PAGELARAAN KARAWITAN DI KERATON YOGYAKARTA
MAKALAH Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Wawasan Budaya Nusantara Program Studi Televisi dan Film Jurusan Seni Media Rekam
Disusun oleh : SARTIKA DEVI PUTRI E.A.A NIM. 14148115
FAKULTAS SENI RUPA DAN DESAIN INSTITUT SENI INDONESIA SURAKARTA 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmad, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang wujud budaya yang terdapat pada pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta ini dengan baik, meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan juga kami berterimakasih kepada Bapak Ranang Agung Sugihartono, S.Pd., M.Sn selaku dosen mata kuliah Wawasan Budaya Nusantara ISI Surakarta yang telah memberi tugas ini kepada kami. Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita mengenai seni karawitan. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap kritik, saran, dan usulan demi perbaikan makalah yang telah kami buat di maa yang aan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun. Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan, kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun dari Anda demi perbaikan makalah inn di waktu yang akan datang.
Surakarta, 14 Desember 2015 Penulis
ii
DAFTAR ISI HALAMAN SAMPUL ……………………………………………..
i
KATA PENGANTAR ………………………………………………
ii
DAFTAR ISI ………………………………………………………… iii DAFTAR GAMBAR ………………………………………………..
v
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ……………………………………………… 1 1.2 Rumusan Masalah …………………………………………..
2
1.3 Tujuan ………………………………………………………. 2 1.4 Tinjauan Teori……………………………………………….
2
1.5 Metode Penelitian …………………………………………..
7
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1 Wujud Budaya Konsep ……………………………………..
8
2.1.1
Fungsi Pagelaran Karawitan ………………………. 8
2.1.2
Jenis Pagelaran …………………………………….. 9
2.1.3
Filosofi Pagelaran ………………………………….. 10
2.2 Wujud Budaya Tindakan ……………………………………. 11 2.2.1
Ritual Sebelum Pagelaran ………………………….. 11
2.2.2
Pagelaran Karawitan ……………………………….. 12
2.3 Wujud Budaya Artefak ……………………………………… 13 2.3.1
Pakaian Niyaga dan Sinden ………………………… 13
2.3.2
Gamelan …………………………………………….. 15
2.3.3
Kagungan Dalem Bangsal Sri Manganti ……………. 24
2.3.4
Kagungan Dalem Bangsal Trajutresno …………… 24
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan …………………………………………………… 25 3.2 Kritik dan Saran ……………………………………………… 25
iii
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………….. 27 LAMPIRAN …………………………………………………………. 28
iv
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Pagelaran Uyon-uyon ……………………………………...
9
Gambar 2. Pagelaran Karawitan di Keraton Yogyakarta ……………...
12
Gambar 3. Baju Pranaan untuk niyaga putra ………………………....
13
Gambar 4. Baju Pranaan untuk niyaga putri ………………………….
14
Gambar 5. Baju Pranaan untuk sinden ………………………………..
15
Gambar 6. Gamelan ……………………………………………………
16
Gambar 7. Bonang dalam pagelaran karawitan ………………………..
17
Gambar 8. Kenong dalam pagelaran karawitan ………………………..
19
Gambar 9. Gong dalam pagelaran karawitan ……………………………
19
Gambar 10. Kethuk dalam pagelaran karawitan ……………………….... 20 Gambar 11. Saron dalam pagelaran karawitan ………………………….. 21 Gambar 12. Peking dalam pagelaran karawitan …………………………. 23 Gambar 13. Kagungan Dalem Bangsal Sri Manganti …………………… 24 Gambar 14. Wawancara dengan Maswedono …………………………… 31 Gambar 15. Selfie di samping Bangsal Sri Manganti ……………………. 31
v
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Indonesia adalah salah satu negara kepulauan yang memiliki banyak wilayah yang terbentang di sekitarnya. Ini menyebabkan keanekaragaman suku, adat istiadat dan kebudayaan dari setiap suku di Indonesia. Ratusan atau bahkan ribuan kebudayaan dan kesenian tradisional yang dimiliki Indonesia dan patut kita jaga kelestariannya, khususnya seni musik. Pada era saat ini mayoritas penikmat musik Indonesia lebih suka menikmati misik modern dibanding dengan musik daerah. Hakikatnya musik daerah adalah musik yang tumbuh dan berkembang di Nusantara. Namun, pada saat ini musik tersebut kurang memiliki daya tarik. Salah satu contoh seni musik yang berkembang di daerah Jawa adalah seni musik gamelan yang berada di Yogyakarta. Yogyakarta merupakan salah satu kota terbesar di Indonesia. Salah satu kecamatan di Yogyakarta yaitu Kotagede pernah menjadi pusat Kesultanan Mataram. Keberadaan Kesultanan Mataram membawa berbagai dampak, salah satunya adalah seni karawitan. Pada zaman ini dianggap sebagai tonggak seni karawitan, terutama untuk gaya Yogyakarta dan Surakarta. Tidak hanya penambahan jenis-jenis gamelan saja, melainkan fungsi seni karawitan pun mengalami perkembangan. Dahulu karawitan hanya sebagai sarana upacara yang dilakukan oleh kalangan tertentu. Karawitan merupakan acara sakral, dan tidak semua orang mampu memainkan alat musik gamelan dan tidak semua orang mampu menjadi sinden. Namun, sekarang selain menjadi sebuah bagian dari upacara adat, seni karawitan juga berfungsi sebagai hiburan. Dan karena keterbukaan keraton dan palilah Dalem, seni karawitan produk keraton sudah berbaur dengan masyarakat pendukungnya. Keterbukaan keraton akan karawitan membuat masyarakat luas menjadi tahu akan seni karawitan. Berbagai cara dilakukan agar kesenian
1
karawitan tetap bisa bertahan. Salah satu upaya Keraton Yogyakarta adalah dengan cara melakukan pagelaran karawitan setiap hari. Ini bertujuan untuk tetap melestarikan kebudayaan Jawa, peninggalan nenek moyang agar tetap lestari. Selain itu, pagelaran tersebut juga menjadi sebuah promosi untuk menarik wisatawan agar mau berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Makalah ini membahas tentang pagelaran karawitan yang diadakan di Keraton Yogyakarta. Sehingga pembaca dapat memahami dan mengerti tentang kegiatan pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta.
