Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VI No. 1, Maret 2014
PERSEPSI EKSEKUTIF TENTANG PENEGAKAN HUKUM (Rule of Law) DAN KONTROL ATAS KORUPSI DI DPRD PANDEGLANG TAHUN 2012 Kandung Sapto Nugroho Prodi Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sultan Ageng Tirtayasa
[email protected] ABSTRAK Penegakan hukum menjadi hal yang jauh dari keadilan, seperti yang disampaikan oleh Karl Marx bahwa hukum berpihak kepada kaum menengah ke atas atau kaum borjuis dan tidak berpihak kepada masyarakat kelas bawah. Hukum hanya dimiliki oleh kaum yang mempunyai kemapanan dan kemampuan dari yang berperkara, sehingga negara seringkali kehilangan peran untuk melaksanakan prinsip keadilan. Buruknya penegakan hukum tidak bisa dibebankan saja pada institusi penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaaan, kehakiman, pengacara dan komisi pemberantasan korupsi namun juga dorongan partisipasi masyarakat juga dalam hal tingkat kepatuhan masyarakat pada perangkat peraturan perundangundangan.Penelitian ini bermaksud mengkaji pendapat dari kalangan eksekutif (kepala dinas dan sekretaris dinas) tentang penegakan hukum dan kontrol atas korupsi di DPRD Pandeglang dengan sampling 50% populasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat Indeks persepsi eksekutif tentang penegakan hukum di DPRD Pandeglang adalah cukup buruk dengan nilai rata-rata : 5,09 (dengan standar 10). Sedangkan tingkat Indeks kontrol atas korupsi di DPRD Pandeglang tahun 2012 adalah cukup buruk dengan nilai rata-rata : 4,16 (dengan standar 10). Saran yang diberikan adalah dibukanya ruang partisipasi public sehingga bisa mewujudkan pemimpin yang amanah dan memberikan tauladan sehingga menjadi acuan buat masyarakat. Dengan penegakan hukum akan mendorong kepastian hukum akan dapat mengontrol kasus dan perilaku korupsi. Dengan kepastian hukum akan merembet juga pada kepastian investasi, kepastian ekonomi dan ujungnya adalah kepastian kesejahteraan masyarakat. Latar belakang Dewasa ini terminologi tentang penegakan hukum menjadi semakin dilematis, munculnya ungkapan penegakan yang seperti pisau, tajam ke bawah namun tumpul ke atas. Penegakan hukum menjadi hal yang jauh dari keadilan, seperti yang disampaikan oleh Karl Marx bahwa hukum berpihak kepada kaum menengah ke atas atau kaum borjuis dan tidak berpihak kepada masyarakat kelas bawah. Hukum hanya dimiliki oleh kaum yang mempunyai kemapanan dan kemampuan dari yang berperkara, sehingga negara seringkali kehilangan peran untuk melaksanakan prinsip keadilan. Adagium dari Lord Acton, bahwa Power tends to corrupt and absolute power corrupt absolutely. (kekuasaan cenderung korup, kekuasaan mutlak pasti korup) nampaknya sangat pas untuk kondisi saat ini di Indonesia karena nampak sagat jelas bahwa negara Indonesia masih menjadi negara yang masuk dalam kategori korup. Salah satu sebab dari
masuknya Indonesia ke dalam kategori negara korup karena faktor penegakan hukum yang masih sangat buruk. Buruknya penegakan hukum tidak bisa dibebankan saja pada institusi penegak hukum, yakni kepolisian, kejaksaaan, kehakiman, pengacara dan komisi pemberantasan korupsi namun juga dorongan partisipasi masyarakat juga dalam hal tingkat kepatuhan masyarakat pada perangkat peraturan perundang-undangan. Institusi seperti Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah juga mempunyai peranan yang cukup kuat, karena selama ini nampaknya penyumbang kasus-kasus terjadi penyalahgunaan wewenang nampak cukup menonjol, bahkan di beberapa daerah anggota dewannya secara beramai-ramai masuk penjara karena faktor penyalahgunaan kewenangan. Kondisi demikian nampaknya menjadi anomali dalam sistem demokrasi yang kita bangun. Demokrasi adalah bukan bebas tanpa aturan sama sekali, namun demokrasi adalah kebebasan namun dengan penuh
1
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VI No. 1, Maret 2014
