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya apabila dilakukan di dalam suatu konflik bersenjata. ICTR mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan terhadap kemanusiaan hanya apabila dilakukan 'on national, political, ethnics, racial, or other religious ground'. Dengan demikian, dilakukan dengan sengaja untuk melakukan diskriminasi. 3) ICTY mempunyai yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di wilayah 'former Yugoslavia' sejak 1991. ICTR memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang dilakukan di Rwanda atau negara-negara tetangga Rwanda antara 1 Januari 1994-31 Desember 1994; (Kittichaisaree, 2001) Dan perbedaan tersebut menurut pandangan penulis, perlu dilakukan penilaian secara objektif dengan berdasarkan pada nilai kehormatan dan martabat kedaulatan suatu negara, sehingga negara memiliki kebebasan untuk menentukan kombinasi (mixed) yurisdiksi internasional dan pengadilan nasional suatu negara. e. Mixed National International Court Perkembangan pelbagai kasus di dalam ICTY yang terus berlangsung di Den Haag (terhadap Slobodan Milosevic) dan semakin banyaknya negara yang meratifikasi ICC merupakan bukti bahwa masyarakat internasional semakin teguh untuk menegakkan keadilan internasional. Namun demikian, perkembangan yang
104
terjadi secara nasional untuk menerapkan 'universal jurisdiction' terhadap pelanggaran HAM berat, seperti di Sierra Leonne (hybrid model/mixed national international court) dan Kamboja belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Semula pelbagai perkembangan nasional tersebut diharapkan merupakan 'alternative to Security Council-Created Tribunals'. (Muladi, 2003) Demikian pula pelbagai penentangan terhadap langkah progressive dan hukum Belgia yang menerapkan yurisdiksi universal, melalui Undang-Undang Belgia Tahun 1999, yang memberi wewenang terhadap pengadilan Belgia untuk menuntut individual mereka yang didakwa melakukan kekejaman, tanpa melihat apakah kejahatan terse-but berkaitan dengan Belgia atau terdakwa berada di wilayah Belgia. Atas dasar langkah ini Belgia berusaha mengadili Ariel Sharon yang dianggap bertanggung jawab atas pembunuhan terhadap orangorang Palestina di kamp pengungsi di Sabra dan Shatila pada tahun 1982. Perkara ini tampaknya sudah didrop oleh pengadilan banding. Penentangan terhadap Belgia juga telah dilakukan oleh Republik Demokrasi Kongo melalui Mahkamah Internasional, sehubungan dengan perintah penahanan yang dikeluarkan oleh Belgia terhadap Wakil Menteri Luar Negeri Abdoulaye Yerodia Ndombasi, pada April 2000, atas dakwaan telah melakukan kejahatan perang, genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan pada tahun 1998 terhadap suku Tutsi. Oleh pemerintah Kongo, pengadilan Belgia dianggap melanggar integritas teritorial Kongo dan perintah tersebut tidak sah. Mahkamah Internasional pada tanggal 14 Februari tahun 2002 memutuskan bahwa Belgia tidak diizinkan untuk menuntut seorang menteri negara asing atas kejahatan perang, karena 105
wakil negara asing mempunyai kekebalan diplomatik (diplomatic immunity). Di dalam perkembangannya pengadilan Belgia juga menuntut Fidel Castro, Yasser Arafat, dan Hashemi Rafsanjani. Karena kritik internal yang juga terjadi, pengadilan Belgia menafsirkan kembali undang-undang tersebut dan mensyaratkan terdakwa di wilayah Belgia, sebelum kasus tersebut diteruskan. Pejabat-pejabat Amerika termasuk Menteri Pertahanan Donald Rum Sfeld telah melakukan tekanan berat kepada Belgia untuk mencabut UU tersebut. Sebagai protes Amerika Serikat mengancam untuk tidak memberikan bantuan pada NATO, karena Belgia dianggap melakukan politisasi tuntutan hukum terhadap sekutu NATO. Sebagai akibatnya Belgia telah bersedia memodifikasi hukumnya, dan menyerahkan proses peradilan kepada sistem hukum yang berlaku di negara tersangka apabila dipertimbangkan bahwa pidana tersebut telah memiliki sistem hukum yang berfungsi secara baik. Belgia telah berusaha menuntut Jenderal Tommy Frank, Komandan AS di Perang Irak dan Afganistan. Demikian pula Presiden Bush, Jenderal Collin Powel, dan Jenderal Norman Swharzkopf. Perkembangan nasional yang merupakan sinergi positif antara keadilan tingkat international dan pengadilan nasional juga terjadi di Chad sehubungan dengan kasus Hissene Habre, bekas diktator Chad yang diasingkan, kemudian di Chilli sehubungan dengan kasus Augusto Pinochet. Beberapa gambaran dari 'hybrid model' pengadilan HAM adalah sebagai berikut:
106
1) Special Court for Sierra Leone Pengadilan ini merupakan lembaga independen dan dibentuk atas dasar perjanjian antara PBB dan Sierra Leone sebagai kelanjutan Resolusi Dewan Keamanan PBB. Pengadilan khusus ini dibentuk untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab terhadap 'crimes against humanity, violations of Article 3 commons to the Geneva Conventions and of Additional Protocol H, Outher serious violations of international iumanitarian Law', selama terjadinya konflik antara tahun 1991 dan 2002. Dalam hal ini peranan 'warlord' Liberia dan Presiden Charles Taylor dengan Revolutionary United Front-nya sangat besar dalam melakukan kejahatan. (Muladi, 2003) Pengadilan khusus ini mempunyai 'primacy' terhadap pengadilan nasional di Sierra Leone. Asas `nebis in idem' juga berlaku, kecuali pengadilan nasional mengadili atas dasar 'ordinary crime' atau tidak menjamin sifat tidak memihak atau independensi, untuk melindungi tersangka atau penuntutan tidak dilakukan secara sungguh-sungguh. Disebut sebagai 'hybrid model' karena komposisi hakim pada 'Trial Chamber' yang berjumlah tiga orang, satu orang ditunjuk oleh Pemerintah Sierra Leone dan dua orang hakim ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal PBB. Selanjutnya lima hakim pada 'Appeal Chamber', dua ditunjuk oleh Pemerintah Sierra Leone dan tiga hakim ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal. Jaksa (prosecutor) ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal PPB selama tiga tahun dan dapat dipilih kembali, dibantu oleh Deputy Prosecutor yang berasal dan Sierra 107
Leone serta staf international demi efisiensi dan efektivitas mengingat banyak kasus yang berkaitan dengan perkosaan, serangan seksual, dan kejahatan seksual lain yang menyangkut wanita dan anak-anak, serta penculikan dan perbudakan, maka staf jaksa dan penyidik banyak yang rnempunyai pengalaman 'gender-related crimes and juvenile justice'. Panitera juga ditunjuk oleh Sekretaris Jenderal PBB setelah konsultasi dengan Ketua Pengadilan Khusus dari anggota staf PBB untuk jangka waktu tiga tahun dan bisa diperpanjang. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Inggris. Ketua pengadilan harus mengirimkan laporan tahunan kepada Sekretaris Jenderal PBB dan Pemerintah Sierra Leone. 2) Extraordinary Chambers in the Court of Cambodia Setelah melalui pelbagai negosiasi yang panjang, yaitu sejak 1979. Hun Sen bertemu dengan Sekjen PBB Annan pada bulan Februari 2000 menghasilkan kompromi proposal yang terdiri atas suatu Panel lima hakim yang terdiri atas tiga hakim Kamboja dan dua hakim internasional. PBB mengusulkan modifikasi agar yurisdiksi pengadilan mencakup penuntutan terhadap pelbagai 'homicide, and torture as well as the international crimes of genocide, crimes against humanity, grave breaches of the Geneva Conventions and crimes against internationally protected persons'. PBB juga mengusulkan agar Hun Sen memilih hakim dan jaksa dan daftar yang dikirim oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pada Januari 2001 Majelis National (National Assembly) menyetujui untuk
108
dibentuknya "The Extraordinary Chambers in the Court of Cambodia for the Prosecution of Crimes Committed during the Period of Democratic Kampuchea". Dewan Konstitusional mengembalikannya kepada pembuat undang-undang karena perbedaan pendapat tentang pidana mati. Mengingat belum ada dokumen yang ditandatangani, maka pada bulan Februari tahun 2000, PBB mundur dari negosiasi karena Kamboja tetap tidak berkemauan untuk menerima kondisi yang dapat menjamin peradilan yang jujur (fair trial). Pada bulan Juli 2002 Hun S en dan Sekjen PBB Annan bertemu kembali dan PBB menegaskan tidak akan melakukan negosiasi kembali sebelum ada jaminan dari Kamboja untuk melaksanakan`fair trial' dan tidak akan berdalih dan menangguhkan lagi pelbagai kesepakatan yang pernah dicapai. 3) Special Panels pada Pengadilan Distrik Dili Pengadilan Distrik Dili, Ibu Kota Timor Timur melalui 'Special Panels' mempunyai yurisdiksi eksklusif terhadap 'genocide, war crimes, crimes against humanity, murder, sexual ojjences and torture', yang semuanya masuk kategori 'serious criminal offences. Pengadilan distrik yang lain (Baucau, Suai, dan Oecussi Enclave) hanya memiliki kapasitas untuk mengadili 'ordinary crime'. Saat ini dua panel yang masingmasing terdiri atas tiga hakim telah dibentuk untuk memeriksa kasuskasus kejahatan berat (serious criminal cases). Satu panel berbahasa Inggris dan yang lain berbahasa Portugis. Sebuah pengadilan banding (appeal chambers) dibentuk untuk memeriksa banding atas keputusan `Special Panels'. Sekalipun demikian dalam kasus-kasus yang sangat penting dapat dibentuk
109
panel lima hakim yang terdiri atas tiga hakim internasional dan dua hakim Timor Timur. "Serious Crimes Unit" merupakan bagian yang bertanggung jawab untuk melakukan investigasi dan menuntut kejahatan yang masuk yurisdiksi 'Special Panels'. Staf dan unit ini terdiri atas investigator, jaksa, manajer perkara, personel forensik, dan penerjemah. Mayoritas staf direkrut secara internasional, tetapi menjelang kemerdekaan dilakukan pelatihan-pelatihan terhadap orang Timor Timur untuk melakukan investigasi dan penuntutan. Unit ini dipimpin oleh 'Deputy Prosecutor' yang bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. Atas dasar UN Regulation 2000/15, paragraf 2.1 'Special Panels' berwenang menerapkan universal jurisdiction dan dapat menuntut serta mengadili, genocide, crimes against humanity and war crimes and torture yang dilakukan kapan pun dan di mana pun serta oleh siapa pun. 2. PELAKSANAAN YURISDIKSI PENGADILAN PIDANA MENURUT STANDAR INTERNASIONAL (ICC-STATUTA ROMA 1998) Menganalisis yurisdiksi pengadilan pidana menurut standar internasional pada dasarnya memuat banyak aspek yang terkait dengan konferensi diplomatik di Roma yang lazim disebut dengan Statuta Roma Tahun 1998. Tujuan pembentukan Pengadilan Pidana Internasional adalah melakukan penyelidikan dan mengajukan ke yurisdiksi pengadilan pidana internasional terhadap barangsiapa yang melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat berdasarkan Statuta Roma 1998 karena dikualifikasi sebagai perbuatan pidana internasional. Bertitik tolak pada kesepakatan internasional dalam Statuta Roma 1998, maka negara peserta dapat menjadikannya
110
sebagai bagian dan acuan dan sistem pengadilan nasionalnya, sehingga mempunyai kekuatan hukum mengikat bagi warga negara dan negara yang bersangkutan. a. Penanganan Perkara Pidana Internasional Cara ICC yang paling cepat untuk menggerakkan penyelidikan dan mengadili kejahatan internasional dinyatakan dalam Pasal 13 huruf (b) Statuta Roma, yaitu diajukan kepada penuntut umum oleh Dewan Keamanan PBB yang bertindak sesuai ketentuan Piagam PBB. Inilah metode yang digunakan pada Pengadilan Den Haag dan Arusha, yaitu melalui Resolusi Dewan Keamanan. PBB tidak perlu lagi membentuk pengadilan Ad Hoc, ketika sudah ada kesepakatan negara-negara super power atas kebutuhan untuk menghukum kejahatan terhadap kemanusiaan, yang dilakukan pada masa damai atau perang, oleh atau di wilayah negara mana pun (baik negara pihak ataupun bukan negara pihak dan statuta). Pengadilan tidak dapat memperoleh yurisdiksi tanpa melalui Resolusi Dewan Keamanan, kecuali jika tindakan yang diperlukan terjadi di dalam wilayah negara yang merupakan negara pihak dan statuta, atau jika terdakwa adalah warga negara yang merupakan negara pihak dan statuta. Kondisi ini akan membawa akibat bahwa tidak satu pun kasus pimpinan politik dan militer yang terlibat dalam tindakan represif yang kejam terhadap warga sipil atau kelompok etnis yang menentang pemerintahan yang akan dibawa ke ICC, sebab adalah tidak logis untuk mengharapkan negara-negara yang dipimpin oleh orangorang semacam itu akan
111
meratifikasi Statuta Roma. Jalan buntu ini merupakan akibat dan perpecahan yang serius pada Konferensi Roma. (Kamasudirdja, 2003) Pada waktu Konferensi Roma, AS datang ke Roma dan menginginkan terbentuknya ICC, tetapi AS menginginkan pengadilan yang menjamin bahwa tak ada satu orang Amerika yang dituntut. Hal terse-but dapat dicapai melalui pengadilan dengan yurisdiksi yang hanya diajukan oleh Dewan Keamanan, di mana AS memiliki hak veto. Walaupun AS sendiri sudah rnempersiapkan untuk mengizinkan negarapihak dan statuta memiliki pilihan untuk mengizinkan warga negara mereka untuk diadili (dalam hal ini AS dapat menolak untuk memberikan izin). Sekutu Amerika Serikat di Eropa yang dipimpin oleh Jerman, mengambil posisi bahwa hak asasi manusia adalah universal; karena itu ICC harus memiliki yurisdiksi universal, atas semua orang dan di mana pun, tanpa memandang asal negara mereka atau negara tempat terjadinya kejahatan. Posisi ini akan menjadikan pengadilan sebagai alat keadilan internasional yang sungguh-sungguh terpisah dan politik superpower Dewan Keamanan PBB. Pengadilan memiliki yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan yang dilakukan di wilayah negara pihak. Alasan itulah yang kemudian digunakan AS, dengan sikap tidak sabar, untuk menentang seluruh statuta. (Karnasudirdja, 2003) Hasilnya, secara teoretis pengadilan mengizinkan yurisdiksi terhadap terdakwa dan warga negara di negara pihak atau kejahatan dilakukan di wilayah negara pihak. Namun masih terdapat hambatanhambatan, mengingat kekuasaan yang dimiliki oleh pengadilan harus terlebih dahulu dilakukan dengan salah satu dan dua cars. Negara pihak sendiri dapat menyerahkan masalahnya kepada jaksa penuntut, 112
memberikan bukti-bukti dan meminta penyelidikan resmi yang mungkin akan mengarah kepada penahanan dan pengadilan. Tetapi negaranegara sebagaimana dilihat tidak adanya pengaduan ke Human Rights Commission dan kelangkaan pengaduan mereka ke Pengadilan Eropa karena enggan melontarkan tuduhan terhadap negara lain. Sebagai alternatif yang lain adalah, jaksa penuntut dapat mengambil inisiatif untuk melakukan penyelidikan proprio motu (yaitu, atas dasar inisiatif sendiri) dan mencari bukti dari negara-negara, badanbadan PBB, dan sumber-sumber lain yang dapat dipercaya. Tetapi cara ini tetap terdapat hambatan proses dalam melakukan penuntutan. Divisi pra-peradilan harus menguji bukti, mendengarkan keberatan terhadap yurisdiksi, dan memutuskan apakah akan mengotoritaskan `penyelidikan awal'. Prosedur ini membatasi penyelidikan awal yang dilakukan jaksa terhadap sumber-sumber publik dan sukarelawan, sehingga kekuasaan khusus penyelidikan jaksa tidak dapat digunakan kecuali divisi praperadilan menyatakan bahwa ada kasus prima facie. Ini merupakan suatu dasar yang kuat untuk melanjutkan proses penuntutan. Tetapi ada yang lebih buruk dari itu semua, yaitu menginginkan pengadilan tergantung pada Dewan Keamanan PBB. Hal ini bila dibandingkan dengan negara Indonesia, mempunyai kesamaan di mana kasus-kasus pelanggaran HAM berat tidak dapat diadili di pengadilan manakala tidak ada persetujuan DPR. Akibatnya menawarkan konsesi lain yang lebih fatal, sebagaimana tertuang dalam Pasal 16 Piagam PBB, yang menyatakan: 113
Tidak ada penyelidikan atau penuntutan yang dapat dimulai untuk jangka waktu 12 bulan setelah Dewan Keamanan, dalam suatu resolusi yang diterima berdasarkan Bab VIII Piagam PBB, telah mengajukan permohonan kepada Mahkamah untuk melakukan hal itu; permohonan tersebut dapat diperbarui oleh Dewan berdasarkan kondisi yang sama. Kata `memohon' di sini digunakan secara tidak tepat, karena Resolusi Dewan Keamanan adalah suatu kewajiban bahkan, Dewan dapat menghentikan penyelidikan atau proses pengadilan. Perintah itu akan berlaku satu tahun, tetapi dapat diperbarui setiap tahun sampai buktibukti mulai menghilang, kejahatan dilupakan, atau jaksa kehi-langan semangat. Efek dari Pasal 16 adalah untuk memberikan kepada De-wan Keamanan PBB untuk mengontrol pengadilan, yang bekerja baik dengan referensi dan dewan atau (dalam kasus referensi oleh negara pihak atau dalam kasus penyelidikan proprio mow) merupakan subjek dan kekuasaan kekuatan dewan untuk membekukan setiap hasil yang tak disukainya dengan mengeluarkan resolusi berdasarkan Pasal 16 Resolusi Dewan Keamanan PBB. Pengadilan tidak memiliki kekuasaan untuk menolak sebuah 'permintaan' karena berdasarkan Pasal 16 Piagam PBB, Resolusi yang diadopsi berdasarkan Bab VII Piagam PBB, yang memberi kekuasaan pada Dewan Keamanan untuk melakukan langkah-Iangkah yang luar biasa untuk memelihara atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional ketika dewan mengidentifikasi 'adanya ancaman terhadap perdamaian, pelanggaran terhadap perdamaian, atau tindakan agresi'. Sebuah perintah untuk menghentikan proses penuntutan terhadap terdakwa 114
kejahatan perang tidak dapat membantu memulihkan perdamaian atau keamanan, kecuali jika terdakwa melakukan negosiasi-negosiasi perdamaian yang didasari pada kebebasan mereka dan penahanan dan penuntutan. Dalam kasus Tadic, Pengadilan Tingkat Banding Den Haag telah mempersiapkan diri untuk meneliti secara cermat resolusi Dewan Keamanan untuk menjamin bahwa resolusi itu adalah pemenuhan yang rasional terhadap kekuasaan yang diberikan Piagam PBB. Preseden ini dapat digunakan pengadilan untuk memulihkan perdamaian. Ini tentunya akan terjadi pada saat ada penangguhan berdasarkan resolusi karena keinginan sebagian anggota Dewan Keamanan yang merasa malu untuk mengungkapkan bukti keterlibatan mereka sendiri dalam kejahatan, atau untuk melindungi politisi atau penjaga perdamaian dan keadilan. Sebaliknya, jika Dewan Keamanan tidak mampu mengadakan judicial review, maka kekuasaannya terhadap pengadilan akan berakhir. b. Mekanisme Penanganan Perkara ICC Mukadimah Statuta Roma menekankan bahwa yurisdiksi ICC akan bersifat "komplementer" dengan yurisdiksi suatu negara. Meskipun pasal-pasal dalam Statuta Roma sendiri menyatakan bahwa deskripsi yang lebih akurat untuk hubungan legal di antara keduanya adalah `subordinasi'. Pasal 20 menegaskan aturan tentang double jeopardy, yaitu bahwa tak seorang pun dapat diadili dua kali untuk kejahatan yang sama (nebis in idem). Dengan demikian, ICC tidak dapat melakukan proses penuntutan terhadap seorang terdakwa atas perbuatan di mana terdakwa tersebut telah
115
dihukum atau dibebaskan oleh pengadilan nasional. Aturan ini mempunyai kualifikasi yang logis, yang tidak berlaku jika pengadilan nasional yang diadakan hanya bersifat pura-pura, baik karena dilakukan untuk melindungi terdakwa dan tindakan lebih lanjut, atau karena pengadilan dilaksanakan tanpa tujuan untuk menciptakan tanggung jawab terhadap kejahatan yang telah dilakukan. Pasal 17 Statuta Roma memberlakukan pengujian yang sama dalam tahap investigasi, yaitu: Jika kasus seorang terdakwa telah ditangani oleh hukum nasional, dengan cars yang sungguh-sungguh dan efektif, maka ICC tak boleh berbuat apa-apa. Bahkan, ketika penguasa setempat menyimpulkan bahwa sebenarnya tidak ada kasus yang harus diselesaikan. Pengecualian terakhir ini terlalu luas, walaupun ada batasanbatasannya yaitu: ICC sendiri yang akan memutuskan apakah beralasan bagi jaksa domestik untuk membatalkan tuntutan, atau ICC dapat mengambil alih kasus apabila ICC melihat bahwa keputusan itu dibuat untuk melindungi terdakwa atau karena ada gangguan dalam kekuatan hukum lokal. Pasal mengenai double jeopardy lebih ketat bagi ICC, jika dibandingkan dengan bagian yang sama dan Statuta Pengadilan Den Haag. Pengadilan Den Haag mempunyai kekuasaan yang Iebih luas untuk mengintervensi dalam tahap apa pun dan proses penuntutan di pengadilan nasional, dengan meminta pengadilan hubungan legal di antara keduanya adalah `subordinasi'. Pasal mengenai double jeopardy lebih ketat bagi ICC, jika dibandingkan dengan bagian yang sama dari Statuta Pengadilan Den Haag. Pengadilan Den Haag mempunyai kekuasaan yang lebih luas untuk mengintervensi dalam tahap apa pun 116
dan proses penuntutan di pengadilan nasional, dengan meminta pengadilan nasional tersebut untuk menangguhkan kasusnya dan menyerahkannya pada kompetensi Pengadilan Den Haag. Hal ini dapat dilakukan dengan menghentikan proses penuntutan dan menyerahkan terdakwa untuk disidangkan di Pengadilan Den Haag. (Muladi, 2004) Permintaan penangguhan seperti itu, yang wajib untuk dipenuhi, tidak hanya terjadi pada saat jaksa penuntut di Pengadilan Den Haag merasa bahwa pengadilan lokal bisa karena cenderung memihak terdakwa atau karena jaksa penuntut lokal kurang mampu, akan tetapi juga ketika kasus tersebut relevan dengan pekerjaan Pengadilan Den Haag atau layak untuk penuntutan internasional. Kekuasaan ini diperlukan untuk membuat pengadilan kejahatan internasional lebih efek - tif, dan membuat terdakwa seperti Pinochet (yang tidak akan pernah didakwa di Cile) dan Demjanjuk (yang mungkin akan diadili, tetapi dengan tidak adil, di Israel) dapat menemukan forum di mana mereka dapat diadili dengan layak. (Robertson, 2000) Pasal 17 dari Statuta Roma tentang menghormati kedaulatan negara yaitu ICC tidak diizinkan menuntut siapa pun yang `sedang berada dalam proses penyelidikan' jaksa nasional dan dakwaan ter - hadapnya sudah dibatalkan atau penyelidikannya sudah dihentikan. Pengecualian diperbolehkan hanya jika jaksa ICC dapat meyakinkan pengadilan bahwa pemerintah nasional `tidak bersedia atau tidak mampu' melaksanakan penyelidikan yang benar, ini merupakan pernyataan yang sulit dibuktikan, terutama para hakim ICC menghormati sensitivitas negara dengan sistem peradilan mereka. Dengan demikian, akan sangat mudah bagi negara untuk menolak 117
yurisdiksi ICC atas warga negara mereka dengan berpura-pura mengadakan pengadilan bagi warga negara tersebut. (Robertson, 2000) Kejadian yang baru-baru ini dilakukan di Cile, Amerika S erikat (melalui Jesse Helms), dan Indonesia, yang bersikeras bahwa pengadilan mereka saja sudah cukup mempunyai yurisdiksi atas militer. Menurut Robertson (2000), menandakan bagaimana seringnya jaksa penuntut ICC akan diabaikan saran-sarannya. Dengan dalih double jeopardy, pada diplomat di Konferensi Roma memberikan perlindungan kepada pembunuh-pembunuh massal di negaranya, karena ketakutan atau karena suap atau
kebanggaan
nasional
yang
salah,
akan
mempersiapkan
diri
untuk
menyelamatkan mereka dan yurisdiksi pengadilan internasional, ini dilakukan dengan cara yang mudah, yaitu melakukan tindakan yang hanya merupakan kepura-puraan, dengan melakukan `penyelidikan' yang akan menghambat jaksa penuntut ICC untuk selama-lamanya. Berkaitan dengan resolusi dewan keamanan, terdakwalah yang harus melontarkan persoalan double jeopardy pada permulaan pemeriksaan mereka. Tetapi ada peraturan khusus untuk kasus yang merupakan referensi dari negara pihak atau penyelidikan poprio motu: jaksa wajib memberi tabu seluruh negara pihak, bersamasama dengan negara yang bukan negara pihak yang dapat melaksanakan yurisdiksi. Pemberitahuan itu dapat bersifat rahasia, tetapi ketika dibuat untuk negara yang sangat ingin melindungi terdakwa (mungkin saja pemimpin pemerintahan negara tersebut), maka negara itu mungkin akan memperingatkan si penjahat dan membiarkan pemusnahan buktibukti, serta melakukan intimidasi terhadap, para saksi. 118
(Robertson, 2000) Negara-negara yang bersikap bermusuhan terhadap penuntutan (baik negara yang sudah menandatangani statuta maupun yang belum) juga dapat menyebabkan penundaan penyelidikan dengan menentang yurisdiksi pengadilan dengan melakukan pra peradilan dan kemudian naik banding. Lewat peraturan dalam Pasal 18 dan 19 ini berarti negara-negara pihak akan memiliki banyak kesempatan untuk mengabur - kan sebuah tuntutan, atau untuk menundanya selama bertahun-tahun melalui manuvermanuver banding, khususnya dalam kasus-kasus yang tidak dirujuk oleh dewan keamanan. (Robertson, 2000) 3. HUKUM
ACARA
PENGADILAN
PIDANA
INTERNASIONAL
TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT a. Susunan Organisasi Pengadilan Pidana Internasional (ICC) Pengadilan Pidana Internasional (ICC) adalah suatu lembaga yang permanen yang berkedudukan di Den Haag Belanda. Mahkamah ini mempunyai susunan organisasi terdiri atas: (a) Dewan Pimpinan; (b) Divisi Banding, Divisi Pra Peradilan, Divisi Pengadilan; (c) Kantor Jaksa Penuntut; dan (d) Kepaniteraan. Jumlah hakim adalah 18 orang dan dapat bersidang di suatu tempat lain apabila dianggap diperlukan (Artikel 1 jo. 3 jo. 34 jo. 36 Statuta Roma). 1) Dewan Pimpinan Susunan dewan pimpinan terdiri dari satu orang ketua dan dua wakil ketua, yang diangkat dan dipilih dari para hakim secara mutlak dan akan bertugas maksimal
119
tiga tahun dan mereka dapat dipilih kembali apabila memenuhi syarat. Pelaksanaan tugas ketua pimpinan adalah bertanggung jawab atas pelaksanaan wewenang dan mengatur administrasi dan menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Apabila berhalangan atau tidak lagi memenuhi syarat, maka tugas, fungsi, dan wewenang akan digantikan oleh wakil ketua I. Wakil ketua II bertugas menggantikan ketua dan wakil ketua I, apabila tidak ada atau tidak memenuhi syarat lagi. Kewenangan mengatur administrasi pengadilan dan menjalankan fungsi-fungsi lainnya. Di dalam ketentuan ini, ter - masuk mengusulkan penambahan hakim karena kebutuhan. 2) Divisi Banding Bidang ini terdiri dari seorang ketua dan empat orang hakim dan fungsi yudisialnya dilakukan oleh majelis banding yang terdiri dari hakim-hakim divisi banding. Divisi proses persidangan terdiri dari enam orang hakim dan fungsi yudisialnya dilakukan oleh majelis yang terdiri dari tiga orang hakim dari divisi tersebut. 3) Kantor Jaksa Penuntut Kantor ini merupakan organ yang terpisah dari pengadilan dan bersifat independen yang berwenang untuk mengadakan pemeriksaan, penyelidikan, dan penuntutan serta mempunyai kewenangan penuh terhadap manajemen, administrasi, sifat, fasilitas, dan sumber daya lain. Organ ini diketuai oleh seorang penuntut dan dibantu oleh seorang deputi penuntut atau Iebih. Syarat-syarat untuk menjadi penuntut dan deputi penuntut adalah: (a) mempunyai sifat moral yang tinggi; (b) mempunyai pengalaman yang luas di bidang penuntutan dalam kasus pidana; (c) 120
menguasai lebih dari satu bahasa kerja pengadilan; dan (d) dipilih melalui surat suara rahasia oleh mayoritas mutlak para anggota penanda tangan. 4) Kantor Panitera Kantor panitera ini dikepalai oleh seorang panitera dan dibantu oleh deputi panitera yang dipilih oleh para hakim dengan mayoritas mutlak. Pertimbangan setiap rekomendasi dari negara-negara penanda tangan yang akan bertugas selama lima tahun dan dapat dipilih kembali untuk satu kali masa jabatan. Syarat-syarat untuk menjadi panitera dan deputi panitera adalah: (a) mempunyai kualitas moral yang tinggi; (b) memiliki pengalaman yang luas di bidangnya; (c) menguasai paling sedikit satu Bahasa kerja pengadilan; dan (d) membuat janji kesungguhan untuk melaksanakan fungsi dengan tidak memihak di pengadilan terbuka secara sadar. Kewenangan panitera adalah di bidang administrasi, layanan pengadilan dan penunjukan staf serta menjalankan fungsi sesuai kewenangan dari ketua pengadilan. Kantor panitera juga mempunyai unit-unit korban dan saksi serta staf yang memiliki kualitas pengetahuan tentang trauma, yang fungsinya memberikan konsultasi, mengambil tindakan perlindungan, penetapan jaminan, konseling, dan bantuanbantuan lain, untuk saksi dan korban yang menghadap ke pengadilan atau orang lain yang berada dalam risiko atas pemberian kesaksian. Khusus mengenai staf, panitera atas perjanjian dengan dewan pimpinan dan penuntut dapat mengusulkan peraturanperaturan tentang syarat- syarat penunjukan staf, upah, dan pemecatan. Peraturan tersebut harus disetujui oleh majelis penanda tangan. 121
Apabila hakim, penuntut, panitera, dan deputi penuntut atau deputi panitera melakukan kesalahan-kesalahan atau pelanggaran serius atau tidak mampu melaksanakan fungsinya sesuai dengan statuta ini, maka mereka akan dipecat oleh majelis negara penanda tangan dengan terlebih dahulu diberikan kesempatan untuk membela diri. b. Tugas Hakim Pengadilan Pidana Internasional Tugas para hakim diatur di dalam Pasal 35 Statuta, yaitu: (1) seluruh hakim akan dipilih sebagai anggota tetap dan harus siap melaksanakan tugas sejak tanggal pengangkatan; (2) para hakim yang merupakan dewan pimpinan akan bekerja secara penuh waktu, segera setelah dipilih; (3) dewan pimpinan berdasarkan beban kerja pengadilan dan dengan musyawarah dengan para anggotanya memutuskan dari waktu ke waktu sejauh mana para hakim lainnya diharuskan bekerja secara penuh waktu. Setiap pengaturan itu harus dibuat tanpa mengurangi makna ketentuan Pasal 40 Statuta; dan (4) penyusunan anggaran keuangan untuk para hakim yang bekerja tidak secara penuh waktu, diatur sesuai dengan Pasal 49 Statuta. Kualifikasi pencalonan dan pemilihan hakim adalah hakim-hakim yang akan dipilih harus mempunyai moral tinggi, tidak memihak dan yang mempunyai integritas serta memenuhi kualifikasi yang dipersyaratkan oleh negara masing-masing untuk dipilih dan diangkat dalam jabatan peradilan yang tinggi (Pasal 36 ke-3 ayat (a) Statuta). Syarat selain yang disebutkan di atas, juga setiap calon harus memenuhi syarat (1) mempunyai pengalaman yang luas di dalam menangani perkara pidana baik 122
sebagai hakim, penuntut umum advokat atau kapasitas serupa lain dalam peradilan pidana; (2) mempunyai keahlian di dalam hukum internasional dan hukum hak-hak asasi manusia; (3) mempunyai pengalaman dan mendalami profesi hakim yang penting untuk tugas peradilan di pengadilan; (4) setiap calon harus mempunyai pengetahuan istimewa dan lancar setidak-tidaknya lebih satu bahasa kerja pengadilan; (5) disetujui oleh dua pertiga suara dari negara-negara yang menandatangani Nadir dan memberikan suara dalam rapat majelis negara-negara penanda tangan; dan (6) membuat janji kesungguhan untuk melaksanakan fungsi dengan tidak memihak di pengadilan terbuka secara sadar. Pencalonan dari hakim ICC, harus diusulkan oleh salah satu negara peserta yang menandatangani statuta ini. Masing-masing negara peserta dapat mengajukan calon untuk setiap pemilihan. Calon yang ditunjuk tersebut tidak harus warga negara atau negara peserta terse-but tetapi harus warga negara dan salah satu negara peserta. Pemilihan dilakukan dengan melalui sistem pemungutan suara secara rahasia di dalam rapat majelis negara-negara yang diselenggarakan untuk tujuan itu sesuai dengan Pasal 112 Statuta. Pengangkatan dua hakim anggota warga negara yang sama dan satu negara tidak diperbolehkan. Masa jabatan hakim adalah 9 tahun dan sesudahnya tidak dapat dipilih kembali. Seorang hakim yang dipilih untuk mengisi lowongan yang lowong akan bertugas untuk jangka waktu sisa dari hakim yang terdahulu, tetapi apabila jangka waktu itu hanya 3 tahun atau kurang dapat dipilih kembali untuk jangka waktu penuh sesuai Pasal 36 Statuta.
123
c. Proses Acara Pengadilan Pidana Internasional (ICC) Dalam kaitan beracara pada subbahasan ini dapat diidentifikasi dan dikualifikasi menjadi lima proses tahapan, yaitu: (1) komposisi hakim; (2) wewenang jaksa penuntut umum; (3) hearing (dengar pendapat) ; (4) penghukuman; dan (5) banding. Secara berturut-turut dideskripsikan sebagai berikut: 1) Komposisi Hakim Komposisi hakim ini penting mengingat tidak hanya bagi kelangsungan hidup dari ICC, akan tetapi lebih tergantung pada tingkat keahlian dan pengalaman hakim dan jaksanya ketimbang statutanya. Komposisi hakim yang ada dengan sistem penunjukan internasional cenderung ragu untuk tidak mengindahkan pemerintah yang mencalonkan. Biasanya mereka dipilih dari departemen-departemen pemerintah atau mereka yang bertanggung jawab kepada negara-negara. Sering kali tidak ada orang yang benar-benar independen dengan pemikiran dan imajinasi yang baik. Namun, salah satu alasan utama mengapa Pengadilan Nuremberg berhasil adalah karena hakim-hakim dari Inggris, Perancis, dan Amerika Serikat telah berpengalaman sebagai pembela kriminal, selain juga sebagai jaksa penuntut, dari pengalaman inilah berkembang rasa keadilan yang mendorong proses penuntutan di pengadilan tersebut (Robertson, 2000). Jadi, yang dibutuhkan ICC adalah suatu sistem penunjukan yang independen dari pemerintahan-pemerintahan, dalam satu perangkat kualifikasi berdasarkan suatu statuta yang memberikan bobot kepada mereka yang mempunyai karakteristik karier, yaitu pernah melakukan pekerjaan pembelaan kriminal yang berstandar internasional. 124
Dalam hal ini sangat diharapkan adanya pengaturan berdasarkan suatu statuta untuk menunjuk 18 hakim pengadilan yang bekerja penuh waktu. Mereka akan dipilih oleh suatu majelis yang terdiri dari negara-negara pihak suatu metode untuk perkumpulan politik, dan dinominasikan oleh pemerintah yang bersangkutan. Pemilihan ini akan memerhatikan hal-hal seperti `perwakilan yang berimbang secara geografis' dan `representasi yang adil antara hakim pria dan wanita'. Setidaknya, setengah dari hakim-hakim tersebut harus memiliki pengalaman hukum kriminal yang relevan, walaupun nantinya yang muncul adalah seluruhnya jaksa. Pengalaman pembelaan tidak secara khusus disebutkan sebagai kualifikasi, walaupun negara yang menominasikan calonnya harus memperhitungkan keahlian hukum atas kekerasan terhadap wanita dan anak-anak. Ini adalah kualifikasi yang membutuhkan hakim-hakim yang pernah menangani pemerkosaan dan penganiayaan anak-anak. Pasal 40 Statuta Roma, menuntut hakim-hakim internasional `bersikap independen dalam melaksanakan fungsi-fungsinya'. Inilah alasan gaji mereka tidak dikurangi selama 9 tahun masa kerja mereka. Terdapat juga pasal-pasal untuk mendiskualifikasikan para hakim (dengan kesepakatan hakim lainnya) jika dianggap ada persoalan bias yang beralasan. Isu ini diberi perhatian khusus oleh House of Lords dalam kasus Pinochet setelah diketahui bahwa salah seorang hakimnya pernah menjadi direktur satu acara amal Amnesty International. Cukup menarik bahwa tidak seorang pun dari hakim-hakim dalam Pinochet mempunyai pengalaman hukum kriminal atau hukum hak asasi manusia sebagaimana dikualifikasikan oleh ICC.
