TRADISI SEKATEN DI KERATON YOGYAKARTA DALAM PERSPEKTIF KOMUNIKASI ANTARBUDAYA
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S. Kom. I)
Oleh: Sudirman 109051000065
JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2014
ABSTRAK Sudirman Tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya Tradisi sekaten adalah tradisi untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. Tradisi yang diadakan setiap bulan Rabiul Awal ini telah dilaksanakan sejak kerajaan Islam Demak berdiri di Jawa. Pada intinya, tradisi ini merupakan media dakwah yang dimanfaatkan oleh Wali Sanga dalam melakukan dakwah di tanah Jawa. Dalam dakwahnya tersebut, para wali tidak menggunakan cara frontal serta tidak menolak budaya lama (lokal), namun, sebaliknya para wali tersebut bertindak arif dan bijaksana tanpa menghilangkan unsur budaya, bahkan memberi warna dan nuansa baru Islam. Pada konteks kekinian, perayaan sekaten tidak hanya memperlihatkan tontonan budayanya saja, namun, juga memperlihatkan aspek hiburan dan ekonomi yang dikemas dalam bentuk pasar malam sekaten. Berdasarkan konteks di atas, maka pertanyaan mayornya adalah bagaimanakah tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta dalam perspektif komunikasi antarbudaya? Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori komunikasi antarbudaya yaitu akulturasi budaya. Unsur-unsur dari teori tersebut meliputi pesan verbal serta nonverbal. Kemudian, unsur-unsur budaya dalam komunikasi antarbudaya meliputi sistem kepercayaan, nilai-nilai, sikap, pandangan hidup terhadap dunia, dan organisasi sosial masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Penelitian ini dilakukan berdasarkan pada: pertama, penelitian kepustakaan, kedua, wawancara mendalam kepada pihak-pihak yang terkait dalam tradisi sekaten, ketiga, pengambilan data-data dari media cetak internet. Sekaten adalah upacara dan ritual penabuhan gamelan Kiai Sekati yang diadakan di keraton Yogyakarta setiap tahun pada tanggal 5-11 Rabiul Awal untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. dan bertujuan untuk menyebarkan agama Islam. Gamelan yang ditabuh setiap pelaksanaan sekaten merupakan media akulturasi budaya antara Islam dengan budaya lokal Jawa. Hasil perpaduan tersebut menghasil suatu kebudayaan baru yang yang disebut sebagai tradisi sekaten. Secara verbal sekaten mengajak umat manusia untuk menerima ajaran Islam secara suka rela dan sungguh-sungguh. Lalu, secara nonverbal sekaten sebagai simbol untuk mengajak umat manusia untuk segera masuk Islam dan melakukan sedekah terhadap harta berlebih yang dimilikinya. Kemudian, eksistensi dari sekaten tentunya tidak lepas dari unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang telah terbentuk sejak sekaten itu ada. Sistem kepercayaan yang berkembang di masyarakat tentunya berpengaruh terhadap cara bersikap masyarakat dalam kehidupan berbudaya. Keywords: Tradisi sekaten, gamelan, Keraton Yogyakarta, komunikasi antarbudaya. i
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb. Alhamdulillaahirobbil ‘alamiin, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat, taufik, dan hidayah-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga selalu terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW. Penulisan skripsi ini berhasil diselesaikan dengan tujuan untuk memenuhi tugas akhir pendidikan Strata Satu (S1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti menyadari tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak, penelitian skripsi ini tidak akan selesai, untuk itu pada kesempatan ini peneliti ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Arief Subhan, MA, selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Pudek I Dr. Suparto, M. Ed, MA, Pudek II Drs. Jumroni, M. Si, Pudek III Drs. Wahidin Saputra, M.A. 2. Rachmat Baihaky, MA dan Umi Musyarofah, M.A selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam. 3. Drs. M. Sungaidi. M.A, selaku pembimbing penulis. Tiada kata yang pantas
terucap
selain
terimakasih
yang
sebesar-besanya
karena
kesediannya untuk meluangkan waktu di tengah-tengah kesibukannya. 4. Seluruh Dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, yang telah memberikan ilmu yang tak ternilai. 5. Segenap staf akademik dan staf perpustakaan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
ii
6. Terima kasih kepada GBPH. Prabukusumo, S. Psi. yang telah memberikan izin kepada peneliti untuk melakukan penelitian di Tepas Widya Budaya, Keraton Yogyakarta. 7. KRT. Rintaiswara, KRT Drs H. Ahmad M Kamaludiningrat, Ir. Yuwono Sri Suwito, MM dan Purwodiningrat, selaku narasumber. Terimakasih atas kesediaan waktunya untuk wawancara dan dalam rangka pengumpulan data-data penulis. 8. Kedua Orang Tuaku tercinta, Bapak Suprayitno dan Ibu Sismi yang memiliki peran yang sangat penting dan tak terkira. 9. Teman-teman KPI angkatan 2009 yang telah bersama-sama berjuang dan menimba ilmu di kampus tercinta ini. 10. Teman-teman Ekspedisi NKRI Koridor Sulawesi yang telah membantu dalam kelancaran penulisan skripsi ini, jazakallah atas dukungannya. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangatlah diharapkan untuk menyempurnakan skripsi ini. Akhir kata penulis mengharapkan semoga penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi semua pihak Amin.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb
Jakarta, 25 November 2013
Sudirman
iii
DAFTAR ISI LEMBAR PENGESAHAN LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN LEMBAR PERNYATAAN ABSTRAK......................................................................................................
i
KATA PENGANTAR ....................................................................................
ii
DAFTAR ISI .................................................................................................. iv BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .....................................................
1
B. Identifikasi, Pembatasan dan Perumusan Masalah ...............
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................
7
D. Metodologi Penelitian .........................................................
8
E. Tinjauan Pustaka ................................................................. 11 F. Kerangka Pemikiran............................................................ 13 G. Sistematika Penulisan ......................................................... 14 BAB II
TINJAUAN TEORITIS A. Komunikasi Antarbudaya .................................................... 17 1. Pengertian Komunikasi ................................................. 17 2. Pengertian Budaya ........................................................ 19 3. Pengertian Komunikasi Antarbudaya............................. 23 B. Pesan Verbal ....................................................................... 30 C. Pengertian Pesan Nonverbal ................................................ 31 D. Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya................................ 33
iv
1. Sistem Kepercayaan ...................................................... 34 2. Nilai-nilai, Sikap, dan Pandangan Hidup ....................... 36 3. Organisasi Sosial ........................................................... 39 E. Pengertian Tradisi .... .......................................................... 40 BAB III
GAMBARAN UMUM KERATON YOGYAKARTA A. Arti Lambang Keraton Yogyakarta ..................................... 42 B. Kondisi Geografis Keraton Yogyakarta ............................... 43 C. Sejarah Singkat berdirinya Keraton Yogyakarta.................... 48 D. Struktur Pemerintahan Keraton Yogykarta .......................... 53 E. Asal-Usul Sekaten............................................................... 58
BAB IV
TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Gamelan Sekaten Dalam Proses Akulturasi Budaya ............ 62 B. Proses Komunikasi Antarbudaya dalam Sekaten .................. 65 C. Prosesi Pelaksanaan Sekaten dalam Pandangan Islam........... 74 1. Tahap Persiapan ............................................................ 74 2. Tahap Gamelan Sekaten Mulai Dibunyikan ................... 77 3. Tahap Gamelan Sekaten Dipindahkan ke Masjid ........... 78 4. Tahap Sri Sultan Hadir di Masjid Gedhe Kauman ......... 79 5. Tahap Kondur Gongso .................................................. 80 D. Pesan Verbal dalam Tradisi Sekaten.................................... 82 E. Pesan Nonverbal dalam Tradisi Sekaten .............................. 84 F. Unsur-unsur Komunikasi Antarbudaya dalam Sekaten ........ 87 1. Sistem Kepercayaan ...................................................... 87
v
2. Nilai-nilai, Sikap, dan Pandangan Hidup ....................... 90 3. Organisasi Sosial ........................................................... 92 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ......................................................................... 94 B. Saran................................................................................... 96
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 97 LAMPIRAN
vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara yang kaya akan kebudayaan. Setiap daerah mempunyai kebudayaan yang menjadi identitas dari wilayahnya. Kekayaan tersebut dapat terlihat dari beragamnya jenis tarian, lagu daerah, upacara adat, jenis makanan, jenis pakaian, bentuk rumah, aturan adat, dan lain sebagainya.
Inilah yang menjadikan Indonesia memiliki ragam
filosofis hidup. Hal tersebut patut dijaga dan dilestarikan oleh generasi penerusnya agar budaya tersebut tetap menjadi identitas suatu daerah dan tidak lenyap ditelan modernisasi. Salah satu kota yang masih sarat dengan warisan tradisi atau budaya leluhurnya adalah Yogyakarta. Yogyakarta merupakan salah satu daerah di Indonesia yang masih tetap menjaga tradisi dan nilai-nilai adiluhung yang diwariskan oleh nenek moyangnya dahulu. Yaitu dimulai ketika kerajaan Majapahit hingga Mataram Islam dan lainnya menguasai tanah Jawa. Sampai saat ini pun tradisi-tradisi yang dilakukan leluhurnya dahulu masih tetap dilaksanakan. Ini merupakan bukti bahwa rakyat Yogyakarta masih mencintai dan peduli terhadap budaya daerahnya. Yogyakarta merupakan salah satu daerah yang masih tetap menjalankan sistem pemerintahan kerajaan. Ini dimulai ketika Pangeran Mangkubumi mendirikan keraton di Yogyakarta pada tahun 1756. Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengku Buwana I yang menjadi 1
2
raja pertama memimpin Keraton Yogyakarta setelah wilayah kerajaan Mataram dibagi menjadi dua yaitu di Surakarta dan kedua adalah di wilayah Yogyakarta (1755 M). Pembagian wilayah tersebut tak lepas dari campur tangan Belanda yang mengadakan perjanjian Giyanti antara Pangeran Mangkubumi, Paku Buwana III dan Belanda/VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie). Pangeran Mangkubumi ketika telah mengetahui hal itu, berusaha keras untuk menyingkirkan Belanda dari Kerajaan Mataram. Singkat cerita, karena Belanda terdesak oleh serangan yang dilakukan Pangeran Mangkubumi, akhirnya Belanda mengadakan perjanjian tersebut. Isi dari perjanjian Giyanti tersebut adalah bahwa wilayah Mataram dibagi menjadi dua yaitu setengah dari wilayah Mataram dipimpin oleh Sri Susuhunan Paku Buwana III dengan ibu kota Surakarta, setengahnya lagi dipimpin oleh Sri Susuhunan Kabanaran atau disebut sebagai Sri Sultan Hamengku Buwana I dengan ibu kota Yogyakarta.1 Daerah Istimewa yang disematkan pada wilayah Yogyakarta, tidak lepas dari sebuah perundingan yang rumit yaitu pada awal pembentukan pemerintahan daerah. Namun, dengan berbagai pertimbangan, akhirnya Yogyakarta mendapatkan gelar Istimewa tersebut. Pemberian gelar istimewa tersebut memang layak disematkan kepada Yogyakarta, karena selain sebagai daerah yang menjalankan sistem monarki, daerah tersebut juga pernah dijadikan sebagai ibu kota negara Indonesia yaitu ketika
1
Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Kepel Press, 2008), h. 24.
3
keadaan ibu kota di Jakarta tidak kondusif. Selain sebagai Daerah Istimewa, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota pelajar, yaitu tempat di mana para pemuda dan pemudi baik masyarakat Yogyakarta maupun luar Yogyakarta menuntut ilmu. Kemudian, Yogyakarta juga dikenal sebagai kota budaya dan juga pariwisata yang cukup terkenal tidak hanya di Indonesia, bahkan di dunia Internasional. Di tengah perkembangan pesat itu, Sri Sultan Hamengku Buwono ke-X sebagai kepala pemerintahan daerah, tetap menjaga keutuhan budaya leluhur yang dilestarikan secara turun-temurun. Salah satu kebudayaan yang masih dilestarikan dari awal terbentuknya pemerintahan di Yogyakarta sampai saat ini adalah tetap dilaksanakannya sebuah ritual tradisi yang disebut dengan sekaten. Sekaten adalah tradisi untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. Menurut sejarahnya, tradisi ini merupakan salah satu tradisi Islam yang telah dilaksanakan pada awal pemerintahan kerajaan Islam Demak. Tradisi ini merupakan pengembangan dari tradisi sebelumnya yang dilakukan masyarakat Jawa yang berkeyakinan Hindu dan Budha. Sebelumnya pada masa kerajaan Majapahit masyarakat melakukan tradisi selamatan, namun, peruntukannya adalah untuk persembahan sesaji kepada para dewa, disertai dengan mantra-mantra, sekaligus untuk menghormati arwah para leluhur. Namun, ketika kerajaan Majapahit runtuh, dan kemudian berdiri kerajaan Islam Demak, oleh Raden Patah (Raja Demak pertama) dengan disertai dukungan para wali, perayaan tersebut selanjutnya diubah menjadi kegiatan yang bernuansa Islami yang peruntukannya adalah untuk mencari ridha dan keberkahan
4
dari Allah SWT dan bacaan mantra-mantra diubah menjadi bacaan ayatayat Alquran.2 Unsur-unsur budaya dari tradisi yang dilakukan masyarakat pada masa pemerintahan Majapahit tidak dihilangkan. Para Wali Sanga melihat, bahwa masyarakat Indonesia pada masa itu tidak bisa meninggalkan aktivitas jahiliyah tersebut. Oleh karena itu, para Wali Sanga memodifikasinya menjadi suatu aktivitas budaya yang lebih Islami tanpa menghilangkan unsur budaya yang telah tertanam dalam hati dan pikiran masyarakat pada saat itu. Pada masa pemerintahan Kasultanan Yogyakarta dan Surakarta, tradisi ini menjadi suatu agenda rutin yang ditetapkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwana dan Paku Buwana. Prosesi tradisi ini dilaksanakan setiap tanggal 5 Rabiul Awal sore hari sampai 11 Rabiul Awal malam hari. Gamelan Kanjeng Kiai Sekati atau yang disebut sebagai Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga dikeluarkan dari keraton dan dibawa menuju Masjid Gedhe Kauman atau Masjid Besar Keraton untuk dibunyikan pada saat penyelenggaraan sekaten. Gamelan tersebut digunakan untuk mengiringi gending-gending yang dilantunkan selama tujuh hari berturut-turut secara bergantian. Bunyi-bunyian dari gamelan tersebut tidak lain adalah untuk menarik perhatian pengunjung yang datang ke Masjid Gedhe Kauman untuk menyaksikan pemukulan gamelan yang diadakan selama tujuh hari.
2
Fredy Heryanto, Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta: Warna Mediasindo, 2010), h. 55.
5
Selain itu, pada acara sekaten tersebut pengunjung tidak hanya menyaksikan acara pemukulan gamelan, namun, juga bisa datang ke pasar malam sekaten yang menjual jajanan khas tradisi sekaten, tentunya hal ini menambah keriuhan dan kemeriahan dari acara sekaten itu sendiri. Pada malam hari tanggal 11 Rabiul Awal di Masjid Gedhe Kauman, raja keraton menghadiri acara pembacaan riwayat Nabi Muhammad s. a. w. Kemudian, melakukan penyebaran udhik-udhik (berisi uang logam, beras, dan bunga setaman) oleh sultan yang disebut Pasowanan Malem Garebeg yang melambangkan sedekah raja kepada rakyatnya. Kemudian, pada hari esoknya diadakanlah perayaan Garebeg Mulud. Ini merupakan puncak dari perayaan sekaten. Warga dari berbagai penjuru tidak hanya dari Yogyakarta, juga ikut memeriahkan acara yang diadakan setahun sekali ini. Perayaan sekaten ini telah berlangsung sejak enam abad silam. Tradisi ini tetap bertahan karena semangat dari raja-raja Islam untuk menyebarkan ajaran Islam di tanah Jawa. Perayaan tradisi ini tentunya juga tidak lepas dari mitos yang berkembang kuat di masyarakat. Peneliti dalam hal ini melihat komunikasi antarbudaya yang dibangun oleh ulamaulama keraton dahulu begitu komunikatif sehingga dapat diterima dengan baik oleh masyarakat. Kemudian, hal ini juga tidak lepas dari sistem kepercayaan yang berkembang di masyarakat serta nilai-nilai budaya yang masih tertanam kuat. Dengan demikian, peneliti akan menelusuri lebih mendalam mengenai tradisi sekaten yang diadakan di Keraton Yogyakarta berkaitan
6
dengan makna-makna serta unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang ada dalam tradisi sekaten. Oleh karena itu, peneliti membuat skripsi dengan judul: “Tradisi Sekaten di Keraton Yogyakarta Dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya”.
B. Identifikasi, Batasan dan Rumusan Masalah a. Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah peneliti paparkan, peneliti akan mengidentifikasi masalah yang timbul dalam judul skripsi yang peneliti susun. Penelitian berkaitan dengan bentuk dan proses komunikasi antarbudaya yang berlangsung pada tradisi sekaten. Penelitian ini berangkat dari sejarah asal-usul terbentuknya tradisi sekaten yang dibawa oleh para wali dalam menyebarkan Islam di tanah Jawa melalui pendekatan budaya. Salah satunya media komunikasi yang digunakan para wali untuk berdakwah adalah
alat musik
gamelan. b. Batasan Masalah Untuk memudahkan dalam penelitian ini, sekaligus agar terfokus ruang lingkup penelitian, maka penulis perlu membatasi masalah pada tradisi sekaten yang diadakan di Keraton Yogyakarta yang dikaji dalam perspektif komunikasi antarbudaya, meliputi pesan verbal dan nonverbal, sistem kepercayaan, nilai-nilai, sikap dan pandangan hidup terhadap dunia.
7
c. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah yang ada, maka pertanyaan mayornya adalah Bagaimanakah tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta dalam perspektif komunikasi antarbudaya?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Mengetahui bagaimanakah tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta dalam perspektif komunikasi antarbudaya. Manfaat 1. Akademis Secara akademis penelitian ini akan menambah khasanah ilmu pengetahuan budaya yaitu tentang tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta. 2. Praktis Dari penelitian ini yaitu diharapkan dapat memberikan masukan positif bagi para praktisi untuk lebih mengoptimalkan nilai-nilai yang terdapat dalam suatu kebudayaan. Betapa pentingnya komunikasi sebagai alternatif yang positif bagi kelangsungan budaya-budaya yang ada.
8
D. Metodologi Penelitian 1. Paradigma Penelitian Paradigma Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis. Menurut Dedy N. Hidayat yang mengacu pada pemikiran Guba yang dikutip oleh Burhan Bungin bahwa paradigma konstruktivis lebih bersifat reflektif dan dialektikal.3 Menurut paradigma ini, antara peneliti dan subjek yang diteliti, perlu tercipta empati dan interaksi dialektis agar mampu merekonstruksi realitas yang diteliti melalui metode kualitatif seperti observasi partisipasi. Dalam konteks metodologi, paradigma konstruktivis bersifat dialektik, di mana konstruksi mental individu dibentuk dalam seting alamiah. Kriteria kualitas penelitian dalam paradigma ini terletak pada trustworthiness and authenticity (dapat dipercaya dan valid). Dari dimensi aksiologi, paradigma konstruktivis menganggap nilai, etika, dan pilihan moral merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu penelitian, peneliti menempatkan
diri sebagai fasilitator dari
rekonstruksi, dan penelitian bertujuan untuk memberikan pemahaman dari rekonstruksi. 2. Pendekatan dan Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat. Objek analisis dalam pendekatan kualitatif adalah makna 3
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (Jakarta: Kencana, 2011), h. 242.
9
dari gejala-gejala sosial dan budaya dengan menggunakan kebudayaan dari masyarakat bersangkutan untuk memperoleh gambaran mengenai kategorisasi tertentu. Sasaran kajian dari pendekatan kualitatif adalah pola-pola yang berlaku sebagai prinsip-prinsip umum yang hidup dalam masyarakat. Gejala-gejala tersebut dilihat dari satuan yang berdiri sendiri dalam kesatuan yang bulat dan menyeluruh. Sehingga pendekatan kualitatif sering disebut sebagai pendekatan holistik terhadap suatu gejala sosial.4 Kemudian, metode yang digunakan adalah deskriptif analisis dengan pendekatan deskriptif kualitatif. Metode deskriptif ini digunakan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu, dalam hal ini bidang secara aktual dan cermat. Metode deskriptif bukan saja menjabarkan, tetapi juga memadukan. Bukan saja melakukan klasifikasi tetapi juga organisasi. Metode ini menitikberatkan pada observasi dan suasana alamiah. Peneliti bertindak sebagai pengamat. Peneliti hanya membuat kategori pelaku, mengamati gejala, dan mencatatnya dalam buku observasi. Dengan suasana ilmiah berarti bahwa peneliti terjun ke lapangan. Peneliti tidak memanipulasi variabel.5 3. Tempat Penelitian
4
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat, h. 306. 5 M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002), h. 22.
10
Penelitian ini dilakukan di area keraton Yogyakarta, meliputi wilayah Alun-alun Utara Keraton Yogyakarta, Masjid Gedhe Keraton, dan juga wilayah utama Keraton Yogyakarta. 4. Informan Informan yang dipilih dalam penelitian ini terdiri dari abdi dalem keraton yang terlibat dalam kegiatan sekaten, ulama keraton, pemerintah daerah, dan juga organisasi sosial yang turut membantu mengamankan tradisi sekaten. Informan tersebut antara lain: a. KRT.
Rintaiswara
sebagai
pengurus
kawedanan
Hageng
Punokawan Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Informan tersebut berkaitan dengan data makna serta unsur-unsur komunikasi antarbudaya. b. Purwodiningrat sebagai Pengageng II
Kawedanan Hageng
Punakawan Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Informan tersebut berkaitan dengan data unsur-unsur komunikasi antarbudaya. c. KRT. Drs. H. Ahmad M. Kamaludiningrat sebagai ulama keraton. Informan tersebut berkaitan dengan data sejarah sekaten. d. Ir. Yuwono Sri Suwito sebagai ketua dewan kebudayaan pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta. Informan tersebut berkaitan dengan data akulturasi budaya. 5. Teknik Pengumpulan Data 1) Observasi Observasi
merupakan
metode
pengumpulan
data
yang
digunakan pada riset kualitatif. Observasi adalah interaksi dan
11
percakapan yang terjadi di antara objek yang diriset. Dalam dal ini objek yang diamati adalah perayaan tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta. 2) Wawancara Wawancara merupakan teknik pengumpulan data dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang telah dipersiapkan. Wawancara yang dilakukan adalah wawacara mendalam kepada orang-orang yang terlibat dalam tradisi sekaten dengan tujuan agar mendapat informasi yang lengkap. 3) Dokumentasi Dukumentasi adalah teknik pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan pada subjek penelitian, namun melalui dokumen.6 Pencarian data-data primer ataupun sekunder yang dapat mendukung hasil penelitian.
E. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka dalam penelitian ini didapatkan dari perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, yaitu: 1) Skripsi
Rinal
Rinoza
dengan
judul
“Perspektif
Komunikasi
Antarbudaya dalam Film Al-Kautsar” mahasiswa S1, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu
6
M. Iqbal Hasan, Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya, h. 87.
12
Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2010. 2) Skripsi Ani Bela Safitri dengan judul “Pesan Komunikasi Antarbudaya Seni Musik Gong Si Bolong pada Masyarakat Kota Depok” mahasiswa S1, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012. 3) Skripsi Keriyono dengan judul “Tradisi Samenan pada Masyarakat Sukamulya dalam Perspektif Komunikasi Antarbudaya” mahasiswa S1, jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2009. Ketiga skripsi tersebut berbicara tentang komunikasi antarbudaya. Namun, yang membedakan dengan penelitian penulis adalah terletak pada subjek dan objeknya. Subjek dari penelitian penulis adalah tradisi sekaten yang diadakan di Keraton Yogyakarta. Sedangkan objeknya adalah mengenai komunikasi antarbudaya.
13
F. Kerangka Pemikiran
Keraton Yogyakarta merupakan tempat di mana raja serta kerabatnya tinggal serta tempat mengatur jalannya pemerintahan daerah. Selain itu, keraton ini juga sebagai tempat tujuan pariwisata budaya. Budaya-budaya yang ada di Yogyakarta saat ini tetap lestari meski bersanding dengan perkembangan teknologi yang semakin modern. Hal ini tentunya tidak lepas dari peran raja serta masyarakat Yogyakarta sendiri dalam menjaga dan melestarikan budaya leluhur. Salah satu budaya yang masih lestari hingga kini adalah perayaan sekaten. Perayaan sekaten ini telah ada sejak kerajaan Yogyakarta berdiri tahun 1755. Sekaten memiliki makna tersendiri yaitu sebagai wujud kecintaan
umat
Islam
kepada
Nabi
Muhammad
s.a.w.
Dalam
pelaksanaannya, prosesi sekaten ini dilaksanakan selama tujuh hari dimulai dari tanggal 5 Mulud (Rabiul Awal) sampai 11 Mulud (Rabiul Awal). Selama tujuh dari tersebut, gamelan Kiai Sekati dibunyikan secara
14
terus menerus. Para abdi dalem yang bertugas memukul gamelan melaksanakan tugasnya secara bergantian. Apabila waktu sholat tiba, maka pemukulan gamelan dihentikan sejenak. Yang hadir dalam perayaan sekaten ini tidak hanya dari masyarakat yang tinggal di Yogyakarta, namun, dari luar Yogyakarta juga ikut merayakan. Dalam perayaan tersebut tentunya terjadi komunikasi antarbudaya, yaitu komunikasi yang terjadi antara orang-orang yang berbeda latar belakang budaya. Namun, perbedaan tersebut tidak menjadikan pembatas, melainkan menjadikan suatu ikatan yang kuat seperti yang tertulis dalam lambang burung Garuda yang menjadi lambang negara Indonesia yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda namun tetap satu. Dalam pelaksanaannya, bunyi gamelan tersebut mempunyai makna dan pesan tertentu, baik itu pesan secara verbal maupun nonverbal. Intinya adalah untuk dakwah mengajak umat Islam di Yogyakarta untuk mencintai dan meneladani Nabi Muhammad s.a.w. Terdapat unsur-unsur budaya yang
memengaruhi
berkembangnya
tradisi tersebut yaitu
sistem
kepercayaan masyarakat, nilai-nilai, sikap, pandangan hidup tentang dunia dan organisasi sosial.
G. Sistematika Penulisan Untuk mempermudah pemahaman terhadap keseluruhan skripsi ini, maka penulis membuat sistematika penulisan pada skripsi sebagai berikut:
15
Penulis memulai dengan Bab I, yaitu Pendahuluan, yang menguraikan latar belakang, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penelitian yang merupakan gambaran umum dalam penulisan skripsi. Selanjutnya, Kajian Teoritis penulis tempatkan pada Bab II, yaitu menjelaskan teori-teori yang relevan digunakan dalam penulisan skripsi untuk menganalisa dan merancang informasi yang diperoleh dari berbagai sumber seperti buku referensi maupun internet yang menjadi landasan dalam penulisan skripsi ini di antaranya teori tentang komunikasi antarbudaya, bahasa, pesan verbal dan nonverbal serta unsur-unsur komunikasi antarbudaya. Lebih jauh, Gambaran Umum Keraton Yogyakarta
yaitu
membahas tentang kondisi geografis Keraton Yogyakarta, penulis tempatkan pada Bab III. Selain itu, pada bab ini juga membahas mengenai arti dari lambang Keraton Yogyakarta. Lalu, membahas kondisi geografis dari Keraton Yogyakarta. Kemudian, membahas sejarah dari Keraton Yogyakarta.
Terakhir,
membahas
struktur
pemerintahan
Keraton
Yogyakarta serta asal-usul tradisi sekaten. Adapun temuan dan Analisis Data dari keseluruhan skripsi ini ada pada Bab IV yang membahas hasil dari temuan data dan analisis data yakni proses komunikasi antarbudaya dalam tradisi sekaten. Unit analisis yang digunakan adalah pesan verbal dan nonverbal dalam tradisi sekaten serta unsur-unsur komunikasi antarbudaya meliputi sistem kepercayaan,
16
nilai-nilai, sikap, pandangan hidup tentang dunia dan organisasi sosial dalam tradisi sekaten di Keraton Yogyakarta. Akhirnya Bab V Penutup, yaitu berisi kesimpulan dari penulisan skripsi ini dan saran yang diharapkan berguna bagi penulis dan pihak Keraton Yogyakarta serta peneliti selanjutnya.
BAB II TINJAUAN TEORITIS
A. Komunikasi Antarbudaya 1. Pengertian Komunikasi Dari sudut bahasa komunikasi merupakan terjemahan dari bahasa Inggris communication.1 Communication ini berasal dari perkataan Latin: •
Communicare,
yang
berarti:
berpartisipasi
ataupun
memberitahukan. •
Communis, yang berarti: milik bersama ataupun berlaku di mana-mana.
•
Communis Opinio, yang berarti: pendapat umum ataupun pendapat mayoritas.
