Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
1|
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 ISBN 978-979-3145-33-4
PROSIDING Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil Penelitian Kehutanan
Balai Penelitian dan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara
Ende, 30 November 2005 Departemen Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam 2006
2|
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
TIM PENYUSUN Penanggungjawab : Ir. Anwar, M.Sc Koordinator
: Ir. Syarif Hidayat, M.Sc
Ketua
: Prof. Dr. HEndi Suhaendi
Anggota
: Ir. Chairil Anwar, M.Sc Ir. Djoko Wahyono, M.S Ir. Maman Turjaman, DEA
Sekretariat
: Drs. Haryono Mardiah
3|
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Kata Pengantar
4|
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Daftar Isi Kata pengantar ………………………………………………………………………… Daftar Isi ………………………………………………………………………............. Daftar Lampiran ……………………………………………………………................ Sambutan Bupati Kabupaten Ende…………………………………………………. Sambutan Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara ………………………………………………………………… Rumusan…………………………………………………. ………………………….. MAKALAH UTAMA 1. Status Riset dalam Penguatan Kebijakan dan Program Kelimutu dan TN Komodo Abdullah Syarief Mukhtar ……………………………………………………. 2. Kajian Potensi dan Biofisik TN Kelimutu di P. Flores Agis Nursyam Sugiana, Mariana Takandjandji, Kayat…………………………………………………………………………… 3. Dampak Ekowisata Terhadap Kondisi Biofisik Kawasan dan Sosekbud Masyarakat Sekitar TN Komodo ………………………………………… 4. Kajian Peningkatan Pendapatan Masyarakat Melalui Pemanfaatan sebagai Hutan Ekowisata di Riung Rahman Kurniadi ……………………………………………………………… 5. Penangkaran Rusa Timor Oleh Masyarakat Mariana Takandjandi dan Kayat……………….…………………………… 6. Pemanfaatan Tempurung Kemiri Saptadi Darmawan.................................................................................... 7. Tehnik Budidaya Kutu Lak dan Prospek Pengembangannya di NTT Sujarwo Sujatmoko …………………………………………………………. 8. Sebaran dan PErtumbhan Fenotipe Tegakan Alam Sumber Benih Ampupu (Eucalyptus Urophylla ST Blake) di Flores, Prop NTT IK Surata ………………………………………………………………………. 9. Arsitektur Biologis Menuju Eksploitasi Hutan Yang harmonis di Flores Imaculata Fatima…………… …………………………………………………
i iii iv viii ix xi
1
13 31
43 55 73 77
87 97
MAKALAH PENUNJANG 1. Peranan Hutan TN Laiwanggi-Wanggameti dalam Menyimpan Karbon 103 Sumardi, Kayat dan Bernadus Ndolu………………………………………. 2. Pemanfaatan Hutan Secara Arif dan Bijaksana 111 Gerson Nd Njurumana………………………………………………………… 3. Pola pewarisan GEnetik Sifat-sifat morfologi dan Produksi Getah Pinus Merkusii Strain Aceh Hendi Suhaendi……………………………………………………………….. 123 DAFTAR LAMPIRAN 1. 2.
Jadwal Acara…………………………………………………………………… Daftar Peserta…………………………………………………………………
5|
133 135
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
SAMBUTAN BUPATI KABUPATEN ENDE PADA ACARA GELAR TEKNOLOGI DAN DISKUSI HASIL-HASIL PENELITIAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALI DAN NUSA TENGGARA 30 NOPEMBER 2005
Yang terhormat, 1.
Bapak-bapak Muspida Kabupaten Ende
2.
Pimpinan Dinas, Badan, Kantor se-Kabupaten Ende
3.
Kepala Balai Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Bali Dan Nusa Tenggara beserta peneliti yang akan menyampaikan hasil-hasil penelitian
4.
Para Camat, Pimpinan Lembaga Swadaya Masyarakat serta para undangan sekalian yang juga saya hormati.
Pada kesempatan yang berbahagia ini saya mengucapkan selamat datang kepada seluruh peserta yang ada di dalam ruang ini terutama bagi masyarakat yang telah bersedia meninggalkan pekerjaan di desa guna mengikuti acara ini. Salam sejahtera bagi kita semua. Mengawali sambutan saya pada kesempatan yang berbahagia ini, saya ingin mengajak seluruh hadirin untuk mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah menuntun kita sehingga pada hari ini dengan semangat kebersamaan kita dapat berjumpa dan menghadiri kegiatan Gelar Teknologi dan Diskusi Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan yang akan disampaikan oleh para peneliti baik yang berasal dari Lembaga Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, Perguruan Tinggi Universitas di Flores, dan Lembaga Ilmu Pengetahuan (LIPI) serta para pembangunan kehutanan lainnya. Untuk itu saya menyampaikan apresiasi yang tinggi kepada saudara-saudara peneliti atas kesediaanya bekerjasama dengan pemerintah daerah dalam menyelenggarakan kegiatan gelar teknologi dan diskusi hasil-hasil penelitian saudara di tingkat kabupaten. Saudara-saudara yang saya hormati, Kegiatan semacam ini penting karena untuk menghasilkan suatu upaya konkrit pembangunan kehutanan di wilayah kabupaten, khususnya di Kabupaten Ende masih memerlukan informasi yang dihasilkan oleh para peneliti guna mengembangkan berbagai teknik dan metode dalam menjawab persoalan mendasar seperti degradasi hutan, menurunnya populasi cendana, pengembangan komoditi unggulan kehutanan, serta berbagai gangguan terhadap keberlanjutan ekosistem Ende. Berbagai gangguan dan tekanan terhadap ekosistem di Pulau Flores telah berlangsung lama. Sadar atau tidak sadar hal ini telah menciptakan kondisi ekosistem hutan dan 6|
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
lahan yang semakin memprihatinkan. Laju pemanfaatan hutan dan hasil-hasilnya lebih cepat dari upaya untuk merehabilitasinya. Dampak dan akibat dari fenomena tersebut telah kita rasakan bersama yakni makin menurunnya keanekaragaman hayati sumberdaya alam yang kita miliki, menurunnya tingkat kesuburan tanah bahkan dalam kurun waktu 6 (enam) tahun belakangan ini telah terjadi berbagai bencana longsor. Kita sama mencermati kenyataan bahwa berbagai upaya yang telah dilaksanakan selama ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Adanya interaksi/ketergantungan masyarakat dengan kawasan hutan untuk berbagai keperluan sosial ekonomi dan budaya; terbatasnya kawasan bervegetasi lebat; terdapatnya beberapa jenis satwa (khususnya komodo dengan tingkat endemik tinggi); masih tingginya aktivitas pembakaran lahan/kebun dan padang; serta belum optimalnya pengembangan komoditas hasil hutan (kayu dan non kayu) spesifik daerah kering seperti cendana, gaharu, jati, mahoni, asam, kemiri, kayu putih, lak, lontar, lebah madu, bahan pewarna kain tenun, serta jenis-jenis kayu lokal dan jenis-jenis pohon serbaguna lainnya. Kondisi di atas tidak membuat kita kehilangan cara dan semangat untuk membangun kehutanan di Pulau Flores.
Kondisi klimat Pulau Flores memang tidak termasuk
kategori semiarid yang kering, namun kita harus memandang kondisi tersebut sebagai faktor pendorong. Berbagai tanaman kehutanan unggulan daerah dapat kita hasilkan dengan kualitas tinggi sebagai akibat adanya kelimpahan sinar matahari dan kekhasan faktor biofisik lainnya.
Cendana, kemiri, gaharu, minyak kayu putih, dan seed lak
misalnya merupakan hasil hutan non kayu unggulan daerah flores yang kualitas produknya sangat ditentukan oleh faktor-faktor tersebut. Untuk pengembangan sektor kehutanan seyogyanya mencermati keunikan kondisi agroklimat dalam menangani permasalahan lahan hutan kritis di Pulau Flores dengan berbagai jenis tanaman yang memang mempunyai keunggulan komparatif di daerah ini. Sejak Pelita I sampai dengan saat ini penanganan lahan kritis melalui kegiatan reboisasi dan penghijauan baru mencapai 11,98% di dalam kawasan hutan dan sebesar 1,39% di luar kawasan hutan dari total lahan kritis yang ada di wilayah kabupaten Ende. Sesuai dengan kemampuan keuangan kita rata-rata hanya mampu merehabilitasi 200 ha setiap tahunnya.
Oleh karena itu pada kesempatan ini saya
mengajak kita semua baik pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat, maupun penggiat lingkungan lainnya untuk bersama-sama membangun daerah ini dan menemukan cara metode/teknik untuk menemukan keseimbangan antara tujuan-tujuan pemanfaatan dengan pelestarian dari sumberdaya hutan itu sendiri. Mengingat penanganan permasalahan pengelolaan hutan dan ekosistemnya yang cukup kompleks, maka dalam pengelolaan selain diperlukan dukungan ilmu pengetahuan dan teknologi, juga tidak kalah pentingnya adalah kajian yang berupaya 7|
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
mengembangkan model pendekatan kehutanan berbasis masyarakat.
Yang saya
maksudkan disini adalah bagaimana mempertemukan pendekatan teknis yang dihasilkan pada berbagai penelitian dengan bentuk-bentuk kekuatan dan kearifan lokal masyarakat. Saudara-saudara sekalian, Dengan demikian kegiatan gelar teknologi dan diskusi hasil-hasil penelitian oleh para peneliti dari berbagai lembaga pada kesempatan ini merupakan momen penting yang bukan saja berfungsi sebagai media penyedia hasil-hasil penelitian, tetapi juga saya mengharapkan dapat menjadi ajang dialog kearah penajaman dan penyempurnaan program-program penelitian yang lebih sesuai dengan kebutuhan real di lapangan, baik menyangkut kondisi bioekologis hutan maupun masyarakatnya. Saudara-saudara sekalian, Pada akhirnya saya berharap melalui gelar teknologi hasil-hasil penelitian ini, supaya semua pihak dapat menyadari akan pentingnya mempertemukan berbagai ide, metode, model pendekatan dalam pengembangan IPTEK sebagai salah satu faktor penting dalam akselerasi pembangunan masyarakat di sektor kehutanan. Kepada para peneliti yang akan menyampaikan hasil-hasil penelitian sekali lagi saya memberikan apresiasi yang tinggi pada upaya saudara dalam pembangunan kehutanan daerah termasuk di Pulau Flores ini. Kepada seluruh peserta saya mengucapkan selamat mengikuti gelar teknologi ini dan kepada penyelenggara saya sampaikan terima kasih, selamat berkarya. Semoga Tuhan selalu memberikan petunjuk dan bimbingan-Nya bagi kita semua. Terima kasih.
Ende, 30 Nopember 2005 Bupati Ende, TTd Drs. Paulinus Domi
8|
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
SAMBUTAN KEPALA BP2KBNT PADA ACARA GELAR TEKNOLOGI DAN DISKUSI HASIL-HASIL PENELITIAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALI DAN NUSA TENGGARA 30 NOPEMBER 2005
Selamat pagi dan salam sejahtera bagi kita semua Yang kami hormati: Bapak Bupati Kabupaten Ende Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan Bapak Ketua DPRD Kabupaten Ende Bapak-bapak MUSPIDA Kabupaten Ende Para Undangan dan Hadirin yang berbahagia Pertama-tama kita panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rahmat dan berkat-Nya kita dapat sama-sama hadir pada acara inid alam ekadaan sehat wal afiat. Yang kedua perkenankanlah kami mengucapkan terima kasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Bapak Bupati dan jajaran Pemkab Ende, khususnya Bapak Kepala Dinas Kehutanan dan jajarannya atas perkenaan, dukungan dan kerjasama yang sangat baik hingga acara Gelar Teknologi ini dapat terlaksana hari ini dengan baik. Selanjutnya perkenankanlah kami menyampaikan laporan penyelenggaraan acar ini: Latar Belakang dan dasar Pelaksanaan Salah satu tugas pokok dan fungsi Balai Penelitian Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara Adalah menyebarluaskan hasil-hasil teknologi yang telah dilakukan dalam berbagai penelitian dan kegiatan gelar teknologi ini juga merupakan sarana penyebarluasan informasi kepada pengguna teknologi. Penyelenggaraan gelar teknologi diikuti oleh para penelitia Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara serta berbagai instansi lainnya seperti Balai Taman Nasional Komodo, Balai Konservasi Sumberdaya Alam NTT II, Balai Diklat Kehutanan, Universitas Flores. Dengan keterlibatan dari berbagai pihak tersebut diatas diharapkan sinergi akan tercipta lebih kuat dab rumusan yang dihasilkan adalah emrupakan rumusan bersama yang dapat ditindaklanjuti dalam pelaksanaan tugas pembangunan kehutanan. Maksud dan Tujuan 1. Menggalang dan membangun kerjasama, persepsi dan visi berbagai pihak (pemerintah, amsyarakat, lembaga swadaya masyarakat, perguruan tinggi dan pengusaha) dalam rangka penajaman arah penelitian dan pemanfaatan hasilhasil litbang/iptek kehutanan. 2. Menyajikan teknologi litbang kehutanan, baik yang dikerjakan oleh Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara maupun instansi litbang terkait. 3. Mengetahui kebutuhan litbang dari berbagai instansi terkait. Sasaran 1. Bahan masukan dari berbagai pihak bagi penajaman arah, penetapan dan pendayagunaan hasil-hasil serta rencana litbang BP2KBNT dimasa mendatang. 2. Bahan masukan dari berbagai pihak guna peningkatan pelayanan/kiprah BP2KBNT diwilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Luaran 1. Teknologi untuk mendukung pemantapan pengelolaan kawasan konservasi 2. Teknologi pembuatan minyak kemiri dan arang kemiri. 3. Teknologi pelestarian rusa Timor dengan sistem kandang dan penangkaran. 9|
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
4. Teknologi budidaya dan penularan kutu lak secara langsung. 5. Teknologi konsetvasi plastma nutfah jenis ampupu. Waktu dan Tempat Gelar teknologi ini dilaksanakan pada hari Rabo tanggal 30 November 2005 di aula Kantor Bupati Kabupaten Ende Peserta Peserta ekspose ini direncanakan sebanayak 100 orang terdiri dari jajaran Badan Litbang Kehutanan, Dinas Kehutanan dari kabupaten dan Kota, Dinas Kehutanan Kabupaten Ende, Perguruan Tinggi, Peneliti, Penyuluh, LSM serta undangan lainnya. Sumberdana Pembiayaan dalam pelaksanaan Gelat teknologi ini bersumber dari dana DIPA 2005 Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Demikian laporan ini kami sampaikan dan kami mohon kepada Bapak Bupati untuk membuka secara resmi Gelar Teknologi ini. Sekian dan terimakasih.
Ende, 30 November 2005 Kepala Balai,
Ir. Tigor Butabutar, M.Sc NIP. 710006094
10 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
RUMUSAN GELAR TEKNOLOGI DAN DISKUSI HASIL PENELITIAN KEHUTANAN BALAI PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN BALI DAN NUSA TENGGARA ENDE, 30 NOPEMBER 2005
Berdasarkan arahan wakil Bupati Pemerintah Kabupaten Ende, Kepala Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam Departemen
Kehutanan, penyajian makalah utama
sebanyak 13 (tiga belas) topik dari para peneliti Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara serta berbagai instansi lainnya seperti Balai Taman Nasional Kelimutu, Balai Taman Nasional Komodo, Balai Konservasi Sumber Daya Alam NTT II , Balai Diklat Kehutanan, Universitas Flores dan hasil diskusi saran pendapat dari peserta yang hadir, dihasilkan 9 (sembilan) butir rumusan sebagai berikut : 1. Khusus pelestarian Taman Nasional Kelimutu, hal-hal yang perlu ditindaklanjuti dari hasil penelitian yang ada, antara lain kajian terhadap struktur dinding danau supaya dapat dipertahankan supaya tidak longsor, penanaman tanaman untuk rumah adat seperti kayu Nara dan kayu unggul lainnya serta penghasil buah untuk makanan kera, burung dan lain-lain, dengan jenis-jenis endemik setempat seperti Ficus sp dan kajian peran serta masyarakat. Dalam rangka keamanan dan kenyamanan pengunjung perlu penambahan sarana prasarana fasilitas pengunjung seperti papan-papan larangan pada daerah berbahaya, shelter dan sebagainya. Dengan berbagai tantangan yang ada dimasa depan perlu dipertimbangkan sistem manajemen kolaborasi yang melibatkan berbagai stakeholder,
termasuk tokoh-
tokoh masyarakat dan tokoh-tokoh adat yang berpengaruh. 2. Keberadaan Taman Nasional Komodo perlu dipertahankan dengan meningkatkan dampak-dampak positif, baik terhadap keanekaragaman flora dan fauna yang ada dan dampak sosial ekonomi seperti pendapatan terhadap masyarakat sekitar melalui paket-paket iptek dan kebijakan yang sudah ada. Paket-paket iptek yang dapat diterapkan dalam usaha pelestarian kawasan tersebut antara lain: teknik pengendalian kaktus dengan cara mekanis dan biologis dan paket kebijakan seperti melibatkan masyarakat dalam seluruh proses pengelolaan Taman Nasional tersebut, yang didahului dengan pelatihan-pelatihan. 3. Pelestarian TWA 17 (tujuh belas) Pulau perlu dititikberatkan pada usaha pembangunan sarana prasarana, penertiban lokasi pantai disekitar terumbu karang dari budidaya rumput laut dan penambahan petugas pengelola. Selanjutnya diperlukan juga upaya pengamanan dari berbagai gangguan seperti pemboman ikan, budidaya rumput laut, dan lain-lain. Kemudian perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan kajian terhadap kebutuhan tenaga dan bentuk kelembagaan yang profesional 4. Meningkatkan tarif masuk kawasan konservasi, khususnya untuk wisatawan mancanegara. 11 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
5. Potensi kemiri sebagai bahan pembuat minyak kemiri dan arang dari cangkang kemiri dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. 6. Pelestarian Rusa timor (Cervus timorensis) melalui penangkaran dengan sistem kandang sederhana dapat meningkatkan pasokan daging/protein dan pendapatan masyarakat. 7. Peningkatan budidaya lak perlu dititikberatkan pada usaha penanaman kembali tanaman inang (Schleichera oleosa) dan teknik penularan kutu lak secara langsung. 8. Hasil-hasil teknologi tepat guna yang bermanfaat bagi masyarakat agar segera disosialisasikan melalui penyuluh lapangan dan pemerintah desa serta institusiinstitusi pendidikan, LSM dan Balai Diklat. 9. Konservasi plasma nutfah jenis Ampupu (Eucalyptus urophylla)yang terdapat di dataran Flores perlu ditingkatkan melalui pendekatan teknis dan kelembagaan. Pendekatan teknis meliputi peningkatan status tegakan menjadi sumber benih yang bersertifikat dan pembentukan kelembagaan seperti stasiun penelitian.
Demikian rumusan tersebut, semoga dapat bermanfaat bagi para pelaksana pembangunan kehutanan di Pulau Flores. Ende, 30 Nopember 2005 Tim Perumus, • Ir. Yohanes de Deo Dari • Dra. Imaculata Fatima, MMA • Ir. Untung Suprapto
12 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
MAKALAH UTAMA
13 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
STATUS RISET DALAM PENGUATAN KEBIJAKAN DAN PROGRAM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL KELIMUTU DAN TAMAN NASIONAL KOMODO 1 Oleh: Abdullah Syarief Mukhtar 2 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sebagai salah satu negara mega biodiversitas, Indonesia memiliki kekayaan keragaman hayati yang sangat tinggi dan tersebar di seluruh wilayah daratan, pulau dan perairannya. Tingginya kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia dipengaruhi empat faktor utama, yaitu : - Wilayah yang luas. Indonesia adalah negara terbesar keempat di dunia dengan luas keseluruhan sekitar 8 juta km2 dan daratan seluas 1,9 juta km2. - Keadaan geografis. Indonesia adalah negara kepulauan yang terpisah berjauhan sehingga mendorong terjadinya proses spesiasi (terbentuknya spesies baru). - Letak.
Terletak di antara dua wilayah biogeografi utama, yaitu Indo-Malaya di
sebelah Barat dan Australasia di sebelah Timur, sehingga susunan flora dan faunanya merupakan gabungan dari flora dan fauna di kedua wilayah tersebut. - Ekosistem. Memiliki beragam tipe ekosistem dari pantai hingga pegunungan yang menurut Bappenas (2003) diperkirakan jumlah tipe ekosistem di Indonesia sebanyak 90 tipe ekosistem. Kekayaan keanekaragaman hayati tersebut merupakan penghuni kawasan yang memiliki relung ekologis spesifik pada berbagai tipe ekosistem. Menurut Bappenas (2003) yang mengutip data Departemen Kehutanan tahun 1994 dan Mittermeier dan kawan-kawan tahun 1997, menyebutkan bahwa potensi kekayaan keanekaragaman hayati Indonesia adalah sebagai berikut: - Mamalia ± 515 spesies (12% dunia, 39% endemik, urutan kedua dunia); - Reptilia ± 511 spesies (7,3% dunia, 150 endemik, urutan keempat dunia); - Amphibia ± 270 spesies (100 endemik, urutan keenam dunia); - Burung ± 1.531 spesies (17% dunia, 397 endemik, urutan kelima dunia); 1
2
14 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
- Kupu-kupu ± 121 spesies (44% endemik); - Ikan air tawar ± 1.400 spesies (40%); - Binatang tak bertulang belakang selain ikan air tawar ± 2.827 spesies; dan - Tumbuhan ± 38.000 spesies (55% endemik, urutan kelima dunia). Kekayaan keanekaragaman hayati tersebut telah hidup dan berkembang pada kawasan perairan dan daratan dengan tipe ekosistem yang berbeda. Selain itu, secara langsung mupun tidak langsung, telah terjadi interaksi antara manusia dengan keragaman hayati tersebut yang menghasilkan suatu budaya dan tradisi lokal serta bersifat turun temurun.
Interaksi ini menambah khasanah kekayaan alam dan
memperkaya keunikannya sehingga berbeda dengan kawasan lain di dunia. Namun demikian potensi biodiversitas tersebut belum semuanya dikenal dan diketahui informasi biologis dan penyebarannya.
Demikian pula pemanfaatan dalam rangka
peningkatan kesejahteraan manusia kebanyakan masih dalam skala kecil dan bersifat tradisional. Oleh sebab itu, sebelum terjadi kepunahan atau kerusakan habitat dan ekosistemnya, dilakukan upaya perlindungan dan pelestarian melalui penetapan kawasan-kawasan konservasi. Kawasan konservasi adalah suatu daerah biogeografi tertentu yang ditetapkan atau diatur dan dikelola untuk mencapai tujuan pelestarian tertentu.
Menurut data
Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam 3, kawasan konservasi di Indonesia mencakup areal seluas 28,166 juta hektar terdiri dari Kawasan Suaka Alam/KSA (meliputi Cagar Alam dan Suaka Margasatwa), Kawasan Pelestarian Alam/KPA (meliputi Taman Nasional, Taman Wisata Alam dan Taman Hutan Raya), dan Taman Buru. Untuk Taman Nasional (TN), sampai dengan akhir 2004, tercatat terdapat 50 taman nasional di Indonesia dengan luas sekitar 16.384.194,14 ha. Khusus untuk TN Kelimutu mempunyai luasan sekitar 5.356,5 ha dan untuk TN Komodo mempunyai luasan sekitar 173.300 ha. B. Permasalahan
3
Sambutan Direktur Jenderal PHKA pada Sarasehan Membangun Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia, Bogor 29 Agustus – 1 September 2005.
15 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Sampai dengan saat ini telah banyak permasalahan dan kendala dalam pengelolaan taman nasional di Indonesia, termasuk di TN Kelimutu dan TN Komodo. Hasil workshop yang diselenggarakan pada tanggal 11 – 14 Mei 2004 di Cisarua Bogor (Sriyanto, 2005) mengidentifikasi 14 jenis tekanan dan ancaman terhadap pengelolaan taman nasional di Indonesia. Tekanan dan ancaman tersebut berupa: (1) perambahan; (2) penebangan dan pembalakan liar; (3) kebakaran hutan; (4) penambangan liar; (5) perburuan satwa dan penangkapan ikan
secara liar; (6) pemukiman liar; (7)
pemanfaatan hasil hutan non kayu yang tidak lestari; (8) dampak negatif kegiatan pariwisata dan rekreasi; (9) invasif spesies; (10) tuntutan hak masyarakat; (11) penggunaan non-konservasi; (12) pencemaran lingkungan; (13) penggunaan alat penangkapan ikan tidak ramah lingkungan; dan (14) perburuan harta karun. Jumlah kejadian tekanan dan ancaman dalam pengelolaan taman nasional umumnya didominasi oleh penebangan dan pembalakan liar, perburuan satwa dan penangkapan ikan secara liar, dan perambahan kawasan taman nasional. Pengelolaan taman nasional juga belum memberikan manfaat nyata terhadap kesejahteraan masyarakat kehidupannya.
di sekitarnya, apa
lagi untuk meningkatkan taraf
Pendekatan pengelolaan selama ini lebih banyak diarahkan pada
upaya pengamanan kawasan dan perlindungan sumber daya alamnya. Pendekatan terhadap masyarakat masih dianggap kurang, bahkan sebagian besar tidak menyentuh sama sekali.
Akibatnya banyak ditemukan permasalahan munculnya konflik antara
masyarakat dan pengelola, atau antar kelompok masyarakat yang merasa memiliki akses dan kepentingan. Oleh sebab itu, pendekatan pengelolaan kini mulai bergeser paradigmanya.
Pengelolaan tidak lagi menjadi hak dan kewenangan penuh
pemerintah, tetapi juga sudah harus melibatkan stakeholder lainnya (seperti pemerintah daerah, masyarakat lokal, swasta, lembaga swadaya masyarakat, dan sebagainya). C. Tujuan dan Sasaran Efektivitas pengelolaan suatau kawasan konservasi (dalam hal ini taman nasional) tergantung terutama pada tingkat pengetahuan tentang ekosistem kompleks yang
dikandungnya.
Selain
itu
kompleksitas,
nilai
budaya
tradisional
dan
pengembangan ekonomi akan tergantung pada sumber daya yang dimiliki kawasan 16 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
taman nasional tersebut. Oleh sebab itu, dalam konteks optimalisasi pengelolaan suatu kawasan taman nasional maka perlu dilakukan upaya-upaya “kombinasi beberapa aksi kegiatan legal, politis, administratif, penelitian, perencanaan, perlindungan, koordinasi, interpretatif atau karakter pendidikan, yang menghasilkan pemanfaatan yang lebih baik dan terus menerus dari kawasan konservasi, dan kesuksesan tujuan” (dikembangkan dari Cifuentes, 1983 dalam Cifuentes A, Izurieta V., dan de Faria, 2000). Dengan demikian, tujuan penulisan ini adalah untuk memberikan informasi status riset yang dapat menguatkan kebijakan dan program pengelolaan taman nasional, khususnya di TN Kelimutu dan TN Komodo. Sasaran yang diharapkan dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu: 1. Diperolehnya masukan indikator pengukuran yang dapat membantu pencapaian efektivitas pengelolaan TN Kelimutu dan TN Komodo melalui berbagai model pengelolaan yang telah dilakukan, dikombinasikan dengan hasil-hasil riset dan perangkat peraturan yang berlaku.
Dalam hal ini, pembentukan perangkat
peraturan yang lebih memadai dan mengakomodir kebutuhan seluruh stakeholder dapat dirancang guna pengelolaan taman nasional yang lebih baik. 2. Diperolehnya manfaat optimal yang berkelanjutan untuk kesejahteraan masyarakat, melalui penerapan hasil-hasil riset yang mampu secara signifikan memberi nilai tambah (khususnya terhadap tingkat ekonomi dan sosial masyarakat), dan nilai strategis (khususnya bagi pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk memperbaiki kehidupan manusia, serta kelestarian alam).
II. KEBIJAKAN UMUM PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL DI INDONESIA A. Kriteria Penunjukan Taman Nasional dan Sistem Zonasi Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang memiliki ekosistem asli, yang dikelola dengan sistem zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman nasional mempunyai multi fungsi yaitu perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari jenis tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya. 17 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Taman nasional merupakan satu dari tiga kawasan pelestarian alam yang telah dinyatakan dan diatur dalam Undang Undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Selain itu landasan hukum taman nasional adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Suatu kawasan ditunjuk sebagai kawasan taman nasional, apabila telah memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Kawasan
yang
ditetapkan
mempunyai
luas
yang
cukup
untuk
menjamin
kelangsungan proses ekologis secara alami; 2. Kawasan memiliki sumber daya alam yang khas dan unik baik berupa jenis tumbuhan maupun satwa dan ekosistemnya serta gejala alam yang masih utuh dan alami; 3. Kawasan memiliki satu atau beberapa ekosistem yang masih utuh; 4. Kawasan memiliki keadaan alam yang asli dan alami untuk dikembangkan sebagai pariwisata alam; 5. Kawasan merupakan areal yang dapat dibagi ke dalam zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan zona lain yang karena pertimbangan kepentingan rehabilitasi kawasan, ketergantungan penduduk sekitar kawasan, dan dalam rangka mendukung upaya pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, dapat ditetapkan sebagai zona tersendiri. Berdasarkan sistem zonasi pengelolaannya, kawasan taman nasional dapat dibagi atas zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba, dan atau zona lain yang ditetapkan Menteri berdasarkan kebutuhan pelestarian sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Penetapan suatu kawasan sebagai zona inti, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Kawasan mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya; 2. Kawasan mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya; 3. Kawasan mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau belum diganggu manusia; 18 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
4. Kawasan mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami; 5. Kawasan mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi; 6. Kawasan mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langkaa atau yang keberadaannya terancam punah. Penetapan suatu kawasan sebagai zona pemanfaatan, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut : 1. Kawasan mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik; 2. Kawasan mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam; 3. Kondisi lingkungan di sekitar kawasan mendukung upaya pengembangan pariwisata alam. Penetapan suatu kawasan sebagai zona rimba, apabila memenuhi kriteria sebagai berikut: 1. Kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembang-biakan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi; 2. Kawasan memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan; 3. Kawasan merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu. B. Pengelolaan Taman Nasional Pengelolaan kawasan taman nasional dilakukan oleh pemerintah dengan melakukan upaya pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya. Upaya pengawetan kawasan taman nasional dilaksanakan sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya.
Upaya pengawetan pada zona inti, zona
pemanfaatan dan zona rimba dilaksanakan dalam bentuk kegiatan perlindungan dan pengamanan, inventarisasi potensi kawasan, penelitian dan pengembangan dalam
19 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
menunjang pengelolaan. Pada zona rimba dilakukan pula kegiatan pembinaan habitat dan populasi satwa. Dalam pengelolaan taman nasional dilarang melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan perubahan fungsi kawasan, seperti : 1. Merusak kekhasan potensi sebagai pembentuk ekosistemnya; 2. Merusak keindahan alam dan gejala alam; 3. Mengurangi luas kawasan yang telah ditentukan; 4. Melakukan kegiatan usaha yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan dan atau rencana pengusahaan yang telah mendapat persetujuan dari pejabat yang berwenang. Selanjutnya
dalam
pengelolaannya,
kawasan
taman
dimanfaatkan sesuai dengan sistem zonasi pengelolaannya.
nasional
dapat
Zona inti dapat
dimanfaatkan untuk keperluan penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan atau kegiatan penunjang budidaya. Zona pemanfaatan dapat dimanfaatkan untuk keperluan pariwisata alam dan rekreasi, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, pendidikan, dan atau kegiatan penunjang budidaya.
Sedangkan zona rimba dapat dimanfaatkan untuk
keperluan penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan, ilmu pengetahuan, pendidikan, kegiatan penunjang budidaya, dan wisata alam terbatas. Selain zonasi pengelolaan yang telah ditetapkan tersebut, pada kawasan sekitar taman nasional dibuat pula daerah penyangga. Daerah penyangga mempunyai fungsi untuk menjaga kawasan pelestarian alam tersebut dari segala bentuk tekanan dan gangguan yang berasal dari luar dan atau dari dalam kawasan yang dapat mengakibatkan perubahan keutuhan dan atau perubahan fungsi kawasan.
Daerah
penyangga ini ditetapkan oleh menteri dengan pertimbangan gubernur kepala daerah setempat dengan tetap menghormati hak-hak masyarakat yang memilikinya. Penetapan daerah penyangga didasarkan pada kriteria sebagai berikut: 1. Daerah tersebut secara geografis berbatasan dengan kawasan suaka alam dan atau kawasan pelestarian alam;
20 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
2. Daerah tersebut secara ekologis masih mempunyai pengaruh baik dari dalam maupun dari luar kawasan suaka alam dan atau kawasan pelestarian alam; 3. Daerah tersebut mampu menangkal segala macam gangguan baik dari dalam maupun dari luar kawasan suaka alam dan atau kawasan pelestarian alam. Untuk membina fungsi daerah penyangga, pemerintah melakukan peningkatan pemahaman masyarakat terhadap konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, peningkatan pengetahuan dan ketrampilan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, rehabilitasi lahan, peningkatan produktivitas lahan, dan kegiatan lain yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pengelolaan taman nasional berkaitan dengan peengembangan ekowisata juga telah dibuat peraturannya, yaitu melalui Peraturan Pemerintah No. 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Alam. Pengusahaan pariwisata alam dilaksanakan sesuai dengan asas konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya, serta bertujuan untuk meningkatkan pemanfaatan gejala keunikan dan keindahan alam yang terdapat dalam zona pemanfaatan taman nasional tersebut. Jenis-jenis pariwisata alam tersebut meliputi usaha : 1. Akomodasi; seperti pondok wisata, bumi perkemahan, karavan dan penginapan remaja. 2. Penyediaan makanan dan minuman. 3. Penyediaan sarana wisata tirta. 4. Penyediaan angkutan wisata. 5. Penjualan cinderamata. 6. Penyediaan sarana wisata budaya Luas kawasan yang dimanfaatkan untuk pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam maksimum 10% dari luas zona pemanfaatan taman nasional, dengan bentuk bangunan bergaya arsitektur budaya setempat, serta tidak mengubah bentang alam yang ada. Pengusahaan paling lama untuk jangka waktu 30 tahun sesuai jenis usahanya dan dapat dilakukan oleh koperasi, badan usaha milik negara/daerah, perusahaan swasta dan perorangan. Ijin dapat diberikan oleh Menteri (dalam hal ini 21 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Menteri Kehutanan) setelah mendapat pertimbangan dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang kepariwisataan dan Gubernur Kepala Daerah Tingkat I yang bersangkutan.
III. STATUS RISET DI TN KELIMUTU DAN TN KOMODO A. Taman Nasional Kelimutu Status hukum TN Kelimutu mengacu pada penunjukkan Menteri Kehutanan dengan Surat Keputusan ( SK) No. 279/Kpts-II/1992 dan penetapannya berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 675/Kpts-II/1997. Luas kawasan yang ditunjuk + 5.356,5 ha, letak geografis 8o43’ – 8o48’ LS, 121o44’ – 121o51’ BT. Secara administratif masuk dalam pemerintahan Kabupaten Ende, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Ketinggian
tempat 1.500 – 1.731 m dpl, temperatur udara 25o - 31o C dan curah hujan 1.600 3.300 mm/tahun. Potensi
flora
diantaranya
adalah
kayu
mata
(Albizia
montana),
kebu
(Homalanthus giganteus), tokotaka (Putranjiva roxburghii), uwi rora (Ardisia humilis), longgo baja (Drypetes subcubica), toko keo (Cyrtandra sp.), kayu deo (Trema cannabina) dan kelo (Ficus villosa). Potensi fauna diantaranya adalah 4 jenis mamalia endemik seperti tikus gunung Bunomys naso dan Rattus hainaldi.
Jenis burung
terdapat sekitar 19 jenis terancam punah diantaranya adalah burung hantu wallacea (Otus silvicola), sikatan rimba ayun (Rhinomyias oscillans), tesia Timor (Tesia everetti), punai Flores (Treron floris), opior jambul (Lophozosterops dohertyi), opior paruh tebal (Heleia crassirostris), cabai emas (Dicaeum annae), kehicap flores (Monarcha sacerdotum), elang Flores (Spizaetus floris), dan burung madu matahari (Nectarinia solaris). Potensi menarik lainnya adalah adanya tiga buah danau berwarna di puncak Gunung Kelimutu (Tiwu Ata Mbupu, Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Polo), sumber air panas, air terjun dan budaya masyarakat Flores. Bentuk tekanan dan ancaman di kawasan ini antara lain adalah: perambahan hutan, penebangan dan pembalakan liar, kebakaran hutan, perburuan satwa dan penangkapan ikan secara liar, pemanfaatan hasil hutan non kayu yang tidak bijaksana,
22 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dampak negatif dari kegiatan pariwisata dan rekreasi, tuntutan hak masyarakat, serta pencemaran lingkungan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mudiana, Suharmono, Pendit dan Mudarsa (2003) menunjukkan bahwa terdapat 10 jenis vegetasi yang tumbuh di sekitar kawah Kelimutu. Jenis Vaccinium veringiaefolium memiliki nilai INP yang terbesar sehingga cukup penting keberadaan dan perannya di lokasi tersebut. Dalam bagian laporannya disebutkan pula bahwa jenis ini merupakan pakan beberapa jenis burung dan diduga penyebarannya pun dilakukan oleh burung.
Oleh sebab itu dalam pengelolaan
kawasan, pelestarian jenis tanaman ini dan jenis lainnya akan berperan penting bagi ekosistem di sekitar kawah Kelimutu. Pengawasan dan penjagaan keberadaan jenis V. veringiaefolium ini menjadi penting mengingat jenis ini (dan juga jenis Rhododendron zollingeri) sering diambil pengunjung, sehingga dikhawatirkan akan rusak dan punah. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan Takandjandji (2004) menunjukkan bahwa daya tarik wisata terdapat pada zona inti, dengan danau 3 warna dan keindahan alamnya. Pemanfaatan oleh pengunjung atau wisatawan terutama pada bulan Juni, Juli dan Desember yaitu pada saat liburan anak sekolah. Pada penelitian tersebut juga ditemukan keragaman flora pada tingkat semai sebanyak 42 jenis, tingkat belta 31 jenis dan tingkat pohon 41 jenis.
Keragaman fauna terdiri dari aves sebanyak 20 jenis,
mamalia 9 jenis dan reptilia 5 jenis.
Kelangkaan terjadi pada jenis pohon naa
(Bischoffia sp.) yang biasa dipakai masyarakat untuk bahan bangunan rumah adat. B. Taman Nasional Komodo Status hukum TN Komodo mengacu pada pernyataan Menteri Kehutanan tahun 1990.
Selanjutnya, diterbitkan penunjukkan Menteri Kehutanan dengan SK No.
306/Kpts-II/1995.
Badn dunia UNESCO juga menetapkan kawasan TN Komodo
sebagai Situs Warisan Alam Dunia dan Cagar Biosfir. Luas kawasan yang ditunjuk adalah + 173.300 ha, letak geografis 8o23’ – 8o50 LS, 119o22’ – 119o49’ BT. Secara administratif masuk dalam pemerintahan Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur.
Ketinggian tempat 0 – 735 m dpl,
temperatur udara 17o - 33o C, dan curah hujan 800 - 1.000 mm/tahun.
23 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Kawasan taman nasional ini sangat unik, kering dan gersang dengan padang savana yang luas. Potensi flora diantaranya adalah pohon lontar (Borassus flabellifer), rotan (Calamus sp.), bambu (Bambusa sp.), asam (Tamarindus indica), kepuh (Sterculia foetida), bidara (Ziziphus jujuba) dan bakau (Rhizophora sp.). Potensi fauna fauna langka diantaranya adalah komodo (Varanus komodoensis), rusa (Cervus timorensis floresiensis), babi hutan (Sus scrofa), Ajag (Cuon alpinus javanicus), kuda liar (Equus qaballus), kerbau liar (Bubalus bubalis), 2 jenis penyu, 10 jenis lumbalumba, 6 jenis paus dan duyung. Biota laut terdiri dari 259 jenis karang dan sekitar 1.000 jenis ikan. Bentuk-bentuk tekanan dan ancaman berupa: penebangan dan pembalakan liar, kebakaran hutan, perburuan satwa dan penangkapan ikan secara liar, pemukiman liar, pemanfaatan hasil hutan non kayu yang tidak bijaksana, dampak kegiatan pariwisata dan rekreasi, invasif spesies, tuntutan hak masyarakat, dan penggunaan lahan untuk tujuan non-konservasi. Penelitian yang terkait pernah dilakukan di Pulau Rinca TN Komodo pada September 1996 – Februari 1997 terhadap daya dukung savana untuk satwa herbivora (rusa, kuda dan kerbau) oleh Garsetiasih (2001).
Hasil penelitian tersebut
menunjukkan bahwa di pulau yang luasnya 19.625 ha terdapat populasi rusa sebanyak 11.282 ekor dengan kerapatan 0,575 ekor/ha; populasi kuda sebanyak 846 ekor dengan kerapatan 0,04 ekor/ha; dan populasi kerbau sebanyak 94 ekor dengan kerapatan 0,0048 ekor/ha.
Pada savana tersebut diketahui hijauan pakan yang
dominan adalah jenis rumput Bothriochloa glaba dengan bobot biomas 1.977 kg/ha dan produktivitas segar 51,3 kg/ha/hari.
Vegetasi pohon didominasi oleh jenis bidara
(Zizyphus jujuba), asam (Tamarindus indicus), lontar (Borassus flabellifer), kesambi (Schleicera oleosa), dan kukun (Scoutenia ovata). Berdasarkan perhitungan populasi dan produktivitas hijauan pakan, savana di Pulau Rinca masih dapat menampung lebih banyak satwa herbivora. Daya dukung dan kualitas habitat bagi satwa herbivora ini akan berpengaruh positif terhadap perkembangan populasi komodo mengingat satwa herbivora tersebut juga merupakan mangsa komodo. IV. PENGUATAN PENGELOLAAN TAMAN NASIONAL 24 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Banyaknya permasalahan yang dihadapi di setiap taman nasional, termasuk di TN Kelimutu dan TN Komodo, membutuhkan kerja keras dan kerja sama yang baik antara berbagai pihak (stakeholder). Data dan informasi hasil riset tentang potensi biofisik kawasan dan masyarakat merupakan modal strategis yang harus dikembangkan. Hal ini pula yang menjadi dasar pijakan dalam model pengelolaan taman nasional di Indonesia.
Selain itu, kualitas dan kuantitas sumber daya manusia (SDM) pihak
pengelola serta ketersediaan anggaran pengelolaan merupakan bahan pertimbangan untuk menentukan arah kebijakan pengelolaan selanjutnya. Dalam hal ini, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) Departemen Kehutanan telah merancang 20 taman nasional model di Indonesia (Fathoni, 2005). Berdasarkan permasalahan yang dijumpai di setiap taman nasional, maka pola pengelolaan taman nasional yang saat ini dikembangkan adalah melalui sistem zonasi dan model kolaborasi. Sistem zonasi yang telah ditetapkan berdasarkan PP No. 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, kini juga mulai diperjelas lagi melalui pembuatan Peraturan Menteri Kehutanan tentang Pedoman Penyusunan Zonasi Taman Nasional. Penyusunan rancangan ini diharapkan dapat dijadikan acuan bagi pengelola kawasan taman nasional dalam menyusun rencana tata ruang di dalam taman nasional. Diharapkan dalam penyusunan tata ruang untuk zonasi kawasan dapat mengakomodir keberagaman dan kompleksitas kondisi dan kebutuhan di masing-masing kawasan taman nasional. Dengan demikian, dalam menetapkan zonasi kawasan suatu taman nasional tidak lagi menjadi dominansi pemerintah, tetapi masyarakat dan para pihak lain yang berkepentingan dapat turut serta secara partisipatif dalam penetapannya. Aktualisasi zonasi taman nasional yang sebelumnya sudah ditetapkan dapat pula dilakukan, sesuai kondisi dan kebutuhan dalam kawasan taman nasional tersebut. Sebagai contoh, pada TN Meru Betiri yang diusulkan untuk dikoreksi zonasinya berdasarkan hasil penelitian Paimin dan kawankawan (2003). Selanjutnya dalam pengelolaan taman nasional, model yang kini dikembangkan dan juga berkaitan dengan pergeseran paradigma dalam menetapkan zonasi adalah model kolaborasi. Menurut Dirjen PHKA Departemen Kehutanan1, tujuan pengelolaan 25 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
kolaborasi adalah: mewadahi aspirasi para pihak dalam upaya konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya; memberikan akses para pihak berperan serta dalam tahapan proses pengelolaan taman nasional (perencanaan, pembangunan, monitoring dan evaluasi); serta mengembangkan kelembagaan pengelolaan
dan akses
pemanfaatan sumber daya alam hayati sesuai ketentuan. Kegiatan kolaborasi harus mengandung prinsip saling menghormati (mutual respect), saling mempercayai (mutual trust), dan saling menguntungkan (mutual benefit). Pengelolaan kolaborasi sebenarnya telah banyak dilakukan, baik yang telah dilembagakan (formal dan non formal) maupun yang belum atau tidak dilembagakan. Pengelolaan kolaboratif juga telah dijelaskan dalam Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004 Tanggal 19 Oktober 2004 tentang Kolaborasi Pengelolaan Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam (Departeman Kehutanan, 2005). Banyak pengalaman yang dapat diperoleh dari pola pengelolaan kolaborasi ini. Namun demikian, permasalahan baru pun dapat muncul seputar pengelolaan kolaborasi ini. Hasil diskusi pengelolaan taman nasional kolaboratif4 mengungkapkan beberapa permasalahan, yaitu: 1. Perbedaan pijakan hukum yang dipegang oleh para stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan TN, yang menyebabkan regulasi tidak konsisten dan tumpang tindih. 2. Belum jelasnya pembagian kewenangan antara pusat dan daerah dalam pengelolaan TN, yang menyebabkan terhambatnya inisiatif-inisiatif pengelolaan Kolaborasi. 3. Kurang pemahaman dan kesadaran untuk berkolaborasi, yang menyebabkan pengelolaan tidak terintegrasi, tidak efektif dan tidak menyeluruh. 4. Kurang memperhatikan faktor manusia (masyarakat) dan potensi lokal dalam menetapkan kriteria dan indikator bagi TN model. 5. Permasalahan sumber daya manusia yang meliputi ketersediannya, kapasitas, komitmen, dan leadership. 6. Terdapatnya kegiatan illegal logging dan illegal mining, yang dapat menyebabkan munculnya permasalahan sosial dalam pengelolaan TN.
26 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
7. Kurang koordinasi antara sektor (seperti sektor kehutanan dengan pertambangan), yang menyebabkan pengelolaan masih tumpang tindih dan tidak terintegrasi. 8. Kurangnya pengakuan terhadap eksistensi stakeholder lokal (seperti pengakuan wilayah adat dan kaum perempuan), yang menyebabkan kegagalan dalam kemitraan. Hal-hal di atas menyebabkan pola pengelolaan taman nasional di Indonesia mengalami pergeseran, dari paradigma domain pengelolaan oleh pemerintah menjadi tanggung jawab publik (bersama). Dengan demikian, sudah menjadi keharusan bahwa pengelolaan ini dilakukan melalui kolaborasi (termasuk di dalamnya adalah kemitraan) antara berbagai stakeholder dengan lokomotifnya adalah pemerintah. Kolaboratif ini meliputi
berbagai sektor dalam pemerintahan, berbagai pranata sosial dalam
masyarakat, berbagai elemen organisasi non pemerintah (Lembaga Swadaya masyarakat/LSM), berbagai kepentingan, berbagai bentuk program strategis dan kegiatan praktis; baik yang dilakukan pada skala tematis maupun terpadu; serta dapat bersifat lokal, bio-regional, nasional, maupun internasional (bilateral atau multilateral). Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam pengelolaan kolaboratif taman nasional di Indonesia, diantaranya adalah: 1. Penataan ruang yang fleksibel; yang dapat mengakomodasikan berbagai inisiatif dan model yang berkembang di taman nasional, dengan tetap memperhatikan aspek ekologi, aspek sosial, dan aspek ekonomi; serta dapat mengakomodasi kepentingan para stakeholder, memperhatikan karakteristik lokal, dan didasarkan pada kondisi aktual di lapangan. 2. Pembuatan payung hukum; yang dapat menjadi acuan kebijakan baik pada tingkat nasional maupun tingkat lokal, dengan tetap memperhatikan potensi dan karakteristik lokal. 3. Membangun komitmen semua pihak yang berkolaboratif; dengan tetap memperhatikan tujuan dan prinsip-prinsip dalam kolaborasi (termasuk pula kesetaraan, keterbukaan dan partisipatif), melakukan komunikasi yang efektif dan efisien, pembagian tugas dan tanggung jawab, serta adanya mekanisme evaluasi dan monitoring. 27 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
4. Pelaksanaan proses berbagi informasi dan pengalaman (share learning); dengan demikian ada kesempatan stakeholder dari taman nasional yang satu mengetahui dan menggali pengetahuan dari stakeholder di taman nasional lainnya. Bekal ini dapat bermanfaat untuk membantu mengatasi permasalahan yang timbul di salah satu taman nasional dengan tetap memperhatikan lokasi (site) dan karakteristik masing-masing taman nasional. 5. Membangun kapasitas kelembagaan dan SDM; termasuk di dalamnya adalah dukungan dana yang dapat menggerakkan kegiatan berkelanjutan, tersedianya sarana
dan
prasarana
yang
memadai,
dan
profesionalisme SDM yang baik dan transparan.
mekanisme
pengembangan
Dalam hal ini juga dilakukan
pemberdayaan masyarakat dan penguatan kapasitas kelembagaan adat (lokal). 6. Keadilan dan kepastian hukum yang jelas dan dapat diterapkan; yang akan memperkuat dan memfasilitasi kebijakan-kebijakan konstruktif dan kondusif dalam pengelolaan taman nasional secara kolaboratif. Melalui
pengelolaan
kolaboratif,
diharapkan
agar
potensi
positif
dan
kelembagaan yang telah ada akan dapat meningkatkan dukungan pengelolaan kawasan taman nasional yang kondisinya telah baik menuju pada taman nasional yang mandiri.
