KERATON YOGYAKARTA SEBAGAI AKAR BUDAYA BANGSA INDONESIA
MAKALAH Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Budaya Mataram
DOSEN FILSAFAT BUDAYA MATARAM : HERU WAHYU KISMOYO, SIP. MS.i
Disusun Oleh : FIRMAN PRIBADI 131312178
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS WIDYA MATARAM YOGYAKARTA 2013/2014
BAB I PENDAHULUAN 1. A.
Latar Belakang
Dewasa ini kebudayaan daerah yang kita miliki sebagai kekayaan budaya bangsa Indonesia hampir punah dan di tinggalkan oleh generasi muda kita, Hampir semua lapisan masyarakat lupa akan keberadaan kebudayaan daerah. Hal itu di sebabkan oleh pengaruh budaya asing yang mudah di pelajari masuk kenegara kita dan sangat jauh dari budaya ketimuran seperti budaya yang ada di Indonesia. Budaya barat yang di anggap modern dan lebih mudah dipelajari telah melumpuhkan jiwa patriotisme dan nasionalis bangsa Indonesia, contoh cara berpakaian para muda-mudi sangat memprihatinkan dan jauh dari etika budaya ketimuran, Mereka menganggap bahwa budaya kita sudah kuno dan kadaluwarsa sehingga mereka sangat memuja budaya barat yang sebenarnya sangat bertentangan dengan norma dan adat istiadat kita. Indonesia merupakan negara yang terdiri berbagai macam suku, ras, agama, dan adat istiadat yang berbeda. Akibat perbedaan itu menimbulkan berbagai macam kebudayaan yang berbeda pula. Setiap kebudayaan memiliki sejarah masing-masing. Salah satu pusat kebudayaan yang ada di Indonesia, tepatnya di Pulau Jawa, yaitu adalah Keraton Yogyakarta. Keraton Yogyakarta biasa juga di sebut Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dikenal secara umum oleh masyarakat sebagai bangunan istana resmi Kasultanan Yogyakarta sampai tahun 1950 ketika pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan Kasultanan Yogyakarta sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi dengan nama Daerah Istimewa Yogyakarta. Keraton Yogyakarta didirikan oleh Sultan Hamengku Buwono I beberapa bulan pasca Perjanjian Giyanti tahun 1755. Lokasi keraton konon merupakan bekas sebuah pesanggrahan bernama Garjitawati, tempat istirahat iring-iringan janazah raja-raja Mataram (Kartasura dan Surakarta) yang akan dimakamkan di Imogiri. Cerita lain menyebutkan lokasi keraton adalah sebuah mata air Umbul Pacethokan yang berada di tengah hutan Beringan. Sebelum menempati Keraton
Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono I berdiam di Pesanggrahan Ambar Ketawang yang sekarang termasuk wilayah Kecamatan Gamping Sleman. Secara fisik istana para Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Balairung Utara), Kamadhungan Ler (Kamadhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Kidul (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Kidul (Balairung Selatan). Keraton Yogayakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara maupun,taritarian, gamelan,benda-benda pusaka dan bersejarah. Sampai saat ini peninggalan peningalan Kraton Yogyakarta masih bisa kita lihat dan juga sebagai pengingat para generasi penerus bangsa agar mereka tidak melupakan sejarah bangsa indonesia yang sudah ada sejak jaman nenek moyang kita.
1. B.
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan sebagai wacana untuk mengingatkan kembali kebudayaan yang hapir punah karena tergerus oleh kebudayaan barat yang mungkin mudah di pahami dan tidak serumit kebudayaan di negara kita, dan Kraton Yogyakarta sebagai salah satu pusat akar budaya di Indonesia masih tetap eksis dalam melestarikan kebudayaan bangsa. Selain itu, makalah ini memuat fakta-fakta tentang Kraton Yogyakarta sebagai wadah untuk melestarikan kebudayaan yang masih bisa kita lihat dan kita pelajari sampai saat ini.
