PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA UNTUK PERDAMAIAN KASUS THE 2 ND WORLD PEACE FORUM CDCC (CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILIZATIONS)
Disusun Oleh:
Fauzia Ningtyas NIM 104051001900
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1340 H/ 2009 M
PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA UNTUK PERDAMAIAN KASUS THE 2ND WORLD PEACE FORUM CDCC (CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILIZATIONS)
SKRIPSI Diajukan sebagai tugas akhir dalam jenjang Strata Satu (S1) pada Fakultas Dakwah dan Komunikasi guna mencapai gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)
Oleh:
FAUZIA NINGTYAS NIM 104051001900
Di bawah bimbingan:
Dr. H. Arief Subhan, MA NIP 199601101993031004
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/ 2009 M
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli penulis, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang penulis gunakan dalam penulisan ini telah penulis cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Hidayatullah Jakarta 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli penulis atau merupakan hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 6 September 2009
Fauzia Ningtyas
ABSTRAK Komunikasi antar Budaya merupakan sebuah topik dan elemen yang sangat penting di tengah zaman globalisasi ini. Hubungan antar bangsa yang tidak didasari oleh Komunikasi antar Budaya yang baik akan menimbulkan konflik dan kekerasan baik itu dalam lingkup nasional maupun internasional. Bagi berbagai kelompok agama, politik, etnis, bangsa maupun ideologi di dunia ini. Kekerasan yang dipicu oleh berbagai faktor etnis, agama, bangsa, ideologi maupun individu itu memberikan dampak sosial yang meninggalkan trauma mendalam bagi masyarakat secara jiwa dan fisik dan juga menghancurkan berbagai infrastruktur negara atau daerah setempat. Oleh karena itu, bagaimana caranya kita bisa menemukan solusi untuk mengurangi berbagai tindak kekerasan tersebut dan mewujudkan perdamaian. Dalam konteks ini, Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) sebagai sebuah lembaga antar peradaban memiliki tujuan untuk mengusung nilai-nilai perdamaian dan berusaha untuk melawan berbagai tindak kekerasan yang terjadi baik di Indonesia maupun di negara lain. Melalui dialog dan kerjasamanya yang konseptual dan praktis diantara berbagai kelompok agama, bangsa, etnik, ideologi, dan lain sebagainya dan diantaranya adalah The 2nd World Peace Forum yang menjadi studi kasus dalam skripsi ini. Forum yang dilatarbelakangi oleh penyebaran konflik dan kekerasan yang begitu meluas serta terjadinya berbagai konflik seperti pertikaian di Aceh antara GAM dan pemerintah, invasi Amerika Serikat terhadap Irak, konflik di Thailand Selatan, konflik antara India dan Pakistan. Forum ini merupakan bekerja sama CDCC dengan Multi Culture Society yang diadakan di Jakarta pada tanggal 24-26 Juni 2009. melalui forum ini, penulis akan melihat bagaimana perspektif para peserta forum tentang tema terkait dan solusi apa yang mereka tawarkan. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori komunikasi antar budaya, teori identitas serta stereotif dan prasangka, tujuannya adalah untuk melihat bagaimana faktor komunikasi antar budaya dan identitas yang menjadi penyebab konflik dan kekerasan yang terjadi di berbagai negara, melalui penelaahan pada beberapa pembahasan terkait yang disampaikan oleh para peserta The 2nd World Peace Forum. Dalam Forum internasional ini, penulis akan melihat pendapat beberapa pembicara yang terkait dengan tema Komunikasi antar Budaya untuk Perdamaian. Adapun metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat eksploratif dengan sumber data yang diperoleh melalui wawancara dan dokumentasi yang didapat dari buku, brosur CDCC dan situs www.cdccfoundation.org dan www.worldpeaceforum.net, serta arsip-arsip yang ada pada panitia The 2nd World Peace Forum dan Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC). Penulis akan menelaah beberapa makalah terkait dengan kaca mata Komunikasi antar Budaya dalam konteks perdamaian yang didukung oleh wawancara dan berbagai dokumentasi terkait. Penulis melihat kesimpulan bahwa kekerasan dan konflik yang terjadi di berbagai negara memang tidak hanya disebabkan oleh satu faktor utama melainkan beberapa faktor berbeda dan saling mendukung. Faktor agama, politik, bangsa, budaya bahkan ideologi pribadi bersatu bersama menjadi satu alasan konkrit terjadinya konflik dan kekerasan yang merusak perdamaian. Maka dengan diadakannya forum internasional yang membahas konflik dan kekerasan serta solusi untuk memecahkan dan mewujudkan perdamaian ini, diharapkan bisa memberi
pemahaman baru, motivasi dan harapan baru melalui dialog dan kerja sama yang diadakan diantara berbagai kelompok yang berbeda identitas. Forum ini mengusulkan untuk terus melakukan dialog dan kerja sama dan tetap menjalin komunikasi antar budaya yang bisa mencegah terjadinya konflik dan membantu terwujudnya perdamaian nasional maupun internasional. Selain itu, pemerintah pun menjadi faktor penting dalam menciptakan jembatan komunikasi antar budaya dan selanjutnya ikut serta dalam mewujudkan misi perdamaian dunia.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan mengucapkan puji serta syukur ke hadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat yang telah diberikan sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini, penggenggam setiap kejadian, pengangkat kemuliaan, dan penyempurna kebahagiaan. Shalawat salam semoga selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan umatnya hingga akhir jaman. Skripsi ini disusun sebagai tugas terakhir selama menempuh jenjang Strata Satu (S1) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, juga sebagai persyaratan dalam meraih gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) di Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini dapat terselesaikan atas dukungan dan bantuan serta bimbingan semua pihak, oleh karena itu rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya dihaturkan kepada:
1. Dr. H. Arief Subhan, MA selaku Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi, Drs. Wahidin Saputra,MA selaku pembantu dekan I, Drs. H. Mahmud jalal, MA selaku Pembantu Dekan II, Drs. Studi Rizal L.K., MA selaku Pembantu Dekan III Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. Wahidin Saputra, MA selaku Ketua Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Drs. Hasanuddin Ibnu Hibban, MA selaku Pembimbing Akademik mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam angkatan 2004 kelas E.
3. Dr. H. Arief Subhan, MA sebagai pembimbing skripsi, dengan kesabaran dan kebijaksanaan serta keluasan wawasan keilmuannya telah memberikan bimbingan serta arahan dalam pembuatan skripsi ini. 4. Segenap dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan mengajarkan ilmu yang bermanfaat selama kuliah di Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. 5. Ketua beserta staf Perpustakaan Fakultas Dakwah dan Perpustakaan Umum yang telah memberikan pelayanan dalam mencari referensi-referensi selama kuliah dan dalam pembuatan skripsi ini. 6. Dr Abdul Mu’ti selaku Direktur Eksekutif CDCC dan Ketua OC The 2nd WPF dan Mas Izza Rohman selaku Wakil Direktur Program CDCC dan Sekretaris OC The 2nd WPF yang telah membantu untuk menyediakan bahan-bahan skripsi yang diperlukan. 7. Ayah dan Ibu (Alm), Agus Koswara dan Dra. Ai Fatimah (Alm) serta paman dan Bibi, Ika Rostika dan Bambang Teguh yang telah mendukung baik secara moril maupun materil untuk keberhasilan studi anak mereka. 8. Kepada yang tercinta Raihan Fuadi, yang telah memberikan semangat dan dukungan tanpa henti, yang telah menghiasi kehidupanku dan berjuang bersama menyelesaikan studi dan melanjutkan kehidupan bersama nanti, amin yra. 9. Kepada semua pihak (orangtua, adik, saudara, sahabat dan teman) Raihan Fuadi, Annisa, Amy, Ola, Eky, Nurul F., Destaria, Kanda Muchlas N., temanteman KPI E 2004 ( Hasan, Maheso, Hanif, Lala dll), BEM FDK dan HMI ( Dera, Santi, Engkong, M. Fadli, Fuad, dll), kawan-kawan di FLAT dan pihak lain yang telah membantu selama masa studi dan proses penulisan skripsi ini.
Hanya harapan dan do’a kepada Allah SWT, penulis berlindung dan berserah semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya. Serta kepada seluruh pihak yang telah membantu kelancaran skripsi ini semoga selalu dimantapkan iman, Islam dan ihsan dari Allah SWT.
Amien Ya Rabbal A’lamien.
Jakarta, 18 September 2009
Penulis
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN ABSTRAK KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii BAB I
: PENDAHULUAN ................................................................................. 1 A. Latar Belakang Masalah ………………………………………….. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah …………………………….. 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian …………………………………… 6 D. Metodologi Penelitian ……………………………………………. 7 E. Sistematika Penulisan ……………………………………………. 9 BAB II : LANDASAN TEORI ……………………………………………… A. Konsep Komunikasi Antarbudaya ………………………………. . 10 B. Identitas …………………………………………………………… 31 C. Stereotip dan Prasangka …………………………………………... 45 D. Harapan Komunikasi antar Budaya ………………………………. 51 E. Implementasi dalam Perdamaian ………………………………… 55 BAB III : GAMBARAN UMUM ORGANISASI CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILIZATIONS (CDCC) DAN THE 2nd WORLD PEACE FORUM ………………………………………… A. Profil Organisasi Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), Menteng, Jakarta Pusat ............................... 60 B. Profil The 2nd World Peace Forum ……………………………….. 65 BAB IV : ANALISIS FAKTOR KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM PEMBAHASAN THE 2ND WORLD PEACE FORUM CDCC ............ A. Analisis faktor Identitas Agama pada Pembahasan The 2nd World Peace Forum CDCC dalam menjalin Komunikasi antarbudaya dan mewujudkan Perdamaian .................................................................. 71 B. Analisis faktor Identitas Bangsa pada Pembahasan The 2nd World Peace Forum CDCC dalam menjalin Komunikasi antarbudaya dan mewujudkan Perdamaian .................................................................. 98 BAB V : PENUTUP …………………………………………………………. A. Kesimpulan ……………………………………………………… 113 B. Saran …………………………………………………………….. 116 DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 118
BAB I PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah
Dunia kini sarat dengan konflik. Setiap kawasan tengah mempertontonkan pertikaian yang tak berkesudahan. Kita melihat bagaimana agresi militer Israel terhadap Lebanon dan Palestina telah menodai perdamaian di kawasan itu. Berbagai fasilitas dan bangunan dihancurkan, korban jiwa pun berjatuhan. Mahalnya sebuah perdamaian ini melahirkan keprihatinan mendalam berbagai kalangan. Dan konflik yang baru-baru ini terjadi yang terjadi di Irak, PalestinaIsrael, dan India yang menggunakan agama dan budaya sebagai alat pemicu terjadinya tindak kekerasan dan merusak perdamaian yang sedang diperjuangkan. Kekerasan dalam konteks ini bisa memperpanjang kecurigaaan yang ada antar masyarakat, antar umat beragama, dan akhirnya antar peradaban. Ketiadaan perdamaian yang terjadi itu, juga telah dan akan beresonansi terhadap kehidupan nasional kita. Dalam kehidupan ekonomi, misalnya, konflik Arab-Israel yang telah diredusir menjadi konflik Israel-Hizbullah, pada akhirnya akan berpengaruh pada harga minyak dunia. Konflik ini juga berpengaruh terhadap kehidupan sosial. Bila konflik tersebut terus berlangsung tanpa ada upaya untuk menghentikan, maka konflik itu akan mendorong terjadinya radikalisme dalam masyarakat. Pun akan memicu adanya konflik antara kelompok. Kita harus menetapkan langkah strategis untuk menghentikannya.
Semua konflik diatas tak lain dipicu oleh kesalahpahaman-kesalahpahaman antarbudaya seringkali terjadi, ketika kita bergaul dengan kelompok-kelompok budaya yang berbeda. Problem utamanya adalah kita cenderung menganggap budaya kita sebagai suatu kemestian, tanpa mepersoalkannya lagi (taken-forgranted), dan karenanya kita menggunakannya sebagai standar untuk mengukur budaya-budaya lain1. Bila seseorang tidak menyetujui nilai-nilai, sebenarnya itu tidak berarti bahwa orang itu salah, alaih-alih secara kultural orang itu sedikit berbeda dari kita2. Kita bisa melihat wujud kesalahpahaman tersebut dalam berbagai hal di seluruh dunia. Kesalahpahaman seperti itu bisa memicu suatu tindak kekerasan yang juga merusak perdamaian yang ada atau belum ada pada suatu masyarakat. Akar penyebab dari kekerasan bisa berbentuk apa saja, termasuk budaya. Bagaimanapun juga, penggunaan dan penyalahgunaan sentimen agama dan etnik sebagai suatu alat untuk mobilisasi politik dalam situasi politik bisa dengan mudahnya memperburuk masalah. Oleh karena itu, komunikasi adalah faktor penting yang perlu dibentuk dalam hal ini. Hampir setiap orang membutuhkan hubungan sosial dengan orang-orang lainnya, dan kebutuhan ini terpenuhi melalui pertukaran pesan yang berfungsi sebagai
jembatan
untuk
mempersatukan
manusia-manusia
yang
tanpa
berkomunikasi akan terisolasi. Pesan-pesan itu mengemuka lewat perilaku manusia. Ketika kita berbicara, kita sebenarnya sedang berperilaku. Ketika kita melambaikan tangan, tersenyum, bermuka masam, menganggukan kepala, atau memberikan suatu isyarat, kita juga sedang berperilaku. Sering perilaku-perilaku
1
Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), cet.ke10, h-8 2 Hopper and Whitehead, 1979-1977
ini
merupakan
pesan-pesan;
pesan-pesan
itu
digunakan
untuk
mengkomunikasikan sesuatu kepada seseorang3. Perilaku seseorang dalam berkomunikasi ditentukan oleh cara hidupnya. Dan semua itu berkaitan dengan budaya dimana dia hidup. Manusia belajar berpikir, merasa, mempercayai dan mengusahakan apa yang patut menurut budayanya. Bahasa, persahabatan, kebiasaan makan, praktik komunikasi, tindakan-tindakan sosial, kegiatan ekonomi dan politik, dan teknologi, semua itu berdasarkan polapola budaya secara formal budaya didefinisikan sebagai tatanan pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai, sikap, makna, hirarki agama, waktu, peranan, hubungan ruang, konsep alam semesta, objek-objek materi dan milik yang diperoleh sekelompok besar orang dari generasi ke generasi melalui usaha individu dan kelompok. Budaya dan komunikasi tak dapat dipisahkan oleh karena budaya tidak hanya menentukan siapa bicara dengan siapa, tentang apa dan bagaimana kondisikondisinya untuk mengirim, memperhatikan dan menafsirkan pesan. Sebenarnya seluruh perbendaharaan perilaku kita sangat bergantung pada budaya tempat kita dibesarkan. Konsekwensinya, budaya merupakan landasan komunikasi4. Bila budaya beragam, maka beraneka ragam pula praktik-praktik komunikasinya. Corak budaya suatu masyarakat sangat berpengaruh dalam membentuk suatu peradaban. Perbedaan budaya inilah yang seringkali menjadi penyebab kesalahpahaman antar masyarakat terjadi. Kesalahpahaman antarbudaya itu dapat dikurangi bila kita sedikitnya mengetahui prinsip-prinsip komunikasi antarbudaya
3
Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), cet.ke10, h-12 4 Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), cet.ke10,h-19
dan mempraktikannya dalam berkomunikasi dengan orang lain yang berbeda budaya. Melihat hal itu, Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) sebagai sebuah lembaga dialog dan kerja sama antar peradaban, yang gencar mendiskusikan wacana dialog peradaban, mencoba untuk menjalin komunikasi antar masyarakat yang berbeda budaya tersebut melalui diskusi antar peradaban dan menawarkannya sebagai solusi guna menghindari benturan tersebut. CDCC merupakan salah satu lembaga antar peradaban di Indonesia yang melalui berbagai program, berusaha untuk mempertemukan dua peradaban yang berbeda dalam sebuah acara yang ditujukan untuk mengurangi benturan antarperadaban yang sudah sejak lama terjadi, khususnya antara timur/Islam dan barat serta mempererat hubungan diantara keduanya. Dan salah satu program CDCC adalah mengadakan The 2nd World Peace Forum (Forum Perdamaian Dunia). Penyelenggaraan The 2 nd World Peace Forum (Forum Perdamaian Dunia) ini merupakan salah satu sarana komunikasi yang penting untuk menyamakan pandangan dari berbagai kalangan masyarakat dunia untuk mendorong terwujudnya perdamaian. Ini layaknya interfaith dialogue yang berupaya untuk menyamakan pandangan guna mencegah dan meredam konflik agama dan upaya untuk saling memahami antarpemeluk agama. Dari latar belakang tersebut, maka peneliti mengambil judul: ’’Perspektif Komunikasi Antarbudaya untuk Perdamaian: Kasus The 2nd World Peace Forum CDCC (Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations) Jakarta, Studi Kasus: The 2nd World Peace Forum.“
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah a. Untuk lebih memfokuskan penulisan laporan ini, maka masalah yang akan dibahas dalam laporan ini yaitu Komunikasi Antarbudaya untuk Perdamaian: Kasus Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), studi kasus The 2nd World Peace Forum . b. Dari segi
waktu,
penelitian
ini
dibatasi
pada
Komunikasi
Antarbudaya untuk Perdamaian: Kasus Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC); studi kasus The 2nd World Peace Forum CDCC (Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations) yang diadakan pada 24-26 Juni 2008. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah a. Bagaimana fungsi The 2nd World Peace Forum CDCC dalam menjalin Komunikasi antarbudaya? b. Bagaimana aktivitas Komunikasi Antarbudaya The 2nd World Peace Forum CDCC? c. Bagaimana
langkah
The
2nd
World
Peace
CDCC
dalam
menindaklanjuti fenomena-fenomena yang terjadi dalam konflik dan perdamaian?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian adalah sebagai berikut: a. Mengetahui fungsi The 2 nd World Peace Forum CDCC dalam menjalin Komunikasi antarbudaya
b. Mengetahui langkah The 2 nd World Peace CDCC dalam menindaklanjuti berbagai konflik yang terjadi dan mencari solusi untuk perdamaian.
2. Manfaat Penelitian a. Segi Akademis Penelitian ini digunakan sebagai media pengembangan komunikasi yang ada pada saat kini di Fakultas Dakwah dan Komunikasi tentang komunikasi antar budaya, penelitian ini menambah wawasan kita tentang komunikasi antar budaya yang belum dibahas secara mendalam.
b. Segi Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi para teoritis, praktisi dan pemikir komunikasi dalam menambah wawasan dalam dunia komunikasi khususnya dunia periklanan sehingga mahasiswa mengetahui betapa pentingnya komunikasi antar budaya yang secara tidak disadari telah mengubah pola tingkah laku masyarakat dalam berkomunikasi dengan masyarakat yang berbeda budaya dan agama. D.
Metodologi Penelitian Metodologi Penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu penelitian yang bersifat eksploratif dengan sumber data yang diperoleh melalui dokumentasi dan telaah literatur dengan cara
melihat arsip-arsip The 2nd World Peace yang ada pada Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC). Dengan mengamati kasus dari berbagai sumber data yang digunakan untuk meneliti, menguraikan dan menjelaskan secara komprehensif, berbagai aspek individu, kelompok suatu program, organisasi atau peristiwa secara sistematis.
Penelaah berbagai sumber data ini
membutuhkan berbagai macam instrumen pengumuman data. Karena itu, periset menggunakan wawancara, observasi partisipan, dokumentasidokumentasi, rekaman bukti-bukti fisik5.
1. Tempat Penelitian Tempat penelitian ini dilaksanakan di sekretariat Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) Jl. Kemiri no. 24, Menteng, Jakarta Pusat. 2. Teknik Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, digunakan penelitian lapangan (field research), yaitu penelitian yang di lapangan, tempat dimana objek penelitian itu berada6. Untuk pengambilan data penelitian lapangan digunakan metode sebagai berikut. a. Wawancara, yaitu mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung kepada responden7. Dalam hal ini, wawancara dilakukan secara langsung dengan nara sumber ataupun panitia yang terkait. b. Observasi, yaitu informasi atau data yang dikumpulkan dalam penelitian8. 5
Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi, (Jakarta, 2007), cet ke-2,h.102 Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,2004),h.89 7 Masri Singan Rimbun dan Sofian Efendi, Metodologi Penelitian Survey, (Jakarta, LP3ES,1989), h192
6
c. Dokumentasi, yaitu data diperoleh dari dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang didapat dari Organisasi Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC), seperti buku-buku, newsletter, video, dan situs www.cdccfoundation.org
E. Sistematika Penulisan Berdasarkan penelitian di atas, maka sistematika penulisan dalam pembahasan ini adalah sebagai berikut. BAB I Merupakan bab pendahuluan yang menguraikan argumentasi mengenai signifikansi studi ini. Dalam bab ini peneliti menguraikan Latar Belakang Masalah, Pembahasan dan Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan. BAB II Menjelaskan tentang Faktor-faktor dalam Komunikasi antar Budaya yang terdiri dari Identitas, Stereotip dan Prasangka, Teori-teri Komunikasi antar Budaya, harapan Komunikasi antar Budaya dan Implementasi dalam Perdamian. BAB III Membahas tentang Gambaran Umum Organisasi Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) dan
The 2 nd
World Peace, profil Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC) dan profil The 2 nd World Peace BAB IV menguraikan tentang analisis faktor Identitas Agama dan Bangsa yang dibahas dalam The 2 nd World Peace Forum CDCC dalam menjalin
8
Rimbun dan Efendi, Metodologi Penelitian Survey, h.192
Komunikasi antarbudaya, mencegah terjadinya konflik dan mewujudkan perdamaian. BAB V Merupakan penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran
BAB II TINJAUAN TEORITIS
Dalam proses komunikasi antar budaya terdapat berbagai macam perbedaan tentang apa yang kita pikirkan tentang diri kita dan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, perbedaan inilah yang memicu timbulnya suatu konflik. Perbedaanperbedaan tersebut tidak lain adalah identitas yang dimiliki setiap individu, yang bisa dibentuk oleh usia, ras dan etnik, agama, kelas, bangsa, daerah, maupun individu itu sendiri. Perbedaan itu bisa juga didukung oleh adanya pandangan umum suatu kelompok terhadap kelompok lain atau lebih khususnya lagi disebut stereotip dan prasangka, yang bisa mempertajam semua perbedaan identitas yang telah ada. Proses komunikasi antar budaya pun bisa terhambat dan tidak efektif. Untuk membantu meneruskan jalannya proses komunikasi diantara kelompok-kelompok yang berbeda, maka harus dicari solusi bersama. Seringkali mediasi atau dialog dibutuhkan untuk menjembatani komunikasi antar budaya yang terhambat itu untuk menghindari konflik dan mewujudkan perdamaian.
A. KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA 1. Teori-teori Komunikasi antar Budaya a.
Teori Edward T. Hall & William Foote Whyte Bila orang awam berpikir tentang budaya, biasanya ia berpikir tentang cara orang berpakaian, kepercayaan, dan kebiasaan. Tanpa menggunakan definisi yang komprehensif, kita dapat mengakui bahwa ketiga hal tersebut
merupakan aspek-aspek budaya, tapi definisi tersebut belum menyeluruh, baik dilihat dari sudut teori maupun sudut praktik9. Pengetahuan tentang kepercayaan bisa membingungkan kita karena hubungan antara kepercayaan dan perilaku jarang bersifat nyata10 Dalam hal kepercayaan agama, kita tahu misalnya bahwa orang-orang Islam harus melakukan shalat lima kali sehari dan karenanya pada hari kerja kita harus meluangkan waktu untuk salat. Ini tentu saja merupakan hal yang penting, tapi masalah tersebut memang begitu jelas sehingga dapat dimengerti oleh siapa pun kecuali oleh orang-orang yang berbeda budaya dan tidak mengetahuinya sama sekali. Adat istiadat memberikan lebih banyak petunjuk, asalkan kita tidak membatasi diri pada pola perilaku esoteric (hanya dimengerti oleh beberapa orang tertentu) yang sesuai dengan adat istiadat tertentu11. Dalam mengamati perilaku yang berkenaan dengan adat istiadat, para antropolog tidak hanya mengidentifikasi soal-soal individu, soal-soal tersebut mempunyai makna bila membentuk suatu pola. Budaya mempengaruhi komunikasi dalam banyak hal. Budaya lah yang menentukan waktu dan jadwal peristiwa-peristiwa antarpersonal, tempat untuk membicarakan topik-topik tertentu, jarak fisik yang memisahkan antara seorang pembicara dengan orang lainnya, nada sesuai untuk pembicaraan tertentu. Budaya, dalam hal ini, melukiskan kadar dan tipe kontak fisik yang dituntut oleh adat kebiasaan, dan intensitas emosi yang menyertainya. Budaya meliputi hubungan antara apa yang dikatakan 9
Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya,( Bandung:Remaja Rosda Karya, 2006) h.36 10 Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h.36 11 Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h.37
dan apa yang dimaksudkan seperti ‘tidak’ maksudnya ‘mungkin’ dan ‘besok’ maksudnya ‘tak pernah’. Budaya ini menentukan apakah suatu hal, misalnya suatu kontrak tertentu, harus pertama-tama didiskusikan antara dua orang atau didiskusikan dalam suatu pertemuan sehari penuh yang mengikutsertakan empat atau lima orang dari setiap pihak, dan mungkin dengan bantuan seorang pelayan yang menyuguhkan kopi. Teori Edward Hall dan William Whyte tidak hanya mementingkan bahasa, namun juga dia menekankan tentang pentingnya bahasa nonverbal, lima dimensi waktu, dan penyesuaian diri dalam berjalan dua arah. Misalnya, komunikasi harus disesuaikan dengan lima konsep waktu: waktu untuk bertemu, waktu untuk berdiskusi, waktu untuk berkenalan, waktu untuk berkunjung dan jadwal waktu. Komunikasi juga dipengaruhi oleh pola komunikasi masyarakat tertentu yang merupakan bagian dari keseluruhan pola budaya dan dapat dipahami dalam konteks tersebut12. Perbedaan status dan kelas seseorang bisa menyebabkan orang-orang dengan status yang berbeda sulit untuk menyatakan opini secara bebas dan terus terang dalam suatu diskusi atau perdebatan. Dari dulu bahkan sampai sekarang, kita masih sering melihat orang yang statusnya lebih rendah menyatakan rasa hormat pada atasannya. Untuk bekerja sama dengan orang-orang, haruskah kita menjadi seperti mereka? Hal itu tidak diperlukan bila kita seragam sepenuhnya. Orang Indonesia, Melayu, orang Arab, orang Amerika, orang Cina akan menganggap perilaku kita membingungkan dan tidak tulus bahkan 12
Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya,( Bandung:Remaja Rosda Karya, 2006) h.40
mencurigai motif kita. Kita diharapkan untuk berbeda. Namun, kita pun diharapkan untuk menghormati dan menerima orang lain apa adanya. Dan kita dapat tanpa memaksa kepribadian kita, untuk berlajar berkomunikasi dengan mereka dengan mengamati pola-pola tradisi mereka yang tidak tertulis. Kesadaran tentang adanya kekeliruan dalam hubungan lintasbudaya merupakan langkah maju pertama yang besar. Dan menerima fakta bahwa pendirian kita tak selamanya benar ketimbang pendirian orang lain merupakan suatu hal yang baik.
b.