125
Pada prinsipnya, hakim-hakim ICC tidak boleh didiskualifikasi karena adanya hubungan dengan organisasi hak-hak asasi manusia kecuali kalau organisasi tersebut menjadi bagian dari kasus. Statuta ICC tidak membuat pasal-pasal yang berkaitan dengan persoalan `amicus' atau penyerahan oleh pihak ketiga. Walaupun Pengadilan Den Haag telah menganggap hal-hal tersebut dapat membantu dan pengadilan harus menerima bahwa pengadilan mempunyai kekuasaan yang tak dapat dipisahkan untuk dapat menerima penyerahan resmi, setidaknya secara tertulis, dari pihak lain yang terlibat. Semula hakim-hakim dan jaksa-jaksa harus diberikan kekebalan diplomatik secara penuh oleh negara pihak, yang hanya dapat dilepaskan melalui keputusan mayoritas hakim di pengadilan. Hakim-hakim harus memilih sendiri ketuanya, yang akan mengetahui pengadilan tingkat banding dengan lima hakimnya dan bertanggung jawab terhadap administrasi pengadilan. Hakim-hakim lain akan dibagi antara divisi peradilan yang terdiri dari tiga orang hakim, dan divisi pra peradilan yang bisa hanya terdiri dari satu orang hakim. Jaksa penuntut dan asistennya (juga dipilih oleh majelis negara-negara pihak) akan dipilih untuk masa kerja 9 tahun, dan harus mempunyai pengalaman praktik yang luas dalam pengadilan kriminal. 2) Wewenang Jaksa Penuntut Umum Sebagian besar perdebatan sebelum dibentuknya Statuta Roma sebagaimana yang diuraikan di atas, adalah mengenai wewenang jaksa penuntut. Seperti sudah dikemukakan sebelumnya, AS merasa ketakutan akan adanya `jaksa penuntut super'
126
yang mungkin akan memilih untuk menyelewengkan ketentuan hukum atau berpihak kepada publik dengan menyelidiki penyerangan AS terhadap musuhmusuhnya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (sebut saja seperti peluncuran rudal dengan gas yang direncanakan untuk diluncurkan terhadap Osama bin Laden di Sudan dan Afganistan). Lobby LS M dan negara-negara like-minded melihat kebutuhan akan adanya seorang jaksa yang mempunyai wewenang yang besar, yang mempunyai hubungan dengan Dewan Keamanan PBB. Sebagai kompromi, dibentuk jaksa yang inisiatifnya akan dimonitor secara ketat oleh para hakim. Ketimbang menciptakan suatu advesary system yang sungguhsungguh, dengan pengadilan yang independen, yang mengambil keputusan dari hasil pertentangan jaksa (di mana para hakim tidak mempunyai hubungan dengan mereka) dan pembela, negara pihak justru memberikan kekuasaan yang berlebihan kepada hakim-hakim yang duduk di divisi pra peradilan untuk mencampuri penuntutan, baik dengan cara memerintahkan maupun mencabut sebuah tuntutan. Jaksa dapat memulai penyelidikan atas inisiatifnya sendiri, atau atas rujukan Dewan Keamanan PBB atau negara pihak (lihat di atas). Kalau tak ada bukti yang cukup, maka tak ada tuntutan yang bisa dilakukan. Bahkan, kalaupun ada `kasus', mungkin atas alasan kepentingan publik, maka kasus tersebut tidak akan diteruskan. Misalnya, korban yang terlalu trauma sehingga tidak bisa memberikan kesaksian, terdakwa yang menderita penyakit yang mematikan, dan lain sebagainya. Keputusan jaksa untuk tidak meneruskan kasus dengan alasan-alasan tersebut di atas hanya akan efektif bila disetujui oleh tiga juri dari divisi pra peradilan. Divisi pra peradilan 127
dapat memaksa jaksa untuk membawa apa yang is anggap sebagai proses penuntutan yang tidak adil atau opresif (Pasal 53 Ayat (3) huruf (b)). Lebih janggal lagi, jaksa penuntut dapat melanjutkan pengadilan dengan satu orang hakim (lihat Pasal 57 Ayat (2)). Selain itu, hakim-hakim dapat mengganggu pekerjaan penyelidikan rutin dari kantor jaksa dengan cara lain. Pasal 56 (3), misalnya, jaksa harus meminta izin dari hakim untuk memperoleh `kesempatan penyelidikan yang unik' (seperti pernyataan dari saksi-saksi yang potensial yang sedang sekarat). Hakim-hakim juga dapat mengambil langkah-langkah atas inisiatif mereka sendiri untuk melawan keinginan jaksa. Dalam pandangan penulis, aturan-aturan ini salah karena akhirnya pengadilan mengambil alih pekerjaan penuntutan dalam peran penyelidikan (yang lebih dikenal dalam Sistem Continental), yang sebenarnya tidak cocok dengan model Adversary Anglo-American yang menjadi dasar prinsip-prinsip pengadilan ini. Satu hal tertentu, Statuta Roma membenarkan satu aturan yang tidak adil dan merugikan, yaitu Aturan 61 dari Pengadilan Den Haag untuk bekas Yugoslavia. ICC akan mempunyai divisi pra peradilan yang mengeluarkan surat penahanan dan akan mengadakan hearing (di mana terdakwa di pengacaranya hadir) untuk menentukan apakah sudah cukup bukti untuk menyidangkan terdakwa. Namun jika terdakwa melarikan diri atau menolak penangkapan, tidak akan ada hearing berdasarkan Aturan 61. Pengadilan hanya akan mengonfirmasikan bahwa jaksa sudah memiliki cukup bukti untuk melakukan penuntutan. Dan pada saat hearing, pengadilan dapat memperkenankan kehadiran penasihat hukum sebagai wakil terdakwa (yang oleh karenanya tidak dapat diasingkan), seperti halnya 128
penasihat hukum Karadzic dan Miadic. Negara pihak terikat untuk bekerja sama dengan jaksa, walaupun kenyataan bahwa negara yang telah meratifikasi statuta tidak berarti merupakan negara yang mempunyai banyak penjahat perang. Dengan demikian, pengadilan harus membuat kesepakatan ad hoc dengan negara-negara yang bukan negara pihak. Permintaan terhadap negara pihak harus dibuat oleh pengadilan (misalnya oleh registrar, sebagaimana dirujuk oleh divisi pra peradilan) dan dibuat melalui Jalur diplomatik'. Hal ini sulit dilakukan dan gifatnya kurang rahasia. Akan lebih baik jika kantor jaksa diwakili oleh aparat penegak hukum di setiap negara pihak dan diizinkan untuk membuat perjanjian kerja sama secara langsung, ketimbang harus melalui aplikasi kepada hakim-hakim ICC yang kemudian akan menyampaikan permintaan tersebut melalui registrar ke diplomat-diplomat di Den Haag. Negara pihak berkewajiban untuk menjamin bahwa prosedur hukum nasionalnya membolehkan kerja sama secara efektif, dengan mengizinkan jaksa ICC untuk menginspeksi lokasi dan melaksanakan pencarian, serta mendapatkan dokumen dan membekukan aset terdakwa. Negara pihak dapat menambahkan kondisi kerahasiaan terhadap informasi yang sensitif. Di dalam kasus seperti ini, jaksa tak dapat memberikan informasi tersebut kepada pembela. Informasi ini hanya mungkin digunakan sebagai alat untuk mendapatkan tambahan bukti, ketimbang digunakan sebagai barang bukti di pengadilan.
129
3) Hearing Persidangan akan dilaksanakan di Den Haag, meskipun Pasal 3 ICC memberi kekuasaan kepada pengadilan untuk melaksanakannya di tempat lain jika memang diinginkan. Tidak diperkenankan adanya pengadilan in absentia, artinya tertuduh harus hadir, meskipun jika dianggap mengganggu dapat menggunakan kamera video yang dihubungkan dengan ruang persidangan. Persidangan harus dilaksanakan di depan publik, meskipun Pasal 68 memberi kekuasaan kepada pengadilan untuk merekamnya dalam kamera jika cara ini tidak bertentangan dengan hak untuk mendapatkan persidangan yang adil bagi terdakwa, dan memang dibutuhkan untuk melindungi keselamatan, kesejahteraan fisik dan psikologis, martabat dan kebebasan pribadi dari para korban dan saksi. Tidak ada referensi dalam statuta untuk menayangkan persidangan di televisi yang merupakan suatu hal yang biasa terjadi di Amerika dan Eropa, tetapi hal tersebut ditolak dengan keras di negara-negara Persemakmuran Inggris. Argumentasi yang dipakai untuk menayangkan persidangan ini adalah prinsip bahwa hukum harus terlihat dapat dilaksanakan, dan bahwa media ini mempunyai kekuatan edukatif. Di dalam kasus kejahatan perang, argumentasi harus luar biasa kuat, bahwa ada kebutuhan khusus untuk mengatakan hal yang sebenarnya terjadi. Hal ini lebih untuk kepentingan korban dan untuk tidak menghilangkan dongeng-dongeng yang sesungguhnya terjadi, serta untuk menangkis tuduhan `keadilan untuk pemenang'. Pengadilan Den Haag memperbolehkan sebagian besar proses persidangan ditayangkan di televisi tanpa merusak keadilannya. Tayangan-tayangannya 130
mendapatkan perhatian yang besar dari berbagai wilayah bekas Yugoslavia. Tayangan-tayangan tersebut menawarkan kepuasan pada korban yang melihat bahwa setidaknya beberapa pelaku kejahatan telah dibawa ke pengadilan. Kenyataannya, penayangan seperti itu penting untuk mengungkapkan kebenaran seperti di Republik Srpska, di mana, seperti komentar Lawrence Wechsler (1997) High Noon at Twin, bahwa media massa tetap dikontrol oleh partai-partai politik dan mafia-mafia yang sama, yang desakan hipemasionalisnya pada awal 1990an telah memulai terjadinya perang. Menurut Payam Akhavan (1998), Justice in The Hague: Peace in the Former Yugoslavia, bahwa meskipun Open Society Institute George Soros menyiarkan secara penuh persidangan Tadic dengan menggunakan satelit, hanya sedikit orang yang mampu mempunyai parabola untuk menangkap siaran tersebut. Dengan demikian, transmisi tersebut hanya menjadi propaganda lokal tentang persidangan tersebut dan juga tentang perang yang terjadi. Persoalan lain adalah hearing dalam kasus seperti ini tidak selalu bersifat dramatis, proceeding-nya sering kali terlalu panjang, yang diperlambat oleh penerjemah langsung dan proses persidangan yang berjalan lambat tanpa ada juri yang ingin dipengaruhi. ICC dapat menggunakan kekuasaannya yang inherent untuk mengizinkan penayangan persidangan (kecuali untuk bukti-bukti dari para saksi yang dengan beralasan tidak ingin mengungkapkan pengalaman hina mereka kepada pemirsa internasional). Tetapi, pemikiran lebih lanjut harus diberikan untuk memproduksi versi yang sudah diedit secara komprehensif dan mengizinkannya disiarkan melalui stasiun-stasiun televisi di negara asal terdakwa. 131
Pasal 67 Statuta Roma mengabadikan hak-hak dasar bagi tertuduh, yang berasal dan pasal tentang `persidangan yang adil' yang umum dalam setiap perjanjian hak asasi manusia. Seluruh proceeding harus diterjemahkan ke dalam Bahasa yang dimengerti oleh si tertuduh. Tertuduh juga berhak memilih penasihat hukum (ditugaskan oleh pengadilan jika tertuduh adalah fakir miskin), dan untuk berkomunikasi dengan penasihat hukum dan komunikasi tersebut bersifat rahasia. Tertuduh berhak atas persidangan `tanpa penangguhan terlalu lama'. Tetapi tertuduh juga harus memperoleh waktu dan fasilitas yang cukup untuk mempersiapkan pembelaannya dan melakukan pemeriksaan ulang terhadap para saksi yang melawannya, serta untuk mendapatkan saksi-saksi yang dapat memberikan bukti-bukti yang meringankannya. Tertuduh juga mempunyai hak untuk bersikap diam, tanpa adanya anggapan bahwa sikap ini merupakan indikasi bahwa is bersalah. Namun pada saat yang bersamaan hak tersebut ditolak oleh beberapa sistem hukum yang sudah maju dengan alasan, yang cukup masuk akal, bahwa seseorang yang dihadapkan dengan buktibukti kejahatan yang serius mempunyai kewajiban kemanusiaan mendasar untuk menerangkan dirinya sendiri, dan kegagalan untuk melakukannya pada saat persidangan (sebagai perbedaan dengan pada saat penahanan) memungkinkan munculnya kesimpulan bersalah. Memaksa tertuduh untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan adalah tindakan yang salah, walaupun tingkat keseriusan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan terutama untuk kepentingan korban dan keluarga korban untuk mengetahui kebenaran, tentunya akan menjustifikasi bahwa jaksa penuntut dengan bukti-bukti 132
yang cukup memang membutuhkan jawaban dari terdakwa. Namun, S tatuta Roma menjamin hak untuk diam secara absolut. Bahkan statuta lebih jauh lagi mengizinkan tertuduh yang menolak memberikan kesaksian dan menjalani pemeriksaan ulang `untuk membuat pernyataan lisan atau tertulis yang tidak berada di bawah sumpah dalam pembelaannya'. Ini adalah suatu peringatan atas 'dock statement' (pernyataan dari ruang tertuduh) yang diizinkan bagi tertuduh di lnggris pada abad ke-19, ketika mereka tak diizinkan menempati kursi saksi. Namun, ini telah dihapus di Inggris dan beberapa yurisdiksi negara persemakmurannya. Hal ini juga dinilai tidak mempunyai justifikasi rasional, ketimbang mengizinkan seorang tertuduh menyiapkan penjelasan ketika dia merasa takut untuk menempati kursi saksi karena takut akan pemeriksaan ulang. Pada kasus mana pun, divisi pengadilan akan mempunyai tiga hakim yang berpengalaman dalam persidangan kriminal: kegagalan seorang tertuduh untuk menjelaskan secara meyakinkan atas suatu kasus kejahatan pada praktiknya akan mengindikasikan kesalahan. Walaupun demikian, banyak aturan hukum yang menyatakan bahwa hal tersebut seharusnya tidak terjadi. Aturan-aturan dalam Statuta Roma tentang pembuktian memperbesar persoalan yang menimbulkan perpecahan dalam pengadilan kasus Tadic, yaitu sampai sejauh mana saksi-saksi dan jaksa penuntut yang merupakan korban kekerasan seksual dapat tetap anonim. Berdasarkan Pasal 68, ICC harus melakukan `cara-cara yang layak untuk melindungi kebebasan pribadi, kesejahteraan fisik dan psikologis, martabat dan kebebasan pribadi para korban dan saksi' yang telah diberikan hak yang sangat bernilai, yaitu perwakilan hukum yang akan meneliti 133
kesaksian mereka secara terpisah. Jika dianggap ada `bahaya besar' yang mengancam saksi atau keluarganya, jaksa penuntut dapat menahan identifikasi lengkap atau buktibukti pada tahap pra persidangan. Namun, dalam tahap persidangan, tindakan apa pun yang menyembunyikan identifikasi tersebut `seharusnya tidak merugikan atau inkonsisten dengan hak-hak terdakwa' (Pasal 69 (2)). Dengan demikian, kita tidak akan pernah melihat suatu pertunjukan di mana seorang terdakwa dituduh melakukan kejahatan yang mengerikan hanya berdasarkan perkataan penuduh yang identitasnya tidak boleh diketahui oleh terdakwa. Tertuduh diberikan hak untuk memeriksa semua bukti yang akan digunakan oleh jaksa penuntut, melalui seleksi terhadap keseluruhan materi yang terkumpul dari hasil investigasi, yang beberapa di antara materi tersebut mungkin dapat membantu tim pembela dalam pembelaannya. Hak untuk mengungkapkan bukti-bukti tersebut merupakan jaminan atas persidangan yang adil. Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa telah menyusun aturan di mana prinsip 'equality of arms' membutuhkan akses dari tim pembela secara penuh. Ada beberapa pengecualian yang terbatas masalahnya, untuk melindungi nama-nama informan polisi. Tetapi jika informasi tersebut relevan untuk pembelaan, maka dalam hukum Eropa, penolakan untuk mengungkapkannya berarti bahwa persidangan tersebut tidak adil dan harus dihentikan. Statuta Roma mengatasi kesulitan-kesulitan ini melalui Pasal 67(2) dengan membebankan satu tugas yang dibatasi kepada jaksa penuntut untuk mengungkapkan bukti yang ia yakini menunjukkan atau cenderung menunjukkan ketidakbersalahan dari tertuduh atau dapat mengurangi kesalahan si tertuduh; atau yang mungkin akan memengaruhi 134
kredibilitas bukti-bukti jaksa penuntut. Statuta Roma Pasal 50 mengatur bahwa tidak ada dalam bagian statuta ini memengaruhi pelaksanaan oleh negara terhadap hukuman yang ditetapkan oleh hukum nasional mereka, maupun hukum negara yang tidak memberikan hukum yang ditetapkan dalam bagian ini. Pendekatan ini tidak memuaskan. Pengungkapan seharusnya tidak tergantung pada lepercayaan' pada pihak lawan, karena jaksa penuntut tidak dapat menghindar dari pengaruh komitmennya untuk membuktikan kesalahan. Hanya pihak pembela yang dapat memutuskan apa yang dapat membantu pembelaan. Untuk alasan tersebut, pembela berhak mendapat akses penuh terhadap datadata penuntutan perkara, dan menghapus atau mengedit dokumen yang dinilai (oleh pengadilan, bukan oleh jaksa penuntut) sensitif dan tidak signifikan untuk menyelesaikan proses penuntutan. Jika materi, yang tidak dapat atau tidak akan diungkapkan oleh jaksa penuntut, relevan terhadap pembelaan, maka tuntutan harus dibatalkan daripada membahayakan terdakwa dengan persidangan yang mempunyai prospek ketidakadilan. Selain itu, penuntut diharapkan juga dapat mempunyai akses terhadap bahan-bahan yang dikumpulkan oleh negara-negara melalui jalur diplomasi rahasia, dan melalui sistem pengawasan dan penyadapan. Dengan alasan kepentingan keamanan nasional, data yang diperoleh dari sistem pengawasan dan penyadapan ini tidak akan mendapatkan izin dari negara yang bersangkutan untuk dibeberkan kepada terdakwa yang mempunyai hubungan dengan kekuatan negara musuh. Tersedianya data-data tersebut dalam peristiwa apa pun harus diberitahukan 135
kepada jaksa penuntut, yang dapat mencarinya (sebagaimana dapat juga dilakukan oleh pembela) berdasarkan pasal kerja sama negara pihak. Jaksa penuntut dapat meminta keterangan dari perwira-perwira intelijen atau pemimpin keamanan negara yang menolak permintaan tersebut atas dasar keamanan nasional. Semua kasus tersebut dapat dibawa ke pengadilan untuk diselesaikan, Pasal 72 Statuta Roma menyediakan bentuk-bentuk kompromi untuk pengungkapan demikian. Apabila kerja sama mengalami kegagalan, pengadilan harus menginstruksikan pengungkapan terutama jika materi tersebut relevan dan dibutuhkan untuk membuktikan kesalahan atau ketidaksalahan. Pihak-pihak yang menentang akan dilaporkan kepada Dewan Keamanan PBB. Sementara itu, persidangan tetap berlanjut dan pengadilan dapat mengambil kesimpulan dalam persidangan atas tertuduh dengan ada atau tidak adanya suatu fakta, sebagaimana layak untuk situasinya. Ini merupakan suatu kekuasaan pembelaan yang aneh, karena bukti-bukti penting ditahan, maka persidangan seharusnya dihentikan atau pengadilan seharusnya menghindar dari pembuatan kesimpulan yang bertentangan dengan kepentingan pembela mengenai fakta yang tergantung pada bukti-bukti yang hilang. Pasal 67 Ayat (7) Statuta Roma berupaya lebih untuk mengatasi masalah litigasi ini ketimbang upaya-upaya lain dalam sistem adversary dan pengadilan kriminal, yaitu apa dan sampai sejauh mana bukti yang diperoleh dengan cara-cara yang tidak legal atau tidak adil dapat diperoleh dan digunakan untuk membuktikan kesalahan. Hal ini seperti doktrin `buah dari pohon yang beracun' yang berkaitan misalnya dengan bukti yang diperoleh dari agen-agen provokator dan pengakuan 136
yang diperoleh melalui ancaman atau penipuan atau penyiksaan. Metode-metode seperti ini menjadi persoalan, baik karena pengakuan semacam itu cenderung tidak bisa dipercaya, dan karena persetujuan pengadilan atas bukti-bukti semacam ini berarti bahwa pengadilan menyetujui atau mendorong tindakan yang buruk yang dilakukan untuk menghasilkan bukti-bukti tersebut. Statuta ini memberikan kerangka peraturan sebagai berikut: Bukti-bukti yang diperoleh dengan cara-cara melanggar hukum atau melanggar hak asasi manusia yang diakui internasional tidak dapat diakui, jika: (a) Pelanggaran tersebut menimbulkan keragu-raguan yang substansial atas kebenaran dari bukti tersebut; atau (b) Penggunaan bukti tersebut akan bertentangan dengan dan akan menimbulkan kerusakan pada integritas proses penuntutan. Paragraf ini diambil hampir kata demi kata dari aturan 95 Pengadilan Den Haag, dan keputusannya akan menjadi preseden bagi ICC. Rumusannya memang tidak terlalu memberikan dukungan kepada terdakwa ketimbang yang diberikan oleh beberapa hukum nasional. 4) Penghukuman Pasal 70 memberikan pengadilan kekuatan khusus untuk menghukum, dengan hukuman penjara sampai lima tahun, para saksi dan tertuduh yang dengan sengaja bersumpah palsu atau memalsukan dokumen-dokumen dalam presentasi pembuktian. Negara pihak memperluas hukum mengenai sumpah palsu di tingkat nasionalnya
137
dengan memasukkan upaya untuk menyelewengkan keadilan di ICC. Aturan ini penting. Sudah terdapat beberapa contoh yang perlu dicatat dalam upaya menjebak terdakwa dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Misalnya, Arman Hammer, yang demi kepentingan komersialnya memberikan Israel dokumen-dokumen yang dipalsukan untuk memperoleh penghukuman yang salah bagi Ivan Denjanjuk. Demikian juga halnya dengan sumpah palsu yang dilakukan terhadap Dusko Tadic. Kejahatan yang paling berat menghasilkan hukuman yang paling berat, sesuai dengan perjanjian-perjanjian hak asasi manusia. Pasal 77 menyatakan bahwa hukuman bagi pelanggaran terburuk adalah hukuman penjara seumur hidup. Dalam kasus lain mungkin mempunyai masa hukuman sampai 30 tahun, dan hukuman yang dibebankan acara berturut-turut untuk sejumlah kejahatan tidak boleh melebihi Batas maksimum tersebut. Sebagai tambahan, tertuduh mungkin akan dikenakan denda, dan harta milik serta aset yang diperoleh terdakwa karena melakukan kejahatan tersebut disita. Pasal 109 menyatakan negara-negara pihak harus bekerja sama dalarn pembekuan dan penyitaan aset yang berada dalam yurisdiksi mereka. Dengan demikian, bagaimana hukuman-hukuman finansial ini bisa diterapkan, sangat tergantung pada apakah Swiss, Liechtensten, dan negara-negara lain yang sering menjadi tempat pelarian bagi `uang kotor', mau menjadi negara pihak dari Statuta Roma. Perkembangan paling besar yang dapat dicatat dan pasal-pasal tentang hukuman adalah penghindaran terhadap hukuman mati. Ini mengikuti kemauan PBB dengan Pengadilan Den Haag dan Arusha. Pasal-pasal dalam Statuta Roma 138
menyediakan bukti lebih jauh akan upaya hukum internasional untuk menghapuskan hukuman mati. Tetapi, negara-negara yang masih menerapkan hukuman mati, meminta adanya klausul yang memastikan bahwa tidak adanya hukuman mati dalam Statuta Roma tidak membuat mereka berkewajiban untuk menghentikan eksekusi terhadap orang-orang yang didakwa dengan kejahatan yang sama, dalam hukum nasional mereka. Ini akan memiliki efek yang ironic, karena pelaku kejahatan yang tidak memiliki tempat bersembunyi akan berupaya keras untuk diadili oleh ICC, ketimbang harus menghadapi hukuman mati di negara asal mereka. Fenomena seperti ini sudah dialami oleh Pengadilan Arusha, pada saat Para pemimpin Hutu bersiap mengaku bersalah atas genosida dan menjalani hukuman penjara yang lama ketimbang harus menghadapi pengadilan untuk kejahatan yang sama pada pengadilan Kanguru di Rwanda, yang akan secara cepat akan diikuti oleh hukuman mati di depan publik. Terdapat juga pasal-pasal yang mengatur reparasi bagi korban kejahatan, untuk menghormati yang dilakukan oleh Pengadilan InterAmerika. Setelah keputusan penghukuman dijatuhkan, divisi pengadilan dapat mendengarkan perwakilan dari korban dan keluarga korban, dan memerintahkan terhukum untuk memberikan kompensasi atau ganti rugi atas hak milik yang dicuri dari korban. Jika terpidana tidak mempunyai aset, maka akan diberikan hadiah dari dana perwalian yang dibuat oleh negara-negara pihak untuk tujuan tersebut. Hal ini dimungkinkan, terutama jika dana perwalian tersebut menarik perhatian dermawan-dermawan yang kaya. Pengadilan pada waktunya kemudian dapat menangani kasus-kasus diktator-diktator 139
yang sudah jatuh yang memiliki jutaan dollar tersimpan dalam rekening bank di Swiss. Namun, ini difokuskan pada individual dan bukan tanggung jawab negara. Hal ini berarti bahwa negara dan penduduknya yang memperoleh keuntungan dan merupakan tempat dari kejahatan terhadap kemanusiaan akan terbebas dari konsekuensi finansial ini. Statuta tidak membuat pasal tentang reparasi dan negaranegara yang mendukung kejahatan internasional. Jika orang seperti Hitler akan dihukum atas kejahatan genosida, maka enam juta korbannya sangat tipis kemungkinannya memperoleh kompensasi dari aset personal Hitler, walaupun kenyataan menunjukkan bahwa tanggung jawab kolektif (atau setidaknya pemerintahan) terhadap holocaust akan menjustifikasi reparasi tersebut. Jerman akhirnya membayar 60 miliar dollar AS selama setengah abad terakhir pada korban holocaust. Kemudian pada Februari 1999, Kanselir Jerman Schroder mengumumkan akan memberikan tambahan 6 miliar dollar AS untuk kompensasi bagi mereka yang bertahan hidup dari kerja paksa. Skandal kegagalan Pemerintahan Jepang dan pengadilannya pada 1998 untuk menyediakan kompensasi bagi tahanan perang Inggris dan Australia yang diberlakukan dengan kejam pada kamp-kamp pe - nahanan, merupakan contoh yang ramai dibicarakan oleh para diplomat di Roma. Para diplomat ini kemudian menolak pengadilan untuk memerintahkan reparasi kepada pemerintah karena mereka takut jika ICC dapat mempermalukan negara-negara yang menderita amnesia hak asasi manusia. Tidak dicantumkannya hal ini mencerminkan salah satu dari kelemahankelemahan utama dan filosofi yang mendasari gerakan keadilan internasional, yang 140
menolak keberadaan tanggung jawab kolektif untuk menempatkan kesalahan pada individual. Berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, kedua hal tersebut tidak sepenuhnya terpisah satu sama lain. 5) Banding Hak terdakwa yang sudah dijatuhi hukuman untuk meminta peninjauan kembali baik putusan maupun hukumannya dalam pengadilan banding hak yang ditolak dalam Pengadilan Nuremberg diakomodasi oleh Pasal 81. Peninjauan ini akan mengambil bentuk hearing oleh divisi banding yang terdiri dari lima hakim. Juga patut dihargai adanya pasal yang memperkenalkan narapidana atau (setelah kematiannya) keluarganya membuat aplikasi untuk meninjau kembali putusan pengadilan berdasarkan ditemukannya bukti-bukti barti, yang tidak tersedia pada saat pengadilan berlangsung bukan karena kesalahan pihak pembela. Jika bukti-bukti ini diungkapkan pada saat persidangan, mungkin akan menghasilkan keputusan bebas bagi terdakwa. Korban dari kegagalan mendapatkan keadilan bisa menerima kompensasi dan pengadilan, dan siapa pun yang ditangkap atau ditahan secara tidak legal dalam proses pengadilan harus memiliki hak atas kompensasi. Pentingnya keberadaan pasal tersebut ditunjukkan pada 1998 oleh kasus dua orang kakak beradik Bosnia Serbia yang ditangkap secara paksa oleh pasukan NATO, yang kemudian segera dipindahkan ke penjara di Belanda. Yang memalukan bagi semua orang, ternyata mereka bukan individuindividu yang ditunjuk dalam surat penahanan. Jika pada prinsipnya terdapat bukti-bukti 'yang tidak dapat diragukan lagi'
141
mempunyai arti, maka putusan bebas yang dihasilkan oleh mayoritas hakim-hakim yang berpengalaman di divisi pengadilan berfungsi sebagai logika bahwa tidak ada keraguan atas putusan terse-but, apa pun yang dikatakan oleh divisi pengadilan banding. Para hakim tersebut sudah melihat dan mendengarkan semua saksi pada persidangan awal. Hak jaksa penuntut mengajukan banding atas putusan bebas pada kenyataannya merupakan ciri dari sistem inquisitorial, di mana para hakim pengadilan sering kali terlibat dalam penyelidikan dan keadilan membutuhkan adanya pengadilan banding untuk melihat fakta-fakta secara lebih imparaial. Tetapi para delegasi yang mendesak adanya pengajuan banding oleh jaksa penuntut gagal memahami sistem adversial dan konsekuensi logic dan standar pembuktian 'yang tidak dapat diragukan lagi'. Perselisihan antarnegara pihak terhadap interpretasi dan statuta, berdasarkan Pasal 119 dapat dirujuk kepada Mahkamah Internasional. Tujuh tahun setelah pelaksanaannya, sekretaris Jenderal PBB akan mengatur suatu konferensi untuk meninjau ulang statuta dan mempertimbangkan amendemen terhadap statuta tersebut. Namun dengan menyesal, amendemen tidak dapat dilakukan untuk pasal-pasal yang substansial sampai konferensi untuk peninjauan ulang dilakukan, yang (mengingat penundaan selama beberapa tahun untuk memperoleh ratifikasi yang diperlukan) tidak akan dilaksanakan sampai akhir dekade pertama abad ke-21. Terdapat dua konsesi
terakhir
yang
dibuat
terhadap
kedaulatan
negara.
Statuta
tidak
memperkenankan adanya reservasi. Tetapi, Pasal 124 mengizinkan negara pihak untuk meratifikasi, dan membuat deklarasi bahwa negara pihak memiliki waktu se142
lama tujuh tahun untuk dibebaskan dari pelaksanaan yurisdiksi pengadilan terhadap kejahatan perang yang dilakukan oleh warga negaranya atau yang terjadi di wilayahnya. Hal ini diikuti dengan pernyataan bahwa negara pihak mana pun yang merencanakan akan melakukan perang secara agresif di waktu mendatang disarankan untuk membuat deklarasi Pasal 124 (ini merupakan langkah untuk meredakan sikap permusuhan Amerika Serikat terhadap keadilan internasional, di mana Amerika Serikat menginginkan agar ada pilihan bebas berkaitan dengan kejahatan terhadap kemanusiaan, dan agar jangka waktunya diperpanjang sampai 10 tahun). Dengan demikian, sebuah negara yang membebaskan pemimpin mereka dan tanggung jawab kejahatan perang mungkin masih akan dituntut atas kejahatan genosida. Dalam hal ini, negara tersebut harus menetapkan haknya untuk menarik mundur, di bawah Pasal 127 Statuta Roma, satu tahun atau lebih sebelum genosida tersebut dijadwalkan dimulai. Tindakan seperti itu, melalui surat kepada Sekretaris Jenderal PBB, akan mengagalkan rencana yurisdiksi pengadilan berkaitan dengan penyelidikan yang dilaksanakan lebih dari satu tahun setelah Sekretaris Jenderal PBB menerima surat tersebut. 4. PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA (HAM) DALAM YURISDIKSI HUKUM PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL Yurisdiksi pengadilan terbatas pada kejahatan yang mengancam tujuan perlindungan Hak Asasi Manusia (I-TAM). Kejahatan dimaksud meliputi: (a) kejahatan genosida; (b) kejahatan terhadap kemanusiaan; (c) kejahatan perang; dan
143
(d) kejahatan agresi. a. Kejahatan Genosida Dalam Statuta Roma, yang dimaksud dengan "genosida" adalah perbuatan yang dilakukan dengan tujuan untuk menghancurkan, seluruh atau untuk sebagian suatu kelompok bangsa, etnis, ras dan agama, seperti perbuatan: 1) Membunuh anggota kelompok suatu bangsa; 2) Menimbulkan luka atau merusak mental yang sangat berat terhadap individuindividu anggota kelompok tersebut; 3) Dengan sengaja menimbulkan kondisi kehidupan kelompok yang diperkirakan akan dapat menyebabkan kehancuran fisik sebagian atau keseluruhan kelompok itu; 4) Memaksakan tindakan atau perbuatan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran anak pada anggota-anggota kelompok tersebut; 5) Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok ke kelompok lain. Pemusnahan suatu bangsa dengan sengaja (genosida) dinyatakan sebagai kejahatan berdasarkan hukum internasional oleh Majelis Umum PBB 1946. Pada tahun 1948 hal ini dikuatkan dengan disetujuinya konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida. Peter Bahr, et al. (2001), mengemukakan instrumen-instrumen konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida, Pasal I, II, III (dokumen E.1). Dokumen E.1. disetujui dan diusulkan untuk penandatanganan dan ratifikasi atau dengan Resolusi Majelis Umum PBB 260 A (III), 9 Desember 1948. 144
Negara-negara peserta, mempertimbangkan deklarasi yang akan dibuat oleh Majelis Umum PBB dalam Resolusi 96 (1), 11 Desember 1946 bahwa genosida merupakan kejahatan menurut hukum internasional, bertentangan dengan jiwa dan tujuan-tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang dikutuk oleh dunia yang beradab, mengakui bahwa pada semua periode sejarah, genosida telah mengakibatkan kerugian-kerugian yang besar pada kemanusiaan, dan meyakini bahwa agar dapat membebaskan umat manusia dari bencana yang memuakkan tersebut, maka diperlukan kerja sama internasional dengan ketentuan: Pasal 1
: Para negara peserta menguatkan bahwa genosida, apakah dilakukan pada waktu damai atau waktu merupakan kejahatan menurut hukum internasional, di mana mereka berusaha untuk mencegah dan menghukumnya.
Pasal 2
: Dalam konvensi ini, genosida berarti setiap dari perbuatanperbuatan berikut, yang dilakukan dengan tujuan merusak begitu saja, dalam keseluruhan ataupun sebagian, suatu kelompok bangsa, etnis, rasial, atau agama, seperti: a) Membunuh para anggota kelompok; b) Menyebabkan luka-luka pada tubuh atau mental para anggota kelompok; c) Dengan sengaja menimbulkan pada kelompok itu kondisi hidup yang menyebabkan kerusakan fisiknya dalam keseluruhan ataupun sebagian; 145
d) Mengenakan upaya-upaya yang dimaksudkan untuk mencegah kelahiran di dalam kelompok itu; e) Dengan paksa mengalihkan anak-anak dan kelompok itu ke kelompok lain. Pasal 3
: Statuta perbuatan-perbuatan berikut ini dapat dihukum: a) Genosida; b) Persekongkolan untuk melakukan genosida; c) Hasutan langsung dan di depan umum, untuk melakukan genosida; d) Mencoba melakukan genosida; e) Keterlibatan dalam genosida.
Pasal 4
: Orang-orang yang melakukan genosida atau setiap dari perbuatanperbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3 harus dihukum. Apakah mereka adalah para penguasa yang bertanggung jawab secara konstitusional, para pejabat negara, atau individu-individu biasa.
Pasal 5
: Para negara peserta berusaha membuat, sesuai dengan konstitusi mereka masing-masing,
perundang-undangan
yang
diperlukan
untuk
memberlakukan ketentuan-ketentuan dalam konvensi ini. Dan terutama untuk menjatuhkan hukuman-hukuman yang efektif bagi orang-orang yang bersalah karena melakukan genosida atau setiap dari perbuatanperbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3. Pasal 6
: Orang-orang yang dituduh melakukan genosida atau setiap dari perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3, harus diadili 146
oleh suatu tribunal yang berwenang dan negara peserta yang di dalam wilayahnya perbuatan itu dilakukan, atau oleh semacam tribunal pidana internasional seperti yang mungkin mempunyai yurisdiksi yang berkaitan dengan negara peserta yang akan menerima yurisdiksinya. Pasal 7
: Genosida dan perbuatan-perbuatan lain yang disebutkan dalam pasal tidak dapat dianggap sebagai kejahatan-kejahatan politik untuk tujuan ekstradisi.Para negara peserta bersepakat, dalam kasus-kasus tersebut, untuk memberikan ekstradisi sesuai dengan undang-undang mereka dan perjanjianperjanjian internasional yang berlaku.
Pasal 8
: Setiap negara peserta dapat meminta organ-organ PBB yang berwenang untuk mengambil tindakan menurut Piagam PBB, seperti yang mereka anggap tepat untuk pencegahan dan penindasan perbuatan-perbuatan lain apa pun yang disebutkan dalam Pasal 3. Perselisihan antara negara peserta mengenai penafsiran, penerapan, atau
pemenuhan konvensi ini termasuk perselisihan yang berkaitan dengan tanggung jawab suatu negara peserta untuk perbuatan lain yang disebutkan dalam Pasal 3, harus diajukan ke depan Mahkamah Pengadilan Internasional atas permintaan dari setiap negara peserta yang berselisih. b. Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Kejahatan kemanusiaan adalah perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik yang dapat diketahui bahwa serangan tersebut
147
ditujukan secara langsung terhadap penduduk berupa perbuatan: 1) Pembunuhan; 2) Perbudakan; 3) Pemindahan penduduk secara paksa; 4) Perampasan dengan paksaan kebebasan penduduk seperti "memenjarakan" dengan melanggar prinsip dasar hukum internasional; 5) Penyiksaan; 6) Perkosaan,
perbudakan
seksual,
pemaksaan
untuk
melakukanprostitusi,
penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, dan bentukbentuk kebrutalan seksual yang mengerikan; 7) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang diklasifikasi atas dasar aliran politik, ras, suku bangsa, etnis, budaya, agama, dan gender atas dasar klasifikasi mengenai "penyiksaan" yang dengan tegas dilarang dalam hukum internasional dan dalam yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional; 8) Penghilangan paksa; 9) Kejahatan apartheid; 10) Perbuatan tak manusiawi lainnya yang sifatnya dengan sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka parah yang mengenai badan dan mental, serta yang sangat mengganggu kesehatan manusia. Perbuatan sebagaimana disebut sebelumnya (Pasal 7 Ayat (1) Statuta) dilakukan dengan tindakan berupa: 1) Serangan yang ditujukan terhadap sekelompok penduduk sipil, yang merupakan 148
serangkaian perbuatan yang meliputi tindakan Banda, yaitu serangan meluas atau sistematik sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) ditujukan terhadap kelompok penduduk sipil sesuai dengan atau sebagai kelanjutan dari tujuan suatu negara atau organisasi untuk melakukan serangan tersebut. 2) Pemusnahan, yaitu dengan sengaja membuat kondisi kehidupan suatu kelompok penduduk terhenti antara lain dengan memutus akses pangan dan obat-obatan yang merupakan kebutuhan vital yang dapat membawa kehancuran kehidupan kelompok tersebut. 3) Perbudakan, yaitu tindakan menguasai seseorang sedemikian rupa sehingga orang-orang tersebut yang terdiri dari perempuan dan anak-anak menjadi tak berarti dan diperdagangkan sebagai budak. 4) Deportasi, atau pemindahan penduduk secara paksa seperti mengusir orang-orang dari suatu daerah ke daerah lain tanpa alasan yang dibenarkan hukum internasional. 5) Penyiksaan, yaitu tindakan dengan sengaja menyakiti dan menimbulkan penderitaan yang berat, baik fisik maupun mental terhadap seseorang yang ditahan di bawah penguasaan si pelaku. Dikecualikan terhadap mereka yang melaksanakan sanksi pidana secara sah serta tidak melakukan penyiksaan yang dapat menimbulkan penderitaan. 6) Penghamilan paksa, yaitu menahan secara tidak sah seorang perempuan dan dipaksa untuk dapat hamil dengan maksud memengaruhi komposisi etnis suatu kelompok penduduk tertentu. Perbuatan ini merupakan pelanggaran berat hukum 149
internasional. 7) Persekusi, yaitu perampasan dengan sengaja dan kejam terhadap hak-hak dasar dan berhubungan dengan meniadakan identitas kelompok yang merupakan pelanggaran hukum internasional. 8) Kejahatan apartheid, yaitu perbuatan tidak manusiawi yang dilakukan dalam hubungan dengan suatu rezim kelembagaan berupa penindasan dan dominasi secara sistematik terhadap suatu kelompok ras oleh kelompok ras lain dengan maksud mempertahankan rezimnya. 9) Penghilangan paksa, yaitu tindakan penangkapan, penahanan, atau penyekapan orang-orang oleh pelaku dengan dukungan kewenangan atau persetujuan diamdiam dari satu negara atau suatu organisasi politik, yang diikuti penolakan untuk mengakui perampasan kebebasan tersebut dengan maksud memindahkan mereka dari perlindungan hukum untuk jangka waktu tertentu. 10) Gender, dalam statuta ini mengacu pada dua jenis kelamin lakilaki dan perempuan. Yurisdiksi Ratione Temporis, Pengadilan Pidana Internasional mempunyai yurisdiksi hanya berkaitan dengan kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya Statuta Roma. Pelaksanaan yurisdiksi hanya berkenaan kejahatan yang dilakukan setelah diberlakukannya statuta untuk negara peserta. Kecuali kalau negara tersebut telah membuat deklarasi berdasarkan Pasal 12 Ayat (3) Statuta Roma tahun 1998.