1. C.
Manfaat Penulisan
Adapun manfaat dari penulisan makalah berjudul Keraton Yogyakarta Sebagai Akar Budaya Bangsa Indonesia, diantaranya adalah : Menambah wawasan dan pengetahuan mahasiswa mengenai peninggalan Kraton Yogyakarta. Mengetahui bahwa Kraton Yogyakarta masih eksis dalam melestarikan kebudayaan sampai sekarang. Memahami tentang unsur Yogyakarta
baik
itu
peningalan yang berada di dalam Kraton
berupa
tari-tarian,batik,pusaka,kitab-kitab,kereta
kencana,seperangkat gamelan,upacara-upacara adat dan peninggalan bernilai seni tinggi lainya. Memudahkan mahasiswa dalam memahami dan mempelajari kebudayaan dan peniggalan bersejarah di dalam Kraton Yogyakarta.
BAB II PEMBAHASAN
1. 1 . Wujud Budaya di Keraton Yogyakarta
1) Gagasan Peninggalan Kraton Yogyakarta yang berupa Kebudayaan berbentuk kumpulan ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma, peraturan yang bersifat abstrak, tidak dapat diraba atau disentuh. Wujud kebudayaan yang ada di Keraton Yogyakarta merupakan pemikiran, filosofi, dan mitologi yang berkaitan dengan pembangunannya. Pemikiran mengenai Keraton Yogyakarta dituangkan pada penataan tata ruang keraton, termasuk pola dasar landascape kota tua Yogyakarta, nama-nama yang dipergunakan, bentuk arsitektur, arah hadap bangunan, nama-nama benda-benda pusaka, dan benda-benda lain yang ada di dalamnya masing-masing memiliki nilai filosofi dan mitologinya sendiri-sendiri. Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik yang berbentuk upacara adat maupun benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, Keraton Yogyakarta juga merupakan suatu lembaga adat lengkap dengan pemangku adatnya. Oleh karenanya tidaklah mengherankan jika nilai-nilai filosofi begitu pula mitologi menyelubungi Keraton Yogyakarta. Dan untuk itulah pada tahun 1995 Komplek Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dicalonkan untuk menjadi salah satu Situs Warisan Dunia UNESCO.
2)
Aktivitas (Tindakan)
Aktivitas adalah wujud kebudayaan sebagai suatu tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat itu.Wujud ini sering pula disebut dengan sistem sosial.
Sistem sosial ini terdiri dari aktivitas-aktivitas manusia yang saling berinteraksi, mengadakan kontak, serta bergaul dengan manusia lainnya menurut pola-pola tertentu yang berdasarkan adat tata krama. Ada beberapa wujud kebudayaan berupa aktivitas yang ada di Keraton Yogyakarta. Dalam berinteraksi, para penghuni Keraton menggunakan bahasa jawa. Orang yang lebih muda dan/atau orang yang berpangakat lebih rendah harus menggunakan bahasa jawa krama inggil kepada yang lebih tua dan/atau yang berpangkat lebih tinggi. Sedangkan orang yang lebih tua dan/atau orang yang berpangkat lebih tinggi menggunakan bahasa jawa ngoko/ngoko alus kepada yang lebih muda/berpangkat lebih rendah. Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang lebih muda dan/atau berpangakat lebih rendah tidak boleh berjalan membelakangi orang yang lebih tua dan/atau orang yang berpangkat lebih tinggi. Beberapa hal tersebut apabila dilanggar akan dikenai sanksi atau hukuman berupa teguran atau cemooh karena dianggap tidak sopan dan melanggar norma yang berlaku di dalam keraton dan di kalangan masyarakat jawa pada umumnya. Contoh wujud kebudayaan berupa aktifitas yang lain adalah pemberian sesaji di ruang-ruang yang dianggap keramat atau suci. Ini merupakan aktifitas rutin yang tidak boleh lupa dilakukan oleh para abdi dalem keraton. Selain itu, di Keraton Yogyakarta masih diselenggarakan upacara-upacara adat yang terus dilaksankan hingga saat ini. Upacara-upacara tersebut adalah Tumplak Wajik, Grebeg, Sekaten, Jamasan Pusaka, dan Labuhan.
