KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Sosial (S.Sos) pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatulllah Jakarta. Dalam upaya memenuhi persyaratan tersebut, maka skripsi ini ditulis dengan judul “Islam dan Negara: Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy”. Selanjutnya penulis menyadari bahwa skripsi ini terdapat banyak kesalahan, kekurangan, dan kekhilafan dalam penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa tanpa kontribusi pemikiran, gagaran serta dorongan berbagai pihak, sulit dibayangkan skripsi ini akan terselesaikan. Berkat dukungan dan bantuan dari berbagai pihak, maka sebagai ungkapan rasa hormat yang dalam, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada: 1. Bapak Dr. M. Amin Nurdin, MA. selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat; Bapak Drs. Agus Darmaji, M.Fils. selaku ketua Jurusan AF/ Pemikiran Politik Islam dan Dra. Wiwi Siti Sajorah, MA. sebagai sekretaris Jurusan Pemikiran Politik Islam. Beserta seluruh staf pengajar di Jurusan Pemikiran Politik Islam, Fak. Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Idris Thaha M. Si Selaku pembimbing skripsi, yang dengan sabar dan bijak terus membimbing, menasehati dan mengarahkan penulis untuk menghasilkan karya terbaik yang penulis miliki.
i
ii
3. Terima kasih juga saya sampaikan kepada Pak Amsal Bahtiar, Hamid Nasuhi, Ibu Hermawati, Masri Mansur, Chaider S Bamualim, dan Bakir Ihsan, atas motivasinya akhirnya saya bersemangat untuk menyelesaikan skripsi ini. 4. Ayahanda Alimuddin (Almarhum) dan Ibunda Durryiha, terimakasih atas kasih sayang, bimbingan dan motivasi yang tak kenal henti dari mereka berdua sehingga penulis mampu mengenyam pendidikan yang layak untuk bekal masa depan. Sebagai wujud terimakasih, penulis persembahkan skripsi ini untuk mereka berdua. Do’a ibu khususnya, senantiasa penulis harapkan dalam mengarungi bahtera kehidupan ini. Untuk mendiang ayah, semoga para malaikat tuhan sampaikan akan kabar bahagia ini. Trima kasih juga untuk K Harto dan adik semata wayangku Litfi Imam, teruslah berjuang sampai titik darah penghabisan. 5. Terima kasih kepada kepada orang-orang yang pernah mewarnai kehidupanku, Aliyah, Nuri, Ratu Monesa, Devi, dan Icha. Semua orang ini sangat berpengaruh dalam mewarnai kehidupanku. Meski semua harus seperti ini, tapi paling tidak skripsi ini lahir atas inspirasimu. Untuk Nuri, teruslah berjuang di IKOHI untuk membela kaum perempuan tertindas. Untuk Icha, soga kau cepat berubah semoga sifat ABG-mu cepat hilang. Untuk Ratu Monesa, aku tunggu novelmu diluncurkan. 6. Terima kasih kepada kawan-kawan Madura terutama Om Idris dan Bang Nabil, dua orang ini sangat banyak membantu dalam penyelesaian skripsi ini. Bang Katib yang jadi tim sukses Jazuli-Atut, thanks juga
iii
motivasinya, cepat cari istri dan yang penting kecilin perutnya. Temantaman Formad, Mohang, Erik, rosi, hayat, Majdi, Anis, Ojan, Robet, dan lain sebagainya, jangan pernah menyerah menghadapi kerasnya kehidupan Jalarta. 7. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada teman-teman Forsa, Inay, Aang, Oji, dan itay. Teman PST Tarbiyah, Ayu, Tika, Tuhfah, Wieji, Reni, Alimah, dan Ivah. Semuanya kau adalah bagian inspirasiku. Kritik dan Saran yang sifatnya konstruktif sangat penulis harapkan. Semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis khususnya, dan bagi masyarakat pada umumnya. Akhirnya hanya do’a jualah yang dapat penulis mohonkan kepada Allah SWT. Semoga senantiasa membimbing langkah kita menuju masa depan yang lebih baik. Amin.
Jakarta, 20 Desember 2007
Penulis
iv
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… i DAFTAR ISI ………………………………………………………………….... iv
BAB I PENDAHULUAN ………………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah …………………………………………………. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah……………………………………...5 C. Tujuan Penelitian …………………………………………………………..6 D. Metodologi Penelitian …………………………………………………….6 E. Sistematika Penyususnan …………………………………………………7
BAB II BIORAFI BAHTIAR EFFENDY……………………………………....9 A. Riwayat Hidup dan Latar Belakang Pendidikan ………………………….9 B. Karya Tulis Ilmiyah ……………………………………………………..12 C. Bahtiar Effendy dan Pemikirannya ……………………………………...20
BAB III DINAMIKA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA ………………24 A. Pertautan antara Islam dan Negara……………………………………….24 B. Ketegangan di Seputar Islam dan Negara………………………………..27 C. Islam Sebagai Kekuatan Ideologi Politik di Indonesia…………………..35 D. “Penjinakan” Islam oleh Negara…………………………………………43 1. Zaman Orde Lama …………………………………………….. 44 2. Zaman Orde Baru ………………………………………………..46
BAB IV PANDANGAN BAHTIAR EFFENDY TENTANG HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA …………………………………… 50 A. Pergeseran Paradigma Hubungan Islam dan Negara ……………………50 1. Generasi Baru Intelegensia Muslim ..................................................... 51 2. Keterlibatan Dalam Birokrasi ………………………………………...59 3. Gerakan Transformasi Sosial …………………………………………61 B. Melemahnya Kooptasi Negara atas Politik Islam ………………………..64
v
1. Panggung Politik Umat Islam ………………………………………...65 C. Arah Baru Hubungan Islam dan Negara ………………………………….67 1. Penerimaan terhadap Demokrasi …………………………………….. 68 2. Islam dan Negara: Menuju Hubungan yang Integratif ………………..73 D. Catatan Kritis ……………………………………………………………. 75
BAB V PENUTUP ……………………………………………………………...76 A. Kesimpulan ……………………………………………………………...76 B. Saran-saran ………………………………………………………………77
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………..79
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Hubungan antara Islam dan Negara merupakan persoalan yang hingga kini masih menjadi perdebatan aktual sebagian besar masyarakat Muslim Indonesia. Perdebatan ini sebenarnya merupakan bagian dari masalah yang lebih besar tentang dimana posisi agama dalam Negara. Dalam hal ini, Islam sebagai agama yang mayoritas dianut masyarakat Indonesia mempunyai kepentingan lebih besar ketimbang agama-agama lainnya. Salah satu alasan yang sering dikemukakan karena Islam terlanjur dipercaya pemeluknya sebagai petunjuk bagi seluruh kehidupan sosial maupun politik. Di samping itu, pembahasan dan perdebatan di seputar hubungan agama dan negara tampaknya tidak akan pernah berakhir dalam sejarah kehidupan manusia. Banyak peneliti, baik dari kalangan Indonesianis maupun dari Indonesia yang telah melakukan kajian dan studi serius mengenai keterkaitan agama dan negara. Secara garis besar, perbincangan tentang hubugan antara agama dan negara telah melahirkan tiga ‘blok’ besar dalam kalangan peneliti. Pertama, ‘blok’ kontra yang dengan tegas menolak adanya hubungan antara agama dan negara. Aliran ini beranggapan bahwa agama dan negara merupakan dua hal yang berbeda dan bertolak belakang. Agama sama sekali tidak membicarakan persoalan negara dengan jelas. Kelompok ini disebut sebagai kalangan sekuler. Kedua, ‘blok’ yang mengatakan agama dan negara mempunyai kaitan erat yang tidak dapat dipisahkan. Golongan blok ini sering disebut kaum
vii
formalis. Ketiga, ‘blok’ yang mengambil jalan tengah yang mencoba mencari titik temu antara kedua blok di atas.1 Terlepas dari perdebatan blok-blok di atas, Islam sebagai agama yang sejak awalnya menekankan bahwa wahyu Allah itu memiliki keterkaitan yang erat dengan berbagai persoalan kehidupan, maka dalam perjalanan sejarah masyarakat muslim tidak pernah lepas dari masalah ini. Hal ini juga akan semakin rumit ketika dalam kenyataannya mendudukkan antara Islam dan negara dalam kehidupan sosial tidaklah gampang. Banyak faktor yang membuat rumusan atau pola hubungan antara Islam dan negara tidak mudah. Pernah dalam tahapan sejarah, faktor tersebut dirumuskan dalam istilah-istilah seperti belum diterimanya Islam secara utuh; sekuler; ketakutan terhadap Islam, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, ada sebagian orang Islam berpandangan bahwa beberapa faktor yang turut mempersulit terwujudnya hubunga Islam dan Negara yang harmonis berasal dari sisi ‘dalam’ masyarakat Islam itu sendiri. Meskipun kecenderungan seperti itu banyak mendapat dukungan dari berbagai kalangan, namun tidak sedikit pula yang menganggap faktor ‘dalam’ tersebut bukan sebagai persoalan. Harus diakui, hampir semua orang Islam sepakat bahwa Islam itu satu, tetapi penafsiran terhadap semua dimensi ajaran Islam tidaklah tunggal. Beragam potret aliran maupun mazhab baik dalam soal fikih, tasawuf, ilmu kalam maupun cabang ilmu Islam lainnya, merupakan bukti
1
Idris Thaha, Mendamaikan Agama dan Negara dalam Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara: Merajut Kerukunan Antarumat (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2002), Cet. I, h. viii.
viii
bahwa Islam tidaklah monolitis.2 Inilah yang sebenarnya menjadi salah satu faktor kunci sulitnya mengurai hubungan antara Islam dan Negara. Kompleksitas penafsiran terhadap hubungan antara keduanya akan terus menajadi perdebatan mengingat kenyataan bahwa Islam tidak mungkin bisa diterjemahkan dalam bentuknya yang tunggal. Meskipun ada benang merah yang menghubungkan penafsiran antara keduanya, namun dalam mempraktikkan dalam kehidupan sehari-hari sangatlah bervariasi. Dengan kata lain, multiinterpretasi tentang Islam memang telah menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindarkan dan bahkan menjadi keniscayaan sejarah. Hal inilah yang membedakan antara Islam dengan agama lain seperti agama kristen yang mengenal sistem kependetaan. Dalam Islam, setiap muslim memiliki hak dan otoritas dalam memahami agamanya. Karena kebenaran absolut hanya milik Allah, maka tak seorangpun berhak mengklaim bahwa pemahamannya paling benar dan otoritatif dibanding yang lain. Demikian lenturnya Islam, sehingga seringkali menimbulkan dilema termasuk dalam munculnya bebagai pemikiran dan pemahaman tentang Islam yang tidak saja berbeda, namun juga bertolak belakang bahkan berbenturan. Dalam konteks penafsiran hubungan antara Islam dan politik misalnya, terjadi perbedaan pendapat yang sangat signifikan dalam umat Islam. Ada yang mengatakan Islam dan politik tidak dapat dipisahkan. Gagasan lainnya mengatakan Islam dan negara merupakan dua entitas yang terpisah dan harus dipisahkan. Sedangkan pandangan yang paling moderatpun juga ada. Pandangan moderat menegaskan, meski Islam dan politik merupakan persoalan yang berbeda, 2
Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politk Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah (Jakarta: Uhsul Press, 2005), h. 21.
ix
namun keduanya mempunyai kaitan yang sifatnya substansial yang akan selalu ada.3 Tiga tipologi pemikiran inilah yang sampai saat ini menjadi patokan untuk menjelaskan dimana seharusnya posisi agama (Islam) dalam negara. Bahtiar Effendy, merupakan salah satu tokoh yang turut meramaikan perdebatan relasi Islam dan negara. Banyak karya dan buku telah diterbitkannya sebagai bagian kepedulian dan kontribusinya dalam mencari jalan keluar dari kebuntuan perdebatan yang sudah memakan waktu ratusan tahun itu. Buku-buku Bahtiar Effendy yang secara tegas mengupas hubungan antara Islam dan Negara bisa dilihat dalam Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Buku Islam dan negara ini merupakan buku yang secara lugas membahas hubungan politik Islam dan negara di Indonesia. Menurut Bahtiar Effendy, hubungan politik Islam dengan negara mengalami jalan buntu. Baik ketika Suekarno mapun rezim Sueharto berkuasa. Kedua rezim tersebut memandang Islam politik maupun partai-partai politik yang berlandaskan Islam sebagai pesaing potensial kekuasaan yang dapat merobohkan landasar negara, Pancasila.4 Buku lain Bahtiar Effendy yang tegas menyajikan kekurang harmonisan hubungan Islam dan Negara yaitu, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi. Buku yang bertebal 294 itu memaparkan ketegangan yang terjadi antara politik Islam dan negara sepanjang Soekarno dan Soeharto menjadi Presiden. Tidak hanya itu, buku ini juga menyajikan berbagai pandangan Islam kaum muda reformis yang mencoba meredam aura Islam ideologis. Salah
3
Effendy, Jalan Tengah Politk Islam, h. 6. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998), cet I, h. 2. 4
x
satu tokoh muda itu adalah Nurcholis Madjid dengan gagasan segarnya Islam Yes, Partai Islam, No. Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah juga merupakan buku lain Bahtiar Effendy yang membahas secara jelas dan tajam tentang pemikiran politik Islam di Indonesia. Buku ini juga mengkaji dan mengangkat tema politik yang tidak akan pernah berhenti dan habis dibahas para pemikir dan praktisi politik seputar hubungan Islam dan dunia politik. Selain itu, buku ini juga merekam berbagai peristiwa politik di Indonesia yang berkaitan dengan masalah agama dan politik. Misalnya tentang proses transisi demokrasi, pembentukan partai politk, pemilihan umum, etika politk, dan lain sebagainya. Selain itu, masih banyak buku lain Bahtiar Effendy yang mengupas secara tegas pasang surutnya hubungan Islam dan Negara. Di antar buku tersebut yaitu, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal: Retaknya hubungan NU, Presiden, dan Negara, Repolitisasi Islam: Pernahkan Islam Berhenti berpolitik? dan Islam in Contemporary Indonesian Politics. Pandangan kritis inilah yang menarik perhatian penulis untuk memahami lebih tajam hubungan Islam dan Negara menurut Bahtiar Effendy. Di samping itu, penulis juga akan mencoba mencari letak berdirinya Bahtiar Effendy dalam tiga aras besar pemikiran tentang hubungan Islam dan negara. Untuk itu, penulis tertarik mengkajinya melalui skripsi yang berjudul: “Hubungan Islam dan Negara: Telaah Pemikiran Bahtiar Effendy.”
xi
B. PEMBATASAN DAN PERUMUSAN MASALAH Agar pembahasan mengenai hubungan Islam dan Negara tidak terlalu melebar, penulis akan membatasi pembahasan ini pada konsep Hubungan Islam dan negara yang ditawarkan Bahtiar Effendy dengan mengurai beberapa teori dan perspektif yang diajuakannya. Dengan pembatasan masalah seperti itu, maka permasalahan yang akan menjadi objek dan fokus penulisan ini adalah bagaimana hubungan Islam dan Negara menurut Bahtiar Effendy.
C. TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui dan memahami secara jelas rumusan ideal yang ditawarkan Bahtiar Effendy soal hubungan Islam dan Negara. Serta melakukan alisis kritis terhadapnya. Sementara kegunaan penelitian ini adalah untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut: 1. Mengetahui latar belakang Bahtiar Effendy dalam merumuskan hubungan antara Islam dan Negara. 2. Mengetahui faktor penyebab ketegangan antara Islam dan Negara 3. Mengetahui fluktuasi hubungan Islam dan Negara baik saat orde lama maupun orde baru. 4. Mengetahui konsep ideal tentang hubungan Islam dan Negara. Selain itu, tujuan penulisan skripsi Hubungan Islam dan Negara ini juga sebagai upaya menghargai karya intelektual tokoh muda yang lahir dari kalangan internal Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan bisa dibilang, Bahtiar merupakan salah satu sosok yang layak dikategorikan sebagai intelektual muda yang konsen terhadap pembahasan Islam dan Negara.
xii
D. METODOLOGI PENELITIAN DAN TEKNIK PENULISAN Dalam menyusun skripsi ini, penulis menggunakan satu metodologi penelitian. Yaitu studi kepustakaan. 1. Studi Kepustakaan Studi kepustakaan bertujuan untuk memperoleh data melalui sumber bacaan meliputi buku-buku dan artikel yang ditulis Bahtiar Effendy. Selain itu, studi kepustakaan ini akan diperkaya dengan sejumlah data yang ada di media massa seperti koran, majalah, dan jurnal yang berkaitan dengan pemikiran Bahtiar Effendy soal Islam dan Negara. 2. Wawancara Tokoh Sebagai data pendukung dan pelengkap skripsi, penulis juga akan melakukan wawancara langsung dengan Bahtiar Effendy selaku tokoh yang diangkat dalam skripsi ini. Dari wawancara ini diharapkan mampu menemukan pemikiran orosinil Bahtiar Effendy terkait dengan relasi Islam dan Negara. Sementara teknik penulisan dalam karya tulis ini, analisis data yang digunakan bersifat kualitatif dengan teknik pembahasan deskriptif analitis yang bertujuan menggambarkan konsep ideal hubungan Islam dan Negara menurut Bahtiar Effendy. Tentu saja, pengumpulan data, pembahasan masalah, dan penulisan dalam skripsi ini disesuaikan dengan standar penulisan karya ilmiah (skripsi, tesis, dan disertasi) yang diterbitkan Center
xiii
for Quality Development and Assurance (CeQDA) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
E. SISTEMATIKA PENULISAN Setelah penulis memaparkan latar belakang masalah, pokok-pokok masalah, tujuan, metode, serta sistematika penulisan, pada BAB II penulis mencoba untuk memaparkan dengan jelas tentang riwayat hidup, latar belakang pendidikan, karya tulis ilmiyah, serta Bahtiar Effendy dan pemikirannya Pada BAB III, penulis akan menyajikan beberapa studi kasus soal dinamika hubungan Islam dan negara yang meliputi pertautan Islam dan negara serta ketegangan di sepurat hubungan Islam dan Negara di sejumlah negara Islam. Di BAB III ini juga, penulis sudah mulai masuk pada salah satu topik inti skripsi yaitu, Islam sebagai kekuatan ideologi politik di Indonesia, dan “Penjinakan” Islam oleh Negara baik pada era Orde Lama maupun Orde Baru. Sedangkan Bab IV, penulis sudah masuk pada pokok inti tulisan ini yaitu, pemaparan Bahtiar Effendy dalam menjelaskan hubungan antara Islam dan Negara di Indonesia. Serta bagaimana solusi yang ditawarkan dalam mengurai
ketegangan di antara
keduanya. Bab IV diawali dengan Pergeseran Paradigma Hubungan Islam dan Negara. Pada sub pokok bahasan selanjutnya, akan dipaparkan munculnya generasi baru intelegensia Muslim, keterlibatan dalam birokrasi, dan gerakan transformasi sosial yang dilakukan umat Islam. Selain itu, di bab IV ini juga akan dijelaskan tentang melemahnya kooptasi negara atas Politik Islam yang mengantarkan pada perubahan panggung utama politik Islam. Juga akan dibahas tentang arah baru hubungan Islam dan negara.
xiv
Bab IV ini akan diakhiri dengan catatan kritis terhadap pemikiran politik Bahtiar Effendy. Terutama catatan kritis tentang definisi Islam dan Negara menurut Bahtiar serta relevasnsi Islam dan Negara dalam konteks kehidupan bernegara saat ini di Indonesia. Sementara pada bab V, penulis menyimpulkan dari seluruh bahasan dan masalah yang menjadi fokus kajian serta merekomendasikan sejumlah saran terkait dengan hubungan seharusnya Islam dan negara.
