UNIVERSITAS INDONESIA
PELESTARIAN MANUSKRIP BERDASARKAN KEARIFAN LOKAL DI KHP WIDYA BUDAYA KERATON YOGYAKARTA
SKRIPSI
LARASATI PURWAHYUNINGTYAS 0806392741
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN DEPOK JUNI 2012
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
UNIVERSITAS INDONESIA
PELESTARIAN MANUSKRIP BERDASARKAN KEARIFAN LOKAL DI KHP WIDYA BUDAYA KERATON YOGYAKARTA
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Humaniora
LARASATI PURWAHYUNINGTYAS 0806392741
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI ILMU PERPUSTAKAAN DEPOK JUNI 2012
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
SURAT BEBAS PLAGIARISME
Saya yang bertanda tangan dibawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa skripsi ini saya susun tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di Universitas Indonesia. Jika kemudian hari ternyata saya melakukan tindakan Plagiarisme, saya akan bertanggung jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas Indonesia kepada saya.
Jakarta, 21 Juni 2012
Larasati Purwahyuningtyas
ii
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN ORSINALITAS
Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip maupun dirujuk telah saya nyatakan dengan benar.
Nama NPM Tanda Tangan Tanggal
: Larasati Purwahyuningtyas : 0806392741 : : 21 Juni 2012
iii Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
iv Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
KATA PENGANTAR
Puji Syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas berkat dan rahmat Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pelestarian Manuskrip Berdasarkan Kearifan Lokal di KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta” sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Humaniora pada Program Studi Ilmu Perpustakaan, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya.
Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dan dukungan selama masa
perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini, tentunya skripsi ini tidak akan selesai tepat pada waktunya. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini saya ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada : 1. Ibu Tamara A. Susetyo, sebagai pembimbing skripsi yang telah banyak memberikan masukan, kritik, dan saran selama saya melakukan penyusunan skripsi ini. Terima kasih atas bimbingan dan waktu yang telah diluangkan. Terima kasih atas kesabaran dan semangat Ibu dalam membimbing saya. 2. Ibu Indira Irawati, selaku pembaca dan penguji. Terima kasih telah banyak meluangkan waktunya ditengah jadwal-jadwalnya yang sangat padat. Terima kasih sudah banyak memberi masukan sehingga saya menyadari masih banyak kekurangan pada skripsi ini. 3. Ibu Nina Mayesti, selaku pembaca dan penguji. Terima kasih atas waktunya dan atas penjelasan tentang metode yang diberikan sehingga saya belajar semakin giat dan berusaha untuk memperbaiki skripsi menjadi lebih baik. 4. Ibu Utami Budi Rahayu, selaku pembimbing akademis. Terima kasih sudah dengan sabar membimbing saya selama masa perkuliahan. 5. Sri Sultan Hamengkubuwono X dan GBHP.H. Prabukusumo, yang telah mengizinkan saya meneliti tentang manuskrip di Keraton Yogyakarta. 6. Para abdi dalem di Keraton Yogyakarta maupun di KHP Widya Budaya, khususnya Pak Rinta, Pak Pitoyo dan Pak Puji. Terima kasih telah
v Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
memberikan informasi kepada saya dan mengizinkan saya mengikuti kegiatan – kegiatan pelestarian manuskrip. 7. Kedua orang tua, Sri Wahyuni selaku ibu dari saya yang selalu memberikan kasih sayang dan perhatian tiada henti kepada saya. Terima kasih telah mengajarkan dan mengayomi saya sehingga saya menjadi anak yang kuat dalam mental maupun fisik. I love you, ma! You are my idol. Purwo Noer Wiyatno selaku ayah dari saya yang selalu memberikan support kepada saya baik moril dan materi. Terima kasih telah membimbing saya dalam penyelesaian skripsi dan menghadapi sidang. Thank you,Pa! You are my hero. 8. Kedua
adik
saya,
Kartika
Purwahyuningrum
dan
Pratiwi
Purwahyudiningsih. Terima kasih telah melengkapi hidup saya. Saya jadi belajar menjadi lebih dewasa atas kehadiran mereka. 9. Mbah Suwito Tukiran, selaku kakek saya. Need a lot of space to say thank you to him. He is my angel dan selalu menjadi panutan. 10. Muktiallah Han. Terima kasih atas kasih sayang dan support yang selama ini diberikan. Terima kasih telah membantu menyelesaikan skripsi ini melalui sharing dan pengetahuannya mengenai teknik penulisan pada Ms.Word. I love you and I always do. 11. Om Bayu Wardoyo yang berperan banyak sebagai teman, om, kakak dan juga ayah. Terima kasih atas dukungan moril dan juga semangat yang diberikan kepada saya. 12. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Perpustakaan, atas ilmu dan pengalamannya selama saya menjalani pendidikan. Tugas yang banyak dan ber-deadline membuat saya menjadi mahasiswa yang tepat waktu dan disiplin dalam mengerjakan tugas. 13. Revany Ramyandi Koestoer dan Riva Delviatma, sebagai sahabat yang selalu menemani saya dan teman sharing selama masa perkuliahan. 14. Sannita dan Mitsalina Nisrinawati selaku teman dekat yang selalu mendukung dan menyemangati saya dalam menyelesaikan skripsi meskipun terpisah tempat yang cukup jauh. You always be my best friends.
vi Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
15. Teman-teman seperjuangan JIP 2008 yang saya sayangi, Weni, Resa, Yunitha, Cita, Fitria, Henny, Rizka, Uni, Amu, Arif dan lain – lain yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Terima Kasih telah memberi masukan dan juga sharing pengalamannya. Untuk teman – teman JIP 2008 yang lain, terima kasih atas kebersamaan yang tidak akan terlupakan selama menimba ilmu bersama di jurusan tercinta ini. 16. Teman-teman senior dan junior di Jurusan Ilmu Peprustakaan angkatan 2006, 2007, 2009, 2010, 2011 yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu. 17. Pak Pomo yang menemani saya selama melakukan pengumpulan data dan mengurus skripsi saya 18. Seluruh pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu hingga keseluruhan skripsi ini dapat diselesaikan.
Akhir kata saya ucapkan terima kasih kepada semuanya semoga Allah SWT membalas semua kebaikan-kebaikan yang telah diberikan seluruh pihak dalam membantu kelancaran proses penyusunan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya.
Depok, 21 Juni 2012
Larasati Purwahyuningtyas
vii Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademika Universitas Indonesia,saya yang bertanda tangan dibawah ini : Nama
: Larasati Purwahyuningtyas
NPM
: 0806392741
Program Studi
: Ilmu Perpustakaan
Departemen
: Ilmu Perpustakaan dan Informasi
Fakultas
: Ilmu Pengetahuan Budaya
Jenis Karya
: Skripsi
demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada Universitas Indonesia Hak Bebas Royalti Noneksklusif (Non-exclusive Royalty Free Right) atas karya saya yang berjudul : “Pelestarian Manuskrip Berdasarkan Kearifan Lokal di KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta” beserta perangkat yang ada (jika diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Indonesia berhak menyimpan, mengalihkan media/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data (database), merawat, dan mempublikasikan tugas akhir saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di : Depok Tanggal : 21 Juni 2012 Yang menyatakan
(Larasati Purwahyuningtyas)
viii Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
ABSTRAK Nama : Larasati Purwahyuningtyas Program Studi : Ilmu Perpustakaan Judul : Pelestarian Manuskrip berdasarkan Kearifan Lokal di KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta Kearifan lokal menjadi budaya bagi masyarakat Jawa, khususnya di Keraton Yogyakarta. Skripsi ini menjelaskan bagaimana abdi dalem di KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta melestarikan manuskrip dan bagaimana pihak keraton menyikapi perkembangan budaya modern. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan metode etnografi yang mana fokus kepada perlakuan abdi dalem sebagai pelaku pelestari manuskrip. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta masih eksis hingga kini dengan cara kearifan lokal dan pihak keraton menerima adanya perkembangan budaya modern tanpa meninggalkan budaya tradisional. Kata Kunci : Kearifan lokal, pelestarian manuskrip, abdi dalem di Keraton Yogyakarta, preservasi, konservasi
ABSTRACT Name : Larasati Purwahyuningtyas Study Program: Ilmu Perpustakaan Title : The Preservation of Manuscript based on Local Wisdom in KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta Local wisdom becomes a culture for Javanese peoples, mostly in Keraton Yogyakarta. This mini - thesis describes about how abdi dalem preserving, conserving the manuscript in KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta also how abdi dalem responding the globalization. This research is qualitative etnography method. The focus of this study is abdi dalem as a preservator and conservator. The results suggest that KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta still exist until now with local wisdom and keraton accept the globalization. Keywords : Local wisdom, manuscript conservation, abdi dalem in Keraton Yogyakarta, preservation, conservation
ix Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i SURAT BEBAS PLAGIARISME ....................................................................... ii HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ............................................... iii LEMBAR PENGESAHAN .................................................................................. iv KATA PENGANTAR ........................................................................................... v LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH .......................... viii ABSTRAK ............................................................................................................. ix ABSTRACT ........................................................................................................... ix DAFTAR ISI .......................................................................................................... x BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1 1. 1 Latar Belakang ......................................................................................... 1 1. 2 Rumusan Masalah .................................................................................... 4 1. 3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 4 1. 4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 5 1. 5 Metode Penelitian ..................................................................................... 5 1.5.1 Objek dan Subjek Penelitian ................................................................ 5 1.5.2 Metodologi Penelitian .......................................................................... 5 1. 6 Kerangka Berpikir .................................................................................... 6 BAB II TINJAUAN LITERATUR ...................................................................... 7 2. 1 Kearifan Lokal ......................................................................................... 7 2. 2 Falsafah Hidup Jawa ................................................................................ 10 2. 3 Manuskrip ................................................................................................ 11 2. 4 Upaya Preservasi, Konservasi dan Restorasi Manuskrip ......................... 15 2.4.1 Preservasi ............................................................................................. 16 2.4.2 Konservasi ........................................................................................... 25 2.4.3 Restorasi .............................................................................................. 29 BAB III METODE PENELITIAN ...................................................................... 31 3. 1 Jenis Penelitian ......................................................................................... 31 3. 2 Informan ................................................................................................... 35 3. 3 Instrumen Penelitian ................................................................................. 37 3. 4 Teknik Pengumpulan Data ....................................................................... 38 3.4.1 Data Primer .......................................................................................... 38 3.4.2 Data Sekunder ...................................................................................... 39 3. 5 Teknik Analisis Data ................................................................................ 40 3. 6 Lokasi dan Waktu Penelitian ................................................................... 41 BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS ........................................................ 42 4. 1 Sekilas Tentang Keraton Yogyakarta ....................................................... 43 4. 2 Kondisi Lingkungan Tepas KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta ... 47 4. 3 Kearifan Lokal Kehidupan di Tepas KHP Widya Budaya ...................... 59 4. 4 Manuskrip di Keraton Yogyakarta ........................................................... 63
x Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
4. 5 Kearifan Lokal Preservasi ........................................................................ 64 4. 6 Kearifan Loka Konservasi ....................................................................... 79 4. 7 Perlakuan Modern di Tengah Kearifan Lokal .......................................... 87 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 99 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xi Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Indonesia dengan berbagai suku bangsa mempunyai keanekaragaman kearifan lokal, kearifan tradisional dan budaya yang mengandung nilai dan norma bagi kehidupan. Nilai – nilai tersebut menyatu dalam kehidupan bermasyarakat sehingga menjadi pedoman dalam berperilaku dan berinteraksi dengan hal di sekitar mereka. Yogyakarta adalah salah satu kota di Indonesia yang masih memiliki kearifan lokal dalam berperilaku dan berinteraksi, salah satu contohnya adalah kegiatan dalam Keraton Yogyakarta yang tradisional dan berbudaya. Semua hal dilakukan berdasarkan kearifan lokal seperti upaya melakukan preservasi terhadap koleksi manuskrip. Kegiatan preservasi dan konservasi merupakan kegiatan yang wajib dilakukan terhadap naskah kuno atau biasa disebut manuskrip, oleh karena itu nilai informatif dan nilai histori yang dikandung dapat terus digunakan sebagai sumber informasi yang otentik. Terkait dengan keadaan manuskrip yang sudah berumur ratusan tahun, maka kondisinya diasumsikan akan semakin memburuk, bila tidak dirawat dengan baik. Menurut Razak (1992 : p.15-31) kerusakan pada manuskrip dipengaruhi beberapa faktor, yaitu fisik, kimia, biota serta faktor penggunaan dan penanganan yang salah, faktor bencana alam dan musibah. Sedangkan Harvey berpendapat, berbagai faktor penyebab kerusakan kertas adalah rendahnya kualitas kertas, semakin seringnya bahan pustaka dipergunakan, pengaruh kemajuan teknologi, faktor lingkungan (polusi udara), bencana alam (banjir, gempa bumi) juga sikap pemakai dan pengurus perpustakaan (1990 : p.79). Terlebih lagi manuskrip yang ada di Keraton Yogyakarta umurnya berkisar antara tahun 1700-an hingga 1900-an memerlukan penanganan khusus. Manuskrip biasanya dapat berupa daun lontar yang berasal dari daun siwalan atau daun tal, daluang yang merupakan kertas tradisional berserat kasar dari kulit pohon; Kertas Eropa yang berasal dari pulp yang menggunakan serat
1 Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
2
alami dan selulosa maupun papyrus yang merupakan sejenis tanaman air yang dapat ditemukan pada zaman Mesir kuno. Pentingnya nilai informatif dan juga nilai histori yang terkandung dalam manuskrip merupakan hal terpenting yang harus dilestarikan. Penanganan yang baik demi menjaga kondisi manuskrip agar tetap dalam kondisi yang baik merupakan hal penting. Penanganan yang dilakukan dapat juga secara tradisional ataupun secara modern. Namun, setiap cara yang dilakukan baik tradisional maupun modern pasti memiliki kelebihan dan kekurangan. Keraton Yogyakarta merupakan salah satu tempat bersejarah yang tentu saja memiliki banyak manuskrip. Di dalam Keraton Yogyakarta, terdapat koleksi manuskrip yang tahun pembuatannya berkisar abad ke-19 hingga abad ke- 20. Namun ada juga naskah yang sudah ada sejak abad ke-17 hingga abad ke-18. Koleksi tersebut merupakan karya yang dibuat langsung di Keraton Yogyakarta dengan menggunakan aksara Jawa pada kertas daluang. Berdasarkan umur suatu manuskrip tersebut, maka wajar saja bila banyak sekali kerusakan yang terjadi. Pada umumnya kerusakan terjadi karena tinta yang mengelupas, jamur maupun kelembaban pada suatu alat penyimpan. Sesuai dengan adat dan tradisi Keraton Yogyakarta, maka para abdi dalam yang mengurus tempat penyimpanan naskah hanya dapat melakukan perawatan secara tradisional. Sebelum adanya bantuan dari pihak luar, para abdi dalem melakukannya secara tradisional menurut kearifan lokal setempat. Tindakan kearifan lokal terhadap manuskrip tersebut dipercaya tidak akan
rusak atau
dapat sedikit mempertahankan keadaan
manuskrip. Banyaknya manuskrip yang umurnya sudah ratusan tahun, sangat diperlukan penanganan khusus agar nilai informatif tetap terjaga. Keraton Yogyakarta sebagai pusat budaya juga sangat mempercayai hal – hal yang sakral. Hal tersebut kemudian menjadi etika dan moral yang harus tercermin dalam setiap kegiatannya. Dalam mencapai tujuan sebuah hal yang sakral, maka biasanya orang di Keraton Yogyakarta melakukan kegiatan di luar nalar seperti upacara adat tentang menjaga keselamatan.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
3
Terkait dengan hal – hal tersebut, dapat dikaji bagaimana abdi dalem di Keraton Yogyakarta menyambungkan hal yang ilmiah dengan hal yang diluar nalar atau hal yang tidak ilmiah. Selain itu, manuskrip sebagai artefak dan sebagai benda cagar budaya merupakan kekayaan budaya bangsa sebagai wujud pemikiran dan perilaku kehidupan manusia sehingga dirasa perlu untuk melakukan pelestarian dengan berbagai cara. Dalam Undang-Undang nomor 11 pasal 1 tahun 2010 disebutkan : “ Cagar Budaya adalah warisan budaya bersifat kebendaan berupa Benda Cagar Budaya, Bangunan Cagar Budaya, Struktur Cagar Budaya, Situs Cagar Budaya, dan Kawasan Cagar Budaya di darat dan/atau di air yang perlu dilestarikan keberadaannya karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan.” “ Benda Cagar Budaya adalah benda alam dan/atau benda buatan manusia, baik bergerak maupun tidak bergerak, berupa kesatuan atau kelompok, atau bagian-bagiannya, atau sisa-sisanya yang memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia.” Dalam undang-undang yang baru disahkan dan sedang disosialisasikan tersebut dapat terlihat perlunya dan pentingnya memelihara benda budaya dicagarkan. Kaitannya adalah benda cagar budaya atau dalam hal ini adalah manuskrip perlu dilestarikan dan dilakukan perawatan karena memiliki nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan/atau kebudayaan melalui proses penetapan undang-undang dan memiliki hubungan erat dengan kebudayaan dan sejarah perkembangan manusia. Berkaitan dengan perawatan secara tradisional menurut kearifan lokal setempat yang dilakukan para abdi dalam, tampaknya penting terlebih lagi sebagai masyarakat Yogyakarta yang kental kebudayaannya, harus turut melestarikan cara yang tradisional. Dengan cara yang tradisional tidak selalu memberikan hasil yang kurang maksimal. Penelitian awal yang dilakukan terlihat adanya penggunaan beberapa alat-alat yang tradisional oleh para abdi dalem.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
4
1.2. Rumusan Masalah Naskah adalah tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa masa lampau (Barried, 1994 : p.55). Menurut Venny Indria Ekowati dalam artikel berjudul “Pelestarian Budaya dan Pemerkasaan
Bahasa
Jawa
melalui
Kajian
Manuskrip
Klasik”,
untuk
mengungkapkan pikiran dan perasaan, pada abad ke-9 suku bangsa Jawa memulai tradisi menulis. Melalui manuskrip klasik, akan didapatkan berbagai sumber pengetahuan yang menggambarkan tentang peradaban masa lampau sehingga manuskrip perlu dilestarikan keberadaannya. Keraton Yogyakarta adalah salah satu tempat yang menggunakan naskah sebagai alat untuk menyimpan ungkapan pikiran. Kebiasaan tersebut sudah membudaya, terbukti dari temuan manuskrip yang ada di Perpustakaan Keraton Yogyakarta. Tidak hanya manuskrip yang menjadi suatu sumber budaya, cara pemeliharaan manuskrip yang ada di Keraton Yogyakarta juga berdasarkan kearifan lokal yang mana kearifan lokal tersebut adalah suatu kebiasaan turun trmurun yang menjadi budaya yang mengakar. Walaupun adanya modernisasi di jaman globalisasi, kearifan lokal di Keraton Yogyakarta tetap terjaga sehingga akan dapat dibuktikan di kemudian hari bahwa kearifan lokal juga tetap perlu dilakukan. Secara umum yang menjadi studi dalam masalah ini adalah : 1.
Bagaimana kearifan lokal yang tercermin dalam preservasi dan konservasi manuskrip di KHP Widya Budaya?
2.
Bagaimana pihak Keraton Yogyakarta dan abdi dalem dalam menyikapi perkembangan budaya modern terhadap pelestarian manuskrip?
1.3. Tujuan Penelitian 1.
Memaparkan upaya preservasi dan konservasi berdasarkan kearifan lokal yang dilakukan abdi dalem di KHP Widya Budaya
2.
Memaparkan bagaimana pihak Keraton Yogyakarta dan abdi dalem menyikapi perkembangan budaya modern terhadap pelestarian manuskrip
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
5
1.4. Manfaat Penelitian Dalam bidang ilmu perpustakaan dan informasi, penelitian ini merupakan pengamatan sub bidang preservasi dan konservasi yang memfokuskan terhadap kearifan lokal setempat dalam melakukan pelestarian manuskrip. Kearifan lokal merupakan cara sederhana yang dapat dijadikan pedoman dalam pelestarian dan perawatan manuskrip. Diharapkan dengan adanya penelitian ini, akan ada pihak yang dapat memberikan tindakan preventif guna membantu melestarikan cagar budaya berbentuk manuskrip. Selain itu, pedoman pelestarian manuskrip secara sederhana ini dapat disebarkan pada masyarakat umum atau kolektor benda bersejarah yang bukan profesional dalam menangani koleksi bahan pustaka.
1.5. Metode Penelitian Metode penelitian ini dikelompokan lagi dalam : objek dan subjek penelitian, metodologi yang digunakan dalam penelitian dan teknik pengumpulan data. 1.5.1 Objek dan Subjek Penelitian Adapun objek yang menjadi penelitian adalah pelestarian terhadap kearifan lokal. Subjek nya adalah abdi dalem yang melakukan pelestarian manuskrip.
1.5.2 Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi. Metode etnografi merupakan pendekatan kualitatif yang cocok digunakan untuk penelitian suatu kebudayaan. Menurut Suwardi Endraswara (2006 : p.50) metode etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya. Kebudayaan yang terkait dalam penelitian ini adalah kebudayaan atau tradisi pemeliharaan manuskrip secara kearifan lokal di Keraton Yogyakarta. Model etnografi berupaya mempelajari peristiwa kultural yang menyajikan pandangan hidup subjek sebagai objek studi. Dengan kata lain, etnografi mengamati dan melihat berbagai artefak dan objek alam dan juga menyelidiki makna yang diberikan oleh orang – orang terhadap berbagai objek itu (Spradley, 1997). Metode etnografi dianggap lebih mampu menjelajah susunan
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
6
pemikiran rakyat. Susunan yang sistematis adalah dengan mengetahui hal yang dikatakan orang lalu hal yang dilakukan si pelaku kebudayaan dan adanya artefak sebagai pendukung. Dalam buku yang berjudul Metode Penelitian Kualitatif, Deddy Mulyana (2001) menjelaskan etnografi yang akarnya adalah ilmu antropologi pada dasarnya adalah kegiatan penelitian untuk memahami cara orang-orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati kehidupan sehari-hari. Menurut pemikiran yang dirangkum oleh Deddy Mulyana ini, etnografi bertujuan menguraikan suatu budaya secara menyeluruh, yakni semua aspek budaya baik yang bersifat material, seperti artefak budaya dan yang bersifat abstrak, seperti pengalaman, kepercayaan norma, dan sistem nilai kelompok yang diteliti. 1.6. Kerangka Berpikir
Manuskrip Keraton Yogyakarta sebagai sumber informasi dan benda cagar budaya yang di pelihara berdasarkan kearifan lokal
Perlakuan berdasarkan kearifan lokal yang tercermin dalam preservasi Dan konservasi
Pengaruh modernisasi terhadap proses pelestarian manuskrip di KHP Widya Budaya
Usulan Pelestarian Berdasarkan Kearifan Lokal dan modern untuk melestarikan manuskrip di KHP Widya Budaya
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
BAB 2 TINJAUAN LITERATUR
2.1. Kearifan Lokal Kearifan lokal adalah cara – cara dan praktik yang dikembangkan oleh sekelompok masyarakat yang berasal dari pemahaman mendalam mereka akan lingkungan setempat, yang terbentuk dari tinggal ditempat tersebut secara turun temurun (Baumwoll, J., 2008). Kearifan lokal berasal dari dalam masyarakat sendiri, disebarluaskan secara non-formal, dimiliki secara kolektif oleh masyarakat bersangkutan, dikembangkan selama beberapa generasi dan mudah diadaptasi serta serta tertanam di dalam cara hidup masyarakat sebagai sarana untuk bertahan hidup (Baumwoll, J., 2008). Pengertian kearifan lokal sendiri, menurut budayawan Saini KM, adalah sikap, pandangan, dan kemampuan suatu komunitas di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya, yang memberikan kepada komunitas itu dayatahan dan daya-tumbuh di dalam wilayah di mana komunitas itu berada. Dengan kata lain, kearifan lokal adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografisgeopolitis, historis, dan situasional yang bersifat lokal. Terminologi lain untuk kearifan lokal yang sering ditemukan dalam berbagai literatur akademis adalah pengetahuan asli (indigenous knowledge), pengetahuan lokal (local knowledge), pengetahuan tradisional (traditional knowledge) dan lain-lain. terminologinya, kearifan lokal pada dasarnya
Apapun
merujuk pada pengetahuan
tradisional dan unik yang ada dalam dan dikembangkan sekitar kondisi spesifik masyarakat di area geografis tertentu (Grenier, 1998). Dalam pengertian kamus, kearifan lokal (local wisdom) terdiri dari 2 kata : kearifan (wisdom) dan lokal (local). Secara umum kearifan lokal bisa diartikan sebagai kearifan setempat yang mengandung arti kebijaksanaan, penuh kearifan, bernilai baik, yang tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakat. Menurut I Ketut Gobyah dalam Berpijak pada Kearifan Lokal (//http:balipos.co.id), mengatakan bahwa kearifan lokal adalah kebenaran yang telah menjadi tradisi atau ajeg dalam
7 Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
8
suatu daerah. Kearifan lokal merupakan produk budaya masa lalu yang patut secara terus menerus dijadikan pegangan hidup. Meskipun bernilai lokal tetapi nilai yang terkandung didalamnya dianggap sangat universal. S.Swarsi Geriya dalam Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali dalam IUN mengatakan bahwa secara konseptual, kearifan lokal dan keunggulan lokal merupakan kebijakan manusia yang bersandar pada filosofi nilai – nilai, etika, cara – cara dan perilaku yang melambangkan secara tradisional. Kearifan lokal adalah nilai yang dianggap baik dan benar sehingga dapat bertahan dalam waktu yang lama dan bahkan melembaga. Pemilihan secara tradisional berdasarkan kearifan lokal setempat pada para abdi dalem keraton diasumsikan merupakan tindakan yang dianggap baik oleh mereka sehingga dilakukan secara turun menurun dari generasi ke generasi. Kearifan lokal merupakan suatu yang berkaitan secara spesifik dengan budaya tertentu dan mencerminkan cara hidup suatu masyarakat tertentu (Shaw, R., 2008). Kearifan lokal terbentuk sebagai keunggulan budaya masyarakat setempat. Ada beberapa cirri kearifan lokal menurut Alwasilah, et al., (2009) yaitu : 1. Berdasarkan pengalaman 2. Teruji setelah berabad-abad 3. Dapat diadaptasi dengan kultur kini 4. Padu dalam praktek keseharian masyarakat dan lembaga 5. Lazim dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan 6. Bersifat dinamis dan terus berubah 7. Sangat terkait dengan sistem kepercayaan
Keraton Yogyakarta merefelkesikan kearifan lokal dan mendapatkan manfaat dari kearifan lokal itu sendiri sehingga memutuskan untuk melakukan kearifan lokal sebagai cara dalam melestarikan koleksi manuskrip. Kearifan lokal sama sekali tidak bisa diperoleh melalui suatu pendidikan formal dan informal. Semua hal yang menyangkut kearifan lokal hanya bisa dipahami dan direalisasikan melalui suatu pengamatan langsung. Kearifan lokal lahir dari
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
9
learning by experience yang tetap dipertahankan dan diturunkan dari generasi ke generasi (Pattinama, M.J, 2009). Kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan dari depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan (Van Peursen, 1976 : p.10-11). Paham kebudayaan berkaitan dengan preservasi yang dijelaskan Harvey (1990 : p.119) bahwa preservasi harus terintegrasi. Semua hal harus dijalankan sesuai rencana dan terintegrasi agar pengelolaannya benar dan tidak merusak koleksi manuskrip. Menurut Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali”, bentuk kearifan lokal dalam masyarakat dapat berupa nilai, norma, etika, kepercayaan, adat istiadat, hokum adat, dan aturan – aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam – macam dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam – macam. Balipos terbitan 4 September 2003 memuat tulisan tentang “ Pola Perilaku Orang Bali Merujuk Unsur Tradisi”, antara lain memberikan informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal, yaitu : 1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam 2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia 3. berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji 4. berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan 5. bermakna sosial, misalnya upacara integrasi komunal atau kerabat 6. bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian 7. bermakna etika dan moral yang terwujud dalam upacara ngaben dan penyucian roh leluhur 8. bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
10
Berdasarkan penjelasan fungsi – fungsi diatas tampak betapa luas ranah kearifan lokal, mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang pragmantis dan teknis.