1.2 Rumusan Masalah Penulisan makalah ini untuk mengetahui wujud budaya pada pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta, dengan rumusan masalah sebagai berikut : 1.2.1
Bagaimana wujud budaya ide/ konsep pada pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta?
1.2.2
Bagaimana wujud budaya tindakan/ kegiatan pada pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta ?
1.2.3
Bagaimana wujud budaya artefak pada pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta ?
1.3 Tujuan Penulisan makalah ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud budaya yang terdapat pada Pagelaran Karawitan di Keraton Yogyakarta.
1.4 Tinjauan Teori 1.4.1
Pengertian dan Filosofi Karawitan
1.4.1.1 Pengertian Karawitan
-
Prawiroatmojo (1985:134), istilah karawitan dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di lingkungan daerah Jawa Tengah dan
2
Yogyakarta sudah sering terdengar kata rawit yang artinya halus, indah-indah.
-
Supanggah (2002:5¬6), istilah Karawitan sendiri digunakan untuk merujuk pada kesenian gamelan yang banyak dipakai oleh kalangan masyarakat Jawa. Istilah tersebut mengalami perkembangan penggunaan maupun pemaknaannya. Banyak orang memaknai “karawitan” berangkat dari kata dasar “rawit” yang berarti kecil, halus atau rumit. Konon, di lingkungan keraton Surakarta, istilah karawitan pernah juga digunakan sebagai payung dari beberapa cabang kesenian seperti: tatah sungging, ukir, tari, hingga pedhalangan. Dalam pengertian yang sempit istilah karawitan dipakai untuk menyebut suatu jenis seni suara atau musik yang mengandung salah satu atau kedua unsur berikut (sebagaimana dikutib dalam zainbie.com):
Menggunakan alat musik gamelan – sebagian atau seluruhnya baik berlaras slendro atau pelog – sebagian atau semuanya.
Menggunakan laras (tangga nada slendro) dan / atau pelog baik instrumental gamelan atau non-gamelan maupun vokal atau campuran dari keduanya
1.4.1.2 Filosofi Karawitan Karawitan yang termasuk ke dalam seni suara, khususnya seni karawitan Jawa tak hanya sebagai unsur musik. Namun, juga memiliki unsur-unsur lain di dalamnya. Alunan musik dari seni karawitan cenderung bersuara lembut dan seperti sengaja menghadirkan suasana ketenangan jiwa. Hal itu menjadi keselarasan dalam prinsip kehidupan sehari-hari orang Jawa yang lembut dan sopan, baik tutur kata maupun perilaku. Berikut ini adalah nilai-nilai yang terkandung dalam seni
3
karawitan
berdasarkan
literature
dari
zenbie.com
dan
academia.edu :
1.4.1.2.1
Nilai Estetika Gamelan terdiri dari bermacam-macam alat musik, jika dimainkan keseluruhan akan menghasilkan suara yang harmonis dan dinamis, sehingga akan memunculkan nilai estetika keindahan suara, suara yang lembut dank has gamelan akan menimbulkan rasa nyaman bagi penikmat.
1.4.1.2.2
Nilai Historis Karawitan adalah warisan leluhur yang diturunkan pada generasi ke generasi. Seni karawitan memiliki sejarah yang
panjang,
dalam
perkembangannya
sampai
sekarang seni karawitan memiliki dan memberikan pelajaran pada pelaku dan penikmatnya untuk selalu menjaga warisan budaya bangsa.
1.4.1.2.3
Nilai Budaya Nilai budaya yang dapat diambil dari karawitan adalah telah dikenalnya budaya ini selama sebelum pengaruh Hindhu dan Budha masuk ke Indonesia, yang sampai saat ini pun masih diakui dan dinikmati keberadaannya oleh masyarakat.
1.4.1.2.4
Nilai Spiritual Nilai spiritual adalah nilai tertinggi dan bersifat mutlak. Pada
zaman
dahulu
gamelan
digunakan
untuk
mengiringi upacara keagamaan, dimana masyarakat mengakui ke-Esa-an Tuhan. Perkembangan Islam di Jawa, gamelan merupakan sarana akulturasi antara nilai
4
yang terkandung dalam pesan budaya dengan nilai Islam. Syair-syair yang terdapat dalam karawitan juga menunjukkan adanya pemahaman nasihat-nasihat yang berhubungan dengan agama. Bahkan salah seorang sunan yakni Sunan Bonang, memakai alat musik gamelan Bonang dalam menyebarkan agama Islam.
