PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DAN INTERAKSI DENGAN WILAYAH SEKITARNYA SERTA KEBIJAKAN KE DEPAN (Kajian di Provinsi Jambi)
JUNAIDI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Interaksi dengan Wilayah Sekitarnya serta Kebijakan Ke Depan (Kajian di Provinsi Jambi) adalah karya saya dengan arah komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini Bogor, Juli 2012
Junaidi NIM H162070051
ABSTRACT Transmigration as a development model in Indonesia has been implemented long enough. During the implementation, transmigration program have shown varying degree of success, in turn becomes one of the flagship program to develop nation self-reliance. In autonomy era, transmigration still becomes a development model, but there has been a decline in migrant placement. This study aimed to: (1) develop measurement and analyze development stadia of the ex-transmigration villages in Jambi Province, (2) analyze factors that influence the development of ex-transmigration villages in Jambi Province, (3) analyze the socio-economic conditions of ex-transmigration villages population in Jambi Province, and (4) analyze the linkages and factors that affecting ex-transmigration villages linkage to surrounding area in the province of Jambi. The study was conducted in extransmigration villages in Jambi Province. Factor, cluster and discriminate analysis used to measure villages develop stadia. Ordinal logic regression model used to analyze the factors that affect village development stadia. Interaction between ex-transmigration village and surrounding area was approached by population movement and binary logic regression model used to analyze resident’s trip to work and shopping. The study found three variables to measure village’s development stadia namely the percentage of permanent housing (welfare indicator), the ratio of agricultural industry to population (nonagricultural indicator) and the percentage of agricultural area (agricultural activity indicator). Concurrent with village’s development stadia, non-agricultural and agriculture activities also increase. Increasing village’s development stadia was indicated by growing of non-agricultural activities from the fulfillment of primary needs towards secondary/tertiary needs of the population. Development of extransmigration villages is determined by various factors including the distance of residential to activity centers, particularly road infrastructure, major transmigration commodities, transmigration characteristics, duration of migrant’s placement, as well as macroeconomic performance of the regency. The study also found low interaction between ex-transmigration with non transmigration villages. The low interaction is caused by : 1) underdeveloped of various facilities and production activities in the sorrounding villages that has functionally linkages with ex-transmigration villages ; 2) relative far distance and non existing reliable transportation infrastructure that link the ex-transmigration village with the surrounding villages; 3) weak efforts of social capital development at the community level. Working trip models show that individuals who work outside the village tend to be younger, better educated, family’s member, differ by region of origin and village stadia. Family shopping trip model show that family with high shopping proportion to outside the village is family with younger wife, have better education, older children, higher children income and higher family income per capita Keywords: Ex-transmigration villages, regional interaction, Agriculture activities, non-agriculture activities, village stadia, shopping trip model, working trip model.
RINGKASAN JUNAIDI. Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Interaksi dengan Wilayah Sekitarnya serta Kebijakan Ke Depan (Kajian di Provinsi Jambi). Dibimbing oleh ERNAN RUSTIADI, SLAMET SUTOMO dan BAMBANG JUANDA.
Pelaksanaan transmigrasi sebagai salah satu program kependudukan di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Dalam pelaksanaannya, program transmigrasi telah menunjukkan berbagai keberhasilan, sehingga transmigrasi selama beberapa dekade menjadi salah satu program “unggulan” dalam membangun kemandirian bangsa melalui pengembangan potensi sumberdaya wilayah. Transmigrasi juga dapat menjadi contoh khas dan strategi pengembangan wilayah “original” Indonesia dan sumber pembelajaran berharga dalam pengembangan wilayah. Di era otonomi telah terjadi penurunan penempatan transmigran. Selain masalah-masalah keterbatasan lahan, lemahnya kelembagaan penyelenggaraan transmigrasi era otonomi di daerah serta rendahnya inisiatif daerah dalam membangun transmigrasi, penurunan ini lebih disebabkan oleh berbagai faktor: Pertama, adanya berbagai stigma negatif dalam pelaksanaan transmigrasi. Kedua, program transmigrasi memang telah berhasil membangun desa-desa baru, namun sebagian diantaranya belum sepenuhnya mencapai tingkat perkembangan secara optimal yang mampu menopang pengembangan wilayah dan bahkan sebagian diantaranya direlokasi karena kondisinya dinilai tidak layak untuk berkembang. Ketiga, pembangunan transmigrasi juga dipandang bersifat eksklusif sehingga kurang adanya keterkaitan secara fungsional dengan lingkungan sekitarnya. Ini menyebabkan desa-desa transmigrasi yang berhasil cenderung tumbuh menjadi kawasan enclave yang berhasil meningkatkan kesejahteraan transmigran, namun kontribusi pada pengembangan wilayah sekitarnya relatif rendah. Bertolak dari hal tersebut, maka penelitian ini dilakukan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) Mengembangkan pengukuran dan menganalisis stadia perkembangan desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi; (2) Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi; (3) Menganalisis kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi; (4) Menganalisis keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keterkaitan desa-desa eks transmigrasi terhadap wilayah sekitarnya di Propinsi Jambi Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jambi. Unit analisis terdiri dari tiga tingkatan, yaitu individu, rumah tangga dan desa. Individu adalah anggota rumah tangga. Rumah tangga adalah rumah tangga yang berada di desa sampel. Desa adalah desa eks transmigrasi yaitu unit permukiman transmigrasi yang telah menjadi desa definitif. Data yang digunakan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan pada rumah tangga sampel, menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara terstruktur. Data sekunder yang digunakan bersumber dari PODES 2008, PPLS 2008, Sensus Ekonomi 2006, Provinsi dalam Angka, Kabupaten dalam Angka dan Kecamatan dalam Angka, dan instansi/ lembaga terkait lainnya. Untuk menyusun indikator stadia perkembangan desa digunakan analisis faktor, klaster dan analisis diskriminan. Stadia perkembangan desa yang diacu dalam penelitian adalah hipotesis stadia perkembangan desa yang dikemukakan
Rustiadi et al. (2009). Oleh karenanya, penelitian ini secara tidak langsung bertujuan untuk menguji, mengkonfirmasi, mengoreksi atau mengembangkan hipotesis stadia perkembangan desa tersebut. Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja desa eks transmigrasi digunakan model regresi ordinal logit. Peubah tak bebas (dependent variable) adalah pengkategorian stadia desa eks transmigrasi. Peubah bebas (independent variable) terdiri dari peubah-peubah yang berasal dari model penyelenggaraan transmigrasi (khususnya dalam kelompok seleksi lokasi, komoditas tanaman utama dan seleksi calon transmigrasi) dan peubah-peubah wilayah kabupaten penempatan. Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi penduduk dilakukan survai pada enam desa terpilih. Masing-masing satu desa stadia perkembangan tertinggi dan terendah untuk pola transmigrasi tanaman pangan, perkebunan karet dan perkebunan sawit. Selanjutnya analisis interaksi wilayah didekati melalui perjalanan penduduk di desa sampel untuk berbagai aktivitas sosial ekonomi. Secara lebih khusus, dilakukan pemodelan pergerakan perjalanan penduduk untuk bekerja dan belanja dengan menggunakan model binary logit. Hasil penelitian menemukan bahwa perkembangan desa-desa eks transmigrasi dapat ditentukan berdasarkan kesejahteraan penduduk, aktivitas nonpertanian dan aktivitas pertanian. Ketiga indikator tersebut pada dasarnya tidak hanya bermanfaat untuk desa-desa eks transmigrasi, tetapi juga dapat digunakan untuk menentukan tahapan perkembangan desa secara umum. Berkembangnya industri di perdesaan merupakan faktor penting untuk menjamin keberlangsungan kesejahteraan masyarakat. Industri perdesaan akan meningkatkan permintaan dan harga jual produk pertanian, serta meningkatkan produktivitas pertanian melalui penyerapan kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian. Berkembangnya industri perdesaan juga menumbuhan berbagai aktivitas perdagangan dan jasa lainnya sebagai aktivitas pendukungnya. Bersamaan dengan perkembangan desa, juga terjadi pergeseran dalam pola aktivitas non-pertanian. Jenis-jenis usaha industri, perdagangan dan jasa berkembang dari pemenuhan untuk kebutuhan-kebutuhan primer ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier penduduk. Perkembangan desa-desa eks transmigrasi ini ditentukan oleh jarak ke pusat kegiatan, sarana-prasarana (terutama sarana jalan), komoditas utama transmigrasi, karakteristik transmigran (dari proses seleksi transmigran), lamanya penempatan transmigran, serta faktor-faktor makro wilayah kabupaten. Desa-desa yang relatif jauh dari pusat kegiatan kabupaten serta memiliki kualitas jalan kurang memadai cenderung berkembang lebih lambat. Ini menunjukkan lokasi transmigrasi dengan keterkaitan yang kuat pada pusat kegiatan (digambarkan oleh jarak relatif dekat) dan memiliki tingkat kemudahan (aksesibilitas) tinggi menuju lokasi desa akan memiliki peluang lebih besar mencapai stadia perkembangan tinggi. Komoditi tanaman utama desa juga menunjukkan pengaruh terhadap perkembangan desa. Desa komoditi tanaman pangan cenderung memiliki perkembangan lambat dibandingkan tanaman perkebunan. Desa-desa dengan penempatan yang lebih lama memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai stadia tertinggi. Lama penempatan ini terkait dengan proses
penyesuaian transmigran terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta kemampuan untuk menemukan peluang untuk peningkatan kesejahteraan. Berdasarkan daerah asal, kinerja transmigran dari Jawa Tengah lebih baik dibandingkan daerah-daerah lainnya. Desa-desa eks transmigrasi dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah cenderung memiliki perkembangan yang lebih baik. Selanjutnya, perkembangan wilayah kabupaten penempatan juga menjadi faktor penentu perkembangan desa eks transmigrasi. Semakin banyak perusahaan/usaha di kabupaten lokasi penempatan desa eks transmigrasi semakin meningkatkan peluang desa mencapai perkembangan lebih baik. Keberadaan perusahaan/usaha di suatu daerah terkait dengan peluang usaha dan bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk. Pada tingkat individu/keluarga pencapaian kesejahteraan yang lebih baik pada transmigran dipengaruhi oleh budaya (etos) kerja, pendidikan dan kemampuan mempertahankan kepemilikan lahan. Hasil penelitian juga menemukan rendahnya interaksi desa-desa eks transmigrasi dengan desa non-transmigrasi. Rendahnya interaksi disebabkan tidak terbangunnya berbagai fasilitas dan tidak tumbuhnya aktivitas produksi di desadesa sekitar permukiman transmigrasi yang terkait secara fungsional (dalam bentuk supply-demand) dengan desa-desa transmigrasi. Di sisi lain, relatif jauhnya jarak permukiman transmigrasi dan tidak terbangunnya sistem transportasi yang menghubungkan desa transmigrasi dengan desa sekitarnya menjadi faktor yang menghambat terjadinya interaksi. Selain faktor tersebut, rendahnya interaksi antara desa-desa eks transmigrasi dengan desa sekitarnya juga disebabkan masih lemahnya upaya-upaya pengembangan modal sosial pada tingkat komunitas, dimana salah satu ciri pentingnya adalah keterkaitan dalam suatu jaringan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang 1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber a. Mengutip hanya untk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
PERKEMBANGAN DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DAN INTERAKSI DENGAN WILAYAH SEKITARNYA SERTA KEBIJAKAN KE DEPAN (Kajian di Provinsi Jambi)
JUNAIDI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof.Dr.Ir Hermanto Siregar, M.Ec Dr.Ir. Arya Hadi Dharmawan,M.Sc.Agr Penguji pada Ujian Terbuka: Dr. Ir. Setia Hadi, MS Dr. Donny Iskandar, MT
?tnz
gnv t0
:snln'I luE8uu;
IEV'oS'IN'tlufs
I
$W;:""
ffi
961
Ztq1l1rl.t 91 :ue1fn luEEuul
"puun1
Euuqurug'rI'rCI Jord
.{m
;\) tHfurBqt-aFiK&J h' s{tW"WJsF
--,
?^'"Wlea#.;l$
up"sepred uep qe,(ey16 ueunEtrequred rrsuuucuoJed
ntull
IpqS unford unle)
uuelrusucsed rlulo{es
rnqele{rcl l
eloEEuy
eloEEuy
W
@
.
I900L0z9tH:
Iplurmf : (rgtuuf rsurnord rp u€lfry) uedeq s;X uu>letrqa) pues u,{tuulqeg qufu1116 uuEuep r$l?roluJ uep rse"6nusuerJ s>lg eseq-?seq uuEuuqweryed :
I^IIN 3ru?N
Is?Ueslc Inpnf
PRAKATA Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema penelitian yang dilaksanakan ini adalah mengenai perkembangan desa-desa eks transmigrasi dan interaksi dengan wilayah sekitarnya di Provinsi Jambi. Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr.Ir. Ernan Rustiadi, M.Agr, Bapak Dr.Slamet Sutomo,SE,MS dan Bapak Prof.Dr.Ir.Bambang Juanda,MS selaku pembimbing yang telah banyak memberikan saran dan masukan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Selain itu, penghargaan penulis sampaikan kepada para peneliti pada Litbang Ketransmigrasian Kemenakertrans di Jakarta, Kepala dan Staf Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Jambi, Kepala Desa Mekar Sari, Lurah Bandar Jaya, Kepala Desa Bukit Mas, Kepala Desa Rasau, Kepala Desa Sungkai dan Kepala Desa Rimbo Mulyo yang banyak menfasilitasi penelitian ini selama di Jambi. Teramat penting, ucapan terima kasih penulis tujukan kepada orang tua (Ayahanda Syafril dan Ibunda Rismaniar), mertua (Ayahanda Hapiun Nasution dan Ibunda Sri Sutari), isteri tercinta Hardiani, SE, M.Si serta anak-anak tersayang Arwatrisi Ediani, Ikraduya Edian dan Annora Haj Adillah atas semua doa, dukungan, kasih sayang dan pengorbanan yang diberikan. Akhir kata, meskipun jauh dari kesempurnaan, semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi semua pihak terkait.