150
c. Kejahatan Perang Pasal 8 Ayat (1) Statuta Roma menyatakan, "The court shall have jurisdiction in respect of war crimes in particular when committed as part of a plan or policy or as part of a large-scale commission of such crimes". Pasal ini tidak memberikan definisi seperti yang kits lihat terhadap genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, tetapi memberikan unsur-unsur yang harus dipenuhi suatu kejahatan perang, yaitu dilakukan sebagai bagian dari ancaman atau kebijakan atau sebagai bagian dari ancaman atau sebagai bagian dari perbuatan dan mempunyai dampak dalam skala lugs dari kejahatan itu. d. Kejahatan Agresi Kejahatan agresi yang merupakan tindakan penguasaan terhadap negara lain dengan kekerasan, tidak dibahas karena tidak terdapat kasusnya. 5. PRAKONDISI BAGI BERLAKUNYA YURISDIKSI Suatu negara yang menjadi peserta statuta ini baru dapat melaksanakan yurisdiksinya apabila telah menerima yurisdiksi ICC. Dalam Pasal 2 Ayat 2 (a) menyatakan bahwa pengadilan (ICC) dapat melaksanakan yurisdiksinya apabila salah satu negara atau lebih merupakan pihak dan statuta ini di samping berlaku bagi negara peserta juga berlaku terhadap kejahatan yang dilakukan di atas kapal atau pesawat terbang dari negara peserta. Apabila suatu negara peserta statuta, maka negara tersebut dapat mengajukan deklarasi kepada Panitera ICC, yang menyatakan menerima pelaksanaan yurisdiksi 151
pengadilan terhadap kejahatan yang bersangkutan (Pasal 12 Ayat 3 Statuta Roma). 6. PELAKSANAAN YURISDIKSI (KEKUASAAN MENGADILI) Pengadilan Pidana International (International Criminal Court ICC) dapat melaksanakan yurisdiksinya berkenaan dengan kejahatan yang tercantum dalam Pasal 5 Statuta Roma (kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang dan kejahatan agresi), apabila: a. Dalam suatu keadaan di mana telah terjadi satu atau lebih kejahatan tersebut di atas dan diteruskan kepada "Jaksa" oleh suatu negara peserta sesuai Pasal 14 Statuta; b. Dalam suatu keadaan di mana satu atau lebih kejahatan telah terjadi dan diteruskan kepada Jaksa oleh Dewan Keamanan PBB yang bertindak sesuai dengan ketentuan Bab VII Piagam PBB. Jaksa memprakarsai suatu penyelidikan dan penyidikan berkenaan dengan kejahatan tersebut sesuai dengan Pasal 15 Statuta Roma. "Jaksa" dalam statuta ini adalah "Jaksa" dalam Pengadilan Pidana Internasional, yaitu yang terkait dalam mekanisme sistem peradilan pidana (Pasal 13 Statuta Roma). 7. PENYERAHAN SUATU KEADAAN OLEH NEGARA PESERTA Suatu negara peserta menyerahkan kepada jaksa suatu peristiwa di mana satu atau lebih kejahatan yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional telah terjadi. Penyerahan ini disertai permintaan kepada jaksa untuk menyelidiki 152
situasi dengan tujuan dapat menetapkan apakah tersangka dapat disangka telah melakukan kejahatan tersebut. Dalam penyerahan kepada jaksa agar situasi yang terjadi diperinci sejelas mungkin dengan disertai dokumentasi yang telah tersedia pada negara yang menyerahkan perkara ini (Pasal 14 Statuta Roma). Jaksa dapat memulai penyelidikan propio motu atas dasar informasi dan dokumen penyerahan perkara tentang kejahatan dalam yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional. Jaksa menganalisis keseriusan informasi (dokumen penyerahan perkara) yang diterimanya. Sebagai langkah lanjut, ia dapat mencari informasi tambahan dari negara, organ PBB, organisasi antarpemerintah atau Lembaga Swadaya Masyarakat atau sumber-sumber tepercaya lain yang dianggap tepat serta dapat menerima kesaksian tertulis atau lisan di tempat kedudukan Pengadilan Pidana Internasional. Apabila jaksa berkesimpulan bahwa ada dasar yang kuat untuk meneruskan ke tingkat penyelidikan, maka jaksa akan menyampaikan kasus ini kepada divisi prajustisi dengan permintaan untuk memperoleh hak atau wewenang untuk melakukan penyelidikan dengan bahan bukti yang telah dikumpulkan. Sementara itu, para korban dapat mengajukan wakilnya ke divisi prajustisi sesuai ketentuan hukum acara. Bila divisi prajustisi setelah memeriksa permohonan jaksa yang dilengkapi dengan bahan pendukung menganggap ada dasar yang kuat untuk dilanjutkan dengan penyelidikan. Apabila divisi prajustisi menolak untuk memberi wewenang, perkara masih dapat diajukan kembali oleh jaksa berdasarkan bukti temuan baru. Setelah 153
pemeriksaan pendahuluan yang disebut dalam Ayat (1) dan Ayat (2) Pasal 15 Statuta Roma, dan jaksa berkesimpulan bahwa informasi yang diterima tidak merupakan dasar yang kuat untuk penyelidikan, jaksa akan memberitahukan hal tersebut kepada pemberi informasi. Namun, apabila ada fakta baru, jaksa bisa melanjutkan kembali perkara ini (Pasal 15 Statuta Roma). Kasus yang akan ditangani ICC selalu dicermati dengan sungguh-sungguh demi
menjamin ketidakberpihakan dan
keadilan.
Penundaan penyelidikan atau penuntutan, serta penangguhan penyelidikan atau penuntutan atas Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa berdasarkan Bab VII Piagam PBB yang diserahkan kepada Pengadilan Pidana Internasional. Permohonan baru dapat diajukan kembali setelah lewat 12 bulan (Pasal 16 Statuta Roma). 8. KOMPETENSI YURISDIKSI ICC Ketentuan mengenai perkara yang tidak dapat dan yang dapat ditangani International Criminal Court (ICC), adalah suatu perkara tidak dapat diterima untuk ditangani Internatioanal Criminal Court (ICC), apabila: a. Kasusnya sedang disidik atau dituntut oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atas perkara tersebut, kecuali bila negara tersebut tidak bersedia atau tidak dapat melakukan penyelidikan dan penuntutan; b. Kasusnya telah diselidiki oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atas perkara tersebut dan negara itu telah memutuskan untuk tidak menuntut orang yang bersangkutan, kecuali apabila keputusan itu diambil karena ketidakmauan
154
atau ketidakmampuan untuk melakukan penuntutan; c. Tersangka telah diadili atas perbuatan yang diadukan atau pengadilan tidak berwenang mengadili berdasarkan Pasal 20 Ayat (3) Statuta Roma; d. Kasusnya tidak cukup berat untuk diperiksa dan diadili oleh Pengadilan Pidana Internasional. Di dalam rangka menentukan ketidaksediaan negara tertentu untuk menuntut yang bersalah, Pengadilan Pidana Internasional mempertimbangkan dengan mengacu pada prinsip-prinsip hukum internasional, yaitu mengenai hal-hal sebagai berikut: a. Tampak adanya upaya hukum dari sikap nasional suatu negara untuk "melindungi" atau menutup-nutupi perbuatan si pelaku dari tanggung jawab yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Statuta Roma. b. Tindakan "penangguhan" yang tidak dapat mencerminkan tindakan yang tidak sesuai dengan maksud untuk membawa orang yang bersalah ke pengadilan (diadili). Untuk menentukan "ketidakmampuan" dalam suatu kasus tertentu Pengadilan Pidana Internasional mempertimbangkan apakah disebabkan keruntuhan menyeluruh atau sebagian besar sistem nasionalnya, sehingga negara tersebut tidak mampu menghadirkan tersangka, tidak dapat menunjukkan bukti dan kesaksian yang diperlukan atau ada upaya hukum ke arah pemeriksaan di pengadilan (Pasal 17 Statuta Roma).
155
9. PENENTUAN KOMPETENSI YURISDIKSI Penentuan awal mengenai dapat diterimanya suatu perkara untuk diperiksa dan diadili di Pengadilan Pidana Internasional (ICC), yaitu: a. Apabila peristiwa telah diserahkan kepada pengadilan sesuai Pasal 13 (1) Statuta Roma dan jaksa telah menetapkan ada dasar yang kuat untuk memulai suatu penyelidikan sesuai Pasal 15 Statuta Roma, maka jaksa memberitahukan kepada semua negara peserta dan negara yang cukup alasan akan melaksanakan yurisdiksi atas kejahatan yang bersangkutan, maka jaksa dapat memberi tabu negara tersebut dengan sistem kerahasiaan untuk kepentingan perlindungan orang-orang tertentu, mencegah rusaknya barang bukti dan kemungkinan tersangka melarikan diri. b. Dalam waktu satu bulan setelah diterimanya pemberitahuan itu, negara bersangkutan dapat memberi informasi kepada Pengadilan Pidana Internasional bahwa is sedang melakukan "penyelidikan" terhadap yang dilaporkan, baik warga negara atau orang-orang asing yang ada dalam yurisdiksinya, yaitu perbuatan yang dapat merupakan kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 5 Statuta Roma. Atas permohonan negara tersebut, jaksa menangguhkan penyelidikan guna memberikan kesempatan kepada negara itu, kecuali bila divisi prajustisi atas permohonan jaksa telah memutuskan kewenangan penyelidikan kepada jaksa. c. Penyerahan kesempatan penyelidikan oleh jaksa kepada negara tertentu, terbuka peluang bagi jaksa untuk melakukan peninjauan, enam bulan setelah penyerahan wewenang penyelidikan kepada negara tersebut, atau pada setiap saat terjadi 156
perubahan keadaan mengenai jalannya penyelidikan dari proses berikutnya yang menjadi tanggung jawab negara tersebut, yaitu ketidaksediaan negara atau ketidakmampuannya melaksanakan penyelidikan yang menjadi tanggung jawabnya. d. Negara yang bersangkutan atau jaksa dapat mengajukan banding kepada pengadilan banding terhadap putusan divisi prajustisi sesuai dengan Pasal 82 Ayat (2) Statuta Roma. Permohonan banding untuk memenuhi kebutuhan peradilan diharapkan proses banding dapat dipercepat. Adapun rumusan Pasal 82 Ayat (2) Statuta adalah bahwa, "Suatu putusan dan divisi prajustisi berdasarkan Pasal 57 Ayat (3) (d) dapat dimintakan banding oleh negara yang bersangkutan atau oleh jaksa dengan izin divisi prajustisi. Permohonan banding harus diperiksa `segera'." Apabila jaksa telah menyerahkan wewenang penyelidikan kepada suatu negara (Pasal 18 Ayat (2)), maka jaksa dapat meminta agar negara bersangkutan secara periodik menyampaikan informasi kepada jaksa mengenai perkembangan penyelidikannya serta perkembangan selanjutnya bagi pelaksanaan peradilan. Sambil menunggu divisi prajustisi, jaksa dengan alasan yang kuat dan tepercaya karena keadaan luar biasa dapat berusaha memperoleh izin divisi prajustisi untuk mengambil langkah-langkah dalam melindungi atau mengamankan barang bukti yang dipradugakan suatu saat dapat hilang. Suatu negara yang berkeberatan atas ketentuan-ketentuan yang telah disebut, dapat mengajukan keberatan dengan menyertakan fakta yang ada dari perubahan keadaan dengan memanfaatkan Pasal 19 (Statuta Roma) yang ada dijelaskan berikut ini. 157
10. KEBERATAN ATAS YURISDIKSI PENGADILAN Keberatan-keberatan atas yurisdiksi pengadilan atau dapat diterimanya suatu perkara dapat dikemukakan antara lain: a. Pengadilan Pidana Internasional harus yakin bahwa dirinya memiliki yurisdiksi dalam setiap kasus yang dibawa ke hadapannya. Pengadilan mempunyai kemandirian untuk menentukan dapat diterimanya suatu perkara sesuai dengan Pasal 17. b. Keberatan-keberatan atas diterimanya suatu kasus atas dasar yurisdiksi pengadilan dapat dilakukan oleh seorang tersangka yang dipanggil menghadap atas adanya perintah penahanan atas dirinya berdasarkan Pasal 58 (pengeluaran surat perintah penahanan atau surat panggilan menghadap oleh divisi prajustisi). c. Suatu negara yang memiliki yurisdiksi atas suatu peristiwa dengan alasan bahwa pihaknya sedang menyelidiki atau menyidik atau melakukan penuntutan terhadap kasus itu. Suatu negara di mana penerimaan atas yurisdiksi merupakan syarat berdasarkan Pasal 12 Statuta Roma. d. Jaksa dapat mengupayakan keputusan pengadilan mengenai persoalan yurisdiksi atau mengenai dapat diterimanya pengaduan. Mereka yang telah mengajukan pengaduan berdasarkan Pasal 13 Statuta Roma dari korban, dapat memberikan basil observasi kepada pengadilan. e. Penolakan terhadap yurisdiksi pengadilan hanya satu kali oleh seorang atau negara. Keberatan itu diajukan sebelum atau pada permulaan pengadilan. Dalam keadaan luar biasa pengadilan dapat memberi peluang diajukannya keberatan 158
lebih dari satu kali. Pengajuan keberatan didasarkan pada Pasal 17 Ayat (1) huruf c Statuta Roma. Suatu negara yang mengajukan keberatan harus dilakukan sedini mungkin. Keberatan atas diterimanya satu perkara atau terhadap yurisdiksi pengadilan diajukan kepada divisi prajustisi. Keputusan-keputusan berkenaan yurisdiksi atau dapat diterimanya pengaduan dapat dimintakan banding sesuai Pasal 82. Kalau keberatan diajukan oleh suatu negara, Jaksa menangguhkan penyelidikan atau penyelidikan sampai saat pengadilan mengambil ketentuan sesuai dengan Pasal 17 Statuta Roma. Sambil menunggu putusan pengadilan, jaksa dapat mengupayakan kewenangan dari pengadilan. Untuk melakukan langkah-langkah penyelidikan yang diperlukan, antara lain: a. Membuat pernyataan atau kesaksian dari seseorang saksi atau melengkapi pengumpulan dan pemeriksaan bukti yang telah dimulai sebelum diajukannya keberatan. b. Bekerja sama dengan negara bersangkutan, mencegah tersangka agar tidak melarikan diri yang mana jaksa telah mengajukan perintah penahanan berdasarkan Pasal 58. c. Pengajuan keberatan tidak boleh memengaruhi keabsahan tindakan jaksa sesuai fungsinya atau oleh tuntutan yang dikeluarkan pengadilan sebelum diajukannya keberatan. d. Apabila pengadilan memutuskan bahwa suatu perkara tidak dapat diterima berdasarkan Pasal 17, jaksa dapat mengajukan permohonan peninjauan keputusan 159
tersebut jika jaksa yakin adanya fakta baru yang berbeda dengan dasar penolakan perkara berdasarkan Pasal 17. e. Apabila jaksa setelah mempertimbangkan masalah-masalah yang dirumuskan dalam Pasal 17 menangguhkan suatu penyidikan. Namun, bila ada keraguan jaksa dapat minta negara yang bersangkutan untuk menyampaikan informasi mengenai proses perkara yang diinformasikan itu. Atas permintaan negara tersebut informasi dapat berderajat rahasia. Jaksa setelah menelaah kembali memberi tahu negara tersebut mengenai pernah ditangguhkan perkara tersebut. 11. HUKUM YANG DIBERLAKUKAN Pengadilan Pidana Internasional wajib menerapkan pertama- tama Statuta Roma, unsur-unsur dalam kejahatan terhadap Hak Asasi Manusia, hukum pembuktian, dan hukum acara pidana. Perjanjianperjanjian yang applicable, prinsipprinsip hukum internasional termasuk mengenai kaidah sengketa bersenjata. Prinsipprinsip hukum umum yang oleh pengadilan diambil dari hukum nasional negara tertentu yang juga telah mengambil sistem hukum yang universal atau hukum acara negara yang sedang melaksanakan yurisdiksinya dengan syarat tidak bertentangan dengan Statuta Roma. Pengadilan dapat menerapkan yurisprudensi, yaitu keputusankeputusan terdahulu (perkara yang telah diputus dan diselesaikan). Penerapan hukum oleh pengadilan harus sesuai dengan asas perlindungan Hak Asasi Manusia yang diakui international (universal), tentunya dengan tanpa pembedaan atas diskriminasi yang tidak dibenarkan oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). 160
12. PRINSIP HUKUM PIDANA YANG DIANUT PENGADILAN PIDANA INTERNASIONAL a. Ne bis in idem. Bahwa tidak seorang pun dapat diadili sehubungan dengan perbuatan kejahatan yang untuk itu yang bersangkutan telah diputus bersalah atau dibebaskan, kecuali apabila dalam statuta karena keadaan tertentu ada ketentuan yang memungkinkan untuk itu. Dan tidak seorang pun dapat diadili pengadilan lain untuk kejahatan yang dirumuskan dalam Pasal 5 Statuta Roma, di mana orang tersebut telah dihukum atau dibebaskan oleh Pengadilan Pidana International. Serta tidak seorang pun yang telah diadili oleh suatu pengadilan di suatu negara, mengenai perbuatan yang dilarang berdasarkan Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 8 Statuta Roma, boleh diadili berkenaan dengan perbuatan yang sama kecuali kalau proses perkara dalam pengadilan oleh negara tertentu. Asas tersebut bertujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari pertanggungjawaban untuk kejahatan yang berbeda di dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC). Karena itu, perbuatan tidak dilakukan mandiri dan dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan alasan diajukannya yang bersangkutan ke depan pengadilan dan tidak selaras dengan kaidah hukum internasional Pasal 20 Statuta Roma. b. Nullum crime sine lege nulla poena sine lege. Seseorang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara pidana berdasarkan statuta ini, kecuali jika perbuatan yang dilakukan termasuk dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC), yaitu yang diatur dalam Pasal 5, Pasal 6, dan Pasal 8 Statuta Roma. 161
Penentuan mengenai kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) harus dengan batasan ketat tidak boleh diperluas dengan analogi. Dalam hal terdapat kekaburan, batasan perbuatan
yang
dinyatakan
sebagai
kejahatan
harus
ditafsirkan
yang
menguntungkan tersangka (yang sedang disidik, dituntut, dan dihukum). Ketentuan-ketentuan tersebut tidak memengaruhi karakter hukum pidana international yang mandiri dan tidak terkait dengan statuta ini. Sedangkan asas Nulla Poena Sine Lege, adalah seseorang yang dinyatakan bersalah oleh International Criminal Court (ICC) dapat dihukum hanya sesuai dengan normanorma dalam Statuta Roma. c. Ratione personae non-retroaktif. Tidak seorang pun yang bertanggung jawab secara pidana berdasarkan Statuta Roma atas perbuatan yang dilakukan, sebelum diberlakukannya Statuta Roma ini. Dalam hal ada perubahan dalam hukum yang dapat diterapkan kepada perkara tertentu sebelum keputusan akhir pengadilan, maka berlaku hukum yang menguntungkan bagi tersangka (yang sedang disidik, dituntut, dan dihukum). d. Pertanggungjawaban pidana pribadi. Yurisdiksi International Criminal Court (ICC) adalah atas orang perorangan (natural-personal), yaitu: (1) seorang tersangka dalam yurisdiksi pengadilan, bertanggung jawab secara individual dan dapat dikenai hukuman sesuai ketentuan pidana dalam Statuta Roma; (2) seseorang dapat dipertanggungjawabkan secara pidana dan dapat dijatuhi hukuman atas suatu kejahatan dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC), apabila orang tersebut: 162
1) Melakukan suatu kejahatan, baik sebagai pribadi, bersama orang lain atau lewat orang lain memandang apakah orang lain itu bertanggung jawab secara pidana atau tidak; 2) Memerintahkan, mengusahakan, atau menyebabkan dilakukannya kejahatan semacam itu dalam kenyataan memang terjadi atau percobaan; 3) Untuk
mempermudah
dilakukannya
kejahatan
tersebut,
membantu,
bersekongkol atau kalau membantu dilakukannya atau percobaan untuk melakukannya termasuk menyediakan sarana melakukannya; 4) Dengan
cara
lain
memudahkan
atas
dilakukannya
atau
percobaan
dilakukannya tersebut oleh sekelompok tersebut oleh sekelompok orang bertindak dengan suatu tujuan bersama bantuan itu harus sengaja dan harus; 5) Dilakukan dengan tujuan untuk melanjutkan tindak pidana atau tujuan pidana kelompok itu, di mana kegiatan atau tujuan pidana kelompok itu, di mana kegiatan atau tujuan tersebut mencakup dilakukannya suatu kejahatan dalam yurisdiksi pengadilan; 6) Dilakukan dengan mengetahui maksud dari kelompok itu untuk melakukan kejahatan:
Berkenaan dengan kejahatan genosida secara langsung atau tidak langsung menghasut orang lain untuk melakukan genosida;
Berusaha melakukan kejahatan semacam itu dengan langkah awal yang meyakinkan, namun kejahatan itu tidak ter - jadi karena keadaan-keadaan
163
yang tidak bergantung pada maksud orang tersebut, tetapi seseorang yang membatalkan perbuatan kejahatan tidak dikenal pidana atas percobaan melakukan kejahatan seperti halnya juga bila orang tersebut secara sukarela membatalkan perbuatannya. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka pertanggungjawaban pidana individual tidak berpengaruh terhadap tanggung jawab negara berdasarkan hukum internasional. Perlu dicatat bahwa ketentuan tersebut tidak dapat dimasukkan dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC) terhadap anak di bawah umur 18 tahun. Sebagaimana ketentuan Pasal 26, bahwa Pengadilan Pidana Internasional tidak memiliki yurisdiksi atas seseorang yang berumur di bawah 18 tahun pada saat dilaporkan atas perbuatan kejahatannya. 13. TIDAK RELEVANNYA JABATAN RESMI Statuta Roma ini berlaku sama terhadap semua orang tanpa suatu perbedaan atas dasar jabatan resmi. Secara khusus, jabatan resmi sebagai seorang kepala negara atau pemerintahan, anggota suatu pemerintahan atau parlemen, wakil terpilih atau pejabat pemerintahan dalam hal apa pun tidak mengecualikan seseorang dari tanggung jawab pidana di bawah statuta ini, demikian pula dalam dan mengenai dirinya sendiri, tidak merupakan suatu alasan untuk mengurangi hukuman. Kekebalan atau peraturan khusus yang mungkin terkait dengan jabatan resmi dari seseorang, baik di bawah hukum nasional atau international, tidak menghalangi International Criminal Court (ICC) untuk melaksanakan yurisdiksinya atas orang tersebut.
164
14. TANGGUNG JAWAB KOMANDAN DAN ATASAN LAINNYA Di samping alasan-alasan lain, tanggung jawab pidana berdasarkan statuta ini untuk kejahatan di dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC). Seorang komandan militer atau seseorang yang efektif bertindak sebagai seorang komandan militer secara pidana bertanggung jawab atas kejahatan di dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC) yang dilakukan oleh pasukan-pasukan di bawah komando atau kekuasaannya secara efektif, atau kewenangan dan pengendaliannya secara efektif dalam pengendalian secara benar atas pasukanpasukan tersebut, di mana: a. Komandan militer atau orang tersebut mengetahui atau disebabkan oleh keadaan pada waktu itu, seharusnya mengetahui bahwa pasukan-pasukan itu melakukan atau akan melakukan kejahatan tersebut; dan b. Komandan militer atau orang tersebut gagal untuk mengambil langkah-langkah yang perlu dan masuk akal dalam kekuasaannya untuk mencegah atau menekan perbuatan mereka atau mengajukan masalah itu kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan dan penuntutan. Berkenaan dengan hubungan atasan dan bawahan yang tidak digambarkan dalam Ayat (1), seorang atasan secara pidana bertanggung jawab atas kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC) yang dilakukan oleh bawahan yang berada di bawah kewenangan dan pengendaliannya secara efektif, sebagai akibat dari kegagalannya untuk melaksanakan pengendalian dengan semestinya atas bawahan tersebut, di mana: 165
a. Atasan tersebut mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang dengan jelas mengidentifikasikan bahwa bawahannya sedang melakukan atau hendak melakukan kejahatan tersebut; b. Kejahatan itu menyangkut kegiatan yang berada dalam tanggung jawab efektif dari pengendalian atasan tersebut; dan c. Atasan gagal mengambil semua tindakan yang perlu dan masuk akal di dalam kekuasaannya untuk mencegah atau menekan perbuatan mereka atau mengajukan masalahnya kepada pejabat yang berwenang untuk penyelidikan dan penuntutan. 15. TIDAK DAPAT DITERAPKAN KETENTUAN PEMBATASAN Kejahatan dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC) tidak tunduk pada setiap ketentuan pembatasan. Kecuali kalau ditetapkan lain, seseorang bertanggung jawab secara pidana dan dapat dijatuhi hukuman atas suatu kejahatan yang berada dalam yurisdiksi pengadilan hanya kalau unsur materiil itu dilakukan dengan sengaja dan sadar. Untuk keperluan pasal ini, seseorang mempunyai maksud apabila: a. Dalam hubungan dengan perbuatan kejahatan, orang tersebut bermaksud untuk ikut serta dalam perbuatan itu; b. Dalam hubungan dengan akibat, orang tersebut bermaksud untuk menimbulkan konsekuensi itu atau menyadari bahwa hal itu akan terjadi dalam jalannya peristiwa yang biasa. Untuk keperluan pasal ini "pengetahuan" berarti kesadaran bahwa suatu
166
keadaan ada atau suatu konsekuensi akan terjadi dalam perkembangan kejadian yang biasa "mengetahui" dan "dengan maklum" harus ditafsirkan sesuai dengan Pasal 30 Statuta Roma. 16. ALASAN PENGHAPUSAN TANGGUNG JAWAB PIDANA Di samping alasan-alasan lain bagi penghapusan tanggung jawab pidana yang ditetapkan dalam statuta ini, seseorang tidak bertanggung jawab secara pidana, kalau pada waktu perbuatan itu dilakukan: a. Orang itu berada dalam keadaan keracunan yang merusak kemampuan orang tersebut untuk menilai ketidakabsahan atau sifat dari perbuatannya agar sesuai dengan ketentuan hukum, kecuali kalau orang tersebut telah meracunkan diri secara sukarela di bawah keadaan yang diketahui oleh orang tersebut, atau mengakibatkan risiko bahwa sebagai akibat dan keracunan tersebut, ia mungkin sekali melakukan perbuatan yang merupakan suatu kejahatan yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC); b. Orang tersebut berbuat secara masuk akal untuk membela dirinya sendiri atau orang lain atau, dalam hal kejahatan perang, hak milik yang amat penting bagi kelangsungan hidup dari orang atau orang lain atau hak milik yang amat penting untuk memenuhi suatu misi militer, terhadap suatu penggunaan kekuatan yang tidak sah dan segera terjadi dengan suatu cara yang proporsional dengan besarnya bahaya terhadap orang atau orang lain atau hak milik yang dilindungi. Kenyataan bahwa orang itu terlibat dalam suatu operasi yang dilakukan oleh
167
angkatan bersenjata tidak dengan sendirinya merupakan alasan untuk meniadakan tanggung jawab pidana berdasarkan subayat ini. Kontroversi berlakunya ICC Statuta Roma telah diratifikasi oleh sebagian besar negara di dunia. Hal ini berarti bahwa ICC telah dapat berfungsi untuk menyeret setiap orang yang telah melakukan pelanggaran HAM berat. Namun ironis, kenyataan menunjukkan adanya ketidakadilan yang terjadi. Kita melihat betapa Amerika Serikat (AS) menyerbu pada tahun 2003, dengan alasan yang kemudian ternyata tidak dapat dibuktikan. Israel yang didukung oleh AS menyerbu Lebanon pada bulan Juli 2006 yang lalu. Para pelaku tersebut tidak dapat dibawa ke ICC, karena ketidakmampuan dewan keamanan dan ICC untuk bertindak tegas kepada AS. Tidaklah mengherankan apabila Presiden Venezuela, Chaves dalam pidatonya disidang umum PBB 21 September 2006 menyebut Presiden AS George W. Bush sebagai "SETAN" yang bertindak seolah-olah memiliki dunia (Rakyat Merdeka, 22 September 2006). Lebih lanjut Chavez menyebut Bush "pembohong" dan "tirani" yang seharusnya dibawa ke depan pengadilan internasional. Ada beberapa alasan sehingga hal tersebut "sulit" dibawa ke ICC. Pertama, apabila suatu negara superpower melindungi warga negaranya, maka dewan keamanan tidak dapat berbuat banyak, karena penegakan hukum (law enforcement) harus didukung oleh kekuatan. Kedua, untuk memaksa 168
suatu negara agar menyerahkan warga negaranya ke ICC, harus pula melalui putusan Dewan Keamanan PBB, sedangkan AS adalah negara anggota dewan keamanan yang mempunyai hak veto. Untuk mengatasi hal ini, maka hak veto yang ada dalam Dewan Keamanan PBB harus dihapus.