xv
BAB II BIOGRAFI BAHTIAR EFFENDY
A. RIWAYAT HIDUP DAN LATAR BELAKANG PENDIDIKAN Bahtiar Effendy adalah dosen mata kuliah Pemikiran Politik Barat pada Jurusan Pemikiran Politik Islam Fakultas Ushuluddin dan Filsafat (FUF) UIN Jakarta. Selain itu, dia juga dosen Program Pascasarjana UIN Jakarta, Program Pascasarjana Universitas Indonesia (UI), dan Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ). Bahtiar dilahirkan di Ambarawa, Jawa Tengah, pada 10 Desember 1958. Bahtiar memulai pendidikannya dari Sekolah Dasar (SD) dan Ibtidaiyah di kampung kelahirannya. Setelah lulus SD dan Ibtidaiyah pada tahun 1970, dia kemudian melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi di Pondok Pesantren Pabelan, Mungkid, Magelang Jawa Tengah. Ketika masih duduk di kelas enam – setingkat kelas tiga sekolah lanjutan tingkat atas (SLTA)- di Pesantren Pabelan, pada tahun 1976 hingga 1977 Bahtiar memperoleh beasiswa American Field Service (AFS) untuk belajar di Columbia Falls High School, Columbia Falls, Montana, Amerika Serikat. Yang menarik, Bahtiar adalah sedikit di antara—kalau bukan satu-satunya—santri pesantren yang pernah mengikuti program pertukaran pelajar AFS antara Indonesia-Amerika di sebuah SLTA di Columbia Falls, Montana. Sekembalinya dari AS, dia mengajar di Pesantren Pabelan hingga tahun 1979. Pada tahun itu juga, dia melanjutkan studi ke Fakultas Ushuluddin, IAIN Jakarta, kini UIN Jakarta, dan menyelesaikan S-1 tahun 1985. Dengan biaya dari
xvi
Asia Foundation, antara tahun 1986-1988, dia meneruskan sekolah S-2 pada program studi Asia Tenggara di Ohio University, Athens, Ohio, AS. Atas anjuran Prof. R. William Liddle dan beasiswa dari Midwest University Consortium for Internastional Activities (MUCIA), Asia Foundation, dan Departement of Political Science OSU, dia melanjutkan pendidikannya ke Ohio State University, Columbus, Ohio, AS. Dari Universitas inilah, Pada tahun 1994, ia meraih gelar Doktor di bidang ilmu politik dengan menulis disertasi yang berjudul Islam and the State: The Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in Indonesia. Disertasi yang berbahasa Inggris ini kemudian diterjemakah ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia yang diterjemahkan Ihsan Ali-Fauzi dan diterbirkan oleh Paramadina tahun 1998. Selain itu, tahun 1998 Bahtiar menjabat sebagai Wakil Direktur Lembaga Studi dan Pengembangan Usaha Indonesia (LSPEU Indonesia),1 juga dipercaya menjadi Ketua Dewan Akademi Program Pascasarjana UIN Jakarta dari tahun 1999 hingga sekarang,
dan Ketua Program Studi Pascasarjana Universitas
Muhammadiyah Jakarta (UMJ) tahun 2001-2004. Tidak hanya
itu, dia juga
menjabat Deputy Director of the Institute for the Study and Advancement of Business Ethic, 1996-sekarang.2 Di penghujung tahun 2006, Bahtiar meraih gelar Profesornya di bidang pemikiran politik Islam dari Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Selain aktif menjadi narasumber talkshow mengenai politik di beberapa stasiun televisi, aktif menulis artikel di berbagai surat kabar dan majalah, dia juga 1
Biorafi Bahtiar Effendy yang ditulis dalam bukunya Islam dan Negara. ”Islam dan Demokrasi”, artikel diakses pada tanggal 11 November www.tokohindonesia.com. 2
dari:
xvii
telah mempublikasikan sejumlah buku yang dikarangnya, di antaranya yaitu: (1) Merambah jalan baru Islam. Buku ini ditulis Bahtiar bersama Fachry Ali (Bandung: Mizan, 1968); (2) Islam and the State: Transformation of Islamic Political Ideas and Practices in Indonesia. Buku ini merupakan disertasi Bahtiar untuk meraih gelar doktornya di Ohio State University yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998); (3) Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti berpolitik?; (Bandung: Mizan, 2000); (4) Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press, 2001); (5) Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001; (6) Jalan Tengah Politik Islam; Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah (Jakarta: Ushul Press, 2005); (7) Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal: Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan Negara (Jakarta: Ushul Press, 2005) (8) Islam in Contemporary Indonesian Politic (Jakarta: Ushul Press, 2005). Hampir semua buku yang ditulis Bahtiar cakupan bahasannya tidak jauh dari isu seputar kaitan politik antara Islam dan negara di Indonesia. Dalam bukubukunya itu, dengan gamblang Bahtiar menjelaskan fluktuasi hubungan antara Islam dan negara sepanjang sejarah perjuangan kemerdekaan hingga munculnya kekuasaan rezim orde baru di pentas politik nasional. Tidak berhenti di situ, Bahtiar juga menyinggung munculnya beragam partai Islam di pentas nasional pasca jatuhnya rezim Soeharto. Ia menilai, menjamurnya partai Islam di era reformasi menimbulkan kontroversi mengenai keterlibatan Islam dalam politik. Sebuah pertanyaan patut diajukan terkait menjamurnya partai Islam tersebut,
xviii
apakah fenomena maraknya partai Islam merupakan perwujudan dari hadirnya kembali Islam di pentas politik atau hanya sekedar repolitisasi Islam? Dalam bukunya Re-politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti berpolitik? Bahtiar dengan lugas membahas munculnya partai Islam sebagai kekuatan politik Islam di era reformasi.
B. KARYA TULIS ILMIYAH Sebagai seorang intelektual, Bahtiar tergolong sebagai tokoh yang produktif menulis karya tulis ilmiah, baik yang berbentuk buku maupun yang berbentuk artikel yang disajikan dalam sejumlah seminar nasional maupun internasional. Karya-karya tulis ilmiah Bahtiar pada umumnya ditulis dalam bahasa Indonesia dan sedikit saja yang menggunakan bahasa asing, khususunya bahasa Inggris. Sampai saat ini, Bahtiar sedikitnya telah mempublikasikan delapan buku karya ilmiahnya dalam bahasa Indonesia dan satu buku berbahasa Inggris yang diberi judul Islam in Contemporary Indonesian Politic yang baru-baru ini diterbitkan Ushul Press, Jakarta. Ketujuh buku tersebut hampir bisa dipastikan sebagian besarnya merupakan kumpulan tulisan-tulisan Bahtiar yang dimuat di sejumlah media massa nasional maupun internasional. Hanya beberapa buku saja yang bukan merupakan kumpulan tulisan seperti Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, Teologi Baru Politik Islam, Merambah Jalan Baru Islam, dan Masyarakat Agama dan Pluralisme keagamamaan. Pada tahun 1986 Bahtiar Effendy bersama Fachry Ali menulis buku berjudul Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia
xix
Masa Orde Baru. Buku setebal 336 ini merupakan analisis sosial-historis mengenai kondisi masyarakat Indonesia sebelum masuk dan berkembangnya Islam hingga munculnya dinamika pemikiran Islam Indonesia. Penyelidikan dilakukan secara hati-hati mulai awal pertautan antara Islam dengan kultur dan kepercayaan masyarakat pribumi sampai perkembangan selanjutnya di mana muncul
pemikiran
keagamaan
yang
menempati
mainstream
modernis-
tradisionalis. Kedua mainstream gerakan pemikiran ini cukup lama mewarnai perjalanan Islam Indonesia - disertai konflik dan pertentangannya di bidang sosial, budaya, dan politik -
baik sebelum maupun sesudah berlangsungnya
kemerdekaan. Baru pada masa Orde Baru diketengahkan arah pemikiran Islam Indonesia dengan melihat pandangan para tokoh seperti Nurcholish Madjid, M. Dawam Raharjo, Abdurrahman Wahid, M. Amin Rais, dan sejumlah tokoh lainnya yang dinilai telah memudarkan dikotomi kaku antara modernis-tradisionalis. Hal ini disebabkan kesamaan substansial di mana keduanya tidak lagi terjebak pada aspek kecabangan (furu’iyyah) ajaran keislaman tetapi masalah universal kemanusiaan.3 Walaupun pengelompokan pemikiran konvensional seperti di atas masih cukup terasa, paling tidak, perhatian sejumlah pemikir muda masa orde baru menunjukkan
kecenderungan
yang
sama
terhadap
pertautan
pemikiran
kemanusiaan universal yang sangat berpengaruh pada masyarakat Indonesia. Sebagai negara berkembang, Indonesia dihadapkan pada arus modernisasi, industrialisasi, dan demokratisasi yang menuntut agar melihat kembali nilai-nilai lama untuk dinyatakan urgensi dan relevansinya. 3
Fachry Ali dan Bahtiar Effendy, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, (Bandung: Mizan, 1986), h. 297
xx
Arah pemikiran mereka diikhtiarkan untuk menjawab pertanyaan apakah pemahaman tentang Islam selama ini telah mampu menjawab berbagai persoalan kemanusiaan universal, antara dunia yang terus berubah dengan hukumnya yang profan dengan agama yang suci dan sakral? Bagaimana dampak positif jawaban mereka terhadap bangsa Indonesia yang ikut merasakan persoalan tersebut? Melalui pertanyaan ini, para pemikir muda masa Orde Baru mencari formulasi pemikiran yang tepat untuk memproyeksikan masa depan umat Islam Indonesia. Tahun berikutnya 1998, Bahtiar menerbitkan sebuah buku yang berjudul Islam dan negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia. Buku ini merupakan terjemahan dari disertasi doktor yang dipertahankannya tahun 1994 pada departemen Ilmu Politik, Ohio State University, Amerika Serikat. Judul asli buku ini yaitu, Islam and the State: the Transformation of
Islamic Polical Ideas and Practice in Indonesia. Secara
khusus buku ini membahas hubungan antara Islam dan negara di Indonesia yang sudah lama mengalami Jalan buntu baik ketika Seokarno berkuasa dengan demokrasi terpimpinnya maupun saat Soekarno menjadi presiden dengan demokrai pancasila. Dalam buku itu Bahtiar menjelaskan akar ketegangan hubungan Islam dan negara. Menurutnya, akar ketegangan itu bersumber dari artikulasi politik umat Islam yang lebih menonjolkan aspek legal formal ajaran Islam dengan agenda utamanya menjadikan Islam sebagai agama negara. Akibatnya, partai politik yang berasas Islam dianggap sebagai ancaman potensial yang dapat merongrong ideologi nengara yang nasionalis. Karena alasan ini, sepanjang lebih dari empat dekade, kedua pemerintahan tersebut mencoba melemahkan dan menjinakkan partai Islam.
xxi
Dua tahun berikutnya (2000), Bahtiar menerbitkan tulisan-tulisannya yang sebagian besar dimuat di media massa sejak 1995 hingga 1999. Buku yang diterbitkan Mizan ini diberi judul Repolitisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik? Dari empat bab yang ada dalam buku ini, salah satu bab terpentingnya terdapat di bab pertama yang mengkaji tentang peran agama yang bukan saja berkutat pada wilayah privat, melainkan agama yang mampu memberikan jawaban atas semua persoalan yang ada. Menurut Bahtiar, berbicara tentang apa yang terjadi pada umat Islam di Indonesia, mau tidak mau harus berbicara tentang ormas Islam seperti NU dan Muhammadiyah yang selama demokrasi terpimpin hingga tampilnya rezim orde baru kedua ormas tersebut berada di bawah tekanan. Selain NU dan Muhammadiyah, ICMI juga merupakan ormas Islam yang kerap dibicarakan publik. Dalam bab ini dengan jernih Bahtiar memaparkan bagaimana ormas Islam tersebut memainkan peran penting dalam himpitan ekonomi dan politik orde baru yang beringas. Dan menjelaskan strategi apa yang digunakan ormas tersebut hingga pada detik-detik terakhir keberadaannya Islam tidak lagi dimusuhi. Yang menarik dari buku ini adalah penjelasan di bab ketiga yang secara jelas mengupas munculnya partai-partai Islam pasca jatuhnya rezim Orde Baru. Dalam pandangan sebagian kalangan, fenomena ini bisa dimaknai sebagai reingkarnasi politik Islam atau yang lumrah disebut repolitisasi Islam. Penilaian seperti itu sah saja disampaikan mengingat Islam sedari awal kelahirannya memang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan politik. Belum diketahui secara pasti apa yang dimaksud sejumlah kalangan dengan fenomena repolitisasi Islam. Jika indikator yang digunakan untuk
xxii
menjelaskan repolitiasi Islam adalah munculnya sejumlah partai yang menggunakan simbol Islam, maka tidak menutup kemungkian yang dimaksudkan adalah munculnya kembali kekuatan politik Islam. Akan tetapi, membandingkan apa yang muncul setelah jatuhnya Soeharto dengan apa yang pernah berkembang pada tahun 1950-an hingga 1960-an merupakan sesuatu hal yang tergesa-gesa. Bisa saja menjamurnya partai Islam sebagai bentuk perayaan euforia reforasmi semata. Sementara di tahun 2001, Bahtiar kembali menerbitkan dua buku dengan tema yang hampir serupa: yaitu Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi dan Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan. Kedua buku ini merupakan kumpulan artikel serius Bahtiar yang disampaikan di forum ilmiah tingkat nasional, dan semuanya berbahasa Indonesia. Dalam buku ini, Bahtiar mengawali pembahasannya hampir sama dengan buku sebelumnya, Islam dan Negara. Menurut Bahtiar, setelah berakhirnya kolonialisme barat pada pertengahan abad ke-20, negara Islam seperti Turki, Malaysia, Pakistan, Maroko, Aljazair, dan Sudan mengalami kesulitan dalam mengembangkan tesis yang memungkinkan antara Islam dan negara. Di negaranegara tersebut, relasi Islam dan negara selalu diwarnai dengan cerita antagonisme. Sementara di Indonesia, hubungan Islam dan negara tidak jauh berbeda dengan sejumlah negara Islam tersebut. Untuk waktu yang cukup lama, hubungan keduanya mandeg bahkan bersitegang.4 Dalam konteks seperti itu, buku ini hadir untuk menjelaskan mengapa perseteruan antara Islam dan negara terjadi dalam sebuah negara yang mayoritas 4
Teologi Baru Politik Islam, Pertautan Antara Agama, Negara, dan Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press, 2001) h. 3-4.
xxiii
penduduknya Islam. Adakah jalan keluar yang menghubungkan politik antara Islam dan negara yang lebih harmonis dan integratif? Pertanyaan-pertanyaan seperti itu dijawab secara lugas dalam buku ini. Salah satu penjelasan yang paling mungkin dicerna adalah munculnya generasi baru Islam di era 1970-an dan 1980an yang lebih mengedepankan agenda substantif Islam dan menolak pandangan yang legal formaslistik. Sebagai sebuah generasi baru, gerakan pemikiran baru ini dianggap potensial untuk membangun jembatan dan sintesis yang memungkinkan antar keduanya. Dengan kata lain, lahirnya generasi baru Islam ini merupakan harapan besar untuk membangun komunikasi yang mesra antara Islam dan negara. Menunjukkan bahwa politik Islam telah menemukan bentuknya yang baru dalam memperjuangkan agenda Islam. Sementara dalam buku Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan Bahtiar mengeksplorasi posisi dan peran agama dalam menghadapi persoalan kemasyarakatan pada akhir abad ke-20.
Sebuah abad yang ditandai dengan
perubahan-perubahan mencengangkan di seluruh ranah kehidupan yang lebih dekenal dengan istilah globalisasi. Pada posisi itu, agama tidak diletakkan sebagai sistem yang terkucilkan yang menjadi mitos menakutkan karena mengutuk arus globalisasi, tetapi dapat mengambil peran strategis sebagai instrumen dalam memandang dunia. Agama secara substansial harus memberi inspirasi dalam menyelesaikan persoalan kehidupan walaupun tidak bersifat formalistik-institusional. Keharusan ini muncul mengingat sistem nilai agama yang tidak hanya menuntut untuk diikuti melainkan juga mempengaruhi bahkan membentuk struktur budaya, nilai, dan norma sosial. Artinya, pandangan dunia seseorang sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai agama
xxiv
sehingga secara inheren berperan dalam setiap pembuatan keputusan baik politik maupun ekonomi. Oleh sebab itu, pandangan keagamaan tidak bisa dianggap hanya beroperasi pada wilayah privat semata melainkan harus disosialisasikan guna mengoptimalkan peran dan fungsi agama (deprivatisasi agama).5 Akibatnya, agama perlu dikaji secara kontekstual melalui berbagai pendekatan sehingga mampu menjawab semua persoalan masyarakat. Di sini agama mempunyai bentuk praksis dan dinamis dengan tetap berdiri tegak di tengah arus perubahan besar dan radikal. Globalisasi kemudian diyakini tidak serta-merta mencerabut peran dan posisi agama dalam masyarakat mengingat agama merupakan domain nilai yang selalu berdialog dengan kenyataan sosial. Dua buku lainnya - yang tentu dengan tema yang hampir sama- terbit dua tahun kemudian (2005). Kedua buku tersebut yaitu, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal: Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan Negara serta buku Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah, terdiri dari sejumlah tulisan-tulisan kolom yang dimuat di media massa nasional. Buku Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal ini mengkaji secara khusus sepak terjang politik Abdurrahman Wahid atau yang akrab dipanggil Gus Dur yang pernah menjadi presiden RI. Gus Dur dalam beberapa performa politiknya sangat kontroversial menarik untuk dikaji dalam perspektif politik dan kaitannya
5
Deprivatize merupakan istilah yang dipinjam Bahtiar dari Jose Cassanova untuk menunjukkan peran penting agama dalam kehidupan sosial politik seperti yang terjadi di Spanyol, Polandia, Brazil, dan Amerika. Lihat Bahtiar Effendy, Masayarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan (Yogyakarta: Galang Press, 2001) h. 6.
xxv
dengan Islam. Apalagi, Gus Dur dianggap sebagai representasi kemenangan politik Islam di jagad politik nasional. Dalam buku yang terdiri dari tiga bab ini, Bahtiar memulai pembahasannya terutama soal hubungan Gus Dur dengan kyai, dan kalangan Nahdliyin yang selama ini menjadi basis dukungannya saat bertarung dalam dunia politik. Selain itu, Bahtiar juga membahas kebingungan politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ketika mereka berhadapan dengan kenyataan bahwa Gus Dur harus dilengserkan di tengah jalan oleh koalisi poros tengah. Dalam bab lainnya juga dijelaskan mengenai pertikaian Gus Dur dengan elit politik di legislatif tentang hak interpelasi, memorandum, sidang istimewa, dan kesukannya jalan-jalan ke luar negeri. Semua ketegangan itu dengan baik di jelaskan dalam buku ini. Sementara dalam buku Jalan Tengah Politik Islam, Bahtiar mencoba menampilkan rekam jejak peristiwa politik yang berkaitan dengan masalah agama dan politik mulai dari masalah HAM, Islam dan demokrasi, pemilihan umum, transisi demokrasi, politisasi agama, Islam dan ekstrimisme, Islam dan kekuasaan, dan tema-tama lainnya yang tidak kalah menarik juga dibahas dengan baik oleh Bahtiar. Dalam buku ini, Bahtiar sekali lagi ingin menegaskan bahwa perbincangan mengenai hubungan politik dengan agama tidak akan pernah selesai dibicarakan banyak kalangan sepanjang masa. Tema kaitan agama dan politik inilah yang selama ini menjadi fokus utama kajian dan pemikiran Bahtiar. Setahun berikutnya (2006), Bahtiar menerbitkan buku yang diberi judul Islam in Contemporary Indonesian Politic. Buku ini bisa dikategorikan sebagai buku ilmiah pertama Bahtiar yang diterbitkan dalam bahasa Inggris, karena enam
xxvi
buku yang ditulis sebelumnya semuanya berbahasa Indonesia. Di lihat dari semua judul yang ada dalam buku ini, tema yang dibahas Bahtiar tidak jauh dari apa yang ditulisnya selama ini, yaitu tentang kaitan politik antara Islam dan negara dalam konteks keindonesiaa. Seperti diulang-ulang dalam buku sebelumnya, buku ini juga membahas kembali hubungan Islam dan politik bisa jadi merupakan prsoalan yang membosankan. Bukan hanya karena alasannya yang tidak menarik, melainkan juga karena artikulasi yang dibahasnya sekedar mengulang-ngulang dari wacana yang sering dibicarakan kalangan ilmuan politik Islam. Diawali dengan judul artikel What is Polical Islam?: An examanation of its theoretical mapping in Modern Indonesia seolah bisa ditebak apa yang akan disampaikan dalam tulisan ini. Tulisan yang ada dalam artikel ini sebenarnya merupakan salah satu bab dari disertasi yang ditulisnya guna meraih gelar doktor ilmu politik di Ohio State University. Dalam judul ini, Bahtiar memberi penjelasan tentang beberapa garis utama teori para ilmuan politik barat yang digunakan untuk melihat fenomena politik Islam kontemporer di Indonesia. Teoriteori tersebut meliputi teori dekonfessionalisasi Islam, domestikasi Islam, skismatik dan aliran, trikhotomi dan Islam kultural, dan teori Islam kultural.6
C. BAHTIAR EFFENDY DAN PEMIKIRANNYA Secara umum buku yang ditulis Bahtiar Effendy membahas tema yang selama ini menjadi konsentrasi keilmuannya dalam bidang politik khususnya tentang hubungan antara Islam dan negara dalam konteks Keislaman dan Keindonesiaa. Seperti diakuinya, berbicara tentang kaitan Islam dan negara bisa 6
Idris Thaha, Book Review Bahtiar Effendi dalam Jurnal Studia Islamika Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, 2006, h. 333-336.