1.4.1.2.5
Nilai Demokrasi Seni karawitan juga mengandung nilai demokratis. Hal ini dapat dilihat dari peranan setiap alat musik yang ada di dalamnya. Contohnya kendhang sebagai pemimpin dan pengendali disini terdapat peran pengaturan yang dianalogikan sebagai eksekutif. Sementara gong sebagai tanda
pemberhentian
jalannya
permainan
atau
pengawasan
terhadap
yang
dianalogikan
sebagai
yudikatif. Sedangkan kenong adalah legislatif yang mewakili perangkat lainnya.
1.4.1.2.6
Nilai Sosial Nilai sosial yang dapat diambil dari seni karawitan/ atau gamelan adalah kerjasama dalam bermain gamelan, saling melengkapi satu sama lain, dan mengikuti aturan bermain gamelan secara bersama-sama.
1.4.1.2.7
Nilai Psikologis Nilai psikologis yang terkandung dalam karawitan yaitu dengan tumbuhnya ras akesetiakawanan, tegus sapa halus, sopan dalam tingkah laku dan meresapnya gendhing-gendhing jawa nan halus dalam jiwa, sehingga membentuk kepribadian yang halus dan baik dalam mengolah rasa.
5
1.4.2
Pengertian Gamelan Secara etimologi Gamelan berasal dari istilah Bahasa Jawa yakni “Gamel” yang berate menabuh/ memukul, dan akhiran “an” yang menjadikannya kata benda. Jadi, Gamelan bisa diartikan memukul atau menabuh benda. Ada juga yang menyebutkan bahwa gamelan berasal dari kata Gembel. Gembel berarti alat untuk memukul. Karane cara membunyikan instrument itu dengan dipukul-pukul. Barang yang sering dipukul namanya adalah gembelan. Kata gembelan bergeser menjadi gamelan (Trimanto, 1984. Sebagaimana dikutip dalam jurnal tentang Sejarah Karawitan).
1.5 Metode Penelitian 1.5.1
Jenis Penelitian Jenis penelitian yang saya gunakan adalah penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian deskriptif
kualitatif
adalah
prosedur penelitian berdasrkan data deskriptif, yaitu berupa lisan atau kata tertulis dari seseorang subjek yang telah diamati dan memiliki karakteristik bahwa data yang diberikan merupakan data asli. Penelitian deskriptif kualitatif merupakan bagian dari penelitian kualitatif, yang bertujuan untuk mengungkapkan fakta dan kejadian yang terjadi saat penelitian berjalan. Selain itu tujuan dari penelitian deskriptif kualitatif searah dengan rumusan masalah serta identifikasi masalah.
1.5.2
Objek Kajian
1.5.2.1 Nama Kesenian
:
Pagelaran
Karawitan
di
Keraton
Yogyakarta 1.5.2.2 Lokasi
: Keraton Kasultanan Yogyakarta
1.5.2.3 Hari dan Waktu
: Senin, 07 Desember 2015
6
1.5.2.4 Instrumen
: Hp oppo R001 untuk merekam audio dan
kamera pocket Samsung untuk mengambil gambar.
1.5.3
Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan
adalah
observasi dan wawancara. Obervasi atau pengamatan adalah sebuah teknik pengumpulan data yang mengharuskan peneliti turun ke lapangan mengamati hal-hal yang berkaitan dengan : ruang, tempat, pelaku, kegiatan, benda-benda, waktu, peristiwa, tujuan, dan perasaan. Pada kali ini, saya melakukan pengamatan terhadap pagelaran karawitan yang berada di Keraton Yogyakarta. Saya mengamati aktivitas yang dilakukan selama pagelaran. Metode kedua
yang saya
gunakan adalah metode
wawancara. Pendekatan wawancara yang saya gunakan adalah pendekatan pertanyaan
kualitatif, bebas
untuk
dimana
pewawancara
memudahkan
mengajukan
menggali
informasi
narasumber. Saya mewawancarai seorang abdi dalem dalam pagelaran tersebut, beliau bernama Maswedono Dutomargowo, yang berusia kira-kira 60 tahun.
7
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN 2.1 Wujud Budaya Konsep 2.1.1
Fungsi Pagelaran Karawitan Keraton Yogyakarta Fungsi pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta menurut Maswedono Dutomargowo (wawancara, 07 Desember 2015) seorang abdi dalem di Keraton Yogyakarta adalah pertama, sebagai penyambut tamu atau pesowanan tamu dari kerajaan lain maupun dari pemerintah. Kedua, sebagai pelestari kebudayaan Jawa yang rutin dilakukan oleh keluarga keraton sejak zaman dahulu. Ketiga, untuk mengisi kegiatan pariwisata di Keraton Yogyakarta. Sekaligus mengenalkan seni karawitan kepada pengunjung Keraton, baik domestik maupun mancanegara.
2.1.1.1 Karawitan sebagai Penyambutan Tamu Karawitan sebagai penyambutan tamu agung keluarga kerajaan. Pagelaran karawitan diadakan khusus untuk menyambut tamu. Gamelan dibunyikan ketika tamu mulai memasuki wilayah Keraton Yogyakarta. Bunyi gamelan mengiri tamu – tamu yang masuk, begitu menurut penjelasan Maswedono (wawancara, 07 Desember 2015). Upacara penyambutan tamu disebut Sinuhun. Musik yang dimainkan adalah musik Wihelmus dan gending dari gamelan slendro Kiai Harganaraga dan gamelan pelog Kiai Harjamulya (Sutopo, 140).