B. PELAKSANAAN YURISDIKSI PENGADILAN PIDANA INDONESIA TERHADAP PELANGGARAN HAM BERAT 1. YURISDIKSI PENGADILAN PIDANA HAM BERAT Berbagai aspek yang terkait, yang berhubungan dengan pengadilan pelanggaran HAM berat, di antaranya kedaulatan suatu negara, pengaturan atau ketentuan pidana (Indonesia) yang belum memenuhi standar internasional, adanya beberapa pelanggaran HAM yang dinilai termasuk pelanggaran HAM berat kurang efektif ditetapkan dalam yurisdiksi pengadilan pidana Indonesia. Sebelum menganalisis
permasalahan
tersebut,
terlebih
dahulu
dijelaskan
bagaimana
pengaturan hukum hak asasi manusia dan jenis pelanggaran HAM berat yang termasuk yurisdiksi pengadilan pidana Indonesia. a. Pengaturan Hak Asasi Manusia Di dalam ketentuan hukum nasional Indonesia, pengaturan hak asasi manusia menjadi salah satu 'primary trigger factors' terjadinya gerakan reformasi di Indonesia pada penghujung tahun 1998. Reformasi sendiri pada dasarnya merupakan usaha sistematis dari seluruh bangsa Indonesia untuk mengaktualisasikan kembali 'core values' demokrasi yang pada masa-masa sebelumnya mengalami distorsi. Eksistensi 169
promosi dan perlindungan HAM yang efektif merupakan salah satu indeks demokrasi yang sangat penting. Komitmen Indonesia terhadap HAM dibuktikan melalui keberadaan TAP MPR-RI No. XVII/MPR/1998, UU No. 39 Tahun 1999 dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan puncaknya adalah pemantapan pengaturan HAM dalam UUD 1945 melalui proses amendemen. Hal ini juga dibarengi dengan langkahlangkah ratifikasi terhadap pelbagai instrumen HAM internasional. Tidak dapat dfingkari bahwa keberadaan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM sebagai perbaikan dan Perpu sebelumnya merupakan reaksi terhadap dunia internasional yang ingin mengadili mereka yang dituduh melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan di Timor Timur pasca jajak pendapat. Bangsa Indonesia secara terhormat memutuskan untuk menyelesaikan sendiri persoalan tersebut melalui pengadilan nasional, yang substansi hukumnya secara paraial adalah disesuaikan dengan ICC. b. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat di Indonesia Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, sebagaimana tercantum dalam Pasal 7 hanya meliputi dua macam kejahatan, yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Implikasinya, secara teoretis, para pelanggar HAM yang bisa diadili menjadi semakin "sedikit" karena kejahatan yang dapat diadili oleh pengadilan ini hanya meliputi dua jenis kejahatan itu saja, sedangkan delik kejahatan internasional (delicta juris gentium) di luar dua jenis kejahatan tersebut, seperti misalnya kejahatan
170
agresi dan kejahatan perang serta pelanggaran terhadap Konvensi Geneva tidak terakomodasi di dalam undang-undang ini. Pengadilan HAM ini dikhawatirkan oleh banyak pihak tidak akan dapat memberikan effective remedy bagi korban pelanggaran HAM. Padahal penjelasan undang-undang ini secara eksplisit menyatakan bahwa UU ini mengacu pada Statuta Roma. Jika memang demikian, mengapa tidak juga dimasukkan Kejahatan Perang dan Kejahatan Agresi ke dalam yurisdiksi Pengadilan HAM dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000. Selain itu, ternyata ada ketidaksesuaian yang sangat signifikan antara bentuk-bentuk pelanggaran berat hak asasi manusia sebagaimana yang dicantumkan dalam UU No. 26 Tahun 2000 dengan definisi tindak kejahatan serupa menurut hukum inter nasional. Sementara, dalam bagian mengenai definisi konsep-konsep tentang kejahatan terhadap kemanusiaan, dan tentang tanggung jawab komando UU No. 26 Tahun 2000 mengadopsi pengertian yang terdapat dalam Statuta Roma. Sayangnya adopsi tersebut dilakukan dengan beberapa distorsi yang pada akhirnya melemahkan konsep kejahatan terhadap kemanusiaan itu sendiri. Pengertian "kejahatan terhadap kemanusiaan" dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 juga sulit karena tidak ada parameter yang tegas untuk mendefinisikan unsur `meluas', `sistematik' dan `intensi' yang menjadi unsur utama bentuk kejahatan ini. Ketidakjelasan definisi menyangkut ketiga elemen tersebut mengakibatkan (pembuktian) pemidanaan terhadap kejahatankejahatan yang dimaksud akan menjadi sulit. Sebagai gambaran awal ketidaksinkronan UU No. 26 Tahun 2000 dengan Statuta Roma, lihat penjelasan pasal demi pasal (Bagian II), Pasal 7 UU No. 26 171
Tahun 2000, dinyatakan "kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dalam ketentuan ini sesuai dengan Rome Statute of the International Criminal Court (Pasal 6 dan Pasal 7)". Namun dalam penjelasan untuk Pasal 9 huruf a dinyatakan "yang dimaksud dengan pembunuhan adalah sebagaimana tercantum dalam Pasal 340 Kitab Undang-undang Hukum Pidana". Kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) yang rumusannya terdapat dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000 dinyatakan dengan tegas bahwa: Kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf (b) adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Rumusan ketentuan di atas memiliki kelemahan mendasar yaitu, tidak jelasnya definisi kejahatan terhadap kemanusiaan dan tiga elemen penting yaitu elemen meluas (widespread), sistematik (systematic) dan diketahui (intention). Ketidakjelasan definisi ketiga elemen itu membuka bermacam interpretasi di pengadilan (sebagai perbandingan lihat pengertian dalam Statuta Roma di mana "intention" didefinisikan dengan tegas). Dalam UU No. 26 Tahun 2000 terdapat inkonsistensi, karena undang-undang ini mengacu pada Statuta Roma, namun di dalam penjelasan Pasal 9 dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pembunuhan adalah sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 340 KUHP. Akibatnya pembuktian dan pemidanaan terhadap pelaku kejahatan-kejahatan yang dimaksud dalam pasal yang sama, yaitu Pasal 9 UU No. 26 172
Tahun 2000, menjadi sulit. Persoalan yang masih tersisa dari Pengadilan HAM baik nasional maupun internasional termasuk 'hybrid mode' adalah adanya kesan bahwa pengadilan HAM merupakan 'victors justice over defacted' dan tidak semata-mata merupakan 'sovereign accountability'. Sekalipun ICC masih menghadapi kendala-kendala dalam efektivitasnya, namun harus diakui bahwa keberadaannya memiliki nilai hukum yang signifikan, sebab merefleksikan pandangan hukum (opinio jurist) yang berkembang di antara mayoritas negara-negara yang menghadiri Konferensi Roma pada tahun 1998 (termasuk Indonesia). Keberadaan ICC yang bersifat permanen dan menerapkan asas non-retroaktif merupakan jawaban terhadap kritik atas pembentukan pelbagai tribunal ad hoc, yang juga dituntut untuk menerapkan 'selective justice'. Asas komplementer dan ICC harus diterapkan secara akurat dan bijaksana serta menghilangkan kesan negatif terhadap keberadaan pengadilan ad hoc (Tribunal Ad Hoc) yang memiliki 'primacy' terhadap pengadilan pidana Indonesia. Langkah Amerika Serikat untuk tidak mau bekerja sama dengan ICC bahkan menuntut eksepsionalitas dan menekan negara-negara lain untuk mengadakan kerja sama bilateral guna melindungi tentaratentara Amerika Serikat sangat mengganggu efektivitas ICC di masa depan. Sekalipun dalam pengadilan HAM berlaku prinsip 'individual responsibility', namun pertanggungjawaban negara harus dinyatakan dalam bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan (kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi) selaku `parens patriae' dan melaksanakan proses rekonsiliasi secara 173
sistematis. Ratifikasi terhadap Statuta Roma 1998, harus disertai undangundang pemberlakuan yang bersifat komprehensif seperti yang terjadi di Australia dan Kanada. Menghadapi aksesi dan ratifikasi ICC, Indonesia harus secara sungguhsungguh mengadakan kajian terhadap ICC, serta mempersiapkan 'capacity building' dengan memperhitungkan segala konsekuensi dan aksesi dan ratifikasi tersebut. Pelaksanaan Pengadilan HAM di Indonesia atas dasar UU No. 26 Tahun 2000 yang mengatur harmonisasi hukum secara paraial terhadap ICC menimbulkan beberapa kendala praktik, yang harus diperbaiki melalui amendemen terhadap UU No. 26 Tahun 2000. Praktik menunjukkan sistem peradilan pidana di Indonesia, belum mampu memberikan keadilan yang substansial. Keterkaitan dengan kebijakan yang formal legalistik sering kali dijadikan alasan. Kleden (2000), dalam tulisan Peradilan Pidana sebagai Pendidikan Hukum menyatakan, bahwa peradilan sering kali memberikan toleransi terhadap kejahatan-kejahatan tertentu, dengan konsekuensi yuridis pelaku kejahatannya harus dibebaskan, termasuk terhadap kejahatan atau pelanggaran HAM berat ini. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat juga mengatur tentang jenis kejahatan berupa pembunuhan, perampasan kemerdekaan, penyiksaan atau penganiayaan, dan perkosaan. Jenis kejahatan yang diatur dalam KUHP tersebut adalah jenis kejahatan yang sifatnya biasa yang jika dibandingkan dengan pelanggaran HAM berat, harus 174
memenuhi beberapa unsur atau karakteristik tertentu yang sesuai dengan Statuta Roma untuk bisa diklasifikasikan sebagai pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat itu sendiri merupakan extraordinary crimes yang mempunyai perumusan dan sebab timbulnya kejahatan yang berbeda dengan kejahatan atau tindak pidana umum. Dengan perumusan yang berbeda ini tidak mungkin menyamakan perlakuan dalam menyelesaikan masalahnya, artinya KUHP tidak dapat untuk menjerat secara efektif pelaku pelanggaran HAM berat. Dan uraian yang telah dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa pada intinya proses pembentukan pengadilan HAM berat mengarah pada prinsip-prinsip hukum internasional, dan berlakunya prinsip universal pelanggaran HAM berat sebagai extraordinary crimes mengharuskan didayagunakannya pengadilan HAM yang bersifat khusus, yang mengandung pula hukum acara pidana yang bersifat khusus. Pengertian tentang perlunya peradilan yang secara khusus dengan aturan yang bersifat khusus pula, inilah yang menjadi landasan pemikiran untuk adanya pengadilan khusus yang dikenal dengan Pengadilan HAM. (Muladi, 2000 dalam fumal Demokrasi dan HAM.) Pengadilan HAM harus mengacu pada Statuta Roma setidaknya untuk dua hal yang prinsipiil, yaitu asas non-retroaktif (sejalan dengan Hukum Pidana Substansial yang tidak berlaku surut), dan asas universalisme yang menempatkan Crimes Against Humanity sebagai kejahatan yang menjadi musuh masyarakat internasional. Untuk itu prasyarat bagi penyempurnaan Peradilan HAM Indonesia di masa datang adalah meratifikasi ICC Statuta Roma amendernen UU No. 26 Tahun 2000 dalam 175
penyesuaian diri dengan Statuta Roma. 2. HUBUNGAN
PENGADILAN
HAM
INTERNASIONAL
DENGAN
PENGADILAN HAM INDONESIA Peristiwa pembersihan etnis di Bosnia dan Rwanda telah menempatkan harapan kepada International Criminal Court (ICC) sebagai pengembangan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur. Demikian pula; bagi Indonesia yang mengawali menggelar peradilan hak asasi manusia (HAM) untuk perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat di Timor Timur pada tanggal 14-3-2000 yang disusul dengan kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia berat di Tanjung Priok. Pada saat lahirnya Statuta Roma sikap Amerika Serikat yang saat itu masih belum bisa menerima bekerjanya Pengadilan Pidana International (International Criminal Court [ICC]). Alasan utama Amerika Serikat 'WA menyetujui" Statuta Roma adalah bahwa pengadilan akan dapat menerapkan yurisdiksinya atas peristiwa yang terjadi dalam wilayah sebuah negara yang telah menerima yurisdiksinya. Amerika Serikat mendesak agar pengadilan hanya dapat menerapkan yurisdiksinya jika negara di mana tersangka adalah warga negaranya dan negara tersebut telah meratifikasi Statuta Roma tersebut. Defes Scheffer dalam Marjono (2003), mencela basis teritorial bagi yurisdiksi pengadilan sebagai sebuah bentuk yurisdiksi yang dipaksakan atas negara-negara yang bukan "Negara Pihak". Menurutnya, bertentangan dengan prinsip paling mendasar dan hukum perjanjian yang diterapkan dalam hukum internasional, yang
176
prinsipnya menekankan bahwa perjanjian hanya mengikat pihak-pihak yang melakukan perjanjian itu. Karena desakan banyak negara peserta yang mendukung Statuta Roma, maka sikap Amerika Serikat menunjukkan kecenderungan berubah. Sekalipun Statuta Roma yang melahirkan Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court-ICC) belum dapat diaplikasikan, namun Indonesia sudah memprediksikan akan terwujudnya International Criminal Court (ICC) ini dalam penanganan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dan telah pula mengadopsi sebagian dari Pasal 6 dan Pasal 7 dan "Rome Statute of The International Criminal Court" yang menjadi Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Demikian, ditegaskan dalam penjelas - an Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000, bahwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat meliputi kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kemudian, Pasal 7 ini dijabarkan dan diperinci dalam Pasal 8 dan Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000. Relevansi International Criminal Court (ICC) adalah bahwa kurun waktu yang relatif tidak lama akan diterima untuk dilaksanakan di Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di berbagai negara termasuk Indonesia. Lembaga peradilan yang memeriksa dan mengadili pelanggaran Hak Asasi Manusia berat sudah seharusnya mengacu kepada Rome Statute of the International Criminal Court, karena Pengadilan Pidana Internasional ini disusun dan dirancang oleh banyak ahli dari berbagai negara yang menguasai kaidah-kaidah Hak Asasi Manusia (HAM), hukum internasional, dan hukum pidana internasional, serta berpengalaman dalam peradilan Hak Asasi Manusia. Pada tahun 2002 sudah terdapat 177
lebih dari 60 negara meratifikasi Statuta Roma, sehingga perjanjian tersebut dapat diberlakukan. Sudah barang tentu, perkembangan terakhir dan selanjutnya dari proses pemberlakuan perjanjian tersebut harus memperoleh perhatian pemerintah Indonesia. Karena mau tidak mau, pemerintah tidak dapat mengelak dari perkembangan monumental dan langkah konkret untuk menyeret para pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) ke meja hijau internasional, apabila Indonesia tidak mau gagal melaksanakan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM kita sendiri. Dengan demikian, hubungan relevansi International Criminal Court (ICC) Statuta Roma ini adalah bahwa kurun waktu yang relatif tidak lama akan diterima untuk dilaksanakan di Pengadilan HAM di berbagai negara, suatu kebangaan bahwa Indonesia telah memiliki Pengadilan HAM. Indonesia adalah salah satu negara, di antara sedikit negara, yang telah mempunyai peradilan HAM tersendiri dan bersifat khusus. Walaupun Indonesia belum meratifikasi Statuta Roma, namun tampak adanya tekad pemerintah untuk mewujudkan peradilan HAM ini sudah mendekati kenyataan, yaitu dengan dikeluarkannya Keppres Nomor 6/M Tahun 2002 tanggal 12 Januari 2002 tentang Penetapan Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc sebanyak 18 orang, 12 orang untuk peradilan tingkat pertama dan enam orang untuk peradilan tingkat banding. Para hakim ad hoc tingkat pertama sebanyak 11 orang telah dilantik pada tanggal 31 Januari 2002 dan pelantikan jaksa ad hoc sebanyak 24 orang oleh Jaksa Agung telah pula dilaksanakan pada hari Jumat 8 Februari 2002, kemudian disusul 178
dengan pelantikan hakim ad hoc Pengadilan HAM Tingkat Kasasi. Relevansi Statuta Roma mengenai Pengadilan Pidana International (International Criminal Court [ICC]) sebagai acuan bagi Pengadilan Hak Asasi Manusia di Indonesia tidak diragukan lagi. Oleh karenanya, perlu untuk memerhatikan bagianbagian dari International Criminal Court (Statuta Roma) yang sangat penting bagi Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia. (Kamasudidja, 2003.) Walaupun kinerja Pengadilan Ad Hoc HAM Indonesia berdasarkan UndangUndang No. 26 Tahun 2000, mengundang banyak kritikan, namun kesungguhan dari pilihan hakim dan jaksa serta keseriusan Komnas HAM telah menunjukkan kepada masyarakat international mengenai kemauan dan kemampuan Indonesia untuk mengadili pelanggar HAM berat di Indonesia. Persoalan sekarang dan untuk masa depan adalah bagaimana Indonesia menyesuaikan Pengadilan Ad Hoc HAM Indonesia terhadap ICC-Statuta Roma. 3. YURISDIKSI PENGADILAN HAM INDONESIA MENURUT UNDANGUNDANG NOMOR 26 TAHUN 2000 a. Yurisdiksi Dalam yurisdiksi ICC terbatas pada pelanggaran berat yang dilihat dari tujuan perlindungan HAM. Pelanggaran HAM berat yang dimaksud, yaitu: 1) kejahatan genosida; 2) kejahatan kemanusiaan; 3) kejahatan perang; dan 4) kejahatan agresi. Dibandingkan dengan UU No. 26 Tahun 2000 yang mengenal dua jenis kejahatan, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan dari Statuta
179
Roma 1998. Dalam undang-undang terse-but, Pengadilan HAM Ad Hoc Indonesia memasukkan Pasal 6 dan Pasal 7 ICC ke dalam Pasal 7, dijabarkan secara terperinci pada Pasal 8 dan 9 UU No. 26 Tahun 2000. Kedua jenis kejahatan tersebut dijelaskan sebagai berikut: 1. Genosida Di dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, kejahatan genosida didefinisikan sebagai setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara: (a) Membunuh anggota kelompok; (b) Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggotaanggota kelompok; (c) Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagian; (d) Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; dan (e) Memindahkan secara paksa anak-anak dan kelompok tertentu ke kelompok lain. Apabila ketentuan tersebut dibandingkan dengan Statuta Roma, maka ketentuan tersebut hampir sama, namun terdapat perbedaan yang cukup signifikan. Di dalam Pasal 6 Statuta Roma, disebutkan sengaja mengurangi kelebihan kondisi-kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkan dapat berakibat pada kemanusiaan 180
secara fisik secara keseluruhan atau sebagian. Pengerian ini lebih luas dari yang dirumuskan di dalam Pasal 8 huruf c UU Nomor 26 Tahun 2000. 2. Kejahatan kemanusiaan Di dalam Pasal 9 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, merumuskan kejahatan kemanusiaan sebagaimana dimaksud Pasal 7 huruf b adalah salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Ketentuan tersebut bila dihubungkan dengan Statuta Roma ada satu ketentuan yang sangat penting yang diatur dalam Statuta Roma yang tidak diambil oleh UU No. 26 Tahun 2000, yaitu Pasal 7 Ayat (1) huruf k, yang berbunyi "tindakantindakan tidak berperikemanusiaan lain dengan sifat yang sama secara sengaja menyebabkan penderitaan yang berat atau lukaluka yang serius terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik". Ketentuan ini penting oleh karena kita tidak dapat memprediksi semua kejahatan kemanusiaan di masa yang akan datang, sehingga apabila itu terjadi tanpa ada ketentuan seperti yang diatur di dalam Pasal 7 huruf k Statuta Roma, akan sulit untuk menindaknya. b. Perintah Atasan dan Ketentuan Hukum Kenyataan bahwa suatu kejahatan dalam yurisdiksi International Criminal Court (ICC) telah dilakukan seseorang sesuai dengan perintah seorang atasan dan pemerintahan suatu negara tertentu, baik militer maupun sipil, tidak membebaskan tanggung jawab pidana orang tersebut kecuali kalau: (1-) Orang tersebut berada
181
dalam kewajiban hukum untuk menuruti perintah dari pemerintah atau atasan yang bersangkutan; (2) Orang tersebut tidak tabu bahwa perintah itu melawan hukum; dan (3) Perintah itu tidak nyata-nyata melawan hukum. Mengenai Hukum Acara Pidana dalam Peradilan HAM Indonesia rumusan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 menetapkan bahwa dalam hal tidak ditentukan lain dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 ini, hukum acara atas pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dilakukan berdasarkan ketentuan hukum acara pidana (Pasal 10 KUHAP). Hukum Acara Pidana yang dimaksud dalam Pasal 10 UndangUndang No. 26 Tahun 2000 adalah KUHAP, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (UndangUndang No. 8 Tahun 1981), beserta perundang-undangan terkait, seperti yang mengenai polisi, jaksa, kekuasaan kehakiman. Hukum Acara Pidana yang dimaksud di sini adalah proses pemeriksaan perkara melalui sistem peradilan pidana yang meliputi pemeriksaan pendahuluan (penyelidikan, penyidikan) dan penuntutan serta sidang pengadilan. c. Fungsi Penegak Hukum dalam Pengadilan HAM Penyelidik dalam penyelidikan terhadap pelanggaran HAM berat adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam melaksanakan tugas penyelidikan dalam membentuk tim ad hoc yang terdiri atas anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan unsur masyarakat. Pasal 81 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 menentukan bahwa Tim Penyidik Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
182
HAM) disebut sebagai Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia (KPP HAM) yang dibentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) untuk tiap kasus yang perlu dilakukan penyelidikan. Kewenangan penyelidikan hanya dilakukan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas
HAM)
dimaksudkan
untuk
menjaga
objektivitas
hasil
penyelidikan karena lembaga Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) adalah lembaga yang bersifat independen. Hal yang dimaksud dengan "unsur masyarakat" adalah tokoh dan anggota masyarakat yang profesional, berdedikasi, berintegritas tinggi dan menghayati di bidang Hak Asasi Manusia (HAM). Apabila diterapkan asas retroaktif, maka dibentuk pengadilan HAM Ad Hoc (usul DPR dan Keppres seperti dalam pengadilan kasus Timtim, Tanjung Priok, dan Trisakti). d. Wewenang Penyidik dan Penyelidikan Penyelidikan untuk menemukan bukti pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat, yaitu yang merupakan yurisdiksi pengadilan yang dirumuskan dalam Pasal 7 UU No. 26 Tahun 2000, yang meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan. Di luar kedua jenis kejahatan ini bukan merupakan yurisdiksi Pengadilan HAM. Dalam melaksanakan penyelidikan, penyelidik memiliki kewenangan yang meliputi: 1) Melakukan penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat
183
pelanggaran HAM yang berat; 2) Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang atau kelompok orang tentang terjadinya pelanggaran HAM berat serta mencari keterangan dan barang bukti. Yang dimaksud dengan "menerima" adalah menerima, mendaftar, dan mencatat laporan tentang telah terjadinya pelanggaran HAM yang berat dan dapat dilengkapi dengan barang bukti; 3) Memanggil pihak pengadu, korban, atau pihak yang diadukan untuk diminta dan didengar keterangannya; 4) Memanggil saksi untuk diminta dan didengar keterangannya; 5) Meninjau dan mengumpulkan keterangan di tempat kejadian yang di tempat lainnya yang dianggap perlu; 6) Memanggil pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis. Dalam hal penyelidik mulai melakukan penyelidikan suatu peristiwa yang diduga merupakan pelanggaran. Pelaksanaan "penyelidikan" dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai rangkaian tindakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dalam lingkup projustisia. Dalam hal Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) selaku penyelidik berpendapat bahwa terdapat bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran HAM yang berat, maka kesimpulan hasil penyelidikan disampaikan kepada penyidik. Selam-batlambatnya dalam waktu tujuh hari hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) diserahkan kepada Jaksa Agung selaku penyidik, untuk diteruskan dengan penyidikan. 184
Salah satu ciri khas "Peradilan Hak Asasi Manusia (HAM)" adalah adanya penyidik di luar penegak hukum, yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Polisi sebagai penyelidik dan penyidik menurut ketentuan KUHAP tidak berperan dalam Peradilan Hak Asasi Manusia (HAM). Acara pidana yang tidak melibatkan polisi dalam peradilan merupakan acara yang berbeda dengan hukum acara pidana yang ada (KUHAP) yang menentukan bahwa polisi adalah penyidik tunggal. Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan "bukti permulaan yang cukup" adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana bahwa seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku pelanggaran HAM yang berat. Dalam penyelidikan tetap dihormati asas praduga tak bersalah (presumption of innocence), sehingga hasil penyelidikan bersifat tertutup sepanjang menyangkut nama-nama yang diduga melanggar HAM yang berat sesuai ketentuan Pasal 92 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM). Hal ini berarti, kerahasiaan ini berlaku juga untuk merahasiakan identitas pengadu dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta pihak yang terkait dengan materi aduan. 1) Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim Ad Hoc Penyidik dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat adalah Jaksa Agung. Jaksa Agung selaku penyidik perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat dapat mengangkat penyidik ad hoc, yang terdiri atas
185
unsur pemerintah dan unsur masyarakat. Di dalam ketentuan ini yang dimaksud "unsur masyarakat" adalah terdiri dari organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan yang lain seperti perguruan tinggi. Kata "dapat" dalam ketentuan ini dimaksudkan agar Jaksa Agung dalam mengangkat penyidik ad hoc dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan bersifat diskrisioner. 2) Kewajiban dan Syarat-syarat Penyidik Ad Hoc Sebelum melaksanakan tugas, penyidik ad hoc wajib mengucapkan sumpah dan janji menurut agamanya masing-masing. Untuk dapat diangkat menjadi penyidik ad hoc harus memenuhi syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 UndangUndang Pengadilan HAM: (a) Warga negara Republik Indonesia; (b) Berumur sekurang-kurangnya 40 tahun dan paling tinggi 65 tahun; (c) Berpendidikan sarjana hukum atau sarjana lain yang mempunyai keahlian di bidang hukum; (d) Sehat jasmani dan rohani; (e) Berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; (f) Setia kepada Pancasila dan UUD 1945; (g) Memiliki pengetahuan dan kepedulian di bidang hak asasi manusia. Batas -batas waktu dalam penyidikan dan penghentian penyidikan, yaitu penyidikan wajib diselesaikan paling lambat 90 hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. Jangka waktu 90 hari, 186
dapat diperpanjang paling lama 90 hari oleh Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) sesuai dengan daerah hukumnya. 3) Tugas Penuntut Umum Ad Hoc Penuntutan dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat dilakukan oleh Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum dalam perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. Dalam pelaksanaan tugas sebagai penuntut umum dalam berbicara pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat Jaksa Agung dapat mengangkat Penuntut Umum Ad Hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. 4) Sumpah Penyidik dan Jaksa Penuntut Umum Ad Hoc Sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat (4) dan Pasal 23 Ayat (3) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, berbunyi sebagai berikut: Pada waktu pengambilan sumpah janji diucapkan kata-kata tertentu sesuai dengan agama masing-masing. 5) Hakim Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Perkara pemeriksaan dalam persidangan perkara pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat, diperiksa, dan diputus oleh Pengadilan HAM (vide Pasal 4). Hakim Pengadilan HAM terdiri atas hakim pada Pengadilan HAM merupakan hakim karier dan hakim ad hoc (nonkarier). Pemeriksaan perkara terhadap pelanggaran HAM be-rat dilakukan oleh Majelis Hakim HAM yang berjumlah lima
187
orang, terdiri atas dua orang hakim karier dan tiga orang hakim ad hoc. e. Penangkapan dan Penahanan Untuk kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, penangkapan
dan
penahanan
dilakukan
sesuai
KUHAP
beserta
petunjuk
pelaksanaannya. 1) Penangkapan Jaksa Agung sebagai penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan terhadap seseorang yang diduga keras melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) yang ber - dasarkan bukti permulaan yang cukup. 2) Penahanan Jaksa Agung sebagai penyidik dan penuntut umum berwenang melakukan penahanan atau penahanan lanjutan untuk kepentingan penyidikan dan penuntutan. Penahanan untuk kepentingan penyidikan penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 hari. (a) Penahanan untuk kepentingan penuntutan Penahanan untuk kepentingan penuntutan dapat dilakukan paling lama 30 hari. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 20 hari oleh Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) sesuai dengan daerah hukumnya.
188
(b) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan Hak Asas Manusia (HAM) dapat dilakukan paling lama 90 hari. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) sesuai dengan daerah hukumnya. Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan Banding Pengadilan Tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 hari. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya. Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan Kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 hari. Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu pa-ling lama 30 hari oleh Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia. Deskripsi di atas menunjukkan bahwa Indonesia telah berusaha mewujudkan peradilan HAM terhadap para pelanggar HAM berat di Timor Timur dan Tanjung Priok, serta terakhir kasus Abepura yang diadili di Pengadilan Negeri Ujung Pandang. Memang harus diakui, ada beberapa kelemahan prinsipiil bila mengacu ICC-Statuta Roma 1998, yaitu yurisdiksi masih kurang dua jenis kejahatan (kejahatan penang dan kejahatan agresi). Di samping itu juga mengenai masih dianutnya prinsip retroaktif. Namun, betapa pun Indonesia yang berpegang pada filsafat Pancasila pasti akan berusaha menyesuaikan diri dengan ICC-Statuta Roma. 189
Bagian Keempat KEJAHATAN HAM BERAT DI INDONESIA
Melalui studi kasus-kasus pelanggaran HAM berat dapat dianalisis bahwa pertanyaan dalam perumusan masalah terjawab, yakni 1) pelaksanaan yurisdiksi pengadilan pidana Indonesia terhadap pelanggaran HAM berat belum sesuai dengan Statuta Roma tahun 1998, baik dari substansi hukum maupun acara pidana; 2) seharusnya yurisdiksi pengadilan pidana memenuhi standar hukum internasional, dengan mengacu dan menyesuaikan diri dengan ICC Statuta Roma 1998, mengingat draf konsep ICC Statuta Roma disusun oleh para pakar hukum pidana internasional dan praktisi yang berpengalaman dalam peradilan pidana terhadap pelanggar HAM berat. Peradilan pidana HAM Indonesia di masa yang akan datang harus menyesuaikan diri dengan ICC Statuta Roma 1998. Apabila ini berhasil akan memberi manfaat dalam penegakan pengadilan pidana pada umumnya, khususnya Pengadilan HAM Indonesia. Sebagai bukti per - nyataan di atas, di bawah ini paparan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. A. PENEGAKAN PELANGGARAN HAM BERAT Di dalam praktik proses penegakan dan perlindungan HAM memprihatinkan terutama karena beberapa pelanggaran HAM berat yang terjadi sampai saat ini belum
190
terselesaikan dengan baik, misalnya penyelesaian kasus Tanjung Priok, Daerah Operasi Militer (DOM) Aceh, Irian, dan kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur sesudah jajak pendapat. Hingga saat ini, masih terdapat banyak kritik terhadap putusan Pengadilan Ad Hoc HAM yang telah terselesaikan. Terkait dengan pembumihangusan di Timtim telah mendorong dunia internasional agar dibentuk Peradilan International (International Tribunal) bagi para pelakunya. Pembentukan ini juga didasarkan atas ketidakpercayaan dunia internasional pada sistem peradilan Indonesia, karena melihat adanya keterkaitan pelaku kejahatan yang merupakan alat negara. Pelanggaran HAM di Timor Timur mempunyai nuansa khusus, karena adanya penyalahgunaan kekuasaan, dalam arti pelaku berbuat dalam konteks pemerintah dan difasilitasi oleh kekuasaan pemerintah sehingga akan sulit diadakan pengadilan bagi pelaku kejahatan secara fair dan tidak memihak (Arinanto, 2005). Untuk itu salah satu jalan keluarnya harus melalui pembaruan Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Ad Hoc HAM. Tuntutan masyarakat pada umumnya dan mahasiswa pada khususnya, pada pertengahan tahun 1997 yang begitu gencar dan bertubitubi serta terus-menerus, mengakibatkan jatuhnya Soeharto sebagai Presiden RI pada tanggal 19 Mei 1998 yang digantikan B. J. Habibie. Era kepemimpinan Presiden B. J. Habibie hanya berumur 13 bulan setelah pertanggungjawabannya ditolak oleh MPR. Ia digantikan oleh Abdurrahman Wahid yang kemudian di-impeach oleh MPR karena dianggap sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Megawati Soekarno Putri yang waktu itu sebagai Wakil Presiden 191
diangkat sebagai Presiden RI, menggantikan Abdurrahman Wahid. Gambaran tersebut di atas, disebut sebagai bentuk reformasi. Selama kurun waktu empat tahun berjalannya reformasi, Nurcholis Madjid menilai reformasi telah gagal, karena masih berjalan seperti pada masa Orde Baru (Arinanto, 2005). Namun demikian, terdapat perubahan yang fundamental sejak 1998, menurut penelitian Asian Development Bank (ADB), perubahan yang paling fundamental, bukanlah perubahan dalam bidang politik atau pemerintahan, tetapi perubahan dalam masyarakat secara keseluruhan. ADB menyatakan bahwa: The most significant change in Indonesian since 1998 has neither been the changes in the political arena, nor in the government. It has been in society at large. The growth of civil society organizations (CSOs) is one of the main indicators of the social change taking place. CSOs, more than government programs, have helped this vast nation cope with the impacts of the financial crisis. CSOs that were set up to promote certain common interests have driven of political agenda more than parties, most of which have yet to promote policy platforms. Groups of youths are more dependable in guiding the traffic at local strategic intersections than the traffic police. Members of the press are more effective in guiding the media than the regulators. Watch-dog association are frequently more diligent at exposing crime than the police change than the government's own planning units. This is not only on the national level. Similar conclusions can be made from watching the role of CSOs in regions across the country. Almost every region 192
has its own press, its own council watch and corruption watch, and array of associations to support interest group, from becak (pedicab) drives to streethawkers and house-holders effected by government decision making. The reform era is probably more accurately described as the civil organization era. Lebih lanjut, hasil penelitian ADB menyatakan sebagai berikut: Soeharto was always suspicious of social groups, except those fro the Soekarno era that were placed within the umbrella organizations called the Functional Groups (Golongan Karya, Golkar). Golkar was formed with military support in the late 1950s and early 1960s as a counter-measure against communist organizations. It consisted of the government employee association (KORPRI), the eployee's wives association, cooperatives, business chambers, the government-sanctioned trade union, and similar groups. The election law passed for the 1971 elections allowed Golkar to complete in the 1972 elections without becoming a party, and since then it dominated the political arena. Soeharto regulated that all associations should swear allegiance to the Pancasila, the jive principles that are foundation of the constitution, and required that their executives should undergo special state training in the Pancasila. Eventually, Golkar mistrust of society led to society's mistrust of his regime. The landslide victory of Golkar in 1997 was a sham; the Golkar machinery built the illusion of support for Soeharto. But it could no longer represent social organizations, and in response groups throughout society 193
began to organize themselves to achieve what the government could not provide. When the end finally came, social organizations began it school up across the country. (Asian Development Bank, 2002) There were various forms of association (Barnett F Baron, 1991) that found niches in the Soeharto era. Some of the most prominent ones were "think tanks" set up to advise government. These think tanks were generally close to government or had patrons who could protect them. Other associations were formed by a number of prominent lawyers to provide legal Aid Institute (Lembaga Bantuan Hukum, LBH) clashed with the authority of Soeharto, but the reputation of the lawyers and wide public support gave them unique protection. Perubahan-perubahan tersebut, mengakibatkan masa transisi politik yang menimbulkan berbagai tuntutan dari berbagai pihak, antara lain untuk menyelesaikan kasus -kasus pelanggaran HAM. Berbagai kasus yang dituntut oleh masyarakat untuk diselesaikan adalah: 1. Kasus Trisakti (12 Mei 1998); 2. Kasus Semanggi I (13 November 1998); 3. Kasus Semanggi II (22-24 September 1999); 4. Kasus Tanjung Priok (12 September 1984); 5. Kasus pelanggaran HAM berat di Aceh semasa penerapan kebijakan Daerah Operasi Militer (DOM) 1989-1999; 6. Kasus pelanggaran HAM berat di Timor Timur dalam wilayah hukum Liquisa 194
Dilli dan Suai. Seminar yang diadakan di Bandung pada tahun 2002 yang ber - tema "Transitional Justice di Indonesia" yang diselenggarakan lembaga studi dan advokasi masyarakat (ELSAM), muncul pemikiran bahwa, jika bangsa Indonesia ingin mewujudkan cita-cita demokrasi di masa depan, maka pemerintah wajib menyelesaikan pelanggaran HAM yang terjadi di masa lalu. Oleh karena itu, yang pertama harus dilakukan adalah pemberian keadilan bagi para korban pelanggaran HAM. 1. KASUS PELANGGARAN HAM YANG BELUM DIPROSES MELALUI PENGADILAN a. Kasus Pelanggaran HAM Berat di Aceh Sebelum terjadinya Perjanjian Perdamaian Helsinki tahun 2005, tercatat sebagai pelanggaran HAM baik yang tergolong pelanggaran HAM berat (extraordinary crime) maupun sekadar tindak pidana biasa. Menurut catatan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Banda Aceh, dalam periode 2001 terjadi aksi kekerasan tidak kurang dari 2.325 kasus, yang meliputi 1.000 kasus pembunuhan, 683 kasus penyiksaan, 107 kasus penghilangan orang secara paksa, dan 535 kasus penangkapan dan penahanan secara sewenang-wenang (http/www.kompas. corn, 31/12/2001). Menurut komisi orang hilang dan korban tindak kekerasan (kontras), sepanjang tahun 2001 hingga bulan September, terjadi tindak kekerasan yang dilakukan oleh TNI dan Polri sebanyak 353 peristiwa, GAM 62 peristiwa dan 357
195
peristiwa tidak teridentifikasi (unknown). Untuk menyelesaikan masalah ini pemerintah telah melakukan beberapa langkah: 1. Di masa Presiden B. J. Habibie, dibentuk tim 12 yang diketuai oleh Usman Hasan sebagai Tim Penasihat Presiden untuk Aceh. Tim ini dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid tanggal 18 Februari 2000. 2. Di masa Presiden B. J. Habibie juga dibentuk Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh, yang beranggotakan 27 orang. 3. Pada masa Presiden Abdurrahman Wahid, dikeluarkan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2001 tentang Langkah-langkah Komprehensif dalam rangka penyelesaian masalah Aceh. 4. Pada masa Presiden Megawati, Inpres No. 4 Tahun 2001 tersebut disempurnakan dengan Inpres No. 7 Tahun 2001 dan disempurnakan lagi dengan Inpres No. 1 Tahun 2002. Langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah tersebut, tidak menyelesaikan masalah sehingga mendorong munculnya suatu usulan untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc untuk pertama kasus penculikan, penyiksaan, dan pembantaian di rumah Geudong Pidie, kedua kasus penghilangan paksa dan pembunuhan di Idie Cut dan Arakundeo Aceh Timur pada tanggal 2 Mei 1999, serta ketiga kasus penembakan di simpang KAA, Cot Meurong Kreung Geukeua Aceh Utara, pada tanggal 3 Mei 1999. Menteri Kehakiman dan HAM melalui surat No. M.UM.01.06.155 tanggal 12 Oktober 2002, telah mengusulkan agar kasus-kasus tersebut dibentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Namun sampai saat ini DPR belum memberikan persetujuan. Inilah 196
merupakan salah satu kelemahan Sistem Peradilan HAM Indonesia, yaitu prosesnya memerlukan suatu keputusan politik. Memang ada kasus kekerasan yang terjadi di Aceh yang pernah diadili, namun tidak merupakan pengadilan HAM, tetapi dilakukan oleh Mahkamah Militer 1-01 Banda Aceh. Kasus tersebut adalah kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh oknum anggota TNI. Di dalam pertimbangan hakim disebutkan, adanya faktor yang memberatkan adalah merugikan citra TNI dan melanggar sumpah prajurit. Kenyataan yang dihadapi korban sama sekali tidak menjadi pertimbangan. Dengan pertimbangan seperti itu, pemeriksaan di wilayah konflik tidak dilihat sebagai pelanggaran serius terhadap kemanusiaan. Tanggung jawab komando sama sekali tidak ada. Copelon (Kompas, 29/5/2006), salah seorang hakim pada International Criminal Court (ICC) di Den Haag, mengungkapkan bahwa pelaku dan penanggung jawab komando tindak kejahatan terhadap kemanusiaan, menyangkut kekerasan seksual dalam konflik internal dan internasional, tidak akan bisa lagi melenggang. Selama 15 tahun terakhir, terjadi perkembangan yang revolusioner dan multifase dalam hukum internasional terkait dengan persoalan itu. Yurisprudensi dari pengadilan internasional kejahatan perang untuk Rwanda (ICTR) dan Yugoslavia (ICTY) telah menguak terjadinya kekerasan seksual dalam perang, serta memperjelas keterkaitan antara pemeriksaan, penyiksaan, dan genosida. Pengadilan Akayesu dalam ICTR telah membuka jalan untuk mengenali pemeriksaan sistematis terhadap perempuan dalam perang sebagai genosida. Pengadilan itu juga memperlihatkan 197
proses pengadilan untuk tanggung jawab komando. Perubahan pendekatan itu merupakan revolusi dalam sejarah kemanusiaan. b. Kasus Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II Kasus-kasus ini terjadi di era reformasi yang belum terselesaikan dengan tuntas. Ketiga kasus tersebut menyebabkan terbunuhnya beberapa orang mahasiswa karena bentrokan dengan aparat keamanan. Peristiwa tersebut terjadi dalam konteks yang berbeda. Dalam kasus Trisakti tanggal 12 Mei 1998, DPR didesak untuk memanggil sejumlah petinggi militer yang dianggap mempunyai kaftan dengan penembakan empat orang mahasiswa Trisakti. Menurut Ketua Tim Trisakti, Adi Andojo, para pelaku sebenarnya sudah jelas diketahui berdasarkan hasil uji balistik, yang mengungkap bahwa tembakan tersebut berasal dari senjata SS 1 dan Styler dalam jarak tembak sekitar 45 meter. Dengan terungkapnya hal tersebut dapat diketahui pasukan mans yang melakukan penembakan (Kompas, 20/4/2000). Kronologis terjadinya peristiwa tersebut dijelaskan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Metropolitan Jakarta Raya dan sekitarnya (Kaligis, 2005) dikemukakan sebagai berikut:
Kejadiannya adalah tanggal 12 Mei 1998.
Pukul 09.30 WIB, berlangsung unjuk rasa dalam Kampus Trisakti yang dihadiri 3.000 mahasiswa.
Pukul 12.30 WIB, setelah selesai melakukan unjuk rasa dalam kampus, berusaha untuk mengadakan long march ke Gedung DPR/ MPR bergabung dengan massa
198
yang berada di luar, sehingga berjumlah 5.000 orang, namun dihadang oleh pasukan keamanan.
Pukul 13.00 WIB, sebagian mahasiswa yang tidak dapat dibendung berhasil melewati petugas keamanan yang telah disiagakan, massa yang bergabung dengan mahasiswa berusaha untuk bergerak maju. Mahasiswa masih berusaha melewati pasukan PHH Resimen I Brimob melalui sebelah kiri dan kanan.
Pukul 13.15 WIB, pasukan PHH Brimob Polda Metro Jaya yang dipimpin Lettu Pol. Wandi tiba di TKP langsung diperintahkan Kapolres Jakarta Barat untuk bergabung membentuk formasi saf menghadang massa yang lobos di belakang Pasukan PHH Resimen I Brimob dengan jarak sekitar 10 meter.
Pukul 13.30 WIB, pasukan yang dipimpin Lettu Pol. Agusri bergerak mundur mendekat untuk bergabung dengan Pasukan Lettu Pol. Wandi, guna mendorong mahasiswa yang berada di celah-celah antara kedua pasukan sehingga dapat dihalau digeser masuk kampus kembali.
Pukul 14.00 WIB, diadakan negosiasi antara mahasiswa dengan Dandim dan Wali Kota Jakarta Barat dengan tuntutan mahasiswa long march menuju Gedung DPR/MPR, kemudian menuntut menuju Cendana.
Pukul 16.00 WIB, Adi Andojo, Dekan Fakultas Hukum Trisakti, langsung mengadakan pembicaraan dengan Dandim dan Kapolres Jakarta Barat, dengan maksud agar mahasiswa dapat bergerak maju 20 meter ke depan. Datang pasukan sebanyak 1 SSK di bawah pimpinan Lettu Pol. Riyadi.
199
Pukul
16.30
WIB,
Adi
Andojo
mengajak
mahasiswa
kembali
ke
kampus karena hari sudah mulai malam dan lalu lintas macet.
Pukul 16.30 WIB, terjadi negosiasi antara Dandim dan Kapolres dengan Purek III dan mahasiswa, intinya masing-masing pihak mundur. Pukul 16.45, pemasangan police line antara kelompok mahasiswa dengan pasukan.
Pukul 17.00 WIB, mahasiswa mengejar seseorang yang dicurigai sebagai intel, kemudian dipukul sehingga is minta perlindungan kepada polisi, dengan menjelaskan bahwa dirinya adalah Alumni Mahasiswa Trisakti yang bernama Maks'ud. Ketika Sdr. Maks'ud berlari ke arah satuan PHH untuk berlindung, mahasiswa melemparinya dengan batu, kayu, dan botol sehingga pasukan bersiap kembali dalam formasi bersaf dan menghadangnya di bawah pimpinan Danki.
Pukul 17.30 WIB, secara tiba-tiba gelombang mahasiswa maju tak terkendali dan menyerang petugas dengan melempar bambu runcing, botol-botol, batu serta merusak police line. Terjadi bentrokan fisik antara gelombang mahasiswa dengan satuan PHH dengan lapisan depan, sehingga satuan PHH bagian depan terdorong dan berakibat anggota-anggota satuan PHH baik lapisan depan maupun lapisan belakang menjadi tercera-berai lepas dari lapisan ikatan satuan PHH. Komandan Satuan PHH Lettu Pol. Agus Tri melihat gelagat situasi dan kondisi yang tidak menguntungkan bagi tugas yang diembannya, kemudian melepaskan tembakan peringatan ke atas dan secara serentak letusan senapan tersebut diikuti dengan tembakan-tembakan oleh anggota satuan PHH yang memegang senapan secara
200
tercerai-berai dan bertindak sendiri-sendiri dalam upaya mengembalikan gelombang mahasiswa masuk kampus. Dengan adanya letusan-letusan senapan dari berbagai tempat yang dilakukan oleh anggota-anggota satuan PHH, maka gelombang mahasiswa menjadi mundur dan terpecah kemudian lari menuju Kampus Trisakti, sebagian lagi ada yang menuju Kampus Tarumanegara. Situasi mahasiswa Trisakti seperti itu, kemudian dikejar oleh anggota-anggota satuan PHH dan Iain-lain sampai di depan Kampus Trisakti. Sebagian anggota satuan PHH dan lain-lain ada yang menuju jalan layang dan melepaskan tembakan.