xxvii
saja merupakan sesuatu yang membosankan. Bukan karena masalahnya yang kurang menarik, melainkan karena artikulasi yang disampaikan dalam perdebatan ini hanya akan mengulang apa yang telah dibahas para ilmuwan politik sebelumnya. Meski membosankan, Bahtiar mengakui bahwa pembahasan hubungan antara Islam dan negara merupakan sesuatu yang sangat menarik, dan hal ini akan menjadi objek bahasan yang tidak akan kering dibahas dan tak akan berhenti dibicarakan banyak orang. Pembahasan mengenai hubungan Islam dan negara akan terus menjadi perdebatan di kalangan ilmuwan. Dengan demikian, topik kajian Islam dan negara akan selalu muncul di tengah masyarakat yang mayoritas penduduknya beragama Islam.
a. Islam dan Negara Salah satu ciri khas yang menonjol dari pemikiran Bahtiar Effendy adalah konsistensinya dalam membahas hubungan antara Islam dan negara. Sejumlah buku telah ditulisya secara khusus mengkaji kaitan Islam dan negara. Di antara buku yang sudah diterbitkannya dan fokus bicara kaitan Islam dan negara dan menjadi rujukan utama penulisan skripsi ini yaitu, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik di Indonesia dan Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Antara Agama, Negara, dan Demokrasi. Kedua buku ini secara jalas mengupas hubungan politik antara Islam dan negara sepanjang rezim Soekarno dan Soeharto. Dalam buku ini Bahtiar dengan baik menjelaskan hubungan antagonisme antara Islam dan negara. Menurutnya, baik Soekarno maupun Soeharto melihat politik Islam sebagai kekuatan utama yang potensial dapat merobohkan kepentingan nasional. Akibat dari pandangan seperti itu maka,
xxviii
dalam
setiap
kebijakannya
kedua
kepala
negara
tersebut
seringkali
mendiskreditkan kelompokkan Islam. Bahkan, tidak jarang politik Islam sering dijadikan sasaran kecurigaan negara. Bahtiar mengatakan, ketegangan antara Islam dan negara terjadi karena para aktivis politik Islam lebih mengedepankan aspek formal legalistik dalam memperjuangkan agenda politik mereka seperti keinginan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Waktu itu, kedua rezim ini memandang politik Islam sedang dalam performa terbaiknya yang dapat mengancam landasan negara yang nasionalis. Implikasinya, banyak partai-partai yang berlandaskan Islam sering mendapat perlakuan tidak adil dari negara. Ketegangan antara Islam dan negara terjadi sejak periode awal kemerdekaan Indoneisa dimana para aktivis politik Islam saat itu dalam artikulasi politiknya lebih mengedepankan faktor legal formalistiknya ketimbang substansi dari ajaran Islam. Akibat dari itu semua, sepanjang sejarah orde lama dan orde baru, politik Islam selalu menjadi sasaran kecurigaan dan peminggiran. Ketegangan itu mereda ketika para aktivis politik Islam merubah strategi perjuangannya dengan lebih mendahulan dimensi substasni ajaran Islam. Akibatnya, negara perlahan mulai mengakomodasi kepentingan Islam. Tidak hanya itu, Islam juga dianggap sebagai kekuatan yang potensial untuk memajukan bangsa yang tidak selamanya harus dipinggirkan. Periode akomodatif ini terjadi pada tahun 70-an bersamaan dengan munculnya generasi baru aktivis pemikiran Islam seperti Munawir Sadjali, Nurcholis Madjid, Dawam Raharjo, Ahmad Wahib, dan lain sebagainya.
xxix
Bahtiar tergolong penulis yang sangat selektif dan tidak menulis tema apa saja. Meski ada tulisan yang sedikit keluar dari mainstream Bahtiar sebagai ilmuan politik Islam seperti tentang ekonomi dan budaya, namun kajian tersebut selalu terkait dengan pandangannya sebagai ilmuwan politik.
xxx
BAB III DINAMIKA HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA
A. Pertautan Antara Islam dan Negara Pertautan antara Islam dan negara akan terus menjadi sorotan sekaligus perdebatan pada level akademik maupun dalam wilayah praktis. Kompleksitas hubungan Islam dan negara bukan satu-satunya dasar penyebab perdebatan ini, melainkan lebih pada kenyataan bahwa Islam tidak mungkin dapat diterjemahkan dalam bentuk yang tunggal. Perdebatan di seputar apakah Islam itu hanya sebatas agama (din) atau Islam merupakan Negara (dawlah) sekaligus merupakan pokok inti perdebatan dalam hubungan Islam dan negara. Dari segi doktrin, seringkali disebutkan bahwa ajaran Islam telah terumuskan sedemikina rupa sehingga akan selalu sesuai dengan perkembangan zaman dan selalu “hadir di mana-mana” (omnipresence). Hal ini merupakan sebuah pandangan yang mengakui bahwa dimanapun, kehadiran Islam akan senantiasa memberikan pandangan moral bagi tindakan manusia. Dalam perkembangannya, ternyata pandangan semacam ini telah mendorong sebagian pemeluknya untuk percaya bahwa Islam mencakup cara hidup yang total.1 Sementara jika dipotret dari sudut pandang pemahaman pemeluknya, umat Islam mempunyai latar belakang sosial yang beragam. Secara sosiologis, dapat
1
Bahkan tidak sedikit di kalangan umat Islam yang melangkah lebih jauh dan menekankan bahwa, Islam adalah sebuah totalitas yang padu yang menawarkan pemecahan terhadap semua masalah kehidupan. Tak diragukan lagi, mereka meyakini bahwa Islam mempunyai sifat yang sempurna dan menyeluruh sehingga Islam mencakup din, dunya, dan dawlah. Bahtiar Effendy, Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan Antara Doktrin dan Kenyataan Empirik dalam M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Ciputat: Penertbit PT Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. I, h. ix-xii
xxxi
dirumuskan secara sederhana bahwa latar belakang sosial budaya, pendidikan, dan geografis akan berpengaruh dalam membentuk pandangan seseorang tentang bagaimana agama dan negara seharunsya berada. Dengan kata lain, situasi sosiologis, kultural, dan intelektual yang berbeda atau apa yang disebut Mohammed Arkoun2 sebagai “estetika penerimaan” sangat berpengaruh dalam menentukan bentuk dan isi pemahaman pemeluknya. Kecenderungan intelektual yang berbeda dapat berujung pada pemahaman yang berbeda mengenai suatu doktrin. Manifestasi dari multiinterpretasi terhadap Islam tersebut yaitu munculnya berbagai mazhab fikih, teologi, dan filsafat Islam yang juga beragam. Singkatnya, multiinterpretasi tentang Islam memang telah menjadi sesuatu yang tidak bisa dihindari bahkan telah menjadi keniscayaan dalam sejarah Islam. Dalam Islam, persoalan hubungan agama dan negara menjadi perdebatan yang cukup hangat dan berlanjut hingga saat ini. Dalam bukunya yang berjudul Pergolakan Politik Islam, Azyumardi Azra menuliskan, ketegangan perdebatan mengenai hubungan agama dan negara ini diilhami oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama dan Islam sebagai negara di lain pihak. Setelah Perang Dunia II, lanjutnya, masyarakat di berbagai penjuru dunia, khususnya masyarakat Islam, terkesan mengalami hubungan yang canggung antara Islam dan negara atau politik pada umumnya.3
2
Mohammed Arkoun merupakan salah seorang pemikir Islam kontemporer. Ia dilahirkan pada tanggal 1 Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, di Kabilia, suatu daerah pegunungan berpenduduk Berber di sebelah timur Aljir. Salah satu pokok penting pemikiran Arkoun adalah pentingnya pembaruan pemikiran Islam. Bagi Arkoun, umat Islam masih belum beranjak dari pembahasan teologis-dogmatis yang kaku dan dianggap standar dan tidak boleh diperdebatkan lagi. Untuk itu, Arkoun menyarankan agar umat Islam bersedia melakukan pembahasan secara ilmiah dan terbuka dalam mempelajari dan mengungkapkan etika ajaran al-Quran yang tidak boleh dilepaskan dari konteks sejarahnya. Mohammed Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama (Yogyakarta: Pustaka Pelajar) cet, I Juni 2001, h. v-ix. 3 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme, Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Paramadina) cet. I Mei 1996, h. 1.
xxxii
Kecanggungan hubungan Islam dan negara di atas bersumber dari kenyataan bahwa agama dalam pengertian terbatas hanya berkaitan dengan unsur ilahiah, sakral, dan suci. Sementara negara pada umumnya berkaitan dengan bidang yang lebih profan atau keduniaan. Lebih jauh lagi, Islam dipandang tidak pernah memberikan panduan praktis tentang ketatanegaraan. Tentang hubungan Islam dan negara, Munawir Sjadzali menyebutkan sedikitnya ada tiga aliran yang menanggapinya.4 Pertama, aliran yang berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan holistik (rahmatan lil’alamin) yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia. Penganut aliran ini meyakini Islam sebagai suatu agama serba lengkap yang di dalamnya mencakup antara lain sistem ketatanegaraan. Pandangan holistik terhadap Islam mempunyai implikasi yang sangat luas. Salah satu di antaranya yaitu kecenderungan untuk memahami Islam dalam pengertian yang literal yang hanya menekankan dimensi luarnya. Dalam contohnya yang paling ekstrim, kecenderungan seperti ini telah menghalangi kaum muslimin untuk dapat secara jernih memahami pesan-pesan al-Quran sebagai instrumen ilahiah yang dapat memberikan panduan nilai-nilai moral dan etis yang benar bagi kehidupan manusia.5 Aliran kedua beranggapan bahwa Islam tidak memiliki hubungan dengan negara karena Islam tidak mengatur aspek kehidupan bernegara dan tata pemerintahan. Menurut aliran ini, Nabi Muhammad hanyalah seorang Nabi
4
H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran (Jakarta: UI Press) edisi ke-5, h. 1-3 5 Bahtiar Effendy, Agama dan Politik: Mencari Keterkaitan yang Memungkinkan antara Doktrin dan Kenyataan Empirik dalam M. Din Syamsudin, Islam dan Politik Era Orde Baru (Ciputat: Penertbit PT Logos Wacana Ilmu, 2001), cet. I, h. ix-xii
xxxiii
pembawa wahyu yang tugas utamnya mengajak manusia kembali pada kehidupan yang dimuliakan Allah dan Muhammad bukanlah pemimpin negara. Sedangkan
aliran
ketiga
merupakan
kelompok
yang
mencoba
mendamaikan kedua pandangan di atas. Aliran ketiga ini menolak anggapan bahwa Islam merupakan sistem nilai yang serba lengkap dan mengatur hubungan kenegaraan. Juga menolak persepsi bahwa Islam sama sekali tidak mengatur hubungan ketatanegaraan. Menurut aliran ini, Islam memang tidak menyediakan sistem ketatanegaraan tetapi terdapat seperangkat tata nilai etika bagi kehidupan bernegara.
B. Ketegangan di Seputar Islam dan Negara Dalam bukunya yang berjudul Islam dan Negara, Bahtiar Effendy mengatakan, salah satu alasan menulis buku itu karena diilhami terutama oleh fenomena mengejutkan yang terjadi di negara-negara muslim seperti Turki, Mesir, Sudan, Maroko, Pakistan, Malaysia, dan Aljazair tentang tidak harmonisnya hubungan Islam dan negara. Menurutnya, sejak berakhirnya kolonialisme barat pada pertengahan abad ke-20, negara-negara tersebut mengalami kesulitan dalam upaya mengembangkan sintesis yang memungkinkan (viable) antara praktik dan pemikiran politik Islam dengan negara di daerah mereka masing-masing. Di negara-negara tersebut, jika bukan konflik hubungan politik antara Islam dan Negara diwarnai ketegangan-ketegangan yang tajam. 6 Di Indonesia, dalam hal hubungan politiknya dengan negara, sudah lama Islam mengalami jalan buntu baik saat Soekarno maupun ketika Soeharto 6
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998) cet. I, h. 2.
xxxiv
berkuasa.
Kedua
pemimpin
itu
memandang
partai-partai
politik
yang
berlandaskan Islam sebagai pesaing kekuasaan yang potensial yang dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Degan alasan ini, selama empat dekade, kedua pemerintahan tersebut berupaya untuk melemahkan dan menjinakkan partai-partai Islam. Akibatnya, tidak saja para pemimpin dan aktivis Islam politik gagal menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan agama negara pada 1945 (menjelang Indonesia merdeka) dan lagi pada akhir 1950-an (dalam perdebatan-perdebatan di Majelis Konstituante mengenai masa depan konstitusi Indonesia), tetapi mereka juga mendapatkan diri mereka berkali-kali disebut ‘kelompok luar’ atau kelompok minoritas. Pendek kata, Islam politik telah dikalahkan baik secara konstitusional, fisik, birokratis, lewat pemilihan umum maupun secara simbolik. Yang lebih menyakitkan lagi, Islam politik seringkali menjadi sasaran ketidak percayaan dan dicurigai sebagai anti ideologi pancasila.7 Dalam situasi seperti itu, banyak pemikir dan aktivis politik Islam memandang negara dengan rasa curiga. Bagi mereka, negara telah menerapkan kebijakan ganda terhadap Islam. Di satu pihak Islam dibiarkan bahkan didorong untuk menumbuh kembangkan dimensi ritualnya, namun pada saat yang bersamaan negara tidak membiarkan Islam berkembang secara politik.8 Banyak tokoh dan analis yang memprediksi akar terjadinya ketegangan hubungan antara Islam dan Negara. Salah satu akar persoalan yang sering dikemukakan yaitu tentang watak Islam yang holistik. Sudah menjadi rahasia umum jika umat Islam percaya akan sifat Islam yang holisitk. Ada yang melihat agama sebagai sistem peradaban yang menyeluruh. Bahkan, ada yang 7
Effendy, Islam dan Negara, h. 2-3. Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Antara Agama, Negara, dan Demokrasi (Yogyakarta: Galang Press, 2001) h. 5. 8
xxxv
mempercayainya
sebagai
agama
dan
negara.
Pandangan
semcam
ini
mengindikasikan bahwa Islam tidak sekedar sistem ritus belaka. Bahkan lebih tegas lagi, Islam tidak mengenal pemisahan antara nilai spritual dan temporal. 9 Cara pandang terhadap Islam yang holisitk semacam ini menghasilkan dampak pemahaman keagamaan yang cenderung memahami Islam secara ‘literal’ yang hanya menekankan dimensi luarnya saja serta melupakan dimensi kontekstual ajaran Islam tersebut. Dengan kata lain, hubungan Islam dengan segala aspek kehidupan manusia harus dalam bentuk legal-formalistik yang ditandai keinginan untuk menerapkan syari’ah secara langsung sebagai konstitusi negara. Sementara di pihak lain ada yang melihat totalitas Islam dalam dimensinya yang lebih substantif. Pandangan substantif ini lebih mengedepankan isi dari pada bentuk dalam melihat kehidupan sosial masyarakat Islam. Karena wataknya yang substansialis itu kecenderungan pandangan ini menganggap syari’ah tidak perlu diformalkan menjadi undang-undang dasar negara, yang terpenting semua aspek hukum positif yang dijalankan negara berkesesuaian dengan prinsip ajaran Islam yang holistik. Menanggapi ketegangan ini Bahtiar Effendy mengatakan, pertama, masalah hubungan politik antara Islam dan negara muncul dan berkembang dari pandangan-pandangan yang berbeda dari kalangan pendiri Republik ini tentang cita-cita Indonesia. Kedua, antagonisme politik antara Islam dan negara yang tidak mesra tersebut tidak hanya muncul dari doktrin Islam itu sendiri, melainkan juga dari bagaimana Islam diartikulasikan secara sosio-kultural, ekonomis, dan
9
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 7-8.
xxxvi
politis. Menurut Bahtiar, adanya pandangan mengenai Islam yang legal formalistik, memancing munculnya ketegangan-ketegangan dalam sebuah masyarakat yang secara sosial-keagamaan sangat plural. Pada sisi lain, pandangan Islam yang substansialistik dapat memberi landasan yang penting bagi pengembangan sintesis yang sesuai antara Islam dan Negara, dalam rangka membentuk kembali hubungan politik antara keduanya.10 Di Indonesia, lanjut Bahtiar Effendy, akar ketegangan hubungan politik antara Islam dan negara tidak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan yang antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di Indonesia menjelang kemerdekaannya.11
Setelah
berjuang
selama
empat
dasawarsa
merebut
kemerdekaannya, untuk pertama kalinya Indonesia mengalami masalah yang sangat substansial seputar dasar negara. Pertanyaan yang kerap muncul yaitu, atas dasar apakah negara yang baru merdeka ini didasarkan? Saat itu, para wakil rakyat Indonesia terbelah atas dua kelompok. Pertama, kelompok yang menganjurkan agar negara berdasarkan kebangsaan tanpa kaitan khas pada ideologi keagamaan tertentu. Kedua, kelompok yang menganjurkan Islam sebagai dasar negara. Dalam perkembangannya, kelompok pertama disebut sebagai kaum nasionalis sekuler sedangkan kelompok kedua dikenal dengan kelompok nasionalis Islami.12
10
Effendy, Islam dan Negara, h. 15-16. Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 9. 12 Nasionalis Islami menunjuk pada kalangan nasionalis yang berkomitmen pada pandangan negara dan masyarakat harus diatur oleh Islam dalam cakupannya yang sangat luas. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, melainkan juga mengatur soal hubungan antar sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Sedangkan nasionalis sekuler didekatkan kepada mereka yang Islam, Kristen, dan lainnya yang menginginkan pemisahan agama dari negara. H. Endang Saifuddin Anshari, M.A., Piagam Jakarta; 22 Juni 1945 11
xxxvii
Kedua aliran pemikiran tersebut masing-masing mempunyai akar dalam sejarah dan perkembangan gerakan nasionalis Indonesia pada tengah pertama abad ini. Kalangan nasionalis sekuler berpandangan bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia dimulai sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908. Organisasi kepemudaan ini dianggap sebagai organisasi pertama di antara bangsa Indonesia yang disusun dengan bentuk modern dan mempunyai makna yang cukup besar. Dari gerakan Boedi Oetomo inilah, gerakan-gerakan nasionalis sekuler lainnya muncul. Sebut saja seperti Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Indonesia (Parindo), Pendidikan Nasional Indonesia (PNI-Baru), Partai Indonesia Raya (Parindra), dan Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo). Gerakan-gerakan ini lahir sebagai respons atas kolonialisme dan mencita-citakan Indonesia merdeka berdasarkan faham kebangsaan (nasionalisme).13 Dengan faham kebangsaan sebagai sentimen dan kekuatan utama, kelompok nasionalis sekuler dengan dipelopori Soekarno, kemudian mendominasi dan mengarahkan gerakan nasionalis Indonesia untuk merebut kemerdekaan dari penjajah. Yang terjadi kemudian, dalam kadarnya yang lebih besar, ternyata kelompok ini membangun panggung konfrontasi ideologi dengan kelompok nasionalis Islami terutama dalam soal hubungan agama (Islam) dan negara dalam sebuah negara Indonesia yang akan merdeka. Sedangkan kelompok nasionalis Islami meyakini berdirinya Sarekat Islam (SI) pada 16 Oktober 1905 sebagai titik tolak pergerakan nasional Indonesia. Berbeda dengan Boedi Oetomo yang ruang lingkup gerakan awalnya tidak mengarahkan perhatiannya pada seluruh rakyat Indonesia, SI sejak awal Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta, Gema Insani Press, 1997) cet. I, h. 8-9. 13 Saifuddin Anshari, M.A. h. 4.
xxxviii
berdirinya diarahkan kepada rakyat jelata dengan ruang lingkup Indonesia. Pada tahun 1923 SI berganti nama menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), kemudian pada tahun 1927 dirubah lagi menjadi Partai Syarikat Islam Hindia Belanda (PSIHT), dan akhirnya pada tahun 1930 menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII). Menyusul gerakan ini, pada tahun 1932 di Sumatera didirikan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi) dan pada tahun 1938 berdiri juga Partai Islam Indonesia (PII) di Jawa.14 Semua partai ini berdasarkan Islam. Menurut M. Natsir yang menjadi tokoh kunci kaum nasionalis Islami, bagi pergerakan-pergerakan Islam seperti PSII, Permi, dan PII, kemerdekaan tidak sekedar kemerdekaan Indonesia, melainkan juga kemerdekaan kaum muslim di seluruh Indonesia dan sekaligus kemerdekaan Islam. Bagi Natsir, cita-cita kaum muslim dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia adalah untuk kemerdekaan Islam agar kaidah-kaidah Islam dilaksanakan untuk kesejahteraan dan kesempurnaan kaum muslimin serta segenap ciptaan Allah.15 Bahkan dalam banyak kesempatan, Natsir menegaskan bahwa tanpa Islam, maka nasionalisme Indonesia tidak akan ada. Menurutnya, Islam pertama-tama telah menanamkan benih-benih persatuan Indonesia dan telah menghapus isolasionis pulau-pulau yang beragam. Sejalan dengan itu, ia juga menyatakan bahwa orang Islam tidak akan berhenti berjuang hingga kemerdekaan diperoleh, melainkan akan terus melanjutkan perjuangannya selama negara belum didasarkan dan diatur menurut susunan hukum kenegaraan Islam.16
14
Saifuddin Anshari, M.A. h. 6.
