ISBN 978-602-294-093-7
PROSIDING Seminar Nasional BIOSAINS 2 19-20 November 2015 Jurusan Biologi dan Program Studi Magister Biologi Universitas Udayana
DENPASAR 2016
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi” PROSIDING Copyright© 2016 Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam dan Magister Biologi, Program Pascasarjana - Universitas Udayana, Bali, Indonesia Editor: Prof. Dr. Drs. I Ketut Junitha, MS. Dr. Dra. Eniek Kriswiyanti, M.Si. Dra. Ni Luh Watiniasih, M.Sc., Ph.D. Ni Made Suartini, S.Si., M.Si. Dr. Iriani Setyawati, S.Si., M.Si. Reviewer: Prof. Dr. Drs. I Ketut Junitha, MS. Prof. Dr. Ir. I Putu Gde Ardhana, M.Agr.Sc. Prof. Dr. I Wayan Kasa, M.Rur.Sc. Dr. Dra. Eniek Kriswiyanti, M.Si. Ir. Ida Ayu Astarini, M.Sc, PhD. Ir. Made Pharmawati, M.Sc, Ph.D Ni Luh Arpiwi, S.Si., M.SC, PhD Dr. Ir. Made Ria Defiani, M.Sc. (Hons). Dr. AA. Ketut Darmadi, M.Si Dr. I Ketut Ginantra, S.Pd., M.Si. Dr. Dra. Retno Kawuri, M.Phil. Drs. Yan Ramona, M.App.Sc., PhD. Dra. Ni Luh Watiniasih, M.Sc, PhD. Dr. Drs. Ida Bagus G. Darmayasa, M.Si. Dr. Dra. Ni Putu Adriani A., M.Si. Dr. Dra. Meitini W. Proborini, M.Sc.St.
Dr. Dra. Intan Wiratmini, M.Si Dr. Dra Ni Luh Suriani, M.Si. Ir. A.A.G. Raka Dalem, M.Sc.(Hons). Dra. Inna Narayani, M.Sc. Drs. Martin Joni, M.Si. Dra. I.G.A. Sugi Wahyuni, M.Si. Drs. Pararya Suryadipura, M.Si. Drs. Pande Ketut Sutara, M.Si. Ni Made Suartini, S.Si, M.Si. Ni Wayan Sudatri, S.Si, M.Si. Dwi Ariani Yulihastuti, S.Si, M.Si. Drs. I Ketut Sundra, M.Si. Drs. Job Nico Subagyo, M.Si. Dra. Ni Nyoman Wirasiti, M.Si. Dr. Iriani Setyawati, S.Si, M.Si.
Desain Cover: Ir. Made Pharmawati, M.Sc, Ph.D. Pemakalah Utama (Keynote Speakers): 1. Prof. Dr. Ocky Karna Radjasa, M.Sc. (Direktur Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Kemenristek Dikti) 2. Dr. Sony Heru Sumarsono (SITH Institut Teknologi Bandung) 3. Dr. Rugayah, M.Sc. (Puslit Biologi-LIPI) 4. Prof. Dr. Ir. Dewa Ngurah Suprapta, M.Sc. (Universitas Udayana) Dipublikasikan oleh: Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Udayana ISBN 978-602-294-093-7
PROSIDING, Copyright© 2016
i
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KATA PENGANTAR Puji Syukur kita panjatkan ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa karena berkat Asung Kertha NugrahaNya, Prosiding Seminar Nasional Biosains 2 Tahun 2015 yang dilaksanakan atas kerjasama antara Jurusan Biologi FMIPA dengan Program Studi Magister S2 Biologi Program Pascasarjana Universitas Udayana dapat diselesaikan. Seminar Nasional Biosains 2 Tahun 2015 ini mengambil tema “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi” yang telah dilaksanakan pada hari Kamis dan Jumat, 19 dan 20 November 2015 di Gedung Agro Komplek Universitas Udayana, di Kampus JL. PB. Sudirman, Denpasar, Bali. Tema ini diangkat dalam rangka 30 tahun berdirinya Program Studi Biologi di Universitas Udayana yaitu pada tahun 1985. Seperti halnya manusia pada usia 30-an merupakan usia produktif yang akan mulai menampakkan perannya dalam perkembangan masyarakat, demikian juga dengan tema ini diharapkan pemangku biologi sebagai ilmu dasar di Universitas Udayana dapat meningkatkan perannya dalam perkembangan Sains dan Teknologi dengan cara bertukar ilmu dan pengalaman penelitian melalui seminar ini. Dalam seminar didiskusikan 90 makalah yang dipresentasikan secara oral dan 40 poster, yang diikuti oleh lebih dari 100 peserta ditambah Empat Pembicara Utama. Topik-topik makalah yang didiskusikan meliputi bidang Botani, Zoologi, Mikrobiologi, Ekologi dan Lingkungan, serta Genetika dan Bioteknologi. Pembicara utama dalam seminar ini adalah Prof. Dr. Ocky Karna Radjasa (Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan, KemenRistek Dikti), Dr. Sony Heru Sumarsono (dosen dan peneliti di STIH ITB), Dr. Titik Rugaya (peneliti senior Herbarium Bogorience, Puslitbang Botani LIPI) dan Prof. Dr. Dewa Suprapta, M.Sc. (Guru Besar Pertanian Universitas Udayana). Kami berharap seminar ini disamping sebagai media penyebaran hasil penelitian juga sebagai media berbagi pengalaman penelitian untuk meningkatkan kemampuan penelitian masing-masing yang akan dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas hasil-hasil penelitian dasar khususnya Biologi untuk menunjang kemajuan Sains dan Teknologi di masa mendatang. Dengan terselenggaranya seminar ini kami menyampaikan terima kasih kepada Rektor Universitas Udayana yang telah mendukung penuh penyelenggaraan seminar ini dan telah bersedia memberikan sambutan sekaligus membuka acara seminar ini. Terima kasih kami sampaikan pula kepada PR I Unud yang membantu pendanaan seminar ini, para bembicara utama, peserta, donatur, dan semua pihak yang memungkinkan acara seminar ini dapat terlaksana dengan lancar. Tidak lupa kami menyampaikan permohonan maaf yang sebesarbesarnya atas segala kekurangan dalam penyelenggaraan seminar. Semoga hasil seminar dan prosiding ini berguna bagi kemajuan ilmu dan kesejahteraan masyarakat. Sekian dan terima kasih. Denpasar, 30 Maret 2016 Ketua panitia Prof. Dr. Drs. I Ketut Junitha, MS.
PROSIDING, Copyright© 2016
ii
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DAFTAR ISI
Halaman ii iii
Kata Pengantar Daftar Isi PEMAKALAH UTAMA 1 RISET BIOSAINS DAN DAYA SAING BANGSA Prof. Dr. Ocky Karna Radjasa, M.Sc. (Direktur Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat Kemenristek Dikti) 2
3
4
MENELITI MANFAAT BUAH PINANG PADA SISTEM REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN HEWAN Dr. Sony Heru Sumarsono*, Annisa Martiana, Eka Pasana Pujowati, Prilia Setiorini, Hafizh Sholahudin (*SITH Institut Teknologi Bandung)
3
4
Viii
PENTINGNYA PENELITIAN TAKSONOMI DALAM MENUNJANG PERKEMBANGAN SAIN DAN TEKNOLOGI: STUDI KASUS PADA PENELITIAN SUKU CUCURBITACEAE Dr. Rugayah, M.Sc. (Puslit Biologi-LIPI)
Ix
MENINGKATKAN RELEVANSI PENELITIAN BIOLOGI UNTUK MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN Prof. Dr. Ir. Dewa Ngurah Suprapta, M.Sc. (Universitas Udayana)
Xi
PEMAKALAH UMUM 1 KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN ASING INVASIF DI HUTAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN BIOLOGI (HPPB) UNIVERSITAS ANDALAS Solfiyeni, Syamsuardi, dan Chairul 2
vii
1-7
KEANEKARAGAMAN ANGGREK DI BUKIT TAPAK, TABANAN, BALI IG. Tirta, Aninda Retno U.W., dan IN. Peneng
8-13
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PAKU (PTERIDOPHYTA) DI KAWASAN LERENG BARAT GUNUNG LAWU, JAWA TENGAH Zenita Milla Luthfiya, Nor Liza, dan Rizma Dera Anggraini Putri
14-20
ANALISIS KOMPOSISI FLORA PADA BEBERAPA JENIS TUMBUHAN INVASIF DOMINAN DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT, BALI Asep Sadili, Sunaryo, dan Deden Girmansyah
21-31
PROSIDING, Copyright© 2016
iii
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
5
KEANEKARAGAMAN JENIS JAHE GENUS ZINGIBER (ZINGIBERACEAE) KAWASAN BUKIT KAPUR SUMATERA BARAT Nurainas, Zuhri Syam, dan Riki Chandra
32-34
STUDI TANAMAN PEKARANGAN PADA KAWASAN PINGGIR DAN PUSAT KOTA PADANG Zakiah Mustika, Zuhri Syam, dan Solfiyeni
35-45
RAGAM KELAPA (Cocos nucifera L., FAMILIA ARECACEAE) DI KECAMATAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG Eniek Kriswiyanti, I Ketut Junitha, dan Sudaryanto
46-51
PENGGUNAAN BA, KINETIN DAN THIDIAZURON DALAM PEMBENTUKAN TUNAS KULIM (Scorodocarpus borneensis Becc.) Yelnititis dan Martin Joni
52-59
INDUKSI TUNAS LATERAL Alocasia Baginda KURNIAWAN DAN P.C. BOYCE DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH BA DAN GA3 Siti Fatimah Hanum dan Dewi Lestari
60-65
INVENTARISASI JENIS-JENIS ARACEAE DI SEBAGIAN HUTAN GUNUNG MESEHE KAB. JEMBRANA Siti Fatimah Hanum dan Ni Putu Sri Asih
66-74
EKSPLORASI TUMBUHAN YANG BERPOTENSI SEBAGAI PENGHASIL MINYAK ATSIRI DI SUMBAWA, NTB I Putu Agus Hendra Wibawa, I Gede Tirta, dan Ida Bagus Ketut Arinasa
75-80
KADAR SARI CABE JAWA (Piper retrofractum) DENGAN BEBERAPA METODE MASERASI DAN JENIS PELARUT Mohamad Nurzaman dan Tia Setiawati
81-89
IDENTIFIKASI DAN KECEPATAN TUMBUH JAMUR-JAMUR YANG MENGINFEKSI TANAMAN BUAH NAGA (Hylocereus spp.) Meitini W.Proborini
90-94
EFEKTIVITAS MgCl2 MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN DAN TRANSPIRASI Monochoria vaginalis (BURM. F) Presl Ni Putu Adriani Astiti
95-99
15 JENIS-JENIS BURUNG DI KAWASAN HUTAN MONTANA DAN HUTAN SUB-ALPIN GUNUNG LAWU Fendika Wahyu Pratama, Ahmad Choirunnafi, Teguh Wibowo, dan Sugiyarto
100-105
6
7
8
9
10
11
12
13
14
PROSIDING, Copyright© 2016
iv
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
16 KEANAKARAGAMAN DAN KEPADATAN SERANGGA BENTIK DI ZONA LITORAL DANAU DI ATAS SUMATERA BARAT Izmiarti
106-113
17 POTENSI ANTIMIKROBA DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK SEGAR JAMBU KALIANG (Syzygium cumini (L.) Skeels) Nanda Oktafiana, Nurmiati, Feskaharny Alamsjah, dan Periadnadi
114-121
18 UJI DAYA HAMBAT Streptomyces sp. TERHADAP Klebsiella pneumoniae RESISTEN ANTIBIOTIK AMPISILIN Kadek Desy Kartika, Retno Kawuri, dan Ida Bagus Putra Dwija
122-127
19 KEANEKARAGAMAN MAKROFUNGI DI WILAYAH LERENG BARAT GUNUNG LAWU Rekyan Galuh Witantri, Dafi Al-Anshory, Muhammad Ridwan, dan Muhammad Arif Romadlon
128-133
20 POTENSI ANTIMIKROBA DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK SEGAR TANAMAN DANDELION (Taraxacum officinale F. H. Wigg.) Monica Rafles, Nurmiati, dan Periadnadi
134-142
21 PENGGUNAAN BAKTERI PENCERNAAN LUWAK (Paradoxurus Hermaphroditus) SEBAGAI STARTER PADA FERMENTASI PULP KAKAO (Theobroma Cacao) DALAM UPAYA PERBAIKAN MUTU BIJI KAKAO FERMENTASI Nurmiati, Periadnadi, dan Neny Damayanti
143-152
22 UJI BIODEGRADASI 17 Β-ESTRADIOL OLEH BAKTERI HASIL ISOLASI DARI KALI SURABAYA Tri Puji Lestari Sudarwati, Ni’matuzahroh, dan Ganden. S
153-163
23 KAJIAN PERTUMBUHAN Artemisia Vulgaris L. YANG DIINOKULASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA (FMA) PADA TANAH ULTISOL DALAM UPAYA PERNYEDIAAN ARTEMISININ SEBAGAI ANTI MALARIA Zozy Aneloi Noli, Suwirmen, dan Kharlina Yulianis
164-169
24 ANALYSIS OF PLANT VEGETATION ON COASTAL TOURISM REGIONS PASIR JAMBAK, PADANG, WEST SUMATERA Annisa Novianti Samin, Chairul, dan Erizal Mukhtar
170-177
25 ANALISIS ORDINASI JENIS-JENIS TUMBUHAN YANG BERKORELASI DENGAN Hippobroma Longiflora DI KABUPATEN TABANAN, BALI Arief Priyadi dan I Putu Agus Hendra Wibawa
178-183
PROSIDING, Copyright© 2016
v
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
26 EKSPLORASI FLORA DI HUTAN LINDUNG LOMBOK TIMUR DAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI I Nyoman Peneng
184-197
27 KAJIAN STATUS SISTEM TIYAITIKI DI PERAIRAN PESISIR TELUK TANAH MERAH JAYAPURA PAPUA Puguh Sujarta
198-203
28 FAKTOR KONDISI FISIK RUMAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KUSTA DI KABUPATEN CIREBON TAHUN 2013-2015 Sri Komalaningsih dan Yuyun Siti Nurjanah
204-212
29
30
31
32
EKOLOGI DAN POTENSI INVASIF Acacia Decurrens DI SEBAGIAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA Sutomo
213-219
KARAKTERISTIK VEGETASI DI SEKITAR MATA AIR DI WILAYAH KABUPATEN KLATEN, JAWA TENGAH Wiryanto, Sugiyarto, Fahrur Nuzulul Kurniawati, Rizma Dera Anggraini Putri, dan Muhammad Ridwan
220-224
DIVERSITY OF PLANTS AND RESERVES ESTIMATION CARBON ABOVE GROUND LEVEL IN FOREST AREAS BUKIT BARISAN WEST SUMATRA Yastori, Chairul, Syamsuardi, Mansyurdin, dan Tesri Maideliza
225-230
KARAKTERISASI DAN DETERMINASI TANAMAN LAMUN (SEAGRASS) DI KAWASAN PERAIRAN PANTAI SEKITAR KOTA DENPASAR Deny Suhernawan Yusup
231-234
33 INDUKSI PERAKARAN TUNAS KANTONG SEMAR (Nepenthes Ampullaria Jack) DENGAN BEBERAPA KONSENTRASI INDOLE ACETIC ACID (IAA) SECARA IN VITRO Suwirmen, Zozy Aneloi Noli, dan Anzharni Fajrina
235-241
34 STUDI PENDAHULUAN VARIASI GENETIK MASYARAKAT DAYAK DI KOTA PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH BERDASARKAN ENAM LOKUS MIKROSATELIT AUTOSOM I Ketut Junitha dan Lucia Emy Octavia
242-247
35 REGENERASI TUNAS DARI KALUS MUTAN SORGUM VARIETAS KAWALI, MANDAU DAN SUPER I Endang Gati Lestari dan Iswari S. Dewi
248-257
PROSIDING, Copyright© 2016
vi
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
36 PENGARUH BUANGAN LIMBAH CAIR PABRIK TEKSTIL DI SUNGAI KAWASAN DESA MANGUNARGA KAB.SUMEDANG TERHADAP PEMBELAHAN SEL AKAR BAWANG MERAH (Allium cepa) Annisa dan Hana Hunafa Hidayat
258-261
37 APLIKASI PENANDA MOLEKULER UNTUK MEMPELAJARI KERAGAMAN JENIS JAMUR ENDOFITIK PADA TANAMAN HUTAN Istiana Prihatini
262-274
38 INVENTARISASI TUMBUHAN YANG DIGUNAKAN OLEH MASYARAKAT SEBAGAI OBAT DIABETES DI DESA KARANGWANGI, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT Desak Made Malini dan Fitri Kamilawati
275-284
39 AKUMULASI TIMBAL PADA SAYAP DAN TUBUH KUPU-KUPU Eurema blanda DI TAMAN KOTA BANDUNG Nurullia Fitriani, Iis Wahidah dan Melanie
285-291
40 PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI TAKARAN BIJI KEDELAI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN BOBOT BIBIT INDUK JAMUR ENOKI (Flammulina velutipes (CURT.:FR.) SINGER.) Betty Mayawatie Marzuki, Tatang Suharmana Erawan dan Joko Kusmoro
292-299
41 TOKSISITAS ASAM METOKSI ASETAT TERHADAP INDEKS MITOSIS DAN ABERASI KROMOSOM LINI SEL M11 Madihah
300-307
42 BIOTREATMENT KANDUNGAN ORGANIK DAN COLIFORM DALAM LINDI TPA OLEH Paramaecium caudatum Ehrenberg, 1822 PADA VARIASI pH DAN OKSIGEN TERLARUT Sunardi, Bani Fauziah dan Keukeu Kaniawati Rosada
308-314
43 TOKSISITAS AIR LINDI TPA DIAERASI DAN NON-AERASI TERHADAP Daphnia magna Straus, 1982 Sunardi, Maulida Muslimatul Chaeriah dan Keukeu Kaniawati Rosada
315-321
44 MEWUJUDKAN EKO KAMPUS: MODEL PENGELOLAAN SAMPAH TERINTEGRASI BERBASIS MASYARAKAT KAMPUS Teguh Husodo, Erri N. Megantara, M. Nurzaman, Nurullia Fitriani dan M. Satori
322-332
PROSIDING, Copyright© 2016
vii
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PEMAKALAH UTAMA RISET BIOSAINS DAN DAYA SAING BANGSA* Ocky Karna Radjasa Direktur Riset dan Pengabdian Masyarakat, Kementrian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi
ABSTRAK Riset bidang ilmu dasar seperti biologi, fisika, kimia dan matematika memegang peranan penting dalam mendukung riset-riset bidang terapan. Biosains sebagai bidang yang banyak didukung dan memanfaatkan bidang biologi semakin nyata peranannya dalam riset yang mendukung daya saing bangsa. Namun di sisi lain biologi sebagai ilmu dasar mendapat tantangan yang cukup besar yang menyebabkan biologi sendiri harus beradaptasi dan mengalami evolusi. Berkembangnya bidang biologi baru yang dikenal sebagai gabungan dari biologi dan kimia, yang diikuti dengan peranan strategis biologi di ranah pendidikan, riset serta peluang ekonomi menjadi kontribusi ilmu pengetahuan alam di abad 21. Perubahan fokus dari pendekatan reduksionistik pada abad 20 menjadi pendekatan integratif yang diikuti dengan munculnya bidang biologi sintetik menjadikan biologi sebagai bagian proses evolusi. Posisi Indonesia yang dikenal sebagai negara megadiversitas dan kepulauan terbesar di dunia dengan 17508 pulau menjadikan Indonesia sebagai Laboratorium Alam yang tidak hanya melibatkan bidang biosains. Dalam konteks keanekaragaman hayati, riset di bidang biosains menjadi sangat penting. Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat DRPM), Kemenristek Dikti memandang ilmu dasar termasuk biologi memiliki posisi yang sangat penting dan tetap memberikan porsi dana riset dasar yang memadai. DRPM mengharapkan riset dasar memberikan kontribusi dalam daya saing bangsa, tidak hanya melalui hasil riset dasar yang akan mendorong riset terapan, tetapi juga memberikan kontribusi dalam menghasilkan output berupa publikasi ilmiah, HKI serta hasil penelitian yang bisa digunakan sebagai bahan ajar dan buku ajar.
* Disampaikan dalam Seminar Nasional Biosains 2, 19-20 November 2015 di Universitas Udayana, Denpasar, Bali PROSIDING, Copyright© 2016
viii
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PEMAKALAH UTAMA MENELITI MANFAAT BUAH PINANG PADA SISTEM REPRODUKSI DAN PERKEMBANGAN HEWAN* Sony Heru Sumarsono**, Annisa Martiana, Eka Pasana Pujowati, Prilia Setiorini, Hafizh Sholahudin KK Fisiologi, Perkembangan Hewan dan Sains Biomedika Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung Gedung Labtek XI, Jl ganesha 10, Bandung 40132 **Email Pemakalah:
[email protected] ABSTRAK Buah pinang (Areca catechu L) sudah dikenal dan dimanfaatkan sejak jaman dulu sebagai bahan obat dari berbagai jenis penyakit infeksi. Buah pinang mengandung berbagai jenis alkaloid yang kemungkinan dapat dimanfaatkan sebagai bahan antifertilitas, suatu cara pengaturan kelahiran anak dengan memanfaatkan bahan alami. Untuk itu perlu diteliti manfaat buah pinang terhadap sistem reproduksi mamalia. Ekstrak etanol buah pinang disiapkan dengan maserasi dan ekstraksi dengan etanol 96%, dikeringkan dan kemudian dilarutkan dalam larutan gum Arab 1%. Mencit betina digavage setiap hari dengan 0, 300, 500, dan 700 mg/kg berat badan ekstrak biji pinang selama 15 hari, diistirahatkan 5 hari dan dikawinkan. Mencit dibunuh dan dibedah pada umur kebuntingan 3, 9 dan 16 hari, embrio dikumpulkan, dihitung dan diamati jika terjadi kelainan. Mencit jantan digavave setiap hari dengan ekstrak etanol biji pinang dengan dosis 0, 300, 500 dan 700 mg/kg berat badan selama 17 dan 35 hari, dibunuh dan diamati perubahan yang terjadi pada testis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dampak pemberian ekstrak biji pinang pada mencit betina menunjukkan terjadi penurunan kualitas embrio tahap praimplantasi yang dihasilkan yaitu mengalami kelambatan perkembangan pada tahap morula. Pada tahap pasca implantasi tidak ditemukan adanya penurunan kualitas maupun kelainan pada embrio. Pada hewan jantan ekstrak biji pinang dapat menyebabkan tubulus seminiferus tidak tumbuh, testis lebih kecil, hypoplasia spermatogenesis, dan peningkatan apoptosis pada sel-sel spermatogonia. Kata kunci: ekstrak biji pinang, mencit, embrio, spermatogenesis, apoptosis
* Disampaikan dalam Seminar Nasional Biosains 2 tanggal 19-20 Nopember 2015 di Denpasar
PROSIDING, Copyright© 2016
ix
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PEMAKALAH UTAMA PENTINGNYA PENELITIAN TAKSONOMI DALAM MENUNJANG PERKEMBANGAN SAIN DAN TEKNOLOGI: STUDI KASUS PADA PENELITIAN SUKU CUCURBITACEAE* Rugayah Herbarium Bogoriense, Bidang Botani, Puslit Biologi-LIPI Email:
[email protected] RINGKASAN Taksonomi termasuk di dalam salah satu ilmu dasar yang mempelajari tentang pencirian, penggolongan serta penamaan suatu takson. Ilmu tersebut sebenarnya telah melekat dengan sendirinya pada setiap individu tanpa disengaja, karena setiap aktivitas yang kita lakukan selalu mempraktekan apa yang dipelajari di dalam ilmu tersebut. Dengan melakukan pencirian kita bisa menyandra suatu benda, kemudian mengenali, memberikan sebutan atau nama untuk benda tersebut dan menggolong-golongkannya menjadi suatu kelompok tertentu. Nama dapat dikatakan sebagai kunci pembuka khasanah ilmu pengetahuan. Dengan mengenal sebuah nama, kita dapat dengan sendirinya menggambarkan segala suatu yang melekat pada benda yang kita sebutkan. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan yang ada, istilah taksonomi juga berkembang menjadi Sistematika. Apa yang menjadi topik pembelajarannyapun juga berkembang tidak hanya pencirian, pengolongan dan penamaan saja, namun juga dipelajari hubungan kekerabatan antar takson dengan bukti-bukti evolusinya. Untuk mendapat bukti-bukti tersebut, beberapa pendekatan perlu dilakukan guna mengetahui proses evolusi yang terjadi. Pendekatanpendekatan tersebut selama ini selaras dengan perkembangan ilmu yang ada, sehingga kita dapat mengenal beberapa istilah keilmuan yang terkait dengan bidang taksonomi ini seperti Sitotaxonomy, chemotaxonomy, Numerical taxonomy, Molecular systematic, dll. Hasil penelitian taksonomi maupun sistematika yang berupa pengungkapan kekayaan jenis maupun genetik (berupa varian), dapat dimanfaatkan oleh bidang keilmuan lainnya (seperti Ekologi, Etnobotani, Kehutanan, Konservasi, Farmasi, Bioteknologi, Pertanian). Bahkan saat ini prinsip dasar taksonomi juga dapat diaplikasikan di dalam bidang informatika. Terciptanya beberapa program aplikasi komputer yang dapat dimanfaatkan untuk menganalisis informasi biologi, antara lain seperti program yang dipakai dalam menganalisis hubungan kekerabatan dll, sebagai bukti bahwa taksonomi juga berperan di dalamnya. Indonesia dikenal sebagai salah satu negara Megadiversity. Berdasarkan informasi kekinian keanekaragaman hayati Indonesia (Widjaja, EA dkk, 2014) mencatat sekitar 30.00040.000 jenis tumbuhan (15.5 %, jumlah total tumbuhan yang ada di dunia) dan saat ini hanya sekitar 50 % (tumbuhan berbiji) yang telah terungkap. Dengan demikian masih banyak peluang untuk mengungkapkannya. Ironisnya, Indonesia hanya memiliki ahli taksonomi yang sangat sedikit dibandingkan negara maju, sehingga publikasi-publikasi taksonomi masih didominasi oleh peneliti-peneliti asing. Maraknya pemahaman tentang keanekaragaman hanyati (genetik, jenis dan ekosistem) di awal abad ini, berdampak sangat besar terhadap arti pentingnya peranan taksonomi atau PROSIDING, Copyright© 2016
x
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
sistematika di dalam pengungkapan keanekaragaman itu sendiri. Penggantian mata ajaran taksonomi menjadi keanekaragaman di beberapa perguruan tinggi di Indonesia melalui berbagai pendekatan yang berbeda dan lebih menarik, juga terbukti dapat meningkatkan minat anak didik untuk mengetahui dunia taksonomi ini. Beberapa tahun terakhir, jumlah mahasiswa peminat bidang taksonomi yang tercatat di Sekolah Pasca Sarjana, Program Studi Biologi di IPB semakin banyak, yang awalnya pada tahun 1991 hanya satu orang menjadi sekitar 8-13 orang pada saat ini. Semakin banyaknya taksonom-taksonom baru yang lulus pendidikan, diharapkan dapat mempercepat terungkapnya kekayaan hayati Indonesia. Kegiatan penelitian yang di lakukan dalam bidang sistematika saat ini di awali dari kegiatan inventarisasi dan eksplorasi, mengenalnya melalui proses identifikasi dan pemberian nama, dianalisis hubungan kekerabatannya dan dikonstrukti pengelompokannya, kemudian data-data tersebut dikemas dan dimanage di dalam suatu program database dan dikomunikasikan ke seluruh dunia. Terjalinnya jejaring data-data tersebut diharapkan akan berakhir pada suatu muara pemanfaatan keanekaragaman yang berkesinambungan atau lestari. Permasalahan kekurangan pangan, munculnya macam penyakit yang memerlukan obat-obatan baru di dunia, dll. diharapkan akan teratasi dengan terbukanya informasi dasar ini. Cucurbitaceae, diketahui merupakan salah satu suku yang memiliki nilai ekonomi penting di dalam kehidupan manusia, dimana banyak anggota jenis dari suku tersebut yang telah dimanfaatkan sebagai sumber pangan (buah-buahan, sayuran) maupun obat-obatan (obat sederhana: cacing, batuk, hingga HIV). Keanekaragaman jenis suku ini telah terungkap, saat ini telah diketahui 900 jenis dari 120 marga tersebar di seluruh dunia terutama di daerah tropik, dan sebagian besar marganya tersebar di Amerika, hanya beberapa di daerah temperate. Di kawasan Malesia dilaporkan sebanyak 132 jenis, termasuk di dalam 39 marga. 29 marga diantaranya tumbuh liar dan 10 marga telah dibudidaya (de Wilde & Duyfjes, 2010). Di Indonesia diperkirakan sekitar 85 jenis, termasuk beberapa kerabat liar dari jenis-jenis yang dibudidayakan ( seperti Cucumis melo f.agrestis, Benincasa f. pruriens dll.). Keanekaragaman jenis marga Trichosanthes (25 jenis) merupakan yang paling tinggi. Terungkapnya keanekaragaman ini dipakai sebagai data dasar dalam pengembangan selanjutnya. Berbagai penelitian lanjutan pada suku ini masih terus dilakukan. Hasil analisis molekuler menggabungkan beberapa marga seperti Mukia masuk ke dalam marga Cucumis. Perakitan kultivar baru dalam rangka peningkatan kualitas buah (melon Apel sebagai kultivar baru yang memiliki buah sebesar buah apel), peningkatan produksi biji (Citrulus, Cucurbita, dll), maupun ketahanan terhadap penyakit pada jenis-jenis lainnya; demikian pula penelitian kandungan kimia lain seperti alkaloid pada jenis-jenis Momordica, saponin pada jenis-jenis Cucurbita, Cucumis, Lagenaria dan Momordica. Ditemukannya bahan bioaktif pada jenis-jenis Momordica, Trichosanthes dilaporkan mempunyai kandungan kimia yang dapat dipakai sebagai bahan anti HIV. Kata kunci: taksonomi, sistematika, keanekaragaman, Cucurbitaceae
* Disampaikan dalam Seminar Nasional Biosains 2 tanggal 19-20 Nopember 2015 di Denpasar PROSIDING, Copyright© 2016
xi
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PEMAKALAH UTAMA MENINGKATKAN RELEVANSI PENELITIAN BIOLOGI UNTUK MEMPERKUAT KETAHANAN PANGAN* Dewa Ngurah Suprapta Laboratorium Biopestisida Fakultas Pertanian Universitas Udayana Email:
[email protected] ABSTRAK Penduduk dunia saat ini sudah mencapai sekitar 7,2 miliar jiwa dan hampir 1 miliar jiwa mengalami kelaparan dan kekurangan gizi sementara sekitar 2 miliar ketahanan pangannya kurang kuat. Kondisi ini mengindikasikan bahwa sumber daya global saat ini seperti sumber daya alam, sumber daya manusia dan iptek belum mampu memenuhi kebutuhan dasar penduduk dunia terutama dalam penyediaan pangan secara berkecukupan dan berkeadilan. Penduduk dunia pada tahun 2050 diperkirakan akan mencapai 9 miliar jiwa, dan untuk memenuhi kebutuhan pangan diperlukan peningkatan produksi tanaman pangan sekitar dua kali lipat dari produksi saat ini. Peningkatan produksi tanaman bisa dilakukan melalui ekstensifikasi yaitu memperluas lahan pertanian, dan melalui intensifikasi yaitu penerapan teknologi secara intensif dan efisien. Perluasan lahan pertanian tampaknya sulit bisa dilakukan karena justru lahan pertanian yang ada saat ini cendrung mengalami penyusutan karena adanya alih fungsi. Pilihan yang paling mungkin adalah intensifikasi pertanian melalui penggunaan varietas unggul, pengembangan teknik pengolahan tanah yang tepat, pengelolaan irigasi yang lebih efisien, penggunaan pupuk yang sesuai, pengelolaan hama dan penyakit secara terpadu. Peneliti biologi bisa memberikan kontribusi yang besar pada beberapa aspek dari intensifikasi pertanian terkait dengan pengembangan varietas unggul yang memiliki sifat dengan produktivitas tinggi, umur pendek,nilai gizi tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit serta adaptif terhadap kondisi iklim yang terus berubah. Selain itu, penelitian biologi dasar juga diperlukan untuk menemukan, mengidentifikasi, dan mengembangkan agen hayati atau produknya yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk hayati dan biopestisida dengan kinerja yang lebih baik dari pupuk dan pestisida kimia sintetis. Kegiatan penelitian biologi seharusnya dikelola secara multidisiplin dan transdisiplin melibatkan berbagai ahli terkait, khususnya ahli pertanian, sehingga hasil penelitian biologi memiliki relevansi yang tinggi dan bermuara pada peningkatan kinerja pertanian khususnya dalam memperkuat ketahanan pangan. Kata kunci: relevansi penelitian, ketahanan pangan, multidisiplin, transdisiplin
* Disampaikan pada Seminar Nasional Biosains 2 tanggal 19-20 Nopember 2015 di Denpasar PROSIDING, Copyright© 2016
xii
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN ASING INVASIF DI HUTAN PENDIDIKAN DAN PENELITIAN BIOLOGI (HPPB) UNIVERSITAS ANDALAS Solfiyeni*, Syamsuardi dan Chairul Jurusan Biologi, FMIPA Universitas Andalas, Padang *Email:
[email protected] HP : 085263004725 ABSTRAK Telah dilakukan penelitian tentang keanekaragaman tumbuhan asing invasif di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas yang bertujuan untuk mengetahui komposisi dan struktur tumbuhan asing invasif di kawasan hutan tersebut. Penelitian ini menggunakan metode kuadrat dengan peletakan plot secara sistematik sampling. Jumlah plot
pengamatan sebanyak 75 plot dengan ukuran plot 2 x 2 meter. Hasil penelitian menunjukkan di HPPB ditemukan sebanyak 2056 individu dari 36 jenis tumbuhan asing invasif yang tergolong kedalam 15 famili. Famili yang dominan adalah famili Rubiaceae dengan persentase famili 25,97%. Jenis tumbuhan asing invasif yang mendominasi adalah Borreria laevis dan Melastoma malabathricum dengan Nilai Penting (NP) masing-masingnya 26,96% dan 20,30%. Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan asing invasif pada kawasan ini tergolong sedang yaitu 2,98. Kata kunci : tumbuhan asing invasif, komposisi, struktur, HPPB PENDAHULUAN Indonesia adalah salah satu negara yang kaya dengan keanekaragaman jenis flora. Keanekaragaman hayati di Indonesia termasuk dalam golongan tertinggi di dunia, jauh lebih tinggi dari pada keanekaragaman sumber daya hayati di Amerika maupun Afrika tropis, apalagi bila dibandingkan dengan daerah beriklim sedang dan dingin. Jenis tumbuh-tumbuhan di Indonesia secara keseluruhan ditaksir sebanyak 25.000 jenis atau lebih dari 10 % dari flora didunia (Soemarwoto, 1983). Dari sekian banyak jenis-jenis tumbuhan yang ada sebagian besar terdapat di kawasan hutan tropika basah, terutama hutan primer, yang menutup sebagian besar daratan Indonesia. Hutan ini mempunyai struktur yang kompleks yang menciptakan lingkungan sedemikian rupa sehingga memungkinkan beranekaragam jenis dapat tumbuh di dalamnya. Salah satu pulau di Indonesia yang memiliki keanekaragaman hayati yang tinggi dan endemisitas yang luar biasa yaitu pulau Sumatera. Kekayaan tersebut terdapat dalam berbagai tipe ekosistem, dan habitat mulai dari dataran rendah sampai pegunungan. Kawasan dataran rendah Sumatera diantaranya adalah HPPB. HPPB merupakan Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas terletak di kawasan kampus Universitas Andalas, Limau Manis Padang. Kawasan ini berbatasan dengan kawasan hutan lindung yang merupakan cadangan air untuk kotamadya Padang. HPPB termasuk hutan tropis dataran rendah, dengan ketinggian 200 – 460 m dpl dengan luas 150 Ha (Nasir, 2010). Di dalam hutan HPPB terdapat berbagai macam flora dan fauna yang beberapa diantaranya termasuk biota yang dilindungi. HPPB telah dijadikan sebagai salah satu daerah kunci biodiversitas yang penting di Sumatera (Conservation Internasional, 2006). Selain itu, HPPB juga telah digunakan sebagai salah satu lokasi dalam riset biodiversity sejak tahun 1982 hingga saat ini (Rahman, 1994 cit Syamsuardi et al, 2012). Menurut Rahman et al (1994), ditinjau dari sudut ekologi HPPB merupakan gabungan dari tiga tipe vegetasi yaitu: vegetasi semak belukar, vegetasi bekas perladangan serta vegetasi hutan primer dan skunder. Secara umum hutan ini tergolong hutan skunder, ditandai dengan
PROSIDING, Copyright© 2016
1
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ditemukannya banyak daerah terbuka dengan pohon-pohon bekas perladangan dan spesies pionir. Jenis tumbuhan yang terdapat di HPPB terdiri dari 165 jenis pohon, 27 jenis vegetasi dasar, 29 jenis paku-pakuan dan 32 jenis gulma. Akhir-akhir ini, terjadi kekhawatiran akan terjadinya degradasi keanekaragaman tumbuhan spesies asli di HPPB karena keanekaragaman hayati yang ada diseluruh dunia saat ini mengalami berbagai ancaman diantaranya adalah keberadaan jenis-jenis asing invasif (Invasive Alien Spesies/ IAS). Adanya jenis-jenis asing invasif sangat besar pengaruhnya terhadap suatu ekosistem. Invasi tumbuhan invasif (IAS) ke dalam hutan dapat menurunkan keanekaragaman tumbuhan hutan, karena tumbuhan invasif dapat menguasai bahkan menggantikan tumbuhan asli di hutan tersebut. Spesies asing invasif didefinisikan sebagai spesies yang bukan spesies lokal dalam suatu ekosistem, dan menyebabkan gangguan terhadap pertumbuhan ekonomi dan lingkungan, serta berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Spesies tumbuhan asing invasif dilaporkan telah menjadi permasalahan ekologi di beberapa kawasan konservasi di Indonesia, seperti Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran, Passiflora suberosa di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Chromolaena odorata di Taman Nasional Ujung Kulon, Lantana camara di Taman Nasional Meru Betiri, Merremia peltata di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan Eichhornia crassipes di Taman Nasional Wasur (BLK 2010; Purwono et al. 2002). Tumbuhan invasif mempunyai karakteristik sebagai berikut: produksi biji yang berlimpah dalam setahun, koloni yang stabil, kemampuan menyebarkan melebihi akar dalam tanah, cepat pulih kembali setelah dipotong, hampir tidak mempunyai predator, biji dormansinya lama, akan pecah apabila kondisi lingkungan sesuai, perkecambahan tidak serentak, biji berkecambah bila ada cahaya, tidak dapat berkecambah dalam gelap, kecambah teradaptasi dengan tempat terbuka dalam berbagai variasi suhu dan kelembapan, tidak tergantung pada jenis tanah tertentu, populasi tinggi dan mampu memproduksi biji sangat banyak dan berkesinambungan. Dapat mengendalikan pertumbuhan populasi tumbuhan asli, bahkan sifat ini sangat menonjol pada tumbuhan asing invasif seperti: Chromolaena odorata, Mimosa pigra, dan Mikania micrantha (Credit Valley Conservation, 2004). Saat ini di Indonesia ada 113 IAS (Invasif Alien Spesies) atau jenis invasif, 40 diantaranya asli dari Indonesia, 59 dari negara luar, dan sisanya belum diketahui apakah berasal dari Indonesia atau dari negara luar. Dari 113 Invasif Alien Spesies tersebut, 27 diantaranya termasuk dalam kategori yang sangat berbahaya dan dapat menjadi salah satu penyebab merosotnya keanekaragaman hayati. Reproduksi tumbuhan invasif alien spesies, memiliki pertumbuhan yang sangat cepat, sehingga menjadi salah satu gulma terganas di Indonesia. Sekarang tumbuhan invasif mulai merambah ke hutan-hutan alami, yang dikhawatirkan kehadirannya dapat merusak keanekaragaman tumbuhan asli di Indonesia (Binggeli, 1997). Sehubungan dengan permasalahan-permasalahan yang ditimbulkan oleh jenis-jenis tumbuhan invasif dan sejauh ini penelitian mengenai spesies ini di HPPB belum banyak diungkap. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai keanekaragaman jenis tumbuhan invasif di HPPB sebagai salah satu upaya untuk melindungi keanekaragaman hayati, mengingat kawasan ini merupakan kunci biodiversitas yang penting di Sumatera Barat. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi dan struktur jenis-jenis tumbuhan asing invasif di HPPB Universitas Andalas. MATERI DAN METODE 1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juni sampai Desember 2014. Penelitian dilakukan di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Unand Limau Manis Padang, kemudian dilanjutkan di Laboratorium Ekologi Tumbuhan dan Herbarium Universitas Andalas (ANDA)
PROSIDING, Copyright© 2016
2
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas Padang. 2. Metode Penelitian Metode yang digunakan adalah metoda transek dengan menggunakan plot yang berukuran 2 x 2 meter, dan jumlah plot sebanyak 25 plot pada masing-masing tipe vegetasi sehingga jumlah plot keseluruhan sebanyak 75 plot. Plot diletakkan berselang-seling disepanjang transek dengan jarak 5 meter. 3. Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: meteran, pancang, tali rafia, GPS, altimeter, kamera digital, gunting tanaman, parang, label gantung, karung plastik, karet gelang, koran bekas, plastik ukuran 20 kg, alkohol 70%, papan pres untuk spesimen, oven, buku identifikasi, label herbarium, lakban, benang jahit spesimen, jarum jahit, alat-alat tulis. 4.
Cara Kerja Teknik pengumpulan data di lapangan dilakukan dengan cara pengamatan langsung pada setiap plot dengan mengamati jenis-jenis tumbuhan invasif, jumlah individu masingmasing jenis serta habitus dari setiap jenis tumbuhan invasif yang ditemukan. Dilakukan pemotretan, pengambilan sampel jenis-jenis tumbuhan yang belum diketahui namanya di lapangan. Selanjutnya jenis yang dikoleksi di lapangan diidentifikasi di laboratorium dengan menggunakan buku-buku identifikasi dan list species invasive. 5. Analisis Data 5.1. Komposisi Jenis-jenis tumbuhan invasif serta famili dominan dan co-dominan Persentase famili = Jumlah individu suatu famili x 100 % Jumlah semua individu Famili dikatakan dominan pada suatu kawasan jika memiliki persentase > 20 % dan codominan jika persentasenya 10% - 20% (Johnston and Gillman, 1995). 5.2. Struktur Untuk analisis data yang didapatkan dari lapangan digunakan parameter – parameter yang dikemukakan oleh Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), yaitu: Kerapatan Relatif, Frekuensi Relatif dan Nilai Penting. Kerapatan
= Jumlah individu Luas areal contoh Kerapatan Relatif (KR) = Kerapatan suatu jenis x 100% Kerapatan seluruh jenis Frekuensi = Jumlah unit contoh terdapatnya suatu jenis Jumlah seluruh unit contoh Frekuensi Relatif = Frekuensi suatu jenis x 100% Frekuensi Seluruh jenis Nilai Penting (NP) = Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif Untuk melihat keanekaragaman spesies digunakan Indeks Shanon atau Shanon Index of General diversity (H) dimana : H = - ∑ {(ni/N) log (ni/N)} H = Indeks keanekaragaman Shanon ni = Nilai penting dari tiap spesies N = Total Nilai penting. (Sumber = Odum, 1994; dalam Indriyanto, 2008) PROSIDING, Copyright© 2016
3
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan pengamatan tumbuh-tumbuhan asing invasif di lapangan dan identifikasi di laboratorium didapatkan hasil seperti pada Tabel 1. Tabel 1. Jenis-Jenis Tumbuhan Asing Invasif di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) No. 1 2
Famili Acanthaceae Compositae
3 4 5
Costaceae Lamiaceae Malvaceae
6
Melastomataceae
7
Leguminoceae
8 9 10 11
Myrtaceae Oxalidaceae Piperaceae Poaceae
12
Rubiaceae
13
Rosaceae
13
Verbenaceae
15
Vitaceae
Spesies
Jumlah individu 61 40 7
Asal
Asystasia gangetica (L.)T. Anders. Ageratum conyzoides L. Austroeupatorium inulifolium (Kunt.) R.M. King & H. Rob. Clibadium surinamense L. Cromolaena odorata Mikania micrantha Kunt. Spagneticola trilobata(L.C.Rich) Pruski Spilantes acmela Wedelia biflora Cheilocostus speciosus(J.Koenig) Sm. Hyptis capitata Jaq. Sida acuta Burm. Urena lobata Clidemia hirta (L.) Don. L. Melastoma malabathricum L. Acacia auriculiformis Benth. Calliandra calothrysus Meisn. Mimosa pudica L Mimosa pigra L. Leucana leucocephala (Lam.) De Wit Centrosema virginianum (L). Benth. Camaecrista nictitans(L). Moench Cassia mimossoides Rhodomyrtus tomentosa (Aiton). Hassk. Oxalis barrelieri L. Piper aduncum L. Imperata cylindrica (L.) Raeusch. Themeda gigantea (Cav.) Hac Saccarum spontaneum Borreria leavis (Lamk.) Griseb. Borreria alata Rubus moluccanus Anet. Lantana camara L. Stachytarpheta jamaicensis (L.) (Vah). Stachytarpheta indica Cissus hastata Miq.
Afrika Am. Utara Am. Selatan Am. Tropik Amerika Am. Selatan
84 16 126 3 22 3 7 21 4 3 11 176 2 2 189 8 6
Asia Tenggara Am. Tropik Asia Am. Selatan Asia Australia Am. Tengah Am. Tropik Am. Tropik Mexico& Am.Tengah Asia Tenggara Afrikatimur Asia Tenggara Am. Tropik Am. Tropik Asia Tropik Am. Tropik Asia Timur Pasifik Amerika Am. Tropik
&
Asia Selatan & Asia Tenggara
13 43 13 4 24 94 224 54 49 407 127 3 92 111 4 3 2056
Pada tabel 1 dapat dilihat bahwa berdasarkan hasil pengamatan dan pengambilan sampel pada tiga lokasi (vegetasi semak belukar, hutan skunder dan hutan bekas perladangan) di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas ditemukan 36 jenis tumbuhan asing invasif yang tergolong kedalam 15 famili. Jumlah individu keseluruhan 2056 individu. Jumlah jenis tumbuhan asing invasif yang ditemukan jauh lebih banyak dibandingkan dengan tumbuhan invasif di kawasan taman hutan Kenali Jambi, dimana hanya ditemukan 6 jenis tumbuhan asing invasif yang tergolong kedalam 4 famili (Susanti, Suraida dan Harlis, 2013). PROSIDING, Copyright© 2016
4
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Akan tetapi jumlah jenis tumbuhan asing invasif di HPPB ini lebih sedikit dibandingkan dengan hasil penelitian Sunaryo dkk (2012) yang menemukan tumbuhan asing invasif sebanyak 74 jenis di taman nasional gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Tabel 2. Famili Dominan dan Co-dominan Tumbuhan Asing Invasif di HPPB No. Famili Persentase (%) 1 Rubiaceae 25,97 2 Poaceae 15,90 3 Compositae/Asteraceae 14,64 4 Leguminosae 13,42 5 Verbenaceae 10,07 Jenis yang banyak ditemukan di lapangan diantaranya Borreria leavis, Mimosa pudica, Boreria alata dan Melastoma malabathricum. Borreria leavis banyak ditemukan pada vegetasi semak belukar dan hutan skunder. Boreria alata banyak terdapat di hutan bekas perladangan tetapi tidak ditemukan di hutan skunder dan semak belukar. Melastoma malabathricum banyak terdapat pada ketiga tipe vegetasi (vegetasi semak belukar, hutan skunder dan hutan bekas perladangan) hal ini menandakan kalau jenis ini cukup luas penyebarannya di HPPB. Mimosa pudica banyak ditemukan di vegetasi semak belukar tetapi tidak ditemukan di hutan skunder dan hutan bekas perladangan. Pada tabel berikut dapat dilihat famili dominan dan famili codominan dari famili-famili tumbuhan invasif yang didapatkan di kawasan HPPB. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Tabel 3. Jenis-jenis Tumbuhan Asing Invasif Utama di HPPB Nama Jenis FR (%) KR (%) 8,99 17,97 Borreria laevis 12,50 7,80 Melastoma malabathricum 7,36 9,89 Imperata cylindica 10,90 5,56 Mikania micrantha 5,72 8,43 Mimosa pudica 9,26 3,66 Clibadium surinamense 3,00 9,38 Hiptis capitata 6,27 4,93 Stachytarpheta jamaicensis 4,63 5,56 Boreria alata 5,45 1,75 Ageratum conyzoides
NP (%) 26,96 20,30 17,25 16,49 14,15 12,92 12,38 11,20 10,19 6,80
Pada Tabel 3 dapat dilihat jenis yang banyak ditemukan dan mendominasi areal penelitian adalah Borreria laevis dengan INP 26,96 %. Jenis Borreria laevis ini merupakan gulma semusim yang berasal dari Amerika Tropik, tumbuh pada tempat-tempat terbuka atau sedikit ternaungi terutama pada tanah keras. Daerah penyebarannya cukup luas meliputi ketinggian 1 – 1000 meter di atas permukaan laut serta tumbuhan ini berbunga sepanjang tahun (Nasution, 1986). Selain Borreria laevis jenis yang banyak dijumpai adalah Melastoma malabathricum dan Imperata cylindrica, Mimosa pudica, dan Mikania micrantha. Melastoma malabathricum juga termasuk jenis yang umum ditemukan di areal penelitian dengan jumlah 176 individu dan INP 20,30 %. Syamsuardi, Mansurdin dan Suryani (2007) menyatakan berdasarkan hasil percobaan polinasi dan pemeriksaan ratio-pollen menunjukkan adanya strategi reproduktif tumbuhan Melastoma malabathricum sehingga mampu menguasai habitatnya. Sifat tumbuhan ini yang mampu menghasilkan bunga dengan waktu mekar yang cukup panjang, dan system reproduksi yang tidak saja mampu menghasilkan biji melalui perkawinan silang (out-crossing) tetapi juga secara selfing. Sehingga keterbatasan jumlah individu pada awal kolonisasi tidak menjadi hambatan dalam keberhasilan polinasi. PROSIDING, Copyright© 2016
5
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Disamping itu jumlah biji yang dihasilkan sangat banyak yang berkisar antara 1410-3265 perbuah memfasilitasi keberhasilan penguasaan suatu habitat bahkan dapat menggantikan vegetasi asli. Melastoma malabathricum ini juga merupakan salah satu jenis tumbuhan invasif yang ditemukan di Hutan Kenali Jambi, dimana jenis ini menempati urutan kedua mendominasi komunitas tumbuhan invasif di kawasan hutan tersebut (Susanti dkk., 2013). Imperata cylindrica (alang-alang) juga termasuk jenis tumbuhan invasif utama dengan INP 17,25 %. Jenis ini dapat berkembang biak dengan biji dan rhizom. Kebanyakan rhizom alang-alang berada dalam lapisan tanah sampai 20 cm, mata-mata tunas ujung rhizom mempunyai daya tumbuh yang lebih baik. Jenis ini juga tahan akan kebakaran sehingga tempattempat yang sering terbakar dan tempat-tempat terbuka akan didominasi oleh alang-alang. Penyebaran jenis ini sangat luas mulai dari 0 – 2700 meter di atas permukaan laut (Direktorat Jendral Perkebunan, 1976). Mimosa pudica juga banyak ditemukan di lokasi penelitian dengan INP 14,15 %. Jenis ini ditemukan tumbuh tersebar (jarang-jarang) dan juga banyak yang tumbuh mengelompok. Mimosa pudica berasal dari Amerika Tropik, sering ditemukan di tanah yang tidak diusahakan, di tepi jalan, di tepi sungai dan di pekarangan. Daerah penyebarannya meliputi ketinggian 1 – 1200 meter di atas permukaan laut (Nasution, 1986). Indeks keanekaragaman jenis tumbuhan asing invasif pada vegetasi semak belukar di kawasan HPPB ini tergolong sedang yaitu 2,98. Beberapa jenis dari tumbuhan asing invasif yang ditemukan pada penelitian ini mempunyai kerapatan yang tinggi dan sebagian jenis juga mempunyai kerapatan yang rendah. Kalau semua jenis yang didapatkan mempunyai kerapatan yang hampir sama besar, maka keanekaragaman jenisnya akan menjadi tinggi (Indriyanto, 2008). SIMPULAN 1. Pada vegetasi semak belukar kawasan HPPB ditemukan 2056 individu tumbuhan asing invasif dari 36 jenis yang tergolong kedalam 15 famili, dengan famili dominan adalah Rubiaceae yaitu 25,97 % serta famili codominan Poaceae, Compositae, Leguminosae dan Verbenaceae. 2. Jenis yang paling dominan adalah Borreria laevis dengan INP 26,96 %. Nilai indeks keanekaragaman tumbuhan asing invasif tergolong sedang yaitu 2,98. DAFTAR PUSTAKA Binggeli, P. 1997. An Overview of Invasive Woody Plants in The Tropic. http://www. agric.wa.gov.au/progserv/plants/weeds. Cronquist, A. 1981. 1981. An Integrated System of Classification of Flowering Plants. Columbia University Press. New York. Conservation Internasional. 2006. Prosiding Lokakarya Penentuan Daerah Kunci Biodiversitas Di Sumatra dan Diskusi Pemanfaatan Data Bersama, Jejaring, Monitoring Serta Identifikasi Kebutuhan Konservasi Pada Masa Mendatang. Credit Valley Conservation. 2004. A Qunick reference quide to Invasive Plan sp.Toronto & Regin Conservation. Diakses tgl 4 Nopember 2013. Dombois, D. M. and Ellenberg, H. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley & Sons. Toronto. Indriyanto, 2008. Ekologi Hutan. PT. Bumi Aksara. Jakarta. Johnston dan Gillman. 1995. Tree Population Study in Ow Diversity Forest. Gunaya.i. Floristic Composition and Stand Structure. Biodiversity and Conversation 4: 339-362. Kumolo, F.B dan Utami, S. 2011. Jenis-jenis Tumbuhan Anggota Asteraceae di Wana Wisata Nglimut Gonoharjo Kabupaten Kendal Jawa Tengah. Jurnal Bioma. Univesitas Diponegoro. Semarang. PROSIDING, Copyright© 2016
6
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Nasir, N. 2010. Eksplorasi Kelompok Jahe-jahean Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi Universitas Andalas. Prosiding Semirata Bidang MIPA ke 23 tahun 2010 Universitas Riau. Pekan Baru. Nasution, U. 1986. Gulma dan Pengendaliannya di Perkebunan Karet Sumatera Utara dan Aceh. PT. Gramedia. Jakarta. Polhill, R.M. & Raven, P.H. 1981. Advances in Legume Systematics. Royal Botanic Gardens, Kew. Purwono,B., Wardhana ,B.S. Wijanako,K., Setiowati,E., Kurniawati,D.S. 2002. Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis Asing Invasif. Kantor Mentri Lingkungan Hidup RI dan Nature Conservasi. Jakarta. Rahman, M., dkk.1994. Inventarisasi Sumber Daya Flora di Hutan Pendidikan dan Penelitian Biologi (HPPB) Universitas Andalas. Padang. Soemarwoto, O. 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Penerbit Djambatan. Jakarta. Sunaryo, Tahan, U., Eka, F.T. 2012. Jenis Tumbuhan Asing Invasif yang Mengancam Ekosistem di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Resort Bodogol, Jawa Barat. Berk. Penel. Hayati: 17 (147 – 152). Susanti,T., Suraida, Harlis,F. 2013. Keanekaragaman Tumbuhan Invasif di Kawasan Taman Hutan Kenali Kota Jambi. Prosiding Semirata FMIPA Unila. Lampung. Syamsuardi, Mansurdin dan L. Suryani. 2007. Sistem Polinasi Jenis Invasif Sikaduduak (Melastoma malabathricum L.). Prosiding Semirata MIPA BKS- PTN Wilayah Barat, di Kampus FST UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta.
PROSIDING, Copyright© 2016
7
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KEANEKARAGAMAN ANGGREK DI BUKIT TAPAK, TABANAN-BALI IG. Tirta*, Aninda Retno U.W. dan IN. Peneng UPT. Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali *Corresponding author:
[email protected] ABSTRAK Anggrek yang termasuk dalam suku Orchidaceae merupakan salah satu suku terbesar dalam Angiospermae dan memiliki keanekaragaman tinggi terutama di hutan hujan tropis. Secara alami di habitat aslinya, anggrek mudah dijumpai dalam habitus epifit dan terestrial. Namun saat ini alih fungsi lahan dan over eksploitasi menyebabkan menurunnya populasi dan tingkat keragaman jenis anggrek. Bukit Tapak termasuk dalam kawasan hutan Batukau, bukit ini telah memiliki jalur pendakian yang sering dikunjungi oleh wisatawan lokal dan mancanegara. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemelimpahan dan keragaman anggrek di Bukit Tapak. Penelitian dilakukan dengan metode eksplorasi acak pada jalur pendakian dari Kebun Raya Bali – puncak bukit bulan Agustus 2013, dan jalur pendakian dari Pancasari – puncak bukitbulan Agustus 2014.Hasil penelitian menunjukkan bahwadi Bukit Tapak ditemukan sebanyak 49 jenis anggrek yang terdiri dari 39 jenis anggrek epifit dan 10 jenis terestrial. Indeks kesamaan jenis Sorrensen terhitung sebesar 44.44%, hal ini menunjukkan bahwa kedua area jalur pendakian memiliki keragaman jenis yang cukup berbeda. Kata kunci: Anggrek, orchidaceae, Bukit Tapak, keanekaragaman, Bali ABSTRACT Orchidaceae as one of the largest family in Angiospermae has a high diversity in tropical rain forest. They can found naturally grow as epiphyte or terrestrial habit.However, habitat change and over exploitation have decline the biodiversity including orchid diversity on its natural habitat. Bukit Tapak (Tapak Hill) in Bedugul is a part of Batukaru Nature Reserve Area and it already has climb track that frequently visited by local and foreign tourist.This study aimed to know the richness and diversity in Bukit Tapak. The study was conducted with random exploration method on August 2013, covering track from Bali Botanic Garden to the summit and also on August 2014 covering track from Pancasari to the summit. The results showa total of 49 orchid species, including 39 species of epiphyte and 10 species of terrestrial. The Sorensen similarity index of orchid diversity from both tracks has counted as much as 44.44%, we can conclude that the two sites have quite diver’s species. Keywords: Orchid, orchidaceae, Bukit Tapak, diversity, Bali PENDAHULUAN Bukit Tapak merupakan kawasan hutan pegunungan yang berada di Cagar Alam (CA) Batukau atau Batukaru. CA Batukau termasuk dalam hutan hujan tropis dataran tinggi yang dicirikan dengan curah hujan yang tinggi, kondisi kawasan selalu basah, dengan keanekaragaman jenis tumbuhan yang cukup tinggi. Karena letaknya pada daerah pegunungan menyebabkan kawasan hutan ini sangat penting dan strategis bagi daerah resapan dan perlindungan tata air bagi daerah di bawahnya terutama Kabupaten-kabupaten di Propinsi Bali bagian selatan. Karena keanekaragaman tumbuhan dan satwa yang cukup tinggi, kawasan ini memiliki nilai konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya yang penting dan prioritas di Propinsi Bali (BKSDA Bali, http://www.ksda-bali.go.id/?page_id=11).
PROSIDING, Copyright© 2016
8
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Indonesia diperkirakan memiliki lebih dari 4.000 jenis anggrek (Puspitaningtyas dan Irawati. 1994). Di wilayah biogeografi Jawa yang mencakup Pulau Jawa dan Bali terdapat 713 jenis anggrek yang telah diidentifikasi, termasuk 216 jenis endemik. Dari keseluruhan jenis anggrek di Jawa sekitar 70% bersifat epifit. Sekitar 90% anggrek di Jawa tumbuh pada daerah dengan ketinggian 500 s.d. 2.000 m dpl. Hanya sekitar 9% yang tumbuh di dataran rendah, dan sekitar 1% tumbuh pada daerah-daerah yang tinggi (Pfeiffer, J. 1995). Pola persebaran tumbuhan epifit dipengaruhi oleh dua proses utama yaitu penyebaran (dispersal) dan pertumbuhan selanjutnya (establishment). Karena tumbuhana inang mempengaruhi tersedianya hara bagi epifit yang tumbuh pada percabangannya serta pertumbuhan epifit selanjutnya, maka jenis tumbuhan inang serta tempat anggrek epifit menempel di suatu pohon inang juga perlu dipelajari (Hirata et al. (2009). Selanjutnya Arditti (1992) berpendapat bahwa untuk mempelajari ekologi anggrek dan bentuk-bentuk adaptifnya perlu mengetahui karakteristik dari kanopi hutan. Beberapa penelitian mengenai anggrek epifit pernah dilakukan di Jawa Timur diantaranya adalah di Gunung Penanggungan Jawa Timur dimana ditemukan 10 jenis anggrek epifit yang didominasi oleh Flickingeria angulata (Yulia dan Yanti. 2010). Di Gunung Lawu ditemukan sebanyak 11 anggrek epifit di Hutan Jobolarangan (Marsusi dkk. 2001). Sedangkan di Bali, terutama di kawasan areal Kebun Raya Bali, berdasarkan hasil penelitian Lugrayasa dkk. (2001) diketahui anggrek epifit yang tumbuh secara alami di pohon reboisasi di dalam areal Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali sejumlah 30 jenis dari 14 marga. Kelompok marga Bulbophyllum, Dendrobium dan Eria adalah yang memiliki jumlah jenis yang paling banyak. Inventarisasi jenis-jenis anggrek epifit yang tumbuh pada pohon koleksi di Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali belum pernah dilakukan sebelumnya, sedangkan Lugrayasa dkk. (2001) baru melakukan inventarisasi anggrek epifit di kawasan reboisasi. Hasil inventarisasi anggrek epifit yang tumbuh pada pohon koleksi di Kebun Raya Eka Karya Bali ditemukan sebanyak 34 jenis anggrek yang termasuk dalam 14 marga (Tirta dan Sutomo 2014). Marga Bulbophyllum memiliki jumlah jenis terbanyak yaitu 7 jenis (B. angustifolium, B. distans, B. obsconditum, B. odoratum, B. ovalifolium, B. sessile, dan B. tortuosum). Comber (1990) melaporkan bahwa di Jawa terdapat kurang lebih 731 jenis anggrek dan 231 jenis diantaranya dinyatakan endemik. Persentase kekayaan anggrek paling banyak ada di Jawa Barat (642 jenis), sementara itu di Jawa Timur kurang lebih ada 390 jenis sedangkan di JawaTengah hanya 295 jenis. Dilihat dari habitat tumbuhnya maka dataran tinggi dengan ketinggian 500 m –1500 m merupakan tempat yang cocok untuk anggrek karena keragaman jenis anggreknya lebih banyak dibanding di dataran rendah. Masing-masing habitat memiliki kekayaan jenis yang berbeda, anggrek dataran rendah berbeda jenisnya dengan anggrek yang hidup di dataran tinggi, sehingga setiap tempat akan memiliki keunikan jenis tersendiri. Informasi tentang keragaman jenis anggrek di dataran tinggi Bukit Tapak masih terbatas, Oleh karena itu penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui keragaman jenis-jenis anggrek yang tumbuh di Jalur pendakian Bukit Tapak yang merupakan salah satu bagian dari kawasan CA Batukau. MATERI DAN METODE Pengamatan keragaman anggrek epifit dilakukan dengan metode jelajah secara eksplorarasi acak di kawasan Hutan Bukit Tapak, Kabupaten Tabanan, Bali (Gambar 1). Jalur jelajah ada 2 yaitu: 1). Jalur pendakian dari Kebun Raya Bali menuju puncak Bukit Tapak (KRB) dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 dan 2). Jalur pendakian dari Pancasari menuju puncak Bukit Tapak (PCS) dilaksanakan bulan Agustus 2014. Untuk mengidentifikasi sampai tingkat jenis diperlukan pengamatan morfologi bunganya. Khusus untuk jenis – jenis yang sedang tidak berbunga hanya dapat diidentifikasi sampai tingkat marga. Metode identifikasi
PROSIDING, Copyright© 2016
9
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
juga dilakukan dengan cara penelusuran pustaka dan mencocokkan dengan koleksi yang telah ada di Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Untuk mengetahui kesamaan jenis tumbuhan di kawasan jalur KRB dan PCS dilakukan dengan Indeks Kesamaan Jenis Sorensen (Odum, 1971) dengan rumus sebagai berikut: IS=2C/A+B x 100% IS= indeks kesamaan C= jumlah jenis yang sama dan terdapat di lokasi A dan B B= jumlah jenis tumbuhan di lokasi B. A= jumlah jenis tumbuhan di lokasi A. Jika didapatkan nilai IS < 25% maka dua lokasi yang dibandingkan memiliki jenis tumbuhan yang sangat berbeda. Bila 25% > IS < 50% berarti dua lokasi yang dibandingkan memiliki jenis tumbuhan yang cukup berbeda dan bila 50% > IS < 70% berarti dua lokasi yang dibandingkan memiliki jenis tumbuhan yang mirip.
B
P C
A D
C
K R
=Rute pengamatan, A= Danau Tamblingan, B= Danau Buyan, C= Danau Beratan, PCS= Desa Pancasari, DC= Desa Candikuning, KRB=Kebun Raya Eka Karya Bali
Gambar 1. Jalur pengamatan Anggrek di Bukit Tapak-Bali HASIL DAN PEMBAHASAN A. Keanekaragaman Anggrek Keragaman jenis anggrek dari hasil inventarisasi di kawasan hutan Bukit Tapak-Bali (1279 sd 1912 m dpl) telah ditemukan sebanyak 49 jenis termasuk dalam 24 marga (Lampiran 1). Anggrek yang teridentifikasi sampai tingkat jenis sebanyak 37 jenis (75,5%) dan yang belum teridentifikasi tingkat jenisnya sebanyak 12 jenis (24,5%). Berdasarkan tempat tumbuhnya, anggrek yang ditemukan tumbuh menempel pada kayu inang (epifit ) sebanyak 39 jenis dan tumbuh di tanah/humus (terestrial) sebanyak 10 jenis. Salah satu jenis anggrek terestrial juga ditemukan tumbuh epifit pada pohon kayu adalah Rhomboda cristata (Blume) Ormerod (Gambar 2). Jumlah anggrek yang ditemukan di Bukit Tapak lebih banyak jika dibandingkan dengan jenis anggrek yang ditemukan pada pohon koleksi di Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali (KREKB) yaitu 34 jenis (Tirta dan Sutomo 2014). Marga anggrek yang jumlah jenisnya terbanyak adalah Bulbophyllum sebanyak 10 jenis, hal ini hampir sama dengan dengan anggrek pada pohon koleksi di KREKB yang terbanyak juga Bulbophyllum (7 jenis). PROSIDING, Copyright© 2016 10
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Selanjutnya hasil eksplorasi di Bukit Pengelengan dikoleksi sebanyak 29 jenis anggrek yang termasuk dalam 20 marga (Tirta, 2012).
Gambar 3. Bulbophyllum sp Selain menginventarisasi jenis-jenis anggrek juga dikoleksi jenis-jenis anggrek yang belum terkoleksi atau sudah terkoleksi namun jumlahnya masih terbatas di KREKB. Jenis anggrek yang merupakan koleksi baru bagi KREKB dari Bukit Tapak yaitu Bulbophyllum sp dan Nervilia punctata (Blume) Makino (Gambar 3 dan 4). Bulbophyllum sp. ini, ditemukan tumbuh epifit berjuntai pada pohon cemara pandak (Dacrycarpus imbricatus (Blume) de Laub.) sebanyak 8 spesimen, masing-masing pohon 2 spesimen. Pohon cemara yang ditumpanginya, berada pada ketinggian (elevation) 1630-1880 m dpl. Nervilia puctata tumbuh di tanah (terrestrial) ditemukan sebanyak 8 spesimen pada ketinggia 1730 m dpl dan 74 spesimen pada ketinggian 1880 m dpl.
Gambar 4. Nervilia punctata (Blume) Makino Jenis anggrek tanah Calanthe baliensis merupakan salah satu jenis anggrek endemik Bali ditemukan juga di Bukit Tapak pada ketinggian 1530-1930 m dpl (Gambar 5) sebanyak 20 spesimen. Sebelumnya anggrek ini banyak) ditemukan di Bukit Pengelengan jalur Pura Tirta Ketipat menuju puncaknya >100 spesimen (Tirta, 2012). Comber 1990, menemukan anggrek ini di Bukit Tapak dan mengidentifikasinya sebagai jenis baru dan endemik Bali yang diberi nama Calanthe baliensis J.J.Wood & J.B. Comber. Koleksi jenis anggrek yang menjadi tambahan jumlah spesimen bagi KREKB sebanyak 8 jenis yaitu: Bulbophyllum devium, B. ovalifolium, B. tortuosum, Calanthe baliensis, Cryptostylis arachnites, Epigenium cymbidioides, Eria junghuhnii, dan Rhomboda cristata.
PROSIDING, Copyright© 2016 11
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gambar 5. Calanthe baliensis B. Indeks Kesamaan Jenis Indeks kesamaan merupakan suatu koefisien untuk mengetahui kesamaan jenis tumbuhan/anggrek di KRB dan PCS. Jalur KRB ditemukan sebanyak 42 jenis anggrek dan jalur PCS ditemukan sebanyak 21 jenis anggrek. Sebanyak 14 jenis anggrek ditemukan pada dua lokasi. Keberadaan jenis anggrek yang ditemukan di jalur KRB dan PCS cukup berbeda dengan nilai Indeks Kesamaan Jenis=44.44%. Perbedaan ini disebabkan oleh kondisi hutan di jalur KRB belum banyak terganggu/terjamah masyarakat sedangkan jalur PCS lebih banyak terganggu. Di samping jalan menuju jalur KRB dijaga ketat oleh petugas keamanan KRB sedangkan jalur PCS langsung berbatasan dengan tanah kebun masyarakat sehingga akses masuk lebih mudah. SIMPULAN Keragaman jenis anggrek kawasan hutan Bukit Tapak-Bali sebanyak 49 jenis termasuk dalam 24 marga. Tumbuh epifit sebanyak 39 jenis dan terestrial 10 jenis. Marga anggrek yang jumlah jenisnya terbanyak adalah Bulbophyllum sebanyak 10 jenis. Keberadaan jenis anggrek yang ditemukan pada 2 jalur: Jalur pendakian dari Kebun Raya Bali menuju puncak Bukit Tapak dan Jalur pendakian dari Pancasari menuju puncak Bukit Tapak cukup berbeda dengan nilai Indeks Kesamaan Jenis = 44.44%. DAFTAR PUSTAKA Arditti, J. 1992. Fundamentals of Orchid Biology. John Willey and Sons, New York. 584 pp. Comber, J.B. 1990. Orchid of Java. Bentham Moxon Trust, Royal Botanic Garden, Kew. Hirata, A., T. Kamijo and S. Saito. 2009. Host trait preferences and distribution of vascular epiphytes in a warm-temperate forest. Plant Ecology 201: 247-254. Lugrayasa, IN., IG. Tirta, IBK. Arinasa dan D. Mudiana. 2001. Inventarisasi Anggrek Alam Epifit yang Tumbuh pada Tanaman Reboisasi di Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali. Dalam: Tatik Wardiyati (Ed). Prosiding Seminar Anggrek Nasional: 10-22. Perhimpunan Anggrek Indonesia. Marsusi, C. Mukti, Y. Setiawan, S. Kholidah, dan A. Viviati. 2001. Studi Keanekaragaman Anggrek Epifit di Hutan Jobolarangan. Biodiversitas 2(2): 150-155. Odum, E.P.1971. Fundamentals of ecology. W.B. Saunders. Philapdelphia. 574 pp Pfeiffer, J. 1995. Wild Orchids, The Indonesian Botanic Garden Collections. Kebun Raya IndonesiaLIPI. Bogor. 15 hlm. Puspitaningtyas, D.M. dan Irawati. 1994. Orchid Research in Indonesia. Dalam Suhirman, G. Butler, Fuaddini, J. Pfeiffer, M. Richardson, Suhendar (Ed.): Proceeding Strategies for Flora Conservation in Asia: 349-352. Kebun Raya Indonesia-LIPI. Bogor. Tirta, IG. dan Sutomo. 2014. Inventarisasi Anggrek Epifit di Kebun Raya Eka Karya Bali. Widyariset 17 (2) : 245-250 Tirta, IG. 2012. Eksplorasi dan Koleksi Anggrek di Sebagian Bukit Pengelengan.. Widyatech 12 (2) : 132-138 Yulia, N.D. dan R.M. Yanti. 2010. Anggrek Epifit dan Pohon Inangnya di Kawasan Gunung Penanggungan, Pasuruan-Jawa Timur. Berkala Penelitian Hayati Edisi Khusus : IVA (37-40). PROSIDING, Copyright© 2016 12
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Lampiran 1. Daftar jenis anggrek yang ditemukan di Bukit Tapak-Bali No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 35. 36. 37. 38. 39. 40. 41. 42. 43. 44. 45. 46. 47. 48. 49.
Nama tumbuhan Bryobium hyacinthoides (Blume) Y.P.Ng & P.J.Crib Bulbophyllum angustifolium (Blume) Lindl. Bulbophyllum apodum Hook.f. Bulbophyllum biflorum Teijsm. & Binn. Bulbophyllum devium J.B.Comber Bulbophyllum flavescens (Blume) Lindl. Bulbophyllum flavidiflorum Carr Bulbophyllum gibbosum (Blume) Lindl. Bulbophyllum ovalifolium (Blume) Lindl. Bulbophyllum tortuosum (Blume) Lindl. Bulbophyllym sp.* Calanthe baliensis J.J.Wood & J.B. Comber Calanthe triplicata (Willemet) Ames Cerastostylis sp. (daun kecil) Ceratostylis crassifolia J.J.Sm. Ceratostylis graminea Blume Coelogyne sp. (mirif C. miniata) Coelogyne flexousa Rolfe Coelogyne miniata (Blume) Lindl. Cryptostlis arachnites (Blume) Hassk. Dendrobium linearifolium Teijsm. & Binn. Dendrobium mutabile (Blume) Lindl. Dendrochilum sp. (daun kecil) Dendrochilum sp. Epigenium cymbidioides (Blume) Summerh. Eria junghuhnii J.J.Sm. Eria annulata (Blume) Blume Eria multiflora (Blume) Lindl. Eria oblitterata (Blume) Rchb.f. Flickingeria sp. Goodyera novembrilis (Rchb.f.) Ormerod Goodyera reticulata (Blume) Blume Goodyera sp. Hijau Rhomboda cristata (Blume) Ormerod Liparis compressa (Blume) Lindl. Liparis condylobulbon Rchb.f. Liparis sp. Malaxis sp. Mycaranthes latifolia Blume Nervilia punctata (Blume) Makino.* Oberonia sp. Phaius pauciflorus (Blume) Blume Pholidota carnea (Blume) Lindl. Pholidota gibbosa (Blume) Lindl. ex de Vriese Pholidota globosa (Blume) Lindl. Podochilus sp.kecil (Pakis) Thrixspermum sp. Tuberolabium odoratissimum (J.J.Sm.) Garay Vanda tricolor Lindl. Jumlah jenis KRB=Jalur dari Kebun Raya Bali menuju Puncak Bukit Tapak PCS=Jalur dari Desa Pancasari menuju Puncak Bukit Tapak
Habitat Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Terestrial Terestrial Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Terestrial Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Terestrial Terestrial Terestrial Epifit & Terestrial Epifit Epifit Epifit Terestrial Epifit Terestrial Epifit Terestrial Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit Epifit
KRB √ √ √
PCS √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√
√ √ √ √ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √
√ √ √
√ √ √ √
√ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ 42
√
√ √
21
PROSIDING, Copyright© 2016 13
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PAKU (Pteridophyta) DI KAWASAN LERENG BARAT GUNUNG LAWU, JAWA TENGAH Zenita Milla Luthfiya*, Nor Liza, Rizma Dera Anggraini Putri, Sugiyarto Kelompok Studi Biodiversitas, Jurusan Biologi FMIPA UNS Surakarta Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian ini dilaksanakan di kawasan barat lereng Gunung Lawu, tepatnya di hutan Segoro Gunung dan hutan Parang ijo Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan paku (Pteridophyta) di kawasan lereng barat Gunung Lawu, Jawa Tengah. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode jelajah. Data yang diperoleh kemudian dianalisis dan diidentifikasi. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, tumbuhan paku yang ditemukan di kawasan lereng barat Gunung Lawu yaitu berjumlah 34 spesies yang tergolong dalam 12 famili. Kata kunci: Gunung Lawu, Keanekaragaman, Tumbuhan Paku, ABSTRACT This research was conducted in the western slopes of Mount Lawu , exactly in the Segoro Gunung forest and Parang Ijo forest in Ngargoyoso subdistrict, Karanganyar , Central Java . The purpose of this study was to determine the diversity of ferns ( Pteridophyta ) in the western region Lawu Montain , Central Java . The method used in this research was the method of cruising. Based on research that has been done , in the western region Lawu Montain 34 species of ferns were collected belonging to 12 families. Keywords: Diversity , Ferns, Lawu Montain PENDAHULUAN Gunung Lawu merupakan pegunungan vulkanik tua yang sudah tidak aktif. Secara geografis terletak pada posisi sekitar 111o15’BT dan 7o30’LS dan meliputi areal seluas sekitar 15.000 Ha. Gunung ini memanjang dari utara ke selatan, dipisahkan jalan raya penghubung propinsi Jawa Tengah dan Jawa Timur. Topografi bagian utara berbentuk kerucut dengan puncak Argo (Hargo) Dumilah setinggi 3.265 m dpl., sedang bagian selatan sangat kompleks terdiri dari bukit-bukit bertebing curam dengan puncak Jobolarangan setinggi 2.298 m. dpl. (US Army Maps Services, 1963; Docters van Leeuwen, 1925). Kawasan gunung merupakan salah satu contoh kawasan yang sangat menarik untuk diteliti. Ada jenis vegetasi tertentu yang ditemukan pada semua ketinggian, dan ada yang hanya ditemukan pada ketinggian tertentu. Jenis vegetasi melimpah pada kawasan lembah, kemudian seiring naiknya ketinggian kemelimpahan jenisnya sedikit demi sedikit menurun. salah satu jenis vegetasi tersebut adalah Pteridophyta. Tumbuhan paku (Pteridophyta) tersebar di seluruh bagian dunia. Diperkirakan di seluruh dunia terdapat 2 jutaan spesies tumbuhan yang telah dikenali dan 60 % dari jumlah tersebut terdapat di Indonesia. Indonesia memiliki lebih dari 4.000 spesies paku-pakuan (LBN-LIPI: 1980). Tumbuhan ini dalam dunia tumbuh-tumbuhan termasuk golongan besar atau Divisi Pterodophyta.Tumbuhan tersebut merupakan tumbuhan peralihan antara tumbuhan bertalus dengan tumbuhan berkormus, sebab paku mempunyai campuran sifat dan bentuk antara lumut dan tumbuhan tingkat tinggi (Raven et al, 1992). Tumbuhan Paku (Pteridophyta) sebagai bagian dari keanekaragaman hayati merupakan komunitas tumbuhan yang memiliki fungsi ekologis yang cukup penting di PROSIDING, Copyright© 2016 14
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dalam ekosistem hutan, seperti sebagai vegetasi penutup tanah, pencampur serasah bagi pembentukan hara tanah, dan produsen dalam rantai makanan. Disamping itu berperan sebagai sumber plasma nutfah juga berpotensi sebagai sumber pangan, dan obat-obatan. Hal tersebut perlu mendapatkan perhatian yang cukup besar di dalam pengelolaannya. Tumbuhan paku memiliki keanekaragaman jenis yang tinggi dan mampu hidup dalam kondisi lingkungan yang bervariasi. Keberadaan paku-pakuan ini masih kurang mendapat perhatian dibanding kelompok tumbuhan lainnya dan seringkali terabaikan (Suraida etal., 2013) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman tumbuhan paku di kawasan lereng barat Gunung Lawu. Letak Gunung Lawu di perbatasan daerah kering dan basah menarik untuk penelitian. Lereng barat Gunung Lawu dipilih karena tanahnya mempunyai kemampuan yang baik untuk menyimpan air dan didukung oleh pH tanah sekitar 7 yang berarti netral, dimana pada pH yang netral tumbuhan akan tumbuh dengan baik. Dengan penelitian ini, diharapkan dapat bermanfaat untuk memperkaya khasanah pengetahuan tentang kehadiran tumbuhan paku dan sebagai data informasi tentang keanekaragaman jenis tumbuhan paku yang ada di kawasan lereng barat Gunung Lawu. MATERI DAN METODE Penelitian ini meliputi pengambilan sampel di lapangan, preservasi, dan identifikasi sampel di laboratorium. Obyek utama dalam penelitian ini adalah semua spesies tumbuhan paku (Pteridophyta). Alat yang digunakan untuk koleksi di lapangan yaitu diantaranya ransel/tas lapangan, gunting tanaman, pisau, benang, pensil, penghapus, papan jalan, tally sheet, etiket gantung, kompas, trashbag, kamera, genter, kertas koran, plastik bening, alkohol 70%, isolasi, gunting/pisau, binokuler. Selain itu, dilakukan pengukuran faktor abiotik dengan menggunakan alat pH meter, dan koordinat lokasi dengan GPS. Identifikasi di laboratorium dilakukan dengan menggunakan buku identifikasi acuan Fern of Malaya. Penelitian ini dilaksanakan selama 3 hari yaitu pada tanggal 07-14 Agustus 2015 di 2 lokasi yang mewakili kawasan lereng barat Gunung Lawu, yaitu hutan Segoro Gunung dan hutan Parang Ijo, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar. Pengukuran faktor lingkungan dan kondisi aktual biodiversitas Pada setiap stasiun dilakukan pengukuran faktor-faktor lingkungan, meliputi: pH tanah. Metode Pengambilan Sampel Metode yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah metode jelajah. Metode jelajah yaitu metode pengambilan sampel tumbuhan paku yang dilakukan dengan cara menjelajahi kawasan lereng barat Gunung Lawu yang diwakili oleh hutan segoro Gunung dan hutan Parang Ijo. Tumbuhan paku yang didapatkan dikoleksi dan kemudian diproses lebih lanjut dilakuakn preservasi melalui tahapan pengawetan, pengeringan, penempelan dan pemberian label, selanjutnya digunakan untuk identifikasi jenis tumbuhan paku. Identifikasi menggunakan buku identifikasi acuan Fern of Malaya. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam penelitian ini, ditemukan 12 family tumbuhan paku yang terdiri dari 34 spesies. Untuk pengukuran faktor abiotik didapatkan yaitu di kawasan hutan Segoro Gunung memiliki pH 7,3. Sedangkan di kawasan hutan Parang Ijo memiliki pH 7,3. Penelitian ini dilakukan di hutan Segoro Gunung dan Hutan Parang Ijo sebagai perwakilan dari kawasan lereng barat Gunung Lawu. Pemilihan lokasi ini didasarkan bahwa kawasan Lereng barat Gunung Lawu adalah karena tanahnya mempunyai kemampuan untuk menyerap air dengan baik, sehingga tumbuhan yang hidup di kawasan ini umumnya tumbuh dengan subur.
PROSIDING, Copyright© 2016 15
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Data pengukuran faktor abiotik yaitu pH tanah didapatkan hasil yaitu rata-rata pH tanah di hutan Segoro gunung adalah 7,3 dan pengukuran pH tanah di hutan Parang Ijo juga didapatkan hasil 7,3. Hal ini menandakan bahwa pH tanah di kedua kawasan yang mewakilkan daerah kawasan lereng barat Gunung Lawu adalah netral. Tumbuhan akan tumbuh dengan baik pada pH netral. Sehingga dapat diketahui bahwa kondisi kawasan koleksi ini mendukung penelitian karena tumbuhan paku yang ditemukan dapat lebih beragam. Hasil yang didapatkan yaitu ditemukan 34 spesies tumbuhan paku yang termasuk dalam 12 famili berbeda, yaitu Polypodiaceae, Vittariaceae, Thelypteridaceae, Thelypteridaceae, Blechnaceae, Aspleniaceae, Lindsaeaceae, Selaginellaceae, Gleicheniaceae, dan Dryopteridaceae, Pteridaceae dan Dennstaedtiaceae. Dari ke 12 famili ini, famili dengan spesies terbanyak yaitu Polypodiaceae sebanyak 9 spesies. Deskripsi singkat dari setiap famili yang berhasil diidentifikasi: Polypodiaceae Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Pyrrosia varia, Polypodium verrucosum, Phymatodes scolopendria, Belvisia callifolia, Crypsinus platyphyllus, Colysis acuminata, Selliguea heterocarpa, dan Microsorium zipelli, Ciri-ciri spesies tumbuhan paku yang termasuk dalam famili ini yaitu sorus bentuknya bermacam-macam, letak sorus pada tepi atau dekat tepi daun, dapat pula pada urat-urat, berbentuk garis, memangjang, bulat. Sporangium kadang-kadang sampai menutupi seluruh permukaan daun yang fertil. Sporangium bertangkai dengan annulus fertikal, tidak sempurna, jika masak pecah dengan celah melintang. Indusium ada atau tidak ada, melekat pada satu sisi saja, kadang-kadang berbentuk ginjal atau perisai dengan tepi rata atau bertoreh. Rimpang merayap atau berdiri, mempunyai ruas-ruas yang panjang, jarang memperlihatkan batang yang nyata. Daun bermacam-macam, tunggal atau majemuk, dengan urat-urat yang bebas atau aling berdekatan. Akar dan daun sering kali bersisik (Tjitrosoepomo, 2005). Vittariaceae Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Vittaria ensiformis dan Vittaria elongata. Marga vittaria memiliki cri-cri morfologi sebagai berikut : Akar pendek dan merambat terdapat satu kumpulan akar dan banyak daun palem yang menutupinya,daun tersebut terselaputi rapat dengan scales clhatrate.daun palem tersebut berbentuk linier,sederhana,keseluruhan bagianya kasar,costa pada pucuk berbeda dari daun palem,dengan beberapa percabangan yang terdapat di bagian samping pembuluh angkut terdapat areoles yang dimasukkan pada bagian dari veinlets: sori terdapat pada bagian baris tunggal yang ada pada masing-masing sisi dari costa, di bagian belakang atau pada sisi marginal: paraphyses biasanya berlimpah-limpah. Thelypteridaceae Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Thelypteris chlamydophora, Thelypteris ciliata, Abacopteris menisciicarpa, Abacopteris lineata, dan Thelypteris linguata, Thelypteris japonica , dan Cyclosorus parasiticus. Thelypteris merupakan tumbuhan paku yang habitatnya hidup pada tumbuhan lain (paku epifit). Tumbuhan ini terdapat pada tempat yang terkena sinar matahari langsung atau agak teduh dan tahan terhadap angin. Habitusnya atau perawakannya berupa herba. Disebut herba karena pada tumbuhan ini tangkai daun maupun batangnya berair. Reproduksi dengan spora dan vegetatif dengan rimpang. Berdasarkan bentuknya, spora bisa dibedakan menjadi dua macam yaitu monolet (bilateral) yang berbentuk seperti biji kacang atau membulat dan trilet (As, 2005).
PROSIDING, Copyright© 2016 16
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Spesies tumbuhan paku yang ditemukan di Hutan Segoro Gunung dan Parang Ijo: (E: epifit, T: terestrial) NO
FAMILY 1 Polypodiaceae
SPESIES
CARA HIDUP
Pyrrosia varia (Kaulf.) Farw.
E
Polypodium verrucosum Wallich Phymatodes scolopendria (Burm.) Ching Belvisia callifolia (Christ) Copel Crypsinus platyphyllus (Sw.) Copel Colysis acuminata (Baker) Holttum Selliguea heterocarpa (Blume) Blume Microsorium sarawakense (Baker) Ching Microsorium zipelli (Blume) Ching
E E E E T E E T
Vittaria ensiformis Sw.
E
Vittaria elongata Sw.
E
Thelypteris chlamydophora Ching
E
Thelypteris ciliata (Wall. ex Benth.) Ching Abacopteris menisciicarpa (Blume) Holttum Abacopteris lineata (Blume) Ching Thelypteris japonica (Baker) Ching Cyclosorus parasiticus (Linnaeus) Farwell
E T T T T
4. Blechnaceae
Blecnum orientale Linn. (Blechnaceae)
E
5. Aspleniaceae
Asplenium nidus L.
E
6. Lindsaeaceae
Lindsaea parallelogramma Alderw.
T
Lindsaea malayensis Holttum
T
Sphenomeris chusana (L. ) Copel.
T
Selaginella australiensis Baker
T
Selaginella selaginoides (Linnaeus)
T
Selaginella opaca Warb.
T
Gleichenia laevigata (Willd.) Hook.
T
Gleicenia longissima Blume
T
Gleichenia linearis (Burm. f.) C. B.
T
Nephrolepsis biserrata (Sw.) Schott
T
Nephrolepsis davalilliodides (Sw.) Kunze Polystrichopsis aristata (G.Forst.) Holttum
T T
2. Vittariaceae 3. Thelypteridaceae
7. Selaginellaceae
8. Gleicheniaceae
9. Dryopteridaceae
10.
Davalliaceae
Davalia denticulata (Burm.) Mett.
T
11.
Pteridaceae
Adiantum capillus veneris (Burm.) Mett.
T
12.
Dennstaedtiaceae
Microlepia puberula Alderw.
E
Sphenomoris chusana (L.) Copel.
T
Blechnaceae Jenis paku yang termasuk dalam famili ini hanya ditemukan 1 spesies yaitu spesies Blechnum orientale. Ciri spesies dari blechnaceae yaitu mempunyai bentuk daun sederhana, penampilan daun besar dan daun bertekstur kasar dan lebar. Pada spesies blechnum orientale bentuk daunnya rucing tetapi daunnya merayap lebih pendek dari pada spesies blechnum finlaysoianum , tepi daunnya juga bergerigi dan termasuk jenis daun majemuk menyirip gasal. PROSIDING, Copyright© 2016 17
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Blechnum orientale memiliki bentuk batang yang kecil, dan batang pada blechnum ini terlibat dalam proses reproduksi vegetatif yaitu proses terjadinya fragmentasi pada batang. Rizhomanya tebal berukuran sekitar 2 cm bahkan ada yang lebih panjang. Akar bagian apexnya berwana coklat gelap dan tersusun oleh pale kartilago. Aspleniaceae Jenis paku yang termasuk dalam famili ini hanya ditemukan 1 spesies yaitu spesies Asplenium nidus. Ciri dari spesies Asplenium nidus yaitu bentuk daun berupa daun tunggal lanset (lanceolatus) ,ujung daun meruncing (acuminatus) dan tepi daun berombak (repandus), sorus terdapat di bawah daun berbentuk garis-garis berwarna coklat kehitaman yang terdapat di sepanjang anak tulang daun. Batang dapat berupa batang dalam (rizom) atau batang di atas permukaan tanah. Daun muda mempunyai cirri khas yaitu tumbuh menggulung (circinnatus), pada daun muda paku sarang burung menggulung ke arah dalam. Daun termasuk sporofil (daun fertil) karena menghasilkan spora. Daun tidak terlepas dari rimpang dan termasuk daun makrofil. (Darma, 2006). Lindsaeaceae Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Lindsaya parallelogramma dan Lindsaya malayensis. Memiliki bentuk pertumbuhan merambat. Daun majemuk, memiliki panjang rata-rata 40 cm dan lebar daun 5 cm. Daun berbentuk oval dan tepi bergerigi. Sedangkan panjang dan lebar anak daun adalah 2 cm dan 1 cm. Daun berwarna hijau dimana tangkai anak daun tersusun sangat berdekatan sehingga terlihat sangat padat. Sorus berwarna kecoklatan, terletak di bagian bawah daun. Lindsaea sp. memiliki bentuk daun memanjang menyirip dengan panjang dan lebar daun adalah 7 cm dan 1 cm. Anak daun sangat kecil dan berbentuk seperti kipas. Dalam satu tangkai terdapat sekitar 30 helai anak daun. Sorus terdapat pada tepi anakanak daun, berwarna kekuningan dan berbentuk bulat. Tumbuhan paku ini memiliki penampilan yang sangat menarik sehingga berpotensi sebagai tanaman hias yang ditanam dalam pot-pot kecil. Selaginellaceae Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Selaginella australiensis, Selaginella selaginoides dan Selaginella opaca.. Pada umumnya termasuk jenis paku epipit yang menempel pada batu atau pohon-pohon besar. Pertumbuhan merambat, daun berwarna hijau terang dan berukuran sangat kecil tersusun melingkari batang, daun fertil lebih lancip dengan susunan yang sangat rapat. Berwarna hijau pada permukaan atas, kedudukan daun berseling. Spora terdapat pada ujung terminalia (Asbar, 2004) Gleicheniaceae Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Gleichenia laevigata, Gleicenia longissima dan Gleichenia linearis. Ciri famili ini yaitu paku terestrial dengan pertumbuhan merambat dan akar serabut. Rimpang menjalar, sangat menyukai habitat yang terbuka yang langsung terkena sinar matahari. Daun majemuk berwarna hijau pada atas permukaan dan hijau keperakan pada bagian bawah, berbentuk menjari, tangkai daun memiliki percabangan khusus, cabang utama terdiri dari dua anak cabang, anak cabang tersebut akan bercabang lagi hingga tumbuh menutupi tempat tumbuhnya. Ratarata panjang dan lebar daun adalah 39 cm dan 3 cm. Jumlah anak daun dalam satu batang utama berjumlah 167 daun. Anak daun memiliki panjang dan lebar 1 cm dan 0.5 cm. Sorus berada di bawah permukaan daun berwarna hijau hingga coklat kehitaman. Batang memiliki tekstur yang sangat kuat sehingga biasa digunakan sebagai tali atau bahan-bahan kerajinan.
PROSIDING, Copyright© 2016 18
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Dryopteridaceae Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu di hutan Segoro Gunung ditemukan 3 spesies yaitu Nephrolepsis biserrata, Nephrolepsis davalilliodides, dan Polystrichopsis aristata. Jenis paku yang tergolong famili Dryopteridaceae tumbuhnya berumpun dan tumbuh bersama tumbuhan rendah lainnya, rimpang pendek, daun sederhana dengan tulang daun menyirip. Sorusnya kecil, bentuk bulat dan tersusun dalam satu deretan sepanjang anak-anak tulang daun. Davalliacea Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Davallia denticulate yang mempunyai ciri rimpang panjang-merayap, berdiameter sekitar 5 mm. seluruh bagian rimpangnya bersisik padat; sisik berbentuk bulat telur dan mengalami penyempitan menuju ujung, ekor paten,pada bagian dasar mempunyai panjang dan lebar sekitar 1,5 mm. pada bagian belakang,mempunyai bentuk lurus dengan ukuran 0,2 sampai 5 mm dan berwarna coklat hingga coklat tua. Sisik berada di pinggir. Stipe berwarna coklat, tereta, sampai dengan 40 cm, gundul. Lamina subtriangular, secara bertahap mengalami penyempitan menuju puncak acuminate. Sorinya kecil, bearda di bagian pinggir. Indusial berbentuk cangkir dengan ukuran 0,4 mm sampai 0,7 mm (Sastrapradja, 1980). Pteridaceae Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Adiantum capillus veneris. Cirinya yaitu daunnya tidak berbentuk memanjang, tetapi cenderung membulat. Spora terlindungi oleh sporangium yang dilindungi oleh indusium. Kumpulan indusia (sorus) berada di sisi bawah daun pada bagian tepi yang agak terlindung oleh lipatan daun. Tangkaientalnya khas karena berwarna hitam dan mengkilap, kadang-kadang bersisik halus ketika dewasa. Sebagaimana paku-pakuan lain, daun tumbuh dari rimpang dalam bentuk melingkar ke dalam (bahasa Jawa: mlungker) seperti tangkai biola (disebut circinate vernation) dan perlahan-lahan membuka. Akarnya serabut dan tumbuh dari rimpang. Lindsaeaceae Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Sphenomeris chusana. Cirinya yaitu memiliki daun pakis hijau muda yang berbulu. Bisa tumbuh dengan ketinggian 2 sampai 5 kaki dan rumpun dengan diameter bisa mencapai beberapa meter. Spora yang terbentuk pada ujung segmen terkecil. Dennstaedtiaceae Jenis paku yang termasuk dalam famili ini yaitu Microlepia puberula dan Sphenomoris chusana. Microlepia puberula mempunyai rimpang yang ramping dan panjang, berakar dalam tanah., tumbuhan ini berperawakan perdu, sama seperti kebanyakan tumbuhan paku lainnya dan berakar serabut. Batang tegak, berbentuk bulat dengan simetri dorsiventral, permukaannya halus, panjangnya sekitar 1-2 m, diameternya sekitar 4 mm warnanya hijau kecoklatan, dan bervabang. Sporangium berbentuk memenjang, berkelompok dan menyatu membentuk seperti sirip. Spora berbentuk monolet (seperti kacang) dan berwarna coklat kemerah-merahan, dan tresebar di permukaan bawah daun. Sphenomoris chusana mempunyai daun majemuk dengan bagian-bagian yang menyirip. Sphenomeris juga mempunyai akar rimpang yang tumbuh di dekat permukaan tanah. Dan batangnya keras yang tumbuh keatas. Ental yang masih muda selalu menggulung dan menjadi satu ciri khas. Sphenomeris dibagi lamina dengan sori apikal dan spora besar. Tapeinidium hanya memiliki sulcation bawah daun sedikit dari sumbu dan arsitektur daun menyirip, dengan sori di lateral lobus (Dryander, 1797).
PROSIDING, Copyright© 2016 19
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SIMPULAN Koleksi tumbuhan paku (Pteridophyta) di kawasan lereng barat Gunung Lawu yaitu ditemukan 12 family yang terdiri dari 34 spesies. Kelompok family tersebut yaitu: Polypodiaceae, Vittariaceae, Thelypteridaceae, Thelypteridaceae, Blechnaceae, Aspleniaceae, Lindsaeaceae, Selaginellaceae, Gleicheniaceae, dan Dryopteridaceae, Pteridaceae dan Dennstaedtiaceae. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis menucapakan terima kasih kepada Ekspedisi Wukir Mahendra 2015 yang telah menyelenggarakan kegiatan riset keanekaragaman hayati di kawasan lereng barat Gunung Lawu yang sangat bermanfaat bagi diri saya sendiri dan in Shaa Allah juga bermanfaat bagi orang lain. Selain itu, terima kasih juga kepada dosen pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan dan pengarahan sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik dan juga kepada semua pihak terkait yang telah mendukung kegiatan ini sehingga dapat terselenggara dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Asbar. 2004. Jenis Paku-pakuan (Pteridophyta) di Sekitar Air Terjun Tirta Rimba Hutan Wana Osena Desa Sumber Sari Kecamatan Moramo Kabupaten Konawe Selatan. Skripsi. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Haluoleo. Kendari (Tidak diterbitkan). As, M. 2005. Keanekaragaman dan Potensi Tumbuhan Paku (Pteridophyta) di Hutan Desa Lampeapi Kecamatan Wawonii Barat Kabupaten Konawi. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Haluoleo. Kendari (Tidak diterbitkan). Docters van Leeuwen, W.M. 1925. De alpine vegetatie van de Lawoe vukaan. Natuurk. Tijdschr. Ned. Indie 85: 23-48. Dryander J. 1797. Lindsaea, a new genus of ferns. Transactions of the Linnean Society of London 3: 39–43 Raven, P.H., R.F. Evert dan S.E. Eichhorn. 1992. Biology of Plants. Worth Publishers. New York. Sastrapradja, S., J. J. Afriastini, D. Darnaedi dan Elizabeth. 1980. Jenis Paku Indonesia. Lembaga Biologi Nasional, Bogor. hlm. 7 Suraida, Susanti Try dan Amriyanto Riza. 2013. Keanekaragaman Tumbuhan Paku (Pteridophyta) di Taman Hutan Kenali Kota Jambi. Program Studi Biologi, Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi Tjitrosoepomo, G. 2005. Taksonomi Tumbuhan Obat-obatan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
PROSIDING, Copyright© 2016 20
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ANALISIS KOMPOSISI FLORA PADA BEBERAPA JENIS TUMBUHAN INVASIF DOMINAN DI TAMAN NASIONAL BALI BARAT, BALI Asep Sadili, Sunaryo, dan Deden Girmansyah Bidang Botani, Puslit Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jl. Raya Jakarta–Bogor Km 46, Cibinong 16911 ABSTRAK Penelitian analisis komposisi flora pada beberapa jenis tumbuhan invasif dominan di Taman Nasional Bali Barat dilakukan di tiga lokasi yaitu; di sekitar Banyu Wedang (lokasi I) dengan jenis dominan akasia (Acacia nilotica); di Resort Menjangan (lokasi II) dengan jenis dominan gamal (Gliricidia sepium); dan di sekitar Prapat Agung (lokasi III) dengan jenis dominan kirinyuh (Chromolaena odorata), dan krasian (Lantana camara). Penelitian menggunakan petak dan hasil analisa kuatitatif pada masing-masing lokasi cukup bervariasi. Kata kunci: Analisis, Tumbuhan invasif dominan, Taman Nasional Bali Barat, Bali. PENDAHULUAN Kekayaan hutan hujan tropis seringkali menjadi ancaman berupa gangguan suatu aktivitas atau energi dari luar yang dapat memengaruhi ekosistem, komunitas, populasi, tanah, iklim, dan keanekaragaman hayati yaitu adanya tumbuhan pendatang (invasif). Tumbuhan invasif didefinisikan secara sederhana adalah tumbuhan yang bukan spesies asli pada kawasan tertentu, namun secara umum dapat mempengaruhi kehidupan species asli. Beberapa jenis tumbuhan invasif dominan secara ekologis berdampak pada ekosistem kawasan hutan, karena mampu menyingkirkan spesies asli dari persaingan untuk memperebutkan sumber daya nutrisi, cahaya, ruang, air, dan lain sebagainya. Banyak laporan beberapa jenis tumbuhan invasif dominan mengganggu ekosistim lokal disetiap kawasan hutan Indonesia, terutama pada areal-areal kawasan konservasi, diantaranya: jenis akasia (Acasia nilotica) di Taman Nasional (TN) Baluran; jenis kaliandra (Calliandra calothryrsus) di TN Halimun Salak; kirinyuh (Chromolaena odorata) di TN Ujung Kulon dan Cagar Alam Pangandaran; jenis Eupatorium sordidum, Austroeupatorium inulaefolium, Cestrum aurantiacum, Brugmansia suaveolens, Passiflora suberosa dan jenis aprika (Maeopsis emini) di TN Gunung Gede Pangrango; dan Merremia peltata di TN Bukit Barisan Selatan (BKSDA, 2015; Siregar dan Tjitrosoedirdjo, 1999; Uji T. et al, 2010; Sunaryo et al, 2012; Sunaryo dan Tihurua, 2010; Tjitrosemito, 1999; Cordon dan Arianto, 2004; Anonim, 2002). Taman Nasional merupakan salah satu kawasan hutan untuk melindungi keanekaragaman tumbuhan, satwa beserta ekosistemnya dan dimanfaatan secara lestari sebagai sumberdaya alam hayati untuk penyangga kehidupan termasuk di Taman Nasional Bali Barat (TNBB). Status TNBB berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan, No. 493/Kpts-II/95, dengan luas 19.002,89 hektar. TNBB merupakan habitat alami burung curik Bali (Leucopsar rothschildi) yang saat ini sangat kritis keadaanya. Secara administratif pemerintahan TNBB terletak di Kabupaten Jembrana dan Kabupaten Buleleng, Propinsi Bali. TNBB memiliki beberapa tipe vegetasi hutan, diantaranya hutan mangrove, hutan pantai, hutan musim, hutan hujan dataran rendah, hutan savana, terumbu karang, hutan pantai berpasir, dan perairan laut. Temperatur udara rata-rata 33o C dengan curah hujan 972-1,550 mm/tahun. Ketinggian tempat 0-141 m dpl. dengan letak geografis 8°05’- 8°15’ lintang selatan dan 114°25’-114°34’ bujur timur (Taman Nasional Bali Barat, 2015). Menurut Tjitrosemito (2004) jenis tumbuhan invasif dominan di beberapa areal hutan, dikarenakan memiliki kelebihan dibandingkan dengan jenis-jenis lokal. Kelebihan-kelebihan PROSIDING, Copyright© 2016 21
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tumbuhan invasif tersebut diantaranya: cepat tumbuh; cepat dewasa; cepat memproduksi bunga; cepat menutupi naungan; menghasilkan biji banyak; mampu menggunakan penyerbuk lokal; perakaran rapat, penyebaran biji lebih efektif, buah disukai hewan, biji ringan, dapat berkembang dengan vegetatif, memiliki senyawa alelopati, dan bebas hama penyakit. Oleh karena itu, dengan kelebihan-kelebihannya itu banyak jenis-jenis yang telah mengganggu ekosistem kawasan hutan lokal, termasuk di TNBB. Berdasarkan informasi petugas TNBB serta hasil pengecekan lapangan terdapat jenisjenis tumbuhan invasif yang telah mendominasi di tiga areal hutan TNBB dengan perawakan pohon dan semak. Jenis-jenis tumbuhan tersebut diantaranya: jenis akasia (Acasia nilotica) di sekitar Banyu Wedang; jenis gamal (Gliricidia sepium) di sekitar Resort Menjangan; jenis krasian (Lantana camara), dan kirinyuh (Cromolaena odorata) di sekitar Prapat Agung. Keadaan jenis-jenis tumbuhan invasif dominan di TNBB secara kuantitatif masih minim informasi, dan belum ada yang melakukan penelitian (komunikasi petugas lapangan TNBB). Penelitian bertujuan mengungkap kondisi terkini tumbuhan invasif dominan (4 jenis) meliputi regenerasinya, sebarannya, korelasinya, dan lingkungannya. Hasil penelitian diharapkan menjadi informasi tambahan dan berguna sebagai ilmu pengetahuan untuk membantu dalam perbaikan pengelolaan kawasan hutan di masa yang akan datang, khususnya bagi pengelola TNBB sebagai otoritas utama pengambil kebijakan. MATERI DAN METODE Lokasi dan Metode Sebelum melakukan peletakan titik lokasi penelitian terlebih dahulu dilakukan pengamatan dan peninjauan lapangan guna mendapatkan gambaran secara umum daerah kajian yang ditumbuhi jenis-jenis invasif dominan. Hal ini dimaksudkan agar data yang terkumpul dapat mewakili secara keseluruhan. Penentuan titik lokasi dan ukuran didasarkan pada: kondisi lapangan, keadaan vegetasi, aksesbilitas dan keterwakilan dari beberapa penguasaan jenis tumbuhan invasif secara umum dan jenis lainnya. Lokasi petak yang dipilih di tiga kawasan hutan (Tabel 1 dan Gambar 1.) Pada tiga lokasi penelitian secara umum termasuk dalam kategori hutan pantai. Kondisi vegetasi bervariasi mulai tingkat semai atau herba, belta sampai pohon. Kondisi iklim saat penelitian adalah kemarau. Jenis-jenis tergolong pohon, semak, liana, dan jenis lainnya sebagian besar daun mengalami keguguran. Dalam hal ini merupakan penyesuaian hidup/adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang ekstrim pada waktu-waktu tertentu untuk mempertahankan kehidupannya. Tabel 1. Letak petak penelitian pada hutan jenis tumbuhan invasif dominan di TNBB. No. I II III
Lokasi Banyu Wedang Resort Menjangan
Latitude 08.13983’
Longitude 114.57169’
Alt. (m) 44
Jenis dominan Akasia (Acasia nelotica)
08.15754’
114.57582’
77
Gamal (Gliricidia sepium)
Prapat Agung
08.15265’
114.44816’
59
Kirinyuh (Chromolaena odorata) dan Krasian (Lantana camara)
Pada setiap lokasi dibuat plot berukuran 20 m x 20 m (400 m2) untuk lokasi I dan 10 m x 20 m (200 m2) untuk lokasi II dan III. Setipa petak masing-masing lokasi dibuat subpetak 10 m x 10 m untuk pengukuran pohon (diameter < 10 cm), dan untuk anak pohon atau belta (diameter > 10 cm) dilakukan pada ukuran 5 m x 5 m. Sedangkan pengukuran semai atau herba dilakukan pada ukuran petak 1 m x 1 m. Selanjutnya diukur pH tanah di masing-masing lokasi untuk mendukung penelitian. Setiap individu tergolong pohon diukur pada lingkar batang 1,3 m dan untuk belta 60 cm dari permukaan tanah, sedangkan yang tergolong semai atau herba PROSIDING, Copyright© 2016 22
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
diukur persentasi tutupan kanopi (%). Seluruh jenis yang ada dalam petak (semai/herba belta, dan pohon) diidentifikasi nama lokal (bahas Bali) dan bagi yang belum teridentifikasi diambil contoh bukti spesimen (voucher), untuk penamaan ilmiah selanjutnya. Identifikasi jenis dengan cara membandingkan pada koleksi yang ada di Herbarium Bogoriense, Bidang Botani-LIPI, Cibinong. Analisis data dilakukan mengikuti standar baku oleh Cox (1978), Dombois & Ellenberg (1974), dan Greig-Smith (1964). Hasil analisis nilai dominasi relatif (DR), kerapatan relatif (KR) dan frekuensi relatif (FR) di analisis untuk menentukan Nilai Penting (NP=300 %). Nilai NP yang dihasilkan selanjutnya dihitung indek dominasi rasio (IDR=100%) atau summed domination ratio (SDR), yaitu nilai NP dibagi tiga. Setiap kategori dianlisis indek kesamaan menggunakan perangkat lunak Biopro versi2 berdasarkan data kerapatan.
Bali
TNBB
Gambar 1. Lokasi Penelitian (Sumber: Google earth, 2015) HASIL Jenis-jenis invasif dominan di tiga lokasi TNBB seperti akasia (Acacia nilotica (Linn.) Willd. Ex Del.), gamal (Gliricidia sepium (Jacq.) Kunth ex Walp), krasia (Lantana camara Linn.), dan Kirinyuh (Chromolaena odorata) adalah tumbuhan tropik yang telah menyebar hampir diseluruh benua Asia, Afrika, Australia dan Amerika. Tumbuhan tersebut menjadi invasif di TNBB dan beberapa areal hutan konservasi di Indonesia (Prosea dan Yayasan Kehati, 2015) termasuk di TNBB. Habitat tumbuhan invasif dominan di tiga lokasi tersebut memiliki pH tanah cukup merata dengan standar deviasi 0,2 dengan rata-rata sebesar ± 6,4 (± 6,2 di lokasi I; ± 6,5 di lokasi II; dan ± 6,4 di lokasi III). Struktur Semai dan Herba Tumbuhan semai atau herba pada beberapa kawasan hutan merupakan pengganti bagi kelompok pohon, belta, semak atau kelompok lainnya (regenerasi jenis pertama). Hasil penelitian yang diukur berupa persentasi tutupan kanopi terhadap permukaan tanah (%) pada areal tumbuhan invasif dominan di TNBB tercatat di lokasi I dan II masing-masing 8 jenis, 8 marga, 8 suku, sedangkan pada lokasi III 4 jenis, 4 suku, 4 marga (Gambar 2). Persentasi tutupan kanopi dan kerapatan kelompok herba dan semai. Pada lokasi I tutupan kanopinya ± 9,08 % dengan kerapatan 10 individu/m2, dilokasi II ± 43,52 % dengan kerapatn 33 individu/m2, dan lokasi III sebesar ± 42,57 % dengan kerapatan 35 individu/m2 .
PROSIDING, Copyright© 2016 23
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gambar 2. Komposisi jenis, marga dan suku untuk kelompok semai dan herba pada areal hutan tumbuhan invasif dominan di TNBB. Tabel 2. Komposisi jenis, Dominansi relatif (DR), Kerapatan relatif (KR), Frekuensi relatif (FR), Nilai penting (NP), dan indek dominasi rasio (IDR) untuk kelompok semai dan herba pada areal hutan tumbuhan invasif dominan di TNBB. No. 1 2 3 4 5 6 7 8
1 2 3 4 5 6 7 8
Jenis Lokasi I (Banyu Wedang) Lantana camara Setaria sp. Cromolaena odorata Ruellia tuberosa Acacia nilotica Jatroha curcas Grewia sp Flacoutia rukem Jumlah Lokasi II (Resort Menjangan) Gliricidia sepium Lantana camara Strichnos lucida Merope spinosa Brucea Javanica Urena sp Flacourtia rukam Zoll. & Moritzi Cromolaena odorata Jumlah Lokasi III (Prapat Agung)
1 2
Cromolaena odorata Lantana camara
3 4
Microcos sp. Streblus asper Jumlah
DR (%)
KR (%)
FR (%)
NP (%)
IDR (%)
28.42 31.41 17.40 9.03 5.91 1.00 4.65 2.19
39.13 8.70 17.39 8.70 8.70 8.70 4.35 4.35
26.67 13.33 13.33 13.33 13.33 6.67 6.67 6.67
94.22 53.44 48.12 31.06 27.94 16.36 15.66 13.21
31.41 17.81 16.04 10.35 9.31 5.45 5.22 4.40
100
100
100
300
100
25.00 27.23 21.43 11.16 7.14 4.91 2.23 0.89 100
23.08 30.77 20.51 10.26 5.13 5.13 2.56 2.56 100
31.82 13.64 27.27 9.091 4.545 4.545 4.545 4.545 100
79.90 71.64 69.21 30.51 16.82 14.58 9.34 8.00 300
26.63 23.88 23.07 10.17 5.606 4.861 3.114 2.667 100
41.34 57.88
63.29 35.66
44.44 44.44
149.07 137.99
49.69 46.00
0.62 0.16 100
0.70 0.35 100
5.556 5.556 100
6.87 6.07 300
2.29 2.02 100
PROSIDING, Copyright© 2016 24
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Hasil analisis kelompok semai dan herba untuk dominansi, kerapatan dan frekuensi, serta NP atau IDR berbeda-beda (Tabel 2). Dominansi relatif tertinggi berdasarkan tutupan kanopi untuk lokasi I dikusai jenis krasian (DR=28,42%), di lokasi II jenis gamal (DR=25,00%), dan di lokasi III jenis kirinyuh (DR=41,34 %). Sedangkan kerapatan relatif tertinggi pada lokasi I dikusai jenis Setaria sp. (KR=31,41%), di lokasi II jenis krasian (KR=30,77%), dan di lokasi III jenis kirinyuh (KR=63,29%). Kemudian frekuensi relatif tertingi di lokasi I dikusai jenis krasian (FR=26,67%), di lokasi II jenis gamal (FR=31,82%), dan lokasi III kirinyuh dan krasian (masing-masing FR=44,44%). Selanjutnya jenis utama berdasarkan Nilai Penting (NP) atau indek dominasi rasio (IDR) pada lokasi I dikuasai krasian (NP=94,22% atau IDR=31,41%), lokasi II gamal (NP=79,90% atau IDR=26,63%), dan lokasi III kirinyuh (NP=149,07 % atau IDR=49,69%) Struktur Belta
Struktur tegakan belta adalah sebaran individu dalam sebaran diameter dari berbagai ukuran. Jenis-jenis kelompok belta (diameter < 10 cm) pada areal hutan merupakan calon pengganti setelah periode semai berahir yaitu bagi kelompok pohon atau jenis-jenis lain dengan pertumbuhan maksimal seperti semak, perdu, atau pohon kecil (sebagai regenerasi ke dua). Hasil analisis pada tumbuhan invasif dominan pada tiga lokasi di TNBB memperlihatkan nilainilai yang berbeda dan bervariasi, termasuk komposisi jenisnya. Pada Gambar 3 komposisi jenis tertinggi terdapat di lokasi II (11 jenis, 11 marga, dan 9 suku), diikuti lokasi III (10 jenis, 10 marga, 10 suku), dan lokasi I (4 jenis, 4 marga, 4 suku). Luas bidang dasar lokasi I, II dan lokasi III rata-rata 1,99 m/ha dengan kerapatan 1.233 individu/ha (Tabel 3). Tabel 3. Luas bidang dasar dan kerapatan kelompok belta pada areal hutan tumbuhan invasif dominan di TNBB. Luas Bidang Dasar Kerapatan Lokasi 2 25 m Ha 25 m2 Ha I 0.005 1.93 2.63 1050 II 0.01 2.06 4.25 1700 III 0.005 1.97 2.38 950 Jumlah 0.015 5.96 9.25 3700 Rataan 0.005 1.99 3.08 1233 Berdasarkan luas bidang dasar jenis dominan lokasi I dikuasai akasia (DR=67,78%), pada lokasi II dikuasai gamal (DR=50,73%), di lokasi III jenis Urena sp. (DR=35,04%). Jenis utama berdasarkan NP/IDR pada lokasi I dikuasai akasia (NP=139, 13% atau IDR=46,38%). Pada lokasi II dikuasai gamal (NP=106,71% atau IDR=35,57%). Dan lokasi III dikuasai krasian (NP=108,76% atau IDR=36,25%) (Tabel 4).
Reort Menjangan
Gambar 3. Komposisi jenis, marga dan suku untuk kelompok belta di hutan tumbuhan invasif dominan di TNBB.
PROSIDING, Copyright© 2016 25
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 4. Komposisi jenis, Dominansi relatif (DR), Kerapatan relatif (KR), Frekuensi relatif (FR), Nilai penting (NP), serta indek dominasi rasio (IDR) untuk kelompok belta pada hutan jenis tumbuhan invasif dominan di TNBB. No. Jenis Lokasi I (Banyu Wedang) 1 2 3 4
Acacia nilotica Jatropha gossypiifolia
Momosa sp Lantana camara Jumlah Lokasi II (Resort Menjangan) 1 Gliricidia sepium 2 Strychnos lucida 3 Lantana camara 4 Paramignya trimera 5 Croton sp. 6 Vitex pinata 7 Schoutenia ovata 8 Urena sp 9 Croton sp 10 Brucea Javanica 11 Bridelia sp. Jumlah Lokasi III (Prapat Agung) 1 Lantana camara 2 Urena sp 3 Bridelia sp. 4 Strychnos lucida 5 Chromolaena odorata 6 Uvaria sp. 7 Streblus asper 8 Flaourtia rukem 9 Brucea Javanica 10 Schoutenia ovata Jumlah
DR (%)
KR (%)
FR (%)
NP (%)
IDR (%)
72,77 23,42 3,40 2,50
30,00 62,50 5,00 2.50
36,36 36,36 18,18 9,09
139,13 122,28 26,59 12,00
46,38 40,76 8,86 4,00
100
100
100
300
100
50.73 11.28 11.87 5.89 7.82 6.09 1.72 0.91 2.66 0.53 0.47 100
37.80 17.32 14.17 14.96 7.87 0.79 1.57 1.57 0.79 2.36 0.79 100
18.18 18.18 18.18 15.91 11.36 2.273 4.545 4.545 2.273 2.273 2.273 100
106.71 46.79 44.23 36.76 27.06 9.15 7.84 7.03 5.72 5.17 3.53 300
35.57 15.60 14.74 12.25 9.019 3.049 2.613 2.342 1.908 1.722 1.176 100
19.75 35.04 6.28 31.10 1.08 0.94 1.56 1.22 2.81 0.31 100
61.43 4.29 12.86 4.29 4.29 4.29 2.86 2.86 1.43 1.43 100
27.59 6.90 24.14 3.45 10.34 6.90 6.90 6.90 3.45 3.45 100
108.76 46.22 43.28 38.83 15.71 12.12 11.32 10.97 7.69 5.19 300
36.25 15.41 14.43 12.94 5.23 4.04 3.77 3.66 2.56 1.73 100
Jenis krasian pada kelompok belta tercatat di tiga lokasi dan termasuk jenis utama pada lokasi III, sedangkan pada lokasi I dan II menempati peringkat empat dan tiga tiga. Munculnya di tiga lokasi untuk krasian memperlihatkan kondisi lingkungan di TNBB sangat sesuai untuk tumbuh dan berkembangnya secara normal, sehingga dapat bersaing hidup dengan tumbuhan asli lainnya, walaupun hidup maksimal hanya mencapai kelompok belta dengan diameter < 10 cm, atau berperawakan semak. Struktur Pohon Struktur tegakan kelompok pohon (diameter > 10 cm) pada areal hutan invasif dominan di TNBB memperlihatkan nilai berbeda dan bervariasi (Tabel 5). Pada lokasi I dan lokasi III masing-masing tercatat hanya 1 jenis dari luasan 400 m2 dan 200 m2. Kerapatan pohon di lokasi I 4 individu/100 m2 (± 350 individu/ha) dengan luas bidang dasar 0,11 m/100 m2 (±11,11 m/ha). Kerapatan di lokasi III 4 individu/100 m2 dengan luas bidang dasar 0,09 m/100 m2 (±9,35 m/ha). Kemudian di lokasi II terdapat 3 jenis dengan kerapatan 4 individu/100 m2 (±350 pohon/ha) dan luas bidang dasarnya 0,11 m/100 m2 (±10,77 m/ha).
PROSIDING, Copyright© 2016 26
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 5. Komposisi jenis, Dominansi relatif (DR), Kerapatan relatif (KR), Frekuensi relatif (FR), Nilai penting (NP) dan indek dominasi rasio (IDR) kelompok pohon pada hutan invasif dominan di TNBB. Lokasi Banyu wedang Resort Menjangan
Perapat Agung
Nama Acasia nilotica Gliricidia sepium Grewia sp. Urena sp. Grewia sp.
DR (%) 100
KR (%) 100
FR (%) 100
NP (%) 300
IDR (%) 100
32.13 55.38 12.50
42.86 28.57 28.57
42.86 28.57 28.57
117.84 112.52 69.65
39.28 37.51 23.22
100
100
100
300
100
Pada Tabel 5 jenis utama berdasarkan NP di lokasi I dan III sebesar 300 % (IDR=100 %) dimiliki akasia dan Grewia sp., sedangkan di lokasi II tercatat 3 jenis dan tertingi dikuasai gamal (NP=117,84% atau IDR=39,28%) diikuti Grewia sp. dan Urena sp. Indek Kesamaan dan Regenerasi
Hasil analisis persentasi kesamaan di tiga lokasi penelitian pada hutan invasif dominan di TNBB cukup beragam (Gambar 4). Bagi kelompok semai dan herba terdapat enam jenis memiliki korelasi hidup bersama (indek kesamaan jenis=100 %), yaitu jenis Ruellia tuberosa – Setaria sp di lokasi I (Gambar 4 B), di lokasi II jenis Croton sp-Brucea javanica dan GrewiaBrucea javanica (Gambar 4 C & D). Kemudian di lokasi III tidak memiliki korelasi dalam hidupnya. Pada kelompok belta terdapat dua jenis memiliki kesamaan hidup (100 %) yaitu jenis tanglo (Grewia sp.)-suli (Bridelia sp) di lokasi II (Gambar 4 A). Korelasi 4 jenis invasif dominan dengan tumbuhan lain untuk semai dan herba di lokasi I jenis akasia dengan rukem, ruelia dan setaria ± 75 %, di lokasi II jenis gamal dengan stricnos ± 80 %, di lokasi III jenis krasian dengan kirinyuh ± 65 % (Gambar 4 semai/herba). Pada kelompok belta di lokasi I jenis akasia dengan jarak merah, krasian dan microcos sp ± 25%, di lokasi II jenis gamal dengan jerukan, krasi, dan bidara laut ± 50 %, dan di lokasi III krasian dengan lainnya (9 jenis) ± 35 %, sedangkan jenis kirinyuh dengan rukem, dan urena ± 75 % ( Gambar 4 Belta). Kemudian sebaran diameter dan tutupan kanopi bagi empat jenis invasif dominan (akasia, gamal, krasian, kirinyuh) digunakan juga untuk melihat tingkat regenerasinya dan memperlihatkan sangat baik, karena dari diameter terkecil sampai diameter terbesar atau tutupan kanopi dari terendah sampai terbesar cukup terwakili secara estapet yang tidak terputus (Gambar 5).
PEMBAHASAN Setiap mahluk hidup memiliki hubungan timbal balik dengan mahluk hidup lainnya atau dengan lingkungan sekitarnya (simbiosis), walaupun mahluk hidup tersebut bukan pada habitat aslinya. Kondisi floristik struktur kelompok semai dan herba, belta, dan pohon pada areal tumbuhan invasif dominan di TNBB merupakan hasil akhir interaksi dari berbagai proses fisiologis yang terjadi. Pada lokasi I selain akasia terdapat juga jenis introduksi lainnya yaitu jarak merah (Jatropha gossypiifolia) yang masih tergolong kelompok belta dan belum menginvasi secara luas. Jenis jarak ini berasal dari tropika Amerika (Mexico), dengan sebaran Paraguay, Indian Barat sampai Afrika Barat dan Malesia termasuk Indonesia (Prosea & Yayasan Kehati, 2015). Berdasarkan hasil analisis kuantitatif pada proses fisiologi menghasilkan nilai-nilai dominansi, kerapatan, dan frekuensi bagi setiap jenisnya serta berbeda-beda, termasuk nilai NP/IDR sebagai jenis utama. Keadaan demikian berkaitan erat dengan kapasitas reproduksi dan kemampuan adaptasi dari setiap jenis masing-masing khususnya terhadap lingkungan sekitarnya untuk meregenerasi jenis tumbuhan tersebut agar
PROSIDING, Copyright© 2016 27
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dapat hidup langgeng (suvival), termasuk di hutan konservasi TNBB dengan keadaan tanah, cahaya, unsur hara, iklim mikro.
B
C A
D
12 %
5
Belta
Semai /
Gambar 4. Dendrogram kesamaan jenis kelompok belta, serta semai dan herba pada areal hutan tumbuhan invasif dominan di TNBB.
Gambar 5. Sebaran diameter batang empat jenis tumbuhan invasif dominan di TNBB.
PROSIDING, Copyright© 2016 28
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Khusus bagi tumbuhan invasif dominan di TNBB (4 jenis), dapat mencirikan memiliki karakter berlebih dibandingkan dengan tumbuhan asli TNBB, sehingga secara alami dapat menginvasi pada beberapa areal. Smith (1977) menyatakan bahwa jenis dominan adalah jenis yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien dibandingkan jenis lain di tempat yang sama. Sedangkan Tjitrosemito (2004) mengatakan karakter utama tumbuhan invasif yang mendominasi disebabkan jenis tersebut memiliki kelebihan diantaranya: cepat tumbuh; cepat dewasa; cepat memproduksi bunga; cepat menutupi naungan; menghasilkan biji banyak; mampu menggunakan penyerbuk lokal; penyebaran biji lebih efektif; buah disukai hewan pemencar; biji ringan; bebas hama penyakit, dan lain sebagainya, sehingga hidupnya dapat menguasai dengan cepat pada beberapa areal termasuk di 3 lokasi TNBB. Pada beberapa hutan alami dinamika ekositem kehidupan umumnya konstan/stabil dan klimak, namun dengan terdapatnya tumbuhan invasif yang mendominasi pada beberapa areal, khususnya di TNBB secara ekologis akan menggangu ekosistem lokal, karena proses regenerasi jenis-jenis yang ada atau jenis-jenis lokal terhambat untuk bisa tumbuh (biji selalu dorman), bahkan tersingkirkan dan menimbulkan kelangkaan atau dimungkinkan mati karena tidak dapat beregenerasi dengan baik pada areal tersebut. Kondisi demikian dapat merubah iklim lokal, bahkan bisa saja merubah iklim global apabila invasif-nya telah melebihi batas kewajaran dan menyeluruh. Menurut The National Invasive Species Council (2006) tumbuhan invasif alien species adalah spesies pendatang yang dapat menyebabkan kerugian ekonomi, lingkungan atau kerusakan pada manusia, hewan atau kesehatan tanaman. Pencegahan merupakan cara paling efektif untuk mengatasi spesies invasif tersebut, yaitu mempersempit penyebarannya terutama pada areal kawasan-kawasan konservasi (Taman Nasional, Cagar Alam, dll.). Frekuensi sebagai pola sebaran atau kemunculan suatu jenis pada setiap petak penelitian bekaitan erat dengan regenerasi jenis pada suatua areal, terutama bagi setiap jenis yang dihasilkan, artinya kelimpahan yang tinggi memperlihatkan jenis tersebut cukup tersebar di beberapa petak kajian. Pada Tabel 3 (belta) di lokasi I jarak merah memiliki sebaran sama dengan akasia, yaitu cukup tinggi (FR=36,36%). Pada lokasi II terdapat tiga jenis yang memiliki sebaran yang sama, yaitu gamal, bidara, krasia (masing-masing FR=18,18 %), sedangkan di lokasi III sebaran tertinggi dimiliki krasian (FR=61,43 %). Jenis krasian pada lokasi II bagi semai cukup melimpah (KR=30,77%) namun tidak mengusai sebagai jenis utama, oleh karena itu jenis tersebut umumnya pioner pada beberapa kawasan hutan yang telah mengalami gangguan cukup serius dengan regenerasinya cukup singkat, yaitu sebagai pelopor sebelum jenis-jenis hutan alami muncul. Berdasarkan nilai IDR (maksimal 100 %) kondisi demikian tidak ada jenis yang memonopoli dalam hidupnya karena nilai IDR kurang dari 75 %. Sebelum terdapat di TNBB jenis akasia terdapat di TN Baluran dengan kondisi tertinggi dan mendominasi dibeberapa areal (Djufri, 2004). Pada lokasi I jenis akasia mendominasi seluruh kategori (pohon, belta dan semai). Kondisi iklim dan alam di TNBB merupakan faktor pendukung cepatnya penyebaran serta suburnya pertumbuhan akasia. Intensitas cahaya matahari yang tinggi dan kekeringan merupakan pendorong utama dimakannya biji-biji akasia oleh herbivora mamalia lain seperti babi (Sus sp.). Biji-biji yang ke luar bersama kotoran satwa tersebar di seluruh kawasan yang dilintasi oleh satwa tersebut, sehingga menjadi ancaman bagi kelestarian ekosistem areal lain di TNBB. Jenis akasia di lokasi I sebagian besar telah mendominasi walaupun jenis-jenis lainnya masih dapat ditemukan (Tabel 2 dan Tabel 3), tetapi jenis-jenis lokal pada kelompok pohon sebagian besar telah tersingkirkan, oleh karena itu hanya jenis belta yang tercatat dan mengisi ruang-ruang kosong (gap). Akasia tergolong tumbuhan Throphyta yaitu tumbuhan yang dapat hidup dengan baik pada kelembaban udara yang rendah, sehingga dalam kondisi air terbatas (curah hujan rendah) PROSIDING, Copyright© 2016 29
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tetap dapat melakukan regenerasi. Hal ini dapat terlihat dari munculnya tunas-tunas padada batang dipotong. Pada musim hujan pertumbuhan tunas-tunas berlangsung dengan cepat dan subur sehingga dengan segera membentuk trubus yang rapat. Sejarah introduksi tumbuhan gamal berawal ditanam sebagai pagar hidup, peneduh tanaman, rambatan vanili/lada, pengendali erosi, penghambat gulma (alang-alang), yang ditanam pada kebun-kebun rakyat (Joker, 2002). Karena kurang terkontrol tumbuhan gamal menyebar ke berbagai lahan konservasi termasuk di TNBB. Tumbuhan gamal di TNBB ini memperlihatkan regenerasinya cukup baik dilihat dari estafet ukuran diameter batang cukup kontinyu. Kirinyuh dan krasian adalah tumbuhan berbunga serentak selama 3-4 minggu dan termasuk gulma (Prawiradiputra, 1985). Krasian dan kirinyuh diperkirakan tersebar di Indonesia sejak tahun 1910-an (Sipayung et al., 1991), namun keberadaannya kurang mendapat perhatian, kecuali oleh kalangan perkebunan. Tumbuhan tersebut sangat merugikan tanaman budidaya, karena kompetitor dalam penyerapan air dan unsur hara. Kirinyuh dan krasian memiliki kemampuan untuk mendominasi dengan cepat dibeberapa areal. Hal ini didukung karena jumlah biji dihasilkan melimpah dan mudah berkecambah. Prawiradiputra (2007) mengemukakan, kirinyuh adalah gulma merugikan karena mengurangi padang penggembalaan, penyebab keracunan sampai mematikan ternak, dan menimbulkan bahaya kebakaran dimusim kemarau terutama pada kawasan hutan-hutan beriklim kering, termasuk kawasan TNBB. Semakin tinggi nilai indeks kesamaan, semakin tinggi pula tingkat kemiripan atau korelasi diantara jenis yang dibandingkan (Odum, 1992). Pada setiap lokasi nilai indeks kesamaan jenis masing-masing berdasarkan kerapatan berbeda-beda (Gambar 4). Kesamaan terendah kelompok belta ± 12 % dan tertinggi ± 100 % di lokasi II (Gambar 4 A), sedangkan kelompok semai/herba kesamaan terendah pada lokasi III ± 5 %, dan tertinggi ± 100 % pada lokasi I (Gambar 4 B) dan lokasi II (Gambar 4 C & D). Korelasi khusus 4 jenis invasif dominan terhadap jenis lainnya bagi kelompok belta maupun semai atau herba di setiap lokasi memiliki indek kesamaan berbeda. Pada Gambar 4 korelasi kelompok belta terendah dimiliki jenis Akasia (< 50 %) dilokasi I, tertinggi kirinyuh dengan 2 jenis lainnya (> 75 %) pada lokasi III. Pada kelompok semai atau herba sebagian besar jenis invasif dominan memiliki korelasi cukup baik dengan jenis lainnya (> 50 %). SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis kuantitatif pada tumbuhan invasif dominan di tiga lokasi TNBB terdapat 21 jenis, 21 marga, 15 suku (semai, herba, belta, pohon). Kondisi lingkungan sangat sesuai bagi empat jenis tumbuhan invasif dominan. Regenerasi untuk empat jenis dominan cukup baik. Persentasi korelasi dengan tumbuhan lainnya berbeda-beda dan jenis sebaran tertinggi ada di tiga lokasi penelitian adalah krasian (Lantana camara). UCAPAN TERIMA KASIH Kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada Kabid Botani dan Kapulit Biologi-LIPI yang telah mengijinkan untuk penelitian. Kepada seluruh petugas TNBB dan pembantu lapangan (pak Gede petugas TNBB, dan keluarga pak Abdulhadi) penulis mengucapkan terima kasih yang setinggi-tingginya atas bantuan yang diberikan selama penelitian berlangsung. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2002. Invasi Jenis Flora dan Fauna Eksotik di Beberapa Kawasan Taman Nasional (Kasus Taman Nasional Baluran dan Taman Nasional Wasur). Dalam Wijanarko (ed.).
PROSIDING, Copyright© 2016 30
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Keanekaragaman Hayati dan Pengendalian Jenis Asing Invasif. Puslitbang Hutan dan Konservasin Alam, Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesi. BBKSDA (Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Barat). 2015. http://bbksdajabar.com/. diakses 17 September 2015. Cordon A and W Arianto, 2004. Invasive alien plant species in Mount Gede-Pangrango Nature Reserve. J. Gulma Tropika 2(2), 75-85. Cox, G.W. 1978. Laboratory Manual of General Ecology. New York WM.C.Brown Company Publisher. Djufri. (2004). Review: Acacia nilotica (L.) Willd. ex Del. dan Permasalahannya di Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Biodiversitas. 5(2): 96-104. Djufri 2015. Autekologi akasia (Acacia nilotica) (L.) Willd. ex. Del Di Taman Nasional Baluran Jawa Timur. Jurnal Ilmiah Pendidikan Biologi, Biologi Edukasi Vol. 4 (1), Juni 2012, hlm 46-55. http://download.portalgaruda.org/article. diakses 24 Agustus 2015. Dombois, D M & Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley & Sons, New York. Geig-Smith, P. 1964. Quantitative Plane Ecology. London. National Invasive Species Council (2006). http://btngciremai.blogspot.com/2013/03/ pengendalian-tumbuhan-invasif-kaliandra. diakses 5 September 2015. Odum, H.T. 1992. Ekologi Sistem Suatu Pengantar. UGM. Press. Prawiradiputra, B.R. 1985. Perubahan Komposisi Vegetasi Padang Rumput Alam akibat Pengendalian Ki Rinyuh (Chromolaena odorata (L) R.M. King and H. Robinson) di Jonggol, Jawa Barat. Fakultas Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Thesis. Prawiradiputra, B. R. 2007. Kirinyuh (Chromolaena odorata (L) R.M. KING dan H. Robinson): Gulma Padang Rumput Yang Merugikan. Wartazoa. Vol. 17 (1). Prosea dan Yayasan Kehati. 2015. Flora Kita. http://www.proseanet.org/florakita/ browser.php?docsid=547. Diakses 29 September 2015. Prosea. 2015. Medicinal and poisonous plants 1 p.341-342 (author (s): Windadri, F. I.; Valkenburg, J.L.C.H. van) http://www.proseanet.org/florakita/browser.php? docsid=585. Diakses 21 September 2015. Sipayung, A., RD, DE, Chenon and PS, Suhadto. 1991. Observations on Chromolaena odorata (L.) R.M. King and H. Robinson in Indonesia. Second International Workshop on the Biological Control and Management of Chromolaena odorata. Biotrop, Bogor. http://www.ehs.cdu.edu.au/chromolaena/2/2sipay. Diakses 12 Januari 2015. Siregar C and S Tjitrosoedirdjo, 1999. Acacia nilotica invasionin Baluran National Park, East Java, Indonesia. BiotropSpec. Publ. No. 61. Smith, R.L. 1977. Element of Ecology. Harper & Row, Publisher, New York. Sunaryo, T. Uji, dan EF Tihurua. 2012. Jenis Tumbuhan Asing Invasif yang Mengancam Ekosistem Di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Resort Bodogol, Jawa Barat. Berk. Penel. Hayati 17. 147–152. Sunaryo, dan Tihurua, E.F. 2010. Catatan Jenis-jenis Tumbuhan Asing dan Invasif di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Berita Biologi 10 (2): 267-269. Tjitrosemito S, 1999. The Establishment of Procecidocharesconnexa in West Java, Indonesia; A biological controlagent of Chromolaena odorata. Biotropia 12, 19-24. Tjitrosemito S. 2004. The concept of invasive alien species. Regional Training Course on Integrated Management of Invasive Alien Plant Species. BIOTROP, Bogor, Indonesia. 18-28 May 2004. 16 hlm. TNBB (Taman Nasional Bali Barat). 2015. http://www.dephut.go.id/ /tn_balibarat.htm. Diakses 17 September 2015 Uji T, Sunaryo, E Rachman dan EF Tihurua, 2010. Kajian jenis flora asing invasif di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Biota 15(2), 167-173. PROSIDING, Copyright© 2016 31
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KEANEKARAGAMAN JENIS JAHE GENUS ZINGIBER (ZINGIBERACEAE) KAWASAN BUKIT KAPUR SUMATERA BARAT Nurainas*, Zuhri Syam dan Riki Chandra Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat, Indonesia *Email:
[email protected] ABSTRAK Genus Zingiber merupakan salah satu genus dari famili Zingiberaceae. Zingiber merupakan genus yang paling banyak dalam famili Zingiberaceae yang telah dimanfaatkan sebagai tumbuhan obat dan bahan bumbu, juga merupakan sumber panghasil minyak esensial, tanaman industri serta tanaman hias. Kawasan bukit kapur (limestone) mempunyai hutan dengan jenis-jenis flora yang spesifik. Di Sumatera Barat kawasan limestone ini cukup luas, diperkirakan sekitar 30.000 Ha lebih dengan jalur utama dari utara di daerah Payakumbuh sampai ke selatan di daerah Sijunjung. Hasil data specimen herbarium dan studi lapangan terbaru di Sumatera Barat didapatkan 5 species Zingiber yang ditemukan pada kawasan limestone Sumatera Barat yakni Zingiber gracile, Z. kunstleri, Z. montanum, Z. zerumbet dan Zingiber sp. Kata Kunci: Zingiber, Zingiberaceae, Sumatera Barat, keanekaragaman, limestone. PENDAHULUAN Zingiber is merupakan salah satu marga dalam family Zingiberaceae (keluarga jahejahean). Species budidaya yang sudah umum dimanfaatkan untuk berbegai keperluan antara lain adalah Zingiber officinale, Z. zerumbet dan Z. montanum. Marga ini sanagt aktif diteliti saat ini, beberapa jenis baru telah ditemukan dibeberapa studi (Smith 1988; Theilade 1998; Theilade 1999; Chaverach et.al. 2007; Kumar 2013). Kelompok tumbuhan ini umumnya ditemukan di habitat yang lembab dan pinggir hutan. Walaupun demikian sebenanrnya kelompok ini mampu hidup di berbagai habitat, dari dataran rendah sampai dataran tinggi. Di Sumatera Barat kelompok tumbuhan ini juga ditemukan kawasan bukit kapur. Kawasan bukit kapur diyakini mempunyai jenis flora yang specifik dan unik. Kawasan bukit kapur (limestone) membentuk suatu pemandangan alam yang khas sekali, dikenal dengan istilah karst. Ada yang disebut dengan karst kokpit, terdiri dari bukitbukit batu yang berbentuk kerucut atau setengah bola, berlekuk-lekuk dan mempunyai dinding yang cukup curam dengan kemiringan berkisar antara 30-40 derajat. Yang lainnya disebut dengan karst menara, seperti yang terdapat pada daerah-daerah aliran sungai di Payakumbuh yang terdiri dari bukit-bukit rendah, terpisah-pisah dengan sisi yang sangat terjal dan kemiringan bisa mencapai 60-90 derajat serta sering mempunyai terowongan didalamnya (Anwar et al., 1984). Sumatera Barat mempunyai kawasan bukit batu kapur (limestone) yang cukup luas dengan jalur utama membentang dari bagian utara daerah Payakumbuh sampai ke Selatan di Bukit Sabalah Sawahlunto Sijunjung, disamping beberapa lokasi lain yang terpencar–pencar. Penelitian ini memberikan infromasi jenis-jenis kelompok Zingiber yang ditemukan di bukit kapur Sumatera Barat. MATERI DAN METODE Studi Herbarium. Inventarisasi specimen dilakukan di Herbarium Andalas (ANDA) dan Herbarium Bogoriense (BO). Spesimen diidentifkasi berdasarkan karakter morfologi yang diamati. Survey Lapangan. Survey lapangan terbaru dilukan di beberapa tempat di Sumatera Barat. Spesimen disimpan di Herbarium Universitas Andalas (ANDA) Padang. PROSIDING, Copyright© 2016 32
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan inventarisasi dari specimen di ANDA, BO dan survey lapangan terbaru 5 species dari marga Zingiber ditemukan di kawasan bukit kapur Sumatera Barat (table 1). Tabel 1. Daftar jenis-jenis Zingiber di kawasan bukit kapur Sumatera Barat No 1 2 3 4 5
Species Zingiber gracile Zingiber kunstleri Zingiber montanum Zingiber zerumbet Zingiber sp.