Sebaliknya, kolaboratif juga dibutuhkan untuk mendukung pengelolaan
kawasan taman nasional yang kondisinya rusak dengan pengelolaan yang masih belum memadai. Dengan demikian, pola pengelolaan kolaboratif ini diharapkan akan dapat mengurangi potensi negatif yang terjadi pada pengelolaan suatu taman nasional.
DAFTAR PUSTAKA Bappenas. 2003. Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 20032020; IBSAP Dokumen Nasional Pemerintah Republik Indonesia. Bappenas, Jakarta: xiv + 150 p. Cifuentes A., M., A. Izurieta V., and H. H. de Faria. 2000. Measuring Protected Area Management Effectiveness (Technical Series No. 2). WWF–IUCN–GTZ, Turrialba, Costa Rica: 128 p. Departemen Kehutanan. 1990. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Departemen Kehutanan, Jakarta.
28 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Jakarta. Departemen Kehutanan. 2005. Pengelolaan Kolaboratif; Peraturan Menteri Kehutanan No. P.19/Menhut-II/2004. Departemen Kehutanan, Jakarta: 38 p. Ditjen PHKA, UNESCO dan CIFOR. 2003. Buku Panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Departemen Kehutanan RI, UNESCO dan CIFOR, Jakarta-Bogor: 166 p. Ditjen PHKA. 2004. Peraturan Perundang-undangan Bidang Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam. Ditjen PHKA Departemen Kehutanan, Jakarta: iii + 617 p. Fathoni, T. 2005. Kolaborasi Dalam Pembangunan Taman Nasional Model. Makalah: Sarasehan Nasional Membangun Kemitraan Pengelolaan Taman Nasional di Indonesia, Bogor 29 Agustus – 1 September 2005. Garsetiasih, R. 2001. Daya Dukung Satwa Herbivora (Rusa, Kuda, dan Kerbau) di Pulau Rinca Taman Nasional Komodo. Buletin Plasma Nutfah 7(1): 22-25. Mudiana, D., Suharmono, I M. R. Pendit dan I W. Mudarsa. 2003. Vegetasi di Sekitar Danau Tiga Warna Taman Nasional Kelimutu Ende, Flores, Nusa Tenggara Timur. Biodiversitas, Journal of Biological Diversity 4(1): 35-37. Paimin, B. Haryadi, Purwanto, H.D. Riyanto, A.B. Supangat dan A. Wuryanto. 2003. Kajian Kriteria dan Indikator Penetapan Zonasi Taman Ansional Meru Betiri – Jember. Laporan Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Wilayah Indonesia Bagian Barat, Surakarta. Takandjandji, M. 2004. Kajian Potensi Biofisik Taman Nasional Kelimutu di Pulau Flores. Laporan Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara, Kupang.
KAJIAN POTENSI DAN BIOFISIK TAMAN NASIONAL KELIMUTU DI PULAU FLORES Oleh : Agis Nursyam Sugiana Mariana Takandjandji Kayat
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kawasan Taman Nasional (TN) adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi. Taman Nasional merupakan kawasan pelestarian alam yang memiliki nilai dan fungsi sebagai paling lengkap apabila dibandingkan dengan kawasan pelestarian alam lainnya. 29 |
Taman Nasional memiliki fungsi sebagai kawasan Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
perlindungan proses ekologis yang mendukung system kehidupan serta sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya untuk kepentingan pelestarian plasma nutfah.
Di samping itu, TN juga merupakan
obyek wisata alam yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai kawasan pariwisata alam.
Pengembangan pariwisata alam akan memberikan dampak social
ekonomi yang positif dan bermanfaat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat, pendapatan Negara, dan pembangunan nasional. Provinsi Nusa Tenggara Timur memiliki beberapa Taman Nasional yang tersebar di wilayahnya.
Salah satunya adalah Taman Nasional Kelimutu, yang ditetapkan
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 279/Kpts-II/1992 tanggal 26 Februari 1992, dengan luas kawasan 5.356,50 ha. TN Kelimutu terletak di Kabupaten Ende, Propinsi Nusa Tenggara Timur. Keunikan TN Kelimutu berupa pesona alam danau tiga warna, dan merupakan kekuatan inti pesona TN Kelimutu.
Danau ini
merupakan obyek wisata yang paling spesifik, unik dan sangat langka yang tidak pernah dapat dijumpai di tempat manapun di dunia. Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan kawasan ini sebagai Taman Nasional dengan nama TN Kelimutu. Secara umum kawasan TN Kelimutu memiliki tiga fungsi utama. Pertama, sesuai dengan tujuan penetapannya, Taman Nasional Kelimutu mengemban fungsi pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli. Fungsi kedua adalah perlindungan hidrologis bagi wilayah di bawahnya.
Di samping itu, TN. Kelimutu juga merupakan pusat
pengembangan wisata bagi daerah sekitarnya. Beberapa tumbuhan yang terdapat di TN Kelimutu antara lain kayu mata (Albizia Montana), kebu (Homalanthus giganteus), tokotaka (Putranjiva roxburghii), uwi rora (Ardisia humilis), longgo baja (Drypetes subcubica), toko keo (Cyrtandra sp.), kayu deo (Trema cannabina), dan kelo (Ficus villosa). Di samping itu, terdapat juga Ampupu (Eucalyptus urophylla), beringin (Ficus benjamina), pulai (Alstonia sp.), kayu merah (Pterocarpus sp.), hue (Eucalyptus alba). Beberapa jenis flora yang tumbuh di daerah kawah, antara lain cemara gunung (Casuarina junghuhniana), jabon (Anthocephallus cadamba), edelweis, dan Vaccinium. Menurut pengamatan BKSDA VII, pada wilayah ini ditemukan 5 jenis reptil (misalnya biawak dan ular), 9 jenis mamalia, diantaranya 30 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
kera (Macaca fascicularis), rusa (Cervus timorensis floresiensis), babi hutan (Sus scrofa), dan landak (Hystrix sp). Ditemukan juga 20 jenis burung di dalam kawasan TN Kelimutu, diantaranya burung sesap madu (Nectarinia sp.), elang (Accipiter sp.), puyuh (Turnix sp.), itik liar (Anas sp), dan ayam hutan (Gallus sp). Keragaman jenis burung yang tinggi memberikan inspirasi potensi kegiatan pengamatan burung (bird watching). Kajian potensi dan biofisik ini perlu segera dilakukan agar data yang diperoleh bisa dijadikan dasar untuk menentukan langkah pengelolaan selanjutnya. Seyogyanya TN yang telah ditunjuk sudah harus mengetahui potensi dan biofisik kawasannya, sehingga pengelolaan TN bisa fokus, efektif dan efisien. Memperhatikan hal tersebut di atas, menjadi urgen untuk mengkaji kondisi potensi dan biofisik kawasan, agar pengelolaan taman nasional lebih fokus dan tepat guna. Potensi dan biofisik yang lengkap akan mendukung pengelolaan taman nasional yang efektif dan efisien. B. Tujuan dan Sasaran Tujuan Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kondisi potensi dan biofisik kawasan TN Kelimutu. Sasaran Tersedianya data dan informasi potensi dan biofisik kawasan Taman Nasional Kelimutu. METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Kegiatan penelitian ini dilakukan di kawasan Taman Nasional Kelimutu, yaitu pada zona inti, zona pemanfaatan intensif, zona rimba dan zona rehabilitasi.. Kegiatan penelitian ini dilaksanakan secara bertahap dimana tahap I pada bulan September, pengamatan biofisik dan tahap II pada bulan Desember 2004, pengamatan identifikasi dan penyebaran flora, fauna di dalam kawasan TN Kelimutu. B. Bahan dan Peralatan Penelitian
31 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan dan alat survei lapangan (kompas, teropong, peta, meteran, haga, tali tambang), bahan pembuat herbarium (buku gambar, alcohol 70 %, isolasi, gunting rumput, kapas), bahan perkemahan (tenda, tikar, sleeping bag), kamera, hand counter, alat masak, dan alat tulis-menulis. C. Ruang Lingkup Kegiatan penelitian yang dilakukan adalah (1) pengumpulan data sekunder mengenai biofisik kawasan, dan (2) pengamatan/identifikasi ragam dan penyebaran flora-fauna di kawasan Taman Nasional Kelimutu. D. Metodologi Pengumpulan data yang dilakukan adalah : 1. Data Primer a. Keadaan hutan/vegetasi Menggunakan metode analisis vegetasi dengan cara jalur berpetak. b. Satwa liar Pengamatan satwa liar dilakukan dengan dua metode, yaitu metode perjumpaan dan metode jalur pengamatan; dan metode konsentrasi. 2. Data Sekunder Data sekunder yang dikumpulkan meliputi : a. Sumber data dan informasi iklim, geologi dan tanah dari buku laporan, peta iklim/curah hujan, peta eksplorasi tanah, peta kemampuan wilayah dan peta geologi. b. Sumber data dan informasi tentang sosial, ekonomi dan budaya masyarakat dari buku laporan, statistic daerah, peta penggunaan lahan dan lain-lain. c. Sumber data dan informasi tentang keadaan perkembangan di luar sektor kehutanan, antara lain transmigrasi, pariwisata dan perindustrian yang diperoleh dari berbagai laporan baik instansi pemerintah, swasta maupun perorangan. E. Analisis Data 32 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
1. Penilaian kondisi fisik kawasan 2. Pengolahan data flora Pengolahan data vegetasi dilakukan dengan menggunakan perhitungan Indeks Nilai Penting. 3. Pengolahan data fauna Hasil pengamatan satwa diolah dan dikelompokkan ke dalam 3 kelas, yaitu aves, mamalia dan reptilia, kemudian dibedakan menurut jenis satwa yang dilindungi. Rumusan Hasil Kajian Hasil penelitian potensi dan biofisik kawasan dirumuskan, sehingga menjadi bagian model pengelolaan Taman Nasional yang dibutuhkan.
HASIL PENELITIAN A. Keadaan Umum Lokasi TN Kelimutu Secara geografis, kawasan TN Kelimutu terletak di antara 8043’21” – 8048’24” LS dan 121044’21” – 121050’15” BT. Sedangkan secara administrative pemerintahan TN Kelimutu terletak pada 4 kecamatan yaitu Detusuko, Wolowaru, Ndona dan Wolojita, kabupaten Ende, provinsi NTT. Luas TN Kelimutu sebesar 5.000 ha, sesuai dengan SK Menhut No. 279/KptsII/1992 tanggal 26 Pebruari 1992. Kawasan ini berasal dari TW Kelimutu dengan luas ± 4.984 ha dan Cagar Alam Kelimutu seluas ± 16 ha. Menurut Peta Tanah Bagan Indonesia skala 1 : 2.500.000 yang dikeluarkan oleh Lembaga Penelitian Tanah Bogor (1969), tanah di dalam kawasan TN. Kelimutu terdiri dari tanah regosol, mediteran, dan latosol.
Penyebaran yang paling luas dijumpai
adalah tanah regosol. Jenis tanah berpasir terdapat pada struktur lapisan permukaan tanah yang terdapat di lokasi obyek wisata. Tanah berpasir ini sangat cocok untuk dimanfaatkan sebagai bahan bangunan. Dalam kaitan dengan tanah, telah diambil 17 sampel tanah yang terdiri dari 2 lapisan, dan telah dianalisis (lampiran 1). Menurut Schmidt dan Ferguzon (1951), TN. Kelimutu dan sekitarnya bertipe iklim B dengan nilai Q = 22,2. Curah hujan rata-rata berkisar antara 1.615 mm (stasiun Ndona) sampai dengan 3.363 mm (stasiun Detubapa) per tahun. Suhu udara siang hari 33 | Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
rata-rata berkisar antara 25,5
0
C – 31,0
0
C. Musim kering terjadi pada bulan Juli –
Agustus dan musim hujan pada bulan Desember – April. B. Biofisik Kawasan TN. Kelimutu Topografi Keadaan topografi kawasan TN Kelimutu, bergelombang dengan variasi ringan sampai relief berbukit-bukit, bergunung-gunung, dan lereng yang terjal dan curam. Dalam kawasan ini terdapat gunung Kelibara setinggi 1.731 m dpl dan gunung Kelimutu setinggi 1.690 m dpl, dan gunung Sokoria. Ketiga gunung ini merupakan gunung berapi yang aktif, dan pernah meletus pada tahun 1860 dan 1870. Bahkan kawah dari ketiga gunung inilah, yang membentuk danau dengan warna air yang berbeda. Pada elevasi sekitar 1.550 – 1.570 m terdapat bekas dataran yang telah tererosi. Dataran tersebut mengelilingi Tiwu Ata Mbupu (kawah lama) yang memiliki dasar kawah pada elevasi 1.467 m. Di dalam kawah lama tersebut, kemudian muncul kawah yang baru (Tiwu Ata Mbupu yang sekarang), dengan elevasi dasar (permukaan air) sekitar 1.371 m. Di sebelah Timur terdapat bekas dataran dengan elevasi sekitar 1.500 m. Pada bekas dataran ini terdapat 2 buah kawah baru yakni Tiwu Ata Polo dan Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, yang dipisahkan dengan sebuah pematang yang sangat tipis (lebarnya ± 10 m) dan sangat rawan runtuh (lihat gambar). Zaman dahulu, pematang ini sering dilewati orang dengan leluasa. Oleh karena letusan yang sering terjadi, maka pematang tersebut runtuh dan semakin menipis. Apabila ditinjau dari keaktifannya, berdasarkan pengukuran suhu dan pH air danau, dikatakan bahwa Tiwu Nuwa Muri Koo Fai merupakan danau yang mempunyai kawah paling aktif, Tiwu Ata Polo merupakan danau yang mempunyai kawah sedikit aktif, dan Tiwu Ata Mbupu merupakan danau yang mempunyai kawah paling kurang aktif. Jenis batuan (Litologi) Jenis batuan yang terdapat di kawasan TN. Kelimutu terdiri atas batuan piroklasik, berupa breksi vulkanik, aglomerat, pasir, dan bom kerak roti serta batuan beku berupa lava basalt (TN Kelimutu, 1994). 34 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Mineral-mineral pemberi warna batuan pada dinding danau dan sekitarnya yang dominan antara lain adalah sulfur sebagai pemberi warna kuning dan putih; klorit sebagai pemberi warna hijau; limonit dan hematit sebagai pemberi warna merah dan coklat; serta batuan mafik sebagai pemberi warna gelap (hitam). Dinding danau Tiwu Nuwa Muri mempunyai warna dominan putih dan kuning dari mineral sulfur serta hijau dari klorit. Dinding danau Tiwu Ata Polo, mempunyai warna yang dominan hijau dari klorit, putih dari sulfur dan merah dari mineral hematit. Sedangkan arna yang paling dominan pada dinding danau Tiwu Ata Mbupu, adalah hitam dari mineral mafik, coklat merah dari mineral hematit dan sedikit putih dari tufa. Warna air danau Obyek wisata alam di dalam kawasan TN yang menjadi daya tarik utama adalah ekosistemnya, yaitu danau tiga (3) warnanya. Danau tersebut merupakan 3 (tiga) buah kawah dengan telaga warna di dalamnya yang karena kegiatan vulkanis, membuat air danaunya berubah-ubah warna. Faktor-faktor umum yang diperkirakan menjadi penyebab air danau sehingga tampak berwarna adalah pembiasan cahaya matahari, biota air, zat kimiawi, serta pantulan warna dinding dan dasar air. Cahaya matahari dapat membias dan memberikan warna hijau hingga biru pada air, walaupun sebenarnya air tersebut bening. Perubahan warna karena pembiasan sinar matahari bisa saja terjadi, walaupun perubahan tersebut tidak ekstrim. Adanya ganggang tertentu (umumnya ganggang hijau atau merah) seringkali memberikan warna terhadap air sebagai habitatnya.
Ganggang-ganggang tersebut
memiliki kecocokan dengan lingkungan tertentu sehingga jika dua jenis ganggang atau lebih hidup dalam satu habitat, mereka akan bersaing untuk saling mendominasi. Jenis ganggang yang paling cocok dengan habitatnya itulah yang akan muncul sebagai pewarna dominan. Jika habitatnya berubah, jenis ganggang lain yang cocok dengan kondisi habitat baru yang akan menggantikannya sebagai pewarna dominan. Zat kimia yang larut di dalam air dapat memberikan warna yang sesuai dengan warna zat kimia tersebut. 35 |
Berbagai jenis mineral memerlukan kondisi fisik tertentu Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
untuk berada pada kondisi seimbang.
Perubahan fisik, seperti temperatur dapat
mengakibatkan keseimbangan terganggu dan jika hal tersebut terjadi, jenis mineral yang muncul sebagai warna dominan juga akan berubah atau berganti. Warna dinding dan dasar danau sangat besar pengaruhnya terhadap penampakan warna air. Berdasarkan hasil penelitian terdahulu, Tiwu Ata Polo memiliki air berwarna hijau, yang mengandung sedikit belerang. Sedangkan Tiwu Nuwa Muri berwarna biru kulit telur bebek (biru kelabu), mengandung banyak belerang yang terapung, dan memiliki suhu paling tinggi. Tiwu Ata Mbupu berwarna coklat kemerahan dan memiliki suhu normal. Warna dinding Tiwu Ata Polo didominasi oleh warna hijau, putih, dan sedikit merah, dan Tiwu Nuwa Muri didominasi oleh warna putih, kuning dan hijau. Sedangkan dinding Tiwu Ata Mbupu didominasi oleh warna gelap, hitam, merah, coklat, dan sedikit putih. Contoh
air
yang
pernah
diambil
dari
masing-masing
danau,
ternyata
memperlihatkan adanya perbedaan warna. Warna putih kebiruan mewakili air Tiwu Ata Nuwa Muri dan warna bening kecoklatan untuk Tiwu Ata Mbupu, serta warna bening tawar untuk air Tiwu Ata Polo (data perubahan warna danau Kelimutu terlampir). Hasil analisis kimia air danau menunjukkan bahwa residu terlarut tertinggi terdapat pada Tiwu Nuwa Muri, kemudian diikuti oleh Tiwu Ata Polo dan Tiwu Ata Mbupu dengan perbandingan 20 : 6 : 1. Hal ini membuktikan bahwa warna air keruh disebabkan oleh adanya suspensi lumpur putih. Perbandingan kandungan sulfat dari ketiga danau tersebut adalah 30,5 : 6 : 1, sedangkan perbandingan Fe (Ferri) adalah 133 : 58 : 1. Hasil penelitian Kemerling (1929) membuktikan bahwa penyebab warna merah pada Tiwu Ata Polo (sebelum berubah warna hijau) adalah garam-garam besi
3+
yang tersuspensi di dalamnya.
Penyebab berwarnanya air danau adalah karena banyak suspensi garam besi sehingga warna air menjadi merah. Dalam keadaan aktif, garam ferri bereaksi menjadi garam sulfat yang berwarna bening. Hal ini disebabkan adanya emisi gas pada saat aktif sehingga terjadi pengadukan lumpur di dasar danau. Inilah yang menyebabkan warna 36 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
air danau menjadi putih atau keputih-putihan, bergantung pada banyaknya lumpur yang tersuspensi. Apabila kondisi suspensi garam besi agak reda, warna air danau menjadi bening dan karena pembiasan sinar matahari, warnanya menjadi hijau hingga biru. Sementara penelitian lain menyebutkan bahwa suhu pada saat kondisi danau tidak aktif adalah normal.
Apabila air danau berwarna merah tua hingga coklat,
menunjukkan bahwa kawah sedang tidak aktif. Tiwu Nuwa Muri aktif pada bulan Mei – Juni dimana air danau berwarna putih kelabu dan mereda pada saat air danau berwarna biru seperti kulit telur asin. Tabel 1. Luas dan Volume Air Danau Kelimutu No.
Nama Danau
2
Luas Danau (m )
Dalamnya air (m)
Volume air 3
(m ) 1
Tiwu Ata Mbupu
560.000
76
345.000
2
Tiwu Nuwa Muri Koo Faai
180.000
127
501.000
3
Tiwu Ata Polo
228.000
64
446.000
Sumber : Buku II, Data, Proyeksi, dan Analisis TN. Kelimutu (1995)
C. Hasil Identifikasi Ragam dan Penyebaran Flora/fauna TN. Kelimutu Ekosistem danau 3 warna merupakan potensi utama TN. Kelimutu dimana komponen biologi khususnya flora dan fauna merupakan unsur yang sangat penting peranannya.
Analisis vegetasi di TN. Kelimutu dilakukan pada empat (4) zona yang
ada, yaitu zona inti (core/sanctuary zone), zona rimba (wildernes zone), zona pemanfaatan (intensive use zone) dan zona rehabilitasi (rehabilitation zone). Zona inti merupakan bagian kawasan yang mendapat upaya perlindungan paling ketat karena mengandung komponen ekologis yang sensitive terhadap perubahan.
Zona ini
senantiasa diarahkan pada kondisi alami sehingga perubahan yang terjadi adalah akibat proses alam tanpa adanya campur tangan manusia.
Jenis kegiatan yang
diperbolehkan untuk dilaksanakan dalam zona ini, terbatas pada kegiatan penelitian dan pendidikan yang berkaitan dengan jenis-jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya serta perlindungan dan pengamanannya. Luas kawasan ini adalah ± 350,50 ha. Pengamatan
ini
menggunakan
metode
analisis
vegetasi
dengan
cara
jalur/transek berpetak dan hasil analisis dari pengamatan ini adalah sebagai berikut : 37 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
1. Zona Inti Semai didominasi oleh Kirinyuh (Chromolaena odorata); Belta didominasi oleh Cemara (Casuarina junghuhniana) dan Pohon didominasi oleh Cemara (Casuarina junghuhniana) 2. Zona Rimba Semai didominasi oleh Kirinyuh (Chromolaena odorata); Belta didominasi oleh Lamtoro (Leucaena leucocephalla) dan Pohon didominasi oleh Ampupu (Eucalyptus urophylla) 3. Zona Pemanfaatan Intensif Semai didominasi oleh Kirinyuh (Chromolaena odorata); Belta didominasi oleh Cemara (Casuarina junghuhniana) dan Pohon didominasi oleh Cemara (Casuarina junghuhniana) 4. Zona Rehabilitasi Semai didominasi oleh Kirinyuh (Chromolaena odorata); Belta didominasi oleh Lamtoro (Leucaena leucocephalla) dan Pohon didominasi oleh Ampupu (Eucalyptus urophylla). Zona Inti : No
Strata/Tingkatan
Jenis
INP (%)
1
Semai
Kirinyuh (Chromolaena odorata)
41.48
2
Belta
Cemara (Casuarina junghuhniana)
46.97
3
Pohon
Cemara (Casuarina junghuhniana)
264.09
38 |
Keterangan Penutupan ratarata di atas 75%
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Zona Rimba : No
Strata/Tingkatan
Jenis
INP (%)
Keterangan Penutupan rata-rata di atas 75%
1
Semai
Kirinyuh (Chromolaena odorata)
71.42
2
Belta
Lamtoro (Leucaena leucocephalla)
19.91
3
Pohon
Ampupu (Eucalyptus urophylla)
126.84
Zona Pemanfaatan : No
Strata/Tingkatan
Jenis
INP (%)
1
Semai
Kirinyuh (Chromolaena odorata)
42.02
2
Belta
Cemara (Casuarina junghuhniana)
43.94
3
Pohon
Cemara (Casuarina junghuhniana)
61.45
Keterangan Penutupan rata-rata di atas 75%
Zona Rehabilitasi : No
Strata/Tingkatan
Jenis
INP (%)
1
Semai
Kirinyuh (Chromolaena odorata)
112.13
2
Belta
Lamtoro (Leucaena leucocephalla)
144.44
3
Pohon
Ampupu (Eucalyptus urophylla)
219.07
Keterangan Penutupan rata-rata di atas 75%
Sebagain besar wilayah di seluruh zona didominasi oleh kirinyuh (Chromolaena odorata) pada lantai hutan, sehingga dengan efek allelopathi yang dimiliki kirinyuh sangat jarang semai/anakan jenis lain tumbuh. Selama pengambilan data dilakukan, ditemukan juga beberapa pohon pakan monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) dan babi hutan (Sus scrofa) diantaranya adalah pohon ara, kelo (Ficus villosa) dan bongo (bahasa lokal).
Pohon-pohon ini
jarang ditemukan karena penyebarannya terbatas hanya terdapat di lembah-lembah. Pohon lain yang juga ditemukan adalah pohon naa (Bischoffia sp.) yang biasa dipakai masyarakat untuk bahan bangunan rumah adat. Jenis pohon ini sudah jarang sekali ditemukan. Pengamatan fauna khususnya burung dilakukan dengan metode konsentrasi pada sekitar lapangan parkir obyek wisata TN. Kelimutu. Pengamatan difokuskan pada 39 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
beberapa jenis burung yang ditemukan, baik secara langsung maupun tidak langsung (melalui suara). Beberapa jenis burung yang ditemui pada saat survey adalah burung Ulemutu, Garugiwa, Lelanggewa, Rawaria, Lodo, Opior Flores (Lophozosterops dohertyi), Anasuli, Anake (Passer montanus), Sikatan Belang, Elang Bondol (Hieractus sp). Burung yang cukup menarik perhatian adalah burung Garugiwa (sebangsa burung elang) karena jenis burung ini memiliki keistimewaan dan kekhasan yakni mampu bersuara sebanyak 9 nada yang berlainan. Pada jalur transek selama pengamatan flora, juga ditemukan beberapa fauna, baik langsung maupun tidak langsung. Beberapa diantaranya adalah Babi hutan (Sus scrofa) yang menyebar hampir pada seluruh zona melalui jejaknya, burung Nuri (Lorius sp) yang dijumpai pada zona rehabilitasi, rimba, dan pemanfaatan, burung Koakiau (Philemon inornatus), ditemui pada zona rehablitasi, dan ayam hutan (Gallus sp), yang ditemukan pada zona pemanfaatan, dan burung Garugiwa ditemukan pada zona inti. Dari jenis fauna yang ditemukan selama pengamatan, ternyata masih banyak jenis fauna yang belum ditemukan apabila dibandingkan dengan hasil penelitian tahun 2003. Hal ini disebabkan oleh waktu pengamatan yang belum disesuaikan dengan musim, dimana pengamatan dilakukan pada musim hujan.
Pengamatan dilakukan
pada bulan Desember dimana hujan sudah mulai turun walaupun belum terlalu banyak. Pada musim hujan, tanah di sekitar kawasan TN Kelimutu rawan longsor sehingga sulit untuk mencapai kawasan secara keseluruhan. Di samping itu, jumlah hari yang sedikit juga turut mempengaruhi hasil pengamatan yang diperoleh. Dari beberapa laporan diketahui bahwa TN Kelimutu merupakan habitat dari 19 jenis burung yang telah terancam punah. Jenis burung tersebut adalah punai Flores (Treron floris), burung hantu Wallacea (Otus silvicola), sikatan rimba ayun (Rhinomyias oscillans), kancilan Flores (Pachycephala nudigula), sepah kerdil (Pericrocotus lansbergei), tesia Timor (Tesia everetti), opior jambul (Lophozosterops dohertyi), opior paruh tebal (Heleia crassirostris), cabai emas (Dicaeum annae), kehicap Flores (Monarcha sacerdotum), burung madu matari (Nectarinia solaris), dan elang Flores (Spizaetus floris). Selain jenis burung, dilaporkan juga ditemukannya jenis mamalia berupa 2 jenis tikus gunung yakni Bunomys naso dan Rattus hainaldi. 40 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
41 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
D. Potensi Pariwisata Selain danau 3 warna, obyek wisata lain yang sangat menarik adalah pemandangan alam. Pemandangan alam ini juga membuat para wisatawan dari manca negara dan lokal yang berkunjung, semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Data
pengunjung dari tahun 2002 – 2004, dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Tabel 2. Jumlah Pengunjung TN. Kelimutu Bulan – Tahun Januari – Desember 2002
Januari – Desember 2003
Januari – September 2004
Wisatawan
Jumlah (orang)
Domestik
4.553
Asing
2.117
Domestik
5.492
Asing
1.704
Domestik Asing
3.751 1.743
Sumber : TN Kelimutu (September 2004)
Dari data pengunjung yang diperoleh, ternyata jumlah pengunjung tertinggi terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Desember baik pengunjung/wisatawan asing maupun domestik. Jumlah ini disebabkan oleh karena pada bulan-bulan tersebut, pengunjung lebih banyak yang memanfaatkan waktu libur anak-anak sekolah. Terlihat juga dari data bahwa, wisatawan asing yang tertinggi berasal dari benua Eropa, kemudian diikuti oleh Australia, Amerika, Asia, dan yang terendah dari benua Afrika. Kekayaan alam yang dimiliki oleh TN Kelimutu ditunjang oleh seni budaya berupa rumah adat, tarian tradisional dan kerajinan tenun ikat yang merupakan cirri khas masyarakat setempat.
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Zona Inti merupakan daya tarik wisata sehingga kekuatan TN Kelimutu terletak pada danau 3 warna dengan keindahan alamnya. 2. Air danau Kelimutu yang normal berwarna bening, tetapi apabila dilihat dari kejauhan, sepertinya danau ini berwarna. 42 |
Perubahan warna ini dapat terjadi
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
sewaktu-waktu sesuai dengan perubahan keaktifan atau penambahan unsur dari dapur maghmanya. 3. Hasil pengamatan menyatakan bahwa flora yang ditemukan dalam kawasan TN Kelimutu, tingkat semai sebanyak 42 jenis, belta 31 jenis, dan pohon 41 jenis. Sedangkan fauna yang ditemukan terdiri dari jenis aves 20 (dua puluh) jenis; jenis mamalia 9 (sembilan) jenis; dan jenis reptilia 5 (lima) jenis. 4. Jenis pohon naa (Bischoffia sp.) yang biasa dipakai masyarakat untuk bahan bangunan rumah adat, saat ini sudah jarang sekali ditemukan. 5. Pengunjung atau wisatawan baik asing maupun domestik yang berkunjung di TN Kelimutu tertinggi terjadi pada bulan Juni, Juli, dan Desember disaat liburan anak sekolah. B. Saran 1. Penelitian merupakan hal penting dalam melengkapi database pengembangan TN Kelimutu serta memberikan masukan dan sebagai bahan pertimbangan untuk pengambilan keputusan dalam pengelolaan, baik pelestarian maupun pemanfaatan kawasan. Di samping itu, penelitian juga diperlukan dalam rangka pengembangan IPTEK
guna peningkatan fungsi dan manfaat kawasan TN.
Oleh karena itu,
kegiatan ini perlu dilakukan secara terus menerus dan diselenggarakan secara terpadu dengan berbagai lembaga/instansi terkait. 2. Penelitian khusus satwa sangat dibutuhkan untuk mengetahui perkembangan jenisnya, antara lain burung Garugiwa (sebangsa burung Elang) yang mampu menirukan 9 jenis suara yang berbeda, dan itik liar yang banyak terdapat di dalam kawasan tersebut. diperlukan
waktu
Oleh karena itu, untuk memperoleh data yang lengkap penelitian
yang
lama
dengan
memperhitungkan
musim.
Sebaiknya pengamatan dilakukan pada musim kemarau karena pada musim hujan, rawan longsor.
DAFTAR PUSTAKA Anonimous. 2001. Informasi TN Kelimutu. Taman Nasional Kelimutu. Ende, Flores Badan Pusat Statistik. 2004. Kecamatan Kelimutu dalam Angka. BPS, kabupaten Ende 43 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Dirjen PHKA, 2003. Buku Panduan 41 Taman Nasional di Indonesia. Publikasi bersama dengan UNESCO Office, Jakarta dan CIFOR Office, Bogor. Departemen Kehutanan, 1997. Buku Pintar Penyuluhan Kehutanan. Kehutanan Pusat Penyuluhan Kehutanan.
Departemen
Departemen Kehutanan dan Perkebunan, 1998. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 68 Tahun 1998. Tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. Kartasasmita, K. dkk. 1976. Pedoman Inventarisasi Flora dan Ekosistem, Direktorat Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam. Bogor. MacKinnon, J., K. MacKinnon, G. Child, dan J. Thrsell. 1990. Pengelolaan Kawasan yang dilindungi di Daerah Tropika. Gadjah Mada University Press. P.222. MacKinnon, J. 1991. Panduan lapangan pengenalan burung-burung di Jawa dan Bali. Gajah Mada University Press. Jogyakarta. Proyek Pengembangan TN. Kelimutu. 1994. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Kelimutu. Buku I dan II. Data, Proyeksi, dan Analisis. Kerjasama antara Proyek Pengembangan TN Kelimutu dan PT Deka Pentra, Bandung. Schmidt, F.G and J.M.A. Ferguson. 1951. Rainfall types based on wet and dry period rations for Indonesia with Western New Guinea. Verhandel No. 42. Direktorat Meteorologi dan Geofisika. Djakarta.
44 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Dampak Ekowisata Terhadap Kondisi Biofisik Kawasan dan Sosekbud Masyarakat Sekitar TN Komodo Oleh : Kayat Abstrak Untuk menunjang kegiatan wisata alam di Taman Nasional Komodo, pihak pengelola melakukan pengembangan obyek wisata alam. Pengembangan ini setidaknya akan menimbulkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, sehingga perlu dilakukan kajian pengembangan obyek wisata tersebut. Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menginventarisasi kegiatan ekowisata di kawasan TN Komodo, mengetahui dampak pengembangan ekowisata terhadap kondisi sosekbud/kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitarnya, serta dampak terhadap kelestarian kawasan konservasi TN Komodo, baik ekosistem dan komponen hayati. Kegiatan yang dilakukan adalah identifikasi berbagai kegiatan pengembangan ekowisata di TN Komodo; identifikasi berbagai dampak pengembangan ekowisata di TN Komodo; wawancara dengan masyarakat desa sekitar dan pihak terkait; serta pengumpulan data sekunder. Hasil penelitian : (1) Kegiatan ekowisata di Loh Liang dan Loh Buaya antara lain pengamatan satwa liar, pendakian dan penjelajahan, photo hunting dan video shooting, menyelam dan snorkeling, dan atraksi budaya tradisional. (2). Untuk meningkatkan minat pengunjung datang ke lokasi ekowisata, salah satu yang dilakukan oleh pengelola adalah pembangunan sarana prasarana pendukung. (3) Kondisi sosekbud masyarakat di Desa Komodo dan Desa Pasir Panjang, sebagian besar nelayan. Di Desa Komodo ada perubahan mata pencaharian dari nelayan ke pengrajin/penjual souvenir komodo. (4). Pihak yang merasakan manfaat ekonomis dari kegiatan ekowisata adalah Pihak Pengelola (TN Komodo), Pemda setempat (Kabupaten dan Propinsi), pemilik hotel, pemilik restoran, penyewaan boat, perusahan dive, guide, perusahaan penerbangan, pedagang souvenir, kios/warung, angkutan, agen travel, dan money changer. (5) Dampak ekologis dari ekowisata berupa perubahan perilaku terhadap beberapa jenis satwa liar seperti komodo, rusa, dan babi hutan, serta adanya ekspansi jenis kaktus. Kata Kunci : Taman Nasional Komodo, ekowisata, pengembangan, dampak, sosekbud masyarakat.
I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kekayaan alam Indonesia adalah merupakan aset dan modal dasar bagi pembangunan bangsa. Kini makin disadari bahwa upaya pelestarian alam bukanlah hanya demi kelestarian alam itu sendiri, namun hakekatnya adalah untuk kelangsungan pembangunan bangsa dan kesejahteraan manusia karena manusia adalah bagian integral dari ekosistem alam itu sendiri. Selama ini kawasan konservasi sebagai tabungan kekayaan alam yang dimiliki oleh rakyat Indonesia belumlah termanfaatkan secara maksimal bagi kesejahteraan 45 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
secara langsung bagi masyarakat di sekitarnya dan bagi keanekaragaman hayati yang ada di dalamnya. Kawasan konservasi lebih sering dianggap sebagai sebuah beban dalam upaya pelestariannya dan juga kawasan konservasi belum memberikan manfaat langsung bagi masyarakat sehingga menyebabkan masyarakat belum merasa memiliki kawasan tersebut dan tidak ikut bertanggung-jawab bagi kerusakan kawasan tersebut. Salah satu bentuk pengoptimalan kawasan konservasi adalah pemanfaatan jasa lingkungan berbentuk kepariwisataan.
Dewasa ini banyak negara di dunia yang
menganggap pariwisata sebagai satu diantara aspek terpenting dan integral dari strategi pengembangan negara.
Banyak literatur kepariwisataan yang memberikan
ulasan bahwa sektor pariwisata memberikan keuntungan ekonomi terhadap negara bersangkutan. Keuntungan-keuntungan ini biasanya diperoleh dari pendapatan nilai tukar mata uang asing, pendapatan pemerintah, stimulasi pengembangan regional, dan penciptaan tenaga kerja serta peningkatan pendapatannya (Syo’im M. dan Fadli M., 2002). Secara umum pariwisata telah menjadi salah satu industri yang terpenting di dunia. Menurut Dewan Perjalanan dan Pariwisata Dunia (Woeld Travel and Tourism Council – WTTC), saat ini pariwisata merupakan industri terbesar di dunia dengan menghasilkan pendapatan dunia lebih dari US$ 3,5 triliun pada tahun 1993 atau 6% dari pendapatan kotor dunia. Pariwisata merupakan industri yang lebih besar daripada industri
kendaraan,
baja,
elektronik
maupun
pertanian.
Industri
pariwisata
mempekerjakan 127 juta pekerja (satu dalam 15 pekerja di dunia. Secara keseluruhan, industri pariwisata diharapkan meningkat dua kali lipat pada tahun 2005 (WTTC, 1992). Indonesia memiliki kekayaan sumberdaya alam dengan keanekaragaman yang tinggi. Sumberdaya alam yang berada di kawasan hutan memiliki potensi yang dapat dimanfaatkan dan dikembangkan untuk kepentingan pariwisata. Walaupun demikian, sumberdaya
alam
tersebut
belum
sepenuhnya
digarap,
dikembangkan
dan
dimanfaatkan menjadi obyek wisata alam. Untuk menciptakan iklim usaha dan peluang ekonomi secara profesional melalui kegiatan wisata alam, pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan. Departemen Kehutanan telah mengantisipasi sejak tahun 1989, yaitu dengan diterbitkannya SK Menteri Kehutanan No. 68/Kpts-II/1989, yaitu tentang Pengusahaan Hutan Wisata, 46 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Taman Nasional, Taman Hutan Raya, dan Taman Wisata Laut. Ketentuan mengenai pengusahaan pariwisata alam kemudian diperkuat dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang No 5 Tahun 1990 tentanag Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah No.18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam.
Demikian pula dalam pengembangan Wisata Buru
telah diterbitkan Peraturan Pemerintah No.13 Tahun 1994 tentang Perburuan. Kegiatan wisata alam yang dapat dilakukan dan dikembangkan di kawasan tersebut di atas pada prinsipnya dapat digolongkan dalam 2 (dua) tipe, yaitu (1) wisata darat meliputi : lintas alam, mendaki gunung, menelusuri gua, berburu, fotografi, rekreasi pantai, berkemah, penelitian dan pendidikan; dan (2) wisata bahari yang meliputi : berenang, menyelam dan snorkling, berlayar, berselancar, fotografi, memancing, rekreasi pantai, penelitian dan pendidikan. Pengembanga pariwisata, termasuk di dalamnya wisata alam dapat memberikan manfaat dan keuntungan, yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk berperan secara aktif dalam pelestarian lingkungan; pertukaran latar belakang budaya yang berbeda; membuka kesempatan kerja dan berusaha; mendapatkan pendapatan negara. Taman Nasional Komodo ditetapkan pada tanggal 6 Maret 1980 dan merupakan salah satu Warisan Dunia serta Cagar Biosfir di Indonesia yang diumumkan oleh UNESCO pada tahun 1991. Secara administratif termasuk dalam wilayah Kecamatan Komodo, Kabupaten Manggarai, Propinsi Nusa Tenggara Timur.
Secara geografis
berada diantara Pulau Flores dan Pulau Sumbawa. Luas Taman Nasional Komodo berkisar 173.300 ha, yang terdiri dari daratan 40.728 ha dan lautan 132.572 ha. Daratan didominasi oleh tiga pulau besar, yaitu Pulau Komodo (33.937 ha), Pulau Rinca (19.627 ha) dan Pulau Padar (2.017 ha) serta beberapa pulau kecil disekitarnya. Potensi kawasan yang ada di Taman Nasional Komodo diantaranya : a.
Biawak komodo (Varanus komodoensis Ouwens),
47 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 b.
Savana, hampir 70% dari luas kawasan Taman Nasional Komodo berupa padang savana,
c.
Terumbu karang, termasuk yang terindah di dunia,
d.
Hutan Mangrove, mempunyai peranan yang sangat penting sebagai penahan abrasi air laut dan tempat hidup berbagai jenis satwa termasuk aneka jenis ikan,
e.
Satwa lainnya : rusa (Cervus timorensis), tikus Rinca (Ratus rintjanus), kerbau liar (Buballus
bubalis),
kuda
liar
(Equus
sp.),
kera
ekor
panjang
(Macaca
fascicularis)dan beberapa jenis burung diantaranya burung gosong kaki merah (Megapodius reinwardt) dan burung kakatua-kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea). Untuk menunjang kegiatan wisata alam di Taman Nasional Komodo, pihak pengelola melakukan pengembangan obyek wisata alam, diantara membangun fasilitas yang diperlukan. Pengembangan obyek wisata alam ini setidaknya akan menimbulkan berbagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negatif, sehingga perlu dilakukan kajian pengembangan obyek wisata tersebut. 2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Mengetahui dampak kegiatan ekowisata terhadap kondisi sosekbud/kesejahteraan masyarakat di kawasan TN Komodo dan sekitarnya 2. Mengetahui dampak pengembangan ekowisata terhadap kelestarian kawasan konservasi, yaitu ekosistem dan komponen hayati (biofisik) TN Komodo. 3. Mengidentifikasi dan menginventarisasi kegiatan ekowisata di kawasan TN Komodo. II. METODOLOGI A. Pengumpulan Data Jenis data yang diambil adalah data primer dari hasil pengamatan langsung di lapangan dan kuisioner yang diberikan kepada pihak-pihak masyarakat, pengelola (instansi terkait) serta wisatawan. Secara garis besar dibagi 2 kegiatan, yaitu : 1. Pengamatan Biofisik a.
Observasi perilaku komodo dan habitatnya
48 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 b.
Observasi satwa lain dan habitatnya yang terindikasi terkena dampak ekowisata
c.
Pengembangan sarana prasarana ekowisata
2. Kajian Sosekbud Masyarakat Sekitar TN Komodo a.
Perubahan mata pencaharian
b.
Dampak positif dan negatif bagi masyarakat Data sekunder diambil dari data pada instansi pengelola dan terkait untuk
memenuhi kebutuhan akan data base dinamika kondisi kawasan, baik dari ekosistem, komponen hayati serta masyarakat di dalam dan sekitar dalam jangka waktu tertentu sebelum dan sesudah dikembangkannya ekowisata. B. Pengolahan Data Data yang diperoleh diolah dengan bantuan metode analisis deskriptif. III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Kegiatan Ekowisata Di Kawasan TN Komodo Lokasi Loh Liang Loh Liang merupakan pintu masuk dan daerah wisata utama di Pulau Komodo. Aktivitas ekowisata yang ditawarkan kepada pengunjung di Loh Liang antara lain : •
Pengamatan satwa liar, seperti biawak Komodo (Varanus komodoensis), rusa timor (Cervus timorensis), kerbau liar (Buballus buballis), dan babi hutan (Sus scrofa).
•
Pengamatan burung, misalnya burung gosong (Megapodius reinwartii), kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea), srigunting (Dicrurus hottentottus), burung gagak (Corpus sp), tekukur, koak kiau, ayam hutan dan pergam hijau (Ducula aenae).
•
Pendakian (Loh Liang-Gunung Ara-Gunung Satalibo).
•
Penjelajahan (Loh Liang – Sebita).
•
Photo hunting dan video shooting.
•
Menyelam, snorkeling di Pantai Merah, Loh Bo, Loh Namo, dan Pulau Lasa.
•
Atraksi Pencak silat, Tarian Arugele dan Acara Kulukamba di Kampung Komodo.
Lokasi Loh Buaya
49 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Loh Buaya merupakan pusat kunjungan wisatawan di Pulau Rinca.
Aktivitas
ekowisata yang ditawarkan kepada pengunjung di Loh Liang antara lain : •
Pengamatan satwa liar, seperti biawak Komodo (Varanus komodoensis), rusa timor (Cervus timorensis), kerbau liar (Buballus buballis), kuda liar (Equus sp), kera ekor panjang (Macaca fascicularis), dan babi hutan (Sus scrofa), serta pengamatan berbagai jenis burung, misalnya burung gosong (Megapodius reinwartii), kakatua kecil jambul kuning (Cacatua sulphurea), burung gagak (Corpus sp), ayam hutan, Elang bondol (Haliastur indus), Elang Laut (Haliaeetus leucogaster), dan pergam hijau (Ducula aenae)
•
Menyelam dan snorkeling (menyaksikan keindahan panorama bawah laut dengan aneka warna dan bentuk terumbu karang dan ikan) di Pulau Pengah, P. Siaba, P. Tatawa Kecil, P. Padar Utara, P. Tiko Toko, P. Mauan, P. Indihiang, Pantai Merah, Batu Bolong dan Gililawa Darat.
B. Pengembangan Ekowisata di TN Komodo Hasil observasi yang dilakukan di kawasan Taman Nasional Komodo, untuk meningkatkan pengelolaan berbagai kegiatan telah dilakukan oleh pihak pengelola, salah satunya adalah kegiatan pengembangan ekowisata.
Untuk meningkatkan minat
pengunjung datang ke lokasi ekowisata, salah satu yang dilakukan adalah pembangunan sarana prasarana pendukung. Hasil identifikasi di lapangan, berbagai sarana prasarana pendukung yang dibangun adalah sebagai berikut : Di Pulau Komodo : Sarana yang dibangun di Loh Liang adalah dermaga, gapura, gudang, loket karcis, pusat informasi, tempat istirahat, pusat pelayanan pengunjung, cafeteria, kantor, asrama polsus, pondok pelayan, wisma, pondok penginapan, laboratorium lapangan, stasiun penelitian, musholla, gereja, menara, genset/generator, jembatan, heliped, dan papan-papan informasi. Di Pulau Rinca : Sarana yang dibangun di Loh Buaya adalah dermaga, gapura, gudang, loket karcis, pusat informasi, tempat istirahat, cafeteria, kantor, barak/asrama polsus, guest house/pondok penginapan, dapur, menara, rumah genset/generator, mck dan papan-papan informasi. 50 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
C.
Dampak Terhadap Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Kawasan TN Komodo dan Sekitarnya
Desa Komodo Penduduk di Desa Komodo berjumlah 320 KK (1230 jiwa), dan sebagian besar penduduknya adalah nelayan, yaitu sebanyak 300 KK. Di Desa Komodo ada sekitar 140 perahu yang mencirikan bahwa mata pencaharian mereka sebagian besar sebagai nelayan. Jumlah kios/warung yang ada di Desa Komodo sebanyak 10 buah. Dampak ekowisata terhadap masyarakat di Desa Komodo adalah adanya perubahan mata pencaharian dari petani ladang (sekitar 70 orang) ke nelayan (sekarang semuanya), dan perubahan mata pencaharian dari nelayan menjadi pengrajin/pemahat souvenir patung komodo, sejak tahun 1999. Kelompok Putri Naga Komodo (Dragons Princess) beranggotakan 36 orang, sebanyak 20 orang pengrajin tetap dan 16 orang kalau ada pesanan.