Pukul 20.30 WIB, dilaporkan ada 4 korban sesuai hasil identifikasi serta pemeriksaan sementara diketahui: a. Elang Mulia, Fakultas Arsitektur, luka bagian dada; b. Hendrawan Lesmana, Fakultas Ekonomi, luka di bagian dada; c. Hafidi Alimuddin, Fakultas Teknik Sipil, bagian kepala; d. Heru Heriyanto, Fakultas Industri. Kesimpulan sementara: 1. Peluru yang ditembakkan oleh pasukan pengaman Polri adalah peluru karet; 2. Akibat dari tembakan peluru karet tersebut tidak mematikan sasaran; 3. Empat korban meninggal dunia akibat terjangan peluru tajam yang diarahkan pada titik perkenaan yang mematikan dengan menggunakan senjata khusus oleh penembak yang terlatih walaupun pada saa kejadian cukup gelap dan terhalang pohon dan kendaraan;
201
4. Dua orang meninggal ditangga Gedung Dr. Syarief Thayeb dan 2 korban lagi meninggal dunia di halaman Gedung KIH Trisakti. Untuk 2 korban yang meninggal dunia di halaman Gedung KIH menunjukkan bahwa titik perkenan tembakan tidak mungkin dilakukan oleh satuan PHH Polri yang berada di pagar dan jalan layang, karena terhalang oleh gedung Dr. Syarief Thayeb dan gedung lainnya. Hal ini berarti di samping satuan-satuan PHH Polri telah ada satuansatuan lain yang berada di dalam lingkungan Kampus Trisakti dan melakukan tembakan dengan menggunakan peluru tajam terhadap mahasiswa Trisakti pada saat para mahasiswa bubar oleh satuan PHH dan masuk Kampus Trisakti. Menteri Pertahanan/Panglima ABRI pada waktu itu, Jenderal Wiranto, menyatakan bahwa ada 14 perwira, bintara, dan tamtama ABRI diduga terlibat dalam kasus penembakan mahasiswa Trisakti. Dalam buku Misteri Tragedi Trisakti, yang disusun Kaligis (2005), dua perwira polisi yang diduga terlibat dalam Peristiwa Trisakti tersebut (Lettu Pol. Agus Tri Harianto dan Letda Pol. Pariyo) yang semula dituduh pelaku pembunuhan, namun dakwaan tersebut diubah dan dituduh hanya melakukan pelanggaran disiplin bukan pembunuhan. Kasus Semanggi I (13 November 1998), terjadi pada saat mahasiswa berunjuk rasa menentang pelaksanaan Sidang Istimewa MPR bentrokan dengan aparat keamanan yang mengakibatkan 16 orang tewas dan 456 orang luka-luka. Kasus Semanggi II yang terjadi 22-24 September 1999, sewaktu 'para mahasiswa
berunjuk
rasa
menentang
Rancangan
UndangUndang
tentang 202
Penanggulangan Keadaan Bahaya, yang mengakibatkan tewasnya beberapa orang termasuk dari kalangan mahasiswa sejumlah 10 orang dan 304 orang luka-luka (Arinanto, 2005). Peristiwa Semanggi II tersebut menyebabkan Presiden B. J. Habibie batal mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penanggulangan Keadaan Bahaya, walaupun rancangan tersebut telah disetujui oleh Pemerintah dan DPR. Atas desakan LSM, DPR kemudian membentuk Panitia Khusus (Pansus) dengan SK DPR-RI No. 29/DPR-RI/III/2000 tanggal 15 Januari 2000, yang mulai berlaku 26 Oktober 2000. Berdasarkan berbagai kegiatan dan proses pembahasan Pansus DPR tersebut, terdapat kelompok pandangan: 1. Kelompok yang merekomendasikan kasus tersebut dibawa ke Pengadilan Umum/Militer. 2. Kelompok yang merekomendasikan kasus tersebut kepada presiden untuk melanjutkan keputusan presiden agar dibawa ke Pengadilan HAM Ad Hoc. Dari kedua rekomendasi di atas menunjukkan bahwa penegakan HAM di Indonesia belum merupakan suatu tuntutan dan komitmen bersama bagi pemerintah. Hal ini dibuktikan masih adanya campur tangan kepentingan politik yang dominan, sehingga proses penegakan HAM berat belum sepenuhnya dapat ditegakkan. Selain itu, juga menjadi hambatan adalah tidak jelasnya mekanisme dan kompetensi pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat di Indonesia.
203
2. KASUS
PELANGGARAN
HAM
YANG
DIPROSES
MELALUI
PENGADILAN a. Kasus Timor Timur Kasus-kasus pelanggaran HAM yang telah diproses melalui pengadilan HAM adalah kasus Tanjung Priok, Kasus Timtim, dan kasus Abepura. Dari ketiga kasus tersebut, hanya kasus Timtim yang akan diutamakan, karena kasus inilah yang mendapat perhatian serta sorotan dari dunia internasional. Timor Timur sejak menjadi bagian dari negara Republik Indonesia tidak pernah tanpa gejolak. Dengan semangat reformasi pemerintahan Presiden B. J. Habibie mulai mengambil langkah untuk menyelesaikan persoalan Timtim secara tuntas. Pemerintah waktu itu mengeluarkan dua opsi penyelesaian. Opsi pertama adalah pemberian otonomi khusus kepada rakyat Timtim. Apabila opsi ini diterima, maka Timtim merupakan bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Opsi kedua Timtim menolak otonomi khusus, yang artinya Timtim tidak lagi merupakan bagian dari NKRI. Di dalam perkembangan selanjutnya tawaran penyelesaian melalui dua opsi tersebut dituangkan melalui suatu perjanjian antara Pemerintah RI dan Pemerintah Portugal di bawah naungan Sekretaris Jenderal PBB pada tanggal 5 Mei 1999 di New York. Di dalam perjanjian tersebut disepakati bahwa Pemerintah RI bertanggung jawab terhadap keamanan dan perdamaian di Timtim guna memastikan terselenggaranya jajak pendapat yang fair, aman tanpa intimidasi, kekerasan, dan bebas dari campur tangan pihak lain. Perwujudan dari perjanjian 5 Mei tersebut, maka pada tanggal 30 Agustus 1999 rakyat Timtim melaksanakan jajak pendapat. 204
Hasil dari jajak pendapat terse-but, adalah 334.580 orang pemilih atau 78,5% pemilih menolak otonomi khusus dan hanya 94.388 atau 21% suara yang memilih opsi otonomi khusus dan 7.985 suara tidak sah. Artinya, masyarakat penduduk Timtim memilih untuk lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Pengumuman hasil akhir jajak pendapat tersebut pada tanggal 4 September 1999, berkembang tindak kekerasan yang luas, pembumihangusan, pembunuhan, penjarahan, dan pengungsian secara besarbesaran (Ibrahim, 2000). Akibatnya, ribuan penduduk sipil terbunuh dan luka-luka. Di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, muncul dukungan kuat untuk menyelesaikan kasus Timtim tersebut dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 Tahun 1999. Perpu ini kemudian tidak disetujui oleh DPR. Pemerintah kemudian memajukan Rancangan Undang-Undang untuk mengganti Perpu tersebut. Rancangan tersebut disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan. Hak Asasi Manusia. Sebagai tindak lanjut dari UU No. 26 Tahun 2000, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) No. 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pada tanggal 23 April 2001. Keppres ini menentukan bahwa pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum berlakunya undang-undang ini diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc. Keppres tersebut belum sempat berlaku, namun kemudian disempurnakan oleh Keppres No. 96 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Keputusan Presiden No. 53 Tahun 2001 tentang Pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri 205
Jakarta Pusat, dengan memperjelas tempat dan waktu tindak pidana (locus dan ternpus delicti) pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur dan Tanjung Priok. Di dalam Pasal 2 dinyatakan bahwa Pengadilan HAM Ad Hoc berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang terjadi di Timor Timur dalam wilayah hukum di Liquisa, Dili, Suai, pada bulan April 1999 dan bulan September 1999, dan yang terjadi di Tanjung Priok pada bulan September 1984. Berdasarkan Keppres tersebut, mulailah proses peradilan kasus Timor Timur dengan terlebih dahulu mengangkat para hakim ad hoc dan jaksa ad hoc, dan persiapan berbagai sarana dan prasarana yang diperlukan. Sejak awal proses persidangan kasus-kasus ini dipenuhi dengan perdebatan. Ada yang pro dan ada yang kontra. Yang kontra berpendapat bahwa pemerintah akan cenderung untuk mencampuri proses persidangan ini. Fakta lainnya adalah dalam awal-awal persidangan timbul kesan adanya campur tangan pihak TNI. Kesan ini antara lain muncul dari kehadiran Panglima TNI, Jenderal Endriartono Sutarto, dalam persidangan awal Pengadilan HAM Ad Hoc untuk kasus Timor Timur (Arinanto, 2005). Dari sejumlah kasus yang terjadi di Timor Timur yang telah disidangkan dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc, terlihat dari Tabel 4.1. Tabel tersebut menggambarkan tentang perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum serta putusan pengadilan mulai dari tingkat pertama sampai peninjauan kembali. Dalam putusan-putusan hakim diuraikan secara singkat pertimbangan yang mendasari putusan tersebut.
206
207
208
209
1) Kritik Terhadap Penerapan Hukum Putusan Kasus Timor Timur Dari keseluruhan putusan yang berhubungan dengan kasus Timtim tersebut, kecuali putusan terhadap Eurico Gueteres, terdakwa-terdakwa dibebaskan dari dakwaan, yang umumnya didasarkan pada pertimbangan sebagai berikut: bahwa para komandan atau atasan baik militer maupun sipil tidak dapat dipersalahkan atas perbuatan-perbuatan bawahan yang melakukan pelanggaran HAM berat, karena tidak dipenuhinya tiga unsur pertanggungjawaban komando: (a) Otoritas de jure dan/atau de facto seorang atasan dan hubungan atasan bawahan yang berada dalam pengendalian efektif. (b) Atasan mengetahui bahwa bawahannya akan atau sedang melakukan pelanggaran HAM berat. (c) Atasan tidak berusaha untuk mencegah, menghentikan atau menghukum bawahan atau menyerahkan bawahan kepada yang berwajib.
Kasus-kasus yang terjadi di Timtim yang diajukan ke Pengadilan HAM menurut analisis penulis mempunyai kelemahan yang cukup mendasar, yaitu: Pertama, tidak ada bawahan yang merupakan pelaku langsung pada terjadinya peristiwa yang dipandang melakukan pelanggaran HAM berat. Semua terdakwa yang diajukan adalah atasan pelaku, sehingga menjadi pertanyaan siapa 210
pelaku langsung tersebut. Dalam kasus-kasus yang diajukan ke pengadilan terlihat betapa
lemahnya
penyelidikan
dan
penyidikan,
sehingga
tidak
mampu
mengungkapkan siapa pelaku lapangan. Hal ini penting karena fakta menunjukkan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor Timur. Secara hukum, seseorang hanya dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana hanya atas perbuatannya sendiri atau yang dilakukan bawahannya yang berada dalam pengendaliannya yang efektif. Bantekas (1999, 283) menyatakan: "Under international humanitarian law a commander is not responsible simply because he is in the position of authority, neider does such function carry burdens of vicarious or strict liability. This is confirmed by the compulsory elements of subordination, knowledge and failure to each necessary for the doctrine of command responsibility to apply." Di dalam kasus Celebici Camp, terdakwa Delalic dibebaskan oleh Trial Chamber pada International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (ICTY), karena walaupun ia memiliki otoritas de jure terhadap bawahannya di Celebici Camp, namun ia tidak mempunyai kendali efektif terhadap bawahannya tersebut. Dalam kaitan ini Bantekas (1999) menyatakan: "The Celebili judgmen recognized that the accused, Delalic by special authorization of his local War Presidency, was authorized to negotiate and conclude important contract and agreements on their behalf but noted that he never acquired any status which placed him in at hierarchy of authority creating a superior and subordinate relationship. His function was discribed 211
as one of "co-ordination". This consisted of negotiating agreements for the President. Threndered him influential, but it did not create a superiorsubordinate relationship. Control in this sense must be effective." Dengan demikian, jelaslah bahwa perkara-perkara pelanggaran HAM berat menurut Sistem Hukum Indonesia, hanya dapat dipertanggungjawabkan oleh seseorang yang karena perbuatannya memenuhi unsur delik yang dapat dibuktikan di persidangan Pengadilan HAM berat. Kedua, di dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terhadap terdakwa Timbul Silaen, mantan Kapolda Timtim, dinyatakan sebagai berikut: "Bahwa terdakwa selaku Kepala Kepolisian Daerah Timor Timur tidak mempunyai kekuasaan dan pengendalian yang efektif terhadap personel-personel kepolisian yang berada di Mapolres-Mapolres sewilayah Timor Timur berikut jajarannya dan hanya mempunyai kekuasaan dan pengendalian yang efektif terhadap kapolres-kapolres sewilayah Timor Timur, dengan pengertian bahwa hubungan efektif bawahan dengan atasan hanya terjalin antara kapolres-kapolres dengan terdakwa selaku Kapolda Timtim." Pertimbangan majelis hakim tersebut sangat formalistis, karena walaupun Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tidak menjelaskan pengertian di bawah kekuasaan dan pengendalian efektif, namun dari rumusan undang-undang tersebut dapat disimpulkan bahwa setiap anggota Polri yang ada di wilayah Timtim, di mana terdakwa adalah kapolda, merupakan anggota Polri yang berada di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif. Perintah yang dikeluarkan oleh seorang kapolda di 212
wilayah hukumnya mengikat dan wajib diikuti oleh setiap anggota Polri bukan saja terhadap kapolres-kapolres, akan tetapi juga terhadap setiap personel Polri yang ada di wilayah Timtim, yang merupakan wilayah kekuasaan terdakwa. Apabila pertimbangan majelis hakim tersebut diterima, maka akan bermakna pula bahwa kapolres juga dapat menyatakan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas perbuatan anak buahnya karena yang bertanggung jawab adalah kapolsek atau komandan regu. Di dalam kasus "Kolonel Jehuda Meier" yang pada bulan Januari 1988 saat meningkatnya gerakan Antifada menentang pendudukan Israel di Tepi Barat dan Jalur Gaza, pasukan yang berada di bawah Komando Kolonel Jehuda Meier telah menangkap 20 orang pemuda Palestina yang berasal dari desa Huwara dan desa Beita di Tepi Barat, dan memborgol serta menutup mata pemuda tersebut yang selanjutnya membawanya ke suatu tempat dan dilakukan penyiksaan-penyiksaan dengan mematahkan tulang dari para pemuda tersebut. Dalam kasus ini, walaupun Kolonel Jehuda Meier tidak berada di tempat saat terjadinya insiden tersebut di atas, namun Kolonel Meier selaku komandan yang bertanggung jawab di wilayah tersebut harus dimintakan pertanggung jawabannya secara pidana. Ketiga, di dalam pertimbangan putusan peninjauan kembali perkara atas nama terpidana Abilio Jose Osorio Soares dipertimbangkan, bahwa salah satu unsur dari dakwaan kesatu adalah bertanggung jawab secara pidana terhadap pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh bawahannya, yang secara eksplisit disebut yaitu Drs. Herman Sedyono, mantan Bupati Kovalina, Leonita Martins, mantan Bupati Liquisa, dan Eurico Guetteres, wakil panglima pasukan PPL. 213
Berdasarkan bukti Baru berupa putusan-putusan lain yang telah berkekuatan hukum tetap, ternyata Drs. Herman Sedyono dan Leonita Martin, telah dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan pelanggaran HAM karenanya terdakwa-terdakwa tersebut dibebaskan dari semua dakwaan. Dalam pertimbangan tersebut terlihat bahwa bawahan yang dibebaskan hanyalah Drs. Herman Sedyono dan Leonita Martins, sedangkan Eurico Guetteres, justru tetap dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana pelanggaran HAM berat dan putusan tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Walaupun di dalam pertimbangan hakim PK tersebut dipertimbangkan bahwa walaupun antara terpidana dengan Guetteres mempunyai hubungan emosional, namun keterkaitan tersebut tidak dapat dijadikan bukti bahwa Guetteres adalah bawahan terpidana (Abilio Soares). Pertimbangan majelis tersebut tidak melihat Guetteres sebagai pemimpin dari organisasi PPI dan Aitarak, yang dalam kedudukan terpidana sebagai gubernur adalah merupakan pembina dari organisasi sosial yang ada di dalam masyarakat di wilayahnya. Kasus Eurrico Guetteres tersebut, di dalam putusan peninjauan kembali (No. 34 PK/Pid.HAM AD HOC/2007 tanggal 13 Maret 2008), juga dibebaskan. Di dalam pertimbangan majelis peninjauan kembali menyatakan bahwa alasan permohonan kembali dapat dibenarkan karena terdapat keadaan Baru dan kekhilafan nyata-nyata dari Majelis Kasasi, dengan alasan: (a) Bahwa kejahatan kemanusiaan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 mempersyaratkan bahwa agar seorang terdakwa dapat dipidana baik 214
secara individu (individual responsibility) maupun sebagai seorang atasan (superior responsibility) haruslah dibuktikan adanya kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan kejahatan kemanusiaan secara meluas dan sistematik kepada penduduk sipil; (b) Bahwa tidak terbukti bahwa organisasi PPI yang menaungi beberapa Pamswakarsa memiliki kebijakan untuk melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap sekelompok penduduk sipil, in casu, yang dilaksanakan oleh terpidana selaku Wakil Panglima PPI, oleh karena berdasarkan fakta sejarah baik kelompok prointegrasi maupun pro kemerdekaan berusaha untuk memengaruhi anggota masyarakat dan kelompok lainnya untuk mengikut paham politiknya, dan di lapangan sering kali menimbulkan ekses bentrokan yang mengakibatkan adanya korban meninggal dan luka. Dengan bebasnya Eurrico Guetteres tersebut, maka seluruh terdakwa yang diadili dalam peradilan HAM Indonesia untuk kasus Timor Timur tidak seorang pun yang dinyatakan bersalah. Memang masih menyisakan pertanyaan siapa yang harus bertanggung jawab terhadap terjadinya ratusan bahkan mungkin ribuan korban dalam peristiwa sesudah jajak pendapat di Timor Timur. Tetapi apabila disimak pertimbangan Para hakim yang mengadili perkara tersebut, maka tidak ada seorang pun yang dapat diminta pertanggungjawaban, karena yang terjadi adalah adanya dua kubu yang bermusuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban yang tidak sedikit. 2) Penilaian Pengamat Internasional Terhadap Proses Pengadilan HAM Timor
215
Timur Sejak semula proses pengadilan HAM Ad Hoc yang mulai ber - langsung sejak bulan Maret 2002, telah menuai kritik tajam. Menurut David Cohen, Direktur UC Barkeley War Crimes Studies Center yang disunting oleh International Centre for Transitional Justice (2004), bahwa proses pengadilan di Jakarta ini secara fundamental cacat sejak Kejaksaan Agung mengambil alih penyelidikan, setelah mereka menerima laporan KPP HAM yang ditunjuk oleh Komnas HAM. Cacat ini telah menyebabkan serangkaian kegagalan yang menghalangi proses pengadilan secara keseluruhan, untuk memberikan semacam akuntabilitas seperti yang banyak dituntut oleh LSM Indonesia dan masyarakat internasional. Kegagalan ini bisa terjadi meskipun beberapa hakim berusaha sebisanya untuk memastikan peradilan yang jujur dan serius dalam menguji tanggung jawab terdakwa. Tetapi keputusan hakim tidak cukup untuk mengimbangi kegagalan seluruh proses. Dari laporan ini menimbulkan ada enam aspek yang menjadi kegagalan umum dalam memberikan akuntabilitas menurut standar internasional. Keenam aspek tersebut adalah: (a) Ketidakmampuan pihak jaksa penuntut dihampir semua peradilan untuk memperjuangkan perkaranya dengan komitmen yang profesional. Mereka juga gagal menghasilkan kesaksian-kesaksian dan dokumen-dokumen yang bisa menunjukkan kesalahan terdakwa, selain dari bukti-buktinya yang memang sudah ada. Ketidakmampuan ini muncul dengan sendiri dalam berbagai cara, meliputi tahap-tahap pra-penyidikan, penyidikan, dan tahap peradilan. Kegagalan pihak 216
penuntut inilah merupakan salah satu petunjuk paling jelas dan paling penting untuk melihat bagaimana peradilan ini tidak dapat memenuhi standar internasional dalam menetapkan identitas mereka yang harus bertanggung jawab untuk kekerasan di Timor Timur. Laporan ini akan menunjukkan bagaimana kegagalan tersebut meluas, melampaui soal-soal pembuktian dan mencakup soalsoal ruang lingkup dan kekuatan dakwaan, kompetensi dan motivasi para jaksa dan penerapan hukum humaniter yang tepat. (b) Kegagalan pihak penuntut untuk memaparkan uraian yang koheren dan tepercaya mengenai kekerasan di Timor Timur, yang cukup kuat untuk membenarkan tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan. Gagalnya jaksa membuat bukti-bukti yang bisa membongkar kesalahan orang menyebabkan dakwaan, tuntutan, dan penilaian perkaranya juga secara khas tak bisa keluar atau melampaui dari faktafakta yang paling dangkal, sekalipun dari suatu kasus tertentu atau memberi paparan yang lebih luas dan lengkap tentang sifat meluas, sistematik, dan terorganisasinya kejahatan terhadap kemanusiaan, seperti yang sudah menjadi praktik yang umum di Pengadilan Internasional di Rwanda dan Yugoslavia. Bahkan di perkara-perkara yang dituntut atau dikaji dengan mendalam, penuntutan masih bekerja dalam batas-batas tertentu ketika meninjau peran TNI sebagaimana ditunjukkan dalam berkas perkara dan dakwaan. Dakwaan dan penuntutan secara khas mengabaikan sistem dan memfokus pada hanya peristiwaperistiwa individual lebih-lebih lagi, secara umum, cara pandang pihak penuntut mengenai konteks secara keseluruhan dan pola kekerasan di Timtim tak berbeda 217
banyak dengan cara pandang tim pembela terdakwa. Kedua belah pihak secara khas memandang kekerasan muncul dari aksi-aksi kelompok prointegrasi dan menyebabkan serangkaian `bentrokan' spontan atau tindakan balas dendam. Dalam suatu konflik antara dua kelompok bersenjata, tanpa dukungan terorganisasi maupun keterlibatan militer Indonesia, polisi atau satuan-satuan keamanan. Hakim-hakim di banyak perkara juga punya cara pandang yang sama, yang sebenarnya tak pernah diuji dengan kebutuhan mendesak pembuktian maupun dilandasi oleh bukti-bukti yang solid. Dalam kasus-kasus ini, pihak penuntut, tim pembela terdakwa, hakim dan sebagian besar saksi cara pandang yang sama, yang juga secara meluas dipahami di Indonesia, berkaitan dengan sifat kekerasan di Timtim dan lemahnya tanggung jawab lembaga-lembaga Indonesia dalam keterlibatannya mengorganisasi atau menjalankan kekerasan. Pandangan semacam ini secara fundamental berbeda tidak hanya dengan laporan-laporan internasional dari para ahli internasional, antara lain Tim Penyelidik Internasional untuk Timor Timur (CIET), yang ditetapkan oleh PBB, tetapi juga berlawanan dengan penyelidikan terperinci dari dakwaan Serious Crime Unit dan beberapa keputusan Panel Khusus di Dili yang diciptakan untuk mengadili kasus-kasus yang berkaitan dengan kekerasan di tahun 1999. Yang paling penting, pandangan mereka nyaris secara total meninggalkan laporan KPP HAM yang memberi landasan legal untuk pertama kalinya Atas berdirinya Pengadilan HAM Ad Hoc. Laporan KPP HAM menyatakan bahwa kekerasan di Timor Timur adalah terorganisasi dan sistematik, didanai, digelar dan didorong oleh militer Indonesia 218
hingga di jajaran tertinggi. Sekalipun ada rekomendasi eksplisit dari laporan KPP HAM, militer di jajaran komando tertinggi tidak pernah disidik maupun dijadikan tersangka. Jadi, ini bukan soal bahwa: pandangan KPP HAM telah diuji atau ditemukannya kekurangan dukungan bukti. (c) Kegagalan-kegagalan seperti ini, dan masih banyak lagi lainnya, merupakan gejala permulaan dari ketidakmampuan mendasar yang melumpuhkan proses ini sejak awal hingga akhir, lemahnya iktikad politik Kejaksaan Agung dan jajaran tertinggi pemerintah Indonesia untuk mendorong usaha-usaha atau bahkan memungkinkannya secara serius untuk menetapkan identitas dan kesalahan mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan di Timtim. Hakim secara individual (dan bahkan beberapa jaksa) yang bertekad untuk melakukan hal itu selalu harus berjuang menghadapi kerusakan sistemik dan khusus serta halangan yang ditimbulkan oleh tiadanya iktikad politik untuk memungkinkan proses peradilan yang dapat dipercaya. Sifat sistem administrasi peradilan di Indonesia itu sedemikian rupa di mana tiadanya iktikad politik di jajaran paling tinggi seperti narkotika yang melumpuhkan dan menyebar ke bawah hingga ke seluruh sistem. Sejalan dengan tiadanya iktikad politik ini adalah masalah sistemik krisis tiadanya kemandirian jaksa. Sebagai faktor yang juga sama vitalnya dengan kemandirian jaksa adalah bahwa pengadilan dimaksudkan sebagai mekanisme menyediakan atau memungkinkan kemandirian itu. Pada beberapa pengadilan, hal ini berhasil. Tetapi itu berkat para hakim yang tegak berdiri menghadapi intimidasi, pelecehan, dan tekanan serius untuk membalik vonis bersalah. Namun meski sifat 219
tertentu kemandirian jaksa menjelaskan sifat peradilan-peradilan ini, tetapi ini tidak sepenuhnya merupakan akhir segalanya. Mereka tetap perlu didukung, diperdalam, dan didorong melalui usaha-usaha lokal dan internasional. (d) Tujuan peradilan ini adalah menetapkan pertanggungjawaban komando yang jelas di tingkat kelembagaan, buka cuma kebersalahan yang sama dalam menyidik dan mendakwa individu di jajaran komando tertinggi TNI sebagaimana rekomendasi KPP HAM. (e) Peradilan ini gagal menjalankan "fungsi kebenaran," salah satu mandat utama pengadilan HAM dan kejahatan perang. Sesungguhnya dengan menyandarkan diri pada satu versi cerita tentang kekerasan di Timor Timur yang tidak diterima di mana-mana di luar Indonesia (dan ditolak banyak pihak), peradilan ini kehilangan kesempatan unik untuk meletakkan rekaman sejarah secara jelas, -Mmberitahukan publik Indonesia mengenai akuntabilitas lembaga-lembaga mereka atas pelanggaran hak asasi manusia yang berat, yang dilancarkan atas nama mereka dan memberi landasan bagi keadilan dan rekonsiliasi bagi korban-korban di Timor Timur. (f) Apa pun campur aduknya berbagai faktor yang memberi basil pada kasus-kasus tertentu, tanggung jawab keseluruhan atas kegaga - Ian proses peradilan HAM Ad Hoc ini terletak pada Kejaksaan Agung dan pemerintah Indonesia. Karena politisasi yang terjadi dalam penuntutan dan juga faktor-faktor lain, maka jelas tanpa
kemauan
politik
dari
jajaran
tertinggi
pemerintahan
Indonesia,
kemungkinan akan berlangsungnya suatu penuntutan kasus-kasus HAM yang 220
independen, berhasil dengan akuntabilitas yang dapat dipercaya, tak akan dapat dicapai. Selain keenam aspek penilaian yang dikemukakan Cohen tersebut di atas, kritik tajam juga dilontarkan oleh Rafendi Djamin (Kompas, 24/2/2004) selaku Koordinator Human Right Working Group (HRWG) yang menyatakan bahwa penolakan pembentukan komisi ahli (commission of expert) oleh Sekjen PBB Kofi Annan, merupakan bukti pemerintah Indonesia tidak kooperatif dan kurang komitmen serta tidak menghargai usaha internasional untuk menjamin dan memastikan tegaknya keadilan bagi kejahatan pelanggaran HAM berat di Timor Timur. Komisi yang diprakarsai oleh Sekjen PBB Kofi Annan adalah usaha untuk merespons perkembangan dari basil Pengadilan HAM Ad Hoc kasus Timor Leste yang hasilnya jauh dari prinsip keadilan, dan prosedurnya jauh dari standar internasional. Selanjutnya, Rafendi menyatakan bahwa seandainya pemerintah memahami asas fair trial, komisi ini sangat menguntungkan, karena PBB telah memprakarsai mekanisme formal untuk menilai apakah pengadilan Indonesia telah memahami asas fair trial, sehingga menjauhkan Indonesia dari kecaman internasional di luar mekanisme prosedur formal. Perlu dikemukakan di sini, bahwa komisi yang dibentuk Indonesia dan Timor Leste bukan instrumen penegakan hukum dan keadilan, melainkan mekanisme politik atas dasar saling memahami. Tentunya hal ini, di luar kesepakatan internasional yang mengamanatkan penyelesaian kejahatan Timor Leste memakai instrumen hukum dan keadilan. Namun, sebagai bangsa yang bermartabat pembentukan komisi tersebut 221
harus diakui, meskipun menimbulkan kekecewaan oleh banyak pihak terhadap kegagalan Indonesia dalam menegakkan keadilan di Timor Leste bukan semata-mata kekecewaan publik internasional, tetapi juga kekecewaan publik nasional yang merindukan penegakan HAM dan keadilan di Indonesia. Kesepakatan bilateral tentang KPP tersebut, bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional, yaitu prinsip 'no save haven principle' yang menggariskan bahwa tidak ada tempat maupun mekanisme bagi pelaku kejahatan HAM berat untuk menghindar dari tanggung jawab. Ketidakberhasilan pemerintah Indonesia mengungkap secara tuntas kasus pelanggaran HAM di Timtim, dinyatakan di dalam laporan tersebut karena tidak ada kemauan politik dari pemerintah Indonesia. Pada waktu penyelidikan dan penyidikan kasus Timtim, UNTAET memfasilitasi dengan menandatangani MoU dengan Kejaksaan Agung. Dalam melaksanakan MoU, UNTAET memfasilitasi penyidik Kejaksaan Agung dalam mengajukan pertanyaan kepada para saksi dan melaku= kan pengamatan pada situasi terjadinya kejahatan. Sebaliknya ketika Serious Crime Unit mencoba hal yang sama di Indonesia, tak satu pun saksi yang dapat ditanyai. Ini adalah elemen kunci, sehingga pengungkapan kasus Timtim tidak terungkap dengan tuntas. Pada Tabel 4.2 di halaman berikut terlihat bahwa salah satu faktor dari kegagalan itu karena tidak adanya persamaan pandangan antara KPP HAM dengan penyidik Kejaksaan Agung. Berdasakan uraian yang dikemukakan di atas, maka beberapa hal yang dapat menunjukkan bahwa Pengadilan Pidana Indonesia belum 222
Tabel 4.2 Laporan KPP HAM dan Dakwaan Penyidik Atas Pelanggaran HAM Berat di Indonesia
melaksanakan prinsip-prinsip yang ditentukan dalam Statuta Roma. Hal tersebut dapat dilihat dari empat aspek, yaitu:
(1) Aspek Hukum Materiil dan Formal a. Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 yang hanya memasukkan dua jenis kejahatan pelanggaran HAM berat, yaitu Genosida dan Kejahatan Kemanusiaan, padahal Statuta Roma dikenal empat jenis kejahatan pelanggaran HAM berat, yaitu genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi.
223
Di dalam rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) baru, tindak pidana pelanggaran HAM berat juga akan dimasukkan di dalam KUHP tersebut. Ifdal
Kasim
KUHP"
(2005)
menyatakan
dalam bahwa
makalahnya di
"Ke
samping
Arah
Mana
Pembaruan
mempertahankan
tindak
pidana yang sudah ada di dalam KUHP lama, rancangan undang- undang ini memasukkan pula jenis-jenis tindak pidana baru antara lain tindak pidana pelanggaran HAM berat. Apabila RUU tersebut diterima, maka sebaiknya ketentuan-ketentuan hukum materiil yang ada di dalam Statuta Roma diadopsi secara lengkap. Ketentuan-ketentuan mengenai yurisdiksi pengadilan HAM Indonesia seharusnya mencakup kejahatan perang (war crime), karena konflik bersenjata masih berpotensi cukup besar terjadi di Indonesia. Tetapi menurut pendapat penulis, lebih baik hukum materiil pelanggaran HAM berat tetap terpisah dari KUHP, agar lebih fokus. b. Hukum acara mulai dari penyelidikan sampai pada persidangan pengadilan sebagaimana yang diatur di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tidak memadai, misalnya alat bukti yang diakui, tata cara pemeriksaan terdakwa dan saksi, sehingga yang digunakan adalah KUHAP yang merupakan hukum acara pidana dalam tindak pidana umum. Hal ini tentu tidak memadai dan tidak sejalan dengan sifat kejahatan pelanggaran HAM berat yang merupakan extraordinary crime. c. Hukum materiil yang diatur di dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 juga tidak selengkap yang diatur di dalam Statuta Roma. Meskipun di dalam 224
penjelasan dari UU No. 26 Tahun 2000 menyatakan bahwa definisi kejahatan kemanusiaan berasal dari Statuta Roma, namun ada beberapa perbedaan. Perbedaan tersebut ternyata menghalangi proses penuntutan sepenuhnya kasus yang terjadi, khususnya di Timor Timur. Gagalnya memasukkan Ayat 7 (k) Statuta Roma ke dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, tentang `tindakantindakan tidak manusiawi lainnya yang berarti membuat tindakan penghancuran harta benda dalam operasi bumi hangus, tidak termasuk dalam penuntutan. Ayat 7 (k) dalam Statuta Roma tersebut dimaksudkan untuk mengantisipasi setiap bentuk kekejaman. Ruang lingkup yang diatur di dalam Statuta Roma sangat luas dan lengkap yang menyangkut pelanggaran HAM berat, bila dibandingkan dengan UndangUndang Nomor 26 Tahun 2000. Statuta Roma memuat 128 pasal sedangkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 hanya 51 pasal. (2) Aspek Tanggung Jawab Komando Ketentuan pidana dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 juga melingkupi tanggung jawab komando (command responsibility). Pasal 42 Ayat (1) undangundang ini mempunyai beberapa kelemahan dengan konsekuensi hukum yang besar. Tanggung jawab komando yang dimaksudkan dalam pasal ini adalah komando militer atau seseorang yang secara efektif bertindak sebagai komando militer "dapat" dipertanggungjawabkan terhadap tindak pidana yang berada dalam yurisdiksi Pengadilan HAM, yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya yang efektif.
225
Pengertian di atas menggunakan kata "dapat" (could) dan bukannya "akan" (shall) atau "harus" (should), secara implisit menegaskan bahwa tanggung jawab komando dalam kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang diatur melalui undang-undang ini, bukanlah sebuah hal yang bersifat otomatis dan wajib. Pasal ini secara tegas menguatkan pengertian kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, yang cenderung ditujukan pada pelaku langsung di lapangan. Dengan demikian, Jaksa Penuntut Umum harus dapat menunjukkan dan membuktikan adanya "keperluan" (urgensi) untuk mengadili para penanggung jawab komando, dan bukan hanya pelaku di lapangan saja. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang diatur di dalam Pasal 28 Statuta Roma, yang menggunakan "should be". Pasal 42 Ayat (1) huruf a Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Hak Asasi Manusia, mensyaratkan penanggung jawab komando untuk "seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut sedang melakukan atau Baru saja melakukan pelanggaran HAM berat". Padahal, sumber dari pasal tersebut, yaitu Pasal 28 Ayat 1 (a) Statuta Roma, secara tegas menyatakan bahwa komandan militer "seharusnya mengetahui bahwa pasukan tersebut melakukan atau hendak melakukan kejahatan...". Pasal 28 Ayat 1 (a) Statuta Roma menyatakan, "That military commander or person neither know or, owing to thew circumstance at the time, should have known that the forces were committing or about to commit such crime". Distorsi ini berarti mengabaikan adanya kewajiban dari pemegang tanggung jawab komando untuk mencegah terjadinya kejahatan. Meskipun, dalam Pasal 42 Ayat 1 (b) UU No. 26 Tahun 2000. Pengabaian ini dikoreksi dengan kalimat 226
"komando militer tersebut tidak melakukan tindakan yang layak dan diperlukan dalam ruang lingkup kekuasaannya untuk mencegah dan menghentikan perbuatan terse-but..." Namun, tidak ada definisi dan batasan yang tegas tentang apa yang "layak" dan perlu dilakukan oleh penanggung jawab komando. Selain itu, Pasal 42 Ayat 1 (b) UU No. 26 Tahun 2000, berimplikasi pada pengadilan dengan cara terpaksa menekankan fokus perhatiannya pada proses, yaitu apakah tindakan yang dilakukan sudah layak atau tidak, apakah perlu atau tidak (obligation of conduct) dan secara otomatis mengabaikan pada kenyataan, apakah tindakan yang diambil oleh penanggung jawab komando berhasil mencegah dan menghentikan kejahatan atau tidak (obligation of result). Padahal, se-lain harus bertanggung jawab jika menjadi pelaku langsung, penganjur, atau penyerta, seorang atasan seharusnya juga bertanggung jawab secara pidana atas kelalaian melaksanakan tugas (dereliction of duty) dan kealpaan (negligence). Standar hukum kebiasaan internasional untuk "kealpaan" dan "kelalaian" dalam arti yang luas. Karnasudirdja (2005), mengemukakan bahwa seorang atasan bertanggung jawab, secara pidana jika: a. Ia seharusnya mengetahui (should have had knowledge) bahwa pelanggaran hukum telah daii/atau sedang terjadi, atau akan terjadi dan dilakukan oleh bawahannya; b. Ia mempunyai kesempatan untuk mengambil tindakan, dan is gagal mengambil tindakan korektif yang seharusnya dilakukan sesuai keadaan yang ada atau terjadi saat itu. 227
Ketentuan Pasal 28 Ayat 1 (a) Statuta Roma, menemukan "seharusnya mengetahui" harus diuji sesuai keadaan yang terjadi dan dengan melihat juga orang atau pejabat lain yang setara dengan tertuduh. Pasal 7 Ayat 3 Statuta ICTY juga secara interpretatif mencerminkan standar kebiasaan internasional tersebut. Pasal 7 Ayat 3 Statuta ICTY ini, mengakui adanya pertanggungjawaban pidana jika seseorang "mengetahui atau mempunyai alasan untuk tahu" (know or had reason to know) kelakuan bawahannya. Ketentuan ini berkaitan dengan adanya kegagalan untuk mencegah suatu kejahatan atau menghalangi tindakan yang melanggar hukum yang dilakukan oleh bawahannya atau menghukum mereka yang telah melakukan tindak pidana. Meskipun, pasal ini memfokuskan pada keadaan di mana seorang bawahan akan melakukan suatu tindak pidana atau telah melakukannya, tidak ada indikasi bahwa tanggung jawab pidana tersebut akan dihilangkan jika ada tindakan yang telah dilakukan oleh si atasan, namun pelanggaran atas kejahatan oleh bawahan tetap terjadi. (3) Aspek Kelemahan Aparat Penegak Hukum Pelanggaran HAM berat pada umumnya dilakukan oleh penguasa baik militer maupun sipil, sehingga akan sulit bagi aparat penegak hukum untuk melakukan tugasnya secara bebas (independent) dan objektif. Jika proses penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pengadilan dilakukan pada saat rezim yang bersangkutan masih berkuasa, maka dapat dipastikan proses tersebut akan ditentukan atau dicampuri oleh penguasa tersebut. 228
Kondisi inilah yang terjadi dalam proses pengadilan pelanggaran HAM berat Timtim. Para terdakwa saat diadili masih menduduki posisi penting di dalam pemerintahan diinstansi sipil dan militer. (4) Aspek Mekanisme Penanganan Perkara Mekanisme dalam proses pengadilan HAM tidak tercermin adanya Integrated Criminal Justice System, karena dalam proses peradilan itu tercermin adanya campur tangan politik. Ini berbeda dengan sistem yang dianut oleh Statuta Roma. Hal tersebut dapat dilihat perbandingannya antara kedua sistem tersebut dalam Gambar 4.1 dan 4.2.
Gambar 4.1. Proses Perkara Menurut Statuta Roma
229
Keseluruhan tahap adalah di bawah ICC yang merupakan integrated criminal justice system.