3)
Artefak (Karya)
Artefak adalah wujud kebudayaan fisik yang berupa hasil dari aktivitas, perbuatan, dan karya seni semua manusia dalam masyarakat berupa benda-benda atau hal-hal yang dapat diraba, dilihat, dan didokumentasikan. Sifatnya paling konkret diantara ketiga wujud kebudayaan. Beberapa artefak atau wujud kebudayaan fisik di Keraton Yogyakarta adalah bangunan keraton beserta ruang-ruang yang ada di dalamnya, Motif Busana Kraton
dan benda-benda pusaka keraton (contoh: keris, regalia, gamelan,
bendera dan panji kebesaran Keraton Yogyakarta, kereta kuda, batik, dan lainlain), gunungan yang ada pada saat diselenggerakannya upacara Grebeg, Mesjid
Gedhe Kauman dan Alun-alun Utara yang merupakan tempat diselenggarakannya upacara Grebeg dan sekaten, dan acara sakral lainnya.
a) Upacar grebek dan sekaten merupakan upacara sakral Upacara Adat Grebeg Keraton Yogyakarta merupakan upacara adat yang diadakan sebagai kewajiban sultan untuk menyebarkan dan melindungi agama Islam. Upacara yang lebih dikenal dengan nama grebeg ini pertama kali diadakan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono I Pada tahun
1755 sampai tahun 1792.
Nama grebeg sendiri berasal dari peristiwa miyos atau keluarnya sultan dari dalam istana bersama keluarga dan kerabatnya untuk memberikan gunungan kepada rakyatnya. Peristiwa keluarnya sultan dan keluarganya ini diibaratkan seperti suara tiupan angin yang cukup keras, sehingga menimbulkan bunyi grebeg... grebeg...grebeg... Upacara Grebeg diadakan tiga kali dalam setahun, pada tanggal-tanggal yang berkaitan dengan hari besar agama Islam, yakni Grebeg Syawal, Grebeg Maulud, dan Grebeg Besar. Grebeg Syawal dilaksanakan sebagai bentuk ungkapan syukur dari keraton setelah melampaui bulan puasa, dan sekaligus untuk menyambut datangnya bulan Syawal. Grebeg Maulud diadakan untuk merayakan dan memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Sedangkan Grebeg Besar, diselenggarakan untuk merayakan Idul Adha yang terjadi dalam bulan Zulhijah, yang dalam kalender Jawa sering disebut sebagai bulan besar. Upacara Grebeg ini dimulai dengan parade prajurit keraton. Di dalam Keraton Yogyakarta, terdapat sepuluh kelompok prajurit, yakni: Wirobrojo, Daheng, Patangpuluh, Jagakarya, Prawirotama, Ketanggung, Mantrijero, Nyutra, Bugis, dan Surakarsa. Satu per satu, delapan kelompok prajurit keluar dari Siti Hinggil melewati Pagelaran dan berhenti di Alun-alun Utara dengan formasi barisan khasnya. Masing-masing kelompok menggunakan pakaian kebesaran prajurit, membawa senjata khusus, panji-panji, seraya memainkan alat musik. Usai delapan kelompok prajurit keluar, barisan dilanjutkan dengan keluarnya Manggala Yudha (panglima keraton). Di akhir parade, gunungan dibawa keluar dari Siti Hinggil dengan diiringi oleh dua kelompok prajurit sisanya.
Gunungan merupakan tumpukan makanan yang menyerupai gunung, yang menjadi ciri khas dalam setiap Upacara Grebeg. Gunungan terdiri dari berbagai hasil bumi, dan merupakan simbol dari kemakmuran Keraton Yogyakarta, yang nantinya akan dibagikan kepada rakyatnya. Dalam perayaan grebeg, terdapat enam jenis gunungan, masing-masing memiliki bentuk yang berbeda dan terdiri dari jenis makanan yang berbeda pula. Gunungan dharat merupakan gunungan yang puncaknya berhamparkan kue besar berbentuk lempengan yang berwarna hitam dan di sekelilingnya ditancapi dengan ilat-ilatan, yaitu kue ketan yang berbentuk lidah. Gunungan gepak merupakan gunungan yang terdiri dari empat puluh buah keranjang yang berisi aneka ragam kue-kue kecil dengan lima macam warna, yaitu merah, biru, kuning, hijau, dan hitam. Gunungan kutug/bromo terdiri dari beraneka ragam kue-kue yang di bagian puncaknya diberi lubang, sehingga tampak sebuah anglo berisi bara yang membakar kemenyan. Gunungan lanang pada bagian puncaknya ditancapi kue dari tepung beras yang disebut mustaka (kepala). Gunungan ini terdiri dari rangkaian kacang panjang, cabe merah, telur itik, dan ketan. Gunungan wadon merupakan gunungan yang terdiri dari beraneka ragam kue-kue kecil dan juga kue ketan. Gunungan pawuhan merupakan gunungan yang bentuknya mirip dengan gunungan wadon, namun pada bagian puncaknya ditancapi bendera kecil berwarna putih. Gunungan-gunungan ini kemudian dibawa menuju Alun-alun Utara. Saat itulah, prajurit keraton yang sudah berbaris di sana memberikan salvo (tembakan serentak
sejumlah
senapan),
sebagai
tanda
penghormatan.