Bogor, Juli 2012
Junaidi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 2 Juni 1967 sebagai anak sulung dari pasangan Syafril dan Rismaniar. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan, Fakultas Ekonomi Universitas Jambi, lulus pada tahun 1992. Pada tahun 1993, penulis diterima di Program Studi Kependudukan Program Pascasarjana UGM dan menamatkannya pada tahun 1996. Kesempatan melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan IPB diperoleh pada tahun 2007. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Kementerian Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai dosen pada Fakultas Ekonomi Universitas Jambi sejak tahun 1993. Bidang pengajaran yang menjadi tanggung jawab penulis adalah Teori Ekonomi Kependudukan dan Ekonomi Sumberdaya Manusia, Matematika Ekonomi dan Statistik. Pada Tahun 1996, penulis menikah dengan Hardiani, SE,M.Si dan telah dikaruniai tiga orang anak: Arwatrisi Ediani, Ikraduya Edian dan Annora Haj Adillah. Selama mengikuti program S3, penulis telah menghasilkan tiga buku yaitu (1) Dasar-Dasar Teori Ekonomi Kependudukan yang ditulis bersama dengan Hardiani, SE, M.Si; (2) Metodologi Penelitian Ekonomi dan Bisnis yang ditulis bersama dengan Prof.Dr. Amri Amir, SE, MS dan Drs. Yulmardi, MS; dan (3) judul Ekonometrika Deret Waktu yang ditulis bersama dengan Prof.Dr.Ir. Bambang Juanda, MS. Sebuah artikel yang berjudul Analisis Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi akan diterbitkan pada Jurnal Paradigma Ekonomi Edisi Vol. 4 No. 2 Juli – Desember 2012. Artikel lain berjudul Pengembangan Pola Transmigrasi di Era Otonomi Daerah akan diterbitkan pada Jurnal Visi Publik Edisi Vol. 9 No. 1 April –September 2012. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
ii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ............................................................................................ xv DAFTAR GAMBAR....................................................................................... xxi DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. xxiii I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................................... 1 1.2 Perumusan Masalah .............................................................................. 8 1.3 Tujuan Penelitian ................................................................................ 10 1.4 Manfaat Penelitian .............................................................................. 11 1.5 Kebaruan Penelitian ............................................................................ 11 II TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................. 13 2.1 Pengembangan Wilayah ...................................................................... 13 2.2 Interaksi antar Wilayah ....................................................................... 27 2.3 Indikator Pembangunan/Perkembangan Daerah/Wilayah..................... 30 2.4 Pembangunan Perdesaan dan Masyarakat Desa ................................... 37 2.5 Indikator Perkembangan Desa ............................................................. 48 2.6 Sejarah Transmigrasi di Indonesia ....................................................... 56 2.7 Konsep Pembangunan Transmigrasi .................................................... 65 2.8 Pemukiman Kembali di Negara-Negara Lain...................................... 72 2.9 Teori-Teori yang Mendasari Pembangunan Transmigrasi .................... 79 2.10 Indikator Pengembangan Kawasan Transmigrasi ............................... 96 2.11 Penelitian-Penelitian Sebelumnya.................................................... 103 III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS .................................... 113 3.1 Kerangka Pemikiran .......................................................................... 113 3.2 Hipotesis ........................................................................................... 118 IV METODE PENELITIAN ........................................................................ 123 4.1 Lokasi Penelitian ............................................................................... 123 4.2 Unit Analisis ..................................................................................... 123 4.3 Jenis Data dan Instrumen Pengumpulan ............................................ 123 4.4 Alat Analisis ..................................................................................... 124 V GAMBARAN UMUM TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI ......... 141 5.1 Sejarah dan Perkembangan Transmigrasi di Provinsi Jambi............... 141 5.2. Transmigrasi Berdasarkan Daerah Asal dan Daerah Penempatan....... 146 5.3. Pola Transmigrasi di Provinsi Jambi.................................................. 151 VI. KINERJA DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI ................................................................................................ 157 6.1 Komparasi Kinerja Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Desa-Desa Non-Transmigrasi ............................................................................. 157
xiii
6.2 Penyusunan Indikator Stadia Perkembangan Desa Eks Transmigrasi...................................................................................... 169 6.3. Analisis Diskriminan Stadia Desa ...................................................... 180 6.4. Profil Desa Berdasarkan Stadianya .................................................... 183 6.5 Determinan Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi .................. 196 VII. KONDISI SOSIAL EKONOMI PENDUDUK DAN KETERKAITAN DESA EKS TRANSMIGRASI DGN WILAYAH SEKITARNYA....... 207 7.1 Gambaran Umum Desa Sampel Penelitian ......................................... 207 7.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk .................................................... 218 7.3 Perjalanan Penduduk di Desa-Desa Eks Transmigrasi........................ 234 VIII. STADIA PERKEMBANGAN DESA DAN POLA PENGEMBANGAN KAWASAN TRANSMIGRASI KE DEPAN ...... 267 8.1. Model Baru Stadia Perkembangan Desa: Pengembangan atas Hipotesis Rustiadi.............................................................................. 267 8.2 Menuju Pola Pengembangan Kawasan Transmigrasi ke Depan.......... 270 IX. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................. 277 9.1 Kesimpulan ....................................................................................... 277 9.3 Saran Penelitian Lanjutan .................................................................. 281 DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 283 LAMPIRAN ................................................................................................ 293
xiv
DAFTAR TABEL Halaman 1 Perkembangan penempatan transmigran di Indonesia ..................................... 3 2 Keterkaitan utama dalam pembangunan spasial ............................................ 28 3 Tipologi keterkaitan perkotaan - perdesaan .................................................. 29 4 Indikator pembangunan berkelanjutan .......................................................... 32 5 Indikator pembangunan wilayah berdasarkan basis/pendekatan pengelompokannya ...................................................................................... 36 6 Pendekatan pembangunan perdesaan berdasarkan tingkat perkembangan kebutuhan individu dan keperluan kebersamaan sebagai suatu komunitas .... 44 7 Data indikator primer pembangunan daerah tertinggal.................................. 52 8 Pergeseran definisi, tujuan dan jenis transmigrasi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan .................................................................... 63 9 Perbandingan konsep pembangunan transmigrasi sebelum dan setelah otonomi daerah ............................................................................................ 65 10 Komparasi tujuan program pemukiman kembali pada tujuh negara .............. 74 11 Indikator tingkat perkembangan permukiman transmigrasi dan kesejahteraan transmigran ............................................................................ 98 12 Goalpost untuk indikator indeks pembangunan transmigrasi ...................... 100 13 Kategori indeks pembangunan transmigrasi ............................................... 101 14 Indikator perkembangan fungsi perkotaan menuju terwujudnya kota terpadu mandiri .......................................................................................... 102 15 Rincian jenis data yang digunakan sebagai indikator tingkat perkembangan desa eks transmigrasi .......................................................... 127 16 Kaitan tujuan, alat analisis, unit analisis, peubah dan sumber data .............. 139 17 Perkembangan penempatan transmigran di Provinsi Jambi dari periode Pra Pelita sampai dengan tahun 2011 ......................................................... 143 18 UPT binaan Provinsi Jambi tahun 2011 ...................................................... 144 19 Perkembangan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) di Provinsi Jambi tahun 1990/1991 - 2009 ............................................................................. 146 20 Sebaran transmigran di Provinsi Jambi berdasarkan daerah asal dan kabupaten penempatan (kepala keluarga) tahun 2009 ................................. 147 21 Sebaran TPS di Provinsi Jambi berdasarkan kelompok masyarakat dan kabupaten penempatan (KK) tahun 2009 ................................................... 150 xv
22 Sebaran TPS di Provinsi Jambi berdasarkan kelompok masyarakat dan kabupaten penempatan tahun 2009 (Jiwa) .................................................. 150 23 Pola transmigrasi berdasarkan jumlah UPT, jumlah KK dan jiwa penempatan di Provinsi Jambi tahun 2009 .................................................. 151 24 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) berdasarkan pola dan daerah penempatannya di Provinsi Jambi tahun 2009 ........................................... 151 25 Perbandingan indikator kinerja kesehatan desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 .................................... 159 26 Persentase kepemilikan fasilitas pendidikan pada desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 ................ 161 27 Perbandingan persentase perumahan permanen desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 .................................... 162 28 Perbandingan persentase rumah tangga miskin desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 ............................ 164 29 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 ................................................ 165 30 Perbandingan indikator aktivitas pertanian desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 ................................................ 167 31 Perbandingan persentase lahan pertanian non-sawah desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non transmigrasi tahun 2008 ............................ 167 32 Indikator aktivitas non-pertanian di desa-desa eks transmigrasi dan nontransmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006 ................................................. 168 33 Skewness dan Z hitung skewness peubah-peubah dalam indikator kinerja desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ..................................................... 170 34 Hasil perhitungan skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah transformasi ............................................................................................... 171 35 KMO and Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi................................................................................................ 173 36 Pengukuran MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi .... 173 37 Pengukuran ulang MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi................................................................................................ 174 38 Pengujian ulang KMO dan Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ........................................................................ 174 39 Analisis communalities peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ........ 176 40 Total variance explained peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ..... 176 41 Matriks komponen peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ............... 177 xvi
42 Matriks struktur peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi ...... 178 43 Pembobotan indikator stadia desa eks transmigrasi .................................... 179 44 Distribusi desa eks transmigrasi menurut stadianya di Provinsi Jambi ........ 179 45 Distribusi stadia desa eks transmigrasi berdasarkan kabupaten ................... 180 46 Prosedur stepwise dalam pembentukan fungsi diskriminan ......................... 181 47 Proses pemasukan peubah dilihat dari angka Wilk’s Lambda ...................... 182 48 Canonical discriminant function coefficients .............................................. 182 49 Hasil klasifikasi analisis diskriminan stadia desa ........................................ 182 50 Profil stadia desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi .......................... 184 51 Unit, jenis usaha serta rata-rata tenaga kerja industri pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ............................................................. 188 52 Persentase industri pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ........................................................................................... 189 53 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja industri non-pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi...................................................... 191 54 Persentase industri non-pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ....................................................................................... 191 55 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha perdagangan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi...................................................... 193 56 Persentase usaha perdagangan menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ........................................................................................... 193 57 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha jasa lainnya pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ............................................................. 195 58 Persentase usaha jasa lainnya menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ........................................................................................... 196 59 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan aksesibilitas dan lama penempatan ................................................................................................ 197 60 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan jenis permukaan jalan ........... 197 61 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan komoditi tanaman utama dan stadia desa ........................................................................................... 199 62 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan dominasi daerah asal dan stadia desa.................................................................................................. 200 63 Model fitting information stadia desa-desa eks transmigrasi ....................... 202 64 Estimasi parameter model determinan stadia desa eks transmigrasi ............ 203 65 Distribusi sampel keluarga pada desa penelitian, Tahun 2011..................... 207 xvii