Kearifan lokal merupakan suatu gagasan konseptual yang hidup dalam masyarakat, tumbuh dan berkembang secara terus menerus dalam mengatur kehidupan masyarakat dari yang sifatnya berkaitan dengan kehidupan yang sakral sampai yang profane (Jurnal Filsafat, Agustus 2004, Nomor 2).
Kebudayaan dipandang sebagai manufestasi kehidupan setiap orang atau kelompok orang yang selalu mengubah alam. Kebudayaan merupakan usaha manusia, perjuangan setiap orang atau kelompok dalam menentukan hari depannya. Kebudayaan merupakan aktivitas yang dapat diarahkan dan direncanakan (Van Peursen, 1976 : p.10-11). Oleh sebab itu diperlukan adanya kemampuan, kreatifitas dan penemuan – penemuan baru. Manusia tidak hanya membiarkan diri dalam kehidupan lama melainkan dituntut mencari jalan baru dalam mencapai kehidupan yang lebih manusiawi (Sartini, 2004).
Dengan adanya sistem kearifan lokal, bukan berarti pihak Keraton Yogyakarta tidak menerima adanya globalisasi. Globalisasi bisa dijalankan secara bersamaan dengan kearifan lokal. Tanpa melepaskan proses kearifan lokal, globalisasi atau modernisasi tetap berjalan. Dengan demikian bila suatu Negara mempunyai identitasi lokal tertentu, dalam hal ini kearifan lokal, ia tidak mungkin lepas dari pengaruh globalisasi ini (Seabrook, 2004). 2.2. Falsafah Hidup Jawa Usaha mencari keselamatan (hidup) pada masyarakat Jawa sudah berlangsung sejak sebelum mereka mengenal teologi sebagaimana yang didapatkan dalam teologi agama – agama formal. Konsep tentang ketuhanan dan kekuasaan yang bersifat Ilahi sangat penting bagi orang Jawa tradisional, karena dengan konsep tadi orang Jawa akan menyesuaikan diri pada alam raya, entah alam itu merupakan ciptaaan atau hasil emanasi Tuhan itu sendiri (Saksono, 2012
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
11
: p.15). Menurut orang Jawa, tidak ada norma kebenaran yang obyektif dan absolut. Apa yang benar, baik, dan tepat adalah apa yang cocok yang mampu mempertahankan harmoni dan menghindari konflik (Dwiyanto, 2012 : p.20). Sebagian orang Jawa dapat dikatakan masih percaya adanya setan atau hantu yang mengganggu manusia (Endraswara, 2003 : p.9). Orang Jawa sangat mempercayai adanya tempat – tempat yang sakral termasuk tempat yang wingit atau angker. Agar teetap selamat dan terhindar dari marabahaya maka aba berbagai sajen yang diberikan di tempat – tempat yang angker sesuai permintaan dhanyang setempat. Bahkan ditempat – tempat tertentu perlu diberi sajen pada hari – hari tertentu (Saksono, 2012 : p.13). Dasar dan arah yang dituju menjadi kerangka dasar dalam strategi kebudayaan (Ali Moertopo, 1978 : p.12). Dengan melihat kearifan lokal sebagai bentuk kebudayaan maka ia akan mengalami reinforcement secara terus menerus menjadi lebih baik. 2.3. Manuskrip Manuskrip (manuscript: manu scriptus) adalah dokumen kuno tertulis yang ditulis tangan. Manuskrip juga biasa disebut naskah kuno. Manuskrip atau naskah kuno merupakan dokumen dari berbagai jenis yang ditulis dengan tangan tetapi lebih mengkhususkan kepada bentuk yang asli sebelum dicetak (Purnomo, 2010: p.1). Barried mengatakan bahwa naskah merupajkan semua bentuk tulisan tangan berupa ungkapan pikiran dan perasaan sebagai hasil budaya bangsa pada masa lampau (Barried, 1985: p.54). Manuskrip bisa diartikan suatu benda yang berhubungan antara filologi dan arkeologi karena manuskrip termasuk artefak. Namun, karena suatu teks selalu dituliskan pada suatu benda tertentu, maka dapat terjadi pertemuan dengan arkeologi, karena benda itu adalah artefak juga (Edi Sedyaadi, 2010: p.210). Selain itu manuskrip memiliki dua pendekatan dalam mengkaji warisan kebudayaan selalin filologi, yaitu kodikologi. Keduanya saling berkaitan. Filologi jika diartikan secara umum yaitu ilmu yang mempelajari kebudayaan suatu bangsa berdasarkan bahasa dan kesusastraannya beberapa aksara dan bahasa naskah
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
12
Indonesia sedangkan kodikologi adalah cabang ilmu pernaskahan yang tidak mempelajari apa yang tertullis dalam naskah, tetapi kodikologi merupakan cabang ilmu yang mempelajari seluk beluk berbagai aspek pembuatan naskah (Titik Pudjiati, 2006 : p.10). Filologi dan kodikologi biasanya selalu dikaitkan satu sama lain. Bila filologi mengkhususkan pada pemahaman isi teks kemudian kodikologi mengkhususkan membahas segala tetntang sejarahnya. Mulai dari bahan naskah, tempat penulisan, gambar atau ilustrasi dan hiasan atau illuminasi. Dalam mengkaji dan juga meneliti tentang pelestarian suatu naskah, diperlukan beberapa hal yang terkait seperti filologi dan kodikologi sebagai satu perbandingan dan juga informasi sehingga bisa menghasilkan informasi lainnya. Manuskrip adalah suatu bentuk informasi yang unik karena di dalamnya terkandung informasi mengenai sejarah yang penulisannya berbeda-beda. Setiap tempat yang memiliki manuskrip pasti memiliki cara penulisan yang berbeda namun unik. Ada yang berbentuk macapat dengan aksara jawa, tulisan sangsekerta dan hanya lukisan yang dihiasi dengan motif-motif kebudayaan. Menurut Titik Pudjiastuti (2006, p.9) mengungkapkan bahwa naskah merupakan bahan tulisan tangan yang menyimpan berbagai ungkapan rasa dan pikiran hasil budaya masa lampau yang mengandung nilai historis sedangkan Library and Information Science, naskah merupakan semua barang tulisan tangan yang ada pada koleksi perpustakaan atau arsip, seperti surat-surat atau buku harian seseorang.
Sedangkan menurut Feather (1997 : p.280), manuskrip adalah
dokumen dari berbagai macam jenis yang ditulis dengan tangan, tetapi lebih mengkhususkan kepada bentuk asli sebelum dicetak. Kata tersebut juga bisa berarti karangan, surat, dan sebagainya yang masih ditulis dengan tangan. Naskah atau manuskrip juga termasuk dalam sumber informasi yang ada dalam masyarakat yang berisi nilai, pengetahuan, adat istiadat, bahasa, kesenian dan tata cara hidup yang tertuang di dalam tulisan dalam bentuk naskah dan tersimpan didalam memori masyarakat dalam bentuk ingatan yang diturunkan secara turun termurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Naskah yang dimaksud adalah teks yang mengandung nilai-nilai yang menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat sebagai gambaran kehidupan manusia pada masa
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
13
silam serta kebudayaannya. Nilai-nilai ini merupakan informasi kepada kita tentang bagaimana mereka hidup, pekerjaan sehari-hari, apa yang dirasakan dan bagaimana hidup mereka (Ikram, 1983). Manuskrip atau naskah kuno merupakan cagar budaya yang harus dilindungi. Keberadaannya harus dilestarikan dan dipelihara dari kepunahan ataupun kerusakan. Manuskrip juga memiliki Undang-undang agar keberadaannya jelas dan pemeliharaannya dapat dilakukan terkait dengan kewajiban peliharaan seperti yang tertera pada Undang-Undang nomor 11 tahun 2010 tentang cagar budaya. Menurut Undang-Undang Cagar Budaya, yang termasuk benda cagar budaya adalah benda cagar budaya, bangunan cagar budaya, struktur cagar budaya, situs cagar budaya serta kawasan cagar budaya di darat dan diair. Kriterianya adalah yang berusia 50 tahun atau lebih, memiliki masa gaya paling singkat berusia 50 tahun, memiliki arti khusus bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan atau kebudayaan, memiliki nilai budaya bagi penguat kepribadian bangsa. Bukti dari manuskrip merupakan benda cagar budaya yang kental akan budayanya adalah seperti yang dikemukakan Edi Sedyawati dalam Budaya Indonesia (2010), Prasasti dan naskah merupakan benda yang bersifat tangible karena sifat budaya yang melekat padanya. Perekaman maupun upaya memupuk kehidupannya agar tetap aktual. Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa naskah kuno merupakan hasil pemikiran masyarakat pada masa lampau, baik berupa nilai, kebiasaan, sejarah, adat istiadat, perkembangan bahsa, ilmu pengetahuan maupun kesenian yang dituangkan dalam bentuk tulisan dan berusia lebih dari 50 tahun yang harus dilestarikan. Manuskrip Indonesia tidak hanya berada di Yogyakarta, namun ada di berbagai provinsi lainnya atau provinsi yang memiliki kerajaan yang merupakan pusat sejarah. Cirebon dan Bali merupakan contoh daerah yang memiliki cukup banyak manuskrip. Jika di Cirebon banyak masyarakat yang memiliki manuskrip berbahan daluang sedangkan di Bali masih banyak ditemukan manuskrip
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
14
berbahan daun lontar. Manuskrip tersebut biasanya merupakan baca-bacaan doa atau kitab suci masyarakat Bali yang beragama Hindu. Ada banyak jenis manuskrip lainnya yang dimiliki Indonesia, contoh lainnya adalah manuskrip yang terbuat dari daun nipah, kulit sapi muda dan papyrus. Bahasa atau aksara yang tertera pada manuskrip juga berbagai macam, misalnya dengan aksara dan bahasa Jawa, Arab, Madura, Bugis, dan ada juga yang mengunakan bahasa Sangsekerta. Pada masing-masing tradisi dikembangkan system aksara yang khas. Secara normative tentunya awal penciptaan atau penggunaan suatu sistem aksara adalah juga akhir dari masa prasejarah bagi kebudayaan yang bersangkutan (Edi Sedyawati, 2010 ; p.216-217). Perjalanan peradaban masyarakat Yogyakarta meninggalkan banyak sejarah dan peninggalan budaya. Salah satunya manuskrip. Peninggalan sejarah yang terkenal dan tertuang dalam naskah adalah Babad Giyanti atau Perjanjian Giyanti. Selain peninggalan sejarah, terdapat peninggalan budaya salah satunya adalah Serat Bharatayuda. Serat Bharatayuda isinya tentang tokoh perwayangan yang dipercaya merupakan tokoh Jawa yang ceritanya sangat terkenal (http://www.kerajaan nusantara.com/id/Yogyakarta-hadiningrat). Apabila membaca naskah sastra Jawa, dapat dirasakan bahwa tradisi sastra Jawa masih bertahan karena ada semangat untuk menulisnya kembali. Berbagai cara ditempuh untuk menghadirkan karya klasik itu agar aktual. Usaha menghidupkan kembali karya-karya sastra itu dimaksudkan untuk melestarikan karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dirasakan tetap relevan dengan tantangan zaman (Edi Sedyawati, 2010). Didalam Keraton Yogyakarta Hadiningrat, yaitu istana kesultanan di Yogyakarta terdapat 2 koleksi naskah-naskah tulisan tangan, berbahasa dan beraksara Jawa. Tempat pertama adalah Kawedanan Ageng Punakawan Widya budaya yang terletak di sudut tenggara kompleks induk keraton dan yang kedua adalah Kawedanan Ageng Punakawan Krida Mardawa yaitu sebuah instansi pemerintah keraton yang berurusan dengan segala macam seni (Lindsay, 1984 : p.250).
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
15
Naskah-naskah Widya Budaya berjumlah sekitar 450 buah. Hampir seluruh koleksi dihasilkan di Keraton Yogyakarta sendiri selama abad ke-19 dan abad ke-20. Ada pula beberapa naskah yang lebih kuno, misalnya esksemplar AlQuran yang dihiasi indah yang merupakan hasil seorang carik di Keraton Surakarta pada tahun 1797 (Ricklefs 1981: p.109). Koleksi Widya Budaya terdiri atas naskah yang berisi aneka ragam teks sastra, sejarah, silsilah, agama dan kesenian Sedangkan naskah kuno koleksi Krida Mardawa terbatas pada kesenian yang berdangkutan dengan tari, musik dan wayang. Kebanyakan naskah tersebut berisi 250 buah (Lindsay, 1984: p.250). Koleksi naskah yang ada di Keraton Yogyakarta rata-rata berupa macapat atau puisi bertembang karena pembacaan dan wacana tersebut dengan ditembangkan berdasarkan titilaras ‘notasi’ yang sesuai dengan pola metrumnya (Saputra, 2001: p.103). Menurut Edi Sedyawati (2010, p.162-163), warisan budaya tangible (kebudayaan yang berwujud) diluar yang terdapat pada benda-benda konkret yang juga memerlukan upaya pelestarian adalah sastra yang digolongkan berdasarkan (1) lisan dan tulisan, (2) prosa atau puisi, (3) jenis isinya seperti mitos, legenda, dongeng, cerita, paparan kefilsafatan dan paparan pengetahuan. Keraton Yogyakarta memiliki semua konsep manuskrip yang menjadi standar dalam kepemilikan manuskrip. Jika menilik kepada jejak sejarah, banyak manuskrip yang dihasilkan Keraton Yogyakarta. Dengan adanya perang dan akhirnya banyak benda pusaka yang diambil atau dijajah. Maka tidak sedikit pula benda pusaka tersebut hilang. Benda pusaka tersebut adalah manuskrip asli dan dibuat pada abad ke-17. Akan tetapi, manuskrip tersebut sudah aman di British Council. Perawatan yang seharusnya diterima oleh sebuah manuskrip yang umumnya berusia lebih dari seratus tahun,seperti ruangan ber-AC dan pengatur kelembaban udara serta bahanbahan kimia tertentu untuk melindungi dari rayap (Suryadi,2007). 2.4 Upaya Preservasi, Konservasi dan Restorasi Manuskrip Christopher Clarkson mengatakan di dalam bukunya Harvey (1990) bahwa preservasi meliputi setiap aspek kehidupan perpustakaan, preservasi, merupakan
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
16
tindakat preventif yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang berkecimpung dengan atau bekerja di perpustakaan sedangkan konservasi adalah tindakan penyelamatan khusus dalam batas tertentu untuk menjadikan bahan pustaka dapat berguna untuk masa atau periode tertentu, untuk restorasi merupakan istilah yang agak luas maknanya karena meliputi usaha membina kembali dan mengganti bahan pustaka tertentu dengan bahan – bahan lain yang modern dalam suatu periode tertentu, untuk menjaga agar dimasa depan bahan pustaka tersebut dapat dipergunakan kembali. Hal di atas diperjelas dengan membedakan ketiga istilah tersebut dengan mengaitkan terhadap bidang operasional yaitu restorasi mengandung arti perubahan besar, konservasi bermakna perubahan minimal dan preservasi tidak mengandung makna perubahan sama sekali (Harvey, 1990 : p.2) 2.4.1 Preservasi Yogyakarta memiliki budaya elite yang bersumber dari keraton mempunyai ciri: 1). pemilik budaya tetap menjadi pelaku atau subyek budaya; 2) pelaku tidak mengalami alienasi dan jati dirinya tetap; 3) pelaku mengalami pencerdasan. Dalam budaya elite pemilik budaya menjadi orang yang utuh, tidak tenggelam dalam budayanya. Ia berhak menafsirkan apa yang dialaminya sendiri. Ia juga akrab dengan kehidupan sehingga pelaku akan mendapatkan kebijaksanaan yang menjadikannya lebih pandai dari sebelumnya (Kuntowijoyo, 1997; p. 54-55). Budaya elite yang dimaksud adalah bagaimana caranya budaya tersebut tidak hilang sehingga menjadi suatu kearifan lokal. Demi tetap menjaga kelestarian suatu manuskrip, petugas preservasi harus berupaya dengan melakukan cara apapun agar manuskrip tetap terjaga. Walau tidak melakukan preservasi dengan cara yang modern, preservasi secara kearifan lokal juga dapat dilakukan. Seperti yang dikatakan Sulistyo Basuki (1993, p.271) dalam buku Pengantar Ilmu Perpustkaaan, preservasi atau pelestarian mencakup semua aspek usaha melestarikan bahan pustaka dan arsip, termasuk didalamnya kebijakan pengelolaan, keuangan, sumber daya manusia, metode dan teknik penyimpanannya. Dalam melakukan preservasi, abdi dalem selaku preservator
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
17
harus melaksanakan aspek usaha dalam melestarikan bahan pustaka walau secara kearifan lokal sekalipun. Menurut Tamara A.Susetyo pada Kompas (23 Oktober 2008), “Kemajuan teknologi memang terus berkembang dalam pelestarian manuskrip secara moderen. Namun untuk ini butuh biaya besar dan menuntut penggunaan secara konsisten dan benar. Hanya saja dalam praktiknya, tingginya biaya atau anggaran penggunaan teknologi modern tersebut menyebabkan tidak memungkinkannya penggunaan teknologi tersebut secara terus-menerus. Bahkan di instansi yang seharusnya berkomitmen merawat koleksi manuskrip ini, pada akhirnya tidak menjalankan kebijakan ini.Sehingga para pemilik manuskrip tetap melestarikan manuskrip walau dengan kearifan lokal.” Preservasi adalah kegiatan yang terencana dan terkelola untuk memastikan agar koleksi perpustakaan dapat terus dipakai selama mungkin. Menurut Dureau dan Clement (1990: p.1), preservasi bahan pustaka menyangkut usaha yang bersifat preventif, kuratif, dan juga mempermasalahkan faktor-faktor yang mempengaruhi bahan pustaka tersebut. Kerusakan pada bahan pustaka terjadi pada berbagai faktor. Faktor penyebabnya terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal. Seperti yang diungkapkan oleh Razak (1996 : p.9) bahwa : “Bahan pustaka mudah mengalami kerusakan oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal”. Oleh karena itu, agar bahan pustaka tetap bisa digunakan maka diperlukan upaya preservasi dan sebelum melakukan preservasi harus melihat faktor kerusakan terlebih dahulu agar tidak salah melakukan penanganan. Kerusakan pada kertas dapat disebabkan oleh asam. Asam pada kertas terjadi karena proses pembuatan itu sendiri yang didalamnya mengandung zat kimia yang menyebabkan kertas selalu bersifat asam (Razak, 1992 : p.11). Jika kertas sudah menjadi asam, ada kemungkinan muncul foxing. Foxing terjadi
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
18
karena asam organik yang dihasilkan oleh jamur akan bereaksi dengan partikel – partikel besi yang terdapat dalam kertas dan membentuk noda yang berwarna merah kecoklatan, noda ini sulit dihilangkan (Razak, 1992 : p..21). Spora jamur selalu ada dalam udara. Spora ini akan tumbuh jika,kondisi memungkinkan. Kondisi yang hangat dengan temperatur antara 32o-35o
dan
kelembaban di atas 70% RH, gelap dan sedikit sirkulasi udara, jamur akan tumbuh dengan subur. Menurut Harvey (1990 : p.36), secara umum tingkat kehangatan udara yang dibutuhkan untuk pertumbuhan jamur adalah 25o atau lebih dengan kelembaban 75% atau lebih, ditambah dengan kegelapan sirkulasi udara yang buruk dan jamur dapat mengakibatkan kertas pada buku menjadi lemah dan suram. Jamur ini akan melemahkan kertas dan menimbulkan noda permanen. Jamur juga bisa menyebabkan foxing. Gejala foxing terjadi karena asam organik yang dihasilkan jamur akan bereaksi dengan partikel – partikel besi yang terdapat dalam kertas dan membentuk noda yang berwarna merah kecoklatan (Razak, 1992 : p.21). Serangga dan binatang pengerat memakan serat dan bahan organik lainnya pada bahan pustaka. Serangga yang biasa menyerang bahan pustaka adalah kacoa,silverfish, book lice, book worm dan rayap. Serangga ini memilih hidup di tempat-tempat yang hangat, gelap dan lembab. Serangga ini memakan bahan pustaka pada malam hari pada saat tidak ada orang. Kerusakan yang ditimbulkan biasanya tidak dapat dikembalikan seperti semula, karena ada bagian-bagian yang hilang atau berlubang. binatang pengerat merusak bahan pustaka karena dimakan dan dipakai untuk membuat sarang. Binatang ini biasanya meninggalkan kotoran yang menyebabkan bahan pustaka menjadi kotor. Menurut Tamara A. Susetyo pada Kompas (23 Oktober 2008) dalam penelitian manuskrip di Cirebon, melindungi manuskrip dengan materi yang berwarna kuning diyakini memiliki kekuatan menghalau serangga yang akan mendekati manuskrip. Selain itu, cara mencegah datangnya serangga atau hewan lainnya adalah diupayakan ruangan tetap selalu bersih, susunan buku dalam rak-rak ditata secara rapi, sehingga ada sirkulasi udara udara, rak harus dibuat dari bahan yang tidak disukai oleh
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
19
serangga
( kayu jati/logam), pada rak diberikan bahan yang berbau dan tidak
disukai oleh serangga, seperti kamper, naftalen, dll. Menurut Harvey (1990: p.119), program pelestarian harus terintegrasi kedalam aspek manajemen perpustakaan dan dalam setiap prosedur perpustakaan seperti preservasi merupakan tanggung jawab manajemen, semua koleksi memerlukan rencana preservasi, pelestarian harus menjadi pusat perhatian semua staf perpustakaan pada setiap level dan menjadi bagian dari semua kegiatan rutin di perpustakaan; preservasi bukan hanya menjadi garapan spesialis teknis di laboratorium tersendiri. Menurut J.M.Dureau dan D.W.G Clement dalam bukunya yang berjudul The Principle for The Preservation and Conservation of Library Materials, menyebutkan bahwa pelestarian (preservation) mempunyai arti yang lebih luas, yaitu mencakup unsur-unsur pengelolaan dan keuangan, termasuk cara penyimpanan dan alat-alat bantunya dan taraf tenaga kerja yang diperlukan, kebijakan, teknik dan metode yang diterapkan untuk melestarikan bahan-bahan pustaka serta informasi yang dikandungnya, Dengan demikian, tujuan preservasi adalah melestarikan informasi yang direkam dalam bentuk fisiknya atau dialihkan pada media agar dapat dimanfaatkan oleh pengguna. Unsur-unsur dalam preservasi bahan pustaka meliputi : 1. Pengelolaan, meliputi kegiatan bagaimana mengelola bahan pustaka agar dapat dimanfaatkan oleh pengguna baik tanpa mengabaikan kelestarian bahan pustaka tersebut. 2. Keuangan, meliputi seberapa besar anggaran yang diubutuhkan untuk kegiatan pelestarian bahan pustaka sehingga dengan jelas dalam mengalokasikan biaya untuk kegiatan tersebut.
Menurut Hazen yang dikutip oleh Garjito (1991: p.91), istilah pelestarian meliputi 3 ragam kegiatan, yaitu : 1. Kegiatan yang di tujukan untuk mengontrol lingkungan perpustakaan agar dapat memenuhi syarat – syarat pelestarian bahan – bahan pustaka yang tersimpan di dalamnya
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
20
2. Berbagai kegiatan yang berkaitan dengan usaha – usaha untuk memperpanjang
umur
bahan
pustaka,
misalnya
dengan
cara
deadifikasi, restorasi atau penjilidan ulang 3. Seluruh kegiatan yang berkaitan dengan usaha untuk mengalihkan isi informasi dari bentuk format atau matrik ke bentuk lain. Setiap kegiatan menurut kategori – kategori tersebut itu tentu saja masih dapat dikembangkan lagi ke dalam berbagai aktivitas lain yang lebih khusus dan rinci. Tujuan utama program preservasi bahan pustaka adalah mengusahakan agar koleksi bahan pustaka selalu sedia dan siap pakai. Hal ini dapat dilakukan dengan melestarikan bentuk fisik bahan pustaka, melestarikan kandungan informasi kedalam media lain atau yang biasa disebut alih media. Seperti yang dijelaskan Sulistyo Basuki (1990 : p.271), bahwa salah satu cara pelestarian bahan-bahan pustaka itu adalah dengan cara mengalih bentuknya, dari bentuk media yang satu ke bentuk media yang lain untuk keperluasn masa kini maupun masa mendatang. Pernyataan tersebut didukung oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan melaksanakan pelestarian kandungan informasi bahan pustaka melalui alih media ke media baru (Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 2001 : p.45). Dalam melakukan pelestarian suatu manuskrip tentu saja terdapat hambatan atau permasalahan yang mungkin terjadi. Masalah yang sering terjadi dalam melakukan pelestarian atau preservasi adalah terbatasnya anggaran dana (http//kompas-online.com). Menurut Martoadmojo (1991) unsur penting atau sarana manajemen yang perlu diperhatikan dalam pelestarian bahan pustaka adalah manajemennya, tenaga kerja, laboraturium dan dana. Dana untuk keperluan kegiatan harus diusahakan dan dimonitor dengan baik sehingga pekerjaan pelestarian tidak akan mengalami gangguan. Pendanaan ini tergantung dari lembaga tempat perpustakaan bernaung. Permasalahan pelestarian lainnya adalah permasalahan dasar yang dihadapi oleh perpustakaan sekitar awal 1930 secara sederhana adalah kondisi fisik bahan pustaka yang cepat rapuh sehingga sulit untuk ditangani. British
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
21
library dan juga American Library menaruh perhatian yang cukup serius pada awal dekade tersebut, mereka mencoba untuk mengenali implikasi dari masalah tersebut dan mulai membuat suatu program yaitu dengan mengalihmediakan koleksi yang berkategori bahaya ke bentuk microfilm (Fearther, 1991 : p.4) Pelestarian atau preservasi pada fisik juga sangat penting mengingat umur manuskrip yang sudah ratusan tahun dan mengingat ketahanannya yang tidak dapat bertahan lebih lama, maka alih media dibutuhkan. Alih media ke digital merupakan teknik yang digunakan di era globalisasi.
Pelestarian pada isi
manuskrip jika fisik naskah memadai. Artinya, jika tintanya masih bisa terlihat dan masih bisa terbaca, maka manuskrip bisa didigitalisasikan. Pada tahun 1980-an hingga akhir tahun 1990-an, upaya pembuatan salinan naskah dilakukan melalui media microfilm. Seiring dengan perkembangan teknologi digital, aktivitas alih media naskah pun mengalami revolusi penting pada awal milenium kedua, yakni dengan digunakannya teknologi digital dalam pembuatan salinan naskah, baik melalui kamera digital maupun mesin scanner. Alih media naskah ke dalam bentuk microfilm pun mulai ditinggalkan, karena dianggap tidak efisien lagi, baik dalam tahap pembuatan maupun penggunaannya oleh pembaca, meski sebetulnya daya tahan sebuah microfilm akan jauh lebih baik ketimbang foto digital (Oman Faturahman, 2009). Digitalisasi menurut Lee (2001 : p.3) adalah “digitalization is the conversion of an analog or code into a digital signal or code” atau digitalisasi adalah konversi dari bentuk analog atau manual ke bentuk digital. Namun, proses digitalisasi terkadang menghasilkan gambar dengan kualitas tidak baik. Selain tergantung pada kualitas tinta manuskrip, tergantung juga pada penentuan kualitas gambar dalam bentuk digital. Menurut Garjito (2002 : p.17), kualitas yang tinggi dari gambar bitmap akan merekam seluruh detail penting dari teks maupun gambar. Digitalisasi dapat digunakan sebagai salah satu penyebaran informasi. Melalui hal tersebut, fungsi pelestarian menjadi yang utama, sehingga terdapat dua prinsip utama dari pelestarian yang menjadi perhatian, yaitu isi informasi
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
22
(content) dan wadah atau media informasi (container) (Sudarsono, 2006 : p.338). Pentingnya alih media juga dinyatakan oleh Garjito (2001 : p.12), apabila tidak ada kebijakan pemerintah untuk mengalihkan informasi yang sangat bernilai historis tinggi tersebut akan musnah dimakan usia. Sutarno NS (2004 : p.105) mendefinisikan kebijakan perpustakaan yang meliputi hal – hal pokok yaitu untuk menghimpun informasi, memelihara dan sumber – sumber informasi; mengemas, memberdayakan dan melayankan informasi; memanfaatkan seluruh asset perpustakaan, dan memberikan kesenangan dan kepuasan pemakai karena keinginannya terpenuhi dengan cepat, tepat, murah dan sederhana. Menurut Martoadmojo (1993), tujuan pelestarian bahan pustaka ini adalah : 1.