Dengan adanya mata pencaharian tersebut ikut mengurangi kerusakan
terhadap biota laut seperti tripang dan mata tujuh. Harga souvenir komodo bervariasi dari yang kecil 50cm seharga 70 ribu rupiah (dibuat 5-6 ekor/hari) sampai dengan yang besar 1,5 juta (dibuat 1 ekor selama 25 hari). Kelompok lain (pengrajin dan penjual) berjumlah 70 orang, jumlah hari dagang 20 hari/bulan. Masih berlaku system ijon yang sangat merugikan nelayan. Ada budaya tradisional yang dapat dijual kepada para pengunjung, seperti : (1) Tarian Arugele (proses pembuatan makanan tradisional Kerampi (pohon gebang dikupas, diambil isinya dihancurkan dan diambil tepungnya), (2) Pencak silat diiringi tarian gendang, dan (3) Kulukamba (tanam badan, pukul kayu). Desa Pasir Panjang Jumlah penduduk di Desa Pasir Panjang sebanyak 300 KK dengan jumlah jiwa 1.325 orang. Mata pencaharian seluruhnya nelayan. Tidak ada dampak ekowisata terhadap mata pencaharian di Desa Pasir Panjang, hal ini dicirikan dengan tidak adanya perubahan mata pencaharian seperti yang terjadi di Desa Komodo. Beberapa orang memiliki kapal, sedangkan yang lainnya bekerja pada pemilik kapal.
Yang
memiliki pekerjaan sambilan sebagai petani ada 10 orang. Jumlah kios/warung di Desa 51 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pasir Panjang sebanyak 6 buah. Di kampung Rinca ini ada 40 orang kader konservasi yang ikut membantu kegiatan Balai TN Komodo, seperti kegiatan memandu turis. Obyek wisata yang ada di dekat Desa Pasir Panjang adalah Gua Kalong yang biasa dikunjungi beberapa orang turis. Turis yang berkunjung ke kampong Rinca ini hanya sedikit berkisar 5 orang per bulan, hal ini disebabkan karena letak Kampung Rinca yang jauh dari Loh Buaya yang merupakan tujuan wisman.
Pasilitas yang ada 1 buah
sekolah dasar dan 1 buah Polindes. Di kampung Rinca ini ada 5 kejadian orang digigit komodo,
dan
beberapa
ekor
ternak
kambing
dimakan/digigit
oleh
komodo,
kemungkinan hal ini terjadi karena pakan yang tersedia untuk komodo di Pulau Rinca ini tidak mencukupi.
Sehingga penelitian daya dukung pakan komodo sangat
diperlukan. D. Dampak Ekonomi Pihak yang mendapatkan manfaat ekonomis dari ekowisata TN Komodo : 1.
Pihak Pengelola (dalam hal ini TN Komodo) Tarif masuk ke kawasan TN Komodo adalah untuk pengunjung wisman
Rp.20.000,- untuk sekali masuk, sedangkan untuk pengunjung lokal sebesar Rp.2.000,.
Dari pemasukan karcis, uang yang terkumpul dikembalikan lagi 40% untuk
Pemerintah Kabupaten, 30% untuk Propinsi, 15% untuk Negara dan 15% masuk Ke Dephut.
Pendapatan TN Komodo dari penjualan karcis masuk pada tahun 2004
sebesar Rp.166.760.000,-. Pihak Pengelola yang dalam hal ini Departemen Kehutanan memperoleh bagian sebesar Rp.25.014.000,-. 2.
Pemda setempat Pemerintah Kabupaten Manggarai Barat yang memiliki wilayah TN Komodo
secara administratif, memperoleh manfaat ekonomis dari kontribusi karcis masuk. Menurut peraturan yang ada Pemerintah Kabupaten mendapatkan pembagian sebesar 40% dari pendapatan karcis masuk.
Pada tahun 2004 pendapatan Pemerintah
Kabupaten Manggarai Barat dari karcis masuk TN Komodo sebesar Rp. 66.704.000,-. 3.
Pemilik Hotel
52 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Berdasarkan hasil identifikasi Dinas Pariwisata dan Perhubungan Kabupaten Manggarai Barat tahun 2004, jumlah penginapan yang ada di Labuan bajo sebanyak 17 buah hotel. Lama hunian hotel/homestay di Labuan Bajo rata-rata 1-2 hari. Jumlah pengunjung yang memanfaatkan fasilitas penginapan meningkat antara bulan Juli s/d Oktober.
53 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 1. Beberapa Hotel di Labuan Bajo yang Terkena Dampak Ekowisata No
Nama Hotel
Jumlah
Hunian (%)
Jumlah
Tarif
Ramai (Julikamar
Agustus)
Sepi
Karyawan
1
Eco Lodge
9
60
25
14
63 $USD
2
Bajo Beach
16
70
30
8
Rp.175.000,-
3
Gardena
19
40
25
9
Rp. 75.000,-
4
Cendana
4
25
25
5
Rp.100.000,-
5
Chez Felix
16
70
30
5
Rp. 80.000,-
New Bajo 6
Beach
16
70
30
8
Rp.110.000,-
7
Wisata
22
70
30
10
Rp.40.000,-
Jumlah pendapatan seluruh hotel yang ada di Labuan bajo selama setahun sekitar Rp.4.571.057.000,-, dengan rata-rata pendapatan setiap hotel sebesar Rp.268.885.000,-.
4.
Pemilik Restoran/Rumah Makan Berdasarkan hasil identifikasi Dinas Pariwisata dan Perhubungan Kabupaten
Manggarai Barat tahun 2004, jumlah rumah makan di Labuan Bajo sebanyak 23 buah. Jumlah keuntungan seluruh rumah makan di Labuan Bajo selama setahun sekitar Rp.1.472.184.000,-, dengan rata-rata keuntungan setiap rumah makan adalah sekitar Rp.64.008.000,-.
5.
Penyewaan Boat Persatuan angkutan kapal boat wisata di Labuan Bajo sebanyak 37 buah.
Tabel 2. Kelas Kapal Boat Yang Ada di Labuan Bajo No
Kapasaitas kapal boat
Tarif sewa/hari (xRp.1000,-)
Jumlah ABK
1
15-20 Orang
1.000
2
10 Orang
500
1-2
3
6 Orang
400
1-2
54 |
5
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 4
4 Orang
300
1-2
Sumber : Wawancara Dengan Sekretaris Angkutan Wisata
Tabel 3. Rekapitulasi Boat Wisata ke TN Komodo Tahun 2000 s/d 2004 No
Tahun
1
2000
< 40 PK 1.107
41-80 PK 451
> 80 PK 249
Keterangan Januari s/d Desember
2
2001
844
905
413
3
2002
1.661
662
515
4
2003
1.180
552
495
5
2004
490
347
211
S/d Juni 2004
Total
5.282
2.917
1.883
10.082
Sumber : Taman Nasional Komodo
Tabel 4. Nilai Ekonomi Dari Penyewaan Boat, Tahun 2004 No
Jenis
Rata-rata Tiap Boat (xRp.1.000,-)
Seluruh Boat
Keterangan
(xRp.1.000,-)
1 Penyewaan boat
6.
22.500
832.500
Diasumsikan boat yang aktif ada 37 buah
Perusahaan Dive Jumlah usaha dive di Labuan Bajo (sumber Dinas Pariwisata dan Perhubungan
Manggarai Barat) sebanyak 5 buah, yaitu (1) Padi Dive/PT.Reefseekers Kathernest Lestari, (2) Bajo Dive Club, (3) Pro Dive Komodo, (4) CN Dive, dan (5) PT. Wisata Tirta Komodo. Tabel 5. Nilai Ekonomi Dari Perusahan Dive, Tahun 2004 No
Pendapatan
Tiap Perusahaan Dive (xRp.1.000,-)
1
Tertinggi
2
Terendah
Seluruh Dive
Keterangan
(xRp.1.000,-)
493.733
2.468.667
253.267
1.266.333 Perusahaan Dive yang
3
Rata-rata
55 |
345.267
1.726.333
aktif ada 5 buah
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Guide :
7.
Guide plus adalah karyawan TN Komodo yang merangkap menjadi guide. Pengunjung yang datang ke Loh Liang dan Loh Buaya harus didampingi oleh guide yang berasl dari tenaga pengelola TN Komodo.
Tarifnya adalah Rp.10.000,-
/orang/pengunjung. Sedangkan yang mendampingi pengunjung selama perjalanan dari Labuan Bajo ke kawasan TN Komodo adalah guide local. Jumlah guide lokal yang masuk dalam keanggotaan HPI (Himpunan Pramuwisata Indonesia) sebanyak 26 orang. Tarif guide antara Rp.50.000,-/hari sampai dengan Rp.100.000,-/hari. Perusahaan penerbangan
8.
Tahun 2004 wisatawan mancanegara yang memanfaatkan transportasi udara, yang sebagian besar dari Denpasar ke Labuan Bajo dengan tujuan utama TN Komodo adalah sebagai berikut : Tabel 6. Wisatawan Mancanegara Yang Memanfaatkan Transportasi Udara No
Jumlah wisman
Bulan
Datang
Pergi
Total
Biaya penerbangan
Keterangan
(x Rp.1000,-)
1
Januari
176
179
355
248.500
Tarif sekali
2
Februari
134
100
234
163.800
terbang
3
Maret
135
132
267
186.900
4
April
203
154
357
249.900
5
Mei
156
198
354
247.800
6
Juni
153
124
277
193.900
7
Juli
277
215
492
344.400
8
Agustus
379
305
684
478.800
9
September
250
236
486
340.200
10
Oktober
248
200
448
313.600
11
Nopember
269
229
498
348.600
Desember
-
-
-
-
12
56 |
:
Rp.700.000,-
Belum ada data
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 Jumlah
3.116.400
Sumber : Dinas Perhubungan Lanud
Pengrajin dan Pedagang Souvenir (Souvenir dan Benda Primitif)
9.
Pedagang souvenir ada di Pulau Komodo (Desa Komodo dan Loh Liang) dan Labuan Bajo. Pengrajin dan pedagang souvenir di Desa Komodo ada 2 kelompok. Kelompok pertama berjumlah 36 orang (20 orang aktif; 16 orang kalau ada pesanan) dan kelompok kedua berjumlah 70 orang. Sedangkan di Labuan Bajo ada 2 (dua) toko (souvenir dan benda primitif). Tabel 7. Nilai Ekonomi Dari Penjualan Souvenir, Tahun 2004 No
Pendapatan dari Souvenir
Jumlah
Keterangan
(xRp.1.000,-) 1
Labuan Bajo
123.000
Wawancara terhadap 2 orang
2
Desa Komodo
32.700
Wawancara terhadap 5 orang
Jumlah
10.
155.700
Kios/warung Kios atau warung yang ada di Labuan Bajo kurang mendapat manfaat ekonomis
dari ekowisata TN Komodo. 11.
Angkutan Darat Angkutan darat yang ada di Labuan Bajo kurang mendapat manfaat ekonomis
dari ekowisata TN Komodo. 12.
Biro Perjalanan/Agen trevel Berdasarkan hasil identifikasi Dinas Pariwisata dan Perhubungan Kabupaten
Manggarai Barat tahun 2004, jumlah biro perjalanan di Labuan Bajo sebanyak 11 buah. Wisman dari Lombok dengan tujuan TN Komodo membayar tarif 500 ribu/orang, dengan minimal 10 orang. Atau 600rb/orang dengan minimal 8 orang. Sebagian besar biro perjalanan yang ada di Labuan Bajo adalah cabang dari biro perjalanan yang ada di Bali dan Lombok. 13.
Money Changer 57 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Jumlah money changer di Labuan Bajo sebanyak 5 buah. Rata-rata pendapatan dari money changer setiap tahun sekitar Rp.43.200.000,-. Jumlah keuntungan seluruh money changer selama setahun sekitar Rp.216.000.000,-
E. Dampak Ekologis/Biofisik 1. Satwa Liar Pada tahun 1983 sampai dengan 1994 untuk menarik pengunjung dilakukan pemberian pakan berupa kambing kepada komodo, sehingga terjadi perubahan perilaku makan komodo karena ketergantungan makanan. Tetapi mulai tahun 1994 sampai dengan 1997 kegiatan ini dihentikan, hingga sekarang. Satwa andalan di Pulau Komodo adalah Komodo, rusa, babi, dan kerbau liar. Sedangkan di Pulau Rinca adalah komodo, rusa, kerbau liar, kuda liar, babi dan kera. Dampak negatif yang terjadi dengan adanya pembangunan sarana prasarana dan aktivitas tenaga pengelola di Loh Liang dan Loh Buaya adalah ketergantungan satwa liar terhadap sisa makanan, seperti (1) babi hutan yang memakan sisa makanan dekat dapur, (2) rusa yang makan sisa sayuran atau kulit pisang, (3) komodo yang memakan sisa-sisa tulang ikan, dan (4) burung gagak yang memakan makanan/sisa makanan yang ada di cafetaria.
Sedangkan dampak positif dari adanya pembangunan sarana
prasarana dan aktivitas tenaga pengelola di Loh Liang dan Loh Buaya adalah pengunjung yang datang lebih mudah melihat satwa andalan TN Komodo. Hasil observasi dan wawancara dengan tenaga pengelola di lapangan (Loh Liang dan Loh Buaya), dampak pengunjung terhadap flora dan habitat satwa hampir tidak ada. Luas areal yang dipakai pembangunan saran prasarana di Loh Liang seluas sekitar 5,0 ha, sedangkan di Loh Buaya seluas 1,0 ha. Hasil observasi di lapangan, dampak ekologis terhadap kedua lokasi tersebut tidak ada. Tabel 7. Satwa Liar Yang Ada di Sekitar Loh Liang No 1
Jenis Satwa Komodo
58 |
Jumlah (ekor) 4
Keterangan Terlihat rutin
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 2
Rusa
15
Terlihat rutin
3
Babi hutan
17
Terlihat rutin
4
Gagak
9
Terlihat rutin
5
Tekukur
21
Terlihat rutin
6
Pergam
2
Terlihat rutin
7
Perkutut
50
Terlihat rutin
59 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 7. lanjutan No
Jenis Satwa
Jumlah (ekor)
Keterangan
8
Koak kiau
10
Terlihat rutin
9
Ayam hutan(hijau)
2
Terlihat dan Suara
10
Burung gosong
wawancara
11
Kakatua kecil jambul kuning
wawancara
12
Kepodang
wawancara
Tabel 8. Satwa Liar Yang Ada di Sekitar Loh Buaya No
Jenis Satwa
Jumlah (ekor) 11
Keterangan
1
Komodo
2
Kerbau liar
3
Rusa
5
Terlihat
4
Babi hutan
3
Terlihat
5
Monyet
1-16
6
Gagak
2
Terlihat
7
Pergam
2
Terlihat
8
Kakatua kecil jambul kuning
2
Terlihat
9
Ayam hutan(hijau)
2
Terlihat dan Suara
10
Burung gosong
1- 4
2-4
Terlihat Terlihat, wawancara
Terlihat, wawancara
Terlihat, wawancara
2. Kaktus Taman Nasional Komodo memiliki jenis flora eksotik yang cukup mengganggu keseimbangan kawasan yaitu jenis kaktus (Opuntia nigricans). Kaktus ini merupakan jenis tumbuhan cepat tumbuh dan menyebar dengan cepat serta mengancam jenis tumbuhan lainnya, terutama pada kawasan savana. Keberadaan kaktus di Loh Buaya ini menimbulkan dampak negatif bagi habitat satwa mamalia terutama kerbau liar dan rusa, serta satwa komodo. Dampak yang nyata adalah berkurangnya luasan savana sebagai sumber pakan bagi satwa mamalia dan menyebabkan terjadinya kompetisi pada jenis satwa tersebut untuk mendapatkan sumber pakan. Apabila kondisi ekologis ini berlangsung terus menerus tanpa ada pengendalian, maka jenis flora endemik dan mamalia akan terancam, dan dampak selanjutnya akan mengancam keberlangsungan hidup satwa komodo.
60 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pihak Pengelola Taman Nasional Komodo telah melakukan pengendalian penyebaran kaktus melalui 2 (dua) cara, yaitu (1) pemberantasan secara biologis dengan menggunakan serangga Dactylopius opuntiae dan (2) pemberantasan secara mekanis dan kimiawi dengan cara menebas kaktus kemudian disiram dengan solar dan polaris, dan kalau sudah kering dibakar. Setelah dilakukan observasi dan pengukuran, penyebaran kaktus di Loh Buaya telah mencapai luas ± 31,0 (tiga puluh satu) ha. Hasil observasi dan pengukuran, luas kaktus yang sudah tertulari kutu dan diindikasikan kemungkinan bisa mati seluas ± 5,5 ha (hasil pengamatan Agustus 2005 hampir semua kaktus mati). Hasil pengamatan dan observasi di lapangan, ada kelebihan dan kekurangan dari kedua metode pengendalian kaktus tersebut di atas : (1) Matode pengendalian secara biologis (dengan kutu Dactylopius opuntiae) : Kelebihan : 1. Tidak memerlukan biaya dan jumlah tanaga yang besar dalam pengendaliannya, 2. Aman dan ramah lingkungan. Kekurangan : 1. Proses pengendaliannya akan memerlukan waktu yang lama, tergantung jumlah populasi dan penyebaran kutu Dactylopius opuntiae. (2) Metode Pengendalian Secara Mekanis dan Kimiawi : Kelebihan : 1. Kaktus lebih cepat mati Kekurangan : 1. Memerlukan biaya dan jumlah tanaga yang besar, 2. Dikhawatirkan pemakaian bahan kimia (solar dan polaris) akan mengakibatkan pencemaran lingkungan dan mempengaruhi keseimbangan ekosistem di tempat tersebut. 3. Proses
pengendalian/pemberantasan
sangat
sulit
dan
bisa
mengancam
keselamatan tenaga kerja, karena kaktus bisa mencapai ketinggian 2-3 meter dan di beberapa tempat populasinya sangat padat.
61 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Dengan mempertimbangkan kelebihan dan kekurangan masing-masing kedua metode
pemberantasan/pengendalian
kaktus
di
atas,
salah
satu
alternatif
pengendaliannya adalah mengisolasi kawasan yang sudah terinvasi oleh kaktus dengan menyebarluaskan kutu Dactylopius opuntiae pada bagian luar kawasan. Hal ini dilakukan dengan harapan bisa mempercepat penyebaran kutu Dactylopius opuntiae sehingga dapat mempercepat pengendalian/pemberantasan kaktus. IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1. Kegiatan ekowisata di Loh Liang dan Loh Buaya antara lain pengamatan satwa liar,
pendakian dan penjelajahan, photo hunting dan video shooting, menyelam dan snorkeling, dan atraksi budaya tradisional. 2. Untuk meningkatkan minat pengunjung datang ke lokasi ekowisata, salah satu yang
dilakukan adalah pembangunan sarana prasarana pendukung. 3. Kondisi sosekbud masyarakat di Desa Komodo dan Desa Pasir Panjang, sebagian
besar nelayan. Di Desa Komodo ada perubahan mata pencaharian dari nelayan ke pengrajin/penjual souvenir komodo. 4. Yang merasakan manfaat ekonomis dari kegiatan ekowisata adalah Pihak
Pengelola (TN Komodo), Pemda setempat, pemilik hotel, pemilik restoran, penyewaan boat, perusahan dive, guide, perusahaan penerbangan, pedagang souvenir, kios/warung, angkutan , agen trevel , dan money changer. 5. Dampak ekologis dari ekowisata berupa perubahan perilaku terhadap beberapa
jenis satwa liar seperti komodo, rusa, dan babi hutan. B. Saran 1. Perlu dibangun sarana prasarana pendukung di Labuan Bajo agar wisman lebih tertarik untuk datang ke TN Komodo. 2. Perlu dibina pengelolaan yang melibatkan masyarakat sekitar kawasan TN Komodo agar bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.Kesimpulan yang didapatkan dari penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA 62 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Balai TN Komodo. 2004. Statistik Balai Taman Nasional Komodo Tahun 2000 s/d 2004. Balai TN Komodo. Labuan Bajo Chafid Fandeli, Mukhlison. 2000. Pengusahaan Ekowisata. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Fakultas Kehutanan
Widada. 2002. Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Upaya Pengelolaan Taman Nasional Gunung Halimun. Program Pasca Sarjana (S3), Institut Pertanian Bogor.
63 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
KAJIAN PENINGKATAN PENDAPATAN MASYARAKAT MELALUI PEMANFAATAN HUTAN SEBAGAI EKOWISATA DI RIUNG Oleh : Rahman Kurniadi ABSTRAK Sampai saat ini sektor kehutanan telah menjadi perhatian banyak pihak karena keterkaitannya dengan banykanya penduduk miskin disekitar areal hutan. Menurut data Potensi Desa (2003) dalam Ediawan (2005) desa yang berada di dalam dan di sekitar hutan lebih tertinggal dibandingkan dengan desa di luar hutan. Desa di dalam dan di sekitar hutan lebih miskin ditinjau dari ketersediaan prasarana dibandingkan desa di luar hutan. Penelitian ini bertujuan meningkatkan
manfaat hutan sebagai ekowisata di
Riung. Hasil penelitian menunjukan bahwa kondisi saat ini manfaat yang diterima masyarkat belum optimal. Untuk meningkatkan manfaat tersebut dapat dilakukan dengan meningkatkan arus kunjungan wisata ke Riung. Hal ini dapat dilakukan dengan meningkatkan promosi dan meningkatkan sarana dan prasarana rekreasi di Riung. Dari hasil penelitian juga diperoleh fakta bahwa pemanfaatan hutan sebagai objek ekowisata di Riung memberikan manfaat lebih banyak kepada masyarakat dibandingkan pemanfaatan dalam bentuk lainnya. Di samping keuntungan ekologi, masyarakat sekitar objek ekowisata di Riung memperoleh manfaat ekonomi. Kata kunci : ekowisata, manfaat ekologi, manfaat ekonomi. I. PENDAHULUAN Sampai saat ini sektor kehutanan telah menjadi perhatian banyak pihak karena keterkaitannya dengan banykanya penduduk miskin disekitar areal hutan.
Menurut
data Potensi Desa (2003) dalam Ediawan (2005) desa yang berada di dalam dan di sekitar hutan lebih tertinggal dibandingkan dengan desa di luar hutan. Desa di dalam dan di sekitar hutan lebih miskin ditinjau dari ketersediaan prasarana dibandingkan desa di luar hutan. Menurut Ediawan (2005) terdapat beberapa penyebab kemiskinan.
Peneybab
kemiskinan tersebut dapat dikelompokan menjadi faktor alam, faktor struktural, faktor budaya, faktor manusia dan faktor goncangan tiba-tiba.
Sementara itu di Nusa
Tenggara Timur hampir semua faktor tersebut ditemukan. Karena faktor-faktor yang kompleks, Nusa Tenggara Timur memiliki presentase desa di dalam dan di sekitar hutan relatif lebih tinggi .
64 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
100 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0
Dalam hutan Luar hutan
a ne
si
ua In do
Pa p
u al uk M
ai
n
aw es
Su l
im
an ta
N T
Ka l
Su
Ja w
a
m at
er
Ba l
a
i
Propinsi
Sumber : Potensi Desa (2003) dalamEdiawan (2005) Gambar 1. Desa miskin ditinjau dari prasarana menurut letak desa terhadap hutan di Indonesia (2003) Dintinjau dari pendapatan masyarakat,
persentase rumah tangga miskin di
sekitar dan di dalam hutan lebih tinggi dibandingkan diluar hutan.
NTT 88 86 84 82 NTT
80 78 76 74 72 Dalam hutan
Luar hutan
Propinsi
Gambar 2. Prosentase rumah tangga miskin menurut letak desa. Dengan melihat data diatas maka sudah selayaknya
para pengelola hutan
berupaya meningkatkan kesejahteraan masyararakat sekitatr hutan.
Dengan upaya
tersebut diharapkan kelestarian hutan dapat terjaga karena tekanan terhadap hutan berkurang. Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarkat telah dilakukan dengan berbagai cara.
Salah satunya adalah dengan membuka lahan hutan sebagai hutan produksi.
Data terakhir menunjukan bahwa sistem pengelolaan tersebut tidak
65 |
meningkatkan
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
kesejahteraan masyarakat sekitar hutan karena keuntungan yang diperoleh sebagian besar tidak diinvestasikan lagi di sekitar hutan tersebut. Sementara itu pemanfaatan hutan sebagai ekowisata dipandang memiliki keuntungan yang lebih menjanjikan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan hutan sebagai ekowisata dapat memberikan manfaat lebih banyak kepada masyarakat sekitar hutan.
Di samping itu pemanfaatan hutan sebagai ekowisata
nenikiliki risiko kerugian ekologi yang lebih kecil dibandingkan dengan pemanfaatan hutan sebagai hutan produksi. Penelitian ini bertujuan mengetahui manfaat hutan sebagai ekowisata di Taman Laut 17 Pulau Riung. yang diperoleh masyarakat dan berupaya meningkatkannnya. II. METODE PENELITIAN Penelitian dilakukan mulai Bulan April - November tahun 2005.
Penelitian
bertempat di sekitar Taman Laut 17 Pulau Riung. Penelitian dilakukan dengan cara observasi dan wawancara terhadap para pengunjung, pemilik hotel/penginapan, masyarakat sekitar hutan Riung, para pejabat terkkait, dan LSM. Data diolah secara deskriptif dan dianalisis
dengan metode perbandingan
dengan titik optimal dan pemanfatan dalam bentuk lainnya. Dengan cara demikian dapat diperoleh kemmpuan maksimal dari Taman Laut 17 Pulau Riung sebagai Objek Ekowisata.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Potensi Objek Wisata di Riung Menurut BKSDA NTT II (2002) terdapat kawasan hutan yang telah ditetapkan sebagai objek ekowisata di Riung yaitu Cagar Alam Wolo Tadho, Cagar Alam Riung, dan Taman Wisata Alam Tujuh Belas Pulau Riung..
Cagar Alam Wolo Tadho
ditetapkan dengan surat Keputusan menteri Kehutanan Nomor 429/Kpts-II/1992 tanggal 5 Mei 1992. Terletak di Bagian Utara Oulau Flores yang secara administratif termasuk Kecamatan Riung Kabupaten Ngada. Kawasan Yang terletak 162 kilometer dari kota Bjawa ini memiliki luas 4.016,80 hektar
66 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Cagar Alam Wolo Tadho merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan dataran sedang yang sangat penting bagi daerah tangkapan air bagi daerah sekitarnya. Jenis-jenis vegetasi campuran yang tumbuh di kawasan ini antara lain kayu hitam (Dyospiros sp), ampupu ( Eucalyptus urohylla),asam (Tamarindus inca), kayu manis (Cinnamomum indica), serta johar ( Cassia siamea) Jenis-jenis fauna yang dapat ditemui antara lain rusa timor ( Cervus timorensis). Landak (Zaglossus sp), ayam hutan (Gallus varius), serta berbagai burung serindit flores (Loriculus flosculus), nuri (Lorius domicella) kakatua (Cacatua sulphurea). Beo flores ( Glacula religiosa) dan tekukur (Streptopelia chinensis). ( BKSDA NTTII, 2002). Taman Wisata Alam Tujuh Belas Pulau riung ditetapkan dengan Surat keputusan Menteri Kehutanan nomor 589/kpts-II/1996 tanggal 16 September 1996 tanggal 16 September 1996. Terletak di daratan Pulau Flores yang secara administartif termasuk termasuk wilayah Kecamatan Riung Kabupaten Ngada dengan luas 9.900 hektar. Taman wisata alam Tujuh Belas Pulau merupakan gugusan pulau-pulau besar dan kecil antara lain Pulau Pau, Borong, Ontoloe, Dua, Kolong, Lain Jawa, Besar, Halima, Peta, Rutong, Meja, Bampa, Tiga, Tembaga, Taor, Sui, dan Wire. Kawasan Wisata Alam Tujuh Belas Riung merupakan tipe hutan kering dengan vegetasi campuran antara lain ketapang (Terminalia catappa),
waru (Hibuscus
tiliaceus), kemiri (Aleuritus moluccana), pandan (Pandanus tectorius), jati (Tectona grandis), kepuh (Sterculia foetida), kesambi (Schleichera oleosa), sengon laut (Albizia sp), nyamplung (Calophyum inophylum) serta jeins-jenis bakau yang tumbuh di seluruh pesisir pantai gugusan pulau-pulau yaitu
jenis-jenis dominan bakau yang tumbuh
diseluruh pesisir pantai gugusan pulau-pulau yaitu jeins-jenis dominan Rhizopora sp, Brugures gymnoriza, dan Sonneratia sp. Aneka jenis fauna yang hidup
di kawasan ini diantaranya komodo (Varanus
komodoensis), rusa timor ( Cervus timorensis) , landak (Zaglossus sp), kera (macaca fascicularis),musang
(Paradukurus
haemaphroditus),
biawak
timor
(Varanus
timorensis), serta bebagai jenis burung misalnya elang (Elanus sp), bangau putih(Egretta sacra),bangau hitam atau sandang glawe (Ciconia episcopus), perkici dada
kuning
67 |
(Trichoglossus
haemotodus),
nuri
(Loriculus
domisela),
tekukur
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
(Streptopelia chinensis), wontong atau gosong (Megapodius reiwardtii) dan kelelawar (Pterpsuss veropirus). Di samping itu, kawsan TWAL tujuh belas pulau juga kaya akan ekosistem terumbu karang dan jenis-jenis biota perairan laut. Terdapat sekitar 27 jenis karang diantaranya adalahMontipora sp, Acrophylla sp, Platygira sp, Galaxea sp, Pavites sp, Styophora sp, Pavona sp, Echynophylla sp, dan Echynopora sp. Jenis-jenis biota yang hidup di perairan antara lain adalah mamalia laut seperti duyung (Dugon dugon), lumba-lumba( Dolphinus dolpin) dan paus (Physister catodon), reptilia laut penyu sisik (Eretmohelis imbricata) dan penyu hijau (Chelonia mydas);aneka ikan hias yang hidup di karang dari family Chaetodontidae, Serranidae, Lethinidae, dan Haemulidae, serta jenis-jenis ikan komersial lainnya (Unit KSDA NTT II, 2001). Cagar alam Riung ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 589/Kpts-II/1996 tanggal 16 September 1996. Terletak di bagian barat sebelah utara Pulau Flores yang secara administratif termasuk ke dalam Kecamatan Riung Kabupaten Ngada ini mempunyai luas 2000 hektar. Kawasan Cagar alam Riung merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan kering dengan vegetasi campuran antara lain jenis-jenis waru (Hibiscus tiliaceus), ketapang (Terminilia catappa), kemiri (Aleurites moluccana), kepuh (Sterculia foetida), pandan (Pandanus tectorius),jati Tectona grandis),cendana (Santalum album), kesambi (Schleichera oleosa), johar (Cassia siamea), mangga (Mangifera indica), asam (Taridus indica), sengon laut (Albizia falcataria), kabesak (Acacia leucochepala),nyamplung (Callopylum inophyllum), kayu manis (Cinamomum burmanii), serta jenis-jenis bakau Rhyzophora stylosa, Brugurea gymnorhiza dan sonneratia sp. Abeka jenis fauna yang hidup di kawasan ini diantaranya komodo (Varanus komodoensis), rusa timor (Cervus timorensis), landak (Zaglossus sp), kera (Macaca fascicularis), musang ( Paradoxurus haemaphroditus), biawak timor ( Varanus timorensis), serta berbagai jeinsi burung misalnya elang, bangau putih((Egretta sacra), bangau hitam, perkici dada kuning (Trichologus haematodus), nuri, tekukur, wontong atau gosong (Megapodius rewardtii, dan kelelawar.
68 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Di samping itu kawasan Cagar Alam Riung juga kaya akan ekosistem terumbu karang dan kjenis-jenis biota perairan laut. Terdapat 27 jenis karang ditantaranya Montipora sp,Acropora sp, Lobophylla sp, Platygira sp, Galaxea sp, Pavites sp, Styophora sp, Echynophylla sp, dan Echynopora sp. Jenis-jenis biota yang hidup di perairan antara lain adalah mamalia laut seperti duyung, lumba-lumba , dan paus serta aneka ikan hias yang hidup di karang dari family Chatodontidae, Serranidae, Lutjanidae, Lethrinidae, dan Haemulidae serta jenis-jenis ikan komersial. B. Peranan ekowisata di Riung dalam perekonomian masyarakat Meskipun di Kecamatan Riung terdapat 3 objek ekowisata (Cagar alam riung, Taman Laut tujuh belas Pulau Riung) dan Cagar Alam Wolo Tadho) namun sampai saat ini hanya Taman Laut tujuh Belas Pulau Riung yang secara nyata memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat. Hail ini dikarenakan hanya Taman Laut tujuh belas Pulau Riung yang memiliki fasilitas resreasi seperti penginapan, rumah makan, peralatan selam, pemungutan karcis, dan fasilitas lainnya. Besarnya manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat antara lain dapat dilihat dari arus kunjungan wisata ke Riung. Tabel 1. Jumlah pengunjung ekowisata Riung Jumlah pengunjung Tahun 2003 159 172 43 71 324 351 530 394 197 148 287 256 2932
Bulan Tahun 2002 Januari 331 Februari 88 Maret 90 April 291 Mei 479 Juni 1544 Juli 350 Agustus 449 September 380 Oktober 449 November 293 Desember 268 Jumlah 5012 Sumber : BKSDA, 2004
Tahun 2004 87 75 60 266 653 884 461 427 247 671 3831
Tabel 2. Jumlah pengunjung ekowisata Riung tahun 2003 Jumlah pengunjung Wisdom Januari Februari Maret April Mei Juni Juli
69 |
Dewasa 125 134 10 52 280 297 443
Wisman Anak -
Dewasa 34 38 33 19 44 54 87
Anak -
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 Agustus September Oktober November Desember Jumlah Sumber : BKSDA, 2004
70 |
62 85 54 183 233 1958
14 3 64 13 94
318 109 94 40 10 880
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 3. Jumlah pengunjung ekowisata Riung tahun 2004 Bulan
Jumlah pengunjung
Wisdom
Wisman
Dewasa
Anak
Dewasa
Anak
Januari
47
-
40
-
Februari
55
5
15
Maret
2
-
58
April
154
65
47
Mei
304
302
47
Juni
323
509
52
Juli
168
61
232
Agustus
162
5
260
September
132
4
111
Oktober
-
-
-
November
349
63
63
Desember
-
-
-
Jumlah
1696
1014
925
Sumber : BKSDA, 2004 C. Manfaat ekonomi yang diterima pengelola Taman Laut Balai Konservasi Sumber Daya Alam NTT II (BKSDA NTT II) merupakan lembaga yang berwenang mengelola/ memangku
Taman Laut
Tujuh Belas Pulau
Riung, Cagar Alam Riung, dan Cagar Alam Wolo Tadho berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 204/Kpts-II/1998 tanggal 27 Pebruari 1998. Dengan surat keputusan tersebut BKSDA NTT II berwenang mengelola areal didalam Kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam. Pada perkembangan selanjutnya terdapat keinginan dari pemerintah daerah Ngada untuk ikut mengelola Taman laut 17 pulau Riung melalui Dinas Pariwisata. Dengan adanya Surat keputusan menteri kehutanan No 204/kpts-II/1998 maka Pemerintah daerah hanya berwenang mengelola diluar kawasan Cagar Alam dan Taman Wisata Alam. Oleh karena itu Pemrintah Daerah membanguin fasilitas rekresi diluar Cagar Alam dan Taman Wisata. Manfaat ekonomi yang diperoleh pengelola ekowisata berasal dari penjualan karcis masuk yang diterima. Selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
71 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 4. Manfaat ekonomi yang diterima pengelola Taman Wisat alam Tujuh belas Pulau riung Tahun
Penrimaan dari penjualan karcis (Rp)
2002
18.705.000
2003
13.000.000
2004
13.505.000
Sumber : BKSDA NTT II, 2004 (diolah) D. Manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat Manfaat ekonomi yang diterima masyarakat dari objek wisata di Riung antara lain diterima oleh pemilik sewa kendaraan, pemandu wisata, pemilik penginapan dan penyedia jasa penyelaman. Saat ini tercatat ada 6 penginapan yang berada di riung dengan fasilitas sangat terbatas dan jumlah kamar yang dimiliki 3-10 kamar. Penginapan tersebut antara lain Florida, Liberti, Madana, Nur Ikhlas, SVD, dan hotel Pesona. Saat ini pengunjung ke objek ekowisata ke Riung masih terbatas (Tabel 1). Sehingga manfaat ekonomi yang diterima hotel sangat minim.
Rata-rata hotel
menerima 2 orang tamu per hari. Pada bulan sepi banyak penginapan tidak memperoleh tamu (Januari- April). Sedangkan Pada Bulan Ramai pengunjung rata-rata hotel menerima 5 orang tamu. Harga pengunapan berkisar Rp.15.000-Rp.70.000 per malam. Para pemilik penginapan menerima sekitar Rp. 30.000- Rp.2.000.000 per bulan. Penginapan SVD merupakan penginapan yang paling banyak memperoleh manfaat ekonomi dari adanya objek wisata di Riung. Anggota masyarakat lain yang memperoleh manfaat dari kegiatan ekowisata adalah rumah makan. Saat ini tercatat ada 3 rumah makan di riung.
Dari 3 rumah
makan tersebut rumah makan “Ujung Pandang” merupakan rumah makan yang paling banyak memperoleh manfaat ekonomi dari kegiatan ekowisata di Riung. Dari hasil wawancara, pada masa sepi, rumah makan tersebut rata-rata menerima 4-6 orang wisatawan mancanegara dan 2-3 orang per hari wisatawan Domestik. per hari turist asing. Pada masa liburan 10 –14 orang wisatawan Mancanegara dan 25-30 orang wisatawan domestik. Rata-rata omzet penjualan Rp100.000-300.000 per hari pada 72 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
masa sepi dan Rp. 500.000-1000.000 pada masa liburan. Di samping itu rumah makan tersebut juga menjual makanan kepada masyarakat yang bukan wisatawan. Sementara itu rumah makan lainnya cenderung sepi dan kalah bersaing. Karena masih kurangnya wisatawan yang mengunjungi riung, tidak ada perkembangan dunia usaha rumah makan. Jumlah tersebut nampaknya merupakan jumlah maksimal dari penawaran rumah makan.
Penambahan pesaing baru dapat
membuat pasar jenuh dan tidak dapat menarik konsumen. Saat ini terdapat 1 pengusaha yang menawarkan jasa penyelam yang menyewakan peralatan selam. Mahalnya biaya selam (Rp.500.000-Rp.1.000.000 per hari ) menyebabkan konsumen untuk jasa penyelaman masih minim Beberapa pengusaha angkutan merupakan pihak yang diuntungkan dari kegiatan ekowisata di riung. Saat ini terdapat 3 Bus Reguler yang melayani trayek Ende Riung dan 1 Bus melayani Bajawa Riung.
Beberapa orang wisatawan
mnggunkan bis reguler untuk mencapai riung. Di samping itu sebagian dari wisatawan menggunakan mobil rental untuk mencapai riung. Pada masa liburan ada 4-5 mobil rental per hari yang masuk ke riung. Akan tetapi pada masa sepi tidak satupun mobil rental yang masuk ke riung. Beberapa pengusaha di
Komodo menyediakan jasa speed boat untuk
wisatawan asing yang ingin berwisata ke Riung. Akan tetapi jumlah speed boat masih terbatas. Dalam satu bulan hanya 4-5 speed boat yang mencapai riung. Para nelayan juga memperoleh manfaat dari adanya ekowisata di riung. Beberapa orang wisatawan menggunakan perahu nelayan untuk melihat-lihat keindahan Taman Laut Tujuh Belas Pulau Riung. Namun demikian karena mahalnya biaya sewa perahu dan terbatasnya anggaran yang dimiliki wisatawan, hanya sebagian kecil yang menggunakan perahu.
Dari hasil wawancara hanya 4%
wisatawan
domestik yang menyewa perahu nelayan untuk menikmati keindahan Taman Laut tujuh belas pulau Riung. Tabel 5. Jumlah wisatawan domestik yang menggunakan perahu
Menyewa perahu
73 |
Jumlah Responden
Persentase
1
4%
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tidak menyewa
23
96%
Sumber : wawancara,2005
Manfaat ekonomi yang diperoleh masyarakat di Riung sangat tergantung kepada jumlah wisatawan dan biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh para wisatawan.
Biaya
perjalanan terdiri dari biaya transport dan biaya akomodasi (hotel, makan, dan lain-lain). Sebagian besar masyarakat Riung hanya menikmati Berikut ini biaya akomodasi yang dikeluarkan oleh para wisatawan. Dari hasil wawancara rata-rata wisatawan domestik mengeluarkan biaya akomodasi sebesar Rp 192.438. Sedangkan rata-rata wisatawan mancanegara rata-rata menghasibiskan biaya akomodasi di riung sebesar Rp. 400.000 Berikut ini biaya akomodasi yang diterima masyarakat riung. Tabel 6. Biaya Akomodasi yang dikeluarkan wisatawan domestik di Riung No Responden
Biaya Akomodasi (Rp) 50,000 50,000 50,000 62,000 127,000 127,000 127,000 5,500 250,000 114,000 114,000 114,000 114,000 114,000 114,000 114,000 340,000 30,000 2,000,000 300,000 40,000 152,000 90,000 20,000 192.438
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 Rata-rata
Sumber : wawancara,2005. Manfaat ekonomi yang diterima masyarakat Riung erat kaitannya dengan jumlah wisatawan dan biaya akomodasi. Berikut ini erkiraan manfaat ekonomi yang diterima masyarakat riung berdasarkan biaya akomodasi yang dikelurkan wisatawan. Tabel 7. Perkiraan manfaat ekonomi yang diterima masyarakat Riung Tahun
74 |
Wisatawan Domestik
Wisatawan Asing
Total Manfaat
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 Jumlah
Manfaat Ekonomi (Rp.) 2003 1958 376,793,604 2004 1696 326,374,848 Sumber : Wawancara,2005 (diolah)
Jumlah
Manfaat Ekonomi Ekonomi (Rp.) 880 352,000,000 728,793,604 925 370,000,000 696,374,848
E. Dampak samping Ekowisata di Riung dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Di samping memperoleh keuntungan ekonomi langsung, kegiatan ekowisata di riung berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat di riung. Adapun dampaknya adalah : 1. Hilangnya hambatan geografis
Menurut Ediawan (2005) masyarakat miskin di dalam dan di sekitar hutan biasanya tinggal di lahan yang lebih tinggi,curam,dankurang subur,seringkali jauh dari pasar dan sarana pelayanan publik. Mereka harus bekerja lebih keras , berjalan lebih jauh untuk mendapatkan hasil yang lebih sedikit dibandingkan kelompok atau individu yang tinggal di tempat lebih baik.
Masyarakat miskin ini kurang atau tidak merasakan manfaat
pembangunan dan sepertinya kurang menjadi sasaran pembangunan itu sendiri. Ekowisata di Riung berperan dalam menghilangkan hambatan geografis.
Saat ini
masyarakat di dalam dan di sekitar hutan di Riung mempunyai akses untuk mencapai perkotaan.
Hal ini merupakan dampak sampingan dari pembangunan jalan menuju
Riung yang juga dinikmati pula oleh masyarakat lainnya. Hilangnya hambatan geografis membantu masyarakat di sekitar hutan di Riung untuk memasarkan hasil produksinya ke kota.
Hal ini sangat berbeda dengan masyarakat
sekitar hutan pada umumnya yang sangat terpencil dan tidak dapat memasarkan hasil produksinya.
Karena adanya hambatan tersebut sebagian besar masyarakat yang
tinggal di sekitar hutan termasuk golongan masyarkat miskin. 2. Bertambahnya arus barang dan jasa Kegiatan ekowisata di Riung memungkinkan bertambahnya arus barang dan jasa.
Barang dan jasa tersebut dapat dijual ke konsumen karena ada kegiatan
ekowisata. Kegiatan ekowisata di Riung diperkirakan menambah arus barang dan jasa sebesar Rp 728,793,604 pada tahun 2003 dan Rp 696,374,848 pada tahun 2004. 3. Masyarakat mempunyai hak untuk ikut serta dalam kegiatan ekowisata Menurut Ediawan (2005) salah satu penyebab kemiskinan masyarakat di sekitar hutan secara struktural adalah tidak adanya pengakuan hak atas masyarakat. Hal ini banyak terjadi pada hutan produksi di sekitar HPH
yang hanya mengakui hak
pengelola hutan kepada pemilik modal sehingga masyarkat sekitar hutan tetap miskin, sedangkan pemilik HPH memeperoleh keuntungan besar dari eksploitasi hutan 75 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
tersebut. Ketimpangan sosial bertambah lebar karena tiap keuntungan yang diperoleh pemegang HPH dibawa ke tempat lain dan diinvestasikan pada bidang lain. Sementara itu masyarakat di sekitar hutan tidak memperoleh keuntungan apa-apa. Kegiatan ekowisata di Riung memungkinkan masyarakat di sekitar hutan untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan ekowisata. Kegiatan yang dapat diikuti antara lain usaha penginapan, rumah makan, pemandu wisata dan lain. F. Upaya optimalisasi manfaat ekonomi dari ekowisata di Riung. Saat ini
manfaat ekonomi dari kegiatan ekowisata di riung belum optimal.
Sebagai contoh jumlah wisatawan domestik pada tahun 2003 hanya berjumlah 1958 orang (rata-rata 5 orang per hari) dan pada tahun 2004 berjumlah 1696 (rata –rata 5 orang per hari). Sementara itu jumlah wisatawan asing pada tahun 2003 berjumlah 880 (2 orang per hari). Pada tahun 2004 berjumlah 925 orang (rata-rata 3 orang per hari).
Hal ini tidak sebanding dengan jumlah masyarakat yang ikut serta dalam
kegiatan ekowisata (pemilik hotel, rumah makan, pemndu wisata) Dengan jumlah wisatawan demikian maka manfaat ekonomi yang diterima masyarakat Riung sangat minim. Untuk meningkatkan manfaat ekonomi tersebut dapat diyupayakan dengan beberapa cara diantaranya : 1. Peningkatan promosi Saat ini kegiatan promosi untuk kegiatan ekowisata di Riung sangat terbatas. Promosi hanya dilakukan satu kali dalam setahun. Hal ini menyebabkan ekowisata di Riung kurang dikenal oleh para wisatawan. 2. Perbaikan sarana dan prasarana. Dari hasil wawancara (2005) banyak responden mngeluhkan sarana dan prasarana yang ada di Taman Laut tujuh belas Pulau Riung. Disamping itu jalan untuk mencapai Riung sangat sulit. Hal ini menghambat kedatangan para wisatawan ke Riung 3. Pengembaagan
cagar alam Wolo Tadho dan Cagar Alam Riung sebagai
ekowisata.
76 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Saat ini hanya Taman laut 17 Pulau Riung yang dikembangkan sebagai ekowisata. Padahal di samping itu terdapat Cagar Alam Wolo Tadho dan Cagar alam Riung yang berpotensi sebagai ekowisata. Penegmbangan kedua cagar alam sebagai ekowisata dapat meningkatkan pendapatan masyarakat. 4. Memberi kesempatan kepada masyarakat untuk berinvestasi Menurut Kusworo (2000) kegiatan pariwisata seharusnya memberikan peluang kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kegiatan. Kegiatan perencanaan pembangunan telah siap memberikan kesempatan kepada masyarakat tepi hutan melibatkan mereka. Dalam konteks peningkatan kesejahteraan masyarakat Riung, masyarkat yang dilibatkan seharusnya masyarakat lokal.
Untuk itu perlu dilakukan pelibatan
masyarakat dalam ekowisata yang membutuhkan modal kecil. KESIMPULAN Dari hasil penelitian dapat disimpulkan : 1. Kegiatan ekowisata di riung telah meningkatkan pendapatan kepada masyarakat di sekitar hutan di Riung. Manfaat ekonomi yang diterima masyarakat Riung belum optimal karena jumlah wisatawan yang berkunjung ke Riung masih kurang. 2. Untuk meningkatkan jumlah wisatawan yang berkunjung ke Riung dapat dilakukan dengan meningkatkan promosi dan perbaikan sarana dan prasarana.
DAFTAR PUSTAKA Ediawan, Agus.2005. Kemiskinan dan Kehutanan di Indonesia. Majlah Jalur Edisi 43 Oktober 2005.Studio Driya Media (SDM) Kupang Kusworo, H. A. 2001. Pengembangan Wisata Pedesaan Tepi Hutan Berbasis Kerakyatan Unit Konservasi Sumber Daya Alam Nusa Tenggara Timur II. Kawasan Konservasi. Unit KSDA NTT II. Ruteng
77 |
2001.