Teori Wilbur Schramm Menurut Wilbur Schramm, ada dua garis tanggung jawab yang berkaitan dengan komunikasi antar budaya, yaitu: faktor personal dan governmental atau pemerintah13. Diskusi tentang jembatan antar budaya sangatlah penting, bukan hanya karena kita memerlukan jembatan yang lebih banyak dan lebih bagus tetapi karena dengan memiliki jembatan itu kita dapat mengendalikan siapa dan apa yang lewat di atasnya14 Itulah sumber kekuasaan besar. Sedikit bangsa yang tidak setuju dengan adanya jembatan antar budaya ini, tetapi banyak pemerintah
saat ini sering
memperhatikan apa yang lewat di atas jembatan itu. Misalnya UNESCO (United Nations for Education and Children Organization) selama tahun 1950-an sampai tahun 1960-an, memiliki tujuan utama yaitu free flow of information (arus bebas informasi). Banyak program organisasi ini dirancang untuk mendukung tujuan itu: konvensi hak cipta, konvensi pertukaran bahan budaya dan pendidikan, perhatian pada satelit 13 14
Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, h.2 Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya, h.1
komunikasi dan agen berita, dll. Namun sekarang program itu telah dikesampingkan dan beralih pada program Right to Communicate (Hak Berkomunikasi), dan masalah kebijaksanaan komunikasi bagaimana harus mengontrol penggunaan jembatan antar budaya. Begitu pun dengan pemerintah kita, yang memiliki program pertukaran mahasiswa ke luar negeri, peningkatan hak bagi media, dan lain-lain. Jembatan komunikasi antar budaya ada karena : pertama, telah tumbuh rasa saling bergantung di seluruh dunia15 Bila dulu jembatan antar budaya itu dianggap perlu, sekarang justru jembatan itu bersifat essensial. Kedua, ketakutan akan satelit komunikasi yang menyebar ke negara Dunia Ketiga pada permulaan tahun 1970-an16. Dapat dimaklumi jika negaranegara Dunia Ketiga mencemaskan efek hiburan murah dan iklan yang merayu yang akan dicurahkan pada bangsa mereka oleh kapitalis besar pemilik satelit. Maka itulah saat yang tepat untuk membuat isu politik dan mencubit ekor kekuasaan-kekuasaan itu, terutama kekuasaan yang paling besar. Maka timbulah berbagai konfrontasi, diantara satu pihak yang menentang masuknya siaran televisi ke suatu negeri tanpa sensor dan izin, dan pihak yang berpegang teguh pada
konsep abstrak kebebasan
berbicara, arus bebas, dan penyiaran tak terbatas. Konfrontasi ini mendatangkan manfaat pada siapa pun, kecuali secara emosional, tetapi konfrontasi ini juga telah membayang-bayangi pemikiran dan perencanaan komunikasi intercultural. Misalnya, apakah arus informasi bebas ini hanya untuk bangsa-bangsa yang memiliki media internasional? Yang lebih penting lagi, konfrontasi ini memfokuskan 15 16
Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya ,h.3 Dedy Mulyana, Komunikasi antar Budaya ,h.4
perhatian pada hubungan antar kebudayaan dan komunikasi. Para ahli, misalnya Prof. Hall,
melihatnya sebagai “Budaya adalah komunikasi,
komunikasi adalah budaya”17. Namun, pemimpin negara Dunia Ketiga melihatnya dari sebab akibat: komunikasi mempertahankan dan mengubah budaya. Karena itu, mengendalikan komunikasi berarti mengendalikan apa yang akan terjadi pada budaya mereka. Sedangkan faktor individual menekankan pada penghormatan. Pertama, kita harus menghormati anggota budaya lainnya sebagai manusia yang memiliki nama, sejarah hidup dan kepribadian. Kedua, kita harus menghormati budaya lain apa adanya, bukan sebagaimana
kita
menghendakinya. Ketiga, menghormati hak anggota budaya yang lain untuk bertindak berbeda dari cara kita bertindak. Dan akhirnya, kita yang berkomunikasi lintas budaya yang kompeten harus belajar menyenangi hidup bersama orang yang berbeda budaya. Professor Hall menambahkan dalam karyanya The Message
“bahwa seluruh penafsiran kita tentang
buaya bersifat relatif; kita tidak boleh menilai budaya yang lain berdasarkan budaya kita yang terbatas, tapi kita harus mencari keterkaitan satu peristiwa dengan peristiwa lain” 2. Budaya, Komunikasi dan Konflik Memahami konflik antar budaya sangatlah penting sekarang. Konflik tidak bisa dihindari, bisa terjadi di mana saja di dunia ini. Misalnya dalam tingkat sosial, perbedaan budaya dalam bebrapa pendapat yang menganggap pentingnya memelihara lingkungan dibandingkan dengan
17
Dedy Mulyana, Jalaluddin rakhmat, Komunikasi antar Budaya, h.36
pentingnya mengembangkan industri bisa memicu konflik yang terjadi antara para pecinta lingkungan dengan para pengusaha. 1) Budaya Gazalba mendefinisikan budaya sebagai cara berpikir dan cara merasa, yang menyatakan diri dalam seluruh segi kehidupan sekelompok manusia, yang membentuk kesatuan sosial dalam suatu ruang
dan
satu
waktu 18
Definisi
tersebut
secara
implisit
mengetengahkan bahwa jenis-jenis kebudayaan, cara berpikir dan cara merasa merupakan kebudayaan batiniah, sedangkan manifestasinya dalam bentuk cara berbuat atau cara hidup. Begitupun yang diungkapkan oleh Liliweri yang berpendapat bahwa kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, adat istiadat, dan setiap kemampuan dan kebiasaan yang dimiliki oleh manusia sebagai anggota masayarakat19. “Culture [is] those deep, common, unstated experiences which members of a given culture share, which they communicate without knowing, and which form the backdrop against which all other events are judged”20
sedangkan dari pengertian ini kita bisa budaya merupakan pengalaman mendalam dan kebiasaan suatu masyarakat yang berbudaya, dimana mereka berkomunikasi tanpa mengetahui dan kemudian membentuk suatu pandangan yang berlawanan dengan apa yang dipersepsikan. Maka bisa kita simpulkan, budaya sebagai gaya hidup masyarakat, yang disusun oleh pola perilaku mereka, nilai-nilai, norma, dan objek
18
Sidi Gazalba, Pengantar Kebudayaan sebagai Ilmu, (Jakarta: Pustaka Antara, 1963),Cet. Ke-3, h.11 Liliweri, Alo, Dasar-dasar Komunikasi antar Budaya, (Yogyakarta:Pustaka Pelajar), 2003, h.107 20 Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, (Illinois: Waveland Press. Inc,1966), p.87 19
material. Budaya memiliki pengaruh terhadap perilaku seseorang, termasuk perilaku komunikasinya. Culture is stored in individual human beings, in the form of their beliefs, attitudes, and values. There are strong similarities in the belief systems among the members of a given culture21 Budaya itu tersimpan dalam diri manusia, dalam bentuk kepercayaan, sikap, dan aturan mereka. Ada persamaan yang kuat dalam sistem kepercayaan diantara kebudayaan mereka. Kepercayaan merupakan sebuah representasi seseorang di dunia luar. Kepercayaan dianggap sebagai sistem yang menyimpan pengalaman masa lalu kita, termasuk pikiran, memori, dan pemahaman kita tentang suatu kejadian. Kepercayaan juga dibentuk oleh budaya seseorang.
Sedangkan sikap juga merupakan faktor
internal dan tidak bisa dilihat orang lain secara langsung. Sikap dan kepercayaan membentuk sebuah sistem budaya antar individu tersebut. Perilaku dan kepercayaan mengindikasikan tujuan dari suatu perilaku, kecenderungan seseorang dalam menanggapi kejadian, pikiran dan masyarakat dengan cara tertentu. Dan aturan disini adalah apa yang dianggap baik dan buruk oleh seseorang. Aturan memiliki sebuah komponen yang bisa diperbaiki. Aturan ini seringkali berkaitan dengan cita-cita, seperti aturan keselamatan Kristen, atau jihad dalam Islam, aturan tentang perdamaian dunia, lingkungan, dan lain-lain. Aturan itu juga berkaitan dengan cara meraih tujuan-tujuan, seperti kejujuran, kebersihan, atau cara berbicara dan bertingkah hati-hati dan tidak mengganggu orang lain.
21
Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, p.81
“When a belief is held by most members of a culture we call it a cultural belief”22. Ketika sebuah kepercayaan dianut oleh mayoritas anggota suatu budaya, maka hal itu disebut kepercayaan budaya. Budaya
bisa mempengaruhi persepsi dan perilaku seseorang yang
terwujud dalam kepercayaan, aturan, dan norma yang penting dalam menciptakan kotak-kotak budaya. Selain itu kepercayaan budaya pun dipengaruhi oleh faktor sejarah. I shall examine some of the areas of differences between cultures, which can give rise to communication problems. Any successful form of social skills training shoul take accunt of these differences: Language,non-verbal communication, rules, social relationship, motivation, concept and ideology23. Dalam proses komunikasi antar budaya terdapat banyak perbedaan yang ditemui, diantaranya adalah: bahasa, komunikasi nonverbal seperti perilaku komunikasi dengan orang lain, aturan (nepotisme, hadiah, penyuapan, jual beli, makan dan minum, waktu, cara duduk, dan cara berpikir), hubungan sosial (keluarga, kelompok, kelas), motivasi (motivasi prestasi, ketegasan, kepedulian, mimik muka, nilai), serta konsep dan ideologi.
2) Karakteristik Konflik antar Budaya “In a sense, then, the economic contexts, the cultural identities and belongingness, and the political and religious contexts all work together to shape this conflict”24 Konteks ekonomi, identitas budaya
22
Edward T. Hall, Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, p.82 Stephen Bochner, Cultures in Contact,( England: Pergamon Press, 1983), p.63 24 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.402 23
dan kepemilikan, serta konteks politik dan agama, semuanya menjadi faktor penyebab suatu konflik. Beberapa orang tidak percaya bahwa kerusuhan dan kekerasan merupakan cara yang tepat untuk merubah permasalahan sosial dalam suatu masyarakat. Sedangkan yang lainnya percaya bahwa suatu kekerasan adalah salah satu jalan dimana masyarakat bisa diprovokasi untuk menginterogasi ketidakadilan sosial dan memulai proses panjang untuk merubah suatu masyarakat. Intinya adalah, tidak ada alasan untuk mencari satu sumber sebuah konflik. Kesuhan yang terjadi di Aceh, Papua, dan
di tempat lainnya
bersumber pada berbagai penyebab. Konflik antar budaya ini bisa dikarakterisasikan oleh ambiguitas, yang dengan cepat memaksa kita. Jika cara yang kita pilih untuk menangani konflik adalah dengan menanganinya
dengan
cepat,
sedangkan
lawan
kita
ingin
menghindarinya, maka konflik akan semakin tajam jika kita tetap saling bertahan pada prisnsip kita. Konflik antar budaya juga bisa dikarakterisasi oleh kombinasi orientasi konflik dan gaya menangani suatu konflik.
3) Orientasi Konflik Tidaklah mudah untuk menangani suatu konflik. Maka kita harus mencari dari keterkaitan antara konflik dan budaya. “Neither orientation is always the best approach, nor does always any culture only utilize one approach to conflict”25
25
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.404
a. Konflik sebagai Kesempatan: Seringkali konflik didefinisikan sebagai suatu keterkaitan ketidakcocokan tujuan, nilai, harapan, proses atau manfaat yang terasa atau nyata antara dua atau lebih individu/ kelompok yang saling bergantung. Menurut David Augsburger, pendekatan pada konflik harus berdasakan pada empat asumsi: konflik itu suatu hal yang normal dan proses yang berguna, semua isu bisa dirubah melalui negosiasi, konfrontasi langsung dan konsiliasi itu penting, konfik merupakan sebuah kebutuhan untuk bernegosiasi kembali pada sebuah kontrak tak langsung –sebuah pertukaran kesempatan kembali, pelepasan ketegangan, dan memperbaharui hubungan. b. Konflik sebagai kehancuran Banyak kelompok budaya yang menganggap konflik sebagai suatu hal yang tidak produktif dalam hubungan, sebuah pandangan yang bisa berakar dari nilai spiritual atau budaya. Menurut Augsburger,ada empat asumsi tentang pandangan ini: konflik merupakan sebuah gangguan perdamaian
yang
destruktif, sistem social tidak jharus mengatur kebutuhan anggotanya dan mereka harus beradaptasi dengan nilai-nilai yang ada, konfrontasi itu destruktif dan tidak efektif, dan orang yang berselisih seharusya lebih berdisiplin.
4) Pendekatan Ilmu Sosial untuk Konflik
“In a social science approach, we identify five difference types of conflict and some strategies for responding to conflict”26 Dalam teori ini, kita akan mengidentifikasi lima macam konflik yang berbeda dan beberapa strategi untuk menanganinya. 1. Tipe-tipe Konflik Ada beberapa tipe konflik yang berbeda dan kita menanganinya dengan cara yang berbeda juga. Menurut
Mark Cole, ada
beberapa kategori konflik: A. Konflik Afektif Konflik afektif terjadi ketika seseorang memerhatikan perasaan dan emosi nya yang saling bertentangan. Misalnya, ketika seseorang jatuh cinta pada teman dekatnya namun perasaannya tidak terbalas, hal tersebut bisa menimbulkan konflik.
B. Konflik Kepentingan Konflik Kepentingan
menggambarkan situasi dimana
orang-orang memiliki pilihan aksi atau rencana yang bertentangan. C. Konflik Nilai Konflik nilai terjadi ketika orang-orang berbeda dalam ideology dan isu-isu tertentu. D. Konflik pengertian
26
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.409
Konflik pengertian menggambarkan sebuah situasi dimana dua orang atau lebih memperhatikan proses pemikiran atau persepsi mereka yang tidak sama E. Konflik tujuan Konflik tujuan terjadi ketika orang-orang tidak setuju dengan sebuah hasil yang diinginkan.
2. Strategi dan Taktik dalam menangani Konflik Cara orang menangani konflik bisa dipengaruhi oleh latar belakang budaya mereka. Seringkali strategi konflik merefleksikan bagaimana orang menata diri mereka dalam aturan yang berkaitan. Walaupun orang bisa saja memiliki kecenderungan yang umum untuk menangani konflik dengan cara yang khusus, bisa saja mereka memilih taktik yang berbeda dalam situasi yang beda pula. Orang tidak terikat pada sebuah strategi khusus. Ada lima cara khusus untuk menangani konflik. A. Dominasi Gaya dominasi menggambarkan keterlibatan diri yang tinggi dan sedikit melibatkan orang lain. Perilaku yang menyertainya adalah gaya bicara yang keras dan kuat, yang mana bisa saja tidak produktif pada resolusi konflik. B. Mengintegrasikan/ menggabungkan Gaya integrasi ini sangat melibatkan diri dan orang lain serta melibatkan sebuah pertukaran yang terbuka dan
langsung dalam usaha untuk mencapat solusi yang bisa diterima kedua belah pihak. Gaya ini menganut prinsip kolaborasi, empati, objektifitas, kreatifitas dan kesadaran perasaan. C. Kompromi Gaya kompromi merupakan sebuah strategi managemen konflik yang melibatkan pembangian dan pertukaran informasi yang luas sehinggan kedua belah pihak bisa memberikan keputusan yang saling menguntungkan dan diterima bersama. D. Membantu Gaya membantu merupakan strategi managemen konflik yang memerankan perbedaan dan ketidaksesuaian selagi menekankan kebiasaan
E. Menghindari Gaya mengindar merupakan strategi managemen konflik yang berasal dari konteks budaya Amerika Serikat dan sedikit dipengaruhi diri dan orang lain. Bagaimanapun, dalam beberapa konteks budaya lainnya, strategi ini dilihat sebagai taktik untuk mempertahankan hubungan nyang harmonis.
3. Perbedaan Nilai dan Gaya Konflik
“Another way to understand cultural variations in intercultural conflict resolution is to look at how cultural values influence conflict management”27
Cara lain untuk
memahami keberagaman budaya dalam resolusi konflik antar budaya yaitu dengan memperhatikan bagaimana nilai-nilai budaya mempengaruhi managemen konflik. Nilai-nilai budaya pada masyarakat yang individual berbeda
dengan masyarakat
yang
kolektif.
individual lebih mementingkan faktor
Masyarakat
pribadi daripada
kelompok seperti dalam keluarga atau kelompok kerja. Sebaliknya, masyarakat kolektif lebih mementingkan keluarga dan kesetiaan pada kelompok. Nilai-nilai yang bertentangan ini bisa mempengaruhi pola komunikasi. Satu teori, negosiasi langsung, keterkaitan nilai-nilai budaya pada kerangka kerja dan gaya konflik. Kerangka kerja merupakan strategi komunikasi khusus yang kita gunakan untuk menyelamatkan reputasi kita atau orang lain; bagaimana kita memiliki kerangka kerja berbeda-beda dari satu budaya hingga yang lain dan mempengaruhi gaya gaya konflik yang terjadi . 5) Mengatur Konflik antar Budaya
27
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.414
Satu hal yang harus kira pertimbangkan dalam menghadapi konflik antar budaya yaitu dengan memilih managemen reolusi konflik mana yang lebih berhasil. a) Konflik Produktif vs Konflik Destruktif “ Scholar David Augsburger suggests that productive intercultural conflict is different from destructive conflict in four ways. First, in productive conflict, individuals or groups narrow the terms of definition, focus, and issues. Second, in productive conflict, individuals or groups limit conflict to the original issue. Third, in productive conflict, individuals or groups direct the conflict toard cooperative problem solving. Finally, in productive conflict, individuals or
groups
trust
leadership
that
stresses
mutually
satisfactory outcomes”28 David Augsburger berpendapat bahwa konflik antar budaya yang produktif berbeda dengan konflik yang destruktif dalam empat hal. Pertama, dalam konflik produktif individu atau kelompok membatasi konflik secara arti, focus maupun isu. Sedangkan dalam konflik destruktif, mereka memperluas isu atau perilaku negative. Kedua, dalam konflik produktif, individu atau kelompok membatasi konflik langsung pada isu utamanya. Sedangkan dalam konflik destruktif, mereka memperluas isunya mualai dari yang utama dengan segala aspek yang terkait. Ketiga, dalam konflik produktif, individu atau
28
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.421
kelompok langsung menangani menangani konflik melalui kerja sama yang membuahkan hasil keputusan bersama. Sebaliknya,
konflik
destruktif,
strategi-strateginya
melibatkan penggunaan kekuatan, ancaman, pemaksaan, dan tipu muslihat. b) Kompetisi vs kerja sama Sebuah Atmosfer kompetitif akan menawarkan suatu paksaan, tipu muslihat, kecurigaan, dan ketakutan, serta sedikit melibatkan komunikasi. Sedangkan kerja sama akan menawarkan
kesamaan
yang
terasa,
kepercayaan,
fleksibilitas, dan komunikasi yang terbuka. Kunci nya adalah untuk membuat suatu hal yang positif, atmosfer kerja sama pada awal hubungan suatu interaksi kelompok. Lebih sulit untuk merubah suatu hubungan yang kompetitif menjadi koooperatif/ kerja sama ketika suatu konflik sudah meluas. Inti dari suatu kerja sama adalah sebuah pendalaman. Sedangkan sebuah kompetisi selalu bergantung pada argumentasi. Pendalaman bisa dilakukan dalam berbagai hal dalam budaya yang berbeda-beda tapi memiliki beberapa langkah. Kelompok tersebut harus mengetahui isu yang ada dan mendalami semua hal yang terkait atau mendiskusikannya dengan pihak ketiga. c) Menangani Konflik
Tidak ada jawaban yang mudah untung menangani konflik antar budaya. Terkadang, kita bisa mengaplikasikan beberapa prinsip dialektik, tapi terkadang kita harus kembali dan menunjukkan pertahanan diri kita. Kadangkadang, walaupun lebih tepat jika kita menegaskan diri kita dan tidak takut pada emosi yang kuat. Ada beberapa solusi untuk menangani konflik: 1. Tetap terpusat dan jangan memperluas 2. Mempertahankan kontak 3. Menyadari perbedaan gaya yang berbeda 4. Mengidentifikasi gaya kita sendiri 5. Bersikap kreatif dan memperluas gaya bicara kita 6. Menyadari pentingnya konteks suatu konflik 7. Bertujuan untuk memaafkan 4. Mediasi “Sometimes two individuals or groups cannot work through conflict on their own. They may request an intermediary, or may be assigned to intervence”29 Terkadang dua individu atau kelompok tidak bisa bekerja sendiri dalam menangani konflik. Mereka membutuhkan perantara, atau salah satunya akan merasa diintervensi. Dalam beberapa kelompok, pihak ketiga ini bersifat informal. Sedangkan di masyarakat barat, merka cenderung menjadikannya secara legal dan dalam sistem yudisial.
29
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.428
Model mediasi kontemporer dari barat seringkali mengindahkan
keberagaman
proses
konflik.
Sadangkan
masyarakat tradisional sering menggunakan model yang berdasarkan
pada maksud yang tidak langsung. Modelnya
bermacam-macam tapi berbagi karakteristik-karakteristik. Mediator kontemporer mengadaptasi beberapa nilai dari model tradisional yang non-barat. Mediasi itu bermanfaat karena mengandalkan keterlibatan aktif dan komitmen dari dua pihak yang berselisih untuk mengahasilkan sebuah resolusi. Semua pihak dilibatkan dalam penanganannya, jasi lebih kreatif dan integral
B. IDENTITAS Identity serves as a bridge between culture and communication. It is important because we communicate our identity to others, and learn who we are through communication”30 Identitas itu menyediakan sebuah jembatan antara budaya dan bahasa. Hal ini sangat penting karena kita mengkomunikasikan identitas kita pada yang lainnya, dan kita belajar tentang diri kita melalui komunikasi. Melalui berkomunikasi –dengan keluarga, teman, dan yang lain –kita pun akan mengerti tentang diri kita dan bentuk identitas kita. Isu-isu tentang identitas merupakan hal yang paling penting dalam interaksi budaya.
30
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.154
“How can individual’s identity develops depends partly on the relative position or location of the identity within the societal hierarchy”31 Bagaimana identitas seseorang bisa berkembang tergantung dari identitas posisi dan lokasi yang berkaitan dalam suatu hirarki sosial. Beberapa identitas memiliki posisi yang lebih tinggi dalam suatu hirarki sosial. Misalnya, identitas heteroseksual mempunyai posisi yang lebih dihormati dibandingkan dengan identitas homoseksual, dan lain sebagainya. Untuk membedakan posisi yang beragam, ‘suatu identitas mayoritas’ biasanya lebih dihormati daripada ‘identitas minoritas’.
a) Perkembangan Identitas Mayoritas Identitas mayoritas berkembang melalui proses yang kompleks. Para ahli berpikir tentang bagaimana sebuah identitas mayoritas berkembang, dari mulai proses penerimaan hirarki sosial yang mendukung beberapa identitas dan menolak sebagian lainnya, hingga proses untuk melawan ketidakadilan tersebut. Rita Hardiman outlines five stages: Unexamined identity, acceptance, resistance, and redefinition”32 Rita Hardiman menyimpulkan beberapa tahapan yang terjadi pada identitas mayoritas ini, yaitu: 1. Identitas terabaikan. Sebagaimana yang terjadi pada identitas minoritas, dalam tahap ini orang mungkin sadar dengan perbedaan yang mereka miliki, namun mereka tidak terlalu memikirkan tentang identitas mereka. 2. Penerimaan. Dalam tahap ini terjadi sebuah proses internalisasi, sadar atau tak sadar tentang sebuah ideologi rasis atau muslim 31 32
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,p.154 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,,p.166
atau kelompok minoritas lain. Bisa saja melibatkan sebuah penerimaan yang pasif atau aktif. 3. Perlawanan. Dalam tahap ini terjadi sebuah peralihan paradigma utama, yang melibatkan sebuah tindakan yang menyalahkan kelompok minoritas yang menamai mereka dan menyalahkan kelompok dominan mereka sebagai sumber masalah. 4. Definisi baru. Tahap ini merupakan proses dimana mereka memikirkan lagi tentang identitas mereka dan mulai menghargai serta bersikap yang bisa menghapus tekanan dan ketidakadilan bagi yang lain. 5. Integrasi. Dalam tahap ini, kelompok mayoritas pun memahami identitas yang mereka miliki dan menghormati adanya kelompok lain.
b) Perkembangan Identitas Minoritas “in general, minority identities tend to develop earlier that the majority identities”33 Pada umumnya, identitas minoritas cenderung untuk berkembang lebih awal daripada identitas mayoritas. Misalnya, orang biasa cenderung tidak selalu memikirkan orientasi seksual mereka, sedangkan kaum gay lebih cenderung untuk seringkali memikirkan orientasi seksual mereka yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan, dan lebih mengembangkan sebuah nilai identitas orientasi seksual daripada orang biasa/ normal. Sama halnya, orang kulit putih bisa mengembangkan sebuah identitas etnik yang kuat, mereka tidak selalu memperhatikan identitas ras mereka, sedangkan anggota
33
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,p.164
kelompok etnik minoritas memperhatikan identitas ras mereka sejak dulu. “Minority identity often develops in the following stages: unexamide identity, conformity, resistance and separatism, integration”34 Menurut Judith, identitas minoritas berkembang dalam beberapa tahapan: 1. Identitas yang terabaikan, dimana seseorang kurang memperhatikan dan tertarik tentang identitas mereka. Tahap ini ada dikarenakan kurangnya pengetahuan akan identitas mereka sendiri baik itu etnis, orientasi seksual, gender dan lain sebagainya 2. Penyesuaian, dimana dalam tahap ini masuknya nilai dan norma dari kelompok dominant dan sebuah keinginan kuat untuk bisa menerimanya. 3. Perlawanan dan separatisme. Banyak kejadian yang bisa memicu terjadinya tahap ketiga ini, seperti diskriminasi atau sebuah sebutan. Dalam tahap ketidaksesuaian atau kesdaran yang semakin meningkat bahwa tidak semua nilai dari kellompok dominant itu sesuai untuk mereka, yang bisa memicu terjadi perlawanan dan separatisme. 4. Integrasi. Tahap ini hanya bisa terjadi apabila seseorang benar-benar memahami identitasnya sendiri dan menghormati adanya budaya lain. “Cultural identities – those aspects of our identities which arise from our ‘belonging’ to distinctive ethnic, racial, linguistic, religious and, above all, national cultures”35 Dalam konteks komunikasi antar budaya ini, identitas yang akan kita bahas adalah identitas budaya yang mana muncul dari kepemilikan khusus seseorang pada ras, etnik, bahasa, agama, bangsa dan
34
35
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,,p.164 Stuart Hall, David Held & Tony McGrew, Modernity and its Futures. (London: Polity Press,Open University, 1992), p 274
faktor budaya lainnya. Yang kemudian membagi masyarakat ke dalam berbagai jenis kelompok identitas, seperti: gender, usia, ras dan etnik, kulit putih, agama, kelas, kebangsaan, daerah dan pribadi. Namun ada tiga identitas yang menjadi pembahasan disini karena efeknya yang sering muncul dalam sebuah konflik, yaitu:
1. Identitas Ras dan Etnik 1) Identitas ras “Race conciousness or racial identity, is largely a modern phenomenon”36 Kesadaran ras atau identitas ras, umumnya merupakan sebuah fenomena modern. Saat ini di Amerika Serikat, isu ras sangat controversial dan perpasive. Ini menjadi topik diskusi, dari talkshow di tv hingga percakapan di radio. Banyak orang sudah merasa sangat tidak nyaman membicarakannya atau berpikir hal itu tidak seharusnya menjadi topic dalam kehidupan sehari-hari. Mungkin kita akan lebih mengerti tentang isu-isu kontemporer jika kita memperhatikan ide-ide tentang ras yang berkembang dalam sejarah di AS. “Racial categories, are based to some extent on physical characteristic, but they are also constructed influid social contexts”37 Kategori-ketegori ras, kemudian berdasarkan pada beberapa tingkatan dalam karakteristik fisik, tapi juga dibentuk oleh konteks-konteks sosial yang cair. Hal tersebut menambah nilai kesadaran untuk membicarakan formasi ras daripada kategori-kategori ras, dengan demikian menguji ras itu sebagai sebuah kompleks dari nilai-nilai 36
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007),p.174 37 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,,p.174
social daripada sebagai sebuah konsep yang pasti dan objektif. Bagaimana masyarakat mengkonstruksi nilai-nilai ini dan berpikir tentang pengaruh-pengaruh ras dalam cara mereka berkomunikasi.
