Building Blocks for the Rule of Law
Nota Kebijakan tentang Pendidikan Hukum Indonesia dan Kelanjutan Kerjasama Hukum antara Sekolah/Fakultas Hukum (di-) Indonesia dan Belanda
Agustus 2012 Prof. Guus Heerma van Voss & Dr. Adriaan Bedner (eds)
1
1.
Pendahuluan
Nota Kebijakan ini membahas hasil temuan serta pembelajaran yang dapat dipetik dari the Building Blocks for the Rule of Law Project – suatu proyek kerjasama khas yang dikembangkan oleh dan untuk Sekolah/Fakultas Hukum Indonesia dan Belanda. Proyek ini terselenggara berkat bantuan pendanaan dari Kementerian Urusan Ekonomi Belanda dan dilaksanakan dalam tenggang waktu antara 2010 sampai dengan 2012.
Proyek the Building Blocks mempertemukan pakar-pakar hukum dari dari empat bidang kajian hukum di sejumlah Universitas di Indonesia dengan rekan-rekan sejawat dari Universitas Leiden dan Groningen. Serangkaian pertemuan diselenggarakan dalam tiga atau empat lokakarya (workshop) untuk masing-masing bidang kajian hukum, dan setiap lokakarya berlangsung selama satu minggu selama pelaksanaan proyek ini. Dengan demikian telah diadakan kursus sebanyak 15 kali di keempat bidang ilmu. Dalam lokakarya didiskusikan perkembangan terkini dalam bidang hukum keperdataan, hukum pidana, hukum perburuhan/ketenagakerjaan, dan studi sosio-legal baik di Indonesia maupun di Belanda. Di samping itu juga dibahas sejumlah permasalahan umum berkenaan dengan pengembangan kurikulum dan pendidikan tinggi hukum. Proyek ini bertujuan terutama pada ihtiar pertukaran pengetahuan dan perbandingan sistem hukum dari kedua Negara. Hasil akhir dari proyek ini adalah enam buku ajar (textbook) yang ditulis dalam bahasa Indonesia dengan tujuan agar buku-buku tersebut dapat dimanfaatkan dalam proses pengajaran hukum di Indonesia.
Hasil akhir dari proyek di atas dipresentasikan dan didiskusikan di hadapan kalangan masyarakat hukum yang lebih luas dalam konferensi yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan Juni 2012. Nota Kebijakan ini dibuat sebelum dan selama konferensi berlangsung dan dimaksudkan untuk menyebarluaskan pemahaman terpenting yang diperoleh dari dan selama penyelenggaraan proyek ini.
2
2.
Perkembangan Hukum: Kesamaan dan Perbedaan
Proyek the Building Blocks bukanlah proyek kerjasama pertama yang dikembangkan oleh dan antara Indonesia dan Belanda. Pada 1980an telah dikembangkan ragam kegiatan dalam bidang ini, disponsori oleh Kementerian Kerjasama Pembangunan Belanda (Development Co-operation). Berdasarkan kerjasama itu terselenggara pertukaran sumber daya dosen maupun pengetahuan antara kedua Negara yang berlangsung intensif. Sekalipun demikian pada awal tahun 1990an, proyek kerjasama semacam ini pernah ada dan terhenti akibat penolakan Indonesia untuk melanjutkan program bantuan pembangunan yang disponsori pemerintah Belanda. Namun ternyata sejumlah aktivitas dalam skala lebih kecil bertahan dan tetap berlanjut. Begitu juga dengan proyek-proyek penelitian hukum yang dikembangkan dalam kerangka Kerjasama Ilmiah IndonesiaBelanda (Scientific Programme Indonesia-Netherlands), sekalipun pada saat yang sama pendanaan tetap menjadi masalah terbesar. Proyek yang pernah diselenggarakan hampir 20 tahun yang lalu setelah berakhirnya kerjasama hukum yang disponsori Dana Bantuan Pembangunan Belanda (Dutch Development Aid) ini dapat dilanjutkan kembali. Oleh karena itu patut disambut dengan gembira dan harus dipandang sebagai ihtiar terpenting dalam upaya menghidupkan kembali kerjasama hukum dalam bidang pendidikan tinggi hukum.