Informasi
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PENANGKARAN RUSA TIMOR OLEH MASYARAKAT Oleh: Mariana Takandjandji Kayat Abstrak NTT memiliki 2 sub spesies Rusa Timor yang potensial untuk ditangkarkan. Potensi ini memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi pemanfaatan rusa di alam. Namun masyarakat belum memanfaatkan secara optimal dan bijaksana. Oleh karena itu aset yang cukup besar potensinya ini, perlu untuk dikembangkan dan dilestarikan sebagai suatu usaha sekaligus konservasi. Kata kunci : Penangkaran, aset, potensi, lestari
Pendahuluan Nusa Tenggara Timur (NTT) merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki rusa dalam jumlah yang relatif cukup banyak. Jenis rusa yang terdapat di NTT adalah Rusa Timor. Ada 2 sub spesies Rusa Timor yang terdapat di NTT, dari 8 sub spesies yang terdapat di Indonesia,
yakni Rusa Timor yang terdapat di Pulau Flores, Sumba,
dan Sumbawa (Cervus timorensis floresiensis) dan Rusa Timor yang terdapat di Pulau Timor, Alor, Rote, dan Semau (Cervus timorensis timorensis). Rusa memiliki berbagai nilai manfaat, yakni manfaat ekologi, rekreasi, dan ekonomi. Pemanfaatan rusa oleh manusia telah berlangsung sejak lama namun belum optimal. Padahal rusa memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi baik daging maupun hasil ikutan lainnya. Agar sumberdaya alam hayati tersebut dapat dimanfaatkan untuk sebesarbesar kemakmuran rakyat secara berkesinambung-an, pemanfaatannya perlu dilakukan secara bijaksana dengan tetap memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis. Sejauh ini, pemanfaatan rusa oleh masyarakat di NTT masih mengandalkan potensi di alam dan masih terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan daging dalam keluarga. Umumnya rusa diperoleh dengan cara berburu sehingga apabila kurang terkendali akan membahayakan kelestariannya.
78 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Berkaitan dengan kondisi di atas dan menyadari bahwa rusa masih berstatus sebagai satwa yang dilindungi, Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara yang berdomisili di Kupang, memasukkan kegiatan penelitian penangkaran rusa pada salah satu program kerja. Kegiatan penangkaran ini memiliki tujuan sebagai sarana penelitian dan pengembangan guna mendapatkan teknik penangkaran yang tepat. Di samping telah menghasilkan IPTEK penangkaran Rusa Timor, kegiatan ini juga telah berhasil meningkatkan jumlah rusa di Stasiun Penelitian Penangkaran.
Untuk
memasyarakatkan, mengembangkan dan memanfaatkan hasil penelitian secara lebih lanjut, telah diujicobakan penangkaran rusa yang dilakukan oleh masyarakat dan pelepasan dalam mini ranch. Ujicoba penangkaran rusa yang dilakukan oleh masyarakat diharapkan dapat menunjang program pelestarian sumberdaya alam hayati melalui peningkatan populasi dan produktivitas Rusa Timor di NTT, dan dapat menunjang program diversifikasi protein hewani melalui pemenuhan kebutuhan daging dalam keluarga. Di samping itu, diharapkan pula dapat mengurangi pemanfaatan rusa di alam, dapat berguna sebagai wahana kegiatan penelitian, dan dapat menciptakan peluang usaha baru bagi masyarakat. Untuk mencapai harapan tersebut diperlukan suatu program kerja yang terarah sehingga kegiatan ini dapat berjalan dengan baik. Makalah ini menyajikan potensi Rusa Timor, keunggulan, kelemahan, peluang, tantangan, prospek, bentuk pemeliharaan, dan model penangkaran yang dilakukan oleh masyarakat di NTT. Analisis SWOT Rusa : Paradigma baru mengatakan, apabila akan menyusun suatu program kegiatan, sebaiknya terlebih dahulu dianalisis berdasarkan norma SWOT (Strength, Weaknes, Oportunity, dan Threat). Apabila analisis SWOT telah dilakukan, maka dapat dibuat suatu perencanaan yang mantap untuk jangka pendek, menengah, dan panjang. Oleh karena itu, untuk mengantar masyarakat berpikir ke arah peningkatan ekonomi yang
79 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
lebih baik melalui penangkaran rusa, perlu diketahui beberapa hal yang muncul dalam analisis SWOT rusa, yakni :
80 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Strength atau keunggulan : Rusa merupakan salah satu potensi sumberdaya alam di NTT Kandungan kolesterol dan lemak pada daging rusa lebih rendah dibandingkan ternak yang konvensional Prosentase karkas rusa tinggi Harga jual rusa tinggi, baik daging, hasil ikutan, maupun rusa hidup Rusa mudah beradaptasi Rusa tahan terhadap penyakit Rusa memiliki perilaku yang tenang, walaupun pada dasarnya rusa memiliki sifat liar Rusa dapat mengkonsumsi pakan apa saja, baik jenis rumput, konsentrat, buahbuahan, sayur-sayuran bahkan limbah dari dapur Rusa mempunyai pola perkawinan yang poligamus sehingga tidak perlu menyediakan pejantan dalam jumlah yang banyak. Perbandingan yang ideal adalah 1 : 4 Bale-Therik (2004) mengatakan, Rusa Timor digolongkan ke dalam satwa harapan karena memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi.
Jenis satwaliar ini dapat
menghasilkan daging, tanduk, dan kulit yang semuanya memiliki harga jual tinggi. Beberapa keunggulan yang dimiliki rusa apabila dibandingkan dengan ternak yang sudah dikenal adalah daging (venison) mempunyai tekstur yang lembut dengan kadar kolesterol rendah, prosentase karkas yang dihasilkan lebih tinggi, tanduk muda (velvet) dapat digunakan sebagai ramuan obat-obatan, sedangkan tanduk yang tua digunakan sebagai souvenir dan hiasan dinding.
Menurut Semiadi dan Nugraha (2004),
kandungan nutrisi pada daging segar Rusa Timor dibandingkan dengan ternak sapi, ayam, dan itik, dapat dilihat pada Tabel 1
81 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 1. Nilai Nutrisi Daging Segar dan Perbandingan Jenis Satwa
Nilai Nutrisi Protein (%)
Lemak (%)
Kolesterol (mg/kg)
Kalori/100 gr
Rusa Timor
24,5
0,33
74
545
Sapi
18,3
18,9
95
217
Babi
29,0
10,64
101
219
Domba
25,0
7,62
83
178
Ayam
18,0
9,0
90
129
Itik
18,3
19,0
70
-
Sumber : Anonimous (2002) dalam Semiadi dan Nugraha (2004) Sedangkan hasil analisis pada daging segar Rusa Timor hasil penangkaran Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara di Oilsonbai tahun 2004, dapat dilihat pada Tabel di bawah ini. Tabel 2. Hasil Analisis Laboratorium Daging Rusa Timor Zat Gizi
Kadar Berdasarkan Bahan Segar
Bahan Kering
Bahan Kering (%)
29,46
100
Protein (%)
21,78
73,93
Lemak (%)
5,56
18,87
Abu (%)
2,12
7,20
Ca (%)
1,11
4,11
P (%)
2,49
8,45
Energi (K kal/kg)
1437
4868
Sumber : Hasil Analisis Laboratorium Nutrisi dan Makanan Ternak “Almira” Subekti (1995) mengatakan produktivitas rusa lebih unggul dibandingkan dengan sapi, kambing, dan domba karena prosentase karkas yang dihasilkan relatif lebih tinggi. Produk hasil rusa juga memiliki keunggulan, seperti kulit dan tanduk.
Produk ini
memiliki nilai jual yang tinggi dan dapat diproduksi tanpa harus menyembelih rusa. Dalam dunia pengobatan, tanduk yang masih muda (velvet) dapat digunakan orang sebagai ramuan obat-obatan. Menurut Chaniago (1989), harga tanduk muda (velvet) tahun 1981 di pasaran internasional adalah $ 90/kg, sementara Garsetiasih (2004) mengatakan harga velvet di 82 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Australia dan New Zealand $ 120/kg. Tanduk ini digunakan sebagai bahan obat-obatan tradisional Cina karena tanduk ini mengandung bermacam-macam mineral dan hormon (hormon testoteron). Tanduk muda dipotong pada umur 50 – 70 hari dan dilakukan setelah rusa dibius. Setelah dipotong, tanduk muda langsung didinginkan, kemudian dikeringkan, lalu dieksport. Rata-rata berat tanduk muda (velvet) antara 1,0 – 2,5 kg tergantung pada umur pejantan. Tanduk rusa yang tua (antler) di Indonesia dijadikan sebagai hiasan dan dijual seharga Rp 100.000,- sampai Rp 150.000,Rata-rata berat karkas pada Rusa Timor dewasa di penangkaran Oilsonbai sebesar 31,0 kg atau 44,3 % dari berat hidup. Sedangkan rata-rata berat hidup Rusa Timor dewasa di penangkaran Oilsonbai sebesar 50 kg. Garsetiasih (2004) mengatakan, pada tahun 2000 harga dendeng rusa di pasar Sumbawa Besar, NTB sebesar Rp 60.000,-/kg.
Sedangkan di Jakarta harga steak
daging rusa Rp 150.000,- sampai Rp 200.000,-. Weaknes atau kelemahan : Sulit memperoleh izin penangkaran rusa, baik secara perorangan maupun kolektif Sulit memperoleh bibit rusa Produktivitas rusa masih tergolong rendah karena seekor betina hanya menghasilkan 1 ekor anak rusa pada setiap kelahiran Oportunity atau peluang : Permintaan pasar akan daging rusa dan produk lainnya meningkat.
Hasil
penelitian Suita dan Abdullah Syam (2002) membuktikan bahwa 84,21 % atau 64 orang dari 76 orang pengunjung restoran/rumah makan di DKI Jakarta ingin mengkonsumsi daging rusa untuk masa yang akan datang Jumlah ternak sapi yang dipotong di Indonesia ± 1,5 juta ekor/tahun, sementara produksi ternak sapi yang ada mencapai ± 1,3 juta ekor/tahun. Sehingga terjadi kekurangan sebanyak 0,3 juta ekor/tahun. Kekurangan tersebut dipenuhi melalui impor luar negeri. Oleh karena itu, ada peluang untuk memenuhi kekurangan tersebut dengan satwa rusa 83 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Threat atau tantangan : Pada era globalisasi, akan terjadi persaingan bebas dengan negara penghasil daging Otonomi daerah dapat diartikan adanya desentralisasi secara mutlak Berdasarkan analisis SWOT di atas, dapat disimpulkan bahwa penangkaran rusa sangat diperlukan untuk memenuhi permintaan pasar, baik kualitas maupun kuantitas. Sekaligus diikuti oleh peningkatan efisiensi usaha sehingga produk yang dihasilkan sangat kompetitif. Bentuk Pemeliharaan Rusa: Rusa dapat ditangkar/dipelihara/dibudidayakan dengan cara diikat seperti kambing, dikandangkan atau dilepas baik di dalam petak kecil maupun di padang/ranch. Sebagai bahan informasi bahwa di kabupaten Kupang ± 15 KK memelihara rusa dalam jumlah kecil, baik dengan cara dikandangkan, diikat maupun dilepas di halaman rumah yang berpagar. a. Diikat Seperti yang dilaporkan Semiadi dan Nugraha (2004), bahwa hanya sedikit masyarakat yang memelihara rusa dengan cara diikat, dan kebanyakan terdapat di kawasan Indonesia Bagian Timur termasuk NTT. Umumnya yang memelihara dengan cara ini karena ingin memperlakukan piaraannya sebagai hewan kesayangan. Rusa biasanya pada pagi hari diikat dan dibiarkan pada tempat yang banyak rumput, kemudian pada sore hari menjelang malam, rusa dibawa kembali ke rumah. Pemeliharaan dengan cara ini, yang perlu diperhatikan adalah tali yang digunakan harus kuat agar rusa tidak mudah lepas. Di samping itu, panjang tali juga perlu diperhatikan yakni ± 3,0 – 4,0 m. Untuk mencegah agar tidak terjadi lecet atau luka pada leher rusa, sebaiknya tali pada bagian leher dilapisi selang plastic yang lentur. Tujuan pemeliharaan rusa dengan cara diikat antara lain adalah agar satwa tersebut menjadi jinak.
Memang hal tersebut akan terwujud, akan tetapi naluri keliarannya
masih tetap terlihat terutama pada rusa jantan saat musim kawin tiba. Hal ini dapat 84 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
ditandai dari pertumbuhan tanduk dimana apabila tanduk telah mengeras, berarti rusa tersebut berada dalam kondisi siap kawin. Sehingga pemelihara atau penangkar perlu waspada karena akan terjadi perubahan perilaku dan rusa akan terlihat sangat binal dan agresif. Pada saat itu, rusa akan menyerang apa saja yang berada di dekatnya termasuk orang yang paling dekat dengannya, dalam hal ini pemelihara.
Namun
kondisi ini akan menurun bahkan hilang sejalan dengan waktu luruh/tanggal/gugurnya tanduk. Pemeliharaan dengan cara diikat ternyata tidak menghambat terjadinya sebuah perkawinan. Hal ini terbukti bahwa pemeliharaan dengan cara ini, dapat menghasilkan keturunan yang tidak kalah dengan bentuk pemeliharaan yang lain.
Hanya saja
membutuhkan kesabaran yang cukup tinggi karena rusa termasuk satwaliar sehingga untuk menjinakkannya perlu proses yang cukup panjang.
Mulai dari kebiasaannya
dengan orang/pemelihara, tali yang melilit lehernya, makanan yang tentunya berbeda dengan di alam, maupun dengan sesama rusa. Untuk membiasakan rusa dengan tali di leher, harus dimulai dari kecil sehingga adaptasinya tidak terlalu lama.
Apabila
sudah besar baru diperkenalkan dengan tali, akan lebih sulit karena melihat tali saja rusa akan nervous sehingga membuat rusa menjadi stress.
Apabila semua telah
berjalan dengan baik, barulah terjadi suatu perkawinan yang aktual dengan perkembangbiakan yang baik.
Gambar 1. Pemeliharaan rusa dengan cara diikat b. Di kandang 85 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Umumnya di NTT, pemeliharaan rusa dilakukan dengan cara di kandang karena jumlah rusa yang dipelihara sedikit. Bentuk kandang disesuaikan dengan ketersediaan biaya, dan bahan yang ada.
Bahan kandang tersebut bermacam-macam, dapat berupa
bangunan yang dikelilingi oleh tembok, kawat ram, batu karang yang disusun, kayukayu gelondongan, dan pelepah gewang atau lontar. Bangunan kandang ada yang beratap dan ada yang tidak beratap tetapi memiliki tempat berteduh. Tempat berteduh berupa bangunan kecil atau pohon-pohon yang rindang sehingga rusa tidak kepanasan dan kehujanan. Tinggi pagar yang baik dan aman bagi rusa adalah 2 m ke atas.
Sedangkan luas kandang yang memenuhi
persyaratan kesehatan bagi rusa adalah 2 x 2 m bagi seekor rusa.
Gambar 2. Pemeliharaan rusa dengan cara di kandang Pemeliharaan rusa dengan cara menggunakan kandang panggung, tidak umum dilakukan. Walaupun di Haurbentes, Bogor dilakukan pemeliharaan dengan cara ini, tetapi Semiadi dan Nugraha (2004) mengatakan, pemeliharaan rusa dengan menggunakan kandang panggung tidak disarankan karena sifat rusa yang sangat nervous terutama pada saat musim kawin. c. Dilepas Pemeliharaan rusa dengan cara dilepas di dalam pagar yang luas atau di padang/ranch, menggunakan jumlah rusa dalam jumlah yang cukup banyak. Pemeliharaan rusa dengan cara dilepas di dalam ranch, telah dilakukan di SoE, kabupaten TTS. Pemeliharaan ini menggunakan luas lahan 6,3 ha yang dibagi dalam beberapa petak (pedok). Di dalam pedok tersebut terdapat areal pakan rusa, sumber 86 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
air, naungan, dan pondok kerja.
Di samping itu, hal yang perlu diperhatikan di dalam
pemeliharaan rusa dengan cara ini adalah kandang/pagar yang kokoh, kuat, dan aman dari predator, seperti anjing. Anjing merupakan predator yang sangat ditakuti oleh rusa karena ia memangsa rusa dengan cara menciderainya hingga mati. Dari berbagai cara pemeliharaan rusa yang dilakukan, yang perlu diperhatikan adalah kewaspadaan manusia pada rusa jantan karena walaupun terlihat sangat jinak, tetapi masih memiliki sifat keliaran yang sangat tinggi terutama pada sat-saat tertentu, misalnya pada musim kawin.
Gambar 3. Pemeliharaan dengan cara dilepas Penangkaran Rusa oleh Masyarakat : Sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah No. 8 tahun 1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar, bahwa pemanfaatan satwaliar bertujuan
agar
dapat
didayagunakan
secara
lestari
untuk
sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat (Pasal 2 ayat 1). Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 11 ayat 1, bahwa hasil penangkaran satwaliar yang dilindungi yang dapat digunakan untuk keperluan perdagangan adalah satwaliar generasi ke dua dan generasi berikutnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sejak tahun 2001 rusa hasil penangkaran Balai Litbang Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara turunan ke empat (F-4) telah diserahkan kepada masyarakat untuk ditangkarkan. Pemberian rusa hasil penangkaran kepada masyarakat dilakukan secara bertahap, dan masing-masing KK memperoleh 1 pasang rusa yang telah dewasa. Total rusa yang telah diserahkan kepada masyarakat hingga tahun 2005 sebanyak 6 KK.
87 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Syarat yang harus dipenuhi oleh anggota masyarakat yang ingin menangkar rusa, adalah sebagai berikut : a. Memiliki kandang yang memenuhi standard kesehatan b. Memiliki areal pakan yang cukup atau mampu menyediakan pakan untuk kebutuhan rusa, baik pada musim hujan maupun pada musim kemarau c. Mempunyai minat yang tinggi untuk melakukan penangkaran d. Menandatangani
Surat
Perjanjian
Kerjasama
yang
telah
dibuat
dan
bertanggungjawab atas akibatnya Adapun nama-nama anggota masyarakat yang diberikan rusa hasil penangkaran, adalah seperti pada Tabel di sebelah ini. Tabel 3. Nama Anggota Masyarakat Penangkar Rusa No.
1.
Nama Masyarakat
Sefri Y. Na’u
Alamat
Umur Rusa
Keterangan
Jantan
Betina
kel.
6 tahun,
3 tahun,
Maulafa,
4 bulan
10 bulan
kec.
6 tahun,
3 tahun,
Mollo Selatan, kab. TTS -
9 bulan
10 bulan
Tahun 2001
kel.
3 tahun,
1 tahun,
Tahun 2004
Oesusu, kec. Takari, kab.
0 bulan
6 bulan
kec.
3 tahun,
3 tahun,
Mollo Selatan, kab. TTS -
3 bulan
8 bulan
Tahun 2004
kel.
1 tahun,
2 tahun,
Tahun 2005
Maulafa,
5 bulan
8 bulan
Desa
Sikumana,
Fatukoa,
kec.
Tahun 2001
kodya Kupang
Desa 2.
Darius Ully
Kesetnana,
SoE 3.
Yusuf M. Ali
Desa
Noelmina,
Kupang Desa 4.
Guido Leong
Kesetnana,
SoE 5.
Frans Na’u
Desa
Sikumana,
Fatukoa,
kec.
kodya Kupang
88 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 6.
Samuel Ully
Desa
Oenasi,
Nonokonis,
kec.
kel.
1 tahun,
2 tahun,
Mollo
6 bulan
3 bulan
Tahun 2005
Selatan, kab. TTS
a. Masyarakat di Fatukoa, Kupang : Sejak tahun 2001 masyarakat Fatukoa (1 KK) diberi sepasang rusa yang sudah siap untuk berproduksi, untuk dipelihara/ditangkarkan. Kehadiran rusa di tengah kehidupan mereka, sangat mendapat perhatian khusus. Terlihat bahwa rusa yang dipelihara oleh masyarakat ini, berbeda dalam hal penampilan dibandingkan dengan rusa yang dipelihara oleh masyarakat lain. Rusa ini memiliki postur tubuh yang gemuk dengan warna bulu yang mengkilap. Ternyata dibalik semua itu, ada rahasia yang tersimpan sehingga membuat rusa tersebut berbeda dalam hal penampilan. Beberapa rahasia yang sempat terkuak dari masyarakat tersebut, adalah factor kedekatan antara pemelihara dengan rusa. Rusa yang awalnya diberikan hanya sepasang, pada tahun 2005 telah berjumlah empat (4) ekor, terdiri dari 3 ekor betina dan 1 ekor jantan. Salah satu dari betina tersebut, berada dalam keadaan bunting. Seharusnya rusa telah berjumlah 5 ekor tetapi pada tahun 2004, seekor rusa jantan mati dengan sangat mengenaskan. Saat itu rusa jantan sedang memiliki tanduk yang keras dan sedang memasuki musim kawin dimana temperamennya sangat galak, binal, sehingga semua yang ada di hadapannya dianggap sebagai lawan tandingnya. Oleh karena itu, perilakunya sangat ditakuti, baik oleh sesama rusa maupun oleh manusia. Kawat duri yang menjadi salah satu bahan dari kandang tersebut, juga menjadi lawannya.
Namun apa yang terjadi, ternyata
seekor rusa jantan yang gagah perkasa akhirnya terpaksa harus tewas ditikam kawat duri yang tajam pada lehernya. Hal ini terjadi pada malam hari sehingga pada pagi hari, rusa tersebut sudah terbujur kaku dengan kawat duri menikam pada leher betonnya. Semua anggota keluarga baik bapak sebagai kepala keluarga, ibu dan ketiga anaknya turut memelihara rusa. Mereka bersama-sama mencari makanan dan merawat satwa ini dengan baik dan penuh kesabaran. Namun keseriusan ini lebih ditunjukkan oleh 89 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
seorang bapak sebagai Kepala Keluarga.
Beliau sangat sayang terhadap rusa
peliharaannya. Terbukti bahwa apabila ia kembali dari luar rumah, suara bunyi motor dari kejauhan sudah ditandai oleh rusa dan mereka mulai berteriak. Setibanya bapak di rumah, ia langsung menuju kandang rusa. Walaupun tidak membawa makanan, tetapi cukup dengan mengeluskan atau mendekati mereka saja, rasanya sudah cukup untuk rusa-rusa tersebut. Setelah itu, barulah bapak masuk ke rumah. Setelah makan siang, untuk melepaskan kelelahan, sambil membawa makanan untuk rusa, si bapak masuk ke dalam kandang dan bersandar di dinding pagar. Saat itu, rusa-rusa mulai menjilat dan mencium bapak sampai akhirnya tertidur lelap dalam kandang bersama rusa-rusa. Inilah pekerjaan rutin yang dilakukan hampir setiap hari oleh seorang bapak di Fatukoa, sehingga membuat rusa-rusa tersebut sangat dekat dengan bapak. Namun berbeda halnya dengan rusa jantan, apalagi bila memiliki tanduk yang keras dan memasuki musim kawin. Hal rutin seperti di atas, tidak berani dilakukan karena sangat berbahaya. Beberapa hal lain yang dilakukan oleh bapak agar rusa menjadi jinak dan apabila keluar kandang, tidak lari meninggalkan kandang terlalu jauh bahkan bisa kembali ke kandang sendiri tanpa dihalau, yakni cara pemberian pakan. Percaya atau tidak, setiap pagi hari sebelum pakan diberikan pada rusa, bapak sering meludahi makanan tersebut.
Maksudnya agar rusa dekat dengan pemelihara.
Di
samping itu, tidak jarang si bapak apabila kembali dari kerja, dengan badan yang masih berkeringat, menyeka keringatnya lalu mengambil jagung dan memberinya dengan tangan.
Kadang-kadang terlihat bapak menginjak makanannya sebelum makanan
tersebut diberikan kepada rusa, dengan maksud apabila rusa keluar kandang, ia tidak bisa kemana-mana tetapi hanya berputar di sekitar kandang saja. Memang agak jijik dan geli apabila diperhatikan. Namun itulah kenyataan yang terjadi di penangkaran rusa yang dilakukan oleh masyarakat Fatukoa. Bentuk kandang yang dimiliki bukanlah kandang yang permanen tetapi hanya berupa dinding batu karang yang disusun-susun, ditambah dengan beberapa batang kayu gelondongan dan dikuatkan dengan kawat duri. keluar dari kandang. 90 |
Sehingga seringkali rusa tersebut
Namun rusa tersebut tidak pernah lari jauh meninggalkan
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
kandang.
Dengan membuka pintu saja, rusa tersebut sudah masuk kembali ke
kandang.
Ukuran kandang yang digunakan oleh masyarakat 4 x 5 m, namun masih
memungkinkan untuk diperluas. Hasil wawancara dengan masyarakat Fatukoa, diperoleh informasi bahwa jenis pakan yang diberikan pada rusa adalah rumput raja/king grass (Pennisetum purpuphoides), jagung (daun, kulit, buah), pepaya matang, gingseng, sirih (daun,
buah), rumput-
rumput yang menjalar, ubi kayu (batang, daun, umbi), lamtoro, turi, kelapa (isi dan pucuk daun), beringin, jambu biji, dedak padi, pisang (kulit, buah, batang), daun kapuk, daun arbila, baifkenu (nama local/Macaranga tanarius), buah alpukat, garam, dan ubi jalar. Di antara sekian banyaknya pakan yang diberikan, ada satu pakan yang aneh yakni sirih, baik daun maupun buahnya. Diketahui bahwa daun dan buah sirih biasa dimakan orang yang menginang. Rasanya agak pedas dan sepat sehingga apabila diberikan pada rusa, akan menambah nafsu makan.
Rusa yang dipelihara oleh masyarakat
Fatukoa, ternyata mengkonsumsi hampir semua jenis makanan sehingga rusa tersebut jarang bahkan tidak pernah sakit bahkan postur tubuhnya cukup bagus. Pemberian pakan pada masyarakat umumnya tidak ditimbang karena rusa termasuk satwa memamah biak sehingga setiap saat pakan harus tersedia.
Jadi, apabila
makanan sudah berkurang, selalu ditambahkan. Biasanya rusa apabila merasa lapar, ia akan berteriak. Oleh karena itu pemberian pakan pada rusa tidak pernah ditimbang. b. Masyarakat di Kesetnana, SoE : Masyarakat Kesetnana yang memelihara rusa sebanyak 2 KK dan umumnya dalam memelihara rusa dilakukan bersama-sama dalam keluarga. Luas kandang yang dimiliki adalah 3,5 x 6,5 m dan 4 x 5 m. Pemisahan rusa dilakukan dalam kandang dengan cara disekat antara jantan dan betina yang sedang bunting serta anaknya.
Lantai
kandang ada yang dari semen sehingga terkesan licin, dan ada juga yang berlantai tanah.
Namun untuk menghindari agar rusa tidak berpijak pada tempat yang licin,
rumput-rumput kering bekas makanan, tidak dibuang tetapi dijadikan sebagai tempat
91 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
berbaring rusa sehingga rusa tidak merasa dingin. Kandang dipagari dengan kawat ram setinggi 2 m dan atapnya dari seng. Jenis pakan yang diberikan adalah king grass (Pennisetum purpuphoides), jagung (daun, kulit, buah), pepaya matang, rumput-rumput alam, ubi kayu (batang, daun, umbi), lamtoro, turi, beringin, jambu biji, dedak padi, pisang (kulit, buah, batang), buah alpukat, ubi jalar, name (Pipturus argenteus) dan sisa makanan. Rusa Timor di masyarakat Kesetnana mengkonsumsi semua jenis makanan. Namun ada beberapa jenis makanan/daun yang tidak disukai yakni daun gamal, dan daun keladi/talas. Pemberian pakan juga tidak ditimbang karena rusa sering sekali makan. Pemberiannya bila setiap kali rusa berteriak, tidak pernah ditimbang.
Kalau rusa diam, berarti
tandanya kenyang. Pertumbuhan badan cukup gemuk tetapi bulu kurang mengkilap. Pemeliharaan rusa dilakukan tidak rutin namun apabila ada rusa yang sakit, mereka memanggil dokter hewan setempat.
Sedangkan apabila rusa melahirkan dibiarkan
secara alami tanpa bantuan manusia.
Untuk perawatan, seminggu sekali rusa
dimandikan, dengan cara menyemprot. Seminggu sekali kandang dibersihkan & rusa dimandikan dengan cara disemprot. Pada awalnya, rusa masih kaget dan takut dengan air sehingga rusa berlari-larian karena panik.
Tetapi lama kelamaan, rusa terbiasa
bahkan merasa ketagihan sehingga apabila tidak dimandikan, rusa akan berteriak minta dimandikan. Sedangkan perawatan kandang, dilakukan setiap hari dengan cara disapu dan disiram. Apabila ada kandang yang rusak, langsung diperbaiki. Rusa-rusa betina yang dipelihara oleh masyarakat di Kesetnana, SoE terlihat dalam keadaan bunting ± 2 bulan. Tanda-tanda kebuntingan dilihat apabila jantan ingin kawin, rusa betina selalu menghindar.
Agar rusa lebih dekat dengan petugas, rusa diberi
nama. Rusa jantan diberi nama Jack dan betina diberi nama Tia sedangkan anaknya diberi nama Mia. KESIMPULAN DAN SARAN Kondisi ini menggambarkan bahwa usaha penangkaran layak untuk dilaksanakan. Kegiatan
penangkaran
rusa
cukup
menguntungkan
walaupun
pada
awalnya
memerlukan biaya dan investasi yang lebih besar. Usaha ini memerlukan luas lahan
92 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
yang lebih kecil, akan tetapi dapat memberikan keuntungan yang jauh lebih besar dari ternak-ternak yang sudah dikenal. Mengingat satwa rusa masih berstatus dilindungi tetapi telah dimasukkan sebagai satwa yang potensial untuk dikembangkan sebagai hewan ternak, dan pemanfaatannya telah diperbolehkan terutama pada generasi kedua dan seterus maka perlu persamaan persepsi antara instansi pemerintah terkait, khususnya Dirjen Peternakan dan Dirjen PHKA tentang pemberian izin kepada masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Ismail, D. 1998. Manajemen Pemeliharaan Rusa. Topik Khusus. Program Pasca sarjana. Universitas Padjadjaran. Bandung Jacoeb, T.N dan S.D. Wiryosuhanto. 1994. Prospek Budidaya Ternak Rusa. Penerbit Kanisius. Jakarta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia. Nomor 8 tahun 1999. Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa Liar. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. 2004. Konservasi Keanekaragaman Satwaliar. Status dan Sintesa Hasil Litbang. Bogor Semiadi, G dan R. Taufiq P. Nugraha. 2004. Panduan Pemeliharaan Rusa Tropis. Pusat Penelitian Biologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor Suita E. dan A.S. Mukhtar. 2002. Kebutuhan daging rusa di beberapa restoran Jakarta. Prosiding. Seminar Nasional Bioekologi dan Konservasi Ungulata. PSIH-IPB; Pusat Penelitian Biologi; Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Bogor Takandjandji, M. dan R. Garsetiasih. 2002. Pengembangan penangkaran Rusa Timor (Cervus timorensis) dan permasalahannya di NTT. Prosiding. Seminar Nasional Bioekologi dan Konservasi Ungulata. PSIH-IPB; Pusat Penelitian Biologi; Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Departemen Kehutanan. Bogor
93 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PEMANFAATAN TEMPURUNG KEMIRI Oleh : Saptadi Darmawan Abstrak Potensi kemiri yang cukup besar di Nusa Tenggara Timur (NTT) dan pemanfaatan dari tempurung kemiri yang belum maksimal, merupakan salah satu faktor positif untuk mendukung kegiatan pemanfaatannya untuk berbagai tujuan. Tempurung kemiri dapat diolah menajdi arang, brikat arang, destilat, perbaikan sifat tanah dan arang aktif yang dapat diolah dengan teknologi sederhana. Dengan adanya pemanfaatan tempurung kemiri tersebut, diharapkan pendapatan masyarakat dapat meningkat Kata kunci: Tempurung, kemiri, arang I. PENDAHULUAN Potensi kemiri di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada tahun 2002 mencapai 14.625,07 ton dan Kabupaten Ende yang merupakan salah satu penghasil utama kemiri yaitu sebesar 4.663 ton pada tahun 2003 (Anonimus, 2002 dan 2003). Pengusahaan kemiri di NTT pada umumnya masih berupa industri hulu dengan pelaku utamanya adalah masyarakat pemilik pohon kemiri. Mereka sebagian besar menjual kemiri dalam bentuk biji kemiri, namun demikian ada sebagian diantaranya yang berusaha mendapatkan nilai tambah dengan cara menjual kemiri dalam bentuk kemiri kupas (kemiri isi) karena harga kemiri isi mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga biji kemiri. Tempurung kemiri yang dihasilkan dari proses pemecahan biji kemiri belum dimanfaatkan secara maksimal.
Oleh masyarakat, tempurung ini hanya dijadikan
limbah dan sebagian kecil saja yang dimanfaatkan, diantaranya untuk bahan pengeras jalan, lantai rumah dan sumber energi rumah tangga (bahan bakar). Limbah tempurung kemiri jumlahnya cukup besar dan sangat berpotensi.
Dalam sebuah biji kemiri
proporsi berat tempurung kemiri mencapai dua per tiganya sedangkan buahnya hanya sepertiganya. Tempurung kemiri dapat diolah menjadi beberapa produk yang lebih berguna. Dengan teknologi sederhana, tempurung kemiri dapat dijadikan arang.
Arang mempunyai
banyak manfaat diantaranya sebagai sumber energi dalam bentuk arang dan briket arang, arang aktif dan untuk memperbaiki sifat tanah. 94 |
Penggunaan arang sebagai
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
sumber energi akan lebih menjamin kesahatan dibandingkan dengan tempurung kemiri atau kayu bakar karena asap yang dihasilkannya jauh lebih sedikit. Melalui proses pengarangan, asap yang dihasilkan dapat diambil untuk dijadikan produk cair (destilat) melalui proses kondensasi atau pengembunan. Destilat ini dapat digunakan untuk penyubur dan membasmi hama penyakit tanaman. Di saat harga bahan bakar minyak yang terus merangkak naik sedangkan daya beli masyarakat terus merosot, diharapkan arang tempurung kemiri diharapkan mampu dijadikan energi alternatif bagi kebutuhan rumah tangga. II. GAMBARAN UMUM Pohon kemiri merupakan jenis pohon serbaguna, hampir seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan dengan produk utama kemiri isi. Pohon kemiri (Aleurites mollucana L Willd) merupakan jenis yang mudah ditanam, cepat tumbuh dan tidak begitu banyak menuntut persyaratan tempat tumbuh (Sunanto, 1994). Kemiri termasuk dalam famili Euphorbiaceae, tinggi pohon ini dapat mencapai 35 m dengan panjang batang bebas cabang 9 – 14 m, diameter sampai 100 cm dan tidak berbanir. Kemiri dapat tumbuh didaerah yang beriklim kering, sarang dan pada tanah berbatu pada ketinggian 0 – 1.000 m dari permukaan laut. Manfaat pohon kemiri sangat beragam, yaitu sebagai pencegah erosi, penangkap air hujan, penyumbang oksigen, peneduh, penyubur tanah, kayunya dapat digunakan sebagai bahan pembuatan meubel dan batang korek api; ranting dan cabangnya sebagai kayu bakar; daun dan kulit batangnya sebagai obat; buahnya untuk bumbu masak dan kebutuhan industri lainnya. Minyak kemiri banyak digunakan sebagai minyak mengering terutama pada industri cat, vernis, sabun, obat-obatan dan kosmetik. Dalam dunia perdagangan, minyak kemiri banyak digunakan sebagai minyak mengering.
Berdasarkan pengelompokkannya,
menurut Ketaren (1986) minyak kemiri termasuk dalam kelompok minyak lemak. Industri yang menggunakan minyak mengering diantaranya adalah industri cat, sabun dan kosmetik. Perdagangan kemiri di Indonesia umumnya masih dalam bentuk kemiri isi baik untuk kebutuhan domestik maupun ekspor. 95 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
III. MANFAAT DAN PENGOLAHAN TEMPURUNG KEMIRI Manfaat tempurung kemiri sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, mempunyai beragam manfaat dan produk yang dapat dihasilkan. Oleh masyarakat, tempurung kemiri ada yang digunakan sebagai bahan bakar pada industri kerajinan besi, indusri kecil pemecahan biji kemiri dan bahan bakar rumah tanga. Tempurung kemiri juga biasa dimanfaatkan sebagai pengeras jalan dan lantai rumah (Darmawan, dkk. 2002). 1. Minyak Kemiri Sebagai gambaran pada kesempatan ini juga akan sedikit ulas mengenai cara pembuatan minyak kemiri menjadi produk minyak kemiri.
Minyak kemiri diperoleh
dari daging buah kemiri yang telah mengalami ekstraksi. Ekstraksi dapat dilakukan dengan cara rendering, mekanis dan dengan pelarut (Ketaren, 1986). Cara mekanis lebih sederhana dan dapat dilakukan dengan pengempaan hidrolik dan pengempaan berulir pada bahan-bahan yang mengandung kadar minyak/lemak tinggi (30 – 70 %) seperti bahan yang berasal dari biji-bijian. Untuk mendapatkan rendemen dan kualitas minyak yang baik, pada proses pengempaan mekanis diperlukan perlakuan pendahuluan sebelum minyak/lemak dipisahkan. Penilaian sederhana yang dapat digunakan untuk menentukan kualitas minyak kemiri adalah dengan melihat rendemen dan warna minyaknya. lengkapnya dapat diketahui dari sifat fisiko-kimianya.
Sedangkan penilaian
Kemiri isi yang akan dibuat
minyak sebaiknya dipanaskan terlebih dahulu. Perlakuan pemanasan pada biji kemiri (dapat berupa penjemuran, penyangraian dan pengovenan) dimaksudkan untuk mengkoagulasikan protein sehingga diharapkan diperoleh rendemen minyak yang lebih besar. Selain itu juga dimaksudkan untuk menurunkan kadar air sehingga mengurangi terjadinya hidrolisis atau kerusakan minyak.
Pemanasan kemiri isi dengan cara
pengovenan selama 1,5 jam pada suhu 90 0C, menghasilkan rendemen sebesar 39,14 % dan kualitas warna minyak yang baik.
Pemanasan kemiri isi dengan cara
penyangraian menghasilkan warna minyak kurang baik atau berwana gelap (Darmawan, dkk., 2004).
96 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 1. Sifat minyak kemiri Pemanasan Jenis Oven
Sifat Minyak Kemiri Waktu, menit 60,0 90,0 120,0 7,5 12,5 17,5 180,0 240,0 300,0
Berat Jenis
1)
Rendemen (%)
Warna
0,9259 35,00 0,9230 39,14 0,9254 35,07 Sangrai, 0,9240 36,13 0,9237 35,56 0,9250 33,12 Jemur 0,9248 33,57 0,9247 33,84 0,9252 33,60 Kontrol 0,9255 33,23 Keterangan : 1) . a>b>c, warna lebih bening/terang (more light than)
a a b a b c a a a
2. Tempurung kemiri Penggunaan kayu dan arang sebagai sumber energi bukanlah merupakan hal baru bagi masyarakat dipedesaan. Setiap jenis kayu akan mempunyai nilai bakar (kalor) yang berbeda satu dengan lainnya begitu juga dengan tempurung kemiri. Pada Tabel 2 dibawah ini akan disajikan beberapa sifat kayu sebagai sumber energi. Tabel 2. Beberapa Jenis Kayu Sebagai Sumber Energi No.
Jenis
Riap (m3/ha/th)
BJ
Nilai Kalor (kal/gr)
1.
Akasia (Acacia auriculiformis)
23,3
0,70
4.762
2.
Akasia (Acacia decurrens)
26,5
0,70
4.462
3.
Kaliandra (Calliandra callothysus)
40,0
0,67
4.618
4.
Gamal (Gliricidia maculata)
25,0
0,84
4.548
5.
Kemlandingan (Leucaena glauca)
17,5
0,82
4.464
6.
Turi (Seisbania grandiflora)
20,0
0,70
4.550
7.
Jati (Tectona grandis)
15,0
0,80
5.155
8.
Tempurung kemiri
0,95
4.218
1)
Sumber : Effendi R, dkk (1987), 1) Darmawan, dkk. (2004) Limbah tempurung kemiri yang dihasilkan dari proses pemecahan biji kemiri pada umumnya belum dimanfaatkan secara optimal oleh masyarakat.
Padahal berat
tempurung kemiri mencapai dua per tiga dari berat biji kemiri. Dengan perbandingan tersebut maka tempurung kemiri mempunyai prospek yang baik dan potensial untuk 97 | Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dimanfaatkan. Oleh sebagian masyarakat tempurung kemiri digunakan untuk pengeras jalan atau lantai rumah dan subtitusi kayu bakar. Tempurung kemiri sebagai bahan bakar pada industri, umumnya digunakan diluar ruangan, hal ini dikarenakan asap yang timbulkan dari proses pembakaran cukup banyak. Apabila pembakaran dilakukan di dalam ruangan tertutup dengan ventilasi atau aliran udara yang kurang baik maka kemungkinan dapat menyebabkan gangguan kesehatan. Pengaruh asap ini tidak hanya berlaku bagi pembakaran tempurung kemiri tetapi juga pada kayu bakar pada umumnya. Pada kebanyakan penggunaan tungku konvensional tradisional (belum dimodifikasi) proses pembakarannya tidak sempurna dan banyak menghasilkan asap. Asap antara lain terdiri gas-gas COx, CO2, SOx, NOx dan gas-gas lainnya.
Berdasarkan hasil penelitian dan pengamatan Moeljohardjo (2000), asap
tersebut dapat mengganggu kesahatan pengguna tungku seperti penyakit ISPA dan wabah “belekan”. Bahkan angka kematian bayi yang tinggi di NTB diperkirakan disebabkan oleh pencemaran udara dalam rumah penduduk karena asap pembakaran rumah tangga (dapur) dan sirkulasi udara rumah yang kurang memadai. 3. Arang tempurung kemiri Guna mengatasi masalah asap tersebut dan juga meningkatkan kualitas pembakaran pada tungku pemasakan maka langkah yang dapat ditempuh adalah melalui pengarangan terlebih dahulu pada bahan bakar yang akan digunakan. Dengani proses pengarangan ini potensi asap yang timbul dapat dikeluarkan terlebih dahulu diruangan terbuka sehingga tidak akan mengganggu kesehatan. Arang juga mempunyai peluang sebagai komoditas ekspor, pada tahun 1995 dan 1997 diperoleh devisa negara melalui ekspor arang sebesar US $ 32.928.559 dan US $27.781.103. Arang tempurung kemiri sebagaimana halnya arang tempurung kelapa diharapkan akan memberikan nilai ekonomis sehingga dapat menambah pendapatan masyarakat. Pembuatan arang tempurung kemiri dapat dilakukan dengan peralatan dan cara sederhana yaitu menggunakan drum atau kiln semikontinyu, masing-masing alat 98 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
tersebut mempunyai kelebihan dan kekurangan.
Pengarangan dengan drum
memberikan produktivitas lebih rendah karena memerlukan waktu pengarangan lebih lama dengan kapasitas muat drum yang terbatas. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pengarangan dengan menggunakan drum memerlukan waktu lebih kurang 13,5 jam untuk mengarangkan 92,5 kg tempurung kemiri. Arang tempurung kemiri yang dihasilkan sebanyak 38 kg atau 41,08 % berdasarkan berat basah (Darmawan, dkk 2004). Keuntungan pengarangan dengan menggunakan drum diantaranya adalah biaya produksinya rendah, saat pengarangan tidak perlu ditunggu secara terus menerus (hanya perlu dilakukan pengawasan sewaktu-waktu), pada saat bersamaan dapat dilakukan pengarangan dengan jumlah lebih dari satu drum pengarangan dengan menggunakan tenaga kerja yang tetap dan saat pengarangan dapat terhindar dari panas sebagai akibat proses pengarangan. Pengarangan dengan menggunakan kiln semikontinyu memiliki produktivitas yang lebih tinggi dibanding pengarangan dengan drum. Untuk mengarangkan 102 kg tempurung kemiri hanya diperlukan waktu sekitar 4 jam dengan rendemen 32,86 % berdasarkan berat basah (Darmawan, dkk. 2004). Kelemahan dari proses ini adalah operator yang membuat arang akan terus menerus terkena panas sebagai akibat dari radiasi api atau panas dari proses pengarangan itu sendiri.
Setelah proses pengarangan berjalan,
arang tempurung kemiri yang dihasilkan harus dimasukan dalam air untuk menghentikan proses pembakaran, sehingga diperlukan satu tahapan tambahan yaitu proses pengeringan.
Untuk memberikan gambaran mengenai sifat arang temprung
kemiri maka pada Tabel 3 dibawah ini disajikan beberapa sifat fisik dan kimia arang lainnya. Tabel 3. Sifat fisik dan kimia arang Sifat Fisik No.
Jenis arang
dan kimia
Tempurung
(%)
kelapa
Kemiri
gergaji
mangium
1)
Tempurung 2)
Serbuk 3)
Acacia
1.
Kadar air
9,61
4,48
2,78
4,99
2.
Kadar abu
1,26
3,01
5,74
1,50
3.
Kadar zat menguap
13,08
23,20
20,10
21,27
99 |
4)
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 4.
Kadar karbon terikat
85,69
73,80
74,16
77,23
Sumber : 1) Komunikasi Pribadi; 2) Darmawan, dkk (2004); 3) Darmawan S, dkk (2002) 4) Pari G, dkk (2000); 5) Hendra D, dkk (2000) Kadar karbon terikat merupakan salah satu indikator kualitas arang, semakin tinggi kadar karbon terikat maka semakin baik sifat arang yang dihasilkan. Kadar karbon terikat ini akan berhubungan langsung dengan panas yang akan dihasilkan pada saat proses pembakaran. Berdasarkan data pada Tabel 3 diatas memperlihatkan bahwa arang tempurung kelapa memiliki kadar karbon terikat yang paling tinggi dibandingkan dengan jenis arang lainnya.
Kadar karbon arang tempurung kemiri ternyata lebih
rendah dari arang tempurung kelapa tetapi tidak jauh berbeda dengan arang kayu lainnya. Atas pertimbangan itu tempurung kemiri dapat dimanfaatkan menjadi arang sebagai komoditi yang menjanjikan. Apabila suatu usaha pemecahan biji kemiri mampu mengolah 15 – 30 ton biji kemiri dalam satu bulannya maka dengan rendemen tempurung kemiri 66,67 % dan rendemen pengarangan 40 % maka akan dihasilkan 4 – 8 ton arang tempurung kemiri dalam satu bulannya. Sifat bahan baku tempurung kemiri dan arang tempurung kemiri disajikan pada Tabel 4 di bawah ini. Kualitas arang tempurung kemiri jauh lebih tinggi dibanding dengan sifat tempurung.
Hal tersebut memperlihatkan bahwa dengan pengarangan mampu
meningkatkan nilai kalor dan kadar karbon terikat serta mampu menurunkan kadar air, kadar abu dan kadar zat terbang. Selanjutnya arang yang dihasilkan dari pemasakan dengan menggunakan kiln drum ternyata mempunyai sifat yang lebih baik dari pengarangan dengan kiln semikontinyu.
Pengarangan tertutup dengan drum
menghasilkan arang yang lebih matang dilihat dari kadar karbon dan nilai kalornya. Tabel 4. Sifat tempurung dan arang tempurung kemiri No.
Bahan
Kadar
Kadar
Kadar Zat
Kadar
Nilai
Kera-
Air
Abu
Terbang
Karbon
Kalor
patan
(%)
(%)
(%)
(%)
(kal/g)
(g/cm)
1
Tempurung Kemiri
5,44
29,36
58,34
13,81
4.217,50
0,95
2
Arang Tempurung Kemiri (Kiln
4,48
3,01
23,20
73,80
6345,50
0,84
100 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 Drum) 3
Arang Tempurung Kemiri (Kiln
3,15
4,91
23,10
71,99
5152,50
0,75
Semikontinyu)
4. Briket arang Untuk mendapatkan produk yang lebih menarik maka arang tempurung kemiri dapat dibuat briketnya. Briket arang adalah arang yang dipadatkan dan mempunyai bentuk tertentu (silinder, kubus dan lainnya) tergantung bentuk cetakannya Darmawan, dkk. 200 Karena kepadatannya, briket ini akan memberikan panas yang lebih lama selain bentuknya yang kompak dan menarik. Secara sederhana sifat-sifat umum briket arang secara kualitatif diantaranya adalah : a. Bersih tidak berdebu b. Cukup keras, tidak terlihat adanya retak atau pecah; c. Mengeluarkan sedikit asap dan tidak berbau; d. Abu sisa pembakaran kecil e. Menghasilkan kalor panas yang tinggi dan konstan; f. Menyala terus tanpa dikipas. Pembuatan briket arang tempurung kemiri ini dapat dilakukan dengan teknologi sederhana.
Pembuatan briket arang, arang tempurung kemiri yang diperoleh
dihancurkan terlebih dahulu.
Pengecilan ukuran arang ini dimaksudkan untuk
menciptakan luas permukaan yang lebih besar sehingga diperoleh briket dengan kepadatan tinggi dan daya rekat lebih baik. Perekat yang digunakan adalah kanji dengan konsentrasi sebesar 1 – 5 % dari berat arang. Perekat tersebut dilarutkan ke dalam air dingin dan kemudian dipanaskan.
Setelah agak mengental kemudian
dicampurkan dengan arang tempurung kemiri dan diaduk hingga rata. Perbandingan antara ukuran arang yang halus dan kasar untuk dicetak atau dijadikan briket sebaiknya adalah 75 : 25. Tabel 5. Sifat briket arang tempurung kemiri No.