2) Identitas Etnik “In contrast to racial identity, ethnic identity may be seen as a set of ideas about one’s own ethnic group identity. It typically includes several dimension: self-identification, knowledge about ethnic culture(traditions, customs, values, and behaviours), and feeling about belonging to particulat group”38 Identitas etnik bisa dilihat sebagai seperangkat ide-ide tentang keanggotaan kelompok etnik. Identitas ini meliputi beberapa dimensi: pengenalan diri, pengetahuan tentang budaya etnik (tradisi, kebiasaan, nilai-nilai dan perilaku) dan perasaan saling memiliki terhadap suatu kelompok tertentu. Identitas etnik seringkali melibatkan suatu nilai originalitas dan sejarah, yang bisa menyambungkan kelompokkelompok etnis pada budaya-budaya yang jauh di Papua, Asia, Eropa, Amerika Latin atau lokasi lainnya. Memiliki identitas etnik berarti mengalami sebuah nilai kepemilikan terhadap kelompok tertentu dan mengetahui suatu pengalaman untuk dibagi dalam kelompok. Misalnya, Judith tumbuh dalam sebuah komunitas etnik. Dia mendengar orangtua dan kerabatnya berbicara dengan bahasa Indonesia, dan kakek dan neneknya memberi saran
38
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,,p.175
untuk kembali ke Jerman dan berbicara tentang nenek moyang mereka di Jerman. Pengalaman ini akan menambah identitas etniknya. Para ahli saling berselisih tentang apakah identitas etnik dan identitas ras itu sama atau berbeda. Beberapa ahli berpendapat bahwa identitas etnik dibentuk oleh dirinya dan hal lainnya tapi identitas ras hanya dibentuk oleh faktor lain. Mereka menekankan seperti mereka mengesampingkan etnisitas dalam cara mereka mengklasifikasikan orang lain. Jika kita tidak pernah membicarakan ras, tapi hanya etnisitas, bisakah kita memperhatikan efek dan pengaruh dari rasisme? Untuk menyortir hubungan antara etnisitas dan ras adalah untuk membedakan antara identitas terikat dan dominan (atau normatif). “Bounded cultures are characterized by groups that are specific, not dominant”39
Budaya-budaya
kelompok-kelompok
yang
yang spesifik
terikat bukan
dikarakterisasi dominant.
oleh Untuk
kebanyakan orang kulit putih, sangatlah mudah untuk memahami rasa saling memiliki dalam sebuah kelompok terikat (kelompok etnik). Jelasnya, sebagai contoh, menjadi seorang Amish berarti mengikuti ordung (nilai-nilai masyarakat). Tumbuh di sebuah rumah Indonesiajerman, identitas Judith menjadi sangat serius dan sedikit sekali berekspresi dalam caranya untuk komunikasi. Identitas ini sangat berbeda dengan temannya di kampus yang seorang Italia-Amerika, dia sangat ekspresif dalam berkomunikasi.
39
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,,p.175
Nilai ras atau identitas etnik kita berkembang seiring dengan waktu, dalam tingkatannya dan melalui komunikasi dengan orang lain. Tahap-tahap ini seolah merefleksikan pemahaman kita tentang siapa kita dan tergantung pada beberapa tingkat kelompok kita. Banyak kelompok etnik dan ras saling berbagi tentang pengalaman penindasan mereka.
Dalam
menanggapinya,
mereka
bisa
mengenerasikan
konsistensi sikap dan tingkah laku dengan sebuah usaha inernal yang alami untuk mengembangkan identitas kelompok dan identitas diri. Untuk kebanyakan kelompok budaya, identitas kuat ini memastikan untuk bertahan hidup.
2. Identitas Keagamaan “Religious identity can be important dimension of many people’s identities, as well as an important site of intercultural conflict. Religious identity often is conflated with racial or ethnic identity, which makes it difficult to view religious identity simply in terms of belonging to a particular religion”40 Identitas keagamaan bisa menjadi sebuah dimensi penting dari identitas masyarakat banyak, sebagaimana pentingnya dalam faktor konfilk antar budaya. Identitas keagamaan bersatu dengan identitas ras atau etnik, yang membuat sulit untuk melihat identitas keagamaan dari keterkaitannya dengan suatu agama tertentu. Misalnya, ketika seseorang berkata “aku orang Yahudi”, apakah itu berarti bahwa dia melakukan Judaisme? Bahwa dia melihat identitas Yahudi sebagai sebuah identitas etnik? Atau ketika orang berkata, “Dia memiliki nama belakang Islam”
40
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts,p.182
apakah itu merupakan pernyataan bahwa untuk menyadari identitas keagamaannya? Dengan pandangan sejarah, kita bisa melihat Yahudi sebagai sebuah kelompok ras, sebuah kelompok etnik dan sebuah kelompok keagamaan. Menggambarkan perbedaan antara bermacam-macam identitas – ras,etnik, kelas, bangsa dan daerah—sangatlah sulit. Isu-isu agama dan etnisitas menjadi perhatian utama dalam perang antara Al-Qaeda dan kelompok militan lainnya. Walaupun mereka yang melakukan serangan ke Pentagon dan World Trade Center adalah orang Muslim dan Arab, sulit untuk membenarkan bahwa semua orang Muslim adalah Arab dan semua orang Arab adalah muslim. Perbedaan-perbedaan
keagamaan
menjadi
akar
konflik-konflik
kontemporer dari mulai dari Ambon(Maluku), Timur Tengah hingga irlandia utara, India dan Pakistan hingga Bosnia-Herzegovina. Di Amerika Serikat, konflik-konflik keagamaan menyebabkan orang-orang Mormon melarikan diri ke Midwest di Utah pada pertangahan abad ke 19. Konflikkonflik keagamaan menjadi kenyataan bagi orang Arab-Amerika setelah pemerintah AS menegaskan perang melawan terorisme. Dan muslim militan di Timur Tengah dan tempat lainnya melihat usaha perlawanan mereka terhadap AS sebagai suatu usaha keras yang sangat serius dan bersedia mati demi keyakinan agama mereka. Di AS, kita seringkali melihat bahwa orang-orang bebas untuk mempraktekan agama apapun yang mereka yakini. Dan konflik pun muncul ketika kepercayaan agama mereka ditunjukkan kepada mereka yang berbeda keyakinan. Misalnya, beberapa orang Yahudi melihat
dominasi pohon–pohon Cristmas
dan salib-salib Kristen sebagai
penghinaan pada keyakinan mereka. Beberapa penganut agama berkomunikasi dan menandakan perbedaanperbedaan agama mereka dengan pakaian.
Misalnya, yahudi hassidic
memakai pakaian tradisional, dan pakaian yang berwarna gelap, dan wanita muslim memakai kerudung atau penutup kepala sesuai dengan aturan muslim tentang pakaian wanita. Penganut agama Buddha yang taat menjadi bhiksu dengan memperlihatkan pakaian yang biasa dipakai oleh para bhiksu. Tentu saja, tidak semua agama tidak dikenal oleh pakaian. Misalnya, kita tidak bisa tahu bahwa seseorang itu Buddha, Hindu, katolik, Lutheran atau atheis berdasarkan cara pakaian mereka. Karena identitas keagamaan mereka kurang mencolok, interaksi setiap hari tidak akan memperlihatkan identitas keagamaan mereka. “When individuals change their religious and/or ethnic identity, they often change their name to reflect their new identification. For instance, when the world heavy weight boxer Cassius Clay became a Black Muslim, he changed his name to Mohammed Ali”41 Ketika seseorang berganti identitas agama atau etnik mereka, seringkali mereka mengganti nama mereka untuk menunjukkan identitas baru mereka. Misalnya, ketika seorang petinju kelas berat Cassius Clay menjadi seorang muslim kulit hitam, dia pun merubah namanya menjadi Muhammad Ali, begitu pun dengan pemain basket bernama Kareem Abul-Jabbar yang dulu bernama Lew Alcindor sebelum dia masuk Islam.
41
Ada juga beberapa imigran
Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, ( Illinois: Waveland Press. Inc), p.101.
China yang datang ke Indonesia yang merubah nama mereka dengan nama yang lebih dimengerti oleh para pegawai sipil di Indonesia.
3. Identitas Kebangsaan “Among many identities, we also a national identity, which should not be confused with racial or ethnic identity. Nationality, unlike racial or ethnic identity, refer’s to one’s legal status in relation to a nation”42 Diantara semua identitas, kita juga memiliki identitas kebangsaan, yang tidak harus dibingungkan dengan identitas ras dan etnik, kebangsaan menunjukkan status sah terkait pada sebuah bangsa. Banyak penduduk AS bisa melacak etnisitas mereka ke Amerika latin, Asia, Eropa atau Afrika, tapi kebangsaan mereka atau kewarganegaraan mereka, bersama Amerika Serikat. Walaupun identitas kebangsaan bisa terlihat sebagai isu yang jelas, tapi tidak selalu seperti itu. Misalnya, konflik berdarah yang pecah selama masa percobaan penarikan
negara-negara konfederasi dari Amerika
Serikat pada pertengahan tahun 1800-an. Konflik yang sama terjadi juga saat ini ketika Eritrea berusaha untuk memisahkan diri dari Ethiopia, dan Czechnya memisahkan diri dari Rusia. Tidak sedikit Konflik berdarah yang melibatkan kedudukan sebagai Negara yang merdeka, misalnya konflik yang terjadi ketika provinsi Timor Timur ingin memisahkan diri dari negera Indonesia, terjadi konflik berdarah antara warga dan pemerintah dan akhirnya kemudian bisa memisahkan diri dan berdiri sendiri dengan nama Timor Leste pada tahun 2002. Begitu pula di 42
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.186
Czecoslovakia terdahulu, hingga pemisahan Slovakia dan Republik Czechnya. Kesimpulannya, orang memiliki pendapat yang beragam tentang kebangsaan mereka, sebagaimana mereka sering bingung tentang kebangsaan dan etnisitas. Sehingga, seringkali kita mendengar seorang siswa
bertanya
kepada
siswa
dari
kalangan
minoritas,
“Apa
kebangsaanmu?” ketika yang di maksud adalah, “Dari etnik mana kamu berasal?” kebingungan ini bisa mengarah dan mungkin merefleksikan pada kurangnya pemahaman tentang, katakanlah,
Asia-Amerika (kelompok
etnik) dan Asia (kelompok bangsa). Hal itu juga bisa mengasingkan orangorang Asia-Amerika dan orang-orang yang telah tinggal di Amerika Serikat selama beberapa tahun tapi tetap dianggap sebagai orang asing.
4. Identitas Daerah “Closely related to nationality is the notion of regional identity. Many regions of the world have separate, but vital and important, cultural identities”43 Identitas daerah sedikit
berkaitan dengan identitas
kebangsaan. Banyak daerah di dunia yang telah terpisah, tapi yang utama dan penting, adalah identitas budaya. Wilayah orang Jawa Timur berbeda dengan wilayah orang Jawa Barat, mereka memiliki keberagaman budaya sendiri. Indonesia yang terdiri dari banyak pulau dan provinsi-provinsi yang dipisahkkan oleh lautan luas dan membuat budaya mereka berbeda dan memiliki satu identiitas khusus.
43
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.188
Perbedaan kedaerahan ini terkadang menjadi pemicu pecahnya suatu konflik nasional. Begitu pula perbedaan identitas regional di berbagai bagian negara di Amerika Serikat. Dalam hal ini, identitas daerah bisa dijadikan sebagai identifikasi dengan sebuah daerah geografik khusus dari sebuah Negara. Identitas memiliki pengaruh yang sangat besar pada proses komunikasi antar budaya. Pertama, kita bisa menggunakan dinamika individu budaya untuk mengetahui isu-isu yang muncul ketika kita menemui orang yang tidak kita ketahui identitasnya. Dalam interaksi komunikasi antar budaya, identitas
yang disalahgunakan
selalu
barakibat buruk dan
bisa
mengakibatkan masalah komunikasi. Terkadang kita berasumsi tentang identitas seseorang bardasarkan keanggotaannya dalam suatu kelompok budaya tertentu. Ketika kita melakukannya, kita sedang mengacuhkan aspek individualnya dan dengan menggunakan aspek dialektikal, kita bisa mengenal dan menyeimbangkan antara aspek budaya dan individual dari identitas seseorang. Perspektif ini bisa membimbing cara kita berkomunikasi dengan orang tersebut dan juga orang lain.
C. STEREOTIP DAN PRASANGKA 1. Stereotip “The identity characteristics described previously sometimes form the basis for stereotypes, prejudice, and racism. The origins of these have both
individual and contextual elements”44 Karakteristik identitas yang telah digambarkan terkadang bisa membentuk sebuah dasar adanya stereotip, prasangka dan rasisme, yang berasal dari faktor individu maupun kontekstual. Untuk dapat mengerti tentang banyaknya jumlah informasi yang kita terima, kita harus mengkategorisasikan dan mengeneralisirnya, terkadang juga bersandar pada beberapa stereotip –kepercayaan khalayak umum tentang suatu kelompok. Stereotip juga membantu kita mengetahui apa yang kita harapkan dari orang lain. Bisa saja positif atau negatif. Misalnya, orang Asia-Amerika yang seringkali bersikap subjektif terhadap stereotif positif “model minoritas”, yang membuat semua orang Asia dan Asia-Amerika menjadi pekerja keras dan serius. Stereotip ini menjadi sangat biasa terjadi di Amerika Serikat selama masa gerakan hak asasi sipil tahun 1960an1970an. Pada waktu itu orang Asia-Amerika dilihat sebagai minoritas “bagus” –berbeda dengan Afrika-Amerika, kita selalu konfrontatif dan bahkan militant dalam perlawanan mereka untuk mencapai sebuah persamaan dengan kelompok mayoritas. Bahkan stereotip positif bisa berbahaya jika menciptakan harapan yang tidak nyata pada seseorang. Bukan berarti karena seseorang itu AsiaAmerika (atau cantik, atau pintar) maka dia akan lebih unggul di sekolah atau ramah atau menawan. Stereotip akan jadi sangat mengganggu apabila berubah menjadi negatif dan tidak fleksibel. Riset membuktikan bahwa, sekali diikuti, maka stereotip itu akan sulit untuk dihilangkan. Faktanya
44
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.189
bahwa masyarakat lebih cenderung mengingat informasi yang mendukung stereotip mereka dan menghapus informasi yang berlawanan. (Hamilton, Sherman & Ruvolo, 1990). “Gordon Allport, a Harvard University psychologist, was another pioneering scholar in research on prejudice when showed that stereotypes-generalizations about some group of people that oversimplify reality-lead to prejudice. Allport's (1954/1979) book, The Nature of Prejudice, discussed how human
cognitive
activities
like
categorization
and
generalization can lead to prejudiced attitudes. Prejudiced individuals often think in stereotypes. The generalizations prevent accurate perception of the qualities of unalike others”45 Seorang psikolog dari Universitas Harvard, Gordon Allport berpendapat bahwa generalisasi dari sebuah stereotip itu bisa mengarahkan suatu kelompok untuk menyederhanakan suatu kenyataan yang kemudian bisa menimbulkan adanya sebuah prasangka. Dalam bukunya, The Nature of Prejudice, Allport membahas bagaimana aktifitas kognitif manusia seperti kategorisasi dan generalisasi bisa menimbulkan kebiasaan berprasangka. Seseorang yang sering berprasangka seringkali berpikir dalam kerangka stereotip. Generalisasi tersebut mencegah adanya suatu persepsi akurat yang berkualitas tentang orang lain. Sikap-sikap yang menganut stereotip dan prasangka inilah yang menjadi salah satu pemicu timbulnya sebuah konflik.
2. Prasangka
45
Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, (Illinois: Waveland Press. Inc), p.58
“ Prejudice is anegative attitude toward a cultural group based on a little or no evidence”46 Martin menyebutkan bahwa prasangka merupakan sikap negatif tentang suatu budaya baik itu berdasarkan pengalaman atau tidak. Singkatnya merupakan tuduhan tanpa ada bukti yang cukup. Stereotip itu memberitahu kita tentang sebuah kelompok, sedangkan prasangka merupakan bagaimana perasaan kita tentang suatu kelompok (Newberg, 1994). Prasangka bisa muncul dari kebutuhan seseorang untuk berpikir positif tentang kelompoknya sendiri dan merasa negatif terhadap kelompok lain, atau bisa juga muncul dari ancaman yang terlihat atau nyata (Hecht,1998). Peneliti Walter Stephan dan Cookie Stephan (1999) berpendapat bahwa tekanan antara berbagai kelompok budaya dan kontak negatif terdahulu, disertai oleh status ketidaksamaan dan ancaman yang nyata, bisa menimbulkan prasangka. Jadi prasangka itu bisa disimpulkan sebagai sebuah sikap (biasanya negatif) terhadap sebuah kelompok budaya berdasarkan bukti atau tidak. “Some prejudices consist of the irrational suspicion or hatred of a particular group or religion. They can create avoidance and interpersonal conflict-and prevent effective communication between culturally different individuals”47 selain itu, Prasangka mengandung kecurigaan yang tidak rasional dan kebencian terhadap suatu kelompok atau agama tertentu, yang mana bisa mengakibatkan penghindaran dan konflik antar pribadi serta
46
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.191 47
Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, ( Illinois: Waveland Press. Inc), p.56
mencegah terjadinya komunikasi yang efektif diantara individu yang berbeda budaya. “Why do people do prejudice? Psycologist Richard Brislin suggest that, just as stereotyping arises from normal cognitive
functioning,
holding
prejudice
may
serve
understandable functions. These functions may not excuse prejudice, but they do help us understand why prejudice is so widespread. He identifies four such functions: the utilitarian function, the ego-defensive fuction, the value-expressive functions and the knowledge function”48
Seorang psikolog Richard Brislin (1999) berpendapat bahwa prasangka timbul karena memiliki beberapa fungsi, sebagaimana stereotip yang timbul dari fungsi kognitifnya. Fungsi-fungsi ini mungkin bukan menjadi alasan utama, tapi setidaknya kita bisa mengerti mengapa prasangka itu bisa menyebar luas. Dia menyebutkan
beberapa fungsi
tersebut: 1) Bermanfaat. Orang berprasangka karena bermanfaat bagi mereka, misalnya mereka lebih mudah untuk bersikap seperti itu dalam beberapa kelompok dan tidak harus berseteru karena berbeda pandangan. 2) Pertahanan diri. Mereka yang berprasangka karena mereka sendiri tidak ingin mengingat hal-hal tidak menyenangkan tentang diri mereka.
48
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.191
3) Nilai ekspresif. Orang mempertahankan prasangka mereka tentang stu hal karena mereka inging memperkuat beberapa aspek kehidupan yang sangat mereka junjung tinggi. 4) Pengetahuan. Orang-orang berprasangka karena sikap seperti itu bisa membuat mereka mampu untuk mengatir dan menyusun dunia mereka dengan cara yang masuk akal bagi mereka, sama halnya dengan stereotip yang juga membantu kita untuk mengatur dunia kita. 3.
Diskriminasi “When a negative attitude toward an outgroup is translated into action, the behavior is called discrimination, defined as the process oftreating individuals unequally on the basis of their ethnicity, gender, age, sexual orientation, or other characteristics”49 Ketika sebuah sikap negative diteruskan pada sebuah perbuatan, sikap tersebut disebut diskriminasi, yang mana bisa didefinisikan sebagai proses memperlakukan seseorang dengan tidak sama berdasarkan etnis, gender, usia, orientasi sexual, atau karakteristik lainnya yang berbeda. Tingkah laku seperti itu dihasilkan dari stereotip dan prasangka. Diskriminasi bisa berdasarkan pada ras (rasisme), gender (sexism), atau identitas lainnya. “It may range from subtle nonverbal behavior such as lack of eye contact or exclusion from a conversation, to verbal insult and exclusion from jobs or other economy opportunities, to physical
49
Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, ( Illinois: Waveland Press. Inc), p.56
violence and systematic exclusion”50 Diskriminasi bisa dimulai dari sikap nonverbal seperti kurangnya kontak mata atau keluar dari sebuah percakapan, sampai pada sebuah penghinaan
verbal dan keluar dari
pekerjaan atau diskriminasi dalam kesempatan ekonomi lain, sampai pada kekerasan fisik dan keluar dari keseluruhan sistem.
D. Harapan Komunikasi antar Budaya Pendekatan dialektikal kita telah menyebutkan tentang peran penting kemapuan individu dan paksaan kontekstual dalam mengembangkan hubungan antar budaya. “The First step in applying our knowledge to intercultural communication is to recognize the connectedness of humans ang the importance of dialogue”51 Langkah awal untuk mengaplikasikan pengetahuan kita tentang komunikasi antar budaya adalah untuk menyadari adanya keterkaitan antar manusia dan pentingnya sebuah dialog.
A. Memasuki sebuah Dialog Untuk menyadari dan merangkul keterkaitan kita bahkan pada orang yang berbeda dengan kita, kita harus terlibat dalam sebuah dialog sejati. Ide utama dalam sebuah dialog adalah saling berbagi dan
saling memberi.
Menurut Starosta dan Chen untuk membentuk inti suksesnya sebuah dialog, harus ada fokus untuk mendengarkan, daripada berbicara.
50 Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.192 51
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.447
Sebuah model komunikasi antar budaya adalah mendengarkan. Dalam model ini, komunikator antar budaya komunikator antar budaya haruslah efektif,
sensitif pada orang
lain,
berpikir
sebelum
berbicara,
dan
menyampaikan sebuah pesan yang tidak pernah mengancam atau mengutuk ataupun menimbulkan arti yang beragam. Pendengar pun mendengarkan pesan yang disampaikan, menyadarinya, mempertimbangkan kembali, mencoba interpretasi beda yang mungkin –berusaha untuk memahami usulan pembicara. Ketika pendengar percaya bahwa dia telah mengerti pesan yang sedang dibuat, dia menanggapinya, dan tidak dengan sikap yang mengancam. Kita tahu bahwa dalam proses mendengarkan, ambiguitas itu ada, yang berlawanan dengan maksud sebuah komunikasi yang menghendaki sebuah kejelasan dan ringkas. Dan dialog komunikasi antar budaya itu haruslah jelas.
B. Menjadi sekutu Kita perlu membuat suatu jalan baru untuk memikirkan
tentang
keberagaman budaya dan perbedaan budaya –sebuah cara yang menyadari kompleksitas dalam berkomunikasi antar budaya dan menagarah pada isu tentang kekuatan. Sebaliknya, kita bisa terjebak diantara sebuah kerangka konpetitif: jika kita menang sesuatu, dan orang lain kalah, berarti kita bisa menang jika orang lain kalah. Pemikiran seperti ini membuat kita merasa frustasi dan bersalah. Tujuannya adalah untuk menemukan cara dimana kita mendapatkan kesatuan yang wajar daripada mendapat banyak perbedaan dan kebenaran yang kontradiktif, sebuah kesatuan yang berdasarkan pada koalisis yang
disadari, kesadaran menarik dan politik kekeluargaan, dimana kita semua menang. Dan bagaimana
kita bisa melakukannya? Pertama kita bisa
mengidentifikasi persekutuan antar budaya. Ada tiga isu yang membentuk sebuah persekutuan antar budaya. Pertama, kita harus menyikapi kekuatan dan hak istimewa yang ada: teman antar budaya menyadari dan mengerti bagaimana perbedaan etnik, gender, dan kelas mengarah pada kekuatan dan berusaha untuk mengatur
kekuatan isu-isu tersebut. Persekuatuan antar
budaya ikatan antara individu atau kelompok antar budaya yang ditandai dengan saling menyadari kekuatan dan akibat dari sebuah sejarah serta oleh orientasi ketegasan.
C. Membangun Koalisi Beberapa konteks yang akan muncul di kemudian hari, bisa membuat kita berpikir kembali tentang ientitas kita. Retorika yang digunakan untuk menggerakan koalisi itu bisa bermacam-macam. Ketika kita berusaha untuk membangun hubungan antar budaya, terkadang kita harus melebihkan beberapa identitas kita, atau kita harus memperkuat identitas kita. Identitas yang saling bergantian ini membuat kita bisa membangun koalisi dengan orang-orang yang berbeda, untuk mengembangkan hubungan antar budaya yang positif dan untuk dunia yang lebih baik.
D. Keadilan sosial dan Transformasi Dalam keadilan sosial kita harus mengetahui tentang adanya penindasan dan ketidakadilan –setelah kita menyimpulkan bahwa komunikasi
antar budaya itu tidak selalu menarik dan menyenangkan, mereka ada dalam sebuah hirarki dimana satu pihak teristimewakan dan mengatur yang lainnya. Starosta dan Chen menyebutkan bahwa pendengaran antar budaya harus diikuti dengan aplikasi. Pada akhirnya dialog harus merubah hal-hal yang asalnya buruk menjadi lebih baik. Mendengar dengan baik itu berarti mempromosikan harmoni antar budaya dan antar ras, perbaikan terhadap kemiskinan, penegnalan keadilan, saling menghormati dan harmoni. Johnson menawarkan beberapa pendapat konkrit tentang keadilan sosial dan transformasi pribadi. 1. Mengetahui keberadaan suatu masalah. 2. Memberi perhatian. 3. Melakukan suatu tindakan. E. Pemberian Maaf Walaupun pemberian maaf itu terbatas dan problematic, pemberian maaf merupakan
sebuah
pilihan
untuk
mempromosikan
pemahaman
dan
rekonsiliasi antar budaya. Pemberian maaf itu memang lebih daripada sebuah cara sederhana dari kebenaran agama; dan menuntut sebuah intelektualitas yang dalam dan komitmen emosional selama masa penderitaan. Selain itu, harus ada sikap untuk merelakan, sebuah perubahan, sebuah transformasi semangat baru.
E. Implementasi dalam Perdamaian
Yang penting untuk digaris bawahi disini adalah: bisakah individu-individu dari jenis kelamin, usia, atnik, ras, bahasa, status ekonomi-sosial, dan latar belakang budaya yang berbeda eksis di muka bumi ini? Baik sejarah umat manusia dan peristiwa-peristiwa terkini menunjukkan bahwa kita tidak bisa terlalu optimis dalam hal ini. Dan hal ini lebih jelas terlihat setelah terjadinya peristiwa 11 September 2001. Hubungan diantara kelompok-kelompok budaya berbeda – dari zaman dulu hingga sekarang—seringkali menimbulkan ketidakharmonisan. Misalnya, perselisihan agama/ etnik antar orang Muslim dan orang Barat: perlawanan-perlawanan etnik di Bosnia dan Uni Soviet, perang antara Hutus dan Tustis di Rwanda (Afrika), begitu pula yang terjadi di Timur tengah, perlawanan dan tekanan ras dan etnik di lingkungan Boston, Los Angeles, dan kota-kota Amerika Serikat lainnya. “Some of these conflicts ate tied to histories of colonialism around the world, whereby European powers lumped diverse groups—differing in language, culture, religion, or identity—together as one state”52
Konflik- konflik ini berkaitan
dengan sejarah Kolonialisme di seluruh dunia, dimana
kekuatan Eropa
menyatukan kelompok-kelompok yang berbeda–beda bahasa, budaya, agama, atau identitas – bersama dalam satu negara. Misalnya, pembagian daerah Pakistan dan India dijatuhkan oleh Inggris, pada saat itu pun, Pakistan Timur mendeklarasikan diri menjadi Bangladesh. Namun, perbedaan etnik dan agama di beberapa wilayah di India dan Pakistan terus berlanjut tanpa akhir. Dan senjata nuklir oleh India dan Pakistan membuat perselisihan ini semakin mencuat. Perbedaan yang besar sekali itu disertai perselisihan—diantara koloni-kolokni ini harus dimengerti dalam konteks sejarah kolonialisme.