15
Saifuddin Anshari, M.A. h.7-8.
xxxix
Pada awalnya, benturan antara dua kelompok ini berlangsung di sekitar masalah watak nasionalisme dalam upaya menemukan ikatan bersama untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Namun pada awal 1940-an, polemik di atas berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme. Polemik-polemik itu menyentuh masalah yang lebih penting yakni mengenai hubungan politik antara Islam dan negara. Dalam periode ini, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa tidak ada tokoh yang begitu sering terlibat dalam berbagai perdebatan kecuali Suekarno dan Natsir.16 Dari tulisan-tulisan awalnya mengenai Islam di tahun 1940-an, dapat diketahui bahwa Suekarno mendukung pemisahan Islam dari Negara. Dengan tegas ia menentang pandangan mengenai hubungan legal formal antara Islam dan Negara, khususnya dalam sebuah negara yang semua penduduknya tidak beragama Islam. Baginya, model negara semacam itu akan menimbulkan perasaan diskriminatif terhadap kelompok minoritas non Islam di negara tersebut.17 Kontan saja gagasan pemisahan Islam dan negara mendapat respon keras dari aktivis dan pemikir Islam, khususnya M. Natsir. Bertolak belakang dengan sikap Soekarno, Natsir menjadi corong utama paham penyatuan Islam dan negara. Seperti mayoritas umat Islam yang lain, Natsir percaya akan watak Islam yang holisitik dan hadir dalam setiap keadaan dan zaman. Natsir percaya, 16
Effendy, Islam dan Negara, h. 75. Meski Soekarno beragama Islam, ia menganut faham substansialistik dengan keyakinan bahwa, lewat perwakilan yang demokratis-karena posisinya sebagai umat yang mayoritas- Islam akan mampu menyusun dan menentukan agenda-agenda negara yang pada akhirnya akan menghasilkan rumusan-rumusan kebijakan yang diresapi nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, otentisitas ‘negara Islam’ tidak pertama-pertama diditunjukkan oleh penerimaan legal formal Islam sebagai dasar ideologi dan konstitusi negara, melainkan melalui ‘api’ dan semangat Islam dalam kebijakan-kebijakan negara. Soekarno menyatakan kembali argumen pemisahan Islam dan negara pada tahun 1945 dalam sidang BPUPKI. Dalam badan itu, bersama kelompok nasionalis lainnya, ia terlibat dalam perdebatan resmi dengan kelompok Islam untuk menemukan kompromi mengenai rumusan ideologis dan pengaturan konstitusional Indonesia merdeka. Effendy, Islam dan Negara, h. 76-77. 17
xl
sesungguhnya Islam lebih dari satu sistem agama saja dan merupakan kebudayaan yang lengkap. Baginya, Islam tidak sekedar memuat praktik-praktik ibadah, melainkan juga mengandung prinsip-prisip umum yang relevan untuk mengatur hubungan antara individu dan masyarakat bahkan negara. Untuk menjembatani berbagai perbedaan di antara dua kelompok tersebut dalam merumuskan dasar negara untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, dibentuklah sebuah panitia kecil yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Ahmad Subardjo, Muhammad Yamin, Abikusno Tjokrosujoso, A. Kahar Muzakkir, Agus Salim, A. Wahid Hasjim, dan A.A. Maramis. Panitia kecil ini menyusun sebuah kesepakatan bersama yang dikenal dengan Piagam Jakarta. Intinya, piagam ini mengesahkan Pancasila sebagai dasar negara dengan penambahan, bahwa sila ketuhanannya dilengkapi hingga menjadi kalimat “Percaya kepada Tuhan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Lahirnya Piagam Jakarta ini dapat dipahami sebagai bentuk kompromi antar kedua kubu yang berseberangan guna menyongsong kemerdekaan Indonesia meski sehari setelah kemerdekaan diproklamirkan, teks dalam sila ketuhanan “Dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” terus diperdebatkan yang mengarah pada kecenderungan untuk dihapuskan.18 Setelah memproklamirkan kemerdekaannya, selama hampir lima tahun Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950). Menyusul kekalahan Jepang dari sekutu, Belanda bermaksud untuk kembali menjajah kepulauan 18
Dikisahkan seorang angkatan laut Jepang datang ke Hatta dan melaporkan bawha orang-orang kristen yang berdomisili di wilayah timur Nusantara tidak akan bergabung dengan Indonesia jika beberapa unsur dalam Piagam Jakarta yaitu kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluknya tidak dihapuskan. Menanggapi hal itu, kelompok Islam bersepakat untuk mencabut kalimat sakral tersebut digantikan dengan kalimat “Ketuhan Yang Maha Esa”. Ada beberapa alasan mengapa tokoh Islam bersedia menghapus tujuh kata tersebut. Di antara alasan yang penting karena alasan situasi yang berlangsung menyusul diproklamirkannya kemerdekaan mengharuskan para pendiri bangsa ini untuk bersatu, khususnya untuk mengusir Belanda.
xli
Nusantara. Selama periode ini, praktis tidak ada perdebatan serius antara aktivis Islam dengan kelompok Nasionalis. Perdebatan yang sempat menghangat seputar hubungan Islam dan negara dihentikan. Sejenak mereka bersedia melupakan perdebatan-perdebtan ideologis di antara mereka. Dan tidak diragukan lagi, pada masa itu, para pendiri republik merasa bahwa mereka harus mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuan untuk mempertahankan Republik Indonesia yang baru merdeka dan mencegah kembali Belanda berkuasa. Akibat
tidak
adanya
pertikaian,
kedua
kelompok
ini
mampu
mengembangkan hubungan politik yang relatif harmonis. Sementara kelompok nasionalis tetap memegang kemudi kekuasaan, pada saat yang bersamaan pada Desember 1949, Belanda menyerahkan kekuasaannya kepada Reublik Indonesia, kelompok Islam mulai memperlihatkan kekuatannya dalam kancah politik nasional. Dengan Masyumi sebagai satu-satunya kendaraan politik, kelompok Islam berhasil menarik jumlah pengikut yang cukup besar.
C. Islam Sebagai Kekuatan Ideologi Politik di Indonesia Berbicara tentang Islam sebagai kekuatan politik di Indonesia, penelusurannya tidak akan terlepas dari kiprah awal umat Islam dalam upaya merebut kemerdekaan dari penjajah Belanda. Saat itu, Islam sangat efektif dan mampu mengkonsolidasikan kekuatan perlawanan di daerah-daerah menjadi sebuah kekuatan nasional yang mengantarkan kemerdekaan Indonesia. Setelah merdeka, Islam tetap saja dianggap sebagai kekuatan politik yang tidak bisa dianggap remeh. Hal itu bisa dilihat dari perdebatan-perdebatan dalam Majelis Konstituante tentang perumusan dasar dan falsafah negara dimana kelompok
xlii
Islam menjadi sorotan utama karena menuntut disahkannya kembali tujuh kata dalam piagam Jakarta. Bahkan di masa orde lama, orde baru, dan orde reformasi sampai pada masa transisi demokrasi pun, Islam tetap dianggap sebagai kekuatan politik yang cukup dominan yang memberikan aroma tersendiri dalam upaya melakukan pembaharuan. Sementara itu, adanya dikotomi antara kelompok Islam dan nasionalis dalam perpolitikan nasional, secara tidak sengaja menempatkan Islam sebagai kekuatan politik tersendiri yang cukup signifikan di luar kekuatan politik lainnya. Dalam sub ini, penulis tidak akan mengulas secara detail mengenai kekuatan Islam sepanjang sejarah perjuangan dan pasca kemerdekaan Indonesia. Melainkan hanya sebatas memberikan cuplikan babakan sejarah tentang Islam yang cukup memainkan peran penting dalam perpolitikan Indonesia. Dalam potret sejarah, bangkitnya nasionalisme Indonesia pada dekade pertama abad 20, memancing munculnya gerakan-gerakan masyarakat pribumi untuk menentang penjajahan Belanda untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Tidak diragukan lagi, dalam upaya nasionalistik ini, sebagai agama mayoritas yang dianut penduduk Indonesia, Islam memainkan peran yang cukup signifikan. Seperti yang telah ada, Islam berfungsi sebagai mata rantai yang mampu menyatukan rasa persatuan nasional melawan penjajahan Belanda. Dalam fase ini, Islam bukan saja menjelma sebagai kekuatan politik yang mampu mengikat tali persatuan nasional, melainkan juga Islam tampil sebagai simbol persamaan nasib keterjajahan dari agama lain (Belanda yang kristen). Menurut Natsir, tanpa Islam nasionalisme Indonesia tidak akan pernah ada karena Islam pertama-tama telah
xliii
menanamkan benih persatuan Indonesia dan telah menghapuskan sikap-sikap isolasionis pulau-pulau yang beragam. Pada masa awal perjuangan kemerdekaan, umat Islam menjadikan Sarekat Islam (SI) sebagai satu-satunya perwujudan dan perjuangan politik umat Islam. Bermula dari sebuah organisasi dagang Sarekat Dagang Indonesia (SDI),19 SI berkembang pesat menjadi organisasi politik nasional yang pertama di Indonesia. Perubahan SDI menjadi SI bukan hanya dalam perubahan nama, melainkan juga perubahan orientasi dari komersial ke politik. Salah seorang tokoh Muslim lulusan Barat, Tjokroaminoto merupakan tokoh muslim petama yang menyatakan bahwa Islam merupakan faktor pengikat simbol nasional menuju kemerdekaan yang sempurna bagi rakyat Indonesia. SI mempunyai tujuan jangka panjang yaitu Islamisasi bagi masyarakat Indonesia. Untuk meraih cita-cita jangka jauh ini, bagi Tjokroaminoto kemerdekaan Indonesia merupakan sesuatu yang mutlak.20 Selama periode awal, SI dengan cepat mendapat respon positif dari kalangan masyarakat Indonesia. Hanya dalam beberapa tempo, SI telah berkembang dengan cepat. Salah satu ciri yang menonjol dari kemajuan SI bukan saja agenda politiknya yang berskala nasional, melainkan juga disebabkan kemampuan SI dalam menghimpun dukungan basis massa yang memutus dikotomi pengelompokan-pengelompokan sosial di masyarakat yang lokalistik. Dengan agenda politiknya yang berskala nasional itulah, SI mampu meraup dukungan dari semua kelas dan struktur sosial baik yang berada di pedesaan 19
SDI didirikan pada 11 November 1911 oleh Saman Hudi, salah seorang pedagang Muslim kaya asal Sura Karta, Jawa Tengah. Semula SDI diarahkan untuk melawan dominasi perdagangan Cina dengan mengorbankan penduduk pribumi. Sisi lain perjuangan SDI itu adalahmeski tidak secara langsung- ditujukan kepada Belanda yang memberikan prioritas dan perlindungan kepada usahawan Cina yang agresif dalam perdagandan dan Industri. Pada 1922 SDI berganti nama menjadi SI dengan pemimpin baru H.O.S Tjokroaminoto. 20 Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara, edisi revisi, (Jakarta: Penerbit LP3ES, 2006) cet. I, h. 80.
xliv
maupun di kota. Mulai dari pedagang Islam, kalangan priyai hingga petani bergabung dalam gerakan politik nasional SI untuk merebut kemerdekaan Indonesia. Dengan kata lain, SI merupakan pusat kebangkitan nasional Indonesia. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Islam tetap saja menjadi kekuatan politik yang cukup dominan bahkan sangat menonjol. Proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945 telah memberikan kesempatan yang sama kepada berbagai aliran politik di Indonesia untuk dengan bebas membentuk partai-partai politik sebagai sarana demokrasi. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh kelompok Islam. Maka pada tanggal 7-8 November 1945 melalui sebuah kongres umat Islam di Yogyakarta dibentuklah sebuah partai politik Islam dengan nama Masyumi. Akan tetapi, Masyumi yang dideklarasikan pada November ini bukan Masyumi buatan Jepang karena dibentuk oleh ummat Islam sendiri tanpa intervensi dari pihak luar. Sebagaimana telah diprediksikan semula, kehadiran Masyumi mendapat sambutan hampir dari semua gerakan Islam nasional maupun lokal, yang berhaluan politik maupun keagamaan. Banyak kalangan yang memprediksi, jika pemilu dilaksanakan saat itu juga maka, bukan hal mustahil bagi Masyumi – yang saat itu merupakan gabungan dari kelompok muslim modernis seperti Muhammadiyah dan kelompok Islam tradisional seperti NU – akan keluar sebagai pemenang dalam pemilu tersebut. Menurut Natsir, Masyumi pada periode awal pembentukannya benar-benar merupakan jumlah massa yang sangat konkret. Bila dihubungakan dengan setting politik tahun 1945, bisa difahami bahwa pembentukan Masyumi dalam rangka menyalurkan aspirasi politik uamt Islam sebagai cerminan dari potensi mereka
xlv
sebagai penduduk yang mayoritas. Sementara jika dilihat dari sisi lain, Munculnya Masyumi pada 1945 dapat pula dipandang sebagai jawaban positif ummat terhadap manifesto politik Wakil Presiden Hatta tanggal 1 November 1945 yang mendorong pembentukan partai-partai. Setidaknya ada dua hal penting yang dihasilkan dalam kongres November 1945 tersebut. Pertama, pembentukan partai politik dengan nama Masyumi. Kedua, selain Masyumi umat Islam tidak memiliki partai politik lain. Hasil kongres ini mendapat respon yang baik dari kalangan ulama baik yang modernis maupun yang tradisionalis, disamping juga dukungan dari pemimpin umat nonulama jawa-madura.21 Salah satu kekuatan Masyumi terletak pada organisasinya yang federatif yang di dalamnya terdapat anggota biasa (perorangan) dan anggota luar biasa (kolektif) seperti NU dan Muhammadiyah. Karena wataknya yang federatif itulah, Masyumi berhasil merangkul organisasi dan kelompok-kelompok muslim lainnya. Namun, bentuknya yang federatif ini juga merupakan kekurangan Masyumi. Dalam beberapa kesempatan, semangat lebih nononjolkan golongan mengalahkan semangat persatuan dalam partai. Pada suatu waktu semangat golongan ini begitu dominan sehingga menyulitkan partai dalam melakukan konsolidasi. Kegagalan dalam mempersatukan antar golongan tersebut ternyata telah menghadapkan Masyumi pada persoalan-persoalan yang serius, yaitu perpecahan partai. Pada 1947 PSII keluar dari Masyumi dan menyatakan dirinya kembali kepada partai yang independen disusul NU yang juga keluar dari Masyumi pada 1952 dan mengubah dirinya dari gerakan sosial keagamaan menjadi gerakan politik. Tentu
21
Syafii Maarif, Islam dan Pancasila, h.113.
xlvi
saja peristiwa itu sangat mengguncang Masyumi terutama setelah NU keluar dari Masyumi. Meski di penghujung babak perjuangannya Masyumi melemah karena konflik internal di kalangan pemimpinnya, namun tidak bisa dipungkiri bahwa Masyumi
merupakan
salah
satu
kekuatan
politik
di
Indonesia
yang
merepresentasikan kepentingan politik umat Islam secara keseluruhan. Untuk memberikan gambaran lebih jauh mengenai posisi politik Islam (Masyumi) pada masa pascarevolusi, beberapa catatan historis berikut tampaknya sangat relevan dikemukakan di sini. Pertama, pada tahun 1950 partai partai politik di Indonesia mengalami penyegaran setalah sekian lama mengalami kelesuan pada 1949. Dalam parlemen yang baru dibentuk, Masyumi tampil sebagai partai terbesar dengan menduduki 49 kursi dari 236 kursi. Kedua, dalam beberapa kesempatan Masyumi diminta untuk membentuk dan memimpin kabinet. Dari tujuh kabinet yang berjalan di bawah
sistem
demokrasi
konstitusional
(1950-1957)
tiga
kabinet
kepemimpinannya dipercayakan kepada Masyumi; kabinet Natsir pada 19501951, kabiner Sukiman pada 1951-1952, dan kabinet Burhanuddin Harahap pada 1955-1956. Selain itu, ketika PNI diberi mandat untuk membentuk pemerintahan, Masyumi dan NU berperan sebagai pasangan koalisi utama. Yang terakhir, dalam pemilu pertama yang diselenggarakan pada 1955 golongan Islam yang terdiri dari Masyumi, NU, PSII, dan Perti menguasai 114 suara dari 257 kursi.22 Memasuki rezim orde baru pada 1965, banyak pemimpin Islam yang menaruh harapan besar terhadap rezim yang dipimpin Soeharto ini. Harapan itu
22
Effendy, Islam dan negara, h.94.