Usai
tanda
penghormatan diberikan, dengan diiringi oleh seluruh prajurit, gunungan dibawa menuju Masjid Gedhe Kauman untuk didoakan oleh penghulu masjid. Setelah didoakan, gunungan diturunkan agar bisa diambil oleh pengunjung yang sudah menantikan kedatangannya di sekitar Masjid Gedhe Kauman. Begitu diturunkan, pengunjung segera berebut untuk mengambil makanan apapun yang disusun dalam gunungan. Mereka yang berebut makanan ini percaya bahwa makanan yang ada dalam gunungan tersebut dapat mendatangkan berkah dan kesejahteraan. Beberapa jenis makanan ada yang dipercaya jika ditanam di sawah ataupun di kebun dapat menyuburkan tanah, sehingga hasil panennya akan baik.Keseluruhan Upacara Grebeg diadakan di tiga tempat berbeda, namun letaknya berdekatan.
Upacara berawal di Pagelaran Keraton Yogyakarta, kemudian berjalan melewati Alun-alun Utara, dan berakhir di Masjid Gedhe Kauman. Semuanya terletak di Kota Yogyakarta, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta bagian dari Negara Republik Indonesia.
b) Unsur penyajian berbusana adat Keraton Yogyakarta sebagai akar budaya bangsa mempunyai motif busana sesuai dengan kedudukan atau jabatan pemakainya.Contoh Busana Kraton Yogyakarta Busana atau pakaian adalah ekspresi budaya Pakaian dengan berbagai lambang simboliknya mencerminkan norma-norma dan nilai-nilai budaya masyarakat pemakainya. Demikian pula bagi masyarakat Jawa lebih-lebih kalangan kraton atau bangsawan. Secara keseluruhan penampilan busana yang megah dan mewah dalam suatu upacara ritual juga merupakan jaminan legitimasi power dari pemakainya, Di sini terlihat bahwa penyajian busana adat kraton tidak dapat dipisahkan dari posisi dan kedudukan pemakainya. Oleh karena itu orang yang berderajat sama harus memperhitungkan jauh dekatnya hubungan dengan raja. Misalnya sama-sama putra raja yang satu lahir dari permaisuri satunya lahir dari garwa ampeyan (selir). Beberapa corak kain tidak diijinkan dipergunakan oleh mereka yang tidak memiliki hubungan darah dengan raja. Bahkan ada yang khusus dirancang untuk pribadi sultan. Misal batik motif kawung dan motif huk pada masa Hamengku Buwana VII. Motif huk tergolong motif non geometris yang terdiri motif kerang (lambang dari air atau dunia bawah yang bermakna lapang hati), binatang, (gambaran watak sentosa dan pemberi kemakmuran) cakra, burung, sawat (ungkapan ketabahan hati) dan garuda. Oleh karena itu seorang pemimpin atau raja diharapkan berbudi luhur dapat memberi kemakmuran pada rakyat dan selalu tabah menjalankan roda pemerintahan. Pada masa Hamenku Buwana VIII corak parang menjadi pedoman utama untuk menentukan derajat kebangsawanan seseorang. Tiga motif batik lain yang menjadi standar istana adalah coak semen (dari kata semi yang artinya tumbuh), sawat (pemakainya diharapkan memperoleh kemakmuran, kewibawaan dan perlindungan), udan riris/udan liris (artinya hujan