52
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, p.29
“Some of the conflicts are also tied to economic disparities and influenced by U.S. technogy and media”53 Beberapa konflik juga berkaitan dengan perbedaan ekonomi dan dipengaruhi oleh teknologi dan media Amerika Serikat. Banyak orang di AS melihat pengaruh ini sebagai keuntungan, tapi mereka juga memanipulasi berbagai perlawanan ahli komunikasi Fernando Delgado (2002) menjelaskan: Dominasi budaya, walaupun terjadi di rumah, bisa memicu konflik antar budaya karena itu menghalangi produk budaya popular bangsa asli lain, perkembangan ekonomi mereka dan menipu nilai-nilai AS dan pandangan terhadap budaya-budaya lainnya. Efek ini, sebaliknya, selalu mengarah pada kemarahan dan konflik. Kolonialisme : 1. Sistem dimana kelompok-kelompok yang berbeda budaya, agama, dan identitas bersatu membentuk sebuah negara, biasanya oleh sebuah kekuasaan Eropa. 2. Sistem dimana sebuah negara memiliki kekuasaan terhadap negara lain atau kelompok lain untuk mengeksplotasi mereka secara ekonomi, politik dan budaya. Misalnya, bagi orang-orang Kanada, suatu identitas budaya Kanada itu merupakan hal yang mustahil eksis, karena adanya dominasi media Amerika Serikat. Contoh dominasi budaya ini sangatlah kompleks. Delgado sering menyebutkan bahwa dia memperhatikan sentiment-sentimen anti-Amerika dalam grafitti, Koran, dan program-program TV selama tur ke Eropa, tapi dia juga melihat pengaruh Amerika Serikat dimana-mana – dalam musik, tv, film, mobil, makanan cepat saji dan fashion. Dia menyebutkan bahwa “kemarahan, frustasi,
53
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, hal.29
dan penghinaan diantara penduduk lokal juga disebabkan oleh sebuah kekaguman pada terobosan budaya popular Amerika Serikat” Beberapa konflik juga berakar dari kebijakan-kebijakan luar negeri terdahulu. Misalnya, serangan pada 11 September 2001 sebagian berkaitan pada aliansi yang membingungkan dan berubah-rubah antara AS, Afghanistan, Arab dan negara-negara muslim lainnya. Pada awal tahun 1990-an di Afghanistan, Taliban merebut kekuasaan terhadap aturan yang merugikan dari Aliansi-aliansi Utara, sebuah koalisi longgar untuk perang. AS telah mendukung Taliban untuk berperang melawan agresi Soviet di akhir tahun 1980-an dan telah menjanjikan bantuan untuk membangun negara mereka setelah perselisihan mereka berakhir. Bagaimanapun juga, dengan ditariknya kekuatan Soviet dan keruntuhan Uni Soviet, Amerika Serikat tidak perhatian dalam memenuhi janji-janji mereka pada bangsa Afghan, tapi meninggalkan mereka pada belas kasihan Taliban. Terlebih lagi, kebijakan luar negeri Amerika Serikat terhadap negara-negara Arab di pertengahan akhir abad ini, disertai dengan dukungan terbuka untuk Israel, telah mengakibatkan kemarahan yang tersebar luas. Meskipun tidak ada alasan jelas mengapa teroris menyerang Amerika Serikat, serangan itu tidak terjadi begitu saja. Hal itu harus dipahami dalam konteks historis, politik, agama, dan ekonomi. Naif sekali untuk mengasumsikan bahwa sederhananya isu-isu komunikasi antar budaya akan berakhir dengan perang dan konflik antar budaya, tapi permasalahan ini menggaris bawahi bahwa individu harus belajar untuk lebih memahami kelompok-kelompok sosial lain daripada kelompok sendiri. Akhirnya, masyarakat, bukan negara, bernegosiasi dan menandatangani perjanjjian damai. Sebagai contoh bagaimana gaya komunikasi seseorang berpengaruh pada hasil politik bisa dilihat dari negosiasi antara Presiden Iraq Saddam Hussein dan
perwakilan dari Amerika Serikat dan PBB. Misalnya, pada Perang Teluk sebelumnya, tahun 1990, banyak ahli Timur Tengah berpendapat bahwa Saddam Hussein belum siap untuk berperang, bahwa dia hanya menggertak saja, menggunakan gaya komunikasi bangsa Arab. Gaya ini menekankan pentingnya animasi, pernyataan yang berlebihan, dan bentuk percakapan diatas isinya. Ahli komunikasi menyebutkan bahwa dalam situasi konflik jurubicara Arab bisa saja mengancam hidup dan kekayaan lawan mereka tapi mereka tidak memiliki tekanan untuk benar-benar melakukan ancaman itu. Sepertinya, jurubicara Arab menggunakan ancaman untuk menghabiskan waktu dan mengintimidasi lawan mereka. Oleh karena itu, pernyataan deklarasi oleh para pemimpin AS, seperti “kami akan menemukan kanker dan memusnahkannya” terlihat seperti keduniaan dan tidak tanpa paksaan pada pengikut Arab. Pertukaran verbal, tidak terkecuali gaya-gaya komunikasi berbeda, seringkali menimbulkan kekerasan fisik. Bagaimana pun juga, kita harus memperhatikan hubungan antara kekuatan individu dan sosial dalam mempelajari komunikasi antar budaya. Walaupun komunikasi pada tingkat
interpersonal itu penting, kita harus ingat bahwa
individu seringkali terlahir dan terjebak pada konflik baik dimulai ataupun tidak.
BAB III PROFIL CENTRE FOR DIALOGUE AND COOPERATION AMONG CIVILIZATIONS (CDCC) DAN THE 2 nd WORLD PEACE FORUM
I. Profil Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations(CDCC) Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC) adalah sebuah organisasi masyarakat sipil internasional yang berpusat di Jakarta dan didirikan pada tahun 2007 oleh para cendekiawan dan aktivis berbagai
latar
belakang yang luas. Diantaranya adalah Din Syamsuddin, Bahtiar Effendy, Hajrianto Y. Tohari, Didik J. Rachbini, Rizal Sukma, Fahmi Darmawansyah, dan Said Umar. A. Latar Belakang Sebenarnya CDCC dibentuk berdasarkan pada beberapa alasan54. Seiring dengan meningkatnya jumlah tindakan kekerasan baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainnya yang disebabkan oleh faktor politik, agama, ekonomi, budaya, dan lain-lain. Kemudian dengan adanya sinyalemen bahwa penyebab utama dari berbagai tindak kekerasan itu adalah adanya benturan peradaban. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel Huntington. Tapi sebenarnya teori itu tidak sepenuhnya benar, karena setiap peradaban memiliki nilai universalitas sendiri yang bisa diterima oleh peradaban lainnya. ketiga, karena alasan itulah CDCC kemudian berusaha untuk memahami berbagai perbedaan tersebut dan berusaha untuk mencari titik temunya. Dialog dan kerja sama pun dijadikan CDCC sebagai jalan untuk mewujudkannya. Dan terakhir , berbagai dialog yang ada hanya bersifat 54
Wawancara Pribadi, Dr. Abdul Mu’ti, CDCC, 3 Agustus 2009.
konseptual saja, hanya sebatas pertukaran pikiran. Dan CDCC bertujuan untuk membuat dialog yang konseptual dan praktis. Sehingga berbagai kerja sama bisa diadakan untuk melawan tindak kekerasan dan menghindari bernturan-benturan peradaban. B. Misi CDCC bertujuan untuk mempromosikan pemahaman yang lebih baik dan hubungan damai antar agama, budaya, bangsa, dan peradaban pada umumnya. CDCC berusaha untuk memediasi pemisahan yang selama ini ikut didukung oleh adanya ketakutan dan ketidakpahaman pada dua belah pihak55. Maka dibentuklah beberarapa inisiatif untuk membangun dan memperluas dialog dan kerja sama antar agama, antar budaya, internasional dan antar peradaban, serta memberikan prioritas tinggi dalam menanggapi permasalahan-permasalahan utama mengenai kesalahpahaman dan kekerasan melalui beberapa ketentuan studi permasalahan yang terkait yang komprehensif, objektif, dan tepat.
C. Visi Daripada memandang perbedaan sebagai suatu
ancaman dan
peradaban pun selalu berbenturan, CDCC menganut sebuah pandangan bahwa perbedaan adalah sebuah kesempatan, kekayaan dan sebuah komponen integral yang tumbuh, dengan tujuan untuk menciptakan dunia yang damai56. Perbedaan harus diterima, tapi pada saat yang sama seseorang tidak harus mempertahankan pandangan seperti yang selama ini dianut oleh dunia Muslim dan Barat yang bisa menciptakan konflik yang tiada henti-hentinya. 55 56
www.cdccfoundation.org www.cdccfoundation.org
Bagaimanapun juga, usaha-usaha untuk menjembatani jurang pemisah antar masyarakat, bangsa dan peradaban dunia seringkali gagal jika tidak disertai oleh partisipasi, dialog dan kerja sama dari komunitas internasional. Dewasa ini, sangatlah penting untuk melakukan sebuah gerakan global untuk menjembatani jurang pemisah itu dan mempromosikan dialog, pemahaman yang lebih luas dan saling menghormati antar berbagai budaya dan peradaban D. Program CDCC berusaha untuk mencapai tujuannya melalui aktifitas-aktifitas berikut: 1. Kuliah Umum (Public Lecture) CDCC berusaha untuk mengadakan dialog-dialog antar peradaban dengan mengumpulkan para elit dan masyarakat dalam sebuah forum yang mendiskusikan isu-isu tentang antar agama, antar budaya, dan hubungan internasional. Diantara contoh forum-forum tersebut adalah Lecture on Civilisations (Kuliah Peradaban), seminar internasional, dan konferensi internasional tahunan. Para peserta yang hadir mewakili sebuah kelompok luas meliputi diplomat, pemerintah, politisi, akademisi, aktifis, pengusaha, jurnalis, tokoh agama, tokoh pemuda, dan perwakilan media. 2.
Jaringan dan Kerja Sama Dalam melaksanakan program sebagaimana yang telah direncanakan dalam
tujuannya,
CDCC
melakukan
usaha
yang
besar
untuk
mengembangkan jaringannya yang bisa menguntungkan dalam usaha menciptakan atmosfer perdamaian dan dalam rangka membuat dialogdialog yang efektif dan meningkatkan kepedulian masayarakat akan perlunya
untuk
membangun
jembatan
antar
bangsa,
untuk
mempromosikan dialog, pemahaman yang lebih luas, dan saling menghormati dan tuntuk menyusun harapan-harapan politik bersama dalam menanggapi perbedaan-perbedaan di dunia. 3. Advokasi Kebijakan
Untuk memediasi konflik yang ada sebagaimana usaha untuk mencegah konflik yang mungkin terjadi, CDCC mengadvokasi segala kebijakan pemerintah atau pihak yang berwenang lainnya yang penting dalam usaha untuk mengurangi tekanan antar budaya dan kesalahpahaman yang ada. CDCC berusaha untuk mempengaruhi keputusan pemerintah atau pihak berwenang yang berakibat baik atau pun buruk pada dialog budaya atau peradaban. 4. Publikasi CDCC membuat setiap usaha untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat di Indonesia dan di luar negeri pada pentingnya untuk menjembatani jurang pemisah dan mengurangi persepsi antar budaya dan peradaban, sebagaimana memfasilitasi debat akademis tentang antar agama, antar budaya, dan hubungan internasional. Dan atas alasan ini, CDCC menyebatkan informasi dan ide-ide melalui halaman web dan artikel di media secara terus-menerus. 5. Penelitian CDCC melakukan berbagai usaha untuk memimpin studi yang memadai tentang materi-materi yang mengembangkan dialog dan kerja sama diantara masyarakat yang berbeda agama, ras atau etnik, dan bangsa. E. Struktur Organisasi CDCC Ketua: M. Din Syamsuddin
Penasehat: a) Didik J. Rachbini, b) Bachtiar Effendy c) Rizal Sukma d) Hajriyanto Y. Thohari e) Said Umar f) Fahmi Darmawansyah
Pengawas: a) Rustam Effendy b) Edy Kuscahyanto Direktur Eksekutif : Abdul Mu’ti Direktur Administrasi dan Keuangan : Indah Meitasari Direktur Program : Piet Hizbullah Khaidir Wakil Direktur Program : Izza Rohman Staff : a) Artati Haris b) Fauzia Ningtyas c) Ilham Mundzir
II. Profil The 2nd World Peace Forum (WPF) Seperti telah disebutkan, perhatian utama CDCC adalah perdamaian dunia. Beberapa kegiatan telah dilaksanakan, diantaranya adalah World Peace Forum (WPF). CDCC bekerja sama dengan Muhammadiyah dan Multi Culture Society telah mengadakan WPF sebanyak dua kali. WPF yang pertama diadakan pada tanggal 14 – 16 Agustus 2006 di Jakarta. Selama Forum Perdamaian Dunia Pertama(WPF), lebih dari 100 tokoh agama, pengusaha, akademisi, aktifis sosial, dan jurnalis berkumpul di Jakarta, Indonesia, untuk saling bertukar pikiran, terlibat dalam dialog, dan membangun jaringan dalam suatu keyakinan bahwa kita semua terikat bersama oleh “ satu kemanusiaan, satu takdir, dan satu tanggung
jawab.” Dengan semangat seperti itu, mereka berusaha keras untuk membantu perkembangan kesepemahaman yang lebih dalam antar peradaban berdasarkan pada sebuah pemahaman bersama bahwa setiap manusia saling berbagi nilai-nilai kemanusiaan, takdir manusia, dan tanggung jawab untuk menciptakan kedamaian. Mereka semua yakin bahwa dengan tujuan untuk menjamin keunggulan sebuah perdamaian dalam hubungan antar peradaban, kerja sama antar peradaban yang lebih besar sangatlah penting. Setelah mengadakan Forum perdamaian Dunia pertama (WPF),
Forum
Perdamaian Dunia kedua (The 2 nd WPF) kembali diadakan di Jakarta pada tangal 24-26 Juni 2008. Dengan mempertahankan semangat “Berbagai Segi Kekerasan; Apa yang Bisa Dilakukan?” sebagai kerangka utama dialog, The 2nd WPF secara khusus membahas tentang masalah kekerasan dan mencari solusi bersama untuk memberantasnya, yang menjadi latar belakang diadakannya World Peace Forum ini57. Sebenarnya, gelombang kekerasan baik itu di tingkat nasional maupun internasional, telah menjadi satu hal yang sangat bermasalah di dunia saat ini. Kekerasan yang telah merambah dalam berbagai hal: mulai dari kejahatan yang keji di berbagai masayarakat, pembunuhan politis, hak asasi manusia yang disalahgunakan oleh pemerintah yang lalim dan otoriter, konflik etnik yang mematikan, serangan teroris, perang dalam pengaturan kebijakan, dan perang antar bangsa. Akar penyebab dari kekerasan itu ada dalam bentuk dari berbagai segi. Bagaimanapun, pengunaan, penyalahgunaan, dan kesewenang-wenangan dari sentiment agama dan etnik sebagai sebuah alat untuk mobilisasi politia dalam situasi konflik dan bisa memperburuk suatu masalah. Kekerasan dalam konteks
57
Wawancara Pribadi, Dr. Abdul Mu’ti, CDCC, 3 Agustus 2009.
ini bisa memperburuk kecurigaan diantara masyarakat, orang dari agama yang berbeda, dan pada akhirnya berdampak pada peradaban. Jika tren ini terus berlanjut tanpa ada perkembangan, maka masa depan kemanusiaan pun berada dalam ancaman. dalam menghadapi ancaman kemanusiaan yang begitu besar itu, maka semua umat manusia di seluruh dunia memiliki kewajiban untuk bekerja sama dalam menjamin tetap adanya dorongan-dorongan pada perdamaian sebagaimana kekerasan yang terus terjadi pada setiap masyarakat. A. Peserta The 2nd World Peace Forum 1) Afrika: a. Algeria b. Maroko c. Tunisia 2) Amerika: Amerika Serikat 3) Asia a. Indonesia b. Jepang c. Bangladesh d. India e. Korea f. Malaysia g. Pakistan h. Philiphina i. Singapura j. Srilanka k. Thailand l. Timor-Leste 4) Australia dan Selandia Baru: a. Australia
b. Selandia Baru 5) Eropa: a. Belgia b. Bosnia-Herzegovina c. Finlandia d. Jerman e. Italia f. Kosovo g. Norwegia h. Vatican 6) Timur Tengah: a. Afghanistan b. Bahrain c. Mesir d. Iran e. Libya f. Turki
B.
Program dan Agenda Program dan agenda dari The 2 nd WPF ini bertemakan “Berbagai Sisi Kekerasan: Apa yang Bisa Dilakukan?” dengan beberapa topik sebagai berikut:
a. Facets of Violence: Issues and Challenges (Berbagai Sisi Kekerasan: Isu-isu dan Tantangan)
b. Political and Religious Violence: Addressing the Root Causes (Kekerasan Politik dan Agama: Mengamati Akar Penyebabnya) c. Combating Violence: The Role of Civil Society and Faith-Based Organizations (Melawan Kekerasan: Peran Organisasi Masyarakat Madani dan Organisasi Keagamaan) d. Media, Freedom of Expressions and Violence (Media, Kebebasan Berekspresi dan Kekerasan) e. The Role of Religion in Combating Violence (Peran Agama dalam Melawan Kekerasan) f. Interfaith Dialogue: Can It Make a Difference? (Dialog Antar Agama: Bisakah Membuat Perbedaan?) g. Working for a Peaceful World: What can be Done? (Bekerja untuk Perdamaian Dunia: Apa yang bisa Dilakukan?)
BAB IV ANALISIS FAKTOR KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA DALAM PEMBAHASAN THE 2ND WORLD PEACE FORUM
Dalam proses komunikasi antar budaya, terdapat sebuah kemungkinan akan terjadinya konflik, yang terjadi ketika budaya yang berbeda saling berbenturan. Konflik muncul karena ada beberapa hal yang menjadi faktor penyebabnya. Suatu konflik bisa bermula dari perbedaan identitas diantara individu, kelompok ataupun bangsa. Dalam bab sebelumnya tentang identitas, dan bab ini akan membahas tentang analisis komunikasi antar budaya untuk perdamaian, dalam kasus CDCC dan studi kasus the 2nd WPF. CDCC yang bekerja sama dengan Multi Culture Society dan Muhammadiyah mewujudkan visi mereka untuk menjembatani dialog antar peradaban dengan diadakannya The 2nd World peace Forum ini. Dialog ini yang menyatukan berbagai peradaban dan menyediakan ruang diskusi diantara beberapa tokoh nasional, politik, agama dan akademisi dari berbagai negara dan budaya. Mereka berkumpul untuk berdialog dan mencari solusi bersama untuk menghindari terjadinya berbagai bentuk benturan peradaban, budaya, agama maupun ideologi seperti kekerasan. Selain itu, dalam bab ini akan menjelaskan bagaimana para peserta The 2nd World Peace Forum berdiskusi tentang pentingnya sebuah perdamaian dan mencari solusi pemecahannya bersama serta analisisnya. Pembahasan ini akan terbagi kepada dua kategori penting yang berdasarkan pada identitas agama dan bangsa yang terkait didalamnya. A. Analisis Identitas Agama
Identitas merupakan faktor penting yang dimiliki setiap individu dan kelompok khususnya dalam komunikasi antar budaya.. Identitas itu menyediakan sebuah jembatan antara budaya dan bahasa. Hal ini sangat penting karena kita mengkomunikasikan identitas kita pada yang lainnya, dan kita belajar tentang diri kita melalui komunikasi. Dan proses pertukaran identitas yang terjadi sebagai salah satu bentuk komunikasi antar budaya, terkadang terjadi ketidaksesuaian yang menimbulkan gesekan-gesekan. Identitas mayoritas agama dan minoritas agama tertentu pun bisa menjadi faktor penyebabnya. Ketidaksesuaian berbagai identitas ini jika terjadi secara terus-menerus, maka akan mengakibatkan terjadinya konflik baik yang mengandung kekerasan maupun tidak. Konflik yang sering terjadi dan semakin menyebar luas pada akhirnya akan merusak perdamaian kehidupan manusia. Oleh karena itu, dalam rangka mencari jalan perdamaian untuk menghindari atau menyelesaikan konflik yang terjadi, identitas antar kelompok haruslah diperhatikan agar bisa saling memahami budaya masingmasing dan mencari solusi bersama. Sebagaimana telah dibahas dalam bab sebelumnya, bahwa identitas itu terdiri berbagai faktor diantaranya adalah identitas agama, idenitas bangsa dan identitas etnik58, yang akan menjadi bagian sudut pandang penulis dalam menganalisis. Sebagian pembicara pada The 2nd World Peace Forum membahas tentang perdamaian dan berkaitan dengan faktor identitas agama yang telah dibahas pada bab sebelumnya. Ada lima panelis yang membahas tentang perdamaian dari sudut pandang agama, diantaranya yaitu Mark Juergensmeyer, Ahmad Syafii Maarif, Radha Batt dan Valeria Martano.
58
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.400
1. Mark Juergensmeyer Mark Juergensmeyer seorang Professor dari University of California at Santa Barbara dan Direktur ORFALEA CENTER
FOR Global and
International Studies California Amerika Serikat, mengemukakan sebuah topik tentang: Apakah Agama menjadi sebuah Masalah. Dia mengatakan: “Religion is not the problem—but it is problematic. Even though religion is not the sole cause of violence, it does bear some responsibility for the intensity and extremity of many violent actions. The conditions of conflict that lead to tension are usually economic and social in character—often a defense of territory or culture that is perceived to be under control by an outside power. At some point in the conflict, however, usually at a time of frustration and desperation, the political contest becomes “religionized.” Then ordinary struggles take on the aura of sacred conflict. This creates a whole new set of problems”59 “My answer is that religion is not the problem—but it is problematic. Even though religion is not the sole cause of violence, it does bear some responsibility for the intensity and extremity of many violent actions”60.Mark berpendapat bahwa agama bukanlah sebuah masalah—namun agama itu problematis.
Meskipun agama bukanlah penyebab mendasar dari sebuah
kekerasan, namun agama bisa menimbulkan
intensitas dan keekstriman
berbagai aksi kekerasan. Kondisi konflik yang mengarah pada tekanan ini,
59
Mark Juergensmeyer, Is Religion the Problem?, makalah disajikan dalam The 2nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008, h.1. 60 Mark Juergensmeyer, Is Religion the Problem?, h.1.
seringkali didasari oleh adanya karakter sosial dan ekonomi—misalkan demi mempertahankan territorial atau budaya yang mulai dikuasai oleh pihak asing. Dalam beberapa konflik tertentu, pada saat frustasi dan keputusasaan, persaingan politik kemudian dirubah menjadi ‘kepentingan agama’ dan dibuatlah usaha-usaha yang biasanya melibatkan konflik sakral suatu agama. Inilah yang kemudian menciptakan sebuah permasalahan baru. Dalam hal ini, kita bisa melihat faktor identitas keagamaan bisa menjadi faktor pendorong terjadinya konflik. Namun seperti telah dibahas dalam bab sebelumnya bahwa identitas keagamaan itu tidak bisa dipisahkan dari identitas etnik atau ras kelompok tertentu. Sehingga semua faktor tersebut saling mendukung terjadinya suatu konflik dan agama dijadikan isu utama. Seperti halnya, konflik yang terjadi di Ambon pada tahun 2000 yang disebabkan oleh faktor SARA (suku, agama, ras dan antar golongan). Walaupun secara luas kita melihat konflik di Ambon tersebut disebabkan oleh perselisihan antar agama karena maraknya anggapan bahwa FKM/RMS (Font Kedaulatan Maluku/ Republik Maluku Selatan) itu orang Kristen sedangkan NKRI adalah orang Islam, namun jika diteliti lebih dalam lagi, maka akan terungkap faktor lain yang menjadi penyebabnya seperti suku, ras, hubungan antar golongan, dan berbagai kepentingan. Beberapa pihak yang berpotensi terlibat adalah seperti TNI, POLRI, dan Gubernur, karena pertemuan mereka dengan masyarakat sebelum konflik terjadi. Setelah terjadinya serangan teroris di WTC, Amerika Serikat pada 11 September 2001, konflik antara orang Barat dan orang Islam semakin mencuat. Walaupun mereka yang telah melakukan serangan tersebut adalah orang Muslim Arab, sulit sekali untuk membenarkan bahwa semua orang
Muslim seperti itu. Karena dalam kasus tersebut faktor identitas etnis atau bangsa tidak bisa diabaikan. Agama tidak sepenuhnya menjadi alasan terjadinya konflik tersebut, faktor etnis, bangsa maupun individu juga ikut mendukung. Namun dalam hal ini, pihak Barat menjadikan agama sebagai kambing hitam dan membuat semua penganut agama Islam di Amerika Serikat merasa dirugikan dengan adanya stereotip yang memburuk tentang Islam dan para penganutnya sehingga menimbulkan prasangka yang bisa memicu terjadinya benturan budaya dan konflik. Para pelaku teroris itu memiliki alasan yang
didasari oleh sebuah idealisme agama, stereotip dan
juga
prasangka mereka terhadap kelompok Barat. Sehingga pada akhirnya, semua dasar itu bersatu menjadi tindakan yang memicu terjadinya konflik yang lebih luas dan mendalam antara Barat dan Islam. Jika dilihat dari beberapa kasus, agama memang seringkali dipolitisasi oleh beberapa pihak yang berkepentingan. Sehingga pesan damai agama pun diubahnya menjadi kepentingan mereka sendiri. Itulah mengapa agama sering dijadikan sebagai suatu alasan dari sebuah konflik. Adapun orang-orang yang terlibat didalamnya akan mendapatkan keuntungan duniawi semata. Seperti adanya pihak yang dengan sengaja mengadu domba dua kelompok agama berbeda dengan tujuan supaya posisi mereka yang akan menjadi penengah memberi keuntungan bagi kepentingan mereka. Konflik memang sering terjadi ketika berbagai kepentingan saling bertentangan.61 Agama yang dijadikan alasan dari sebuah konflik, yang menawarkan hadiah pribadi dan keuntungan agamis bagi siapa saja yang berusaha dalam konflik dan sebaliknya jika tidak dilakukan maka dia hanya 61
akan
Judith N. Martin, Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007 p.409
mendapatkan keuntungan sosial saja62. Seperti halnya jihad
yang sering
dilakukan oleh kelompok ekstrimis Islam yang menganggap bahwa mereka akan mendapatkan pahala atau imbalan surgawi jika melakukannya dengan melakukan tindakan kriminal pada kaum kafir, kelompok agama yang berbeda. Agama pada konteks konflik ini juga terdapat mesin mobilisasi sosial yang meliputi jumlah pendukung yang sangat besar dan jaringan organisasi dari mesjid-mesjid, gereja-gereja, dan perkumpulan masyarakat di daerah. Mereka berpendapat bahwa agama mensahkan adanya pembenaran moral untuk pertempuran politik dan sebuah pembenaran untuk kekerasan yang memicu terjadinya pembunuhan dengan alasan sangsi-moral. Tidaklah sulit bagi sebuah kelompok agama untuk mengumpulkan massa mereka, dari mulai pusat sampai daerah terpencil. Itu memudahkan mereka untuk mendoktrin dan kemudian menggerakan massa untuk melakukan ajaran agama yang menurut mereka benar, seperti jihad dalam melawan kaum kafir. "Perhaps most important, religion provides the image of cosmic war, which gives an all-encompassing world view that absolutizes the conflict into extreme opposing positions and demonizes opponents by imagining them to be satanic powers”63.Selain itu hal yang terpenting adalah dari semua konflik yang terjadi di dunia, semua itu mengesankan bahwa agama bisa menimbulkan perang dunia, yang membuat semua pandangan dunia bisa mengabsolutkan konflik menjadi sebuah tantangan yang ekstrim dan lawan yang kejam dengan menimbulkan kesan kekuatan jahat. Absolutisme seperti itu mempersulit terjadinya sebuah kompromi, dan menimbulkan sebuah
62 Mark Juergensmeyer, Is Religion the Problem?, makalah disajikan dalam The 2nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008, h.2. 63 Mark Juergensmeyer, Is Religion the Problem?, makalah disajikan dalam The 2nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008, h.2.
kemenangan telak
melalui intervensi suci dalam sebuah konflik dimana
perjuangan suci, seperti jihad, makin meluas, bahkan mungkin menjadi kekal. Jika sebuah kelompok agama memiliki pandangan yang esktrim tentang jihad atau yang semisalnya dan mengabaikan faktor kemanusiaan, maka konflik agama pun sulit untuk dihindari dan jurang yang telah ada antara kelompok agama yang bersangkutan akan semakin menganga. Yet religion also provides traditions of toleration, the moral expectations of justice and equality, and images of peace. There is reason to believe, therefore, that religion can bring to situations of social strife a message not only of harm, but also of hope.64 Namun dibalik semua keekstriman yang ditimbulkan oleh penafsiran sebuah kelompok terhadap ajaran agama yang bisa menimbulkan konflik itu, agama juga memiliki toleransi. Agama memiliki harapan moral terhadap keadilan dan persamaan, dan perdamaian. Ada alasan untuk mempercayainya, oleh karena itu agama bisa membawa pada situasi perselisihan sosial yang menunjukkan sebuah pesan yang tidak hanya mengandung kekerasan, tetapi juga harapan. Dengan terjadinya konflik-konflik itu, agama dipandang sebagai sesuatu yang mengajarkan kekerasan dan juga harapan. Semua itu tergantung pada kelompok yang terkait dalam konflik, apakah mereka menginginkan konflik terus terjadi ataukah terciptanya perdamaian.