Gambar 4.2 Proses Perkara Pelanggaran HAM Berat Menurut UU No. 26/2000 Setiap tahap dilakukan oleh instansi yang berbeda dan berdiri sendiri, tidak ada integrated criminal justice system, dan ada campur tangan politik. Seperti dipahami para pakar hukum pidana, yaitu bahwa Sistem Peradilan Pidana di Indonesia justru menganut integrated criminal justice system. Namun, karena perkembangan penanganan beberapa tindak pidana khusus, maka integrated criminal justice system sukar dilaksanakan. Di samping peradilan pidana Ad Hoc HAM seperti dalam bagan tersebut, juga dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) dengan KPK-nya, dan akan menyusul tindak pidana pajak, yang tidak menerapkan Integrated Criminal Justice System (Sistem Peradilan Pidana Terpadu). Khusus mengenai pengadilan pidana HAM dalam pembaruannya untuk penyesuaian terhadap ICC Statuta Roma 1998, seharusnya diterapkan Integrated Criminal Justice System. 230
Gambaran skematis proses perkara menurut Statuta Roma 1998 dan Pengadilan Ad Hoc HAM Indonesia mencerminkan jawaban atas pertanyaan dua perumusan masalah, yaitu mengingat substansi Peradilan HAM Indonesia juga tidak atau belum memenuhi standar Hukum Pidana Internasional yang terkandung dalam ICC Statuta Roma 1998, tidak saja hukum acara seperti yang disebutkan di atas, tetapi juga masih dianutnya asas retroaktif dalam pengadilan pidana HAM Indonesia (UU No. 26 Tahun 2000) dan tidak seluruh jenis kejahatan dalam yurisdiksi ICC Statuta Roma diadopsi (kejahatan perang dan agresi). Karena itu, yurisdiksi Pengadilan HAM Indonesia seharusnya sesuai dengan standar Hukum Pidana Internasional yang terkandung dalam muatan ICC.
b. Kasus Tanjung Priok Kasus ini adalah salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi di zaman Kepresidenan Jenderal (Pur.) TNI Soeharto. Kasus ini terjadi pada tanggal 12 September 1984, yang sampai saat ini belum tuntas, karena dinilai di antara 23 nama yang direkomendasikan oleh Komisi Penyelidik HAM Tanjung Priok untuk menjadi terdakwa hanya 14 orang yang akan diajukan ke Pengadilan HAM dalam em-pat berkas perkara. Keempat berkas perkara tersebut ada dua berkas perkara yang telah diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Agung, sedangkan dua lainnya masih dalam tahap pemeriksaan lebih lanjut oleh Majelis Kasasi. Sebelum disidik oleh Kejaksaan Agung, Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM Tanjung Priok telah merekomendasikan 23 nama yang diduga terlibat di dalam 231
kasus ini. Berkas penyelidikan kasus Tanjung Priok telah diserahkan kepada Kejaksaan
Agung
pada
tanggal
14
Oktober
2000
dan
Presiden
telah
merekomendasikan pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc kasus Tanjung Priok bersama kasus Timor Timur. Pada waktu dengar pendapat dengan DPR (Komisi III) dengan Jaksa Agung MA Rachman hanya menyebut 14 nama, yang dijerat dengan Pasal 7 (b) juncto Pasal 9 huruf (a) dan (h). Pasal 7 (b) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 adalah menyangkut kejahatan terhadap kemanusiaan dan Pasal 9 merupakan penjabaran lebih lanjut tentang kejahatan kemanusiaan, yakni salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan (Kompas, 14/11/2002). Karena yang diumumkan Kejaksaan Agung hanya 14 orang yang akan diajukan sebagai tersangka, maka warga korban kasus Tanjung Priok dan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) mendatangi Kejaksaan Agung untuk mempertanyakan status mantan Panglima ABRI Jenderal (Pur.) L. B. Moerdani dan man-tan Panglima Kodam Jaya Jenderal (Pur.) Tri Soetrisno, dan mereka menuntut kedua orang tersebut ditetapkan juga sebagai tersangka. Kedua orang tersebut dinilai ikut bertanggung jawab atas kasus Tanjung Priok. Namun, Kejaksaan Agung berpendapat bahwa Jenderal (Pur.) L.B. Moerdani dan Jenderal (Pur.) Tri Soetrisno tidak bisa menjadi tersangka karena tidak ada benang merahnya dalam kasus tersebut. 232
Peristiwa Tanjung Priok ini dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa pembunuhan yang mengakibatkan jatuhnya korban sebanyak 23 orang atau setidaktidaknya sebanyak 10 orang meninggal dunia. Kronologis peristiwa ini adalah sebagai berikut:
Antara bulan Juli sampai dengan Agustus 1984, suhu politik di Jakarta Utara memanas, yang dipicu oleh ceramah-ceramah agama yang menghasut dan menghujat pemerintah.
Pada 7 September 1984, Sertu Hermanu, Babinsa Kelurahan Koja Selatan mendapat laporan dari masyarakat bahwa di Musala As Saadah terdapat beberapa pamflet yang ditempel di musala, yang isinya menghasut masyarakat dan menghina pemerintah atau aparat Kodim dan polisi, dan is kemudian menyuruh menurunkan pamflet-pamflet tersebut.
Pada 8 September 1984, Sertu Hermanu datang lagi ke tempat tersebut untuk mengecek apakah pamflet sudah diturunkan, dan ternyata belum. Oleh karena itu, Hermanu menurunkan pamfletpamflet tersebut. Namun kemudian muncul isu bahwa Hermanu masuk ke musala tanpa membuka sepatu dan melepas pamflet dengan air got, sehingga suasana tambah memanas. Para pemuda meminta agar Hermanu meminta maaf, namun mengalami jalan buntu.
Pada 9 September 1984, para pemuda dikumpulkan oleh Ahmad Sahi dan
233
diingatkan agar tidak melakukan perbuatan yang melawan hukum main hakim sendiri.
Pada 10 September 1984, pukul 10.00 WIB, Sertu Hermanu datang ke kantor RW 05, dan memarkir motornya di ujung jalan, dan ternyata kemudian massa datang dan membakar sepeda motor Hermanu dan meminta agar Hermanu menyerahkan diri, namun Hermanu dapat meloloskan diri dari amukan massa. Dalam pembakaran sepeda motor Hermanu, 4 orang warga ditahan oleh Kodim.
Amir Biki yang bertindak sebagai pemrakarsa dan penanggung jawab ceramahceramah dan pengajian .umum di wilayah Jakarta Utara telah dua kali menghadap Kolonel Sampurno (Asisten Intel Kodam) untuk meminta agar keempat warga yang ditahan dibebaskan, namun tidak berhasil.
Pada 11 September 1984, Amir Biki diperingatkan oleh Kolonel Sampurno agar membatalkan rencana pengajian yang akan dilaksanakan di Jalan Sindang Kel. Koja.
Pada 12 September 1984, pukul 19.30 sampai dengan pukul 22.00 pengajian dilakukan di Jalan Sindang yang diikuti 3.000 orang. Amir Biki sebagai pembicara terakhir menyatakan bahwa apabila keempat warga yang ditahan tidak dilepas sampai pukul 23.00, maka Tanjung Priok akan banjir darah.
Pada pukul 22.00, Amir Biki menelepon Kodim dan diterima oleh Kapten Sriyanto, yang mengancam bahwa apabila sampai pukul 23.00 keempat tahanan tidak dilepas, maka Cina Koja akan dipotong. Mendengar hal tersebut, Sriyanto
234
menyatakan apa tidak sebaiknya dikoordinasikan lebih dahulu, yang dijawab oleh Amir Biki tidak ada waktu lagi. Akhirnya, Sriyanto melapor ke Komandan Kodim Letkol R. A. Butar-Butar, dan melakukan koordinasi dengan Kasi Ops Yon Arhanudse-6, Kapten Darmanto, untuk perlunya kesiapan pasukan.
Setelah koordinasi antara Kapten Sriyanto dan Kapten Darmanto, maka pasukan diberangkatkan ke Kodim sebanyak 1 Peleton yang terdiri dari 40 orang, masingmasing dilengkapi dengan senjata jenis semi otomatis SKS dengan bayonet dan sepuluh butir peluru tajam.
Dalam pengarahannya, Kapten Sriyanto memberikan pengarahan bahwa malam ini ada tablik akbar yang diadakan di Jalan Sindang, yang diperkirakan akan menuntut pembebasan tahanan. Dalam menghadapi massa yang brutal agar dilakukan tembakan peringatan ke atas, apabila beringas tembak ke bawah dan apabila masih brutal tembak kakinya.
Pada pukul 22.30 WIB, Regu III pasukan Arhanudse-6 di bawah pimpinan Kapten Sriyanto dan Komandan Regu Serda Sutrisno Mascung, melihat iringiringan massa yang besar berjalan kaki menuju Mapolres dan Makodim. Sutrisno Mascung memperingatkan agar massa bubar, namun tidak dihiraukan, malah massa menjadi brutal. Akibatnya adalah terjadilah adanya massa yang lukaluka dan meninggal dunia. Dalam proses selanjutnya diajukan 4 berkas perkara, yaitu: 1) Berkas perkara Mayor Jenderal (Pur.) Pranowo.
235
2) Berkas perkara Mayor Jenderal TNI Sriyanto. 3) Berkas perkara Mayor Jenderal (Pur.) Rudolf Adolf Butar-Butar. 4) Berkas perkara Mayor Jenderal (Pur.) Pranowo. 1) Perkara Sriyanto dan Sutrisno Mascung, yang didakwa melakukan kejahatan kemanusiaan, telah memenuhi seluruh unsur serangan yang meluas dan sistematik, yang dapat dibuktikan karena terdapat fakta-fakta:
Korban serangan adalah penduduk sipil yang Baru selesai mengikuti pengajian di Koja.
Jumlah korban yang meninggal kurang lebih 23 orang dan banyak yang ditangkap dan dianiaya.
Fasilitas yang digunakan melakukan serangan adalah fasilitas militer milik negara/umum, misalnya laras panjang SKS serta dengan persiapan yang matang, antara lain melalui proses BKO.
Unsur-unsur "sebagai bagian dari serangan yang meluas dan sistematik" telah terpenuhi dan dapat dibuktikan secara sah dan meyakinkan. Namun majelis mempunyai pandangan yang berbeda, karena menurut majelis
hakim, serangan yang bersifat sistematis haruslah dilakukan atas dasar rencana yang telah matang dipikirkan, yaitu serangan bukan bentrok fisik yang terjadi seketika, akan tetapi merupakan operasi yang telah dipersiapkan dan direncanakan untuk membunuh penduduk sipil.
Dalam peristiwa 12 September 1984 bentrokan yang terjadi adalah bentrokan
236
seketika antara aparat dan massa.
Majelis menyetujui pendapat saksi ahli Muladi, bahwa bentrokan yang terjadi seketika atau spontan bukan merupakan ciri dari kejahatan kemanusiaan.
Bahwa dengan demikian fakta yang diungkapkan Jaksa Penuntut Umum, bukan bukti tentang adanya unsur serangan yang sistematik atau meluas sifatnya yang merupakan unsur kejahatan kemanusiaan, karena unsur tersebut hapus dengan sendirinya, dengan hilangnya salah satu ciri khan bentuk kejahatan kemanusiaan atau bentuk pelanggaran HAM berat, yaitu adanya bentrok yang sifatnya seketika atau spontan. Dengan dasar-dasar tersebut kedua terdakwa dibebaskan, namun jaksa
mengajukan kasasi. Di tingkat kasasi, permohonan kasasi jaksa dalam perkara Sriyanto tidak dapat diterima (niet ontavankelijk verklaard) karena jaksa penuntut umum tidak dapat membuktikan bahwa putusan hakim tingkat pertama bukan putusan bebas murni. Sedangkan perkara Sutrisno Mascung belum diputus oleh Mahkamah Agung. 2) Perkara Mayor Jenderal (Pur.) Pranowo, mantan dan Porn-dam V Jaya. Berbeda dengan kedua terdakwa di atas, perbuatan materiil yang didakwakan oleh Jaksa Penuntut Umum adalah terdakwa melakukan pelanggaran kejahatan kemanusiaan dengan jalan menahan warga sipil berjumlah kurang lebih 169 orang tanpa surat perintah, ditahan di tempat yang sempit dan gelap, yang mengakibatkan beberapa tahanan tersebut menjadi stres dan sulit menggerakkan anggota
237
tubuh/lumpuh dan pihak keluarga tidak diberitahukan di mana tempat penahanan para tahanan tersebut. Yang unik dalam perkara ini baik Jaksa Penuntut Umum maupun Penasihat Hukum ataupun Hakim sependapat bahwa terdakwa tidak terbukti melakukan perampasan kemerdekaan dan kebebasan fisik secara sewenang-wenang, sehingga terdakwa dibebaskan dalam dakwaan kesatu. Mengenai dakwaan kedua, yaitu terdakwa didakwa bertanggung jawab sebagai komandan atas perbuatan yang dilakukan oleh anak buahnya atau bawahannya yang berada dalam pengendaliannya yang efektif atau di bawah kekuasaan dan pengendaliannya yang efektif dan tindak pidana tersebut merupakan akibat dari tidak dilakukan pengendalian pasukan secara patut. Menurut Jaksa Penuntut Umum, dakwaan tersebut terbukti, namun majelis hakim berpendapat sebaliknya, yaitu tidak dapat dibuktikan telah terjadi penganiayaan sebagai akibat dari pengerahan kekuatan atau suatu operasi terhadap penduduk sipil tertentu. Dan ternyata pula penganiayaan yang terjadi terhadap saksi tersebut bukanlah suatu penganiayaan secara bersama-sama, yang dilakukan berulang-ulang, atau yang dilakukan secara kolektif dengan akibat yang sangat serius berupa jatuhnya korban jiwa atau luka-luka dalam jumlah yang besar. Karena terdakwa dibebaskan, Jaksa Penuntut Umum mengajukan kasasi terhadap putusan tersebut. Majelis kasasi menyatakan permohonan kasasi Penuntut Umum tidak dapat diterima, karena Jaksa Penuntut Umum tidak dapat membuktikan bahwa putusan hakim tingkat pertama bukan putusan bebas murni. 3) Perkara Rudolf Butar-Butar. Terdakwa R. A. Butar-Butar, pada waktu 238
terjadi tragedi Tanjung Priok tanggal 12 September 1984 adalah Komandan Kodim 0502/Jakarta Utara. la didakwa bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pasukan yang berada di bawah komando dan pengendaliannya secara efektif. la tidak melakukan pengendalian atas pasukan yang ada di bawah komandonya, padahal is mengetahui atau atas dasar keadaan saat itu seharusnya mengetahui bahwa pasukannya sedang melakukan atau baru saja melakukan pelanggaran HAM berat berupa pembunuhan. Jaksa Penuntut Umum berpendapat bahwa apa yang didakwakan kepada terdakwa telah terbukti dengan dasar:
Terdakwa sebagai komandan Kodim mempunyai kewenangan dalam menentukan langkah berkenaan dengan keamanan di wilayahnya.
Terdakwa mengetahui akan adanya massa yang akan membebaskan empat orang tahanan yang sedang ditahan Kodim.
Terdakwa tidak melaksanakan perintah Pangdam Tri Soetrisno, agar penanganan penahanan 4 orang warga dilakukan dengan per suasif, dialogis, dan preventif.
Bahkan terdakwa yang mendengar adanya usaha dari warga untuk membebaskan tahanan, meminta bantuan dari Arhanudse-6 dengan perlengkapan senjata lengkap dengan peluru/amunisi.
Terdakwa sama sekali tidak pernah bertemu atau berdialog dengan warga atau pemimpin mereka (Amir Biki). Pendapat Jaksa Penuntut Umum tersebut dibenarkan oleh Majelis Hakim
239
Pengadilan HAM Ad Hoc, dan Pengadilan Negeri menjatuhkan pidana 10 tahun penjara. Di dalam pertimbangannya, majelis hakim menyatakan bahwa berdasarkan tanggung jawab pidana secara individual atas pelanggaran HAM berat, maka setiap orang tanpa memandang status dan kedudukannya, harus bertanggung jawab secara pidana apabila terbukti bersalah di depan persidangan. Menurut majelis, terdakwa adalah seorang komandan yang dapat diminta pertanggungjawabannya atas tindak pidana pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh bawahan di bawah kendali terdakwa. Namun Pengadilan Tinggi HAM Ad Hoc membatalkan putusan majelis tingkat pertama tersebut. Menurut pertimbangan majelis banding, bahwa ada bagian dari unsur tindak pidana dalam Pasal 42 Ayat (1) Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 yang paling esensial dan menentukan untuk dapat dinyatakan terbukti tindak pidana terse-but, yaitu harus terbukti adanya pasukan atau bawahan dari terdakwa yang melakukan pelanggaran HAM berat. Dalam tanggung jawab komando, garis komando bisa ditarik ke atas dengan memenuhi unsurunsur sebagai berikut: 1) Harus lebih dahulu dibuktikan adanya pelanggaran HAM yang dilakukan anggotanya, kalau tidak ada, maka tidak ada pertanggungjawaban komando. 2) Harus ada hubungan subordinasi antara komandan dengan pelaku pelanggaran HAM. Hubungan subordinasi ini tidak hanya dengan komandan langsung, tetapi dapat juga komandan tidak langsung. Berdasarkan pertimbangan tersebut, terdakwa R. A. Butar-Butar dibebaskan oleh majelis hakim. 240
c. Kasus Abepura Irian Jaya/Papua Kasus ini bermula dari kedatangan 30 orang Papua ke Mapolsek Abepura dengan dalih mau melapor. Namun ternyata mereka langsung menyerang petugas dengan menggunakan senjata tajam, yang menyebabkan satu orang anggota Polsek meninggal dunia dan 3 orang luka-luka, dan merampas senjata jenis Mauser dan peralatan penjagaan rusak. Adapun kronologis kejadian adalah sebagai berikut:
Pada tanggal 7 Desember 2000, kira-kira pukul 01.30 WIT, Mapolsek Abepura didatangi sekitar 30 orang Papua dengan dalih mau melapor, tetapi ternyata mereka datang menyerang petugas jaga dan merampas senjatanya.
Dalam peristiwa tersebut satu orang anggota polisi meninggal dunia dan tiga orang luka-luka. Salah seorang anggota polisi berhasil meloloskan diri yaitu, Masak Karemi dan melapor ke Markas Komando Brimob Polda Irian Jaya atau Papua.
Sesudah kelompok orang Papua tersebut meninggalkan Mapolsek, mereka menuju daerah pertokoan dan membakar toko-toko termasuk Gedung Kantor Otonomi Provinsi Papua serta membunuh seorang anggota satpam kantor tersebut.
Laporan diterima oleh Superintendant Drs. Jonny Wainal Usman (Komandan Brimob Polda Irian Jaya/Papua). Kira-kira pukul 02.00 sirine dibunyikan untuk mengumpulkan anggota Brimob Polda Irian Jaya agar berkumpul di lapangan, termasuk anggota satuan Brimob dari Resimen III Kelapa Dua Jakarta, dengan
241
pakaian seragam dan senjata SSI lengkap dengan amunisi berupa peluru hampa, peluru karet, dan peluru tajam.
Anggota yang berkumpul tersebut, diperintahkan untuk membantu Kapolsek Abepura melakukan pengejaran dan penyekapan terhadap orang-orang yang diduga melakukan penyerangan.
Operasi dipimpin oleh Bripka Hans Fairnap, pada pukul 02.30 WIT berhasil menangkap 27 orang penduduk sipil terdiri 18 orang laki-laki dan 9 orang perempuan dari suku Waimena di Asrama Ninmin.
Operasi yang dipimpin Zawal Halim, pada kira-kira pukul 05.30 Wit juga berhasil menangkap empat orang penduduk sipil dari suku Waimena.
Operasi yang dipimpin oleh Iptu Suryo Sudarmadi, pada pukul 05.30 juga berhasil menangkap lima orang dari suku Waimena, dan kira-kira pukul 08.00 Iptu Surya Sudarmadi melanjutkan operasi pengejaran dan berhasil menangkap lagi 48 orang suku Waimena. Dan selanjutnya pukul 23.00 operasi berhasil lagi menangkap 14 orang warga sipil.
Dalam operasi yang dipimpin John Fredik Komedi, pada pukul 09.30 menembak mati Elkuis Suhuniap dan satu orang lagi ditembak yang mengenai dada dan tembus pada dinding perut, namun masih dapat melarikan diri.
Bahwa warga sipil yang ditetapkan tersebut dibawa ke markas Brimob dan dianiaya
dengan
menggunakan
popor
senjata
dan
sepatu
lars,
yang
mengakibatkan beberapa tahanan luka-luka.
242
Dalam kasus ini dua orang diajukan ke Pengadilan HAM, yaitu: 1) Brigjen Pol. Drs. Johny Wainal Usman, yang pada waktu kejadian adalah Komandan Satuan Brimob Polda Irian Jaya/Papua. 2) Kombes Pol. Drs. Daud Sihombing, S.H., pada waktu kejadian adalah Kapolres Jayapura. Mereka diadili oleh Pengadilan HAM Ad Hoc yang dilaksanakan di Pengadilan Negeri Makassar. 1) Terdakwa Brigjen Pol. Drs. Johny Wainal Usman, oleh majelis hakim dalam putusannya tanggal 25 Agustus 2005, dinyatakan be-bas dengan inti pertimbangan sebagai berikut: "Apa yang dilakukan oleh terdakwa tidak bersesuaian dengan penjelasan Pasal 9 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM), sepanjang mengenai apa yang dimaksud dengan `serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil', karena dalam penjelasan Pasal 9 Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 aquo, menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan serangan yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil adalah `suatu rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai kelanjutan kebijakan penguasa atau kebijakan yang berhubungan dengan organisasi'. Sedangkan tindakan pengejaran dan penangkapan yang dilakukan oleh Pasukan Brimob terhadap orang-orang yang diduga telah melakukan perbuatan pidana berupa penyerangan terhadap Mapolsek Abepura, penembakan ruko-ruko dilingkaran Abepura dan pembunuhan terhadap satu orang satpam serta 243
pembakaran gedung Otonomi Daerah Papua itu merupakan tugas rutin yang dilakukan oleh pihak keamanan, ini kasus Pasukan Brimob, kemudian mengenai peristiwa seperti penyerangan terhadap Mapolsek Abepura tersebut menurut saksi Michael Eluway sudah sering terjadi di Papua dan itu merupakan hal biasa di daerah Papua. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka apa yang telah dilakukan oleh terdakwa, tidak dapat dikualifikasikan sebagai Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat, karena apa yang dimaksud dengan unsur sebagai bagian dari `serangan yang meluas dan sistematik' tidak terpenuhi dalam perbuatan terdakwa." Jaksa Penuntut Umum tidak menerima putusan tersebut dan mengajukan kasasi. Sampai saat ini Mahkamah Agung belum memeriksa dan memutus perkara tersebut. 2) Terdakwa Kombes Pol. Drs. Daud Sihombing, S.H. Seperti juga halnya dengan perkara terdakwa Brigjen Pol. Drs. Jonny Wainal Usman, perkara terdakwa Kombes Pol. Drs. Daud Sihombing, dibebaskan oleh Majelis Hakim Pengadilan HAM Ad Hoc ting - kat pertama. Sesuai dengan hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia, suatu putusan bebas (vrijspraak) tidak dapat diajukan banding, namun sesuai yurisprudensi, putusan bebas dapat diajukan kasasi. Sampai saat ini perkara tersebut belum diperiksa dan diputus oleh Mahkamah Agung.
244
Apabila kita melihat perkara-perkara pelanggaran HAM berat yang diajukan ke depan Pengadilan HAM, kecuali Abilio Soares (mantan Gubernur Timtim) dan Guetteres (pejuang integrasi Timtim), belum ada pejabat atau bekas pejabat tinggi dari militer dan polisi Indonesia yang masuk penjara karena kejahatan kemanusiaan. Abilio Soares kemudian dibebaskan pula oleh Majelis Peninjauan Kembali. d. Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat oleh Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Di dalam laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan IndonesiaTimor Leste—atau disingkat KKP—ditemukan bahwa pelanggaran HAM di Timor Timur pada tahun 1999, memenuhi 'criteria definisi operasional tentang pelanggaran HAM Berat. Definisi operasional ini terdiri atas: (1) Pembunuhan; (2) Pemusnahan; (3) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk; (4) Pemenjaraan atau pencabutan kemerdekaan fisik berat dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional; (5) Penyiksaan; (6) Pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi paksa, penghamilan paksa, sterilisasi paksa, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang sama beratnya; (7) Penghilangan paksa; dan (8) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik. Pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Timor Timur merupakan suatu bentuk pelanggaran HAM yang telah memenuhi kualifikasi, terutama pelanggaran terhadap Pasal 7 Ayat 1 Rome Statute of the International Criminal Court (Statuta
245
Roma-ICC) yang menyebutkan bahwa "kejahatan terhadap kemanusiaan" meliputi salah satu dari serangkaian jenis kejahatan tertentu apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas (widespread) atau sistematis (systematic) terhadap penduduk sipil, dengan pengetahuan mengenai akan terjadinya serangan tersebut. Dengan menggunakan metode dan beberapa upaya pencarian fakta KKP di dalam kegiatannya melakukan upaya pencarian fakta dengan beberapa cara, yakni: (1) pengambilan pernyataan dan wawancara; (2) submisi; (3) dengar pendapat; (4) penelitian; dan (5) diskusi dengan pakar dan narasumber. Sedangkan kegiatan sosialisasi dilakukan dengan pertemuan dengan pemangku kepentingan. Selain itu, KKP juga melakukan hubungan dengan masyarakat, melalui cara, (1) seminar; (2) dialog interaktif; (3) konferensi pers dan siaran pers; (4) pertemuan dengan pemimpin media; dan (5) situs web komisi. Dengan metodologi tersebut, kemudian KKP melakukan upaya penemuan atas pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Timor Timur. Menurut laporan KKP, bahwa "bukti menggambarkan dengan jelas bahwa terdapat tanggung jawab institutisional pada pihak milisi prootonomi yang menjadi pelaku langsung utama. Juga terdapat kasuskasus di mana anggota TNI atau polisi terlibat secara langsung dalam kekerasan secara seksual, namun pada sebagian besar kasus yang terdokumentasi milisilah yang menjadi pelaku langsungnya. Pelanggaran pada saat itu terjadi pada dua kelompok, yakni kelompok milisi yang
pro-otonomi
dan
kelompok
yang
pro-integrasi.
Kelompok
milisi
memperserijatai diri dan melakukan serangkaian tindakan dalam upaya untuk 246
memengaruhi secara fisik kelompok yang pro-integrasi. Terjadi perbedaan yang cukup tajam antara kedua kelompok ini pada tataran konseptual dan sekaligus pada tataran praktis. Pembentukan milisi di dalam temuan KKP kemudian menjadi salah satu cikal Bakal bagi konflik horizontal di Timor Timur. Konflik masif yang terjadi antara pihak pro-integrasi dan pro-otonomi dalam konteks inilah yang menyebabkan terjadinya pelanggaran HAM Berat. Pembunuhan massal, perang saudara yang berlangsung telah memakan korban jiwa yang cukup banyak sebagai bagian dari pelanggaran HAM Berat yang terjadi di Timor Timur. Dari rekonstruksi 14 kasus prioritas komisi serta informasi lain yang dikumpulkan selama proses pencarian fakta, komisi mengamati bahwa kekerasan terjadi sepanjang periode Januari sampai Oktober 1999. Analisis kasus-kasus ini mengindikasikan bahwa waktu terjadinya kekerasan tampaknya terpola seputar beberapa faktor antara lain, masa kampanye jajak pendapat, perekrutan milisi, atau hadir tidaknya pengamat internasional. Secara umum, terdapat dua periode puncak pelanggaran HAM: (1) April-Mei; dan (2) September 1999. Konsentrasi kekerasan di dalam rentang waktu tersebut bukan merupakan sesuatu yang kebetulan, melainkan menunjukkan bagaimana peristiwa-peristiwa ini saling terkait satu sama lain, dan dengan konteks politik lebih luas di mana kekerasan terjadi, seperti penguatan milisi di dalam serangkaian apel yang digelar bulan April sampai Mei, dan pelaksanaan jajak pendapat pada bulan Agustus. Selain sebaran waktu kekerasan, pola kekerasan yang meluas juga dapat diamati dari sebaran geografis pelanggaran-pelanggaran 247
serupa.1 Di dalam proses pencarian fakta, komisi menerima berbagai kesaksian yang secara kuat mengindikasikan bahwa para korban secara sengaja dan sistematis dipilih untuk diserang.2 Unsur-unsur lain operasi "sistematis" yang terungkap di dalam proses pencarian fakta antara lain: 1. Operasi dilakukan di bawah struktur komando yang dapat diidentifikasi. 2. Koordinasi serangan oleh banyak anggota milisi dan bersama dengan anggota TNI. 3. Operasi dilakukan dalam cara yang menunjukkan adanya perencanaan, implementasi, dan disiplin 4. Keterlibatan langsung satuan-satuan atau anggota TNI dalam melaksanakan operasi.3 Dalam konteks ini, menurut KKP terdapat bukti yang kredibel yang menunjukkan bahwa TNI memasok senjata kepada milisi dari para pemimpin prootonomi, serta mengambilnya kembali kapan saja. Bukti ini juga sangat kuat menggambarkan bagaimana TNI mendukung milisi melalui berbagai cara seperti perekrutan, pelatihan, fasilitas, dan dukungan moral. Pelatihan mencakup mengajari milisi cara membuat senjata api rakitan serta menyediakan kepada mereka bahanbahan yang dibutuhkan. Bukti lebih jauh membenarkan perilaku para milisi yang 1
Laporan Akhir Komisi Kebenaran dan Persahabatan Indonesia-Timor Leste, hlm. 284. Ibid., hlm. 285. Ibid., hlm. 286. 3 Ibid., hlm. 285 2
248
sistematis dan konsisten. Berbagai pernyataan mendukung bukti lain bahwa pemerintah sipil menggunakan anggaran negara yang telah dialokasikan untuk pembangunan dalam mendanai milisi, bahkan setelah pemerintah sepatutnya mengetahui bahwa kelompok milisi telah dan sedang melakukan pelanggaran HAM. Pernyataan-pernyataan di dalam berkas tersebut juga membenarkan bahwa TNI, Polisi, pejabat pemerintah sipil dan milisi bekerja sama dengan erat, terkadang untuk melakukan pelanggaran HAM Berat secara langsung, dan terkadang mendukung atau mendorong mereka.4 Selain itu, tampaknya sejumlah signifikan tindak kekerasan telah dilakukan oleh kelompok pro-kemerdekaan Timor Timur tahun 1999. Juga telah terlihat kekerasan ini terjadi dalam berbagai bentuk yang secara sistematis ditujukan terhadap kelompok pro-otonomi dan pendukungnya. Akan tetapi tidak terlalu jelas, seperti halnya dengan kelompok pro-otonomi, bagaimana institusi-institusi tertentu di dalam kubu pro-kemerdekaan terlibat, dan seberapa jauh tiap-tiap tindakan ini telah didukung, dikoordinasi, direncanakan, ataupun seberapa sistematis.5 Karenanya, tindak kekerasan yang terjadi di dalam kasus Timor Timur tidak berdiri sendiri, bahwa itu hanya dilakukan oleh sipil, tetapi kekerasan itu terjadi justru oleh "sipil yang dipersenjatai" dari sebagian TNI. Tindakan pemerkosaan dengan paksa, pengumpulan paksa dan penculikan dengan target-target terhadap masyarakat tertentu menjadi indikasi terjadinya pelanggaran HAM berat. Sehingga Laporan KKP
4 5
Ibid., hlm.199-120 Ibid., hlm.265
249
menemukan bahwa pelanggaran HAM berat di dalam kasus ini adalah merupakan sesuatu yang terjadi dan dilakukan secara sistematis dan terencana. Melibatkan pemerintah setempat dengan senjata dan bahkan latihan bagi milisi oleh sebagian militer. Dari hasil kajian panjangnya, sebagai komisi kebenaran dan rekonsiliasi, komisi ini tidak mengeluarkan keputusan untuk menghukum siapa pun bahkan menyebutkan nama individu maupun institusi dihindari demi menjaga akuntabilitas individu dan institusi tersebut. Beberapa poin rekomendasi komisi adalah: 1. Rekomendasi mengenai akuntabilitas dan reformasi kelembagaan. 2. Rekomendasi terkait kebijakan perbatasan dan keamanan bersama. 3. Rekomendasi untuk mendorong resolusi konflik dan menyediakan layanan psikososial bagi para korban. 4. Rekomendasi terkait persoalan ekonomi dan aset. 5. Rekomendasi pembentukan komisi untuk orang hilang. 6. Rekomendasi untuk pengakuan. 7. Rekomendasi jangka panjang dan aspiratif.6 Karena KKP bukan lembaga yang memberikan sanksi, akan tetapi lembaga yang mampu menegosiasikan dan mempertemukan dendam masa lalu itu untuk dibongkar seraya membangun persahabatan ke depan di antara negara Indonesia dan Timor Leste. Tujuannya bukan untuk menghukum siapa yang salah, tetapi menyuruh yang melakukan kesalahan untuk meminta maaf kepada korban. Dengan demikian, 6
Ibid., hlm.xxi-xxiv
250
bahwa seluruh instrumen yang digunakan oleh KKP adalah menemukan pecahanpecahan dendam masa lalu agar tidak menjadi luka yang terus menganga, sehingga segera disembuhkan. Karena itu, rekomendasi yang diberikan oleh KKP tidak berbentuk ofensif dan menyerang, akan tetapi lebih pada rekomendasi politik dan moral institusi agar semua yang terlibat dan yang tidak terlibat, yang menjadi korban dan yang melakukan tindakan kejahatan bisa segera menemukan kedamaian dan menutup rapat-rapat dendam pada masa lalu. Dengan demikian, KKP sebagai suatu lembaga persahabatan hadir untuk merajut ikatan-ikatan persaudaraan antara berbagai kesakitan di masa lalu yang menyakitkan kedua bangsa tersebut.