tanggungjawab. Bangunan demokrasi di Indonesia dari hari ke hari kian menunjukkan penguatan, namun masih rapuh ketika kita masih melihat konflik sosial horisontal yang disebabkan oleh faktor-faktor kedaerahan, kesukuan dan lain hal. Demokrasi sangat dipengaruhi oleh ruang dan waktu (time spesific). Hampir setiap negara menyatakan dirinya adalah negara demokratis sedangkan dalam praktek sebenarnya adalah negara otoriter. Di Indonesia misalnya, dalam penyelenggaraan negara mengalami gelombang padang surut demokrasi. Mulai dari demokrasi liberal pada tahun 19951957, Demokrasi Terpimpin tahun 1957-1965 dan Demokrasi Pancasila antara tahun 19661998. Malaysia juga menamakan dirinya adalah negara demokrasi sementara di sana ada partai dominan yang dinamakan UMNO. (Uni Malaysia Nation Organization) dan Presiden Mahatir Muhammad waktu itu dapat menyeret Anwar Ibrahim ke pengadilan dengan tuduhan yang tidak jelas. Lebih lanjut Josep A. Sschumpeter (dalam Miriam Budiharjo, 1986:61) menyatakan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan untuk mencapai keputusan politik dengan memilih suatu badan perwakilan rakyat agar dengan jalan ini dapat menentukan kehendak rakyat. Sementara menurut International Commision of Jurists dalam konferensi di Bangkok dikemuka kan bahwa demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan politik di selenggarakan oleh warga negara melalui wakil-wakil yang di pilih oleh mereka yang bertanggung jawab kepada mereka melalui suatu proses pemilihan yang bebas. Dari beberapa definisi diatas tentang demokrasi, maka kita dapat memahami dalam berbagai cara sesuai dengan selera yang merumuskannya. Hal itu tidak mengherankan bila pada saat ini terdapat keanekaragaman tentang pengertian demokrasi. Namun demikian perlu pula dipahami, bahwa meskipun definisidefinisi demokrasi tersebut diungkapkan dalam kalimat yang berbeda-beda tetapi pada dasarnya mengandung substansi yang sama yaitu suatu hal yang esensial dalam suatu sistem politik, haruslah ditentukan sendiri oleh rakyat melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat, yang menjamin bahwa
keputusan politik yang dihasilkan adalah kehendak rakyat. DPRD merupakan institusi demokrasi yang harus dijaga integritas dan kapabilitasnya. Demikian juga dengan institusi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pandeglang dalam perkembangan dari tahun ke tahunnya haruslah mendapatkan perhatian dan dukungan dari semua unsur masyarakat. Namun sepak terjangnya haruslah tetap diawasi prestasi kinerja dari waktu ke waktu terlebih untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik (good governance). Kondisi demikian merupakan sebuah arahan dari pemerintah daerah untuk menyelenggarakan pemerintahannya sesuai dengan kerangka atau koridor perubahan paradigma pemerintahan yang tidak lagi sentralistik tapi lebih menekankan pada desentralisasi dan pemberdayaan masyarakat dan didukung dengan gagasan mengedepankan konsep partisipasi dalam proses pembangunannya. Sehingga tidak heran apabila kerangka otonomi daerah bermuara pada perwujudan good governance secara masif di tingkat lokal. Konsep dasar dari good governance menghendaki adanya pembagian kekuasaan (share of power) dalam hal pengelolaan negara, dimana pemerintah harus berbagi kewenangan kepada swasta atau boleh dikatakan para pelaku usaha dan kepada civil society. Dalam pelaksanaannya konsep ini menghendaki adanya prinsip-prinsip dasar yang digunakan dalam menjalankan pemerintahannya karena konsep ini mengendaki adanya kesetaraan antar ketiga pilar good governance yakni the state, privat dan civil society dan bukan untuk saling mendominasi satu sama lain seperti yang disampaikan oleh Pratikno (2004: 6) bahwa saat ini pelaksanaan good governance adalah didominasinya jalan kepemerintahan oleh para pelaku usaha baik itu di tingkat nasional maupun para pelaku ekonomi global, sehingga yang terjadi adalah ultraliberal. Penelitian ini ingin melihat persepsi dari kalangan birokrasi di tingkat pemerintahan Kabupaten Pandeglang tentang sepak terjang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pandeglang karena bagaimanapun kedua lembaga pemerintahan ini akan ikut mewarnai layanan publik di Pandeglang. Seringkali kedua lembaga ini seringkali mempunyai kesepahaman