Lokasi Lintau, Tanah Datar; Bukit Sabalah, Sijunjung Lintau, Tanah Datar; Taram, Lima Puluh Kota Kamang, Agam Lubuk Kilangan,, Padang Rimbo Panti, Pasaman
Zingiber gracile Herba teresterial, tinggi 2-4 m, rhizom beraroma, diameter rizom 2-4 cm, kulit bewarna putih, daging merah kecoklatan. Pelepah berwarna hijau terang, permukaan luar rambut halus pendek. Ligula ujung membulat berlekukberwarna krem. Daun 40-50 cm x 12-14 cm, oblanceolatus, ujung meruncing memanjang, tepi rata, berambut. Perbungaan tingginya 45-50 cm, arah tumbuh tegak, bentuk ovatus. Braktea 5,3-5,9 cm x 1,5-5,6 cm, merah muda, berbentuk oval, ujung membulat, permukaan luar rambut kusut. Corolla 3 berwarna kuning. Labellum berwarna kuning. Ovary berbentuk silinder, panjang 4-5 mm, berambut, kelenjar madu 2, berwarna kuning muda. Zingiber kunstleri Herba dengan tinggi 2-3 m. Rizom beraroma, diameter rizom sekitar 1,5 cm. Ligula ujung membulat, tidak berlobus. Daun 40-45 cm x 6-8 cm, lanceolatus, ujung meruncing memanjang. Perbungaan tinggi 63 cm, arah tumbuh tegak; conus 4-6 cm diameter, silinder, ujung membulat. Braktea 4-5 cm x 1-3 cm, berbentuk oval, ujung membulat, pola permukaan membujur, tepi tidak berambut, permukaan luar rambut halus pendek, bentuk ujung tertutup arah braktea saling menyatu. Torus berbentuk memanjang. Zingiber montanum Herba dengan tinggi 1-2 m. Rizom beraroma, bewarna putih pudar. Ligula ujung berbentuk membulat berlobus, berambut. Daun oblanceolatus, 25-30 cm x 7-7,5 cm, ujung meruncing memanjang, pangkal meruncing, tepi berambut. Perubungaan tegak, tinggi 30-35 cm; conus ellipsoid, ujung runcing. Braktea berbentuk oval, ujung membulat, pola permukaan membujur, warna hijau kecoklatan. Zingiber zerumbet Herba teresterial dengan tinggi 1-2 m. Rizom beraroma, daging rizom putih. Ligula ujung membulat, tidak berlobus, berwarna krem. Daun oblanceolatus, 25-30 cm x 7-8 cm, ujung meruncing memanjang, pangkal meruncing, tepi rata, berambut,, tulang daun berwarna hijau kekuningan. Perbungaan tegak, tinggi 50-60 cm, conus ellipsoid ujung membulat. Braktea oblanceolatus, 3-4 cm x 2-3 cm, warna hijau dengan pinggiran merah, ujung membulat, tepi berambut, permukaan luar kasar tidak berambut, bentuk ujung tertutup. Corolla berwarna putih, permukaan luar licin. Labellum berwarna putih dengan bagian tengah kuning. Ovary silinder, permukaan berambut, kelenjar madu berwarna kuning muda. Zingiber sp. Herba teresterial, berumpun, tinggi batang 2-3 m. Rizom dibawah permukaan tanah, aromatis, bewarna putih cream. Pelepah tipis, beralur, bewarna hijau kemerahan; ligula 1-2 mm. Lembaran daun oblong, 20– 30 x 7-8 cm, basis attenuate, apex caudate dengan perpanjangan 1-1,5 cm, margin rata, permukaan glabrous. Perbungaan muncul dari rizom, tegak diatas permukaan tanah, jumlah bunga per Infloresen 40-50 dengan 2-4 bunga mekar bersamaan, tinggi rachis 35-80 cm, pedunculus 15-20 cm, diliputi bractea-bractea steril. PROSIDING, Copyright© 2016 33
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Bractea steril: pada pedunculus ovatus, ujung acuminate putih kehijauan, 4-5 x 3-4 cm; pada rachis ovatus atau lanset, incurved, bewarna putih, 5-6 x 3-4, ujung acutis. Bractea fertil putih tansparan, panjangnya 8-10 mm, lebar 5-7 mm. Calyx transparan, menyatu pada basisnya, ujung runcing, panjang 3-4 cm, lebar 1-2 cm. Corolla : corolla tube orange muda, panjang 3-4 cm; petal 3, orange, panjang 2-3 cm, 1-1,5 cm, ujung runcing. Lip orange, transparan, lebar 1,5-2 cm. Stamen orange, melengkung. Biji banyak, berarilus, bewarna hitam. SIMPULAN Ditemukan 5 species Zingiber di kawasan Bukit kapur Sumatera Barat yakni Zingiber gracile, Z. kunstleri, Z. montanum, Z. zerumbet dan Zingiber sp. UCAPAN TERIMAKASIH Kami mengucapkan terimakasih kepada Universitas Andalas yang telah memfasilitasi penelitian dan seminar ini. Terimakasih juga diberikan kepada Herbarium Bogoriense yang telah mengizinkan melihat specimen Zingiber yang di simpan di BO. Ucapan terimakasih juga kami ucapkan kepada DIKTI, Kemetrian Ristek dan Pendidikan Tinggi atas dukungan dana untuk melakukan penelitian ini melalui Fundamental Riset. DAFTAR PUSTAKA Chaveerach A, Mokkamul P, Sudmoon R, Tanee T. 2007. A New Species of Zingiber (Zingiberaceae) from Northern Thailand. Taiwania [Internet].(cited 25 May 2013): 52(2):159-163.Availablefrom:http://tai2.ntu.edu.tw/taiwania/ pdf/tai.200.52.159.pdf. Kumar K, Mood J, SINGH SK, SINHA BK. 2013.A new species of Zingiber (Zingi beraceae) from Northeast India. Phytotaxa [Internet]. [cited 14 Feb.2013]; 77(4):6164.Availablefrom:http://biotaxa.org/Phytotaxa/article/view/phytotaxa.77.4.2 Smith RM. 1988. A Review of Bornean Zingiberaceae: V. (Zingiber). Notes From Royal Botanic Garden Edinburgh 45(3): 409-423. Availabel from: http://onlinelibrary.wiley.com/journal/10.111. Smith, R.M. 1985. A review of Bornean Zingiberaceae: 1 (Alpinieae). Notes from the Royal Botanical Garden Edinburgh 42: 295-314. Syamsuardi, Maideliza T, Nurainas, Mansyurdin, Susanti T. 2010. Diversity of Zingiberaceae in West Sumatra: Inferred from geographical isolation of Barisan Range [Hibah Pasca Sarjana Universitas Andalas]. Theilade I, Mood J. 1999. Six new species of Zingiber (Zingiberaceae) from Borneo. Nordic Journal of Botany [Internet]. [cited 2 may 2012]; 19 (5): 513-524. Theilade I. 1998. Revision of the genus Zingiber in Peninsular Malaysia. - Gardens Bull. Singapore 48: 207-236
PROSIDING, Copyright© 2016 34
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
STUDI TANAMAN PEKARANGAN PADA KAWASAN PINGGIR DAN PUSAT KOTA PADANG GARDEN PLANT STUDY IN THE COUNTRYSIDE AND CITY CENTER OF PADANG Zakiah Mustika*, Zuhri Syam, Solfiyeni Laboratorium Ekologi Tumbuhan Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Padang, 25163, Indonesia * e-mail :
[email protected] ABSTRAK Penelitian tentang Studi Tanaman Pekarangan pada Kawasan Pinggir dan Pusat Kota Padang telah dilakukan pada bulan Mei sampai September 2015. Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui komposisi dan struktur tanaman pekarangan pada kawasan pinggir dan pusat Kota Padang. Penelitian ini menggunakan metoda survey atau pengambilan data langsung di lapangan, adapapun cara pemilihan plot dilakukan secara purposive sampling dimana pekarangan sebagai plot dan rumah sebagai centre. Hasil penelitian menunjukkan pada wilayah pinggir kota ditemukan sebanyak 69 famili, 204 jenis dan 5660 individu, sedangkan pada wilayah pusat Kota Padang, ditemukan sebanyak 60 famili, 174 jenis dan 4081 individu. Famili yang sering muncul di wilayah pinggir kota adalah Euphorbiaceae dan Araceae, sedang untuk wilayah pusat kota adalah Poaceae dan Apocynaceae. Data didapat dari 10% total rumah berukuran 400 m2 di Kota Padang. Analisis data struktur menunjukkan bahwa pada wilayah pinggir kota, tanaman yang memiliki indeks nilai penting tertinggi adalah Cordyline fruticosa (5.413%) dan Manihot uttilisima (5.072%), sedang untuk wilayah pusat kota adalah Tabernaemontana sp. (9.296%) dan Euodia ridleyi (9.247%). Indeks keanekaragaman tergolong tinggi yaitu 4,83 untuk wilayah pinggir dan 4,69 untuk wilayah kota. Indeks kesamaan untuk kedua wilayah memiliki persentase 76.19%. Kata Kunci : komposisi, kota padang, pekarangan, struktur, tanaman ABSTRACT Research on a garden plant study in the countryside and the city center of Padang had been done starting from Mey till September 2015. The goal of this research is to find out the composition and the structure of the garden plant in the countryside and central of Padang area. This research uses a survey method or took the data by directly gather it from the field. The plot selection had been done by purposive sampling method where the garden or yard as plot and house as centre. The result shown that there were 69 families in countryside area, 204 types and 4081 individuals, while 60 families, 174 types, 4081 individuals was found in city centers. The family that often appears in the countryside are Euphorbiaceae and Araceae while in city centers are Poaceae and Apocynaceae. The data came from the 10 % amount of 400 m2 sized house in Padang. The analysis of structured data shown that in the countryside, the plant that indicate the index of highest important value is being Cordyline fruticosa (5.414%) and Manihotuttilisima (5.072%), while in city centers are Tabernaemontana sp. (9.296%) and Eudoiaridleyi (9.247%). The diversity index is quite high which shown 4,83 for countryside area and 4,69 for the city center area. The similarity index for both of the area is 76,19%. Keyword: composition, Padang, garden or yard, structure, plant
PROSIDING, Copyright© 2016 35
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN Jika mengkaji tentang pembangunan, maka teori modernisasi merupakan teori yang paling dominan menentukan wajah pembanguan Indonesia. Sekarang ini modernisasi semakin mendominasi masyarakat perkotaan maupun pedesaan. Penyerapan budaya luar yang instan dan minimalis, menjadikan hal tersebut lebih diminati setiap kalangan masyarakat. Akibatnya pembangunan bangunan modern yang gencar dilakukan akan sangat berpeluang dalam meminimkan usaha masyarakat untuk memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitar; seperti pemanfaatan lahan persawahan, perladangan ataupun pemanfaatan pekarangan sebagai salah satu usaha pencukupan kebutuhan keluarga. Menurut Sunu dan Wartoyo (2006), pekarangan merupakan agroekosistem yang sangat baik dan memiliki potensi dalam mencukupi kebutuhan pangan pemiliknya, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pemenuhan kebutuhan pasar, hingga dapat memenuhi kebutuhan nasional. Pemanfaatan lahan pekarangan juga berefek pada ketersediaan bahan-bahan kebutuhan sehari-hari yang bebas dari penggunaan pengawet dan zat kimia berbahaya yang dapat merusak tubuh karena pertumbuhannya dapat langsung dikontrol. Abdul, et al. (2013) menyatakan bahwa lahan pekarangan dapat memberikan manfaat yang sangat besar dalam menunjang kebutuhan gizi keluarga selain untuk keindahan, apabila dikelola secara optimal dan terencana. Kota Padang merupakan ibukota dari Provinsi Sumatera Barat; memiliki luas 694,96 km2 atau setara dengan 1,65 % dari luas total. Wilayah yang digunakan untuk lahan persawahan adalah 17,52 % atau 52.25 km2 dari luas kota, bangunan dan pekarangan seluas 29,01 % atau 62.63 km2 sedangkan sebagian besar Kota Padang atau 52,52 % merupakan hutan yang dilindungi pemerintah (BPS, 2014). Menurut Affandi (2002), bahwa sebagian besar penduduk Indonesia yang tinggal di pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan, umumnya memiliki pengalaman hidup dalam mengelola sumberdaya alam sekaligus dalam pemanfaatannya, salah satunya lahan pekarangan. Hal ini berbanding terbalik dengan masyarakat yang berada di kota. Modernisasi menuntun masyarakat untuk meninggalkan budaya lama, sehingga proses ini akan membentuk sebuah kondisi dimana tradisional berubah menjadi modern dalam segala aspek sosial budaya yang semakin hari semakin berkembang dan tak terelakan (Alimandan, 1995). Seperti halnya sebagian besar masyarakat perkotaan hanya menanam sedikit tanaman hias yang didatangkan langsung dari luar daerah, sehingga berakibat pada tergusurnya tanaman-tanaman asli yang kurang popular. Secara garis besar wilayah Kota Padang dibagi menjadi empat zona berdasarkan kerapatan jumlah penduduk. Pertama, Zona I yaitu wilayah berpenduduk padat sekaligus merupakan pusat administrasi, meliputi Kecamatan Padang Barat, sebagian Kecamatan Padang Utara, dan sebagian Kecamatan Padang Selatan. Kedua, Zona II yaitu wilayah berpenduduk cukup padat, merupakan wilayah pengembangan pemukiman meliputi sebagian Kecamatan Padang Utara, Kecamatan Padang Timur, sebagian Kecamatan Padang Selatan, Kecamatan Lubuk Begalung, dan Kecamatan Nanggalo. Ketiga, Zona III yaitu wilayah berpenduduk agak jarang merupakan pemukiman penduduk asli dengan pekerjaan utama bertani, meliputi Kecamatan Kuranji, Pauh, Koto Tangah, Lubuk Kilangan, Bungus Teluk Kabung, dan sebagian Kecamatan Nanggalo. Zona IV adalah wilayah konservasi/hutan lindung yang terletak di bagian Timur atau perbatasan dengan Kabupaten Solok dan Kota Solok (Winardi, 2013). Namun saat ini perkembangan kota padang mulai bergeser dari sebelumnya, dimana pusat pemerintahan perlahan dialih tempatkan ke Zona III dan perumahan modern mulai bermunculan di sudut kota. Melihat pembagian wilayah pemukiman yang tidak merata tersebut maka timbulah anggapan bahwa pertumbuhan penduduk yang pesat di Indonesia, selalu disertai dengan pertumbuhan daerah pemukiman baru baik di wilayah pedesaan maupun perkotaan. Pembukaan areal baru yang diciptakan melalui konversi daerah hutan atau lahan pertanian, PROSIDING, Copyright© 2016 36
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
sangat potensial menjadi lahan pemukiman. Perubahan fungsi dan peruntukan lahan tersebut akan berdampak secara langsung pada menurunnya luas lahan hutan dan atau lahan pertanian efektif sehingga dapat menurunkan keanekaragaman hayati dan berkurangnya produksi pertanian. Sedang modernisasi jika tidak disikapi dengan bijaksana, hal ini dapat menjadikan masyarakat melupakan cara bercocok tanam dan lebih memilih menjadi masyarakat yang konsumtif (Dintje dan Arrijani, 2003). Adanya perbedaan cara pandang dari nilai budaya yang terjadi saat ini, diduga dapat menyebabkan perbedaan komposisi dan struktur serta kecendrungan pemilihan tanaman pekarangan pada masing-masing daerah berdasarkan modernisasi di sekitar masyarakat, sehingga dapat menjadi sumber informasi dan bermanfaat untuk penelitian selanjutnya. Oleh karena itu, penelitian tentang “Studi Tanaman Pekarangan Pada Kawasan Pinggir dan Pusat Kota Padang” ini perlu dilakukan. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan selama 5 bulan, mulai dari bulan Mei - September 2015. Pengambilan sampel tanaman pekarangan dilakukan di Kota Padang pada wilayah bagian pinggir dan pusat kota. Selanjutnya diidentifikasi komposisi tanaman di Herbarium dan dianalisis struktur tanaman di Laboratorium Ekologi, Jurusan Biologi, Universitas Andalas. Penelitian ini menggunakan metode survey yang memfokuskan penelitian pada komposisi dan struktur tanaman pekarangan pada kawasan pinggir dan pusat Kota Padang. Lokasi yang dipilih terdiri dari 4 kecamatan, dimana untuk bagian pinggir kota adalah Kecamatan Bungus Teluk Kabung dan Kecamatan Koto Tangah, sedangkan untuk pusat kota adalah Kecamatan Padang Utara dan Kecamatan Padang Barat. Pekarangan yang dipilih adalah luas total tanah sebesar 400 m2, dimana pada setiap wilayah diambil masing-masing 10% (Rina, 2012) untuk jumlah keseluruhan pekarangan yang memenuhi ketentuan per kecamatan. Berdasarkan data dari Kantor Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2015, telah didapatkan untuk wilayah pinggir kota; 51 rumah untuk Kecamatan Koto Tangah dan 3 rumah untuk Kecamatan Bungus Teluk Kabung, sedangkan untuk wilayah pusat Kota; 33 rumah untuk Kecamatan Padang Utara dan 3 rumah untuk Kecamatan Padang Barat. Sehingga total pekarangan adalah 90 plot contoh. Pencuplikan sampel penelitian dilakukan dengan metode purposive sampling, dimana pekarangan dijadikan sebagai plot dan rumah sebagai sentral. Didalam plot dilakukan pengamatan tata letak dari tanaman. Kemudian diamati jenis-jenis dan jumlah individu masingmasing tanaman yang ditemukan. Tata cara pengumpulan data yaitu semua data diperoleh dari pengoleksian sampel dan penghitungan secara langsung di lapangan. Sedangkan data lainnya meliputi luas wilayah, jumlah penduduk, kepadatan penduduk, jumlah rumah dan luas kepemilikan tanah masing-masing warga, serta pengukuran terhadap faktor lingkungan yang meliputi suhu, kelembaban udara dan ketinggian tempat dari permukaan laut dikumpulkan dari Kantor Pajak Bumi dan Bangunan Kota Padang dan Badan Pusat Statistik Kota Padang. Seluruh sampel yang telah didapatkan di analisis di laboratorium. Untuk semua tanaman yang ditemukan dibuatkan dalam suatu tabel yang berisi data famili, genus, jenis dan jumlah individu masing-masing jenis. Kemudian dihitung famili dominan dan dilanjutkan dengan analisa struktur. Analisis data 1. Komposisi jenis Seluruh sampel yang telah didapatkan dianalisis di laboratorium. Untuk semua sampel tanaman yang ditemukan dibuatkan dalam suatu tabel yang berisi data famili, genus, jenis dan jumlah individu masing-masing jenis. Famili dominan dan co-dominan Famili dominan dan co-dominan ditentukan dengan persamaan berikut : PROSIDING, Copyright© 2016 37
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Komposisi famili =
jumlah individu suatu famili x 100% jumlah total individu
Famili dikatakan dominan jika memiliki nilai persentase >20 % selanjutnya suatu famili dikatakan Co-dominan bila memiliki nilai persentase 10 – 20 % (Johnston and Gilman, 1995). 2. Struktur Jenis Indeks Nilai Penting Nilai Penting adalah angka yang menggambarkan tingkat penguasan suatu jenis dalam vegetasi.Nilai penting didapatkan dengan menjumlahkan persentase Kerapatan Relatif dan Frekuensi Relatif. Dengan persamaan sebagai berikut: Kerapatan jenis
= jumlah individu suatu jenis luas plot pengamatan
Kerapatan relatif (KR)
= kerapatan suatu jenis x 100% kerapatan total
Frekuensi jenis
= jumlah plot yang ditempati suatu jenis jumlah semua plot pengamatan
Frekuensi relative (FR)
= frekuensi suatu jenis x 100% frekuensi total
Nilai Penting (NP)
= kerapatan relatif (KR) + frekuensi relative(FR) (Fachrul, 2007) Indeks keanekaragaman jenis (index Shannon) H′
ln
Keterangan : H’ = indeks keanekaragaman jenis pi = ni/N ni = jumlah individu jenis ke i N = jumlah semua individu Indeks kesamaaan Sorensen Q/S
2 A
J B
Keterangan : Q/S = indeks kesamaan J = jenis sama untuk lokasi yang dibandingkan A = jumlah total spesies pada lokasi A B = jumlah total spesies pada lokasi B 1986)
100%
(Michael,
HASIL 1. Komposisi Tanaman Pekarangan Kota Padang Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan tentang studi tanaman pekarangan pada wilayah pinggir Kota Padang, ditemukan sebanyak 69 famili, 204 jenis dan 5660 individu. Sedangkan untuk wilayah pusat Kota Padang, ditemukan 60 famili, 174 jenis dan 4081 individu. PROSIDING, Copyright© 2016 38
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Famili utama tanaman pekarangan pada wilayah pinggir Kota Padang Jumlah
Famili
Jenis 10 22 6 6 4 8 4 7 10 8
Euphorbiaceae Araceae Poaceae Amaranthaceae Liliaceae Rutaceae Zingiberaceae Apocynaceae Arecaceae Asparagaceae
Individu 519 511 420 313 312 287 260 244 219 217
Persentase famili (%) 9.16 9.02 7.42 5.53 5.51 5.07 4.59 4.31 3.86 3.83
Tabel 2. Famili utama tanaman pekarangan pada wilayah pusat Kota Padang Jumlah
Famili
Jenis 6 8 9 5 6 20 9 5 4 2
Poaceae Apocynaceae Euphorbiaceae Rutaceae Amarylidaceae Araceae Asparagaceae Solanaceae Liliaceae Lyrtaceae
Individu 535 404 353 326 244 219 201 177 176 111
Persentase famili (%) 13.11 9.89 8.64 7.98 5.97 5.36 4.92 4.33 4.31 2.71
2. Struktur Tanaman Pekarangan Kota Padang Berdasarkan penelitian, terdapat 378 jenis tanaman pekarangan yang ditemukan di kota Padang dengan total 9741 individu. Tanaman pekarangan disusun atas beberapa kelompok berdasarkan fungsi dalam masyarakat: tanaman hias, buah, obat, sayuran, rempah dan industri. Tabel 3. Struktur tanaman pekarangan utama pada wilayah pinggir Kota Padang Spesies Cordyline fruticosa (L.) A. Chev. Manihot uttilisima Pohl Sansevieria trifasciata Prain Cymbopogon citrates (DC.) Stapf Curcuma domestica Valeton Ixora javanica (Blume) DC. Musa paradisiaca L. Euodia ridleyi Hochr. Mangifera indica L. Theobroma cacao L.
KR (%) 4.310 3.568 2.614 1.855 2.438 3.180 2.773 2.544 1.060 2.685
FR (%) 0.898 1.225 1.960 2.369 1.879 1.225 1.225 1.388 2.532 1.143
INP (%) 5.413 5.072 5.020 4.761 4.743 4.683 4.277 4.247 4.166 4.088
Tabel 4. Struktur tanaman pekarangan utama pada wilayah pusat Kota Padang Spesies Tabernaemontana sp. Euodia ridleyi Hochr. Pennisetum purpureum Schumach. Adenium obesum (Forssk.) Roem. & Thomson Axonopus compressus (Sw.) P. Beauv. Capsicum annum L. Manihot uttilisima Pohl Bougainvillea sp. Dracaena surculosa Lindl Cuphea hyssopifolia Kunth
KR (%) 7.20 7.15 7.84 1.71 3.60 3.43 2.35 1.053 1.127 2.69
FR (%) 1.759 1.759 0.586 2.639 0.733 0.586 1.319 2.346 2.052 0.733
INP (%) 9.296 9.247 8.538 4.854 4.474 4.128 3.922 3.844 3.568 3.567
PROSIDING, Copyright© 2016 39
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 5. Persentase jumlah tanaman pekarangan berdasarkan fungsi untuk wilayah pinggir dan pusat Kota Padang No. 1 2 3 4 5 6 Jumlah
Jenis Hias Rempah Industri Buah Sayur Obat
Jumlah Tanaman Pinggir Kota Pusat Kota 121 117 14 8 7 4 30 23 14 9 18 13 204 174
% 62.96 5.82 2.91 14.02 6.08 8.2 99.99
Nb : Jenis yang sama memungkinkan berada pada masing-masing wilayah. 3. Indeks Keanekaragaman Jenis Jumlah tanaman yang ditemukan untuk wilayah pinggir cenderung lebih banyak dari pada wilayah pusat kota. Hal ini dikarenakan kemampuan masyarakat pinggir kota lebih mahir dalam mengelola tanaman dari pada masyarakat pusat kota. Terdapat 204 jenis yang ditemukan di wilayah pinggir kota dan 174 jenis di wilayah pusat kota. Tabel 6. Indeks keanekaragaman tanaman pekarangan pinggir dan pusat Kota Padang No. 1. 2.
Wilayah Pinggir kota Pusat kota
Indeks keanekaragaman (H’) 4,83 4,69
Ket. Tinggi Tinggi
4. Indeks Kesamaan Jenis Berdasarkan jumlah keseluruhan jenis yang ditemukan, maka didapatkan kesamaan antara kedua wilayah sebagai berikut; Tabel 7. Indeks Kesamaan (IS) Jenis tanaman pekarangan pinggir dan pusat Kota Padang No. 1. 2. Jumlah
Wilayah Pinggir kota Pusat kota
Total spesies 204 174 378
Total spesies sama
IS (%)
144
76.19 %
PEMBAHASAN 1. Komposisi Tanaman Pekarangan Kota Padang Pada wilayah pinggir kota Padang, untuk 54 pekarangan contoh ditemukan 69 famili dengan jumlah jenis dan jumlah individu yang berbeda beda. Jumlah jenis yang lebih banyak atau lebih sedikit akan berpengaruh pada persen famili dominan yang didapatkan setelah dihitung keseluruhan dengan jumlah individu suatu jenis yang ditemukan. Famili Araceae merupakan famili dengan jumlah jenis terbanyak di pekarangan pinggir kota Padang, terdapat 22 jenis dengan 511 individu.Tanaman yang termasuk jenis keladi-keladian ini paling sering muncul di pekarangan, dimana beberapa diantaranya adalah Alocasia sanderiana, Anthurium plowmanii, Dieffenbachia amoema, Aglaonema hybrid, Caladium bicolor dan Colocasia esculenta. Suku Araceae atau di Indonesia menyebutnya dengan keladi-keladian atau talastalasan merupakan tumbuhan herba yang dikenal sebagai tanaman hias pekarangan, misalnya marga Aglaonema dan Anthurium. Suku ini tergolong ke dalam suku dengan bunga majemuk atau perbungaan yang terdiri atas seludang menyerupai jubah yang menyelubungi tongkol berdaging didalamnya. Bunga sejati melekat pada bagian tongkol tersebut (Mayo et al., 1997; Bown, 1988). PROSIDING, Copyright© 2016 40
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Famili lain yang ditemukan adalah Euphorbiaceae dan Arecaceae, dimana untuk masing-masingnya memiliki 10 jenis tanaman. Jumlah jenis yang sama tidak berpengaruh pada persentase famili untuk kedua famili ini karena jumlah individu yang jauh berbeda. Famili Euphorbiaceae memiliki 519 individu sedangkan famili Arecaceae memiliki 219 individu sehingga menjadikan famili Euphorbiaceae memiliki persentase famili lebih tinggi dibandingkan famili Arecaceae. Adapun beberapa jenis yang didapatkan untuk famili Euphorbiaceae adalah Codiaeum variegatum, Euphorbia milii, Euphorbia tirucalli, Excoecaria cochinchinensis, Manihot utilissima dan Pedilanthus bracteatus. Famili Euphorbiaceae dikenal memiliki kemampuan untuk beradaptasi diberbagai tipe daerah tropik (Whitemore, 1984). Selain itu Riswan (1982) mengatakan famili Euphorbiaceae memiliki kemampuan adaptasi relatif tinggi pada berbagai kondisi lingkungan. Sedangkan untuk famili Arecaceae adalah Areca catechu, Cocos nucifera, Chrysalidocarpus lutescens, Cyrtostachys renda, Elaeis guineensis dan Hyophorbe lagenicaulis. Salah satu flora yang tumbuh subur dan dimanfaatkan oleh masyarakat adalah famili Arecaceae. Famili Arecaceae merupakan suatu kelompok tumbuhan yang biasa disebut palma atau palem yang tumbuh didaerah pesisir, namun demikian ada juga beberapa dari famili Arecaceae ini yang tumbuh dihutan bebas. Jenis tumbuhan ini penggunaannya sangat luas, baik untuk kerajinan tangan, obat-obatan maupun untuk kebutuhan sehari-hari (Nurmaliah dan Restiani, 2011). Selain terdapat beberapa famili yang ditemukan hampir disemua pekarangan contoh, famili Agavaceae, Araucariaceae, Aspleniaceae, Basellaceae, Caricaceae, Casuarinaceae, Cupreaceae, Clusiaceae, Combretaceae, Compositae, Convolvulaceae, Crassulaceae, Cycadaceae, Equisetaceae, Gnetaceae, Hamamelidaceae, Heliconiaceae, Iridaceae, Lauraceae, Marantaceae, Muntingiaceae, Musaceae, Oleaceae, Pandanaceae, Passifloraceae, Sapotaceae, Saxifragaceae, Xanthorrhoeaceae, Thymelaeaceae dan Zamiaceae merupakan famili yang hanya memiliki satu jenis tanaman untuk semua pekarangan contoh, dimana untuk keseluruhan famili tersebut famili Cupreaceae dan Thymelaeaceae adalah famili dengan jumlah terendah yaitu hanya memiliki satu jenis dan satu individu. Adapun jenisnya adalah Platycladus orientalis untuk famili Cupreaceae dan Phaleria macrocarpa untuk Thymelaeaceae. Famili dominan pada suatu vegetasi jika memiliki persentase > 20% dari total individu, sedangkan jika persentase > 10% namun < 20% dinyatakan sebagai co-dominan (Johnston dan Gillman, 1995). Merujuk pada penyataan tersebut, ditemukan bahwa hasil pengamatan keseluruhan untuk pekarangan yang ada di pinggir kota yaitu tidak didapatkan famili dominan ataupun family co-dominan. Pada wilayah pusat kota Padang, dari 36 pekarangan contoh ditemukan 60 famili dengan total 174 jenis tanaman. Pekarangan yang umum ditemukan di pusat kota adalah pekarangan dengan luas ±1/3 dari luas tanah keseluruhan, dimana sebagian besar pekarangan terdapat di depan rumah. Tanaman yang umum ditemukan adalah tanaman hias yang dijadikan sebagai pagar tanaman untuk mencegah air hujan langsung mengenai dinding rumah seperti Tabernaemontana sp., Euodia ridleyi atau Neomarica longifolia, tanaman keladi-keladian seperti Alocasia sanderiana, Aglaonema hybrid dan Dieffenbachia sp. serta tanaman berkayu untuk pelindung rumah dari cahaya matahari seperti Mangifera indica dan Casuarina equisetifolia. Famili Poaceae ditemukan sebagai famili dengan jumlah individu terbanyak yaitu 535 individu yang dibagi dalam 6 jenis tanaman serta memiliki persentase famili sebesar 13.11%, beberapa jenis diantaranya adalah Pennisetum purpureum, Zoysia japonica dan Axonopus compressus. Famili Poaceae digunakan masyarakat pusat kota sebagai tanaman penutup tanah, selain bentuknya yang minimalis, tanaman ini juga lebih mudah dalam segi perawatan. Sedangkan untuk famili dengan jumlah individu terbanyak selanjutnya adalah famili Apocynaceae, beberapa jenis diantaranya yaitu Adenium obesum, Tabernaemontana sp. dan Wrightia antidysenterica. Namun untuk jenis tanaman, famili Araceae memiliki jumlah jenis PROSIDING, Copyright© 2016 41
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
terbanyak yaitu 22 jenis yang selalu muncul di setiap pekarangan rumah. Bentuk dan warnanya yang beragam serta tidak memerlukan perawatan ekstra menjadikan tanaman dari famili ini banyak diminati. Berdasarkan persentase famili yang didapatkan, famili Poaceae merupakan famili dengan nilai persentase terbanyak. Sama halnya dengan pekarangan di pinggir kota, pada pekarangan di pusat kota tidak ditemukan famili dominan. Namun famili Poaceae termasuk dalam famili co-dominan jika merujuk pada pernyataan dari Johnston dan Gillman (1995) dengan persentasi mencapai > 10%. Christanty (1990) juga menyatakan bahwa tipe dasar pekarangan, baik sebagai pekarangan desa maupun pekarangan kota, dapat dikategorikan berdasarkan tanaman yang dominan dan fungsi utama tanaman di pekarangan. 2. Struktur Tanaman Pekarangan Kota Padang Pada wilayah pinggir Kota Padang ditemukan sebanyak 204 jenis yang terbagi menjadi 5660 individu. Berdasarkan jumlah, kerapatan dan frekuensi kemunculan jenis yang paling banyak ditemukan adalah Cordyline fruticosa dengan indeks nilai penting 5.413 %. Jenis Cordyline fruticosa merupakan tumbuhan perdu tegak yang memiliki sedikit atau jarang bercabang. Tanaman ini merupakan sekelompok tumbuhan monokotil berbatang yang sering dijumpai ditaman sebagai tanaman hias atau tumbuh liar di pagar, di pekuburan sebagai tanaman hias. Tanaman Cordyline fruticosa berasal dari Asia Timur dan terdapat di dataran rendah sampai 1.900 m di atas permukaan laut (Prahasti et al., 2014). Dari kesepuluh tanaman utama yang memiliki indeks nilai penting tertinggi, 6 diantaranya adalah tanaman yang dimanfaatkan masyarakat untuk kebutuhan sehari-hari, baik untuk mencukupi kebutuhan pangan ataupun sebagai sumber pendapatan tambahan keluarga, sedang 4 sisanya adalah tanaman hias yang sering dijumpai di halaman depan rumah. Pada wilayah pusat kota tanaman dengan indeks nilai penting tertinggi adalah Tabernaemontana sp. dengan nilai 9,296 %. Tanaman ini merupakan salah satu tanaman hias yang sering ditemukan di pekarangan rumah di Kota Padang, memiliki bunga kecil berwarna putih dan sering digunakan sebagai tadah hujan di depan pagar. Di tempat kedua adalah Euodia ridleyi atau lebih dikenal dengan kuning kribo atau brokoli kuning dengan nilai 9,247 %, memiliki fungsi yang sama seperti Tabernaemontana sp. sehingga cukup sering di temukan di pekarangan rumah. Penduduk Indonesia yang sebagian besar tinggal di pedesaan dan berada di sekitar kawasan hutan, umumnya memiliki pengalaman hidup dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam. Desa memiliki potensi lahan yang cukup besar dibandingkan dengan daerah perkotaan (Affandi, 2002). Hal ini dapat dilihat dari banyaknya jenis tanaman serta keanekaragaman fungsi tanaman dalam masyarakat pedesaan dibandingkan masyarakat perkotaan. Berdasarkan hasil penelitian Dharma (2008), ditemukan untuk jenis tanaman sebagaimana fungsinya di masyarakat, hasil penelitian tersebut menyatakan tanaman hias ditemukan lebih banyak dari tanaman jenis lainnya, kemudian disusul oleh tanaman buah dan tanaman obat. Berdasarkan jumlah jenis tanaman yang ditemukan pada penelitian ini, tanaman hias jauh lebih banyak dari penelitian sebelumnya yaitu 238 jenis untuk kedua wilayah, sedang pada penelitian sebelumnya hanya berjumlah 76 jenis. Serupa juga dengan hasil penelitian dari Qomarudin (2012), tentang identifikasi dan inventarisasi tanaman pekarangan rumah penduduk di Kecamatan Pacitan dan Laren, Kabupaten Lamongan Jawa Timur, didapatkan hasil untuk wilayah pinggir atau hulu yang tidak berbeda jauh dari wilayah yang dekat dengan pantai, dimana tanaman hias lebih unggul dalam jumlah, kemudian diikuti oleh jumlah tanaman buah dan tanaman obat. Hal ini dapat menggambarkan bahwa pekarangan yang ada di pinggir kota cenderung memilih tanaman hias sebagai tanaman penutup lahan, ini dilihat dari jumlah tanaman yang didapatkan pada masing-masing wilayah. Pada setiap jenisnya, tanaman yang terdapat di PROSIDING, Copyright© 2016 42
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
pinggir kota lebih banyak dari tanaman di pusat kota. Semakin ke hulu, rasio jumlah spesies tanaman hias semakin tinggi. Akan tetapi berdasarkan jumlah individu tanaman, rasio jumlah individu tanaman hias di tengah lebih besar daripada di hulu maupun di hilir. Iklim yang sejuk di hulu dan tengah sesuai untuk pertumbuhan tanaman hias. Jumlah individu tanaman hias per pekarangan yang besar di daerah tengah disebabkan rata-rata luas pekarangan di tengah lebih besar daripada hulu. Di hilir, meskipun rata-rata luas pekarangannya lebih besar daripada di tengah, tetapi iklimnya lebih sesuai untuk pertumbuhan tanaman keras, buah-buahan dan lainlainnya (Arifin, 2003). 3. Indeks Keanekaragaman Jenis Tingkat keanekaragaman tumbuhan untuk kedua wilayah pusat dan pinggir kota Padang tergolong tinggi, dimana untuk kedua wilayah memiliki indeks keanekaragaman jenis> 3. Pada wilayah pinggir Kota Padang H’ yang didapatkan adalah 4,83, sedangkan untuk pusat Kota Padang adalah 4,69. Hasil dikatakan demikian setelah disesuaikan dengan pernyataan Shannon and Weaver (1949); Southwood dan Henderson (2000), dimana jika semakin besar nilai H’ maka akan menunjukkan tingginya nilai keanekaragaman jenis. Besarnya nilai keanekaragaman jenis dikategorikan menjadi 3 yaitu apabila H’ besar dari 3 maka keanekaragaman tinggi. Jika H’ besar dari 1 namun kecil atau sama dengan 3 maka keanekaragaman sedang dan apabila H’ kecil dari 1 maka keanekaragaman rendah. Indriyanto (2006), menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman jenis yang rendah jika komunitas tersebut disusun oleh sedikit jenis dan jika hanya ada sedikit saja jenis yang dominan, sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman yang tinggi dimana komunitas tersebut disusun oleh banyak jenis. Selain itu indeks keanekaragaman dapat diartikan sebagai suatu penggambaran secara sistematik yang melukiskan struktur komunitas dan dapat memudahkan proses analisa informasi-informasi mengenai macam dan jumlah organisme. Keanekaragaman dan kesamaan sangat tergantung pada banyaknya jenis dalam komunitasnya. Semakin banyak jenis yang ditemukan maka keanekaragaman akan semakin besar, meskipun nilai ini sangat tergantung dari jumlah individu masing-masing jenis (Wilhm dan Doris, 1986). Pendapat ini juga didukung oleh Krebs (1985), yang menyatakan bahwa semakin banyak jumlah anggota individunya dan merata, maka indeks keanekaragaman juga akan semakin besar. Pemanfaatan lahan pekarangan untuk ditanami berbagai jenis tumbuhan perlu terus digalakkan agar keanekaragaman hayati pada lahan pemukiman tetap tinggi dan produksi pertanian dapat dipertahankan atau menaikkan daya dukung lingkungan melalui penghijauan dalam sistem pekarangan. Penghijauan pekarangan ini dapat dicapai dengan menaikkan keanekaragaman tanaman yang sekaligus berguna untuk konservasi sumber daya alam dan lingkungan, sehingga pekarangan mempunyai fungsi ganda yaitu integrasi dari fungsi alam hutan dengan fungsi pemenuhan kebutuhan sosial, budaya, dan ekonomi. Fungsi tersebut meliputi fungsi hidrologi, pencagaran sumberdaya genetik, efek iklim mikro, sosial, produksi, dan estetika(Soemarwoto, 1989; Christanty, 1990). 4. Indeks Kesamaan Jenis Total jenis yang ditemukan pada wilayah pinggir dan pusat kota Padang adalah 378 jenis, dimana setelah dibandingkan terdapat 144 diantaranya adalah jenis yang sama. Sehingga setelah dilakukan penghitungan dengan menggunakan rumus indeks kesamaan jenis Sorensen maka didapatkan 76.19 % kesamaan untuk kedua wilayah. Nilai ini menunjukkan bahwa tingkat kesamaan antara kedua wilayah cukup tinggi. Hal tersebut dapat terjadi karena perbedaan kondisi lingkungan dan jarak lokasi yang tidak begitu jauh, sehingga penyebaran jenis tanaman dapat terjadi dengan mudah, namun untuk famili dan jenis yang sering ditemukan untuk masing-masing wilayah cukup memiliki perbedaan yang signifikan. Hal ini didukung oleh pernyataan yang dikemukakan oleh Whitten (1987), yang melaporkan bahwa PROSIDING, Copyright© 2016 43
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
vegetasi alami yang tumbuh di daerah tertentu bergantung pada berbagai faktor seperti, kimia tanah, air tanah, iklim, tinggi di atas permukaan laut, jarak dari laut, dan jarak dari daerah yang mempunyai kondisi serupa. Menurut Poerwanto (2000), pemanfaatan lahan tidak hanya dipengaruhi oleh faktor ekonomi dan biofisik semata, melainkan pula oleh faktor sosial budaya. Indeks kesamaan merupakan komposisi setiap individu pada suatu spesies yang terdapat dalam suatu komunitas, serta pendugaan yang baik untuk menentukan dominansi dalam suatu area. Levinton (1982), menyatakan apabila satu atau beberapa jenis melimpah dari yang lainnya, maka indeks kesamaan akan rendah. Kemudian Jonathan (1979) juga menambahkan bahwa jika nilai indeks kesamaan melebihi 75% mengindikasikan derajat kesamaan komunitasnya tinggi. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dari Studi Tanaman Pekarangan pada Kawasan Pinggir dan Pusat Kota Padang, maka dapat disimpulkan komposisi jenis tanaman pada wilayah pinggir Kota Padang ditemukan sebanyak 69 famili, 204 jenis dan 5660 individu, sedangkan pada wilayah pusat Kota Padang, ditemukan sebanyak 60 famili, 174 jenis dan 4081 individu. Famili yang sering muncul di wilayah pinggir kota adalah Euphorbiaceae dan Araceae, sedang untuk wilayah pusat kota adalah Poaceae dan Apocynaceae. Pada wilayah pinggir kota, jenis yang memiliki indeks nilai penting tertinggi adalah Cordyline fruticosa (5.413%) dan Manihot uttilisima (5.072%), sedang untuk wilayah pusat kota adalah Tabernaemontana sp. (9.296%) dan Euodia ridleyi (9.247%). Indeks keanekaragaman tergolong tinggi yaitu 4,83 untuk wilayah pinggir dan 4,69 untuk wilayah kota. Indeks kesamaan untuk kedua wilayah memiliki persentase 76.19%. DAFTAR PUSTAKA Abdul, R., Rahmawaty, D. Budiati, T. J.Said, 2013. Sistem Pertanian Terpadu Di Lahan Pekarangan Mendukung Ketahanan Pangan Berkelanjutan Dan Berwawasan Lingkungan. Jurnal online Pertanian Tropik Pasca Sarjana FP USU Vol.1, No.1. Juni 2013 Affandi, O. 2002. Home garden : sebagai salah satu sistem agroforestry lokal : Studi Kasus di Daerah Krui, Lampung. Medan: Draft Journal Penelitian Fakultas Pertanian Universitas Islam Sumatera Utara (UISU). Alimandan. 1995. Sosiologi Masyarakat Sedang Berkembang. C.V. Rajawali. Jakarta Arifin, H. S., M. A. Sardjono, L. Sundawati, T. Djogo, G. A. Wattimena, & Widianto. 2003. Bahan Latihan: Agroforestri di Indonesia. Agroforestri Kompleks: Pola Dan Struktur Pekarangan Pedesaan Di Kawasan Das Cianjur, Jawa Barat. Bogor: World Agroforestry Center (ICRAF). BPS Kota Padang. 2014. E-book : Padang Dalam Angka 2014. BPS Kota Padang. Padang Christanty, L. 1990. Home gardens in tropical Asia, with special referenceto Indonesia. In Landauer, K. and M. Brazil (eds.). Tropical Home Gardens. Tokyo: United Nations University Press. Dharma, Y. 2008. Studi Tanaman Pekarangan di Kota Padang. Skripsi. Padang: Universitas Andalas. Dintje, F. P., Arrijani. 2003. Keanekaragaman Tnaman Pekarangan di Kota Tomohon, Sulawesi Utara. Jurnal Pascasarjana institut Pertanian Bogor. BioSMART. Vol. 6. No. 1. April 2004. Fachrul, M. F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta: Bumi Aksara. Johnston, M. Gillman. 1995. Tree population Studies in low diversity forest, Guyana. I. Floristic Composition and Stand Structure. Biodiversity and Conservation 4; 339 – 362. PROSIDING, Copyright© 2016 44
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Jonathan, L.R. 1979. Dimensions of Ecology. NewYork: Oxford University Press. Krebs, C.J. 1985. Ecology: The Experimental Analysis of Distributions and Abundance. Ed. New York: Harper and Row Publishers Levinton, J. S. 1982. Marine Biology. New Jersey. USA: Prentice Hall Inc. Mayo, J. S., J. Bogner and P. C. Boyce. (1997). The Genera of Araceae. Belgium: The European Union:Continental Printing. Michael, P. 1986. Ecological Methods for Field and Laboratory Investigation. New Delhi: Tata Mc. Graw-Hill Publishing Limited. Nurmaliah, C.& I. Restiani. 2011. Etnobotani Family Arecaceae Kabupaten Aceh Barat Daya. Prosiding Seminar Nasional Biologi : Meningkatkan Peran Biologi dalam Mewujudkan National Achievement with Global Reach. Medan: USU Press. Poerwanto, Hari. 2000. Kebudayaandan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Yogyakarta: Pustaka Belajar. Prahasti E. A., Tukiran, Suyatno, dan N. Hidayati. 2014. Eksplorasi Tumbuhan Obat di Desa Lebani Waras Kecamatan Wringinanom Kabupaten Gresik. Prosiding Seminar Nasional Kimia, ISBN : 978-602-0951-00-3. Surabaya: Universitas Negri Surabaya. Qomarudin, M. 2012. Identifikasi dan Inventarisasi Tanaman Pekarangan Rumah Penduduk di Kecamatan Paciran dan Laren, Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Skripsi. Bogor:IPB. Rina, D. N. 2012. Komposisi DAN Struktur Tanaman Pekarangan Dataran Tinggi di Nagari Alahan Panjang Kabupaten Solok. Skripsi. Padang: Universitas Andalas. Riswan, S. 1982. Ecological Studies In Primary, Secondary and Experimentally Cleared Mixed Forest Depterocarp Forest and Kerangas Foret In East Kalimantan Indonesia. Tesis. Aberdeen: University of Aberdeen. Shannon, C.E. and W. Weaver. 1949. The Mathematical Theory of Communication. Urbana. Urbana: University of Illinois Press. Soemarwoto, O. 1989. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Bandung: Djambatan. Southwood, T.R.E. and P.A. Henderson. 2000. Ecological Methods (3rd Edition). Oxford: Blackwell Science. Sunu, P dan Wartoyo. 2006. Buku Ajar Dasar Holtikultura. Surakarta: Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret. Whitmore, T. C. 1984. Tropical Rain Forest of the Far East. 2ndEdition. Oxford: Oxford Univercity Press. Whitten, A.J., M. Mustafa, dan G.S. Henderson. 1987. Ekologi Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah Mada University. Wilhm, J.L., and T.C. Doris. 1986. Biologycal Parameter for water quality Criteria. Bio. Science: 18. Winardi. 2013. Profil Pertanian Terpadu Lahan Pekarangan Di Kota Padang: Tinjauan Budidaya Pertanian. Jurnal online Pertanian Tropik Pasca Sarjana FP USU. Vol.1, No.1. Juni 2013.
PROSIDING, Copyright© 2016 45
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
RAGAM KELAPA (Cocos nucifera L., Familia Arecaceae) DI NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG Eniek Kriswiyanti, I Ketut Junitha dan Sudaryanto Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana Email:
[email protected] ABSTRAK Eksplorasi tanaman kelapa di beberapa desa wilayah pulau Nusa Penida kabupaten Klungkung telah dilakukan pada bulan September 2014, bertujuan untuk mengetahui ada berapa ragam kelapa di Nusa Penida. Penelitian dilakukan dengan wawancara dan observasi karakter morfologi dari masing-masing ragam. Berdasar karakter batang, daun, bunga dan buah di Nusa Penida ditemukan 22 ragam kelapa, terdiridari 18 ragam kelapa : Gadang, Gading, Coklat, Barak, Bojog, Bulan, Tuwet, Rangda, Bingin, Surya, Udang, Mulung, Buta, Batu, Kacek, Matepat, Be Julit, dan kelapa Sudamala semua memiliki karangan bunga tongkol majemuk (spadix) tergolong dalam varietas kelapa Dalam (Cocos nucifera L. var. typica). Satu ragam kelapa Bluluk dengan karangan bunga bulir (spicata) termasuk dalam varietas spicata (Cocos nucifera L. var. spicata), dan 3 ragam kelapa tidak memiliki bole, dengan bunga spadix termasuk dalam varietas kelapa genjah (Cocos nucifera L. var. nana) yaitu genjah Gadang, Gading dan genjah Bulan. Kata kunsi: eksplorasi, ragam kelapa, spadix, spicata ABSTRACT The exploration of coconut in Nusa Penida island of Klungkung regency was conducted on September 2014. This research aimed to determine coconut variance in Nusa Penida. The data was collected by interviewing the community at Nusa Penida to identify the name and the specific characters of the coconuts they knew, and field observations to identify the morphology characters. Based on the characters of trunk, leaf, fruit and flower, 22 variances were found from the coconut plans in Nusa Penida Island. Eighteen coconut plans formed spadix inflorescentia i.e: Gadang, Gading, Coklat, Barak, Tuwet, Rangda, Surya, Udang, Mulung, Bulan, Bingin, Buta, Batu, Kacek, Matepat, Be Julit, Bojogand Sudamale coconuts, which belongs to tall coconut (Cocos nucifera L. var. typica ). Inflorescentia spicata character was indentified on tall type of Bluluk coconuts (Cocos nucifera L. var. spicata). The third type of varieties was belong to dwarf coconuts (Cocos nucifera L. var. nana) namely: genjah gadang, genjah gading, and genjah bulan. Key word: exsploration, coconut varieties, tall coconut, dwarf coconut, Spicata PENDAHULUAN Keunikan dan keistimewaan kondisi alam Bali merupakan hasil perpaduan harmonis antara gunung, perbukitan, daratan, lintasan sungai, lintasan air pegunungan, serta landskap pantai dengan bentangan lautnya yang memberikan sentuhan keindahan yang menjadi daya tarik dan apresiasi wisatawan (Pemerintah Provinsi Bali, 2010). Kecamatan Nusa Penida merupakan salah satu obyek wisata di Kabupaten Klungkung, yang memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Wilayah ini termasuk dalam segitiga terumbu karang dunia (the global coral triangle) yang saat ini menjadi prioritas dunia untuk dilestarikan. Kecamatan ini memiliki luas sekitar 20.300 hektar yang terdiri dari 3 pulau utama yaitu Nusa Penida, Nusa Ceningan dan Nusa Lembongan. (SK Menteri Kelautan dan Perikanan No 24 Tahun 2014). Dari enam
PROSIDING, Copyright© 2016 46
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
belas obyek wisata di kecamatan Nusa Penida empat belas diantaranya merupakan obyek wisata pantai dan laut (Peraturan Pemerintah Daerah Kabupaten Klungkung, 2005). Mayoritas masyarakat Nusa Penida adalah suku Bali beragama Hindu, sehingga untuk kegiatan keagamaannya memerlukan bahan upakara (banten) dari tumbuhan, hewan maupun mineral. Salah satu bahan upakara yang selalu diperlukan adalah kelapa, baik daun muda (busung = bahasa Bali), daun tua (slepan = bahasa Bali), maupun buahnya (tua = nyuh, sangat muda = bungkak). Menurut hasil penelitian Kriswiyanti (2013, 2014) ditemukan 26 ragam tanaman kelapa di Bali, 11 ragam digunakan sebagai bahan upakara Padudusan Alit dan Padudusan Agung. Bedasar hal diatas, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada berapa ragam kelapa (Cocos nucifera L., Familia Arecaceae) di pulau Nusa Penida MATERI DAN METODE Materi penelitian ini adalah tanaman kelapa, eksplorasi dilakukan dari pantai Semaya desa Ped – pantai Kutampi – ke desa Klumbu – desa Sakti – sepanjang pantai Toyapakeh kemudian kembali ke desa Ped. Penelitian dilakukan pada bulan September 2014. Metoda yang digunakan adalah wawancara dengan beberapa tokoh masyarakat, dan pengamatan langsung cirri-ciri batang, daun dan buah sesuai nama kelapanya. HASIL DAN PEMBAHASAN HASIL Berdasar karakter pada bagian batang, daun, bunga, buah dan jumlah mata pada biji di Nusa Penida telah ditemukan 22 ragam kelapa, 19 ragam pada pangkal batangnya membesar (bole) dan 3 ragam tidak memiliki bole. Nama masing-masing ragam kelapa sesuai dengan karakter spesifik bagian tumbuhan tersebut.. Nama ragam kelapa diambil dari nama warna pada kulit buahnya ada 6 ragam kelapa yaitu; 1. Kelapa Gadang warna kulit buah hijau (gadang bahasa Bali), mahkota daun bulat 2. Kelapa Gading, kelapa ini memiliki ciri warna kulit buah kuning kemerahan (gading bahasa Bali), mahkota daun bulat dan setengah bulat 3. Kelapa Coklat, kelapa ini memiliki ciri warna kulit buah coklat (soklat bahasa Bali), mahkota daun bentuk bulat 4. Kelapa Barak warna kulit buah merah (barak bahasa Bali), mahkota daun bulat 5. Kelapa Bulan, karakteristik kelapa ini warna kulit buah hijau pucat (putih) 6. Kelapa Bojog tanaman kelapa memiliki endosperm berwarna abu dan mesokarpi – um abu hingga agak hitam, kulit buah warna coklat tua hingga hitam (seperti warna rambut monyet = bojog/bahasa Bali) Berdasar warna mesokarpiumnya yaitu bagian antara kulit buah hingga tempurung atau calon serabut kelapa berwarna merah ditemukan 2 ragam kelapa: 7. Kelapa, Udang, mesokarpium warna merah, kulit buah warna coklat, mahkota daun bulat dan setengah bulat. 8. Kelapa Mulung, tanaman kelapa ini memiliki cirri khas pada mesokarpium berwarna merah, kulit buah warna hijau. Nama ragam kelapa berdasarkan karakteristik/keunikan pada bagian batang: 9. Kelapa Tuwet adalah tanaman kelapa yang memiliki keunikan pada ujung batang dekat karangan daun terdapat sisa pangkal ibu tangkai buah tidak gugur. 10. Kelapa Rangda : karakteristiknya daun setelah tua tidak gugur sehingga mengumpul banyak seperti rambut rangda, kulit buah hijau kecoklatan. 11. Kelapa Bingin : cirri khas tanaman kelapa ini pada buku batangnya tumbuh akar serabut seperti pada batang pohon beringin. PROSIDING, Copyright© 2016 47
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Nama ragam kelapa berdasar jumlah dan ada/tidaknya mata pada endokarpiumnya: 12. Kelapa Buta yaitu tanaman kelapa yang tidak memiliki mata pada endocarpiumnya, umumnya kelapa memiliki 3 mata pada endokarpiumnya. 13. Kelapa Kacek : tanaman kelapa memiliki 2 mata pada endocarpiumnya. 14. Kelapa Matepat : tanaman kelapa memiliki 4 mata pada endocarpiumnya. Karakter keunikannya pada bagian lain: 15. Kelapa Batu : tanaman kelapa memiliki buah dengan endosperm padat saja, tidak memiliki endosperm cair (air kelapa). 16. Kelapa Be Julit, cirri khas dari tanaman kelapa ini pada anak daun yang masih Muda saling berlekatan satu sama lain sehingga seperti ekor ikan Julit. 17. Kelapa Surya : karakteristik ragam kelapa ini padaa warna kulit buah dan ujungujung daun kuning kemerahan. 18. Kelapa Sudamala : cirri unik kelapa ini ada beberapa; sludang 2 (double), daun ada totol-totol putih dan beberapa spikelet bunga jantan mereduksi seperti bentuk kipas. Satu ragam kelapa memiliki karakter karangan bunga berbeda dengan ragam lain yaitu karangan bunga bukan tongkol majemuk (spadix) tetapi bulir (spicata) : ragam 19. Kelapa Bluluk : tanaman kelapa ini memiliki bole, mahkota daun bulat, bakal buah banyak lebih dari 50 biji, bunga spikelet jantan mereduksi, warna kulit buah hijau. Tiga ragam tanaman kelapa dengan pohon pendek, cepat berbuah, buah lebih banyak daripada kelapa dalam, rata-rata lebih dari 10 biji, tidak mempunyai bole, ditemukan 3 ragam dibedakan berdasar warna kulit buah yaitu; 20. Kelapa Genjah Gadang : warna kulit buah hijau 21. Kelapa Genjah Gading : warna kulit buah kuning kemerahan 22. Kelapa Genjah Bulan : warna kulit buah putih PEMBAHASAN Dari hasil penelitian ini didapatkan kelompok tanaman kelapa yang memiliki bole dan tidak memiliki bole dengan karangan bunga tongkol (spadix) serta 1 ragam kelapa dengan bole dan karangan bunga bulir (spicata). Menurut Harries (2010) tanaman kelapa semula tanaman kelapa hanya dibedakan menjadi dua kelompok yaitu kelapa Dalam (Tall coconut) dan kelapa Genjah (Dwarf coconut). Kelapa Dalam dibedakan menjadi 3 varietas yaitu : typica (berdasar ukuran dan volume air kelapa ada 9 forma), androgyna dan spicata. Kelapa Genjah ada 2 varietas yaitu nana (2 forma) dan javanica. Kemudian dari 5 varietas mereduksi menjadi 3 varietas, karena varietas typica, androgena dan spicata dikelompokan menjadi satu varietas typica (Cocos nucifera L.var. typica). Kelapa Genjah satu varietas nana (Cocos nucifera L.var. nana) dan varietas javaniva hasil silang antar varietas disebut kelapa Semi-Dalam atau kelapa Hibrida satu varietas (Cocos nucifera L.var. aurantiaca). Kelapa Bluluk memiliki keistimewaan pada karangan bunganya berbentuk bulir (spicata) bukan tongkol majemuk (spadix), spikelet dari bunga jantan mereduksi, di Nusa Penida ditemukan ada 3 individu dengan bakal buah pada karangan bunga betina ± 50 buah. Hasil penelitian Kriswiyanti 2014 di pulau Bali didapatkan 10 individu kelapa Bluluk dengan bunga betina berjumlah banyak 55-156, berdasar analisis DNA mikrosatelit (Kriswiyanti, et.al, 2013) menunjukkan bahwa dendogram ragam kelapa ini terpisah dengan varietas kelapa genjah dan kelapa dalam. Hal tersebut didukung oleh hasil penelitian Perera, et al. (2008) menunjukkan bahwa secara genetik kelapa spicata tall berbeda dengan kelapa Dalam umumnya, karena terjadi mutasi pada jumlah kromosom 2n=18-24, aneuploid, sedangkan kelapa Dalam pada umumnya memiliki kromosom 2n=32 (n=16). Menurut Novarianto, et al. (2005) kelapa di atas telah dikoleksi di perkebunan Mapanget yang berasal dari Halmahera sebanyak 4 individu yang disebut Spicata Tall”. Didunia tanaman kelapa Bluluk ditemukan PROSIDING, Copyright© 2016 48
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
juga di Philippina, India dan Samoa, merupakan kelapa Dalam dan Genjah (Bourdeix and Martinez, 2012). Berdasarkan warna kulit buahnya ragam kelapa di Nusa Penida ditemukan 6 ragam kelapa yaitu kelapa Gadang (kulit buah hijau), Gading (kuning kemerahan), Bulan, Barak, Coklat dan Bojog. Menurut Yuzammi (2012) berdasarkan warna kulit buahnya pada kelapa dalam dibedakan kultivar kelapa hijau (viridis), merah (rubescens) dan kelapa yang buahnya besar (marcocarpa). Sedang pada kelapa Genjah dapat dibedakan Genjah Gading (ebunea), raja/buah banyak (regia), jingga (prefiosa), dan Genjah Puyuh hijau (pumila). Ragam kelapa di Nusa Penida ada 22, lima ragam diantaranya belum ditemukan di pulau Bali yaitu kelapa Buta, Batu, Kacek, Matepat (gambar 2) dan kelapa Tuwet. Berdasarkan ada/tidak dan jumlah mata (lubang bekas saluran makanan dari induk ke dalam biji untuk perkembangan embrio) pada endokarpium yang pada umumnya ada 3 mata. Menurut Foster and Gifford (1974) pada 1 buah kelapa berasal dari 3 daun buah (carpell) berlekatan, masingmasing dengan 1 bakal biji dengan 1 mata. Mata pada endokarpium tersebut setelah biji tua berfungsi sebagai saluraan perkecambahan. Sedangkan menurut Bourdeix dan Konnan (2011) berdasar bentuk dan ukuran 3 mata pada endokarpium ada beberapa tipe. Namun belum ada yang melaporkan adanya kelapa tanpa mata atau ada matanya berjumlaah kurang atau lebih dari 3, seperti yang telah ditemukan di pulau Nusa Penida. Pada kelapa Tuwet terjadinya mungkin sama dengan kelapa Rangda, pada kelapa Tuwet ibu tangkai buah tidak gugur sedang pada kelapa Rangda memiliki ibu tangkai daun yang tidak gugur sehingga daun yang tua bertumpuk memeluk batang. Hal tersebut, mungkin disebabkaan oleh adanya jaringan serat yang tersusun kuat. Seperti hasil penelusuran yang telah dilakukan oleh Puspa et al. (2013) pada pengamatan serat ibu tangkai daun kelapa Rangda yang terpuntir menunjukkan sel-sel serat terjadi banyak torsi (puntiran) 71-81% dibandingkan dengan serat ibu tangkai daun kelapa lainnya yang tidak terpuntir. Kelapa Sudamala dari pulau Bali memiliki banyak keunikan antara lain sludang 2 buah besar, percabangan bunga ganda, spikelet bunga jantan beberapa mereduksi sehingga bentuknya menjadi pipih seperti kipas. Ujung daun muda berlekatan dan berbentuk seperti kait (bahasa Bali sangket = kait) namun jika sudah dewasa menjadi lurus (Kriswiyanti, 2013). Daun sangket tidak ditemukan pada kelapa Sudamala dari Nusa Penida, tetapi pada daunnya ditemukan totol-totol putih seperti daun kelapa Sudamala yang ditemukan Sumerta dan Kriswiyanti, (2015) di Ngis Karangasem. Varietas kelapa yang tidak memiliki bole adalah kelapa Genjah di pulau Bali ditemukan 4 ragam sedang di Nusa Penida hanya titemukan 3 ragam karena tidak ditemukan ragam Genjah Coklat. SIMPULAN Di Nusa Penida ditemukan 22 ragam kelapa tergolong dalam 3 varietas yaitu varietas kelapa Dalam (Cocos nucifera L. var. typical) ada 18 ragam, 1 ragam kelapa berbunga bulir (Cocos nucifera L. var. spicata) dan 3 ragam termasuk varietas kelapa genjah (Cocos nucifera L. var. nana).
PROSIDING, Copyright© 2016 49
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
B A C Gambar 1. A.Karangan Bunga Tongkol Majemuk (spadix) dan BC. Bulir (spicata)
A
B
C
D
Gambar 2. Ragam Kelapa: Buta (A), Kacek (B), Biasa/umum (C), Matepat (D) DAFTAR PUSTAKA Bourdeix, Y.R. and Martinez, D (2012). Variety, Cultivar. Population and Accession ? FAQ. [Cited 2012 august 14] Available from http://www. congentnetwork.org/index.php/ faq/141-faq-accession-cultivar
Bourdeix, Y.R. and Konan, K. 2011. New Coconut Discriptors. (cited 2012 august 14) Available from http://www congentnetwork.org/index.php/research-ideas/newcoconut. Foster, A.S. and Gifford, E.M. 1974. Comparative Morphology of Vascular Plants. Second Edition. W.H. Freeman and Company San Francisco. Harries, H., 2010. The Evolution, Dessimination and Classification of Cocos nucifera L. Coconut Industry Board, Kingston, Jamaic Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 24 Tahun 2014. Kawasan Konservasi Perairan Nusa Penida, Kabupaten Klungkung. Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan Pulau - Pulau Kecil Kementerian Kelautan dan Perikanan Kriswiyanti, E, 2013. Keanekaragaman Karakter Tanaman Kelapa (Cocos nucifera L. ) yang digunakan sebagai Bahan Upacara Padudusan Agung, Jurnal Biologi XVII (1) 2013:1519 PROSIDING, Copyright© 2016 50
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Kriswiyanti, E., I Gede Rai Maya Temaja, I Made Sudana, and I Gusti Ngurah Alit Susanta Wirya. 2013. Genetic Variation of Coconut Tall (Cocos nucifera L., Arecaceae) in Bali, Indonesia Based on Microsatellite DNA. Journal of Biology Agriculture and Healthcare 3 (13) 2013 : 97-101 Kriswiyanti, E. Karakteristik Ragam Kelapa di Bali Berdasarkan Kajian,Morfologi, Anatomi dan Molekuler. Desertasi Pascasarjana Universitas Udayana Novarianto, H., Akuba, R.H., Mashud, Tenda, E. and Kumaunang, J. 2005. Status of Coconut Genetic Resources Research in Indonesia. In Coconut Genetic Resources. Batugal. P. Ramanatha Rao. V. and Oliver,.J (eds). IPGRI-APO, Serdang, Selangor DE, Malaysia. p. 608-617. Pastika, Made Mangku. 2010. Laporan Status Lingkungan Hidup Daerah Propinsi Bali Tahun 2010. Pemerintah Propinsi Bali. Pemerintah Kabupaten Klungkung, 2005. Peraturan Daerah. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) Kabupaten Klungkung Tahun 2005-2025. Perera, P.I.P., Wickremasinghe LP. and Fernando, W.M.U.2008. Morphological. Cytogenetic and Genotypic Differences Between Spicata and Ordinary Tall Coconut (Cocos nucifera L.) Natn.Sci.Foundation Sri Lanka, 36 (I): 103-108 Puspawati, N M, Kriswiyanti ,E., Junitha, IK. 2013, Profil Struktur Serat Ibu Tangkai Daun Antara Induk Dan Anakan Kelapa (Cocos nucifera L “Rangda”). Jurnal Simbiosis 1 (1) 2013: 70-78 Sumerta, dan Eniek Kriswiyanti. 2015. Karakterisasi dan Distribusi Nyuh Madan di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali Simbiosis II (1): 122- 134 ISSN: 2337-7224 Jurusan Biologi FMIPA Unud, Yuzammi; JR Witono, S Hidayat; T Handayani, Sugiarti, S Murdawati; T Triono; I Pudjiastuti ; Sudarmono dan H Wawangningrum. 20 . Ensiklopedia Flora. PT Kharisma Ilmu.117118
PROSIDING, Copyright© 2016 51
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENGGUNAAN BA, KINETIN DAN THIDIAZURON DALAM PEMBENTUKAN TUNAS KULIM (Scorodocarpus borneensis Becc.) THE USE OF BA, KINETIN AND THIDIAZURON IN SHOOT FORMATION OF KULIM (Scorodocarpus borneensis Becc.) Yelnititis1 dan Martin Joni2 Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar KM 15 Purwobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta – 55582 2 Jurusan Biologi FMIPA, Universitas Udayana Email:
[email protected], Email:
[email protected] 1
ABSTRAK Kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) adalah salah satu tanaman hutan yang mempunyai multifungsi. Perbanyakan tunas kulim dari eksplan batang satu buku asal seedling dan pohon induk tua sudah dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan metoda perbanyakan tunas terbaik secara in vitro. Batang satu buku yang berasal dari seedling dan pohon induk tua dijadikan sebagai eksplan. Modifikasi media dasar Murashige dan Skoog (MS) yang ditambah dengan 8 gr/l agar, 30 gr/l sukrosa, 0,1 mg/l Thyamine, 0,5 mg/l Nicotinic acid, 0,5 mg/l Pyridoxine dan 2 mg/l Glysin dijadikan sebagai media tumbuh. Induksi tunas dilakukan pada medium MS yang ditambah dengan 0,5 mg/l – 1,0 mg/l BA. Pengamatan dilakukan terhadap persentase tumbuh tunas, jumlah tunas, tinggi tunas dan visual biakan yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan 0,75 mg/l BA merupakan perlakuan terbaik untuk induksi tunas dari eksplan batang satu buku asal setek tanaman induk tua dan seedling. Persentase tunas yang terbentuk dari perlakuan ini adalah 33,33 % dan 80 %. Rata-rata jumlah tunas terbentuk dari kedua perlakuan tersebut adalah 0,2 dan 0,8 tunas per eksplan. Rata-rata tinggi tunas yang terbentuk adalah 6,8 cm. Tunas yang dihasilkan mempunyai penampilan visual normal. Kata kunci: Kulim, tunas, BA, in vitro ABSTRACT Kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) is one of forestry tree that have multi function. Shoot multiplication of kulim from single node stem explants from mature tree and from seedling was conducted. The objective of this study is to obtain of the best method for shoot multiplication through in vitro culture. Single node stem derived mature tree and seedling were used as explants. The modification of Murashige and Skoog (MS) basal medium with supplemented with 8 g/l agar, 30 gr/l sucrose and vitamin B was used as growth medium. Shoot induction conducted on MS medium supplemented with 0,5 – 1,5 mg/l BA. The observation was conducted on shoot growth percentage, shoot number, shoot height and visual performance of culture. Result showed that the treatment of 0,75 mg/l BA was the best treatment for shoot induction from single node explant from mature tree and seedling. The percentage of shoot from those treatment are 33,3 % and 80 %. The average of shoot from those treatment are 0,2 and 0,8 shoot per explants. The average of shoot obtained is 6,8 cm. The visual performance of shoot is normal. Keywords: Kulim, shoot, BA, in vitro
PROSIDING, Copyright© 2016 52
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN Kulim (Scorodocarpus borneensis Becc.) merupakan salah satu jenis dari famili Oleaceae. Di Indonesia jenis ini tumbuh terbatas dan tersebar hanya di hutan pulau Sumatera dan Kalimantan. Tumbuh di tanah kering dan di dataran rendah sampai ketinggian 300 meter diatas permukaan laut dan tidak pernah ditemukan di rawa-rawa. Kulim merupakan tanaman yang mempunyai fungsi ganda. Kayunya dapat digunakan untuk berbagai keperluan antara lain untuk bahan bangunan, kayu tiang, jembatan, papan dan lantai (Martawijaya et al., 1989) dan untuk bahan baku industri kapal terutama untuk bagian dinding/palka dan tiang as (Anonim, 1986). Tanaman ini juga dikenal dengan nama kayu bawang karena kayunya mempunyai bau yang khas seperti bau bawang. Menurut Kubota dan Kabayashi (1994) bau bawang ini disebabkan adanya kandungan sulfur yang terdapat didalamnya. Buah kulim digunakan sebagai pengganti bawang putih oleh masyarakat setempat dan juga digunakan sebagai obat cacing. Wiart (2001) melaporkan bahwa biji kulim mempunyai kandungan anti mikroba dan zat yang bersifat sitotoksik. Daunnya digunakan untuk sayuran. Sejak tahun 1994 jenis ini sudah dimasukkan ke dalam kategori keterancaman populasi biota (iucn, 1994) dan terdaftar sebagai salah satu dari 200 jenis tumbuhan langka indonesia (Mogea dkk., 2001). Eksploitasi tanaman kulim yang berlangsung secara terus menerus tanpa diikuti dengan regenerasinya mengakibatkan sebagian besar populasi menjadi rusak dan mengalami kelangkaan. Apabila hal ini tidak diantisipasi dari sekarang, jenis ini akan punah di populasi alamnya. Heriyanto dan Gersetiasih (2004) melaporkan bahwa ancaman terhadap kelestarian kayu kulim disebabkan oleh beberapa faktor yaitu faktor manusia, hama serta faktor fisiologis tanaman kulim itu sendiri. Faktor manusia antara lain adalah eksploitasi yang berlebihan, baik legal maupun ilegal
yang didorong oleh harga kayu yang tinggi dan mudah dijual, konversi lahan hutan untuk perkebunan terutama kelapa sawit, pemanfaatan buah kulim untuk obat cacing serta pemanfaatan kulit kayu kulim untuk bumbu masak pengganti bawang oleh masyarakat setempat. Faktor hama antara lain beberapa jenis hewan seperti babi hutan (Sus scrofa), kijang (Muntiacus muntjak), kancil (Tragulus javanicus), bajing (Lariscus sp.), dan landak (Hystrix brachyura) yang memakan buah kulim yang jatuh ke lantai hutan sehingga menghambat regenerasi secara alami.Ismail (2000) menyatakan bahwa buah kulim yang jatuh dari pohon induk banyak dimakan oleh satwa liar seperti bajing, babi hutan, kijang dan binatang lainnya sehingga permudaan di populasi alamnya sulit ditemui. Selanjutnya Sosef et al, (1988) juga melaporkan bahwa populasi kulim yang bereproduksi sangat sedikit. Adapun faktor fisiologis dari tumbuhan kulim yang menyebabkan semakin berkurangnya populasi adalah sifatnya yang lambat tumbuh dan berbuah sekali dalam setahun. Tanaman kulim diperbanyak secara generatif dengan menggunakan biji tetapi buahnya jarang dilaporkan. Perbanyakan tanaman secara vegetatif baik secara makro maupun secara in vitro belum banyak dilaporkan. Kultur jaringan merupakan salah satu teknik alternatif yang digunakan untuk perbanyakan tanaman yang mempunyai kendala terhadap perbanyakannya termasuk tanaman hutan yang umumnya berkayu. Beberapa keuntungan penggunaan teknik kultur jaringan antara lain adalah tidak tergantung pada musim, waktu yang digunakan relatif lebih singkat dan jumlah tanaman yang dihasilkan lebih seragam. Keberhasilan perbanyakan tanaman secara in vitro diperngaruhi oleh beberapa faktor antara lain jenis tanaman dan eksplan, media dasar dan zat pengatur tumbuh yang digunakan. Keseimbangan zat pengatur tumbuh antara sitokinin dan auksin yang digunakan sangat menentukan arah pertumbuhan eksplan. Sitokinin merupakan kelompok zat pengatur tumbuh yang berperan dalam mengatur pembelahan sel dan mempengaruhi diferensiasi tunas. Benzyl adenin (BA) merupakan sitokinin yang paling sering digunakan dalam kultur in vitro karena memiliki efektifitas yang tinggi dalam memacu pembelahan sel dan mendorong perbanyakan dan pemanjangan tunas (Yusnita, 2003). Thidiazuron merupakan kelompok sitokinin yang sangat kuat yang dapat mempengaruhi perbanyakan tunas aksilar. Huetteman dan Preece PROSIDING, Copyright© 2016 53
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
(1993) menyatakan bahwa beberapa tanaman berkayu berhasil diperbanyak dengan menggunakan penambahan thidiazuron pada media tumbuh. Lu (1993) melaporkan bahwa thidiazuron dapat menginduksi tunas adventif dan proliferasi tunas aksilar. Demikian juga dengan Fiola et al., (1990) dan Huetteman dan Preece (1993) yang menyatakan bahwa umumnya pada konsentrasi lebih dari 1 µM, thidiazuron dapat merangsang tunas adventif, pembentukan kalus atau embrio somatik. Selanjutnya Genkov dan Iordanka (1995) menyatakan bahwa thidiazuron merupakan suatu senyawa phenyl urea non metabolik yang mempunyai potensi aktifitas seperti sitokinin dengan konsentrasi 50 – 100 kali dibawah konsentrasi BAP. Dalam tulisan ini, dilaporkan metoda yang efisien untuk perbanyakan tunas dari eksplan batang satu buku menggunakan BA, kinetin dan thidiazuron. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metoda perbanyakan kulim terbaik secara in vitro. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di Laboratorium Kultur Jaringan, Balai Besar Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Bagian tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah batang satu buku yang berasal dari dua sumber eksplan yaitu tunas dari setek pohon induk tua yang diambil dari desa Tapung, Kabupaten Kampar, Riau dan batang satu buku asal seedling umur 2 tahun yang diambil dari desa Dayo, Rokan Hulu, Riau. Eksplan dicuci sabun cair dan dibilas dengan air, kemudian direndam dengan menggunakan fungisida selama satu jam lalu dibilas dengan air bersih sebanyak 3 kali. Selanjutkan eksplan disterilisasi di dalam laminar air flow dengan menggunakan alkohol 70 %, bayclin 20% masing-masing selama 7 menit dan 10 menit dan terakhir direndam dalam larutan betadine selama 5 menit. Media dasar Murashige dan Skoog (MS) yang dimodifikasi ditambah dengan 8.0 gr/l agar, 30 gr/l sukrosa, 0,1 mg/l Thyamine, 0,5 mg/l Nicotinic acid, 0,5 mg/l Pyridoxine dan 2.0 mg/l Glysin dijadikan sebagai media tumbuh. Eksplan asal pohon induk tua ditumbuhkan pada perlakuan 0,5; 0,75 dan 1,0 mg/l BA pada modifikasi media MS. Jumlah eksplan batang satu buku yang berasal dari pohon induk tua sangat terbatas sehingga masingmasing perlakuan hanya terdiri dari 6 botol, Sedangkan eksplan batang satu buku asal seedling ditumbuhkan pada perlakuan 0,5; 0,75 dan 1,0 mg/l BA; 0,1; 0,2 dan 0,3 mg/l thidiazuron dan kombinasi 0,1 – 0,3 mg/l thidiazuron dengan kinetin 0,5 mg/l. Masing-masing perlakuan terdiri dari 10 botol dan masing-masing botol berisi satu eksplan Pengamatan dilakukan terhadap persentase tumbuh tunas, jumlah tunas, tinggi tunas dan visual biakan yang dihasilkan. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Induksi tunas dari setek pohon induk tua. Upaya induksi tunas yang akan digunakan sebagai eksplan dari setek pohon induk tua dilakukan dengan cara merendam setek di dalam bak plastik yang berisi air dan disimpan ditempat yang gelap. Hal ini dilakukan untuk merangsang terbentuknya tunas dan mengalami pertumbuhan ke arah pemanjangan yang lebih cepat. Jumlah setek yang diperoleh dari lapangan sangat terbatas yaitu hanya sebanyak 20 potong.Hal ini disebabkan karena pohon induk yang ditemukan mempunyai daerah bebas cabang yang tinggi sehingga menjadi kendala dalam pengambilan cabang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 20 setek yang direndam hanya 2 setek yang memeberikan respond dan menghasilkan tunas. Dari masing-masing setek yang memberikan respon dihasilkan 1 tunas (Gambar 1a) sehingga tunas yang diperoleh berjumlah 2 tunas. Tunas tersebut mulai terbentuk setelah 90 dan 122 hari setelah perendaman. Lambatnya induksi tunas dari setek asal pohon induk tua ini diduga lebih disebabkan karena faktor dari tanaman kulim itu sendiri. Tanaman kulim termasuk ke dalam jenis spesies lambat tumbuh (slow growing species) sehingga untuk pertumbuhan dibutuhkan waktu yang lebih lama.Tunas yang diperoleh tersebut dipotong-potong menjadi 10 dan 8 buku sehingga berjumlah 18 buku dan dijadikan sebagai eksplan pada tahap induksi tunas. PROSIDING, Copyright© 2016 54
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
2. Induksi tunas. Pada tahap induksi tunas secara in vitro digunakan eksplan batang satu buku dari 2 sumber eksplan yaitu 1) batang satu buku dari tunas hasil perendaman setek pohon induk tua dan 2) batang satu buku dari seedling berumur 2 tahun. Hasil penelitian dapat dilihat dari uraian sebagai berikut: a. Eksplan batang satu buku asal setek pohon induk tua. Jumlah eksplan batang satu buku asal terubusan setek pohon induk tua yang digunakan dalam penelitian ini sangat terbatas yaitu sebanyak 18 eksplan batang satu buku yang dihasilkan dari 2 tunas. Eksplan ditumbuhkan pada perlakuan BA dengan konsentrasi 0.5, 0,75 dan 1.0 mg/l dan masing-masing perlakuan terdiri dari 6 botol dan setiap botol berisi dari 1 eksplan (Gambar 1b). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan 0.75 mg/l BA merupakan satu-satunya perlakuan yang memberikan respon dan menghasilkan tunas (Gambar 1c) sedangkan dari dua perlakuan lainnya yaitu perlakuan 0,5 mg/l dan 1,0 mg/l BA, eksplan tidak memberikan respon sama sekali. Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor antara lain faktor perlakuan dan eksplan yang digunakan. Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah semua buku dari tunas yang dihasilkan dari setek pohon induk tua sehingga umur fisiologis dari setiap eksplan batang satu buku yang digunakan sudah pasti juga berbeda. Perbedaan umur fisiologis menyebabkan kandungan hormon endogen baik auksin maupun sitokinin dari masing-masing eksplan juga berbeda.Keseimbangan antara sitokinin dan auksin yang terdapat dalam jaringan sangat menentukan terhadap keberhasilan tumbuh.
a
b
c
d
e
f
Gambar 1.Tunas asal setek dari pohon induk tua. b. Eksplan batang satu buku, c Tunas umur 4 minggu, d – e. Tunas umur 23 dan 35 minggu dan f. Tunas umur 52 minggu
Tabel 1. Persentase induksi tunas dari perlakuan BA Perlakuan (mg/l) BA 0.5 BA 0.75 BA 1.0
Persentase tumbuh tunas 0 33.3 0
Visual biakan Hijau segar, sedang -
Pada penelitian ini perlakuan BA dengan konsentrasi 0.5 mg/l belum mampu merangsang inisiasi tunas sedangkan perlakuan 1.0 mg/l BA diduga sudah mulai bersifat menghambat induksi tunas dari eksplan yang berasal dari pohon induk tua. Hasil yang berbeda dengan penelitian Saha et al, (2010) menunjukkan bahwa perlakuan BA 1.0 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk induksi tunas Ocimum kilimandscharicum Guerke.
PROSIDING, Copyright© 2016 55
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Setiap eksplan memberikan respon yang berbeda walaupun ditumbuhkan pada perlakuan yang sama. Dari 6 eksplan batang satu buku yang ditumbuhkan pada perlakuan 0.75 mg/l BA terdapat 2 eksplan yang memberikan respon dan menghasilkan tunas sedangkan 4 eksplan lainnya tidak memberikan respon walaupun ditumbuhkan dalam jangka waktu yang lebih lama. Hal ini disebabkan karena kandungan hormon endogen dari masingmasing eksplan yang dikulturkan berbeda.Sarmast et al. (2009) melaporkan bahwa tunas in vitroAraucaria excels R. Br. var glauca dapat diinduksi dari perlakuan BA dengan konsentrasi 6µmol atau lebih. Sedangkan Phulwaria et al. (2011) menyatakan bahwa tunas tanaman Salvadora persica dapat diinduksi pada perlakuan kombinasi BA, kinetin dan NAA. Selanjutnya Diego et al. (2008) menyatakan bahwa tunas pada tanaman Pinus pinaster dihasilkan dari perlakuan kombinasi 25 µmol zeatin yang dikombinasikan dengan metatopolin dan 25 µmol BA. Induksi tunas dari perlakuan 0.75 mg/l BA diamati setelah 12 dan 19 hari dikulturkan pada media tumbuh. Rata-rata persentase tumbuh tunas dari perlakuan ini adalah sebanyak 33.3 % (Tabel 1) dan masing-masing eksplan yang memberikan respon menghasilkan 1 tunas dengan tinggi 7.3 cm (Gambar 1d) pada umur 22 minggu. Tunas yang dihasilkan tumbuh normal. 2. Eksplan batang satu buku asal seedling. Pada penelitian ini, selain digunakan eksplan asal stek pohon induk tua juga digunakan eksplan batang satu buku asal seedling. Eksplan ditumbuhkan pada perlakuan BA (0.5 – 1.0 mg/l); thidiazuron (0,1 – 0,3 mg/l) dan kombinasi thidiazuron (0,1 – 0,3 mg/l dengan kinetin 0,5 mg/l). Hasil pengamatan dari masing-masing perlakuan yang digunakan dapat dilihat dari uraian sebagai berikut :
a
b
Gambar 2. a. Tunas dari eksplan asal seedling dari perlakuan BA danb. Tunas dari perlakuan BA dan umur berbeda Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua perlakuan BA yang digunakan dapat merangsang terbentuknya tunas.Dari tiga konsentrasi BA yang digunakan, perlakuan 0.75 mg/l BA merupakan perlakuan terbaik untuk induksi tunas.Selain lebih cepat dalam menghasilkan tunas, perlakuan 0.75 mg/l BA juga menghasilkan biakan dengan penampilan visual paling baik dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Hal ini dicirikan dengan tunas yang tumbuh normal tanpa diikuti pertumbuhan kalus (Gambar 2b). Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa perlakuan 0.75 mg/l BA memberikan persentase tumbuh tunas paling tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Persentase tumbuh tunas dari perlakuan ini adalah sebanyak 80 %, sedangkan persentase tumbuh tunas paling rendah dihasilkan dari perlakuan BA 1.0 mg/l. Tabel 2 juga memperlihatkan bahwa perlakuan 0.5 mg/l BA, menghasilkan tunas yang berukuran paling pendek bila dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Rata-rata tinggi tunas dari perlakuan ini adalah 0.1 cm pada umur 120 hari (Tabel 2). Dibandingkan dengan jenis tanaman lain pertumbuhan tunas dari perlakuan ini sangat lambat. Selain disebabkan oleh jenis PROSIDING, Copyright© 2016 56
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tanaman hal ini juga diduga disebabkan karena penambahan 0.5 mg/l BA ke dalam media tumbuh belum mencapai keseimbangan antara konsentrasi sitokinin dan auksin dalam jaringan untuk memacu pertumbuhan ke arah pemanjangan.Tunas yang dihasilkan pada perlakuan 1.0 mg/l BA lebih pendek dibandingkan dengan tunas yang dihasilkan dari perlakuan 0.75 mg/l BA. Selain lebih pendek tunas dari perlakuan 1,0 mg/l BA tersebut mempunyai ukuran batang yang lebih besar dari 2 perlakuan yang lain. BA merupakan sitokinin sintetik yang mempunyai kapasitas untuk merangsang pembelahan sel dan mempengaruhi tahapan dalam siklus sel dalam jangka panjang.Penambahan BA dibutuhkan untuk mendapatkan kalus dan pertumbuhn tunas. Tingkat kebutuhan BA untuk pembentukan tunas optimum adalah 3,0 – 5,0 mg/l tetapi ini tergantung pada jenis eksplan.Hasil yang berbeda dari penelitian Kulkarni et al. (2000) menunjukkan bahwa pemindahan tunas umur 14 hari ke media tanpa zat pengatur tumbuh dapat mempercepat pertumbuhan ke arah pemanjangan tunas dengan rata-rata tinggi 4.6 cm pada umur 42 hari. Tabel 2. Persentase tumbuh dan rata-rata tinggi tunas umur 120 hari. Perlakuan (mg/l) BA 0.5 BA 0.75 BA 1.0
%ase tumbuh tunas 60 80 50
Rata-rata tinggi biakan (cm) 0.1 0.6 0.3
Visual biakan Hijau, batang sedang, pendek Hijau, batang kecil Hijau, batang besar,
Diduga perlakuan BA dengan konsentrasi 1.0 mg/l sudah bersifat menghambat pertumbuhan kea rah pemanjangan. Selain itu terbentuknya tunas pada perlakuan ini diikuti dengan terbentuknya kalus pada bagian pangkal biakan. Adanya kalus pada bagian pangkal biakan tersebut akan menghambat aliran nutrisi kejaringan tanaman yang ditumbuhkan. Untuk mendapatkan tunas terbaik Pruski et al. (2005) menggunakan media dasar MS minimal organik yang ditambah dengan 8.87 µM BA pada tahap induksi tunas tanaman Prunus frutinosa. Tabel 3. Persentase tumbuh, rata-rata jumlah tunas dan visual biakan Perlakuan (mg/l) Thi 0.1 Thi 0.2 Thi 0.3 Thi 0.1 kin 0.5 Thi 0.2 kin 0.5 Thi 0.3 kin 0.5
%ase tumbuh tunas 50 50 40 70 60 30
Rata-rata jml tunas 0.6 0.5 03 0.7 0.6 0.3
Visual biakan Kecil, pendek Kecil, pendek Kecil, pendek Sedang, pendek Sedang, pendek Sedang, pendek
Thidiazuron merupakan substansi seperti sitokinin yang sangat aktif untuk induksi tunas.Penggunaan zat pengatur tumbuh thidiazuron secara tunggal atau dikombinasikan dengan kinetin menghasilkan persentase tumbuh tunas antara 30 – 70 %. Perlakuan 0.1 mg/l thidiazuron dikombinasikan dengan 0.5 mg/l merupakan perlakuan terbaik untuk induksi tunas dengan persentase tumbuh tunas sebanyak 70 % dan rata-rata jumlah tunas sebanyak 0.7 tunas. Menurut Schulze (2007) thidiazuron merupakan zat pengatur tumbuh yang sangat kuat pada beberapa proses morfogenik. Reaksi-reaksi dalam kultur jaringan dari penggunaan thidiazuron meliputi induksi kalus, inisiasi embrio somatik, pembentukan tunas adventif dan proliferasi tunas aksilar.
PROSIDING, Copyright© 2016 57
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SIMPULAN Perlakuan 0.75 mg/l BA merupakan perlakuan terbaik untuk induksi tunas dari eksplan batang satu buku asal pohon induk tua maupun dari seedling. Tunas yang dihasilkan mempunyai penampilan normal dengan pertumbuhan lambat. DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1986. Buku informasi Tanaman Nasional. Proyek pembangunan Taman Nasional dan Hutan Wisata. PHPA Bogor. A. Arumugam, K. Gopinath, 2011. Micropropagation and tissue culture of the endangered medicinal plant Withania somnifera by the direct shoot and root initiation method. International Journal of Applied Biology & Pharmaceutical Technology 2(3):July – Sept 2011. Diego, N.D, I.A. Montalban, E.F. De Larrinoa And P. Moncalean. 2008. In Vitro Regeneration Of Pinus Pinaster Adult Trees. Can. J. For. Res. 38 : 2607 – 2615. Fiola, J.A; M.A. Hanssan; H.J. Swartz; R.H. Bors and R. McNicole. 1990. Effect of thidiazuron, light influence rate and kanamycin on in vitro shoot organogenesis from excised Rubus cotyledon and leaves. Plant Cell Tissue and Organ Culture 20:223 – 228. Genkov, T. and Iordanka, I. 1995. Effect of cytokinin-active phenylurea derivatives on shoot multiplication, peroxidase and superoxide dismutase activities of in vitro cultured carnation. Bulgarian Journal of Plant Physiology 21:73-83. Heriyanto N.M. Dan R. Gersetiasih, 2004, Potensi Pohon Kulim (Scorodocorus Borneensis, Becc.) Di Kelompok Hutan Gelawan Kampar, Riau, Buletin Plasma Nutfah, 10 (1). Huetteman, CA and JE.Preece. 1993. Thidiazuron : a potent cytokinin for woody plant tissue culture. Plant Cell Tissue and Organ Culture 33 : 105 – 119. Ismail, 2000, Kajian Potensi Dan Ancaman Kepunahan Kulim (Scorodocorus Borneensis, Becc.) Pada Hutan Alam Di Propinsi Riau, Ipb, Bogor. IUCN/SSC. 1994. IUCN red list categories. Fourtieth Meeting of the IUCN Council.Gland. Switzerland. Lu, CY. 1993. The Use Of Thidiazuron In Tissue Culture.In Vitro Cell Dev.Biol.29:92-96 Kubota K. Dan Kabayashi, A., 1994, Sulfur Compounds In Wood Garlic Kulim (Scorodocarpus Borneensis Becc) As Versatile Food components.American Chemical Society.Symposium series.Vol 564. Kulkarni, A.A; S.R. Thengane and K.V. Krishnamurthy. 2000. Direct shoot regeneration from node, internode, hypocotyls and embryo explants of Withania somnifera. Plant Cell Tissue and Organ Culture 62 : 203 -209. Martawijaya, A., I. Kartasujana, Y.I. Mandang, S.A. Prawira, dan K. Kadir. 1989. Atlas kayu Indonesia jilid II. Departemen Kehutanan. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. Mogea, J.P.M., D. Gandawidjaja, H. Wiriadinata, R.E. Nasution dan Irawati. 2001. Tumbuhan Langka Indonesia.Buku Seri Panduan Lapangan.Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi – LIPI. Balai Penelitian Botani, Herbarium Bogoriense. Bogor, Indonesia. Prehn, D., C. Serrano, A. Mercado, C. Stange, L. Barrales and P.A. Johnson. 2003. Regeneration of whole plants from apical meristems of Pinus radiata. Plant Cell Tissue and Organ Culture 73 : 91 – 94. Pruski K., T. Astatkie and J. Nowak. 2005. Tissue culture propagation of Mongolian cherry (Prunus fruticosa) and nanking cherry (Prunus tomentosa). Plant Cell Tissue and Organ Culture 82 : 207 – 211.
PROSIDING, Copyright© 2016 58
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Saha, S; T. Dey and P. Ghosh. 2010. Micropropagation of Ocimum kilimandsharicum Guerke (Labiatae). Acta Biologica Cracoviensia series Botanica 52 (2) : 50 – 58. Sarmast, M.K., H. Salehi and M. Kosh-Khui. 2009. Using plagiotropic shoot explants in tissue culture of Araucaria excelsa R. Br. Var glauca. Advances in Environmental Biology 3 (2) : 191 – 194. Schulze, J. 2007. Improvements in cereal tissue culture by thidiazuron : a Review. Fruit, vegetable and cereal science and biotechnology 1(2) : 64 - 79. Global Science Books Wiart, C. 2001, Antimicrobial and cytotoxic compounds Of Scorodocorpus borneensis (Olaceae) and Glycosmis calcicola (Rutaceae), Universiti Putra Malaysia. Yusnita. 2003. Kultur jaringan; cara memperbanyak tanaman secara efisien. Agromedia Pustaka. Jakarta.
PROSIDING, Copyright© 2016 59
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
INDUKSI TUNAS LATERAL ALOCASIA BAGINDA KURNIAWAN DAN P.C. BOYCE DENGAN ZAT PENGATUR TUMBUH BA DAN GA3 BUD LATERAL INDUCTION OF ALOCASIA BAGINDA KURNIAWAN AND P.C. BOYCE WITH PLANT GROWTH REGULATOR BA AND GA3 Siti Fatimah Hanum* dan Dewi Lestari UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali. 82191 *Email :
[email protected] ABSTRAK Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Boyce memiliki potensi sebagai tanaman hias daun. Perbanyakannya selama ini dari pemisahan anakan (split), sehingga jumlah bibit yang diperoleh dalam waktu yang singkat tidak banyak. Untuk membantu mendapatkan jumlah bibit yang banyak, dilakukan upaya induksi tunas lateral dengan menggunakan Zat Pengatur Tumbuh (ZPT) BA dan GA3. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh beberapa konsentrasi zat GA3 dan BA terhadap pertumbuhan tunas lateral pada tanaman Alocasia baginda. Kegiatan dilakukan di rumah kaca Kebun Raya “Eka Karya” Bali pada bulan Juni-September 2014. Percobaan menggunakan 2 faktorial yaitu jenis ZPT dan konsentrasi ZPT. Jenis ZPT yang digunakan adalah GA3 dan BA. Konsentrasi yang digunakan 0, 500 dan 1000 ppm. Jumlah sampel 15 pot. Parameter yang diamati adalah jumlah tunas dan jumlah daun. Media tanam yang digunakan adalah humus. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa pada 12 minggu setelah aplikasi, rata-rata persentase tumbuh Alocasia baginda terbesar adalah BA (500 ppm) dan kontrol (0 ppm) yaitu 100%. Sedangkan rata-rata jumlah tunas baru terbanyak adalah pada BA 1.000 ppm(1 tunas/tanaman) dan terendah adalah kontrol (0 tunas/tanaman), dan rata-rata jumlah daun terbanyak adalah kontrol (1 daun /tanaman) dan terendah adalah BA (1.000 ppm). Kata Kunci : Alocasia baginda, Perbanyakan, Zat pengatur tumbuh ABSTRACT Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Boyce has potential as leaf ornamental plant. This plant is usually propagated by split, so only produce a limited number. Therefore, we try to induce bud lateral growth with plant growth regulator BA and GA3. The aim of this research is to find out effect of plant growth regulator and its concentration to induce lateral bud. This research conduct at Eka Karya Bali Botanical Garden house glass from Juni-September 2014, using two factorial that consist of type and dosis of plant growth regulator. Plant growth regulator type are GA3 and BA. Dosis are 0, 500, 1000 ppm. Total spesimens are 15 pot. Parameter in this research are percentage of living rhizome, number of new buds and new leaves. The results of this research show that the biggest average number of living rhizome percentage is BA 500 ppm and control (100%). The average number of new bud using plant growth regulator at BA 1000 ppm (1 new bud/plant) and the lowest is control (0/plant). The average number of new leaves most is control (1 leaves/plant). Keywords: A. baginda, lateral bud induction, plant growth regulator. PENDAHULUAN Keanekaragaman hayati Indonesia menjadi sumber bagi pengembangan tanaman hias di Indonesia. Banyak tanaman yang awalnya hanya tumbuh liar hutan dikembangkan menjadi tanaman hias bernilai estetika tinggi melalui penyilangan dan teknik lain sehingga lahir ratusan PROSIDING, Copyright© 2016 60
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
varian baru yang meramaikan pasar tanaman hias Indonesia. Tanaman hias yang semula hanya merupakan hobi, kini menjadi peluang usaha yang menjanjikan dan menguntungkan secara ekonomi (Agromedia, 2007a). Beberapa waktu lalu, pasar tanaman hias diramaikan oleh famili Araceae seperti Aglaonema, Caladium, Philodendron dan Anthurium. Kini, marga Alocasia mulai menjadi idola. Daun Alocasia tebal dan memiliki urat daun menonjol dengan pola yang bermacammacam. Karakter seperti inilah yang banyak digemari hobiis tanaman hias akhir-akhir ini (Agromedia, 2007b). Selain itu, Alocasia juga asli Indonesia. Dari 70 spesies yang sudah dideskripsikan di dunia, sekitar 50% terdapat di kawasan hutan di kepulauan Indonesia. Sekitar 23 spesiesnya ditemukan di Kalimantan dan 20 di antaranya merupakan jenis-jenis endemik (Yuzammi, 2007). Salah satu tanaman Alocasia endemik Kalimantan Timur yang potensial untuk dikembangkan sebagai tanaman hias adalah Alocasia baginda Kurniawan & P.C. Boyce. Tanaman ini berasal dari Kalimantan Timur. Tanaman ini merupakan tanaman herba terrestrial yang tegap dengan tinggi 25-30 cm dan berkembang dari rhizome. Daunnya tumbuh bersamaan hingga 4 helai, menyebar, panjang petiolesnya 13-23 cm, terdapat seludang di bagian yang lebih pendek, gundul, hijau pucat dengan bercak putih tersebar di bagian bawah, selubung persisten; helai daun besar, bulat telur hingga sub-bundar, tangkai daunnya menjorok ke tengah daun, dengan panjang 10-18 cm dan lebar 7-12 cm; daunnya berbulu, tebal dan kokoh; permukaan daun bagian atas berwarna hijau gelap kusam dan abu-abu pucat, yang keduanya dipisahkan oleh urat daun utama dan marjinal; permukaan bawah daun hijau pucat dari bagian distal hingga pelepah, vena primer dan marginal berwarna merah tua, acuminate puncak ke apiculate; perbungaan berpasangan soliter, panjang gagang bunga 12-13 cm berwarna putih kehijauan (Kurniawan & P.C. Boyce, 2011). Morfologi tanaman ini terlihat pada Gambar 1. Meski potensial dikembangkan menjadi komoditas tanaman hias, namun Alocasia pada umumnya mengalami masalah, yaitu stoknya yang terbatas. Alokasia umumnya bisa diperbanyak setek batang/pucuk, pemisahan anakan, perbanyakan melalui umbi akar, cacah umbi akar dan biji (Swadaya, 2008). Namun metode-metode ini membutuhkan waktu lama, hingga akhirnya stok Alocasia yang beredar di pasar sebagian berasal dari hutan (AgroMedia 2007b). Oleh karena itu, diperlukan metode perbanyakan yang efektif untuk menghasilkan anakan dalam jumlah yang banyak dan dalam waktu secepatnya untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus meningkat. Alocasia baginda selama ini diperbanyak menggunakan pemisahan anakan (split). Pemisahan tersebut tidak efisien karena baru bisa dilakukan ketika umurnya telah dewasa dan secara fisik telah menghasilkan anakan. Pemisahan akan efisien jika tunas samping yang menghasilkan anakan bisa tumbuh lebih banyak. Oleh karena diperlukan cara untuk meningkatkan pertumbuhan tunas samping, sehingga anakannya lebih banyak. Salah satu caranya adalah dengan mengaplikasikan zat pengatur tumbuh (ZPT). Beberapa ZPT seperti asam giberelat (GA3) dan benzyladenine (BA) dapat menginduksi pertumbuhan vegetatif pada beberapa jenis tanaman. Aplikasi GA3 dan BA pada Anthurium meningkatkan jumlah tunas lateral dan waktu inisiasi tunas yang lebih cepat dibanding kontrol (Budiarto, 2010). Stek anak umbi Amorphophalus paenifollius yang dimanipulasi dengan asam giberelin (GA3) juga menghasilkan jumlah mata tunas yang berkecambah paling banyak (Cahyaningsih dan Siregar, 2013). Diharapkan hasil yang sama juga akan terjadi pada Alocasia baginda. Oleh karena itulah, penelitian yang bertujuan mengetahui pengaruh beberapa konsentrasi zat GA3 dan BA terhadap pertumbuhan tunas lateral pada tanaman Alocasia baginda ini dilakukan. MATERI DAN METODE Percobaan dilakukan di rumah kaca UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali pada bulan Juni-September 2014. Lokasi percobaan berada pada ketinggian 1250 m dpl. Bahan yang digunakan adalah rhizome Alocasia baginda, humus sebagai media PROSIDING, Copyright© 2016 61
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tanam, dan ZPT GA3 dan BA. Alat yang digunakan yaitu pot ukuran diameter 15 cm, pisau, semprotan, dan alat tulis. Percobaan mengunakan rancangan faktorial dengan dua faktor yaitu jenis ZPT (GA3dan BA) serta konsentrasi ZPT (0, 500 dan 1000 ppm). Parameter yang diamati adalah persentase rhizome yang mampu tumbuh, jumlah tunas yang tumbuh dan jumlah daun. Jumlah tunas dihitung dari tunas yang muncul dari mata tunas. Jumlah daun dihitung berdasarkan jumlah daun baru yang terbentuk setelah pemangkasan. Material Alocasia baginda di Kebun Raya “Eka Karya” Bali masih sangat terbatas, sehingga penelitian ini hanya melakukan 5 perlakuan dengan 3 ulangan. Total spesimen yang digunakan sebanyak 15 pot. Rhizome Alocasia baginda dipilih dari tanaman yang telah memiliki minimal 3 helai daun. Rhizome kemudian ditanam dalam pot diameter 15 cm dengan media tanaman humus. Rhizome kemudian disemprot dengan ZPT. Setiap formula semprotan dicampur dengan 0,05% tween 20. Penyemprotan dilakukan satu kali hingga basah (± 40 ml). HASIL Hasil pengamatan pengaruh ZPT terhadap pertumbuhan Alocasia baginda pada minggu ke 12 terlihat pada parameter persentase pertumbuhan, jumlah tunas baru dan jumlah daun yang terbentuk. Rata-rata persentase pertumbuhan Alocasia baginda terbaik diperoleh pada perlakuan ZPT BA 500 ppm dan kontrol (0 ppm) karena semua sampel yang diuji tetap hidup. Sedangkan Alocasia yang diberi perlakuan (GA3 500 ppm,GA3 1000 ppm, BA 1000 ppm) mengalami kematian masing-masing satu sampel.
Gambar 1. Rata-rata persentase pertumbuhan Alocasia baginda setelah pemberian GA3 dan BA pada 12 minggu setelah aplikasi Kontrol (0 ppm)
GA3 (500 ppm)
GA3 (1000 ppm)
BA (500 ppm)
BA (1000 ppm) Jumlah tunas baru*; BA (1000 ppm); 1
Jumlah tunas baru*; Jumlah tunas baru*; Jumlah tunas baru*; GA3 (500 ppm); 0,67 GA3 (1000 ppm); 0,67 BA (500 ppm); 0,67
Jumlah tunas baru*; Kontrol (0 ppm); 0
Gambar 2. Rata-rata jumlah tunas baru Alocasia baginda setelah pemberian GA3 dan BA pada 12 minggu setelah aplikasi PROSIDING, Copyright© 2016 62
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Penggunaan ZPT terlihat mempengaruhi pertumbuhan tunas. Pada Gambar 2 terlihat rata-rata jumlah tunas baru yang paling banyak (1 tunas/tanaman) adalah pada perlakuan BA 1000 ppm, sedangkan yang terendah adalah pada kontrol (0 ppm) karena hingga minggu ke-12 setelah aplikasi tidak menghasilkan tunas baru. Perlakuan pemberian BA 500 ppm, GA3 1000 ppm dan GA3 500 ppm juga menghasilkan tunas baru namun rata-ratanya kurang dari 1 tunas/tanaman karena ada sampel tanaman yang mati. Parameter yang lain yang diamati adalah jumlah daun. Gambar 3 memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah daun terbanyak adalah pada kontrol (0 ppm) yaitu 1 daun/tanaman, sedangkan jumlah daun yang paling sedikit adalah pada pemberian BA (1000 ppm) yaitu 0 daun/tanaman.
Gambar 3. Rata-rata jumlah daun Alocasia baginda setelah pemberian GA3 dan BA pada 12 minggu setelah aplikasi PEMBAHASAN Alocasia baginda yang mendapat perlakuan GA3 dan BA memperlihatkan pertumbuhan tunas lateral pada 12 Minggu Setelah Tanam (MST). Jumlah tunas lateral baru terbanyak terdapat pada perlakuan BA 1000 ppm. Tunas lateral baru juga ditemukan pada sampel yang mendapat perlakuan ZPT BA 500 ppm, GA3 500 ppm, dan GA3 1000 ppm. Hal ini berbanding terbalik dengan kontrol yang belum menghasilkan tunas lateral sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian ZPT memang berpengaruh terhadap tumbuhnya tunas lateral. Hasil ini juga sesuai dengan yang dilakukan Sutisna (2010), bahwa aplikasi GA3 dan BA pada tanaman Anthurium cv. Carnaval juga meningkatkan jumlah tunas lateral, panjang tunas, dan jumlah daun muda yang terbentuk dibandingkan tanpa aplikasi ZPT. Namun demikian, pertumbuhan tunas lateral ini lebih lama dibandingkan pada Anthurium cv. Carnaval yaitu 4 minggu setelah pemberian aplikasi ZPT (Sutisna, 2010). Kemungkinan hal ini disebabkan oleh perbedaan konsentrasi ZPT yang diberikan. Rata-rata jumlah daun baru yang terbentuk paling banyak terdapat pada kontrol (0 ppm), sedangkan daun yang dihasilkan rhizome yang disemprot BA dan GA3 lebih sedikit. Hasil ini berbeda dengan yang diperoleh Sardoei (2014) yang menyatakan bahwa penggunaan BA dan GA3 meningkatkan jumlah daun baru yang terbentuk pada Dizigotheeca elegantissima, Schefflera arboricola L dan Ficus benjamina L. dengan dosis 100-200 ppm pada 60 hari setelah penyemprotan. Meski demikian beberapa penelitian lain juga memberikan informasi bahwa BA dan GA3 tidak mempengaruhi jumlah daun sampel. Puspitasari (2008) menyatakan tanaman A. hookeri mempunyai jumlah daun yang paling sedikit pada perlakuan GA3 karena GA3 lebih banyak pengaruhnya pada pertumbuhan ruas-ruas batang daripada pada pertumbuhan daun. Hasil penelitian Nixon dan Wilfret (1993) memperlihatkan bahwa penggunaan BA (12,5; 25; 50 ppm) tidak berpengaruh terhadap pembentukan daun baru pada umbi Caladium. PROSIDING, Copyright© 2016 63
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi” A
B
C
Gambar 1. A. Morfologi daun Alocasia baginda; B &C Tunas lateral pada Alocasia baginda Variasi pengaruh yang ditunjukkan oleh hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penggunaan ZPT yang spesifik akan menghasilkan respon yang spesifik pula (Latimer & Scoggins, 2012), apalagi ZPT juga berkombinasi dengan hormon alam (Hartmann et.al. 1997). BA sebagai salah satu bentuk sitokinin, membantu proses pembelahan sel selain itu menghambat penuaan (Hartmann et.al. 1997) dan meningkatkan jumlah cabang lateral (Latimer & Scoggins, 2012). Sementara GA3 sebagai bentuk dari Gibberellin berperan dalam pembentukan enzim benih pada sereal, menginduksi perkecambahan biji, dan merangsang pembungaan pada tanaman hari panjang dan biennials (Hartmann, et.al.1997). Senyawa ini juga memiliki fungsi penting pada perkecambahan dan mengontrol dormansi.. Belum tampaknya pengaruh yang nyata ZPT pada penelitian ini juga disebabkan oleh terbatasnya sampel penelitian. Jika ditingkatkan jumlah sampelnya, hasil yang didapatkan diharapkan lebih terlihat. SIMPULAN Perbanyakan Alocasia baginda dengan menggunakan zat pengatur tumbuh BA dan GA3 dengan dosis 500-1000 ppm dapat meningkatkan rata-rata jumlah tunas lateral yang tumbuh. Namun demikian, penelitian ini sebaiknya dilakukan lebih lanjut dengan jumlah sampel dan perlakuan konsentrasi yang lebih banyak dan beragam supaya hasilnya lebih signifikan. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih diucapkan kepada Tri Warseno, Ni Putu Sri Asih dan Kepala Satker UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Penelitian ini didanai dari Sub kegiatan Konservasi jenis-Jenis Araceae di Pulau Kalimantan. DAFTAR PUSTAKA Agromedia, R. 2007a. Mempercantik Daun Alocasia. AgroMedia Pustaka, Jakarta. Agromedia, R. 2007b. Ensiklopedia Tanaman Hias. AgroMedia Pustaka, Jakarta. Budiarto, K. 2010. GA3 and BA promote lateral shoot production on several cut flower Anthurium cultivars. Agrivita. 32(1): 13-18.
PROSIDING, Copyright© 2016 64
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Cahyaningsih, R. dan H.M. Siregar. 2013. Upaya memperoleh bibit Suweg {Amorphophallus Paeoniifolius (Dennst.) Nicolson} melalui stek umbi dan stek rachis yang dimanipulasi dengan Zat Pengatur Tumbuh. Berita Biologi 12(1) - April 2013. Hal. 87-95. Hartmann, H.T.; D.E.Kester; F.T.Davies and R.L. Geneve. 1997. Plant propagation. Principles and Practices. Sixth edition. Prentice Hall. New Jersey. Kurniawan, A and P.C.Boyce. 2011. Studies on the Alocasia Schott (Araceae-Colocasieae) of Borneo II: Alocasia baginda, a New species from eastern Kalimantan, Indonesia. Acta phytotax. Geobot. 60(3): 123-126 Latimer, J.G., and H. Scoggins.2012. Using Plant Growth Regulators on containerized Herbaceous Perennials. Colleger of Agriculture and Life sciences. Virginia Polytechnic institute and State University. 40 page. Nixon, S.E. and G.J.Wilfet. 1993. Effect of plant growth regulator on leaf development of Caladium. Proc. Fla. State Hort. Soc. 106: 283-286 Puspitasari, A.C. 2008. Pengaruh komposisi media dan macam zat pengatur tumbuh terhadap pertumbuhan tanaman anthurium hookeri. Skripsi. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Swadaya, RP. 56 Alokasia Eksotis: Memperbanyak, Merawat dan Mempercantik. Penebar Swadaya, Jakarta. Sardoei, A.S. 2014. Plant growth regulators effects on the growth and photosynthetic pigments on three indoor ornamental plants. European Journal of Experimental Biology, 4(2):311-318 Sutisna, A. 2010. Teknik mempercepat pertumbuhan tunas lateral untuk perbanyakan vegetative Anthurium dengan aplikasi GA3 dan BA. Buletin Teknik Pertanian.Vol. 15. No 2. Hal:56-59 Yuzammi. 2007. Primadona Baru Alokasia Eksotis. Cetakan pertama. PT. Gramedia. Jakarta
PROSIDING, Copyright© 2016 65
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
EKSPLORASI JENIS-JENIS ARACEAE DI BUKIT MESEHE KABUPATEN JEMBRANA ARACEAE EXPLORATION AT MESEHE MOUNTAIN FOREST, JEMBRANA DISTRICT Siti Fatimah Hanum dan Ni Putu Sri Asih UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali-LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali. 82191 *Email :
[email protected] ABSTRAK Araceae atau talas-talasan merupakan suku yang memiliki banyak kegunaan bagi kehidupan manusia diantaranya sebagai bahan pangan, obat dan hias. Pada umumnya Araceae menyukai tempat terlindung dan lembab. Luas kawasan hutan di Kabupeten Jembrana adalah 41.307,27 Ha atau 7,34% dari luas Pulau Bali atau 31,83% dari luas kawasan hutan Pulau Bali atau 49,07% dari luas daratan Kab. Jembrana. Kawasan hutan Jembrana hampir 80,47% berupa kawasan fungsi lindung. Meski demikian tingkat kerusakan hutan di Jembrana juga cukup tinggi sehingga memungkinkan hilangnya jenis-jenis Araceae. Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengkoleksi dan mencari informasi penyebaran Araceae di Kab. Jembrana. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 7-11 September 2015 di Bukit Mesehe. Jenis Araceae yang dikoleksi sebanyak 8 nomor dan non Araceae sebanyak 4 nomor. Informasi distribusi araceae di jelaskan dalam artikel ini. Kata kunci : Araceae,exploration, Bukit Mesehe, Jembrana ABSTRACT Aroid has many potential uses like as food, medicine and ornament. Generally aroid loves shaded and humid place. Jembrana district has bigger forest at Bali island. Almost 80,47% has function as reserve forest. Unfortunatelly forest destruction rate also higher at Jembrana district makes many aroid plant gone before conserve. The goal of this research are to collect for conserve aroid plants and list distribution of aroid plants.. This research conduct at Mesehe Mountain Forest from September 7-11, 2015. From this exploration there are 8 number of araceae and 4 number of non araceae. Beside that information about aroid species distribution also explained in this paper. Key words: Araceaea, Eksplorasi, Mesehe mountain forest, Jembrana PENDAHULUAN Araceae atau yang lebih dikenal sebagai talas-talasan merupakan tanaman herba yang memiliki banyak fungsi penting bagi kehidupan manusia, diantaranya sebagai sumber pangan seperti Colocasia esculenta (L.) Schott (Talas), Amorphophallus paeniifolius (Dennst.) Nicolson (Suweg) dan Xanthosoma sagittifolium (L.) Schott (Keladi), xanthosoma), Obat seperti Typhonium flagelliforme Blume (Keladi tikus) dan tanaman hias (Alocasia, Anthurium). Karakteristik utama dan unik dari suku ini adalah perbungaan yang tersusun dalam bentuk tongkol (spadix) yang dikelilingi oleh seludang (spathe). Umumnya hidup ditempat terlindung dan lembab, walaupun ada beberapa jenis yang mampu hidup ditempat kering dan terbuka. Araceae terdiri dari 105 marga dan lebih dari 3.300 jenis di seluru dunia (Mayo et.al.,1997) sedangkan yang tersebar di Kepulauan Sunda kecil (termasuk Bali) ada 14 marga
PROSIDING, Copyright© 2016 66
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dan 22 spesies (Kurniawan dan Asih, 2012). Jumlah ini masih bertambah karena masih dalam tahap penelitian. Provinsi Bali memiliki hutan seluas 130.766,06 Ha atau 22,42% dari luas daratan Pulau Bali. Sebagian besar kawasan hutan berfungsi sebagai hutan lindung, hutan produksi dan Hutan Konservasi (Cagar alam, Taman Nasional, Taman Wisata alam, dan Taman Hutan Raya). Dalam pengelolaannya, kawasan hutan di Bali dibagi dalam 3 wilayah pengelolaan yaitu KPH (Kesatuan Pengelolaan Hutan) Bali Barat, KPH Bali tengah dan KPH Bali Timur. Kawasan hutan KPH bali barat meliputi 3 kabupaten yaitu Kabupaten Buleleng, Jembrana dan Tabanan dengan luas 66.763,41 ha (UPT KPHL Bali Barat,2012). Meski demikian tingkat kerusakan hutan dan perubahan fungsi hutan di Bali juga cukup tinggi yaitu sebesar 24,34 persen dari total luas hutan di Bali (Dewi dkk, 2014). Keadaan ini tentu menghawatirkan mengingat masih adanya Araceae yang belum terkonservasi di kebun raya “Eka Karya” Bali dan informasi keberadaannya yang masih sedikit di Bali. Kebun raya ”Eka Karya” Bali merupakan salah satu lembaga konservasi ex situ yang memiliki misi untuk melestarikan tumbuhan kawasan timur Indonesia termasuk didalamnya Pulau Bali. Salah satu tujuan kegiatan inventarisasi dan eksplorasi Araceae adalah Kabupaten Jembrana. Luas kawasan hutan di Kabupeten Jembrana adalah 41.307,27 Ha atau 7,34% dari luas Pulau Bali atau 31,83% dari luas kawsan hutan Pulau Bali atau 49,07% dari luas daratan Kab. Jembrana. Kawasan hutan Jembrana hampir 80,47% berupa kawasan fungsi lindung (Profil Kabupaten Jembrana, 2014). Eksplorasi ini bertujuan untuk menginventarisasi dan mengkoleksi beberapa jenis-jenis Araceae Pulau Bali dan non Araceae yang ada di lokasi eksplorasi dan sekitarnya khususnya jenis penting, berpotensi, langka atau bernilai ilmiah serta mencari informasi penyebaran Araceae di Kabupeten Jembrana. MATERI DAN METODE Eksplorasi dilakukan di Bukit Mesehe yang termasuk dalam Resort Pemangkuan Hutan (RPH) Tegalcangkring pada tanggal 7-11 september 2015, di Dusun Panca Seming, Desa Batu Agung, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana. Metode pengumpulan material hidup (anakan, stek, biji) dilakukan dengan metode jelajah (Rugayah, dkk., 2005). Jenis yang dikoleksi adalah jenis Araceae dan jenis lain yang diduga belum dikoleksi di Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Material yang dikumpulkan kemudian diberi identitas dengan label mikolin kuning. Data yang tercantum adalah tanggal dan lokasi pengambilan sampel, nama kolektor, nama spesies tanaman. Data penyebaran Araceae di Bali diperoleh dari data kebun di unit Registrasi Kebun Raya “Eka Karya” Bali ditambah data jenis araceae yang ditemukan di lapangan. HASIL Profil Hutan Bukit Mesehe (1.300 mdpl) terletak di Kecamatan Mendoyo Kabupaten Jembrana. Bukit Mesehe memiliki air terjun kembar dengan panorama alam yang sangat indah. Jika masuk dari Dusun Pancaseming Desa Batu Agung, wilayah Bukit Mesehe termasuk dalam RPH Tegalcangkring. Jenis tanah di RPH Tegal cangkring termasuk tanah latosol. Jenis tanah Latosol merupakan jenis tanah yang telah berkembang atau telah mengalami diferensiasi horizon, solum tanah cukup dalam/tebal, tekstur tanah lempung-berliat, struktur tanah remah hingga gumpal, konsistensi gembur hingga agak teguh, warna coklat, kemerahan hingga kekuningan, bahan induk penyusunnya berasal dari material vulkanik (breksi, batuan beku intrusi dan tuf), kepekaan tanah terhadap erosi adalah agak peka. Jenis tanah litosol. Berdasarkan tipe iklim Schimdt dan Ferguson, RPH Tegalcangkring termasuk kedalam tipe C (Agak basah) dengan nilai Q antara 33,33%-60%
PROSIDING, Copyright© 2016 67
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gambar 1. Peta lokasi eksplorasi Bagian hutan yang dekat dengan pemukiman sudah mengalami perubahan fungsi lahan menjadi perkebunan pisang pisang dan singkong. Vegetasi pohon yang dijumpai adalah Pterospermum javanicum Jungh.(Bayur), Pterospermum diversifolium Blume, Calophyllum soulattri Burm.f., Polyosma integrifolia Blume, Alstonia scholaris (L.) R. Br., Syzygium antisepticum (Blume) Merr.&L.M.Perry, Syzygium racemosum, Garcinia sp, Didimorcapus sp, Gloxidion, Dendrocnide stimulans (l.f.) chew, Pittosporum moluccanum Miq., Pinanga coronata (Blume ex Mart.) Blume, Pinanga sp., Pinanga arinasae Witono, Podocarpus sp., Dysoxylum sp (Kwanitan), Meliosma peruginea, Knema cinerea Warb., Platea sp., Ficus fistulosa Reinw.ex Blume, Elaeocarpus sp., Ardisia humilis Vahl., Nauclea sp., Cyathea contaminant (Wall.ex Hook.) Copel., Trema orientalis (L.) Blume. Ground cover yang dijumpai adalah Selaginella sp., Cyclosorus, Asplenium sp., Calamus sp., Cloranthus sp., Zingiber sp., Diplazium sp., Phaius sp.,Plocoglottis sp. Hasil eksplorasi Berdasarkan hasil eksplorasi diperoleh tanaman sebanyak 12 nomor, 9 jenis, 7 marga dan 4 suku. Sedangkan untuk Araceae sendiri hanya terkoleksi 23 spesimen, 4 marga dan 5 jenis (Tabel 1.). Pada eksplorasi ini tidak ditemukan koleksi baru dari suku Araceae untuk Kebun Raya “Eka Karya” Bali. Jenis-Jenis Araceae yang dijumpai dilokasi adalah Arisaema sp, Aglaonema simplex, Alocasia longiloba, Homalomena sp, Schismatoglottis calyptrata, Amorphophallus variabilis, Alocasia alba, Colocasia esculenta, Scindapsus hederaceus. Berdasarkan data unit Registrasi per Oktober 2015, baik koleksi hidup maupun herbarium, Koleksi Araceae asal Bali Kebun Raya “Eka Karya” Bali berjumlah 24 jenis dan 13 marga (Tabel 2.). Jika dibandingkan dengan informasi tentang jumlah jenis Araceae di Pulau Bali yang terdiri dari 23 jenis dan 12 marga (Tabel 3), koleksi Araceae di Kebun Raya Eka Karya Bali memiliki jumlah jenis dan marga lebih banyak.
PROSIDING, Copyright© 2016 68
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Perolehan tanaman Araceae hasil ekplorasi No
No Akses*
1.
E2015090001
2
E2015090002
3
E2015090003
4
E2015090004
5
E2015090005
6
E2015090006
7
E2015090007
8
E2015090008
9
E2015090009
10
E2015090010
11
E2015090011
12
E2015090012
Nama Tumbuhan (Latin), Nama Daerah, Suku Alocasia longiloba Miq. (Araceae) Syzygium sp (juwet hutan ND) (Myrtaceae) Alocasia alba Schott. (Araceae) Alocasia longiloba Miq. (Araceae) Alocasia longiloba Miq. (Araceae) Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Zoll.& Moritzi (Araceae) Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Zoll. & Moritzi. (Araceae) Homalomena sp. Begonia multangula.Blume Colocasia esculenta (L.) Schott. Begonia coreacea Hassk. Pinanga sp. (Buah riang)
Habitus
Jml
Jenis Material
Habitat, altitude, pH, RH, dll.
Hb
3
P
T
20
S
Hb
3
P
Hb
3
P
Hb
1
P
Hb
5
P
Hb
5
P
Hutan primer.682 m dpl
Hb
1
P
Hb
2
P
Hb
2 1
P H
Hutan primer,tepi sungai.591,57 m dpl Hutan primer, tepi sungai.591,57 m dpl Hutan primer.tepi sungai.591,57 m dpl
Hb
3
P
T
8
P
Hutan primer.682 m dpl, PH 6,6; kemiringan 45% Hutan primer.682 m dpl Hutan primer. 682 m dpl, PH 6,6; kemiringan 45% Hutan primer. 682 m dpl. Hutan primer.561,7 m dpl Hutan primer.tepisungai. 591,57 m dpl
Hutan primer, tepi sungai.tebing.591,57 m dpl Hutan primer,681 m dpl
PROSIDING, Copyright© 2016 69
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2. Data jenis Araceae asal Bali di Kebun Raya Eka Karya Bali dan persebarannya No 1 2
Nama jenis Aglaonema simplex (Blume) Blume; Alocasia alba Schott;
3
Alocasia macrorrhizos (L.) G. Don;
4 5
Alocasia longiloba Miq. Amorphophallus muelleri Blume; Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson;
6 7 9 10
11 12 13
14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24
Amorphophallus variabilis Blume; Arisaema filiforme (Reinw.) Blume Colocasia esculenta (L.) Schott. Colocasia gigantea (Blume) Hook. f.; Epipremnum pinnatum Engl.; Homalomena cordata Schott;
Homalomena pendula (Blume) Bakh.f. Homalomena sp. Remusatia vivipara (Roxb.) Schott; Rhaphidophora sp. Rhaphidophora sylvestris (Blume) Engl. Sauromatum horsfieldii (Miq.) Steenis Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Zoll. & Moritzi Schismatoglottis sp. Scindapsus hederaceus Miq. Scindapsus sp.; Typhonium blumei Nicolson & Sivad.
Distribusi Negara (Jembrana), Perean (Tabanan), Lempuyang (Karangasem) Bukit pengelengan (Badung), Munduk Pengubengan, Lempuyang (Karangasem), Batukaru (Tabanan) Melaya (Jembrana), Sukasada (Buleleng), Menanga, Abang dan Selat (Karangasem), Susut dan Penglipuran (Bangli), Ubud (Gianyar) Jembrana Lempuyang (Karangasem), Perean (Tabanan), Pendem (Jembrana), Bukit Silangjana (Buleleng) Melaya, Mendoyo (Jembrana), Penebel, Perean dan Kerambitan (Tabanan), Sukasada dan Banjar (Buleleng), Manggis (Karangasem) Singaraja, Karangasem, Jembrana Candikuning (Tabanan) Baturiti dan Penebel (Tabanan), Payangan dan Tegallalang (Gianyar), Karangasem dan Selat (Karangasem), Kintamani (Bangli), Alasangker dan Sukasada (Singaraja) Bukit Masehe (Jembrana) Candikuning (Tabanan), Munduk waru (Jembrana) Gunung Batukaru (Tabanan), Wanagiri dan Sukasada (Buleleng), Bkt Lempuyang (Karangasem), Dewasana dan Melaya (Jembrana), Tegalalang (Gianyar), Kubu (Bangli), Tiyingan (Klungkung) Dewasana (Jembrana) Marga dan Gng Batukaru (Tabanan), Wanagiri (Buleleng), Melaya dan Bkt. Masehe (Jembrana), Rendang (Karangasem), Bukit Pengelengan (Badung) Danau Buyan (Buleleng) Penebel, Gng Batukaru (Tabanan), Sukasada (Buleleng), Dewasana (Jembrana) Bkt Lempuyang (Karangasem) Candikuning (Tabanan) Taman Bali (Bangli), Penebel (Tabanan) dan Dewasana (Jembrana) Busungbiu (Buleleng), Mendoyo (Jembrana), Gng Batukaru (Tabanan) Tabanan Dewasana (Jembrana) Perean (Tabanan)
PROSIDING, Copyright© 2016 70
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 3. List Araceae Pulau Bali No 1 2 3 4
Nama Jenis Aglaonema simplex (Blume) Blume Alocasia alba Schott. Alocasia longiloba Miq. Alocasia macrorrhizos (L.) G.Don
No 13 14 15 16
5
Alocasia sp. 1
17
6 7
Alocasia sp. 2 Amorphophallus muelleri Blume Amorphophallus paeoniifolius (Dennst.) Nicolson Amorphophallus variabilis Blume Arisaema filiforme (Reinw.) Blume Colocasia esculenta (L.) Schott Colocasia gigantea (Blume) Hook.f
18 19
Nama Jenis Epipremnum pinnatum (L.) Engl. Homalomena cordata Schott Rhaphidophora sp. Remusatia vivipara (Roxb.) Schott Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Zoll. & Moritzi Scindapsus hederaceus Miq. Scindapsus sp.
20
Typhonium blumei Nicolson & Sivad.
21 22 23
Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume Typhonium horsfieldii (Miq.) Steenis Typhonium roxburghii Schott
8 9 10 11 12
(Kurniawan dan Asih, 2012; Kurniawan et al, 2013) PEMBAHASAN Dari Tabel 2 terlihat bahwa hampir semua kabupaten di Bali sudah dijadikan sebagai lokasi eksplorasi tanaman araceae. Secara jumlah sudah 104 % untuk jenis dan 108,3% untuk marga Araceae yang ada di Pulau Bali telah terkonservasi di Kebun Raya Eka Karya Bali. Jumlah marga lebih banyak disebabkan karena terjadi perubahan marga yaitu Sauromatum horsfieldii (Miq.) Steenis yang semula adalah Typhonium horsfieldii (Miq.) Steenis. Beberapa koleksi ada yang belum tercatat dalam daftar jenis Aracaea Pulau Bali yaitu Homalomena pendula, Homalomena sp., dan Rhaphidophora sylvestris. Ketiga jenis tersebut bukan merupakan jenis distribusi baru, karena tercatat sebagai jenis yang ada di Kepulauan Sunda Kecil, termasuk di dalamnya Pulau Bali. Selama ini belum ada data yang menjelaskan jenisjenis Araceae yang ada di masing-masing pulau di Kepulauan Sunda Kecil, hanya Pulau Bali yang sudah tercatat. Dilihat dari Tabel 3, masih ada dua jenis Araceae Bali yang belum terkonservasi di Kebun Raya Eka Karya Bali yaitu Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume dan Typhonium roxburghii Schott. Oleh karena itu penelitian dan inventarisasi tentang Araceae di Pulau Bali masih perlu dilanjutkan. Selain itu ada beberapa jenis Araceae Kepulauan Sunda Kecil yang belum terkonservasi di Kebun Raya. Salah satu data yang dikumpulkan ketika mengkoleksi material eksplorasi adalah lokasi. Data lokasi berperan penting dalam upaya mengetahui penyebaran jenis tersebut di alam. Perjalanan ke Bukit Mesehe di Kabupaten Jembrana dapat menambah jumlah data penyebaran jenis-jenis araceae tertentu. Berikut deskripsi untuk 5 jenis Araceae yang sudah dikoleksi dan teridentifikasi dari Bukit Mesehe: Alocasia alba Schott. Deskripsi : Herba, tinggi mencapai 2 meter; tangkai daun berwarna hijau, pelepah daun 1/4-1/3 panjang tangkai daun, berwarna hijau; daun tebal, berwarna hijau dengan bentuk bulat telur-memata panah hingga menjantung-memata panah, tepi daun agak bergelombang, ujung daun agak meruncing, ibu tulang daun dan tulang daun primer menonjol pada kedua sisi daun, tulang daun sekunder tenggelam pada bagian atas daun dan menonjol pada bagian bawah daun; perbungaan dapat mencapai 10 bunga, tapi pada umumnya sepasang, gagang perbungaan dapat mencapai panjang 38 cm, seludang dapat mencapai panjang 17 cm, seludang bawah berwarna hijau-krem kehijauan, seludang atas tebal berwarna kuning kehijaun-putih kehijauan, tongkol dapat mencapai panjang 16 cm, duduk atau bertangkai sangat pendek, bunga betina tersusun rapat, berwarna hijau, bakal buah berbentuk bulat telur-agak membulat, kepala putik berwarna putih-krem, terdiri dari 2-3 lobus, bunga jantan dan apendiks berwarna krem, buah berwarna oranye (Kurniawan et al., 2013). PROSIDING, Copyright© 2016 71
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Aglaonema simplex (Blume) Blume Deskripsi : Tinggi dapat mencapai 100 cm, berbatang putih abu-abu. Daun berbentuk elips hingga memanjang, pangkal daun membulat, ujung daun meruncing, tepi daun agak bergelombang, berwarna hijau polos, seperti kulit, midrib dan tulang daun primer tenggelam. Pelepah daun kira-kira ½-7/8 panjang tangkai daun. Seludang bunga berwarna hijau kekuningan- putih kehijauan, ketika membuka/antesis, tongkol memanjang. Panjang tongkol 5–7 cm, warna putih dengan buah masak berwarna merah. Colocasia esculenta Deskripsi : Daun bentuk jantung, permukaan daun licin, tidak mengkilat dan kedap air, tepi daun rata, warna daun hijau muda sampai hijau tua, helaian daun lebih dari 50-75cm x2545 cm, tangkai daun subpeltata sampai peltata, panjangnya 50-100 cm, pelepah daun 1/3 panjang tangkai daun, Tongkol ditutup seludang warna hijau dibawah dan warna putih-oranye pada seludang atas dengan panjang sekitar 10 cm dan agak tebal. Tongkol duduk atau tidak bertangkai, lebih pendek dari seludang, bakal buah rapat dan berwarna hijau, bunga steril antara bunga betina dan jantan berwarna krem, bunga jantan berwarna kuning dan apendiks berwarna ivory, diameter lebih kecil dari bunga jantan. Dijumpai dipinggiran aliran sungai Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Zoll.& Moritzi Deskripsi : Herba, berstolon yang membentuk koloni, tinggi 15-60 cm, batang hapaxantic, tangkai daun mulus, berukuran 5-50 cm panjangnya, seludang daun 1/3 panjang tangkai daun, persistent; daun berwarna hijau kusam, berbentuk oblong hingga melanset dengan pangkal daun menjantung, ibu tulang daun dan tulang daun primer pada bagian bawah daun menonjol dan tenggelam pada bagian atas daun, tulang daun primer tidak bercabang tapi terkadang bercabang satu atau dua terutama ada bagian dekat tangkai daun; perbungaan terdiri dari 1-8 bunga, berbau dan tegak ketika antesis, seludang panjangnya 3,5-12 cm, berlekuk pada bagian bawah zona bunga jantan, seludang bawah bulat hampir setengah panjang seludang, berwarna hijau, seludang atas berwarna kuning kehijauan dan lepas ketika bunga anthesis, tongkol berukuran sama panjang dengan seludang, zona bunga betina sekitar setengah dari panjang tongkol, sessile, bunga betina berwarna hijau pucat, tersusun rapat, kepala putik seperti kapas, interpistillar staminodes berwarna putih, lebih tinggi dari bunga betina, sedikit jumlahnya, zona bunga jantan kira – kira panjangnya setengah dari zona bunga betina, berwarna krem. Habitatnya tumbuh pada hutan dataran rendah dan pegunungan rendah (terkadang terdapat pula pada gunung bagian atas), tepi hutan pada daerah yang basah dan berdrainase baik dari ketinggian laut hingga 1700 mdpl (Hay and Yuzammi, 2000). Di lokasi eksplorasi ditemukan pula Schismatoglottis calyptrata yang hidupnya terrestrial dan epifit. Amorphophallus variabilis Bl. Deskripsi: Herba musiman, daun tunggal atau kadang-kadang dua, tangkai daun bervariasi, warna hijau muda-hijau, hijau keabuan atau coklat tua dengan corak bulat, oval atau bulat memanjang berwarna hijau tua, putih hijau keabuan, coklat tua atau kehitaman. Anak daun elips-lanset. Pembungaan terdiri dari satu bunga, tangkai bunga sama dengan tangkai daun, halus. Seludang bawah berwarna kuning-putih kehijauan dengan corak puth dan coklat tua. Seludang atas berwarna hijau pucat di bagian luar dan didalam putih. Tongkol tidak bertangkai, biasanya jauh lebih panjang dari seludang, dua kali atau lebih panjang seludang. Bakal buah hijau-kuning kehijauan, kepala putik terdiri dari dua lobe, warna kuning terang. Tidak ada bunga steril, bunga jantan krem, apendiks kuning pucat, panjangnya dua kali zona bunga betina dan jantan. Buah oranye-merah (Backer. & Bakhuizen van den Brink, 1968).