Komposisi ukuran bahan
101 |
Kadar
Kadar
Kadar Zat
Kadar
Nilai
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 baku
Air
Abu
Terbang
Karbon
Kalor
Kerapatan
(halus : Kasar)
(%)
(%)
(%)
(%)
(kal/g)
(g/cm)
1
75 : 25
0,24
3,01
22.93
74,56
6.752
0,87
2
25 : 75
0,48
176
21,89
7.635
5.808
0,82
Briket yang baik tentunya akan dihasilkan dari cetakan yang mempunyai kekuatan tekanan tinggi. Namun demikian untuk mendapatkan briket yang sederhana kita dapat membuat alat tekan/kempa yang sederhana pula tergantung dari kreativitas pembuatnya.
Pada penggunaannya, briket lebih banyak digunakan untuk kegiatan
memasak dihotel-hotel dan restoran yang menyediakan masakan panggangan (Barbeque). Dengan demikian harga jual briket arang akan lebih baik dibandingkan arangnya. 5. Destilat Pada umumnya pembuatan arang di Indonesia hanya menekankan pada produksi arang yang sebesar mungkin. Asap dari proses pengarangan dibuang begitu saja ke udara terbuka tanpa dimanfaatkan lebih lanjut. Dilihat dari segi lingkungan, asap ini tentu akan mengganggu dan kurang ramah lingkungan.
Apabila dilihat dari
keberadaannya, asap ini juga mempunyai potensi untuk dimanfaatkan.
Dengan
menggunakan cara yang sederhana, asap dapat diambil melalui proses pengembunan menjadi bentuk cair (destilat) atau yang lebih dikenal sebagai wood vinegar/cuka kayu (untuk arang kayu). Selain akan mengurangi bahan pencemar berupa asap, destilat ini ternyata mengandung komponen kimia yang dapat berfaedah seperti: asam asetat (cuka), methanol, fenol, gas hidrogen, metana dan sebagainya. Berbeda dengan arang, produk wood vinegar ini belum banyak dikenal oleh masyarakat umum.
Dalam tahap penyelidikan, penelitian produk-produk wood vinegar telah
menjadi suatu topik menarik. Untuk pemakaian sederhana, wood vinegar cukup efektif membasmi penyakit pada tanaman yang disebabkan oleh jenis bakteri tertentu (Pseudomonas solanacearum) dan jamur (Scierotium folsii) serta untuk menyuburkan tanaman. 102 |
Pengenceran wood vinegar sebesar 100 kali, ternyata masih efektif Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
membasmi penyakit pada tanaman (Roliadi, 2001). Dengan kapasitas tungku sebesar 4,5 ton, dapat dihasilkan wood vinegar sebanyak 150 liter dan arang sebanyak 800 kg (Sujarwo dalam Roliadi, 2001). Beberapa negara yang telah mengembangkan wood vinegar , antara lain: Jepang, Korea, dan Thailand. Di Jepang dimanfanfaatkan sebagai ramuan pembuatan parfum dan obat penghilang rasa ngantuk. Sementara itu di Korea dan Thailand, para petani buah dan sayuran telah menggunakan wood vinegar secara komersial. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka tempurung kemiri sebagaimana halnya kayu juga mempunyai peluang untuk dimanfaatkan destilatnya.
Pengarangan tempurung
kemiri dengan menggunakan drum juga dapat diambil destilatnya dengan cara yang sangat sederhana.
Proses kondensasi/pengembunan asap dilakukan dengan
mengalirkan asap hasil pembakaran melalui bambu yang bagian dalamnya telah dilubangi.
Proses kondensasi yang lebih sempurna
dapat dilakukan dengan
menggunakan pendingin air, dengan cara ini rendemen destilat yang dihasilkan akan lebih tinggi. 6. Arang aktif Guna meningkatkan nilai jual arang tempurung kemiri maka dapat diproses menjadi produk arang aktif.
Arang aktif adalah arang yang diproses lebih lanjut sehingga
memiliki daya serap ysng tinggi.
Umumnya permukaan arang masih ditutupi oleh
deposit hidrokarbon (kotoran) yang menghalangi keaktifannya.
Pada arang aktif,
sebagian kotoran tersebut dikeluarkan melalui perlakuan bahan kimia dan dengan mengalirkan uap panas, sehingga permukaannya lebih luas dan pori-porinya terbuka. Pada penggunaannya, arang aktif ini dapat digunakan sebagai penjernih air, penjernih minyak, penyerap gas (berbau kurang sedap), memperbaiki sifat tanah, pembuatan kompos arang aktif dan lain-lain. Walaupun belum termasuk kedalam teknologi sederhana, pada dasarnya pembuatan arang aktif ini tidak terlalu rumit. Kualitas arang aktif tempurung kemiri yang dibuat dengan perendaman asam phospat teknis telah memenuhi persyaratan Standar Industri Indonesia untuk daya serap terhadap iod, yaitu diatas 750 mg/g (Darmawan, 2004). 103 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Penetapan daya serap arang aktif terhadap iod bertujuan untuk mengetahui kemampuan arang aktif dalam menyerap larutan berwarna.
Besarnya daya serap
arang aktif terhadap iod menggambarkan semakin banyaknya struktur mikropori yang terbentuk dan memberikan gambaran terhadap besarnya diameter pori yang dapat dimasuki oleh molekul yang ukurannya tidak lebih besar dari 10 Angstrom (Smisek dan Cerny, 1970) Tabel 6. Sifat arang aktif tempurung kemiri Perlakuan, treatment
No. Suhu ,
Konsen- Waktu,
Daya Daya
Serap
Daya
Daya
Rendeme
Serap
Benzen
Serap
Serap
n
Iod,
a
Tetra
Kloroform
Yield
C6H6
Klorida CCl4
CHCl3
(%)
(%)
(%)
(%)
trasi, 0
(menit) (mg/g)
( C)
(%)
1
750
0,0
90
192.7
7.16
18.53
10.35
69.80
2
750
2,5
90
907.0
19.17
25.53
27.72
57.60
3
750
5,0
90
802.8
15.47
29.09
29.01
49.90
4
750
7,5
90
733.2
16.62
28.91
24.16
55.70
750.0
25.00
-
-
-
SNI
7. Perbaikan sifat tanah Produk arang selain dapat digunakan sebagai sumber energi juga dapat dimanfaatkan untuk memperbaiki sifat tanah.
Arang setelah dihaluskan dan dibersihkan dapat
langsung digunakan sebagai tambahan media tanam. Hara arang tempurung kemiri hasil penelitian Gusmailina dkk (1999) mengandung N (200), P (140), K (960) Ca (6.070) dan Mg (1.370) ppm.
Selanjutnya media tersebut digunakan untuk media
perkecambahan tanaman Eucalyptus urophylla. Pada penggunaan media pasir : arang tempurung kemiri pada perbandingan 1: 1 berhasil mengecambahkan sebanyak 98 %. Hasil tersebut lebih baik dibandingkan dengan penggunaan media pasir 100 % yaitu sebanyak 75 %. Tentunya hal ini sangat berarti, walaupun belum dilakukan percobaan terhadap tenaman pertanian, arang tempurung kemiri ini diharapkan dapat juga memberikan pengaruh yang baik.
104 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pengaruh arang ini sebenarnya tidak sekedar memperbaiki sifat tanah secara kimia tetapi juga secara fisik.
Menurut Ogawa dalam Gusmailina (2000), keuntungan
pemberian arang sebagai soil conditioning yaitu karena arang mempunyai kemampuan dalam memperbaiki sirkulasi air dan udara didalam tanah sehingga dapat merangsang pertumbuhan akar serta memberikan habitat untuk pertumbuhan semai tanaman. Selain dapat meningkatkan pH tanah, arang juga dapat memudahkan terjadinya pembentukan dan peningkatan jumlah spora baik ekto maupun endomikoriza. Selain arang,
arang aktif tempurung juga dapat dimanfaatkan sebagai soil conditioning
dengan kandungan unsur hara N (100), P (700), K (5.400) Ca (2.000) dan Mg (300) ppm. IV. TUNGKU MASAK Penggunaan tungku sebagai salah satu alat memasak sudah digunakan sejak lama. Model tungku yang sangat sederhana adalah dengan menggunakan tungku tiga batu. Sejalan dengan berkembangnnya waktu dan ilmu pengetahuan, model tungku lama mulai dimodifikasi bahkan dibuat model baru untuk meningkatkan efisiensi dan memudahkan cara penggunaannya. Kayu sebagai bahan bakar tungku merupakan pilihan yang paling sederhana dan mudah didapat sehingga umum digunakan oleh masyarakat. Alternatif bahan bakar tungku sebagaimana halnya model tungku juga terus bermunculan seperti arang, briket arang, bioarang dan briket bioarang. Berbeda dengan tungku-tungku modern atau sering kita sebut kompor yang berbahan bakar minyak tanah, gas, listrik dan sebagainya, nampaknya tungku konvensional lebih banyak digunakan oleh masyarakat pedesaan karena akses untuk memperoleh bahan bakar kayu lebih mudah.
Tungku konvensional pada umumnya mempunyai tingkat
efisiensi pembakaran rendah yang berakibat pada borosnya penggunaan bahan bakar. Berdasarkan data survei penelitian yang dilakukan Puslitbang Teknologi Hasil Hutan dan Puslitbang Sosial, Budaya dan Ekonomi Kehutanan, efisiensi tunggu rumah tangga masih dibawah standar tungku SAE Portable yaitu sebesar 17% - 20%. Di Jawa Barat efisiensi tungku berkisar antara 4,26% - 8,8%, di Jawa Timur 1,64% - 9,95%, di Jawa Tengah
2,72% - 17,45%, di Yogyakarta 3,86% - 22,71% dan di Sumatera Selatan
6,97% – 23,93% Anonim (1999). Tungku hemat energi akan dapat menurunkan konsumsi kayu bakar. Selain itu adanya peningkatan efisiensi tungku dan menurunkan pula produksi kayu bakar 105 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
menjadi lebih rendah per tahun yang berarti akan menghemat sumberdaya hutan. Jenis tungku ini mempunyai tingkat efisiensi sekitar 30 % (Komunikasi pribadi, 2005), berarti lebih tinggi dari tungku standar SAE Portable. Tungku ini dapat menggunakan berbagai macam arang termasuk arang tempurung kemiri sebagai bahan bakarnya. Berdasarkan hasil pengamatan sebagaimana disajikan pada Tabel 7 di bawah ini memperlihatkan bahwa arang tempurung kemiri mempunyai kualitas lebih baik dari arang serbuk gergaji dan hampir menyamai arang kayu.
106 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 7. Pemasakan air dengan tungku pada berbagai macam arang No.
Jenis Arang
Berat (g)
Lama bara
Banyak air yang
(menit)
dididihkan (l)
1.
Tempurung kemiri
250
80
5
2.
Kayu
250
90
5
3.
Serbuk gergaji
275
80
4
V. PENUTUP Tempurung kemiri dapat diolah menjadi arang tempurung kemiri, briket arang, destilat, perbaikan sifat tanah dan arang aktif. Produk tersebut dapat dihasilkan atau dioleh dengan teknologi sederhana. Potensi kemiri yang cukup besar di Nusa Tenggara Timur dan belum dimanfaatkannya tempurung kemiri secara maksimal, merupakan suatu faktor positif untuk mendukung kegiatan pemanfaatan tempurung kemiri. Kegiatan ini diharapkan dapat menambah pendapatan masyarakat dan menjadikan arang tempurung kemiri ini menjadi sumber energi alternatif ditengah-tengah semakin tingginga harga bahan bakar minyak. Disamping itu teknologi yang tersedia juga sangat sederhana dan dapat diterapkan dimasyarakat. DAFTAR PUSTAKA Anonimus. 1999. Tekanan konsumsi kayu bakar dibeberapa desa padat penduduk pada lingkungan Hi dan kemungkinan meringankannya. Laporan Proyek Penelitian Kayu Bakar P3THH dan Sosial Kehutanan dengan Yayasan Sarana Wana Jaya. Bogor. Anonimus. 2002. Statistik Pertanian Nusa Tenggara Timur 2002. Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur. Anonimus. 2003. Statistik Pertanian Kabupaten Ende 2003. Badan Pusat Statistik Propinsi Nusa Tenggara Timur. Darmawan, S Dan Rahman K. 2002. Analisis Kelayakan Pembangunan Industri Minyak Kemiri (Kab. Ende Dan Kab. Ngada). Laporan Penelitian Tahun 2002. Tidak diterbitkan. Darmawan, S., Siti, R. D.M dan Ermi E. K. 2004. Peningkatan Pengolahan Dan Mutu Kemiri Di Nusa Tenggara. Laporan Penelitian Tahun 2004. Tidak diterbitkan. Darmawan, S., Pari G. dan Hendra, D. 2002. Teknik Pembuatan Kiln, Tungku dan Briket Arang. Aisuli (12). Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Kupang. Effendi, R., S. Basuki dan H. Roliadi. 1987. Penelaahan sifat prioritas pemanfaatan jenis tanaman untuk kayu bakar. Jurnal Penelitian Hasil Hutan. 4 (4): 35 – 40. 107 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Gusmailina, G. Pari, dan S. Komarayati. 2000. Pengelolaan Limbah Melalui Teknik Pemanfaatan Arang untuk Membangun Kesuburan Lahan. Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan. Pusat Penelitian Hasil Hutan. Bogor. Hendra, D. dan S. Darmawan. 2000. Pembuatan briket arang dari serbuk gergajian kayu dengan penambahan tempurung kelapa. Buletin Teknologi Hasil Hutan. 18 (1). Kateren, S. 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak. UI. Press. Jakarta.Moelhardjo, D. 2002. Asap dapur dan penyakit ISPA. Majalah ASAP Edisi Kedua. Desember 2000. Yogyakarta. Pari, G., Gusmailina., S. Komarayati dan D. Hendra. 2000. Peningkatan kualitas arang dan arang aktif dari kayu mangium yang diteres. Tidak diterbitkan. Laporan Proyek Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Hasil Hutan Bogor. Roliadi H., T. Nurhayati, dan Sylviani. 2001. Kemungkinan Produksi Arang dan Wood Vinegar dari Bahan Baku Kayu Asal Hutan Tanaman Industri Menggunakan Pirolisa Ramah Lingkungan. Prosiding Diskusi Teknologi Pemanfaatan Kayu Budidaya untuk Mendukung Industri Perkayuan Yang Berkelanjutan. Puslitbang Teknologi Hasil Hutan. Bogor. Sunanto H. 1994. Budidaya Kemiri, Komoditas Ekspor. Kanisius. Ygyakarta. Smisek and Cerny. 1970. Active carbon: Manufactue, properties and applications. Else-Vier Publishing Company, New York.
108 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Lampiran . 1 Kadar air No.
Jenih bahan
Berat basah
Berat kering
(%)
(%)
1
Arang kayu
2,00
2,98
2
Tempurung kemiri
9,49
10,48
3
Arang tempurung kemiri
2,57
2,68
4
Briket arang tempurung kemiri
17,53
21,31
5
Arang serbuk gergaji (kering)
4,89
5,15
6
Arang serbuk gergaji (basah)
39,18
64,42
7
Briket arang serbuk gergaji (kering)
6,75
7,24
8
Briket arang serbuk gergaji (basah)
20,30
25,72
9
Kemiri isi
3,84
3,99
No.
Jenis bahan bakar
Kebutuhan untuk memasak
Lama memasak (menit)
1
Minyak tanah
2,2
l
267
2
Arang tempurung kelapa
1,4 kg
248
3
Arang sebetan kayu
1,5 kg
245
.
109 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
TEKNIK BUDIDAYA KUTU LAK DAN PROSPEK PENGEMBANGANNYA DI NUSA TENGGARA TIMUR Oleh Sujarwo Sujatmoko Abstrak
Dewasa ini budidaya kutu lak telah menjadi primadona masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) dan kondisinya terus mengalami penurunan produksi yang signifikan. Pola budidaya kutu lak yang dilakukan oleh masyarakat NTT umumnya masih sederhana dan belum melalui tahapan budidaya yang standar. Petani melakukan penularan kutu lak sekali pada pohon inang yang sudah diberi tanda kepemilikian. Setelah itu ditinggalkan sampai panen. Penularan kutu lak pada pohon inang berikutnya menggantungkanpada tularan alam melalui angin. Usaha peningkatan produksi dan kualitas usaha budidaya kutu lak dapat dilakukan melalui perbaikan system budidaya dan pemeliharaan tanaman inang, perbaikan system penularan, pemeliharaan, dan pemanenan tularan pada lak. Kata kunci: Kutu lak, tanaman inang, budidaya I. PENDAHULUAN Hasil hutan non kayu merupakan
komoditi yang memberikan kontribusi
besar pada peningkatan pendapatan masyarakat terutama masyarakat sekitar hutan. Selain itu juga merupakan sumber pendapatan asli daerah Nusa Tenggara Timur. Hasil hutan non kayu di NTT sampai tahun 1996 dilaporkan terdapat 27 jenis diantaranya yang potensial adalah lak, bambu, kemiri, asam dan jambu mete (Dinas Kehutanan Propinsi Dati I NTT, 1997). Lak merupakan salah satu komoditi hasil hutan non kayu yang potensial untuk dikembangkan pengusahaannya karena tergolong komoditi local spesifik serta memiliki peluang pemasaran yang cerah karena sampai saat ini permintaan pasar terhadap lak, baik domestik maupun global, belum bisa terpenuhi. Lak adalah komoditi hasil hutan non kayu yang termasuk kelompok resin, merupakan hasil sekresi serangga Laccifer lacca Kerr yang berfungsi sebagai perisai pelindung dari predator yang ada di luar. Serangga tersebut bersifat parasit atau hidup pada tanaman inang yang menjadi rumah tempat hidupnya. Kutu lak hidup optimum pada tipe iklim D dan E menurut Schmidt dan Fergusson. Kutu lak hidup optimum pada curah hujan 1000-1500 mm pertahun dan suhu optimum 22-280C (Perhutani, 2003). 110 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Saat ini produksi lak dari NTT mengalami peningkatan yang signifikan dari tahun ke tahun. Hal ini menunjuk an semakin besarnya minat masyarakat untuk mengusahakan lak sebagai salah satu sumber penghasilan yang menguntungkan. Namun sangat disayangkan
usaha pengembangan lak masih belum dilakukan
secara intensif dan belum menjamin adanya kesinambungan produksi. Untuk menjadikan lak sebagai komoditas andalan NTT, kegiatan budidaya lak yang dikelola oleh masyarakat harus ditangani dan dikelola secara optimal baik terhadap pohon inang maupun budidaya kutu lak itu sendiri. II. TANAMAN INANG LAK Jenis pohon inang merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kutu lak. Secara umum, kutu lak berkembang dengan baik pada pohon yang memiliki derajat keasaman (pH) cairan netral atau sedikit asam yaitu sekitar 5.8 – 6.2. keasaman cairan dalam pohon inang mempengaruhi proses metamorfosa larva lak. Selain keasaman cairan pohon tersebut, pohon inang yang dikehendaki harus memiliki kepekatan getah (sap density) antara 0,14 – 0,1728, karena dengan kepekatan
getah
yang
tinggi
kutu
lak
tersebut
dapat
mudah
menempel
(Radijanto,1979). Sehubungan pohon inang selalu berfungsi sebagai pendukung kehidupan kutu lak juga sebagai pengawet tanah dan manfaat lain bagi masyarakat, maka disarankan beberapa hal bagi tanaman yang baik (Pane, 1978), yaitu: a. tumbuh di daerah yang banyak mendapat sinar matahari dan banyak mendapat angin b. tahan terhadap kekeringan c. memberikan pengaruh yang baik terhadap tata air dan bagian lain dari pohon tersebut dapat dimanfaatkan d. dengan cara pemangkasan dapat memberikan tunas e. dapat menyuburkan tanah f.
dapat ditumpangsarikan dengan tanaman sela dan tanaman palawija Menurut Green (1995) tumbuhan yang paling baik untuk inang kutu lak di
Indonesia adalah kesambi (Schleichera oleosa). Selain kesambi, tumbuhan yang 111 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
paling baik untuk inang kutu lak di India adalah Butea monosperma (Ploso) dan Zizypus mauritana. Adapun di Thailand tumbuhan jenis Samanea saman yang paling baik digunakan sebagai tanaman inang kutu lak. Jenis tumbuhan yang bisa ditulari lak
di
Indonesia
adalah
jamuju
(Cuscuta
australis),
Caliandra
(Calliandra
calothyrsus), Acacia catechu, Acacia filosa, Butea sp, Cajanus cajan, Ficus sp. Perbedaan tumbuhan inang ini mempengaruhi produksi dan kualitas lak cabang yang dihasilkan. Kesambi memiliki kepekatan getah (Sap density) 0,16 dan derajat keasaman pohon 5,8-6,0 sehingga merupakan tanaman yang cocok untuk digunakan sebagai tanaman inang kutu lak. Terdapat tiga jenis kesambi yaitu: Kesambi kebo, Kesambi kerikil dan Kesambi campuran kedua Kesambi sebelumnya. Diantara ketiganya Kesambi kebo merupakan jenis Kesambi yang paling disukai oleh kutu lak karena memiliki pertumbuhan ranting memanjang dan kulit kayu yang lebih lunak (Rochayah, 2004). Pohon kesambi merupakan tanaman yang mampu beradaptasi dengan kondisi iklim kering karena mempunyai perakaran yang sangat dalam. Dengan perakaran yang sangat dalam, ketiga spesies tersebut selain sebagai tanaman inang kutu lak, juga dapat mempercepat proses pembentukan tanah dan mengangkat mineral ke atas tanah untuk merehabilitasi kondisi lahan kritis di Sumba Timur. Di NTT, tanaman lain yang telah digunakan oleh masyarakat sebagai tanaman inang kutu lak yang baik adalah Bidara/Kom (Zizypus jujuba) dan Beringin (Ficus sp). Bidara memiliki kepekatan getah 0,14 dan derajat keasaman cairan pohon sebesar 6,0-6,1 sehingga memenuhi prasyarat untuk dijadikan tanaman inang kutu lak yang baik. Selain itu, bidara juga memiliki percabangan memanjang yang baik, sangat tahan terhadap pangkasan, memiliki daun yang kecil sehingga memiliki aerasi udara sekitar pohon yang baik serta sangat baik bila digunakan sebagai tanaman pagar. III. BUDIDAYA TANAMAN INANG KUTU LAK Pohon Kesambi yang digunakan sebagai tanaman inang kutu lak oleh Masyarakat Nusa Tenggara Timur adalah pohon Kesambi yang tumbuh secara alam. Pada umumnya pohon-pohon tersebut memiliki kondisi tegakan yang sangat tinggi dan menyulitkan dalam kegiatan penularan kutu lak. 112 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Petani umumnya tidak melakukan budidaya pohon inang karena menganggap bahwa jenis inang kesambi banyak tumbuh secara alam. Selain itu tahapan persiapan
pohon
inang
berupa
pembersihan
tanaman
pengganggu
dan
pemangkasan untuk mendapatkan tunas baru pun tidak dilakukan. Ketergantungan pada pohon inang yang tumbuh secara alam, akan berakibat kurang menguntungkan karena pohon inang akan bertambah tua dan sulit menyediakan cabang atau ranting yang cocok untuk budidaya kutu lak. Bahkan dikhawatirkan bisa berujung pada terjadinya kepunahan kutu lak. Tabel 1. Luasan tanaman kesambi di NTT: NO
KABUPATEN
LUAS (HA)
1
Kupang
420
2
Timor Tengah Selatan
160
3
Alor
150
4
Flores Timur
334
5
Ngada
1.451
6
Sumba Barat
2.100
7
Sumba Timur
32.500
8
Rote/Ndao
11.100
Sumber : Dinas Kehutanan Propinsi NTT Untuk menjaga kesinambungan dan menambah produksi lak di NTT, maka sudah menjadi keharusan adanya pengembangan tanaman inang kutu lak melalui kegiatan penanaman. Kesambi merupakan tumbuhan alami dan banyak tumbuh di NTT, sehingga sangat memungkinkan untuk dilakukan permudaan secara alami maupun buatan. Pengembangan kesambi dapat dilakukan secara vegetatif dan generatif. Secara vegeratif, tunas kesambi biasanya muncul dari akar pohon yang terluka. Tunas ini dapat tumbuh dengan baik menjadi pohon dewasa karena adanya suplai makanan yang cukup dari pohon induknya. Pengembangan tanaman kesambi secara generatif dilakukan dari biji yang berasal dari buah kesambi. Buah kesambi berwarna putih kecoklatan dan memiliki daging buah yang tipis. Rasanya yang asam manis menjadikan buah ini disukai juga oleh monyet. Pada umumnya dalam satu buah terdapat satu biji, akan tetapi dapat 113 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pula terdapat dua atau tiga biji dalam satu buah. Buah yang akan digunakan dikeringanginkan selama 1 (satu) minggu sampai lembaga biji betul-betul kering. Biji kesambi yang digunakan hendaknya biji yang masih baru dan berukuran cukup besar (1-1,5 cm). Biji yang berukuran besar akan menghasilkan anakan dengan morfologi yang baik, berbatang besar dan mampu tumbuh dengan baik, sedangkan biji yang kecil akan mengalami keterlambatan perkecambahan, mengalami
kekerdilan
dan
hambatan
pertumbuhan.
Untuk
mempercepat
perkecambahan, biji kesambi direndam dalam air dingin selama 24 jam. Diharapkan dengan perendaman tersebut air sudah dapat masuk menembus kulit biji kesambi yang bersifat permeable. Biji kesambi dapat langsung diletakkan dalam polybag yang telah diisi dengan media pembibitan berupa campuran top soil, kompos dan pasir dengan perbandingan 2:1:1. Biji diletakkan pada kedalaman 2 cm dari permukaan dan ditutup kembali. Satu buah polybag dapat diisi 2 (dua) buah biji kesambi untuk menghindari adanya biji yang tidak tumbuh. Biji kesambi yang baik akan berkecambah pada umur 6 (enam) hari. Apabila kualitas biji yang digunakan diperkirakan kurang baik, biji dapat disemaikan terlebih dahulu dalam bedeng tabur yang telah diisi media pasir. Setelah biji ditaburkan, ditutup dengan pasir dengan kedalaman 1 cm. Anakan kesambi dapat disapih setelah mempunyai 2 (dua) daun sempurna dan batang semai sudah berdiri dengan tegak. Pemeliharaan dilakukan dengan penyiraman 2 (dua) kali setiap hari. Selain itu juga dilakukan pemupukan dan pemberantasan hama serta penyakit. Hama yang menyerang biasanya belalang atau kutu loncat, sedangkan penyakit yang biasanya menyerang antara lain jamur yang menyebabkan daun mengering kemudian tanaman mati. Bibit dapat ditanam setelah berumur 3-4 setelah bibit mencapai ketinggian 4050 cm. Pada penanaman daerah kering di NTT, batang bibit hendaknya sudah memiliki jaringan kayu yang cukup sehingga mampu bertahan dari kondisi stress pada masa awal setelah penanaman. 114 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Jenis tanaman
lain yang banyak digunakan untuk inang kutu lak adalah
Bidara/kom. Buah Bidara/ Kom yang sudah matang berwarna kemerahan. Dalam 1 (satu) buah terdapat satu biji dengan cangkang yang sangat keras. Dalam 1 (satu) biji terdapat 2 (dua) embrio/ lembaga yang bisa tumbuh menjadi anakan. Skarifikasi biji dapat dilakukan dengan merendam biji dalam air dingin selama 24 jam untuk memecahkan dormansinya. Biji disemaikan dalam bedeng tabur yang telah diisi dengan media berupa tanah atau pasir dan kemudian ditutup kembali dengan media setebal 1 cm. Biji akan berkecambah setelah 14 hari dan semai dapat disapih setelah terbentuk 2 (dua) daun yang sempurna. Penanaman dapat dilakukan secara monokultur kesambi, atau dicampur dengan tanaman lain seperti Accacia villosa, Johar, atau Bidara sebagai tanaman pagar. Bila kondisi lahan memungkinkan, dapat pula pada masa awal penanaman dilakukan sistem tumpangsari dengan tanaman palawija sehingga keberlangsungan pemeliharaan tanaman kesambi dapat terjaga. Penanaman pada lahan marginal memerlukan beberapa perlakuan teknis dan input yang lebih bila dibandingkan dengan kondisi lahan yang subur dengan solum tanah yang dalam. Lubang tanam hendaknya berukuran cukup besar (40x40x40 cm) dan diisi dengan media penyubur seperti top soil dan kompos. Hal ini penting untuk memacu pertumbuhan awal tanaman kesambi, mengingat fase pertumbuhan awal pada kondisi lahan kering seperti di NTT sangat rentan akan kekeringan dan kebakaran. Pemeliharaan dilakukan dengan membersihkan gulma dan liana pada sekitar batang. Selain itu juga dilakukan pencegahan kebakaran dengan membuat sekat bakar dan perlindungan terhadap gangguan ternak gembala. Pemupukan dapat dilakukan bila kondisi memungkinkan. Sedangkan
pemberantasan hama dan
penyakit dapat dilakukan secara fisik dan kimiawi. IV. BUDIDAYA LAK CABANG Budidaya lak cabang secara umum terdiri dari 2 (dua) kegiatan pokok, yaitu penyiapan pohon inang dan pelaksanaan budidaya kutu lak. Kegiatan penyiapan pohon inang berupa kegiatan menyiapkan tanaman inang sebagai tempat hidup dan 115 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
persediaan makanan kutu lak. Sedangkan
kegiatan budidaya kutu lak berupa
kegiatan seleksi bibit, penularan, pemeliharaan dan pemanenan. 1. PENYIAPAN TANAMAN INANG Tegakan kesambi yang siap ditulari kutu lak adalah tegakan yang sudah berumur 12-57 tahun. Setelah berumur 57 tahun, tegakan kasambi sudah tua dan tidak dapat menghasilkan ranting bagi kehidupan dan perkembangan kutu lak. Sedangkan tegakan yang terlalu muda harus dihindarkan dari tularan karena akan menggangu pertumbuhannya. Hal ini mengingat serangga kutu lak pada hakikatnya
merupakan
parasit
yang
mengganggu
kehidupan/pertumbuhan
tanaman inang. Untuk mendapatkan pohon inang yang siap untuk ditulari kutu lak, terdapat beberapa kegiatan yang harus dilakukan terhadap pohon inang antara lain : a. Pemangkasan, yang bertujuan untuk memperbanyak trubusan cabang yang baru dan segar sebagai tempat nimfa kutu lak. Pemangkasan dilakukan sebagai berikut: 1.
Cabang dengan diameter 2,5 cm dipangkas.
2.
Cabang dengan diameter dibawah 2 cm dipangkas dekat pangkal cabang.
3.
Bekas pangkasan tidak boleh pecah agar dapat keluar tunas dengan baik.
4.
Cabang yang mati, sakit serta ranting-rangting kecil ikut dibersihkan.
5.
Dilaksanakan pada awal musim penghujan sehingga trubusan dapat tumbuh dengan baik.
b. Pembersihan tumbuhan bawah, yang terdiri dari semak dan liana untuk menghilangkan sarang parasit, menciptakan aliran udara yang baik bagi perkembangan kutu lak dan memudahkan kegiatan budidaya karena lokasi mudah untuk dilalui. c. Wiwil, meliputi pembersihan ranting-ranting kecil, cabang yang mati atau terkena penyakit, tunas-tunas yang bergerombol hingga tersisa beberapa tunas yang sehat untuk dipelihara. Kegiatan ini dilaksanakan bersamaan dengan kegiatan penularan. 116 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
2. BUDIDAYA KUTU LAK Kegiatan budidaya kutu lak terdiri dari kegiatan seleksi bibit, penularan bibit, pemeliharaan tularan dan pemanenan. Ketelitian dan keberhasilan pada setiap tahapan akan berpengaruh pada tahapan kegiatan selanjutnya yang pada akhirnya mempengaruhi kualitas lak yang dihasilkan dari kegiatan budidaya. Seleksi bibit bertujuan untuk mendapatkan bibit dengan kualitas yang baik. Dasar seleksi adalah ukuran panjang, kekompakan, tebal dan kesehatannya. Lapisan lak cabang sebagai bibit biasanya berat dan penuh dengan tonjolan stik mata (lubang pernapasan) yang cukup banyak, nampak basah, bulat dan tidak terputus-putus. Apabila lak cabang tebal tapi ringan sekali maka didalamnya mengandung banyak larva parasit atau predator. Lak cabang bebas predator ditandai dengan tidak terdapat saluran tertutup oleh jaringan pada lapisan lak. Selain itu juga tidak mengandung parasit yang ditandai dengan tidak terdapat lubang-lubang kecil untuk pernapasan pada lapisan lak. Setelah seleksi selesai bibit dimasukkan dalam kantong kasa dengan berat tiap 1 (satu) kasa adalah 100 gram. Tujuan penggunaan kasa adalah untuk mencegah larva predator masuk ke dalam kantong tersebut. Selain itu juga agar kutu lak yang berukuran lebih kecil dari lubang kain kasa dapat keluar. Kantong tersebut juga untuk menjaga agar bibit tidak rusak. Penularan bibit dilakukan dengan cara mengikatkan kantong bibit pada cabang tanaman inang yang berdiameter 5 cm atau lebih agar kutu lak dapat mengembara mencari tempat yang cocok, menempel dan berkembang pada inang tersebut. Bibit diletakan sejajar dengan cabang (tidak menggantung) sehingga memudahkan pergerakan kutu lak. Kutu lak dapat melakukan pengembaraan sepanjang 1,5 m sebelum menancapkan belalainya. Menurut Wiyono (2002), waktu penularan bisa dilakukan sepanjang tahun. Namun penularan pada bulan Juli dan September akan menghasilkan lebih dari 4 (empat) kali dari jumlah lak cabang yang ditularkan. Penularan pada bulan Januari, Februari, Maret dan Desember menghasilkan 2 – 3 kali dari jumlah lak cabang yang ditularkan, dan pada bulan April, Mei, Oktober dan Nopember menghasilkan 117 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
3-4 kali dari jumlah lak cabang yang ditularkan. Penularan pada bulan Oktober dan Desember hanya memerlukan waktu panen 100 – 121 hari dengan kualitas yang dihasilkan biasanya kurang baik dan prematur. Disamping itu, ketinggian tempat juga mempengaruhi waktu penularan. Hal ini mungkin disebabkan oleh iklim mikro setempat. Penularan bulan Januari, Februari dan Maret dilakukan pada lokasi pohon yang berada di punggung bukit. Penularan bulan Juli, Agustus, September dilakukan pada
lokasi pohon yang
berada kaki bukit yang datar. Sedangkan pada bulan April, Mei, Juni-Oktober, Nopember dan Desember dilakukan pada pohon yang berada di lereng bukit. Pemeliharan dilakukan sampai usia 3 bulan setelah penularan. Setelah itu pemeliharaan tidak diperlukan karena kutu lak sudah mampu bertahan hidup. Kegiatan pemeliharaan meliputi pemeliharaan rutin, prefentif dan represif. Pemeliharaan bertujuan untuk mencegah dan mengusir predator serta parasit yang memakan kutu lak. Parasit adalah sejenis insekta kecil yang meletakan telurnya di dalam lubang anus dari sel-sel kutu lak melalui tabung ovipositor yang berada di bagian belakang perutnya. Telur-telur tersebut kemudian menetas dan larva parasit kemudian hidup di dalam badan kutu lak dan memakannya. Beberapa jenis parasit tersebut diantaranya adalah Erencritus dewitzi,. Tachardisephagus tachardiae dan T. Somervilli. Diantara ketiga jenis parasit tersebut, Erencritus dewitzi merupakan parasit yang paling berbahaya karena dapat menyebabkan kegagalan tularan hingga mencapai 90%. Sedangkan Tachardisephagus tachardiae menyerang tularan kutu lak muda sampai umur 3 bulan dengan intensitas kerusakan dapat mencapai 60%. Sedangkan T. Somervilli menyerang tularan umur 4-5 bulan dengan intensitas kerusakan mencapai 20-30% (Sriwahyuni, dalam Wiyono 2002). Predator adalah sejenis insekta yang meletakan telur-telurnya pada atau dekat bungkulan lak di cabang pohon inang. Setelah telur menetas, larva predator ini kemudian mencari makanan yang salah satu diantaranya adalah kutu lak. Terdapat beberapa predator yang menyerang kutu lak, yaitu : Eubleme amabilis, Eublema rubra, Pyroderos falcatella, Holcocera pulverea.dan golongan semut yaitu 118 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
semut gatal (Pleidologetes diwersus) dan semut kripik (Crematogaster dohri). Dapat menyebabkan kerusakan pada tularan muda hingga 20%, sedangkan dapat menimbulkan intensitas kerusakan 3-5% lak cabang kering udara. Predator yang paling berbahaya sesungguhnya adalah semut gatal dan semut kripik. Semut gatal dapat menyebabkan kerusakan pada tularan muda dengan intensitas serangan mencapai 100% dan semut kripik menyerang pada berbagai umur tularan dengan intensitas kerusakan dapat mencapai 70% (Sriwahyuni, dalam Wiyono 2002). Larva Eubleme amabilis berwarna putih kekuningan dan kepompongnya berwarna coklat kuning tua, sedangkan larva Holcocera pulverea berwarna coklat kehitaman dan kepompongnya berwarna coklat tua (Setyodarmodjo, 1983). Pencegahan dan pemeliharaan tularan dari gangguan hama dan penyakit dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain : a. Memilih bibit kutu lak yang bebas dari parasit dan predator. b. Memilih tanaman inang yang sehat, dan membersihkannya dengan melakukan pemotongan ranting yang mati, berpenyakit/ mengandung parasit, serta tunas yang kurang sehat, kerdil dan bergerombol. c.
Melakukan pembersihan tumbuhan bawah dan liana untuk memperbaiki aerasi dan mencegah sarang penyakit.
d. Melakukan pengasapan pada lokasi tularan baik secara rutin maupun pada pohon yang terserang parasit atau predator untuk mengusir parasit atau predator tersebut. e. Melakukan pemotongan/ pembersihan cabang yang sudah terlanjur terkena parasit/ predator. Pemanenan meliputi 2 (dua) kegiatan yaitu pungutan lak cabang yang sudah ditularkan kutunya, 3 minggu setelah penularan dan pemanenan lak cabang hasil penularan yang biasanya berumur 150-160 hari atau tergantung bulan penularan atau 3 hari sebelum waktu swarming. Swarming merupakan proses keluarnya larva dari sel induknya setelah telur menetas. Beberapa tanda sebelum swarming adalah (Perhutani,2004) : • Adanya butiran pada kutu lak betina (kurang dari 3-4 minggu), 119 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
• Adanya retakan pada lapisan sekresi (kurang dari 2-3 minggu) • Lapisan sekresi mudah lepas dari rantingnya (kurang dari 2 minggu). • Satu minggu sebelum swarming kutu lak tidak mengeluarkan cairan lagi. • Tiga hari sebelum swarming, kutu lak yang berwarna merah keluar dan lak siap diunduh. Tanda-tanda lain yang bisa diamati secara kasat mata sebagai pertanda lak siap diunduh adalah : • Warna coklat keemasan • Tonjolan-tonjolan sel induk sudah merata • Benang-benang berwarna putih sudah mulai lepas/ berkurang. Cara pemanenan lak cabang hasil tularan ialah dengan jalan memotong seluruh cabang atau ranting pohon.
Pemanenan hendaknya dilakukan sampai
pada diameter cabang 2-2,5 cm, sehingga pertumbuhan tunas setelah pemanenan bisa lebih baik. Semua ranting yang memiliki lak cabang dipotong sehingga lak cabangnya tidak ikut terpotong. Lak hasil panen dipisahkan antara bibit dan bukan bibit. Pemisahan ini penting untuk mencari bibit kutu lak yang baik untuk tularan berikutnya. V. KONDISI PENGUSAHAAN LAK DI NUSA TENGGARA TIMUR Dewasa ini budidaya kutu lak telah menjadi primadona masyarakat di NTT dan terus mengalami penambahan produksi yang signifikan. Di Sumba Timur misalnya, sampai dengan tanggal 24 November 2005, lak yang dihasilkan mengalami peningkatan sebesar 200% atau lebih dari tahun 2004, seperti tertera pada tabel di bawah ini. Tabel 2. Produksi Lak per Tahun Kab. Sumba Timur Tahun
Produksi (kg)
1999
54.325
2000
212.872
2001
400.849
2002
505.918
2003
451.151
2004
615.514
120 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011 Sd 24 nov 2005
2.188.060
Sumber : Dinas Kehutanan Sumba Timur Pola budidaya lak di Nusa tenggara Timur umumnya masih dilakukan secara sederhana dan belum menerapkan tahapan-tahapan kegiatan budidaya secara baik. Di Sumba Timur misalnya, menurut hasil penelitian Kurnaedi dan Widnyana (2003) tidak mengikuti tahapan umum yang digunakan Perhutani maupun PT Kusambi Sarana Primadona, tetapi hanya dengan penularan yang pertama dan selanjutnya pemanenan. Selanjutnya diungkapkan alasan para petani kutu lak tersebut adalah : a. Adanya keterbatasan lahan, sebagian besar lahan di lokasi penelitian merupakan kawasan hutan negara. Dengan demikian petani enggan menanam kesambi, karena mengingat umur kesambi siap tular 12 tahun atau berumur panjang sehingga berpikiran belum tentu yang menanam akan menjadi pemilik dan memanen produknya. b. Adanya keterbatasan modal dan tenaga kerja. Petani di sekitar lokasi budidaya umumnya adalah petani marginal maka sangat sulit menambah input produksinya sehingga tahapan yang dilakukan diupayakan seminimal mungkin c. Adanya penilaian dari petani lak bahwa tahapan kegiatan tertentu tidak berpengaruh terhadap produk lak cabang yang dihasilkan. Petani yang mengusahakan seedlak hanya melakukan penularan bibit 1 (satu) kali saja kemudian pohon yang ditulari diberi tanda dan setelah itu ditinggalkan sampai saatnya panen. Penularan berikutnya tergantung pada penularan alami (liar). Hal ini akan menyebabkan sulitnya mengetahui ketepatan waktu panen. Selain hal-hal tersebut, tidak dilakukannya pemeliharaan yang intensif pada tanaman inang maupun tularan menyebabkan kualitas dan kuantitas lak yang dihasilkan menjadi semakin rendah. Menurut Pakan dkk (1999) pemeliharaan baru terbatas pada usaha pembersihan pohon inang dan pemangkasan ranting-ranting tua atau mati. Sebagai salah satu dampak tidak dilakukannya pemeliharaan adalah tumbuhnya cendawan yang menempel pada lak yang menyebabkan seedlak berwarna hitam dan bermutu sangat rendah. 121 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
VI. PROSPEK PENGEMBANGAN KUTU LAK DI NTT Lak merupakan produk yang sangat potensial dikembangkan di daerah NTT. Hal ini dikarenakan : a. permintaan lak di dunia sangat tinggi (± 300.000 ton) sedangkan produksi Indonesia baru mencapai sekitar 200.000 ton b. penggunaan lak sangat luas sebagai bahan baku industri obat, makanan, furniture, moulding. c.
Kondisi iklim di NTT sangat mendukung untuk proses budidaya kutu lak.
d. Dalam jangka pendek, budidaya kutu lak dapat dijadikan alternatif untuk peningkatan ekonomi masyarakat sekitar huta. e. pengembangan tanaman inang dapat sekaligus dijadikan sebagai sarana rehabilitasi lahan kritis. Beberapa langkah ke depan yang perlu dilakukan untuk meningkatkan produktifitas budidaya kutu lak di Nusa Tenggara Timur antara lain : 1. Peningkatan kemampuan budidaya lak petani melalui kegiatan pelatihan, penyuluhan dan bantuan program lainnya. 2. Pengembangan budidaya lak pada potensi tanaman inang yang masih memungkinkan kegiatan budidaya dengan memperhitungan keberlangsungan pengusahaan. 3. Melakukan Regenerasi dan pengembangan tanaman inang melalui kegiatan penanaman tanaman inang. DAFTAR PUSTAKA Asep, MD dan Intari, SE., 1995. Jenis Pohon Inang Alternatif Kutu Lak di BKPH Taman dan Sukapura KPH Probolinggo Jawa Timur. Majalah Duta Rimba, XX(185-186): 15-20 Perum Perhutani. Jakarta Bambang Wiyono, 2002, Pengusahaan Lak Cabang di Indonesia, Buletin Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Vol 3 No.1 Tahun 2002: 95-107 Fatnan. 2002. Optimalisasi Pembibitan Kesambi. 260/XXV/2002. Pp. 33
Majalah Duta Rimba Nomor
Kasmudjo dan Joesoef, M. Pemanfaatan Lak-Resin sebagai Bahan Stabilisasi Dimensi Kayu. Majalah Duta Rimba Nomor 44/VII/1981. Pp : 3-9 Kurnaedi, R. dan M. Widnyana, 2003. Pengusahaan Steacklac dan Budidaya Kutu Lak. Buletin Penelitian Kehutanan 643: 25-32. Pakan, S. Mukkun, L. Dan Lalel, H. 2003. Kendala dan Prospek Pengusahaan Lak di Rote-Ndao. Makalah Temu Usaha Lak di Rote. 122 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Pane, SJ., 1978. Proyek Lak di KPH Banyukerto Probolinggo. Skripsi Sarjana Muda Akademi Ilmu Kehutanan Bandung. Tidak diterbitkan. Pp: 16-20 Radijanto, SBI. 1979. Model untuk penaksiran Lak pada Tanaman Inang Kesambi. Majalah Duta Rimba Nomor 31/V/1979. Pp : 13-23 Tim Peneliti Undana. 1997. Analisis Strategi Pengembangan Pengusahaan Bambu, Lontar, Aren, Lak, dan Asam di Nusa Tenggara Timur. Laporan Hasil Penelitian. Kupang Setyodarmodjo, S. Perusahaan Lak dan Pengembangannya. Majalah Duta Rimba Setiadi, D dan Komar, T.E. 2001. Kutu Lak : Prospek Pengembangan Kutu Lak di Alor, Nusa Tenggara Timur. Majalah Duta Rimba Nomor 258/XXV/2001. Pp : 29-32 Sana, L. 2003. Teknik Pembibitan, Penanaman dan Pemeliharaan Tanaman Inang. Bahan Pelatihan Teknik Budidaya Kutu Lak. Kupang
123 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Wiyono, B. 1999. Beberapa catatan budidaya dan pengolahan lak. Info Hasil Hutan Vol 5 No.3 pp. 117-126 ----------, 2004. Buku Saku Pengelolaan Pengelolaan Tanaman Inang kesambi dan Kutu lak & Pengelolaan Lak cabang menjadi seedlak. Perum Perhutani KPH Probolinggo, Jawa Timur.