2.1.1.2 Karawitan sebagai Kegiatan Rutin Keraton Yogyakarta Karawitan
sebagai
kegiatan
rutin
Keraton
Yogyakarta
dilaksanakan setiap hari senin dan rabu pukul 10.00 – 13.00 WIB. Semua niyaga dan sinden berasal dari anggota kelurga Keraton Yogyakarta. Kegiatan ini guna untuk melanjutkan rutinitas yang ada sejak zaman dahulu.
8
2.1.1.3 Karawitan sebagai Pengisi Kegiatan Pariwisata Karawitan di Keraton Yogyakarta selain sebagai penyambutan tamu dan kegiatan rutin, juga sebagai pengisi kegiatan pariwisata. Sejak Keraton Yogyakarta resmi dibuka menjadi objek
wisata,
pemerintah
keraton
memutuskan
untuk
memberikan penampilan yang dipersembahkan bagi para wisatawan. Salah satunya adalah pertujukan karawitan.
2.1.2
Jenis Pagelaran Ada beberapa jenis pagelaran karawitan yang diadakan di Keraton Yogyakarta setiap harinya. Berikut ini adalah beberapa jenis pagelaran karawitan :
2.1.2.1 Uyon-uyon
Gambar 1. Pagelaran Uyon-uyon (Foto : Sartika Devi Putri, 2015)
Uyon-uyon atau yang lebih sering disebut dengan klenengan adalah musik yang dimainkan dengan diiringi penyanyi wanita/ sinden dan penyanyi pria/ wiraswara, yang terdiri dari bermacam-macam lagu. Uyon-uyon dilaksanakan pada hari
9
senin, selasa, dan hari kamis. Pada hari senin, pengrawit berasan dari anggota Keraton Yogyakarta, pada hari selasa dan kamis, berasal dari sanggar-sanggar karwitan diluar anggota keraton.
2.1.2.2 Wayang Golek Wayang golek adalah pertunjukan wayang yang terbuat dari kayu yang berbentuk seperti manusia, digerakkan oleh dalang. Karawitan menjadi pengiring dan elemen yang penting dalam pagelaran wayang golek. Karena musik galeman mampu menciptakan suasana dan ritme permainan wayang, selain dari gerakan dan suara dalang. Wayang golek diadakan setiap hari rabu pukul 10.00 – 13.00 WIB di Bangsal Sri Manganti, Keraton Yogyakarta.
2.1.2.3 Macapat Macapat adalah bentuk tembang atau puisi tradisional Jawa, yang di setiap baitnya mempunyai baris kalimat (gatra) tertentu, setiap gatra mempunyai jumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada sanjak akhir (guru lagu) atau guru suara tertentu. Karawitan menjadi musik pengiring pada saat macapatan yang dilakukan setiap hari Jumat di bangsal Sri Manganti, Keraton Yogyakarta. Seseorang yang bertugas membacakan macapat berasal dari keraton.
2.1.3
Filosofi Pagelaran Karawitan
2.1.3.1 Niyaga Putra dan Wiraswara Pengrawit atau niyaga dalam pegelaran karawitan di Keraton Yogyakarta minimal harus berjumlah 20 orang, jikalau ingin menambah harus kelipatan dari lima. Menurut pendapat Maswedono (wawancara, 07 Desember 2015), niyaga dalam pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta sejumlah 25 orang,
10
ini dikarenakan jumlah gamelan yang terdapat dikeraton sebanyak 25. Selain itu, untuk niyaga diharuskan mengenakan pakaian peranakan dan memakai udeng. Udeng yang dikenakan laki-laki memiliki filosofi laki-laki memakai udeng (iket) yang berarti bahwa laki-laki dipandang lebih mudeng (paham) tentang hidup dibanding perempuan. Dapat dikatakan bahwa pemikiran pria itu jauh lebih bisa mulur mungkret dalam mengatasi masalah dan problematika hidup. Begitu juga dengan wiraswara.
2.1.3.2 Sinden dan Niyaga Putri Sama seperti niyaga, sinden dalam pagelaran karawitan berjumlah kelipatan lima. Manurut Maswedono (wawancara, 07 Desember 205), sinden dalam pagelaran tersebut minimal 10 orang dan maksimal 20 orang. Sinden dan niyaga putri diwajibkan untuk menggelung rambutnya. Maksudnya rambut wanita yang di gulung dan di ikat berbentuk bulatan, hal ini menggambarkan bahwa rasa wanita yang selalu berputar-putar dengan rasa yang dalam. Kemudian untuk mengencangkan ikatan konde menggunakan tusuk konde. Tusuk konde menunjukkan bahwa wanita adalah manusia yang kuat.
2.2 Wujud Budaya Tindakan 2.2.1
Ritual sebelum Pagelaran Menurut Maswedono (wawancara, 07 Desember 2015), ritual dilakukan sebelum pagelaran karawitan untuk penyambutan tamu. Ritual tersebut beruba doa, memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberi berkah dan kelancaran. Maswedono tidak bercerita banyak tentang ritual yang dilakukan. Ini merupakan rahasia kerajaan, hanya orang-orang kerajaan yang mengetahui tentang ritual pagelaran karawitan.
11
2.2.2
Pagelaran Karawitan Pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta digunakan untuk penyambutan tamu agung. Namun, sekarang pagelaran tersebut menjdi rutinitas yang dilakukan oleh abdi dalem dari Keraton Yogyakarta. Pagelaran tersebut diikuti oleh 25 niyaga dan 10 sinden yang berasal dari Keraton Yogyakarta.