2
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VI No. 1, Maret 2014
yang sama sehingga bukan tidak mungkin kedua lembaga ini akan ”berkoalisi” dalam konteks negatif maupun positif yang berdampak pada kualitas layanan publik. Jikalau kedua lembaga ini ditambah dengan lembaga yudikatif ”main mata’ maka bisa dipastikan penegakan hukum di wilayah Padeglang hanya akan menjadi angan-angan saja dan sulit tercapai keadilan yang hakiki. Berpijak pada studi Hyden, Michael Bratton dan Donald Rothchild (dalam Bintoro, 2000:56), membuat makna governance: 1. Governance adalah sebuah pendekatan konseptual yang bisa memberi kerangka bagi yang bisa analisis komparatif pada level politik makro. 2. Governance menaruh pada pertanyaan besar tentang hakekat konstitusional yang mengabadikan aturan main politik. 3. Governance mencakup intervensi kreatif oleh aktor-aktor politik pada perubahan struktural yang menghalangi pengembangan potensi manusia. 4. Governance adalah sebuah konsep yang menekankan hakekat interaksi antara negara dan aktor sosial serta antara oktor sosial itu sendiri. Governance menunjuk pada tipe khusus hubungan antara sektor politik yang menekankan aturan main bersama dan sangsi sosial ketimbang kesewenang-wenangan. Pemerintahan Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten dalam menjalankan kegiatannya juga mengacu pada prinsip-prinsip good governance. Good governance versi UNDP (1997): (1) Partisipasi; (2) Rule of Law; (3) Transparansi; (4) Responsif; (5) Orientasi pada konsensus; (6) Kesetaraan; (7) Efektivitas & Efisiensi; (8) Akuntabel; dan (9) Visi Strategik. Pokok bahasan dari good governance adalah mengenai sistem tata kerja dalam penyelenggaraan pemerintahan dari pusat sampai ke daerah di semua lini organisasi birokrasi yang ada, sehingga untuk mencapai keberhasilan dalam menerapkan good governance adalah dengan melakukan pekerjaan secara bertahap karena semakin besar perubahan yang dikehendaki akan semakin sulit dicapai tingkat keberhasilannya. Hal ini nampak dari apa yang disampaikan oleh Krina (2003: 7), beliau menjelaskan bahwa:
”Membangun good governance adalah mengubah cara kerja state, membuat pemerintah accountable, dan membangun pelaku-pelaku di luar negara cakap untuk ikut berperan membuat sistem baru yang bermanfaat secara umum. Dalam konteks ini, tidak ada satu tujuan pembangunan yang dapat diwujudkan dengan baik hanya dengan mengubah karakteristik dan cara kerja institusi negara dan pemerintah. Harus kita ingat, untuk mengakomodasi keragaman, good governance juga harus menjangkau berbagai tingkat wilayah politik. Karena itu, membangun good governance adalah proyek sosial yang besar. Agar realistis, usaha tersebut harus dilakukan secara bertahap, untuk Indonesia, fleksibilitas dalam memahami konsep ini diperlukan agar dapat menangani realitas yang ada.” Berdasarkan pemaparan di atas hendaknya Pemerintahan Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten baik itu eksekutif, legislative maupun yudikatif dalam melaksanakan pekerjaannya haruslah menggunakan prinsipprinsip good governance. Perumusan Masalah Dari latar belakang masalah di atas dapat dirumuskan permasalahan yakni seberapa besar tingkat Indeks Persepsi Eksekutif Tentang Penegakan Hukum (Rule of Law) dan kontrol atas korupsi di DPRD Pandeglang tahun 2012 ? Prinsip Tata Pemerintahan yang Baik (Good Governance) Good governance adalah kecendrungan global, globalisasi ekonomi menghendaki diterapkannya prinsip-prinsip universal seperti good governance. Disini diajukan pemikiran awal tentang good governance sebagai salah satu kecendrungan global. Berikut adalah pemikiran awal tentang good governance: “Good governance adalah suatu bentuk manajemen pembangunan, yang juga disebut administrasi pembangunan, pengelolaan perubahan masyarakat, pengelolaan pembangunan.” (Tjokroamidjojo,2000)
3
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VI No. 1, Maret 2014