Pengertian komunikasi secara istilah menurut Roudhonah adalah suatu proses di mana seseorang komunikator menyampaikan pesannya, baik dengan lambang bahasa verbal maupun dengan isyarat, yang antara keduanya sudah terdapat kesamaan makna, dan keduanya dapat mengerti apa yang sedang dikomunikasikan. Selanjutnya adalah beberapa pengertian komunikasi menurut beberapa pendapat para ahli, antara lain:
1
Roudhonah, Ilmu Komunikasi (Jakarta: UIN PRESS, 2007), h. 27.
17
18
Carl I. Hovland: Komunikasi adalah proses mengubah perilaku orang lain.2 Raymond S. Ross Komunikasi adalah proses transaksional yang meliputi pemisahan, dan pemilahan bersama lambang secara kognitif, begitu rupa sehingga membantu orang lain untuk mengeluarkan dari pengalamannya sendiri arti atau respon yang sama dengan yang dimaksud oleh sumber.3 Saundra Hybels dan Richard L. Weafer II: Komunikasi merupakan proses pertukaran informasi, gagasan, dan perasaan.4 Wilbur Schramm: Komunikasi merupakan kontak antara pengirim dan penerima, dengan bantuan pesan; pengirim dan penerima memiliki beberapa pengalaman bersama yang memberi arti pada pesan dan simbol yang dikirim oleh pengirim, dan diterima serta ditafsirkan oleh penerima.5
2
Onong Uchjana Effendy, Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 10. 3 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), h. 3. 4 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: LkiS, 2003), h. 3. 5 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 2.
19
Everett M. Rogers: Mengemukakan bahwa komunikasi adalah proses di mana suatu ide dialihkan dari sumber kepada suatu penerima atau lebih dengan maksud untuk mengubah tingkah laku mereka.6 Theodore M. Newcomb: Bahwa setiap tindakan komunikasi dipandang sebagai suatu transmisi informasi, terdiri dari rangsangan yang diskriminatif dari sumber kepada penerima.7 Kamus Besar Bahasa Indonesia: Komunikasi diartikan sebagai pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan tersebut dapat dipahami dan dimengerti.8
2. Pengertian Budaya Secara etimologi9 (bahasa) kebudayaan berasal dari akar kata budaya (Bahasa Sansekerta) “Bodhya” yang diartikan pikiran dan akal budi. Secara terminologi10 (istilah), kebudayaan dapat diartikan sebagai keseluruhan simbol, pemaknaan, penggambaran, struktur aturan, kebiasaan, nilai, pengolahan informasi, dan pengalihan pola6 7
Roudhonah, Ilmu Komunikasi, h. 21. Deddy Mulyana, Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar (Bandung: Rosdakarya, 2007), h.
68. 8
Anton M. Moeliono, dkk., Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional (Jakarta: Balai Pustaka, 2002), h. 585. 9 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan Aplikasinya (Jakarta: Jala Permata, 2008), h. 32. 10 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan Aplikasinya, h. 32.
20
pola konvensi (kesepakatan) pikiran, perkataan dan perbuatan/tindakan yang terjadi pada suatu kelompok masyarakat. Dalam buku Johanes Mardimin “Jangan Tangisi Tradisi”,11 memberikan definisi “...Kebudayaan yang dirumuskan melalui pendekatan filosofis dan sosiologis. Secara filosofis, kebudayaan berbicara tentang keistimewaan manusia jika dibandingkan dengan makhlukmakhluk lain. Secara sosiologis dapat dirumuskan bahwa kebudayaan menyangkut seluruh cara hidup manusia yang dianut bersama dalam suatu masyarakat guna mencapai taraf hidup yang lebih baik,...” Selanjutnya adalah beberapa paparan definisi budaya menurut para ahli, di antaranya adalah sebagai berikut: Ki Hajar Dewantara: Kebudayaan
adalah
buah
budi
manusia
dalam
hidup
bermasyarakat.12 Koentjaraningrat: Kebudayaan adalah seluruh sistem, gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia.13 Sutan Takdir Alisjahbana: Kebudayaan adalah manisfestasi dari cara berfikir.14 The American Herritage Dictionary:
11
Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern (Yogyakarta: Kanisius, 1994), h. 11. 12 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24. 13 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24. 14 Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam (Jakarta: Kencana, 2005), h. 333.
21
Kebudayaan adalah sebagai suatu keseluruhan dari pola perilaku yang
dikirimkan
melalui
kehidupan
sosial,
seni,
agama,
kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia atau suatu kelompok manusia.15 Tylor: Budaya adalah keseluruhan hal yang kompleks termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-istiadat dan kemampuan serta kebiasaan yang lain yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.16 Cialdini: Kebudayaan sama halnya dengan terminologi, sebuah kepercayaan, adat-istiadat, kebiasaan, dan bahasa yang diwariskan dalam kehidupan masyarakat pada situasi dan tempat tertentu.17 Agama Sebagai Sebuah Budaya Ada pandangan seorang antropolog yang berbicara mengenai agama sebagai bagian dari budaya. Menurut Edward Norbeck dalam buku Bustanuddin Agus mengatakan, “...agama adalah buatan manusia dan di mana pun banyak kesamaannya. Sebagai suatu ciptaan manusia, agama adalah bagian dari budaya, bagian ciptaan manusia secara universal,...”18
15
Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 24. Kate Loewhental, Religion, Culture, and Mental Health (USA: Cambridge University Press, 2006 ), h. 4. 17 Kate Loewhental, Religion, Culture, and Mental Health, h.5. 18 Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi Agama (Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006), h. 33. 16
22
Dari pernyataan yang disebutkan oleh Edward tersebut tentu menimbulkan kontra di kalangan peneliti antropolog penganut agama tertentu karena hal tersebut dapat diartikan bahwa ajaran agamanya hanyalah hasil pemikiran manusia. Oleh karena itu, pernyataan tersebut dianggap kurang tepat dengan pendekatan ilmiah. Menurut Hilman Hadikusuma menyatakan “...agama budaya adalah petunjuk hidup yang berasal dari pemikiran dan kebudayaan manusia. Ada pula kebudayaan agama adalah hasil kreasi manusia beragama,...”19 Kemudian, kembali pada definisi tentang budaya sebelumnya. Budaya adalah hasil cipta, karya dan karsa manusia. Agama yang ada di bumi dibagi menjadi dua kategori yaitu ada yang disebut sebagai agama Samawi dan agama Ardhi. Agama samawi adalah agama yang diturunkan dari Allah SWT melalui malaikat Jibril disampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w. dan disebar kepada umat Islam. Lalu, agama Ardhi adalah agama yang diciptakan oleh manusia itu sendiri. Dari kacamata agama, Islam bukanlah suatu kebudayaan, karena Islam bukanlah hasil dari produk manusia. Islam merupakan agama yang isi ajaran-ajarannya berasal dari Allah SWT. Namun, dalam Islam itu sendiri mengajarkan kepada penganutnya untuk menjadi manusia yang berbudaya. Islam mendorong para pemeluknya untuk menciptakan kebudayaan dari berbagai segi. Namun, dari kacamata budaya Islam dapat dikatakan sebagai bagian dari budaya karena 19
Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia : Pengantar Antropologi Agama, h. 33.
23
dalam Islam tersebut terdapat nilai-nilai serta ajaran-ajaran yang bepengaruh terhadap kehidupan manusia. Atas dasar telah diakuinya sebagian adat-istiadat menjadi bagian dari ajaran Islam, pada masa Nabi Muhammad s.a.w., Khulafaur Rasyidin, dan Imam Mazhab, maka, pada kurun waktu berikutnya para ahli fiqih memformulasikan kaidah hukum yang berbunyi al-‘addah muhakkamah (adat dapat menjadi sumber penetapan hukum). Para ahli fiqih melihat bahwa prinsip-prinsip adat merupakan salah satu sumber hukum Islam yang sekunder, bukan yang primer.20 Artinya sumber hukum adat dapat berlaku ketika sumber hukum primer (Alquran dan Hadis) tidak dapat menjawab permasalahan yang muncul. Selanjutnya menurut Nourouzzaman Shiddiqi yang dikutip oleh Muhaimin, ciri-ciri kebudayaan Islam adalah:21 a. Bernafaskan tauhid, karena tauhid yang menjadi pokok dari ajaran Islam. b. Hasil buah pikir dan pengolahannya adalah dimasukkan untuk meningkatkan
kesejahteraan
dan
membahagiakan
umat
manusia.
3. Pengertian Komunikasi Antarbudaya Pusat perhatian komunikasi dan kebudayaan terletak pada variasi langkah dan cara manusia berkomunikasi melintasi komunitas manusia 20
Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009), h. 7. 21 Muhaimin, Kawasan dan Wawasan Studi Islam, h. 341.
24
atau kelompok sosial. Perlintasan komunikasi tersebut menggunakan kode-kode pesan, baik secara verbal dan nonverbal,
yang secara
alamiah digunakan dalam semua konteks komunikasi.22 Larry A. Samovar23 dalam bukunya Understanding Intercultural Communication menyatakan bahwa komunikasi antaretnik biasanya terjadi pada situasi di mana komunikator dan komunikan yang memiliki kesamaan ras tetapi berbeda asal usul etnik atau latar belakang. Ras24 merupakan sekelompok orang yang ditandai dengan ciri-ciri biologis yang sama. Kemudian, kelompok etnik25 adalah kelompok orang yang ditandai dengan bahasa dan asal usul yang sama. Komunikasi antarbudaya merupakan komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh mereka yang berbeda latar belakang kebudayaan yang berbeda.26 Dalam komunikasi yang terjadi antara dua budaya yang berbeda itu, maka aspek budaya seperti bahasa, isyarat nonverbal, sikap, kepercayaan, watak, nilai, dan orientasi pikiran akan lebih banyak ditemukan sebagai perbedaan yang besar yang sering kali mengakibatkan terjadinya distorsi dalam komunikasi. Namun, dalam masyarakat yang bagaimanapun berbeda kebudayaan, tetap akan
22
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 12. Larry A. Samovar, Understanding Intercultural Communication (USA: Wadsworth Publishing Company, 1981), h. 35. 24 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan Aplikasinya, h. 18. 25 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan Aplikasinya, h. 18. 26 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan Aplikasinya, h. 19. 23
25
terdapat
kepentingan-kepentingan
bersama
untuk
melakukan
komunikasi.27 Selanjutnya adalah beberapa definisi komunikasi antarbudaya menurut beberapa ahli, di antaranya yaitu: Definisi menurut Gerhard Maletzke: Komunikasi
antarbudaya
diartikan
sebagai
komunikasi
antarmanusia yang berbeda budayanya.28 Definisi menurut Andrea L. Rich dan Dennis M. Ogawa: Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda kebudayaan.29 Samovar dan Porter: Komunikasi antarbudaya terjadi di antara produsen pesan dan penerima pesan yang latar belakang kebudayaannya berbeda.30 Charley H. Dood: Komunikasi antarbudaya melibatkan peserta komunikasi yang mewakili pribadi, antarpribadi, dan kelompok, dengan tekanan pada perbedaan latar belakang kebudayaan yang memengaruhi perilaku komunikasi para peserta.31
27
Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), h.
16. 28
Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya,, h. 16. Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan Aplikasinya, h. 20. 30 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 10. 31 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, h. 11. 29
26
Komunikasi adalah transaksi.32 Dengan transaksi dimaksudkan bahwa komunikasi merupakan suatu proses, bahwa komponenkomponennya saling terkait, dan bahwa para komunikatornya beraksi dan bereaksi sebagai suatu kesatuan atau keseluruhan. Jadi, pada hakikatnya proses komunikasi antarbudaya sama dengan proses komunikasi lain, yakni proses yang interaktif dan transaksional serta dinamis.33 Berlangsungnya komunikasi antarbudaya adalah jika antara komunikator dan komunikan mengadakan kesamaan makna/arti dengan orang yang diajak komunikasi. Menurut Wilbur Schramm seperti yang dikutip oleh Roudhonah menyatakan “...komunikasi akan berhasil apabila pesan yang disampaikan komunikator cocok dengan kerangka acuan (frame of reference) yakni kumpulan pengalaman dan makna (collection of experiences and meanings) yang pernah diperoleh komunikan,...”34 Oleh karena itu, apabila antara komunikator dengan komunikan atau antara salah satunya saja sudah saling mengerti perbedaan di antara masing-masing, maka komunikasi akan terjalin dengan baik. Mohammad Shoelhi dalam bukunya “Komunikasi Internasional”, fungsi-fungsi komunikasi antarbudaya adalah sebagai berikut: a. Fungsi identitas sosial
32
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia (Tangerang Selatan: Karisma, 2011), h.
33
Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, h. 24. Roudhonah, Ilmu Komunikasi, h. 47.
47. 34
27
Dalam komunikasi antarbudaya terdapat berberapa perilaku komunikasi individu yang digunakan untuk menyatakan identitas diri maupun identitas sosial.35 b. Fungsi kognitif Tidak dapat dibantah bahwa komunikasi dapat menambah dan memperkaya pengetahuan bersama.36 c. Melepaskan diri Kadang-kadang kita berkomunikasi dengan orang lain sekedar untuk
melepaskan
diri
dari
berbagai
masalah
yang
menghimpit.37 d. Integrasi sosial Esensi dari integrasi sosial adalah menerima kesatuan dan persatuan antarpribadi, antarkelompok, namun, tetap mengakui perbedaan-perbedaan yang dimiliki oleh setiap unsur dalam kelompok sosial.38 e. Sosialisasi nilai Tanpa disadari ketika ada pergelaran wayang golek atau tarian Jawa atau pertunjukkan musik rock, di situ ada nilai-nilai yang ditransformasikan kepada penonton.39 f. Pengawasan
35
Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009) h. 38. 36 Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 38. 37 Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 38. 38 Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39. 39 Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39.
28
Komunikasi juga berfungsi untuk melakukan pengawasan.40 g. Menjembatani Komunikasi juga berfungsi sebagai jembatan atas perbedaan antara
para peserta komunikasi yang saling berupaya
menjelaskan perbedaan tafsir atas sebuah pesan sehingga hubungan dapat terjalin dengan baik melalui simbol-simbol yang bermakna sama.41 Akultusari Budaya Akulturasi merupakan suatu proses yang dilakukan oleh pendatang untuk menyesuaikan diri dengan dan memperoleh budaya lokal.42 Proses komunikasi mendasari proses akulturasi seorang pendatang. Akulturasi terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambanglambang masyarakat lokal yang signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola budaya pendatang lewat komunikasi. Sebaliknya, seorang pendatang pun memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi. Akulturasi mengacu pada proses di mana kultur seseorang dimodifikasi melalui kontak dan pemaparan langsung dengan kultur lain. Menurut Kim dalam buku Komunikasi Antarmanusia menyatakan bahwa “...penerimaan kultur baru bargantung pada sejumlah faktor. Imigran yang datang dari kultur yang mirip dengan kultur tuan rumah
40
Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39. Mohammad Shoelhi, Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik, h. 39. 42 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan Orang-orang Berbeda Budaya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2006), h. 139. 41
29
akan terakulturasi lebih mudah. Demikian pula mereka yang terdidik dan lebih muda lebih cepat terakulturasi dari pada mereka yang lebih tua dan kurang berpendidikan. Faktor kepribadian juga berpengaruh. Orang yang senang mengambil resiko dan berpikiran terbuka, lebih mudah terakulturasi,...”43 Potensi akulturasi seorang pendatang sebelum bermigrasi dapat mempermudah akulturasi yang dialaminya dalam masyarakat pribumi. Potensi akulturasi ditentukan oleh faktor-faktor berikut. 1. Kemiripan antara budaya asli (pendatang) dan budaya lokal. 2. Usia pada saat bermigrasi. 3. Latar belakang pendidikan. 4. Beberapa karakteristik kepribadian seperti suka bersahabat dan toleransi. 5. Pengetahuan tentang budaya lokal sebelum bermigrasi. Asimilasi (Pembauran) Asimilasi adalah tujuan penting akulturasi yang secara teoritis mungkin terjadi. Bagi kebanyakan imigran, asimilasi adalah tujuan sepanjang hidup. Mengutip makna asimilasi dari skripsi Ali Abdul Rodzik “...asimilasi adalah proses sosial yang timbul apabila ada golongan-golongan manusia dengan latar kebudayaan berbeda-beda, saling bergaul langsung secara intensif untuk waktu yang lama, sehingga kebudayaan-kebudayaan golongan-golongan tadi masing43
Joseph A. DeVito, Komunikasi Antarmanusia: Edisi Kelima (Tangerang: Karisma, 2011), h. 535.
30
masing
berubah
wujudnya
menjadi
unsur-unsur
kebudayaan
campuran,...”44 Hasil dari proses asimilasi yaitu semakin tipisnya batas perbedaan antarindividu dalam suatu kelompok, atau bisa juga batas-batas antarkelompok. Selanjutnya, individu melakukan identifikasi diri dengan kepentingan bersama. Artinya, menyesuaikan kemauannya dengan kemauan kelompok. Demikian pula antara kelompok yang satu dengan kelompok yang lain.45 Asimilasi dapat terbentuk apabila terdapat tiga persyaratan berikut: 1. Terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda 2. Terjadi pergaulan antarindividu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu yang relatif lama 3. Kebudayaan masing-masing kelompok tersebut saling berubah dan menyesuaikan diri
B. Pesan Verbal Pesan verbal dapat diartikan sebagai pesan-pesan komunikasi dalam bentuk kata-kata. Pesan tersebut bisa dalam bentuk tulisan maupun
44
Ali Abdul Rodzik, “Akulturasi Budaya Betawi Dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah),” (Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008), h. 18. 45 Wikipedia, “Asimilasi (Sosial),” artikel diakses pada 26 Januari 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Asimilasi_(sosial)
31
ucapan lisan dari komunikator kepada komunikan. Secara etimologis,46 kata verbal berasal dari verb (bahasa Latin) yang berarti word (kata). Word merupakan terjemahan dari bahasa Yunani, rhema, yang berarti ‘sesuatu’ yang digunakan untuk menggambarkan tindakan, eksistensi, kejadian atau peristiwa, atau ‘sesuatu’ yang digunakan sebagai pembantu atau penghubung sebuah predikat. Kata verbal sendiri berasal dari bahasa Latin, verbalis, verbum yang sering pula dimaksudkan dengan ‘berarti’ atau ‘bermakna melalui kata’, atau yang berkaitan dengan ‘kata’ yang digunakan untuk menerangkan fakta, ide, atau tindakan yang lebih sering berbentuk percakapan lisan dari pada tulisan. Pesan komunikasi verbal adalah sarana utama untuk menyatakan pikiran, perasaan, dan harapan kepada orang lain. Pesan verbal menggunakan kata-kata yang merepresentasikan berbagai aspek realitas yang ada pada diri seseorang. Kata-kata sebagai ungkapan perasaan dapat dikemas dalam dua cara yaitu secara vokal atau lisan atau nonvokal atau tertulis.
Komunikasi
verbal
adalah
komunikasi
dengan
cara
menyampaikan pesan kata-kata yang diucapkan.47
C. Pesan Nonverbal Secara
sederhana,
komunikasi
nonverbal
adalah
proses
penyampaian pesan tidak menggunakan kata-kata (bahasa) melainkan
46 47
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 135. Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 128.
32
dengan isyarat-isyarat yang dapat dipahami.48 Pesan nonverbal berupa isyarat, simbol, lambang yang dikirim oleh seseorang kepada orang lain, dapat berupa isyarat bersuara (verbal) maupun tanpa suara (nonverbal).49 Kemudian, menurut Tubb dan Carter seperti yang dikutip oleh Suranto AW,50 memberikan definisi “jika suatu pesan tidak diucapkan secara lisan maupun tertulis maka pesan tersebut diungkapkan dengan menggunakan bahasa nonverbal”. Sementara itu, Arni Muhammad mengatakan yang dimaksud komunikasi nonverbal adalah penciptaan dan pertukaran pesan dengan tidak menggunakan kata-kata, melainkan menggunakan bahasa isyarat seperti gerakan tubuh, sikap tubuh, vokal yang bukan kata-kata, kontak mata, ekspresi muka, kedekatan jarak, sentuhan dan sebagainya. Menurut Back seperti yang dikutip oleh Alo Liliweri,51 bahwa pesan nonverbal itu sangat penting bagi pengembangan perilaku sosial, khususnya dalam menyatakan emosi. Friedman juga mengembangkan gagasan ini dalam sejumlah paper yang menekankan pada kemampuan yang berbeda-beda dari manusia dalam menggunakan bahasa nonverbal. Konsep ini banyak disetujui meskipun harus diakui bahwa konsep ekspresi itu sendiri sangat berimplikasi psikologis, karena meliputi karakteristik personal.
48
Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan Aplikasinya, h. 57. 49 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 145. 50 Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 146. 51 Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 174.
33
Selanjutnya adalah fungsi komunikasi nonverbal, menurut Mark L. Knapp yang dikutip oleh Suranto AW,52 menyebut lima fungsi pesan nonverbal yang dihubungkan dengan pesan verbal: 1. Repetisi (repetition), yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disajikan secara verbal. 2. Substitusi (substitution), yaitu menggantikan lambanglambang verbal. 3. Kontradiksi (contradiction), menolak pesan verbal atau memberi makna yang lain terhadap pesan verbal. 4. Komplemen
(complement),
yaitu
melengkapi
dan
memperkaya makna pesan nonverbal. 5. Aksentuasi (accentuating), yaitu menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya.
D. Unsur-Unsur Komunikasi Antarbudaya Jalaluddin Rakhmat berpendapat bahwa terdapat tiga unsur sosial budaya yang mempunyai pengaruh besar atas makna-makna yang kita bangun dalam persepsi kita. Unsur-unsur tersebut adalah sistem kepercayaan, nilai, sikap, pandangan hidup tentang dunia, dan organisasi sosial. Kita semua mungkin melihat entitas sosial yang sama dan menyetujui entitas sosial tersebut dengan menggunakan istilah-istilah yang
52
Suranto AW, Komunikasi Sosial Budaya, h. 173.
34
objektif, tetapi makna objek atau peristiwa tersebut bagi kita mungkin sebagai individu sangat berbeda.53 Persepsi adalah proses internal yang kita lakukan untuk memilih, mengevaluasi dan mengorganisasikan stimulasi dari lingkungan eksternal. Diartikan juga sebagai proses internal untuk mengubah energi fisik lingkungan kita menjadi pengalaman yang bermakna yang membentuk perilaku tertentu. Keberhasilan dan cara mempersepsi dunia perilaku ini adalah hasil pengalaman budaya.54 Berikut adalah penjabaran unsur sosial budaya yang berpengaruh terhadap komunikasi antarbudaya, di antaranya: 1. Sistem Kepercayaan Jalaluddin Rakhmat berpendapat kepercayaan dapat dipandang sebagai kemungkinan-kemungkinan subjektif yang diyakini individu bahwa suatu objek atau peristiwa memiliki karakteristik-karakteristik tertentu.55 Dalam buku Richley H. Crapo56 dijelaskan mengenai arti dari kepercayaan dalam bukunya Cultural Anthropology: Understanding Ourselves & Others bahwa kepercayaan adalah suatu alat yang mana
seseorang menciptakan suatu faham atau arti dari pengalamannya; berasal dari suatu pemikiran atau gagasan yang dipercaya menjadi suatu kebenaran, berdasarkan fakta atau kenyataan. 53
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 26. 54 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 57. 55 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 26. 56 Richley H. Crapo, Cultural Anthropology: Understanding Ourselves & Others (New York: McGraw-Hill, 2002), h. 51.
35
Menurut Daniel E. Hebding dan Leonard Glick yang dikutip Alo Liliweri dalam bukunya “Makna Budaya Dalam Komunikasi Antarbudaya” bahwa kepercayaan dapat diartikan sebagai gagasan yang dimiliki oleh orang tentang sebagian atau keseluruhan realitas dunia yang mengelilingi dia.57 Kepercayaan melibatkan hubungan antara objek yang dipercayai dan karakteristik-karakteristik yang membedakannya. Derajat tingkat kepercayaan kita mengenai suatu peristiwa atau suatu objek yang memiliki karakteristik-karakteristik tertentu menunjukkan tingkat kemungkinan subjektif kita dan konsekuensinya
juga
menunjukkan
kedalaman
atau
intensitas
kepercayaan kita.58 Sistem kepercayaan erat kaitannya dengan nilai-nilai yang ada, sebab nilai-nilai itu adalah aspek evaluatif dari sistem kepercayaan, nilai dan sikap yang meliputi kualitas atau asas-asas sebagai berikut:59 a. Kemanfaatan b. Kebaikan c. Keindahan (estetika) d. Kemampuan memuaskan kebutuhan dan kesenangan Sistem kepercayaan agama sekelompok orang agak bergantung pada tingkat perkembangan kemanusiaan mereka, suku-suku bangsa
57
Alo Liliweri, Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, h. 56. Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 26. 59 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 59. 58
36
primitif cenderung percaya pada ketakhayulan dan praktik sihir merupakan hal yang biasa.60 2. Nilai-nilai, Sikap, dan Pandangan Dunia Nilai-nilai Nilai-nilai adalah aspek evaluatif dari sistem kepercayaan, nilai dan sikap. Nilai-nilai budaya biasanya berasal dari isu-isu filosofis lebih besar yang merupakan bagian dari suatu milieu (lingkungan pergaulan) budaya. Nilai-nilai itu umumnya normatif dalam arti bahwa nilai-nilai tersebut menjadi rujukan seorang anggota budaya tentang apa yang baik dan apa yang buruk, yang benar dan yang salah, yang sejati dan palsu, positif dan negatif, dan sebagainya.61 Yang perlu diperhatikan adalah bahwa setiap kebudayaan harus memiliki nilai-nilai dasar yang merupakan pandangan hidup dan sistem kepercayaan di mana semua pengikutnya berkiblat. Nilai dasar itu membuat para pengikutnya melihat diri mereka ke dalam, dan mengatur bagaimana caranya mereka melihat keluar. Nilai dasar itu merupakan filosofi hidup yang mengantar anggotanya ke mana dia harus pergi.62 Di antara nilai-nilai ada yang sudah membaku dan meresap lama melalui proses internalisasi kepada individu-individu yaitu yang dinamakan nilai-nilai budaya. Nilai-nilai budaya ini erat kaitannya 60
Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 62. 61 Deddy Mulyana dan Jalaluddin Rakhmat, Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi dengan Orang-Orang Berbeda Budaya, h. 27. 62 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, h. 137.
37
dengan nilai agama sehingga sering istilahnya digabung menjadi sistem nilai-nilai budaya dan nilai agama. Umumnya nilai budaya dan nilai agama ini membaku dalam norma-norma apa yang baik dan apa yang buruk, apa yang benar dan apa yang salah, yang asli dan yang palsu,
yang positif dan yang negatif, yang bermanfaat dan yang
mubazir, dan sebagainya. Keseluruhan nilai dan norma tersebut adalah aspek evaluatif dari sistem kepercayaan yang selanjutnya menentukan perilaku-perilaku mana yang baik dan buruk, mana yang dituruti dan dihindari. Nilainilai inilah yang disebut nilai normatif karena dianggap sudah diterima menjadi peraturan yang berlaku, seperti di bidang agama, lalu lintas ataupun di kantor. Yang penting dalam komunikasi antarbudaya bahwa nilai normatif itu dapat dikenal dalam perilaku-perilaku normatif sehari-hari sebagai pedoman bagi individu dan kelompok untuk mengurangi dan mengatasi suatu konflik.63 Sikap Perilaku dan sikap mempunyai hubungan erat dalam komunikasi antarpribadi. Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan yang mendukung atau memihak ataupun perasaan tidak mendukung objek tersebut. Jika dihubungkan dengan komunikasi antarbudaya, sikap adalah kesiapan jawaban (respons) perilaku kita sehari-hari terhadap dunia, manusia, dan peristiwa di lingkungan kita. Kesiapan
63
Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 59.
38
sikap perilaku tersebut adalah hasil dan cara belajar merespons lingkungan dalam kawasan budaya tertentu.64 Proses terbentuknya kecenderungan-kecenderungan sikap secara integratif itu meliputi tiga unsur: •
Unsur kognisi dan keyakinan
•
Unsur evaluasi
•
Unsur intensitas dan harapan
Intensitas sikap (unsur ketiga) berdasarkan tingkat perkembangan sikap keyakinan (unsur pertama) dan unsur evaluasi (unsur kedua). Ketiga unsur tersebut berintegrasi dalam proses kejiwaan yang menciptakan
kecenderungan-kecenderungan
bereaksi
terhadap
lingkungan.65 Pandangan Dunia Pandangan hidup adalah unsur terpenting dan sangat berpengaruh dalam aspek-aspek perseptual komunikasi antarbudaya. Berbeda dengan unsur budaya lainnya, seperti cara makan, berpakaian, gaya hidup sehari-hari yang mudah disimak oleh panca indera kita. Cara pemahaman pandangan hidup mengenai dunia itu adalah melalui substansi dan kerumitan dari pengaruh kuatnya terhadap kebudayaan masyarakat, bangsa-bangsa, yang seringkali tidak kentara dan tidak disadari.66
64
Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 60. Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 60. 66 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 63. 65
39
3. Organisasi Sosial Organisasi
sosial
sebagai
unsur
budaya,
merupakan
cara
bagaimana suatu budaya mengorganisasikan dirinya dan bagaimana lembaga-lembaganya memengaruhi cara anggota-anggota budaya itu mempersepsi dunia serta bagaimana pula mereka berorganisasi.67 Pengertian lain mengenai organisasi sosial dalam buku “Sejarah Kebudayaan Indonesia” adalah bagian dari masyarakat yang mendukung kelangsungan masyarakat tersebut sesuai kebutuhan kelompok atau keseluruhan dan memperlihatkan hubungan dinamis yang berbeda satu dari yang lain.68 Organisasi sosial dalam suatu negeri paling utama akan berkaitan dengan
organisasi
sosial
yang
memiliki
hubungan
dengan
kelembagaan birokrasi, keagamaan, ekonomi (termasuk di dalamnya pemasaran, dan kegiatan eksploitasi atau produksi), pendidikan, pertahanan dan keamanan, dan lain sebagainya.69 Ada dua faktor yang berpengaruh dalam peranan keorganisasiannya: pertama, bahwa persepsinya akan berbeda-beda, dan kedua, apa yang dikomunikasikan adalah
pencerminan
dari
apa
yang
dipersepsikan
oleh
kebudayaannya.70
67
Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 63. Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia Sistem Sosial (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 9. 69 Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia Sistem Sosial, h. 9-10. 70 Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 64. 68
40
Terdapat dua jenis bentuk pengorganisasian masyarakat yang memengaruhi komunikasi antarbudaya, di antaranya:71 a. Kebudayaan geografis di lingkungan batas-batas wilayah: negara, suku bangsa, kasta, sekte keagamaan dan sebagainya. b. Kebudayaan dalam kedudukan dan peranan sosialnya yang berkaitan dengan cara-cara berperilaku, profesi dan ideologi tertentu.