Gambar 2. Pagelaran Karawitan di Keraton Yogyakarta (Foto : Sartika Devi Putri, 2015)
Pagelaran karawitan diadakan setiap hari, mulai dari hari senin sampai dengan hari minggu, pukul 10.00 - 13.00 WIB. Pagelaran diadakan sejak zaman Kerajaan Mataram. Sekarang pagelaran karawitan lebih diintensifkan. Tidak hanya dari kalangan keraton, tetapi juga dari klub dan sanggar karawitan di berbagai kota yang setiap hari mempunyai jadwal untuk tampil di bangsal Sri Manganti. Klub dan sanggar tersebut berasal dari Kulon Progo, Wonosari, Bantul, Sleman, dan masih banyak lagi. Tembang yang dinyanyikan berganti-ganti setiap harinya menurut pagelaran yang diadakan. Niyaga terlihat begitu memahami dan menikmati alunan musik. Ada beberapa niyaga yang tanpa melihat gamelan yang dimainkan, Ia tetap bisa bermain dengan baik dan indah.
12
2.3 Wujud Budaya Artefak 2.3.1
Pakaian Pengrawit dan Sinden Pakaian atau pengageman yang dikenakan pengrawit/ niyaga ataupun sinden memiliki nilai luhur yang tinggi. Tidak sembarang pakaian yang dapat dikenakan ketika diadakannya pagelaran karawitan di sebuah keraton, khususnya Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta terkenal akan kekayaan dan keberagaman pakaian adat. Berikut ini adalah pakaian yang dikenakan pengrawit/niyaga dan sinden.
2.3.1.1 Pakaian Pengrawit/ Niyaga Laki-laki
Gambar 3. Baju Pranaan untuk niyaga putra (Foto : Sartika Devi Putri, 2015)
Pakaian atau pengageman yang dikenakan oleh niyaga laki-laki menurut penjelasan Maswedono (waawancara, 07 Desember 2015) adalah pengageman Pranaan. Pengageman pranaan memiliki arti pakaian yang diibaratkan sebagai wadah bayi atau rahim ibu. Pakaian tersebut bermotif garis-garis atau lurik dan berwarna coklat. Baju Pranaan adalah baju dengan lengan panjang, Kanan kiri berkancing 5 buah, yang merupakan lambang Rukun Islam, juga disebut model belah Banten. Pada
13
leher terdapat tiga pasang kancing berjumlah 6 buah, yang merupakan lambang Rukun Iman. Pengageman pranaan menggunakan mengenakan
bawahan udeng
atau
jarik
berwarna
blangkon
coklat.
sebagai
Lalu,
pelengkap
pengageman.
2.3.1.2 Pakaian Pengrawit/ Niyaga Perempuan Menurut Maswedono (wawancara, 07 Desember 2015), pakaian atau pengageman yang dikenakan niyaga putri adalah pengageman pranaan, sama namanya sama seperti yang dikenakan niyaga putra. Namun, pengageman pranakan putri tidak bermotif garis-garis atau lurik. Pengageman pranaan putri berwarna hitam dengan hiasan warna kuning emas, kain yang dikenakan seperti kain bludru, dengan bawahan jarik warna coklat atau hitam. Rambut niyaga putri harus digelung dan diberi tusuk konde, karena ini adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Rambut niyaga putri tidak boleh terurai, rambut harus terlihat rapi.
Gambar 4. Baju Pranaan untuk niyaga putri (Foto : Sartika Devi Putri, 2015)
14
2.3.1.3 Pakaian Sinden Menurut Maswedono (wawancara, 07 Desember 2015),, pakaian yang dikenakan sinden putri sama dengan yang dikenakan niyaga putri. Pengageman pranakan berwarna hitam dan jarik berwarna coklat, serta rambut digelung dan diberi tusuk konde.
Gambar 5. Baju Pranaan untuk sinden (Foto: Sartika Devi Putri, 2015)
2.3.2
Gamelan Gamelan merupakan instrumen yang sangat penting dalam pagelaran karawitan. Apabila tidak ada gamelan maka pertunjukan seni karawitan tidak mungkin berlangsung. Pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta memiliki seperangkat gamelan yang lengkap. Berikut ini adalah beberapa peralatan gamelan yang digunakan dalam pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta.
15
Gambar 6. Gamelan (Foto: Sartika Devi Putri, 2015)
2.3.2.1 Bonang Bonang dalam pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta dibagi menjadi dua jenis yakni bonang barung dan penerus. Perbedaannya terletak pada ukuran dan cara memainkannya. Dilihat dari fungsinya, bonang barung berfungsi sebagai pembuka dan menuntun alur lagu gendhing, sedangkan bonang penerus sebagai penghias irama lagu yang saling beriringan dengan bonang barung. Bonang penerus memiliki tujuh tangga nada yang dibagi dalam dua bagian nada. Dua bagian tersebut nantinya
dipukul
bersama
yang
cara
memainkannya
mendahului permainan saron, demung dan peking. Namun dalam bonang penerus, cara memainkannya dua kali lipat lebih cepat dari bonang penerus dan menghasilkan suara yang lebih tinggi dari bonang barung. Bonang dimainkan dengan cara dipukul menggunakan dua buah kayu yang sudah dibentuk sedemikian rupa.