66 Persentase kepala keluarga menurut daerah asal pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 219 67 Persentase kepala keluarga menurut status ketransmigrasian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................................... 220 68 Persentase kepala keluarga menurut kelompok umur pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 221 69 Persentase kepala keluarga menurut tingkat pendidikan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 222 70 Persentase kepala keluarga menurut lapangan pekerjaan utama pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................................... 223 71 Persentase kepala keluarga menurut kepemilikan pekerjaan sampingan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................... 224 72 Persentase kepala keluarga menurut kelompok jam kerja pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 224 73 Struktur anggota keluarga pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ................................................................................................ 226 74 Persentase anggota keluarga menurut kegiatan utama pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 226 75 Persentase keluarga menurut status kepemilikan rumah pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 227 76 Persentase keluarga menurut kondisi rumah pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ................................................................... 228 77 Persentase keluarga menurut kepemilikan lahan pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ............................................... 229 78 Persentase keluarga menurut luas lahan saat ini dibandingkan kondisi awal penempatan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ........................................................................................................... 230 79 Persentase keluarga menurut jenis tanaman lahan pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................................... 231 80 Pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ........................................................................................................... 233 81 Karakteristik pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ..................................................................................... 234 82 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Mekar Sari, Tahun 2011 ................................................................................................ 236 83 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Kelurahan Bandar Jaya, Tahun 2011 ................................................................................................ 240 xviii
84 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Bukit Mas, Tahun 2011........................................................................................................... 243 85 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rasau, 2011............ 247 86 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Sungkai, Tahun 2011........................................................................................................... 250 87 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rimbo Mulyo, Tahun 2011 ................................................................................................ 253 88 Persentase perjalanan penduduk menurut lokasi tujuan perjalanan pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 ......................... 255 89 Uji Overall Model Fit untuk model perjalanan bekerja ............................... 260 90 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan bekerja ............................... 260 91 Estimasi parameter model perjalanan bekerja ............................................ 261 92 Uji Overall Model Fit untuk perjalanan belanja .......................................... 264 93 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan belanja ............................... 264 94 Estimasi parameter model untuk perjalanan belanja ................................... 265
xix
xx
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Perkembangan rata-rata penempatan transmigran di Indonesia. ...................... 4
2
Pilar-pilar pembangunan berkelanjutan. ....................................................... 32
3
Konsep pembangunan transmigrasi sebelum otonomi daerah. ...................... 66
4
Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. ........................ 69
5
Faktor daerah asal dan daerah tujuan serta penghalang antara dalam migrasi. ........................................................................................................ 80
6
Hipotesis stadia-stadia pengembangan wilayah melalui demand side strategi untuk kawasan transmigrasi. ............................................................ 95
7
Kerangka pemikiran penelitian ................................................................... 116
8
Alir rancangan penelitian ........................................................................... 138
9
Rata-rata penempatan transmigrasi dari Pra-Pelita sampai era otonomi daerah di Provinsi Jambi. ........................................................................... 144
10 Sebaran transmigran menurut kabupaten penempatan di Provinsi Jambi
tahun 2009 (persentase KK). ...................................................................... 147 11 Sebaran transmigran menurut daerah asal di Provinsi Jambi tahun 2009
(persentase KK). ........................................................................................ 148 12 Perbandingan indikator pendidikan desa eks transmigrasi dan desa non-
transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. ................................................ 161 13 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa eks transmigrasi dan
non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. ......................................... 165 14 Perbandingan
indikator aktivitas non-pertanian desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006. ............... 169
15 Lokasi penelitian Desa Mekar Sari. ............................................................ 208 16 Lokasi penelitian Kelurahan Bandar Jaya. .................................................. 210 17 Lokasi penelitian Desa Bukit Mas. ............................................................. 212 18 Lokasi penelitian Desa Rasau. .................................................................... 214 19 Lokasi penelitian Desa Sungkai.................................................................. 215 20 Lokasi penelitian Desa Rimbo Mulyo. ....................................................... 217 21 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa
Mekar Sari, Tahun 2011. ............................................................................ 237 22 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa
Bandar Jaya, Tahun 2011 ........................................................................... 241 xxi
23 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa
Bukit Mas, Tahun 2011. ............................................................................. 244 24 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa
Rasau, Tahun 2011. .................................................................................... 248 25 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa
Sungkai, Tahun 2011.................................................................................. 251 26 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa
Rimbo Mulyo, Tahun 2011. ....................................................................... 254 27 Model Awal hipotesis stadia perkembangan desa. ...................................... 268 28 Model baru stadia perkembangan desa. ...................................................... 270 29 Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. ....................... 271 30 Konsep baru pembangunan kawasan transmigrasi dengan pendekatan
kutub pertumbuhan yang terintegrasi secara sosial-fungsional-spasial. ....... 274
xxii
DAFTAR LAMPIRAN
1 Histogram peubah-peubah dalam penyusunan indikator kinerja desa transmigrasi ............................................................................................... 295 2 Nilai Z peubah indikator (tahap 1) .............................................................. 299 3 Nilai Z peubah indikator (tahap 2) .............................................................. 304 4 Nilai Z peubah indikator (tahap 3) .............................................................. 309 5 Pengujian multivariate outlier (tahap 1) ..................................................... 315 6 Pengujian multivariate outlier (tahap 2) ..................................................... 318 7 Pengujian MSA (tahap 1). .......................................................................... 321 8 Normalisasi peubah, indeks komposit dan diseminasi ................................ 323 9 Korelasi antarpeubah model determinan stadia desa eks transmigrasi ........ 327 10 Korelasi antarpeubah model perjalanan bekerja .......................................... 328 11 Korelasi antarpeubah model perjalanan belanja .......................................... 329
xxiii
I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Program transmigrasi sebagai salah satu program kependudukan dan pengembangan wilayah di Indonesia sudah berlangsung cukup lama. Dimulai dari zaman pemerintahan Hindia Belanda Tahun 1905 (pada saat itu transmigrasi dikenal dengan istilah kolonisasi). Pada masa pemerintahan Hindia Belanda tersebut (1905–1941), sasaran utamanya selain untuk mengurangi kepadatan penduduk Pulau Jawa, juga untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja di daerahdaerah luar Pulau Jawa. Selanjutnya, pada masa pemerintahan Jepang (1942– 1945), transmigrasi bertujuan untuk memindahkan penduduk secara paksa dari Pulau Jawa ke pulau-pulau lain di Indonesia untuk bekerja paksa bagi keperluan pertahanan Jepang (Keyfitz & Nitisastro 1955, diacu dalam Saleh, 1982). Setelah kemerdekaan, pada awal orde lama, sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1958 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi (perubahannya melalui Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1959 tentang Pokok-Pokok
Penyelenggaraan
Transmigrasi)
dan
Peraturan
Pemerintah
Pengganti Undang-undang Nomor 29 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi, tujuan transmigrasi adalah untuk mempertinggi taraf keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat dan memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Pada Tahun 1965, dikeluarkan Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1965 tentang Gerakan Nasional Transmigrasi, yang menyatakan tujuan transmigrasi untuk memperkuat pertahanan dan keamanan revolusi serta meningkatkan kegiatan pembangunan ekonomi terutama produksi pangan. Pada Orde Baru, tujuan transmigrasi semakin berkembang ke tujuan nondemografis lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 tujuan transmigrasi adalah untuk peningkatan taraf hidup, pembangunan daerah, keseimbangan penyebaran penduduk, pembangunan yang merata ke seluruh Indonesia, pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia; kesatuan dan persatuan bangsa serta memperkuat pertahanan dan ketahanan nasional. Pada era otonomi daerah, transmigrasi masih menjadi salah satu model pembangunan. Namun penyelenggaraannya dihadapkan tantangan yang terkait
2
dengan perubahan tata pemerintahan. Penyelenggaraan transmigrasi yang berciri sentralistik, kini dihadapkan pada tantangan penerapan desentralisasi dan otonomi.
Otonomi daerah selain menyebabkan
pergeseran
kewenangan
penyelenggaraan transmigrasi, juga mengharuskan pelaksanaan transmigrasi sepenuhnya disesuaikan dengan karakteristik dan kondisi spesifik daerah. Dalam mengantisipasi perubahan-perubahan tersebut, telah dikeluarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian, yang diperbaharui melalui Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan tujuan transmigrasi adalah: (1) untuk meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar; (2) meningkatkan pemerataan pembangunan daerah; dan (3) memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam pelaksanaannya, program transmigrasi telah menunjukkan berbagai keberhasilan. Program transmigrasi telah menempatkan sebanyak 2.115.309 kepala keluarga. Penelitian Najiyati et al. (2005, 2006) juga memperlihatkan peningkatan kesejahteraan transmigran dibandingkan daerah asalnya. Dari penciptaan kesempatan kerja, transmigrasi tidak hanya mampu menciptakan kesempatan kerja pada sektor pertanian, tetapi sektor-sektor non pertanian lainnya baik di hulu maupun hilirnya (Puslitbangtrans 2004). Dari sisi pembangunan daerah, kawasan transmigrasi telah berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru yang
berperan
sebagai
pusat
produksi
pertanian,
perkebunan,
bahkan
pemerintahan. Najiyati et al. (2006) dari penelitiannya terhadap 1.406 Unit Permukiman Transmigrasi menemukan bahwa sebanyak 520 unit atau 37% mampu menjadi sentra produksi pangan sedangkan yang lainnya berkembang menjadi sentra produksi komoditas lain terutama tanaman perkebunan. Siswono (2003) mengemukakan program transmigrasi telah ikut menunjang pembangunan daerah melalui pembangunan perdesaan baru. Dari 3000-an UPT (Unit Permukiman Transmigrasi), 945 di antaranya telah berkembang menjadi desa baru. Desa-desa baru tersebut tumbuh dan berkembang menjadi ibukota kecamatan dan bahkan menjadi ibukota kabupaten/kota. Berdasarkan data Tahun 2010, eks UPT yang telah mendorong perkembangan daerah menjadi pusat pemerintahan sebanyak 97 kabupaten (Kemenakertrans 2011). Ini menunjukkan
3
bahwa pembangunan transmigrasi telah menjadi perintis berdirinya
beberapa
kabupaten/kota dan kecamatan di Indonesia. Di daerah asal, kontribusi pembangunan transmigrasi juga dirasakan. Selain mengatasi persoalan keterbatasan peluang kerja dan berusaha, program ini telah mendukung pembangunan beberapa infrastruktur strategis seperti Waduk Gajah Mungkur di Wonogiri, Waduk Mrica d i Jawa Tengah, Waduk Saguling di Jawa Barat, dan Bandar Udara Internasional Soekarno-Hatta. Realitas tersebut menunjukkan, transmigrasi dalam kurun waktu cukup lama telah menjadi salah satu program “unggulan” dalam membangun kemandirian bangsa melalui pengembangan potensi sumber daya wilayah terintegrasi dengan penataan persebaran penduduk. Transmigrasi juga dapat menjadi contoh khas dan strategi pengembangan wilayah “original” Indonesia dan menjadi sumber pembelajaran berharga dalam pengembangan potensi wilayah. Namun demikian, pada era otonomi telah terjadi penurunan penempatan transmigran. Pada akhir Orde baru (Pelita VI) rata-rata penempatan transmigran sebanyak 350.064 KK per tahun, sedangkan pada era otonomi, Tahun 2000– 2004 hanya berhasil ditempatkan sebanyak 87.571 KK per tahun.
Penurunan ini
berlanjut pada Tahun 2005–2009 menjadi 41.853 KK per tahun dan pada Tahun 2010-2011 menjadi 7.310 KK per tahun (Tabel 1 dan Gambar 1). Tabel 1 Perkembangan penempatan transmigran di Indonesia Waktu penempatan Era Kolonisasi (1905 - 1942) Pra Pelita (1950 – 1968) Pelita I (1969/1970-1973/1974) Pelita II (1974/1975-1978/1979) Pelita III (1979/1980-1983/1984) Pelita IV (1984/1985-1988/1989) Pelita V (1989/1990-1993/1994) Pelita VI (1994/1995-1998/1999) Era otonomi daerah 2000 - 2004 2005 - 2009 2010 - 2011 Sumber: Kemenakertrans (2012)
UPT/L PT
Jumlah KK
Jiwa
Rata-rata per tahun KK Jiwa
62
60155
232802
1583
6126
176 139 139 767 2002 750 1109
98631 40906 82959 337761 750150 265259 350064
394524 163624 366429 1346890 2256255 1175072 1400256
5191 8181 16592 67552 150030 53052 70013
20764 32725 73286 269378 451251 235014 280051
246 420 75
87571 41853 14620
354272 161047 54215
17514 8371 7310
70854 32209 27108
4
450
KK atau jiwa (000 per tahun)
400 350 300 250 200 150 100 50 0 Kolonisasi Pra Pelita Pelita I Pelita II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelita VI 2000-2004 2005-2009 2010-2011 1905-1942 1950-1968 69/70-73/74 74/75-78/79 79/80-83/84 84/85-88/89 89/90-93/94 94/95-98/99
Periode Penempatan
KK
Jiwa
Gambar 1 Perkembangan rata-rata penempatan transmigran di Indonesia. Sumber: Kemenakertrans (2012).