251
Bagian Kelima PROSPEK PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA INDONESIA SESUAI STANDAR INTERNASIONAL
A. STATUTA ROMA SEBAGAI IUS KONSTITUTUM Di dalam ilmu hukum Indonesia, Statuta Roma masih termasuk ius konstuendum, apabila dilihat dari segi hukum positif (ratifikasi). Namun kecenderungan berlakunya sangat besar untuk menjadi ius konstitutum, sebagai perangkat hukum (internasional) yang berlaku bagi negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (Soedjono Dirdjosisworo). Kecenderungan berlakunya Statuta Roma dan bekerjanya Pengadilan Pidana Internasional semakin pasti setelah banyak negara yang meratifikasi Statuta Roma dan turut mendukung kehadiran pengadilan ini. Statuta menegaskan bahwa kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan tidak boleh dibiarkan tidak dijatuhi hukuman. Penuntutan terhadap mereka secara efektif harus dijamin dengan mengambil langkah-langkah di tingkat nasional dan dengan menunjukkan kerja sama internasional. Produk kerja sama internasional di bidang HAM sudah cukup banyak, sehingga kerja sama dalam perlindungan HAM dalam perkembangannya semakin mengikat bagi suatu negara termasuk Indonesia. Selanjutnya, statuta bertekad untuk memutuskan rantai kekebalan hukum atau impunity terhadap para pelaku kejahatan serius yang melanggar Hak Asasi Manusia 252
(HAM) sebagai sumbangsih bagi pencegahan kejahatan tersebut. Namun demikian, asas-asas utama dalam hukum pidana seperti asas praduga tak bersalah dan perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) bagi terdakwa dalam suatu peradilan yang tidak memihak menjadi landasan dasar. Upaya menanggulangi kejahatan serius tersebut merupakan tugas atau misi bagi setiap negara untuk melaksanakan yurisdiksi pidananya
terhadap
orang-orang
yang
bertanggung
jawab
atas
kejahatan
internasional, khususnya yang merupakan yurisdiksi International Criminal Court (ICC). Statuta Roma berisikan hal yang penting berkenaan dengan kesadaran bahwa semua orang dipersatukan oleh ikatan kesamaan, kebudayaan manusia yang terkait dalam suatu warisan bersama serta rasa khawatir dan ikatan yang mulia ini bisa tercabik-cabik di setiap waktu. Menyadari benar adanya fenomena kesejagatan di abad ini bahwa ada berjuta -juta anak laki-laki maupun perempuan telah menjadi korban kekerasan dan penyiksaan yang begitu hebat, sehingga mengoyak nu-rani kemanusiaan yang begitu mendalam. Mengakui bahwa "Kejahatan" yang tidak berperikemanusiaan tersebut merupakan ancaman terhadap perdamaian, keamanan, dan kesejahteraan dunia. Tujuan dan prinsip program Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta khusus ditekankan bahwa semua negara harus menghindarkan diri dari ancaman atau penggunaan
kekuatan
menekan
dan
mengancam
integritas
teritorial
atau
kemerdekaan politik suatu negara. Marjono (1999), menegaskan bahwa dalam statuta tidak terkandung maksud untuk memberi wewenang kepada suatu negara peserta 253
untuk dapat campur tangan dalam suatu sengketa bersenjata yang merupakan urusan dalam negeri suatu negara tertentu. Indonesia bertekad untuk bertindak demi kepentingan manusia generasi sekarang dan yang akan datang untuk membentuk suatu Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court-ICC) permanen dalam hubungan dengan sistem Perserikatan BangsaBangsa dengan yurisdiksi atas kejahatan-kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional. Dengan menekankan bahwa Pengadilan Pidana Internasional yang dibentuk ini akan merupakan pelengkap dan yurisdiksi pidana nasional. Untuk memberi jaminan penghormatan abadi bagi keadilan dengan sistem peradilan pidana yang mencakup kepentingan internasional dalam perlindungan Hak Asasi Manusia. Rencana untuk melakukan aksesi atau ratifikasi Statuta Roma untuk Mahkamah Pengadilan Internasional telah berlangsung sejak tahun 2004. Hal ini ditandai dengan adanya komitmen pemerintah untuk melakukan Rolfaider Statuta Roma tahun 1998. Namun hingga April 2009 ini pelaksanaan ratifikasi ini belum tercapai. Berbagai komitmen pemerintah dan juga DPR dalam mendorong proses ratifikasi ini juga didukung oleh masyarakat sipil. Pandangan masyarakat sipil menunjukkan bahwa ratifikasi Statuta Roma akan mendorong proses reformasi peradilan pidana di Indonesia, khususnya memperkuat sistem akuntabilitas pelanggaran HAM berat di Indonesia (dengan Pengadilan HAM). Pandangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa masih terjadi impunitas di Indonesia atau pelang254
garan HAM yang berat khususnya yang terjadi di masa lalu. Ratifikasi ini diharapkan juga mendorong penghapusan impunitas di Indonesia sebagaimana yang juga menjadi landasan pembentukan Mahkamah Pidana Internasional. Berbagai komitmen dan dukungan tersebut tampaknya belum menjadi acuan bagi pemerintah untuk menyegerakan pembahasan pengesahan Statuta Roma di parlemen. Tampak bahwa masih ada sejumlah kendala yang muncul baik mengenai proses penyusunan legis - lasinya maupun pandangan dan resistensi dari berbagai kalangan ten-tang ratifikasi Statuta Roma. (Catatan proses ratifikasi Statuta Roma oleh Koalisi Masyarakat Sipil untuk Ratifikasi Statuta Roma) Keengganan pemerintah Indonesia untuk meratifikasi Statuta Roma, memang menimbulkan pertanyaan. Apakah ada kekhawatiran akan merugikan negara Republik Indonesia? Sesungguhnya kekhawatiran tersebut tidak perlu ada, karena antara Statuta Roma dengan prinsip-prinsip hukum yang dianut hukum pidana Indonesia terdapat banyak persesuaian, antara lain dapat dilihat: a. Asas legalitas (asas non-retroaktif) Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana Indonesia menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dihukum kecuali didasarkan pada ketentuan pidana menurut undang-undang yang telah diadakan terlebih dahulu. Ketentuan ini bersamaan dengan Pasal 24 Statuta Roma yang menyatakan bahwa seseorang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban secara pidana berdasarkan statuta ini atas perbuatan yang dilakukan sebelum diberlakukannya statuta ini. 255
Dengan demikian, baik KUHP maupun Statuta Roma mempunyai prinsip yang sama untuk melindungi setiap individu dari tuntutan hukum pidana tertentu yang sebelumnya belum ditentukan sebagai suatu perbuatan pidana menurut hukum nasional maupun internasional. b. Pertanggungjawaban individual, percobaan, perbuatan, dan pemufakatan jahat Berdasarkan
Pasal
25
Ayat
(2)
Statuta
Roma,
menyatakan
bahwa
pertanggungjawaban pidana adalah bersifat individual. Di dalam ayat itu juga dinyatakan bahwa pelaku kejahatan dapat dikenakan pidana dan dijatuhi hukuman atas perbuatan yang dilakukan bersama-sama, memerintahkan, mengusahakan, membantu, atau melakukan persekongkolan untuk melakukan kejahatan dalam yurisdiksi ICC. Ketentuan seperti itu juga diatur di dalam KUHP kita mulai dari Pasal 55 KUHP dan Pasal 1 angka 4 di dalam Pasal 41 UU No. 26 Tahun 2000. c. Nebis in idem Berdasarkan Pasal 20 Statuta Roma, melarang adanya pengadilan di hadapan ICC jika dasar kejahatan terhadap orang itu telah dinyatakan bersalah atau dibebaskan oleh ICC. Ketentuan terse-but dapat dikecualikan jika pengadilan lain yang mengadili kalau proses pengadilannya dilakukan: 1) Dengan tujuan untuk melindungi orang yang bersangkutan dari tanggung jawab pidana. 2) Tidak dilakukan secara mandiri dan memihak sesuai dengan norma-norma mengenai proses yang diakui oleh hukum internasional dan dilakukan dengan 256
maksud untuk membawa orang tersebut ke pengadilan. Prinsip nebis in idem tersebut juga dimuat oleh hukum pidana Indonesia dan di dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia di dalam Pasal 18 dinyatakan bahwa setiap orang tidak dapat dituntut kedua kalinya dalam perkara yang sama atas suatu perbuatan yang memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. d. Kedaluwarsa Kejahatan-kejahatan yang diatur di dalam Statuta Roma tidak mengenal kedaluwarsa yaitu jangka waktu atau masa di mana suatu tindak pidana tidak dapat diadili. KUHP Indonesia memang menganut asas adanya kedaluwarsa bagi suatu tindak pidana (Pasal 78 KUHP), tetapi Pasal 46 UU Pengadilan HAM menyatakan bahwa untuk pelanggaran HAM yang berat tidak berlaku ketentuan mengenai kedaluwarsa. ICC dalam perspektif ius konstituendum ini, sebagian besar dukungan terhadap Pengadilan Kejahatan Internasional adalah keinginan untuk melihat penjahat-penjahat besar abad ke-20 berada di balik penjara. Pol Pot tetap hidup dan melewati masa-masa menjelang kematiannya dengan nyaman, dengan 1,7 juta korban yang diakibatkannya. Idi Amin telah pensiun ke Arab Saudi dan 'Boby Doc' Duvailer, seorang pemimpin pasukan kematian dan pelaku penyiksaan dari Amerika Latin yang amnestinya telah dicabut, menetap di bagian selatan Perancis. Jenderal Pinochet bahkan melakukan penerbangan kelas satu untuk minum teh bersama mantan Perdana Menteri 257
Inggris, Margareth Thatcher, dan mengobati penyakit tulang belakangnya yang ditangani oleh ahli-ahli bedah terkemuka di Harley Street. Artikel-artikel di surat kabar tentang Konferensi Roma diilustrasikan dengan hal-hal tersebut—suatu pengesahan yang tak terbayarkan bagi keadilan internasional. (Robertson, 1999) Tetapi sebagaimana diketahui para diplomat (bahkan jika tidak diketahui oleh para jurnalis), semua penjahat tersebut akan diizinkan untuk melarikan diri, pemerintah-pemerintah di dunia tidak akan pernah menyetujui suatu pengadilan dengan kekuasaan untuk kembali ke masa lalu, atau bahkan pengadilan yang bisa meraih para pemimpin negara yang sedang berkuasa. PBB bersikeras dari semula bahwa pengadilan ini merupakan proyek futuristik, untuk pelaku kejahatan di masa yang akan datang. (Robertson, 1999) Para diplomat sangat terobsesi untuk melupakan masa lalu dan juga masa kini, sehingga ada dua pasal dalam Statuta Roma yang mengatakannya. Judul yang dipakai menggunakan bahasa Latin, seolah-olah berusaha untuk menutup-nutupi rasa malu para diplomat ini. Pasal 11 (berjudul yurisdiksi ratione temporis) menekankan bahwa 'Pengadilan memiliki yurisdiksi hanya dalam masalah kejahatan yang dilakukan setelah berlakunya statuta ini'. Pasal 24 (berjudul non-retroaktivitas ratione personae) mengulangi bahwa `Tidak seorang pun bertanggung jawab atas kejahatannya menurut statuta ini untuk perbuatan sebelum berlakunya statuta ini'. Penolakan terhadap kewajiban yang bersifat global ini ditandatangani secara tidak jujur sebagai suatu aplikasi untuk aturan yang dikenal dengan baik, yaitu 258
penuntutan kejahatan yang bersifat retrospektif. Tetapi sebenarnya hal ini tidak benar: genosida, kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan sudah ada sejak sebelum 1998 dimasukkan dalam hukum kejahatan internasional. Jika ada satu pun pertanyaan mengenai apakah suatu tuntutan yang dilakukan ICC terhadap kekejaman yang dilakukan pada 1970-an, yang pada saat itu diberikan pembebasan dari dakwaan. (Robertson, 1999) Pada prinsipnya, ICC seharusnya tidak terlalu terganggu oleh aturan retroaktivitas sebagaimana pengadilan yang mengadili Eichmann atau Barbie atau orang-orang NAZI. Mengapa NAZI diperlakukan sebagai kasus khusus dan Pinochet, yang sebenarnya lebih patut dicela, tetapi hanya karena kejahatan mereka tidak dilakukan pada saat perang dunia sehingga tidak dapat dituntut dan dihukum? Padahal mereka sadar akan keputusan Nuremberg dan konvensikonvensi yang telah ada, sehingga seharusnya hal ini membuat tindakan mereka sebagai tindakan kejahatan pada saat dilakukan. Melalui muslihat dalam Pasal 11 dan Pasal 24, PBB bersikeras bahwa para pelaku kejahatan akan hidup bahagia selamanya (Robertson) . Dukungan terhadap impunitas ini adalah suatu kemenangan lain diplomasi atas hukum, juga kemenangan kedaulatan negara atas hak asasi negara. Negaranegara di dunia tidak siap untuk menyerahkan salah seorang penduduk mereka yang paling jahat kepada keadilan internasional. Pikiran sempit tentang kedaulatan negara masih meminta bahwa para penjahat ini diadili secara nasional atau tidak sama sekali. Pasal 11 (2) menjelaskan lebih jauh lagi. Pasal ini bahkan menyediakan bahwa setelah statuta diberlakukan dan diratifikasi oleh negara A, maka ICC masih tidak 259
mempunyai yurisdiksi atas kejahatan yang terjadi di negara A atau yang dilakukan oleh warga negara A sebelum tanggal ratifikasi. (Robertson, 1999) Hal ini berarti bahwa jika statuta diberlakukan tanpa diratifikasi oleh Indonesia dan terjadi pembantaian genosida atas masyarakat keturunan Cina oleh tentara Indonesia, maka ICC tidak memiliki yuridiksi atas kejahatan HAM tersebut. Dengan tidak adanya referensi dari Dewan Keamanan PBB di bawah Bab VIII Piagam PBB, negara dan bangsa akan mempertahankan hak mereka untuk menyembunyikan terdakwanya dari keadilan internasional. Namun demikian, tetap ada aspek-aspek positif dari Konferensi Roma, yaitu yang paling penting adalah dukungan yang kuat atas ide keadilan global yang ditunjukkan oleh ratusan organisasi non-pemerintah dan asosiasi profesi, yang didemonstrasikan sampai kepada tingkat di mans pergerakan massa ini dapat memengaruhi kelompok negara-negara demokrasi like-minded. Kepentingan politik baru untuk memuaskan konstituensi ini tampak dalam Konferensi Otawa tentang Ranjau Darat tahun 1997, dan kemudian dalam kampanye dunia untuk menghentikan penggunaan anak-anak sebagai tentara. Tetapi seluruh keterampailan melobi dan tekanan yang dikoordinasikan oleh koalisi LSM telah gagal untuk memecahkan kekuatan Pentagon atas kebijakan luar negeri Amerika Serikat (AS). Militer Amerika Serikat tidak akan meninggalkan ranjau antipersonel, atau perekrutan anak-anak berusia 17 tahun, atau obsesinya untuk menyelamatkan tentara AS dari pengadilan internasional. Pergerakan LSM, yang tidak kekurangan dana dari 260
orang-orang ataupun pemerintah AS, harus segera mengkonsentrasikan diri untuk mengeluarkan militer AS dari perlindungannya. Adalah sulit untuk memercayai kejayaan omong kosong yang dikemukakan oleh koalisi LSM dalam kesimpulan Konferensi Roma, yaitu adanya suatu pengadilan internasional tanpa dukungan AS. Menyerukan pembentulailk ICC akan mencegah pembunuhan berdarah dingin dan penyiksaan terhadap jutaan orang pada abad yang akan datang. Pengadilan kejahatan internasional, dengan jaksa penuntut yang independen yang akan menahan para tiran dan penyiksa dengan keputusan hakim yang independen, merupakan impian pascaperang. Statuta Roma memperlihatkan seberapa besar impian tersebut tetap merupakan impian, bahkan setelah seluruh LSM di dunia (lebih dari 800 LSM melakukan lobi pada akhirnya) melakukan tekanan untuk mewujudkannya. Mereka memang mendapat pengadilan yang mereka inginkan, tetapi hasilnya berakhir dengan pengadilan yang aneh, di mana negara-negara superpower menggunakan koneksi mereka (melalui Dewan Keamanan) dan pada saat yang bersamaan (dalam kasus Amerika Serikat dan Cina) menolak untuk mendukung pengadilan tersebut. (Robertson, 1999) Meski demikian, ICC tidak akan menyelenggarakan leadilan bagi pemenang dan pengadilan, jaksa penuntut serta hakim yang mempunyai keterampilan dan integritas, akan mengumpulkan kepercayaan diri dan kredibilitas untuk mengatasi ketidakpercayaan dan kecurigaan yang dimanifestasikan oleh delegasi Amerika Serikat di Roma. Dalam hal ini, juga momentum yang berkelanjutan dari pergerakan HAM peninjauan ulang statuta yang akan diselenggarakan tujuh tahun setelah 261
diberlakukan, merupakan peristiwa yang akan menjadikan yurisdiksi internasional atas kejahatan terhadap kemanusiaan sungguh-sungguh bersifat universal. B. PENCARIAN
TUNTUTAN
PEMENUHAN
RASA
KEADILAN
MASYARAKAT Berhentinya Soeharto sebagai presiden pada tanggal 21 Mei 1998 dengan cara yang luar biasa, telah menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang mengalami masa transisi politik (Arinanto, 2005). Hal ini membawa akibat timbulnya pelbagai persoalan politik, ekonomi, hukum dan keamanan, termasuk di dalamnya persoalanpersoalan HAM. Di dalam kurun waktu delapan tahun kita memiliki empat Presiden, yaitu B. J. Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, dan Susilo Bambang Yudhoyono. Hal ini berarti bahwa tiga presiden sebelum Presiden Bambang Yudhoyono hanya berumur singkat, tidak sebagaimana yang diatur di dalam UUD 1945, yaitu lima tahun. Walaupun pemerintahan-pemerintahan tersebut dapat dikatakan sebagai "pemerintahan transisi", namun upaya pembaruan tetap dijalankan, yang lebih populer disebut sebagai "agenda reformasi". Salah satu muara dari berbagai tuntutan yang diajukan oleh masyarakat adalah terpenuhinya rasa keadilan masyarakat termasuk keadilan di dalam pelanggaran HAM berat. Namun demikian, dalam realitanya ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Abdul Rachman Saleh (Arman), mantan Jaksa Agung, pada waktu menjadi
262
Hakim Agung pernah menyatakan bahwa rasa keadilan masyarakat yang dituntut harus mampu dipenuhi oleh Para hakim, namun hal tersebut tidaklah sederhana. Hal ini dikarenakan ukuran rasa keadilan masyarakat tidak jelas. Siapa yang menentukan rasa keadilan masyarakat itu juga tidak jelas. Lebih jauh, Arman mengemukakan bahwa di dalam menetapkan putusannya hakim memang harus mengedepankan rasa keadilan. Namun rasa keadilan masyarakat sebagaimana yang dituntut sebagian orang agar dipenuhi oleh hakim, adalah tidak mudah. Bukan karena hakim tidak bersedia melakukannya, me - lainkan karena ukuran rasa keadilan masyarakat itu tidak jelas. Sebagai contoh, Arman mengemukakan kejadian yang pernah menimpa seorang Hakim Agung. Saat putusan kasus JST, Hakim Agung tersebut dianggap sebagai "macan" oleh masyarakat karena keberaniannya. Dia dengan dissenting opinion-nya, dinilai memenuhi rasa keadilan masyarakat. Namun dua minggu kemudian, saat ikut memutuskan perkara gugatan pembubaran Partai G, is mendapat "ayam" juga, dan ikut dimaki-maki. Karena itu, menurut Arman, dirasakan tidak mudah untuk mengikuti rasa keadilan masyarakat. (Kompas, 24 Agustus 2001) Masalah yang muncul dalam perumusan "rasa keadilan masyarakat" di Indonesia dalam masa transisi politik dalam perspektif yang lebih luas juga dialami oleh berbagai negara lainnya yang mengalami masa yang sama. Sebagaimana diuraikan di muka, permasalahan ten-tang konsepsi keadilan dalam masa transisi politik merupakan swim hal yang belum sepenuhnya dibicarakan. Wacana tentang transisional" pada umumnya dibingkai oleh persoalan normatif bahwa beberapa respons hukum harus dievaluasi berdasarkan prospek mereka terhadap demokrasi. 263
(Teitel, 2000) Ketidakjelasan mengenai makna dan batasan dari rasa "keadilan masyarakat" tersebut menimbulkan kesulitan untuk menentukan parameter yang dapat dijadikan tolok ukur untuk menilai terpenuhi atau tidaknya "rasa keadilan masyarakat" tersebut pada masa transisi politik. Dengan demikian, hal ini juga menimbulkan kesulitan untuk memenuhi tuntutan rasa keadilan masyarakat dalam masa transisi politik di Indonesia. Persoalan "rasa keadilan masyarakat" ini akan selalu menjadi kajian yang menarik, karena salah satu tujuan hukum adalah bagaimana menciptakan atau mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakat. Menurut Haryamoko (Kompas, 11/7/2001), ada beberapa prinsip yang dapat membantu tercapainya tujuan hukum sebagai berikut: a. Diperlukan adanya political will untuk mengubah orientasi politik yang sangat bias kepada negara menuju politik yang memihak warga negara. Tolok ukur keberhasilan politik semacam itu ialah pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya dari warga negara. Kebijakan-kebijakan pemerintah Indonesia sejak Orba hingga kini masih banyak didominasi pertimbangan kelompok (agama, etnis, suku), sehingga produk-produk hukum yang diskriminatif amat banyak. Semua warga negara mempunyai hak dan kewajiban yang sama, atau ada kesamaan di depan hukum (equality before the law). b. Pemberdayaan masyarakat melalui civil society harus terus diupayakan. Namun demikian, pengelompokan civil society harus lebih terbuka pada semua golongan, 264
dan tujuan-tujuan hukum bisa menjadi perekat bagi para asosiasi, LSM, dan gerakan pemberdayaan lainnya. Civil society berkembang bila prinsip subsidiaritas diterapkan. Prinsip ini menegaskan, apa yang bisa diurus dan diselesaikan oleh kelompok lebih kecil dengan kemampuan dan sarana yang ada, kelompok yang lebih besar jangan campur tangan. c. Urgensi membangun institusi-institusi sosial yang adil. Institusi sosial merupakan sumber kepincangan karena sudah merupakan titik awal keberuntungan bagi yang satu dan kemalangan bagi yang lain. Hal ini harus diperbaiki agar mampu mendistribusikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban dasariah serta menentukan pembagian keuntungan-keuntungan hasil kerja sosial. Dengan demikian, membangun institusi yang adil adalah upaya memastikan terjaminnya kesempatan yang sama sehingga kehidupan seseorang tidak semata-mata ditentukan oleh keadaan. Bagir Manan (2005), menunjukkan beberapa syarat yang harus dipenuhi untuk menegakkan hukum yang adil dan berkeadilan. Pertama, aturan hukum yang akan ditegakkan adalah benar dan adil. Suatu aturan hukum akan benar dan adil apabila dibuat sesuai dengan kesadaran hukum dan memberi sebesar-besarnya manfaat bagi kepentingan orang perorangan dan masyarakat banyak pada umumnya. Hukum dapat pula tidak benar dan tidak adil apabila tidak mengindahkan tata cara pembuatan peraturan yang baik (algemene beginselen van behorlijke wetgeving). Karena akan menimbulkan keadaan seperti kerancuan dalam penerapan atau kepastian hukum. Kedua, pelaku penegak hukum adalah kunci utama penegakan 265
hukum yang adil dan berkeadilan. Ada berbagai syarat yang harus dipenuhi agar pelaku dapat menegakkan hukum secara adil atau berkeadilan. 1. Perlakuan terhadap hukum yatig ak4n ditegakkan. Pelaku penegak hukum mempunyai tiga pilihan dalam menegakkan hukum, yaitu: a) Pelaku penegakan hukum sekadar sebagai la bouche de la loi atau spreekbuis van de wet. Dalam hal aturan hukum sudah jelas, pelaku penegakan hukum hanya bertindak sebagai corong peraturan, kecuali bila penerapan itu akan menimbulkan
ketidakadilan,
bertentangan
dengan
kesusilaan,
atau
bertentangan dengan suatu kepentingan umum, atau ketertiban umum. b) Pelaku penegakan hukum berlaku sebagai penerjemah (interpreter) suatu aturan hukum agar suatu aturan hukum dapat menjadi instrumen keadilan. c) Pelaku penegakan hukum menjadi pencipta hukum (rechtsschepping), dalam hal hukum yang ada tidak cukup mengatur atau didapati kekosongan hukum. 2. Memerhatikan kepentingan dan/atau kebutuhan masyarakat baik kebutuhan nyata maupun proyeksi kebutuhan di masa depan. Hukum adalah instrumen sosial untuk menjaga dan membangun masyarakat. Hukum tidak boleh mengandung kesenjangan dengan kenyataan dan kencenderungan yang hidup dalam masyarakat. Bagir Manan mengemukakan dua aspek penting untuk mencapai penegakan hukum yang adil dan berkeadilan, yaitu tata cara penegakan hukum (procedural justice) dan isi atau hasil penegakan hukum (substantive justice). Dalam masyarakat yang menjunjung hukum, persoalan tata cara mewujudkan tujuan sama penting 266
dengan tujuan itu sendiri. Tujuan mewujudkan keadilan hanya dapat dicapai dengan cara-cara yang adil pula. Cara-cara yang dimaksud, meliputi unsurunsur kepastian aturan kelembagaan, mekanisme, bahkan waktu, dan berbagai keluaran yang dapat diperkirakan (prediktif). Inilah yang sehari-hari dimaksud dengan kepastian hukum (rechtszekerheid atau legal certenty). Memang kepastian tidak sama dengan keadilan, bahkan mungkin kepastian dapat saja bertolak belakang dengan keadilan. Tetapi tanpa kepastian, pasti tidak ada keadilan. Keadilan dalam ketidakpastian akan menjadi sangat subjektif karena sepenuhnya tergantung pada yang menentukan atau yang mengendalikan kepastian. Keadilan semacam ini mempunyai potensi melahirkan ketidakadilan. Selanjutnya, Bagir Manan menguraikan tentang keadilan substantif yang menyangkut isi keadilan itu sendiri. Secara teoretis banyak pandangan mengenai hal ini. Ada yang melihat dari tingkat pencapaian kepuasan (Roscoe Pound). Ada yang melihat dari sudut manfaatnya (Bentham). Ada pula yang memandang keadilan itu semata-mata diukur dari pelaksanaan hukum itu sendiri (Hans Kelsen). Untuk dapat menemukan secara tepat substansi keadilan, haruslah dibedakan antara keadilan individual (individual justice) dan keadilan sosial (social justice). Sangat ideal apabila keadilan individual tercermin dalam keadilan sosial atau sebaliknya keadilan sosial menjadi tidak lain dari sublimasi keadilan individual. Namun dalam kenyataannya dapat terjadi semacam jarak antara keadilan individual dan keadilan sosial. lank ini dapat diatasi atau dikurangi, apabila dalam sistem penegakan hukum dapat dengan cermat diletakkan nilai sosial atau moral dari setiap aturan hukum yang 267
akan ditegakkan. Dengan demikian, dalam setiap keadilan individual akan terkandung keadilan sosial. Diharapkan dengan diratifikasinya Statuta Roma oleh Pemerintah Republik Indonesia, diharapkan Pengadilan HAM Indonesia akan berjalan sesuai dengan standar internasional. Dengan cara ini, para penguasa negeri ini akan lebih terkontrol dan lebih berhati-hati dalam melaksanakan tugas-tugas publiknya, sehingga pengakuan dan penghormatan hak asasi manusia akan terangkat. Mengangkat harkat dan martabat manusia adalah tugas yang mulia dan merupakan dambaan keadilan dari golongan masyarakat lemah. Tetapi, Pengadilan HAM yang berstandar internasional tidaklah cukup untuk membawa negeri ini dari ketertinggalannya, tanpa didukung upaya untuk melakukan rujuk nasional dan rekonsiliasi, agar tercipta kerukunan nasional sebagai modal dasar untuk terwujudnya persatuan dan kesatuan bangsa. Menurut Sulastomo (Kompas, 2/8/2000), di saat kita sekarang sedang dirundung perpecahan dan disintegrasi bangsa, ada baiknya kita teringat dengan semangat yang berupa kegandrungan Bung Karno untuk selalu menggalang persatuan dan kesatuan bangsa dalam keadaan apa pun juga. Dalam pandangan Sulastomo, banyak di antara kita yang percaya, bahwa salah satu bibit disintegrasi bangsa ialah euforia demokrasi sebagai akibat tertutupnya keterbukaan dan demokrasi di masa lalu. Euforia yang berlebihan inilah kiranya salah satu sebab yang menyebabkan negara Uni Soviet terpecah belah pada masa silam.
268
Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah wajib mencegah berkembangnya anarkis yang dapat menghambat pertumbuhan kehidupan demokrasi yang sehat. Presiden harus mengambil tindakan yang tegas sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku.
269
Bagian Keenam PENUTUP
A. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikaji dan dianalisis pada sub-sub pembahasan yurisdiksi Peradilan Pidana Indonesia berkenaan dengan pelaksanaan pelanggaran HAM berat dalam rangka penerapan Statuta Roma 1998, maka dapat dikemukakan kesimpulan, sebagai berikut: 1. Pelaksanaan Yurisdiksi Pengadilan HAM Berat Indonesia belum sepenuhnya sesuai dengan Statuta Roma. Hal ini disebabkan karena: a. Prinsip 'exhaustion of domestic remedies', yang mengharuskan penggunaan semaksimalnya, semua upaya hukum yang tersedia di tingkat nasional terlebih dahulu sebelum menggunakan mekanisme "remedies" di tingkat internasional dan regional, tidak dimanfaatkan sepenuhnya oleh pemerintah Indonesia. Hal ini terlihat dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM Ad Hoc. Dalam beberapa hal undang -undang ini telah mengabaikan beberapa prinsip Statuta Roma, baik dari segi ketentuanketentuan hukum materiil dan hukum acara maupun sistem peradilan terpadu. b. Proses beracara dalam pelaksanaan yurisdiksi Peradilan HAM menurut Undang-Undang No. 26 Tahun 2000, tidak lagi murni proses hukum, karena adanya keharusan meminta persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat untuk menuntut dan mengadili suatu pelanggaran HAM berat. Hal ini disebabkan 270
karena Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000, memperlakukan asas retroaktif, yang tidak dianut oleh Statuta Roma. 2. Yurisdiksi Pengadilan Pidana Indonesia terhadap pelanggaran HAM berat, agar sejalan dengan standar hukum internasional, seharusnya sesuai dengan ketentuan Statuta Roma, terutama yang meliputi hukum pidana materiil (substansial) dan hukum formil (hukum acara), serta aparat penegak hukum, sehingga dengan demikian dunia internasional mengakui keberadaan pengadilan pidana terhadap pelanggaran HAM berat di Indonesia sebagai peradilan HAM yang berwibawa dan dapat menjadi teladan bagi Pengadilan HAM (Nasional) di berbagai negara, mengingat ICC bersifat komplemen dengan pengadilan-pengadilan HAM (Nasional) di berbagai negara. Oleh karena itu, Pengadilan HAM nasional harus menempatkan kejahatan terhadap kemanusiaan (Crime Against Humanity) sebagai musuh bersama masyarakat internasional.
B. SARAN-SARAN Mengacu pada kesimpulan tersebut di atas, maka dapat diajukan saran, sebagai berikut: 1. Undang-Undang tentang Pengadilan HAM yang sejalan dengan ICC-Statuta Roma dan hukum internasional harus didukung oleh hukum pidana yang sesuai dengan ICC Statuta Roma dari segi hukum pidana materiil (substansial), hukum pidana formal (acara) dan penegak hukum yang meliputi penyelidik, penyidik, penuntut umum dan hakim peradilan HAM, yang menguasai hukum pidana 271
materiil dan formil mengenai pelanggaran HAM be-rat, yang berpengalaman atau telah ditatar secara khusus sebagai penegak hukum dalam memeriksa dan mengadili perkara pelanggaran HAM berat. 2. Untuk mewujudkan hal-hal seperti yang telah diuraikan di atas, maka perlu amendemen Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 dengan sasaran: a. Jenis-jenis pelanggaran HAM berat yang menjadi kewenangan termasuk kejahatan perang dan agresi. Kebijakan ini sejalan dengan politik luar negeri Indonesia yang bebas aktif, antiperang, agresi, dan penjajahan. b. Prinsip retroaktif yang dapat mengadili perkara pelanggaran HAM berat sebelum Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 yang memungkinkan legislatif memengaruhi yudikatif perlu ditanggalkan (tidak dianut lagi). Hal ini relevan, mengingat ICC-Statuta Roma merupakan basil koreksi yang berusaha menolak prinsip retroaktif yang dianut dalam Peradilan HAM pasca-Perang Dunia II, sebelum adanya gagasan dan aspirasi negara-negara penggagas Statuta Roma yang dipandang aspiratif dan akomodatif terhadap pelanggaran HAM berat. Apabila asas retroaktif telah ditinggalkan, maka pemerintah berkewajiban untuk memberikan kompensasi dan restitusi kepada korban pelanggaran HAM tersebut.
272
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU Abdurrahman. 1980. Aneka Masalah dalam Praktik Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni. Adjie, Oemar Seno. 1980. Hukum-hukum Pidana, Jakarta: Erlangga. Alfredsson, Gudmundur, dan Absjorn Eide (eds.). 1999. The Universal Declaration of Human Rights: A Common Standard of Achievment. The Hague: Martinus Nijhoff Publishers. Ali, Shaheen Sardar. 2000. Gender and Human Rights in Islam and International Law: Equal Before Allah, Unequal Before Man? The Hague: Kluwer Law International. Jakarta: UI Press. Arief, Barda Nawawi. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung: Citra Aditya Bakti. .
2001.
Masalah
Penegakan
Hukum
dan
Kebijakan
Penang-gulangan Kejahatan. Bandung: Citra Aditya Bakti. . 2002. Perbandingan Hukum Pidana. Jakarta: PT Raja-Grafindo. . 2005. Pembaharuan Hukum Pidana dalam Perspektif Kajian Perbandingan. Bandung: Citra Aditya Bakti. Arinanto, Satya. 2005. Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia. Pusat Studi Hukum Tata Negara. Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Association Internationale de Droit. 1999. International Criminal Court Ratification and Nationale Implementing Legislation. eres. 273
Atmasasmita, H. Romli. 1991. Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni. . 1991. Sistern Peradilan Pidana (Perspektif Eksistensi Alisme dan Abolisionisme). Bandung: Bina Cipta. . 2004. Pengantar Hukum Pidana Internasional. Bagian II. Jakarta: PT Hecca Mitra Utama. Baehr, Peter R., van Dijk Pieter, Nasution, Adnan Buyung. Zwark, Leo. 2001. Instrumen Internasional Pokok-pokok Hukum Hak Asasi Manusia, Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Jakarta. . 1986. The Role of Human Rights in Foreign Policy, atau Hak-hak Asasi Manusia dalam Politik Luar Negeri, (Terjemahan, Soemardi). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Bahar, Saafroedin. 2002. Konteks Kenegaraan Hak Asasi Manusia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Bantekas, Ilias. 1999. Contemporary Law of Superior Responsibility. The American Jurnal of International Law. Volume 93, No. 3, July. Bary, Theodore de dan Tu Weiming, eds. 1998. Confucianism and Human Rights. New York: Columbia University Press. Beaty, David (ed.). 1994. Human Rights and Judicial Review: A Comparative Prespective. Dodrecht: Martinus Nijhoff Publishers. Berkeley, George. 1988. Principles of Human Knowledge. London: Penguin Books. Bhaktiwisastra, Yudha. Hukum Internasional: Bunga Rampai. Bandung: Alumni. 274
Bloxham, Donald. 2001. Genosideontrial War Crime Trials and the Formation of Holocaust History and Memory. Oxford University Press. Boagenthal, Thomas. 1995. International Human Rights Wet Group. West Publishing Co., St. Paul Mn. Bowett, M. A., LL. B. 1970. The Law of International Institution. 2nd edition. London: Stevens & Sons. Boven, Theo van. 1993. People Matter: Views on International Human Rights Policy. The Netherlands: Meulenhoff Amste. . 2002. Study Concerning the Rights to Restitution, Compensation, and Rehabilitation for Victims of Gross Violations of Human Rights and Fundamental Freedoms (Final Report Submitted on the Forty-Fifth Session of the Sub-Commission on Prevention of Discrimination and Protection of Minorities). Commission Human Rights, 21 July 1993, atau Mereka yang Menjadi Korban: Hak Korban atas Restitusi, Kompensasi, dan Rehabilitasi. Terjemahan. Jakarta: ELSAM. Boot, Machtedl Dixon/hll, Christopher K. 1999, Commentary on the Room Statute of the International Criminal Court: Observer's Note, Article by Article. Nomos Verlagsgesellschaft, Baden-Baden. Bradlow, Daniel D. 1999. The World Bank, The IMF, and Human Rights, atau Bank Dunia, IMF, dan Hak Asasi Manusia, (Terjemahan) Yanuar Sumarlan. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Bronkhorst, Daan. 2002. Truth an Reconciliation, Obstacles and Opportunity for 275
Human Rights, atau Menguak Masa Lalu, Merenda Masa Depan: Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi di Berbagai Negara. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). Bruggink. 1996. Refleksi tentang Hukurn. Alih Bahasa B. Arief Sidharta. Bandung: Citra Aditya Bakti. Bucy, Pamela H. 1993. Human Right, A Compilation of International Instrument, Volume I (First Part) I Universal. New York: United Nation. Clarck, George. 1998. Introduction to Human Right. Alih bahasa Hermaya, Hak Asasi Manusia. Penebar Swadaya. Cohen, Davio. 2004. Dimaksudkan Supaya Gagal, Proses Persidangan pada Pengadilan HAM Ad Hoc di Jakarta. International Centre for Transitional Justice. Conde, H. Victor. 1999. A Handbook of International Human Rights Terminology. Lincoln and London: University of Nebraska Press. Cranston, Maurice, (ed.). 1973. What Are Human Rights? New York: Taplinger Publishing, Co., Inc. Cotran, Eugene and Adel Omar Sharif. 1997. The Role of Yudiciary in the Protection of Human Right, Kluwer Law International. Dirdjosisworo, Soedjono. 2002. Pengadilan Hak Asasi Manusia. Bandung: PT Citra Bakti. Donnely, Jack. 1993. International Human Right. Western Press, Boulder San Francisco, Oxford. 276
. 1989. Universal Human Rights in Theory and Practice. Ithaca: Cornel University Press. Dueck, Guzman, Cerstappen. 2001. A Tool for Documenting Human Rights Violation. (Second, Revised Edition). Versoix Switzerland. Effendi, Masyhur A. 1980. Tempat Hak-hak Asasi Manusia dalam Hukum Internasional/Nasional. Bandung: Alumni. Elsam. 2000. Statuta Roma Mahkamah Pidana International, Mengadili: Genosida, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan, Kejahatan Perang, Agresi. . 2001. Instrumen Pokok Hak Asasi Manusia Internasional bagi Aparatur Penegak Hukum. . 4 Juli 2002. Preliminary Conclusive Report, Perkara Timbul Silaen, Abelio Soares dan Herman Sediyono dkk. . 13 September 2002. Progres Report VI, Mencermati Tiga Kasus Utama Adam Damiri, Tono Suratman, dan Eurico Gutteres. . 12 November 2002. Progres Report VIII, Pengadilan HAM Ad Hoc Kasus Timtim: Posisi Eurico dalam Kasus Kejahatan Terhadap Kemanusiaan di Timtim. . 20 Desember 2002. Progres Report IX, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Tanpa Penanggung Jawab. . 2004. Progres Report #5, Monitoring Pengadilan Tanjung Priok: Pembuktian Tanggung Jawab Komando. English, Kathryn and Stapleton, Adam. 1997. The Human Rights Handbook: A 277
Practical Guide to Monitoring Human Rights. Ndabeni Western Cape, The Rustica Press Ltd. Fairchilds, Erika and Dammer, Harry R. 2001. Comparative Criminal Justice Systems. Australia: Wadsworth Thomas Learning. Farid, Andi Zainal Abidin. 1987. Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Bandung: Alumni. Forsythe, David P. (ed.). 2000. Human Rights and Comparative Foreign Policy. Tokyo: United Nation University Press. Groome, Dermont. 2001. The Handbook of Human Rights Investigation: A Comprehensive Guide to the Investigation and Documentation of Violent Human Rights Abuses. Massachusetts: Northborough. Hamzah, Andi. 1983. Pengantar Hukum Acara dan Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. . 1986. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. . 1999. Sistem Pidana clan Pentidanaart Indonesia. Jakarta: PT Pradnya Paramitha. Harahap, Yahya M. 1993. Pembahasan Permasalahan dan Penerangan KUHAP Jilid I & II. Jakarta: Pustaka Kartini. Hadjon, M. Philipus. 1987. Perlindungan Hukum bagi Rakyat, di Indonesia. Surabaya: PT Bina llmu. Harries, D. J. 1998. Cases and Materials in International Law. London: Sweet & 278
Maxwell. Heinz, Jacob, Lineberry. 1983. Crime in City Polities. Longman. Hesse, Carla dan Robert Post, eds. 1999. Human Rights in Political Transitions: Gettysburg to Bosnia. New York: Zone Books. Howard, Rhoda IJ. 2000. Human Rights and the Search for Community, atau HAM: Penjelajahan
Dalih
Relativisme
Budaya.
(Terjemahan)
Nugraha
Katjasungkana. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti. Human Rights Watch. 2004. Genoside War Crimes and Crimes Against Humanity, Toical Gigest of the Case Law of the International Criminal Tribunal for Rwandci and the International Griming! Tribunal far the Former Yugoslavia. Ibrahim, Idi Subandy, (ed.). 2002. Selamat Jalan Timor Timur, Pergulatan Menguak Kebenaran: Penuturan Apa Adanya Seorang Wiranto. Jakarta: Ide Indonesia. International Commission of Jurists. 1966. The Role of Law and Human Rights: Principles and Definitions, Geneva: International Commissions of Jurists. International Law Commission, 2001, Draft Article on Responsibility of State for Internationally Wrongful Act Adopted by the Drafting Committee on Second Reading, Geneva. Istanto, E Sugeng. 1998. Hukum Internasional. Yogyakarta: Universitas Atmajaya. Jorgensen, Nina H. B. 2000. The Responsibility of States for International Crime. Oxford University Press. 279
Kanter, EY, et al. 1982. Asas-asas Hukum Pidana Indonesia dan Penerapannya. Jakarta: Alumni AHM-PTHM. Kaligis, O. C. 2005. Misteri Tragedi Trisakti. Jakarta. 0. C. Kaligis Associate. Kalshoven, Frits. 1973. The Law of Warfare. A. W. Sijthoff, Leiden, Henry Dunant Institute, Geneva. Karnasudirdja, Eddy Djunaedi. 2003. Dari Pengadilan Militer Internasional ke Pengadilan Hak Asasi Manusia. Jakarta: PT Tata Nusa. . 2000. Mengapa Amerika Tidak Setuju dengan Statuta ICC. Pusdiklat MA-RI. .2005. Tanggung lawab SeorangAtasan Terhadap Bawahan yang Melakukan Pelanggaran HAM Berat dan Penerapannya oleh Pengadilan Pidana Internasional dan Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia. Jakarta: LPPHAN. . 2005. Putusan-putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Mengenai Peradilan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Indonesia. Jakarta: LPPHAN. Kasim,
Ifdal
dan
Tene,
Eddy
Riyadi.
2003.
Kebenaran
dan
Kendala
Pertanggungjawaban Pelanggaran HAM di Masa Lalu. Jakarta. . 2003. Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan Internasional. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Kittichaisaree, Kriangsak. 2001. International Criminal Law. Oxford University Press. 280
Komnas HAM. 2000. Hak Asasi Manusia, Penyelenggaraan Negara yang Baik, dan Masyarakat Warga. Kusumaatmadja, Mochtar & Agus Etty R.v. Pengadilan Hukum Internasional. Bandung: Alumni. Lee, Roy S. 1999. The International Criminal Court, The Making of the Rome Statuta, London-Boston: The Hague. Lembaga Kajian Hak Asasi Manusia, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM-ASIA), didukung Uni Eropa (European Union), Rome Statute of the International Criminal Court (ICC), Terjemahan, Satya Arinanto, Patricia Rinwigati. Jakarta. Lewis, Leah. 1987. Hak-hak Asasi Manusia. Jakarta: Pradnya Paramitha. Lopa, Baharuddin. 1987. Permasalahan Pembinaan dan Penegakan Hukum di Indonesia. Jakarta: Bulan Bintang. Loekman, Lobby. 2003. Penafsiran dan Pembuktian dalam Hukum Pidana. Jurnal Pusdildat MA-RI, vol. 2 No. 5 Tahun 2002. Jakarta. Lubis, Todung Mulya. In Search of Human Right Legal-Political Dilemmas of Indonesia's New Order, 1990-1996. . et al., eds. 1981. Laporan Keadaan Hak-hak Asasi Manusia Indonesia. Jakarta: Sinar Harapan dan YLBHI. Malian, Sobirin. 2003. Pendidikan Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia. UII Press. Manan, Bagir. 2005. Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian. Yogyakarta: 281
Fakultas Hukum UII Press. Maruna, Bur. 2005. Hukum Internasional. Edisi Kedua. Bandung: Alumni. Marbun,
Candra
Gautama.