Alasan terpenting yang mendasari ihtiar dijalinnya kerjasama dalam pembangunan hukum tidak berubah dari tahun ke tahun. Sekalipun sejak paska kemerdekaan Indonesia 1945, telah dikembangkan struktur hukum dan peraturan perundang-undangan yang berbeda, tetapi masih dapat ditemukan adanya landasan serta warisan hukum bersama. Proyek the Building Blocks kiranya menegaskan bahwa bahkan pada tahun 2012, warisan bersama ini tetap melandasi perlu dan pentingnya dijalin terus kerjasama tersebut. Kenyataan faktual itu mempermudah dilangsungkannya pertukaran pengetahuan hukum.
Kerjasama hukum Indonesia-Belanda bagi pakar (sarjana) hukum Indonesia sangat berguna untuk memperoleh informasi bagaimana sistem hukum Belanda berkembang dalam rangka menghadapi tantangan modernisasi maupun globalisasi. Hal ini penting
3
untuk dikatakan mengingat kenyataan bahwa Indonesia menghadapi tantangan serupa. Sebaliknya bagi pakar-pakar hukum Belanda kerjasama ini menarik untuk dapat mencermati seberapa jauh sistem hukum (Hindia-) Belanda yang diwariskan masih terus relevan dan berpengaruh dalam sistem hukum Indonesia. Dalam hal ini perlu pula dicermati kenyataan bahwa Negara Indonesia terus berupaya mengembangkan sistem hukumnya sendiri sekaligus mengakomodasi berbagai tekanan dan tuntutan dari sistem hukum adat, agama maupun Hukum Internasional. Di samping itu, pengalaman Indonesia dalam mengelola kebhinekaan masyarakat, dalam hal budaya maupun agama/keyakinan dapat diperbandingkan dengan pengalaman Belanda menghadapi situasi serupa. Hal ini menunjukkan pula bahwa pertukaran pengalaman maupun pengetahuan tidak akan berlangsung searah melainkan justru dua arah.
Temuan-temuan dalam bidang hukum materiil (susbtantif) dalam ke-empat bidang kajian di atas mengindikasikan adanya perbedaan dan kesamaaan dalam kadar yang berbeda antara kedua sistem hukum (Indonesia-Belanda). Pengaruh dari warisan bersama (akar sejarah yang sama) tampak jelas dalam hukum perikatan (perjanjian), hukum perbuatan melawan hukum dan hukum pidana materiil. Namun sebaliknya semakin menipis dan jauh berkurang dalam lingkup hukum keluarga, hukum agraria (pertanahan), hukum perburuhan (ketenagakerjaan) dan hukum acara pidana. Dari sudut pandang kajian sosiolegal dicermati bahwa pembedaan disipliner antara antropologi hukum, sosiologi hukum dan studi hukum adat ternyata di Indonesia lebih besar bila dibandingkan dengan apa yang muncul dan berkembang di Belanda.
Berkenaan dengan hukum keperdataan (hukum sipil) dapat diamati beberapa hal. Pertama, kedua Negara tidak lagi berbagi Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) yang sama. Satu dan lain hal adalah karena Belanda memberlakukan KUHPerdata yang baru pada 1992 (BW Baru). Kendati demikian, karena BW baru di Belanda ini terutama dilandaskan pada ihtiar sistematisasi preseden (putusan-putusan pengadilan) maupun kritisi terhadap BW lama, maka BW Baru tersebut kiranya akan menarik untuk dicermati dan dipelajari pakar-pakar hukum keperdataan Indonesia. Perbedaan yang muncul terutama diakibatkan peran dan
4
pengaruh pengadilan perdata yang sangat terbatas di Indonesia terhadap pengembangan hukum maupun pembaharuan peraturan perundang-undangan. Sebaliknya di Belanda pengadilan justru sangat berperan untuk menyesuaikan ketentuan perundang-undangan yang ada terhadap tuntutan perkembangan sosial ekonomi masyarakat yang semakin kompleks. Bahkan dalam kenyataan peran maupun pengaruh pengadilan Belanda justru diperkuat oleh pembuat undang-undang Belanda. Mereka dengan sengaja merumuskan ke dalam KUHPerdata konsep-konsep yang bersifat sangat terbuka bagi penafsiran dan pengembangan. Sebaliknya sebagai perbandingan di Indonesia, pertimbangan dan putusan pengadilan tidak dipublikasi, didiskusikan maupun dirujuk dalam praktik hukum maupun kepustakaan hukum. Hal ini mengakibatkan kajian hukum perdata kurang berkembang dan keberlakuannya tidak lagi sejalan dengan tuntutan serta kebutuhan situasi dan kondisi kontemporer.