Kesemuanya
berpengaruh
terhadap
komunikasi
antarbudaya.
E. Tradisi Kita adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia, di mana kebudayaan kita terima sebagai warisan yang diturunkan tanpa surat wasiat. Kita merunduk jika berpapasan dengan orang tua, menahan kentut dalam suatu pertemuan, kita beranggapan tidak sopan berdiri di dekat orang lebih tua yang sedang duduk, dan sebagainya. Itu adalah kebiasaankebiasaan yang kita warisi dari generasi pendahulu kita. Itu semua merupakan bagian-bagian terkecil dari kebudayaan manusia. Kebiasaaan yang turun-temurun dalam suatu masyarakat itu disebut tradisi.72 Tradisi adalah tatanan keyakinan dan tata cara yang diwarisi dari masa lalu, sehingga ketika diupayakan reinterpretasi terhadap masa lalu, tradisi tersebut menjadi berubah. Adapun tradisionalisme merupakan paham yang mengagung-agungkan masa lalu, segala sesuatu yang datang 71
Alex H. Rumondor, Komunikasi Antarbudaya, h. 64. Johanes Mardimin, Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern, h. 12. 72
41
dari masa lalu dianggap tidak bisa berubah. Kaum yang menganut tradisionalisme menganggap tradisi mereka bersifat tetap, tak berubah dan mereka memaksakan kepada orang lain agar melakukan seperti yang ia lakukan sebelumnya.73
73
Nurudin, Sistem Komunikasi Indonesia (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), h. 61.
BAB III GAMBARAN UMUM KERATON YOGYAKARTA
A. Arti Lambang Keraton Yogyakarta1
Gambar 1: Lambang Keraton Yogyakarta Keterangan: 1. Songkok: Topi/mahkota kelengkapan busana prajurit, melambangkan sifat dan sikap kesatria serta kedudukan raja sebagai panglima atau senapati perang. 2. Sumping: hiasan yang dipakai di telinga terdiri dari motif ceplik bentuk bunga matahari artinya hidup harus bermanfaat bagi sesamanya. Daun kluwih artinya raja harus mempunyai kelebihan atau linuwih dibanding yang lainnya. Makara artinya mempunyai daya untuk menangkal bahaya sehingga berakibat menambah ketenaran keraton. 1
KRT. Rintaiswara, Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Pusat Budaya Jawa (Yogyakarta: KHP Widya Budaya, t.t.), h. 22.
42
43
3. Praba: sinar artinya selalu memancarkan cahaya penerang bagi masyarakat luas terutama sekali pada masa sulit, gelap dan ketidakpastian. 4. Lar: sayap artinya melambangkan cita-cita tinggi mengangkasa. 5. Tameng:
melambangkan
sikap
melindungi
dan
mengayomi
kewula/rakyat dengan sesanti hamemayu hayuning bawana.2 6. Ha Ba: inisial atau singkatan dari gelar sultan yaitu Hamengku Buwana yang berarti Hamangku, Hamengku, dan Hamengkoni.3 7. Teratai: melambangkan keterkaitan kehidupan dunia akhirat. 8. Sulur: melambangkan bahwa kehidupan manusia itu berlangsung turun-temurun sepanjang masa.
B. Kondisi Geografis Keraton Yogyakarta Secara morfologis kata “keraton” terbentuk dari kata ‘ratu’ dengan mendapat awalan ka dan akhiran –an (ke-ratu-an) yang kemudian melebur 2
Dalam filosofi ”Hamemayu Hayuning Bawana” terkandung di dalamnya kewajiban Tri Satya Brata. Pertama, rahayuning bawana kapurba waskitaning manungsa (kesejahteraan dunia tergantung manusia yang memiliki ketajaman hati), menunjuk pada harmoni hubungan antara manusia dengan alam, baik dalam lingkup dunia sebagai kewajiban ”Hamangku Bumi”, maupun lingkup yang lebih luas dalam seluruh alam semesta (universe) sebagai kewajiban ”Hamengku Buwana”. Kedua, darmaning manungsa mahanani rahayuning negara (tugas hidup manusia adalah menjaga keselamatan negara), sebagai kewajiban manusia selama hidup di dunia, di mana kehidupan merupakan dinamika manusia, yaitu ”Hamengku Nagara”. Ketiga, rahayuning manungsa dumadi karana kamanungsane (keselamatan manusia oleh kemanusiaannya sendiri). Sehingga dapat dimengerti filosofi ”Hamemayu Hayuning Bawana” itu menyandang misi akbar bagi manusia di dunia dalam tiga substansi tersebut, yaitu: ”Hamengku Nagara, Hamangku Bumi, Hamengku Buwana.” 3 Hamengku Buwana merupakan kewajiban manusia yang lebih luas dalam mengakui, menjaga dan memelihara seluruh isi alam semesta, agar tetap memberikan sumber daya bagi kehidupan manusia, seperti keberadaan bulan, matahari, air, api, angin dan planet-planet yang lain. Pada hakikatnya, makna yang tersandang dalam ”Hamangku, Hamengku, Hamengkoni” itu adalah tugas dan kewajiban mulia manusia untuk mengagungkan asma Allah.
44
menjadi ‘keraton/kraton’. Kata ‘ratu’ kata ratu berarti raja. Adapun kata “keraton” berarti ‘tempat tinggal raja’.4 Di Yogyakarta ada dua buah tempat tinggal raja yang dikenal dengan sebutan ‘Keraton Kasultanan’ dan ‘Pura Pakualaman’. ‘Keraton Kasultanan’ merupakan tempat tinggal sultan (Sri Sultan Hamengku Buwana) sedangkan ‘Pura Pakualaman’ adalah tempat tinggal Paku Alam (Sri Paduka Paku Alam). Letak Keraton Kesultanan Yogyakarta adalah di tengah kota Yogyakarta. Dahulu wilayah yang masih termasuk daerah keraton terbentang antara sungai Code dan sungai Winongo. Berbataskan Tugu di sebelah utara dan Krapyak di sebelah selatan. Pada masa kini, daerah keraton hanya terbatas dalam wilayah kecamatan Keraton. Dahulu luas daerah keraton adalah 14.000 km². Pada masa kini hanya 1 km².5 Kompleks keraton dikelilingi oleh tembok segi empat yang disebut benteng. Tinggi benteng 3,5 m, dengan kelebaran antara tiga sampai empat meter. Dahulu kala, bagian luar benteng dikelilingi oleh sebuah parit yang lebar dan dalam. Pintu gerbang benteng yang disebut plengkung ada lima buah. Setiap pintu gerbang dihubungkan dengan jembatan yang dapat ditarik ke atas. Pada masa kini sebagian dari benteng itu sudah rusak dan sebagian besar bagian dalam dari benteng-benteng tersebut sudah dijadikan perumahan oleh penduduk. Demikian pula parit yang mengelilingi benteng sudah lama ditimbun dengan tanah dan dijadikan
4
Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Kepel Press, 2008), h. 11. 5 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 12.
45
pemukiman. Jembatan-jembatan yang menghubungkan pintu gerbang sudah lama dibongkar. Dari kelima buah pintu gerbang benteng yang sampai sekarang masih memiliki bentuknya yang asli tinggal dua buah.6 Pada bagian luar benteng dikelilingi parit yang cukup dalam, disebut jagang. Sekarang jagang tersebut sudah tidak tampak karena di atasnya sudah dipakai untuk tempat tinggal atau pertokoan. Untuk keluar masuk wilayah keraton melalui pintu gerbang yang disebut plengkung, yaitu pintu gerbang berbentuk setengah lingkaran yang dilengkapi dengan pintu. Pintu tersebut dijaga oleh para abdi dalem prajurit secara bergiliran, dibuka pada pukul 06.00-18.00.7 Wilayah kecamatan Keraton atau Jero Beteng, selain dihuni oleh raja beserta seluruh keluarganya, juga dihuni oleh kaum bangsawan dan kerabat-kerabat raja beserta hamba-hamba istana keraton yang disebut abdi dalem yang dikelompokkan menurut tugas mereka di dalam keraton sehingga nama kampung tempat tinggal mereka sesuai dengan tugasnya.8 Bangunan Keraton terdiri dari beberapa bagian sebagai berikut. 1) Tratag Pagelaran, Sitihinggil Utara dan sekelilingnya. 2) Kemandhungan Utara atau Keben dan sekelilingnya (termasuk masjid Suranatan dan Ratawijayan, tempat menyimpan keretakereta pusaka). 3) Sri Manganti 6
Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta (Yogyakarta: Kanisius, 1993), h. 25-26. Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 12-13. 8 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 13. 7
46
4) Kedhaton (inti keraton dengan pusat bangunan yang disakralkan yang disebut Prabayeksa). 5) Magangan. 6) Kemandhungan Selatan dan sekelilingnya. 7) Sitihinggil Kidul (selatan).9 Setiap bagian bangunan keraton dibatasi atau dihubungkan oleh sebuah pintu gerbang yang disebut kori. Antara Pagelaran dan Sitihinggil Utara dengan Kamandhungan atau Keben dibatasi atau dihubungkan dengan Kori Brajanala. Antara Kamandhungan utara atau Keben dan Sri Manganti dibatasi atau dihubungkan dengan Kori Sri Manganti. Antara Sri Manganti dengan Kedhaton dibatasi atau dihubungkan dengan Kori Danapratapa. Antara Kedhaton dengan Magangan dibatasi atau dihubungkan dengan Kori Magangan. Antara Magangan dengan Kemandhungan Selatan dibatasi atau dihubungkan dengan Kori Gadhung Mlathi. Dan antara Kemandhungan Selatan dengan Sitihinggil Selatan dibatasi atau dihubungkan dengan Kori Kemandhungan Selatan. Keraton Yogyakarta memiliki dua halaman, yaitu halaman muka disebut Alun-alun Utara dan halaman belakang disebut Alun-alun Selatan. Alun-alun Utara lebih luas dibanding Alun-alun Selatan. Di sekeliling Alun-alun Utara ditanami pohon beringin sejumlah 64 batang, dua di antaranya ditanam di tengah alun-alun di depan pagelaran, dengan dipagari tembok sehingga disebut Ringin Kurung. Kedua pohon beringin 9
Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 14-15.
47
tersebut dikeramatkan dan diberi sebutan Kiai Dewadaru (di sisi barat) dan Kiai Janadaru/Wijayadaru (di sebelah timur).10 Kompleks bangunan keraton terdiri dari beberapa kelompok dengan komponen kelengkapannya, ada yang berupa bangunan, ada yang bukan (misalnya alun-alun), masing-masing mempunyai arti dan fungsi yang berbeda-beda. Kelompok-kelompok tersebut adalah: Alun-alun Utara, Sitihinggil Utara, Kemandhungan atau Mandhungan Utara, Sri Manganti, Kedhaton, Magangan, Kemandhungan atau Mandhungan Selatan, Sitihinggil Selatan, Alun-alun Selatan.11 (Lihat Skema)
Gambar 2: Denah Keraton Yogyakarta
10 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 17. 11 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 18.
48
C. Sejarah Singkat Berdirinya Keraton Yogyakarta Keraton Yogyakarta didirikan pada tahun 1755 Masehi di kota Yogyakarta. Sejarah berdirinya keraton Yogyakarta dengan perlawanan Pangeran Mangkubumi sebagai protes karena pengaruh VOC yang ingin menguasai kerajaan Mataram. Tentu ini adalah situasi yang akan merugikan pihak kerajaan Mataram apabila intervensi VOC masih tetap berlangsung di lingkungan kerajaan. Adanya campur tangan kekuasaan keraton pada saat itu tentunya tidak lepas dari peristiwa pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa. Dalam sejarah disebutkan pada tahun 1742, pada masa Mataram diperintah Susuhunan Pakubuwana II yang beristana di Kartasura, terjadilah pemberontakan yang dilakukan oleh orang-orang Tionghoa. Peristiwa ini dalam sejarah dikenal dengan sebutan Geger Pacinan.12 Orang-orang Tionghoa berhasil menguasai wilayah sepanjang pesisir utara, bahkan juga Kartasura yang pada saat itu sebagai ibu kota Mataram. Akibatnya Sultan Paku Buwana II terpaksa mengungsi ke Ponorogo. Untuk merebut wilayahnya kembali, Sultan Paku Buwana II terpaksa minta bantuan VOC. Setelah VOC berhasil mematahkan pemberontakan, Sultan Paku Buwana II diminta menandatangani sebuah perjanjian yang terkenal dengan Perjanjian Panaraga pada tahun 1743.
12
Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 20.
49
Perjanjian
tersebut sangat
merugikan
Mataram
sehingga
banyak
menimbulkan kekecewaan di kalangan bangsawan keraton.13 Salah seorang keponakan Sultan Paku Buwana (PB) II yang bernama Raden Mas Said (Pangeran Samber Nyawa) merasa tidak suka atas pengaruh VOC yang semakin kuat di Mataram. Dengan dibantu Pangeran Martapura dan Bupati Grobogan, Raden Mas Said lalu mengadakan perlawanan terhadap VOC di keraton. Susuhunan Paku Buwana II merasa cemas jika perlawanan Raden Mas Said itu semakin meluas. Oleh karena itu, PB II mengumumkan sayembara yang isinya barangsiapa berhasil menghadapi perlawanan Raden Mas Said, ia akan dianugerahi Tanah Sukawati. Akhirnya, Pangeran Mangkubumi berhasil memadamkan perlawanan tersebut, tetapi Raden Mas Said dan Pangeran Martapura dapat meloloskan diri. Kemudian, VOC merasa cemas jika Tanah Sukawati menjadi milik Pangeran Mangkubumi akan membahayakan kedudukannya. Oleh karena itu, VOC berusaha menggagalkan pemberian hadiah tersebut, dengan cara memengaruhi orang yang dekat dengan Paku Buwana. VOC berhasil mendapatkan orang yang dimaksud, yaitu Patih Pringgoloyo. Ia berhasil meyakinkan Paku Buwana II bahwa jika Tanah Sukawati menjadi milik Pangeran Mangkubumi maka kekuasaannya akan terus berkembang sehingga dapat membahayakan kedudukan Mataram. Akhirnya Paku
13
Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 21.
50
Buwana II membatalkan janjinya untuk menghadiahkan bumi Sukawati kepada Pangeran Mangkubumi.14 Kemudian, Pangeran Mangkubumi menyadari bahwa kekalutan di Mataram terjadi karena ulah VOC. Satu hal yang kurang menyenangkan bagi Pangeran Mangkubumi adalah dilakukannya perjanjian antara Paku Buwana II dengan VOC pada tanggal 18 Mei 1746 yang isinya sangat merugikan Mataram. Dalam perjanjian itu antara lain disebutkan bahwa Pulau Madura seluruhnya dan pesisir utara sejak itu menjadi milik VOC. Di samping itu, Paku Buwana II bersedia akan memberikan bantuan sekuat tenaga bila diminta oleh VOC untuk menindak segala anasir yang bisa merugikan VOC. Karena merasa kesal, maka satu hari setelah perjanjian ditandatangani, yaitu pada tanggal 19 Mei 1746, Pangeran Mangkubumi meninggalkan Surakarta untuk melakukan perlawanan. Kepergiannya disertai oleh Pangeran Hadiwidjojo, Pangeran Wijil II, dan Pangeran Krapyak. Perlawanan yang dilakukan Pangeran Mangkubumi ini membuat keadaan Mataram menjadi sulit, lebih-lebih setelah Pangeran Mangkubumi bergabung dengan Raden Mas Said dan Pangeran Martapura.15 Pada saat Mataram sedang menghadapi pergolakan yang dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi tersebut, tiba-tiba ada berita bahwa Sultan Paku Buwana II sakit keras. Dalam keadaan sakit keras inilah Sultan Paku
14 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 21. 15 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 23.
51
Buwana II menandatangani suatu perjanjian yang disebut kontrak 11 Desember 1749 yang dibuat oleh VOC. Isi pokok kontrak tersebut menyatakan bahwa kedaulatan Mataram kini berada di tangan VOC. Dengan adanya kontrak 11 Desember 1749 ini berarti Mataram di bawah kekuasaan VOC.16 Atas dasar rasa cemas jika VOC menobatkan orang pilihannya yang menjadi raja sebagai pengganti Paku Buwana II, maka para pengikut Pangeran Mangkubumi lalu bertindak cepat. Pada tanggal 11 Desember 1749 itu juga mereka menobatkan Pangeran Mangkubumi sebagai Raja Mataram, di desa Kabanaran. Sejak itu Mangkubumi dikenal dengan gelar Susuhunan Kabanaran atau lengkapnya Susuhunan Paku Buwana Senapati ing Alaga Abdurrahman Sayidin Panatagama. Kemudian, pada tanggal 15 Desember 1749 VOC menobatkan salah seorang putra Sultan Paku Buwana II menjadi pengganti ayahandanya dengan gelar Susuhunan Paku Buwana III. Beberapa hari kemudian, yaitu tanggal 21 Desember 1749, Sunan Paku Buwana II wafat.17 Makin lama pengaruh Susuhunan Kabanaran semakin besar. Pihak VOC mengetahui pula jika Susuhunan Kabanaran dilawan dengan senjata tidak akan membawa hasil, sebab makin lama mereka makin mendapat kepercayaan dari rakyat. Oleh karena itu, VOC lalu mengajukan usul kepada Sri Susuhunan Paku Buwana III untuk menghentikan perang
16 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 23. 17 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 23-24.
52
saudara dengan alasan peperangan tersebut telah mengakibatkan kerusakan dan penderitaan rakyat. Usul tersebut diterima oleh Susuhunan Paku Buwana III. Pada tanggal 13 Februari 1755 dilakukan penandatanganan perjanjian penghentian peperangan yang dilakukan di desa Giyanti. Oleh karena itu, lalu dikenal sebagai Perjanjian Giyanti atau Palihan Negari karena isinya memang membagi dua wilayah kerajaan Mataram. Isi perjanjian ini menyebutkan bahwa wilayah Mataram dibagi dua, separo tetap dikuasai Sri Susuhunan Paku Buwana III dengan ibu kota di Surakarta, sedang sisanya diserahkan Sri Susuhunan Kabanaran. Sejak saat itu Sri Susuhunan Kabanaran berganti gelar menjadi Ngarsa Dalem Sampeyan Dalem Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwana Senapati ing Ngalaga Abdurrahman Sayidin Panatagama Khalifatullah.18 Setelah satu bulan Palihan Negari, yaitu tanggal 13 Maret 1755, Sri Sultan Hamengku Buwana mengumumkan bahwa separo dari Negari Mataram yang sudah menjadi bagiannya diberi nama Ngayogyakarta Hadiningrat. Sejak saat itu Sri Sultan Hamengku Buwana lalu bersiap-siap untuk membangun ibu kota dan keraton. Selama bangunan keraton sedang dikerjakan, Sri Sultan Hamengku Buwana I dengan para pengikutnya tinggal di Pesanggrahan yang terletak di Gamping, jaraknya lebih kurang 5 km di sebelah barat bangunan yang sedang dikerjakan untuk ibu kota. Pesanggrahan di Gamping disebut istana Ngambar Ketawang. Pesanggrahan ini sudah ada sebelum dilakukan Perjanjian Giyanti. Waktu 18
Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 25.
53
itu pesanggrahan tersebut bernama Pura Para yang artinya adalah gedung untuk tempat tinggal sementara bagi orang yang sedang bepergian (pepara). Kemungkinan pesanggrahan ini dahulu pernah dipakai untuk istirahat baginda dan pengiringnya jika sedang berburu di hutan beringin, pada masa keraton Mataram belum pindah ke Kartasura. Sri Sultan Hamengku Buwana secara resmi tinggal di Pesanggrahan Ngambar Ketawang selama satu tahun, yaitu dari tanggal 9 oktober 1755 hingga 7 Oktober 1756. Selama itu beliau dari sana terus mengawasi pembangunan keraton. Tempat yang dipilih untuk ibu kota Ngayogyakarta Hadiningrat adalah di hutan beringin. Pemilihan tempat tersebut berdasarkan berbagai pertimbangan antara lain adalah untuk menghormati tempat bersejarah. Pada masa Mataram diperintah oleh Sri Susuhunan Amangkurat Jawi, di beringin telah ada semacam kota kecil dan ada pesanggrahannya yang disebut Garjitawati. Kemudian pada masa Sultan Paku Buwana II bertahta di Kartasura, nama pesanggrahan ini diganti Ngayogya. Pada masa itu Ngayogya dijadikan tempat pemberhentian jenazah para bangsawan yang akan dimakamkan di Imogiri.19
D. Struktur Pemerintahan Keraton Yogyakarta Untuk menyelenggarakan pemerintahan keraton, Sri Sultan dibantu oleh para pangeran dan abdi dalem, setiap pangeran diserahi tugas 19
Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 26
54
mengepalai sebuah kantor yang ada di dalam keraton dan yang tugasnya mengurus segala kebutuhan keraton. Dalam menjalankan tugasnya ini para pangeran dibantu oleh seorang wakil yang berpangkat Bupati.20 Menurut Pranatan yang mengatur tentang struktur pemerintahan keraton
Yogyakarta,
yaitu
“PRANATAN
TATA
RAKITE
PEPRINTAHAN KARATON NGAYOGYAKARTA HADININGRAT”, yang ditetapkan oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X pada 8 November 1999. Kantor yang ada di keraton terdiri dari beberapa badan yang masingmasing mempunyai tugas dan wewenang yang berbeda. Kantor-kantor itu antara lain: a. KAWEDANAN HAGENG PUNOKAWAN PARWA BUDAYA, yang dibentuk dari gabungan:21 1. Kawedanan Hageng Punokawan Krida Mardawa 2. Kawedanan Pengulon 3. Kawedanan Puralaya 4. Kawedanan Kaputren Pengagengnya/pimpinannya adalah GBPH. Drs. Yudaningrat. b. KAWEDANAN HAGENG PUNOKAWAN NITYA BUDAYA, yang dibentuk dari gabungan:22 1. Kawedanan Hageng Punokawan Widya Budaya 2. Kawedanan Punokawan Purayakara 20
Fredy Heryanto, Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat (Yogyakarta:
Warna Mediasindo, 2010), h. 43 21 22
Fredy Heryanto, Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, h. 43. Fredy Heryanto, Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, h. 43.
55
3. Tepas Banjar Wilapa 4. Tepas Museum 5. Tepas Pariwisata Pengagengnya/pimpinannya adalah GBPH. H. Prabukusumo, S.Psi c. KAWEDANAN
HAGENG
PUNOKAWAN
PARASRAYA
BUDAYA, yang dibentuk dari gabungan:23 1. Kawedanan Hageng Punokawan Wahana Sarta Kriya 2. Kawedanan Hageng Punokawan Puraraksa 3. Tepas Panitikisma 4. Tepas Keprajuritan 5. Tepas Halpitapura 6. Tepas Security Pengagengnya/pimpinannya adalah KGPH. Hadiwinoto d. KAWEDANAN HAGENG PANITRA PURA, yang dibentuk dari gabungan:24 1. Parentah Hageng 2. Kawedanan Hageng Sri Wandana 3. Tepas Dwarapura 4. Tepas Darah Dalem 5. Tepas Rantam Harta 6. Tepas Danarta Pura 7. Tepas witardana 23 24
Fredy Heryanto, Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, h. 44. Fredy Heryanto, Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, h. 44.
56
Pengagengnya/pimpinannya adalah GBPH. H. Joyokusumo, wakilnya adalah GBPH. Condrodiningrat. Bagan Struktur Organisasi Keraton Yogyakarta
Gambar 3: Struktur Organisasi Keraton Yogyakarta Ket: a. Inkang Sinuhun, Ngarsa Dalem Sri Sultan sebagai penguasa dan pucuk pimpinan keraton.
57
b. Pandhite, yaitu orang yang ditunjuk Sultan untuk memberikan usulan, pandangan, dan penemuan yang berdasarkan pada penelitian maupun kajian di bidang agama, adat, seni, budaya, ekonomi, politik, hukum, dan sosial. c. Pengageng, seseorang yang ditunjuk oleh sultan untuk menjadi pemimpin/pejabat di lingkungan pemerintahan keraton, yang ditetapkan dengan Surat Keputusan dari keraton. d. Kawedanan Hageng Punokawan, yaitu salah satu badan yang melaksanakan sebagian pemerintahan keraton yang bersifat teknis operasional. e. Kawedanan Hageng, yaitu salah satu badan yang melaksanakan sebagian
pemerintahan
keraton
yang
bersifat
administrasi
fungsional. f. Sri Palimbangan, semacam dewan penasehat raja. g. Kawedanan, yaitu sebagai pelaksana Teknis Operasional. h. Tepas, yaitu sebagai pelaksana Teknis Administrasi i. Parentah Hageng, yaitu suatu badan yang bertugas menyampaikan semua perintah Sultan kepada semua abdi dalem yang ada di keraton. Sebaliknya juga menyampaikan kepada Sultan berkenaan dengan permintaan para abdi dalem.
58
E. Asal Usul Singkat Sekaten Sekaten adalah suatu tradisi yang telah ada sejak zaman kerajaan Demak. Sultan Agung sebagai raja Demak memprakarsai perayaan sekaten dan sampai saat ini masih dilestarikan di Keraton Yogyakarta dan Surakarta.
Dalam
tradisi
kerajaan
Demak,
upacara
sekaten
diselenggarakan sebagai usaha untuk memperluas serta memperdalam rasa jiwa ke-Islaman bagi segenap masyarakat Jawa. Usaha ini dilaksanakan oleh para wali yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga.25 Para wali memahami dan yakin bahwa rakyat menggemari bunyi gamelan. Sunan Giri, salah seorang dari Wali Sanga, memahami teknik pembuatan gamelan. Beliau lalu membuat seperangkat gamelan yang dinamakan Kiai Sekati. Selain membuat gamelan, Sunan Giri juga menciptakan gending untuk alat penyebaran agama Islam. Gamelan Kiai Sekati itu setiap setahun dibunyikan untuk memeriahkan peringatan hari lahir Nabi Muhammad s.a.w. Mengenai nama sekaten ada beberapa pendapat, antara lain: 1. Sekaten berasal dari kata sekati, yaitu nama gamelan keramat dari Keraton Yogyakarta yang terdiri atas dua jenis gamelan, Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga. Adapun di Keraton Surakarta, dua gamelan itu bernama, Kiai Gunturmadu dan Kiai Guntursari. Mengenai kisah gamelan yang tersimpan di Keraton Kasultanan Yogyakarta, ia diyakini sebagai hasil karya cipta Sultan Agung Hanyokrokusumo, raja ketiga Mataram Islam. Gamelan ini hanya ditabuh khusus pada peringatan Maulid, hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. setiap tahunnya. Gamelan ini ditabuh sejak tanggal 5 Mulud (Rabiul Awal) sampai dengan tanggal 11 Mulud 25 Wali Sanga atau Wali Songo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke 14. Mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu SurabayaGresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat.
59
(Rabiul Awal). Gamelan tersebut dibunyikan secara terus-menerus selama seminggu untuk mengiringi gending hasil dari ciptaan para wali. Jadi, dinamakan sekaten sebab dirangkaian acaranya ditabuh gamelan pusaka keraton yang bernama Kiai Sekati.26 2. Ada yang mengatakan sekaten berasal dari kata suka dan ati yang jika digabungkan menjadi sekaten, yang berarti senang hati. Hal ini mengandung pengertian bahwa masyarakat Jawa sangat senang hatinya menyambut hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. pada tanggal 12 Rabiul Awal. Sebagai ungkapan kecintaan mereka kepadanya, mereka kemudian mengadakan acara sedekah berupa hasil bumi, makanan dan pakaian.27 3. Sekaten berasal dari kata Syahadatain atau dua kalimat syahadat. Pengertian ini didasarkan pada sejarah sekaten yang diadakan oleh Wali Sanga yang bertujuan untuk menarik orang Jawa agar masuk Islam. Mereka yang datang ke acara sekaten kemudian dengan sukarela mengucapkan kalimat syahadat sebagai tanda masuk Islam.28 4. Sekaten berasal dari kata Sakhataini yang berarti menanamkan dua hal, yaitu beribadah kepada Allah SWT dengan sebenar-benarnya dan berbudi baik dalam kehidupan keseharian kepada sesama manusia. Juga menghilangkan dua perkara buruk, yaitu menghilangkan semua watak kehewanan dan nafsu setan. Bagi manusia, dengan menyadari secara mendalam makna beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia, ia akan menjadi manusia yang dalam kehidupannya pasrah pada takdir Allah, ikhlas menjalani kehidupan, dan menghormati sesama manusia. Tidak berbuat kerusakan dan keresahan dalam masyarakat.29 Menurut Ahmad Kamaludiningrat, tradisi sekaten ini terbentuk berdasarkan pendekatan budaya yang dilakukan oleh para wali.30 Sunan Kalijaga melihat bahwa dengan melalui pendekatan budaya, maka, kegiatan dakwah akan dengan mudah dilakukan di tengah-tengah
26
Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009), h. 44-45. 27 Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah Pertentangan?, h. 45. 28 Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah Pertentangan?, h. 45-46. 29 Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah Pertentangan?, h 46. 30 Wawancara Pribadi dengan Ahmad M. Kamaludiningrat, Yogyakarta, 8 Januari 2014.