PROSIDING, Copyright© 2016 72
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
A
D
G
B
E
H
C
F
I
Gambar 2. Morfologi jenis-jenis Araceae di Bukit Masehe Jembrana Bali. A. Aglaonema simplex (Blume) Blume.; B. Alocasia alba Schott.; C. Alocasia longiloba Miq.; D. Amorphophallus variabilis Blume.; E. Arisaema sp.; F. Colocasia esculenta (L.) Schott.; G. Homalomena sp.; H. Schismatoglottis calyptrata (Roxb.) Zoll. & Moritzi; I. Scindapsus hederaceus Miq. © Foto: A,D,H,I GM. Sudirga; B,C,G NPS Asih; E. Gd. Tirta; F. A.Kurniawan
PROSIDING, Copyright© 2016 73
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SIMPULAN Berdasarkan hasil eksplorasi di Bukit Mesehe diperoleh informasi jenis-jenis araceae yang ditemukan di lokasi sebanyak 9 jenis. Jumlah koleksi Araceae asal Bali yang terkoleksi di kebun raya Bali sudah 100% secara jumlah. Akan tetapi masih ada dua jenis yang belum dikoleksi yaitu Typhonium flagelliforme (Lodd.) Blume dan Typhonium roxburghii Schott. Beberapa koleksi ada yang belum tercatat dalam daftar jenis Aracaea Pulau Bali yaitu Homalomena pendula, Homalomena sp., dan Rhaphidophora sylvestris, tapi ketiga jenis tersebut bukan merupakan jenis distribusi baru, karena tercatat sebagai Araceae Kepulauan Sunda Kecil, termasuk Pulau Bali di dalamnya. Upaya penambahan koleksi melalui eksplorasi perlu dilakukan secara kontinyu untuk mendukung upaya pelestarian Araceae di Bali khususnya. UCAPAN TERIMAKASIH Terima kasih saya ucapkan kepada Kepala UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali atas kesempatan yang diberikan untuk mengikuti perjalanan eksplorasi. Penelitian ini didanai dari Sub kegiatan Konservasi jenis-Jenis Araceae di Pulau Kalimantan. DAFTAR PUSTAKA Backer, C.A. & Bakhuizen Van den Brink Jr., R.C. 1968. Flora of Java 3:111–113. Wolters–Noordhof NV, Groningen Hay A, Yuzammi. 2000. Schismatoglottideae (Araceae) in Malesia I Schismatoglottis. Telopea 9(1):1177 http://www.dephut.go.id/uploads/files/Stat_BKSDA_Bali_2008.pdf diakses tanggal 22 September 2015 http://www.kph.dephut.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=112&Itemid=327 diakses tanggal 22 September 2015 Kurniawan, A. dan N. P. S.Asih. 2012. Araceae Pulau Bali. LIPI PRESS. Jakarta Kurniawan, A., N.P.S. Asih, Yuzammi, and P.C.Boyce. 2013. Studies on the Araceae of the Lesser Sunda Islands I:New distribution records for Alocasia alba. Gardens’ Bulletin Singapore 65(2):157–162 Lestari, D., I.B.K. Arinasa dan R. Iryadi. 2015. Tumbuhan Berpotensi di Resort Pemangku hutan Tegalcangkring Kabupaten Jembrana, Bali. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas UNS Volume 3 (1): 34-39 Mayo, S.J., J. Bogner & P.C. Boyce (1997). The Genera of Araceae. The European Union. Continental Printing. Belgium. Profil Kabupaten Jembrana. 2014. Pemerintah Kab. Jembrana. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah dan Penanaman Modal UPT Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) Bali Barat.2012.Rencana Pengelolaan Hutan Jangka Panjang Tahun 2013-2022. UPT Kesatuan pengelolaan Hutan Lindung(KPHL) Bali Barat. Denpasar
PROSIDING, Copyright© 2016 74
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
EKSPLORASI TUMBUHAN YANG BERPOTENSI SEBAGAI PENGHASIL MINYAK ATSIRI DI KABUPATEN SUMBAWA - NTB I Putu Agus Hendra Wibawa*, I Gede Tirta dan I Nyoman Peneng UPT. Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191, *Email:
[email protected] ABSTRAK Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas ekspor agroindustri potensial yang dapat menjadi andalan bagi Indonesia untuk mendapatkan devisa. Data statistik ekspor-impor dunia menunjukan bahwa konsumsi minyak atsiri naiknya sekitar 10% dari tahun ke tahun. Kenaikan tersebut terutama didorong oleh perkembangan kebutuhan untuk industri food flavouring, industri komestik dan wewangian. Selain itu minyak atsiri belakangan banyak dimanfaatkan untuk pengobatan sebagai aromaterapi karena diketahui dapat menumbuhkan perasaan tenang, dapat menciptakan suasana yang damai, serta dapat menjauhkan dari perasaan cemas dan gelisah. Indonesia menghasilkan 40 dari 80 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasar dunia. Dari jumlah tersebut 13 jenis telah memasuki pasar atsiri dunia. Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai keanekaragaman hayati yang paling tinggi di dunia, sehingga diyakini masih banyak tumbuhan hutan yang berasal dari Kawasan Timur Indonesia yang belum diketahui potensinya sebagai penghasil minyak atsiri. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengkoleksi jenis-jenis tumbuhan yang diduga mengandung minyak atsiri, khususnya yang berasal dari Kabupaten Sumbawa NTB serta menggali informasi pemanfaatannya secara tradisional oleh masyarakat sekitar. Dari hasil eksplorasi diperoleh sebanyak 12 nomor koleksi yang terdiri atas : 5 Suku, 11 Marga, 12 Jenis dan 62 spesimen. Dari semua tanaman yang diperoleh beberapa tanaman biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar secara tradisional seperti memulihkan kebugaran untuk ibu yang baru melahirkan, mengobati memar dan bengkak, mengobati malaria, sebagai campuran bumbu masakan dan bahkan ada pula yang dapat dimakan langsung. Kata kunci : Ekplorasi, atsiri, Sumbawa, NTB PENDAHULUAN Banyaknya kekayaan hayati Indonesia menjadikan semakin berkembang ide-ide untuk meningkatkan nilai jual produk tanaman terutama tanaman penghasil minyak atsiri (essential oil). Indonesia menghasilkan 40 dari 80 jenis minyak atsiri yang diperdagangkan di pasar dunia. Dari jumlah tersebut 13 jenis telah memasuki pasar atsiri dunia, yaitu nilam, serai wangi, cengkih, jahe, pala, lada, kayu manis, cendana, melati, akar wangi, kenanga, kayu putih, dan kemukus. Sebagian besar minyak atsiri yang diproduksi petani diekspor dengan pangsa pasar untuk nilam 64%, kenanga 67%, akar wangi 26%, sarai wangi 12%, pala 72%, cengkih 63%, jahe 0,4%, dan lada 0,9% dari ekspor dunia (Rizal dan Djazuli, 2006). Hasil Konferensi Nasional Minyak Atsiri di Solo (2006) telah mengidentifikasi sebanyak 32 jenis minyak atsiri yang berpotensi untuk dikembangkan, diantaranya terdapat enam jenis minyak atsiri baru yang dapat dimanfaatkan secara komersial, yaitu minyak anis (anis oil), minyak peppermint (cornmint oil), kemangi atau basil (reunion type basil oil), serai wangi (lemon-grass West Indian Type), jeragau (calamus oil), dan bangle. Minyak atsiri dikenal dengan nama minyak eteris atau minyak terbang merupakan bahan yang bersifat mudah menguap (volatile), mempunyai rasa getir, dan bau mirip tanaman asalnya yang diambil PROSIDING, Copyright© 2016 75
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dari bagian-bagian tanaman seperti daun, buah, biji, bunga, akar, rimpang, kulit kayu, bahkan seluruh bagian tanaman. Minyak atsiri selain dihasilkan oleh tanaman, dapat juga sebagai bentuk dari hasil degradasi oleh enzim atau dibuat secara sintetis. Proses produksi minyak atsiri dapat ditempuh melalui 3 cara, yaitu: (1) pengempaan (pressing), (2) ekstraksi menggunakan pelarut (solvent extraction), dan (3) penyulingan (distillation). Penyulingan merupakan metode yang paling banyak digunakan untuk mendapatkan minyak atsiri. Penyulingan dilakukan dengan mendidihkan bahan baku di dalam ketel suling sehingga terdapat uap yang diperlukan untuk memisahkan minyak atsiri dengan cara mengalirkan uap jenuh dari ketel pendidih air (boiler) ke dalam ketel penyulingan. Minyak atsiri merupakan salah satu komoditas ekspor agroindustri potensial yang dapat menjadi andalan bagi Indonesia untuk mendapatkan devisa. Data statistik ekspor-impor dunia menunjukan bahwa konsumsi minyak atsiri naiknya sekitar 10% dari tahun ke tahun. Kenaikan tersebut terutama didorong oleh perkembangan kebutuhan untuk industri food flavouring, industri komestik dan wewangian (Rizal, M. et al. 2009). Selain itu minyak atsiri belakangan banyak dimanfaatkan untuk pengobatan sebagai aromaterapi karena diketahui dapat menumbuhkan perasaan tenang (rileks) pada jasmani, pikiran, dan rohani (soothing the physical, mind and spiritual), dapat menciptakan suasana yang damai, serta dapat menjauhkan perasaan cemas dan gelisah (Jaelani, 2009). Beberapa tumbuhan penghasil minyak atsiri dapat juga digunakan sebagai tanaman konservasi yang membuka peluang untuk dimanfaatkan dalam pemulihan lahan kritis di dataran rendah dengan tingkat kemiringan >30% (Daswir, 2010). Indonesia adalah salah satu negara yang mempunyai keanekaragaman hayati yang paling tinggi di dunia, sehingga diyakini masih banyak tumbuhan hutan yang berasal dari Kawasan Timur Indonesia yang belum diketahui potensinya sebagai penghasil minyak atsiri. Tujuan dari kegiatan ini adalah untuk mengkoleksi jenis-jenis tumbuhan yang diduga mengandung minyak atsiri, khususnya yang berasal dari Kabupaten Sumbawa NTB serta menggali informasi pemanfaatannya secara tradisional oleh masyarakat sekitar. MATERI DAN METODE Kegiatan Eksplorasi dilakukan pada bulan April 2015. Kawasan Pulau Sumbawa yang dipilih adalah Kecamatan Batulanteh, Kabupaten Sumbawa Besar. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode jelajah (Rugayah, dkk., 2005) dan inventarisasi secara random sampling (Simon, H. 1993). Pengkoleksian tanaman dilakukan dengan menjelajahi kawasan yang diduga memiliki tumbuhan yang berpotensi sebagai penghasil minyak atsiri. Setiap tumbuhan yang ditemukan diidentifikasi dengan memperhatikan ciri morfologinya. Sampel tumbuhan yang diambil, dirasakan dan dicium untuk mengetahui bau atsirinya. Wawancara juga dilakukan kepada penduduk sekitar lokasi eksplorasi untuk mengetahui pemanfaatan tanaman tersebut secara teradisional. HASIL DAN PEMBAHASAN Lokasi Eksplorasi
PROSIDING, Copyright© 2016 76
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi” Lokasi
Gambar 1. Lokasi Eksplorasi Letak Geografis dan Keadaan Alam Kabupaten Sumbawa sebagai salah satu daerah dari sembilan kabupaten/kota yang berada di wilayah Propinsi Nusa Tenggara Barat terletak di ujung barat Pulau Sumbawa, pada posisi 116" 42' sampai dengan 118" 22' Bujur Timur dan 8" 8' sampai dengan 9" 7' Lintang Selatan serta memiliki luas wilayah 6.643,98 km2. Bila dilihat dari segi topografinya, permukaan tanah di wilayah Kabupaten Sumbawa tidak rata atau cenderung berbukit-bukit dengan ketinggian berkisar antara 0 hingga 1.730 meter diatas permukaan air laut, dimana sebagian besar diantaranya yaitu seluas 355.108 ha atau 41,81 persen berada pada ketinggian 100 hingga 500 meter. Sementara itu ketinggian untuk kota-kota kecamatan di Kabupaten Sumbawa berkisar antara 10 sampai 650 meter di atas permukaan air laut. Ibu kota Kecamatan Batulanteh yaitu Semongkat merupakan ibu kota kecamatan yang tertinggi sedangkan Sumbawa Besar merupakan ibu kota kecamatan yang terendah. Kabupaten yang lebih dikenal dengan moto Sabalong Samalewa ini berbatasan dengan Kabupaten Sumbawa Barat di sebelah barat, Kabupaten Dompu di sebelah timur, Laut Flores di sebelah utara dan Samudra Indonesia di sebelah selatan. Jarak tempuh dari ibu kota kabupaten ke kota-kota kecamatan rata-rata 45 km. Kota kecamatan terjauh yaitu Kecamatan Tarano dengan jarak tempuh 103 km (Sumbawa Dalam Angka. 2014). Iklim dan Curah Hujan Daerah Kabupaten Sumbawa merupakan daerah yang beriklim tropis yang dipengaruhi oleh musim hujan dan musim kemarau. Pada tahun 2011 temperatur maksimum mencapai 36,6° C yang terjadi pada bulan Oktober dan temperatur minimum 32,0° C yang terjadi pada bulan Januari. Rata-rata kelembaban udara tertinggi selama tahun 2011 mencapai 89% pada bulan Januari dan terendah mencapai 70% pada bulan Agustus dan September, serta tekanan udara maksimum 1.011,1 mb dan minimum 1.006,5 mb. Adanya gejala alam seperti elnino yang melanda sebagian wilayah Indonesia termasuk Kabupaten Sumbawa, berpengaruh terhadap banyaknya hari hujan dan curah hujan. Hal ini terlihat dari banyaknya hari hujan dan curah hujan yang terjadi sepanjang tahun 2011. Dibandingkan dengan tahun sebelumnya jumlah hari hujan lebih banyak yaitu sebanyak 148 hari, dengan hari hujan terbanyak terjadi pada bulan Januari sebanyak 26 hari. Demikian juga dengan curah hujan, dimana curah hujan terbanyak terjadi pada bulan Pebruari yaitu sebesar 316 mm. Satu hal yang dapat berpengaruh terhadap hari hujan dan curah hujan adalah besarnya penguapan. Karena banyak sedikitnya penguapan dapat berpengaruh terhadap banyak sedikitnya hari hujan dan curah hujan yang terjadi pada periode berikutnya (Sumbawa Dalam Angka. 2014).
PROSIDING, Copyright© 2016 77
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Dari hasil eksplorasi diperoleh 12 nomor tanaman yang diduga mengandung minyak atsiri yang terdiri atas : 5 Suku, 11 Marga, 12 Jenis dan 62 Spesimen (Tabel 1). Tanaman seperti Zanthoxylum sp. dan Toddalia sp. biasa digunakan oleh masyarakat sekitar sebagai obat dengan cara memakai air rebusan daunnya untuk mandi bagi ibu yang baru melahirkan agar kebugarannya segera pulih. Hal ini kemungkinan berkaitan dengan kandungan minyak atsiri yang dimiliki oleh tanaman tersebut yang secara tidak langsung dapat menjadi aroma terapi guna pemulihan kesehatan bagi ibu yang baru melahirkan. Tabel 1. Koleksi jenis tumbuhan yang diduga mengandung minyak atsiri Nomor Akses E2015050020
Kolektor GT3477
Nama Tumbuhan Latin Daerah Zanthoxylum sp. Berabuk
E2015050021
GT3478
Cinnamomum sp.
-
Laur.
E2015050029
GT3486
Amomum sp.
Saram
Zing.
E2015050038
GT3495
Pittosporum sp.
Pitt.
E2015050048
GT3505
Clausena sp.
Malam poto -
Rimpang bisa digunakan untuk obat memar Rimpang digunakan sebagai campuran dalam pembuatan minyak urut Buahnya bisa dimakan -
Rut.
-
E2015050057
GT3514
Toddalia sp.
Berabuk
Rut.
E2015050128
GT3585
Piper sp.
-
Pip.
E2015050147
GT3604
Boenninghausenia albiflora (Hook) Rchb.ex Meissn.
-
Rut.
E2015050152
GT3609
Litsea sp.
-
Laur.
Daun direbus, air rebuasan digunakan untuk mandi bagi ibu yang baru melahirkan agar kebugarannya segera pulih Daun muda dapat digunakan untuk sayur Daun digunakan untuk obat malaria, dengan meminum air rebusan daunnya Daun ditumbuk bersama beras lalu ditempelkan pada bagian perut sebelah kiri -
E2015050201
GT3658
Zingiber sp.
-
Zing.
E2015050204
GT3661
-
Rut.
E2015050210
GT3667
Citrus maxima (Burm.) Osbeck. Citrus amblycarpa (Hassk.) Ochse
-
Rut.
Suku
Kegunaan Secara Tradisional
Rut.
Daun direbus, air rebuasan digunakan untuk mandi bagi ibu yang baru melahirkan agar kebugarannya segera pulih -
Umbi muda direbus ditambahkan dengan asam dan garam, air rebusan diminum untuk memulihkan stamina ibu yang baru melahirkan Buahnya bisa dimakan Buah dan daunnya digunakan untuk campuran bumbu masakan
Menurut Primadiati, (2003). Aromaterapi diberikan untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan tubuh, pikiran, dan jiwa. Aromaterapi mempunyai efeknya positif karena aroma yang segar dan harum akan merangsang sensori dan resptor yang pada akhirnya mempengaruhi organ lain sehingga dapat menimbulkan efek kuat terhadap emosi dan mampu bereaksi terhadap stress. Aromaterapi mempunyai beberapa keuntungan sebagai tindakan PROSIDING, Copyright© 2016 78
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
supportive seperti efek relaksasi maupun perangsang, menenangkan kecemasan dan menurunkan depresi. Tanaman seperti Amomum sp. rimpangnya dapat digunakan sebagai obat memar, serta sebagai campuran dalam pembuatan minyak urut, hal ini kemungkinan dikarenakan kandungan dari tanaman ini yang dapat menyembuhkan memar dan bengkak. Menurut Arief Hariana (2009) beberapa tanaman memiliki efek farmakologis melancarkan sirkulasi darah, anti radang, menghilangkan bengkak, dan menetralisir racun. Meminum rebusan daun Boenninghausenia albiflora serta menempel tumbukan daunnya di perut dilakukan oleh masyarakat sekitar untuk mengobati malaria. Hal ini senada dengan pendapat dari Natural Medicinal Herbs (2015) yang menyebutkan bahwa air rebusan dari akar B. albiflora digunakan untuk mengobati malaria, selain itu tumbukan dari daun juga bisa digunakan untuk menghentikan pendarahan pada luka. Daun dari tanaman ini juga dikabarkan mampu mengobati penyakit kudis, serta aromanya juga mampu menghilangkan sakit kepala.
Amomum sp.
Boenninghausenia albiflora
Zanthoxylum sp
Citrus amblycarpa
Gambar 2. Tanaman yang diduga penghasil atsiri SIMPULAN Hasil eksplorasi di Sumbawa-NTB, diperoleh sebanyak 12 nomor koleksi yang terdiri atas : 5 Suku, 11 Marga, 12 Jenis dan 62 spesimen. Dari semua tanaman yang diperoleh beberapa tanaman biasa dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar secara tradisional seperti memulihkan kebugaran untuk ibu yang baru melahirkan, mengobati memar dan bengkak, mengobati malaria, sebagai campuran bumbu masakan dan bahkan ada pula yang dapat dimakan langsung.
PROSIDING, Copyright© 2016 79
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DAFTAR PUSTAKA Addor, R.W. 1995. Insecticides, In C. Godfrey, ed. Agrochemicals from Natural Products. Marcel Dekker Inc. New York. Pp. 1-63. Arief Hariana. 2009. Tumbuhan Obat dan Khasiatnya. Jakarta : Penebar Swadaya Daswir. 2010. Peran serai wangi sebagai tanaman konservasi pada pertanaman kakao di lahan kritis. Bul. Littro. 21(2):117-128. Jaelani. 2009. Aromaterapi. Jakarta : Pustaka Populer Obor Natural Medicinal Herbs. 2015. http://www.naturalmedicinalherbs.net/herbs/b/boenning hausenia-albiflora.php dikutip tgl 22 September 2015. Primadiati, R. 2002. Aromaterapi: Perawatan alami untuk sehat dan cantik. Jakarta: Gramedia. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri. 2006. Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Solo. ISBN 979-15433-0-5 Regnault-Roger, C. 2005. New insecticides of plant origin for the third millennium. Pp. 17-35, In B.J.R. Regnault-Roger et al. eds. Bio-pesticides of plant Origin. Lavoisier Publishing Inc. 313 p. Rizal, M. Dan M. Djazuli. 2006. Strategi Pengembangan Minyak Atsiri Indonesia. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 28(5):13-14. Rizal, M., M.S.Rusli, dan A. Mulyadi. 2009. Minyak Atsiri Indonesia. IPB. Bogor. Rugayah, E. A. Widjaja, dan Praptiwi. 2005. Pedoman Pengumpulan Data Keanekaragaman Flora. Bogor: Pusat Penelitian Biologi LIPI. Simon, H. 1993. Metode Inventore Hutan. Penerbit Aditya Media. Yogyakarta. Sumbawa Dalam Angka. 2014. http://www.sumbawakab.go.id/images/downloads/ KABUPATEN_SUMBAWA_DALAM_ANGKA_TAHUN_2014.compressed.pdf Wawan S and IBK. Arinasa. 2012. Aromatic Plants in Bali Botanic Garden. Aromatic Intertnational Seminar. Denpasar-Bali. Wiratno, S. Suriati, M. Djazuli, dan Siswanto. 2012. Pemanfaatan limbah tanaman aromatik sebagai mulsa dan daya repelensinya terhadap Doleschallia polibete. Bul. Littro. 23(1): 61-69.
PROSIDING, Copyright© 2016 80
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KADAR SARI CABE JAWA (Piper retrofractum) DENGAN BEBERAPA METODE MASERASI DAN JENIS PELARUT EXTRACT OF CABE JAWA (Piper retrofractum) WITH DIFFERENT METHOD AND SOLVENT TYPES Mohamad Nurzaman* dan Tia Setiawati Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran, Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21 Jatinangor *Email :
[email protected] ABSTRAK Salah satu tumbuhan obat tradisional yang berkembang di Indonesia adalah cabe jawa (Piper retrofractum) dari famili Piperaceae. Setiap tumbuhan memiliki kadar sari berbedabeda. Melalui proses ekstraksi, senyawa fitokimia akan tertarik keluar oleh perlarut yang digunakan. Senyawa fitokimia tersebut ada yang tahan terhadap panas, adapula yang rusak akibat panas. Ektraksi yang paling mudah adalah ekstraksi dengan metode maserasi. Buah cabe jawa (Piper retrofractum) diekstraksi dengan menggunakan 3 cara ekstraksi yaitu maserasi dingin, maserasi panas, dan maserasi mekanik, dan masing-masing diberi 3 perlakuan pelarut (etanol 96%, metanol 96%, air-kloroform) dengan 3 kali replikasi. Kemudian dihitung persentase kadar sari buah cabe jawa (Piper retrofractum) dari tiap cara ekstraksi dan tiap perlakuan dan dilakukan analisis ANOVA dan uji lanjut Tuckey dengan tingkat kepercayaan 95% menggunakan software Minitab versi 16.1. Hasilnya diperoleh bahwa metode tidak mempengaruhi perolehan kadar sari cabe jawa, sedangkan pelarut mempengaruhi perolehan kadar sari cabe jawa dengan perolehan dari pelarut air-kloroform yang paling banyak yaitu 14,6%. Interaksi antara metode dengan pelarut juga tidak mempengaruhi perolehan kadar sari buah P.retrofractum. Kata Kunci: Cabe jawa, Piper retrofractum, Maserasi, Etanol, Metanol, Air-kloroform ABSTRACT One of traditional medicine which improved in Indonesia is Javanese long pepper (Piper retrofractum) from Piperaceae family. Each plant have differences on extract yield. With extraction methods, phytochemical compound out and dissolve in used solvent. Few phytochemical compounds heat resistant. The easiest extraction is extracted by maceration method. Javanese long pepper (Piper retrofractum) extracted by 3 maceration methods, that is classic maceration, heat treatment maceration, and mechanic treatment maceration, which have 3 solvents (ethanol 96%, methanol 96%, water-chloroform) with 3 replication. Extract yield of Piper retrofractum from each treatment calculated dan analyzed by ANOVA and Tuckey further test with 95% level of confidence used Minitab version 16.1. The result show that maceration methods not influence to extract yiled, while solvents influence extract yield with water-chloroform solvent (14,6%) exhibits highest yield. Interaction between maceration methods and solvents also not influence to extract yield of P.retrofractum. Keyword: Javanese long pepper, Piper retrofractum, Maceration Method, Ethanol, Methanol, water-chloroform.
PROSIDING, Copyright© 2016 81
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN Negara dengan kekayaan alam yang melimpah seperti Indonesia, menyimpan sejuta potensi di bidang pengobatan. Indonesia merupakan negara tropis yang cocok untuk tempat tumbuh berbagai tumbuhan obat. Tumbuhan obat secara kimiawi mengandung berbagai senyawa kimia aktif. Senyawa ini merupakan hasil metabolisme sekunder pada tumbuhan. Tumbuhan obat dapat berupa tumbuhan perdu, herba, ataupun berkayu, yang bagian-bagian tumbuhan ini dapat berguna dijadikan obat bahkan adapula yang semua bagian tumbuhan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai obat. Salah satu tumbuhan obat tradisional yang berkembang di Indonesia adalah cabe jawa (Piper retrofractum) dari famili Piperaceae. Famili Piperaceae memiliki kandungan kimia yang khas yaitu piperin. Piperin merupakan salah satu golongan alkaloid yang dapat menimbulkan efek nyaris serupa dengan kapsaisin dan gingerin. Cabe Jawa dapat digunakan untuk menghilangkan sakit, menghentikan pendarahan (hemostatik), melancarkan peredaran darah, mencegah keguguran. Menurut Haryudin dan Rostiana (2010) cabe jawa (Piper retrofractum) merupakan tanaman tahunan yang tumbuh memanjat (liana), berbuku-buku, bentuk batang bulat, warna batang coklat sampai kehitaman, terdapat sulur. Daun tunggal, bentuk membulat, warna hijau. Buah bulat panjang. Buah inilah yang digunakan dalam pengobatan. buah dikeringkan kemudian dibuat menjadi serbuk, dapat menjadi obat luar ataupun campuran dengan tumbuhan obat lainnya. Wilayah penyebaran cabe jawa hampir di seluruh Indonesia kecuali di wilayah Indonesia bagian Timur. Sekarang tumbuhan ini banyak dibudidayakan di wilayah Jawa Timur. Seiring dengan berkembangnya obat herbal atau obat yang berasal dari tumbuhan, ekstraksi terhadap suatu tumbuhan pun semakin banyak dilakukan yang bertujuan untuk mengetahui kandungan senyawa kimia aktif (fitokimia) apa saja yang dikandung oleh tumbuhan tersebut serta menggali potensi lebih lanjut dari senyawa kimia tersebut. Setiap tumbuhan memiliki kadar sari berbeda-beda. Melalui proses ekstraksi, senyawa fitokimia akan tertarik keluar oleh perlarut yang digunakan.Senyawa fitokimia tersebut ada yang tahan terhadap panas, adapula yang rusak akibat panas. Ektraksi yang paling mudah adalah ekstraksi dengan metode maserasi. Metode ini sangat sederhana yaitu hanya dengan merendam sampel dalam pelarut selama 24 jam, Metode maserasipun dapat dilakukan dengan cara dingin, cara panas, dan cara panas yang digabungkan dengan pengadukan. Dalam penelitian ini akan dilakukan perbandingan kadar sari (rendemen) dari hasil ekstraksi melalui berbagai metode maserasi untuk mengetahui metode yang efektif untuk ekstraksi terhadap buah Piper retrofractum (Cabe Jawa). Pelarut yang sering digunakan untuk ekstraksi adalah etanol dan air-kloroform. Kedua pelarut ini menjadi pelarut standar dalam pengujian karakteristik simplisia suatu tumbuhan, yaitu penetapan kadar sari larut etanol, dan kadar sari larut air. Walaupun disebut kadar sari larut air, terdapat campuran kloroform di dalamnya sehingga air tersebut menjadi non polar, sama halnya dengan etanol yang bersifat non polar. Metanol merupakan senyawa non polar dan senyawa ini jarang digunakan sebagai pelarut dalam ekstraksi, padahal sifat metanol dapat pula menarik zat-zat bioaktif keluar termasuk senyawa antikanker (Sahid et al., 2013). Oleh karena itu, penelitian mengenai kadar sari larut metanol juga perlu dilakukan untuk melihat sejauh mana keefektifan metanol dalam menarik zat senyawa kimia. Maksud penelitian ini adalah mengetahui metode dan pelarut yang efektif untuk mengekstrak buah Piper retrofractum. Sedangkan tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan membandingkan kadar sari larut air-kloroform, kadar sari larut etanol, dan kadar sari larut metanol buah Piper retrofractum dari metode ekstraksi maserasi dingin, maserasi panas, dan maserasi mekanik.
PROSIDING, Copyright© 2016 82
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
MATERI DAN METODE Alat Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Alumunium foil untuk membungkus wadah, beaker glass 250 ml sebagai wadah, corong gelas kecil untuk memudahkan memindahkan cairan, erlenmeyer 250 ml sebagai wadah, gelas ukur 100 ml untuk mengukur cairan, hot plate untuk memanaskan larutan, kertas saring untuk menyaring larutan, magnetic stirrer untuk mengaduk larutan, neraca analitik untuk menimbang bobot bahan dan ekstrak, penjepit untuk memindahkan beaker glass, pipet tetes untuk memindahkan larutan, saringan untuk menyaring serbuk, spatula untuk memindahkan bahan uji, water bath untuk menguapkan larutan dan memanaskan larutan. Bahan Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah buah cabe jawa (Piper retrofractum), air-kloroform, etanol 96%, dan metanol 96%. Ekstraksi Metode Maserasi Dingin Sebanyak 10 gram serbuk halus cabe jawa dimasukkan dalam beaker glass, kemudian ditambahkan 100 ml etanol 96%. Kemudian dibungkus dengan alumunium foil dan didiamkan selama 24 jam dengan sesekali diaduk. Setelah itu disaring dengan kertas saring ke erlenmeyer yang sudah ditimbang. Hasil saringan diuapkan di atas water bath bersuhu 500-650C hingga pelarut menguap dan dihasilkan ekstrak kental. Erlenmeyer ditimbang kembali dan didapatkan bobot dari ekstrak kental cabe jawa. Hal yang sama dilakukan terhadap metanol 96% dan airkloroform. Dilakukan pengulangan 3 kali. Metode Maserasi Panas Sebanyak 10 gram serbuk halus cabe jawa dimasukkan dalam beaker glass, kemudian ditambahkan 100 ml etanol 96%. Kemudian diaduk, dipanaskan di atas water bath bersuhu 40500C selama 2 jam. Setelah itu disaring dengan kertas saring ke erlenmeyer yang sudah ditimbang. Hasil saringan diuapkan di atas water bath bersuhu 500-650C hingga pelarut menguap dan dihasilkan ekstrak kental. Erlenmeyer ditimbang kembali dan didapatkan bobot dari ekstrak kental cabe jawa. Hal yang sama dilakukan terhadap metanol 96% dan airkloroform. Dilakukan pengulangan 3x. Metode Maserasi Mekanik Sebanyak 10 gram serbuk halus cabe jawa dimasukkan dalam erlenmeyer, kemudian ditambahkan 100 ml etanol 96%, diaduk. Disiapkan hot plate dan erlemeyer tersebut dipanaskan di atas hot plate dan dimasukkan magnetic stirrer, dibiarkan selama 30 menit pada suhu 40-500C. Setelah itu disaring dengan kertas saring ke erlenmeyer yang sudah ditimbang. Hasil saringan diuapkan di atas water bath bersuhu 500-650C hingga pelarut menguap dan dihasilkan ekstrak kental. Erlenmeyer ditimbang kembali dan didapatkan bobot dari ekstrak kental cabe jawa. Hal yang sama dilakukan terhadap metanol 96% dan air-kloroform. Dilakukan pengulangan 3 kali. Analisis Data Penelitian dilakukan dengan desain rancangan acak lengkap (RAL), yaitu dengan membandingkan persentase kadar sari dari cabe jawa dengan menggunakan 3 metode (maserasi dingin, maserasi panas, dan maserasi mekanik) dan masing-masing diberi 3 perlakuan (etanol 96%, metanol 96%, air-kloroform) dengan 3 kali replikasi. Kemudian dianalisis ANOVA dan uji lanjut Tuckey dengan tingkat kepercayaan 95% menggunakan software Minitab versi 16.1.
PROSIDING, Copyright© 2016 83
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Setelah diketahui bobot cabe jawa yang digunakan untuk ekstraksi dan diperoleh bobot dari ekstrak kental cabe jawa dari masing-masing larutan, maka akan diperoleh persentase rendemen (kadar sari), dengan rumus sebagai berikut: %
100%
HASIL Berdasarkan hasil percobaan, diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 4.1. Perolehan Rendemen buah Piper retrofractum Pelarut
Ulangan
Etanol Metanol AirKloroform Rataan (%)
I II III I II III I II III
Berat Rendemen (%) Maserasi Maserasi Maserasi Dingin Panas Mekanik 12 10,7 12,1 11,3 14,6 13,5 12,3 11,2 11,6 12,4 10,8 14,8 9,8 15 12,7 11,6 13,2 13,1 12,7 12,8 17,6 12,6 17,1 12,2 14,4 16,5 15 12,2a
13,5a
Rataan (%) 12,2b 12,6ab 14,5a
13,6a
Buah Piper retrofractum memiliki kandungan senyawa kimia dianataranya terpenoid, piperin, alkaloid, saponin, polifenol.Untuk mendapatkan senyawa-senyawa tersebut, dibutuhkan proses ektraksi dengan pelarut yang efektif. Senyawa-senyawa yang dikandung buah Piper retrofractum tersebut mempunyai sifat kimia yang berbeda. Berdasarkan literatur disebutkan bahwa pelarut polar akan melarutkan senyawa polar sedangkan pelarut nonpolar akan melarutkan senyawa nonpolar (Al-Ash’ary et al., 2010). Metode untuk ekstraksi dapat dilakukan dengan cara dingin dan cara panas. Percobaan ini menggunakan maserasi dingin, maserasi panas, dan maserasi mekanik dengan pemanasan. Menurut literatur Piper retrofractum tidak mengandung flavonoid ataupun tanin yang tidak tahan pemanasan (Gupita & Rahayuni, 2012) sehingga sebagian besar kandungan senyawa kiminya akan tetap terekstraksi karena tahan terhadap pemanasan. Selain itu, percobaan ini membandingkan tiga pelarut untuk ekstraksinya, yaitu etanol 96%, metanol 96%, dan airklorofoam. Ketiga pelarut ini dapat melarutkan senyawa organik yang terkandung dalam buah P.retrofractum. Sebelum diekstraksi, cabe jawa harus dikeringkan terlebih dahulu. Kadar air pada bahan dapat mempengaruhi proses ekstraksi senyawa organik dari jaringan bahan. Hal ini dikarenakan bila kadar air dalam bahan yang akan diekstraksi tinggi maka air yang terdapat dalam bahan dapat menghalangi solven (pelarut) untuk mengikat senyawa organik dalam jaringan bahan. Oleh karena itu untuk mengekstrakbahan agar diperoleh hasil yang maksimal maka bahan dikeringkan terlebih dahulu untuk mengurangi kandungan airnya. Keberadaan air dalam jaringan bahan seolah-olah melindungi setiap komponen penyusun dalam jaringan bahan dari serangan larutan pengesktrak melalui aktivitas solvasinya, sehingga ekstrak yang dihasilkan masih mengandung komponen-komponen lain. Ragam ekstraksi yang tepat sudah tentu bergantung pada tekstur dan kandungan air bahan tumbuhan yang diekstraksi dan pada jenis senyawa yang diisolasi (Harbourne, 1987). Kadar air pada bahan juga dapat menurunkan efisiensi proses ekstraksi. Kandungan air yang tinggi pada hasil ekstraksi akan membuat proses
PROSIDING, Copyright© 2016 84
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
pemekatan menjadi sulit karena air memiliki titik didih yang lebih tinggi dibandingkan pelarut organik yang digunakan (Yudiastuti et al., 2007). Ekstrak cabe jawa yang didapatkan berbau khas rempah-rempah dan pedas karena mengandung senyawa piperin. Cabe jawa memang dijadikan bumbu rempah-rempah dan sebagai bahan jamu tradisional. Ekstrak cabe jawa yang dihasilkan dari pelarut metanol dan etanol kental dan lengket, sedangkan ekstrak cabe jawa yang dihasilkan dengan pelarut air kental namun tidak lengket. Hasil pengujian ANOVAdengan tingkat kepercayaan 95% menunjukan bahwa ketiga metode tidak berbeda nyata terhadap perolehan berat rendemen buah P.retrofractum, sebagaimana ditunjukkan pada tabel berikut : Tabel 4.2. Hasil ANOVA Metode terhadap Rendemen Source Metode Error Total
DF 2 24 26
SS 11,88 87,69 99,57
MS 5,94 3,65
F 1,63
P 0,218
Nilai F tabel untuk metode F(α,dfA,dfE) = F(0.05,2,24) = 3,4 (lihat pada tabel distribusi F taraf kepercayaan 5%). Nilai F hitung untuk metode lebih kecil dari nilai F tabel (1,63<3,4), berarti metode tidak berpengaruh nyata terhadap perolehan rendemen. Hal ini mungkin disebabkan oleh senyawa kimia dari P.retrofractum tahan terhadap panas sehingga baik pada metode dengan cara dingin maupun cara panas jumlah senyawa kimia yang ditarik oleh pelarut tidak berbeda jauh. Secara efisiensi waktu, metode maserasi dengan mekanik yang paling efektif karena hanya dengan 30 menit dapat membentuk rendemen hampir sama banyaknya dengan metode lainnya yang membutuhkan waktu 2 jam atau 24 jam. Metode maserasi dingin dilakukan selama 24 jam. Penghalusan buah P.retrofractum membuat dinding sel menjadi rusak sehingga pelarut dapat menarik senyawa kimia yang ada dalam sel (Voigh, 1994). Untuk metode ini diperoleh rataan rendemen sebesar 12,2%. Metode maserasi panas menggunakan waterbath bersuhu 500C dengan waktu 2 jam. Pemanasan dimaksudkan untuk menambah kelarutan senyawa kimia dalam P.retrofractum terhadap pelarut dan ditujukan untuk senyawa kimia yang tahan terhadap panas. Secara rataan, metode ini memperoleh hasil yang lebih besar yaitu 13,5%. Sedangkan untuk metode maserasi mekanik memperoleh rataan rendemen yang hanya berbeda sedikit dari maserasi panas yaitu 13,6%. Maserasi mekanik ini dilakukan dengan menggunakan magnetic stirrer dan hotplate. Hotplate diatur suhunya 400-500C dan magnetic stirrer diatur dengan kecepatan minimum. Dengan demikian, metode ini dapat menambah kelarutan senyawa fitokimia dengan cara pemanasan dan pengadukan. Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, bahwa maserasi mekanik yang paling efisien dari segi waktu pengerjaan, hanya 30 menit dan memiliki persentase rendemen paling banyak dibanding kedua metode sebelumnya. Menurut Depkes RI (1989), proses pemanasan selama ekstraksi akan mengurangi kekentalan pelarut sehingga dapat mengurangi lapisan-lapisan batas, daya melarutkan cairan penyari akan meningkat, sehingga pemanasan tersebut mmepunyai pengaruh yang sama dengan pengadukan, koefisien difusi berbanding lurus dengan suhu absolut dan berbanding terbalik dengan kekentalan, hingga kenaikan suhu akan berpengaruh pada kecepatan difusi. Umumnya kelarutan zat aktif akan meningkat bila suhu dinaikkan. Keuntungan cara ekstraksi menggunakan metode maserasi adalah metode ini sederhana baik dari segi pengerjaan maupun alat yang digunakan. Kerugian cara maserasi adalah pengerjaannya lama dan penyarian yang kurang sempurna. Maserasi membutuhkan waktu 4-5 hari jika bahan yang digunakan keras. Namun jika bahan dalam bentuk serbuk, dapat mempersingkat waktu pengerjaannya, cukup dengan 24 jam karena penghalusan dapat merusak dinding sel tumbuhan. PROSIDING, Copyright© 2016 85
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Perolehan rendemen dari ketiga pelarut tidak jauh berbeda, namun dari hasil analisis variat menunjukkan bahwa ketiga pelarut memberikan pengaruh terhadap perolehan rendemen, seperti yang ditunjukkan tabel hasil perhitungan ANOVA rendemen terhadap pelarut : Tabel 4.3. Hasil ANOVA Rendemen terhadap Pelarut Source Pelarut Error Total
DF 2 24 26
SS 28,31 71,26 99,57
MS 14,16 2,97
F 4,77
P 0,018
Tingkat probabilitas yang dipakai 0,05 atau 5%. Nilai F tabel untuk pelarut F(α,dfB,dfE) = F(0.05,2,24) = 3,4 (lihat pada tabel distribusi F). Nilai F hitung untuk pelarut lebih besar dari nilai F tabel (4,77>3,4), berarti pelarut memberikan pengaruh terhadap perolehan rendemen. Kemudian dilanjutkan dengan uji lanjut Tuckey 5% dan didapatkan sebagai berikut: Tabel 4.4. Grouping Hasil Uji TuckeyRendemen terhadap Pelarut Pelarut Ulangan Rataan Grup Etanol 9 12,2 B Metanol 9 12,6 AB Air-Kloroform 9 14,5 A
Ketiga pelarut yang digunakan menunjukkan pengaruh yang berbeda terhadap perolehan rendemen. Etanol menunjukkan pengaruh yang sama dengan metanol terhadap perolehan rendemen, begitu pula dengan air-kloroform menunjukkan pengaruh yang sama dengan metanol terhadap perolehan rendemen buah P.retrofractum. Namun pengaruh yang berbeda ditunjukkan oleh pelarut etanol dengan air-kloroform. Berdasarkan uji ini, airkloroform adalah pelarut yang efisien untuk ekstraksi buah P.retrofractum dengan perolehan rendemen yang paling besar yaitu 14,5%. Hal tersebut dapat terjadi karena banyak dari senyawa kimia yang dikandung oleh P.retrofractum adalah senyawa polar. Ketiga pelarut yang digunakan diketahui dapat melarutkan senyawa polar dengan baik, terutama pelarut air. Air merupakan pelarut yang paling polar diantara etanol dan metanol. Menurut Pujaatmaka (1996) dalam Sukardi (2011), kelarutan suatu zat ke dalam suatu pelarut sangat ditentukan oleh kecocokan sifat antara zat pelarut dengan zat terlarut yaitu sifatlike dissolve like diantaranya disebabkan oleh polaritasnya. Persentase rendemen meningkat seiring dengan kepolaran pelarut yang digunakan, terbukti dengan rendemen yang paling banyak dihasilkan dengan pelarut air, yang diketahui kepolarannya lebih tinggi dibanding dengan metanol dan etanol. Pelarut memberikan pengauh terhadap perolehan rendemen, sedangkan metode tidak memberikan pengaruh terhadap perolehan rendemen. Hasil ANOVA two-way dari interaksi antara pelarut dengan metode terhadap perolehan rendemen pun menunjukkan bahwa interaksi antara metode dengan pelarut tidak berpengaruh terhadap perolehan rendemen buah P.retrofractum. Berikut merupakan hasil dari ANOVA interaksi antara metode dengan pelarut: Source Metode Pelarut Interaksi Error Total
Tabel 4.5. Hasil ANOVA Rendemen terhadap Metode; Pelarut DF SS MS F P 2 2 4 18 26
11,8807 28,3119 4,9148 54,4667 99,5741
5,9404 14,1559 1,2287 3,0259
1,96 4,68 0,41
0,169 0,023 0,802
PROSIDING, Copyright© 2016 86
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tingkat Probabilitas yang dipakai 0,05 atau 5%, dengan demikian nilai F tabel untuk interaksi F(α,dfAB,dfE) = F(0.05,4,18) = 2,93 (lihat pada tabel distribusi F). Nilai F hitung interaksi lebih kecil dari nilai F tabel (0,41<2,93), berarti interaksi antara metode dengan pelarut tidak berpengaruh terhadap perolehan rendemen. Buah Piper retrofractum mengandung senyawa polifenol. Polifenol akan larut dalam pelarut seperti air, aseton, metanol, dan etanol. Penggunaan aseton akan menimbulkan residu aseton yang banyak sehingga tidak efektif untuk pelarut ekstraksi (Dent et al., 2012). Menurut Padmapriya et al. (2012) dalam Pohanet al. (2012), ekstrak etanol lebih efektif pada tumbuhan yang mengandung polifenol, karena ekstrak etanol memiliki polaritas yang hampir sama dengan polifenol dibandingkan dengan ekstrak air. Selain itu, ekstrak etanol lebih efisien dalam mendegradasi dinding sel tumbuhan yang bersifat non-polar dan menyebabkan polifenol keluar dari sel.Sedangkan pada ekstrak air terjadi degradasi polifenol dikarenakan aktivitas enzim polifenol oksidase, yang mana pada ekstrak etanol enzim ini tidak aktif. Air yang memiliki komponen hidroksi yang lebih banyak akan lebih banyak terikat dengan senyawa fenol yang terdapat pada larutan ekstrak cabe jawa. Senyawa fenol cenderung lebih larut dalam air serta oleh Harborne (1987) mengatakan bahwa senyawa fenol cenderung larut dalam pelarut polar.Pohan et al., (2013) menyebutkan bahwa metanol (CH3OH) merupakan senyawa kimia yang digunakan sebagai pelarut organik. Senyawa ini memiliki gugus hidroksil (polar) yang membuat pelarut ini dapat mengekstrak komponen bioaktif dalam ekstrak cabe jawa. Namun metanol bersifat toksik bagi tumbuh, sehingga pelarut ini tidak cocok untuk dijadikan pelarut dalam metode in vivo. Cabe jawa juga memiliki kandungan alkaloid. Alkaloid memiliki basa nitrogen pada rantai sikliknya dan mengandung beragam substituen sehingga alkaloid bersifatsemipolar (Purba, 2001). Saponin memiliki glikosil yang berfungsisebagai gugus polar dan gugus steroid sebagai gugus nonpolar (Sangi et al., 2008). Triterpenoid memiliki bagian nonpolar dan polar. Triterpenoid tersusun dari rantai panjang hidrokarbon C yang menyebabkan sifatnya nonpolar dan memiliki gugus hidroksi sehingga memiliki sifat polar (Taofik et al., 2010). Menurut Sari et al., (2013), air menjadi pelarut semipolar yang baik dalam pengekstraksian komponen senyawa kimia dalam bahan pangan. Cabe jawa biasa digunakan sebagai bahan pangan (bumbu rempah-rempah) dan obat tradisional yang diminum. Selain itu, menurut Affendi (2006) dalam Sari et al., (2013), pelarut etanol memiliki dua gugus yang berbeda kepolarannya yaitu gugus hidroksil yang bersifat polar dan gugus alkil yang bersifat non polar, dengan demikian etanol juga dapat mengikat senyawa semipolar yang ada dalam Cabe jawa. SIMPULAN Berdasarkan hasil percobaan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: 1) Metode maserasi yang digunakan meliputi maserasi dingin, maserasi panas, dan maserasi mekanik tidak memberikan pengaruh terhadap perolehan kadar sari ekstrak buah Piper retrofractum. 2) Ketiga pelarut meliputi etanol, metanol, dan air memberikan pengaruh yang nyata terhadap perolehan kadar sari ekstrak buah Piper retrofractum, dengan pelarut air yang memberikan hasil yang paling besar yaitu 14,5%. 3) Interaksi antara metode dengan pelarut tidak berpengaruh terhadap perolehan kadar sari ekstrak buah Piper retrofractum. DAFTAR PUSTAKA Al-Ash’ary MN, Supriyanti FM, Zackiyah. 2010. Penentuan pelarut terbaik dalam mengekstraksikan senyawa bioaktif dari kulit batang Artocapus heterophyllus. Jurnal Sains dan Teknologi Kimia. 1(2):150-8. PROSIDING, Copyright© 2016 87
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian - IAARD online. 1997. Cabe Jawa, Potensial untuk Industri Obat Tradisional http://www.litbang.deptan.go.id/ Bahl A, Bahl BS. 2011. A Textbook of Organic Chemistry (for B.Sc Students). New Delhi: S. Chand & Company. Dent M, Dragovis V, Penic M, Brncic M. 2012.The effect of extraction solvents, temperature and time on the composition and mass fraction of polyphenols of Dalmatian Wild Sage (Salvia officinalis L.). Food technology and biotechnology. 50(4). DEPKES RI. 1989. Sediaan Galenik. Jakarta: Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan. Depkes RI. 2000. Acuan Sediaan Herbal. Jakarta: Direktorat Depkes RI Depkes RI. 2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Direktorat Jenderal POM-Depkes RI. Gupita, C. N. dan A. Rahayuni. 2012. Pengaruh Berbagai pH Sari Buah dan Suhu Pasteurisasi Terhadap Aktivitas Antioksidan dan Tingkat Penerimaan Sari Kulit Buah Manggis. Journal of Nutrition College. 1(1): 67-79. Harbone, J.B. 1996. Metode Fitokimia. Penerjemah Padmawinata K, Soediro I. Bandung : Institut Teknologi Bandung. Hargono, D. 2009. Obat analgetik dan antiinflamasi nabati. Cermin Dunia Kedokteran [serial online] 129. www.kalbe.co.id/files/cdk/13Obat Analgetik danAntiinflamasiNabati 129.pdf. Istiqomah. 2013. Perbandingan Metode Ekstraksi Maserasi dengan Sokhletasi terhadap Kadar Piperin Cabe Jawa (Piperis retrofracti fractus). Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Haryudin, W. dan O. Rostiana. 2009.Karakteristik Morfologi TanamanCabe Jawa (Piper retrofractum Vahl) Di Beberapa Sentra Produksi.Bul.Littro. 20 (1): 1-10. Muhlisah, Fauziah. 2008.Tanaman Obat Keluarga. Jakarta: Penebar Swadaya Perry, R.H., and Green, D.W. 1984. perry’s Chemical Engineers Hand Book, 6th. ed. Tokyo: Mc. Graw Hill Co., International Student edition. Pohan, Anggi P.N., Erni H. Purwaningsih, Adisti Dwijayanti.2013. Efek Kelasi Ekstrak Etanol Daun Mangifera foetida pada Feritin Serum Penderita Talasemia di RS Cipto Mangunkusumo Tahun 2012. eJKI. 1(1). Purba, 2001. Purba, R.D 2001. Analisis Komposisi Alkaloid Daun Handeuleum (Graptophyllum pictum (Linn), Griff) yang Dibudidayakan dengan Taraf Nitrogen yang Berbeda (Skripsi). Bogor: Institut Pertanian Bogor. Rukmana, Rahmat. 2003. Cabai Jawa : Potensi dan Khasiat Bagi Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius. Sahid A, Dingse Pandiangan,Parluhutan Siahaan,Marhaenus J. Rumondor. 2013. Uji Sitotoksisitas Ekstrak Metanol Daun Sisik Naga (Drymoglossum piloselloides Presl.) terhadap Sel Leukemia P388. Jurnal MIPA Unsrat Online. 2(2):94-99 Sangi, M., M.R.J. Runtuwene., H.E.I. Simbala.,V.M.A. Makang. 2008. Analisis Fitokimia Tumbuhan Obat di Kabupaten Minahasa Utara. Chem. Prog. Vol. 1(1): 47-53. Taofik, M., Yulianti, E., Barizi A., Hayati, E.K. 2010. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Aktif Ekstrak Air Daun Paitan (Thitonia Diversifolia) Sebagai Bahan Insektisida Botani Untuk Pengendalian Hama Tungau Eriophydae. Alchemy. 2(1): 104157. Sari, Fitrah K., Nurhayati, Djumarti. 2013. Ekstraksi Pati Resisten dari Tiga Varietas Kentang Lokal yang Berpotensi sebagai Kandidat Prebiotik. Berkala Ilmu Petanian. 1(2):38-42. Soemardjo, Damin. 2008. Pengantar Kimia: Buku Panduan Kuliah Mahasiswa Kedokeran dan Program Strata I Fakultas Eksakta. Jakarta: ECG Sosrodarsono S, Takeda K. 1976. Hidrologi Untuk Pengairan. Jakarta: Pradnya Paramita Sukardi.2011. Identifikasi dan Karakterisasi Umbi Keladi Tikus sebagai Zat Antioksidan Alami. GAMMA. 6(2): 143-151 PROSIDING, Copyright© 2016 88
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Voight, R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi, diterjemahkan oleh Soendani Noerono Soewandhi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Winarto, W.P. 2003. Cabe Jawa, Si Pedas Berkhasiat Obat. Jakarta: Agromedia Pustaka Yudiastuti, Silvi Oktavia Nur, Tensiska dan Marsetio. 2007.Pengaruh JenisPelarut terhadap Aktivitas Antioksidan Ekstrak Kasar Isoflavon dari Ampas Tahu. Bandung: Universitas Padjajaran.
PROSIDING, Copyright© 2016 89
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
IDENTIFIKASI DAN KECEPATAN TUMBUH JAMUR-JAMUR YANG MENGINFEKSI TANAMAN BUAH NAGA (Hylocereus spp.) IDENTIFICATION AND GROWING SPEED OF FUNGI INFECT THE DRAGON FRUITS (Hylocereus spp.) Meitini Wahyuni Proborini Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian untuk mengidentifikasi dan membandingkan kecepatan tumbuh jamur yang menginfeksi tanaman buah naga putih (Hylocereus undatus) di desa Sobangan Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung secara invitro telah dilaksanakan di laboratorium Taksonomi Tumbuhan (Mikologi) Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana. Teridentifikasi sebanyak delapan species jamur penyebab busuk pada tanaman buah naga yaitu Aspergillus flavus, A. niger, Trichophyton sp.,Microsporum sp., Rhizopus stolonifer, Fusarium sp.1 , Fusarium sp.2, Cladosporium sp. Kedelapan jamur tersebut masing-masing ditumbuhkan pada media PDA dicawan petri dengan pengulangan tiga kali (8 jenis jamur x 3 ulangan= 24 petri). Pengamatan dan penghitungan diameter koloni jamur dilakukan setiap hari selama tujuh hari di laboratorium. Hasil rerata pengukuran menunjukkan bahwa Rhizopus stolonifer merupakan jamur yang tercepat tumbuhnya yaitu 6.4 cm hanya dalam waktu tiga hari dan Cladosporium sp. merupakan jamur yang paling lambat tumbuhnya yaitu 2.8 cm selama tujuh hari Kata Kunci : Buah Naga, Jamur, Kecepatan tumbuh ABSTRACT Research to identify and compare the growth of fungi that infect plants white dragon fruit (Hylocereus undatus) in the village Sobangan Mengwi Badung have been carried out in the laboratory of Plant Taxonomy (Mycology) Department of Biology, University of Udayana. Identified eight species of fungi that cause rot on the plant dragon fruit is Aspergillus flavus, A. niger, Trichophyton sp., Microsporum sp., Rhizopus stolonifer, Fusarium sp.1, Fusarium sp.2 and Cladosporium sp. Eighth fungus respectively grown on PDA media petri dicawan with three times replicatication (8 species of fungi x 3 replications = 24 petri). Observations and the diameter of fungal colony counting was done daily for seven days in the laboratory. Results showed that the Rhizopus stolonifer is the fastest growing fungus that is 6.4 cm in just three days and the fungus Cladosporium sp is the slowest growth that is 2.8 cm for seven days Keywords: Dragon Fruits, Fungi, growing speed PENDAHULUAN Buah naga termasuk tanaman sukulen yang termasuk dalam keluarga kaktus dengan morfologi buah mirip buah nanas. Selain itu memiliki sulur atau jumbai di sekujur kulitnya, berwarna merah dengan daging buah ada yang berwarna putih, kuning, dan merah dengan biji kecil-kecil berwarna hitam (Pratomo, 2008; Winarsih, 2007). Kendala dalam budi daya buah naga adalah adanya serangan penyakit baik oleh hewan atau mikroorganisme (bakteri dan jamur). Penyakit yang biasa menyerang tanaman buah naga antara lain penyakit busuk batang.
PROSIDING, Copyright© 2016 90
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Penyakit busuk batang dapat disebabkan oleh penggunaan pupuk kandang atau kompos yang belum jadi. Berdasarkan hasil pengamatan morfologi buah naga di desa Sobangan Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung pada tanaman yang sehat tampak sulur yang berwarna hijau segar, serta bunga dan buah yang bersih tanpa adanya bercak-bercak. Sedangkan tanaman yang terinfeksi jamur menunjukkan ciri-ciri, yaitu pada tanaman buah naga putih (Hylocereus undatus) sulurnya menunjukkan bercak kuning kecoklatan, bintik-bintik coklat dan ujung sulur berbintik hitam, serta bunga dan buah berbintik coklat sampai hitam. Sedangkan pada tanaman buah naga merah (Hylocereus polyrhizus) menunjukkan sulur dengan bercak kuning kecoklatan, kuning dan putih, ada bagian sulur yang tertutup lapisan putih, serta bunga dengan kelopak berwarna coklat kehitaman Diketahui, salah satu jamur yang menginfeksi tanaman buah naga adalah Fusarium oxysporum menyebabkan tanaman menjadi layu dan pelan-pelan kering (Pratomo, 2008; Kurniawan, 2008). Menurut Abdullah and Sorra (2008), kecepatan tumbuh jamur-jamur penyebab infeksi pada tanaman buah naga dilapangan sangat bervariasi sehingga kerusakan yang ditimbulkan dapat menjadi hal yang sulit dikendalikan. Winarsih (2007) menyebutkan bahwa spora merupakan alat perkembangbiakan jamur yang dapat berkembang cepat apabila kondisi lingkungan mendukung seperti kelembaban, suhu dan nutrisi. Berdasarkan hal tersebut, perlu dilakukan identifikasi jamur-jamur penyebab penyakit pada buah naga dan bagaimana kecepatan tumbuh jamur-jamur tersebut, sehingga data-data yang diperoleh dapat digunakan sebagai acuan dalam penanggulangan penyakit oleh jamur pdaa pertumbuhan dan produktivitas buah naga MATERI DAN METODE Sampel diambil secara acak pada tanaman buah naga berdaging putih (Hylocereus undatus) berupa sulur, bunga, buah dan akar yang morfologinya menunjukkan ciri-ciri terinfeksi jamur. Bagian sulur, bunga, buah dan akar yang menunjukkan ciri-ciri terinfeksi jamur diambil, dipotong 1x 1 cm, dicuci dengan aquades steril , ditiriskan, ditaruh pada media PDA dan diinkubasi pada suhu ruang sampai terbentuk koloni jamur.Koloni-koloni jamur yang tumbuh direisolasi pada media PDA untuk memperoleh biakan murni. Diidentifikasi sampai tingkat genus atau species dengan pengamatan makroskopis dan mikroskopis dibawah mikroskop, dicocokkan dengan buku kunci identifikasi jamur dari Gandjar, dkk., 1999; Pitt dan Hocking. 1997; Darnetty. 2006; Frey, et al., 1979). Pengamatan kecepatan pertumbuhan jamur yang telah teridentifikasi, dilakukan secara invitro dengan cara ditumbuhkan jamurjamur tersebut pada media PDA dan dicatat waktu awal koloni jamur tersebut tumbuh sampai hari ke tujuh, kemudian dihitung diameter koloni masing-masing jamur untuk melihat perbedaan kecepatan tumbuh antar species. HASIL 1.Identifikasi Jamur Dari hasil identifikasi secara makroskopis dan mikroskopis jamur-jamur yang diisolasi dari tanaman buah naga, diperoleh delapan jenis jamur yaitu, Aspergillus flavus, A. niger, Trichophyton sp., Microsporum sp., Rhizopus stolonifer, Fusarium sp.1 , Fusarium sp.2, Cladosporium sp. Satu koloni jamur dan empat koloni koloni bakteri tidak berhasil teridentifikasi. Adapun hasil determinasi jamur yang telah diisolasi adalah sebagai berikut : 1a.Organisme yang sebagian besar multiseluler dan memiliki membran inti sel (eukariotik)……………………………………………………………………….2 b.Organisme uniseluler, tidak memiliki membrane inti …………………….. Bakteri PROSIDING, Copyright© 2016 91
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
2a.Fotosintetik, autotrof……………………………………………..................Plantae b.Nonfotosintetik, heterotrof, hidup sebagai saprofit atau parasit…………………3 3a.Memiliki dinding sel yang mengandung kitin dan hemiseluosa, berbentuk filament (hifa)yang akan menyusun miselium (fungi)……………...……………………..4 b. Tidak memiliki dinding sel dan berbagai ciri di atas……...…………..selain fungi 4a.Memiliki tubuh buah yang makroskopis………….………………..Basidiomycetes b.Memiliki tubuh buah yang mikroskopis………………...……………………….5 5a.Belum diketahui cara perkembangbiakan generatifnya (Deuteromycetes)……...9 b. Sudah diketahui cara perkembangbiakan generatifnya………………………….6 6a. Memiliki spora istirahat yang resisten dan berdinding tebal, hifa tidak bersepta (Zygomycetes)………...………………….………………………………...…...7 b. Memiliki struktur seperti kantong (askus) yang membungkus sporanya, hifa bersepta (Ascomycetes)……………………………...……..……………….................…8 7a.Sporangiofor tidak bercabang,spora oval, kasar, mempunyai sporangium, kolumela, rhizoid, dan hifahorizontal membentuk stolon ..................................... Rhizopus stolonifer. 8a. Koloni terdapat garis-garis radier, konidiofor bercabang, terdapat spora yang menyelimuti hifa .......……………………………………………….......... Fonceaceae sp. b. Koloni tidak terdapat garis-garis radier, terdapat ascus dalam kleistotesium yang dibungkus oleh sel-sel secara keseluruhan …………………….............. Emericella sp 9a. Mempunyai vesikel yang berbentuk bulat, sterigmata mengelilingi hampir 2/3 dari vesikel, konidia menempel seperti rantai pada sterigma, berbentuk elips dan berwarna hijau kekuningan……………………………...…......................... Aspergillus flavus b. Tidak mempunyai vesikel, sterigmata, konidia…….............................................10 10a. Mempunyai makrokonidia dan mikrokonidia……………...…………………...11 b. Tidak mempunyai makrokonidia dan mikrokonidia………….............................13 11a. Koloni seperti kapas, berwarna merah muda………………...........................…12 b. Koloni seperti bludru/velvet, koloni bagian tengah berwarna merah muda dengan tepi putih ………………………………………………………..….. Fusarium sp 1 12a. Koloni seperti kapas menggunung, berwarna merah muda, sebalik koloni merah muda …………………………………………….…………......... Fusarium sp2 13a. Mempunyai mikroaleurispore……………………………… …………………14 b. Tidak mempunyai mikroaleurispore………………………………………….. 15 14a.Mempunyai spora makroaleurispore, namun spora mikroaleurispore jarang ditemukan ………….………………………………………............... Microsporum sp. b. Tidak mempunyai makroaleurispore………………...… Trichophyton sp. 15a. Koloni seperti velvet, tidak terdapat garis-garis radier dan konidia...................16 b. Koloni seperti kapas, berwarna abu-abu tua dan menghitam pada koloni yang berumur 610 hari. Koloni yang umur tua terdapat garis-garis radier dan ramokonidia………… ………………………………………............................. Cladosporium sp. 2.Kecepatan Tumbuh Jamur Pada pengamatan untuk melihat pertumbuhan ke delapan jamur hasil identifikasi, diperoleh hasil bahwa Rhizopus stolonifer merupakan jamur yang mempunyai kemampuan tumbuh paling cepat diantara kedelapan spesies yang lain karena spesies tersebut mampu tumbuh dengan hanya dalam waktu tiga hari menghasilkan rerata pertumbuhan diameter koloni sebesar 6.4 cm namun sebaliknya pertumbuhan koloni jamur yang terlama adalah Cladosporium sp yaitu hanya mencapai diameter sebesar 2.28 cm dalam kurun waktu yang sama (Grafik 1.)
PROSIDING, Copyright© 2016 92
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Rerata hasil pengukuran diameter koloni jamur menunjukkan bahwa tiga jenis jamur yaitu Aspergillus niger, A. flavus, dan Rhizopus stolonifer dalam waktu tujuh hari berturutturut mencapai diameter 4.4 cm, 4.7cm, 6.4 cm dan dua isolat Fusarium pada waktu yang sama mencapai diameter 3.6 cm. Jamur Cladosporium sp, Trichophyton sp dan Microsporum sp mempunyai kecepatan tumbuh yang lebih lambat dibandingkan dengan ketiga jenis jamur tersebut diatas.
Gambar 1. Kecepatan Tumbuh Jamur-jamur yang Menginfeksi Tanaman Buah Naga Secara In-vitro PEMBAHASAN Sebanyak delapan species jamur penyebab busuk pada tanaman buah naga telah teridentifikasi yaitu Aspergillus flavus, A. niger, Trichophyton sp.,Microsporum sp., Rhizopus stolonifer, Fusarium sp1 , Fusarium sp2, Cladosporium sp. Kedelapan species tersebut merupakan jamur-jamur penghuni tanah ( Ganjar dkk., 1999 dan Darnetty, 2006) sehingga sangat mudah bagi kedelapan jamur tersebut menginfeksi tanaman buah naga khususnya pada daerah perakaran, leher akar bahkan batang dan bunga. Jamur-jamur penghuni tanah baik yang bersifat saproba ataupun parasit mampu hidup dan berkembang biak pada inangnya melalui air (waterborne), tanah (soilborne) atau udara (airborne) ( Pith dan Hocking, 1997 ; Noveriza, 2008). Hal ini sangat dimungkinkan bahwa kedelapan species tersebut mampu hidup secara konsorsium atau soliter menginfeksi ianangnya atau hanya hidup sebagai jamur endopit atau bahkan sebagai saprobe biasa yang memanfaatkan inang sebagai sumber makanannya (Anonim,2008; Kurniawan 2008; Ganjar, dkk., 1999) Kecepatan tumbuh jamur R.stolonifer mendominasi diantara kedelapan species yang lain. Hal ini dikaitkan bahwa jamur ini merupakan jamur tingkat rendah yang hanya mampu memanfaatkan gula-gula sederhana tetapi mampu memanfaatkan secara optimal sehingga jamur ini dikenal sebagai jamur parasit yang dapat beradaptasi secara cepat pada inang dan mampu menyebabkan pembusukan pada jaringan inang (Darnetty, 2006 ; Noveriza, 2008). Jamur Fusarium oxysporum sebagai salah satu jamur penyebab busuk pada akar, sulur dan buah belum berhasil teridentifikasi sampai tingkat spesies karena dalam penelitian ditemukan dua genera Fusarium. Teridentifikasinya genera Fusarium menunjukkan bahwa jamur-jamur yang teridentifikasi merupakan penyebab penyakit pada tanaman buah naga putih (Holocerous spp), meski untuk memastikannya harus dilakukan uji postulat Koch dilapangan (Proboriniunpublish data). Jamur Cladosporium pertumbuhannya terlihat paling lambat. Hal ini dimungkinkan bahwa pada media PDA, jamur ini memerlukan adaptasi yang relatif lama untuk tumbuh dan menghasilkan spora, namun setelah adaptasi tersebut tercapai jamur ini akan mampu bertahan tumbuh lama dibanding jamur R.stolonifer yang sangat cepat tumbuh, namun setelah seminggu jamur ini akan berhenti dan hilang koloninya dalam media PDA sedangkan pada Cladosporium tetap eksis walaupun koloni tidak pernah memenuhi seluruh cawan petri, PROSIDING, Copyright© 2016 93
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
sehingga teridentifikasinya jamur Cladosporium sangat penting untuk data-data penelitian dan perlu dilakukan uji postulat Koch di lapangan untuk memastikan bahwa jamur Cladosporium merupakan jamur parasit bahkan patogen pada tanaman buah naga (Proborini, un-publish data) SIMPULAN Teridentifikasi delapan spesies jamur yang menginfeksi tanaman buah naga yaitu: Aspergillus flavus, A. niger, Trichophyton sp., Microsporum sp., Rhizopus stolonifer, Fusarium sp.1 , Fusarium sp.2, Cladosporium sp. Pertumbuhan jamur-jamur tersebut bervariasi kecepatan tumbuhnya dan pertumbuhan Rhizopus stolonifer tercepat yaitu dalam waktu tiga hari sebesar 6.4 cm, sedangkan pertumbuhan Cladosporium adalah yang paling lambat yaitu hanya 2.28 cm dalam waktu satu minggu UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Dra.Eniek Kriswiyanti, Msi., sebagai ketua Peneliti Hibah Kompetitif Penelitian Sesuai Prioritas Nasional tahun anggaran 2008; Dewa Ayu Andriastini, Ssi. dan Ni Made Elik Rahayuni, Ssi. yang telah membantu dalam kelancaran penelitian ini; Pemilik dan Pengelola Kebun Buah Naga di Desa Sobangan Kecamatan Mengwi Kabupaten Badung, Laboratorium Taksonomi Tumbuhan Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Udayana. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, S.K., Zora, S.E. (1993) Chaetomium mesopotamicum a new thermophilic species from Iraqi soil. Cryptogamic Botany 3 (4): 387-389. Anonim. 2008. Budidaya Buah Naga, http://www.infokebun.wordpress.com Opened:10.01.2009. Darnetty. 2006. Pengantar Mikologi. Andalas university Press. Padang Frey, D., R.J. Oldfield, R.C. Bridger. 1979. A Colour Atlas of Phatogenic Fungi. Wolfe Medical Publication Ltd. Holland. Gandjar, I., R.A. Samson, K.V.D.T. Vermeulen, A. Oetari, dan I. Santoso. 1999. Pengenalan kapang Tropik Umum. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Martina, A., Yuli, N., dan Sutisna, M., 2002, Optimasi Beberapa Faktor Fisik Terhadap Laju Degradasi Selulosa Kayu Albasia (Parserianthes Falcataria) Dan Karboksimetilselulosa (CMC) Secara Enzimatik Oleh Jamur, Jurnal Natur Indonesia, 4(2), 156-163. Noveriza, R. 2008. Kontaminasi Jamur dan Mikotoksin pada Tumbuhan Obat. Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Indonesian (Medicinal and Aromatic Crops Research Institute). Bogor. Jurnal Mikologi.Vol. 7 (1): 35 - 46 Pitt, J.I. dan A.D. Hocking. 1997. Fungi and Food Spilage. Institute of The Royal Netherlands Academy of Arts and Sciences. Netherland. Kurniawan. 2008. Pengendalian Hama dan Penyakit, Available at : http://dk-breakthourgh.blogspot.com.Opened : 10.01.2009 Pratomo. 2008. Superioritas Jambu Biji dan Buah Naga Available at : http://www.unika.ac.id. Opened : 10.01.2009 Salar, R. K. and Aneja, K.R. (2007) Thermophilic Fungi: Taxonomy and Biogeography. Journal of Agricultural Technology 3(1): 77-107. Winarsih, Sri. 2007. Mengenal dan Membudidayakan Buah Naga. Aneka Ilmu.Semarang.
PROSIDING, Copyright© 2016 94
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
EFEKTIVITAS MgCl2 MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN DAN TRANSPIRASI Monochoria vaginalis (BURM. F) PRESL Ni Putu Adriani Astiti Jurusan Biologi FMIPA UNUD Email:
[email protected] ABSTRAK Telah dilakukan penelitian dengan tujuan untuk mengetahui Efektivitas MgCl2 mempengaruhi pertumbuhan dan Transpirasi Monochoria vaginalis (Burm. F) Presl. Konsentrasi perlakuan adalah 16,7 mM, 33,4 mM, 50,2 mM dan control ( 0 mM). Rancangan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap Blok. Hasil pengamatan selama 7 minggu setelah perlakuan menunjukkan tidak ada perbedaan pertumbuhan untuk ketiga konsentrasi yang diberikan dengan control, demikian juga dengan jumlah daun dan panjang akar. Namun jumlah stomata mengalami perbedaan untuk masing- masing konsentrasi yang diberikan. Dari hasil perhitungan menunjukkan ratio akar pucuk bervariasi pada pemberian konsentrasi yang berbeda. Diameter sel parenkim batang menunjukkan adanya variasi yang tidak begitu banyak. Pada pengamatan transpirasi, semua konsentrasi yang diberikan menunjukkan perbedaan. Semakin tinggi konsentrasi , kecepatan transpirasi semakin menurun. pH tanah makin turun dengan makin bertambahnya konsentrasi yang diberikan, tetapi tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap pertumbuhan M. vaginalis karena pH yang dicapai masih berkisar 6-7 yang merupakan pH tanah yang cukup baik untuk pertumbuhan M. vaginalis. Keyword :M. vaginalis, MgCl2, pertumbuhan, transpirasi ABSTRACT A research has been conducted, which aimed to investigate the effect of MgCl2 to the growth and transpirations of Monochoria vaginalis (Burm. F) Presl. The plants were treated in 16,7 mM, 33,4 mM, 50,2 mM of MgCl2 and a control (0 mM), in block design methods. After 7 weeks of treatments, the results showed that there were not differences in the growth of the plants treated compared to control, as on the number of leaves and the length of roots measured. However, the number of stomata was different among treatments. The ratios of apical growth and the roots were also differed among treatments, but a little difference was recorded on the diameter of pharenchyma. However, all treatments affected the transpiration rates, the higher the concentrations the lower transpiration rates. Soil pH declined with increasing the concentration of MgCl2, but has no effect on the plant growth M. vaginalis. This is due to the soil pH was still in the range of 6-7 which the pH suitable for the growth of M. vaginalis. Keyword: M. vaginalis, MgCl2, growth, transpiration. PENDAHULUAN Kadar garam di dalam tanah dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman. Kadar garam pada jumlah tertentu akan mempunyai dampak bagi pertumbuhan tanaman, karena garam dapat mendesak pengaruh osmotik untuk mencegah tanaman dalam pengambilan air dari tanah, ion tertentu dapat menyebabkan keracunan pada tanaman sebagai contoh konsentrasi Cl yang tinggi dalam air irigasi dapat menyebabkan terbakarnya daun, Kelarutan garam yang tinggi dapat menghambat penyerapan (up take) air dan hara oleh tanaman seiring dengan terjadinya peningkatan tekanan osmotik.Pada kebanyakan spesies, pengaruh jenis-jenis garam umumnya tidak khas terhadap tumbuhan tanaman tetapi lebih tergantung pada konsentrasi total PROSIDING, Copyright© 2016 95
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
garam. Salinitas tidak ditentukan oleh garam Na Cl saja tetapi oleh berbagai jenis garam yang berpengaruh dan menimbulkan stres pada tanaman. Monochoria vaginalis (Burm.f.) Presl merupakan salah satu gulma padi berdaun lebar yang menyebabkan penurunan produksi padi. Gulma yang tumbuh bersama tanaman padi dapat bersaing dalam hal kebutuhan akan unsur hara, air, cahaya dan ruang yang mengakibatkan menurunnya hasil panen. Mengingat besarnya kerugian yang disebabkan oleh gulma tersebut perlu adanya upaya pengendalian baik secara fisik maupun kimiawi. Penggunaan garam MgCl2 dalam penelitian ini ,karena MgCl2 adalah salah satu garam terlarut dalam tanah dan dapat menimbulkan stres tanaman (Sipayung, 2003). Dalam larutan tanah garam ini mempengaruhi pH dan daya hantar listrik.Magnesium adalah aktivator yang berperan dalam transportasi energi beberapa enzim di dalam tanaman. Unsur ini sangat dominan keberadaannya di daun , terutama untuk ketersediaan klorofil. Kecukupan magnesium sangat diperlukan untuk memperlancar proses fotosintesis. Unsur itu juga merupakan komponen inti pembentukan klorofil dan enzim di berbagai proses sintesis protein. Kekurangan magnesium menyebabkan sejumlah unsur tidak terangkut karena energi yang tersedia sedikit. Transpirasi merupakan peristiwa penting yang antara lain berperan dalam proses penyerapan unsur hara. Mengingat M. vaginalis mempunyai kecenderungan bersaing dalam hal penggunaan air disamping unsur hara dan cahaya., maka seberapa besarkah transpirasi yang dilakukan dan bagaimanakah pengaruh pemberian garam MgCl2 terhadap pertumbuhan dan transpirasinya. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efektivitas garam MgCl2mempengaruhi pertumbuhan dan transpirasi M vaginalis MATERI DAN METODE
Pengumpulan sampel M. vaginalis berdaun 2-3 diambil dari satu petak persawahan, kemudian ditanam pada ember plastik yang berisi tanah yang sudah dibersihkan dari batu dan sisa tumbuhan yang diambil dari petak sawah yang sama. Selanjut dilakukan pemupukan dengan menggunakan pupuk Urea 175 kg/ha, TSP 75 kg/ha dan K2SO4 50 kg/ha.Tiap pot ditanam 5 bibit yang diambil dari segerombolan kecambah yang berasal dari satu induk.Dilakukan adaptasi tanaman selama satu minggu. Perlakuan Setiap hari setelah adaptasi, tiap pot disiram dengan larutan MgCl2 masing – masing dengan konsentrasi 16,7 mM ., 33,4 mM dan 50,2 mM. Sebagai kontrol penyiraman dilakukan dengan menggunakan air saja.. Masing – masing perlakuan ulangan sebanyak 6 kali. Tinggi air untuk semua perlakuan dipertahankan setinggi + 3 Cm di atas permukaan tanah. Parameter pertumbuhan yang diukur adalah Tinggi tanaman, diameter sel parenkim batang, Kecepatan pertumbuhan relative danratio akar pucuk ( Ratio Top Root ). Parameter lain yang diukur adalah pH tanah, dan Daya Hantar Listrik tanah, jumlah stomata perluas daundan transpirasi. Transpirasi diukur dengan menggunakan metode penimbangan. Pengamatan dilakukan selama 7 minggu, dan untuk mengetahui pengaruh MgCl2 terhadap parameter pertumbuhan, analisis data dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap. Perbedaan pengaruh antar perlakuan dianalisis lebih lanjut dengan menggunakan uji Duncan. HASIL Dari hasil pengamatan terhadap tinggi tanaman menunjukkan sampai umur 7 minggu tumbuhan masih bertambah tinggi, tetapi tinggi tanaman masih lebih rendah dibandingkan kontrol. Semakin tinggi konsentrasi yang diberikan pertumbuhan tanaman semakin kecil, sedangkanpada kontrol tinggi maksimum yaitu 30 Cm.Dari hasil analisis statistic tidak menunjukkan perbedaan yang nyata PROSIDING, Copyright© 2016 96
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Perlakuan dengan MgCl2 dengan konsentrasi yang berbeda tidak menyebabkan perbedaan panjang akar dan jumlah daun. Jumlah maksimum daun dicapai ketika tumbuhan berumur 4 minggu dengan jumlah daun rata – rata 6.. Dari hasil perhitungan untuk Ratio Akar Pucuk (Ratio Top Root ) menunjukkan ratio yang bervariasi pada masing – masing konsentrasi. Pada perlakuan dengan MgCl2 50,2 mM menunjukkan ratio yang paling besar yaitu 0,240 dan MgCl2 33,4 mM menunjukkan ratio yang paling kecil yaitu 0,172. Pada pengamatan transpirasi menunjukkan semakin tinggi konsentrasi, kecepatan aktivitas transpirasi semakin menurun dibandingkan kontrol (Gb. 1).Transpirasi rata – rata sebesar 0,71 mg/menit/Cm2. Pemberian garam MgCl2 pada tanah menyebabkan perubahan Daya Hantar Listrik pada semua larutan tanah. Perubahan daya Hantar Listrik berbeda nyata antara kontrol dengan masing – masing perlakuan dan diantara perlakuan( Gb. 2. ).Daya Hantar Listrik tanah naik dengan semakin bertambahnya konsentrasi yang diberikan. PH tanah berkisar antara 6-7. (Gb. 3)
Gambar. 1. Kecepatan Transpirasi Daun M. vaginalis (mg/menit/Cm2) yang Diberi perlakuan MgCl2.
Gambar 2. Hasil pengukuran Daya Hantar Listrik Tanah yang diberikan Garam MgCl2
PROSIDING, Copyright© 2016 97
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gambar. 3 Hasil pengukuran pH Tanah yang diberi garam MgCl2 Diameter sel parenkim batang menunjukkan adanya variasi yang tidak begitu banyak, dengan ukuran diameter untuk kontrol 61,25 + 6,48 um um, untuk konsentrasi 16,7 mM adalah 48 ; 38 + 3,42 .Untuk konsentrasi 33,4 mM adalah 60,0 + 1,35 um dan untuk konsentrasi 50,2 mM adalah 53,13 +3,13 um. Jumlah stomata per mm2 mengalami pengurangan , dengan semakin tingginya konsentrasi yang diberikan. Jumlah stomata pada kontrol adalah 152,6 + 21,37, konsentrasi 16,7 mM adalah 151,6 + 7,89, konsentrasi 33,4 mM adalah 138,4 + 47,7 dan konsentrasi 50,2 mM adalah 130,8 + 9,8 . Kecepatan pertumbuhan relative mengalami kenaikan dengan semakin tingginya konsentrasi yang diberikan kecuali batang yang mulai menurun kecepatan pertumbuhannya pada media dengan konsentrasi 50.2 mM.
Gambar. 4. Kecepatan peretumbuhan Relatif M. vaginalis pada media MgCl2 PEMBAHASAN Stres garam merupakan salah-satu dari bentuk stres tanaman. Stres garam terjadi dengan terdapatnya salinitas atau konsentrasi garamgaram terlarut yang berlebihan dalam tanaman.Stres garam ini umumnya terjadi dalam tanaman pada tanah salin. Stres garam meningkat dengan meningkatnya konsentrasi garam hingga tingkat konsentrasi tertentu yang dapat mengakibatkan kematian tanaman ((Harjadi dan Yahya, 1988) Pemberian MgCl2 sampai konsentrasi 50,2 mM, tidak memberikan pengaruh yang nyata pada pertumbuhanM. vaginalis. Keadaan ini dapat dilihat tidak adanya perbedaan yang nyata dari pertumbuhan tanaman pada perlakuan dengan konsentrasi. Hal ini disebabkan PROSIDING, Copyright© 2016 98
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
karena Mg merupakan unsur makro yang diperlukan dalam jumlah yang cukup besar yang berperan untuk pembentukan klorofil, transportasi Enzim dan sintesis protein. Dalam hal ini jumlah Mg yang diberikan sudah mencukupi jumlah yang dibutuhkan, sehingga tidak nampak adanya gejala kekurangan dari unsur Mg ini.Menurut Nassery, Ogata dan Maas dalam Basri ( 1991 ), salinitas menekan proses pertumbuhan tanaman dengan efek yang menghambat pembesaran dan pembelahan sel, produksi protein serta penambahan biomass tanaman. Tanaman yang mengalami stres garam umumnya tidak menunjukkan respon dalam bentuk kerusakan langsung tetapi pertumbuhan yang tertekan dan perubahan secara perlahan. Daya Hantar listrik mengalami kenaikan dengan semakin meningkatnya konsentrasi Mg Cl2 yang diberikan. Ini menunjukkan salinitas tanah meningkat, yang berakibat semakin meningkatnya tekanan osmotic. Dalam penelitian ini sampai konsentrasi 50,2 mM, Daya hantar Listrik masih dibawah 4 mmmhos/cm dengan kisaran PH tanah 6-7. Menurut Follet et al, (1981), tanah salin memiliki pH < 8,5 dengan daya hantar listrik > 4 mmhos/cm. Hal ini sangat penting karena karena kadar garam yang tinggi akan menyulitkan tanaman menyerap air untuk pertumbuhannya.Efek salinitas akan membebaskan energy untuk mengatur tekanan osmotic yang berbeda, dan salah satu energy yang dibebaskan adalah melalui transpirasi. Magnesium merupakan unsur hara makro yang diperlukan oleh bagian hijau dari tanaman, sebab merupakan bagian penyusun klorofil.Hal ini berpengaruh pada kecepatan pertumbuhan relative daun yang menunjukkan adanya kenaikan dengan makin bertambahnya konsentrasi MgCl2 yang diberikan. KESIMPULAN Dari hasil pengamatan selama 7 minggu terhadapM. vaginalis (Burm. F.) Presl yang diperlakukan dengan MgCl2 dapat disimpulkan, sampai konsentrasi 33,4 mM memacu pertumbuhan batang. Kecepatan transpirasi semakin menurun dengan semakin bertambahnya konsentrasi yang diberikan.Turunnya kecepatan transpirasi setara dengan berkurangnya jumlah stomata per mm2.Sampai konsentrasi 50,2 mM, M. vaginalis masih menunjukkan pertumbuhan yang baik tetapi sudah mengurangi penggunaaan air dan transpirasi.sehingga mengurangi persaingan dalam penggunaan air. DAFTAR PUSTAKA Basri, H., 1991. Pengaruh Stres Garam Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Empat Varietas Kedelai. Thesis Program Pascasarjana IPB, Bogor Fitter, A.H. dan R.K. M. Hay, 1991. Fisiologi Lingkungan Tanaman. Gajah Mada University Press, Jogyakarta Follet RH, Murphy, Donahue RL. 1981. Fertilizer and Soil Amandements. New Jersey: Prentice Hall Inc. Harjadi , S.S. dan S. Yahya, 1988. Fisiologi Stres Tanaman. PAU IPB, Bogor Sipayung, R. 2003.Stres Garam dan Mekanisme Toleransi Tanaman. Diakses 13 Nov. 2015. Available at :http://library.usu.ac.id/download/fp/bdp-rosita2.pdf
PROSIDING, Copyright© 2016 99
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
JENIS-JENIS BURUNG DI KAWASAN HUTAN MONTANA DAN HUTAN SUBALPIN GUNUNG LAWU THE AVIFAUNA SPECIES IN MONTANE FOREST AND SUBALPINE FOREST LAWU MOUNTAIN , ’ , ., , Kelompok Studi Kepak Sayap. Program Studi Biologi, 2) Kelompok Studi Biodiversitas. Program Studi Biologi, 3) Maintenance Research Group. Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret Jl. Ir. Sutami 36A, Surakarta, 57126, Phone: +62-8573-5025-060 *E-mail:
[email protected] .
∗
1)
ABSTRAK Gunung Lawu merupakan salah satu gunung yang termasuk daerah ekoton, yaitu kawasan peralihan dari iklim kering ke iklim basah yang memiliki tipe hutan montana dan subalpin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung pada kawasan hutan montana dan subalpin Gunung Lawu. Penelitian ini dilakukan di jalur pendakian Cetho dengan menggunakan metode IPA (Index Point of Abundance) pada enam interval ketinggian yaitu 1400-1700 mdpl; 1700-2000 mdpl; 2000-2300 mdpl; 2300-2600 mdpl; 2600-2900 mdpl; dan 2900-3200 mdpl. Pengamatan dilakukan pada pukul 06.00-10.00 dan pukul 14.00-18.00 WIB. Analisis data menggunakan indeks Shanon-Wiener untuk mengetahui indeks keanekaragaman. Hasil yang diperoleh pada kawasan hutan montana terdapat 24 spesies dari 13 famili dengan indeks diversitas Shannon-Wienner 2,68, sedangkan pada kawasan hutan subalpin tercatat 6 spesies dari 5 famili dengan indeks diversitas ShannonWienner 1,6. Berdasarkan indeks diversitas Shannon-Wiener keanekaragaman jenis burung di kawasan hutan montana dan hutan subalpin dalam kategori sedang. Kata Kunci: burung, gunung lawu, keanekaragaman ABSTRACT Lawu is one of the mountains, that includes ekoton area, the area of transition from a dry climate to a wet climate, which has a montane forest types and subalpin. This study aims to determine the diversity of bird species in the montane forest areas and subalpin forest Lawu Mountain. This research was conducted at the hiking trail Cetho using IPA (Index Point of Abundance) at six intervals from 1400 to 1700 meters above sea level altitude; 1700-2000 masl; 2000-2300 masl; 2300-2600 masl; 2600-2900 masl; and 2900-3200 masl. Observations were made at 06.00-10.00 a.m and 02:00-06:00 p.m. The data analysis use the diversity index of Shannon-Wiener. The results obtained in the montane forests are 24 species of 13 families and a Shannon-Wiener diversity index by 2.68, while in the subalpin forest area recorded 6 species of 5 families and Shannon-Wiener diversity index by 1.6. Based on the diversity index Shannon-Wiener, the diversities of bird species in the montane forest area and subalpine forest area are in the medium category. Keywords: avifauna, diversity, Lawu Mountain PENDAHULUAN Keanekaragaman burung di Indonesia cukup tinggi, keanekaragaman jenis burung tersebut didukung oleh tingginya keanekaragaman habitat. Habitat burung meliputi hutan PROSIDING, Copyright© 2016 100
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tropis, rawa-rawa, padang rumput, pesisir pantai, tengah lautan, gua-gua batu, perumahan bahkan perkotaan (Kuswanda, 2010). Berdasarkan keanekaragaman ekosistem, Indonesia memiliki 1531 jenis burung dan sekitar 26% merupakan jenis burung endemik (BAPPENAS, 2003). Gunung Lawu merupakan gunung yang terletak di perbatasan anatara Jawa Tengah dan Jawa Timur dengan ketinggian 3.265 mdpl. Secara geografi terletak di sekitar 111°15’ BT dan 7°30’LS (Rosadi, 2015). Gunung lawu adalah salah satu gunung yang termasuk daerah ekoton, yaitu kawasan peralihan dari iklim kering ke iklim basah. Kondisi tersebut menjadikan Gunung Lawu sebagai kantong biodiversitas yang cukup besar, termasuk burung. Burung merupakan satwa liar yang mudah ditemui diberbagai tipe habitat bervegetasi. Penyebaran yang luas menjadikan burung sebagai salah satu sumber kekayaan hayati Indonesia yang potensial. Selain berperan dalam keseimbangan ekosistem, burung dapat menjadi bioindikator perubahan lingkungan (Hadinoto dkk., 2012). Kawasan hutan Gunung Lawu dapat dikategorikan dalam dua tipe hutan yang terdiri dari hutan montana (1500-2400 mdpl), dan hutan subalpin (>2400 mdpl). Kawasan hutan Gunung Lawu memiliki berbagai tipe vegetasi, mulai dari vegetasi yang homogen hingga heterogen berdasarkan perbedaan ketinggian. Kawasan vegetasi yang homogen tersebut didominasi hutan pinus dan hutan produksi, sedangkan pada kawasan vegetasi heterogen tersebut ditumbuhi beragam jenis tumbuhan tinggi dan semak belukar. Berbagai tipe vegetasi tersebut berpengaruh terhadap keanekaragaman burung yang ada di Gunung Lawu. Komposisi vegetasi yang relatif heterogen menciptakan relung ekologi yang lebih bervariasi mulai dari daratan yang relatif terbuka sampai daratan yang dipadati pepohonan bagi burung (Suripto dkk, 2006). Penelitian mengenai keanekaragaman jenis burung di kawasan hutan montana dan subalpin Gunung Lawu belum pernah dilakukan terutama di jalur pendakian Dusun Cetho Karanganyar. Oleh karena itu dilakukan penelitian di kawasan hutan montana dan hutan subalpin Gunung Lawu dengan melalui jalur pendakian Dusun Cetho dengan tujuan untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung pada kawasan hutan montana dan hutan subalpin Gunung Lawu. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilakukan pada tanggal 10-12 Agustus 2015 di jalur pendakian Gunung Lawu Dusun Cetho Karanganyar. Metode pengamatan burung yang digunakan yaitu metode IPA (Index Point of Abundance), dengan menentukan point pengamatan pada interval 14001700 mdpl, 1700-2000 mdpl, 2000-2300 mdpl, 2300-2700 mdpl, 2700-3000 mdpl, dan 30003200 mdpl. Pengamatan dilakukan pada pukul 06.00-10.00 dan pukul 14.00-18.00. Data yang dicatat meliputi nama spesies, jumlah spesies, waktu perjumpaan, aktivitas dan ketinggian. Bahan dan peralatan yang digunakan dalam penelitian berupa teropong binokuler, buku petunjuk lapangan burung-burung Sumatera, Jawa, Bali, dan Kalimantan (Mac Kinnon et. al, 2010), kamera prosumer, GPS, jam tangan, dan buku catatan. Data pengamatan jenis-jenis burung yang didapatkan di kawasan hutan montana dan sub alpin Gunung Lawu ditampilkan dalam bentuk tabel yang berisi nama ilmiah, nama Indonesia, dan jumlah spesies. Selain dalam bentuk tabel, data ditampilkan dalam bentuk deskripsi. Tingkat keanekaragaman jenis burung di kawasan hutan montana dan hutan subalpin Gunung Lawu dianalisa menggunakan persamaan Shannon-Wiener (H’) dengan rumus: H
pi ln pi
PROSIDING, Copyright© 2016 101
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Dumana: Pi = ni/N ni = jumlah individu dalam satu jenis N = Jumlah total jenis yang ditemukan Dengan ketentuan: apabila H’>3 indeks keanekaragaman jenis tinggi; 1
Gambar 1. Peta lokasi pengamatan burung di kawasan hutan montana dan subalpin Gunung Lawu HASIL DAN PEMBAHASAN Hutan Gunung Lawu berdasarkan ketinggiannya dapat dibedakan atas zona montana, dan zona Subalpin. Berdasarkan Steenis (1972) zona hutan menurut ketinggian dan perubahan iklim di Pulau Jawa dibedakan atas zona tropis (0-1000 mdpl), zona montana (1000-2400 mdpl), dan zona subalpin (>2400 m dpl). Penelitian ini dilakukan pada jalur pendakian Cetho Gunung Lawu dengan mengambil enam titik pengamatan berdasarkan interval ketinggian tertentu yang mewakili kawasan hutan zona montana dan hutan zona subalpin. Pengamatan dilakukan pada enam interval pengamatan berdasarkan ketinggian yang berbeda-beda, yaitu pada ketinggian 1400-1700 mdpl, 1700-2000 mdpl, 2000-2300 mdpl, 2300-2600 mdpl, 26002900, dan 2900-3200. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan pada hutan zona montana dan hutan zona subalpin Gunung Lawu secara keseluruhan dijumpai 26 spesies yang termasuk ke dalam 13 famili. Persebaran burung tiap interval pada hutan zona montana dan hutan zona subalpin dapat dilihat pada gambar 1.
PROSIDING, Copyright© 2016 102
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi” 25
20
15 Interval 6 10
Interval 5 Interval 4
5
Interval 3 Interval 2 Pycnonotus aurigaster Artamus leucorynchus Collocalia linchi Coracina javensis Megalurus palustris Pycnonotus goiavier Cettia vulcania Ptilinopus porphyreus Brachypteryx leucophrys Dicaeum sanguinolentum Zoothera dauma Megalaima hemacephala Centropus sinensis Pernis ptilorhynchus Myophonus glaucinus Turdus poliocephalus Macropygia unchall Ficedula westermanni Iole virescens Volcano swiftlet Eumyias indigo Ictinaetus malayensis Rhipidura phoenicura Dendrocopos moluccensis Streptopelia chinensis Seicercus grammiceps
0
Interval 1
Gambar 1. Grafik Persebaran Burung Pada Tiap Interval Keterangan: Interval I : Ketinggian 1400-1700 mdpl Interval II : Ketinggian 1700-2000 mdpl Interval III: Ketinggian 2000-2300 mdpl Interval IV: Ketinggian 2300-2600 mdpl Interval V : Ketinggian 2600-2900 mdpl Interval VI : Ketinggian 2900-3200 mdpl Spesies paling banyak ditemui berdasarkan gambar 1 yaitu Collocalia linchi yang tercatat mulai interval satu hingga interval ke empat sebanyak 22 individu, dan spesies paling sedikit ditemui, yaitu Pycnonotus goiavier, Zoothera dauma, Megalaima hemacephala, Centropus sinensis, Pernis ptilorhynchus, Myophonus glaucinus, Eumyias indigo, dan Ictinaetus malayensis masing-masing spesies berjumlah 1 individu. Cettia vulcania merupakan spesies yang dapat ditemukan pada tiap interval pengamatan dan paling banyak ditemukan pada interval ketiga. Pada interval satu hingga ketiga merupakan termasuk dalam zona hutan montana. Kawasan hutan zona montana merupakan ekosistem hutan yang berada pada ketinggian 1500-2400 mdpl. Dapat dilihat pada tabel 1 hutan zona montana ditemukan 24 spesies burung dari 13 famili, sedangkan pada hutan zona subalpin ditemukan sebanyak enam spesies burung dari lima famili sesuai dengan tabel 2. Berdasarkan hasil pengamatan terdapat dua spesies burung dilindungi menurut Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa yang ditemukan di kawasan hutan zona montana, yaitu Elang hitam (Ictinaeus malayensis) dan Sikep madu asia (Pernis ptilorinchus). Selain itu, ditemukan juga burung-burung endemik jawa, yaitu Kepudang Sungu Jawa (Coracina javensis), Anis Gunung ras Jawa / Jalak Lawu (Turdus poliochepalus strassermani), Walet Gunung (Volcano swiftlet) dan Kipasan Ekor Merah (Rhipidura phoenicura). PROSIDING, Copyright© 2016 103
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Jenis-jenis burung di kawasan hutan montana Gunung Lawu No
Famili
Nama Ilmiah
Nama Indonesia
Jumlah
Pycnonotidae
Pycnonotus aurigaster
Cucak Kutilang
8
2
Artamidae
Pycnonotus goiavier Iole virescens Artamus leucorynchus
Merbah Cerukcuk Berinji Gunung Kekep Babi
1 7 2
3
Apodidae
Collocalia linchi
Walet linchi
19
4
Campephagidae
Coracina javensis
Kepudang Sungu Jawa
6
5
Silviidae
Megalurus palustris
Cica Koreng Jawa
3
Columbidae
Seicercus grammiceps Cettia vulcania Ptilinopus porphyreus
Cikrak muda Ceret Gunung Walik Kepala Ungu
1 12 2
Streptopelia chinensis
Tekukur Biasa
1
Turdidae
Brachypteryx leucophrys
Cingcoang Coklat
9
8
Dicaeidae
Zoothera dauma Myophonus glaucinus Turdus poliocephalus Dicaeum sanguinolentum
Anis Sisik Ciung Batu Kecil Anis Gunung Cabe Gunung
1 1 2 2
9
Capitonidae
Megalaima hemacephala
Takur Ungkut-ungkut
1
10
Cuculidae
Centropus sinensis
Bubut Besar
1
11
Accipitridae
Pernis ptilorhynchus
Sikep Madu Asia
1
Muscicapidae
Ictinaetus malayensis Eumyias indigo
Elang Hitam Sikatan Ninon
1 1
Picidae
Rhipidura phoenicura Ficedula westermanni Dendrocopos moluccensis
Kipasan Ekor Merah Sikatan Belang Caladi Tilik
3 5 1
1
6 7
12
13
Tabel 2. Jenis-jenis burung di kawasan hutan subalpin Gunung Lawu No
Famili
Nama Ilmiah
Nama Indonesia
Jumlah
Apodidae
Collocalia linchi
Walet linchi
3
2
Silviidae
Volcano swiftlet Cettia vulcania
Walet Gunung Ceret Gunung
4 5
3
Turdidae
Turdus poliocephalus
Anis Gunung
5
4
Columbidae
Macropygia unchall
Uncal Loreng
2
5
Pycnonotidae
Iole virescens
Berinji Gunung
1
1
Pada hutan zona montana memiliki indeks Shannon-Wiener 2,68, sedangkan hutan zona subalpin memiliki indeks Shannon-wiener 1,6. Berdasarkan nilai indeks diversitas Shannon-Wiener keanekaragaman burung pada hutan zona montana dan hutan zona subalpin dalam kategori keanekaragaman jenis sedang. Keanekaragaman jenis burung semakin menurun setelah memasuki hutan zona subalpin, hal tersebut dipengaruhi oleh vegetasi tumbuhan tinggi yang mulai berkurang dan didominasi oleh pohon-pohon kerdil seperti cantigi gunung (Vaccinium varingiaefolium), bunga eidelweis (Anaphalis javanica), cemara gunung (Casuarina junghuhniana) dan rumput Isachne pangerangensis. Menurut Arini (2010) tingkat perjumpaan jenis-jenis burung diduga terkait hubungannya dengan keberadaan pakan, Pada PROSIDING, Copyright© 2016 104
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
hutan montana memiliki keanekaragaman burung lebih tinggi jika dibandingkan dengan keanekaragaman burung di hutan subalpin. Burung-burung jenis frugivorus atau pemakan buah-buahan lebih banyak ditemukan pada kawasan hutan montana yang masih terdapat pohon puspa (Anaphalis javanica), ficus, dan jenis-jenis palem. Jenis-jenis pohon ini merupakan kelompok tumbuhan yang buahnya hampir dapat ditemui sepanjang tahun (Arini, 2010). Berbagai tipe hutan seperti hutan primer, hutan sekunder maupun lahan terbuka/semak belukar merupakan habitat bagi beragam jenis burung (Kuswanda, 2010). Seperti yang diutarakan Alikodra (1989) dalam Widodo (2005) bahwa keragaman kehidupan satwa liar di dalam hutan primer adalah tinggi. Jika hutan tersebut ditebangi dan menjadi hutan sekunder, biasanya akan terjadi penurunan keragaman jenis secara drastis. SIMPULAN Pada kawasan hutan montana Gunung Lawu tercatat 13 famili burung yang terdiri dari 24 spesies, sedangkan di kawasan hutan subalpin ditemukan 5 famili burung dengan jumlah 6 spesies. Tingkat keanekaragaman burung di kawasan hutan montana dan hutan subalpin Gunung Lawu berdasarkan indeks diversitas Shannon-Wiener secara berturut-turut sebesar 2,68 dan 1,6 yang termasuk dalam kategori keanekaragaman jenis sedang. SARAN Diperlukan penelitian lanjutan untuk mengetahui keanekaragaman jenis burung di Gunung Lawu dengan melalui jalur pendakian Cemoro Sewu dan jalur pendakian Cemoro Kandang. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapan terimakasih disampaikan kepada Maintenance Research Group (MRG) Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret yang telah mendanai penelitian ini, dan Perhutani Divre II Jawa Tengah yang telah memberikan ijin kegiatan penelitian Ekspedisi Wukir Mahendra 2015. DAFTAR PUSTAKA Arini, D.I.D. 2010. Eksplorasi Jenis Burung di Kawasan Konservasi Cagar Alam Gunung Ambang Provinsi Sulawesi Utara. Balai Penelitian Kehutanan Manado. 13(2): 29-35. BAPPENAS. 2003. National Biodiversity Action Plan. Bappenas, Jakarta. Hadinoto, A. Mulyadi, dan Y.I Siregar. 2012. Keanekaragaman Jenis Burung Di Hutan Kota Pekanbaru. Jurnal Ilmu Lingkungan. 6 (1): 25-42. Kuswanda, W. 2010. Pengaruh Komposisi Tumbuhan Terhadap Populasi Burung Di Taman Nasional Batang Gadis, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. 3(2):193-213. MacKinnon, J., K. Philip dan V. Balen. 2010. Seri panduan Lapangan Burung-Burung Sumatera, Kalimantan, Jawa dan Bali. Puslitbang Biologi – LIPI, Bogor. Rosadi, I. 2015. Analisis Vegetasi Tumbuhan Gunung Lawu Jalur Pendakian Cemoro Mencil Girimulyo Jogorogo Ngawi. Skripsi, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Suripto, BA., dan A. Hamidy. 2006. Burung di Pulau Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah: Keanekaragaman, Adaptasi dan Jenis-Jenis Penting Untuk Dilindungi. Jurnal Manusia dan Lingkungan. 13(1): 9-25. Van Stennis, C.G.G.J. 1972. Mountain Flora of Java. Brill, Leiden. Widodo, W. 2005. Kemelimpahan dan Sumber Pakan Burung-burung di Taman Nasional Manusela, Seram, Maluku Tengah. Jurnal Biodiversitas. 7(1): 54-58
PROSIDING, Copyright© 2016 105
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KEANEKARAGAMAN DAN KEPADATAN SERANGGA BENTIK DI ZONA LITORAL DANAU DIATAS SUMATERA BARAT BENTHIC INSECT DIVERSITY AND DENSITY IN LITTORAL ZONE OF DIATAS LAKE WEST SUMATERA Izmiarti Jurusan Biologi Fakultas MIPA Universitas Andalas email:
[email protected] HP 081363414819 ABSTRAK Penelitian tentang keanekaragaman dan kepadatan serangga bentik di zona litoral Danau Diatas Sumatera Barat telah dilakukan pada bulan Juni 2014. Penelitian dilakukan dengan metode survei pada 5 stasiun yang ditetapkan berdasarkan kondisi lingkungan di sekitar danau. Sampel dikoleksi dengan surber net ukuran 30 x 30 cm2, masing-masing stasiun 4 sampel. Serangga bentik yang ditemukan sebanyak 19 jenis yang tergolong ordo Coleoptera, Diptera, Ephemeroptera, Lepidoptera, Odonata dan Trichoptera. Keanekaragaman jenis berkisar dari 1,32–1,93. Kepadatan total berkisar dari 288,86–6054,95 ind/m2 yang tertinggi ditemukan di stasiun Villa dengan jenis dominan Orthocladinae sp.1 sedangkan kepadatan yang terendah di stasiun Muara. Kata kunci: keanekaragaman, kepadatan, serangga bentik, Danau Diatas PENDAHULUAN Danau Diatas merupakan salah satu dari danau Kembar di Sumatera Barat (kembarannya Danau Dibawah) yang terbentuk secara vulkanik, terletak di Kabupaten Solok pada ketinggian 1531 m dari permukaan laut. Luas permukaan danau 12,3 km2 dan kedalaman maksimum 44 m (Nakano, Watanabe, Usman dan Syahbuddin, 1987). Pemanfaatan lahan di sekitar danau beranekaragam seperti untuk pemukiman, lahan pertanian yang ditanami dengan tanaman plawija diantaranya buah-buahan, sayur-sayuran dan padi yang ditanam di sawah. Disisi lain, Danau ini juga dimanfaatkan sebagai sumber ikan untuk memenuhi kebutuhan penduduk dan sebagai tempat wisata yang berpotensi untuk dikembangkan. Semua aktivitas tersebut tentu saja akan berpengaruh pada kualitas air danau dan pada akhirnya akan berpengaruh pada komunitas biota yang hidup di dalam danau tersebut. Hal lain yang menarik di danau ini adalah pada bagian litoral danau, substrat dasarnya pada umumnya berbatu-batu dan riaknya sangat kuat akibat angin yang selalu bertiup kencang. Kondisi seperti ini mirip dengan kondisi di perairan mengalir yang berarus deras dimana biasanya didominansi oleh pradewasa serangga bentik. Diperkirakan pada bagian litoral danau Diatas hidup beranekaragam serangga bentik. Keberadaan serangga bentik didalam ekosistem perairan sangat penting, sebagai konsumen primer dan sekunder, sebagai sumber makanan ikan. Selain itu juga merupakan salah satu indikator kesehatan lingkungan perairan akibat kegiatan manusia (antropogenik). Informasi tentang komunitas serangga bentik di Danau Diatas sangat kurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keanekaragaman dan kepadatan serangga bentik di zona litoral Danau Diatas Sumatera Barat. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan di zona litoral Danau Diatas Sumatera Barat. Sampel dikoleksi pada bulan Juni 2014. Metode yang digunakan adalah metode survey. Stasiun penelitian ditetapkan sebanyak 5 stasiun secara purposive yaitu: Stasiun I: Daerah Dermaga (merupakan PROSIDING, Copyright© 2016 106
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tempat pangkalan sarana angkutan air). Stasiun II: Daerah Villa (tempat rekreasi). Stasiun III: Daerah Muara terdapat outflow Danau Diatas. Stasiun IV: Gelagah daerah dimana terdapat aliran masuk dari pemukiman dan sawah disekitarnya. StasiunV: Daerah Teluk Kinari disekitarnya terdapat sawah dan ladang masyarakat. Pada masing-masing stasiun dikoleksi serangga bentik dengan surber net ukuran 30 x 30 cm2 di zona litoral pada kedalaman 0.5-1 m, masing-masing stasiun 4 sampel. Untuk memisahkan hewan bentos dari material lain digunakan saringan dengan ukuran mesh 200 mikron. Pengukuran fisika-kimia air dilakukan terhadap air di dasar disetiap stasiun. meliputi: suhu air, kecerahan, total zat padat tersuspensi, O2 terlarut, BOD, CO2, pH, komposisi partikel substrat kadar organik substrat, Selain itu diukur juga kandungan nitrat, nitrit, pospat dan amoniak. Serangga bentik diidentifikasi dengan menggunakan disecting microscope dan buku acuan terkait, seperti: Merrit and Cummins (1975); Pennak (1978), Williams and Felmate (1992) dan Pescador, Rasmussen and Harris (2002). Analisis data meliputi kepadatan populasi yang dinyatakan dengan jumlah individu per m2, kepadatan relatif dalam persen dan indeks keanekaragaman jenis yang digunakan adalah indeks keanekaraganman Shannon-Wiener: s H’ = -∑ pi ln pi n=1 Keterangan: H’ = Indeks keanekaragaman (Shannon-Wiener) pi = ni/N ni = jumlah individu jenis ke i N = jumlah seluruh individu Dan Indeks kesamarataan (equitability index) H’ E = ─── H maks = ln S H maks Keterangan: E = Indeks kesamarataan populasi H’ = Indeks keanekaragaman S = jumlah jenis HASIL DAN PEMBAHASAN Kepadatan dan kepadatan relatif serangga bentik di Danau Diatas Dari penelitian yang telah dilakukan di Danau Diatas ditemukan 19 jenis serangga bentik yang terdiri dari ordo Diptera, 8 jenis, Coleoptera 3 jenis, Epheme-roptera 3 jenis, Odonata 2 jenis, Trichoptera 2 jenis dan Lepidoptera 1 jenis.
Gambar 1. Jumlah jenis dan kepadatan relatif serangga bentik di Danau Diatas Kepadatan total berkisar dari 288,86–6054,95 ind/m2, rata-rata 1846,48 ind/m2 dengan komposisi: Diptera 66,06 %, Trichoptera 16,73 %, Ephemeroptera 9,51 %, Coleoptera 6,38%, PROSIDING, Copyright© 2016 107
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Odonata 1,08 % dan Lepidoptera 0,24 %. Dari gambar diatas tampak bahwa jumlah jenis dan kepadatan relatif tertinggi adalah ordo Diptera yang sebagian besar tergolong famili Chironomidae. Hal ini disebabkan karena mikrohabitat dan ketersediaan makan di dasar pada zona litoral danau beranekaragam, seperti berbatu, berpasir , berlumpur, makrofita akuatik, algae yang melapisi batu. Pada masing-masing substrat tersebut dihuni oleh jenis serangga yang berbeda. Sebagian besar jenis yang ditemukan merupakan jenis yang sering mendiami air mengalir dengan substrat berbatu, hanya beberapa jenis yang sering ditemukan pada substrat berlumpur seperti Polypedilum (Pinder and Freiss, 1983). Menurut Williams and Felmate (1992), diptera akuatik dapat hidup pada berbagai tipe substrat perairan, dan kelimpahannya sangat ditentukan oleh ketersediaan makanan. Dari Tabel 1 dapat dilihat kepadatan total masing-masing stasiun dimana yang tertingi ditemukan pada Stasiun Villa dan yang paling rendah di Stasiun Muara Jumlah jenis yang paling banyak juga ditemukan di stasiun Villa sebanyak 15 jenis dengan kepadatan 6054,95 ind/m2. Stasiun Villa merupakan lokasi yang sering dikunjungi oleh wisatawan, substrat dasarnya didominasi oleh batu- batu yang dilapisi alga, berpasir, kerikil, sedikit berlumpur dan berarus kuat. Hasil identifikasi menunjukan bahwa alga yang menutupi batu tersebut adalah alga berfilamen seperti Spyrogira dan Lingbya dan Gomphonema ( Diatom). Kondisi ekologis di Stasiun Villa ini mirip dengan habitat air mengalir yang beraliran deras dimana biasanya didominasi oleh pradewasa Insecta, karena kemampuan adaptasinya serta memiliki struktur morfologi yang dapat mempertahankan dirinya terhadap arus kuat (William dan Felmate, 1992). Hampir sama dengan hasil penelitian Jonasson (1978) di danau Erie Denmark dibagian litoral danau yang mempunyai substrat berbatu dan berarus didapatkan komunitas serangga bentik sekitar 85 % dari komunitas bentosnya, yang mirip dengan komunitas serangga perairan mengalir. Kondisi mikro habitat stasiun Villa yang dasarnya berbatu yang ditutupi algae menguntungkan Orthocladianae sp.1 (ordo Diptera) sehingga populasinya paling tinggi diantara jenis-jenis lainnya dengan kepadatan 3944,05 ind/m2 (KR = 65,14%). Menurut Wallacea and Webster (1996) Orthocladinae mempunyai range habitat yang luas ( substrat keras, lunak dan tumbuhan akuatik) dan mekanisme makan yang beragam mulai dari scrapper/grazer, shredder, colletor/gatherer, filterer dan predator. Stasiun Muara mempunyai kepadatan yang paling rendah yaitu 288,86 ind/m2 yang terdiri dari 9 spesies. Daerah muara juga merupakan lokasi yang banyak dikunjungi wisatawan. Salah satu dampaknya di Muara pada bagian tepi danau banyak sekali ditemukan sampahsampah terutama sampah plastik yang tersangkut dibatu dasar. Sampah plastik ini sulit terdegradasi, sehingga berpengaruh terhadap kehidupan dari serangga bentik, akibatnya kepadatan total distasiun ini paling rendah. Substrat dasar di stasiun ini berbatu, kerikil dan pasir, dan ditemukan sampah dan makrofita akuatik submerged. Jenis yang dominan di stasiun ini adalah Polypedilum (Chironomidae) dengan kepadatan sebesar 122,21 ind/m2 dengan KR = 42,31 %. Menurut Pinder and Freiss (1983) larva Polypedilum dapat hidup di segala tipe perairan baik perairan tenang maupun perairan mengalir. Substrat yang lebih disukai adalah sedimen namun beberapa spesies menyukai tanaman akuatik. Larva serangga ini mempunyai feeding habitat yang luas seperti shredder, collector/gatherer dan predator. Di Stasiun Gelagah ditemukan jumlah jenis yang paling sedikit dibandingkan dengan stasiun lainnya yaitu 8 jenis dengan kepadatan 988,79 ind/m2 . Jenis yang dominan adalah Psychomya (Ordo Trichoptera). Di stasiun Gelagah terdapat aliran masuk ke danau yang berasal dari permukiman penduduk dan sawah. Substrat dasar di stasiun ini terdiri dari batu berlumpur, kerikil dan pasir. Pergerakan air distasiun ini relatif tenang. Selain itu juga banyak ditemukan tanaman akutaik dari jenis Myriophilum dan Potamogeton. Quigley (1977) menyatakan bahwa Psychomyiidae sering ditemukan pada sungai yang beraliran tenang. Larva serangga ini membentuk terowongan yang dibangun dari pasir, lumpur dan potongan
PROSIDING, Copyright© 2016 108
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tumbuhan. Feeding habitnya juga luas yaitu collector, gatherer, scrapper Merrit dan Cummins (1988). Stasiun Dermaga merupakan tempat pangkalan boat motor untuk transportasi dari desa ke desa, di stasiun ini terdapat keramba jala apung dan dibagian pinggir dimanfaatkan masyarakat untuk MCK. Pergerakan air di stasiun ini relatif pelan, substrat dasar terdiri batu berlumpur, berpasir dan kerikil. Serangga bentik yang ditemukan sebanyak 9 jenis dengan kepadatan 995,46 ind/m2. Jenis yang dominan sama dengan di stasiun Gelagah yaitu Psychomya. Stasiun Teluk Kinari merupakan stasiun yang menerima aliran dari sawah disekitarnya, substratnya berlumpur, pasir, kerikil dan sedikit berbatu dengan kandungan organik substrat yang tinggi 22,29 %. Selain itu ditemukan makrofita akuatik Myriophylum dan Potamogeton (Tabel 2). Serangga bentik yang ditemukan 13 jenis dengan jenis dominan adalah Polypedilum dengan kepadatan 411,07 ind/m2 (KR :43,53%). Polypedilum lebih menyukai substrat sedimen dan makrofita akuatik (Pinder dan Freiss, 1983). Hasil penelitian Krisanti, Djokosetiyanto dan Muchsin (2011) menunjukan bahwa Polypedilum pada substrat buatan lebih banyak ditemukan pada kedalaman 1 meter maupun 2 meter di stasiun yang banyak mengandung bahan organik yang merupakan salah satu sumber makanan dari larva Polypedilum tersebut. Di zona litoral Danau Diatas tidak ditemukan kelompok Plecoptera tetapi Ephemeroptera dan Trichoptera masih ditemukan. Hal ini menunjukan bahwa zona litoral Danau Diatas memiliki air yang kualitas airnya sudah mulai tercemar karena tidak ditemukan Plecoptera. Plecoptera umumnya ditemukan pada bagian hulu sungai yang masih alami, membutuhkan DO tinggi, substrat dasar berbatu, air jernih dan dingin. Mahajoeno, Efendi dan Ardiansyah (2001) menyatakan bahwa kehadiran taksa kelompok EPT (Ephemeroptera, Plecoptera dan Trichoptera) yang tidak toleran terhadap kualitas air rendah merupakan indikasi dari sungai masih baik. Parameter fisika kimia yang melebihi baku mutu air kelas IV adalah nitrit berkisar dari 0,25-0,73 mg/l (Tabel 2), sedangkan yang diperbolehkan untuk air Kelas IIV hanya 0,06 mg/l (PP No. 82 tahun 2001). Tingginya konsentrasi nitrit di zona litoral Danau Diatas mungkin disebabkan karena disekeliling danau tersebut terdapat lahan pertanian, baik berupa ladang maupun sawah. Dalam pemeliharaannya dilakukan pemupukan dengan pupuk kimia, dan menggunakan Fungisida, Herbisida, Pestisida, Insektisida untuk pengendalian hama dan penyakit Bahan-bahan tersebut banyak sedikitnya tentu terbawa oleh hanyutan aliran masuk ke dalam Danau. Pupuk yang mengandung senyawa Nitrogen dalam kondisi air teroksigenasi baik akan berubah menjadi nitrat dan selanjutnya berubah menjadi nitrit (Goldman and Horne, 1994). Hasil pengukuran faktor fisika kimia air umumnya hampir sama disetiap stasiun dan tergolong baik untuk kehidupan organisme akuatik. Tampaknya faktor kondisi substrat dasar dan kekuatan arus lebih berpengaruh terhadap kehadiran jenis dan kepadatan dari serangga bentik di Danau Diatas. Menurut Ward (1992), organisme bentos sangat ditentukan oleh faktor fisik perairan seperti tipe substrat dan kecepatan arus Indeks keanekaragaman jenis dan indeks ekuitabilitas Indeks keanekaragaman jenis serangga bentik di Danau Diatas rata-rata 1,85 berkisar dari 1,32–1,93 diseluruh stasiun (Gambar 2), yang tertinggi ditemukan di Teluk Kinari dan yang paling rendah ditemukan di Dermaga. Berdasarkan nilai indeks keanekargaman jenis di setiap stasiun dan mengacu kriteria Wilhm dan Doris (1968) dalam Zairion (2003) maka kualitas air di zona litoral Danau Diatas tergolong tercemar sedang. William dan Doris menyatakan bahwa indeks diversitas Shannon-Wiener dapat menunjukan derajat pencemaran yakni indeks keanekaragaman >3 tergolong perairan bersih, 1-3 tergolong perairan yang tercemar sedang dan <1 tergolong perairan tercemar berat.
PROSIDING, Copyright© 2016 109
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
1,80 1,60
1,93
1,75
2,00
1,43
1,37
1,32
Nilai Indeks
1,40 1,20
0,80
1,00 0,80
0,60
0,69
0,75
0,51
H' E
0,60 0,40 0,20 0,00 Dermaga
Villa
Muara
Gelagah
Teluk Kinari
Stasiun
Gambar 2. Indeks keanekaragaman dan indeks ekuitabilitas komunitas serangga bentik pada setiap stasiun dizona litoral Danau Diatas Secara umum tinggi rendahnya indeks keankeragaman ditentukan oleh jumlah jenis dan jumlah individu. Makin banyak jumlah spesies dan makin merata penyebaran individu di dalam spesies maka nilai indeks keanekaragaman semakin tinggi. Kemeratan populasi dalam komunitas dapat diketahui dengan indeks ekuitabilitas (E), apabila E mendekati 1 maka sebaran individu-individu antar jenis relatif merata, bila E mendekati 0 maka sebaran individu-individu tidak merata karena ada jenis tertentu jumlahnya relatif berlimpah atau dominan dari pada jenis lainnya (Kendeigh, 1980). Jumlah jenis yang paling banyak ditemukan di Stasiun Villa (15 jenis) akan tetapi indeks keanekaragaman yang paling tingi ditemukan bukan di stasiun tersebut tetapi di Stasiun Teluk Kinari. Hal ini disebabkan populasi-populasi di Teluk kinari lebih merata (E= 0,75) dibandingkan dengan di Stasiun Villa dengan nilai E =0,51. Tidak meratanya populasi serangga bentik di Stasiun Villa disebabkan oleh sejenis Orthocladinae yang kepadatan populasinya tinggi yakni 3944,05 ind/m2 (65,14 %). Struktur ekologi sangat tergantung pada lingkungan fisik, kimia dan biologi. Faktor fisik yang sering berpengaruh terhadap larva serangga adalah tipe substrat, kecepatan arus, intensitas cahaya, oksigen terlarut, sedangkan faktor kimia yang berpengaruh adalah pH dan salinitas (Mahajoeno, Efendi dan Ardiansyah (2001).
PROSIDING, Copyright© 2016 110
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Kepadatan populasi (ind/m2) dan kepadatan realtif (%) serangga bentik di zona litoral danau Diatas Jenis serangga bentik INSECTA O. Coleoptera 1 Cyphon sp 2 Psephenoides sp. 3 Psephenidae sp. 1 O. Diptera 4 Antocha sp. 5 Microspectra sp. 6 Orthocladinae 1 7 Orthocladinae 2 8 Polypedilum sp. 9 Tanytarsus sp. 10 Tanypodinae 11 Chironominae 1 O. Ephemeroptera 12 Baetis sp. 13 Caenis sp. 14 Centroptilum sp. O. Lepidoptera 15 Eoophyla sp. O. Odonata 16 Corduliidae 17 Gomphidae O. Trichoptera 18 Hydropsyche sp. 19 Psychomya sp. Total kepadatan Jumlah jenis
Dermaga K KR (%) (ind/m2)
11,11
1,16
11,11 11,11
1,16 1,16
99,99 11,11 33,33
10,47 1,16 3,49
55,55 144,43
577,72 955,46 9
5,81 15,12
60,47 100,00
Villa
Muara
Gelagah
K (ind/m2)
KR (%)
K (ind/m2)
211,09 11,11
3,49 0,18
11,11
3,85
11,11 199,98 3944,05 11,11 588,83
0,18 3,30 65,14 0,18 9,72
11,11
3,85
11,11 33,33 122,21
3,85 11,54 42,31
144,43
2,39
55,55
19,23
322,19 99,99 77,77
5,32 1,65 1,28
11,11
3,85
11,11
3,85
11,11 33,33
0,18 0,55
22,22 366,63 6054,95 15
0,37 6,06 100,00
22,22 288,86 9
KR (%)
7,69 100,00
K (ind/m2)
11,11 222,20 22,22
77,77 33,33
KR (%)
1,12 22,47 2,25
7,87 3,37
Teluk Kinari K KR (%) (ind/m2)
66,66 22,22
7,06 2,35
133,32 77,77 22,22 411,07
14,12 8,24 2,35 43,53
44,44
4,71
111,10
11,24
11,11 22,22 11,11
1,18 2,35 1,18
11,11
1,12
11,11
1,18
55,55
5,88
55,55 944,35 13
5,88 100,00
499,95 988,79 8
50,56 100,00
PROSIDING, Copyright© 2016
111
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Faktor fisika-kimia air dan kondisi dasar Danau Diatas Tabel 2. Faktor fisika kimia air dan kondisi dasar danau pada masing-masing stasiun di zona litoral Danau Diatas Parameter Dermaga 1. Fisika kimia air Suhu (ºC) 21,5 TSS (mg/l) 23,35 O2 (mg/l) 7,53 0,96 BOD5 (mg/l) 0,97 CO2 (mg/l) pH 7 Pospat (mg/l) 0,32 Nitrat (mg/l) 0,45 Nitrit (mg/l) 0,71 Amoniak (mg/l) 0,07 2. Karakteristik dasar danau Kandungan organik substrat 22,30 Komposisi partikel dasar* Kerikil 9,54 Pasir 63,63 lumpur 26,84 3. Vegetasi akuatik Vegetasi makrofita akuatik 4. Kondisi arus
Tidak kuat
Villa
Muara
Gelagah
Teluk Kinari
21,5 11,6 8,80 1,83 ttd 8 0,37 0,79 0,73 0,17
22 22,55 8,21 2,08 0,29 7 0,26 0,9 0,72 0,31
23 13,5 7,42 0,64 0,81 7 0,19 0,67 0,67 0,36
21,5 10,6 7.59 2,15 0,67 7 0,34 1,36 0,25 0,08
3,29
4,62
6,68
22,29
28,64 71,03 0,33
29,98 69,03 1,00
19,48 63,84 16,66
18,73 50,86 30,41
-
Potamogeton Myriophylum
Potamogeton Myriophylum
Potamogeton Myriophylum
Kuat
Tidak kuat
Tidak kuat
Sangat kuat
Keterangan: * Selain batu Berdasarkan nilai fisika kimia air yang diamati ternyata semua faktor tersebut berada dibawah baku mutu air kelas I dan II kecuali nitrit (0,25 -0,73 mg/l) sudah melebihi nilai ambang batas air Kelas IV berdasarkan PP No. 82 tahun 2001. Konsentrasi nitrit yang dipersyaratkan untuk air Kelas I –IV tidak melebihi dari 0,06 mg/l. Kualitas air di zona litoral Danau Diatas tergolong Kelas I dan II layak digunakan untuk prasarana/sarana rekreasi dan untuk kehidupan organisme akuatik di Danau Diatas termasuk serangga bentik. Dasar danau di seluruh stasiun didominasi oleh batu, kecuali di Teluk Kinari. Komposisi sedimen yang terbesar adalah pasir 50,86-71,03 %. Batu-batu dasar umumnya dilapisi oleh alga yang didominasi oleh alga berfilamen seperti Spyrogira dan Lingbya dan Diatom seperti Gomphonema. Kandungan organik substrat berkisar dari 3,29 -22,30 %. Kandungan yang tinggi ditemukan pada stasiun yang berlumpur yaitu di Teluk Kinari dan Dermaga. Di Teluk Kinari, Gelagah dan di Muara banyak ditemukan makrofita akuatik seperti Potamogeton dan Myriophylum. Kondisi substar seperti ini menambah keanekaragaman mikrohabitat untuk serangga bentik SIMPULAN Komunitas serangga bentik dizona litoral Danau Diatas ditemukan sebanyak 19 jenis yang terdiri dari ordo Diptera 8 jenis, Coleoptera 3 jenis, Ephemeroptera 3 jenis, Odonata 2 jenis, Trichoptera 2 jenis dan Lepidoptera 1 jenis. Kepadatan total berkisar dari 288,86 – 6054,95 ind/m2, rata-rata 1846,48 ind/m2 dengan komposisi Diptera 66,06 %, Trichoptera 16,73 %, Ephemeroptera 9,51 %, Coleoptera 6,38%, Odonata 1,08 % dan Lepidoptra 0,24 %. Indeks keanekargaman jenis berkisar dari 1,32–1,93. menunjukan kualitas perairan tercemar PROSIDING, Copyright© 2016 112
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
sedang, indeks ekuitabilitas berkisar dari 0,51-0,80. Kondisi fisika kimia air danau yang diukur dan karakteristik dasar danau secara umum tergolong baik untuk kehidupan serangga bentik DAFTAR PUSTAKA Goldman, C. A. and A. J. Horne. 1994. Lymnology. Mc. Graw Hill Book Company. Tokyo. Jonasson, P. M. 1987. Zoobentos of Lake. Verh. Internat. Verein. Limnol. 20 (1): 25-41 Kendeigh, S. C. 1980. Ecology: with Special Refernce to Animals and Man. Prentice Hall of India Private Ltd. New Delhi. Krisanti, M., D. Djokosetiyanto., Y.Wardiatno dan I. Muchsin. 2011. Studi populasi larva Polypedilum (Insekta: Chironomidae Pada substrat Buatan dengan kedalaman berbeda di Danau Lido. Journal of Tropical Fisheries. 6(2):559-567 Mahajoeno, E., M. Efendi dan Ardiansyah. 2001. Keanekaragaman Larva Insekta pada Sungaisungai Kecil di Hutan Jobolarangan. Biodiversitas. 2 (2): 133-139 Merrit, R. W. and K. W. Cummins. 1984. An Introduction to the Aquatic Insects of North America. Second Edition. Kendall/Hunt. Dubuque. Nakano, K., T. Watanabe., R. Usman and Syahbuddin. 1987. Study of Conservation in a Montaion Region in Sumatra. Mem. Kagoshima Univ. Res. Center. S. Pac. 8(2): 87-124 Odum, E.P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi ketiga. Diterjemahkan oleh Samigan, T. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Penak, R.W. 1978. Freshwater Invertebrates of United States. Second ed. A Wiley Intercience Publ. john Wiley & Sons. New York. Chichester. Brisbane. Toronto. Pescador, M. L., A. K. Rasmussen and S. C. Harris. 2002. Identification Manual for the Caddisfly (Trichoptera) Larvae of Florida. 1. Departemen of Enviromental Protection Division of Water Facilities Thallahassee. State of Florida. Pinder, L. C. V. and Freiss. 1983. The larve of Chironomid (Diptera: Chironomidae) of the Holartic–Key and diagnosis in: Wiederholm (Ed.) Chironomidae of the Holoartc. Part 1 Larva. Ent. Scand. Suppl. No. 19: 293-447. Ward, J. V. 1992. Aquatic Insect Ecology: Biologi and Habitat. John Wiley and Sons Inc. Clorado State University. Fort Collins, Clorado. Williams, D. D. And B. W. Felmate. 1992. Aquatic Insect. C.A.B. International. Redwood Press Ltd., Melksham. UK. Wallace, J. B and J. R. Webster. 1996. The Role of Invertebrate in Stream Ecocystem. Ann. Rev. Entomol. 41:115- 139
PROSIDING, Copyright© 2016 113
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
POTENSI ANTIMIKROBA DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK SEGAR JAMBU KALIANG (Syzygium cumini (L.) Skeels) POTENTIAL ANTIMICROBIAL AND ANTIOXIDANT ACTIVITY FRESH EXTRACT JAMBU KALIANG (Syzygium cumini (L.) Skeels) Nanda Oktafiana*, Nurmiati, Feskaharny Alamsjah dan Periadnadi Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis, Padang-25163 *Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian tentang “Potensi Antimikroba dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Segar Jambu Kaliang (Syzygium cumini (L.) Skeels” telah dilakukan dari bulan Juli sampai September 2015 di Laboratorium Riset Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dalam pola Nested. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak segar daun Jambu Kaliang memiliki daya hambat terbesar terhadap Candida albicans dengan rata-rata diameter zona hambat yang terbentuk 16,30 mm. Pada Staphylococcus aureus dan Escherchia coli diameter zona hambat terbesar terdapat pada ekstrak daging buah masak, dengan diameter zona hambat yang dibentuk masing-masing 23,67 mm dan 26,22 mm. Pada uji aktivitas antioksidan, ekstrak yang memiliki aktivitas antioksidan tertinggi adalah ekstrak kulit buah masak Jambu Kaliang dengan nilai 127,73 %. Kata kunci: Antimikroba,antioksidan, ekstrak, Syzygium cumini (L.) Skeels ABSTRACT A study about “Potential Antimicrobial and Antioxidant Activity Fresh Extract Jambu Kaliang (Syzygium cumini (L.) Skeels)” was conducted from July to September 2015 at Microbiology Laboratory, Faculty of Sciences Andalas University.This experiment used nested completely randommized design.The result showed that fresh extracts of Syzygium cumini have different growth inhibition effects on C. albicans, S. aureus dan E. Coli. Fresh leaf extract has the highest inhibition of the growth of C. albicans (16.30 mm). On S. aureus and E. coli highest inhibition found in meat extracts of ripe fruit, with a diameter of inhibition zone formed 23.67 mm and 26.22 mm. In the test of antioxidant activity,extracts which have the highest antioxidant activity is ripe fruit peel extract Jambu Kaliang with a value of 127.73%. Keywords: Antimicrobial, antioxidant, extract,Syzygium cumini (L.) Skeels PENDAHULUAN Saat ini kesadaran masyarakat tentang bahaya mengkonsumsi obat-obatan berbahan kimia sudah semakin besar, penggunaan obat yang terus-menerus akan menimbulkan efek samping, bahkan dapat menyebabkan penyakit baru bagi konsumennya. Selain itu, kisaran harga obat berbahan kimia yang relatif tinggi juga menyulitkan masyarakat. Maka masyarakat mulai kembali kepengobatan alternatif dengan menggunakan bahan tradisional yang berkhasiat untuk mengobati berbagai macam penyakit yang tidak memberi efek samping bagi tubuh dan tidak mahal. Indonesia sangat kaya dengan tumbuhan obat yang dimanfaatkan untuk obat tradisional dan telah lama digunakan secara empirik yang memberi manfaat dalam meningkatkan
PROSIDING, Copyright© 2016 114
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
kesehatan tubuh dan pengobatan berbagai macam penyakit (Paturusi, Djide dan Subehan, 2012). Salah satu dari tumbuhan yang dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional adalah tumbuhan Jamblang. Di Sumatera Barat tumbuhan Jamblang ini dikenal dengan nama Jambu Kaliang. Syzygium cumini (L.) Skeels atau Jambu Kaliang merupakan tumbuhan yang dapat hidup pada kisaran geografis yang tinggi. Tumbuhan ini dijumpai di kawasan beriklim tropis seperti negara-negara di kawasan Asia Tenggara, Amerika Selatan dan Afrika bagian tengah. Pada kawasan subtropis, tumbuhan ini juga dapat ditemukan, seperti pada negara-negara di Amerika Utara, Eropa, Australia, Asia Timur dan Afrika bagian selatan (Verheiji dan Coronel, 1997). Jambu Kaliang juga ditemukan di kawasan Sumatera Barat dan merupakan salah satu buah-buahan lokal asli yang mulai langka dan sangat digemari oleh masyarakat Sumatera Barat. Selama ini masyarakat sudah menggunakan tumbuhan Jambu Kaliang sebagai obat tradisional. Menurut Gruenwald (2000) kulit kayu tanaman ini dipercaya berkhasiat sebagai obat diare, mengatasi inflamasi pada kulit, mulut dan tenggorokan. Sedangkan bijinya dipercaya berkhasiat untuk penyakit diabetes, mengatasi konstipasi, penyakit pankreas dan sebagai diuretik. Soeseno (1990) juga mengatakan bahwa tumbuhan ini juga sering digunakan sebagai anti ngompol, anti diare serta mengobati kencing manis. Jambu Kaliang merupakan buah-buahan yang menyehatkan. Hal ini karena tumbuhan Jambu Kaliang diduga mengandung berbagai senyawa antioksidan yang juga bersifat sebagai antimikroba. Menurut Ayyanar dan Babu (2012), buah tumbuhan ini kaya akan senyawa anthosianin. Senyawa anthosianin terdapat pada kulit buah masak yang berwarna merah kehitaman, sedangkan buah muda dan daun mengandung senyawa-senyawa flavonoid, terpen, tanin, alkaloid yang berasal dari rasa asam dan pahit dari buah dan daun. Menurut Ajizah (2004), senyawa tersebut juga memiliki aktivitas sebagai antimikroba. Tanin yang terkondensasi dapat mengikat dinding sel bakteri, menghambat pertumbuhan dan aktivitas protease, sedangkan senyawa alkaloid dapat mengganggu terbentuknya jembatan seberang silang komponen penyusun peptidoglikan pada sel bakteri, sehingga lapisan dinding sel tidak terbentuk secara utuh dan mengakibatkan kematian sel. Pada penelitian ini ekstrak segar daun dan buah Jambu Kaliang akan diuji aktivitas antimikrobanya dengan menggunakan beberapa jenis mikroorganisme patogen, yaitu Candida albicans (R.) Berkhout, Escherichia coli Castellani and Chalmers (Migula) ATCC 25922 dan Staphylococcus aureus Rosenbach ATCC 6538. Saat ini penelitian tentang uji kandungan senyawa antimikroba dan antioksidan yang terdapat pada buah dan daun Jambu Kaliang belum banyak dilakukan. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang uji kandungan senyawa antimikroba dan antioksidan yang terdapat pada buah dan daun Jambu Kaliang segar. Diharapkan penelitian ini dapat membantu masyarakat dalam mengetahui berbagai zat antioksidan dan antimikroba yang terdapat pada buah dan daun Jambu Kaliang serta manfaatnya bagi kesehatan. MATERI DAN METODE Alat dan Bahan Ekstrak segar daun, buah muda, daging dan kulit buah masak Jambu Kaliang. Biakan C. albicans, S. aureus ATCC 6538, dan E. coli ATCC 25922 yang diperoleh dari Laboratotium Dinas Kesehatan Provinsi Sumatera Barat. Media yang digunakan adalah Sabouraud Dextrosa Agar (SDA) dan Muller Hinton Agar (MHA). Peralatan yang digunakan terdiri dari autoclave, sentrifugator, Petri dish, Erlenmeyer, gelas ukur, Eppendorf tube’s, vortex, mikro pipet, jarum ose, pinset, batang pengaduk, botol film, timbangan digital, lumpang, pisau, lampu spritus, aluminium foil, pelubang kertas, kertas label dan kertas cakram steril. Bahan kimia yang
PROSIDING, Copyright© 2016 115
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
digunakan adalah alkohol 70 %, alkohol 96 %, spritus, asam sulfat, barium clorida, asorbic acid dan DPPH (1,1-Diphenyl-2-PicrylHidrazil). Cara Kerja Uji Antimikroba Daun dan dua jenis buah Jambu Kaliang yang masak dan yang muda disiapkan. Kemudian dicuci bersih dan dikering anginkan. Setelah itu dilakukan sterilisasi permukaan dengan cara disemprot alkohol 70 %. Buah yang masak dipisahkan antara kulit dengan isi buahnya.Kemudian daun dan tiga buah sampel tadi (buah muda, buah masak tanpa kulit buah dan kulit buahnya saja) digerus, diperas dan disaring. Hasil saringan dimasukkan ke dalam tabung Eppendorf dan disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm. Penentuan daerah bebas mikroba menggunakan metode difusi (Bonang dan Koeswardoyo, 1979). Medium SDA dan MHA yang telah disiapkan dalam keadaan steril pada erlenmeyer dituangkan pada cawan petri sebanyak 15 ml secara aseptis dan medium dibiarkan memadat.Lidi kapas steril dicelupkan ke suspensi, kemudian dioleskan ke permukaan medium sampai rata, dibiarkan beberapa detik pada suhu kamar.Diletakkan secara aseptis cakram (Paper disk) di permukaan medium yang telah ditetesi dengan ekstrak segar Jambu Kaliang masing-masing sebanyak 20µl. Diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam.Dilakukan pengamatan dan pengukuran diameter daerah bebas mikroba yang terbentuk sekitar cakram setelah 18-24 jam. Diameter diukur dengan menggunakan jangka sorong. Penentuan Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH Metode DPPH yang digunakan mengacu pada Molynuex (2004). Dilarutkan 4 ml larutan DPPH 0,05 mM dengan 1 ml larutan uji. Campuran didiamkan selama waktu Operating Time yang telah diperoleh. Diukur serapan larutan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Sebagai pembanding digunakan Asam Askorbat pada konsentrasi 10, 20, 30,40 dan 50 ppm dengan perlakuan yang sama dengan larutan uji. Penentuan persen perendaman menggunakan rumus berikut ini: Persen perendaman =
X 100 %
A1 = Absorbansi kontrol A2 = Absorbansi Sampel HASIL Uji Antimikroba Tabel 1. Rata-rata Diameter Daerah Bebas Mikroba Ekstrak Segar Jambu Kaliang terhadap Mikroba Uji No.
Jenis Ekstrak
1. 2. 3. 4.
Buah Masak Kulit Buah Masak Daun Buah Muda
Diameter Daerah Bebas Mikroba (mm) C. albicans S. aureus 9,23 b 23,67 a 9,43 b 22,87 b 16,30 a 20,13 c 8,27 c 16,72 d
E. coli 26,22 a 24,51 b 20,50 c 21,32 c
Keterangan : angka-angka yang diikuti huruf kecil yang tidak sama pada kolom yang sama adalah berbeda nyata pada uji taraf 5%.
PROSIDING, Copyright© 2016 116
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2. Kategori Daya Hambat Ekstrak Segar Jambu Kaliang No. 1. 2. 3. 4.