Namun menarik bahwa hukum keluarga – yang pada zaman kolonial dipecah untuk melayani kebutuhan tiga golongan penduduk yang berbeda – pada tataran umum menunjukkan kemiripan dengan hukum keluarga di Belanda. Hal ini tampak khususnya berkenaan dengan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan, dan kedudukan anak di luar kawin. Pengamatan serupa juga muncul dalam bidang hukum pertanahan. Sekalipun ternyata Indonesia masih juga menghadapi persoalan pengelolaan registrasi hak atas tanah maupun pemberlakuan hukum tata ruang. Persoalan serupa tampaknya ditangani dengan lebih baik di Belanda, namun sulit dipecahkan di Indonesia dengan mengikuti jalan yang sama.
Perihal hukum pidana, muncul temuan-temuan serupa dengan hukum perdata. Dalam hal ini perlu diperhatikan pengembangan penemuan hukum oleh pengadilan pidana. Di Indonesia putusan-putusan pengadilan pidana tidak berperan dalam pengembangan kajian hukum pidana dan sebab itu tidak ditemukan adanya penyesuaian hukum substantif dengan tuntutan dan kebutuhan nyata masyarakat. Sekalipun demikian, untuk topik-topik khusus seperti, misalnya kejahatan dunia maya (cybercrime), korupsi, perlindungan anak terhadap kekerasan dalam rumah tangga, penanganan perkara pidana yang melibatkan anak (diversion), hak asasi di lembaga pemasyarakatan dan mediasi sebagai alternatif
5
penyelesaian perkara pidana, kita temukan pengaturan yang terpisah dari KUHPidana. Topik-topik demikian menarik untuk diperbandingkan di antara Indonesia dengan Belanda. Khususnya dengan tujuan untuk menelaah apa dan mengapa muncul persamaan dan perbedaan dalam perkembangan di bidang-bidang kajian khusus tersebut.
Hal serupa juga terjadi pada perkembangan hukum perburuhan/ketenagakerjaan baik di Belanda maupun di Indonesia. Beberapa tahun silam di Indonesia telah diundangkan peraturan perundang-undangan baru tentang hukum ketenagakerjaan. Peraturan ini, namun demikian tidak sekaligus mencabut dan menggantikan ketentuan tentang kontrak kerja dari KUHPerdata yang secara formal masih dianggap berlaku. Sistem Belanda kiranya dapat digunakan sebagai sumber inspirasi dan rujukan untuk menelaah secara kritis peraturan perundang-undangan tentang perburuhan yang berlaku di Indonesia. Hal ini sepertinya relevan dalam hal penetapan upah minimum, pengaturan kebebasan membentuk serikat buruh, pemutusan hubungan kerja, penyelesaian sengketa perburuhan atau hubungan industrial, penegakan hukum perburuhan serta pengembangan sistem jaminan sosial. Indonesia tidak mengenal dan mengembangkan suatu struktur umum hukum perburuhan. Alhasil pemilahan hukum ketenagakerjaan individual dengan hukum ketenagakerjaan kolektif, sebagaimana dikenal di belahan dunia lainnya, merupakan hal yang sama sekali baru bagi sejumlah peserta..
Kesimpulan utama dari lokakarya studi sosio-legal ialah bahwa di Indonesia ruang lingkup studi sosio-legal ini sangat terbatas, dan digunakannya secara terus menerus teori-teori dari ‘ajaran atau pendekatan lama’ justru menghambat pengembangan pendekatan interdisipliner terhadap ilmu hukum. Dalam hal ini adalah kombinasi pendekatan ilmu hukum dengan pendekatan ilmu-ilmu sosial lainnya dalam rangka melakukan penelitian terhadap persoalan-persoalan hukum praktikal.
