Penerbit:
Bank Indonesia Agustus 2016
Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada:
Bank Indonesia Departemen Kebijakan Makroprudensial Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta, Indonesia Email :
[email protected]
MENGUPAS KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL
DEPARTEMEN KEBIJAKAN MAKROPRUDENSIAL
i
Daftar Isi Daftar Isi....................................................................................................... ii Prakata Gubernur Bank Indonesia.............................................................. iv Bab I.
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial?........................ 1 I.1. Pendahuluan............................................................................ 1 I.2. Definisi dan Karakteristik Kebijakan Makroprudensial.......... 2 Boks 1.1. Mengapa Kebijakan Makroprudensial Tidak Hanya Mengenai Perbankan?...................................................... 8
BAB II. Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?...................... 13 II.1. Karakteristik Sistem Keuangan............................................... 13 II.2. Kebijakan Makroprudensial Sebagai Komplemen Kebijakan Lain.......................................................................... 15 II.2.1 Kebijakan Makroprudensial dan Mikroprudensial...... 15 II.2.2 Kebijakan Makroprudensial dan Moneter................... 16 II.2.3 Kebijakan Makroprudensial dan Fiskal......................... 17 Boks 2.1. Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan Kebijakan Moneter dan Mikroprudensial.................... 19 Bab III. Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?.............. 23 III.1. Mandat dan Kewenangan....................................................... 23 III.2. Landasan Hukum..................................................................... 27 Boks 3.1. Koordinasi Antarotoritas dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan.......................................................... 29 Bab IV. Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?.......................................................... 33 IV.1. Identifikasi Sumber Risiko Sistemik........................................ 35 IV.2. Pengawasan Makroprudensial............................................... 37 IV.2.1. Monitoring dan Analisis Risiko Sistemik........................ 37 IV.2.2. Pemberian Sinyal Risiko................................................ 40 IV.2.3 Pemeriksaan Tematik..................................................... 42 IV.3.Desain dan Implementasi Instrumen Kebijakan..................... 43
ii
IV.3.1. Motivasi Pengembangan Instrumen Makroprudensial........................................................... 43 IV.3.2. Waktu Perumusan dan Implementasi Instrumen Makroprudensial........................................................... 45 IV.3.3. Instrumen Kebijakan Makroprudensial di Indonesia... 46 Boks 4.1. Memperluas Jangkauan Monitoring Risiko dengan Regional Financial Surveillance...................................... 49 Boks 4.2. Stress Testing Perbankan: Menguji Ketahanan Bank dalam Menghadapi Tekanan........................................ 52 Boks 4.3. Tidak Ada Lagi “Too-Big-To-Fail”................................... 55 Boks 4.4. Countercyclical Capital Buffer: Solusi Redam Rugi....... 60 Boks 4.5. Standar Internasional Pengaturan di Sektor Keuangan: Basel III........................................................ 63
Bab V. Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis............................................................ 67 V.1. Dasar Hukum PMK.................................................................... 68 V.2. Peran PMK Bank Indonesia dalam Memelihara Stabilitas Sistem Keuangan..................................................................... 69 V.3. Koordinasi Antarlembaga dalam Pencegahan dan/atau Penanganan Krisis.................................................................... 71 V.4. Opsi Kebijakan Bank Indonesia dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis..................................................................... 72 Boks 5.1. Pelajaran Berharga dari Krisis Keuangan Global 2008.... 75 Daftar Pustaka.............................................................................................. 79 Daftar Singkatan.......................................................................................... 82 Daftar Istilah................................................................................................. 84 Kontributor................................................................................................... 94
iii
Prakata Gubernur Bank Indonesia Istilah makroprudensial mengemuka dan menjadi sangat populer di sektor keuangan paska terjadinya krisis keuangan global. Krisis keuangan tersebut ditengarai terjadi karena belum diterapkannya kebijakan makroprudensial yang efektif di negara maju, yaitu kebijakan yang berkaitan dengan dinamika di sektor keuangan yang bersumber dari interaksi antara makro ekonomi dengan mikro ekonomi. Di Indonesia sendiri, pendekatan makroprudensial sudah dijalankan sebagai bagian dari pemulihan ekonomi akibat krisis keuangan Asia tahun 1997/1998. Pengalaman krisis tersebut sesungguhnya telah memberikan pelajaran yang berharga, sehingga pada saat krisis keuangan global 2007/2008 yang dipicu oleh kegagalan produk subprime mortgage di Amerika Serikat, Bank Indonesia dengan kebijakan mikroprudensial dan makroprudensial yang dimilikinya sudah lebih siap dengan berbagai langkah yang dapat menahan pemburukan kondisi ekonomi dan sistem keuangan di dalam negeri. Selanjutnya dengan berlandaskan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, fungsi mikroprudensial yang terkait dengan kesehatan, kinerja, dan kelangsungan usaha individual bank dialihkan kepada Otoritas Jasa Keuangan sejak 31 Desember 2013, sementara Bank Indonesia diamanatkan untuk tetap menjalankan fungsi makroprudensial. Meskipun kebijakan makroprudensial sudah sejak lama menjadi bagian integral dari kebijakan Bank Indonesia, perkembangan kebijakan makroprudensial di tataran internasional relatif baru menjadi perhatian dan banyak didiskusikan dalam beberapa waktu terakhir. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika masih banyak kalangan yang belum memahami apa yang menjadi esensi kebijakan makroprudensial. Sebagaimana dilakukan otoritas keuangan lainnya di seluruh dunia, Bank Indonesia terus berupaya melakukan pengembangan kerangka kebijakan makroprudensial yang sejalan dengan standar dan praktik-praktik terbaik di tataran internasional. Namun demikian, pemahaman berbagai pihak terhadap
iv
kebijakan makroprudensial akan memegang peranan penting dalam efektivitas penerapan kebijakan makroprudensial tersebut, sehingga proses komunikasi mengenai kebijakan makroprudensial mulai dari hal yang paling mendasar perlu dilakukan. Untuk mendukung proses komunikasi kebijakan makroprudensial tersebut, Bank Indonesia memandang perlu untuk menerbitkan buku yang mengupas berbagai hal yang terkait dengan kebijakan makroprudensial. Pada buku ini, bab I (pertama) hingga III (ketiga) menjelaskan mengenai apa dan bagaimana kebijakan makroprudensial, mengapa kebijakan itu diperlukan, dan siapa yang melaksanakan mandat kebijakan tersebut. Sedangkan, Bab IV (keempat) dan V (kelima) memaparkan mengenai strategi kebijakan makroprudensial di Bank Indonesia, serta bagaimana Bank Indonesia mencegah dan menangani krisis. Dua bab terakhir ini ditujukan kepada yang ingin mengetahui lebih dalam mengenai bagaimana Bank Indonesia menjalankan mandat di bidang makroprudensial, terutama dalam rangka mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan. Buku ini juga dilengkapi dengan tulisan-tulisan pendek dalam boks untuk memberikan pemahaman yang lebih spesifik bagi pihak-pihak yang ingin mendalami isu atau aspek tertentu dalam kebijakan makroprudensial. Akhir kata, kami berharap penerbitan buku ini dapat mendukung tercapainya kesamaan pandangan dan pemahaman mengenai kebijakan makroprudensial, sehingga dapat membantu peningkatan efektivitas pengendalian risiko sistemik dan ketidakseimbangan keuangan untuk mendorong terwujudnya stabilitas sistem keuangan. Saran, komentar maupun kritik dari seluruh pihak sangat kami harapkan untuk lebih menyempurnakan buku ini di masa mendatang. Jakarta, Agustus 2016
(Agus D.W. Martowardojo) v
1
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial? I.1. Pendahuluan Meskipun istilah makroprudensial telah diperkenalkan sejak tahun 19791, namun kebijakan makroprudensial baru populer pascakrisis keuangan global (global financial crisis, GFC) yang terjadi pada tahun 2008. Krisis yang dipicu permasalahan subprime mortgage di sektor keuangan ini tak hanya mengakibatkan penurunan kinerja sektor keuangan, namun juga berdampak negatif pada memburuknya perekonomian dunia. Keterkaitan hubungan, atau hubungan sebab akibat (feedback loop), antara sektor keuangan dengan sektor riil mengakibatkan biaya krisis menjadi tinggi dengan waktu pemulihan yang tidak singkat. Kondisi-kondisi tersebut mendorong pemimpin negara-negara G20 pada pertemuan di Seoul tahun 2010 untuk meminta Financial Stability Board (FSB), International Monetary Fund (IMF), dan Bank for International Settlement (BIS) agar mengembangkan kerangka kebijakan makroprudensial guna mencegah risiko sistemik pada sektor keuangan (FSB, IMF, BIS, 2011). Sebagai tindak lanjut, bank sentral dan otoritas keuangan beberapa negara turut mengembangkan pendekatan makroprudensial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan, antara lain melalui tren perubahan penataan kelembagaan (institutional arrangement) otoritas keuangan di beberapa negara. Di Indonesia, istilah makroprudensial secara implisit telah digunakan sejak awal tahun 2000 sebagai respons atas krisis keuangan tahun 1.
Istilah makroprudensial pertama kali diperkenalkan pada pertemuan The Cooke Committee (saat ini dikenal dengan Basel Committee on Banking Supervision/BCBS) tahun 1979 terkait dengan pembahasan excessive lending growth. Pada pembahasan tersebut diidentifikasi adanya integrasi antara permasalahan microeconomic dengan macro-economic yang disebut dengan istilah macro-prudential (Clement, 2010).
1
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
1997/1998, yang ditandai dengan penyusunan kerangka stabilitas sistem keuangan Indonesia dan pembentukan Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK) di Bank Indonesia. Berdasarkan kerangka tersebut, Bank Indonesia berupaya menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia melalui dua pendekatan, yaitu mikroprudensial dan makroprudensial (BI, 2007). Hal ini menunjukkan bahwa sejak awal tahun 2000, Bank Indonesia telah memerhatikan aspek makroprudensial dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Peran Bank Indonesia di bidang makroprudensial tertuang dalam UndangUndang (UU) Republik Indonesia No. 21 Tahun 2011 tanggal 22 November 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (OJK), sejalan dengan beralihnya fungsi pengaturan dan pengawasan bank (mikroprudensial) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sejak tahun 2003, Bank Indonesia telah aktif mengomunikasikan hasil pemantauan (surveillance) atas stabilitas sistem keuangan secara semesteran. Hasil tersebut dituangkan dalam laporan yang dikenal dengan nama Kajian Stabilitas Keuangan (KSK). Dalam perjalanannya, kemampuan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas sistem keuangan telah diakui secara internasional seperti terlihat dari keberhasilan Bank Indonesia dalam memperoleh penghargaan sebagai “The Best Systemic and Prudential Regulator” pada acara The Asian Banker Annual Leadership Achievement Awards yang diselenggarakan pada 25 April 2012, di Bangkok. Penghargaan tersebut merupakan bentuk apresiasi atas kemampuan Bank Indonesia dalam mengarahkan industri perbankan Indonesia untuk menerapkan aturan berstandar internasional, serta kemampuan merespons gejolak perekonomian global pada saat krisis hingga mampu menghindari terjadinya risiko sistemik.
I.2. Definisi dan Karakteristik Kebijakan Makroprudensial Dalam penelitian yang dilakukan di BIS, Swiss, kebijakan makroprudensial didefinisikan sebagai kebijakan yang bertujuan untuk membatasi risiko dan biaya dari krisis sistemik (Galati G., and Richhild M., 2011). Sementara European Systemic Risk Board 2
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
(ESRB), yaitu badan yang memiliki misi mengawasi sistem keuangan Eropa, serta mencegah dan membatasi terjadinya risiko sistemik di sistem keuangan Eropa, mendefinisikan kebijakan makroprudensial sebagai kebijakan yang ditujukan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan, termasuk dengan memperkuat ketahanan sistem keuangan dan mengurangi penumpukan risiko sistemik, sehingga memastikan keberkelanjutan kontribusi sektor keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi (ESRB, 2013). Penjelasan serupa disampaikan oleh IMF, yang mendefinisikan makroprudensial sebagai kebijakan yang memiliki tujuan untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan risiko sistemik (IMF, 2011). Merujuk pada beberapa definisi di atas, setidaknya terdapat 3 (tiga) kalimat kunci untuk menggambarkan kebijakan makroprudensial, yakni diterapkan dengan tujuan menjaga stabilitas sistem keuangan, diterapkan dengan berorientasi pada sistem keuangan secara keseluruhan (system-wide perspectives), dan diterapkan melalui upaya membatasi terbangunnya (build-up) risiko sistemik. Secara sederhana kebijakan makroprudensial merupakan penerapan prinsip kehati-hatian pada sistem keuangan guna menjaga keseimbangan antara tujuan makroekonomi dan mikroekonomi. Menjaga stabilitas sistem keuangan merupakan tujuan yang dilakukan bersama antara beberapa otoritas. Dalam hal ini, terdapat lebih dari 1 (satu) otoritas yang memiliki kepentingan dalam mencapai stabilitas sistem keuangan. Yang membedakan adalah kewenangan masingmasing otoritas dalam upaya mencapai tujuan tersebut, seperti bank sentral melalui kewenangan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran; pemerintah melalui kewenangan fiskal; dan otoritas pengawas industri jasa keuangan melalui kewenangan mikroprudensial. Dengan demikian, implementasi kebijakan makroprudensial sangat mungkin dilakukan melalui interaksi dengan kebijakan lain, terutama dengan kebijakan yang memiliki dampak pada sistem keuangan. Biasanya interaksi ini bersifat saling melengkapi sehingga menjadikan elemen sistem keuangan menjadi lebih berhati-hati (prudent). Melalui interaksi antarkebijakan ini,
3
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
diharapkan agar permasalahan yang terjadi pada sistem keuangan tidak berdampak negatif pada kondisi makroekonomi dan sektor riil, serta sebaliknya. Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial memberikan arahan bahwa stabilitas sistem keuangan merupakan suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien, serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional. Sementara, sistem keuangan didefinisikan sebagai suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan nonkeuangan dan rumah tangga yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/ atau penyediaan pembiayaan perekonomian. Bila kebijakan mikroprudensial difokuskan pada tingkat kesehatan individu institusi keuangan (bank dan nonbank) dalam upaya menjaga stabilitas sistem keuangan, maka kebijakan makroprudensial lebih berorientasi pada sistem secara keseluruhan. Dengan demikian, fokus kebijakan makroprudensial tak hanya mencakup institusi keuangan, namun meliputi pula elemen sistem keuangan lainnya, seperti pasar keuangan, korporasi, rumah tangga, dan infrastruktur keuangan. Mengapa demikian? Karena kebijakan makroprudensial merupakan kebijakan dengan tujuan akhir meminimalkan terjadinya risiko sistemik. Dalam beberapa penelitian, risiko sistemik didefinisikan sebagai risiko yang dapat mengakibatkan hilangnya kepercayaan publik dan peningkatan ketidakpastian dalam sistem keuangan sehingga sistem keuangan tidak dapat berfungsi dengan baik dan mengganggu jalannya perekonomian. Risiko sistemik dapat terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga, atau terjadi secara perlahanlahan tanpa disadari atau dideteksi oleh berbagai pihak sehingga kebijakan yang tepat dapat terlambat diterapkan. Efek negatif risiko sistemik pada perekonomian dapat dilihat dari peningkatan jumlah gangguan pada sistem pembayaran, aliran kredit, dan penurunan nilai aset (Group of Ten, 2001). Dalam definisi yang lain, risiko
4
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
sistemik dirumuskan sebagai kombinasi dari keadaan-keadaan yang mengancam stabilitas atau kepercayaan publik terhadap sistem keuangan; serta sebagai risiko instabilitas keuangan yang menyebar sehingga dapat melumpuhkan fungsi sistem keuangan pada titik yang dapat mengganggu pertumbuhan ekonomi dan menurunkan kesejahteraan masyarakat (Billio et all, 2010 dan ECB, 2010). Sementara pada PBI Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, risiko sistemik didefinisikan sebagai potensi instabilitas akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan antarinstitusi dan/ atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Merujuk pada definisi risiko sistemik di atas, dapat disimpulkan 3 (tiga) hal berikut. Pertama, sumber risiko sistemik tidak harus berasal dari institusi keuangan, namun dapat berasal dari elemen sistem keuangan lainnya, seperti kegagalan korporasi atau permasalahan di sistem pembayaran, atau bahkan berasal dari gangguan (shock) di luar sistem keuangan. Kedua, keterkaitan (interconnectedness) di antara elemen sistem keuangan memunculkan potensi menularnya atau merambatnya risiko dari suatu elemen sistem keuangan kepada seluruh elemen sistem keuangan (contagion effect). Ketiga, potensi dampak yang ditimbulkan oleh risiko sistemik sangat luas, tidak hanya terbatas pada sektor keuangan, namun dapat mengganggu perekonomian. Dengan demikian, tujuan makroprudensial untuk meminimalkan risiko sistemik sesungguhnya merupakan upaya menjaga stabilitas sistem keuangan yang mencakup seluruh elemen sistem keuangan dengan tetap memerhatikan kondisi makroekonomi (Baca Boks 1.1. Mengapa Kebijakan Makroprudensial Tidak Hanya Mengenai Perbankan?). Tiga hal tersebut di atas menunjukkan bahwa kinerja dan tingkat kesehatan institusi keuangan bukan merupakan satu-satunya syarat untuk mengukur risiko sistemik dan menciptakan stabilitas sistem keuangan. Secara lebih luas, kebijakan makroprudensial mengukur
5
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
risiko sistemik dari limpahan (spillover) dampak dan biaya yang ditimbulkan, termasuk interaksinya dengan makroekonomi. Lebih lanjut dalam penelitian di BIS dinyatakan bahwa dalam perspektif makroprudensial, meskipun semua institusi keuangan memiliki kinerja dan tingkat kesehatan yang baik, namun kondisi tersebut belum cukup untuk menciptakan stabilitas sistem keuangan. Potensi risiko sistemik tetap dapat muncul apabila institusi keuangan menghadapi faktor risiko yang sama (common risk factor), antara lain akibat pemusatan risiko pada portofolio yang sama (concentration risk). Sementara itu, kinerja dan tingkat kesehatan setiap institusi keuangan tidak lagi menjadi syarat perlu apabila kegagalan atau risiko pada satu atau beberapa institusi keuangan tidak menimbulkan dampak yang signifikan (sistemik) terhadap sistem keuangan. Dengan penjelasan tersebut, kinerja dan tingkat kesehatan institusi keuangan tidak lagi menjadi syarat “cukup” dan “perlu” bagi makroprudensial dalam menciptakan stabilitas sistem keuangan (Borio, 2009). Berangkat dari konsep tersebut, guna meminimalkan risiko sistemik dalam cakupan makroprudensial, terdapat 2 (dua) dimensi yang menjadi menjadi acuan dalam proses identifikasi risiko dan perumusan kebijakan, yakni dimensi antarsubjek (cross section) yang berfokus pada perbedaan perilaku antarelemen dan agen keuangan, serta dimensi runtun waktu (time series) yang berfokus pada dinamika perilaku elemen/agen keuangan dari waktu ke waktu. Hal ini berbeda dengan kebijakan mikroprudensial yang cenderung hanya fokus pada dimensi antarsubjek (cross section), atau kebijakan moneter yang cenderung hanya fokus pada dimensi runtun waktu (time series). Secara lebih detail, dimensi antarsubjek (cross section) menekankan bagaimana risiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada satu periode tertentu, yang disebabkan oleh terpusatnya portofolio pada eksposur tertentu (concentration risk) atau adanya kesamaan eksposur (common risk factor), sehingga potensi menyebarnya risiko antarindividu/sektor (contagion risk) menjadi tinggi. Akibatnya, permasalahan yang terjadi di satu institusi dapat berakibat negatif pada institusi lainnya baik melalui saluran langsung maupun tidak langsung. Sedangkan, dimensi runtun waktu (time 6
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
series) menekankan pada bagaimana risiko dalam sistem keuangan berevolusi sepanjang waktu, termasuk evolusi dengan mengikuti siklus ekonomi (procyclicality). Adanya fokus pada dimensi runtun waktu ini yang mengakibatkan kebijakan makroprudensial umumnya bersifat time-varying (bervariasi menurut waktu), artinya kalibrasi kebijakan bersifat dinamis sesuai dengan evolusi terhadap siklus ekonomi. Permasalahan atau risiko yang mencakup dimensi runtun waktu selanjutnya akan direspon dengan kebijakan yang bersifat berlawanan dengan siklus ekonomi (countercyclical). Meskipun semakin banyak otoritas keuangan yang mengimplementasikan kebijakan makroprudensial, namun belum ada teori ekonomi yang menjadi pedoman dalam pelaksanaan kebijakan makroprudensial. Berbeda dengan kebijakan moneter yang menargetkan tingkat inflasi dengan variasi instrumen kebijakan yang jelas, seperti suku bunga, nilai tukar, dan uang beredar, target kebijakan makroprudensial untuk mencapai stabilitas sistem keuangan dengan meminimalkan risiko sistemik tidak dapat diukur hanya dengan menggunakan satu indikator. Hingga saat ini belum ada metode kuantitatif (model) yang secara komprehensif dapat mengukur risiko sistemik pada sistem keuangan, selain model dan metodologi yang menilai satu atau beberapa aspek risiko sistemik secara terpisah (BCBS, 2012a). Belum berkembangnya teori yang menjadi pedoman pelaksanaan kebijakan makroprudensial ini melatarbelakangi bank sentral dan otoritas keuangan negara-negara untuk mulai mengembangkan kerangka kebijakan makroprudensial sebagai pedoman untuk memastikan kebijakan makroprudensial, yang setidak-tidaknya dirumuskan dengan prosedur yang tepat berdasarkan informasi yang akurat dan dieksekusi dengan tepat waktu pada target yang sesuai. Upaya pengembangan kerangka kebijakan tersebut terus dilakukan sejalan dengan upaya mitigasi risiko sistemik melalui pengembangan metode identifikasi, monitoring, dan analisis risiko yang komprehensif.