Jenis Ekstrak Daging Buah Masak Kulit Buah Masak Daun Muda Buah Muda
Kategori Daya Hambat C. albicans S. aureus
E.coli
S
SK
SK
S
SK
SK
K S
SK K
SK SK
Keterangan: SK (Sangat Kuat), K (Kuat), S (Sedang)
1
2
3
4
Gambar 1. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar Jambu Kaliang terhadap pertumbuhan C. albicans (1). Ekstrak segar daun (2). Ekstrak segar buah muda (3). Ekstrak segar daging buah masak (4). Ekstrak segar kulit buah masak
1
2
3
4
Gambar 2. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar Jambu Kaliang terhadap pertumbuhan S. aureus (1). Ekstrak segar daun (2). Ekstrak segar buah muda (3). Ekstrak segar daging buah masak (4). Ekstrak segar kulit buah masak
1
2
4
3
Gambar 3. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar Jambu Kaliang terhadap pertumbuhan E. coli (1). Ekstrak segar daun (2). Ekstrak segar buah muda (3). Ekstrak segar daging buah masak (4). Ekstrak segar kulit buah masak Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH Tabel 3. Rata-rata Aktivitas Antioksidan ekstrak Jambu Kaliang dengan Metode DPPH Sampel Daun Buah Muda Kulit Buah Masak Daging Buah Masak
Rata-rata Aktivitas Antioksidan (%) 49,55 63,19 127,73 32,64
PROSIDING, Copyright© 2016 117
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PEMBAHASAN Uji Antimikroba Uji aktivitas antimikroba ekstrak segar Jambu Kaliang menunjukkan bahwa semua ekstrak mampu menghambat pertumbuhan C. albicans, S. aureus dan E. coli. Hal ini terlihat dari diameter zona hambat yang terbentuk (Gambar 1,2 dan 3). Rata-rata diameter zona hambat mikroba ekstrak segar tumbuhan Jambu Kaliang terhadap C. albicans berkisar antara 8,27 – 16,30 mm, S. aureus berkisar antara 16,72 – 23,67 mm dan E. coli berkisar antara 20,50 – 26,22 mm (Tabel 1). Terhadap C. albicans antara masing-masing ekstrak buah masak dan kulit buah masak pengaruhnya tidak berbeda nyata, namun berbeda nyata dengan ekstrak daun dan buah muda. Pada S. aureus keempat ekstrak memberikan pengaruh yang berbeda nyata, sedangkan pada E. coli ekstrak daun dan buah muda tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan ekstrak buah masak dan kulit buah masak. Pengaruh yang diberikan terlihat dari diameter zona hambat yang terbentuk. Terbentuknya diameter zona hambat ini disebabkan karena ekstrak segar daun, buah muda,daging dan kulit buah masak Jambu Kaliang mengandung berbagai senyawa aktif yang bersifat sebagai antimikroba. Kemampuan daya hambat yang diberikan oleh masing-masing ekstrak segar Jambu Kaliang terhadap bakteri uji sangat ditentukan oleh kandung senyawa kimia aktif yang terkandung pada masing-masing ekstrak. Menurut Ayyanar dan Babu (2012), daun, buah muda, kulit dan daging buah masak Jambu Kaliang banyak mengandung berbagai senyawa yang bersifat sebagai antimikroba dan antioksidan. Daun mengandung senyawa aktif berupa flavonol, tanin, terpen, alkaloid dan juga quercetin. Buah Jambu Kaliang juga mengandung berbagai senyawa aktif seperti antosianin, asam sitrat, asam malat, flavonoid, polifenol, asam galat, alkaloid (jambosin), vitamin C, minyak atsiri dan juga sedikit senyawa tanin. Senyawasenyawa ini akan berdifusi ke dalam medium sampai terbentuk keseimbangan dan mampu menghambat pertumbuhan mikroba uji. Pada Tabel 1 juga terlihat bahwa ekstrak segar daun Jambu Kaliang sangat aktif dalam menghambat pertumbuhan C. albicans dengan membentuk diameter zona hambat paling besar diantara ekstrak lainnya. Rata-rata diameter yang dibentuknya sebesar 16,30 mmdan tergolong kuat (K) menurut kategori daya hambat Davis and Stout (1971) (Tabel 2) serta memiliki perbedaan yang sangat signifikan jika dibandingkan dengan ekstrak lainnya yang memiliki rata-rata diameter zona hambat berkisar antara 8,27 – 9,43 mm terhadap mikroba uji C. albicans (Tabel 1). Hal ini disebabkan karena daun Jambu Kaliang diduga mengandung senyawa aktif berupa flavonol, alkaloid dan senyawa tanin yang memiliki kandungan lebih tinggi jika dibandingkan dengan bagian lain tumbuhan ini. Coppen (1983) menyatakan bahwa senyawa flavonol merupakan salah satu senyawa yang termasuk golongan senyawa flavonoid. Heinrich, et al., (2009) mengatakan bahwa flavonoid mampu merusak dinding sel sehingga menyebabkan kematian sel. Selain flavonol daun Jambu Kaliang juga mengadung tanin. Menurut Cowan (1999), senyawa tanin mampu mengganggu pembentukan konidia sehingga menyebabkan kematian pada jamur. Selain tanin, alkaloid yang terdapat pada daun Jambu Kaliang juga memiliki kemampuan untuk mendenaturasi protein sehingga sel tidak terbentuk secara utuh dan menyebabkan kematian sel (Robinson,1991). Karena kemampuan senyawa-senyawa tersebut maka pertumbuhan C. albicans dapat dihambat dengan baik oleh ekstrak segar daun Jambu Kaliang. Pada S. aureus dan E. coli ekstrak yang sensitif menghambat pertumbuhan bakteri uji adalah ekstrak daging buah masak Jambu Kaliang. Rata-rata diameter yang terbentuk pada masing-masing mikroba uji adalah 23,67 mm pada S. aureus dan 26,22 mm pada E. coli (Tabel 1) dan tergolong kategori sangat kuat (SK) menurut kategori daya hambat Davis and Stout (1971) (Tabel 2). Nilai rata-rata diameter zona hambat yang diperoleh pada ekstrak daging buah masak Jambu Kaliang ini berbeda nyata dengan nilai zona hambat yang diperoleh pada PROSIDING, Copyright© 2016 118
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ekstrak yang lainya. Menurut Shafi, et al., (2002), pada buah Jambu Kaliang terkandung senyawa penyamak tanin, minyak atsiri, asam sitrat, asam malat, asam gallat, sianidin, petunidin, malvidin dan triterpenoid serta vitamin C yang tidak dimiliki organ lain tumbuhan Jambu Kaliang. Menurut Nychas dan Tassou (2000) senyawa-senyawa tersebut termasuk golongan senyawa antimikroba alami yang berasal dari tumbuhan. Asam sitrat, asam malat dan asam gallat termasuk golongan senyawa asam organik tumbuhan yang mampu membunuh bakteri-bakteri patogen. Sianidin, petunidin dan malvidin merupakan senyawa-senyawa golongan anthosianin (Nychas dan Tassou, 2000). Senyawasenyawa tersebut bekerja saling mendukung dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji, seperti senyawa flavonoid yang dikandung daging buah masak akan bekerja lebih efektif dengan adanya vitamin C. Aktivitas dari senyawa inilah yang diduga dapat menyebabkan ekstrak segar daging buah masak mampu menghambat pertumbuhan S. aureus dan E. coli. Selain ekstrak segar daging buah masak, ekstrak segar kulit buah masak, buah muda serta ekstrak segar daun Jambu Kaliang juga mampu menghambat pertumbuhan S. aureus dan E. coli. Hal ini diduga disebabkan oleh kandungan senyawa-senyawa aktif yang terdapat pada masing-masing ekstrak. Ekstrak segar kulit buah masak mengandung senyawa aktif berupa senyawa-senyawa golongan antosianin yang terdiri dari sianidin, petunidin dan malvidin yang jumlahnya lebih besar jika dibandingkan organ lain. Pada ekstrak segar daun juga terdapat berbagai senyawa aktif antioksidan yang bersifat sebagai antimikroba seperti tanin, flavonol dan alkaloid, namun senyawa-senyawa ini lebih aktif menghambat pertumbuhan jamur daripada bakteri, sehingga daya hambat yang dibentuk lebih lemah dibandingkan ekstrak yang lain. Pada ekstrak buah muda juga terdapat berbagai senyawa aktif namun senyawa tersebut belum memiliki struktur yang sempurna jika dibadingkan dengan buah masak, sehingga kekuatan daya hambat antimikrobanya juga lebih lemah dari ekstrak yang lainnya. Kondisi dinding sel yang dimiliki oleh E. coli yang merupakan bakteri gram negatif juga mempengaruhi terbentuknya daerah bebas mikroba. Menurut Pelzcar dan Chan (1988), bakteri gram negatif mempunyai dinding sel dengan kandungan peptidoglikan yang tipis. Pada dinding sel bakteri E. coli juga terdapat lipid yang mampu memperbesar permeabilitas dinding sel. Sunatmo (2009) menambahkan bahwa pada membran luar dinding sel E. coli juga terdapat protein purin yang berfungsi sebagai saluran keluar masuknya senyawa aktif, sehingga senyawa aktif Jambu Kaliang akan mudah masuk dan merusak aktivitas enzim sel yang menyebabkan kerusakan sel E. coli. Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH Uji aktivitas antioksidan ekstrak Jambu Kaliang menunjukkan bahwa semua sampel yang diuji memiliki nilai rata-rata aktivitas antioksidan, sampel yang memiliki nilai aktivitas antioksidan tertinggi adalah sampel kulit buah masak, dengan nilai rata-rata aktivitas antioksidan yang diperoleh 127,73 %, kemudian sampel buah muda (63,19 %), sampel daun (49,55 %) dan sampel yang memiliki aktivitas antioksidan terendah adalah sampel daging buah masak dengan nilai rata-rata aktivitas antioksidan yang diperoleh 32,64 % (Tabel 3). Aktivitas antioksidan sangat dipengaruhi oleh kandungan senyawa kimia yang terdapat pada masing-masing bagian tanaman. Menurut Ayyanar dan Babu (2012), pada kulit buah masak Jambu Kaliang terdapat senyawa antosianin, antosianin merupakan salah satu sub kelas flavonoid yang penting bagi tanaman. Pada penelitian ini juga dihitung nilai antosianin dari kulit buah masak Jambu Kaliang dengan nilai yang diperoleh 21 mg/ml. Ordaz-Galindo et al., (1999) cit Sari et al., (2009) mengatakan jenis antosianin yang terdapat pada kulit buah Jambu Kaliang adalah delvinidin (41,03 %), sianidin (6,75 %), petunidin (26,90 %), peonidin (1,82 %) dan malvidin 23,50 %). Delvinidin, petunidin dan malvidin ini merupakan golongan antioksidan utama yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan. Kandungan antosianin pada buah Jambu Kaliang memiliki komposisi yang sama dengan buah anggur. Namun berbeda dalam PROSIDING, Copyright© 2016 119
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
persentase relatifnya. Antosianin utama pada anggur adalah delfinidin dan sianidin, sedangkan antioksidan utama Jambu Kaliang adalah delvinidin, petunidin dan malvidin Selain antosianin yang terdapat pada kulit buah masak, pada buah Jambu Kaliang juga terkandung beberapa senyawa kimia lain yang juga termasuk golongan senyawa antioksidan. Menurut Shafi, et al., (2002), pada buah terkandung beberapa senyawa penyamak tanin, minyak atsiri serta senyawa flavonoid. Selain itu pada daun tanaman ini juga terkandung beberapa senyawa antioksidan diantaranya adalah alkaloid, flavonoid, saponin, terpenoid dan juga tanin. Zhang dan Lin (2009) mengatakan senyawa tanin merupakan senyawa kimia yang memiliki aktivitas antioksidan terbesar dibandingkan dengan senyawa lainnya. senyawa tanin ini terdapat pada buah dan daun tumbuhan Jambu Kaliang. Antioksidan merupakan zat yang dapat menangkal atau mencegah reaksi oksidasi radikal bebas. Oksidasi merupakan suatu reaksi kimia yang mentransfer elektron dari suatu zat ke oksidator. Reaksi oksidasi dapat menghasilkan radikal bebas dan memicu reaksi berantai, yang dapat menyebabkan kerusakan sel dalam tubuh manusia. Radikal bebas sangat berbahaya karena dapat merusak jaringan tubuh sehingga dapat menyebabkan penyakit degeneratif seperti kanker, tekanan darah tinggi, jantung koroner, diabetes melitus, katarak, proses penuaan dini dan lain-lain (Chang et al., 2002). SIMPULAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa semua ekstrak segar tumbuhan Jambu Kaliang mempunyai aktivitas antimikroba. Daya hambat terbesar terhadap Staphylococcus aureus (23,67 mm) dan Escherichia coli (26,22 mm) ditunjukkan oleh ekstrak segar daging buah masak, sedangkan terhadap Candida albicans (16,30 mm) ditunjukkan oleh esktrak segar daun Jambu Kaliang. Nilai antioksidan tertinggi didapatkan pada ekstrak kulit buah masak Jambu Kaliang (127,73 %). DAFTAR PUSTAKA Ajizah, A. 2004. Sensitifitas Salmonella typhirium Terhadap Ekstrak Daun Psidium Guajava L. Biosorentiae. 1:P. 31-38 Ayyanar, M. dan P. S. Babu. 2012. Syzygium cumini (L) Sklees: A revier of Phytochemical Constituent and Traditional uses.Asian Pacific Jurnal of Tropical Biomedicine. p. 240 – 246. Bonang, G. dan Koeswardono. 1979. Mikrobiologi Untuk Laboratorium dan Klinik. Gramedia. Jakarta Chang, L., Yen, Weh-Jhe., S.C. Huang, and D. Pirder. 2002. Antioxidant Activity of Sesame Coat. Food Chemistry 78:347-354 Coppen, P.P. 1983.The use of antioxidant, in Rancidity in Foods. Applied Science Publishers. London Cowan, M. 1999. Plant Product as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology. (12) 4:564582. Davis, W.W., and T. R. Stout. 1971. Disc Plate Method of Mikrobiological Antibiotic Assay. American Society for Microbiology. vol. 22. No. 4 p. 659-665 Gruenwald, J. 2000. PDR for Herbal Medicines. Medical Economics Company Inc. Montvale Heinrich, M. 2009. Farmakognosi dan Fitoterapy. Buku Kedokteran Indonesia. Jakarta Molyneux, P. 2004. The Use Stable Free Radical Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for Estimating Antioxidant Activity. Songklanakarin Journal Scince and Technology. 26(2):211-219 Nychas, G. J. E., dan C. C. Tassou. 2000. Traditional Preservatives-oil and Spices. Di dalam: R. K. Robinson, C. A. Batt, P. D. Patel. Encyclopedia of Food Microbiology. Vol. 1. London : Academic Press. PROSIDING, Copyright© 2016 120
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Paturusi, A.A.E., M.N. Djide dan Subehan. 2012. Penelusuran Komponen Antimikroba Dari Ekstrak Daun Buah Makassar Bruchea javanica (L) Merr. Jurnal Fakultas farmasi Universitas Hassanudin. Makassar. Pelczar, M. J dan E.C. S. Chan. 1988. Dasar-dasar Mikrobiologi. New York. McGraw–Hill Book Company, Inc Diterjemaahkan oleh R. S. Hadioetomo, T. Imas, S.S.Tjitrosomo dan S.L. Angka. UI-Press. Robinson, T. 1991. Kandungan Organik Tumbuhan Tingkat Tinggi. ITB. Bandung Sari, P., C.H. Wijaya, D. Sajuthi, dan U. Supratman. 2009. Identifikasi Antosianin Buah Duwet (Syzygium cumini) Menggunakan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi-Diode Array Detection. Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol XX No.2 Tahun 2009. Shafi, P.M., M.K. Rosamma, K.Jamil, dan P.S. Reddy. 2002. Anti Bacterial Activity of Syzigium cumini Leaf Essential Oil.Jurnal of Biology and Biotechnology Division, 72 (5), 414 Soeseno, S. 1990. Juwet Mencegah Ngompol dan Kencing Manis. Yayasan Sosial Tani Membangun. Jakarta. Sunatmo, T.I. 2009. Mikrobiologi Esensial. Mikrobiologi IPB. Bogor. Verheji, E.W.M., dan R.E. Coronel. 1997. Sumber Daya Nabati Asia Tenggara 2 Buah–buah Yang Dapat Dimakan. Prosea Gramedia. Jakarta. Zhang, L.L. and Y.M. Lin. 2009. Antioxidant Tannins From Syzygium cumini Fruit. African Journal of Biotechnology. Vol. 8 (10), pp. 2301-2309
PROSIDING, Copyright© 2016 121
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
UJI DAYA HAMBAT Streptomyces sp. TERHADAP Klebsiella pneumoniae RESISTEN ANTIBIOTIK AMPISILIN INHIBITION TEST OF Streptomyces sp. INHIBITS Klebsiella pneumoniae IN ANTIBIOTIC AMPISILIN RESISTENCE Kadek Desy Kartika1, Retno Kawuri2, dan Ida Bagus Putra Dwija3 1. Mahasiswa Magister Program Studi Ilmu Biologi, Pasca Sarjana, Unud, 2. Lab. Mikrobiologi Jurusan Biologi FMIPA, Unud, 3 Lab. Mikrobiologi FK, Unud ABSTRAK Streptomyces adalah salah satu jenis bakteri penghasil antibiotika seperti Tetrasiklin yang dihasilkan oleh Steptomyces aureofaciens, kloramfenikol yang dihasilkan oleh S. venezuelae dan eritromisin yang dihasilkan oleh S. erythreus. Bakteri Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri penyebab penyakit pneumoniae (radang paru-paru) dan saat ini diketahui telah resisten terhadap antibiotika Ampisilin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi Streptomyces dan efektivitas filtrat Streptomyces terhadap pertumbuhan bakteri Klebsiella pneumoniae resisten antibiotik Ampisilin. Kemampuan Streptomyces dalam menghambat pertumbuhan K. pneumoniae ditunjukkan dengan terbentuknya zona bening disekitar koloni Streptomyces pada uji antagonistik dan uji filtrat Streptomyces. Digunakan Streptomyces sp.1, Streptomyces sp.2, Streptomyces sp.5 dan Streptomyces sp.8 yang memiliki daya hambat terhadap K. pneumoniae antara 9,56 mm – 12,75 mm dengan daya hambat paling tinggi dihasilkan oleh Streptomyces sp.8 yaitu sebesar 12,75 mm. Uji filtrat Streptomyces terhadap K. pneumoniae, filtrat Streptomyces sp.8 yang mampu menghambat K. pneumoniae sebesar 12,98 mm dan termasuk mempunyai daya hambat kuat. Kata kunci: Streptomyces sp., Klebsiella pneumoniae, filtrat, uji daya hambat ABSTRACT This research aimed to study the potential of Streptomyces to inhibited growth of patogen Klebsiella pneumoniae which Ampisilin Antibiotic’s Resistance. Streptomyces collected from Microbiology Laboratory, Biology Departement, Udayana University and K. pnemoniae collected from Laboratory Microbiology, Medicine Faculty, Udayana University. To know the potential of Streptomyces antagonistic test and filtrate test have done. The result in antagonistic test is Streptomyces sp.1, Streptomyces sp.2, Streptomyces sp.5 and Streptomyces sp.8 can inhibited K. pneumoniae, diameter inhibit between 9,56 mm – 12,75 mm, which the largest diameter inhibit is Streptomyces sp.8. In filtrate test Streptomyces sp.8 can inhibit K. pneumoniae which inhibit diameter is 12,98 mm, have category strong inhibited. Keywords: Streptomyces sp., Klebsiella pneumoniae, filtrate, inhibited test PENDAHULUAN Pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan yang menyerang saluran pernapasan bagian bawah. Penyakit ini mengakibatkan bagian alveolus paru-paru terisi eksudat atau cairan sehingga pertukan oksigen dan karbondioksida menjadi terhambat. Klebseilla pneumoniae merupakan salah satu bakteri penyebab Pneumonia (Sigalingging, 2011). Belakangan ini telah ditemukan K. pneumoniae yang telah resisten terhadap antibiotik. Hal ini dapat disebabkan oleh pemberian antibiotik yang tidak rasional sehingga meningkatkan PROSIDING, Copyright© 2016 122
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
resistensi terhadap antibiotik. Selain itu muncul kelompok bakteri yang mampu memproduksi Extended Spectrum Beta Lactamases (ESBL) yang mampu menghidrolisis antibiotika sehingga mengakibatkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotika (Nugroho dkk., 2011). Indonesia sebagai salah satu Negara beriklim tropis memiliki keanekaragaman hayati khususnya kenaekaragaman mikroorganisme yang tinggi. Pemanfaatan mikroorganisme dalam bidang kesehatan ialah sebagai agen penghasil antibiotika (Tabarez, 2005). Mikroorganisme yang berpotensi sebagai agen penghasil antibiotika diantaranya ialah kelompok bakteri Aktinomisetes khususnya jenis Streptomyces. Kemampuan Streptomyces sebagai agen produksi antibiotika karena dihasilkannya zat antimikroba yang menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain (Rahayu, 2006). Sekitar 70% antibiotika yang telah ditemukan, dihasilkan oleh genus Streptomyces. Antibiotika yang telah dihasilkan diantaranya Tetrasiklin yang dihasilkan oleh Steptomyces aureofaciens, Kloramfenikol yang dihasilkan oleh S. venezuelae, Eritromisin yang dihasilkan oleh S. erythreus, Oleandomisin yang dihasilkan oleh S. antibioticus, Linkomisin dan Klindamisin dihasilkan oleh S. lincolnensis, Streptomisin yang dihasilkan oleh S. griceus, Kanamisin dihasilkan oleh S. kanamyceticus dan Neomisin yang dihasilkan oleh S. fradiae (Neneng, 2008). Berdasarkan latar belakang diatas dengan semakin meningkatnya resistensi patogen terhadap antibiotik maka peneliti mencoba menguji kemampuan isolat dan filtrat Streptomyces terhadap K. pneumoniae resisten antibiotika Ampisilin. MATERI DAN METODE Lokasi dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Lab. Mikrobiologi Jurusan Biologi-Universitas Udayana dan Lab. Mikrobiologi Klinik RSUP Sanglah pada bulan September hingga Desember 2014. Uji daya hambat Streptomyces terhadap K. pneumoniae resistem antibiotik Ampisilin secara in vitro Isolat Streptomyces yang digunakan adalah Streptomyces sp.1, Streptomyces sp.2, Streptomyces sp.5 dan Streptomyces sp.8 merupakan koleksi Laboratorium Mikrobiologi, FMIPA, Unud. Suspensi K. Spneumoniae usia 24 jam sebanyak 100 µl dimasukkan kedalam cawan Petri, kemudian dituang media NA pada cawan Petri, lalu dihomogenkan. Setelah media memadat diletakkan koloni Streptomyces usia 5 hari pada cawan yang terisi suspensi K. pneumoniae dan media NA. Inkubasi pada suhu 37oC selama 24-48 jam. Kemudian dilakukuan pengamatan dan pengukuran diameter terhadap zona hambat yang terbentuk dari bakteri Streptomyces terhadap pertumbuhan K. pneumoniae. Isolat Streptomyces yang berpotensi menghambat K. pneumoniae akan dilanjutkan pembuatan filtrat antibiotika Streptomyces. Pembuatan filtrat Streptomyces Koloni Streptomyces sp. umur 5 hari pada media YMA (Yeast Malt Extract Agar) yang paling efektif menghambat K. pneumoniae dipotong dengan menggunakan cork borer ukuran 5 mm lalu dipindahkan pada media Yeast Malt Broth (YMB/ISP2) sebanyak 125 ml. Kemudian kultur Streptomyces diinkubasi pada suhu ruang selama 14 hari diatas shaker berbalasan dengan kecepatan 70 rpm. Selanjutnya dilakukan proses sentrifugasi pada kecepatan 10.000 rpm selama 15 menit sehingga didapatkan bagian supernatan dan pelet. Bagian supernatan disaring menggunakan kertas filter yang berukuran 0,22 µm. Bagian yang diambil adalah filtratnya sedangkan residunya dibuang (Rana and Salam, 2014). Uji efektivitas filtrat antibiotika Streptomyces terhadap K. pneumoniae resisten antibiotik ampisilin.
PROSIDING, Copyright© 2016 123
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Suspensi K. pneumoniae sebanyak 100 µl dimasukkan kedalam cawan Petri steril, kemudian dituang media NA (Nutrient Agar) ke dalam Petri, lalu dihomogenkan. Setelah media padat, pada bagian tengah media dibuat cetakan seperti sumur dengan diameter 5 mm menggunakan cork borer, dimasukkan sebanyak 20 µl filtrat bakteri Streptomyces. Cawan Petri selanjutnya diinkubasi pada suhu 37oC selama 1-2 hari. Kemudian dilakukuan pengamatan dan pengukuran diameter terhadap zona hambat yang terbentuk dari filtrat Streptomyces terhadap pertumbuhan K. pneumoniae. HASIL Seluruh isolat Streptomyces yang digunakan (Gambar 1) mampu menghambat K. pneumoniae resisten antibiotik Ampisilin (Gambar 2) dengan diameter daya hambat yang berbeda satu dengan lainnya (Tabel 1). Pada uji Filtrat Streptomyces hanya satu isolat yaitu isolat Streptomyces sp.8 yang mampu menghasilkan daya hambat terhadap K. pneumoniae (Gambar 3) dengan diameter daya hambat yang ditunjukkan pada Tabel 2.
Streptomyces sp.1
Streptomyces sp.2
Streptomyces sp.5
Streptomyces sp.8
Gambar 1. Koloni Streptomyces sp. yang digunakan untuk uji daya hambat
Kontrol
Streptomyces sp.1
Streptomyces sp.5
Streptomyces sp.8
Streptomyces sp.2
Gambar 2. Uji antagonis Streptomyces terhadap K. pneumoniae Tabel 1. Uji daya hambat isolat Streptomyces sp. terhadap K. pneumoniae resisten antibiotik ampisilin No. 1. 2. 3. 4. 5.
Isolat Kontrol Streptomyces sp. 1 Streptomyces sp. 2 Streptomyces sp. 5 Streptomyces sp. 8
Diameter zona hambat 0 10, 88 mm 12, 56 mm 9, 56 mm 12, 75 mm
PROSIDING, Copyright© 2016 124
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Streptomyces sp.1
Streptomyces sp.2
Streptomyces sp.5
Streptomyces sp.8
Gambar 3. Hasil uji filtrat Streptomyces terhadap K. Pneumoniae Tabel 3. Diameter hasil uji daya hambat filtrat Streptomyces terhadap K. pneumoniae resisten antibiotik ampisilin No. 1 2 3 4
Isolat Streptomyces sp. 1 Streptomyces sp. 2 Streptomyces sp. 5 Streptomyces sp. 8
Diameter zona hambat 0 0 0 12, 98 mm
PEMBAHASAN Uji antagonis isolat Streptomyces terhadap K. pneumoniae menunjukkan hasil bahwa empat isolat Streptomyces yang diisolasi empat memiliki daya hambat terhadap pertumbuhan K. pneumoniae resisten Ampisilin. Isolat Streptomyces sp.8 memiliki daya hambat yang paling besar terlihat dari diameter zona bening yang dihasilkan paling besar yaitu 12, 75mm sedangkan diameter zona bening yang paling kecil dihasilkan oleh Streptomyces sp. 5 yaitu 9,56 mm. Daya hambat yang dihasilkan oleh Streptomyces sp.8 dikategorikan kuat sedangkan daya hambat yang dihasilkan oleh Streptomyces sp.5 dikategorikan sedang. El-Tarabily et al. (2009) menyatakan bahwa jika diameter zona hambat ≥ 20 mm (daya hambat sangat kuat), 1020 mm (daya hambat kuat), 5 – 10 mm (daya hambat sedang) serta < 5 mm (daya hambat lemah). Adanya variasi besarnya zona hambat yang diperoleh disebabkan oleh perbedaan karakteristik Streptomyces yang diisolasi. Selain itu senyawa metabolit sekunder yang dihasilkan oleh masing-masing isolat Streptomyces mempunyai struktur kimia, komposisi dan kandungan antibiotik yang dimiliki mempengaruhi diameter zona hambat yang terbentuk. Selain itu perbedaan jenis antibiotik yang dihasilkan juga mempengaruhi dalam variasi besarnya zona hambat yang dihasilkan (Glazer and Nikaido, 1998 ). Uji efektivitas filtrat Streptomyces sp. terhadap K. pneumoniae hanya satu isolaat yang mampu menghambat K. pneumoniae, yaitu filtrat isolat Streptomyces sp.8 dengan daya hambat sebesar 12,98 mm dan dikategorikan kuat. Penelitian yang dilakukan oleh Raningsih et al. (2015) menunjukkan bahwa Filtrat Nocardia sp.1 dan termasuk golongan Aktinomycetes
PROSIDING, Copyright© 2016 125
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
memiliki daya hambat terhadap Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA) dan filtrat yang dihasilkan memiliki MIC (Minimum Inhibitory Consentration) sebesar 2% (v/v) . Isolat Streptomyces sp. yang dijadikan sebagai filtrat diinkubasi selama 14 hari. Hal ini mengacu pada penelitian yang dilakukan Kawuri (2012) bahwa waktu 14 hari mampu menghasil metabolit sekunder tertinggi ketika akan diuji dengan patogen. Yu et al. (2008) menyatakan bahwa untuk dapat mengisolasi metabolit sekunder yang dihasilkan maka harus diketahui usia serta lama waktu inkubasi yang tepat. Filtrat Streptomyces sp.1, Streptomyces sp.2 dan filtrat Streptomyces sp.5 tidak menghasilkan daya hambat. Menurut Kawuri (2012) tidak dihasilkannya daya hambat disebabkan oleh perbedaan lama waktu fermentasi dan kondisi kultivasi yang tidak sesuai sehingga tidak dihasilkan metabolit sekunder. Sektiono dkk. (2010) menyatakan bahwa kondisi kultivasi akan menghasilkan jumlah antibiotik dan kualitas antibiotik yang berbeda dimana media mempengaruhi metabolit sekunder yang dihasilkan. Media yang digunakan kemungkinan tidak sesuai untuk memacu produksi metabolit sekunder Streptomyces sehingga tidak dihasilkan metabolit sekunder selama proses inkubasi. Menurut Yu et al., (2008) setiap Streptomyces memerlukan kondisi nutrisi dan kondisi fermentasi yang berbeda untuk menghasilkan metabolit sekunder. Diperkirakan bahwa kondisi nutrisi dan kondisi fermentasi selama masa inkubasi Streptomyces tidak sesuai sehingga tidak dihasilkan metabolit sekunder dalam hal ini antibiotika. SIMPULAN Uji daya hambat secara in vitro menunjukkan bahwa keempat isolat Streptomyces sp.1, Streptomyces sp.2, Streptomyces sp.5 dan Streptomyces sp.8 mampu menghambat K. pneumoniae resisten antibiotik ampisilin antara 9,56 mm – 12,75 mm. Daya hambat tertinggi dihasilkan oleh Streptomyces sp.8 dengan diameter zona hambat yaitu 12, 75 mm dan dikategorikan memiliki daya hambat yang kuat. Uji filtrat Streptomyces isolat Streptomyces sp.8 mampu menghambat K. pneumoniae dengan diaemeter daya hambat 12,98 mm dan dikategorikan kuat. DAFTAR PUSTAKA Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. 5th ed. Elseviere Academic Press, New York. El-Tarabily, K. A., M. H. Soliman, A. H. Nassar, H. A. Al-Hassani, K. Sivasithhamparan, F. McKenna and G. E. Hardy. Biological control of Sceretonia minor using a chitinologytic bacterium and actinomycetes. Plant Pathology 49: 573 – 583 Ensign J. C. and B. Barnard. 2002. Isolation of Antibiotic-Producing from Soil. Available:Http://www.Acces.excelllence.org/AE/AEC/AEF/1995/goudie_isolation.ht ml Glazer, A.N. and H. Nikaido. 1994. Microbial Biotechnology, Freeman Publishers. Goodfellow, M., William, S. T., and Mordarski, M. 1988. Actinomycetes in Biotechnology, Academy Press New York. Holt, J. G., N. R. Krig, P. H. A., Sneath, J. T. Staley and S. T. Williams. 1994. Bergey’s Manual of Determinative Bacteriology. 9th ed. Baltimore: Williams and Wilkins. Locci, R. and G. P. Sharples. 1983. Morphology of Actinomycetes in Goodfellow M., William, S. T., and Mordarski, M. (Eds.) The Biology of the Actinomycetes, Academic Press, London. Neneng, L. 2008. Isolasi dan Karakterisasi Bakteri Penghasil Antibiotik Inhibitor β – Laktamase Tipe TEM-1 dari Ekosistem Air HitamI MIPA 37 (1); 86-90. Nugroho, F., P. I. Utami dan I. Yuniastuti. 2011. Evaluasi Penggunaan Antibiotik pada Penyakit Pneumonia di Rumah Sakit Umum Daerah Purbalingga. J. Pharmacy 8 (1); 141-154. PROSIDING, Copyright© 2016 126
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Rahayu, T. 2006. Potensi Antibiotik Isolat Bakteri Rizosfer Terhadap Bakteri Escherichia coli Multiresisten. J. Penelitian Sains dan Teknologi 7 (2); 81-91. Rana, S. and Salam, M. D. 2014. Antimicrobial Potential of Actinomycetes Isolated from Soil Samples of Punjab, India. Journal of Microbiology and Experimentation 1(2):1-6. Ranignsih, N. M., R. Kawuri and I. B. Darmayasa. 2015. Antibacterial Effect of Nocardia sp. Against Methicilin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA). Int. J. Pure App. Biosci. 3(4):154-157. Rao, S. N. S. 2001. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. UI Press, Jakarta. Tabarez, M.R., 2005, Discovery of the new Antimicrobial compound 7-O-malonyl macrolactin, Disertasi, Universitas Carolo-Wilhelmia, Jerman Sektiono A.W., Muhibuddin, A. Dan Sastrahidayat, I.R. 2010. Antagonisme Streptomyces Terhadap Sclerotium Rolfsii Saac. Penyebab Penyakit Rebah Semai Pada Tanaman Kedelai (Skripsi). Fakultas Pertanian, Universitas Brawijaya Sigalingging, G. 2011. Karakteristik Penderita Penyakit Pneumonia Pada Anak Di Ruang Merpati II Rumah Sakit Umum Herna Medan. J. Darma Agung; 69-78. Yu, J., Q. Liu, X. Liu, Q. Sun, J. Yan, X. Qi and S. Fan. 2008. Effect of liquid culture requirements on antifungal antibiotic production by Streptomyces rimous MY02. Bioresour. Technol, 99:2087 – 2091.
PROSIDING, Copyright© 2016 127
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KEANEKARAGAMAN MAKROFUNGI DI WILAYAH LERENG BARAT GUNUNG LAWU Rekyan Galuh Witantri *, Dafi Al-Anshory, Muhammad Ridwan, Muhammad Arif Romadlon KS Biodiv, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami 36A Surakarta 57 126, Jawa Tengah, Indonesia. Tel./Fax. +628563630141 , *Email:
[email protected]. ABSTRAK Salah satu wilayah gunung lawu yang berada di dataran tinggi adalah wilayah lereng barat Gunung Lawu. Hutan pada wilayah ini berada pada ketinggian 1200 mdpl, sehingga menyebabkan kondisi hutan yang lembab. Karakteristik tersebut merupakan pendukung bagi kehidupan flora serta fauna didalamnya. Kelembaban yang tinggi memberikan kondisi udara yang ideal untuk organisme saprofit khususnya bagi pertumbuhan Makrofungi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendata keanekaragaman makrofungi yang terdapat pada wilayah hutan lawu bagian barat. Metode yang digunakan adalah metode jelajah disepanjang jalur yang telah ditentukan sebelumnya, serta metode plot dengan ukuran 20 x 20 meter. Data diambil di 3 lokasi yang berbeda yaitu Segoro Gunung, Parang Ijo serta Candi Cetho. Dari data yang diperoleh terdapat 25 spesies yang teridentifikasi, diantaranya adalah Morchella sp., Xylaria sp., Microporus xanthopus, Xylaria longiana, Clitocybe nebularis, Cortnarius arfinaceus Kata Kunci : Biodiversitas, Makrofungi , Wilayah Barat Gunung Lawu. ABSTRACT One of Lawu Mountain’s region which placed in high land is western slope. In this region, the forest was located in 1200 masl elevation, so that caused moist condition on forest. This characteristic was enabled to support organism life that living in there. High moist give optimum air condition for saprophyte organism especially for makrofungi growth. Aim of this research is for listing the biodiversity of macrofungi in western slope of Lawu Mountain. Exploratif and plotting method is uses in this research. Sample is took in 3 different places that is Segoro Gunung, Parang Ijo and Candi Cetho. 25 spesies was identified i.e. Morchella sp., Xylaria sp., Microporus xanthopus, Xylaria longiana, Clitocybe nebularis, Cortnarius arfinaceus. Keyword : Biodiversity, Macrofungi, Westren slope of Lawu Mountain PENDAHULUAN Gunung Lawu merupakan pegunungan vulkanik tua yang sudah tidak aktif. Secarageografis terletak pada posisi sekitar 111⁰15’ BT dan 7⁰ 30’LS dan meliputi areal seluas sekitar 15.000 Ha. Gunung Lawu merupakan salah suatu bentuk habitat yang sangat eksotis. Gunung ini menjadi batas antara lingkungan Jawa Timur yang cenderung kering dan gersang dengan Jawa Tengah yang mulai basah, sebelum mencapai Jawa Barat yang basah dan dingin. Sebagai kawasan peralihan, tempat ini ditumbuhi spesies-spesies khas Jawa Timur, namun tidak ditemukan di Jawa Barat dan sebaliknya (Steenis, 1972). Ketinggian dan kemiringan gunung, menyebabkan terbentuknya iklim yang lebih fluktuatif dan berbeda dengan dataran rendah. Perbedaan ini meliputi suhu, intensitas sinar matahari, ketebalan awan, curah hujan, kecepatan angin, kebakaran, kelembaban udara dan lain-lain (Odum. 1983; Steenis, 1972; Lawrence, 1951). Secara administratif lereng barat terletak di Propinsi Jawa Tengah, meliputi Kabupaten Karanganyar, Sragen dan Wonogiri. Salah satu wilayah hutan yang merupakan bagian dari PROSIDING, Copyright© 2016 128
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
lereng barat Gunung Lawu adalah Hutan Segoro Gunung yang terletak di wilayah Karanganyar. Dikawasan tersebut terdapat 2 jenis hutan utama yaitu hutan produksi serta hutan alami. Di hutan alami terdapat berbagai macam tegakan yang mendominasi kawasan hutan tersebut. Kondisi hutan yang lembab serta lantai hutan yang tertutupi oleh semak belukar dan seresah daun merupakan kondisi yang sangat cocok bagi berbagai macam organisme hutan lembab untuk tumbuh dan berkembang biak secara maksimal. Salah satunya adalah organisme fungi. Fungi memiliki banyak keunikan yang memperkaya keanekaragaman jenis mahluk hidup. Fungi merupakan organisme yang morfologi nya mirip dengan tumbuhan namun fakta nya sangat berbeda dengan jenis tumbuhan. Tidak seperti tumbuhan yang memproduksi makanannya sendiri melalui proses fotosintesis, fungi mengandalkan organisme lain untuk memperoleh nutrisi. Perbedaan signifikan lainnya yaitu fungi memiliki kitin( substansi yang digunakan oleh insekta dan crustase untuk membuat eksoskeleton) pada dinding selnya sedangkan pada tumbuhan dinding sel nya disusun mengandung selulosa. Fungi memiliki peran yang sangat penting pada proses dekomposisi dan siklus nutrien, membantu pembentukan tanah stabil, fungi menbentuk interaksi dengan akar yang mana sangat bermanfaat untuk kelangsungan hidup tumbuhan serta meningkatkan sumber makanan bagi organisme lain. Tanpa adanya fungi habitat mendasar dari tumbuhan tidak akan ada. Fungi berkontribusi secara signifikan pada biodiversitas, fungi merupakan kelompok organisme paling beragam nomor dua setelah kelompok artropoda(Moore, S &O’Sullivan,2014). Hawksworth dalam Hidayat (2010) memprediksi bahwa terdapat sekitar 1,5 juta jenis jamur yang tersebar diseluruh permukaan bumi. Namun sampai sekarang hanya sekitar 7-10% (105.000-150.000 jenis) dari total 1,5 juta yang telah teridentifikasi. Oleh karena itu sebagian besar jamur masih perlu dieksplorasi, diidentifikasi, dikonservasi, dan dimanfaatkan. Indonesia merupakan rumah bagi berbagai jenis fungi, karena memiliki iklim yang tropis membuat jamur mudah tumbuh diberbagai tempat di negara khatulistiwa ini (Jusana,2013). Sebagai agen dekomposer fungi memegang peran utama dalam siklus biogeokimia tanah, yaitu mengubah materi-materi organik menjadi materi anorganik yang akan dimanfaatkan kembali oleh organisme lainnya, selain sebagai dekomposer, fungi juga dikenal memiliki nilai ekonomi yang tinggi, beberapa jenis fungi diketahui memiliki nilai gizi yang cukup tinggi, selain itu fungi juga dapat dimanfaatkan sebagai agen biokontrol. Fungi merupakan produsen utama bagi industri farmasi, pangan, serta berbagai industri hasil fermentasi (Prasetyaningsih dan Rahardjo, 2015). Biodiversitas serta potensi-potensi dari makrofungi yang terdapat di Indonesia masih belum banyak diketahui serta dikaji. Sampai saat ini belum terdapat penelitian ataupun informasi mengenai keanekaragaman makrofungi khususnya diwilayah lereng barat Gunung Lawu yang meilupti daerah Segoro Gunung, Parang Ijo serta Candi Cetho, mengingat peran penting makrofungi bagi kehidupan sehari-hari serta fungsi ekologisnya maka kajian ini dilakukan dengan tujuan utama untuk membuat arsip berbagai jenis makrofungi serta potensi makrofungi yang terdapat dikawasan lereng barat Gunung Lawu. BAHAN DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan inventarisasi dilakukan selama 1 bulan yaitu pada bulan agustus 2015 di wilayah barat Gunung Lawu JawaTengah. Alat dan Bahan Bahan yang digunakan saat penelitian lapang serta pengambilan data di lapang adalah, tally sheet, alat tulis, papan jalan, pisau, sekop, plastik klep, plastik 1 kg, amplop, kertas label, gunting, toples, alkohol 70, botol spray, tali rapia. PROSIDING, Copyright© 2016 129
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Cara Kerja Metode yang digunakan adalah metode jejalah dengan menyusuri track atau jalur yang telah ditentukan, dengan radius 10 meter ke kanan dan 10 meter ke kiri dari jalur utama.Sampel yaang ditemukan kemudian diambil dari substratnya menggunakan pisau apabila terdapat di pohon serta mengguanakan sekop apabila terdapat diatas tanah.Kemudian sampel tersebut dimasukkan ke dalam plastik dan diberi label. Sampel yang ditemukan dicatat ciri-ciri morfologinya saat ditemukan, Substrat tempat hidupnya (tanah, pohon,kayu lapuk),diberi identitas serta diambil gambarnya pada habitat aslinya. Untuk memudahkan proses identifikasi di laboratorium, jamur yang memiliki kadar air tinggi diberi larutan alkohol sebelum dimasukkan kedalam plastik atau toples. Jamur yang ditemukan kemudian dikelompokkan sesuai dengan bentuk tubuh buahnya seperti cup fungi, puffball fungi, stick fungi, jelly fungi, bracket fungi, and coral fungi. Identifikasi lebih jauh menggunakan karakter morfologi dari masing-masing makrofungi serta tipe substrat tempat tumbuh yang akan digunakan untuk menentukan jenis makrofungi tersebut. Identifikasi Data Identifikasi jenis makrofungi yang diperoleh mengacu pada buku The Complete Encyclopedia Of Mushrooms By Keizer (1998) And The Great Encyclopedia Of Mushrooms by Lamaison And Polese (2005), Toxic Fungi Of North Western America by Thomas J. Duffy(2008). serta berbagai hasil penelitian dalam bentuk jurnal HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Habitat Makrofungi Hasil pengamatan yang diperoleh dari ketiga wilayah pengambilan sampel yaitu wilayah Segoro Gunung, Parang Ijo dan Candi Cetho menunjukkan kesamaan jenis vegetasi yang mendominasi area tersebut, yaitu diantara nya Pinus, Puspa, Pampung, Cabukan, Cebongan dan juga pohon Damar. Segoro gunung memiliki ketinggian sekitar 1245 mdpl, memiliki hutan dengan berbagai jenis vegetasi yang diantaranya dimanfaatkan sebagai tanaman produksi, pada wilayah tersebut vegetasi hutan di dominasi oleh pohon-pohon tinggi dengan usia tua seperti Pinus dan Puspa. Pengambilan data dilakukan saat musim kemarau panjang, hal tersebut mengakibatkan tanah serta lantai hutan yang kering dan gersang, selain itu adanya pembakaran pohon secara illegal mengakibatkan kestabilan ekosistem hutan terganggu.Substrat yang biasanya digunakan oleh makrofungi seperti kayu lapuk, serasah daun, menjadi kering karena kadar air yang berkurang, sehingga beberapa jenis makrofungi yang tidak toleran terhadap kadar air rendah akan mati. Segoro gunung memiliki hutan yang luas sehingga berpengaruh pada area pengambilan sampel yang lebih luas pula. Hutan Parang Ijo memiliki tipe vegetasi yang tidak jauh berbeda dengan hutan segoro gunung, namun pada hutan Parang Ijo iklim cenderung lebih lembab, kanopi-kanopi yang tinggi serta rapat menghalangi sinar matahari untuk sampai ke dasar hutan sehingga menciptakan iklim mikro yang lembab dan basah. Parang ijo memiliki elevasi 1325 mdpl, ketinggian tersebut berpengaruh pada meningkatnya suhu lingkungan. Substrat makrofungi seperti kayu lapuk masih banyak ditemui di hutan tersebut. Adanya intervensi masyarakat terhadap kelestarian hutan seperti pembakaran kayu secara illegal berpengaruh pada menurunnya keanekaragaman jenis makrofungi di wilayah tersebut. Hutan Candi Cetho merupakan wilayah yang terletak diketinggian 1400 mdpl memiliki suhu yang relatif lebih dingin dibanding Segoro gunung dan Parang ijo. Kondisi yang dingin akan mempengaruhi pertumbuhan makrofungi, makrofungi dapart berkembang biak dengan optimum pada suhu yang sedang. Kehidupan makrofungi umumnyabersifat spesifik, untuk masing-masing spesies makrofungi membutuhkan karakteristik faktor lingkungan yang PROSIDING, Copyright© 2016 130
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
berbeda. Faktor determinan keberadaan dan pertumbuhan makrofungi adalah tipe vegetasi, yang secara langsung berkontribusi sebagai substrat dan sumber materi organik bagi pertumbuhan makrofungi. Secara tidak langsung, melalui iklim mikro yang diciptakannya akan menentukan kelembaban udara yang berperan penting bagi pertumbuhan makrofungi (Prasetyaningsih dan Rahardjo, 2015). Di wilayah hutan tersebut terdapat 2 jenis pohon yang dominan yaitu pohon puspa serta pohon pinus. Selebihnya adalah vegetasi semak belukar. Kondisi hutan yang kering akibat musim kemarau serta adanya kebakaran hutan mengakibatkan berkurangnya ketersediaan substrat bagi makrofungi. Pengambilan sampel dilakukan pada saat musim kemarau panjang yang berpengaruh pada kondisi kelembaban hutan, mengakibatkan kondisi kering yang ekstrim, bagi beberapa spesies jamur yang kosmopolitan seperti Microporus xanthopus atau Ganoderna sp. perubahan kondisi fisik lingkungan yang kering tidak terlalu berpengaruh terhadap siklus hidupnya. Namun bagi beberapa jenis jamur non kosmopolitan seperti Tremella sp. adanya ancaman lingkungan akan menghambat pertumbuhannya. pH Ketinggian Kelembaban Jenis vegetasi Dominan
Segoro gunung 7,3 1245 mdpl 0,5-1,5 Pinus, Puspa, Pampung,Cabukan, Cebongan
Parang Ijo 7,3 1325 mdpl 1-1,2 Pinus, Puspa, Pampung Cabukan, Cebongan, Kina
Candi Cetho 1400 Pinus , Puspa, Damar
Keanekaragaman Makrofungi Dari hasil pengamatan yang dilakukan, secara keseluruhan diperoleh 25 Jenis makrofungi yang berasal dari 16 Famili berbeda. Jumlah temuan yang paling banyak diperoleh di wilayah Segoro Gunung yaitu sebanyak 13 spesies disusul dengan hutan Parang Ijo sebanyak 5 spesies dan di wilayah hutan candi cetho sebanyak 7 spesies. Famili yang mendominasi adalah Polyporaceae dan Ganodermataceae, karena spesies-spesies dari kedua famili tersebut umumnya toleran terhadap perubahan fisik lingkungan seperti kondisi kekeringan. Keanyakan spesies dari kedua famili tersebut berperan penting terhadap proses dekomposisi materi organik. Spesies lain yang juga bersifat kosmopolitan adalah Marasmius crinis-equi, memanfaatkan serasah daun sebagai substrat, makrofungi yang memiliki batang kecil panjang berwarna hitam serta cap yang berwarna coklat ini bersifat saprothropic. Terdapat berbagai bentuk jamur yang berhasil diidentifikasi antaralain jelly fungi (Tremella sp.), Coral fungi (Clavariadelphus lignicola), Jamur papan ( Ganoderma sp.)serta jamur berporus ( Microporus affinis). Makrofungi tersebut tumbuh dari berbagai macam substrat seperti kayu lapuk, tanah, serasah daun serta serangga mati. Salah satu jenis jamur yang memanfaatkan serangga mati sebagai substrat adalah jenis Cordyceps sp. Mayoritas fungi ditemukan pada pohon lapuk hal itu dikarenakan makrofungi memiliki peran utama dalam proses dekomposisi, serta proses pelapukan bahan-bahan organik. Pada saat musim hujan makrofungi banyak ditemukan di serasah daun, kondisi lembab cenderung basah merupakan kondisi optimum bagi makrofungi untuk berkembang biak.Karakter vegetasi hutan hujan tropis adalah kelembaban dan ketersedian bahan organik tinggi, yang merupakan karakter habitat yang mendukung tumbuhnya spesiesAgaricales(Prasetyaningsih dan Rahardjo, 2015). Komposisi makrofungi didominasi oleh makrofungi kayu yaitu makrofungi yang memanfaatkan kayu atau kayu lapuk sebagai substrat, sedangkan makrofungi yang ditemukan di substrat tanah sangat sedikit, hal tersebut menunjukkan ketidakseimbangan ekosistem yang disebabkan karena kekeringan akibat musim kemarau panjang. PROSIDING, Copyright© 2016 131
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi” No 1 2 3 4 5 6 7 8 9
Famili Marasmiaceae Sordariomycetes Agaricomycetes Morchellaceae Xylariaceae Polyporaceae Clavariadelphaceae Mycenaceae Mycenaceae
Genus/ Spesies Marasmius crinis-equi Cordyceps sp. Lactarius eucalypti Morchella sp. Xylaria sp. Microporus xanthopus Clavariadelphus lignicola Panellus pusillus Mycena arcangeliana
Lokasi Penemuan Segoro Gunung Segoro Gunung Segoro Gunung Segoro Gunung Segoro Gunung Segoro Gunung Segoro Gunung Segoro Gunung Segoro Gunung
Potensi Edible Medicinal Inedible Edible Medicinal Medicinal Inedible Inedible Inedible
10 11 12 13
Marasmiaceae Ganodermataceae Polyporaceae Polyporaceae
Anthracophyllum archeri Ganoderma sp.1 Microporus affinis Trametes sp.1
Segoro Gunung Segoro Gunung Segoro Gunung Segoro Gunung
14
Xylariaceae
Xylaria longiana
Parang Ijo
Inedible Medicinal Edible Edible & Medicinal Medicinal
15 16
Tricholomataceae Fomitopsidaceae
Clitocybe nebularis Fomitopsis pinicola
Parang Ijo Parang Ijo
Edible Medicinal
17 18
Ganodermataceae Polyporaceae
Ganoderma sp.2 Trametes sp.2
Parang Ijo Parang Ijo
19
Schizophyllaceae
Schizophyllum commune
Candi Cetho
20
Cortinariaceae
Cortinarius sp.
Candi Cetho
21
Tremellaceae
Tremella sp.
Candi Cetho
22
Polyporaceae
Polyporus sp.
Candi Cetho
23 24 25
Polyporaceae Mycenaceae Xylariaceae
Trametes pubescens Mycena delicatella Xylaria longipes
Candi Cetho Candi Cetho Candi Cetho
Medicinal Edible & Medicinal Edible & Medicinal Edible & Medicinal,some is poisonous Edible & Medicinal Edible & Medicinal Medicinal Inedible Medicinal
Pemanfaatan serta Potensi Makrofungi Makrofungi merupakan organisme dengan banyak manfaat serta potensi, beberapa jenis makrofungi diketahui telah dimanfaatkan sebagai bahan obat, pangan, zat antibiotik bahkan digunakan dalam bidang biokontrol sebagai insektisida. Sebagai salah satu hasil hutan non kayu, mayoritas masyarakat yang tinggal di dekat kawasan hutan memanfaatkan fungi sebagai bahan pangan ataupun sebagai obat tradisional. Beberapa jenis makrofungi dikatakan edible karena memiliki tubuh buah, tidak beracun, serta memiliki nilai gizi. Edible Macrofungi memiliki kandungan protein yang tinggi yang dilengkapi dengan asam amino essensial yang sangat dibutuhkan oleh tubuh serta mengandung vitamin B complex, beberapa jenis garam mineral dari elemen Ca, P, Fe, Na, dan K(Anshori et al.,2014). Dari makrofungi yang terindentifikasi banyak diantaranya tergolong dalam edible fungi contohnya Schizophyllum commune,Tremella sp., Clitocybe nebularis, Microporus affinis, Trametes sp, Marasmius crinis-equi. Banyak dari jenis-jenis fungi tersebut belum familiar digunakan oleh masyarakat sebagai bahan pangan, hal ini disebabkan karena kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap potensi fungi diwilayah hutan. Untuk mencegah eksploitasi makrofungi yang mengarah pada kerusakan ekosistem serta kepunahan spesies tindakan pembudidayaan makrofungi sangat dibutuhkan. Tidak semua jenis jamur yang tidak berwarna mencolok serta tidak berbau dapat dikonsumsi, beberapa jenis jamur diketahui bersifat inedible PROSIDING, Copyright© 2016 132
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dikarenakan kandungan toksik pada makrofungsi tersebut contohnya adalahPanellus pusillus dan Anthracophyllum archeri, kedua jamur tersebut diketahui memilikikandungan racun yang sangat tinggi yang dapat menyebabkan kematian apabila dikonsumsi. Selain sebagai bahan pangan makrofungi juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan obat contohnya adalah jamur lingzhi dari jenis Ganoderma. Dari makrofungi yang teridentifikasi diperoleh 15 jenis diantaranya dapat dimanfaatkan sebagai obat contohnya adalah Cordyceps sp. yang ditemukan di serangga mati, menurut Zhang et al., 2014, makrofungi jenis ini merupakan obat tradisional china yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit ginjal kronis. Dalam beberapa penelititan lain menyebutkan bahwa Cordyceps sp. memiliki potensi sebagai antikanker, antiproliferatif(Kim etal, 2015; Chou etal., 2015) DAFTAR PUSTAKA Ansori, Arif Nur Muhammad, Fusvita, L., Trikurniadewi, N., Rahmaniyah, F., Arizal, E.H. 2014. Inventorization of Edible Macrofungi from The Tropical Rainforest Ecosystem of Meru Betiri National Park East Java. International Conference on Global Resource Conservation .1(1): 55-57 Chou, Shang-Min.2015. Involvement of p38 MAPK in the anticancer activity of cultivated Cordyceps militaris. The American Journal of Chinese Medicine.43(05): 1043-1057 Docters Van Leeuwen, W.M. 1925. De Alpine Vegetatie Van De Lawoe Vukaan. Natuurk. Tijdschr. Ned. Indie 85: 23-48. Hidayat, Imam. 2010. Benarkah Indonesia Memiliki Keragaman Jenis Jamur yang Tinggi?. Bogor: Research Center ForBiology-Cibinong Science Center. Jusana, Suci Pebra. Mades Fifendy, Periadnadi. 2013. Inventarisasi Jamur Tingkat Tinggi Di Kawasan Cagar Alam Lembah Anai Kabupaten Tanah Datar Sumatera Barat Jurnal Mahasiswa Pendidikan Biologi Genap 2013-2014.2(2):1-5 Kim, Ji Hye. Antiproliferatif and Apoptosis-Including Activities of Isopropyl-2, 6-bis phenol Isolated from Butanol Fraction of Cordyceps bassiana. Evidance Based Complemantary and Alternative Medicine.8(1): 30-36 Lawrence, G.H.M. 1951, Taxonomy Of Vascular Plant. New York, John Wiley And Sons. Moore, S & O’Sullivan, P, A guide to common fungi of the Hunter-Central Rivers region, Hunter Local Land Services, NSW, 2014. Odum, F.P. 1983. Principles Of Ecolgy. Philadelphia: W.B. Saunders. Prasetyaningsih, Aniek dan Rahardjo, Djoko. 2015. Keanekaragaman Dan Potensi Makrofungi Taman Nasional Gunung Merapi. The 2nd University Research Coloquium 2015.1(1): 471-481 Steenis, C.G.G..J. Van. 1972. The Mountain Flora Of Java. Leiden: E.J. Brill Us. Army Maps Services, 1963.Werner, W. 1999. Conservation Strategies And Project Planning. Dipresentasikan Dalam “Workshop Ekologi Dan Biogeografi Pulau Jawa”. Bandung 10-11 Maret 1999 Zhang, Hong, Wei.2014.Cordyceps sinensis(traditional chinese medicine) for treating chronic kidney disease. New Published.2(1): 56-67
PROSIDING, Copyright© 2016 133
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
POTENSI ANTIMIKROBA DAN AKTIVITAS ANTIOKSIDAN EKSTRAK SEGAR TANAMAN DANDELION (Taraxacum officinaleF. H. Wigg.) POTENTIALANTIMICROBIAL ANDANTIOXIDANTACTIVITIESOF FRESHPLANTEXTRACTSDANDELION(Taraxacum officinaleF. H.Wigg.) Monica Rafles1, Nurmiati2dan Periadnadi3 Laboratorium Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, Kampus Unand Limau Manis, Padang-25136 *) Coresponding Author:
[email protected] ((ph/fax: 082387489442) ABSTRAK Penelitian tentang “Potensi Antimikroba dan Aktivitas Antioksidan Ekstrak Segar Tanaman Dandelion (Taraxacum officinaleF. H. Wigg.)” telah dilakukan dilaboratorium Riset Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan ilmu pengetahuan Alam, Universitas Andalas, bulan Juli sampai Oktober 2015. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan pola Nested. Hasil penelitian menunjukkan ketiga ekstrak memberikan pengaruh yang berbeda nyata dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji. Ekstrak segar akar Dandelion yang paling baik menghambat pertumbuhan E. coli (12,33 mm), S. aureus (12,27 mm) dan bunga tanaman Dandelion paling baik menghambat pertumbuhan C. albicans (9,72 mm). Rata-rata aktivitas antioksidan ekstrak segar akar, bunga dan daun Dandelion secara berturut-turut adalah 31,544, 54,69 dan 33,732. Kata Kunci: Dandelion, antimikroba, antioksidan, ekstrak,mikroba pathogen ABSTRACT This study is about "Potential Antimicrobial and Antioxidant Activities Of Dandelion Extracts (Taraxacum officinaleF. H.Wigg.)" was conducted from July to October 2015 at laboratory of Microbiology, at Faculty of mathemathic and sciences Andalas University. Completely Randomized Design in Nested System was used in this study. The result showed that fresh extracts of Dandelion roots gives a significantly different effect than the fresh leaves of Dandelion extracts that provide the same effect on microbes. The most fresh root extract inhibits the growth of E.coli (12.33 mm), S.aureus (12.27 mm) and the best Dandelion flower extract can inhibits the growth of C.albicans (9.72 mm). The average antioxidant activity of the extract of fresh root, dandelion flowers and leaves in a row is 31.544, 54.69 and 33.732. Keywords: Dandelion, antimicrobe, antioxidants, extract, pathogen microbial PENDAHULUAN Taraxacum officinale Weber ex F. H. Wigg merupakan tanaman herba dari family Asteraceae. Tanaman tersebut memiliki nama umum Dandelion, di Indonesia dikenal dengan nama Jombang. TanamanDandelion merupakan rumput liar yang mengandung banyak manfaat dantumbuh tersebar di dataran tinggi, lereng gunung, padang rumput dan ditepi jalan yang berhawa sejuk . Tanaman Dandelion berasal dari Eropa, tersebar ke Amerika, Canada, Afrika Selatan, Australia, New Zealand, India, Cina, hingga ke Asia Tenggara termasuk Indonesia (Chuakul 1999andKemper 1999). Dikawasan Sumatera Barat tanaman ini juga di temukan tumbuh tepatnya di Kabupaten Solok (Alahan Panjang) yang dikenal dengan nama Samasiak. Penggunaan tanaman obat yang berasal dari tanaman baik dari akar, batang dan daun menghasilkan zat antimikroba yang mampu membunuh atau menghambat pertumbuhan
PROSIDING, Copyright© 2016 134
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
mikroorganisme penyebab penyakit (Katno dan Pramono 2010). Salah satu dari tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan obat tradisional adalah tanaman Dandelion. Secara tradisional masyarakat telah menggunakan tanaman Dandelion sebagai media pengobatan. Menurut Dalimartha (2000), daun muda sering dikonsumsi oleh masyarakat sebagai lalap atau salad yang berkhasiat sebagai obat dan menghasilkan efek diuretik. Akar bertindak sebagai agen antibakteri, perangsang nafsu makan, mengatasi gangguan saluran pencernaan. Kombinasi daun danekstrak akardigunakan untuk mengobati penyakit ginjal, diare, hipertensi, maag, asam urat, radang tenggorokan, hepatitis, kandung empedu, penyakit kulit dan kanker. Bunganya digunakan untuk memberi warna kuning pada minuman atau kain (Dearing, et al., 2001). Tanaman Dandelion merupakan tanaman obat yang memiliki beberapa senyawa aktif yang berkhasiat antibiotik, koleretik, antipiretik, diuretik, anti rematik dan antiinflamasi (Jeon, et al., 2008). Tanaman Dandelion merupakan tanaman yang menyehatkan dan berkhasiat obat. Hal ini disebabkan karena tanaman Dandelion mengandung berbagai senyawa bioaktif diantaranya adalah flavonoid, tanin, inulin, asam fenolik, alkaloid, vitamin dan kandungan lainnya. Kuusi et al., (1985) menyatakan bahwa pada akar terdapat kandungan senyawa aktif yang bersifat sebagai antimikroba berupa seskuiterpen lakton, taraxacin, taraxacerin, tanin, triterpen, sterol, minyak atsiri, kolin, asparagin dan inulin. Daun mengandung senyawa aktif berupa asam taraxinic 2-D-glucopyranoside, flavonoid apigenin 7-glucoside dan auksin (Hansel et al., 1980). Bunga mengandung senyawa aktif berupa flavonoid, alkaloid, steroid, terpenoid dan tanin (Williams et al., 1996). Hu and Kitts (2003) menyatakan, kandungan flavonoid pada bunga Dandelion berpotensi sebagai antioksidan. Menurut Ajizah (2004), senyawa tersebut juga bersifat sebagai antimikroba. Senyawa tanin pada dasarnya dapat mengerutkan membran sel bakteri sehingga mengganggu permeabilitas sel. Akibat terganggunya permeabilitas, sel tidak dapat melakukan aktivitas hidup sehingga pertumbuhannya terhambat atau bahkan mati. Kandungan senyawa kimia lain yaitu flavonoid merupakan senyawa fenol yang dapat menyebabkan penghambatan terhadap dinding sel bakteri. Antioksidan adalah senyawa yang dapat mencegah terjadinya proses oksidasi. Menurut Prakash (2001), proses oksidasi dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh dan mengakibatkan proses penuaan atau keriput yang lebih cepat pada tubuh. Antioksidan alami banyak ditemukan pada tanaman seperti biji-bijian, buah dan sayur-sayuran yang mempunyai manfaat bagi kesehatan. Antimikroba adalah suatu bahan yang dapat mengganggu pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme. Pemakaian bahan antimikroba merupakan suatu usaha untuk mengendalikan bakteri maupun jamur, melalui segala kegiatan yang dapat menghambat, membasmi atau menyingkirkan mikroorganisme (Pelczar dan Chan 1988). Pada penelitian ini ekstrak akar, daun dan bunga tanaman Dandelion akan diuji aktivitas antimikrobanya menggunakan mikroba uji C. albicans (R.) Berkhout, E. coli Castellani and Chalmers (Migula) dan S.aureus Rosenbach. Penelitian sebelumnya banyak melaporkan ekstrak dandelion menggunakan pelarut. Diantaranya Tettey et al., (2014) melakukan penelitian tentang analisis in vitro aktivitas antiproliferatif dan antimikroba fraksi pelarut Dandelion daun terhadap bakteri E. coli, S. aureus, B. subtilis, C. albicans dan S. cerevisiae. Selanjutnya Sohail et al., (2014), juga melakukan penelitian antibakteri daun Dandelion dari ekstrak metanol, kloroform dan fraksi air terhadap beberapa strain bakteri patogen yang berbeda. Sejauh ini penelitian tentang uji kandungan antimikroba dan antioksidan ekstrak segar akar, bunga dan daun tanaman Dandelion di Indonesia belum banyak dilaporkan. Beberapa laporan hanya melaporkan penelitian ekstrak Dandelion dengan menggunakan pelarut. Untuk itu perlu dilakukan penelitian tentang uji kandungan senyawa antimikroba dan antioksidan yang terdapat pada akar, bunga dan daun Dandelion. Diharapkan penelitian ini dapat membantu PROSIDING, Copyright© 2016 135
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
masyarakat dalam mengetahui berbagai zat antimikroba dan antioksidan yang terdapat pada akar, bunga dan daun tanaman Dandelion serta manfaatnya bagi kesehatan. MATERI DAN METODE a. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober 2015 bertempat di Laboratotorium Riset Mikrobiologi, Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Andalas, Padang. b. Metode Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Metoda RAL dengan pola Nested dengan 3 kali ulangan, dimana faktor A jenis mikroba uji sedangkan faktor B ekstrak segar Dandelion (T. officinale). Faktor A. Miroba uji A1 = Candida albicans A2 = Staphylococus aureus ATCC 6538 A3 = Escherichia coli ATCC 25922 Faktor B. Ekstrak segar B1 = Akar B2 = Bunga B3 = Daun c. Cara Kerja Akar, bunga dandaun Dandelion disiapkan. kemudian dicuci bersih dan dikering anginkan. Setelah itu dilakukan sterilisasi permukaan dengan cara disemprotkan alkohol 70%. Daun yang hijau segar dipisahkan dari tulang daunnya. Kemudian ditimbang akar, bunga dan daun sebanyak 50 g. Setelah itu Akar, bubnga dan daun Dandelion digerus, diperas dan disaring. Hasil saringan dimasukkan kedalam tabung Eppendorf, sebelumnya lumpang didinginkan begitu juga ekstrak didinginkan kemudian disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm. Selanjutnya sampel didinginkan dan disentrifus selama 5 menit dengan kecepatan 10.000 rpm. Medium SDA dan MHA steril dituangkan pada cawan petri sebanyak 15 ml secara aseptis dan dibiarkan memadat. Lidi kapas steril dicelupkan ke suspensi mikroba uji setara Mc.Farland’s 0,5, kemudian dioleskan ke permukaan medium sampai rata. Diletakkan secara aseptis cakram (telah ditetesi dengan ekstrak segar dandelionmasing–masing sebanyak 20μl) pada permukaan medium. Diinkubasi pada suhu 370C selama 18-24 jam. Dilakukan pengamatan dan pengukuran diameter daerah bebas mikroba yang terbentuk sekitar kertas cakram menggunakan jangka sorong (Bonang dan Koeswardono, 1979). Penentuan Aktivitas Antioksidan dengan Metode DPPH( 1,1–Di Phenyl-2-Picryl Hidrazil) mengacu kepadaMolyneux (2004). Pembuatan Larutan DPPH dengan melarutkan 1,97 mg DPPH dengan 100 ml etanol sehingga diperoleh larutan DPPH dengan konsentrasi 0,05 mM dan larutan ini dikenal dengan larutan DPPH. Penentuan Operating Time Larutan Uji dengan melarutkan 4 ml larutan DPPH 0,05 mM dengan 1 ml larutan uji 100 ppm. Diukur panjang gelombang maksimum dengan interval waktu 5 menit sampai nilai absorban stabil. Kemudian penentuan Aktivitas Antioksidan dilarutkan 4 ml larutan DPPH 0,05 mM dengan 1 ml larutan uji. Campuran didiamkan selama waktu Operating Time yang telah diperoleh. Diukur serapan larutan dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 517 nm. Sebagai pembanding digunakan Asam Askorbat pada konsentrasi 10, 20, 30,40 dan 50 ppm dengan X 100 % perlakuan yang sama dengan larutan uji. Penentuan persentase perendaman = A1 = Absorbansi kontrol A2 = Absorbansi Sampel
PROSIDING, Copyright© 2016 136
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Analisis Data Data yang diperoleh pada metode difusi dianalisa secara statistik dalam bentuk RAL pola Nested, apabila didapatkan perbedaan nyata antara perlakuan dilanjutkan dengan uji DNMRT pada taraf 5 % dan uji antioksidan disajikan secara deskriptif. HASIL Tabel 1. Rata-rata Diameter Daerah Bebas Mikroba Ekstrak Segar Dandelion terhadap Mikroba Uji. No
Jenis ekstrak
1.
Akar
2. 3.
Bunga Daun
Diameter Daerah Bebas Mikroba (mm) C. albicans S. aureus
E. coli
7,50 c 9,72 a 8,30 b
12,33 a 11,31 b 8,62 c
12,27 a 10,17 b 9,10 c
Keterangan : angka-angka yang diikuiti huruf kecil yang tidak sama pada kolom yang sama adalah berbeda nyata pada taraf 5 %.
3
2
1
Gambar 1. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar akar tanaman Dandelion terhadap pertumbuhan C. albicansket: 1. Ekstrak segar akar (B1) 2. Ekstrak segar bunga (B2) 3. Ekstrak segar daun(B3)
1
2
3
Gambar 2. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar akar tanaman Dandelion terhadap pertumbuhan S. aureus Ket : 1. Ekstrak segar akar (B1) 2. Ekstrak segar bunga (B2) 3. Ekstrak segar daun (B3).
1
2
3
Gambar 3. Diameter daerah bebas mikroba ekstrak segar akar tanaman Dandelion terhadap pertumbuhan E. coli Ket : 1. Ekstrak segar akar (B1) 2. Ekstrak segar bunga (B2) 3. Ekstrak segar daun (B3) PROSIDING, Copyright© 2016 137
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2. Daya Hambat Ekstrak Segar Dandelion Berdasarkan kategori daya hambat Hambat menurut Davis stout (1971) No
Jenis ekstrak
1.
Akar
2. 3.
Bunga Daun
Diameter Daerah Bebas Mikroba C. albicans S. aureus
E. coli
S S S
K K S
K K S
Keterangan : K (Kuat), S (Sedang) Tabel 3. Rata-rata Aktivitas Antioksidan Ekstrak Segar Dandelion dengan Metode DPPH( 1,1– Di Phenyl-2-Picryl Hidrazil) Sampel Rata-rata aktivitas antioksidan Akar 31,544 Bunga 54,69 Daun 33,732 PEMBAHASAN Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa ketiga jenis ekstrak segar Dandelion mampu menghambat pertumbuhan C. albican, S. aureusdan E. coli setelah antimikroba pada cakram berdifusi selama 24 jam ke dalam Medium Sabouraud Dextrosa Agar(SDA) dan Mueller Hinton Agar (MHA). Rata-rata diameter zona hambat mikroba ekstrak segar dari tanaman Dandelion terhadap C. albicans berkisar antara 7,50-9,72 mm dan E. coliberkisar antara 8,6212,33 mm. Pada C. albicans, S. aureus dan E. coli ketigaekstrak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Pengaruh yang diberikan terlihat dari diameter zona hambat yang terbentuk. Terbentuknya diameter zona hambat dikarenakan ekstrak segar Dandelion memiliki senyawa aktif yang bersifat sebagai antimikroba. Menurut Mir et al., (2013) semua bagian dari tanaman Dandelion mulai dari akar, batang dan bunga mengandung senyawa aktif diantaranya saponin, flavonoid, alkaloid dan fenol yang merupakan senyawa bioaktif yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba. Terhambatnya pertumbuhan mikroba oleh ekstrak segar tanaman Dandelion dapat dilihat dari daerah bebas mikroba yang terbentuk disekitar kertas cakram yang mengandung ekstrak segar Dandelion. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa ketiga jenis ekstrak segar Dandelion mampu menghambat pertumbuhan S. aureus setelah antimikroba pada cakram berdifusi selama 24 jam ke dalam Medium Sabouraud Dextrosa Agar(SDA) dan Mueller Hinton Agar (MHA). Ratarata diameter zona hambat mikroba ekstrak segar dari tanaman Dandelion terhadap S. aureus berkisar antara 9,10-12,27 mm. Berdasarkan Gambar 1 diatas dapat dilihat bahwa semua ekstrak segar dari tanaman Dandelion mampu membentuk diameter zona hambat terhadap S. aureus. Diameter zona hambat yang terbesar terdapat pada perlakuan ekstrak segar akar dari tanaman Dandelion dengan diameter zona hambat yang dibentuknya (12,27 mm), kemudian ekstrak segar bunga dengan diameter zona hambat yang dibentuknya (10,17 mm). Sedangkan zona hambat terkecil diperoleh pada perlakuan ekstrak segar daun Dandelion dengan diameter zona hambat yang dibentuknya (9,10 mm). Semua ekstrak dari tanaman Dandelion menunjukkan hasil diameter zona hambat yang berbeda nyata antara satu dengan yang lainnya. Berdasarkan kategori daya hambat menurut Davis and Stout (1971) ekstrak segar akar dan bunga dikategorikan aktif atau kuat (K) dalam menghambat pertumbuhan S. aureus karena memiliki zona hambat diantara (10-20) mm. Sedangkan ekstrak segar daun dikategorikan sedang (S) dalam menghambat pertumbuhan S. aureus karena memiliki zona hambat diantara PROSIDING, Copyright© 2016 138
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
(5-10) mm (Tabel 2). Kuusi et al., (1985) menyatakan bahwa pada akar tanaman Dandelion terdapat senyawa aktif yang bersifat sebagai antimikroba berupa seskuiterpen lakton, taraxacin, taraxacerin, tanin, triterpen, sterol, minyak atsiri, kolin, asparagin dan inulin. Selain itu, Ajizah et al., (2007) juga menyatakan bahwa dinding sel bakteri gram positif terdiri atas peptidoglikan yang sangat tebal sehingga memberikan kekakuan dalam mempertahankan keutuhan sel. Kekakuan pada dinding sel ini membuat bakteri gram positif resisten pada kondisi ekstrim di luar sel sehingga membentuk zona hambat yang kecil. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa ketiga jenis ekstrak segar Dandelion mampu menghambat pertumbuhan E. coli setelah antimikroba pada cakram berdifusi selama 24 jam ke dalam Medium Sabouraud Dextrosa Agar(SDA) dan Mueller Hinton Agar (MHA). Rata-rata diameter zona hambat mikroba ekstrak segar dari tanaman Dandelion terhadap E. coli berkisar antara 8,62-12,33 mm. Berdasarkan Gambar 3 di atas dapat diketahui bahwa ekstrak segar akar dan bunga dari tanaman Dandelion memberikan pengaruh yang besar dalam menghambat pertumbuhan E. coli. Diameter zona hambat terbesar juga terdapat pada perlakuan ekstrak segar akar dari tanaman Dandelion dengan diameter zona yang dibentuk (12,33 mm), kemudian ekstrak segar bunga dengan diameter zona hambat yang dibentuk (11,31 mm) dan ekstrak segar daun dengan diameter zona hambat yang dibentuk (8,62 mm). Pada E. coli ketiga ekstrak memberikan pengaruh yang berbeda nyata. Berdasarkan uraian diatas menurut kategori daya hambat Davis and Stout (1971) ekstrak segar akar dan bunga dikategorikan aktif atau kuat (K) dalam menghambat pertumbuhan E. coli karena memiliki zona hambat diantara (10-20) mm. Sedangkan ekstrak segar daun dikategorikan sedang (S) dalam menghambat pertumbuhan E. coli karena memiliki zona hambat diantara (5-10) mm (Tabel 2). Respon daya hambat yang diberikan ekstrak segar tanaman Dandelion terhadap ketiga mikroba uji sangat dipengaruhi oleh senyawa aktif antimikroba yang terkandung pada akar, bunga dan daun dari tanaman Dandelion serta kelarutan suatu senyawa aktif. Waji dan Sugraini (2009) menyatakan bahwa, senyawa aktif antimikroba dalam ekstrak tidak seutuhnya larut dalam perasan segar karena senyawa aktif larut seutuhnya dalam pelarut tertentu seperti senyawa atsiri sehingga senyawa aktif antimikroba bisa ditarik keluar dari sel oleh pelarut dan mampu bekerja maksimal. Kemampuan daya hambat yang diberikan oleh masing-masing ekstrak segar tanaman Dandelion terhadap mikroba uji juga ditentukan oleh kandungan senyawa kimia aktif yang terkandung pada masing-masing ekstrak. Hansel et al., (1980) menyatakan bahwa tanaman Dandelion mengandung berbagai senyawa aktif yang bersifat sebagai antimikroba dan antioksidan. Akar tanaman Dandelion mengandung senyawa aktif berupa seskuterpen lakton, triterpen, taraxol, taraxasterol, stigmasterol, taraxicin, apigenin, inulin, kalsium, kalium, taraxacoside, fenolat, asamcaffeic, stigmasterol, fruktosa, inulin, pektin dan vitamin C. Daun dari tanaman Dandelion mengandung asam taraxinic 2-D-glucopyranoside, flavonoid apigenin 7-glucoside dan auksin. Sedangkan bunga dari tanaman dandelion mengandung berbagai senyawa aktif seperti asam fenolat dan flavoxantin. Nassar et al., (2010) menyatakan bahwa tanaman yang mengandung senyawa golongan triterpenoid menunjukkan aktivitas farmakologi yang signifikan, seperti anti-viral, anti-bakteri, anti-inflamasi, sebagai inhibisi terhadap sintesis kolesterol dan sebagai anti kanker. Siswandono dan Soekardjo (1995) menambahkan bahwa, flavonoid dan tanin yang terkandung dalam herba berfungsi sebagai senyawa antimikroba. Hartini et al., (2008) juga menambahkan bahwa kedua senyawa ini mampu membunuh bakteri dengan cara merusak membran sel sehingga menyebabkan terjadinya denaturasi protein. Senyawa flavonoid yang terdapat dalam ekstrak segar Dandelion ini berperan penting dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji karena flavonoid larut dalam perasan segar PROSIDING, Copyright© 2016 139
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
sesuai pernyataan Heinrich et al., (2009) flavonoid merupakan kelompok senyawa fenol larut air yang merupakan senyawa aktif yang terdapat dalam tanaman bersifat sebagai antimikroba. Senyawa flavonoid mampu merusak dinding sel sehingga dapat menyebabkan kematian sel, hal ini diperkuat dengan pernyataan Sundari et al., (1996) bahwa kandungan senyawa aktif seperti flavonoid pada dasarnya dapat menghambat sintesis protein pada dinding sel sehingga menghambat pertumbuhan mikroba. Senyawa tanin merupakan senyawa antimikroba yang juga terdapat dalam dandelion yang diduga dapat merusak membran sel mikroba. Menurut Cowan (1999) senyawa tanin mampu mengganggu pembentukan konidia sehingga menyebabkan kematian pada jamur. Kemampuan ekstrak segar tanaman Dandelion dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji dikarenakan adanya kandungan senyawa aktif antimikroba yang terkandung dalam tanaman Dandelion. Hal ini didukung oleh penelitian sebelumnya menurut Ghaima et al., (2013) aktivitas antibakteri pada tanaman Dandelion mampu menghambat pertumbuhan mikroba uji A. hydrophila, S. typhi, S. aureus, B. cereus dan E. coli dengan zona hambatan berkisar antara 14-18 mm. Sohail et al., (2014) menambahkan bahwa senyawa aktif yang terdapat pada ekstrak metanol dan kloroform Dandelion juga mampu menghambat pertumbuhan mikroba uji P. aeruginosa, E. coli, S. aureus, Bacillus subtilis dan Micrococcus luteus. E. coli merupakan bakteri gram negatif yang mempunyai dinding sel dengan kandungan peptidoglikan yang tipis. Radji (2011) melaporkan bahwa sel bakteri gram negatif terdiri atas satu atau lebih lapisan peptidoglikan yang tipis, tidak mengandung asam teikoat, oleh karena itu dinding sel bakteri gram negatif lebih rentan terhadap guncangan fisik, seperti pemberian antibiotik atau bahan antibakteri lainnya. Berdasarkan penjelasan di atas ekstrak segar akar terbaik dalam menghambat E. coli dan S. aureus sedangkan ekstrak segar bunga dikategorikan terbaik dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji C. albicans. 1.2 . Aktivitas Antioksidan masing-masing Ekstrak dengan Metode Efek Perendaman terhadap Radikal Bebas DPHH ( 1,1–Di Phenyl-2-Picryl Hidrazil) Pada Tabel 3 terlihat bahwa ketiga ekstrak memiliki rata-rata aktivitas antioksidan secara berturut-turut yakni sampel daun (33,732), akar (31,544) dan bunga (54,69). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan tentang uji aktivitas antioksidan akar, bunga dan daun tanaman Dandelion dapat diketahui bahwa akar, bunga dan daun memiliki nilai antioksidan yang sangat efektif. Sehingga, ekstrak segar bunga, akar dan daun Dandelion berpotensi sebagai alternatif antioksidan. Garcia-Carrasco et al., (2015) menyatakan bahwa ekstrak akar, bunga dan daun dandelion efektif terhadap aktivitas antioksidan, hal ini karena adanya kandungan flavonoid dan polifenol. Kandungan kimia pada akar dan daun dandelion yang pahit terutama lakton seskuiterpen yang dikenal sebagai prinsip pahit. Selain itu, polifenol dan flavonoid juga telah diisolasi dari bunga dan daun dari tanaman dandelion. Attaau-rahman and Coudhary (2001) menyatakan bahwa, senyawa yang berpotensi memiliki antioksidan umumnya adalah senyawa flavonoid, alkaloid, dan fenolat yang merupakan senyawa-senyawa polar. Pokorny et al., (2001) juga menyatakan aktivitas antioksidan tidak hanya diperankan oleh golongan senyawa yang bersifat polar, namun juga dapat diperankan oleh golongan senyawa yang bersifat non-polar, diantaranya adalah golongan senyawa flavonoid non-polar, alkaloid dan triterpenoid. Glikosida flavonoid dalam bentuk aglikon yang bersifat non polar memiliki aktivitas antioksidan lebih tinggi jika dibandingkan dengan bentuk glikonnya yang bersifat polar. SIMPULAN Ekstrak segar dari masing-masing ekstrak tanaman Dandelion mempunyai aktivitas antimikroba yang berbeda nyata dengan diameter daya hambat terbesar terhadap mikroba ujiE. PROSIDING, Copyright© 2016 140
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
coli (12,27 mm) dan S. aureus (12,33 mm) ditunjukkan oleh ekstrak segar akar, sedangkan terhadap C. albicans ditunjukkan oleh ekstrak segar bunga (9,72 mm). Namun, berdasarkan kategori daya hambat, ekstrak segar akar dan bunga dari tanaman Dandelion dikategorikan kuat (K) dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji E. coli dan S. aureus. Sedangkan ekstrak segar daun dikategorikan sedang (S) dalam menghambat pertumbuhan mikroba uji C. albicanssedangkan aktivitas antioksidan pada ekstrak segar akar (31,544), diikuti bunga (54,69) dan daun (33,732). UCAPAN TERIMAKASIH Penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada Dr. Anthoni Agustien, Feskaharni Alamsyah, MSi dan Dr. Resti Rahayu yang telah memberikan masukan, saran dan kritikan selama penelitian berlangsung dan dalam proses penulisan artikel ini. DAFTAR PUSTAKA Ajizah, A. 2004. Sensitifitas Salmonella typhimurium Terhadap Ekstrak Daun Psidium guajava L. Biosorentiae 1: 31-38. Ajizah, A., Thihana dan Mirhanuddin. 2007. Potensi Ekstrak Kayu Ulin (Eusideroxylon zwageri T et B) dalam Menghambat Pertumbuhan Bakteri Staphylococcus aureus Secara In Vitro. Bioscientiae 4 (1): 31-38. Atta-au-rahman and M. I. Coudhary. 2001. Bioactive natural product a potential of Pharmacophorus. Pure and Applied Chemistry 73 (2): 555-560. Bonang, G., dan E. S. Koeswardono. 1979. Mikrobiologi Kedokteran untuk Laboratorium dan Klinik. Gramedia. Jakarta. Chuakul, W. 1999. Taraxacum officinale Weber ex F. H. Wigg. In L. S. de Padua, N. B. Praphatsara dan R. H. M. J, Lenunes (Eds). Prosea: Medical and Poisinous Plant I. Prosea Foundation. Bogor 12 (1): 475-479. Cowan, M. 1999. Plants Products as Antimicrobial Agents. Clinical Microbiology (12) 4: 564582. Dalimartha, S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia, Jilid 2. Trubus Agriwidya. Jakarta. Davis, W.W., and T. R. Stout. 1971. Disc Plate Method of Mikrobiological Antibiotic Assay. American Society for Mikrobiology. Vol. 22. No. 4 p. 659-665. Dearing, M. D., A. M. Mangione and W. H. Karasov. 2001. Plant Secondary Compounds as Diuretics: An Overlooked Consequence. Am Zool 41: 890–901. Garcia-Carrasco, R. Fernandes-Dacosta, A. Davalos, J. M. Ordovas and A. Rodriguesz-casado. 2015. In vitro Hypolipidemic and Antioxidant Effects of Leaf and Root Extracts of Taraxacum officinal. Journal of medical sciences 3: 38-5. Ghaima K. K., M. H. Noor, A. A. Safaa. 2013. Antibacterial and Antioxidant Activities of Ethyl Acetate Extract of Nettle (Urticadioica) and Dandelion (Taraxacum officinale). Journal of Applied Pharmaceutical Science 3 (05): 096-099. Hansel R, Kartarahardja M, Huang J, Bohlmann F. (1980). Sesquiterpenlacton-β-D glucopyranoside sowie ein neues eudesmanolid aus Taraxacum officinale. Phytochemistry (19)5: 857-861. Hartini, S. Y., et al. 2007. Daya Antibakteri Campuran Ekstrak Etanol Buah adas (Foeniculum vulgare Mill) dan Kulit Batang Pulasari (Alyxia reinwardtii Bl.). Skripsi Sarjana Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Heinrich, M. 2009. Farmakognosi dan Fitoterapi. Buku Kedokteran Indonesia. Jakarta. Jeon, H. J., H. J. Jung, Y. S. Kang, C. J. Lim, Y. M King, and E. H. Park. 2008. AntiInflammatory Activity of Taraxacum officinale. Journal of Etnopharmacology 115: 8288.
PROSIDING, Copyright© 2016 141
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Katno dan S. Pramono. 2010. Tingkat Manfaat dan Keamanan Tanaman Obat dan Obat Tradisional. Balai Penelitian Tanaman Tawangmangu. Yogyakarta. Kemper, KJ. 1999. Dandelion: Taraxacum officinalis, lhlm. Longwood Herbal Task Force www.mcp.edu. Revised November 1, 1999. Kuusi T, Pyysalo H, Autio K. 1985. The bitterness properties of dandelion II. Chemical investigations. Lebensm Wiss Technol 18(6): 347-349. Mir, A.M., E.S.Sawhney, and M.M.S.Mass. 2013. Qualitativeand quantitative analysis of Phytochemistry of Taraxacum officinale. Wudpecker Journal of pharmacy and pharmacology 2(1): 1-2. Molyneux, P. 2004. The Use Stable Free Radical Diphenylpicrylhydrazyl (DPPH) for Estimating Antioxidant Activity. Songklanakarin Journal Science and Technology 26 (2): 211-219. Nassar, Zeyad., Abdalrahim, Amin M.S. 2010. The Pharmacological Properties of terpenoidfrom Sandoricum Koetjape. Journal Medcentral. hal 1-11. Pelczar, M. J., dan E. C. S. Chan. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Diterjemaahkan oleh Hadioetomo, R. S., T. Imas, S. S. Tjitrosomo dan S. L. Angka. Universitas Indonesia Press. Depok. Pokorny J., N. Yanishlieva and M. Gordon. 2001. Antioxidants in food. Practical Applications.1-123. Wood Publishing Limited. Cambridge. England. Prakash, A. 2001. Antioxidant Activity Medallion Laboratories Analitical Progress. Minnesota 19 (2): 1-3. Radji, M. 2011. Mikrobiologi. Buku KedokteranECG. Jakarta. Siswandono dan B. Soekardjo. 2000. Kimia Medicinal, Edisi 2. Airlangga University Press. Surabaya. Sohail, M., I. Zafar, A. Muhammad, A. Aftab, U. R Inayat, S. Salma, A. Bilal, A. Naveed, Q. Kalsoom and B. Afsana. 2014. In vitro Antibacterial Study of Taraxacum officinale Leaves Extracts Against Different Bacterial Pathogenic Strains. Journal of Pharmacognosy and Phytochemistry 3 (2): 15-17. Sundari, D., P. Kosasih dan K. Ruslan. 1996. Analisis Fitokimia Ekstrak Etanol Daging Buah Pare (Momordica charantia L.). Tesis Pascasarjana Farmasi. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Tettey, C. O., A. Ocloo, P. C. N. Nagajyothi and K. D. Lee. 2014. An in vitro Analysis of Antiproliferative and Antimicrobial Activities of Solvent Fractions of Taraxacum officinale (Dandelion) Leaf. Journal of Applied Pharmaceutical Science 4 (03): 041045. Waji, R. A., dan A. Sugrani. 2009. Flavonoid (quersetin). Makalah Kimia Organik Bahan Alam Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin. Makassar. Williams, C. A., F. Goldstone and J. Greenham. 1996. Flavonoids, Cinnamic Acids and Coumarins from the Different Tissues and Medicinal Preparations of Taraxacum officinale. Phytochemistry 42: 121–127.
PROSIDING, Copyright© 2016 142
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENGGUNAAN STARTER BAKTERI PENCERNAAN LUWAK (Paradoxurus hermaphroditus) PADA FERMENTASI PULP KAKAO (Theobroma cacao) DALAM UPAYA PERBAIKAN MUTU BIJI KAKAO FERMENTASI THE USAGE OF LUWAK DIGESTIVE TRACK BACTERIA (Paradoxurus hermaphroditus) ON CACAO PULP FERMENTATION IN ORDER TO INCREASE THE QUALITY OF CACAO NUTS Nurmiati, Periadnadi Dan Neny Damayanti Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas, Padang ABSTRAK Bakteri dari pencernaan luwak (Paradoxurus hermaphroditus) diaplikasikan sebagai starter dalam fermentasi pulp Kakao (Theobroma cacao) dalam berbagai konsentrasi dengan tujuan untuk mengdapatkan karakter biji kakao fermentasi yang lebih baik. Perkembangan mikroflora, kadar gula dan nilai pH diamati selama fermentasi. Biji kakao pada pulp, diamati selama fermentasi dan selama fermentasi diamati profil perkembangan mikrofloranya dan di akhir fermentasi biji kakao diamati secara visual yang meliputi tekstur dan warna biji kakao. Penelitian dilakukan dengan metode eksperimen dan dianalisis secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penambahan starter mikroflora pencernaan luwak sebanyak 10% pada fermentasi kakao memperlihatkan pertumbuhan mikroflora yang lebih baik yang dibuktikan dari profil pertumbuhannya selama fermentasi dengan penurunan total kadar gula terbesar terdapat pada perlakuan penambahan 10% starter yaitu 11.21% selama 8 hari fermentasi dan perlakuan penambahan 10% starter mencapai pengurangan berat tertinggi pada hari ketiga 3.4 gram. Penurunan pH tertinggi terjadi pada perlakuan 15%. Perlakuan dengan penambahan starter 10% memiliki visual biji yang lebih baik dibanding perlakuan lain yaitu dengan tekstur yang lebih halus dengan warna coklat tua. Kata kunci: Mikroflora, luwak, starter, Pulp kakao, fermentasi. PENDAHULUAN Musang atau yang lebih dikenal dengan nama Luwak (Paradoxurus hermaphroditus) walaupun termasuk kedalam hewan karnivora adalah juga pemakan buah seperti buah kakao. Luwak memilih buah yang matang untuk dimakannya. Pada saat buah yang dimakan sampai ke saluran pencernaan, daging buahnya akan tercerna sementara bijinya tidak tercerna dan dikeluarkan utuh melalui fesesnya (Setia, 2008). Di tempat-tempat yang bisa dilaluinya, di atas batu atau tanah yang keras, seringkali didapati tumpukan kotoran Luwak dengan aneka biji-bijian yang tidak tercerna di dalamnya. Pencernaan luwak ini begitu singkat dan sederhana, sehingga biji-biji yang dimakan keluar lagi dengan utuh melalui feses setelah mengalami proses fermentasi melalui pencernaannya (Avidianto, 2009). Didalam pencernaan Luwak, terdapat bakteri asam Leuconostoc yang dapat memfermentasi biji-bijian yang dimakan Luwak dan bijian dikeluarkan kembali dalam bentuk utuh (Manurung, 2010). Djunaidy (2010) melaporkan hasil penelitian mahasiswa Jember di Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia bahwa adanya peranan bakteri asam laktat (BAL) dalam fermentasi kopi Luwak. Setelah meneliti feses Luwak, ditemukan 32 isolat bakteri di dalamnya. Sebanyak empat isolat yang dominan merupakan BAL dari genus Lactobacillus dan Leuconostoc. Bakteri yang terdapat didalam pencernaan luwak adalah 7 strain Leuconostoc paramesen teroides yang dihasilkan dari kotoran luwak, dan jika bakteri tersebut dikulturkan PROSIDING, Copyright© 2016 143
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
maka akan dapat menghasilkan kualitas kopi setara dengan kopi luwak dengan cara menambahkan bakteri tersebut pada saat fermentasi Selama ini kebanyakan orang menganggap bahwa binatang luwak hanya memakan biji kopi. Biji kopi hasil pencernaan luwak ini akhirnya terkenal karena publikasinya yang sampai mendunia dengan diimbangi kualitas tinggi dari uji organoleptiknya yang meliputi aroma, kepahitan, warna serta citarasa. Namun apakah hanya kopi yang dimakan luwak jawabnya tidak. Hal mengejutkan terbukti dari pra penelitian yang telah ditemukan di lapangan bahwa tidak hanya kopi yang dimakan luwak tetapi buah kakaopun ternyata menjadi salah satu makanan bagi luwak dengan bukti ditemukannya kumpulan biji kakao yang berbalut feses luwak yang ditemukan di Perkebunan Kakao PT. Inang Sari, Padang Mardani, Lubuk Basung. Fermentasi pada pengolahan kakao selain untuk melepaskan pulp dari biji juga berfungsi untuk mematikan biji, memperbaiki flavor dan menimbulkan warna coklat (Alamsyah, 1991 cit Putra, et al.,, 1996). Pada tahap awal fermentasi, yeast dapat merombak gula pulp menjadi alkohol dan CO2 serta metabolisme asam sitrat karena didukung oleh kondisi pH dan suplai oksigen yang rendah. Selanjutnya desimilasi asam sitrat menyebabkan naiknya pH dan suhu akibat panas yang ditimbulkan dari fermentasi alkohol dan adanya aerasi menyebabkan produksi asam asetat menjadi dominan (Lopez cit. Putra et al.,, 1996). Pada fermentasi biji kakao, asam asetat dan panas yang dihasilkan akan menyebabkan biji mati, sehingga memungkinkan pada tahap fermentasi berikutnya terjadi perubahan– perubahan yang penting secara enzimatis pada kotiledon biji. Perubahan tersebut diyakini mengarah pada perbaikan mutu hasil biji kakao yang kering (Sulistyowati, 1988; Alamsyah, 1991 cit. Putra et al.,, 2008) Pentingnya fermentasi pada biji kakao dikarenakan pada proses ini dihasilkan calon senyawa aroma khas cokelat. Selain itu selama proses ini terjadi penurunan kadar polifenol yang dapat menurunkan rasa kelat, namun proses fermentasi tidak boleh berlebihan (over fermentation) karena selain merusak citarasa dan aroma, juga akan terjadi pembentukan warna yang berlebihan. Perubahan senyawa selama fermentasi ini tidak lepas dari aktivitas enzimatis mikroorganisme, yang berperan untuk memecah gula menjadi alkohol dan selanjutnya terjadi pemecahan alkohol menjadi asam asetat. Pada awal fermentasi kakao, mikroorganisme yang aktif adalah khamir (yeast) yang memecah sukrosa, glukosa dan fruktosa menjadi etanol. Bersamaan dengan hal itu, terjadi pula pemecahan pektin dan metabolisme asam organik. Aktivitas selanjutnya dilakukan beberapa genera bakteri asam laktat dan asam asetat yang memecah etanol menjadi asam laktat. Selain itu, juga dihasilkan asam asetat, dan asam organik lain seperti asam sitrat dan malat (Atmana, 2000 cit. Ambardini, 2005). Flavor kakao terutama terbentuk setelah biji mengalami proses fermentasi dan diikuti dengan proses pengeringan. Dua tipe reaksi biokimia yang bertanggung jawab untuk memproduksi prekusor flavor adalah reaksi hidrolisis saat fermentasi dan reaksi oksidasi selama pengeringan biji kakao. Untuk menghasilkan pengembangan flavor yang baik, kedua reaksi tersebut harus diikuti dalam urutan yang benar dan tepat (Lopez, 1986 cit. Anonimous, 2010). Kakao merupakan salah satu komoditi perdagangan yang mempunyai peluang untuk dikembangkan dalam rangka usaha memperbesar atau meningkatkan devisa negara serta penghasilan petani kakao. Produksi biji kakao Indonesia secara signifikan terus meningkat, namun mutu yang dihasilkan sangat rendah. Hal tersebut tercermin dari harga biji kakao Indonesia yang relatif rendah dan dikenakan potongan harga dibandingkan dengan harga produk sama dari negara produsen lain (Situmorang, 2010) Selama ini, fermentasi yang dilakukan terhadap pengolahan biji kakao hanya fermentasi alami atau spontan. Bahkan berdasarkan survei di lapangan, sebagian dari petani kakao tidak melakukan fermentasi. Kecenderungan untuk mengolah biji kakao tanpa fermentasi, yaitu dengan cara merendam biji dalam air untuk membuang pulp dan dilanjutkan PROSIDING, Copyright© 2016 144
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dengan proses penjemuran dengan alasan kalau difermentasi membutuhkan waktu yang lama untuk dijual. Padahal Amin (2005), mengatakan bahwa dengan fermentasi serta menambahkan mikroba tertentu sebagai starter dapat mendukung percepatan waktu fermentasi dan pembentukan aroma, citarasa, dan warna khas kakao. Penelitian mengenai kakao yang difermentasi oleh mikroflora pemfermentasi dari pencernaan Luwak ini belum ada. Bukankah ini adalah suatu hal yang sangat mungkin untuk membuat kakao Luwak dengan adanya penemuan dilapangan tersebut. Ini adalah sebuah inovasi dan trendmark tersendiri bagi Indonesia dalam menjawab tantangan global atas pertanyaan rendahnya nilai jual biji kakao Indonesia ditingkat dunia. Penelitian ini sangat diperlukan karena merupakan salah satu solusi dalam mengatasi permasalahan rendahnya mutu biji kakao Indonesia. Dengan ditemukannya mikroflora pemfermentasi oleh Luwak inilah munculnya penelitian mengenai potensi fermentatif mikroflora pencernaan Luwak dalam fermentasi kakao (Theobroma cacao, L) demi menciptakan mutu biji kakao berkualitas dan bernilai jual tinggi. MATERI DAN METODE Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode eksperimen yaitu dengan perlakuan penambahan starter mikroflora dari pencernaan luwak dengan 4 perlakuan A. tanpa penambahan starter; B. penambahan 5%starter; C. penambahan 10% starter dan D. penambahan 15% starter. Untuk melihat perbedaan potensi fermentatif antara perlakuan tanpa starter dan pemberian starter dianalisa secara deskriptif dengan parameter pengamatan yaitu perkembangan mikroflora selama fermentasi, nilai pH, intensitas fermentasi, dan kadar gula. Feses luwak yang dimaksud adalah biji kakao yang telah melewati proses pencernaan oleh luwak didapatkan di areal perkebunan kakao, salah satunya di Perkebunan Kakao PT. Inang Sari, Padang Mardani, Lubuk Basung. Sumatera Barat. Medium yang digunakan adalah medium GTA (Glukose Tryptone Agat) + CaCO3 (Periadnadi dan Nurmiati, 2005). Pembuatan Starter Sekitar 100 g feses luwak yang telah didapatkan di lapangan direndam dengan alkohol 50% selama 3 menit. Lalu dicuci dengan air steril mengalir. Setelah itu ditempatkan dalam wadah steril dengan ditambahkan air steril 250 ml. Kemudian dibiarkan selama 1 jam. Lalu rendaman feses dihomogenkan sehingga air akan menjadi keruh (starter cair ). Sekitar 20% starter cair ini dimasukkan ke media starter ( pulp kakao steril ) di dalam gelas steril. kemudian ditutup dengan plastik dan diberi label. Starter tersebut dibiarkan selama 2 hari pada suhu ruangan. Media Fermentasi Kakao Semua isi buah kakao dimasukkan kedalam satu baskom besar yang telah diaseptiskan. Kemudian diaduk hingga homogen. Diukur pH awal dan kadar gula awal. Sementara penghitungan total mikroflora dilakukan secara pourplate dengan metoda pengenceran. Penghitungan Total Mikroflora Pembentuk Asam Penghitungan jumlah mikroflora pembentuk asam dilakukan secara pourplate pada medium GTA + CaCO3 dengan metoda pengenceran. Pengamatan 1. Total Mikroflora: penghitungan dan pengamatan total Mikroflora ini dilakukan pada sediaan starter. Kemudian total mikroflora pada pencuplikan pulp kakao setelah penambahan starter dan kontrolnya setiap 24 jam selama 8 hari. Dihitung secara pourplate dengan metoda pengenceran dan inkubasi selama 48 jam.
PROSIDING, Copyright© 2016 145
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
2. Nilai pH: Pengamatan nilai pH pada starter, pulp kakao sebelum penambahan starter, serta pencuplikan pulp kakao setelah penambahan starter dan kontrolnya setiap 24 jam selama 8 hari. 3. Kadar Gula: Pengamatan kadar gula dilakukan pada starter, pulp kakao sebelum penambahan starter, serta pencuplikan pulp kakao setelah penambahan starter dan kontrolnya setiap 24 jam selama 8 hari. Dilakukan dengan menggunakan Refraktometer. 4. Biji kakao hasi; fermentasi sesuai perlakuan dikeringkan, diamati dan dibandingkan visualnya Analisa Data Analisa yang digambarkan adalah hubungan antara total mikroflora dengan nilai pH dan kadar gula. Hasil hubungan digambarkan dalam bentuk grafik. HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi sebelum fermentasi Adanya mikroflora pembentuk asam terlihat dari zona bening (halozone) yang terbentuk yang bahkan bisa sangat luas diameternya serta memiliki permukaan timbul dan lebih mengkilat. Setetah 2 hari inkubasi maka pertumbuhan mikroflora terlihat seperti pada gambar 1.
Gambar 1. Mikroflora starter setelah 2 hari inkubasi Dari gambar 1 yang paling jelas terlihat adalah mikroflora pembentuk asam karena mikroflora ini membentuk daerah halo yang lebih besar pada medium yang digunakan. Starter yang digunakan mengandung 203.108 mikroflora fermentatif dengan nilai pH 3,55 dan kadar gula 8% Brix. Pada media fermentasi juga mikroflora seperti pada gambar 2
PROSIDING, Copyright© 2016 146
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gambar 2. Mikroflora pada media fermentasi Tabel 1. Rata-rata jumlah mikroflora fermentatif, kadar gula, dan pH media pulp kakao mentah yang digunakan sebagai media fermentasi Kondisi Awal Media Fermentasi 1 Jumlah mikroflora 79 x 108 (cfu/ml) 2 Kadar Gula 17.35% 3 pH 3.49 Dari tabel 1 di atas dapat dilihat kondisi awal media fermentasi pulp kakao memiliki total mikrofloranya 79 x 108 (cfu/ml). Media fermentasi ini memiliki kadar gula yang sangat tinggi yaitu 17.35%. Kadar gula yang tinggi merupakan sumber karbohidrat yang sangat penting bagi perkembangan mikroflora. Sementara pH sekitar 3.49 merupakan keadaan asam yang menunjang pertumbuhan mikroflora selama proses fermentasi berlangsung. Kondisi media fermentasi yang seperti ini sangat menunjang perkembangan dan pertumbuhan mikroflora yang tumbuhkan di dalamnya. Sesuai dengan penjelasan Winarno et al., (1980) cit.. Hamida (2006) faktor – faktor lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan mikroba diantaranya kelembaban, suhu, pH, oksigen, mineral, dan sumber lainnya. Total Mikroflora Fermentasi Perkembangan total mikroflora fermentatif selama 8 hari fermentasi dari masingmasing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3 dibawah ini.
Gambar 3: Profil perkembangan total mikroflora selama fermentasi.
PROSIDING, Copyright© 2016 147
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Peningkatan total mikroflora tertinggi diawal fermentasi terdapat pada perlakuan penambahan 15% starter yaitu 260 x 1011 cfu/ml, disusul 10% starter yaitu 476 x 1010 cfu/ml, dan 5% starter yaitu 335 x 1010 cfu/ml masing-masing terjadi pada hari ketiga. Sementara pada perlakuan 0% total mikroflora tertinggi baru terjadi pada hari keempat yaitu 170 x 1010 cfu/ml. Sedikitnya peningkatan total mikroflora pada perlakuan 0% ini karena tidak adanya starter yang mampu merangsang pertumbuhan mikroflora pada media fermentasi tersebut. Hal ini sesuai dengan pendapat Ansori et al.,, (1988) cit. Hamida (2006) bahwa starter berperan begitu besar terhadap perkembangan mikroba sebagai inokulum aktif sehingga dapat mempersingkat waktu adaptasi dalam memperbanyak jumlah sel mikroba pada waktu fermentasi. Dari perlakuan penambahan starter, ternyata perlakuan 10% memiliki kurva pertumbuhan yang bagus. Artinya terjadi pertumbuhan yang baik secara berkesinambungan dalam pertumbuhannya, dimana diawali dengan fase lambat bertahap sampai mencapai pertumbuhan optimum, lalu menurun lagi secara bertahap. Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa selama perkembangan total mikrofloranya, nutrisi yang ada dalam media fermentasi mampu dimanfaatkan secara bersama selama fermentasi. Sementara untuk penambahan starter 5%, dari grafik dapat terlihat total mikrofloranya masih potensif sampai hari ketujuh dengan jumlah total 22 x 109 cfu/ml. Dibandingkan dengan perlakuan penambahan starter 10%, perlakuan 5% ini lebih lambat perkembangannya. Sedangkan pada perlakuan 15% pada awal fermentasi saja sudah memperlihatkan kenaikan yang cukup tinggi pada saat hari kedua yaitu 98 x 1011 cfu/ml meski total tertinggi pada saat hari ketiga yaitu 260 x 1011 cfu/ml dan langsung menurun drastis setelahnya. Perlakuan 15% ini merupakan perlakuan yang paling banyak keberadaan mikroflora perfermentasinya. Terlalu banyaknya starter yang dicampurkan tentu tidak sebanding pula dengan nutrisi yang terkandung dalam media fermentasinya. Dalam hal ini total mikrofloranya sudah melebihi batas toleransi. Setelah mencapai titik tertinggi pertumbuhan, total mikrofloranya mengalami penurunan hingga akhir fermentasi. Tepat pada hari kedelapan fermentasi total mikroflora masing–masing perlakuan sangat sedikit, terutama perlakuan dengan pemberian starter. Diakhir fermentasi total mikroflora tertinggi didapatkan pada perlakuan tanpa starter yaitu 14 x 109 cfu/ml, diikuti perlakuan penambahan 5% starter yaitu 10 x 108 cfu/ml dan perlakuan perlakuan penambahan 10% starter yaitu 8 x 108 cfu/ml, dan perlakuan penambahan 15% starter yaitu 2 x 108 cfu/ml. Perubahan jumlah total mikroflora selama fermentasi menggambarkan bahwa terdapat perbedaan aktivitas yang disebabkan atas perbedaan keaktifan dan kemampuan masing– masing mikroflora tumbuh dan berkembang biak. Selain itu adanya peningkatan dan penurunan jumlah total mikroflora selama fermentasi menunjukkan sejauh mana pertumbuhan mikroflora dalam medium fermentasi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya adalah nutrisi dalam medium dan faktor lingkungan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Schlegel dan Schmidt (1994) menyatakan bahwa jika mikroba ditumbuhkan pada suatu media dengan nutrisi yang cukup dan kondisi lingkungan yang cocok, maka mikroba akan terus tumbuh sampai salah satu faktor mencapai minimum dan pertumbuhan menjadi terbatas. Dari grafik terlihat jelas fase pertumbuhan mikrofloranya. Hal yang dapat disimpulkan bahwa dari empat perlakuan, perlakuan dengan penambahan starter ternyata lebih cepat pertumbuhan mikrofloranya dibandingkan dengan perlakuan tanpa pemberian starter. Dapat disimpulkan bahwa pada hari ketiga merupakan fase pertumbuhan tertinggi untuk perlakuan penambahan starter. Jumlah total mikrofloranya sangat banyak. Perlakuan dengan penambahan starter 15% dan 10% fermentasinya sudah dapat dihentikan pada hari keempat atau kelima, karena pada hari tersebut total mikroflora mulai menurun drastis. Tujuannya untuk dihentikan adalah karena pada hari kelima sampai delapan tersebut aktivitas mikrofloranya sudah mulai
PROSIDING, Copyright© 2016 148
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
menurun disamping untuk mempersingkat waktu untuk fermentasi. Hal ini dapat terlihat pada hasil isolasi mikrofloranya pada gambar dibawah.
Gambar 4 Total Mikroflora tertinggi pada hari ketiga pada masing-masing perlakuan a) tanpa penambahan starter b)penambahan starter 5%. c) penambahan starter 10%. d) penambahan starter 15%. Nilai pH Perkembangan nilai pH pulp kakao setiap perlakuan selama 8 hari fermentasi dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
Gambar 5. Perkembangan nilai pH setelah penambahan masing-masing starter yang berasal dari pemberian starter 0%, 5%, 10%, 15% . Selama proses fermentasi kakao terjadi dua tahapan fermentasi yaitu fermentasi eksternal pada bagian pulp dan fermentasi internal pada bagian keping biji. Akibat penambahan starter dari Mikroflora yang terdapat pada pencernaan Luwak, akan mempercepat berlangsungnya proses fermentasi pada pulp yang merubah gula menjadi alkohol dan selanjutnya menjadi asam asetat. Asam-asam organik yang terbentuk pada fermentasi pulp akan masuk kedalam keping biji yang menyebabkan enzim-enzim dalam keping biji menjadi aktif sehingga akan berlangsung fermentasi tahap dua pada keping biji. Makanya ketika terjadi peresapan oleh biji, kadar asam mulai berkurang di dalam pulp fermentasi dan berpindah kedalam biji sehingga keadaan pulp fermentasi semakin bersifat basa atau nilai pHnya mengalami kenaikan. Selain itu menurut Effendi et al.,, (1988) cit. Putra et al.,, (1996) naiknya pH juga dapat terjadi akibat terbentuknya senyawa bersifat basa (NH4+) hasil penguraian protein di dalam biji pada fermentasi yang terlalu lanjut. Dari grafik dapat terlihat jelas perbedaan perlakuan antara penambahan starter dengan tanpa penambahan starter. PROSIDING, Copyright© 2016 149
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Kadar Gula Perkembangan nilai kadar gula sisa pulp kakao setiap perlakuan selama 8 hari fermentasi dapat dilihat pada gambar 6.
Gambar 6. Perkembangan kadar gula sisa setelah penambahan masing-masing starter yang berasal dari pemberian starter 0%, 5%, 10%, 15% Penurunan kadar gula dapat dijelaskan bahwa lama fermentasi yang dikatakan mampu merombak kadar glukosa pulp terbaik yaitu berkisar pada lama fermentasi 3 – 4 hari. Perlakuan penambahan 15% starter, mikrofloranya mampu merombak glukosa sekitar 4.6% pada hari ketiga, diikuti dengan perlakuan penambahan starter 5% yaitu sebanyak 4.4% glukosa yang dirombak pada hari ketiga dan selanjutnya perlakuan penambahan starter 10% yaitu sebanyak 3.15% - 3.45% perombakan glukosanya yang terjadi pada hari 3 dan 4. Bentuk Visual Biji Adapun bentuk visual biji yang diamati adalah tekstur dan warna biji setiap perlakuan. Pengamatan ini dilakukan setelah biji dikeringkan. Hasil pengamatan yang telah dilakukan dapat dilihat pada tabel. Tabel 2. Tekstur dan warna biji yang dihasilkan pada setiap perlakuan pada saat hari keempat No 1 2 3 4
Perlakuan Penambahan starter 0% Penambahan starter 5% Penambahan starter 10% Penambahan starter 15%
Tekstur Kasar agak halus halus sekali halus
Warna coklat kelabu, tidak mengkilat coklat, tidak mengkilat coklat tua, mengkilat coklat hitam, tidak mengkilat
Perbandingan visual biji antara perlakuan-perlakuan di atas dinilai atau diamati pada hari keempat. Alasannya karena pada hari tersebut merupakan hari dimana jumlah mikroflora untuk perlakuan dengan pemberian starter mulai mengalami penurunan. Sebelumnya total mikroflora tertingginya berada pada hari ketiga. Sementara untuk perlakuan 0% atau tanpa penambahan starter pengamatan visual bijinya diamati pada hari kelima. Alasannya karena hari keempat baru terjadi jumlah total mikroflora tertinggi. Lebih jelasnya, gambar7 akan memperlihatkan visual biji kakao dari masing-masing perlakuan yang sudah difermentasi dan dikeringkan tepat pada hari keempat.
PROSIDING, Copyright© 2016 150
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gambar 7. Bentuk visual biji pada hari keempat setelah dijemur dan dikeringkan Biji kakao yang diproduksi dengan cara difermentasi ternyata memang jauh lebih unggul dibandingkan nonfermentasi (lampiran 9). Biji kakao yang tidak mengalami fermentasi, keadaan bijinya jauh dari kualitas. Pada biji kakao yang tidak difermentasi ini hanya dilakukan pencucian biji dan kemudian langsung dikeringkan sehingga tidak dapat menghentikan perkecambahan pada biji. Selain itu visual serta aroma yang dihasilkan sangat buruk. Tujuan dari fermentasi bukan hanya untuk mematikan biji tetapi untuk menghancurkan pulp, pembentukan aroma, dan memperbaiki warna biji kakao. SIMPULAN Berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa terdapat mikroflora fermentatif yang potensial dalam fermentasi kakao pada pencernaan luwak yang bersifat sangat asam. Perlakuan dengan penambahan starter 10% memiliki visual biji yang baik dibandingkan perlakuan yang lain dengan tekstur biji yang halus dengan warna coklat tua dimana hasil perhitungan pertumbuhan total mikroflora tertinggi pada hari ketiga yaitu 476 x 1010 cfu/ml dengan potensi merombak kadar gula terbesar (maksimal) yaitu 11.21% selama 8 hari fermentasi serta penurunan pH tertinggi pada hari ketiga. dan memiliki intensitas fermentasi tertinggi pada hari ketiga, 3.4 gram. DAFTAR PUSTAKA Anonymous, 2010a. Mempelajari Pengaruh Lama Fermentasi dan Penyangraian Biji Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap Mutu Bubuk Kakao. http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/19461/4/Chapter%20II.pdf.10 Februari 2011 Ambardini, S. 2005. Perubahan Kadar Lemak Biji Kakao (Theobroma cacao L.) Melalui Fermentasi Beberapa Isolat Khamir. http://anoa.unhalu.ac.id/... /Perubahan%20Kadar%Lemak%20Biji%20Kakao.doc. 10 Februari 2011. Amin, S. 2005. Teknologi Pascapanen untuk Masyarakat Perkakaoan Indonesia. Jakarta. BPPT Press. 223 hal. Atmana, S.A. 2000. Proses Enzimatis pada Fermentasi untuk Perbaikan Mutu Kakao. BPP Teknologi. www.iptek/terapan/cacao.co.id Avidianto, D. 2009. Musang Pemakan Kopi. http://Devoav1997.Webnode.Com/ kses 10 maret 2011dia Djunaidy, M. 2010. Kopi Luwak Tanpa Dimakan Luwak. Koran Tempo. http://mirror.unpad. ac.id/koran/korantempo/2010-07-29/korantempo_2010-07-29_013.pdf. diakses 25 Februari 2011
PROSIDING, Copyright© 2016 151
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Farmakope Indonesia. 1995. Farmakope Indonesia edisi IV. Departemen Kesehatan RI. Jakarta. Hamida, D. 2006. Penggunaan Mikroba Alami sebagai Starter dalam Fermentasi Dadih. Unand Press. Padang Putra, G.P.G, dan I.M Anom S. Wijaya. 1996. Evaluasi Suhu, pH dan Indeks Antosianin Pada Fermentasi Kakao Skala Petani. Teknologi Industri Pertanian, Universitas Udayana. Putra, G.P.G, Sutardi and B. Kartika. 2008. Peranan Perubahan Komponen Prekursor Aroma Dan Cit.a Rasa Biji Kakao Selama Fermentasi Terhadap Cit.a Rasa Bubuk Kakao yang Dihasilkan. Universitas Gadjah Mada Press : Yogyakarta Setia, T.M. 2008. Penyebaran Biji Oleh Satwa Liar di Kawasan Pusat Pendidikan Konservasi Alam Bodogol dan Pusat Riset Bodogol, VIS VITALIS, Vol. 01 No. 1, tahun 2008, ISSN 1978-9513. Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat. Fakultas Biologi Universitas Nasional. Situmorang, J.P. 2010. Mempelajari Pengaruh Lama Fermentasi dan Penyangraian Biji Kakao (Theobroma cacao L.) Terhadap Mutu Bubuk Kakao. Skripsi Jurusan Pertanian. Universitas Sumatera Utara
PROSIDING, Copyright© 2016 152
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
UJI BIODEGRADASI 17 β-ESTRADIOL OLEH BAKTERI HASIL ISOLASI DARI KALI SURABAYA THE EXAMINATION OF BIODEGRADASI 17 β-ESTRADIOL BIODEGRADATION BY BACTERIA ISOLATED FOM SURABAYA RIVER Tri Puji Lestari Sudarwati¹, Ni’matuzahroh², Ganden. S³, ¹Akademi Farmasi Surabaya, ²,³Fakultas Sains Dan Teknologi, Universitas Airlangga, Surabaya, 1Ketintang Madya No 81, Surabaya. Email:
[email protected] ABSTRAK Eksplorasi terhadap mikroorganisme pendegradasi 17 β-estradiol di Kali Surabaya dilakukan untuk mengetahui jenis bakteri pendegradasi 17 β-estradiol hasil isolasi dari sedimen Kali Surabaya, mengetahui respon pertumbuhan bakteri pendegradasi 17 β-estradiol yang dapat tumbuh pada substrat yang mengandung 17 β-estradiol, mengetahui kemampuan biodegradasi 3 bakteri potensial terhadap 17 β-estradiol dengan variasi waktu inkubasi menggunakan HPLC, waktu inkubasi mulai dari hari ke 0 sampai ke 3, menunjukkan bahwa J2 dengan nilai TPC dalam 3 hari adalah 5,8 X 108; J4 dengan nilai TPC dalam 3 hari adalah 4,3X108 dan J9 dengan nilai TPC dalam 3 hari adalah 4,9 X108. Kemampuan biodegradasi 3 bakteri potensial terhadap 17 β-estradiol dengan variasi waktu inkubasi yakni J2 mempunyai kemampuan biodegrasi pada waktu inkubasi 3 hari adalah 45,59%; J4 mempunyai kemampuan biodegradasi pada waktu inkubasi 3 hari 31,73%; J9 mempunyai kemampuan biodegrasi pada waktu inkubasi 3 hari 68,74%. Nama spesies 3 bakteri potensial pendegradasi 17 β-estradiol pada J2, J4 dan J9 berturut-turut Pseudomonas stutzeri, Bacillus cereus/Bacillus anthracoide dan Bacillus mycoides. Kata kunci: Kali Surabaya, Bakteri Pendegradasi 17 β-estradiol ABSTRACT Exploration on microorganisms degradation 17 β-estradiol in Surabaya river conducted to determine the type of bacteria degradation 17 β-estradiol the results of the isolation of sediment from river station in surabaya 3 , bacterial growth degradation know response 17 βestradiol that can grow on a substrate containing 17 β-estradiol, knowing the ability of bacteria degradation biodegradasi 3 to 17 β-estradiol HPLC use with variations of incubation periods , 3 species of bacteria aware of degradation pendegradasi 17 β-estradiol of Surabaya river. The incubation from 0 day to day to 3 shows that j2 with a value of tpc in 3 days is 5.8 x 108; j4 with a value of TPC in 3 days is 4,3x108 and j9 with a value of TPC in 3 days is 4.9 x108. The ability of bacteria potential biodegradasi 3 to 17 β-estradiol with variations of incubation periods 17 β-estradiol j2 biodegrasi have the ability of the incubation time in three days is 45.59 %; j4 biodegradasi have the ability of incubation time in 3 days 31,73 %; j9 biodegrasi at the time have the ability of incubation 68,74 % 3 days . The species name 3 potential degradation bacteria 17 β-estradiol J2, J4 and J9 Pseudomonas stutzeri, Bacillus cereus/Bacillus anthracoide and Bacillus mycoides. Keywords : Degradation bacterial in Surabaya river, Bacteria degradation 17 β-estradiol
PROSIDING, Copyright© 2016 153
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN Pencemaran pada lingkungan merupakan suatu permasalahan yang umum terjadi di dunia termasuk di Indonesia. Pencemaran ini tidak hanya disebabkan oleh hasil pembuangan pabrik–pabrik yang tidak diolah dengan baik pada tanah, badan air (sungai) dan udara, namun juga oleh masyarakat. Pencemaran pada perairan akan berdampak pada penurunan kualitas air sehingga akan mempengaruhi kesehatan suatu badan air, dikarenakan ketergantungan mahluk hidup terhadap air. Air tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan air minum, namun juga kebutuhan untuk mandi, cuci dan kakus (MCK). Salah satu sumber pencemaran di perairan adalah senyawa estrogenik. Senyawa estrogenik di alam merupakan kelompok senyawa yang dapat mengganggu sistem endokrin dari organisme yang hidup di dalamnya. Senyawa estrogenik di dalam air telah berdampak pada kesehatan dari ekosistem akuatik dan manusia. Pada lingkungan perairan, senyawa tersebut dapat mempengaruhi organisme akuatik seperti ikan dan dapat menyebabkan efek feminisme pada ikan jantan yang terdapat pada aliran buangan (Syamsuri, 2006). Senyawa estrogenik ini merupakan hormon steroid alami yang diproduksi oleh manusia dan hewan yang dikeluarkan melalui urin kemudian masuk ke badan air, biasanya dalam bentuk konjugat sebagai glucorinides larut dan tidak aktif. Senyawa estrogenik dan senyawa estrogen pada badan air berasal dari berbagai sumber pencemar yaitu (1) kegiatan pertanian contohnya insektisida dikhlorphenil trikhloretana (DDT), (2) buangan pabrik, contohnya dioksin dan detergen (3) obat-obatan contohnya ethinyl estradiol dan 17 β-estradiol. Sedangkan, senyawa estrogen yang masuk ke dalam lingkungan adalah senyawa yang dihasilkan oleh organisme, contohnya senyawa dari jamur, tumbuhan, hormon estrogen pada vertebrata yang berasal dari urin maupun feces. Senyawa estrogenik yang berasal dari tumbuhan dikenal dengan phytoestrogen, contoh tumbuhan yang menghasilkan hormon ini adalah kedelai dan beberapa sayuran lainnya (Syamsuri, 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Syamsuri pada tahun 2006, menunjukkan bahwa kandungan 17 β-estradiol pada hulu (daerah Malang) Kali Brantas adalah 85,833 ng/L sedangkan pada hilir (Kali Surabaya) 117,500 ng/L. Peningkatan kandungan pada daerah hilir tersebut dimungkinkan karena sepanjang aliran sungai terdapat berbagai masukan limbah pertanian, peternakan, rumah tangga, serta masih digunakannya air sungai sebagai tempat mandi, cuci, kakus (MCK) yang mengandung bahan biologis 17 β-estradiol. Biodegradasi adalah penguraian fisik pada substrat oleh aktivitas mikroorganisme dengan menghasilkan produk yang bermanfaat untuk manusia (Gandjar et al. , 2006). Salah satu upaya pengolahan pencemaran kelompok 17 β-estradiol yang dilakukan secara biologis adalah melalui peran aktif mikroorganisme dari bakteri maupun fungi. Umumnya, proses degradasi 17 β-estradiol dilakukan oleh bakteri dari genus Rhodococcus serta Mycobacterium, sedangkan pada fungi oleh genus Fusarium dan Novospingobium. Genus bakteri dan fungi tersebut dapat diisolasi dari tanah, maupun sedimen yang mampu berperan dalam menurunkan kadar 17 β-estradiol (Yoshimoto et al., 2004). Penelitian ini bertujuan untuk Mengetahui jenis bakteri potensial pendegradasi 17 βestradiol hasil isolasi dari sedimen di Kali Surabaya, mengetahui respon pertumbuhan bakteri pendegradasi 17 β-estradiol yang dapat tumbuh pada substrat yang mengandung 17 βestradiol, mengetahui kemampuan biodegradasi 3 bakteri potensial terhadap 17 β-estradiol dengan variasi waktu inkubasi. MATERI DAN METODE Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian terhadap isolasi bakteri di Kali Surabaya adalah sebagai berikut : Tahap I alat dan bahan yang digunakan adalah air sungai, botol sampel, gayung, kertas label, cold box dan es batu. Kemudian pada tahap ke II alat dan bahan yang digunakan adalah 17 β-estradiol, Medium kultur MDG (Modified Dominic and Graham’s), PROSIDING, Copyright© 2016 154
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
YM agar, tabung reaksi, cawan petri, erlemeyer, batang pengaduk, gelas ukur, pipet volum, kawat ose dan kertas label. Dilanjutkan pada tahap ke III, alat dan bahan yang digunakan adalah HPLC. Dilanjutkan pada tahap ke IV, alat dan bahan yang digunakan adalah Kit Bakteri dan cawan petri. Cara Kerja Penelitian Tahap I. Isolasi jenis bakteri pendegradasi 17 β-estradiol dari sedimen di Kali Surabaya a. Pengukuran konsentrasi 17 β-estradiol di Kali Surabaya Tahap ini bertujuan untuk memperoleh data tentang konsentrasi 17 β-estradiol di Kali Surabaya dari hulu sungai hingga hilir sungai. Pengambilan sampel di Kali Surabaya dimulai dari bagian kiri, tengah dan kanan kemudian dihomogenkan dan dimasukkan pada 1 botol steril ukuran 250 mL. Sampel sedimen yang telah diambil dari Kali Surabaya disimpan dalam cold box untuk dibawa ke laboratorium untuk dilakukan pengujian selanjutnya. Pengukuran konsentrasi 17 β-estradiol dari sedimen Kali Surabaya menurut English et al. (1994) dengan cara mengeringkan sedimen di udara terbuka hingga kering kemudian timbang sedimen seberat 1 gram, kemudian dimasukkan dalam beker glass 50 mL, ditambahkan metanol 10 mL dan diaduk hingga homogen, diendapkan hingga mengendap kemudian filtrat dipindah secara kuantitatif ke dalam labu ukur 50 mL. Ditambahkan 10 mL metanol ke dalam beker glass dan diaduk kembali, prosedur diulangi hingga 40 mL metanol, kemudian ditambahkan metanol sampai garis tanda. Diambil sejumlah larutan dari labu ukur kemudian disaring menggunakan kertas saring 0,45 μm kemudian larutan dianalisis menggunakan HPLC. Sampel dipipet sebanyak 20µL dan diinjeksikan pada HPLC kemudian diamati hasilnya. b. Isolasi bakteri dari sampel sedimen Kali Surabaya Melakukan isolasi bakteri yang telah diambil dari sedimen Kali Surabaya kemudian ditumbuhkan pada medium kultur MDG (Modified Dominic and Graham’s) dengan komposisi 3.5 g K2HPO4, 1.5 g KH2PO4, 0.5 g (NH4)2SO4, 0.5 g NaCl, 0.15 g MgSO4.7H2O per liter dan 10% 17 β-estradiol 1 ppm. Pengujian menggunakan botol 150 mL, kemudian melakukan isolasi dalam 100 mL medium kultur MDG mengandung 10 g sampel sedimen, diinkubasi selama 10 minggu. Pada 3 sampel sedimen yang diperoleh dilakukan replikasi isolasi bakteri yang dibuat duplo, sehingga akan diperoleh 6 sampel sedimen. Setelah 10 minggu dilakukan plate pada media YM agar dengan komposisi 3 g extrak yeast, 3 g extrak malt, 5 g peptone, and 10 g dextrose 20 g agar per liter secara pour plate lalu diinkubasi selama 5 hari pada suhu 28°C dalam inkubator. Melakukan pemurnian bakteri yang telah tumbuh dari tahap sebelumnya dengan cara melakukan streak pada media YM agar hingga diperoleh isolat murni, kemudian bakteri yang telah murni disimpan pada media kultur YM agar miring pada tabung reaksi untuk kemudian dilakukan uji respon pertumbuhannya. Kemudian dilakukan pengenceran dalam larutan fisologis dari 101 hingga 106. dengan komposisi 3 g extrak yeast, 3 g extrak malt, 5 g peptone, and 10 g dextrose 20 g agar per liter, selama 5 hari. Bakteri yang tumbuh diisolasi kembali dalam media kultur YM agar dengan metode strike hingga diperoleh bakteri yang murni. Bakteri yang telah murni disimpan pada media kultur YM agar miring untuk kemudian dilakukan uji degradasi. Tahap III. Uji degradasi dan analisis degradasi bakteri terhadap 17 β-estradiol Pada tahap ke III ini dibagi menjadi tahapan lagi yakni: a. Uji degradasi bakteri terhadap 17 β-estradiol : Melakukan uji degradasi dari bakteri pendegradasi 17 β-estradiol dengan variasi waktu inkubasi yaitu 0 hari, 1 hari dan 3 hari untuk mengetahui persen degradasi bakteri terhadap 17 β-estradiol dengan optimal menggunakan HPLC dengan parameter terkontrol yaitu pH dan PROSIDING, Copyright© 2016 155
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
suhu selama waktu inkubasi. Selain pengujian menggunakan HPLC juga dilakukan pengukuran respon pertumbuhan bakteri dengan TPC, yakni dengan melakukan spread plate bakteri pada media YM agar mulai hari ke 0, 1, 2, 3. Isolat bakteri yang telah diperoleh dari pemurnian bakteri ambil 1 ose kemudian dipindahkan ke dalam 10 mL medium kultur MDG (Modified Dominic and Graham’s) yang telah mengandung 10% 17 β-estradiol 1 ppm kemudian ditambahkan 40 μL 17 β-estradiol sehingga 50 ppm. b. Analisis degradasi bakteri terhadap 17 β-estradiol : Analisis pengujian menggunakan HPLC tipe Agilent 1100 dengan laju alir 1 mL/ min, fase gerak 51% metanol : 49% air, temperatur kolom 40ºC dan jenis kolom Lichrospher RP- 18 (C18), dengan detektor yang digunakam DAD (Diode Array Detector) serta panjang gelombang yang digunakan adalah 230 nm, waktu analisis maksimalnya adalah 30 menit. Sampel diinjeksikan sebanyak 20μL kemudian diamati munculnya peak estradiol. Menurut Torres 2012, analisis dari Agilent type 1100 peak estradiol muncul pada retention time 24,2 menit. Sebelum pengujian sampel dilakukan pengukuran larutan standart 17 β-estradiol untuk pembuatan kurva baku 17 β-estradiol mulai dari 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm. Larutan standart untuk kurva baku dibuat dari larutan standart 100 ppm, kemudian dengan menggunakan persamaan V1.N1=V2.N2 untuk membuat larutan standar 17 β-estradiol 10 ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, 50 ppm. HASIL Konsentrasi 17 β-estradiol di Kali Surabaya Pengukuran konsentrasi 17 β-estradiol pada sedimen Kali Surabaya dengan HPLC diperoleh konsentrasi 17 β-estradiol yang terkandung di Kali Surabaya adalah 2,06 ppm. Jenis Bakteri Pendegradasi 17 Β-Estradiol Hasil Isolasi dari Sedimen di Kali Surabaya Tabel 1. Hasil Pengamatan Makroskopis dan Mikroskopis
PROSIDING, Copyright© 2016 156
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gambar 1. Gambar bakteri J2 Keterangan gambar : Bakteri bentuk batang Gram positif Endospora
Gambar 2. Gambar bakteri J4 Keterangan gambar : Bakteri bentuk batang Gram positif
Gambar 3. Gambar bakteri J9 Keterangan gambar : Bakteri bentuk batang Gram negatif Uji Degradasi dan Analisis Degradasi Bakteri terhadap 17 β-Estradiol Pertumbuhan bakteri pada media kultur yang mengandung 17 β-estradiol pada interval waktu 0,1 dan 3 hari yaitu dengan menghitung jumlah sel (CFU/mL) melalui perhitungan TPC PROSIDING, Copyright© 2016 157
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Log CFU/mL
dengan menggunakan metode tuang (pour plate) pada media YM agar selama waktu 24 jam untuk mengetahui bakteri yang tumbuh. Kemampuan degradasi bakteri terhadap 17 β-estradiol diuji dengan menggunakan HPLC. Kemampuan pertumbuhan bakteri dalam mendegradasi 17 β-estradiol tersaji Gambar 4. 9 8,8 8,6 8,4 8,2 8 7,8
J2 J4 J9 0
1
3
Waktu Inkubasi (Hari)
Gambar 4 Kemampuan Pertumbuhan 3 Bakteri Potensial pada Substrat 17 β-Estradiol
% Degradasi 17 β-estradiol
Sisa degradasi 17 β-estradiol oleh bakteri hasil isolasi dari sedimen Kali Surabaya tersaji pada gambar 80,00 60,00 J2
40,00
J4
20,00
J9 0,00 0
1
3
Waktu Inkubasi (hari)
Gambar 5. Persen Degradasi 17 β-estradiol Oleh Bakteri PEMBAHASAN Kondisi lingkungan di sekitar Kali Surabaya dapat mempengaruhi tinggi rendahnya kadar estradiol di Kali Surabaya. Tingginya kandungan 17 β-estradiol pada sedimen Kali Surabaya dipengaruhi oleh sumber pencemar yang masuk di Kali Surabaya, dimana pencemar tersebut yang masuk ke badan sungai berasal dari padatnya pemukiman penduduk, buangan limbah pabrik, RPH (Rumah Potong Hewan), selain itu banyak terdapat pabrik kertas dan tekstil dengan hasil limbahnya berupa limbah organik sehingga mempengaruhi tingginya kadar 17 β- estradiol dalam badan sungai. Identifikasi 3 Spesies Bakteri yang Berperan dalam Degradasi 17 β-Estradiol Berdasarkan pada tabel di atas menunjukkan bahwa ketiga jenis bakteri yang ditemukan dan diuji degradasi terhadap 17 β-estradiol adalah bakteri dengan bentuk bacillus, dimana pada jenis ke 2 dan jenis ke 4 merupakan bakteri Gram positif dan jenis ke 9 adalah bakteri Gram negatif. Bakteri jenis ke 2 merupakan bakteri yang mampu mereduksi nitrat, mampu PROSIDING, Copyright© 2016 158
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
menghidrolisis urea, mampu memanfaatkan sitrat dan triptopan. Bakteri ini mengandung enzim oksidase dan lisin serta mempunyai motilitas yang baik. Pada hasil tersebut diperoleh hasil 89,74% merupakan jenis Pseudomonas stutzeri. Pseudomonas stutzeri merupakan genus dari Pseudomonas dengan kelompok filum dari proteobakteri, mempunyai 16s rRNA sequences. Tipe selnya berbentuk batang dengan panjang 1 -3 μm dan lebar 0,5 µm dengan flagel tunggal pada salah satu kutubnya, merupakan gram negatif dengan tes catalase dan oksidase positif. Pseudomonas stutzeri merupakan bakteri denitrifikasi yang dapat tumbuh pada pati dan maltosa serta memiliki reaksi negatif pada uji hidrolisi dihydrolase dan glikogen arginin. Bakteri Pseudomonas stutzeri merupakan bakteri yg tidak mempunyai pigmen fluoresens dibandingkan dengan kelompok pseudomonas yg lain. Bakteri Pseudomonas stutzeri mampu berkembang biak pada media yang mengandung ion amonium atau nitrat atau molekul organik tunggal seperti karbon maupun jenis yang lain, tidak mampu hidup pada suasana asam atau dengan pH 4,5 karena akan mengganggu respirasi sel dan oksigen pada transfer elektron karen akan mempengaruhi proses denitrifikasi. Denitrifikasi tersebut hanya bisa terjadi dalam media nitrat dan pada kondisi semi aerobik. Degradasi oksidasi oleh senyawa aromatik dapat terjadi pada jenis mono dan dioksigenase, seperti catechol, protocatecu. Masing-masing adalah diurai melalui jalur Orto ketika tidak ada aksesori gen yang terlibat dalam degradasi. Aktivitas amylolytic adalah salah satu karakteristik fenotipik spesies. Enzym exo-amilase bertanggung jawab untuk pembentukan maltotetraose sebagai produk akhir yang telah diteliti pada tingkat molekuler. Enzim ini juga telah kloning. Obradors dan Aguilar menunjukkan bahwa polietilen glikol terdegradasi untuk menghasilkan ethylene glycol, substrat yang biasanya digunakan oleh strain Pseudomonas stutzeri. Mekanisme degradasi senyawa organik oleh Pseudomonas stutzeri, dapat dilihat pada Gambar 6.