60
masyarakat Jawa saat itu. Sebelumnya, Sultan Agung sebagai raja Demak menitahkan kepada masyarakatnya agar meninggalkan kebiasaan hidupnya berkaitan dengan sistem kepercayaan animisme serta dinamisme yang bertentangan dengan akidah Islam. Tentu titah tersebut akhirnya membuat masyarakatnya resah dan gelisah, karena sudah terbiasa menjalani kehidupan yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Akhirnya, timbullah inisiatif dari wali sanga untuk merancang strategi agar masyarakat tetap bisa menjalani kebiasaan hidupnya, namun, dalam setiap aktivitasnya disisipi oleh ajaran-ajaran ke-Islaman. Misalnya trradisi selamatan yang dihubungkan dengan sadaqah, ujub atau penyerahan tersebut yang ditujukan kepada roh nenek moyang, diganti untuk memperingati hari kelahiran Nabi dan para wali. Kemudian, pujipujian kepada selain Allah SWT, diganti tahlil. Para wali menetapkan perubahan ini pada tahun 1463, pada muktamar yang kedua di Demak, menurut Kitab Kanzul Ulum karya Ibnu Bathuthah.31 Cara yang bijaksana yang dilakukan para wali dalam menyebarkan Islam bisa diterima oleh masyarakat. Karena unsur budaya lokal tidak dihilangkan, justru tetap dipertahankan dengan ditambah ajaran-ajaran keIslaman. Kembali pada asal usul sekaten, Ahmad Kamaludiningrat32 menceritakan secara singkat bahwa Islam bisa diterima karena melalui pendekatan budaya. Sunan Kalijaga saat itu melihat, hal yang disukai oleh masyarakat Jawa saat itu adalah bunyi-bunyian gamelan. Kemudian, 31
Syariful Alim, HAKEKAT TUHAN DAN MANUSIA: Perspektif Pujangga Muslim Jawa (Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2013), h. 3. 32 Wawancara Pribadi dengan Ahmad M. Kamaludiningrat.
61
dibuatlah gamelan oleh Sunan Giri yang pandai dalam hal membuat gamelan. Setelah gamelan selesai dibuat, dibawalah gamelan tersebut menuju halaman Masjid Demak untuk dibunyikan. Tentunya ini telah berdasarkan musyawarah antara para wali sebelumnya berkaitan dengan tempat pemukulan di halaman masjid.33 Pemukulan gamelan tersebut diringi oleh gending-gending atau lagu yang diciptakan oleh para wali. Setelah dibunyikan semakin keras dan nyaring, masyarakat yang datang semakin banyak dan merasa senang. Dan pada saat itulah kesempatan bagi Sunan Kalijaga untuk berdakwah. Kemudian, Sunan Kalijaga berdiri di ambang gerbang masjid sambil menguraikan tentang keutamaan agama Islam disertai tentang kesamaannya dengan agama Budha, tanpa mencela sama sekali terhadap agama Budha. Banyak masyarakat yang tertarik, lalu mendekati halaman masjid.34 Akhirnya, masyarakat tertarik dengan Islam, kemudian masyarakat berbondong-bondong masuk Islam secara suka rela dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Itulah sebabnya, ada pengertian yang menyebutkan bahwa sekaten berasal dari kata syahadat karena banyak orang yang masuk Islam secara sukarela dengan mengucapkan syahadat.
33 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 35. 34 Suyami, Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa, h. 36.
BAB IV TEMUAN DAN ANALISIS DATA
A. Gamelan Sekaten dalam Proses Akulturasi Budaya Perangkat gamelan sekaten yang sering digunakan dalam setiap event sekaten memiliki sejarah tersendiri. Konon, salah satu dari gamelan yang dipukul tersebut merupakan peninggalan kerajaan Demak dan juga peninggalan raja Mataram Islam pertama. Gamelan tersebut digunakan oleh wali sanga tidak lain adalah sebagai media dakwah. Awalnya mengapa bisa muncul gamelan tersebut adalah Sunan Kalijaga melihat bahwa masyarakat sangat menyukai seni atau budaya. Melihat peluang tersebut Sunan Kalijaga menunjuk salah satu wali yang mengerti pembuatan
gamelan
untuk
membuatkan
seperangkat
gamelan.1
Seperangkat gamelan yang ia pesan kepada Sunan Giri dinamakan gamelan Kiai Sekati. Dari nama gamelan yang disematkan oleh Sunan Kalijaga tersebut, ada yang berpendapat bahwa nama Sekaten yang sekarang ini sudah menjadi perayaan tahunan di Demak dan Yogyakarta berasal dari nama Kiai Sekati (nama gamelan Sunan Kalijaga). Teori lain mengatakan, nama Sekaten berasal dari kalimat Syahadatain (asyhadu anla ilaha illa Allah was asyhadu anna Muhammadan Rasulullah/ aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah). 1
Wawancara pribadi dengan Yuwono Sri Suwito, Yogyakarta, 27 Januari 2014.
62
63
Kedua
teori
ini
mirip,
tak
ada
perbedaan
yang
signifikan.
Kemudian, setelah pertemuan para wali, di Masjid Demak diselenggarakan perayaan Maulid Nabi Muhammad. Perayaan ini antara lain diramaikan dengan rebana dan diiringi lagu-lagu indah yang beriramakan padang pasir (Arab). Dalam acara perayaan itulah, Sunan Kalijaga menempatkan Gamelan Kiai Sekati itu di halaman Masjid Demak. Ia dan para penabuh lainnya memainkan Gamelan Kiai Sekati itu dengan ritme dan irama yang indah dan bertalu-talu untuk menarik masyarakat mengunjungi perayaan Maulid Nabi.2 Dari upaya yang dilakukan Sunan Kalijaga tersebut mendapatkan respon yang sangat besar dari masyarakat Jawa saat itu. Banyak masyarakat yang datang ke acara tersebut untuk melihat pemukulan gamelan dan mendengarkan petuah dari Sunan Kalijaga. Akhirnya masyarakat dengan kesadaran dan kesukarelaannya masuk Islam dengan mengucapkan dua kalimat syahadat. Ini adalah langkah awal yang dapat dikatakan sukses bagi wali sanga dalam melakukan dakwahnya di tanah Jawa. Menurut Yuwono, “...pola strategi dan gerakan dakwah kulturaledukatif-persuasif yang dilancarkan oleh Sunan Kalijaga bersama dengan kawannya sukses besar,...”3 Dalam perspektif komunikasi antarbudaya, gamelan merupakan alat yang dijadikan sebagai media komunikasi yang menghubungkan antara komunikator dengan komunikan yang berbeda latar budaya. Melalui 2 3
Wawancara pribadi dengan Yuwono Sri Suwito. Wawancara pribadi dengan Yuwono Sri Suwito
64
media komunikasi tersebut akhirnya antara dua orang yang berkomunikasi dapat terhindar dari persepsi yang salah. Sebelumnya Sunan Kalijaga telah berfikir panjang mengenai upaya yang tepat agar dakwah dapat diterima oleh masyarakat dengan hati terbuka tanpa ada paksaan. Proses akulturasi budaya yang terjadi dalam proses dakwah wali sanga adalah dengan memasukkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam sendisendi kehidupan masyarakat jawa dengan tidak menghilangkan unsur budaya lokalnya. Unsur budaya lokalnya adalah alat musik gamelan, sedangkan nilai-nilai ke-Islamannya adalah pada gending-gending yang diciptakan oleh wali sanga sebagai pengiringnya. Integrasi antara kedua unsur tersebut menciptakan satu tradisi yang bernuansa Islam tetapi juga kental dengan unsur kejawen. Tetapi inilah yang disebut sebagai akulturasi budaya, di mana perpaduan antara kedua unsur budaya tidak menghilangkan salah satu unsurnya, tetapi saling terintegrasi antara keduanya. Islam bukanlah suatu produk kebudayaan, tetapi nilai-nilai serta ajaran-ajaran yang terdapat di dalamnya dapat dikatakan sebagai budaya karena merupakan hasil pemikiran dan pemaknaan manusia. Karena pengertian budaya sendiri adalah hasil cipta, dan karya manusia. Berarti di sini jelas terdapat komunikasi antara dua kebudayaan yang berbeda yaitu antara Islam dengan budaya lokal Jawa.
65
B. Proses Komunikasi Antarbudaya dalam Tradisi Sekaten Dalam Babad Tanah Jawa4 tidak ditemukan riwayat sejarah mengenai perayaan sekaten. Asal usul mengenai sekaten hanya dapat diketahui melalui cerita-cerita leluhur atau informan yang mengetahui cerita tersebut dari orang tuanya. Sementara itu, di masyarakat sendiri cerita tersebut diyakini adanya. Masyarakat percaya bahwa sekaten sendiri merupakan tradisi yang telah ada sejak zaman Wali Sanga berdakwah di tanah Jawa. Tradisi sekaten merupakan hasil dari pemikiran para wali dalam melihat pola perilaku serta kepercayaan masyarakat yang cenderung tradisionalis5. Artinya masyarakat pada saat itu tidak bisa lepas dari pola hidup serta kepercayaan leluhurnya yang telah mendarah daging di kehidupannya. Terutama berkaitan dengan kepercayaan animisme6 dan dinamisme7 yang masih kuat diyakini masyarakat saat itu. Oleh karena itu, para wali melancarkan kegiatan dakwahnya dengan tetap menyisipkan nilai-nilai ajaran Islam ke dalam sendi kehidupan tanpa menghilangkan adat-istiadat yang telah tertanam kuat dalam benak masyarakat pada saat itu. Salah satunya adalah mengadakan acara sekaten agar masyarakat nantinya dapat memahami hakikat Islam dengan baik.
4
Babad tanah Jawa adalah cerita mengenai sejarah perkembangan suku bangsa Jawa Tradisionalis adalah cara pandang atau berpikir yang selalu berpedoman pada norma dan adat-istiadat yang ada secara turun-temurun. 6 Anismisme adalah kepercayaan kepada roh yang mendiami suatu benda. 7 Dinamisme adalah kepercayaan bahwa segala sesuatu mempunyai tenaga atau kekuatan yang dapat mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan usaha manusia dalam mempertahankan hidup. 5
66
Ahmad Kamaludiningrat mengatakan Ketika para wali tersebut memulai gerakan dakwahnya, dengan sangat bijaksana para wali tersebut tidak menggunakan cara anarki dalam memasukan nilainilai ajaran islam, namun, dengan cara yang halus. Masyarakat jawa saat itu tidak dituntut untuk meninggalkan ajaran nenek moyangnya dahulu, dan tetap menjalankan rutinitasnya namun disisipi oleh ajaran islam. Di sinilah proses akulturasi budaya terjadi, yaitu mulai dimasukannya ajaran-ajaran islam ke dalam sendi kehidupan masyarakat jawa. Sehingga saat ini kita lihat ada perpaduan antara budaya jawa dengan nilai-nilai religius yang ditampilkan dalam setiap acara sekaten. Gamelan sekaten sebagai budayanya, dan kegiatan keagamaan seperti acara ceramah sebagai nilai-nilai religiusnya.8 Sekaten mulai dirayakan pada masa kerajaan Demak mulai berdiri yang dipimpin oleh Raden Patah. Kemudian, setelah kerajaan Demak runtuh, tradisi ini dikembangkan oleh kerajaan Pajang di bawah kepemimpinan Sultan Hadiwijaya. Demikian pula ketika kekuasaan Pajang runtuh, dilanjutkan oleh kerajaan Mataram Islam. Pada masa Sultan Agung Hanyokrokusumo (Raja Mataram ke-tiga) ditetapkan bahwa gamelan yang akan mengiringi sekaten adalah gamelan Kiai Gunturmadu dan Kiai Nagawilaga. Demikian sampai sekarang pun tradisi ini terus berlanjut, baik di Keraton Kasunanan Surakarta maupun Kasultanan Yogyakarta.9 Yang membedakannya terhadap perayaan sekaten di Kasunanan Surakarta adalah gamelannya yang bernama Kanjeng Kiai Gunturmadu dan pasangannya adalah Kanjeng Kiai Guntursari.10 Perayaan yang diadakan setiap tahun di Keraton Yogyakarta ini sudah berusia hampir empat abad, yaitu sejak Hamengku Buwana I
8
Wawancara Pribadi dengan Ahmad Kamaludiningrat, Yogyakarta, 8 Januari 2014. Ismail Yahya, Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah Pertentangan? (Solo: Inti Medina, 2009), h. 51. 10 Wawancara Pribadi dengan Purwodiningrat, Yogyakarta, 21 Agustus 2013. 9
67
memimpin Yogyakarta. Sekaten merupakan suatu bentuk perayaan yang masih tetap dilaksanakan secara rutin di keraton Yogyakarta. Menurut Hamengku Buwana X saat membuka Pasar Malam Perayaan Sekaten 2013 (PMPS 2013) mengatakan bahwa perayaan sekaten hingga saat ini masih tetap ada, ini membuktikan bahwa sekaten mampu berkembang sesuai zaman.11 Ada beberapa hal mengapa kebudayaan di Yogyakarta masih tetap terjaga dengan baik, yaitu: 1. Budaya merupakan modal bangsa, apabila budaya tersebut hilang, maka negara akan hancur.12 2. Peran raja serta masyarakat yang tetap komitmen untuk terus melestarikan
budaya
leluhur
termasuk
nilai-nilai
yang
terkandung dalam budaya tersebut.13 Oleh karena itu, sangat penting menjaga eksistensi dari suatu kebudayaan. Jika budaya tersebut hilang maka suatu daerah tentu akan kehilangan identitasnya yang sudah menjadi ciri khasnya. Tidak hanya kehilangan identitasnya, bahkan lebih buruk lagi adalah timbulnya degradasi moral karena telah meninggalkan nilai-nilai adiluhung dari budayanya. Contohnya saja adalah budaya antri, apabila semua masyarakat sudah tidak peduli dengan budaya antri maka pasti akan kacau. Inilah yang perlu jadi perhatian bagi manusia sebagai makhluk berbudaya 11
Hendra Setyawan, “Sultan: Sekaten Berkembang Sesuai Zaman,” artikel diakses pada 30 Agustus 2013 dari http://regional.kompas.com/read/2012/12/21/18493744/Sultan.Sekaten.Ber kembang.Sesuai.Zaman 12 Wawancara Pribadi dengan Purwodiningrat. 13 Wawancara Pribadi dengan KRT Rintaiswara, Yogyakarta, 24 Agustus 2013.
68
untuk selalu menjaga nilai-nilai kearifan budaya yang telah diajarkan oleh nenek moyang. Terdapat simbol-simbol budaya dalam tradisi sekaten. Simbolsimbol tersebut merupakan sebuah sistem dari konsep ekspresi komunikasi manusia yang mengandung makna.14 Ekspresi tersebut diperlihatkan melalui pola interaksi kehidupan antara sesama anggota budaya. Setiap anggota atau komunitas budaya harus memahami makna dari simbolsimbol budaya yang berlaku pada kelompok tersebut. Dengan memahami simbol-simbol tersebut maka kemungkinan terjadinya konflik antara sesama anggota maupun di luar anggota dapat dihindari. Sekaten dapat dikatakan sebagai jembatan penghubung. Yaitu jembatan penghubung antara raja dengan rakyat.15 Kemudian, jembatan penghubung antara sesama masyarakat.16 Ini adalah suatu bentuk komunikasi vertikal dan juga komunikasi horizontal. Di sinilah adanya keseimbangan dalam proses interaksi sosial antara pemimpin dengan rakyat serta sesama manusia. Hal tersebut penting untuk dilakukan agar terciptanya kerukunan, keamanan, dan ketentraman. Dan yang terpenting adalah tetap terjalinnya komunikasi walau hanya lewat pentas budaya. Komunikasi secara vertikal yang dilakukan oleh raja kepada rakyatnya merupakan modal penting untuk menjaga tali silaturahmi antara pihak keraton dengan masyarakat Yogyakarta. Dengan hadir di tengah-
14
Rulli Nasrullah, Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber (Jakarta: Kencana, 2013), h. 15. 15 Wawancara Pribadi dengan KRT. Rintaiswara. 16 Wawancara Pribadi dengan KRT. Rintaiswara.
69
tengah masyarakat, menunjukkan bahwa raja memiliki kepedulian untuk merasakan apa yang dirasakan masyarakat. Sehingga timbullah keterikatan batin antara penguasa dengan rakyatnya. Ketika komunikasi telah terjalin dengan baik, tentunya rakyat akan royal terhadap keraton. Apabila rakyat sudah loyal terhadap keraton, maka, pemerintahan di Yogyakarta akan berjalan lancar dan rakyat tentunya mendukung semua kebijakan pemerintah.17 Komunikasi secara horizontal adalah komunikasi yang terjadi antara sesama manusia atau masyarakat. Melalui komunikasi yang terjadi secara horizontal diharapkan tercipta komunikasi yang harmonis antara sesama masyarakat . Dalam perayaan sekaten, yang hadir ke arena sekaten tidak hanya dari kalangan masyarakat Yogyakarta, namun, dari luar Yogyakarta bahkan mancanegara pun juga turut hadir meramaikan acara sekaten.18 Di sini terlihat hiruk-pikuk manusia yang membaur menjadi satu yang memerlihatkan kerukunan dan keakraban. Hal ini memperlihatkan betapa kuat pengaruh dari perayaan sekaten, khususnya bagi masyarakat Yogyakarta dan luar Yogyakarta umumnya. Lewat salah satu momentum tersebut tercipta suatu keharmonisan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Di saat media massa menampilkan suatu peristiwa konflik di suatu daerah tertentu yang terjadi
karena
krisis
kemanusiaan,
tradisi
sekaten
hadir
untuk
menginformasikan kepada dunia bahwa menjunjung nilai kemanusiaan 17 18
Wawancara Pribadi dengan KRT. Rintaiswara. Wawancara Pribadi dengan Purwodiningrat.
70
sangat penting untuk menjaga kerukunan hidup berbudaya, beragama, berbangsa dan bernegara. Di sinilah terjadinya proses sosialisasi nilai-nilai budaya yang teraktualisasi melalui sikap budaya yang santun. Pada masa kerajaan Islam Demak berdiri, para wali telah memperlihatkan cara berkomunikasi
yang baik
dalam
mengajak
masyarakat pada saat itu untuk memeluk Islam. Tentunya sangat sulit bagi Wali Sanga untuk mengepakkan sayap dakwahnya apabila mereka tidak memahami latar belakang budaya yang berkembang di masyarakat pada saat itu. Dengan cara memahami adat-istiadat kehidupan masyarakat, maka, pada saat itu Wali Sanga dapat bergerak masuk untuk mengajarkan Islam sedikit demi sedikit. Ketika Islam dapat diterima dengan hati terbuka, barulah para wali dapat dengan mudah mengembangkan ajaran Islam di tanah Jawa. Ini merupakan suatu bentuk komunikasi antarbudaya di mana Wali Sanga dapat berkomunikasi dengan baik kepada masyarakat yang notabene berbeda latar belakang sosial budaya dan agama dengan para wali. Perayaan Sekaten Masa Kini Perayaan sekaten pada masa kini, terhitung mulai tahun 2004 hingga saat ini memperlihatkan nuansa berbeda terutama kemasan pasar malam yang dibuat meriah. Kemasan pasar malam tersebut dibuat meriah tentunya adalah untuk menarik perhatian pengunjung agar datang ke pasar malam sekaten. Kemudian, diharapkan agar masyarakat menyaksikan pentas budaya yang telah dipersiapkan oleh panitia penyelenggara sekaten.
71
Pada perayaan sekaten 2013-2014 ini, dibuat agak berbeda dari tahun sebelumnya. Pada periode ini (6 Desember 2013-14 januari 2014) tiket masuk arena pasar malam digratiskan, berbeda dengan tahun sebelumnya setiap pengunjung dimintai tarif untuk masuk menuju pasar malam. Tentu saja dengan digratiskannya tarif masuk, maka jumlah pengunjung pun meningkat. Walau hujan rintik-rintik mengguyur area pasar malam, namun, tidak menyurutkan antusias masyarakat untuk datang ke acara perayaan sekaten. Banyak program acara pentas budaya serta agama yang telah disusun oleh panitia untuk dipertunjukkan di panggung sekaten. Memang pada saat ini, panitia lebih banyak mempertunjukkan pentas budaya serta agama, ini karena dari evaluasi sebelumnya terdapat banyak kritikan dari pemerhati budaya bahwa sekaten telah kehilangan gemanya. Dari hasil penelusuran peneliti ke acara sekaten pada 8 Januari 2014, terlihat baliho serta spanduk yang memperlihatkan kegiatan tradisi sekaten dipampang disetiap sisi Alun-alun Utara Yogyakarta. Kemudian, papan pengumuman kegiatan sekaten juga dipampang dekat pintu plengkung masuk Alun-alun Utara. Ini adalah salah satu bentuk usaha yang dilakukan pemerintah kota dalam menyosialisasikan kegiatan sekaten kepada masyarakat agar selalu hadir dalam setiap even penting yang diselenggarakan oleh panitia sekaten. Kemudian, menuju tempat pemukulan gamelan sekaten di sebelah timur Masjid Besar Keraton, terlihat suasana yang tidak kalah ramai
72
dengan arena pasar malam sekaten. Memang dapat dikatakan tidak seramai orang yang datang ke pasar malam, namun, antusias masyarakat yang melihat pemukulan gamelan cukup besar. Keramaian ini juga tentunya adanya pedagang lesehan yang menjajakan makanan khas sekaten, seperti nasi gurih, telur merah dan kinang (daun sirih). Jadi, sambil mengkonsumsi makanan khas sekaten, masyarakat bisa sambil mendengarkan alunan gamelan yang dipukul oleh para abdi dalem keraton. Pada selang waktu sepuluh tahun terakhir ini memang tidak dapat dihindari masuknya modernisasi telah mengubah bentuk serta kemasan sekaten yang dibuat lebih semarak. Artinya pasar malam dibuat lebih meriah dan megah. Berbeda dengan pasar malam lainnya yang kemasannya biasa saja dan terbatas oleh luas tempat. Dengan kemegahan tersebut tentunya masyarakat akan tertarik untuk datang ke pasar malam sekaten. Pada perayaan sekaten dikemas dalam bentuk Jogja Expo Sekaten (JES) sejak tahun 2004 hingga 2005 timbul masalah yang menyebabkan pergeseran makna religi dan budaya.19 Makna Expo sendiri lebih berimplikasi pada suatu kepentingan bisnis. Tentunya hal ini dapat berdampak buruk pada eksistensi dari sekaten tersebut. Dr. Purwadi M. Hum Humas UGM (Universitas Gajah Mada) mengatakan Jogja Expo Sekaten 2005 telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dari 19
Humas UGM, “Privatisasi Sekaten?”, artikel diakses pada 6 oktober 2013 dari http://www.ugm.ac.id/id/berita/1074-privatisasi.sekaten
73
budaya spiritual menjadi budaya material.20 Oleh karena itu, karena banyak menuai kritik dari pemerhati budaya, setelah pelaksanaan sekaten tahun 2005 nama Expo diganti dan diubah menjadi Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) hingga sekarang. Pada perayaan sekaten tahun 2004 dan 2005 dapat dikatakan bahwa perayaan tersebut tidak merakyat. Menurut Hendrie seorang Kepala Pusat Studi Pariwisata UGM, karena pengelolaannya berbasis bisnis, maka stand sekaten pun diubah secara besar-besaran. Tempat pelaksanaannya tetap di Alun-alun Utara, namun, sekaten pada saat itu lebih tertutup bagi kalangan kebanyakan. Seluruh Alun-alun Utara didesain mirip benteng dengan penambahan gerbang sebagai jalan masuk. Akibatnya masyarakat luas tidak lagi bebas melihat secara langsung seperti saat dulu, apalagi ditambah dengan harga tiket masuk yang menurut sebagian pengunjung sangat memberatkan mereka.21 Dalam pembukaan sekaten 21 Desember 2012 di Keraton Yogyakarta, Sultan berpesan agar perayaan sekaten tetap mengacu pada tiga aspek utamanya yaitu religi, budaya, dan ekonomi.22 Pada aspek ekonomi, memang aspek tersebut merupakan salah satu faktor pemicu komunikasi antarbudaya.23 Terlihat aktifitas ekonomi di pasar malam sekaten begitu ramai dan padat. Tentunya agar makna sekaten tidak hilang
20
Pusat Studi Pariwisata UGM, Bahan Diskusi Bulanan (Kumpulan Opini dan Surat Kabar) Privatisasi Sekaten? (Yogyakarta: T.pn., 2005), h. 4. 21 Humas UGM, “Privatisasi Sekaten?” 22 Hendra A Setyawan, “Sultan: Sekaten Berkembang Sesuai Zaman.” 23 Dadan Anugrah dan Winny Kresnowiati, Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan Aplikasinya (Jakarta: Jala Permata, 2008), h. 9.
74
karena perkembangan zaman, harus ada sinergitas antara semua pihak yang terkait dengan perayaan sekaten untuk menata perayaan sekaten lebih baik lagi. Tiga aspek yang terdapat dalam sekaten yaitu aspek religi, budaya, dan ekonomi harus berjalan seimbang dan saling menopang.
C. Prosesi Pelaksanaan Sekaten dalam Pandangan Islam Menurut prosesi pelaksanaannya, sekaten dilaksanakan selama seminggu dimulai dari tanggal 5 Rabiul Awal hingga 11 Rabiul Awal. Kemudian, tanggal 12 Rabiul Awal merupakan puncak dari perayaan sekaten atau dikenal dengan sebutan Grebeg Mulud. Untuk pasar malam sekaten diadakan selama sebulan, dimulai dari sebulan sebelum acara Grebeg dimulai. Urutan atau Tata Cara Ritual Sekaten Urutan atau tata cara ritual dalam penyelengaraan upacara sekaten terdiri dari beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Tahap Persiapan Di dalam penyelenggaraan upacara sekaten ada dua jenis persiapan, yaitu persiapan fisik dan persiapan nonfisik. Persiapan fisik berwujud
benda-benda
dan
perlengkapan-perlengkapan
yang
diperlukan dalam penyelenggaraan upacara, sedangkan persiapan nonfisik berwujud sikap dan perbuatan yang harus dilaksanakan pada waktu sebelum pelaksanaan upacara sekaten seperti bersuci dengan cara puasa dan mandi wajib.
75
Adapun persiapan yang berwujud fisik, yaitu berwujud bendabenda dan perlengkapan-perlengkapan
yang diperlukan dalam
penyelenggaraan upacara. Benda-benda tersebut adalah:
a. Gamelan sekaten Gamelan sekaten adalah gamelan yang khusus hanya dipukul (dibunyikan) pada saat penyelenggaraan upacara sekaten.
Masing-masing gamelan tersebut bernama Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga.