2000.
Penyelenggara
Negara
yang
Baik
dan Masyarakat Warga. Kamus Nasional Hak Asasi Manusia. Martowirono, Suwardi. 2002. Makalah tentang Pengadilan HAM di Indonesia. Diklat MA-RI. Materi Training. 26 April 2002. Advanced Training for Indonesian Human Right Courts: Judging International Crimes Under Law 26/2000. Materi Lokakarya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. 20-21 Juni 2002. Tanggung Jawab Komando: Mengembalikan Kehormatan Komandan, Laporan Lokakarya Internasional: Kejahatan Terhadap Kemanusiaan. Jakarta. Meijer, Martha, (ed.) 2001. Dealing with Human Rights: Asian and Peluang & Tantangan Eksistensi Pengadilan HAM di Indonesia Western Views on the Value of Human Rights. Oxford: World View Publishing Bekerja Sama dengan The Netherlands Humanist Committee of Human Right. Meron, Theodor. 1987. Human Rights in Internal Strife: Their International Protection. Public Publishing, Committee of Human Rights. Muljafio. 1978. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. . 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara. Muhammad, Abd. Kadir. 1997. Etika Profesi Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti. Muladi dan Barda NaWawi Arif. 1992. Teori-teori Kebijakan Pidana. Bandung: 282
Alumni. . 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni. . 1992. Demokratisasi dalam Penegakan Hukum Pidana. Majalah Hukum GAMA. September II. Jakarta. . 1991. Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana. Bandung: Sekolah Tinggi Hukum. . 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Muntarbhom, Vivit. 2003. International Humanitarian Law and the International Criminal Court, Paper pada International Seminar or Major Issues Relating to the ICC. China: Haikou. Murfaizi. Megatrends Kriminalitas, Jakarta: PT Citra. Newman, Frank dan David Weissbrodt. 1990. International Human Rights: Law, Policy, and Process, Cincinnati: Anderson Publishing, Co. Nizar, M. Said. 2001. Collected Papers on Human Rights. Makassar, Indonesia. . 2006 Kewarganegaraan, Tinjauan Asas-asas Kewarganegaraan dalam Perspektif HAM. Komnas HAM, Jakarta. Nusantara, Abdul Hakim Garuda, et a1.,1980. Pemikiran Pembangunan Hukum di Indonesia. Bandung: Alumni. Pangaribuan, Luhut M. P. dan Benny K. Harman, eds. Hak Rakyat Atas Pembangunan: 40 Tahun Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia. Jakarta: YLBHI. 283
Parker, L. Herbert. 1968. The Limits of Criminal Sanction. California: Stanford University Press, Poerbopranoto, Kuntjoro. 1982. Hak-hak Asasi Manusia dan Pancasila. Jakarta: Pradnya Paramitha. Poernomo, Bambang. 1992. Asas-asas Hukum Pidana. Edisi Revisi. Jakarta: Ghalia Indonesia. . 1998. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Yogyakarta: Amarta Buku. . 2002. Konsep Adaptasi Hukum Pidana International dalam Era Globalisasi Hukum di Indonesia. Makalah. Jakarta. Puslitbang, Diklat MA. 2001. Kapita Selekta Hak Asasi Manusia. Sekretariat Jenderal Mahkamah Agung RI, Jakarta. Reksodiputro, Margono. 1977. Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana. Buku II. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengembangan Hukum (D/L. Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, Jakarta. Renteln, Alison Dundes. 1990. International Human Rights: Universalisme versus Cultural Relativism. Newbury Park: Sage Publication. Robertson, Geoffery. 1999. Crimes Against Humanity. The Struggle for Global Justice, Penguin Book Ltd. Harmondsworth, Middlesex, England. Rolling, B. V. A. Rutten C. V. eds. April 29. 1946, November 12, 1948. The Tokyo Judgment: The International Military Tribunal of the Far East. Rukmini, Mien. 2003. Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah dan 284
Asas Persamaan Kedudukan dalam Hukum pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Bandung: Alumni. Saleh, Roeslan. 1982. Pikiran-pikiran tentang Pertanggungjawaban Pidana. Jakarta: Aksara Baru. . 1982. Sifat Melawan Hukum dan Perbuatan Pidana. Jakarta: Aksara Baru. . 1983. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban dan Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana. Jakarta: Aksara Baru. Santosa, Mas Ahmad. 2001. Good Governance Hukum Lingkungan. ICEL. Saputra, Sidik. 2004. Hukum International dan Berbagai Permasalahannya, LDHI, Fakultas Hukum UI, Depok, Jakarta. Sarwoko, Djoko. 2002. Makalah tentang Hak Asasi Manusia. Diklat MA-RI. Scallmeister, D. et al. Terjemahan J. E. Sahetapy. 1995. Hukum Pidana, Konsorsium Ilmu Hukum Pidana. Yogyakarta: PT Liberty. Schermers, FLG. 1985. International Publielcrecht voor de Rechtspraktijke, deerde drug. Kluwer-Deventer. Schabas, William A. 2001. An Introduction to the International Criminal Court. Cambridge University Press. Shauss, Ansele, et al. 2003. Basic of Aqualitative Research. Terjemahan Muhammad Sidik et al. Penelitian Kualitatif. Pustaka Pelajar. Singh, Bilveer. 1998. East Timor, Indonesia, and the World: Myths and Relities, atau Timor Timur, Indonesia, dan dunia: Mitos dan Kenyataan. Terjemahan Tim 285
Institute for Policy Studies (IPS). Jakarta. Sliedregt, E. van. 2003. The Criminal Responsibility of Individual for Violation of IHL. TMC Asser Press, The Hague. Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-faktor yang Memengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada. Steiner, Henry J. and Philip Alston. 1996. International Human Rights in Context Law, Politics Morals. Oxford: Clarendon Press. Sudarto. 1993. Hukum dan Hakim Pidana. Bandung: Alumni. . 1983, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat (Kajian terhadap Pembaruan Hukum Pidana). Bandung: Sinar Baru. Sudjana, Eggi. 2002. HAM dalam Perspektif Islam: Mencari Universalitas HAM bagi Tatanan Modernitas yang Hakiki. Jakarta: Nuansa Madani. Sumodiningrat, Gunawan dan Ibnu Purna. 2004-2005. Landasan Hukum dan Rencana Aksi Nasional HAM di Indonesia. Sekretaris Wakil Presiden RI, Sekretariat Negara, Jakarta. . 2003. Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Konteks Nasional dan International. Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional. Sunga, L. S. 1997. The Emerging System of International Criminal Law. The Hague Kluwer Law International. Svensen-Mc.Carty, dan Anna-Lena. 1998. The International Law of Human Rights and States of Exception with Special Reference to the Travaux Preparatories and Case Law of the International Monitoring Organs. The Hague: Martinus 286
Nijhoff Publishing. Teitel, Ruti G. 2000. Transitional Justice. Oxford University Press. Thantowi,
Jawahir.
2002.
Hukum
International
di
Indonesia,
Dinamika
dan Implementasinya dalam Beberapa Kasus Kemanusiaan. Trifferer, Otto. 1999. Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court. Nomos Verlangsgesellschaft, Baden-Baden, Zulsburg, Austria. Weissbrodt. 2001. The Right to a Fair Trial, Article 8,10 and of the Universal Declaration of Human Right. Martinus Nijhoff Publisher, The Hague, Boston-London. Wignjosoebroto, Soetandyo. 2003. Hubungan Negara dengan Masyarakat dalam Konteks Hak Asasi Manusia: Sebuah Tinjauan Historis dari Perspektif Relativisme Budaya Politik. Makalah, BPHN, Jakarta. United Nations. 1993. A Compilation of International Instruments, Volume 1. New York. . 1987. Human Rights: Questions and Answers. New York: United Nations. . 2002. Human Development Report 2002: Deepening Democracy in a Fragmented World. New York: Oxford University Press. Zamzami,
Amran.
2001.
Tragedi
Anak
Bangsa:
Pembantaian
Teungku
Bantaqiah dan Santri-santrinya. Jakarta: Bina Rena Pariwara.
287
B. JURNAL DAN MAKALAH Abueva, Jose V. "Democratization in Indonesia: Harmonizing Particularistic Elements with Universal Values of Democracy and Human Right". Paper Presented on the Inauguration and Colloquium of the Habibie Center in Jakarta, 22-24 May, 2000. Alagappa, Muthiah. "The Shifting Views of Civil and Military Relation in Indonesia". Paper Presented on the Inauguration and Colloquium of the Habibie Center in Jakarta, 22-24 May, 2000. Arinanto., Satya. Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Perspektif Nasional dan Internasional. Jakarta, 2000. .
Beberapa
Catalan
tentang
Rancangan
Undang-Undang
Pengadilan Hak Asasi Manusia. Disampaikan dalam forum "Penataran Hukum Humaniter Tingkat Lanjutan, Kerja Sama Unit Kajian Hukum Humaniter dan HAM", FH Unversitas Syiah Kuala, dengan ICRC Regional Jakarta di Banda Aceh, 13 April 2000. . Pengaturan HAM dalam Rangka Perubahan UUD 1945. Disampaikan dalam "Seminar tentang Amendemen UndangUndang Dasar 1945". Diselenggarakan oleh BPHN Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, di Jakarta, 9-10 Oktober 2001. ,Tantangan dalam Penyelesaian Kasus-kasus Pelanggaran HAM di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Disampaikan dalam Workshop yang diselenggarakan oleh Pusat Studi HAM Universitas Syiah Kuala Kerja Sama 288
dengan Partnership for Governance Reform in Indonesia di Banda Aceh, 17 Juni 2001. Asshiddiqie, Jimly. Dirrzensi Konseptual dan Prosedural Pemajuan Hak Asasi Manusia Dewasa Ini (Perkembangan ke Arah Pengertian Hak Asasi Manusia
Generasi
Keempat).
Disampaikan
dalam
diskusi
tentang
Perkembangan Pemikiran mengenai Hak Asasi Manusia, diselenggarakan oleh Institute for Democracy and Human Rights, The Habibie Center, Jakarta, 2000. Atmasasmita, Romli. Latar Belakang Penyusunan Undang- Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Disampaikan dalam "Seminar Nasional Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia", diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundang-undangan RI, Jakarta, 16 Februari 2000. Costello, Charles, "Harmonizing Human Rights with Democratic Political Systems". Paper Presented on the Inauguration and Colloquium of the Habibie Center in Jakarta, 22-24 May, 2000. Crouch, Harold, "Changing Civil-Military Relation in Democratizing Indonesia". Paper Presented on the Inauguration and Colloquium of the Habibie Center in Jakarta, 22-24 May, 2000. Emmerson, Donald K. Has the Kettle Boiled Over? Democracy and Violence in Indonesia. Paper Presented on the Inauguration and Colloquium of the Habibie Center in Jakarta, 22-24 May, 2000. 289
Goldman, Robert K. International Law and Amnesty Laws. Human Rights Internet Reporter, Volume 12, Number 2, Winter, 1998. Gray, Mary W "Impact of the Proposed Civil Rights and Women's Equity in Imployment Act on Colleges and Universities. The Journal of College and University Law, Spring 1992. Loqman, Lobby, Aras Berlaku Surut dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia. Disampaikan dalam "Seminar Nasional Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia", diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Hukum dan Perundangundangan RI, Jakarta, 16 Februari 2000. Mahendra, Yusril Ihza. Masalah-masalah di Sekitar Pengadilan Hak Asasi Manusia. Orasi disampaikan pada Acara Wisuda Sarjana FH Universitas Indonesia di Jakarta, 12 Februari 2000. Martosoewignyo, Sri Sumantri. Dasar Konstitusional tentang HAM di Indonesia (Constitutional Basis on Human Rights in Indonesia). Makalah, Jakarta, 28 Februari 1999. Martowirono, Suwardi. Pengadilan Pidana Internasional (International Criminal Court). Disampaikan dalam "Semiloka tentang Hukum Internasional Humaniter dan Pengadilan Pidana Internasional di Masa Depan", diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI, bekerja sama dengan ICRC di Jakarta, 7-8 Februari 2000. Muladi. Asas Legalitas (Principle of Legality) dalam Kaitannya dengan Pengadilan HAM. Disampaikan dalam "Seminar Nasional Rancangan Undang-Undang 290
tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia", diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI, di Jakarta, 16 Februari 2000. , Prospek Pengaturan Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) di Indonesia. Disampaikan dalam "Seminar Nasional Rancangan UndangUundang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia", diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan Perundang-undangan RI, di Jakarta, 16 Februari 2000. Nusantara, Abdul Hakim Garuda. Mengadili Kasus-kasus Pelanggaran Hak Asasi Manusia: Pengalaman Beberapa Negara. Disampaikan dalam "Seminar Nasional Rancangan Undang-Undang tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia", diselenggarakan oleh Departemen Hukum dan Perundangundangan RI, di Jakarta, 16 Februari 2000.
291
C. ARTIKEL DAN SURAT KABAR Antara/Bdm.
"Dewan
Perwakilan
Rakyat
Didesak
Ungkap
Kasus
Penembakan Mahasiswa Trisakti". Kompas, 5 April 2000, h. 8. Bdm. "Hak Asasi Manusia Tersubordinasi Persoalan Politik". Kompas, 13 Maret 2002, h. 7. . "KPP Hak Asasi Manusia Trisakti Siapkan Laporan Akhir". Kompas, 18 Maret 2002, h. 7. Budiardjo, Miriam, "Hak Asasi Manusia (HAM) dan Demokrasi Masa Transisi". Kompas, 9 Februari 2002, h. 4. Bur. "Kasus Trisakti Disidangkan tanggal 18 Januari". Kompas, 15 Juni 2001, h. 7. , "Komnas Hak Asasi Manusia Tak Berwenang Menyelidiki Pelanggaran HAM Berat". Kompas, 30 Maret 2002, h. 6. Sah. "Menkeh dan
HAM:
Tidak Ada
Masalah dengan
Undang-Undang
HAM dan Pengadilan HAM". Kompas, 6 Maret 2002, h. 7. . "Eksepsi Kuasa Hukum Abilio Soares: Pengadilan HAM Timor Timur Bertentangan dengan UUD 1945". Kompas, 22 Maret 2002, h. 7. . "Nasib Pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) Abepura di Ujung Tanduk". Kompas, 25 Maret 2002, h. 6. . "Sidang Pengadilan HAM Ad Hoc Timor Timur: Asas Nonretroaktif Tak Dapat Diterima". Kompas, 30 Maret 2002, h. 6. . "Jaksa: Kita Mampu Mengadili Pelanggaran Hak Asasi Manusia". Kompas, 3 April 2002, h. 7. 292
. "Menahan Tiga Warga Timor Timur yang Bebas, Jaksa Dipraperadilankan". Kompas, 4 April 2002, h. 7. . "Lemah Eksplorasi atas Wiranto dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc". Kompas, 6 April 2002, h. 6. . "Hakim Tolak Eksepsi: Rasa Keadilan Lebih Tinggi dari Kepastian Hukum". Kompas, 10 April 2002, h. 7. . "Sidang Pengadilan HAM Ad Hoc Adam Damiri: TNI Tak Kenal Milisi Pro-Integrasu". Kompas, 12 April 2002, h. 7. . "Kerusuhan di Rumah Uskup Belo Tidak Diprediksi Aparat". Kompas, 19 April 2002, h. 6.
293
D. KASUS PENGADILAN Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia. "Laporan Akhir Komisi Penyelidikan Pelanggaran Hak Asasi Manusia di Timor Timur (KPPHAM)". Jakarta, 31 Januari 2000. Pengadilan HAM Ad Hoc pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. "Putusan Sela Nomor 01/Pid.HAM/AD.HOC/2002/PH.JKT. PST. dalam perkara Terdakwa Abilio Jose Osorio Soares (mantan Gubernur KDH Tingkat I Timor Timur". Jakarta, 1 April 2002. . "Putusan Nomor 09/Pid.HAM/AD.HOC/2002/PH. JKT.PST. dalam Perkara Terdakwa Adam R. Damiri (mantan Pangdam Udayana)". Jakarta, 29 Juli 2002. Penuntut Umum Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM Berat di Timor Timur Kejaksaan Agung Republik Indonesia. "Surat Dakwaan Nomor Registrasi Perkara 02/HAM/TimTim/02/2002, atas nama Terdakwa Abilio Jose Osorio Soares". Jakarta, 20 Februari 2002. .
"Surat
Dakwaan
Nomor
Registrasi
Perkara
OS/HAM/
Timtim/OS/2002, Atas Nama Terdakwa Drs. Hilman Gultom". Jakarta, 31 Mei 2002. .
"Surat
Dakwaan
Nomor
Registrasi
Perkara
08/HAM1
TimTim/OS/2002, Atas Nama Terdakwa Eurico Guetteres". Jakarta, 31 Mei 2002. "Tanggapan/Pendapat atas Nota Keberatan/ Eksepsi Tim Penasihat Hukum Atas Nama Terdakwa Abilio Jose Osorio Soares". Jakarta, 28 Maret 294
2002. Tim
Penasihat
Hukum
Abilio
Jose
Osorio
Soares.
"Surat
Nomor
021TPHAJOS.III/02, ditujukan kepada Ketua MPR RI tentang Permohonan Hak Uji Materiil Terhadap Pasal 43 Ayat (1) UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia". Jakarta, 18 Maret 2002. . "Keberatan Terhadap Dakwaan Jaksa Penuntut Umum Ad Hoc Perkara Pelanggaran HAM Berat di Timor Timur Nomor Registrasi Perkara 01/Pid.HAM/Ad Hoc/2002/PH. Jkt.Pst Atas Nama Terdakwa Abilio Jose Osorio Soares". Jakarta, 21 Maret 2002. . "Duplik dalam Perkara Nomor 01/Pid.HAM/Ad Hoc/ 2002/PH. Jkt.Pst di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Atas Nama Terdakwa Abilio Jose Osorio Soares". Jakarta, 1 Agustus 2002. Tim Penasihat Hukum Terdakwa Brigjen Pol. Drs. Jonny Wainal Usman, "Pembelaan terhadap terdakwa dalam Pelanggaran HAM be-rat Abepura dalam perkara Nomor 01/Pid.HAM/Abepura1/2004/ PN Mks tanggal 07 Juli 2005. Tim Penasihat Hukum Terdakwa Kombes Pol. Drs. Daud Sihombing, S. H. "Pembelaan Terhadap Terdakwa dalam Pelanggaran HAM be-rat Abepura dalam Perkara Nomor 02/Pid.HAM/Abepura/2004/ PN Mks. Tim Penasihat Hukum Terdakwa Rudolf Adolf Butar-Butar. "Pembelaan Terhadap Terdakwa dalam Pelanggaran HAM Berat Tanjung Priok dalam Perkara Nomor 03/Pid.HAM/AD HOC/2003/PN JKT.PST, tanggal 07 April 2004.
295
E. UNDANG-UNDANG DAN INSTRUMEN INTERNASIONAL International Couvenant on Civil and Political Right, General Assembly Resolution 2200 A (XXI). Desember 1966. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Indonesia. Optional Protocol to the International Covenant on Civil and Political Right, General Assembly Resolution 2200 A (XXI). 16 Desember 1966. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia.
296
CURRICULUM VITAE
297
III. Seminar/Lokal Karya/Temu Ilmiah 1. Temu Karya "Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi Di Bidang Perbankan", sebagai peserta diselenggarakan oleh IKAHI, Bank Indonesia dan PERBANAS, tanggal 13 Maret 1991 di Jakarta. 2. Seminar" Uang Paksa (Dwangsom) 3. Penyelenggara Universitas Nasional Jakarta, sebagai pembicara, di Jakarta 298
1991. 4. Seminar "Pengarus Globalisasi PW Common Law dan Civil Law (khusus B.W), sebagai peserta diselenggarakan oleh IKAHI dan INI, tanggal 3 Maret 1992 di Jakarta. 5. Temu Ilmiah" Masalah Yang Timbul Dalam Penanganan Kredit Macet Yang Ditangani
Oleh
PUPN
dan
Pengadilan
Negeri",
sebagai
peserta,
penyelenggara PP . IKAHI, tanggal 19 April 1994 di Jakarta. 6. Seminar "Status Hukum dan Perlindungan Hukum bagi Petani/Penggarap pada lahan di daerah Pariwisata Lombok " Penyelenggara Universitas Mataram, sebagai pembicara/ penyaji, Mataram Lombok 1996. 7. Temu Ilmiah " Pemantapan Wawasan Strategic Di Bidang Teknis dan Administrasi Peradilan ", Penyelenggara Mahkamah Agung, sebagai penceramah, di Jakarta 1997. 8. Penyegaran "Peraturan Kepailitan", Penyelenggara Mahkamah Agung RI, di Jakarta 1998. 9. Konferensi 150 tahun Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Indonesia "Hukum Perdata Sebagai Dasar Hukum Kepailitan Modern" Penyelenggara BPHN dan Universitas LEIDEN Belanda, sebagai peserta, Jakarta 1999. 10. Temu Karya "Transaksi Perivatif". Penyelenggara Centre For Legal Studies, sebagai peserta, di Jakarta 1999. 11. Diskusi Terbatas "Pedoman Penanggulangan Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat", Penyelenggara Departemen Kehakiman dan HAM, sebagai pembicara, 299
di Palu 2002. 12. Loka Karya "Peran Mediator Dalam Penyelesaian Sengketa", Penyelenggara Assosiasi Pewarta Pemerhati Indonesia di Jakarta, 2006. 13. Seminar Perlindungan Tenaga Kerja, Penyelenggara KOMNAS HAM, Sebagai Pembicara, Batam 2006. 14. Loka Karya, Intelectual Property Right, Penyelenggara WTO, Peserta, Hongkong, 2006. 15. Seminar Nasional Perlindungan dan Upaya Mencari Solusi atas Mesteri Alih Status Kepegawaian PERJAN menjadi Pegawai PERUM dibalik Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa, Penyelenggara Fakultas Hukum UGM, Sebagai Pembicara, Yogyakarta 2006. IV. KEGIATAN ILMIAH LAINNYA 1. Sebagai Tenaga Pengajar/Penceramah : Aktif menyampaikan kuliah dan ceramah pada berbagai kampus dan forum ilmiah lainnya, diantaranya : a. Dosen luar biasa pada Univ. Hasanuddin Makassar 2003 – sekarang b. Dosen luar biasa pada Universitas Nasional Jakarta 1990 sekarang (non aktif) c. Pendidikan Calon Hakim di Jakarta : 1992,1993, 1998,1999, dan 2000. d. Pelatihan Wakil Ketua Pengadilan Tinggi/Hakim Tinggi : 1993,1994 Se Indonesia di Bandung. e. Pelatihan Biro Hukum Pemda Se Indonesia Jakarta 1997 f. Pendidikan Panitera dan Jurusita se Indonesia di Jakarta: 1998.1999 300
g. Pendidikan Legal Devisi BNI Se Indonesia di Jakarta 1999 dan 2004 h. Pendicifkan Calon Pengacara di Yan Apul Associate 1997 s/d di Jakarta 2000 i. Pelatihan Hakim Pengadilan Negeri Se Indonesia 1997,1998, di beberapa tempat 1999,2000, 2002 j. Pelatihan Hakim Tinggi Se Indonesia di Jakarta : 2000 k. Pelatihan Asisten Hakim Agung Mahkamah Agung RI 2002 di Jakarta. l. Pelatihan Khusus Hakim Pengadilan Negeri : 2002 (Calon Pimpinan) Se Indonesia di Batu-Malang. m. Pelatihan Hakim Wilayah Indonesia Timur : 2003 di Makassar. n. Pelatihan Hakim Wilayah Sulawesi Utara dan Tengah 2003 di Manado. o. Pelatihan Panitera se Jawa : 2004 p. Pelatihan Hakim Khusus se Jawa di Yogyakarta : 2003 q. Pelatihan Hakim Ad Hoc PHI di Jakarta : 2006 r. Pelatihan Hakim (karier) PHI di Jakarta : 2006 Pelatihan Hakim di Medan, Jakarta, Malang, Makassar : 2006 Jayapura dan Mataram s. Pelatihan Ketua dan Panitera PHI se Indonesia : 2006 di Malang t. Kursus LEMHANAS Jakarta : 2006 2. Penulis Telah menulis berbagai artikel ilmiah dan makalah, baik di Jurnal Ilmiah yang terakreditasi secara Nasional maupun di Jurnal Ilmiah yang terakreditasi secara Internasional, diantaranya : a. Opportunity And Challenge The Existence of The Human Right Court In 301
Indonesia, Diterbitkan oleh Journal of Civilization, Volume III Number 7, ISSN 1675-842, April 2009, Universiti Kebangsaan Malaysia. b. Dwangsom (uang paksa) Jilid I dan II, Buku bacaan wajib bagi Hakim, Diterbitkan oleh Mahkamah Agung RI tahun 1993 c. Membuat Memori Banding dan Kasasi, diberikan pada Pelatihan Biro Hukum Pemda Se Indonesia di Jakarta tahun 1997. Diselenggarakan oleh Departemen Dalam Negeri RI. d. Keadilan GENDER dalam Putusan Mahkamah Agung, pada Seminar Keadilan GENDER di Tanjung Karang, Tahun 1999, diselenggarakan oleh IWAPI dan IKAHI Pusat. e. Perkembangan Yurisprudensi-diberikan pada peserta Pelatihan Hakim Se Indonesia, di beberapa daerah/wilayah Pengadilan Tinggi, diselengarakan oleh Mahkamah Agung tahun 1999. f. Pemeriksaan Perkara Perdata di Tingkat Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, diberikan pada Peserta Pelatihan Legal Divisi BNI tahun 1999, diselenggarakan oleh BNI Pusat. g. Pembatasan Upaya Hukum Kasasi, diberikan pada Seminar IKAHI, 1998, diselenggarakan oleh IKAHI Pusat. h. Putusan", Mahkota Hakim, diberikan pada Pelatihan Hakim di beberapa Daerah di Indonesia, tahun 2000, diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI. i. Tehnik membuat Resume dan Konsep Putusan Mahkamah Agung, diberikan pada Pelatihan Asisten Hakim Agung 2002, diselenggarakan oleh Mahkamah Agung 302
RI. j. Kapita Selekta Hukum Acara Perdata, diberikan pada Pelatihan Hakim di Kupang (Juni 2002), Makassar Uuni 2002), Banjarrnasin (Juli 2002), Kendari (Agustus 2002) di Malang (September 2002), diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI. k. Gugatan dan Putusan Provisi serta eksekusi serta merta, diberikan pada Pelatihan Khusus Hakim (Caton Pimpinan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama) di Malang (September 2002), diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI. l. Titik Singgung Arbitrase dengan Pengadilan Negeri, diberikan pada pelatihan Khusus Hakim (Caton Pimpinan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama) di Malang (September 2002), diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI. m. Beberaipa tulisan pilihan yang dimuat oleh Varia Peradilan, antara lain;
Surat Kuasa Mutlak.
Surat Dakwaan.
Gugatan Provisi.
Etika Moral Hakim.
n. Kajian Terhadap Pedoman Penanggulangan Pelanggaran HAM Berat, makalah dipresentasikan pada diskusi terbatas antar Pejabat dan Lembaga Masyarakat Sulawesi Tengah di Palu, tanggal 17 Oktober 2002, diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan HAM — Departemen Kehakiman dan HAM RI. o. Masalah Surat Gugatan, Sita Jaminan, makalah dibawakan pada Pelatihan Hakim di Menado, Juli 2003 p. Eksekusi Putusan Hakim yang telah berkekuatan Hukum Tetap, makalah 303
dibawakan pada Pelatihan Hakim di Makassar, Juni 2003. q. Masalah Perdamaian, makalah dibawakan pada Pelatihan Hakim di Manado dan Makassar 2003. r. Perilaku Kepemimpinan Pengadilan, makalah dibawakan pada Pelatihan Panitera di Yogyakarta, Maret 2004. s. Peran Mediator Dan Arbiter Dalam Penyelesaian Sengketa", Makalah dalam diskusi tingkat nasional yang diselenggarakan oleh Assosiasi Pewarta Pemerhati Indonesia, 7 Juni 2006. t. "Perlindungan Hak-Hak Pekerj a Serta Re alisasinya Di Indonesia", Makalah dalam Loka Karya, penyelenggara KOMNASHAM, 30 Mei 2006. u. "Sistem Dan Strategi Peradilan Indonesia", Penyelenggara LEMHANAS, Makalah dimuka kursus Lemhanas, 22 Juni 2006. 3. Anggota Tim Penyusunan : a. Revisi Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Buku II (MA)1998. b. Yurisprudensi Perbankan (BPHN), 1999-2000. c. Yurisprudensi Perseroan Terbatas (BPHN), 1999-2000. d. Yurisprudensi Putusan-Putusan Mahkamah Agung RI, 19972001. e. Wakil Ketua Penyusunan Kode Etik Hakim Indonesia (IKAHI), 2000. f. PERMA tentang Gijzeling (MA), 2000. 4. Anggota Kelompok Kerja Mahkamah Agung RI a. Perdata Niaga, 1998-2000. 304
b. Arbitrase (sebagai Sekretaris), 2000. c. Ketua Pokja PHI, 2006. d. Direktur Proyek Perubahan PERMA No.2 Tahun 2003, kerja sama dengan Pemerintah Jepang, 2006. 5. Orasi Ilmiah Telah menyampaikan orasi ilmiah dengan berbagai tema/topik tentang hukum, penegakan hukum, maupun Hak Asasi Manusia dan penegakannya di berbagai kampus dan forum ilmiah lainnya, baik yang berskala nasional maupun internasional.
305
Para Editor
Dr. Hamzah Halim, S.H. M.H, pria kelahiran Kanang, 15 Januari 1974 ini aktif sebagai pengajar tetap di Fakultas Hukum UNHAS dan beberapa perguruan tinggi swasta lainnya di Makassar. Beliau juga merupakan penasihat/konsultan hukum tetap Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan dan beberapa perusahaan lainnya. Di camping sebagai dosen, beliau juga aktif di berbagai lembaga swadaya masyarat, di antaranya sebagai pendiri dan pembina GARDA TIPIKOR-UNHAS, Hasanuddin Law Student Center, Center for Law and Local Authonomy Studies, serta Ketua Masyarakat Pemantau Peiadilan Indonesia (MaPPI) UNHAS. Tulisan beliau seputar hukum dan yang berkaitan dengannya telah dipulikasikan di berbagai jurnal ilmiah hukum terakreditasi nasional dan disampaikan dalam berbagai seminar serta pelatihan hukum. Dr. Slamet Sampurno, S.H., M.H., kelahiran Makassar 11 April 1968, menyelesaikan pendidikan pascasarjananya pada Universitas Airlangga, Surabaya (Magister Hukum, 2002 dan Doktor Ilmu Hukum, 2004). Saat ini beliau aktif sebagai dosen tetap di Fakultas Hukum UNHAS dan di beberapa perguruan tinggi swasta di Makassar. Selain mengajar, beliau juga aktif sebagai pembicara di berbagai seminar dan pelatihan yang berkaitan dengan bidang hukum. Fajlurrahman Jurdi, S.H., pria kelahiran Bima, 13 Juli 1984 ini menyelesaikan pendidikan Strata 1 bidang hukumnya dari Universitas Hassanuddin (2008) dan saat
306
ini menjadi salah seorang kandidat magister hukum di universitas yang sama. Beliau tercatat aktif sebagai di berbagai organisasi dengan fokus sosial politik dan saat ini tercatat sebagai Wakil Ketua Masyakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI), Korwil Sulawesi, Koordinator Lingkar Studi Hukum Progrersif, UNHAS, Direktur Esekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi, dan Perubahan Sosial (PuKAP) Indonesia. Beliau juga aktif dalam dunia tulis menulis. Karyanya tersebar di berbagai media nasional dan lokal. Di antara karya yang telah dipublikasikan dalam bentuk buku adalah Komisi Yudisial: Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim (2007); Aib Politik Islam: Perselingkuhan Binal Partai-partai Islam Memenuhi Hasrat Kekuasaan (2009); Paradoks Konstitusi (2009).
307
Nama
: DR. Slamet Sampurno Soewondo, SH., MH.
Tempat Tanggal lahir
: Makassar, 11 April 1968
Agama
: Islam
Pekerjaan
: Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Alamat
: Perum Graha Indah Family J1. Borong Raya Blok B. 25 Makassar. Tlp. 0411-4664102.
Riwayat Pendidikan 1980
: Lulus SD. Kartika Chandra Kirana, Makasssar.
1983
: Lulus SMP Negeri 2, Makassar.
1986
: Lulus SMA Kartika Chandra Kirana, Makassar.
1991
: Lulus Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Makassar.
1997
: Lulus Magister Hukum di Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
2002
: Lulus Doktor Ilmu Hukum di Program Pascasarjana Universitas Airlangga Surabaya.
2004
: Lulus Diploma in Forensic Madicine (DFM) Groningen State University.
308
Kegiatan Ilmiah 1. Lokakarya Akta V AA, Universitas Hasanuddin, Makassar, 1992. 2. Temu Ilmiah Peningkatan Pelayanan Hukum Kepada Masyarakat, Makassar, 1992. 3. Seminar Nasional Hukum Perburuhan, Fak. Hukum Unhas, Makassar, 1992. 4. Seminar Nasional Hukum Tentang Perundang-undangan di bidang Ekonomi, Fak. Hukum Unhas-PERSAHI, Makassar, 1993. 5. Penataran Metodologi Penelitian Hukum, Fak. Hukum Unhas, Makassar, 1994. 6. Seminar Nasional Commercial Paper, Kerjasama Fak. Hukum Unhas-ELIPS, Makassar, 1995. 7. Seminar Nasional Consumer Law, Kerjasama UnhasELIPS Project, Makassar, 1996. 8. Kongres Nasional PERHUKI IV, Surabaya, 1996. 9. Seminar Tentang Perkelahian antar Kelompok di masyarakat Perkotaan, kerjasama POLDA Sul-SelYIPKSI, Makassar, 1997. 10. Seminar Nasional Peranan Palang Merah Internasional Dalam Pertikaian Bersenjata non-International, kerjasama Fak.Hukum Unhas-Internastonal Committee of the Red Cross (ICRC), Makassar, 1997.
309
11. Kursus Bahasa Belanda pada Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia-Belanda, Surabaya, 1999. 12.Seminar Sekolah Reguler Angkatan XXVII, SESKO TNI, Bandung, 2000 12. Kongres Nasional PERHUKI V, Jakarta, 2001. Karya Buku 1. Dokter
Asing dan Pelayanan Kesehatan Di Indonesia: Suatu Tinjauan
Yuridis (2009); 2. Pengaturan Hukum Bagi Dokter Asing di Indonesia (2009).
310
Data pribadi Nama
: Fajlurrahman Jurdi
TTL
: Bima, 13 Juli 1984
Agama : Islam Alamat : Jalan Perintis Kemerdekaan IV. No 38 Tamalanrea Makassar HP
: 085299262424
Jenjang Pendidikan 1992-1997 MIN-Ngali Belo, Bima 1997-2004 SLTP Negeri 2 Belo, Bima 2000-2003 SMU Negeri 1 Belo, Bima 2003-2008 S1 Fakultas Hukum UNHAS-Makassar Pengalaman Organisasi 2003-2004 2005-2007
Sekretaris Umum IMM Komisariat FIS UNHASMakassar Sekretaris DPD Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Sul-Sel
2008-2010
Ketua DPD IMM Sul-Sel
2003-2005
Pimpinan Cabang IMM Makassar Perintis.
2003-2005
Anggota Lembaga Pers DPD IMM Sul-Sel. 2004-2005 Ketua Kajian Strategis Komunitas Mahasiswa Bima (KMB) Makassar.
2004-2005
Wakil Ketua Majelis Tinggi Mahasiswa (MTM) Fakultas Hukum UNHAS.
311
2006-2007
Ketua Badan Kehormatan Mahasiswa (BKM) Fakultas Hukum UNHAS.
2003-2004
Sekum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Komisariat FIS UNHAS.
2007-2009
Ketua Bidang Kader Ikatan Senat Mahsiswa Hukum Indonesia (ISMAHI)
2008-2011
Wakil Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) UNHAS
2008-2010
Koordinator Lingkar Studi Hukum Progresif (LSHP) UNHAS.
2003-2004
Ketua Kajian strategic Komunitas Intelektual Muda Muslim FIS UNHAS
2004-2005
Pengurus Forum Lingkar Pena (FLP) Sul-Sel. 2008-2011 Peneliti sekaligus Redaktur Jurnal Konstitusi pada Pusat Kajian Konstitusi Universitas Hasanuddin. 2005-2008 Surveyor PT Lingkaran Survei Indonesia (LSI)-Jakarta area Sulawesi
2007-2008
Pendiri dan sekaligus Direktur Program pada INSERT Institute, Suatu Lembaga Riset dan Konsultasi Politik.
2005-2010
Kepala Bidang Riset dan Konsultasi Politik Lembaga Peduli Pembangunan Bangsa (LP2B)- Makassar
2007-2012
Peneliti lepas Pada Centre For Freedom and Social Transformation (CONTFRONT)- Jakarta 2004-2010 Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik, Demokrasi dan Perubahan Social (PuKAP)Indonesia 312
Karya Tulis: Buku: 1. Komisi Yudisial: Dari Delegitimasi Hingga Revitalisasi Moral Hakim (2007) 2. Aib Politik Muhammadiyah (2007) 3. Predator-Predator Pasca Orde Baru:Membongkar Aliansi Leviathan dan
Kegagalan Demokrasi di Indonesia (2008)
4. Aib Politik Islam: Perselingkuhan Binal Partai-Partai Islam Memenuhi Hasrat Kekuasaan (2009)
5. Membalut Luka Demokrasi dan Islam (2004) 6. Paradoks Konstitusi (2009). 7. Aib Politik Indonesia (Segera Terbit) 8. Presiden Predator (Segera Terbit) 9. Partai-Partai Predator (sedang digarap) 10.Konstitusi Republicant (sedang digarap). Editor Buku-Buku Antara Lain:
1. Feminisme Profetik (2007) 2. Trias Politica Dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (2008) 3. Jalan Terj al Good Governance: Prinsip, Konsep dan Tantangan Dalam Negara Hukum (2009)
313
4. Politik Hukum Pertanahan (2009). 5. Persekongkolan Rezim Politik Lokal (2009) 6. Quo Vadis Pendaftaran Tanah (2009) 7. Dokter Asing dan Pelayanan Kesehatan di Indonesia: Suatu Tinjauan Yuridis (2009)
8. Pengaturan Hukum Bagi Dokter Asing di Indonesia (2009) 9. Hukum Internasional (2008) 10.Islam dan Konstitusionalisme: Kontribusi Islam Dalam Penyusunan UUD Indonesia Modern (2009). Artikel dan Makalah Puluhan Artikel yang dimuat diberbagai media massa lokal dan nasional' dan ratusan Makalah yang disampaikan diberbagai forum seminar, diskusi, training dan dialog publik. Sekarang sedang melakukan riset mengenai "relasi Islam dan demokrasi lokal, studi kasus atas injeksi demokrasi liberal di Kota Palopo". Sekaligus menyelesaikan proyek pemikiran dibidang Konstitusi.
314
315