gerimis, pengharapan agar selamat, sejahtera, tabah dan dapat menjalankan kewajiban dengan baik). Secara garis besar busana sebagai atribut kebangsawanan dapat dibedakan menjadi dua golongan yakni busana untuk sehari-hari atau non formal dan busana untuk kegiatan formal atau resmi. Busana resmi terbagi dua yaitu untuk upacara alit dan upacara ageng. Upacara alit misalnya tetesan (khitan untuk anak perempun), tarapan (haid pertama kali) dan tingalan dalem padintenan (peringatan penobatan raja berdasarkan perhitungan hari dan pasaran Jawa misal Selasa Kliwon). Upacara ageng misalnya supitan (khitan), perkawinan kerabat kraton, tingalan dalem tahunan, jumenengan dalem, Agustusan dan sedan (pemakaman jenazah raja). Busana sehari-hari putri sultan yang masih kecil adalah sabukwala yang terdiri tiga macam yaitu sabukwala nyamping batik untuk busana sehari-hari dan upacara alit, sabukwala nyamping praos untuk resepsi tetesan yang bersamaan supitan dan sabukwala nyamping cindhe untuk upacara garebeg dan tetesan tidak bersamaan dengan supitan. Untuk putra laki-laki mengenakan busana kencongan,baju surjan, lonthong tritik,ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok/timang dari suwasa (emas berkadar rendah). Untuk putri sultan praremaja atau peralihan dari anak-anak ke remaja (biasanya berusia 11 sampai 14 tahun) mengenakan busana pinjungan. Busana ini dikenakan dengan cara melipat ujung kain sebelah dalam dibentuk segitiga sebagai hiasan penutup dada. Busana pinjungan dibedakan menjadi pinjung harian, pinjung bepergian, pinjung upacara alit dan pinjung untuk upacara garebeg. Untuk remaja dan dewasa dalam keseharian mengenakan busana semekanan (dari kata semekan berupa kain panjang dengan lebar separo dari lebar kain biasa berfungsi sebagai penutup dada). Untuk remaja atau putri yang belum menikah semekan polos tanpa tengahan tanpa hiasan kain sutra di tengahnya. Bagi yang sudah menikah semekan tritik dengan tengahan. Bagi pria remaja atau dewasa dalam kesehariannya mengenakan baju surjan, kain batik dengan wiru di tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang, destar sebagai penutup kepala. Busana untuk upacara ageng adalah busana keprabon
khusus untuk putra sultan. Jenis busana keprabon untuk pria terdiri dari busana dodotan, busana kanigaran dan busana kaprajuritan. Berbagai ragam busana adat dengan perlengkapan-perlengkapannya tersebut ternyata tidak hanya sekedar untuk menunjukkan status kebangsawanan, kemegahan dan kemewahan tetapi juga mengandung makna simbolis. Misalnya sangsangan sungsun (kalung bersusun) merupakan perlambang tiga tingkatan kehidupan manusia dari lahir, menikah dan mati yang dihubungkan dengan konsepsi Jawa tentang alam baka, alam antara dan alam fana. Binggel kana (gelang) berbentuk melingkar tanpa ujung pangkal bermakna lambang keabadiaan, Bentuk gunungan (meru) pada pethat (sisir) melambangkan keagungan Tuhan dan harapan terciptanya kebahagiaan. Hiasan sanggul berupa ceplok dengan jenehan terdiri tiga warna merah, hijau dan kuning (biasa dikenakan untuk pengantin putri) merupakan lambang trimurti, tiga dewa pemberi kehidupan.)