Menyelamatkan nilai informasi dokumen
2.
Menyelamatkan fisik dokumen
3.
Mengatasi kendala kekurangan ruang
4.
Mempercepat perolehan informasi
Secara singkat Lee (2002 : p.93) menjelaskan tujuan alih media adalah mengusahakan agar koleksi selalu tersedia dan siap pakai untuk jangka waktu yang lama. Hal ini dapat dilakukan dengan melestarikan informasi yang terkandung dalam koleksi dengan mengalihmediakan atau melestarikan kedua – duanya. Namun, proses alih media ke digital memiliki prioritas. Menurut Seadle (2004 : p.119), prioritas penting untuk memilih alih media kedalam bentuk digital bahan pustaka terlihat dari tiga kriteria, yaitu : 1.
Apakah bahan pustaka merupakan bahan pustaka yang rusak dan berharga
2.
Apakah prosedur digitalisasi bahan pustaka ini sesuai dengan standar yang ada
3.
Apakah hak cipta memberikan akses untuk tujuan pendidikan dan penelitian
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
23
Selain debu, suhu dan kelembaban juga berpengaruh dalam kerusakan bahan pustaka. IFLA menetapkan standar suhu udara sekitar 20o - 22o celcius dengan kelembaban udara sekitar 40% - 45%, Arsip Nasional Amerika Serikat (United States national Archives) merekomendasikan kelembaban relatif antara 40% sampai dengan 50% sedangkan Canadiaan Council of Archives (1990 : p.16) menyebutkan suhu dan kelembaban ideal adalah 18o – 20o C dan 45% - 65%. Jika tidak terdapat alat pengatur suhu atau pendingin ruangan maka bisa juga menggunakan cara sederhana agar tidak terjadi fluktuasi udara. Menurut Tamara A.Susetyo dalam Kompas (23 Oktober 2008), menyimpan manuskrip dalam peti kayu, koper dan lemari jati diasumsikan dapat menurunkan fluktuasi udara yang tak teratur. Kelembaban niosbi atau relative humidity dapat didifinisikan sebagai perbandingan antara berat uap air yang terkandung dalam udara pada volume tertentu dengan kandungan uap air maksimum yang dapat diserap oleh udara pada volume dan temperatur yang sama. Udara panas dapat menyerap lebih banyak uap air. Jika dibandingkan dengan udara dingin. Oleh sebab itu kelembaban udara akan naik jika temperatur turun dan sebaliknya kelembaban udara akan turun jika temperatur naik selam kandungan uap air tidak berubah. Jumlah kandungan uap air dalam udara sangat penting diketahui karenadengan adanya uap air ini akan menambah kecepatan reaksi yang akan memacu kecepatan pelapukan bahan pustaka. Seperti hidrolisa asam dalam kertas akan bertambah cepat jika temperatur dan kelembaban tinggi. Kelembaban udara yang terlalu tinggi atau terlalu rendah akan menimbulkan beberapa masalah. Kombinasi antara temperatur yang tinggi dan kelembaban yang tinggi akan menyuburkan pertumbuhan jamur dan serangga. Pada keadaan kelembaban yang terlalu tinggi akan menyebabkan tinta yang larut dalam air akan menyebar dan kertas pada buku akan saling menempel, yang akan sulit dilepas pada saat kering. Sebaliknya jika kelembaban udara terlalu rendah, menyebabkan kertas menjadi kering dan garis serta sampul yang terbuat dari kulit akan menjadi keriput.Perubahan temperatur akan menyebabkan perubahan kelembaban. Fluktuasiyang sangat drastis akan besar pengaruhnya terhadap kerusakan kertas, karena kertas akan mengendor dan menegang. Jika hal ini terjadi berulang kali, akan memutuskan ikatan rantai kimia pada serat selulosa.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
24
Setiap kenaikan 10o suhu udara, maka kadar aktifitas kimiawi diperkirakan dapat menjadi dua kali lipat. Panas merupakan salah satu penyebab utama rusaknya koleksi karena akan mempercepat terjadinya reaksi kimia dan secara langsung berdampak buruk kepada struktir fisik buku (Harvey, 1990). Cahaya atau energi radiasi juga mempunyai efek pada bahan pustaka.Cahaya akan mempercepat oksidasi dari melekul selulosa sehingga rantai ikatan kimia pada moleksul tersebut terputus. Cahaya mempunyai pengaruh pengelantang,menyebabkan kertas menjadi pucat dan tinta memudar. Karena pengaruh cahaya ini, lignin pada kertas akan bereaksi dengan komponen lain sehingga kertas berubahmenjadi kecoklatan.Sinar tampak dalam cahaya dapat merusak bahan pustaka, akan tetapi sinar ultra violet yang tidak tampak lebih reaktif dan lebih merusak. Radiasi ultra violetdengan panjang gelombang antara 300-400 nanometer menyebabkan reaksifotokimia, radiasi ultra violet ini berasal dari cahaya matahari (25%) dan lampu TL(3-7%). Kerusakan karena cahaya sangat tergantung dari panjang gelombang danmakin lama waktu pencahayaan kertas makin cepat rusak. (Harvey, 1990 : p.34). Menurut Tamara A.Susetyo pada Kompas (23 Oktober 2008), pantulan halus sinar matahari pagi dan sore hari sebelum matahari terbenam diasumsikan dapat menghambat perkembangan mikroorganisme. Kecerobohan pengguna yang menimbulkan kehausan pada bahan pustaka. Hal ini sesuai dengan pendapat Sulistyo Basuki (1992: p41) yang mengatakan bahwa : “ kerusakan fisik seperti dokumen kotor, goresan pada foto dan rekaman, halaman koyak dan coretan pada sokumen sering terjadi bila unit informasi terbuka untuk umum” Pemustaka dapat menjadi lawan atau juga kawan dalam usaha pelestarian bahan pustaka. Hal ini didukung dengan pernyataan Sulistyo Basuki (1990 : p272) bahwa : “ Manusia dalam hal ini pemakai perpustakaan dapat merupakan lawan atau juga kawan. Pemakai perpustakaan menjadi kawan bilamana dia
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
25
membantu pengamatan buku dengan cara menggunakan bahan pustaka secara cermat dan hati – hati. Pemustaka akan menjadi musuh bilamana dia memperlakukan buku dengan kasar sehingga sobek dan rusak” Kerusakan bahan pustaka termasuk pustakawan turut menjadi sebab pada faktor kerusakan koleksi. Harvey (1990: p.37) mengatakan bahwa peranan manusia baik sebagai petugas maupun pemakai lebih dominan dibanding dengan faktor – faktor penyebab kerusakan koleksi buku lainnya. Artinya bila manusia salah menangani pelestarian, maka koleksi tersebut bisa digolongkan sebagai perusak koleksi. Selain itu bentuk penyalahgunaan bahan pustaka adalah bentuk tindakan pemanfaatan yang salah dari bahan pustaka perpustakaan. 2.4.2 Konservasi Konservasi bisa memiliki arti yang banyak. Sebagai contoh, seperti yang digunakan oleh Badan Penasehat Konservasi Nasional (USA) pada tahun 1983, istilah konservasi bermakna umum yaitu meliputi eksaminasi (pemeriksaan terhadap bahan pustaka), preservasi (tindakan yang dilakukan untuk mencegah kerusakan, melalui pengawasan terhadap lingkungan dan/atau perawatan atas struktur bahan pustaka), dan restorasi adalah tindakan yang dilakukan untuk sedapat mungkin mengembalikan suatu bentuk bahan pustaka yang telah rusak ke bentuk aslinya dengan tidak begitu merusak nilai estetika dan integritas historinya (Harvey, 1990 : p.1). J.M. Dureau& D.W.G. Clements, mempunyai arti yang lebih luas, yaitu mencakup unsur - unsur pengelolaan, keuangan, cara penyimpanan, tenaga, teknik dan metode untuk melestarikan informasi dan bentuk fisik bahan pustaka. Sedangkan konservasi adalah teknik yang dipakai untuk melindungi bahan pustaka dari kerusakan dan kehancuran. Akan tetapi menurut sumber lain yang menyangkup pelestarian bahan pustaka, kata konservasi mempunyai arti yang lebih luas. Prinsip-prinsip konservasi yang ditulis dalam buku “Introduction to Conservation” terbitan Unesco tahun 1979, ada beberapa tingkatan dalam kegiatan konservasi, yaitu : Prevention of deterioration, Consolidation,
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
26
Restoration dan Reproduction yang masing - masing dapat diterjemahkan sebagai berikut : Pervention of deteroration adalah tidakan preventif utnyuk melindungi bahan pustaka dengan mengendalikan kondisi lingkungan dan melindungi bahan pustakadari kerusakan lainnya, termasuk cara penanganan. Preservation adalah penanganan yang berhubungan langsung dengan bahan pustka. kerusakan oleh udara lembab, faktor kimiawi, serangga dan mikroorganismeharus dihentikan untuk menghindari kerusakan lebih lanjut. Consolidation adalah memperkuat bahan yang sudah rapuh dengan memberi perekat (sizing) atau bahan penguat lainnya. Restoration adalah memperbaiki koleksi yang telah rusak dengan jalan menambal menyambung, memperbaiki jilidan dan mengganti bagian yang hilang agar bentuknya mendekati keadaan semula Reproduction membuat kopi dari bahan asli, termasuk membuat bentuk mikro dan foto reproduksi. Kata ini mempunyai arti yang sama, yaitu pelestarian yang selanjutnya pelestarian ini akan meliputi kegiatan pemeliharaan, perawatan, pengawetan, perbaikan dan reproduksi. Konservasi adalah seni menjaga sesuatu agar tidak hilang, terbuang dan rusak atau dihancurkan. Konservasi manuskrip adalah perlindungan, pengawetan dan pemeliharaan. Conservation atau pengawetan terbatas pada kebijakan serta cara khusus dalam melindungi bahan pustaka dan arsip untuk kelestarian koleksi tersebut. Konservasi merupakan konsep proses pengolahan suatu tempat atau ruang ataupun objek agar makna kultural yang terkandung didalamnya terpeliara dengan baik. Menurut Wendy Smith dari The National Library of Australia membuat definisi yang lebih sederhana tentang konservasi, bahwa konservasi adalah kegiatan yang meliputi perawatan, pengawetan dan perbaikan bahan pustaka oleh konservator yang profesional.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
27
Menurut Teygeler (2001, p.34) dalam TANAP “Conservation Methods”, terdapat 4 komponen piramida preservasi yang mencakup konservasi yaitu preventive
conservation,
passive
conservation,
active
conservation
dan
restoration. Pertama adalah preventive conservation. Preventive conservation adalah uapaya pelestarian bahan pustaka baik secara langsung maupun tidak langsung, yang diikuti dengan mengoptimalkan kondisi lingkungan tempat penyimpanban untuk memperpanjang kelangsungan hidupnya. Kedua adalah passive conservation. Passive conservation adalah kegiatan-kegiatan yang berkenaanb dengan survei terhadap kondisi fisik bahan pustaka. Pengawasan terhadap kebersihan lingkungan, udara, dan sterilisasi tempat penyimpanan juga termasuk ke dalam komponen ini. Ketiga adalah active conservation. Active conservation mencakup seluruh tindakan baik secara langsung maupun tidak langsung yang tertuju langsung pada objek konservasi untuk memperpanjang kelangsungan bahan pustaka tersebut. Yang terakhir adalah restoration. Restorasi adalah kegiatan memperbaiki bahan pustaka yang rusak hingga kembali kepada bentuk aslinya dengan menggunakan berbagai macam bahan dan peralatan serta teknik yang sesuai. Dalam Burra Charter, konsep konservasi adalah semua kegiatan pelestarian sesuai dengan kesepakatan yang dirumuskan pada piagam Burra Charter yang mengartikan konservasi secara umum adalah pelestarian, namun dalam khasanahnya sangat banyak pengertian yang ada dan berbeda implikasinya. Menurut Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1992 : p.2), perawatan merupakan bagian dari Conservation yaitu pengawetan. Pengawetan merupakan kebijaksanaan dan cara tertentu yang dipakai untuk melindungi bahan pustaka dan arsip dari kerusakan dan kehancuran termasuk metode dan tenik yang ditetapkan oleh petugas teknis.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
28
Upaya yang dapat dilakukan dalam melakukan proses konservasi atau perawatan adalah : 1. Pembersihan terhadap noda Noda yang terjadi pada kertas akan memberikan kesan kotor dan tentunya akan menumbulkan zat asam yang kemudian menjadi foxing. Menurut Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1992 : p.28) hal – hal yang menyebabkan noda adalah : a. Debu (Partikel Padat) Debu merupakan partikel padat yang berasal dari berbagai zat. Partikel logam misalnya, bila teroksidasi akan menimbulkan bercak – bercak kuning pada permukaan bahan. Debu ini dapat dibersihkan dengan kuas atau sikat, penghapus karet, busa atau vacuum cleaner. Noda terjadi hendaknya dibersihkan dengan air karena air akan menyebabkan noda meresap masuk kedalam serat kertas dan akan tinggal selamanya. b. Zat Cair 1) Minyak Minyak akan meresap dan menjalar sesuai dengan sifat zat cair. Noda yang dihasilkan ditandai dengan perubahan warna kertas menjadi lebih tua dari warna aslinya. 2) Air Air yang meresap dan mengalir pada kertas sekaligus akan membawa kotoran ke batas alir air sehingga noda lebih Nampak didaerah tepi alir air. Sedangkan di daerah alirannya sendiri lebih bersih 3) Tinta yang luntur Noda yang disebabkan oleh tinta yang luntur hanya terjadi pada permukaan saja 4)
Asam
Terjadinya asam pada bahan disebabkan karena beberapa hal, misalnya karena lingkungan, partikel debu, pengaruh usia atau dari proses pembuatan kertas itu
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
29
sendiri. Asam dapat menimbulkan noda di atas permukaan bahan yaitu berubahnya warna bahan menjadi kecoklatan 2.
Fumigasi Fumigasi berasal dari kata fumigation atau to fumigate yang artinya mengasapi atau mengasap. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1995 : p.75) menyatakan bahwa fumigasi merupakan kegiatan yang dilakukan untuk mengasapi bahan pustaka dengan menggunakan uap atau gas pembasmi serangga atau jamur yang menyerang bahan pustaka yang ada di perpustakaan.
3.
Menghilangkan keasaman pada kertas Keasaman yang terkandung pada kertas menyebabkan kertas itu cepat lapuk, terutama kalau kena polusi. Bahan pembuat kertas merupakan bahan organic yang mudah bersenyawa dengan udara luar. Agar pengaruh udara tersebut tidak berlanjut, maka bahan pustaka perlu dilaminasi. Untuk menghilangkan keasaman pada kertas juga bisa melakukan deadifikasi. Metode yang dikembangkan William Barrow pada tahun 1940 adalah cara untuk menetralkan asam yang merusak kertas dan memberi bahan penahan untuk melindungi kertas. Menurut Harvey (1990, p.109) deadifikasi dilakukan secara lembar perlembar dengan cara basah.
4.
Laminasi Laminasi adalah suatu proses pelapisan dua permukaan kertas dengan bahan penguat. Laminasi maksudnya adalah menutupi satu lembar diantara dua lembar bahan penguat (PERPUSNAS, 1995 : p.93). 2.4.3 Restorasi Restorasi dilakukan jika setelah melakukan konservasi. Restorasi adalah cara dalam mengembalikan bentuk naskah menjadi lebih kokoh. Untuk melakukan restorasi harus melihat keadaan manuskrip tersebut, karena setiap kerusakan fisik perlu ditangani dengan cara yang berbeda. Hal ini dikarenakan cara manuskrip yang rusak memiliki penyebab yang berbeda. Restorasi adalah kegiatan memperbaiki bahan pustaka yang rusak hingga kembali kepada bentuk
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
30
aslinya dengan menggunakan berbagai macam bahan dan peralatan serta teknik yang sesuai (Teygeler, 2001 : p.34). Untuk melalukan restorasi harus melihat keadaan fisiknya terlebih dahulu. Karena setiap keadaan fisik berbeda-beda dan harus ditangani dengan cara yang berbeda – beda. Dalam power point berjudul “Studi Kasus tentang Pengalaman Yayasan Sastra yang disampaikan pada Pelatihan Digitalisasi Naskah dan Pengembangan Portal Naskah Nusantara Juni 2009 di Surakarta, langkah – langkah melakukan restorasi pada nasakah kuno antara lain : 1.
Membersihkan dan melakukan fumigasi
2.
Melapisi dengan kertas khusus (doorslagh) pada lembaran naskah yang rentan
3.
Memperbaiki lembaran naskah yang rusak dengan bahan arsip
4.
Menempatkan didalam tempat aman (almari)
5.
Menempatkan pada ruangan ber-AC dengan suhu udara teratur
Namun ada beberapa pendapat lain yang mengemukakan bahwa menambal, menyambung dan penjilidan termasuk dalam restorasi. Menurut Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1995, p.89) menambal atau menutup bagian yang berlubang dapat dilakukan dengan Kertas Jepang dan perekat kanji. Menambal juga dapat dilakukan dengan bubur kertas atau menggunakan tissue yang berperekat. Kegiatan restorasi lainnya adalah menyambung. Menyambung dilakukan untuk merekat bagian yang sobek atau lemah karena lipatan, biasanya diperkuat dengan potongan kertas dari jenis tertentu agar bagian yang sobek tidak melebar. Menurut Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1995 : p.91) ada beberapa cara dalam menyambung bahan pustaka yang telah sobek. Selanjutnya yang terakhir adalah penjilidan. Penjilidan adalah suatu cara untuk menghimpun atau menggabungkan beberapa lembaran kertas menjadi satu serta dilapisi oleh sampul. Penjilidan dibagi menjadi 2 bagian ( PERPUSNAS, 1995 : p.3), (1) Dengan sampul lunak (soft cover) yaitu menjilid dengan sampul tipis atau kertas yang mempunyai berat antara 165 gram sampai 320 gram. (2) Dengan sampul kertas (hard cover) yaitu menjilid dengan sampul tebal atau karton yang mempunyai berat di atas 320 gram.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
BAB 3 METODE PENELITIAN
3.1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode etnografi. Etnografi berasal dari kata ethno (bangsa) dan graphy (menguraikan atau menggambarkan) jadi etnografi jika digabungkan adalah ragam pemaparan penelitian budaya untuk memahami cara orang – orang berinteraksi dan bekerjasama melalui fenomena teramati dalam kehidupan sehari – hari. Studi etnografi merupakan salah satu dari lima tradisi kualitatif (Creswell, 1998 : p.85) yaitu biografi, fenomenologi, grounded theory, etnografi dan studi kasus. Pendekatan kualitatif itu sendiri menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (2005 : p.4) adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata – kata tertulis atau lisan dari orang – orang dan perilaku yang dapat diamati, menurut mereka penelitian diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistik. Model etnografi adalah penelitian untuk mendeskripsikan kebudayaan sebagaimana adanya. Sebagaimana adanya yang dimaksud dalam model etnografi adalah mampu menjelaskan atau menjelajah susunan pemikiran rakyat sebagai subjek. Model ini berupaya mempelajari peristiwa kultural yang menyajikan pandangan hidup subyek sebagai obyek studi (Suwardi Endraswara, 2006 : p.50). Etnografi merupakan pekerjaan mendeskripsikan suatu kebudayaan dengan tujuan utama aktivitas ini adalah untuk memahami suatu pandangan hidup dari sudut pandang penduduk asli, sebagaimana dikemukakan oleh Bronislaw Malinowski, bahwa tujuan etnografi adalah “memahami sudut pandang penduduk asli, hubungannya dengan kehidupan untuk mendapat pandangan tentang duniannya (1922 : p.25). Penelitian etnografi adalah kegiatan pengumpulan bahan keterangan atau data yang dilakukan secara sistematik mengenai cara hidup serta berbagai
31 Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
32
aktivitas social dan berbagai benda kebudayaan dari suatu masyarakat. Para etnografer belajar dengan mengamati orang dengan cara berinteraksi dalam keadaan wajar dan dengan berusaha menilai pola penyebaran, seperti perputaran hidup, peristiwa dan topik kebudayaan (Walcott, personal communication, 10 oktober 1996 dalam Creswell, 1998 : p.59). Menurut James P. Spradley (1979), etnografer mengamati tingkah laku, tetapi lebih dari itu dia menyelidiki makna tingkah laku itu. Etnografer melihat berbagai artefak dan objek alam, tetapi lebih dari itu, dia juga menyelidiki makna yang diberikan oleh orang – orang terhadap berbagai objek. Tujuan dari penelitian etnografi sehingga penelitian ini dapat dibedakan dari penelitian kualitatif lainnya yaitu, pemahaman terhadap ketujuh karakteristik berikut sudah sangat memadai. 1. Tema-Tema Kultural Etnografer pada umumnya meneliti tema-tema budaya yang diadopsi dari bidang antropologi kultural. Dalam etnografi tema kultural didefinisikan sebagai sebuah pandangan umum yang didukung oleh sebuah masyarakat, baik secara langsung atau tersirat (Creswell, 2008: p.480). Tujuan etnografer bukanlah mencari pola-pola tingkah laku, keyakinan yang mungkin sudah terlihat tetapi menambah pengetahuan tentang bagian-bagian dari kebudayaan dan meneliti tema-tema kebudayaan yang spesifik. Dalam penelitian ini, tema kultural atau tema kebudayaan yang diambil adalah kearifan lokal masyarakat Keraton Yogyakarta dalam melakukan pemeliharaan terhadap manuskrip. 2. Sebuah Kelompok Kultural Etnografers pada umumnya meneliti suatu unsur budaya yang secara bersama-sama dimiliki sekelompok individu pada sebuah lapangan penelitian (seperti guru-guru bahasa Inggris SD di sebuah kecamatan, siswa sebuah kelas, sekelompok mahasiswa yang sedang melaksanakan PPL). Dengan demikian, partisipan yang diteliti biasanya terdiri dari beberapa individu yang terikat oleh satu atau lebih unsur kebudayaan.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
33
Dalam penelitian ini, yang menjadi sebuat kelompok kulturan adalah para abdi dalem yang ada di Keraton Yogyakarta sebagai pelaku pemelihara manuskrip secara kearifan lokal. 3. Kepemilikan Bersama atas Pola-Pola Tingkah laku, Keyakinan, dan Bahasa Etnografer bertujuan menemukan pola-pola tingkah laku, keyakinan, dan bahasa yang dimiliki/diadopsi secara bersama-sama oleh sekelompok individu dalam kurun waktu tertentu, yang dimaksud dengan tingkah laku dalam etnografi adalah tindakan yang dilakukan oleh individu dalam sebuah latar kultural. Sedangkan keyakinan berhubungan dengan bagaimana individu berpikir atau memahami sesuatu dalam sebuah latar kultural. Dalam hal ini, para abdi dalem meyakini dan mengadopsi beberapa keyakinan atau tingkah laku yang menjadi pola hidup atau pedoman dalam melakukan suatu hal yang kemudian menjadi budaya turun temurun. 4. Penelitian Lapangan Penelitian lapangan dalam konteks etnografi berarti peneliti menjaring data di lokasi tempat partisipan dan pola-pola kultural yang diteliti berada. Etnografer menjaring data dengan cara tinggal bersama dengan para partisipan untuk mengamati bagaimana mereka pola-pola yang mereka gunakan ketika bekerja, bersantai, beribadah, dan lain-lain. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam, peneliti bisa turut serta bekerja, bermain, atau beribadah dengan para partisipan. Pada penelitian ini, peneliti ikut serta masuk kedalam kebudayaan Keraton Yogyakarta dari mulai melakukan beberapa tata cara, upacara dan juga bagaimana cara kerja abdi dalem dalam melakukan perawatan terhadap manuskrip. Peneliti juga ikut melakukan kegiatan dari awal KHP Widya Budaya dibuka sampai ditutup. 5. Deskripsi, Tema-Tema, dan Interpretasi Tujuan penelitian etnografi adalah menggambarkan dan menganalisis budaya yang dimiliki bersama oleh sekelompok individu serta membuat interpretasi tentang pola-pola yang terlihat maupun didengar. Sewaktu mengumpulkan data, etnografer pada hakikatnya sudah mulai mengerjakan
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
34
penelitiannya karena pada saat itu dia telah melakukan analisis data untuk mendeskripsikan para partisipan dan lapangan tempat budaya yang dimiliki bersama itu berada. Pada saat yang sama peneliti juga secara simultan menganalisis pola-pola tingkah laku, keyakinan, dan bahasa serta menarik kesimpulan tentang makna yang diperoleh dari pengamatan terhadap partisipan dan lapangan penelitian. 6. Konteks atau Latar Dalam etnografi, konteks berarti latar, situasi, atau lingkungan yang menaungi kelompok individu yang diteliti. Konteks ini dibentuk oleh berbagai unsur yang saling berhubungan, seperti sejarah, agama, politik, ekonomi, dan lingkungan sekitar. Konteks bisa berbentuk sebuah lokasi fisik (seperti wilayah sebuah desa, gedung-gedung sebuah sekolah, warna tembok sebuah ruangan kelas, dan sebagainya), konteks historis para individu dalam kelompok dimaksud (seperti pengalaman sekelompok prajurit selama menjalani latihan perang di sebuah hutan. Konteks yang diambil dalam penelitian ini adalah konteks berupa fisik yaitu KHP Widya Budaya dan konteks historis yaitu kearifan lokal dalam melakukan proses pemeliharaan manuskrip. 7. Refleksivitas Peneliti Dalam etnografi, refleksivitas merujuk pada kesadaran dan keterbukaan peneliti utuk membahas bagaimana dia dapat menjalankan perannya sambil tetap menghargai dan menghormati lapangan dan para partisipan. Karena penelitian etnografi menuntut peneliti tinggal dalam jangka waktu yang relatif lama di lapangan, peneliti harus memikirkan dampaknya terhadap lapangan dan para partisipan. Penelitian ini diawali dengan mengetahui kebudayaan di Keraton Yogyakarta dan perlakuan berdasarkan kearifan lokal dalam mmelakukan preservasi dan konservasi. Melalui wawancara terhadap informan, dapat diketahui simbol – simbol perlakuan yang bermakna sehingga dapat disamakan dengan makna ilmiah yang sudah ada. Selain itu, melalui observasi dan wawancara juga akan diketahui bagaimana abdi dalem sebagai pelaku budaya dapat menerima
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
35
perkembangan budaya. Dengan menggunakan teori etnografi, penelitian ini dapat mengaitkan antara cara pemeliharaan, perawatan dan perbaikan manuskrip secara kearifan lokal dan tinjauan literatur yang sudah ada sebelumnya sebagai teori. Hal ini sejalan dengan konsep Marvin Harris (1992 : p.19) bahwa kebudayaan akan menyangkut nilai, motif, peranan moral etik dan makna nya sebagai sebuah sistem sosial dan digabungkan dengan pernyataan Spradley (1997 : p.5) yaitu etnografi harus menyangkut hakikat kebudayaan yaitu sebagai pengetahuan yang diperoleh, yang digunakan orang untuk menginterpretasi pengalaman dan melahirkan tingkah laku sosial. 3.2. Informan Informan memiliki lima syarat minimal (Spradley, 1997) yaitu : enkulturisasi penuh, keterlibatan langsung, mengenal suasana budaya nya, memiliki waktu yang cukup dan non analitis. Penentuan informan kunci juga penting dalam penelitian etnografi. Informan kunci dapat ditentukan menurut konsep Benard (1994 : p.166) yaitu orang yang dapat bercerita secara mudah, paham terhadap informasi yang dibutuhkan, dan dengan gembira memberikan informasi kepada peneliti. Menurut James P. Spradle, enkulturasi penuh merupakan proses alami dalam mempelajari suatu budaya tertentu sehingga abdi dalem yang menjadi informan dirasa tepat sebagai sumber penelitian. Dalam hal ini, penelitian dilakukan dengan 6 orang abdi dalem selaku orang yang bekerja dalam KHP Widya Budaya. Abdi dalem yang menjadi informan adalah :
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
36
NO
Nama (Nama Keraton)
Jabatan di Keraton Yogyakarta
Pekerjaan
1
KRT. Purwadiningrat
Pengageng II K.H.P Widya Budaya
Pensiunan PNS
2
KRT. Rinta Iswara
Sekertaris atau Carik KHP Widya Budaya
Pensiunan Guru Sejarah
3
R.Ry Widyahadibrata
Pegawai KHP Widya Budaya
Guru Ekonomi di SMAN & Yogyakarta
4
MB. Widyasastra Pitaya
Pegawai KHP Widya Budaya
Pengelola Arsip di BPAD Yogyakarta
5
KRT. Budya Pustaka
Pegawai Restorasi KHP Widya Budaya
Pensiunan Museum Sono Budoyo
6
MP. Budyarusmandaru
Pegawai Restorasi KHP Widya Budaya
Pensiunan PNS
Tabel 3.1 Data Informan
Namun, secara umum Spradley (1997 : p.63) memberi batasan bahwa informan paling tidak harus mempunyai keterlibatan dalam suasana budaya selama satu tahun penuh. Berdasarkan dari batasan yang merupakan syarat minimal yang dari Spradley, maka peneliti memilih ke-6 informan seperti yang ada pada tabel di atas. Ke-6 informan di atas merupakan abdi dalem yang sudah berada dan bekerja pada KHP Widya Budaya lebih dari satu tahun dan cukup mumpuni dalam melakukan preservasi, konservasi maupun restorasi. Pertama adalah KRT. Purwadiningrat, beliau adalah pengageng II KHP Widya Budaya. Beliau merupakan abdi dalem yang mengetahui seluk beluk tentang Keraton Yogyakarta. Beliau sudah lama menjadi abdi dalem sehingga mengetahui sejarah Keraton Yogyakarta terutama informasi tentang manuskrip. Kedua adalah KRT. Rinta Iswara. Beliau adalah carik KHP Widya Budaya yang juga merupakan pensiunan guru sejarah yang memahami sejarah Keraton
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
37
Yogyakarta tidak hanya dari sisi guru namun dari sisi abdi dalem yang melakukan seluruh kegiatan kearifan lokal didalamnya. Ketiga adalah R.Ry Widyahadibrata. Beliau masih aktif menjadi tenaga pengajar ekonomi disalah satu SMA Negeri di Yogyakarta. Beliau bertugas memelihara dan merawat koleksi manuskrip namun pada saat penelitian, beliau sedang melakukan proses digitalisasi. Sejak ada bantuan digitalisasi dari Universitat Leipzig, beliau bertugas melakukan digitalisasi. Keahliannya dalam mendigitalisasi koleksi manuskrip dapat menjadi informasi yang penting dalam melakukan penelitian ini. Keempat adalah MB. Widyasastra Pitaya. MB Widyasastra Pitaya atau yang biasa dipanggil Pak Pitoyo adalah tenaga ahli dari BPAD Yogyakarta yang menjadi abdi dalem. Beliau masih aktif bekerja di BPAD dan juga menjadi abdi dalem di Keraton Yogyakarta. Beliau bersedia menjadi abdi dalem di KHP Widya Budaya karena beliau ditugaskan dari BPAD Yogyakarta dan beliau juga turut ingin membantu dalam proses pemeliharaan dan perawatan koleksi manuskrip. Kelima
dan
keenam
adalah
KRT.