xlvii
terpatri jelas dari para aktivis Islam karena selama masa demokrasi terpimpin politik Islam benar-benar dipojokkan. Tidak hanya itu, harapan besar itu juga didasarkan pada kenyataan keterlibtan aktivis politik Islam bersama militer, kelompok keagamaan, pelajar, dan mahasiswa yang berhasil mengganyang PKI dan meruntuhkan kekuasaan rezim orde lama. Meski Orde Baru membebaskan para aktivis Islam dari tahanan, khusunya dari kalangan Masyumi, namun umat Islam tidak bisa menaruh harapan besar terhadap rezim ini. Orde Baru menerapkan sistem dan kebijakan kembali ke UUD 45 dengan tegas dan kosekuen serta menindak tegas kelompok manapun tak terkecuali Islam, yang mencoba melawan Pancasila. Oleh karena itu, untuk mengembangkan sayap politiknya, kelompok Islam mulai merumuskan ulang srategi politiknya yang selama dua dasawarwa awal kemerdekaan lebih mengedepankan aspek legal formal terutama keinginan menjadikan Islam sebagai dasar negara. Mengacu pada perjuangan yang legal formal itulah, arus utama politik Islam pada masa orde baru lebih bersifat substansialistik. Dengan kata lain, para aktivis Islam mulai merubah strategi perjuangannya dengan mengedepankan aspek nilai, makna dan isi, daripada bentuk dan simbol. Perubahan stategi ini tentu saja tidak muncul secara kebetulan. Melainkan kesadaran ini lahir dari sebuah refleksi perjuangan dimana ekspresi politik Islam yang lebih mengedepankan aspek legal formalistik sering menemui kendala-kendala yang bersifat kultural maupun struktural. Bahkan, dalam beberapa periode awal kemerdekaan politik Islam diperlakukan secara diskriminatif dan dimarjinalkan. Akibat dari perubahan strategi perjuangan itu, setidaknya sepanjang akhir tahun 1980-an hingga pertengagan 1990-an, negara membuat sejumlah kebijakan
xlviii
yang menguntungkan kelompok Islam. Di antara kebijakan tersebut yaitu, disahkannya Undang-Undang Pendidikan Nasional (UUPN), disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA), pembentukan ICMI, dibuatnya Kompilasi Hukum Islam, dikeluarkannya keputusan bersama tingkat menteri mengenai BAZIS, dan dihapuskannya SDSB merupakan contoh kebijakan lain negara yang sangat menguntungkan politik Islam.26 Menurut Bahtiar, lahirnya ICMI pada Desember 1990, menunjukkan bahwa situasi politik nasional tengah berpihak pada Islam. Pada masa itu, bulan madu antara Islam dan negara dimulai. Kendatipun dalam waktu yang cukup lama Islam menjadi sasaran kecurigaan negara, namun dengan bulan madu yang sedang dirajut itu, lambat laun ketegangan antara Islam dan negara mulai terkikis. Sejak saat itu, satu persatu kepentingan Islam mulai diakomodir oleh negara, baik yang menyangkut hal-hal yang bersifat struktural maupun kultural.27 Memasuki masa reformasi yang ditandai dengan lengsernya Sueharto, era ini membawa perubahan yang cukup besar terhadap iklim politik di Indonesia. Sueharto yang selama 32 tahun mengangkangi kebebasan berekspresi akhirnya dipaksa meletakkan jabatannya oleh seluruh rakyat Indonesia dengan kepeloporan gerakan mahasiswa. Tentu saja, rontoknya rezim diktator ini membawa berkah kebebasan dan euforia politik yang sangat luar biasa. Salah satu berkahnya yaitu, terbukanya pintu liberalisasi dan relaksasi politik. Dengan demikian, rakyat Indonesia merasa terbebas dari belenggu kultural maupun struktural yang selama ini menyulitkan
mereka melakukan adaptasi terhadap politik nasional serta
melakukan kontrol peneyelenggaraan negara. 26
Effendy, Teologi Baru Politik Islamh, h. 45. Bahtiar Effendy, Jalan Tengah Politk Islam; Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah. (Jakarta: Penerbit Ushul Press, 2005) cet. I, h. 254. 27
xlix
Sementara euforia politik ditandai dengan munculnya puluhan partai yang tak
terbayangkan dalam sejarah Indonesia modern. Seperti yang pernah
dilaporkan banyak media, antara Mei sampai Oktober 1998, di tengah situasi yang tidak menentu, kita dapat menyaksikan lahirnya 181 partai politik. Dari jumlah itu, 42 partai dapat dikategorikan sebagai partai politik Islam. Mayoritas dari mereka menggunakan asas dan simbol Islam. Mungkin saja munculnya puluhan partai politik tersebut merupakan sesuatu yang menggelisahkan karena setiap kelompok akan terjebak pada imajinasi politik mereka msing-masing yang lebih mengedepankan kepentingan golongan ketimbang bersama-sama memikirkan masalah bangsa. Namun di ujung sprektrum yang lain, menjamurnya partai politik setelah ruhtuhnya tembok otoritanisme Sueharto, harus difahami sebagai ekpresi kebebasan berserikat yang selama Sueharto berkuasa tidak pernah mereka dapatkan. Termasuk di dalamnya, maraknya partai politik yang mengklaim dirinya sebagai partai Islam.
D. ”Penjinakan” Islam oleh Negara Pada sebagian besar babakan sejarahnya, relasi politik antara Islam dan negara di Indonesia diwarnai dengan cerita antagonisme dan kecurigaan satu sama lain. Seperti telah diuraikan dalam bab sebelumnya, hubungan antara Islam dan negara di Indonesia sudah lama mengalami jalan buntu. Baik saat presiden Suekarno maupun Sueharto berkuasa. Keduanya memandang partai-partai yang berlandaskan Islam sebagai pesaing tangguh kekuasaan yang potensial dapat merobohkan landasan negara yang nasionalis. Karena alasan ini, sepanjang lebih
l
dari empat dekade, kedua pemerintahan di atas berupaya untuk melemahkan dan menjinakkan kekuatan Islam dengan serangkaian kebijakan yang diskriminatif.
A. Zaman Orde lama Sesuai dengan watak pemikirannya yang nasionalis, Soekarno sebagai penguasa rezim Orde Lama (Orla) ingin memisahkan Islam dari negara. Menurut Soekarno, Islam dan negara merupakan dua entitas yang berbeda yang harus dipisahkan dari kehidupan politik bernegara. Islam harus berdiri sendiri dan negara berada jauh bahkan sama sekali tidak ada sangkutpautnya dengan Islam. Meskipun konsep Soekarno ini mengharuskan pemisahan agama dari negara, namun pada dasarnya ia tidak menolak sama sekali adanya persatuan agama dan negara. Ia berpendapat bahwa persatuan agama dan negara dalam Islam bisa berlaku jika seluruh masyarakatnya seratus persen beragama Islam dan secara murni menjalankan ajaran-ajaran Islam. Dengan kondisi masyarakat yang tidak seratus persen Islam, ia meyakini, gagasan penyatuan Islam dan negara pasti ditolak penganut agama lain. Pandangan pemisahan agama dan negara Soekarno itu diilhami oleh pengalaman Mustafa kamal Ataturk di Turki dengan ajaran sekularisasinya. Menurut Suekarno alasan Mustafa kamal memisahkan agama dari negara disebabkan karena pada masa awal khalifah-khalifah Usmaniah di Turki, sudah terdapat dualisme hukum. Yang pertama hukum Islam dan yang kedua hukum yang difirmankan oleh sultan dan parlemen. Akibat dualisme hukum inilah, Turki
li
mengalami kemunduran karena pengaruh syaikhul Islam yang sangat dominan, sementara mereka berpandangan kolot yang cenderung menghambat kemajuan.28 Selain itu, di masa Orde Lama terjadi perdebatan-perdebatan yang sangat sengit antara kubu Suekarno yang nasionalis dengan kubu M. Natsir yang agamis. Kelompok Natsir berpendapat bahwa nilai-nilai agama harus dijalankan dalam bernegara. Negara dalam bentuk apapun harus menjalankan nilai-nilai agama. Natsir berkali-kali menegaskan bahwa, Islam tidak megenal pemisahan agama dengan negara. Sementara itu, kubu Soekarno berpendirian, demi kemajuan negara agama harus terpisah dari negara. Dengan pemisahan itu, bukan saja negara yang akan semakin maju melainkan juga agama pun akan menjadi lebih maju dan merdeka. Lebih penting lagi, Soekarno beranggapan bahwa yang dikatannnya itu tidak bertentangan dengan Islam, sesuai dengan apa yang difahami, baginya Islam memiliki hukum-hukum yang luwes yang selalu dapat disesuaikan dengan zaman Perdebatan yang dimulai sebelum pra-kemerdekaan itu memasuki babak yang tidak menemukan pangkal penyelesaiannya. Setelah Indonesia merdeka, kalagan agamis tetap mendesakkan supaya Islam dijadikan dasar negara. Yang paling krusial, perdebatan dijadikannya Islam sebagai dasar negara dibuka kembali dalam Majelis konstituante. Dalam sidang tersebut, umat Islam tetap menginginkan Islam sebagai dasar negara. Namun sekali lagi, keinginan kalangan agamis ini ditolak dengan alasan menjaga keutuhan bangsa. Dalam konteks ini, sekali lagi kekuatan politik Islam dapat dijinakkan dalam perdebatan di konstituante. 28
Badri Yatim, Soekarno, Islam, dan Nasionalisme. (Jakarta: Penerbit PT Logos Wacana Ilmu. 1999) cet. I, h. 140-141.
lii
B. Zaman Orde Baru Di masa orde baru, hubungan Islam dan negara mengalami perubahan dan perkembangan yang signifakan. Pada awalnya, pemerintah orde baru menaruh kecurigaan terhadap kelompok Islam karena kemampuan Islam dalam menggerakann massa yang dalam waktu singkat dapat melawan kekuasaan orde baru. Dengan kata lain, dapat dikatakan bahwa orde baru lebih suka memperlakukan Islam sebagai agama dan sistem kepercayaan saja, ketimbang sebagai ideologi politik. Inilah yang disebut Bahtiar Effendy sebagai penjinakan idealisme dan aktivitas politik Islam . Di antara kebijakan mencolok orde baru yang dapat menjinakkan kekuatan politik Islam adalah penetapan asas tunggal bagi seluruh partai politik dan Ormas. Kebijakan orde baru ini menandai puncak atau selesainya program de-Islamisasi politik pada masa orde baru. Pada saat itu, partai politik Islam seolah-olah sudah tamat. Setidaknya, dengan kebijakan itu secara formal semua partai politik hanya mempunyai asas tunggal tunggal pancasila dan tidak ada yang mempunyai asas agama tertentu, termasuk Islam. Kondisi penjinakan politik Islam seperti di atas, pada tahun 1990-an berangsur berubah. Pada saat itu, sebagai bentuk kebijakan orde baru yang berubah maka, dibentuklah ICMI, Bank Muamalat, Pelaksanaan Festival Istiqlal, sistem pendidikan nasional, UU peradilan agama, dan lain sebagainya. Kondisi inilah yang menurut banyak kalangan menunjukkan bahwa, umat Islam justeru diakomodasi oleh negara saat tidak ada lagi partai politik Islam. Kondisi seperti ini menurut Bahtiar Effendy sebagai masa bulan madu antara Islam dan negara.
liii
Setidaknya ada tiga pola hubungan yang terjadi antara Islam dan orde baru yang berkuasa selama 32 tahun. Pertama, di tahun 70-an hubungan Islam dan orde baru bersifat konfrontatif, rivalitas atau antagonis. Dalam kurun waktu tersebut, hubungan Islam dan negara tampak renggang, bertolak belakang, bermusuhan, bahkan bertentangan. Periode ini ditandai dengan kuatnya negara yang secara ideologi politik menguasai wacana pemikiran sosial politik di kalangan masyarakat. Hubungan tidak akur ini dimuali ketika orde baru mengandaskan harapan-harapan politik Islam agar politik Islam bisa bermain di kancah nasional. Salah satu upaya orde baru untuk mengandaskan harapan politik Islam yaitu dengan menolak merehabilitasi Masyumi dan hanya membebaskan para aktivisnya yang pernah dipenjaran Soekarno. Di dalam fase ini juga, orde baru hanya memberlakukan Islam sebatas memajukan kesalehan pribadi dan menentang politisasi agama.29 Kedua, hubungan Islam dan orde baru bersifat reaktif kritis atau resiplokal, yaitu suatu hubungan yang mengarah pada tumbuhnya saling pengertian timbal balik serta pemahaman di antara kedua belah pihak. Dalam periode yang berlangsung antara 1980-an hingga periode 1990-an ini, mulai timbul kesadaran pemerintah bahwa Islam merupakan denominasi politik yang tidak bisa dikesampingkan. Pada periode ini, orde baru mulai memandang Islam sebagai yang mayoritas sebagai faktor dan modal yang tidak bisa diabaikan. Sedangkan pola ketiga bersifat akomodatif atau integratif simbiosis. Pola hubungan saling mengerti ini berlangsung antara awal hingga akhir 1990-an yang ditandai dengan responsifnya pemerintah yang antara lain ditandai dengan 29
Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholis Madjid dan M. Amien Rais. (Jakarta:Penerbit Teraju, 2005) cet. I, h. 168-190
liv
lahirnya sejumlah kebijakan yang akomdatif terhadap kelompok Islam. Bukti akomodasi itu bisa dikategorkan dalam empat jenis yaitu akomodasi struktural, akomodasi legislatif, akomodasi infrastruktural, dan akomodasi kultural.
lv
BAB IV PANDANGAN BAHTIAR EFFENDY TENTANG HUBUNGAN ISLAM DAN NEGARA DI INDONESIA
A. Pergeseran Paradigma Hubungan Islam dan Negara Selama hampir tiga dekade, (sejak 1940-an sampai akhir tahun 1960-an), sebagaiman disinggung dalam bab III, ketegangan ideologis antara Islam dan negara tak kunjung menemukan titik temu. Namun, memasuki gerbang tahun 1970-an mulai tumbuh benih-benih intelegensia muslim yang mempunyai pandangan baru mengenai hubungan Islam dan negara. Jika generasi kemerdekaan, terutama epos Mohamad Natsir dan Wahid Hasyim1—untuk menyebut beberapa saja—lebih menempatkan negara adalah agama; agama adalah negara (al-din wa al-daulah), maka generasi yang muncul kemudian, menempatkan agama sebagai inspirasi atau nilai-nilai untuk mengatur negara, tanpa harus menerapkan hukum agama dalam negara secara legalistik. Para generasi baru ini, terutama yang lahir pada tahun-tahun 1930-an dan 1940-an, memberikan respon terhadap tantangan modernisasi dan rasa frustasi politik Muslim dengan penuh energi dan kreativitas. Generasi ini, dalam pembentukannya mengalami eksposur yang intens terhadap radikalisasi ideologis (Islam), yang dikondisikan oleh adanya perdebatan-perdebatan politik dalam medan nasional yang memicu konflik-konflik dan ketegangan-ketegangan antara
1
Pada pembahasan ini pemikir dan aktivis (politik) Islam generasi pertama atau generasi awal merujuk pada generasi yang terlibat sengit dalam pembentukan ideologi negara (Indonesia), yaitu Mohamad Natsir, Ki Bagus Hadikusumo, Sukiman, Wahid Hasyim, dan lain sebagainya, yang mempunyai aspirasi menjadikan Islam sebagai ideologi negara.
lvi
Islam dan negara. Sebagaimana diakui Bahtiar, geneologi intelegensia generasi ini diawali oleh “sistuasi” krisis. Situasi yang terkondisikan oleh adanya urgensi untuk membangun sebuah blok historis yang sama-sama menguat: antara ideologi kebangsaan dan Islamisme. Situasi yang tidak mengembirakan ini, demikian Bahtiar, muncul terutama—meskipun tidak secara keseluruhan—karena hubungan politik yang tidak harmonis antara Islam dan negara serta hasil sinergi sosiokultural dan politik antara keduanya yang tidak begitu tepat. Meski demikian, lahirnya para generasi baru ini memberikan secercah harapan bagi penyelesaian ketegangan antara Islam dan negara dengan menekankan keterpautan yang erat antara Islam dan negara, dan tetap mempertahankan batas yang tepat antara keduanya, serta terhindar dari kehidupan keagamaan (Islam) yang dikontrol negara. Kendati tidak menjadi faktor satusatunya yang menjadi katalisator keharmonisan hubungan Islam dan negara, namun Bahtiar mengakui, bahwa gagasan-gagasan generasi baru intelegensia Muslim ini memberikan kontribusi yang sangat besar dalam mendamaikan hubungan Islam dan negara. Oleh karena itu, pembahasan berikutnya akan spesifik pada pandanganpandangan inti Bahtiar Effendy tentang hubungan Islam dan negara. Agar lebih terstruktur, pembahasan akan mengikuti kronologi ide Bahtiar Effendy tentang hubungan
Islam dan
negara dengan
susunan
berikut.
Pertama,
akan
mengeskplorasi lahirnya generasi baru intelegensia Muslim yang menurut Bahtiar memberikan pengaruh besar terhadap pergeseran paradigma dalam memandang hubungan Islam dan negara. Selain itu, karena ia tidak menjadi faktor satu-
lvii
satunya, maka ide tentang reformasi birokrasi dan gerakan transformasi sosial juga akan disertakan. Kedua, pembahasan akan masuk pada melemahnya kooptasi negara atas peran politik kaum Muslim. Pada moment ini, kecenderungan negara yang lebih akomodatif terhadap aspirasi politik Islam akan didedahkan dengan mengungkap beberapa bukti. Ketiga, ingin melihat orisinilitas gagasan Bahtiar Effendy tentang hubungan Islam dan negara. Pada pembahasan ini akan diurai arah baru hubungan yang tepat antara Islam dan negara yang ditawarkan Bahtiar. Selain itu, perlu ditambahkan, bahwa apakah ide tersebut bisa disebut ”baru” dalam spektrum hubungan Islam dan negara pada umumnya; serta mampukah ia mempertahankan hubungan tersebut secara ajek. Keempat, catatan kritis yang ingin melihat beberapa ruang yang tidak diisi oleh Bahtiar mengenai hubungan Islam dan negara, serta menguji kekuatan dan kelemahan gagasan-gagasannya.
1. Generasi Baru Intelegensia Muslim Periode tahun 1980-an dan 1990-an, sebagaimana ditengarai oleh Yudi Latif,2 merupakan masa “panen raya” bagi intelegensia Muslim Indonesia dari berbagai gerakan. Hal itu dibuktikan bukan hanya karena jumlah intelegensia Muslim yang memiliki kualifikasi-kualifikasi pendidikan tinggi mencapai tingkatan yang belum pernah ada sebelumnya, melainkan juga jumlah mereka yang meraih gelar pasca-sarjana dari luar negeri, terutama dari universitasuniversitas di Barat (khususnya Amerika Serikat), juga lebih besar dibandingkan dengan periode manapun dalam sejarah Indonesia.
2
Yudi Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, (Bandung: Mizan, 2005), h. 580.
lviii
Profil pendidikan penduduk Indonesia berdasarkan agama, yang didasarkan pada Survei Antarsensus Indonesia yang dilakukan oleh Biro Pusat Statistik, menunjukkan bahwa dari tahun 1976 sampai 1995, kelompok penduduk Muslim mengalami peningkatan pendidikan secara ajek, terutama setalah akhir 1980-an.3 Akses terhadap pendidikan Barat ini, pada gilirannya, memberikan kontribusi besar terhadap pergeseran paradigma hubungan Islam dan negara karena ide-ide mereka lebih inklusif. Selain akses terhadap pendidikan Barat, transformasi ide-ide pemikir Barat tentang tema-tema pembaharuan, khususnya hubungan Islam dan negara, bagi mahasiswa Islam di Indonesia juga cukup memberi pencerahan. Bahtiar menengarai, pertukaran ide yang begitu intens dengan beberapa pemikir sekular Barat,4 membuat generasi intelegensia Muslim ini mendiagnosa bahwa permusuhan akut antara Islam dan negara berkaitan erat dengan dimensi-dimensi teologi atau filosofis filsafat politik Islam. Landasan-landasan teologis atau filosofis tersebut, membentuk dan mempengaruhi pemikiran dan praktik para politisi Muslim generasi awal. Aktivis dan pemikir Muslim pertama ini memahami Islam secara komprehensif (tetapi literal) yang menganggap Islam sebagai agama yang sempurna; mengurusi segala urusan di dunia, termasuk masalah-masalah kecil (seperti makan dan minum), apalagi masalah besar, seperti masalah kenegaraan.