c) . Upacar jamasan atau mensucikan benda pusaka Sebagai pusaka keraton, kereta-kereta, keris, tombak dan semua benda pusaka peninggalan
Kraton
Yogyakarta
wajib
mendapat
penghormatan
berupa
acara Jamasan. Jamasan adalah kegiatan memandikan, memberi “makan” berupa sesaji, dan mendoakan semua benda pusaka. Pelaksanaan Jamasan pusaka biasa di laksanakan tiap bulan sura di lingkungan Kraton Yogyakarta,Untuk Upacara Jamasan Kereta ini dipimpin oleh sesepuh abdi dalem keraton yang bertugas menjaga museum. Kereta yang wajib dijamasi tiap tahun adalah kereta Nyai Jimat. Kereta ini merupakan kereta kebesaran Sri Sultan Hamengku Buwana I sampai dengan Sri Sultan Hamengku Buwana IV dan dianggap sebagai sesepuh kereta-kereta lain. Upacara Jamasan masih dilakukan hingga saat ini karena merupakan tradisi khas dari Keraton Yogyakarta. Hal ini juga dilakukan untuk menjaga kebersihan kereta-kereta tersebut agar tetap terawat. Ini merupakan bentuk tanggung jawab dari para abdi dalem yang ditugaskan untuk membersihkan kereta-kereta tersebut pada upacara Jamasan tersebut. Saat ini hanya ada beberapa kereta kuda yang terdapat di Keraton Yogyakarta yang masih dipakai pada saat penobatan raja dan sebagai kereta pengantar jenazah raja ke Makam Imogori. Kereta kuda tidak lagi
dipergunakan sebagai kendaraan sehari-hari penghuni keraton. Mereka sudah beralih kepada kendaraan bermesin seperti mobil untuk kendaraan sehari-hari. Dari bahasan di atas, terdapat sebuah perubahan budaya secara akulturasi yaitu proses yang timbul apabila sekelompok masyarakat dengan kebudayaan tertentu dihadapkan pada unsur kebudayaan asing sehingga lambat laun diterima dan diolah dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya kepribadian asli. Walaupun saat ini penghuni keraton sudah tidak lagi menggunakan kereta kuda untuk kendaraan sehari-hari, kereta kuda tetap digunakan pada saat-saat tertentu. Jadi kereta kuda tidak sepenuhnya ditinggalkan. Unsur budaya asing berupa alat transportasi mobil dapat masuk ke Keraton Yogayakarta karena besar sekali kegunaannya. Selain lebih cepat daripada kereta kuda, dengan mobil kita dapat pergi hingga luar kota tanpa memakan waktu yang terlalu lama. Bentuk proses akulturasi yang terjadi dalam kasus ini adalah originasi. Originasi merupakan perubahan yang membawa unsur budaya yang betul-betul baru.
d).
Apresiasi budaya terhadap keraton yogyakarta Keraton Yogyakarta pada awalnya merupakan sebuah Lembaga Istana
Kerajaan dari Kesultanan Yogyakarta. Sekitar setahun setelah Kesultanan Yogyakarta bersama Kadipaten Paku Alaman diubah statusnya dari negara menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada tahun 1950, Keraton Yogyakarta mulai dipisahkan dari Pemerintah Daerah Istimewa dan didepolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Yogyakarta. Fungsi Keraton berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Yogyakarta. Keraton Yogyakarta mempunya hal yang paling istimewa yang membedakan Keraton Yogyakarta degan Keraton/Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sultan Yogyakarta sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat/Kepala Keraton juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto 1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1988 Sultan Yogyakarta secara otomatis diangkat sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Gubernur/Kepala
Daerah lainnya. Antara 1988-1998, Guberur Dareh Istimewa Yogyakarta dijabat oleh Wakil Gubernur Daerah Istimewa yang juga penguasa Paku Alaman. Setelah 1999, keturunan Sultan Yogyakarta tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Gubernur/Kepala Derah Istimewa. Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X, Keraton Yogyakarta bagi masyarakat Yogyakarta tidak hanya sebuah simbol semata melainkan sebagai salah satu pusat akar budaya bangsa Indonesia khususnya budaya jawa karena di Keraton Yogyakarta masih diadakan tradisitradisi kebudayaan yang ada sejak awal mula Keraton berdiri. Sultan sebagai pemangku adat tertinggi juga masih memiliki pengaruh yang kuat terhadap kehidupan masyarakat Yogyakarta. Masyarakat modern di Yogyakarta masih banyak yang tunduk dengan apa yang diperintahkan Sultan. Apabila Sultan mendapat tekanan dari pemerintah pusat, masyarakat Yogyakarta dengan siap melindungi Sultan dari tekanan tersebut. Bahkan masyarakat di luar Yogyakarta juga ikut menentang saat pemerintah mengeluarkan statement bahwa sistem pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta bertentangan dengan sistem pemerintahan Indonesia. Hal ini merupakan sesuatu yang sangat menggemparkan karena pernyataan tersebut merupakan pernyataan ketidaktahuan si pembuat pernyataan tentang perjanjian yang dibuat oleh Indonesia dan Kesultanan Yogyakarta pada tahun 1950. Keraton Yogyakarta merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi masyarakat Indonesia dan tentunya masyarakat Yogyakarta sendiri. Keraton adalah sebuah ciri khas Yogyakarta dan apabila hilang, ciri khas Yogyakarta juga akan hilang. Banyaknya pengaruh asing yang masuk ke dalam area Keraton tidak semata-mata membuat penghuni Keraton benar-benar meninggalkan budayanya. Mereka tetap menjaga tradisi dan kebudayaan mereka. Hal ini lah yang membuat Yogyakarta begitu istimewa di mata masyarakat lokal bahkan manca negara. Maka dari itu, Keraton sebagai akar budaya bangsa Indonesia harus tetap kita pertahankan terutama tradisi-tradisi yang ada di dalamnya.