Selain akibat mulai terbatasnya ketersediaan lahan, lemahnya kelembagaan penyelenggaraan transmigrasi era otonomi di daerah serta rendahnya inisiatif daerah dalam membangun transmigrasi dengan alasan biaya (Anharudin et al. 2008), penurunan kinerja transmigrasi juga disebabkan adanya berbagai stigma negatif yang mengiringi keberhasilan program ini. Di antara stigma negatif tersebut menurut Manuwiyoto (2008) adalah transmigrasi dicap sebagai program sentralistik, pemindahan kemiskinan, deforestasi, jawanisasi, dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Fearnside (1997) mengemukakan bahwa transmigrasi telah menjadi penyebab utama dari berkurangnya hutan-hutan di Indonesia dan aktivitas-aktivitas penyelenggaraan transmigrasi juga cenderung berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia. Sehubungan dengan tujuan redistribusi penduduk, Wijst (1985) melalui kajiannya juga mengemukakan transmigrasi selama ini hampir tidak mempengaruhi distribusi penduduk Indonesia dan hanya di daerah penerima tertentu efek transmigrasi cukup signifikan. Selain itu, dia juga meragukan peran transmigrasi yang berorientasi pertanian dapat berdampak pada proses pembangunan daerah. Terkait dengan stigma negatif ini, Siswono (2003) juga mengemukakan beberapa aspek yang menyebabkan terpuruknya citra program transmigrasi yang menyebabkan penolakan transmigrasi d i beberapa daerah. Di antaranya adalah:
5
(a) terlalu berpihaknya pemerintah kepada transmigran dalam pemberdayaan dan pembinaan masyarakat d i unit permukiman transmigrasi (UPT) dan kurang memperhatikan penduduk sekitar. Perbedaan ini, mengakibatkan perkembangan UPT relatif lebih cepat ketimbang desa-desa sekitarnya sehingga menimbulkan kecemburuan yang berdampak sangat rentan terhadap konflik; (b) Sistem pemberdayaan dan pembinaan masyarakat transmigrasi dilaksanakan dengan pendekatan sentralistik, mengakibatkan budaya lokal nyaris tidak berkembang, sementara budaya pendatang lebih mendominasi; (c) Proses perencanaan kawasan permukiman transmigrasi kurang dikomunikasikan dengan masyarakat sekitar. Akibatnya, masyarakat sekitar permukiman transmigrasi tidak merasa terlibat, dan karenanya tidak ikut bertanggung jawab atas keberadaannya; (d) Adanya pembangunan permukiman transmigrasi yang eksklusif sehingga dirasakan kurang adanya keterkaitan secara fungsional dengan lingkungan sekitarnya; dan (e) Adanya permukiman transmigrasi yang tidak layak huni, layak usaha, dan layak berkembang dan justru menjadi desa tertinggal. Anharudin et al. (2006) juga mengemukakan, meskipun program transmigrasi telah berhasil membangun desa-desa baru, namun sebagian di antaranya belum sepenuhnya mampu mencapai tingkat perkembangan secara optimal, yang mampu menopang pengembangan wilayah, baik wilayah itu sendiri atau wilayah lain yang sudah ada. Bahkan menurut Haryati et al. (2006) sebagian dari permukiman transmigrasi tersebut direlokasi karena kondisinya dinilai tidak layak berkembang. Penurunan kinerja transmigrasi juga disebabkan tidak berjalannya struktur kawasan transmigrasi yang berpola hierarkis. Pembangunan transmigrasi yang dilaksanakan sebelum otonomi yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972, sebenarnya sudah dirancang atas dasar struktur kawasan yang berciri hierarkis, dari satuan terkecil yaitu Satuan Permukiman (SP) hingga terbesar yaitu Satuan Wilayah Pengembangan (SWP). Dalam struktur perwilayahan ini, pengembangan transmigrasi mengikuti mekanisme pasar dan berjenjang yaitu pola aliran produksi yang dihasilkan adalah dari SP ke pusat SKP (Satuan Kawasan Pengembangan), dan pusat-pusat SKP menuju pusat WPP (Wilayah Pengembangan Parsial) dan selanjutnya dikumpulkan di pusat SWP yang merupakan pintu gerbang pemasaran ke arah luar wilayah. Selanjutnya, dalam
6
kaitannya dengan pemenuhan kebutuhan masyarakat transmigran, pertama kali masuk ke wilayah adalah melalui pintu gerbang di pusat SWP, kemudian didistribusikan ke pusat-pusat yang lebih rendah (SKP) sampai di pusat-pusat SP. Melalui pola ini, wilayah-wilayah sekitar permukiman transmigrasi akan berkembang karena adanya keterkaitan yang saling menguntungkan antara kawasan permukiman dengan wilayah sekitar tersebut. Namun demikian, menurut Yuniarti et al. (2008), dalam prakteknya hal tersebut tidak selalu berlangsung sesuai dengan konsep yang direncanakan. Ini disebabkan wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi yang diskenariokan sebagai pusat pelayanan proses produksi (penyedia input, jasa keuangan, pengolahan hasil dan pemasaran) tidak dapat berperan sebagaimana yang diharapkan. Faktor penyebabnya adalah tidak tersedianya infrastruktur dan kelembagaan yang memadai untuk mendukung peran sebagai pusat pelayanan pada wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi. Setelah otonomi daerah, pada dasarnya sudah ada pergeseran paradigma transmigrasi yang ekslusif ke paradigma inklusif, atau secara konseptual melibatkan masyarakat desa-desa sekitar
sebagai bagian dari kawasan
transmigrasi. Sebagaimana yang dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997, Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009, lingkup geografis kawasan transmigrasi terdiri atas permukiman baru transmigrasi, desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa setempat. Namun menurut Najiyati (2008) secara praktis masih ada keterpisahan antara masyarakat transmigrasi yang berada di dalam unit permukiman yang dibangun secara terkonsentrasi, dengan masyarakat sekitar atau setempat yang berada di luar unit. Keterpisahan bukan saja secara konseptual, tetapi juga terwujud dalam bentuk-bentuk perlakuan, program, dan input (pemberian), yang bias ke warga yang di dalam unit permukiman transmigrasi. Sementara itu, penduduk desa sekitar masih terabaikan. Penelitian yang dilakukan Najiyati (2008) di tujuh provinsi yaitu Sumatera Barat, Jambi, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah dan Nusa Tenggara Barat menemukan bahwa masih banyak masyarakat miskin dan menganggur di desa
7
sekitar
permukiman transmigrasi
yang
belum
tersentuh
oleh
program
transmigrasi. Tidak sejalannya dan adanya keterpisahan pelaksanaan pembangunan wilayah transmigrasi dengan wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi pada dasarnya disebabkan oleh lemahnya koordinasi antarlembaga terkait dalam pelaksanaan ketransmigrasian dengan pengembangan wilayah di daerah. Lemahnya koordinasi ini terlihat baik pada tingkat lembaga di pusat maupun daerah dan juga dalam hal perencanaan, pengalokasian anggaran maupun pelaksanaan pembangunannya. Fakta-fakta ini merupakan faktor utama yang menjadi dasar menurunnya kinerja transmigrasi sejak era otonomi daerah. Sebagian daerah tidak lagi menempatkan program transmigrasi sebagai kebijakan prioritas disebabkan program transmigrasi hanya berhasil dalam meningkatkan kesejahteraan transmigran dan cenderung tumbuh sebagai kawasan enclave, dengan kontribusi yang rendah terhadap pengembangan wilayah sekitarnya. Penelitian Anharudin et al. (2008) pada tujuh provinsi (Sulawesi Selatan, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Sumatera Barat, Riau, Kalimantan Barat, Maluku Utara) menemukan bahwa tiga provinsi sama sekali tidak mencantumkan klausul transmigrasi dalam Rencana Strategis (Renstra) daerahnya. Selain itu, meskipun semua provinsi memiliki dinas yang mengurusi transmigrasi, namun demikian hanya tiga dinas yang memiliki Renstra mengenai transmigrasi. Hal ini menunjukkan transmigrasi masih sangat tergantung ke program pusat, yang diberikan kepada daerah, yang tercermin dalam seberapa anggaran yang dialokasikan kepada daerah tersebut. Salah satu daerah penempatan transmigrasi di Indonesia adalah Provinsi Jambi. Penempatan transmigran di Provinsi Jambi telah dimulai dari Tahun 1940 dan terus berlanjut sampai saat ini. Berdasarkan data Tahun 2011, transmigran yang telah ditempatkan mencapai 100.260 KK (Kemenakertrans 2012). Jumlah tersebut telah menjadikan Provinsi Jambi sebagai salah satu daerah utama penempatan transmigran. Meskipun demikian, fenomena penurunan kinerja transmigrasi setelah otonomi daerah ini juga terjadi di Provinsi Jambi. Pada orde baru (Pelita I – VI), rata-rata penempatan transmigrasi mencapai 3568 KK per tahunnya, menurun
8
pada era otonomi daerah (2000 – 2011), menjadi rata-rata penempatan hanya 682 KK per tahunnya (Kemenakertrans 2012). Penurunan ini juga tidak terlepas dari berbagai
permasalahan
penyelenggaraan
transmigrasi
secara
nasional
sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya. Pembangunan transmigrasi masih memiliki potensi dan peluang untuk mendorong pengembangan wilayah di Provinsi Jambi. Kepadatan penduduknya masih relatif rendah. Data tahun 2010 menunjukkan sebesar 64 jiwa per km2, yaitu kurang dari separuh tingkat kepadatan penduduk Indonesia secara keseluruhan yang sebesar 126 jiwa/km2 (menempati urutan ke 12 kepadatan penduduk terendah dari 33 provinsi di Indonesia) (BPS 2010). Meskipun secara umum tidak terdapat lahan dalam hamparan yang relatif luas untuk mengembangkan permukiman transmigrasi seperti pola periode Orde Lama atau awal/pertengahan periode Orde Baru, tetapi masih memungkinkan pembangunan transmigrasi yang dilaksanakan secara tersebar pada lahan-lahan yang belum termanfaatkan atau pada wilayah-wilayah dengan kepadatan penduduk yang masih sangat rendah. Dari sisi peluang usaha, Provinsi Jambi juga memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan terutama di bidang pertanian khususnya tanaman bahan makanan dan perkebunan. Hal ini terlihat dari fakta kontribusi sektor pertanian yang mencapai 30,46 persen dari total PDRB, dan kontribusi dari subsektor tanaman bahan makanan serta perkebunan mencapai 83,03 persen dari total PDRB sektor pertanian. Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan kajian terkait dengan pengembangan transmigrasi di daerah ini. Hasil pembelajaran (lesson learned) dari pengetahuan ini dapat dipergunakan sebagai referensi pembangunan perdesaan secara umum dan mengembangkan kebijakan penyelenggaraan transmigrasi
dalam
kerangka
percepatan
pembangunan
daerah
melalui
pengembangan desa-desa. 1.2 Perumusan Masalah Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, terdapat berbagai faktor yang menjadi penyebab penurunan penempatan transmigrasi di era otonomi. Namun demikian penelitian ini lebih menekankan permasalahan adanya sebagian
9
permukiman transmigrasi yang tidak berkembang secara baik sehingga menjadi beban pembangunan di daerah dan di sisi lain terdapat permukiman transmigrasi yang berkembang ternyata menjadi daerah-daerah enclave yang kurang berdampak pada pengembangan wilayah sekitarnya. Dalam konteks transmigrasi sebagai program yang bertujuan untuk meningkatkan pemerataan pembangunan daerah dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, pemukiman transmigrasi selain diharapkan berkembang menjadi pusat-pusat pertumbuhan, juga diharapkan dapat memberikan dampak pada pengembangan wilayah di sekitarnya. Jika permukiman transmigrasi yang telah berkembang tidak memiliki keterkaitan dengan perkembangan wilayah sekitarnya, maka akan mengakibatkan terjadi perbedaan tingkat kesejahteraan dalam masyarakat. Ketidakmerataan ini dapat dengan mudah menimbulkan rasa ketidakpuasan antar wilayah serta membuka peluang munculnya ketidakstabilan politik daerah. Jika terjadi ketidakstabilan politik akan sangat merugikan daerah dalam jangka menengah dan panjang. Selain itu, berbagai fenomena empirik menunjukkan ketidakmerataan pembangunan yang berkepanjangan akhirnya akan menimbulkan efek yang kontra-produktif terhadap berbagai upaya yang telah dilakukan demi peningkatan pertumbuhan itu sendiri. Di negara-negara maju dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi, keberlanjutan pertumbuhan dapat terjaga oleh tingkat kemajuan yang merata. Secara sistemik, tingkat kemajuan dari suatu sistem tidak lepas dari keberadaan komponen yang paling lemah. Ini berarti tingkat kemajuan daerah juga akan sangat ditentukan oleh kondisi wilayah tertinggal yang ada. Berdasarkan hal tersebut, diperlukan pengetahuan mengenai perkembangan pemukiman transmigrasi yang telah terbangun saat ini (setelah masa pembinaan dan menjadi desa definitif). Selama ini, kajian-kajian perkembangan pemukiman transmigrasi telah banyak dilakukan, namun demikian hanya dilakukan terbatas pada pemukiman masa pembinaan (antara 5 – 6 tahun). Misalnya kajian yang dilakukan oleh Pusdatin Transmigrasi dan Institut Pertanian Bogor pada tahun 1998/1999 pada 597 UPT sampel di Indonesia dan kajian oleh Wibowo et al. (2000) pada empat provinsi yaitu Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur.
10
Hasil-hasil kajian tersebut hanya terbatas menggambarkan keragaan pembangunan transmigrasi pada masa pembinaan dan tidak terdapat pembelajaran apa yang terjadi setelah proses pembinaan. Hal ini berimplikasi pada kesulitan dalam
menilai
keberhasilan
pembangunan
transmigrasi
dalam
konteks
keterkaitannya dengan pengembangan wilayah sekitarnya dan kontribusinya terhadap pembangunan daerah. Selain itu, juga terdapat kehilangan informasi yang berharga berupa pengalaman membangun desa-desa transmigrasi yang dapat diterapkan dalam pembangunan desa-desa secara umum di Indonesia. Pemahaman terhadap perkembangan pemukiman transmigrasi khususnya setelah masa pembinaan (desa-desa eks transmigrasi), faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta keterkaitan desa-desa eks transmigrasi tersebut terhadap pengembangan wilayah sekitarnya tentunya akan dapat menjadi dasar penting dalam merancang pengembangan program transmigrasi sehingga dapat menjadi program yang berkontribusi positif pengembangan wilayah perdesaan dan pembangunan daerah di era otonomi. Pemahaman ini juga tentu dapat menjadi pembelajaran yang berharga yang secara umum dapat diterapkan dalam pembangunan perdesaan di Indonesia. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimanakah perkembangan desa-desa eks transmigrasi (pemukiman transmigrasi setelah masa pembinaan) di Provinsi Jambi ? 2. Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi perkembangan desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi ? 3. Bagaimanakah kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks pemukiman transmigrasi di Provinsi Jambi ? 4. Bagaimanakah keterkaitan dan faktor-faktor yang mempengaruhi keterkaitan antara desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah-wilayah sekitarnya di Provinsi Jambi? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengembangkan penyelenggaraan transmigrasi dalam rangka pengembangan wilayah perdesaan serta pembangunan daerah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk:
11
1. Mengembangkan pengukuran dan menganalisis stadia perkembangan desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi 2. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan desadesa eks transmigrasi di Provinsi Jambi 3. Menganalisis kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi 4. Menganalisis
keterkaitan
dan
faktor-faktor
yang mempengaruhi
keterkaitan desa-desa eks transmigrasi terhadap wilayah sekitarnya di Propinsi Jambi 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat sebagai berikut: 1. Pembelajaran dari perkembangan permukiman transmigrasi ini dapat dijadikan dasar untuk pembangunan perdesaan secara umum dan pengembangan kebijakan penyelenggaraan transmigrasi yang sesuai dengan tuntutan era otonomi daerah dan kebutuhan pengembangan wilayah perdesaan dan pembangunan daerah 2. Sebagai bahan referensi bagi peneliti selanjutnya terutama yang terkait dengan
pengembangan
ketransmigrasian
sebagai
program
pengembangan wilayah perdesaan dan pembangunan daerah. 1.5 Kebaruan Penelitian Terdapat tiga aspek kebaruan dalam penelitian ini. Pertama, dari sisi objek analisis yang menggunakan desa-desa eks transmigrasi. Selama ini, kajian-kajian perkembangan permukiman transmigrasi umumnya hanya dilakukan terbatas pada permukiman transmigrasi pada masa pembinaan, sehingga belum terdapat informasi terstruktur dan mekanisme yang menggambarkan perkembangan pemukiman transmigrasi pasca pembinaan (desa-desa eks transmigrasi). Hal ini berimplikasi pada kesulitan menilai keberhasilan pembangunan transmigrasi sebagai program pengembangan wilayah perdesaan dan pembangunan daerah dan secara umum hilangnya informasi yang berguna yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan perdesaan di Indonesia. Kedua, dari sisi konsep yang digunakan dalam pengukuran perkembangan desa. Konsep-konsep perkembangan desa yang
12
pernah digunakan selama ini umumnya hanya melihat pada aspek kesejahteraan baik kesejahteraan ekonomi, sosial dan budaya tanpa melihat perubahanperubahan aktivitas ekonomi yang terjadi bersamaan dengan perkembangan desa. Hal ini disebabkan cara pandang yang melihat desa hanya sebagai tempat pertanian. Dalam penelitian ini perkembangan desa tidak hanya dilihat dari peningkatan kesejahteraan semata, tetapi juga melihat perkembangan desa yang bergerak dari tahapan desa pertanian menjadi daerah perkotaan (urbanisasi atau industrialisasi perkotaan). Oleh karenanya selain melihat perkembangan kesejahteraan juga melihat perkembangan berbagai aktivitas pertanian dan nonpertanian yang ada di desa. Ketiga, penelitian ini mencoba mengungkap aspek interaksi (keterkaitan) desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah sekitarnya dalam rangka memberikan konsep pengembangan keterkaitan desa transmigrasi dengan wilayah sekitarnya. Melalui ketiga aspek tersebut, diharapkan dapat direkomendasikan pola baru dalam pembangunan transmigrasi ke depan sebagai program pembangunan perdesaan yang sesuai dengan era otonomi daerah yaitu penyelenggaraan transmigrasi yang tidak saja mampu secara secara efektif dan efisien mendorong perkembangan pemukiman transmigrasi itu sendiri, tetapi juga memiliki keterkaitan
dengan
wilayah
sekitarnya
sehingga
mampu
mendorong
perkembangan wilayah (desa-desa) sekitarnya serta perkembangan ekonomi daerah.