Dari pengertian di atas didapatkan gambaran bahwa untuk dapat melaksanakan pembangunan di daerah maka diperlukan good governance, dimana dengan good governance diharapkan manajemen pembangunan yang terdiri dari administrasi pembangunan, pengelolaan perubahan masyarakat dan pengelolaan pembangunan dapat berjalan dengan lebih baik. UNDP mendefinisikan good governance sebagai pelaksanaan otoritas politik, ekonomi dan administrasi untuk mengatur urusan-urusan negara, yang memiliki proses, hubungan, serta kelembagaan yang komplek dimana warga negara dan berbagai kelompok mengartikulasikan kepentingan mereka, melaksanakan hak dan kewajiban mereka serta menengahi perbedaan yang ada diantara mereka. (Hamengkubuwono X, dalam Wigrantoro, 2002) Paradigma good governance menekankan arti pentingnya kesejajaran hubungan antara instutusi negara, pasar dan masyarakat. Bahkan institusi pasar semakin dominan, sedangkan peran institusi negara semakin mengecil (Rachman,2000). Walaupun mengecil tetap penting karena yang menggerakkan good governance adalah negara. Kaufmann dkk, (2007: 3-4), menyampaikan enam dimensi dari pemerintahan yang bisa diukur, yakni : 1. Voice and Accountability (VA) – measuring the extent to which a country's citizens are able to participate in selecting their government, as well as freedom of expression, freedom of association, and a free media. 2. Political Stability and Absence of Violence (PV) – measuring perceptions of the likelihoood that the government will be destabilized or overthrown by unconstitutional or violent means, including domestic violence and terrorism 3. Government Effectiveness (GE) – measuring the quality of public services, the quality of the civil service and the degree of its independence from political pressures, the quality of policy formulation and implementation, and the credibility of the government's commitment to such policies 4. Regulatory Quality (RQ) – measuring the ability of the government to formulate and
implement sound policies and regulations that permit and promote private sector development 5. Rule of Law (RL) – measuring the extent to which agents have confidence in and abide by the rules of society, and in particular the quality of contract enforcement, the police, and the courts, as well as the likelihood of crime and violence 6. Control of Corruption (CC) – measuring the extent to which public power is exercised for private gain, including both petty and grand forms of corruption, as well as "capture" of the state by elites and private interests Kemudian menurut Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (2002), menyebutkan bahwa prinsip-prinsip good public governance adalah meliputi : 1. Wawasan ke Depan, misalnya memiliki perencanaan ke depan yang bervisi dan strategi, adanya kejelasan setiap tujuan kebijakan dan program, adanya dukungan dari pelaku untuk mewujudkan visi. 2. Keterbukaan dan Transparansi, misalnya dengan indikatornya tersedianya informasi yang memadai pada setiap proses penyusunan dan implementasi kebijakan publik, adanya akses pada informasi yang siap, mudah dijangkau, bebas diperolah, dan tepat waktu. 3. Partisipasi Masyarakat, misalnya adanya pemahaman penyelenggaraan negara tentang proses/metode partisipatif, adanya pengambilan keputusan yang didasarkan konsensus bersama. 4. Tanggung Gugat, misalnya adanya kesesuai antara pelaksanaan dengan standar prosedur pelaksanaan, adanya sanksi yang ditetapkan atas kesalahan atau kelalaian dalam pelaksanaan kegiatan, adanya output dan outcome yang terukur. 5. Supremasi Hukum, misalnya adanya peraturan perundang-undangan yang tegas dan konsisten, adanya penegakan hukum yang adil dan tidak diskriminatif, adanya penindakan terhadap setiap pelanggar hukum, adanya kesadaran dan kepatuhan kepada hukum. 6. Demokrasi, misalnya adanya hak-hak dasar rakyat seperti hak berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat, adanya kesamaan di depan hukum, adanya kesempatan yang
4
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VI No. 1, Maret 2014
7.
8.
9.
10.
11.
12.