Rangkaian lokakarya (workshop) yang diselenggarakan telah digunakan untuk mengajar dan mendiskusikan tentang ragam pendekatan alternatif terhadap studi sosio-legal serta bagaimana pendekatan tersebut dapat digunakan di dalam studi hukum di Indonesia. Semua bentuk kerjasama itu diharapkan dapat menjawab dengan lebih baik kebutuhan
6
yang muncul dikalangan pemerintah Indonesia, lembaga swadaya masyarakat serta lembaga-lembaga donor asing, peneliti, perancang peraturan perundang-undangan dan lain-lain dengan lebih bernas
3.
Kurikulum dan Metoda Pembelajaran
Suatu keluhan sering muncul di Indonesia berkaitan dengan pola pembelajaran yang umum digunakan di fakultas-fakultas hukum. Seringkali pola pembelajaran yang digunakan ialah pola perkuliahan biasa (pola pengajaran satu arah) dalam kelas besar yang acapkali tidak membuka ruang bagi berkembangnnya diskusi maupun perdebatan. Situasi dan kondisi demikian sulit untuk diubah tanpa sekaligus melakukan revisi besarbesaran terhadap kebijakan universitas, khususnya terhadap struktur insentif di bidang personalia dan finansial. Namun sejumlah usulan perubahan dapat diajukan. Untuk tujuan itulah lokakarya yang diselenggarakan dalam kerangka proyek the Building Blocks ini dikembangkan sebagai forum pertukaran informasi mengenai ragam metoda pengajaran atau pembelajaran yang digunakan di pelbagai sekolah hukum. Para peserta lebih didorong untuk terlibat dalam diskusi, menulis, membawakan makalah, dan mengujicoba ragam pola pertukaran informasi maupun pengujian. Suatu cara khusus yang dikembangkan untuk mendorong pengembangan dan penggunaan metoda pengajaran/pembelajaran alternatif diwujudkan dalam ihtiar bersama untuk merancang dan menulis buku ajar. Buku ajar tersebut, untuk sebahagian, dimaksudkan sebagai sarana untuk mendorong pengajaran yang lebih terarah pada pembedahan dan pengkajian kasus-kasus hukum konkrit.
Di samping persoalan perlunya fakultas-fakultas hukum memberikan perhatian lebih pada ketrampilan meneliti dan menulis, juga ditenggarai perlunya diberikan perhatian khusus terhadap persoalan penalaran hukum, terutama dalam konteks Indonesia Penemuan hukum masih terpusat pada kegiatan menelaah peraturan perundang-undangan dan belum merupakan ihtiar untuk menganalis peraturan yang dikombinasikan dengan kajian kritis atas putusan-putusan pengadilan dalam kasus konkrit yang terkait (case law), penelusuran dokumentasi perdebatan di parlemen perihal perancangan perundang-
7
undangan, penelusuran dari hukum kebiasaan yang berlaku serta pustaka hukum terkait yang memuat pandangan para pakar hukum (doktrin).
Untuk beberapa waktu memang benar bahwa putusan-putusan pengadilan, terutama dari Mahkamah Agung, sulit diperoleh, antara lain karena hanya sedikit yang dipublikasikan. Namun sekarang ini Mahkamah Agung telah mengembangkan proyek besar mengunggah putusan-putusannya dan menempatkannya dalam situs Mahkamah Agung. Harapannya ialah agar informasi (hukum) tentang putusan hakim menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat umum maupun pemerhati hukum Indonesia. Kenyataan ini diharapkan dapat membuka peluang bagi sekolah-sekolah hukum untuk secara sungguh-sungguh menelaah putusan-putusan pengadilan dan menerapkan pengetahuan hukum yang diperoleh untuk selanjutnya menganalisis dan mendiskusikan kasus-kasus hukum baru. Suatu perkembangan menarik yang juga diharapkan akan turut berperan dalam mendorong penggunaan pola ajar seperti digambarkan di atas ialah kenyataan bahwa banyak fakultas hukum di Indonesia sudah, atau dalam waktu dekat, akan mengintegrasikan pola pembelajaran hukum melalui peradilan semu dalam kurikulumnya.