3
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 580. Beberapa buku yang cukup berpengaruh di kalangan generasi intelgensia Muslim baru ini adalah karangan seorang teolog berkebangsaan Amerika Serikat bernama, Harvey Cox. Judul bukunya adalah: “The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective. Selain itu, buku berjudul Basic Demands and Fundamental Values of Socialist Democratic Party. Buku ini merupakan buku pedoman ideologi Partai Demokrat Sosial di Jerman Barat. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, (Jakarta: Paramadina, 1998), h. 139; Djohan Effendi & Ismet Natsir (penyunting), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, (Jakarta: LP3ES, 2003), h. 162. 4
lix
Pandangan yang demikian, berimplikasi pada aspirasi mereka yang berpretensi untuk mengatur negara menurut Islam, menerapkan hukum agama (Islam) dalam negara secara formal dan legal, dan tidak memberi kebebasan kepada warga negara untuk berkeyakinan sesuai agama (madzhab) yang dianutnya. Dengan demikian, menurut Bahtiar, intelgensia Muslim baru ini melihat bahwa komunitas politik Islam sebelumnya mengalami kesulitan besar dalam mencari titik temu pandangan teologis-filosofis mereka dengan realitas politik Nusantara. Berbagai epos sejarah sebelumnya menunjukkan bahwa ikhtiar membangun sebuah hubungan yang kaku, formalistik dan legalistik, antara Islam dan negara berujung pada kegagalan; mengalami pertengkaran yang akut; bahkan pada level tertentu menjurus pada kekerasan. Kegagalan ini, demikian Bahtiar, disadari betul oleh intelegensia Muslim berikutnya dengan mempertanyakan seluruh rumusan dasar perjuangan politik Islam generasi Natsir: baik menyangkut ketepatan strategi, efektifitas taktik, dan cita-cita politik Islam. Tokoh-tokoh terkemuka dari generasi baru intelegensia Muslim, seperti Dawam Rahardjo, Djohan Effendi, Ahmad Wahib, dan Nurcholish Madjid keberatan dengan gagasan pemikir dan aktivis Islam sebelumnya yang ingin menempatkan Islam sebagai sebuah ideologi atau pemikiran: bahwa negara merupakan perpanjangan (atau bagian integral) dari Islam. Dikatakan, ”Meskipun Islam, sebagai agama, mempunyai ajaran-ajaran sosial-politik, ia bukanlah sebuah ideologi. Ideolog Islam itu tidak ada.”5 Pernyataan salah satu eksponen generasi intelegensia Muslim baru ini, yaitu Dawam Rahardjo, membuktikan bahwa mereka betul-betul mempunyai perspektif baru dalam melihat hubungan Islam, 5
Bahtiar Effendy, Teologi Baru Politik Islam: Pertautan Agama, Negara, dan Demokrasi, (Yogyakarta: Galang Press, 2001), h. 12-13.
lx
dan sama sekali tidak berpretensi unuk menjadikan Islam sebagai sebuah ideologi apapun. Bahtiar Effendy mencatat, bahwa semua eksponen dari intelegensia Muslim baru ini mempunyai pemahaman kurang lebih sama dengan Dawam. Djohan Effendy dan Ahmad Wahib misalnya, ia menegaskan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah memproklamasikan berdirinya sebuah negara Islam.6 Dengan gagasan ini, Djohan dan Wahib sepertinya berikhtiar dengan gigih melakukan terobosan-terobosan pemahaman keagamaan yang lebih terbuka (inklusif) menyangkut hubungan Islam dan negara. Keterbukaan mereka setidaknya bisa mempertemukan antara Islam dan negara yang sebelumnya bermusuhan. Lebih dari itu, dengan pemahaman yang demikian, mereka lebih berpretensi menempatkan seluruh warga negara pada status yang sama, baik dalam haknya maupun dalam kewajibannya. Sebagai intelegensia Muslim baru yang bernaung di bawah organisasi HMI Yogyakarta, Dawam, Djohan, dan Wahib—tanpa menafikan yang lain— menyerukan perlunya penyegaran pemahaman terhadap Islam. Perlu diakui, pada tahun 1970-an, bahwa di tubuh HMI tumbuh subur ide-ide pembaharuan yang dimotori oleh para aktivis-aktivis di atas. Selain di HMI, punggawa-punggawa di atas adalah peserta tetap kelompok diskusi Limited Group (1967-1971), di bawah asuhan Mukti Ali. Menurut Bahtiar, melalui diskusi-diskusi yang intens, baik dalam lingkungan HMI ataupun di Limited Group, mereka melakukan terobosan penting dalam penyegaran pemahaman keagamaan sehingga sampai pada poinpoin berikut.7 6
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 13. Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 15.
7
lxi
Pertama, generasi intelegensia Muslim baru ini berpandangan bahwa tidak ada bukti yang valid bahwa al-Qur’an dan Sunnah meniscayakan kaum Muslim untuk mendirikan negara Islam. Sejarah politik Nabi Muhammad bagi mereka tidak memberi eksemplar tentang proklamasi negara Islam. Dengan demikian, para punggawa tersebut tidak sependapat dengan agenda politik para pemimpin dan aktivis Islam generasi awal yang berpretensi untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara, dan ingin menerapkan hukum Islam secara legal formal. Kedua, eksponen intelegensia Muslim baru ini mengakui bahwa Islam memiliki nilai-nilai etis atau prinsip-prinsip sosial-politik. Namun demikian, mereka tidak beranggapan bahwa Islam sebagai ideologi. Ideologi Islam, demikian kata mereka, tidak ada. Lebih dari itu, mereka berkesimpulan bahwa menjadikan Islam sebagai ideologi berujung pada reduksionisme Islam. Ketiga,Islam itu bersifat permanen dan universal sehingga tafsir terhadapnya tak dapat dibatasi hanya pada aspek formal dan legal. Sebaliknya, tafsir terhadap ajaran Islam harus didasarakan pada pemahaman yang paripurna atas teks dan semangan al-Qur’an dan Sunnah. Keempat, mereka mempercayai hanya Allah yang memiliki kebenaran mutlak. Karenanya pemahaman orang atas doktrin Islam bersifat terbatas dan relatif. Karena doktrin Islam itu multitafsir dan Islam sendiri tidak mengenal struktur kependetaan dalam beragama, maka tak ada seorangpun yang berhak mengklaim bahwa pemahamannya mengenai Islam lebih benar daripada pemahaman orang lain. Dalam kacamata Bahtiar, ide-ide di atas merupakan torobosan baru bagi perkembangan format politik Islam. Lebih jauh, ia menegaskan bahwa generasi
lxii
intelegensia Muslim baru ini menganjurkan perlunya perumusan agenda politik Islam secara baru, yang lebih berorientasi pada isi ketimbang simbol. Oleh karena itu, mereka tidak mempunyai alasan yang cukup kuat untuk tidak menerima Pancasila sebagai dasar ideologi negara. Dengan kata lain, mereka meneguhkan bahwa keterikatan komunitas Muslim haruslah pada nilai-nilai Islam, daripada ke lembaga sosial-politik, kendati memakai simbol-sismbol Islam.8 Klimaks dari terobosan intelegensia Muslim baru ini, menurut Bahtiar, terletak pada gagasan mendiang Nurcholish Madjid—sapaan akrabnya Cak Nur— yang dituangkan dalam sebua paper berjudul, ”Keharusan Pembaruan Pemikian dan Masalah Integrasi Umat,” yang disampaikan pada awal tahun 1970-an. Analisanya yang tajam dan mengena pada kondisi umat Islam yang sedang mandeg, ia menawarkan sebuah pembaharuan bagi umat Islam, karena komunitas Muslim kehilangan daya dobrak psikologis dalam perjuangan mereka. Poin penting dari analisis-analisisnya dalam paper tersebut, menyangkut hubungan Islam dan negara adalah jargon ”Islam Yes, Partai Islam, No”, serta keharusan ”sekularisasi.” Bahtiar menempatkan gagasan Cak Nur, tentang ”Islam Yes, Partai Islam, No,” sebagai ikhtiar untuk mendorong umat Islam agar mengarahkan komitmen mereka kepada nilai-nilai Islam, bukan kepada partai-partai Islam, kendati menggunakan simbol Islam. Sementara terminologi kontroversial Cak Nur, mengenai ”sekularisasi,” lebih ditujukn untuk menempatakan sesuatu secara proporsional. Karena ia menganggap bahwa para penanggap dan pengkritiknya
8
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 15.
lxiii
ahistoris dalam menafsirkan terhadap ide yang digagasanya, berulangkali Nurcholish Madjid membedakan sekularisasi dengan sekularisme. Menurutnya,
sekularisasi
tidak
dimaksudkan
untuk
menerapkan
sekularisme, karena “Secularism is the name for an ideology, a new closed word view which funtion very much like a new religion” (sekularisme adalah nama untuk sebuah ideologi, suatu pandangan dunia baru yang tertutup yang fungsinya sangat mirip dengan sebuah agama baru).9 Para pengkritiknya menganggap bahwa sekularisasi tanpa sekularisme adalah mustahil. Sekularisasi tidak lain adalah penerapan sekularisme. Kritik itu kemudian disambut oleh Cak Nur dengan menjelaskan secara lebih detail dan hati-hati terhadap istilah yang menjadi polemik itu. Cak Nur tetap konsisten pada pendiriannya bahwa sekularisasi bukanlah bertujuan untuk menerapkan sekularisme. Ia mencoba menempatkan istilah sekularisasi secara tepat melalui analogi istilah: sekularisasi dan “sosialisasi.” Menurutnya, istilah sosialisasi yang dalam
bahasa
Inggrisnya
socialised
medicine
(pengobatan
yang
disosialisasikan),10 belum tentu merupakan penerapan sosialisme. Di negaranegara kapatalis justru sosialisasi pengobatan itu terjadi dengan pesat sekali. Demikian juga dengan istilah sekularisasi, belum tentu merupakan penerapan sekularisme. Dengan menganalogikan istilah sekularisasi dan sosialisasi seperti di atas Cak Nur berharap agar para pengkritiknya bisa membedakan apa yang dimaksud dengan sekularisasi dan sekularisme. Lebih jauh, Cak Nur mengakui bahwa sekularisasi bisa saja dimengerti sebagai proses sosial politik menuju sekularisme, dengan implikasi paling 9
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung: Mizan, 1993), h.
207. 10
Madjid, Islam Kemodernan, h. 221.
lxiv
ekstrimnya adalah pemisahan secara total agama dari negara. Namun, pengertian seperti ini bukanlah satu-satunya pengertian yang bisa dijadikan rujukan. Pengertian lain dari sekularisasi yang bisa dijadikan rujukan adalah yang bersifat sosiologis, bukan filosofis. Misalnya Talcot Parson dan Robert N. Bellah, yang menegaskan bahwa sekularisasi, dalam pengertian sosiologis, adalah pembebasan masyarakat dari belenggu takhayul dalam beberapa aspek kehidupannya, dan tidak berarti penghapusan orientasi keagamaan dalam norma-norma dan nilai kemasyarakatan. Bahkan, proses pembebasan dari takhayul itu semata-mata terjadi karena dorongan, atau merupakan kelanjutan logis dari suatu bentuk orientasi keagamaan, khususnya monoteisme.11 Sekularisasi dalam pengertian ini, berpangkal dari monoteisme yang antara lain berakibat pada penurunan nilai pranata-pranata sosial (baik kesukuan, kekeluargaan dan, lainnya) dan menjadikan pusat kesucian hanya kepada Tuhan. Dengan
demikian,
kata
sekularisasi dalam pengertian sosiologis
mengandung arti pembebasan, yaitu pembebasan dari sikap penyucian yang tidak pada tempatnya. Karena itu, ia mengandung makna “desakralisasi,” yaitu pencopotan ketabuan dan kesakralan dari obyek-obyek yang semestinya tidak tabu dan tidak sakral. Namun, kendati pengertian sosiologis sekularisasi itu relatif banyak digunakan oleh para ilmuan sosial, harus diakui bahwa masih tetap ada kontroversi di sekitar istilah itu. Sebagaimana diakui Cak Nur, hal itu terjadi karena sekularisme sendiri lahir pada zaman Pencerahan Eropa yang mempunyai semangat anti-agama. Sehingga cukup sulit untuk menentukan kapan proses
11
Madjid, Islam Kemodernan, h. 258.
lxv
sekularisasi dalam pengertian sosiologisnya berhenti dan berubah menjadi penerapan sekularisme secara filosofis.12 Sejalan dengan ikhtiar tersebut, pemikir-pemikir lain seperti Harun Nasution, Munawir Sjadzali, dan Abdurrahman Wahid, dalam pandangan Bahtiar, juga mengemukakan pandangan-pandangan teologis lain yang ”kurang lebih sama.” Pada prinsipnya, mereka semua lebih menekankan isi (substance) daripada bentuk (form) dalam menerjemahkan Islam hubungannya dengan negara. Komunitas politik Muslim, demikian Bahtiar, tidak harus mengartikulasikan aspirasi politiknya secara formalistik-legalistik, namun harus berkomitmen kepada nilai-nilai Islam yang lebih substansialistik.
2. Keterlibatan Dalam Birokrasi Selain munculnya generasi baru intelegensia Muslim yang memberi pengaruh besar terhadap paradigma baru hubungan Islam dan negara, Bahtiar mengakui bahwa reformasi birokrasi menjadi salah satu pilar yang meneguhkan pergeseran pandangan tentang hubungan Islam dan negara. Arus besar gerakan ini, demikian Bahtiar, meyakini bahwa ketegangan hubungan Islam dan negara akan menghilang jika para pemikir dan aktivis Muslim melibatkan diri dan berpartisipasi dalam proses kehidupan birokrasi negara. Islam tidak seharusnya diposisikan vis-a-vis dalam kaitannya dengan negara; serta tidak perlu menempatkan Islam sebagai entitas yang bertentangan dengan Pancasila.13 Menurut penganut aliran ini, hubungan antara Islam dan negara bersifat komplementer, yaitu dalam Pancasila terkandung nilai-nilai Islam. Dengan
12
Madjid, Islam Kemodernan, h. 207. Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 21.
13
lxvi
demikian, dilihat dari perspektif keagamaan tidak ada keharusan bagi komunitas Islam untuk mempermasalahkan bangunan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila. Selain itu, Bahtiar mengemukakan bahwa mereka yang menganut gerakan ini beranggapan, sepanjang sejarah politik Islam modern, para pemimpin dan aktivis politik Islam belum mampu mengembangkan sebuah tradisi pemerintahan yang kuat. Ketika tokoh-tokoh terkemuka dari komunitas Muslim diberi kesempatan untuk mendudukan jabatan birokrasi dalam pemerintahan, komunitas Islam politik tidak mempunyai peran yang dominan dalam mengemban jabatan-jabatan tersebut. Realitas ini menunjukkan bahwa aktivis politik Islam tidak hanya marjinal dalam negara, tetapi juga tidak-dekat dengan negara. Hal penting lain, menurut Bahtiar, aktivis gerakan ini mempercayai bahwa pendekatan seperti ini dinilai efektif untuk mengembalikan harga diri politik komunitas Muslim, yang sering diperlakukan sebagai kaum marjinal dalam panggung politik di Indonesia. Di samping itu, strategi ini dipandang penting untuk menghidupkan kembali perhatian komunitas politik Islam terhadap masalah-masalah kenegaraan. Sang pemula dari gerakan ini adalah Dahlan Ranuwihardja, mantan ketua umum HMI dan GPII tahun 1960-an. Ia berpendapat, demikian menurut Bahtiar, dalam bingkai negara yang berasap pada Pancasila, terdapat banyak peluang dan ruang untuk mengimplementasikan nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu, komunitas politik Muslim tidak mempunyai alasan yang kokoh untuk menolak negara Indonesia yang berdasarkan Pancasilah. Bahkan, ketika masalah “negara
lxvii
Islam” versus “ negara nasional” mencuat ke publik Bumiputera, penganut alur berpikir ini mendukung “negara nasional”.14 Selain Dahlan Ranuwihardja, di tahun-tahun kemudian, gerakan ini diteruskan oleh beberapa seperti Mintaredja, Sulastomo, Harono Mardjono, Akbar Tanjung, dan Ridwan Saidi. Dalam perspektif birokratis, tradisi ini dikembangkan oleh eksponen seperti Sularso, Bintoro Tjokroamidjojo, Barli Halim, Bustanil Arifin, Madjid Ibrahim, Norman Razak, Zainul Yasni, Omar Tusin, Sya’dillah Mursyid, Mar’ie Muhammad, Hariri Hadi, dan lain sebagainya. Kendati para eksponen ini seringkali dicap keluar dari perjuangan politik umat Islam, karena memilih jalur yang berbeda dengan komunitas politik Muslim lainnya, namun mereka memberikan kontribusi besar pada proses “Islamisasi birokrasi.”15
3. Gerakan Transformasi Sosial Gerakan transformasi sosial memang tidak secara spesifik memberikan perhatian pada hubungan Islam dan negara. Seperti diakui Bahtiar, gerakan ini adalah salah satu gerakan yang paling sulit dideskripsikan karena lebih memberikan prioritas pada penguatan masyarakat sipil (civil society) vis-a-vis negara. Namun demikian, Bahtiar melihat kaitan ide-ide madzhab transormasi sosial ini dalam ikhtiarnya untuk menciptakan hubungan yang sinergis dan integratif antara Islam dan negara terletak pada beberapa poin berikut.16 Pertama, madzhab gerakan transformasi sosial ini memberikan perhatian secara spesifik pada berkembangnya suatu masyarakat yang egaliter dan emansipatif. Bagi Bahtiar, agenda yang demikian hendak menempatkan 14
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 23. Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 24. 16 Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 25. 15
lxviii
pendekatan yang lebih integratif atau tidak partisan sifatnya. Mereka menyadari bahwa untuk mewujudkan ide-ide transformatifnya diperlukan serangkaian strategi dan garapan yang lebih diversifikatif. Strategi dan langkah-langkah yang diambil oleh madzhab ini biasanya berujung pada penguatan civil society dengan membangun lembaga-lembaga sipil, seperti LSM, lembaga riset, ormas-ormas, dan lain sebagainya. Kedua, penganut alur berfikir ini beranggapan, dan memang begitu kenyataannya, bahwa rezim Orde Baru telah membuat negara sedemikian kuat, dan bahkan cenderung otoriter. Karena demikian, negara berfungsi sebagai institusi yang paling dominan dalam pembangunan sosial dan politik masyarakat. Menyadari kondisi dan situasi ini, penganut gerakan transformasi sosial megambil langkah uutama ntuk bekerjasama dengan berbagai lembaga/aktor, atau institusi demi terwujudnya masyarakat yang transformatif, kuat, mandiri, dan tidak mempunyai ketergantungan pada negara. Oleh karena itu, Bahtiar berkesimpulan, bahwa melalui strategi yang demikian, gerakan transformasi sosial ini, mendorong komunitas Muslim untuk memaknai politik secara lebih luas, tidak hanya terjebak pada satu panggung perjuangan politik yaitu melalui parlemen. Dengan kata lain, perjuangan politik kaum Muslim bisa seluas ranah kemasyarakatan dan kenegaraan pada umumnya. Selain itu, komunitas politik umat Islam juga diajak untuk merumuskan hubungan yang secara esensial lebih penting antara kekuatan politik Islam dengan negara serta lembaga-lembaga yang ada, utamanya dengan institusi yang mempunyai
lxix
aspirasi sama. Pada tahap berikutnya, madzhab ini juga mengajak umat Islam untuk merumuskan kembali tujuan politik Islam yang lebih terbuka.17 Dalam tilikan Bahtiar, eksponen utama dari gerakan transformasi sosial ini adalah Sudjoko Prasojo dan Dawam Raharjdo. Meski Dawam Rahardjo juga termasuk pada generasi intelegensia Muslim baru yang punya perhatian terhadap pembaruan dan penyegaran pemahaman keislaman, namun ia juga masuk dalam katagori ini. Sudjoko Prasojo menggunakan—salah satunya—Perguruan Tinggi Dakwah Islam (PTDI) sebagai institusi untuk menerjemahkan gagasangagasannya; sementara Dawam Rahardjo berjuang di atas lembaga bernama Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Eekonomi dan Sosial (LP3ES). Dalam perkembangan berikutnya, gerakan ini deteruskan oleh Adi sasono dengan Lembaga Studi Pembangunan (LSP) sebagai medan utamnya.18 Ia menggawangi lembaga ini dengan merumuskan gerakan transformasi sosialnya melalui berbagai studi kebijakan, seperti sosial, ekonomi, dan politik untuk membela kaum tertindas dan mengkampanyekan kesetaraan, keadilan sosial ekonomi, dan demokratisasi politik. Untuk sementara, bisa disimpulkan bahwa tiga aras utama gerakan di atas sangat berbeda dengan apa yang diperjuangkan oleh aktivis dan pemikir Muslim generasi awal. Jika eksponen generasi awal lebih menekankan pada keterpautan Islam dan negara secara kaku—karena pengaruh pemahaman keagamaan mereka—maka generasi setelahnya lebih terbuka dengan medan perjuangan yang mereka pilih sendiri.