2. Ahmad Syafii Maarif
64
Mark Juergensmeyer, Is Religion the Problem?, makalah disajikan dalam The 2nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008, h.1.
“Let’s see first why Bertrand Russell so strongly and sharply criticized the harmful operation of religions in human history by concluding: “I think all the great religions of the world--Buddhism,
Hinduism,
Christianity,
Islam,
and
Communism--both untrue and harmful.”65 Syafii Ma’arif, adalah Ketua Umum PP Muhammadiyah periode 20002005. Ma’arif mengutip pendapat Bertrand Russel yang sangat memberikan kritik yang kuat dan tajam terhadap tindakan agama yang berbahaya dalam sejarah manusia, dengan menyimpulkan bahwa semua agama besar di dunia— Buddha, Hindu, Kristen, Islam, dan Komunisme—tidak benar dan berbahaya. Pernyataan ini memang akan membuat semua penganut agama marah, namun pendapat Russel berdasarkan pada fakta sejarah yang kuat. Tentu saja generalisasi ini tidak bisa diadopsi secara keseluruhan, karena pendapat itu melihat semua agama itu tidak lebih dari beban manusia dengan mengacuhkan dimensi positif mereka sebagai satu dasar yang kekal dalam peradaban manusia. Menurut Syafi’i Ma’arif, teori Bertrand Russel benar dalam satu sisi, Russel benar ketika mengatakan bahwa agama itu berbahaya ketika yang dilihat adalah sebuah tindakan penyalahgunaan agama yang bahaya bagi kemanusiaan. Namun sebagai tokoh agama yang mengusung berdirinya perdamaian, Ma’arif menganggap itu sebagai sebuah generalisasi terhadap agama. Karena agama itu memiliki dimensi yang tergantung pada penganutnya.
65
Ahmad Syafi’I Ma’arif, The Role of Religion in Combating Violance, makalah disajikan dalam The 2nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008, h.1.
“Now allow me briefly to look at Islam as a religion. The original and true meaning of Islam is peace by the way of one’s submission to the will of God, though some elite Muslims in certain periods of history have betrayed this doctrine for political, theological, and sectarian purposes.”66 Arti Islam yang sebenarnya adalah damai sesuai dengan satu pendalaman tentang kehendak Tuhan, walaupun sebagian kaum muslim elit telah mengkhianati doktrin ini dalam hal politik, teologis, dan tujuan yang tidak benar. Dalam hal ini, Russel benar ketika dia berpendapat bahwa “semua agama itu tidak benar dan berbahaya”. Dengan kata lain, perbuatan kejam dan berbahaya yang dilakukan oleh sebagian orang muslim dalam sejarah tidak seharusnya diartikan sebagai arti Islam yang sesungguhnya, karena sebenarnya semua perbuatan brutal itu hanyalah sia-sia. Tapi setidaknya ada seorang pilosofis asal Inggris yang berkata bahwa: “The Empire of the Caliphs was much kinder to Jews and Christians than Christian states were to Jews and Mohammedans. It left Jews and Christians unmolested, provided they paid tribute. Anti-Semitism was promoted by Christianity from the moment the Roman Empire became Christian.”67 Russel menilai Islam dengan adil dengan mengakui fakta bahwa Kekahalifahan Islam bersikap lebih baik kepada orang Yahudi dan orang Kristen dibandingkan dengan negara Kristen pada orang Yahudi dan orang Islam. Itu membuat orang Yahudi dan orang Kristen terpisah, membuat
66
67
Ahmad Syafi’I Ma’arif, The Role of Religion in Combating Violance, makalah disajikan dalam The 2nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008, h.1.
Bertrand Russel, Why I am not Cristian?, New York, Simon and Schuster, 1957, h.22
mereka harus memberi penghargaan, Anti-semit yang dimunculkan oleh Kristianitas semasa kerajaan Roma. Perbandingan Russel tersebut memang telah terjadi dalam sejarah, namun rasa kebencian dan permusuhan di dalam tubuh umat Muslim sendiri terkadang keras dan berdarah. Dalam kata lain, karena alasan perebutan kekuasaan pertumpahan darah diantara kaum muslim pun sering terjadi sepanjang sejarah. Seperti halnya yang dilakukan oleh Kekhalifahan Abbasiyah terhadap regim Umayyah pada pertengahan abad ke-8 SM, tidak lain adalah merupakan tindakan pemusnahan sisa pesaingnya secara perlahan. Dalam situasi ini, ayat Al-Qur’an yang menyebutkan bahwa “ Semua penganut Islam adalah saudara”(Qur’an s. al-Hujurāt: 10), telah dihapuskan dalam wajah sejarah Muslim secara sengaja dan tidak bertanggung jawab. Pertempuran kelompok antar kaum Sunni dan Syi’ah di Iraq, hanya merupakan kelanjutan dari sejarah masa lalu yang suram, dan invasi Bush yang telah membuat suatu penderitaan terhadap suatu bangsa, seperti Iraq dan Afghanistan, bisa memperbaharui dan menyegarkan permusuhan internal yang telah berlangsung lama itu. Tentu saja, mereka tidak lupa untuk menyebut bismillah sebelum mereka menembak saudara mereka sendiri dalam persaingan teo-politik yang bodoh itu. Banyak sekali contoh dalam sejarah manusia tentang mereka yang menyebut diri orang agamis yang mencuri nama Tuhan untuk permainan politik, tidak hanya diantara muslim saja, tetapi juga pada mereka yang secara arogan menganggap diri mereka memiliki hak untuk memonopoli kebenaran. Dalam hal ini Ma’rif melihat bahwa dalam internal sebuah agama itu masih terdapat persaingan dan perselisihan yang bisa merusak nilai-nilai perdamaian dan mengandung kekerasan. Persaingan
internal itu seringkali dimanfaatkan oleh pihak eksternal secara cerdik, sehingga pihak eksternal bisa mendapatkan manfaat dari persaingan itu. seperti halnya yang terjadi pada negera-negara Timur Tengah dan keterlibatan Amerika Serikat didalamnya. Ada sebuah perkataan yang primitif dan tidak beradab “Baik itu mendukung kita atau melawan kita” merupakan sebuah filosofi yang dibentuk oleh semua bentuk fundamentalisme modern, agamis ataupun sekuler. Dalam substansinya, semua bentuk fundamentalisme itu tidak memberikan ruang untuk berdiskusi dan rasa saling menghormati. Fundamentalisme yang dianut oleh semua pengikut agama di dunia ini, memang sangatlah berbahaya dan harus ditangani secara serius. Fundamentalisme seringkali menimbulkan berbagai tindakan separatis dan anarkis bahkan teroris.
Fundamentalisme
agama kadang menampak pada sikap keagamaan pemeluknya, sementara di sisi lain fundamentalisme juga tidak jarang tampak meski hanya dalam batasan pemahaman ajaran agama semata68. Kerancuan itu pada akhirnya berlanjut
pada
distingsi
kelompok
penganut
agama.
Artinya,
cap
fundamentalis terkadang diarahkan kepada pihak yang mengaku sebagai kelompok pembaharu. Terkadang dituduhkan oleh kelompok puritan tatkala melawan kelompok liberal, sementara tuduhan yang sama juga kerap dialamatkan kepada kelompok radikal-militan dengan gerakannya yang dinilai serba ekstrem. Berbagai bentuk fundamentalisme yang ekstrem inilah yang sering terjadi belakangan ini yang terkenal dengan sebutan terorisme. Paham ekstrem yang telah memicu konflik global inilah yang perlu ditangani secara serius. Dalan damai atau dialog untuk membentuk kesepahaman bersama
68
Ribut Karyono, Fundamentalisme dalam Islam dan Kristen, Yogyakarta: Kalika Press, 2003, h.10
harus segera digalakan, tidak hanya dengan usaha pemerintah nnasional dan internasional yang ingin memusnahkan jaringan teroris itu dengan cara dan jalur hukum. Kita harus memilih managemen resolusi konflik yang produktif misalnya dengan membersihkan akar terorisme itu sendiri, karena disitulah letak kekuatan mereka. Artinya, kita harus mulai membangun dialog. Setiap manusia memang memiliki kebebasan untuk memilih jalan hidup mereka termasuk dalam kehidupan beragama, namun jika itu sudah melibatkan dan mengganggu ketentraman masyarakat umum, maka harus kita lawan. Disinilah dialog, sebagai salah satu metode pemecahan konflik, bisa berperan dalam memberikan pemahaman tentang nilai-nilai perdamaian untuk mencapai kesepakatan bersama. Dengan melibatkan dan memberi mereka ruang untuk berinteraksi dan mencurahkan aspirasi mereka. Syafi’i menambahkan adanya faktor historis yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Sejak lahirnya beberapa agama baik itu Islam, Kristen, Yahudi, Buddha, maupun Hindu, telah bersaing yang salah satunya ditujukan menyebarkan agama dan kekuasaan mereka dan mengakibatkan terjadinya permusuhan antar agama. Persaingan pun terjadi di dalam agama mereka sendiri, Bani Abasiyah dan Umayyah yang bersaing memperebutkan kekuasaan Islam dan pada akhirnya membuat kekuatan Islam melemah sehingga bisa dikalahkan oleh kekuatan agama lain seperti Kristen. Begitu pula umat Kristen yang bermusuhan dengan Yahudi yang masih terasa hingga sekarang. Semua itu memang menunjukkan cacat kaum elit yang telah menodai agama mereka dengan praktik politik yang tidak sehat. Dunia Islam mengalami kemunduran, Ma’arif menambahkan. Islam telah kehilangan kejayaannya. Nilai ketidak berdayaan Islam
semakin
memburuk ketika bangsa Arab mengingat kekalahan mereka dari Israel, yang didukung penuh oleh militer AS, pad perang Juni tahun 1967. Khususnya, mulai sekarang bangsa Arab tidak pernah merasakan sebuah kedamaian yang abadi, sedangkan masalah Palestina masih jauh dari sebuah solusi. Kemudian horror lain terjadi. Invasi Irak yang tidak terhitung terhadap Kuwait, memberikan kesempatan emas kepada Amerika Serikat dan sekutunya untuk menghancurkan Irak, tanpa izin resmi dari PBB. Hampir dalam waktu yang sama, tragedi 11 September 2001 terjadi. Osama bin Laden dituduh sebagai seorang actor intelektual di balik tragedi ini. Karena alasan ini, Afghanistan, negara dimana bin Laden diduga bersembunyi, mengalami kejadian tragis dengan invasi yang dilakukan oleh kekuatan neo-imperialis yang sama dibawah perintah Presiden George W. Bush. Sementara itu, untuk membuat semuanya mudah dihancurkan, kebanyakan regim Arab kontemporer tidak mendapat kepercayaan dari rakyat mereka sendiri, karena dengan merebaknya korupsi, ketidakaturan, otoriter, dan anti-demokrasi. Adonis benar sekali ketika mengatakan bahwa orang Arab harus meninggalkan masyarakat mereka jika ingin mengaktualisasikan kemampuannya sendiri. Selain itu, dia tidak memiliki ruang dan dimensi yang cukup untuk mengembangkan anugerah potensi, intelektualitas, politik, dan ilmu pengetahuannya. Kemunduran yang kemudian berakibat pada semakin meruaknya konflik antar agama ini sudah seharusnya mendapatkan perhatian dari seluruh elemen pemerintah dan masyarakat untuk mewujudkan dunia yang damai. Karena perebutan kekuasaan, kekuasaan regim umat Islam di dunia pun menurun, begitu pun dengan kreatifitas serta keilmuan. Situasi tersebut dimanfaatkan oleh kelompok agama yang berlawanan dan telah bermusuhan
sejak lama. Permusuhan yang dipicu oleh aksi terorisme pada 11 September 2001, telah memicu kemarahan umat Kristen yang berkuasa dan menyerang kembali wilayah-wilayah umat Islam dengan invasi, embargo maupun perang. Dalam hal ini kedua belah pihak tidak menempuh jalan pemecahan konflik yang konstruktif, namun semakin dekstruktif sehingga konflik semakin mencuat. Nama Islam pun semakin buruk di mata dunia, semua umat Islam ikut merasakan akibat dari perbuatan sebuah keompok Islam fundamental. Stereotip dan prasangka negatif tentang Islam semakin melekat di benak masyarakat dunia. Meskipun kekuatan negara-negara Islam belum bersatu untuk membela kepentingan agama mereka, ada beberapa kelompok Islam moderat berusaha untuk memperbaiki image Islam di mata dunia dengan menempuh jalan dialog dan berbagai usaha konstruktif lainnya. Dan sekarang menjadi tanggung jawab umat muslim masa kini untuk mengembalikan image positif tentang Islam dan mengembalikan perdamaian yang menjadi ajaran mendasar dari setiap agama. Bisakah Islam menawarkan sebuah Solusi? Dipukul oleh keadaan yang dilematis dan sulit, peran apa yang harus diberikan Islam untuk menyembuhkan situasi ini, khususnya dalam melawan kekerasan yang telah membanjiri beberapa bagian di dunia Arab dan Negara Muslim lainnya, seperti Pakistan, Afghanistan, dan Indonesia? Untuk menjawab pertanyaan ini, Syafi’I Ma’arif mengusulkan tiga rekomendasi: 1) Muslim di seluruh dunia, khususnya di negara-negara Arab, harus berpikir kembali secara jujur dan serius bahwa Islam itu selalu menjunjung perdamaian, baik itu dalam teori maupun praktek. Oleh karena itu, semua
bentuk pelanggaran terhadap perdamaian, dengan mendukung kekerasan dan terorisme merupakan pengkhianatan serius terhadap ajaran Islam. 2) Walaupun Islam sebagai sebuah peradaban mengalami kemunduran yang sangat besar dalam vitalitas dan kapasitas kreatifitasnya, untuk mengkontribusikan sesuatu yang baru dan berarti bagi kemanusiaan pada umumnya, ini tidak berarti bahwa kondisi lemah ini tidak bisa dirubah secara mendasar karena manusia itu mampu untuk mempelajari ilmu pengetahuan, teknologi, dan kebijakan untuk orang lain. Syafi’i mendorong umat Islam untuk bersifat positif dalam merubah keadaan umat yang sudah terpuruk ini dan bersama-sama mengembalikan citra Islam. 3) Kekerasan dan terorisme yang dialami oleh umat muslim di beberapa tempat tertentu tidaklah harus mendorong mereka untuk melakukan hal yang sama, karena hal itu sangatlah berlawanan dengan agama mereka. Tetapi sebuah serangan atau invasi terhadap daerah muslim manapun oleh kekuatan asing harus ditemukan dan dihilangkan dengan berani dan sungguh-sungguh. Jika semua ini terjadi, semua bangsa muslim memiliki kewajiban untuk mendemonstrasikan solidaritas mereka terhadap bangsa lain yang sedang diinvasi. 3. Radha Batt dari Gandhi Peace Foundation Radha Batt adalah Ketua dari Gandhi Peace Foundation yang bermarkas di New Delhi. Dengan sisi spiritualnya, Radha berpendapat bahwa saat ini orang-orang Barat berbicara tentang Yesus tapi pada kenyataannya inspirasi kehidupan mereka sangat berlawanan dengan Yesus. Sama halnya dengan orang-orang Islam yang pada kenyataannya mereka mengikuti setan.
Ini merupakan keadaan yang menyedihkan dalam mempercayai sebuah agama. Hal ini memang seringkali terjadi, sebagaimana teori yang diungkapkan oleh Prof. Hall yang menyebutkan bahwa pengetahuan tentang kepercayaan bisa membingungkan kita karena hubungan antara kepercayaan dan perilaku jarang bersifat nyata. Ajaran agama mengajarkan suatu konsep tentang perdamaian, namun manusia dengan akal yang dimilikinya, membuat konsep dan pandangan tersendiri tentang perdamaian yang berbenturan dengan nilai agama. Teori itu memang benar adanya, di zaman global dan materil ini, banyak penganut agama berpaham sekuler, memisahkan urusan agama dengan urusan
dunianya,
namun
ada
juga
sebagian
orang
yang
tetap
mengimplementasikan nilai-nilai agama yang sesuai dengan urusan duniawi. Bahkan ada beberapa kelompok yang berpandangan bahwa dunia itu akan damai jika semua umat manusia telah menganut kepercayaan dan pandangan yang mereka miliki. Pandangan seperti itulah yang merusak perdamaian manusia dan merupakan salah satu penyebab maraknya terorisme dewasa ini. Terorisme yang berakar dari pemahaman agama yang fanatik dan tidak mengindahkan posisinya dalam dunia global, yang menjadikan agama sebagai faktor utama dari tindakan mereka. Mereka tidak memikirkan bahwa tindakan brutal itu justru mencoreng muka agama yang mengajarkan bahwa Islam itu adalah rahmatan lil alamiin, rahmat bagi seluruh alam. Semua manusia itu terlahir dengan berbagai perbedaan, kita tidak perlu untuk menghapus perbedaan itu namun kita harus saling menghormati dan menghargai segala perbedaan satu sama lainnya. Kita seharusnya lebih mementingkan ajaran agama yang damai daripada menjunjung tinggi fanatisme agama. Radha menambahkan bahwa:
"If the people would have followed God, the corruption, violence and exploitation which is prevailed today in the society, would have withered away completely. At present the rich are growing richer, while the poor are being pushed down to become ever poorer. Everywhere the cruel game of hunger, nakedness and death is being played. These are not the symptoms of God's world, but are the signs of the empire of "Shaitan or Ravana" and the elements against Jesus.”69
Jika manusia mengikuti Tuhan, korupsi, kekerasan, dan eksploitasi yang sering terjadi di masyarakat sampai saat ini, akan musnah. Sekarang orang kaya semakin kaya, sedangkan orang miskin semakin miskin. Hal ini bukan merupakan tanda-tanda dalam dunia Tuhan, tapi tanda-tanda semakin berdirinya kerajaan setan atau Ravana dan elemen-elemen yang berlawanan dengan Yesus. Dalam pendapatnya ini, Radha memang lebih berpikir sangat kritis mengingat keadaan di India pun tidak jauh berbeda dengan teorinya. Salah satu orang terkaya di dunia adalah orang India, Mukesh Ambani dan Laksmi Mittal70, namun mengapa kemiskinan masih terjadi di India. Kita tidak bisa mengakui adanya Tuhan hanya dengan menyebut dan mengulang namaNya saja, seharusnya hidup dan pekerjaan kita sesuai dengan apa yang kita yakini tentang Tuhan dan agamaNya, dengan tujuan supaya kita bisa mengambil nilai positif yang diajarkan setiap agama untuk menyebarkan perdamaian dan toleransi antar umat beragama. "When the kingdom of God will prevail in the hearts of the people, then only they will be free of anger and violence."
71
Ketika kerajaan Tuhan
bersemayam di hati manusia, maka manusia terbebas dari kemarahan dan kekerasan. Ini merupakan sebuah kritik Gandhi terhadap manusia yang dari dulu hingga sekarang tidak pernah lepas dari kemarahan dan kekerasan. Itu 69 Radha Batt “Gandhi Peace Foundation” makalah disajikan dalam The 2nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008, h.1. 70 http://www.forbes.com/2009/03/11/worlds-richest-people-billionaires-2009-billionaires_land.html 71 Mahatma Gandhi “Harijan Sewak” 20 April 1947, h.406
menyiratkan bahwa manusia memang memisahkan agama dari urusan dunianya, sehingga tidak adanya implementasi nilai-nilai agama dalam kehidupan dunia mereka. Jika kita mendalami konsep dan praktek agama yang sebenarnya, maka agama itu seperti terbukanya langit dan seperti luasnya bumi. Tidak ada batasan-batasan geografis dan batasan manusia pada agama. Semua agama seperti Hindu, Islam, Kristen, Buddha,
Jainism, dan lain sebagainya
merupakan jalan-jalan yang berbeda dan meraih tujuan yang sama, yang merupakan sebuah kebenaran atau kedamaian. Gandhi yang terkenal dengan ajaran damainya, mengajak semua manusia berpikir tentang pentingnya nilai perdamaian dalam kehidupan meskipun mungkin berlawanan dengan paham sekuler dan kapitalis. Kedamaian pikiran, kedamaian dalam kehidupan sosial, kedamaian alam semesta dan diluar semua itu kedamaian matahari, bulan dan planet-planet yang saling berputar satu sama lainnya. Batt menambahkan bahwa ada dua bentuk kekerasan yang terjadi di dunia saat ini, pertama bentuk yang terlihat, perang diantara berbagai bangsa, terorisme menyebar di seluruh dunia, benturan-benturan diantara kelompok etnik yang berbeda dan kerusuhan diantara umat beragama yang berbeda. Namun ada juga bentuk kekerasan yang tak terlihat yang telah menjadi bagian dan satu paket dengan struktur sosial kita. Kekerasan struktural ini sedikit banyak telah menjadi akar penyebab dari kekerasan yang terlihat dalam kekerasan perang, terorisme dan huru hara juga. Dengan kata lain, agama juga telah dilupakan sebagai suatu nilai-nilai orisinil dalam agama mereka, yang telah disampaikan oleh para nabi atau utusan. Walaupun tidak ada satu agama
pun yang mengajarkan kekerasan, namun dalam kenyataannya banyak sekali pertumpahan darah yang mengatas namakan agama dari dulu hingga sekarang. Radha Batt menyebutkan beberapa persoalan yang terkait dengan ada dua bentuk kekerasan tersebut. Yaitu kekerasan yang tidak terlihat yang berupa konflik antar etnik, teorisme, perang antar bangsa, dan konflik antar agama dan kekerasan yang terlihat yang menyatu dengan struktur sosial kita. Kekerasan yang terjadi di seluruh belahan dunia itu, merupakan cirri bahwa manusia telah melupakan esensi ajaran agama mereka yang menekankan tentang perdamaian. Tetapi di zaman globalisasi dan modern ini, agama memang sudah sering diabaikan dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan. Oleh karena itu, kita harus lebih cermat untuk membedakan antara urusan agama dan urusan kepentingan kelompok tertentu. Disini Radha Batt lebih menekankan pendapatnya bahwa sejatinya manusia kembali pada esensi agama mereka yang memberikan kebenaran dan kebahagiaan sejati. Kebenaran yang diberikan ajaran setiap agama hendaknya menjadi sebuah rantai kuat yang menyatukan semua manusia untuk tidak berperang dan menjaga perdamaian dunia ini. Faktanya, diatas semua formalitas tradisional yang ada, saat ini agama telah berkembang sesuai dengan geografi, iklim dan kondisi budaya yang berbeda-beda. Menurut saya, agama bisa dikatakan sebagai sebuah pencarian diri dan praktis seorang manusia yang terlihat dalam gaya hidup mereka dan membawa mereka semakin dekat pada kebenaran spiritual dan setidaknya membuat mereka mendapatkan kebahagiaan sejati. Kebenaran ini bisa juga disebut sebagai jiwa Yang Maha Kuasa, pencipta alam semesta atau Tuhan. Kebenaran inilah yang mendasari setiap kepercayaan yang ada. Persamaan
sederhana ini merupakan sebuah rantai kuat yang menyatukan setiap agama dalam satu takdir dan tanggung jawab kita terhadap kemanusiaan. Jika semua agama memandang jiwa mereka dalam suatu tampilan baru ini dibandingkan dalam dogma tradisional mereka, maka setiap agama pun akan membawa pesan anti-kekerasan. Jadi mengapa kita berpikir bahwa kedamaian itu hanya untuk manusia, mengapa tidak untuk semua yang ada di alam semesta ini? Inilah esensi sebenarnya dalam agama, yang bisa melawan kekerasan. Pendapat Batt ini mengajak kita untuk peduli terhadap alam semesta yang sedang kita tinggali ini. Apabila alam semesta ini tidak kita jaga, maka disadari atau tidak alam akan memberikan imbalan yang sesuai pada kita kelak. Hal itu bisa kita lihat dengan semakin banyaknya bencana alam yang terjadi di berbagai belahan bumi kita. Tuhan memiliki aturan yang tidak bisa disanggah manusia, jika kita melanggarnya maka cepat atau lambat kita akan mendapatkan balasannya.
4. Valeria Martano dari Comunita di Saint’Egidio. Sejak dulu hingga sekarang, agama atau simbol-simbol agama telah digunakan untuk mendorong adanya adanya pengelompokan, permusuhan dan konflik. Dengan begitu apakah agama bisa disebut sebagai minyak ataukah air dari suatu konflik?
Begitulah pendapat yang dikemukakan oleh Valeria
Martano, Dierctor of Asian Department of The Community of Saint’Egidio, sebuah komunitas Kristen Katolik di Roma
“Actually the true causes of violence are to be searched in a complexity of reasons. One is the relationship between poverty, lack of future perspectives, economic stagnation or decline and violence. Violence is fed by injustice”72. Sebenarnya sebab-sebab utama dari kekerasan harus dicari dari berbagai alasan yang kompleks. Salah satunya adalah dalam hubungan antara kemiskinan, kurangnya pandangan-pandangan ke arah masa depan, stagnasi ekonomi atau berbagai kekurangan dan kekerasan. Kekerasan itu didorong oleh ketidakadilan. Dalam hal ini Martano tidak melihat agama sebagai alasan utama dari tindak kekerasan yang merusak perdamaian, melainkan didukung oleh berbagai faktor kompleks. Dalam terjadinya konflik, agama bersatu dengan faktor lainnya menjadi penyebabnya dan tidak berdiri dengan sendirinya. Karena sangatlah sulit untuk melepaskan agama dari faktor lainnya, seperti etnik, dalam kaitannya dengan konflik. “Religions are a reservoir of spirituality and humanity in a materialistic world”73, Martano berpendapat bahwasannya agama merupakan sebuah tempat spiritualitas dan kemanusiaan dalam dunia materi. Agama pria maupun wanita, sebagaimana dasar agama yang mereka miliki, bisa menjadi suatu rekonsiliasi dan perdamaian. Hal ini dan yang lainnya—seperti persaudaraan umat manusia, martabat manusia—harus ditekankan melalui adanya dialog. Tidak hanya diskusi tentang apa yang terkandung dalam doktrin-doktrin maupun nilai-nilai kepercayaan yang terkait. Sebaliknya, setiap penganut agama menemukan pemahaman yang mendalam tentang kepercayaan mereka, rasionalisasi untuk mengambil perenungan budaya dan
72
Valeria Martano, The Role of Religions in Combatting Violance, makalah disajikan dalam The 2nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008, h.1.