sama untuk turut serta dalam pengambilan keputusan kebijakan publik, adanya kesempatan yang sama untuk memperoleh berbagai informasi publik, ada kesempatan yang sama untuk berusaha dan berprestasi, adanya kesempatan yang sama untuk berinovasi, berkreasi dan berproduktifitas Profesionalisne dan Kompetensi, misalnya berkinerja tinggi, taat asas, kreatif dan inovatif, memiliki kualifikasi dibidangnya. Daya Tanggap, misalnya tersedianya layanan pengaduan, baik berupa crisis center, Unit Pelayanan Masyarakat (UPM), kotak saran, dan surat pembaca yang mudah diakses masyarakat., adanya standar dan prosedur dalam menindaklanjuti laporan dan pengaduan. Efisiensi dan efektifitas, misalnya terlaksananya administrasi penyelenggaraan negara yang berkualitas dan tepat sasaran dengan penggunaan sumber daya yang optimal, melakukan monitoring dan evaluasi untuk perbaikan, berkurangnya tumpang tindih penyelenggaraan fungsi organisasi/unit kerja. Desentralisasi, misalnya adanya kejelasan pembagian tugas dan wewenang antar tingkat pemerintahan dan antar tingkatan jabatan di daerah sesuai dengan PP Pembagian Urusan Pemerintah sebagai revisi PP No. 25 tahun 2000, adanya kejelasan standar dalampemberian dukungan terhadap pelayanan masyarakat (Standar Pelayanan Mininal) Kemitraan Dengan Dunia Usaha, misalnya adanya pemahaman aparat pemerintah tentang pola-pola kemitraan, adanya lingkungan yang kondusif bagi masyarakat kurang mampu untuk berkarya, terbukanya kesempatan bagi masyarakat/dunia usaha swasta untuk turut berperan dalam penyediaan pelayanan umum, adanya pemberdayaan institusi ekonomi lokal/usaha mikro, kecil dan menengah. Komitmen Pada Pengurangan Kesenjangan, misalnya adanya kebijakan yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar bagi masyarakat secara seimbang, tersedianya layanan/fasilitas khusus bagi masyarakat tidak mampu, adanya kesetaraan dan keadilan gender, adanya pemberdayaan kawasan tertinggal.
13. Komitmen Pada Lingkungan Hidup, misalnya adanya peraturan dan kebijakan untuk memberi perlindungan, pelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup, menurunnya tingkat pencemaran dan kerusakan lingkungan. 14. Komitmet Pada Pasar Yang Fair, misalnya berkembangnya ekonomi masyarakat, dan terjaminnya iklim kompetesi yang sehat. Namun dalam penelitian ini kajian yang diambil memfokuskan pada aspek penegakan hukum dan Kontrol atas Korupsi (Control of Corruption) dalam definisi Daniel Kaufman, karena ini yang menjadi produk dari lembaga legislatif dalam pandangan dari kalangan eksekutif yang kesehariannya merupakan mitra kerja dalam proses membuat peraturan perundang-undangan di level daerah. Saat ini kondisi di Kabupaten Pandeglang masih membutuhkan arahan dan dukungan serta partisipasi publik, ini akan menjadi pekerjaan rumah yang sangat berat untuk pemerintahan saat ini dan yang akan datang, kami ingin memotret kondisi spesifik di Pemerintahan Kabupaten Pandeglang. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode survai dengan pendekatan penelitian deskriptif kuantitatif. Penelitian survai lebih banyak menggunakan instrumen kuisioner dalam mengumpulkan data, seperti yang dikatakan oleh (Singarimbun dan Effendi, 1989) Penelitian ini merupakan penelitian survei yaitu metode penelitian yang mengambil sampel dari satu populasi dan memakai kuesioner sebagai alat pengumpulan data yang pokok. Data kuantitatif ini data yang berbentuk angka atau kualitatif yang diangkakan dengan menggunakan skala skoring. Sasaran Penelitian Sasaran penelitian ini adalah seluruh Kepala dan Sekretaris SKPD Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten dalam hal ini seluruh jajaran birokrasi pemerintahan, karena dengan asumsi pada level kepala dan sekretaris SKPD inilah yang sering berinteraksi langsung dengan DPRD Kabupaten Pandeglang yang terdiri dari dinas sebanyak 17 dinas, inspektorat 1, badan 7, kantor 4, RSUD 1 (RSUD Pembantu Tidak digunakan). Sampel Penelitian