II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengembangan Wilayah 2.1.1 Pengertian dan Klasifikasi Wilayah Sampai saat ini belum terdapat kesepakatan di antara para pakar ekonomi, pembangunan, geografi maupun bidang lainnya mengenai terminologi wilayah (region) (Alkadri 2001). Keragaman dalam mendefinisikan konsep “wilayah” terjadi karena perbedaan dalam permasalahan-permasalahan wilayah ataupun tujuan-tujuan pengembangan wilayah yang dihadapi. Sebagai suatu sistem, Hilhorst (1971) mengidentifikasikan wilayah sebagai subsistem dari suatu sistem yang lebih besar. Dalam konteks geografi, secara ringkas Blair (1991) mendefinisikan wilayah sebagai bagian dari suatu area. Selanjutnya, Nugroho dan Dahuri (2004) mendefinisikan wilayah sebagai suatu area geografis yang memiliki ciri tertentu dan merupakan media lokasi berinteraksi. Sedangkan, Budiharsono (2001) mendefinisikan wilayah sebagai suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-bagiannya tergantung secara internal dalam dimensi ruang dan merupakan wadah bagi kegiatan-kegiatan sosial ekonomi yang memiliki keterbatasan serta kesempatan ekonomi yang tidak sama. Terminologi wilayah sangat longgar, dan batasannya sangat tergantung pada tujuan analisis. Batasan suatu wilayah bisa hanya meliputi satu desa, suatu kecamatan, suatu kabupaten atau wilayah ekonomi yang melewati batas negara. Selanjutnya, Rustiadi et al. (2009) mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik tertentu di mana komponen-komponen di dalamnya memiliki keterkaitan dan hubungan fungsional satu dengan lainnya. Batasan wilayah tidaklah selalu bersifat fisik dan pasti tetapi seringkali bersifat dinamis. Komponen-komponen wilayah mencakup komponen biofisik alam, sumber daya buatan (infrastruktur), manusia serta bentuk-bentuk kelembagaan. Dengan demikian istilah wilayah menekankan interaksi antar manusia dengan sumber daya lainnya dalam suatu batasan unit geografis tertentu. Dalam konteks keterkaitan secara fungsional ini, Saefulhakim et al. (2002) mengemukakan bahwa wilayah berasal dari bahasa Arab “wala-yuwali-wilayah” yang mengandung arti dasar “saling tolong menolong, saling berdekatan baik
14
secara geometris maupun similarity”. Oleh karena itu, pewilayahan (penyusunan wilayah) adalah penggambaran (delineation) unit geografis berdasarkan kedekatan, kemiripan, atau intensitas hubungan fungsional antara bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. Di Indonesia, perbedaan mendefinisikan wilayah terlihat dalam penggunaan terminologi kawasan dan daerah. Pengertian kawasan umumnya mempunyai batasan dan sistem berdasarkan aspek fungsional, sedangkan pengertian daerah umumnya mempunyai batasan atau sistem berdasarkan aspek administratif. Aspek fungsional dan administratif dari wilayah ini juga dijelaskan dalam UndangUndanga Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang mendefinisikan wilayah sebagai ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap unsur yang terkait kepadanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif dan atau aspek fungsional. Selanjutnya, sebagaimana halnya perbedaan dalam mendefinisikan wilayah, juga terdapat berbagai perbedaan dalam mengklasifikasikan wilayah. Johnston (1976), diacu dalam Rustiadi et al. (2009) membagi wilayah atas (1) wilayah formal, yaitu tempat-tempat yang memiliki kesamaan-kesamaan karakteristik; dan (2) wilayah fungsional atau nodal, yang merupakan konsep wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan antarkomponen atau lokasi/tempat. Dalam konteks yang sama, Harmantyo (2007) mengemukakan bahwa wilayah formal sebagai wilayah obyektif yaitu wilayah sebagai tujuan, dan wilayah fungsional sebagai wilayah subjektif yaitu wilayah sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Haruo
(2000)
mengemukakan
terdapat
dua
tipe
dasar
dalam
pendeskripsian wilayah. Tipe pertama, biasanya digunakan oleh ahli geografi dan perencana wilayah, membagi wilayah secara saintifik melalui penggunaan sekumpulan kriteria yang terukur, misalnya atas dasar kandungan sumber daya mineral, aktivitas pertanian yang utama, kecenderungan kejadian bencana alam, dan lainnya. Tipe kedua, pembagian wilayah berdasarkan unit administrasi untuk tujuan perencanaan pembangunan. Hagget
et
al.
(1977),
diacu
dalam
Rustiadi
et
al.
(2009)
mengklasifikasikan konsep wilayah ke dalam tiga kategori, yaitu: (1) wilayah
15
homogen (uniform/homogenous region); (2) wilayah nodal (nodal region); dan (3) wilayah perencanaan (planning region atau programming region). Wilayah homogen didefinisikan berdasarkan basis kesamaan internal (Blair 1991), yaitu wilayah yang memiliki karakteristik serupa atau seragam. Keseragaman ciri tersebut dapat ditinjau dari berbagai aspek seperti sumber daya alam (iklim dan sumber mineral), sosial (agama, suku, dan budaya), dan ekonomi (mata pencaharian). Wilayah heterogen (nodal region), yaitu wilayah yang saling berhubungan secara fungsional disebabkan faktor heterogenitas (perbedaan komponen). Tiap komponen mempunyai peran tersendiri terhadap pembangunan daerah. Hal ini tercermin dalam perilaku para pelaku ekonomi yang saling tergantung terhadap yang lain. Wilayah nodal adalah satu tipe penting dari wilayah fungsional. Wilayah nodal
terutama didasarkan atas suatu sistem hierarkis dari hubungan
perdagangan. Hubungan tersebut umumnya berlangsung antara wilayah pusat (core) dan wilayah pinggiran (periphery atau hinterland). Wilayah perencanaan (planning region), yaitu wilayah yang berada dalam kesatuan kebijakan atau administrasi. Wilayah ini selalu dikaitkan dengan pemerintah dalam rangka pengelolaan organisasi kepemerintahan dan umum digunakan untuk menyatakan kesatuan administratif seperti desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan propinsi. Wilayah perencanaan atau wilayah administratif dibentuk untuk tujuan manajerial atau organisasional. Johnston (1976) diacu dalam Rustiadi (2009) membedakan wilayah atas wilayah formal dan fungsional. Wilayah formal adalah tempattempat yang memiliki kesamaan-kesamaan karakteristik, sedangkan wilayah fungsional adalah konsep wilayah yang menekankan kesamaan keterkaitan antar komponen atau lokasi/tempat. Menurut Nugroho dan Dahuri (2004) pembedaan ketiga kategori wilayah tersebut tidak bersifat mutlak (mutually exclusive). Wilayah administrasi bisa saling tumpang tindih dengan wilayah fungsional. Selanjutnya, jika pengertian wilayah formal dan wilayah fungsional dihubungkan dengan perencanaan, dapat dikenal dua macam pendekatan dalam perencanaan wilayah, yaitu: (1) pendekatan teritorial, yaitu suatu perencanaan dengan memperhitungkan mobilitas terpadu dari semua sumber daya manusia dan sumber daya alam dari suatu wilayah
16
tertentu yang dicirikan oleh perkembangan sejarahnya. Perencanaan ini disebut perencanaan wilayah teritorial atau perencanaan wilayah formal; (2) pendekatan fungsional, yaitu suatu perencanaan wilayah yang memperhitungkan lokasi berbagai kegiatan ekonomi dan pengaturan secara ruang dari sistem perkotaan mengenai berbagai pusat dan jaringan. Perencanaan semacam ini disebut perencanaan wilayah fungsional. Badan Kordinasi Pengelolaan Tata Ruang Nasional (BKTRN) melakukan pembabakan wilayah-wilayah di Indonesia berdasarkan fungsi-fungsi tertentu yang disebut “area” atau kawasan di antaranya
Kawasan Andalan, seperti Kawasan Andalan Tolitoli (Sulawesi Tengah), Kawasan Andalan Tatapan Buma (Kalimantan Timur), Kawasan Andalan Pasaman (Sumatera Barat), Kapet Biak (Papua), dan Kapet Natuna (Riau).
Kawasan Cepat Tumbuh, seperti Kawasan Industri Cilegon (Banten), Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, bekasi, Depok (Jabodetabek), Kawasan Pantai Utara di sepanjang wilayah DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, Kawasan Denpasar dan sekitarnya, Kawasan gresik, bangkalan, Kertosono, Surabaya, Sidoarjo, Lamongan (Gerbangkertosusila).
Kawasan Potensial tumbuh, serperti kawasan industri Lhouksemawe, Kawasan Medan, Binjai, Deli Serdang dan sekitarnya termasuk kerangka segitiga pertumbuhan Indonesia, Malaysia, Thailand (IMT-GT), Kawasan Batam, Sabang, Bintan, Sumatera Barat, dan sekitarnya yang termasuk pada kerangka segitiga pertumbuhan. Indonesia, Malaysia, Singapura (IMS-GT), kawasan Pulau Natuna, Kawasan Nunukan, Kawasan Bitung, dan Kawasan Timika.
Kawasan Kritis Lingkungan, seperti Kerinci Seblat, Kawasan danau Toba dan sekitarnya, Kawasan Taman Nasional Berbak, Kawasan Bogor, Puncak, Cianjur (Bopuncur), Kawasan Riam Kiwa, Kawasan Timika dan kawasan kritis lingkungan lainnya.
Kawasan Perbatasan, seperti Kalimantan-Serawak, Papua-Papua Nugini, dan Sangihe Talaud-Filipina.
Kawasan sangat Tertinggal, seperti Pulau Weh, Pulau Aceh, dan pulau-pulau di pantai barat Sumatera.
17
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengemukakan pengertian kawasan adalah wilayah yang mempunyai fungsi utama lindung dan budi daya. Dalam UU tersebut kawasan dibagi sebagai berikut:
Kawasan Lindung: wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam dan sumber daya buatan.
Kawasan budidaya: wilayah yang ditetapkan dengan fungsi utama untuk dibudidayakan atas dasar kondisi dan potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan sumber daya buatan.
Kawasan perdesaan: wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintah, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Kawasan agropolitan: kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian dan pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan fungsional dan hierarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
Kawasan perkotaan: wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan ekonomi.
Kawasan metropolitan: kawasan perkotaan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 jiwa.
Kawasan megapolitan: kawasan yang terbentuk dari dua atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem.
18
Kawasan strategis nasional: wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting secara nasional terhadap kedaulatan negara, pertahanan dan keamanan negara,
ekonomi, sosial,
budaya, dan/atau lingkungan, termasuk wilayah yang ditetapkan sebagai warisan dunia.
Kawasan strategis provinsi: wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup provinsi terhadap ekonomi, sosial, budaya, dan/atau lingkungan.
Kawasan strategis kabupaten/kota: wilayah yang penataan ruangnya diprioritaskan karena mempunyai pengaruh sangat penting dalam lingkup kabupaten/kota terhadap ekonomi, sosial, budaya dan/atau lingkungan. Dari berbagai perbedaan konsep pembagian wilayah tersebut, Rustiadi et al.