7
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
Boks Mengapa Kebijakan Makroprudensial Tidak Hanya Mengenai 1.1. Perbankan? Jika seseorang punya kepastian pendapatan dalam jangka panjang, misalnya dalam bentuk pendapatan atau gaji bulanan, maka kebutuhan yang terpikir olehnya terlebih dahulu selain sandang dan pangan, umumnya adalah papan (atau properti). Perumahan adalah kebutuhan dasar manusia. Namun pada saat yang sama, properti juga adalah salah satu bentuk investasi yang disukai masyarakat, karena kecenderungan harganya selalu meningkat, terutama yang berlokasi di kota besar. Jika perekonomian sedang baik, dan kepastian usaha membaik, permintaan terhadap properti biasanya meningkat, baik untuk perumahan maupun untuk keperluan komersial. Apabila permintaan (demand) properti naik hingga menjadi lebih tinggi dari ketersediaannya (supply), maka harga properti meningkat. Kecenderungan peningkatan harga ini, menjadikan properti investasi yang menarik bagi masyarakat karena sudah pasti bertambah nilainya di masa depan sehingga memberikan imbal hasil yang baik. Akibatnya harga properti akan semakin terdorong untuk naik. Masih ingat dengan krisis keuangan global 2008 yang diawali dengan permasalahan sektor keuangan di Amerika Serikat? Krisis tersebut didahului dengan fenomena yang sama, yakni tren peningkatan harga properti. Pada saat kondisi perekonomian baik, biasanya ditunjang dengan kondisi tingkat bunga yang relatif rendah, sehingga dana untuk pinjaman pun menjadi lebih mudah diperoleh. Ditambah lagi, kemudahan memperoleh pinjaman dapat memfasilitasi spekulasi terhadap aset properti yang dibiayai melalui kredit. Kondisi ini mendorong peningkatan harga properti. Bagi bank sendiri, pemberian kredit pada sektor properti yang sedang mengalami tren kenaikan harga, dinilai cukup menguntungkan sehingga ekspansi kredit pada sektor properti pun terjadi. Bila pemberian kredit ini tidak diimbangi dengan aturan prudensial yang memadai, sangat mungkin ekspansi
8
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
kredit properti tersebut akan diikuti dengan peningkatan angka non performing loan (NPL), yakni memburuknya kualitas kredit. Kondisi-kondisi di atas dapat menyebabkan peningkatan harga properti yang tidak wajar, atau yang kemudian disebut bubble (penggelembungan harga). Bubble merupakan kondisi di mana harga aset sudah tidak merepresentasikan harga fundamentalnya, yaitu untuk properti biasanya mencakup harga tanah, ongkos pembangunan, dan margin keuntungan pengembang. Apakah risiko dari membiarkan bubble terjadi? Harga properti yang tidak sesuai dengan fundamental menyebabkan nilai agunan untuk kredit pemilikan properti menjadi jauh di bawah nilai pinjaman. Sementara itu, pada saat perekonomian menurun dan kepastian pendapatan hilang, kemampuan masyarakat untuk pengembalian kredit menjadi tersendat sehingga kinerja kredit pun memburuk. Nilai agunannya tidak dapat menutupi kerugian dari kegagalan kreditnya. Terlebih jika NPL kredit properti semakin meningkat, maka akan ada banyak aset properti yang dijual untuk menutup kerugian sehingga harganya makin menurun. Dengan kata lain, gelembung pun pecah (bubble burst). Semakin tinggi tingkat konsentrasi kredit pada sektor properti, akan semakin luas dampak yang ditimbulkan, termasuk meningkatkan risiko sistemik. Penurunan harga propert tersebut akan mengakibatkan bank mengalami kesulitan likuiditas, sehingga sulit menyelesaikan kewajiban jangka pendeknya. Akibatnya terjadi instabilitas di sistem keuangan. Guna mengantisipasi terjadinya fenomena di atas, diperlukan suatu kebijakan yang mampu meredam akumulasi risiko yang timbul akibat tindakan spekulasi dan tingginya tingkat konsentrasi kredit pada sektor properti. Dalam hal ini, kebijakan yang bersifat mikroprudensial meningkatkan kehati-hatian bank sendiri tidak cukup. Diperlukan kebijakan yang bersifat agregat untuk mengendalikan perilaku ambil risiko agen ekonomi yang berlebihan, yakni kebijakan loan-to-value (LTV). Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengurangi perilaku spekulatif dalam
9
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
investasi properti yang dibiayai oleh sektor perbankan, dengan mensyaratkan besarnya uang muka kredit pemberian rumah pada jumlah tertentu. Namun untuk tetap memenuhi kebutuhan perumahan masyarakat, kebijakan ini hanya dibatasi untuk rumah mewah serta kepemilikan rumah kedua dan seterusnya. Hal ini untuk menjaga keberpihakan kepada pembeli rumah yang memiliki motivasi untuk dijadikan tempat tinggal utama. Fenomena di atas adalah salah satu contoh mengapa kebijakan makroprudensial tidak hanya melulu tentang perbankan. Walaupun yang dibatasi adalah bagaimana bank memberikan kredit kepada nasabahnya, kebijakan LTV dihasilkan dari pemantauan di sektor properti, termasuk perilaku perusahaan properti dan konstruksi, pemantauan terhadap kondisi makroekonomi sebagai lingkungan sistem keuangan, serta pemantauan terhadap daya beli rumah tangga. Dengan demikian, untuk kebijakan LTV saja, pemantauan perlu dilakukan kepada korporasi sektor konstruksi sebagai penyedia properti, pasar modal dan perbankan sebagai sumber pendanaan korporasi, perbankan sebagai pemberi kredit pemilikan rumah (KPR), serta rumah tangga dan korporasi sebagai pihak yang membutuhkan properti untuk residensial maupun komersial. Selain itu, untuk menjaga sinkronisasi kebijakan di sektor keuangan, institusi keuangan nonbank yang juga menyalurkan kredit perumahan pun perlu dipantau. Dalam kebijakan makroprudensial, kondisi korporasi dan rumah tangga, baik sebagai surplus maupun defisit unit dalam sistem keuangan, ikut menentukan keberlangsungan institusi keuangan sehingga perlu dipantau. Sebagai depositor dalam perbankan serta investor di pasar keuangan, korporasi dan rumah tangga merupakan sumber pendanaan dalam sistem keuangan. Sedangkan sebagai debitur perbankan dan institusi keuangan nonbank, kondisi keuangan korporasi dan rumah tangga juga ikut menentukan kinerja dan tingkat kesehatan institusi keuangan. Di samping itu, kondisi pasar keuangan sebagai sebagai tempat para
10
Apa dan Bagaimana Kebijakan Makroprudensial
investor bertemu dan melakukan perdagangan aset keuangan juga menjadi penting untuk dipantau, karena informasi di pasar keuangan mencerminkan perilaku dan kinerja sektor keuangan. Elemen lainnya dari sistem keuangan, yakni infrastruktur sistem keuangan atau lebih dikenal sebagai sistem pembayaran, pun perlu dijaga stabilitasnya untuk menjaga agar seluruh transaksi keuangan dapat berjalan dengan baik dan lancar. Gambar di bawah menunjukkan cakupan dari kebijakan makroprudensial, yaitu sistem keuangan. Setiap elemen menjadi penting untuk dimonitor karena risiko dapat diidentifikasi dan dinilai dari hasil pemantauan tersebut. Risiko di setiap elemen sistem keuangan yang tidak segera dimitigasi memiliki potensi untuk menjadi risiko sistemik yang akan menyebabkan instabilitas pada sistem keuangan. Gambar 1.1 Cakupan Sistem Keuangan dalam Kebijakan Makroprudensial
11
2
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan? II.1. Karakteristik Sistem Keuangan Seperti diuraikan pada bab sebelumnya, upaya menjaga stabilitas sistem keuangan tidaklah cukup bila hanya difokuskan pada tingkat kesehatan dan kinerja individu bank atau institusi keuangan lainnya. Hal ini karena dalam sistem keuangan, antara institusi yang satu dengan lainnya saling terkait dalam berbagai transaksi keuangan yang ada. Aset pada satu bank merupakan kewajiban (liability) pada bank lain. Sebagai contoh, pada transaksi Pasar Uang Antar Bank (PUAB), di mana antara bank satu dengan bank lainnya dapat melakukan kegiatan pinjam meminjam dana. Adanya gagal bayar di satu bank dapat berdampak pada bank lain atau bahkan beberapa bank sekaligus yang memiliki transaksi keuangan dengan bank tersebut. Sifat keterkaitan dan interdependensi antarindividu dalam sistem keuangan ini dikenal dengan istilah interconnectedness. Dengan adanya karakteristik interconnectedness dalam sistem keuangan, permasalahan pada satu institusi dapat dengan cepat menyebar pada institusi lainnya, sehingga menjadi permasalahan agregat sistem keuangan yang berpotensi menimbulkan dampak hingga ke sektor riil. Merujuk pada penjelasan di atas, potensi penyebaran risiko (spillover) dari satu institusi ke institusi lain menjadi lebih tinggi apabila permasalahan terjadi pada institusi keuangan yang besar atau dominan. Kegagalan bank besar dengan pangsa yang cukup tinggi dalam sistem keuangan akan memberikan dampak yang lebih signifikan dibandingkan dengan kegagalan bank dengan skala yang lebih kecil. Hal ini dikenal dengan konsep too-big-to-fail. Selain karena skala usahanya, bank besar cenderung memiliki interkonektivitas dengan bank lain yang lebih banyak dengan kompleksitas usaha 13
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
yang tinggi, sehingga permasalahan pada bank tersebut dapat mengakibatkan gangguan yang lebih luas dalam sistem keuangan, bahkan hingga bersifat sistemik (Baca Boks 2.1. Tidak Ada Lagi “TooBig-To-Fail”). Selain itu, potensi termaterialisasinya suatu risiko dapat muncul apabila beberapa institusi keuangan yang sehat secara bersamasama memiliki eksposur risiko yang sama (common risk factor). Hal ini dapat terjadi meskipun setiap institusi keuangan telah mengelola profil risiko masing-masing dengan baik. Sebagai contoh, ketika sektor properti sedang tumbuh pesat, mayoritas perbankan akan memfokuskan penyaluran kreditnya pada sektor tersebut. Akibatnya, tingkat konsentrasi perbankan pada sektor properti menjadi tinggi. Apabila terjadi perlambatan atau shock pada sektor properti, akan banyak bank yang terkena risiko yang sama. Kondisi ini berpotensi menimbulkan instabilitas dalam sistem keuangan. Dengan karakteristik sistem keuangan sebagaimana diuraikan di atas (adanya interconnectedness, institusi yang bersifat too-big-to-fail, dan common risk factor), dapat disimpulkan bahwa dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan, diperlukan suatu pendekatan pengaturan dan pengawasan yang lebih bersifat agregat, berorientasi pada sistem, dan memandang semua elemen dalam sistem keuangan sebagai satu kesatuan yang saling terkait satu dengan yang lain, serta mengerti dan waspada akan adanya potensi risiko sistemik. Pendekatan ini dapat diakomodasi oleh kebijakan makroprudensial. Kebijakan makroprudensial diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah yang bersumber dari karakteristik sistem keuangan tersebut. Kebijakan makroprudensial yang terfokus pada keseluruhan sistem keuangan diharapkan mampu menangkap sumber-sumber risiko secara agregat. Dengan demikian, kestabilan sistem keuangan akan dapat dicapai, karena fokus pengawasan tidak hanya terbatas pada kesehatan individu institusi keuangan. Bagaimana dengan kebijakan lain yang ada sebelumnya, apakah dinilai tidak cukup?
14
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
II.2. Kebijakan Makroprudensial Sebagai Komplemen Kebijakan Lain Dalam implementasinya, kebijakan makroprudensial secara efektif bisa menjadi komplemen atau pelengkap dari kebijakankebijakan lain yang sudah ada sebelumnya. Karakteristik kebijakan makroprudensial yang berorientasi kepada sistem, mencakup dimensi runtun waktu (time series) dan antarsubjek (cross section), serta diimplementasikan dengan perangkat prudensial, diharapkan dapat menutup kekurangan (gap) kebijakan mikroprudensial, moneter, maupun fiskal dalam mewujudkan stabilitas sistem keuangan. II.2.1 Kebijakan Makroprudensial dan Mikroprudensial Kebijakan mikroprudensial yang difokuskan pada tingkat kesehatan individu institusi keuangan lebih ditekankan pada dimensi antarsubjek (cross section), yakni bagaimana risiko teramplifikasi dalam 1 (satu) periode tertentu. Padahal, perilaku institusi keuangan dari waktu ke waktu juga perlu diperhatikan. Kesehatan institusi keuangan yang dinilai pada satu waktu tertentu tidak mampu menggambarkan evolusi risiko yang ada pada institusi tersebut. Karena pada kenyataannya, pergerakan institusi keuangan cenderung sejalan dengan naik turunnya perekonomian yang mewarnai perilaku ambil risikonya (procyclicality). Saat kondisi ekonomi sedang baik, insitusi keuangan akan melakukan ekspansi dan meningkatkan perilaku ambil risiko. Sedangkan ketika kondisi ekonomi sedang buruk, insitusi keuangan cenderung menahan ekspansi, mengurangi risiko termasuk menahan penyaluran kredit. Karakteristik kebijakan makroprudensial yang mencakup dimensi runtun waktu (time series) dan antarsubjek (cross section) mampu melengkapi kebijakan mikroprudensial dalam meredam amplifikasi risiko. Sementara, kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang berorientasi pada sistem, bertujuan melihat sistem keuangan secara keseluruhan melalui pendekatan yang bersifat top-down. Dengan pendekatan top-down (dari atas ke bawah), kebijakan yang akan
15
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
diambil didasarkan pada hasil analisis secara komprehensif terhadap kondisi makroekonomi dan dampaknya pada seluruh risiko dalam sistem keuangan, termasuk korelasi antara risiko sistemik, dinamika pasar, dan pilihan kebijakan yang akan dilakukan. Karakteristik kebijakan ini menjawab kebutuhan akan adanya suatu pendekatan yang bersifat agregat dalam menciptakan stabilitas sistem keuangan. Dengan demikian, kebijakan makroprudensial dengan pendekatan top-down akan melengkapi kebijakan mikroprudensial yang difokuskan pada pendekatan bottom-up (dari bawah ke atas) melalui analisis yang lebih mendalam atas risiko institusi keuangan secara individual (idiosyncratic risk). Berdasarkan penjelasan di atas, bisa disimpulkan bahwa baik kebijakan makroprudensial maupun kebijakan mikroprudensial sama-sama bertujuan mencegah instabilitas sistem keuangan, namun dengan pendekatan yang berbeda. Kebijakan mikroprudensial dengan fokus pada target kesehatan individual insitusi keuangan, pada akhirnya akan berupaya mencegah instabilitas dengan cara menekan kerugian yang ditanggung oleh institusi keuangan, serta bermuara pada perlindungan konsumen. Sementara itu, kebijakan makroprudensial yang fokus pada interaksi antara lembaga keuangan, pasar, infrastruktur dan ekonomi yang lebih luas, termasuk pengukuran potensi risiko ke depan; akan berupaya mencegah instabilitas untuk menghindari biaya perekonomian yang timbul dari kegagalan sektor keuangan (biaya penanggulangan krisis). Dengan kata lain, kebijakan makroprudensial bertujuan untuk membatasi kemungkinan kegagalan finansial yang berdampak signifikan terhadap sistem keuangan atau mencegah terjadinya risiko sistemik (Crockett, 2000). II.2.2 Kebijakan Makroprudensial dan Moneter Kebijakan makroprudensial juga melengkapi kebijakan moneter. Kebijakan moneter yang difokuskan pada stabilitas harga dan perekonomian secara makro tidak secara langsung bisa menjangkau permasalahan di level mikro sistem keuangan. Pengalaman masa lalu menunjukkan bahwa kondisi krisis dapat terjadi meskipun dengan
16
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
kondisi inflasi dan output gap yang rendah (IMF, 2013a). Sumbersumber risiko makroekonomi dapat berasal dari instabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu, adanya pengawasan agregat pada sistem keuangan dari kebijakan makroprudensial dapat melengkapi fokus kebijakan moneter. Kebijakan makroprudensial dapat digunakan untuk melihat adanya potensi peningkatan risiko dari sistem keuangan yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian secara keseluruhan. Secara umum, kedua kebijakan ini beroperasi di bawah paradigma yang sama, yakni paradigma countercyclical: kebijakan moneter fokus pada stabilitas harga, sedangkan kebijakan makroprudensial fokus pada stabilitas keuangan. Kedua kebijakan ini saling terkait satu sama lain. Kondisi makroekonomi yang merupakan hasil dari implementasi kebijakan moneter, akan secara langsung memengaruhi stabilitas sistem keuangan. Perlambatan ekonomi atau volatilitas nilai tukar, misalnya, dapat secara langsung berdampak pada kinerja penyaluran dan kualitas kredit perbankan. Oleh karena itu, kedua kebijakan ini harus dijalankan secara optimal dari sudut pandang masing-masing, karena kekurangan dari sisi kebijakan moneter tidak akan dapat secara efektif ditangani oleh kebijakan makroprudensial. Dampak yang dapat ditimbulkan satu sama lain juga perlu untuk diperhatikan. Ada kalanya, kebijakan moneter yang berdampak pada seluruh pelaku ekonomi, dapat menimbulkan dampak yang kurang menguntungkan di sistem keuangan. Kebijakan makroprudensial dapat menutup gap di kebijakan moneter dengan kemampuannya untuk mengatur target objek dari kebijakannya. Kebijakan makroprudensial dan moneter dapat bersinergi untuk memberikan dampak kebijakan yang paling sesuai bagi perekonomian (Baca Boks 2.1. Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan Kebijakan Moneter dan Mikroprudensial). II.2.3 Kebijakan Makroprudensial dan Fiskal Kebijakan makroprudensial juga terkait erat dengan kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal yang tepat dan efektif akan mengurangi potensi
17
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
terjadinya shock makroekonomi, yang merupakan salah satu sumber pembentukan (build up) risiko sistemik (IMF, 2013b). Sebagai contoh, kenaikan (boom) pada konsumsi swasta dan rumah tangga dapat teramplifikasi oleh masuknya modal asing (capital inflow) yang tinggi secara persisten. Aliran modal asing yang masuk, antara lain melalui pasar saham dan obligasi, dapat meningkatkan kemampuan ekspansi usaha swasta sekaligus pendapatan masyarakat, yang pada akhirnya mendorong konsumsi masyarakat. Apabila kenaikan konsumsi tersebut terjadi pada barang-barang dengan import content yang tinggi, dapat memicu terjadinya defisit transaksi berjalan (current account deficit) yang persisten. Di sisi lain, pelaku pasar akan cenderung semakin ambil risiko (risk-taking) memanfaatkan kondisi ekonomi yang sedang mengalami boom. Pada kondisi ini, kebijakan makroprudensial sendiri tidak dapat meredam boom yang ada. Diperlukan koordinasi kebijakan bersama Pemerintah untuk memperbaiki kondisi defisit transaksi berjalan dengan melakukan pemberian insentif pajak untuk mendorong produksi barangbarang yang memiliki nilai tambah (value added) sehingga barangbarang yang bersumber dari luar negeri dapat digantikan dengan barang-barang produksi dalam negeri. Sementara itu, kebijakan makroprudensial dapat ditargetkan untuk meredam perilaku ambil risiko yang berlebihan dari pelaku pasar. Implementasi suatu kebijakan ada kalanya memberikan unintended consequences2 bagi kebijakan lain. Kebijakan fiskal berbentuk insentif pajak misalnya, di mana sistem akuntansi perusahaan menyatakan bahwa peningkatan utang akan memperkecil pajak yang harus dibayarkan (tax shield). Pengurangan pajak merupakan salah satu tujuan utama perusahaan, sehingga mengecilnya jumlah pajak dapat menjadi insentif perusahaan untuk meningkatkan utang (leverage). Sedangkan kebijakan makroprudensial menuntut adanya kehatihatian dalam berutang. Oleh karena itu, koordinasi antarotoritas dalam perumusan kebijakan sangat diperlukan guna meminimalisir unintended consequences dan meningkatkan efektifitas masingmasing kebijakan. 2.
18
Unintended consequences merupakan hasil yang tidak ditargetkan oleh kebijakan namun terjadi sebagai akibat dari implementasi kebijakan.
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
Boks Interaksi Kebijakan Makroprudensial dengan Kebijakan Moneter 2.1. dan Mikroprudensial Sebagai kebijakan yang paling terakhir masuk menjadi bagian tugas dari bank sentral, adalah wajar jika kebijakan makroprudensial harus beradaptasi dan menghormati kebijakan lainnya yang sudah menjadi tugas utama bank sentral, terutama kebijakan moneter. Namun perlu dicatat juga, bahwa kebijakan makroprudensial yang bertujuan membatasi risiko sistemik untuk menjaga stabilitas keuangan memang justru lahir karena stabilitas moneter tidak akan tercapai tanpa adanya stabilitas keuangan. Demikian pula sebaliknya. Hal ini disebabkan karena transmisi kebijakan moneter berlangsung melalu sistem keuangan, serta perilaku institusi/agen keuangan sangat dipengaruhi oleh kebijakan moneter. Keunikan dari kebijakan makroprudensial adalah kemampuannya dalam memberikan dampak kepada target agen keuangan tertentu. Misalnya, kebijakan makroprudensial bisa saja hanya ditujukan kepada agen keuangan yang berperilaku spekulatif dalam investasi di bidang properti, seperti melalui kebijakan loan-to-value (LTV) yang dirancang untuk menahan perilaku spekulatif dengan cara mempersyaratkan uang muka yang lebih besar untuk kredit pembelian rumah kedua dan seterusnya. Kelebihan ini tidak dimiliki oleh kebijakan moneter, di mana pada saat ditetapkan, akan berlaku rata bagi semua agen keuangan. Namun, kebijakan makroprudensial juga bukanlah senjata pamungkas yang dapat menyelesaikan semua permasalahan di perekonomian. Kebijakan ini dirancang untuk melengkapi kebijakan makroekonomi termasuk moneter dan fiskal, serta kebijakan mikroprudensial. Perlu diperhatikan bahwa target dari kebijakan makroprudensial adalah keseluruhan atau bagian dari sistem keuangan demi mengurangi potensi terjadinya risiko sistemik, yang jika tidak dimitigasi dapat menyebabkan terjadinya krisis keuangan yang dapat mengganggu stabilitas perekonomian. Kekuatan dari kebijakan makroprudensial adalah
19
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
kemampuannya menjaga keseimbangan antara pendekatan makroekonomi yang cenderung hanya melihat kondisi perekonomian secara agregat dan pendekatan mikroprudensial yang cenderung hanya memastikan individu institusi keuangan sehat. Interaksi antara kebijakan makroprudensial dengan kebijakan mikroprudensial lebih mudah diobservasi, karena pada dasarnya kebijakan makroprudensial diimplementasikan dengan menggunakan instrumen mikroprudensial, namun diberlakukan dengan tujuan yang berbeda dari tujuan mikroprudensial. Dalam kebijakan makroprudensial, terkadang kesehatan beberapa institusi keuangan terpaksa dikorbankan jika hal tersebut dapat menyelamatkan sistem keuangan secara keseluruhan. Misalnya, pada saat penyaluran kredit sudah berlebihan, kebijakan makroprudensial akan memformulasikan tambahan persyaratan minimum permodalan bank sehingga mendorong bank mengurangi perilaku ambil untung (Countercyclical Capital Buffer/CCB). Modal penyangga ini dimaksudkan untuk dapat dipergunakan oleh bank untuk menyerap kerugian pada saat kondisi perekonomian menurun di mana kinerja kredit cenderung menurun. Bagi bank, hal ini akan meningkatkan biaya dananya sehingga mengurangi keuntungannya. Beberapa bank bisa saja mengalami kesulitan untuk memenuhi peningkatan modal minimum ini sehingga tingkat kesehatannya menurun, namun hal ini akan melindungi keseluruhan sistem perbankan yang perlu berjaga-jaga terhadap membaliknya kondisi perekonomian. Oleh karena itu, wajar juga jika kebijakan makroprudensial cenderung fokus pada institusi keuangan yang memiliki dampak sistemik (misalnya bank sistemik atau systemically important bank), dengan mengimplementasikan aturan-aturan yang ketat untuk menjaga keberlangsungan institusi keuangan tersebut, sehingga tidak menimbulkan risiko sistemik. Jika disinkronisasikan, kebijakan makroprudensial dan kebijakan moneter memiliki kemampuan untuk saling menguatkan.