73
Valeria Martano, The Role of Religions in Combatting Violance, h.1.
dominasi materialisme. Dan saling pengertian yang menggantikan perenungan dengan sebuah penghargaan budaya, saling menghormati dan dialog. Martano mengkritik beberapa penganut agama yang berfokus pada ajaran agamanya saja dan tidak merenungkan apa yang diajarkan agamanya dalam konteks global. Dalam beberapa komunitas agama tertentu terdapat kegiatan kajian tentang ajaran-ajaran agamanya, seperti halnya kegiatan pengajian dalam agama Islam yang membedah tentang ajaran-ajaran Islam baik itu dari segi sejarah, syari’ah, aqidah, dan lain sebagainya. Kajian yang mendalam tentang keyakinan sendiri memang akan menambah nilai positif sebuah agama bagi individu maupun kelompok namun hal itu sebaiknya diimbangi dengan adanya sebuah kajian agama tentang kaitannya dengan dunia global dan keyakinan lainnya yang berbeda. Valeria martano, sebagai seorang peneliti sejarah agama, melihat agama tidak hanya mengandung hal-hal spiritualitas melainkan juga pentingnya kemanusiaan di dunia. Selanjutnya, semua itu bergantung pada manusia itu sendiri hendaknya bisa mendalami agama maupun kepercayaan mereka dalam konteks internal maupun global, sehingga mereka bisa memiliki pertimbangan yang matang daam menanggapi fenomena budaya dan dominasi materialisme yang terjadi saat ini. Martano menganjurkan untuk menjalin kerja sama yang di dalamnya mencakupi rasa saling pengertian dan menghormati diantara kedua belah pihak yang berkepentingan serta, yang bisa saja berupa dialog maupun mediasi. Ide dari sebuah dialog itu adalah saling berbagi dan saling memberi tentang pendapat berbagai penganut agama yang berbeda. Proses saling bertukar pikiran tersebut membuat stereotip dan
prasangka seseorang tentang agama lain menjadi jelas dan menimbulkan rasa saling memahami serta menghargai perbedaan yang ada. Martano menyebutkan bahwa Paus yang Agung John Paul II, tahun 1986, membuat gerakan dengan mengundang seluruh tokoh agama di dunia dalam sehari utuk berpuasa dan berdoa untuk perdamaian di tengah dunia yang masih terpisah oleh tirai besi dan di bawah ancaman perang nuklir. Mereka menyebutnya dengan jiwa Assisi. Semangat yang dimiliki oleh pemimpin tertinggi dari sebuah agama ini menyiratkan adanya semangat perdamaian pada tingkat atas atau jajaran pemimpin agama, yang seharusnya bisa diadopsi oleh semua penganut agamanya, namun karena faktor pendidikan ikut menentukan arah pandangan seorang penganut agama. Jika pengetahuan tetang agama lain sedikit dan kurangnya interaksi dengan umat agama yang berbeda, seringkali memperkecil potensi untuk saling memahami dan menghargai antar penganut agama yang berbeda.
Martano mengutip pendapat seorang Paus, yang berpendapat bahwa perdamaian itu sangat terbuka bagi semua orang dan menjadi hak semua manusia, oleh karena itu Komunitas Sant’Egidio ada untuk menjaga perdamaian
itu
dengan
tangan
terbuka
kepada
siapapun.
Hal
ini
memperlihatkan adanya sebuah keterbukaan dari komunitas Kristen Katolik internasional terhadap agama lain untuk menghindari terjadinya konflik karena berbagai perbedaan. Di dunia setelah perang dingin ini, dunia yang global dan terpecah, dengan kelompok-kelompok kecil dan bahkan individu-individu yang bisa membuat perbedaan. Terorisme dan gerilya yang menunjukkan bahwa
segelintir orang bisa membuat negara tidak stabil, bahkan dunia pada umumnya. Kita harus berbicara pada orang-orang dari abad 21 ini, yang merasa bahwa mereka adalah tokoh utama di zaman mereka. Pemikiran Martano ini mengajak kita untuk berpikir positif dan melakukan tindakan terhadap
berbagai kekacauan yang diakibatkan oleh segelintir orang dan
merusak hubungan antar agama secara global dan salah satunya dengan melakukan forum
antar
agama
seperti World Peace
Forum
yang
mengumpulkan tokoh-tokoh dunia dari berbagai negara dan agama untuk saling bertukar pikiran dan mencari solusi bersama yang bisa mewujudkan perdamaian dunia. Seseorang bisa merasa kehilangan dunia, tapi seorang lainnya bisa menyelamatkannya. Para penganut agama apapun, pria maupun wanita, bisa membangun perdamaian. Setelah terjadi perang dingin,
dunia semakin terpecah belah dan
globalisasi menyebar. Maka perbedaan pun semakin tumbuh dan menciptakan stereotip serta prasangka satu sama lain. Globalisasi yang membuat masyarakat dunia semakin bersaing satu sama lain untuk menjadi yang terbaik, namun perbedaan yang terjadi pun tidak lain semakin menumbuhkan sense of belonging terhadap suatu kelompok dan memperuncing hubungan mereka dengan kelompok berbeda sehingga seringkali terjadi bentrokan diantara kelompok yang berbeda. Setiap kelompok itu pasti memiliki pemimpin. Para pemimpin kelompok itulah yang membuat keputusan yang bisa menciptakan suatu konflik atau sebaliknya. Untuk menghindari terjadinya suatu konflik ataupun stereotip negatif diantara berbagai kelompok , maka para pemimpin kelompok itu harus berkomunikasi untuk saling berbagi pandangan mereka. Dengan adanya forum seperti ini, para pemimpin dunia
bisa saling berdiskusi untuk membangun hubungan kembali dan mencari solusi bersama, yang kemudian akan menyebarkan semangat positif itu pada anggota kelompok mereka. Sedikit demi sedikit konflik bisa dikurangi dan perdamaian pun melihat satu titik terang. Salah satu tugas yang saat ini harus diemban oleh agama adalah untuk mempromosikan koeksistensi masyarakat. Bukan hanya menjadi sebuah slogan, melainkan juga sebagai sebuah prestasi yang harus diraih. Valeria berpendapat bahwa kita harus mempromosikan persahabatan diantara berbagai agama dan komunitas etnik yang berbeda, melawan budaya penghinaan yang selalu menjadi akar kekerasan antar kelompok. Agama memang tidak harus menjadi sebuah nilai suci dalam kehidupan manusia, melainkan juga menjadi sebuah filosofi positif dalam kehidupannya yang bisa menunjang hubungan individu baik itu dengan Tuhannya maupun dengan masyarakat.
Kami
percaya bahwa minoritas yang berkeyakinan bisa mengatur perputaran nilai yang terjadi dalam sejarah. Ini menunjukkan bahwa dalam menangani konflik, dialog itu sangatlah penting sebagai sarana interaksi dan pencarian solusi bersama. Jika kita adalah kelompok yang berkeyakinan, jika percaya dengan legalitas kemanusiaan, pada pembangunan kekuatan perdamaian yang terkandung pada dalamnya keyakinan kita, maka kita akan mampu untuk membangun sebuah dunia yang damai. Aliansi dari berbagai minoritas yang percaya dengan adanya perdamaian dalam setiap tradisi agama yang berbeda dan budaya bisa menjadi sebuah warisan besar untuk dunia ini.
B. Analisis Identitas Bangsa
Identitas bangsa dimiliki oleh setiap individu yang tidak harus dibingungkan oleh identitas ras maupun etnik. Identitas kebangsaan mempunyai status tersendiri yang secara otomatis akan melekat pada individu yang berkaitan. Amerika yang memiliki status sebagai negara adidaya dan terdepan memberikan status yang sama kepada bangsa mereka. Orang Amerika cenderung menganggap dirinya lebih maju daripada bangsa lainnya, meskipun tidak semua individu memiliki identitas yang mirip dengan bangsanya. Hal itu merupakan salah satu faktor pemicu terjadinya kesenjangan antar berbagai bangsa dengan perbedaan identitas mereka. Jika perbedaan tersebut semakin mencuat dan tidak adanya komunikasi yang baik diantara dua bangsa yang berbeda, maka ketegangan atau konflik tidak bisa dihindari. Bangsa yang menganggap dirinya superior cenderung untuk menjajah bangsa yang inferior atau dibawahnya walaupun mereka tahu bahwa hal seperti itu melanggar nilai-nilai hak asasi manusia. Oleh karena itu, adanya komunikasi diantara berbagai bangsa dengan identitas yang berbeda itu sangatlah penting untuk menghindari terjadinya konflik dan terwujudnya perdamaian. Maka The 2 nd WPF atau forum perdamaian dunia menyatukan berbagai tokoh, akademisi, pejabat, aktifis dari berbagai bangsa untuk duduk bersama dan saling bertukar pikiran tentang apa yang selama ini telah merusak perdamaian dunia dan bagaimana cara mencari solusinya. Dalam pembahasan ini penulis akan melanjutkan analisisnya dengan menggunakan teori identitas bangsa. Ada beberapa pembicara dalam forum perdamaian dunia ini yang membahas perdamaian dan kekerasan dari segi identitas bangsa atau negara, diantaranya adalah Tan Sri Muhamad Jawhar Hasan, Father Chris Riley dan Habib Chirzin. 1.
Tan Sri Mohamed Jawhar Hassan
Tan Sri Mohammad Jawhar Hasan adalah seorang mantan pejabat Malaysia dan Ketua ISIS Malaysia (Institute of Strategic and International Studies Malaysia), dia berpendapat bahwa apapun bentuk dan alasannya, konflik yang menimbulkan kekerasan baik oleh faktor agama maupun nonagama, adalah sama. Kekerasan yang merusak perdamaian yang telah ada maupun perdamaian yang sedang dibangun. Konflik yang disebabkan oleh agama, tidak hanya murni karena faktor agama tersebut. Melainkan agama yang dijadikan kekerasan. Dalam hal ini, pembicara melihat sebuah konflik yang mengandung kekerasan sebagai sebuah kesatuan dari berbagai kepentingan yang kemudian mengusung agama menjadi faktor penyebab utama. Mereka yang berada dibalik sebuah konflik, memiliki berbagai perbedaan yang tidak hanya mencakupi agama saja namun bisa juga berbeda bangsa, etnik, ideologi maupun individual. “Violence can be perpetrated by state as well as non-state entities. It is perpetrated by entities that identify themselves with different causes and identities. These can be religious in nature (say, Islam) or non-religious (state, ethnicity, ideology, region, etc.). The most destructive perpetrators are states.”74 Menurut Hasan kekerasan bisa disebabkan oleh negara maupun kesatuan non-pemerintahan. Kekerasan yang disebabkan oleh berbagai kesatuan yang berasal dari berbagai perbedaan identitas dan sebab. Perbedaan itu diantaranya adalah agama ataupun non-agama seperti bangsa, etnik, ideologi, daerah, dan lain-lain. Dan yang paling berbahaya adalah negara. Sebagai seseorang mantan salah satu pejabat pemerintah Malaysia, dia berpendapat bahwa memang konflik kekerasan itu memiliki berbagai 74
Tan Sri Muhamed Jawhar Hasan, makalah disajikan dalam The 2nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008, h.1.
penyebab dan negara bisa menjadi faktor berbahaya dalam sebuah konflik. Perbedaan bangsa atau negara maupun kurang harmonisnya hubungan satu negara dengan negara lain seringkali menjadi faktor penyebab yang berbahaya dalam terjadinya konflik. Karena jika negara sudah terlibat dalam suatu konflik, maka semua aspek yang ada dalam negara itu meliputi agama, budaya, etnik, individu dan lain sebagainya akan ikut terlibat. So-called “religious violence” (that includes “Islamic” or “Muslim” terrorists and “jihadis”) is no different in morality or ethics from “nonreligious violence”. Violence perpetrated in the name of Islam is no different morally or ethically from violence perpetrated in the name of spreading or defending democracy, “threats to international peace”, etc. They can be “good” or “bad” depending on necessity, cause and method75. Kekerasan itu yang dilakukan atas nama agama tidaklah berbeda secara moral dan etika dari kekerasan yang dilakukan atas nama penyebaran atau pencegahan demokrasi, tetap saja menjadi ancaman bagi perdamaian dunia. Bagus atau tidaknya tergantung seberapa besar atau kecilnya suatu kepentingan, akibat dan caranya. Dengan demikian konflik yang bisa menimbulkan kekerasan itu disebabkan oleh faktor agama maupun demokrasi atau kepentingan pihak tertentu, sama saja menjadi ancaman bagi perdamaian dunia. Maka tidak seharusnya agama dijadikan faktir utama penyebab pecahnya konflik atau terjadinya suatu kekerasan. Misalkan sebuah pemerintah yang menolak adanya demokrasi di negaranya, bisa menjadikan agama sebagai alasan kebijakannya untuk menahan arus demokrasi yang mulai memasuki negaranya. Seringkali faktor politis menjadi salah satu 75
Tan Sri Muhammed Jawhar, The Role of Religions in Combatting Violance, makalah disajikan dalam The 2nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008, h.1.
penyebab yang terlibat dalam sebuah konflik yang terjadi di dalam sebuah negara maupun dengan negara lain. Kekerasan yang berdasarkan dorongan politis sangatlah berbeda. Akar penyebabnya sangatlah kontekstual dan tidak ada solusi yang sesuai bagi semua pihak. Konflik semacam ini, terkadang sulit untuk memberikan solusi yang bisa menguntungkan semua pihak, akan ada yang menang dan kalah. Tetapi ada juga konflik yang pada akhirnya bisa menemukan solusi yang saling menguntungkan, namun tidak banyak. Seperti halnya konflik yang terjadi di Aceh, antara GAM (Gerakan Aceh Merdeka) yang saling. Pada akhirnya mereka menemukan solusi damai bersama. Lain halnya dengan konflik yang terjadi di Timor Timur yang ingin melepasan diri dari Indonesia, berbagai upaya dilakukan pemerintah RI untuk mempertahankan Timor Timur, termasuk memberlakukan darurat militer disana. Namun konflik tersebut tidak mendapatkan solusi bersama, pada tahun Timor Timur lepas dari Indonesia dan berganti nama negaranya menjadi Timor Leste. Namun dibalik kedua faktor dominan diatas, terdapat beberapa akar penyebab suatu konflik yang umum, dan berbeda dalam berbagai situasi. Akar penyebab yang lebih umum terjadi di berbagai daerah diantaranya yaitu adanya dominasi, pekerjaan, tekanan, pengecualian, marjinalisasi, kelemahan, dan penolakan kemudian pemerintah, ekonomi dan hak serta identitas sosial. Dan terkadang ada beberapa konflik yang sebenarnya disebabkan oleh salah satu faktor tersebut dan kemudian dialihkan kepada faktor lain sesuai dengan pihak yang berkepentingan dalam konflik. Akar-akar penyebab konflik harus dikenali secara konstruktif
jika
kekerasan hendak diakhiri dan perdamaian yang akan disebarkan. Hal ini
yang harus dipertahankan diantara kedua belah pihak yaitu asumsi yang tepat dan teori-teori pun akan bermunculan dari para pengamat seperti adanya keseimbangan kekuasaan. Perdamaian akan tersebar jika seluruh bangsa di dunia, menjadikan kemanusiaan sebagai
prinsip dan lembaga yang bisa
memenuhi dan melindungi legitimasi dan delegitimasi hak dan aspirasi, serta memiliki hukum yang efektif
dalam pencarian kekuasaan dan kekayaan
dengan penggunaan kekuatan. Itulah usulan yang diajukan Muhammed jawhar Hassan dalam menangani konflik. Berdasarkan pada pembahasan sebelumnya tentang penanganan suatu konflik, usulan Jawhar disini lebih bersifat konstruktif. Dengan lebih menekankan pemerintah untuk ikut berkerja sama mencegah dan menangani konflik dengan diaturnya berbagai kekuatan hukum yang mendukung. 2. Father Chris Riley dari Youth Off The Street Sebagai seorang pendeta, Father Chris Riley dari Youth Off The Street, yang menjadi ketua dari sebuah organisasi bagi para pemuda yang tidak memiliki keluarga, ketergantungan obat terlarang, dan korban kekerasan, lebih melihat kekerasan maupun bentuk lain sebagai sebuah keadaan dimana tidak ada cinta.
Dalam hal ini Father Chris Riley lebih memfokuskan pada
kekerasan yang dialami oleh generasi muda, sesuai dengan konsentrasi organisasi yang dipimpinnya. Menurut pendapatnya kekerasan diawali oleh hubungan yang menurun dalam rumah tangga, sekolah dan keluarga. Hal ini bisa terlihat dari kondisi jiwa dan fisik anak muda yang kehilangan keluarganya, baik itu kualitas hubungan mereka, kondisi jiwa, kepribadian mereka maupun semangat mereka.
Dalam konteks kekerasan, Riley mencari beberapa faktor yang mendorong anak muda untuk melakukan kekerasan. Sebagaimana yang disebutkan oleh seorang psikiater Leonard Shengold (Soul Murder: the effects of childhood abuse and Deprivation (1989)) bahwa anak yang sering disiksa, yang berperilaku mengarah pada perusakan diri dikendalikan diluar batas kemanusiaan akan mencari hal lain untuk mengisi kekosongannya atau mungkin hanya mengabaikan sebuah kekosongan yang dirasakannya. Jiwa mereka terkubur dibawah lapisan kekerasan dan perasaan serta emosi yang berubah. Itu menunjukkan bahwa ketidakstabilan anak muda menjadi faktor penting yang bisa disebabkan oleh lingkungan sekitarnya—seperti keluarga atau teman—maupun oleh dirinya sendiri. Lebih lanjutnya lagi, Riley mengutip pendapat seorang Psikologis lain, Robert Zago, tentang adanya kemungkinan meningkatnya kerekateristik seorang anak muda dalam melakukan kekerasan dan disebabkan oleh latar belakangnya baik itu berasal dari keluarga yang krimminal, anggota genk, korban penyiksaan dan memakai obat-obatan terlarang serta alkohol. Terlebih lagi jika mereka memiliki beberapa sarana dan prasarana yang mendukung kekerasan, seperti senjata, ataupun pengalaman pernah dipenjara dan adanya masalah neurologis. Dari semua pertimbangan itu, maka Father Chris memiliki beberapa tujuan dalam menjalankan kegiatan organisasinya yang berfokus pada anak muda karena mereka adalah generasi muda yang menjadi tombak suatu bangsa, terutama bagi mereka yang pernah terlibat dalam tindak kekerasan, diantaranya yaitu;
•
Nilai seorang pemuda itu lebih berharga daripada perbuatan buruk yang telah dilakukkannya
•
Pemuda yang tidak baik adalah bagian dari sebuah sistem. Mayoritas perilaku mereka yang terlarang berkaitan dengan ekonomi, sosial, keluarga, pendidikan , rumah sakit, dan isu-isu lain yang sebenarnya bisa dicegah
•
Melakukan pemeriksaan penyakit fisik, kriminal, merendahkan, dan menghapus beberapa hak mereka telah terbukti sebagai strategi yang tidak efektif untuk merubah perilaku mereka menjadi lebih baik
•
Perilaku positif seorang pria dalam menghadapi anak nakal adalah dengan memanfaatkan potensi perasaan, tanggung jawab, tantangan, budaya dan kehidupan sosial mereka sebagai sebuah strategi untuk mengarahkan mereka pada perubahan yang lebih baik
•
Kekuasaan pemerintah lebih efektif dan lebih hemat ketika diikutsertakan dalam usaha-usaha untuk memelihara dan merehabilitasi daripada menghukum dan memenjarakan mereka Kemudian dia menegaskan bahwa orang dewasa, seperti orang tua,
memiliki tanggung jawab terhadap berbagai permasalahan sosial yang berdampak pada kaum muda. Karena disadari atau tidak apa nyang dilakukan oleh anak muda itu merupakan refleksi dari apa yang mereka dapatkan dan apa yang merek lihat dari orang tua ataupun senior mereka. Dan ketidakpedulian pada anak muda adalah musuh utama kita, yang bisa mengakibatkan
terjadinya kekerasan yang lebih berbahaya dan merusakan perdamaian bersama. Maka bisa disimpulkan bahwa Father Chris Riley menekankan tentang pentingnya kepedulian terhadap generasi muda suatu bangsa dalam menentukan perdamaian dan kemajuan suatu bangsa. Sedangkan di zaman globalisasi ini, semakin banyak generasi muda yang terabaikan dan melakukan tindak kekerasan serta SARA. Wilbur Schramm telah menyebutkan tentang garis tanggung jawab pemerintah. Pemerintah sebagai pihak yang berwenang dan memiliki kekuasaan, sangat bertanggung jawab terhadap kemajuan suatu bangsa, hendaklah memperhatikan generasi muda khususnya mereka yang bermasalah dan memiliki hambatan untuk berkembang. Pemerintah harus tetap menjaga komunikasi dengan generasi muda sehingga kehancuran suatu bangsa bisa dihindari dan terciptanya kehidupan yang damai. Jika kita melihat kembali pada berbagai konflik yang terjadi baik itu konflik nasional maupun internasional, yang seringkali melibatkan anak muda dalam aksi huru haranya. Beberapa pihak memang memanfaatkan kondisi mayoritas anak muda yang labil untuk melancarkan aksinya dan berakibat buruk dalam terjadinya suatu konflik. Untuk meredam suatu konflik maka dibutuhkan adanya media, dan disinilah pemerintah bisa berperan dalam meredam terjadinya suatu konflik. Dalam rangka untuk memperhatikan generasi muda, khususnya mereka yang terabaikan sehingga terjerumus dalam tindak kekerasan dan perbuatan yang melanggar hukum, Father Chris Riley aktif menggerakan organisasinya yaitu Youth Off The Street. Dalam hal ini, Riley menangani segala bentuk kekerasan yang bisa merusak perdamaian di lingkungan mereka maupun di luar, dengan kerja sama dengan para pelaku kekerasan. Seperti yang telah
dibahas sebelumnya bahwa inti dari kerja sama adalah pendalaman yang diawali dengan interaksi.
Dalam kerja sama yang ditawarkan Riley pada
mereka mencakupi rasa persamaan, kepercayaan, fleksibilitas dan komunikasi diantara mereka. Kunci nya adalah untuk membuat suatu hal yang positif, atmosfer kerja sama pada awal hubungan suatu interaksi. Oleh karena itu, Riley menyarankan kepada semua yang hadir dalam The 2nd World Peace Forum, yang notabenenya adalah para tokoh masyarakat, tokoh agama dan pejabat di negara masing-masing, untuk mendekati kaum pemuda dan menjalin hubungan baik dengan mereka serta memberikan perhatian lebih kepada kaum pemuda yang kurang beruntung serta melakukan tindak kekerasan atau kejahatan tanpa pandang bulu. Sehingga kaum pemuda yang nanti akan menjadi generasi bangsa, tidak merasa terabaikan dan memiliki rasa tanggung jawab terhadap diri dan bangsa mereka sendiri serta ikut pentingnya perdamaian dalam kehidupan. 3.
Habib Chirzin “Dialogue is not mere communication of words, but a new way of understanding, thinking and reflecting on the religious belief of others and their meaning.”76 Habib Chirzin, Presiden Islamic Forum on Peace, Human Rights and Development, mengemukakan bahwa dialog antar agama dan aksi tidak lagi hanya menjadi sebuah ikhtiar tetapi sudah menjadi kebutuhan sejarah di zaman globalisasi komunitas manusia dan tenggelamnya dunia ini. Dialog
76
Habib Chirzin, Interfaith Dialogue for Peace, Justice and Integrity: Future Agenda for Cooperation, makalah ini disajikan dalam acara The 2nd World peace Forum pada 24-26 Juni 2009 di Jakarta, h.1
tidak hanya merupakan komunikasi kata-kata belaka, melainkan jalan baru untuk saling memahami, berpikir dan merefleksikan tentang keyakinan orang lain dan makna –makna yang mereka miliki. Chirzin menekankan bahwa saat ini komunitas beragama tidak hanya mengurus berbagai persoalan agamanya saja melainkan harus memajukan agenda mereka tentang toleransi antar agama untuk saling memahami, menerima, menghormati, merayakan dan beraksi. Mengembangkan sebuah inisiatif baru dan agenda untuk kerja sama merupakan hal mendasar di zaman global ini. Sebagai seorang aktifis dan mantan anggota KOMNAS HAM, Chirzin menyebutkan isu-isu antar agama, dialog antar peradaban, etnisitas dan isu budaya di dunia akan lengkap dimana krisis makanan dan energi, kegelisahan ekologis dan kemiskinan global semakin membutuhkan perubahan dan pengembangan. Dia menyebutkan beberapa dialog dan aksi antar agama sejak 1967 yang diprakarsai oleh CCA-URM( Cristian Conference of Asia-Urban Rural Mission) di Kolombo; dan AFSC-SEAQIAR(American Friend Service Committee- Southeast Asia Quaker International Affairs Representative)di Bali; prakarsa di Hongkong tahun 1977; program ACFOD(Asian Cultural Forum on Development) di tujuh Negara pada tahun 1978; Konferensi Pendeta Nasional Brasil di Rio de Janeiro dan Recife tahun1979, The World Peace Forum pada tahun 2006 dan 2008 di Jakarta, dan lain-lain. Habib Chirzin menekankan bahwa dengan kapasitas saling berbagi budaya damai, saling memaafkan, rekonsiliasi dan saling mengobati diantara berbagai komunitas beragama, dapat membantu kemajuan mereka untuk menciptakan masyarakat yang lebih damai dan humanis. Dengan terjadinya berbagai konflik nasional maupun internasional yang tak kunjung habis, maka diperlukan suatu solusi
penting dan konstruktif yang harus dibina oleh berbagai pihak terutama mereka yang memiliki potensi konflik, seperti perbedaan agama dan bangsa, dan bisa meredam munculnya akar konflik itu dengan adanya mediasi dan pertukaran pandangan dari berbagai pihak sehingga bisa menghindari stereotip dan prasangka yang akan memicu timbulnya konflik. “Dialogue and action should be a platform which enables the interfaith community to find ways to work together for the good of the respective religions and their communities, even for the nations, for humanity, and the universe as a whole. The way we conduct and develop the dialogue should stimulate a sense of mutual concern and a spirit of togetherness, a sensitiveness to the need of fellow human being and all creatures (rahmatan lil ‘alamien).”77 Untuk mewujudkan semua itu, tidak hanya berbagai pihak seperti lembaga antar peradaban yang bersemangat untuk menciptakan perdamaian baik melalui dialog maupun diskusi, namun pemerintah pun harus ikut mendukung, nasional maupun internasional. Karena proses seperti itu yang termasuk pada kategori komunikasi antar budaya, maka pemerintah ikut bertanggung jawab untuk menciptakan dan menjaganya, salah satunya dengan mendukung berbagai bentuk dialog antar peradaban. Dialog tentang jembatan budaya sangatlah penting, bukan hanya karena kita memerlukan jembatan yang lebih bagus, tapi juga dengan memilikinya, maka apa yang ada dan lewat di jembatan itu bisa dikendalikan. Itu berarti bahwa budaya yang masuk dari luar maupun yang telah ada juga bisa dikendalikan sehingga segala bentuk 77
Habib Chirzin, Interfaith Dialogue for Peace, Justice and Integrity: Future Agenda for Cooperation, makalah ini disajikan dalam acara The 2nd World peace Forum pada 24-26 Juni 2009 di Jakarta, h.2
budaya yang memiliki potensi berbahaya dalam merusak perdamaian masyarakat bisa dicegah. Maka negara pun secara tidak langsung bisa mendapat efek positif dengan mendukungnya. Dalam hal ini, kita melihat bahwa komunikasi memang merupakan faktor yang sangat dibutuhan oleh semua manusia, tanpa ada komunikasi maka manusia tidak bisa hidup dan berkembang. Begitupula tanpa komunikasi, maka hubungan diantara berbagai masyarakat atau komunitas tidak akan tercipta atau tidak berlangsung baik. Dan selanjutnya komunikasi dalam sebuah konflik biasanya berbentuk dialog. Dialog itu ada dengan tujuan untuk menyadari dan merangkul dua orang atau kelompok yang berbeda78. Dan menurut Chirzin untuk tercapainya sebuah dialog maka diperlukan adanya beberapa hal, diantaranya yaitu harus adanya sebuah etika global yang memaksimalkan dan mengatur hubungan antar agama. Standar dan mekanisme hak asasi manusia ada untuk tercapainya standar umum perdamaian, keadilan dan integritas di dunia global ini. Hak asasi manusia sangat berguna untuk perdamaian dan tidak akan ada perdamaian tanpa hak asasi manusia. Hak asasi manusia sangat dibutuhkan untuk sebuah perdamaian, yang berarti bahwa nilai perdamaian tidak bisa dicapai tanpa terjaganya nilai dari hak asasi manusia. Pernyataan bahwa adanya hak untuk perdamian yang telah ada dalam katalog hak asasi manusia atau harus segera dimasukkan. Hak ini telah dinyatakan secara serius oleh Sidang Umum PBB dalam deklarasi Hak Rakyat untuk Perdamaian pada 12 November 1984: Dialog dan aksi harus menjadi sebuah platform yang bisa membuat komunitas antar agama untuk bekerja sama untuk untuk kebaikan agama 78
Judith Martin & Thomas Nakayama, Intercultural Communication in Conteks, hal.44/9
dan komunitas mereka, bahkan bangsa, kemanusiaan, dan alam semesta secara keseluruhan. Cara kita membuat dan mengembangkan dialog harus bisa membangkitkan sebuah nilai saling membutuhkan dan semangat kebersamaan, sebuah kepekaan terhadap kebutuhan generasi manusia dan semua makhluk hidup. Suara-suara penderitaan yang terjadi hampir di seluruh dunia merupakan tanda kegagalan para pemimpin dunia
dan pemimpin agama
dalam menghadapi berbagai permasalahan dan memberi alternatif lain bagi kondisi kemanusiaan yang buruk dan terus berlanjutnya perusakan lingkungan. Komunitas agama memiliki tanggung jawab pada dunia, generasi manusia, generasi ciptaan lainnya untuk membuat dunia yang layak, berharga dan damai. Oleh karena itu, adanya dialog antar pemimpin dunia, pemimpin agama dan etnik sangatlah penting dalam menghindari konflik dan mewujudkan sebuah perdamaian. Setiap masa dalam sejarah manusia dan komunitas beragama, memang harus memberikan jawaban terhadap berbagai misteri dan tantangan; namun mereka tidak bisa menganggapnya sebagai jawaban yang absolut dan final. Itu menunjukkan keterbukaan mereka pada masa depan eksitensi mereka yang terdalam pada permulaan diantara berakhirnya hari ini dan datangnya masa depan. Manusia adalah ciptaan dari harapan, kedamaian dan keadilan. Dan oleh karena itu, kita harus mengembangkan dialog dan aksi antar agama yang lebih dalam dan sungguh-sungguh untuk terpenuhinya kedamaian, keadilan dan integritas.