Budya
Pustaka
dan
MP.
Budyarusmandaru. Kedua abdi dalem tersebut merupakan abdi dalem yang bertugas merestorasi manuskrip yang sudah rusak. Mereka meminta untuk memfokuskan diri dalam melakukan restorasi manuskrip agar pekerjaannya tidak terbengkalai. Mereka memilih bekerja dalam KHP Widya Budaya dengan alasan mereka merupakan pensiunan dari Museum Sono Budoyo sehingga ingin melanjutkan mengabdikan diri dalam pekerjaan yang bersifat perawatan yang berhubungan dengan budaya. 3.3. Instrumen Penelitian Untuk membantu proses pengambilan data pada kondisi manuskrip agar akurat, maka digunakan beberapa instrument sebagai pendukung penelitian. 1. ph indicator dan aquades. Cara penggunaannya : aquades diteteskan pada tepi kertas, kemudian dibiarkan selama 5 menit. Perubahan warna kertas yang ditetesi air selanjutnya dicocokan dengan kertas indicator tentang keasamannya dan dicatat skala pH nya (Clap, 1987).
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
38
2. Digital Thermo-Hygrometer (alat pengukur suhu ruangan dan kelembaban ruangan) 3. Camera Canon 1000D (alat untuk mengabadikan gambar yang ada ditempat penelitian) 3.4. Teknik Pengumpulan data Arikunto (2006 : p.129) mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan sumber data dalam penelitian adalah subjek dari mana data dapat diperoleh, untuk mengidentifikasi sumber data dapat di klasidikasi menjadi tiga tingkatan yaitu dari person (sumber data berupa orang), place (sumber data berupa tempat) dan paper (sumber data berupa simbol). Menurut Moleong (2005 : p.11) mengungkapkan bahwa data yang dihasilkan dari penelitian kualitatif adalah berupa kata – kata dan bukan angka – angka. Dengan demikian penelitian ini berisi kutipan – kutipan untuk memberikan gambaran penyajian laporan. Data dapat diperoleh dari wawancara laporan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi dan foto. Hal tersebut sejalan seperti yang dikatakan Suwardi Endraswara (2006, p.50) bahwa etnografi pada dasarnya lebih memanfaatkan teknik pengumpulan data pengamatan berperan serta (participant observation) karena etnografi lazimnya bertujuan untuk menguraikan budaya tertentu secara hilostik. Metode etnografi memiliki ciri unik yang membedakannya dengan metode penelitian kualitatif lainnya, yakni: observatory participant sebagai teknik pengumpulan data, jangka waktu penelitian yang relatif lama, berada dalam setting tertentu, wawancara yang mendalam dan tak terstruktur serta mengikutsertakan interpretasi penelitinya. Berdasarkan teori di atas, penelitian ini membagi dua sumber data dalam pengambilan data. Pertama data sekunder dan kedua adalah data primer. 3.5.1
Data Primer Data primer merupakan data yang berasal langsung dari sumber data, yang
dikumpulkan secara khusus yang berhubungan dengan permasalahan penelitian (Cooper & Emory, 1995).
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
39
Pengumpulan data primer dalam penelitian ini adalah dengan : 1.
Observasi Observasi
merupakan
teknik
pengamatan
dengan
berdasarkan
pengalaman yang memungkinkan keberadaan data dengan cara mengamati gejala – gejala yang nampak pada objek penelitian. Peneliti mengamati keseharian abdi dalem yang berada dalam KHP Widya Budaya dalam melakukan pengamatan secara langsung kemudian mencatat perilaku dan kejadian atau proses pemeliharaan, perawatan dan perbaikan serta upacara – upacara adat terhadap koleksi manuskrip secara apa adanya yang terjadi di KHP Widya Budaya. Peneliti juga melakukan pengamatan langsung pada koleksi manuskrip dengan mengukur temperatur ruangan dan kelembaban relatif dengan menggunakan digital thermohygrometer serta melakukan tingkat keasaman kertas dengan menggunakan pH indicator.
2.
In Dept Interview In dept interview adalah wawancara mendalam. Wawancara mendalam adalah teknik pengumpulan data dengan bertanya langsung kepada informan yang bersangkutan dan keterangan untuk tujuan penelitian Wawancara dilakukan dengan para abdi dalem selaku informan untuk mendapat informasi yang dibutuhkan untuk tujuan penelitian.
3. Digital etnografi Digital
etnografi
adalah
teknik
pengumpulan
data
dengan
menggunakan karena untuk memfoto kejadian – kejadian yang terjadi, dalam penelitian ini adalah memfoto dan merekam kegiatan para abdi dalem yang sedang melakukan kegiatan sehari – hari dalam pelestarian, perawatan dan perbaikan koleksi manuskrip.
3.5.2
Data Sekunder Data sekunder adalah data yang bukan diperoleh sendiri melainkan dibantu
oleh pihak lain atau media lain (Marzuki, 1995). Data sekunder dapat diperoleh
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
40
melalui penelusuran studi – studi dokumen yang terdapat ditempat penelitian dan yang ada hubungannya dengan masalah – masalah yang diteliti seperti data statistik, literatur, artikel, studi kasus dan jurnal penelitian terlebih dahulu yang sekiranya dibutuhkan dalam penelitian ini. Data sekunder yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah : 1. Netnografi adalah studi etnografi yang dikerjakan secara online atau melalui internet. Sumber data untuk penelitian ini diambil melalui internet browsing mengenai preservasi, konservasi dan restorasi. 2. Informasi yang didapat dari jurnal online ilmiah dan website – website resmi tentang Keraton Yogyakarta 3. Informasi yang didapat dari literatur dan artikel tentang kebudayaan masyarakat Yogyakarta
3.5
Teknik Analisis Data Menurut Moleong (2005 : p.248) teknik analisis data adalah penyusunan
data agar dapat ditafsirkan menyusun data berarti menggolongkan dalam pola, tema atau kategori. Tafsiran atau interpretasi artinya memberikan makna kepada analisis menjelaskan pola atau kategori mencari hubungan antara berbagai konsep. Ciri – ciri penelitian etnografi adalah analisis data yang dilakukan secara holistik. Menurut Hutomo (Sudikan, 2001 : p.85-86), ciri – ciri yang merupakan analisis data yang dilakukan secara holistik adalah : (1)Mencatat secara teliti fenomena budaya yang dilihat, dibaca lewat apapun termasuk dokumen resmi,
kemudian
mengkombinasikan,
mengabstrakan,
dan
menarik
kesimpulan, (2) analisis bersifat induktif, (3) kebenaran harus dicek dengan data lain. 1. Peneliti melakukan observasi dengan melihat hal – hal yang berkaitan dengan keseharian para abdi dalem di KHP Widya Budaya, 2. Peneliti melakukan wawancara kepada para informan dan melakukan penelitian pada sampel secara bersamaan,
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
41
3. Peneliti melihat kejadian – kejadian yang data dan menganalisis data yang diperoleh dan melakukan wawancara mendalam kepada informan tentang bahan bacaan yang diperoleh peneliti, 4. Melakukan transformasi data dari catatan – catatan yang diperoleh di lapangan, 5. Peneliti melakukan analisis terhadap tingkat kerusakan manuskrip berdasarkan sampul manuskrip, kertas dan jilidan. 6. Mengkombinasikan antara hasil wawancara kepada para abdi dalem selaku informan dengan bahan literatur yang diperoleh sebelum penelitian, 7. Peneliti mencari pola – pola umum, korelasi atau teori yang berhubungan dengan penelitian untuk menyesuaikan data lain demi memeriksa kebenaran dari data yang didapat.
3.6
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Keraton Yogyakarta tepatnya di Kawedanan
Ageng Punakawan Widya Budaya yang merupakan tempat penyimpanan naskah milik Keraton Yogyakarta dengan berbagai subjek judul yang berada di sudut tenggara kompleks induk Keraton Yogyakarta. Penelitian ini dilakukan secara berkala. Pertama dilakukan pada bulan Desember 2011 selama kurang lebih dua minggu dan penelitan yang kedua dilakukan pada Bulan Januari 2012 selama kurang lebih tiga minggu.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
BAB 4 PEMBAHASAN DAN ANALISIS
Pada bab pembahasan dan analisis ini, dipaparkan bagaimana kearifan lokal pada kehidupan para abdi dalem yang tercermin dalam melakukan pemeliharaan manuskrip. Pemeliharaan manuskrip tersebut mencakup preservasi dan juga konservasi. Namun, restorasi secara modern juga akan dibahas karena walaupun alat – alat canggih sudah masuk tapi pelaku restorasi adalah para abdi dalem yang nota bene adalah orang yang tidak memiliki pendidikan khusus dibidang manuskrip atau bidang preservasi dan konservasi. Dalam penelitian ini, diambil enam judul manuskrip yang merupakan dua jenis kertas yang berbeda tahun pembuatannya yang merupakan bukti atau cerminan perlakukan preservasi dan konservasi berdasarkan kearifan lokal. Diharapkan akan terlihat bagaimana pemeliharaan dan perawatan secara kearifan lokal setempat yang menjadi isu dalam penelitian ini. Dengan modal suatu tradisi secara kearifan lokal setempat, akan dibuktikan bahwa pemeliharaan dan perawatan yang sederhana dapat menghasilkan pelestarian yang baik. Dalam bab pembahasan dan analisis ini, pertama akan dibahas tentang sekilas kehidupan di Keraton Yogyakarta. Melalui pembahasan ini, akan terlihat bagaimana kehidupan di Keraton Yogyakarta beserta rakyat atau pelaku kehidupan yaitu abdi dalem. Pada pembahasan ini, akan terlihat bagaimana abdi dalem sebagai pelaku kebudayaan sangat menjunjung tinggi kearifan lokal. Kedua akan dibahas tentang lingkungan Tepas KHP Widya Budaya sebagai tempat penelitian. Melalui pembahasan ini, akan terlihat gambaran suasana dan lingkungan tempat penelitian sebagai tempat penyimpanan manuskrip. Ketiga akan dibahas tentang preservasi dan konservasi berdasarkan kearifan lokal di KHP Widya Budaya. Melalui pembahasan ini akan terlihat bagaimana para abdi dalem sebagai pelaku kebudayaan memperlakukan manuskrip dan melakukan upaya perbaikan terhadap manuskrip yang rusak. Keempat, akan dibahas tentang
42 Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
43
pengaruh modernisasi dan perlakuan modern di tengah kearifan lokal. Pembahasan ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pihak Keraton Yogyakarta menerima globalisasi dengan adanya modernisasi. Selain itu, pembahasan ini juga bertujuan untuk menganalisa bagaimana para abdi dalem melakukan kegiatan menggunakan alat – alat yang sudah modern dengan keterbatasan pendidikan tentang restorasi. Melalui pembahasan tersebut, akan terlihat bagaimana keraton menjaga budaya tradisionalnya di dalam lingkungan perpustakaan yang nota bene merupakan lambang pengetahuan, logika dan nalar. Dalam penelitian ini, dapat diketahui mengapa keraton tetap mempertahankan tradisinya dalam melakukan preservasi dan konservasi dan bagaimana pengaruhnya terhadap kemajuan teknologi yang kemungkinan akan membuat kondisi manuskrip lebih baik. Selain itu, pembahasan ini bertujuan untuk mengetahui cara kearifan lokal apa saja yang masih digunakan dan cara modern apa saja yang sedang berjalan atau digunakan. 4.1. Sekilas tentang Keraton Yogyakarta Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat atau Keraton Yogyakarta merupakan istana resmi Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang berlokasi di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Walaupun kesultanan tersebut secara resmi telah menjadi bagian Republik Indonesia pada tahun 1950, kompleks bangunan keraton ini masih berfungsi sebagai tempat tinggal sultan dan rumah tangga istananya yang masih menjalankan tradisi kesultanan hingga saat ini (Chamamah Soeratno et. Al., 2004). Keraton yang menghasilkan budaya adi luhung 1 dengan ciri khasnya berusaha untuk dipertahankan dan disebarkan untuk batas-batas tertentu. Diseminasi budaya keraton kepada masyarakat tidak dilakukan apa adanya akan tetapi sebagian. Keraton masih perlu untuk mempertahankan ciri khas budayanya untuk kalangan keraton sendiri. Eksklusivitas budaya yang dijaga ini dapat dipandang dari dua sisi, yakni dari sisi subyek bangsawan keraton dan kedua dari sisi obyek budaya keraton. Sementara, dari sisi budayanya, eksklusifitas dapat dipahami karena untuk menjaga 1
Adi luhung adalah elite culture atau budaya elite. Dalam hal ini adalah kalangan bangsawan dengan mutu tinggi.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
44
kemurnian (purification). Apabila semua budaya Keraton disebarkan maka keaslian budaya akan kesulitan dilacak kembali. Dalam hal ini, penyebaran akan berarti perubahan. Budaya dapat diibaratkan sebagai sebuah air yang akan demikian mudah berubah mengikuti tempatnya. Konteks di sini adalah lingkungan masyarakat yang menerima sebuah budaya. Dengan demikian tingkat kualitas dan kuantitas penyebaran budaya keraton akan mengikuti pembagian wilayah keraton. Semakin jauh dari pusat kebudayaan, yakni keraton, maka pengaruh budaya keraton akan semakin menipis (Majalah Ilmiah Kebudayaan Volume I, Lembaga Studi Jawa, 1997). Dalam melakukan kebudayaan, penyebaran budaya dan interaksi sosial, Keraton Yogyakarta memiliki pelaku budaya yaitu abdi dalem. Abdi dalem adalah orang yang mengabdi pada keraton. Abdi dalem sendiri adalah pelaku budaya. Terlihat pada saat penelitian, para abdi dalem sangat mencintai pekerjaannya dan juga mencintai keraton. Semua itu terbukti dari bagaimana sikap dan sifat yang selalu ramah kepada pengunjung yang hadir. Selain itu, sikap yang sopan dan perlakuan yang tradisional tetap dijunjung tinggi para abdi dalem. Abdi dalem merupakan orang yang mengabdikan dirinya untuk kerabat keraton dan mengabadikan sepenuh hati untuk Raja Kasultanan Ngayogyokarto Hadiningrat dengan segala aturan yang ada. Keunikan abdi dalem terlihat dari pakaian yang dikenakan. Abdi dalem identik dengan pakaian luriknya dengan garis corak lurik tiga per empat biru, kancing di leher yang berjumlah enam, dan kancing lengan tangan yang berjumlah lima. Begitu juga abdi dalem yang bekerja di tepas KHP Widya Budaya, walaupun bekerja merawat manuskrip dan memperbaiki manuskrip namun para abdi dalem tetap menggunakan pakaian khas abdi dalem tersebut. K.R.T Rinta Iswara selaku carik dan juga informan mengatakan : “Para abdi dalem mendapatkan gelar dari Keraton dan mendapatkan pendidikan. Hal ini untuk menandakan bahwa mereka adalah benar-benar abdi dalem Keraton Yogyakarta yang memahami segala adat dan peraturan Keraton.” KRT Rinta Iswara juga menambahkan,
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
45
“Bagi para abdi dalem, mengabdi pada keraton adalah panggilan jiwa. Menjadi abdi dalem akan mendapatkan berkah dari Keraton, baik berkah dalam kehidupan, rejeki, anak, dan lainnya.” Selain itu, MB. Widyasastra Pitaya selaku abdi dalem yang bertugas melakukan preservasi dan konservasi di KHP Widya Budaya juga mengatakan bahwa : “Setiap warga Yogyakarta ingin sekali menjadi abdi dalem keraton dengan tulus dan ikhlas. Bahkan dengan gaji sekitar Rp.15.000 sampai Rp. 80.000, kami tetap melakukan pekerjaan dengan ikhlas” Keraton Yogyakarta yang tidak hanya melaksanakan fungsinya sebagai wahana pelestarian budaya juga melakukan interaksi terhadap masyarakat sebagai wujud rasa sosial yang tinggi, contoh nyatanya adalah hal- hal yang terjadi belum lama ini, bahwa 40 ribuan warga melakukan pisowanan ageng ke Keraton Yogyakarta. Menurut Gregorius Sahdan, pisowanan ageng ini merupakan tradisi baru dalam konteks hubungan kawula lan gusti di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dari semua ini terlihat jelas bahwa Keraton Yogyakarta melaksanakan peran sosialnya. Secara fisik, Keraton Yogyakarta Sultan Yogyakarta memiliki tujuh kompleks inti yaitu Siti Hinggil Ler (Hall Utara), Kamandhungan Ler (Kamandhungan Utara), Sri Manganti, Kedhaton, Kamagangan, Kamandhungan Selatan (Kamandhungan Selatan), dan Siti Hinggil Selatan (Hall selatan). Selain itu Keraton Yogyakarta memiliki berbagai warisan budaya baik dalam bentuk upacara dan benda-benda kuno dan bersejarah. Di sisi lain, keraton juga merupakan institusi tradisional lengkap dengan pemangku kepentingan adat. Nilai-nilai filsafat serta mitologi mengelilingi Keraton Yogyakarta, sehingga Keraton Yogyakarta menjadi pusat tradisi dan menjadi kiblat bagi masyarakat sekitar untuk tetap menggunakan kearifan lokal dalam melakukan keseharian. Tata kenegaraan yang berbentuk kerajaan muncul pertama kali di Indonesia dalam satu perangkat dengan unsur-unsur budaya lain dari India seperti bahasa, aksara, seni dan tata masyarakat pada umumnya. Konsep mengenai pemimpin Negara
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
46
yang demikian membawa pada pemusatan kekuasaan kenegaraan di dalam tokoh raja (Edi Sedyawati, 2010).
Sumber : Buku Panduan Wisata Keraton Yogyakarta
Gambar 4.1 Denah Keraton Yogyakarta
Keraton Yogyakarta kini juga merupakan salah satu objek wisata di Kota Yogyakarta. Sebagian kompleks keraton merupakan museum yang menyimpan berbagai koleksi milik kesultanan, termasuk berbagai pemberian dari raja-raja Eropa, replika pusaka keraton, manuskrip dan gamelan. Pusaka di Keraton Yogyakarta disebut sebagai Kagungan Dalem (harfiah=milik Raja) yang dianggap memiliki kekuatan magis atau peninggalan keramat yang diwarisi dari generasigenerasi awal. Kekuatan dan kekeramatan dari pusaka memiliki hubungan dengan asal usulnya, keadaan masa lalu dari pemilik sebelumnya atau dari perannya dalam kejadian bersejarah. Dalam lingkungan keraton, pusaka dapat dalam bentuk baik benda nyata ataupun pesan yang terdapat dalam sesuatu yang lebih abstrak seperti penampilan. Baik nilai sejarah spiritual dan fungsional berdekatan dengan Sultan dan kebijaksanaanya. Pusaka merupakan sebuah aspek budaya Keraton Yogyakarta. Sebagai sebuah lembaga yang terdiri dari Sultan dan keluarganya, termasuk keluarga besarnya yang disebut dengan trah, dan pejabat atau pegawai kerajaan atau istana, keraton memiliki peraturan mengenai hak resmi atas orang yang akan mewarisi benda pusaka. Pusaka memiliki kedudukan yang kuat dan
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
47
orang luar selain di atas tidak dapat dengan mudah mewarisinya. Keberadaaannya sebanding dengan keraton itu sendiri. Wujud benda pusaka di Keraton Yogyakarta bermacam-macam. Bendabenda tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (1) Senjata tajam; (2) Bendera dan Panji kebesaran; (3) Perlengkapan Kebesaran; (4) Alat-alat musik; (5) Alat-alat transportasi; (6) Manuskrip, babad (kronik) berbagai karya tulis lain; (7) Perlengkapan sehari-hari; dan (8) Lain-lain (K.P.H Brongtodiningrat, dalam “Arti Keraton Yogyakarta). Ada satu contoh manuskrip yang kemudian menjadi benda pusaka yang sangat keramat yaitu Manuskrip Suryo Rojo yang artinya adalah Suryo = Matahari ; Rojo = Raja yang jika isinya adalah ajaran-ajaran raja. Manuskrip tersebut merupakan manuskrip khusus yang pernah mengalami kejadian mistik sebelumnya sehingga dijadikan benda pusaka. Berbagai naskah kuno yang merupakan kekayaan budaya masa lampau saat ini tersebar di seluruh Nusantara. Media yang dipergunakan untuk menulis karya intelektual yang luar biasa tersebut adalah daun lontar, kertas daluang atau dluwang, bambu atau kulit kayu. Dengan demikian, keberadaan kertas sebagai media karya intelektual dalam kehidupan manusia cukup penting. Karena selain sebagai dokumen pencatat ilmu pengetahuan, kertas juga berfungsi media untuk promosi perdagangan, sarana untuk menyampaikan pikiran serta gagasan, dan lain sebagainya. Di atas permukaannyalah terletak berbagai informasi yang ingin disampaikan, misalnya tulisan atau gambar. Terkait dengan hal tersebut, manuskrip yang ada di Keraton Yogyakarta khususnya yang dimiliki KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta sangat menarik untuk diteliti dibandingkan dengan tempat penyimpanan manuskrip lainnya karena banyaknya judul dari tema agama sampai sastra dan dengan berbagai periodisasi manuskrip itu sendiri yang membutuhkan perawatan beserta pelestarian khusus. 4.2. Kondisi Lingkungan Tepas KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta Kawedanan Hageng Punakawan atau disingkat dengan KHP berada dibawah pimpinan Kawedanan Hageng Punakawan Nitya Budaya. Kawedanan
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
48
Hageng Punakawan Widya Budaya merupakan tempat penyimpanan koleksi manuskrip, arsip keraton dan buku – buku langka. Koleksi tersebut merupakan koleksi milik Keraton, terutama manuskrip. Perpustakaan Keraton Yogyakarta menyimpan berbagai khasanah budaya, antara lain berupa manuskrip-manuskrip lama yang jumlahnya ratusan. Karya sastra tersebut masih jarang diteliti, sehingga belum banyak dikenal dan diketahui isi kandungan atau pesan-pesan yang ada di dalamnya. Manuskrip-manuskrip lama yang terdapat di perpustakaan Keraton Yogyakarta
itu
diperlakukan
sebagaimana
benda-benda
pusaka
yang
dikeramatkan. Beberapa diantaranya bahkan tidak dapat diakses kecuali oleh Ngarsa Dalem, seperti Naskah Surya Raja. Naskah ini mendapat gelar kehormatan khusus dengan sebutan Kanjeng Kyai Surya Raja dan hanya dikeluarkan setahun sekali pada bulan syura untuk diadakan upacara pasiraman atau pembersihan. Naskah lain yang juga dikeramatkan seperti naskah Bratayuda dan Kanjeng Kyai Al Qur’an (Santoso,2009). Lingkungan KHP Widya Budaya merupakan tempat yang tersembunyi dari
hingar
bingar
pengunjung
Keraton
Yogyakarta.