Pengembangan terbaru di bidang hukum yang digambarkan di atas diharapkan juga berimbas pada pengembangan kurikulum di sekolah-sekolah hukum. Pada masa pemerintahan Orde Baru, kurikulum baku pada tingkat nasional yang dikembangkan acapkali dirasakan dan dialami sebagai hambatan. Namun sekarang ini terjadi yang sebaliknya. Sekolah-sekolah hukum justru sangat bebas menentukan prioritas mereka sendiri dan mengembangkan kurikulum lokal yang berbeda-beda. Kiranya pencarian dan penetapan keseimbangan antara pengembangan kurikulum dasar (nasional) dengan kurikulum lokal dapat dicapai, yaitu dengan meningkatkan kerjasama antar fakultas hukum dan juga pelibatan lebih jauh para penegak dan praktisi hukum seperti hakim, jaksa-penuntut umum, pengacara/praktisi hukum, dan notaris. Dalam rangka itu harus diperoleh kejelasan tentang aspek apa saja dalam pelatihan profesi hukum yang akan dimasukkan dalam lingkup tanggungjawab universitas dan bagian mana yang akan diserahkan dan dikembangkan dalam pelatihan praktis paska kelulusan. Mahasiswa hukum juga harus disadarkan akan pentingnya disiplin ilmu lainnya (di luar pendekatan
8
doktrinal), seperti kriminologi, dan pendekatan yang dikembangkan dalam studi sosiolegal. Hal ini perlu digarisbawahi mengingat adanya kesenjangan besar antara hukum (formal) negara dengan norma-norma yang secara nyata mengatur perilaku masyarakat dalam banyak bidang kehidupan.
Uraian di atas mengimplikasikan perlunya ditingkatkan komunikasi antara sekolahsekolah hukum, pengajar maupun para pengembang hukum lainnya (praktisi atau profesional hukum). Satu temuan penting yang muncul dalam proyek ini ialah bahwa para pengajar hukum di sekolah-sekolah hukum dan mereka yang berkecimpung dalam studi sosio-legal jarang bertemu dan berdiskusi. Bahkan bagi banyak dari mereka, kursus yang diselenggarakan dalam konteks proyek the Building Block merupakan forum yang untuk pertama kalinya mempertemukan mereka dengan rekan-rekan sejawat dari seluruh Indonesia. Ada organisasi atau asosiasi pengajar beberapa disiplin ilmu atau bidang hukum tertentu, tetapi belum ada yang benar-benar mampu memfasilitasi rangkaian pertemuan-pertemuan semacam yang dikerjakan oleh the Building Blocks.
Proyek the Building Block setidak-tidaknya memberikan landasan bagi pembentukan dan penguatan dua organisasi demikian (Asosiasi/Perhimpunan Pengajar/Peneliti Studi Sosio-Legal dan Asosiasi Pengajar Hukum Perburuhan/Ketenagakerjaan). Kedua asosiasi tersebut kiranya sangat penting dalam mendorong pengembangan kajian hukum, yaitu dengan memungkinkan para pengajar dari sekolah-sekolah hukum berbeda untuk saling bertukar informasi dan belajar satu sama lain. Bahkan melalui organisasi tersebut terbuka peluang untuk dibuat situs di dunia maya sebagai suatu forum yang memungkinkan anggota mengunggah maupun mengunduh bahan-bahan ajar, termasuk dalam mediamedia lain seperti film, foto, internet maupun blog.
Satu elemen lain yang juga harus dicermati ialah gejala internasionaliasi hukum. Studi perbandingan hukum dan hukum internasional meningkat peran dan pengaruhnya, dan itu berarti akan menjadi semakin penting bagi para sarjana hukum Indonesia. Mendorong pertukaran pelajar baik strata tiga (doktoral) maupun strata dua (master/magister) akan sangat bermanfaat untuk menanggapi gejala ini.
9
4.