16
Gambar 7. Bonang dalam pagelaran karawitan (Foto: Sartika Devi Putri, 2015)
2.3.2.2 Gambang Gambang terbuat dari bilah-bilah kayu yang dibingkai pada gerobongan berfungsi sebagai resonator. Gambang dimainkan dengan tabuh berbentuk bundar bertangkai panjang. Gambang memainkan gembyangan (oktaf) dalam gaya pola-pola lagu dengan ketukan ajeg.
2.3.2.3 Gender Gender terdiri dari dua jenis yakni gender barung dan penerus. Gender terdiri dari bilah-bilah metal ditegangkan dengan tali diatas bumbung-bumbung resenator. Cara memainkan gender dapat dikatakan cukup sulit. Karena dalam memainkannya butuh kepiawaian antara tangan untuk memegang bilah metal dan memukul. Kecekatan tangan sangat diperlukan ketika memainkan gender. Alat pukul yang digunakan untuk memainkan gender hampir sama dengan alat yang digunakan untuk memainkan saron, bedanya terletak pada ujung, alat untuk memukul gender berbentuk bulat seperti roda, sedangkan alat untuk memukul saron berbentuk seperti palu.
17
2.3.2.4 Kempul Kempul digunakan untuk menandai aksen-aksen penting dalam kalimat lagu gendhing. Hubungannya dengan gendhing, kempul bisa memainkan nada yang sama dengan nada balungan, terkadang kempul bisa mendahului nada balungan berikutnya. Dalam gamelan kempul juga memiliki tangga nada, yang cara memainkannya dilakukan bersama mengikuti tangga nada lagu yang beriringan dengan gong.
2.3.2.5 Kendhang/ Gendang Kendhang terbuat dari kulit sapi atau kambing. Kendhang memiliki fungsi sebagai pengatur irama sekaligus pemimpin dalam mengatur tinggi-rendah dan naik-turun irama saat memainkan musik gamelan. Cara memainkan kendhang adalah dengan cara dipukul dengan tangan. Kendhang dibagi menjadi tiga jenis yakni kendhang kecil yang disebut ketipung, lalu kendhang menengah yang disebut ciblon atau kebar, dan yang terakhir adalah kendhang biasa disebut kendhang kalih. Setiap jenis kendhang memiliki suara, nada ataupun irama yang berbeda-beda.
2.3.2.6 Kenong Kenong merupakan satu set instrumen yang mirip dengan gong berposisi horisontal, ditumpangkan pada tali yang ditegangkan pada bingkai kayu. Intrumen ini adalah instrumen kedua paling penting setelah gong karena fungsinya sebagai penggaris bawah struktur gendhing, kenong juga berhubungan dengan gendhing. Kenong dan kethuk bermain saling menjalin, perbedaannya terletak pada irama yang dimainkan. Kenong dipukul dua kali menggunakan kayu yang telah dibentuk.
18
Gambar 8. Kenong dalam pagelaran karawitan (Foto: Sartika Devi Putri, 2015)
2.3.2.7 Gong
Gambar 9. Gong dalam pagelaran karawitan (Foto: Sartika Devi Putri, 2015)
Gong memiliki fungsi sebagai penanda permulaan dan akhiran gendhing dan memberi rasa keseimbangan setelah berlalunya kalimat lagu gendhing yang panjang. Gong sangat penting sebagai penanda berakhirnya suatu lagu, karena semua instrumen akan mulai dan berhenti ketika gong dibunyikan. Ada dua jenis gong yakni gong ageng (besar) dan gong 19
suwukan atau siyem yang berukuran sedang. Pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta memiliki dua jenis gong tersebut.
2.3.2.8 Kethuk
Gambar 10. Kethuk dalam pagelaran karawitan (Foto: Sartika Devi Putri, 2015)
Kethuk serupa dengan kenong, fungsinya pun sama. Kethuk dapat memainkan nada yang sama dengan nada balungan, kethuk dapat juga mendahului nada balungan berikutnya untuk menuntun alun lagu gendhing. Apabila kenong dimainkan dengan cara dipukul dua kali, maka kethuk dimainkan dengan cara dipukul sekali. Setiap dua kali pukulan kenong, maka sekali pukulan kethuk. Kethuk dan kenong saling bergantian.
20
2.3.2.9 Saron
Gambar 11. Saron dalam pagelaran karawitan (Foto: Sartika Devi Putri, 2015)
Saron memiliki bentuk seperti bilahan dengan enam atau tujuh bilah (satu oktaf) ditumpangkan pada bingkai kayu (yang diukir) dan juga berfungsi sebagai resonansi. Cara memainkan saron adalah dengan dipukul menggunakan kayu yang berbentuk seperti palu namun ukuranya lebih besar. Saron memiliki ukuran sedang dan beroktaf tinggi. Saron barung memainkan dalam wilayahnya yang terbatas. Pada teknik tabuhan imbal-imbalan, dua saron memainkan lagu jalin menjalin tempo yang bertempo cepat. Seperangkat gamelan dalam pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta memiliki empat saron tetapi yang dimainkan hanya dua saron.
2.3.2.10
Rebab
Rebab adalah alat musik yang cara memainkannya digesek. Rebab terbuat dari kayu yang kemudian dibentuk seperti bentuk hati yang tertutup dan diatasnya terdapat kawat melintang. Rebab memainkan lagu pembuka gendhing, menentukan gendhing, laras dan pathet yang akan dimainkan.
21
2.3.2.11
Slenthem
Dilihat dari bentuknya, slenthem termasuk keluarga gender. Slenthem terkadang disebut dengan gender panembung. Bilahan pada slenthem sebanyak bilahan pada saron. Slenthem paling rendah dalam kelompok instrumen saron. Slenthem memainkan lagu balungan. Cara memainkannya pun hampir sama
dengan
cara
memainkan
saron,
yakni
dipukul
menggunakan kayu yang berbentuk seperti palu.