Wisatawan
tidak
diperkenankan untuk masuk karema ditakutkan ada koleksi yang hilang tau rusak. Menurut informan, hanya peneliti yang memiliki izin saja yang diperkenankan masuk. Penjelasan tersebut didukung dengan adanya tulisan “DILARANG MASUK” (lihat foto 4.1) pada pintu masuk. Keramaian di Keraton Yogyakarta dimulai sekitar pukul 09.00 karena Keraton Yogyakarta juga merupakan museum yang dibuka untuk umum. Abdi dalem mulai tampak berseliweran sejak pukul 07.00. Suasana lingkungan KHP Widya Budaya cenderung sunyi, bukan karena tidak banyak pengunjung yang ingin melihat tempat tersebut tetapi karena ada larangannya. Ada beberapa abdi dalem yang sengaja menjaga disekitar tempat tersebut agar tidak dimasuki sembarang orang. Di balik kesunyiannya KHP Widya Budaya, tersimpan sumber informasi dan nilai historis yang tinggi dengan adanya koleksi manuskrip, arsip dan buku – buku langka.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
49
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.1 Pintu masuk KHP Widya Budaya
Berdasarkan sejarah pada masa pemerintahan Sultan Hamengkubuwono ke-II, penjajah Inggris dibawah Gubernur Thomas Stamford Raffles menyerbu Keraton Yogyakarta, akibatnya banyak benda pusaka yang dijarah seperti emas dan kekayaan intelektual lainnya yaitu manuskrip dari masa Hamengkubuwono ke-I dan Hamengkubuwoni ke-II yang kemudian dibawa ke Inggris pada tahun 1812. Demi menjaga keamanan dan isi intelektual Keraton Yogyakarta, maka KHP Widya Budaya kemudian tidak diperuntukan masyarakat umum yang tidak memiliki kepentingan. Berdasarkan wawancara, abdi dalem yang bertugas di bidang keamanan hanya masuk satu kali dalam dua bulan. Alasannya, karena setiap menjaga keraton maka akan bertugas selama 24 jam penuh sehingga butuh istirahat yang lama. Meskipun abdi dalem tersebut bekerja di bidang keamanan, namun penampilan dan kesopanan sama dengan abdi dalem lainnya. Pada saat penelitian berlangsung, bertepatan dengan kedatangan salah satu kampus dari Maluku. Beberapa mahasiswa penasaran ingin melihat gedung di dalam, namun dengan sopan abdi dalem tersebut menegur dan memberi tahu bahwa area KHP Widya Budaya tidak diperbolehkan untuk dimasuki. Dilingkungan KHP Widya Budaya sendiri terdapat beberapa bangunan. Bangunan pertama adalah tepas keamanan. Tepas keamanan merupakan kantor para abdi dalam yang bekerja di bidang keamanan. Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
50
Sumber :Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.2 Tepas Keamanan
Terlihat ada beberapa abdi dalem sedang memainkan gending dan juga membersihkan alat musik tersebut. Selain itu ada beberapa abdi dalem yang membersihkan peralatan keris dan juga senjata tradisional lainnya. Untuk memasuki KHP Widya Budaya, terdapat pintu gerbang berwarna hijau yang menjadi pemisah antara tepas keamanan dan KHP Widya Budaya.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.3 Pintu Pemisah antara KHP Widya Budaya dan Tepas Keamanan
Ketika masuk ke area KHP Widya Budaya, terdapat sebuah bangunan kecil yang merupakan tempat penyimpanan barang atau gudang. Letak bangunan kecil ini tetap di tempat penyimpanan koleksi bahan pustaka.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
51
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.4 Gudang Depan
KHP Widya Budaya tidak berdiri sendiri, namun terdapat beberapa bangunan lain yang mengelilinginya. Walaupun berada dalam satu lingkungan namun sesungguhnya KHP Widya Budaya dan tepas keamanan merupakan bangunan yang berbeda. Selain bangunan yang berbeda, keduanya adalah jenis tepas yang berbeda. Namun karena KHP Widya Budaya tidak diperkenankan untuk umum maka didampingi dengan tepas keamanan yang juga tidak diperkenankan untuk umum. Berdasarkan observasi, lingkungan KHP Widya Budaya merupakan tempat yang sejuk. Terdapat beberapa pepohonan besar yang rindang dan juga rumput – rumput yang membuat lingkungan KHP Widya Budaya sejuk dan tentram. Pepohonan tersebut menguntungkan bagi tempat penyimpanan manuskrip, karena pepohonan dapat membantu menetralkan fluktuasi udara. Selain itu, pohon dan tanaman dapat menjadi pengganti kipas atau pendingin ruangan karena pepohonan dapat membuat sejuk ruangan manuskrip yang berada di depan. Tepas KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta sesungguhnya adalah perpustakaan Keraton Yogyakarta. KHP Widya Budaya merupakan tempat penyimpanan manuskrip, arsip dan buku langka. Walaupun tersimpan media lain selain manuskrip, namun orang – orang lebih mengenal bahwa KHP Widya Budaya adalah tempat penyimpanan manuskrip. Kasanah perpustakaan Keraton
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
52
Yogyakarta dikelola oleh abdi dalem Keraton yang dipimpin oleh seorang pengageng loro dengan pangkat Kanjeng Raden Tumenggung (KRT). Mereka bukan pustakawan dan tidak mempunyai latar belakang pendidikan maupun pelatihan kepustakawanan. Dengan demikian para abdi dalem tesebut tidak mempunyai pengetahuan untuk mengelola sebuah perpustakaan. Para abdi dalem yang kebanyakan usianya sudah tua-tua itu digaji sangat kecil sebagaimana para abdi dalem yang lain. KHP Widya Budaya bukan merupakan tempat umum atau tempat yang dapat dikunjungi setiap orang. Hanya pengunjung yang memiliki izin yang diperkenankan masuk. Pengunjung yang diperkenankan datang ke KHP Widya Budaya kebanyakan adalah peneliti yang bertujuan ingin meneliti manuskrip dan Keraton Yogyakarta. Menurut K.R.T Rinta Iswara, hal tersebut karena KHP Widya Budaya merupakan pusat informasi. Selain merupakan tempat informasi, KHP Widya Budaya merupakan tempat yang memili nilai historis karena manuskripnya. KHP Widya Budaya merupakan tempat yang penting untuk dikunjungi, karena selain memiliki manuskrip dan buku langka, tempat ini sangat sejuk karena di kelilingi pepohonan yang rindang. KHP Widya budaya merupakan tempat yang cukup megah namun tetap terlihat sisi tradisional Jawa nya karena furniture yang digunakan. Bangunannya cukup luas dan sangat nyaman. Posisi bangunan tersebut membelakangi matahari, sehingga menjadi tempat yang cukup bagus dalam penyimpanan bahan pustaka karena menurut Harvey (1990 : p.34) cahaya akan mempercepat oksidasi dari molekul selulosa sehingga ikatan kimia pada molekul tersebut terputus. KHP Widya budaya memiliki tiga ruangan berpintu dan satu ruangan tidak berpintu. Ruangan berpintu maksudnya ruangan yang memiliki pintu sehingga dapat dibuka dan ditutup sedangkan ruangan tidak berpintu adalah ruangan yang tidak memiliki pintu namun diberi sekat sehingga memiliki pembatas antara satu ruangan dengan ruangan lain. Berikut adalah denah ruangan manuskrip.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
53
Sumber : Larasati, 2012
Gambar 4.2 Denah Ruangan Manuskrip
Keterangan : X
= pintu = pembatas KHP Widya Budaya memiliki ruang khusus untuk menyimpan manuskrip.
Ruang tersebut dirasa tetap diletakan di bagian depan karena berada di dekat pepohonan dan depannya terdapat gudang sehingga dapat menjadi penghalang matahari secara langsung. Selain itu, penggunaan kayu dengan desain jaman dulu dapat menjadi kelebihan karena membuat ruangan menjadi sejuk. Selain
ruang
penyimpanan
koleksi
manuskrip,
terdapat
ruang
penyimpanan peta (lihat gambar 4.5) yang merupakan tempat penyimpanan peta, beberapa buku langka dan buku yang sudah didigitalisasi. Ruang tersebut diisi dengan empat buah lemari kaca dan satu buah box kaca (lihat gambar 4.6).
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
54
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.5 Ruang Penyimpanan Peta
Ruang penyimpanan peta merupakan ruang yang tidak berpintu. Ruang tersebut berukuran 4,5 m x 3 m. Di dalam ruang penyimpanan peta terdapat 2 buah lampu neon panjang yang berfungsi sebagai cahaya. Jika lampu tidak dimatikan, maka keadaan ruangan sangat gelap karena tidak ada cahaya matahari yang masuk.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.6 Lemari Kaca dan Box Kaca
Seharusnya, ruang penyimpanan peta memiliki udara yang baik sehingga tidak terlalu lembab. Menurut penelitian, ruangan ini terasa lembab dikarenakan tidak banyak udara yang masuk dan selalu gelap. Namun, lemari kayu dan box kaca sebagai tempat penyimpanan peta sudah cukup baik karena peletakan koleksinya tidak bertumpuk dan disusun dengan rapi. Koleksi buku langka dan buku yang sudah didigitalisasi diletakan berjarak dan tidak terlalu rapat sedangkan Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
55
peta dimasukan ke dalam tabung pipa yang terbuat dari plavon agar terhindar dari silverfish. KHP Widya Budaya memiliki dua ruang baca. Ruang pertama adalah ruang baca inti. Ruang baca inti terletak di paling depan. Dulu ruang baca tersebut digunakan untuk para abdi dalem atau tamu yang ingin membaca, namun ruang tersebut kurang sejuk dan cukup panas karena letaknya tepat menghadap matahari.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.7 Ruang Baca Inti
Selain sebagai tempat baca, ruang baca tersebut juga digunakan sebagai tempat digitalisasi. Proses digitalisasi dilakukan di ruang tersebut karena ruang tersebut sudah jarang digunakan. Ruang baca inti merupakan ruang berpintu yang berukuran 7,5 cm x 5 cm dengan dua pintu dan enam belas jendela kaca. Jendela kaca pada ruang ini mengakibatkan suhu menjadi panas dan pengap. Selain itu, ruangan ini semakin panas karena menghadap matahari dan tidak ada pendingin ruangan sehingga menjadi lebih panas. Ruang baca yang kedua adalah ruang inti. Sesungguhnya ruang tersebut bukan merupakan ruang baca yang sesungguhnya. Namun abdi dalem maupun tamu lebih nyaman duduk diruang ini karena udaranya yang sejuk dan tidak panas.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
56
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.8 Ruang Inti
Ruang seluas 5 m x 7,5 m ini hanya dilapisi dengan karpet berwarna hijau agar pengguna manuskrip dapat membaca dengan nyaman. Ruang ini dilengkapi dengan enam lampu neon panjang dan satu kipas angin. Namun lampu tersebut jarang dinyalakan. Ruang baca ini sangat sejuk karena letaknya ditengah dimana semua pintu dibuka menghadap ke luar sehingga banyak udara dan angin yang masuk. Ruang baca yang baik seharusnya memiliki tingkat kenyamanan yang tinggi. Selain sejuk, ruang baca tersebut harus memiliki suasana yang bagus. Dulu ruang baca inti dibuat dengan beberapa kaca karena sebelumnya ruang baca tersebut sering digunakan. Selain itu ruang baca inti terlihat mewah dengan kaca – kaca dan ukiran dindingnya karena ruang baca inti tempat untuk menerima tamu penting yang berkunjung untuk melihat koleksi manuskrip. KHP WIdya Budaya memiliki ruang restorasi khusus yang mana sangat dimanfaatkan dengan baik. Ruangan belakang yang berukuran 4,5 m x 4,5 m memiliki 2 pintu yaitu depan dan belakang dan 1 jendela yang selalu dibuka. Suhu di ruangan ini juga bergantung pada dibuka tutupnya pintu dan jendela. Ruangan ini sangat sejuk karena tepatnya dibelakang dan banyak terkena angin sepoi-sepoi dari pepohonan.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
57
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.9 Ruang Restorasi
Ruangan ini memiliki 4 buah lampu neon panjang sebagai penerangan. Ruang ini sengaja dipisah agar dapat dikhususkan sebagai pusat restorasi. KHP Widya Budaya sangat tepat memiliki ruang restorasi dan mengkhususkan ruang tersebut. Ruang tersebut harus dibuat terpisah karena banyak zat kimia yang kurang baik untuk koleksi bahan pustaka. Selain itu, alat – alat yang ada untuk melakukan restorasi sudah cukup lengkap. Di dalam lingkungan KHP Widya Budaya juga terdapat sebuah ruang penyimpanan arsip statis (lihat gambar 4.10) dan gudang (lihat gambar 4.11) penyimpanan barang yang sudah tidak terpakai. Letaknya terpisah dari gedung utama namun masih merupakan wilayah KHP Widya Budaya. Kondisi ruangan arsip statis terlihat tidak memenuhi standar karena tidak sesuai dengan KEPUTUSAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 03 TAHUN 2000 TENTANGSTANDAR MINIMAL GEDUNG DAN RUANG PENYIMPANAN ARSIP INAKTIF yang menyatakan bahwa : “ 6.3.1 Untuk mengatasi masalah suhu dan kelembaban secara teknis dapat dilakukan dengan cara : (6.3.1.1) Pemeriksaan secara periodik menggunakan alat higrometer ; (6.3.1.2) Menjaga sirkulasi udara berjalan lancar; (6.3.1.3) Menjaga suhu udara tidak lebih dari 27 0 C dan kelembaban tidak lebih dari 60 %; (6.3.1.4) Rak arsip yang digunakan harus dapat menjamin sirkulasi udara yang cukup; (6.3.1.5) Hindari penggunaan rak yang padat; (6.3.1.6) Menjaga langit-langit, dinding dan lantai tidak berlobang dan tetap rapat; (6.3.1.7) Pondasi didesain untuk menjaga uap atau udara lembab naik ke tembok karena daya resapan
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
58
kapiler; (6.3.1.8) Hindari menanam pohon dan kayu-kayuan di dekat gedung; (6.3.1.9) Menjaga ruang agar tetap bersih dari kontaminasi gas/lingkungan agar tidak mudah timbul jamur yang akan merusak arsip”
Kelembaban ruang arsip lebih dari 60% dan sirkulasi udara tidak berjalan lancar, namun kotak penyimpanan arsip sudah memenuhi persyaratan KEPUTUSAN KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2000 TENTANG STANDAR BOKS ARSIP KEPALA ARSIP NASIONAL REPUBLIK INDONESIA yaitu arsip diletakan dirak dan dimasukan ke dalam kotak kardus khusus arsip. Lubang ventilasi udara untuk boks besar berdiameter 3 cm, untuk boks kecil berdiameter 2.5 cm.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012 Foto 4.10 Depo Arsip Statis
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.11 Gudang
Di KHP Widya Budaya, antara manuskrip dan arsip peletakkan nya berbeda.
Arsip
Keraton
Yogyakarta
memiliki
ruang
khusus
dalam
penyimpanannya. Berdasarkan wawancara dengan informan, penempatan arsip Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
59
harus dipisah karena arsip keraton sangat banyak dan umurnya sudah ratusan tahun (terhitung dari abad ke-18). Selain itu, arsip harus disimpan pada kotak kardus tersendiri. Berdasarkan penelitian, suasana maupun kondisi di KHP Widya Budaya sangat kental sekali dengan kebudayaan yang ada. Kondisi tersebut tercermin pada kondisi bangunan di sekitar KHP Widya Budaya dan di dalam KHP Widya Budaya itu sendiri. Cerminan tersebut juga didukung dengan bagaimana perilaku abdi dalem dan abdi dalem yang bertugas di Keraton Yogyakarta sehingga suasana tradisionalnya terlihat kental. 4.3. Kearifan Lokal Kehidupan di Tepas KHP Widya Budaya Di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta, yang juga menjadi tempat tinggal Sri Sultan Hamengkubuwono X, budaya masyarakat zaman dulu dapat terlihat secara luas. Hal itu karena para penghuni yang kebanyakan abdi dalem masih mengusung dan melestarikan tradisi budaya Jawa kuno. Tradisi budaya Jawa kuno kebanyakan berdasarkan kearifan lokal. Kearifan lokal di lingkungan Keraton Yogyakarta merupakan penguat suatu kebudayaan dan pelindung suatu lingkungan hidup. Kearifan lokal dianggap mampu menjadi pembatas dan juga pengendali masuknya budaya modern. Undang – Undang PPLH No. 32 tahun 2009 juga mengakui bahwa kearifan lokal adalah nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari. Seperti contohnya melakukan proses perawatan dan juga perbaikan terhadap manuskrip. Dalam melakukan pemeliharaan manuskrip, para abdi dalem selaku pemelihara atau konservator dan preservator menganggap dan memperlakukan manuskrip layaknya benda pusaka lainnya. Sebelum melakukan pemeliharaan, abdi dalem biasanya melakukan suatu ritual yaitu caos sedahar. Caos sedahar tersebut merupakan ritual mohon izin terhadap penunggu manuskrip. Pelestarian alam dan kelangsungan kehidupan di muka bumi yang senantiasa membutuhkan sinergi dan keberlangsungan yang berkelanjutan, sangat mungkin diwujudkan dengan menguatkan pertalian antara kearifan lokal dan kepentingan kehidupan modern manusia sekarang ini.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
60
Orang Jawa termasuk masyarakat di Keraton Yogyakarta percaya adanya tempat – tempat yang sakral, termasuk tempat yang wingit (Ign.Gatut, 2012 : p.13). Agar terlindung dari bencana dan juga mendapat keselamatan maka mereka akan memberi sajen sesuai kesukaan dhanyang setempat. Dalam rangka menjaga keselamatan, orang Jawa bisa minta tolong kepada dhanyang setempat dengan memberi sajen secara berkala. Namun, bagi abdi dalem yang bertugas di KHP Widya Budaya, ritual atau pemberian sajen adalah rasa hormat dan menghargai untuk penjaga yang tidak nampak. Ini tidak berarti para abdi dalem tidak percaya akan Tuhan, namun kebudayaan yang sudah turun temurun sehingga ritual – ritual atau sajen dirasa perlu diberikan karena setiap tempat dan setiap benda ada nenek moyang yang menunggu dan harus dihormati. Pada wawancara dengan Pak Pitaya dan Pak Puji terkait dengan pentingnya caos sedahar dan pemberian sajen maka mereka menjawab : “Kami percaya di setiap titik di Keraton Yogyakarta dan di setiap benda pasti ada penunggunya. Semua ini terbukti dengan adanya kejadian – kejadian aneh. Contohnya ada manuskrip yang terbuka sendiri atau ada kejadian mahasiswa yang sakit setelah membuka manuskrip tanpa izin. Yah,percaya tidak percaya.” Diperlukan komunikasi yang baik dan transfer informasi yang bijak mengenai kajian kearifan lokal setiap masyarakat di mana pun komunitas tersebut ada. Tujuannya agar terdapat informasi yang jelas maksud dan tujuan tentang latar belakang munculnya suatu kearifan lokal dalam hal ini khususnya yang menyangkut
lingkungan
hidup.(http://intenarsriani.wordpress.com/2011/10/23/kearifan-
lokal-bukan-tanpa-makna/).
Masing – masing abdi dalem yang bertugas di KHP Widya Budaya berbeda latar pendidikannya dan juga latar pekerjaannya. K.R.T Rinta Iswara yang juga seorang pensiunan guru bertugas mengawasi abdi dalem yang melakukan preservasi hingga restorasi dan juga melakukan proses salin ulang pada manuskrip yang sudah rusak, R.Ry Widya Hadibrata yang merupakan seorang guru ekonomi melakukan perawatan terhadap manuskrip dan sesekali melakukan digitalisasi, MB Widyasastra Pitaya yang seorang pegawai BPAD Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
61
melakukan preservasi dan konservasi pada manuskrip, sedangkan KRT Budya Pustaka dan MP. Budyarusmandaru yang merupakan pensiunan dari Museum Sono Budoyo melakukan restorasi. Kegiatan di KHP Widaya Budaya dimulai pada pukul 09.00. Abdi dalem mulai melakukan kegiatan dan tugas nya masing – masing dengan interaksi yang khas dan membuat suasana tradisional terlihat. Dilatarbelakangi musik gending jawa, para abdi dalem tersebut khusyuk melakukan tugasnya masing – masing. Jika ada komunikasi yang dibutuhkan, maka mereka melakukan komunikasi secara berdekatan. Seperti contohnya ketika ada manuskrip yang ingin dikeluarkan. Pak Pitaya selaku abdi dalem yang memiliki tingkat yang lebih rendah dari Pak Rinta menghampiri dengan sangat sopan. Pak Pitaya berjalan jongkok sebanyak tiga langkah dan melakukan percakapan dengan nada suara yang rendah dan menggunakan bahasa krama hinggil. Setelah pembicaraan selesai, maka Pak Pitaya kembali bangun dan melakukan jalan jongkok sebanyak tiga langkah dengan menghadap Pak Rinta kemudian berdiri meninggalkan Pak Rinta. Setiap melakukan komunikasi dengan yang lebih tua, sikap sungkan selalu ada bagi abdi dalem yang lebih muda. Sikap sungkan tersebut juga terjadi setiap saat seperti halnya mengeluarkan manuskrip. Pada saat penelitian berlangsung, ada beberapa rangkaian acara yang akan dibuat oleh Keraton Yogyakarta salah satunya adalah acara sekaten. Acara tersebut merupakan rangkaian acara adat yang mana akan melibatkan banyak abdi dalem dan juga benda – benda pusaka termasuk manuskrip. Upacara sekaten berupa upacara sesaji selamatan atau permohonan keselamatan bagi roh leluhur. Ciri khas yang sangat terlihat pada saat persiapan acara tersebut adalah bagaimana mereka berkomunikasi satu sama lain. Pak Rinta terlihat sibuk mengetik dan mempersiapkan acara tersebut. Persiapan tersebut mencakup birokrasi dan hal yang berhubungan dengan surat menyurat. Sedangkan abdi dalem lain menyiapkan alat – alat untuk upacara adat dan juga mengeluarkan beberapa manuskrip untuk digunakan pada upacara grebeg dan siraman pusaka. Beberapa manuskrip tersebut adalah Al – Quran, Serat Brantayuda dan beberapa Serat
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
62
Babad. Dikeluarkannya manuskrip – manuskrip tersebut secara tidak langsung juga merupakan preservasi. Manuskrip tersebut di lap dan juga dijemur di luar agar sampul nya tidak bau dan mendapat udara karena kebanyakan sampul manuskrip tersebut adalah terbuat dari kulit sapi. Tradisional dan kearifan lokal terlihat dari bagaimana cara mereka berinteraksi hingga melakukan pelestarian terhadap koleksi manuskrip. Kearifan lokal yang tercermin dalam pelestraian manuskrip secara turun temurun dilakukan, meskipun ada beberapa perlakuan modern namun para abdi dalem tidak meninggalkan ketradisionalan khas keraton. Kearifan lokal seolah – olah sudah mendarah daging di kehidupan Keraton Yogyakarta. Para abdi dalem percaya ada kehidupan antara Tuhan, manusia dan penunggu atau roh di dalam Keraton Yogyakarta termasih KHP Widya Budaya sehingga apa yang dilakukan mereka erat kaitannya dengan budaya Jawa dan hal mistis. Berdasarkan artikel yang dikutip dalam Balipos (4 September 2003), terdapat informasi tentang beberapa fungsi dan makna kearifan lokal yaitu : 1. berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam 2. berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan dengan upacara daur hidup 3. berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji 4. berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan 5. bermakna sosial, misalnya upacara integrasi komunal atau kerabat 6. bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian 7. bermakna etika dan moral yang terwujud dalam upacara ngaben dan penyucian roh leluhur 8. bermakna politik, misalnya upacara ngangkuk merana dan kekuasaan patron client Delapan fungsi dan makna kearifan lokal tersebut sudah dicerminkan abdi dalem di Keraton Yogyakarta terutama KHP Widya Budaya sebagai tempat menyimpan manuskrip yang juga merupakan artefak.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
63
4.4. Manuskrip di Keraton Yogyakarta Sebelum kertas ditemukan, manusia mengungkapkan perasaan, pikiran dan gagasannya melalui bahasa gambar dan bahasa tulisan sehingga mereka berusaha mencari
permukaan-permukaan
benda
yang
sekiranya
cocok
untuk
menyampaikan sesuatu kepada orang lain. Awalnya, mereka mengungkapkan perasaan dengan cara menggambar, seperti menggurat, mengukir, mentakik atau menoreh di atas permukaan batu, tulang belulang, dan lain sebagainya (Bahari, 1995, diunduh tanggal 8 Maret 2012). Menurut Venny Indria Ekowati dalam Pelestarian Budaya dan Pemerkasaan Bahasa Jawa Melalui Kajian Manuskrip Klasik, masyarakat di Jawa memulai tradisi menulis sejak abad ke-9. Masyarakat Yogyakarta termasuk suku bangsa yang menyukai menulis dalam mengungkapkan cipta dan karsa. Keunikan manuskrip yang ada di Keraton Yogyakarta adalah, semua penulisannya merupakan prakarsa dari Sultan Hamengkubuwono yang ditulis dengan tangan dengan bentuk macapat2. Keunikan lainnya juga terdapat pada corak manuskrip tersebut dan warna-warna khas yang terdapat pada hampir seluruh koleksi yaitu prada emas. Selain itu, materi pembuatan manuskrip beragam, ada yang berbahan daluang dan Kertas Eropa. Jenis daluang yang digunakan juga berbeda yaitu daluang halus dan daluang bergaris. Namun, kini lebih dari 7000 judul manuskrip tersimpan di British Library sedangkan KHP Widya Budaya hanya memiliki sisanya yaitu 363 manuskrip. Pengageng II KHP Widya Budaya KRT Purwodiningrat mengatakan, “Keraton Yogyakarta pernah meminta kepada British Library namun kemudian hanya diberikan dalam bentuk microfilm. Inggris tidak bersedia mengembalikan manuskrip karena takut kekayaan masa lalu rusak karena penanganan naskah di Keraton Yogyakarta masih menggunakan tradisional kearifan lokal setempat atau bisa dibilang tidak profesional.” Di dalam Keraton Yogyakarta, terdapat dua koleksi manuskrip tulisan tangan yang berbahasa Jawa. Satu disimpan di Kawedanan Ageng Punakawan 2
Macapat adalah puisi bertembang karena pembacaan wacana tersebut dengan ditembangkan berdasarkan titilaras notasi yang sesuai dengan pola metrumnya (Saputra, 2001: p.103)
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
64
Widya Budaya dan satu lagi disimpan di Kawedanan Ageng Punakawan Krida Mardawa. Hal yang membedakan dari dua tempat tersebut adalah terdapat pada koleksi manuskripnya. Jika di Kawedanan Ageng Punakawan Widya Budaya isi koleksinya tentang sejarah, agama, silsilah dan sastra sedangkan di Kawedanan Ageng Punakawan Krida Mardawa adalah hanya seputar kesenian yaitu seni tari, musik, wayang. Sebelum tahun 1921, koleksi yang ada di Kawedanan Ageng Punakawan Widya Budaya terletak di kediaman Sri Sultan sendiri, namun setelah tahun 1921 koleksi tersebut dipindahkan ke suatu tempat yang kemudian dinamai Tepas KHP Kawedanan Ageng Punakawan agar koleksi dapat dibaca selain dari keluarga Sultan sendiri. Koleksi manuskrip yang ada di KHP Widya Budaya itu sendiri ada berbagai macam jenisnya. Ada yang berupa codex yang terbuat dari pohon citron, kertas daluang dengan berbagai jenis yaitu kertas gendhong, kertas tela, kertas kop dan bergaris yang dijilid dengan menggunakan vellum dari kulit anak sapi atau kerbau dan Kertas Eropa yang terbuat dari kapas. Umur dari manuskrip tersebut beragam, yaitu dari tahun 17-an hingga awal 19-an. Contoh manuskrip yang berasal dari tahun 17-an adalah Al-Quran yang dibuat oleh carik di Keraton Yogyakarta yang dihiasi oleh prada dengan indahnya. Selain itu ada koleksi seri yang merupakan sejarah maupun dongeng dan primbon atau ramalan yang dibuat dengan aksara jawa dengan alur tulisan macapat . 4.5. Kearifan Lokal Preservasi Sebagai tempat penyimpanan manuskrip, KHP Widya Budaya tidak memiliki kebijakan tertulis untuk melakukan preservasi. Namun, perlakukan preventif yang dilakukan para abdi dalem merupakan perlakuan turun-temurun berdasarkan kearifan lokal setempat karena belum masuknya modernisasi pada jaman dahulu. Sebelum mendapat bantuan dari Universitat Leipzig, Jerman, KHP Widya Budaya mendapat bantuan dari PNRI yang hanya seputar digitalisasi agar PNRI memiliki salinan sebagai koleksi dan keraton juga memiliki salinan yang sudah di alih aksarakan. Dalam perjanjian yang telah dibuat, Universitas Leipzig membantu dalam melakukan kodekologi, restorasi dan digitalisasi.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
65
Walaupun sekarang sudah masuk modernisasi seperti digitalisasi dan restorasi, namun masih ada preservasi yang dilakukan berdasarkan kearifan lokal setempat. Para abdi dalem masih menggunakan upacara caos sedahar. Caos Sedahar merupakan upacara mohon izin yang dilakukan abdi dalem sebelum koleksi manuskrip di bersihkan. Pertama-tama, disiapkan sesaji (lihat foto 4.12) yang terdiri atas bunga-bungaan, buah, kopi
atau
makanan ringan yang
merupakan sajian untuk penunggu yang dipercaya adalah roh yang turut menjaga koleksi. Tujuan utama dari ritual tersebut adalah, tetap menghargai suatu karya karena biar bagaimanapun manuskrip adalah hasil dari sumber daya manusia.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.12 Sesaji
Tidak ada dasar ilmiah dalam sesaji tersebut, namun menurut kepercayaan orang Keraton Yogyakarta, setiap benda memiliki penunggunya atau penjaganya sehingga patut dihormati. Selain itu pembakaran juga dilakukan untuk melengkapi ritual tersebut. Berdasarkan wawancara yang dilakukan selama penelitian, Pak Puji mengatakan, “Dulu waktu Manuskrip Suryo Rojo diletakan di sini (widya budaya), manuskrip tersebut kebuka sendiri dan halaman nya bolak balik sendiri. Kami yakin memang setiap manuskrip punya penunggunya.”