Maka oleh karena itu, Chirzin melihat bahwa sekarang komunitas beragama membutuhkan sesuatu yang lebih dari sebuah Forum Global Aksi Komunitas antar Agama untuk Perdamaian. Kita membutuhkan forum yang bisa menjamin diskusi yang berkelanjutan tentang berbagai ide, kepercayaan, dan pandangan mengenai masa depan.sebuah usaha perlu dilakukan untuk menyatukan aksi dan diskusi serta proyek dan aksi bersama. Chirzin mengajukan beberapa rekomendasi, diantaranya adalah: 1) Dialog akan lebih berarti dalam komunitas agama global jika menyangkut isu yang terkait dan melakukan tindakan. 2) Kita harus melibatkan kaum wanita dan pemuda dalam dialog untuk kehidupan dan kemanusiaan ini. 3) Dialog antar agama harus mengarah pad tujuan khusus untuk kerja sama antar agama. 4) Kita harus merencanakan program jangka panjang 3tahun baik itu tentang dialog antar agama, aksi, studi dan pertemuan dua tahunan yang berfokus pada isu khusus dan bidang yang terkait.
BAB V PENUTUP A.
Kesimpulan Setelah menjelaskan dan menganalisa pembahasan-pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis mencoba memberikan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Centre For Dialogue and Cooperation among Civilizations(CDCC) melalui acara dialog dan kerja sama yaitu The 2nd World Peace Forum, yang berfungsi sebagai elemen dalam membina komunikasi antar budaya. World Peace Forum/ WPF (Forum Perdamaian Dunia) yang digagas CDCC bersama Multi Culture Society dan Muhammadiyah adalah Forum internasional yang diadakan sekali dalam dua tahun sejak tahun 2006, The 1st WPF dan The 2nd WPF pada tahun 2008. The 2nd WPF yang dibahas dalam skripsi ini. Forum Perdamaian Dunia kedua ini sangat berkaitan erat dengan komunikasi antar budaya dan mengangkat tema “ Multi Facet of Violance: What Can be Done? (Berbagai Sisi Kekerasan: Apa yang Bisa Dilakukan?)” Forum ini menggunakan prinsip-prinsip komunikasi antar personal dan komunikasi antar lembaga untuk membangun hubungan baik antar berbagai elemen yang berbeda dan berdiskusi bersama untuk mencari solusi dalam menghadapi berbagai bentuk kekerasan serta mewujudkan
perdamaian
baik
dalam
tingkat
nasional
maupun
internasional. 2. Forum yang dihadiri oleh para tokoh agama, tokoh nasional, tokoh masyarakat, akademisi, aktifis dan jurnalis dari berbagai negara ini
membahas tentang perdamaian dan kekerasan yang selama ini telah menjadi sorotan utama di dunia dan berbagai penjuru dunia. Para peserta yang terlibat dalam dialog besar ini saling mengutarakan pendapat mereka tentang kekerasan yang masih terjadi dan perdamaian yang belum terwujud dan mencari solusi bersama yang bisa diaplikasikan dengan tujuan untuk mengurangi berbagai benturan dan konflik antar agama, bangsa, etnik, ideologi dan peradaban pada umumnya. Maka forum ini bisa menciptakan pemahaman yang lebih baik antar para pemimpin yang hadir dari bangsa, agama, budaya, ideologi yang berbeda dan kemudian akan menularkan pemahaman itu pada masyarakat mereka masing-masing. 3. Dengan adanya forum ini, diharapkan akan adanya berbagai kerja sama antar lembaga, regional, agama, negara maupun komunitas untuk mewujudkan apa yang telah disepakati bersama untuk berusaha mengurangi berbagai bentuk konflik dan berusaha untuk mewujudkan perdamaian di dalam negara dan agama sendiri dan perdamaian dunia pada umumnya. Kemudian dari kaca mata komunikasi antar budaya, penulis menemukan bahwa faktor identitas agama dan bangsa menjadi elemen yang sangat berpengaruh dalam sebuah konflik. Dalam dialog ini jelaslah bahwa kekerasan itu memiliki banyak bentuk, sumber, dan dilakukan oleh para pelaku yang berbeda.
Para pelaku itu bisa saja berasal dari
pemerintah maupun swasta, termasuk para pemimpin suatu kelompok yang menginginkan posisi kekusaan, yang didorong oleh berbagai motivasi untuk memperluas kekuasaannya, memiliki sumber daya alam, ataupun kekurangan berbagai sumber daya
dan ideologi, tanpa
memperhatikan rusaknya perdamaian dan peradaban karena perbuatan
mereka.
Akibat
globalisasi
yang
tidak
seimbang,
keserakahan,
ketidakadilan, dan perampasan ekonomi yang selalu terkait dalam konteks ini dimana kekerasan dijadikan solusi untuk memecahkan masalah perbedaan, frustasi, dan nilai ketidakberdayaan. Efek globalisasi tersebut memang sangat dipengaruhi oleh faktor internal suatu lingkungan itu sendiri seperti taraf pendidikan dan ekonomi yang sangat menentukan sikap dan tindakan yang dilakukan masyarakat. Namun agama tidak lagi dijadikan sebagai penyebab utama dalam pecahnya sebuah konflik atau kekerasan karena dengan terkaitnya berbagai faktor kepentingan negara atau kelompok tertentu yang mengambil keuntungan darinya. Karena pada esensinya tidak ada satu agama pun yang memerintahkan umatnya untuk melakukan segala bentuk kekerasan yang bisa merusak perdamaian. Maka yang harus dihindari adalah penyalahgunaannya dan tindakan tegas terhadap para pelaku yang tidak bertanggung jawab dalam mengatur atau melakukan kekerasan. Oleh karena itu, komunikasi antar personal, lembaga dan pemerintah harus dibangun untuk ikut mewujudkan perdamaian. Para pemimpin lembaga, agama, maupun pemerintah harus mulai membuka jalur komunikasi mereka dan bekerja sama dengan baik. Bersama-sama mereka harus berusaha menghilangkan segala bentuk ketidaksamaan dan ketidakadilan, eksploitasi, ekstrimisme, intoleransi, fitnah, dan semua bentuk kekerasan termasuk peristiwa konflik bersenjata diantara beberapa negara, genosida, penindasan, dan segala bentuk pelanggaran hak asasi manusia, terorisme, agresi, dan tindakan lain yang merendahkan perbedaan manusia. B. Saran-saran
1. Diharapkan pada masa mendatang pemahaman dan hubungan antar agama, bangsa, budaya, dan peradaban bisa menjadi lebih baik dengan terus meningkatkan dan mengembangkan berbagai bentuk kerja sama dan dialog bersama. Semoga CDCC, Multi Culture Society bisa terus bertahan dan berusaha untuk mewujudkan perdamaian dunia. 2. Pemerintah harus terkait dalam misi perdamaian yang digalakan oleh berbagai organisasi masyarakat madani ini (CSO). Karena tanpa dukungan pemerintah, perdamaian akan sulit untuk menyebar. 3. Sosialisasi tentang berbagai bentuk aksi damai di media perlu untuk diperbanyak lagi. Seiring dengan globalisasi, maka misi perdamaian pun harus ikut menyebar ke berbagai arah dan pelosok daerah dan dunia dengan media. Sehingga potensi kesalahpahaman dan konflik bisa dihindari. 4. Menjaga komitmen bersama untuk tetap berusaha menghapuskan berbagai bentuk kekerasan dan menyebarkan misi perdamaian.
DAFTAR PUSTAKA
Bochner Stephen, Cultures in Contact,England, Pergamon Press, 1983.
Gazalba, Sidi, Drs., Pengantar Kebudayaan Sebagai Ilmu, Jakarta:Pustaka Antara, 1963, cet. Ke-3, hal.34 Everett M. Rogers, Thomas M. Steinfatt, Intercultural Communication, Illinois: Waveland Press. Inc,1966, p.87 Hall Stuart, David Held & Tony McGrew, Modernity and its Futures. (London: Polity Press,Open University, 1992), p 274 Liliweri, Alo, Dasar-dasar Komunikasi antar Budaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2003. Lubis, Lusiana Andriani, Komunikasi Antar Budaya. Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Medan, Universitas Sumatera Utara, 2002. Martin, Judith N., Thomas K. Nakayama, Intercultural Communication in Contexts, (New York: McGraw-Hill, 2007), p.154 Moeleong, Lexi J, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosda Karya, 1993 Mulyana, Deddy, Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya, Bandung, PT. Remaja Rosdakarya, 2006. Ribut Karyono, Fundamentalisme dalam Islam dan Kristen, Yogyakarta: Kalika Press, 2003, h.10 Rimbun Masri Singan, Sofian Efendi, Metodologi Penelitian Survey , Jakarta, LP3ES, 1989 Russel, Bertrand, Why I am not Cristian?, New York, Simon and Schuster, 1957, h.22
Widhagdo, Djoko, Drs., dkk, Ilmu Alamiah Dasar, Jakarta: Bumi Aksara, 1994, cet. Ke-4, hal.19 Zed Mestika, Metode Penelitian Kepustakaan, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2004 Batt, Radha, “Gandhi Peace Foundation” makalah disajikan dalam The 2nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008 Chirzin, Habib, Interfaith Dialogue for Peace, Justice and Integrity: Future Agenda for Cooperation, makalah ini disajikan dalam acara The 2nd World peace Forum pada 24-26 Juni 2009 di Jakarta, h.1
Gandhi, Mahatma, Harijan Sewak, India, 1947. Hasan, Tan Sri Muhammed Jawhar, makalah disajikan dalam The 2 nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008, h.1. Ma’arif, Ahmad Syafi’I, Islam sebagai sebuah agama yang damai dan merupakan realitas sejarah, makalah disajikan dalam The 2 nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008, h.1. Martano Valeria, The Role of Religions in Combatting Violance, makalah disajikan dalam The 2nd WPF, Jakarta, 24-26 Juni, 2008
http://iqbalsandira.blogspot.com/2008/12/membedah-teori-benturan-peradabannya.html http://www.forbes.com/2009/03/11/worlds-richest-people-billionaires-2009billionaires_land.html http://www.foreignaffairs.org/19930601faessay5188/samuel-p-huntington/the-clashof-civilizations.html www.worldpeaceforum.org www.cdccfoundation.org
The 2nd World Peace Forum C. Panitia Pelindung : M. Din Syamsuddin Dewan Pelindung: 1. Abdul Malik Fadjar 2. Haedar Nashir 3. Muhammad Muqoddas 4. Yunahar Ilyas 5. Bambang Sudibyo 6. Sudibyo Markus 7. Muchlas Abror Steering Committee Chairman: Rizal Sukma Vice Chairman; Bahtiar Effendy Secretary: Raja Juli Antoni Members : 1. Hajrianto Y. Tohari 2. Umar Hadi 3. Muhyidin Junaidi 4. Clara Joewono 5. Andi Faisal Bhakti 6. Said Umar 7. Fahmi Darmawansyah Organizing Committee Chairman: Abdul Mu’ti Vice Chairman: Wachid Ridwan & Piet Khaidir
Secretary: Izza Rohman Deputy Secretary: Artati Haris Treasurer : Indah Meitasari Deputy Treasurer: Fauzia Ningtyas Secretariat : 1. Aziz Abdul Aziz 2. Ilham Mudzir 3. Drajat Pramundito 4. Usman efendy Sessions: Anton Syafi’uni & Rita Pranawati Protocol: Yusron B. Ambary & Deni Wahyudin K. Logistic: Faozan Amar & Zaf Antemas Public Relation And Documentation: Edi Kuscahyanto & Ahmad Imam Mujadid Rais Security: Rustam Effendi & Wira Health: Jamaluddin & Taufiqurrahman
D. Peserta:
1) Indonesia. Diantaranya adalah Ali Alatas, Special Adviser to the President of the Republic of Indonesia, Jakarta; Azyumardi Azra, Director, Graduate School, Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta; A. Syafii Maarif, Founder, Maarif Institute for Culture and Humanity, Jakarta; K.H. Hasyim Muzadi, Chairman, Nahdhatul Ulama,
Jakarta; Soritua Nababan, President, World Council of Churches, Jakarta dan lain-lain. 2)
Afghanistan: Abdullah Abdullah,
Secretary General,
Massoud
Foundation, Kabul 3)
Algeria: Diantaranya adalah Abdelkader Emir Khiati, University of Alger, Alger.
4)
Australia: Diantaranya adalah Ameer Ali,Vice President,Regional Islamic Da’wah Council of Southeast Asia and the Pacific (RISEAP), Murdoch ; Rev. John Baldock, Parish Priest, St. Johns Anglican Parish, Malvern East; dan Ven. Master Chin Kung, Founder, Amitabha Buddhist Society, Toowomba
5)
Bahrain:
Mohammad Noman Jalal, Advisor, Strategic Studies,
Bahrain Centre for Studies & Research, Manama: 6)
Bangladesh: Kazi Nurul Islam, Professor & Chairman, Department of World Religions, Dhaka University, Dhaka
7)
Belgium: Diantaranya adalah Aidan Patrick White, General Secretary, International Federation of, Journalists (IFJ), Brussels.
8)
Bosnia-Herzegovina: Ibrahim Ahmetagic, Islamic Community in Bosnia and Herzegovina, Office for Relations with Islamic World, Sarajevo.
9)
Egypt: Diantaranya adalah Fawzy Fadel el-Zifzaf, Al-Azhar Previous Minister, Cairo; Ja’far Abd el-Salam, Secretary General, World Islamic Universities Association, Cairo.
10) Finland: Kalle Sysikaski, Committee of 100, Helsinki 11) Germany: Baron Paul Von Maltzahn, Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary, Embassy of the Federal Republic of Germany 12) India: Radha Bhatt, Chairperson, Gandhi Peace Foundation, New Delhi.
13) Iran: Ayatollah Mohammad Ali Taskhiri, Secretary General, Global Assembly for Proximity of Islamic Schools of Thought, Tehran; 14)
Italy: Valeria Martano, Comunita di Saint’Egidio, Rome
15) Japan, Diantaranya adalah Khalid M. Higuchi, Honorary Chairman, Japan Muslim Association, Tokyo dan Nagashima Akihisa, Member of the House of Representatives of Japan, Tokyo; Representatives of Japan, Tokyo 16) Korea: Sunggon Kim, Secretary General, Asian Conference on Religions for Peace, Seoul 17) Kosovo: Resul Rexhepi, Secretary, The Presidency of Islamic Community Republic of Kosovo, Pristina 18) Libya, Mahmoud H. Reeh, World Islamic Call Society, Tripoli; Mohammad A., World Islamic Call Society, Tripoli 19) Malaysia: Diantaranya adalah Dato’ Seri Anwar Ibrahim, Adviser, Parti Keadilan Rakyat dan Tun Mohamad Omar Mohamad Marzuki, Honorary Secretary General, Regional Islamic Da'wah Council of Southeast Asia and the Pacific (RISEAP), Kuala Lumpur 20) Morocco: Abderrahmae Drissi Alami, Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary, Embassy of the Kingdom of Morocco 21) New Zealand: Diantaranya adalah H.E. Dell Higgie, Ambassador for Counter-Terrorism, New, Zealand Ministry of Foreign Affairs and Trade, Wellington 22) Norway:Rev. Gunnar Stalsett, Emeritus, European Council of Religious Leaders, Oslo 23) Pakistan: Diantaranya adalah Mir Nawaz-Khan Marwat, Moderator, Asian Conference on Religions for Peace, Karachi; dan Seemi Ikramullah, Member, Religions for Peace/Pakistan Chapter, Karachi
24) Philippines: Diantaranya adalah Father Eliseo Mercado, Lead Convenor, National Peace Council, Cotabato City dan Hamid Barra, Member, Bishops-Ulama Conference, Mindanau; 25) Russia: Diantaranya adalah Rev. Georgy Roschin, The Department for External Church Relations of Moschow Patriarchate, Moscow; dan Rustem Ibrahim Khairov, Executive Director, International Foundation for Survival and Development of Humanity, Moscow 26) Singapore: Shaik Hussain Shaik Yacob, President, Muhammadiyah Association of Singapore 27) Sri Lanka: Nanda Mallawaarachchi, Ambassador Extraordinary and Plenipotentiary, Embassy of the Republic of Sri Lanka 28) Thailand: Datuk Hj. Aziz Benhawan, Chairman, Advisory Council for Peace Building in the Southern Border Provinces Administrative Centre
(SBPAC)
of
Thailand,
Yala
dan
Surasee
Kosolnavin,Commissioner, National Human Rights Commission of Thailand, Bangkok 29) Timor-Leste: Arief Abdullah Sagran, Former President, Muslim Community of Timor-Leste, Dili dan Ovidio de-Jesus Amaral, Ambassador
Extraordinary
and
Plenipotentiary,
Embassy
of
Democratic Republic of Timor-Leste 30) Tunisia: Diantaranya adalah Hedi Baccouche, Former Prime Minister of Tunisia, Tunis 31)
Turkey: Saad Eddin Ibrahim, Ibn Khaldun Center (IKC), Istanbul; Serif Ali Tekalan, President, International Association of Universities, Istanbul
32) United Kingdom: Sir Iqbal Sacranie, Chairman, MCB Charitable Foundation, London 33) United States of America: Diantaranya adalah Mark Juergensmeyer, Director, Center for Global and International Studies, University of
California at Santa Barbara, Santa Barbara dan Rev. William F. Vendley, Secretary General, Religions for Peace International, New York 34) Vatican: Diantaranya adalah His Eminence Cardinal Jean-Louis Tauran, President, The Pontifical Council for Interreligious Dialogue of the Holy See, Vatican.
E.
Program dan Agenda 1. DAY 1, JUNE 24, 2008
Morning - afternoon Arrival , 18:30-19:30 Opening Dinner ,19:30-21:30 Venue: Golden Ballroom Opening Ceremony Welcoming Remarks M. Din Syamsuddin, Chairman, Muhammadiyah; Chairman, Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), Jakarta, Indonesia Tan Sri Lee Kim Yew, Founder & Chairman, Cheng Ho Multi Culture Trust, Kuala Lumpur, Malaysia Messages from World Leaders Rt. Hon. Helen Clark MP, Prime Minister of New Zealand Hon. Kevin Rudd MP, Prime Minister of Australia
Rt. Hon. Gordon Brown MP, Prime Minister of the United Kingdom H.E. Jan Peter Balkenende, Prime Minister of the Kingdom of the Netherlands H.E. Vladimir Putin, Prime Minister of the Russian Federation H.E. Mikhail Gorbachev, Former President of the Soviet Union Opening Speech H.E. Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono, President of theRepublic of Indonesia Cultural Performance 2. DAY 2, JUNE 25, 2008
09:00-09:30, Venue: Golden Ballroom Keynote Speech H.E. Dr. Hassan Wirajuda, Minister of Foreign Affairs of the Republic of Indonesia
09:30-10:00, Coffee Break 10:00-12:00, Venue: Golden Ballroom Plenary Session I Facets of Violence: Issues and Challenges Chair: Dewi Fortuna Anwar, Director for Program and Research, The Habibie Center, Jakarta, Indonesia Panelists:
Dato’ Sri Anwar Ibrahim, Adviser, Parti Keadilan Rakyat, Malaysia H.E. Ali Alatas, Special Adviser to the President of the Republic of Indonesia Seyyed Mohammad Ali Abtahi, President, Institute for Interreligious Dialogue, Tehran, Iran Hedi Baccouche, Former Prime Minister of Tunisia Amien Rais, Former Chairman, People’s Consultative Assembly of the Republic of Indonesia H.E. Xanana Gusmao, Prime Minister of Timor-Leste (tbc)
12:00-13:30, Lunch Host: H.E. Prof. Dr. Bambang Sudibyo, Minister of National Education of the Republic of Indonesia Luncheon Speech Ven. Master Chin Kung, Founder, Amitabha Buddhist Society, Toowomba, Australia
13:30-15:30, Venue: Golden Ballroom Plenary Session II Political and Religious Violence: Addressing the Root Causes Chair: Meidyatama Suryadiningrat, Managing Editor, The Jakarta Post, Jakarta, Indonesia
Panelists:
Ayatollah Mohammad Ali Taskhiri, Secretary General, Global Assembly for Proximity of Islamic Schools of Thought, Tehran, Iran Mark Juergensmeyer, Director, Center for Global & International Studies, University of California at Santa Barbara, Santa Barbara, USA Tan Sri Mohamed Jawhar Hassan, Chairman & CEO, Institute of Strategic and International Studies, Kuala Lumpur, Malaysia Surasee Kosolnavin, Commissioner, National Human Rights Commission of Thailand Rev. William F. Vendley, Secretary General, Religions for Peace International, New York, USA
15:30-16:00, Coffee Break 16:00-17:30, Venue: Asean Room Concurrent Session I Combating Violence: The Role of Civil Society and Faith-Based Organizations Chair: Abdul Mu’ti, Executive Director, Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), Jakarta, Indonesia Resource Persons: Rev. Gunnar Stalsett, Bishop Emeritus, European Council of Religious Leaders, Oslo, Norway Father Chris Riley, Founder, Youth Off The Streets, Sydney, Australia Amina Rasul-Bernardo, Lead Convenor, Philippine Council for Islam and Democracy (PCID), Mandaluyong City, Philippines
Sudibyo Markus, Vice Chairman, Central Board of Muhammadiyah, Jakarta, Indonesia Concurrent Session II Media, Freedom of Expressions and Violence Chair: Bambang Harymurti, Corporate Chief Editor, Tempo, Jakarta, Indonesia Resource Persons: Aidan Patrick White, General Secretary, International Federation of Journalists (IFJ), Brussels, Belgium Bettina Peters, Director, Global Forum for Media Development, Brussels, Belgium Endy M. Bayuni, Chief Editor, The Jakarta Post, Jakarta, Indonesia Lawrence Pintak, Director, Kamal Adham Centre for Journalism, Training and Research, The American University in Cairo, Cairo, Egypt Rustem Ibragim Khairov, Executive Director, International Foundation for Survival and Development of Humanity, Moscow, Russia
19:00-21:30, Dinner Host: H.E. Hatta Redjasa, State Secretary of the Republic of Indonesia
3. DAY 3, JUNE 26, 2008
09:00-11:00, Venue: Golden Ballroom Plenary Session III
The Role of Religion in Combating Violence Chair: Ameer Ali, Vice President, Regional Islamic Da’wah Council of Southeast Asia and the Pacific (RISEAP), Murdoch, Australia Panelists: A. Syafii Maarif, Founder, Maarif Institute for Culture and Humanity, Jakarta, Indonesia Hasan Ali Yurtsever, President, Rumi Forum, Washington DC, USA K.H. Hasyim Muzadi, Chairman, Nahdhatul Ulama, Jakarta, Indonesia Radha Bhatt, Chairperson, Gandhi Peace Foundation, New Delhi, India Valeria Martano, Comunita di Saint’Egidio, Rome, Italy
12:00-13:00 Lunch Luncheon Speech: H.E. Dr. Siti Fadilah Supari, Minister for Health of the Republic of Indonesia
13:00-14:30,Venue: Asean Room Concurrent Session III Interfaith Dialogue: Can It Make a Difference? Chair:
Raja Juli Antoni, Executive Director, Maarif Institute for Culture and Humanity, Jakarta, Indonesia
Resource Persons: H.E. Dell Higgie, Ambassador for Counter-Terrorism, Ministry of Foreign Affairs and Trade of New Zealand Soritua Nababan, President, World Council of Churches, Jakarta, Indonesia Rev. John Baldock, Parish Priest, St. Johns Anglican Parish, Malvern East, Australia Mir Nawaz Khan Marwat, Moderator, Religions for Peace Asia, Karachi, Pakistan Habib Chirzin, Former Commissioner, National Human Rights Commission of Indonesia Concurrent Session IV Can Democracy Contain Violence? Chair: Putut Wijanarko, Vice President, Mizan Publika, Bandung, Indonesia Resource Persons: Azyumardi Azra, Director, Graduate School, Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta, Indonesia Saad Eddin Ibrahim, Chair, Ibn Khaldun Center (IKC), Istanbul, Turkey Serif Ali Tekalan, President, International Association of Universities, Istanbul, Turkey
Rizal Sukma, Deputy Executive Director, Center for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta, Indonesia
14:30-15:00, Coffee Break 15:00-17:00, Venue: Golden Ballroom Plenary Session IV Working for a Peaceful World: What can be Done? Chair: Dahlan Rais, Secretary, Central Board of Muhammadiyah, Solo, Indonesia Panelists: His Eminence Cardinal Jean-Louis Tauran, President, The Pontifical Council for Interreligious Dialogue of the Holy See, Vatican Mohamed Sobeih, Palestinian Representative to the Arab League, Cairo, Egypt Abdullah Abdullah, Secretary General, Massoud Foundation, Kabul, Afghanistan Kishore Mahbubani, Dean, The Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore, Singapore (tbc)
17:00-17:15 Concluding Remarks M. Din Syamsuddin, Chairman, Muhammadiyah; Chairman, Centre for Dialogue and Cooperation among Civilisations (CDCC), Jakarta, Indonesia
18:30-21:00, Venue: The Vice President Palace Farewell Dinner Closing Session Closing Remarks H.E. H. M. Jusuf Kalla, Vice President of the Republic of Indonesia
Mark Juergensmeyer, University of California at Santa Barbara
Is Religion the Problem?