Katabolisme Aerobik senyawa aromatik di Pseudomonas stutzeri. Katabolisme aerobik senyawa ini melibatkan berbagai jalur degradasi perifer yang menyalurkan substrat sejumlah kecil umum intermediat (catechol, methylcatechol, chlorocatechol, protocatechuate, dan gentisate). Intermediat yang diproses lebih lanjut oleh beberapa jalur tengah untuk intermediat asam tricarboxylic. Degradasi PAHs hasil melalui pengurangan jumlah cincin aromatik yaitu, pyrene [empat cincin] ini disalurkan untuk phenanthrene [tiga cincin]-, naftalena [dua cincin], dan salisilat [cincin] (Lalucat Jorge et al., 2006). 17 β-estradiol merupakan salah satu senyawa aromatik yang mempunyai 4 buah cicin aromatis. Sehinggga 17 β-estradiol mampu didegradasi oleh bakteri Pseudomonas stutzeri yang kemudian masuk pada siklus kreb dari bakteri. Dimana bakteri Pseudomonas stutzeri mampu memanfaatkan karbon yang terdapat pada 17 β-estradiol sebagai katalisator digunakan untuk denitrfikasi dengan nitrat yang terkandung pada media. Bakteri jenis ke 4 merupakan bakteri yang mampu mereduksi nitrat, mampu menghidrolisis urea, mampu memanfaatkan sitrat dan triptopan. Bakteri ini mengandung enzim oksidase dan lisin serta mempunyai motilitas yang baik. Pada hasil tersebut diperoleh hasil 67,72% merupakan jenis Aeromonas hydrophila. Dengan hasil tersebut maka dilakukan uji PROSIDING, Copyright© 2016 159
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
koefisien sebanding terhadap isolat, uji tersebut dilakukan untuk mengetahui kedekatan jenis antara bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Uji koefisien sebanding tersebut dilakukan karena pengujian bakteri menggunakan Kit Microbact GNB 12A 12B adalah untuk menguji jenis bakteri Gram negatif. Berdasarkan pada koefisien sebanding tersebut diperoleh hasil sekitar 77 % mempunyai korelasi dengan Bacillus cereus, Bacillus anthracoide dan Bacillus mycoides. Bakteri Bacillus cereus merupakan bakteri dengan karakteristik golongan bakteri Gram-positif (bakteri yang mempertahankan zat warna kristal violet sewaktu proses pewarnaan Gram), aerob fakultatif (dapat menggunakan oksigen tetapi dapat juga menghasilkan energi secara anaerobik), dan dapat membentuk spora (endospora). Spora Bacillus cereus lebih tahan pada panas kering daripada pada panas lembab dan dapat bertahan lama pada produk yang kering. Selnya berbentuk batang besar (bacillus) dan sporanya tidak membengkakkan sporangiumnya. Bacillus anthracoide merupakan bakteri dengan karakteristik memproduksi glukosa, maltosa, dextrin, salicin dan glycerin dari asam tapi tidak apad laktosa dan maniitol. Tidak menghasilkan gas dan tidak mampu menghidrolisis pati. Bakteri Bacillus anthracoide merupakan gram positif yang mempunyai endospora dan mampu berkembang pada suhu ruangan. Hal tersebut sesuai dengan hasil pengujian yg di peroleh baik secara biokimia maupun secara uji korelasi. Bakteri jenis ke 9 merupakan bakteri yang mampu mereduksi nitrat, mampu menghidrolisis urea, mampu memanfaatkan sitrat dan triptopan. Bakteri ini mengandung enzim oksidase dan lisin serta mempunyai motilitas yang baik. Pada hasil tersebut diperoleh hasil 99,84% merupakan jenis Vibrio alginolyticus namun jika diamati secara mikroskopis tidak menunjukkan bentuk koma pada selnya, sehingga dengan hasil tersebut maka dilakukan uji koefisien sebanding terhadap isolat, uji tersebut dilakukan untuk mengetahui kedekatan jenis antara bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif. Uji koefisien sebanding tersebut dilakukan karena pengujian bakteri menggunakan Kit Microbact GNB 12A 12B adalah untuk menguji jenis bakteri Gram negatif maka diperoleh hasil sebagai berikut, sifat-sifat dan karakteristik-karakteristik lainnya, termasuk sifat-sifat biokimia, digunakan untuk membedakan dan menentukan keberadaan Bacillus cereus, walaupun sifat-sifat ini juga dimiliki oleh Bacillus cereus var. mycoides, Bacillus thuringiensis dan Bacillus anthracis. Organisme-organisme ini dapat dibedakan berdasarkan pada motilitas/ gerakan (kebanyakan Bacillus cereus motil / dapat bergerak), keberadaan kristal racun (pada Bacillus thuringiensis ), kemampuan untuk menghancurkan sel darah merah (aktivitas hemolytic) (Bacillus cereus dan lainnya bersifat beta haemolytic sementara Bacillus anthracis tidak bersifat hemolytic), dan pertumbuhan rhizoid (struktur seperti akar), yang merupakan sifat khas dari Bacillus cereus var. mycoides (Nakamura et al., 1995). Berdasarkan hasil pengujian baik secara biokimia maupun uji korelasi diperoleh hasil J4 dan J9 mempunyai kesamaan yang erat, yakni Bacillus cereus, Bacillus anthracoid dan Bacillus mycoide. Jika dilihat ketiga jenis tersebut merupakan dari genus yang sama. Mampu memfermentasi sukrosa, laktosa, maltosa, glukosa, dekstrin, salisin, gliserol, amygdalin, dulcitol, xylose, levulosa dan arbutin. Genus Bacillus mampu menggunakan karbon yang terdapat pada 17 β-estradiol untuk berkembang biak. Bakteri J4 dan J9 yang telah diuji baik secara biokimia maupun menguji koefisien sebanding untuk mengetahui hubungan kedekatan dengan jenis yang lain tidak menunjukkan hasil yang belum memastikan bahwa J4 dan J9 merupakan jenis Bacillus cereus, Bacillus anthracoid maupun Bacillus mycoide, karena secara pengujian secara biokimia pun J4 menghasilkan kedekatan terhadap Aeromonas hidrophylla hanya 67,72% dan setelah dilakukan uji koefisien sebanding pun terhadap Bacillus cereus, Bacillus anthracoid hanya 77 %. Hal tersebut juga terjadi pada bakteri J9 yang secara biokimia menunjukkan kedekatan dengan Vibrio alginolyticus 99,84 % namun pada saat pengamatan secara mikroskopik tidan menunjukkan bakteri berbentuk vibrio sebagai ciri indentik terhadap genus Vibrio, sehingga dilakukan uji koefisien sebanding dan menunjukkan hasil kedekatan 77% terhadap Bacillus PROSIDING, Copyright© 2016 160
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
mycoide. Pengujian bakteri yang telah dilakukan secara biokimia maupun uji koefisien terhadap bakteri J dan J9 tersebut belum menunjukkan bahwa bakteri hasil isolasi kali Surabaya tersebut merupakan jenis Bacillus cereus, Bacillus anthracoid maupun Bacillus mycoide karena melihat kedekatannya yang hanya 77% sehingga pengujian tersebut hanya bisa diperoleh hingga tingkat genus, jika dalam tingkat spesies yakni Bacillus sp. Pengujian biokimia dan uji koefisien sebanding yang telah dilakukan perlu dilengkapi dengan melakukan pengujian secara genetika untuk mengetahui sampai tingkat spesies, sehingga melegkapi pengujian terhadap bakteri hasil isolasi dari Kali Surabaya. Identifikasi sampai tingkat spesies ini perlu dilakukan untuk mendasari hasil uji degradasi bakteri mampu mendegradasi substrat yang mengandung 17 β-estradiol. Uji Degradasi dan Analisis Degradasi Bakteri terhadap 17 β-Estradiol a.Uji degradasi bakteri terhadap 17 β-estradiol Kemampuan perkembangan bakteri dalam media disebabkan masih tersedianya nutrisi yang diperlukan oleh bakteri. Bakteri jenis ke 2 mempunyai kemampuan tumbuh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis ke 4 maupun ke 9. Jumlah mikroorganisme yang hidup akan menentukan kemampuan dalam mendegradasi polutan. Jumlah sel yang memungkinkannya untuk dapat mendegradasi senyawa hidrokarbon yaitu 1 x 106 CFU/mL sampai 1x 108 CFU/mL (Trinidade et al., 2002). Mikroba indigenous yang terdapat di Kali Surabaya memiliki kemampuan untuk memetabolisme komponen hidrokarbon sebagai sumber karbon untuk mendapatkan energi dalam pertumbuhannya (Al-Tahan, 2000 ; Ron, 2001). Hal tersebut menjadikan faktor perbedaan prosentase degradasi 17 β-estradiol. Sisa degradasi 17 β- estradiol oleh bakteri tersaji pada gambar 4.4. Kemampuan degradasi 17 β-estradiol oleh bakteri dipengaruhi oleh suhu, pH serta ketersediaan nutrisi bakteri dalam media. Persen biodegradasi 17 β-estradiol yang terdapat pada bakteri jenis ke 9 lebih sedikit dibandingkan dengan jenis 2 dan jenis ke 4, hal tersebut menunjukkan bahwa isolat bakteri jenis ke 9 mampu memanfaatkan hidrokarbon dari 17 βestradiol sebagai sumber karbon (C) dan energi untuk pertumbuhan. Menurut Ignatavicius dan Oskinis (2007), jika terjadi peningkatan proses degradasi, jumlah sel mikroba akan meningkat karena makin banyak karbon yang digunakan sebagai sumber energi. Biodegradasi melibatkan serangkaian proses oksidasi, enzim-enzim oksigenase yang dihasilkan oleh bakteri akan mengoksidasi hidrokarbon yang terdapat dalam 17 β-estradiol sehingga molekul hidrokarbon pecah menjadi struktur yang lebih sederhana dan dapat dipergunakan sebagai sumber karbon dan energi dalam metabolisme sel. Komponen yang terkandung dalam 17 β-estradiol yaitu hidrokarbon aromatik. Senyawa hidrokarbon aromatik dapat didegradasi oleh bakteri dan produk hasil degradasinya dikonversi ke dalam komponen hidrokarbon yang lebih sederhana sehingga dapat masuk ke dalam jalur metabolisme sel dengan tujuan untuk menyediakan sumber karbon dan energi bagi mikroorganisme tersebut (Manahan, 2003). Menurut Kosaric (1996), pada biodegradasi hidrokarbon terkadang mikroba membutuhkan periode aklimatisasi sebelum proses biodegradasi terjadi kembali. Proses biodegradasi oleh bakteri dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Faktor lingkungan yang mempengaruhi meliputi faktor biokimia (komponen substrat, keberadaan dan konsentrasi aseptor elektron (O2), keberadaan unsur fosfor dan nitrogen serta mikroelemen penting dalam nutrisi, ketersediaan nutrisi, keberadaan mikroorganisme pendegradasi, ketiadaan senyawa yang bersifat toksik, temperatur, kelembaban dan faktor fisikokimia (Volatilitas, kelarutan dalam air, kecenderungan terikat pada bahan padat) (Manahan, 2003). Menurut Nugroho (2006), nutrisi yang dibutuhkan oleh mikroba bervariasi menurut jenis mikrobanya, tetapi seluruh mikroba memerlukan N (nitrogen), P (fosfor), dan K
PROSIDING, Copyright© 2016 161
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
(kalium) dalam pertumbuhannya yang diperoleh dari media MDG sedangkan unsur C (karbon) diperoleh dari 17 β-estradiol sebagai substrat pada penelitian ini. Pada degradasi 17 β-estradiol tersusun atas hidrokarbon, maka enzim yang berperan adalah enzim – enzim oksigenase. Ada dua macam enzim oksigenase yaitu monooksigenasi dan dioksigenase. Enzim monooksigenase sangat berperan dalam degradasi hidrokarbon alifatik sedangkan enzim dioksigenase berperan pada degradasi hidrokarbon alisiklik (Cookson, 1995). Biodegradasi melibatkan proses oksidasi, enzim-enzim oksidase yang dihasilkan oleh mikroba akan mengkatalis komponen hidrokarbon yang terdapat pada 17 βestradiolmenjadi lebih sederhana sehingga dapat masuk kedalam metabolisme sel. Rosenberg dan Ron (1998) mengemukakan biodegradasi hidrokarbon terjadi bila mikrooganisme menempel dipermukaan substrat 17 β-estradiol karena enzim oksigenase dibutuhkan untuk memecah rantai karbon yang terikat pada membran sel. b. Analisis degradasi bakteri terhadap 17 β-estradiol Degradasi bakteri terhadap 17 β-estradiol dipengaruhi oleh perkembangan bakteri, pH dan kandungan 17 β-estradiol dalam sampel. Bakteri jenis ke 2 pada pH normal mengalami pertumbuhan pada media semakin hari mengalami peningkatan walaupun tidak signifikan dengan 17 β-estradiol sisa dari hari ke 1 menuju hari ke 3 mengalami penurunan yang tidak banyak namun memasuki hari ke 3 cenderung stabil, bakteri mampu beradaptasi pada pH normal sehingga menyebabkan perkembangan bakteri meningkat seiring dengan perubahan pH selama waktu inkubasi, dan berbanding terbalik dengan sisa degradasi 17 β-estradiol yang semakin habis selama inkubasi waktu. Hal tersebut membuktikan bahwa bakteri mampu memanfaat karbon yang menyusun 17 β-Estradiol, dimana kemampuan memanfaatkan karbon oleh bakteri ini merupakan proses degradasi terhadap 17 β-Estradiol. Bakteri jenis ke 4 pada pH normal mengalami pertumbuhan yang kurang baik dibandingkan pada jenis ke 2 dimana dan diperkirakan pertumbuhannya semakin stabil dan tidak mengalami pertumbuhan lagi. Sisa degradasi 17 β-estradiol dari hari ke 1 menuju hari ke 3 mengalami penurunan yang tidak banyak namun memasuki hari ke 3 cenderung stabil, namun dengan perbedaan pH yang terjadi selama inkubasi waktu seiring dengan pertumbuhan bakteri yang berkembang semakin meningkat walaupun berindikasi puncak dari fase eksponensial Bakteri jenis ke 9 pada pH normal mengalami pertumbuhan semakin hari semakin meningkat dan berindikasi akan mengalami pertumbuhan yang semakin baik jika dibandingkan dengan kedua jenis sebelumnya. Sisa degradasi 17 β-estradiol dari hari ke 1 menuju hari ke 3 mengalami penurunan dan berindikasi semakin menurun di hari selanjutnya, hal tersebut disebabkan karena Perubahan pH yang terjadi pada proses biodegradasi oleh bakteri menunjukkan bahwa bakteri tersebut mampu mengoksidasi senyawa hidrokarbon dengan cara melepaskan ion H+ sehingga menghasilkan senyawa metabolit bersifat asam (Schlegel dan Schmidt, 1994). Menurut Schneider dan Billingsley (1990), mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang dengan baik pada kondisi pH netral berkisar antara 6-8, kondisi pH tersebut zat-zat makanan bagi mikroorganisme mudah larut dalam air dan kerja enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme menjadi maksimal dalam mendegradasi 17 β-estradiol. Selain itu ekstrimnya nilai pH pada media kultur dapat memperlambat kemampuan mikroorganisme dalam mendegradasi hidrokarbon (Leahy dan Colwell, 1990). UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih penulis tujukan pada para pembimbing dan penguji dari Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Airlangga, serta pihak AKademi farmasi Surabaya atas ijin studi yang telah diberikan. Kawan sejawat yang telah memberikan semangat dan koreksi atas penyusunan penelitian ini. PROSIDING, Copyright© 2016 162
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DAFTAR PUSTAKA English S, Wilkinson C, Baker V. J. 1994. Survey manual for Tropical Marine Resourcers. Australian Intitute of Marine Science: Townsville. Gandjar, I., W.Sjamsuridzal., A. Oetari. 2006. Mikologi : Dasar dan Terapan. Yayasan Obor Indonesia 238 Hal. Jakarta Jorge Lalucat., Antoni Bennasar., Rafael Bosch., Elena García-Valdés., Norberto J. Palleroni. 2006. Biology of Pseudomonas stutzeri. Departament de Biologia, Microbiologia, Universitat de les Illes Balears, Campus UIB, 07122 Palma de Mallorca, Spain., Institut Mediterrani d’Estudis Avanc ̧ats (CSIC-UIB), Campus UIB, 07122 Palma de Mallorca, Spain., Department of Biochemistry and Microbiology, Rutgers University, Cook Campus., New Brunswick, New Jersey Syamsuri, Istamar. 2006. Konsentrasi Estradiol - 17β Di Dalam Air Sungai Brantas dan Pengaruhnya Terhadap Feminisasi Ikan Nila (Oreochromis niloticus) Secara Eksperimental. Disertasi. Universitas Airlangga Yashimoto Takeshi, Fumiko Nagai, Junji Fujimoto,Koichi Watanabe, Harumi Mizukoshi, Takashi Makino, Kazumasa Kimura, Hideyuki Saino, Haruji Sawada, Hiroshi omura. 2004. Degradation of Estrogens by Rhodococcus zopfii and Rhodococcus equi Isolates from Activated Sludge in Wastewater Treatment Plant. Yakult Central Institute for Microbiological Research, Kunitachi Tokyo, Nasional Institute for Land and Infrastructure Management, Tsukuba, Ibaraki, Japan
PROSIDING, Copyright© 2016 163
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KAJIAN PERTUMBUHAN ARTEMISIA VULGARIS L. YANG DIINOKULASI FUNGI MIKORIZA ARBUSKULA(FMA) PADA TANAH ULTISOL DALAM UPAYA PENYEDIAAN ARTEMISININ SEBAGAI ANTI MALARIA Zozy Aneloi Noli, Suwirmen, Kharlina Yulianis Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas Padang Email:
[email protected] ABSTRAK Penelitian tentang Kajian pertumbuhan A. vulgaris yang diinokulasi Fungi Mikoriza Arbuskula pada tanah Ultisol dalam upaya penyediaan Artemisinin sebagai anti malaria telah dilakukan di kebun pembibitan dan Laboratorium Fisiologi Tumbuhan FMIPA Biologi Universitas Andalas Padang dari bulan April sampai Agustus 2015. Sebagai perlakuan adalah dosis FMA yaitu : 0, 5, 10, 15, 20 dan 25 g/tanaman. Parameter yang diamati adalah pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, berat kering dan persentase derajat infeksi. Hasil penelitian menunjukkan inokulasi FMA memberi pengaruh yang nyata terhadap pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun dan berat kering A. vulgaris. Kriteria persentase derajat infeksi A. vulgaris berkisar dari kurang sampai sangat tinggi. Kata kunci : Fungi Mikoriza Arbuskula, Artemisia vulgaris, Ultisol PENDAHULUAN Malaria merupakan penyakit yang mengancam hampir di 100 negara yang ada di dunia yang disebabkan oleh Plasmodium vivax, P. falciparum maupun P. malariae. Hampir setiap tahunnya 500 juta manusia terinfeksi malaria dan ditemukan lebih dari 1 juta jiwa meninggal (Snow, Guerra, Noor, dan Myint. 2005). Sebanyak 107.96 juta atau 44% dari 244.42 juta penduduk Indonesia bermukim di wilayah endemis malaria, dan kasus malaria telah mencapai > 500.000 penduduk dengan tingkat kematian mencapai 900 orang (WHO 2010). Obat anti malaria yang pertama kali ditemukan pada tahun 1820 adalah kinin yang berasal dari tanaman Kina (Rubiaceae) (Namdeo dkk, 2006). Namun belakangan diketahui bahwa kinin kurang efektif mengatasi malaria karena terjadinya resistensi dari P. falciparum, sehingga artemisinin dikembangkan sebagai alternative obat anti malaria. (Avery dkk, 1992). Artemisinin merupakan senyawa seskuiterpena lakton yang berasal dari tanaman Artemesia yang merupakan famili dari Asteraceae. Beberapa jenis dari Artemisia diantaranya A. annua, A. cina, A. vulgaris dan A. sacrorum (Alzoreky dan Nakahara, 2003). Di Indonesia sendiri kebutuhan akan Artemisinin sangat besar dan semuanya masih di impor. Salah satu jenis Artemisia yang dapat dikembangkan dalam penyediaan Artemisinin yaitu Artemisia vulgaris L. Ultisol merupakan salah satu jenis tanah yang bisa dimanfaatkan untuk pengembangan budidaya A.vulgaris.. Jenis tanah ini di Indonesia mempunyai sebaran luas, mencapai 45.794.000 ha atau sekitar 25% dari total luas daratan Indonesia (Subagyo, Suharta, dan Suswanto, 2004) namun permasalahannya tanah ini miskin kandungan hara terutama P dan kation-kation dapat ditukar seperti Ca, Mg, Na, dan K, kadar Al tinggi, kapasitas tukar kation rendah, dan peka terhadap erosi (Sri Adiningsih dan Mulyadi, 1993). Untuk mengatasi kendala dari tanah Ultisol yang memiliki kesuburan dan kandungan unsur hara yang rendah salah satunya adalah dengan pemanfaatan fungi mikoriza arbuskula (FMA). Mikoriza adalah suatu bentuk asosiasi mutualisme antara cendawan (Mices) dan perakaran (Rhiza) tumbuhan tingkat tinggi, memiliki spektrum yang sangat luas baik dari segi tanaman inang, jenis cendawan, mekanisme asosiasi, efektivitas, mikrohabitat maupun penyebarannya. Dalam hal ini cendawan tidak merusak atau membunuh tanaman inangnya PROSIDING, Copyright© 2016 164
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tetapi memberi suatu keuntungan kepada tanaman inang (host) dimana tanaman inang menerima hara mineral, sedangkan cendawan memperoleh senyawa karbon dari hasil fotosintesis tanaman inangnya (Salisbury dan Ross, 1995). Peran mikoriza sebagai biofertilizer telah banyak terbukti (Zuhry dan Puspita, 2008 ; Halis, 2008). Kolonisasi FMA dilaporkan dapat meningkatkan serapan fosfat yang seterusnya menginduksi pembentukan senyawa metabolit sekunder yang berhubungan dengan kadar artemisinin pada tanaman A. annua (Rapparini dkk, 2008). Untuk percepatan eksistensi dan perkembangan mikoriza di rizosfer, maka diperlukan populasi inokulan tertentu. Kepadatan itu dapat mengacu pada jumlah populasi mikroba itu pada tanah subur. Kepadatan inokulan mikoriza sekitar 25-50 spora/g inokulan sudah cukup untuk digunakan sebagai dasar kepadatan spora inokulasi. Kepadatan tersebut dapat saja beragam sesuai dengan kecocokannya dengan tanaman inang. Semakin cocok dengan tanaman inang, kepadatan spora yang digunakan semakin rendah dan sebaliknya (Husin dkk, 2012). Pada penelitian ini dilakukan kajian terhadap pertumbuhan Artemisia vulgaris L.yang diinokulasi dengan FMA pada tanah Ultisol dalam upaya penyediaan senyawa anti malaria Artemisinin. MATERI DAN METODE Penelitian ini menggunakan metode eksperimen dengan Rancangan Acak Lengkap yang terdiri dari 6 perlakuan dosis FMA yaitu, 0 g; 5 g; 10 g; 15 g; 20 g; dan 25 g. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali. Bahan yang digunakan yaitu Bibit A vulgaris, inokulan FMA koleksi dari Seameo Biotrop Bogor, tanah Ultisol, larutan sukrosa 70%, larutan KOH 10%, HCl 2%, NaOH, larutan staining dan distaining. Pelaksanaan penelitian meliputi penyediaan bibit, persiapan media tanam, inokulasi FMA dan pemeliharaan tanaman. Pengamatan dilakukan setiap minggu selama 8 minggu. Parameter yang diukur adalah pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun, berat kering dan derajat infeksi. Data yang diperoleh dianalisis secara statistik. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan diperoleh hasil sebagai berikut: 1. Pertambahan Tinggi dan Jumlah Daun Tabel 1. Rata-rata pertambahan tinggi dan jumlah daun tanaman A. vulgaris yang diinokulasi dengan beberapa dosis FMA pada tanah Ultisol selama 8 minggu. Inokulan FMA (g/tanaman) 0 5 10 15 20 25
Rata-Rata Pertambahan tinggi tanaman (cm) 18,73 c 20,93 b 29,05 ab 30,00 ab 30,28 a 29,80 ab
Rata-Rata Pertambahan Jumlah Daun (helai) 16,25 b 16,25 b 24,00 a 24,50 a 25,00 a 23,75 a
Keterangan : Perlakuan yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama, berbeda nyata pada Uji Taraf 5%. Berdasarkan Tabel 1 dapat dilihat bahwa pemberian FMA memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman. Perlakuan pemberian dosis FMA sebanyak 5-25 g/tanaman memberikan pengaruh yang berbeda dengan perlakuan dosis tanpa mikoriza (0 g/tanaman). Hal ini disebabkan karena adanya pengaruh yang positif dari pemberian FMA terhadap pertambahan tinggi tanaman A. vulgaris. Pernyataan ini didukung oleh Setiadi (1990), menyatakan bahwa tanaman yang bermikoriza akan tumbuh lebih baik dari PROSIDING, Copyright© 2016 165
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tanaman tanpa mikoriza,karena mikoriza secara efektif membantu dalam penyerapan unsur hara makro. Akar tanaman dapat menyerap unsur hara dalam bentuk yang terikat dan tersedia bagi tanaman. Mekanisme peningkatan pertumbuhan tanaman yang bermikoriza terdapat pada serapan hara karena terbentuknya selubung hifa yang tebal dan peningkatan permukaan absorpsi. Kegiatan metabolisme akar yang bermikoriza lebih tinggi karena tersedianya energi yang banyak daripada tanaman tanpa mikoriza, dengan konsumsi oksigen dua sampai empat kali lebih tinggi dari pada akar yang tanpa mikoriza. Dengan demikian akar yang bermikoriza dapat memperbesar penyerapan garam-garam mineral dengan memperbesar suplai ion hidrogen yang dapat dipertukarkan. Mikoriza juga menghasilkan enzim fosfatase yang dapat membantu tersedianya fosfor (P) yang tidak tersedia menjadi tersedia bagi tanaman (Husin dkk, 2012). Pemberian mikoriza pada tanah Ultisol untuk pertumbuhan tanaman A. vulgaris memberikan dampak yang baik, hal ini juga dijelaskan oleh Pujianto (2009), bahwa pemberian mikoriza pada lahan-lahan yang kurang subur dengan ketersediaan jasad mikro yang rendah akan mampu meningkatakan laju pertumbuhan dan produksi tanaman. Dengan pemberian mikoriza maka lahan akan mendapatkan suplai mikroorganisme yang bersifat protagonist yang sangat membantu dalam aktifitas biologi tanah dan juga kimia tanah. Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa rata-rata pertumbuhan jumlah daun pada dosis perlakuan pemberian dosis FMA sebanyak 10-25 g/tanaman memperlihatkan pengaruh yang berbeda dengan perlakuan dosis tanpa mikoriza (0/tanaman) terhadap pertambahan jumlah daun. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian FMA dapat meningkatkan pertambahan jumlah daun tanaman A. vulgaris. Hasil penelitian (Anggarini, 2012) juga menunjukkan bahwa adanya pengaruh pemberian dari FMA terhadap pertambahan jumlah daun Sorgum manis (Sorghum bicolor L. Moench). Pengaruh pemberian inokulan FMA terhadap pertambahan tinggi batang dan jumlah daun tanaman A. vulgaris setiap minggu dapat dilihat pada Gambar 1. Rata-rata pertambahan tinggi tanaman dan jumlah daun mengalami peningkatan pada minggu ke-3 pengamatan.
Tinggi Tanaman (cm)
7 6
A
5
B
4
C
3
D
2
E
1
F
0 1
2
3
4
5
6
Pengamatan ke-
7
8
Jumlah Daun (helai)
8
8 7 6 5 4 3 2 1 0
A B C D E 1
2
3
4
5
6
7
8
F
Pengamatan ke-
Gambar 1. Grafik rata-rata pertambahan Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun tanaman A. vulgaris yang diinokulasi dengan beberapa dosis FMA pada tanah Ultisol.
PROSIDING, Copyright© 2016 166
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
2. Berat Kering Tanaman Tabel 2. Rata-rata berat kering tanaman A. vulgaris yang diinokulasi dengan beberapa dosis FMA pada tanah Ultisol. Inokulan FMA (g/tanaman) 0 5 10 15 20 25
Rata-rata Berat Kering Akar(g) 0,52 c 0,59 bc 1,21 abc 1,43 abc 1,96 a 1,54 ab
Rata- rata Berat Kering Bagian Atas(g) 1,20 c 1,49 bc 1.87 abc 2,24 ab 2.58 a 2,57 a
Rata-Rata Berat Kering Total(g) 1.74 2.09 3.08 3.68 4.53 4.11
b b ab ab a a
Keterangan : Perlakuan yang diikuti oleh huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama, berbeda nyata pada Uji Taraf 5%. Data pada Tabel 2 menunjukan bahwa pemberian FMA memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap berat kering rata-rata akar, batang bagian atas, dan berat kering total tanaman A. vulgaris. Inokulasi dosis FMA sebanyak 20-25 g/tanaman memperlihatkan hasil yang berbeda nyata dengan perlakuan dosis tanpa mikoriza (0 g/tanaman). Data berat kering tanaman menggambarkan pertumbuhan tanaman dan banyaknya unsur hara yang terserap oleh tanaman. Semakin berat bobot kering tanaman, maka pertumbuhan tanaman tersebut semakin baik dan unsur hara serta air yang terserap tanaman juga semakin banyak (Musfal, 2010). Meningkatnya hasil berat kering tanaman yang bermikoriza dibandingkan tanaman yang tidak bermikoriza berhubungan dengan hasil fotosintesis yang ditimbun dalam tanaman. Kolonisasi mikoriza akan memberikan peran positif dalam penyediaan unsur hara N, P, dan air sehingga memacu pertumbuhan yang merupakan manifestasi dimulai dari penyediaan karbohidrat dari organ fotosintesis dan penyediaan air dan hara oleh akar sampai kepada sintesis biomassa tanaman yang baru (Brundrett dkk. 1996). Peningkatan metabolisme dan fotosintesis tanaman akan menyebabkan dengan peningkatan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, seperti tinggi tanaman dan berat kering tanaman (Lana, 2009). Penanaman tanaman pada tanah marjinal seperti tanah Ultisol dengan inokulasi FMA merupakan alternatif untuk menggantikan pupuk dan unsur hara yang diperlukan tanaman karena Mikoriza dapat meningkatkan serapan unsur hara Fosfat (P) yang merupakan unsur hara esensial yang dibutuhkan dalam jumlah banyak oleh tanaman yang ketersediannya terutama pada tanah marjinal masam sangat terbatas sehingga selalu menjadi faktor pembatas utama dalam peningkatan produktivitas tanaman Peningkatan unsur hara juga berhubungan dengan perbaikan sifat kimia tanah. Inokulasi FMA pada tanaman yang tumbuh pada tanah Ultisol dapat meningkatkan kandungan Ca, kapasitas tukar kation dan kandungan P meningkat dari 0,93 ppm menjadi 3,65 ppm (Husin dkk, 2012). Hasil penelitian (Probosari, 2009) menunjukkan bahwa adanya pengaruh pemberian FMA pada tanah Ultisol terhadap berat kering Kedelai (Glycine max (L.) Merr.) 3. Persentase Derajat Infeksi FMA pada akar tanaman A. Vulgaris Persentase derajat infeksi akar bibit tanaman A. vulgaris yang diinokulasi dengan beberapa dosis FMA pada tanah Ultisol menunjukkan ktriteria dari sangat rendah, sedang, tinggi, dan sangat tinggi. Derajat infeksi yang tinggi menunjukkan bahwa terdapat kolonisasi yang tinggi dan dan kecocokan dengan tanaman inang. Hal ini sesuai dengan pendapat Husin dkk (2012) yang menyatakan bahwa tingkat infeksi FMA ditentukan oleh kecocokan antara FMA dengan tanaman inangnya. Semakin tinggi derajat infeksi mikoriza dapat mengindikasi
PROSIDING, Copyright© 2016 167
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
semakin aktif mikoriza tersebut menginfeksi akar dan memperluas daerah serapan akar terhadap air dan unsur hara. Tabel 3. Persentase derajat infeksi FMA pada akar tanaman A. vulgaris yang diinokulasi beberapa dosis FMA pada tanah Ultisol. Inokulan FMA (g/tanaman) 0 5 10 15 20 25
Persentase Derajat Infeksi (%) 5 32,5 45 55 65 85
Kriteria Sangat rendah Sedang Sedang Tinggi Tinggi Sangat tinggi
Perakaran tanaman yang terinfeksi oleh FMA ditandai dengan adanya struktur mikoriza pada akar yaitu arbuskula, hifa, dan vesikula. Dari pengamatan terhadap akar tanaman A. vulgaris ditemukan struktur vesikula seperti pada Gambar 2.
A
Gambar 2. Kolonisasi FMA pada jaringan akar tanaman A. vulgaris Keterangan: A. vesikula. Perbesaran 100 x. Pada Gambar 2 dapat dilihat struktur vesikula yang berbentuk bulat atau semacam kantong yang terletak pada ujung hifa yang berfungsi untuk organ penyimpanan cadangan makanan, organ reproduksi dan tahan terhadap lingkungan yang tidak menguntungkan (Husin dkk, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa akar A. vulgaris telah dikolonisasi oleh FMA SIMPULAN Dari penelitian yang telah dilakukan mengenai kajian pertumbuhan A. vulgaris yang diinokulasi FMA pada tanah Ultisol dapat disimpulkan bahwa inokulasi FMA memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap pertambahan tinggi, pertambahan jumlah daun dan berat kering tanaman A.vulgaris. Kriteria persentase derajat infeksi A. vulgaris berkisar dari kurang sampai sangat tinggi. DAFTAR PUSTAKA Alzoreky, N.S., & Nakahara K., 2003. Antibacterial Activity of Extract from Some Edible Plants Commonly Consumed in Asia, International Journal Food Microbiol, 80(3), 223-230.
PROSIDING, Copyright© 2016 168
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Anggarini, A., Tohari., D, Kastono. 2012. Pengaruh Mikoriza Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Sorgum Manis (Sorghum Bicolor L. Moench) pada Tunggul Pertama dan Kedua. Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Avery MA, Chang WKM, White CJ. 1992. Stereoselective total synthesis of (+)-artemisinin, the antimalarial constituent of Artemisia annua L. J Am Chem Soc 114:974–979. Brundrett, N., B. Bougher, T. Dell, Grove and N. Malajazuk. 1996. Working With Mycorrhizas In Forestry And Agriculture. Australian Centre for International Agriculture Research (ACIAR). Canberra. Pp. 162-171. Husin, E. F., A. Syarif, Kasli. 2012. Mikoriza Sebagai Pendukung Sistem Pertanian Berkelanjutan dan Berwawasan Lingkungan. Andalas University Press. Padang. Lana, Wayan. 2009. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Sapi dan Mikoriza Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tanaman Kacang Tanah (Arachis hypogaea L.) di Lahan Kering. Majalah Ilmiah Universitas Tabanan Vol.6 No.1. Musfal. 2010. Potensi Cendawan Mikoriza Arbuskula Untuk Meningkatkan Hasil Tanaman Jagung. Jurnal Litbang Pertanian 29(4):154-158. Namdeo, A.G., Mahadik, K. R dan Kadam, S. S. 2006. Antimalarial Drug- Artemisia annua. Pharmacognosy Magazine 2 (6): 106-111. Probosari, R.M. 2009. Pertumbuhan Tanaman Kedelai (Glycine Max (L.) Merr.) Yang Diinokulasi dengan Campuran Mikoriza Va di Tanah Ultisol. Universitas Sebelas Maret. Surakarta. Pujianto. 2009. Pemanfatan jasad mikro jamur mikoriza dan bakteri dalam sistem pertanian berkelanjutan di Indonesia. http://www.hayati-ip6.com/rudyet/indiv2001/pujianto.htm. Diakses pada 1 Agustus 2015. Rapparini, F., J. Llusia, J. Penuelas. 2008. Effect of arbuscular mycorrhizal (AM) colonization on terpene emission and content of Artemisia annua L. Plant Biol. 10:108–122. Salisbury, F. B, dan C. W. Ross. 1995. Fisiologi Tumbuhan Jilid I. ITB. Bandung. Setiadi Y. 1990. Proses Pembentukan VA Mikoriza. Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hal. 5-9.. Snow RW, Guerra CA, Noor AM, Myint HY, Hay SI. 2005. The global distribution of clinical episodes of Plasmodium falciparum malaria. Nature 434:214–217 Sri Adiningsih, J. dan Mulyadi. 1993. Alternatif teknik rehabilitasi dan pemanfaatan lahan alang-alang. hlm. 29 50. Dalam S. Sukmana, Suwardjo, J. Sri Adiningsih, H. Subagjo, H. Suhardjo, Y. Prawirasumantri (Ed.). Pemanfaatan lahan alang-alang untuk usaha tani berkelanjutan. Prosiding Seminar Lahan Alang-alang, Bogor, Desember 1992. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian. Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2004. Tanah-tanah pertanian di Indonesia. hlm. 21 66. Dalam A. Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, D. Djaenudin (Ed.). Sumberdaya Lahan Indonesia dan Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor. World Health Organization. 2010. Malaria Situation in SEAR Countries – Indonesia. http://www.searo.who.int/en/Section10/Section21/Section340_4022.htm(diakseses tanggal 11 November 2014) Zuhry, E. dan F. Puspita. 2008. Pemberian Cendawan Mikoriza Arbuskular (CMA) pada Tanah Ultisol Podzolik Merah Kuning (PMK) terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai (Glycine max (L) Merlll). SAGU. Vol 7 No.2 25-29
PROSIDING, Copyright© 2016 169
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ANALYSIS OF PLANT VEGETATION ON COASTAL TOURISM REGIONS PASIR JAMBAK, PADANG, WEST SUMATERA Annisa Novianti Samin*, Chairul, Erizal Mukhtar Laboratorium Ekologi Tumbuhan Jurusan Biologi, FMIPA, Universitas Andalas, Kampus Limau Manis, Padang, 25163, Indonesia * Email :
[email protected] ABSTRACT Research on the Analysis of Plant Vegetation on Coastal Tourism Regions Pasir Jambak, Padang City had been done starting from May till September 2015. The goal of this research is to find out the composition and the structure of coastal vegetation on Tourism Regions Pasir Jambak, Padang city. This research uses a plot squared method using belt transects and laying a plot carried out systematically sampling. The results shown at tree level found as many as 5 families, 5 species and 36 individuals. The next level of sapling found as many as 4 families, 4 species and 36 individuals, while at the level of seedling was found as many as 12 families, 19 species and 712 individuals. The highest important value at the level of the tree that Casuarina equisetifolia (214.72%) and the lowest was Pongamia sp. (8.22%). Furthermore, on the level of sapling which has the highest importance Cerbera manghas (156.6%) and the lowest was Glochidon sp. (16.2%), while the highest rate of seedling Spaghneticola trilobata (105.5%), the lowest was Ardisia littoralis, Lantana camara and Blumea chinensis with the value (1.8%). Diversity index is low both at tree level (0.33), the level of sapling (0.46) and the level of seedling (0.77). Keyword : Composition, Structure, Diversity, Plant on coastal PENDAHULUAN Indonesia merupakan negara yang dikenal memiliki tingkat biodiversity yang tinggi dengan potensi kekayaan alam yang melimpah didukung oleh wilayah yang luas dengan banyak kepulauan dan berada di daerah tropis. Menurut Tuheteru dan Mahfudz (2012) Indonesia memiliki sekitar 17.508 pulau dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km. Di sepanjang pantai tersebut ditumbuhi oleh berbagai vegetasi pantai salah satunya adalah vegetasi hutan pantai. Dimana pantai merupakan daerah perbatasan antara ekosistem laut dan ekosistem darat. Hutan pantai merupakan bagian dari wilayah pesisir dan laut yang memiliki potensi sumberdaya alam yang produktif (Waryono, 2000). Hutan pantai ini memiliki banyak manfaat yaitu dapat meredam hempasan gelombang tsunami, mencegah terjadinya abrasi pantai, melindungi ekosistem darat dari terpaan angin dan badai, pengendali erosi, habitat flora dan fauna, tempat berkembangbiak,pengendalipemanasan global, penghasil bahan baku industri kosmetik,biodisel dan obat-obatan serta sebagai penghasil bioenergi (Tuheteru dan Mahfudz, 2012). Salah satu manfaat tersebut telah dilakukan oleh Sitanggang (2007) mengenai peranan vegetasi Ipomoea pes-caprae (L.) Sweet bahwa penyusun formasi pes-caprae ini dapat mereduksi erosi gisik di sepanjang pantai Teluk Amurang, Sulawesi Utara. Seiring berkembangnya aktifitas pembangunan terhadap hutan pantai dikawasan ini, akan berdampak kepada hilangnya vegetasi tumbuhan yang semula hidup dikawasan tersebut. Dahuri, Rais, Ginting dan Sitepu, (2001) menyatakan bahwa adanya aktifitas kegiatan di daerah pariwisata atau rekreasi dapat menimbulkan masalah ekologis yang khusus dibandingkan dengan kegiatan ekonomi lain mengingat bahwa keindahan dan keaslian alam merupakan modal utama, bila suatu wilayah pesisir dibangun sebagai tempat rekreasi masyarakat, biasanya fasilitas pendukung lain juga berkembang pesat. PROSIDING, Copyright© 2016 170
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Faktor pemicu kerusakan lingkungan yang terjadi baik pada ekosistem laut, ekosistem pantai maupun ekosistem lain adalah kebutuhan ekonomi (economic driven) dan kegagalan kebijakan (policy failure driven). Dimana sebagian penduduk yang berada di wilayah pesisir merupakan penduduk yang sering tergolong miskin. Kemiskinan dan ketidakpastian hidup menyebabkan kacaunya pola pemanfaatan sumber daya alam tersebut. Pola konsumsi yang tinggi terhadap sumber daya alam akan mengakibatkan kegagalan kebijakan pengelolaan sumber daya alam akibat kegiatan ekonomi yang dapat merusak lingkungan (Fauzi, 2005). Dengan adanya kegiatan pembangunan diikuti dengan terbatasnya jalur penghijauan di kawasan pantai akan berdampak terhadap hilangnya vegetasi tumbuhan pantai yang dapat memberikan banyak manfaat salah satunya memberikan perlindungan terhadap bahaya tsunami. Oleh karena itu penelitian tentang analisis vegetasi tumbuhan pantai ini perlu dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui komposisi dan struktur vegetasi tumbuhan pantai yang terdapat pada kawasan wisata Pasir Jambak. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei-September 2015 di kawasan wisata pantai Pasir Jambak, Kelurahan Pasia Nan Tigo, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang, Sumatera Barat. Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Universitas Andalas (ANDA) dan analisis data dilakukan di Laboratorium Ekologi, Jurusan Biologi, Universitas Andalas, Padang. Alat yang digunakan adalah meteran atau tali, kamera digital, GPS, karet, gunting tanaman, pancang, alat tulis, kertas koran, spidol, plastik, label gantung, kalkulator, termometer udara, sling pysichometer, soiltermometer, soilmoisture meter dan pH meter tanah. Bahan yang dibutuhkan adalah alkohol 70%. Metode yang digunakan yaitu plot kuadrat dengan cara belt transek sebanyak tiga jalur transek dan jarak antara masing-masing transek ± 50 m. Setiap transek dibuat dengan posisi vertikal dimana panjang garis transek tegak lurus pada pinggirpantai hingga kearah daratan yang masih terdapat vegetasi kemudian peletakkan plot dilakukan secara sistematik sampling sebanyak 20 plot. dimulai dari pinggir pantai yang terdapat vegetasi diatas garispasang surut kearah darat dengan meletakkan tiga jalur transek yang paralel satu sama lain dengan jarak antara transek ± 50 m.Pengukuran panjang transek ditentukan dari tingkat yang disesuaikan dengan ketebalan vegetasi yang ada. Selanjutnya transek tersebut dibagi atas sub petak (plot) kuadrat dengan ukuran 10x10m untuk pengamatan pohon dengan diameter batang >10 cm, 5x5m untuk sapling yaitu anakan dengan diameter < 10 cm dan tinggi > 1,5 m serta 2x2 m untuk pengamatan vegetasi tingkat seedling yaitu anakan dengan tinggi tumbuhan <1,5 m (Fachrul, 2012). Kemudian dilakukan pengamatan pada setiap plot dengan mengamati jenis, jumlah individu, serta habitus dari setiap jenis tumbuhan yang ditemukan. Khusus untuk pohon dan sapling dilakukan pengukuran diameter batang untuk menghitung nilai dominansi. Analisis Data Komposisi Komposisi tumbuhan dianalisa berdasarkan pada jumlah famili, spesies dan individu. Komposisi famili dominana dianalisa menggunnakan rumus berikut: Persentase Familii
x100%
Famili Dominan pada suatu vegetasi apabila memiliki persentase > 20 % total individu, sedangkan yang Co-Dominan > 10% dan <20 % (Johnston dan Gillman, 1995). PROSIDING, Copyright© 2016 171
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Struktur Untuk mengetahui struktur vegetasi perlu diketahui sejumlah karakteristik vegetasi meliputi kerapatan, frekuensi, dominansi dan nilai penting dari masing-masing jenis dengan menggunakan rumus berikut : Jumlah individu suatu spesies Luas seluruh petak contoh
Kerapatan K Kerapatan Relatif KR
Kerapatan suatu spesies Kerapatan seluruh spesies
Frekuensi
100%
Jumlah petak ditempati suatu spesies Jumlah seluruh petak contoh
Frekuensi Relatif FR
Dominasi D
Dominasi Relatif DR
Frekuensi suatu spesies Frekuensi seluruh spesies
100 %
Luas Basal Area Luas petak contoh
Dominansi suatu jenis Dominansi seluruh jenis
x 100%
Indeks Nilai Penting untuk Pohon dan sapling = KR + FR + DR Indeks Nilai Penting untuk seedling dan tumbuhan bawah = KR + FR (Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974). Indeks keanekaragaman jenis (index Shannon) n. i n. i H′ log N N Keterangan: H′ = Indeks Shannon = Indeks Keanekaragaman Shannon n.i = Nilai penting dari spesies ke i N = Total nilai penting semua jenis Menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974), Southwood dan Henderson (2000) menyatakan bahwa indeks keanekaragaman Shannon memiliki nilai yang berkisar antara 1-3, dimana: H’ > 3,0 = Keanekaragaman sangat tinggi H’ > 1,5-3,0 = Keanekaragaman tinggi H’ 1,0-1,5 = Keanekaragaman sedang H’ < 1 = Keanekaragaman rendah HASIL DAN PEMBAHASAN Komposisi Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada kawasan wisata pantai Pasir Jambak, Kota Padang. Pada tingkat pohon ditemukan sebanyak 5 famili, 5 jenis dan 36 individu. Pada tingkat sapling ditemukan sebanyak 4 famili, 4 jenis dan 36 individu. Selanjutnya pada tingkat seedling ditemukan sebanyak 12 famili, 19 jenis dan 712 individu. Uraian komposisi famili dominan dan co-dominan secara rinci dapat dilihat pada Tabel 1, 2 dan 3. PROSIDING, Copyright© 2016 172
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Menurut Johnston and Gillman (1995), famili dikategorikan dominan pada suatu vegetasi apabila memiliki persentase > 20% dari total individu, sedangkan yang co-dominan > 10% dan < 20%. Pada tingkatan pohon yang mendominasi adalah famili Casuarinaceae (63,88%) dan diikuti oleh famili Apocynaceae (27,77%). Pada tingkat sapling famili yang mendominasi yaitu famili Apocynaceae (52,77%) dan famili Casuarinaceae (30,55%). Famili Co-Dominan pada tingkat sapling ditemukan pada famili Simaroubaceae (13,88%), selanjutnya pada tingkatan seedling famili yang mendominasi yaitu famili Asteraceae (72,33%) Tabel 1. Komposisi Famili Dominan dan Co-Dominan Tingkat Pohon pada kawasan Wisata Pasir Jambak, Kota Padang Famili Casuarinaceae Apocynaceae Arecaceae Combretaceae Leguminosae
Spesies Casuarina equisetifolia L. Cerbera manghas L. Cocos nucifera L. Terminalia cattapa L. Pongamia sp. Total
Jenis 1 1 1 1 1 5
Jumlah Individu 23 10 1 1 1 36
Persentase Famili 63,88** 27,77 ** 2,77 2,77 2,77 99,96
Ket: Dominan = ** Tabel 2. Komposisi Famili Dominan dan Co-Dominan Tingkat Sapling pada kawasan Wisata Pasir Jambak, Kota Padang Famili Apocynaceae Casuarinaceae Simaroubaceae Euphorbiaceae
Spesies Cerbera manghas L. Casuarina equisetifolia L. Brucea javanica (L.) Merr Glochidion sp. Total
Jenis 1 1 1
Jumlah Individu 19 11 5 1 6
Persentase Famili 52,77** 30,55 ** 13,88* 2,77 99,97
Ket: Dominan = ** ; Co-dominan = * Berdasarkan hasil penelitian yang telah didapatkan pada tabel (Tabel 1) diatas diketahui pada tingkat pohon, famili Casuarinaceae memiliki individu paling banyak yaitu 23 individu dari 1 spesies dan famili Apocynaceae memiliki 10 individu dari 1 spesies. Sedangkan pada famili yang paling sedikit yaitu famili Arecaceae, Combretaceae dan Leguminosae masingmasing memiliki 1 individu. Pada tingkat sampling (Tabel 2), famili Casuarinaceae memiliki sebanyak 11 individu dan Famili Apocynaceae memiliki 19 individu kedua famili tersebut juga berasal dari 1 jenis spesies yang sama dengan tingkatan pohon. Adapun jenis tersebut antara lain pada famili Casuarinaceae terdapat spesies Casuarina equisetifolia L. dan Cerbera manghas L. pada famili Apocynaceae sedangkan famili Co-dominan yang ditemukan adalah famili simaroubaceae sebanyak 5 individu dari 1 spesies yaitu Brucea javanica. Menurut Tuheteru dan Mahfudz (2012), famili Casuarinaceae adalah tumbuhan yang dapat tumbuh di wilayah pantai tropis dan sub tropis. Famili ini membutuhkan banyak sinar matahari, toleran terhadap air garam dan memiliki kemampuan beradaptasi pada tanah kurang subur selain itu famili Apocynaceae merupakan famili yang mampu beradaptasi pada tanah pasir dan terbuka terhadap udara dari laut. Hal inilah yang menyebabkan famili Casuarinaceae dan Apocynaceae tersebut mendominasi wilayah pantai. Berdasarkan Tabel 3, pada tingkat seedling dan tumbuhan bawah Famili Asteraceae memiliki individu tertinggi sebanyak 515 individu dari 3 jenis spesies yaitu Spaghneticola trilobata sebanyak 510 individu dan adapun beberapa jenis yang ditemukan untuk Famili Asteraceae diantaranya Ageratum conyzoides sebanyak 4 individu dan Blumea chinensis PROSIDING, Copyright© 2016 173
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
sebanyak 1 individu sedangkan untuk Famili yang memiliki individu terbanyak diposisi kedua yaitu Famili Poaceae, dimana beberapa jenis diantaranya Isachne globosa, Ischaemum muticum dan Paspalum conjugatum. Tabel 3. Komposisi Famili Dominan dan Co-Dominan Tingkat Seedling dan Tumbuhan bawah pada kawasan Wisata Pasir Jambak, Kota Padang Famili Asteraceae Poaceae Rubiaceae Convolvulaceae Verbenaceae Leguminosae Simaroubaceae Apocynaceae Cyperaceae Mimosaceae Myrsinaceae Rutaceae
Spesies Spaghneticola trilobata Ageratum conyzoides Blumea chinensis Paspalum conjugatum Isachne globosa Ischaemum muticum Borreria leavis Ipomoea pes-caprae Lantana camara Clerodendron sp. Desmodium umbellatum Crotalaria mucronata Cassia tora Brucea javanica Cerbera manghas Cyperus sp. Mimosa pudica Ardisia littoralis Clausaena excavata Total
Jenis
Jumlah Individu
3
515
3
62
1 1
38 27
5,33 3,79
2
26
3,65
3
15
2,10
1 1 1 1 1 1 19
15 8 2 2 1 1 712
2,10 1,12 0,28 0,28 0,14 0,14 99,96
Persentase Famili 72,33** 8,70
Ket : ** = Famili Dominan ; * = Famili Co-Dominan Dominan dan Co-dominan sutau famili dapat ditentukan oleh jumlah spesies penyusun famili dan individu yang terdapat dalam famili tersebut. Famili Asteraceae merupakan famili yang memiliki persentase famili tertinggi jika dibandingkan dengan famili lainnya (72,33 %), dengan jumlah 3 spesies dan 515 individu. Dominanya famili ini disebabkan karena jumlah individu yang melimpah sedangkan spesies penyusunnya sedikit. Menurut Cronguist (1981) Famili Asteraceae atau sembung-sembungan merupakan kelompok tumbuhan yang terdiri dari 1.100 marga meliputi 20.000 spesies. Tumbuhan bawah atau vegetasi dasar merupakan komponen penting dalam ekosistem hutan yang harus diperhitungkan perannya. Tumbuhan bawah adalah lapisan tumbuhan penutup tanah yang terdiri dari herba, semak, perdu, liana dan paku. Didalam komunitas hutan tumbuhan bawah merupakan strata yang cukup penting dalam menunjang kehidupan jenis tumbuhan lain (Manan, 1976). Berdasarkan hasil penelitian yang didapatkan sebelumnya oleh Djufri (2010) bahwa famili yang mendominasi di desa dLhok Bubon Aceh adalah famili Poaceae 27,70%, kemudian famili Asteraceae 22,22%. Hal ini tidak berbeda jauh dengan hasil yang didapatkan pada kawasan pantai pasir jambak dimana tingkat seedling didominasi oleh Famili Asteraceae karena famili ini memiliki individu dan spesies yang banyak ditemukan karena memiliki kemampuan adaptasi yang tinggi serta reproduksi yang cepat. Dibandingkan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Armos (2013) menyatakan bahwa Wedelia biflora atau Spaghneticola trilobata mendominasi kawasan stasiun III pada kawasan wisata Boe Makassar, dimana kelompok Famili Asteraceae ini memiliki perkembangbiakan yang relatif cepat.
PROSIDING, Copyright© 2016 174
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Oosting (1956) bahwa organisme hidup dipengaruhi oleh lingkungan, dimana lingkungan merupakan himpunan beberapa faktor alam yang berbeda termasuk substansi air dan tanah, kondisi (Suhu dan cahaya), angin, organisme dan waktu. Faktor lingkungan abiotik sangat menentukkan penyebaran, pertumbuhan populasi suatu organisme. Tiap jenis organisme hanya dapat hidup pada kondisi abiotik tertentu yang berada dalam kisaran toleransi yang sesuai dengan organisme tersebut (Suin, 2002). Struktur Nilai penting tertinggi pada tingkat pohon ditemukan pada spesies Casuarina equisetifolia dengan sebesar 214,72% Nilai penting tertinggi kedua yaitu Cerbera manghas sebesar 59,25% terendah ditemukan pada spesies Pongamia sp. dengan nilai sebesar 8,22%. Uraian struktur pohon pada kawasan wisata Pasir Jambak, dapat dilihat pada Tabel 4. Nilai penting tertinggi pada tingkat pohon adalah Casuarina equisetifolia sebesar 214,72%. Tertinggi kedua yaitu Cerbera manghas sebesar 59,25%, sedangkan terendah ditemukan pada spesies Pongamia sp. dengan nilai sebesar 8,22%. Tabel 4. Struktur vegetasi tumbuhan pantai tingkat pohon pada kawasan wisata Pasir Jambak, Kota Padang No Spesies JI KR (%) FR (%) DR (%) INP 1 Casuarina equisetifolia L. 23 63,88 57,89 92,95 214,72 2 Cerbera manghas L. 10 27,77 26,31 5,17 59,25 3 Cocos nucifera L. 1 2,77 5,26 1,37 9,4 4 Terminalia catappa L. 1 2,77 5,26 0,3 8,33 5 Pongamia sp. 1 2,77 5,26 0,19 8,22 Total 36 99,96 99,98 99,98 299,92 Tabel 5. Struktur vegetasi tumbuhan pantai tingkat sapling pada kawasan wisata Pasir Jambak Kota Padang. FR DR No Spesies JI KR (%) INP (%) (%) 1 Cerbera manghas L. 19 52,7 46,6 57,3 156,6 2 Casuarina equisetifolia L. 11 30,5 26,6 30,8 87,9 3 Brucea javanica (L.) Merr 5 13,8 20 4,8 38,6 4 Glochidion sp. 1 2,7 6,6 6,9 16,2 Total 36 99,7 99,8 99,8 299,3 Nilai penting tertinggi ditemukan pada spesies Cerbera manghas dengan nilai sebesar 156,6% sedangkan untuk nilai penting terendah ditemukan pada spesies Glochidion sp. sebesar 16,2%. Menurut (Fachrul, 2012) menyatakan bahwa indeks nilai penting (INP) merupakan indeks kepentingan yang menggambarkan pentingnya peranan suatu jenis vegetasi dalam ekosistemnya, apabila indeks nilai penting suatu jenis vegetasi bernilai tinggi, maka jenis tersebut sangat mempengaruhi kestabilan ekosistem tersebut. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa secara ekologi kedua spesies dengan nilai penting tertinggi di atas (Tabel 4 dan 5) dapat menguasai kawasan pantai tersebut dan menentukan klimaks vegetasi strata pohon dimasa yang akan datang. Jika tidak terjadi sesuatu yang dapat merubah bentang alam pada kawasan tersebut, maka dapat dipastikan bahwa kecenderungan klimaks vegetasi strata pohon adalah Casuarina equisetifolia dan Cerbera manghas.
PROSIDING, Copyright© 2016 175
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 6. Struktur vegetasi tumbuhan pantai tingkat seedling dan Tumbuhan bawah pada kawasan wisata Pasir Jambak, Kota Padang No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Spesies Spaghneticola trilobata DC Borreria leavis (Aubl.) DC Clerodendron sp. Ischaemum muticum L. Ipomoea pes-caprae Roth Cerbera manghas L. Brucea javanica (L) Merr Crotalaria mucronata DESV Paspalum conjugatum BERG Isachne globosa KUNTZE Desmodium umbellatum DC. Cassia tora L. Ageratum conyzoides L. Mimosa pudica L. Cyperus sp. Ardisia littoralisAndr. Blumea chinensis DC Clausena excavata Burn. Lantana camara L. Total
KR (%) 71,6 5,3 3,5 5,4 3,8 1,1 2,1 0,9 2,1 1,1 0,7 0,4 0,5 0,2 0,2 0,1 0,1 0,1 0,1 99,3
FR (%) 33,9 6,7 8,4 5 5 6,7 5 5 3,4 3,4 3,4 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7 1,7 99,5
INP 105,5 12 11,9 10,4 8,8 7,8 7,1 5,9 5,5 4,5 4,1 2,1 2,2 1,9 1,9 1,8 1,8 1,8 1,8 198,8
Habit Semak Herba Perdu Rumput Liana Anakan Pohon Anakan Pohon Semak Rumput Rumput Semak Herba Herba Perdu Rumput Semak Semak Semak Semak
Nilai penting tertinggi pada tingkat seedling dan tumbuhan bawah ditemukan pada spesies Spaghneticola trilobata dengan nilai sebesar 105,5 % sedangkan nilai penting terendah ditemukan pada tiga spesies yaitu Lantana camara, Clausena excavata, Ardisia littoralis dan Blumea chinensis dengan nilai sebesar 1,8%. Indeks keanekaragaman tumbuhan pantai pada kawasan wisata Pantai Pasir Jambak tergolong dalam kategori rendah. Pada tingkatan pohon didapatkan sebesar (0,33), pada tingkatan sapling (0,46) dan tingkat seedling (0,77). Hal ini menunjukkan spesies yang terdapat pada daerah ini sedikit. Keanekaragaman spesies pada kawasan wisata pantai Pasir Jambak tergolong rendah yang memiliki indeks keanekaragaman < 1 dimana indeks keanekaragaman yang rendah menunjukkan bahwa jenis yang ditemukan sedikit dan hanya ditemukan jenis spesies yang sama. Uraian indeks keanekargaman dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Indeks keanekaragaman vegetasi tumbuhan pantai pada kawasan wisata Pasir Jambak Kota Padang No. 1. 2. 3.
Tingkat Vegetasi Pohon Sapling Seedling
Indeks Keanekargaman (H’) 0,33 0,46 0,77
Keterangan Keanekaragaman Rendah Keanekaragaman Rendah Keanekaragaman Rendah
Menurut Indriyanto (2006) menyatakan bahwa suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman spesies yang rendah jika komunitas tersebut disusun oleh sedikit spesies dan jika hanya ada sedikit saja spesies yang dominan, sebaliknya suatu komunitas dikatakan memiliki keanekaragaman yang tinggi jika komunitas tersebut disusun oleh banyak spesies. Nilai indeks keanekaragaman rendah menunjukkan bahwa terdapat tekanan ekologi baik dari faktor biotik ( persaingan antar individu tumbuhan) atau faktor abiotik. Keanekaragaman rendah biasanya terdapat pada komunitas yang ada di daerah dengan lingkungan yang ekstrim seperti daerah kering, tanah miskin, (Resosoedarmo, Kuswata & Apriliani, 1985). PROSIDING, Copyright© 2016 176
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian mengenai Analisis Vegetasi Tumbuhan Pantai pada Kawasan Wisata Pasir Jambak, Kota Padang maka dapat disimpulan bahwa komposisi pada tingkat pohon ditemukan sebanyak 5 famili, 5 spesies dan 36 individu. Pada tingkat sapling ditemukan sebanyak 4 famili, 4 spesie dan 36 individu. Pada tingkat seedling ditemukan sebanyak 12 famili, 19 spesies dan 712 individu. Tingkat pohon yang memiliki nilai penting tertinggi yaitu Casuarina equisetifolia (214,72%), terendah pada Pongamia sp. (8,22%) tingkat sapling Cerbera manghas (156,6%), terendah ditemukan Glochidion sp. (16,2%) selanjutnya pada tingkat seedling Spaghneticola trilobata (105,5%). Indeks keanekaragaman tergolong rendah baik pada tingkat pohon, tingkat sapling maupun tingkat seedling. Saran Keanekaragaman vegetasi pantai pada kawasan Pasir Jambak ini tergolong rendah oleh karena itu perlu dilakukannya pelestarian dan penghjauan serta perlindungan terhadap kawasan wisata ini agar dapat mencegah abrasi pantai dan meminimalisir kerusakan akibat terpaan angin kencang yang dapat merugikan masyarakat sekitar kawasan tersebut. DAFTAR PUSTAKA Armos, N., H. 2013. Studi Kesesuaian Lahan Pantai Wisata Boe Desa Mappakalompo Kecamatan Galesong Ditinjau Berdasarkan Biogeofisik. Skripsi Sarjana Ilmu Kelautan.UniversitasHasanuddin Makasar. Cronguist, A. 1981. An Integrated System of Classification of Flowering Plants. New York: Colombian University Press. Dahuri, R, J. Rais, S. P. Ginting dan M. J. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Djufri, 2010. Analisis Vegetasi Pantai Barat Aceh Pasca Tsunami. Jurnal. Universitas Unsyiyah Darussalam. Banda Aceh. Fachrul, M. F. 2012. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta. Fauzi, A. 2005. Kebijakan Perikanan dan Kelautan. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta. Johnston, M dan M. Gillman. 1995. Tree Population Studies In Low Diversity Forest, Guyana. I. Floristic Composition and Stand Structure. Biodiversity & Conservation 4: 339-362. Manan S. 1976. Pengaruh Hutan &Manajemen Daerah Aliran Sungai. F.Kehutanan IPB Bogor Mueller-Dombois dan H. Ellenberg. 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. John Wiley and Sons. New York. Oosting, H.J. 1956. The Study of Plant Communities. W.H. Freeman Company. San Fransisco. Resosoedarmo. R. S., Kuswata .K., Apriliani S. 1985. Pengantar Ekologi. CV. Remaja Karya. Bandung. Sitanggang, P., E. 2007. Peranan Vegetasi Batata Pantai (Ipomoea pes-caprae) Dalam Mereduksi Erosi Gisik di Sepanjang Pantai Teluk Amurang, Sulawasi Utara. Ilmu Kelautan 12 (2): 104-110. Southwood, T.R.E. dan Henderson P.A. 2000. Ecological Methods (3rd Edition). Blackwell Science. Oxford. Suin, N., M. 2002. Metoda Ekologi. Penerbit Universitas Andalas. Padang Tuheteru, F., D dan Mahfudz. 2012. Ekologi, Manfaat & Rehabilitasi, Hutan Pantai Indonesia. Balai Penelitian Kehutanan Manado. Manado. Waryono, T. 2000. Reklamasi Pantai Ditinjau Dari Segi Ekologi Lansekap Dan Restorasi. Kumpulan Makalah Periode 1987-2008, Diskusi Penataan Ruang Wilayah Pantai dan Laut Kabupaten Cilacap. https://staff.blog.ui.ac.id/tarsoenwaryono/files/2009/12/ 5reklamasi-pantai.pdf.19.12.2014 PROSIDING, Copyright© 2016 177
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ANALISIS ORDINASI JENIS-JENIS TUMBUHAN YANG BERKORELASI DENGAN Hippobroma longiflora DI KABUPATEN TABANAN, BALI Arief Priyadi dan I Putu Agus Hendra Wibawa* UPT. Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya ‘Eka Karya’ Bali – LIPI Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali 82191 *Email:
[email protected] ABSTRAK Tumbuhan yang dikenal dengan nama ilmiah Hippobroma longiflora adalah salah satu jenis tumbuhan yang menghasilkan senyawa organik metabolit sekunder, salah satunya adalah alkaloid. Alkaloid berpotensi tinggi untuk digunakan dalam pengembangan produk-produk baru pengendali hama dan gulma, alkaloid yang terdapat pada jenis tumbuhan H. longiflora adalah golongan pyridine, yaitu lobeline dan nicotine. Baru-baru ini, diketahui bahwa dua jenis alkaloid baru berupa Piperidine dan Tetrahydropyridine juga telah berhasil di ekstrak dari H. longifolia. Terlepas dari banyaknya potensi pemanfaatan dari senyawa organik yang dapat diekstrak dari H. longiflora, sampai dengan saat ini belum banyak laporan ilmiah tentang tumbuhan ini. Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak diperlukan usaha untuk mengungkap potensi dari salah satu jenis tumbuhan yang saat ini dianggap sebagai gulma. Salah satu langkah awal studi suatu jenis tumbuhan adalah analisis vegetasi untuk menunjukkan indeks nilai penting masing-masing jenis penyusun atau dengan teknikordinasi. Penelitian ini dilakukan sebagai langkah awal dalam mempelajari jenis-jenis tumbuhan yang ada bersama-sama dengan H. longiflora, pada wilayah dengan ketinggian tempat yang berbeda, di kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. Hasil analisis diversitas jenis menunjukkan bahwa dalam keseluruhan petak sampel terdapat 73 jenis tumbuhan yang dijumpai, dengan indeks diversitas Shannon sebesar 3,98. Sebagian besar merupakan jenis-jenis gulma, Adapun analisis cluster menunjukkan petak sampel dapat di pilah menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yang ternyata sesuai menurut ketinggian tempat. Kluster atas berada pada ketinggian antara 600 – 800 m dpl, tengah 400 – 600 m dpl dan bawah 200 - 400m dpl. Berdasarkan hasil analisis, tumbuhan yang berkorelasi dengan H. longiflora terdiri atas 17 jenis yang tergolong ke dalam 10 family. Kata kunci : Hippobroma longiflora, Cluster Analysis, Principal Component Analysis PENDAHULUAN Tumbuhan yang dikenal dengan nama daerah Kembang Bintang atau Ki Tolod ini, dalam bahasa Inggris disebut Bethlehem Star, Madam Fate, atau Star Flower. Dalam klasifikasi tumbuhan berbunga terkini, jenis ini tergolong dalam suku Campanulaceae dengan nama ilmiah Hippobroma longiflora (L.), G. Don (List, 2013). Namun demikian, pada banyak publikasi, jenis ini banyak disebut dengan nama sinonimnya seperti Laurentia longiflora (Arbain et al., 1989; Moody, 1989), Lobelia longiflora, Isotoma longiflora, dll (List, 2013). Dalam (Slik, 2015) disebutkan bahwa tumbuhan ini berasal dari Amerika Tengah namun sekarang sudah tersebar di daerah tropis, umumnya terdapat di dataran rendah dan menyukai tempat tumbuh yang lembab serta ternaungi. Banyak tumbuhan tingkat tinggi menghasilkan senyawa organik metabolit sekunder, salah satunya adalah alkaloid, yang berpotensi tinggi untuk digunakan dalam pengembangan produk-produk baru pengendali hama dan gulma (Balandrin et al., 1985). Dalam (Slik, 2015) disebutkan bahwa alkaloid yang terdapat pada jenis tumbuhan H. longiflora adalah golongan PROSIDING, Copyright© 2016 178
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
pyridine, yaitu lobelinedan nicotine. Baru-baru ini, diketahui bahwa dua jenis alkaloid baru berupa Piperidine dan Tetrahydropyridine juga telah berhasil di ekstrak dari H. longifolia, yaitu (S)-2-[(2S,6R)-1-methyl-6-(2-oxo-2-phenylethyl) piperidin-2-yl]-1-phenylethylacetate dan 6[(E)-2-(3-methoxyphenyl) ethenyl]-2,3,4,5-tetrahydropyridine (Kesting et al., 2009). Terlepas dari banyaknya potensi pemanfaatan dari senyawa organik yang dapat diekstrak dari H. longiflora, sampai dengan saat ini belum banyak laporan ilmiah tentang tumbuhan ini. Laporan yang tersedia terbatas pada penelitian dasar seperti embriologi (Kausik and Subramanyam, 1945), pengesahannya dalam system klasifikasi tumbuhan (Manuel B. Crespo, 1996), tanaman obat (Heyne, 1988), sebagai gulma pada budidaya padi di Asia Tenggara (Moody, 1989) dan sejarah persebarannya (Ragone et al., 2001). Jenis ini juga tidak tercantum dalam laporan tentang potensi pemanfaatan jenis-jenis tumbuhan dari Sumatera (Haneda et al., 2010), walaupun sebelumnya telah dilaporkan dari hasil pengujian kandungan alkaloid sampel H. longifloradari Sumatera menunjukkan hasil positif(Arbain et al., 1989). Hal ini menunjukkan bahwa masih banyak diperlukan usaha untuk mengungkap potensi dari salah satu jenis tumbuhan yang saat ini dianggap sebagai “gulma”, yang masih luput dari perhatian. Salah satu langkah awal studi suatu jenis tumbuhan adalah analisis vegetasi untuk menunjukkan indeks nilai penting masing-masing jenis penyusun atau dengan teknikordinasi (Mueller-Dumbois and Ellenberg, 1974). Dengan perkembangan teknologi komputer, maka analisis semacam ini dapat dengan cepat dilakukan dengan bantuan perangkat lunak (Kindt and Coe, 2005). Penelitian ini dilakukan untuk sebagai langkah awal dalam mempelajari jenis-jenis tumbuhan yang ada bersama-sama dengan H. longiflora, pada wilayah dengan ketinggian tempat yang berbeda, di kabupaten Tabanan, Provinsi Bali. MATERI DAN METODE Pengamatan lapangan dilakukan pada pertengahan bulan Agustus 2015. Penentuan lokasi sampel dilakukan secara sengaja, dimana ditemukan H. longiflora. Petak sampel dibuat dengan ukuran 2 m x 1 m. Semua jenis tumbuhan yang tumbuh bersama-sama dengan H. longiflora pada setiap sampel, diamati dan dideterminasi sampai tingkat jenis. Data pengamatan jenis-jenis tumbuhan tersebut selanjutnya ditabulasi dengan spreadsheet MSExcel menjadi sebuah data presence-absence matriks spesies. Data lingkungan juga diamati selama kegiatan berlangsung. Data yang dimaksud adalah ketinggian tempat dari permukaan laut dan posisi geografis titik sampel diamati dengan alat Garmin GPSmap 78s; serta suhu, kelembaban udara, dan intensitas cahaya dengan 4 in 1 meter Lutron-LM8000. Data lingkungan titik-titik sampel disajikan pada Tabel 1. Data posisi geografi titik-titik sample di plot ke Indonesia Map v2.52 NT (free) dari navigasi.net dengan perangkat lunak Map Source, disajikan pada Gambar1. Analisis data dilakukan dengan package Biodiversity R (Kindt and Coe, 2005) pada R for Windows versi 3.2.2 (Team, 2015). Terhadap species matrix dilakukan perhitungan indeks kelimpahan dan diversitas. Adapun untuk mengetahui perbedaan komposisi jenis antar petak sampel, dilakukan analisis cluster berdasarkan euclideanecological distance. Selanjutnya, pada setiap cluster dilakukan analisis unconstrainded ordinationyaitu Principal Component Analysis (PCA), untuk mengetahui keterkaitan antara H. longiflora dengan jenis-jenis tumbuhan lain yang tumbuh bersama pada suatu area.
PROSIDING, Copyright© 2016 179
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gambar 1. Distribusi titik-titik sampel Tabel 1. Tabel data lingkungan Kode Sampel
Cluster
Ketinggian tempat
T(°C)
RH
Media Tumbuh
Hl1a Hl1b Hl1c Hl1d Hl1e Hl1f Hl2a Hl2b H13 Hl4a Hl4b Hl5a Hl5b Hl6a Hl6b Hl7a Hl7b Hl8
Atas Atas Atas Atas Atas Atas Atas Atas Atas Tengah Tengah Tengah Tengah Bawah Bawah Bawah Bawah Bawah
797,95 797,95 797,95 797,95 797,95 797,95 636,44 636,44 587,96 528,33 528,33 490,11 490,11 402,91 402,91 284,76 284,76 195,27
28 28 28 28 28 28 29 29 29,5 32,5 32,5 32,7 32,7 33,4 33,4 32,4 32,4 32,4
60 60 60 60 60 60 61,1 61,1 58,2 48,8 48,8 50,3 50,3 47,1 47,1 51,5 51,5 51,5
diding selokan diding selokan diding selokan diding selokan diding selokan diding selokan tanah tanah diding selokan diding selokan diding selokan diding selokan diding selokan diding selokan diding selokan diding selokan diding selokan diding selokan
PROSIDING, Copyright© 2016 180
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil analisis diversitas jenis menunjukkan bahwa dalam keseluruhan petak sampel terdapat 73 jenis yang dijumpai, dengan indeks diversitas Shannon sebesar 3,98. Sebagian besar merupakan jenis-jenis gulma (Moody, 1989), namun demikian ditemukan juga jenis-jenis lain seperti Cuphea hyssopifolia (Lythraceae) yang dikenal sebagai tanaman hias. Adapun analisis cluster menunjukkan petak sampel dapat di pilah menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yang ternyata sesuai menurut ketinggian tempat seperti disajikan pada Tabel 1 dan Gambar 2a. Kluster atas berada pada ketinggian antara 600 – 800 m dpl, tengah 400 – 600 m dpl dan bawah 200 - 400m dpl. Hasil analisis ordinasi (PCA) disajikan pada Gambar 2b, c, dan d.
(a) Diagram cluster petak-petak sampel
(b) Grafik PCA cluster atas
(c) Grafik PCA clustertengah
(d) Grafik PCA cluster bawah
Gambar 2. Diagram cluster dan Grafik Ordinasi (PCA)cluster atas, tengah dan bawah Interpretasi diagram ordinasi dilakukan dengan ukuran sudut vektor dari titik pusat diagram (0,0) ke titik H. longiflora (Hiplon) dan jenis lain. Sudut vektor semakin mendekati 0° diinterpretasikan berkorelasi positif, sudut 90° atau 270° tidak berkorelasi dan pada sudut 180° berkorelasi negatif (Kindt and Coe, 2005). Dengan kata lain, jenis-jenis yang berkorelasi positif dengan H. longifolia, pada pada gambar 2 b, c atau d berada pada kuadran sama dengan titik Hiplon. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan korelasi adalah kecenderungan PROSIDING, Copyright© 2016 181
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
kebersamaan tumbuh dua spesies pada petak yang sama. Jenis-jenis tumbuhan yang berkorelasi positif dengan H. longiflora pada cluster atas, tengah dan bawah disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Jenis-jenis yang berkorelasi dengan H. longiflora berdasarkan hasil analisis ordinasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Kode Spesies Hiplon Ptevit Depspc Erisum Lincil Pitcal Bidpil Comdif Cypkyl Deblon Dicspc Hypcap Mikmic Pascon Agecon Ficmon Cyndac
Nama Ilmiah Hippobroma longiflora Pteris vittata Deparia sp. Erigeron sumatrensis Lindernia ciliata Pityrogramma calomelanos Biden pilosa Commellina diffusa Cyperus kyllingia Debregea sialongifolia Dicrochepala sp. Hyptis capitata Mikania micrantha Paspalum conjugatum Ageratum conyzoides Ficus montana Cynodon dactylon
Family Campanulaceae Pteridaceae Athyriaceae Asteraceae Linderniaceae Pteridaceae Asteraceae Commelinaceae Cyperaceae Urticaceae Asteraceae Asteraceae Asteraceae Poaceae Asteraceae Moraceae Poaceae
Cluster Atas
Tengah
Bawah
1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 0 0 0
1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 1 1 0
1 1 1 1 1 1 0 0 0 0 0 0 0 0 1 0 1
Berdasarkan hasil analisis (Tabel 2), tumbuhan yang berkorelasi dengan H. longiflora terdiri atas 17 jenis yang tergolong ke dalam 10 family. SIMPULAN Hasil analisis diversitas jenis menunjukkan bahwa dalam keseluruhan petak sampel terdapat 73 jenis tumbuhan yang dijumpai, dengan indeks diversitas Shannon sebesar 3,98. Sebagian besar merupakan jenis-jenis gulma, Adapun analisis cluster menunjukkan petak sampel dapat di pilah menjadi 3 (tiga) kelompok besar, yang ternyata sesuai menurut ketinggian tempat. Kluster atas berada pada ketinggian antara 600 – 800 m dpl, tengah 400 – 600 m dpl dan bawah 200 - 400m dpl. Berdasarkan hasil analisis, tumbuhan yang berkorelasi dengan H. longiflora terdiri atas 17 jenis yang tergolong ke dalam 10 family. DAFTAR PUSTAKA Arbain, D., Cannon, J., Afriastini, Kartawinata, K., Djamal, R., Bustari, A., Dharma, A., Rosmawaty, Rivai, H., Zaherman, Basir, D., Sjafar, M., Sjaiful, Nawfa, R., Kosela, S., 1989. Survey of some West Sumatran plants for alkaloids. Economic Botany 43, 73– 78. Balandrin, M., Klocke, J., Wurtele, E., Bollinger, W., 1985. Natural plant chemicals: sources of industrial and medicinal materials. Science 228, 1154–1160. Haneda, Farikhah, N., Sri, U., 2010. Pemanfaatan Etnobotani dari Hutan Tropis Bengkulu sebagai Pestisida (Nabati Utilization of Ethnobotany from Bengkulu Tropical Forest as Biopesticide). JURNAL MANAJEMEN HUTAN TROPIKA. Heyne, K., 1988. Tumbuhan Berguna Indonesia. Yayasan Sarana Wana Jaya. PROSIDING, Copyright© 2016 182
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Kausik, S.B., Subramanyam, K., 1945. An embryological study ofIsotoma longiflora Presl. Proceedings of the Indian Academy of Sciences - Section B 21, 269–278. Kesting, J.R., Tolderlund, I.-L., Pedersen, A.F., Witt, M., Jaroszewski, J.W., Staerk, D., 2009. Piperidine and Tetrahydropyridine Alkaloids from Lobelia siphilitica and Hippobroma longiflora. Journal of Natural Products 72, 312–315. Kindt, R., Coe, R., 2005. Tree diversity analysis: A manual and software for common statistical method for ecological and biodiversity studies. World Agroforestry Centre. List, T.P., 2013. Hippobroma longiflora (L.) G. Don. Manuel B. Crespo, N.T. Luis Serra, 1996. Lectotypification of Four Names in Lobelia (Lobeliaceae). Taxon 45, 117–120. Moody, K., 1989. Weeds Reported in Rice in South and Southeast Asia. International Rice Research Institute, Los Baños. Mueller-Dumbois, D., Ellenberg, H., 1974. Aims and Methods of Vegetation Ecology. The Blackburn Press. Ragone, D., Lorence, D.H., Flynn, T., 2001. History of Plant Introductions to Pohnpei, Micronesia and the Role of the Pohnpei Agriculture Station. Economic Botany 55, 290– 324. Slik, F., 2015. Hippobroma longiflora (L) G.Don, Gen. Hist. 3: 717 (1834). Team, R.C., 2015. R: A Language and Environment for Statistical Computing. R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria.
PROSIDING, Copyright© 2016 183
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
EKSPLORASI FLORA DI HUTAN LINDUNG LOMBOK TIMUR DAN TAMAN NASIONAL GUNUNG RINJANI PLANT EXPLORATION IN PROTECTED FORESTS OF EAST LOMBOK AND MT. RINJANI NATIONAL PARK* I Nyoman Peneng Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali, LIPI Candikuning Baturiti Tabanan; Telp. 0368-2033211; Fax 0368-2033171 Bali E-mail:
[email protected] rABSTRACT Lombok Island is surrounded by Protected Forest, Production Forest, Conservation Forest and Mount Rinjani National Park. Efforts to document flora of Lombok are urgent, considering the high rate of environmental degradation. Data of documentation results will be useful for conservation and reintroduction. This study aimed to document flora of Lombok and to uncover its potential as barriers to erosion, drug material, ornamental plants, and increasing plant collections for Lombok Botanical Garden. Exploration was conducted randomly and cruising in areas that have been designated as a target of collecting and recording flora of Lombok. Exploration activities included collecting specimens and recording information on uses of wild plants. Exploration results have been successfully collecting non-orchid plants as many as 241 species consisting of 67 families, 119 genera, 241 species and 720 specimens. While the collection of orchids as many as 19 genera, 74 species, and 194 specimens. Of 241 species was estimated to be as many as 126 species that has not been collected in Lombok Botanical Garden. Ornamental plants included Medinila speciosa, Melastoma malabathricum, Begonia spp., Hoya sp., Nervilia spp., Bulbophyllum spp., Huperzia sp., and several orchids which have a beautiful flower, such as Spathoglottis plicata, Arundina graminifolia, and Thrixspermum subulatum. Keywords: Flora exploration, species composition, Mt. Rinjani national park, Lombok Island ABSTRAK Pulau Lombok dikelilingi oleh kawasan hutan seperti Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Konservasi dan Taman Nasional Gunung Rinjani. Upaya untuk mendokumentasikan kekayaan flora Lombok mendesak untuk dilakukan, mengingat tingginya laju kerusakan lingkungan. Data hasil dokumentasi akan bermanfaat untuk kegiatan konservasi dan reintroduksi. Penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan kekayaan flora Lombok dan mengungkap potensi tumbuhan sebagai penahan erosi, bahan obat dan tanaman hias serta menambah jumlah koleksi tanaman bagi Kebun Raya Lombok. Eksplorasi dilakukan secara acak dan jelajah pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai target pengkoleksian dan perekaman data flora Lombok. Kegiatan eksplorasi meliputi pengkoleksian spesimen tumbuhan serta dilakukan penggalian informasi kegunaan tumbuhan liar. Hasil eksplorasi telah berhasil mengkoleksi tumbuhan non anggrek sebanyak 241 nomor yang terdiri dari 67 suku, 119 marga, 241 jenis dan 720 spesimen. Sedangkan koleksi Anggrek sebanyak 19 marga, 74 jenis, 194 spesimen. Dari 241 jenis tersebut diperkiran sebanyak 126 jenis merupakan koleksi yang belum dikoleksi di Kebun Raya Lombok. Tanaman yang berpotensi hias diantaranya Medinila speciosa, Melastoma malabathricum, Begonia spp., Hoya sp., Nervilia spp., Bulbophyllum spp., Huperzia sp., dan beberapa jenis anggrek yang memiliki bunga indah antara lain Spathoglottis plicata, Arundina graminifolia dan Thrixspermum subulatum. Kata kunci: Eksplorasi flora, komposisi jenis, Taman Nasional Gunung Rinjani, Pulau Lombok PROSIDING, Copyright© 2016 184
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN Pulau Lombok merupakan salah satu pulau selain Pulau Sumbawa yang merupakan wilayah administrasi Provinsi Nusa Tenggara Barat, memiliki luas sekitar 4.738,65 km2 atau 23,51% dari luas wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat. Secara administrasi Pulau Lombok dibagi menjadi empat wilayah administrasi yaitu Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur dan Kabupaten Lombok Utara (dalam tahap pemekaran). Dari aspek luas wilayah administrasi, Kabupaten Lombok Barat memiliki wilayah terluas (1.863,40 km2 atau 39,84% ), diikuti Kabupaten Lombok Timur 1.605,55 km2 atau 34,33% dari luas Pulau Lombok, Kabupaten Lombok Tengah dengan luas 1.208,40 km2 atau 25,83% dan Kota Mataram yang memiliki luas wilayah tersempit yaitu sekitar 61,30 km2 (Jalaludin, 2013; Badan Pusat Statistik, 2013). Kondisi tofografi Pulau Lombok mulai dari datar sampai dengan berbukit dan bergunung serta dari sembilan kota/kabupaten yang ada, Gunung Rinjani memiliki topografi tertinggi yaitu sekitar 3775 meter diatas permukaan laut (dpl) dengan Danau Segara Anak sebagai sumber air bagi kehidupan penduduk di Pulau Lombok, dan terendah adalah Kota Mataran dan Gerung yang hanya 16 meter dpl. (Magdalena et al., 2013; Badan Pusat Statistik, 2013). Selain kawasan Gunung Rinjani, Pulau Lombok dikelilingi oleh kawasan hutan seperti Hutan Lindung, Hutan Produksi, Hutan Konservasi dan Taman Nasional Gunung Rinjani. Luas kawasan hutan sekitar 1.63.061,94 ha yang tersebar di ketiga kabupaten di Pulau Lombok yaitu Kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Timur. Adapun luas kawasan hutan pada setiap kabupaten tersebut masing-masing secara berurutan adalah 78.195,33 ha, 20.357,64 ha dan 64.508,97 ha (Kementerian Kehutanan, 2012). Upaya untuk mendokumentasikan kekayaan flora Lombok mendesak untuk dilakukan, mengingat tingginya laju kerusakan lingkungan yang dapat menyebabkan tumbuhan punah di habitat alaminya (Dipokusumo et al., 2011). Data hasil dokumentasi akan bermanfaat untuk kegiatan konservasi dan reintroduksi (van Welzen & Raes, 2011). Kegiatan eksplorasi dan penelitian ini bertujuan untuk mendokumentasikan kekayaan flora yang terkandung secara lengkap, dan mengungkap potensi tumbuhan sebagai penahan erosi, bahan obat dan tanaman hias yang berasal dari Kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani, dan hutan lindung di sekitarnya, serta menambah jumlah jenis koleksi bagi Kebun Raya Lombok. MATERI DAN METODE Waktu dan Lokasi Penelitian Kegiatan eksplorasi dilakukan di wilayah Taman Nasional Gunung Rinjani dan wilayah hutan lindung yang ada di Kabupaten Lombok Timur selama 20 hari dari tanggal 3 September sampai dengan 22 September 2013. Luas kawasan hutan di Kabupaten Lombok Timur sebesar 64.508,97 ha, dan berdasarkan data dari Kementerian Kehutanan (2012) fungsi dan luasnya adalah sebagai berikut: 1. Hutan lindung, merupakan kawasan hutan dengan fungsi pokok sebagai penyangga kehidupan, mengatur tata air, mencegah banjir, dan memelihara kesuburan tanah, seluas 31.498,97 ha atau 47,92%. 2. Hutan produksi, merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan, yang meliputi hutan produksi tetap seluas 5.565,00 ha, atau 9,8%. Bahan dan Alat Penelitian Bahan penelitian adalah kawasan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani, Hutan Lindung Tandakan, Hutan Lindung Sebau, Hutan Lindung Sapit, Hutan Lindung Gawah Gong, Hutan Lindung Kedatu dan Hutan Lindung Reban Bela, Pulau Lombok Nusa Tenggara Barat. PROSIDING, Copyright© 2016 185
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Alat yang digunakan adalah diameter tape, GPS GarminTM, kompas SuuntoTM, sasak untuk tempat mengepres sampel herbarium, kantong plastik, tali tambang, tali rafia, isolasi, tally sheet, kapak, gunting stek, amplop kertas, kertas koran, spidol, alat tulis, dan kamera digital.
Lokasi Eksplorasi
Gambar (Figure) 1. Lokasi Eksplorasi (Study area) Metode Penelitian Dari hasil diskusi yang dilakukan dengan pihak-pihak terkait mengenai potensi hutan dan keberadaan vegetasinya di kawasan hutan Lombok Timur, maka ditetapkan kawasan yang menjadi target sasaran eksplorasi yaitu kawasan hutan Taman Nasional Gunung Rinjani, Hutan Lindung Tandakan, Hutan Lindung Sebau, Hutan Lindung Sapit, Hutan Lindung Gawah Gong, Hutan Lindung Kedatu dan Hutan Lindung Reban Bela (Gunawan et al., 2011). Eksplorasi dilakukan secara acak (random) dan jelajah pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai target pengkoleksian dan perekaman data flora Lombok (Rugayah et al., 2005; Mijnsbrugge et al., 2010). Kegiatan eksplorasi meliputi pengkoleksian spesimen tumbuhan serta dilakukan penggalian informasi kegunaan tumbuhan liar (Guarrera & Savo, 2013). Identifikasi jenis dilakukan dengan pengumpulan spesimen tumbuhan dan pengamatan morfologi (Whitmore, 1972, 1973; Comber, 2000; Lugrayasa et al., 2009). Voucher specimen dan koleksi tumbuhan hidup tersimpan dan ditanam di Kebun Raya Lombok. Penamaan tumbuhan diklarifikasi menggunakan online database the plantlist (Plantlist, 2014). HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Eksplorasi Hasil eksplorasi flora di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani, Hutan Lindung Tandakan, Hutan Lindung Sebau, Hutan Lindung Sapit, Hutan Lindung Gawah Gong, Hutan Lindung Kedatu dan Hutan Lindung Reban Bela Lombok Nusa Tenggara Barat terkoleksi sebanyak 241 nomor koleksi yang terdiri dari 67 suku, 119 marga, 241 jenis dan 720 spesimen untuk tumbuhan non anggrek, sedangkan koleksi anggrek terdiri dari 19 marga, 74 jenis, 194 PROSIDING, Copyright© 2016 186
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
spesimen. Secara terperinci, jenis tumbuhan yang terkoleksi ditampilkan pada Lampiran 1, sedangkan rekapitulasinya disajikan pada Tabel 1. Tabel (Table) 1. Rekapitulasi koleksi hasil eksplorasi (Details of exploration results) Kelompok tumbuhan (type of species) Tumbuhan non anggrek (Common plants without Orchids) Anggrek (Orchids)
Jumlah specimen (number of specimen)
Jumlah species (number of obtained species)
720 194
Jumlah (number)
Jumlah species yang teridentifikasi sampai ke level (identified species up to)
Suku (Family)
Marga (Genus)
Suku (Family)
Marga (Genus)
Jenis (Species)
167
67
119
1
82
84
74
1
19
1
56
17
Beberapa koleksi yang dikumpulkan baru diketahui namanya sampai tingkat marga dikarenakan pada saat pengkoleksian hanya ditemukan anakannya saja, dan tidak diketahui pohon induknya. Perubahan nama jenis tumbuhan selama berakhirnya waktu eksplorasi hingga penyusunan karya tulis ilmiah ini berdasarkan hasil reidentifikasi dari koleksi yang dikumpulkan (Eisenman et al., 2012). Koleksi Menarik, Berpotensi dan Endemik Sebagai zona peralihan antara flora Asia dan flora Australia, Pulau Lombok mempunyai keragaman flora yang unik dan menarik sebagai contoh ditemukannya Gale Gending (Adenanthera pavonina L.), Embur (Pisonia umbellifera (J.R. Forst. & G. Forst.) Seem dan Antiaris toxicaria Lesch. serta berbagai jenis anggrek dan paku-pakuan. Banyaknya jenis tumbuhan endemik tidak terlepas dari sejarah geologinya, dimana Pulau Lombok tidak pernah menjadi bagian masa daratan lain yang lebih besar (Monk, 2000; Carstensen et al., 2011). Jenis-jenis tumbuhan hasil eksplorasi yang menarik akan diuraikan sebagai berikut: Dysoxylum gaudichaudianum (A.Juss.) Miq. Dysoxylum gaudichaudianum atau kedoya termasuk pohon kayu dengan ketinggian antara 25-45 meter dan diameter mencapai 80 cm. Daun pohon kedoya berupa daun majemuk yang tersusun diujung-ujung ranting. Bentuk daunnya menyirip dengan panjang daun sekitar 10-15 cm dan lebar daun antara 4-5 cm. Kedoya memiliki buah berbentuk bulat kecil berwarna kuning hingga coklat kekuningan yang terkumpul dalam malai ganda. Ciri khas tanaman ini adalah memiliki kulit kayu yang berbau menusuk dan memuakkan sehingga dapat mengakibatkan mual dan muntah (Nagakura et al., 2010). Pohon ini diketemukan di dalam kawasan Hutan Lindung Tandakan pada ketinggian 496 meter dpl. Pisonia umbellifera (Forst.) Seem Pohon ini memiliki batang yang sering bengkok, dengan tektur agak lunak dan berwarna gelap. Daun umumnya berkelompok di ujung ranting sekitar 2-5 m. Ranting daun biasanya hijau. Helaian daun sering agak besar, panjang sekitar 10-25 cm. Tunas muda dan kuncup pada ujung berbulu coklat gelap. Pohon ini banyak diketemukan di pinggir dan lereng dekat sungai Hutan Lindung Gawah Gong, sehingga bermanfaat untuk menahan erosi pada daerah aliran sungai dan sebagai penyimpan cadangan air (Suvil et al., 2010; Keppel et al., 2011). Salix tetrasperma Roxb. Salix tetrasperma adalah pohon kecil, kulit batang kasar dengan retakan vertikal yang agak dalam. Tunas muda dan daun muda halus. Daun lanset, panjang 8-15 cm, tepi daun bergerigi. Bunga jantan beraroma manis, panjang 5-10 cm. Bunga betina panjang 8-12 cm. PROSIDING, Copyright© 2016 187
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Pohon ini banyak dijumpai di daerah sepanjang aliran sungai maupun selokan kecil dipingiran sawah, karena tumbuhan ini sangat menyukai daerah basah (Khan et al., 2011). Anakan sangat sulit didapatkan, disebabkan biji yang jatuh dari indukannya dihanyutkan oleh aliran air. Karena pohon ini tumbuh dan berkembang baik pada daerah aliran sungai maka dipandang perlu untuk menjaga kelestariannya karena mempunyai perakaran yang sangat kuat untuk mencegah erosi pada daerah aliran sungai dan sebagai penyimpan cadangan air (Al-Sherif et al., 2009; Khan et al., 2011). Antiaris toxicaria Lesch. Pohon ini memiliki batang silinder, tajuk besar, kulit batang berwarna coklat, putih, atau abu-abu, dengan tekstur halus sampai agak kasar. Ditemukan di Hutan Lindung Kedatu pada daerah dataran rendah dengan ketinggian 383 m dpl. Pohon ini mengeluarkan getah berwarna putih berubah warna jika terkena udara (Shi et al., 2010), sangat berbahaya jika terkena kulit ataupun organ tubuh lainnya karena berdasarkan pengetahuan lokal di Bali getahnya digunakan sebagai racun. Racun yang dikandungnya sangat kuat sehingga bisa penyebabkan kematian (Gan et al., 2009) Alstonia scholaris (L.) R. Br. Tanaman ini memiliki nama lokal pulai atau pule dan sangat dikenal oleh masyarakat, karena sering digunakan sebagai peneduh dan elemen taman di daerah perkotaan. Pule yang berupa pohon besar itu juga merupakan tanaman obat. Bagian yang dimanfaatkan ialah kulit batangnya (Shang et al., 2010; Misra et al., 2011). Masyarakat Jawa Tengah menyebut jamu dari kulit batang pulai ini sebagai "babakan pule" (Riswan & Sangat-Roemantyo, 2002). Pohon ini belum banyak diketahui manfaatnya oleh masyarakat sekitar Hutan Lindung Tandakan. Dengan perawakan yang besar, pohon ini sangat bermanfaat untuk menahan erosi dan menyimpan cadangan air disamping berfungsi sebagai tanaman obat. Medinilla speciosa (Reinw. ex Bl.) Bl. Medinilla speciosa memiliki bunga menjuntai berwarna merah muda cerah yang muncul selama musim kemarau, yang juga sering diikuti dengan buah merah berubah ungu pada akhir musim. Tanaman ini sangat cocok ditempatkan pada keranjang atau pot tinggi. Periode berbunga cukup panjang. Medinilla speciosa merupakan tumbuhan yang pertumbuhannya lambat dan akan mencapai tinggi 1 m dalam beberapa tahun (Peneng & Sujarwo, 2011). Tanaman ini berasal dari daerah hangat yang tumbuh di bawah kanopi atau bahkan sebagai epifit pada pohon-pohon besar. Medinilla speciosa akan tampil fantastis di daerah dingin dan dapat menahan embun beku ringan. Tanaman ini sangat cocok dikembangkan sebagai tanaman penghias taman (Kimura et al., 2009). Thrixspermum subulatum (Blume) Rchb.f. Tanaman ini memiliki karakteristik batang menggantung, pipih, bercabang atau tidak bercabang. Daun lanset memanjang, kasar, tebal, sering berbentuk V terutama di dekat dasar. Bunga sangat kecil dengan bibir putih, biasanya diwarnai atau ditandai dengan orange, tangkai bunga dan ovarium hijau. Punggung sepal hampir elliptik, tumpul atau runcing, sepal agak miring, sedikit lebih lebar. Kelopak lonjong bulat telur terbalik, ujung tumpul (Silvera et al., 2009). Anggrek ini ditemukan epifit pada pohon Rouvolfia sp. di Hutan Lindung Gawah Gong pada ketinggian 593 meter di atas permukaan laut, juga terlihat epifit pada pohon Plumeria alba di sekitar perkampungan penduduk (Yulia & Budiarta, 2011). Calanthe veratrifolia (Willd.) R.Br. ex Ker Gawl. Calanthe veratrifolia merupakan anggrek terestrial berbatang semu, daun 4-10 per pucuk, helaian daun biasanya sempit-bulat telur terbalik, ujung runcing atau meruncing. Perbungaan 1 atau 2, tumbuh pada ketiak daun yang lebih rendah, bunga kaku tegak. Bunga PROSIDING, Copyright© 2016 188
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
putih kecuali kalus pada labellum berwarna kuning. Sepal bulat telur sampai bulat telur terbalik (Comber, 2000). Diketemukan pada ketinggian 956 m dpl di kawasan Hutan Lindung Sebau dipinggiran sungai yang agak terlindung. Perlu upaya pelestarian mengingat jarang sekali ditemukan di sekitar kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani maupun pada kawasan Hutan Lindung disekitarnya. Berpotensi sebagai tanaman hias dengan warna bunga putih sebagai penghias taman (Kurzweil, 2010). SIMPULAN 1. Kegiatan eksplorasi flora di kawasan hutan lindung Lombok Timur dan Taman Nasional Gunung Rinjani telah berhasil mengkoleksi tumbuhan non anggrek sebanyak 241 nomor yang terdiri dari 67 suku, 119 marga, 241 jenis dan 720 spesimen. Sedangkan koleksi anggrek sebanyak 19 marga, 74 jenis, 194 spesimen. 2. Dari 241 jenis tumbuhan non anggrek, diperkiran sebanyak 126 jenis merupakan tumbuhan yang belum dikoleksi oleh Kebun Raya Lombok dan sebagian koleksi lainnya merupakan penambahan spesimen yang jumlahnya kurang dari lima. 3. Tanaman yang berpotensi hias diantaranya Medinila speciosa, Melastoma malabathricum, Begonia spp., Hoya sp., Nervilia spp., Bulbophyllum spp., Huperzia sp., dan beberapa jenis anggrek yang memiliki bunga indah antara lain Spathoglottis plicata, Arundina graminifolia dan Thrixspermum subulatum. Saran 1. Diperlukan voucher herbarium yang lebih lengkap untuk indentifikasi sampai ke level species, khususnya untuk tanaman yang masih berupa anakan. 2. Perlindungan kawasan harus terus dikuatkan untuk menjaga keberlanjutan ekosistem yang sudah ada, hal ini dikarenakan beberapa pohon induk dari anakan yang ditemukan sudah tidak ada. UCAPAN TERIMA KASIH Kegiatan eksplorasi terlaksana atas dukungan dana dari kegiatan Prioritas Nasional 9 (PN 9) Kebun Raya Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Suhadinoto dan I Nyoman Sudiatna selaku teknisi lapangan, serta Kepala Balai Taman Nasional Gunung Rinjani beserta jajarannya untuk izin masuk ke dalam kawasan. DAFTAR PUSTAKA Al-Sherif, E.A., Amer, W., Khodary, S.E.A. & Azmy, W. (2009). Ecological studies on Salix distribution in Egypt. Asian Journal of Plant Sciences 12(2):1-5. Badan Pusat Statistik. (2013). Nusa Tenggara Barat dalam angka 2013. Mataram: Badan Pusat Press. Carstensen, D.W., Dalsgaard, B., Svenning, J.C., Rahbek, C., Fjelda, J., Sutherland, W.J. & Olesen, J.M. (2011). Biogeographical modules and island roles: a comparison of Wallacea and the West Indies. Journal of Biogeography 39(4): 739-749. Comber, J.B. (2000). Orchids of Java. Kew: Royal Botanic Gardens Press. Dipokusumo, B., Katodihardjo, H., Darusman, D. & Dharmawan, A.H. (2011). Kajian dinamika kebijakan hutan kemasyarakatan dan alternatif penyelesaian konflik kepentingan pada kawasan hutan lindung di Pulau Lombok. Agroteksos 21(2): 165176. Eisenman, S.W., Tucker, A.O. & Struwe, L. (2012). Voucher specimens are essential for documenting source material used in medicinal plants investigations. Journal of Medicinally Active Plants 1(1): 30-43.
PROSIDING, Copyright© 2016 189
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gan, Y.J., Mei, W.L., Zhao, Y.X. & Dai, H.F. (2009). A new cytotoxic cardenolide from the latex of Antiaris toxicaria. Chinese Chemical Letters 20(4): 450-452. Guarrera, P.M. & Savo, V. (2013). Perceived health properties of wild and cultivated food plants in local and popular traditions of Italy: A review. Journal of Ethnopharmacology 146: 659-680. Gunawan, M.W., Sumarno, A., Subarnas, A., Hamid, M. & Asnawi, A. (2011). Sekilas Taman Nasional Gunung Rinjani. Mataram: Balai Taman Nasional Gunung Rinjani Kementerian Kehutanan. Jalaludin, A.A. (2013). Analisis parameter sosio-demografik Provinsi Nusa Tenggara Barat. Majalah Ekonomi 23(2): 21-32. Kementerian Kehutanan. (2012). Buku Statistik Balai Taman Nasional Gunung Rinjani. Mataram: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Keppel, G., Tuiwawa, M.V., Naikatini, A. & Rounds I.A. (2011). Microhabitat specialization of tropical rain-forest canopy trees in the Sovi Basin, Viti Levu, Fiji Islands. Journal of Tropical Ecology 27(5): 491-501. Khan, M.I., Ahmad, N. & Anis, M. (2011). The role of cytokinins on in vitro shoot production in Salix tetrasperma Roxb.: a tree of ecological importance. Trees 25, 577-584. Kimura, K., Yumoto, T., Kikuzawa, K. & Kitayama, K. (2009). Flowering and fruiting seasonality of eight species of Medinilla (Melastomataceae) in a tropical montane forest of Mount Kinabalu, Borneo. Tropics 18(1): 35-44. Kurzweil, H. (2010). A precursory study of the Calanthe group (Orchidaceae) in Thailand. Adansonia 32(1): 57-107. Lugrayasa, I.N., Warnata, I.W. & Arinasa, I.B.K (2009). An alphabetical list of plant species cultivated in Eka Karya Bali Botanic Garden catalogue. Jakarta: LIPI Press. Magdalena, Lawrence, D., Filer, C., Potter, L. & Resosudarmono, B.P. (2013). Local management arrangements in Sesaot forest, Lombok, Indonesia. Journal of Environmental Technology and Management 4(1): 1-21. Mijnsbrugge, K.V., Bischoff, A. & Smith, B. (2010). A question of origin: where and how to collect seed for ecological restoration. Basic and Applied Ecology 11(4): 300-311. Misra, C.S., Pratyush, K., Lipin, D.M.S., James, J., Veettil, A.K.T. & Thamkanami, V. (2011). A comparative study on phytochemical screening and antibacterial activity of roots of Alstonia scholaris with the roots, leaves and stem bark. International Journal of Research in Phytochemistry & Pharmacology 1(2): 77-82. Monk, K.A., Freetes, Y. & Gayatri, R.L. (2000). Seri Ekologi Indonesia volume V: Ekologi Nusa Tenggara dan Maluku. Jakarta: PrenHallindo. Nagakura, Y., Yamanaka, R., Hirasawa, Y., Hosoya, T., Rahman, A., Kusumawati, I., Zaini, N.C. & Morita, H. (2010). Gaudichaudysolin A, a new limonoid from the bark of Dysoxylum gaudichaudianum. Heterocycles 80(2): 1-7. Peneng, I.N & Sujarwo, W. (2011). Pertelaan Morfologi Medinilla spp. di Kebun Raya “Eka Karya” Bali Dalam Rangka Pengembangan Tanaman Hias. Widyariset 14(3), 497-506. Riswan, S. &Sangat-Roemantyo, H. (2002). Jamu as traditional medicine in Java, Indonesia. South Pacific Study 23, 1-10. Rugayah, Widjaja, E.A. & Pratiwi. (2005). Pedoman pengumpulan data keanekaragaman flora. Cibinong: Pusat Penelitian Biologi LIPI. Shang, J.H., Cai, X.H., Feng, T., Zhao, Y.L., Wang, J.K., Zhang, L.Y. Luo, X.D. (2010). Pharmacological evaluation of Alstonia scholaris: Anti-inflammatory and analgesic effects. Journal of Ethnopharmacology 129(2): 174–181. Shi, L.S., Liao, Y.R., Su, M.J., Lee, A.S., Kuo, P.C., Damu, A.G. Wu, T.S. (2010). Cardiac glycosides from Antiaris toxicaria with potent cardiotonic activity. Journal of Natural Products 73(7): 1214-1222. PROSIDING, Copyright© 2016 190
Seminar Nasional Biosains 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Silvera, P., Schuiteman, A., Vermeulen, J.J., Sousa, A.J., Silva, H., Paiva, J. & de Vogel, D. (2009). The orchids of Timor: checklist and conservation status. Botanical Journal of the Linnean Society 157: 197-215. Suvil, T., Tedersoo, L., Abarenkov, K., Beaver, K., Gerlach, J. & Koljalg, U. (2010). Mycorrhizal symbionts of Pisonia grandis and P. sechellarum in Seychelles: identification of mycorrhizal fungi and description of new Tomentella species. Mycologia 102(3): 522-533. The plantlist. (2014). The plantlist database. Diakses tanggal 5 Agustus 2014 dari http://www.theplantlist.org. Van Welzen, P.C. & Raes, N. (2011). The floristic position of Java. Gardens’ Bulletin Singapore 63(1): 329-339. Whitmore, T.C. (1972). Tree flora of Malaya volume I. London: Longman. Whitmore, T.C. (1973). Tree flora of Malaya volume II. London: Prentice Hall Press. Yulia, N.D. & Budiharta, S. (2011). Epiphytic orchids and host trees diversity at Gunung Manyutan Forest Reserve, Wilis Mountain, Ponorogo, East Java. Biodiversitas 12(1): 22-27.
PROSIDING, Copyright© 2016 191
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Lampiran (Appendix) 1. Daftar jenis tanaman yang ditemukan di lokasi penelitian (List of obtained species in the studied areas) No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40
Nama latin (Scientific name) Actinodaphne glomerata (Blume) Nees Adenanthera pavonina L. Adiantum hispidulum Sw. Aerides sp. Aeschynanthus perakensis Ridl. Aglaia eximia Miq. Aglaia sp. Aglaomorpha heraclea Copel. Alectryon serratus Radlk. Alocasia macrorrhizos (L.) G.Don Alstonia scholaris (L.) R. Br. Alstonia spectabilis R.Br. Amaracarpus sp. Antiaris toxicaria Lesch. Appendicula sp. Appendicula sp.1 Appendicula sp.2 Appendicula sp.3 Appendicula sp.4 Aquilaria malaccensis Lam. Ardisia humilis Vahl Ardisia sp. Ardisia sp.1 Arenga pinnata (Wurmb) Merr. Arundina graminifolia (D.Don) Hochr. Asplenium belangeri Bory Asplenium nidus L. Asplenium normale D. Don Asplenium sp. Asplenium sp.1 Asplenium sp.2 Asplenium sp.3 Asplenium sp.4 Asplenium tenerum G. Forst Athyrium sp. Athyrium sp.1 Baccaurea sp. Begonia longifolia Blume Begonia sp. Bischofia javanica Blume
Nama daerah (Vernacular name) Gale gending
Gaharu
Prabu
Famili (Family) Lauraceae Fabaceae Adiantaceae Orchidaceae Gesneriaceae Meliaceae Meliaceae Polypodiaceae Sapindaceae Araceae Apocynaceae Apocynaceae Rubiaceae Moraceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Thymeliaceae Myrsinaceae Myrsinaceae Myrsinaceae Arecaceae Orchidaceae Aspleniaceae Aspleniaceae Aspleniaceae Aspleniaceae Aspleniaceae Aspleniaceae Aspleniaceae Aspleniaceae Aspleniaceae Athyriaceae Woodsiaceae Euphorbiaceae Begoniaceae Begoniaceae Euphorbiaceae
Habitus (Life form) T T Tr. Ep. Ep. T T Ep. T Sh. T T Sh. T Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. T T T T T Tr. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Tr. Ep. Ep. Tr. Tr. T Sh. Sh. T
Lokasi (Site) Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Reban Bela Hutan Lindung Sebau TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Orong Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Reban Bela Hutan Lindung Tandakan TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Kedatu TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Orong Hutan Lindung Tandakan TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Dasan Erot, Kec. Wanasaba Hutan Lindung Tandakan TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Kedatu Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Orong
Nomer akses (Voucher) F2013090022 F2013090005 F2013090234 F2013090229 F2013090103 F2013090056 F2013090034 F2013090136 F2013090001 F2013090231 F2013090041 F2013090049 F2013090177 F2013090216 F2013090055 F2013090102 F2013090154 F2013090155 F2013090158 F2013090137 F2013090040 F2013090044 F2013090089 F2013090120 F2013090151 F2013090241 F2013090084 F2013090183 F2013090182 F2013090184 F2013090188 F2013090232 F2013090237 F2013090233 F2013090240 F2013090164 F2013090009 F2013090220 F2013090170 F2013090130
PROSIDING, Copyright© 2016
192
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi” 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83
Bulbophyllum flavidiflorum Carr Bulbophyllum lobbii Lindl. Bulbophyllum odoratum (Blume) Lindl. Bulbophyllum sp.1 Bulbophyllum sp.2 Bulbophyllum sp.3 Bulbophyllum sp.4 Bulbophyllum sp.5 Bulbophyllum sp.6 Bulbophyllum sp.7 Bulbophyllum sp.8 Bulbophyllum sp.9 Bulbophyllum sp.10 Bulbophyllum sp.11 Bulbophyllum sp.12 Bulbophyllum vaginatum (Lindl.) Rchb.f. Calanthe sylvatica (Thouars) Lindl.. Calanthe veratrifolia (Willd.) R.Br.ex.Ker Gawl. Calophyllum inophyllum L. Calophyllum soualattri Burm.f. Canarium acutifolium (DC.) Merr. Cassia javanica L. Ceratostylis sp. Chisocheton macrophyllus King Chrysophyllum sp. Cinnamomum zeylanicum Breyn. Claoxylon sp. Cleidion javanicum Blume Coelogyne sp. Colysis sp. Croton morifolius Willd. Croton sp. Croton sp.1 Croton sp.2 Cryptocarya densiflora Blume Curculigo orchioides Gaertn. Cyathea sp. Cyclosorus sp. Cyclosorus sp.1 Cyclosorus sp.2 Dendrobium sagittatum J.J.Sm. Dendrobium sp. Dendrobium sp.1
Gala gending
Memeni
Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Calophyllaceae Calophyllaceae Burseraceae Fabaceae Orchidaceae Meliaceae Sapotaceae Lauraceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Orchidaceae Polypodiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Lauraceae Liliaceae Cyatheaceae Thelypteridaceae Thelypteridaceae Thelypteridaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae
Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Tr. Tr. T T T T Ep. T T T T T Ep. Ep. T T T T T Sh. T Tr. Tr. Tr. Ep. Ep. Ep.
Hutan Lindung Bukit Bao Sapit TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Reban Bela Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Orong Hutan Lindung Orong Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Hutan Lindung Bukit Bao Sapit TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Orong Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Bukit Bao Sapit TN. Gunung Rinjani
F2013090122 F2013090052 F2013090195 F2013090057 F2013090059 F2013090066 F2013090067 F2013090068 F2013090071 F2013090072 F2013090073 F2013090076 F2013090086 F2013090157 F2013090200 F2013090069 F2013090098 F2013090180 F2013090222 F2013090117 F2013090026 F2013090015 F2013090141 F2013090132 F2013090030 F2013090118 F2013090031 F2013090025 F2013090083 F2013090239 F2013090029 F2013090111 F2013090112 F2013090148 F2013090096 F2013090134 F2013090124 F2013090165 F2013090167 F2013090236 F2013090077 F2013090121 F2013090054
PROSIDING, Copyright© 2016
193
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi” 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125
Dendrobium sp.2 Dendrobium sp.3 Dendrobium sp.4 Dendrochilum simile Blume Dendrochilum sp. Dendrochilum sp.1 Dendrochilum sp.2 Dendrochilum sp.3 Dendrocnide sp. Dendrocnide stimulans (L.f.) Chew Diospyros andamanica (Kurz) Bakh. Diospyros sp. Dysoxylum gaudichaudianum (A.Juss.) Miq. Dysoxylum sp. Dysoxylum sp.1 Elaeocarpus glaber Blume Elaeocarpus sphaericus (Gaertn.) K.Schum. Engelhardia spicata var. aceriflora (Reinw.) Koord. & Val. Engelhardtia serrata Blume Eria javanica (Sw.) Blume Eria sp. Eria sp.1 Eria sp.2 Eria sp.3 Eria sp.4 Eria sp.5 Eria sp.6 Eria sp.7 Eria sp.8 Eria sp.9 Eria sp.10 Eria sp.11 Erioglossum rubiginosum (Roxb.) Blume Euchresta horsfieldii (Lesch.) Benn. Eugenia opaca O.Berg Euodia sp. Euonymus javanicus Blume Ficus benjamina L. Ficus callosa Willd. Ficus drupacea Thunb. Ficus elastica Roxb. Ficus hispida L.f.
Jelatang
Kelayu Bebeluk
Terep
Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Urticaceae Urticaceae Ebenaceae Ebenaceae Meliaceae Meliaceae Meliaceae Elaeocarpaceae Elaeocarpaceae Juglandaceae
Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. T T T T T T T T T
Juglandaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Sapindaceae Fabaceae Myrtaceae Rutaceae Celastraceae Moraceae Moraceae Moreaceae Moraceae Moraceae
T Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. T Sh. T T T T T T T T
T
Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Sebau TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Hutan Lindung Gawah Gong Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Sebau
F2013090099 F2013090196 F2013090160 F2013090070 F2013090201 F2013090081 F2013090082 F2013090105 F2013090051 F2013090190 F2013090024 F2013090019 F2013090023 F2013090037 F2013090107 F2013090204 F2013090028 F2013090090
Hutan Lindung Orong TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Orong Hutan Lindung Orong TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Tandakan TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Gawah Gong Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Reban Bela Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan
F2013090138 F2013090053 F2013090162 F2013090074 F2013090078 F2013090079 F2013090080 F2013090100 F2013090140 F2013090143 F2013090153 F2013090159 F2013090193 F2013090194 F2013090039 F2013090169 F2013090058 F2013090115 F2013090095 F2013090208 F2013090174 F2013090221 F2013090017 F2013090018
PROSIDING, Copyright© 2016
194
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi” 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168
Ficus retusa L. Ficus sp. Ficus sp.1 Ficus sp.2 Ficus sp.3 Flickingeria sp. Galearia sp. Garcinia sp. Garcinia sp.1 Garcinia sp.2 Garuga floribunda Decne Glochidion rubrum Blume Glochidion sp. Gomphandra sp. Harpullia sp. Helicia serrata Blume Hoya dolichosparte Schltr. Huperzia squarrosa (G. Forst.) Trevis. Hypobathrum sp. Ixora sp. Kleinhovia hospita L. Lagerstroemia floribunda Jack Leea aculeata Blume ex Spreng. Lindsaea sp. Lindsaea sp.1 Liparis compressa (Blume) Lindl. Liparis sp. Liparis sp.1 Liparis sp.2 Liparis sp.3 Litsea glutinosa (Lour.) C.B. Rob. Litsea odorifera Valeton Litsea sp. Lophopetalum javanum Turcz Lophopetalum sp. Loxogramme avenia C.Presl Lucuma sp. Luisia javanica J.J.Sm. Magnolia champaca (L.) Baill. ex Pierre Magnolia sp. Malaxis sp. Malaxis sp.1 Malleola baliensis J.J.Sm
Suren
Brora
Wak odak Temak
Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Moraceae Orchidaceae Euphorbiaceae Clusiaceae Clusiaceae Clusiaceae Burseraceae Euphorbiaceae Euphorbiaceae Icacinaceae Sapindaceae Proteaceae Asclepiadaceae Lycopodiaceae Rubiaceae Rubiaceae Malvaceae Lythraceae Leaceae Lindsaeaceae Lindsaeaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Lauraceae Lauraceae Lauraceae Celastraceae Celastraceae Polypodiaceae Sapotaceae Orchidaceae Magnoliaceae Magnoliaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae
T T T T T Ep. T T T T T T T T T T Cl. Ep. T T T T T Cl. Tr. Ep. Ep. Ep. Ep. Ep. T T T T T Ep. T Ep. T T Tr. Tr. Ep.
Hutan Lindung Reban Bela TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Orong TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Orong Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Gawah Gong Hutan Lindung Reban Bela Hutan Lindung Tandakan TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Orong Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Gawah Gong TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Reban Bela Hutan Lindung Reban Bela Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Orong TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Gawah Gong Hutan Lindung Kedatu Hutan Lindung Gawah Gong Hutan Lindung Bukit Bao Sapit TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Orong Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Gawah Gong Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Sebau TN. Gunung Rinjani
F2013090223 F2013090062 F2013090127 F2013090146 F2013090176 F2013090065 F2013090128 F2013090008 F2013090206 F2013090226 F2013090013 F2013090048 F2013090064 F2013090061 F2013090133 F2013090191 F2013090212 F2013090085 F2013090032 F2013090035 F2013090006 F2013090228 F2013090225 F2013090181 F2013090235 F2013090192 F2013090145 F2013090156 F2013090197 F2013090213 F2013090219 F2013090209 F2013090116 F2013090046 F2013090060 F2013090142 F2013090003 F2013090214 F2013090091 F2013090114 F2013090094 F2013090101 F2013090161
PROSIDING, Copyright© 2016
195
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi” 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178 179 180 181 182 183 184 185 186 187 188 189 190 191 192 193 194 195 196 197 198 199 200 201 202 203 204 205 206 207 208 209 210
Malleola sp. Mallotus sp. Mangifera sp. Marattia sp. Medinilla sp. Medinilla speciosa (Reinw. ex Bl.) Bl. Melastoma malabathricum L. Melicope latifolia (DC.) T.G. Hartley Microcos sp. Microsorium punctatum (L.) Copel. Mischocarpus sundaicus Blume Myristica sp. Myristica sp.1 Nauclea sp. Neolitsea sp. Oberonia similis (Blume) Lindl. Oberonia sp. Ophioglossum pendulum L. Palaquium sp. Pandanus sp. Parinari corymbosa (Blume) Miq. Phaius sp. Phaleria octandra (L.) Baill. Picrasma javanica Blume Pinanga coronata (Blume ex Mart.) Blume Piper sp. Pisonia umbellifera (J.R. Forst. & G. Forst.) Seem Pittosporum sp. Platea excelsa Blume Platea sp. Plocoglottis sp. Polyosma integrifolia Blume Pometia pinnata J.R. Forst. & G. Forst. Pothos sp. Protium javanicum Burm.f. Psilotum nudum (L.) P. Beauv. Pteris sp. Rouvolfia sp. Salix tetrasperma Roxb. Saurauia sp. Schefflera actinophylla (Endl.) Harms Sloanea sigun (Blume) K. Schum.
Lepit Pao gawak
Kayu darah
Embur
Kason
Kates
Orchidaceae Euphorbiaceae Anacardiaceae Marattiaceae Melastomataceae Melastomataceae Melastomataceae Rutaceae Malvaceae Polypodiaceae Sapindaceae Myristicaceae Myristicaceae Rubiaceae Lauraceae Orchidaceae Orchidaceae Ophioglossaceae Sapotaceae Pandanaceae Chrysobalanaceae Orchidaceae Thymeliaceae Simaroubaceae Arecaceae Piperaceae Nyctaginaceae
Ep. T T Tr. Cl. Sh. T T T Ep. T T T T T Ep. Ep. Ep. T T T Tr. Sh. T T Cl.
Pittosporaceae Icacinaceae Icacinaceae Orchidaceae Saxifragaceae Sapindaceae Araceae Burseraceae Psilotaceae Pteridaceae Apocynaceae Salicaceae Saurauiaceae Araliaceae Elaeocarpaceae
T T T Ep. T T Cl. T Ep. Tr. T T T T T
T
Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Orong Hutan Lindung Sebau TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Gawah Gong TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Reban Bela Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Orong Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Kedatu Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Gawah Gong
F2013090123 F2013090109 F2013090036 F2013090179 F2013090135 F2013090178 F2013090150 F2013090097 F2013090033 F2013090211 F2013090045 F2013090004 F2013090224 F2013090189 F2013090119 F2013090186 F2013090198 F2013090131 F2013090011 F2013090104 F2013090027 F2013090106 F2013090218 F2013090010 F2013090092 F2013090171 F2013090205
TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Hutan Lindung Orong TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Gawah Gong Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Reban Bela Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Gawah Gong Hutan Lindung Sebau TN. Gunung Rinjani TN. Gunung Rinjani
F2013090063 F2013090042 F2013090113 F2013090125 F2013090043 F2013090173 F2013090202 F2013090007 F2013090230 F2013090166 F2013090088 F2013090207 F2013090087 F2013090149 F2013090050
PROSIDING, Copyright© 2016
196
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi” 211 212 213 214 215 216 217 218 219 220 221 222 223 224 225 226 227 228 229 230 231 232 233 234 235 236 237 238 239 240 241
Spathoglottis plicata Blume Spondias malayana Kosterm Stenochlaena sp. Sterculia foetida L. Sterculia sp. Sterculia sp.1 Streblus asper Lour. Suregada glomerulata (Blume) Baill. Symplocos sp. Syzygium polyanthum (Wight) Walp. Syzygium sp. Syzygium sp.1 Syzygium sp.2 Syzygium syzygioides (Miq.) Merr. & L.M.Perry Syzygium zollingerianum (Miq.) Amshoff Tectaria sp. Tectaria sp.1 Thrixspermum sp. Thrixspermum sp.1 Thrixspermum sp.2 Thrixspermum subulatum (Blume) Rchb.f. Timonius sp. Trema orientalis (L.) Blume Trichoglottis sp. Trichotosia ferox Blume Viburnum sp. Vittaria ensiformis Sw Voacanga grandifolia (Miq.) Rolfe Zanthoxylum ovatifoliolatum (Engl.) Finkelstein -
Kedondong hutan Kepuh Serangge Prek Jangan
Lungsir
Menjrong
Orchidaceae Anacardiaceae Lomariopsidaceae Malvaceae Sterculiaceae Sterculiaceae Moraceae Euphorbiaceae Symplocaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Myrtaceae Tectariaceae Tectariaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Orchidaceae Rubiaceae Cannabaceae Orchidaceae Orchidaceae Caprifoliaceae Vittariaceae Apocynaceae Rutaceae Orchidaceae Polypodiaceae
Tr. T Tr. T T T T T T T T T T T T Tr. Tr. Ep. Ep. Ep. Ep. T T Ep. Ep. T Ep. T T Tr. Cl.
Dasan Erot, Kec. Wanasaba Hutan Lindung Tandakan TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Gawah Gong Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Tandakan TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Hutan Lindung Orong Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Orong Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Gawah Gong Hutan Lindung Reban Bela Hutan Lindung Bukit Bao Sapit Hutan Lindung Orong TN. Gunung Rinjani Hutan Lindung Sebau Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Kedatu Hutan Lindung Kedatu Hutan Lindung Tandakan Hutan Lindung Orong
F2013090152 F2013090020 F2013090147 F2013090014 F2013090172 F2013090203 F2013090002 F2013090038 F2013090093 F2013090012 F2013090047 F2013090108 F2013090126 F2013090016 F2013090021 F2013090168 F2013090185 F2013090139 F2013090187 F2013090199 F2013090210 F2013090227 F2013090110 F2013090144 F2013090075 F2013090175 F2013090238 F2013090215 F2013090217 F2013090163 F2013090129
Keterangan (remarks): T = pohon (tree) Sh = semak (shrub) Cl. = merambat (climber) Ep. = Epifit (epiphytic) Tr. = Terestrial (terrestrial) TN. = Taman nasional (national park)
PROSIDING, Copyright© 2016
197
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KAJIAN STATUS SISTEM TIYAITIKI DI PERAIRAN PESISIR TELUK TANAH MERAH JAYAPURA PAPUA Puguh Sujarta Jurusan Biologi FMIPA Universitas Cenderawasih Jayapura ABSTRAK Sistem Tiyaitiki merupakan bentuk peran serta masyarakat lokal secara tradisional dalam menjaga kelestarian alam berdasarkan kearifan lokal. Tujuan penelitian ini untuk mengetahuipengertian sistem Tiyaitiki danstatus sistem Tiyaitiki dalam kaidah umum sistem konservasi dalam perundang-undangan yang berlaku. Penelitian ini dilakukan pada bulan MeiAgustus 2013 di masyarakat wilayah pesisir Teluk Tanah Merah Jayapura Papua, metode sampling dengan metode wawancara (kuisener) dan penelusuran pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem ini merupakan suatu pengetahuan tradisional, sebagai ilmu, dan merupakan teknologi.Didasarkan dengan kaidah umum sistem ini mempunyai konsep, tujuan, manfaat, sistem zonasi, dan kelembagaan yang sesuai peraturan perundang-undangan. Kata kunci :Tiyaitiki, konservasi, kearifan lokal, Teluk Tanah Merah, Jayapura PENDAHULUAN Papua sangat kaya akan keanekaragaman hayati dan bersuku ragam dengan kearifan lokal masing-masing. Peranan masyarakat dalam menjaga keanekaragaman tersebut sangat diperlukan khususnya masyarakat pesisir. Menurut Hidayati dan Rahardjo(1997) bahwa masyarakat pesisir, seperti halnya dengan masyarakat tradisional lainnya di daratan, menggunakan pengetahuan sumberdaya alam mereka untuk memenuhi kebutuhan hidup. Masyarakat pesisir, khususnya nelayan, biasanya menggunakan pengetahuan tradisional sebagai guide dalam kegiatan mereka di laut. Dari pengalaman turun temurun, mereka telah dapat mempertimbangkan keadaan iklim, arus, migrasi burung-burung untuk mendeterminasi tempat-tempat penangkapan ikan dan biota laut lainnya. Jadi mereka mengetahui dimana mereka akan menangkap ikan, jenis ikan apa yang banyak dan kapan waktunya. Pengetahuan seperti itu, memainkan peran yang penting dalam adaptasi mereka dengan lingkungan, khususnya ekosistem pesisir dan laut. Pandangan atau sistem pengetahuan demikian mendorong mereka untuk membuat pranata-pranata sosial tertentu untuk menjaga dan melindungi sumber daya alam agar lestari pemanfaatannya. Sistem ini dikenal luas oleh masyarakat di berbagai tempat di Tanah Papua, misalnya di daerah Tabla (Depapre) sistem ini disebut takayetiki, di daerah Biak, Teluk Cenderawasih dan Kepulauan Raja Ampat dikenal dengan sistem sasi (Mansoben, 2003). Contohnya pranata sosial yang dilakukan oleh masyarakat Teluk Tanah Merah adalah Tiyaitiki. Pengertian Tiyaitiki (Tiaitiki) adalah Pengetahuan mengatur, mengelola, memanfaatkan dan melestarikan sumber daya laut dan pesisir dalam konteks lokal (Yarisetou, 2009). Sistem Tiyaitiki merupakan bentuk peran serta masyarakat lokal secara tradisional dalam menjaga kelestarian alam berdasarkan kearifan lokal. Penelitian kearifan lokal sangat menarik kita kaji untuk menguji status kondisi keberadaan dan kekuatan dalam menjaga kelestarian alam. TUJUAN PENELITIAN Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengertian sistem Tiyaitiki danstatus sistem Tiyaitiki dalam kaidah umum sistem konservasi dalam perundang-undangan yang berlaku.
PROSIDING, Copyright© 2016
198
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
METODE Penelitian ini dilakukan pada bulan Mei-Agustus 2013 di wilayah pesisir Teluk Tanah Merah Jayapura Papua, metode sampling dengan metode survey dengan metode wawancara (kuisener) dan penelusuran pustaka di 2 stasiun yaitu stasiun 1 (pada 02o27’30” - 02o27’40” Lintang Selatan dan 140o20’35” – 140o20’45’’ Bujur Timur) dan stasiun 2 (pada 02o25’27” 02o25’37” Lintang Selatan dan 140o22’00” – 140o22’10’’ Bujur Timur). HASIL DAN PEMBAHASAN Letak geografis Teluk Tanah Merah yang sangat strategis dan sangat menguntungkan bagi kehidupan masyarakat. Berbagai potensi dan sumberdaya alam laut yang dapat dimanfaatkan masyarakat. Hasil sumberdaya alam yang sampai sekarang tidak pernah surut adalah sumberdaya perikanan, sehingga matapencaharian masyarakat yang utama adalah nelayan. Panorama kawasan perairan Teluk Tanah Merah begitu indah dan menakjubkan sehingga sangat menarik perhatian para wisatawan domestik maupun mancanegara. Pertumbuhan potensi pariwisata di perairan Teluk Tanah Merah sangat menggairahkan perekonomian masyarakat setempat, dari kebutuhan jasa transportasi, jasa parkir kendaraan, jasa penginapan hingga para-para (tempat) untuk berteduh para wisatawan. Tiga kawasan menarik yang sering dikunjungi yaitu pantai Harlem dan Pantai Amay (di kampung Tablasupa) serta Pantai Tablanusu yang khas dengan bebatuan kecilnya. Seiring dengan pembangunan wilayah kampung yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Jayapura pada tahun 2011 dengan dibukanya jalan darat dan dicanangkan menjadi kampung wisata yang dilengkapi dengan fasilitas penginapan seperti hotel maupun tenda untuk menginap menjadikan jumlah pengunjung berwisata di Pantai Tablanusu pada setiap hari Sabtu atau Minggu (musim liburan) melimpah hingga ratusan pengunjung. Kondisi demikian dapat diartikan ada keuntungan ekonomi bagi masyarakat dan ada kerugian bagi kondisi ekosistem yang ada apabila tidak dikelola dengan arif dan bijaksana. Hasil penelusuran pustaka mengenai Tiyaitiki menunjukkan sepanjang tahun 2000 hingga 2011 dijumpai berbagai macam istilah dan penulisan yang berbeda-beda, namun setelah kita kaji pada hakekatnya maksud dan tujuannya mengandung arti yang sama yaitu suatu pengetahuan tentang pembagian wilayah laut dan daratannya yang disertai dengan berbagai larangannya. Istilah tersebut seperti Tiyatiki (Anonim,2000; 2011b; 2011c), Takayetiki(Mansoben, 2003), Tiatiki (Mansay,2003), Tiayitiki (Anonim, 2003), Tiyaitiki (Anonim, 2004; Serontou, 2005) dan Tiaitiki (Yarisetou,2008). Istilah Tiyatiki pada masyarakat Tepra merupakan subsistem dari hukum Adat Irian Jaya (Papua) yang mengatur pemanfaatan dan perlindungan sumberdaya alam (lingkungan laut) yang ada dalam Pertuanan suatu masyarakat hukum (adat) yang ditaati oleh warga. Hukum adat mengenai pengelolaan lingkungan laut dapat diketahui melalui : 1). Pandangan masyarakat terhadap wilayah laut, 2). Penetapan batas-batas laut secara tradisional, 3). Perlindungan terhadap wilayah laut, dan 4). Pemanfaatan sumberdaya laut (Anonim, 2000). Istilah Tiatiki pada Masyarakat Adat Tepera Deponsero Utara merupakan aturan perlindungan dan larangan yang disertai sanksi-sanksi bagi siapapun yang menangkap, mengambil, atau memanfaatkan sumberdaya hayati tertentu selama kurun waktu yang disepakati bersama, untuk memberi kesempatan tumbuh dan berkembangnya sumberdaya hayati di kawasan tertentu sehingga terjaga kelestariannya dan memberi hasil yang optimal saat Tiatiki dibuka. Kearifan dalam pembagian wilayah atau sistem zonasi mulai dari kawasan hutan sampai ke laut. Wilayah tingkra waukra atau sero bura bagian puncak yang diselimuti oleh awan dijadikan kawasan lindung, osena kawasan pemanfaatan terbatas atau zona penyangga, seke wilayah untuk berkebun, borutu pantai yang berbatu mulai dari batas air laut, yepato pantai yang berpasir mulai dari batas air laut, akato bagian terumbu karang hingga bagian
PROSIDING, Copyright© 2016
199
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tebing karang, naumuso wilayah yang berbatasan dengan wilayah terumbu karang hingga laut dalam, betanau laut lepas yang dikelola dalam waktu tertentu (Mansay, 2003). Istilah Tiayitiki budaya perlindungan sumberdaya alam laut masyarakat Defonsero utara merupakan konsep pembagian wilayah laut dan darat disertai dengan aturan-aturan dan larangannya. Membagi wilayah laut dalam 3 bagian yaitu 1). Wilayah sekare merupakan wilayah pantai yang dimiliki oleh keret-keret tertentu, 2). Wilayah naukoti merupakan wilayah laut yang dimiliki bersama-sama dan berada dekat pantai hingga sebelum laut bebas, dan 3). Wilayah naukura merupakan wilayah laut lepas dan bebas bagi siapa saja. Tiayitiki juga merupakan peraturan adat yang mempunyai peranan penting dalam memulai upacara-upacara adat seperti pesta rakyat dalam pelantikan Ondoafi baru, mengenang arwah leluhur, pesta perkawinan, dan upacara peresmian rumah baru. Oleh karena itu, masyarakat Defonsero utara khususnya kampung Tablanusu menyebut dengan Tiayitiki Sekare (Anonim, 2003). Istilah Tiyaitiki pada Masyarakat Suku Tepra khususnya masyarakat Kampung Tablasupa suatu kearifan masyarakat tentang sistem pengelolaan sumberdaya alam merupakan suatu upaya perlindungan biota laut dan ekosistemnya pada suatu luasan laut selama waktu tertentu. Pengambilan biota laut di dalam kawasan yang dilarang sampai waktu Tiyaitiki dibuka. Pelaksanaan pembukaan Tiyaitiki biasanya dilakukan apabila seorang Ondoafi meninggal atau kepentingan sosial lainnya seperti pembangunan gereja. Potensi darat yang juga biasa dilindungi atau dikenakan aturan Tiyaitiki seperti pinang, kelapa, dan sagu (Anonim, 2004). Pengertian Tiyaitiki merupakan kearifan lokal melarang masyarakat masuk ke suatu lokasi yang diberlakukan penutupan baik di darat maupun di laut. Di darat, tanah mempunyai batas hak individu, hak komunitas, dan hak kampung. Di laut, hanya ada hak komunitas dan hak kampung sedangkan hak individu tidak ada. Oleh sebab itu, yang melakukan Tiyaitiki adalah Kepala Keret atau orang yang ditunjuk oleh Keret yang mempunyai lokasi (Serontou, 2005). Istilah Tiaitiki istilah bahasa lokal (Tabla/Yokari) berarti ”menutup/tutup”, ini dimaksud mengandung unsur larangan atau hukum dalam wujud sanksi fisik, dan sanksi non fisik (magis). Pemaknaan Tiaitiki diformulasikan lebih luas pengertiannya adalah ”Pengetahuan mengatur”. Konsep Tiaitiki yaitu pengetahuan mengatur, mengelola, memanfaatkan dan melestarikan sumber-sumber daya laut dan pesisir dalam konteks lokal, sebagai konsep altenatif, pengetahuan Tiaitiki ini serupa dengan konsep konservasi. Pembagian wilayah laut pesisir meliputi akadame, bagian laut dari batas surut air laut sampai batas air pasang, kia-kia bagian laut yang berada antara akadame dan nau koti, nau koti bagian laut yang berada antara kia-kia dan beta nau, dan beta nau bagian laut yang berada dekat laut lepas. Ketiga wilayah akadame, kia-kia, nau koti merupakan wilayah hak ulayat adat, wilayah inilah Tiaitiki diberlakukan (Yarisetou, 2008). Istilah Tiyatiki seperti sasi atau pelarangan menangkap ikan selama beberapa waktu untuk dan kebiasaan dalam menjaga serta melestarikan laut. Dalam upacara Tiyatiki terdapat beberapa pentahapan dalam pelaksanaannya yaitu tahap perencanaan, tahap pelaksanaan, serta tahap pembukaan dan penutupan. Perencanaan Tiyatiki terjadi karena sebuah peristiwa seperti ada Ondoafi atau Kepala Suku atau Keret meninggal dunia, pelantikan Ondoafi dan peresmian rumah baru. Selain itu, konsep Tiyatiki untuk menentukan batas wilayah laut. Masyarakat membagi wilayah laut meliputi daerah pinggir laut disebut borotu merupakan daerah tangkapan ikan di pinggir pantai (daerah batas pantai) dan batas air surut. Wilayah ini dikuasai keret tertentu yang ditetapkan secara turun temurun. Kedua adalah wilayah Tiyatiki merupakan wilayah pelarangan tangkap ikan karena diberlakukan penutupan dalam kurun waktu tertentu. Berikutnya adalah wilayah akatu merupakan daerah terumbu karang pada batas air surut hingga ke tebing karang, wilayah yang dikuasai keret tertentu dan diberlakukan Tiyatiki. Wilayah kota merupakan wilayah laut dalam sesuai batas kampung, dikuasai oleh masyarakat kampung
PROSIDING, Copyright© 2016
200
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
setempat. Dan wilayah beta meliputi wilayah laut bebas yang diperuntukkan oleh siapapun (Anonim, 2011b; 2011c). Berdasarkan uraian istilah di atas menunjukkan bahwa Tiyaitiki dapat dikatakan sebagai suatu sistem konservasi, alasannya mempunyai konsep, tujuan, sistem atau lembaga yang jelas, dan mengenal sistem zonasi dalam upaya melindungi sumberdaya alam. Hal ini sesuai pendapat Laksono dan Ali (1995), bahwa praktek hak ulayat laut tidak dapat dipisahkan dari masalah eksklusivitas wilayah penangkapan yang dimiliki oleh suatu unit sosial tertentu dan didasarkan pada aspek hukum adat. Berbagai pendapat tentang Tiyaitiki yang telah dijelaskan didepan yang dapat diartikan secara garis besar bahwa pengetahuan Tiyaitiki termasuk bentuk kearifan lokal dalam menjaga dan melindungi sumberdaya alam di laut, dipayungi UndangUndang RI No. 27 Tahun 2007 pasal 61 menyatakan Pemerintah mengakui, menghormati, dan melindungi hak-hak Masyarakat Adat, Masyarakat Tradisional, dan Kearifan lokal atas wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang telah dimanfaatkan secara turun temurun. Menurut Undang-Undang RI Nomer 1Tahun 2014, kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat. Hasil kajian terhadap kearifan lokal tersebut menunjukkan bahwa Tiyaitiki dapat digolongkan sebagai suatu Sistem Konservasi. Alasannya bahwa kearifan lokal tersebut sesuai Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan RI Nomer 02 Tahun 2009 Bab I Pasal I bahwa kawasan konservasi perairan adalah kawasan perairan yang dilindungi, dikelola dengan sistem zonasi, untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya ikan dan lingkungannya secara berkelanjutan. Peran serta masyarakat di sekitar teluk cukup besar dalam pelaksanakan sistem konservasi Tiyaitiki berdasarkan persepsi masyarakat terhadap konsep alam. Pertama, didasarkan atas konsep dasar mengenai pandangan masyarakat tentang alam yang disimbolkan sebagai seorang ibu (Anonim,2003), sumberdaya sebagai air susu ibu (Mansay,2003) atau diibaratkan sebagai mama, ibu atau wanita (Yarisetouw,2008). Kedua, adanya Praktek hak ulayat laut yang dilakukan oleh masyarakat tersebut memiliki fungsi sosial berkaitan dengan aspek solidaritas sosial antar warga. Pandangan tersebut menurut Keraf (2002) bahwa kearifan lokal atau tradisional merupakan bagian dari etika dan moralitas yang membantu manusia untuk menjawab pertanyaan moral apa yang harus dilakukan, bagaimana harus bertindak khususnya di bidang pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam. Berdasarkan hasil survei kepada masyarakat yang berada di dua kampung baik secara formal maupun non formal menunjukkan bahwa kearifan lokal Tiyaitiki masih dimiliki oleh masyarakat sekitar teluk. Hasil survei menunjukkan bahwa masyarakat mengetahui, memahami, dan mampu menjelaskan tentang konsep Tiyaitiki, kecuali pada anak-anak SD dan SMP mengatakan mengetahui, namun tidak mampu menjelaskan pengetahuan Tiyaitiki secara jelas. Hasil kuisener dapat dibaca pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil kuisener kepada masyarakat Menjawab Ya Tidak
No.
Pertanyaan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
Mengerti tentang ekosistem terumbu karang, ikan, dan teripang Mengerti tentang keragaman karang Mengerti tentang kondisi ekosistem terumbu karang di perairan Teluk Tanah Merah Mengerti tentang keragaman ikan Mengerti tentang kondisi perikanan di perairan Teluk Tanah Merah Mengerti tentang keragaman teripang Mengerti tentang kondisi teripang di perairan Teluk Tanah Merah Mengerti tentang kearifan lokal Tiyaitiki Mengerti tentang Tiyaitiki untuk terumbu karang, ikan, dan teripang Mengerti tentang sistem konservasi Mengerti tentang sistem konservasi Tiyaitiki, tujuan dan manfaatnya Mengerti tentang kondisi perairan kondisi kualitas perairan Teluk Tanah Merah
100 % 23 % 31 % 100 % 40 % 29 % 26 % 75 % 75 % 32 % 52 % 35 %
PROSIDING, Copyright© 2016
0 77 % 69 % 0 60 % 71 % 74 % 25 % 25 % 68 % 48 % 65 %
201
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Menurut Tabel 1, menunjukkan bahwa masyarakat mengetahui sistem ini dan sangat setuju jika dijadikan sebagai suatu sistem konservasi dengan tujuan melindungi dan melestarikan sumberdaya alam yang ada di perairan teluk. Status kondisi sistem Tiyaitiki dapat dikaji melalui pendekatan biologi yaitu dengan meneliti sumberdaya alam yang masih dijumpai, mengukur kondisi ekologinya, dan menentukan nilai kualitas perairannya yang dibandingkan dengan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Disamping itu perlu dikaji status kondisi dengan membandingkan peraturan tersebut dengan konsep-konsep pengetahuan seperti yang dijelaskan dalam tabel di bawah ini. Tabel 2. Perbandingan konsep sistem Tiyaitiki dengan kaidah umum No. 1.
Sistem Tiyaitiki Konsep kearifan lokal Masyarakat Adat Tepra dalam pengelolaan wilayah Teluk Tanah Merah Mempunyai tujuan konservasi sumberdaya alam
Kaidah Umum - Permen 02/Men/2009 - UURI No.1/2014
Kesimpulan Sesuai, karena kearifan lokal sejalan dengan norma-norma konservasi
- Permen 02/Men/2009 - UURI No.1/2014
3.
Mempunyai fungsi dan manfaat ekologi, ekonomi dan sosial budaya
- Permen 02/Men/2009 - UURI No.1/2014
4.
Memberlakukan sistem zonasi berupa wilayah yang diperbolehkan dan tidak Mempunyai kelembagaan yang jelas dibawah Kepala Suku Adanya sanksi/ hukum adat bagi yang melanggar aturan adat Bentuk sanksi moral dan penyitaan alat/hasil tangkapan Tidak mempunyai konsep dan aturan tertulis
Berupa zona inti, zona pemanfaatan, zona penyangga BKSDA
Sesuai, karena mempunyai tujuan pengelolaan, perlindungan, dan pemanfaatan sumberdaya alam Sesuai, karena mempunyai manfaat pelestarian, pe-manfaatan sumberdaya alam, peran serta masyarakat dalam pengelolaan Sesuai, karena membagi wilayah larangan dan yang boleh dieksploitasi Sesuai, karena mempunyai lembaga sebagai operator pengeleloaan Sesuai, karena penetapan hukum sebagai penegakan perlindungan alam Tidak sesuai namun tujuannya agar jera bagi yang melanggar Tidak sesuai, karena hanya warisan leluhur yang turun temurun
2.
5. 6. 7. 8.
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Hukuman penjara atau denda Ada aturan tertulis be-rupa kebijakan Pemerintah
Tiyaitiki adalah suatu pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh masyarakat adat sebagai suatu sistem konservasi yang berbasis kearifan lokal. Hal demikian dapat diartikan bahwa Tiyaitiki adalah suatu pengetahuan, namun secara tidak sadar yang dilakukan oleh Masyarakat Adat dapat dikatakan Tiyaitiki sebagai ilmu. Alasannya, karena kearifan lokal ini sesuai peraturan perundang-undangan dan sesuai hasil kajian pendekatan biologi yang dikatakan bahwa kualitas perairan masih baik. Kedua alasan tersebut dapat dikatakan bahwa Tiyaitiki sebagai ilmu pengetahuan. Selain hal itu, dalam pelaksanaan Tiyaitiki juga menggunakan teknologi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Salah satu contoh penggunaan alat tangkap yang ramah lingkungan. Oleh karena itu, Tiyaitiki selain sebagai ilmu pengetahuan juga mencirikan suatu teknologi sehingga kearifan lokal Tiyaitiki dapat dikatakan sebagai IPTEK. Sebagai sebuah IPTEK kearifan lokal Tiyaitiki perlu dikembangkan dan dilestarikan untuk menjadi sebuah aturan tertulis dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dalam hal ini upaya penguatan Tiyaitiki mempunyai aturan tertulis menjadi sebuah prosedur operasional standar. Dengan adanya prosedur operasional standar kearifan lokal Tiyaitiki dapat dipertahankan keberadaannya dan diterapkan di wilayah perairan yang lain.
PROSIDING, Copyright© 2016
202
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SIMPULAN Berdasarkan hasil dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa : 1. Sistem Tiyaitiki merupakan pengetahuan tradisional yang dimiliki oleh Masyarakat di kawasan Teluk Tanah Merah Depapre Jayapura sebagai suatu Sistem Konservasi yang berbasis kearifan lokal yang secara ilmiah sesuai dengan kaidah umum konservasi (peraturan perundang-undangan) yaitu pengelolaan, pemanfaatan, dan pelestarian sumberdaya alam pembagian wilayah (zonasi) walaupun tidak tertulis. 2. Sistem Tiyaitiki dapat dikatakan sebagai IPTEKperlu dikembangkan dan dilestarikan untuk menjadi sebuah aturan tertulis dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dalam hal ini upaya penguatan Tiyaitiki mempunyai aturan tertulis menjadi sebuah prosedur operasional standar. Dengan adanya prosedur operasional standar kearifan lokal Tiyaitiki dapat dipertahankan keberadaannya dan diterapkan di wilayah perairan yang lain. DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2000, Studi Penelitian tentang Sistem Kepemilikan, Daya Tahan Konflik dan Intervensi Pembangunan Pada Suku Bangsa Tepera, Yemena Kecamatan Depapre Kabupaten Jayapura, Yayasan Pengembangan Masyarakat Desa, Jayapura. Anonim, 2003, Tiayitiki Sekare : Sebuah Dokumentasi Tentang Budaya Perlindungan Sumberdaya Alam Laut Masyarkat Defonsero Utara, Yayasan Pendidikan Lingkungan Hidup Cycloop, Jayapura. Anonim, 2004, Pemetaan Sebagai Alat Dalam Penyusunan Program Pengelolaan Sumber Daya Alam Yang Berbasis Masyarakat Di Desa Tablasupa Kecamatan Depapre Kabupaten Jayapura Papua, Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia, Jakarta. Anonim, 2011b, Upacara Tiyatiki Model Konservasi Tradisional Papua, http://mampioper.word.press.com/2008/06/05/upacara-tiyatiki-model-konservasi-tradisional-papua/Diakses 08.12. 2011 Anonim, 2011c, Upacara Adat Tiyatiki , http://tempatwisataindonesia.com/wisata-budaya/upacaraadat-tiyatiki.html, Diakses tanggal 8 Desember 2011. Anonim, 2014, Laut Indonesia dalam krisis, http://www.greenpeace.org.seasia.id., diakses 14.01.2015. Hidayati, D. dan Y. Rahardjo, 1997, Kearifan Lokal : Relevansi dan Manfaat untuk COREMAP, Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia, Jakarta. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.4 Tahun 2001, tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Republik Indonesia No.51 Tahun 2004, tentang Baku Mutu Air Laut. Keraf, S.A., 2002, Etika Lingkungan, Penerbit Kompas, Jakarta. Mansay, A., 2003, Konservasi Dalam Pengelolaan Sumberdaya Hayati Menurut Masyarakat Adat Di Papua, Naskah Seminar : Konservasi Sumberdaya Hayati Berbasis Kearifan Masyarakat Papua, Unit Kerjasama Uncen-Goettingen University Germany. Jayapura. Unpublished. Mansoben, J.R., 2003, Konservasi Sumber Daya Alam Papua Ditinjau Dari Aspek Budaya, Jurnal Antropologi Papua, Vol.2 No.4 hal 1-12, Uncen, Jayapura. Panjaitan, P., 2007, Pengelolaan Terumbu Karang Berbasis Masyarakat, JurnalVISI (2007) 15 (3) 273 -288. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia No.2 Tahun 2009, tentang Tata Cara Penetapan Kawasan Konservasi Perairan. Serontou, J. 2005, Tiyaitiki menurut kearifan lokal masyarakat kampung Tablasupa, Naskah Lokakarya Konservasi Perairan, Diselenggarakan oleh Unit Kerjasama Uncen- Goettingen University pada tanggal 29 Nopember- 3 Desember 2005, Jayapura. Undang-Undang Republik Indonesia No.32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 2014, Perubahan Atas Undang-Undang Nomer 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Yarisetou, W., 2009, Tiaitiki Konsep dan Praktek, Arika Publisher, Jayapura.