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
66
Sajen yang digunakan abdi dalem untuk ritual caos sedahar berbeda dengan sajen – sajen yang biasa ditemukan di tempat keramat. Menurut Ign. Gatut Saksono dan Djoko Dwiyanto (2012 : p.13), sajen untuk menolak tuyul berbeda dengan sajen untuk memberi makan dhanyang atau leluhur yang telah meninggal. Dalam rangka menjaga keselamatan dari gangguan roh jahat, biasanya mereka bisa minta tolong kepada dhanyang setempat. Menurut Hartono dalam Faham Keselamatan dalam Budaya Jawa (2012, 67), dalam kosmologi Jawa ada tanggapan bahwa manusia mempunyai hubungan yang tidak terpisahkan dengan alam semesta atau adikodrati yang dimanifestakan ke dalam Tuhan. Upaya Manusia untuk menjaga kelestarian hubungan yang harmonis adalah melalui upacara ritual, upacara adat atau upacara tradisional bagi perorangan. Caos sedahar menjadi cerminan dan tindakan kepercayaan abdi dalem dalam menjaga kelestarian hubungan yang harmonis. Abdi dalem yang berada di KHP Widya Budaya sangat menjunjung tinggi etika nya. Mereka melakukan ritual caos sedahar dengan waktu yang tepat dalam arti tidak pernah meninggalkan ritual tersebut. Sesungguhnya sikap tidak peduli akan ritual itu bisa saja muncul namun karena para abdi dalem tersebut sadar akan kewajiban dan sadar akan sebab akibat yang diyakininya maka mereka melakukan hal tersebut. Walaupun tidak ada dasar ilmiah seperti yang dikatakan informan, namun menurut Tamara A. Susetyo dalam Kompas (23 Oktober 2008), sajen yang berisi menyan diasumsikan dapat menghalau datangnya serangga dan faktor biota lainnya.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.13 Menyan Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
67
Foto di atas merupakan menyan sebelum dibakar. Menyan tersebut jika dibakar mengeluarkan wewangian yang dapat digunakan juga untuk mengusir serangga. Menyan menyeluarkan wangi yang menyengat, oleh karena itu dapat mengusir serangga. Setelah dikumpulkan beberapa menyan, kemudian menyan tersebut dibakar dan mulai dilakukan ritual caos sedahar (lihat foto 4.14).
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.14 Caos Sedahar
Pak Rinta menjelaskaan bagaimana cara melakukan caos sedahar dengan menyuruh abdi dalem yang lain untuk melakukan ritual tersebut. “Pertama disiapkan arang – arang begini. Arang – arang ini akan dicampur dengan menyan supaya wangi. Ini ada bunga sama buah. Bunga itu harus. Yang namanya sajen ya begini pasti ada bunganya.” Ritual dilakukan beberapa saat dan setelah itu seluruh koleksi di ke luarkan untuk dibersihkan. Cara perawatannya juga menggunakan alat-alat yang biasa dalam arti bukan alat elektronik dan menggunakan bahan-bahan tradisional. Perawatan dilakukan setiap hari Selasa Kliwon. Tidak ada alasan ilmiah mengapa dilakukan setiap hari Selasa Kliwon, namun hari tersebut merupakan tanggal yang baik untuk membersihkan koleksi. Pembersihan dilakukan dari pukul 10.00 sampai pukul 12.00 atau 13.00. Walaupun ritual caos sedahar dilakukan di dalam KHP Widya Budaya, namun suasananya tetap khidmat. Para abdi dalem tetap memperlakukan manuskrip dengan baik dan menghargai manuskrip – manuskrip tersebut dengan baik. Pada saat ritual caos sedahar dilakukan, suasana KHP Widya Budaya dalam Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
68
keadaan tenang tanpa ada suara musik. Berdasarkan observasi, setiap hari ada musik gending yang dipasang abdi dalem. Musik gending tersebut merupakan penyemangat para abdi dalem melakukan tugasnya. Rata – rata abdi dalem yang bertugas di KHP Widya Budaya sudah tua, maka mereka menyukai musik gending tersebut dari pada musik dangdut atau musik genre lain. Kepercayaan lainnya selain ritual caos sedahar adalah manuskrip tidak boleh difoto. Menurut abdi dalem, manuskrip memiliki hal – hal diluar nalar manusia sehingga untuk menyentuhnya saja butuh kepercayaan dan butuh izin terlebih lagi untuk memfoto. Namun, ada juga penjelasan ilmiah mengapa koleksi naskah kuno tidak boleh difoto yaitu karena cahaya pada kamera akan menimbulkan kerusakan. Cahaya pada kamera memiliki tingkat ketajaman yang sangat tinggi. Cahaya atau energi radiasi juga mempunyai efek pada bahan pustaka. Cahaya akan mempercepat oksidasi dari molekul selulosa sehingga rantai ikatan kimia pada molekul tersebut terputus. Cahaya mempunyai pengaruh pengelantang,menyebabkan kertas menjadi pucat dan tinta memudar (Harvey, 1990 : p.34). Berdasarkan observasi, tidak terlihat ada perawatan khusus berdasarkan bahan kertas dan kulit sampul, semua perawatan disamaratakan seperti sampul yang dilap menggunakan lap kain, di keluarkan dan diletakan di luar untuk dijemur sesaat agar tidak terlalu lembab. Abdi dalem juga menyimpan manuskrip ke beberapa tempat penyimpanan yang berbeda. Terdapat tiga tempat penyimpanan yang berbeda, yang pertama adalah kotak kaca (lihat foto 4.15) yang dibuat dengan kayu jati, kedua adalah lemari kayu (lihat foto 4.16) dan ketiga kotak kayu (lihat foto 4.17).
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
69
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.15 Kotak Kaca
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.16 Lemari Kayu
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.17 Kotak Kayu
Tempat penyimpanan manuskrip merupakan salah satu hal penting dalam melakukan preservasi manuskrip. Tempat penyimpanan manuskrip dapat menentukan tingkat kerusakan sebuah manuskrip. Namun, pemilihan tempat penyimpanan diambil bukan berdasarkan kebijakan atau standar apapun. Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
70
Pemilihan tempat penyimpanan koleksi manuskrip dibuat sama dengan tempat penyimpanan benda-benda keraton yang lainnya. Jika dilihat dari bentuk-bentuk penyimpanan manuskrip, tempat penyimpanan sudah cukup baik. Kotak kaca dan lemari kaca terbuat dari kayu jati anti rayap dan kacanya memiliki penghalang sinar ultraviolet yang terlihat akan memantulkan cahaya. Menurut abdi dalem, kotak maupun lemari kaca dipercaya dapat menghambat pertumbuhan jamur jika secara konsisten dilakukan pembukaan pada waktu pagi hari sekitar pukul 9.00-10.00. Tempat penyimpanan tersebut memiliki kelebihan yang berbeda – beda. Abdi dalem memisahkan penempatan manuskrip tersebut. Kotak kaca digunakan untuk menyimpan manuskrip yang besar dan juga tebal, lemari jati dan kotak kayu digunakan untuk meletakkan kolofon 3 atau mushaf 4 . Kolofon naskah tersebut dalam kondisi yang kurang bagus, jika diletakan dalam kotak kayu diasumsikan akan mempertahankan keadaan kolofon karena terhindar dari cahaya secara langsung dan dari kelembaban udara. Tidak ada dasar ilmiah yang diketahui oleh abdi dalem terkait dengan cara penyimpanan tersebut, namun menurut Tamara A. Susetyo dalam Kompas (23 Oktober 2008), menyimpan manuskrip dalam peti kayu, koper dan lemari jati diasumsikan dapat menurunkan fluktuasi udara yang tak teratur”. Abdi dalem meletakan setidaknya dua koleksi manuskrip pada kotak kayu agar tidak terlalu banyak tertumpuk. Namun, jika manuskrip tersebut sudah tua dan termasuk yang sering dilihat dan digunakan maka diletakkan pada tempat yang mudah dijangkau dan penyimpanannya gampang ditemukan. Abdi dalem yang melakukan preservasi tersebut terlihat konsisten melakukan kegiatan penyimpanan. Abdi dalem menyadari bahwa tidak adanya sarana dan prasarana yang canggih tidak menjadi kendala namun membuat abdi dalem menjadi telaten dalam melakukan tugasnya.
3
Kolofon adalah catatan penulis, umumnya pd akhir naskah atau terbitan, berisi keterangan mengenai tempat, waktu, dan penyalin naskah 4
Mushaf bagian naskah Alquran yg bertulis tangan
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
71
Sebelum koleksi dimasukan ke dalam tempat penyimpanan, manuskrip dibungkus menggunakan pembungkus bahan kain dan bahan kertas (lihat foto 4.20). Berdasarkan hasil wawancara (19 Januari 2012) tidak ada penjelasan ilmiah mengapa penyimpanannya dibedakan, tetapi untuk serat yang penting dan khusus maka lebih dikhususkan penyimpanannya. Pembungkusan dilakukan agar manuskrip tidak terkena cahaya langsung dari matahari maupun lampu.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.18 Pembungkus Manuskrip
Kain pembungkus berbahan kain depannya berwarna kuning dan dalamnya berwarna putih. Bahannya terbuat dari satin (depan) dan kain katun biasa (belakang). Kain pembungkus tersebut diasumsikan dapat melindungi manuskrip dari debu dan dapat melindungi dari perubahan terhadap udara. Menurut Tamara A. Susetyo pada Kompas (23 Oktober 2008) dalam penelitian manuskrip di Cirebon, melindungi manuskrip dengan materi yang berwarna kuning diyakini memiliki kekuatan menghalau serangga yang akan mendekati manuskrip. Selain yang berbahan kain, ada juga yang berbahan kertas coklat. Menurut Pak Rinta, kertas coklat tersebut juga merupakan penghalang masuknya debu dan serangga. Pada tahap pembungkusan pun, tidak sembarangan terbungkus atau yang penting tertutup namun ada proses perataan kertas pembungkus. Setelah dibungkus dengan kertas, koleksi tersebut dibungkus dengan kain. Jika peminjam yang bukan merupakan abdi dalem meminjam maka pembungkusan dilakukan oleh abdi dalem agar memastikan tidak ada kerusakan.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
72
Abdi dalem terlihat piawai dalam melakukan tahap pembungkusan manuskrip. Tampak jelas bahwa abdi dalem menghargai manuskrip tersebut karena proses pembungkusannya pun tidak berantakan. Berdasarkan penelitian, terlihat abdi dalem melakukan sungkem sebelum menyentuh manuskrip tersebut. Sungkem tersebut memiliki arti bahwa abdi dalem menghormati dan meminta izin untuk menyentuh.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.19 Tahap Pembungkusan Manuskrip
Setelah koleksi dibungkus dan dimasukan kembali ke dalam kotaknya masing-masing, kemudian diberikan pewangi yang tidak menimbulkan serangga atau jamur. Akar wangi biasanya digunakan sebagai pewangi suatu tempat penyimpanan. Akar wangi juga dapat mengusir serangga.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.20 Akar Wangi
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
73
Akar wangi merupakan tumbuhan yang dapat tumbuh sepanjang tahun. Akar wangi merupakan famili dari serai dan padi, namun tumbuhan ini dapat mengeluarkan wangi-wangian. Akarnya yang dikeringkan secara tradisional dikenal sebagai pengharum lemari penyimpanan dan barang-barang penting seperti keris dan batik. Aroma wangi yang dihasilkan pada tumbuhan ini berasal dari minyak atsiri yang dihasilkan pada bagian akar. Selain akar wangi, kapur barus juga digunakan abdi dalem agar tidak ada serangga yang masuk. Namun, kapur barus tidak bertahan terlalu lama dan dapat merusak kertas jika tidak adanya perawatan selanjutnya. Perawatan tersebut dapat dikatakan preservasi rutin mengingat tidak adanya perawatan secara modern sehingga semua dilakukan secara manual dan dilakukan dengan sumber daya manusia yang terbatas. Sesungguhnya berdasarkan observasi, suhu udara di ruangan tempat penyimpanan naskah tidak cukup memenuhi syarat atau belum ideal seperti yang ditetapkan IFLA. IFLA menetapkan standar suhu udara sekitar 20o - 22o celcius dengan kelembaban udara sekitar 40% - 45%, Arsip Nasional Amerika Serikat (United States national Archives) merekomendasikan kelembaban relatif antara 40% sampai dengan 50% sedangkan Canadiaan Council of Archives (1990 : p.16) menyebutkan suhu dan kelembaban ideal adalah 18o – 20o C dan 45% - 65%. Suhu dan kelembaban udara di KHP Widya Budaya adalah pada saat pukul 9.55, suhu rata-rata adalah 29o C - 29,5o C dengan kelembaban 59% - 75%, Pada pukul 11.15, suhu udara berkisar antara 28o C – 30o C dengan kelembaban antara 60% 69%. Pukul 13.00, suhu udara cenderung hampir sama dengan pukul 11.15 yaitu antara 28,5o C – 30,5o C dengan kelemban antara 60% - 74%. Di saat hujan, suhu mencapai 27,5o C – 28o C. Untuk menyiasati kekurangan tersebut, abdi dalem yang bertugas melakukan pemeriksaan terhadap suhu udara melakukan buka tutup jendela. KHP Widya Budaya juga tidak menggunakan pendingin ruangan (AC) dan kipas sebagai pendingin dan pengontrol ruangan agar mendapatkan suhu ideal, KHP Widya Budaya hanya mengandalkan udara yang masuk lewat beberapa
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
74
jendela (lihat foto 4.22). Untuk mecegah cahaya yang berlebihan, penempatan ruang penyimpanan manuskrip diletakan di ruang depan yang cahaya nya terhalang oleh bangunan depan dan pepohonan. Adanya pepohonan tertentu yang rindang di sekitar pekarangan rumah diasumsikan dapat menghalau fluktuasi suhu udara. Oleh karena itu, dengan adanya pepohonan di sekitar KHP Widya Budaya akan menghalau fluktuasi udara. Selain itu, jendela ditutup dan lampu listrik yang digunakan tidak terlalu terang atau redup. Jendela kaca juga dilapisi oleh kayu. Seharusnya pihak KHP Widya Budaya menindak lanjuti tentang suhu ruangan dan kelembaban udara agar mencapai standar, namun karena tidak adanya kebijakan maupun anggaran untuk membeli fasilitas maka pihak KHP Widya Budaya hanya mengandalkan perawatan pada naskah yang dilakukan rutin agar kondisi naskah dapat tetap dalam kondisi baik walau suhu dan kelembaban udara tidak mengikuti standart yang seharusnya. KHP Widya Budaya hanya mengandalkan udara yang masuk lewat pintu yang terbuka dan ventilasi udara agar cahaya dapat masuk. Abdi dalem mengupayakan agar suhu dan kelembaban udara tidak terlalu tinggi dengan memeriksa setiap jam kondisi ruangan. Jika terasa begitu lembab, maka beberapa pintu akan dibuka. Harvey (1990: p.34) perubahan suhu udara yang selalu cepat akan berakibat buruk bagi buku, bila suhu meningkat pesat, buku (kertas) akan mengalami eskpansi (mengembang) dan bila suhu udara turun, buku (kertas) akan mengalami kontraksi (penyusutan). Selain itu untuk menyiasati agar cahaya tidak terlalu banyak masuk dan tidak mempengaruhi kertas, maka lampu dimatikan dan penerangan cukup menggunakan cahaya yang sedikit masuk agar tidak terlalu berlebihan mendapat cahaya.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
75
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.21 Jendela Ruang Manuskrip
Salah satu abdi dalem ditugaskan untuk memantau suhu ruangan dan kelembaban udaranya. Tidak adanya pendingin ruangan atau alat pengontrol ruangan juga yang mengharuskan ruangan dikontrol secara manual oleh orang (lihat foto 4.22). Jika terjadi kelembaban yang tinggi, maka abdi dalem membuka kotak penyimpanan naskah dan membuka kaca. Biasanya abdi dalem membuka jendela pada siang hari sekitar pukul 11.00 hingga pukul 12.00 atau 13.00. Jika jendela dibuka terlalu lama, ditakutkan akan banyak cahaya yang masuk sehingga merusak manuskrip. Hygrometer milik KHP Widya Budaya merupakan hygrometer manual dan di bawahnya adalah kertas yang isinya catatan tentang suhu dan kelembaban udara agar dapat dipantau dan diketahui riwayat suhu dan kelembaban udaranya. Selain penggunaan hygrometer, biasanya abdi dalem juga menggunakan intuisinya dalam melakukan pengukuran suhu. Abdi dalem yang bertugas dalam memeriksa suhu dan keembaban udara adalah Pak Pitaya. Pak Pitaya memeriksa ruangan setiap jam dan jika terjadi fluktuasi udara maka Pak Pitaya melakukan buka tutup jendela.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
76
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.22 Hygrometer Milik KHP Widya Budaya dan Kertas
Preservasi kearifan lokal lainnya adalah penggunaan kayu pada pintu. Pintu kayu tersebut digunakan agar ruangan menjadi sejuk walau tanpa pendingin ruangan, karena terdapat pepohonan di luar ruangan. Menurut Tamara A.Susetyo pada Kompas (23 Oktober 2008), pantulan halus sinar matahari pagi dan sore hari sebelum matahari terbenam diasumsikan dapat menghambat perkembangan mikroorganisme. Membersihkan ruangan secara teratur juga merupakan preservasi terhadap kertas secara tidak langsung. Oleh karena jika ruangan bersih, maka tidak ada serangga atau kotoran dan debu yang hinggap pada koleksi manuskrip. Pembersihan ruangan juga bertujuan untuk mengurangi tingkat kerusakan koleksi sebab ruangan yang bersih dari debu menghambat terjadinya akibat asam dan hama. Tugas membersihkan ruangan ini juga dilakukan abdi dalem yang bertugas di KHP Widya Budaya. Tidak ada anggaran dalam membersihkan ruangan dan tidak ada peralatan yang modern. Mereka hanya menggunakan sapu dan lap pel. Mesin penghisap debu yang dimiliki KHP Widya Budaya merupakan hibah dan bukan anggaran yang dikhususkan. Penggunaan manuskrip dengan baik juga merupakan preservasi terhadap manuskrip. Memperlakukan dengan baik dapat memelihara kondisi manuskrip yang sudah semakin rapuh.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
77
Pak Rinta menjelaskan tentang bagaimana abdi dalem membaca manuskrip, “Begini,pakai bantalan busa. Tapi dalemnya bulet – bulet. Mungkin ada penghalang serangganya atau mungkin biar manuskrip nggak rusak.”
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.23 Etika Membaca Manuskrip
Jika dilihat dan dirasakan, bantalan itu berisi busa berbentuk bulat. Diasumsikan, bantalan tersebut akan ramah terhadap manuskrip karena tidak ada serat kayu dan tidak tajam. Pak Rinta juga menambahkan, “Ini kan juga etika ya. Kita harus menghormati etika itu. Manuskrip ini kan benda pusaka,kita hargai juga” Etika yang dianggap tidak penting bagi beberapa orang, namun bagi abdi dalem etika sangat penting dan suatu keharusan. Segala properti yang berumur ratusan tahun merupakan benda pusaka yang dipercaya memiliki dhanyang. Semua perawatan secara tradisional dilakukan demi menjaga koleksi manuskrip. Selain itu, bisa terlihat dari foto 4.22 bahwa penggunaan hygrometer merupakan bukti bahwa Keraton Yogyakarta tetap menerima alat – alat yang modern sebagai pendukung dari proses preservasi. Tanpa meningggalkan kebudayaan yang masyarakat Keraton Yogyakarta miliki, mereka tetap menerima masuknya modernisasi dengan tidak meninggalkan budaya yang ada.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
78
Proses kearifan lokal dalam preservasi dilakukan dengan teratur. Abdi dalem terlihat cukup menguasai tugas mereka dalam melakukan perawatan terhadap manuskrip yang ada. Kehidupan di Keraton Yogyakarta yang sangat sederhana dan hidup berdasarkan kebudayaan secara turun temurun membuat semua perawatan dilakukan secara manual namun tetap konsisten. Hal yang menjadi kearifan lokal, bergantung pada pelaku budaya itu sendiri. Alasan kuat yang membuat abdi dalem di KHP Widya Budaya tetap mempertahankan kearifan lokal nya adalah keterbatasan dana. Namun keterbatasan dana tersebut dianggap tidak menjadi kendala, tapi dianggap menjadi keunikan. Walaupun tanpa dana, proses preservasi tetap berjalan berdasarkan cara kearifan lokal yang dianggap mampu menjaga manuskrip. Selain itu, bantuan dari PNRI maupun UIN yang pernah didapatkan tidak konsisten dan tidak bertahan lama sehingga abdi dalem yang bertugas di KHP Widya Budaya memutuskan untuk tetap konsisten melakukan perawatan secara kearifan lokal yang dipercaya tetap akan membuat koleksi manuskrip dalam keadaan yang baik. Berdasarkan wawancara (19 Januari 2012), kearifan lokal yang dilakukan selain terkait masalah anggaran adalah masalah kebudayaan yang sudah turun temurun yang dilakukan para abdi dalem sehingga sulit untuk meninggalkan budaya tersebut. Selain itu dengan cara yang berbeda, mereka menjaga berdasarkan apa yang sudah menjadi kebiasaan. Interaksi antar abdi dalem yang terjadi pada saat melakukan preservasi juga terlihat. Contohnya pada saat MB. Widyasastra Pitaya ingin melakukan perbaikan terhadap manuskrip, maka MB. Widyasastra Pitaya meminta izin kepada K.R.T Rinta Iswara menggunakan bahasa Jawa Krama khusus Keraton. Sesungguhnya, jika melihat proses perbaikan secara modern tidak dibutuhkan izin dari atasan karena jika ada koleksi yang rusak maka harus segera diperbaiki namun izin tersebut semata – mata hanyalah kesopanan terhadap yang lebih tua. Komunikasi khas juga terlihat selama penelitian yaitu abdi dalem melakukan percakapan terkait perawatan menggunakan bahasa Jawa keraton.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
79
Para abdi dalem percaya akan kearifan lokal karena percaya akan kearifan lokal dianggap etika terhadap suatu benda pusaka. Salah satu perbedaan yang mencolok antara masyarakat barat dengan masyarakat Jawa pada tidak adanya suatu mitologi religious secara umum di kalangan masyarakat barat dibanding dengan adanya mitologi religius yang meresap di kalangan masyarakat Jawa. Hal ini dapat dinyatakan sebagai sepasang lambang nasional dan kultural yang menuntut adanya kesetiaan bersama secara umum (Saksono, 2012 : p. 46). Di Keraton Yogyakarta, khususnya KHP Widya Budaya, karena alasan sejarah dalam arti kearifan lokal preservasi masih tercermin suatu mitologi adat yang ternyata memiliki intelektual yang mendalam. Contohnya rangkaian perawatan yang dilakukan terkait dengan pembungkusan manuskrip. Abdi dalem tidak tahu mengetahui maksud ilmiah dari penggunaan pembungkus manuskrip tersebut, namun tanpa disadari ternyata memiliki hal ilmiah yang terkandung dari perawatan tersebut.