Gambar 1. Gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga
Gambar 2. Gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu b. Perbendaharaan lagu-lagu atau gending-gending sekaten
76
Lagu-lagu atau gending-gending yang dibunyikan pada upacara sekaten merupakan gending-gending khusus yang tidak pernah dibunyikan pada acara lain. Gending-gending tersebut adalah: Rambu pathet lima, Rangkung pathet lima, Lunggadhung pelog pathet lima, Atur-atur pathet nem, Andong-andong pathet lima, Rendheng pathet lima, Jaumi pathet lima, Gliyung pathet nem, Salatun pathet nem, Dhindhang Sabinah pathet nem, Muru Putih Orang-aring pathet nem, Ngajatun pathet nem, Bayem Tur pathet nem, Supiatun pathet barang, Srundheng Gosong pelog pathet barang. c. Sejumlah kepingan uang logam, beras, dan bunga Setaman untuk disebarkan dalam upacara udhik-udhik. d. Sejumlah bunga Kanthil (Cempaka) yang akan disematkan pada daun telinga kanan Sri Sultan dan para pengiringnya pada saat menghadiri pembacaan riwayat Nabi Muhammad s.a.w. bila pembacaan sudah sampai pada asrokal (semacam bacaan barjanji). e. Busana seragam yang masih baru dan sejumlah samir yang khusus akan dipakai oleh para niyaga selama bertugas memukul gamelan sekaten dalam upacara sekaten. f. Atribut dan perlengkapan prajurit keraton yang akan bertugas mengawal gamelan sekaten dari keraton ke halaman Masjid
77
Gedhe Kauman, dan dari halaman Masjid Gedhe Kauman kembali ke keraton. 2. Tahap Gamelan Sekaten Mulai Dibunyikan Gamelan sekaten mulai dibunyikan di dalam keraton pada tanggal 5 Rabiul Awal. Gamelan sekaten dibunyikan di Bangsal Ponconiti yang berada di halaman Kemandhungan atau Keben, yaitu di tratag bagian timur dan tratag bagian barat. Mula-mula pada pukul 16.00 WIB gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga dikeluarkan dari tempat persemayaman, untuk ditata di Bangsal Ponconiti, di tratag bagian timur dan tratag bagian barat. Kanjeng Kiai Gunturmadu ditata di tratag bagian timur, Kanjeng Kiai Nagawilaga ditata di tratag bagian barat. Lepas waktu shalat Isya, setelah segala sesuatunya siap, para abdi dalem yang bertugas di Bangsal Ponconiti (dahulu di Bangsal Srimanganti dan Bangsal Trajumas) memberi laporan kepada Sri Sultan bahwa upacara siap dimulai. Setelah ada perintah dari Sri Sultan melalui abdi dalem
yang diutus, mulailah gamelan sekaten
dibunyikan. Gamelan sekaten dibunyikan mulai pukul 19.00 WIB hingga pukul 23.00 WIB. Mula-mula yang dibunyikan terlebih dahulu adalah Kanjeng Kiai Gunturmadu dengan gending racikan pathet lima dhawah gendhing Rambu disusul Kanjeng Kiai Nagawilaga dengan gending yang sama. Begitu seterusnya, pemukulan gamelan berselang-
78
seling dari Kanjeng Kiai Gunturmadu disusul Kanjeng Kiai Nagawilaga dengan urutan gending yang sudah ditentukan. Pada pukul 20.00 WIB, sultan atau utusannya diiringi para pangeran, kerabat dan para bupati datang ke tempat gamelan, yaitu di Bangsal Ponconiti, untuk menyebarkan udhik-udhik. Mula-mula udhikudhik disebarkan di Bangsal Ponconiti tratag bagian timur, ke arah para penabuh gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu, kemudian, di Bangsal Ponconiti tratag bagian barat, ke arah para penabuh gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga. Selanjutnya udhik-udhik disebarkan ke arah para pengunjung (kawula ingkang sowan). Pada waktu gamelan sekaten dibunyikan di Bangsal Srimanganti dan di Bangsal Trajumas, mula-mula udhik-udhik disebarkan di depan gerbang Danapertapa. Sesampainya di gerbang Danapertapa, Sri Sultan atau yang mewakili menebarkan udhik-udhik ke arah para pengunjung (kawula ingkang sowan). Selanjutnya rombongan menuju Bangsal Srimanganti untuk menebarkan udhik-udhik ke arah para pemukul gamelan Kanjeng Kiai Gunturmadu. Kemudian pindah ke Bangsal Trajumas, udhik-udhik disebar ke arah para pemukul gamelan Kanjeng Kiai Nagawilaga. 3. Tahap Gamelan Sekaten Dipindahkan ke Halaman Masjid Gedhe Kauman Pada pukul 23.00 WIB bunyi gamelan sudah berhenti. Bersamaan dengan itu, datang para prajurit yang akan bertugas mengawal iring-
79
iringan gamelan dari keraton menuju halaman Masjid Gedhe Kauman serta para abdi dalem KHP Wahono Sarta Kriya yang akan bertugas mengusung gamelan. Setibanya di keraton para prajurit lalu mengambil panji-panji, sedangkan para abdi dalem KHP Wahono Sarta Kriya segera mengambil ancak dibawa ke tratag Bangsal Ponconiti bagian timur dan barat, kemudian, menata gamelan yang akan diusung tersebut. Setelah dipindahkan ke masjid, gamelan tersebut dibunyikan secara terus-menerus sampai tanggal 11 Rabiul Awal malam, kecuali pada waktu sholat wajib, pada malam Jumat hingga selesai sholat Jumat. 4. Tahap Sri Sultan Hadir di Masjid Gedhe Kauman Pada malam ke-7, tanggal 11 Rabiul Awal malam di Masjid Gedhe Kauman diselenggarakan pembacaan riwayat Nabi Muhammad s.a.w. dan penyebaran udhik-udhik oleh sultan, yang disebut Pisowanan Malem Garebeg/Muludan. Kehadiran sultan di Masjid Gedhe Kauman disambut dan diiringi oleh para abdi dalem Sipat Bupati, dan jalan yang akan dilintasi sultan dipagar betis oleh empat bregada prajurit, yaitu satu bregada menjadi pagar betis lintasan jalan dari pintu gerbang Masjid Gedhe Kauman menuju pagongan selatan, satu bregada menjadi pagar betis lintasan jalan dari pintu gerbang Masjid Gedhe Kauman menuju pagongan utara, dan dua bregada menjadi pagar betis untuk lintasan dari pintu gerbang Masjid Gedhe Kauman menuju serambi masjid.
80
Kemudian setelah sampai di masjid, sultan mengucapkan salam, lalu memberi salam kepada Kanjeng Raden Penghulu untuk mulai membaca riwayat Nabi Muhammad s.a.w. Beberapa saat kemudian, sultan dengan diiringkan KGPAA Paku Alam, para KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran Harya), dan para GBPH (Gusti Bendara Pangeran Harya) dipersilahkan bersemayam di dalam masjid untuk beristirahat. Pada saat pembacaan Maulid Nabi Muhammad s.a.w. sampai pada asrokal
(peristiwa
kelahiran
Nabi),
Sri
Sultan
beserta
para
pengiringnya kembali ke serambi untuk menerima persembahan bunga cempaka (saos sekar sumping) dari Kiai Penghulu yang disajikan oleh abdi dalem Punokawan Kaji. 5. Tahap Kondur Gongsa Pada tanggal 11 Mulud (Rabiul Awal), kira-kira pukul 24.00 WIB setelah sultan meninggalkan Masjid Gedhe Kauman, gamelan sekaten diboyong kembali ke keraton, yang disebut kondur gongso, dengan dikawal oleh dua pasukan abdi dalem prajurit, yaitu Prajurit Mantrijero dan Prajurit Ketanggung. Sebelumnya, pada pukul 23.00 WIB, abdi dalem KHP Wahana Sarta Kriya datang ke pagongan selatan dan utara untuk menata gamelan. Para abdi dalem prajurit berbaris di kiri dan kanan jalan di depan pagongan selatan dan utara untuk ngurung-urung (melindungi) keluarnya gamelan dari tempat tersebut. Setelah semuanya siap, Kanjeng Raden Pengulu dan Walikota Yogyakarta melepas kembalinya gamelan ke keraton. Sesampainya di keraton,
81
gamelan langsung disemayamkan di tempatnya semula di Bangsal Trajumas. Dengan dipindahkannya gamelan pusaka Kanjeng Kiai Sekati dari halaman Masjid Gedhe Kauman kembali ke keraton menandai bahwa upacara sekaten telah selesai. Prosesi sekaten yang dilaksanakan setiap bulan Rabiul Awal atau tepatnya dilaksanakan pada tanggal 5-11 Rabiul Awal memiliki makna tersendiri baik itu dalam aspek budaya maupun dalam aspek religi. Dalam aspek budaya tentu ini merupakan hasil cipta dan karya manusia yang memiliki nilai-nilai filosofis tertentu. Sementara dalam aspek religi, sekaten merupakan suatu tradisi yang di dalamnya mengandung nilai-nilai ke-Islaman. Di dalam tradisi tersebut, dipertunjukkan bagaimana seorang umat muslim diajak untuk dapat meneladani sifat-sifat Nabi Muhammad s.a.w. Dalam pandangan Islam sendiri, tidak ditemukan perintah ataupun anjuran untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. dan dikategorikan sebagai bid’ah.24 Namun, menurut pendapat Imam Jalaluddin As-Suyuthi (749-911 H) memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. dibolehkan karena hal itu merupakan wujud kecintaan umat Islam kepada Rasul-Nya.25 Kemudian, diyakini pula dalam cerita yang beredar di masyarakat, ini merupakan bentuk dakwah yang dilakukan oleh para Wali Sanga dalam menyebarkan agama Islam. Hal ini senada
24
Wawancara pribadi dengan KRT. Ahmad Kamaludiningrat, pada 8 Januari 2014. Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah Pertentangan?, h. 56. 25
82
dengan pendapat yang diungkapkan Romo Rinta bahwa perayaan sekaten ini intinya adalah syiar Islam.26 Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, para wali berdakwah dengan cara melakukan penyesuaian terhadap adat-istiadat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat tersebut. Melalui momentum hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w., para wali tersebut mengganti suatu tradisi selamatan menjadi tradisi sekaten. Tentunya ini adalah suatu cara yang dilakukan oleh para wali untuk menyesuaikan tradisi budaya lokal dengan nilai-nilai ajaran Islam. Melalui iring-iringan gamelan dan pembacaan riwayat nabi akhirnya banyak masyarakat waktu itu yang memeluk Islam dengan suka rela.27
D. Pesan Verbal dalam Tradisi Sekaten Pesan verbal yang ingin disampaikan dalam tradisi sekaten adalah melalui gending-gending ciptaan wali sanga yang diiringi oleh bunyi gamelan sekaten. Wali Sanga saat itu menciptakan banyak gending atau lagu pengiring gamelan dengan menggunakan bahasa Jawa, fungsinya tidak lain adalah untuk syiar, berikut adalah salah satu gending hasil ciptaan dari Sunan Kalijaga yang isinya tuntunan kepada manusia untuk memeluk agama Islam dan diamalkan dalam kehidupan manusia. Salah satu gending tersebut adalah E Dhayuhe Teka. E dhayuhe teka, e gelarna klasa 26 27
Wawancara Pribadi dengan KRT. Rintaiswara. Wawancara pribadi dengan KRT. Ahmad Kamaludiningrat.
83
E klasane bedhah, e tambalen jadhah E jadahe mambu, e pakakna asu E asune mati, e buwangen kali E kaline banjir, e buwangen pinggir E Pinggire lunyu, e golek o sangu Artinya Hai tamunya sudah datang, hai bentangkan tikar Hai tikarnya robek, hai tutuplah dengan jadah Hai jadahnya basi, hai kasihkan pada anjing Hai anjingnya mati, hai buanglah ke sungai Hai sungainya banjir, hai buanglah ke pinggir Hai tepian sungainya licin, hai carilah bekal
Lagu tersebut memberikan gambaran kepada manusia bahwa dhayuh identik dengan tamu atau ajaran Islam telah datang. Untuk itu segeralah kita menyambut ajaran tersebut dengan suka cita. Caranya adalah harus dengan gelar klasa (membentangkan tikar), yaitu simbol dari hati yang suci, terbuka dan ikhlas menerima ajaran Islam. Dengan membersihkan diri, hati, pikiran, perasaan, dan keinginan, kita diharapkan tidak akan bedhah (robek) atau menerima kerugian dalam hidup. Cara paling baik jika hati kita banyak dosa adalah mendekatkan diri kepada Allah dengan jalan mujahadah dan taubat meskipun itu sulit, seperti sungai yang sedang banjir dan licin. Akan tetapi, teruslah berusaha sungguh-sungguh untuk mencari bekal agar kita bisa selamat dunia akhirat. Bekal yang paling utama adalah ajaran agama Islam.28
28
Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah Pertentangan?, h.49.
84
E. Pesan Nonverbal dalam Tradisi Sekaten Pada saat perayaan tradisi sekaten, terdapat beberapa simbolsimbol budaya yang dipertunjukan sebagai bentuk bagian dari ritual prosesi sekaten. Pertunjukkan simbol-simbol budaya tersebut semakin menambah kesakralan dari ritual yang diadakan setahun sekali ini. Dalam simbol-simbol budaya yang dipertunjukkan tersebut mengandung makna tertentu yang menjadi kepercayaan bagi beberapa masyarakat Yogyakarta. Berikut adalah penjelasan berkaitan dengan pesan nonverbal yang terkandung dalam tradisi sekaten. Pertama, bunyi-bunyian yang dihasilkan dari pemukulan gamelan memiliki makna tersendiri. Pada tahap gamelan mulai dibunyikan, terdengar sayup alunan ayat suci Alquran di pengeras suara Masjid Gede Kauman Yogyakarta. Saat itu jam 19.30 WIB pengajian ibu-ibu dimulai serta pengunjung di Pasar Malam Sekaten semakin membludak menuju dua bangsal di mana dua gamelan keraton yaitu Kanjeng Kiai Gunturmadu dan Kanjeng Kiai Nagawilaga dimainkan tepat 30 menit kemudian. Para abdi dalem berpakaian biru muda di dalam dua tempat itu sudah ada pada posisinya masing- masing, ada yang bertugas menabuh Gong, Kenong, Kempul, Kendang dan Ganjur. Semua gamelan tersebut jika disusun sedemikian rupa berbunyi: nong-ning, maksudnya nong-kono/nong-kene (di sana-di sini), pung-pung, maksudnya mumpung-mumpung (selagi ada kesempatan), tak ndang-tak ndang artinya ndang-ndang (cepat-cepat atau segera) dan disusul dengan bunyi nggurr yang berarti njegur (berwudhu
85
dan masuk masjid).29 Dengan demikian, makna dari pemukulan gamelan tersebut adalah mengajak semua orang di mana saja agar mereka menggunakan kesempatan hidupnya untuk segera masuk agama Islam dan dapat hidup selamat di dunia maupun akhirat. Kedua, pada saat awal pembunyian gamelan sekaten atau sebelum dilakukannya miyos gongso di Keraton Yogyakarta, Sri Sultan melakukan tradisi penyebaran udhik-udhik yang di dalamnya berisi uang logam, beras, serta bunga setaman. Kemudian, ketika Sri Sultan menghadiri acara ceramah pada tanggal 11 Rabiul Awal malam di Masjid Gedhe Keraton, Sri Sultan melakukan hal yang sama yaitu melemparkan udhik-udhik ke arah jamaah yang datang. Ritual udhik-udhik merupakan simbol dari kesejahteraan yang dibagikan oleh raja kepada seluruh rakyatnya.30 Ketiga, raja tidak hanya melakukan penyebaran udhik-udhik, raja juga mengeluarkan tujuh gunungan. Tujuh buah gunungan tersebut akan di kirab ke tiga tempat yaitu Masjid Agung Kauman dengan gunungan putri, gunungan kakung, gunungan darat, gunungan gepak, dan gunungan pawuhan, sedangkan dua gunungan lagi yang terdiri dari dua gunungan kakung dibawa ke Kepatihan dan Puro Pakualaman. Ke tujuh gunungan tersebut di buat di Kemagangan Kidul setelah dilakukan prosesi numplak
29 Budi W, “Gending Sekaten diperdengarkan Secara Streaming Radio”, artikel diakses pada 30 Agustus 2013 dari http://gudeg.net/id/news/2012/01/6838/Gending-Sekatendiperdengarkan-Secara-Streaming-Radio.html#.UnEHccjL98I 30 “Miyos Gongso, Tabuh Gamelan Selama 7 Hari,” Tribun Jogja, 9 Januari 2014, h. 13.
86
wajik (prosesi yang mengawali pembuatan gunungan). Kemudian dari Kemagangan di bawa menuju Keben.31 Pada puncak acara yaitu tanggal 12 Rabiul Awal, gunungan tersebut diarak ke Masjid Besar Keraton untuk didoakan, setelah selesai didoakan kemudian dikirim ke tiga tempat tadi untuk di rayah (rebut) oleh rakyat. Kegiatan ngrayah atau berebut gunungan menggambarkan sebuah filosofi bahwa manusia dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan harus berani melakukan persaingan. Dan permasalahan hidup harus dihadapai bukan untuk dihindari.32 Kemudian, ada kepercayaan yang berkembang di masyarakat apabila mendapatkan salah satu hasil bumi tersebut maka akan mendapatkan keberkahan dari Tuhan Yang Maha Esa.33 Gunungan tersebut sebagai simbol sedekah raja kepada rakyatnya. Gunungan yang diarak di tiga tempat tersebut memiliki tiga arti penting. Arti pertama adalah arti religius, berhubungan dengan peran sultan sebagai Sayyidin Panatagama Khalifatullah, sultan bertugas dalam melakukan penyebaran agama Islam. Kedua adalah arti historis, berkaitan dengan kewajiban sultan untuk meneruskan warisan tradisi raja-raja Mataram terdahulu. Ketiga adalah arti kultural, berkaitan dengan kedudukan sultan
31
Windu, “Grebeg Maulud di Kepatihan,” artikel diakses pada 13 Januari 2014 dari http://www.dolan-dolan.net/2014/01/grebeg-maulud-di-kepatihan.html 32 Aan Ardian, “Gerebeg Sekaten”, artikel diakses pada 31 Agustus 2013 dari http://kotajogja.com/wisata/index/Grebeg-Sekaten 33 Dinas P dan K, Sekilas Pembuatan Gunungan Dalam Rangka Upacara Grebeg Mulud Tahun BE 1912 (Yogyakarta: Dinas P dan K, 1981), h. 13.
87
sebagai pemimpin suku Jawa, yang memiliki kewajiban memelihara dan melestarikan budaya Jawa.34
F. Unsur unsur Komunikasi Antarbudaya dalam Tradisi Sekaten 1) Sistem Kepercayaan Sistem kepercayaan yang berkembang di Jawa pada awalnya merupakan sistem kepercayaan Hindu dan Budha yang dibawa oleh kerajaan Matamam Kuno dan Majapahit. Pada masa kerajaan tersebut, kepercayaan itu berkembang secara luas dan tertanam kuat dalam jiwa masyarakat saat itu. Sehingga banyak ditemukan adanya ritual sesembahan sesaji untuk para dewa atau benda-benda berhala. Hal ini terus dilakukan hingga akhir runtuhnya kerajaan Majapahit. Menurut Simuh, budaya khas masyarakat Jawa yang dipengaruhi
kehidupan
beragamanya,
menghasilkan
tiga
karakteristik kebudayaan Jawa, yaitu:35 1. Kebudayaan Jawa pra Hindu-Budha Sebelum masuknya agama Hindu-Budha ke Indonesia, masyarakat menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Kepercayaan ini merupakan akar budaya masyarakat Indonesia dan dianggap sebagai kepercayaan asli Indonesia.
34
Dinas Kebudayaan DIY, Garebeg: Gunungan, Doa dan Sedekah (Sebuah Dokumentasi Visual) (Yogyakarta: Jogja Heritage Society, 2012), h. 8. 35 Dinas Kebudayaan DIY, Garebeg: Gunungan, Doa dan Sedekah (Sebuah Dokumentasi Visual) (Yogyakarta: Jogja Heritage Society, 2012), h. 5-6.
88
2. Kebudayaan Jawa masa Hindu-Budha Pada masa ini, unsur-unsur kebudayaan India berakulturasi dengan budaya Jawa. Pemujaan terhadap dewa-dewa, dan jasa mantra-mantra magis, menambah subur keyakinan animisme serta dinamisme sebelumnya. 3. Kebudayaan Jawa masa kerajaan Islam Masuknya kebudayaan Islam, ditandai dengan berakhirnya kerajaan Hindu Jawa menjadi Islam Jawa di Demak. Para wali memasukkan unsur-unsur agama Islam ke dalam budaya Jawa untuk mempermudah penyebaran Islam. Sistem kepercayaan yang mulai berkembang dari sejak masa pra Hindu-Budha tidak dihilangkan begitu saja. Para wali menyadari bahwa jika paham-paham yang sudah mengakar kuat di Jawa itu ditentang secara radikal, agama Islam tidak akan mungkin dapat dikembangkan dengan lancar di Jawa.36 Pada masa kerajaan Islam Demak, sistem kepercayaan tersebut tetap berkembang, namun, dengan disisipi oleh nilai-nilai ke-Islaman. Sehingga, antara tradisi-tradisi kejawen
dengan ajaran ke-Islaman tetap
berjalan secara beriringan. Ini merupakan metode dakwah yang dilakukan oleh para Wali Sanga agar Islam di tanah Jawa dapat tersebar secara luas. Dalam wawancara yang dilakukan penulis terhadap pihak keraton 36
Syariful Alim, Hakikat Tuhan dan Manusia: Perspektif Pujangga Muslim Jawa (Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2013), h. 3.
89
menyebutkan bahwa para wali menyebarkan Islam dengan cara bijaksana dan halus.37 Ini merupakan suatu bukti bahwa Islam merupakan agama rahmatan lil’alamin (rahmat bagi semesta alam). Islam hadir ditengah masyarakat dengan damai dan akhirnya akan diterima dengan hati terbuka dan tulus. Dalam syiar ini, terutama masalah tauhid disebarkan sesuai dengan ajaran Islam, sehingga penganut agama Jawa (Agama Kejawen) dan kepercayaan animisme serta dinamisme tidak secara penuh menyerap ajaran Islam. Misalnya, masalah slamatan dihubungkan dengan shadaqah, ujub atau penyerahan itu yang ditujukan sebagai pemberian hidangan kepada ruh-ruh dan Sang Hyang, diganti ngaweruhi atau memeringati para Nabi dan Wali. Puji-pujian kepada selain Tuhan yang menyebabkan syirik, diganti tahlil.38 Sejak Kesultanan Yogyakarta berdiri pada tahun 1755 Masehi, agama resmi kerajaan adalah Islam. Raja memakai sebutan dengan kata bahasa Arab: Sultan. Rangkaian gelar raja, sebagian mencerminkan ciri ke-Islaman: Abdul Rahman (yang dalam bahasa Jawa diucapkan dan ditulis Ngabdurrahman), Sayidin, Kalifatullah. Kedudukan Sultan bukan hanya Khalifah, melainkan juga penata
37 38
Wawancara Pribadi dengan Purwadiningrat. Syariful Alim, Hakikat Tuhan dan Manusia: Perspektif Pujangga Muslim Jawa, h. 3.
90
agama, itu tercantum dalam gelar sultan yang dalam bahasa Jawanya disebut panotogomo (Panoto-agama = penata agama).39 Citra ke-Islaman secara fisik ditandai dengan adanya Masjid Gedhe Kauman, pusat peribadatan umum di ibu kota kerajaan. Masjid Keputren, Masjid Panepen didirikan di bagian pusat keraton. Ditambah dengan Masjid Suronatan dan adanya perkampungan
atau
pemukiman
khusus
bagi
golongan
ulama/golongan kaum, yakni Kauman.40 Akan tetapi sultan adalah seseorang insan Jawa yang memiliki kebanggaan terhadap identitas suku bangsanya. Yang membentuk identitas, kepribadian suku bangsa Jawa adalah unsurunsur kebudayaan yang diwarnai oleh kepercayaan lama yang bersifat kejawen. Maka tidaklah mengherankan apabila sultan sebagai raja dari suku bangsa Jawa, sebagaimana juga yang dilakukan oleh nenek moyangnya para raja Mataram Islam terdahulu,
merasa berkewajiban untuk melestarikan tradisi
kebudayaan Jawa yang memberi corak kejawen Kesultanan Yogyakarta.41 2) Nilai-nilai, Sikap, dan Pandangan Hidup Tentang Dunia Dalam sekaten, Islam dan budaya lokal bertemu dalam satu ritual yang harmonis. Islam tidak menghilangkan aspek tradisi lokal, tetapi menginterpretasikan secara kritis dan kreatif sehingga 39
Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta, h. 36. Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta, h. 36. 41 Soelarto, Garebeg di Kesultanan Yogyakarta, h. 37. 40
91
menghasilkan wajah Islam yang ramah, toleran, dan moderat. Tradisi ini tidak mengorbankan substansi Islam, sebaliknya justru memperkaya
Islam
dengan
khasanah
budaya
lokal.42
Purwodiningrat menyatakan bahwa Islam hadir dalam masyarakat Jawa secara bijaksana tanpa adanya unsur pemaksaan secara radikal untuk masuk agama Islam.43 Menurut Romo Rinta, nilai-nilai yang terdapat dalam budaya sekaten meliputi nilai kebersamaan, kerukunan, dan kesetiaan. Kebersamaan maksudnya adalah dalam penyelenggaraan sekaten tidak mungkin hanya satu pihak yang berperan terhadap jalannya acara, namun, peran semua pihak sangat berperan terhadap kelancaran suatu acara. Lalu, kerukunan maksudnya adalah adanya saling menghargai dan menghormati antara satu dengan lainnya. Kemudian, kesetiaan maksudnya adalah adanya sikap menerima apa pun yang diperintahkan raja oleh para abdi dalem keraton, dengan sepenuh hati para abdi dalem dengan setia dan taat melakukan apapun yang diperintah raja terutama dalam mengangkat gunungan sekaten.44 Usaha mencari keselamatan hidup pada masyarakat Jawa sudah berlangsung sejak sebelum mereka mengenal teologi sebagaimana yang didapatkan dalam teologi agama-agama formal.
42
Ismail Yahya, dkk., Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah Pertentangan?, h. 54. 43 Wawancara Pribadi dengan Purwodiningrat. 44 Wawancara Pribadi dengan KRT. Rintaiswara.
92
Konsep tentang ketuhanan dan kekuasaan yang bersifat Ilahi sangat penting bagi orang Jawa tradisional, karena dengan konsep tadi orang Jawa akan menyesuaikan diri pada alam raya.45 Menurut orang Jawa tidak ada norma kebenaran yang objektif dan absolut. Apa yang benar, baik dan tepat adalah apa yang cocok yang mampu mempertahankan harmoni dan menghindarkan konflik.46 Sebagian orang-orang Jawa dapat dikatakan masih percaya adanya setan atau hantu yang mengganggu manusia.47 Orang-orang Jawa sangat mempercayai adanya tempat-tempat yang sakral termasuk tempat yang wingit atau angker. Agar tetap selamat dan terhindar dari marabahaya maka berbagai sesajen diberikan di tempat-tempat yang angker sesuai permintaan dhanyang (leluhur) setempat. Bahkan di tempat-tempat tertentu perlu diberi sesajen pada hari-hari tertentu.48 3) Organisasi Sosial Organisasi sosial yang berpengaruh terhadap eksistensi kebudayaan di Yogyakarta adalah keluarga, kemudian sekolah, dan terakhir adalah raja sebagai pemimpin keraton.49 Pertama keluarga, peran keluarga sangat penting selain sebagai sekolah pertama bagi seorang anak juga sebagai agen yang menanamkan nilai-nilai
45
Saksono, dkk., Keselamatan dalam Budaya Jawa (Yogyakarta: Ampera Utama, 2012),
h. 15. 46
Saksono, dkk., Keselamatan dalam Budaya Jawa, h. 20. Endraswara, Falsafah Hidup Jawa (Yogyakarta: Cakrawala, 2003), h. 9. 48 Saksono, dkk., Keselamatan dalam Budaya Jawa, h. 13. 49 Wawancara pribadi dengan Yuwono Sri Suwito 47
93
budaya Jawa. Salah satunya adalah dari cara bertutur kata yang baik dan sopan ketika berhadapan dengan orang yang lebih tua. Kemudian, tentunya ini juga berpengaruh terhadap pewarisan nilainilai budaya yang harus diteruskan oleh generasi berikutnya agar tidak hilang. Kedua adalah sekolah, sekolah sebagai institusi formal sangat penting dalam menanamkan nilai-nilai kebudayaan Jawa. Diharapkan, walau modernisasi mulai masuk ke dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat, melalui institusi sekolah tranformasi nilai-nilai kebudayaan Jawa harus tetap dilakukan kepada peserta didik. Misalnya dengan mengadakan kegiatan ekstrakurikuler budaya agar budaya-budaya peninggalan leluhur tidak hilang begitu saja. Terakhir adalah peran raja sendiri dalam menjaga keutuhan tradisi-tradisi leluhur. Melalui penyelenggaraan event-event budaya secara rutin, maka eksistensi suatu kebudayaan akan tetap terjaga.