Masa depan dan kelanjutan kerjasama hukum
Kesimpulan terpenting yang dihasilkan dari proyek ini ialah bahwa latarbelakang (sejarah) yang sama antara hukum Indonesia dengan hukum Belanda masih tetap relevan. Dalam rangka ini hendak dikatakan bahwa kerjasama dengan negara-negara lain barangkali kurang bermanfaat, terutama dalam hal pengembangan sistem hukum sendiri dan memajukan serta mewujudkan negara hukum. Namun dengan adanya pemahaman bersama yang terbangun karena kesadaran tentang akar sejarah yang sama memudahkan pihak Belanda memahami permasalahan hukum yang dihadapi Indonesia – sekalipun bahasa Inggris, dan bukan lagi bahasa Belanda, yang sekarang ini menjadi bahasa yang umum digunakan untuk berkomunikasi. Hal ini penting untuk dicatat bukan saja mengingat masih adanya kemiripan antara sejumlah ketentuan atau peraturan perundangundangan. Namun alasan sebenarnya adalah jauh lebih dalam, yaitu berkenaan dengan struktur dan wujud penataan hukum. Lebih jauh lagi, sekalipun banyak perbedaan antara Indonesia-Belanda, kedua Negara ternyata menghadapi situasi dan permasalahan serupa. Tantangan terhadap sistem hukum yang hampir sama dihadapi Indonesia maupun Belanda yakni pluralisme budaya masyarakat serta globalisasi ekonomi (dunia). Internasionalisasi hukum, khususnya untuk Belanda adalah pengembangan hukum regional Eropa, merupakan perhatian bersama kedua negara.
Kerjasama hukum yang efektif mensyaratkan terbangun dan terpeliharanya hubungan timbalbalik jangka panjang. Kedua universitas di Belanda yang terlibat dalam proyek ini sebelumnya telah memetik manfaat dari pengalaman terdahulu dalam mengelola kerjasama hukum antara Indonesia dengan Belanda. Pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dengan cara ini dan hubungan-hubungan inter-personal yang sudah terjalin, membantu kelancaran pelaksanaan proyek ini. Lebih lagi proyek ini selain memperkuat hubungan yang telah terbangun juga membentuk ikatan-ikatan baru. Hal itu secara nyata terwujud dalam penelitian serta publikasi bersama. Hasil akhir proyek itu pula yang memberikan landasan kuat bagi pengembangan kerjasama di masa depan. Dalam hal ini ketersedian beasiswa dari Kementerian Pendidikan (direktorat pendidikan tinggi) yang
10
dialokasikan bagi pengajar hukum di Indonesia untuk menempuh program S-3 di luar negeri menjadi sangat penting. Bahkan beberapa peserta kursus akan segera memulai program doctoral mereka di Leiden dan Groningen pada musim gugur tahun 2012 ini. Fasilitas penting lain yang disponsori pihak Indonesia ialah program pertukaran pelajar (sandwich program) yang memungkinkan kandidat doktor yang akan mempertahankan disertasi mereka di Indonesia, memiliki kesempatan untuk memperluas studi mereka selama tiga bulan di luar negeri. Peluang ini dapat digunakan lebih efektif karena sterjadi pertukaran dan pengembangan pengetahuan perihal sistem hukum Indonesia
Asosiasi atau perhimpunan yang telah disebutkan di atas – dan juga kemungkinan terbentuknya asosiasi baru lainnya – membuka peluang dikembangkannya kerjasama lanjutan. Para guru besar hukum dari Belanda tentunya akan tetap memiliki perhatian dan minat terhadap persoalan bagaimana hukum di Indonesia terus berkembang dan dapat membantu para pakar-pakar hukum Indonesia memasuki dan mengembangkan diri dalam jaringan internasional.
Terbuka pula peluang bahwa suatu saat kelak muncul kebutuhan untuk mengembangkan proyek yang lebih luas dalam rangka memberikan dorongan baru bagi pengembangan kerjasama hukum antara universitas dari kedua negara. Sebagaimana telah disinggung di muka, keluasan dan kedalaman kerjasama hukum di masa lalu memungkinkan dilanjutkannya proyek-proyek kerjasama lain dalam skala lebih kecil tatkala yang luas tersebut terhenti. Sekalipun hal ini merupakan dugaan sementara, kita dapat menarik kesimpulan bahwa untuk sementara ini telah tersedia pengetahuan dan dukungan yang memadai untuk melanjutkan kerjasama hukum antara kedua negara di masa depan. Bagaimanapun juga para peserta merekemondasikan dukungan untuk dilanjutkannya proyek ini.
11
5. Ringkasan Temuan dan Rekomendasi −
Hubungan struktural jangka panjang penting untuk menjamin keberhasilan kerjasama di bidang pendidikan (tinggi) hukum. Proyek yang lebih besar seperti the Building Blocks merupakan cara efektif untuk menciptakan hubungan kerjasama dan atas dasar itu kegiatan di masa depan dapat dirancang.