5
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VI No. 1, Maret 2014
Dalam penelitian ini kami mengambil sampel sebesar 50 persen dari populasi sehingga didapatkan sampel sebanyak 30 responden. Selanjutnya dalam menentukan responden digunakan teknik purposive sampling, dengan asumsi bahwa responden mengetahui permasalahan yang hendak diteliti. Pembahasan Dalam penelitian ini responden diminta untuk memberikan skor antara skor 1 (satu) sampai dengan skor 10 (sepuluh), dimana skor 1 menunjukkan skor negatif/rendah/buruk sedangkan skor 10 menunjukkan skor positif/tinggi/baik dengan bilangan pecahan pun diperbolehkan. Penelitian ini secara umum menghasilkan data dan informasi, untuk 7 (tujuh) indikator yang merupakan konsep pertama yakni penegahan hukum dengan grafik yang dihasilkan sebagai berikut :
Dari grafik di atas nampak terlihat bahwa penegakan hukum terhadap para anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Pandeglang Provinsi Banten (dalam standar 10). Ini adalah rapor dewan menurut kalangan eksekutif di Pemerintah Kabupaten Pandeglang. Selanjutnya bisa dibahas masing-masing unsur dari penegakan hukum ini : 1. Bagaimanakah Intensitas Kasus di DPRD yang diproses di peradilan? Indeks yang dihasilkan atas pertanyaan di atas adalah 5,53 (dengan skala 10). Apabila klasifikasi penilaiannya adalah nilai 1,00 – 2,49 dikatakan Sangat buruk; nilai 2,50 – 3,99 dikatakan Buruk; nilai 4,00 – 5,49 dikatakan Cukup Buruk; nilai 5,50 – 6,99 dikatakan Cukup Baik; nilai 7,00 – 8,49 dikatakan Baik ; nilai 8,50 – 10,00 dikatakan Sangat Baik. Maka predikat yang
disandangkan atas pertanyaan di atas adalah Cukup Buruk. Sehingga nampaknya ini menjadi pekerjaan berat karena aspek ini harus apa upaya luar biasa untuk mengurangi kasuskasus yang melibatkan anggota dewan Pandeglang. Prinsipnya semakin sedikit anggota dewan yang masuk ke ranah hukum, maka semakin baik kualitas anggota dewan tersebut. 2. Bagaimanakah Intensitas Kasus Bermasalah di DPRD yang tidak diproses di peradilan? Indeks yang dihasilkan atas pertanyaan di atas adalah 5,35 (dengan skala 10). Apabila klasifikasi penilaiannya adalah nilai 1,00 – 2,49 dikatakan Sangat buruk; nilai 2,50 – 3,99 dikatakan Buruk; nilai 4,00 – 5,49 dikatakan Cukup Buruk; nilai 5,50 – 6,99 dikatakan Cukup Baik; nilai 7,00 – 8,49 dikatakan Baik ; nilai 8,50 – 10,00 dikatakan Sangat Baik. Maka predikat yang disandangkan atas pertanyaan di atas adalah Cukup Buruk. Ini semakin memperkuat citra buruk anggota dewan dan yudikatif, karena dalam kondisi ini muncul pertanyaan berikutnya mengapa sebuah kasus kemudian tidak dilanjutkan ke proses peradilan yang melibatkan anggota dewan, apakah karena tidak cukup bukti, atau berujung damai, atau ”didamaikan”. 3. Bagaimanakah Intensitas Pegawai di DPRD Kabupaten Pandeglang yang diproses di peradilan ? Indeks yang dihasilkan atas pertanyaan di atas adalah 5,93 (dengan skala 10). Apabila klasifikasi penilaiannya adalah nilai 1,00 – 2,49 dikatakan Sangat buruk; nilai 2,50 – 3,99 dikatakan Buruk; nilai 4,00 – 5,49 dikatakan Cukup Buruk; nilai 5,50 – 6,99 dikatakan Cukup Baik; nilai 7,00 – 8,49 dikatakan Baik ; nilai 8,50 – 10,00 dikatakan Sangat Baik. Maka predikat yang disandangkan atas pertanyaan di atas adalah Cukup Baik. Apresiasi harus diberikan pada poin ini karena mendapatkan predikat cukup baik bila dibandingkan dengan yang lain, namun ibarat dua sisi mata uang, nilai ini bisa bermakna negatif ketika ini dibaca
6
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VI No. 1, Maret 2014