Does religion cause terrorism? Or has the innocence of religion been abused by politicians who twist religion’s essential message of peace for their own purposes? Is religion the problem or the victim? My answer is that religion is not the problem—but it is problematic. Even though religion is not the sole cause of violence, it does bear some responsibility for the intensity and extremity of many violent actions. The conditions of conflict that lead to tension are usually economic and social in character—often a defense of territory or culture that is perceived to be under control by an outside power. At some point in the conflict, however, usually at a time of frustration and desperation, the political contest becomes “religionized.” Then ordinary struggles take on the aura of sacred conflict. This creates a whole new set of problems. Religion personalizes conflict. It provides personal rewards and religious merit to those who struggle in conflicts that otherwise have only social benefits. It also provides vehicles of social mobilization that embrace vast numbers of supporters and organizational networks of local churches, mosques, temples, and religious associations. It gives the legitimacy of moral justification for political encounter and a justification for violence that challenges the state’s monopoly on morally-sanctioned killing. Perhaps most important, religion provides the image of cosmic war, which gives an all-encompassing world view that absolutizes the conflict into extreme opposing positions and demonizes opponents by imagining them to be satanic powers. This absolutism makes compromise difficult to manage, and holds out the promise of total victory through divine intervention in a conflict where the time line of sacred struggle is vast, perhaps even eternal. Yet religion also provides traditions of toleration, the moral expectations of justice and equality, and images of peace. There is reason to believe, therefore, that religion can bring to situations of social strife a message not only of harm, but also of hope.[]
THE ROLE OF RELIGION IN COMBATTING VIOLENCE Ahmad Syafii Maarif Introduction If all religions are, theoretically and theologically, anti-violence and pro-peace, why did many of their followers in certain eras of history for certain reasons commit violence, terrorism, and even war? To explore tentative answers to this challenging and crucial question is the main focus of this brief paper, viewed particularly from an Islamic perspective. Islam as a peaceful religion and the reality of history Let’s see first why Bertrand Russell so strongly and sharply criticized the harmful operation of religions in human history by concluding: “I think all the great religions of the world--Buddhism, Hinduism, Christianity, Islam, and Communism--both untrue and harmful.”79 I hope the believers should not immediately get mad by this statement, because what Russell said is also based on the hard fact of history. But, of course, we cannot accept his hastening generalization as if all religions are not more than a burden of mankind by ignoring their positive dimensions as one of the perennial foundations of human civilization. As an ardent agnostic, Russell seems deliberately to deny the important side of a religion as to remind men of something deep and fundamental that philosophy and science cannot offer any final say. Take for example, on the meaning of life and death. At the most, philosophy can only give a speculative answer to the question of the ultimate goal of human life: to seek happiness here in this world, while life in the hereafter is fully beyond the reach of both science and philosophy. Here religions enter to give the answer. 79
Bertrand Russell, Why I am not a Christian. New York: Simon and Schuster, 1957, p. v.
Now allow me briefly to look at Islam as a religion. The original and true meaning of Islam is peace by the way of one’s submission to the will of God, though some elite Muslims in certain periods of history have betrayed this doctrine for political, theological, and sectarian purposes. In this case, Russell is right when he made a general statement that “all religions are harmful and untrue.” In other words, violent and harmful acts done by Muslims in history should not be interpreted as the manifestation of the true meaning of Islam; indeed, those brutal acts were not other than the misuse of it. But at least this British controversial philosopher did justice to one stage of the history of Islam by admitting the fact that: “The Empire of the Caliphs was much kinder to Jews and Christians than Christian states were to Jews and Mohammedans. It left Jews and Christians unmolested, provided they paid tribute. Anti-Semitism was promoted by Christianity from the moment the Roman Empire became Christian.”80 Russell’s comparison was historically evidential, but the internal hatreds and enmities between Muslims themselves were sometimes frighteningly harsh and bloody. In other words, for the reason of power hunger there was much more bloodshed spilled on the Muslims by the Muslims throughout history. What the Abbasid Empire did to the Umayyad regime in the middle of the eigthth century A.D. was not other than the act of mass genocide to eliminate the rest of its rival. In this situation, the Qur’anic formula that “All believers are but brothers”81 was deliberately and irresponsibly erased from the face of Muslim history. The sectarian fightings between the sunni and the shi’i factions in present Iraq, for instance, is merely a continuation from the past gloomy history, and the Bush’s invasion on that suffering nation is surely responsible for renewing and revitalizing this old enmity. Of course, both sides do not forget to mention the name of Allah before shooting their own brothers in these stupid theo-political rivalries. There were a lot of other examples in human history where the so-called religious people hijacking God for political game, not only among Muslims, but also among those who arrogantly claimed to have the right to monopolize the truth. The primitive and uncivilized phrase “either with us or against us” is the shared philosophy being updated by the all forms of modern fundamentalism, religious or secular. In substance, all fundamentalisms provide no space for dialogue and mutual respect. Despite the fact that Islam had negative historical episodes in the past, one should not overlook its great contribution to humanity in the realms of science, philosophy, art, history, theology, mathematics, geography, astronomy, optics, language, and sufism for centuries. Though the zero number came from India, it was Islam that integrated it into the Arabic number system and made it universal and
80 81
Ibid., p. 202. See the Qur’an s. al-Hujurāt: 10.
cosmopolitan in use.82 There is no doubt, the Arab-Muslim had a great past that historically is valid and proven. But the problem they are facing now is this fact as described by Syrian-born poet and writer Ali Ahmad Said (known as Adonis): “The Arab individual is no less smart, no less a genius, than anyone else in the world. He can excel---but only outside his society. …If I look at the Arabs, with all their resources and great capacities, and I compare what they have achieved over the past century with what others have achieved in that period, I would have to say that we Arabs are in a phase of extinction, in the sense that we have no creative presence in the world. … We have the quantity. We have the masses of people, but a people becomes extinct when it no longer has a creative capacity, and the capacity to change its world.”83 The general feeling of extinction is not only shared by many Arab intellectuals, but the masses are excluded neither. This is very serious and dangerous mental condition suffered by a people who has the lost great past. From the psycho-political perspective, many things strange may occur, that is, anger, helplessness, violence, hopelessness, humilation, and distrust. The sense of helplessness is getting worse when the Arabs bitterly remember their total defeat by Israel, fully supported by the U.S. troops, in the war of June1967. Particularly from this time on, the Arab world has never enjoyed a permanent peace, while the Palestine problem is still far from any solution. Then another horror happened. The Iraqi uncalculated invasion on Kuwait gave a golden chance to the U.S. and its aliances to destroy Iraq, without the U.N.’s legal consent. Almost at the same time, the tragedy of September 11, 2001 happened. Osama bin Laden was accused to be an intellectual actor behind this tragedy. Owe to this reason, the poor Afghanistan, where bin Laden was said to be hidden, got the tragic turn to be invaded by the same neo-imperialist forces under the command of President George W. Bush. Meanwhile, to make things more vulnerable, most the Arab contemporary regimes get no trust from their own people, due to rampant corruption, mismanagement, autoritarianism, and anti-democracy. Adonis is fully right when saying that the Arab individual should leave his society if he wants to actualize his own talented excellence. Otherwise, he has no enough room and space to fully develop his gifted potentiality, intellectually, politically, and scientifically. Is this not a painful and miserable panorama suffered by Arab-Muslims at the present juncture? Final words: can Islam offer a solution?
82
One of the best informations on the Muslim intellectual contribution to humanity, see John R. Hayes, (ed.), The Genius of Arab Civilization: Source of Renaissance. Cambridge, Massachusetts: The MIT Press, 1983. 83 See Thomas L. Friedman, “Martin Luther King?” The New York TimesOnline, January 24, 2007, p. 1. Adonis’ statement on the Arab today’s fiasco is originally based on his interview from Paris with Dubai TV, March 11, 2006, translated by Memri.
Being pinched in dilemmatic and difficult circumstances, what role should Islam as a revealed religion play to cure the situation, particularly in combatting violence which is now overwhelming some parts of the Arab world and other Muslim countries, such as Pakistan, Afghanistan, and Indonesia? To answer this question, this paper offers three recommendations: (1) the Muslims all over the world, in Arab countries in particular, should rethink honestly and seriously that Islam always means peace, in theory and in practice. Therefore, any violation to the doctrine of peace, by committing violence and terrorism, for instance, is no doubt a serious betrayal to the very teaching of Islam; (2) though Islam as a civilization has to a great extent lost its creative vitality and capacity to contribute something fresh and meaningful to humanity at large, this does not mean that this weak condition cannot be changed fundamentally provided the Muslims are hambly ready to learn science, technology, and wisdom from others; (3) Violence and terrorism suffered also by Muslims in certain areas should not incite them to do the same, because it is absolutely contradictory to their own religion. But an attact or invasion on any Muslim territory by alien forces should be met and expelled courageously and firmly. If this happens, all Muslim nations have the religious obligation and duty to demonstrate their solidarity to help the nation being invaded. Though these ideals are far from the present reality of Muslims, the authentic teachings of Islam remain there forever to guide the Muslims all the time. Who knows one day the Muslims would readily awaken from their long sleep to change dramatically their downtrodden condition and fate, due particularly to their own serious historical mistake and carelessness. Now it is high time for the Muslims to monitor themselves openly and nakedly. In one of the Qur’anic verses, we read: “Verily, God will not change the condition of a people, unless they change their inner selves.”84
84
The Qur’an s. al-Ra’d: 11.
Radha Bhatt, Gandhi Peace Foundation I start my submission with a quotation written by Mahatma Gandhi, which was published in one of his magazines, Harijan Sewak, on 23.06.1946 on page number 186-87. "Today people in West speak of Jesus but in fact their lives are being guided by the inspiration which is totally against Jesus. Just as in the same way there are people who talk of Islam but in reality they follow the "Shaitan." This is the miserable position of we people believing in religion (I would like to add that the same contradictory lives are being led by Hindus, Buddhists and Jains etc.). "If the people would have followed God, the corruption, violence and exploitation which is prevailed today in the society, would have withered away completely. At present the rich are growing richer, while the poor are being pushed down to become ever poorer. Everywhere the cruel game of hunger, nakedness and death is being played. These are not the symptoms of God's world, but are the signs of the empire of "Shaitan or Ravana" and the elements against Jesus. We cannot bring God's kingdom on the earth by repeating this name only by our lips. Our work and life practices should be according to God, not to "Shaitan." "When the kingdom of God will prevail in the hearts of the people, then only they will be free of anger and violence." Mahatma Gandhi Harijan Sewak 20.04.1947, page 406. These beautiful quotations on religion and the violence give such a clear direction on which we could make our search for a way out from the present violent situations. The violence in the world right now is in two forms, first is the visible form, wars among different nations, terrorism spread all over the world, clashes between different ethnic groups and communal riots among the different faiths. But there is also invisible violence which has become part and parcel of our social structure. To some extent this structural violence is the root cause of the visible violence of wars, terrorism and communal riots too. On the other hand, the religions have also forgotten the original values of their religion, which was given to them by the prophets or the enlightened ones. It is like this funny story told by the people in India. Somebody was given the nectar (religion) in a golden cup to drink. He drank the nectar and became immortal but the other who came behind him took his golden cup and considered it the religion holding the cup strongly in their arms and fighting to other faiths, "Our golden cup (religion) is the best to reach God." So, though, not a single religion had ever shown a single small path of violence in their doctrines, in practice so much blood had been shaded in the past and present in the name of religion. In fact the religion is above and over to those traditional formalities which in due time had developed according to the different geography, climate and cultural conditions.
I should say that religion is the inner and practical quest of the human beings which reflects in their lifestyles and brings them closer and closer to their spiritual truth and at least makes them one with that permanent bliss. This truth could be called the almighty spirit, the creator of this cosmos or give it the name of God. This truth is equally based in the center of every faith. This single similarity is a strong chain which brings every religion in one destiny and our responsibility towards humanity. If religions see their souls in this new outlook instead of their traditional dogmatic outer frames, every religion will become the messenger of nonviolence. If we go deep into concept and practice of the religion truly, it is as open as the sky and as vast as the earth. There are no geographic boundaries and human limitations to it. All the faiths like Hinduism, Islam, Christianity, Buddhism, Jainism etc are the different paths to reach to the same goal, which is the truth or the peace. The peace of mind, the peace in human society, the peace in the nature around the Globe and beyond it the peace of Sun, Moon, stars and those planets circling around each other. So why do we think of peace only to humans, why should not it be for whole creation? This is the right essence of the religion, which can be able to combat the violence. The massage in this context is very powerful given in the Vedas. The "Rishi" of Vedas sings the "Mantra" like this "shun na surya Uruchaksha Udetu" Source Rigveda "We pray for the peace to the Sun, which is the very source of life and energy to this globe. We wish peace to all directions. We wish peace to the mountains that they stand permanently as the North Star does. We wish peace to the oceans, rivers and the vegetation all over the world." Thus the religions have to hug the whole creation with everlasting love and combat the violence forced by its followers, namely the human beings. Then the religions will fulfill their definition which is given in old Sanskrit scripts as "Dharaynti iti Dharma." Dharma or religion is that which holds the life on the earth. Now in this august gathering, I would humbly ask all of you to ponder while believing on our religions, we do not become the part of the system which is spoiling the air and waters, ruining the oceans and forests just for human luxuries. We are also the part of the pollution in the rivers and waters and soil. Ultimately the earth and the sun are also adversely affected by all what the humans are doing in the name of progress and development around the Globe. The human is trying to win the nature instead of living with it in a friendly relation. This is violence and unreligious act by the religious human. If we change this with a religious understanding that will prove a true combat against violence. I should say if the religions become so broadbased, certainly the wars and terrorism etc would be combated.[]
Valeria Martano, Comunita di Saint’Egidio Too often in history, as well as in the contemporary world, religions – or at least religious symbols - have been used to motivate division, hostilities and fan conflicts. Are religions fuel or water for conflicts? This question must lead our reflection as men and women who want to make religion play a positive role for world peace. Actually the true causes of violence are to be searched in a complexity of reasons. One is the relationship between poverty, lack of future perspectives, economic stagnation or decline and violence. Violence is fed by injustice. Religions are a reservoir of spirituality and humanity in a materialistic world. Men and women of religion, as far as they are rooted in the true roots of their faith, can be men and women of peace and reconciliation The search for peace is at the very root of every faith and religious belief. This – and other shared values, such as universal brotherhood, human dignity, and others – must be emphasised through dialogue. It is not a matter of opening a discussion on doctrinal points or articles of faith. On the contrary, every believer finds in the depths of his or her own faith, the rationale to withdraw from the culture of contempt and the dominion of materialism. And mutual understanding allows to replace the culture of contempt with a culture of esteem, respect and dialogue. This is what we call the spirit of Assisi. The great pope John Paul II, in 1986, in a world still divided in two by the iron curtain, under the threat of nuclear war, made an unprecedented gesture in history, by inviting the leaders of all the world religions to a day of fasting and prayer for peace. On that historical day the Pope said: “Peace is a building yard, open to all and not just to specialists, savants and strategists”. The Community of Sant’Egidio decided to keep the building yard open and to carry on the “spirit of Assisi”. That is why, since 1986, it became the promoter of annual international meetings that involve men and women of different faiths, united by a common commitment to create a pacified world. In the post cold-war world, in this globalized and fragmented world, small groups and even individuals can make a difference. Terrorism and guerrillas show that a few people can destabilise entire countries, even the world at large. We need then to speak to these men and women of the 21st century, who feel the protagonists of their age. One person can lose the world, but one person is also enough to save it. Men and women of faith can build peace. The task of religions is to promote the society of coexistence. It is not a slogan, but a daily feat. We need to promote friendliness between religious and ethnic communities, fighting the culture of contempt which is often the root of violence between groups. We believe that convinced minorities can set the turning points of history. If we are convinced minorities, if we believe in our legacy of humanity, in the peace building power that lies in the depths of our faiths, we shall be able to build a peaceful
world. An alliance of minorities who believe in peace in different religious traditions and cultures can be an immense heritage for the world.
Mohamed Jawhar Hassan
My comments will revolve around the following themes: 1. All violence (except violent crime) is political. Violence includes insurgency, terrorism, military invasion and occupation by force.
2. Violence can be perpetrated by state as well as non-state entities. It is perpetrated by entities that identify themselves with different causes and identities. These can be religious in nature (say, Islam) or non-religious (state, ethnicity, ideology, region, etc.). The most destructive perpetrators are states.
3. So-called “religious violence” (that includes “Islamic” or “Muslim” terrorists and “jihadis”) is no different in morality or ethics from “non-religious violence”. Violence perpetrated in the name of Islam is no different morally or ethically from violence perpetrated in the name of spreading or defending democracy, “threats to international peace”, etc. They can be “good” or “bad” depending on necessity, cause and method. The root causes of politically-
motivated violence are extremely diverse. Addressing the root causes must therefore be contextualised and there is no “one-size-fits-all” solution.
4. Having said this, certain root causes are more prevalent, though they apply differently in different situations. The more prevalent root causes are domination,
occupation,
oppression,
exclusion,
marginalisation,
disempowerment and denial otherwise of legitimate political, economic and social rights and identity. The “enabling factors”, which are not often the root causes, are poverty, education, etc. The enabling factors should not be confused with the rooatt causes, and sometimes there are deliberate attempts to do so in order to divert attention from the root causes.
5. These root causes must be constructively addressed if violence is to end and peace is to prevail. This will entail, among others, scrutiny of assumptions and theories emanating from the realist school like “balance of power”. Lasting peace will only prevail when, within nations and across the world, humanity is governed by principles and institutions that fulfil and protect legitimate rights and aspirations, and that de-legitimise and effectively penalise pursuit of power and wealth through the use of force.
Father Chris Riley, Youth Off The Streets Violence – whatever else it may mean – is the ultimate means of communicating the absence of love. Early in the path towards violence, there is a break down in connection to home, school and family. Alexander Graham Bell wrote, “I feel in this child I have seen more of the Divine than has been manifest in anyone I’ve ever met.” What kindles the spark of divinity in a child? And what consigns the human spirit to darkness? We begin the journey to understand lost boys by studying the quality of their relationships, the psychological condition of their inner life, and the development of their spirit. At the heart of the matter is whether a young child is: - Connected rather than abandoned, - Accepted rather than rejected, - And nurtured rather than neglected and abused. Psychiatrist Leonard Shengold (Soul Murder: the effects of childhood abuse and Deprivation (1989) Reflects on his belief that catastrophically abused child, subject to so much internal devastation is driven beyond the limits of humanness – leaving behind something else to fill the void – or perhaps just leaving an unfilled void. The soul is buried deep under layers of violence and distorted feelings and emotions. Thumb sketch of violent youth: The characteristics that increase a teenager’s risk of joining the ranks of the violent. As a result of research, Chicago based psychologists Robert Zago and his colleagues offer a picture of this risk. These researchers found that a boy’s chances of committing violent crime as twice as high if he has the following risk factors: • They come from a family with a history of criminal violence. • They have a history of being abused, • They belong to a gang, • He abuses drugs and alcohol. The odds triple when in addition to the aforementioned risk factors the following also applies: • They use a weapon, • They have been arrested, • They have a neurological problem that impairs thinking and feeling, • They have difficulties at school and a poor attendance record. Reaching Out: • The worth of a young person is greater than their worst act. • Bad youth are elements of a system. The majority of their unsanctioned behaviour is linked to preventable economic, social, familiar, educational, institutional medical and legal issues. • Pathologising, criminalizing, dehumanizing, demonising and disenfranchising bad youth have proven ineffective as a strategy for provoking lasting positive change. • A male positive attitude to bad boys utilizes compassion, responsibility, fierce challenge, cultural literacy and social inclusion to create therapeutic alliances that can effectively provoke positive change.
• •
The powers of government are more effective and less costly when allied to attempts to restore and rehabilitate citizens instead of to punish and destroy. Adults are responsible of the majority of social ills now ascribed to young people. Ignorance not boys is our common enemy.
“We must learn to live together as brothers or perish together as fools.” Martin Luther King Jnr. To bring about a cessation of violence, we need to confront our own biases and prejudices, which are fuelled by ignorance and fear, to embrace the oneness of humanity. We must all stand up for those who are discriminated against because of race, religion, culture and sex. We must embrace what is common between us – particularly when it comes to the young. The partnership between Muhammadiyah and Youth Off the Streets concerning tsunami victims is a clear sign to the world that we can unite around what makes us common and then leads to respect and understanding around what makes us different.[] Habib Chirzin, Islamic Forum on Peace, Human Rights and Development Interfaith Dialogue for Peace, Justice and Integrity: Future Agenda for Cooperation In the age of globalized human community and shrinking world, interfaith dialogue and action is no longer just commendable endeavor but a historical necessity. Dialogue is not mere communication of words, but a new way of understanding, thinking and reflecting on the religious belief of others and their meaning. The faith community now have to move further the agenda from interreligious tolerance to understanding, acceptance, respect, celebration and action. Developing a new initiatives and agenda for cooperation are essential in our age of history. Issues relating interfaith, the dialogue among civilizations, ethnicity and cultural issues will complete in a world where food and energy crisis, ecological insecurity and global absolute poverty will add pressure to the need for development and change. From my personal engagement in the interfaith dialogue and action since 1976 initiated by CCA-URM in Colombo; and AFSC-SEAQIAR in Bali; and Friends Initiative in Hong Kong in 1977; ACFOD program in 7 countries in 1978; National Bishop Conference of Brazil in Rio de Janeiro and Recife in 1979 etc, that by sharing peace culture, forgiveness, reconciliation and healing capacity among faith communities some are helped to move forward in their lives towards the creation of a more peaceful, just and humane society. Dialogue will call for some basic parameters to be achieved. There is a need for a global ethic that transcends and governs interfaith relationships. Human rights standards and mechanism for a common standard of achievement in peace, justice and integrity in the more globalized world. Human rights are conducive to peace, and
there is no peace without human rights. Human rights are an indispensable condition for peace, which means that the separate value of peace cannot be attained without securing the separate value of human right, . The statement that there is a right to peace means that this right is already included in the catalogue of human rights or that it must be immediately included in it. This right was solemnly proclaimed by the UN General Assembly in the Declaration on the Right of Peoples to Peace on 12 November 1984: Dialogue and action should be a platform which enables the interfaith community to find ways to work together for the good of the respective religions and their communities, even for the nations, for humanity, and the universe as a whole. The way we conduct and develop the dialogue should stimulate a sense of mutual concern and a spirit of togetherness, a sensitiveness to the need of fellow human being and all creatures (rahmatan lil ‘alamien). The voice of misery across the globe are signs of the world’s leaders and faith community’s failure to address problems and provide alternative solutions to the plight of humanity and to the continuing destruction of the environment. The faith community have a responsibility to the world, to fellow human beings, to fellow creatures to make our earthly common residence a decent, dignified and peaceful one (Darussalam/abode of peace). To each age of history human kind, and faith community, have to give answer to life’s mysteries and challenges; yet they can never consider their answer as absolute and final. They must go beyond boundary of their possibilities in order to find them selves. This is their openness to the future which characterizes their innermost existence on the threshold between the vanishing to day and the newly appearing future. Human kind are creature of hope, peace and justice. And there for we have to develop more deeper, sincerer interfaith dialogue and action for human fulfillment, peace, justice and integrity (Mukhlishina lahuddin, hunafaa). Some proposed future agenda for cooperation: The interfaith community now need more than ever a Global Forum for Interfaith Action for Peace. We need a forum which can nurture continuing discussion of ideas, beliefs, and visions of the future. An effort must be made to combine action with discussion and we have also to consider joint project and action. Some proposed future agenda for cooperation to be considered : - Dialogue will be more meaningful in the globalized world faith community if it is issue and action-oriented - We should seek major involvement of women and young people in this dialogue for life and humanization - The interfaith community should strengthen the Peace Generation as it has been initiated by Muhammadiyah. - Interfaith dialogue must lead to specific proposals for interfaith cooperation..
-
We should plan a viable 3 (three years) programme : the organizations co-sponsoring this forum might plan and oversee a 3 years program of interfaith dialogue, action, study and meet biannually with focus on specific issues and area of concerns.[]
Wawancara dengan Dr. Abdul Mu’ti Direktur Eksekutif Centre for Dialogue and Cooperation among Civilizations (CDCC)
Penulis: Sebenarnya apa yang melatar belakangi berdirinya CDCC,pak? Abdul Mu’ti: Sebenarnya CDCC dibentuk berdasarkan pada beberapa alasan, diantaranya adalah: 1. Seiring dengan meningkatnya jumlah tindakan kekerasan baik di Indonesia maupun di berbagai belahan dunia lainnya yang disebabkan oleh faktor politik, agama, ekonomi, budaya, dan lain-lain. 2. Adanya sinyalemen bahwa penyebab utama dari berbagai tindak kekerasan itu adalah adanya benturan peradaban. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel Huntington. Tapi sebenarnya teori itu tidak sepenuhnya benar, karena setiap peradaban memiliki nilai universalitas sendiri yang bisa diterima oleh peradaban lainnya. 3. Maka oleh karena itu, CDCC berusaha untuk memahami berbagai perbedaan tersebut dan berusaha untuk mencari titik temunya. Dialog dan kerja sama pun dijadikan CDCC sebagai jalan untuk mewujudkannya. 4. Selama ini, hampir semua dialog yang bersifat konseptual saja,hanya sebatas pertukaran pikiran. Dan CDCC bertujuan
untuk membuat dialog yang
konseptual dan praktis. Sehingga berbagai kerja sama bisa diadakan untuk melawan tindak kekerasan dan menghindari bernturan-benturan peradaban.
Penulis: Sejak didirikan pada tahun 2006, bagaimana perkembangan yang dialami CDCC? Abdul Mu’ti: Alhamdulillah CDCC sudah bermitra dengan berbagai lembaga, nasional maupun internasional. Karena fokus yang kami lakukan itu memberikan sedikit banyak manfaat dalam konstelasi global maupun nasional, maka CDCC ikut juga menjadi opinion maker nasional. Selain itu, sekarang CDCC sudah menjadi salah satu NGO internasional dengan banyaknya kerja sama dengan berbagai lembaga internasional seperti Multi Culture Society, Kedutaan-kedutaan negara asing, Pemerintah Australia, Pemerintah Inggris, dan lain sebagainya.
Penulis: Program dialog dan kerja sama seperti apa yang telah dilakukan CDCC? Abdul Mu’ti: Dialog- dialog antar agam dan bangsa sering kita lakukan setiap bulan. Selain itu, acara World Peace Forum juga merupakan agenda besar kita dalam mengadakan dialog internasional yang melibatkan berbagai negara di dunia. Dan ketika terjadi konflik yang memuncak antara Palestina dan Israel yang menelan banyak korban dari masyarakat sipil dan menghancurkan infrastruktur negara yang mendapat kecaman dunia, CDCC bekerja sama dengan kedutaan palestina menggalang dana bantuan untuk mereka.