20
Mengapa Kebijakan Makroprudensial Diperlukan?
Pada saat perekonomian melaju terlalu cepat misalnya, kedua kebijakan ini bisa mencoba mengerem pertumbuhan kredit perbankan. Kebijakan moneter dengan cara meningkatkan suku bunga acuan, dan kebijakan makroprudensial dengan cara meningkatkan persyaratan permodalan bank pada saat ekonomi sedang meningkat (CCB). Kedua kebijakan ini akan menyebabkan biaya dana meningkat sehingga menurunkan ketersediaan dana untuk kredit, serta jika biaya dana dibebankan kepada debitur dalam bentuk kenaikan suku bunga kredit akan menambah biaya pelunasan kredit (repayment), sehingga akan mengurangi permintaan kredit. Namun ada kalanya, kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial dapat berlawanan dampaknya. Misalnya, dalam kondisi suku bunga yang rendah di mana kebijakan moneter dilonggarkan karena kebutuhan untuk mendorong perekonomian secara agregat, dapat memicu terjadinya penggelembungan harga properti (kenaikan harga yang berlebihan karena permintaan yang lebih tinggi daripada persediaan) atau biasa disebut bubble. Kondisi ini harus ditangani dengan kontraksi kebijakan makroprudensial, berupa LTV yang lebih ketat, di mana uang muka harus lebih tinggi untuk pembelian properti agar dapat menurunkan permintaan pembelian rumah. Kondisi yang dapat menimbulkan konflik kebijakan lainnya yaitu kebijakan moneter yang terlalu ketat untuk menurunkan tekanan pada nilai tukar Rupiah, yang berpotensi memberikan tekanan likuiditas pada perbankan. Adanya contoh-contoh di atas semakin menunjukkan perlunya sinergi antara kebijakan moneter dan kebijakan makroprudensial, serta sinergi antara kebijakan makroprudensial dan kebijakan mikroprudensial. Koordinasi antara kebijakan moneter dan makroprudensial telah berlangsung di bawah satu atap Bank Indonesia. Sementara, koordinasi kebijakan makroprudensial dan kebijakan mikroprudensial berlangsung antara Bank Indonesia dan OJK dalam mekanisme yang disebut Forum Koordinasi Makro dan Mikro.
21
3
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? III.1. Mandat dan Kewenangan Salah satu pelajaran dari krisis keuangan global adalah semakin pentingnya kebijakan makroprudensial yang didukung oleh penataan kelembagaan (institutional arrangement) otoritas keuangan, yang dapat menjamin efektivitas pelaksanaan tugas dari otoritas makroprudensial. Hal tersebut telah mendorong sejumlah negara memperbaiki penataan kelembagaan otoritas keuangan yang sebelumnya terbilang terfragmentasi, atau cenderung tidak memfasilitasi koordinasi antarlembaga. Krisis global menunjukkan bahwa struktur yang terfragmentasi mengurangi efektivitas upaya mitigasi risiko sehingga meningkatkan potensi pembentukan risiko sistemik. Penataan juga dilakukan guna menetapkan otoritas yang paling tepat diberikan mandat kewenangan makroprudensial. Penataan kelembagaan institusi makroprudensial dipengaruhi oleh kondisi spesifik di suatu yurisdiksi seperti ketersediaan dan kemampuan sumber daya, histori dari penataan kelembagaan yang ada saat ini, serta rezim moneter. Selain itu, ukuran dan kompleksitas struktur sistem keuangan, kerangka hukum yang berlaku, aspek ekonomi politis (political economy), dan kerangka kerja sama antarotoritas juga turut memengaruhi penataan kelembagaan tersebut. Di Indonesia sendiri, peran dari otoritas perekonomian dan sistem keuangan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan menjadi bagian yang sangat penting dalam menentukan penataan kelembagaan institusi makroprudensial. (Baca Boks 3.1. Koordinasi Antarotoritas dalam Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan). Tidak ada sebuah model yang sama yang dapat diberlakukan di semua negara dalam menentukan penataan kelembagaan otoritas
23
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
keuangan yang tepat di suatu yurisdiksi. Penataan kelembagaan yang dipilih akan mengacu pada karakteristik masing-masing negara. Terkait dengan kewenangan makroprudensial, beberapa opsi penataan kelembagaan yang dapat dipilih adalah: (a) diserahkan pada otoritas tunggal, (b) kewenangan dari berbagai otoritas, atau (c) kewenangan dari komite khusus. Opsi penataan yang dipilih suatu negara diharapkan dapat memastikan implementasi kebijakan makroprudensial secara tepat waktu dan efektif untuk memitigasi risiko di sistem keuangan. Penataan kelembagaan perlu memberikan kejelasan mandat pada otoritas makroprudensial untuk mengatur tujuan dan kewenangan otoritas makroprudensial. Selain itu, perlu ditetapkan kerangka akuntabilitas dan transparansi guna mendorong legitimasi dan komitmen tindakan oleh otoritas makroprudensial, serta bagaimana kebijakan lainnya berinteraksi dengan kebijakan makroprudensial. Observasi dari sejumlah praktik serta pelajaran dari krisis global menunjukkan bahwa bank sentral perlu memainkan peran penting dalam kebijakan makroprudensial, mengingat fungsinya sebagai otoritas moneter dan sistem pembayaran. Peranan ini memungkinkan bank sentral untuk memonitor keterkaitan makrofinansial (atau bagaimana elemen sistem keuangan berinteraksi dalam tataran makroekonomi), mengidentifikasi risiko sistemik, ataupun mengomunikasikan potensi risiko yang ada. Hal tersebut mendorong mayoritas yurisdiksi menunjuk bank sentral sebagai otoritas makroprudensial. Pemilihan bank sentral sebagai otoritas makroprudensial didasari oleh sejumlah faktor fundamental, terkait dengan posisi dan kapasitas spesifik yang dimiliki oleh bank sentral yang tidak dimiliki oleh institusi lain. Hal-hal tersebut adalah: 1. Bank sentral sebagai Lender of the Last Resort (LoLR)3 Fungsi bank sentral sebagai otoritas makroprudensial erat kaitannya dengan fungsi klasik bank sentral sebagai LoLR. Tugas 3.
24
Secara sederhana, bank sentral memiliki fungsi Lender of the Last Resort yang berarti bank sentral adalah lembaga terakhir yang bersedia memberikan pinjaman dalam kondisi lembaga lain tidak mau atau tidak sanggup lagi memberikan pinjaman. Fungsi ini dikaitkan juga dengan fungsi bank sentral sebagai pencipta uang.
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
otoritas makroprudensial untuk mendeteksi dan mencegah terjadinya risiko sistemik harus didukung dengan kemampuan menyediakan instrumen likuiditas dalam rangka menghindari terjadinya risiko sistemik. Dalam hal ini, bank sentral merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kemampuan menciptakan likuiditas. 2. Bank sentral sebagai otoritas moneter Kebijakan makroprudensial akan memitigasi dan meminimalkan perilaku pengambilan risiko yang berlebihan yang dapat mengganggu kestabilan harga. Sementara kestabilan harga itu sendiri merupakan tujuan pencapaian kebijakan moneter. Di negara yang perekonomiannya didominasi perbankan, bank sentral sebagai otoritas moneter dan makroprudensial harus mewujudkan perbankan yang sehat dan stabil karena transmisi kebijakan bank sentral dilakukan melalui jalur perbankan. 3. Bank sentral sebagai otoritas sistem pembayaran Pelaksanaan tugas makroprudensial untuk mencegah risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan, berkaitan erat dengan tugas bank sentral untuk menciptakan sistem pembayaran yang aman, efisien, lancar, dan andal mengingat adanya gangguan pada infrastruktur sistem keuangan, termasuk sistem pembayaran, berpotensi menjadi sumber risiko sistemik. 4. Bank sentral sebagai otoritas makroprudensial memiliki kapasitas dalam bentuk pengetahuan dan keahlian secara institusional (institutional knowledge and expertise) dalam melakukan asesmen risiko sistem keuangan secara menyeluruh Bank sentral memiliki kapasitas mengidentifikasi, memantau, dan menilai potensi risiko dan kerentanan yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan baik dari kondisi makroekonomi global dan domestik, dan tidak terbatas hanya pada perbankan. Makroprudensial memberikan asesmen secara menyeluruh dengan mempertimbangkan keterkaitan antarsektor sehingga dapat memberikan gambaran potensi ketidakseimbangan di 25
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
sistem keuangan dan bagaimana transmisi dampak yang terjadi terhadap sistem keuangan. 5. Bank sentral merupakan institusi yang memiliki kapasitas untuk merumuskan bauran kebijakan secara komprehensif Dalam menghadapi permasalahan multidimensi, negara berkembang memerlukan alternatif pendekatan yang menggabungkan perspektif dari sejumlah kebijakan (kombinasi moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran) agar kebijakan menjadi lebih efektif. Bauran kebijakan yang efektif untuk menjawab permasalahan risiko sistem keuangan akan sulit untuk dirumuskan bila kewenangan makroprudensial tidak menjadi kewenangan bank sentral. 6. Bank sentral memiliki jaringan (network) dengan bank sentral lain dan lembaga internasional untuk menjaga stabilitas sistem keuangan kawasan Bank sentral mampu menjadi organisasi yang belajar (learning organization) untuk menjaga standar dan kualitas asesmen sistem keuangan dan perumusan kebijakan makroprudensial. Penataan antara bank sentral (bilateral maupun multilateral) memungkinkan bank sentral melakukan kerja sama keuangan dengan bank sentral/lembaga internasional lain guna memitigasi/ mencegah potensi risiko sistemik di sistem keuangan domestik, regional, maupun internasional. Untuk dapat menjalankan kewenangan di bidang makroprudensial dengan efektif, baik dalam melakukan asesmen maupun merumuskan kebijakan guna membatasi risiko sistemik, sejumlah kewenangan perlu dimiliki oleh otoritas makroprudensial yaitu: i) kewenangan untuk melakukan pengaturan; ii) kewenangan untuk melakukan pengawasan (off-site); iii) kewenangan untuk melakukan pemeriksaan untuk mendeteksi pola perilaku agen keuangan, termasuk dalam rangka memastikan kepatuhan terhadap ketentuan yang ditetapkan; iv) kewenangan untuk meminta informasi baik secara rutin maupun nonrutin; serta v) perizinan untuk kegiatan tertentu yang merupakan cakupan otoritas tersebut.
26
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
III.2.Landasan Hukum Berdasarkan UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK khususnya penjelasan pasal 7, Bank Indonesia memiliki kewenangan di bidang makroprudensial. Kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial juga dinyatakan dalam pasal 40 dan penjelasannya mengenai kewenangan Bank Indonesia untuk melakukan pemeriksaan khusus kepada bank tertentu, serta penjelasan pasal 69 yang menyebutkan Bank Indonesia tetap memiliki tugas pengaturan makroprudensial. UU OJK mendefinisikan lingkup pengaturan dan pengawasan makroprudensial sebagai pengaturan dan pengawasan selain aspek kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank yang merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan mikroprudensial yang menjadi tugas dan wewenang OJK. Sementara itu, UU No. 9 Tahun 2016 tanggal 15 April 2016 tentang Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan (PPKSK), khususnya penjelasan pasal 3 ayat 2c, menyebutkan makroprudensial mencakup pengaturan dan pengawasan lembaga jasa keuangan yang bersifat makro dan berfokus pada risiko sistemik dalam rangka mendorong stabilitas sistem keuangan. Untuk melaksanakan kegiatan pengaturan dan pengawasan makroprudensial, Bank Indonesia menetapkan kerangka kebijakan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 16/11/PBI/2014 tanggal 1 Juli 2014 tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial. PBI diterbitkan sebagai pedoman dalam implementasi kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial, serta untuk meningkatkan pemahaman pelaku pasar terhadap peran Bank Indonesia sebagai regulator dan pengawas makroprudensial. Selanjutnya, mempertimbangkan perlunya terdapat kerangka kebijakan yang tepat, jelas, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan, disusunlah Peraturan Dewan Gubernur (PDG) No. 17/17/PDG/2015 tanggal 31 Desember 2015 tentang Kerangka Kebijakan Makroprudensial yang berfungsi sebagai aturan dan pedoman internal mengenai bagaimana Bank Indonesia menjalankan kerangka kebijakan makroprudensial. Dengan 27
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
kerangka kebijakan tersebut, diharapkan terdapat kejelasan dalam proses pengawasan, perumusan dan pengaturan kebijakan, serta komunikasi kebijakan; termasuk koordinasi dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan baik dalam kondisi normal dan krisis, serta penanganan permasalahan bank sistemik (sistemically important bank). Berdasarkan ketentuan tersebut, wewenang Bank Indonesia mencakup: i) Pengaturan Makroprudensial dan ii) Pengawasan Makroprudensial. Pelaksanaan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dimaksudkan agar fungsi dan operasional bank dan/atau lembaga keuangan dapat mendukung kegiatan ekonomi makro secara berkelanjutan, stabil secara industri dan/atau sistem, serta seimbang secara sektor ekonomi dan/atau kelompok masyarakat. Pelaksanaan kewenangan pengaturan dan pengawasan makroprudensial tidak ditujukan untuk menilai tingkat kesehatan bank secara individual. Berbagai ketentuan tersebut menegaskan posisi Bank Indonesia sebagai otoritas yang berwenang terhadap pelaksanaan dan pengawasan makroprudensial di Indonesia. Koordinasi antara berbagai otoritas terkait sangat diperlukan demi terlaksananya tugas dengan baik dan efektif.
28
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Boks Koordinasi Antarotoritas dalam Menjaga Stabilitas Sistem 3.1. Keuangan Untuk menjaga stabilitas sistem keuangan Indonesia, diperlukan kerja sama antara berbagai otoritas yang berwenang. UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK menjelaskan peranan antara otoritas yang bekerja sama dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Peran KSSK adalah untuk: (i) koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, (ii) penanganan krisis sistem keuangan, dan (iii) penanganan permasalahan bank sistemik, baik ketika sistem keuangan berada dalam kondisi normal maupun krisis. Otoritas yang berwenang dalam menjaga sistem keuangan tersebut adalah Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Gambar 3.1 Peran Otoritas Keuangan
Hubungan kerja antarotoritas keuangan dan juga Pemerintah secara keseluruhan tidak terbatas pada penanganan krisis saja. Dalam mengelola perekonomian negara sehari-hari, hubungan kerja ini dapat dilihat pada bagan di atas. Peran Bank Indonesia dalam stabilitas sistem keuangan dikaitkan dengan peran Bank Indonesia sebagai otoritas kebijakan moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran (infrastruktur sistem keuangan). Dengan kebijakan makroprudensial, Bank Indonesia
29
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
berupaya melakukan langkah-langkah untuk membatasi risiko sistemik melalui pemantauan keseluruhan sistem keuangan dan pengaturan perbankan di bidang makroprudensial. Bank Indonesia juga mengupayakan agar fungsi intermediasi sistem keuangan berjalan secara seimbang dan berkualitas dalam kaitannya dengan kondisi makroekonomi global dan domestik. Kebijakan moneter Bank Indonesia ditransmisikan melalui sistem keuangan, sehingga dapat langsung memengaruhi stabilitas sistem keuangan. Sementara, menjaga sistem pembayaran yang dapat diandalkan untuk pelaksanaan transaksi keuangan adalah salah satu prasyarat bagi terpeliharanya stabilitas sistem keuangan. Bagaimana dengan peran Pemerintah, OJK, dan LPS? Bersama-sama dengan Bank Indonesia, Pemerintah mengelola kebijakan makroekonomi melalui kementerian-kementerian terkait. Kementerian Keuangan sebagai otoritas kebijakan fiskal memiliki tugas utama untuk mengelola keuangan negara terutama untuk membiayai pembangunan, termasuk di dalamnya kebijakan perpajakan dan utang pemerintah. Kementerian di bidang ekonomi lainnya melaksanakan kebijakan makroekonomi yang menyentuh sendi-sendi perekonomian di bidang infrastruktur (antara lain perhubungan, pekerjaan umum) dan sektor riil (antara lain pertanian, perdagangan, perindustrian, pariwisata, kelautan). Kebijakan pada level sektor ekonomi ini secara langsung memengaruhi iklim bisnis di Indonesia, yang pada akhirnya memengaruhi kinerja sektor riil. Namun, Kemenkeu sendiri memiliki peran unik di sektor riil melalui kebijakan perpajakan, yang langsung menyentuh korporasi dan rumah tangga. Jika kita lihat pada bagan, korporasi dan rumah tangga selain merupakan bagian dari sektor riil, juga merupakan bagian dari sistem keuangan, yang berada di bawah pantauan Bank Indonesia. Sementara dalam pengelolaan keuangan negara, cara Kemenkeu mengelola Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara termasuk utang Pemerintah akan memengaruhi likuiditas
30
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
perekonomian, termasuk transmisinya pada likuiditas perbankan dan institusi keuangan lainnya. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kebijakan fiskal dari Kemenkeu secara tidak langsung dapat memengaruhi kondisi stabilitas sistem keuangan, sehingga Kemenkeu memiliki kontribusi dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Sementara, peran OJK terutama berujung pada perlindungan konsumen sistem keuangan. OJK bertugas menerapkan aturanaturan prudensial yang bertujuan untuk menjaga kesehatan individual institusi keuangan, serta memastikan kode etik pelaku pasar mendukung iklim investasi yang sehat. Untuk tujuan itu, OJK melakukan pengawasan mikroprudensial terhadap semua institusi keuangan untuk memastikan institusi dapat menjaga kelangsungan usahanya dengan mengelola risikonya. Kesehatan institusi keuangan merupakan salah satu faktor penentu stabilitas sistem keuangan. LPS berperan memberikan jaminan atas simpanan nasabah dalam bank. Untuk itu, LPS mengumpulkan iuran premi dari bank dan mengelola dana tersebut agar dapat dipergunakan untuk membayar simpanan nasabah bank yang mengalami kegagalan berdasarkan aturan penjaminan simpanan yang berlaku. Dalam penanganan bank bermasalah, LPS juga memiliki peranan penting. Secara khusus, LPS adalah otoritas resolusi bank, yang bertugas melaksanakan penanganan masalah solvabilitas Bank Sistemik serta bank lainnya, termasuk jika bank tertentu mengalami kegagalan. Peran LPS membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat pada perbankan nasional, karena adanya garansi pengembalian simpanan jika terjadi kegagalan bank. Kondisi ini mendukung proses pendanaan perbankan sehingga fungsi intermediasi dapat berlangsung dengan baik dalam mendukung stabilitas sistem keuangan. Dalam praktiknya, KSSK melakukan tukar menukar informasi mengenai kondisi stabilitas sistem keuangan dalam rapat-rapat rutin. Setiap otoritas keuangan sesuai dengan kewenangannya
31
Siapa yang Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
masing-masing diharapkan menyampaikan hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menjaga stabilitas sistem keuangan serta berkoordinasi untuk dapat menghasilkan solusi bersama. Terutama antara otoritas makroprudensial (BI) dan mikroprudensial (OJK) yang terdapat banyak singgungan antara tugas dan wewenangnya. Oleh karena itu, Bank Indonesia dan OJK memerlukan mekanisme kerja sama dan koordinasi lebih lanjut yang mengatur tugas dan wewenang masing-masing institusi. Pedoman kerja sama dan koordinasi antara Bank Indonesia dan OJK dituangkan dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) BI-OJK No. tanggal 18 Oktober 2013 tentang Kerja Sama dan Koordinasi Dalam Rangka Pelaksanaan Tugas Bank Indonesia dan OJK.
32
4
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial? Dalam melaksanakan kewenangan di bidang makroprudensial, Bank Indonesia perlu memiliki kerangka kebijakan yang tepat, jelas, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kerangka tersebut mencakup serangkaian pedoman bagi Bank Indonesia dalam menjalankan kewenangan guna merumuskan dan menghasilkan arah kebijakan yang tepat dan jelas. Di samping itu, kerangka dilengkapi pula dengan tujuan jangka panjang dari perumusan kebijakan. Kerangka kebijakan makroprudensial di Bank Indonesia disusun dengan difokuskan pada upaya untuk mendorong terpeliharanya stabilitas sistem keuangan yang diwujudkan melalui 4 (empat) hal, yaitu: (i) risiko sistemik yang teridentifikasi sejak dini dan termitigasi; (ii) financial imbalances4 yang minimal sehingga mendukung fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas; (iii) sistem keuangan yang efisien; dan (iv) akses keuangan dan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang meningkat. Dalam konteks makroprudensial, pengembangan akses keuangan5 dan UMKM6 4.
Financial imbalances atau ketidakseimbangan dalam sistem keuangan merupakan suatu kondisi dengan indikasi peningkatan potensi risiko sistemik akibat perilaku ambil risiko yang berlebihan dari pelaku sistem keuangan.
5.