17
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 26. Effendy, Islam dan Negara, h. 169-170.
18
lxx
Oleh karena itu, jika diringkas, sebagaimana sering diungkapkan oleh Bahtiar dalam beberapa tulisannya, paradima hubungan Islam dan negara telah bergesar: pada awalnya menekankan legal-formal menuju komitmen pada substansi dan nilai-nilia. Dan, berkat gerakan ini pula, negara kemudian memperlunak cengkramannya terhadap komunitas politik umat Islam.
B. Melemahnya Kooptasi Negara atas Politik Islam Pengaruh gagasan baru intelegensia Muslim dengan tiga arus utama artikulasinya dalam memperbaiki hubungan Islam dan negara memberi kontribusi besar terhadap peran negara untuk menurunkan tensinya mendesak peran politik Islam ke pinggiran. Selain itu, ketegangan internal rezim Orde Baru, khususnya Soeharto dengan militer juga turut memberi keuntungan tersendiri bagi komunitas politik Islam. Ketidakpuasan militer terhadap Soeharto, membuat Soeharto menoleh pada komunitas politik kaum Muslim untuk dijadikan patner dalam menjalankan proses-proses kenegaraan dan kebangsaan. Seperti yang diamati oleh Yudi Latif, “Sikap-sikap bersahabat yang ditunjukkan oleh organisasi-organisasi Muslim terhadap ajaran resmi (ortodoksi) negara mendorong rezim penguasa untuk mengakomodasi representasi Muslim dalam kepemimpinan politik dan birokrasi Orde Baru.”19 Proposisi Yudi Latif di atas menggambarkan pergeseran paradigma komunitas Muslim dalam melihat hubungan Islam dan negara yang semakin nyata. Hal ini yang menyebabkan negara punya ”iktikad baik” untuk mengakomodir kepentingan-kepentingan kaum Muslim. Kebijakan ”iktikad baik”
19
Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 576.
lxxi
yang dijalankan negara terhadap kepentingan-kepentingan kaum Muslim juga tampak jelas dalam peningkatan dukungan terhadap Islam, baik struktural maupun kultural, seperti diindikasikan oleh peningkatan yang berarti dalam subsidi-subsidi pemerintah terhadap masjid-masjid dan sekolah-sekolah agama; serta disahkannya beberapa undang-undang yang lebih menguntungkan bagi kepentingan umat Islam. Implikasinya, arus ”urbanisasi” komunitas Muslim untuk melebur ke dalam negara meledak. Ledakan terbesar arus ”urbanisasi” komunitas Muslim dari pinggiran ke panggung ”kekuasaan,” baik dalam birokrasi maupun dalam partai (Golkar), terjadi di pertengahan tahun 1980-an (utamanya, tahun 1983-1988). Pada saati itu pula, pemerintah banyak mengeluarkan kebijakan yang lebih akomodatif terhadap kepentingan kaum Muslim. Pada momen ini, komunitas politik Muslim merasa bisa merefleksikan suatu ”tindakan sejarah” (historical action) dan menemukan kembali sejarah (historical self-invention) mereka yang telah terputus (ruptures)—untuk menyuarakan aspirasi politiknya dengan langgam yang berbeda.
1. Panggung Politik Umat Islam Setelah hampir empat dekade umat Islam kehilangan medan aktualisasi dirinya untuk bisa bersuara melawan proses marginalisasi politik dan ekonomi, memasuki penghujung tahun 1970-an kalangan Muslim mulai menemukan kembali ranah perjuangannya dalam menyuarakan kepentingan mereka. Seperti dikatakan oleh Bahtiar Effendy: “Sejak pertengahan tahun 1980-an, ada indikasi bahwa hubungan antara Islam dan negara mulai mencair, menjadi lebih akomodatif dan integratif. Hal ini ditandai dengan semakin dilonggarkannya
lxxii
wacana politik Islam serta dirumuskannya sejumlah kebijakan yang dianggap positif oleh sebagian (besar) masyarakat Islam. Kebijakan-kebijakan itu berspektrum luas, ada yang bersifat (1) struktural, (2) legislatif, (3) infrastruktural, dan (4) kultural.”20 Dalam matra yang pertama, Bahtiar berpandangan bahwa negara semakin membuka ruang kepada aktivis-aktivis Islam untuk terlibat dalam proses kenegaraan, baik melalui jalur eksekutif, legislatif, maupun yudikatif. Mereka ini ditampung baik di birokrasi pemerintahan, maupun dalam partai Golkar. Bahkan, seiring dengan kian membaiknya hubungan antara komunitas Muslim dengan pemerintah, komposisi Kabinet Pembangunan Kelima Presiden Soeharto (19881993) mengakomodasi figur-figur teknokrat santri dalam jumlah yang belum pernah terjadi sebelumnya. Sikap akomodatif pemerintah terhadap intelektual Muslim juga ditunjukkan dengan diangkatnya Abdurrahman Wahid, Nurcholish Madjid, dan beberapa tokoh terkemuka Muslim lainnya sebagai anggota MPR dari utusan golongan di bawah bendera Golkar.21 Klimaks dari ini semua, menurut Bahtiar, adalah keterbukaan pemerintah dalam mendukung pembentukan Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada 1990. Pada matra yang kedua, Bahtiar menengarai, sikap akomodasi negara terhadap komunitas Islam ditunjukkan dengan disahkannya sejumlah undangundang yang memihak pada kepentingan komunitas Muslim. Misalnya, disahkannya
Undang-Unang
Pendidikan
Nasional
(UUPN)
pada
1989;
disahkannya Undang-Undang Peradilan Agama (UUPA) pada 1989; kompilasi
20
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 35. Latif, Intelegensia Muslim dan Kuasa, h. 577-578.
21
lxxiii
hukum Islam pada 1991; kebijakan baru tentang jilbab pada 1991; SKB tentang BAZIS pada 1991; dan kebijakan SDSB pada 1993.22 Matra yang ketiga, menurut Bahtiar berhubungan dengan semakin tersedianya berbagai infrastruktur yang diperlukan oleh komunitas Muslim untuk menjalankan kewajiban kegamaannya. Melalui Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila, Soeharto membangun ratusan masjid dan—atas permintaan Majelis Ulama Indonesia (MUI)—memotori pengiriman para juru dakwah ke daerahdaerah terpencil. Yang paling fenomenal adalah kesediaan negara membantu mendirikan sebuah bank yang beroperasi menurut tuntunan ajaran Islam, yaitu Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada 1991.23 Matra yang keempat, demikian Bahtiar, menyangkut akomodasi kultural negara terhadap Islam. Hal ini ditunjukkan dari iktikad baik negara untuk tidak melarang idiom-idiom Islam dalam perbendaharaan bahasa pranata ideologis komunitas Muslim, baik dalam organisasi kemasyarakatan, kemahasiswaan, maupun politik kenegaraan. Menurut Bahtiar, hal ini merupakan bentuk akomodasi negara secara kultural yang paling dini dibanding yang lain.24 Dalam konteks ini, kemudian Bahtiar Effendy melakukan abstraksi dari hasil-hasil studinya yang panjang untuk memberikan temuan baru menyangkut hubungan Islam dan negara. Selain itu, ia mencoba merumuskan dan meramalkan apakah perkembangan hubungan Islam dan negara yang semakin adekuat itu bisa bertahan lama (bergerak maju) atau sebaliknya (bergerak surut).
C. Arah Baru Hubungan Islam dan Negara 22
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 35. Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 36. 24 Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 35. 23
lxxiv
Sebagaimana seorang pemikir terkemuka, setelah mendiskripsikan berbagai perkembangan politik Islam kaitannya dengan negara, Bahtiar Effendy mencoba memecah kebuntuan akut dengan memberi arah baru hubungan antara Islam dan negara yang ideal. Menurutnya, dalam dua puluh tahun terakhir, perkembangan hubungan Islam dan negara semakin ditemukan titik-temunya, terutama, berkat lahirnya generasi intelgensia Muslim baru dengan berbagai agenda dan cita-cita politiknya yang lebih mengedepankan nilai-nilai daripada simbol-simbol. Dalam
perkembangannya,
gerakan
dan
formulasi
baru
tersebut
berimplikasi pada pencarian yang memungkinkan antara Islam dengan sistem yang dianut negara-bangsa modern pada umumnya, yaitu demokrasi. Dalam tilikan Bahtiar, Islam dan demokrasi bisa dipertemukan melalui prasarat-prasarat tertentu, dan negara-negara Muslim, khususnya di Indonesia, tidak terlalu sulit untuk menerima demokrasi dengan prasarat-prasarat tertentu pula. Oleh karena itu, dengan adanya penerimaan terhadap demokrasi—karena keduanya memang bisa dipertemukan—akan berimplikasi pada hubungan Islam dan negara yang lebih ”integratif.”
1. Penerimaan terhadap Demokrasi Bahtiar mengakui, bahwa bergulirnya demokrasi yang dianut dalam sistem negara-bangsa dunia Islam, termasuk di Indonesia, tidak serta merta diterima begitu saja. Ia selalu melalui pergulatan panjang karena demokrasi hadir secara tidak ramah; ia berbarengan dengan serbuan kolonialisme yang notabene rekayasa kaum penjajah sebagai upaya untuk melumpuhkan daya resistensi kekuatan
lxxv
terpenting Bumiputra. Dalam konteks ini, demokrasi sedari awalnya telah saling berhadapan dengan Islamisasi. Hal ini mengandung implikasi yang sangat penting, karena untuk kurun panjang sejarah pra-kolonial Indonesia, Islam berperan penting sebagai semen perekat yang paling kuat dalam mempersatukan gugus-gugus manusia dari pelbagai latar geografis, bahasa, budaya, dan sejarah. Sejarah pra-kolonial Indonesia, sebagaimana banyak dikatakan para ahli, tidak memiliki pengalaman persatuan nasional. Bisa dikatakan, satu-satunya faktor pemersatu yang paling efektif dalam perjuangan nasional untuk kemerdekaan adalah jaringan sentimen kolektif yang bersumber dari solidaritas umat Islam. Basis afirmasi dari nasionalisme relegius seperti itu adalah bahwa perbedaan identitas kelompok keagamaan membentuk jurang yang tak terjembatani antara penguasa dan yang dikuasai, bahwa pemerintah Kristen Belanda tidak memiliki hak moral untuk memerintah umat Islam. Karena Islam tampil sebagai elemen dasar nasionalisme Indonesia, setidaknya pada tahap awal perjuangan kebangsaan Indonesia, dan menjadi agen utama yang memproduksi “bahasa” keresahan dan pemberontakan, bisa dipahami jika kekuatan-kekuatan kolonial memberikan perhatian yang besar pada proyek sekularisasi sebagai upaya untuk mengenyahkan Islam dari ranah politik (political sphere). Dampak dari semua itu, adalah terseretnya sebagian komunitas politik Muslim Nusantara untuk memposisikan diri berlawanan dengan demokrasi yang diwariskan oleh kolonial Belanda. Posisi yang demikian, kemudian dianggap menjadi salah satu—jika tidak semuanya—penyebab bahwa Islam seakan-akan tidak ditemukan unsur-unsur kesamaannya dengan demokrasi. Hal itu bisa
lxxvi
dibuktikan, misalnya, dari karya-karya para ahli yang membahas tentang demokrasi, sedikit sekali—jika tidak ingin dikatakan tidak ada—yang memasukkan dunia Islam sebagai tema bahasannya. Menurut Bahtiar, hasrat untuk meminggirkan sebagian besar dunia Islam, dan seluruh negara Arab, dari survei demokrasi ini berpijak di atas argumentasi bahwa negara-negara ini secara keseluruhan tidak memiliki pengalaman yang memadai tentang demokrasi, dan lebih dari itu, menurut mereka, dunia Islam tidak mempunyai prospek untuk melakukan proses transisi menuju demokrasi, atau paling minimal transisi ke semi-demokrasi. Bahkan, pemikir seperti Huntington dan Fukuyama, demikian Bahtiar, sampai pada kesimpulan yang agak gegabah: bahwa Islam secara inherent tidaklah sesuai dengan demokrasi dan malah menjadi ancaman besar terhadap kegiatan-kigiatan demokrasi (liberal).25 Persepsi yang demikian, bagi Bahtiar, terbentuk karena adanya pandangan yang tunggal terhadap Islam. Terlebih lagi, pikiran seperti ini hanya merujuk pada kegiatan sementara aktivis Muslim militan dan radikal, khususnya yang berkecambah di Timur Tengah. Fatalnya, istilah seperti Islam militan, radikal Islam, Islam extrimis, dan sejenisnya digunakan secara serampangan, dan dianggap mencakup seluruh pemimpin, negara, dan organisasi yang berada di dunia Islam.26 Anggapan sebagian besar pengamat Barat tentang Islam yang bersifat tunggal itu, berasal dari pemahaman mereka yang terbatas tentang sifat dan esensi Islam, baik dalam tataran ide (sebagaimana terdapat dalam al-Qur’an
25
Bahtiar Effendy, “Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, (Jakarta: Paramadina, 2005), h, 155-172. 26 Akbar S. Ahmed, Posmedernisme Islam: Tantangan dan Harapan, (Bandung: Mizan, 1997), h.
lxxvii
dan Sunnah) ataupun historis (sebagaiamana tergambarkan dalam pengalaman kesejarahan komunitas Muslim). Bahtiar melihat, bahwa kesalahan para pengamat Barat terletak pada ketidakmampuan mereka untuk memahami Islam sebagai agama yang multitafsir. Bahwa dalam mozaik gerakan Islam, tidak hanya semata-mata gerakan Islam fundamentalis—yang ingin menerapkan hukum agama dalam negara—yang tumbuh, tetapi juga gerakan-gerakan Islam yang lebih menekankan nilai-nilai dan substansi juga mulai berkecambah di hampir deretan dunia-dunia Islam. Oleh karena itu, seharusnya para pengamat Barat jangan menerapkan standar ganda dengan mengekspos secara besar-besaran, misalnya fundamentalime Islam, tetapi mereka juga harus menoleh terhadap gerakan-gerakan Islam yang relatif “liberal.” Dalam konteks Indonesia, seperti dijelaskan dalam pembahasan terdahulu, terdapat dua mainstream dalam melihat Islam dan demokrasi. Mainstream pertama, khususnya generasi Natsir, menurut Bahtiar, sesungguhnya melihat kesesuaian Islam dan demokrasi. Namun, pola tafsir yang dikembangkan oleh Natsir ambigu, dan mengatasi pemikirannya tentang demokrasi, sehingga berpretensi mengharuskan pemeluknya untuk mengkaitkan Islam secara legalistik dan formalistik dengan seluruh aspek kehidupan, tak terkecuali dalam aspek politik kenegaraan. Ia melihat bahwa esensi dari doktrin Islam adalah bahwa setiap pemeluknya harus mendasarkan diri dengan nilai-nilai Islam sehingga berimplikasi pada sebuah pemahaman bahwa seluruh kebijakan yang dirumuskan tidak boleh bertentangan dengan Islam.27
27
Effendy, “Demokrasi dan Agama,” h. 155-172.
lxxviii
Pandangan yang demikian, mengganggu berkembangnya sebuah sistem politik yang pluralistik, khususnya di sebuah negara di mana konstruk sosial dan keagamaannya sangat beragam. Lebih dari itu, Bahtiar meyakini, tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa model pemikiran seperti itu telah mempunyai andil—meskipun tidak harus dianggap sebagai faktor penyebab—dalam runtuhnya sistem demokrasi konstitusional di Indonensia pada tahun 19950-an,28 di mana perdebatan di Konstituante untuk merumuskan undang-undang dasar tidak bisa dipertemukan antara golongan agama dan nasionalis. Mainstream kedua melihat, khususnya generasi intelgensia Muslim baru, bahwa al-Qura’an dan Sunnah tidak memberikan panduan yang jelas dan detil tentang model hubungan Islam dan sistem politik modern. Eksponen ini hanya meyakini bahwa Islam memiliki prinsip etis (dalam nilai-nilai universal Islam) yang relevan bagi pengelolaan sistem politik modern. Para penganut paham ini selalu menunjukkan bahwa al-Qur’an dan Sunnah sarat dengan ide-ide normatif tentang musyawarah (syura), keadilan (al-‘adl), dan persamaan yang sejajar dengan prinsip-prinsip demokrasi.29 Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa hubungan Islam dan politik tidak harus bersifat kaku yang harus legalistik-formalistik, tetapi harus bersifat substansialistik, yaitu melalui nilai-nilai. Selama sistem politik negara berdiri di atas prinsip-prinsip musyawarah, keadilan, dan persamaaan, maka sudah absah untuk dikatakan bahwa dasar negara tersebut sudah sesuai dengan semangat Islam. Dalam konteks normatif, prinsip-prinsip politik Islam sama sekali tidak bertentangan dengan demokrasi, dan bahkan nsesuai dengan nilai-nilai demokrasi. 28
Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 119. Effendy, Teologi Baru Politik Islam, h. 120.
29
lxxix
Model pemikiran Islam yang diperjuangkan oleh genersi intelgensia Muslim baru ini, yaitu yang lebih substansialistik—sebuah posisi yang menekankan pada pentingnya isi daripada bentuk, nilai daripada simbol—dapat mendorong berkembangnya kehidupan politik yang demokratis. Oleh karena itu, sudah cukup kuat alasan untuk menerima demokrasi; karena demokrasi pada prinsipnya sesuai dengan nilai-nilai Islam; begitu juga sebaliknya, nilai-nilai demokrasi sesuai dengan prinsip politik Islam, khususnya musyawarah, keadilan, dan persamaan. Berpijak dari persoalan di atas, Bahtiar berkesimpulah bahwa pemahaman keagamaan (keislaman) yang lebih menekankan nilai-nilai, landasan etis, inspirasi, atau substansilah—dalam istilah Bahtiar tertransformasikan—yang mempunyai tingkat kesesuaian yang tinggi dengan demokrasi. Sementara pandangan keagamaan yang lebih menekankan legal-formal sangat sulit dipertemukan dengan demokrasi, kecuali gerakan dan pemikiran yang seperti ini ditransformasikan menjadi pemahaman keagamaan (keislaman) yang lebih menekankan nilai-nilai universal seperti yang menjadi mainstream kedua.