124 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
SEBARAN DAN PERTUMBUHAN PENOTIPE TEGAKAN ALAM SUMBER BENIH AMPUPU (Eucalyptus urophylla S.T. Blake) DI FLORES, PROPINSI NUSA TENGGARA TIMUR 5) Oleh ; I Komang Surata 2) ABSTRAK Tujuan penelitian adalah untuk mengumpulkan data dan informasinya kondisi tempat tumbuh, sebaran alami dan pertumbuhan penotipe pohon plus tegakan alam ampupu di Flores. Data yang dihasilkan berguna dalam rangka menunjang kegiatan penunjukkan dan pengeloaan sumber benih serta kegiatan penelitian pemuliaan pohon dimasa mendatang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebaran alami ampupu di Flores terdapat di Kabupaten Sikka (.Egon, Kaliboluk,Natakolin,Kilawair,Kwangau dan Hikong). Kabupaten Flores Timur (Lewotobi, Palueh, Ile Mandiri,Leworok, Ile Boleng, Kawela) dan Kabupaten Lembata (Ile Kerbau,,Ile Ape,Labalekan, dan Lewokukun). Kondisi tempat tumbuhnya terdapat di daerah pegunungan mulai dari kaki gunung sampai lereng pada ketinggian 150-980 m dpl,. pada tipe iklim E menurut klasifikasi iklim Schidmith dan Ferguson. Jenis tanah mediteran haplik,kambisol dan litosol. Pada ketinggian di bawah 600 m dpl masih bercampur dengan E. alba sehingga benih yang dihasilkan hybrid antara E. Urophylla dan E, alba. Urutan pertumbuhan penotipe pohon plus ampupu dari yang terbaik-terendah adalah: Ile Boleng,Ile Ape,Ile kerbau, Palueh, Lewotobi,,Kwangau, Kilawair,Lewokukun, Hikong, Labalekan, Kaliboluk,Leworok ,Natakolin, Egon, Ilemandiri dan Kwela. Musim panen raya buah terjadi pada bulan Juli –Agustus akan tetapi tidak semua lokasi yang dieksplorasi berbuah banyak dan seragam. Kata Kunci : Sebaran alami, penotipe, kondidi tempat tumbuh,sumber benih, hybrid. I. PENDAHULUAN Ampupu (Eucalyptus urophylla S.T.Blake) dalam bahasa inggris disebut Eucalypt dan nama lokal Palawan atau Popo merupakan jenis pohon endemik yang penyebaran alaminya
ada di kepulauan sunda kecil khususnya di Propinsi Nusa
Tenggara Timur dan Maluku Tenggara. Jenis pohon ini bernilai ekonomi tinggi, dan merupakan salah satu
lokasi species Eucalyptus yang ada di dunia. Di Indonesia
ampupu tumbuh secara alami di Pulau Flores, Lomblen, Adonara, Pantar, Alor, Timor dan Wetar. Pohon ini tumbuh secara alami di daerah beriklim kering tipe iklim D,E Schidmith dan Ferguson (1951), curah hujan 600-2200 mm per tahun, jenis tanah mediteran ,litosol yang bersolum dangkal dan pada ketinggian 70 –3000 m dpl. Pohon ampupu
dikembangkan di beberapa negara
karena mereka sangat
tertarik mengingat produksi tinggi, dapat digunakan untuk kayu gergajian dan pulp, jenis cepat tumbuh, tahan kebakaran dan cocok untuk dikembangkan di lahan kritis. Pada tahun 1919 pohon ampupu diintroduksi ke Brazil, tahun 1966 ke Australia serta sampai
125 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
sekarang
telah
diintroduksi
ke
banyak
negara
seperti
Papua
Nugini,China,Malasya,Thailand, Kamerun,Kongo,Gabon, Madagaskar,Kostarica, dan Solomon. Lebih dari 15 kali eksplorasi yang telah dilakukan oleh para ahli dari dari beberapa negara. Tercatat eksplorasi dilakukan dari CSIRO,Brazil dan Amerika Serikat. Melihat prospek yang menarik dari pohon ini karena produksinya yang tinggi maka di Brazil telah ditanam secara besar-besaran oleh perusahaan industri kayu Aranta Cruz untuk menghasilkan pulp. Tercatat produksi kayu yang berasal dari biji biasa sebesar 20-30 m3/ha/th, hasil uji provenan 50 m3/ha/th,hybrid antara E. urophylla x E grandis 70-100 m3/ha/th yang dipanen pada umur 10 tahun (Turnbull dan Brooker,1978). Namun ironisnya di daerah asalnya di NTT belum dimanfaatkan secara optimal dan dewasa ini telah terjadi penurunan potensi hutan alam ampupu yang disebabkan masalah : gangguan kebakaran ,illegal loging , perladangan , pembakaran padang rumput untuk perburuan satwa liar dan pengembalaan . Kerusakan ini dapat ditemukan hampir di seluruh lokasi di Flores. Hal ini akan menyebabkan penurunan potensi , degradasi dan kepunahan sumber daya genetik. Untuk mengatasi permasalahan ini maka perlu dilakukan perlindungan , pelestarian baik secara eks situ maupun in situ. Mengingat hampir sebagian besar sebaran alami ampupu berada di hutan lindung maka untuk kepentingan konservasi sumber daya genetik dan pemanfaatan tegakan alamnya dapat dikelola untuk dijadikan sebagai areal sumber benih dalam rangka menunjang kegiatan pembuatan hutan tanaman . Dalam kaitan dengan pembuatan hutan tanaman ampupu maka masalah perbenihan harus mendapatkan perhatian yang serius baik dari segi kuantitas maupun kualitas genetiknya. Benih harus mampu berkecambah dan mencukupi untuk kebutuhan areal yang akan ditanami, disamping itu harus mampu tumbuh menjadi pohon yang berpenotipe baik (unggul) sehingga tingkat produktivitasnya dapat dipertahankan bahkan lebih ditingkatkan. Selama ini pemenuhan benih Eucalyptus urophylla masih
dilakukan dari
tegakan alam yang belum jelas asal usulnya. Hal ini disebabkan karena sampai saat ini belum tersedia kebun benih.dan penunjukan sumber benih yang berkwalitas baik Oleh karena itu untuk kegiatan pembuatan hutan tanaman benih sejauh mungkin harus 126 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dikumpulkan
dari sumber benih yang secara genetik berkwalitas baik. Mengingat
sampai sekarang belum ada benih yang berasal dari kebun benih karena pembangunan kebun benih memerlukan modal yang besar dan waktu yang lama maka untuk memenuhi kebutuhan benih dalam jangka pendek alternatif yang paling murah , mudah dan paling sederhana adalah benih dikumpulkan dari sumber benih
yang pohon-
pohonnya berpenhotipe superior (pohon plus) dan jumlah minimal 25 pohon plus. (Suseno,1984). Benih yang dihasilkan dari sitem ini kualitasnya bisa dipertanggung jawabkan.. Menurut Zobel dan Talbert (1984) untuk tujuan penanaman asal usul sumber benih yang dikaitkan dengan asal sumber benih dan mendapatkan perhatian. Benih yang mempunyai
lokasi penanaman
perlu
adaptasi yang baik terhadap
lingkungan tempat penanaman menunjukkan peningkatan produksi yang nyata lebih baik. Penggunaan sumber benih yang tidak cocok akan mengakibatkan : (1) Pohon yang dihasilkan akan mengalami
kerusakan atau kematian yang serius, (2) Akan
terbentuk tegakan yang tidak produktif dan lemah pada tingkat dewasa sekalipun pada awal pertumbuhannya cukup menggembirakan , (3) pada kondisi iklim normal, prosentase hidupnya cukup tinggi , tetapi jika keadaan iklim berubah secara ekstrim, seluruh tanaman dapat menjadi rusak atau mati, (4) dapat merangsang timbulnya hama dan penyakit sehingga akan berpengaruh terhadap produksi tegakan yang dihasilkan, (5) tegakan yang terbentuk adakalanya normal tetapi kualitas yang dihasilkan
kurang
memuaskan. Dengan demikian dalam pembuatan hutan tanaman permasalahan sumber benih yang bergenetik baik dalam jangka pendek dan murah sangat diperlukan guna memenuhi kebutuhan pembuatan hutan tanaman yang berkwalitas . Perlu diketahui bahwa sampai sekarang tegakan alam ampupu yang banyak terdapat di Flores, belum diketahui secara pasti lokasi yang terbaik yang dapat dijadikan sumber benih untuk pembuatan hutan tanaman.
Oleh karena itu
sebelum pemanfaatannya sebagai
sumber benih perlu didukung data dan informasi. yang memadai. Atas dasar permasalkah tersebut maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui 127 |
data dan informasi kondisi tempat tumbuh, sebaran alami dan Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pertumbuhan penotipe pohon plus tegakan alam ampupu di Flores. Data yang dihasilkan berguna dalam rangka menunjang pengeloaan
kegiatan untuk penunjukan dan
sumber benih serta kegiatan penelitian pemuliaan pohon dimasa
mendatang. II. BAHAN DAN METODE A. Tempat dan waktu Penelitian dilaksanakan di di Kabupaten Sikka, Flores Timur, dan Lembata, Propinsi Nusa Tenggara Timur dengan memilih lokasi sebaran alami ampupu. Penelitian dilakukan selama 2 tahun yaitu pada tahun 2002 dan 2004.
B. Bahan dan Alat Dalam penelitian
ini digunakan areal tegakan alami ampupu di Flores.
Peralatan yang digunakan dalam eksplorasi ini adalah : phita phi,altimeter, sunto, haga meter, kertas pH,munsel soil chart,JPS, teropong,timbangan elektronok,karung biji,ayakan, plastik klip bag,peta lokasi,peta tanah, peta iklim,label , cat, alat tulis dan daftar isian. Untuk pengujian kecambah digunakan media semai pasir : tanah =1:1 dan bak kecambah.
C. Metode Pengamatan data pertumbuhan pohon dan pengambilan benih dilakukan di lokasi/provenan berbeda sesuai dengan sebaran populasi dan kondisi tegakan yang ada. Penentuan lokasi/provenan tersebut berdasarkan pada kondisi tanah, iklim dan letak geografis yang berbeda. Pemberian nama provenan mengikuti nama lokasi (yang diberikan penduduk setempat,nama kampung/dusun terdekat dan atau nama gunung). Ketinggian tempat/elevasi tiap-tiap lokasi /provenan yang diukur merupakan pertimbangan areal eksplorasi(dari pohon di tempat terendah dengan pohon ditempat tertinggi). Informasi lain yang dicatat per lokasi adalah :,jenis tanah (dilihat di peta dan dicocokkan di lapangan ),tipe iklim (dilihat di peta), asosiasi vegetasi, , topografi dan
128 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
kelerengan. Data dicatat secara lengkap pada Tabel Talysheet, dengan target pohon dikumpulkan minimal 25 pohon masing-masing provenan. Penentuan letak geografis masing masing lokasi dengan menggunakan peta dasar dan JPS. Adapun. kegiatan yang dilakukan pada masing masing lokasi/provenan adalah sbb. 1. Seleksi pohon Sebelum dilakukan pengunduhan benih terlebih dahulu diadakan pemilihan pohon plus . Seleksi pohon dilakukan berdasarkan kondisi visual pohon
yang
bersangkutan tanpa menggunakan pohon pembanding (terutama di lokasi dimana kondisi tegakan tidak berbuah serempak). Namun demikian jika ada sekelompok pohon berdekatan yang berbuah serempak , maka pohon dengan penampakkan terbaik yang akan dipilih untuk dilakukan pengamatan dan pengunduhan benih. Informasi pohon dicatat adalah : tinggi pohon (m), diameter setinggi dada (cm), kelurusan (1-3),percabangan (1-3), tajuk (1-3). Kelurusan , percabangan dan tajuk pohon diukur dengan skor 1-3 ,dimana nilai 3 adalah yang terbaik. Jarak antar pohon terpilih diusahakan minimal 100 m untuk menghindarkan biji asal perkawinan sendiri,
2 Pengunduhan benih Pengumpulan buah (kapsul) dilakukan terhadap pohon terpilih dengan cara memangkas cabang atau ranting yang dipotong bervariasi tergantung kondisi buah/kapsul pohon yang bersangkutan . Buah/kapsul berwarna coklat dan terbelah (belum terbuka) , jika kapsul terpotong maka biji sudah berwarna coklat tua. Target kapsul yang dikumpulkan per/pohon adalah 1 kg buah kapsul . Setiap famili kapsul dikumpulkan dalam kantung terpisah masing-masing pohon.
d. Pembersihan Benih Pembersihan benih dilakukan dengan cara memasukkan benih kedalam karung biji (terbuat dari kain) kemudian dilakukan penjemuran. Lama penjemuran 2 – 3 hari, tergantung bentuk kapsul dan kondisi cuaca (sinar matahari). Pemisahan benih dilakukan dengan saringan (ayakan), kotoran yang masih bercampur dalam benih 129 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
seperti capsul, ranting dan benang sari dipisahkan secara manual sehingga mencapai kemurnian benih 80 %. Setelah bersih benih dimasukkan dalam kantung plastik dan diberi label sesuai provenan dan nomor famili. Untuk menghindari serangan semut pada saat penjemuran dan penyimpanan di gunakan obat anti hama (insektisida). Untuk kegiatan pengukuran perbandingan produksi buah dalam kapsul maka dilakukan pemisahan pembersihan buah terhadap 100 gr buah kapsul, 4. Pengujian Benih Metode pengujian benih meliputi uji perkecambahan. Pengujian perkecambahan dilakukan di rumah kaca. Metode pendederan menggunakan
benih dilakukan 100 biji dengan
pengujian dengan media pasir dan tanah =1: 1 di bedeng tabur, untuk
menentukan persen kecambah . 5. Analisis data Tingkat kelurusan,percabangan,lebar tajuk dikonversi dalam persen. Sedangkan data perkembahan dihitung berdasarkan jumlah benih yang
berkecambah dibagi
dengan jumlah benih total yang ditaburkan kali 100 %. Data hasil pengamatan tinggi, diameter, tingkat kelurusan,percabangan,lebar tajuk, jumlah niji yang dihasilkan dan persen kecambah dihitung rata-ratanya secara statistik. Dan selanjutnya untuk mengetahui urutan penotipe pohon plus yang terbaik maka dibuat rangking menurut analisis bilangan ordinasi (Good dall, 1954 dalam Wilde et. al,1979) III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sebaran Alami dan Kondisi Tempat Tumbuh. Kondisi lokasi ,letak lintang, administratif ,kawasan hutan, elevasi ,jenis tanah dan iklim serta data sebaran ampupu disajikan pada Tabel 1. Lokasi eksplorasi sumber benih ampupu
di Flores dilakukan pada sebaran alami,
Hasil pengamatan
menunjukkan bahwa di Flores ditemukan 16 provenan ampupu yang tersebar 3 pulau ( Flores,Adonara,Lomblen) dan 3 Kabupaten yaitu di Kabupaten Sikka ( Egon, Kaliboluk,Natakolin,Kilawair,Kwangau dan Hikong). Kabupaten Flores Timur (Lewotobi ,Palueh, Ilemandiri,Leworok, Ile Boleng, Kawela) dan Kabupaten Lembata Ile Kerbau,Ile Ape,Labalekan, dan Lewokukun). 130 | Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
131 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 1. Sebaran Alami dan Kondisi Lokasi Tempat Tumbuh Ampupu di Flores. No
1
2
3
4
Lokasi
Lintang,letak administrative
Egon
8° 37 ′ LS 122° 15′ BT,
(G.Egon)
Kec. Wagate,Kab.Sikka,
Kaliboluk
8° 35 ′ LS 122° 15′ BT,
(G.Ilimeak)
Kec. Wagate,Kab.Sikka,
Natakolin
8° 37 ′ LS 122° 25′ BT,Kec.
(G.Egon)
Bola,Kab.Sikka,
Kilawair
8° 41 ′ LS 122° 29′ BT,Kec.
Kawasan
Elevasi
Jenis Tanah/
Hutan
(m dpl)
Tipe Iklim
Egon-Ilimedo
530-840
Mediteran Haplik, E
Egon Ilimedo
540-650
Haplik, E Egon Ilimedo
820-900
Kwangau
8° 35 ′ LS 122° 35′ BT,Kec.
Egon Ilimedo
225-530
Hikong
8° 30 ′ LS 122° 40′ BT,Kec.
Egon Ilimedo
150-350
Palueh
8° 28 ′ LS 123° 24′ BT,
Mediteran Haplik, Litosol E
Illi Wuli
550-650
Mediteran Haplik, E
Talibura I.,Kab.Sikka, 7
Mediteran Haplik, E
Talibura II, Kab.Sikka, 6
Mediteran Haplik, E
Talibura II,Kab.Sikka, 5
Mediteran
Illi Wuli -
600-680
Mediteran Haplik , E
Kec. Wulang Gintang., Kab.Flores Timur, 8
9
10
Lewotobi
8° 31 ′ LS 122° 27′ BT,
(G.Lewoto
Kec. Wulang Gintang.,
bi)
Kab.Flores Timur,
Ilemandiri
8° 31 ′ LS 122° 17′ BT,
(G.
Kec. Wulang Gintang.,
Illemandiri)
Kab.Flores Timur,
Wukoh
8° 28 ′ LS 123° 24′ BT,Kec. Wulang
Gintang.,Kab.Flores
Illi Wuli -
350-800
Mediteran Haplik , E
Ilemandiri
400-700
Mediteran Haplik , E
Illi Wuli -
600-680
Mediteran Haplik , E
Timur,
132 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
No
11
Lokasi
Ile Boleng
Lintang,letak administrative
8° 28 ′ LS 123° 24′ BT,
Kawasan
Elevasi
Jenis Tanah/
Hutan
(m dpl)
Tipe Iklim
Ile Boleng
600-680
Mediteran Haplik , E
Kec. Wulang Gintang., Kab.Flores Timur, 12
Kawela
8° 28 ′ LS 123° 24′ BT,
-
600-630
Mediteran Haplik Litosol, E
Kec. Bone Ona Kab.Flores Timur, P. Adonara
13
14
Ile Kerbau
Ile Ape
8° 29 ′ LS 123° 29′ BT,
Hadakawa
Kec. Atadae.,Kab.Lembata
Labalekang
8° 19 ′ LS 123° 29′ BT,
Lewotolo
600-750
Haplik , E 840-880
Mediteran Haplik , E
Kec. e.,Kab.Lembata 15
Mediteran
Labalekan
8° 29 ′ LS 123° 29′ BT,
Hadakawa
(Puor)
Kec. Nagawutung.,
Labalekang
700-980
Mediteran Haplik , E
Kab.Lembata 16
Lewokuku
8° 25 ′ LS 123° 26′ BT,
Hadakawa
ng
Kec. Lebatukan.,Kab.Lembata
Labalekang
700-980
Mediteran Haplik Kambisol, E
Sebaran alami jenis ampupu di Flores terdapat di kawasan hutan Egon Iliwuli, Ile Boleng,Hadakawa Labalekang , Iliwuli dan Ile Mandiri. Kebanyakan ampupu tumbuh di daerah pegunungan yang masih aktif seperti Gunung Egon, Ile Mandiri,Lewotobi.Ile Ape,Ile Boleng, Ile Kerbau,Lablekang, berada pada garis lintang dan bujur 8° 19 ′ LS 122° 15′ BT 8° 37 ′ LS 123° 40′ BT, ketinggian 150 – 980 m di atas permukaan laut, iklim E menurut klasifikasi Schmidth dan Ferguson (1951) dengan > 3 bulan basah ,> 6 bulan kering ,curah hujan rata-rata 600-1500 mm/tahun. Pohon ampupu tumbuh pada jenis tanah : Mediteran Haplik ,Kambisol, dan Litosol ( PPT,1993) pada tanah bahan induk batuan vulkan gunung berapi (basal, sidemen) dari solum sedang-dangkal dan tidak ditemukan pada batuan kapur. Pohon ini dapat tumbuh pada batuan letusan baru G.berapi yang masih aktif . Dengan demikian tanaman ampupu 133 |
merupakan jenis
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
tanaman pionir untuk daerah kering,bersolum dangkal dan kurang subur, baik di pegunungan maupun dataran rendah
pada to[ografi berbukit- bergunung dengan
kelerengan yang terjal. Dengan demikian jenis ini sangat cocok untuk dipakai sebagai jenis tanaman untuk rehabilitasi lahan kritis. Dewasa ini sudah jarang ditemukan ampupu yang tumbuh pada ketinggian di bawah 500 m dpl kecuali di Kilawair dan Kwangau yang aksesibilitasnya dekat jalan. Sebagai perbandingan hasil eksplorasi di Pulau Wetar ampupu ditemukan pada ketinggian terendah 70 m dpl. (Surata,2003) . Degradasi yang cepat di Flores karena tekanan penduduk untuk kegiatan perladangan, kebakaran, dan pencurian kayu. Pada daerah yang mempunyai ketinggian 500-600 dpl. ditemukan
bercampur dengan E.
alba. Sehingga di beberapa lokasi ditemukan keturunan hybrid dengan E alba sebanyak 1,25-8,23 % Jenis hybrid ini ditandai dengan terjadi bentuk peralihan antara bentuk batang, daun dan buah. Menurut Turnbull (1978) hybrid antara E. Uropylla dan E. alba di Kongo (Afrika) dipakai untuk hutan tanaman industri yang dapat menghasilkan kayu pulp dengan produksi 30-35 m3/ha/th. Di atas ketinggian 600 m-980 m dpl tidak lagi ditemukan E. alba dan murni E. Urophylla. Berdasarkan variasi penyebaran pada beberapa ketinggian tempat tumbuh maka menurut Turnbull (1978) melaporkan bahwa hasil uji provenan benih ampupu asal Flores yang tumbuh pada ketinggian 150-980 m dpl sangat cocok untuk ditanam di dataran rendah di bawah ketinggian 1000 m dpl. Sedangkan benih ampupu yang berasal dari Pulau Timor yang tumbuh pada ketinggian 1000-3000 m dpl cocok ditanam di daerah ketinggian di atas 1000 m dpl. Berdasarkan perbedaan ketinggian dan kekeringan bentuk
menyebabkan perbedaan
dan kulit batang , dimana bentuk batang di daerah kering batangnya
kelurusannya sedikit lebih rendah dengan kulit coklat agak kasar sedangkan di daerah ketinggian bentuk batangnya lurus dan kulit putih licin . Menurut Priyor,William dan Gunn (1995) karena perbedaan serat kayu kayu yang dihasilkan agak berbeda akibat kondisi tempat tumbuh maka mereka memberi nama untuk ampupu yang ada di Pulau Timor (G. Mutis) yang tumbuh didataran tinggi 1000-3000 dan curah hujan > 1500
134 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
mm/th disebut E. orophylla L.D. Priyor dan di dataran rendah ketinggian 70-800 daerah kering curah hujan < 600 mm/th di Pulau. Wetar disebut E. wetarensis L.D. Priyor.
B. Pertumbuhan Penotipe Pohon Induk. Hasil pengukuran rata–rata penotipe pertumbuhan pohon induk ampupu disajikan pada Tabel 2. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan penotipe pohon plus pada setiap provenan yang dipilih mempunyai kisaran tinggi 15,12 –23,25 m, diameter 42,71-56,59 cm,kelurusan 53,33-87,17 %,percabangan 54,67-83,33 %, lebar tajuk 62,03-83,33 %, produksi biji per 100 g buah, 3,38-17,65 g, kecambah 42,6082,2 %. Menurut Priyor et. al. (1995) di daerah dataran rendah yang tanahnya subur pertumbuhan batangnya lurus dan cukup tinggi yaitu tinggi maksimal dapat mencapai 45 m,tinggi bebas cabang 30 m diameter 1 m. Tanaman ampupu adalah tanaman yang selalu hijau baik pada musim kering maupun musim hujan dan termasuk pohon cepat tumbuh. Menurut Turnbull (1978) di Malaysia riap per tahun 1,7-3,5 m/th diameter 2,0-5,9 cm/th, di Jawa riap tinggi 3,1 cm/th dan hasil uji keturunan di P. Lombok mencapai 2,6 cm/th pada umur 6 tahun. (Surata,2004) Penilaian penotipe atau kenampakan pohon dari luar tidak baik bila hanya dilakukan pada satu parameter pertumbuhan saja dan perlu dilakuan penilaian secara komprehensif .Hasil penilaian pertumbuhan penotipe pohon plus berdasarkan pengamatan komprehensif dengan metode bilangan ordinasi dari hasil evalusi pengamatan tinggi, diameter, tingkat kelurusan,percabangan,lebar tajuk, jumlah biji yang dihasilkan dan persen kecambah maka berturut turut
urutan pertumbuhan
penotipe yang terbaik-terendah adalah sbb: Ile Boleng, Ile Ape,Ile kerbau, Palueh, Hokeng, Kwangau,
Kilawair, Lewokukun, Hikong, Labalekan, Kaliboluk, Leworok,
Natakolin, Egon, Ilemandiri, dan Kwela. Hasil eksplorasi menunjukkan bahwa produksi buah setiap provenan berbeda beda dan bahkan di beberapa lokasi yang dikunjungi tidak berbuah sama sekali akibat pengaruh biineal bearing (pohon itu tidak berbuah banyak sepanjang tahun). hal ini disebabkan oleh karena perbedaan tempat tumbuh seperti jenis tanah dan ketinggian. 135 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 2. Pertumbuhan Penotipe Pohon Plus Ampupu pada Beberapa Provenan No
Provenan (Lokasi)
Tinggi (m)
Diameter (Cm)
Keluru san (%)
Percaba ngan (%)
Tajuk (%)
Biji (gr)
Kecambah ((%)
Nilai Ordinasi (Rangki ng)
1
Egon
16,86
48,42
62,73
69,84
80,67
6,73
51,30
14
2
Kaliboluk
15,12
47,45
68,25
66,67
82,53
10,80
50,8
11
3
Natakolin
17,95
56,59
62,50
66,67
83,33
3,38
46,90
13
4
Kilawair
16,37
50,70
75,02
66,67
76,38
8,75
63,14
7
5
Kwangau
19,36
52,80
72,10
54,67
76,01
6,53
71,43
6
6
Hikong
18,78
53,60
68,14
56,11
74,00
7,82
54,61
9
7
Palueh
20,36
50,06
83,33
74,07
75,92
7,15
61,40
4
8
Hokeng
18,11
48,41
77,77
71,60
69,24
11,60
67,6
5
9
Ilemandiri
17,24
43,82
64,62
70,41
64,82
7,80
58,6
15
10
Leworok
19,81
42,71
67,61
66,67
78,12
8,66
51,92
12
11
Ile Boleng
23,25
48,58
72,58
70,00
70,33
14,42
82,2
1
12
Kawela
21,25
47,12
53,33
60,00
66,67
7,69
41,70
16
13
Ile Kerbau
22,08
48,99
87,17
83,33
62,03
9,34
45,67
3
14
Ile Ape
17,73
48,86
66,00
64,67
79,33
17,65
70,20
2
15
Labalekan
21,76
43,79
77,60
76,19
80,95
6,19
42,60
10
16
Lewokukung
20,50
46,40
77,50
75,83
77,50
7,97
47,20
8
Pada daerah yang mendekati ketinggian di atas 900-1000 m dpl jarang ditemukan ampupu yang berbuah dan kalaupun berbuah buahnya sangat sedikit. Buah terbanyak pada ketinggian 600-800 m dpl. jumlah benih yang dihasilkan per g mencapai 210-470 benih, bentuknua persegi dan berwarna hitam. Hampir 70 % buah ampupu bercampur serbuk sari. Dengan demikian untuk mencapai tingkat kemurnian yang baik diperlukan pemisahan biji dari serbuk sari dengan cara diayak atau dipilih secara manual. Buah masak terjadi pada bulan Juni- Agustus dan berbunga pada bulan Januari-Maret. Buahnya termasuk buah kapsul dengan diameter 6-14 mmx7-18 mm, yang terdiri dari 4-6 kapsul .yang ditandai kalau masak warna coklat. Bentuk batang dan kulit ampupu tergantung dari lokasi tempat tumbuh yaitu ketinggian dan kelembaban. Pada daerah kering dengan ketinggian 136 |
<1000 m dpl
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
batangnya bulat lurus dengan kulit agak kasar dan pada ketinggian 1000-2000 dengan kelembaban yang tinggi batang bulat dan dilapisi dengan kulit licin dan lapisan kulit luar yang kasar. Perbedaan provenan
pohon akan menghasilkan perkecambahan benih yang
berbeda. Perkecambahan adalah jumlah persentase kemampuan benih untuk berkecambah. Perkecambahan benih ini untuk memenuhi jumlah benih untuk kegiatan pembuatan hutan tanaman.. Perkecambahan mulai terjadi pada umur 7-12 hari dan tidak memerlukan perlakuan awal dan pada umur 20 hari kecambah sudah siap disapih. Hasil penelitian ini menunjukkan variasi perkecambahan hal ini disebabkan oleh faktor genetik pohon.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. KESIMPULAN 1. Sebaran alami ampupu di Flores terdapat di 3 Kabupaten (provenan) yaitu di Kabupaten Sikka : Egon, Kaliboluk,Natakolin,Kilawair,Kwangau dan Hikong,. Kabupaten Flores Timur :Hikong,Palueh, Ilemandiri,Leworok, Ile Boleng, Kawela dan Kabupaten Lembata: Ile Kerbau,Ile Ape,Labalekan, dan Lewokukun. 2. Ampupu tumbuh secara alami di daerah pegunungan mulai dari kaki gunung sampai lereng yang terjal pada ketinggian 150-980 m dpl., tipe iklim E, jenis tanah Mediteran Haplik, Litosol dan Kambisol.. 3. Pada ketinggian dibawah 600 m dpl masih bercampur dengan E. alba sehingga beberapa
benih
yang
dihasilkan
hybrid
antara
E.
Urophylla
dan
E,
alba,sedangkan di atas 600 m dpl murni E. urophylla. 4. Tidak semua lokasi yang dieksplorasi berbuah banyak dan seragam. Musim buah terjadi pada bulan Juni-Agustus dan musim bunga pada bulan JanuariMaret.. 5. Hasil penilaian pertumbuhan penotipe pohon plus yang berdasarkan parameter :tinggi, diameter,kelurusan,percabangan,lebar tajuk, jumlah biji dan persen kecambah,maka urutan pertumbuhan terbaik-terendah adalah provenan dari Ile
137 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Boleng,Ile
Ape,Ile
kerbau,
Palueh,Hokeng,Kwangau,
Kilawair,Lewokukun,
Hikong, Labalekan, Kaliboluk,Leworok ,Natakolin, Egon, Ilemandiri,Kwela. 6. Hampir semua lokasi ampupu terancam kerusakan akibat : perluasan untuk perladangan,kebakaran, illegal logging. B. SARAN 1. Untuk menjaga degradasi ampupu maka perlu dilakukan perlindungan terhadap kerusakan akibat perladangan liar, pembakaran hutan dan illegal logging. 2. Perlu segera ditunjuk sumber benih ampupu di daerah yang mempunyai potensi untuk dipertahankan baik berdasarkan luasan maupun mutu genetiknya. 3. Benih yang dihasilkan dari pohon plus dalam jumlah populasi yang cukup dari provenan yang telah ditunjuk di Flores mempunyai kwalitas benih yang baik dan dalam jangka pendek dapat dipakai untuk pembangunan hutan tanaman. DAFTAR PUSTAKA Balai Planalogi Kehutanan IV Nusa Tenggara. 1981. Penunjukan dan Pengukuhan Tegakan Benih Ampupu (Eucalyptus urophylla) di SoE dan Maumere. Dinas Kehutanan Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur. Departemen Pertanian, Direktorat Jenderal Kehutanan, Balai Planalogi Kehutanan IV Nusa Tenggara. Priyor,L.D. William,E.R. and Gunn,B.V.1995. A Morphometric Analysis of Eucalyptus urophylla and Related Taxa with Descriptions of Two New Species. Australia Sistimatic Botany. 8;57-70. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat.1993. Peta Tanah Propinsi Nusa Tenggara Timur. Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bogor. Schmidt, F.G.and J.M.A. Ferguson .1951. Rainfall types based on wet and dry period rations for Indonesia with Western New Guinea. Verhand 42. Direktorat Meteorologi dan Geofisika. Djakarta. Suseno. O.H. 1984. Perbenihan dan Pemulian Pohon Hutan dalam Rangka Pembangunan Timber Estate. Lokakarya Pembangunan Timber Estate. Dok. II/02. Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Suseno, O.H., Naim., B. Hardiyanto. 1980. Eucalyptus urophylla S.T. Blake (Pohon Ampupu). Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada, Jogyakarta. Surata, I Komang. M.M. Idris dan Tri Pamungkas. 2002, Eksplorasi Benih Ampupu (Eucalyptus urophylla S.T. Blake) di Pulau Flores dan Timor. Santalum 17: 1-8. Surata, I Komang. 2002. Laporan Eksplorasi Ampupu (Eucalyptus urophylla) di P. Adonara, Lomblen NTT. Kerjasama PT. Surya Hutani Jaya dan Balai Penelitian Kehutanan Kupang. (tidak diterbitkan) Surata, I Komang. 2003. Laporan Eksplorasi ampupu (Eucalyptus urophylla) di P. Wetar,Maluku Tenggara. Kerjasama PT. Surya Hutani Jaya dan Balai Penelitian Kehutanan Kupang. (tidak diterbitkan) Surata, I Komang. 2004. Laporan Penelitian Kebun Benih Uji Keturunan Ampupu (Eucalyptus urophylla) di Wana Riset Rarung Pulau Lombok. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. (tidak diterbitkan) Turnbull,J. and Brooker,I. 1978. Timor Montain Gum-Eucalyptus urophylla S.T.Blake. Forest Tree Series 214. Comonwealth Scientitific and Industrial Research Organization,Melburne, Australia. 138 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Wright. J.W. 1976. Introduction to Forest Genetics. Academis Press. New York. San Fransisco. London. Wilde, S.A. R.B. Corey,.J.G. Iyer, G.K.voight, 1979. Soil and Plant Analysis for tree culture. Fith revised ed, Oxford and IBH Publishing Co. Zobel, B.J. dan J.T. Talbert. 1984. Applied Forest Tree Improvement. John Willey and Sons. New York. Chirchester. Brisbane. Toronto. Singapore. ARSITEKTUR BIOLOGIS MENUJU EKSPLOITASI YANG HARMONIS HUTAN DI FLORES Oleh : Imaculata Fatima Abstrak Pemanfaatan hutan yang tidak seimbang di Flores disebabkan oleh pandangan masyarakat yang hanya melihat nilai manfaat konsumtif (digunakan langsung seharihari tanpa mengolhanya untuk mendapatkan nilai tambah) dan nilai pemanfaatan produktif (langsung dijual kepasar), tingginya ketergantungan masyarakat Flores terhadap sumberdaya hutan, kualitas sumberdaya manusia sekitar hutan yang relative rendah, berkurangnya peran lembaga adat dan kebijaksanaan pemerintah yang kurang melibatkan masyarakat. Kata kunci: eksploitasi, harmonis, biologis I.
Pendahuluan Konsep
arsitektur
biologis
semakin
hangat
diperbincangkan.
Berbagai
pandangan menunjukkan bahwa konsep arsitektur biologis erat kaitannya dengan pembangunan dan disinilah kita menemukan cermin pembaharuan. Karena itu setiap pembangunan merupakan suatu pembaharuan atau perubahaan lingkungan. Perhatian atas perubahaan lingkungan berarti perhatian atas pembangunan secara biologis atau arsitektur biologis, dan perhatian atas kualitas kehidupan manusia. Arsitektur biologis berarti ilmu penghubung antara manusia dan lingkungannya secara keseluruhan. Istilah arsitektur biologis mengindikasikan adanya hubungan yang erat antara manusia dan lingkungan atau alam sekitarnya termasuk hutan (Frick, 1994). Menurut Schmid (dalam Frick, 1994) hubungan – hubungan tersebut dapat dilukiskan sebagai berikut: Lingkungan alam + manusia dengan kebutuhannya + lingkungan pembangunan atau lingkungan terbangun = harmoni yang menentukan kualitas lingkungan . Kualitas lingkungan manusia mengindikasikan adanya keseimbangan antara alam, manusia dengan kebutuhannya dengan lingkungan terbangun.
Lingkungan
terbangun dalam konteks ini berarti segala sesuatu yang dilakukan manusia melalui ekspolitasi pemanfaatan sumber daya hutan. 139 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Dalam kaitan dengan upaya pelestarian dan pemanfaatan lingkungan alam, hutan merupakan salah satu bagian integral yang bukan semata-mata kumpulan pohon-pohon yang dieksploitasi dari hasil kayunya saja, tetapi merupakan persekutuan hidup alam hayati atau suatu masyarakat tumbuhan yang kompleks yang terdiri atas pohon-pohon, semak, tumbuhan bawah, jasad renik tanah, hewan dan alam lingkungannya. Semua
unsur-unsur
tersebut
mempunyai
keterkaitan
dalam
hubungan
ketergantungan satu sama lainnya. Oleh karena itu sangat diperlukan keberadaannya, terutama
untuk
menjaga
keseimbangan
sistem ekologi lingkungan hidup,
menyelamatkan semua makluk hidup didalamnya,
mempertahankan tanah dari
degradasi tanah dan erosi, sebagai sumber kayu industri dan penggergajian lokal, sebagai tempat wisata alam. Jika dikaitkan dengan konsep arsitektur biologis bahwa keseimbangan antara alam, manusia dan kemanusiaan, serta lingkungan terbangun yang saling berpengaruh, diharapkan dapat menciptakan keharmonisan untuk mewujudkan kualitas lingkungan manusia yang memuaskan. Akan tetapi
pengaruh-pengaruh tersebut sering kali
bertolak belakang. Realitas menunjukkan bahwa lingkungan terbangun seperti pabrik, jalan raya telah merusak hutan dan sawah atau alam sekitarnya, juga pembangunan lain yang membutuhkan bambu, kayu, rotan, dan sumber hayati lain yang bersumber dari sumber daya hutan, serta ketergantungan hidup yang hanya berharap pada hutan tanpa berusaha mengidupi hutan. Jika
kita membandingkan kualitas lingkungan manusia pada masa lampau
dengan keadaan pada masa kini, tak dapat disangkal bahwa kualitas lingkungan manusia
semakin lama semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya
degradasi sumber daya hutan karena pemanfaatan yang tak terkendali terutama oleh manusia dan juga penyebab lain seperti hewan dan penyakit, serta bencana alam. Organisasi
Pangan
dan
Pertanian
Perserikatan
Bangsa-Bangsa
(FAO)
memprediksikan bahwa hutan Indonesia setiap tahun mengalami kerusakan 1,3 juta hektar, sehingga pada tahun 2015 tak mampu memasok bahan baku industri kehutanan.( Arief, 2001). 140 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
II.
Faktor penyebab kualitas lingkungan menurun Dalam konteks Flores, kualitas lingkungan menurun disebabkan oleh penyebab
yang umum terjadi di daerah lain yakni manusia, hewan dan penyakit, serta bencana alam. Dan yang paling berbahaya dan perlu diwaspadai adalah penyebab “manusia” yang hampir setiap detik melakukan pengrusakan terhadap hutan, sehingga kualitas lingkungan semakin menurun. Secara garis besar kualitas lingkungan yang menurun di Flores ditandai oleh banyaknya sumber air yang mati karena
pembabatan hutan
secara liar, suhu semakin panas, curah hujan semakin sedikit, tanaman pertanian banyak yang gagal karena kurangnya hujan sehingga kehidupan masyarakat semakin miskin,
musnahnya
burung-burung
dan jasad renik pengurai bangkai, semakin
berkurangnya populasi serangga yang dapat melakukan penyerbukan tanaman yang bermanfaat di hutan, cacing tanah tak dapat melakukan penghumusan karena tanah yang kering, dan lain sebagainya. Konsep ideologis tersebut menunjukkan bahwa faktor penyebab yang paling berbahaya dan perlu diwaspadai adalah “manusia.” Nampaknya bahwa masyarakat Flores adalah manusia yang memiliki sumber daya dan kebutuhan yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Karena itu dapat dikemukakan beberapa faktor yang
mendorong masyarakat Flores melakukan eksploitasi pemanfaatan hutan secara tidak seimbang sebagai berikut: 1) Nilai Pemanfaatan Nilai pemanfaatan yang bersumber pada hutan dapat dikategorikan menjadi nilai pemanfaatan konsumtif dan nilai pemanfaatan produktif. (a) Nilai pemanfaatan konsumtif adalah nilai
ekonomi
yang diambil dari hutan dan secara langsung
dikonsumsi tanpa melalui proses transaksi jual beli seperti di pasar. Misalnya: kayu bakar, daging buruan, pengambilan rebung bambu, pemotongan bambu
dan kayu
untuk membuat tempat tinggal yang sederhana, untuk membuat kandang ternak, dan lain-lain. (b) nilai pemanfaatan produktif adalah nilai produksi yang diambil dari hutan untuk diperdagangkan. Misalnya penebangan kayu bakar untuk dijual, penebangan kayu untuk dijadikan papan dan balok, pengambilan rotan, pengambilan pasir di hutan 141 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
yang kini marak terjadi di Flores untuk diperdagangkan
baik untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat lokal maupun antardaerah, atau dengan kata lain pemanfaatan sumber daya hutan kurang diakomodir dengan baik melainkan menjadi lahan bisnis. 2) Tingginya ketergantungan masyarakat Flores terhadap sumber daya hutan Masyarakat Flores yang sebagian besar adalah petani sejak dahulu sampai sekarang
ketergantungannya terhadap sumber daya hutan masih sangat tinggi,
terutama ketika berhadapan dengan berbagai masalah perekonomian yang membuat masyarakat semakin tak berdaya. Ketakberdayaan inilah yang menyebabkan alternatif paling gampang dijangkau adalah kembali menguras sumber daya hutan yang kian menipis hanya untuk mempertahankan hidup. Misalnya pemanfaatan kayu bakar saat ini meningkat karena bahan bakar minyak yang mahal, penangkapan burung-burung yang langka untuk diperdagangkan,
meningkatnya penjualan kayu secara illegal
keluar daerah. Contohnya di Maumere, terjadi pengambilan hasil kayu dari daerah Lio Utara dan dijual secara illegal dengan harga yang murah, semakin beraninya masyarakat untuk menggali batu dan pasir di daerah hutan lindung; Contohnya di Kabupaten Ende, dan Manggarai (pengalaman empirik). Di Kab. Manggarai dapat terlihat
sepanjang jalan Ruteng – Mano, dan dibeberapa tempat lain; juga
meningkatnya pemanfaatan tanaman obat-obatan sebagai pengobatan alternatif karena biaya obat pabrikan mahal. 3) Sumber Daya Manusia masyarakat Flores masih rendah Ditinjau dari tingkat pendidikan formal secara keseluruhan, masyarakat Flores sebagian besar berpendidikan Sekolah Dasar, dan di sisi lain masih ada yang buta huruf. Sebagai sampel
dapat diambil dari
dua Kabupaten yakni: a) Kabupaten
Manggarai; yang berpendidikan Sekolah Dasar sebanyak 146212 orang, tingkat buta huruf 50380 orang, dan tidak tamat Sekolah Dasar sebanyak 163937 orang, SLTP sebanyak 30034 orang, serta SLTA sebanyak 25122 orang. (Dagur, 2004).
b)
Kabupaten Ende yang berpendidikan SD sebanyak 39883 orang, SMP sejumlah 8428 orang, dan SLTA sebanyak 6188 (BPS Kab. Ende, 2002). Jadi Populasi masyarakat pada tingkat SD ke bawah lebih banyak yakni sejumlah 360529 untuk Kab. Manggarai dan 39883 orang di Kabupaten Ende. 142 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tingkat pendidikan yang rendah mengindikasikan bahwa konsep hutan dan permasalahannya sulit dipahami oleh masyarakat Flores. Bahkan yang berpendidikan menengah dan tinggi-pun sering kali menjadi penyebab
terjadinya pengrusakkan
hutan. Di samping itu
belum optimalnya program sosialisasi
tentang
pengelolaan
kawasan konservasi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, serta pemanfaatan dan perlindungan
sumberdaya hutan
dari
pihak kehutanan dan instansi terkait
lainnya. Dan di pihak lain keberadaan lembaga pendidikan dari tingkat rendah sampai pendidikan tinggi, masih kurang peduli terhadap pemanfaatan dan pengelolaan hutan yang seimbang. Misalnya
lembaga pendidikan tidak
memasukkan kurikulum yang
berbasiskan wawasan lingkungan hidup dan upaya pelestariaanya. Kalaupun ada, itu hanya sebatas program tanpa dilakukan secara efektif. Wawasan yang terbatas dari petugas lapangan sehingga tak mampu memberikan informasi
kepada masyarakat tentang
pemanfaatan dan pengolahan
hutan secara seimbang, pengawasan serta pengamanan yang kurang dari pihak pemerintah, dan kemampuan mengakses teknologi yang masih rendah
untuk
memenuhi kebutuhan dasar. 4) Peran lembaga adat semakin berkurang. Pada masa lalu masyarakat Flores telah memiliki lembaga adat, namun lambat laun perannya semakin berkurang dan bakan nyaris hilang bersamaan dengan semakin meningkatnya peradaban masyarakat Flores. Peran lembaga adat yang masih tampak dapat terlihat dibeberapa daerah
dengan intensitasnya yang kian berkurang.
Kelemahannya terletak pada kurangnya koordinasi dari pihak pemerintah dalam memberdayakan lembaga dan hukum adat untuk mengendalikan pengrusakan hutan. 5) Kelemahan kebijakan pemerintah yang kurang melibatkan masyarakat Degradasi hutan dapat terjadi karena kebijakan pemerintah yang tak mampu menjamin perlindungan sumber daya hutan secara mendasar; dan tidak memberi porsi serta perhatian terhadap peran masyarakat; kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan selama ini baru sebatas pada hasil kayu yang berbasis pada Negara, sehingga terjadi kesenjangan sosial ekonomi dengan masyarakat di sekitar hutan yang dilarang. 143 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Undang-undang tersebut antara lain : UU 41/99 dan PP 25/2000 nampak bahwa pengurusan hutan di daerah
menjadi kewenangan
dan kewajiban pemerintah
Kabupaten/Kota, karena Pemerintah Pusat hanya mengurus hutan lindung, kawasan koservasi dan hutan produksi lintas provinsi, pemerintah provinsi
hanya mengurus
taman hutan raya lintas Kabupaten/ kota. Pemerintah dan kita semua sering kali lamban mengantisipasi sesuatu masalah termasuk masalah yang berkaitan dengan menurunnya kualitas lingkungan manusia akibat ulah manusia itu sendiri. Ketika masalah pengrusakan hutan sudah terjadi baru dicarikan solusi, sehingga terpaksa pengorbananpun lebih besar. Pemerintah di Flores belum memiliki data yang berkaitan dengan identifikasi terhadap jenis hutan, jenis tanaman yang dapat ditanam pada lahan-lahan yang ada di Flores, dan kerusakan hutan berdasarkan penyebabnya, dan lain-lain. Seiring dengan semangat
reformasi disegala bidang, reformasi kehutanan
dimanfaatkan oleh sebagian masyarakat untuk menarik keuntungan sebesar-besarnya dengan cepat untuk dirinya tanpa mempedulikan peraturan yang berlaku , dan tanpa memperhatikan keharmonisan
menuju
lingkungan manusia yang berkualitas.
Ketakpedulian eksploitasi hutan yang berawal dari lemahnya penegakan hokum dalam mengambil kebijakan dan kurangnya pengawasan
dan keamanan serta dipercepat
oleh tumbuhnya kekerasan untuk penguasaan hasil hutan telah menambah parahnya kerusakan hutan alami, hutan lindung, dan bahkan hutan tanaman investor yang jelas. III.
Pertimbangan dalam mengeksploitasi hutan yang harmonis Untuk mengurangi ekspolitasi hutan dalam upaya meningkatan kualitas
lingkungan manusia, maka prioritas utama program kehutanan di Flores adalah: •
Tetap mempertahankan potensi pemanfaatan sumber daya hutan
tanpa
merusak kemampuan spesiesnya untuk tetap bertahan dan berkembang demi memenuhi kebutuhan manusia saat ini dan akan datang secara berkelanjutan. •
Mengembangkan teknologi
yang dapat memberikan nilai ekonomis terhadap
produk hasil ekspolitasi hutan dengan tetap menjaga keseimbangannya. •
Manfaatnya harus dapat dinikmati
secara partisipatif oleh semua pihak baik
pemerintah pusat, pemerintah propinsi, pemerintah daerah, dan masyarakat 144 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
sekitar hutan dan masyarakat lainnya, untuk melestarikan hutan karena merupakan sumber pendapatan bersama. •
Melindungi ekosistim hutan dan semua flora dan faunanya.
•
Mengurangi konversi hutan alami ke kawasan non hutan
•
Melakukan pendataan secara terprogramkan mengenai sumberdaya hutan
•
Mengidentifikasi sumberdaya hutan yang konsumtif dan produktif.
•
Meningkatkan pengawasan dan keamanan lingkungan hutan
baik oleh
pemerintah maupun masyarakat. •
Menjamin penegakan hukum dan memberikan sanksi yang berat bagi pelakupelaku yang merusak hutan
•
Penegakan supremasi hokum dalam pengurusan dan pengelolaan hutan secara berkeadilan dan mengutamakan kepentingan masyarakat luas. Dalam hal ini dilakukan musyawarah agar benar-benar adil baik
menurut hukum maupun
menurut hati nurani masyarakat luas. •
Melakukan pendekatan
secara persuasive
yang menghuni daerah hutan
dan intensif kepada masyarakat
oleh pemerintahan terdekat, dan bukan oleh
pemerintah pusat. •
Segera dibentuk kelembagaan pengelolaan hutan alami oleh masyarakat secara kolektif. Misalnya dengan menghidupkan kembali lembaga adat
dan hukum
adatnya dalam pengurusan hutan adapt. (UU 41/1999 pasal 67). •
Partisipasi masyarakat desa untuk mengelola hutan perlu persiapan-persiapan, melalui ujicoba karena masyarakat belum siap mentalnya, keterampilannya, dan modal untuk mengelola hutan dalam jangka panjang.
•
Memberikan sosialisasi
secara berkesinambungan baik melalui lembaga
pendidikan formal, nonformal, maupun informal. •
Melibatkan lembaga pendidikan melalui perbaikan kurikulum berbasis wawasan lingkungan.
•
Memberikan pemahaman yang terus menerusakan pentingnya menjaga dan memelihara keseimbangan hutan dan dampaknya bagi kehidupan manusia dan segala makluk hidup lain
145 |
kepada semua pihak
melalui kerja sama yang
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
harmonis antara pemerintah pusat provinsi, daerah dan masyarakat yang hidup di sekitar hutan maupun masyarakat lainnya. •
Masyarakat yang berkampung dekat atau di dalam hutan diprioritaskan untuk mengelola hutan dan masyarakat lain juga harus berpartisipasi dalam mengelola hutan disekitarnya karena keselamatan hutan dan menikmati manfaatnya menjadi milik Bangsa Indonesia yang dijamin Undang-Undang (UU 41/1999 ps.68). Masyarakat yang berprofesi kehutanan wajib memberikan contoh bukan hanya berbicara.
IV.