(2009) kemudian mengembangkan pembagian konsep wilayah atas enam jenis. Adapun konsep enam jenis wilayah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) Konsep-konsep wilayah klasik, yang mendefinisikan wilayah sebagai unit geografis dengan batas-batas spesifik di mana komponen-komponen dari wilayah tersebut satu sama lain saling berinteraksi secara fungsional; (2) Wilayah homogen, yaitu wilayah yang dibatasi berdasarkan pada kenyataan bahwa faktorfaktor dominan pada wilayah tersebut bersifat homogen, sedangkan faktor-faktor yang tidak dominan bisa bersifat heterogen. Pada umumnya wilayah homogen sangat dipengaruhi oleh potensi sumber daya alam dan permasalahan spesifik yang seragam. Dengan demikian konsep wilayah homogen sangat bermanfaat dalam penentuan sektor basis perekonomian wilayah sesuai dengan potensi/daya dukung utama yang ada dan pengembangan pola kebijakan yang tepat sesuai dengan permasalahan masing-masing wilayah; (3) Wilayah nodal, menekankan perbedaan dua komponen-komponen wilayah yang terpisah berdasarkan fungsinya. Konsep wilayah nodal diumpamakan sebagai suatu ”sel hidup” yang mempunyai inti dan plasma. Inti adalah pusat-pusat pelayanan/pemukiman, sedangkan plasma adalah daerah belakang (hinterland); (4) Wilayah sebagai sistem, dilandasi atas pemikiran bahwa komponen-komponen di suatu wilayah memiliki keterkaitan dan ketergantungan satu sama lain dan tidak terpisahkan; (5) Wilayah perencanaan adalah wilayah yang dibatasi berdasarkan kenyataan
19
terdapatnya sifat-sifat tertentu pada wilayah baik akibat sifat alamiah maupun non alamiah sehingga perlu perencanaan secara integral; (6) Wilayah administratifpolitis, berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa wilayah berada dalam satu kesatuan politis yang umumnya dipimpin oleh suatu sistem birokrasi atau sistem kelembagaan dengan otonomi tertentu. 2.1.2 Konsep Pengembangan Wilayah Pembangunan adalah upaya untuk meningkatkan kesempatan warga negara agar dapat melakukan aktivitas sosial ekonomi dan kerokhanian, sehingga mereka mencapai tingkat yang “wajar” menurut nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat (Nasoetion dan Tadjuddin 1985). Pengembangan adalah memajukan atau memperbaiki atau meningkatkan sesuatu yang sudah ada. Kedua istilah ini sering digunakan untuk maksud yang sama. Pembangunan dan pengembangan itu dapat berupa fisik dan non-fisik. Pembangunan dan pengembangan tersebut dapat mempunyai skala nasional, regional atau lokal. Pembangunan/pengembangan nasional meliputi seluruh negara dengan tekanan perekonomian. Pembangunan/pengembangan lokal meliputi kawasan kecil dengan tekanan pada keadaan fisik. Pembangunan atau pengembangan regional meliputi suatu wilayah dengan tekanan utama pada perekonomian dan tekanan kedua pada keadaan fisik (Jayadinata 1986). Pembangunan wilayah (regional) pada dasarnya adalah pembangunan nasional di suatu region yang disesuaikan dengan kemampuan fisik, sosial dan ekonomi dari region tersebut dengan tetap berpedoman pada peraturan perundangan yang berlaku. Pengembangan wilayah (regional development) memiliki tujuan utama untuk mengurangi ketidakseimbangan (Haruo 2000). Riyadi (2002) secara terperinci mengemukakan bahwa pengembangan wilayah (regional development) merupakan upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya, dan geografis yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya.
20
Pengembangan wilayah merupakan program menyeluruh dan terpadu dari semua kegiatan dengan memperhitungkan sumber daya yang ada dan memberikan kontribusi kepada pembangunan suatu wilayah. Konsep pengembangan wilayah adalah suatu upaya dalam mewujudkan keterpaduan penggunaan sumber daya dengan penyeimbangan dan penyerasian pembangunan antar daerah, antar sektor serta antar pelaku pembangunan dalam mewujudkan tujuan pembangunan daerah (Anwar 2005). Alkadri et al. (2001) menyebutkan bahwa pengembangan wilayah merupakan upaya mengawinkan secara harmonis sumber daya alam, manusia dan teknologi, dengan memperhitungkan daya tampung lingkungan itu sendiri. Hadjisarosa (1982) juga mengemukakan bahwa secara teoritis pertumbuhan wilayah dimungkinkan apabila terjadi pertumbuhan modal yang bertumpu pada pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya modal. Selanjutnya pengembangan kedua sumber daya tersebut akan menimbulkan arus barang sebagai salah satu gejala pertumbuhan ekonomi. Tujuan pengembangan wilayah mengandung dua sisi yang saling berkaitan. Dari sisi sosial ekonomi, pengembangan wilayah adalah upaya memberikan kesejahteraan kualitas hidup masyarakat. Di sisi lain secara ekologis, pengembangan wilayah juga bertujuan untuk menjaga keseimbangan lingkungan sebagai akibat dari campur tangan manusia terhadap lingkungan (Triutomo 1999). Perencanaan pengembangan wilayah dapat dilakukan dengan dua cara yaitu pendekatan sektoral dan pendekatan regional (wilayah). Pada pendekatan sektoral dengan memfokuskan perhatian pada sektor-sektor kegiatan yang ada di wilayah tersebut, sedangkan pada pendekatan regional melihat pemanfaatan ruang serta interaksi berbagai kegiatan dalam ruang wilayah (Tarigan 2008). Lebih jauh, Deni dan Djumantri (2002) mengemukakan bahwa pendekatan wilayah sebagai basis perencanaan pengembangan wilayah harus diorientasikan kepada kemampuan bertindak lokal dalam kerangka berpikir global/makro, memperhitungkan kelayakan masa kini dalam pertimbangan masa depan, lebih fleksibel/dinamis dalam kerangka yang pasti, kemampuan memfokuskan pada masyarakat setempat dengan memanfaatkan keterlibatan masyarakat luas (bisnis, akademis, dan investor). Pembangunan dengan pendekatan wilayah hendaknya berwawasan :
21
local based flexible (conditional), transparency (politically accepted), probisnis (layak ekonomi), long term (berkesinambungan), dan holistik. Menurut Hoover dan Giarratani (1985), diacu dalam Nugroho dan Dahuri (2004), terdapat tiga pilar penting perencanaan pembangunan wilayah yang berkaitan dengan aspek wilayah dan implementasi dalam kebijakan ekonomi. Pertama, keunggulan komperatif (comparative advantage). Pilar ini berhubungan dengan keadaan sumber daya yang spesifik dan khas, yang secara fisik relatif sulit atau memiliki hambatan untuk digerakkan antarwilayah, sehingga wilayah tersebut
memiliki
keunggulan
komparatif.
Karakter
tersebut
umumnya
berhubungan dengan produksi komoditas dari sumber daya alam, antara lain pertanian, perikanan, pertambangan, kehutanan dan kelompok usaha sektor primer lain. Menurut Rustiadi dan Hadi (2004), dengan adanya pemahaman tentang kentungan komparatif (comparative advantage), maka pengembangan suatu wilayah harus diprioritaskan pada pengembangan faktor-faktor dominan yang secara kuat dapat mendorong pertumbuhan wilayah tersebut. Kedua, aglomerasi (imperfect divisibility) sebagai akibat pemusatan ekonomi secara spasial. Hal ini terjadi karena berkurangnya biaya-biaya produksi akibat penurunan jarak dalam bahan baku dan distribusi produk. Ketiga, biaya transport (imperfect mobility of good and service). Pilar ini terkait dengan jarak dan lokasi. Ketiga pilar tersebut selanjutnya akan berimplikasi pada pengambilan keputusan terhadap lokasi kegiatan. Meskipun pendekatan sektoral dan regional tersebut berbeda, tetapi tujuan akhirnya adalah sama, sehingga dalam prakteknya keduanya harus saling melengkapi. Haruo (2000) mengemukakan bahwa
keefektifan pengelolaan
pengembangan wilayah tergantung pada seberapa baik berbagai aktivitas sektoral tersebut dikoordinasikan pada suatu wilayah. Selanjutnya Haruo mengemukakan bahwa koordinasi yang dibutuhkan dalam pengembangan wilayah secara konseptual dapat dibagi atas empat jenis yaitu: (1) antardepartemen sektoral di tingkat pemerintah pusat; (2) antardepartemen sektoral dan lembaga kordinasi di tingkat pemerintah daerah dan pusat; (3) antaralembaga koordinasi atau
22
departemen dari berbagai tingkat administratif; dan (4) dalam suatu departemen sektoral itu sendiri. Pendekatan yang mengacu pada aspek sektoral dan spasial tersebut mendorong lahirnya berbagai konsep pengembangan wilayah. Berbagai konsep pengembangan wilayah yang pernah diterapkan adalah (Bappenas 2003): 1. Konsep pengembangan wilayah berbasis karakter sumber daya, yaitu: (1) pengembangan wilayah berbasis sumber daya; (2) pengembangan wilayah berbasis komoditas unggulan; (3) pengembangan wilayah berbasis efisiensi; dan (4) pengembangan wilayah berbasis pelaku pembangunan. 2. Konsep pengembangan wilayah berbasis penataan ruang, yang membagi wilayah ke dalam: (1) pusat pertumbuhan; (2) integrasi fungsional; dan (3) desentralisasi.
Alkadri
(2001)
mengemukakan
bahwa
konsep
pusat
pertumbuhan menekankan pada perlunya melakukan investasi secara besarbesaran pada suatu pusat pertumbuhan atau wilayah/kota yang telah mempunyai infrastruktur yang baik. Pengembangan wilayah di sekitar pusat pertumbuhan diharapkan melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Penerapan konsep ini di Indonesia telah melahirkan adanya 111 kawasan andalan dalam RTRWN. Konsep integrasi fungsional mengutamakan adanya integrasi yang diciptakan secara sengaja di antara berbagai pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu kota atau wilayah mempunyai hierarki sebagai pusat pelayanan relatif terhadap kota atau wilayah yang lain. Sedangkan konsep desentralisasi dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumberdana dan sumber daya manusia. 3. Konsep pengembangan wilayah terpadu. Konsep ini menekankan kerja sama antarsektor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah tertinggal. 4. Konsep pengembangan wilayah berdasarkan cluster. Konsep ini terfokus pada keterkaitan dan ketergantungan antara pelaku dalam jaringan kerja produksi sampai jasa pelayanan, dan upaya-upaya inovasi pengembangannya. Cluster yang berhasil adalah cluster yang terspesialisasi, memiliki daya saing dan keunggulan komparatif, dan berorientasi eksternal.
Rosenfeld
(2002)
23
mengidentifikasi karakteristik cluster wilayah yang berhasil, yaitu adanya spesialisasi, jaringan lokal, akses yang baik pada permodalan, institusi penelitian dan pengembangan dan serta pendidikan, mempunyai tenaga kerja yang berkualitas, melakukan kerja sama yang baik antara perusahaan dan lembaga lainnya, mengikuti perkembangan teknologi, dan adanya tingkat inovasi yang tinggi. 2.1.3 Prinsip-Prinsip Pengembangan Wilayah Dalam rangka menjawab berbagai tantangan pengaruh globalisasi, pasar bebas dan regionalisasi yang menyebabkan terjadinya perubahan dan dinamika spasial,
sosial,
dan ekonomi antarnegara,
antardaerah (kota/kabupaten),
kecamatan hingga perdesaan, perlu dikembangkan prinsip-prinsip pengembangan wilayah. Bappenas (2006) mengemukakan prinsip-prinsip pengembangan wilayah sebagai berikut: 1. Pengembangan wilayah harus berbasis pada sektor unggulan. Prioritas pada sektor unggulan akan mengarahkan sumber daya pada sektor yang diunggulkan melalui pemetaan antara sektor unggulan dengan sektor yang pendukungnya. 2. Pengembangan wilayah dilakukan atas dasar karakteristik daerah yang bersangkutan, baik aspek ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Suatu program hanya dapat tepat dilakukan pada suatu daerah tertentu dan tidak pada daerah dengan karakteristik berbeda lainnya. 3. Pengembangan wilayah harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu. Pengembangan wilayah tidak dapat didasarkan pada satu sektor saja, atau pengembangan masing-masing sektor tidak dapat dilakukan secara terpisah. 4. Pengembangan wilayah mutlak harus mempunyai keterkaitan ke depan dan ke belakang secara kuat. Pengembangan kawasan di hinterland harus dikaitkan dengan pengembangan kawasan industri pengolahan di perkotaan, untuk memberikan nilai tambah lebih tinggi pada pertumbuhan perekonomian wilayah. 5. Pengembangan wilayah dilaksanakan sesuai dengan prinsip-prinsip otonomi dan desentralisasi. Pemerintah daerah harus mempunyai wewenang penuh
24
dalam mengembangkan kelembagaan ekonomi di daerah, mengembangkan sumber daya manusianya, menciptakan iklim usaha yang dapat menarik. Menurut Direktorat Pengembangan Kawasan Strategis, Ditjen Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah (2002) prinsip-prinsip dasar pengembangan wilayah adalah : 1. Sebagai pusat pertumbuhan. Pengembangan wilayah tidak hanya bersifat internal wilayah, namun harus diperhatikan sebaran pertumbuhan yang dapat ditimbulkan pada wilayah sekitarnya, bahkan secara nasional. 2. Pengembangan wilayah memerlukan upaya kerja sama pengembangan antardaerah dan menjadi persyaratan utama keberhasilan pengembangan wilayah. 3. Pola pengembangan wilayah bersifat integral yang merupakan integrasi dari daerah-daerah yang tercakup dalam wilayah melalui pendekatan kesetaraan. 4. Dalam pengembangan wilayah, mekanisme pasar harus juga menjadi prasyarat bagi perencanaan pengembangan kawasan. Dengan demikian, pengembangan suatu wilayah atau kawasan harus didekati berdasarkan pengamatan terhadap kondisi internal dan sekaligus mengantisipasi perkembangan eksternal. Faktor-faktor kunci yang menjadi syarat perkembangan kawasan dari sisi internal adalah pada pola-pola pengembangan : (1) sumber daya manusia; (2) informasi; (3) sumber daya modal dan investasi; (4) kebijakan dalam investasi; (5) pengembangan infrastruktur; (6) pengembangan kemampuan kelembagaan lokal dan kepemerintahan; dan (7) berbagai kerja sama dan kemitraan yang harus digalang untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Di lain pihak, faktor-faktor kunci yang menjadi syarat perkembangan kawasan dari sisi eksternal adalah perhatian pada: (1) masalah kesenjangan wilayah dan pengembangan kapasitas otonomi daerah; (2) perdagangan bebas terutama masalah pengembangan produk dalam pasar bebas untuk meningkatkan daya saing seperti peningkatan kualitas unsur-unsur sumber daya manusia, (3) pengembangan