Di Bank Indonesia, pengembangan akses keuangan dilakukan antara lain melalui program Keuangan Inklusif (financial inclusion). Hal ini dilatarbelakangi oleh fenomena yang terjadi paskakrisis 2008, yaitu dampak krisis kepada kelompok in the bottom of the pyramid (pendapatan rendah dan tidak teratur, tinggal di daerah terpencil, orang cacat, buruh yang tidak mempunyai dokumen identitas legal, dan masyarakat pinggiran) yang umumnya unbanked. Sebagai tindak lanjut, pada G20 Pittsburgh Summit 2009 dan dipertegas pada Toronto Summit 2010, disepakati perlunya peningkatan akses keuangan bagi kelompok tersebut, yang selanjutnya dikenal dengan program Financial Inclusion (FI). FI di Bank Indonesia dilaksanakan dalam Strategi Nasional Keuangan Inklusif, yang terdiri atas 6 (enam) pilar sebagai berikut: (i) edukasi keuangan; (ii) fasilitas keuangan publik; (iii) pemetaan informasi keuangan; (iv) kebijakan/peraturan yang mendukung; (v) intermediasi dan saluran distribusi; serta (vi) perlindungan konsumen.
6.
Pengembangan UMKM dilakukan mengingat UMKM merupakan salah satu pemain penting bagi perekonomian Indonesia, namun masih terkendala dalam hal pembiayaan oleh perbankan karena faktor berikut. Karakteristik UMKM yang sebagian besar masih unbanked dan tidak memiliki laporan keuangan yang memadai, menjadi keterbatasan bagi bank dalam menganalisa kelayakan usaha. Sebaliknya bagi UMKM, informasi mengenai produk dan jasa bank masih terbatas. Pengembangan UMKM di Bank Indonesia dilakukan melalui penyediaan media informasi bagi intermediasi bank dan UMKM, serta berbagai koordinasi dan kerja sama dalam hal pengembangan UMKM.
33
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
dilakukan dalam kaitannya dengan upaya mitigasi risiko sistemik akibat sistem keuangan Indonesia yang masih terkonsentrasi, antara lain pada sektor korporasi dan pada kalangan masyarakat tertentu. Peningkatan akses keuangan dan UMKM diperlukan mengingat sebagai negara berkembang, Indonesia masih terus melakukan pengembangan pasar keuangan baik dalam bentuk perluasan akses keuangan (financial broadening) maupun pendalaman pasar dengan pengembangan produk-produk keuangan (financial deepening). Kerangka kebijakan akan berhasil mencapai sasaran apabila diimplementasikan melalui strategi operasional yang baik. Dengan strategi operasional yang baik, diharapkan proses identifikasi risiko dapat dilakukan dengan lebih tepat, termasuk mengetahui bagaimana risiko tersebut menyebar dan melalui saluran apa penyebarannya. Pengukuran potensi dampak yang ditimbulkan diharapkan dapat dilakukan dengan lebih baik pula, sehingga bisa ditentukan dengan lebih akurat kapan saat yang tepat bagi otoritas untuk mengeluarkan instrumen kebijakan yang mampu mencegah penyebaran dampak risiko tersebut bagi sistem keuangan, makroekonomi, maupun sektor riil. Untuk itu, disusunlah strategi operasional yang merupakan rangkaian (alur) dalam melaksanakan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial sebagaimana diilustrasikan di Gambar 4.1. Terdapat 4 (empat) elemen utama dalam strategi operasional tersebut, yakni: (i) identifikasi sumber risiko sistemik; (ii) pengawasan makroprudensial melalui monitoring dan analisis terhadap risiko yang telah teridentifikasi sebelumnya serta pemberian sinyal risiko; (iii) respons kebijakan melalui desain dan implementasi instrumen kebijakan makroprudensial; dan (iv) protokol manajemen krisis (PMK). Ketiga elemen yang pertama, yaitu (i), (ii), dan (iii) akan diuraikan dalam bab ini, sementara elemen (iv) akan diuraikan secara khusus di bab berikutnya.
34
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Gambar 4.1. Strategi Operasional untuk Kerangka Kebijakan Makroprudensial
IV.1. Identifikasi Sumber Risiko Sistemik Identifikasi sumber risiko sistemik merupakan identifikasi terhadap kejadian dan/atau perilaku yang memengaruhi stabilitas sistem keuangan dan berpotensi memiliki dampak sistemik. Menurut Bernanke (2013), risiko akan termaterialisasi ketika peristiwa gangguan (shock) berinteraksi dengan kerentanan (vulnerability) dalam sistem keuangan. Interaksi ini diibaratkan pemilik rumah yang biasanya mengunci pintunya di malam hari untuk menjaga keamanan. Pada suatu malam dia lupa mengunci pintunya, sehingga menimbulkan kerentanan. Jika tidak ada kejadian gangguan berupa pencuri yang datang dengan maksud mengambil barang di dalam rumah, maka tidak akan terjadi risiko pencurian. Risiko pencurian terjadi pada saat kejadian pencuri datang ke rumah tersebut dan menemukan pintu rumah yang tidak terkunci. Selanjutnya, risiko akan menjadi risiko sistemik apabila tidak diimbangi dengan tingkat ketahanan (resilience) yang memadai. Dalam contoh risiko pencurian di atas, ketahanan bisa digambarkan dalam bentuk disimpannya barang-barang berharga di dalam kotak yang dilengkapi pengaman. Dengan demikian, jika ketika terjadi pencurian tidak ada barang
35
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
berharga yang hilang, kerugian menjadi tidak signifikan. Oleh karena itu, identifikasi sumber risiko sistemik dilakukan melalui 2 (dua) kegiatan utama, yakni: identifikasi terhadap shocks dan identifikasi terhadap vulnerability7. Saat ini, Bank Indonesia sedang mengembangkan metode identifikasi sumber risiko yang disebut dengan Balanced Approach (pendekatan seimbang). Pendekatan ini bertujuan untuk menetapkan prioritas risiko sistemik yang dilakukan melalui analisis memasangkan (pairing) antara potensi shock dan vulnerability. Metode Balanced Approach dinilai cukup efisien dalam mendukung upaya mitigasi risiko sistemik, karena menjaga keseimbangan antara pengawasan yang terfokus dengan pengawasan yang komprehensif terhadap seluruh kondisi sistem keuangan mengingat alokasi sumber daya nantinya akan berbeda pada setiap sumber risiko berdasarkan tingkat sistemiknya. Guna mendapatkan hasil yang komprehensif dalam melakukan penetapan prioritas risiko, Bank Indonesia juga melaksanakan Survei Risiko Sistemik guna mendapatkan persepsi eksternal sebagai pelengkap dalam melakukan analisis pairing. Survei yang dilakukan secara semesteran ini bertujuan untuk menggali informasi dari pihak eksternal atas sumber risiko dalam sistem keuangan Indonesia. Survei ini fokus pada responden yang dinilai kompeten terhadap isu-isu terkini dalam sistem keuangan, seperti: institusi keuangan, korporasi yang memiliki eksposur besar pada sistem keuangan, pakar ekonomi, akademisi yang kompeten di bidang perekonomian, lembaga riset yang kompeten dengan topiktopik ekonomi, dan media yang fokus pada isu ekonomi. Proses penetapan prioritas risiko dilengkapi dengan penyusunan peta transmisi dan penentuan indikator monitoring untuk setiap sumber risiko. Peta transmisi mencerminkan jalur penyebaran sumber gangguan hingga menjadi risiko sistemik, sehingga dapat menjadi acuan awal dan kerangka berpikir dalam melakukan asesmen risiko. Dalam bidang makroprudensial, semua risiko yang terjadi di perekonomian dan sistem keuangan berpotensi menjadi 7.
36
Shock merupakan peristiwa tertentu yang memicu (membarengi) terjadinya krisis (the proximate causes). Vulnerability diasosiasikan dengan kondisi (preexisting features) sistem keuangan yang dapat memperkuat (amplify) dan mempercepat penyebaran shock.
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
risiko sistemik. Namun sebagaimana krisis keuangan yang terjadi di masa lampau, terkadang otoritas keuangan tidak menyadari peta transmisinya sehingga terlambat mengantisipasi dan memitigasi risiko. Oleh sebab itu, peta transmisi risiko sistemik ini menjadi pedoman yang penting dalam proses pengawasan makroprudensial. Selain itu, dilakukan juga identifikasi terhadap indikator-indikator yang merepresentasikan setiap tahapan pada jalur transmisi tersebut. Penyusunan peta transmisi dan indikator monitoring diharapkan dapat membantu proses monitoring dan analisis risiko sistemik hingga menjadi lebih efisien dan terarah.
IV.2. Pengawasan Makroprudensial Berdasarkan kewenangannya, Bank Indonesia dapat melakukan pengawasan makroprudensial dengan cara off-site (tidak langsung) maupun on-site (langsung) dengan melakukan pemeriksaan tematik. Hasil pengawasan makroprudensial ini akan dikomunikasikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam bentuk pemberian sinyal risiko hasil monitoring dan analisis risiko sistemik. Pengawasan makroprudensial akan ditindaklanjuti dengan pengembangan instrumen kebijakan apabila pemberian sinyal risiko mengindikasikan adanya pembentukan (build-up) risiko sistemik. Dalam hal ini, buildup ditandai dengan perkembangan indikator monitoring dan hasil uji ketahanan yang mengarah pada ambang instabilitas sistem keuangan. Apabila sinyal risiko mengindikasikan kondisi yang mengarah pada keadaan “krisis”, maka akan ditindaklanjuti dengan aktivasi Protokol Manajemen Krisis (PMK). Sementara dalam kondisi normal, pengawasan makroprudensial akan dilanjutkan secara berkala seperti biasa. IV.2.1. Monitoring dan Analisis Risiko Sistemik Monitoring dan analisis risiko sistemik merupakan rangkaian kegiatan pengawasan makroprudensial yang dilakukan dalam bentuk off-site dan terdiri dari 3 (tiga) kegiatan utama, yakni: monitoring, identifikasi tekanan dalam sistem keuangan (stress identification), dan penilaian risiko (risk assessment). 37
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
A. Monitoring Monitoring sistem keuangan dilakukan dengan memantau pergerakan indikator yang merepresentasikan kinerja elemen sistem keuangan dan indikator makroekonomi yang dapat memengaruhi kinerja sistem keuangan. Selain difokuskan pada prioritas risiko yang telah ditetapkan dalam metode Balanced Approach sebelumnya, secara umum objek monitoring dapat mencakup seluruh elemen dalam sistem keuangan, yaitu: lembaga keuangan bank dan nonbank, khususnya yang memiliki potensi risiko sistemik, termasuk perusahaan induk, perusahaan afiliasi, dan perusahaan anak dari bank yang berpotensi menimbulkan risiko sistemik. Selain itu, objek monitoring juga mencakup pasar dan infrastruktur keuangan, serta sektor rumah tangga dan korporasi. Monitoring terhadap korporasi dan rumah tangga penting dilakukan mengingat kedua sektor tersebut memiliki hubungan langsung dengan institusi keuangan, sehingga adanya permasalahan yang terjadi pada kedua sektor tersebut berpotensi menimbulkan dampak pada institusi keuangan. Luasnya cakupan monitoring dimaksudkan untuk menangkap adanya unknown risk yang belum teridentifikasi sebelumnya. Untuk keperluan ini jugalah, Bank Indonesia telah memperluas cakupan monitoring terhadap risiko di sistem keuangan dengan menambahkan peran Kantor Perwakilan Dalam Negeri dalam mendukung tugas kantor pusat. (Baca juga Boks 4.1. Memperluas Jangkauan Monitoring Risiko dengan Regional Financial Surveillance). B. Stress Identification Stress identification dilakukan dalam rangka mengidentifikasi dan mengukur kapan kinerja indikator-indikator yang dimonitor memberikan sinyal yang membahayakan bagi sistem keuangan. Hal ini dilihat berdasarkan pembandingan indikator pada ambang (threshold) yang telah ditentukan dari hasil penelitian serta pendeteksian indikator ketidakseimbangan yang terjadi di sistem keuangan (imbalances indicators). Beberapa sarana (tools) yang saat ini digunakan oleh Bank Indonesia dalam fase stress identification
38
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
antara lain adalah siklus keuangan8 sebagai sinyal imbalances, Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) sebagai indeks komposit yang mencerminkan kinerja institusi keuangan dan pasar keuangan, dan Indeks Risiko Sistemik Perbankan (IRSP) sebagai indeks komposit yang mengidentifikasi kontribusi perbankan pada risiko sistemik dengan memperhitungkan indikator-indikator yang menentukan dampak sistemik (degree of systemicity) dari masing-masing individu bank. C. Risk Assessment Penilaian risiko (risk assessment) dilakukan dengan tujuan untuk mengukur sejauh mana potensi dampak yang ditimbulkan dari risiko yang telah teridentifikasi pada tahap sebelumnya terhadap sistem keuangan maupun sektor riil. Salah satu metode yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam melakukan penilaian risiko adalah stress test perbankan. Stress test merupakan metode untuk menilai tingkat ketahanan atas skenario tekanan (shock) tertentu yang diberikan. Saat ini, pelaksanaan stress test masih difokuskan pada perbankan, mengingat bank masih mendominasi sistem keuangan di Indonesia. Ke depan akan dikembangkan metode stress test untuk mengukur ketahanan korporasi. Di Bank Indonesia saat ini terdapat 2 (dua) jenis stress test. Pertama, stresst test dengan cakupan industri (industry-wide), yang bersifat dari atas ke bawah (top-down) dan dilakukan dengan pendekatan yang sama untuk semua bank, baik dari sisi pemodelan maupun pendekatan dalam simulasi neraca bank. Metode ini telah diimplementasikan secara berkala dalam proses pengawasan makroprudensial (Baca juga Boks 4.2. Stress Testing Perbankan: Menguji Ketahanan Bank dalam Menghadapi Tekanan). Kedua, metode perhitungan individual stress test (khusus bagi bank sistemik, atau bank lainnya jika diperlukan), yaitu dengan menggunakan pendekatan yang berbeda bagi setiap bank serta menggunakan data 8.
Siklus keuangan didefinisikan sebagai interaksi antara persepsi dari harga (value) dan risiko, perilaku terhadap risiko dan kendala pembiayaan (financial constraint), yang diterjemahkan sebagai boom yang diikuti oleh bust (Borio, 2012).
39
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
yang lebih rinci (granular) dari tiap bank. Saat ini, metode individual stress test sedang dalam tahap pengembangan. Pada jenis individual stress test ini, metode granular akan diimplementasikan. Sebagai informasi, pelaksanaan individual stress test akan dilakukan melalui koordinasi dengan OJK dan komunikasi dengan bank dalam bentuk pemeriksaan (apabila diperlukan) untuk memperoleh informasi dan data secara langsung dari bank. IV.2.2. Pemberian Sinyal Risiko Pemberian sinyal risiko merupakan tahap terakhir dari rangkaian kegiatan pengawasan makroprudensial. Tahap ini dinilai penting mengingat kegiatan pengawasan makroprudensial mulai dari monitoring, stress identification, dan risk assessment menjadi kurang optimal jika hasilnya tidak disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dalam waktu cepat dan tepat. Pemberian sinyal risiko yang tepat akan menentukan keberhasilan respons kebijakan yang diambil. Selain kepada siapa sinyal itu diberikan dan waktu penyampaiannya, faktor lain yang juga menentukan efektivitas pemberian sinyal risiko adalah strategi bagaimana sinyal tersebut dikomunikasikan. Secara umum, sinyal risiko sebagai hasil pengawasan makroprudensial diberikan kepada: a. Pihak Internal Pihak internal meliputi seluruh otoritas keuangan yang turut menjaga stabilitas sistem keuangan. Pemberian sinyal kepada pihak internal bertujuan untuk menyampaikan kondisi sistem keuangan terkini serta peringatan (alert) bagi otoritas keuangan mengenai kondisi sistem keuangan yang sudah memerlukan perhatian yang lebih intensif. Pemberian sinyal berupa laporan hasil monitoring, identifikasi, hingga pengukuran risiko sistemik disampaikan kepada Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia, serta kepada otoritas keuangan lainnya, yaitu Kementerian Keuangan, OJK, dan LPS. Guna memastikan sinyal dapat dikomunikasikan dengan efektif, maka digunakan ambang (threshold) “normal” dan “krisis” yang dimengerti dan disepakati oleh semua pihak sehingga akan mempercepat pengambilan
40
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
keputusan untuk mengatasi permasalahan jika diperlukan. Dalam kondisi normal, frekuensi pelaporan hasil pengawasan makroprudensial dapat mengikuti jadwal RDG dan rapat KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan)9. Sementara dalam kondisi “krisis”, frekuensi dan cakupan pelaporan perlu ditingkatkan sesuai dengan kebutuhan. b. Pelaku Pasar, Institusi Keuangan, dan Publik (Stakeholders) Pemberian sinyal kepada pelaku pasar dan publik merupakan bentuk komunikasi Bank Indonesia dan otoritas keuangan lainnya dalam memberikan informasi mengenai kondisi sistem keuangan terkini. Sedangkan pemberian sinyal kepada stakeholders ditujukan untuk meningkatkan perhatian stakeholders terhadap upaya-upaya pengelolaan portofolio sistem keuangan yang lebih berhati-hati (prudent) serta mulai meningkatkan kesadaran untuk mengurangi eksposur terhadap portofolio yang risikonya meningkat. Stakeholders dalam hal ini adalah semua pihak yang mengambil manfaat dari sistem keuangan. Secara lebih detail, pemberian sinyal kepada eksternal dilakukan dengan tujuan berikut: i. Memberikan penjelasan mengenai kebijakan di sektor keuangan untuk dapat memberikan kepastian bisnis di sistem keuangan; ii. Memberikan edukasi keuangan kepada publik untuk mengurangi ketidaksimetrisan (asymmetric) informasi yang biasa terjadi dalam bisnis keuangan; iii. Memastikan pelaku pasar dan publik mengikuti perkembangan sistem keuangan serta berkontribusi dalam menerapkan disiplin pasar10 untuk mengurangi perilaku ambil untung (risk taking behavior) yang berlebihan; serta iv. Dalam kondisi krisis, memberikan pedoman kepada pelaku pasar dan publik untuk berkontribusi dalam mengurangi propagasi atau penjalaran krisis serta mencegah krisis menjadi lebih parah. 9.
Sebelum UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK disahkan, fungsi KSSK dijalankan oleh FKSSK (Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan).
10.
Disiplin pasar adalah kontribusi dari pengguna/pelaku pasar keuangan untuk menjauhi atau menghukum pelaku pasar yang tidak menerapkan prinsip kehati-hatian.
41
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Agar penyampaian sinyal risiko, khususnya kepada pihak eksternal, berjalan efektif, diperlukan strategi komunikasi yang tepat mengingat akan adanya reaksi dan perubahan perilaku pelaku pasar dan publik atas informasi yang diperolehnya. Reaksi dan perubahan perilaku yang diharapkan terjadi adalah yang menuju ke arah positif serta membantu memperbaiki kinerja sistem keuangan. IV.2.3. Pemeriksaan Tematik Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, sebagai bagian dari pengawasan makroprudensial, Bank Indonesia dapat melakukan pemeriksaan khusus atau tematik. Pemeriksaan yang bersifat tematik sesuai dengan jenis risiko yang melekat dan tidak ditujukan untuk menilai tingkat kesehatan individual bank. Pemeriksaan ini dapat dilakukan kepada bank sistemik dan/atau bank lain berdasarkan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial; serta kepada lembaga lainnya yang memiliki keterkaitan dengan bank jika diperlukan, termasuk perusahaan induk, perusahaan afiliasi, dan perusahaan anak yang dinilai memberikan eksposur risiko yang signifikan terhadap bank atau berpotensi menimbulkan risiko sistemik. Secara umum, pemeriksaan makroprudensial dilakukan apabila hasil pengawasan off-site mengindikasikan adanya risiko yang berpotensi menimbulkan dampak sistemik, dengan tujuan untuk meyakini sumber risiko sistemik memang berasal dari kegiatan usaha bank tersebut. Selain tujuan tersebut, pemeriksaan juga dilakukan dalam rangka implementasi kebijakan dan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, serta dalam rangka meyakini kewajaran data yang disampaikan bank kepada Bank Indonesia sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia di bidang makroprudensial. Hasil pemeriksaan akan menjadi rekomendasi atau masukan bagi Bank Indonesia dalam perumusan atau evaluasi instrumen kebijakan makroprudensial. Dalam melakukan pemeriksaan, Bank Indonesia wajib memberitahukan secara tertulis kepada OJK sebagai otoritas mikroprudensial. Adapun laporan hasil pemeriksaan disampaikan kepada OJK paling lama 1 (satu) bulan sejak diterbitkannya laporan tersebut.
42
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Pemeriksaan tematik ini sangat membantu Bank Indonesia untuk lebih mengerti mengenai perilaku bank dalam menghadapi kondisi sistem keuangan. Informasi ini agak sulit diperoleh jika hanya mengandalkan pengawasan off-site. Selain itu, dalam kesempatan pemeriksaan tematik ini biasanya Bank Indonesia juga menerima masukan-masukan secara langsung dari bank mengenai dampak dari kebijakan makroprudensial serta kebijakan di sektor keuangan lainnya yang berguna menjadi bahan rujukan untuk preskripsi kebijakan makroprudensial.