BAB III PENUTUP
1. A.
Kesimpulan
Kraton Yogyakarta menjadi salah satu akar budaya yang sangat penting bagi Negara Indonesia, khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebagai seorang warga Yogyakarta kita seharusnya dapat mengerti/mengenali
dan memahami
Kraton Yogyakarta dengan baik, agar kita dapat menjawab dan menceritakan jika ditanya oleh wisatawan baik domestik maupun wisatawan mancanegara mengenai sejarah Kraton Yogyakarta. Karena didalam Kraton Yogyakarta terdapat banyak sekali benda-benda peninggalan budaya zaman dahulu sampai sekarang. Sebagai generasi muda kita harus dapat melestarikan warisan budaya, khususnya Kraton Yogyakarta. Dengan mengunjungi kraton, melihat-lihat bendabenda peninggalan raja-raja. Selain itu kita juga harus mengetahui sejarah raja yang dahulu sampai sekarang yang memimpin Kraton Yogyakarta. Dan tak lupa kita juga harus mengetahui upacara-upacara adat Kraton Yogyakarta, misalnya Grebeg dan Sekaten yang selalu ada setiap tahunnya. Itu semua harus kita lakukan supaya Kraton Yogyakarta yang merupakan akar budaya bangsa Indonesia ini tidak punah dan masih bisa dilihat oleh generasi penerus bangsa sebagai modal dasar pengetahuan para generasi muda maka pihak-pihak terkait dapat selalu mengenalkan arti pentingnya melihat peninggalan sejarah pada masa lampau yang masih bisa kita lihat dan kita pelajari tidak hanya lewat buku tetapi juga kita bisa melihat langsung atau mengunjungi tempat-tempat bersejarah.
1.
B.
Saran
Saran dari kami ditujukan kepada pemerintah terutama pemerintah pusat agar dapat menjaga dan melestarikan keberadaan Keraton Yogyakarta karena merupakan bekas peninggalan sejarah yang sangat berharga. Selain dari pada itu juga agar pemerintah lebih memperkenalkan Keraton Yogyakarta khususnya kepada para generasi muda Indonesia dan umumnya kepada semua masyarakat baik itu di desa maupun di kota-kota besar bahwasanya kita masih bisa melihat salah satu peninggalan bersejarah dan sebagai cikal bakal budaya bangsa Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
http://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Ngayogyakarta_Hadiningrat Budaya. 2006. Diakses dari www.wapedia.com. Pada 29 September 2013 jam 20.00 (sumber : http://www.jogjatrip.com/id/144/upacara-adat-grebeg-keraton-yogyakarta 29 September 2013 jam 21.20 WIB) (sumber
:
http://www.enformasi.com/2009/02/busana-kraton-yogyakarta.html
30
September 2013 jam 19.40 WIB (sumber : http://www.jogjatrip.com/id/144/upacara-adat-grebeg-keraton-yogyakarta 01 Oktober 2013 jam 20.25 WIB)