Kesimpulan Eksploitasi pemanfaatan hutan untuk memenuhi kebutuhan manusia perlu dijaga
keseimbangannya agar lingkungan manusia yang berkualitas dapat terwujud sesuai harapan masyarakat saat ini yakni pembangunan hutan
yang mengarah pada
arsitektur biologis bukan pembangunan hutan menuju arsitektur teknik.
DAFTAR PUSTAKA Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Lembaran Negara RI Tahun 1999 Nomor 167 Anonim. 1999. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 22 Tahun 2000 tentang Pemerintah Daerah Anonim. 2000. Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah dan kewenangan provinsi sebagai daerah otonom Anonim. 2002. Badan Pusat Statistik Kabupaten Ende. Arief, Arifin. 2001. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta : Kanisius Dagur, Bagul Antony. 2004. Selayang Pandang Pembangunan di Kabupaten Manggarai Tahun 2002 – 2004. Jakarta : Indomedia Global. Frick, Heinz. 1994. Arsitektur dan Lingkungan. Yogyakarta : Kanisius.
146 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
MAKALAH PENUNJANG
147 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PERANAN HUTAN TAMAN NASIONAL LAIWANGGI – WANGGAMETI DALAM MENYERAP KARBON Oleh: Sumardi, Kayat dan Bernadus Ndolu Abstrak Telah dilakukan penelitian peranan hutan Taman nasional Laiwanggi-Wanggameti (TNLW) dalam menyimpan karbon. Penelitian dilakukan di Hutan TNLW. Tulisan ini bertujuan untuk menghitung dan mengevaluasi besarnya kapasita biomass tegakan (aboveground biomass) pada hutan alam TNLW dalam memfiksasi karbon melalui penghitungan biomassa pohon dan karbon. Tulisan ini diharapkan dapat menajdi media promosi untuk mempertinggi kemungkinan investasi dalam memajukan pengelolaan hutan di TNLW. Penelitian dilakukan dengan menggunakan plot Metode Health Forest Monitoring. Data yang didapatkan berupa data tinggi dan diameter digunakan untuk menghitung biomassa karbon dengan menggunakan metode Brown (1997) dan Vedemikum Kehutanan (1976), rata-rata jumlah biomasa karbon yang diserap oleh vegetasi yang berada di dalam kawasan Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti cukup tinggi yaitu sebesar 197,5 (±77,9) ton/ha dan 189,9 (±74,9) ton/ha. Kata kunci : Menyimpan karbon, Biomasa, vegetasi I. PENDAHULUAN Perubahan iklim merupakan fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunaan energi bahan bakar serta alih-guna lahan dan kehutanan. Degradasi dan deforestai hutan adalah salah satu faktor terbesar yang mempengaruhi perubahan iklim. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama Gas Rumah Kaca (GRK) terutama karbon dioksida (CO2) yang mempu menyerap panas yang berasal dari radiasi sinar matahari yang dipancarkan oleh bumi. Penyerapan ini telah menyebabkan pemanasan atmosfer atau kenaikan suhu dan perubahan iklim. Indonesia sebagai salah satu negara berkembang yang masih banyak memerlukan peningkatan sektor teknologi dan industri, hendaknya diimbangi dengan peningkatan penutupan lahan dan hutan serta menjaga hutan yang saat ini masih tersisa untuk tetap menjaga keseimbangan antara emisi yang dikeluarkan dari kegiatan industri dan penyerapnya. Hal ini sebagai akibat telah terjadinya degradasi lahan hutan selama beberapa dekade yang disebabkan oeh kebijaakan pembangunan yang menitikberatkan
pada
pertumbuhan
ekonomi
tanpa
mempertimbangan
kondisi
lingkungan yang tepat. Kondisi tersebut mengakibatkan laju kerusakan hutan semakin meningkat. Lahan kritis dan hutan yang rusak sampai saat ini tidak kurang dari 30 juta hektar.
148 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Kebijakan yang diambil oleh
Indonesia dalam menjaga konsentrasi GRK di
atmosfer agar berada pada tingkat yang tidak membahayakan sistem iklim global adalah dengan menerapkan pengembangan industri dan transportsi dengan tingkat emisi rendah melalui pemanfaatan teknologi bersih dan efisien serta peanfaatan energi terbarukan (renewable energy).
Hal ini dilakukan sebagai salah satu upaya untuk
menarik investor negara-negara industri yang berkewajiban untuk menurunkan emisi GRK untuk memberikan investasinya ke Indonesia melaui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB). Protokol Kyoto menjamin bahwa teknologi yang akan dialihkan ke negara berkembang harus memenuhi kriteria tersebut melalui Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) atau Clean Development Mecanism (CDM) yang di atur oleh Protokol Kyoto. MPB merupakan provision ” penting pada Protokol Kyoto untuk melibatkan negara sedang berkembang (terutama yang mempunyai hutan tropis) dalam pengurangan emisi
karbon
melalui
keanekaragaman
hayati
realisasi
kegiatan
(biodiversity)
penambatan
dan
karbon
pengelolaan
hutan
(carbon
sink),
berkelanjutan
(sustaineble forest management) dan merupakan bentuk investasi baru di negara berkembang. Kegiatan tersebut betujuan
untuk mendorong negara industri untuk
menurunkan emisi GRK guna mencapai target penurunan emisi GRK dan mendorong negara berkembang dalam pembangunan berkelanjutan. Kegiatan yang setujui masuk CDM di sektor kehutanan hanya dibatasi untuk kegiatan aforestasi (kegiatan penghutanan kembali pada lahan yang tidak berhutan sekurang-kurangnya berumur 50 tahun) dan reforestasi (penghutann kembali ada lahan yang terdegradasi hingga tanggal 1 Januari 1990) baik di lahan negara maupun bukan lahan negara (Anonim, 2004). Kegiatan pengelolaan hutan alam yang semestinya juga memberikan kontribusi dalam mengurangi emisi GRK sampai saat ini tidak termasuk dalam kegiatan CDM di sektor kehutanan. Hutan alam merupakan salah satu bentuk vegetasi yang berpotensi dalam penyimpanan karbon baik pada biomassa maupun di dalam tanahnya. Diperkirakan Indonesia mempunyai kawasan lahan alam seluas antara 20 sampai 30 juta hektar yang tersebar di Sumatra, Kalimantan, Irian Jaya, Sulawesi, Halmahera dan Seram 149 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
(Driessen, 1977; RePPProt, 1988; Imimirzi & Maltby, 1992; Radjaguguk, 1992; Direktorat Bina Program, 1999). Tulisan ini bertujuan untuk menghitung dan mengevaluasi besarnya kapasitas biomassa tegakan (aboveground biomass) pada hutan alam Taman Nasional Laiwanggi–Wanggameti dalam memfiksasi karbon melalui perhitungan kandungan karbon. Tulisan ini diharapkan dapat menjadi media promosi untuk mempertinggi kemungkinan investasi dalam memajukan pengelolaan hutan alam di Taman Laiwanggi-Wanggameti. II. METODOLOGI PENELITIAN A. Kerangka Pemikiran Model perhitungan karbon dapat dikelompokkan kedalam model yang bersifat manual yaitu dengan menggunakan pendekatan perhitungan biomasa pohon dan simulasi komputer (Ginoga K, dkk, 2003). Perhitungan karbon dalam penelitian ini dengan menggunakan model yang bersifat manual, yaitu dengan menggunakan model perhitungan Brown (1997) dan perhitungan berdasarkan metode Vademikum Kehutanan, VK (1976) sebagai pembanding. Model perhitungan dengan pendekatan biomassa menurut Brown (1997), adalah sebagai berikut : C = w (B) B = x ( ρ . D2 . H ) Perhitungan berdasarkan metode dalam Vademikum Kehutanan, VK (1976), adalah sebagai berikut : Volume pohon (V) = (π) . (D/2)2 . H . y Biomassa
(B)
=z.V.ρ
C
(C)
=w.B
Dimana C adalah jumlah karbon, B adalah biomassa pohon, ρ adalah berat jenis kayu (berat jenis kayu yang belum ada di dalam referensi, pada penelitian kali ini menggunakan pendekatan nilai rata-rata berat jenis kayu pada jenis yang memiliki marga/genus yang sama), D adalah diameter setinggi dada, H adalah tinggi pohon dan w,x,y,z adalah koefisien. 150 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
B. Pengumpulan Data Teknik penilaian hutan alam yang dilakukan pada penelitian ini terdiri dari: Pembuatan Plot Metode Forest Health Monitoring (Pemantauan Kesehatan Hutan)
Jarak 1-2; 1-3 dan 1-4 = 36,6 Jari-jari lingkaran besar (anular plot) = 17,95 m Jari-jari lingkaran kecil (sub plot) = 7,32 m Azimuth 1-2 = 00; 1-3 = 1200; 1-4 = 2400 S1,S2 dan S3 = lubang pengambilan sampel tanah Jarak 1-S1; 1-S2 dan 1-S3 = 18,3 m(Ginoga K, dkk, 2003)
2
1 4
3
Gambar 1. Cluster plot Forest Health Monitoring (Pemantauan Kesehatan Hutan), (USDAFS, 1997) Dalam kegiatan penelitian ini dibuat cluster plot, masing-masing terdiri dari 4 plot yaitu
plot 1, 2, 3 dan 4. Pada plot 1, 2, 3 dan 4 dilakukan kegiatan pengukuran
diameter setinggi dada (DBH) dan tinggi pohon (H). Cluster plot dibuat pada lokasi yang mewakili kondisi lokasi penelitian. C. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di kawasan hutan Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti (TNLW), di Pulau Sumba Propinsi Nusa Tenggara Timur pada bulan Oktober 2005. Kawasan TNLW secara geografis terletak di bagian timur – selatan pulau Sumba, yaitu antara 120011’ - 120027’ BT dan 9051’ - 10051’ LS. Secara administratif, kawasan TNLW terletak di wilayah Kabupaten Sumba Timur. Bagian barat kawasan termasuk dalam wilayah Kecamatan Tabundung dan bagian selatan termasuk wilayah Kecamatan Paberawai. Kawasan TNLW dikelilingi oleh 15 desa, dan dua diantaranya terletak di dalam kawasan (enclave), yaitu Desa Ramuk dan Desa Katikuwai.
III. HASIL PENELITIAN A. Pengelolaan Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti Taman Nasional Laiwanggi – Wanggameti (TNLW) ditetapkan dengan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 576/Kpts-II/1998 tanggal 3 Agustus 1998. Sebelum ditetapkan sebagai Taman Nasional, kawasan TNLW seluas ± 47.014 ha dan Taman 151 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Nasional Manupeu –Tanadaru seluas ± 87.948 ha merupakan bagian dari kawasan Hutan Suaka Alam dan Hutan Wisata (Cagar Alam) seluas ± 131.890 ha, Hutan Lindung seluas ± 667.601 ha dan Hutan Produksi Terbatas seluas ± 398.954 ha. Berdasarkan pengkajian hasil survey dan rekomendasi national conservation plan (UND/FAO, 1982) mengenai potensi cadangan kawasan konservasi di Pulau Sumba serta hasil penelitian potensi yang dilakukan oleh Birdlife International, kawasan tersebut memiliki kekayaan alam keanekaragaman hayati yang tinggi sehingga dipandang perlu untuk terus meningkatkan upaya perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan kawasan-kawasan tersebut secara optimal sebagai Taman Nasional. Topografi TNLW merupakan daerah pegunungan yang mempunyai karakteristik topografi yang kasar dan memiliki lembah yang curam. Kawasan tersebut memiliki ketinggia (mdpl) bervariasi dengan puncak tertinggi 1.225 mdpl yaitu Gunung (Praing) Wanggameti. Jenis tanah yang mendominasi kawasan TNLW adalah kambisol euterik, mediteran haplik, oksisol euterik dan litosol. Secara umum tipe ekosistem di TNLW meliputi hutan pantai, hutan musim dengan tropika kering dan hutan hujan dataran rendah hingga hutan hujan pegunungan yang didominasi oleh hutan hujan tropika. Keadaan curah hujan di sekitar kawasan TNLW berkisar 1000-5000 mm. Berdasarkan klasifikasi Schmidt-Ferguson kawasan TNLW termasuk daerah beriklim basah dengan kelembaban sekitar 71%. B. Jenis Vegetasi Penyusun Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti Berdasarkan hasil survei dan pengukuran vegetasi di Taman Nasional LaiwanggiWanggameti dengan membuat Plot Metode Forest Health Monitoring (Pemantauan Kesehatan Hutan) maka beberapa jenis vegetasi yang berada di dalam kawasan hutan dapat diketahui. Beberapa jenis vegetasi yang ditemukan di kawasan hutan di TNLW dapat dilihat pada Lampiran 1. Jenis vegetasi yang ditemukan sebanyak 50 jenis/spesies vegetasi dan termasuk dalam 17 famili. Dimana, 17 famili tersebut adalah Lauraceae, Melastomataceae, Meliaceae,
152 |
Mimosaceae,
Moraceae,
Myristicaceae,
Myrtaceae,
Oleaceae,
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Podocarpaceae, Proteaceae, Rubiaceae, Rutaceae, Sapotaceae, Saxifragaceae, Theaceae, Thymeleaceae, Tiliacae. Jumlah jenis/spesies yang ditemukan pada penelitian kali ini lebih sedikit jika dibandingkan dengan jumlah jenis/spesies yang sebenarnya berada di dalam kawasan hutan TNLW yaitu sebanyak 68 spesies (data sementara yang telah tercatat, Anonim 2000). Kondisi vegetasi di lokasi penelitian memiliki diameter dan tinggi yang sangat bervariasi pada masing-masing jenis vegetasi, namun demikian vegetasi yang diukur untuk menghitung jumlah biomasa pohon dan karbon pada penelitian ini dibatasi pada vegetasi yang memiliki diameter lebih dari 2 cm. Kerapatan vegetasi di lokasi penelitian adalah 1567,70 (± 77,03) per hektar, atau 566,89 (± 75,80) per hektar untuk tingkat pohon (diameter lebih dari 10 cm) dan 1000,89 (± 1,24) per hektar untuk tingkat belta (diameter kurang dari 10 cm). Dengan melihat kerapatan vegetasi lebih dari 1000 pohon per hektar maka apabila mengikuti saran dari International Panel on Climate Change (IPPC) maka luasan plot yang diperlukan untuk mengukur biomasa cukup seluas 100 m2 dan untuk mengukur biomasa dengan tingkat kerapatan kurang dari 1000 pohon per hektar dengan pembuatn plot seluas 600 m2. C. Potensi Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti Dalam Menyerap Karbon Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti yang merupakan salah satu Taman Nasional yang berada dalam wilayah Propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti dalam penyerapan karbon. Pengukuran biomasa pohon dan karbon dilakukan pada pohon dengan diameter lebih dari 2 cm, dengan cara mengukur diameter dan tinggi semua jenis pohon yang berada di dalam cluster plot yang telah dibuat dengan menggunakan metode Cluster Plot Forest Health Monitoring (USDAFS, 1997). Metode pembuatan plot dengan Cluster Plot Forest Health Monitoring dipilih karena diasumsikan memiliki tingkat keterwakilan yang lebih tinggi dibandingkan dengan metode lain. Keterwakilan yang lebih tinggi menggunakan metode tersebut karena memiliki luasan yang lebih besar, sehingga lebih mencerminkan kondisi lokasi penelitian yang sebenarnya.
153 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Estimasi jumlah biomassa pohon dan karbon menggunakan model Brown (1997) dan metode Vademikum Kehutanan (1976) disajikan pada Tabel 1. Biomasa pohon dan karbon disajikan dalam jumlah ton per hektar. Perbandingan biomasa pohon dan karbon menggunakan model Brown dan VK disajikan pada Gambar 1.
154 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 1. Jumlah biomassa pohon dan karbon vegetasi di TN Laiwanggi-Wanggameti Cluster Biomassa Pohon (ton/ha) Biomassa Karbon (ton/ha) 1 2 Plot Brown VK Brown VK V 273.563 265.464 140.905 135.510 W 584.379 562.004 262.970 252.902 X 229.380 220.597 119.911 115.320 Y 554.231 533.011 266.094 255.906 Jumlah 1641.553 1581.076 789.880 759.637 Rata-rata 410.388 395.269 197.470 189.909 STDev 184.796 177.137 77.920 74.937 Keterangan : 1. Model Brown, 1997 2. Vademikum Kehutanan. 1976 No 1 2 3 4
Gambar 1. Perbandingan biomasa dan karbon menggunakan model Brown dan VK 600
Karbon Brown
500
ton/ha
400
Karbon VK
300 200
Biomas Brown
100 0 1
2
3
4
Biomas VK
Plot
Dari tabel 1. dapat diketahui tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kedua model perhitungan dengan menggunakan uji t pada tingkat kepercayaan 95 % (t test = 0,015), dimana jumlah biomasa pohon per hektar berdasarkan perhitungan model Brown dan VK berturut-turut adalah sebesar 410,4 (± 184,8) ton/ha dan 395,3 (± 177,1) ton/ha. Jumlah tersebut hampir sama atau sedikit lebih rendah dengan biomasa pohon pada hutan tanaman Acacia mangium di PT. Musi Hutan Persada (PT MHP) Sumatra Selatan pada umur 6 tahun yaitu sebesar 515,8 (± 107,5) ton/ha (dihitung dengan menggunakan model Brown) dan 514,3 (± 66,2) ton/ha (dihitung dengan menggunakan model perhitungan VK), yang merupakan hutan tanaman dengan sistem pengusahaan optimal yaitu dengan menggunakan sumber benih unggul dan penanaman dilakukan pada musim hujan serta pengelolaan yang intensif (Ginoga, dkk 2003). Namun demikian biomas pohon pada TNLW belum mengikut-sertakan biomasa vegetasi dengan diameter kurang dari 2 cm. Oleh karena itu, apabila jumlah biomasa TNLW mengikut-sertakan vegetasi dengan diameter kurang dari 2 cm ada kemungkinan memiliki nilai yang lebih tinggi.
155 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Sekitar setengah dari biomasa pohon adalah biomasa karbon, dalam perhitungan ini digunakan angka 0,45. Dengan perhitungan tersebut maka jumlah biomasa karbon apabila dihitung menggunakan model Brown adalah sebesar 197,5 (± 77,9) ton/ha dan sebesar 189,9 (± 74,9) ton/ha apabila dihitung menggunakan model perhitungan VK. Biomasa pohon dan karbon yang dihitung terbatas pada biomasa yang berada di atas tanah (aboveground biomass), belum termasuk biomasa yang berada di dalam tanah dan vegetasi dengan diameter kurang dari 2 cm. Tingginya biomasa pohon dan karbon di kawasan hutan TNLW ini kemungkinan disebabkan oleh tingkat kerapatan vegetasi yang tinggi di kawasan tersebut. Kerapatan vegetasi di lokasi penelitian mencapai 1567,70 (± 77,03) per hektar, atau apabila dipisah antara tingkat pohon (diameter lebih dari 10 cm) dan belta (diameter kurang dari 10 cm) adalah 566,89 (± 75,80) per hektar untuk tingkat pohon dan 1000,89 (± 1,24) per hektar untuk tingkat belta. Dengan mengetahui bahwa TNLW sebagai salah satu Taman Nasional di wilayah Nusa Tenggara Timur memiliki peranan yang tidak sedikit dalam penambatan karbon, maka upaya pengamanan dan pengelolaan kawasan tersebut harus benar-benar dijaga kelestariannya. Menjaga kelestarian TNLW merupakan salah satu wujud dari kepedulian manusia terhadap upaya menjaga lingkungan dan menghindarkan bumi dari bahaya perubahan iklim dan pemanasan global. Apabila pemerintah berusaha untuk menarik investasi dengan proyek CDM-nya di bidang kehutanan melalui reforestasi dan aforestasi untuk mengurangi emisi GRK, kenapa tidak dilakukan hal yang sama dengan pengelolaan hutan alam yang sekarang masih tersisa. Pengelolaan hutan alam apabila tidak dilakukan secara tepat maka bukan tidak mungkin akan menimbulkan kerusakan hutan, sehingga mengurangi luasan hutan yang sudah ada. Hal ini akan memperlambat upaya penurunan emisi GRK melalui proyek CDM bidang kehutanan. V. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Dengan menggunakan metode Brown (1997) dan Vedemikum Kehutanan (1976), ratarata jumlah biomasa karbon yang diserap oleh vegetasi yang berada di dalam kawasan 156 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti cukup tinggi yaitu sebesar 197,5 (±77,9) ton/ha dan 189,9 (±74,9) ton/ha, belum termasuk jumlah karbon di dalam tanah dan vegetasi dengan diameter kurang dari 2 cm. B. Saran Dengan melihat bahwa TNLW memiliki peranan yang cukup besar dalam penambatan karbon, disamping juga memiliki fungsi hutan lainnya, maka pengelolaan TNLW harus intensif. Pengelolaan intensif kawasan hutan TNLW untuk menjaga agar tidak rusak dan kemampuannya dalam menyerap karbon tidak menurun perlu adanya investasi dalam pengelolaan.
DAFTAR PUSTAKA Anonim, 2000. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti Sumba Timur Tahun 2000-2024, Buku II Data, Proyeksi dan Analisis. Kerjasama Lembaga Alam Tropika Indonesia, Birdlife Indonesia Program dan Balai Konservasi Sumberdaya Alam. Bogor. Anonim, 2004. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor : P.14/Menhut-II/2004. Tentang Tatacara aforestasi dan reforestasi dalam kerangka mekanisme pembangunan bersih. Sekretariat Clen Development Mecanism. Departemen Kehutanan. Jakarta. Brown S. 1997. Estimatingbiomass and biomass cange of tropical forests. A primer. FAO Forstry Paper No. 134. Rome, Italy. Direktorat Jenderal Kehutanan. 1976. Vademicum Kehutanan. Jakarta. Ginoga K., Wulan Y.C., Lugina M. dan Djaenudin D., 2003. Peranan karbon dalam peningkatan nilai ekonomi hutan tanaman Acacia mangium di Sumatra Selatan. Jurnal Sosial Ekonomi, Volume 4 Nomor 1, Tahun 2003. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor. International Panel on Climate Change. Metode praktik yang baik dari IPPC untuk penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan hutan. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. Suwarsono PH.. 1990. (terjemahan dari Oey Djoen Seng) Berat jenis dari jenis kayu indonesia dan pengertian beratnya kayu untuk keperluan praktek, Nr 13. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Bogor. USDAFS, 1997.
157 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Tabel 1. Jenis vegetasi pada Taman Nasional Laiwanggi-Wanggameti Table 1. Vegetation on Laiwanggi-Wanggameti National Park No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42
Nama Jenis Vegetasi Aikawau (Acronychia trifoliata Zoll.&Merr.) Aipanas (Antidesma neurocarpum Miq.) Aipadang (Vaccinum sp.) Aipapa (Schefflera elliptica (Blume) Harms.) Aitibu (Hellicia sp.) Aiwatu (Chiananthus sp.) Aiwua (Archidendron clypearia (Jack) Nielsen) Bakuhawu (Podocarpus Nerifolius D.Don ex Lautb.) Hambalamata (Macaranga tanarius (L.) Muell. Arg.) Huoama (Aquilaria malacensis) Injuwatu (Spondias pinnata) Kaduru (Litsea sp.) Kaduru bara (Palaquium Obtusifolium Burck.) Kaduru rara (Palaquium obovatum Engl.) Kahembi omang (Mallotus sp.) Kahi (Canarium oleosum) Kahoduk (Litsea umbellata (Lour.) Merr.) Kajou omang (Casuarina equestifolia) Kaledatuna (Chionanthus ramiflorus Roxb.) Kalihi (Pittosporum timorense) Kamala padang (Eurya acuminata DC.) Kaninggu/kayu manis (Cinnamomum sp.) Kanunu (Drypetes ovalis Pax et Hoffm.) Katang (Planchonella nitida Dub.) Kawitakaba (Tarenna incerta Kds.et.Val.) Kayarak (Quercus piriformis Von Seemen.) Kemala kaninggu (Litsea valutina (Blume) Boerl.) Kemalajerik (Memecylon edule Roxb.) Kemalapau (Buchanania arborescens) Kihi (Garuga floribunda) Kihikataru (Litseaaccandentoides) Lamua (Melia azedarach) Laru (Myristica littoralis Miq.) Loba ( Peltophorum pterocarpus (D.C.) Back.) Lobung (Decaspermium sp.) Malairau (Polyosma sp.) Malara (Micromelum minutum) Mara (Tetrameles nudiflora) Memikambi (Syzgium lineatum (DC.) Merr. & Perry) Murungiha (Helicia excelsa Blume) Rakang (Gastonia papuana Miq.) Rikawudu (Memecylon edule Roxb)
158 |
Famili Rutaceae Euphorbiaceae Ericaceae Araliaceae Proteaceae Oleaceae Mimosaceae Podocarpaceae Euphorbiaceae Thymeleaceae Anacardiaceae Lauraceae Sapotaceae Sapotaceae Euphorbiaceae Burseraceae Lauraceae Casuarinaceae Pittosporaceae Theaceae Lauraceae Euphorbiaceae Sapotaceae Rubiaceae Fagaceae Lauraceae Malastomataceae Anacardiaceae Burseraseae Lauraceae Meliaceae Myristicaceae Caesalpiniaceae Myrtaceae Saxifragaceae Rutaceae Datiscaceae Myrtaceae Proteaceae Melastomataceae
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
43 Tadakatabi (Aglaia leucophylla King) 44 Tanggala (Elaeocarpus floribundus Blume) 45 Tibu bara (Psychotria divergens Blume.) 46 Tumbu ndaba (Neonauclea excelsa (Bl.) Merr.) 47 Walaru (Weinmannia iraxinae Sm.ex.D.Don.) 48 Wangga (Ficus benjamina) 49 Watakamambi (Ervatamia macrocarpa Merr.) 50 Wihikalauki (Calophyllum soulattri Burm. F.) Sumber : Data primer, 2005.
159 |
Meliaceae Tiliacae Rubiaceae Rubiaceae Cunoniaceae Moraceae Apocynaceae Guttiferae
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
PEMANFAATAN HUTAN SECARA ARIF DAN BIJAKSANA Oleh GERSON ND. NJURUMANA Abstrak Perubahan paradigma pembangunan kehutanan yang sebelumnya berbasis hanya untuk pemanfaatan kayu oleh sekelompok masyarakat tertentu menjadi pemanfaatan hutan secara multiguna dengan melibatkan masyarakat sekitar hutan untuk membuat konsep pembangunan kehutanan secara bersama. Khusus untuk daerah, masyarakat sekitar hutan untuk membuat konsep pembangunan kehutanan secara bersama. Khusus untuk daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) pembangunan kehutanan harus didasarkan pada kondisi obyektif sumberdaya alam dengan memperhatikam keterbatasan daya dukung sebagai akibat kurangnya pasokan air (sebagai salah satu ciri dari daerah semi arid). Konsep pembangunan yang dapat dikembangkang masyarakat secara langsung adalah yang berkaitan dengan pemanfaatan hutan secara multiguna atau agroforestry seperti Amarasi, Mamar. Kaliwu dan lain-lain. Sistemsistem tersebut merupakan kearifan lokal yang dapat dikembangkan untuk daerahdaerah yang dekat dengan pemukiman. Kata Kunci : Multiguna, agroforestry, kearifan lokal. I. PENDAHULUAN Dalam era reformasi, pengelolaan hutan menjadi salah satu titik sentral perhatian publik karena sangat berkaitan dengan kehidupan orang banyak. Reformasi kebijakan pada sektor kehutanan merupakan salah satu pilar penentu kelestarian hutan, sehingga pengelolaan hutan telah mengalami pergeseran orientasi dari eksploitasi menjadi rehabilitasi dan konservasi.
Di lain pihak, sejak awal sampai sekarang desentralisasi
kewenangan melalui UU No. 22/1999 dan PP 25/2000 masih ditandai dengan timbulnya konflik kepentingan pembagian kewenangan dalam pengurusan sumberdaya hutan antara pemerintah pusat dan daerah. Desentralisasi yang seharusnya mampu memacu dan meningkatkan kinerja pengelolaan hutan, pada kenyataannya menimbulkan pertentangan terhadap implementasi mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari. Fakta ini mengindikasikan belum adanya kesamaan persepsi bagaimana seharusnya pembangunan kehutanan dilakukan, sementara kerusakan hutan terus meningkat. Berbagai pengalaman di masa lalu menjadi pelajaran berharga dalam mewujudkan pengelolaan hutan lestari di masa mendatang. Kegagalan paradigma lama telah menimbulkan alternatif gagasan pengelolaan hutan yang berorientasi pada kelestarian ekosistem hutan dengan masyarakat sebagai pelaku utama. Perubahan paradigma ini diikuti oleh kebijakan pemerintah pusat tentang penerapan prinsip social forestry dalam 160 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
pembangunan kehutanan. Karena itu semangat pengelolaan kehutanan berbasis masyarakat pada era otonomi, mengharuskan pemerintah memiliki database serta mengidentifikasi dan inventarisasi keragaman sifat fisik dan fungsi hutan, serta mengkaji nilai-nilai masyarakat adat yang berkembang dan berpotensi untuk diintegrasikan dengan peraturan daerah menjadi kerangka acuan dalam merumuskan kebijakan pengelolaan hutan berbasis lokal. Perangkat aturan lokal seperti aturan adat yang masih kuat dan kondusif bagi pelestarian dan pemberdayaan hutan dan lingkungan hidup harus diberikan ruang gerak yang memadai
sehingga mampu
diberdayakan bahkan diintegrasikan dengan peraturan daerah sebagai kekuatan hukum yang mengikat dan berakar dalam masyarakat. Oleh sebab itu, upaya penyamaan persepsi dan membangun kesepahaman diantara multi pihak (stakeholders) perlu dilakukan dengan semangat otonomi daerah dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. Permasalahan degradasi lahan di Indonesia cenderung memprihatinkan. Dari 120,35 juta ha hutan yang ada di Indonesia, sebanyak 48,5 juta ha hutan sudah dalam keadaan kritis (Pratiwi, 2003). Eksploitasi sumberdaya hutan melalui pengambilan nilai ekonomi hutan berupa kayu, rotan dan lainnya telah mengakibatkan hilangnya jutaan hektar hutan dalam waktu yang relatip singkat. Hal ini berakibat pada terancamnya ratusan bahkan jutaan makhluk hidup yang berada dalam satuan ekosistem hutan. Peningkatan jumlah DAS kritis merupakan salah satu indikasi dimana pada Tahun 1984 terdapat 22 DAS kritis, pada tahun 1992 menjadi 39 DAS kritis, tahun 1998 semakin meningkat sebesar 59 DAS kritis, dan sampai saat ini diperkirakan ada 70 DAS kritis yang tersebar di seluruh Indonesia, (Njurumana, 2004b). Permasalahan di atas menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses degradasi lahan di NTT yang mencapai 1.313.897 ha atau 27. 74 %. Dalam hal ini kerusakan paling tinggi terjadi di luar kawasan hutan sebesar 1.016.575 ha dan dalam kawasan hutan sebesar 297.322 ha. Hasil citra landsat memperkirakan perkembangan lahan kritis sampai tahun 2004 mencapai ± 2.1 juta ha, artinya hampir sebagian daratan di wilayah NTT sudah dalam keadaan kritis. Pulau Sumba dengan luas daratan sekitar 11.052.40 km2, sampai saat ini sebanyak 31.63 % adalah lahan kritis sebagai akibat laju kehilangan hutan rata-rata 161 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
6000 ha/tahun (Kinnaird, dkk. 2003).
Fragmentasi hutan merupakan permasalahan
lainnya yang perlu mendapat perhatian. Kinnaird, dkk (2003) juga mensinyalir bahwa kanopi hutan yang rapat terpecah menjadi sekitar 34 petak yang luasnya berkisar antara 16 ha – 42.500 ha, dan hanya terdapat lima petak hutan yang luasnya lebih dari 2500 ha, sementara hampir setengahbagian hutan yang tersisa luasnya kurang dari 500 ha. Bila tidak segera dikendalikan akan berimplikasi pada semakin lemahnya daya dukung dan mutu lingkungan. Pengelolaah hutan dan kehutanan pada prinsipnya merupakan proses pengelolaan terhadap
keseluruhan
komponen
ekosistem
termasuk
manusia.
Pengalaman
memperlihatkan bahwa pengelolaan hutan masih dipandang sebagai satuan sistem yang berdiri sendiri, padahal kehadiran dan keberlanjutan hutan merupakan akumulasi dari berbagai komponen antara manusia, alam dan kebijakan. Kondisi hutan Indonesia yang semakin memprihatinkan merupakan akumulasi dari berbagai persoalan mendasar yang melilit sektor kehutanan, sehingga dari sudut manapun kita memotret peta kerusakan hutan akan menghasilkan gambar yang sama berupa kompleksitas serta akumulasi multidimensional faktor penyebab krisis kehutanan. Maraknya konflik sosial, illegal logging, illegal trade dan perambahan hutan merupakan persoalan pokok yang selalu dijumpai pada setiap satuan kawasan hutan. Dalam perspektif potret kerusakan hutan di Indonesia, sedikitnya ada 3 masalah utama yang mendorong terjadinya degradasi hutan selama beberapa dasawarsa yaitu : 1. Sudut pandang yang bersifat sentralistik – paternalistik. Dalam konteks ini, peran negara / state sangat kuat termasuk dalam menginterpretasikan berbagai kebijakan operasional yang dibuat oleh pemerintah pusat. Sistem sentralistik mendorong bertumbuhnya sistem pengelolaan top down sehingga program pengelolaan hutan cenderung
seragam (uniform) sekalipun pada daerah yang memiliki perbedaan
karakteristik biofisik, sosial, ekonomi dan budaya seperti di NTT. Dampak dari model pengelolaan hutan seperti ini menyebabkan pemerintah daerah beserta masyarakat lokal tidak punya rasa memiliki (ownership) dan rasa bertanggungjawab (sense of responsibility) dalam pengelolaan hutan.
162 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
2. Orientasi ekonomi. Pengelolaan hutan selama ini banyak digunakan untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi, dan melalui konsep ini masyarakat diharapkan akan mendapat efek menetes kebawah (trickle down effect) beserta seluruh peluang usaha yang lebih terbuka (multiplier effect). Pada pihak lain, hakekat hutan sebagai sebuah ekosistem memilliki tiga peran utama yaitu manfaat produksi (ekonomi), manfaat lingkungan (ekologi) dan manfaat sosial. Mengutamakan manfaat ekonomi dengan menafikkan fungsi sosial dan lingkungan merupakan sebuah malpraktek pengelolaan hutan. Dampaknya adalah krisis lingkungan yang berpengaruh terhadap seluruh aspek sosial ekonomi dan kehidupan masyarakat. 3. Ketidak-adilan distribusi manfaat hutan terutama pemerintah daerah beserta masyarakatnya. Stake holder yang ada di daerah beserta masyarakat lebih banyak sebagai penonton, pada hal mereka yang memiliki kekayaan hutan. Ketidakadilan ini memicu resistensi pemerintah daerah dan masyarakatnya terhadap peraturan yang dibuat oleh pemerintah pusat yang berkaitan dengan pengelolaan hutan. Kebijakan otonomi daerah tentunya semakin memperkuat legitimasi stake holder daerah dan masyarakat untuk menuntut keadilan atas kekayaan sumberdaya hutan yang dimiliki, sehingga menimbulkan konflik dalam tataran operasional. II. STRATEGI PENGELOLAAN HUTAN DALAM OTONOMI Berbagai bentuk tindakan perusakan terhadap komponen sumber daya alam seperti degradasi hutan, lahan kritis dan masalah air berlangsung terus. Salah satu aspek penting akibat kerusakan hutan adalah meluasnya pembukaan lahan sehingga meningkatkan kerusakan lahan dan mengganggu keseimbangan ekosistem.
laju evaporasi (penguapan) yang akhirnya Perhitungan kasar kegiatan pembakaran
vegetasi di NTT beberapa saat lalu adalah 1.000.000 ha/tahun padang rumput dan 100.000 ha/tahun hutan sekunder, Suriamihardja (1990).
Kebijakan pengelolaan
sumberdaya alam di Indonesia diatur dalam UUD 1945, pasal 33 yang berbunyi : Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebasar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
Konsep pasal 33 ini
menunjukkan bahwa penguasaan terhadap sumberdaya alam berada di tangan 163 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
negara/pemerintah, sehingga hal ini tentunya melahirkan berbagai kebijakan yang memposisikan aparatur negara sebagai penentu dan pengambil keputusan untuk pemanfaatan sumberdaya alam termasuk sumberdaya hutan. Dari segi kepentingan rakyat, tentunya pemusatan kekuasaan pengelolaan sumberdaya alam terhadap negara dapat dipandang sebagai upaya menciptakan suatu tatanan pemerintahan yang kuat dan netral, sehingga mampu melayani kesejahteraan masyarakat pada berbagai kepentingannya.
Namun dalam perkembangan selanjutnya, pemerintah beserta
aparatur negara kurang mampu menjawab tuntutan dimaksud, bahkan seringkali kebijakan negara / pemerintah ditunggangi oleh kepentingan individu maupun kelompok yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, sehingga wewenang yang diberikan menjadi bias, tidak menyentuh akar pelayanan secara tuntas dan komprehensif. a. Pengelolaan hutan berbasis social forestry Dalam era rehabilitasi dan konservasi hutan, pemerintah telah menetapkan lima kebijakan prioritas yang mendesak untuk dilaksanakan, yaitu: pemberantasan illegal logging, pengendalian kebakaran hutan, restrukturisasi sektor kehutanan, rehabilitasi dan konservasi sumberdaya hutan, dan penguatan desentralisasi kehutanan dengan pendekatan social forestry.
Sistem social forestry
adalah sistem pengelolaan
sumberdaya alam hutan yang mendorong berlanjutnya fungsi-fungsi hutan dan menjamin kesejahteraan masyarakat. Dalam sistem social forestry, sumberdaya hutan dipandang sebagai satu kesatuan ekosistem yang utuh dan mencakup semua hal yang berkaitan dengan kayu, air, jasa lingkungan, hewan, vegetasi, dan manusia (Awang, 2002). Dalam penerapannya, social forestry sangat kondisional, artinya mampu mengakomodir berbagai bentuk
pengelolaan hutan yang ada seperti hutan
kemasyarakatan, hutan rakyat, pengelolaan hutan bersama masyarakat, hutan keluarga, hutan marga maupun bentuk-bentuk agroforetsty lokal yang bersifat site spesifik. Keragaman model pengelolaan dan pemanfaatan serta bentuk pengelolaan hutan berbasis atau bersama masyarakat menjadi program unggulan kehutanan yang diharapkan mampu meningkatkan apresiasi dan tanggung jawab masyarakat terhadap lingkungan maupun peningkatan kesejahteraan.
164 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Strategi social forestry harus didasarkan pada ekosistem hutan pada setiap tingkatan perencanaan (lokal, regional/kawasan, dan nasional).
Dalam strategi ini, basis
pengelolaan hutan adalah kelestarian ekosistem, bukan kelestarian hasil. Simon (2001) dalam FKKM (2001) menyatakan bahwa upaya pengelolaan ekosistem dalam pengelolaan hutan menuntut berbagai fungsi hutan (fungsi produksi, perlindungan, dan suaka plasma nutfah) dipandang sebagai satu kesatuan dan tidak dipisah-pisahkan termasuk variasi sifat fisik dan kondisi sosial ekonomi dan budaya lokal perlu diperhitungkan dalam menentukan bobot arah pengelolaan sebagai satuan ekosistem. Hal ini menuntut adanya sistem perencanaan berjenjang, perencanaan nasional, rencana wilayah/regional dan rencana distrik/operasional.
Ketiga perencanaan ini
merupakan satu kesatuan yang saling mempengaruhi, saling bergantung dan memiliki hubungan timbal balik. Dalam implementasi social forestry pemerintah berperan sebagai fasilitator dalam mekanisme tata kelola sumberdaya hutan di masing-masing wilayah hutan dan desa. Hal utama yang menjadi perhatian dalam sistem social forestry yang dilaksanakan dalam kawasan hutan adalah tidak merubah fungsi kawasan hutan dan status kepemilikan kawasan hutan tersebut. Beberapa pertimbangan penerapan sistem social forestry pada suatu kawasan hutan : (1) Kawasan sebagai unit pengelolaan tidak ditentukan oleh batas-batas politik/administratif ,tetapi ditentukan oleh batas geografis sistem ekologis tertentu beserta masyarakat sekitarnya; (2) Manusia merupakan bagian terpenting dari ekosistem hutan.
Dalam hal ini pengertian
keanekaragaman hayati melibatkan manusia dengan segala kebudayaan dan sistem sosial ekonominya pada suatu tatanan ekosistem yang ada dan (3) Kepentingan masyarakat lokal (kebutuhan hidup, dan hal-hak ulayat) merupakan titik awal dan kriteria dalam basis program pembangunan.
Ulayat bukan merupakan suatu hak
absolut, tetapi ulayat seyogyanya mampu mengakomodasi kepentingan negara, dunia usaha, dan peminat lainnya; Berkaitan dengan pembangunan kehutanan berbasis social forestry di NTT, banyak dijumpai praktek social forestry lokal dalam skala kecil, namun memiliki nilai keberlanjutan dan konservasi yang tergolong tinggi. Model-model social forestry yang ada merupakan upaya kesadaran masyarakat lokal untuk mengelola lingkungan 165 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
sekitarnya secara
arif dan bijaksana, sehingga sangat berpeluang dikembangkan
dalam skala yang lebih besar. Model social forestry lokal merupakan hasil daya olah manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan dan merupakan faktor yang harus diperhitungkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, khususnya dalam pengelolaan hutan dan lingkungan. Pengetahuan masyarakat yang memiliki kearifan ekologi harus dikembangkan, dipahami dan secara turun temurun diterapkan dalam pengelolaan
hutan dan lingkungan. Pengelolaan hutan dan
lingkungan secara arif perlu dikembangkan terus mengingat pentingnya fungsi sosial lingkungan untuk menjamin kelangsungan hidup masyarakat. Model social forestry lokal yang di jumpai di Nusa Tenggara Timur meliputi sistem Kaliwu di Sumba, Sistem Mamar dan Amarasi di Timor, Sistem Ongen di Flores dan berbagai bentuk pola pemanfaatan lahan termasuk pekarangan yang diterapkan masyarakat. Sistem kaliwu di Sumba Barat merupakan sistem pengelolaan lahan masyarakat secara turun temurun yang terintegrasi dengan lokasi perkampungan penduduk, dan dikembangkan berbagai jenis tanaman baik produktif maupun jenis tanaman yang bernilai sosial budaya. Jenis tanaman yang dikembangkan pada penerapan sistem kaliwu terdiri dari 3 kelompok yaitu tanaman kehutanan; perkebunan dan pertanian, (Njurumana, Takandjandji, Pamungkas, 2003). Dari aspek konservasi tanah dan air, kehadiran sistem kaliwu berdampak positif terhadap kelestarian sumber air. Pada setiap lokasi kaliwu selalu dijumpai sumber mata air dan sebagian besar mampu bertahan hidup sepanjang tahun dengan kisaran debit antara 0,017 L/dtk – 10,107 L/dtk. Dalam mendukung pembangunan kehutanan, sistem kaliwu bisa dikembangkan sebagai model hutan rakyat yang memberikan peluang ekologi dan ekonomi yang seimbang. Diversifikasi tanaman yang bernilai ekonomi dan ekologis perlu menjadi dasar pertimbangan
dalam
pengembangan
sistem
ini
sebagai
salah
satu
model
pengembangan hutan rakyat dengan pendekatan social forestry. Peluang untuk mengintegrasikan
kepentingan
kehutanan,
pertanian
dan
ekonomi
sangat
dimungkinkan, karena sistem ini sebenarnya dijiwai oleh ketiga kepentingan tersebut. Demikian pula dengan peluang pengembangan sistem amarasi di Timor. Sistem Amarasi merupakan sistem usaha tani yang dianggap ramah lingkungan dan mampu 166 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
menanggulangi lahan kritis.
Konsep ini terbentuk dari upaya mengakomodasikan
antara kepentingan penyediaan pakan ternak, rehabilitasi lahan dan penyediaan lahan pertanian. Dalam sistem ini, lahan yang telah ditanami lamtoro dibagi menjadi tiga blok. Dalam siklus dua tahun setiap blok dibuka untuk usaha pertanian, blok yang ditinggalkan dibiarkan (“bero”) sehingga suksesi lamtoro berjalan secara alami. Menurut Surata (1993) dalam BPK Kupang (2001) usaha perladangan sistem amarasi memerlukan luas areal minimal 2 hektar, dengan luas usaha pertanian setiap tahun 0,67 hektar.
Pada luasan lahan ini dapat mendukung 3 ekor sapi dan mampu
mencukupi kebutuhan satu keluarga. Berdasarkan hasil penelitian di atas terlihat sistem Amarasi merupakan salah satu sistem usaha tani yang ramah lingkungan. Potensi lain adalam Sistem mamar dan sistem ongen sebagai salah satu komponen lingkungan yang berpotensi dikembangkan untuk rehabilitasi lahan dan lingkungan. Nilai guna sistem mamar
dan ongen cukup baik terhadap aspek produktivitas,
stabilitas, keberlanjutan dan kemerataan dalam mendukung kegiatan usaha tani, silvopasture dan lingkungan. Struktur dan komposisi tanaman multi strata memberikan nilai ekologi yang cukup baik terhadap fungsinya sebagai satuan ekosistem lingkungan. Kehadiran lembaga adat beserta perangkatnya memberikan peran yang cukup signifikan terhadap mekanisme pemanfaatan dan perlindungan sehingga menjamin keberlanjutannya.
Peningkatan fungsi ekonomi dapat dilakukan melalui diversifikasi
dan introduksi jenis yang bernilai ekonomi tinggi yang didukung oleh penerapan prinsip budidaya yang teratur.
Interaksi yang kuat antara masyarakat dan sumberdaya hutan
beserta sistem ulayat yang masih dipegang kuat oleh masyarakat memberikan petunjuk bahwa pelibatan peran aktif masyarakat beserta seluruh komponennya masih sangat diperlukan. Dalam rangka mendukung pegembangan hutan dan lingkungan hidup serta pemanfataannya secara arif dan bijaksana, pemerintah daerah otonom harus mengidentifikasi dan menginventarisasi nilai-nilai masyarakat adat yang berkembang dan berpotensi untuk diakomodasikan sebagai kerangka acuan dalam menentukan kebijakan lokal. Pada pihak lain tidak dapat dipungkiri bahwa rendahnya tingkat keberhasilan pengelolaan hutan dan lingkungan disebabkan karena masyarakat setempat tidak 167 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
berperan aktif dalam analisis masalah dan pengambilan keputusan. Kondisi tersebut semakin diperlemah oleh tidak adanya perangkat hukum, sistem pengelolaan dan pemanfaatan serta peraturan kelembagaan yang mendukung terwujudnya partisipasi masyarakat. Untuk menjembatani kesenjangan tersebut, perlu adanya pemberian porsi yang wajar bagi pelibatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan dan pengelolaan hutan dan lingkungan. Menurut Sallata dan Njurumana (2003), keuntungan dari pelibatan partisipasi masyarakat adalah (a) memperoleh dukungan dalam pelaksanaan kegiatan; (b) membangkitkan kesadaran dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan hutan dan sumberdaya alam; (c) tergalinya keahlian-keahlian yang dimiliki kelompok masyarakat dalam pelestarian hutan dan sumberdaya alam dan (d) terbangunnya kemitraan yang mampu mengurangi konflik pengelolaan. Pengalaman yang terjadi dalam rehabilitasi lahan di NTT adalah perencanaan dan pengelolaan kurang merepresentasikan kebutuhan yang sebenarnya. Perencanaan model rehabilitasi selama ini cenderung mengadopsi sistem atau model yang sudah berhasil dari daerah lain, tanpa melalui proses pengujian dan kajian yang lebih dalam berdasarkan pedoagroklimat dan kondisi tapak setempat (Njurumana, 2004a). b. Pemberdayaan Kearifan Lokal Undang - Undang Kehutanan No. 41 Tahun 1999 memberi wadah terhadap masyarakat untuk berperan dalam pengelolaan hutan. Walaupun Undang-Undang 41 tahun 1999 tentang Kehutanan dan beberapa peraturan pendukungnya masih menjadi perdebatan publik, namun secara hukum positif peran serta masyarakat dijamin oleh undangundang.
Sebagai contoh, pasal 1 ayat 5 dan 6, pasal 3, 4 ayat 3 dan pasal 5, pasal
17, pasal 27, 29, 34, 37, 67, dan pasal 68 memberikan peluang bagi masyarakat, perorangan, kelompok, dan masyarakat adat untuk berperan serta dalam pengelolaan hutan.