riset
dan
teknologi
termasuk
teknologi
informasi,
(4)
pengembangan sumber daya modal untuk membiayai investasi berbagai inovasi pengembangan produk; dan (5) otonomi daerah dengan fokus berbagai kebijakan
25
yang mendukung iklim usaha investasi, kerja sama dan kemitraan dalam pengembangan produk antar berbagai pelaku, daerah, secara vertikal dan horisontal, serta pengembangan kemampuan kelembagaan pengelolaan ekonomi di daerah secara profesional. Suatu wilayah dapat dianggap sebagai sebuah organisasi bisnis. Wilayah tersebut menjaga kelestariannya, bersaing dengan wilayah lainnya untuk merebut investasi maupun pangsa pasar produk unggulannya, serta berupaya untuk tumbuh dan meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Wilayah tersebut mempunyai berbagai kepentingan yang dinyatakan dalam tujuan, namun tetap memperhatikan batasan dan pengaruh-pengaruh berbagai kepentingan di luar kepentingan wilayahnya. Orientasi kepada lingkungan eksternal dan internal ditunjukkan melalui kemampuan atau ketidakmampuannya menjadi wilayah yang diandalkan dan menghasilkan produk unggulan, daya saing dan produktivitas dari semua sumber daya yang dimiliki, dan unit dasar sektor industri yang dapat didorong untuk bersaing. Sebuah wilayah yang berdayasaing adalah wilayah yang mampu mengalahkan dan memimpin pasar setelah melakukan penyesuaian strategis yang tergantung pada kekuatan pendorong, kapabilitas, serta kompetensi inti kawasan dan produk yang diunggulkan (Boar 1993). Daya saing daerah mempunyai arti yang sama dengan daya saing nasional. Suatu daerah yang mampu bersaing dengan daerah lain dalam memproduksi dan memasarkan barang dan jasanya disebut mempunyai daya saing tinggi. Departemen Perdagangan dan Industri Inggris mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dengan tetap terbuka terhadap persaingan domestik maupun internasional (Abdullah et al. 2002). Centre for Regional and Urban Studies (CURDS), Inggris, mendefinisikan daya saing daerah sebagai kemampuan sektor bisnis atau perusahan pada suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan yang tinggi serta tingkat kekayaan yang lebih merata untuk penduduknya. Upaya untuk meningkatkan keunggulan daya saing menjadi salah satu strategi dalam pengembangan wilayah. Pendekatan ini mengarah pada konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable regional competitive advantage). Upaya ini menuntut perubahan paradigma dalam mengembangkan suatu wilayah
26
terhadap teknologi yang dikenal dengan istilah pengembangan wilayah berbasis teknologi (Technology Based Regional Devepment) (Alkadri 2001) Keunggulan daya saing suatu wilayah akan tercipta jika wilayah tersebut memiliki kompetensi inti (core competence) yang berbeda dari wilayah lain. Kompetensi ini dapat dibangun melalui proses kreatifitas dan inovasi. Kompetensi inti merupakan proses pembelajaran suatu organisasi terkait dengan kegiatan mengkoordinasikan dan mengintegrasikan berbagai keahlian dan teknologi. Dalam konteks pengembangan wilayah perdesaan, kompetensi inti terkait dengan upaya koordinasi dan pengintegrasian sumber daya di bidang pertanian, kesehatan, perdagangan, peternakan, industri kecil, perikanan dan sebagainya. Boar (1993) menjelaskan empat atribut pengembangan kompetensi inti: 1. Kemampuan untuk memberikan akses pada variasi pasar yang lebih luas. 2. Kemampuan memberikan kontribusi secara signifikan terhadap pelanggan atas manfaat yang diperoleh dari suatu produk, barang dan jasa yang ditawarkan. 3. Barang jasa yang ditawarkan oleh suatu wilayah sangat sulit untuk ditiru. 4. Kompleksitas dan koordinasi dari beragam teknologi dan keahlian yang dimiliki oleh suatu wilayah Selanjutnya, dalam pendekatan penataan ruang wilayah, terdapat tiga konsep pengembangan wilayah yang dirinci ke dalam wilayah provinsi dan kabupaten, yaitu (Bappenas 2006): 1. Pusat pertumbuhan. Konsep ini menekankan perlunya melakukan investasi pada suatu wilayah yang memiliki infrastruktur yang baik. Hal ini dimaksudkan untuk menghemat investasi prasarana dasar dengan harapan perkembangan sektor unggulan dapat mengembalikan modal dengan cukup cepat. Sementara pengembangan wilayah di sekitarnya diharapkan diperoleh melalui proses tetesan ke bawah (trickle down effect). Di Indonesia, konsep ini diimplementasikan dalam bentuk kawasan andalan. Kawasan andalan adalah kawasan yang telah berkembang atau potensial untuk dikembangkan, yang memiliki
keunggulan
geografis
dan
produk
unggulan
yang
dapat
menggerakkan pertumbuhan ekonomi wilayah sekitarnya yang mempunyai orientasi regional atau global, yang dicirikan oleh adanya aglomerasi kegiatan ekonomi dan sentra-sentra produksi/distribusi, adanya potensi sumber daya dan
27
sektor unggulan yang dapat dikembangkan, adanya kecenderungan konflik dalam pemanfaatan ruang kawasan, serta telah tersedianya prasarana penunjang. Meskipun istilah kawasan andalan tidak sepenuhnya sama dengan konsep pusat pertumbuhan namun penentuan kawasan andalan dimaksudkan sebagai kawasan yang dapat menggerakkan perekonomian daerah sekitarnya melalui pengembangan sektor-sektor unggulan. 2. Integrasi Fungsional. Konsep ini merupakan suatu alternatif pendekatan yang mengutamakan integrasi yang diciptakan secara sengaja di pusat pertumbuhan karena adanya fungsi yang komplementer. Konsep ini menempatkan suatu wilayah memiliki hierarki. Konsep center–periphery yang diintegrasikan secara fungsional agar terjadi ikatan yang kuat ke depan maupun ke belakang dari suatu proses produksi merupakan pengembangan dari konsep ini. 3. Desentralisasi. Pendekatan ini dimaksudkan untuk mencegah tidak terjadinya aliran keluar dari sumber daya modal dan sumber daya manusia. Menurut Anwar (2005) strategi pengembangan wilayah juga harus didasarkan atas prinsip keterkaitan antarwilayah. Hal tersebu dapat diwujudkan dengan mengembangkan keterkaitan fisik antar wilayah dengan membangun berbagai infrastruktur fisik (jaringan transportasi jalan, pelabuhan, jaringan komunikasi) yang disertai kebijakan-kebijakan yang menciptakan struktur insentif yang mendorong keterkaitan yang sinergis antar wilayah-wilayah. 2.2 Interaksi antar Wilayah Setiap bagian wilayah mempunyai faktor endowment yang khas dalam bentuk sumber daya alam maupun sumber daya manusia. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, penduduk dalam wilayah tersebut sering harus memenuhinya dari wilayah lain. Oleh karenanya penduduk harus melakukan perjalanan ke wilayah lain sehingga membentuk struktur hubungan antarwilayah. Hubungan ini secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses permintaan (demand) dan penawaran (supply). Hubungan antarwilayah dapat disebut sebagai keterkaitan (linkages) antarwilayah. Hubungan antarwilayah tersebut dapat juga diartikan sebagai interaksi. Secara harfiah, interaksi dapat diartikan sebagai hal yang saling
28
mempengaruhi. Rondinelli (1985) mengemukakan bahwa proses-proses interaksi dibentuk oleh keterkaitan-keterkaitan di antara permukiman. Menurut Rondinelli (1985) dalam pembangunan spasial, jenis-jenis keterkaitan yang utama dapat dikelompokkan dalam tujuh tipe sebagai berikut: Tabel 2 Keterkaitan utama dalam pembangunan spasial No.
Tipe
Elemen - elemen
1
Keterkaitan fisik
2
Keterkaitan ekonomi
Pola-pola pasar Arus bahan baku dan barang antara Keterkaitan produksi – backward, forward dan lateral Pola konsumsi dan belanja Arus pendapatan Arus komoditi sektoral dan interregional “CrossLinkages”
3
Keterkaitan pergerakan penduduk
Migrasi temporer dan permanen Perjalanan kerja
4
Keterkaitan teknologi
Kebergantungan teknologi Sistem irigasi Sistem telekomunikasi
5
Keterkaitan interaksi sosial
Pola visiting Pola kinship Kegiatan ritual dan keagamaan Interaksi kelompok sosial
6
Keterkaitan delivery pelayanan
Arus dan jaringan energi Jaringan kredit dan finansial Keterkaitan pendidikan, training, pengembangan System delivery pelayanan kesehatan Pola pelayanan profesional, komersial,teknik Sistem pelayanan transportasi
7
Keterkaitan politik, administrasi dan organisasi
Hubungan struktural Arus budget pemerintah Kebergantunan organisasi Pola otoritas-approval-supervisi Pola transaksi inter-yuridiksi Rantai keputusan politik formal
Jaringan Jalan Jaringan transportasi sungai dan air Jaringan kereta api Ketergantungan ekologis
Sumber: Rondinelli (1985)
Dalam konteks yang lebih khusus, Pradhan (2003) mengembangkan tipologi keterkaitan perkotaan-perdesaan sebagai berikut:
29
Tabel 3 Tipologi keterkaitan perkotaan - perdesaan No.
Tipe
Keterangan
1
Keterkaitan fisik/spasial
Pemukiman dengan berbagai ukuran Jaringan jalan dan jaringan kereta api Kebertergantungan ekologi
2
Keterkaitan ekonomi
Pola-pola pasar Keterkaitan produksi Arus bahan baku, barang-barang, kendaraan dan modal Pola belanja
3
Keterkaitan sosial-budaya
Migrasi penduduk Pola-pola kedatangan dan perjalanan bekerja Upacara ritual, kegiatan agama dan festivalfestival Kelompok sosial, kegiatan-kegiatan dan pola-pola kindhsip Sewa menyewa lahan
4
Keterkaitan teknologi
Sistem irigasi Sistem telekomunikasi Arus energi dan jaringan
5
Keterkaitan finansial
Arus modal dan arus pendapatan Jaringan-jaringan kredit dan finansial
6
Keterkaitan politik
Arus kekuasaan dan otoritas
7
Keterkaitan administrasi dan organisasi
Struktur dan organisasi inter-dependecies (saling kebergantungan) Arus anggaran belanja pemerintah Pola-pola wewenang-pengesahanpengawasan
8
Keterkaitan service delivery
Keterkaitan pendidikan, kursus dan tambahan Pola-pola sumber informasi dan penyebaran
Sumber: Pradhan (2003)
Dari gambaran keterkaitan yang dikemukakan Rondinelli (1985) dan Pradhan (2003), pada dasarnya keterkaitan antarwilayah dapat dikelompokkan atas empat jenis keterkaitan. Keterkaitan tersebut terdiri dari keterkaitan fisik, ekonomi, sosial dan kelembagaan, serta keterkaitan teknologi. Dalam konteks pemenuhan kebutuhan dan adanya disparitas antarwilayah, maka akan terjadi hubungan timbal balik antar wilayah.
Fu (1981)
menggambarkan keterkaitan antar wilayah sebagai akibat ketimpangan dan kemiskinan. Menurut Fu, terdapat tiga hubungan dualistik dalam keterkaitan antar wilayah, yaitu:
30
1. Utara–Selatan, menggambarkan keterkaitan antarwilayah dalam suatu negara yang menggambarkan dua kutub 2. Perkotaan–Perdesaan, menggambarkan keterkaitan intra wilayah 3. Formal–Informal, menggambarkan keterkaitan antarwilayah pada kegiatannya. Ketiga hubungan dualistik tersebut dihubungkan dan diintegrasikan dalam perilaku yang kompleks, berbeda antara satu negara dengan negara lain yang tergantung pada faktor dominan dan sejarah masing-masing negara. Faktor dominan tersebut adalah: 1) Resource endowment: pertanian, mineral dan sumber daya alam lainnya; 2) Karakteristik demografi: kepadatan penduduk, tingkat pertumbuhan dan urbanisasi; 3) Teknologi: tipe-tipe teknologi yang diadopsi dan pembangunan modal; dan 4) Development ideologi: ideologi dalam pembangunan negaranya. Keterkaitan antarwilayah tidak dapat terjalin jika tidak didukung prasarana dan sarana penghubung antar kedua wilayah. Dukungan tersebut dapat merupakan prasarana dan sarana transportasi maupun dalam bentuk lainnya. Keterkaitan antarwilayah dapat menguntungkan, merugikan maupun saling mendukung salah satu maupun kedua wilayah yang berinteraksi tersebut. Douglas (1998) serta Harris dan Harris (1984) diacu dalam Pradhan (2003) mengemukakan bahwa apabila keterkaitan antarwilayah saling mendukung atau
saling
memperkuat (mutually reinforcing) atau generatif atau disebut partisipatif, maka kedua wilayah tersebut akan mendapat keuntungan atau manfaat dengan adanya hubungan tersebut. Tetapi bila keterkaitan antarwilayah lebih berbentuk eksploitatif atau parasitik, maka akan terjadi suatu wilayah yang semakin kaya dan semakin miskin. 2.3 Indikator Pembangunan/Perkembangan Daerah/Wilayah Pada dasarnya, indikator adalah suatu alat ukur yang menunjukkan suatu isu atau kondisi. Tujuannya adalah menunjukkan seberapa jauh suatu sistem bekerja, baik sistem kegiatan/program maupun sistem organisasi. Indikator dapat membantu memahami posisi pelaksanaan kegiatan atau organisasi berada, ke arah mana berjalannya, dan seberapa jauh perjalanan ke arah yang dikehendaki. Dalam konteks pembangunan secara umum, telah dikembangkan berbagai indikator kinerja pembangunan. United Nations Research Institute on Social
31
Development (UNRISD) pada tahun 1970 merumuskan indikator kunci pembangunan sosial ekonomi (7 indikator ekonomi dan 9 indikator sosial) yaitu: 1. 2. 3. 4.