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN 1. Sekaten adalah upacara dan ritual penabuhan gamelan Kiai Sekati yang diadakan di keraton Yogyakarta setiap tahun pada tanggal 5-11 Rabiul Awal untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. dan bertujuan untuk menyebarkan agama Islam. 2. Akulturasi yang terjadi antara Islam dengan budaya lokal Jawa memperlihatkan suatu bentuk komunikasi yang lebih terintegrasi. Kedua unsur tersebut dapat bertemu dalam dalam sebuah event yang diselenggarakan oleh wali sanga yaitu yang disebut sekaten. Gamelan yang dibuat wali sanga adalah sebagai media komunikasi yang digunakan dalam proses akulturasi. Proses tersebut dapat dikatakan sukses karena banyak diterima oleh masyarakat luas. Islam yang di satu sisi dipandang sebagai suatu budaya karena nilai-nilai yang terdapat di dalamnya dapat saling mengisi dan berpadu terhadap budaya lokal. 3. Secara verbal dalam tradisi sekaten kita diajarkan untuk mempelajari Islam dengan sungguh-sungguh, hati yang terbuka, bersih dan ikhlas sesuai dengan judul gending yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga yang berjudul E Dhayuhe Teka (Hei Tamunya Datang) maksudnya adalah ajaran Islam yang telah datang. Sekaten sendiri secara bahasa mempunyai makna syahadatain. Artinya sekaten berasal dari kata 94
95
syahadat yang menurut sejarahnya adalah masyarakat yang datang ke acara sekaten diharapkan secara suka rela masuk Islam dan mengucapkan dua kalimat syahadat. Berarti ketika telah mengucapkan dua kalimat syahadat, maka orang tersebut harus siap mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran Islam. 4. Tradisi sekaten secara nonverbal mengandung beberapa makna simbolik pertama, pemukulan gamelan sekaten yang intinya memiliki makna untuk mengundang para tamu yang datang untuk segera masuk Islam. Kedua, dari penyebaran udhik-udhik yang melambangkan kesejahteraan yang dibagikan oleh raja kepada rakyatnya. Di sisi lain, penyebaran udhik-udhik mengandung makna bahwa masyarakat ketika diberi rezeki berlebih agar menyedekahkan hartanya dan dibagikan kepada orang yang tidak mampu sehingga nantinya hartanya tersebut menjadi berkah untuk dirinya. Ketiga, gunungan yang yang juga menyimbolkan sedekah raja kepada rakyatnya. Gunungan tersebut berjumlah tujuh dan kirim ketiga tempat berbeda, yaitu di Masjid Keraton, Kepatihan dan Pakualaman untuk kemudian di rebut oleh masyarakat. Kegiatan ngrayah atau berebut gunungan menggambarkan sebuah filosofi bahwa manusia dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan harus berani melakukan persaingan. 5. Keberadaan tradisi sekaten yang tetap bertahan hingga saat ini tentunya tidak lepas dari unsur-unsur komunikasi antarbudaya yang terdapat pada tradisi sekaten. Sistem kepercayaan yang telah dibangun sejak lama pada masa kerajaan Hindu-Budha berkuasa di tanah Jawa
96
meninggalkan budaya-budaya bercorak klenik dan tentunya hal itu berpengaruh terhadap perilaku hidup masyarakat Jawa sampai saat ini. Mitos-mitos yang masih diyakini oleh sebagian masyarakat Jawa menjadi sikap budaya yang kemudian berpengaruh terhadap eksistensi dari tradisi kebudayaan yang diyakini oleh masyarakat tersebut.
B. SARAN 1. Kepada pimpinan keraton Yogyakarta agar penyelenggaraan sekaten kedepannya lebih mengutamakan keselarasan antara aspek budaya, religi, dan ekonomi. 2. Dalam penelitian selanjutnya, diharapkan agar bisa dijadikan acuan dalam mengkaji komunikasi antarbudaya berikutnya. Peneliti melihat ada baiknya jika penelitian berikutnya bisa membahas mengenai bagaimana strategi komunikasi antarbudaya yang dilakukan para wali dalam dakwahnya di tanah Jawa.
DAFTAR PUSTAKA
Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia: Pengantar Antropologi Agama. Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2006. Alim, Syariful. Hakikat Tuhan dan Manusia: Perspektif Pujangga Muslim Jawa. Yogyakarta: Pustaka Nusantara, 2013. Anugrah, Dadan dan Kresnowiati, Winny. Komunikasi Antarbudaya: Konsep dan Aplikasinya. Jakarta: Jala Permata, 2008. AW, Suranto. Komunikasi Sosial Budaya. Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010. Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan
Diskursus
Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana, 2011. Crapo, Richley H. Cultural Anthropology: Understanding Ourselves & Others. New York: McGraw-Hill, 2002. Departemen Agama Republik Indonesia. Al-Quran dan Terjemahannya (Juz 1Juz30). Surabaya: C.V. Jaya Sakti, 1997. DeVito, Joseph A. Komunikasi Antarmanusia. Tangerang Selatan: Karisma, 2011. Dinas P dan K. Upacara Adat Karaton Ngayogyakarta. DIY: Dinas P dan K, t.t. ___________. Sekilas Pembuatan Gunungan Dalam Rangka Upacara Grebeg Mulud Tahun BE 1912. Yogyakarta: Dinas P dan K, 1981. Effendy, Onong Uchjana. Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002. Endraswara. Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta: Cakrawala, 2003.
97
98
Hasan, M Iqbal. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian & Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia, 2002. Heryanto, Fredy. Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Yogyakarta: Warna Mediasindo, 2010. Liliweri, Alo. Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: LkiS, 2003. __________. Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. __________. Komunikasi Serba Ada Serba Makna. Jakarta: Kencana, 2011. Loewhental, Kate. Religion, Culture, and Mental Health. USA: Cambridge University Press, 2006. Mardimin, Johanes. Jangan Tangisi Tradisi: Transformasi Budaya Menuju Masyarakat Indonesia Modern. Yogyakarta: Kanisius, 1994. Moeliono, Anton M. dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta: Balai Pustaka, 2002. Muhaimin. Kawasan dan Wawasan Studi Islam. Jakarta: Kencana, 2005. Mulyana, Deddy. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Rosdakarya, 2007. Mulyana, Deddy dan Rakhmat, Jalaluddin. Komunikasi Antarbudaya: Panduan Komunikasi
dengan
Orang-Orang
Berbeda
Budaya.
Bandung:
Rosdakarya, 2006. Nasrullah, Rulli. Komunikasi Antarbudaya di Era Budaya Siber. Jakarta: Kencana, 2013.
99
Nurudin. Sistem Komunikasi Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Paeni, Mukhlis. Sejarah Kebudayaan Indonesia Sistem Sosial. Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Pusat Studi Pariwisata UGM. Bahan Diskusi Bulanan (Kumpulan Opini dan Surat Kabar) Privatisasi Sekaten? Yogyakarta: T.pn., 2005. Rintaiswara. Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat Pusat Budaya Jawa. Yogyakarta: KHP Widya Budaya, t.t. Rodzik, Ali Abdul, Akulturasi Budaya Betawi Dengan Tionghoa (Studi Komunikasi Antarbudaya pada Kesenian Gambang Kromong di Perkampungan Budaya Betawi, Kelurahan Srengseng Sawah, Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2008. Roudhonah. Ilmu Komunikasi. Jakarta: UIN PRESS, 2007. Rumondor, Alex H. Komunikasi Antarbudaya. Jakarta: Universitas Terbuka, 1995. Saksono. dkk. Keselamatan dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Ampera Utama, 2012. Samovar,
Larry A.
Understanding
Intercultural
Communication.
USA:
Wadsworth Publishing Company, 1981. Shoelhi, Mohammad. Komunikasi Internasional Perspektif Jurnalistik. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2009. Suyami. Upacara Ritual di Keraton Yogyakarta: Refleksi Mithologi dalam Budaya Jawa. Yogyakarta: Kepel Press, 2008.
100
Yahya, Ismail. dkk.
Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam: Adakah
Pertentangan? Solo: Inti Medina, 2009.
WEBSITE
Aditya, Ivan. “Sultan Buka Sekaten.” Artikel diakses pada 31 Agustus 2013 dari http://kr.co.id/read/155343/sultan-buka-sekaten.kr Ardian, Aan. “Gerebeg Sekaten.” Artikel diakses pada 31 Agustus 2013 dari http://kotajogja.com/wisata/index/Grebeg-Sekaten Budi W. “Gending Sekaten diperdengarkan Secara Streaming Radio.” Artikel diakses pada 30 Agustus 2013 dari http://gudeg.net/id/news/2012/01/6838/Gending-Sekaten-diperdengarkanSecara-Streaming-Radio.html#.UnEHccjL98I Humas UGM. “Privatisasi Sekaten?” Artikel diakses pada 6 oktober 2013 dari http://www.ugm.ac.id/id/berita/1074-privatisasi.sekaten Riyadi, Timur Arif . “Warisi Tradisi di Panggung Sekaten.” Artikel diakses pada 30 Agustus 2013 dari http://www.jurnas.com/halaman/12/2013-0122/232476 Setyawan, Hendra. “Sultan: Sekaten Berkembang Sesuai Zaman.” Artikel diakses pada 30 Agustus 2013 dari
101
http://regional.kompas.com/read/2012/12/21/18493744/Sultan.Sekaten.Ber kembang.Sesuai.Zaman Windu, “Grebeg Maulud di Kepatihan,” artikel diakses pada 20 Januari 2014 dari http://www.dolan-dolan.net/2014/01/grebeg-maulud-di-kepatihan.html
Wikipedia, “Asimilasi (Sosial),” artikel diakses pada 26 Januari 2014 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Asimilasi_(sosial)
WAWANCARA
Wawancara Pribadi dengan KRT Drs H. Ahmad M Kamaludiningrat. Yogyakarta, 8 Januari 2014. Wawancara Pribadi dengan KRT Rintaiswara. Yogyakarta, 24 Agustus 2013. Wawancara Pribadi dengan Purwodiningrat. Yogyakarta, 21 Agustus 2013. Wawancara pribadi dengan Yuwono Sri Suwito. Yogyakarta, 27 Januari 2014.
LAMPIRAN-LAMPIRAN PRIVATISASI SEKATEN? Di Upload : Kamis, 31 Maret 2005 — HumasUGM Kategori : •
Liputan/Berita
Lain dulu lain sekarang, itulah kata yang pantas untuk mereflesikan pentas budaya Yogyakarta yang bermakna religius bernama Sekaten. Kata sekaten sangat akrab bagi kalangan masyarakat Jogja, khususnya di lingkungan Kraton. Setiap tahun pada setiap bulan Maulud pada penanggalan Jawa, Sekaten diadakan dan bertempat di Alun-Alun Utara. Pentas budaya Sekaten menampilkan berbagai macam jenis aktivitas ekonomi, budaya dan sekaligus sebagai interaksi sosial masyarakat. Di Sekaten ini pula simbol budaya dan kekuasaan Kraton berinteraksi dengan masyarakat. Demikian dijelaskan Kepala Pusat Studi Pariwisata, Drs. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc saat Diskusi Bulanan Puspar UGM bertema “Privatisasi Sekaten ?” pada hari Rabu, 30 Maret 2005 di Ruang Sidang Puspar UGM. “Tapi apa yang nampak sekarang sangat berbeda dengan yang masa dulu. Sejak tahun 2004 nama Sekaten telah dikemas dalam paket yang diberi nama Jogja Expo Sekaten ( JES). Gelar Expo diduga akan lebih bersifat bisnis daripada sifatsifat religius dan budaya sebagai ruh dasar Sekaten,” ujar pak Hendrie. Menurut pak Hendrie, karena pengelolaannya berbasis bisnis, maka stan Sekaten pun dirubah secara besar-besaran. Tempat pelaksanaannya tetap di Alun-Alun Utara, namun Sekaten sekarang lebih tertutup bagi kalangan kebanyakan. Seluruh Alun-Alun Utara didesain mirip beteng dengan penambahan gerbang sebagai jalan masuk. “Akibatnya masyarakat luas tidak lagi bebas melihat secara langsung seperti saat dulu, apalagi ditambah dengan harga tiket masuk yang menurut sebagian pengunjung sangat memberatkan mereka,” tutur pak Hendrie. Ditambahkan pak Hendrie, pada saat gamelan ditabuh sebagai simbol interaksi rakyat dan kraton (simbol penguasa), suaranya terhalang oleh dinding yang mengelilingi JES. Gamelan yang ditaruh di kawasan Masjid Besar Kauman bukan lagi bagian dari Sekaten. “Kata yang lebih tepat untuk menggambarkan perubahan itu adalah privatisasi. Kalau sudah seperti ini, sesungguhnya Sekaten tidak ada bedanya dengan kegiatan expo yang sering dilaksanakan di Jogja Expo Center (JEC) atau expo pasar raya di berbagai daerah di Indonesia. Lalu pertanyaan yang lebih spesifik adalah apa yang istimewa dari Sekaten? Benarkah perubahan-perubahan modus penyelenggaraan
Sekaten belakangan ini telah menjurus kearah privatisasi? Kemudian apa konsekwensi perubahan-perubahan tersebut terhadap makna dan substansi Sekaten yang sarat dengan nilai nilai kultural dan identitas Jogja?” tanya pak Hendrie. Selain Drs. Subarkah (Ketua Panitia JES’05); acara ini dihadiri pula para pembicara Herman Isdarmadi, A. Md, Ak (Komisi B DPRD Kota Jogja); dan Ir. Yuwono Sri Suwito, MM (Dewan Kebudayaan DIY). (Humas UGM) Diakses dari http://www.ugm.ac.id/id/berita/1074-privatisasi.sekaten pada tanggal 6 oktober 2013.
Sultan: Sekaten Berkembang Sesuai Zaman •
Jumat, 21 Desember 2012 | 18:49 WIB
Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X | KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Gubernur DIY Sri Sultan Hamengku Buwono X menyatakan, Pasar Malam Perayaan Sekaten yang digelar rutin setiap tahun untuk memperingati Maulud Nabi Muhammad SAW akan selalu berkembang sesuai zamannya.
"Hingga saat ini, perayaan Sekaten masih terus ada. Ini membuktikan bahwa Sekaten mampu berkembang sesuai zaman," kata Sri Sultan Hamengku Buwono (HB) X saat pembukaan Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) 2012 di Yogyakarta, Jumat. Menurut Sultan, perayaan Sekaten yang menjadi bagian dari "hajat dalem" tersebut merupakan wujud dinamika budaya Jawa yang diberi aksentuasi warna yang khas. Meskipun pelaksanaan PMPS terus berkembang sesuai zaman, namun Sultan berpesan agar pelaksanaan Sekaten tersebut tetap mengacu pada tiga aspek utamanya yaitu religi, budaya dan ekonomi. "Khusus untuk aspek ekonomi dari perayaan Sekaten ini bisa dimanfaatkan oleh usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) untuk mengembangkan diri. Kedua aspek lainnya juga jangan ditinggalkan," katanya.
Sultan kemudian menyebutkan sejumlah pelaksanaan PMPS yang dinilai berhasil, yaitu pada era 1960-an karena saat itu perayaan Sekaten diikuti oleh sejumlah negara sahabat dan pada 2004 dengan tema "Jogja Expo Sekaten" karena dilakukan dengan inovasi kreatif khususnya untuk bentuk stan. Sementara itu, Wali Kota Yogyakarta Haryadi Suyuti mengatakan, bahwa perayaan Sekaten merupakan cerminan kehidupan masyarakat di masa lalu, sekarang dan masa yang akan datang. "Tema dalam perayaan Sekaten tahun ini adalah harmoni religi, budaya dan ekonomi untuk Yogyakarta istimewa. Ada tiga aspek yang tetap dipertahankan dalam pelaksanaan PMPS tahun ini," katanya. Unsur budaya yang tetap dipertahankan dalam perayaan tahun ini dilakukan dengan pengadaan panggung kesenian yang akan diisi atraksi kesenian dari 45 kelurahan. Sedangkan promosi potensi ekonomi diwujudkan dengan anjungan Forum Komunikasi UMKM dari 14 kecamatan, sedangkan religi diwujudkan dengan perayaan Sekaten itu sendiri. Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, perayaan Sekaten dipusatkan seluruhnya di Alun-alun Utara Yogyakarta, mulai dari parkir, panggung hiburan, arena permainan dan stan pedagang. PMPS akan digelar pada 21 Desember hingga 24 Januari 2013. Diakses dari http://regional.kompas.com/read/2012/12/21/18493744/Sultan.Sekaten.Berkemba ng.Sesuai.Zaman
Gending Sekaten diperdengarkan Secara Streaming Radio Selasa, 31 Januari 2012, 10:19 WIB Terdengar sayup alunan ayat suci Al Qur'an dipengeras Masjid Gede Kauman Yogyakarta. Saat itu jam 19.30 WIB pengajian ibu-ibu dimulai serta pengunjung di Pasar Malam Sekaten semakin membludak menuju 2 bangsal dimana dua
gamelan kraton yaitu Kyai Guntur Madu dan Kanjeng Kyai Nogo Wilogo dimainkan tepat 30 menit kemudian. Para Abdi Dalem berpakaian hijau didalam dua tempat itu sudah ada pada posisinya masing- masing, ada yang bertugas menabuh gong, Kenong, Kempul, Kendang dan Ganjur. Semua gamelan tersebut jika disusun sedemikian rupa berbunyi: ‘ nong-ning ', maksudnya nong-kono, nong-kene (disana-disini), ‘ pungpung ', maksudnya mumpung-mumpung (selagi ada kesempatan), ‘ tak ndang-tak ndang ' artinya ndang-ndang (cepat-cepat atau segera) dan disusul dengan bunyi ‘ nggurr ' yang berarti njegur (berwudhu dan masuk masjid). Dengan demikian nilai filosofis bunyi gamelan pengiring upacara sekaten adalah mengajak semua orang dimana saja agar mereka menggunakan kesempatan hidupnya untuk segera masuk agama Islam agar dapat hidup selamat di dunia maupun akhirat. Tepat pukul 20.00 WIB, bedug dipukul oleh salah seorang wiyogo abdi dalem, sontak beberapa orang yang tidak siap kaget dan mata mereka langsung menuju ke pusat suara. Gamelan ditabuh dan gending sekaten dimulai di dua tempat yang berada di sisi kanan dan kiri Masjid Kauman tersebut. Teo beserta ayah dan ibunya datang jauh-jauh dari Sewon Bantul untuk menikmati gending sekaten yang datang hanya 1 tahun sekali ini. Ayah Teo mengaku sengaja mengajak anak laki-lakinya ini untuk mengenal gamelan serta gending yang dimainkan saat sekaten. "Setiap tahun keluarga kami selalu menyempatkan diri untuk berkunjung ke depan masjid ini," jelas ayah Teo kepada tim Gudegnet tadi malam. Oleh karena Teo masih berumur 5 tahun, maka Ia meminta ayahnya untuk dinaikkan keatas pundak sang ayah. Teo menikmati gamelan tersebut meski harus pulang larut malam. Gamelan Sekaten sendiri dimainkan selama 1 minggu hingga 4 Februari 2012 mendatang. Yang menarik dari gamelan Sekaten tahun ini adalah bahwa Anda pun bisa mendengarkan dirumah via radio streaming. Budi W - GudegNet
Tag: sekaten jogja Disadur dari http://gudeg.net/id/news/2012/01/6838/Gending-Sekatendiperdengarkan-Secara-Streaming-Radio.html#.UnEHccjL98I
Grebeg Sekaten Lokasi: Masjid Gedhe Kraton Kasultanan "Makna Simbolis dan Filosofis dalam Kehidupan" Lautan manusia memadati Alun-alun Utara hingga pintu gerbang Masjid Gedhe untuk mengikuti prosesi Grebeg Maulud dengan membawa Gunungan sebagai puncak acara Sekaten yang telah berlangsung selama satu bulan. Tumpah ruah mejadi satu dengan berbagai kepentingan untuk menikmati Grebeg Sekaten ini. Grebeng adalah prosesi adat sebagai simbol sedekah dari pihak Kraton Yogyakarta kepada masyarakat berupa gunungan. Kraton Yogyakarta dan Surakarta setiap tahunnya selalu mengadakan upacara grebeng sebanyak tiga kali pada hari besar Islam, yaitu Grebeg Syawal pada Hari Raya Idul Fitri, Grebeg Besar bertepatan pada Hari Raya Idul Adha dan Grebeg Maulud yang lebih populer Grebeg Sekaten pada peringatan Hari Lahir Nabi Muhammad SAW. Kata grebeg berasal dari kata gumrebeg yang memiliki filosofi sifat riuh, ribut dan ramai. Tidak ketinggalan pula kata gunungan memiliki filosofi dan simbol dari kemakmuran yang kemudian dibagikan kepada rakyat. Gunungan di sini adalah representasi dari hasil bumi (sayur dan buah) serta jajanan (rengginang). Pada Grebeg Sekaten, gunungan yang dijadikan simbol kemakmuran ini mewakili keberadaan manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan. Gunungan yang digunakan bernama Gunungan Jaler (pria), Gunungan Estri (perempuan), serta Gepak dan Pawuhan. Gunungan ini dibawa oleh para abdi dalem yang menggunakan pakaian dan peci berwarna merah marun dan berkain batik biru tua bermotif lingkaran putih dengan gambar bunga di tengah lingkarannya. Semua abdi dalem ini tanpa menggunakan alas kaki alias nyeker. Prosesi Kirab Gunungan dimulai dari Kori Kamandungan sebagai titik awal kirab Grebeg untuk dibawa menuju halaman depan Masjid Gedhe. Tembakan salvo menjadi tanda dimulainya kirab. Dari Kamandungan, gunungan dibawa melintasi Sitihinggil lalu menuju Pagelaran di alun-alun utara untuk diletakkan di halaman Masjid Gedhe dengan melewati pintu regol.
Prajurit Wirobrojo yang dikenal dengan prajurit lombok abang --karena pakaiannya yang khas berwarna merah-merah dan bertopi Kudhup Turi berbentuk seperti lombok-- mempunyai tugas sebagai cucuking laku alias pasukan garda terdepan di setiap perhelatan upacara kraton. Sebelum memasuki acara puncak 'rebutan gunungan' serah terima pengawalan gunungan dilakukan, dari prajurit Wirobrojo ke prajurit Bugis yang berseragam hitam-hitam dengan topi khas pesulap serta ke prajurit Surakara yang berpakaian putih-putih. Setelah gunungan diserahkan kepada penghulu Masjid Gede untuk didoakan oleh penghulu tersebut, gunungan pun dibagikan. Selesai doa diucapkan, gunungan pun sontak direbut oleh masyarakat yang datang dari seluruh penjuru Jogja. Memang ada kepercayaan dari masyarakat bahwa barangsiapa yang mendapat bagian apa pun dari gunungan tersebut, dia akan mendapat berkah. Kegiatan 'ngrayah' atau berebut mengambarkan sebuah filosofi bahwa manusia dalam kehidupannya untuk mencapai tujuan harus berani melakukan persaingan dan permasalahan hidup harus dihadapai bukan untuk dihindari. Selain prosesi 'ngrayah' terdapat pula ciri khas dari Grebeg Sekaten ini, yaitu telur merah yang akrab disebut 'ndog abang' yang ditusuk dengan bambu dan dihiasi kertas sebagai bunga-bunga untuk mempercantiknya. Saya sempat bertanya arti filosofi telur merah kepada ibu penjual tersebut. Menurut Ibu Wagirah, telur adalah bentuk permulaan kehidupan, sedangkan bambu yang menusuk telur tersebut perlambang bahwa semua kehidupan di bumi ini memiliki poros yaitu Gusti Alloh. Warna merah artinya keberuntungan, rejeki, berkahdan keberanian. (konten: aan ardian/kotajogja.com) Disadur dari http://kotajogja.com/wisata/index/Grebeg-Sekaten
Gunungan Gerebeg Maulud Menuju Kepatihan Penulis: Jodhi Yudono | Selasa, 8 Februari 2011 | 21:12 WIB
YOGYAKARTA, KOMPAS.com--Prosesi Gunungan Gerebeg Maulud yang menjadi puncak Sekaten untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW pada 2011 akan singgah di Kepatihan, kantor pusat pemerintahan Provinsi DIY. "Selain akan dibawa ke Masjid Gedhe Kauman dan Puro Pakualaman sebagaimana telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya, Gunungan Gerebeg Maulud kali ini juga akan dibawa ke Kepatihan," kata Kepala Seksi Pembinaan dan Pelestarian Nilai-Nilai Budaya Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Yogyakarta Widyastuti di Yogyakarta, Selasa.
Menurut dia, Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat akan mengeluarkan tujuh buah gunungan dengan lima jenis gunungan yaitu Gunungan Kakung, Putri, Gepak, Pawuhan dan Darat. Gunungan yang akan dibawa ke Kepatihan dan juga ke Pakualaman adalah Gunungan Kakung dengan jumlah masing-masing satu buah gunungan. "Ini baru pertama kalinya gunungan dibawa ke Kepatihan. Tidak ada hubungannya dengan masalah keistimewaan DIY yang kini sedang menjadi polemik di tingkat nasional," katanya. Gerebeg Maulud tersebut akan digelar pada Rabu (16/2) atau berbeda satu hari dari Peringatan Maulud Nabi yang ditetapkan oleh pemerintah. "Pada saat pelaksanaan gerebeg tersebut, pegawai di Kepatihan tidak libur. Inilah yang akan menjadi perhatian kami, agar acara bisa berlangsung lancar," katanya. Sementara itu, Abdi Dalem Punokawan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat Kanjeng Raden Tumenggung Waseso Winoto mengatakan, pemberian gunungan ke Kepatihan tersebut seperti mengulang kejadian di masa lalu. "Pada jaman dulu, sekitar tahun 1939, gunungan dari keraton itu bahkan diberikan ke tiap-tiap bupati yang masuk wilayah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat," katanya. Ia mengatakan, gunungan tersebut pada dasarnya adalah sedekah dari Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat kepada seluruh rakyatnya. "Jika memungkinkan, maka gunungan itu bisa diberikan kepada bupati-bupati yang ada di wilayah DIY seperti jaman dulu," katanya. Sementara itu, Kepala Bidang Polisi Pamong Praja dan Pengembangan Masyarakat Dinas Ketertiban Kota Yogyakarta Supriyadi mengatakan, akan ada sekitar 450 petugas dari Dinas Ketertiban, Kepolisian Resor Kota Yogyakarta dan Paksi Katon yang akan diterjunkan untuk mengamankan acara Gerebeg Maulud tersebut. Supriyadi mengatakan, kesulitan yang akan dihadapi adalah bahwa arah gunungan akan berlawanan dengan arus lalu lintas di Jalan Malioboro, sehingga pihaknya memutuskan akan menutup Jalan Malioboro hingga acara berakhir. "Kemungkinan acara akan berlangsung pada pukul 10.00 WIB. Jalan Malioboro akan ditutup sekitar dua jam sebelumnya hingga acara berakhir," katanya. Sumber :
ANT Editor : Jodhi Yudono http://oase.kompas.com/read/2011/02/08/21121991/Gunungan.Gerebeg.Maulud.Men uju.Kepatihan
DOKUMENTASI
Pembukaan pasar malam sekaten oleh Gubernur DIY bersama Walikota Yogyakarta tahun 2012 di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Pasar Malam Perayaan Sekaten (PMPS) di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Pertunjukkan tarian daerah dalam rangka pembukaan sekaten 2012 di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Penjual makanan khas sekaten (endog abang dan daun sirih) di Alun-alun Utara Yogyakarta.
Petugas pemukul gamelan yang sedang memukul gamelan di Masjid Gedhe Kauman.
Spanduk Sekaten 2013.
Rebutan gunungan sekaten yang dilaksanakan di halaman masjid Gedhe Kauman Yogyakarta.
GBPH. Prabukusumo menyebarkan udhikudhik sebagai simbol sedekah kerajaan kepada rakyat.
Sri Sultan Hamengku Buwono X bergegas kembali ke Keraton seusai mendengarkan pembacaan riwayat nabi.
Iring-iringan prajurit keraton yang sedang mengusung gunungan.
Gunungan sekaten yang diarak menuju Masjid Gedhe Kauman untuk didoakan.
Prajurit keraton yang sedang mengusung gamelan sekaten.
LEMBAR WAWANCARA TERTULIS DENGAN KRT. RINTAISWARA Nama: KRT. Rintaiswara Pekerjaan: pengurus Kawedanan Hageng Punakawan Widya Budaya Waktu wawancara: 24 Agustus 2013, pukul 10.00 WIB. Tempat Wawancara: KHP Widya Budaya, Keraton Yogyakarta.