IV.3. Desain dan Implementasi Instrumen Kebijakan IV.3.1. Motivasi Pengembangan Instrumen Makroprudensial Setelah melalui serangkaian proses pengawasan makroprudensial, tahapan dilanjutkan dengan desain dan implementasi kebijakan apabila pemberian sinyal risiko mengindikasikan adanya pembentukan (build-up) risiko sistemik. Dengan kata lain, kebijakan makroprudensial disusun sebagai respons atas hasil penilaian terhadap sumber-sumber risiko yang ada dalam sistem keuangan. Sebagai contoh, instrumen Loan-to-Value (LTV) yang dikeluarkan dalam rangka pembatasan pertumbuhan kredit properti. Instrumen ini dikeluarkan sebagai respons atas hasil asesmen yang menunjukkan bahwa pertumbuhan kredit properti serta Indeks Harga Properti tumbuh jauh di atas tren jangka panjangnya atau mengindikasikan adanya boom harga properti. Selain dalam bentuk instrumen pengaturan seperti disebutkan di atas, kebijakan makroprudensial dapat dirumuskan dalam bentuk himbauan (moral suasion) khususnya bagi institusi keuangan. Pada dasarnya, instrumen kebijakan makroprudensial disusun dengan menyesuaikan kondisi masing-masing negara. Akan tetapi, beberapa instrumen makroprudensial diimplementasikan sebagai respons atas mandat standar internasional. Dalam hal ini, panduan secara lengkap terkait dengan perumusan desain dan implementasi instrumen kebijakan tersebut diberikan oleh Basel Committee for Banking Supervision (BCBS), lembaga internasional yang menerbitkan rekomendasi dan standar pengaturan kehati-hatian secara 43
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
internasional bagi sektor perbankan. Salah satu contoh, instrumen kebijakan makroprudensial Countercycical Capital Buffer (CCB) yang dihasilkan dari mandat standar internasional dalam Basel III yang dikeluarkan oleh BCBS sebagai respons atas pengalaman krisis dan disusun untuk menanggulangi sifat prosiklikalitas perbankan terhadap siklus ekonomi (Baca juga Boks 4.3. Standar Internasional Pengaturan di Sektor Keuangan: Basel III). Lembaga internasional seperti BCBS seringkali memberi rekomendasi bagi negara-negara di dunia untuk menyusun kebijakan dalam rangka membentuk sistem keuangan yang semakin berhatihati (prudent). Rekomendasi tersebut selanjutnya direspons oleh otoritas keuangan berbagai negara dengan merumuskan rancangan implementasi instrumen kebijakan. Untuk instrumen kebijakan yang dikembangkan sebagai respons atas mandat standar internasional, biasanya otoritas keuangan negara-negara tidak memiliki ruang untuk menerapkan pengaturan yang lebih longgar, namun diperbolehkan jika lebih prudent dan pada beberapa aspek terkadang diberikan diskresi bagi otoritas keuangan untuk disesuaikan dengan kondisi masing-masing negaranya. Sementara itu, untuk instrumen kebijakan yang dikembangkan sebagai respons atas hasil penilaian risiko sistemik di masing-masing negara dan tidak ada standar internasionalnya, setiap negara memiliki keleluasaan yang lebih besar dalam merumuskan desain dan implementasi instrumen kebijakan tersebut. Sebagai contoh, untuk instrumen LTV, Bank Indonesia memiliki keleluasaan untuk menetapkan batasan maksimum nilai LTV untuk kredit properti yang dinilai memadai untuk memperlambat akumulasi risiko sistemik yang timbul dari pertumbuhan kredit di sektor tersebut. Dalam rangka merumuskan formula kebijakan makroprudensial yang tepat, penting untuk memahami permasalahan dan tujuan dengan melakukan eksplorasi atas semua kemungkinan solusi yang bisa dilakukan, termasuk memahami bagaimana mekanisme transmisi kebijakan dapat mencapai tujuan. Oleh karena itu, guna menghasilkan instrumen kebijakan yang optimal dan efektif, perumusan kebijakan makroprudensial dilakukan berdasarkan 44
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
prinsip berikut: (i) berdasarkan riset; (ii) berorientasi ke depan; (iii) memerhatikan tata kelola yang baik (good governance); (iv) mempertimbangkan kebijakan lain dalam sistem keuangan dan kebijakan perekonomian umumnya; (v) memerhatikan standar dan praktik internasional; serta (vi) memerhatikan peraturan perundangundangan yang berlaku apabila kebijakan tersebut dirumuskan dalam bentuk instrumen pengaturan. IV.3.2.Waktu Perumusan dan Implementasi Instrumen Makroprudensial Kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang bertujuan untuk menghindari terjadinya risiko sistemik. Oleh karena itu, waktu (timing) perumusan dan implementasi kebijakan menjadi sangat penting, termasuk menentukan waktu yang tepat untuk aktivasi/ deaktivasi suatu instrumen kebijakan. Implementasi instrumen kebijakan yang terlalu cepat atau lambat berpotensi mengurangi efektivitas kebijakan, atau bahkan dapat menimbulkan biaya regulasi atau unnecessary regulatory cost (CGFS, 2012). Hal ini terkait dengan karakteristik kebijakan makroprudensial yang mencakup dimensi runtun waktu (time series), sehingga menjadikan kebijakan makroprudensial sebagai kebijakan yang bersifat time varying atau fleksibel, yaitu dapat disesuaikan dengan siklus yang terjadi. Sebagai contoh, aktivasi LTV bagi kredit properti merupakan contoh instrumen time varying, artinya dapat disesuaikan dengan siklus pertumbuhan kredit sektor properti. Aktivasi LTV pada saat pertumbuhan kredit properti belum menunjukkan kondisi boom, justru berpotensi menghambat intermediasi sektor properti atau kesempatan masyarakat untuk memiliki properti. Sebagai pembanding, instrumen mikroprudensial rasio kecukupan modal (CAR) minimum bank sebesar 8% merupakan ketentuan yang tidak bersifat time-varying. Artinya, dalam kondisi siklus perekonomian apapun, bank tetap harus menjaga rasio kecukupan modalnya sesuai ketentuan yang disyaratkan. Faktor yang paling penting dalam penentuan waktu (timing) untuk formulasi dan implementasi kebijakan makroprudensial adalah keberhasilan proses pengawasan makroprudensial, yakni bagaimana
45
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
pengawasan tersebut dapat menghasilkan sinyal risiko yang tepat. Hal ini didasarkan pada kemampuan untuk mengidentifikasi dan mengukur sumber risiko sistemik dengan baik, antara lain melalui penggunaan indikator yang mengkonfirmasi dan mendukung (confirming dan supporting indicators), merujuk pada siklus keuangan dan hasil asesmen, termasuk stress test. IV.3.3.Instrumen Kebijakan Makroprudensial di Indonesia Berikut ini beberapa contoh instrumen kebijakan makroprudensial yang telah diimplementasikan di Indonesia yang pengaturannya dilakukan oleh Bank Indonesia: A. Loan-to-Value Ratio (LTV) atas Kredit Kepemilikan Rumah (KPR) dan Penentuan Down Payment (DP) atas Kredit Kendaraan Bermotor (KKB) Perumusan kebijakan LTV atas KPR dan DP atas KKB dilatarbelakangi oleh pertumbuhan kredit sektor properti dan kendaraan bermotor yang cukup tinggi saat itu, sehingga berpotensi menimbulkan terjadinya pembentukan risiko sistemik akibat perilaku ambil risiko yang berlebihan (excessive risk taking behaviour). Kebijakan batasan minimum atas LTV untuk KPR dan DP untuk KKB pertama kali diimplementasikan pada tahun 2012. Hingga saat ini, kebijakan tersebut telah disesuaikan 2 (dua) kali pada tahun 2013 dan 2015, yakni dengan melakukan perubahan atas besaran nilai minimum LTV dan DP yang disesuaikan dengan siklus perekonomian dan pertumbuhan kredit. Perubahan terakhir yang dilakukan bersifat pelonggaran (ekspansi) dengan tujuan untuk menjaga momentum pertumbuhan perekonomian melalui peningkatan fungsi intermediasi, agar bank dapat mengucurkan lebih banyak kredit. Adapun besaran nilai minimum LTV dan DP yang saat ini berlaku diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 17/10/PBI/2015 tanggal 18 Juni 2015 tentang Rasio Loan-to-Value atau Rasio Financiang-to-Value untuk Kredit atau Pembiayaan Properti dan Uang Muka untuk Kredit atau Pembiayaan Kendaraan Bermotor.
46
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
B. Giro Wajib Minimum (GWM) berdasarkan Loan-to-Funding Ratio (LFR) GWM LFR adalah simpanan minimum dalam Rupiah yang wajib dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia, sebesar persentase tertentu dari dana pihak ketiga (DPK) yang dihitung berdasarkan selisih antara LFR11 yang dimiliki oleh bank dengan LFR target12. Kebijakan tersebut dikembangkan dengan tujuan untuk mengurangi build-up risiko sistemik melalui pengendalian fungsi intermediasi perbankan sesuai dengan kapasitas dan target pertumbuhan perekonomian, serta menjaga likuiditas perbankan. Dengan demikian, kebijakan ini diharapkan mampu mendorong terciptanya fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, dengan tetap menjaga kondisi likuiditas bank. Kebijakan mengenai GWM LFR dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 17/11/PBI/2015 tanggal 26 Juni 2015 tentang Perubahan atas PBI No. 15/15/PBI/2015 tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing bagi Bank Umum Konvensional. C. Countercyclical Capital Buffer (CCB) CCB merupakan tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit dan/atau pembiayaan perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi mengganggu stabilitas sistem keuangan. Sebagaimana disampaikan sebelumnya, kebijakan ini merupakan salah satu kebijakan yang dirumuskan dalam mandat internasional, dengan melihat fenomena adanya kecenderungan pertumbuhan kredit yang bersifat prosiklikal, yaitu pertumbuhan pesat pada saat ekonomi sedang bertumbuh dengan cepat (boom) dan pertumbuhan menurun bahkan negatif pada saat ekonomi menurun (bust), 11.
Rasio LFR merupakan rasio yang mencerminkan besarnya jumlah pembiayaan (kredit) yang telah diberikan oleh bank terhadap jumlah pendanaan yang diperoleh bank. Dalam hal ini, pendanaan terdiri dari dana pihak ketiga (DPK) yang diterima oleh bank ditambah dengan sumber pendanaan yang berasal dari surat berharga yang diterbitkan oleh bank.
12.
Besarnya LFR target saat ini adalah 78% - 92%. Terdapat insentif pelonggaran batas atas menjadi 94% apabila bank telah menyalurkan kredit UMKM sebagaimana yang disyaratkan dalam PBI No. 17/12/PBI/2015 tentang Perubahan atas PBI No. 14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam Rangka Pengembangan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah; dengan kualitas kredit yang tetap terjaga.
47
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
sehingga berpotensi menyebabkan peningkatan risiko sistemik dalam kondisi ekonomi boom. Implementasi kebijakan CCB di Indonesia diatur dalam Peraturan Bank Indonesia No. 17/22/PBI/2015 tanggal 23 Desember 2015 tentang Kewajiban Pembentukan Countercyclical Buffer. (Baca juga Boks 4.4. Countercyclical Capital Buffer: Solusi Redam Rugi) Sebagai tambahan, kebijakan lain yang dikeluarkan terkait dengan mitigasi risiko sistemik adalah kebijakan mengenai Domestic Systemically Important Banks (DSIBs). Berdasarkan UU OJK, ketentuan terkait SIBs, seperti penentuan bank yang masuk dalam kategori SIBs, dikeluarkan oleh OJK melalui koordinasi dengan Bank Indonesia (Baca juga Boks 4.5. Tidak Ada Lagi “Too Big To Fail”).
48
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Boks Memperluas Jangkauan Monitoring Risiko dengan Regional 4.1. Financial Surveillance Seiring dengan semakin terkoneksinya pelaku sistem keuangan, gangguan di suatu sektor dapat dengan mudah ditransmisikan ke sektor lainnya baik di level nasional maupun daerah. Hal ini menyebabkan risiko yang dihadapi daerah semakin kompleks, sehingga peran daerah dalam mewujudkan stabilitas sistem keuangan menjadi penting. Menyadari hal tersebut, Bank Indonesia memperkuat fungsi Kantor Perwakilan Dalam Negeri (KPwDN) untuk turut melakukan pemantauan atas kondisi stabilitas sistem keuangan di daerah melalui kegiatan Surveilans Keuangan Regional atau Regional Financial Surveillance (RFS). Mengapa RFS menjadi sangat berguna bagi upaya menjaga stabilitas sistem keuangan? Indonesia memiliki wilayah yang cukup luas dari Sabang sampai Merauke. Indonesia bahkan adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Mengelola perekonomian dan sistem keuangan di Indonesia dengan karakteristik geografis seperti itu menjadi tantangan tersendiri, terutama karena setiap daerah memiliki keunikan dari sisi kekuatan perekonomian. Selain itu, dalam memantau sistem keuangan, ketidakseimbangan yang terjadi dalam sistem keuangan di daerah juga sama pentingnya dengan ketidakseimbangan secara nasional, karena memburuknya kinerja sistem keuangan di daerah dapat ditransmisikan ke daerah lainnya akibat adanya keterkaitan dalam sistem keuangan, dan pada gilirannya berpotensi menimbulkan risiko sistemik. RFS dalam hal ini membantu mempercepat deteksi terhadap ketidakseimbangan tersebut karena posisi KPwDN yang dekat dapat lebih sensitif mendeteksi permasalahan di daerahnya. Kondisi ketidakseimbangan apa yang dapat dideteksi di daerah? Tantangan utama dari pemantauan sistem keuangan adalah masih adanya sumber-sumber data yang tidak memadai untuk mendukung penilaian risiko secara dini dan akurat. Kondisi yang secara internasional populer disebut sebagai data gap ini
49
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
harus ditutupi dengan upaya-upaya perolehan informasi dengan berbagai macam cara. Salah satunya adalah dengan melakukan pendekatan secara langsung kepada pelaku ekonomi atau pelaku pasar. Di daerah-daerah terdapat elemen sistem keuangan yang cukup signifikan memberikan pengaruh pada kinerja sistem keuangan, yaitu korporasi-korporasi besar yang mengelola sumber daya di daerah, misalnya perkebunan kelapa sawit, perkebunan karet, industri tekstil, produksi beras, industri alat berat, pabrik semen, industri pariwisata, pabrik rokok, dan masih banyak jenis usaha yang berkonsentrasi di daerahnya masingmasing. Ditambah lagi, Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang selama ini juga telah berkontribusi pada perekonomian nasional rata-rata masih memerlukan perhatian karena aksesnya yang terbatas pada jasa keuangan serta membutuhkan bantuan teknis untuk pengembangan bisnisnya. KPwDN Bank Indonesia memiliki potensi menjalin hubungan baik dengan entitas-entitas di daerah ini. Misi ini menjadi lebih penting lagi terutama karena entitas-entitas ini merupakan penyedia lapangan kerja utama di daerahnya masing-masing. Secara makroprudensial, kinerja perusahaan-perusahaan dan UMKM ini menjadi penting karena menjadi motor perekonomian di daerahnya serta mampu memberikan lapangan kerja kepada penduduk setempat. Mereka menjadi penyedia likuiditas perekonomian di daerah, sekaligus menjadi andalan bagi pendapatan rumah tangga setempat. Dengan kata lain, kinerja yang memburuk dari perusahaan-perusahaan dan UMKM ini akan berakibat pada berkurangnya likuiditas di sistem keuangan daerah serta mengurangi pendapatan rumah tangga, yang akan mengakibatkan memburuknya kinerja kredit yang diperoleh perusahaan/UMKM tersebut serta kinerja kredit rumah tangga setempat. Kondisi ini akan memperburuk kondisi institusi keuangan yang berada di daerah itu. Semakin cepat risiko dideteksi secara dini, maka semakin cepat mitigasi risiko yang dapat dilakukan. Peran KPwDN
50
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Bank Indonesia dalam hal ini menjadi sangat penting dalam mendukung deteksi risiko-risiko sistem keuangan di daerah secara dini. Hubungan baik yang sudah dijalin oleh KPwDN Bank Indonesia dengan Pimpinan Pemerintahan Daerah, Kantor OJK, dan Kantor Wilayah Kemenkeu serta perbankan di daerah juga akan memudahkan upaya koordinasi dan kerja sama dalam mengatasi risiko yang dideteksi di daerah. Oleh karena itu, peran KPwDN yang selama ini lebih ditekankan pada pemantauan perkembangan ekonomi serta pemberian layanan di bidang sistem pembayaran dan pengedaran uang di daerahnya masingmasing akan ditambahkan dengan melakukan RFS.
51
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Boks Stress Testing Perbankan: Menguji Ketahanan Bank dalam 4.2. Menghadapi Tekanan Stress testing merupakan suatu metode pengujian ketahanan suatu objek dalam menghadapi kondisi buruk yang mungkin dihadapinya. Dalam dunia kedokteran, misalnya, stress testing diterapkan untuk menguji ketahanan jantung pasien dengan menggunakan treadmill yang disambungkan ke alat perekam jantung sebagai alat pengujinya. Pasien akan menjalani berbagai skenario kecepatan melalui alat tersebut untuk mengukur seberapa besar daya tahan jantungnya. Pengukuran dengan metode ini berhasil mendeteksi banyak pasien yang memiliki gangguan kesehatan jantung, sehingga dapat dilakukan tindakan dini untuk penyehatan. Stress testing juga lazim dilakukan di dunia otomotif dalam bentuk crash test, yaitu suatu metode untuk menguji standar keamanan mobil. Suatu varian mobil baru biasanya akan menjalani pengujian ini untuk menilai tingkat keamanan mobil bagi penumpangnya. Suatu mobil dinyatakan memiliki keamanan yang baik apabila benturan destruktif yang dialaminya tidak mengakibatkan cidera fatal atau kematian penumpangnya. Dampak skenario benturan yang buruk tersebut tidak membahayakan penumpang karena mobil dilengkapi dengan ketersediaan airbag yang cukup, sidebars yang kuat, serta komponen-komponen keamanan lainnya. Di sektor keuangan sendiri, kesadaran akan pentingnya memahami dan menggali metode pengukuran kerentanan sektor keuangan semakin meningkat pada tahun 1990-an. Dalam konteks sektor keuangan, stress testing didefinisikan sebagai suatu metode untuk menguji stabilitas sistem keuangan pada kondisi yang tidak diinginkan (adverse conditions)13. Pada literatur lain, stress test didefinisikan sebagai suatu metode untuk menghitung risiko dalam kondisi abnormal yang diciptakan oleh peneliti/pengambil kebijakan14. Perlu diingat bahwa kondisi 13. 14.
52
Borio, Drehman, dan Tsatsaronis (2012) Kalirai and Scheicher (2002)
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
abnormal ini tidak mencerminkan proyeksi perekonomian ke depan. Dengan mempertimbangkan sistem keuangan yang didominasi oleh perbankan, maka pengukuran ketahanan sistem keuangan yang dihitung melalui stress test perbankan sangat menentukan. Dalam hal ini, kecukupan modal menjadi indikator utama kondisi ketahanan perbankan. Modal menjadi bantalan bagi institusi keuangan untuk menyerap kerugian yang muncul akibat berbagai risiko yang dihadapi, seperti risiko kredit, likuiditas, pasar, maupun operasional. Pada risiko kredit misalnya, kerugian muncul karena adanya penurunan kemampuan membayar dari debitur akibat berbagai hal, antara lain karena penurunan pendapatan debitur akibat adanya guncangan perekonomian sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan rasio kredit tidak lancar atau non-performing loan (NPL). Dalam menghadapi pemburukann NPL, bank harus menyisihkan cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN). Pembentukan CKPN ini menyebabkan laba bank berkurang sehingga kemampuan bank dalam menyisihkan laba untuk pembentukan modal menurun. Hal ini akan menurunkan tingkat ketahanan bank yang tercermin dari penurunan rasio kecukupan modal bank. Secara umum, terdapat 2 (dua) pendekatan dalam melakukan stress testing, yaitu top-down stress test (industry-wide) yang dilakukan oleh bank sentral/lembaga pengawasan bank di mana diterapkan parameter yang sama untuk semua bank dan bottom-up stress test yang dilakukan oleh individu bank dengan model yang disesuaikan dengan pengelolaan risiko oleh bank. Bank Indonesia mengembangkan metodologi top-down stress testing untuk menilai ketahanan industri perbankan terhadap potensi risiko yang terjadi. Metodologi ini terdiri dari 7 (tujuh) elemen utama yang diperlukan untuk perhitungan stress testing perbankan, yaitu: 1. Skenario stress test; meliputi skenario makroekonomi dan skenario lainnya. Dalam praktik stress test di berbagai negara,
53
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
2.
3.
4.
5.
6.
7.
54
paling tidak terdapat 2 (dua) skenario makroekonomi, yakni skenario baseline dan skenario stress. Biasanya, skenario baseline merupakan hasil proyeksi variabel makroekonomi. Sementara itu, skenario stress dapat terdiri dari berbagai tingkatan, mulai dari yang ringan (mild), sedang (moderate), buruk (adverse), hingga sangat buruk (severely adverse). Macro stress testing: secara garis besar digunakan untuk melihat dampak dari berbagai faktor makroekonomi terhadap risiko kredit bank. Perubahan berbagai faktor makroekonomi, seperti pertumbuhan PDB, depresiasi nilai tukar, kenaikan inflasi, kenaikan policy rate, akan berdampak terhadap kualitas kredit perbankan yang dicerminkan dari peningkatan NPL. Credit risk stress testing: untuk mengukur dampak memburuknya kualitas kredit terhadap modal bank yang dicerminkan melalui tingkat kecukupan modal perbankan (Capital Adequacy Ratio/CAR). Market risk stress testing: untuk mengukur kerugian bank sebagai akibat perubahan suku bunga, perubahan harga surat utang negara (SUN), dan pelemahan nilai tukar (depresiasi), yang kemudian harus ditutupi dengan modal bank sehingga mengurangi rasio CAR-nya. Liquidity stress testing: untuk mengukur kemampuan alat likuid bank dalam memenuhi kewajiban jangka pendek (harian) bank. Integrated stress testing (gabungan dari credit risk dan market risk): untuk mengukur dampak dari credit risk dan market risk terhadap modal bank secara bersamaan. Interbank stress testing: untuk mengukur dampak kegagalan bank dalam memenuhi kewajiban antarbanknya terhadap bank lain (contagion effect). Interbank stress testing ini dapat mengetahui apakah suatu bank berdampak sistemik terhadap bank lain.
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Boks Tidak Ada Lagi “Too-Big-To-Fail” 4.3. Dalam dunia keuangan, istilah “too-big-to-fail” ditempelkan pada institusi keuangan yang mengelola aset yang cukup besar, memiliki keterkaitan yang besar dengan institusi keuangan lainnya, serta menyediakan jasa keuangan yang cukup signifikan; sehingga jika institusi keuangan ini gagal maka dampak negatif yang akan timbul akan sangat besar, serta besar kemungkinannya akan berakibat pada kegagalan institusi keuangan lainnya (atau disebut berdampak sistemik). Pengalaman krisis keuangan global di tahun 2008 memberikan pelajaran bahwa kegagalan institusi keuangan yang memiliki dampak sistemik secara global perlu ditangani secara terstruktur. Penanganan pada institusi too-big-to-fail ini diharapkan dapat meminimalisir gangguan terhadap sistem keuangan, serta tidak menimbulkan kerugian negara (dan masyarakat pembayar pajak) melalui pemberian bantuan pemerintah (bail-out). Kondisi ini memunculkan inisiatif reformasi keuangan global “ending too-big-to-fail” (menghentikan too-big-to-fail) di 2010 melalui publikasi Reducing the Moral Hazard posed by Systematically Important Financial Institutions (SIFI framework) atau “Mengurangi Moral Hazard Sebagai Akibat Institusi Keuangan Sistemik” oleh Financial Stability Board (FSB). Penyusunan SIFI framework ini bertujuan untuk mengatasi risiko sistemik dari kegagalan suatu SIFI dan mengatasi permasalahan moral hazard SIFI, di mana dana publik atau dukungan Pemerintah digunakan dalam mengatasi kegagalan institusi keuangan dimaksud (“bail-out”). SIFI framework mencakup berbagai rekomendasi untuk mengurangi kemungkinan dan dampak kegagalan dari SIFI, yang terdiri dari penetapan institusi keuangan yang berdampak sistemik, persyaratan tambahan modal, peningkatan pengawasan yang lebih intensif, mekanisme resolusi (penyelesaian) yang lebih efektif, serta penguatan infrastruktur pasar keuangan.