2.3.2.12
Suling
Suling memiliki fungsi sebagai pangrengga lagu. Cara memainkannya adalah dengan cara ditiup. Dalam pagelaran karawitan suling memiliki dua jenis, yaitu suling berlaras slendro yang memiliki lubang empat hampir sama jaraknya, dan suling yang berlaras pelog memiliki lima lubang jarak yang berbeda.
2.3.2.13
Demung
Demung memiliki bentuk seperti bilahan dengan enam atau tujuh bilah (satu oktaf) ditumpangkan pada bingkai kayu (yang diukir) dan juga berfungsi sebagai resonansi. Demung dimainkan dengan cara dipukul menggunakan kayu. Dalam permainan
musik
gamelan,
demung
berfungsi
sebagai
pelaksana irama. Demung memiliki ukuran besar dan beroktaf tengah. Demung memainkan balungan gendhing dalam wilayahnya yang terbatas, Pagelaran Karawitan di Keraton Yogyakarta memiliki dua demung.
2.3.2.14
Peking
Peking memiliki bentuk seperti bilahan dengan enam atau tujuh bilah (satu oktaf) ditumpangkan pada bingkai kayu (yang
22
diukir) dan juga berfungsi sebagai resonansi. Peking dimainkan dengan cara dipukul menggunakan kayu yang berukan lebih kecil dari kayu yang digunakan untuk memukul demung ataupun saron. Bentuknya mirip dengan palu, namun terbuat dari kayu. Peking memiliki ukuran yang paling kecil dan beroktaf paling tinggi. Saron penerus atau peking ini memainkan tabuhan rangkap dua atau rangkap empat lagu.
Gambar 12. Peking dalam pagelaran karawitan (Foto: Sartika Devi Putri, 2015)
2.3.2.15
Siter
Siter merupakan bagian ricikan gamelan yang sumber bunyinya adalah string (kawat) yang cara memainkannya dengan dipetik. Siter memiliki dua jenis, yaitu siter penerus dan cemplung. Ketika penyajian karawitan klenengan dan iringan wayang, siter berfungsi sebagai pangrengga lagu.
23
2.3.3
Kagungan Dalem Bangsal Sri Manganti
Gambar 13. Kagungan Dalem Bangsal Sri Manganti (Foto: Sartika Devi Putri, 2015)
Kagungan Dalem Bangsal Sri Manganti berada di sebelah barat. Menurut Maswedono (wawancara, 07 Desember 2015), pada zaman dahulu Bangsal Sri Manganti digunakan sebagai tempat untuk menerima tamu-tamu penting Kerajaan Yogyakarta. Sekarang, Bangsal Sri Manganti digunakan sebagai tempat pagelaran karawitan dan tempat latihan tari.
2.3.4
Kagungan Dalem Bangsal Trajutresno / Traju Mas Kagungan Dalem Bangsal Trajutresno terletak di sebelah timur Bangsal Sri Manganti. Menurut Maswedono (wawancara, 07 Desember 2015), dahulu Bangsal Trajutresno menjadi tempat para pejabat kerajaan saat mendampingi Sultan dalam menyambut tamu. Sekarang,
Bangsal
Trajutresno
digunakan
sebagai
tempat
menempatkan barang-barang pusaka seperti tandu, meja hias, dan seperangkat gamelan.
24
BAB III PENUTUP 2.4 Kesimpulan Pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta memiliki tiga tujuan, yaitu sebagai penyambutan tamu kerajaan, sebagai kegiatan rutin yang dilakukan keluarga keraton, dan sebagai pengisi pariwisata di Keraton Yogyakarta yang dilaksanakan setiap hari. Pagelaran karawitan setiap hari Senin, Selasa dan Kamis adalah uyon-uyon atau klenengan, hari Rabu dan Sabtu adalah wayang golek, hari Jumat macapat, dan hari Minggu adalah pentas tari. Jumlah niyaga dalam pagelaran karawitan di Keraton Yogyakarta berjumlah 25 orang, dan sinden 10 orang. Terkadang total keseluruhan sinden dan niyaga adalah 45 orang. Semuanya berkelipatan lima. Niyaga dan sinden dalam pagelaran tersebut harus memakai baju pranaan. Laki-laki memakai baju bermotif garis-garis yang dipadukan dengan jarik warna coklat serta udeng atau blangkon. Kemudian untuk niyaga putri dan sinden mengenakan baju pranaan berwarna hitam yang dipadukan dengan jarik berwana coklat atau hitam, dan untuk perempuan diharuskan menggelung rambut. Gamelan yang digunakan selain memilik suara yang indah nan merdu, juga memiliki nilai yaitu nilai estetika, nilai historis, nilai budaya, spriritual, demokrasi, dan psikologis yang menjadi selaras dan tercermin dalam kehidupan masyarakat Jawa.
2.5 Kritik dan Saran Menjadi seorang peneliti haruslah paham dengan metode dan subjek yang menjadi bahan penelitian. Apalagi jika mengambil tema tentang kebudayaan. Tidak mudah mendapat informasi yang mendalam mengenai tema tersebut. Haruslah melakukan pendekatan yang baik dan menggunakan metode yang baik pula.
25
Pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan, guna dalam pembuatan makalah kedepannya bisa lebih baik.