PROSIDING, Copyright© 2016
203
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
FAKTOR KONDISI FISIK RUMAH YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN KUSTA DI KABUPATEN CIREBON TAHUN 2013-2015 Sri Komalaningsih* dan Yuyun Siti Nurjanah Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Dharma Husada Bandung *Email:
[email protected] ABSTRAK Penyakit kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycrobacterium leprae (M. leprae). Menurut World Health Organization (WHO) jumlah kasus kusta di dunia pada tiga bulan pertama di tahun 2013 sebanyak 189.018 kasus sedangkan di Indonesia terdapat 23.554 kasus baru pada tahun 2012. Kejadian kasus baru di Kabupaten Cirebon pada tahun 2013 ditemukan 237 penderita dengan prevalensi 1 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2014 ditemukan 224 penderita dengan prevalensi 0,94 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2015 triwulan I ditemukan 72 penderita dengan prevalensi 0,31 per 10.000 penduduk. Penelitian bertujuan mengetahui faktor kondisi fisik rumah dengan kejadian penyakit kusta di Kabupaten Cirebon tahun 2013-2015 berdasarkan ventilasi, dinding, lantai, dan kepadatan hunian. Jenis penelitian adalah observasional analitik dengan pendekatan case control study. Estimasi jumlah sampel minimal dihitung berdasarkan rumus Lemeshow. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh penderita kusta di wilayah kerja puskesmas di Kabupaten Cirebon. Sampel kasus adalah penderita kusta dan sampel kontrol adalah tetangga kasus yang bukan penderita kusta. Besar sampel sebanyak 138 responden, terdiri dari 46 kasus dan 92 kontrol. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa ventilasi (OR=3,024;95% CI:1,34-6,81), lantai (OR=6,11;95% CI:1,79-20.75) dan kepadatan hunian (OR=2,97;95% CI:1,40-6,298) merupakan faktor risiko sedangkan variabel dinding (OR=2,91;95% CI:1,06-7,99) merupakan faktor risiko namun tidak bermakna secara statistik. Kesimpulan dari penelitian ini bahwa variabel ventilasi, lantai dan kepadatan hunian merupakan faktor risiko kejadian penyakit kusta. Kata Kunci: Kusta, ventilasi, lantai, hunian PENDAHULUAN Penyakit kusta merupakan penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium leprae (M. leprae). Pertama kali menyerang susunan saraf tepi, selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa (mulut), saluran pernafasan bagian atas, sistem retikulo endotelial, mata, otot, tulang dan testis. Penyakit kusta pada umumnya terdapat di negaranegara yang sedang berkembang. Sebagai akibat keterbatasan kemampuan negara itu dalam memberikan pelayanan yang memadai dalam bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial ekonomi pada masyarakat.(1),(2) Penyakit kusta sampai saat ini masih ditakuti masyarakat, keluarga termasuk sebagian petugas kesehatan. Hal ini disebabkan masih kurangnya pengetahuan/pengertian, kepercayaan yang keliru terhadap kusta dan cacat yang ditimbulkannya. Kemajuan teknologi di bidang promotif, pencegahan, pengobatan serta pemulihan kesehatan di bidang penyakit kusta, maka penyakit kusta sudah dapat diatasi dan seharusnya tidak lagi menjadi masalah kesehatan masyarakat. Akan tetapi mengingat kompleknya masalah penyakit kusta, maka diperlukan program pengendalian secara terpadu dan menyeluruh melalui startegi yang sesuai dengan endemisitas penyakit kusta. Selain itu juga harus diperhatikan rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial ekonomi untuk meningkatkan kualitas hidup mantan penderita kusta.(3) Badan Kesehatan Dunia World Health Organization (WHO) melaporkan jumlah kasus penderita kusta di dunia pada tiga bulan pertama di tahun 2013 terdaftar sebanyak 189.018 PROSIDING, Copyright© 2016
204
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
kasus sementara jumlah kasus baru yang terdeteksi pada tahun 2012 sebanyak 232.857 kasus.(4) Pada tahun 2012 Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP&PL) Kemenkes RI melaporkan di Indonesia terdapat jumlah kasus baru kusta sebanyak 23.554 kasus.(5) Selama periode 2008-2013, angka penemuan kasus baru kusta pada tahun 2013 merupakan yang terendah yaitu sebesar 6,79 per 100.000 penduduk. Sedangkan angka prevalensi kusta berkisar antara 7,9 hingga 9,6 per 100.000 penduduk dan telah mencapai target < 10 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2013 dilaporkan 16.856 kasus baru kusta, lebih rendah dibandingkan tahun 2012 yang sebesar 18.994 kasus. Sebesar 83,4% kasus diantaranya merupakan tipe Multi Basiler. Sedangkan menurut jenis kelamin 35,7% penderita berjenis kelamin perempuan.(6) Tercatat sebanyak 14 provinsi (42,4%) termasuk dalam beban kusta tinggi. Sedangkan 19 provinsi lainnya (57,6%) termasuk dalam beban kusta rendah. Hampir seluruh provinsi di bagian timur Indonesia merupakan daerah dengan beban kusta tinggi. Angka cacat tingkat II pada tahun 2013 sebesar 6,82 per 1 juta penduduk, menurun dibanding tahun sebelumnya yang sebesar 8,71 per 1 juta penduduk. Provinsi dengan angka cacat tingkat II per 1 juta penduduk tertinggi pada tahun 2013 yaitu Papua (26,88), Aceh (18,62) dan Papua Barat (17,72).(6) WHO telah mengeluarkan strategi global untuk terus berupaya menurunkan beban penyakit kusta dalam: '''Enhanced global strategy for futher reducing the disease burden due to leprosy 2011 - 2015".(1) Indonesia telah mencapai eliminasi pada tingkat nasional karena prevalensi kurang dari 1 per 10.000 penduduk pada tahun 2000, dimana target yang ditentukan adalah penurunan sebesar 35% kusta pada akhir tahun 2015. Sebuah penelitian tentang Kusta di Kabupaten Pemalang yang merupakan daerah dengan endemik kusta tinggi (PR>1/10.000 penduduk) dengan (CDR=0,5 per 10.000 penduduk). Adapun variabel yang teliti yaitu jenis lantai rumah, luas ventilasi kamar tidur dan ruang keluarga, pencahayaan alami dalam kamar tidur dan ruang keluarga, kelembaban kamar tidur dan ruang keluarga, suhu kamar tidur dan ruang keluarga dan kepadatan hunian kamar tidur. Kesimpulan dari penelitian ini adalah variabel yang berpengaruh terhadap kejadian kusta yaitu jenis lantai rumah.(7) Penelitian lain tentang kodisi fisik rumah penderita Kusta di wilayah kerja Puskesmas Nuangan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur menunjukkan distribusi tertinggi untuk luas ventilasi ruang tamu berada pada ruang tamu yang memenuhi syarat sebanyak 7 (70%) sedangkan ventilasi ruang tamu tidak memenuhi syarat sebanyak 3 (30%). Selain itu, luas ventilasi kamar tidur yang paling banyak di temukan di rumah penderita yaitu berada pada ventilasi tidak memenuhi syarat sebanyak 6 (60%) Sedangkan untuk ventilasi rumah memenuhi syarat sebanyak 4 (40%). Dampak dari ventilasi yang tidak memenuhi syarat yaitu pertukaran oksigen didalam rumah dapat berkurang sehingga dapat menyebabkan penyakit yang dapat menular lewat udara tertular dengan orang serumah dengan penderita. Adanya ventilasi yang digunakan sesuai peruntukannya maka sinar matahari serta udara dapat masuk sehingga dapat mencegah pertumbuhan bakteri.(8) Blum mengatakan bahwa lingkungan merupakan faktor penyumbang terbesar kejadian penyakit, kemudian perilaku, pelayanan kesehatan dan genetik.(9) Lingkungan dapat menjadi tempat berkembangbiaknya berbagai bakteri, termasuk bakteri kusta. Kondisi rumah merupakan bagian dari lingkungan fisik yang dapat mempengaruhi kesehatan individu dan masyarakat. Rumah yang menjadi tempat tinggal harus memenuhi syarat kesehatan seperti ventilasi rumah yang baik, kepadatan rumah yang sesuai dan lantai rumah yang terbuat bukan dari tanah. Perlunya kondisi fisik rumah yang memenuhi syarat kesehatan agar dapat mencegah penyebaran M. leprae di lingkungan. Kondisi fisik rumah mencakup jenis bahan bangunan rumah seperti jenis dinding dan lantai. Jenis bahan bangunan rumah akan mempengaruhi PROSIDING, Copyright© 2016
205
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
jumlah debu dalam rumah, M. leprae juga dapat bertahan hidup ditanah hingga 46 hari.(10) Kepadatan hunian juga menjadi faktor risiko penularan penyakit kusta, hal ini disebabkan karena penderita akan banyak kontak dengan non penderita sehingga akan menyebabkan menularnya penyakit kusta ke anggota keluarga yang lain.(11) Kabupaten Cirebon merupakan salah satu dari Kabupaten yang ada di Jawa Barat yang tingkat prevalensi kustanya masih di atas 1 per 10.000 penduduk. Pada tahun 2011 prevalensinya 1,16 per 10.000 penduduk, jumlah penderita 322, ditemukan kasus kusta tipe MB (Multy Basiller) sebanyak 287 dengan rincian laki-laki 194 kasus dan perempuan 93 kasus. Pada kusta tipe PB (Pausy Basiller) sebanyak 35 kasus dengan rincian laki-laki sebanyak 15 kasus dan perempuan 20 kasus. Sedangkan tahun 2012 ditemukan 308 penderita dengan prevalensi 1,3 per 10.000 penduduk, pada tahun 2013 ditemukan 237 penderita dengan prevalensi 1 per 10.000 penduduk, pada tahun 2014 ditemukan 224 penderita dengan prevalensi 0,94 per 10.000 penduduk dan pada tahun 2015 triwulan I ditemukan 72 penderita dengan prevalensi 0,31 per 10.000 penduduk.(12) Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang faktor yang berhubungan dengan kondisi fisik rumah dengan kejadian kusta. Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Faktor kondisi fisik rumah apa saja yang berhubungan dengan kejadian kusta di 3 Puskesmas Kabupaten Cirebon tahun 2013-2015 ? METODE Variabel Penelitian Variabel adalah karakteristik subjek penelitan yang berubah dari satu subjek ke subjek lainnya, sehingga veriabel dapat pula disebut karakteristik suatu benda atau objek. Menurut fungsinya dalam konteks penelitian secara keseluruhan dalam hubungan antar variabel terdapat beberapa jenis yaitu : 1. Variabel Dependen (terikat) Variabel dependen atau variabel terikat adalah variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen (bebas). variabel dependen pada penelitian ini adalah kejadian kusta di wilayah kerja puskesmas Kabupaten Cirebon 2. Variabel Independen (bebas) Variabel Independen atau variabel bebas adalah variabel yang mempengaruhi. Variabel independen dalam penelitian ini adalah faktor kondisi fisik rumah yang meliputi ventilasi, dinding, lantai, kepadatan hunian.(21) Rancangan Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasional analitik. Pendekatan waktu yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pendekatan retrospektif yaitu mengkaji penderita kusta dengan kondisi fisik rumah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian kusta. Alasan dilakukannya case control karena adanya data yang menunjukan bahwa pada tahun 2013 ditemukan 237 penderita, pada tahun 2014 ditemukan 224 penderita dan pada tahun 2015 triwulan I ditemukan 72 penderita di Kabupaten Cirebon Berdasarkan perhitungan diperoleh jumlah kasus di ambil dari perhitungan yaitu 46 responden. Untuk menjaga validitas hasil penelitian perbandingan kasus dan kontrol adalah 1 : 2, sehingga responden yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah 46 responden untuk kasus dan 92 responden untuk kontrol sehingga jumlah seluruhnya 138 responden. Teknik pengambilan sampel menggunakan Proposional Random Sampling Dalam penelitian ini sampel diambil dari puskesmas yang memiliki prevalensi tinggi sampai mencukupi jumlah sampel yang dibutuhkan. Puskesmas Sendang 8 penderita, Puskesmas Kedaton 27 penderita
PROSIDING, Copyright© 2016
206
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dan Puskesmas Astana Langgar 11 penderita kusta. Pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh dari 2 (dua) sumber data, sebagai berikut: 1. Data primer, yaitu data yang diperoleh melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner kepada penderita kusta 2. Data sekunder, yaitu data kejadian kusta yang diperoleh dari profil Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon . Instrumen Pengumpulan Data Instrumen penelitian adalah suatu alat untuk mengukur variabel yang kita teliti. Jenis instrumen yang digunakan dalam penelitian ini berupa kuesioner. Kuesioner disusun untuk mendapatkan karakteristik responden variabel dependen yaitu Penyakit kusta dan variabel indevenden yaitu kondisi fisik rumah yang meliputi : ventilasi, dinding, lantai, kepadatan hunian. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Analisis Univariat Distribusi Frekuensi Kejadian Kusta Tabel 3.1 Distribusi Kejadian Kusta di Kabupaten Cirebon tahun 2013 - 2015 Kejadian Kusta Kusta (kasus) Bukan Kusta (kontrol) Jumlah
Frekuensi (F) 46 92 138
Persentase (%) 33,3 66,7 100
Tabel 3.1 menunjukkan bahwa 46 responden (33,3%) penderita kusta, merupakan kelompok kasus dan 92 responden (66,7%) bukan penderita kusta, merupakan kelompok kontrol. Distribusi Frekuensi Kondisi Fisik Rumah Responden Tabel 3.2 Distribusi Kondisi Fisik Rumah Responden di Kabupaten Cirebon tahun 2013-2015 Variabel a. Ventilasi - Tidak Memenuhi Syarat - Memenuhi Syarat Jumlah b. Dinding - Tidak Memenuhi Syarat - Memenuhi Syarat Jumlah c. Lantai - Tidak Memenuhi Syarat - Memenuhi Syarat Jumlah d. Kepadatan Hunian - Padat - Tidak Padat Jumlah
N
Kasus %
N
Kontrol %
36 10 46
78,3 21,7 100
50 42 92
54,3 45,7 100
10 36 46
21,7 78,3 100
8 84 92
8,7 91,3 100
10 36 46
21,7 78,3 100
4 88 92
4,3 95,7 100
32 14 46
69,6 30,4 100
40 52 92
43,5 56,5 100
Tabel 3.2 menunjukan pada kelompok kasus, variabel ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat dan kepadatan hunian yang padat memiliki persentase lebih besar dari pada variabel ventilasi rumah yang memenuhi syarat dan kepadatan hunian yang tidak padat, kecuali variabel dinding dan lantai yang tidak memenuhi syarat memiliki persentase lebih rendah. Sebaliknya pada kelompok kontrol variabel dinding, lantai yang memenuhi syarat dan PROSIDING, Copyright© 2016
207
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
kepadatan hunian yang tidak padat memiliki persentase yang lebih besar kecuali pada variabel ventilasi yang memenuhi syarat memiliki persentase lebih kecil. Tabel 3.2 menunjukan variabel ventilasi yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kasus lebih banyak (78,3%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (54,3%). Sedangkan variabel ventilasi yang memenuhi syarat pada kelompok kasus lebih sedikit (21,7%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (45,7%). Variabel dinding yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kasus lebih banyak (21,7%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (8,7%). Sedangkan variabel dinding yang memenuhi syarat pada kelompok kasus lebih sedikit (78,3%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (91,3%). Variabel lantai yang tidak memenuhi syarat pada kelompok kasus lebih banyak (21,7%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (4,3%). Sedangkan variabel lantai yang memenuhi syarat pada kelompok kasus lebih sedikit (78,3%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (95,7%). Variabel kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat ( padat ) pada kelompok kasus lebih banyak (69,6%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (43,5%). Sedangkan variabel kepadatan hunian yang memenuhi syarat ( tidak padat ) pada kelompok kasus lebih sedikit (30,4%) dibandingkan dengan kelompok kontrol (56,5%). Analisis Bivariat Hubungan Antara Kondisi Ventilasi Rumah dengan Kejadian Kusta Tabel 3.3 Tabel Analisis Kondisi Ventilasi Rumah dengan Kejadian Kusta Ventilasi 1.Tidak memenuhi syarat 2.Memenuhi syarat Jumlah
Kejadian Kusta Kasus Kontrol % N % N 36 10 46
78,3 21,7 100
50 42 92
54,3 45,7 100
Total N
%
86 52 138
62,3 37,7 100
OR Cl 95% 3,024 1,343-6,810
p-value 0,011 Berdasarkan tabel 3.3 diperoleh informasi data responden bahwa dari 86 responden yang memiliki kondisi ventilasi rumah tidak memenuhi syarat sebanyak 36 responden (78,3%) diantaranya mengalami kejadian kusta, sedangkan dari 52 responden yang memiliki kondisi ventilasi rumah yang memenuhi syarat sebanyak 10 responden (21,7%) diantaranya mengalami kejadian kusta. Hasil analisis uji statistik menunjukan p-value sebesar 0,011 < 0,05 atau ada hubungan antara ventilasi rumah dengan kejadian kusta. Hasil OR sebesar 3,024 dengan Cl 95% 1,3436,810. Hal ini menunjukan bahwa kejadian kusta pada rumah responden dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 3 kali dibandingkan dengan rumah responden yang memiliki ventilasi yang memenuhi syarat. Hubungan Antara Kondisi Dinding Rumah dengan Kejadian Kusta. Tabel 3.4 Tabel Analisis Kondisi Dinding Rumah dengan Kejadian Kusta Dinding 1.Tidak memenuhi syarat 2.Memenuhi syarat Jumlah
Kejadian Kusta Kasus Kontrol N % N % 10 21,7 8 8,7 36 78,3 84 91,3 46 100 92 100
Total N 18 120 138
% 13 87 100
OR Cl 95% 2,917 1,064-7,995
p-value 0,061 Berdasarkan tabel 3.4 diperoleh informasi data responden bahwa dari 18 responden yang memiliki kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 10 responden (21,7%) diantaranya mengalami kejadian kusta, sedangkan dari 120 responden yang memiliki PROSIDING, Copyright© 2016
208
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
kondisi dinding rumah yang memenuhi syarat sebanyak 36 responden (78,3%) diantaranya mengalami kejadian kusta. Hasil analisis uji statistik menunjukan p-value sebesar 0,061 > 0,05 hal ini menunjukan bahwa kejadian kusta pada rumah dengan dinding yang tidak memenuhi syarat tidak ada hubungan yang signifikan. Hasil OR sebesar 2,917 dengan Cl 95% 1,064-7,995. Hal ini menunjukan secara substansi bahwa kejadian kusta pada rumah responden dengan dinding yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 3 kali dibandingkan dengan rumah responden yang memiliki dinding yang memenuhi syarat. Hubungan Antara Kondisi Lantai Rumah dengan Kejadian Kusta. Tabel 3.5 Tabel Analisis Kondisi Lantai Rumah dengan Kejadian Kusta Lantai 1.Tidak memenuhi syarat 2.Memenuhi syarat Jumlah
Kejadian Kusta Kasus Kontrol N % N % 10 21,7 4 4,3 36 78,3 88 95,7 46 100 92 100
Total N 14 124 138
% 10,1 89,9 100
OR Cl 95% 6,111 1,799-20,754
p-value 0,003 Berdasarkan tabel 3.5 diperoleh informasi data responden bahwa dari 14 responden yang memiliki kondisi lantai rumah yang tidak memenuhi syarat sebanyak 10 responden (21,7%) diantaranya mengalami kejadian kusta, sedangkan dari 124 responden yang memiliki kondisi lantai rumah yang memenuhi syarat sebanyak 36 responden (78,3%) diantaranya mengalami kejadian kusta. Hasil analisis uji statistik menunjukan p-value sebesar 0,003 < 0,05 atau ada hubungan antara lantai rumah dengan kejadian kusta. Hasil OR sebesar 6,111 dengan Cl 95% 1,79920,754. Hal ini menunjukan bahwa kejadian kusta pada rumah responden dengan lantai yang tidak memenuhi syarat memiliki risiko 6 kali dibandingkan dengan rumah responden yang memiliki lantai yang memenuhi syarat. Hubungan Antara Kepadatan Hunian dengan Kejadian Kusta. Tabel 3.6 Tabel Analisis Kepadatan Hunian dengan Kejadian Kusta Kepadatan Hunian 1.Tidak memenuhi syarat 2.Memenuhi syarat Jumlah
Kejadian Kusta Kasus Kontrol N % N % 32 69,6 40 43,5 14 30,4 52 56,5 46 100 92 100
Total N 72 66 138
% 52,2 47,8 100
OR Cl 95% 2,971 1,402-6,298
p-value 0,007 Berdasarkan tabel 3.6 diperoleh informasi data responden bahwa dari 72 responden yang memiliki kepadatan hunian rumah yang tidak memenuhi syarat (padat) sebanyak 32 responden (69,6%) diantaranya mengalami kejadian kusta, sedangkan dari 66 responden yang memiliki kepadatan hunian rumah yang memenuhi syarat (tidak padat) sebanyak 14 responden (30,4%) diantaranya mengalami kejadian kusta. Hasil analisis uji statistik menunjukan p-value sebesar 0,007 < 0,05 atau ada hubungan antara kepadatan rumah dengan kejadian kusta. Hasil OR sebesar 2,971 dengan Cl 95% 1,4026,298. Hal ini menunjukan bahwa kejadian kusta pada kepadatan hunian rumah yang tidak memenuhi syarat (padat) memiliki risiko 3 kali dibandingkan dengan rumah responden yang memiliki kepadatan hunian yang memenuhi syarat (tidak padat).
PROSIDING, Copyright© 2016
209
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Pembahasan Hubungan antara kondisi ventilasi rumah dengan kejadian kusta Kondisi fisik rumah dengan ventilasi yang tidak memenuhi syarat lebih banyak mengalami kejadian kusta (78,3%). Secara statistik bermakna ( p-value (0,011) < (0,05) :CI 95% :1,343-6,810) atau ada hubungan antara kondisi ventilasi rumah dengan kejadian kusta. Kejadian kusta dengan kondisi ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3 kali dibandingkan dengan kondisi ventilasi rumah yang memenuhi syarat. Hasil penelitian menunjukan bahwa sebagian besar (78,3%) kondisi ventilasi rumah yang tidak memenuhi syarat mengalami kejadian kusta. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Faturahman di dapatkan hasil ada hubungan antara ventilasi dengan kejadian kusta yaitu responden yang memiliki ventilasi kurang baik memiliki risiko 4,33 kali lebih besar untuk terjadinya penyakit kusta dibandingkan dengan responden yang memiliki ventilasi baik.(18) Sejalan hasil penelitian Adwan bahwa kepemilikan luas ventilasi yang paling banyak dimiliki responden adalah responden yang memiliki luas ventilasi <10% dari luas lantai rumah yaitu sebanyak 133 responden (79,9%), hasil uji Odds Ratio yang dilakukan dalam penelitian ini terhadap variabel ventilasi, responden yang memiliki luas ventilasi <10% dari luas lantai berisiko 2,43 kali lebih besar untuk terjadinya penyakit kusta dibandingkan responden yang memiliki luas ventilasi ≥10% dari luas lantai.(19) Hubungan antara kondisi dinding rumah dengan kejadian kusta Kondisi fisik rumah dengan dinding yang tidak memenuhi syarat pada responden kelompok kasus mengalami kejadian kusta (21,7%). Secara statistik tidak bermakna ( p-value (0,061) > (0,05) :CI 95% :1,064-7,995) atau tidak ada hubungan antara kondisi dinding rumah dengan kejadian kusta. Kejadian kusta dengan kondisi dinding rumah yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3 kali dibandingkan dengan kondisi dinding rumah yang memenuhi syarat Hasil penelitian yang dilakukan berbeda dengan beberapa hasil penelitian yang lain. Hasil uji Odds Ratio yang dilakukan Lisdawanti dalam penelitian terhadap variabel dinding didapat nilai OR=4,7 sehingga responden yang memiliki jenis dinding yang terbuat dari kayu/tripleks/bambu berisiko 4,7 kali lebih besar untuk terjadinya penyakit kusta dibandingkan responden yang memiliki jenis dinding yang terbuat dari semen/bata/batako.(19) Hal ini sejalan dengan aturan Permenkes 1999 bahwa Dinding berfungsi sebagai pelindung,baik dari gangguan hujan maupun angin serta melindungi dari pengaruh panas. Beberapa bahan pembuat dinding adalah dari kayu, bambu, pasangan batu bata dan lain sebagainya, tetapi dari beberapa bahan tersebut yang paling baik adalah pasangan batu bata atau tembok (permanen) yang tidak mudah terbakar dan kedap air sehingga mudah dibersihkan. Hubungan antara kondisi lantai rumah dengan kejadian kusta Kondisi fisik rumah dengan lantai yang tidak memenuhi syarat kesehatan yang mengalami kejadian kusta sebanyak (21,7%). Secara statistik bermakna ( p-value 0,003 < 0,05 : 95% CI : 1,799-20,754). Atau ada hubungan antara kondisi lantai rumah dengan kejadian kusta. Kejadian kusta pada kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 6 kali dibandingkan dengan kondisi lantai yang memenuhi syarat. Lantai tanah memiliki risiko tinggi terhadap kejadian kusta karena lantai yang tidak memenuhi standar atau lantai yang terbuat dari tanah merupakan media yang baik untuk perkembangan Mycobacterium leprae. Hal ini disebabkan karena bakteri mycobacterium leprae dapat bertahan hidup ditanah hingga 46 hari.(10) Hasil penelitian menunjukan bahwa sebanyak (21,7%) kondisi lantai yang tidak memenuhi syarat mengalami kejadian kusta. Hal ini sesuai dengan penelitian yang telah di lakukan oleh Raharjati. Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan antara lantai rumah PROSIDING, Copyright© 2016
210
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
yang tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 5,46 kali lebih besar terhadap kejadian kusta dibandingkan dengan kondisi lantai yang memenuhi syarat. Sedangkan hasil penelitian Lisdawanti, hasil uji Odds Ratio yang dilakukan dalam penelitiannya terhadap variabel lantai didapat nilai OR=2,07, sehingga responden yang memiliki jenis lantai yang terbuat dari tanah, kayu/papanberisiko 2,07 kali lebih besar untuk terjadinya penyakit kusta dibandingkan responden yang memiliki jenis lantai yang terbuat dari semen/keramik/ubin, namun tidak bermakna secara statistik.(19) Hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian kusta Kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat (padat) lebih banyak mengalami kejadian kusta (69,6%). Secara statistik bermakna (p-value 0,007 < 0,05 : 95% Cl : 1,402-6,298 ). Kejadian kusta dengan kepadatan hunian tidak memenuhi syarat (padat) mempunyai risiko 3 kali dibandingkan dengan kejadian kusta yang memenuhi syarat (tidak padat). Hasil peneltian ini menunjukan bahwa sebagian besar (69,6%) kepadatan hunian yang tidak memenuhi syarat (padat) mengalami kejadian kusta. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Rismayanti di Poliklinik Kusta RSUD Tugurejo Semarang juga menunjukkan bahwa kepadatan hunian yang tidak sesuai memiliki risiko 3,23 kali lebih besar untuk terjadinya penyakit kusta dibandingkan mereka yang memiliki kepadatan hunian yang sesuai (OR=3,23). Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Kora di wilayah kerja Puskesmas Saumlaki Maluku Tenggara Barat juga menunjukkan bahwa kepadatan hunian memiliki risiko 7,42 kali lebih besar dibandingkan mereka yang memiliki kepadatan hunian yang tidak padat (OR=7,42). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Faturahman mengenai kepadatan hunian menunjukan p value sebesar 0,001 atau ada hubungan antara kepadatan hunian rumah dengan kejadian kusta dengan OR sebesar 6 dengan CI95% 2,060-17,479 yang artinya bahwa tingkat kepadatan hunian yang padat dapat berisiko 6 kali lebih besar dibandingkan dengan kepadatan hunian yang tidak padat. Kepadatan hunian juga menjadi faktor risiko penularan penyakit kusta, hal ini disebabkan karena penderita akan banyak kontak dengan non penderita sehingga akan menyebabkan menularnya penyakit kusta ke anggota keluarga yang lain. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan dan berpotensi terhadap penularan penyakit dan infeksi. Hal ini juga menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama kusta akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, seorang penderita ratarata dapat menularkan dua sampai tiga orang di dalam rumahnya.(13) SIMPULAN 1. Ada hubungan antara kondisi ventilasi dengan kejadian kusta, p value 0,011 < 0,05 : OR 3,024 : 95% Cl : 1,343=6,810. Ventilasi tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3 kali terhadap kejadian kusta, dibandingkan dengan ventilasi yang memenuhi syarat. 2. Tidak ada hubungan antara kondisi dinding dengan kejadian kusta, p value 0,061 > 0,05 : OR 2,917 : 95% Cl : 1,064-7,995. Dinding tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 3 kali terhadap kejadian kusta, dibandingkan dengan dinding yang memenuhi syarat. 3. Ada hubungan antara kondisi lantai dengan kejadian kusta, p value 0,003 < 0,05 : OR 6,111 : 95% Cl : 1,799-20,754.lantai tidak memenuhi syarat mempunyai risiko 6 kali terhadap kejadian kusta, dibandingkan dengan lantai yang memenuhi syarat. 4. Ada hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian kusta, p value 0,007 < 0,05 : OR 2,971 : 95% Cl : 1,402-6,298. Kepadatan hunian tidak memenuhi syarat (padat) mempunyai risiko 3 kali terhadap kejadian kusta, dibandingkan dengan kepadatan hunian tidak padat.
PROSIDING, Copyright© 2016
211
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, E. 2007. Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI Marwali Harahap, 2000, Ilmu Penyakit Kulit, Jakarta : Hipokrates. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, E. 2006. Buku Pedoman Nasional Pengendalian Penyakit Kusta. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI Word Health Organization Prevalence Of Leprosy, 2013. Available at:http://www.who.int/lep/situation/prevalence/en/index.html Ditjen PP&PL Kemenkes RI. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2013 Kementrian Kesehatan RI, 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI Enis Gancar, 2009, Hubungan Karakteristik Rumah dengan Kejadian Kusta pada Wilayah Kerja Puskesmas Kecamatan Taman Kabupaten Pemalang, Skripsi : Universitas Diponegoro Semarang. Makinan, A. 2012. Karakteristik Lingkungan Fisik Rumah Penderita Kusta di Wilayah Puskesmas Nuangan Kecamatan Nuangan Kabupaten Bolaang Mongondow Timur. http://ejurnal.fikk.ung.ac.id/index.php/PHJ/article/view/183 Notoatmodjo, S.2003, Pendidikan dan Perilaku Kesehatan, PT Rineka Cipta, Jakarta. Amiruddin, 2012. Penyakit Kulit Sebuah Pendekatan Klinis. Jakarta, Briliant Internasional. Awaluddin, 2004. Beberapa Faktor Risiko Kontak dengan Penderita Kusta dan Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Kusta di Kabupaten Brebes. (Tesis) Semarang. Universitas Diponegoro: 2004 Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon 2014, Profil Kesehatan Dinas Kesehatan Kabupaten Cirebon Tahun 2014. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, E.2012. Buku Pedoman Nasional Program pengendalian Penyakit Kusta, Jakarta: Kementerian Kesehatan RI. Notoatmodjo. S, 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Jakarta : Rineka Cipta Djuandi.A, 2009, Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, Jakarta : FKUI. Purwanto, Ngalim. 2004. Psikologi Pendidikan. Bandung, Remaja Rosdakarya. Notoatmodjo, S.2003. Ilmu Kesehatan Masyarakat Prinsip-prinsip Dasar, Jakarta : Rineka Cipta. Faturrahman, yuldan. Faktor Lingkungan Fisik Rumah yang Berhubungan dengan Kejadian Kusta di Kabupaten Cilacap. Jurnal FKM UNSIL 2011: 282-295 Lisdawanti Adwan, Rismayanti, Wahiduddin. Faktor Risiko Kondisi Hunian Terhadap Kejadian Kusta di Kota Makassar. Jurnal FKM Universitas Hasanuddin. 2012 : 1-9. Kora, Benjamin. Faktor Risiko Kejadian Penyakit Kusta di Wilayah Kerja Puskesmas Saumlaki Kabupaten Maluku Tenggara Barat Tahun 2010-2011. (skripsi). Makassar : Universitas Hasanuddin 2012. Malik.S. 2011. Metodologi Penelitian Kesehatan Masyarakat, Jakarta : Cv. Trans Info Media. Murti. B., 2003. Prinsip dan Metode Riset Epidemiologi, UGM. Press, Yogyakarta. Notoatmodjo. S., 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan, Jakarta, Rineka Cipta. Wibowo A, 2010. Metode Penelitian Praktis Bidang Kesehatan, Jakarta :Raja Grafindo Persada. Sugiono, 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif, Bandung : Alfabet. Priyono Hastono, Sutanto. 2004. Analisis Data. Jakarta Universitas Indonesia.
PROSIDING, Copyright© 2016
212
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
EKOLOGI DAN POTENSI INVASIF Acacia decurrens DI SEBAGIAN KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG MERAPI YOGYAKARTA Sutomo Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya “Eka Karya” Bali – LIPI, Candikuning, Baturiti, Tabanan, Bali, 82191. Email:
[email protected] ABSTRAK Acacia decurrens, berasal dari Australia, adalah jenis tumbuhan berkayu yang mulai menjadi perhatian sejak dominasinya di lahan bekas erupsi Gunung Merapi tahun 2006. tujuan dari kegiatan studi ini adalah untuk mendeskripsikan secara kuantitatif Ekologi Acacia decurrens, hubungannya dengan beberapa faktor lingkungan serta potensi keinvasifannya jika dikorelasikan dengan diversity index. Analisis vegetasi dilakukan di empat wilayah Taman Nasional Gunung Merapi yaitu Kalikuning, Kaliadem, Plawangan dan Pranajiwa. Ordinasi menggunakan metode Non metric multidimensional scaling (NMDS) serta Canonical Corespondence (CCA) serta korelasi bivariate Spearman dilakukan dalam analisis data. Hasil analisis NMDS (2D stress = 0,14) memperlihatkan bahwa daerah terbuka akibat erupsi di Kaliadem kini didominasi oleh jenis A. decurrens. Hasil analisis juga menunjukkan adanya korelasi negatif yang signifikan (Spearman’s rho = 0,6) antara kelimpahan jenis A. decurrens dengan tingkat keanekaragaman jenis di dalam lokasi sampling. Dari hasil CCA, A. decurrens, pada tahap semai, nampak hidup berdampingan dengan jenis groundcover lainnya seperti Alangium javanicum, dan Araliaceae. Namun pada fase pohonnya, jenis ini cenderung membentuk tegakan murni dan hanya sesekali nampak hidup dapat berdampingan dengan jenis Fabaceae lainnya seperti Albizia lopantha. Acacia decurrens tingkat pohon nampaknya lebih memilih sites dengan tingkat pH yang lebih rendah sedangkan A. decurrens tingkat semai lebih banyak ditemui pada site-site ber pH lebih tinggi. A. decurrens nampaknya berpotensi menjadi gulma di Taman nasional Gunung Merapi jika dilihat dari distribusinya yang dominan berupa tegakan murni serta kecenderungannya untuk menyebabkan penurunan tingkat keanekaragaman jenis di kawasan Taman Nasional. Kata kunci: Autekologi, IAS, faktor lingkungan, risk assesment ABSTRACT Acacia decurrens which originally from Australia is woody species that start to gain attention since its domination in the eruption zone affected areas of Mt. Merapi since 2006. The objectives of this research were to quatitatively describe Acacia decurrens abundance – distribution, investigate its relationship with the measured environmental factors and also its invasiveness potential when correlated with diversity index. Study was conducted in for areas of Mt. Merapi namely Kalikuning, Kaliadem, Plawangan and Pranajiwa. Data was then analysed using NMDS and CCA ordination technique in multivariate approach and also spearman bivariate correlation using PRIMER, CANOCO and also excel softwares. Result of NMDS ordination (2D stress = 0,14) showed open areas due to the eruption is now dominated by Acacia decurrens. Correlation analysis also revealed significant negative correlation between Acacia decurrens abundance with diversity index in all sampling areas (Spearman’s rho = 0.6). Result from CCA ordination showed in the early stage of its life in seedling phase Acacia decurrens lived side by side with other species such as Alangium javanicum and Araliaceae. In its mature stage in tree stage the species tends to form pure stands and with just occasionally found living with other tree species such as Albizia lopantha which is the same family with Acacia decurrens (Fabaceae). Acacia decurrens tends to be potentially act as a weed and invasive in Mt. Merapi national Park. Keywords: Autecology, IAS, enviroenmental factors, risk assessment PROSIDING, Copyright© 2016
213
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN Erupsi Gunung Merapi yang terjadi pada November 2010 memberi dampak bagi lingkungan sekitar Gunung Merapi. Awan panas yang menyapu permukaan lereng gunung merupakan peristiwa abiotik yang mempengaruhi komponen biotik khususnya vegetasi. Secara alamiah apabila suatu kawasan vegetasi hutan mengalami bencana alam, maka lambat laun kawasan tersebut akan mampu mengadakan suksesi (Sutanto, 2002, Sutomo et al., 2010, Sutomo et al., 2011b). Proses pertumbuhan kembali vegetasi yang terkena bencana alam dapat berlangsung cepat atau lambat bergantung pada kerusakan yang ditimbulkan. Bencana letusan gunung berapi selain menimbulkan kerusakan dan kematian vegetasi juga dapat menciptakan kondisi yang sesuai bagi perkecambahan biji dan tumbuhnya permudaan pohon dan jenis berkayu lainnya (Rahayu, 2006, Sutomo et al., 2011a). Dalam hal ini, jenis asing dan jenis invasif adalah termasuk jenis yang dapat muncul setelah terjadinya gangguan habitat karena erupsi gunung berapi. Beberapa contoh jenis asing yang telah menjadi jenis invasif dan menyebabkan gangguan terhadap habitat asli diantaranya adalah, Eichornia crassipes dan Lantana camara telah diintroduksikan sebagai tanaman hias, sekarang juga telah menjadi tumbuhan invasif yang sulit dikendalikan. Contoh invasi spesies asing yang hangat dibahas saat ini Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran, Mertemia peltata di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan, dan Cissus sicyoides yang mengganggu tanaman koleksi di KR Bogor, serta Ageratina riparia (Eupatorium riparium) yang mendominasi kawasan koleksi di KR Bali. Invasi spesies asing diperburuk dengan kondisi perubahan iklim, menjadikannya sebagai ancaman serius terhadap biodiversitas dan tidak menutup kemungkinan memicu kepunahan suatu jenis asli. Acacia decurrens, berasal dari Australia, adalah jenis tumbuhan berkayu yang sebenarnya diketahui mulai menjadi perhatian sejak dominasinya di lahan bekas erupsi Gunung Merapi tahun 2006 saat itu di Kaliadem, kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) yang berbatasan lansung dengan beberapa desa di sekitarnya. Paska erupsi Merapi pada tahun 2010 yang lalu, keberadaan jenis ini mulai mendapat perhatian serius karena merubah struktur dan komposisi jenis di kawasan terkena dampak erupsi, dari yang dahulu jenis penyusunnya beragam mulai Rasamala, Puspa, Casuarina, dan Pinus, kini menjadi tegakan murni A. decurrens (Gambar 1). Acacia decurrens memiliki sinonim Acacia mollisima Willd. Tumbuhan ini masuk dalam divisi spermatophyta, sub-divisi angiospermae, kelas dicotyledonae, bangsa resales, suku Fabaceae. Acacia memiliki tipe habitus berupa perdu, tinggi 3-8 m. Batangnya berkayu, bulat, bercabang, diameter 20-30 cm, hijau. Daunnya majemuk, menyirip ganda, tersebar, tangkai panjang ± 1 cm, hijau. Bunganya majemuk, bentuk malai, di ketiak daun, bulat, tangkai panjang ± 50 mm, kuning. Buah berupa polong, majemuk, masih muda hijau setelah tua coklat kehitaman. Bijinya kecil, bulat, pipih, coklat kehitaman. Akar berupa akar tunggang, putih kotor. Meskipun berbagai asumsi dan pendapat mengenai jenis ini mengenai status ekologi dan potensi keinvasifannya namun masih sangat kurang didukung dengan penelitian empiris di bidang ekologi. Untuk itu tujuan dari kegiatan studi ini adalah untuk mendeskripsikan secara kuantitatif Ekologi A. decurrens, hubungannya dengan beberapa faktor lingkungan serta potensi keinvasifannya jika dikorelasikan dengan diversity index. METODE Gunung Merapi terletak pada provinsi Yogyakarta dengan letak geografisnya adalah pada 7° 32,5’ LS dan 110° 26,5‘ BT. Kegiatan gunung api ini terekam dengan baik sejak tahun 1768. Gunung Merapi dikenal sebagai gunung api teraktif di dunia. Karakteristik erupsinya bersifat aktif permanen, yaitu guguran kubah lava atau lava pijar, membentuk aliran piroklastika (awan panas) atau ‘nuee ardentes’ yang dalam bahasa setempat dikenal dengan PROSIDING, Copyright© 2016
214
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
sebutan “wedhus gembel”. Kejadian ini dipicu oleh tekanan dari dalam ataupun akibat gaya gravitasi yang bekerja pada kubah lava yang berada dalam posisi tidak stabil (pada dasar kawah lama yang miring) (Bardintzeff, 1984).
Gambar 1. Kondisi salah satu areal di Kaliadem paska erupsi 2006 dan erupsi 2010 kawasan Taman Nasional Gunung Merapi dengan tegakan Acacia decurrens Penelitian dilaksanakan pada bulan Agutus - September 2013 di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi, Provinsi Yogyakarta. Kegiatan pengambilan data dilaksanakan pada lokasi yang terkena gangguan vulkanik pasca erupsi Merapi tahun 2010 yaitu di Kalikuning, Kaliadem serta di daerah Kaliurang (Bukit Plawangan dan Pranajiwa) sebagai kawasan yang tidak terkena gangguan vulkanik (Gambar 2). Identifikasi sampel dilakukan di Herbarium Kebun Raya Bali-LIPI di Bedugul.
Gambar 2. Lokasi plot-plot sampling penelitian di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi di Yogyakarta PROSIDING, Copyright© 2016
215
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Analisis vegetasi yang dikaji dalam penelitian ini dilakukan pada tumbuhan pohon dan berkayu lainnya serta serta semai atau anakan pohon (seedling). Metode analisis vegetasi yang digunakan dengan plot berbentuk lingkaran (Kent and Coker, 1992). Plot lingkaran dibuat dengan diameter 5 meter. Masing-masing lokasi diletakan jumlah plot yang bervariasi (tergantung pada medan), di Kalikuning 30 plot, Bukit Pranajiwa 23 plot, Bukit Plawangan 23 plot dan Kaliadem sebanyak 6 plot sehingga terdapat total plot sebanyak 82 plot. Peletakan plot pada masing-masing lokasi dilakukan secara acak dengan jarak antar plot yaitu 100 meter. Data yang diambil berupa data jenis tumbuhan, meliputi nama ilmiah, nama lokal, jumlah individu dan sampel tumbuhan untuk pembuatan herbarium. Pengukuran faktor fisik lingkungan yang dilakukan yaitu kelembaban tanah (soil moisture %), kadar keasaman tanah (pH) serta ketinggian tempat (Altitude mdpl). Pengambilan data fisik dilakukan di setiap plot pengamatan. Magurran (2004) mengatakan bahwa keanekaragaman jenis tumbuhan dapat dihitung menggunakan indeks keanekaragaman Shannon-Wiener (H’). ln Shannon-Wiener (H′) : H′= ∑ Keterangan: S : jumlah jenis ni: jumlah jenis ke-i N: jumlah individu semua jenis Semakin besar nilai H′ menunjukkan semakin tinggi keanekaragaman jenis. Besarnya nilai keanekaragaman jenis Shannon-Wiener didefinisikan sebagai berikut: 1. H′ > 3 keanekaragaman jenis yang tinggi pada suatu kawasan. 2. 1 ≤ H′≤ 3 keanekaragaman jenis yang sedang pada suatu kawasan. 3. H′ < 1 keanekaragaman jenis yang rendah pada suatu kawasan. Untuk mengetahui apakah dominasi jenis Acacia decurrens akan mempengaruhi keanekaragaman jenis lainnya, dilakukan analisis korelasi bivariate Spearman antara kelimpahan Acacia decurrens dengan diversity index. Kemudian distribusi kelimpahan A. decurens tersebut di display secara ruang ordinasi dengan menggunakan analisis Non metric Multidimensional Scaling (NMDS) menggunakan software PRIMER ver.6 (Clarke and Gorley, 2005). Sedangkan untuk mengetahui preferensi faktor lingkungan terukur apa yang lebih mempengaruhi keterdapatan atau keberadaan A. decurrens serta asosiasinya dengan jenis-jenis lain di suatu titik sampling plot di dalam loaksi studi areal Taman Nasional Gunung Merapi digunakan Canonical Corespondence Analysis (CCA) (ter Braak, 1986, ter Braak and Smilauer, 2002) dengan menggunakan software CANOCO ver 4.5. HASIL DAN PEMBAHASAN Perubahan struktur lanskap apakah akibat bencana alam seperti letusan gunung berapi maupun faktor manusia berakibat terhadap kerusakan dan fragmentasi habitat. Fragmentasi habitat dianggap menjadi salah satu ancaman terbesar terhadap keanekaragaman hayati global (Hobbs and Humphries, 1995). Di dalam suatu habitat yang terfragmentasi akan terdapat munculnya fenomena efek tepi. Efek tepi, akan menyebabkan adanya peningkatan ketersediaan sumber daya yang berkaitan dengan iklim mikro yang kemudian akan menyebabkan meningkatnya kesempatan bagi jenis asing (eksotik) untuk menginvasi kawasan tersebut dan kemudian mendominasi dan merubah struktur dan komposisi spesies awal (Butterfield, 2009, Sutomo et al., 2012). Hasil analisis NMDS (2D stress = 0,14) memperlihatkan bahwa daerah terbuka akibat erupsi di Kaliadem kini didominasi oleh jenis Acacia decurrens (Gambar 3). Jenis ini terlihat mulai memasuki areal di sekitarnya seperti sebagian Kalikuning, serta
PROSIDING, Copyright© 2016
216
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Pranajiwa (Gambar 3) meski dengan kelimpahan tidak sebesar kelimpahan A. decurrens di Kaliadem.
Gambar 3. Hasil ordinasi NMDS memperlihatkan distribusi dan kelimpahan Acacia decurrens pada plot di dalam lokasi sampling kawasan TNGM Yogyakarta. 2,5
Diversity
2
1,5 Series1 1
Linear (Series1)
0,5
0 0
20
40
60
80
100
Abundance
Gambar 4. Grafik korelasi antara kelimpahan (abundance) Acacia decurrens (sumbu X) dengan indeks keanekaragaman jenis (sumbu Y) di lokasi sampling, kawasan TNGM Yogyakarta. (Spearman’s rho = -0,6) Komunitas yang lebih stabil memiliki keanekaragaman jenis lebih besar dibandingkan dengan keanekaragaman jenis pada komunitas yang sederhana (Indriyanto, 2006). Keanekaragaman jenis merupakan parameter yang sangat berguna untuk mempelajari pengaruh ganggguan terhadap faktor biotik serta untuk mengetahui tingkat suksesi dan kestabilan komunitas termasuk dalam hal invasi biologi jenis. Hasil penelitian di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi memperlihatkan adanya korelasi negatif (Gambar 4) yang signifikan (Spearman’s rho = 0,6) antara kelimpahan jenis A. decurrens dengan tingkat keanekaragaman jenis di dalam lokasi sampling (Gambar 4). Kelimpahan jenis A. decurrens PROSIDING, Copyright© 2016
217
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
0.8
cenderung akan menyebabkan adanya penurunan keanekaragaman jenis. A. decurrens nampak berkompetisi dengan baik dengan jenis-jenis tumbuhan lainnya, terutama jika terdapat tegakan jenis ini yang cukup rapat (Ruskin, 1983). Di dalam tegakan rapat A. decurrens akumulasi atau penumpukan dari foliage daun yang luruh ke permukaan tanah akan membentuk lapisan tebal yang terakumulasi dan seiring waktu akan menghambat pertumbuhan jenis lainnya ataupun mengeliminir tumbuhnya vegetasi lainnya disekitarnya. Dari segi autekologi jenis, A. decurrens, pada tahap semai (G), nampak hidup berdampingan dengan jenis groundcover lainnya seperti Alangium javanicum, dan Araliaceae (Gambar). Namun pada fase pohonnya (T), jenis ini cenderung membentuk tegakan murni dan hanya sesekali nampak hidup dapat berdampingan dengan jenis Fabaceae lainnya seperti Albizia lopantha (Gambar). Acacia decurrens tingkat pohon nampaknya lebih memilih sites dengan tingkat pH yang lebih rendah sedangkan A.decurrens tingkat semai lebih banyak ditemui pada site-site ber pH lebih tinggi (Gambar).
SoilMois
AcalHisp
AneiNudf AracHypg AgerConz
AlbizSp2
AlbizSp1 AlbzLopn AcacDecT
AgerRipr
Ph
Annonace
Araliace AlanJavn
-0.8
AcacDecG
-1.0
AlocMacr Altitude
1.0
Gambar 5. Hasil analisis CCA memperlihatkan beberapa sumbu faktor lingkungan yang diukur serta distribusi beberapa jenis terpilih di dalam lokasi sampling kawasan Taman Nasional Gunung Merapi Dikarenakan perbenihan yang mudah dari biji A. decurrens, dapat berpotensi menjadi gulma pada habitat dengan kondisi lingkungan yang menguntungkan bagi jenis tersebut. Meskipun jenis ini sudah ditanam secara luas sebagai tumbuhan ornamental di Hawaii, Selandia baru, Mediterania dan Eropa namun di Afrika Selatan jenis ini masuk sebagai invader kategori dua (Henderson et al., 2006, Walker et al., 1986). Acacia decurrens nampaknya berpotensi menjadi gulma di Taman nasional Gunung Merapi jika dilihat dari distribusinya yang dominan berupa tegakan murni serta kecenderungannya untuk menyebabkan penurunan tingkat keanekaragaman jenis di kawasan Taman Nasional. Untuk itu ke depannya tiap kegiatan termasuk upaya rehabiltasi lahan bekas erupsi dengan reintroduksi jenis baru yang sebelumnya tidak pernah ada di Lereng Merapi sebaiknya dilakukan penilaian risk assesment terlebih dahulu untuk mencegah terjadinya invasiveness suatu jenis terhadap jenis native maupun endemik di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi.
PROSIDING, Copyright© 2016
218
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada rekan Ni Kadek Erosi Undaharta dan teknisi Kebun Raya Bali I Ketut Sandi, serta Gunawan dari Taman Nasional Gunung Merapi atas bantuannya dalam kegiatan ini. Penelitian ini didukung oleh Rufford foundation for conservation, 2014. DAFTAR PUSTAKA Bardintzeff, J. M. (1984) Merapi Volcano (Java, Indonesia) and Merapi-type nuees ardentes. Bulletin Volcanology, 47. Butterfield, B. J. (2009) Effects of facilitation on community stability and dynamics: synthesis and future directions. Journal of Ecology, 97, 1192–1201. Clarke, K. R. & Gorley, R. N. (2005) PRIMER: Plymouth Routines In Multivariate Ecological Research. 6.0 ed. Plymouth, PRIMER-E Ltd. Henderson, S., Dawson, T. P. & Whittaker, R. J. (2006) Progress in invasive plants research. Progress in Physical Geography, 30, 25-46. Hobbs, R. J. & Humphries, S. E. (1995) An integrated approach to the ecology and management of plant invasions. Conservation Biology, 9, 761-770. Indriyanto (2006) Ekologi Hutan, Jakarta, Penerbit Bumi Aksara. Kent, M. & Coker, P. (1992) Vegetation Description and Analysis, A practical Approach., New York, John Wiley & Sons. Magurran, A. E. (2004) Measuring Biological Diversity, USA, Blackwell Publishing company. Rahayu, W. (2006) Suksesi Vegetasi di Gunung Papandayan Pasca Letusan Tahun 2002. Forestry. Bogor, Bogor Agricultural Institute. Ruskin, F. (1983) Mangium and other fast-growing acacias for the humid tropics. Innovations in tropical reforestation. National Academy Press, Washington. Sutanto, A. (2002) Suksesi vegetasi jenis pohon dan tumbuhan bawah pasca letusan Gunung Galunggung. Forest Management. Bogor, IPB. Sutomo, Fardilla, D. & Darma, I. D. P. (2012) Autecology of invasive species Imperata cylindrica in anthropogenic disturbed forests on Pohen Mountain, Batukahu Nature Reserve, Bali: Implication for weeds management. In Sutarno, Sugiyarto & Setyawan, A. D. (Eds.) International Conference of the Society for Indonesian Biodiversity. Solo, Biologi Universitas Sebelas Maret. Sutomo, Fardilla, D. & Putri, L. S. E. (2011a) Species Composition and Interspecific Association of Plants in Primary Succession of Mount Merapi Volcano Indonesia. Biodiversitas, 12, 211-216. Sutomo, Hobbs, R. J. & Cramer, V. A. (2010) Plant Succession Following Nuees Ardentes of Mt. Merapi Indonesia. Rottnest Island Postgraduate Summer School. Rottnest Island, Western Australia, School of Plant Biology The University of Western Australia. Sutomo, Hobbs, R. J. & Cramer, V. A. (2011b) Plant community establishment on the volcanic deposit following nuees ardentes of Mount Merapi : diversity and floristic variation. Biodiversitas, 12, 86-91. Ter Braak, C. (1986) Canonical correspondence analysis: A new eigenvector technique for multivariate direct gradient analysis. Ecology, 67, 1167–1179. Ter Braak, C. & Smilauer, P. (2002) CANOCO for Windows version 4.5. 4.5 ed. Wageningen The Netherland, Biometrics Plant Research International. Walker, B., Stone, L., Henderson, L. & Vernede, M. (1986) Size structure analysis of the dominant trees in a South African savanna. South African Journal of Botany, 52, 397402.
PROSIDING, Copyright© 2016
219
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KARAKTERISTIK VEGETASI DI SEKITAR MATA AIR DI WILAYAH KABUPATEN KLATEN, JAWA TENGAH, INDONESIA CHARACTERISTICS OF VEGETATION IN THE VICINITY OF SPRING IN THE DISTRICT KLATEN, CENTRAL JAVA, INDONESIA Wiryanto1, Sugiyarto1,3, Fahrur Nuzulul Kurniawati2, Rizma Dera Anggraini Putri2, Muhammad Ridwan2 1 Grup Riset Ekologi, 2 Kelompok Studi Biodiversitas Program Studi Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Sebelas Maret. Jl. Ir. Sutami36a Surakarta 57126, Jawa Tengah, Indonesia. 3 Koresponding author: Telp: 0815685469 email:
[email protected] ABSTRAK Keberadaan dan fungsi mata air perlu dijaga kelestariannya guna menghadapi terjadinya krisis air. Vegetasi yang berada di sekitar mata air merupakan factor penting untuk menjaga kelestarian mata air tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakter jenis-jenis pohon penyusun vegetasi di sekitar mata air Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, Indonesia. Metode yang digunakan adalah metode survey dengan meninjau 151 mata air di 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Data yang dikumpulkan meliputi nama jenis pohon, frequensi ditemukan dan habitus pohon. Hasil penelitian didapatkan 88 jenis pohon penyusun vegetasi di sekitar mata air. Jenis-jenis pohon yang paling tinggi frequensi ditemukan berturut-turut adalah: Bambu, Beringin, Gayam, Kelapa, Mangga, Awar-Awar dan Mahoni. Habitus jenis-jenis pohon bervariasi baik bentuk kanopi, perakaran, maupun bentuk batangnya. Akan tetapi semua jenis pohon termasuk jenis berakar dalam. Kata kunci: Mata air, Vegetasi, Pohon, Klaten, Bambu. ABSTRACT The existence and function of the springs need to be preserved in order to confront the water crisis. Vegetation that is around the spring is an important factor for preserving these springs. This study aimed to describe the character of tree species making up the vegetation around springs Klaten regency, Central Java, Indonesia. The method used is survey by reviewing 151 springs in the 17 districts in Klaten regency, Java Tengah.Data collected includes name of tree species, the frequency is found and habitus trees. The result showed 88 types of trees making the vegetation around the springs. The types of trees found the highest frequencies respectively are: bamboo, banyan, Gayam, Coconut, Mango, Awar-Awar and Mahogany. Habitus tree species vary in both form a canopy, root, and the shape of the trunk. But all kinds of trees, including species rooted in. Keywords: Spring, vegetation, trees, Klaten, Bamboo. PENDAHULUAN Air merupakan kebutuhan mutlak bagi makhluk hidup, termasuk manusia. Kuantitas, kualitas dan distribusi sumberdaya air sering menjadi masalah yang harus mendapatkan penanganan secara sungguh-sungguh dan terintegrasi. Akhir-akhir ini sering muncul bencana alam/lingkungan terkait air, misalnya kekeringan, banjir, pencemaran air bahkan bencana sosial akibat perebutan penguasaan sumberdaya air (GWP, 2000). Indonesia merupakan salah
PROSIDING, Copyright© 2016
220
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
satu negara tropika basah di dunia, krisis air sering melanda kawasan ini. Di beberapa daerah di Indonesia sering ditemukan kelangkaan air bersih, sehingga masyarakat kesulitan memenuhi kebutuhannya. Dalam hal sumberdaya air, krisis yang dialami Indonesia menyangkut aspek penyediaan dan aspek pengelolaan. Dalam hal penyediaan, masalah yang timbul mencakup aspek kuantitas dan kualitas (Riyadi, 2012). Mata air merupakan suatu keadaan dimana air tanah mengalir keluar dari akuifer menuju permukaan tanah dengan sendirinya (Purwitasari, 2007), maupun dengan cara digali atau dibor di lokasi titik sumber air. Keberadaan mata air berperan multiguna, selain sebagai salah satu sumber untuk pemenuhan air bersih, mata air juga digunakan oleh masyarakat untuk sebagai air minum dan MCK (mandi, cuci, kakus), pengairan lahan pertanian, perikanan, religius (mendukung pelaksanaan ibadah), dan ekonomi. Permasalahan air yang semakin komplek ini menuntut pengelolaan sumberdaya air yang semakin baik. Berdasarkan UU No 7/2004 tentang Sumberdaya Air, pengelolaan sumberdaya air adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi penyelenggaraan konservasi sumberdaya air, pendayagunaan sumberdaya air, dan pengendalian daya rusak air (Bappenas, 2005; Helmi, 1997; Helmi, 1998). Kaki gunung Merapi yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Klaten merupakan zona wilayah yang banyak terdapat mata air sehingga sepanjang sejarah wilayah Kabupaten Klaten merupakan area pertanian yang subur karena ditopang tersedianya air secara mencukupi (Sugiyarto, 2015). Data di Bidang Sumber Daya Air (SDA) Dinas Pekerjaan Umum (DPU) Klaten, setidaknya ada sekitar 120 sumber mata air yang sampai saat ini masih efektif dengan kondisi debit air besar dan kecil. Sumber mata air tersebut banyak tersebar di antaranya di Kecamatan Manisrenggo, Prambanan, Karangnongko, Gantiwarno, Kemalang, Karanganom, Jatinom, Polanharjo, Tulung, Trucuk, Bayat, Ceper, Kebonarum, Klaten Selatan, Kalikotes, dan Ngawen (Kedaulatan Rakyat, 18 Desember 2014). Pemanfaatan sumber air itu digunakan untuk keperluan seperti air minum, irigasi, industri dan lainnya. Potensi mata air di wilayah tersebut saat ini bahkan telah dimanfaatkan secara komersial untuk produksi air bersih oleh PDAM maupun perusahaan air minum dalam kemasan. Sebagai contoh Sriyana (2011) melaporkan bahwa pemanfaatan Sumber Ingas (Cokro), untuk Air Minum (PDAM Surakarta) sebesar 400 l/dt, AirMinum (Desa Cokro) sebesar 4 l/dt, Air Minum (PDAM Klaten) sebesar 300 l/dt, serta sisanya sebesar 593 l/dt, digunakan untuk Irigasi, yang sebelumnya dimanfaatkan untuk menggerakan Turbin, dengan hasil daya 3 listrik sebesar = 50 Watt. Fenomena alih fungsi sumberdaya air ini pada akhirnya menimbulkan dampak sosial tersendiri, khususnya bagi para petani. Sementara itu ironisnya masyarakat daerah lereng gunung Merapi yang notabene sebagai daerah tangkapan hujan justru setiap tahun mengalami bencana kekeringan. (Kedaulatan Rakyat, 18 Desember 2014). Keberadaan dan fungsi mata air perlu dijaga kelestariannya guna menghadapi terjadinya krisis air. Vegetasi yang berada di sekitarmata air merupakan faktor penting untuk menjaga kelestarian mata air. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan karakter vegetasi pohon di sekitar mata air. MATERI DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Juli 2015 dengan menggunakan metode survey pada 151 mata air di 17 kecamatan yang ada di Kabupaten Klaten Jawa Tengah. Data yang dikumpulkanmeliputinamajenispohon, frekuensiditemukandan habitus pohon.Jenis-jenispohon yang paling tinggifrekuensiditemukankemudian dikarakteristik berdasarkanbentukkanopi, perakaran, maupunbentukbatangnya. Data frekuensi ditemukan dihitung nilai frekuensi kehadirannya dengan rumus: (Kreb,1985) FK = ∑ Plot yang ditempati suatu jenis X 100 % ∑ Plot yang ditempati seluruh jenis PROSIDING, Copyright© 2016
221
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Dengan, FK : 0-25% 25-50% 50-75% 75-100%
= Sangat jarang = Jarang = Banyak =Sangat banyak
HASIL dan PEMBAHASAN Hasil penelitian didapatkan 88 jenis pohon penyusun vegetasi di sekitar mata air yang ada di Kabupaten Klaten. Jenis pohon yang paling tinggi frekuensi ditemukan adalah berturutturut: Bambu, Beringin, Gayam, Kelapa, Mangga, Awar-Awar, dan Mahoni. Tabel 1. Frekuensi Pohon Dominan yang Ditemukan No
Famili
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Frekuensi ditemukan (jumlah mata air)
Frekuensi Kehadiran (FK)
1.
Poaceae
Bambu
Bambusa sp.
64
42,38%
2.
Moraceae
Beringin
Ficus benjamina L.
57
37,75%
3.
Fabaceae
Gayam
Inocarpus fagiferus
43
28,48%
4.
Arecaceae
Kelapa
Cocos nucifera L.
42
27,81%
5.
Anacardiaceae
Mangga
Mangifera indica
30
19,87%
6.
Moraceae
Awar-awar
Ficus septica Burm. f
29
19,20%
7.
Meliaceae
Mahoni
Swietenia macrophylla
24
15,89%
Frekuensi kehadiran jenis pohon paling dominan yaituBambusa sp.yang dijumpai di 64 mata air. Nilai frekuensi kehadiran sebesar 42,38% sehingga menurut kreb, (1985) kehadiran pohon ini masih dikatakan jarang. Selanjutnya secara berturut-turut yaitu Ficus benjamina L., Inocarpus fagiferus, Cocos nucifera L., Mangifera indica, Ficus septica Burm. f, Swietenia macrophyllayang kehadirannya berkisar antara 15 % sampai 37 % sehingga kehadiran vegetasi pohon tersebut masih tergolong sangat jarang hingga jarang.Hal ini kemungkinan dikarenakan adanya variasi jenis-jenis pohon yang ditemukan di setiap mata air. Bambusa sp.tergolong keluarga rumput-rumputan (gramineae) yang terdiri dari sejumlah batang yang tumbuh secara bertahap. Batang bambu memiliki bentuk yang berbukubuku, beruas, berongga, dan dindingnya keras. Setiap ruas ditumbuhi mata tunas yang dapat tumbuh menjadi cabang. Bambu memiliki akar yang terdiri atas rimpang (rhizon) yang berbuku-buku dan ditumbuhi tunas yang akan tumbuh menjadi batang. Tipe perakaran dari bambu termasuk akar dalam dengan tipe akar serabut dengan rimpang yang sangat kuat sehingga leluasa mencari daerah serapan air tanah dan dijadikan sebagai daerah tangkapan air tanah. Karakteristik ini menjadikan bambu memiliki fungsi hidrologis yang mampu mengikat air dan tanah selain itu juga dapat memicu terpompanya air tanah agar tertarik ke atas. Kanopi bambu berbentuk lebar dan rapat, tergantung dari banyaknya bambu dan usia bambu. Tinggi dari kanopi tersebut juga beragam. Ada yang agak lurus meninggi, namun ada juga yang berbentuk lengkungan ke bawah. Hal ini membuat tanah disekitarnya menjadi lembab dan ternaungi karena cahaya matahari terserap oleh daun bambu untuk melakukan proses fotosintesis. Tidak berbeda jauh dengan bambu, tanaman ficus seperti beringin dan awar-awar serta mahonimemiliki perakaran yang dalam dan tipe kanopi rapat sehingga dapat mengkonservasi tanah dan air di sekitar kawasan mata air (Fiqa dkk, 2005) selain itu mahoni dan gayam juga memiliki karakteristik yang sama. Akar dari jenis pohon ini mampu mencapai lapisan akuifer dimana air tanah mengalir sehingga dapat membuka aliran baru menuju permukaan tanah dan PROSIDING, Copyright© 2016
222
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
keluar menjadi mata air. Permukaan tanah di sekitar pohon jenis Ficus sp.maupun kelompok Fabaceae dan Meliaceae sering kali terlihat basah pada dini hari. Larcher (1995) menduga bahwa tanaman jenis ini mempunyai mekanisme hydraulic conductance yaitu kemampuan tanaman menyerap air dalam jumlah banyak di malam hari untuk disebarkan ke permukaan, selanjutnya saat pagi hari air permukaan akan diserap kembali oleh akar-akar permukaan dan dipergunakan untuk metabolismenya. Jenis-jenis pohon beringin dan tipe pohonbesar dengan perakaran kuat memang sering dijumpaiberada disekitar mata air (Agustina dan Arisoesiloningsih2013; Trimanto 2013). Diameter pohon dari genus Ficus dan kelompok Fabaceaeyang dijumpai di sekitar mata air cukup besar diantarapohon lain yakni diatas 50 cm. Pada kawasan mata airpohon ini tumbuh sangat dekat dengan tepi mata air bahkansering perakarannya berada di perairan (Ridwan dan Pamungkas, 2015). Berbeda dari lainnya, kelapa memiliki bentuk batang yang silindris tanpa percabangan dengan kanopi yang menggerombol diatas dengan bentuk yang agak vertikal sehingga tidak terlihat terlalu rimbun dan menaungi tanah dibawahnya. Sedangkan mangga bentuk batang bisa lebih dari 50 cm dengan kanopi yang rapat. Tipe perakaran dari pohon tersebut termasuk akar yang dalam sehingga diduga dapat memperluas daerah penyerapan sehingga dapat mengikat air dan tanah. Kondisi vegetasi di sekitar mata air di kabupaten Klaten memiliki kondisi yang baik. Kondisi vegetasi yang baik dapat mendukungkeberadaan dan kelestarian mata air tersebut. Tanah pada vegetasi yang rimbun/lebat memiliki pori lebihbanyak karena akar-akar pohon melonggarkan tanah danmengumpulkan bahan organic lebih banyak denganinfiltrasi yang tinggi. Dengan demikian mempengaruhikapasitas penyimpanan air di lokasi tutupan vegetasi,danpada gilirannya meningkatkan kapasitas penyimpanan airsecara keseluruhan (Lüscher dan Zürcher 2003; Zhang etal. 2011). SIMPULAN Hasil penelitian didapatkan 89 jenis pohon penyusun vegetasi di sekitar mata air. Jenisjenis pohon yang paling tinggi frequensi ditemukan berturut-turut adalah: Bambu, Beringin, Gayam, Kelapa, Mangga, Awar-Awar dan Mahoni. Habitus jenis-jenis pohon bervariasi baik bentuk kanopi, perakaran, maupun bentuk batangnya. Akan tetapi semua jenis pohon termasuk jenis berakar dalam. UCAPAN TERIMAKASIH Penulis mengucapkan terimakasih kepada LPPM UNS atas diberikanya Hibah Iptek bagi Masyarakat (IbM) sebagai rujukan Maintenance Research Group (MRG-UNS) sehingga penelitian ini dapat terlaksana. DAFTAR PUSTAKA Arisoesilaningsih E. 2013. Variasi profil vegetasi pohonriparian di sekitar mata air dan Saluran Irigasi Tersier di KabupatenMalang. Jurnal Biotropika 1 (3): 85-89. Bappenas. (2005). Rencana Pembangunan JangkaPanjang (RPJP) 2005 – 2025. Diperolehdari www.bappenas.go.id. Fiqa AP, Arisoesilaningsih E, Soejono. 2005. Konservasi mata air DAS Brantas. Memanfaatkan Diversitas Flora Indonesia. Seminar BasicScience II. Universitas Brawijaya, Malang GWP, 2000. GWP. 2000. Integrated Water Resources Management. TAC Background Paper No.4. Stockholm:GWP. Helmi. 1997. KearahPenge/o/aanSumberdaya Air yang Berkelanjutan: Tantangandan Agenda untukPenyesuaianKebijaksanaandanBirokrasi Air di MasaDepan.JurnalVisiIrigasi Indonesia 13.
PROSIDING, Copyright© 2016
223
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Helmi. 1998. Memposisikan Status Air SebagaiBarangEkonomi di Indonesia: IsuKonstitusi, KebijakandanImplementasi dB/am KerangkamemberikanJaminan Air BagiPetani. JurnalVisiIrigasi Indonesia Nomor 14. Larcher W. 1995. Physiological Plant Ecology. 3rd ed. Springer, Berlin. Lüscher P, Zürcher K. 2003. Flood Protection in Forests. Report of the Bavarian State Institute of Forestry, Report No. 40. Freising: BavarianState Institute of Forestry. Purwitasari A. 2007. Studi Kelayakan Sumber Mata Air Kali Bajak Sebagai Pemenuhan Kebutuhan Air Bersih Warga di WilayahKelurahan Karanganyar Gunung Kecamatan Candisari Semarang.[Skripsi]. Universitas Negeri Semarang, Semarang. Ridwan, Muhammad dan Pamungkas D. W. 2015. Keanekaragaman vegetasi pohon di sekitar sumber mata air diKecamatan Panekan, Kabupaten Magetan, Jawa Timur. PROS SEM NAS MASY BIODIV INDON. 1(6): 1375-1379 Riyadi, A. 2012. Pengelolaan Sumber Daya Air Yang Terpadu Dan Berkelanjutan. Jurnal Lingkungan Hidup. Sugiyarto. 2015. Air, Hidup dan Kehidupan. Tabloid Jabalakat 1(3): 22
PROSIDING, Copyright© 2016
224
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DIVERSITY OF PLANTS AND RESERVES ESTIMATION CARBON ABOVE GROUND LEVEL IN FOREST AREAS BUKIT BARISAN WEST SUMATRA Yastori*, Chairul, Syamsuardi, Mansyurdin, Tesri Maideliza Laboratory of Plant Ecology Department of Biology, FMIPA Andalas Universitiy, Limau Manis Padang -25163. *Email :
[email protected] ABSTRACT Indonesia has a vast forest area. The extent of Indonesia's forests is one of the natural resources are prone to damage due to human interests in meeting their needs. One example of the damage that often occurs when current is forest fires. Forest destruction accounts for 2025% of global CO2 emissions that contribute to climate change or global warming. Unspoiled forest with a diversity of plant species are long-lived and litter is a place to store a lot of carbon stocks (C) the highest. The aim of this study was to determine the diversity of plants and to determine the amount of carbon stock above ground level in the forests of the Bukit Barisan city of Padang, West Sumatra. For the calculation of tree biomass is calculated on a plot with a size of 20m x 20m, 10m x 10m pole, stake 5m x 5m and for perhiungan down plant biomass and litter on the plot with a size of 2m x 2m (National Standardization Agency, 2011). Biomass calculation using the formula of Ketterings et al, 2001). In the Forest Area Bukit Barisan, West Sumatra derived carbon content 33.4718 ton / ha. Key words : forest, carbon, biomass. PENDAHULUAN Indonesia merupakan salah satu negara tropis yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dan termasuk ke dalam delapan Negara mega biodiversitas di dunia, baik flora maupun fauna yang penyebarannya sangat luas (Heriyanto dan Garsetiasih, 2004). Luas kawasan hutan di Indonesia tahun 2012 mencapai 130,61 juta ha. Luas kawasan hutan tersebut mencapai 68,6 % dari total luas daratan Indonesia sehingga menjadi salah satu potensi sumber daya alam yang rawan terjadi kerusakan karena kepentingan manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat kerusakan hutan di Indonesia tahun 2012 mencapai 0,45 terbagi menjadi kerusakan kawasan hutan 0,32 dan di luar kawasan hutan 0,13 per tahun. (Kementerian Kehutanan, 2012). Hutan yang masih alami dengan keanekaragaman jenis tumbuhan berumur panjang dan serasah yang banyak merupakan tempat menyimpan cadangan karbon (C) yang paling tinggi (Hairiah dan Rahayu, 2007). Kerusakan hutan secara global menyumbang 2025% emisi CO2 yang berkontribusi besar bagi perubahan iklim atau pemanasan global. Perluasan pasar karbon untuk mitigasi CO2 dengan skema reducing emission from deforestation and forest degradation (REDD) telah disepakati pada COP 13 UNFCCC di Bali Desember 2007 (World Bank, 2007; Santilli et al, 2005). Pohon di hutan mampu menyerap karbondioksida (CO2) untuk fotosintesis dan menyimpannya dalam bentuk karbohidrat pada kantong karbon di akar, batang, dan, daun sebelum dilepaskan kembali ke atmosfer (Marispatin, 2007). Sumatera Barat merupakan wilayah yang sebagian besar bertopografi pegunungan dan dataran tinggi Bukit Barisan yang membujur dari Barat Laut ke Tenggara, 63% dari luas daerah merupakan kawasan hutan lebat dengan ketinggian sampai 3.000 meter di atas permukaan laut (Iqbal, 2011). Kawasan Bukit Barisan bagian barat, termasuk kedalam kawasan Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung (KPHL) menurut PP No.6 Tahun 2007, Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) merupakan wilayah pengelolaan hutan sesuai fungsi pokok dan peruntukannya yang dapat dikelola secara efisien dan lestari yang merupakan salah satu upaya untuk menyelamatkan kawasan hutan Indonesia (Kementrian Kehutananan, 2011). Kawasan Bukit Barisan termasuk kedalam kawasan hutan lindung seluas ±69.504 ha (Kementrian Kehutanan, PROSIDING, Copyright© 2016
225
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
2011), sehingga kondisi kawasan yang terjaga dan sedikit tekanan pengrusakan tentunya mengandung kekayaan karbon yang tinggi. Akan tetapi, sebelum kita melakukan perhitungan cadangan karbon sebaiknya kita mengetahui terlebih dahulu bagaimana keanekaragaman jenis tumbuhan yang ada di hutan tersebut. Selain itu, data pendugaan cadangan karbon di kawasan hutan Bukit Barisan Bagian Barat Kota Padang diharapkan ke depannya dapat dipergunakan dalam carbon trade yang saat sekarang ini merupakan terobosan dunia internasional supaya dapat memberikan kompensasi kepada negara yang telah menjaga kawasan hutannya dengan baik. Berdasarkan uraian diatas maka peneliti ingin melakukan penelitian tentang “Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Di Kawasan Hutan Bukit Barisan Kota Padang”. METODE PENELITIAN Jenis dan teknis pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi langsung ke lapangan yaitu untuk mengukur diameter pohon dan menentukan jenis tumbuhan dengan melakukan identifikasi jenis tumbuhan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode sampling tanpa pemanenan (non-destructive sampling) untuk pohon, tiang dan pancang dan (destructive sampling) untuk serasah dan tumbuhan bawah (Hairiah dan Rahayu, 2007). Ukuran plot sesuai dengan Badan Standarisasi Nasional (2011) : pohon dengan luasan minimal 400 m2, tiang dengan luasan 100 m2, pancang 25 m2, serasah dan tumbuhan bawah 4 m2. Untuk pengukuran Biomassa pohon menggunakan rumus Ketterings et al, (2001). HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, maka diperoleh komposisi dan struktur pohon pada kawasan hutan Bukit Barisan Kota Padang sebagaimana tercantum pada Tabel 1. Berdasarkan hasil yang diperoleh untuk keanekaragaman jenis pohon pada stasiun 1 di kawasan hutan bukit barisan kota Padang Sumatera Barat di peroleh bahwa Polhyalthia sp 1 memiliki nilai Indeks Nilai Penting (INP) yang paling tinggi yaitu 27.66%. Indeks keanekaragaman jenis diperoleh 0.07 yang berarti keanekaragaman jenisnya tergolong rendah. Berdasarkan hasil yang diperoleh untuk keanekaragaman jenis pohon pada stasiun 2 di kawasan hutan bukit barisan kota Padang Sumatera Barat di peroleh bahwa Archidendron bubalinum (Jack) I.C. Nielsen memiliki nilai Indeks Nilai Penting (INP) yang paling tinggi yaitu 29.21%. Indeks keanekaragaman jenis diperoleh 0.07 yang berarti keanekaragaman jenisnya tergolong rendah. Berdasarkan hasil yang diperoleh untuk keanekaragaman jenis pohon pada stasiun 3 di kawasan hutan bukit barisan kota Padang Sumatera Barat di peroleh bahwa Swintonia schwenchii memiliki nilai Indeks Nilai Penting (INP) yang paling tinggi yaitu 24.66%. Indeks keanekaragaman jenis diperoleh 0.07 yang berarti keanekaragaman jenisnya tergolong rendah. Untuk Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi pada tingkatan Tiang pada Stasiun 1 yaitu pada famili Elaiocarpaceae 36.81% dan diperoleh Indeks keanekaragaman jenis 0.06, untuk Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi pada tingkatan Tiang pada Stasiun 2 yaitu pada Knema furfuracea 84.47% dan diperoleh Indeks keanekaragaman jenis 0.05 dan Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi pada tingkatan Tiang pada Stasiun 3 yaitu pada Hancea subpeltata Blume 116.89% dan diperoleh Indeks keanekaragaman jenis 0.05. Biomassa kering sering diistilahkan dengan berat bahan organik. Biomassa diperoleh dari pengukuran diameter di lapangan, lalu dihitung dengan menggunakan persamaan Ketteringset al,(2001), berdasarkan pada pengukuran DBH maka diperoleh kandungan biomassa di Kawasan Hutan Bukit Barisan Kota Padang Sumatera Barat sebagaimana ditampilkan pada Tabel 3.4. Menurut Dharmawan dan Siregar (2008), bahwa semakin besar diameter suatu pohon, maka CO2 yang diserapnya semakin besar. Laju pertumbuhan pohon akan memicu produksi hasil-hasil fotosintesis yang berupa kandungan selulosa dan zat-zat penyusun kayu yang meningkatkan berat bahan organik. PROSIDING, Copyright© 2016
226
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Untuk Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi pada tingkatan Pancang pada Stasiun 1 yaitu pada Artocarpus elasticus Reinw. Ex Blume 38.47% dan diperoleh Indeks keanekaragaman jenis 0.07, untuk Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi pada tingkatan Pancang pada Stasiun 2 yaitu pada Horsfieldia grandis (Hook.f.) Karb 39.28 % dan diperoleh Indeks keanekaragaman jenis 0.07 dan Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi pada tingkatan Pancang pada Stasiun 3 yaitu pada Cryptocarya densiflora Blume 36.50% dan diperoleh Indeks keanekaragaman jenis 0.07. Tabel 1. Komposisi dan Struktur Pohon pada Stasiun 1 di Kawasan Hutan Bukit Barisan Kota Padang Sumatera Barat N o 1 2 3 4 5
Famili
Nama Jenis
Annonaceae Apocynaceae Cluciaceae Elaiocarpaceae Euphorbiaceae
6 8
Fagaceae Leguminosae
9 10
Malvaceae Moraceae
Polhyalthia sp 1 Alstonia angustiloba Miq Garcinia nervosa Miq. Elaiocarpaceae sp 1 Macaranga gigantea (Rehb. F. &Zoll.) Mull. Arg Quercus robur L. Adenathera pavonia L. Archidendron bubalinum (Jack) I.C. Nielsen Durio griffithii (Mast.) Bakh Artocarpus dadah Miq Artocarpus elasticus Reinw. Ex Blume Artocarpus kemando Miq Artocarpus nitidus Trécul Knema furfuraceae Eugenia lineata Rhodamnia cinerea Jack Baccaurea deflexa Müll.Arg Baccaurea dulcis (Jack) Müll.Arg. Aporosa frutescens Blume Coffea canephora Pierre ex A.Froehner Lasianthus cyanocarpoides Val eton Symplocos cochinchinensis (Lo ur.) S. Moore Gordania ovalis (korth).Kalp. Gordania sp
11 12
Myristicaceae Myrtaceae
13
Phyllanthaceae
14
Rubiaceae
15
Symplocaceae
16
Theaceae Jumlah Total
KR (%) 2.94 2.94 2.94 2.94 2.94
FR (%) 3.45 3.45 3.45 3.45 3.45
DR (%) 21.27 1.70 1.16 1.39 8.46
INP (%) 27.66 8.09 7.55 7.78 14.85
5.88 2.94 2.94
6.90 3.45 3.45
1.92 2.01 8.46
14.70 8.40 14.85
2.94 8.82 8.82
3.45 3.45 6.90
1.81 2.14 4.39
8.20 14.41 20.11
2.94 8.82 2.94 2.94 2.94 5.88 2.94
3.45 3.45 3.45 3.45 3.45 6.90 3.45
15.24 1.44 9.85 1.9 1.12 1.51 1.23
21.63 13.71 16.24 8.34 7.51 14.29 7.62
2.94 2.94
3.45 3.45
1.41 1.57
7.80 7.96
5.88
6.90
1.64
14.42
2.94
3.45
1.38
7.77
5.88 2.94 100.00%
6.90 3.45 100.00%
3.24 3.71 100.00%
16.02 10.10 300.00%
PROSIDING, Copyright© 2016
227
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2. Komposisi dan Struktur Pohon Pada Stasiun 2 di Kawasan Hutan Bukit Barisa Kota Padang Sumatera Barat No
Famili
Nama Jenis
KR (%) 5.88
FR (%) 1.73
DR (%) 2.14
INP (%) 13.90
1
Cluciaceae
Garcinia nervosa Miq.
2
Euphorbiaceae
5.88
1.73
1.57
13.33
3
Fagaceae
Macaranga gigantea (Rehb. F. &Zoll.) Mull. Arg Quercus robur L.
11.76
3.46
12.00
35.53
4
Lauraceae
Litsea sp
5.88
1.73
5.94
17.70
5
Leguminosae
5.88
1.73
17.45
29.21
6
Melastomataceae
Archidendron bubalinum (Jack) I.C. Nielsen Rhodamnia cinerea
5.88
1.73
3.15
14.91
7
Moraceae
Artocarpus dadah Miq
5.88
1.73
7.28
19.04
Artocarpus elasticus Reinw. Ex Blume Ficus variegata
5.88
1.73
4.66
16.42
5.88
1.73
1.61
13.37
8
Myrtaceae
Eugenia lineata
5.88
1.73
14.66
26.42
9
Phyllanthaceae
Baccaurea dulcis (Jack) Müll.Arg.
5.88
1.73
15.24
27.00
10
Rubiaceae
5.88
1.73
8.79
20.55
11
Symplocaceae
11.76
3.46
1.69
25.22
12
Theaceae
Coffea canephora Pierre ex A.Froehner. Symplocos cochinchinensis (Lour.) S. Moore Eurya acuminata
5.88
1.73
2.14
13.90
13
Verbenaceae
Vitex pubescens
5.88
1.73
1.69
13.45
100.%
29.41%
100.00%
300.01%
Jumlah Total
Tabel 3. Komposisi dan Struktur Pohon Pada Stasiun 3 di Kawasan Hutan Bukit Barisan Kota Padang Sumatera Barat No
Famili
Nama Jenis
1 2 3 4 5 6 7
Anacardiaceae Bignoniaceae Centroplacaceae Dilleniaceae Dipterocarpaceae Euphorbiaceae Fagaceae
8
Lauraceae
9
Meliaceae
10
Moraceae
11 12
Phyllanthaceae Rubiaceae
Swintonia schwenchii Spathodea campanulata P. Beauv. Bhesa paniculata Arn Dillenia borneensis Hoogland Dipterocarpus grandiflora Drypetes polyneura Airy Saw Quercus argentata Quercus robur L. Cryptocarya densiflora Blume Litsea elliptica (BI.) Boerl Chisocheton sp. 1 Lansium parasiticum (Osbeck) K.C.Sahni & Bennet Artocarpus elasticus Reinw. Ex Blume Artocarpus heterophyllus Lam. Ficus lepicarpa Blume Ficus variegata Blume Baccaurea dulcis (Jack) Mull. Arg Coffea canephora Pierre ex A.Froehner. Acronychia sp. 1
Jumlah Total
KR (%) 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00
FR (%) 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00 5.00
DR (%) 14.66 5.98 2.98 1.71 5.35 4.04 3.24 3.96 5.57 13.32 1.87 2.53
INP (%) 24.66 15.98 12.98 11.71 15.35 14.04 13.24 13.96 15.57 23.32 11.87 12.53
5.00 5.00 5.00 10.00 5.00 5.00
5.00 5.00 5.00 10.0 5.00 5.00
5.58 7.03 7.03 3.77 4.35 3.31
15.5 17.03 17.03 23.77 14.35 13.31
5.00 100.00%
5.00 100.00%
3.74 100.00%
13.74 300.00%
PROSIDING, Copyright© 2016
228
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 4. Potensi Kandungan Biomassa hidup pada kawasan Hutan Bukit Barisa Kota Padang, Sumatera Barat No.
Tingkatan
1 2 3 4
Pohon Tiang Pancang Tumbuhan Bawah
Biomassa (ton/plot sampel)
Biomassa (ton/ha)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
400.22 9.25 1.13 0.41
299.91 6.12 1.44 0.17
1228.56 6.42 0.4 0.03
2.0011 0.185 0.0904 0.205 10.62185
1.49955 0.1224 0.1152 0.085
6.1428 0.1284 0.032 0.015
Total
Total 9.64345 0.4358 0.2376 0.305
Menurut Retnowati (1998) menyatakan bahwa hasil fotosintesis digunakan oleh tumbuhan untuk melakukan pertumbuhan ke arah horizontal dan vertikal. Oleh karena itu, semakin besar diameter disebabkan oleh penyimpanan biomassa hasil konversi CO2 yang semakin bertambah besar seiring dengan semakin banyaknya CO2 yang diserap pohon.Secara umum hutan dengan net growth (terutama pohon-pohon yang sedang berada dalam fase pertumbuhan) mampu menyerap lebih banyak CO2, sedangkan hutan dewasa dengan pertumbuhan yang kecil menahan dan menyimpan persediaan karbon tetapi tidak dapat menyerap CO2 ekstra. Tabel 5. Potensi Kandungan Karbon pada kawasan Hutan Bukit Barisa Kota Padang, Sumatera Barat No.
Tingkatan
1 2 3
Pohon Tiang Pancang Tumbuhan Bawah Total
4
Karbon (ton/plot sampel)
Karbon (ton/ha)
Total
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
188.1034 4.3475 0.5311
140.9577 2.8764 0.6768
577.4232 3.0174 0.188
0.940517 0.08695 0.042488
0.704789 0.057528 0.054144
2.887116 0.060348 0.01504
4.532422 0.204826 0.111672
0.194256
0.0782315
0.0135595
0.09635
0.03995
0.00705
0.14335 4.99227
Nilai karbon tersimpan ditentukan dengan pengukuran biomassa pohon. Karbon tersimpan merupakan 47% dari biomassa pohon yang diukur, sehingga cadangan karbon berkorelasi positif dengan besarnya biomassa yang berarti semakin besar simpanan biomassa maka cadangan karbon akan semakin tinggi. Total simpanan karbon di atas permukaan tanah pada Kawasan Hutan Bukit Barisan Kota Padang Sumatera Barat merupakan penjumlahan dari simpanan karbon pada tegakan tingkat pohon, tiang, pancang, tumbuhan bawah dan bahan organik mati (pohon mati, kayu mati dan serasah). Biomassa pohon (dalam berat kering) dihitung dengan menggunakan persamaan Ketterings et al, (2001), berdasarkan pada pengukuran DBH maka diperoleh kandungan karbon di kawasan Hutan Bukit Barisan Kota Padang yaitu 33.4718 ton / ha. Tabel 6. Potensi Kandungan Biomassa organik mati pada kawasan Hutan Bukit Barisan Kota Padang, Sumatera Barat No.
Tingkatan
1 2 3
Pohon Mati (kg) Kayu Mati (kg) Serasah (kg)
Biomassa (ton/plot sampel)
Biomassa (ton/ha)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
9.68 1239.09 13.37
48.74 6858.15 3.04
10.3 1605.65 7.07
0.0484 6.19545 6.685
0.2437 34.29075 1.52
0.0515 8.025 3.535
Total
0.3436 48.5112 11.74 60.5948
PROSIDING, Copyright© 2016
Total
229
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 7. Potensi Kandungan Biomassa organik mati pada kawasan Hutan Bukit Barisan Kota Padang, Sumatera Barat No.
Tingkatan
1 2 3
Pohon Mati Kayu Mati Serasah
Karbon (ton/plot sampel)
Karbon (ton/ha)
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
4.5496 582.372 6.2839
22.9078 3223.33 1.4288
4.841 754.66 3.3229
0.02275 2.91186 3.14195
0.11454 16.1167 0.7144
0.02421 3.77175 1.66145
Total
Total 0.16149 22.8003 5.5178 28.4796
Jumlah karbon tersimpan berbeda-beda antara tumbuhan yang satu dengan lainnya, tergantung pada jenis tumbuhan tersebut, karena berbeda jenis berbeda pula berat jenisnya. Perbedaan jumlah karbon tersimpan pada setiap lokasi penelitian disebabkan perbedaan kerapatan tumbuhan pada setiap lokasi. Karbon tersimpan pada suatu komunitas hutan juga dipengaruhi oleh diameter dan berat jenis tanaman. Suatu sistem komunitas hutan yang terdiri dari jenis-jenis pohon yang mempunyai nilai kerapatan kayu tinggi maka biomassanya akan lebih tinggi bila dibandingkan dengan komunitas hutan yang mempunyai jenis-jenis pohon dengan nilai kerapatan kayu rendah (Rahayu dkk, 2004). UCAPAN TERIMA KASIH Penelitian ini didanai dari proyek penelitian unggulan perguruan tinggi DIKTI tahun anggaran 2015. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat Universitas Andalas dan Ketua DP2M DIKTI, tim lapangan dan tim HERBARIUM ANDA Universitas Andalas. DAFTAR PUSTAKA Badan Standarisasi Nasional. 2011. Pengukuran dan Perhitungan Cadangan KarbonPengukuran Lapangan Untuk Penaksiran Cadangan Karbon Hutan (ground based forest carbon accounting).BSN. Jakarta. Efrinaldi. 2014. Dinamika Cadangan Biomassa Dan Karbon DI Taman Nasional Siberut. Jurnal Fakultas Kehutanan Universitas Muhammadiyah Sumatera Barat. Padang. Hairiah, K dan Rahayu, S. 2007. Pengukuran .Karbon Tersimpan. Di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. Bogor: World Agroforestry Centre. Bogor. Ketterings QM, Coe R, van Noordwijk M, Ambagau Palm C. 2001. Reducing Uncertainly in the Use of Allometric Biomass Equation for Predicting Above-Ground Tree Biomass in Mixed Secondary Forest. Forest Ecology and Management 146 (2001)199-209. Sutaryo, D. 2009. Perhitungan Biomassa. Bogor :Wetlands International Indonesia Programme.
PROSIDING, Copyright© 2016
230
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
KARAKTERISASI DAN DETERMINASI TANAMAN LAMUN (SEAGRASS) DI KAWASAN PERAIRAN PANTAI SEKITAR KOTA DENPASAR Deny Suhernawan Yusup Jurusan Biologi FMIPA UNUD, Kelompok Studi Pesisir dan Kelautan FMIPA E-mail:
[email protected] ABSTRAK Karakterisasi dan determinasi tumbuhan lamun yang ditemukan di perairan pantai sekitar kota Denpasar dilakukan untuk digunakan sebagai panduan pengamatan di lapangan bagi stakeholder dan peneliti pemula. Sampling tumbuhan lamun menggunakan transek tegak lurus pantai. Karakterisasi dan determinasi ditekankan pada karakter morfologi akar, batang dan daun. Hasil karakterisasi jenis-jenis yang ditemukan adalah Enhalus acoroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium dan Thalssodendron cilliatum. Kata kunci: Seagrass, Lamun, Pantai, Denpasar PENDAHULUAN Tumbuhan lamun secara taksonomi termasuk tumbuhan berbunga (Angiospermae) berkeping satu. Tumbuhan lamun (seagrass) juga dikenal masyarakat daerah sebagai alangalang laut.Tumbuhan lamun (seagrass) sering salah dimengerti sebagai rumput laut sebagai terjemahan langsung dari seagrass. Tumbuhan lamun sering ditemukan sebagai hamparan yang luas membentuk padang lamun (seagrassbeds). Berbagai organisme berasosiasi di padang lamun membentuk ekosistem lamun. Sebagai individu, manfaat langsung tumbuhan lamun bagi kehidupan manusia masih terbatas. Tetapi, secara ekologis tumbuhan lamun telah banyak dikemukakan memiliki peranan yang sangat penting bagi ekosistem pantai, sebagai produser (Sand-Jensen, 1975 Coleman dan Burkholder, 1994), berbagai hewan, sebagai nurshery ground, feeding ground dan spawning ground (Shieh and Yang, 1997). Namun pemahaman masyarakat terhadap kebradaan tumbuhan lamun masih terbatas. Padang lamun dapat ditemukan di beberapa wilayah perairan pantai di Bali seperti Taman nasional Bali Barat, kawasan Nusa Dua, Kawasan Sanur, Nusa Penida , sekitar Padang Bai- Karangasem (Yusup, 2008ab). Hasil penelitian Yusup (Yusup, 2008a 2008b) kawasan perairan Sanur dan Pulau Serangan ditemukan 8 jenis tumbuhan lamun yaitu Enhalus acoroides, Thalassia hempricii, Thalassodendron cilliatum, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Cymodocea serrulata, Cymodocea rotundata dan Syringodium isoetifolium Berbagai upaya telah dilakukan untuk mensosialisasikan tumbuhan lamun di Bali melalui berbagai kegiatan yang difasilitasi kerjasama lembaga pendidikan (UNUD) dan Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO), seperti kegiatan Seagrass Watch dan SegrassNet. Namun, salah satu kendala yang dihadapi adalah keterbatasan kemampuan mengidentifikasi tumbuhan lamun. Oleh karena itu diperlukan upaya menyederhanakan cara mengenal jenis tumbuhan lamun berdasarkan karakteristik luar tumbuhan lamun seperti daun dan akar. Hal ini sangat dimungkinkan karena jumlah jenis tanaman lamun yang telah berhail diidentifikasi oleh P2O-LIPI adalah 12 jenis (Kurniadewa, 2006). METODE Sampling tumbuhan lamun dilakukan di wilayah peraian sekitar Nusa Dua dan Sanur Denpasar. Pengambilan sampel dilakukan menggunakan kombinasi metode English dkk (1997) dan Short et al. (2004). Identifikasi jenis menggunakan karakteristik morfologi akar dan daun (Mather dan Bennet, 1994). PROSIDING, Copyright© 2016
231
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil identifikasi tumbuhan lamun di perairan Nusa Dua dan Sanur ditemukan 8 jenis yaitu Enhalus acroides, Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata, Halodule uninervis, Halophila ovalis, Syringodium isoetifolium dan Thalssodendron ciliatum. Jumlah jenis tumbuhan lamun yang ada di perairan Indonesia adalah 12 jenis dari 52 jenis tumbuhan lamun di perairan seluruh dunia (Kurniadewa, 2006). Empat jenis yang belum ditemukan di perairan Sanur dan Pulau Serangan yaitu Halophila spinulosa, Halophila decipiens, Halophila minor dan Halodule pinifolia. dan Jenis-jenis yang paling banyak ditemukan dan memiliki persen penutupan yang tinggi adalah Thalassia hemprichii, Cymodocea rotundata, Cymodocea serrulata (Yusup, 2008ab). Karakter eksternal daun dan akar tumbuhan lamuan yang ditemukan di jelaskan berikut ini: Enhalus acoroides E. acoroides memiliki karakteristik mudah dikenal karena memiliki ukuran akar dan daun yang lebih besar dibandingkan jenis lainnya.Daun berbentuk pipih dengan tulang daun sejajar, lebar daun dapat mencapai 2 cm dan panjang mencapai 1 m. Pada kedua bagian tepi daun memiliki struktur yang menyerupai tulang daun yang keras. Akarnya berukuran besar dan pada pangkal batang terdapat struktur menyerupai ijuk berwarna hitam (tidak dimiliki oleh jenis lainnya). Halophila ovalis Genus Halophila banyak ditemukan di wilayah dimana jenis lain tidak tumbuh dengan tipe sedimen pasir halus. Halophila memiliki karakteristik mudah dikenal dengan daun pipih tipis transparan dan berbentuk oval sampai elips. Tulang daun menyirip dengan jumlah yang spesies spesifik. Daun ditemukan pada tiap nodus rizhoma. Jenis yang ditemukan adalah jenis H. ovalis memiliki karakteristik yang sama dengan H minor, namun dapat dibedakan berdasarkan jumlah tulang daunnya. H. ovalis memiliki ukuran daun lebih besar dibandingkan H. minor. Bentuk oval sampai elips dengan kisaran lebar daun 8-16,5 mm dan panjang daun 11-32 mm. Tiap daun memiliki 10-25 pasang tulang daun (Kurniadewa, 2006). H. minor memiliki daun berbentuk oval. Kisaran lebar daun 2-5,55 mm dan panjang daun 7-11 mm (Kurniadewa, 2006) dengan tulang daun 5 - 9 pasang. Syringodium isoetifolium Jenis tumbuhan lamun ini merupakan jenis yang memiliki bentuk bulat menyerupai lidi (silindris). Daun memanjang tergantung lokasi perairan dengan diameter daun sekitar 2mm dan ujung daun yang tumpul. Pada tiap nodus rizhoma terdapat 2-3 daun. Cymodocea rotundata dan C. serrulata Cymodocea dan Thalassia merupakan genus tumbuhan lamun yang persen penutupannya tinggi di perairan pantai sekitar Nusa Dua dan Sanur. Daun tumbuhan Cymodocea berbentuk pipih panjang dengan ujung daun membulat. 2-4 daun dengan pelepah daun (leaf sheath) menempel pada batang. Rhizoma berwarna putih bersih dengan jarank antar nodus lebih dari 1 cm. C. rotundata memiliki ujung daun yang membulat dan dengan mata telanjang akan nampak menyerupai jantung hati. C. serrulata memiliki ujung daun yang membulat dan bergerigi (serulate) dan pada bagian pangkal daun membentuk struktur segi tiga. Tampakan luar C. rotundata mirip dengan T. hempricii karena memiliki bentuk daun yangmirip sehingga sering mengakibatkan salah identifikasi. Rhizoma ke dua jenis tersebut memiliki karakteristik berbeda, rhizoma T. hempricii memiliki banyak sisik (scars) antar dua nodus sedangkan C. rotundata memiliki rhizoma yang bersih atau jarak antar sisik yang jarang.
PROSIDING, Copyright© 2016
232
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Thalassia hempricii Tumbuhan lamun jenis ini banyak ditemukan dikawasan koral yang telah mati (coral rubble). T. hempricii memiliki bentuk daun pipih memanjang berbentuk pita dengan Ujung daun membulat. Rhizoma memiliki banyak sisik (scars) antara dua nodus. Pelepah daun (sheat) menempel pada batang yang tegak pada setiap nodus rhizoma. Panjang daun T. hempricii dan genus Cymodocea dapat mencapai 30 - 40 cm bahkan bisa tumbuh di kawasan berlumpur dimana jenis lain tidak mampu tumbuh, seperti di perairan Serang Banten. Halodulle uninervis Genus Halodule sangat mudah dibedakan dengan jenis lain karena ukuran daunnya yang kecil, panjang daun dapat mencapai sekitar 100 mm, dengan lebar daun 1 – 2 mm. Genus Halodule tumbuh dimana kepadatan jenis lainnya rendah dengan sedimen pasir halus. Jenisjenis dari genus Halodule yang ditemukan di wilayah perairan Indonesia adalah H. pinifolia dan H. uninervis. Kedua jenis memiliki ukuran daun dan rhizoma yang sama, namun ujung daunnya memiliki perbedaan, ujung daun H uninervis nampak membentuk huruf "V" atau membentuk dua huruf "V" (tridentate) sedangkan ujung daun H. pinifolia relatif lebih membulat atau membentuk huruf "V-terbalik" ketika masih muda dan ujung daun akan nampak membelah ketika dewasa (Kurniadewa, 2008). Thalassodendron ciliatum Tumbuhan lamun jenis ini memiliki bentuk daun yang pipih memanjang dan melengkung. Pada pelepah daun membentuk struktur segi tiga dengan warna merah muda. Ujung daun membulat dan bergerigi. Ciri khas jenis ini adalah daun terletak pada ujung batang yang memanjang, bahkan panjang batang dapat lebih dari 10 cm. Memiliki rhizoma yang mengayu. Karakteristik morfologi daun dan rhizoma lebih mudah untuk digunakan sebagai acuan identifikasi di lapangan khususnya bagi peneliti lamun pemula. Berdasarkan karakteristik daun dan rhizoma dapat disusun kunci determinasi sebagai panduan di lapangan sebagai berikut: 1. a b 2 a
3
4 5 6
b a b a b a b a
b
Bentuk daun pipih.......................................................................................... 2 Bentuk daun bulat (silindris)..........................................Syringodium isoetifolium Bentuk daun oval atau elips...................................................................Halophila Tulang daun 5 – 9 ......................................................................Halophila minor Tulang daun 10 – 25 ...................................................................Halophila ovalis Bentuk daun memanjang ................................................................................. 3 Lebar daun 1- 2 mm ................................................................................Halodule Ujung daun menyerupai huruf "V" atau tridentante..................Halodule uninervis Ujung daun membenuk huruf "V-terbalik" ...........................Halodule pinifolia Lebar daun lebih dari 3 mm................................................................................... 4 Tepi daun tidak memlliki struktur menyerupai tulang daun ................................. 5 Tepi daun memlliki struktur menyerupai tulang daun dan rizhoma yang besar serta adanya struktur menyeupai ijuk hitam.............................Enhalus acoroides Daun terletak pada ujung batang yang panjang..............Thalassodendron cilliatum (Pelepah / sheat) Daun terletak pada pangkal batang yang pendek........................ 6 Daun memanjang dengan ujung membulat dengan sisik (scale) rizhoma yang jarang..................................................................................................Cymodocea Ujung daun membulat bergerigi (serulate)..........................Cymodocea serrulata Ujung daun membulat tidak bergerigi................................Cymodocea rotundata Daun memanjang dengan ujung membulat dengan sisik (scale) rizhoma yang rapat.......................................................................................Thalassia hempricii PROSIDING, Copyright© 2016
233
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DAFTAR PUSTAKA Coleman, V.L. And Burkholder, J.M. 1994. Community Structure And Productivity Of Epiphytic Microalgae On Eelgrass (Zostera marina, L. ) Under Water-Column Nitrate Enrichment. J. Exp. Mar. Biol. 179 : 29 – 48. English, S.C.W. and V.Baker. 1997. Survey Manual For Tropical Marine Resources.Australia Institute Of Marine Science. Townville. Austaralia Kurniadewa E.T. 2006. Peran Dan Permasalahan Ekosistem Padang Lamun Di Wilayah Pesisir. Makalah Workshop. Makalah Pada JSPS Workshop: Seaweed And Seagrass. Kerjasama JSPS-P2O LIPI.- Coastal And Marine Studi Group Universitas Udayana Denpasr 6- 11 September 2006. Mather, P. Dan I. Bennet. 1994. A Coral Reef Handbook: A Guide To The Geology, Flora And Fauna Of The Great Barrier Reef. Surrey Beatty And Sons Pty Limited.New South Wales. Sand-Jensen, K. 1975. Biomass, Net Production And Growth Dynamic In An Eelgrass (Zostera marina L) Population In Vellerup Vig. Denmark. Ophelia . 14 : 185.201. Shieh, W.Y. And Yang, J.T. 1997. Denitrification In The Rhizosphere Of The Two Sea Grass, Thalassia hemprichii (Ehrenb.) Ascher And Halodule Uninervis (Forsk.) Ascher. J. Exp. Mar. Biol And Ecol. 218: 229-241. Short, F.T. Mckenzie, L.J. Cole, R.G. And Gaeckle J.L. 2004. Seagrassnet Manual For Scientific Monitoring Of Seagrass Habitat – North West Pacific Edition. University Of New Hampshire USA; QDPI, Northern Fisheries Centre, Australia. Yusup, D.S. 2008. Struktur Spatial Tumbuhan Lamun Di Kawasan Pantai Mertasegara Sanur. Prosiding Makalah Kelautan IV. Universitas Hang Tuah Surabaya, SurabayaMei 2008. Yusup, D.S. 2008b. Keanekaragaman Tumbuhan Lamun Di Kawasan P. Serangan Bali. Prosiding Seminar Nasional Biodiversitas II Dep.. Biologi FMIPA Unair, Surabaya 19 Juli 2008.
PROSIDING, Copyright© 2016
234
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
INDUKSI PERAKARAN TUNAS KANTONG SEMAR (Nepenthes ampullaria Jack) DENGAN BEBERAPA KONSENTRASI INDOLE ACETIC ACID (IAA) SECARA IN VITRO ROOT INDUCTION OF Nepenthes ampullaria Jack WITH SEVERAL CONSENTRATIONS OF INDOLE ACETIC ACID (IAA) BY IN VITRO TECHNIQUE Suwirmen, Zozy Aneloi Noli*, Anzharni Fajrina Jurusan Biologi FMIPA Universitas Andalas Padang *Email:
[email protected] INTISARI Telah dilakukan penelitian tentang induksi akar pada tunas kantong semar (Nepenthes ampullaria Jack) dengan penambahan beberapakonsentrasi Indole Acetic Acid (IAA) Secara in vitro,pada bulan September sampai Desember 2014 di Laboratorium Fisiologi Tumbuhan Jurusan Biologi FMIPA UniversitasAndalasPadang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi IAA yang terbaik untukmenginduksi akar dari tunas Nepenthes ampullaria Jack. Penelitian dilakukan dengan metode eksperimen dengan 5 perlakuan dan 5 ulangan. Sebagai perlakuan adalah tanpa pemberian IAA sebagai kontrol, penambahan IAA3 mg/L, IAA6 mg/L,IAA 9 mg/L dan IAA 12 mg/L. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian IAA dengan konsentrasi 12 mg/L merupakan konsentrasi yang terbaik untuk mempercepat penginduksian akar pada tunas Nepenthes ampullaria Jack. Kata kunci: Induksi perakaran, Nepenthes ampullaria Jack, IAA, In Vitro. ABSTRACT The research was conducted to induce root of Nepenthes ampullaria Jack. with several consentrations of Indole Acetic Acid (IAA) by in vitro technique. The study was done from September to Desember 2014 at Plant Physiology Laboratory, Biology Department, Faculty of Mathematic and Natural Sciences, Andalas University, Padang. The purpose of the research was to select the best consentration of IAA to induce root of Nepenthes ampullaria Jack. The research used Completely Randomized Design (CRD) with 5 treatments and 5 replications. The treatments were control (without IAA), 3 mg/L of IAA, 6 mg/L of IAA, 9 mg/L of IAA, and 12 mg/L of IAA. The result showed that the best consentration was 12 mg/L of IAA to accelerate root induction of Nepenthes ampullaria Jack. Keywords: Root induction, Nepenthes ampullaria Jack, IAA, In Vitro. PENDAHULUAN Kantong semar (Nepenthes) dikenal sebagai tanaman hias unik. Banyak di antara kolektor tanaman hias mencoba untuk memiliki dan mengembangkannya. Bentuk kantong dan corak warna Nepenthes memiliki nilai seni yang unik dan artistik.Apabila dikembangkan Nepenthes mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi sebagai tanaman hias pot, pekarangan, pengisi rangkaian vas bunga, tanaman hias dalam botol hasil pengembangan kultur jaringan. Pecinta tanaman hias menggunakan batang Nepenthes sebagai tali pengikat, sangkar burung, dan pagar. Akar dan cairan kantong dipakai sebagai obat. Kantong digunakan untuk membungkus ketupat (Mansur, 2006).
PROSIDING, Copyright© 2016
235
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Nepenthes diklasifikasikan sebagai tumbuhan karnivora karena mampu memangsa serangga. Kemampuannya itu disebabkan oleh adanya organ berbentuk kantong yang menjulur dari ujung daunnya. Organ itu disebut pitcheratau kantong. Nepenthes termasuk salah satu sumber keanekaragaman hayati Indonesia yang sudah terancam punah dan belum dimanfaatkan secara optimal, padahal tanaman Nepenthes ini memiliki nilai ekonomi cukup tinggi jika dikembangkan sebagai tanaman hias. Kantong semar dijadikan sebagai tanaman hias pilihan yang eksotis di Negara Jepang, Eropa, Amerika dan Australia. Akan tetapi di Negara Indonesia sendiri justru tidak banyak yang mengenal dan memanfaatkannya (Witarto, 2006). Status Nepenthes spp. termasuk tanaman yang dilindungi berdasarkan Undang-Undang No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa. Hal ini sejalan dengan regulasi Convention on International Trade in Endangered Species (CITES), dari 103 jenis Nepenthes spp. di dunia yang sudah dipublikasikan, 2 jenis: N. rajah dan N. khasiana masuk dalam kategori Appendix-1. Sisanya berada dalam kategori Appendix-2. Itu berarti segala bentuk kegiatan perdagangan sangat dibatasi (Azwar, 2002). Teknik perbanyakan Nepenthesdapat dilakukan dengan cara setek batang, biji, pemisahan anakan dan kultur jaringan (Mansur, 2007). Pada perbanyakan konvensional terdapat permasalahan yang terjadi yaitu persentase berkecambah yang rendah, pertumbuhan akar dari stek lambat, daya adaptasi tanaman rendah dan tidak semua tanaman menghasilkan anakan (Suska, 2005). Untuk menjaga kelestarian tanaman Nepenthes, maka diperlukan suatu metode budidaya yang tepat, sehingga dapat diperoleh tanaman dalam jumlah banyak dan dalam waktu yang relatif lebih cepat. Metode kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan untuk mendapatkan tanaman Nepenthesdalam jumlah banyak secara cepat. Penggunaan teknik kultur jaringan untuk propagasi Nepenthes sudah dilakukan di LaboratoriumFisiologiTmbuhandanKulturJaringanJurusanBiologi. DiantaranyaHanafi (2010) menggunakan BAP dan medium modifikasi untuk memacu pertumbuhan tunas Nepenthes ampullaria. Pada penelitian tersebut MS 1/4 hara makro dan 4 ppm BAP menunjukkan pertumbuhan tunas yang terbaik. Santi (2010) juga melakukan kultur jaringan pada Nepenthes ampullaria dengan menggunakan GA3 untuk elongasi tunas,. Hasil yang didapatkan 2,0 ppm GA3memberikan pengaruh terbaik pada elongasi tunas N. mirabilis. Penelitian-penelitian untuk menginduksi akar Nepenthes belum menunjukkan keberhasilan yang nyata. Angraini (2008) menggunakan IBA (indole -3 butyric acid) 500 ppm untuk pertumbuhan akar dari stek batang N. mirabilis, ternyata tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan akar dari stek batang N. mirabilis.Oleh karena itu perlu dilakukannya penelitian lanjutantentang induksi akar pada tunas Nepenthes ampullaria pada media modifikasi murashige dan skoog (MS) dengan penambahan beberapa konsentrasi NAA secara in vitro. Aklimatisasi merupakan proses penyesuaian peralihan lingkungan dari kondisi heterotrof ke lingkungan autotrof pada planlet tanaman yang diperoleh melalui teknik in vitro (Wattimena, 1997). Menurut Zulkarnain (2009) faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan planlet selama tahap aklimatisasi adalah media tanam, intensitas cahaya, kelembaban dan suhu ruang. Menurut Hartmann dan Kester (1990), media tumbuh yang ideal untuk tanaman secara umum adalah media yang memiliki syarat-syarat seperti struktur gembur, aerasi dan drainase yang baik serta kelembapan cukup, bebas organisme pengganggu dan bahan berbahaya seperti pestisida, cukup hara mineral dan bobotnya ringan. Nepenthes diketahui sangat baik beradaptasi untuk tumbuh di tanah miskin hara yang memiliki unsur hara esensial seperti nitrogen, fosfor dan kalium yang sangat rendah serta tingkat kemasaman tanah yang tinggi yang umumnya menjadi faktor pembatas bagi pertumbuhan tanaman. Dengan demikian, Nepenthes berpotensi dikembangkan di lahan-lahan miskin hara yang dievaluasi sudah tidak sesuai untuk pertanaman tanaman pangan atau perkebunan (Purwati, 1993; Bratawinata dan Ilola, 2002; Mansur, 2006; Witarto, 2006; PROSIDING, Copyright© 2016
236
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Mardhiana et al., 2007; Eilenberg et al, 2010). Nepenthes banyak ditemukan pada kawasan yang tidak subur dengan kandungan unsur hara yang rendah seperti N, P, dan K, tanah masam dengan pH tanah berkisar 2-4,5, dan kelembaban tinggi (Ellison dan Gotelli, 2001; Moran, 2006; Mansur, 2006). Berdasarkan hal diatas, diketahui bahwa aklimatisasi sangat penting untuk mendapatkan bibit yang baik mampu bertahan hidup di lingkungan alami. Nepenthes hasil kultur jaringan harus melalui proses aklimatisasi untuk dapat ditumbuhkan di lingkungan alaminya kembali atau menjadi tanaman hias. Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui konsentrasi IAA yang terbaik dalammenginduksi akar tunas Nepenthes ampullaria Jack.secarain vitro. Dengan adanya informasi tentang cara penginduksiaan akar Nepenthes ampullaria secara kultur jaringan dan cara melakukan proses aklimatisasinya, akan didapat cara penyediaan bibit Nepenthes secara in vitro sebagai salah satu upaya konservasinya. MATERI DAN METODE Penelitian ini bersifat eksperimen yang dilakukan di laboratorium dengan melakukan inisiasi perakaran tunas Nepenthes ampullaria memakai IAA dengan konsentrasi 0 ppm, 3ppm, 6 ppm, 9 ppm, dan 12 ppm. Bahan tunas Nepenthes yang dipakai sebagai eksplan berasal dari perbanyakan in vitro (Gambar 1).
Gambar 1. Bahan tunas Nepenthes yang dikultur secara in vitro sebagai sumber eksplan (Hanafi, 2010) HASIL Pengamatan persentase yang hidup dihitung pada 12 minggu setelah masa tanam. Persentase planlet yang hidup pada masing-masing perlakuan ditampilkan pada Tabel 1.Hasil pengamatan terhadap persentase hidup planlet Nepenthes menunjukkan bahwa dengan pemberian beberapa konsentrasi IAA persentase tumbuhnya telah mencapai100%. Tabel 1. Persentase planlet Nepenthes ampullaria Jack. yang hidup pada medium MS dengan penambahan beberapa konsentrasi Indole Acetic Acid (IAA) Perlakuan A. Tanpa ZPT B. 3 ppm IAA C. 6 ppm IAA D. 9 ppm IAA E. 12 ppm IAA
Persentase Hidup Eksplan (%) 100 100 100 100 100
Waktu munculnya akar, persentase akar yang tumbuh, panjang akar dan jumlah akar disajikan pada Tabel 2. Eksplan yang diberikan perlakuan IAA waktu munculnya akar lebih cepat dibandingkan dengan eksplan yang tanpa diberi perlakuan IAA.
PROSIDING, Copyright© 2016
237
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2: Waktu pertama munculnya akar, persentase akar tumbuh, panjang akar dan jumlahakar Nepenthes ampullaria Jack. yang hidup pada medium MS dengan penambahan beberapa konsentrasi Indole Acetic Acid (IAA) Perlakuan A. Tanpa ZPT B. 3 ppm IAA C. 6 ppm IAA D. 9 ppm IAA E. 12 ppm IAA
Kisaran Waktu Muncul Akar (hst) 28-37 23-31 24-28 18-26 17-25
Persentase Akar Tumbuh (%) 40 80 100 100 100
Rata-rata Panjang Akar (mm) 7.7 7.8 9.2 8.8 10.8
Rata-rata Jumlah Akar 1.10 1.51 1.86 1.20 3.45
Pengamatan terhadap persentase munculnya akar pada penanaman eksplan pada medium MS dengan pemberian konsentarsi IAA yang berbeda, terlihat perbedaan antara yang tidak diberi IAA dengan yang diberi IAA. Pada perlakuan yang tidak diberi IAA persentase akar yang tumbuh hanya 40 % dan pada perlakuan yang diberi IAA persentase akar yang tumbuh adalah 80 - 100 %. Pemberian konsentrasi 6 ppm sampai 12ppmIAA pada medium MS memperlihatkan pengaruh yang sama terhadap persentase akar yang tumbuh yaitu 100% . Pemberian 3 ppmIAA jugasudah dapat menunjang pertumbuhan akar pada eksplan N. ampullaria. Dari Tabel 2 jugadapat dilihat, panjang akar masing-masing perlakuan jugaberbeda. Nilai rata-rata panjang akar tertinggi didapatkan pada pemberian 12 ppm IAA dan yang terendah tanpa pemberian IAA. Hal ini disebabkan karena tanpa pemberian IAA, auksin endogen belum cukup untuk mempercepat pembentukan akar pada kultur kultur N. ampullaria. Pemberian konsentrasi IAA ternyata dapat memperpanjang akar dan dapat menghasilkan akar yang bagus untuk pertumbuhan Nepenthes tersebut. Pada Tabel 2 dapat dilihat, perbedaan jumlah akar masing-masing perlakuan. Peningkatan pemberian IAA sampai konsentrasi 6 ppm masih memperlihatkan jumlah akar yang hampir sama. Sedangkan peningkatan konsentrasi 9 sampai dengan 12 ppm IAA sudah menunjukkan peningkatan jumlah akar. Pemberian IAA dengan konsentrasi 9 ppm IAA sudah dapat meningkatkan jumlah akar yang bagus terhadap planlet N. ampullaria. PEMBAHASAN Persentasehidupekaplantpadapenambahan IAAdalam mediumdengankonsentrasi 0 ppm, 3ppm, 6 ppm, 9 ppm, dan 12 ppm adalah 100%. Hal ini menunjukkan bahwa medium MS yang digunakan dengan penambahan beberapa konsentrasi IAA dapat menyokong pertumbuhan planlet Nepenthes. Inidikarenakanmedium MS sudahmengandung unsur-unsur hara makro, mikro, vitamin dan asam amino yang diperlukan untuk pertumbuhantanaman. Gunawan (1987) menyatakan bahwa media MS merupakan media dasar yang mengandung hara essensial, sumber energi dan vitamin yang menunjang kebutuhan nutrisi mikropogasi kebanyakan jenis tumbuhan. Purwanto (2007) menyatakan media MS adalah salah satu media yang sering digunakan untuk kultur jaringan Nepenthes. Persentase hidup planlet N. ampullaria 100% ini kemungkinan juga disebabkan karena sumber eksplan yang digunakan adalah dari jaringan tanaman yang masih muda yang masih aktif membelah. Menurut Dixon dan Gonzalez (1985), salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan eksplan adalah zat pengatur tumbuh yang ditambahkan kedalam medium dan zat pengatur tumbuh dapat membantu differensiasi sel dan memacu pertumbuhan sel terus menerus. Akar muncul lebih cepat pada medum yang diberi IAA. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Zong, Yi Li dan Zhen (2008) bahwa peran utama auksin pada perbanyakan tanaman adalah menstimulasi akar pada tanaman tersebut. Pemberian 12 ppm IAA dapat mempercepat munculnya akar. Menurut Whetherell (1982), IAA merupakan golongan auksin yang apabila PROSIDING, Copyright© 2016
238
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
diberikan pada konsentrasi yang tepat dapat merangsang pembelahan, perbesaran dan pertumbuhan sel, juga berpengaruh pada pembentukan akar dan pemanjangan akar. Menurut Salisbury dan Ross (1992) auksin memegang peranan penting pada proses pembelahan dan pembesaran sel, terutama di awal pembentukan akar. IAA sebagai hormon perakaran akan menghasilkan akar yang cepat menjadi panjang dan berbentuk akar serabut yang kuat. IAA memiliki sifat kimia yang lebih stabil dibandingkan dengan hormon lainnya dan tidak mudah teroksidasi (Tamas, 1995; Baraldi, 1995; De Klerk, Brugge dan Meekes1995). Auksin memiliki selang konsentrasi nontoksik yang lebar dan aman jika digunakan pada berbagai spesies tanaman (Hartman dan Ketser, 1990), disamping itu auxin paling efektif dan murah dibandingkan dengan jenis zat pengatur tumbuh lainnya (Wattimena, 1992). Konsentrasi auksin yang diberikan pada jenis tanaman memilki respon yang berbeda terhadap perakaran, sebagaimana yang telah ditemukan oleh beberapa peneliti di antaranya pada Centella asiatica (L) dengan medium MS+2,46 μM IBA dapat mempercepat munculnya akar (Tiwari, Sarma dan Sigh 2000), pada Enset (Ensete ventricosum Welw. Chersman) dengan medium MS ½ + 5 μM IBA + 1 g/L arang aktif + 1 μM BAP (Neglash, Puite, dan Krens., 2000) dan pada Anthemis nobilis, L dengan medium MS + 0,5 μM IBA (Echeverrigaray, Fracaro dan Serafini., 2000). Menurut Wattimena (1991), pertumbuhan dan morfogenesis tanaman secara in vitro dikendalikan oleh keseimbangan dan interaksi dari zat pengatur tumbuh yang tersedia pada medium dengan zat pengatur tumbuh yang ada di dalam eksplan. Selain kandungan auksin yang sudah proporsional, unsur hara yang terkandung dalam medium sudah mencukupi untuk mendukung pertumbuhan akar. Menurut (Arteca 2006) auksin adalah satu-satunya kelas hormon tumbuhan yang mempengaruhi pengakaran dan digunakan secara komersial untuk menstimulasi pengakaran adventif. Hasil penelitian Marks dan Simpson(2000) menunjukkan pemberian auksinIBA 2,0 mg/L dapat meningkatkan persentase akar pada tanaman Cinchona ledgeriana Moens dan penelitian Ardiana dan Fitrianingsih, (2010) penambahan IBA 2 ppm pada media MS merupakan konsentrasi terbaik untuk pertumbuhan akar pada tunas Carica papaya.. Hartmann dan Kester (1983) menambahkan bahwa IAA tidak menyebabkan racun pada tanaman karena mempunyai kisaran konsentrasi yang lebar dan efektif dalam menstimulir akar pada sejumlah besar spesies tanaman. Hasil penelitian Hasanah dan Nintya (2007) menunjukkanbahwa pembentukan akar pada stek batang nilam (Pogostemon cablin Benth.) setelah direndam IBA (Indol Butyric Acid) pada konsentrasi berbeda, mencapaihasil terbaik pada stek batang yang direndam IBA dengan konsentrasi 25 ppm, karena pada konsentrasi ini diperoleh jumlah akar, panjang akar, berat basah dan berat kering yang optimal. Hal diatas sesuai dengan pernyataan Macdonald (2002)yang menyatakan bahwa kegunaan dari hormon pengakaran yaitu secara keseluruhan meningkatkan persentase pengakaran, mempercepat inisiasi pengakaran, meningkatkan jumlah dan kualitas dari akar, dan mendorong pengakaran yang seragam. Peran auksin yang utama adalah menstimulasi akar dan meningkatkan jumlah akar. Fungsi dari akar adalah menyerap unsur hara dan air yang diperlukan dalam metabolisme tanaman Sitompul dan Guritno, (1995). Jumlah akar menunjukkan kemampuan dalam melakukan penyerapan unsur hara Schuurman dan Goedewaagen, (1971). Hal ini didukung oleh penelitian Hanson, Nichols dan Steele (2005) yang menyatakan bahwa penambahan hormon IBA pada Diospyros samoensisGray. dapat meningkatkan jumlah akar secara signifikan. Tanaman dengan jumlah akar yang banyak akan meningkatkan penyerapan unsur hara dan air yang dapat mendukung pertumbuhan dari tanaman. Hartmann danKetser (1997) menambahkan bahwa akar sebagai organ tumbuh geotrofik, selain berfungsi sebagai penegak batang, juga berperan sebagai organ penghisap hara dalam mendukung laju pertumbuhan. Perakaran yang baik akan mampu menopang pertumbuhan dari tanaman PROSIDING, Copyright© 2016
239
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
SIMPULAN Dari penelitian yang sudah dilakukan dapat disimpulkan bahwa pemberian IAA dapat mempercepat munculnya akar dan jumlah akar pada kultur Nepenthes ampullaria, dengan konsentrasi yang terbaik 12 ppm. Perlakuan aklimatisasi pada beberapa media tanam dan pemberian mikoriza masih sedang dalam pengamatan. DAFTAR PUSTAKA Antony, J. L. 1992. In vitro propagation of Drosera spp. Hort Science 27(7): 850 Anggraini, R. 2008. Pemberian Indole -3 Butyric Acid (IBA) Terhadap Pertumbuhan AkarDari Stek Batang Tanaman Kantong Semar(Nepenthes mirabilis Druce). Skripsi Sarjana Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Andalas. Padang. Azwar, F. 2002. Kantong Semar (Nepenthes spp.) di Hutan Sumatra, Tanaman Unik yang Semakin Langka. http://www.LIPI.go.id. Eilenberg, H., S. P.Cohen, Y.Rahamin, E.Sionov, E.Segal, S.Carmeli, A.Zilberstein. 2010. Induced Production of Antifungal Naphtoquinones in the Pitchers of the Carnivorous Plant Nepenthes khasiana. Ellison, A. M., N. J.Gotelli. 2001. Evolutionary Ecology of Carnivorus Plants. Trends Ecol. Evol 16:623-629. Gentry, H. A. 1989. Endemizem in Tropical Versus Tempered Plant Comonitis. In Conservations Biologi. The Sains of Scansity and Sanderlant. Massachused. USA. p.153155. Hanafi, H. 2010. PertumbuhanNepenthes ampullariaJack. Pada Medium Modifikasi danPenambahan Beberapa Konsentrasi BAP. Skripsi Sarjana Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Andalas. Padang. Handayani, T. 2000. Perbanyakan Tanaman Kantong Semar(Nepenthes spp.)denganStek Batang. UPT BP Kebun Raya. Bogor. Vol.3 No. 1:26-31 Hartmann, H. T., D. E. Kester. 1990. Plant Propagation, Principles and Practices. Fifth edition. Prentice Hall International Inc. Manila. Hernawati, Akhriadi. 2006. A File Guide to the Nepenthes of Sumatera. Jawa Barat. Indonesia: Pili Publisher. hlm. 1-32.Idris, M. 2005. Pengaruh Media Tanam Terhadap Pertumbuhan Bibit Jeruk Kacang (Citrus reticulata Blanco. Var. Chryssocarpa) Hasil Kultur In Vitro. Skripsi. JurusanBiologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Andalas. Padang Mardhiana, Herdiansyah, N.Mansyur. 2007. Potensi nepenthes sebagai herbal berkhasiat. Laporan Hasil Penelitian Hibah Bersaing DP2M, Ditjen, Dikti. Tarakan, Universitas Borneo. Mansur, M. 2004. Koleksi Herbarium Nepenthes Gracilis K. Penyebaran dan Potensinya Sebagai Tanaman Hias. Prosiding Seminar Nasional Florikultura, Bogor, 4-5 Agustus 2004. Puslit Biologi-LIPI. Bogor Mansyur M. 2006. Nepenthes, Kantong Semar yang Unik. Penebar Swadaya: Jakarta. Moran J. 2006. Live and death in a pitcher. Nat. History115:56-65. Purwanto, A.W. 2007. Budi Daya ex-situ Nepenthes Kantong Semar nan Eksotis.Kanisius. Yogyakarta Purwati S. 1993. Studi Isolasi Senyawa Batang Tanaman Kantong Semar(N. gymnamphora) Dalam Fraksi Netral dan Penentuan Struktur Molekulnya. Penelitian Tanaman Obat di beberapa Perguruan Tinggi di Indonesia. V. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Departemen Kesehatan RI. Raharja, P.C. 1991. Kultur Jaringan Teknik Perbanyakan Tanaman Secara Modern.Penebar Swadaya: Jakarta.
PROSIDING, Copyright© 2016
240
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Santi, A. R. 2010. Elongasi Tunas Nepenthes ampullaria Jack. dengan Beberapa Konsentrasi GA3 Secara In Vitro. Skripsi Sarjana Biologi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Andalas. Padang. Singh, G. 2003. Plant Systematic An Integrated Approach. Science Publisher, Inc., Enfield, NH, USA. Sudarmadji. 2002. Pentingnya Pemberdayaan Masyarakat dalam Upaya Konservasi Sumberdaya Alam Hayati di Era Pelaksanaan Otonomi Daerah. http://www.unej.ac.id/ Fakultas/mipa/vol 3.no_1/sudarmadji.pdf. Sukamto, A. L. 2005. Kultur Nepenthes albormaginata secara In Vitro. Bidang Botani. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pendidikan Indonesia. Suska, M. A. 2005. Nepenthes ampullaria Vegetarian dari Keluarga Karnivora. Trubus 433, Hal 88 - 89. Wattimena, G. A. 1989. Bioteknologi tanaman. Tim Laboratorium Kultur Jaringan Tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi. IPB : Bogor. Wetter, L. R, F Constabel. 1991. Metoda Kultur Jaringan Tanaman Edisi Kedua. ITB. Bandung. Wetherel. 1988. Pengantar Propogasi Tanaman Secara In Vitro. IKIP Semarang Press. Semarang Witarto A. B. 2006. Protein pencerna di Kantong Semar. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. http://www.lipi.go.id. Yusnita. 2003. KulturJaringan : Cara MemperbanyakTanaman Secara Efisien. AgromediaPustaka. Tanggerang. Zulkarnain. 2009. Kultur Jaringan Tanaman; Solusi Perbanyakan Tanaman Budi Daya. Bumi Aksara, Jakarta.
PROSIDING, Copyright© 2016
241
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
STUDI PENDAHULUAN VARIASI GENETIK MASYARAKAT DAYAK DI KOTA PALANGKARAYA KALIMANTAN TENGAH BERDASARKAN ENAM LOKUS MIKROSATELIT AUTOSOM PRELIMINARY STUDY OF GENETIC VARIATION OF DAYAK COMMUNITY IN PALANGKARAYA CITY, CENTRE OF KALIMATAN BASED ON SIX LOCI AUTOSOMAL MICROSATELITES I Ketut Junitha1) dan Lucia Emy Octavia2) Laboratorium DNA Forensik UPT Forensik Universitas Udayana 2) Alumni Jurusan Biologi F MIPA Universitas Udayana E-mail:
[email protected]
1)
INTISARI Studi pendahuluan variasi genetik DNA mikrosatelit autosom pada masyarakat Dayak di kota Palangkaraya Kalimantan Tengah dilakukan untuk mengetahui ragam alel dan keragaman genetik serta kekuatan pembeda (Power Discrimination/PD) untuk kepentingan forensik. Penelitian ini menggunakan enam pasang primer untuk mengaplifikasi lokus DNA mikrosatelit autosom D2S1338, VWA, D11S1984, D13S317, D16S539 dan CSF1PO. DNA diekstraksi dari sampel epitel menggunakan metoda fenol chloroform dari 53 orang probandus. Sampel DNA diamplifikasi pada mesin PCR dan aplikon dielektroforesis pada gel poliakrilamide 10% dan visualisasi DNA dengan pewarnaan peraknitrat. Dari penelitian ini diperoleh sebanyak 68 ragam alel dengan rata-rata 11,5 per lokus. Keragaman genetik ratarata sebesar 0,874 ± 0,005 dan nilai Power of Discrimination (PD) sebesar 0,957. Keenam lokus tersebut baik digunakan dalam analisis DNA masyarakat Dayak di Kota Palangkaraya. Kata kunci: DNA mikrosatelit, alel, autosom, Dayak PENDAHULUAN Negara Kesatuan Republik Indonesia dihuni oleh berbagai suku bangsa yang memiliki keunikan budaya masing-masing. Setiap kelompok masyarakat yang memiliki budaya dengan corak khas berbeda dengan budaya masyarakat yang lain disebut sebagai “suku bangsa” atau etnik. Setiap anggota suatu suku bangsa terikat oleh kesadaran dan identitas suatu kebudayaan dengan bahasanya masing-masing. Terdapat 188 suku bangsa yang menghuni pulau-pulau besar maupun kecil di Indonesia (Koentjaraningrat, 1990) seperti orang Batak, Nias, Dayak, Bugis, Jawa, Sunda, Madura, orang Bali, orang Sasak, Suka Dani, dll. Orang Dayak merupakan penduduk mayoritas di provinsi Kalimantan Tengah yang terbagi atas beberapa suku bangsa seperti Ngaju, Ot Danum, Ma’anyan, Ot Siang, Lawangan, Katingan dll. Selain orang Dayak sebagai penduduka “asli” di Kalimantan Tengah juga dihuni oleh orang-orang Banjar, Bugis, Madura, Melayu, Cina dll (Danandjaja, 1999). Orang Dayak memiliki budaya leluhur yaitu pemujaan terhadap ruh leluhur dengan prisnsip keturunan berdasarkan system ambilineal yang sampai sekarang masih tetap dilaksanakan oleh Dayak Kaharingan (Danandjaja, 1999, Susanto, 2003; Pranata dkk, 2009). Upacara Tiwah merupakan upacara pada masyarakat Dayak Kaharingan untuk menghantarkan jiwa orang yang sudah meninggal menuju lewu tatau, alam makmur dan sejahtera (Sciller, 1987). Upacara demikian tidak lagi dilaksanakan oleh suku bangsa Dayak yang hidup di bagian hilir sungai yang budayanya telah beralkuturasi dengan budaya suku bangsa pendatang seperti suku bangsa Ngaju (Danandjaja, 1999). Perbedaan budaya cenderung menjadi salah satu hambatan untuk terjadinya perkawinan antara mereka dengan kepercayaan yang berbeda. Hambatan perkawinan antar suku bangsa PROSIDING, Copyright© 2016
242
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
akan menyebabkan akumulasi genetic berbeda antar suku bangsa atau etnis. Etnis yang cenderung melakukan perkawinan endogamy akan memiliki keragaman genetic lebih rendah dibandingkan dengan perkawinan eksogami karena adanya aliran gen masuk ke dalam suatu kelompok masyarakat. Perbedaan genetic antar suku bangsa (etnis) baik disebabkan oleh sumber gen berbeda maupun akibat aliran masuknya gen-gen baru dari luar kelompok masyarakat maupun adanya mutasi akan sangat berarti dari aspek forensic. Perbedaan genetic dapat dilihat dari perbedaan ragam alel yang terdapat pada masing-masing kelompok masyarakat berkaitan dengan perbedaan sumber gen asal pembentuk suatu masyarakat. Penanda genetic short tandem repeat (STR) yang juga dikenal dengan penanda DNA mikrosatelit terdiri atas dua sampai enam pasangan basa yang bergandeng berulang. Penanda ini digunakan dalam forensic untuk analisis paternitas dalam kasus ragu ayah atau menentukan identitas individu dalaam kasus kejahatan. Dalam analisis DNA sekarang ini digunakan sebanyak 16 lokus (Butler, 2004) yang berbeda-beda tergantung pada ras atau etnis yang dianalisa. Perbedaan lokus yang digunakan berkaitan dengan perbedaan nilai pembeda (Power of discrimination)masing-masing masing-masing lokus pada etnis yang berbeda (Rudin and Crim, 2002). Berdasarkan latar belakang tersebut dilakukan penelitian pendahuluan variasi genetic masyarakat Dayak di kota Palangkaraya Kalimantan Tengah untuk mengetahui ragam alel dan keragaman genetik untuk kepentingan forensik. BAHAN DAN METODE Menggunakan cotton bud swabs dilakukan koleksi sel-sel epitel mukosa mulut dari sebanyak 53 orang probandus masyarakat Dayak di kota Palangkaraya provinsi Kalimantan Tengah terdiri atas 26 Dayak Kaharingan dan 27 Dayak Non Kaharingan. Sebelum pengambilan sampel dilakukan pendekatan dan penjelasan secara lengkap mengenai tujuan dan metode pengambilan sampel yang akan dilakukan untuk mendapat persetujuan dan keralaan calon probandus (Informed Cosent). Hasil usapan dimasukkan ke dalam tabung sentrifuge 1,5ml yang telah diisi 500 µl larutan penyangga dengan komposisi 10mM NaCl, 100mM EDTA, 100nM Tris-Cl dan 36 g Urea/100 ml. Ektraksi DNA dilakukan dengan metode Fenolkloroform dan presipitasi alkohol (Shewale and Liu, 2014). Sampel DNA dari probandus di amplifikasi pada enam lokus penanda DNA mikrosatelit autosom dengan menggunakan enam pasang primer yaitu D2S1338, VWA, D11S1984, D13S317, D16S539 dan CSF1PO pada mesin PCR dan fisualisasi hasil PCR dielektroforesisi pada gel poliakrilamid 10% dengan pewarnaan perak nitrat Tegelstorm (1986), panjang alel hasil amplifikasi ditentukan dengan membandingkan migrasinya terhadap panjang DNA standar 100bp ladder yang diplot pada kertas semi-log (Hutchinson, 2001). Keragaman genetic dihitung berdasarkan rumus Nei (1987) dan kekuatan pembeda (PD) di hitung dengan rumus Butler (2006). HASIL DAN PEMBAHASAN Visualisasi hasil amplifikasi sampel DNA dari probandus pada enam lokus penanda DNA mikrosatelit autosom dengan pasangan primer D2S1338, VWA, D11S1984, D13S317, D16S539 dan CSF1PO yang dielektroforesis pada gel poliakrilamide (PAGE) 10% dan pewarnaan peraknitrat serta jarak migrasinya diplot pada kertas semi-log tidak semua sampel DNA teramplifikasi pada semua lokus. Lokus yang tidak teramplifikasi dapat disebabkan oleh ketidak berhasilan pada proses ekstraksi sehingga DNA sampel sebagai DNA templatnya tidak ada, hal ini ditunjukkan oleh ketidak berhasilan amplifikasi suatu sampel untuk semua lokus.Tidak diperolehnya amplikon dari suatu sampel DNA dapat disebabkan oleh baik kualitas maupun kuantitas DNA hasil ekstraksi (Gagneuk et al., 1997; Shinde et al., 2003). Bila suatu sampel tidak teramplifikasi sebagian lokus yang digunakan hal ini dapat disebabkan oleh karena adanya mutasi pada DNA pada urutan basa sisi tempat menempelnya primer PROSIDING, Copyright© 2016
243
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
(annealing site) dan primer tidak menempel sehinggga tidak terjadinya proses amplifikasi yang pada akhirnya tidak diperoleh DNA hasil PCR menghasilkan null alel (Dakin and Avise, 2004). Contoh ragam alel hasil amplifikasi (amplikon) pada elektrogram masing-masing lokus disajikan pada gambar berikut.
A
B
C
D E F Gambar 1. Elektrogram amplikon sampel DNA pada enam lokus penanda DNA mikrosatelit autosom. Keterangan: A. lokus D2S1338, B. VWA, C. D11S1984, D. D13S317, E. D16S539 dan F. CSF1PO. Angka adalah ukuran DNA dalam jumlah pasang basa (pb) dan L adalah DNA standar (ladder) Hasil amplifikasi sampel DNA pada enam lokus penanda mikrosatelit autosom terhadap 53 orang probandus masyarakat Suku Bangsa Dayak di kota Palangkaraya diperoleh sebanyak 68 ragam alel dengan rata-rata 11 ragam alel per lokus. Lokus VWA menghasilkan ragam alel paling banyak yaitu sebanyak 14 ragam alel dengan panjang 120 – 176pb secara beurutan diikuti oleh lokus D2S1338 sebanyak 13 alel (153-205pb), D11S1984 sebanyak 12 alel (166-214pb), D13S317 sebanyak 11 alel (160-200pb), dan masing-masing Sembilan ragam alel pada D16S539 (136-168pb) maupun lokus CSF1PO dengan panjang alel antara 284 sampai 316pb. Data ragam alel dan frekuensinya disajikan pada Tabel 1. Ukuran panjang alel D2S1338 pada penelitian ini antara 153-205pb (Tabel 1) ditemukan juga pada masyarakat suku bangsa Batak di Kota Denpasar dan Badung dengan panjang antara 157-209pb (Unadi dkk., 2010), ditemukan juga pada masyarakat desa Bali Aga Sembiran Kecamatan Tejakula kabupaten Buleleng dan masyarakat Bali lainnya (Junitha dan Alit., 2011; Laksmita dkk., 2015). Sedangkan untuk lokus D11S1984 pada penelitian ini ditemukan 12 (Tabel 1) ragam alel lebih banyak dibandingkan penelitian Junitha (2004) pada masyarakat Bali Aga Tenganan Pegringsingan sebanyak 10 alel (170-210pb) dan Sembilan ragam alel (166-202pb) pada masyarakat Bali Aga Sembiran (Junitha dan Alit.,2011). Demikian juga untuk lokus D13S317 dan D16S539 pada masyarakat Dayak di kota Palangkaraya (Tabel 1) diperoleh ragam alel lebih banyak dibandingkan pada masyarakat PROSIDING, Copyright© 2016
244
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Batak di kota Denpasar dan Badung maupun masyarakat Bali Aga desa Sembiran Buleleng. Pada masyarakat Batak di kota Denpasar dan Badung ditemukan ragam alel berukuran 168204pb pada lokus D13S317 dan delapan ragam alel (136-168) pada lokus D16S539. Sedangkan pada masyarakat Bali Aga Sembiran Buleleng ditemukan masing-masing enam ragam alel pada lokus D13S317 dan D16S539. Kemiripan ragam alel yang tersebar pada masyarakat suku bangsa Dayak, Batak dan Bali disebabkan oleh karena sama-sama merupakan keturunan dari kelompok masyarakat Austronesia (Bellwood, 2000). Tabel 1: Ragam alel dan frekuensinya pada masing-masing lokus D2S1338 Alel Frek (pb) 135 0,01 157 0,05 161 0,03 165 0,08 169 0,06 173 0,14 177 0,10 181 0,08 185 0,07 189 0,11 193 0,15 197 0,06 205 0,02
VWA D11S1984 D13S317 D16S539 CSF1PO Alel Frek Alel Frek Alel Frek Alel Frek Alel Frek (pb) (pb) (pb) (pb) (pb) 120 0,04 166 0,03 160 0,05 136 0,05 284 0,02 124 0,03 170 0,01 164 0,04 140 0,09 288 0,01 128 0,07 174 0,04 168 0,11 144 0,20 292 0,13 132 0,08 178 0,11 172 0,19 148 0,20 296 0,14 136 0,11 182 0,14 176 0,21 152 0,23 300 0,17 140 0,16 186 0,03 180 0,05 156 0,08 304 0,30 144 0,08 190 0,11 184 0,16 160 0,07 308 0,18 148 0,06 194 0,22 188 0,11 164 0,07 312 0,04 152 0,08 198 0,14 192 0,06 168 0,01 316 0,01 156 0,05 202 0,10 196 0,01 160 0,06 206 0,03 200 0,01 164 0,10 212 0,01 168 0,02 176 0,02 Keterangan: Alel = ukuran alel dalam jumlah pasang basa (pb) dan frek.= frekuensi masingmasing alel Tabel 2. Keragaman genetika (h) dan kekuatan pembeda (PD) pada masing-masing lokus pada masyarakat Dayak di Kota Palangkaraya Lokus Keragaman genetika (h) Kekuatan pembeda (PD) D2S1338 0,907 ± 0,003 0,978 VWA 0,919 ± 0,004 0,983 D11S1984 0,885 ± 0,007 0,963 D13S317 0,867 ± 0,004 0,955 D16S539 0,851 ± 0,005 0,945 CSF1PO 0,819 ± 0,005 0,917 Rata-rata 0,875 ± 0,005 0,957 Untuk kepentingan forensic nilai keragaman genetika (h) dan kekeuatan pembeda (PD) setiap lokus yang digunakan sangat menentukan baik tidaknya lokus tersebut digunakan dalam nalisis DNA. Dari penelitian ini seperti yang tersaji pada table 2 tampak bahwa semua lokus memiliki nilai keragaman genetika dan kekuatan pembeda yang tinggi bahkan semua lokus memiliki kekuatan pembeda diatas 0,9 dengan rata-rata 0,957. Nilai keragaman genetika (h) akan sejalan dengan nilai kekuatan pembedanya (PD). Keragaman genetik (h) dan kekutan pembeda (PD) ditentukan oleh banyaknya ragam alel pada masing-masing lokus maupun frekuensi masing-masing ragam alelnya. Banyaknya ragam alel dan meratanya frekuensi masing-masing alel dalam satu lokus (Tabel 1) akan meningkatnya nilai keragaman genetika PROSIDING, Copyright© 2016
245
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
(h) maupun kekuatan pembedanya (Rudin and Crim, 2002). Peningkatan nilai kekuatan pembeda (PD) dari masing-masing lokus yang digunakan dalam analisa DNA akan meningkatkan peluang eksklusinya (Puja dan Sulabda, 2009). Hal ini penting dalam analisia DNA untuk paternitas dan kepentingan forensik. Dari data nilai keragaman genetika dan kekeuatan pembedanya semua lokus yang diuji pada penelitian ini sangat baik digunakan dalam anlisis DNA untuk kepentingan forensik. Pengujian suatu lokus yang akan digunakan dalam analisis DNA untuk kepentingan forensik sangat diperlukan untuk ketepat guanaan satu lokus pada masing-masing masyarakat. Pengujian lokus lainnya dari penanda mikrosatelit autosum hingga mencapai 16 lokus sesuai standar untuk analisis DNA perlu dilakukan pada masyarakat Dayak baik di kota Palangkaraya maupun di tempat lainnya secara menyeluruh sehingga ragam alel yang tersebar dan nilai keragaman maupun kekuatan pembedanya dapat diketahui. Aplikasi lokus penanda DNA mikrosatelit berbeda untuk analisis DNA dilakukan pada kawasan berbeda. Sebagai contoh di Brazilia digunakan lokus D3S1744 dan D7467 bukan D3S317 dan D7S820 seperti yang digunakan di Amerika (de Sauza et al., 2002; da Silva et al., 2004; Butler, 2006). SIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa keenam lokus D2S1338, VWA, D11S1984, D13S317 , D16S539 dan CSF1PO sangat baik digunakan untuk analisis DNA pada masyarakat Dayak di Kota Palangkaraya. UCAPAN TERIMAKASIH Kami menyampaikan terimakasih kepada masyarakat Dayak di kota Palangkaraya yang telah dengan sukarela ikut ambil bagian dalam penelitian ini dengan memberikan keterangan, data dan sampel epitelnya sehingga penelitian ini dapat berjalan. Demikian juga kepala UPT Forensik Universitas Udayana yang telah mengizinkan pengggunaan fasilitas laboratorium DNA dan Serologi Forensik untuk digunakan dalam penelitian ini. Tak lupa juga kami sampaikan terimakasih kepada kepala laboratorium molekuler Pusat Studi Primata Universitas Udayana atas izin penggunaan fasilitas laboratorium di Pusat Studi Primata kampus Bukit Jimbaran. DAFTAR PUSTAKA Belwood P. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. PT. Gramedia sarata Utama. Jakarta. Butler, J.M. 2004. Short Tandem Analysis for Human Identity Testing. Current Protocals on Human Genetics. 14: 14-18. Butler , J. M. 2006. Forensic DNA Typing: Biology, Technology and Genetic of STR. Secon edition. Elsevier Academic Press. New York. Dakin , E. E. and Avise, J.C. 2004. Microsatellite Null Alleles in Prentage Analysis. Heredity, 93:505-509. Danandjaja J. 1999. Kebudayaan Penduduk Kalimantan Tengah. dalam Manusia dan Kebudaayaan di Indonesia, editor Kuntjaraningrat. Djambatan. Jakarta. da Silva, D.A., A.C. de Sauza Goes, J.J de Carvalho, E.F. de Carvalho. 2004. DNA Typing from Vagina smear slide in suspected rape case. Sao Paulo Med J., 122 (2):70-72 de Sauza Goes A.C., D.A.da Silva, C.S. Domingues, J.M. Sobrinho, and E.F. Carvalho. 2002. Identification of a criminal by DNA typing in a rape case in Rio de Jeneiro. Brazil. Sao Paulo med. J. Rev Oaul Med., 120 (3): 77-80. Gagneux, P., C. Boesch, and D.S.Woddruff.1997. Microsatellite Scoring Errors Asiciated with Noninvasive Genotyping Based on Nuclear DNA amplified from Shed Hair. Molecular Ecology 6:861-868.