55
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Rekomendasi internasional tersebut diharapkan dapat diadopsi dalam rezim resolusi domestik, melengkapi resolution tools yang dimiliki oleh otoritas domestik, serta memfasilitasi kerja sama antarotoritas resolusi dalam menghadapi cross-border resolution. Penerapan di Indonesia Secara umum, perkembangan implementasi inisiatif global reform di area resolusi dari perspektif Indonesia tidak sepesat negara maju, mengingat Indonesia tidak memiliki serta bukan area operasi utama dari Global Systematically Important Banks (G-SIBs)15. Namun, agenda reformasi global yang sesuai dengan konteks domestik dapat semakin menyempurnakan kerangka hukum yang dimiliki oleh Indonesia. Sebagai otoritas yang memiliki kewenangan di bidang makroprudensial, Bank Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkuat upaya pencegahan pengambilan risiko yang berlebihan dari bank sistemik. Bank Indonesia juga berupaya meminimalisir risiko yang timbul dari kegagalan bank sistemik guna menjaga stabilitas sistem keuangan, nilai tukar, dan sentimen negatif terhadap arus modal. Untuk itu, Bank Indonesia memiliki kepentingan untuk melakukan pengawasan dan penanganan terhadap bank yang berdampak sistemik di sistem keuangan Indonesia. Saat ini Indonesia telah mengadopsi beberapa rekomendasi internasional terkait resolusi perbankan, di antaranya meliputi penetapan bank domestik yang memiliki dampak sistemik, dan persyaratan tambahan modal untuk institusi dimaksud serta alat resolusi (resolution tool) seperti bail-in. 1. Penetapan Bank Domestik yang Berdampak Sistemik untuk cakupan domestik (Domestic-Systemically Important Banks/ D-SIBs) 15.
56
G-SIB adalah bank yang berdampak sistemik dalam cakupan global. Dalam hal ini bank yang bersangkutan beroperasi lintasnegara sehingga memiliki pengaruh pada sistem keuangan global.
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) telah menetapkan metodologi untuk menentukan G-SIBs berdasarkan sejumlah indikator, meliputi ukuran (size), keterkaitan (interconnectedness) yang dapat digantikan (substitutability), dan kompleksitas (complexity). Pada tahun 2012, BCBS menetapkan framework penetapan DomesticSystematically Important Banks (D-SIBs), yang selanjutnya diadopsi oleh yurisdiksi untuk melakukan asesmen terhadap bank yang memiliki dampak sistemik terhadap sistem keuangan dan perekonomian domestik.
Kerangka D-SIB ini diimplementasikan dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK dan POJK No. 46/POJK.03/2015 tanggal 23 Desember 2015 tentang Penetapan Systemically Important Bank (SIB) dan Capital Surcharges, serta dalam UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK pasal 17 ayat (1), di mana diatur bahwa penetapan D-SIBs dilakukan oleh OJK berkoordinasi dengan Bank Indonesia, dan pemutakhiran daftar bank DSIBs dilakukan berkala setiap 6 (enam) bulan. Dalam hal ini, D-SIBs adalah bank-bank yang ditengarai memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas sistem keuangan domestik dan berfungsinya perekonomian dengan baik. Penetapan bank sistemik dimaksud sangat penting untuk mendukung pelaksanaan tugas Bank Indonesia, yang memiliki kewenangan untuk melakukan asesmen makroprudensial dan macro-surveillance .
2. Effective Resolution (Resolusi yang Efektif)
16.
Pada November 201116, FSB menerbitkan Key Attributes (KAs) sebagai tindak lanjut rekomendasi penyusunan standar rezim resolusi lintas batas (cross-border) yang dapat diterapkan terhadap seluruh institusi keuangan termasuk infrastruktur pasar keuangan. Hal ini bertujuan agar permasalahan pada suatu institusi keuangan dapat diselesaikan secara
Versi revisi dokumen diterbitkan pada tahun 2014.
57
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
terstruktur tanpa menimbulkan gangguan sistemik terhadap keseluruhan sistem keuangan dan tanpa mengganggu keuangan pemerintah dengan tetap melindungi fungsifungsi ekonomi yang vital. Secara garis besar, KAs merupakan elemen utama yang diperlukan untuk mendukung rezim resolusi (penyelesaian masalah) yang efektif. Elemen-elemen yang dimaksud terdiri dari cakupan, otoritas resolusi, mandat resolusi, serta berbagai aturan resolusi institusi keuangan termasuk dalam kaitannya dengan otoritas keuangan di negara lain. Implementasi KAs yang dimaksud dipersyaratkan kepada negara anggota FSB, terutama untuk negara yang memiliki G-SIBs. Dalam pelaksanaan resolusi terhadap institusi keuangan domestik, saat ini Indonesia telah memiliki sejumlah regulasi guna mendukung tersedianya kewenangan dari otoritas resolusi. UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK, menjadi landasan hukum untuk protokol penanggulangan krisis yang melibatkan beberapa otoritas terkait, yaitu Bank Indonesia, OJK, LPS, dan Kementerian Keuangan, serta menjadi payung hukum dari rezim resolusi domestik. Selain itu, Undangundang No. 24 Tahun 2014 tanggal 22 September 2004 tentang LPS telah mengatur kewenangan otoritas resolusi untuk melakukan kontrol dan operasional terhadap suatu bank, penggantian manajemen, dan pengalihan kewenangan. 3. Mekanisme Bail-in
58
Bail-in merupakan salah satu elemen KAs yang dipersyaratkan sebagai kewenangan dari otoritas resolusi. Bail-in merupakan kewenangan otoritas resolusi untuk melakukan restrukturisasi hutang dari institusi keuangan dengan melakukan write-down terhadap unsecured debt dan melakukan konversi menjadi ekuitas untuk menyerap kerugiannya. Prinsipnya adalah untuk mengeliminasi risiko
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
insolvent, dengan menyelamatkan institusi keuangan yang mengalami stres dengan merestrukturisasi kewajibannya tanpa harus melakukan injeksi dana pemerintah/ publik. Hal ini termasuk mengembalikan modal hingga memenuhi persyaratan batas minimum untuk memastikan keberlangsungan institusi. Langkah yang dilakukan dapat dengan mengonversi kewajiban menjadi ekuitas, melakukan suntikan modal dari pemegang saham baru, ataupun kombinasi keduanya. Tujuan utama dari prinsip ini adalah untuk mendapatkan solusi pendanaan dari sektor swasta sebagai alternatif dari penggunaan dana pemerintah/publik.
Bail-in telah diakomodir dalam UU PPKSK di mana bank sistemik diwajibkan memiliki atau menerbitkan convertible bond yang sewaktu-waktu bisa diubah menjadi ekuitas saham dalam kondisi krisis.
59
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Boks Countercyclical Capital Buffer: Solusi Redam Rugi 4.4. Pada akhir tahun 2015, Bank Indonesia meluncurkan instrumen Countercyclical Capital Buffer atau CCB. CCB dirancang untuk mewajibkan bank mencadangkan lebih banyak modal ketika kondisi ekonomi sedang meningkat atau boom, yang biasanya disertai dengan pertumbuhan kredit yang berlebihan (perilaku risk taking yang berlebihan). Harapannya, cadangan modal ini dapat digunakan oleh bank untuk meredam kerugian yang mungkin ditimbulkan di kemudian hari, saat perekonomian sedang bust atau melambat. Selain itu, cadangan modal ini juga diharapkan dapat digunakan bank untuk tetap menyalurkan kredit di tengah perlambatan ekonomi yang ada. Karena pada saat ini, perilaku bank cenderung menunjukkan prosiklikalitas: membanjiri pasar dengan kredit saat kondisi boom dan menahan kredit saat kondisi bust. Instrumen ini pertama kali direkomendasikan oleh BCBS tahun 2010 dalam dokumen Basel III: A Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking Systems. Penyusunan instrumen ini dilatarbelakangi oleh krisis 2008. Perilaku berutang berlebihan (over leverage) yang tidak diimbangi dengan permodalan dan likuditas yang kuat menyebabkan bank tidak mampu menyerap kerugian dan gangguan (shock) yang timbul. Hal ini diamplifikasi oleh adanya interconnectedness atau keterkaitan serta perilaku prosiklikalitas institusi keuangan. Kondisi-kondisi tersebut menunjukkan bahwa bank cenderung tidak proporsional dalam menilai risiko dan tidak memperhitungkan kondisi makrofinansial dalam kegiatan bisnisnya. Oleh karena itu, CCB dirancang sebagai instrumen untuk meredam risiko-risiko tersebut. CCB akan diaktifkan ketika pihak otoritas nasional menangkap sinyal risiko dari pertumbuhan kredit perbankan. Sebaliknya, CCB akan dinonaktifkan ketika pihak otoritas melihat perlambatan penyaluran kredit, atau indikasi bahwa bank memerlukan ruang gerak untuk menyerap
60
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
risiko menggunakan bantalan permodalannya. Karena aktivasi CCB didasarkan pada siklus keuangan yang bergerak secara lebih lambat daripada siklus bisnis, maka CCB tergolong sebagai instrumen yang relatif jarang diubah (infrequent). Untuk mengidentifikasi timing yang tepat dalam mengaktifkan instrumen ini, BCBS menggunakan selisih atau gap rasio kredit terhadap PDB (credit-to-GDP ratio) dari tren jangka panjangnya. Siklus keuangan dibangun antara lain dari pergerakan rasio ini dan diinterpretasikan sebagai persepsi agen keuangan terhadap iklim investasi dan kondisi perekonomian. Namun demikian, disadari juga adanya perbedaan karakteristik antarnegara sehingga indikator pengukuran siklus keuangan tersebut dapat disesuaikan oleh masing-masing negara. Hong Kong misalnya, mengkombinasikan indikator credit-to-GDP gap dengan indikator lain seperti harga beli dan sewa properti lokal, selisih suku bunga penawaran dan permintaan di pasar uang antarbank, dan ratarata kualitas kredit. Norwegia juga menggunakan beberapa indikator sekaligus seperti credit-to-GDP gap, rasio harga rumah terhadap pendapatan, harga riil properti, dan rasio pendanaan wholesale. Sedangkan Inggris hanya menggunakan satu rasio utama yang disarankan BCBS, yakni credit-to-GDP. Bagi bank, mengubah level permodalan bukan suatu hal yang mudah atau fleksibel. Oleh karena itu, untuk memberikan waktu bagi bank untuk beradaptasi dengan ketentuan CCB tersebut, BCBS memberikan waktu sampai dengan 12 bulan sebelumnya. Di Indonesia, kewajiban pemenuhan CCB ditetapkan paling cepat 6 bulan dan paling lambat 12 bulan setelah ketentuan disahkan. Sedangkan di Hong Kong, ketetapan peningkatan CCB menjadi 1,25% di Januari 2017 telah disampaikan pada Januari 2016, atau 1 tahun sebelumnya. Hal serupa juga dilakukan di India, dengan himbauan bagi bank agar dapat memenuhi ketentuan CCB lebih cepat dari 12 bulan. Sementara itu, Swiss menetapkan waktu implementasi yang lebih rendah, yakni 3 sampai dengan 12 bulan.
61
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Besaran CCB juga disesuaikan berdasarkan siklus keuangan yang ada. Kisaran tambahan modal (buffer) ditetapkan BCBS sebesar 0% (nol) sampai dengan 2,5% dari Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) di atas kewajiban modal minimum yang ditetapkan oleh standard Basel III. BCBS juga menentukan bahwa hanya Common Equity Tier 1 (CET Tier 1) yang dapat digunakan untuk memenuhi buffer tersebut. Hal ini dilakukan agar cadangan modal tersebut benar-benar dapat digunakan saat terjadi tekanan di sistem keuangan (stress). Implementasi CCB sendiri akan dilakukan secara bertahap sejak 1 Januari 2016 dan akan diterapkan penuh pada 1 Januari 2019. Pada tahun 2016, hampir seluruh negara menerapkan CCB pada level 0% (nol), sesuai dengan fase yang diterapkan oleh BCBS. Negara-negara tersebut antara lain adalah: Argentina, Australia, Belgia, Brazil, Tiongkok, Jerman, India, Indonesia, Jepang, Korea, Inggris, dan Amerika Serikat. Namun demikian, terdapat satu negara yakni Hong Kong yang telah memasuki fase kedua penerapan CCB dengan nominal 0,625% dan Swedia sebesar 1%.
62
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
Boks Standar Internasional Pengaturan di Sektor Keuangan: Basel III 4.5. Sejak krisis keuangan tahun 2008, G20 telah membentuk landasan baru kerangka pengaturan keuangan global untuk menciptakan sektor keuangan yang lebih tangguh dan lebih melayani kebutuhan ekonomi riil. Financial Stability Board (FSB) dan Basel Commitee for Banking Supervision (BCBS) kemudian menjabarkan penguatan sektor keuangan tersebut ke dalam kerangka regulasi dan menyusun tenggat waktu implementasi yang bertujuan untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap sektor keuangan global. Bersama dengan otoritas lainnya, termasuk otoritas keuangan di luar negeri, Bank Indonesia sebagai anggota FSB terus mengupayakan implementasi kebijakan reformasi global tersebut. Secara garis besar, penguatan sektor keuangan mencakup 5 (lima) agenda utama, yaitu: 1. Memperkuat ketahanan sektor perbankan Basel III pada dasarnya merupakan suatu kerangka pengaturan untuk memperkuat standar permodalan dan pengaturan standar likuiditas bank. Tujuan dari Basel III adalah untuk meningkatkan ketahanan sektor perbankan terhadap krisis. Kerangka pengaturan permodalan secara garis besar mengintegrasikan kebijakan kehati-hatian makro dan mikro yang mencakup: kualitas dan tingkat permodalan yang lebih tinggi; standar modal untuk meredam siklus ekspansi dan kontraksi kredit yang berlebihan; dan standar modal untuk mengurangi risiko sistemik. Selain peningkatan standar permodalan, Basel III juga memperkenalkan 2 (dua) standar minimum likuiditas yaitu: LCR (Liquidity Coverage Ratio) dan NSFR (Net Stable Funding Ratio). LCR dimaksudkan untuk meningkatkan ketahanan bank terhadap potensi tekanan likuiditas dalam jangka pendek, sementara NSFR bertujuan untuk meredam siklus ekspansi dan kontraksi likuiditas yang berlebihan di sektor keuangan.
63
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
2. Mengurangi moral hazard lembaga keuangan yang “too-bigto-fail” Salah satu tujuan reformasi sektor keuangan adalah untuk mengurangi risiko moral hazard yang terkait dengan persepsi “too-big-to-fail” atas lembaga keuangan sistemik atau systemically important financial institutions (SIFI). (Baca juga Boks 4.3. Tidak Ada Lagi “Too-Big-to-Fail”) 3. Memperluas parameter pengawasan dan pengaturan lembaga keuangan Belajar dari krisis, pengawasan dan pengaturan shadow banking juga perlu diperkuat. Lemahnya pengawasan shadow banking menyebabkan terjadinya pengambilan risiko berlebihan di luar sistem perbankan, yang pada akhirnya meningkatkan risiko di sistem keuangan secara luas.
Pendekatan pemantauan yang diusulkan adalah pendekatan perspektif makro, yaitu mengidentifikasi aktivitas/entitas shadow banking yang meningkat secara signifikan dari waktu ke waktu. Pendekatan lainnya adalah pendekatan perspektif mikro, yaitu mengidentifikasi aktivitas shadow banking yang dapat menimbulkan risiko sistemik pada sistem keuangan. Adapun pengaturan secara garis besar bertujuan untuk membatasi eksposur bank ke entitas shadow banking dan mengurangi risiko pada aktivitas shadow banking.
Di samping pengaturan dan pengawasan shadow banking, FSB menerbitkan berbagai rekomendasi pengaturan dan pengawasan secured financing transactions, yang mencakup antara lain repo dan peminjaman efek. Tujuannya adalah mencegah terjadinya perilaku berutang yang berlebihan (over leverage) dan mencegah deleveraging yang tajam ketika sistem keuangan mengalami tekanan. Dengan demikian, perilaku prosiklikalitas dapat dibatasi dan ketersediaan sumber dana yang berasal dari pasar securities financing dapat menjadi lebih stabil.
64
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
4. Reformasi pasar Over the Counter (OTC) derivatif Tujuan reformasi pasar OTC derivatif adalah meningkatkan transparansi dan memastikan pengelolaan risiko kredit di pasar derivatif, serta membatasi dampak contagion risk yang berasal dari pasar tersebut. Pimpinan G20 menyepakati area reformasi pasar OTC derivatives yang mencakup antara lain: kliring kontrak derivatif melalui lembaga kliring dan pelaporan kontrak derivatif kepada repositori perdagangan. Lembaga kliring berperan sebagai pemotong keterkaitan (circuit breaker) untuk mengurangi contagion risk. Risiko kredit di pasar derivatif dapat terjadi antara lain karena kelemahan pengelolaan risiko salah satu pihak yang terlibat di dalam transaksi. Sementara itu, pelaporan kontrak derivatif kepada repositori perdagangan bertujuan antara lain untuk meningkatkan transparansi pasar sehingga risiko sistemik dapat diidentifikasi secara dini. 5. Mengembangkan kerangka dan perangkat makroprudensial
Sampai saat ini belum terdapat definisi makroprudensial yang baku. Namun demikian, berbagai institusi menjabarkan makroprudensial sebagai perangkat untuk membatasi risiko sistemik. Kerangka dan perangkat makroprudensial ini dimaksudkan untuk menutupi kelemahan pengawasan terhadap sistem keuangan yang telah mengakibatkan terjadinya krisis keuangan global.
Reformasi keuangan global masih terus bergulir dan penguatan regulasi terus dilakukan. Meskipun terdapat tantangan kesenjangan antara perkembangan sektor keuangan di negara maju dan negara berkembang, Indonesia perlu memastikan bahwa pengaturan dan pengawasan yang dilakukan selama ini telah sejalan dengan best practices yang ada. Peningkatan kapasitas pengaturan dan pengawasan diperlukan untuk mengantisipasi perkembangan sektor keuangan yang sangat dinamis. Dengan demikian, pemenuhan Indonesia terhadap standar internasional diharapkan dapat mendukung upaya
65
Bagaimana Strategi Bank Indonesia dalam Melaksanakan Kebijakan Makroprudensial?
menjaga stabilitas keuangan dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
66
5
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis Protokol Manajemen Krisis (PMK) merupakan protokol yang dipergunakan untuk mengelola dan mengatasi kondisi krisis. Kata protokol sendiri didefinisikan sebagai sebuah sistem aturan yang menjelaskan praktik-praktik (conduct) dan prosedur yang benar (atau dianggap benar) yang harus dijalankan dalam suatu situasi yang formal. PMK dalam sistem keuangan menjadi penting dalam upaya penyelesaian krisis (crisis resolution) karena PMK akan membantu para otoritas keuangan bereaksi dan mengambil langkah-langkah yang tepat dan terkoordinasi untuk mengatasi krisis dalam waktu cepat. Ketepatan dan kecepatan menjadi sangat penting karena krisis keuangan biasanya dapat berubah menjadi lebih buruk dalam waktu cepat. Hal ini terutama disebabkan oleh teknologi tinggi yang diimplementasikan pada sistem keuangan yang mengakibatkan transaksi keuangan berlangsung dengan cepat, informasi kondisi keuangan tersebar dengan cepat, serta adanya ketidaksimetrisan informasi antara institusi keuangan dan pengguna jasa keuangan yang mendorong pengguna jasa keuangan percaya kepada berita-berita yang belum tentu dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Di Indonesia, ketentuan tentang PMK Nasional tercantum dalam UU No 9 Tahun 2016 tentang PPKSK. Berdasarkan UU tersebut, 4 (empat) lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yaitu Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan LPS, mendapatkan amanat untuk memperkuat peran, fungsi, dan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, penanganan kondisi krisis sistem keuangan, serta penanganan permasalahan Bank Sistemik, baik dalam kondisi sistem
67
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
keuangan normal maupun kondisi krisis sistem keuangan. PMK Nasional yang tertuang dalam UU PPKSK selanjutnya dijabarkan dalam PMK di masing-masing lembaga anggota KSSK. Dengan demikian, PMK Bank Indonesia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari PMK Nasional yang tertuang dalam UU PPKSK.
V.1. Dasar Hukum PMK Sebelum rancangan UU PPKSK disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat menjadi undang-undang pada tanggal 17 Maret 2016, keempat lembaga anggota KSSK menjalankan peran, fungsi, dan koordinasi dalam pemantauan dan pemeliharaaan stabilitas sistem keuangan dengan berlandaskan pada Nota Kesepahaman tanggal 3 Desember 2012 tentang Koordinasi dalam rangka Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Nota Kesepahaman tersebut mengatur tugas dan wewenang Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, OJK, dan LPS dalam beberapa hal sebagai berikut: a. Pertukaran data dan informasi; b. Evaluasi stabilitas sistem keuangan; c. Rapat koordinasi; d. Rekomendasi untuk melakukan tindakan dan/atau menetapkan kebijakan dalam rangka menjaga memelihara stabilitas sistem keuangan; e. Penetapan kebijakan dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan sesuai dengan kewenangan masingmasing lembaga; serta f. Komunikasi kepada publik dan stakeholders lainnya, melalui Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Nota Kesepahaman tersebut menegaskan ruang lingkup PMK di masing-masing lembaga anggota KSSK yang selanjutnya diintegrasikan menjadi PMK Nasional. Secara umum, PMK Nasional mencakup tugas dan wewenang masing-masing lembaga anggota KSSK, termasuk koordinasi pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan yang mencakup fiskal, moneter, makroprudensial dan mikroprudensial jasa keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan (termasuk 68
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
sistem pembayaran dan penjaminan simpanan), dan resolusi bank. PMK Nasional tersebut menegaskan pula mengenai proses pengambilan keputusan dalam rapat koordinasi hasil evaluasi, dan penyusunan rekomendasi serta langkah-langkah pencegahan dan penanganan kondisi sesuai wewenang masing-masing anggota KSSK. Sementara itu, PMK di tingkat lembaga merupakan pedoman dalam melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan penanganan krisis sistem keuangan sesuai tugas dan wewenang lembaga. PMK lembaga sekaligus berfungsi sebagai landasan hukum dalam proses pengambilan keputusan terkait pencegahan dan penanganan krisis. Di Bank Indonesia, pedoman mengenai langkah-langkah pencegahan dan penanganan krisis yang sesuai dengan kewenangan Bank Indonesia diatur dalam Peraturan Dewan Gubernur (PDG) Bank Indonesia tentang PMK, yang kini tengah berada dalam proses penyesuaian terhadap UU PPKSK. Petunjuk pelaksanaannya diatur dalam Surat Edaran (SE) Intern Bank Indonesia tentang Pedoman Pelaksanaan PMK. SE Intern tersebut mengatur secara spesifik mekanisme, pelaksanaan dan produk pemantauan, indikator dan tingkat tekanan/kondisi, dan mekanisme pengambilan keputusan.