4.6. Kearifan Lokal Konservasi Konservasi
naskah
kuno
adalah
perlindungan,
pengawetan
dan
pemeliharaan naskah kuno atau dengan kata lain menjaga naskah kuno tersebut dalam keadaan selamat atau aman dari segala yang dapat membuatnya hilang, rusak, atau terbuang. Conservation atau pengawetan terbatas pada kebijakan serta cara khusus dalam melindungi bahan pustaka dan arsip untuk kelestarian koleksi tersebut. Menurut Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (1992 : p2), perawatan merupakan bagian dari Conservation yaitu pengawetan. Pengawetan merupakan kebijaksanaan dan cara tertentu yang dipakai untuk melindungi bahan pustaka dan arsip dari kerusakan dan kehancuran termasuk metode dan tenik yang ditetapkan oleh petugas teknis. Menurut Pak Rinta, “konservasi penting untuk menyelamatkan manuskrip karena manuskrip ini nantinya akan digunakan dan dilihat sebagai sejarah”. Dalam KHP Widya Budaya, perbaikan atau konservasi manuskrip mencakup
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
80
penjilidan ulang, mengganti sampul yang rusak, melapisi kertas dengan tisu hingga menyalin ulang manuskrip atau mengalihaksarakan manuskrip. Abdi dalem di KHP Widya Budaya tetap melakukan konservasi berdasarkan kearifan lokal meskipun adanya bantuan alat restorasi dari Universitat Leipzig. Abdi dalem cukup mengerti tahap sistematis terkait konservasi terhadap manuskrip yang rusak. Dalam melakukan konservasi pada manuskrip, abdi dalem juga mengawali kegiatan tersebut dengan caos sedahar. Setelah melakukan hal tersebut, mereka melakukan rangkaian kegiatan konservasi. Pertama mereka melakukan survei terhadap koleksi manuskrip yang rusak lalu dipisahkan dan dikategorikan berdasarkan kerusakan dan kemudian dilakukan konservaasi secara prefentif. Terkait banyaknya koleksi yang berbahasa Arab dan Jawa kuno dan bertema keagamaan, maka dalam melakukan konservasi biasanya mereka melihat buku sebagai panduan melakukan konservasi. Buku tersebut adalah hibah dari UIN Yogyakarta. Selain itu, para abdi dalem juga melakukannya secara manual dengan peralatan yang minim namun cukup memperbaiki kondisi manuskrip yang rusak. Alat – alat yang digunakan abdi dalem dalam melakukan konservasi juga merupakan alat yang sederhana. Koleksi manuskrip yang terdapat di KHP Widya Budaya sangat beragam materialnya. Ada yang terbuat dari kertas daluang, Kertas Eropa maupun kertas peralihan dari daluang ke kertas Eropa. Kerusakan yang biasanya sering terjadi dan cukup mudah untuk dikonservasi biasanya pada kertas yang asam dan kerusakan pada tinta yang kebanyakan terbuat dari jelaga. Tinta jelaga atau tinta gentur diasumsikan sama dengan tinta karbon. Berdasarkan wawancara (19 Januari 2012), tinta ini dibuat menggunakan dua jenis bahan baku utama, yaitu jelaga dan beras ketan. Jelaga diperoleh dengan cara membakar minyak tanah di dalam kaleng bekas cat dan kemudian asapnya ditampung dengan menggunakan kaleng yang lebih besar. Jelaga yang sudah terkumpul kemudian dihaluskan di dalam sebuah tempat yang disebut dulang. Asam yang terbentuk sebagai hasil oksidasi, seperti juga asam-asam klorida atau asam-asam sulfat, yang ditambahkan ke dalam tinta untuk mencegah adanya gumpalan di dalam tinta, sama-sama merusak kertas. Asam-asam tersebut bersifat membakar dan
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
81
membentuk lubang pada kertas yang selanjutnya dapat menembus lembaran berikutnya.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.24 Kerusakan Tinta
Tinta gentur banyak ditemukan pada kertas-kertas jaman dahulu. Sesungguhnya tinta karbon tidak berbahaya bagi kertas, namun jika tidak dilakukan perawatan pada manuskrip dan kertas pada manuskrip tetap dibiarkan dalam kondisi asam makan akan mempercepat masa kerusakan. Tindakan penanganan pada keadaan manuskrip yang seperti ini, biasanya abdi dalem mengelap dan menghilangkan debu-debu dan zat-zat kimia yang menempel dengan menggunakan lap halus atau kuas. Setelah itu kertas dilapisi oleh kertas tipis atau kertas tisu lalu dilapisi oleh minyak. Minyak diasumsikan dapat menghilangkan asam karena minyak memiliki zat yang stabil. Setelah cukup kering, kemudian kertas tisu diangkat dan dikeringkan. Jika sudah kering, manuskrip tersebut kemudian dipisahkan penempatannya dengan manuskrip yang masih baik keadaannya dan diberikan keterangan. Kerusakan selanjutnya yang biasanya terjadi adalah pada cover atau sampul. Sampul yang semuanya berasal dari kulit tersebut sangat sulit untuk direstorasi karena pembuatannya yang sulit dan pada saat ini sudah jarang atau bahkan tidak ada yang menggunakan kulit kerbau muda sebagai sampul pada buku. Namun untuk mensiasati kerusakan tersebut, abdi dalem mengganti sampul dengan kertas karton (lihat foto 4.24) yang tebal dengan motif batik atau kertas karton coklat biasa.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
82
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.25 Abdi Dalem Mengganti Sampul
Dengan sangat teliti abdi dalem melakukan proses mengganti sampul yang sudah rusak menjadi sampul karton. Abdi dalem yang melakukan proses tersebut adalah Pak Rusmandaru. Pak Rusmandaru mengerjakan dan juga menjelaskan bagaimana cara melakukan proser tersebut, “Pertama kan kartonnya setebel ini, lalu dipotong. Tapi hati – hati potongnya. Saya juga nggak awas matanya. Tapi pelan – pelan aja.” Lalu Pak Pitaya menambahkan, “Itu bisa miring – miring atau jadi nggak rata. Jangan pake gunting, pake cutter yang agak besar aja.” Pak Rusmandaru terlihat bersungguh – sungguh melakukan pekerjaannya. Bagi Pak Rusmandaru proses tersebut harus terlihat rapi meskipun memakan waktu yang tidak sebentar. Pemilihan karton yang tebal karena karton yang lebih tebal diasumsikan mampu bertahan lama. Karton tersebut juga nantinya akan disampul sehingga akan menambah ketahanan.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
83
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.26 Proses Transformasi Sampul
Foto diatas menunjukan bahwa abdi dalem cukup terampil dalam mengganti sampul. Sampul tersebut dapat diubah walaupun tidak sama seperti sebelumnya namun masih tetap layak untuk digunakan. Transformasi dari kulit yang sudah kering, berkerak dan asam menjadi karton dan dengan keadaan yang lebih baik paling tidak akan membantu menghambat proses keasaman pada kertas. Kerusakan pada manuskrip beragam. Selain kerusakan pada sampul kulit, kerusakan dapat terjadi pada kertas dan jilidan. Meskipun adanya preservasi, namun karena umur dari manuskrip yang sudah tua maka sulit untuk menjaga dan memastikan manuskrip dalam keadaan baik. Untuk melakukan konservasi pada manuskrip yang mengalami kerusakan pada jilidan (lihat foto 4.27), maka abdi dalem menggunakan lakban. Jika keadaan manuskrip terlalu tebal biasanya mereka melekatkan menggunakan lakban. Lakban tersebut tidak melekat pada kertas tapi hanya melekat pada sampul. Untuk menyatukan kertasnya, tetap menggunakan tali atau benang sebagai pengikat. Seharusnya, lakban perlu diperiksa keasamannya. Lakban yang digunakan harus harus bebas asam sehingga tidak merusak manuskrip. Abdi dalem tidak menggunakan steples atau lem karena ditakutkan akan merusak kertas.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
84
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.27 Kerusakan pada Jilidan
Abdi dalem melakukan proses tersebut berdasarkan inisiatif. Sulit untuk mencari bahan lain karena abdi dalem hanya menggunakan bahan yang mereka tahu. Mereka takut mencoba hal baru karena akan memperburuk keadaan manuskrip. Proses konservasi terhadap jilidan yang rusak tersebut terlihat cukup berhasil jika dilihat beberapa koleksi yang sudah rusak tetapi masih bisa digunakan. Konservasi lainnya yang dilakukan adalah perbaikan terhadap kerusakan kertas. Kertas adalah benda yang cukup sulit untuk dirawat. Terlebih lagi kertas yang umurnya sudah ratusan tahun. Sesungguhnya, kertas daluang yang banyak terdapat di Keraton Yogyakarta cukup kuat dan memiliki ketahanan yang cukup lama. Namun, kerusakan pada kertas dapat terjadi karena banyak kemungkinan. Sebab – sebab yang memungkinkan yang terjadi pada manuskrip di KHP Widya Budaya adalah zat asam, jamur, kotor dari bekas jari manusia dan kecerobahan manusia yang menyebabkan robek. Dalam memperbaiki kertas yang rusak, biasanya digunakan alat – alat seperti busa (spon), karet, kertas tisu, minyak dan kuas. Robek pada kertas (lihat foto 4.28) diperbaiki dengan cara menambal kertas tersebut. Alat yang dibutuhkan adalah kuas, lem khusus kertas dan juga kertas tisu. Abdi dalem memperagakan cara memberikan lem pada kertas tisu dan kemudian menempelkan ke kertas.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
85
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.28 Abdi dalem menambal kertas yang robek
Pertama, dipilih kertas yang sesuai dengan kondisi bahan pustaka dan juga kertas tisu, kedua bagian tepi lubang atau potongan kertas yang hilang dikikis atau di pertipis dengan menggunakan silet, ketiga diolesi perekat dengan hati – hati pada bagian tepi lubang atau bagian yang terkikis, keempat kertas diletakkan diatas lubang atau bagian kertas yang hilang dengan serat kemudian disesuaikan, kelima kertas penambal yang terletak di luar bagian berlubang dikikis dengan menggunakan silet dan yang terakhir kertas disatukan di atas bagian yang telah ditambal dan sedikit ditekan agar melekat dengan baik. Proses penambalan dan penyambungan kertas selain dengan kertas tisu juga menggunakan bubur kertas. Bubur kertas tersebut dibuat dengan kertas yang dilarutkan dengan air. Selain itu dalam memperkuat dan menghilangkan debu yang ada pada kertas daluang tersebut, biasanya digunakan minyak dan kuas serta lap untuk membersihkan bekas minyak. Sebelum di olesi minyak pada kertas yang rapuh dan berdebu, kertas dibersihkan dengan busa (spon) kemudian dilapisi dengan kertas tisu. Setelah dilapisi kertas tisu, lalu diolesi minyak yang dipercaya dapat menghilangkan asam dan juga memperkuat kertas daluang. Abdi dalem juga mengenal penyiangan dan sudah mempraktikan proses penyiangan. Penyiangan dilakukan pada koleksi manuskrip yang sudah rentan. Proses penyiangannya setiap selasa kliwon setiap pukul 10.00. Proses penyiangan yang dilakukan abdi dalem adalah menyingkirkan koleksi yang rusak dan
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
86
kemudian di serahkan ke bagian restorasi karena dirasa sudah tidak dapat diperbaiki berdasarkan kearifan lokal. Jika ada koleksi manuskrip yang khusus atau di spesialkan, maka manuskrip tersebut akan disalin ulang atau dialihaksarakan. Proses tersebut dilakukan oleh Pak Rinta, karena Pak Rinta adalah abdi dalem yang cukup mumpuni dalam menulis manuskrip beraksara Jawa dengan aliran macapat. Pak Rinta dengan sangat teliti menyalin ulang dan mengalihaksarakan. Menurut beliau, proses tersebut juga penting dari pada hanya sekedar mendigitalisasi karena manuskrip yang utuh adalah bukti nyata dan merupakan hal yang unik. Selain itu, Pak Rinta juga berpendapat bahwa proses tersebut merupakan tugas beliau dan beliau ikhlas melakukannya walau harus menyalin banyak manuskrip. Kegiatan konservasi yang dilakukan tidak berdasar pada ilmu tertentu. Para pelaku budaya tersebut berpendapat, jika suatu kegiatan perbaikan akan merusak manuskrip maka kemudian akan dihentikan tetapi jika kegiatan perbaikan tidak merusak manuskrip maka akan dilanjutkan dan akan dibudayakan. Walaupun terlihat sederhana dan biasa, namun ada satu konservasi yang dirasa kurang tepat yaitu penggunaan air jeruk dalam mengelap sampul kulit. Air jeruk mengandung zat asam, ditakutkan zat asam tersebut akan membuat noda pada sampul atau membuat foxing pada kertas. Mereka terus melakukan hal tersebut, karena tidak ada dampak negatif sehingga budaya tersebut dilanjutkan. Meskipun konservasi manuskrip dilakukan berdasarkan kearifan lokal menggunakan alat – alat yang sederhana, namun tidak menutup kemungkinan dalam menggunakan alat – alat yang canggih atau modern. Bantuan dari Universitat Leipzig merupakan keuntungan untuk pihak Keraton Yogyakarta khususnya KHP Widya Budaya karena akan memaksimalkan proses perbaikan dan juga pemeliharaan. Etika dan moral yang terwujud dalam berbagai pemeliharaan manuskrip merupakan fungsi dan makna dari kearifan lokal itu sendiri.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
87
4.7. Perlakuan Modern di Tengah Kearifan Lokal Pihak Keraton Yogyakarta dari Sultan hingga abdi dalem tidak menutup mata akan globalisasi. Bantuan yang didapat merupakan sebuah keuntungan agar KHP Widya Budaya dapat terus memiliki manuskrip yang baik. Meskipun sudah masuk alat – alat modern, namun yang menggunakan alat – alat tersebut adalah abdi dalem. Hal yang membuat unik adalah pelaku nya dalam melakukan konservasi dan restorasi modern yaitu abdi dalem. Menurut wawancara dengan Pak Rinta terkait dengan alat – alat modern yang digunakan, “Kami juga sudah melakukan fumigasi dan membersihkan debu dengan vacuum cleaner”. Pak Rinta juga menambahkan, “Kami melakukan hal tersebut ya karena kalau sekedar di pel atau disapu kayaknya kurang maksimal, berhubung ada hibah yaudah kami pake secara maksimal” Alat – alat tersebut juga harus dikuasai oleh abdi dalem, karena yang wajib melakukan adalah abdi dalem. Jika ada pekerja yang ingin melakukan pekerjaan tersebut harus menjadi abdi dalem. Tidak bisa sembarangan orang yang masuk ke area KHP Widya Budaya terlebih melakukan perbaikan secara langsung terhadap koleksi – koleksi yang ada. Menurut Pak Puji terkait dengan alat modern yang harus digunakan abdi dalem adalah, “Mau nggak mau kami harus bisa. Kami kan belajar. Saya aja mau nggak mau harus ngerti tentang Picasa dan alat – alat yang berhubungan dengan digitalisasi.” Meskipun tidak memiliki latar pendidikan tentang restorasi atau digitalisasi, namun para abdi dalem dituntut untuk mampu dan dapat bekerja sesuai proses dan memberi hasil yang baik. Menurut Pak Puji, kebudayaan di Yogyakarta tidak akan luntur terutama di Keraton Yogyakarta.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
88
“Kami mampu bertahan dan harus bertahan terhadap budaya luar. Kami mampu mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli. Jadi walau ada alat – alat sumbangan dari universitas dari Jerman, tetap aja kami bisa memberi arahan pada perkembangan budaya.” Individu dan kelompok masyarakat biasanya menganut nilai sendiri – sendiri. Bila terjadi pertemuan diantaranya dan satu dengan yang lain Nampak tidak cocok, maka pihak yang satu biasanya merasa benar dan menyalahkan pihak lain (Sartini, 20004). Namun yang terjadi di KHP Widya Budaya, jika perlakuan itu diharuskan dan menurut Universitat Leipzig perlu maka mereka melakukan dengan hati – hati dengan cara yang sudah dianjurkan. Restorasi yang dilakukan para abdi dalem di KHP Widya Budaya adalah mengawetkan kertas dengan kertas washi dan tylose. Proses restorasi tidak sepenuhnya modern, karena sebagian alat modern yang harus dipakai tetapi tidak digunakan meskipun alat – alat tersebut memadai. Bantuan dalam melakukan restorasi diberikan pihak Universitat Leipzig dengan barter. Pihak Universitat Leipzig berhak melakukan kodikologi dan membuat katalog manuskrip. Bahan dan alat yang diberikan Universitat Leipzig juga cukup memadai dan banyak.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.29 Alat untuk Menekan atau Press pada Kertas
Foto di atas merupakan alat penekan kertas atau press kertas. Jika ada kertas yang direstorasi, untuk menempelkan tisu Jepang atau kertas washi diharuskan menggunakan alat ini. Namun alat ini sudah tidak terpakai lagi karena Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
89
menurut abdi dalem yang melakukan restorasi, alat tersebut diasumsikan akan merusak kertas karena jika dilakukan penekanan yang terlalu keras malah akan membuat kertas menjadi rapuh. Untuk mengganti alat tersebut menjadi alat yang lebih ramah terhadap kertas, maka abdi dalem yang bertugas menjadi petugas restorasi mengganti dengan penjepit baju, logam yang cukup berat atau gelas yang berisi arklirik yang cukup berat. Penjepit baju tersebut akan menjepit pinggiran kertasnya saja dan tidak membuat kertas menjadi panas.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.30 Penjepit Baju
Jika kertas sudah dilapisi oleh kertas tisu Jepang atau kertas washi, maka kertas tersebut dijepit dan kemudian menggunakan logam berat (lihat foto 4.30) atau gelas berisi arklirik untuk penahan.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.31 Logam Berat
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
90
Logam berat tersebut cukup untuk menahan kertas agar merekat pada kertas washi. Kertas washi yang dipilih adalah tisu yang paling tipis. Tisu tersebut digunakan untuk memperbaiki kertas. Mereka menggunakan tylose powder atau gum atau bahan perekat yang dilarutkan dengan air.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.32 Tylose
Pak Rusmandaru yang bertugas dibagian restorasi melakukan pembuatan tylose dan pencampuran tylose dengan air yang akan direkatkan dengan kertas tisu. Beliau menjelaskan roses pembuatan perekat kertas dan washi : “ Pertama, tylose diambil dari tempat nya kemudian di ambil kurang lebih sekitar 10 liter , lalu di larutkan air dengan tylose yang sudah diukur terus diaduk pakai kuas . Setelah saya pindahkan ke tempat yang lebih kecil lalu ditutup supaya nggak kering.”
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.33 Proses Pencairan Tylose
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
91
Sebelum tylose dibuat, sebaiknya disiapkan kertas washi nya terlebih dahulu dan kertas manuskrip yang ingin di restorasi. Tylose tidak dapat bertahan terlalu lama. Tylose mudah kering dan jika kering tidak dapat di urai kembali menjadi cair. Tisu yang ingin digunakan, diukur terlebih dahulu. Sebelum digunakan, kertas washi biasanya diletakan di suatu tempat tersusun agar tidak terlipat atau tidak basah. Setelah manuskrip sudah dipersiapkan untuk direstorasi, kemudian siapkan tisu Jepang yang ingin digunakan. Pertama ukur secara pasti sesuai kertas menggunakan penggaris dan alasnya yang berguna sebagai pengukur dan memudahkan
untuk
pemotongan.
Kedua,
dilakukan
pemotongan
washi
menggunakan cutter.
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.34 Pengukuran dan Pemotongan Tisu Jepang
Setelah kertas washi sudah siap digunakan, maka kemudian buat tylose cair dan memulai proses restorasi pada kertas. Restorasi yang dilakukan abdi dalem ini sudah cukup rapi. Walau tidak ada sekolah atau pelatihan khusus, namun mereka mampu melakukan restorasi dengan baik. Terlebih lagi, sumber daya yang melakukan restorasi hanya 2 orang dan bukan berasal dari bidang kearsipan atau perpustakaan.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
92
Pak Rusmandari juga menjelaskan dan mempraktikan proses restorasi pada kertas yang rusak akibat tinta dan juga kertas yang robek : “Kita samakan dulu washinya dan kertas yang akan dilapisi washi kayak begini. Kertas tersebut merupakan kertas yang rusak dan akan ditutupi dengan tisu.”
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.35 Restorasi Tahap 1
“Setelah itu rekatkan washi menggunakan tylose yang sudah dicairkan. Perekatan dilakukan bersamaan dengan penahanan atau press pada kertas menggunakan logam”
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.36 Restorasi Tahap 2
“Setelah melakukan perekatan, kemudian kertas tersebut di satukan dan ditahan menggunakan penjepit”
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
93
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.37 Restorasi Tahap 3
”Nah,sekarang sudah selesai begini, kemudian dikeringkan dan washi tersebut akan merekat pada kertas”
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.38 Restorasi Tahap 4 / Hasil Restorasi
Pihak
Universitat
Leipzig
memberikan
kebijakan
khusus
dalam
merestorasi koleksi manuskrip. Kebijakan tersebut ditempel di ruang restorasi agar dapat selalu dilihat petugas restorasi KHP Widya Budaya. Dalam memberi kuas atau melakukan perekatan, abdi dalem menggunakan kuas yang beda tergantung pada seberapa kerusakan yang ingin diperbaiki. Restorasi
dilakukan
setelah
melakukan
konservasi.
Restorasi
diperpustakaan difahami sebagai cara dalam mengembalikan bentuk naskah menjadi lebih kokoh. Untuk melakukan restorasi harus melihat keadaan manuskrip tersebut, karena setiap kerusakan fisik perlu ditangani dengan cara yang berbeda. Hal ini dikarenakan cara menangani manuskrip yang rusak memiliki penyebab yang berbeda. Restorasi adalah kegiatan memperbaiki bahan Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
94
pustaka yang rusak hingga kembali kepada bentuk aslinya dengan menggunakan berbagai macam bahan dan peralatan serta teknik yang sesuai (Teygeler, 2001 : p.34). Proses restorasi terhadap manuskrip dilakukan dengan cukup baik. Restorasi pada koleksi manuskrip di Keraton Yogyakarta perlu dilakukan sehingga Keraton Yogyakarta masih memiliki wujud asli manuskrip tersebut. Jika digitalisasi tidak melihat koleksi manuskrip secara nyata, maka dengan melakukan restorasi paling tidak dapat mempertahankan manuskrip yang jumlahnya tidak banyak. Lain hal nya dengan restorasi, penggunaan alat – alat modern yang lebih sulit adalah proses digitalisasi. Tindakan preventif untuk menjaga dan melestarikan isi kandungan suatu manuskrip adalah dengan mengalih mediakan suatu koleksi manuskrip. Alih media yang dilakukan oleh KHP Widya Budaya awalnya mendapat bantuan dari Perpustakaan Nasional, namun bantuan tersebut tidak bertahan lama. Bantuan alih media kemudian dilanjutkan oleh Universitas dari Jerman yaitu Universitat Leipzig. Menurut KRT Rinta Iswara, “Universitas ini memberikan bantuan alih media dan juga restorasi. Semua hasil dari alih media dan restorasi akan menjadi milik Keraton Yogyakarta dan sebagian hasil digitalisasi akan menjadi milik Universitat Leipzig.”
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.39 Proses Digitalisasi Manuskrip
Keraton Yogyakarta melakukan perjanjian dalam penanganan naskah kuno dengan Universitat Leipzig 6 bulan yang lalu (terhitung dari Januari 2012).
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
95
Sebelum nya, Universitat Leipzing pernah melakukan digitalisasi di Aceh terhadap naskah-naskah yang ada di UIN Aceh. Setelah Proyek Aceh yang selesai pada akhir 2010, Leipzig University, berkerja sama dengan Keraton Jogjakarta, UIN Jogjakarta, dan Manassa, akan melanjutkan proyek sejenis untuk koleksi naskah Keraton Jogjakarta dan Surakarta (http://www.manassa.org, 2009) Sebelum ada bantuan untuk melakukan digitalisasi, biasanya abdi dalem melakukan konservasi dengan menulis ulang, menyalin atau mengalih aksarakan dari bahasa Jawa kuno ke bahasa latin. Pertama, koleksi manuskrip dipilih yang mana yang penting untuk dialihmediakan. Alih media proses alih media ke digital memiliki prioritas. Menurut Seadle (2004 : p119), prioritas penting untuk memilih alih media ke dalam bentuk digital bahan pustaka terlihat dari tiga kriteria, yaitu : 4. Apakah bahan pustaka merupakan bahan pustaka yang rusak dan berharga 5. Apakah prosedur digitalisasi bahan pustaka ini sesuai dengan standar yang ada 6. Apakah hak cipta memberikan akses untuk tujuan pendidikan dan penelitian Jika ada manuskrip yang sudah dikonservasi, maka manuskrip tersebut yang didahulukan agar masih dapat dialihmediakan. Kemudian, isi manuskrip tersebut di scan per lembar dan dimasukan ke dalam dokumen komputer yang nantinya akan dikirim ke Universitat Leipzig atau diprint membentuk buku. Untuk menyimpan dokumen yang berformat JPG dan PNG, mereka mengolah menggunakan Picasa2. Picasa2 merupakan software untuk menyimpan gambar dan mengedit gambar. Picasa2 dipilih karena lebih mudah dalam mengoperasikannya. Orang yang melakukan proses digitalisasi tetap abdi dalem. Abdi dalem yang bertugas adalah Pak Puji atau R.Ry Widyahadibrata. Pak Puji terlihat piawai menggunakan computer. Keterbiasaan melakukan proses digitalisasi membuat Pak Puji tidak merasa kesulitan. Meskipun terjadi kerusakan teknik, namun sejauh ini kerusakan tersebut dapat diatasi.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
96
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.40 Hasil Digitalisasi
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 2012
Foto 4.41 Hasil Alih Media Berbentuk Buku
Melalui pelatihan proses alih media yang sebentar, abdi dalem yang melakukan tugas tersebut dapat melalukan dalam kurun waktu yang cukup cepat dan dilakukan dengan baik. Terbukti dari hasil alih media nya. Foto diatas merupakan foto digitalisasi buatan abdi dalem. Hasilnya cukup memuaskan meskipun masih ada beberapa tulisan yang tidak terlihat. Para abdi dalem menyadari betul akan pentingnya manuskrip-manuskrip tersebut dilestarikan. Melakukan preservasi tidaklah cukup, namun perlu adanya konservasi secara tradisional maupun alih media secara modern yaitu digitalisasi sebagai tindakan preventif.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
97
Berdasarkan wawancara dengan Pak Puji, Pak Puji mengatakan “…. sampai saat ini, koleksi manuskrip yang sudah didigitalisasi sudah mencapai 270 buah.” Dengan memanfaatkan teknologi alih media atau digitalisasi secara tepat dan cermat kita optimistis bahwa warisan budaya bangsa akan terhindar dari kerusakan, kepunahan, dan dirampas oleh pihak-pihak lain yang tidak bertanggung jawab. Berdasarkan penelitian, abdi dalem yang bertugas dalam melakukan proses digitalisasi sudah cukup baik. Abdi dalem tersebut melakukan proses digitalisasi seperti para profesional. Abdi dalem tersebut juga mengerti bagaimana cara menggunakan software dan dapat menangani masalah apabila terjadi masalah pada komputer atau software tersebut. Beberapa keunggulan format digital diantaranya adalah sebagai berikut. Pertama, long distance service, artinya pengguna dapat menikmati layanan sepuasnya, kapanpun dan dimanapun. Kedua, akses yang mudah. Akses lebih mudah karena pengguna tidak perlu mencari di katalog dengan waktu yang lama. Ketiga, murah (cost efective). Mendigitalkan koleksi perpustakaan lebih murah dibandingkan dengan membeli buku. Keempat, mencegah duplikasi dan plagiat. Format digital lebih aman, sehingga tidak akan mudah untuh diplagiat. Bila penyimpanan
koleksi
perpustakaan
menggunakan
format PDF,
koleksi
perpustakaan hanya dapat dibaca oleh pengguna, tanpa dapat mengeditnya. Kelima, publikasi karya secara global. Karya-karya dapat dipublikasikan secara global ke seluruh dunia dengan bantuan internet. Dengan adanya koleksi yang didigitalisasi, diharapkan dapat menjadi informasi yang dapat dimanfaatkan secara luas dan umum. Hasil alih media juga dapat digunakan masyarakat umum karena tidak menggunakan manuskrip yang asli yang sudah rapuh. Alih media juga membuat diversifikasi bentuk dan layanan bahan pustaka karena kemampuannya dalam menampilkan secara lebih menarik, halaman tak terbatas, portabel, interaktif dan tahan lama. Alih media digital pada saat ini menjadi suatu fenomena baru yang mulai banyak diperhatikan dan
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
98
dibutuhkan dalam penyebaran informasi maupun pelestarian informasi itu sendiri, sehingga akses informasi menjadi cepat dan efisien. Alih media digital terutama bahan dokumen tercetak merupakan dasar dalam membangun suatu koleksi digital yang nantinya akan dapat dipergunakan untuk berbagai macam keperluan akses informasi maupun penyebaran informasi. Seharusnya Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) dan Arsip Nasional ikut membantu secara konsisten dalam melakukan preservasi dan konservasi, karena manuskrip Keraton Yogyakarta termasuk naskah nusantara yang akan menjadi sumber informasi sejarah di kemudian hari. Jika PERPUSNAS dan ARSIPNAS turut membantu, maka akan membantu kondisi manuskrip yang ada di Keraton Yogyakarta. Dalam perjalanannya, budaya nusantara baik yang masuk kawasan istana atau diluar istana, tidak statis. Ia bergerak sesuai dengan perkembangan jaman. Dengan adanya kontak budaya, difusi, assimilasi, akulturasi sebagaimana dikatakan sebelumnya, Nampak bahwa perubahan budaya di masyarakat akan cukup signifikan (Sartini dalam Menggali Kearifan lokal, 2004).
Globalisasi
nampaknya tidak dianggap momok oleh pihak Keraton Yogyakarta dan abdi dalem yang melakukan pelestarian terhadap manuskrip di KHP Widya Budaya tampak siap dengan berbagai kemajuan teknologi. Alat – alat yang modern tersebut juga memiliki hal positif bagi manuskrip. Disamping itu, perspektif mengenai perubahan yang terjadi juga menjadi peluang tersendiri untuk menelusuri pengaruh lintas budaya dan globalisasi. KHP Widya Budaya menerima adanya perubahan terhadap beberapa proses pelestarian. Meskipun segala hal baru yang masuk tetap disaring terlebih dahulu, namun antara budaya kearifan lokal dan hal modern tetap bisa seimbang. Pihak Keraton Yogyakarta sudah cukup bijak melihat adanya difusi budaya modern dan tetap berusaha melestarikan kearifan lokal yang ada. Tanpa meninggalkan mitos – mitos, regili dan kebudayaan yang tercermin dalam ritual, abdi dalem di KHP Widya Budaya berusaha mencampur dua kebudayaan yang berbeda tersebut.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
BAB 5 KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh di lapangan, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut : 1.
Manuskrip Keraton Yogyakarta dikelola oleh abdi dalem yang tidak mempunyai
latar
belakang
pendidikan
maupun
pelatihan
kepustakawanan. Dengan demikian para abdi dalem tesebut tidak mempunyai pengetahuan untuk mengelola sebuah perpustakaan. Tidak adanya pendidikan mengenai perpustakaan tidak menghentikan proses pemeliharaan manuskrip di Keraton Yogyakarta. Proses tersebut tetap dilakukan berdasarkan kearifan lokal. 2.
Ruang penyimpanan manuskrip masih belum memiliki suhu yang ideal karena tidak adanya alat pendingin atau alat pengatur suhu udara, namun terkadang sudah mencapai kelembaban ideal seperti yang ditetapkan oleh IFLA.
3.
KHP Widya Budaya tidak mendapat bantuan pemeliharaan manuskrip dari Perpustakaan Nasional maupun Arsip Nasional secara konsisten, namun ada satu program lembaga pendidikan yang sedang berjalan yaitu program bantuan dari Universitat Leipzig, Jerman
4.
Pihak Keraton Yogyakarta maupun abdi dalem menerima adanya perkembangan budaya dengan pengaplikasian alat – alat modern yang merupakan bantuan dari lembaga luar keraton.
5.
KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta tetap eksis hingga kini dengan cara kearifan lokal yang ada. Sebagai tindak lanjut dalam penelitian ini, ada beberapa saran yang dapat
dilakukan yaitu : 1.
Para abdi dalem harus lebih memerhatikan suhu maupun kelembaban udara pada ruangan karena dua hal tersebut merupakan inti dari setiap kerusakan. Kerusakan yang disebabkan suhu dan kelembaban udara
99
Universitas Indonesia
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
100
dapat berdampak bagi kerusakan lainnya. Diusahakan untuk membuat suhu udara dan kelembaban udara pada ruangan menjadi ideal atau sesuai standar yang ditetapkan yaitu suhu udara sekitar 20o - 22o celcius dengan kelembaban udara sekitar 40% - 45% 2.
Kearifan lokal perlu dipertahankan, namun ada baiknya jika ruangan diberikan pendingin ruangan agar suhu ruangan bisa dikendalikan dan dapat memudahkan abdi dalem untuk melakukan tugas perawatan manuskrip
3.