−
Warisan atau akar sejarah hukum yang sama antara Indonesia dengan Belanda serta kemiripan tertentu dalam hal tantangan yang dihadapi kedua negara terhadap sistem hukum mereka nampaknya menjadi landasan pertimbangan terpenting untuk mengembangkan kerjasama hukum. Kiranya masuk akal dan perlu dipertimbangkan oleh mereka yang terlibat dalam proyek ini untuk memilihkan topik-topik kajian tertentu bagi kandidat doktoral Indonesia di Belanda. Topik yang dapat diangkat misalnya adalah yang berkaitan dengan masalah kausalitas dalam hukum ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum atau yang menyangkut permasalahan struktural seperti bagaimana perkara pada tingkat kasasi dapat dikurangi karena beban yang terlalu berat bagi Mahkamah Agung.
−
Kurang berfungsinya asosiasi pengajar/pemerhati untuk ragam bidang kajian hukum di Indonesia mengakibatkan terhambatnya secara serius arus lalulintas pertukaran pengetahuan hukum, menyangkut hukum substantif maupun metoda pembelajaran dan pengembangan kurikulum. Untuk mendorong pengembangan pendidikan (tinggi) hukum serta peningkatan pengetahuan hukum substantif, maka penting dan perlu dibentuk asosiasi-asosiasi pengajar untuk berbagai bidang kajian hukum. Sekalipun sekarang ini pertukaran informasi semakin dipermudah dengan adanya jejaring internet, pertemuan tatap muka di dalam konferensi atau pertemuan ilmiah lainnya tetap diperlukan untuk meningkatkan profesionalisme dalam bidang (pengajaran) hukum. Dukungan dalam bidang ini sangat diharapkan.
−
Rendahnya ketersediaan dan keterjangkauan sumber-sumber hukum Indonesia berakibat sangat buruk terhadap situasi-kondisi maupun kualitas pendidikan (tinggi)
12
hukum maupun penalaran hukum di Indonesia. Fakta bahwa Mahkamah Agung telah mempublikasikan putusan-putusan (yurisprudensi) di dalam situs resminya di dunia maya (internet) membuka peluang untuk memperbaiki situasi di atas. Salah satu hal yang dapat dilakukan adalah dengan mewajibkan mahasiswa tingkat magister maupun kandidat doktoral untuk menggunakan putusan-putusan Mahkamah Agung sebagai sumber rujukan dalam penelitian mereka. Di samping itu para pengajar diharapkan dapat menggunakan putusan-putusan pengadilan sebagai bahan ajar dalam perkuliahan. Idealnya, harus segera diprakarsai suatu proyek yang melibatkan semua sekolah hukum di Indonesia untuk segera melakukan inventarisasi menyeluruh dan mulai memberikan komentar kritis terhadap putusan-putusan Mahkamah Agung. −
Sebagai rekomendasi konkrit, penting untuk dapat menanggapi berbagai temuan di atas dengan melanjutkan: (a) memperluas kursus yang kurang lebih sama kepada para dosen hukum yang lebih luas; (b) lokakarya dengan asosiasi dekan-dekan fakultas hukum, dan asosiasi pengajar bidang-bidang hukum tertentu, untuk mendorong terjadinya perubahan kurikulum pendidikan tinggi hukum yang lebih memungkinkan pemajuan pengajaran dan pendidikan hukum baik secara teoretikal dan metode penelitian, maupun metode pengajaran yang lebih memungkinkan terjadinya diskusi dan pembahasan kasus-kasus hukum di kelas: (c) penelitian kolaborasi di antara para dosen hukum Indonesia dan Belanda yang menggunakan putusan pengadilan, studi ruang sidang, dan dokumen risalah rapat di parlemen tentang pembahasan rancangan undang-undang tertentu.
−
As more operational reccomendation, it is very important to follow up the findings mentioned above by initiating activities as follows: (a) extended courses for participants from other faculties of law; (b) workshop with association of Deans of Faculties of Law and association of Law Teachers from certain field of law studies, with aims at enhancing legal education and teaching with the advance legal theories as well as legal research method, and furthermore teaching method which accomodate more discussion and analysis of legal cases in class; (c) research
13
collaboration among Dutch and Indonesian law teachers which focused on judge’s decisions, legal cases, court room studies, and “parliament document dealing with law making process in certain field of legal draft” (what is the term ?)
14