menunjukkan bahwa memang banyak kasus di DPRD Pandeglang, artinya positif bagi penegak hukum kejaksaan, kehakiman namun menjadi nilai negatif buat anggota dewan. 4. Apakah Prinsip jujur, adil dan fair dilaksanakan dalam persidangan dengan baik terhadap DPRD Kabupaten Pandeglang? Indeks yang dihasilkan atas pertanyaan di atas adalah 4,53 (dengan skala 10). Apabila klasifikasi penilaiannya adalah nilai 1,00 – 2,49 dikatakan Sangat buruk; nilai 2,50 – 3,99 dikatakan Buruk; nilai 4,00 – 5,49 dikatakan Cukup Buruk; nilai 5,50 – 6,99 dikatakan Cukup Baik; nilai 7,00 – 8,49 dikatakan Baik ; nilai 8,50 – 10,00 dikatakan Sangat Baik. Maka predikat yang disandangkan atas pertanyaan di atas adalah Cukup Buruk. Bahwa memang banyak anggota dewan yang diproses ke pengadilan namun pada pelaksanaan prinsip-prinsip keadilan dan fairnes nampaknya menjadi pertanyaan besar, ketika ini mendapatkan nilai buruk, artinya yang terjadi dalam proses persidangan terhadap anggota dewan adalah tidak adil, artinya penegakan hukum disini berpihak ke salah satu pihak yakni para anggota dewan. 5. Bagaimanakah Tingkat komitmen penegak hukum yang menangani masalah-masalah tata kelola di DPRD Kabupaten Pandeglang? Indeks yang dihasilkan atas pertanyaan di atas adalah 4,98 (dengan skala 10). Apabila klasifikasi penilaiannya adalah nilai 1,00 – 2,49 dikatakan Sangat buruk; nilai 2,50 – 3,99 dikatakan Buruk; nilai 4,00 – 5,49 dikatakan Cukup Buruk; nilai 5,50 – 6,99 dikatakan Cukup Baik; nilai 7,00 – 8,49 dikatakan Baik ; nilai 8,50 – 10,00 dikatakan Sangat Baik. Maka predikat yang disandangkan atas pertanyaan di atas adalah Cukup Buruk. Jawaban ini memperkuat apa yang terjadi pada pertanyaan atau indikator sebelumnya, bahwa pelaksanaan proses peradilan di Pandeglang yang cenderung tidak fair dan berpihak pada anggota dewan, nampak jelas bahwa ini bertepuk dua tangan dari penilaian terhadap eksekutif yang
menyebutkan bahwa komitment penegak hukum masih mendapatkan nilai cukup buruk. 6. Bagaimanakah Frekuensi Pegawai di DPRD Kabupaten Pandeglang yang ”main mata” dengan penegak hukum di peradilan ? Indeks yang dihasilkan atas pertanyaan di atas adalah 4,95 (dengan skala 10). Apabila klasifikasi penilaiannya adalah nilai 1,00 – 2,49 dikatakan Sangat buruk; nilai 2,50 – 3,99 dikatakan Buruk; nilai 4,00 – 5,49 dikatakan Cukup Buruk; nilai 5,50 – 6,99 dikatakan Cukup Baik; nilai 7,00 – 8,49 dikatakan Baik ; nilai 8,50 – 10,00 dikatakan Sangat Baik. Maka predikat yang disandangkan atas pertanyaan di atas adalah Cukup Buruk. Ini semakin memperkuat fakta bahwa istilah ”bertepuk dua tangan” atau ”main mata” dalam konteks penyalahgunaan wewenang terjadi dengan nyata di sini. 7.
Apakah DPRD Kabupaten Pandeglang telah melaksanakan tupoksinya sesuai dengan peraturan yang berlaku ? Indeks yang dihasilkan atas pertanyaan di atas adalah 4,40 (dengan skala 10). Apabila klasifikasi penilaiannya adalah nilai 1,00 – 2,49 dikatakan Sangat buruk; nilai 2,50 – 3,99 dikatakan Buruk; nilai 4,00 – 5,49 dikatakan Cukup Buruk; nilai 5,50 – 6,99 dikatakan Cukup Baik; nilai 7,00 – 8,49 dikatakan Baik ; nilai 8,50 – 10,00 dikatakan Sangat Baik. Maka predikat yang disandangkan atas pertanyaan di atas adalah Cukup Buruk. Nampaknya ini menjadi akumulasi nilai bagi para anggota dewan Kabupaten Pandeglang, karena nilai inilah yang mendapat nilai paling buruk yakni 4,40. Perlu kerja keras bagi anggota dewan untuk menunjukkan perbaikan kinerja di masa depan. Kemudian untuk 7 (tujuh) indikator kedua grafik yang dihasilkan sebagai berikut:
7
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VI No. 1, Maret 2014
Dari grafik di atas nampak secara umum nilai yang diberikan oleh kalanga eksekutif di lingkungan pemerintahan Kabupaten Lebak terhadap anggota dewan di Kabupaten Pandeglang masih di bawah rata-rata yakni 5 (lima), dari 7 (tujuh) indikator yang digunakan tidak ada satu pun yang mencapai angka di atas lima. Dalam hal transparansi misalkan, bahwa transparansi adalah salah satu ruh dalam pelaksanaan pemerintahan, kita sudah memberlakukan undang-undang transparansi yakni tentang keterbukaan informasi publik yang menghendaki keterbukaan proses-proses pemerintahan untuk menjaga objektifitas dan