PROSIDING, Copyright© 2016
246
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Hutschinson, F. 2001. DNA Band Size Semi—log Plotting. Cancer Research Center. Sciene Education Partnership. 06. 26.01 Junitha I K. 2004. Keragaman Genetik Masyarakat di desa-desa Bali Aga berdasarkan Analisis DNA dan Sidik Jari. Disertasi. IPB. Bogor. Junitha I K. dan I B Alit. 2011. Ragam Alel Mikrosatelit DNA Autosom Pada Masyarakat Bali Aga Desa Sembiran Kabupaten Buleleng. Biota. 16 (1): 63-69. Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Rineka Cipta. Jakarta Laksmita A. S., I K. Junitha, Ni L. Watiniasih. 2015. Struktur Genetik dan Ragam Alel Tiga Generasi Masyarakat Bali Berdasarkan Lima Lokus Penanda DNA Mikrosatelit Autosom. Metamorfosa. 2 (2): 58-65 Nei, M. 1987. Molecuolumbia University Press. New York Praqnata, Ambaau dan Handoko. 2009. Upacara Ritual Perkawinan Agama Hindu Kaharingan (dalam Kitab Suci Panaturan) Filosofi Perkawinan Nyai Endas Bulau Lisan Tinggang dan Raja Garing Hatungku. Departemen Agama Sekolah Tinggi Kaharingan Tampng penyang Palangka Raya Puja I K. dan I N. Sulabda. 2009. Karakterisasi Genetik Kambing Gembrong dari Karangasem Bali menggunakan DNA Mikrosatelit. Biota. 14 (1): 45-49. Rudin N. dan K.I.M. Crim. 2002. An Introduction to Forensic DNA Analysis, 2nd Ed. Cold Spring Harbor Laboratory Press. New York. Schiller , A.L. 1987. Dynamics of Death: Ritual, Identity and Relegious Change amang the Kalimantan Ngaju. Faculty of the Graduate School of Cornrell University. New York Shewale J. G. and R. H. Liu. 2014. Forensic DNA Analysis. CRC Press. New York Shinde, D., Y.L. Lai, F. Z. Sun and N. Arnheim. 2003. Taq DNA Polimerase Slippage Mutation Ratess Measured by PCR and Quasilikelihood Analysis: (CA/GT)(n) and (A/T)(n) Microsatellites. Nucleic Acids Res. 31: 974-980. Tegelstrorm H., 1986. Mitochondrial DNA in Natural Population: an Improved Routine for Screening of Genetic Variation Based on Sensitive Silver Staining. Electrophoresis. 7:226-229. Unadi Y.C., I. Narayani , I K. Junitha. 2010. Variasi Genetik Suku Batak yang Tinggal di Kota Denpasar dan kabupaten Badung Berdasarkan Tiga Lokus Mikrosatelit DNA Autosom. J. Bio. 16(2): 33-38.
PROSIDING, Copyright© 2016
247
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
REGENERASI TUNAS DARI KALUS MUTAN SORGUM VARIETAS KAWALI, MANDAU DAN SUPER I SHOOT REGENERATION FROM CALLUS SORGHUM VARIETY KAWALI, MANDAU AND SUPER I FROM CALLUS IRRADIATED Endang Gati Lestari* dan Iswari S. Dewi Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB BIOGEN), Jl Tentara Pelajar No 3. Bogor *Email:
[email protected] ABSTRAK Sorgum (Sorgum bicolor L.) merupakan tanaman serealia yang sudah ditanam oleh petani Indonesia namun masih dalam areal yang terbatas dan skala kecil. Dibandingkan serealia lain tanaman sorgum toleran terhadap kekeringan dan dapat berproduksi di lahan marginal. Saat ini varietas sorgum yang dilepas di Indonesia baru 9 buah sehingga tetap diperlukan perakitan varietas sorgum berdaya hasil tinggi. Perakitan sorgum dapat dilakukan antara lain melalui induksi mutasi dikombinasikan dengan kultur in vitro. Tujuan penelitian adalah melakukan mutasi menggunakan sinar gamma pada kalus sorgum varietas Kawali, Mandau dan Super I untuk mendapatkan galur mutan yang produksinya tinggi. Induksi kalus pada biji menggunakan media dasar MS+2,4-D (1; 3; 5 dan 7 mg/l) + NAA (0; 0,1 dan 0,5 mg/l). Iradiasi kalus menggunakan sinar gamma dengan dosis 5, 10, 15 dan 20 Gy. Regenerasi tunas menggunakan media dasar MS + BA 2 mg/l + kinetin 0,1 mg/l. Hasil penelitian menunjukkan bahwa media terbaik untuk induksi kalus adalah 2,4-D 5 mg/l + NAA 0,5 mg/l. Dosis optimum untuk iradiasi kalus berkisar antara 5-15 Gy. Dan media regenerasi terbaik ialah media MS + BA 2 + kinetin 0,1 mg/l. Dari ketiga varietas yang digunakan, hanya varietas Kawali yang memberikan respon terbaik untuk pembentukan tunas dan akar. Plantlet hasil mutasi (M1) telah diaklimatisasi di rumah kaca untuk evaluasi dan seleksi lebih lanjut. Kata kunci: sorgum, mutasi,produksi tinggi dan kultur in vitro ABSTRACT Sorghum (Sorghum bicolor L.) is one of a cereal crop that has been planted by Indonesian farmers but still limited in a smell scale. Compare to other cereals, sorgum can be planted on marginal land due to its toleranc to drought and waterloggig. Currently only 9 sorghum varieties were released.Therefore more high yielding sorghum varieties are required. The high yielding sorgum varieties can be developed through the induction of mutation combined with in vitro culture. The research objective is to conduct mutation using gamma rays on sorghum callus derived from Kawali, Mandau and Super I varieties. To obtain high yielding mutant lines callus was induced in seed by using basic medium MS + 2,4-D (1,3,5 and 7 mg/l) + NAA (0, 0.1 and 0.5 mg l). Callus irradiation is conducted using gamma rays at a dose of 5, 10, 15 and 20 Gy. Meanwhile, shoot regeneration use basic medium MS + BA 2 mg l + kinetin 0.1 mg/l. The results showed that the best medium for callus induction from seeds was 2,4-D 5 mg/l + NAA 0.5 mg /l. The optimum dose for irradiation of callus ranged between 5-15 Gy. The best shoot regeneration medium is the medium of MS + BA 2 + kinetin 0.1 mg / l. Of the three varieties, only Kawali varieties the best response to the formation of shoots and roots mutan lines (M1 have been aclimatized in the greenhouse for further evaluation and selection. Keywords: sorghum, mutation, high production and culture in vitro PROSIDING, Copyright© 2016
248
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN Sorgum (Sorghum bicolor L.) termasuk golongan serealia yang berpotensi untuk dikembangkan di Indonesia, bijinya dapat digunakan sebagai bahan pangan dan pakan dan batang pada sorgum manis dapat digunakan sebagai bahan baku industri seperti gula, sirup dan sebagai bahan baku bioetanol. Saat ini prospek penggunaan biji sorgum terbesar ialah untuk pakan, mencapai 26,63 juta ton untuk wilayah Asia dan Australia dan diperkirakan masih terjadi kekurangan, dan sebagai bahan baku pangan untuk substitusi gandum (Sirappa 2013). Kandungan karbohidrat pada biji sorgum tergolong tinggi sekitar 73 gr/100 gr (Direktorat Jendral Perkebunan 1996) dan kandungan asam aminonya tidak kalah dengan bahan makanan lainnya (Bety et al 1990). Pengembangan tanaman sorgum oleh petani masih dalam skala yang kecil karena belum ada pasar yang menjamin bahwa produk mereka akan dibeli. Selain itu, karena varietas unggul yang tersedia masih terbatas sehingga jenis sorgum yang ditanam oleh petani belum tentu varietas unggul, sosialiasi ke petani tentang pentingnya tanaman tersebut serta perakitan varietas untuk menghasilkan galur unggul baru masih tetap dilakukan. Dengan berkembangnya teknik mutasi dan kultur in vitro memberikan peluang untuk perbaikan genetik dan pembentukan varietas baru untuk mendapatkan sifat baik seperti daya hasil biji serta kandungan brik gula dan ketahanan terhadap penyakit (Jain 2010; Lestari et al 2010; Soedjono 2003). Teknik mutasi dapat mempercepat dihasilkannya varietas baru dengan berbagai sifat atau karakter yang diinginkan (Soeranto 2003). Keragaman genetik yang tinggi pada suatu populasi sangat bermanfaat dalam program pemuliaan untuk mendapatkan genotipe unggul (Kinyua et al 2004; Maluszynski 2001). Teknik mutasi untuk perakitan varietas baru telah dikembangkan di berbagai negara, seperti di Cina, Korea, Vietnam dan Belanda, tanaman mutan telah di tanam dan dikembangkan secara luas mencapai ribuan hektar (Jain 2010; Kharkwal et al 2004). Dengan berkembangnya teknik kultur in vitro maka pemanfaatan teknik mutasi menjadi lebih berkembang, karena lebih cepat diperoleh hasil dan menguntungkan serta dapat memperkaya plasma nutfah yang ada sekaligus untuk perbaikan varietas (Kharkwal et al. 2004). Aplikasi pemuliaan melalui mutasi kombinasi dengan kultur in vitro dapat mempercepat diperoleh hasil karena melalui kultur in vitro, eksplan yang diberi mutagen jumlahnya tidak terbatas dan dapat menggunakan materi dengan ukuran kecil seperti kalus, suspensi sel, protoplas atau tunas pucuk sehingga mutagen yang diberikan langsung mengenai bagian inti yang mengandung DNA (Suprasanna dan Nakagawa 2012). Selanjutnya dapat dilakukan seleksi secara in vitro untuk mendapatkan sifat-sifat yang diinginkan (Foster dan Shu 2012). Regenerasi tunas dari kalus sorgum telah dilakukan oleh Anbumalarmathi dan Nadarajan (2007) menggunakan 2,4-D 2 mg/l + kinetin 0,5 mg/l untuk pembentukan kalus dan IAA 5 mg/l + kinetin 0,2 mg/l untuk pembentukan tunas, namun kemampuan pembentukan tunas dari kalus yang telah diberi perlakuan iradiasi akan menurun sehingga kadang perlu merubah komposisi media agar optimal. Kemampuan regenerasi tunas dari eksplan kalus, tergantung genotipe tanaman, komposisi media dan kondisi fisiologi eksplan (Saharan et al 2004), sehingga perlu kajian jenis dan komposisi media yang sesuai. Maheswari et al (2006) menyatakan bahwa sorgum termasuk tanaman yang sulit dikulturkan. Beberapa peneliti berhasil menginisiasi kalus dan meregenerasikan menggunakan eksplan bakal bunga (Cai dan Butler, 1990; Gupta et al. 2006), McKinnon et al (1987) menggunakan eksplan embrio masak. Embrio masak merupakan eksplan terbaik karena mudah mendapatkannya, dapat disimpan lama dan jumlahnya banyak (Jiang et al 2000). Maqbool et al (2001) mengatakan bahwa tunas pucuk juga dapat digunakan karena mengandung sel yang aktif membelah. Tujuan penelitian ialah melakukan mutasi pada kalus dan meregenerasikan tunas dari kalus mutan (M1) pada sorgum varietas Kawali, Mandau dan Super I untuk mendapatkan galur-galur mutan berdaya hasil tinggi. PROSIDING, Copyright© 2016
249
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
MATERI DAN METODE Penelitian dilaksanakan di laboratorium kultur jaringan kelompok peneliti Biologi Sel dan Jaringan dan rumah kaca BB Biogen Bogor, dari bulan Januari s/d Agustus 2015. Bahan tanaman yang digunakan ialah biji sorgum varietas Kawali, Mandau dan Super 1, kegiatan penelitian meliputi induksi kalus dari biji, radiasi kalus, pembentukan plantlet dan aklimatisasi. Induksi kalus dan induksi mutasi Eksplan yang digunakan ialah biji masak sorgum varietas Kawali, Mandau dan Super I. Eksplan disterilisasi menggunakan larutan kloroks 20% selama 10 menit dan kloroks 10% selama 5 menit, selanjutnya dibilas menggunakan aquades steril 3 kali. Biji yang sudah disterilisasi ditanam pada media untuk induksi kalus yaitu media dasar MS + zat pengatur tumbuh auksin 2,4-D (1, 3, 5 dan 7 mg/l) + NAA (0 ; 0,1 dan 0,5 mg/l). Dalam satu botol ditanam sebanyak 20 butir. Botol yang telah ditanami eksplan diletakkan di dalam ruang kultur dalam kondisi gelap, temperatur ruangan ±250C selama ± 4 minggu. Peubah yang diamati ialah waktu pembentukan kalus, warna dan struktur kalus, yang diamati pada minggu ke-4 setelah tanam. Kalus yang dihasilkan diseleksi yang warnanya putih dan strukturnya remah untuk diberi perlakuan iradiasi menggunakan sinar gamma, dosis yang digunakan 5, 10, 15 dan 20 Gy. Radiasi dilaksanakan di PAIR BATAN (Pusat Aplikasi Iradiasi Nuklir ) Pasar Jumat Jakarta. Kalus yang akan diradiasi dipindahkan ke dalam petridis yang telah diisi media induksi kalus, banyaknya kalus setiap petridis ± 50 buah. Kalus yang telah diberi perlakuan radiasi selanjutnya dibiarkan pada media induksi kalus yang baru selama ± dua minggu sebelum dipindah ke media regenerasi tunas. Regenerasi tunas Kalus dari tiga varietas yang telah diberi perlakuan iradiasi dan kontrolnya tanpa iradiasi di pindah ke media regenerasi yaitu media dasar MS + BA 2 mg/l + kinetin 0,1 mg/l, selanjutnya diletakkan di dalam rak kultur dengan penyinaran menggunakan lampu TL sebesar 1500 lux selama 16 jam dalam sehari. Peubah yang diamati pada minggu ke- 4 setelah tanam yaitu pembentukan tunas, jumlah tunas dan visual tunas. Perakaran Tunas yang telah diperoleh dari regenerasi kalus selanjutnya dipindah ke media untuk induksi akar yaitu media dasar MS + IBA dan NAA (0,5 dan 1 mg/l). Masing-masing perlakuan diulang 10 botol. Botol yang telah ditanami eksplan selanjutnya diletakkan di dalam ruang kultur dengan pencahayaan lampu neon selama 16 jam sehari. Peubah yang diamati pada minggu ke-4 setelah tanam ialah jumlah dan panjang akar. Pengamatan jumlah dan panjang akar dilakukan dari bagian dasar media, bagian bawah botol kultur. Aklimatisasi Planlet yang dihasilkan diaklimatisasi di rumah kaca menggunakan media tanah + pupuk dengan perbandingan 1:1. Perlakuan saat akan dilakukan aklimatisasi adalah akar dari planlet dicuci kemudian direndam selama 15 menit dalam larutan benlate (0,5 g/l), kemudian direndam dalam larutan rotone. Untuk menjaga agar kelembaban udara tetap tinggi dan tanaman tetap segar maka dilakukan pengungkupan menggunakan gelas aqua selama ± 2 minggu. Setelah sungkup dibuka tanaman dibiarkan di bawah cahaya penuh ± satu bulan sampai tanaman dapat dipindah ke dalam pot. HASIL Induksi kalus Kalus mulai terbentuk pada minggu ke-4 setelah tanam, diawali dengan biji membengkak dan menghasilkan kumpulan sel berwarna putih kekuningan di pangkal kecambah. Namun tidak semua biji yang dikulturkan dapat membentuk kalus, disebabkan PROSIDING, Copyright© 2016
250
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
karena kontaminasi atau media tidak cocok, Tingkat kontaminasi pada biji sorgum sangat tinggi disebabkan biji yang digunakan di ambil dari lapang. Biji yang ditanam pada media MS + 2,4 D 5 mg/l dapat menghasilkan kalus dengan ukuran lebih besar dibanding perlakuan 2,4-D 3 mg/l (Tabel 1), pada media MS + 2,4-D 1 mg/l kalus yang dihasilkan ukurannya kecil sekali, selain itu membentuk kecambah. Hasil yang sama terjadi pada induksi kalus sorgum varietas Numbu yaitu media MS+ 2,4-D 5 mg/l dapat menginduksi kalus lebih baik dibanding 2,4-D 1 dan 3 mg/l (Lestari et al 2014). Tabel 1. Pembentukan kalus pada berbagai media Perlakuan media (mg/l) 2,4-D 1 2,4-D 3 2,4-D 5 2,4-D 7 2,4-D 1 + NAA 0,1 2,4-D 3 + 0,1 2,4-D 5 + 0,1 2,4-D 7 + 0,1 2,4-D 1 + NAA 0,5 2,4-D 3 + 0,5 2,4-D 5 + 0,5 2,4-D 7 + 0,5
Rataan diameter kalus (cm) 0,14 0,17 0,3 0,2 0,5 0,5
Warna kalus putih putih putih putih putih putih
Keterangan
Berkecambah Berkecambah Berkecambah berkecambah berkecambah berkecambah
Pada percobaan ini kalus yang dihasilkan dari media MS + 2,4-D 1-7 mg/l dianggap belum optimal (Tabel 1), untuk itu ditambahkan NAA 0,1 dan 0,5 mg/l ke dalam media yang sudah mengandung 2,4-D 5mg/l, hasil terbaik adalah media MS + 2,4-D 5 dan 7 mg/l + 0,5 mg/l NAA . Regenerasi tunas dari kalus hasil iradiasi Iradiasi kalus menggunakan sinar gamma menyebabkan kerusakan, semakin tinggi dosis yang diberikan maka persentase kalus yang mati menjadi lebih tinggi hal ini dapat dilihat dari warna kalus menjadi coklat dan mati. Hasil penelitian Yunita et al (2012), iradiasi pada kalus padi Fatmawati dengan dosis 50-60 Gy menyebabkan sebagian atau seluruh kalus menjadi coklat atau hitam. Pada penelitian ini perlakuan iradiasi pada kalus Kawali dan Super I dengan dosis lebih rendah yaitu 5-15 Gy, kalus masih berwarna putih kekuningan sampai minggu ke4 dan strukturnya “friabel” atau remah namun kalus pada varietas Mandau warnanya berubah menjadi agak coklat. Pada penelitian ini kalus sorgum varietas Kawali yang telah diberi perlakuan radiasi dosis 5-15 Gy dapat diregenerasikan menghasilkan tunas. Rata-rata jumlah jumlah tunas ± 5-9 buah/eksplan. Kalus yang diberi perlakuan iradiasi dengan dosis 20 Gy mulai mencoklat pada minggu ke 4 setelah iradiasi dan tidak menghasilkan tunas. Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa kalus varietas super I dan Mandau yang telah diberi perlakuan radiasi maupun kontrolnya tidak dapat beregenerasi menghasilkan tunas. Kalus varietas Super I, umumnya menghasilkan akar, sehingga bakal tunas yang sudah dihasilkan tidak berkembang. Sedangkan kalus dari varietas Mandau, spot hijau bakal tunas yang dihasilkan tidak berkembang menjadi tunas karena kalus perlahan berubah menjadi coklat dan mati. Dari ketiga varietas yang diberi perlakuan mutasi maupun kontrolnya, hanya varietas Kawali yang dapat menjadi tunas dari kalus.
PROSIDING, Copyright© 2016
251
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2. Pertumbuhan kalus yang di iradiasi dengan sinar gamma dan pembentukan tunas Varietas Kawali
Dosis radiasi
Persentase kalus tetap hidup
Warna kalus
Jumlah tunas
0 5 10 15 20
100 100 100 100 80
putih putih putih putih putih
40 30 30 30 0
0 5 10 15 20
100 80 80 80 80
putih Agak coklat Agak coklat Agak coklat Agak coklat
0 0 0 0 0
0 5 10 15 20
100 100 100 100 80
putih putih putih putih putih
0 0 0 0 0
Mandau
Super I
Induksi akar Akar pada plantlet mutan M1 Kawali mulai terbentuk pada minggu ke-3 sampai ke-4 setelah tanam, Tabel 3 menunjukkan bahwa akar dapat terbentuk pada media dengan penambahan IBA dan NAA, namun bila dilihat dari panjang dan kecepatan pembentukannya maka NAA 0,5 mg/l dapat dianggap paling baik . Pada media tersebut, akar sudah terbentuk pada minggu ke-3 dan pada minggu ke-6 panjang akar mencapai 5 cm. Perakaran dengan kualitas baik sangat menentukan keberhasilan dalam tahap aklimatisasi. Untuk itu formulasi media yang tepat sangat menentukan kualitas akar (Lestari 2011). Tabel 3. Pembentukan akar pada komposisi media berbeda, minggu ke-6 setelah tanam ZPT (mg/l)
Konsentrasi
IBA
0,5 1 2 0,5 1 2
NAA
Rataan jumlah akar 4 6 6 15 -
Rataan panjang akar (cm) 1 3 3 5 -
Waktu pembentukan akar minggu ke4 4 4 3 -
Aklimatisasi Plantlet yang dihasilkan cepat menguning sehingga tidak tumbuh saat aklimatisasi . Plantlet yang masih hijau dan memberikan peluang tumbuh lebih tinggi. Pada Tabel 4 dapat dilihat bahwa keberhasilan aklimatisasi pada plantlet sorgum sangat rendah. Diduga akar tidak berfungsi optimal sehingga walaupun tunas sudah memanjang namun tidak berkembang. Maheswari et al (2006) menyatakan bahwa kultur in vitro tanaman sorghum menghadapi berbagai kendala antara lain kemampuan regenerasi dan induksi tunas tergantung genotipe tanaman, persentase regenerasi sangat rendah, kalus menghasilkan fenol dan masalah dalam aklimatisasi. Tabel 4. Hasil aklimatisasi plantlet di rumah kaca Kondisi plantlet Agak mencoklat panjang akar ≥ 5 cm Vigor bagus dan hijau akar ≥ 1 cm
Jumlah plantlet di aklimatisasi 20 20
Jumlah tanaman dapat tumbuh 0 7
PROSIDING, Copyright© 2016
252
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PEMBAHASAN Kalus merupakan massa sel tidak terorganisir, terbentuk sebagai respon adanya pelukaan, seperti luka bekas irisan atau pembelahan dan proliferasi sel-sel kambium. Proliferasi sel akan terjadi lebih optimum jika eksplan yang digunakan berasal dari jaringan muda. Sifat meristematik sel kalus merupakan salah satu wujud dari dediferensiasi. Dediferensiasi merupakan reversi dari sel-sel hidup yang telah terdiferensiasi menjadi tidak terdiferensiasi, atau dengan kata lain menjadi meristematik kembali. Inisiasi kalus dari eksplan biji mengalami kesulitan (Shoetharama et al. 2000), dan telah dicoba menggunakan berbagai jenis eksplan seperti daun muda atau embrio muda, hasil terbaik menggunakan eksplan tunas pucuk dari kecambah (Bhaskaran dan Smith,1988; Shoetharama et al. 2000; Amali et al. 2014; Palumahanthi et al. 2014). Pada percobaan ini persentase biji masak menghasilkan kalus hanya 50% dan strukturnya tidak seragam, yaitu tidak embrionik, embrionik berwarna kekuningan berupa bulatan-bulatan mengkilat, dan menghasilkan fenol. Pencoklatan pada kalus serta terbentuknya akar merupakan faktor penghambat berkembangnya kalus menjadi tunas (Maheswari et al 2006). Pada penelitian ini kalus dari varietas Mandau menghasilkan fenol sangat tinggi, warna kalus coklat kehitaman setelah disubkultur. Subkultur pada media yang mengandung polivinil pirolidon 100-300 mg/l tidak dapat menghambat produksi fenol. Kalus dari varietas Super I, berwarna putih dan embrionik namun menghasilkan akar sehingga sulit diregenerasikan. Zat pengatur tumbuh auksin berperan ganda tergantung struktur kimia, konsentrasi dan jaringan tanaman yang diberi perlakuan. Umumnya digunakan untuk pembentukan kalus, kultur suspensi dan inisiasi akar, berperan memacu pemanjangan dan pembelahan sel di dalam jaringan kambium (Pierik 1987). Hasil penelitian Maheswari et al. (2006), 2,4-D 0,5 mg/l dikombinasikan dengan kinetin 0,5 mg/l paling baik menghasilkan kalus friable dan embrionik. Demikian pula penelitian Gupta et al. (2006) 2,4-D konsentrasi 1-3 mg/l pada eksplan embrio muda menghasilkan kalus. 2,4-D merupakan auksin terbaik untuk induksi kalus tanaman padi demikian pula tanaman sorgum. 2,4-D dikombinasikan dengan NAA dan sitokinin dapat menghasilkan kalus embrionik dari eksplan tunas pucuk tanaman sorgum (Amali et al,2014). Adanya sinergisme antara 2,4-D dan sitokinin maupun dengan auksin lainnya dapat meningkatkan produksi kalus pada tanaman sorgum. Kalus embriogenik yang dapat diregenerasikan merupakan faktor penting dalam kultur jaringan, khususnya dalam perakitan varietas unggul melalui transformasi, induksi keragaman somaklonal dan seleksi in vitro (Meneses et al., 2005; Lutts et al., l999). Zat pengatur tumbuh 2,4-D merupakan golongan auksin yang sering digunakan untuk menginduksi pembentukan kalus embriogenik, 2,4-D berperan dalam memacu hipermethilasi pada DNA, sehingga selalu terjadi pembelahan dan dengan demikian maka proliferasi sel untuk pembentukan kalus menjadi optimal (Meneses et al., 2005). Pada penelitian ini 2,4 D 1 dan 3 mg/l yang diberikan belum dapat memacu pembentukan kalus pada biji sorgum, sehingga eksplan berupa biji yang dikulturkan berkembang menjadi kecambah. Diduga konsentrasi yang digunakan belum cukup untuk memacu pembelahan sel dalam pembentukan kalus. Perlakuan terbaik untuk induksi kalus ialah setelah NAA 0,5 mg/l ditambahkan pada 2,4-D 5 mg/l sehingga hasil kalus dengan diameter paling besar. NAA merupakan auksin yang aktifitasnya tergolong lebih tinggi dibanding IBA atau IAA (Lestari 2011). Kalus yang telah diberi perlakuan radiasi umumnya mempunyai kemampuan regenerasi yang rendah, diduga karena terjadi kerusakan pada sel penyusun kalus. Rendahnya kemampuan regenerasi pada kalus yang telah diiradiasi juga terjadi pada tanaman gandum (Purnamaningsih dan Lestari 2013). Keberhasilan radiasi untuk meningkatkan keragaman populasi ditentukan radiosensitivitas genotipe yang diiradiasi. Tingkat sensitivitas tanaman sangat bervariasi antar PROSIDING, Copyright© 2016
253
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
jenis tanaman dan antar genotipe. Radiosensitivitas dapat di ukur berdasarkan nilai LD50 (Letal dosis 50%) yaitu dosis radiasi yang menyebabkan kematian 50% populasi tanaman. Dalam induksi mutasi, beberapa study menunjukkan bahwa dosis optimum yang dapat menghasilkan mutan terbanyak biasanya terjadi di sekitar LD50 (Ibrahim 1999). Disamping itu radiosentivitas dapat diamati melalui adanya letalitas, mutasi somatik, perubahan jumlah dan ukuran kromosom (Datta 2001). Pada penelitian ini dosis yang digunakan untuk iradiasi ialah 5 - 20 Gy karena berdasarkan penelitian sebelumnya pada iradiasi kalus sorgum varietas Numbu menunjukkan bahwa pada dosis di atas 20 Gy, menyebabkan kalus menjadi coklat dan mati (Lestari et al 2014). Peningkatan dosis iradiasi cenderung menghambat pertumbuhan sel kalus menjadi tunas, kondisi ini di mungkinkan karena adanya kerusakan pada sel meristem yang sangat radio sensitif. Iradiasi dapat menyebabkan pembelahan sel menjadi terhambat yang selanjutnya mempengaruhi pertambahan jumlah sel. Jaringan tanaman sebagian besar mengandung air, sehingga apa bila diiradiasi akan mengalami kerusakan karena iradiasi menyebabkan air terurai menjadi H2O dan e+ (Ismachin 1988). Masalah yang sering dihadapi saat meregenerasikan masa sel (kalus) ialah kemampuan regenerasi yang rendah dan kadang tidak tumbuh sama sekali. Yunita et al (2012) telah memperoleh media yang optimal untuk meregenerasikan tunas dari kalus padi varietas Fatmawati pada media MS + BA 2 mg/l + IAA 0,8 mg/l dan zeatin 0,2 mg/l, namun komposisi media tersebut kurang sesuai digunakan untuk meregenerasikan kalus yang telah diberi perlakuan radiasi. Pada penelitian ini kalus dari varietas Mandau sebelum diregenerasikan sudah berwarna agak coklat dan menjadi hitam beberapa saat setelah diregenerasikan, beberapa kalus mutan yang diregenerasikan dapat menghasilkan spot berwarna hijau merupakan bakal tunas tetapi akhirnya mati. Kalus super I berwarna putih namun tidak dapat diregenerasikan, diduga media yang digunakan belum sesuai. Beberapa kalus mutan membentuk tonjolantonjolan bakal tunas namun menghasilkan akar sehingga menghambat pembentukan tunas, bakal tunas yang dipindah ke media baru mencoklat dan mati. Perbaikan genetik untuk sifat-sifat yang diinginkan dalam program penelitian melalui mutasi ditentukan oleh dosis iradiasi dan tingkat radio sensifitas tanaman yang diradiasi dan kondisi tanaman saat diradiasi (Asadi 2003). Pemuliaan melalui mutasi mempunyai peran cukup besar dalam perbaikan tanaman dan telah banyak menghasilkan tanaman unggul (Taryono et al 2011). Hail penelitian Santosa dan Hoeman (2009) menunjukkan bahwa sorghum ZH-30 dari China, yang di beri perlakuan radiasi sinar gamma, menghasilkan galur baru yang berbeda dengan induknya pada peubah rasa dan kualitas pati. Masalah dalam aklimatisasi ialah tunas cepat layu, sehingga walaupun akarnya banyak dan panjang namun saat diaklimatisasi tidak dapat menghasilkan akar baru yang berfungsi di dalam kondisi ex vitro sedangkan akar yang lama tidak berfungsi optimal. Untuk meningkatkan keberhasilan aklimatisasi maka sebelum diaklimatisasi akar direndam dalam larutan rotone, untuk memacu pembentukan akar yang baru. Akar yang panjangnya baru 1 cm tetapi kelihatan segar dan vigor lebih berpeluang dapat tumbuh menjadi tanaman. UCAPAN TERIMAKASIH Terimakasih kepada Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya genetik Pertanian dalam DIPA BB BIOGEN tahun 2015 yang telah mendanai penelitian ini hingga selesai. SIMPULAN Komposisi media terbaik untuk pembentukan kalus sorgum varietas Kawali, Mandau dan Super I ialah media MS+ 2,4-D 5 mg/l + NAA 0,5 mg/l. Namun yang dapat beregenerasi
PROSIDING, Copyright© 2016
254
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
hanya dari varietas Kawali dengan media BA 2 +kinetin 0,1 mg/l. Media untuk perakaran terbaik ialah MS + NAA 0,5 mg/l. DAFTAR PUSTAKA Anbumalarmathi. J dan N. Nadarajan. 2007. Callus Induction and Plant Regeneration in Sorghum (Sorgum bicolor L. Moench). Indian Journal of Agricultural Research 41: 10-16. Amali, P., S.J. Kingsley, S. Ignacimuthu. 2014. High frequency callus induction and plant regeneration from shoot tip explants of Sorghum bicolor L. Moench. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences ISSN- 0975-1491. 6(6):213-216 Asadi. 2013. Pemuliaan Mutasi Untuk Perbaikan Terhadap Umur dan Produktivitas Pada Kedelai. Jurnal Agrobiogen 9(3):135-142. Bety,Y.A., A. Ispandi, dan Sudaryono.1990. Sorgum. Monograf No 5. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Malang 25 hal. Bhaskaran.S and R.H.Smith. 1988. Enchanced Somatic Embryiogenesis in Sorghum bicolor from Shoot tip Culture. In vitro cellular & Developmental Biology.24(1) : 65-70. Cai,T and L.butler. 1990. Plant Regeneration from Embryonic callus initiated from immature inflorescences of several high-tannin sorgums. Plant Cell Tissue and Organ Culture 20:101-110. Datta, S.K. 2001. Mutation Studies on Garden Chrysanthemum: A review. Scientific Horticulture 7:159-199. Direktorat Jendral Perkebunan. 1996. Sorgum Manis Komoditi Harapan di Propinsi Kawasan Timur Indonesia. Risalah symposium Prospek Tanaman Sorgum untuk Pengembangan Agroindustri, 17-18 Januari.1995. Edisi Khusus Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. 4: 6-12. Forster. B.P and Q.Y. Shu. 2012. Plant Mutagenesis in Crop Improvement: In Q.Y. Shu and B.P. Forster (Eds.). Basic Terms and Applications. Plant Mutation Breeding and Biotechnology. Joint FAO/IAEA Programe. Vienna, Austria. Gupta . S., Y.K. Khanna., R.Singh and G.K. Garg. 2006. Strategies for overcoming genotypic limitations of in vitro regeneration and determination of genetic components of variability of plant regeneration traits in sorgum. Plant Cell Tiss. Organ Cult 86:379-388. Ibrahim, R. 1999. In vitro Mutageneis in Roses. Phd. Thesis. Aplied Biological Sci. Cell and Gene Biotechnology Fac. Univ Gent. Belgium. Ismachin, M. 1988. Pemulian Tanaman dengan Mutasi Buatan. Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi Badan Tenaga Atom Nasional. Jakarta. 28 hal. Jain, S.M. 2010. Mutagenesis in Crop Improvement Under the Climate Change. Romanian Biotechnological Letter. 15(2):88-106. Jiang J, D.I.Steve., J.Wang., H.O.James. 2000. High efficiency transformation of U.S. rice line from mature seedderived calli and regeneration of glufosinate resistance under field conditions.Crop Sci.40 Kharkwal, M.C and Q.Y.Shu.2009. Role of Induce Mutation in World Food Security. p 3338. Q.Y. Shu (ed.). Induced mutation in the genome era rome: Food and agriculture organization of the United Nations. Kinyua M.G., P.N. Njau, Kimurto and M. Maluszynski M. 2004. Drought Tolerant Wheat Varieties Developed Throught Mutation Breeding Techniques. In 4th International Crop Science Congress 26 Sept - 1 October. Lestari. E.G., R.Purnamaningsih, M. Syukur dan R.Yunita. 2010. Keragaman Somaklonal untuk Perbaikan Tanaman Artemisia (Artemisia annua ) Melalui Kultur In vitro. Jurnal Agro Biogen. 6(1): 26-32.
PROSIDING, Copyright© 2016
255
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Lestari, E.G. 2011. Peranan Zat Pengatur Tumbuh dalam Perbanyakan Tanaman Melalui Kultur Jaringan. Jurnal AgroBiogen 7(1):63-68. Lestari, E.G., I.S Dewi., A. Nur., S.Human dan Nazarudin. 2014. Induksi Mutasi dan Kultur in vitro Sorgum Manis untuk Mendapatkan Galur Baru dengan Kandungan Brik Gula Tinggi Sebagai Bahan Bioetanol. Prosiding Semnas Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan. UPN Yogyakarta 11 Desember 2014. Lutts, S., J.M. Kinet., J. Bouharmont. 1999. Improvement of Rice Callus Regeneration in Presence of NaCl. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 57: 3-11. MacKinnon. C, G.Gunderson and M.W.Nabors. 1987.High Efficiency Plant Regeneration by Somatic Embryogenesis from Callus of Mature Embryo Explans of bread wheat (Triticum aestivum) and grain sorghum (Sorghum bicolor).In Vitro Cellular & Developmental Biology 23(5):443-448. Maheswari .M., N.Jyothi Laksmi., S.K. Yadav, Y.Varalaxsmi., A.V. Lakhsmi, M.Vanaja and B.Venkateswarlu. 2006. Efficient Plant Regeneration from Shoot Apices of Sorghum.Biologia Plantarum 50(4):741-744 Maluszynski, M. 2001. Officially Released Mutant Varieties. The FAO/IAEA Database. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 65:175-177. Maqbool, S.B., P. Devi.,M.B. Sticklen.2001. Biotechnology advances for the improvement of sorghum (Sorghum bicolor L).) Moench.In Vitro cell dev.Biol 37:504-515 Meneses, A., D. Flores., M. Munoz., G. Arrieta., A.M. Espinosa. 2005. Effect of 2,4-D, Hydric stress and light on indica rice (Oryza sativa) somatic embryogenesis. Rev Biol Trop (Int J) 53(3-4): 361-368. Pierik, R.L.M. l987. In vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Publisher.London 344p Polumahanthi S., N.S.Mani., P.K.Ratna Kumar.2014. Callus induction and multiple shoot regeneration of Sorghum cultivars using shoot tip as an explant.IJALS 7(1):66-73. Purnamaningsih R dan E.G. Lestari. 2013. Keragaman Agronomi Galur-Galur Mutan Somaklon Gandum Hasil Iradiasi Sinar Gamma. Prosiding Semnas Sistem Pertanian Bioindustri Berkelanjutan. UPN Yogyakarta 11 Desember 2014. Saharan.V, R.C.Yadav., N.R.Yadav and K.Ram.2004.Studies on improved Agrobacterium mediated transformation in two indica rice (Oryza sativa L.).Aff Journal of Biotechnology 3(11):572-575 Santosa, D.D.S and S. Hoeman.2009. Modified Strach of Sorghum Mutant Line Zh-30 for Hight Fiber and Muffin Product. Atom Indonesia. 35 (1) 1-9. Sirappa.M.P.2003. Prospek pengembangan sorgum di Indonesia sebagai komoditas alternatif untuk pangan, pakan dan industri. Jurnal Litbang Pertanian, 22(4): 133-140. Soetharama,N, R.V. Sairam and T.S.Rani.2000. Regeneration of sorghum from shoot tio cultures and fields performance of the progeny. Plant Cell, Tissue and Organ Culture. 61:169-173.Sirappa. M.P. 2003. Prospek Pengembangan Sorgum di Indonesia. Jurnal litbang Pertanian. 22(4): 131-140. Soeranto. H. 2003. Peran Iptek Nuklir dalam Pemuliaan Tanaman untuk Mendukung Industri Pertanian. Prosiding Pertemuan Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Nuklir P3TN Batan Yogyakarta 8 Juli, 303-315. Soedjono, S. 2003. Aplikasi Mutasi Induksi dan Variasi Somaklonal dalam Pemuliaan Tanaman. Jurnal Litbang Pertanian, 22(2):70-77. Suprasanna, P., S.M. Jain., S.J. Ochatt., V.M. Kulkarni and S.Pedrieri. 2012. Application of In vitro Techniques in Mutation Breeding of Vegetatively Propagated Crops. p 371-385. In Shu and Forster (eds.) Plant Mutation Breeding and Biotechnology. Joint FAO/IAEA Programe. Vienna, Austria.
PROSIDING, Copyright© 2016
256
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Suprasanna P and H.Nakagawa.2012. Mutation breeding of vegetatively propagated crops. In Q.Y. Shu and B.P. Forster (Eds.). P 347-358. Plant Mutation Breeding and Biotechnology. Joint FAO/IAEA Programe. Vienna, Austria.
Taryono., P. Cahyaningrum dan S.Human.2011. The detection of Mutational Changes in Sorghum using RAPD. Indonesian Jurnal of Biotecnology.16(1): 66-70. Yunita, R., E.G. Lestari dan I.S. Dewi. 2012. Regenerasi tunas dari kalus yang telah diberi perlakuan iradiasi pada padi varietas Fatmawati.Berita Biologi. 11(3): 359-366. Zhao, L.S. Liu, S. Song.2010. Optimization of callus induction and plant regeneration from germinating seeds of sweet sorghum (Sorghum bicolor Moench).Affican Journal Biotechnologi 9(16):2367-2374
PROSIDING, Copyright© 2016
257
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENGARUH BUANGAN LIMBAH CAIR PABRIK TEKSTIL DI KABUPATEN SUMEDANG TERHADAP PEMBELAHAN SEL Allium cepa Var. Aggregatum L. THE EFFECT OF TEXTILE FACTORY LIQUID WASTE IN THE SUMEDANG DISTRICT ON CELL DIVISION OF Allium cepa Var. Aggregatum L. Annisa* dan Hana Hunafa Hidayat Laboratorium Genetika dan Biologi Molekuler, Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor Sumedang 45361, Indonesia *Email :
[email protected] ABSTRAK Limbah industri cair buangan dari industri tekstil yang masuk ke parit atau selokan daerah tempat tinggal penduduk dan daerah sumber air dapat memengaruhi pembelahan sel makhluk hidup. Salah satu tanaman yang umum digunakan sebagai sensor biologis untuk melihat pencemaran adalah Allium. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh limbah cair buangan pabrik tekstil di sungai kawasan Desa Mangun Arga, Kecamatan Cimanggung, Kabupaten Sumedang terhadap pembelahan sel dan kromosom A. cepa Var. Aaggregatum. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode observasi dengan analisis data secara deskriptif. Preparat akar bawang dibuat dengan menggunakan metoda squash. Jumlah sel yang diamati adalah 100 sel. Tipe aberasi kromosom yang ditemui diantaranya adalah: stickiness (pelengketan), kromosom tertinggal, c-mitosis, jembatan kromosom, dan sel binukleat. Berdasarkan hasil dapat disimpulkan bahwa limbah industri tekstil yang masuk ke selokan atau parit mampu untuk menyebabkan aberasi kromosom pada sel hidup dan merupakan isu kesehatan penting untuk masyarakat yang hidup di sekitar pabrik tekstil. Kata kunci : Allium cepa L., aberasi kromosom, limbah, kesehatan ABSTRACT Liquid industrial waste from the textile industry that goes to the community canals and source of the water can affect living organism. Particularly, it’s cell division and chromosomes. Allium cepa L. is a plant commonly used as biosensor for water pollution. The research aim was to study the effect of liquid textile industrial from canals around Mangun Arga village Sumedang district to cell division and chromosomes of Allium cepa Var. Aggeratum L. root tip. The method used in this research was observation, with descriptive data analysis. Chromosomes samples from root tips were made using squash method from control (bidets) and treatment (liquid wastes from canals). One hundred cells were observed. Type of chromosomal aberrations observed include: stickiness, c-mitosis, chromosome, bridges during anaphase, and binucleated cell. Based on the results it can be concluded that liquid textile industrial waste from canals is able to cause chromosomal aberration and affect the living cell division. This is raising an important health issue for people who live around textile factory. Keywords: Allium cepa L., chromosomal aberrations, waste, health
PROSIDING, Copyright© 2016
258
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN Limbah industri dapat menambah jumlah kontaminan ke permukaan air dan sedimen. Limbah cair yang dihasilkan oleh industri dapat menjadi masalah serius bagi kesehatan biota dan manusia yang berinteraksi dengan ekosistem perairan (Egito et al., 2007). Metode pengujian standar dan sensitif “test Allium’ banyak digunakan untuk menguji kualitas air minum maupun lingkungan yang terkena polusi air (Fiskesjö, 1985). Metode ini diterima secara resmi dan telah digunakan lebih dari empat puluh tahun. Selain murah dan mudah dalam pelaksanaannya, metode ini memiliki korelasi yang positif dengan uji hewan model (Quilang et al., 2008;Rathore et al., 2006; Vidakoviæ et al., 1993). Tes Allium berguna untuk menguji kemungkinan air terkontaminasi misalnya pada sungai (Majer et al., 2005), pemantauan air limbah (Bagatini et al.,2009) dan pemantauan pestisida (Bolle et al., 2004). Pada penelitian ini Allium cepa Var. Aggregatum L. digunakan sebagai bioindikator untuk melihat pengaruh buangan limbah cair pabrik tekstil di Kabupaten Sumedang terhadap pembelahan sel dan kromosom. Penelitian ini penting untuk dilakukan karena dapat digunakan sebagai parameter tingkat pencemaran air di daerah lokasi pabrik tekstil. Parameter yang diamati adalah pembelahan sel dan macam aberasi kromosom yang diamati MATERI DAN METODE Material yang digunakan pada penelitian ini adalah : Aquabidest, akuades, asam asetat 45%, aceto camin 2%, umbi bawang merah (A. cepa Var. Aggregatum L), entelan, HCL 1N, kapas, minyak imersi dan label. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode observasi dengan analisis data secara deskriptif dimana terdapat dua perlakuan yaitu kontrol dengan menggunakan air Bidest dan air mengandung limbah cair pabrik tekstil. Setiap perlakuan dilakukan 16 kali pengulangan. Perendaman dalam air bidest dan limbah dilakukan selama 7 hari atau hingga panjang akar 4-5 cm (Imaniar dkk., 2014). Pembuatan preparat kromosom dilakukan menggunakan metode pencet (Arianto dkk., 2009 dengan perubahan). Pembuatan Preparat Dengan Metode Squash Pembuatan preparat kromosom dilakukan menggunakan metode pencet (squash) yang meliputi beberapa tahapan sebagai berikut pertama-tama pengambilan bahan tanaman berupa ujung akar bawang merah, kemudian pra perlakuan ujung akar dipotong ± 3 mm dari ujung dan dimasukan dalam botol flakon berisi aquadest, difiksasi dengan larutan asam asetat 45%, setelah itu maserasi ujung akar dengan larutan HCL terakhir diberi pewarnaan dengan larutan aceto-carmin 2%, dan dilakukan pemencetan ujung (squasing), kemudian tepi gelas penutup disegel dengan cat kuku sehingga dapat dilakukan pemotretan preparat (Arianto dkk., 2009 dengan perubahan). HASIL Hasil dapat dilihat pada gambar 1. Ditemukan 16 aberasi kromosom sebagai akibat perendaman umbi bawang merah pada limbah cair pabrik tekstil. Keenambelas aberasi tersebut adalah : Interphasic nucleus interconnected by nuclear bridge; Sel binukleat pada metafase; Bridge and non-disjunction; telophase with bridge; Nuclear abnormalities; Metaphase with chromosome adherence; Bridge; Telophase with micronucleus; Vagrant chromosome; Disorder of chromosome kinetic; Multipolar late anaphase; Vagrant chromosome at anaphase; Star; Sticky; C-mitosis; dan Fragmen
PROSIDING, Copyright© 2016
259
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gambar 1. a) Profase normal; b) Metafase normal; c) Anafase normal; d) Telofase normal; e) Interphasic nucleus interconnected by nuclear bridge; f) Sel binukleat pada metafase; g) Bridge and non-disjunction; h) Telophase with bridge; i) Nuclear abnormalities; j) Metaphase with chromosome adherence; k) Bridge; l) Telophase with micronucleus; m) Vagrant chromosome; n) Disorder of chromosome kinetic; 0) Multipolar late anaphase; p) Vagrant chromosome at anaphase; q) Star; r) Sticky; s) C-mitosis; t) Fragmen PEMBAHASAN Aberasi kromosom pada A. cepa Var. Aaggregatum yang direndam air limbah buangan pabrik tekstil menunjukkan bahwa terdapat senyawa klastogenik dan atau aneugenik yang dapat meningkatkan kerusakan DNA dan kromosom serta ketidakstabilan genom. Hasil ini PROSIDING, Copyright© 2016
260
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
serupa dilaporkan oleh Júniora et al.(2007), dimana tes Allium cepa pada air yang dialiri buangan limbah cair industri penyamakan kulit di Brazil menunjukkan tingkat toksisitas yang tinggi dan ditemukan berbagai aberasi kromosom. Berdasarkan hasil ini masyarakat perlu diberikan edukasi mengenai perlunya kehati-hatian yang luar biasa dalam pemanfaatan sumber mata air yang teraliri buangan limbah cair industri tekstil. SIMPULAN Limbah cair dari buangan industri tekstil memengaruhi proses pembelahan sel dan kromosom sel akar A. cepa Var. Aaggregatum. Perlunya edukasi terutama kepada masyarakat yang bertempat tinggal di sekitar pabrik tektil mengenai pengaruh limbah. cair pada sumber air sekitar. DAFTAR PUSTAKA Arianto, S.E dan Supriyadi.P. 2009.Pengaruh Kolkisin Terhadap Fenotipe Dan Jumlah Kromosom Jahe (Zingiber Officinale Rosc.). Staf Pengajar Fakultas Pertanian Universitas Muria Kudus2 Staf Pengajar Program Studi Pascasarjana UNS Surakarta. Bagatini, M.D., T.G. Vasconcelos, H.D. Laughinghouse, A.F. Martins, S.B. Tedesco. 2009. Biomonitoring Hospital Effluents by The Allium cepa L. test. Bull Environ Contam Toxicol 82: 590-592. Bolle P, S. Mastrangelo, P. Tucci, M.G. Evandri. 2004. Clastogenicity of Atrazine Assessed with the Allium cepa test. Environ Mol Mutagen 43: 137-141. Egito, L.C.M., M.G. Medeiros, S.R.B. De Medeiros, and L.F. Agnes-Lima. 2007. Cytogenetic and Genotoxic Potential of Surface Water from the Pitimbu River, Northeastern/RN Brasil. Genet Mol Biol .30 (2): 1-15. El-Ghamery, A.A., A.I El-Nahas, and M.M. Mansour. 2000.The action of atrazine herbicide as an indicator of cell division on chromosomes and nucleic acid content in root meristems of Allium cepa and Vicia faba.Cytologia, 65: 277-287 Fiskesjö, G. 1985. The Allium Test as a Standard in Environmental Monitoring. Hereditas 102: 99-112. Imaniar, E.F., Pharmawati, M. 2014. Kerusakan Kromosom Bawang Merah (Allium cepa.L) Akibat Perendaman Dengan Etidium Bromida. Jurusan Biologi FMIPA Universitas Udayana. Jurnal simbiosis ii (2): 173- 183 Júniora, H. M., J. D. Silva, A. Arenzon, C. S. Portela, I. C. F. d. S. F. Ferreira and J. A. P Henriques. 2007. Evaluation of genotoxicity and toxicity of water and sediment samples from a Brazilian stream influenced by tannery industries. Chemosphere 67, 1211-1217. Kaeppler, S.M., H.F. Kaeppler and Y. Rhee. 2000. Epigenetic aspects of somaclonal variation in plants. Plant Molecular Biology, 43: 179-188. Quilang J., M de Guzman, M. H. de Hitta-Catalan, R. Rubio,S. Jacinto, E. Santiago, and E. Cao. 2008. Effects of polychlorinated biphenyls (PCBs) on root meristem cells of common onion (Allium cepa L.). Phil. J. Sci. 137(2): 141-151. Rathore H.S., S. Bi, A. Sharma, and M. Makwana. 2006. Prevention of aluminium ChlorideInduced Mitodepressionwith Myrobalan (fruit of Terminalia chebula, Retz, Combretaceae) in Allium cepa model. Ethnobot. Leaflets 10: 272-279. Vidakoviæ •., D. Papeš and M. Tomiæ. 1993. Toxicity inwaste drilling fluids in modified Allium test. Water Air Soil Poll. 69: 413- 423.
PROSIDING, Copyright© 2016
261
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
APLIKASI PENANDA MOLEKULER UNTUK MEMPELAJARI KERAGAMAN JENIS JAMUR ENDOFITIK PADA TANAMAN HUTAN APPLICATION OF MOLECULAR MARKER FOR FUNGAL ENDOPHYTE DIVERSITY STUDY OF FOREST TREE Istiana Prihatini Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Jl. Palagan Tentara Pelajar Km 15 Purwobinangun Pakem Sleman 55584 Email:
[email protected] ABSTRAK Jamur endofit merupakan salah satu komponen penting padatanaman kehutanan. Studi mengenai jamur endofitik pada tanaman kehutanan sedang meningkat bersamaan dengan perkembangan teknologi molekuler untuk identifikasi serta deteksi mikroorganisme. Penelitian mengenai jamur endofit bervariasi mulai dari keragaman jenis hingga penelitian yang lebih kompleks untuk mengetahui peranan jamur endofit tertentu terhadap pohon inangnya serta potensinya sebagai antimikrobia lain. Pinus radiata merupakan salah satu jenis tanaman hutan yang memiliki nilai komersial tinggi di beberapa negara, misalnya Selandia Baru, Australia, Chili dan Spanyol. Ada beberapa jenis pathogen dan penyakit yang dilaporkan menyerang tanaman ini baik dalam tingkat local maupun global. Beberapa jenis jamur seperti Dothisthroma septosporum, D. pini, Diplodea pinea and Fusarium circinatum disebut sebagai penyebab kerusakan yang serius pada tanaman P. radiata pada skala global, sedangkan serangan penyakit Cyclaneusma, Phytopthora and Neonectria dilaporkan menyerang pada skala lokal. Penelitian dilakukan untuk mempelajari keragaman jenis jamur endofitik pada Pinus radiata melalui dua metode yang berbeda, yaitu melalui pembuatan kultur jamur (culture dependent) dan metode ekstraksi DNA secara langsung dari jaringan tanaman atau tanpa melalui pembuatan kultur jamur (culture independent methods). Sampel daun dikoleksi dari beberapa lokasi serta umur tanaman yang berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa beberapa jenis jamur dari kelompok Sordariomycetes hanya terdeteksi melalui pembuatan kultur jamur, sedangkan jenis dari Teratosphaeriaceae hanya bisa terdeteksi melalui metode ekstraksi DNA secara langsung. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai data untuk penelitian lebih lanjut untuk mengetahui asosiasi jamur endofit dengan kondisi kesehatan tanaman inang serta studi filogenetik jenis jamur patogenik pada tanaman Pinus radiata. Kata kunci: jamur, endofit, molekuler, identifikasi, deteksi ABSTRACT Fungal endophyte is one of important component of forest tree. Studies on forest tree endophyte are increasing significantly along with the improving technology for the detection and the identification. The studies on fungal endophyte were varied from diversity study to the more complex study to understand the role of specific fungal endophyte to host tree and also its potential as antimicrobial. Pinus radiata also known as radiata pine is an important commercial forest tree in several countries such as New Zealand, Australia, Chile and Spain. There are several pathogens and damaged of the radiata plantation that were reported globally or locally. Several fungi such as Dothisthromaseptosporum, D. pini, Diplodea pinea and Fusarium circinatum were reported causing serious damage to radiata plantation globally, while pathogen such as Cyclaneusma, Phytopthora and Neonectria were reported locally. This study was aimed to understand the diversity of fungal endophyte of Pinus radiata in Australia. PROSIDING, Copyright© 2016
262
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
It was conducted using culture dependent and culture independent methods. Samples were collected from several different plantation and different age of trees. The study revealed that most of Sordariomycetes species detected only by culture dependent method while most of Teratosphaeriaceae detected by culture independent methods. The results of this study also provide data for further study on the association of endophytic fungi to the health of host tree and also filogenetic study of pathogenic fungi of P. radiata. Keywords: fungi, endophyte, molecular, identification, detection PENDAHULUAN Pinus radiata ditanam secara luas di berbagai wilayah di dunia dan merupakan jenis tanaman kayu lunak yang paling utama di Australia (Mead, 2013). Produktivitas pohon tergantung pada produktifitas daun (Rubilar et al., 2013) dan produktivitas tanaman P. radiata terganggu oleh serangan jamur yang menyebabkan penyakit berupa kerontokan daun yang terjadi lebih awal (Watt et al., 2012). Beberapa penyakit pada tanaman berdaun jarum telah dipahami secara baik dengan diketahuinya agen penyebab penyakit, misalnya pada penyakit hawar karena jamur Dothistroma (Watt et al., 2011, Bulman et al., 2013). Jenis jamur penyebab penyakit yang lain pada tanaman Pinus mungkin juga ada yang tidak diketahui dengan jelas (Podger and Wardlaw, 1990, Bulman et al., 2008). Jamur endofit sebagai organisme yang mendiami organ tanaman internal yang tidak menyebabkan kerusakan jelas pada inang (Petrini, 1991), mungkin berperan secara signifikan dalam mengubah respon tanaman terhadap penyakit atau berkontribusi dalam meningkatkan resistensi (Ganley et al., 2008b, Rodriguez et al., 2009). Dengan mempelajari komunitas jamur secara lengkap pada tanaman Pinus yang sehat maupun yang sakit diharapkan dapat membantu memahami penyakit rontok daun pada Pinus. Kemajuan terbaru dalam mempelajari interaksi antara inang dan endofit telah difasilitasi oleh penggunaan metode molekuler, baik untuk membantu proses identifikasi jenis jamur endofitik maupun untuk memahami jalur biokimia dipengaruhi oleh interaksi ini (Woodward et al., 2012) Suatu jenis pohon dapat menjadi inang bagi ratusan jenis jamur endofit hanya dalam satu jenis jaringan tertentu saja tetapi secara umum penelitian mengenai jamur endofit sejauh ini lebih banyak difokuskan pada hubungan antara suatu inang dengan jenis jamur tertentu saja (Sieber, 2007, Vega et al., 2010, Botella and Diez, 2011, Gonzalez and Tello, 2011). Beberapa penelitian mengenai jamur endofitik pada tanaman berkayu telah banyak dilakukan (Petrini, 1991, Sieber, 2007). Komunitas jamur pada jenis inang tertentu dari kelompok taxon yang sama diketahui didominasi oleh beberapa jenis jamur endofit yang hampir sama atau memiliki kedekatan taxon dan sebaliknya jika jenis inang sangat jauh berbeda maka jenis jamur endofit yang menguninya juga berbeda (Sieber, 2007). Jamur endofit juga mungkin menunjukkan kekhususan pada organ dan jaringan tertentu saja (Kumar and Hyde, 2004). Jamur endofitik dari berbagai jenis jaringan tanaman, baik akar, batang dan daun dari berbagai jenis konifer yang berbeda telah banyak dipelajari seperti pada Picea abies (Muller and Hallaksela, 2000), Pinus mugo (Sieber, 1999), P. sylvestris (Giordano et al., 2009), P. monticola (Ganley, 2004), P. nigra (Kowalski and Zych, 2002), P. tabulaeformis (Guo et al., 2008), P. taeda (Arnold et al., 2007), P. thunberghii dan P. densiflora (Hata et al., 1998). Pemahaman mengenai keragaman jamur endofit sangat penting untuk mengetahui peranan dari jamur endofitik terhadap untuk hutan (Sieber 2007, Doty 2011, Krabel et al. 2013). Ada beberapa studi tentang jamur pada daun jarum P. radiata namun kebanyakan dari penelitian tersebut hanya menargetkan pada jenis endofit tertentu atau jenis jamur yang bersifat patogen (Burgess et al. 2004, Reay et al. 2010). Persaingan antara patogen dan endofitik yang spesifik juga telah dipelajari, misalnya jamur Dothistroma pini dapat memperoleh keuntungan lebih besar dengan kehadiran jenis patogen Cyclaneusma minus dan endofit Lophodermium PROSIDING, Copyright© 2016
263
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
conigenum dengan adanya produksi toksin (Bradshaw, 2004). Sebuah penelitian mengenai distribusi jamur endofit pada P. radiata di Afrika Selatan menemukan adanya konsistensi jenis yang ditemukan secara dominan namun jumlah isolat jamur sangat bervariasi antara musim (Botes et al., 1997). Penelitian terhadap jamur endofit pada P. radiata di Selandia Baru menunjukkan perbedaan yang signifikan dalam hal jenis serta jumlah spesies terdeteksi antara pohon yang tahan atau rentan terhadap patogen yang menyerang daun jarum (Ganley, 2008). Metode penelitian dalam mempelajari jamur endofit yang paling umum digunakan adalah metode dengan penumbuhan jamur pada media agar atau culture dependent method (Unterseher and Schnittler, 2009) meskipun kultur jamur endofit yang ditumbuhkan pada media agar umumnya tidak memiliki karakter morfologi khas seperti struktur reproduksi. Morphotaxa atau kelompok takson berdasarkan pada karakter umum koloni, dapat dianggap sebagai unit taksonomi fungsional atau operational taxonomic units (OTUs) (Arnold et al., 2003) jika didukung oleh analisis DNA (Stefani and Berube, 2006, Collado et al., 2007). Adapun metode deteksi identifikasi jamur tanpa menggunakan kultur jamur pada media (culture dependent method) sangat relevan untuk jamur endofit yang tidak mudah tumbuh pada media agar (Unterseher and Schnittler, 2009, Zuccaro et al., 2003). Metode ini akan mengamplifikasi DNA jamur yang secara langsung diekstraksi dari jaringan tanaman seperti daun jarum, menggunakan primer atau penanda jamur spesifik untuk menyandi berbagai daerah gen, termasuk rDNA internal transcribed spacer ( ITS) (Krabel et al., 2013, Gherbawy and Gashgari, 2013). The rDNA ITS telah dianggap sebagai wilayah barcode paling informatif pada berbagai spesies jamur (Schoch et al., 2012), meskipun data sekuen dari daerah gen yang lain akan tetap diperlukan untuk memisahkan spesies dalam genus tertentu (O'Donnell et al., 2010). Faktor-faktor yang mempengaruhi pilihan wilayah barcode adalah dipakainya daerah gen tersebut dalam penelitian secara luas, manfaatnya dalam analisis filogenetik dan kemampuannya dalam memisahkan berbagai takson sampai pada level spesies serta kemudahan dalam amplifikasi PCR menggunakan primer yang tersedia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi berbagai jenis jamur yang hidup pada daun jarum P. radiata di Tasmania menggunakan dua metode yang berbeda yaitu dengan menumbuhkan jamur pada media agar serta mendeteksi jenis jamur menggunakan DNA yang secara langsung yang diekstraksi dari daun jarum. MATERI DAN METODE Materi Penelitian Sampel berupa daun jarum yang masih segar berwarna hijau, layu warna kuning dan kering berwarna coklat dikumpulkan dari pohon pada hutan tanaman P. radiata yang berumur tiga dan 12 tahun di negara bagian Tasmania, dua lokasi di Victoria (Beech Forest dan Benalla) serta satu lokasi di Tumbarumba, New South Wales (NSW) (Gambar 1). Daun jarum yang dikumpulkan dari daerahTasmania disimpan dalam kantong kertas selama perjalanan kemudian ditempatkan ke dalam kantong plastik klip dan disimpan pada suhu 4oC selama 48 jam sebelum isolasi jamur. Sampel dari Victoria dan NSW yang disegel di dalam kantong plastik, divacuum dan dibekukan segera serta dibawa ke Hobart Tasmania dalam waktu 48 jam. Isolasi Dan Identifikasi Jamur Yang Tumbuh Pada Media Agar Daun jarum yang telah dikoleksi kemudian dipilih secara acak dan dipotong menjadi tiga atau empat bagian dengan panjang sekitar 3 cm. Daun jarum disterilkan mengikuti metode yang digunakan oleh Prihatini et al (2015). Fragmen daun dikeringkan pada kertas tissue steril, dan ditempatkan pada media Malt Agar (MA) 2%. Cawan petri media diinkubasi pada suhu 20°C dan diperiksa setiap dua hari sekali untuk mengamati pertumbuhan jamur. Pertumbuhan miselium dari setiap bagian jarum disubkultur ke cawan petri berisi media MA 2% yang baru. Subkultur diamati setiap tiga hari dan setelah umur satu bulan, kultur jamur dikelompokkan menurut karakter makro-morfologi yaitu warna, bentuk dan ketebalan koloni, tekstur, margin PROSIDING, Copyright© 2016
264
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dan tingkat pertumbuhan (dengan memperkirakan diameter budaya) (Stalpers 1978). Pada penelitian ini digunakan juga kultur jamur lain yang diperoleh dari Scion dan FBRC (Tabel 1) sebagai referensi dalam analisis filogenetik. \ 5 4 1 6
2‐3 7‐8 9
14N 13
10‐11 12
15
Gambar 1. Posisi hutan tanaman pinus radiata di australia di negara bagian tasmania, new south wales (nsw) dan victoria tempat pengambilan sampel daun jarum dilakukan. Keterangan: Daun jarum untuk isolasi pada media agar diambil dari lokasi no 2-5, 1011, dan 13-15, sedangkan daun jarum untuk ektraksi dna secara langsung diambil dari tanaman umur 5 tahun pada no 1-12 dan daun pada tanaman umur 8 tahun dikoleksi dari lokasi no 4. Lokasi no 1=branch creek, 2 dan 3= springfield, 4= oonah, 5= inglish river, 6= longhill, 7 dan 8= nicholas, 9= tower hill, 10= styx, 11= plenty, 12= franklin, 13=tumbarumba, 14= benalla dan 15= beech forest. DNA dari semua sampel jamur yang tumbuh pada media MA 2% diekstraksi menggunakan larutan SDS (Raeder dan Broda 1985) yang sudah dimodifikasi kemudian dimurnikan menggunakan glassmilk (Boyle & Lew 1995) mengikuti prosedur Glen (2001) dan digunakan sebagai template pada reaksi PCR. Reaksi PCR untuk mengamplifikasi DNA jamur pada wilayah ITS menggunakan primer khusus jamur, yaitu ITS1F dan ITS4 ((White et al., 1990, Gardes and Bruns, 1993). Kondisi reaksi PCR, profil suhu pada proses amplifikasi serta pemisahan fragmen DNA hasil amplifikasi dilakukan mengikuti prosedur pada Prihatini et el (2015). Fragmen ITS dari sedikitnya tiga kultur jamur yang mewakili setiap kelompok morfologi, semua kultur jamur tunggal dan kultur isolat tambahan yang akan digunakan sebagai referensi diproses untuk analisis sekuen. Identifikasi jenis melalui deteksi secara langsung dari daun jarum Sebanyak 48 pohon diseleksi dari 12 lokasi hutan tanaman yang berumur lima tahun di Tasmania serta 108 pohon dari hutan tanaman umur 8 di Oonah Tasmania diseleksi berdasarkan kondisi kesehatan tanaman (gambar 1). Pohon yang terpilih tersebut kemudian diambil daun jarumnya dan secara acak dipilih 5 daun jarum dari fasikula yang berbeda, kemudian dipotong dengan panjang kurang lebih 1cm dari bagian tengah masing-masing daun jarum dan dimasukkan ke dalam tabung microcentrifuge ukuran 1,5 mL dan disimpan pada suhu 80°C sebelum ekstraksi DNA. Sampel daun jarum tersebut kemudian diekstraksi untuk mendapatkan DNA jamur menggunakan metode yang sama dengan sampel dari kultur jamur. Sampel dihaluskan pada mortar dan pestel porselin dengan menambahkan nitrogen cair untuk memudahkan proses penghancuran daun. DNA digunakan sebagai template dalam reaksi PCR tunggal PROSIDING, Copyright© 2016
265
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
menggunakan primer ITS4A (Larena et al. 1999) dan ITS5 (White et al., 1990). Kondisi PCR pada sampel ini juga sama seperti PCR menggunakan sampel DNA dari kultur jamur. Nested PCR dilakukan pada beberapa sampel yang menunjukkan hasil PCR kurang kuat untuk dipakai dalam tahapan kloning pada reaksi PCR yang pertama. Hasil amplifikasi PCR tahap pertama yang diencerkan 5x dengan penambahan larutan TE digunakan sebagai template pada reaksi PCR kedua menggunakan ITS1 dan ITS4 (White et al., 1990). Kondisi reaksi dan konsentrasi reagen untuk nested PCR seperti yang dijelaskan untuk PCR tahap pertama, kecuali jumlah siklus berkurang menjadi 20 kali. Produk PCR juga dipisahkan dan divisualisasi menggunakan alat dan cara yang sama dengan PCR sebelumnya. Semua hasil PCR maupun produk PCR nested dari sampel daun jarum digunakan dalam tahapan cloning. Sampel yang dikumpulkan dari Oonah, produk PCR digabungkan menurut umur daun serta kondisi kesehatan tanaman yang sama sehingga didapatkan 36 bulked sampel, sedangkan sampel dari 12 lokasi hutan tanaman yang berbeda didapatkan 48 bulked sampel. Sebelum proses kloning, produk PCR dibersihkan menggunakan UltraClean PCR Clean-up Kit (MO BIO) sesuai dengan instruksi produsen. DNA dielusi menggunakan 50 uL larutan elusi (MO BIO) dan diendapkan mengikuti petunjuk dari MOBIO kemudian dilarutkan kembali dengan larutan TE sebanyak 13 L. Larutan DNA diambil sebanyak 3 L pada proses elektroforesis untuk mengetahui adanya DNA hasil purifikasi dan hasil yang positif digunakan pada proses kloning menggunakan pGEM–T Easy Vector (Promega) sesuai instruksi produsen. Tahapan PCR-RFLP terhadap DNA jamur yang dikloning pada plasmid bakteri dilakukan untuk menyeleksi sampel yang memiliki pola fragment DNA yang sama sehingga jumlah sampel DNA untuk sequencing dapat dikurangi. PCR dilakukan terhadap sampel koloni bakteri yang diambil dari cawan petri menggunakan ujung pipet steril dan memindahkannya ke dalam 200 uL larutan TE dalam tabung PCR ukuran 0.2mL. Sel-sel bakteri dirusak dengan vortexing, dan diendapkan dengan sentrifugasi selama 1 menit pada kecepatan 1500 rpm, kemudian sebanyak 5 uL supernatan digunakan sebagai template pada proses PCR, menggunakan primer ITS1 dan ITS4 dan dilakukan seperti pada uraian sebelumnya. Produk PCR dipotong menggunakan enzim restriksi AluI (Promega) dan HinfI (Promega) dalam reaksi dengan komposisi sebagai berikut: 60mm Tris HCl (pH7.5), 500 mM NaCl2, 60 mM MgCl2 dan 10 mM DTT (pada 10×buffer disediakan oleh Promega; 0.1mg/mL bovine serum albumin; 1 unit enzim; 5 uL produk PCR dan air steril (Astra Zeneca) hingga mencapai volume 10 uL. Hasil PCR diseparasi pada gel agarosa resolusi tinggi (Fisher Biotech) konsentrasi 3% selama 2 jam pada pada voltase 100V. Gel divisualisasikan dengan cara yang sama sudah diuraikan diatas. Sampel hasil cloning dari reaksi transformasi yang sama dielektroforesis pada gel yang sama untuk memfasilitasi penilaian visual kelompok sesuai dengan pola RFLP. Dua atau tiga klon dari masing-masing kelompok PCR-RFLP dipilih secara acak untuk digunakan dalam tahapan sequencing DNA Sequencing dan Analisis sekuen DNA Produk PCR dari kultur jamur serta produk PCR dari DNA hasil kloning yang terpilih diproses untuk sekuensing. Sekuensing DNA dilakukan di Macrogen Inc (http://dna.macrogen.com/eng/). Kromatogram dari hasil sekuensing dilihat dan diedit untuk menghilangkan urutan DNA yang memiliki kualitas buruk pada setiap awal dan akhir sekuen dalam software ChromasPro versi 1,34. Software BLAST (Basic Local Alignment Search Tool) digunakan untuk mencari kemiripan sekuen yang tinggi dari database DNA public (GenBank) (Altschul et al., 1990). Sekuen DNA dari GenBank yang memiliki kesamaan tinggi dan beberapa kelompok takson yang berkerabat dekat lainnya digunakan dalam analisis filogenetik. Sekuen dikelompokkan menurut hasil pencarian BLAST, dan diselaraskan urutannya menggunakan ClustalW (Thompson et al., 1994) dengan memilih full multiple alignment
PROSIDING, Copyright© 2016
266
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
option dan 1000 bootstraping. Jika ditemukan polimorfisme nukleotida tunggal antara koloni atau klon, kromatogram akan diperiksa ulang untuk mengkonfirmasinya. Analisis filogenetik Sampel dari kultur jamur atau sampel klon dengan perbedaan sekuen DNA kurang dari 2% dikelompokkan ke dalam satu OTUs. Kelompok jamur atau OTUs diidentifikasi hingga pada level taksonomi terendah yang paling memungkinkan berdasarkan kesamaan sekuen DNA dengan database dari GenBank. Beberapa sekuen dari database yang memiliki kemiripan paling besar pada pencarian BLAST untuk setiap unit kelompok takson atau Operational Taxonomical Unit (OTU) diseleksi dan disertakan dalam analisis filogenetik untuk OTU tersebut. Satu atau dua urutan dari taksa yang memiliki kekerabatan lebih jauh juga disertakan dalam analisis filogenetik sebagai outgroup. Semua urutan untuk setiap OTU yang selaras dengan program CLUSTALW dengan beberapa keselarasan penuh dan 1000 bootstraps dalam versi software Bioedit 7.0.9.0 (Hall 1999). Sekuen-sekuen DNA yang telah diselaraskan digunakan pada analisis filogenetik menggunakan Maximum Likelihood versi 3.6a2.1 yang disediakan oleh paket program PHYLIP yang diberi nama program DNAml (Felsenstein 1989). Pohon filogenik yang didapat dari analisis tersebut kemudian diamati menggunakan software TreeView (Page, 1996) dan diedit pada software Mega 4 (Tamura et al. 2007). HASIL Karakterisasi kultur jamur Sebanyak 544 kultur murni jamur diperoleh dari 180 sampel jarum. Kultur jamur tersebut terdiri dari 26 kelompok menurut karakter makro-morfologi dan setidaknya setiap kelompok memiliki 3 isolat ditemukan juga 14 kultur yang bersifat tunggal (tidak memiliki kesamaan dengan anggota kelompok manapun. Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa dari semua kultur tesebut dapat dikelompokkan dalam 48 OTU yang termasuk dalam kelompok ascomycetes serta 5 OTU yang termasuk dalam kelompok basidiomicetes. Hasil identifikasi OTU yang didapatkan dari analisis filogenetik menggunakan sekuen DNA ITS kemudian dibandingkan dengan pengelompokan berdasarkan karakter morfologi kultur jamur. Dalam dua kasus, ditemukan kelompok morfologi yang berbeda memiliki identifikasi OTU sama; yaitu kelompok Lophodermium pinastri, kelompok Lophodermium aff. conigenum dan kelompok Phoma macrostoma. Beberapa kultur dapat diidentifikasi hingga level spesies atau genus tetapi beberapa hanya diidentifikasi hingga level ordo (Pezizales, Helotiales dan Xylariales) atau bahkan hanya sampai pada level filum (Basidiomicetes). Ketidakmampuan untuk mengidentifikasi beberapa kultur hingga tahap untuk spesies atau tingkat genus disebabkan oleh beberapa hal, antara lain adalah sekuen ITS pada beberapa kelompok takson yang luas memiliki tingkat kesamaan yang cukup tinggi hingga mencapai 98% -100% misalnya pada Helotiales sp. 1, serta adanya kesamaan sekuen yang cukup tinggi (> 90%) dengan sekuen jamur lain yang ada pada database hanya dapat diidentifikasi sampai pada tingkat ordo saja, misalnya pada Helotiales sp. 2 dan Xylariales sp. 1. Identifikasi molekuler dan analisis filogenetik OTU jamur Pada hasil pencarian dengan BLAST terhadap 1303 sekuen DNA yang diperoleh dari kultur jamur maupun DNA jamur hasil ekstraksi secara langsung dengan pengelompokkan berdasarkan pada kemiripan sekuen hingga level 98% didapatkan 130 OTU. Namun setelah dilakukan penyelarasan sekuen DNA dan analisis filogenetik diperoleh sebanyak 166 OTU (Tabel 1).
PROSIDING, Copyright© 2016
267
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Jumlah OTU dari setiap kelas jamur yang terdeteksi pada penelitian ini dari hasil pengulturan jamur dan hasil kloning dna jamur. Divisi / Kelas Dothideomycetes Eurotiomycetes Lecanoromycetes Leotiomycetes Pezizomycetes Saccharomycetes Sordariomycetes Tremellomycetes unknown Ascomycetes Agaricomycetes unknown Basidiomycetes
Jumlah Ordo 4 2 2 2 1 1 3 2 3 -
Jumlah Familia 15 3 2 6 2 1 6 3 4 -
Jumlah OTU 75 14 2 20 4 2 20 10 8 4 7
Frekuensi deteksi kloning kultur 69 21 18 4 1 0 54 119 0 7 2 0 3 154 8 0 20 5 7 2 4 3
Analisis filogenetik dilakukan pada tingkat taksonomi yang berbeda tergantung pada ketersediaan sekuen DNA ITS dari spesies yang memiliki kedekatan hubungan kekerabatan pada database GenBank. Pada OTU yang tidak dapat teridentifikasi hingga tahap spesies, analisis filogenik dilakukan pada tingkat taksonomi yang lebih tinggi, seperti Familia (Mycosphaerellaceae dan Teratosphaeriaceae), Ordo (Botryosphaeriales, Chaetothyriales, Eurotiales, Pezizales dan Sordariales) atau bahkan pada tingkat Kelas (Sordariomycetes). Analisis filogenetik pada tingkat spesies dilakukan terhadap semua jenis jamur pathogen yang telah diketahui menyerang tanaman P. radiata dengan menambahkan data sekuen dari jenis yang sama yang diperoleh dari GenBank sebagai referensi. Beberapa jenis pathogen yang terdeteksi pada penelitian ini adalah Dothistroma septosporum, Cyclaneusma minus, Strasseria geniculata, Lophodermium conigenum, dan L. pinastri (Gambar 2). PEMBAHASAN Dothideomycetes adalah kelompok yang memiliki spesies paling beragam yang terdeteksi dalam penelitian ini mencapai hampir 50% dari total OTU dalam penelitian ini merupakan anggota kelas ini. Hal ini tidak mengherankan mengingat bahwa Dothideomycetes adalah kelas jamur yang paling beragam dengan 11 ordo, 90 familia dan lebih dari 1300 genus (Kirk et al. 2008). Lima ordo dalam Dothideomycetes yang terdeteksi pada penelitian ini adalah Botryosphaeriales, Capnodiales, Dothideales, Pleosporales dan Venturiales. Capnodiales diwakili oleh 45 OTU, semuanya hanya terdeteksi dari sekuensing DNA dan tidak ada yang diisolasi dalam penelitian ini. Capnodiales telah diketahui memiliki keterkaitan dengan jenis Pinus (Evans 1984) tapi revisi taksonomi yang baru dilakukan telah memasukkan Mycosphaerellales kedalam ordo Capnodiales (Crous et al. 2009). Mayoritas Capnodiales terdeteksi secara langsung dari daun jarum dan merupakan anggota genus Teratosphaeria yang belum diketahui nama jenisnya serta umumnya terdeteksi pada frekuensi rendah. Spesies Davidiella, Mycosphaerella dan Teratosphaeria merupakan jenis yang tumbuh lambat secara in vitro dan teknik isolasi mungkin kurang berhasil karena media agar sudah lebih dahulu ditumbuhi oleh jamur yang merupakan spesies cepat tumbuh. Tiga anggota Dothideales yang terdeteksi dalam penelitian ini adalah Sydowia polyspora (syn. Hormonema dematioides Lagerberg & Melin) dan Aureobasidium pullulans. Kedua spesies telah ditemukan memiliki hubungan dengan penyakit pada P. banksiana (Yang 2004) dan konifer lainnya (De Hoog dan Yurlova 1994). Meskipun secara morfologis sulit dibedakan (De Hoog dan Yurlova 1994), penanda genetik telah kedua jenis jamur ini dapat dengan mudah dibedakan (Yurlova et al. 1999, Ray et al. 2004).
PROSIDING, Copyright© 2016
268
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
0.1
AY100665 Lophodermium minor AY100659 L. molitoris CBS 597.84 AY100658 L. baculiferum NZFS796 NZFS804 L. aff. pinastri FJ861986 AB511818 CL132 CL99 AY775693 NO472 NO281 NO276 CL22 C39 CL10 NY334 NY093 CL187 C36 NY056 NY048 L. pinastri CL97 NY514 NY184 NO459 NO279 CL186 CL130 NY333 CL135 CL19 NY257 NY061 AF013224 CL137 NY047
Gambar 2. Pohon filogenetik hasil analisis menggunakan metode Maximum likelihood terhadap sekuen DNA ITS jenis Lophodermium pinastri and L. aff. pinastri yang berasal dari kultur jamur (CL and NZFS), dari hasil ekstraksi langsung dari daun (NY dan NO). Beberapa sekuen DNA jenis yang sama yang didapat dari GenBank ditambahkan pada analisa ini dan sebagai outgrup adalah jenis L. minor. Skala menunjukkan adanya variasi sekuen DNA sebesar 10%. Sekuen AF013224 adalah koleksi type isolate jamur L. pinastri dari ATCC no 28347. Kultur NZFS796 dan NZFS804 adalah kultur jamur L. pinastri dari Selandia Baru. Pleosporales diwakili oleh 23 OTU, dimana 20 OTU terdeteksi dari penggunaan metode cloning dan tujuh OTU dari kultur jamur (empat OTU terdeteksi oleh kedua metode). Enam familia yaitu Didymellaceae, Lophiostomataceae, Phaeosphaeriaceae, Pleosporaceae,
PROSIDING, Copyright© 2016
269
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Sclerotiniaceae, dan Sporormiaceae serta satu kelompok anggota Pleosporales yang tidak dikehui jenisnya ditemukan dalam penelitian ini. Umumnya jenis jamur Pleosporales yang sering ditemukan pada Pinus spp. adalah jenis jamur endofitik (Ganley 2004, Wang dan Guo 2007, Botella dan Diez 2011) meskipun Phoma dapat dikaitkan dengan penyakit bercak pada daun dan batang tanaman terestrial (Aveskamp et al. 2010). Jenis jamur Dothideomycetes lainnya yang terdeteksi dalam jumlah kecil adalah anggota kelompok Botryosphaeriales dan Venturiales. Leotiomycetes adalah kedua kelas jamur yang paling sering terdeteksi pada penelitian ini setelah Dothideomycetes dan juga kelompok kedua yang paling sering diisolasi setelah Sordariomycetes. Kelompok ini terdiri dua ordo yaitu Rhytismatales dan Helotiales. Beberapa jenis jamur anggota Rhytismatales dan Helotiales yang terdeteksi dalam penelitian misalnya Lophodermium pinastri, C. minus dan Strasseria geniculata ini tergolong sebagai pathogen yang sudah banyak diketahui menyerang P. radiata dan konifer jenis lainnya Spesies yang termasuk kelas Leotiomycetes, terutama Helotiales, juga muncul secara dominan sebagai endofit dari Pinaceae (Arnold 2007). Dalam hal frekuensi, familia Helotiales memiliki urutan keempat sebagai jamur yang terdeteksi pada daun jarum P. radiata jarum, setelah Capnodiales, Rhytismatales dan Sordariales. Jenis yang paling banyak muncul adalah C. minus 'simile', C. minus 'verum' dan Strasseria geniculata. Analisis filogenetik secara khusus yang membedakan kedua jenis C. minus 'simile' dan C. minus 'verum' telah dilakukan (Prihatini et al. 2014). Cyclaneusma minus telah dianggap milik Rhytismatales tetapi beberapa penulis masih menganggapnya sebagai sinonim dari Naemacyclus minor dan anggota dari Helotiales (Lantz et al. 2011). Sekuen DNA ITS menunjukkan bahwa Cyclaneusma mungkin memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Rhytismatales (Prihatini et al. 2014). Sekuen DNA dari kultur jamur yang diyakini sebagai jenis L. pinastri, L. conigenum dan L. australe telah banyak tersedia di GenBank, namun ada tingkat variasi yang tinggi diantara sekuen-sekuen tersebut. Pada penelitian ini juga dilakukan analisa tambahan terhadap sekuen-sekuen tersebut untuk membedakan kelompok tertentu yang mungkin ada dalam ketiga jenis Lophodermium tersebut termasuk pada L. pinastri (Gambar 2). Penelitian tentang jamur endofit dari daun jarum P. radiata telah dilakukan di Selandia Baru (Ganley 2008a) untuk menemukan jenis jamur endofitik yang terkait dengan resistensi terhadap penyakit rontok daun yang disebabkan oleh jamur Cyclaneusma (CNC). Pada penelitian tersebut, jenis jamur Lophodermium spp. sering terdeteksi pada pohon yang rentan terhadap penyakit CNC. Dalam penelitian ini ada dua spesies Lophodermium yang terisolasi yaitu L. conigenum dan L. pinastri , namun jenis kedua lebih sering terdeteksi. Cyclaneusma minus adalah spesies yang paling umum kedua ditemukan dalam studi di Selandia Baru dan juga terisolasi dalam penelitian ini meskipun pada frekuensi rendah. Lophodermium pinastri telah dilaporkan sebagai patogen di beberapa jenis Pinus termasuk pada P. sylvestris dan P. ponderosa. Dalam penelitian ini, L. pinastri hampir terdeteksi sebanyak 20% dari kultur jamur yang diisolasi dari daun jarum berwarna hijau, kuning dan coklat. Hampir setengah (42,9%) dari kultur jamur dalam penelitian ini milik Kelas Sordariomycetes. Kelas ini juga memberikan kontribusi jumlah spesies tertinggi kedua (20) bila dibandingkan dengan kelas-kelas lain. Coniochaetaceae (Sordiariales) diwakili oleh Coniochaeta dengan analisis filogenetik dari kelompok ini memiliki tiga clades yang berbeda. Coniochaeta sp. 1, merupakan jenis endofit yang paling sering terisolasi. Jenis ini memiliki kemiripan sekuen dengan jenis Coniochaeta ligniaria (anamorph Lecythophora hoffmannii) penyebab busuk batang dan telah diisolasi dari gubal P. sylvestris (Raberg et al, 2007), tetapi belum pernah dilaporkan terisolasi dari daun jarum P. radiata sebelumnya. Spesies dari genus Coniochaeta dilaporkan juga bertindak sebagai patogen pada tanaman Prunus di Afrika Selatan dan Belanda (Damm et al. 2010) serta pada Pinus sylvestris di Swiss (Petrini dan Fisher 1988) dan Jerman (Raberg et al. 2007). Jenis Sordariales sp. 1 adalah satu-satunya OTU yang PROSIDING, Copyright© 2016
270
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
terdeteksi secara langsung dari daun jarum. Urutan kedua Sordariomycetes sering diisolasi dalam penelitian ini adalah Xylariales, dengan 10 OTU yang terisolasi. Jenis jamur dari kelompok Xylariaceae yang diisolasi dari P. radiata di Selandia Baru umumnya memiliki korelasi dengan ketahanan pohon inang terhadap penyakit CNC (Ganley, 2008a). Spesies Xylariales juga terkait dengan resistensi pohon pada P. monticola (Larkin dan Hunt 2010) dan pada Abies alba (Kowalski dan Andruch 2012). Peran mereka dalam memberikan ketahanan mungkin berhubungan dengan adanya bahan kimia sekunder yang dihasilkan oleh spesies ini, seperti hypoxylonol, xylarenol, asam hexadienoic, asam xylarenoic, tetralone, xylarenone (Rukachaisirikul et al. 2007) yang menunjukkan aktivitas anti jamur secara signifikan terhadap beberapa jenis patogen (Davis 2005, Jang et al. 2007). Tingginya jumlah spesies Xylariales yang teridentifikasi dari kultur jamur tidak diimbangi dengan frekuensi deteksi secara langsung dari daun jarum pinus. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya bias dari penanda molekuler atau primer yang mencegah terjadinya amplifikasi terhadap DNA spesies ini ketika DNA target lainnya hadir dalam template, meskipun amplifikasi DNA dari kultur jamur berhasil. Hanya sejumlah kecil Pezizomycetes ditemukan di P. radiata jarum selama penelitian ini. Tiga isolat memiliki urutan tinggi kesamaan dengan Chromelosporium carneum dan dua isolat lainnya tidak dapat diidentifikasi secara akurat, meskipun pencarian BLAST database publik menunjukkan 98% kesamaan urutan ke isolat teridentifikasi lainnya (data tidak ditampilkan). Eurotiomycetes merupakan komponen kecil dari komunitas jamur jarum, dengan 14 OUT yang merupakan anggota Chaetothyriales dan Eurotiales. Kelimpahan yang rendah terhadap Eurotiales dalam penelitian ini adalah sesuai dengan penelitian tentang jamur endofitik pada daun jarum P. halepensis di Spanyol (Botella dan Diez 2011). Sekelompok jamur yang memiliki kemiripan sekuen DNA Phaeomoniella sp (suatu jamur Ascomycota mitosporic) diisolasi dari daun jarum yang telah berwana coklat hasil koleksi dari daerah NSW. Jamur ini erat cocok spesies Phaemoniella terdeteksi pada P. halepensis di Spanyol (Botella dan Diez 2011). Satu species Phaemoniella juga ditemukan pada penelitian di Selandia Baru (Ganley, 2008a) dan dua spesies Phaemoniella lain ditemukan pada daun jarum P. densiflora di Korea (Lee et al. 2006). Phaemoniella telah dikaitkan dengan kerontokan buah anggur muda (Crous et al., Santos et al. 2005, Vesentini et al. 2009, Gonzalez dan Tello 2011) dan, bersama dengan Coniochaeta, dilaporkan sebagai patogen dari spesies Prunus (Damm et al. 2010). Beberapa Otus hanya dapat diklasifikasikan sebagai Ascomycotina; berdasarkan kesamaan urutan dari dilestarikan 5.8S daerah, karena tidak ada pertandingan yang signifikan terhadap urutan ITS. Empat dari mereka terdeteksi hanya sekali, tiga lainnya yang terdeteksi terutama dari jarum pohon tua. Jamur endofitik pada kelompok Pinaceae telah banyak diteliti dalam upaya untuk memahami kondisi abiotik dan biotik yang menyebabkan penurunan produktifitas hutan pinus. Hasil penelitian-penelitian tersebut menemukan bahwa pohon inang yang berbeda memiliki jamur endofit yang berbeda. Secara umum jamur endofit didominasi oleh Leotiomycetes diikuti oleh Dothidiomycetes (Arnold 2007, Ganley 2008a). Dalam penelitian ini Sordariomycetes (Sordariales dan Xylariales) adalah kelompok yang paling sering diisolasi diikuti oleh Leotiomycetes (Rhystismatales dan Helotiales). Adapun hasil dari penggunaan metode PCR terhadap DNA dari secara langsung diekstraksi dari daun Pinus menemukan bahwa Dothideomycetes memiliki frekuensi tertinggi dalam deteksi jamur dan diikuti oleh kelompok Leotiomycetes. SIMPULAN Penelitian ini telah mendeteksi adanya sekelompok besar jamur endofit dari daun jarum P. radiata dari Tasmania dan sebagian wilayah Australia yang juga telah terdeteksi pada jenis pohon yang sama yang ditanam di tempat lain. Karakter morfologi kultur jamur terkadang PROSIDING, Copyright© 2016
271
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
mampu menunjukkan pengelompokan jenis jamur yang sesuai namun identifikasi jenis melalui analisis terhadap sekuen DNA diperlukan untuk mengelompokkan jenis tersebut lebih tepat serta mampu memisahkan kelompok jamur dengan karakter morfologi yang serupa. Penelitian ini mendeteksi adanya tujuh kelompok anggota kelas Ascomycetes yaitu Sordariomycetes, Leotiomycetes, Dothideomycetes, Pezizomycetes, Lecanoromycetes, Saccharomycetes dan Eurotiomycetes, serta 2 anggota kelompok Basidiomycetes yaitu Agaricomycetes dan Tremellomycetes. Beberapa jenis jamur dari kelompok Sordariomycetes hanya terdeteksi melalui pembuatan kultur jamur, sedangkan jenis dari Teratosphaeriaceae hanya bisa terdeteksi melalui metode ekstraksi DNA secara langsung. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan sebagai data untuk penelitian lebih lanjut untuk mengetahui asosiasi jamur endofit dengan kondisi kesehatan tanaman inang serta studi filogenetik jenis jamur patogenik pada tanaman Pinus radiata. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini merupakan bagian dari proyek yang didanai oleh Australian Research Council, Forestry Tasmania, Taswood Growers, Norske-Skog, Forests NSW dan Hosking Ltd. Selandia Baru. Penulis adalah penerima beasiswa dari John Allwright Fellowship, ACIAR. DAFTAR PUSTAKA Altschul, S. F., Gish, W., Miller, W., Myers, E. W. & Lipman, D. J. 1990. Basic local alignment search tool Journal of Molecular Biology, 215, 403-410. Arnold, A. E., Henk, D. A., Eells, R. L., Lutzoni, F. & Vilgalys, R. 2007. Diversity and phylogenetic affinities of foliar fungal endophytes in loblolly pine inferred by culturing and environmental PCR. Mycologia, 99, 185-206. Arnold, A. E., Mejia, L. C., Kyllo, D., Rojas, E. I., Maynard, Z., Robbins, N. & Herre, E. A. 2003. Fungal endophytes limit pathogen damage in a tropical tree. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 100, 15649-15654. Botella, L. & Diez, J. J. 2011. Phylogenic diversity of fungal endophytes in Spanish stands of Pinus halepensis. Fungal Diversity, 47, 9-18. Botes, W. M., Swart, W. J. & Crous, P. W. 1997. Distribution of fungal endophytes in needles of Pinus radiata. South African Journal of Science, 93. Bradshaw, R. E. 2004. Dothistroma (red-band) needle blight of pines and the dothistromin toxin: a review. Forest Pathology, 34, 163-185. Bulman, L. S., Dick, M., Ganley, R. J., Mcdougal , R. L., Schwelm, A. & Bradshaw, R. E. 2013. Dothistroma needle blight. In: Gonthier, P. & Nicolotti, G. (eds.) Infectious forest diseases. CABI. Bulman, L. S., Ganley, R. J. & Dick, M. 2008. Needle diseases of radiata pine in New Zealand. Client Report No 13010. Rotorua: SCION. Collado, J., Platas, G., Paulus, B. & Bills, G. F. 2007. High-throughput culturing of fungi from plant litter by a dilution-to-extinction technique. FEMS Microbiology Ecology, 60, 521533. Ganley, R. J. 2004. Fungal endophytes of Pinus monticola: Diversity, function and Symbiosis. PhD Thesis, University of Idaho. Ganley, R. J. 2008. Density and diversity of fungal endophytes isolated from needles of Pinus radiata. Client Report No 12925. Rotorua: SCION. Ganley, R. J., Sniezko, R. A. & Newcombe, G. 2008. Endophyte-mediated resistance against white pine blister rust in Pinus monticola. Forest Ecology and Management, 255, 27512760.
PROSIDING, Copyright© 2016
272
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Gardes, M. & Bruns, T. D. 1993. ITS primers with enhanced specificity for basidiomycetes application to the identification of mycorrhizae and rusts. Molecular ecology, 2, 113118. Gherbawy, Y. A. & Gashgari, R. M. 2013. Molecular characterization of fungal endophytes from Calotropis procera plants in Taif region (Saudi Arabia) and their antifungal activities. Plant Biosystems, 1-7. Giordano, L., Gonthier, P., Varese, G. C., Miserere, L. & Nicolotti, G. 2009. Mycobiota inhabiting sapwood of healthy and declining Scots pine (Pinus sylvestris L.) trees in the Alps. Fungal Diversity, 38, 69-83. Gonzalez, V. & Tello, M. L. 2011. The endophytic mycota associated with Vitis vinifera in central Spain. Fungal Diversity, 47, 29-42. Guo, L. D., Huang, G. R. & Wang, Y. 2008. Seasonal and tissue age influences on endophytic fungi of Pinus tabulaeformis (Pinaceae) in the Dongling Mountains, Beijing. Journal of Integrative Plant Biology, 50, 997-1003. Hata, K., Futai, K. & Tsuda, M. 1998. Seasonal and needle age-dependent changes of the endophytic mycobiota in Pinus thunbergii and Pinus densiflora needles. Canadian Journal of Botany-Revue Canadienne De Botanique, 76, 245-250. Kowalski, T. & Zych, P. 2002. Endophytic fungi in needles of Pinus nigra growing under different site conditions. Polish Botanical Journal, 47, 251-257. Krabel , D., Morgenstern, K. & Herzog, S. 2013. Endophytes in changing environments - do we need new concepts in forest management? iForest 6, 6, 109-112. Kumar, D. S. S. & Hyde, K. D. 2004. Biodiversity and tissue-recurrence of endophytic fungi in Tripterygium wilfordii. Fungal Diversity, 17, 69-90. Mead, D. J. 2013. Sustainable management of Pinus radiata plantations. FAO Forestry Paper. Rome: FAO. Muller, M. M. & Hallaksela, A. M. 2000. Fungal diversity in Norway spruce: a case study. Mycological Research, 104, 1139-1145. O'donnell, K., Sutton, D. A., Rinaldi, M. G., Sarver, B. A. J., Balajee, S. A., Schroers, H. J., Summerbell, R. C., Robert, V., Crous, P. W., Zhang, N., Aoki, T., Jung, K., Park, J., Lee, Y. H., Kang, S., Park, B. & Geiser, D. M. 2010. Internet-accessible DNA sequence database for identifying fusaria from human and animal infections. Journal of Clinical Microbiology, 48, 3708-3718. Petrini, O. 1991. Fungal endophytes of tree leaves. In: Andrews, J. H. & Hirano, S. S. (eds.) Microbial Ecology of Leaves. New York: Springer-Verlag. Podger, F. D. & Wardlaw, T. J. 1990. Spring needle-cast of Pinus radiata in Tasmania: I. Symptoms, distribution, and association with Cyclaneusma minus. New Zealand Journal of Forestry Science, 20, 184-205. Prihatini, I., Glen, M., Wardlaw, T. J. & Mohammed, C. L. 2014.. Multigene phylogenetic study of Cyclaneusma species Forest Pathology, 44, 299-309. Prihatini, I., Glen, M., Wardlaw, T. J. & Mohammed, C. L. 2015. Lophodermium pinastri and an unknown species of Teratosphaeriaceae are associated with needle cast in a Pinus radiata selection trial. Forest Pathology, 45, 281-289. Rodriguez, R. J., White, J. F., Arnold, A. E. & Redman, R. S. 2009. Fungal endophytes: diversity and functional roles. New Phytologist, 1-17. Rubilar, R. A., Albaugh, T. J., Allen, H. L., Alvares, J., Fox, T. R. & Stape, J. L. 2013. Foliage development and leaf area duration in Pinus radiata. Forest Ecology and Management 304, 455-463. Schoch, C. L., Seifert, K. A., Huhndorf, S., Robert, V., Spouge, J. L., Levesque, C. A., Chen, W., Bolchacova, E., Voigt, K., Crous, P. W., Miller, A. N., Wingfield, M. J., Aime, M. C., An, K. D., Bai, F. Y., Barreto, R. W., Begerow, D., Bergeron, M. J., Blackwell, M., PROSIDING, Copyright© 2016
273
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Boekhout, T., Bogale, M., Boonyuen, N., Burgaz, A. R., Buyck, B., Cai, L., Cai, Q., Cardinali, G., Chaverri, P., Coppins, B. J., Crespo, A., Cubas, P., Cummings, C., Damm, U., De Beer, Z. W., De Hoog, G. S., Del-Prado, R., Dentinger, B., DiéguezUribeondo, J., Divakar, P. K., Douglas, B., Dueñas, M., Duong, T. A., Eberhardt, U., Edwards, J. E., Elshahed, M. S., Fliegerova, K., Furtado, M., García, M. A., Ge, Z. W., Griffith, G. W., Griffiths, K., Groenewald, J. Z., Groenewald, M., Grube, M., Gryzenhout, M., Guo, L. D., Hagen, F., Hambleton, S., Hamelin, R. C., Hansen, K., Harrold, P., Heller, G., Herrera, C., Hirayama, K., Hirooka, Y., Ho, H. M., Hoffmann, K., Hofstetter, V., Högnabba, F., Hollingsworth, P. M., Hong, S. B., Hosaka, K., Houbraken, J., Hughes, K., Huhtinen, S., Hyde, K. D., James, T., Johnson, E. M., Johnson, J. E., Johnston, P. R., Jones, E. B. G., Kelly, L. J., Kirk, P. M., Knapp, D. G., Kõljalg, U., Kovács, G. M., Kurtzman, C. P., Landvik, S., Leavitt, S. D., Liggenstoffer, A. S., Liimatainen, K., Lombard, L., Luangsa-Ard, J. J., Lumbsch, H. T., Maganti, H., Maharachchikumbura, S. S. N., Martin, M. P., May, T. W., Mctaggart, A. R., Methven, A. S., et al. 2012. Nuclear ribosomal internal transcribed spacer (ITS) region as a universal DNA barcode marker for Fungi. Proceedings of the National Academy of Sciences of the United States of America, 109, 6241-6246. Sieber, T. N. 2007. Endophytic fungi in forest trees: are they mutualists? Fungal Biology Reviews, 21, 75-89. Sieber, T. N., Rys, J. And Holdenrieder, O. 1999. Mycobiota in symptomless needles of Pinus mugo ssp. uncinata. Mycological Research, 103, 306-310. Stefani, F. O. P. & Berube, J. A. 2006. Biodiversity of foliar fungal endophytes in white spruce (Picea glauca) from southern Quebec. Canadian Journal of Botany, 84, 777-790. Thompson, J. D., Higgins, D. G. & Gibson, T. J. 1994. Clustal W: improving the sensitivity of progressive multiple sequence alignment through sequence weighting, position-specific gap penalties and weight matrix choice. Nuc.Acid. Res., 22 4673-4680. Unterseher, M. & Schnittler, M. 2009. Dilution-to-extinction cultivation of leaf-inhabiting endophytic fungi in beech (Fagus sylvatica L.) - Different cultivation techniques influence fungal biodiversity assessment. Mycological Research, 113, 645-654. Vega, F. E., Simpkins, A., Aime, M. C., Posada, F., Peterson, S. W., Rehner, S. A., Infante, F., Castillo, A. & Arnold, A. E. 2010. Fungal endophyte diversity in coffee plants from Colombia, Hawai'i, Mexico and Puerto Rico. Fungal Ecology, 3, 122-138. Watt, M., Rolando, C., Palmer, D. & Bulman, L. 2012. Predicting the severity of Cyclaneusma minus on Pinus radiata under current climate in New Zealand. Canadian Journal of Forest Research, 42, 667-674. Watt, M. S., Ganley, R. J., Kriticos, D. J. & Manning, L. K. 2011. Dothistroma needle blight and pitch canker: the current and future potential distribution of two important diseases of Pinus species. Canadian Journal of Forest Research, 41, 412-424. White, T. J., Bruns, T., Lee, S. & Taylor, J. 1990. Amplification and direct sequencing of fungal ribosomal RNA genes for phylogenetics, Academic Press, Inc. Woodward, C., Hansen, L., Beckwith, F., Redman, R. S. & Rodriguez, R. J. 2012. Symbiogenics: An Epigenetic Approach to Mitigating Impacts of Climate Change on Plants. HortScience, 47, 699-703. Zuccaro, A., Schulz, B. & Mitchell, J. I. 2003. Molecular detection of ascomycetes associated with Fucus serratus. Mycological Research, 107, 1451-1466.
PROSIDING, Copyright© 2016
274
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
INVENTARISASI TUMBUHAN YANG DIGUNAKAN OLEH MASYARAKAT SEBAGAI OBAT DIABETES DI DESA KARANGWANGI, KABUPATEN CIANJUR, JAWA BARAT AN INVENTORY OF MEDICINAL PLANTS USED BY THE COMMUNITY AS A DIABETES MEDICINE IN THE KARANGWANGI VILLAGE, CIANJUR DISTRICT, WEST JAVA Desak Made Malini*, Fitri Kamilawati Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung Sumedang Km.21 Jatinangor, Sumedang 45363, Bandung, Indonesia * Email:
[email protected] INTISARI Tanaman obat memegang peranan penting dalam mengobati dan mencegah berbagai penyakit di negara-negara berkembang. Desa Karangwangi, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat adalah salah satu desa berkembang yang memiliki akses terbatas ke pusat kesehatan atau fasilitas kesehatan yang tersedia tidak mudah dicapai. Masyarakat yang tinggal di desa Karangwangi masih bergantung pada tanaman obat dan kebanyakan dari mereka memiliki pengetahuan umum tentang tanaman obat yang digunakan untuk mengobati berbagai penyakit diantaranya adalah penyakit diabetes. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengumpulkan dan mendokumentasikan informasi tentang tanaman yang digunakan oleh masyarakat secara tradisional dalam mengobati diabetes. Informasi yang diperoleh sangat penting artinya demi kelestariannya. Data etnobotani diperoleh dari hasil survei terhadap responden dan informan kunci dengan menggunakan teknik wawancara semi-terstruktur, diskusi kelompok dan mengisi kuesioner. Hasil survei mendokumentasikan 12 spesies tanaman dari 8 famili yang digunakan oleh masyarakat di desa Karangwangi untuk mengobati penyakit diabetes atau penyakit yang memliki ciri-ciri seperti diabetes. Bagian tumbuhan yang digunakan adalah akar, daun, biji dan kulit buah. Sebagian besar bagian-bagian tanaman tersebut diolah dengan cara direbus, dikopi (diseduh seperti membuat kopi), dan dicincau (diremas dan diambil airnya). Sedangkan pemakaiannya terutama dengan cara diminum atau dipoko (ditempelkan) untuk mengobati luka luar. Tumbuhan yang digunakan sebagain besar adalah jenis pohon yang umum dibudidayakan atau ditanam di pekarangan rumah atau tumbuh di pinggir jalan. Kata kunci: tumbuhan obat, diabetes, Desa Karangwangi ABSTRACT Medicinal plants have played an important role in treating and preventing a variety of diseases in the development countries. Karangwangi village, Cianjur distric, West Java, Indonesia is one of the developing villages with limited access to health care or health care facilities were not easily accessible. The rural people in Karangwangi village, still depend on medicinal plants and most of them have a general knowledge of medicinal plants which were used for treating a variety of ailments. such as diabetes. This study aimed at collecting and documenting information on antidiabetic plants traditionally used in the treatment of diabetes. Novel information gathered from the current survey is important in preserving folk indigenous knowledge. Ethnobotanical data was obtained from people participation and key informant approach involving semi-structured interviews, group discussions and filled out questionnaires. The current survey documented 12 plant species of 8 families which are reported used to treat diabetes mellitus by the rural people in the study area. Various plant PROSIDING, Copyright© 2016 275
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
parts were used to cure diabetes. Most of the reported species were tree in nature and decoction is the mode of preparation of major portions of the plant species. Most of the plant species were very common and were cultivated or planted in homestead or roadsides. Keywords: medicinal plants, diabetes, Karangwangi Village PENDAHULUAN Desa Karangwangi merupakan sebuah desa di Cianjur, Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Cagar Alam Bojonglarang Jayanti. Keberadaan cagar alam yang memiliki keanekaragaman flora mendorong masyarakat Desa Karangwangi untuk menggunakan sumber daya tersebut salah satunya sebagai obat tradisional. Selain berbatasan dengan cagar alam, desa ini merupakan desa yang baru berkembang dan memiliki fasilitas kesehatan yang rendah dan tidak merata. Hal tersebut menyebabkan masyarakat cenderung masih mengandalkan pengobatan secara tradisional meskipun pengobatan modern sudah mulai masuk ke desa ini. Pengobatan menggunakan tumbuhan telah lama dipercaya masyarakat sebagai obat yang berkhasiat menyembuhkan berbagai macam penyakit, salah satunya adalah penyakit diabetes. Diabetes mellitus adalah suatu penyakit gangguan metabolisme karbohidrat yang ditandai dengan kadar glukosa darah yang tinggi (hiperglikemi) dan adanya glukosa dalam urine (glukosuria). Penyakit ini disebabkan karena konsentrasi hormon insulin rendah baik absolut maupun relatif. Absolut berarti tidak ada insulin sama sekali sedangkan relatif berarti jumlahnya cukup tetapi daya kerjanya kurang. Menurut Widowati et al. (1997), diabetes mellitus merupakan salah satu penyakit yang banyak dijumpai di Indonesia dan merupakan salah satu penyebab terbesar terjadinya kematian di Indonesia. Selama ini pengobatan diabetes mellitus biasanya dilakukan dengan pemberian obat-obat Oral Anti Diabetik (OAD) atau dengan suntikan insulin. Berbagai jenis obat antidiabetik oral banyak dijual di apotik dan biasanya tergolong obat yang mahal dan harus digunakan secara terus menerus. Cara pengobatan tersebut sangat memberatkan masyarakat Indonesia pada umumnnya, terutama masyarakat yang tinggal di pedesan yang jauh dari pusat kesehatan. Selain harganya mahal, penggunaan obat-obatan tersebut secara terus menerus juga dapat memberikan efek samping yang tidak baik bagi kesehatan. Oleh karena itu dilakukan inventarisasi dan dokumentasikan berbagai jenis tanaman obat yang digunakan oleh masyarakat di desa Karangwangi sebagai obat diabet, sebagai salah satu cara penyembuhan alternatif yang lebih murah dan aman. Selain itu hasil inventarisasi tumbuhan obat ini dapat menjadi bahan acuan untuk pengembangan obat baru melalui pengujian-pengujian lebih lanjut. MATERI DAN METODE Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan di Desa Karangwangi, Kecamatan Cidaun, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, Indonesia selama satu bulan yaitu pada bulan Oktober 2015. Desa Karangwangi memiliki luas 2300 ha dengan jumlah penduduk saat ini adalah 6.868 orang yang dikelompokkan menjadi 2141 KK (Gambar 1). Metode penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kombinasi kualitatif dan kuantitatif dengan pendekatan etnobotani (Martin, 1995). Teknik pengumpulan data kualitatif dengan observasi langsung dan wawancara semistruktur pada informan kunci (dukun, paraji, dan masyarakat pengguna). Penentuan informan menggunakan teknik snowball sampling. PROSIDING, Copyright© 2016 276
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Informasi yang digali adalah informasi jenis tumbuhan obat, pemanfaatan dan cara pengolahannya. Hasil wawancara dianalisis secara deskriptif dan didukung dengan studi literatur. Teknik pengumpulan data kuantitatif dilakukan menggunakan kuisioner dengan tipe pertanyaan open ended kepada 91 responden. Data kuantitatif dianalisis dengan statistik sederhana dan kemudian dilakukan analisis deskriptif (Singarimbun dan Effendi, 1995). Sampel tumbuhan yang diperoleh, dikoleksi dengan menggunakan teknik herbarium dan diidentifikasi di Laboratorium Botani Taksonomi Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Padjadjaran.
Gambar. 1. Lokasi Penelitian Desa Karangwangi. Teknik Analisis Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian jenis tumbuhan obat ditabulasikan dan dianalisis secara deskriptif. Analisis deskriptif dalam penelitian ini digunakan untuk menggambarkan jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan, bagian-bagian tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai obat serta cara pengolahannya. Identifikasi nama lokal di lapangan dilakukan dengan memanfaatkan pengetahuan masyarakat lokal. Identifikasi nama ilmiah dilakukan dengan menggunakan herbarium, foto, dan mengacu pada pustaka antara lain Atjung (1981), Backer (1973), Balai Pustaka (1980), Bhattacharyya dan Johri (1998), Crockett dan Oliver (1977), Departemen Kesehatan R.I. (1981, 1997, 1999, 2001), Hartono (1996, 2001), Heyne (1987), Hutapea et al. (1994), LIPI (1979a, 1979b, 1985), PT. Eisai Indonesia (1986), Soerjani et al. (1987), Syamsuhidayat dan Hutapea (1991), dan Tjitrosoepomo (1994). HASIL Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 12 jenis tumbuhan dalam 9 famili yang digunakan masyarakat Desa Karangwangi sebagai obat penyakit diabetes (Tabel 1).
PROSIDING, Copyright© 2016 277
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Tumbuhan yang digunakan masyarakat Desa Karangwangi untuk obat diabetes N0
Nama daerah
Cara pengolahan dan pemakaian
Akar
Direbus dan diminum
Caricaceae
Akar
Direbus dan diminum
Hangasa
Amomum maximumR oxb
Zingiberaceae
Daun
Daun dicincau (diremas dan airnya diambil) lalu diminum
Jambe
Areca catechu L.
Arecaceae
Akar
Direbus dan diminum
Jengkol
Archidendron paucifl orum (Benth.) I.C.Nielsen
2
Gedang
3 4
7
Bagian Tumbuhan
Solanaceae
Cecendet
6
Familia
Physalis angulata L. Carica papaya L.
1
5
Nama Latin
Kalapa Kawung
8
Kumis ucing
9
Mahoni
10
Manggu
11
Paria
12
Selong/ Lamtoro
Cocos nucifera Arenga pinnata (Wurmb) Merr. Orthosiphon stamineus Benth. Swietenia mahagoni (L.) Jacq. Garcinia x mangostana L. Momordica charantia L. Leucaena leucocephala (Lam.) de Wit
Fabaceae
Kulit
Arecaceae
Akar
Kulit diparut, dibakar / dikeringkan, dan dikopi, untuk luka : ditempelkan pada luka Direbus dan diminum
Arecaceae
Akar
Direbus dan diminum
Lamiaceae
Daun
Meliaceae
Kulit, buah dan biji
Daun dicincau (diremas dan airnya diambil) lalu diminum Dimakan langsung atau direbus diminum
Clusiaceae
Kulit
Direbus dan diminum
Cucurbitaceae
Daun
Direbus dan diminum
Fabaceae
Biji
Biji disangrai dan dibuat kopi
PEMBAHASAN Penyakit Diabetes di Desa Karangwangi Diabetes atau sering disebut penyakit gula menurut warga Desa Karangwangi merupakan penyakit pada organ dalam yang diakibatkan oleh konsumsi makanan dengan gula melebihi batas. Biasanya penyakit ini menyerang warga lanjut usia. Dahulu sebelum Desa Karangwangi berkembang, hampir tidak pernah ditemukan warga desa yang menderita penyakit diabetes, namun seiring datangnya modernisasi di desa ini maka masyarakat pun sedikit demi sedikit telah merubah pola hidupnya menjadi lebih modern dan meninggalkan kebiasaan lama mereka yang cenderung lebih menyehatkan terutama dalam hal makanan. Meskipun begitu warga yang menderita penyakit diabetes di desa ini masih tergolong sedikit. Masyarakat Desa Karangwangi memiliki cara yang berbeda-beda dalam mengobati penyakit diabetes. Ada yang mengobati ke puskesmas, ke mantri dan ada yang menggunakan tumbuhan sebagai obat tradisional. Jenis-jenis Tumbuhan untuk Obat Diabetes 1. Kalapa (Cocos nucifera) Cocos nucifera merupakan tumbuhan yang termasuk kedalam famili Arecaceae. Tumbuhan ini memiliki ciri-ciri akar serabut, batang tumbuh lurus ke atas tidak bercabang mencapai 30 m, daun bersirip genap (Warisno, 2003). Bagian tumbuhan yang digunakan untuk obat diabetes adalah bagian akarnya. PROSIDING, Copyright© 2016 278
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Akar kelapa mengandung karbohidrat, protein, lipid, asam laurat, miyristic dan coprilik yang dapat menjaga kesehatan tubuh dan meningkatkan imunitas tubuh (Khare, 2007). Menurut penelitian Salil et al (2011), protein kelapa memiliki kemampuan untuk terapi diabetes dengan adanya pengembalian tingkat glikogen, peningkatan aktivitas metabolisme enzim karbohidrat dan perbaikan kerusakan pankreas karena efeknya meregenerasi sel β pankreas. Efek terapi tersebut dihasilkan oleh zat yang disebut arginin. Cara mengolah tumbuhan ini adalah dengan cara akar kelapa direbus dengan 1 liter air hingga menghasilkan 1 gelas air ramuan yang siap diminum. Biasanya akar kelapa direbus bersamaan dengan akar yang lainnya seperti akar kawung, akar gedang, akar jambe dan akar cecendet. 2. Jambe (Areca catechu) Jambe merupakan tumbuhan dari famili Arecaceae yang dapat mencapai tinggi 15-20 m dengan batang tegak lurus. Buahnya berkecambah setelah 1,5 bulan dan kemudian mempunyai jambul daun-daun kecil yang belum terbuka (Depkes RI, 1989). Bagian tumbuhan yang digunakan untuk obat diabetes adalah bagian akarnya. Menurut Anthikat et al (2014) dan Rao et al (2010), Areca catechu terbukti dapat menurunkan kadar glukosa tikus yang diinduksi aloksan karena memiliki zat aktif yang disebut arecain dan arecolin. Cara mengolah tumbuhan ini adalah dengan cara akar jambe direbus dengan 1 liter air hingga menghasilkan 1 gelas air ramuan yang siap diminum. Biasanya akar jambe direbus bersamaan dengan akar yang lainnya seperti akar kawung, akar gedang, akar kalapa dan akar cecendet. 3. Kawung (Arenga pinnata) Arenga pinnata merupakan tumbuhan yang termasuk kedalam famili Arecaceae. Tumbuhan ini merupakan jenis yang berukuran besar, berbentuk pohon soliter tinggi hingga 12 m. Permukaan batang ditutupi oleh serat ijuk berwarna hitam yang berasal dari dasar tangkai daun. Pohon ini mempunyai tajuk (kumpulan daun) yang rimbun. Bunganya berbentuk tandan dengan malai bunga yang menggantung (Ramadani dkk, 2008). Bagian tumbuhan yang digunakan untuk obat diabetes adalah bagian akarnya. Cara mengolah tumbuhan ini adalah dengan cara akar kawung direbus dengan 1 liter air hingga menghasilkan 1 gelas air ramuan yang siap diminum. Biasanya akar kawung direbus bersamaan dengan akar yang lainnya seperti akar jambe, akar kalapa dan akar cecendet. Tidak ada literatur yang menyebutkan bahwa akar tumbuhan ini dapat digunakan untuk terapi diabetes. Namun kemungkinan tumbuhan ini dapat digunakan sebagai terapi karena membantu meningkatkan imunitas tubuh penderita (Ramdhan dkk, 2015). Di Desa Karangwangi tumbuhan ini digunakan sebagai obat diabetes bersamaan dengan tumbuhan lainnya seperti akar cecendet (Physalis angulata) dan PROSIDING, Copyright© 2016 279
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
akar kalapa (Cocos nucifera) yang memiliki efek terapi diabetes. Selain itu nira dari kawung diketahui banyak digunakan sebagai gula pengganti bagi penderita diabetes karena memiliki indeks glikemik (GI) rendah (Srikaeo dan Thongta, 2015). 4. Gedang karayunan (Carica papaya) Pepaya atau gedang merupakan tumbuhan dari famili Caricaceae yang memiliki ciriciri akar tunggang, batang berbentuk bulat lurus dan terdapat benjolan bekas tangkai daun yang sudah rontok. Daun pepaya bertulang menjari Buah berbentuk bulat hingga memanjang, buah muda berwarna hijau dan buah tua kekuningan / jingga, berongga besar di tengahnya. Biji berwarna hitam dan diselimuti lapisan tipis (Suprapti, 2005) dan (Muhlisah, 2007). Bagian pepaya yang digunakan sebagai obat diabetes adalah bagian akarnya. Menurut Aravind et al (2013), pepaya mengandung alkaloid, tannin, steroid, quinon dan flavonoid yang berpotensi untuk obat diabetes. Menurut penelitian Vankateshwarlu et al, (2013), kandungan pada bagian tubuh Carica papaya memiliki efek antihiperglikemik, meningkatkan sekresi insulin dari sel β pankreas dan meningkatkan penyerapan glukosa pada jaringan. Efek tersebut diduga disebabkan oleh aktivitas zat alkaloid, flavonoid dan tannin. Cara mengolah tumbuhan ini adalah dengan cara akar direbus dengan 1 liter air hingga menghasilkan 1 gelas air ramuan yang siap diminum. Biasanya akar gedang direbus bersamaan dengan akar yang lainnya seperti akar kawung, akar kalapa, akar jambe dan akar cecendet. 5. Manggu (Garcinia x mangostana) Manggu atau manggis merupakan tumbuhan yang termasuk kedalam famili Clusiaceae. Bagian yang digunakan sebagai obat diabetes adalah kulit buahnya. Buah manggis memiliki ciri-ciri berbentuk bulat dan bercupat. Kulit buah yang masih muda berwarna hijau sedangkan kulit buah yang telah matang berwarna ungu kemerahan. Daging buah manggis berwarna putih dan bertekstur halus (Dede dan Cahyono, 2000). Kulit buah manggis memiliki senyawa antioksidan yang didominasi oleh senyawa fenol yaitu xanthone. Menurut Chaverri (2008) terdapat 200 lebih xanthone yang tersedia di alam ini, dan 50 diantaranya terkandung dalam kulit buah manggis. Xanthones dalam kulit manggis kaya akan antioksidan dan mampu memperbaiki kondisi penderita diabetes tipe 2. Xanthone terbukti memiliki sifat anti oksidan yag sangat tinggi bahkan beberapa kali lebih kuat melebihi kekuatan Vitamin C dan Vitamin E. Antioksidan ini dapat membantu mengobati kerusakan sel akibat oksidasi radikal bebas. Dua jenis xanthone dalam kulit manggis yang paling bermanfaat sebagai antioksidan adalah alpha mangostin dan gamma mangostin (Paramawati, 2010). Cara mengolah tumbuhan ini adalah dengan cara kulit manggis segar atau kering direbus dengan 1 liter air hingga menghasilkan 1 gelas air ramuan yang siap diminum.
PROSIDING, Copyright© 2016 280
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
6. Paria (Momordica charantia) Buah pare atau paria merupakan tumbuhan yang termasuk kedalam famili Cucurbitaceae. Tumbuhan ini merupakan golongan tumbuhan menjalar dan memanjat. Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat adalah buahnya, daunnya, dan bijinya (Depkes RI, 1979). Bagian tumbuhan yang digunakan sebagai obat diabetes adalah bagian daunnya. Tumbuhan ini banyak diceritakan oleh masyarakat lokal sebagai obat diabetes dan dapat menurunkan gula darah dengan cepat. Senyawa utama yang diisolasi dari tumbuhan ini adalah charantin, polipeptida-P dan vicin. Charantin diketahui memilliki efek hipoglikemik lebih baik dari tolbutamid. Selain itu polypeptide- P pada pare atau paria diketahui memiliki struktur yang mirip insulin sapi dan diketahui dapat mengurangi kadar gula darah ketika disuntikkan subkutan ke pasien diabetes tipe 1 dan dapat meningkatkan toleransi glukosa pada diabetes tipe II (Goel et al, 2012). Menurut Sinha et al, (2014), pare atau paria dapat digunakan untuk menekan hiperglikemik karena memiliki aktivitas penghambatan α glukosidase. Cara mengolah tumbuhan ini adalah dengan cara daun direbus dengan 1 liter air hingga menghasilkan 1 gelas air ramuan yang siap diminum. 7. Jengkol (Archidendron pauciflorum) Archidendron pauciflorum atau jengkol merupakan tumbuhan dari famili Fabaceae. Tumbuhan ini memiliki ciri-ciri pohon, batang tegak bulat berkayu, daun majemuk, buah bulat pipih coklat hitam (Steenis, 1947). Bagian yang dipakai untuk obat diabetes adalah bagian kulit buahnya. Kulit jengkol mengandung alkaloid, flavonoid, tannin, kuinon, dan polifenol. Ekstrak etanol kulit jengkol dapat menurunkan kadar glukosa darah karena dapat merangsang pelepasan insulin dalam sel yang tidak rusak sempurna. Efek penurunan kadar glukosa darah diduga melalui perbaikan sel-sel β pulau langerhans oleh komponen ekstrak kulit jengkol, karena kandungan flavonoid dan senyawa polifenol bersifat antioksidan sehingga dapat melindungi kerusakan sel-sel pankreas dari radikal bebas. Tanin juga ikut berperan dalam menurunkan kadar glukosa darah melalui penghambatan absorpsi glukosa di usus (Syafnir dkk, 2014). Cara pengolahan untuk obat diabetes dilakukan dengan cara kulit diparut, kemudian dibakar / dikeringkan dan diseduh dengan air panas seperti kopi. Jengkol telah dipakai masyarakat lokal sebagai obat luka diabetes. Abu dari daun yang dibakar dapat dipakai disekitar daerah luka untuk mengobati luka. Metabolit yang ada pada daun berupa flavan-3-ol, flavonoid, proanthocyanidin, minyak atsiri, asam lemak, terpenoid, sulfur, vitamin E dan alkaloid. Menurut Bakar et al. (2012) dan Charungchitrak et al. (2011), ekstrak jengkol dapat menghambat pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis, Microsporum gypsum serta jamur Exserohilum turcicum, Fusarium oxysporum dan Colletotrichum cassiicola. Aktivitas ekstraknya dapat melakukan proses hemagglutinasi pada darah.
PROSIDING, Copyright© 2016 281
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
8. Selong (Leucaena leucocephala) Selong merupakan tumbuhan yang termasuk famili Fabaceae. Ciri-ciri tumbuhan ini adalah perdu ataupun pohon dengan tinggi 2-10 m, memiliki batang pohon keras. Daun majemuk menyirip genap ganda dua sempurna, anak daun kecil-kecil. Bunga majemuk terangkai dalam karangan berbentuk bongkol yang bertangkai panjang dan berwarna putih kekuningan. Buahnya mirip buah petai namun ukurannya jauh lebih kecil dan lebih tipis (Dalimarta, 2000). Bagian yang digunakan sebagai obat diabetes adalah bagian bijinya. Biji selong / lamtoro memiliki kandungan zat aktif flavonoid, tannin dan galaktomannan dimana kandungan tersebut memiliki efek untuk menurunkan kadar gula darah pada penderita Diabetes Melitus dengan cara menghambat aktivitas α glukosidase dan α amylase yang berperan dalam absorpsi glukosa pada membran usus (Silvita dkk, 2014). Cara pengolahan tumbuhan ini dilakukan dengan mengeringkan biji selong dengan cara biji disangrai kemudian biji dihaluskan dan diseduh seperti membuat kopi. 9. Kumis kucing (Orthosiphon stamineus) Orthosiphon stamineus merupakan tumbuhan dari famili Lamiaceae yang memiliki ciri-ciri herba berkayu dengan tinggi 0.4-1.5m, batang berbentuk segi empat, daun berbentuk baji bergerigi kasar, berbunga 6 dan terkumpul, mahkota bunga berbibir 2 (Steenis, 1947). Bagian yang digunakan untuk obat diabetes adalah bagian daunnya. Daun Orthosiphon stamineus mengandung senyawa flavonoid, terpenoid, fenol, steroid, tannin, terpen dan saponin. Metabolit yang dominan adalah flavonoid terutama pada daunnya (Ameer et al, 2012). Dalam tes toleransi glukosa oral, ekstrak Orthosiphon stamineus secara signifikan menurunkan konsentrasi glukosa plasma Pada dosis 1,0 g / kg menunjukkan efek yang sama dengan glibenklamid (5 mg / kg). Selain itu, konsentrasi trigliserida juga terukur menurun (Adnyana et al, 2013). Cara pengolahan tumbuhan ini adalah dengan dicincau. Dicincau merupakan cara pengolahan dengan meremasremas daun dan air yang keluar ditampung dan diminum. 10. Mahoni (Swietenia mahagoni) Mahoni merupakan tumbuhan dari famili Meliaceae dengan ciri-ciri tinggi ± 5-25 m, berakar tunggang, berbatang bulat, percabangan banyak dan kayunya bergetah. Daunnya majemuk menyirip genap, helaian daun berbentuk bulat telur. Daun muda berwarna merah, setelah tua berwarna hijau. Bunganya majemuk tersusun dalam karangan yang keluar dari ketiak daun. Biji berbentuk pipih dengan ujung agak tebal dan warnanya coklat kehitaman (Yuniarti, 2008). Bagian yang dapat digunakan untuk obat diabetes adalah kulit, buah dan bijinya. Biji mahoni dapat menurunkan kadar gula darah dan dapat memperbaiki sel pankreas yang rusak karena biji mahoni mengandung PROSIDING, Copyright© 2016 282
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
senyawa antioksidan flavonoid yang cukup tinggi. Penyebab penurunan kadar glukosa darah tersebut diduga karena senyawa anntioksidan flavonoid menangkap radikal bebas dan mengurangi stress oksidatif (Rasyad dkk, 2012). Cara pengolahan tumbuhan ini adalah dengan cara direbus dengan 1 liter air hingga menghasilkan 1 gelas air atau dapat pula dimakan langsung. 11. Cecendet (Physalis angulata) Physalis angulata merupakan tumbuhan yang termasuk kedalam famili Solanaceae. Tumbuhan ini memiliki ciri-ciri berupa herba, tinggi 0.1-1 m, batang berongga, helaian daun bulat telur memanjang, bentuk lanset, dengan ujung runcing. Mahkota bunga berbentuk lonceng lebar, kuning muda dengan pangkal hijau (Steenis, 1947). Bagian tumbuhan yang dipakai sebagai obat diabetes adalah akarnya. Menurut penelitian Oladele (2013), ekstrak etanol akar Physalis angulata dapat mengurangi glukosa darah dari tikus yang diinduksi diabetes. Selain penurunan glukosa terjadi pula penurunan kadar kolesterol, trigliserida dan lipoprotein pada tikus tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak akar etanol Physalis angulata memiliki aktivitas sebagai obat diabetes. Ekstrak Physalis memiliki mekanisme meregenerasi sel β pankreas. Menurut Raju dan Estari (2015), Physalis angulata memiliki zat aktif yang disebut Withangulatin-A. Zat ini memiliki mekanisme penurunan gula darah dengan meningkatkan sekresi insulin pada pankreas dari sel β pankreas. Cara mengolah tumbuhan ini adalah dengan cara akar cecendet direbus dengan 1 liter air hingga menghasilkan 1 gelas air ramuan yang siap diminum. Biasanya akar cecendet direbus bersamaan dengan akar yang lainnya seperti akar kawung, akar gedang, akar jambe dan akar kalapa. 12. Hangasa (Amomum maximum) Amomum maximum merupakan tumbuhan dari famili Zingiberaceae. Tumbuhan ini memiliki akar serabut, memiliki rimpang, batang berwarna kemerahan, daun yang lebar dan bunga berwarna putih. Bagian yang digunakan untuk obat diabetes adalah daunnya. Amomum maximum mengandung minyak atsiri yang didalamnya terdapat β pinen, α pinen, β caryophylen dan β elemen (Huong et al, 2014). Belum ada literatur yang menyatakan bahwa tumbuhan ini dapat digunakan sebagai obat diabetes. Cara pengolahan tumbuhan ini adalah dengan dicincau. Dicincau merupakan cara pengolahan dengan meremasremas daun dan air yang keluar ditampung dan diminum. SIMPULAN Terdapat 12 spesies tumbuhan dalam 9 famili tumbuhan yang dimanfaatkan masyarakat Desa Karangwangi sebagai obat tradisional diabetes. Sebagian tumbuh-tanaman tersebut dimanfaatkan sebagai obat berdasarkan pengalaman empiris yang diperoleh secara turun temurun. Penggunaan tumbuhan tersebut dapat dilakukan dengan cara direbus, dicincau, dikopi, dimakan langsung dan ditempel. Hasil studi literatur menunjukkan bahwa sebagian besar tumbuhan yang digunakan masyarakat dapat dibuktikan secara ilmiah untuk terapi penyakit diabetes. Untuk mengetahui efektifi tas serta kandungan kimia di dalamnya perlu PROSIDING, Copyright© 2016 283
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dilakukan penelitian lebih lanjut. Harapannya dengan mengetahui khasiat serta kandungan kimia di dalamnya secara tepat dapat meningkatkan potensi tumbuh-tanaman tersebut untuk digunakan sebagai bahan baku obat-obatan herbal yang saat ini sedang banyak dikembangkan. UCAPAN TERIMAKASIH Penelitian ini didukung oleh Academic Leadership Grant (ALG) Universitas Padjadjaran dari Prof. Johan Iskandar yang pendanaannya disokong oleh Rektor Universitas Padjadjaran. DAFTAR PUSTAKA Adnyana, I.K., Finna, S., M. Insanu. 2013. From Ethnopharmacology to Clinical Study of Orthosiphon stamineus Benth. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences 5(3) : 66-73. Ameer, O.Z., I.M Salman, M.Z. Asmawi, Z.O. Ibraheem, and M.F. Yam. 2012. Orthosiphon stamineus : Traditional Uses, Phytochemistry, Pharmacology, and Toxycology : A Review. Journal of Medicinal Food. 15(8) : 01-13. Anthikat, R.R.N., A. Michael, S. Vageesh, R Balamurugan, and S. Ignacimuthu. 2014. The Effect Of Areca Catechu. L. Extract on Streptozotocin Induced Hyperglycaemia In Wistar Rats. International Journal of Pharma and Bio Sciences. 5(4) : 316-321. Aravind, G., D. Bhowmik, Duraivel, S., Harish, G. 2013. Traditional and Medicinal Uses of Carica papaya. Journal of Medicinal Plants Studies. 1(1) : 07-15. Bakar, R.A., I. Ahmad and S.F. Sulaiman. 2012. Effect of Pithecellobium jiringa as Antimicrobial Agent. Bangladesh Journal of Pharmacology. 7(2): 131-134. Charungchitrak, S., A. Petsom, P. Sangvanich, and A. Karnchanatat. 2011. Antifungal and Antibacterial Activities of Lectin from The Seeds of Archidendron jiringa Nielsen. Food Chemistry. 126(3): 1025-1032. Chaverri, J. P., Rodriguez, N. C., Ibarra, M. O., and Jazmin M. P. R. 2008. Medicinal Properties of Mangosteen (Garcinia mangostana). Food and Chemical Toxicology 46: 3227-3239. Dalimarta, Setiawan. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Jilid 2. Trubus Agriwidya, Bogor. Dede, J. dan B. Cahyono. 2000. Manggis : Budidaya dan Analisis Usaha Tani. Kanisius, Yogyakarta. Depkes RI. 1979. Materia Medika Indonesia. Jilid III. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Depkes RI. 1989. Materia Medika Indonesia. Jilid V. Departemen Kesehatan RI, Jakarta. Goel, R., D. Bhatia, S. J. Gilani, D. Katiyar. 2012. Medicinal Plants As Anti-Diabetics: A Review. International Bulletin of Drug Research. 1(2): 100-107.
PROSIDING, Copyright© 2016 284
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
AKUMULASI TIMBAL PADA SAYAP DAN TUBUH KUPU-KUPU Eurema blanda DI TAMAN KOTA BANDUNG LEAD ACCUMULATION IN WING AND BODY OF Eurema blanda BUTTERFLY AT BANDUNG CITY PARKS Nurullia Fitriani*, Iis Wahidah, Melanie Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung Sumedang km 21 Jatinangor *Email:
[email protected] INTISARI Timbal (Pb) merupakan logam berat yang berasal dari kerak bumi dan digunakan dalam berbagai kegiatan manusia. Penggunaan timbal dapat menyebabkan berbagai polusi yang berdampak pada kesehatan manusia dan lingkungan. Timbal diakumulasi dalam tubuh mahluk hidup seperti kupu-kupu melalui kontak langsung, pernapasan atau makanan dan mengganggu aktivitas serta proses metabolismenya. Salah satu kupu-kupu yang banyak ditemukan di Taman Kota Bandung adalah Eurema blanda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akumulasi timbal yang terdapat pada sayap dan tubuh Eurema blanda. Penelitian dilakukan dengan metode survey. Eurema blanda dicuplik dari beberapa Taman di Kota Bandung (Taman Balai Kota, Taman Lansia, Taman Cibeunying, Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda dan Taman Tegal Lega). Pencuplikan Eurema blanda dilakukan pada bulan September 2014 dengan metode koleksi menggunakan sweeping net. Pengukuran akumulasi timbal di sayap dan tubuh kupukupu dilakukan dengan metode destruksi basah dan diukur menggunakan alat Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Dari hasil penelitian diketahui bahwa pada sayap dan tubuh Eurema blanda terdapat akumulasi timbal. Akumulasi Pb pada sayap dan tubuh tertinggi ditemukan pada Eurema blanda yang berasal dari Taman Lansia yaitu sebesar 1,04 × 10-5 ppm pada sayap dan 8,84 × 10-6 ppm pada tubuh. Kata kunci : akumulasi, timbal, kupu-kupu, taman, survey ABSTRACT Lead is a highly toxic metallic element which occurs naturally in the earth's crust and used in many human activities. Lead can cause pollution that affect in human health and environment. Lead accumulated in the body of living creatures such as butterflies through direct and indirect pathway, respiration or food chain. This lead accumulation can interfere with the activity and the process of body metabolism. One of the butterflies that are found in Bandung City Parks is Eurema Blanda. This research aims to determine lead accumulation in the wings and body of Eurema Blanda. The study was conducted by survey method in many Bandung City Parks (City Hall Park, Lansia Park, Cibeunying Park,Ir. H. Juanda Forest Park and Tegal Lega Park). Sampling of Blanda Eurema was conducted in September 2014 with collection method by sweeping net. Lead accumulation in the wings and the body of the butterfly was done with wet digestion method and measured with atomic absorption spectrophotometry (AAS). The study showed that Eurema Blanda accumulated lead in its wing and body part. The highest lead accumulation founded in Eurema Blanda from Lansia Park (1,04 × 10-5 ppm in wing and 8,84 x 10-6 ppm in the body). Keywords: accumulation, lead, butterflies, park, survey PROSIDING, Copyright© 2016 285
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN Kupu-kupu merupakan serangga bersayap dari ordo Lepidoptera yang memiliki 3 bagian tubuh yaitu kepala, dada dan perut. Pada bagian dada menempel dua pasang sayap untuk terbang. Menurut Borror et al., (1996), sayap kupu-kupu seperti selaput dan terdiri dari sisiksisik yang memberikan warna pada sayap tersebut. Ukuran, susunan, pola dan warna sayap sangat bervariasi pada setiap species serta memberikan bentuk dan warna yang menarik. Kupukupu banyak dikoleksi untuk dijadikan souvenir atau hiasan karena keindahannya. Di alam, kupu-kupu dapat berperan dalam penyerbukan tumbuhan sehingga keragaman dari species tumbuhan di habitatnya dapat dipertahankan (Kevan dan Baker, 1993). Kupu-kupu yang paling umum ditemukan adalah dari familia Pieridae, Nymphalidae dan Papilionidae. Kupu-kupu ini banyak ditemukan di taman-taman di kota Bandung seperti Taman Balai Kota, Taman Lansia, Taman Cibeunying, Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda dan Taman Tegal Lega. Taman ini memiliki fungsi sosial, budaya dan ekologi bahkan Taman Hutan Raya (Tahura) Ir. H. Djuanda Bandung merupakan sebuah model pengelolaan kawasan konservasi dengan fungsi sebagai tempat flora-fauna, pendidikan dan penelitian serta rekreasi di alam terbuka (MKI, 2008). Salah satu jenis kupu-kupu yang termasuk ke dalam Familia Pieridae yang banyak ditemukan di Taman Kota Bandung adalah Eurema blanda. Kupu-kupu yang biasa disebut dengan Three Spot Grass Yellow ini memiliki sayap berwarna kuning dengan ciri utama terdapatnya tiga spot sel pada bagian pangkal sayap depan bagian bawah. Kupu-kupu ini memiliki kemampuan terbang yang cukup tinggi. Jenis tumbuhan yang biasa dijadikan sebagai host plant dan food plant kupu-kupu jenis ini adalah dari familia Apocynaceae, Mimosaceae, Caesapliniaceae dan Papilionaceae (Samui, 2012). Kupu-kupu menyukai tempat-tempat yang bersih dan sejuk serta tidak terpolusi oleh pestisida, asap dan bau yang tidak sedap. Kupu-kupu memiliki sensitifitas terhadap perubahan lingkungan sehingga dapat dijadikan sebagai bioindikator perubahan kualitas lingkungan (Odum, 1999; Lewis, 2001). Pertumbuhan penduduk serta aktivitas manusia di bidang transportasi, perindustrian, pertanian, peternakan dan rumah tangga dapat mengakibatkan pencemaran tanah, air dan udara. Bandung merupakan daerah perkotaan dengan jumlah penduduk dan aktivitas manusia yang tinggi sehingga memiliki potensi pencemaran lingkungan akibat limbah cair, emisi kendaraan dan limbah industri. Salah satu pencemar yang berbahaya adalah logam berat timbal (Pb). Timbal merupakan logam berat yang secara alami berasal dari kerak bumi. Logam berat ini memiliki tekstur yang lunak berwarna cokelat kehitaman dengan titik leleh 327ºC dan titik didih 1.620ºC (Darmono, 1995). Pada suhu 550-600ºC, timbal menguap dan bereaksi dengan oksigen dalam udara membentuk timbal oksida. Di alam, timbal terdapat dalam dua bentuk yaitu gas dan partikel. Selain sumber-sumber di atas, logam berat ini juga terdapat pada gelas, pewarna, keramik, pipa, pelapis kaleng tempat makanan, beberapa obat tradisional dan kosmetik (Todd et al. 1996 dalam Anonim1, 2009). Timbal dapat masuk ke dalam tubuh mahluk hidup melalui mekanisme kontak langsung atau tidak langsung seperti melalui pernapasan, fotosintesis atau rantai makanan. Logam berat yang terhirup atau termakan dapat terakumulasi dalam beberapa jaringan tubuh dan mengakibatkan kerusakan morfologi dan fisiologi serta mengganggu proses metabolisme tubuh. Kupu-kupu juga dapat mengakumulasi timbal pada beberapa bagian tubuhnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi timbal yang diakumulasi pada bagian sayap dan tubuh kupu-kupu. Penelitian ini merupakan penelitian dasar yang menjadi acuan untuk penelitian tentang ekotoksikologi timbal di lingkungan serta dampak timbal bagi kupu-kupu.