2. Islam dan Negara: Menuju Hubungan yang Integratif Hubungan yang integratif antara Islam dan negara jangan dimengerti seperti gagasan Supomo tentang negara integralistik yang memposisikan negara menyatu
dengan
masyarakat,
sehingga
berimplikasi
pada
munculnya
pemerintahan yang otoriter. Ia juga jangan dimengerti sebagai penyatuan agama dan negara yang berimplikasi pada negara adalah agama; dan agama adalah negara (al-din wa al-daulah). Tetapi, gagasan ini merupakan temuan Bahtiar dalam melihat perkembangan hubungan yang tepat antara Islam dan negara dalam
lxxx
dua puluh tahun terakhir. Meskipun gagasan tentang hubungan yang integratif antara Islam dan negara ini merupakan kelanjutan-kelanjutan—dan dalam tingkat tertentu tidak jauh berbeda—dari temuan-temuan sebelumnya, namun penting dikemukakan untuk mendedahkan tingkat orisinalitas gagasannya. Dalam konteks yang lebih detail, ia menegaskan bahwa terjalinnya hubungan yang integratif itu ditandai dengan lahirnya generasi intelengesia Muslim baru yang tidak memposisikan Islam sebagai musuh dari negara, tetapi terintegrasi atau menyatu dengan kontstruk negara Republik Indonesia. Perlu dijelaskan, kata “integrasi” di sini bukan berarti Islam dan negara menyatu secara legal-formal (al-din wa al-daulah), tetapi menyatu dari sisi nilai-nilai di mana nilai-nilai Islam tidak bertentangan (menyatu/integratif) dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Bahtiar mencatat, hubungan yang mulai integratif itu setidaknya ditandai oleh tiga ciri utama. Pertama, landasan teologis; kedua, tujuan; dan ketiga, pendekatan Islam politik.30 Dalam konteks teologisnya, format baru politik Islam tidak lagi berhubungan secara legalistik dan formalistik antara Islam dan negara, atau politik pada umumnya. Selama negara tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam, baik secara ideologis maupun politis, maka komunitas Muslim tidak perlu menggugat idiom-idiom tersebut, dan malah harus mendukungnya. Pada matra tujuannya, sudah begitu nyata bahwa komunitas politik Islam tidak lagi memperjuangkan pembentukan sebuah negara Islam. Pada umumnya, mereka sudah memperjuangkan aspirasi politiknya berdasarkan pemahaman mereka tentang Islam yang lebih kontekstual dengan pluralitas masyarakat
30
Effendy, Islam dan Negara, h. 333.
lxxxi
Indonesia. Mereka berpartisipasi dalam pembangunan politik kenegaraan yang mencerminkan atau sejalan dengan prinisp-prinsip universal nilai-nilai politik Islam, yaitu keadilan, egalitarianisme, musyawarah, dan partisipasi.31 Dalam matra pendekatannya, khususnya untuk mencapai tujuan-tujuan di atas, Islam politik tidak lagi menekankan ikhtiar melalui politik partisan dengan parlemen sebagai medan utamnya. Lebih dari itu, Islam politik dengan format yang baru ini memperluas dan meragamkan basis perjuangannya32 melalui medan masing-masing, baik itu organisasi sosial-keagamaan (seperti Muhammadiyah dan NU), lembaga swadaya masyarakat, lembaga riset, universitas-universitas, partai politik (seprti Golkar, PPP, dan lain sebagainya), di birokrasi, dan lain sebagainya. Jadi, basis perjuangannya tidak hanya bertumpu pada parlemen dan partai politik, tetapi seluas wilayah dan ranah kebangsaan dan kenegaraan.
D. Catatan Kritis Pandangan-pandangan Bahtiar Effendy cukup memberikan harapan bagi bersemainya hubungan Islam dan negara secara tepat. Yaitu hubungan yang tidak memposisikan Islam besebrangan dengan negara, tetapi terintegrasi melalui nilainilai universal Islam, dan bukan melalui legal-formalnya (hukum Islam). Gagasannya-gagasanya dengan analisis yang tajam dan didukung dengan data yang akurat membuat ia layak ditempatkan sebagai pemikir terkemuka di negeri ini mengenai hubungan Islam dan negara. Namun demikian, sebagaimana layaknya seorang pemikir, bukan berarti gagasannya tanpa kelemahan. Kelemahannya terletak pada pembedaan yang
31
Effendy, Islam dan Negara, h. 334. Effendy, Islam dan Negara, h. 334.
32
lxxxii
kurang tegas antara “negara” dan “politik.” Di hampir semua kesempatan dalam karya-karyanya, ia jarang sekali membatasi keduanya secara tegas, terutama menyangkut definisi, dan bahkan sering menempatkan “negara” dan “politik” sebagai entitas yang sama. Padahal, keduanya mempunyai fungsi dan peran yang berbeda. Negara adalah jaringan yang rumit dari organ-organ, institusi-institusi, dan proses-proses yang semestinya menerapkan kebijkan-kebijakan yang diambil melalui proses politik dalam setiap masyarakat. Sedangkan ‘politik’ adalah proses dinamis dalam memilih di antara pilihan-pilihan kebijakan yang saling bertentangan. Di atas semua itu, Bahtiar telah memberikan pijakan baru bagi hubungan Islam dan negara yang lebih visibel. Selain itu, terdapat sejumlah kelamahan lainnya yang juga tidak dijelaskan secara tegas dalam banyak buku yang ditulis Bahtiar. Kelemahan itu mencakup, pertama tiadanya definisi Islam dan Negara. Karena ketiadaan definisi tersebut, seringkali membuat pemerhati Islam politik kesulitan menangkap bagaimana sebenarnya Bahtiar mendefinisikan Islam dan Negara. Kedua, relevansi hubungan Islam dan Negara dalam konteks kekinian. Dari delapan buku yang sudah ditulisnya, tak satupun terdapat pembahasan komprehensif yang menjelaskan bagaimana relevansi perdebatan Islam dan Negara saat ini. Relevasi Islam dan Negara dianggap penting untuk diungkapkan dalam skripsi ini mengingat topik tersebut belum pernah dibahas dalam sejumlah bukunya. Untuk memenuhi kebutuhan itu, penulis melakukan wawancara langsung dengan Bahtiar guna menjelaskan kelemahan-kelemahan di atas. Pertama menyangkut definis Islam dan Negara. Menurut Bahtiar, Islam adalah panduan yang digariskan Tuhan melalui utusan-NYA. Sebagai panduan,
lxxxiii
tentu saja nilai-nilai Islam menjadi pedoman kehidupan bagi para pemeluknya. Penegasan Islam sebagai panduan ini tidak ada bedanya dengan agama-agama samawi lainnya seperti Hindu, Budha, dan Kristen yang juga menjadikan agama sebagai panduan bagi pemeluknya. Dalam panduan itu, Tuhan menerapkan seperangkat aturan-aturan dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi para pengikutnya. Dalam Islam, sudah jelas disebutkan bahwa seseorang dapat dikatakan muslim jika ia mengucapkan dua kalimat syahadat, melaksanakan shalat, puasa, zakat, dan haji bagi yang mampu. Sementara negara dimaknai sebagai wilayah teritori dengan batas wilayah tertentu yang dihuni sejumlah komunitas masyarakat dengan beragam kepentingan. Karena ragamnya kepentingan itu maka, negara diatur oleh sebuah sistem pemerintahan dengan seperangkat aturan-aturan yang mengikat demi kepentingan bersama. Oleh karena itu, dapat dikatakan secara tegas bahwa Islam dan Negara merupakan entitas berbeda yang bisa saling melengkapi. Yang menjadi persoalan kemudian ketika multi tafsir terhadap ajaran Islam dipraktikkan dalam kehidupan bernegara yang masyarakatnya sangat majemuk.33 Sebagai implikasi atas keberagaman tafsir terhadap Islam dalam kehidupan bernegara, beragam alternatif pun juga telah ditawarkan guna memberikan solusi dalam memposisikan Islam dalam kehidupan bernegara. Ada perspektif yang menginginkan Islam dan Negara harus disatukan (teokrasi). Sementara satu perspektif lainnya menegaskan pentingnya pemisahan keduanya (sekuler). Dalam perjalanannya, tak jarang dua pandangan berbeda ini saling bergesekan bahkan bertabrakan.
33
Hasil wawancara dengan Bahtiar Effendy pada 29 Maret 2008.
lxxxiv
Dari dua perspektif di atas, Bahtiar menyodorkan pertanyaan-pertanyaan kritis. Apa mungkin Islam dan Negara bisa dipisahkan dalam masyarakat yang mayoritas Islam? Pertanyaan selanjutnya, apa mungkin Islam dan negara disatukan – dalam pengertian Islam dijadikan dasar negara – sementara penduduknya tidak semuanya beragama Islam? Dari pertanyaan itu, Bahtiar memberikan penjelasan yang sangat lugas. Menurutnya, di Indonesia Islam tidak mungkin sama sekali dipisahkan dari Negara mengingat dominasi pendudukanya menjadikan Islam sebagai agama. Meski begitu, Indonesia juga tidak mungkin didasarkan pada perundang-undangan Islam (syariat Islam) mengingat potret masyarakatnya cukup majemuk. Oleh karena itu, kata Bahtiar, sebenarnya tidak ada hubungan ideal antara Islam dan Negara untuk mendamaikan keduanya. Yang ada hanyalah hubungan fungsional, realistis pragmatis, masuk akal, dan aplikatif yang dapat meminimkan ketegangan antar keduanya. Bahtiar mencontohkan adanya Departemen Agama (Depag) merupakan hasil kompromi politik antara kelompok yang pro negara teokrasi dan pro negara sekuler.34 Kompromi politik tersebut didasarkan pada keinginan untuk mendamaikan masing-masing kelompk yang berada di dua kutub ekstrim yang saling berjauhan. Tidak ada pilihan lain, kecuali menegoisasikan kedua kutub tersebut guna menciptakan stabilitas. Hal inilah yang disebut Bahtiar dengan akomodasi parsial. Sampai saat ini, akomodasi parsial dinilai sebagai bentuk akomodasi yang paling aplikatif dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kedua, menyangkut relevansi hubungan Islam dan Negara saat ini. Bahtiar meyakini, perdebatan seputar Islam dan Negara akan terus menjadi polemik yang 34
Hasil wawancara dengan Bahtiar Effendy pada 29 Maret 2008.
lxxxv
tetap akan dibicarakan sepanjang masa baik di kalangan pemerhati maupun praktisi Islam politik. Meski perdebatan ini sudah memakan waktu yang cukup lama, namun sampai saat ini persoalan meletakkan keduanya dalam posisi ideal masih terus diperbincangkan. Bahtiar mengakui, banyak pihak yang tidak terlalu nyaman dengan pilihan menjadi teokrasi maupun sekuler. Saat ini, katanya, secara de facto yang berjalan di Indonesia adalah hubungan akomodasi parsial antar keduanya. Dalam hubungan akomodasi parsial ini, negara pada titik-titik tertentu diperbolehkan mengatur dan mengelola kehidupan penduduknya seperti kebebasan memilih agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan keyakinannya masing-masing. Akan tetapi, hak pengelolaan itu harus dibatasi apalagi menyangkut persoalan hukum pidana. Hal itu sangatlah problematis dan membutuhkan penafsiran mendalam sehingga negara bisa mengaturnya dengan baik.35 Tidak hanya itu, Bahtiar juga menengarai adanya tuntutan menjadikan syariat Islam sebagai dasar negara sebagai implikasi dari perdebatan Islam dan Negara yang tidak kunjung selesai. Menurutnya, lahirnya kelompok-kelompok masyarakat yang menyuarakan pentingnya Islam sebagai dasar negara bisa difahami sebagai respon terhadap kegagalan Pancasila (dasar negara yang sekuler) dalam menjalankan amanahnya dalam menjamin stabilitas bernegara. Untuk itu, adanya desakan menjadikan Islam sebagai solusi kehidupan sangat bisa dimengerti sebagai salah satu upaya untuk menjawab persoalan bangsa yang kian carut marut. Oleh karena itu, di sinilah sebenarnya letak relevansi perdebatan Islam dan Negara terus dibicarakan. 35
Hasil wawancara dengan Bahtiar Effendy pada 29 Maret 2008.
lxxxvi
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Setelah melakukan penjelajahan secara singkat dan padat terhadap pemikiran Bahtiar Effendy di bab-bab terdahulu, pada momen ini sudah saatnya untuk menarik kesimpulan dari berbagai gagasan Bahtiar menyangkut hubungan Islam dan negara. Dari eksplorasi yang cukup jauh, namun ringkas itu, memang tidak secara “eksplitis” ditemukan pemikiran Bahtiar Effendi tentang hubungan yang ideal antara Islam dan negara. Bahkan, di hampir semua gagasan-gasannya dalam karyanya, Bahtiar memang tidak menegaskan posisi pemikirannya terkait hubungan Islam dan negara. Tetapi, basis afirmasinya terhadap beberapa perkembangan hubungan Islam dan negara sudah cukup menunjukkan posisinya dalam spektrum gerakan dan pemikiran Islam tentang pertautan Islam dan negara. Ada dua hal penting yang bisa disimpulkan dari pemikiran Bahtiar tentang hubungan Islam dan negara, dan keduanya saling terkait satu sama lain. Pertama, gagasan pemikirannya tentang kesesuaian Islam dan demokrasi. Kedua, ide briliannya mengenai hubungan Islam dan negara yang terintegratif. Menyangkut yang pertama, ia menunjukkan bahwa Islam (khususnya dalam al-Qur’an dan Sunnah sebagai sumber utama) sarat dengan ide-ide normatif tentang musyawarah (syura), keadilan (al-‘adl), dan persamaan yang sejajar dengan prinsip-prinsip demokrasi. Dengan demikian, ia menempatkan hubungan Islam dan negara tidak harus bersifat rigid dengan menerapkan hukum (syariah) Islam dalam negara,
lxxxvii
tetapi hubungan keduanya harus melalui nilai-nilai Islam. Hal itu dilakukan karena demokrasi yang dianut dalam sistem negara-bangsa modern, khususnya di Indonesia, sama sekali tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal Islam; dan sebaliknya, keduanya mempunyai kesamaan yang bisa dipertemukan. Pada dimensi yang kedua, menyangkut hubungan Islam dan negara yang terintegratif. Hubungan yang integratif itu dibuktikan dengan gagasan generasi intelengesia Muslim baru yang memposisikan Islam sebagai satu medan perjuangan dengan kontstruk negara Republik Indonesia. Satu medan di sini bukan berarti Islam dan negara menyatu secara legal-formal (al-din wa aldaulah), tetapi menyatu dari sisi nilai-nilai di mana nilai-nilai Islam tidak bertentangan (menyatu/integratif) dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Sejauh praktek-praktek kenegaraan masih berbasis pada nilai-nilai politik Islam, maka selayaknya kaum Muslim untuk tetap setia menerimanya. Dalam konteks yang lebih spesifik, hubungan yang mulai integratif itu setidaknya ditunjukkan oleh landasan teologis politik Islam; tujuan politik Islam; dan pendekatan politik Islam yang sudah diformat secara baru dengan memperluas
basis
perjuanggannya.
Basis
perjuangannya
tidak
hanya
diprioritaskan pada parlemen sebagai panggung artikulasi, tetapi mulai diperluar ke seluruh ranah kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.
B. Saran-Saran Di penguhujung studi ini, sepertinya perlu juga untuk melampirkan sekelumit sara-saran dalam rangka memperbaiki hubungan Islam dan negara di masa depan. Saran yang utama adalah untuk konteks hubungan kengaraan dan kebangsaan di masa yang akan datang, komunitas politik Islam tidak perlu
lxxxviii
mengembangkan hubungan Islam dan negara yang legalistik-formalistik. Hal ini penting, sehingga tidak berimplikasi pada permusuhan antara Islam dan negara— yang tentu hanya membuat komunitas politik Islam semakin tidak produktif. Sebaliknya, kini dan nanti, komunitas politik Islam perlu memelihara dan mengembangkan hubungan Islam dan negara yang integratif. Agar komunitas politik Islam bisa berkontribusi secara menyeluruh dalam menyelesaikan persoalan kenegaraan dan kebangsaan yang sekarang sedang dipertaruhkan. Wallahu ‘alam.
lxxxix
DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, S. Akbar, Posmedernisme Islam: Tantangan dan Harapan, Bandung: Mizan, 1997 Ali, Fachry dan Effendy, Bahtiar, Merambah Jalan Baru Islam: Rekonstruksi Pemikiran Islam Indonesia Masa Orde Baru, Bandung: Mizan, 1986, Cet. I Al Chaidar, Pemilu 1999: Pertarungan Ideologis Partai-partai Islam Versus Partai-partai Sekuler, Jakarta: Darul Falah, 1999 Aminudin, Kekuatan Islam dan Pergulatan Kekuasaan di Indonesia Sebelum dan Sesudah Runtuhnya Rezim Soeharto, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Cet. I Amir, Zainal Abidin, Peta Islam Politik Pasca-Soeharto, Jakarta: Pustaka LP3S Indonesia, 2003. Cet. I Anwar, M. Syafi’I, Pemikiran dan Aksi Islam Indonesia: Sebuah Kajian Politik tentang Cendikiawan Muslim Orde Baru, Jakarta: Paramadina, 1995. Cet. I Asfar, Muhammad, Pemilu dan Perilaku Memilih 1955-2004, Surabaya: kerjasama Pustaka Eureka dengan PusDeHam, 2006. Cet. I Azra, Azyumardi, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme hingga Post-Modernisme, Jakarta: Paramadina, 1996. Cet. I Badri, Yatim, Soekarno, Islam dan Nasionalisme, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999. Cet. I Brown, L. Carl, Wajah Islam Politik: Pergulatan Agama & Negara Sepanjang Sejarah Umat, terj. Abdullah Ali, Jakarta: Serambi, 2003, Cet. I Effendy, Bahtiar, Jalan Tengah Politik Islam: Kaitan Islam, Demokrasi, dan Negara yang Tidak Mudah, Jakarta: Ushul Press, 2005. Cet. I -------, Gus Dur dan Pupusnya Dwi Tunggal: Retaknya Hubungan NU, Presiden, dan Negara, Jakarta: Ushul Press, 2005. Cet. I -------, Islam dan Negara: Trasformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia, terj. Ihsan Ali Fauzi, Jakarta: Paramadina, 1998. Cet. I -------, Masyarakat Agama dan Pluralisme Keagamaan: Perbincangan Mengenai Islam, Masyarakat Madani, dan Etos Kewirausahaan, Yogyakarta: Galang Press, 2001
xc
-------, (Re) politisasi Islam: Pernahkah Islam Berhenti Berpolitik, Bandung: Mizan, 2000. Cet. I -------, Teologi Baru Politik Islam: Pergulatan Agama, Negara, dan Demokrasi, Yogyakarta: Galang Press, 2001 -------, Islam in Contemporary Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2005. -------, “Demokrasi dan Agama: Eksistensi Agama dalam Politik Indonesia,” dalam Komaruddin Hidayat dan Ahmad Gaus AF (ed.), Islam, Negara, dan Civil Society: Gerakan dan Pemikiran Islam Kontemporer, Jakarta: Paramadina, 2005 Hidayat, Komaruddin dan Gaus AF, Ahmad, ed. Islam, Negara & Civil Society, Jakarta: Paramadina, 2005, Cet. I Karim, M. Rusli, Negara dan Peminggiran Islam Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999. Cet. I Latif, Yudi, Intelegensia Muslim dan Kuasa: Geneologi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20, Bandung: Mizan, 2005 Maarif, Ahmad Syafii, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante, Jakarta: LP3ES, 2006 Mahendra, Yusril Ihza, Modernisme dan Fundamentalisme dalam Politik Islam, Jakarta: Paramadina, 1999. Cet. I Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: Mizan, 1993. Natsir, M, Agama dan Negara dalam Perspektif Islam, Jakarta: Media Da’wah, 2001. Cet. I Natsir, Ismet dan Djohan Effendi (penyunting), Pergolakan Pemikiran Islam: Catatan Harian Ahmad Wahib, Jakarta: LP3ES, 2003 Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, tej. Deliar Noer, Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 1996. Cet. VIII -------, Partai Islam di Pentas Nasional: Kisah dan Analisis Perkembangan Politik Indonesia 1945-1965, Bandung: Mizan, 2000. Cet. II Sirry, Mun’im A., Dilema Islam Dilema Demokrasi: Pengalaman Baru Muslim dalam Transisi Indonesia, Jakarta: Gugus Press, 2002. Cet. I Sjadzali, H. Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI-Press, 1993, Cet. V
xci
Sofyan, Ahmad A. dan Madjid, M. Roychan, Gagasan Cak Nur tentang Negara & Islam, Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 2003. Cet. I Suradi, Haji Agus Salim dan Konflik Politik dalam Sarekat Islam, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997. Cet. I Syamsuddin, M. Din, Islam dan Politik Era Orde Baru, Jakarta: Logos, 2001. Cet.I Thaha, Idris, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan M. Amien Rais, Jakarta: Teraju, 2005. Cet. I