keadilan sosial tetapi nampaknya para anggota dewan Kabupaten Pandeglang masih ”bermain” dengan anggaran, misalkan pengkaplingan mata anggaran dan lain sebagainya yang memperburuk transparansi kepemerintahan. Kemudian dalam hal transparansi audit internal dan eksternal masih hal yang jarang terjadi, alhasil yang terjadi adalah ”prestasi” disclaimer dalam pengelolaan keuangan secara umum di lingkungan Pemerintahan Kabupaten Pandeglang. Ini mengambarkan kemampuan Dewan untuk menyerap aspirasi dari instansi pemerintah lainnya serta masyarakat, LSM, Media dan lain sebagainya. Sejauh ini efektifitas SKPD dalam pemberantasan korupsi di DPRD Kabupaten Pandeglang juga memang masih minim, padahal sebenarnya SKPD bisa menjadi leading dalam pemberatasan korupsi misalkan para pejabat pengelola informasi daerah (PPID) hendaknya menjadi motor utama keterbukaan publik yang berujung pada minimalisasi kasus-kasus korupsi, PPID bukan menjadi humasnya saja dan bukan menjadi bumper saja namun sebaiknya
menjadi pelindung. Akhirnya ini akan terkait dengan pola rekruitment tenaga sumber daya manusia maupun dalam hal pengisian jabatan yang lowong, proses yang terjadi kerap dibumbui dengan hereditas birokrasi bukan pada meritokrasi birokrasi sehingga yang menjadi korban adalan masyarakat umum sebagai penerima pelayanan publik. Publik di Kabupaten Pandeglang akan mempertanyakan itu maka kemudian peran masyarakat Kabupaten Pandeglang akan cenderung apatis atau justru malah akan memicu konflik/protes terbuka menuntut untuk dilakukan reformasi birokrasi secara mendasar, atau minimal menjadi bahan referensi dalam pemilihan umum pada tahun 2014 nantinya. Kesimpulan Berdasarkan hasil pembahasan yang sudah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwasannya tingkat Indeks Persepsi Eksekutif Tentang Penegakan Hukum (Rule of Law) di DPRD Pandeglang tahun 2012 adalah cukup buruk dengan nilai rata-rata : 5,09 (dengan standar 10). Sedangkan tingkat Indeks kontrol atas korupsi di DPRD Pandeglang tahun 2012 adalah cukup buruk dengan nilai rata-rata : 4,16 (dengan standar 10). Saran Saran yang diberikan atas kesimpulan di atas adalah adanya upaya luar biasa untuk bisa menegakkan hukum misalkan dengan membuka ruang partisipasi publik, memang menegakkan hukum membutuhkan komitment yang kuat dari seluruh stakeholder namun kewajiban pemimpin lah yang paling utama, paling tidak pemimpin harus amanah dan memberikan tauladan sehingga menjadi acuan buat masyarakat. menegakkan hukum memang seperti menegakkan benang basah, namun jangan jua menjadi bilah pisau yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Dengan penegakan hukum akan mendorong kepastian hukum akan dapat mengontrol kasus dan perilaku korupsi. Dengan kepastian hukum akan merembet juga pada kepastian investasi, kepastian ekonomi dan ujungnya adalah kepastian kesejahteraan masyarakat.
8
Jurnal Ilmiah Niagara Vol. VI No. 1, Maret 2014
DAFTAR PUSTAKA Kaufmann, Daniel, dkk. 2007. A Decade Of Measuring The Quality Of Governance, Governance Matters 2007 Worldwide Governance Indicators, 1996–2006, The World Bank. ----------, 2007. Governance Matters VI: Aggregate and Individual Governance Indicators 1996–2006, The World Bank. Krina, Loina Lalolo, 2003. Indikator & Alat Ukur Prinsip Akuntabilitas, Transparansi & Partisipasi, Sekretariat Good Public Governance Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta. Pratikno, 2004. Governance in Practices: Belajar Dari Pengalaman di Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada, 2007. Governance Assessment and Reform at Banten Province, Yogyakarta. Pemerintah Provinsi Banten. 2007. Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Banten 2007-2012. Provinsi Banten. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Provinsi Banten Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah. http://www.pandeglangkab.go.id/profil. php?prof=NA==
9