V.2. Peran PMK Bank Indonesia dalam Memelihara Stabilitas Sistem Keuangan Kehadiran PMK Bank Indonesia menegaskan tugas dan kewenangan Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas moneter, mendorong stabilitas sistem keuangan melalui kebijakan makroprudensial, dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Oleh karena itu, kerangka surveillance dalam PMK Bank Indonesia mencakup beberapa hal sebagai berikut: a. Identifikasi risiko domestik dan global yang dapat memicu peningkatan tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan, b. Pengumpulan dan monitoring data dan informasi, c. Analisis kerentanan dengan menggunakan indikator kuantitatif dan kualitatif, dan d. Perumusan indikasi tingkat tekanan (Gambar 5.1). Penetapan indikator kuantitatif dan kualitatif dilakukan melalui 69
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
proses rekalibrasi secara rutin mengingat sumber gangguan/shocks dan kerentanan bersifat dinamis. Sementara, surveillance atau pemantauan terhadap indikator tersebut menjadi bagian tidak terpisahkan dari proses bisnis rutin pada seluruh satuan kerja terkait. Hasil surveillance selanjutnya menjadi dasar pengambilan keputusan terhadap langkah-langkah pencegahan dan penanganan kondisi krisis sistem keuangan. Gambar 5.1 Kerangka Surveillance dalam PMK
Peran PMK tersebut di atas semakin terlihat jelas pada saat tekanan terhadap sistem keuangan meningkat. Dalam kondisi tersebut PMK dapat memberikan pedoman yang jelas, terintegrasi, dan berkelanjutan bagi Bank Indonesia untuk melaksanakan langkahlangkah pencegahan dan penanganan. PMK sekaligus berfungsi sebagai landasan hukum bagi Bank Indonesia dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan tindakan secara cepat, termasuk dalam rangka koordinasi dengan Pemerintah, KSSK, dan/ atau institusi terkait. Untuk memastikan PMK dapat diimplementasikan secara cepat di level strategis dan teknis dengan tetap menjaga tata kelola yang baik, digunakan Crisis Binder17 sebagai pedoman (manual) yang bersifat singkat namun komprehensif dan praktis. Crisis Binder Bank 17.
70
Istilah Crisis Binder biasanya digunakan untuk dokumentasi kumpulan langkah-langkah atau aksi yang dapat dilakukan dalam rangka penanganan krisis. Dokumen ini ditujukan untuk memastikan langkah-langkah atau aksi penanganan krisis dapat dilakukan dengan cepat dan tepat.
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
Indonesia merupakan bagian dari Crisis Binder Nasional. Crisis Binder ini menegaskan pihak yang berwenang, waktu, dan mekanisme pengambilan keputusan dan pelaksanaan tindakan di setiap satuan kerja yang terlibat. Crisis Binder berisi pula indikator kuantitatif dan kualitatif yang dimonitor oleh tiap satuan kerja surveillance, action plan ketika hasil surveillance menunjukkan kondisi ditengarai krisis, serta bentuk komunikasi kepada Pemerintah, anggota KSSK, institusi terkait, dan/atau publik. Selain itu, juga dimuat opsi kebijakan bagi Bank Indonesia dalam mencegah dan menangani krisis. Mengingat Crisis Binder merupakan produk perencanaan kontinjensi yang disusun saat kondisi sistem keuangan sedang normal, desain opsi kebijakan yang dapat ditempuh Bank Indonesia dalam mencegah dan menangani krisis bersifat pre-determined (ditentukan terlebih dahulu) atau merupakan produk dari proses bisnis normal, sehingga akuntabilitas dan kredibilitas kebijakan terjaga.
V.3. Koordinasi Antarlembaga dalam Pencegahan dan/ atau Penanganan Krisis Koordinasi antarlembaga anggota KSSK menjadi bagian penting dalam pencegahan dan penanganan krisis mengingat sumber krisis berevolusi sepanjang waktu dan sering kali bersifat multidimensi. Secara historis, krisis nilai tukar, perbankan, dan utang di negara berkembang cenderung terjadi secara simultan. Kegagalan pembayaran utang pemerintah, atau krisis utang, seringkali didahului oleh peningkatan utang sektor publik, nilai tukar mata uang yang terlalu tinggi, serta risiko keuangan dan politik negara bersangkutan. Sementara, krisis nilai tukar meningkatkan probabilitas terjadinya krisis utang ketika nilai tukar riil suatu negara terapresiasi. Probabilitas terjadinya krisis utang secara tidak langsung dipengaruhi pula oleh kondisi likuiditas dan pasar utang internasional (Lauven and Valencia, 2013; Eijffinger and Karatas, 2013). Dengan demikian, pencegahan krisis memerlukan koordinasi dan pertukaran informasi hasil surveillance yang bersifat lintas sektoral dan lembaga. Koordinasi antarlembaga juga berperan penting dalam meminimalisir dampak negatif kebijakan (policy trade-off) yang 71
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
seringkali timbul ketika krisis hanya menyentuh satu atau dua sektor, namun memiliki dampak jangka panjang pada sektor lainnya. Sebagai contoh, dalam rangka mencegah dampak krisis keuangan global di 2007-2008 terhadap sektor riil, kebijakan fiskal dan moneter Eropa dan Amerika Serikat ditekankan pada menahan kenaikan tajam suku bunga pasar dan depresiasi nilai tukar. Kedua kondisi tersebut dinilai dapat memperburuk solvabilitas debitur dan kerugian perbankan. Bauran kebijakan yang akomodatif tersebut dengan cepat mampu memulihkan kepercayaan pelaku ekonomi dan menekan restrukturisasi utang. Namun demikian, dampak jangka panjang kebijakan tidak dapat dihindari. Utang pemerintah meningkat tajam dan pemulihan ekonomi berlangsung lebih lambat dibanding normanya (Claessens, 2011). Maka, langkah pencegahan dan penanganan krisis yang terkoordinasi diharapkan dapat meminimalisir langkah atau kebijakan yang bersifat kontra produktif dari satu atau beberapa lembaga anggota.
V.4. Opsi Kebijakan Bank Indonesia dalam Pencegahan dan Penanganan Krisis Dalam pencegahan dan penanganan krisis, Bank Indonesia memiliki opsi kebijakan yang mengacu pada peran dan wewenang dalam menjaga stabilitas moneter, mendorong stabilitas sistem keuangan, dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Beberapa opsi kebijakan cenderung ditempuh hanya pada saat tekanan terindikasi tinggi, sehingga dinilai sebagai kebijakan yang di luar konvensi atau tidak biasa (unconventional). Selain karena kompleksitas desain dan implementasi kebijakan, faktor biaya dan potensi moral hazard para pelaku ekonomi menjadi pertimbangan dalam membatasi penggunaan kebijakan unconventional. Secara spesifik, opsi kebijakan Bank Indonesia dalam rangka pencegahan dan penanganan krisis berkaitan erat dengan peran bank sentral: 1) sebagai Lender of the Last Resort (LOLR) yang merupakan fungsi inheren bank sentral dalam menjaga stabilitas sistem keuangan; dan 2) dalam memelihara stabilitas nilai tukar dan sektor eksternal. Berkaitan dengan fungsi LOLR, Bank Indonesia 72
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
dapat memberikan opsi penyediaan likuiditas yang bersifat intervensi pasar atau Liquidity Providing (Market Intervention) Options dalam mekanisme Operasi Pasar Terbuka (OPT) dan Standing Facility, atau memberikan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP). Opsi kebijakan tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa posisi Bank Indonesia di pasar uang memungkinkannya untuk melakukan deteksi dini tekanan likuiditas di pasar keuangan serta pentingnya menjaga fungsi pasar uang selama periode terjadi kepanikan di pasar keuangan (financial panic). Prinsip dasar LOLR adalah memastikan tersedianya likuiditas yang memadai di perekonomian khususnya melalui sektor perbankan, mengingat bank sentral berfungsi sebagai penyedia dan pengendali likuiditas melalui OPT (Thornton, 1939; Bagehot, 1873). Dalam kondisi financial panic yang menyebabkan terganggunya likuiditas di pasar uang, Bank Indonesia dapat melakukan intervensi pasar melalui OPT dengan menambah likuiditas Rupiah maupun valuta asing ke pasar uang. OPT tersebut ditujukan untuk mengatasi keketatan likuiditas atau terganggunya distribusi likuiditas antarbank. OPT dalam rangka intervensi pasar pernah dilakukan oleh Bank Indonesia di November 2008, dengan membuka reverse repo berjangka waktu satu hari sampai dengan satu tahun. Intervensi pasar tersebut mensyaratkan agunan berupa aset likuid yang berkualitas tinggi (high quality liquid assets), untuk memastikan pelaku pasar menitikberatkan pada mekanisme pasar dalam pemenuhan likuiditas sehingga fungsi bank sentral sebagai last resort terjaga (Baca juga Boks 5.1. Pelajaran Berharga dari Krisis Keuangan Global 2008). Bilamana kebutuhan likuiditas terjadi pada individual bank sehingga Bank Indonesia tidak membuka OPT, Bank Indonesia dapat memberikan Standing Facility yang disebut Lending Facility (fasilitas pinjaman), dengan tenor (jangka waktu) overnight (satu malam) dan persyaratan agunan yang sama dengan mekanisme intervensi pasar. Apabila bank memiliki kebutuhan likuiditas dalam tenor lebih panjang dari overnight dan/atau alat likud lainnya untuk digunakan sebagai agunan, Bank Indonesia dapat memberikan FPJP. FPJP hanya dapat diberikan kepada bank pemohon dan agunan yang memenuhi kriteria eligibilitas. Kriteria eligibilitas menyiratkan bahwa FPJP,
73
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
sebagaimana layaknya instrumen LoLR bank sentral lainnya, memiliki constructive ambiguity (ambiguitas yang bersifat konstruktif)18 untuk meminimalisir moral hazard di kalangan perbankan. Terkait dengan peran Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas nilai tukar dan sektor eksternal, Bank Indonesia dan/atau Kementerian Keuangan dapat mengaktivasi jaringan pengaman keuangan internasional atau yang disebut International Financial Safety Net (IFSN) apabila tekanan likuiditas bersifat eksternal dan/ atau berkaitan dengan neraca pembayaran. IFSN merupakan kerja sama Bank Indonesia dan/atau Pemerintah Republik Indonesia dalam mencegah dan menangani krisis secara bilateral, regional, maupun multilateral dengan bank sentral, otoritas moneter, dan/ atau otoritas lainnya, organisasi atau lembaga internasional, dan forum internasional dalam rangka pemenuhan kecukupan cadangan devisa dan/atau kesulitan likuiditas jangka pendek. IFSN dapat bersifat pencegahan krisis maupun penyelesaian krisis.
18.
74
Ambiguitas yang konstruktif dalam hal ini diimplementasikan dengan tetap memelihara diskresi dari BI dalam proses pengambilan keputusan dalam pemberian FPJP agar bank tidak berperilaku sedemikian rupa untuk menjamin keputusan pemberian FPJP. Perilaku ini yang dianggap sebagai moral hazard.
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
Boks Pelajaran Berharga dari Krisis Keuangan Global 2008 5.1. Beberapa hari setelah terjadinya kebangkrutan Lehman Brothers tanggal 15 September 2008, pasar keuangan global mengalami guncangan yang cukup kuat. Pelaku pasar yang sudah mengalami keresahan sejak pertengahan 2007 karena subprime mortgage crisis, tiba-tiba memperoleh konfirmasi bahwa permasalahan di pasar keuangan global sudah sangat parah. Lehman Brothers yang pada saat itu adalah bank investasi terbesar keempat di Amerika Serikat terpaksa mendeklarasikan bangkrut karena sudah tidak dapat lagi memenuhi kewajiban keuangannya. Peristiwa ini berdampak pada penurunan kepercayaan pada pasar keuangan global yang dampaknya tidak hanya terisolasi di Amerika Serikat, tetapi juga ke seluruh negara yang memiliki pasar keuangan yang aktif secara global, termasuk Indonesia. Investor asing terpaksa menarik likuiditasnya dari berbagai negara untuk menjaga posisi likuiditasnya sendiri. Karena penarikan dana investor asing di Indonesia serta penurunan tingkat kepercayaan, pasar keuangan Indonesia pun mengalami penjualan aset-aset pasar keuangan. Indeks Harga Saham Gabungan turun dari 2.166 pada 29 Agustus 2008, menjadi 1.256 pada 31 Oktober 2008 (-42%). Indeks harga obligasi pemerintah IDMA turun dari 86,18 menjadi 72,28 pada periode yang sama (-16%). Nilai tukar Rupiah terdepresiasi sebesar 20,7% sepanjang September dan Oktober 2008. Sementara dalam periode tersebut, cadangan devisa Indonesia turun sebesar USD 7,78 miliar. Tabel 5.1. Puncak Krisis Keuangan Tahun 2008 di Indonesia
75
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
Walaupun pasar keuangan mengalami gangguan yang cukup signifikan, perbankan Indonesia mampu menyerap risiko tersebut dengan menjaga indikator bulanan pada kisaran NPL 3,9%, CAR 16,5%, LDR 80%, pertumbuhan kredit 34,6% (y-o-y) pada September 2008. Namun demikian, perbankan merasakan tipisnya likuiditas pasar, sehingga pasar uang mengalami volatilitas yang cukup tinggi. Likuiditas Rupiah di perbankan juga mengalami penurunan karena menurunnya pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK). Sementara likuiditas valas juga menurun karena permintaan yang cukup tinggi dari pasar global. Dalam kondisi terjadinya ancaman pada stabilitas keuangan, sangat penting untuk mengutamakan langkah-langkah yang dapat mengurangi dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan menjaga kesinambungan perekonomian nasional. Dalam kondisi yang tidak normal seperti ini, otoritas perlu dipersenjatai dengan keleluasaan dan instrumen untuk dapat mengatasi kondisi krisis atau mendekati krisis. Namun, dasar hukum untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan krisis pada saat itu masih belum ada. Pemerintah memutuskan untuk menerbitkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undangundang atau Perppu, yaitu Perppu No. 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Perppu JPSK). Istilah ini adalah terjemahan dari financial safety net yang secara luas dimengerti oleh dunia keuangan internasional. Secara umum Perppu JPSK ini ditujukan untuk menciptakan dan memelihara stabilitas sistem keuangan melalui pengaturan dan pengawasan lembaga keuangan dan sistem pembayaran, penyediaan fasilitas pembiayaan jangka pendek, program penjaminan simpanan, serta pencegahan dan penanganan krisis (Depkeu RI, 2008). Untuk mengatasi kondisi instabilitas di sistem keuangan, selain dari Perppu JPSK tersebut, pada saat yang bersamaan Pemerintah juga menerbitkan 2 (dua) Perppu, yaitu Perppu No. 2 Tahun 2008 tentang Perubahan UU tentang Bank Indonesia dan Perppu No. 3 Tahun 2008 tentang Perubahan atas UU tentang Lembaga Penjamin Simpanan.
76
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
Bank Indonesia sebagai otoritas moneter secara independen dapat melakukan berbagai langkah untuk mengurangi tekanan pada industri perbankan, antara lain menurunkan suku bunga yang harus dibayar bank untuk mengakses fasilitas likuiditas dari Bank Indonesia seperti overnight Repo rate dan menurunkan giro wajib minimum bank. Namun dengan adanya Perppu JPSK, seluruh otoritas keuangan dan pelaku pasar sama-sama mengerti bahwa stabilitas sistem keuangan sedang terganggu dan bahwa otoritas keuangan telah siap melakukan langkah-langkah untuk menanggulangi kondisi tersebut. Bank Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah kemudian mengupayakan beberapa cara termasuk: (i) dihentikannya valuasi aset yang mengikuti harga pasar (marking to market) sehingga neraca institusi keuangan tidak terganggu oleh risiko pasar akibat turunnya harga-harga aset keuangan, (ii) mempermudah dipindahkannya aset yang masuk dalam portofolio perdagangan (tradable) dan siap diperdagangkan (available for sale) menjadi portofolio yang disimpan sampai dengan jatuh tempo (hold to maturity), dan (iii) meningkatkan batasan saldo dana pihak ketiga yang dijamin oleh LPS dari Rp 100 juta menjadi Rp 2 miliar. Selain itu, adanya Perppu JPSK ini kemudian memungkinkan Pemerintah untuk menerbitkan peraturan pemerintah mengenai Protokol Manajemen Krisis (PMK). PMK berguna untuk mempercepat kesamaan pandang dan pemahaman mengenai situasi yang berkaitan dengan kondisi krisis. Mengapa hal ini menjadi penting, tidak lain dikarenakan dalam kondisi krisis, langkah-langkah penanggulangan harus dilakukan secara tepat dan cepat. Permasalahan di dunia keuangan tidak hanya merambat dari pelaksanaan transaksi keuangan (yang dapat berlangsung dengan cepat karena ditunjang oleh teknologi informasi yang canggih), tetapi juga merambat melalui tukar menukar informasi antarpelaku pasar atau melalui pemberitaan di pasar keuangan. Perambatan permasalahan ini akan memperparah kondisi krisis secara cepat jika tidak ada upaya penanganan yang tepat dan cepat.
77
Bagaimana Bank Indonesia Mencegah dan Menangani Krisis: Protokol Manajemen Krisis
Indonesia sudah mendapatkan pelajaran berharga dari pengalaman krisis pada 2008. Jangan sampai terlena dan membiarkan krisis datang tanpa kesiapan kita. Setelah dicabutnya Perppu JPSK oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 7 Juli 2015, Pemerintah, BI, OJK, dan LPS telah bekerja keras untuk menyusun Undang-Undang yang baru untuk memberikan kepastian hukum dalam kondisi krisis keuangan. Oleh karena itu, diberlakukannya UU No. 9 Tahun 2016 tentang PPKSK merupakan angin yang segar bagi sistem keuangan Indonesia, karena kepastian hukum ini dapat meningkatkan kepercayaan pelaku pasar serta memberikan kenyamanan pada semua pihak yang menggunakan jasa keuangan di Indonesia.
78
Daftar Pustaka Bagehot, W. (1873). Lombard Street: A Description of the Money Market. Bank Indonesia. (2007). Stabilitas Sistem Keuangan, Apa, Mengapa dan Bagaimana? Booklet Stabilitas Sistem Keuangan. Mei. ___________. (2015). Guidelines Pelaksanaan Stress Test Perbankan di Bank Indonesia. Laporan Program Strategi No. 2B. Departemen Kebijakan Makroprudensial dan Departemen Surveillance Sistem Keuangan. Bank Indonesia. Basel Committee on Banking Supervision. (2010). Basel III: A Global Regulatory Framework for More Resilient Banks and Banking Systems _______________. (2012a). Model and Tools for Macroprudential Analysis. BIS Working Paper No.12. Bank for International Settlements. _______________. (2012b). A Framework for Dealing With Domestic Systemically Important Banks. _______________. (2013). Global Systemically Important Banks: Updated Assessment Methodology and The Higher Loss Absorbency Requirement. _______________. (2013). Basel III: The Liquidity Coverage Ratio and Liquidity Risk Monitoring Tools. _______________. (2014). Basel III: The Net Stable Funding Ratio. Bernanke, B. (2013). Monitoring the Financial System. Speech At the 49th Annual Conference on Bank Structure and Competition sponsored by the Federal Reserve Bank of Chicago, Chicago, Illinois. Billio, M; Mila, G; Andrew W.L dan Loriana P. (2010). Measuring Systemic Risk in the Finance and Insurance Sectors. MIT Sloan School Working Paper 4774-10. Borio C., M. Drehman, dan K. Tsatsaronis. (2012). Stress-Testing Macro Stress Testing: Does It Live Up To Expectations?. BIS Working Papers No 369. Borio, C. (2009). Implementing The Macroprudential Approach to Financial Regulation and Supervision. Banque de France Financial Stability Review, 13. 79
Borio. C. (2012). The Financial Cycle and Macroeconomics: What Have We Learnt?. BIS Working Papers No 395. Claessens, S. C. Pazarbasioglu, L. Laeven, M. Dobler, F. Valencia, O. Nedelescu, dan K. Seal. (2011). Crisis management and Resolution: Early Lessons from the Financial Crisis. IMF Staff Discussion Notes No.11/05 Clement, Piet. (2010). The Term “Macroprudential”: Origins and Evolution,” BIS Quarterly Review, March. Committee on The Global Financial System (CGFS). (2012). Operationalising The Selection and Application of Macroprudential Instruments. CGFS Papers No.48. Bank for International Settlements. December. Crockett, A. (2000). Marrying The Micro- And Macro-Prudential Dimensions Of Financial Stability. BIS Review 76/2000. Eijffinger, S. C.W dan Karatas, B. (2013). Three Sisters : The Interlinkage Between Sovereign Debt, Currency and Banking Crises. Centre for Policy Research Discussion Paper Series 9369. European Central Bank (ECB), 2010, “Financial Networks and Financial Stability”, Financial Stability Reviews, pp. 138-146, June. European Systemic Risk Board, 2013, “Recommendation of The ESRB on Intermediate Objectives and Instruments of Macro-prudential Policy,” Official Journal of The European Union, C 170/1, April. Financial Stability Board, International Monetary Fund, and Bank for International Settlements, 2011, “Macroprudential Tools and Frameworks,” Update to G20 Finance Ministers and Central Bank Governors, February. Financial Stability Board. (2010). Implementing OTC Derivatives Market Reforms. ______________. (2010). Reducing The Moral Hazard Posed by Systemically Important Financial Institutions. FSB Recommendations and Time Lines. ______________. (2011a). Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions ______________. (2011b) Shadow Banking: Strengthening Oversight and Regulation. ______________. (2013). Policy Framework for Addressing Shadow Banking Risks in Securities Lending and Repos.