Perlu adanya bantuan dalam bentuk anggaran secara konsisten agar mempermudan proses preservasi dan konservasi, khususnya pihak pemerintahan dalam hal ini Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan Arsip Nasional terhadap pelestarian manuskrip karena manuskrip termasuk benda cagar budaya yang wajib dilestarikan.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
DAFTAR PUSTAKA
Agrawal, O. (1999). Preservation of Art Object and Library Materials. New Delhi: National Book Trust. Cresswell, J. W. (2010). Research Design : Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif dan Mixed. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Dureau, J., & Clements, D. (1990). Dasar - Dasar Pelestarian dan pengawetan Bahan Pustaka . Jakarta: Perpustakaan Nasional. Endraswara, S. (2003). Falsafah Hidup Jawa. Yogyakarta : Cakrawala Endraswara, S. (2006). Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Fathurahman, Oman (2009). Digitalisasi Naskah Indonesia. Dari http://www.manassa.org/main/sb/index.php?detail=20091230093750 . Diakses pada Maret 10,2012. Fuad Hassan, “Pokok-pokok Bahasan Mengenai Budaya Nusantara Indonesia” , Dari http://kongres.budpar.go.id/news/article/Pokok_pokok_bahasan.htm. Diakses pada Maret 10,2012. Garjito. (1991). Preservation and Conservation of Library Materials in Tropical Countries with Particular Reference to The National Library of Indonesia. Harvey, R. (1993). Preservation in Libraries : A Reader . London: Bowker. Kerajaan Nusantara. Dari Kerajaan Nusantara: hadiningrat.
http://kerajaannusantara.com/id/Yogyakarta-
Diakses pada Februari 18, 2012
Kumar, A. S. (2009). Preservation of Library Materials: Problems and Perspective. DESIDOC Journal of Library & Information Technology, 3740.
101
Universitas Indonesia
Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
102
Razak, M. (1992). Pelestarian Bahan Pustaka dan Arsip . Jakarta: Program Pelestarian Bahan Pustaka dan Arsip. Razak, M. (1995). Petunjuk Teknis Pelestarian Bahan Pustaka. Jakarta: Perpustakaan Nasional RI. Saksono, Ign, Gatut dan Djoko Dwiyanto. (2012). Keselamatan dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : Ampera Utama Saksono, Ign, Gatut. (2007). Paranormal, Peran dan Tanggung Jawab Moralnya. Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusantara Sartini (2004). Menggali Kearifan Lokal Nusantara Sebuah Kajian Filsafati. Dari Balipos: http://balipos.co.id. Diakses pada Maret 20,2012. Sedyawati, E. (2010). Budaya Indonesia : Kajian Arkeologi, Seni dan Sejarah. Jakarta: Rajawali Pers. Spradley. (1979). The Etnographic Interview. California : Wadsworth Publishing Company Sulistyo-Basuki. (1991). Pengantar Ilmu Perpustakaan. Jakarta: Gramedia. Sulistyo-Basuki. (1991). Teknik dan Jasa Dokumentasi. Jakarta: Gramedia. Susetyo, Tamara (2008).Selamatkan Manuskrip dengan Kearifan Lokal. Dari http://www.kompas-online.com. Diakses pada Maret 20, 2012. Undang Undang Republik Indonesia : Cagar Budaya. (2010). Indonesia. Wibiaksa
(2011).
Analisis
Serat
Ambiya.
http://wibiaksa.blogspot.com/2011/01/analisis-serat-ambiya-jilid-halaman.html.
Dari Diakses
pada Maret 15, 2012 . Yudha,Asep. Ragam dan Unsur Spiritualitas pada Ilustrasi Naskah Nusantara 1800-1900an. Dari http://asepyudha.staff.uns.ac.id . Diakses pada Maret 10, 2012.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
1
Lampiran 1. Bukti Fisik Manuskrip melalui Pemeliharaan Berdasarkan Kearifan Lokal Foto Sampul Manuskrip dalam Kondisi Baik
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 20120
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 20120
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
2
Foto Kertas Pada Manuskrip dalam Kondisi Baik
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 20120
Sumber : Dokumentasi Larasati, Januari 20120
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
3
Lampiran 2. Wawancara Etnografi E : etnografer R : Pak Rinta Wawancara
Analisis dan Interpretasi
E : Selamat siang, Pak.
Tutur kata dan cara bicara sangat ke
R : Selamat siang. Namamu siapa?
jawaan dalam arti dengan aksen jawa.
E : Saya Laras,Pak. Mau Tanya – Tanya Pak rinta tampak berusaha ramah dan nih
pak
tentang
manuskrip
disini menjelaskan informasi yang ada.
sekalian car a pelestariannya R : Iya tanyakan apa? E : sebelumnya saya mau tanya tentang abdi dalem disini pak. R : saya jelaskan mudah – mudahan informasinya terpenuhi. Jadi abdi dalem itu adalah kepuasan hati bagi paa abdi dalem.
Mereka
bahkan
bersedia
mengabdi
tidak
melihat
mereka
bayarannya.
Para
abdi
dalem
mendapatkan gelar dari keraton dan mendapatkan pendidikan. Hal ini untuk menandakan bahwa mereka adalah benar – benar abdi dalem keraton yang memahami segala adat dan peraturan keraton.
E : terus pak kalo mau jadi abdi dalem Pak rinta terlihat sangat menguasai gimana pak? Ada yang minta atau dia seluk beluk keraton dan tentang abdi menawarkan
sendiri
atau
seperti dalem. Beliau menjelaskan panjang
lowongan pekerjaan itu
tentang abdi dalem
R : (pak Rinta tertawa kecil). Yaaaa.. Bagi para abdi dalem, mengabdi pada Pertanyaan ini berusaha didapat
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
4
keraton adalah panggilan jiwa. Menjadi jawabannya agar etnografer dapat abdi dalem akan mendapatkan berkah melakukan posisi yang sama seperti dari
keraton,
baik
berkah
dalam abdi dalem yang melakukan penelitian
kehidupan, rezeki, anak dan lainnya, ya. Jadi ikhlas saja E : tapi rata – rata yang jadi abdi dalem udah pada tua ya pak? R : ada yang masih muda tapi nggak sebanyak
yang
tua.
Mungkin
kan
pemikiran juga berbeda.
E : Pak, kok perpustakaan widya budaya Beliau berusaha menjelaskan tentang ini bukan untuk umum? Saya liat ada kebiasaan buruk pengunjung namun tulisan dilarang masuk.
dengan cara yang sopan. Pak Rinta
R : Iya, karena kalo dibuat untuk umum juga menunjukan ketakutannya jika nanti takut ada manuskrip yang ilang ada manuskrip yang rusak karena atau buku yang ilang atau tempat jadi terlihat beliau sangat menghormati kotor. Kalo bisa sih ruangan ini selalu semua benda yang ada di keraton bersih E : oia bener ya pak. Kan manuskrip itu rentan jadi harus dalam keadaan bersih biar nggak rusak R : ya begitulah. Kadang juga suka ada orang yang iseng – iseng ambil
E : oia ya pak, abdi dalem yang disini Pak Rinta terlihat lebih komunikatif tenaga professional semua atau nggak dan menggunakan bahasa yang tidak pak?
terlalu formal. Bahasa jawanya masih
R : ya nggak juga.latar belakang kami sering terdengar. beda – beda. Itu yang di situ namanya Pak Rinta terlihat apa adanya dalam pak pitaya dia itu orang BPAD yang menjawa pertanyaan. ditugaskan
membantu
preservasi
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
5
manuskrip disini, tapi ya dia juga harus jadi abdi dalem supaya bisa ikut bekerja disini E : ooo,jadi semua nya yang bekerja disisni itu abdi dalem. Nggak ada orang luar pak? R : nggak ada. Lah wong yang ngepel juga abdi dalem.
E : Pak, kalo disini manuskripnya jenis Pak Rinta menjelaskan tentang apa aja?
manuskrip yang ada di keraton dan
R : Manuskrip Yogya tercatat dalam beliau juga bertanya dengan pak daluang. Jadi bahannya ya hanya itu. pitaya. Ropak,lontar atau tembaga sudah tidak Pak Rintya memancing pertanyaan ada. Nah buku itu ditulis sejak HB V-8. yang membuat Pak Rinta menjawab Kebanyakan berupa babad, ya. Dan the grand tour question “saya ingin tertuang dalam macapat atau tembang. observasi dan berpartisipasi pak dalam Yaaaa,seperti puisi. Jadi bukan dalam pelestarian manuskrip. Ya sambil liat – bentuk prosa, ya. Seperti puisi, ya. liat koleksi manuskrip juga boleh pak Kebanyakan manuskrip disini bukunya atau ukur keasaman nya dan lain – tebal – tebal. Dan nanti tak kasih liat,ya. lain. Saya juga mau ukur suhu supaya Dan ada juga yang sudah di alih semua ada korelasi antara perlakuan aksarakan ada yang belum, ya.
dengan hasilnya”
E : ooo,kalo alih aksara ada yang bantu Pak Rinta selalu menegaskan kata nggak pak?
tradisional
karena
pewatan
yang
R : Yo ada. Kan ada lembaga yang dilakukan apa adanya. dengan seizin Sultan yang mau dengan Pak
Rinta
berusaha
menjelaskan
ikhlas membantu.
tentang kenalaran hal mistis namun
E :Jadi mereka secara suka rela,Pak?
ada sedikit gap antar budaya yang
R : Iya dong. Wong ra ono anggaran.
terjadi. Antara budaya modern dan
E : Pak alih aksara itu ke bahasa budaya jaman dulu Indonesia?
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
6
R : bukan loh, alih aksarakan jadi tulisan latin lagi bukan tulisan jawa lagi. E :terus penyimpanan nya? R : ya disini masih tradisional. Jangan dibandingkan
ditempat
lain.
Penyimpanan nya aja di lemari kayu. E : kayu apa pak? R : jati ada cendana juga mungkin ya. Yang
penting
jangan
yang
cepet
dimakan rayap E : Jadi masih tradisional banget ya pak ya? R : yaiya tradisional. Tapi disini sudah ada fumigasi. Fumigasi toh yo mas Pitaya? (bertanya dengan abdi dalem lainnya) Pitaya : Inggih fumigasi R : Tapi ini bantuan dari luar keraton. Mbak ini disini inginnya bagaimana mbak? Apa mau liat manuskrip aja apa mau liat apanya? E
:saya
ingin
observasi
dan
berpartisipasi pak dalam pelestarian manuskrip. Ya sambil liat – liat koleksi manuskrip juga boleh pak atau ukur keasaman nya dan lain – lain. Saya juga mau ukur suhu supaya semua ada korelasi
antara
perlakuan
dengan
hasilnya R : ya kebanyakan ya ini tradisional. Dengan akar wangi atau kapur barus. Tapi
kapur
barusnya
juga
nggak
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
7
bertahan lama juga sih E :Ada kimianya juga kan ya pak kapur barus R : Iya,kertasnya juga jadi kuning saya juga nggak tau itu dari kapur barus atau apa toh E : ada hal mistis nggak sih pak disini? R : begini dek, benda benda dikeraton ada benda benda yang biasa ada juga benda – benda yang dikeramatkan E : oh, kayak benda pusaka pak? R : ya nggak pusaka tok. Benda pusaka juga rata – rata disimpan ditempat sultan. Itu nggak boleh dilihat orang bahkan abdi dalem. Pokoknya sultan saja lah. Tapi kalo dibersihkan atau sudah dibersihkan ya boleh kami liat E : maksudnya kami tu abdi dalem nya atau umum? R : ya abdi dalem saja E : benda pusaka atau benda keramat itu apa pak? R : namanya suryo rojo. Itu isinya ajaran – ajaran tentang kesultanan. E : Saya mau foto boleh nggak pak? R : wah nggak bisa mbak, tapi coba deh ada nggak ya fotonya disini. Ono yo as yo
(bertanya
dengan
abdi
dalem
lainnya). Lalu abdi dalem tersebut mencari foto manuskrip
tersebut
namun
tidak
ditemukan.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
8
R : nggak ada mbak fotonya, tapi sama kok mba dengan manuskrip lain. E : kalo perawatan kayak preservasi konservasi gitu pak itu gimana cara nya? R : disini itu setiap mau dibersihin itu harus ada ritual caos sedahar. Ya itu seperti adat lah. E : itu gunanya untuk apa pak? R
:
saya
juga
sulit
untuk
menyambungkan ke nalar setiap orang. Tapi disini yakin setiap benda ada yang punya atau yang nungguin E : oo,saya juga percaya sih pak. Ibaratnya
setiap
rumah
aja
punya
penunggunya. R : Iya, makanya disini kita ada ritual namanya caos sedahar. E : caos sedahar itu kayak apa pak? R : begini nih. Mas,mas tolong tunjukin mbak nya alat – alatnya menyan sama sajennya (berbicara dengan abdi dalem lainnya dengan bahasa jawa). Nah, jadi ini nih pertama – tama siapkan arang – arang begini. Arang ini nanti akan dicampur
dengan
menyan
suapaya
wangi. Ini ada bunga sama buah. Bunga itu harus kalo di sajen. Yang namanya sajen mesti ada bunganya. E : habis itu diapain lagi pak? Ini memang selalu dilakukan atau gimana pak? R : yah dilakukan nya setiap selasa
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
9
kliwon. Setiap jam 10 sampe jam 12 ya. Yang melakukan juga ganti – gentian. E :kenapa harus selasa kliwon? R : ya memang baiknya hari itu. Kita kan nggak bisa jelasin alesan atau latar belakangnya.memang
hari
baiknya
begitu loh E :terus setelah itu diapain pak? R : nah, ini nanti dikeluarin manuskrip – manuskripnya.
Terus
setelah
itu
dibungkus. Ini ada yang pake kain kuning begini. E : oo,ini halus ya pak? R: iya mungkin ini kayak sutra kali ya? E :mungkin pak. Kok tapi ini beda ya sama yang satu lagi R: oh,yang kertas ini untuk yang lebih kecil sama yang biasa aja kan kalo alquran atau yang lain yang lebih besar sama yang lebih lama dibungkusnya pake ini (nunjuk bahan kain) E : ini kenapa warna kuning pak? R : ya nggak tau juga sih ya. Yang penting terhindar dari serangga. E : Pak Rinta, saya ada liat bantalan busa. Yang kayak warna hijau itu pak R : oh itu, kalo itu untuk baca manuskrip. Begini, pakai bantalan busa. Tapi dalemnya bullet – bullet. Mungkin ada
penghalang
serangganya
atau
mungkin biar manuskrip nggak rusak. Ini yang dinamakan etika ya. Kita harus
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
10
menghormati etika itu. Manuskrip ini kan benda pusaka jadi harus dihargai. E :oj,jadi sebenernya biar nggak rusak yah pak? Jadi kalo dibuka nggak langsung kebuka semua. pak kalo peralatan modernnya itu ada apa aja sih? R : kan tadi ada fumigasi ya. Tapi itu dilakuin selama 1 tahun sekali. E : itu bantuan? R : iya. Terus ini ada penghisap debu atau vakum cleaner. Kami melakukan hal itu karena kalo sekedar dip el atau disapu
kayaknya
kurang
maksimal,
berhubung ada hibah yaudah kami pake secara maksimal E : memangnya bantuan dari mana aja sih pak? R : dari universitas Leipzig. Sebetulnya pernah ada bantuan dari UIN. Dari pnri juga
pernah
tapi
nggak
konsisten.
Universitas jerman ini member bantuan alih media dan restorasi. Semua hasil alih media dan restorasi akan menjadi milik Keraton Yogyakarta dan sebagian hasil digitalisasi akan menjadi milik universitat Leipzig.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
11
E : Etrnografer PA : Bapak Pitaya PI :Bapak Puji RU : Bapak Rusmandaru Wawancara
Analisis
E : selam siang pak pitaya.
Pak Pitaya menjelaskan tentang abdi
PA: Siang mbak, dengan mbak laras ya dalem tadi?
namun
jawabannya
lebih
berstruktur.
E : Iya pak. PA : mbak, mau liat – liat sekeliling? E : boleh pak. Saya mau liat dari sistem penyimpanan, hal yang abdi dalem lakuin sampe temperature – temperature nya ya pak? PA : boleh. E : pak tapi saya ,mau tanya pandangan pak pitoyo tentang abdi dalem PA : abdi dalem itu menurut saya orang yang bener – bener mengabdi di keraton. Setiap warga Yogyakarta ingin sekali menjadi abdi dalem keraton dengan tulus. Bahkan dengan gaji sekitar 15000 sampe 80000. Ini nih saya
kasih
liat
daftar
gajinya
(menunjukan daftar gaji ke saya) E : wah pak, kenapa murah banget ya pak? PA : ya namanya juga ngabdi. Jadi keraton ini ibaratnya satu Negara ya. Jadi kami-kami ini ya pegawainya. Tapi
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
12
kebetulan kami kerja ya sukarela. Dan ya kerja juga dengan alat atau fasilitas seadanya E : kayak preservasi konservasi ini ya pak? PA
:
ya
untuk
preservasi
sama
konservasi masih pake tradisional ya. Tapi kalo restorasi ibaratnya kami ingin mengembalikan kebentuk asli ya sudah kami pake yang modern. Kebetulan 12ana da bantuan dari universitas dari jerman. Sini mbak mau liat apa nanti saya keluarin E : saya mau liat contoh – contoh Pak
pitaya
sedikit
memberikan
manuskrip dari kondisi yang paling gambaran tentang perlakuan khusus. bagus sama yang rusak banget pak.
Pak pitaya juga terlihat mndeskripsikan
PA : (pak pitoyo mengeluarkan 6 secara jelas tentang manuskrip. contoh). Ini al-quran. Bagus ya?ini pake prada.motif nya ini nih,suka dipake. Belakangan ini dipake untuk undangan nikahan keluarga sultan E : kalo untuk menyentuh ini atau melihat lihat boleh pak? PA : kan sudah caos sedahar tadi. Boleh saja asal jangan difoto. E : terus ini apa pak? Kok bahannya beda? PA : mungkin itu yang mbak pegang dari kertas eropa. Ini ada yang daluang ada yang kertas eropa. Ini bedanya disini.diseratnya
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
13
E : berarti preservasinya gimana pak? PA : ya disamakan. Ini yang paling rusak ni E : ini bahan apa pak? PA : ini kertas eropa. Sayang sih kalau begini. E :baik deh pak, nanti saya coba identifikasi. Saya tarok dimeja dulu ya pak. Nggapapa kan pak? PA : yaudah boleh.tapi jangan difoto ya.
E: iya pak. Kalo perawatan naskah itu Pak pitaya terlihat mengerti tentang hanya sebatas pemberian caos sedahar cara teknis dalam melakukan perawatan saja atau gimana pak?
terhadap manuskrip
PA : sebenernya cara mengatur lampu, Pak Pitaya juga memancing pertanyaan pembukaan jendela juga sudah cukup untuk melakukan mini grand tour membantu sih ya. Memang berdampak question sih,terlihat kok. Saya juga memantau ruangan ini, jadi kalo sudah agak lembab saya buka aja jendelanya. Kan takut manuskrip jadi asam ya mbak E : bapak sepertinya ngerti sekali ya pak? PA : ya, mungkin karena sudah kebiasaan
ya
mbak.
Saya
juga
perhatikan secara berkala, saya periksa terus menerus. Ada dampak apa untuk manuskripnya. Kan begitu. E : jadi walau nggak ada alat –alat canggih tapi tetep bisa terjaga ya pak? PA : ya saya maunya begitu. Makanya
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
14
saya coba rawat. Yaa paling tidak saya ngerti sedikit sedikit tentang ini karena saya kalo di BPAD juga sedikit belajar tentang ruangan PA : kita ke ruang depan sekarang. Mau liat digitalisasi nggak mbak nya? E : boleh boleh pak PA : ini pak puji. Beliau yang suka Pak puji melakukan jawaban yang digitalisasi. Tapi kadang suka bantu sistematis sehingga etnografer dapat bantu kegiatan lain juga
mengikuti arah pertanyaan. Pak Puji
PI : mbak. (sambil menyapa dan terlihat cukup menguasai sorfware yang mengulurkan tangan untuk salaman). digunakan dan berusaha menjelaskan Lagi neliti ya mbak?
tentang software tersebut meskipun
E :iya pak. Buat skripsi nih pak. Mohon pengetahuan software tersebut hanya bantuannya ya pak
60%
berdasarkan
pada
apa
yang
PI : iya mbak. Insyaallah akan saya dipraktekan selama ini. bantu semaksimal saya E: bapak lagi ngapain nih pak? PI : oh ini saya lagi digitalisasi mbak. Kan
supaya
manuskrip
punya
kopiannya ya. E
:ini
tugasnya
dipilihin
atau
bagaimana pak? PI : ya nggak mba. Bisa pak pitoyo bisa saya. Kebetulan belakangan ini saya yang
selalu
kerjain.
Karena
saya
sempetnya ini. Jadi yaudah difokusin satu – satu E : udah berapa manuskrip nih pak yang di digitalisasi PI : saya kurang bisa mastiin mba, tapi mungkin
sampai saat
ini, koleksi
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
15
manuskrip yang sudah di digitalisasi sudah mencapai 270 buah. E : sepertinya bapak udah jago ya pak pake ini. Ini pake software apa ya pak? PI : (tertawa kecil). Ya lumayan mbak. Ini kebetulan picasa terbaru. Yang kedua.
Lebih
mudah
sih
untuk
pemakaiannya. Sebenernya mau nggak mau kami harus bisa mbak. Kami kan juga belajar. Saya aja mau nggak mau ngerti tentang picasa dan alat – alat yang berhubungan dengan digitalisasi. E : iya ya pak. Kalo bapak nggak bisa nanti siapa lagi yang ngerjain. PI : kami mampu bertahan dan harus bertahan terhadap budaya luar. Kami mampu
mengintegrasikan
unsure
budaya luar ke dalam budaya asli. Jadi walau ada alat – alat sumbangan dari universitas dari Jerman, tetep aja kami bisa
member
arahan
pada
perkembangan budaya. E : terus ngerjainnya biasanya satu hari dapet berapa manuskrip pak? PI : nggak tentu. Tergantung kuatnya mata saya. Pernah sampe malem E : sampe mlem pak? Nggak takut pak malem malem masih disini? PI : ya, gimana ya. Dibilang nggak takut tapi juga ada rasa ke khawatiran. Tapi saya berdoa aja mudah mudahan nggak ada apa apa
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
16
E : emang pernah ada kejadian mistis ya pak? PA : pernah si yam as puji ya?kalo nggak salah ada tukang yang abis nyerut kayu. Terus serbuknya dibawa pulang. Besoknya dia sakit PI : pernah juga ada anak yang lagi datang kesini terus nabrak meja gitu. Pas balik ke daerahnya, kayaknya jauh ya mas pitoyo? Di sumatera kayaknya. Terus kaki nya sakit E : wah, kok bisa gitu sih pak? Memang kenapa
pak?
Itu
kayak
ada
penunggunya atau gimana sih pak? PI : kami percaya di setiap titik di keraton dan setiap benda pasti ada penunggunya.
Semua
ini
terbukti
dengan adanya kejadian – kejadian aneh. Kalo nggak asalah pernah ya ada manuskrip yang kebuka sendiri. PA : oh itu manuskrip suryo rojo itu loh mbak. Pernah waktu ditarok disini terus kebuka sendiri. Dulu waktu manuskrip suryo rojo diletakan disini, manuskrip itu kebuka sendiri dan halamannya bolek
balik
memang
sendiri.
setiap
Kami
manuskrip
yakin punya
penunggunya E : serem ya pak. Tapi saya penasaran juga. PA : nanti kalo penasaran malem – malem kesini aja. Keliling daerah ini.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
17
(tertawa besar bersama) E : kadang hal yang seperti itu jadi menarik ya pak. Oia pak puji, ini nanti setelah
di
digitalisasi
terus
dikemanakan? PI : bisa di save bisa juga di print. Itu ka nada print tuh. Yang itu. E : ngomong ngomong bapak nggak gerah pak? Kan disini nggak ada ac. PA: yah itulah kelebihan keraton. Kami sudah
terbiasa
hidup
dalam
kesederhanaan dan serba tradisional begini. E : tapi saya suka pak suasana disini. Teduh, adem, seger, nyaman. Enak pak rasanya. Saya betah. Apalagi kalau hujan ya pak? Bau tanahnya enak pak PA : itu yang restorasi sudah datang. Mau lihat? E : boleh pak. Sekalian jalan – jalan liat – liat sebelum saya periksa semuannya. PA
:
mas,saya
tinggal
dulu
ya
(berbicara dengan pak puji) E : terima kasih pak puji selamat bekerja. Nanti saya akan ikut partisipasi mendigitalisasi
Memasuki ruang restorasi terdengan suara gending dari radio dengan volume suara
yang
cukup
keras.
Namun
kebiasaan tersebut adalah hiburan yang bisa didapat para abdi dalem
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
18
PA : nah ini bapak bapak yang juga Pak
Rusmandaru
memberikan
the
abdi dalem
grand tour question. Itu secara mudah
E : wah gendingan ya pak?
mendeskripsikan hal yang dilakukan
R : iya nih mbak, memang setiap hari ketika melakukan proses restorasi. Ada begini
satu
lagi
E : bapak – bapak ini memang bisa restorasi
ikut
melakukan
namun
Pak
proses
Rusmandaru
dalam arti professional atau memang tampak lebih ramah dan tidak sibuk. dilatih atau otodidak?
Pernyataan
PA : ya otodidak aja ya
menciptakan
pak suatu
rusmandaru hipotesis
bagi
E : kulo nuwon pak. Saya dengan laras etnografer (salaman) R : monggo mbak. Silahkan dilihat – lihat E : wah sepertinya bapak sudah mahir ya pak R : ya mungkin karena sudah terbiasa ya. Jadi ya begini. Saya jadi sedikit sedikit bisa lama lama bisa beneran E : bapak itu dulu latar belakang pekerjaannya apa? R : saya itu pensiunan dari museum sono bedoyo mbak. E :oooo, berarti sedikit berhubungan ya pak? R :tapi disana saya nggak begini. Nggak ngelem ngelem E
:
bapak
bisa
kasih
liat
cara
restorasinya? R : kalo ini saya lagi ngelem kertas jepang ke kertas. Jadi seperti nemambal begitu mbak. Ini juga ada bahan tylose
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
19
sebagai perektnya. E : pertamanya diapakan dulu pak? R : jadi ini pertama tylose. tylose diambil dari tempat nya kemudian di ambil kurang lebih sekitar 10 liter , lalu di larutkan air dengan tylose yang sudah diukur terus diaduk pakai kuas . Setelah saya pindahkan ke tempat yang lebih kecil lalu ditutup supaya nggak kering. Kita samakan dulu washinya dan kertas yang akan dilapisi washi kayak
begini.
Kertas
tersebut
merupakan kertas yang rusak dan akan ditutupi dengan tissue. Setelah itu rekatkan washi menggunakan tylose yang
sudah
dilakukan
dicairkan.
Perekatan
bersamaan
dengan
penahanan atau press pada kertas menggunakan
logam.
Setelah
melakukan perekatan, kemudian kertas tersebut di satukan dan
ditahan
menggunakan penjepit. Nah,sekarang sudah
selesai
begini,
kemudian
dikeringkan dan washi tersebut akan merekat pada kertas.
E: kok pake penjepit pak? R : ya biar ramah lingkungan terus biar simple mbak. Kan kalo begini jadi mudah toh (tertawa ringan) E: pak kalo kertas tebel itu buat apa? R : yang mana mbak?
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
20
E : itu yang dipegang pak pitaya R : itu buat ngganti sampul yang sudah rusak sekali mbak. Jadi nanti kan karton setebel ini dipotong ,mbak. Saya juga motong nya suka pelan – pelan. Mayanya sudah nggak awas PA: itu bisa miring – miring gitu mbak atau jadi nggak rata. Jangan pake gunting, pake kater yang begini aja nih mbak. E : terima kasih ya pak,besok saya akan bantuin bapak untuk merestorasi. PA : (tertawa kecil). Sekedar mencoba boleh mbak,tapi jangan semuanya.
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012
21
Lampiran 3. Temperatur Udara Pada Saat Penelitian Tanggal
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
09.55
29o C
29o C
28o C
29o C
27,5o C
29o C
29,5o C
29o C
28,5o C
11.55
30 o C
30o C
28o C
29,5o C
28o C
29,5o C
29o C
29,5o C
29o C
13.00
30,2o C
30,5o C
29o C
29o C
28,5o C
30,2o C
30,2o C
30o C
29,5o C
05.00
26o C
26o C
27,5o C
26o C
26,5o C
27o C
26,5o C
27o C
27o C
16
17
18
19
20
21
22
23
24
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
Januari
09.55
75%
72%
69,5%
68%
64%
74%
70%
60%
69%
11.55
69%
67%
68%
67%
60%
68%
65%
65%
68%
13.00
69%
69%
74%
74%
68%
64%
60%
74%
64%
05.00
75%
72%
70%
75%
75%
75%
72%
67%
69,5%
Waktu
Tanggal Waktu
Universitas Indonesia Pelestarian manuskrip..., Larasati Purwahyuningtyas, FIB UI, 2012