26
DAFTAR PUSTAKA Buku, makalah, dan jurnal Rustopo, Slamet Suparno, dkk. Kehidupan Karawwitan Pada Masa Pemerintahan Paku Buwono X, Mangkunegaran IV, dan Informasi Oral. Surakara : ISI Press
Narasumber Maswedono Dutomargowo, 60 tahun, abdi dalem Keraton Yogyakarta, berdomisili di KeratonYogyakarta, DIY.
Internet: Penelitian Deskriptif Kualitatif http://www.bimbingan.org/pengertian-penelitian-deskriptif-kalitatif.htm Diakses 18 Desember 2015, pukul 08.24 WIB.
Sejarah Seni Karawitan Jawa http://zainbie.com/sejarah-seni-karawitan-jawa/ Diakses 12 Desember 2015, pukul 14.43
Falsafat Hidup Jawa yang dikutip dalam http://tamamirusdi.blogspot.co.id/2011/04/filosofi-udheng-dan-gelungbagi-orang.html Diakses 12 Desember 2015, pukul 15.33
Surjan Pakaian Takwa https://hpijogja.wordpress.com/2009/12/13/surjan-pakaian-takwa/ Diakses 12 Desember 2015, pukul 15.29
Lebih dekat dengan gamelan Jawa http://zainbie.com/lebih-dekat-dengan-gamelan-jawa/
27
Diakses 12 Desember 2015, pukul 14.45
Seni Karawitan Jawa https://www.academia.edu/11324355/Seni_Karawitan_Jawa Diakses 12 Desember 2015, pukul 14.54
28
LAMPIRAN 1 TRANSKRIP WAWANCARA 1. Apa nama pagelaran ini pak? Nama pagelarannya ya pagelaran karawitan
2. Biasanya diadakan berapa hari sekali? Untuk pariwisata setiap hari senin dan selasa, rabu wayang golek, kamis uyon-uyon, jumat macapat, dan sabtu wayang golek lagi.
3. Mulai dari jam berapa? Mulai dari jam 10.00 – 13.00 WIB
4. Sudah diadakan berapa lama? Sejak pariwisata boleh masuk. Saya agak lupa tahunnya. Untuk mengisi pariwisata
5. Pengrawit berasal dari mana saja? Dari luar mbak. Ada klub dari Wonosari itu 9 klub, ada dari Sleman, Bantul. Kulon Progo dan masih banyak lagi.
6. Tidak dari keraton? Keraton ada sendiri. Kalo keraton tiap hari senin dan rabu, jam 10 pagi juga. Terus minggu juga ada latihan tari di Kasatrian depan sana, lalu untuk bangsal Sri Manganti tiap hari minggu untuk pentas.
7. Apa nama tempat yang digunakan untuk pagelaran ini? Yang sebelah sini Bangsal Sri MAnganti, yang sebelah timur sana bangsal Trajutresno
29
8. Sebelum untuk pariwisata disini untuk apa? Ya, khusus untuk pesowanan abdi dalem. Dulu bangsal Sri Manganti untuk duduk Sultan, sekarang dijadikan tempat pagelaran. Terus yang bangsal Trajutresno dulu sebagai tempat pengawal sultan, sekarang jadi tempat nyimpan gamelan.
9. Berapa jumlah pengrawitnya? Jumlah pengrawitnya 25
10. Kenapa harus sebanyak itu? Ya, karena jumlah gamelannya segitu, tp biasanya kelipatan lima mbak.
11. Berapa jumlah sindennya? Sindenya biasanya 10, tp kalo lengkap ya 20. Jadi total semuanya 45 orang. Semuanya kelipatan lima.
12. Apakah ada ritual tertentu ketika mengadakan pagelaran ini? Kalo yang untuk pariwisata ini nggak ada mbak, biasa saja. Kalau ritual itu biasanya hari-hari tertentu.
13. Misalnya kalo ada apa pak? Kalau ada pesowanan tamu kerajaan.
14. Bentuk ritualnya seperti apa? Emm… gimana ya mbak. Paling ya Cuma doa-doa aja.
15. Lalu, untuk baju yang dikenakan itu baju apa? Harus pakai baju pranaan.
16. Baju pranaan itu yang bagaimana?
30
Baju hitam atau coklat lurik atau garis-garis, khusus untuk abdi dalem. Terus untuk yang laki-laki pakai jarik dan blangkon atau udeng. Istilahnya kalau pake udeng itu biar mudheng mbak.
17. Kalo untuk perempuan apakah bajunya juga sama? Ya sama, pakai baju pranaan juga. Tp kalo untuk putrid nggak ada garisgarisnya, baju hitam, jarik coklat. Dan harus digelung.
18. Kenapa harus digelung pak? Ya, itu harus. Harus digelung, namanya gelung tekuk.
Kan biasanya
perasaan putrid itu lebih sensitif dan berputar-putar gitu.
19. Bagaimana dengan makna gamelan? Ya, setiap gamelan itu punya roh sendiri-sendiri. Kan gamelan itu ada gendang, gong, saron, peking, demung, siter, rebab, slenthem, suling, kenong, kethuk, kempul, boning, gambang, gender. Seperti yang mbak bisa lihat disitu.
31
LAMPIRAN 2 DOKUMENTASI
Gambar 14. Wawancara dengan Maswedono (Foto: Sartika Devi Putri, 2015)
Gambar 15. Selfie di samping Bangsal Sri Manganti (Foto: Sartika Devi Putri, 2015)
32