A: Kalau menurut bapak makna dari sekaten itu sendiri apa pak? B: Sekaten itu sendiri merupakan upacara hari kelahiran nabi Muhammad saw yang diselenggarakan di keraton yogyakarta. Sebenarnya sekaten ini tidak hanya di keraton yogyakarta, awal-awalnya tidak di sini, di jaman Demak pun sudah ada perayaan sekaten. sekaten itu ada dua versi, berasal dari bahasa sekati, nama gamelan dari kerajaan majapahit yang kemudian dibunyikan atau ditabuh di masjid demak, ya, kemudian orang mendengarkan, Ya, bunyi gamelan sekati itu dari istilah itu muncul sekatian atau sekaten, nah, versi lain ialah karena setelah orang berkumpul dan diterangkan para wali tentang apa dan siapa nabi muhammad, tentang apa dan bagaimana islam, gimana hidup menurut ajaran agama islam, rukun islam itu apa, rukun iman itu apa, cara masuk islam bagaimana, sehingga orang rame-rame, ya, ada pro ada kontra, ada yang raguragu, ok aku masuk islam, ya kalau masuk islam syaratnya ini-ini-ini, ini itu apa membaca dua kalimat syahadat, dari istilah syahadatain timbul istilah sekaten, itu, jadi intinya adalah.... A: Tadi kata bapak sekaten itu dilaksanakan di dua tempat jogja dan surakarta. Itu apakah ada perbedaan dari pelaksanaan sekaten itu sendiri? B: Gak, secara prinsip gak berbeda, ya, sekali lagi bahwa sekaten itu berawal dari jaman demak terus berkembang, dilanjut teruskan sampai kerajaan-kerajaan berikutnya umpamanya di mataram, iya to, nah mataram itu nanti, ada di kota gedhe,lalu di pleret, terus nanti sampai di kartosuro, sampai tahun 1755 itu di surakarta ibu kotanya ya, setelah tahun 1755, kemudian, itu dibagi dua, surakarta di sana dan yogyakarta di sini, sama-sama sebagai penerus mataram, di sana juga
ada perayaan sekaten, di sini juga ada perayaan sekaten, di sini ada gunungan, di sana ada gunungan juga, ya perbedaan secara prinsip tidak ada, namun yang kecil-kecil saya kira ada, gunungan di sana dengan di sini itu bedanya apa dapat dilihat, di sana pakai bendera merah putih di kepalanya, di sini tidak ada, ya, karena di mataram itu tidak ada dikibarkan bendera putih di puncak gunungan sekaten, A: Terus, unsur-unsur budaya yang ada dalam tradisi sekaten ini apa aja pak? B: Unsur budaya? Yaitu budaya, ya budaya rakyat, perayaan sekaten itu intinya syiar, ya, syiar islam, lah, gamelan yang dibunyikan itu pun, nadanya atau gendingnya, nama-nama islam, seperti: ngajatun, salatun, rangkung, rambu, itu nada-nada untuk gending itu diambil dari kata-kata islam to, salat-salatun, ngaji-ngajatun, rangkung, rambu dan segalanya, di samping juga ada solawat, solawat jawa, solawat asli, nah kemudian berkembang itu tidak Cuma...., ya intinya seperti itu to, intinya adalah budaya yang bernuansa islam, tapi kemudian berkembang, ya menjadi pesta rakyat, dalam perayaan sekaten lho, itu adalah pesta rakyat dalam artian ya ada pasar malam itu yang bernilai ekonomi, juga yang bernilai hiburan, nanti pentas-pentas kesenian, grup-grup dari rakyat, entah yang namanya ketoprak, entah yang namanya wayang orang dulu, ada yang namanya kerawitan, jatilan, itu istilahnya ya meramaikan saja dari perayaan sekaten, tapi sekaten itu sendiri adalah syiar islam versi mataram, syiar islam versi mataram yang merupakan kelanjutan dari wali, di islam yang berkembang di jawa itu fakta berasal dari para wali, yang nuansanya kental dengan adat-istiadat budaya setempat, ini berbeda dengan yang berkembang sekarang, menghendaki islam itu pure murni tidak boleh dicampur dengan macam-macam adat-istiadat setempat, ada yang begitu kan? Nah sedangkan islam yang berkembang di jawa yang dikembangkan di kerajaan-kerajaan itu adalah menurut ajaran para wali, di mana mistis dan hal-hal yang berbau irasional, kelebihan seseorang itu sangat menonjol dari para wali itu, di jawa barat ada sunan gunung jati, ya to, yang di cirebon, nah kemudian di sana menurunkan raja-raja yang di banten dan juga di jakarta,
A: Itu kan dalam tardisi sekaten ada unsur budaya nya jga terus ada unsur keislamannya ya pak, itu, bagaimana kedua unsur tersebut dapat menjadi satu sehingga menjadikan suatu tardisi sakral yang diadakan tiap tahun itu pak, B: Ya semuanya itu di jiwai dengan semangat toleransi, semuanya berjalan, artinya kesenian-kesenian yang islami ya silahkan bersanding dengan kesenian-kesenian tradisi rakyat, ya misalnya ada jatilan, ada tari ketoprak, ada ya grup-grup lain itu tidak bertentangan dengan islami, dengan islam, yang bertentangan dengan islam ialah apa kesenian dangdut, ya, yang vulgar, yang istilahnya erat dengan erotisme, atau erat dengan hal-hal yang berbau porno itu tidak sejalan, sehingga pernah dulu di jogja ada seperti itu, sehingga akhirnya dilarang, dalam perayaan sekaten tidak boleh ada pertunjukkan dangdut dan sebangsanya yang mengeksploitir ya pornografi, atau bagian-bagian tubuh yang merangsang itu tidak boleh karena tidak sesuai dengan isi dan tujuan dari perayaan sekaten itu, A: Terus sistem kepercayaan yang terbentuk di masyarakat itu seperti apa itu pak? B: Sistem kepercayaan yang bagaimana maksudnya? A: Misalnya agama,? B: Ya agama, berjalan wajar-wajar saja, maksudnya islam ya
berkembang di
jogjakarta lho, di mataram yo berkembang sesuai alami lah, ya, maksudnya alami ya ada masjid, ada kelompok pengajian, ada ustad, ya ini juga mereka itu berperan dalam membimbing, mengarahkan, ada jamaah untuk melaksanakan nilai-nilai islam ajaran-ajaran islam, ya tanpa menimbulkan gejolak, ya, tidak ada yang protes perayaan sekaten itu sirik, mengarak gunungan itu tidak sesuai dengan tauhid misalnya, ya walaupun setengah orang mungkin punya pendapat seperti itu, ya jadi tentang kepercayaan ya masyarakat jogja, masyarakat jawa ya islam nya berkembang wajar-wajar saja, tidak ada fanatisme, di jogja itu ada pusat
pembaharuan,
muhammadiyah,
tapi
tidak
ada
bentrok
antara
muhammadiyah dengan yang tradisional yang NU, ya biasa aja, tarolah yang 11 ya silahkan jalan, yang 23 ya silahkan saja, tidak ada.., ya kalau memang bersama
ya sudah nanti merayakan idul fitri ya bersama malam takbiran juga bersama, ndak ada apa-apa, ya.. A: Terus selanjutnya, apakah nilai-nilai yang bisa diambil dalam tradisi sekaten mulai dari pelaksanaan sampai akhir pelaksanaan sekaten itu pak, B: Ya nilai nya itu kebersamaan, kerukunan, dan kesetiaan, itu ada, kebersamaan ya itu kan tidak bisa sendiri ya harus ada panitia antara pihak keraton di satu sisi, dengan pihak pemerintah kota madya, ya, di sini ada kerja sama, ada kerukunan ada ya saling menguntungkan lah jangan saling menjegal, ya karena even ini milik keraton, tapi nanti penyelenggaraannya itu banyak melibatkan dari aparat, pemerintah, tahu maksud saya? Gamelan itu, milik keraton, tapi setelah keluar dari pintu keraton ini diserahkan pada pemerintah setempat, yang bertanggung jawab di luar keraton, walaupun masjid itu milik keraton, tapi kan di luar beteng, rumah keraton, itu yang tanggung jawabnya panitia, panitia sekaten, yang di orangi oleh orang-orang dari kota madya, ada serah terima dari acaranya, kalau nanti kurang atau rusak atau ya itu ada serah terima antara pihak keraton dengan pihak pemerintah, nanti ketika sudah selesai ada serah terima, begitu contoh kerja sama, alun-alun itu milik keraton, tapi dalam pengelolaannya kan diserahkan pada pemda kota, keraton tidak mengurus tentang itu, tentang stand itu berapa sewanya ya sekian hari berapa sewanya, keraton mendapat berapa, ya itu ditanggung urusan sana, kesetiaan, ya jelas harus ada kesetiaan, kalau tidak ada kesetiaan mana mungkin itu,.. gunungan kan di bawa orang, dipikul, tidak Cuma dua orang, 20 orang tiap set, diambil dari rakyat sekitar, sebulan sebelumnya sudah dikasih tau, keraton butuh tenaga untuk memikul gunungan dengan sekian orang, mereka dengan senang hati oke-oke-oke, disamping mungkin ya tidak ada yang mau juga, sebanyak orang, mereka bersedia seperti itu, walaupun upahnya, katakanlah upah, ya cuman sedikit, ya, tidak ada itungan UMR, oke, itu ada kesetiaan, mereka bangga walaupun berpanas-panas, gitu loh aneh ya untuk itu besok silahkan lihat, tidak usah Mulud, besar idul adha itu ada, dan tidak Cuma di masjid sekarang, ada di tiga titik, tiga tempat, di masjid besar itu lho reguler, di kepatihan
malioboro, dan di pakualaman, dikirim ke sana satu, satu, di situ lima, ya, ini yang baru yang tambahan yang pekalongan yang di sana itu adalah baru, A: Trus, apakah hambatan-hambatan yang terjadi pada perayaan tradisi sekaten mulai dari pelaksanaan sampai selesainya acara, ada pak? B: Ya hambatannya, masalahnya saya bukan panitia penyelenggaraan sekaten tapi hambatannya bisa jadi cuaca, ya, contoh ya ini pasar malamnya pas musim hujan, ya itu hambatan, jadi panitia pasar malam istilahnya tekor, defisit bisa jadi, hambatan dalam pelaksanaan hari H, ya, misalnya ya tadi hujan, ya, tapi sepanjang ini yo, sepanjang saya mengikuti belum pernah, belum tau hujan, ya kalau itu jalan wajar-wajar saja gak apa-apa itu, jam 10 keluar dari keraton kemudian kurang satu jam selesai, rakyat membagi sendiri borampe gunungan itu, artinya kan dibagi, tapi kan sekarang orang kan berupaya untuk memperoleh lebih tidak sekedar diberi artinya mengambil sendiri, jadi rakyat mengambil barangbarang itu mengambil borampe gunungan itu, sehingga kalau itu dibilang hambatan ya bisa jadi hambatan, di mana petugas itu sulit untuk membendung kerumunan massa, yang antusias untuk mengambil barang-barang keraton yang berupa gunungan itu, sebetulnya barang-barang itu adalah barang-barang yang dari luar tapi yang gak tau itu kacang, itu telur, atau makanan kecil dan tepung itu ya dibeli nya dari pasar, tapi ya entah itu dibuat di keraton lalu dibawa keluar lalu lain nilainya, saya ngiri, gumun itu, dulu waktu pertama kali ya pokoknya dari tahun ke tahun itu tidak berkurang itu, semakin bertambah, ketika, ya dulu ketika beberapa puluh tahun yang lalu ketika saya ikut yang namanya mencari udhikudhik, ya, kalau mulud itu, Sultan untuk menyebar udhik-udhik uang logam, dari kerumunan itu ketika berdiri banyak orang ada logam yang jatuh di bawah itu kami masih bisa untuk mengambil, sekarang sudah tidak bisa, karena saking banyaknya orang, nanti terdesuk-desuk malah berbahaya, udhik-udhik itu ya logam , uang logam, campur beras, campur bunga ya, ini dalam perayaan sekaten ya ketika gamelan mulai dibunyikan pada tanggal 5 malam 6 bulan Mulud ya, mulud jowo lho iki, bukan Rabiulawal ya, 5 malam 6, ini gamelan dibunyikan di
ponconiti, ya, di ponconiti itu di halaman depan di dekat tiketan tadi, di sana, nah ini, awal mulainya ini ngarsa Dalem atau raja mengutus adik nya adik Rayu Dalem namanya dua orang biasanya, Gusti Prabu dan Gusti Yudho, untuk menyebar undhik-udhik, kepada yang menabuh dan khalayak itu buanyak, jadinya ratusan ribu uang kalau di hitung karena di bokor itukan, di bokor, bokornya, ya bokorlah, dua ini penuh, ya itu rakyat ya siapapun ingin memperoleh itu, walau pun itu istilahnyaa koin, dulu ratusan, nah sekarang ratusan sudah sulit, diganti 500an, pokoknya ini ni disebar, bersama beras, ya, ya resminya beras dan bunga, koin, tapi yang kebanyakan diambil ya koin, itu di awal, diawal membunyikan sekaten, 5 malam 6 di ponconiti, iyo to, nah bersamaan itu pula orang-orang yang dekat ini membeli kinang, kinang itu sekapur sirih, seperangkat makan sirih, ya kinang, nah ketika ini dibunyikan pertama kali, gamelan ini dibunyikan pertama kali, mereka bersama-sama untuk mengunyah, kinang itu, daun sirih, dan kapur, kinang itu namanya, ya itu kepercayaan lama ya macam-macam itu, terserah pada mereka, tidak ada instruksi untuk demikian, itu reka-reka mereka sendiri, katanya mau awet muda, atau mau apa, ya terserah mereka, kok bisa hubungannya apa, ya itu memang hal-hal di dunia itu rasional, tapi juga banyak yang irasional, tidak boleh lalu dilabeli, oh itu reasionable, tidak nalar itu, tidak boleh , nah tidak boleh melarang-larang seperti itu, itu, ya nanti pada hari H nya, 12 ya, ini kan tanggal 6 , 5 malam 6, selama dari tanggal 6 sampai 12 gamelan, ini nanti sore ya, sekitar jam 23 atau 11 gamelan ini di usung ke masjid besar, ke halaman masjid besar, ya di sebelah selatan satu set, di sebelah utara satu set, yang di selatan itu yang senior yang diebut namanya kanjeng Kiayi Guntur madu, dan satu lagi yang lebih junior yang di sebelah utara disebut Nagawilaga, nah ini gamelan pusaka, gamelan berat-berat, membutuhkan tenaga, tidak Cuma satu dua, berpuluh-puluh, disamping yang membawa juga ada yang menjaga, pramuka, pemuda, hansip, Hanra, Polisi, kalau tidak ada kerja sama kalau tidak ada kesetiaan mana mungkin mereka ya,,,bermalam-malam bersusah-susah, seperti ini, ini dibawa kesana, nah terus dari tanggal 6 sampai 12, gamelan itu dipukul, ditabuh, ya, ini gamelan
sekaten gantian, ini satu jam selatan, satu jam ini, tidak sepanjang hari, ada jamjam tertentu, kecuali hari jumat, itu tidak ditabuh, ya, nanti pada hari H, tanggal 12 malam, ini ngarsa dalem dateng ke masjid, diiringi dengan oleh para pendereknya, inilah namanya malam gerebeg, nah raja ngarsa dalem dateng ke masjid kapasitas beliau bukan sebagai gubernur, tapi sebagai seorang raja, dengan busana jawa, dengan segala macam asesorisnya, payung, dengan membawa, ya, abdi dalem yang membawa bukan beliau, 3 bokor uang receh tadi terus ini ke selatan, selatan dulu, ini ada dua tempat to, ini pagungan selatan, ini pagungan utara, ke pagungan selatan dulu, ya, sini rakyat sudah berjubel ya ada barisan prajurit, ya, yang kiri-kanan, di sini ada barisan prajurit kiri-kanan, dan ini kemudian ini juga ada prajurit kiri-kanan menuju masjid, dan ini sampai di pintu pagongan beliau lalu menyebar udhik-udhik, satu bokor tadi di lempar ke dalam pada abdi-abdi yang menabuh, iya to, ya kalau sudah menabuh, ya menabuh saja, tidak boleh mengambil, yang jatuh dipangku atau di depannya atau di dekat tangan kirinya ya silahkan, lalu yang di luar sana juga, abis, rame itu juga, bejubel, melambangkan sedekah raja kepada rakyat, nah uang udhik-udhik itu walau nilainya hanya ratusan, Cuma lima ratusan, oleh mereka yang memperolehnya, yang menemukan yang mendapatkan itu akan dipandang sebagai tidak sekedar uang koin 500an, disimpan atau apa, pada yang ingin membeli lebih dari nilai itu, ya siapa yang menyuruh kami tidak bisa menerangkan itu urusan mereka, lalu ke utara satu lagi satu bokor sama prosesnya sama, kemudian beliau masuk ke masjid, ke mimbar, di sini juga sudah banyak abdi dalem yang datang ke sana juga ada abdi dalem yang derek ke sana, yang mengikuti juga, terus, berjubel, duduk di dekat mimbar masjid lalu ngarsa dalem dengan satu bokor tadi menyebarkannya, krompyang, di sana marmer, kompryang, begitulah ramai, ya jangankan Cuma abdi dalem seperti saya, para tamu, anggota DPR, eksekutif dan legislatif yang mendapat undanganpun, bergegas untuk memperoleh udhik-udhik, setelah itu raja keluar dari masjid, ya duduk di serambi masjid, duduk menghadap ke sana, kemudian, abdi dalem ada di sayap selatan, menghadap ke utara,
kemudian tamu-tamu eksekutif yudikatif, kota madya, polisi tetek bengek di sana, pakaiannya sudah ditentukan, batik lengan panjang, kalau di sini ya sudah ditentukan, ya ini berpakaian putih-putih, pangkat tertentu, kalau pangkat rendah tidak boleh, begitu loh, terus di bacakan riwayat nabi, satu jam atau dua jam itu, oleh ulama keraton, selama itu, bunyi-bunyian di alun-alun, diminta stop, yang terdengar hanya bacaan riwayat nabi, yang di,, seputar pengeras suara alun-alun, ya sekitar jam berapa ya, jam 23 lebih ngarso dalem kundur, ya proses kundur ya tidak semudah itu, ya artinya banyak orang bejubel ingin melihat, diluar masjid, sehingga dibutuhkan pengawalan, dan sirine, dan pramuka dan satpol PP, yang berdesak-desakan di sini, A: Itu melewati jalur yang berbeda ya dari awalnya? B: Ya jalur Sultan sendiri, dari pintu Dono pratopo, pintu gerbang utama keraton yang ada patung,terus keluar ini ada pintu pintu pertama anda masuk namanya Sri Manganti, ya, pintu Sri Manganti atau Gepuro Keben ini di sini ada patung raksasa tadi, terus ini ke keben, ada jalurnya itu ke Utara, terus masuk masjid, ini jalur, sultan ya, jalur raja, ni, nanti kundurnya juga begitu, mobilnya di luar sini, kalau sekarang mobil, dulu ya kereta, kalau sekarang kereta ya nanti eman-eman rusak di uyek-uyek uwong, ini jalur resmi mios dalem, kundur dalem juga gitu, setelah dono pratopo ya terus bangsal kencono terus ke keraton kilen, iya to, jalur resmi mios dalem ya seperti ini. Kalau keseharian beliau tidak,, kapasitas beliau sebagai gubernur, tidak dari sini, dari keraton kilen terus ke timur, lalu ke utara, oke, A: Selanjutnya efek atau hasil apa yang diharapkan kepada masyarakat umumnya dan internal keraton itu sendiri dari perayaan tradisi sekaten, dari segi behavior/ tingkah laku? B: Ya sekali lagi upacara sekaten itu merupakan salah satu dari sekian banyak upacara adat yang diselenggarakan di keraton jogjakarta, yang berkaitan dengan perkembangan dan sejarah islam, ya diharapkan dengan hal ini kedekatan kita, ketaqwaan kita kepada tuhan itu lebih meningkat terjalinnya keselarasan antara
vertikal dan horizontal, keserasian keselarasan antara hablum minallah, hablum minannas, hablum minannass tidak hanya manusia ya pada alam ya, ini harus istilahnya seimbang, kehidupan akhirat juga penting, kehidupan keduniawian juga tidak boleh diabaikan, iya to, ini tercermin dalam filsafat hamemayu hayuning bawono, ya artinya menjaga keindahan keselarasan, keharmonisan dunia jangan merusak-rusak
alam,
jangan
merusak-rusak
dunia,
ya
pokoknya
ya
mempertahankan keserasian dengan alam ini loh, sekaten itu sangat berperan penting sebagai aktualisasi dari filsafat ngayogyakarta yang ditanam sejak HB I, hamemayu hayuning bawono, dan menyatunya antara rakyat dengan raja antara umat dengan tuhan, namanya filsafat Golong Gilig (menyatunya rakyat dengan pemerintah juga menyatunya umat dengan tuhan)manakala suatu negara antara pemerintah dengan rakyat itu menyatu kuat ya sebelum RI ada ini jogja sudah pegang seperti itu, kalau pemerintah tidak di dukung rakyat, ya apa jadinya, rame, demo, protes, mana bisa kuat, ya, itu namanya manunggaling kawulo gusti atau Golong Gilik. Itu di wujudkan dalam tugu di jogja itu namanya tugu golong gilik, dulu tugu itu golong gilik, tapi sekarang tidak lagi golong gilik, tau? Sekarang tugu di jogja yang seperti itu, itu sudah pembaharuan, itu berdiri 1819 itu yang itu, tugu yang awalnya tidak seperti ini, yaitu seperti huruf alif, lurus, di atas ada bunder seperti bola, di atas, dan tubuhnya bulat silinder seperti bolpoin ini, golong-gilik, ya, tingginya 25 meter dulunya, nah kemudian ada gempa besar di jogja, jogja itu daerah labil daerah gempa, tidak Cuma jogja, jawa bagian selatan, itu ring of fire, 1796 ada lindu gede, ya, sampai ini runtuh, ya, ini runtuh, tinggal separoh atau berapa lalu, dibangun tugu baru, pada masa pemerintahan HB VII, ini, ini dibuat pada tahun HB I, ini ya, jadi ini sekali bahwa manakala umat itu menyatu dengan tuhan, ya artinya ya manut pada aturan-aturan, akan tercipta kehidupan yang damai, yang tenteram, demikian pula pemerintah itukan sudah sejalan ya tenang-tenang saja, jokowi ingin membangun waduk pluit, ya kalau pemikirannya tidak sejalan dengan rakyatnya ya tidak jalan, yak arena rakyatnya itu menyatu dengan pikiran gubernur ya akhirnya waduk pluit bias dibangun,
dikembalikan seperti semula, walaupun masih ada hambatan sana sini, dan lainlain, dan lain-lain, ya, rakyat nek ora setuju karo pemerintah yap rotes ya demo, ya seperti itu, negaranya tidak damai, filsafat yogyakarta, kareaton mataram itu seperti itu, ora seneng nek eneng, ora setujunya pada pemerintah caranya tidak usah cuap-cuap, ya tapi datang baik-baik, caranya itu dengan pepe, pepe itu di didik berpanas-panas, ya duduk bersila di depan keraton di alun-alun utara, tau? Alun-alun utara itu ada dua pohon beringin ya to, itu itu ada namanya itu, kalau belajar tentang jogja harus tau, ini namanya dewa daru dan ini jono daru, ini dewa tuhan jono manusia, dan di tengahnya itu, tengahnya itu dulu, untuk-untuk tradisi Pepe, berpakaian putih atau baju putih, lalu menghadap ke selatan, seorang-dua orang, tiga orang atau beberapa orang di sana, itu namanya Pepe, itu kalau raja mendapatkan laporan ada orang yang begitu, itu berarti ada sesuatu yang disampaikan lalu utusan, le ngopo kok pepe? Eneng opo? Ditanggapi baik-baik, dikasih minum kasih makan, ngomong opo, tidak usah cuap-cuap, ra usah negebom, gitu loh, diselesaikan baik-baik tidak usah keruh ya, dalam tata kerajaan seperti itu, dan sekarang dalam tata republik lalu mahasiswa jogja pun inginnya seperti makasar, ya ndak boleh, ya tidak boleh adat di jogja tidak seperti itu walau pun jogja itu sekarang adalah bagian dari NKRI, tapi kan nilai-nilai kebudayaan nilai-nilai kemanusiaan ya tidak jauh berbeda dari ketika pada masa kerajaan ya, jadi mahasiswa tidak boleh terlalu protes seenaknya lalu misalnya ya, lalu rame-rame, menentang rusak sana rusak sini bukan budayanya, apa lagi mahasiswa kan intelek, oke. A: Selanjutnya, peran sultan dalam menjaga dan melestarikan budaya khususnya tradisi sekaten ini seperti apa pa? B: Ya tetep komit, ya tetep, komit apa yang ada atau yang berjalan sejak raja-raja pendahulunya, itu tetep dilaksanakan, ini sesuai dengan amanah ayahanda beliau, ngarsa dalem ke IX pernah dawuh di tahun 40 adat kebudayaan atau tradisi keraton yang selama ini masih ada selama tidak mengganggu kemajuan jaman dan rakyat masih menghendaki, ya tetep dijalankan tentu buanyak adat yang di
kota jogjakarta yang,, ya sehingga sekaten tetep dilaksanakan ya, ada unsur religiusnya juga ada unsur ekonominya, juga ada unsur budayanya ekonominya ya terang to, berapa counter berapa kios, berapa pedagang terhidupi dari itu dari penjual otok-otok sampai telur sundukan merah itu, dari tukang pager sampai tukang becak, dari toko dagadu sampai toko cenderamata ya karena sekaten, A: Terus, ya selanjutnya institusi mana sajakah yang terlibat membantu terlaksananya perayaan sekaten ini selain dari pihak keraton maupun pemerintah kota, dari organisasi masyarakatnya ada gak yang ikut seperti apa? B:
Ya ada, ada sukarelawan-sukarelawan, yang menjaga, ya turut menjaga ketertiban, ya jadi ada hansip, ada hanra, kan itu sudah formal to, ada polisi, formal, ada sekarang namanya faksikaton, faksikaton itu sukarelawan, ya ingin pokoknya mempertahankan ya menjaga ketertiban, dan kalau ada yang aneh-aneh menentang keraton atau menentang raja, ya berhadapan sama faksikaton, ya itu istilahnya sukarelawan sajalah jangan, bukan yang lain-lain, itu, ya, itu diambilkan ya dari masyarakat, yang mendaftar sendiri yang ingin sendiri, ya nanti dapat dilihat kalau apa ya, upacara gerebeg, atau kalau ada even-even keraton nanti kan ada faksikaton tampak, ada iringan gunungan, itu nanti faksikaton, itu ikut berperan serta bukan untuk apa-apa, ya untuk agar acara nya berjalan lancar, tidak ada orang yang mengganggu, seragamnya ya seperti celana panjang pake sepatu, sepatu lapangan, sepatu seperti polisi itu, hitam-hitam, ikat kepala, lembaran bukan blankon, pokoknya ikat kepalanya lembaran, lembaran itu ya helaian itu, itu yang swasta, yang negeri tadi sudah saya utarakan ini banyak instansi yang terlibat, dinas perindustrian, tampil, keuangan ada, ada bank-bank yang,, kemudian pemerintah provinsi, pemerintah daerah mereka mengeluarkan stand pameran ya, dinas kebudayaan ada panggung kesenian, ya, di samping orang-orang swasta, sudah banyak sekali, mereka swasta semua, lalu penyanyi dangdut tampil, sekarang ada show apa namanya, tapi di ancol itu apa, apa namanya itu, ikan lumba-lumba ada, ya, itu kan ya swasta, kalau provit oriented itu, meramaikan tapi kan ya uang, ribuan macam-macam, bank ada stand,
ada tong setan, tau tong setan, tong setan itu saya sendiri juga belum pernah lihat, ini seperti sumur, ya dibuat kayak gitu, ada orang naik motor melingkar-lingkar, saya sendiri gak senang liat tontonan yang memicu adrenalin, rumah hantu jga ada ya macem-macem pokoke, ya itu, jadi instansi-instansi yang terlibat negeri dan swasta, sipil dan militer, itu terlibat, nah ketika ngarso dalem mios, ya, tidak Cuma faksikaton, ya to, semuanya ingin terlibat, ingin berperan serta itu lho, hansip ada, polisi, nek perlu ya tentara, ya, tentara, kebanyakan ya polisi, gitu loh, atau upacara grebeg, semuanya terlibat dari dinas pertamanan terlibat, dah, itu semuanya, saya katakan alun-alun itu milik raja, tidak boleh di bangun seenaknya, kasih air mancur misalnya, tidak boleh, dikasih mainan nggo kanak-kanan tidak boleh itu, setelah rampung itu ya harus itu dalam perjanjian, setelah selesai dikasih waktu berapa hari itu harus sudah bersih dari stand dari bangunan macammacam, nah perkara nanti kaki lima do byuk ngepeti tembok ya tidak usah ditanyakan ya ada gula ada semut, resminya tidak boleh, tapi ya desakan perut dan itu kebanyakan bukan orang jogja, malioboro yang demikian , buka lesehan tanpa tarif ya itu belum mesti orang jogja, itu ya pedagang-pedagang kaki lima ya bukan orang jogja kebanyakan, A: Selanjutnya pada puncak perayaan sekaten itu pak, gerebeg, gerebeg mulud, itu pesan yang ingin disampaikan dalam perayaan gerebeg mulud itu apa pak? B: Ya sama tadi, sama dengan sekaten, yang namanya gerebeg itu kan sultan mengeluarkan sedekah, ya sedekahnya sultan ya tidak sama dengan sedekahnya kita, sedekahnya berupa dibuat sedemikian rupa, sehingga besar tinggi, banyak, ya, kalau dulu mungkin lebih tidak Cuma lima, sekarang tinggal lima, itu fungsinya itu bahwa raja berdiri pada kaumnya ya, raja itu memberi tidak menerima, ya, ya itu adalah pesan yang tidak tertulis, begitu, A: Trus yang bapak harapkan terhadap tradisi sekaten ini ke depannya biar tetep ada? B: Waduh kami sebagai rakyat kecil, ya harapannya sama dengan rakyat yang lain, itu satu even yang penting, yang menghibur, yang bernilai religius, juga, bernilai ekonomis juga, tadi kan, nilai sosial itu ada dan itu tidak menghambat siapa-siapa,
LEMBAR WAWANCARA TERTULIS DENGAN PURWODININGRAT Nama: Purwodiningrat Pekerjaan: Pengageng II Kawedanan Hageng Punakawan Widya Budaya Waktu wawancara: 21 Agustus 2013, pukul 10.00 WIB. Tempat Wawancara: KHP Widya Budaya, Keraton Yogyakarta.