PROSIDING, Copyright© 2016 286
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
MATERI DAN METODE Sampling Kupu-kupu di Taman Kota Penelitian ini menggunakan metode survey yang terdiri dari dua tahapan penelitian, yaitu tahapan pendahuluan dan tahapan intensif. Tahapan pendahuluan berupa studi literatur dan survey pendahuluan untuk menentukan lokasi penelitian. Tahap intensif terdiri dari pencuplikan Eurema blanda dari beberapa Taman Kota Bandung yaitu Taman Balai Kota, Taman Lansia, Taman Cibeunying, Taman Hutan Raya Ir. H. Juanda dan Taman Tegal Lega (lokasi sampling disajikan pada Lampiran 1). Kupu-kupu yang ditangkap adalah kupu-kupu dewasa (Gambar 1) yang sedang hinggap atau terbang di area taman. Kupu-kupu yang diambil adalah kupu-kupu yang tidak mengalami kerusakan pada sayapnya. Pengambilan sampel kupu-kupu dilakukan menggunakan insect net/sweeping net. Setelah tertangkap, dimatikan secara alami dan disimpan dalam kotak sampel. Kupu-kupu yang ditangkap tidak diawetkan menggunakan alkohol agar tidak berpengaruh terhadap kandungan zat yang ada dalam tubuh kupu-kupu yang akan diteliti. Pada saat pengambilan sampel kupu-kupu juga dilakukan pengukuran arah dan kecepatan angin, suhu, intensitas cahaya dan kelembaban.
Gambar 1. Kupu-kupu Eurema blanda Perhitungan Akumulasi Timbal di Tubuh dan Sayap Kupu-kupu Perhitungan akumulasi timbal pada sayap dan tubuh kupu-kupu menggunakan metode destruksi basah dan dianalisis menggunakan alat Spektrofotometri Serapan Atom (SSA). Sampel tubuh dan sayap kupu-kupu yang akan diteliti dicacah lalu ditimbang. Sayap dan tubuh yang telah dicacah tersebut kemudian dikeringkan di dalam furnance dengan suhu 300˚C selama 3-4 jam. Sampel sayap tersebut kemudian diberikan HNO3 6,5%. Langkah selanjutnya, sampel diekstrak di atas hot plate hingga mendidih selama 5-10 menit kemudian didinginkan. Larutan tersebut kemudian disaring ke dalam labu ukur 25 mL kemudian larutan yang telah disaring dianalisis dengan SSA (Spektrofotometri Serapan Atom). HASIL Taman kota dan Kawasan konservasi merupakan tempat yang sangat erat kaitannya dengan fungsi hidrologis, ekologis, dan kesehatan untuk menjaga kualitas lingkungan di daerah perkotaan. Tumbuhan yang ditemui di Taman Kota Bandung antara lain adalah Antidesma bunius (Buni), Callophylum inophylum (Nyamplung), Syzygium polianthum (Salam), Schima wallichi (Puspa), Ficus benjamina (Beringin), Filicium decipiens (Kisabun), Caesalpinia pulcherima (Bunga Merak), Cassia siamea (Bunga Johar), Euphorbia milii, Dianella ensifolia, Cordyline terminalis (Hanjuang), Hamelia patens, Ixora javanica (Bunga Soka), Bauhinia purpurea (Bunga Kupu-kupu), Catharanthus roseus, Ageratum conyzoides (Babadotan), Synedrella nodiflora, dan Bromelia sp., Lagerstroemia indica (Bungur), Filicium decipiens (Kisabun), Callophylum inophylum (Nyamplung), Syzigium sp. (Jambu-jambuan), serta PROSIDING, Copyright© 2016 287
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
tanaman semak seperti Gardenia augusta (Kaca Piring), Bougenvillia spectabilis (Bunga Kertas), Trimezia sincorana, Citrus sp., dan lain-lain. Sedangkan di kawasan Tahura Ir. H Juanda, tumbuhan lebih didominasi oleh jenis pohon Pinus merkusii (Pinus), Calliandra callothyrsus (Kaliandra), Bambusa sp. (Bambu), Euphatorium sp., Bauhinia purpurea, Citrus sp., (Jeruk), Cinnamomum burmannii (Kayu Manis), Schima wallichi (Puspa), Casuarina sumatrana (Cemara Sumatera), Pterospermum celebicum (Bayur Putih), Eucalyptus alba (Kayu Putih), Mangifera indica (Mangga), dan Podocarpus blume (Ki Bima). Keanekaragaman jenis tumbuhan sangat erat kaitannya dengan keanekaragaman jenis kupu-kupu dalam suatu habitat karena keragamankupu-kupu dipengaruhi oleh penyebaran dan kelimpahan tumbuhan inang (host plant) (Cleary et al., 2009). Kebanyakan jenis kupu-kupu sangat bergantung pada satu atau dua jenis tumbuhan inang, sehingga ancaman terhadap jenis tumbuhan tersebut akan mengancam keberadaan kupu-kupu. Selain keanekaragaman tumbuhan, kupu-kupu juga sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Parameter Lingkungan di Lokasi Penelitian Data mengenai parameter lingkungan disajikan pada tabel 1. Tabel 1. Data Parameter Lingkungan di Lokasi Penelitian No.
Lokasi Penelitian
1. 2. 3. 4. 5.
Taman Balai Kota Taman Lansia Tahura Ir. H. Juanda Taman Cibeunying Taman Tegal Lega
Rata-rata Parameter Lingkungan Kelembaban Intensitas Cahaya Suhu ( C) Udara (%) (Lux) 30,2 58,5 24.735 29 68,5 23.315 24,2 74,7 22.885 29 69 23.211 26 70 23.001 º
Akumulasi Timbal pada Tubuh dan Sayap Kupu-kupu Data mengenai akumulasi timbal pada tubuh dan sayap kupu-kupu disajikan pada Gambar 2 dan Gambar 3. 0,000012 0,00001 0,000008
0,0000104 0,00000825 0,00000811 0,00000802
0,00000791
0,000006 0,000004 0,000002 0 Taman Balai Kota
Taman Lansia
Tahura Ir. H. Taman Taman Tegal Juanda Cibeunying Lega
Akumulasi timbal di sayap kupu‐kupu
Gambar 2. Akumulasi Timbal pada Sayap Kupu-kupu
PROSIDING, Copyright© 2016 288
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
0,00001 0,000008
0,00000884 0,00000719
0,00000709 0,00000583
0,000006
0,00000611
0,000004 0,000002 0 Taman Balai Kota
Taman Lansia
Tahura Ir. H. Taman Taman Tegal Juanda Cibeunying Lega
Akumulasi timbal di tubuh kupu‐kupu
Gambar 3. Akumulasi Timbal pada Tubuh Kupu-kupu PEMBAHASAN Parameter Lingkungan di Lokasi Penelitian Suhu dan intensitas cahaya tertinggi terdapat di Taman Balai Kota Bandung. Penutupan kanopi pohon yang rendah menyebabkan cahaya matahari dapat mencapai permukaan taman yang didominasi oleh semak dan rumput. Di kawasan ini, jenis pohon lebih mendominasi di bagian tepi taman, sehingga bagian tengah taman terbuka. Tingginya suhu dan intensitas cahaya di Taman Balai Kota Bandung menyebabkan kelembaban berkurang. Sementara itu, suhu paling rendah terdapat di Tahura Ir. H. Juanda karena vegetasi di kawasan ini lebih rimbun sehingga cahaya matahari terhalangi oleh kanopi pohon dan menyebabkan tingkat kelembaban yang tinggi. Berdasarkan hasil penelitian, faktor fisik yang mempengaruhi keberadaan kupu-kupu seperti suhu, intensitas cahaya dan kelembaban masih berada pada rentang yang dibutuhkan oleh kupu-kupu. Rentang suhu pada saat pengamatan adalah sekitar 24,2-30,2oC dan intensitas cahaya 22.885-24.735 Lux. Kupu-kupu merupakan hewan poikilotermik yang menyerap panas dari luar tubuhnya. Menurut Sihombing (1999), suhu optimum untuk kupu-kupu adalah berkisar antara 18-38oC dengan intensitas cahaya yang cukup. Kupu-kupu tidak dapat hidup pada kelembaban yang sangat tinggi. Kupu-kupu sulit untuk ditemui pada daerah dengan nilai kelembaban di atas 90% (Braby, 2004). Berdasarkan hasil yang diperoleh, nilai kelembaban di lokasi penelitian berkisar antara 58,5-74,7%. Dengan kondisi faktor lingkungan seperti yang disebutkan diatas, maka kondisi faktor lingkungan di lokasi penelitian masih cukup baik untuk pertumbuhan dan perkembangan kupu-kupu. Sihombing (1999) menyebutkan bahwa kondisi alam yang tidak sesuai menyebabkan populasi kupu-kupu menurun. Oleh sebab itu, kupu-kupu dapat dijadikan sebagai salah satu indikator untuk perubahan kondisi lingkungan yang sedang terjadi. Akumulasi Timbal pada Tubuh dan Sayap Kupu-kupu Berdasarkan hasil penelitian (Gambar 1) diketahui bahwa kadar timbal tertinggi terdapat pada sayap kupu-kupu yang berasal dari kawasan Taman Lansia yaitu 1,04 × 10-5 ppm, diikuti oleh kadar timbal dari sayap kupu-kupu yang berasal dari Tahura Djuanda yaitu sebesar 8,25 × 10-6 ppm. Kadar akumulasi timbal terendah terdapat pada sayap kupu-kupu di Taman Balai Kota yaitu 7,09 x 10-6 ppm. Akumulasi timbal pada tubuh kupu-kupu tertinggi juga terdapat pada kupu-kupu yang berasal dari Taman Lansia yaitu sebesar 8,84 x 10-6 ppm, dikuti oleh kupu-kupu yang berasal PROSIDING, Copyright© 2016 289
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dari Taman Cibeunying yaitu 7,19 x 10-6 ppm. Akumulasi timbal pada tubuh terendah didapat dari kupu-kupu yang berasal dari Tahura Ir. H. Juanda yaitu 5,83 x 10-6 ppm. Akumulasi timbal pada kupu-kupu E. blanda baik pada sayap maupun tubuh dapat berasal dari udara yang terhirup kemudian masuk dan tersebar ke dalam seluruh bagian tubuh kupu-kupu. Akumulasi ini dapat pula berasal dari pakan yang tercemar ketika kupu-kupu masih dalam fase larva. Kondisi vegetasi di Taman Lansia lebih didominasi oleh jenis pepohonan. Akumulasi timbal juga mungkin dapat terjadi pada tumbuhan yang dijadikan sebagai host plant bagi kupu-kupu E. blanda, sehingga terjadi proses biomagnifikasi. Timbal yang terjerap pada daun pakan larva kupu-kupu akan terakumulasi di dalam tubuh larva kupu-kupu dan terbawa hingga dewasa. Samui (2012) menyebutkan bahwa, pada umumnya kupu-kupu E. blanda meletakkan telurnya di bagian bawah permukaan daun. Larva E. blanda biasanya memakan daun tempat menetaskan telurnya. SIMPULAN Akumulasi timbal pada sayap dan tubuh kupu-kupu tertinggi terdapat pada kupu-kupu yang berasal dari Taman Lansia yaitu sebesar 1,04 × 10-5 ppm pada sayap dan 8,84 x 10-6 ppm pada tubuh. Kadar akumulasi timbal terendah terdapat pada sayap kupu-kupu di Taman Balai Kota yaitu 7,09 x 10-6 ppm, sedangkan Akumulasi timbal pada tubuh terendah didapat dari kupu-kupu yang berasal dari Tahura Ir. H. Juanda yaitu 5,83 x 10-6 ppm. UCAPAN TERIMAKASIH Ucapkan terima kasih penulis haturkan kepada Rektor Universitas Padjadjaran serta rekan-rekan dosen di Program Studi Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Padjadjaran. KEPUSTAKAAN Anonim. 2009. Logam Berat. Reporsitory USU. Universitas Sumatera Utara. Borror, D.J., Triplehorn CA, & Johnson NF. 1996. Pengenalan Pelajaran Serangga. Gadjah Mada Press. Yogyakarta. Braby, M.F. 2000. Butterflies of Australia Their Identification, Biology and Distribution. Vol 1. CSIRO Publishing. Canberra. Cleary DFR, Genner MJ, Koh LP, Boyle TJB, Setyawati T, de Jong R, Menken SBJ. 2009. Butterfly Species and Traits Associated with Selectively Logged Forest in Borneo. Basic and Applied Ecology. Vol.10 Hal.237–245. Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. Cetakan Pertama. UI Press. Jakarta. Darmono. 2001. Lingkungan Hidup dan Pencemaran, Hubungannya dengan Toksikologi Senyawa Logam. UI Press. Jakarta. Kevan PG and Baker. 1993. Polinators as Bioindicators of the State of the Environment Species, Activity and Diversity. AgricEcosyt Environ Vol. 74 Hal. 373-393. MKI. 2008. Majalah Kehutanan Indonesia: Edisi IV. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Sihombing, D. T. H. 1999. Satwa Harapan I: Pengantar Ilmu dan Teknologi Budidaya Cacing Tanah, Bekicot, Keong Mas, Kupu-kupu dan Ulat Sutra. Pustaka Wirausaha Muda. Bogor. Samui. 2012. Butterflies: Eurema blanda. http://www.samuibutterflies.com (diakses tanggal 30 Agustus 2014).
PROSIDING, Copyright© 2016 290
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
LAMPIRAN Lampiran 1. Peta Lokasi Penelitian
PROSIDING, Copyright© 2016 291
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENGARUH PENAMBAHAN BERBAGAI TAKARAN BIJI KEDELAI TERHADAP PERTUMBUHAN DAN BOBOT BIBIT INDUK JAMUR ENOKI (Flammulina velutipes (CURT.:FR.) SINGER.) EFFECT OF ADDITION OF VARIOUS DOSAGES SOYBEAN SEEDS OF GROWTH PARENT BREEDING AND WEIGHT ENOKI MUSHROOM (Flammulina velutipes (CURT.: FR.) SINGER.) Betty Mayawatie Marzuki*, Tatang Suharmana Erawan, Joko Kusmoro Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Padjadjaran * Email:
[email protected] INTISARI Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh penambahan berbagai takaran biji kedelai terhadap pertumbuhan dan bobot bibit induk jamur enoki (Flammulina velutipes (Curt.:Fr.)Singer.), pada bulan Juli-Oktober 2015. Penelitian bertujuan mendapatkan persentase penambahan kacang kedelai yang tepat untuk menghasilkan pertumbuhan miselium dan bobot bibit induk jamur enoki yang terbaik. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL) satu faktor yang terdiri dari enam taraf perlakuan yaitu penambahan kacang kedelai (P) pada media bibit induk jagung, dilakukan empat kali pengulangan. Perlakuan tersebut terdiri dari komposisi media bibit induk biji jagung 100% ditambahakan kacang kedelai 0% (p0), 4% (p1), 8% (p2), 12% (p3), 16 (p4), 20 % (p5). Parameter yang diukur adalah rata-rata pertambahan panjang miselium jamur enoki (%/ hari), Rata- rata waktu pertumbuhan miselium jamur enoki mencapai 100% (hari), dan Rata-rata bobot bibit induk jamur enoki (gr). Hasil penelitian menunjukkan Penambahan kacang kedelai 4% (p1) merupakan perlakuan terbaik untuk parameter rata-rata pertambahan panjang miselium jamur enoki (5,06%/hari) dan waktu pertumbuhan miselium jamur enoki mencapai 100% ( 20 Hari). Penambahan kacang kedelai 20% (P5) merupakan perlakuan terbaik untuk parameterRata-rata bobot bibit induk jamur enoki (359.04 gr). Kata kunci: Jamur enoki, kacang kedelai, pertumbuhan miselium, bobot bibit induk ABSTRACT Research on effects of adding different dose soybean seeds of growth and weights parent seed enoki mushrooms (Flammulina velutipes (Curt.: Fr.) Singer.) was conducted from July to October 2015. This research aims to get a percentage addition of soy beans the right to produce mycelium growth and weight of enoki mushroom spawn the best. The method used in this study is the experimental method with a completely randomized design (CRD) a factor of six standard of treatment that the addition of soy beans (P) on the media spawn corn, performed four repetitions. Treatment consisted of the composition of the media spawn corn kernels 100% ditambahakan soybean 0% (p0), 4% (p1), 8% (p2), 12% (p3), 16 (p4), 20% (p5). The parameter measured is an average of the length of enoki mushroom mycelium (% / day), The mean time enoki mushroom mycelium growth reached 100% (day), and the average weight of enoki mushroom spawn (g)The results showed addition of soybeans 4% (p1) is the best treatment for an average gain parameter length enoki mushroom mycelium (% / day) and the time of enoki mushroom mycelium growth reached 100%. The addition of soy beans 20% (P5) is the best treatment for parameter average weight of enoki mushroom spawn (g). Keywords: Enoki Mushroom, Soybeans , Mycelium Growth, Seed Weight Parent PROSIDING, Copyright© 2016 292
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN Jamur enoki (Flammulina velutipes (Curt.:Fr)Sing) adalah jamur kayu, tergolong dalam jamur pangan (edible mushroom). Jamur ini memiliki cita rasa yang lezat, tekstur renyah dan kandungan gizi, serat, abu serta vitamin yang tinggi (Staments., 1993).Selain itu jamur enoki juga berhasiat obat, berfungsi sebagai anti oksidan alami (Jang et al., 2009), anti kanker (Chang et al., 2010), meningkatkan trombosit (Desinova., 2010), antibakteri (Kozova and Rehacek, 1967 dalam de Melo et al., 2009) dan memiliki niai ekonomi tinggi. Saat ini di Jepang, korea dan Cina jamur enoki sangat populer, digunakan sebagai bahan pangan dan bahan obat. Karena kanker merupakan penyebab kematian yang utama di dunia (Patel and Goyal., 2012), maka jamur enokoi dimanfaatkan terutama sebagai bahan obat anti kanker. Jamur enoki hasil budidaya di Indonesia sulit ditemukan, kalaupun ada harganya mahal (Rp 60.000-90.000)/Kg). Harga jamur enoki dalam bentuk segar jauh lebih tinggi dibandingkan dengan jenis jamur lainnya seperti jamur tiram yaitu Rp (14.000-16.000)/kg dan jamur merang Rp 40.000/kg (data hasil survey). Oleh karena itu jamur enoki tidak memasyarakat untuk dikonsumsi atau dimanfaatkan sebagai obat. Kurang memasyarakatnya jamur enoki, sangat disayangkan karena jamur enoki memiliki potensi yang luar biasa, terutama bagi kesehatan. Penelitian di Nagano, Jepang membuktikan bahwa para petani yang mengkonsumsi enoki memiliki tingkat kematian karena kanker yang lebih rendah dibandingkan penduduk di di luar Nagano, Jepang (Ikekawa, 2001). Untuk memasyarakatkan jamur enoki, perlu ketersediaan jamur dipasaran dengan harga yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Salah satu usaha yang dilakukan yaitu membudidayakan jamur ini di dalam negeri, akan tetapi dalam usaha budidaya terdapat kendala yang sangat mendasar yaitu tidak tersedianya bibit induk di pasaran. Bibit yang dibutuhkan, berupa bibit induk yang berkwalitas.Bibit Ini diperoleh dengan cara menumbuhkan mycellium dalam media yang memenuhi kebutuhan nutrisi, media tersebut adalah biji-bijian (Gunawan, 2000), biji-bijian yang biasa dipergunakan yaitu biji milet, sorgum dan jagung. Dalam penelitian ini dipilih biji jagung, dalam penelitian pendahuluan pemakaian jagung sebagai media bibit induk menghasilkan pertumbuhan mycellium jamur enoki masih kurang cepat. Untuk mempercepat pertumbuhan mycelium, diperlukan adanya nutrisi tambahan berupa protein. Achmad dkk (2011) mengatakan bahwa protein akan meningkatkan proses pembentukan sel sehingga akan mempercepat pertumbuhan mycellium. Nutrisi tersebut bisa diperoleh dari bahan berupa limbah pertanian atau limbah industri makanan atau bijibijian. Biji-bijan yang dipergunakan yaitu biji kedelai. Kandungan protein bij kedelai (34%) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan biji jagung (Cahyadi, 2007), sehingga digunakan sebagai bahan tambahan dalam media bibit induk jagung. Penambahan biji kedelai sebagai sumber nutrisi proptein diharapkan dapat menghasilkan bibit induk yang berkualitas (pertumbuhannya cepat, bobot bibit induknya tinggi). Penelitian ini bertujuan muntuk mendapatkan persentase penambahan kacang kedelai yang tepat untuk menghasilkan pertumbuhan miselium dan bobot bibit induk jamur enoki yang terbaik (berkualitas). MATERI DAN METODE Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental (Rancangan Acak Lengkap atau RAL) satu faktor, yaitu penambahan kacang kedelai (P) pada Media Bibit Induk Jagung (MDBIJ) terdiri dari enam perlakuan dan empat kali pengulangan. Perlakuan tersebut diantaranya P0 : 100% MDBIJ + 0% kacang kedelai, P1: 100% MDBIJ + 4% kacang kedelai, P2: 100% MDBIJ + 8% kacang kedelai, P3: 100% MDBIJ + 12% kacang kedelai, P4: 100% MDBIJ + 16% kacang kedelai, P5: 100% MDBIJ + 20% kacang kedelai. Parameter yang PROSIDING, Copyright© 2016 293
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
diukur adalah rata-rata pertambahan panjang miselium jamur enoki (%/hari), waktu pertumbuhan miselium jamur enoki mencapai 100% (hari), dan bobot bibit induk (gr). Penghitungan rata-rata pertambahan panjang miselium, dilakukan pengukuran setiap hari. Sampai mycelium tumbuh mencapai 100 %. Rumus yang dipergunakan : 1. Rata-rata pertambahan panjang miselium jamur enoki (%/ hari) Penghitungan rata-rata pertambahan panjang miselium, dilakukan pengukuran setiap hari. Sampai mycelium tumbuh mencapai 100 %. Rumus yang dipergunakan: Panjang mycelium ke i (cm) _________________________ X 100% Tinggi media (cm)
___________________________________________ Waktu yang dibutuhkan miselium mencapai 100%(hari) (Christinawati, 2003)
2. Waktu pertumbuhan miselium jamur enoki mencapai 100% (hari) Pengukuran rata-rata Tinggi miselium, dilakukan setiap hari sampai mycelium mencapai 100% untuk merubahnya kedalam bentuk persen, digunakan rumus: Panjang miselium (cm) ____________________
X 100%
Tinggi media (cm) (Christinawati.,2003) 3. Bobot bibit induk (g) Perhitungan bobot bibit induk ini dilakukan pada saat media bibit induk belum ditumbuhi miselium, dan setelah media ditumbuhi miselium mencapai 100 %. Perhitungan bobot ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan kacang kedelai pada media bibit induk jagung terhadap bobot bibit induk. Perhitungan bobot dilakukan dengan menggunakan rumus: Bobot bibit induk: bobot akhir + kehilangan air kontrol (g.) a. Bobot akhir = bobot botol + bobot media yang ditumbuhi miselium dalam 28 hari b. Kehilangan air kontrol (%) =
x 100%
c. Kehilangan air kontrol (g.) = kehilangan air kontrol (%) x bobot awal kontrol (g.)
PROSIDING, Copyright© 2016 294
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Analisis Data Data hasil penelitian dianalisis dengan Analisa Sidik Ragam (ANAVA), apabila terdapat perbedaan nyata, yaitu F hitung lebih besar daripada F table pada taraf 5%, maka dilanjutkan dengan Uji jarak Berganda Duncan. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Analisis Sidik Ragam (anava) menunjukan bahwa pengaruh penambahan berbagai takaran kacang kedelai pada media dasar bibit induk jagung memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5% terhadap rata-rata pertambahan panjang miselium jamur enoki (%/hari) Fhitung (4.659)> Ftabel (0.012) dan waktu pertumbuhan miselium jamur enoki mencapai 100% (hari)Fhitung( 5.364)> Ftabel (0.03)hasil uji jarak Berganda Duncan tertera pada Tabel 1 dan 2, sedangkan pengaruh penambahan berbagai takaran kacang kedelai pada media dasar bibit induk jagung terhada bobot bibit induk (gr) tidak membeikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf kepercayaan 5 % (Tabel 3) Tabel 1. Pengaruh penambahan berbagai takaran kacang kedelai pada media dasar bibit induk jagung terhadap rata-rata pertambahan panjang miselium jamur enoki. Perlakuan P0 P1 P2
P3 P4 P5
Rata-rata pertambahan panjang miselium (%/ hari) 4,17 5,06 4.837 4.67 4.26 4.21
Notasi a b b ab
a a
Gambar 1. Pengaruh penambahan berbagai takaran kacang kedelai pada media dasar bibit induk jagung terhadap rata-rata pertambahan panjang miselium jamur enoki.
PROSIDING, Copyright© 2016 295
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 2. Pengaruh penambahan berbagai takaran kacang kedelai pada media dasar bibit induk jagung terhadap waktu pertumbuhan miselium jamur enoki mencapai 100% Rata-rata waktu pertumbuhan miselium mencapai 100% (hari) 24 20 20.8 21.5 23.5 23.75
Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5
Notasi c a a ab bc bc
Rata‐rata Waktu Pertumbuhan Miselium mencapai 100% 26 24 22 20 18 P0
P1
P2
P3
P4
P5
Gambar 2. Pengaruh penambahan berbagai takaran kacang kedelai pada media dasar bibit induk jagung terhadapwaktu pertumbuhan miselium jamur enoki mencapai 100% Tabel 3. Pengaruh Penambahan Berbagai Takaran Kacang Kedelai pada Media Dasar Bibit Induk Jagung Terhadapbobot bibit induk (gr) Perlakuan P0 P1 P2 P3 P4 P5
Rata-rata Bobot Bibit Induk (g) 349.27 352.95 353.55 354.15 356.49 359.04
PROSIDING, Copyright© 2016 296
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Bobot Bibit Induk (g) 360 355 350 345 340 P0
P1
P2
P3
P4
P5
Gambar 3. Pengaruh penambahan berbagai takaran kacang kedelai pada media dasar bibit induk jagung terhadapbobot bibit induk (gr) Keterangan: P0 : MDBIJ 100% + 0% kacang kedelai P1 : MDBIJ 100% + 4% kacang kedelai P2 : MDBIJ 100% + 8% kacang kedelai P3 : MDBIJ 100% + 12% kacang kedelai P4 : MDBIJ 100% + 16% kacang kedelai P5 : MDBIJ 100% + 20%kacang kedelai PEMBAHASAN 1. Rata-Rata pertambahan panjang miselium jamur enoki. P1 (MDBIJ 100% + 4% kacang kedelai) memiliki rata-rata pertambahan panjang miselium tertinggi (5,06%/hari), sedangkan P0 (tanpa penambahan protein) memiliki rata-rata pertambahan panjang miselium terendah (4,17%/hari). Semakin banyak persentase penambahan kacang kedelai pada media bibit induk, kandungan protein pada media bibit induk akan semakin tinggi. Menurut Suamiarsih (2009), jamur enoki memiliki kemampuan untuk merombak protein menjadi asam amino dengan bantuan enzim protease, kemudian melalui proses deaminasi dirubah menjadi nitrat, dalam bentuk nitrat miselium dapat menyerap nutrisi tersebut. Menurut Achmad dkk (2011), dengan semakin meningkatnya kandungan protein dalam media bibit induk, pertambahan panjang mycelium akan semakin cepat, pendapat ini bertentangan dengan hasil penelitian, dimana hasil penelitian menunjukan semakin besar penambahan persentase kacang kedelai (semakin besar kadar protein) ada kecenderungan semakin kecil pertambahan panjang mycelium. Hal ini terjadi, diduga karena ukuran butiran kacang kedelai lebih besar dari butiran jagung, maka semakin besar penambahan persentase kacang kedelai media pertumbuhan semakin renggang. Menurut Chang dan Miles (2004), media yang terlalu renggang menyebabkan nutrisi tidak terserap secara baik, proses perombakan nutrisi seperti karbohidrat dan protein akan terhambat, sehingga pertumbuhan miselium turut terhambat walupun kebutuhan oksigen tercukupi. Oleh karena itu, untuk menghasilkan pertambahan panjang yang maksimal dibutuhkan komposisis media yang optimal. 2.Waktu pertumbuhan miselium jamur enoki mencapai 100% (hari0 P1 (Tabel 2) merupakan perlakuan yang terbaik atau waktu terpendek yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mycelium jamur enoki mencapai 100% (20 Hari), sedangkan P0 PROSIDING, Copyright© 2016 297
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
merupakan perlakuan yang terburuk atau terlambat yang dibutuhkan untuk pertumbuhan miselium jamur enoki mencapai 100% (24 hari). Cepat atau lambatnya pertambahan panjang mycelium, akan memepengaruhi pendek atau panjang waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mycelium mencapai 100%, hal ini terbukti pada Tabel 1, P1(MDBIJ 100% + 4% kacang kedelai, merupakan perlakuan yang tercepat sehingga waktu yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mycelium mencapai 100% (Tabel 2) merupakan waktu yang terpendek (20 Hari). 3. Bobot bibit induk (g.) Bobot bibit induk pada perlakuan P1, P2, P3, P4, P5 mengalami peningkatan dibandingkan perlakuan P0, walaupun peningkatannya tidak berbeda nyata, hasil penelitian menunjukan peningkatan penambahan persentase kacang kedelai pada media bibit induk jagung menyebabkan terjadinya peningkatan bobot bibit induk. Menurut Tatik (2004), nutrisi pada media yang dapat diserap oleh jamur akan meningkatkan bobot bibit induk jamur. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian dimana media bibit induk P0 tidak ditambahkan biji kedelai, protein yag ada di dalamnya hanya berasal dari biji jagung saja, dimana kadar protein yang dimiliki paling rendah, sehingga bobot bibit induk yang dihasilkan paling rendah (349.27g) dan P5 memiliki kadar protein paling tinggi, sehingga bobot bibit induk yang dihasilkan paling besar (359.04 g). SIMPULAN 1. Penambahan kacang kedelai pada media dasar bibit induk jagung dapat memberikan pengaruh meningkatkan rata-rata pertambahan panjang miselium jamur enoki dan waktu pertumbuhan miselium jamur enoki mencapai 100% dan tidak memberikan pengaruh terhadap bobot bibit induk. 2. P1 (penambahan 4% kacang kedelai pada media dasar bibit induk jagung) merupakan perlakuan terbaik bagi rata-rata pertambahan panjang miselium (5.06%/ hari) dan waktu pertumbuhan miselium mencapai 100% (20 hari) jamur enoki. DAFTAR PUSTAKA Alexopoulos, C. J. and C. W. Mims. 1979. Introductory Mycology. 3rd ed. John Wiley and Sons. New York Badalyan, S.M. & Hambardzumyan L.A. 2001. Investigation of immune-modulation activity of medicinal mushroom Flammulina velutipes in vitro cytokines induction by fruiting body extract. Int J Med Mushr., 3, 110. Cahyadi, W. 2006. Kedelai Khasiat dan Teknologi. Bandung: Bumi Aksara. Chang, S.T. and P.G. Miles, 2004. Mushrooms, cultivation, nutritional value, medicinal effect and environmental effect.Second edition. USA: CRC Precc LLC. Christinawati.2003. Pengaruh Biji Jagung dan Biji Kacang Kedelai Serta Kombinasi KeduanyaSebagai Media Bibit Terhadap Laju Pertumbuhan Miselium Jamur Tiram Putih.Skripsi. Jatinangor: Jurusan Biologi FMIPA Universitas Padjadjaran. Ganjar, I., W. Sjamsuridzal, dan A. Oetari. 2006. Mikologi: Dasar dan Terapan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Gomez and Gomez, A. A., K.A. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. UI Press. Jakarta. PROSIDING, Copyright© 2016 298
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Harith, N., N. Abdullah, dan V. Sabaratnam. 2014. Cultivation of Flammulina velutipes mushroom using various agro-residues as a fruiting substrate. Pesq.agropec. bras., Brasília, vol.49, n.3, p.181-188, mar. 2014 DOI: 10.1590/S0100-204X2014000300004. Hasan, G. M. Medany, dan El-Kady. 2012. Mycelial Biomass Production of Enoke Mushroom (Flammulina velutipes) by Submerged Culture. Australian Journal of Basic and Applied Sciences, 6(7): 603-610, 2012 ISSN 1991-8178. Park Y., JH Baek , S. Lee , C. Kim , H. Rhee, H. Kim, J. Seo, H. Park, D. Yoon, J. Nam, H. Kim, J. Kim, H. Yoon, H. Kang, J. Cho, E. Song, G. Sung, Y. Yoo, C. Lee, B. Lee, dan W. Kong. 2014. Whole Genome and Global Gene Expression Analyses of the Model Mushroom Flammulina velutipes Reveal a High Capacity for Lignocellulose Degradation. PLoS ONE 9(4): e93560. doi:10.1371/journal.pone.0093560. Sharma, V. P., S. Kumar, dan R. P. Tewari. 2009. Flammulina velutipes, The Culinary medicinal Winter Mushroom. India: Directorate of Mushroom Research. Sinaga, M. S. 2005. Jamur Merang dan Budidayanya. Jakarta: Penebar Swadaya. Song, C. H., C. H. Lee, J. H. Ahn, B. S. Hong, dan H. C. Yang. 1995. Standardization of Chemically Defined Medium for the Production of Mycelium and Basidiocarps in Flammulina velutipes.The Korean Jurnal of Mycology vol 23 No. 1, p53-60 March 1995. Stanley, O. H. dan G. D. A. Waadu. 2010. Effect of Substrates of Spawn Production on Mycelial Growth of Oyster Mushroom Species. Jurnal of Applied Sciences 5 (3): 161164, 2010. Sumiati, E. dan G. A. Sopha. 2009. Aplikasi Jenis Bahan Baku Utama dan Bahan Aditif Terhadap Kulitas Media Bibit Induk Jamur Shiitake. J. Hort. Vol. 19 No. 1, 2009. Winarsi, H. 2010. Protein Kedelai dan Kecambah: Manfaatnya bagi Kesehatan. Yogyakarta: Kanisius. Yeh, M. Y. W. C. Ko, dan L. Y. Lin. 2014. Hypolipidemic and Antioxidant Activity ofEnoki Mushrooms (Flammulina velutipes).Hindawi Publishing Corporation Biomed Research International Vol. 2014. Yi, C., H. Zhong, S. Tong, X. Cao, C. K. Firempong, H. Liu, M. Fu. Y. Yang, Y. Feng, H. Zhang, X. Xu, dan J. Yu. 2012. Enhanced Oral Bioavailability Of A Sterol-Loaded Microemulsion Formulation Of Flammulina Velutipes A Potential Antitumor Drug. International Journal of Nanomedicine 2012:7 5067-5078
PROSIDING, Copyright© 2016 299
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
TOKSISITAS ASAM METOKSI ASETAT TERHADAP INDEKS MITOSIS DAN ABERASI KROMOSOM LINI SEL M11 TOXICITY OF METHOXYACETIC ACID AGAINST MITOTIC INDEX AND CHROMOSOMAL ABBERATION OF M11 CELLS LINE Madihah Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Padjadjaran Jl. Raya Bandung-Sumedang Km. 21 Jatinangor 45363 Telp./Fax. 022-7796412 Email:
[email protected] INTISARI Dimetoksi etil ftalat (DMEP) termasuk dalam senyawa ester asam ftalat yang digunakan sebagai bahan pelentur plastik. DMEP dan metabolitnya (2-ME dan MAA) diketahui bersifat teratogenik dan embriotoksik pada mencit. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh asam metoksiasetat (MAA) secara in vitro terhadap proliferasi sel dan pemunculan aberasi kromosom pada lini sel M11. Lini sel M11 berasal dari jaringan otot rangka embrio mencit, yang dipelihara sampai subkultur kelima. Konsentrasi dan lama waktu pendedahan MAA yang digunakan untuk penghitungan indeks mitosis dan analisis aberasi kromosom adalah 5 mM selama 8 jam, serta 10 mM selama 2, 4, dan 8 jam. Hasil pengamatan menunjukkan terjadinya kecenderungan penurunan indeks mitosis dan peningkatan jumlah sel dengan jumlah kromosom abnormal, terutama hipoploid, yang sejalan dengan peningkatan konsentrasi dan lama waktu pendedahan MAA. Namun demikian, jumlah sel yang mengalami aberasi kromosom akibat perlakukan MAA tidak berbeda nyata dengan kontrol. Diduga bahwa pendedahan MAA konsentrasi 5 mM selama 8 jam dan 10 mM selama 2, 4 dan 8 jam hanya cenderung menurunkan aktivitas proliferasi sel, dengan menurunkan indeks mitosis, tetapi tidak menimbulkan genotoksisitas pada lini sel M11. Kata kunci: embrio mencit, hipoploid, in vitro, indeks mitosis, proliferasi sel ABSTRACT Dimethoxyethyl phthalate (DMEP) is one of the phthalate acid ester (PAEs) that is widely used as plasticizers. DMEP and its metabolites (2-ME and MAA) were known to be teratogenic and embryotoxic against mice. This research was conducted to identify the toxicity of methoxyacetic acid (MAA) in M11 cell line which was generated from skeletal muscle of mice embryo day 11 of gestation and was cultivated until the fifth passages. Concentrations and duration of MAA exposure for calculating the mitotic index and analyzed the chromosomal aberration were 5 mM for 8 hours as well as 10 mM for 2 , 4, and 8 hours. The results showed the tendency of decrease in mitotic index and an increase in the number of cells with an abnormal number of chromosomes, especially hipoploidy, which was corresponding to the increased of concentration and duration of MAA exposure. The number of cells with chromosomal aberration due to MAA exposure was not significantly different with controls. Therefore, exposure of MAA at 5 mM for 8 hours or 10 mM for 2, 4, and 8 hours was assumed tend to reduce the activity of cell proliferation, by decreasing the mitotic index, but did not has genotoxic effect in M11 cells line. Keywords: mice embryo, hipoploidy, in vitro, mitotic index, cell proliferation
PROSIDING, Copyright© 2016 300
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
PENDAHULUAN Ester asam ftalat (phtalic acid esters, PAEs) merupakan pelarut organik yang banyak diproduksi secara komersial dan digunakan secara luas. PAEs terutama digunakan sebagai bahan pelentur plastik (plasticizer) untuk produk-produk seperti PVC (polivinil klorida), pengemas makanan, dan kantung penampung darah (Ritter et al., 1985; Li et al., 1997). Sebanyak 40-60% produk akhir plastik mengandung PAEs (Marx, 1972). Selain itu, PAEs juga digunakan untuk pewarna tekstil dan tinta, pelarut pestisida, obat penolak serangga, kosmetika dan produk pembersih untuk rumah tangga (Chiewchanwit & Au, 1994). Penggunaan bahanbahan yang mengandung PAEs secara berlebihan menyebabkan PAEs menjadi salah satu pencemar lingkungan. PAEs dapat mencemari perairan, tanah, dan udara, serta diketahui dapat masuk ke dalam tubuh manusia melalui peluruhan dari pengemas makanan atau peralatan medis, dan asap pembakaran produk plastik (Tichner, 2000). Salah satu PAEs yang banyak digunakan adalah dimetoksietil ftalat (dimethoxyethyl phthalate, DMEP). Di dalam tubuh mamalia, DMEP dihidrolisis menjadi monometoksietil ftalat (MMEP) dan 2-metoksietanol (2-ME). 2-ME selanjutnya akan dioksidasi menjadi 2metoksiasetaldehid (MALD) dengan bantuan alkohol dehidrogenase. MALD ini dioksidasi lebih lanjut dengan bantuan enzim aldehid dehidrogenase menjadi asam metoksisetat (MAA) yang merupakan teratogen akhir (Miller et al., 1983; Ritter et al., 1985). Pendedahan DMEP dan metabolitnya, yaitu 2-ME dan MAA, secara in vivo dan in vitro diketahui dapat menginduksi timbulnya berbagai jenis toksisitas seperti toksisitas terhadap sistem reproduksi (Welch et al., 1988; Ku et al., 1995; Li et al., 1996, 1997) dan terhadap hematopoietic stem cell (Takagi et al., 2002), embriotoksisitas (Yonemoto, 1984; Kaiin, 1998; Riyanto, 2000; Sumarsono et al., 2000), teratogenisitas (Brown et al., 1984; Ritter et al., 1985; Scott et al., 1987; Sudarwati et al., 1995; Ruyani, 2001; Sumarsono et al., 2002), dan genotoksisitas (Riyanto, 2000). Namun demikian, diketahui bahwa toksisitas dari DMEP dan 2-ME secara in vivo bergantung pada metabolisme kedua senyawa tersebut menjadi MAA (Ritter et al., 1985). Sampai saat ini, masih sedikit informasi mengenai bagaimana DMEP dan metabolitnya menyebabkan berbagai toksisitas. Efek toksik DMEP atau metabolitnya dapat diketahui secara langsung dengan cara mendedahkannya terhadap sel yang dikultur secara in vitro. Dengan demikian, pada penelitian ini dilakukan pendedahan MAA secara in vitro terhadap kultur lini sel yang berasal embrio mencit, yang dinamakan lini sel M11, untuk menguji pengaruh MAA yang didedahkan dengan beberapa kombinasi konsentrasi dan lamanya waktu pendedahan terhadap proliferasi sel dan pemunculan aberasi kromosom. MATERI DAN METODE Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah asam metoksi asetat (MAA) cair produksi Wako Pure Chemical Industries, Ltd. yang dilarutkan dalam medium perlakuan (medium RPMI 1640 [Sigma] + NaHCO3 2 g/l + penisilin 100 IU/ml [Sigma] + streptomisin 100 µg/ml [Sigma]) dengan konsentrasi 0; 2,5; 5; dan 10 mM. Sel yang digunakan adalah lini sel M11 yang berasal dari jaringan otot rangka embrio mencit (Mus musculus) albino galur Swiss Webster umur 11 hari. Lini sel M11 ini dipelihara dan diperbanyak secara in vitro . Pembuatan dan Pemeliharaan Lini Sel M11
Isolasi embrio mencit dari induk betina bunting dan pembuatan kultur primer dilakukan menurut metode dari Freshney (2007) dengan modifikasi. Induk mencit (Mus musculus) Swiss Webster betina dikawinkan dengan mencit jantan dan pada umur kebuntingan 11 hari dibunuh dengan cara dislokasi leher dan dibedah bagian abdomennya, bagian uterus dipisahkan, dan embrio diisolasi. Bagian kepala, anggota gerak, dan organ viseral embrio dibuang, sehingga yang digunakan untuk kultur adalah jaringan otot rangka embrio (eksplan). Eksplan dicacah PROSIDING, Copyright© 2016 301
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dalam medium pertumbuhan (medium RPMI 1640 [Sigma] + NaHCO3 2 g/l + penisilin 100 IU/ml [Sigma] + streptomisin 100 µg/ml [Sigma] + 10% Fetal Bovive Serum [FBS, Gybco]) dan dipelihara di cawan petri berdiameter 5 cm (Nunclon) dalam inkubator (konsentrasi CO2 5%, suhu 36,50C, kelembaban udara 86%) hingga terbentuk explant outgrowth dan diperoleh kultur primer. Saat kultur primer telah memenuhi substrat polistiren sekitar 80–90% (konfluen), eksplan dibuang dan dilakukan subkultur dengan metode tripsinisasi. Hasil dari subkultur adalah lini sel yang memiliki karakter fibroblastoid dan kemungkinan berasal dari sel-sel mesenkim embrio, yang disebut lini sel M11. Saat sel-sel M11 telah konfluen, maka dilakukan subkultur kedua dan seterusnya, hingga diperoleh sel hasil subkultur kelima. Alasan penggunaan sel hasil subkultur kelima selain untuk memenuhi jumlah sel yang diperlukan, juga karena sel-sel hasil subkultur ketujuh dan selanjutnya menunjukkan penurunan laju proliferasi serta cenderung memasuki fase G0., yang ditandai dengan ukuran sel bertambah, sitoskelet terlihat jelas, dan sel-sel tidak berinteraksi satu sama lain, sehingga tidak dapat digunakan untuk penelitian ini. Pembuatan Preparat Kromosom Pembuatan preparat kromosom dilakukan dengan menggunakan metode yang dimodifikasi dari Samuel (1992). Perlakuan dilakukan dengan mendedahkan MAA konsentrasi 0 mM selama 8 jam (kontrol), 5 mM selama 8 jam, serta 10 mM selama 2, 4, dan 8 jam. Konsentrasi dan lama waktu pendedahan MAA yang digunakan tersebut didasarkan pada hasil MTT-based cytotoxicity assay yaitu perlakuan yang menyebabkan penurunan jumlah sel yang hidup (data tidak ditampilkan). Sebanyak ± 5x105 sel M11 dikultur dan dipelihara hingga pertumbuhannya berada pada fase log. Medium pemeliharaan diganti dengan larutan MAA dengan konsentrasi 0, 5, atau 10 mM dan kultur sel diinkubasi sesuai waktu pendedahan MAA dari setiap perlakuan. Larutan MAA kemudian dibuang dan diganti kembali dengan medium pemeliharaan. Pada kultur sel M11 ditambahkan 0,1 ml kolkisin 6,25 mg/ml per 5 ml medium dan sel diinkubasi selama 2 jam 45 menit pada suhu 37°C, kemudian ditambahkan lagi 0,2 ml larutan kolkisin 0,00625% dan sel kembali diinkubasi. 15 menit kemudian dilakukan tripsinisasi dan sentrifugasi (500 xg selama 5 menit), pelet sel diresuspensi dengan 5 ml larutan KCl 0,56% hangat (37°C) dan diinkubasi selama 15 menit pada suhu 37°C. Pada suspensi sel kemudian ditambahkan larutan fiksatif Carnoy dingin secara perlahan-lahan hingga berisi 10 ml cairan dan dilakukan homogenisasi secara perlahan-lahan. Suspensi sel disentrifugasi dan supernatan dibuang. Penambahan larutan fiksatif Carnoy ini diulang sebanyak 3 kali. Supernatan dibuang dengan cara dekantasi sehingga hanya tersisa pelet sel dan sedikit larutan fiksatif Carnoy, yang kemudian dihomogenisasi secara perlahanlahan. Suspensi sel diteteskan pada kaca objek bersih dengan jarak sekitar 30 cm untuk memudahkan sel tersebar dan pecah. Preparat kemudian dilewatkan di atas api bunsen untuk memfiksasi preparat kromosom. Preparat dikering-anginkan lalu diwarnai dengan larutan Giemsa 2,5% selama 10 menit. Preparat diamati menggunakan mikroskop inverted (Nikon Eclipse TE 300) dengan perbesaran lensa objektif 40x. Parameter Penelitian dan Analisis Data Parameter yang diamati adalah indeks mitosis yang dilakukan dengan menghitung dari jumlah sel yang berada pada tahap mitosis (metafase, anafase dan telofase) dari total 2000 sel. Selain itu, pada diamati juga sampel kromosom yang berada pada tahap metafase dari 50 sel, lalu dihitung jumlah kromosom yang berasal dari satu sel dan diamati terjadinya aberasi struktur kromosom. Data indeks mitosis dianalisis secara deskriptif, sedangkan data aberasi kromosom dianalisis menggunakan paired sample t-test. PROSIDING, Copyright© 2016 302
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
HASIL Hasil analisis kromosom dari kelompok kontrol dan perlakuan menunjukkan adanya penurunan indeks mitosis dan kelainan jumlah kromosom. Secara normal, mencit memiliki 40 buah (20 pasang) kromosom dan semua kromosom berbentuk telosentrik. Kelainan jumlah kromosom yang teramati adalah aneuploid yaitu hipoploid (jumlah kromosom kurang dari 40) dan hiperploid (jumlah kromosom lebih dari 40). Menurut Freshney (2007), kromosom merupakan salah satu kriteria untuk mengamati terjadinya kelainan pembelahan sel akibat terjadinya kerusakan kromosom. Kelainan jumlah kromosom pada sel yang dikultur secara in vitro dapat terjadi secara spontan, atau akibat pemberian zat kimia, atau diinduksi oleh virus. Persentase indeks mitosis dan sel dengan jumlah kromosom normal atau tidak normal dari kelompok kontrol dan perlakuan ditampilkan pada Tabel 1. Dari hasil pengamatan terlihat adanya kecenderungan penurunan indeks mitosis pada kelompok perlakuan jika dibandingkan dengan kontrol. Secara statistik, hasil pengamatan jumlah kromosom per sel tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara kontrol dan kelompok perlakuan, akan tetapi dari hasil pengamatan terlihat adanya kecenderungan penurunan persentase sel dengan jumlah kromosom yang normal pada kelompok perlakuan yang sejalan dengan peningkatan konsentrasi dan lama waktu pendedahan MAA, kecuali pada pendedahan MAA 10 mM selama 2 jam, yaitu dengan terjadi peningkatan persentase sel dengan jumlah kromosom normal secara nyata (p<0,05) jika dibandingkan dengan kontrol. Pada kelompok kontrol, 28 % (14/50) sel memiliki jumlah kromosom yang normal, sedangkan 20-22% sel dari kelompok pendedahan MAA 5 mM selama 8 jam, serta 10 mM selama 4 dan 8 jam memiliki jumlah kromosom normal. Persentase sel yang memiliki jumlah kromosom normal pada pendedahan MAA 10 mM selama 2 jam adalah 32% (16/50). Tabel 1. Persentase indeks mitosis dan jumlah sel dari kelompok kontrol dan perlakuan yang memiliki jumlah kromosom normal dan tidak normal. Perlakuan MAA
Indeks mitosis
Persentase sel dengan jumlah kromosom (%) Normal Hipoploid Hiperploid Kontrol 2,9 % 28a 72a (58/2000) (36/ 50) (14/50) 5 mM; 8 jam 2,6 % 22a 70a 8 (52/2000) (11/50) (35/50) (4/50) 10 mM; 2 jam 2,2% 32%b 64a 4 (44/2000) (16/50) (32/50) (2/50) 10 mM; 4 jam 1,9% 22a 70a 8 (38/2000) (11/50) (35/50) (4/50) 10 mM; 8 jam 1,7% 20a 74a 6 (34/2000) (10/50) (37/50) (3/50) Ket.: Data junlah sel dengan kelainan jumlah kromosom diuji dengan paired sample t-test. Huruf yang berbeda pada satu kolom menyatakan perbedaan yang nyata dengan kontrol (p<0,05).
Persentase sel dengan jumlah kromosom yang tidak normal cenderung mengalami peningkatan pada kelompok perlakuan jika dibandingkan dengan kelompok kontrol, kecuali pada pendedahan MAA 10 mM selama 2 jam. Peningkatan ini sejalan dengan peningkatan konsentrasi dan lama waktu pendedahan MAA. Jumlah kromosom tidak normal yang ditemukan pada kontrol hanya hipoploid, sedangkan pada perlakuan MAA ditemukan kromosom dengan jumlah yang hipoploid dan hiperploid (Gambar 1). Pada kontrol terdapat 72% (36/50) sel yang memiliki jumlah kromosom hipoploid. Pada pendedahan MAA 5 mM PROSIDING, Copyright© 2016 303
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
selama 8 jam terdapat 78% (39/50) sel menunjukkan jumlah kromosom tidak normal, dengan 70% (35/50) memiliki kromosom hipoploid dan 8% (4/50) memiliki kromosom hiperploid. Pada pendedahan MAA 10 mM selama 4 jam terdapat 78% (39/50) sel yang memiliki jumlah kromosom tidak normal, dengan 70% (35/50) sel memiliki kromosom hipoploid dan 8% (4/50) sel memiliki kromosom hiperploid. Pada pendedahan MAA 10 mM selama 8 jam terdapat 80% (40/50) sel yang memiliki jumlah kromosom tidak normal, dengan 74% (37/50) sel memiliki kromosom hipoploid dan 6% (3/50) sel memiliki kromosom hiperploid. Pada pendedahan MAA 10 mM selama 2 jam, jumlah sel dengan kromosom tidak normal lebih rendah daripada kontrol yaitu 68% (34/50), dengan 64% (32/50) sel memiliki kromosom hipoploid dan 4% (2/50) memiliki kromosom hiperploid. Pada penelitian ini juga tidak teramati adanya kelainan struktur kromosom, baik pada kelompok kontrol maupun pada kelompok perlakuan.
5 µm
5 µm
5 µm
Gambar 1. Kromosom mencit dengan jumlah normal yang diperoleh dari kontrol (kiri, jumlah kromosom 2n = 40) dan yang mengalami aneuploidi dari perlakuan MAA yaitu hipoploid (tengah, jumlah kromosom 25) dan hiperploid (kanan jumlah kromosom 51). PEMBAHASAN Terjadinya penurunan indeks mitosis akibat perlakuan MAA diduga berkaitan dengan pengaruh MAA dalam menghambat aktivitas proliferasi sel. Mekanisme penghambatan aktivitas proliferasi sel akibat pendedahan MAA dapat melalui penghambatan sintesis DNA dan RNA (Mebus dan Welsch, 1989) atau diduga dengan mengganggu kromosom. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ruyani et al. (2003) menunjukkan bahwa pemberian MAA dosis 10 mmol/kg bb pada induk mencit dengan umur kebuntingan 11 hari dapat menurunkan ekspresi protein berukuran 41,6 kDA dan titik isoelektriknya 6,4. Penurunan ekspresi protein ini dapat diamati pada 4 jam setelah pendedahan MAA. Protein tersebut diidentifikasi sebagai protein ribosom RS.40K dan 99,3% homolog dengan LBP-p40. LBP-p40 terdistribusi di inti sel, ribosom 40S, dan membran plasma. Pada tahap interfase LBP-p40 berikatan dengan selubung inti dan kromatin, sedangkan pada saat mitosis hanya akan berikatan dengan kromatin, yaitu dengan histon H2A, H2B, dan H4. Lepasnya ikatan protein LBP-p40 dapat mengurangi kestabilan kromatin, karena LBP-p40 berperan sebagai chromatin anchoring protein. Dengan demikian, diduga bahwa pada penelitian ini pendedahan MAA konsentrasi 5 dan 10 mM selama 8 jam juga dapat menurunkan ekspresi LBP-p40 sehingga dapat mengurangi kestabilan kromatin, sehingga dapat menghambat proliferasi sel dan/atau menyebabkan aberasi kromosom. Penurunan indeks mitosis juga diduga dipengaruhi oleh jenis sel, konsentrasi serta lama waktu pendedahan MAA yang digunakan. Asumsi ini didasarkan pada adanya perbedaan respons yang timbul akibat pendedahan 2-ME dan MALD terhadap sel limfosit manusia atau pendedahan MALD terhadap lini sel CHO yang berbeda. Berdasarkan hasil penelitian Chewchanwit dan Au (1994) diketahui bahwa pendedahan 2-ME (konsentrasi 0-125 mM PROSIDING, Copyright© 2016 304
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
selama 1 jam atau 0-600 mM selama 24 jam) atau MALD (konsentrasi 0-60 mM selama 1 jam atau 0-5 mM selama 24 jam) secara in vitro pada sel limfosit cenderung menurunkan indeks mitosis, namun penurunan yang terjadi tidak berbeda nyata terhadap kontrol. Penurunan indeks mitosis yang berbeda nyata terhadap kontrol terjadi apabila lini sel CHO KI-BH4 didedahkan terhadap MALD konsentrasi 20 mM MALD dan lini sel CHO-AS52 didedahkan terhadap MALD konsentrasi 1,25-20 mM selama 3 jam. Dari hasil analisis kromosom, diduga bahwa pendedahan MAA konsentrasi 5 mM selama 8 jam dan 10 mM selama 2, 4 dan 8 jam hanya cenderung menurunkan aktivitas proliferasi sel, dengan menurunkan indeks mitosis, tetapi tidak menimbulkan genotoksisitas pada lini sel M11. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Elias et al. (1996), yang menunjukkan bahwa pendedahan MAA secara in vitro tidak menyebabkan aberasi kromosom. Hasil penelitian tersebut juga menyatakan bahwa MALD memiliki sifat genotoksik yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan 2-ME atau MAA. Menurut Chewchanwit dan Au (1994), aberasi kromosom dapat terjadi pada saat sel didedahkan secara in vitro terhadap 2-ME dengan konsentasi yang tinggi dan waktu pendedahan yang lama. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pendedahan 2-ME konsentrasi 150 dan 300 mM selama 24 jam pada kultur limfosit manusia dapat menyebabkan terjadinya aberasi kromosom. Metabolit lain dari 2-ME, yaitu MALD juga dapat menyebabkan terjadinya aberasi kromosom. Chewchanwit dan Au (1994) melaporkan bahwa pendedahan MALD menyebabkan peningkatan terjadinya aberasi kromosom pada kultur limfosit manusia (konsentrasi 10-40 mM selama 1 jam atau 0,05-2,5 mM selama 24 jam) atau lini sel CHO (konsentrasi 1,25-20 mM selama 3 jam) yang sejalan dengan peningkatan konsentrasi MALD yang diberikan. Bentuk aberasi kromosom yang teramati adalah terjadinya patahan kromosom. SIMPULAN Pendedahan MAA konsentrasi 5 mM selama 8 jam dan 10 mM selama 2, 4 dan 8 jam hanya cenderung menurunkan aktivitas proliferasi sel, dengan menurunkan indeks mitosis, tetapi tidak menimbulkan genotoksisitas pada lini sel M11. DAFTAR PUSTAKA Brown, N.A., Holt, D. dan Webb, M. 1984. The teratogenicity of methoxyacetic acid in the rat. Toxicol. Letts. 22: 93-100. Chiewchanwit, T. dan Au, W.W. 1994. Cytogenic effects of 2-methoxyethanol and its metabolites, methoxyacetaldehide, in mammalian cells in vitro. Mutation Res. 320: 125132. Elias, Z., Daniere, M.C., Marende, A.M., Poirot, O., Terzetti, F. dan Schneider, O. 1996. Genotoxic and/or epigenic effects of some glycol ethers: results of different short term tests. Occup. Hyg. 2: 187-212. (Abstrak). Freshney, R.I. 2007. Culture of animal cells: a manual of basic technique, 5th ed. New York: Wiley-Liss, Inc. 336-337. Kaiin, E.M. 1998. Peran induk dalam memunculkan efek asam metoksiasetat (MAA) yang diberikan sebelum implantasi terhadap perkembangan embrio mencit (Mus musculus) Swiss Webster. Tesis Magister, ITB.
PROSIDING, Copyright© 2016 305
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Ku, W.W., Wine, R.N., Chae, B.Y., Ghayanem, B.I. dan Chapin, R.E. 1995. Spermatocyte toxicity of 20methoxyethanol (ME) in rats and guinea pigs: Evidence for the induction apoptosis. Toxicol. appl. Pharmacol. 134:100-110. Li, L.H., Wine, R.N. dan Chapin, R.E. 1996. 2-methoxyacetic acid (MAA)-induced spermatocyte apoptosis in human and rat testes: an in-vitro comparison. J. Androl. 17: 538-549. Li, L.H., Wine, R.N., Miller, D.S., Reece, J.M., Smith, M. dan Chapin, R.E. 1997. Protection against methoxyacetic acid-induced spermatocyte apoptosis with calcium channel blockers in cultured rat seminiferous tubules: Possible mechanism. Toxicol. Appl. Phrmacol. 144: 105-119. Marx, J.I. 1972. Phthalic acid ester: biological impact uncertain. Science 178: 46-47. Mebus C.A. dan Welsch, F. 1989. The possible role of one-carbon moieties in 2methoxyethanol and 2-methoxyacetic acid-induced developmental toxicity. Toxicol. Appl. Pharmacol. 93: 98-109. Miller, R.R., Herman, E.A., Langvardt, P.W., McKenna, M.J. dan Schwetz, B.A. 1983. Comparative metabolism and disposition of ethylene glycol monomethyl ether and propylene glycol monomethyl ether in male rats. Toxicol. Appl. Pharmacol. 67: 229-237. Ritter, E J., Scoot, W.J., Randall, J.L. dan Ritter, J.M. 1985. Teratogenicity of dimethoxyethyl phthalate and it metabolites methoxyethanol and methoxyacetic acid in rat. Teratology 32: 25-31. Riyanto. 2000. Efek asam metoksiasetat (MAA) terhadap indeks mitosis dan kemunculam aberasi kromosom embrio tahap praimplantasi mencit (Mus musculus) Swiss Webster. Tesis Magister, ITB. Ruyani, A. Sudarwati, S., Sutasurya, L.A. dan Sumarsono, S.H. 2001. Perubahan profil protein tunas anggota tubuh depan mencit (Mus musculus) Swiss Webster akibat perlakuan dengan asam metoksiasetat. Medika 6: 363-367. Samuel, S.B. 1992. Pengembangan kutur darah manusia dan analisis larik kromosom. Skripsi Sarjana Biologi. ITB. Scott, W.J., Nau, H., Witthoht, W. dan Merker, H.J. 1987. Ventral duplication of the autopod: chemical induction by methoxyacetic acid in rat embryos. Development 99: 127-136. Sudarwati, S., Surjono, T.W. dan Yusuf, A.T. 1995. Kelainan perkembangan awal anggota depan mencit A/J yang diinduksi asam metoksiasetat. Jurnal Matematika dan Sains Suplemen H. Bidang Biologi. p. 60-76. Sumarsono, S.H., Sudarwati, S. dan Kaiin, E.M. 2000. Asam metoksiasetat (MAA) menurunkan kualitas dan kemampuan implantasi embrio mencit Swiss Webster secara langsung maupun tidak langsung. Prosiding seminar MIPA: 158-167. Sumarsono,S.H., Sunarno, Kusumaningtyas, H. dan Kartasari, F. 2002. The effects of the methoxyacetic acid (MAA) on the developmental of the brain of Swiss Webster mouse PROSIDING, Copyright© 2016 306
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
fetuses. International Seminar on Environmental Chemistry and Toxicology. Yogyakarta, 20-21 Mei 2002. Takagi, A., Yamada, T., Hayashi, K., Nakade, Y., Kojima, T., Takamatsu, J., Shibata, E., Ichihara, G., Takeuchi, Y. dan Murate, T. 2002. Involvement of caspase-3 mediated apoptosis in hemetopoietic cytotoxicity of metabolites of ethylene glycol monomethyl ether. Industrial Health 40: 371-374. Tichner, J.A. 2000. Phthalates. Great Lakes Center for Occupational and Environmental Safety and Health. Vol. 3. Issue 4. Welch, L.S., Schrader, S.M., Turner, T.W. dan Cullen, M.R. 1988. Effects of exposure to ethylene glycol on shipyard painters. II. Male reproduction. Am. J. Ind. Med. 14: 509526. Yonemoto, J., Brown, N.A. dan Webb, M. 1984. Effects of dimethoxyethyl phthalate, monomethoxy-ethyl phthalate, 2-methoxyethanol and methoxyacetic acid on post implantation rat embryos in culture. Toxicol. Lett. 21: 97-102.
PROSIDING, Copyright© 2016 307
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
BIOTREATMENT KANDUNGAN ORGANIK DAN COLIFORM DALAM LINDI TPA OLEH Paramaecium caudatum Ehrenberg, 1822 PADA VARIASI pH DAN OKSIGEN TERLARUT BIOTREATMENT OF ORGANIC CONTENT AND COLIFORM IN LEACHATE USING Paramecium caudatum Ehrenberg, 1822 IN VARIOUS LEVEL OF pH AND DISSOLVED OXYGEN Sunardi*, Bani Fauziah, Keukeu Kaniawati Rosada Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Padjadjaran *Corresponding author:
[email protected] INTISARI Air lindi TPA dihasilkan terutama oleh adanya air hujan yang jatuh, meresap dan mencuci sampah yang sedang mengalami dekomposisi dengan potensi dampak bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Pengolahan lindi yang ada saat ini di Indonesia masih kurang maksimal sehingga penelitian-penelitian untuk mencari alternaif bagi pengolahan lindi terus dilakukan. Pengolahan secara biologis (biotreatment) untuk mengolah air limbah merupakan proses yang sangat mudah dari sudut teknis dan sangat murah dari sudut biaya. Biotreatment lindi dapat dilakukan dengan bantuan P. caudatum. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui derajat keasaman (pH) dan oksigen terlarut optimal bagi kehidupan P. caudatum dalam memperbaiki kualitas air lindi. Penelitian ini adalah eksperimental dengan desain Rancangan Acak Rangkap (RAL) dengan dua faktor, pH dan kondisi oksigen dengan empat kali pengulangan. Parameter utama yang diukur diantaranya BOD dan Coliform. Hasil uji pendahuluan menunjukkan bahwa P. caudatum dapat bertahan hidup pada konsentrasi 50 mL/L air lindi. Sedangkan hasil uji biotreatment menunjukkan bahwa pada pH 5 dengan kondisi normoksia merupakan kondisi terbaik untuk pertumbuhan P. caudatum dengan kemampuan reduksi 59,53% kandungan organik, tetapi tidak untuk Coliform. Kata Kunci: Air Lindi, P. caudatum, BOD, Coliform, pH, Oksigen. PENDAHULUAN Pertumbuhan dan aktivitas penduduk yang meningkat memberi kontribusi yang signifikan pada peningkatan jumlah sampah domestik. Lestari dkk. (2011) menyatakan bahwa rata-rata satu orang menghasilkan sampah berkisar antara 1–2 kg per hari. Jumlah sampah yang semakin meningkat jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan persoalan bagi lingkungan dan bagi kesehatan masyarakat. Pada umumnya, di Indonesia, sampah dikelola melalui metode open dumping atau teknologi landfilling. Masih sangat sedikit TPA di Indonesia mengadopsi pendekatan sanitary landfill dikarenakan tingginya biaya pembangunan infrastruktur untuk fasilitas ini. Akibat dari situasi ini persoalan lingkungan akibat keberadaan TPA menjadi cukup serius. Salah satu TPA yang menggunakan teknologi landfilling ialah di TPA Sarimukti. TPA ini menampung sampah yang berasal dari sebagian Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat dan Cimahi. TPA Sarimukti merupakan TPA terbesar untuk daerah Bandung dan sekitarnya serta menampung berbagai macam jenis sampah. Penggunaan teknologi landfilling berpotensi menimbulkan masalah lingkungan terutama masalah pencemaran lindi (leachate) (Susanto et al., 2004). Djuwita (2007) PROSIDING, Copyright© 2016 308
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
menyebutkan bahwa lindi dihasilkan terutama oleh adanya air hujan yang jatuh, meresap dan mencuci sampah yang sedang mengalami dekomposisi. Lindi merupakan bahan pencemar yang dapat mengganggu kesehatan manusia serta dapat mencemari lingkungan dan biota perairan. Sejalan dengan perkembangan teknologi, dibutuhkan suatu penanganan masalah limbah yang murah dan efisien, efektif serta ramah terhadap lingkungan. Salah satunya adalah pengolahan limbah secara biologis atau yang lebih dikenal sebagai biotreatment. Menurut Hammer (1975), proses biologis adalah proses yang sangat mudah dari sudut teknis dan sangat murah dari sudut biaya untuk mengolah air limbah. Reed (1995) menjelaskan bahwa biotreatment lindi dapat dilakukan dengan bantuan tumbuhan dan invertebrata air untuk memperbaiki dan menurunkan kandungan bahan organik di dalamnya sehingga dapat memulihkan kualitas air. Paramecium caudatum merupakan salah satu jenis Ciliata yang mudah ditemukan dalam limbah dengan kadar organik tinggi dan kadar oksigen terlarut rendah. Djuwita (2007) menyebutkan dalam penelitiannya bahwa P. caudatum efektif dalam menurunkan kandungan bahan organik dan bakteri Coliform yang terdapat pada air lindi pada konsentrasi 30 mL/L. Salah satu faktor penting bagi P. caudatum untuk dapat bertahan hidup yaitu apabila kondisi lingkungan yang ditempatinya sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Dengan demikian, untuk mengoptimalkan peran P. caudatum perlu dilakukan penelitian lanjut untuk menemukan kondisi pH dan kadar oksigen terlarut optimum dimana P. caudatum menurunkan bahan organik dan Coliform lebih efektif. MATERI DAN METODE Organisme Uji Kultur organisme uji diawali dengan memperbanyak P. caudatum pada medium jerami (Djuwita, 2007). P. caudatum diperoleh dari badan air yang mengandung bahan organik tinggi seperti sistem drainase tempat pembuangan limbah rumah tangga. Medium jerami dibuat dari satu liter air keran yang dididihkan bersama segenggam jerami kering ± 50 gram selama 20 menit ditambah 5 butir beras. Air hasil rebusan jerami disaring lalu dimasukkan kedalam botol dan ditutup dengan kain saringan untuk menghindari serangga masuk kedalam botol. Setelah itu, medium didiamkan selama 2-6 hari dalam suhu ruangan sebelum digunakan. Sampel Air Lindi Sampel lindi yang diambil adalah lindi yang berada pada bak penampungan pertama (inlet). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan gayung bervolume 1 liter. Selanjutnya, dilakukan pengukuran beberapa parameter untuk mengetahui kualitas lindi tersebut. Prosedur Kerja Penelitian dilakukan secara eksperimental dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Penelitian ini menggunakan dua perlakuan, yaitu variasi pH dan oksigen terlarut dengan empat kali pengulangan. Variasi pH terdiri dari tiga yaitu 5, 7 dan 9, sedangkan oksigen terlarut terdiri dari dua taraf yakni kondisi hipoksia (oksigen terlarut rendah) dan normoksia (oksigen terlarut normal). Parameter utama yang diukur adalah nilai BOD dan jumlah Coliform. Uji biotreatment terdiri dari dua tahap yaitu uji pendahuluan dan uji penurunan bahan organik dan coliform dengan P. caudatum. Uji pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan konsentrasi tertinggi dimana P. caudatum masih dapat bertahan hidup sedangkan uji berikutnya dilakukan pada konsentrasi yang diperoleh dari uji pendahuluan tersebut. Setiap medium PROSIDING, Copyright© 2016 309
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
dikondisikan pada kombinasi pH dan oksigen terlarut yang berbeda-beda sesuai rancangan eksperimen. Tingkat pH yang diinginkan diatur dengan menambahkan asam sitrat, sedangkan konsentrasi oksigen terlarut dilakukan dengan menggunakan aerator dan gas N2. Pengujian dilakukan pada botol plastik dengan volume 1,5 liter. Volume medium yang dimasukkan ke dalam botol tersebut masing-masing adalah satu liter. P. caudatum sebagai organisme uji kemudian dimasukkan ke dalam setiap medium uji dengan kepadatan 20 individu/mL (Shiny, 2004; Djuwita, 2007). Untuk mengukur penurunan bahan organik dan coliform, pengukuran nilai BOD dan total Coliform dilakukan tiga kali yaitu H-0, H-7, dan H-14. Selain dua parameter tersebut, temperatur, TDS, pH dan DO juga diukur sebagai data pendukung. Hasil pengukuran nilai BOD dan jumlah bakteri Coliform akan diolah dengan analisis statistik ANOVA with repeated measure menggunkan software SPSS versi 20.
Persentase Penurunan (%)
HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan didapatkan hasil sebagai berikut : Penurunan BOD Hasil uji biotreatment menunjukkan bahwa secara umum, nilai BOD pada semua perlakuan mengalami penurunan. Persentase penurunan nilai BOD tertinggi terjadi pada lindi dengan perlakuan P1O1 yaitu kondisi pH 5 pada oksigen terlarut normoksia sebesar 59,53 % selama dua minggu. Hal ini dapat disebabkan partikel organik sumber BOD yang tersuspensi atau terlarut dalam air lindi dimakan oleh P.caudatum (Curds, 1963). Menurut Vecchio (2007), salah satu sumber nutrisi P.caudatum adalah material organik. Selain itu, pada minggu kesatu kondisi oksigen terlarut pada perlakuan normoksia semakin menurun sehingga dilakukan aerasi dengan aerator agar dapat mempertahankan kondisi normoksia tersebut selama pengamatan berlangsung. Nurhasanah et al, (2011) menyatakan bahwa dalam lindi yang diproses melalui cara aerasi, mikroorganisme dapat tumbuh dan berkembang biak menjadi banyak karena di dalam bahan yang diproses terdapat makanan bagi mikroorganisme pengurai yang bersifat aerobik ataupun fakultatif berupa bahan organik yang bersifat biodegradable. Oleh karena itu, selama proses aerasi berlangsung, bahan organik tersebut dimanfaatkan oleh mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembang biak.
90,00 80,00 70,00 60,00 50,00 40,00 30,00 20,00 10,00 0,00
Keterangan: P1O1 = pH 5 Normoksia P2O1 = pH 7 Normoksia P3O1 = pH 9 Normoksia P1O2 = pH 5 Hipoksia P2O2 = pH 7 Hipoksia P3O2 = pH 9 Hipoksia *pH selama perlakuan 59,53 44,03
P1O1
P2O1
45,82
P3O1
39,36
P1O2
47,03 30,21
P2O2
P3O2
PERLAKUAN
Gambar 1. Grafik Persentase Penurunan Nilai BOD Selama Dua Minggu Perlakuan Berdasarkan hasil uji ANOVA diperoleh F hitung > F tabel (3,842 > 2,85 ; p < 0,05) maka terdapat perbedaan nyata pada perlakuan interaksi pH dan oksigen terhadap penurunan PROSIDING, Copyright© 2016 310
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
BOD yang menunjukan hasil yang signifikan dan sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak. Hasil analisis Duncan menunjukkan bahwa penurunan nilai BOD akibat kondisi pH dan oksigen terlarut pada perlakuan P1O2 memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perlakuan P1O1, P2O2 dan P3O1. Perlakuan P2O1 dan P3O2 memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap perlakuan P1O2, begitu pula dengan perlakuan P1O1, P2O2 dan P3O1 (Gambar 1). Jumlah Bakteri Coliform Perhitungan jumlah bakteri Coliform dengan metode MPN/JPT yang telah dilakukan pada minggu ke-0, satu dan dua pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 2. 60,00
Persentase (%)
40,00
P1O1
20,00
P2O1
0,00
P3O1
‐20,00
Minggu 0
Minggu 1
Minggu 2
P2O2
‐40,00 ‐60,00
P1O2
P3O2 Waktu Perlakuan
Gambar 2. Grafik Persentase Penurunan Bakteri Coliform Selama Perlakuan Hasil uji biotreatment menunjukkan adanya kenaikan jumlah bakteri Coliform pada minggu kesatu dan terjadi penurunan pada minggu kedua. Persentase kenaikan jumlah tertinggi pada minggu kesatu yaitu pada perlakuan P1O2 yaitu pada pH 5 kondisi hipoksia sebesar 35,58%. Bakteri Coliform merupakan bakteri fakultatif aerob (Madigan, et al., 1996), sehingga memungkinkan bakteri Coliform mampu bertahan hidup dan berkembang biak dalam kondisi lingkungan yang miskin oksigen. Selain itu, menurut Volk dan Wheeler (1993) bahwa beberapa bakteri tumbuh pada pH 6 dan tidak jarang pula ditemukan organisme yang tumbuh baik pada pH 4 atau 5 termasuk Coliform. Secara umum, hasil uji biotreatment dari minggu kesatu sampai minggu kedua mengalami penurunan jumlah bakteri Coliform. Hal tersebut karena peranan P.caudatum yang menjadikan bakteri sebagai salah satu sumber nutrisinya (Engemann, 1981). Menurut Vecchio (2007), seekor P.caudatum dapat mengonsumsi bakteri sekitar 5.000 per hari. Hasil persentase bakteri Coliform pada akhir minggu kedua mengalami kenaikan kecuali untuk kondisi pH 9 yang mengalami penurunan. Persentase penurunan tertinggi yaitu pada perlakuan P3O2 yaitu pada pH 9 kondisi hipoksia sebesar 52,05%. Pada perlakuan tersebut kondisi pH yang cukup basa akan mempengaruhi kehidupan P.caudatum dan Coliform. P.caudatum dapat hidup lebih optimum pada pH sekitar 7 tepatnya pH 6,8 (Hall, 1980). Volk danWheeler (1993) menyatakan bahwa pada dasarnya kebanyakan bakteri tidak tumbuh dalam kondisi terlalu basa dan hanya sedikit yang dapat tumbuh baik pada pH lebih dari 8 sedangkan kondisi pH yang paling sesuai untuk bakteri Coliform adalah pH 6,5-7,0 sehingga pada pH yang lebih tinggi jumlah bakteri Coliform yang mampu bertahan hidup jumlahnya lebih sedikit. Dengan demikian, faktor terbesar terjadinya penurunan Coliform pada dua perlakuan tersebut
PROSIDING, Copyright© 2016 311
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
kemungkinan adalah karena faktor lingkungan yang terlalu basa untuk kehidupan Coliform dan P. caudatum sebagai predatornya. Berdasarkan hasil uji ANOVA diperoleh F hitung > F tabel (7,004 > 3,11; p < 0,05) maka terdapat perbedaan nyata pada perlakuan interaksi pH dan oksigen terhadap penurunan BOD yang menunjukan hasil yang signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa H0 ditolak. Hasil analisis Duncan menunjukkan bahwa perlakuan P1O2 memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perlakuan P2O2, P1O1, P2O1, P3O2, dan P3O1. Perlakuan P3O1 merupakan perlakuan terbaik menurut uji Duncan karena memiliki nilai tertinggi. Jumlah Kepadatan P. caudatum Jumlah kepadatan P.caudatum dihitung untuk melihat kemampuan P.caudatum dalam berkembang biak dan beradaptasi dalam air lindi. Perubahan kepadatan P.caudatum selama masa perlakuan dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Rata-rata Kepadatan P.caudatum Selama Masa Perlakuan Perlakuan P1O1 P2O1 P3O1 P1O2 P2O2 P3O2
Jumlah Kepadatan P.caudatum (org/mL) Minggu Ke-0 Minggu Ke-1 Minggu Ke-2 20 309 322 20 37 50 20 17 0 20 674 881 20 59 230 20 27 4
Hasil perhitungan jumlah kepadatan P.caudatum selama dua minggu perlakuan mengalami kenaikan setiap minggunya kecuali untuk perlakuan pH 9 baik kondisi normoksia maupun hipoksia. Jumlah kepadatan P.caudatum tertinggi yaitu pada perlakuan P1O2 yaitu pada pH 5 kondisi hipoksia sebanyak 881 org/mL pada akhir minggu kedua. Heydarnejad (2008) menyatakan bahwa P.caudatum memiliki berbagai macam toleransi pH yaitu pada rentang 4,7-9,7 namun kelangsungan hidup yang lebih baik yaitu pada pH yang lebih asam dengan rentang 4,7-6,7 dengan kondisi hipoksia. Pada kondisi basa umumnya P.caudatum tidak dapat berkembang dengan baik, hal itu bisa dilihat jumlah P.caudatum pada perlakuan P3O1 dan P3O2 semakin menurun setiap minggunya bahkan pada akhir minggu kedua tidak ditemukan P.caudatum pada perlakuan P3O1. Dengan demikian, semakin tinggi nilai pH maka semakin pendek juga harapan hidup P.caudatum. Perlakuan P1O2 merupakan kondisi dengan jumlah P. caudatum paling tinggi sehingga diharapkan terjadi penurunan BOD dan Coliform yang tinggi pula, namun pada perlakuan ini terjadi kenaikan bakteri Coliform sedangkan penurunan BOD tertinggi terjadi pada perlakuan P1O1. Hal tersebut dapat disebabkan oleh faktor lingkungan yang mempengaruhi kehidupan Coliform dan P. caudatum. Terjadinya penurunan BOD yang tidak diikuti oleh penurunan jumlah bakteri Colifom kemungkinan dapat disebabkan oleh lebih tingginya tingkat probabilitas untuk dikonsumsi dari bahan organik yang terdapat pada lindi dibandingkan dengan Coliform. Kemungkinan yang pertama adalah karena P. caudatum memakan bahan organik lebih banyak dibandingkan Coliform meskipun keduanya merupakan sumber nutrisi bagi P. caudatum, yang kedua adalah karena bahan organik dimakan oleh dua kelompok organisme yaitu P. caudatum dan bakteri Coliform sendiri sebagai mikroorganisme heterotrof.
PROSIDING, Copyright© 2016 312
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Nilai TDS Berdasarkan hasil pengukuran, rata-rata nilai TDS pada masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Gambar 3. 800 P1O1
mg /L
600
P2O1
400
P3O1
200
P1O2 P2O2
0 0
1
2
P3O2
Waktu Pengamatan
Gambar 3. Rata-rata Nilai TDS Pada Masing-masing Perlakuan Selama Dua Minggu Pengamatan Nilai TDS cenderung menurun untuk setiap perlakuan pada setiap minggunya. Penurunan TDS dapat disebabkan oleh proses dekomposisi pada partikel yang terlarut pada lindi (Michaud, 1994). Selain itu, terjadinya penurunan jumlah TDS dapat disebabkan oleh P.caudatum mengkonsumsi material yang terlarut dalam air (Hickman et al.,(1974) dalam Mutaqin (2006). Hasil analisis secara statistik dengan menggunakan ANOVA wih repeated measured menunjukkan bahwa perbedaan kondisi pH dan oksigen terlarut pada beberapa perlakuan akan mempengaruhi kemampuan P.caudatum untuk menurunkan bahan organik dan bakteri Coliform dalam lindi TPA Sarimukti. Selanjutnya, berdasarkan uji Duncan dari semua perlakuan, perlakuan P3O1 merupakan perlakuan terbaik dalam menurunkan nilai BOD dan bakteri Coliform namun hal tersebut lebih besar dipengaruhi oleh kondisi lingkungan yang tidak sesuai untuk organisme yang terlibat dalam perlakuan tersebut yaitu kondisi yang terlalu basa baik untuk kehidupan Coliform maupun P. caudatum. Kondisi basa dapat menyebabkan terjadinya penurunan P. caudatum dan Coliform sehingga penurunan Coliform yang terjadi pada perlakuan tersebut dapat diakibatkan oleh kondisi yang tidak sesuai bagi pertumbuhannya bukan dipengaruhi oleh P. caudatum. Hasil analisis uji Duncan hanya melihat penurunan yang terjadi pada Coliform tanpa menganalisis kondisi optimal P. caudatum sebagai predatornya sehingga perlakuan P3O1 bukan perlakuan terbaik untuk P. caudatum dalam menurunkan bahan organik dan Coliform. Dengan demikian, kombinasi perlakuan terbaik untuk menurunkan nilai BOD adalah pada perlakuan P1O1 dan tidak terdapatnya kombinasi yang optimal untuk menurunkan bakteri Coliform. SIMPULAN 1. Kondisi pH dan oksigen terlarut yang berbeda bagi P. caudatum dapat menurunkan bahan organik pada lindi TPA Sarimukti konsentrasi 50 ml/L sebesar 59,53 %. 2. Kondisi pH dan oksigen terlarut yang berbeda bagi P. caudatum tidak dapat menurunkan bakteri Coliform. 3. Kombinasi perlakuan terbaik untuk menurunkan kandungan bahan organik dalam lindi TPA Sarimukti yaitu pada perlakuan pH 5 kondisi normoksia. PROSIDING, Copyright© 2016 313
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DAFTAR PUSTAKA Curds, C. R., M. A. Gates and D. McL. Roberts. 1983. British and Other Freshwater Ciliated Protozoa Part II Ciliophora: Oligohymenophora and Polyhymenophora. Cambrige University Press. Diakses melalui: http://www.nies.go.jp/chiki1/protoz/morpho/ parameci.html. Pada tanggal 07 Maret 2014. Djuwita, S. 2007. Biotreatment Air Lindi (Leacheate) Sampah Domestik Menggunakan Paramecium caudatum. (Skripsi) Jurusan Biologi Unpad. Jatinangor. Engemann, J. G. And Hegner, R. W. 1981. The Invertebrate Zoology 3rd Edition. Macmillan New York. Hall, R. P. 1980. Protozology. Prentice-Hall Inc. New York. Hammer, M. J. 1975. Water and Waste Water Technology. John Wiley & Sons. New York. USA. Heydarnejad, M. S. 2008. Survival of Paramecium caudatum at Various pH Values and Under Normoxic and Hypoxic Condition. Pakistan Journal Of Biological Sciences 11 (3): 392-397. Lestari, S., S. Santoso, dan S. Anggorowati. 2011. Efektivitas Eceng Gondok (Eichornia crassipes) dalam Penyerapan Kadmium (Cd) pada Leachate TPA Gunung Tugel. Universitas Jenderal Sudirman. Purwokerto. Madigan, T. M., J. M. Martinko, and J. Parker. 1996. Brock Biology of Microorgansm 8th edition. Prentice Hall International, Inc. Mutaqin, A. Z. 2006. Studi pendahuluan Pemanfaatan Daphnia carinata King dan Paramecium sp. dalam Pengolahan Air Limbah Kota. (Tesis) ITB. Bandung. Nurhasanah, L. K. Darusman, S. H. Sutjahyo, dan B. W. Lay. 2011. Efektivitas Pemberian Udara Berkecepatan Tinggi dalam Menurunkan Polutan Leachate TPA Sampah: Studi Kasus di TPA Sampah Galuga Kota Bogor. Forum Pasca Sarjana Vol. 34 No. 1 . Bogor. Shiny, K., J. Remani, and Nirmala. 2004. Biotreatment of Wastewater Using Aquatic Invertebrates, Daphnia magna and Paramecium caudatum. University of Calicut. India. Susanto, J. P., S. P. Ganefati, S. Muryani, dan S. H. Istiqomah. 2004. Pengolahan Lindi (Leachate) dari TPA dengan Menggunakan Sistem Koagulasi – Biofilter Anaerobic. Jurnal Tek.Ling - P3TL – BPPT (5) : (3) :167 – 173 Volk, W.A and M.F. Wheeler. 1993. Mikrobiologi Dasar. Edisi Kelima. Jilid 1. Penerbit Erlangga. Jakarta.
PROSIDING, Copyright© 2016 314
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
TOKSISITAS AIR LINDI TPA DIAERASI DAN NON-AERASI TERHADAP Daphnia magna Straus, 1982 TOXICITY OF AERATED AND NON-AERATED LEACHATE COLLECTED FROM DUMPING SITE ON Daphnia magna Straus, 1982 Sunardi*, Maulida Muslimatul Chaeriah, Keukeu Kaniawati Rosada Departemen Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Padjadjaran * Corresponding author:
[email protected] INTISARI Sampah domestik, khususnya di area perkotaan (urban areas), telah menjadi tantangan besar bagi pembangunan khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia. Tempat Pembuangan Akkhir (TPA) sampah merupakan salah satu sumber pencemar organik utama serta bersifat toksik bagi organisme perairan. Aerasi merupakan salah satu teknik yang digunakan untuk pengolahan air lindi. Namun demikian, teknik ini tidak banyak dievaluasi apakah ini dapat menurunkan beban organik sekaligus mengurangi tingkat racunnya terhadap lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi apakah aplikasi aerasi ini memberikan benefit kepada lingkungan melalui penurunan beban organik dan toksisitas limbahnya. Uji toksisitas, baik akut maupun khronis, dilakukan terhadap Daphnia magna dengan basis aerasi lindi 12, 24, dan 48 jam. Uji kronis dilakukan terhadap reproduksi D. magna dengan mengadopsi Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial terdiri dari dua faktor, 4 taraf lama waktu aerasi dan 6 taraf konsentrasi air lindi. Parameter yang diukur adalah jumlah neonate yang dihasilkan D. magna selama 21 hari. Hasil penelitian menunjukkan bahwa toksisitas akut air lindi mengalami penurunan secara positif dengan durasi aerasi. Sementara itu, pemberian aerasi pada lindi tidak berpengaruh terhadap reproduksi D. magna. Kata kunci: air lindi, aerasi, toksisitas akut, toksisitas kronis, D. magna PENDAHULUAN Sampah merupakan salah satu masalah lingkungan yang paling umum yang terjadi di setiap kota di Indonesia. Masalah sampah timbul karena tidak seimbangnya produksi sampah dengan usaha dalam mengurangi volume sampah. Di samping itu, meningkatnya jumlah penduduk perkotaan disertai dengan beragam aktivitas penduduk yang tinggi, secara signifikan berdampak timbulan sampah, terutama sampah rumah tangga (domestik). Keberadaan sampah dalam jumlah yang besar di lingkungan berpotensi menimbulkan masalah pencemaran lingkungan serta masalah bagi kesehatan masyarakat. Menurut Susanto dkk. (2004), diperkirakan sebanyak 60% dari jumlah total sampah perkotaan diangkut ke tempat pembuangan akhir (TPA) sampah. TPA terdapat hampir di setiap kota di Indonesia seperti halnya Kota Bandung. TPA Sarimukti terletak di Kecamatan Cipatat, Kabupaten Bandung, merupakan TPA sampah terbesar untuk kawasan Bandung metropolitan. TPA tersebut beroperasi sejak tahun 2006, dan memiliki luas lahan sebesar 25,2 Ha (BPLHD, 2011). Berdasarkan data Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Bandung Barat, volume sampah yang diangkut ke TPA Sarimukti mencapai 4.000 m3/hari. Volume sampah tertinggi berasal dari Kota Bandung yaitu sekitar 2.500 m3/hari, sedangkan dari Kabupaten Bandung sekitar 1.460 m3/hari, dengan komposisi sampah yang PROSIDING, Copyright© 2016 315
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
umumnya terdiri dari sampah organik, plastik, karet, barang pecah belah, kertas, dan logam (Suganda dkk., 2012). TPA Sarimukti pada dasarnya dibangun dengan menerapkan sistem pengelolaan sampah secara sanitary landfill. Namun demikian, sistem sanitary landfill pada TPA Sarimukti ini tidak berjalan. Oleh karena itu, walaupun TPA Sarimukti telah dikonstruksi dengan sistem sanitary landfill, sampah pada TPA Sarimukti masih dikelola secara open dumping, yaitu sampah hanya ditimbun di dalam bak TPA tanpa ada perlakuan apapun. Pengelolaan sampah secara open dumping maupun sanitary landfill dapat menimbulkan dampak negatif, salah satunya adalah pembentukan lindi (leachate) yang dapat mencemari lingkungan, khususnya lingkungan perairan, baik air permukaan maupun air tanah dangkal. Lindi merupakan cairan yang timbul dari hasil dekomposisi biologis sampah, yang mengandung bahan organik maupun anorganik. Di samping itu, kandungan nitrogen dalam lindi dapat menyebakan efek toksik pada organisme perairan, dan jika konsentrasinya berlebih dapat menghambat pertumbuhan, dan produksi ikan (Priambodho, 2005). Saat ini, upaya pemerintah dalam menanggulangi lindi yang dihasilkan dari TPA Sarimukti sudah mulai dilakukan, yaitu dengan membangun bak-bak atau kolam-kolam pengolahan pada Instalasi Pengolahan Leachate (IPL) TPA Sarimukti. Pengolahan lindi yang umumnya dilakukan meliputi pengolahan secara fisika, kimia, dan biologis. Salah satu pengolahan lindi secara biologis, yaitu pengolahan secara aerob dengan menggunakan aerasi. Aerasi dilakukan sebagai usaha penambahan oksigen yang terkandung dalam lindi, dengan tujuan agar proses oksidasi biologis oleh mikroorganisme dapat berjalan dengan baik (Edahwati & Suprihatin, 2009). IPL TPA Sarimukti sudah mulai beroperasi namun efektifitas dari proses ini masih belum dilakukan evaluasinya, terutama dari sisi toksisitasnya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai pengolahan lindi TPA Sarimukti dengan aerasi, sehingga dapat diketahui sejauh mana fungsi aerasi terhadap perubahan karakteristik lindi TPA Sarimukti. Salah satu faktor yang dapat memengaruhi upaya tersebut adalah lama waktu aerasi yang diberikan terhadap lindi. Untuk mengkaji tingkat toksisitas lindi TPA Sarimukti hasil pengolahan aerasi, dilakukan uji toksisitas terhadap organisme perairan. Uji toksisitas merupakan uji hayati (bioassay) yang berguna untuk mengindentifikasi apakah suatu senyawa bersifat toksik bagi organisme, baik akut maupun kronis (EPA, 1992). Dengan demikian penelitian mengenai toksisitas hasil pengolahan lindi TPA Sarimukti penting untuk dilakukan. Dalam hal ini, aerasi dilakukan untuk mengetahui pengaruh aerasi terhadap toksisitas lindi TPA Sarimukti. Uji toksisitas tersebut penting dilakukan untuk menilai kinerja suatu unit pengolahan. MATERI DAN METODE Organisme Uji D. magna diperoleh dari Laboratorium Lembaga Ekologi Universitas Padjadjaran dan dikultur di laboratorium pada kondisi ruang. D. magna diaklimatisasi di laboratorium selama beberapa generasi untuk memberikan cukup waktu beradaptasi dengan lingkungan laboratorium. Media kultur dikondisikan selalu di atas 3 mg/L oksigen terlarutnya, dengan temperatur antara 20 - 25oC, dan pemberikan pakan berupa ragi setiap hari. Air lindi Lindi berasal dari influent pada bak pengumpul IPL TPA Sarimukti, kemudian disimpan dalam pendingin di laboratorium hingga waktu penelitian. Aerasi lindi dilakukan secara batch, yaitu dengan memasukkan sampel lindi ke dalam akuarium terpisah dan diaerasi PROSIDING, Copyright© 2016 316
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
selama masing-masing selama 12, 24, dan 48 jam. Uji karakteristik lindi dilakukan di laboratorium untuk mengetahui sifat fisika dan kimia lindi yang meliputi DO, BOD, suhu, TDS, pH, dan amonia (NH3). Uji Toksisitas Akut Uji toksisitas akut, LC50-48 jam, dilakukan dengan menggunakan metode uji hayati statik (static bioassay) menurut APHA (2005), dimana selama uji berlangsung tidak dilakukan penggantian media. Uji toksisitas akut terdiri dari dua tahapan, yaitu uji pendahuluan dan uji LC50-48 jam. Uji pendahuluan dilakukan untuk menentukan batas kisaran konsentrasi kritis (critical consentration range) yang menjadi dasar bagi penentuan konsentrasi uji toksisitas akut. Pada uji toksisitas akut, enam tingkat konsentrasi uji (dan 1 kontrol) ditarik dari rentang konsentrasi kritis dari masing-masing media uji. Uji LC50-48 jam dilakukan menggunakan 10 ekor neonate per unit percobaan, dengan pengulangan tiga kali. Nilai LC50-48 jam dihitung dengan menggunakan analisis probit dengan menggunakan software EPA Probit Analysis, lalu dibandingkan dengan statistik one-way anova. Uji reproduksi Uji reproduksi dilakukan untuk membandingkan pengaruh lindi TPA Sarimukti aerasi dan non aerasi terhadap reproduksi D. magna. Pemilihan konsentrasi uji ini dilakukan mengacu nilai LC50-48 jam. Konsentrasi subletal yang dipilih dari masing-masing media uji adalah 1.000, 2.000, 4.000, 6.000, 8.000 ppm, dan kontrol. D. magna yang digunakan merupakan hasil pengembangbiakkan di laboratorium, yaitu keturunan ke-2 (F2). Seekor neonate didedahkan pada media uji di dalam setiap beaker glass 250 ml berisi 50 ml media uji tanpa aerasi (ASTM, 1991). Pengamatan dilakukan selama 21 hari pada suhu ruangan (24-26oC). Pakan buatan sebanyak 0,1 ml diberikan setiap hari dan media diganti setiap dua hari sekali. Setelah beranak, induk D. magna dipindahkan ke dalam beaker glass lain dengan konsentrasi larutan uji yang sama. Parameter yang diamati adalah jumlah neonate yang dilahirkan D. magna selama 21 hari (Rand, 1995). Data hasil uji toksisitas kronis dianalisis dengan menggunakan Analysis of Varians (ANOVA) dengan taraf nyata 5% dan jika berbeda nyata 0,05 , dilanjutkan dengan uji jarak berganda Duncan. Karakterisasi Air Lindi Pengukuran parameter kualitas dilakukan pada lindi TPA Sarimukti non-aerasi dan yang diberi aerasi selama 12, 24, dan 48 jam. Parameter yang diukur adalah parameter fisika dan kimia lindi TPA Sarimukti yang meliputi suhu, TDS, DO, BOD, COD, dan amonia (NH3). Pengukuran parameter didasarkan pada Standard Methods for Examination of Water and Waste Water (APHA, 2005). HASIL DAN PEMBAHASAN Toksisitas akut lindi aerasi dan non-aerasi terhadap D. magna Hasil uji toksisitas akut adalah persentase jumlah rata-rata kematian D. magna lindi TPA Sarimukti aerasi dan non-aerasi ditunjukkan pada Tabel 1. Sementara itu, nilai LC50-48 jam ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 1 menunjukkan bahwa kematian 50% D. magna pada lindi TPA Sarimukti nonaerasi terjadi pada rentang konsentrasi terendah, yaitu 10.000-16.000 ppm. Sedangkan jumlah kematian 50% D. magna pada lindi yang diberi aerasi selama 12 dan 24 jam terdapat pada rentang 25.000-40.000 ppm; sementara pada lindi yang diaerasi 48 jam jumlah kematian 50% D. magna berada pada rentang 40.000-63.000 ppm. Nilai LC50-48 jam untuk lindi non- aerasi dan aerasi 12 jam, 24 jam dan 48 jam adalah berturut-turut 14.516 ppm, 27.448 ppm, 29.320 PROSIDING, Copyright© 2016 317
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
ppm, dan 42.440 ppm. Hasil uji toksisitas ini menunjukkan bahwa makin lama aerasi diberikan pada lindi menghasilkan penurunan toksisitas air lindi. Menurut kriteria tingkat racun APEA dan ERDC (1994) dalam Rossiana dkk. (2007), nilai LC50-48 jam lindi TPA Sarimukti nonaerasi dan aerasi dikategorikan ke dalam kategori hampir tidak toksik. Tabel 1. Persentase kematian rata-rata D. magna pada uji lindi TPA Sarimukti aerasi dan non-Aerasi Jumlah Rata-Rata Kematian (%) Konsentrasi No. Larutan Uji NonAerasi 12 Aerasi 24 Aerasi 48 (ppm) Aerasi Jam Jam Jam 1. 0 0 0 0 0 2. 10.000 13,33 6,67 3,33 0 3. 16.000 66,67 13,33 13,33 6,67 4. 25.000 90 26,67 26,67 16,67 5. 40.000 100 80 73,33 26,67 6. 63.000 100 100 100 83,33 7. 100.000 100 100 100 100 Tabel 2. Nilai LC50-48 Jam Lindi TPA Sarimukti terhadap D. magna Nilai LC50-48 Jam (ppm) Lindi Lindi Lindi Pengulangan Lindi nonaerasi aerasi aerasi aerasi 12 jam 24 jam 48 jam 1 15.871 26.184 22.346 40.937 2 13.967 26.803 33.020 41.360 3 13.710 29.357 32.595 45.023 Rata-Rata 14.516 27.448 29.320 42.440 Toksisitas lindi aerasi dan non-aerasi terhadap Reproduksi D. magna Berdasarkan Tabel 3. dapat dilihat bahwa terdapat perbedaan rata-rata jumlah neonate di antara perlakuan konsentrasi, yaitu jumlah rata-rata neonate pada kontrol (0 ppm) sebanyak 80 individu berbeda nyata dengan rata-rata jumlah neonate pada perlakuan konsentrasi dari masing-masing perlakuan aerasi dan non aerasi. Namun demikian, jumlah neonate yang dihasilkan D. magna antar perlakuan non aerasi dan aerasi tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Dengan kata lain, pemberian aerasi memiliki pengaruh yang sama terhadap jumlah neonate yang dihasilkan D. magna. Setelah dilakukan penghitungan jumlah neonate D. magna selama 21 hari, data yang diperoleh dianalisis menggunakan ANOVA (α=0,05). Hasil uji ANOVA dapat dilihat pada Tabel 3. Karakteristik fisika-kimia lindi Hasil karakterisasi lindi TPA Sarimukti di laboratorium untuk beberapa parameter fisika dan kimia, yang diaerasi maupun non-aerasi dapat dilihat pada Tabel 4. Hasil analisis laboratorium menunjukkan bahwa nilai pH dan kadar DO cenderung meningkat sejalan dengan lamanya waktu aerasi yang diberikan. Sementara itu, nilai TDS, BOD, dan kadar NH3 mengalami penurunan seiring dengan durasi aerasi yang diberikan. PROSIDING, Copyright© 2016 318
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 3. Pengaruh lindi aerasi dan non-aerasi terhadap reproduksi D. magna Rata-Rata Jumlah Neonate (individu) Konsentrasi No. NonAerasi 12 Aerasi 24 Aerasi 48 (ppm) Aerasi Jam Jam Jam 1. 1.000 39 39 40 33 2. 2.000 33 41 44 41 3. 4.000 33 39 39 38 4. 6.000 34 39 36 44 5. 8.000 40 36 34 26 6. 0 80 80 80 80 Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti oleh huruf kecil yang sama, tidak berbeda nyata menurut uji Duncan pada taraf 5%. Tabel 4. Karakteristik lindi TPA Sarimukti Lindi Lindi Lindi Parameter aerasi aerasi non-aerasi 12 jam 24 jam Fisika pH 8,8 8,9 8,9 Suhu (oC) 24 24,3 TDS (ppm) 8.040 7.850 7.760 Kimia DO (mg/L) BOD (mg/L) NH3 (mg/L)
0,6 1.837 15,2
5,6 1.522 13,6
6,7 1.483 11,3
Lindi aerasi 48 jam 9,1 24,3 7.190 8,7 998 8,1
PEMBAHASAN Hasil uji toksisitas akut lindi non-aerasi dan aerasi menunjukkan empat variasi nilai LC50-48 jam yang berbeda. Nilai LC50 yang lebih tinggi, yang berarti lebih rendah toksisistasnya, diperoleh pada lindi aerasi 48 jam. Perbedaan toksisitas akut suatu bahan pencemar sangat tergantung pada jenis dan kadar toksikan yang terkandung di dalamnya. Aerasi diberikan pada lindi untuk menambah jumlah ketersediaan oksigen, dan lama waktu aerasi yang diberikan sangat memengaruhi jumlah ketersediaan oksigen yang dihasilkan (Metcalf & Eddy, 2003). Oksigen tersedia digunakan oleh bakteri aerob pada lindi TPA Sarimukti untuk mengoksidasi lindi dalam rangka memperoleh energi yang cukup demi kelangsungan hidupnya. Apabila oksigen yang dibutuhkan bakteri dalam jumlah cukup, bakteri dapat bekerja secara lebih efektif menguraikan toksikan-toksikan dalam lindi (Esmiralda, 2010). Komponen kontaminan terbesar pada lindi adalah bahan organik, yang diindikasikan oleh nilai BOD yang tinggi. Pada penelitian ini, BOD pada lindi TPA Sarimukti berada pada nilai yang tinggi, yaitu sebesar 1.837 ppm. Namun demikian, pemberian aerasi pada lindi menyebabkan nilai BOD lindi menurun sejalan dengan durasi aerasi. Aerasi yang lebih lama menyediakan oksigen lebih besar, dan dekomposisi bahan organik lebih besar. Penurunan nilai BOD menjadi indikator meningkatnya kualitas lindi. Oleh karena itu, toksisitas lindi TPA Sarimukti mengalami penurunan yang ditandai dengan nilai LC50 yang tinggi. PROSIDING, Copyright© 2016 319
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Kadar NH3 juga mengalami penurunan sejalan dengan semakin lamanya aerasi diberikan. Selama aerasi berlangsung, terjadi perombakan NH3 melalui proses nitrifikasi. Perombakan yang terjadi adalah proses oksidasi NH4+ menjadi NO2, sehingga kandungan NH3 akan berkurang dan nitrat akan meningkat. Dalam hal ini, penurunan NH3 disebabkan oleh mikroorganisme yang mendapat suplai oksigen dan makanan yang mencukupi untuk melakukan proses nitrifikasi (Sawirvi dkk., 2012). Menurut Effendi (2003), kadar NH3 bebas yang melebihi 0,2 mg/L bersifat toksik bagi biota perairan, karena mengganggu proses pengikatan oksigen oleh darah. D. magna merupakan biota perairan yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap toksikan. Menurut Sunarsih (1993), sensitifitas D. magna terhadap zat-zat toksik ini terdapat pada anggota badan yang tidak terlindungi (bagian karapaks) yang permukaannya mengalami kontak langsung dengan medium sekitarnya. Pennak (1953) menyatakan bahwa D. magna menyerap bahan-bahan organik dan anorganik oleh permukaan tubuhnya. Kematian D. magna pada uji toksisitas akut LC50 ini dapat disebabkan karena masuknya toksikan yang terkandung pada lindi TPA Sarimukti yang salah satunya adalah NH3 ke dalam tubuh D. magna melalui eksoskeleton yang merupakan akumulator jaringan terbesar. Bagian eksoskeleton tersebut dilindungi oleh karapaks yang dibutuhkan Daphnia untuk mencegah bahan toksik masuk ke dalam tubuhnya. Dalam hal ini, NH3 bersifat akut pada D. magna dan tingkat keracunannya sangat tergantung pada salinitas, suhu, dan pH, kadar tersebut akan meningkat jika terjadi penurunan kadar oksigen terlarut. Pemberian aerasi menyebabkan terjadinya penurunan beberapa bahan pencemar pada lindi TPA Sarimukti yang berpengaruh pula terhadap penurunan toksisitas lindi TPA Sarimukti. Uji reproduksi memberikan bukti bahwa lindi yang diaerasi tidak mengganggu kemampuan daphnia untuk bereproduksi. Jumlah neonate yang sama antara daphnia dari berbagai perlakuan menunjukkan bahwa residu-residu toksikan dalam air lindi setelah aerasi tidak menurunkan kemampuan reproduksi dari hewan uji. Riset ini memberikan rekomendasi bahwa teknik aerasi, sebagai salah satu pendekatan untuk menangani lindi, dapat diaplikasikan secara baik pada pengelolaan TPA. SIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan: 1. Terdapat perubahan karakteristik lindi TPA Sarimukti yang diaerasi dengan yang nonaerasi, yakni kadar DO dan nilai pH cenderung mengalami peningkatan sejalan dengan lama waktu aerasi; sebaliknya nilai BOD, NH3, dan TDS menurun sejalan dengan lama waktu aerasi yang diberikan. 2. Aerasi menurunkan toksisitas akut lindi TPA Sarimukti terhadap D. magna. 3. Pemberian aerasi menurunkan toksisitas lindi dalam kontek mengurangi gangguannya terhadap kemampuan reproduksi D. magna. DAFTAR PUSTAKA APHA. 2005. Standard Method for The Examination of Water and Wastewater (American Public Health Association). Water Pollution Control Federation. Port City, Baltimore. ASTM. 1991. Standard Method of Evaluating Wood Preservatives by Field Test Stakes. Annual Book of The American Society for Testing and Material Standards. Vol. 04.09. Philadelphia. BPLHD. 2011. TPA Bandung. http://www.bplhdjabar.go.id/. Diakses: 27 Maret 2013. PROSIDING, Copyright© 2016 320
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Edahwati, L dan Suprihatin. 2009. Kombinasi Proses Aerasi, Adsorpsi, Dan Filtrasi Pada Pengolahan Air Limbah Industri Perikanan. Jurnal Ilmiah Teknik Lingkungan. l2. (1). 79-83. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Kanisius. Yogyakarta. EPA. 1992. Methods for Measuring The Acute Toxicity of Effluents and Receiving Waters to Freshwater Organisms. 14th edition. USEPA. Ohio. Esmiralda. 2010. Uji Toksisitas Akut Limbah Cair Industri Biodiesel Hasil Biodegradasi Secara Aerob Skala Laboratorium. Jurnal Teknik Lingkungan. ISSN:0854-8471. 1. (33). 73-77. Metcalf and Eddy. 2003. Wastewater Engineering. Treatment, Disposal and Reuse. 4th Edition. Mc Graw Hill International. New York. Pennak, R. W. 1989. Freshwater Invertebrates of United States: Protozoa to Mollusca. 3rd Edition. John Wiley & Sons Inc. Singapore. Priambodho, K. 2005. Kualitas Air Lindi pada Tempat Pembuangan Akhir Sampah Galuga Kabupaten Bogor. Skripsi. Departemen Manajemen Sumber Daya Perairan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rossiana, N., T. Supriatun., dan Y. Dhahiyat. 2007. Fitoremediasi Limbah Cair dengan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms) dan Limbah Padat Industri Minyak Bumi dengan Sengon (Paraserianthes falcataria L. Nielsen) Bermikoriza. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjadjaran. Jatinangor. Sawirvi, E., Suprihatin, dan O. Suparno. 2012. Perbaikan Kondisi Proses Pengolahan Air Limbah Industri Sari Kurma. E-Jurnal Agroindustri Indonesia. ISSN:2252-3324. 1. (1). 18-24. Suganda, B. R., T.Y.W.M. Iskandarsyah., dan M. S. D. Hadian. 2012. Prediksi Arah Pencemaran Air Tanah Akibat Pembuangan Sampah Akhir di Daerah Sarimukti dan Sekitarnya Kabupaten Bandung Barat, Provinsi Jawa Barat. Bulletin of Scientific Contribution. 10. (1). 31-41. Sunarsih, A. E. 1993. Uji Hayati Lindi (Leachate) Limbah Abu Batubara terhadap Chlorella pyrenoidosa dan Daphnia carinata. Skripsi. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. Universitas Padjadjaran. Jatinangor. Susanto, J. P., S. P. Ganefati., S. Muryani. dan S. H. Istiqomah. 2004. Pengolahan Lindi (Leachate) Dari TPA Dengan Sistem Koagulasi-Biofilter Anaerobik. Jurnal Teknologi Lingkungan-P2TL-BPPT. 5. (3). 167-173.
PROSIDING, Copyright© 2016 321
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
MEWUJUDKAN EKO KAMPUS: MODEL PENGELOLAAN SAMPAH TERINTEGRASI BERBASIS MASYARAKAT KAMPUS ECO CAMPUS REALIZED: INTEGRATED MODEL OF SOLID WASTE MANAGEMENT WITHIN CAMPUS COMMUNITY-BASED Teguh Husodo1, *, Erri N. Megantara1, M. Nurzaman1, Nurullia Fitriani1, M. Satori2 1
2
Program Studi Biologi, Fakultas MIPA, Universitas Padjadjaran Program Studi Doktor Ilmu Lingkungan Pasca Sarjana Universitas Padjadjaran *Email:
[email protected]
INTISARI Limbah padat (sampah) merupakan sumber permasalahan lingkungan yang serius, dengan laju rata-rata 2,5% populasi penduduk telah memicu peningkatan kebutuhan lahan dan resiko kerusakan sumberdaya alam serta degradasi ekosistem. Kondisi tersebut memicu menurunnya daya tampung lingkungan akibat tingginya beban zat pencemar dan salah satu zat pencemar tersebut adalah sampah yang berasal dari rumah tangga dan perkantoran. Issue lingkungan bersumber dari sampah ini mencuat karena adanya kendala kemampuan pengelolaan di tingkat wilayah kota dan kabupaten, baik disebabkan oleh minimnya lahan sanitary landfill, konsep dan teknologi reduce-reuse-recylce (3R) yang sulit di praktikan serta pengetahuan dan kesadaran masyarakat yang menjadi sumber limbah/pencemar. Perguruan Tinggi adalah salah satu sumber sampah domestik yang memberi kontribusi cukup besar, posisi kampus di wilayah perkotaan dan populasi masyarakat kampus yang besar memberikan data linier dengan tingkat konsumsi dan limbah sebagai outputnya. Kondisi tersebut semakin diperburuk oleh belum adanya standar mutu pengelolaan sampah bagi suatu kampus. Berdasarkan hal tersebut, Universitas Padjadjaran berupaya menjadi kampus yang ramah lingkungan (green campus) dengan menerapkan prinsip-prinsip eco-campus (WUIR, 2014), khususnya dalam mengelola limbah kampus. Telah banyak upaya yang dilakukan oleh Unpad, namun bagaimana prinsip 3R dan pengelolaan limbah secara utuh (komprehensif dan holistik) diterapkan belum pernah diteliti. Untuk itu peneliti mencoba menggali potensi timbulan limbah yang ada didalam kampus, sehingga data/informasi mengenai jenis limbah, volume limbah, sumber limbah, sifat atau karakteristik limbah, termasuk bagaimana limbah tersebut dihasilkan perlu dilakukan sebagai bahan dari pengelolaan serta bagaimana potensi dampak yang ditimbulkan jika timbulan limbah tersebut tidak dikelola dengan baik. Aspek-aspek tersebut merupakan parameter yang akan dikumpulkan dari beberapa variable yang diusulkan. Melalui penelitian ini, maka diharapkan akan terdapat model pengelolaan limbah di tingkat domestik sebuah kampus, sehingga dapat membantu menekan sumber pencemar dalam rangka mitigasi permasalahan pencemaran dan lahan yang dihadapi saat ini. Kata kunci: eko kampus, pengelolaan sampah, reduce-reuse-recycle ABSTRACT Solid waste (garbage) is a source of serious environmental problems, with an average rate of 2.5% of the population has led to increased land requirements and the risk of damage to natural resources and the degradation of ecosystems. The conditions trigger the declining PROSIDING, Copyright© 2016 322
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
capacity of the environment due to the high load of contaminants and pollutants such one is waste from households and offices. Environmental issues derived from this litter sticking because of the constraint management capability in areas of the city and district levels, either due to lack of land sanitary landfill, concepts and technologies reduce-reuse-recylce (3R) which is difficult in practise as well as knowledge and awareness is the source waste / pollutants. Universities are one of the sources of domestic waste which contributes quite large, campus positions in urban areas and a large population of the campus community gives linear data with the level of consumption and waste as output. The condition was exacerbated by the lack of quality standards of waste management for a campus. Based on this, Padjadjaran University campus strives to be environmentally friendly (green campus) by applying the principles of eco-campus (WUIR, 2014), especially in managing waste. There have been many efforts made by Unpad, but how the principles of the 3Rs and waste management as a whole (comprehensive and holistic) applied has not been studied. To the researchers tried to explore the potential of existing waste generation within the campus, so that the data / information about the type of waste, waste volume, waste sources, properties or characteristics of the waste, including how the waste is produced needs to be done as a matter of management as well as how the potential impact if generation of waste is not managed properly. These aspects are the parameters to be collected from several variables are proposed. Through this research, it is expected that there will be a model of waste management at the domestic level a campus, so it can help reduce the sources of pollution in order to mitigate the problems of pollution and land faced today Keywords: eco campus, solid waste management, reduce-reuse-recycle PENDAHULUAN Sampah merupakan salah satu persoalan lingkungan di Indonesia baik dilihat dari kuantitas dan kualitas timbulannya maupun manajemen pengelolaannya. Dilihat dari timbulannya kompleksitas persampahan dipengaruhi oleh tingkat pertumbuhan dan gaya hidup sedangkan dari sisi manajemen pengelolaan dipengaruhi oleh kapasitas atau kemampuan pengelolaan yang disediakan oleh universitas maupun di tingkat fakultas. Pengelolaan sampah belum dijadikan sebagai persoalan program prioritas bila dibanding dengan pembangunan fisik dan kegiatan ekonomi lainnya, sehingga akibatnya kemampuan pengelolaan atau tingkat pelayanan dalam pengelolaan limbah masih rendah. Hal tersebut tidak hanya terjadi di lingkungan kampus berbagai perguruan tinggi namun juga pada tingkat pemerintah daerah. Data dari JICA (2008) menunjukkan bahwa kemampuan pengelolaan sampah baru mencapai 59% dari total penduduk, sedangkan hasil penelitian di Kesehatan Dasar (2010) memberikan informasi bahwa tingkat pengelolaan sampah oleh pemerintah daerah baru mencapai 23,4%, sedangkan sampah yang dibakar secara liar mencapai 52,1%. Manajemen pengelolaan sampah di berbagai negara kini telah mengalami pergeseran dari pendekatan ujung pipa (end of pipe treatmen) ke pendekatan pencegahan (reducing), penggunaan ulang (reusing) dan pendaurulangan (recycling) atau yang dikenal dengan 3R. Hal ini disebabkan karena laju timbulan sampah yang makin meningkat sementara daya tampung alam dan daya dukung alam yang makin terbatas terutama di wilayah perkotaan. Rendahnya tingkat pelayanan serta berbagai kasus yang mencuat belakangan ini terkait dengan keberadaan tempat pemrosesan sampah, baik ditingkat sementara (TPS) maupun ditingkat akhir (TPA). Seperti juga permasalahan limbah secara umum, limbah didalam kampus juga dihadapkan kepada kendala serupa, yaitu kapasitas dan dampak lingkungan yang terjadi semakin tinggi dibandingkan dengan kemampuan daya dukung alam terhadap laju timbulan limbah. PROSIDING, Copyright© 2016 323
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Kampus Universitas Padjadjaran memiliki tidak kurang 25.000 populasi masyarakat kampus, letaknya di kota satelit pendidikan Jatinangor membuat Unpad menjadi kontributor limbah bagi lingkungan. Data empirik tahun 2011 menunjukkan data bahwa volume sampah dikampus Unpad dalam dua hari menghasilkan tidak kurang dari 2 ton limbah padat/sampah. Hasil penelitian di Universitas Dipenogoro (2011), diperoleh informasi bahwa dengan rata-rata jumlah populasi masyarakat kampus yang mencapai 25.000 orang akan menghasilkan timbulan limbah padat (sampah) tidak kurang dari 31,63 m3/hari (1600,94 kg/hari), dan jika menggunakan data yang sama diperkirakan akan dibuang limbah cair sebesar 150.000 ltr greywater dan 75.000 ltr blackwater. Data tersebut belum termasuk limbah cair laboratorium, termasuk jenis dan karakter limbah yang dibuang.Kondisi tersebut apabila dibiarkan akan menjadi potensi besar terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan didalam kampus maupun lingkungan sekitar kampus,tidak hanya aspek estetika, namun juga dampak kesehatan lingkungan mengingat limbah dapat menjadi sumber penyebaran vektor penyakit seperti tikus, lalat, dan nyamuk. Timbulan limbah yang menjadi permasalahan lingkungan, pengelolaan limbah yang masih dijalankan dengan cara-cara konvensional dan sederhana serta dalam manajemen yang tidak terkoordinir akan meningkatkan permasalahan limbah semakin bertambah rumit dan menjadi sulit teratasi. Hal yang sama juga ditemukan di lingkungan kampus Unpad, meskipun telah dikelola oleh UPT Lingkungan dan K3L, namun tingginya populasi masyarakat kampus dan pola pengelolaan yang konvensional tersebut masih menyebabkan kendala dalam pengelolaan lingkungan. Salah satu upaya untuk menekan hal tersebut diperlukan suatu data/informasi mengenai data dasar dari limbah yang dihasilkan. Melihat permasalahan persampahan yang makin kompleks maka diberbagai lingkungan kampus dan wilayah pemerintah daerah telah dikembangkan system manajemen pengelolaan limbah secara terpadu (integrated waste management). Hal ini disebabkan karena tidak ada teknologi tunggal yang dapat menyelesaikan persoalan persampahan (Tehrani et al., 2009). Konsep pengelolaan limbah secara terintegrasi memberikan menyediakan pililihan pengolahan sampah secara fleksibel didasarkan jenis dan karakter limbah berbeda seperti plastik, gelas, sampah organik atau sampah yang dapat dikomposkan (Zaman, 2010). Konsep pengelolaan limbah terpadu merupakan pilihan yang dianggap tepat saat ini dengan teknik dan manajemen yang disesuaikan untuk mencapai tujuan dari pengelolaan limbah itu sendiri (Tchobanoglous, 2002).Konsepketerpaduan dalam pengelolaan limbah terintegrasi harus dilihat dari berbagai aspek, diantaranta aspek metode, teknologi, aspek sosial, hingga aspek perilaku dan aspek keberlanjutan. Mengacu kepada kebijakan penelitian pemerintah, usulan penelitian ini selaras dengan rencana induk penelitian - RIP Unpad pada bidang Lingkungan Hidup dengan tema Perlindungan dan Pengelolaan Sumberdaya Alam danLingkungan Hidup, dan juga Pilar Penelitian Lingkungan pada Cluster EcoCampus (Gambar 1). Pembatasan masalah penelitian yang akan dilakukan adalah sebagai berikut: a) Jenis, komposisi dan besaran serta karakteristik timbulan limbah (padat, cair, B3 dan laboratorium) yang dihasilkan di kampus UNPAD Jatinangor. b) Bagaimana sikap dan perilaku masyarakat kampus berkaitan dengan pengelolaan limbah, c) Identifikasi sistem pengelolaan sampah yang telah berjalan di kampus Unpad Jatinangor dan d) Arahan strategi pengelolaan limbah yang terintegrasi dengan program Eco Campus. Tujuan penelitian adalah identifikasi timbulan limbah didalam kampus sebagai data base dari limbah kampus Unpad sebagai landasan untuk pengelolaan limbah terpadu (integrated solid waste management) dan meningkatkan kualitas lingkungan kampus UNPAD terutama berkaitan dengan aspek pengelolaan limbah. PROSIDING, Copyright© 2016 324
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
MATERI DAN METODE Kerangka Pemikiran Penelitian ini pada dasarnya adalah merupakan penelitian dasar dan aplikasi (applied research) yaitu mengaplikasikan berbagai teori dasar yang telah dikembangkan dalam sebuah sistem pengelolaan sampah yang terintegrasi. Prinsip sistem pengelolaan sampah tersebut adalah : (a) terintegrasi (integrated) yakni mengintegrasikan berbagai konsepsi keilmuan yang telah dikembangkan dalam pengelolaan sampah baik menyangkut konsepsi lingkungan yang berpijak pada tiga pilar pembangunan yaitu ekologi, ekonomi dan sosial; (b) kemprehensif, yaitu konsepsi-konsepsi yang di akan diterapkan adalah lengkap mulai dari hulu (sumber sampah) hingga hilir (end product); dan (c) acceptable, yaitu dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan terutama yang terlibat di dalamnya. Secara teknis, sistem pengelolaan limbah yang akan dikembangkan melalui penelitian ini terbagi dalam 3 (tiga) subsistem, yaitu : (a) subsistem pengelolaan di hulu (sumber sampah); (b) subsitem pengumpulan dan pengolahan antara; dan (c) subsistem pengolahan di hilir yakni lebih pada mengembangkan kegiatan usaha pemanfaatan sampah hingga produk akhir. Untuk mengembangkan usaha hilir tersebut dimungkinkan untuk disinergikan dengan kegiatan usaha lain (business link) seperti peternakan dan pertanian.Selengkapnya kerangka konseptual penelitian tersebut diperlihatkan dalam Gambar 3 di bawah ini. Seperti terlihat pada Gambar 3, aspek kegiatan usaha lain merupakan pengembangan kerangka penelitian setelah kegiatan utama di hulu dapat dikelola dengan baik.
Gambar 1. Road Map Pilar Lingkungan pada Cluster EcoCampus Road Map Penelitian Penelitian yang diusulkan ini merupakan rangkaian penelitian yang tidak terpisahkan dari penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan Pengusul serta penelitian yang akan datang dengan hasil akhir yang ingin dicapai adalah terwujudnya sistem pengelolaan limbah dengan pola 3R menujusistem zero wasteyang didukung oleh teknologi ramah lingkungan. Untuk
PROSIDING, Copyright© 2016 325
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
mewujudkan kondisi tersebut maka peta jalan (road map) penelitian tersebut terbagi dalam 3 fase, yaitu: Fase 1: Merupakan fase awal dalam medapatkan data/informasi tentang timbulan limbah yang terdapat didalam kampus Unpad Jatinangor. Fase ini merupakan fase penting untuk membangun konsep pengelolaan yang akan dilakukan. Fase 2: Merupakan fase pengembangan dari konsep pengelolaan limbah skala kawasan dengan pola 3R (reduce, reuse, recycle) yang didukung teknologi tepat guna. Penelitian yang dilakukan pada fase ini adalah pengembangan teknologi pengelolaan limbah secara tekonologi yang dituangkan kedalam desain. Fase 3: Merupakan fase pengembangan konsep pengelolaan limbah skala kawasan dengan pola 3R, yaitu dengan mengembangkan instrumen ekonomi sebagai alat kendali. Beberapa pendekatan yang akan dipergunakan dalam instrumen ekonomi ini adalah pengelolaan limbah padat yang menerapkan deposit refund system. Misalnya pada kantin-kantin didalam kampus. Fase 4: Merupakan fase optimalisasi sistem 3R menuju sistem zero waste. Pada fase ini akan dilakukan pengembangan teknologi gasifikasi untuk memanfaatkan residu dari kegiatan daur ulang yang selama ini sering jadi kendala. Fase ini diharapkan terjadi penghematan penggunaan energi bahan bakar minyak, mengembangkan energi alternatif biomasa dari residu sampah yang saat ini tengah dikembankan oleh pilar PUPT lain di Unpad. DESAIN PENELITIAN Penelitian ini secara umum menggunakan pendekatan kuantitatif-kualitatif riset, dimana penelitian kuantitatif digunakan untuk mengetahui tingkat timbulan dan karakteristik sampah di UNPAD sedangkan penelitian kualititatif digunakan untuk mengetahui persepsi civitas akademika terhadap pengelolaan sampah UNPAD. Untuk penelitian kondisi eksisting pengelolaan persampahan UNPAD dilakukan dengan metode survey dengan pengamatan langsung, sedangkan untuk mengetahui timbulan sampah dan persepsi sivitas akademikan dilakukan dengan survey secara acak dengan menggunakan sampling proporsional. Wawancara. Teknik wawancara terstruktur ini dilakukan dengan panduanwawancara untuk mengetahui kondisi eksisting pengelolaan limbah di kampus UNPAD. Sedangkan untuk mengetahui persepsional civitas akademika menggunakan kuesioner dan wawancara. Observasi. Dilakukan dengan melakukan pengamatan langsung terhadap kegiatan pengelolaan sampah UNPAD serta untuk mengetahui sarana dan prasarana pengelolaan limbah yang ada. Pengambilan sampel dan pengolahan data. Pengambilan sampel dan pengolahan data ini dilakukan untuk menghitung timbulan limbah eksisting. Teknik pengambilan sampel tersebut berpedoman pada SNI 19-3964-1994 yaitu metode pengambilan dan pengukuran contohtimbulan dan komposisi limbah perkotaan, yang dimodifikasi sesuai dengan kondisi masyarakat kampus. Operasionalisasi Variabel Penelitian. Operasionalisasi variabel dilakukan untuk membantu dalam pelaksanaan penelitian terutama pembatasan masalah yang diteliti, penetapan variabel penelitian, serta parameter yang akan diukur berikut dengan jenis data yang harus diambil. Secara ringkas operasional variabel penelitian disajikan pada Tabel 1. PROSIDING, Copyright© 2016 326
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tabel 1. Operasional Variabel Penelitian N o
Sasaran Kajian
1
Kondisi pengelolaan limbah di sumber
Parameter Dimensi
Variabel
Timbulan dan karakteristik
Timbulan sampah perkantoran (termasuk gedung kuliah dan laboratorium) Timbulan sampah kantin Timbulan sampah taman
Sosialbudaya civitas akademika
Civitas akademika
Organik, plastik, kertas, logam dan kaleng, B3, lainnya
Primer
Teknik Pengumpulan Data Sampling
Organik, plastik, kertas, ogam dan kaleng, B3, lainnya Organik, plastik, kertas, ogam dan kaleng, B3, lainnya Jumlah mahasiswa, jumlah dosen, jumlah karyawana
Primer
Sampling
Primer
Sampling
Sekunder
Peninjauan Data Sekunder
Primer
Sampling proporsional Wawancara semistruktur dengan informan Pengamatan langsung
Jenis Data
Persepsi civitas akademika
2
Teknik operasional
Latar belakang budaya
Kelompok etnik, budaya masyarakat
Primer
Pewadahan
Jenis wadah
Primer
Pengumpulan
Cara pengumpulan sampah
Bahan/material, jumlah dan kapasitas, terpilah/tercampur Jenis alat/armada, perioda pengumpulan, jumlah petugas
Pengolahan
Primer
Sumber Data Petugas pengumpul sampah
Petugas pengumpul sampah Petugas pengumpul sampah Laporan profil mahasiswa, dosen dan karyawan UNPAD Mahasiswa, dosen dan karyawan Informasi dari tokoh masyarakat Informasi dari petugas kebersihan
Pengamatan dan wawancara semistruktur dengan informan Pengamatan langsung dan sampling
Informasi dari informan yang mengetahui
Kinerja pengumpulan
Jumlah sampah yang terkumpul, terpilah/tercampur
Primer
Sampah organik
Jenis pengolahan, kapasitas pengolahan, teknologi yang digunakan Jenis pemanfaatan sampah anorganik, jumlah sampah anorganik yang diolah/dimanfaatkan
Primer
Pengamatan langsung
Petugas kebersihan kampus
Primer
Pengamatan langsung
Petugas kebersihan kampus
Sampah non organik
Petugas kebersihan kampus
PROSIDING, Copyright© 2016 327
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tahapan penelitian dijelaskan dengan menggunakan flowchart seperti pada Gambar 2. Uraian secara lengkap dari tahapan penelitian pada tahun pertama dan kedua adalah sebagai berikut: Perumusan Masalah. Perumusan masalah dilakukan berdasar pada hasil pengamatan awal mengenai kondisi pengelolaan limbah yang ada di Kampus Unpad Jatinangor. Kajian Literatur. Kajian literature dilakukan dengan mereview literature-literatur yang berkaitan dengan pengelolaan limbah.Teori-teori mengenai program pengolahan sampah dengan konsep 3R serta beberapa aturan dan kebijakan terkait juga menjadi dasar pelaksanaan penelitian ini. Termasuk kajian tentang peraturan perundang-undangan terkait dengan pengelolaan sampah diantaranya : UU No. 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, UU No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, PP No 81 tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga, dan lainlain, diperlukan untuk mendapatkan gambaran kebijakan nasional dalam pengelolaan sampah. UNPAD Waste Management (UWM) Mapping. Pemetaan ini dilakukan untuk mengetahui kondisi eksisting sistem pengelolaan limbah UNPAD, yang meliputi : timbulan dan karakteristik sampah, teknik operasional (pewadahan, pemilahan, pengumpulan, dan seterusnya) serta sarana dan prasarana yang ada, serta survey tentang persepsi masyarakat kampus terkait dengan persampahan. Penelitian ini dilakukan baik dengan melakukan sampling maupun pengamatan langsung ke lapangan. Pengolahan dan kompilasi data. Data yang diperoleh kemudian diolah dan dikompilasi sesuai dengan kebutuhan rancangan pada tahap sebelumnya. Rancangan Manajemen Pengelolaan Limbah UNPAD terpadu. Pada tahap ini rancangan pengelolaan sampah meliputi : sistem pemilahan dan sistem pewadahan, serta sistem pengumpulan sampah dari masing-masing lokasi pewadahan. Rancangan sistem pengolahan sampah (business plan). Pada tahap ini rancangan akan dikonsentrasikan pada pengembangan usaha dengan bahan baku sampah. Dalam pengembangan usaha ini terdapat 4 kelompok sampah yang akan dijadikan konsentrasi pengolahan: sampah organik, sampah plastik, sampah kertas, dan sampah logam/kaleng. Selain sampah-sampah tersebut akan digolongkan pada katagori residu dan akan diolah dengan teknologi gasifikasi untuk mendapatkan energi alternatif. Analisis kelayakan usaha. Karena sistem pengelolaan limbah ini terintegrasi dengan usaha pengolahan dari hulu hingga hilir (end product) maka penting kiranya untuk dilakukan kajian kelayakan usaha secara ekonomis. Implementasi. Setelah semua sistem dinyatakan layak maka langkah selanjutnya menerapkan konsep yang telah disepakati serta diujicobakan dalam sistem ril. UCAPAN TERIMA KASIH Terima kasih kepada Wakil Rektor 3 UNPAD dan Ketua LPPM UNPAD untuk mendorong penyusunann program eco campus UNPAD dan pendanaan PUPT UNPAD.
PROSIDING, Copyright© 2016 328
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
DAFTAR PUSTAKA Bandara, N. J., Hettiaratchi, J. P., Wirasinghe, S. C., & Pilapiiya, S. (2007). Relation of waste generation andcomposition to socio-economic factors: a case study. Environmental Monitoring and Assessment,135(1-3),31-39. http://dx.doi.org/10.3923/rjasci.2010.183.190 Bruck, Wolffram. (2000). Organisation for Economic Cooperation and Development. The OECD observer 221/222 (Summer 2000): 64-65. Carvalho, Pedro; Marques, Rui Cunha. (2014). Economies of size and density in municipal solid waste recyclingin Portugal. journal homepage: www.elsevier.com/locate/ wasm an Chang, Ni Bin; Shoemaker, Christine A.; and Schuler, Richard E.; 1996.Solid WasteManagement System Analysis with Air Pollution and Leachate Impact Limitation.Waste management & Research, 1996, 14, pp.463-481 Chang, N. B., & Lin, Y. T. (1997). An analysis of recycling impacts on solid waste generation by time seriesintervention modeling. Resources, Conservation and Recycling, 35(3), 201214.http://dx.doi.org/10.1108/17506180810891582 Chen, H. W., & Chang, N. B. (2000). Prediction analysis of solid waste generation based on grey fuzzy dynamicmodeling. Resources, Conservation and Recycling, 29(1-2), 118.http://dx.doi.org/10.1016/S0921-3449(99)00052-X Cherian, Jacob; Jacob, Jolly. 2012. Management Models of Municipal Solid Waste: A Review Focusingon Socio Economic Factors.International Journal of Economics and Finance; Vol. 4, No. 10; 2012ISSN 1916-971X E-ISSN 1916-9728 Dalemo, M., Frostell, B., Jönsson, H., Mingarini, K., Nybrant, T., & Sonesson, U. (1997). ORWARE – asimulation model for organic waste handling systems, Part 1: Model description. Resources, Conservationand Recycling, 21(1), 17-37. http://dx.doi.org/10.1177/0734242X06062485 Dyson, B., & Chang, N. B. (2005) 'Forecasting municipal solid waste generation in a fastgrowing urban regionwith system dynamics modeling. Waste Management, 25(7), 669679.http://dx.doi.org/10.4236/jep.2012.31015 Folz, David H. 1991. Recycling Program Design, Management and Participation: A National Survey of Municipal Experience. University of Tennesseee. ProQuest Research Library pg. 222. Folz, D. H. (1995). The economics of municipal recycling: A preliminary analysis. Public AdministrationQuarterly, 19(3), 299. Retrieved from http://search.proquest.com/docview/226971218?accountid=50656 Guerrero, Lilliana Abarca; Maas, Ger; Hogland, William; 2013. Solid waste management challenges for cities in developing countries. journal homepage: www.elsevier.com/locate/wasman PROSIDING, Copyright© 2016 329
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Kato, Takaaki; Pham, Dung Thi Xuan; Hoang, Hai; Xue, Yonghai; Tran, Quang Van. (2012). Food residue recycling by swine breeders in a developing economy: A case studyin Da Nang, Viet Nam. journal homepage: www.els evier.com /locate/wasman Karavezyris, V., Timpe, K., & Marzi, R. (2002). Application of system dynamics and fuzzy logic to forecastingof municipal solid waste. Mathematics and Computers in Simulation, 60(3-5), 149-158.http://dx.doi.org/10.1016/j.resconrec.2006.06.002 Navarro-Esbrí, J., Diamadopoulos, E., & Ginestar, D. (2002). Time series analysis and forecasting techniques formunicipal solid waste management. Resources, Conservation and Recycling, 35(3), 201-214.http://dx.doi.org/10.1177/0734242X10396754 Nowosielski, R. A; Kania, M. Spilka. (2008). Integrated recycling technologyas a candidate for best available techniques. International Scientific Journal, published monthly by theWorld Academy of Materialsand Manufacturing Engineering. Prawiradinata, Rudy S. 2004. Integrated Solid Waste Management Model:The Case Of Central Ohio District. Dissertation, The Degree Doctor of Philosophy in the GraduateSchool of The Ohio State University Rathi, Sarika (2007). Optimization model for integrated municipalsolid waste management in Mumbai, India. Environment and Development Economics 12: 105–121 C_2007 Cambridge University Pressdoi:10.1017/S1355770X0600341X Printed in the United Kingdom Sakai, Kenji; Taniguchi, Masayuki; Miura, Shigenobu; Ohara, Hitomi; Matsumoto, Toru; and Shirai, Yoshihito; (2004). Making Plastics from GarbageA Novel Process for Poly-LLactateProduction from Municipal Food Waste. Journal of Industrial Ecology, Volume 7 No. 3-4. Satori, Mohamad. (2003).Rancangan Sistem Industri Kecil Daur Ulang (IKDU) dalam Mewujudkan Sistem Pengelolaan Sampah Perkotaan Secara Terpadu, Thesis Magister, Program Pasca Sarjana Program Studi Pembangunan, ITB Skovgaard, M., Moll, S., Andersen, F. M., & Larsen, H. (2005). Outlook for waste and material Xows: baselineand alternative scenarios. Working Paper 1. European Topic Centre on Resource and Waste Management,Copenhagen, Denmark Surjandari, Isti; Akhmad Hidayatno, Ade Supriatna. (2009). Model Dinamis Engelolaan Sampah untukMengurangi Beban Penumpukan. Jurnal Teknik Industri, Vol. 11, No. 2, Desember 2009, pp. 134-147ISSN 1411-2485. Fakultas Teknik, Departemen Teknik Industri, Universitas IndonesiaKampus UI Depok, Jakarta 16424. Taiwo, Oluwatoyin; Otieno, Fred; Vorster, Kobus; Fowler, Marie; (2009). Iintegrated solid waste management: an innovative and pragmatic approach to solving dwindling landfill capacity in Johanesburg. Source : http : // www.saice.org.za / downloads / monthly_ publications / 2009 / 2009-Civil%20Aug /# / 0
PROSIDING, Copyright© 2016 330
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Tchobanoglous, George, (2002). Hand book of Solid Waste Management, International Student Edition, McGraw – Hill, Inc. Zhang, Qinglin, Dor Liran, Fenigshtein dikla, Yang, Weihong, & Wlodzmierz. (2011). Gasification of municipalsolid waste in the Plasma Gasification Melting process. Applied Energy Zurbrügg, Christian. 2003. Urban Solid Waste Management in Low-Income Countries of AsiaHow to Cope with the Garbage Crisis.Department of Water and Sanitation in Developing Countries (SANDEC)Swiss Federal Institute for Environmental Science and Technology (EAWAG)P.O. Box 6118600 – DuebendorfSwitzerlandSyakura, R. 2006. Analisis Vegetasi Hutan Dataran Rendah Dengan Metode Diagram Profil di Blok Nanggorak Cagar Alam Pananjung Pangandaran. [Skripsi] Universitas Padjadjaran, Bandung [Indonesia] Whitmore, T.C. 1998. An Introduction to Tropical Rain Forests. Oxford Universty Press. New York.
PROSIDING, Copyright© 2016 331
SEMINAR NASIONAL BIOSAINS 2, Denpasar – Bali, 19-20 November 2015 “Penguatan Biologi sebagai Ilmu Dasar untuk Menunjang Kemajuan Sains dan Teknologi”
Rumusan masalah Review peraturan perundang-undangan dan kebijakan persampahan
Kajian literatur manajemen persampahan
Pengembangan Metodologi UNPAD SWM Mapping Survey timbulan dan karakteristik sampah
Survey teknik operasional & sarana/prasarana
Survey persepsi masyarakat kampus
Metode : Pencatatan selama 1 bulan
Metode : Pengamatan langsung
Metode : penyebaran questioner secara sampling
Pengolahan dan kompilasi data
UNPAD Integrated SWM Model Design
Disain sistem pemilahan dan pewadahan
Disain sistem pengumpulan sampah
Laporan Tahun ke-2
Disain sistem pengolahan (Business plan) Pengolahan sampah organik
Pengolahan sampah Plastik
Pengolahan sampah kertas
Pengolahan sampah logam & kaleng
Pengolahan residu Tidak Analisis Kelayakan
Analisis biaya
Layak Implementasi
Laporan Tahun ke-2
Gambar 2. Tahapan Penelitian
PROSIDING, Copyright© 2016
332