80
______________. (2014). Key Attributes of Effective Resolution Regimes for Financial Institutions. ______________. (2014). Strengthening Oversight and Regulation of Shadow Banking: Regulatory framework for haircuts on non-centrally cleared securities financing transactions. ______________. (2015). Transforming Shadow Banking into Resilient Market-based Finance: Regulatory framework for haircuts on noncentrally cleared securities financing transactions. Galati, G., and Richhild M., 2011, “Macroprudential Policy – a Literature Review,” BIS Working Paper No. 337, Bank for International Settlements. Group of Ten, 2001, “Report on Consolidation in the Financial Sector”, International Monetary Fund, January. Harun, C.A. dan Sagita, R. (2013). Kerangka Kebijakan Makroprudensial Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Departemen Kebijakan Makroprudensial. Bank Indonesia.. ______________. (2015). Revisit Kerangka Kebijakan Makroprudensial di Bank Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Departemen Kebijakan Makroprudensial. Bank Indonesia. International Monetary Fund.(2011). Macroprudential Policy: An Organizing Framework. ______________. (2013a). The Interaction of Monetary and Macroprudential Policies. ______________. (2013b). Key Aspects Of Macroprudential Policy. Kalirai, H. Scheicher, M. (2002), Macroeconomic Stress Testing: Preliminary Evidence for Austria, Financial Stability Report, (3) Austrian National Bank. Laeven, L. dan Valencia, F. (2013). Systemic Banking Crises Database: An Update. IMF Economic Review 61 (2). Pramono, B., Januar, H., Justina, A., M.H.Muhajir dan M.S. Alim. (2015). Indikator Utama, Reciprocity dan Pengaturan Countercyclical Capital Buffer di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Departemen Kebijakan Makroprudensial. Bank Indonesia. Thornton, H. (1939). An Enquiry in the Nature and Effects of the Paper Credit of Great Britain. Esq. M.P. London
81
Daftar Singkatan ATMR BCBS BI BIS BSSK CAR CCB CET1 CKPN D-SIBs ESRB FKSSK FPJP(S) FSB GFC G-SIBs GWM IDMA IFSN IHSG IMF IRSP ISSK JPSK KPwDN KSK KSSK LCR LDR LFR LOLR LPS 82
Aktiva Tertimbang Menurut Risiko Basel Committee on Banking Supervision Bank Indonesia Bank for International Settlement Biro Stabilitas Sistem Keuangan Capital Adequacy Ratio Countercylical Capital Buffer Common Equity Tier 1 Cadangan Kerugian Penurunan Nilai Domestic Systemically Important Banks European Systemic Risk Board Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (Syariah) Financial Stability Board Global Financial Crisis Global Systemically Important Banks Giro Wajib Minimum Indeks Inter Dealer Market Association International Financial Safety Net Indeks Harga Saham Gabungan International Monetary Fund Indeks Risiko Sistemik Perbankan Indeks Stabilitas Sistem Keuangan Jaring Pengaman Sektor Keuangan Kantor Perwakilan Dalam Negeri Kajian Stabilitas Keuangan Komite Stabilitas Sistem Keuangan Liquidity Coverage Ratio Loan-to-Deposit Ratio Loan-to-Funding Ratio Lender of the Last Resort Lembaga Penjamin Simpanan
LTV Ratio NPL NSFR OJK OPT OTC PLJP PMK PPKSK PUAB RDG RFS SIBs SIFIs SSK UMKM
Loan-to-Value Ratio Non Performing Loan Net Stable Funding Ratio Otoritas Jasa Keuangan Operasi Pasar Terbuka Over The Counter Pinjaman Likuiditas Jangka Pendek Protokol Manajemen Krisis Pencegahan dan Penanganan Krisis Sistem Keuangan Pasar Uang Antar Bank Rapat Dewan Gubernur Regional Financial Surveillance Systemically Important Banks Systemically Important Financial Institutions Stabilitas Sistem Keuangan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
83
Daftar Istilah Aktiva Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) Nilai eksposur risiko yang dimiliki oleh bank dimana perhitungannya mencakup eksposur risiko kredit, risiko pasar, dan risiko operasional. Semakin tinggi risiko aktiva, semakin tinggi bobot risikonya. Bank wajib memiliki dan menjaga tingkat modal minimum sebesar persentase tertentu dari ATMR. Bail-in Langkah yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan keuangan (likuiditas dan solvabilitas) institusi keuangan dengan melakukan restrukturisasi hutang institusi keuangan, antara lain melalui konversi kewajiban menjadi ekuitas untuk menyerap kerugian. Bail-out Langkah yang dilakukan untuk mengatasi permasalahan keuangan (likuiditas dan solvabilitas) institusi keuangan dengan menggunakan dana Pemerintah (APBN). Bank for International Settlement (BIS) Organisasi keuangan internasional beranggotakan 60 bank sentral yang mendorong kerjasama moneter dan keuangan secara internasional dan melakukan tugas sebagai bank bagi bank sentral. Bank Indonesia Bank sentral Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Basel Committee on Banking Supervision (BCBS) Komite/grup yang beranggotakan otoritas perbankan negara-negara, bertujuan untuk menerbitkan rekomendasi dan standar pengaturan kehati-hatian secara internasional bagi sektor perbankan. Biro Stabilitas Sistem Keuangan (BSSK) Biro yang berada pada Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) Bank Indonesia yang bertugas melaksanakan peran Bank Indonesia dalam mendorong terciptanya stabilitas sistem keuangan. 84
BSSK didirikan pada tahun 2003 dan pada tahun 2013 perannya digantikan oleh Departemen Kebijakan Makroprudensial (DKMP) sejalan dengan reorganisasi di Bank Indonesia. Bottom-up Stress Test Stress test perbankan yang dilakukan oleh individual bank dengan model yang disesuaikan dengan pengelolaan risiko oleh bank. Build-up Phase Merupakan fase awal pembentukan risiko yang ditandai dengan munculnya gejala overheating pada sistem keuangan atau perkembangan indikator monitoring dan hasil uji ketahanan yang mengarah pada ambang instabilitas sistem keuangan, antara lain seperti pertumbuhan kredit yang tinggi, kenaikan harga aset yang tinggi (boom), dan perkembangan financial innovation yang cepat. Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) Cadangan yang wajib dibentuk bank jika terdapat bukti objektif mengenai penurunan nilai aset keuangan atau kelompok aset keuangan sebagai akibat dari satu atau lebih peristiwa yang terjadi setelah pengakuan awal aset tersebut. Capital Adequacy Ratio (CAR) Rasio kecukupan modal bank yang diukur berdasarkan perbandingan antara jumlah modal dengan asset tertimbang menurut risiko (ATMR). Common Equity Tier 1 Modal inti utama merupakan komponen modal bank yang terdiri atas modal disetor dan cadangan tambahan modal (disclosed reserve). Common Risk Factor Kondisi dimana beberapa institusi keuangan memiliki eksposur dan menghadapi risiko yang sama. Concentration Risk Risiko yang muncul akibat pemusatan eksposur pada portofolio tertentu
85
baik dalam 1 (satu) maupun beberapa institusi keuangan. Contagion Effect Risiko atau gangguan yang menular dari satu institusi atau elemen sistem keuangan ke institusi atau elemen lainnya dalam sistem keuangan karena adanya keterkaitan eksposur atau faktor informasi. Countercyclical Kecenderungan variabel atau indikator keuangan untuk bergerak berlawanan arah dengan pergerakan siklus perekonomian. Countercylical Capital Buffer (CCB) Tambahan modal yang berfungsi sebagai penyangga (buffer) untuk mengantisipasi kerugian apabila terjadi pertumbuhan kredit perbankan yang berlebihan sehingga berpotensi menganggu stabilitas sistem keuangan. Crisis Binder Dokumentasi mengenai kumpulan langkah-langkah atau aksi yang dapat dilakukan dalam rangka penanganan krisis. Dokumen ini ditujukan untuk memastikan langkah-langkah atau aksi penanganan krisis dapat dilakukan dengan cepat dan tepat. Dimensi Cross Section Dimensi antar subjek yang mencerminkan bagaimana risiko terdistribusi dalam sistem keuangan pada satu periode tertentu yang disebabkan oleh secara individual atau sektoral terdapat risiko konsentrasi (concentration risk) dan kesamaan eksposur (common risk factor) dan/atau risiko tertularnya gangguan antar individu/sektor karena keterkaitan dalam sistem keuangan (contagion risk). Dimensi Time Series Dimensi runtun waktu yang menekankan pada bagaimana risiko dalam sistem keuangan berevolusi sepanjang waktu, termasuk evolusi dengan mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Domestic- Systemically Important Banks (D-SIBs) Bank-bank yang ditengarai memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas sistem keuangan domestik dan berfungsinya perekonomian dengan baik.
86
European Systemic Risk Board (ESRB) Badan independen yang memiliki kewenangan makroprudensial, bertugas mengawasi, mencegah dan membatasi terjadinya risiko sistemik dalam sistem keuangan Uni Eropa. Anggota ESRB terdiri dari perwakilan European Centar Bank (ECB), bank sentral dan otoritas pengawas institusi keuangan negara-negara anggota Uni Eropa. Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek/Syariah (FPJP/S) Fasilitas pendanaan dari Bank Indonesia kepada bank umum/syariah untuk mengatasi kesulitan pendanaan jangka pendek yang dialami oleh bank umum/syariah. Selanjutnya, berdasarkan UU PPKSK No. 9 Tahun 2016, disebut dengan pinjaman likuiditas jangka pendek/syariah (PLJP/S). Feedback Loop Adanya hubungan sebab akibat, dimana hasil (output) dari sebuah peristiwa akan menjadi masukan (input) lain dari dari situasi lainnya. Dalam sistem keuangan, feedback loop terjadi antara sistem keuangan dengan sektor riil. Permasalahan yang bersumber dari sektor keuangan dapat berdampak hingga ke sektor riil, dan sebaliknya. Financial Imbalances Ketidakseimbangan dalam sistem keuangan yang ditandai dengan adanya peningkatan potensi risiko sistemik akibat dari perilaku yang berlebihan dari pelaku sistem keuangan. Financial Inclusion Pemberian layanan keuangan dengan biaya yang terjangkau kepada pihak-pihak yang berasal dari segmen masyarakat yang berpenghasilan rendah. Kegiatan keuangan inklusi juga merupakan bagian dari upaya mitigasi risiko sistemik akibat sistem keuangan yang masih terkonsentrasi pada kalangan masyarakat berpenghasilan menengah ke atas. Financial Stability Board (FSB) Lembaga internasional yang beranggotakan pimpinan pemerintahan dan bank sentral dari negara anggota G-20 dengan tujuan untuk mengawasi dan memberikan rekomendasi terkait sistem keuangan global.
87
Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) Forum koordinasi yang dibentuk untuk menjaga stabilitas sistem keuangan yang anggotanya terdiri dari Menteri Keuangan selaku koordinator merangkap anggota, Gubernur Bank Indonesia selaku anggota, Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan selaku anggota, dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan selaku anggota. Selanjutnya, berdasarkan UU PPKSK No. 9 Tahun 2016, disebut dengan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK). Giro Wajib Minimum (GWM) Jumlah dana minimum yang wajib dipelihara oleh bank yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari dana pihak ketiga (DPK). Global-Systemically Important Banks (G-SIBs) Bank-bank yang ditengarai memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas sistem keuangan global dan berfungsinya perekonomian dunia dengan baik. Granular Stress Test Stress test yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan dan data yang lebih bersifat spesifik untuk setiap individual bank. Idiosyncratic Risk Risiko idiosyncratic adalah risiko yang spesifik pada setiap institusi, sehingga pergerakannya bersifat independen terhadap pergerakan pasar. Indeks Inter Dealer Market Association (IDMA) Indeks yang digunakan sebagai acuan harga obligasi pemerintah. Indeks Risiko Sistemik Perbankan (IRSP) Indeks komposit yang mencerminkan kontribusi perbankan pada risiko sistemik dengan memperhitungkan indikator-indikator yang menentukan dampak sistemik (degree of systemicity) dari masingmasing individu bank. Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (ISSK) Indeks komposit yang mencerminkan kinerja institusi keuangan dan pasar keuangan Indonesia.
88
Interconnectedness Keterkaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan. International Financial Safety Net (IFSN) Jaring Pengaman Keuangan Internasional (JPKI) adalah kerjasama yang dilakukan oleh Bank Indonesia dan/atau Negara Republik Indonesia dalam rangka pencegahan dan/atau penanganan krisis untuk memenuhi kecukupan cadangan devisa dan/atau memenuhi kesulitan likuiditas jangka pendek, baik secara bilateral, regional, maupun multilateral dengan bank sentral atau otoritas moneter dan/atau otoritas lainnya, organisasi atau lembaga internasional, dan forum internasional. International Monetary Fund (IMF) Lembaga internasional yang bertugas mendorong kerjasama moneter dan stabilitas sistem keuangan, memfasilitasi perdagangan internasional dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan, dan mengurangi kemiskinan antar negara di dunia. Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) Suatu mekanisme pengamanan sistem keuangan dari krisis yang mencakup pencegahan dan penanganan krisis. Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) Publikasi rutin enam bulanan yang diterbitkan oleh Bank Indonesia yang memuat hasil asesmen dan penelitan Bank Indonesia terhadap kondisi sistem keuangan termasuk sumber-sumber kerentanan dan ketidakseimbangan yang berpotensi memicu terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Komite Stabilitas Sistem Keuangan Komite yang beranggotakan Menteri Keuangan sebagai koordinator, Gubernur Bank Indonesia sebagai anggota, Ketua Dewan Komisioner OJK sebagai anggota, dan Ketua Dewan Komisioner LPS sebagai anggota tanpa hak suara, yang bertugas melakukan koordinasi dalam rangka pemantauan dan pemeliharaan stabilitas sistem keuangan, melakukan penanganan krisis sistem keuangan, dan penanganan permasalahan bank sistemik baik dalam kondisi normal maupun krisis sistem keuangan.
89
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Lembaga yang independen yang berfungsi untuk menjamin simpanan nasabah. Lender of the Last Resort (LOLR) Bank sentral sebagai lembaga yang terakhir bersedia memberikan pinjaman atau pembiayaan berbasis syariah kepada bank yang mengalami kesulitan likuiditas jangka pendek yang disebabkan oleh terjadinya mismatch dalam pengelolaan dana. Liquidity Coverage Ratio (LCR) Merupakan perhitungan perbandingan antara High Quality Liquidity Asset (HQLA) atau aktiva lancar berkualitas tinggi dengan total arus kas keluar bersih (net cash outflow) selama 30 hari kedepan dalam skenario stress. LCR dimaksudkan untuk mengukur ketanan bank terhadap potensi tekanan likuiditas jangka pendek. Loan-to-Deposit Ratio (LDR) Rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam Rupiah dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada bank lain, terhadap dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam Rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antar bank. Loan-to-Funding Ratio (LFR) Rasio kredit yang diberikan kepada pihak ketiga dalam Rupiah dan valuta asing, tidak termasuk kredit kepada bank lain, terhadap dana pihak ketiga yang mencakup giro, tabungan, dan deposito dalam Rupiah dan valuta asing, tidak termasuk dana antar bank; dan surat-surat berharga dalam Rupiah dan valuta asing yang memenuhi persyaratan tertentu yang diterbitkan oleh bank untuk memperoleh sumber pendanaan. Loan-to-Value Ratio (LTV Ratio) Angka rasio antara nilai kredit yang dapat diberikan oleh bank terhadap nilai agunan berupa properti pada saat pemberian kredit berdasarkan harga penilaian terakhir. Non Performing Loan (NPL) Kredit bermasalah yang terdiri dari kredit yang berklasifikasi Kurang Lancar, Diragukan, dan Macet.
90
Net Stable Funding Ratio (NFSR) Merupakan perhitungan perbandingan antara sumber dana stabil yang tersedia (available stable funding) dengan sumber dana stabil yang diperlukan (required stable funding) selama 1 (satu) tahun ke depan. NSFR dimaksudkan untuk meredam siklus ekspansi dan kontraksi likuiditas yang berlebihan di sektor keuangan. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Lembaga yang independen dan bebas dari campur tangan pihak lain, yang mempunyai fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan, pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikkan sebagaimana dimaksud dalam UU No. 21 Tahun 2011 tentang OJK. Operasi Pasar Terbuka (OPT) Kegiatan transaksi di pasar uang yang dilakukan oleh Bank Indonesia dengan bank dan pihak lain dalam rangka pengendalian moneter. Over The Counter (OTC) Kesepakatan antara peminjam dan pemilik dana yang dilakukan tidak melalui bursa. Pasar Uang Antar Bank (PUAB) Kegiatan pinjam meminjam dana jangka pendek antar bank yang dilakukan melalui jaringan komunikasi elektronis. Procyclicality Perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian. Protokol Manajemen Krisis (PMK) Pedoman dan tata cara dalam melaksanakan langkah-langkah pencegahan dan penanganan krisis. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Forum pengambilan keputusan tertinggi dalam menetapkan atau melakukan evaluasi kebijkan-kebijakan Bank Indonesia yang bersifat prinsipil dan strategis dan/atau menerima laporan atas kebijakan yang wajib diketahui oleh Dewan Gubernur sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
91
Regional Financial Surveillance Serangkaian kegiatan yang dilakukan dalam rangka pemantauan atas kondisi sistem keuangan di daerah dalam rangka menjaga stabilitas sistem keuangan dan mendukung pembangunan ekonomi daerah yang inklusif dan berkesinambungan. Risiko Sistemik Potensi instabilitas sebagai akibat terjadinya gangguan yang menular (contagion) pada sebagian atau seluruh sistem keuangan karena interaksi dari faktor ukuran (size), kompleksitas usaha (complexity), keterkaitan antar institusi dan/atau pasar keuangan (interconnectedness), serta kecenderungan perilaku yang berlebihan dari pelaku atau institusi keuangan untuk mengikuti siklus perekonomian (procyclicality). Shadow Banking Intermediasi kredit yang melibatkan entitas dan aktifitas dengan pihak diluar dari sistem perbankan regular. Shock Peristiwa tertentu yang memicu atau membarengi terjadinya krisis (the proximate causes). Siklus Keuangan Interaksi antara persepsi dari harga (value) dan risiko, perilaku terhadap risiko dan kendala pembiayaan (financial constraint), yang diterjemahkan sebagai boom yang diikuti oleh bust. Sistem Keuangan Suatu sistem yang terdiri atas lembaga keuangan, pasar keuangan, infrastruktur keuangan, serta perusahaan non keuangan dan rumah tangga, yang saling berinteraksi dalam pendanaan dan/atau penyediaan pembiayaan perekonomian. Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) Suatu kondisi yang memungkinkan sistem keuangan nasional berfungsi secara efektif dan efisien serta mampu bertahan terhadap kerentanan internal dan eksternal sehingga alokasi sumber pendanaan atau pembiayaan dapat berkontribusi pada pertumbuhan dan stabilitas perekonomian nasional.
92
Stress Test Perbankan Metode yang digunakan untuk menguji ketahanan perbankan pada kondisi yang tidak diinginkan (stress scenario). Surveillance Kegiatan monitoring dan analisis terhadap risiko yang mungkin timbul pada sistem keuangan dan kondisi makroekonomi yang dapat mempengaruhi sistem keuangan. Systemically Important Bank (SIB) Bank yang karena ukuran aset, modal, dan kewajiban, luas jaringan atau kompleksitas transaksi atas jasa perbankan serta keterkaitan dengan sektor keuangan lain dapat mengakibatkan gagalnya sebagian atau keseluruhan bank-bank lain atau sektor jasa keuangan, baik secara operasional maupun finansial, apabila bank mengalami gangguan atau gagal. Systemically Important Financial Institution (SIFI) Institusi keuangan yang mengelola asset cukup besar, memiliki keterkaitan yang besar dengan institusi keuangan lainnya, serta menyediakan jasa keuangan yang cukup signifikan, sehingga jika institusi keuangan ini gagal ditengarai memiliki dampak sistemik terhadap stabilitas sistem keuangan. Too-Big-to-Fail Kondisi dimana korporasi atau institusi keuangan begitu besar dan terkoneksi yang apabila institusi tersebut gagal maka akan berpengaruh besar/signifikan pada keseluruhan sistem keuangan. Top Down Stress Test Industry-wide stress test yang dilakukan oleh bank sentral/lembaga pengawasan bank dimana diterapkan parameter yang sama untuk semua bank. Usaha Mikro, Kecil dan Menengah Usaha ekonomi produktif milik orang perorangan dan/atau badan usaha yang memenuhi kriteria usaha Mikro Kecil dan Menengah sebagaimana diatur dalam UU No. 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Vulnerability Kondisi (preexisting features) sistem keuangan yang dapat memperkuat (amplify) dan mempercepat penyebaran shock. 93
Kontributor Pengarah Filianingsih Hendarta, Yati Kurniati, Dwityapoetra S. Besar
Editor Cicilia A. Harun, Sagita Rachmanira, Rani Wijayanti
Penulis Cicilia A. Harun, Retno Ponco Windarti, Indra Gunawan, Ndari Surjaningsih, Arlyana Abubakar, Ita Rulina, Clarita Ligaya, Sussy Wandayani, Kurniawan Agung, Yanti Setiawan, Sagita Rachmanira, Rani Wijayanti, Leanita Indah Parameswari, Danny Hermawan, Minar Iwan Setiawan, Januar Hafidz, Riza Putera, Reska Prasetya, M. Firdaus Muttaqin, Shantie Noviantie, Astrid Fiona Harningtyas, Apsari Anindita Nugroho Putri, Nanda Rizki Fauziah, Amalia Insan Kamil, Aninditha Kemala Dinianyadarani, Khairani Syafitri , Frimayudha Ardyaputra , Sri Noerhidajati
Pendukung Teknis Aditya A. Taruna, R. Renanda Nattan, Nadia Refaniadewi
Komunikasi dan Layout Retno Ponco Windarti, Rozidyanti, Syaista Nur
Konsultan Bahasa Aditya Suharmoko 94