A: Menurut bapak makna dari sekaten itu sendiri apa? B: Sekaten secara garis besarnya adalah sebagai salah satu cara dakwah utnuk memeringati hari kelahiran nabi Muhammad saw, jadi sekaten gunungan, labuhan, siraman pusaka itu dari widya budaya, upacara-upacara adat, itu dari widya budaya, A: Widya budaya ini yang ngatur semua kegiatan di keraton ini ya pak? B: Ya tidak semua, A: Berkaitan dengan budaya ya? B: Ya itu meliputi sekaten, gunungan itu, labuhan, siraman pusaka, A: Untuk sekaten itu sendiri, untuk antusiasme masyarakat terhadap sekaten itu gimana pak? B: Masih tetep antusias, dari dulu masih tetap antusias, A: Pesertanya yang hadir siapa aja tu mungkin? B: Ya banyak sekali, termasuk turis, labuhan itu dari spanyol ke sini, di kenal baik ya tiap tahun, ya dari belanda, dari amerika, dari mancanegara juga dan dari negara kita sendiri banyak juga, ya lihat aja, nah kalau dalam lingkup kita, kita gak tau ni orang jakarta, atau orang gak tau, ya dari berbagai penjuru daerah, ya itu antusiasme nya besar sekali, A: Berarti tradisi sekaten ini hanya dikhususkan hanya untuk orang islam aja ya pak? Kan tujuannya untuk dakwah kan? B: Ya memang begitu, kerajaan kita kan kerajaan islam,
A: Berarti sistem kepercayaan yang berkembang dimasyarakat jogja ini, khususnya di area keraton ini rata-rata islam ya pa ya? B: Tapi anehnya, orang-orang non islam juga dateng untuk ikut, ya itu disitu, pancasilanya jelas sekali, A: Organisasi-organisasi sosia yang ikut membantu kegiatan sekaten ini ada pak? Organisasi sosial mungkin dari ,,, B: Oh itu pengamanan oleh faksikaton, banyak itu, dari kampung-kampung kauman, menyelenggarakan parkiran itu kan juga berpartisipasi, banyak sekali ya dari organisasi-organisasi itu, A: Kalau dengan berkaitan prosesi dari awal sampai akhir, tradisi sekaten itu, mungkin bapak bisa jelasin apa makna-maknanya itu pas awal persiapan terus sampai akhir, maknanya itu loh pa? B: Biasa saja, mengeluarkan gamelan keraton, terus di bawa ke masjid, kalau hari jumat tidak dibunyikan A: Kalau penyebaran udhik-udhik itu apa maknanya pak? B: Itu artinya sedekah raja, A: Bagaimana ajaran-ajaran islam itu sendiri bisa menyatu dengan budaya jawa? B: Memang keistimewaannya di situ, bisa menyatu, ya islamnya itu pusaka amartanya itu, jelas itu, kalimat syahadat, tapi secara halus, A: Seperti bunyi-bunyian gending ini kan, itu punya makna juga kan? B: Ya ini ciptaan-ciptaan dari nenek moyang dulu, dan wali-wali juga menciptakan gending-gending juga, menciptakan apa, instrumen ya para wali-wali itu, A: Kalau pada awalnya masyarakat di jogja ini memeluk agamanya, agama hindu ya, B: Hindu dan budha, A: Terus masuk islam, B: Mereka memasukkan ajaran islam secara halus, dan bijaksana sekali mereka , kebijaksanaan nya itu tidak drastis, tetapi bertahap, nah kebijaksanaannya disitu, gimana caranya bisa diterima oleh masyarakat, termasuk tradisi sekaten itu sendiri, jadi tidak terasa kalau masyarakat telah dimasuki nilai-nilai keislaman,
ada gamelan masuk, itu kan bijaksana sekali, tidak radikal, harus begini-begitu, harus sama dengan islam Arab, mereka berdakwah disesuaikan dengan situasi, nah itu, itu yang bagus, tujuan yang ingin disampaikan tercapai, adatnya juga ada dan tidak hilang, kalau yang radikal, wah itu gamelan singkirkan saja, ciptaan wali-wali itu kan tidak sembarangan dibuat gitu aja, sudah ada petunjuk dari tuhan, A: Kenapa masyarakat jawa ini begitu menjaga kebudayaan yang ada di jawa ini? Khususnya di jogja? B: Ya itu kan modal bangsa, modal untuk berbangsa dan bernegara, ini hancur, hancur negara, itulah istimewanya, saya tidak membanggakan jogja, tapi ya itu karena untuk bangsa dan negara, jadi kalau ada apa, menuduh musrik, ya tidak boleh, karena itu kan budaya, jogja ini jangan diidentikan dengan arab, ya lain, karena di arab tidak berkembang budaya, nah di sini letak bijaksana, dengan cara yang halus, nah sekarang ini perayaan sekaten itu makin lama makin banyak yang mengunjungi, A: Di sini kalau posisi ulama tersendiri gimana pak? B: Kalau ulama di sini ada sendiri, ya seperti itu, A: Semua ulama-ulama keraton yang ada di keraton ini cukup berperan penting sekali ya pak, B: Ya, itu penting untuk memberi tausiah A: Peran sri sultan itu sendiri gimana terhadap budaya itu pa? B: Sultan sangat menjaga, dan yang memberi izin terhadap jalannya acara, A: Kalau pas tradisi grebeg apakah pernah terjadi bentrok? B: Tidak pernah, tidak pernah terjadi bentrok, banyak kepercayaan yang timbul, kalau ada yang dapat bagian dari gunungan tersebut ada yang disimpan agar mendapat berkah, A: Saya di sini kagum karena antara budaya jawa dengan ajaran keislaman bisa berjalan beriringan,
LEMBAR WAWANCARA TERTULIS DENGAN YUWONO SRI SUWITO
Nama : Ir. Yuwono Sri Suwito, MM. Jabatan : Ketua Dewan Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Waktu wawancara : Senin, 27 Januari 2014 Tempat Wawancara : Ngadinegaran, Yogyakarta.
A: menurut bapak Unsur-unsur apa yang terdapat dalam tradisi sekaten? B: ada tiga unsur utama dalam tradisi sekaten yaitu unsur religi, unsur budaya, dan unsur bisnis atau unsur ekonomi. Unsur religi di sini diartikan sebagai unsur-unsur yang terdiri dari nilai-nilai ajaran Islam yang dibawakan oleh rasulullah kepada umatnya, kedua unsur budaya yang terdapat dalam sekaten adalah unsur-unsur budaya peninggalan dari kerajaan sebelumnya, salah satunya adalah gamelan. Ketiga adalah unsur ekonomi yang berkaitan dengan aktivitas jual-beli seperti yang terjadi di pasar malamnya. A: tadi bapak menyebutkan unsur budaya dalam sekaten adalah gamelan, bagaimana gamelan tersebut dijadikan sebagai unsur yang berpengaruh terhadap penyebaran Islam pada saat itu? B: gamelan tersebut memiliki cerita tersendiri yaitu mulai dari awal terbentuknya. Salah seorang Wali Sanga yang secara cerdas dan brilian memanfaatkan unsur budaya lokal (Jawa) untuk memudahkan penyiaran agama Islam adalah Sunan Kalijaga. Menurut ukuran zamannya, Sunan Kalijaga adalah sosok yang jenius, visioner, dan memiliki perspektif dan terobosan yang inovatif, progresif, dan konstruktif. Ia tidak melihat adanya jarak antara Islam dan budaya lokal. Justru elemen budaya lokal harus dipadukan dan dimanfaatkan untuk kepentingan tujuan dakwah agar agama Islam bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat luas. Dengan kata lain, pola dan strategi dakwah Sunan Kalijaga mengombinasikan unsur budaya lokal dengan nilai-nilai keislaman sehingga dakwahnya sangat menyentuh lubuk perasaan para penerimanya. Dalam bahasa modern sekarang, gerakan dakwah Sunan Kalijaga disebut gerakan dakwah kultural-edukatifpersuasif. Sunan Kalijaga tidak melancarkan praktik-praktik konfrontatif, tetapi menerapkan upaya-upaya persuasif dalam gerakan dakwahnya. Ada nilai-nilai sakral dan nilai nilai kultural dalam gerakan dakwah Sunan Kalijaga. Menyadari bahwa masyarakat Jawa menyenangi gamelan, Sunan Kalijaga memesan alat itu kepada seorang ahli pembuat gamelan. Seperangkat gamelan yang ia pesan itu dinamai Kiai Sekati yang akan ia pakai sebagai media dakwah untuk menyiarkan agama Islam kepada masyarakat luas di Demak dan sekitarnya. Bisa jadi nama Sekaten yang sekarang ini sudah menjadi perayaan tahunan di Demak dan Yogyakarta berasal dari nama Kiai Sekati (nama
gamelan Sunan Kalijaga). Teori lain mengatakan, nama Sekaten berasal dari kalimat Syahadatain (asyhadu anla ilaha illa Allah was asyhadu anna Muhammadan Rasulullah/ aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad utusan Allah). Kedua teori ini mirip, tak ada perbedaan yang signifikan. Dalam bukunya Sekitar Wali Sanga Solichin Salam mencatat, setelah pertemuan para Wali, di Masjid Demak diselenggarakan perayaan Maulid Nabi Muhammad. Perayaan ini antara lain diramaikan dengan rebana dan diiringi lagu-lagu indah yang beriramakan padang pasir (Arab). Dalam acara perayaan itulah, Sunan Kalijaga menempatkan Gamelan Kiai Sekati itu di halaman Masjid Demak. Ia dan para penabuh lainnya memainkan Gamelan Kiai Sekati itu dengan ritme dan irama yang indah dan bertalu-talu untuk menarik masyarakat mengunjungi perayaan Maulid Nabi. Upacara ini mendapat respons positif dan sambutan meriah dari masyarakat luas. Itu berarti pola, strategi, dan gerakan dakwah kultural-edukatif-persuasif yang dilancarkan oleh Sunan Kalijaga dan kawan- kawannya sukses besar. Para pengunjung diperbolehkan memasuki Masjid Demak dengan syarat sudah berwudu terlebih dulu dengan menggunakan air wudu di kolam masjid. Para pengunjung yang masuk ke masjid itu diminta melalui “Gapura” Masjid Demak. A: Bagaimana unsur budaya tersebut berpengaruh terhadap akulturasi budaya? B: tentu unsur tersebut sangat berpengaruh terhadap proses akulturasi nilai-nilai ajaran Islam terhadap budaya Jawa. Pertama gamelan, gamelan ini adalah alat tabuh dalam mengiringi gending atau lagu ciptaan wali. Diperkirakan masuknya gamelan ke jawa sudah lama ketika kerajaan hindu-budha menguasai nusantara khususnya di jawa. Ada yang berpendapat bahwa gamelan ini adalah alat musik asli indonesia. Gamelan ini sebagai media yang digunakan oleh walisanga yaitu Sunan Kalijaga untuk berdakwah. Mengapa sunan kalijaga menggunakan gamelan? Tentunya semua itu berdasarkan pengamatan Sunan Kalijaga yang melihat bahwa masyarakat menyukai bunyi-bunyian gamelan. Tidak ingin melewatkan kesempatan untuk berdakwah, akhirnya dibuatlah gamelan tersebut oleh sunan giri yang pandai dalam hal teknik pembuatan gamelan. Ketika gamelan selesai dibuat, baru lah gamelan tersebut di bawa ke halaman masjid keraton untuk dibunyikan. Proses komunikasi yang berlangsung adalah ketika masyarakat mendengar bunyi gamelan tersebut hati mereka senang karena akan ada keramaian. Ketika bunyi gamelan tersebut terdengar ke pelosok desa yang dulunya masih sunyi, tentunya bunyi gamelan tersebut terdengar nyaring dan masyarakat yang datang menjadi banyak, selama tujuh hari gamelan tersebut dibunyikan. Ketika bertepatan dengan tanggal 11 rabiul rabiul awal menjelang maulid nabi, barulah sunan kalijaga memanfaatkan momentum tersebut dengan memberikan pencerahan berkaitan dengan ajaran islam, jelas bahwa gamelan tersebut merupakan alat untuk menarik perhatian masyarakat agar datang ke masjid dan nantinya mendengarkan ceramah dari Sunan Kalijaga. Kedua adalah gending, Gendinggending Sekaten adalah gending pujian kehadlirat Allah SWT dan Shalawat Nabi, serta ajakan untuk menjalankan Syariat Islam secara khusuk. Gending yang ada di Sekaten memiliki makna keagamaan. Gending pertama adalah Gending Rambu, yang diolah para wali dari puji syukur yang berasal dari kata Rabbulngalamin, yang berarti Tuhan yang menguasai segala alam. Dalam perkembangan selanjutnya, gending menjadi banyak. Instrumen pun memiliki makna, seperti gamelan pelog berasal dari kata falakh yang berarti kebahagiaan.Gending-gending yang diperdengarkan berbeda dengan gendinggending Jawa yang ada saat ini. Nama-nama gending yang biasa dibunyikan tersebut,
Yaume, Salatun, Ngayatun, Supiyatun, Dendang Sabenah, Rambu (ciptaan Sultan Bintara), Rangkung (ciptaan Sultan Agung), Lung Gadungpel, Atur-atur, Andongandong, Rendeng-rendeng, Gliyung, Burung Putih, Orang-aring, Bayem Tur, dan Srundeng Gosong. Semua gending-gending itu dapat dinikmati di Kagungan Dalem Bangsal Pagongan Lor dan Pagongan Kidul, lewat Kagungan Dalem Gamelan Kangjeng Kiai Gunturmadu dan Kangjeng Kiai Nagawilaga yang ditabuh para abdidalem niyaga Kraton Yogyakarta. Awalnya masyarakat tidak mengetahui mengenai makna dari gending tersebut, tetapi setelah wali sanga menjelaskan berkaitan dengan maknanya, akhirnya masyarakat menjadi tahu dan faham. Disitulah proses komunikasi berlangsung yang tadinya tidak tahu menjadi tahu, yang tadinya tidak faham menjadi faham terhadap makna gending tersebut. Ketiga adalah gunungan, gunungan dalam filosofi Jawa melambangkan keimanan kepada tuhan. Gunungan tersebut juga melambangkan simbol sedekah raja kepada rakyatnya. Gunungan ini awalnya berasal dari tradisi selamatan yang sering dilakukan oleh masyarakat Jawa yang ditujukan untuk dewa-dewa agar terhindar dari bencana. Dengan masuknya Islam, tentu tradisi tersebut dikatakan sebagai hal yang melenceng dari kaidah-kaidah Islam. Namun, dalam melihat hal tersebut para wali tidak gegabah dalam bertindak. Dalam dakwahnya, para wali tidak menghilangkan esensi budaya lokalnya, tetapi hanya merubah niat dari masyarakat yang ingin melakukan selamatan. Jadi setelah selesai gamelan itu dibunyikan, besoknya ada ritual garebeg nama nya yang menjadi puncak dari acara sekaten. Gunungan yang di bawa tersebut didoakan oleh ulama keraton baru kemudian di rayah oleh masyarakat. Filosofis dari kegiatan rayah tersebut adalah sebagai simbol bahwa dalam mencari kehidupan harus disertai kerja keras. Kemudian doa yang dipanjatkan oleh penghulu keraton, dahulu masyarakat jawa pasca peninggalan kerajaan majapahit masih menjalankan tradisi selamatan yang dibacakan mantra-mantra. Setelah Islam masuk, bacaan mantra tersebut akhirnya diganti oleh wali sanga dengan bacaan doa, sholawat dan dzikir yang maksud dan tujuannya hanya untuk Allah, terakhir adalah penghulu atau ulama keraton. Dahulu ulama keraton pada masa Islam pertama masuk jawa adalah wali sanga, wali sebenarnya tidak hanya sembilan tetapi banyak, namun, yang paling sering disebut dalam babad tanah jawa adalah sembilan sunan yang sering kita dengar. Mereka adalah seorang pendakwah yang menyiarkan agama Islam, sekarang pun juga demikian fungsinya. A: Bagaimanakah proses akulturasi antara agama, budaya, dan tradisi yang berkembang di masyarakat, khususnya mayarakat Jawa? B: Akulturasi merupakan perpaduan dua budaya, dimana kedua unsur kebudayaan bertemu dan dapat hidupsecara berdampingan dan saling mengisi serta tidak menghilangkan unsur-unsur asli dari kedua kebudayaan tersebut. awalnya adalah ketika kebudayaan hindu-budha muncul dan dilanjutkan oleh kedatangan Islam di Indonesia dan berakulturasi dengan tradisi masyarakat. Aktulturasi ini terjadi karena masyarakat Indonesia, khususnya Jawa telah memiliki dasar-dasar kebudayaan, sehingga tidak mudah untuk menghilangkan yang sudah ada di masyarakat. Selain itu, kecakapan istimewa yang dimiliki bangsa Indonesia merupakan kecakapan suatu bangsa untuk menerima unsurunsur kebudayaan asing dan mengolah unsur-unsur tersebut sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia. Pengaruh agama dengan kebudayaan di masyarakat hanya sebagai pelengkap karena akulturasi tersebut merupakan hasil dari proses pengolahan kebudayaan asing yang disesuaikan dengan kebudayaan Indonesia. Hasil akulturasi tesebut dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan, bidang sosial, ekonomi, sistem pemerintahan, pendidikan, kepercayaan, seni dan budaya, teknologi, sistem kalender dan filsafat. Akulturasi yang masih dapat kita rasakan yakni, pada sosial masyarakat dahulu mengenal
sistem kasta, sehingga pada saat masuk hindu-budha mayarakat dibagi dalam berbagai tingkat sosial. Namun, pada saat islam datang, sistem kasta itu pun sudah tidak dipakai dan berganti dengan hakikat bahwa manusia itu derajatnya sama, hingga saat ini kesetaraan dalam tatanan sosial masih terus digunakan dalam masyarakat. Akulturasi pada sistem ekonomi tidak terlalu besar pengaruhnya ketika kedatangan hindu-budhaislam, karena pada saat itu masyarakat telah mengenal sistem perdagangan dan pelayaran. Pada tataran pemerintahan, pengaruhnya sangat terlihat, munculnya kepala suku atau pemimin dalam sebuah kelompok dan inilah yang menjadi awal mula berdirinya kerajaan-kerajaan di Indonesia. Hingga saat ini, sistem seperti ini tetap dilakukan karena memang dengan adanya kepala suku atau pemimpin ada pengatur dalam tataran masyarakat. Kebudayaan atau tradisi yang sampai sekarang masih mengakar kuat di masyarakat dapat kita lihat, khususnya pada kraton Yogyakarta yang masih menggelar upacara-upacara keagamaan dan tradisi dalam kehidupan sehari-hari, misal sekaten, nglarung, syawalan dan malan satu suro. Selain itu, tradisi slametan juga masih kita lihat sampai sekarang yang menggunakan 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 1 tahun, 2 tahun dan 1000 hari dalam upacara kematian. Jadi, proses akulturasi yang terjadi di masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa, sudah berlangsung sejak kedatangan pembawa agama. Dengan kecerdasaan bangsa Indonesia, terjadilah akulturasi yang terjadi karena bangsa ini telah memiliki nilai-nilai kehidupan dan kecerdasan lokal. Akulturasi tidak akan terjadi jika bangsa ini atau masyarakat Jawa tidak memiliki kebudayaannya sendiri, yang nantinya akan hanya menggunakan kebudayaan yang dibawa dari luar dan meninggalkan kebudayaan yang ada di masyarakat sejak dulu. A: Sunan Kalijaga dalam melakukan pendekatan dengan masyarakat lokal melalui pendekatan budaya, mengapa hal tersebut dilakukan oleh sunan kalijaga? B: Upacara Sekaten pada awalnya adalah suatu upacara yang diselenggarakan tiap tahun oleh raja-raja di tanah Hindu, berwujud selamatan atau sesaji untuk arwah para leluhur dan dilaksanakan dalam dua tahap. Tahap pertama disebut Aswameda . Sesaji itu diselenggarakan selama enam hari, yang dilakukan dengan doa-doa dan nyanyiannyanyian pujian disertai dengan tatabuhan yang mengandung arti memuja arwah leluhur, untuk memohon berkat dan perlindungan. Tahap kedua disebut Asmaradana yang diselenggarakan pada hari ketujuh merupakan penutup tahap yang pertama. Dalam tahap ini diselenggarakan pembakaran dupa besar, disertai dengan mengheningkan cipta atau semedi. Dengan masuknya agama Hindu ke Jawa, maka upacara Asmaweda dan Asmaradana masuk pula ke dalam budaya Jawa. Dan pada jaman Hindu Jawa, raja-raja Jawa juga melestarikan upacara yang diwarisi tersebut. Hal itu ternyata berlanjut pada abad ke-14 ketika agama Islam mulai berkembang di tanah Jawa. Pada saat itu para pemuka agama Islam disebut wali. Wali yang terkenal pada masa itu berjumlah sembilan dan karena itu disebut Wali Songo. Oleh Wali Songo, upacara Asmaweda dan Asmaradana itu digunakan sebagai sarana menyebarkan agama Islam dan dilakukan dengan cara-cara yang Islami. Grebeg merupakan salah satu metode penyebaran agama islam pada waktu itu dengan pendekatan budaya. Metode ini dipakai karena pada saat itu budaya dan seni bekembang dengan baik. Melalui metode ini, islam disebarkan dengan memasukan berbagai ajaran islam dengan asimilasi dan akulturasi. salah satu wali yang sangat berpengaruh saat itu yaitu Sunan Kalijaga. Wali ini menyebarkan islam dengan cara mengumpulkan masyarakat dan membunyikan gamelan yang ditaruh di halaman Masjid Besar. Setelah masyarakat berduyun-duyun menontonnya, Sunan Kalijaga berdakwah untuk mengemukakan keutamaan ajaran agama Islam.
LEMBAR WAWANCARA TERTULIS DENGAN AHMAD M KAMALUDININGRAT Nama: KRT Drs H. Ahmad M Kamaludiningrat Pekerjaan: Ulama Keraton Waktu wawancara: 8 Januari 2014, pukul 14.00 WIB. Tempat Wawancara: Keraton Yogyakarta.
A: Apa Makna Sekaten menurut Bapak? B: sekaten itu pada dasarnya adalah tradisi untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w., sebuah tradisi budaya yang berasal dari kerajaan islam yang berdiri pertama kali di Jawa yaitu Demak untuk memperingati hari kelahiran nabi muhammad s.a.w. Sekaten berasal dari kata syahadatain atau yang berarti kalimat syahadat. Mengapa syahadat? Karena menurut cerita leluhur pada masa kerajaan Demak, Wali Sanga menggunakan cara untuk menyebarkan Islam dengan menciptakan gamelan dan memukulnya dengan irama tertentu untuk menarik perhatian masyarakat. Lalu akhirnya dengan kerelaan hati masyarakat yang datang dalam acara sekaten tersebut masuk Islam dan mengucapkan syahadat. A: Tadi Bapak menyebut Wali Sanga, bagaimana peran Wali Sanga dalam penyebaran Islam di Tanah Jawa, khususnya berkaitan dengan Sekaten? B: Tentunya peran Wali Sanga sangat penting dan besar terhadap penyebaran Islam di tanah Jawa. Pada masa kerajaan Islam di Demak yang dipimpin Sultan Agung, para wali tersebut melihat bahwa keadaan dan kondisi masyarakat Jawa berkaitan dengan system kepercayaan dapat dikatakan melenceng dari akidah Islam. Ada yang mempercayai keberadaan roh nenek moyang dalam kehidupannya, kemudian ada yang menggunakan sesajen untuk persembahan roh nenek moyang, dan percaya ada kekuatan besar yang menguasai bumi selain Allah SWT, itu yang membuat para wali berfikir keras untuk meluruskan akidah tersebut. Kemudian, akhirnya para wali menyusun strategi dakwahnya untuk melancarkan misi dakwahnya agar nantinya islam dapat diterima oleh masyarakat. Melalui pendekatan budaya tentunya ini akan membuahkan hasil yang maksimal, terbukti dari cara yang dilakukan oleh sunan kalijaga dalam menanamkan ajaran-ajaran ke-Islaman melalui wayang kulit dan juga gamelan. Tentu ini butuh proses yang panjang dan rumit, karena pada saat itu sistem kepercayaan hindubudha masih kuat dianut oleh masyarakat jawa pada saat itu semenjak sepeninggalan
kerajaan majapahit. Namun, para wali disertai dengan dukungan sultan agung tidak menyerah begitu saja, karena peran sultan agung sangat strategis saat itu, yaitu sebagai pemimpin kerajaan Demak, dia bisa memerintahkan secara langsung kepada rakyatnya untuk meninggalkan perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, namun, para wali beranggapan lain, apabila masyarakat diperintahkan begitu saja tanpa kehendak dari dirinya, maka pasti misi dakwah tersebut tidak akan berjalan dengan mulus. Akhirnya melalui musyawarah majelis wali sanga, diperoleh hasil bahwa dalam penyebaran islam tidak digunakan cara-cara pemaksaan, namun, perlu dikemas dalam bentuk yang islami tanpa menghilangkan unsur kebudayaan lokalnya. Di sini terlihat kebijaksanaan yang diperlihatkan oleh para wali dalam menerapkan suatu kebijakan tanpa ada yang dirugikan. A: sekaten bisa disebut sebagai sebuah akulturasi budaya. Apakah bapak bisa menjelaskan bagaimana sebuah akulturasi tersebut bisa terjadi? B: para wali yang tadi saya sebutkan tentunya berbeda dari latar pendidikan, sosial dan budaya dari masyarakat jawa sepeninggalan kerajaan majapahit saat itu. Para wali merupakan orang yang terpelajar atau bisa disebut sebagai kaum santri, sedangkan masyarakat jawa saat itu adalah berkeyakinan hindu-budha dan masih menjalankan sistem kepercayaan animisme serta dinamisme. Ketika para wali tersebut memulai gerakan dakwahnya, dengan sangat bijaksana para wali tersebut tidak menggunakan cara anarki dalam memasukan nilai-nilai ajaran islam, namun, dengan cara yang halus. Masyarakat jawa saat itu tidak dituntut untuk meninggalkan ajaran nenek moyangnya dahulu, dan tetap menjalankan rutinitasnya namun disisipi oleh ajaran islam. Di sinilah proses akulturasi budaya terjadi, yaitu mulai dimasukannya ajaran-ajaran islam ke dalam sendi kehidupan masyarakat jawa. Sehingga saat ini kita lihat ada perpaduan antara budaya jawa dengan nilai-nilai religius yang ditampilkan dalam setiap acara sekaten. Gamelan sekaten sebagai budayanya, dan kegiatan keagamaan seperti acara ceramah sebagai nilai-nilai religiusnya. A: bagaimananakah nilai-nilai religius dalam budaya sekaten? B: sekaten ini merupakan tradisi dalam rangka memperingati hari kelahiran nabi muhammad s.a.w. Nilai-nilai religius dalam tradisi ini tentunya adalah berkaitan dengan akidah. Masyarakat yang datang ke acara sekaten diharapkan setelah mengikuti acara nya dapat menjadi lurus akidah nya melalui kegiatan pengajian yang diadakan rutin selama sekaten. Kedua berkaitan dengan nilai-nilai akhlak. Kita banyak melihat kondisi akhlak kebanyakan
manusia saat ini sudah jauh dari ajaran-ajaran Islam itu sendiri. Banyak norma-norma yang ditabrak begitu saja, aturan-aturan yang telah ditetapkan di alquran serta hadis banyak yang dilanggar, serta sudah tidak menjadikan Nabi Muhammad s.a.w. sebagai panutan dalam kehidupannya, yang dijadikan panutan malah idola-idola yang tidak jelas akhlaknya. Ketiga adalah nilai mahabah atau kecintaan pertama kepada Allah SWT tentunya dan kedua kepada Nabi Muhammad s.a.w. ini sebenernya salah satu yang ingin ditanamkan setiap penyelenggaran sekaten tiap tahunnya. Kita diajak untuk bisa mencintai Zat yang menciptakan kita dan mencintai seseorang yang telah berjasa terhadap tegaknya Islam di muka bumi. A: bagaimana pandangan bapak terhadap sekaten bila dipandang dari kacamata islam? B:
dari ajaran nabi muhammad s.a.w. memang tidak diajarkan kepada umatnya untuk merayakan hari kelahirannya. Perayaan sekaten yang selama ini dirayakan setiap tahun ini semata-mata adalah sebagai suatu usaha untuk mengajak umat islam untuk meneladani akhlak rasul. Ada memang yang bilang ini adalah bid’ah, tapi bila kita melihat dari maksud dan tujuan diadakannya peringatan maulid adalah untuk mengingatkan kepada umatnya untuk meneladani akhlaknya, tentunya itu tidak negatif atau dipandang buruk dalam kacamata islam. Jadi selama tujuannya adalah untuk mengingatkan kepada umat islam untuk berbuat kepada kebaikan menurut saya boleh acara seperti sekaten ini dilaksanakan. Memang tidak ada dalil dan syariatnya, tapi sekali lagi ini hanya sebagai sarana dakwah untuk mengajak umat islam kembali ke jalan yang lurus.
A: menurut bapak, apakah perayaan sekaten saat ini telah terjadi pergeseran nilai-nilai budaya serta religius? B: saya melihatnya acara sekaten yang 10 tahun terakhir ini memang ada perubahan, terutama dari kemasan acaranya serta tampilannya. Misalnya saja ketika di masjid keraton ini sedang ada pengajian, yang datang tidak banyak. Masih ada kursi-kursi yang kosong atau ketika di dalam masjid masih ada shaf-shaf yang kosong. Kemudian, ketika saya keluar masjid, saya melihat masyarakat lebih sibuk melakukan aktivitas jual-beli di pasar malam sekaten, kemudian, banyak yang bermain di arena permainannya. Ya itulah kenyataannya sekarang. Mengajak seseorang untuk kembali ke Allah lebih sulit dibanding kita mengajak seseorang berbelanja misalnya ke Malioboro, pasti lebih antusias, dibanding diajak ke masjid untuk mendengarkan ceramah. Saya menilainya hal yang demikian sebagai sesuatu yang wajar, tapi