Pada pasal 69 sampai dengan pasal 73 mengatur tentang hak, kewajiban,
tanggungjawab masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan hutan dalam kerangka otonomi daerah. Era otonomi seharusnya membuka peluang baru untuk merencanakan pengelolaan hutan dan sumberdaya alam secara bertanggungjawab dengan membangun kemitraan dan memformulasikan kebijakan pengelolaan dengan melibatkan masyarakat menjadi 168 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
aktor utama dalam pengelolaan hutan. Melalui kemitraan, diharapkan berbagai bentuk pengelolaan hutan negara, hutan milik, hutan adat, seperti hutan pamali di Alor, hutan kabisu di Sumba, hutan keluarga maupun bentuk-bentuk keragaman model pengelolaan hutan dapat ditingkatkan pelaksanaannya secara bertanggungjawab. Prakarsa pembangunan hutan dapat dibangun atas dasar pengetahuan masyarakat lokal, sehingga mendorong proses penguatan dan penyelarasan pengetahuan lokal dengan pengetahuan dari luar. Pemberdayaan kearifan lokal dalam pengelolaan hutan di Nusa Tenggara Timur memerlukan suatu kehati-hatian dalam memahami kondisi sosial budaya masyarakat dalam kaitannya dengan tipologi dan kondisi hutan. Tingginya keragaman etnolinguistik berdampak
langsung
pengelolaannya.
terhadap
Ataupah
keragaman
(2002)
penafsiran
memperkirakan
tentang
terdapat
hutan
30-40
dan
golongan
etnolinguistic di NTT dan memiliki konsep terhadap hutan yang berbeda-beda, misalnya:
a).
masyarakat Sumba Barat mempunyai ungkapan “Matawai Harimou”
yang berarti padang kuda, tetapi ungkapan ini mengandung arti tanpa adanya hutan lebat tidak mungkin ada air mengalir untuk keperluan kuda; b). masyarakat Baun (Kupang) mengenal ungkapan “Fais Manutu” yang berarti hutan harus sesuai dengan fungsinya.
Filosofi
ini
menggambarkan
adanya
integrasi
kepentingan
dalam
pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan antara kepentingan penggembalaan dan pemenuhan lapangan kerja. Pada komunitas masyarakat Pulau Timor dikenal konsep segitiga kehidupan “ MansianMuit-Nasi, Na Bua”, yang berarti manusia, ternak dan hutan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan saling memiliki ketergantungan.
Manusia mengambil
manfaat ternak dan hutan, ternak mencari makan di hutan dan manusia memelihara hutan. Jika salah satu dari ketiga unsur ini dipisahkan akan membawa dampak bagi unsur yang lain.
Pada pihak lain, setiap suku memiliki Nais-Talla (hutan larangan
umum) dan “Faut Kanaf-Oe Kanaf ” (batu nama, air nama) di dalam hutan. Secara berkala, seluruh komponen keluarga berhimpun untuk melakukan upacara adat sesuai dengan kepentingannya. Hutan ini dikeramatkan oleh sukunya dan disegani oleh suku yang lain, karena diyakini tempat tersebut memiliki kekuatan supra natural yang dapat 169 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
membawa rezeki bahkan menimbulkan malapetaka bagi manusia. Pada saat tertentu hutan larangan dibuka oleh tetua adat untuk dipanen, misalnya pa he afan (sari bumi, seperti lilin, madu, dan cendana).
Pengaturan cara pemanenan dan sanksi
pelanggaran mekanisme diatur berdasarkan hukum adat (Anon 1999). Serangkaian penelitian yang dilakukan oleh Njurumana, et all (2005) menjumpai hal serupa pada setiap komunitas masyarakat di P. Sumba. Salah satunya di Desa Ramuk, Sumba Timur dijumpai 2 (dua) filosofi dalam pengelolaan lingkungan; pertama “Omanggu Patura, Pingi Lata Luri “ yang berarti hutan adalah fondasi kehidupan yang berkelanjutan. Masyarakat memiliki pemahaman bahwa kehidupan yang berkelanjutan dapat dinikmati bila hutan dan lingkungan sekitarnya terpelihara dengan baik. Aplikasinya, masyarakat membangun hutan keluarga pada lahan-lahan milik dan diharapkan ketergantungan masyarakat terhadap bahan bangunan dan kayu bakar dari hutan dapat dikendalikan. Kedua “Wulu Tanji Ngudu, Mila Hala Tana” yang bermakna “Lebih
Baik
Miskin
Harta
Bergerak,
Namun
Kaya
Harta
Tidak
Bergerak”.
Pertimbangannya bahwa memelihara ternak dalam jumlah banyak merepotkan dan memerlukan waktu dan tenaga khusus untuk menggembalakan. Persepsi masyarakat cukup beralasan mengingat kondisi topografi Desa Ramuk yang sebagian besar sangat curam kurang memungkinkan penggembalaan ternak dalam jumlah yang banyak. Pada pihak lain penggembalaan dalam skala besar seperti meningkatkan resiko lingkungan terutama perilaku membakar padang untuk merangsang pertumbuhan rumput muda yang dapat meluas pada kawasan hutan. Demikian pula dengan masyarakat di sekitar kawasan lindung Gunung Yawila di Sumba Barat dijumpai konsepsi “Lende Ura” yang bermakna hutan sebagai jembatan hujan. Mereka berkeyakinan bahwa hutan yang terpelihara baik akan menjadi jembatan bagi turunnya hujan untuk membasahi permukaan bumi secara berkelanjutan, sehingga mendukung usaha pertanian dan ketersediaan air bagi manusia dan makhluk hidup (Njurumana, et all 2005). Penelitian bersama yang dilakukan oleh Masyarakat Kawasan Riung, Pemerintah Daerah Kabupaten Ngada, dan Konsorsium Pengembangan Masyarakat Dataran Nusa Tenggara (2001) mengenai aspek peningkatan peran serta masyarakat dalam pengelolaan kawasan menunjukkan bahwa pada kalangan masyarakat di kawasan 170 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Riung telah dikenal beberapa konsep yang mencerminkan kesatu-paduan masyarakat adat dan perlindungan lingkungan dan mempunyai kelembagaan adat yang kuat dengan beberapa konsepsi adat, salah satunya “Tanah Pirong”.
Pirong diartikan
sebagai larangan baik yang berhubungan dengan kehidupan sosial ekonomi dan budaya dalam masyarakat, maupun yang berhubungan dengan alam lingkungannyan berdasarkan tatanan dan nilai adat. Tanah pirong atau tanah larangan adalah tanah berhutan di sekitar mata air yang keutuhannya terjaga secara adat. Sekalipun demikian informasi penelitian lain seperti yang dilaporkan oleh Moeliono dan Tao (2000) menemukan bahwa
tokoh-tokoh dan lembaga adat di Riung semakin sulit dalam
menegakkan aturan-aturan adat. Fenomena ini dijumpai melalui gambaran bahwa tuatua adat kurang di hormati lagi oleh komunitas sukunya, tercermin dalam pernyataan tua-tua adat yaitu :“Saat ini kami tidak dapat berbuat apa-apa lagi, karena kami ini lemah bila berhadapan dengan para pelanggar yang memiliki pendidikan,jaringan dan kepintaran yang melampaui kemampuan kami”.
Persoalan yang dihadapi adalah
efektivitas aturan adapt yang semakin melemah dalam lingkup internal, sehingga akan lebih sulit digunakan pada komunitas yang tidak memiliki aturan atau tidak merasa tidak terikat dengan aturan-aturan adat tersebut. Memudarnya apresiasi terhadap kearifan lokal tidak dapat dihindari tetapi tidak akan menyurutkan langkah dan niat kita semua untuk mempelajari dan merevitalisasinya. Kearifan lokal merupakan modal sosial pembangunan dan simbol interaksi masyarakat dalam mendayagunakan sumberdaya alam di sekitarnya. Internalisasi kearifan lokal terhadap generasi muda merupakan salah satu peluang yang bisa digunakan untuk mendorong peran dan fungsi kontrol sosialnya. c. Pertimbangan jasa ekologi dan ekonomi Kebijakan pemerintah dari masa lalu sampai saat ini yang lebih mengedepankan pemanfaatan sumberdaya alam untuk memfasilitasi pertumbuhan ekonomi telah mengakibatkan terkurasnya sumberdaya alam karena eksploitasi yang kurang mempertimbangkan faktor ekologi. Hal ini mengakibatkan timbulnya pertikaian dan konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam karena rusaknya tatanan ekologi dan lingkungan hidup. Persoalan yang muncul tidak saja mengenai lingkungan 171 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
hidup dari aspek alamnya yang semakin berkembang dan kompleks tetapi juga persoalan pada aspek sosial ekonomi yang terkait dengan dampak menurunnya kualitas lingkungan hidup secara umum. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kehidupan kita selama ini telah dirusak oleh pembangunan yang menitikberatkan pencapaian target dan pertumbuhan ekonomi yang dilakukan tanpa melalui pertimbangan yang matang sehingga mengabaikan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan terutama aspek ekologi dan lingkungan (Njurumana 2005). Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa model pembangunan ekonomi merupakan suatu sistem dengan hutan sebagai subsistemnya. Kepentingan ekonomi telah mengalahkan / menyingkirkan kepentingan ekologi dan lingkungan hutan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa mengutamakan aspek ekonomi tidak akan menjamin proses pembangunan yang berkelanjutan, sehingga lingkungan yang rusak akan menghambat dan mematikan pembangunan ekonomi.
Pertumbuhan ekonomi yang
baik bisa tercapai bila didukung oleh aspek sumberdaya alam yang tersedia secara berkelanjutan. Kepentingan ekonomi tidak dapat berdiri sendiri atau memisahkan diri dari sumberdaya alam, tetapi merupakan satu kesatuan yang saling menopang. Ibarat mobil dan bensin, demikian juga pembangunan tidak akan jalan bila energi (baca : sumberdaya
alam)
habis,
karena
ekosistem
hutan,
sumberdaya
alam
dan
pembangunan merupakan satu kesatuan yang memiliki saling ketergantungan (interdependency). Dalam mata rantai ketergantungan seperti ini perlu pemaduserasian antara aspek ekonomi dan aspek ekologi, sehingga setiap proses pembangunan yang dilakukan harus mempertimbangkan daya dukung, sifat serta ciri ekologi sumberdaya alam
yang
akan
digunakan.
Sumber
daya
alam
yang
dapat
diperbaharui
pengelolaannya tidak melebihi batas tolerasi pemulihannya. Pemanfaatan sumberdaya kayu harus memperhatikan ambang batas regenerasinya, sehingga hasil dapat dimanfaatkan namun modal sumberdaya alam tidak dimusnahkan. Pembangunan ekonomi bisa berkelanjutan
bila fungsi-fungsi ekosistem
bisa terjaga dan tetap
berfungsi secara berkelanjutan. d. Kuantifikasi nilai ekonomi lingkungan
172 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Salah satu faktor penyebab kegagalan dalam pengelolaan hutan dan sumberdaya alam adalah belum adanya informasi yang memberikan alasan rasional mengenai nilai ekonomi yang akan dihasilkan dari sebuah kawasan hutan maupun kawasan konservasi. Berapa besar rupiah dari nilai lingkungan yang dihasilkan oleh satuan ekosistem masih merupakan tanda tanya. Sampai saat ini data dan informasi kuantifikasi nilai ekonomi dari satuan hutan dan kawasan konservasi khususnya di Nusa Tenggara Timur masih sangat terbatas. Kuantifikasi nilai ekonomi hutan dan lingkungan selama ini masih dilakukan melalui pendekatan akibat yang ditimbulkannya, seperti bila terjadi banjir akibat terganggunya ekosistem DAS dan lingkungan sekitarnya melalui pendataan kerugian materil yang dapat diprediksi tingkat kerugiannya (Njurumana 2005). Disinilah pentingnya diketahui kuantifikasi nilai investasi yang bisa diberikan hutan dan lingkungan. Kuantifikasi yang dilakukan selama ini terbatas pada data-data potensi yang tidak lain diarahkan pada bagaimana mengeksploitasi potensi yang ada untuk menghasilkan rupiah atau data kerusakan akibat dari sistem pemanfaatan hutan dan lingkungan
yang
tidak
mempertimbangkan
kelestariannya.
Berkaitan
dengan
kuantifikasi, sedikitnya ada 2 (dua) pertanyaan mendasar yaitu : pertama, berapa nilai rupiah yang harus dikorbankan akibat kerusakan hutan dan sumberdaya alam karena kegiatan eksploitasi dan pembangunan yang salah urus serta nilai rupiah yang harus diinvestasikan kembali untuk memulihkan jasa lingkungan hutan dan sumberdaya alam; kedua, berapa nilai rupiah yang akan dihasilkan dari manfaat pelestarian lingkungan hutan dan sumberdaya alam?. Data dan informasi seperti masih sangat terbatas di Nusa Tenggara Timur maupun di Indonesia. Meningkatnya kerusakan lingkungan dan sumberdaya alam merupakan akumulasi dari terbatasnya data dan informasi mengenai nilai ekonomi dari pelestarian lingkungan hutan dan sumberdaya alam sehingga melemahkan perencanaan serta pengambilan kebijakan pengelolaan.
Hal ini juga berimplikasi pada rendahnya daya dukung
legitimasi hukum dalam menegakkan aturan mengenai pengelolaan lingkungan dan sumberdaya alam serta tidak adanya landasan data ilmiah yang dapat dimanfaatkan sebagai referensi kampanye nilai guna pelestarian lingkungan dan sumberdaya alam. 173 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Sebagai contoh, kasus pembalakan hutan yang mengorbankan banyak vegetasi tingkat semai, pancang dan tiang dapat diperkirakan berapa nilai rupiah yang harus dikeluarkan untuk merehabilitasi lahan-lahan bekas tebangan. Akibat fragmentasi hutan menyebabkan tertekannya habitat satwa maupun organisme lainnya sehingga harus melakukan migrasi dengan segala resiko di tempat yang baru. Aktivitas pembalakan hutan dan penyaradan kayu juga meningkatkan jumlah lahan yang peka terhadap erosi dan timbulnya aliran permukaan yang akan menimbulkan banjir. Secara fakta, kegiatan eksploitasi hutan menghasilkan devisa yang menjanjikan, pada pihak lain merusak dan merubah struktur ekosistem sehingga menurunkan kualitas lingkungan hidup jangka panjang.
174 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
III. PENUTUP Dukungan pengelolaan hutan secara arif dan bijaksana di wilayah NTT memerlukan keseriusan dan langkah konkrit berbagai pihak (pemerintah, LSM dan masyarakat). Keragaman wilayah kepulauan beserta kondisi biofisik dan aspek budayanya mengindikasikan perlunya pengelolaan hutan dan lingkungan yang bersifat spesifik lokal. Alternatipnya adalah mengidentifikasi, mengkaji, reaktualisasi dan revitalisasi berbagai macam bentuk kearifan lokal dan nilai-nilai adat yang ada dalam masyarakat, sehingga
ditemukan
model
pendekatan
pengelolaan
yang
berbasis
lokal.
Keanekaragaman konsepsi dan pandangan masyarakat terhadap hutan, lingkungan dan sumberdaya alam mengingatkan kita akan kebinekaan potensi dan peluang dalam pengelolaan dan pelestariannya, sehingga kita tidak terpaku dan kaku pada keseragaman
model
dalam
pengelolaan
hutan
dan
dan
sumberdaya
alam.
Pengelolaan sumberdaya hutan dan lingkungan akan lebih menyentuh akar persoalan bila dimulai dengan apa yang diketahui oleh masyarakat dan membangun dengan apa yang ada pada masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Anonimous, 1999. Laporan Penelitian Aspek Sosial Ekonomi dan Budaya Pola Ternak Lepas dalam Kaitannya dengan Pelestarian Sumberdaya Alam di Kawasan Gunung Mutis. Kerjasama WWF Nusa Tenggara, Balai Penelitian Kehutanan Kupang, Sub Balai Konservasi Sumberdaya Alam Propinsi NTT, dan Konsorsium Pengembangan Masyarakat Dataran Nusa Tenggara. Kupang Ataupah H. 2002. Peluang Pemberdayaan Kearifan Lokal Dalam Pembangunan Kehutanan. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Balai Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Bali dan Nusa Tenggara. Awang, SA. 2002. Makalah Semiloka Pengelolaan Sumberdaya Alam Berbasis Masyarakat Khas pulau Timor di Kupang: Unit Manajemen Pengelolaan Kehutanan Sosial melalui Pendekatan Wilayah Kelola Berbasis Masyarakat. Tidak diterbitkan. Balai Penelitian Kehutanan Kupang. 2001. Dukungan Penelitian dalam Upaya Penanggulangan Lahan Kritis di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Tidak diterbitkan. Burke, S.M Pah, dan A. Karyawan. 1995. Investigations On Traditional And Introduced Agroforestry Sistems Used In Timor, Rote And East Sumba, Finals ReportPhase II. Tidak Diterbitkan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat. 2001. Otonomi Sumberdaya Hutan:prosiding pertemuan reguler V FKKM. Debut Press. Yogyakarta. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 1999. Dinamika Proses Lahirnya UndangUndang Republik Indonesia No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Departemen Kehutanan dan Perkebunan. Jakarta Njurumana G. ND., Mariana T. dan Tri Pamungkas Y. 2003. Kajian Penerapan Sistem Kaliwu dalam Pengelolaan Tata Air di Sumba Barat. Buletin Penelitian Hutan No. 642/2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor - Indonesia. 175 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Njurumana G. ND, 2004a. Pembangunan dan Krisis Lingkungan. Sebuah Artikel. Diterbitkan oleh Harian Pagi Timor Express. Kamis, 29 Juli 2004. Njurumana G. ND, 2004b. Nilai Penting Kearifan Lokal dalam Rehabilitasi Lahan. Sebuah Artikel. Diterbitkan oleh Harian Pagi Timor Express. Selasa, 7 Desember 2004. Njurumana G. ND, 2005. Lingkungan yang Kian Terpenjara. Sebuah Artikel Refleksi dalam rangka HUT RI Ke- 60. Diterbitkan oleh Harian Pagi Timor Express. Kamis, 18 Agustus 2005. Njurumana G. ND, Tigor B.B., Harisetijono dan Oskar K.O. 2005. Revitalisasi Kearifan Lokal dalam Mendukung Rehabilitasi Lahan di Wilayah Semi Arid. Prosiding Ekspose Hasil-Hasil Penelitian Kehutanan. Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Badan Litbang Kehutanan. Bogor. Poerwanto, H. 2000. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antropologi. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. Pratiwi., 2003. Teknologi dan Kelembagaan Rehabilitasi Lahan Terdegradasi: Proposal Penelitian Terpadu (2003-2009). Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Bogor. Tidak dipublikasikan. Kerjasama Masyarakat Kawasan Riung, Pemda Kabupaten Ngada, dan Konsorsium Pengembangan Masyarakat Dataran Nusa Tenggara. 2001. Berbenah Sebelum Melangkah Maju : bunga rampai makalah pengkajian pengelolaan sumberdaya alam di kawasan Riung Flores-NTT. Studio Driya Media. Bandung. Suriamihardja, S. 1990. Nilai Penting Litbang Kehutanan Pada Zona Kepulauan Kering di Indonesia Bagian Timur. Savana No. 5 / 1990. Sallata, M. K., G. ND. Njurumana. 2003. Pembentukan Iklim Mikro Melalui Komunitas Pepohonan untuk Kelestarian Tata Air yang Berbasis Masyarakat. Info Hutan No. 158/2003. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan dan Konservasi Alam. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Bogor - Indonesia.
176 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
POLA PEWARISAN GENETIK SIFAT-SIFAT MORFOLOGI DAN PRODUKSI GETAH Pinus merkusii STRAIN ACEH Oleh Hendi Suhaendi Abstrak Penelitian ini dilakukan pada hutan tanaman P. Merkusii strain Aceh, dalam populasi Saree, Aceh. Pengukuran tinggi total, tinggi bebas cabang, diamter cabang, bentuk batang, tebal kulit batang dan produksi getah kayu dilakukan dilapangan. Tujuan penelitian ialah menduga nilai heratibilitas luas dari setiap sifat pohon, serta korelasi genetik dan korelasi fenotipa dari semua pasangan sifat pohon yang dibentuk. Dengan diketahuinya pola pewarisan genetik dari berbagai sifat pohon diharapkan akan diketahui tolak ukur untuk seleksi sifat-sifat pohon, dengan tujuan akhir menentukan sifat-sifat yang perlu dikembangkan dalam pemuliaan pohon untuk tujuan industri. Semua parameter genetika diduga tanpa melalui uji keturunan. Ragam genetik dan lingkungan diduga menurut Shrikhande (1957). Heritabilitas luas serta korelasi genetik dan fenotipa berikut peragam-peragamnya diduga menurut metode Sakai dan Hatakeyama (1963). Lima sifat pohon yang dikendalikan secara kuat oleh faktor genetik adalah diameter batang, bentuk batang, tebal kulit batang, produksi getah dan tinggi total. Yang dikendalikan secara sedang oleh faktor secara sedang oleh faktor genetik adalah tinggi bebas cabang. Seleksi simultan dapat dilakukan terhadap pasangan sifat tinggi total dan diameter batang serta tinggi total dan bentuk batang. Seleksi untuk peningkatan diameter batang diduga akan menyebabkan peningkatan tebal kulitnya. Seleksi untuk memperbaiki bentuk batang diduga akan memperbaiki pula tinggi bebas cabang dan diamater batang. Diameter batang yang besar diduga dapat digunakan secara efektif sebagai satu indeks untuk menyeleksi tetua-tetua yang produksi getahnya tinggi. Kata kunci : Pinus merkusii, hertabilitas, korelasi genetik, korelasi fenotipa
I. PENDAHULUAN. Di Indonesia Pinus Merkusii Junght et Vriese tumbuh secara alami di tiga tempat yakni Aceh, Tapanuli dan Kerinci dan oleh Lamb dan Cooling (1967) dinamakan strain. P. Merkusii termasuk salah satu jenis pohon industri yang sangat penting bagi pasokan bahan mentah pabrik kertas, kayu lapis, korek api, pensil, pulp dan terpentin. Karena itu, pemuliaan pohon bagi jenis ini sangat penting, yaitu dalam rangka mendapatkan sifat-sifat unggul pada kayu dan ahsil-hsail sampingan lainnya untuk berbagai tujuan pengelolaan hasil yang diinginkan. Menurut Soerianegara (1969), arah pemuliaan pohon P. merkusii adalah perbaikan mutu genetik pada sifat-sifat morfologi pohon; sifatsifat morfologi pohon, sifat-sifat fisik, kimia dan anatomi kayu, daya tahan terhadap serangan hama dan penyakit dan sifat-sifat lainnya antara lain produki getah. Keragaman sifat pohon disebabkan oleh perbedaan keadaan lingkungan dan susunan genetik. Keragaman sifat-sifat pohon yang disebabkan oleh susunan genetik secara kuantitatif dapat dinyatakan oleh parameter-parameter genetik. Parameter-paremeter genetik bagi sifat-sifat pohon P. Merkusii yang dapat diamati secara eksternal pada umunya sangat kurang diperhatikan di Indonesia, padahal kenyataan parameterparameter tersebut sangat diperlukan dalam menilai fenotip individu-individu pohon dalam tegakan hutan tertentu.
177 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Praktek yang biasa dilakukan adalah memilih pohon induk unggul secara okuler tanpa memperhatikan nilai ilmiah parameter-parameter genetika bagi berbagai sifat pohon. Ssleksi fenotipe terhadap pohon-pohon induk di hutan tanaman maupun di hutan alam yang dilakukan tanpa memperhatikan dasar genetika adalah proses seleksi yang hasilnya akan kurang memuaskan mengingat bahwa seleksi ini merupakan dasar bagi semua tindakan perbaikan sifat genetik dan merupakan kegiatan awal dalam memulai suatu program pemuliaan pohon. Mengingat keragaman turun temurun dalam hampir semua sifat jenis-jenis pohon industri yang masih tak menentu, maka parameter genetik dalam arti pola pewarisan genetik dapat digunakan secara berhasil dalam seleksi pohon induk unggul atau pohon plus, merupakan dasar bagi usaha pemuliaan pohon guna menetapkan kapasitas produksi suatu tempat tertentu. Pada penelitian diamati enam sifat pohon yang mencakup sifat-sifat morfologi dan produksi getah. Tujuan penelitian ialah menduga parameter genetik berupa nilai heritabilitas luas dari setiap sifat pohon, serta korelasi genetik dan korelasi fenotipa dari semua pasangan sifat pohon P. Merkusii strain Aceh yang dapat dibentuk.
II. BAHAN DAN METODE Tapak penelitian adalah 0,58 ha hutan tanaman P. Merkusii strain Aceh berumur 52 tahun yang mengandung 250 pohon penelitian, terletak pada elevasi 535, dpl pada lereng utara dengan kemiringan 16% Setiap sifat pohon diuraikan menurut satuan ukuran, nilai rataan, nilai minimum dan maksimum, simpangan baku dan koefisien keragaman. Pada setiap pohon penelitian dilakukan pengukuran dan penilaian terhadap: (1) tinggi total. Diukur dari atas permukaan tanah sampai pucuk tertinggi (2) tinggi bebas cabang, diukur dari atas permukaan tanah sampai cabang pertama atau cagak yang dominan. (3) diameter batang, diukur pada ketinggian 1,30 m dari atas permukaan tanah. (4) bentuk batang, dinilai menurut kriteria Suhaendi et.all (1976) yaitu berdasarkan cacah pemilihan atau kebengkokan batang sampai ketinggian 15 m dari atas permukaan tanah; (5) tebal kulit batang, diukur dari sebelah kulit kayu pada empat arah mata angin dengan ketinggian 1,30 m dari atas permukaan tanah, dan (6) produksi getah, ditetapkan dengan menggunakan alat penyadap kowakan (tebal 6 cm dan tinggi 20 cm) pada empat arah mata angin dengan ketinggian cm dari atas permukaan tanah. Untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik tentang suatu respon, data masingmasing sifat pohon disusun dalam suatu daftar sebaran frekuensi. Penentuan cacah golongan yang disusun menurut cacah pengamatan yang ada dilakukan dengan menggunakan kaedah Sturge (Nasoetion dan Barizi, 1975) Rancangan percobaan yang dipakai untuk menduga ragam genetik total dan ragam lingkungan dalam penelitian ini mengikuti metode Shrukhande (1957), yaitu tanpa memelihara uji keturunan. Dengan menggunakan informasi ini, digunakan metode 178 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Sakai dan Hatakeyama (1963) dalam menetapkan nilai heritabilitas luas dari hasil sifat pohon beserta korelasi genetik dan korelasi fenotipe dari semua pasangan sifat pohon yang dapat dibentuk.
179 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
III.HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan kaedah Sturgem, untuk cacah individu 250 pengamatan dapat disusun sembilan golongan respon bagi masing-masing sifat pohon. Setiap pohon menunjukkan sebatan yang kontinyu dengan satu puncak (unimodal). Menurut Toda (1963), sifat sifat seperti ini tergolong kedalam sifat-sifat kuantitatif yang umumnya dikendalikan banyak gen (poligenik). Dalam analisis genetika terhadap sifat yang demikian ini diperlukan pendekatan statistika genetika (Genetik kuantitatif, genetika biometrik) Heritabilitas yang diduga untuk setiap pohon dalam penelitian ini adalah heritabilitas luas dan diberi simbol H2, dengan komponen-komponennya tercantum dalam Tabel 1. Nilai G (Ragam genetika total) dan E (ragam lingkungan) yang diperoleh dengan nilai b terbaik yang memberikan jumlah kuadrat galat terkecil disebut Go dan Eo; sedangkan ba adalah koefisien keheterogenan tanah yang bernilai antar nol dan satu, tergantung pada keragaman corak lingkungan dalam tapak penelitian.
Tabel scan Bukanlah suatu konstanta sehingga untuk sifat yang sama nilainya dapat beda. Karena itu walaupun metode pendugaanmya serupa tapi heritabilitas suatu sifat tidak selalu persis sama. Dipihak lain, waluapun metode pendugaan berbeda, mungkin saja mendapatkan heritabilitas yang serupa untuk sifat tertentu. TT, TBC dan DB adalah sifat-sifat morfologi yang mempengaruhi volume kayu. Untuk bahan baku pulp dan kertas. Volume, kayu dihitung berdasarkan TT dan DB; tapi untuk kepentingan kayu pertukangan dan kayu lapis, volume dihitung berdasarkan TBC dan DB. H2 untuk sifat TT dan DB masing-masing 0,78 dan 0,95, sedangkan TBC sebesar 0,65. Implikasinya adalah bahwa kedua sifat pertama dikendalikan secara kuat oleh faktor genetik sehingga seleksi massa akan efektif karena diwariskan kepada keturunannya. Sedangkan sifat TBC diduga kuat dikendalikan faktor genetik. Pola pewarisan genetik TT dan DB masing-masing berbeda dengan TBC dimana untuk bahan baku industri pulp dan kertas diperlukan sifat TT dan DB yang besar melalui seleksi massa, sedangkan untuk tujuan industri kayu pertukangan atau kayu lapis diinginkan adanya TBC yang panjang melalui seleksi famili. Hasil serupa dengan Suhaendi et.all (1978) untuk TT dan sejalan dengan Sakai dan Hatakeyama (1963) dan Sinues (1973) untuk DB dan mirip dengan Suhaendi et.all (1978) untuk TBC. Sifat morfologi pohon pinus merkusii yang menjadi masalah antara lain batangnya bengkok atau memilin dibagian bawah hingga tengah, sehingga akan menjadi ketidaknormalan pembentukan kayu yang berakibat kurang baiknya kualitas pulp dan kertas. H2 BB adalah terbesar (0,96) yang berarti sifat ini sangat dipengaruhi faktor genetik sehingga perbaikan genetiknya hanya mungkin dicapai melalui pemuliaan dan seleksi. Untuk tujuan industri pulp dan kertas, kayu pertukangan dan kayu lapis, pemuliannya harus diarahkan untuk mendapatkan BB yang lurus karena akan menghasilkan dolok yang lurus pula, sehingga memudahkan menanganinya seperti 180 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
dalam pengupasan kulit kayu dan mengurangi biaya dari tempat penebangan sampai tempat industri berada padahal biaya tersebut umumnya sangat besar. Dengan demikian, pemuliaan untuk mendapatkan BB yang lurus akan menguntungkan secara ekonomik ditinjau dari segi biaya produksi pengadaan bagan mentah industri tersebut. Shelbourne (1969) menunjukkan bahwa banyak benar jumlah gen yang terlibat dalam mengendalikan BB Pinus Taeda sehingga memberikan respon yang cepat terhadap seleksi; sedangkan Shelbourne dan Stonecyper (1971) menyimpulkan bahwa BB P.Taeda dapat diwariskan dengan kuat. Dengan menggunakan metode pendugaan yang sama, penelitian ini juga didukung oleh Suhaendi et.all (1976; 1978) TK berhubungan erat dengan kemudahan proses pengupasannya untuk mendapatkan bahan mentah industri pulp dan keetas. H2 TK adalah tinggi (0,88) ini berarti sifat ini dikendalikan secara kuat oleh faktor genetik sehingga sifat pewarisannya kuat. Untuk kepentingan industri pulp dan kertas, yang diinginkan adalah batang yang kulitnya tipis karena itu pemuliaannya harus diarahkan untuk mendapatkan strain yang kulit batangnya tipis. Hasil serupa diperoleh Sineus (1973) pada Pinus Insularis dengan H2=0,95 Gondorukem dan terpentin merupakan jenis industri penting dengan bahan mentah getah pohon P. Merkusii (Soerianegara, 1969). Gondorukem merupakan residu hasil penyulingan getah dan dipakai dalam industri batik, sabun, cat, plastik, tinta cetak, bahan pelitur, kembang api dan lainnya; sedangkan terpentin merupakan fraksi destilat hasil penyulingan getah dan dipakai dalam industri cat, semir sepatu, logam, kayu dan sebagai bahan baku kamper sintetis (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Nilai H2PG adalah tinggi yaitu 0,93, ini berarti jumlah gen yang terlibat dalam mengendalikan sifat ini adalah banyak sekali sehingga sifat ini akan diwariskan dengan kuat kepada keturunnya.
Hadirnya
getah
dalam
jumlah
diwariskan
dengan
kuat
kepada
keturunannya hadirnya getah dalam jumlah banyak terutama dalam mata-mata kayu P. Merkusii mempunyai pengaruh yang merugikan dalam produksi kayu padat maupun dalam kayu yang digunakan untuk pulp dan kertas. Menururt (Palmer, 1978) tingginya produksi getah ini menyebabkan diperlukannya kimia yang sangat kuat untuk mengeluarkan getah dalam proses pembuatan pulp dan kertas. Disamping itu, hadirnya getah dalam mata-mata kayu dapat mempengaruhi proses penyelesaian akhir dan penampilannya menjadi jelek bila kayu tersebut digunakan untuk kayu padat yang berupa panel-panel dekoratif, peralatan rumah tangga atau kay lapis. Dengan demikian arah pemuliaan PG Strain Aceh ditentukan oleh pasar. Jika tujuan industri adalah gondorukem dan terpentin maka arah pemuliaan adalah mendapatkan PG yang tinggi melalui pendekatan-pendekatan seleksi massa; tapi jika tujuannya adalah pulp dan kertas atau kayu padat maka arah pemuliannya adalah mendapatkan PG yang minimum melalui seleksi massa. Studi mengenai pengaruh faktor genetik dan lingkungan terhadap PG adalah sangat jarang walaupun ada sedikit peneliti yang
181 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
menunjukkan bahwa keragaman produksi getah karet mempunyai sifat pewarisan yang kuat (onokpise, 1981). Tergantung pada tujuannya, kadang-kadang pemuliaan pohon perlu melakukan seleksi untuk beberapa sifat secara simultan, walaupun diketahui jika sifat yang diseleksi untuk banyak jumlahnya maka ada kemungkinan hasilnya negatif. Untuk melakukan seleksi simultan, diperlukan informasi terutama mengenai korelasi genetik dari pasangan sifat teretntu disamping korelasi fenotipenya. Korelasi genetikk (rG) mengukur derajat keeratan hubungan genetik antar sifat pasangannya, sedangkan korelasi fenotipa (rP) mengukur derajat keeratan hubungan fenotipanya. Dari 10 kombinasi pasangan antara sifat morfologis pohon terdapat lima pasangan sifat strain Aceh yang mempunyai nilai rG kuat. Untuk setiap tujuan industri, baik pulp dan kertas maupun produksi kayu padat, yang diinginkan adalah volume kayu yang besar karena akan menghasilkan volume keluaran yang besar pula, adapun komponen utama yang menentukan volume kayu adalah TT atau TBC, DB dan TK. Pasangan sifat yang hubungan genetiknya kuat adalah : TT dan DB (rG=0.89320, TT dean BB (rg=-0,9286), TBC dan BB (rG=-0,9493) serta DB dan BB (rG=-0,9204). Pasangan-pasangan sifat ini mempunyai rP yang lebih kecil daripada rG sehingga seleksi simultan terhadap setiap pasangan tersebut akan aman. Untuk BB, semakin kecil nilai skor menunjukkan batang semakin lurus dan semakin besar nilai skor berarti batangnya semakin bengkok. Sehingga bila suatu sifat tertentu berpasangan dengan BB mempunyai korelasi bertanda negatif itu berarti sifat tertentu itu disebabkan adanya batang yang semakin lurus. Karena itu perbaikan genetik volume kayu dapat dilakukan melalui seleksi simultan terhadap pasangan sifat TT dan DB serta TT dan BB. Dengan perkataan lain, perbaikan genetik untuk pasangan sifat TT dan DB serta TT dan BB. Masing-masing dapat dilakukan dalam satu program pemuliaan. Implikasinya pada pengelolaan hutan bahwa dia pasangan sifat ini masing-masing dapat dijadikan satu unit perusahaan. Dipihak lain perbaikan genetik volume kayu dapat pula dilakukan melalui seleksi simultan terhadap pasangan sifat TBC dan BB serta DB dan BB, sheingga masing-masing pasangan sifat ini dapat dijadikan satu unit perusahaan dalam pengelolaannya. Penelitian ini juga menunjukkan adanya hubungan genetik yang kuat untuk pasangan sifat DB dan TK (rg=0,8923). Nilai rg berada sedikit dibawah nilai rp (rp=0,9295), tapi keduanya termasuk kuat. Seleksi untuk meningkatakan nilai genetik DB akan diikuti pula oleh peningkatan nilai genetik TK dan hal yang serupa juga berlaku untuk nilai fenotipenya. Untuk kepentingan industri pulp dan kertas diperlukan bahan baku yang volumenya besar (berhubungan dengan volume serat yang banyak) dan kulitnya tipis (berhubungan dengan kemudahan proses pengupasannya). Jika hal ini merupakan tujuan industri tersebut maka perbaikan dua sifat ini tidak dapat digabungkan. Tapi untuk kayu pertukangan dan kayu lapis, perbaikan dua sifatnya masih dapat
182 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
digabungkan karena yang diutamakan adalah DB sedangkan TK hanya merupakan bagian kecil dari DB Pasangan sifat TT dan DB merupakan sifat kuantitatif yang mempunyai rG yang positif tinggi sehingga seleksi terhadap TT dapat mewakili seleksi terhadap DB juga. Pasangan sifat TT dan DB C.Japanica mempunyai rG yang kuat (0,82) dengan rP yang sedang (0,49) sehingga selekti terhadap pasangan sifat ini tidak akan efektif (Toda, 1963). Seleksi tersendiri terhadap TT dan DB tidak dapat dilakukan karena pasangan ini mempunyai rG yang positif (Van Buijtenen, 1963). Walaupun terdapat rG bertanda negatif kuat untuk pasangan TT dan DB serta TBC dan BB, tapi mengingat cara pemberian skornya maka ini berarti bahwa BB yang lurus diduga dapat diperoleh melalui seleksi untuk peningkatan TT atau TBC. Hasil berlawanan ditunjukkan Ledig dan Whitmore (1981) yang memperoleh RG positif agak kuat (0,40) untuk pasangann TT dan BB. Mengingat cara pemberian skornya serupa maka ditafsirkan bahwa seleksi untuk peningkatan TT cenderung untuk meningkatkan kebengkokan batang, dan pola hubungan ini mungkin juga terdapat pada pasangan TBC dan BB. Perbedaan dengan hasil penelitian kemungkinan besar disebabkan perbedaan dalam umur, jenis pohon dan metode pendugaan. Nilai rG bertanda negatif kuat juga ditemukan untuk pasangan DB dan BB dan ditafsirkan bahwa seleksi untuk mendapatkan BB yang lurus akan berarti pula seleksi untuk mendapatkan DB yang besar. Hasil serupa ditunjukkan oleh Suhaendi et.all (1978) dengan nila rG yang sedang (-0,57541) dan rP yang kecil (-0,38842) untuk pasangan DB dan BB, sehingga ditafsirkan bahwa seleksi simultan terhadap pasangan ini cenderung akan memberikan peningkatan hasil genetik yang cukup besar bagi keduanya. Mengenai hadirnya rG positif kuat untuk pasangan DB dan TK dalam penelitian ini, juga ditemukan pada P. Insularis umur 17 tahun dengan tG=0,4471 dan ditafsirkan bahwa perbaikan genetik yang bersamaan dalam pasangan sifat ini dapat diperoleh melalui seleksi (Sinues, 1973). Nilai rG dan rP yang kuat (rG=0,471 dan rP=0,050) untuk pasangan DB dan TK pada P Caribaea menunjukkan bahwa seleksi simultan terhadap pasangan sifat ini akan memberikan hasil genetik yang cukup kuat. Seleksi untuk TK pada P. Taeda akan memberikan hasil genetik yang cukup efektif dalam DB daripada seleksi langsung terhadap DB itu sendiri dan ini berarti bahwa pasangan sifat ini mempunyai genetik yang positif tinggi (Ledig dan Whitmore, 1981) Tanpa memperhatikan tandanya, terdapat lima pasangan sifat yang mempunyai Rg dan Rp yang sangat lemah, yaitu TT dan TBC (rG=0,1395dan rP=0,4098); TT dan TK (rG=0,3209 dan rP=0,3753); TBC dan DB (rG=0,0790 dan rP 0,1160); BB dan TK (rG=-0,2268 dan rP-0,2342) serta TBC dan TK (rG=0,0248 dan rP=0,0919). Kecuali untuk pasangan sifat terakhir, empat pasangan sifat lainya sesuai dengan Suhaendi et.all (1978), serta Ledig dan Whitmore (1981). Pasangan-pasangan sifat ini tidak mempunyai arti praktis dalam program pemuliaan pohon karena seleksi simultan tidak 183 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
akan memberikan kemajuan genetik yang berarti. Untuk setiap pasangan sifat seperti ini, seleksi harus berdasarkan sifat tunggal, yaitu secara tersendiri terhadap masingmasing sifat dengan tolak ukur H2 yang tinggi. Mengenai tidak adanya pola yang pasti antara rG dan rP untuk setiap pasangan sifat morfologi pohom, juga dijumpai oleh peneliti lain dengan metode pendugaan yang sama, yaitu Sakai dan Hatakeyama (1963), Suhaendi et.all (1978) dan Suhaendi (1984). Dengan mengabaikan tandanya, umunya rE lebih besar daripada rG dan rP. Hasil serupa diperoleh Suhaendi et.all (1978) dan Suhaendi (1984). Beberapa peneliti lainnya tidak menduga rE tapi hanya rG dan rP saja (Van Buijtenen, 1963; Ledig dan Whitmore, 1981) untuk seleksi sifat ganda, kedua korelasi terakhir nampaknya lebih penting daripada rE. Dari pasangan sifat yang terbentuk antara sifat morfologi dengan PG. Hanya pasangan DB dan PG yang mempunyai nilai rG dan rP yang positif kuat (rG=0,8712dan rP=0,8848). Perbedaan nilai korelasi ini tidak terlalu besar, sehingga seleksi simultan terhadap pasangan sifat ini adalah aman. Melihat besarnya nilai-nilai korelasi ini, terdapat kecenderungan bahwa gen-gen yang berperanan disini lebih bersifat pleiotropik daripada berkait (linkage). Dengan demikian, pemuliaan pohon dapat menggunakan DB sebagai suatu indeks yang efektif untuk menseleksi tetua-tetua produksi getahnya sesuai dengan permintaan pasar. Dalam industri kertas, adanya getah ini mengganggu penetrasi bahan kimia dalam serpih sehingga menyebabkan bintik-bintik hitam pada kertas dan menyumbat lubang lubang pada kasa kawat mesin kertas (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Adanya getah juga tidak diinginkan industri kayu padat. Dengan demikian untuk kepentingan industri ini maka seleksi simultan jangan dilakukan pada pasangan sifat ini, perbaikan kedia sifat harus melalui program pemuliaan yang terpisah yaitu satu program untuk tiap-tiap sifat. Namun dipihak lain, jika tujuan industri adalah gondorukem dan terpentin yang bahan bakunya adalah getah, maka seleksi simultan dapat dilakukan pada pasangan sifat ini. Karena perbaikan pasangan sifat ini dapat dilakukan melalui satu program pemuliaan, maka implikasinya pasangan sifat ini dapat dijadikan satu unit perusahaan. Saluran getah terletak pada lapisan-lapisan kayu gubal didalam batang P. merkusii sehingga PG berbanding lurus dengan DB yang terkena luka kowakan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Onokpise (1981) telah mengunakan keliling batang sebagai kriteria untuk menentukan kapan pohon karet dimulai untuk disadap. Ini menunjukkan korelasi kuat antara DB dan PG karet. Ditambahkan bahwa jika terdapat korelasi yang kuat antar DB dan PG, ini berarti dua sifat tersebut bergerak mempengaruhi PG dan DB secara bersamaan Empat pasangan sifat lainnya menunjukkan rG dan rP yang sangat lemah sampai lemah yaitu: TT dan PG (rG=0,1727 dan rP=0,2622), TBC dan PG (rG=0,0090dan 184 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
rP=0,1621), BB dan PG (rG=0,1328dan rP=-0,1747) serta TK dan PG (rG=0,1135 dan rP=0,2136). Nilai-nilai ini memberi kesan tidak terdapatnya hubungan langsung secara genetik maupun fenotipik diantara sifat-sifat tersebut sehingga perbaikan genetiknya hasrus melalui seleksi sifat tunggal.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN Seleksi massa akan efektif terhadap lima sifat pohon, yaitu DB (H2=0,95), BB (H2=0,96), TBK (H2=0,88), PG( H2=0,93),TT (H2=0,78), tapi kurang efektif terhadap TBC (H2=0,62). Pasangan-pasangan sifat pohon yang mempunyai rG yang kuat adalah TT dan DB (rG=0,8943) TT dan BB (rG=-0,9286) DB dan TK (rG=0,8923) DB dan PG (rG=0,8712), TBC dan BB (rG=-0,9493) serta DB dan BB (rG=-0,9204) Sifat-sifat yang sebaiknya diseleksi sesuai dengan tujuan pemuliaannya adalah: untuk penanaman P. Merkusii dibedakan adanya tiga unit perusahaan yaitu pulp dan kertas, kayu pertukangan dan kayu lapis, serta gondorukem dan terpentin. Pulp dan kertas menunut persyaratan volume pohon yang besar dan produksi getah kayu yang rendah, karena itu program pemuliaannya adalah perbaikan genetik pasangan sifat TT dan DB, TT dan BB, TBC dan BB serta DB dan BB dan perbaikan genetik sifat tunggal PG. Kayu pertukangan dan kayu lapis menuntut persyaratan DB yang besar, TBC yang panjang, BB yang lurus dan PG yang rendah, karena itu program pemuliaannya adalah perbaikan genetik pasangan sifat DB dan TT, DB dan TK, DB dan BB, TBC dan BB serta BB dan TT dan perbaikan genetik sifat tunggal PG. Industri gondorukem dan terpentin menuntut persyaratan PG yang tinggi karena program pemuliaannya adalah perbaikan genetik pasangan sifat PG dan DB. Penelitian ini perlu dilanjutkan pada berbagai kondisi ekologis yang perbedaanya sangat nyata sehingga dapat dihailkan nilai-nilai penduga yang lebih baik guna sebagi pedoman pelaksanaan pemuliaan pohon P merkusii strain Aceh. Tindak lanjut dari hasil penelitian ini adalah perlu adanya kegiatan uji coba sebelum hasil-hasil ini dipakai secara luas.
DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal Kehutanan. 1976. Vandamecum Kehutanan Indonesia. Jakarta Lamb, AFA dan ENG Cooling. 1967. Exploration, Utilization dan Conservation of Low Altitude Tropical Pine Gene Resources. Department Of Forestry University of Oxford, Commonwealth Forestry Research Institute England. Ledig. Tth dan JL Withmore. 1981. Heritability and Genetics Correlation for Volume Foxtails and Other Charateristics of Cariibean Pine in Puerto Rica. Silv. Gen 30 (2-3): 88-92 Nasoetion, AH dan Barizi. 1975. Metode Statistika.PT Gramedia Utama. Jakarta Onokpise. OU. 1981. Evaluation of Rubber Clones (Heavea Brasiliensis Mull Arg). Derived From Hand Pollination Programme At The Rubber Research Institute Of Nigeria. Silv. Gen (2-3): 37-40. Palmer. ER. 1978. The Potential Of Fast Grown Tropical Pines For Pulp And Paper Dalam Nikles. DG, J. Buley dan RD Barnes (Eds). Commonwealth Forest Institute, Oxford.Vol I: 14-161. 185 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005
Perpustakaan Balai Penelitian Kehutanan Kupang Alih Media tahun 2011
Sakai, KI dan S Hatakeyama. 1963. Estimation of Genetics Parameters In Forest Trees without raising progency silv gen. 1: 152-157. Shelbourne, CJA. 1969. Breeding For Stem Straightness In Conifesr. Dalam second World Consultation On Forest Tree Breeding, Washington, DC August. 7-16. Shelbourne, CJA dan RW Stonecypher. 1971.The Inheritance of Bole Straightness ion Young Loblolly Pine Silv. Gen. 20 (5-6): 151-156, Washington, DC August. 7-16. Shrikhande, VJ. 195. Some Consideration in Designing Experiments on coconut Trees. J. Indian Agr. Ststistics 9. 82-99. Sinues, BC. 193. Estimates Of Geneocologial Parameters for Certain Quantitives Characters of Benquest Pine. Philipines J.For 22. 87-155 Soerianegara. I. 1969. Fungsi Pemuliaan Pohon dan Pembinaan Hutan Industri Laporan No. 102. Lembaga Penelitian Hutan Bogor. Suhaendi, HE. Guharja dan Soerianegara. I. 1978. Estimation of Genetics Parameters in Plantation of Pinus Merkusii Junght et De Vriese. Dalam Proceeding of The Eight World Forestry Congress, Jakarta. Volume V. FID I: 937-945 Suhaendi, H. 1984. Korelasi Genotipa dan Fenotipa antara Beberapa Sifat Kuantitatif Pinus Merkusii Junght et De Vriese. Laporan No 447, Pusat Penelitian FAO/FOGEN-63. Vol. I, 2a/2: 1-7 Van Bruijtenen. JP. 1963. Inheritance of Wood Properties and Their Relation to Growth Rate in Pinus Taeda. FAO/FOGEN-63. Vol. II, /2: 1-13
186 |
Gelar Teknologi. Ende, 30 November 2005