Harapan Hidup Persentase penduduk di daerah sebanyak 20.000 atau lebih (kota) Konsumsi protein hewani per kapita per hari Kombinasi tingkat pendidikan dasar dan menengah (Persentase anak-anak belajar di SD dan SMP) 5. Rasio pendidikan luar sekolah 6. Rata-rata jumlah orang per kamar 7. Sirkulasi surat kabar per 1000 penduduk 8. Persentase penduduk usia kerja yang bekerja di sektor listrik, gas, air dsb 9. Produksi pertanian per pekerja pria di sektor pertanian 10. Persentase tenaga kerja pria dewasa di pertanian 11. Konsumsi listrik, kw per kapita 12. Konsumsi baja, kg per kapita 13. konsumsi energi, ekuivalen kg batu bara per kapita 14. Persentase sector manufaktur dalam GDP 15. Perdagangan luar negeri per kapita 16. Persentase penerima gaji dan upah terhadap angkatan kerja. Sejak Konferensi PBB tentang Lingkungan dan Pembangunan tahun 1992 yang menghasilkan The Rio Declaration on Environtment and Development, Bank Dunia mengadopsi konsep “Pembangunan Berwawasan Lingkungan Berkelanjutan” yang mengintegrasikan aspek perlindungan lingkungan dalam kegiatan pembangunan dan sebaliknya mempertimbangkan aspek pembangunan dalam program-program perlindungan lingkungan (Darnela 2007). Pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan yang berprinsip "memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan". Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial. Pembangunan berkelanjutan berorientasi pada tiga pilar tujuan yaitu ekonomi, sosial dan ekologi (Munasinghe 1993). Pilar pertama, pembangunan ekonomi yang berorientasi pada pertumbuhan, stabilitas dan efisiensi. Pilar kedua, pembangunan sosial yang bertujuan pengentasan kemiskinan, pengakuan jati diri dan pemberdayaan masyarakat. Pilar ketiga adalah pembangunan lingkungan yang berorientasi pada perbaikan lingkungnan seperti sanitasi lingkungan, industri yang lebih bersih dan rendah emisi, dan kelestarian sumber daya alam.
32
Gambar 2 Pilar-pilar pembangunan berkelanjutan. Sumber: Munasinghe (1993)
Berdasarkan hasil KTT KTT Bumi – Agenda 21 di Rio de Janeiro Tahun 1992, pada Tahun 1995 dibentuk Coomission on Sustainable Development (CSD). Komisi ini merumuskan indikator untuk mengukur pembangunan berkelanjutan dengan rumusan terakhir pada tahun 2007 diberikan pada Tabel 4. Tabel 4 Indikator pembangunan berkelanjutan Tema
Sub-tema
Indikator
Kemiskinan
Kemiskinan pendapatan
Persen dari penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan nasional Proporsi penduduk dibawah garis kemiskinan internasional ($1 dan/atau $2) Rasio bagian pendapatan nasional dari kuintil tertinggi terhadap kuintil terendah
Ketidakmerataaan pendapatan Sanitasi
Proporsi penduduk yang menggunakan sanitasi layak
Air minum
Proporsi penduduk yang menggunakan sumber air layak
Akses terhadap energi
Proporsi rumah tangga tangga tanpa listrik atau jasa energi modern lainnya Persentase penduduk menggunakan bahan bakar padat untuk memasak
Kondisi tempat tinggal
Proporsi penduduk perkotaan yang tinggal di permukiman kumuh
Pemerintahan
Korupsi Kriminal
Persentase penduduk yang membayar suap Jumlah pembunuhan disengaja per 100.000 penduduk
Kesehatan
Mortalitas
Tingkat kematian balita Harapan hidup waktu lahir Harapan hidup sehat waktu lahir
33
Tabel 4 Lanjutan Tema
Pendidikan Demografi
Sub-Tema Cakupan pelayanan kesehatan
Indikator Persentase penduduk dengan akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan primer Tingkat prevalensi kontrasepsi Imunisasi
Status gizi
Status gizi anak
Status dan resiko kesehatan
Morbiditas dari penyakit-penyakit utama seperti HIV/AIDS, malaria tuberkolosis Prevalensi penggunaan tembakau Tingkat bunuh diri
Tingkat pendidikan
Rasio murid baru terhadap murid kelas akhir pada pendidikan dasar Pembelajaran seumur hidup Tingkat penerimaan bersih (net enrolment rate) pada pendidikan dasar Tingkat pencapaian pendidikan sekunder (tersier) pada penduduk dewasa
Melek huruf Penduduk
Pariwisata
Rasio penduduk lokal terhadap wisatawan pada daerah dan tujuan pariwisata utama
Diversifikasi pertanian
Kehutanan
Laut dan Pesisir
Air Tawar
Biodiversitas
Tingkat melek huruf dewasa Tingkat pertumbuhan penduduk Tingkat Fertilitas Total (TFR) Rasio beban ketergantungan
Lahan yang terpengaruh oleh desertifikasi Area lahan pertanian permanen dan subur Efisiensi penggunaan pupuk Penggunaan pestisida pertanian Area dengan pertanian organis Proporsi lahan untuk hutan Persentase hutan rusak karena penggundulan Area hutan yang dikelola secara berkelanjutan
Zona pesisir
Persentase penduduk yang tinggal di pesisir Kualitas air laut untuk berenang
Perikanan
Proporsi cadangan ikan dalam batas aman secara biologi Marine trophic index Area ekosistem terumbu karang dan persentase yang terlindungi
Kuantitas air
Proporsi penggunaan sumber air Intensitas penggunaan air oleh aktivitas ekonomi
Kualitas air
Konsentrasi bakteri koli di air tawar BOD di badan air Perlakuan air limbah
Ekosistem
Proporsi kawasan lindung, total dan berdasarkan area ekologis Efektivitas pengelolaan kawasan lindung Kawasan dari ekosistem terpilih Fragmentasi habitat
Spesies
Perubahan pada status terancam dari spesies Kelimpahan spesies terpilih Kelimpahan serbuan spesies asing
34
Tabel 4 Lanjutan Tema Sub-Tema Pembangunan Kinerja makro ekonomi ekonomi Keberlanjutan keuangan publik
Kerja sama ekonomi global
Pola konsumsi dan produksi
Indikator PDB perkapita Tabungan bruto Share tabungan pada PDB Tabungan bersih sebagai persentase dari GNI Rasio hutang terhadap GNI
Kesempatan kerja
Rasio kesempatan kerja-penduduk Kesempatan kerja yang rentan Produktivitas tenaga kerja dan biaya tenaga kerja perunit Share wanita pada pekerjaan upahan di sektor non-pertanian
Teknologi informasi dan komunikasi
Penggunaan internet per 100 penduduk Jaringan telpon tetap per 100 penduduk Pelanggan telpon seluler per 100 penduduk
Penelitian dan pengembangan
Pengeluaran domestik bruto pada R & D sebagai persentase dari PDB
Pariwisata
Kontribusi pariwisata terhadap PDB
Perdagangan
Defisit neraca berjalan sebagai persentase dari PDB Share impor dari negara-negara berkembang dan LDC Rara-rata pengenaan tarif pada ekspor dari negara berkembang dan LDC
Keuangan eksternal
ODA bersih yang diberikan atau diterima sebagai persentase dari GNI Aliran masuk dan keluar bersih FDI sebagai persentase dari PDB Remitans sebagai persentase dari GNI
Konsumsi material
Intesitas material dari perekonomian Konsumsi material domestik
Penggunaan energi
Konsumsi energi tahunan, total dan berdasarkan kategori pengguna utama Share dari sumber daya energi terbarukan dalam penggunaan energi total Intensitas penggunaan energi, total dan berdasarkan aktivitas ekonomi
Pengelolaan dan pengolahan limbah
Transportasi
Moda transportasi orang Moda transportasi barang Intensitas energi transportasi
Pengolahan limbah berbahaya Pengolahan limbah Perlakuan dan pembuangan limbah Pengelolaan limbah radioaktif
Sumber: United Nations (2007)
Dalam konteks pembangunan/perkembangan daerah/wilayah, menurut Yunus (1991) tingkat perkembangan wilayah adalah ukuran peringkat secara relatif yang menyatakan kemajuan yang dicapai oleh suatu wilayah sebagai hasil aktivitas pembangunan dibandingkan dengan wilayah lainnya.
35
Pengembangan dan pemilihan indikator dapat dilakukan secara sederhana karena semua angka atau besaran yang dapat menggambarkan keadaan daerah dapat digunakan sebagai indikator. Pemilihan indikator kemudian menjadi penting bagi tindakan lebih lanjut yang perlu diambil oleh pemerintah daerah tersebut agar di masa datang terjadi peningkatan nilai bagi daerah tersebut. Mulyanto (2007) mengemukakan bahwa saat ini telah dikembangkan indikator-indikator yang cukup luas dalam pengukuran pembangunan daerah, yang tidak sekedar indikator PDB/PDRB. Indikator-indikator tersebut baik yang mencakup hasil interaksi dari berbagai faktor ekonomi, sosial, dan politik dalam suatu pola normal atau pola optimal maupun indikator yang mencerminkan menangkap kualitas hidup. Berdasarkan hal tersebut, secara ringkas indikator pembangunan daerah, dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga), yaitu: (i) indikator ekonomi; (ii) indikator non ekonomi; serta (iii) indikator gabungan. Indikator pembangunan semacam PQLI (Physical Quality of Life Index); HDI (Human Development Index); dan juga RDI (Regional Development Index) termasuk dalam kategori indikator gabungan. Rustiadi et al. (2009) telah merangkum berbagai pendekatan dalam penetapan indikator, yang dibagi atas tiga pendekatan yaitu (1) indikator berbasis tujuan pembangunan; (2) indikator berbasis kapasitas sumber daya; dan (3) indikator berbasis proses pembangunan. Ketiga pendekatan tersebut dirincikan berdasarkan indikator-indikator operasionalnya sebagai berikut:
36
Tabel 5
Indikator pembangunan pengelompokannya
wilayah
berdasarkan
Basis/Pendekatan
Kelompok
Indikator operasional
Tujuan pembangunan
1. Produktivitas, Efisiensi dan Pertumbuhan (Growth)
a. Pendapatan wilayah (1) PDRB (2) PDRB perkapita (3) Pertumbuhan PDRB
basis/pendekatan
b. Kelayakan Finansial/Ekonomi (1) NPV (2) BC Rasio (3) IRR (4) BEP c. Spesialisasi, Keunggulan Komparatif/ Kompetitif (1) LQ (2) Shift and Share Analysis (SSA) d. Produksi-produksi utama (produksi, produktivitas) (1) Migas (2) Produksi padi/beras (3) Karet (4) Kelapa sawit 2. Pemerataan, Keberimbangan dan Keadilan (Equity)
a. Distribusi Pendapatan (1) Gini Rasio (2) Struktural (vertikal) b. Ketenagakerjaan/Pengangguran (1) Pengangguran terbuka (2) Pengangguran terselubung (3) Setengah pengangguran c. Kemiskinan (1) Good-service ratio (2) % Konsumsi makanan (3) Garis kemiskinan d. Regional Balance (1) Spatial Balance (primacy index, entropy index, Williamson) (2) Central Balance (3) Capital Balance (4) Sector Balance
3. Keberlanjutan (Sustainability) Sumber daya
Proses Pembangunan
a. Dimensi Lingkungan b. Dimensi Ekonomi c. Dimensi Sosial
1. Sumber daya Manusia
a. Pengetahuan b. Keterampilan c. Kompetensi d. Etos kerja/sosial e.Pendapatan/produktivitas f. Kesehatan g. Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
2. Sumber daya Alam
a. Tekanan
3. Sumber daya Buatan
a. Skalogram Fasilitas Pelayanan b. Aksesibilitas terhadap fasilitas
4. Sumber daya Sosial (Social Capital)
a. Regulasi/aturan-aturan Adat/Budaya (Norm) b. Organisasi c. Rasa percaya (trust)
b. Dampak
c. Degradasi
1. Input a. Input Dasar (SDA,SDM, Infrastruktur, SDS) 1. Proses/Implementasi b. Input Antara, transparansi, efisiensi 2. Output manajemen, tingkat partisipasi masyarakat/ 3. Outcome stakeholder 4. Benefit 5. Impact c. Total volume produksi Sumber: Rustiadi et al. (2009)
37
2.4 Pembangunan Perdesaan dan Masyarakat Desa Pembangunan pemukiman transmigrasi pada dasarnya adalah pembangunan perdesaan dan pembangunan masyarakat desa. Oleh karenanya dalam memahami perkembangan permukiman transmigrasi diperlukan pemahaman mengenai pembangunan perdesaan dan masyarakat desa. Eksistensi dan variasi desa dapat dilihat dari sisi historis, kultural, geografis termasuk unsur dan status desa. Desa secara leksikal berasal dari bahasa Sanskrit yaitu Desi yang artinya tanah asal atau tanah kelahiran. Di Inggris di mana tempat
tinggal bersama
“waterschap”
di
sebut dengan “parish” di Belanda
disebut
di Amerika Serikat disebut “borough”. Demikian pula di
Indonesia terdapat beraneka nama untuk kelompok atau kumpulan rumah-rumah misalnya Kampung dan Desa
(sebutan
di
Jawa-Barat),
Huta atau Kuta (Tapanuli), Marga (Sumatera Selatan), Nagari
(Minangkabau),
(Kalimantan
Wanua (Minahasa),
Gampong (Aceh), Negorij
(Maluku),
Gaukay (Makasar),
Banua
Barat) dan lain sebagainya.
Soetardjo (1984) mengemukakan bahwa: Desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri. Desa terjadi hanya dari satu tempat kediaman masyarakat saja, ataupun terjadi dari satu induk desa dan beberapa tempat kediaman sebagian dari masyarakat hukum yang terpisah yang merupakan kesatuan-kesatuan tempat tinggal
sendiri,
kesatuan-kesatuan
mana
dinamakan pedukuhan,
ampean,
kampung, cantilanbeserta tanah pertanian, tanah perikanan darat (empang, tambak dan sebagainya) tanah hutan dan belukar. Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005, desa atau yang disebut dengan nama lain tentang Desa disebutkan sebagai kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-asul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya pada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perdesaan didefinisikan sebagai wilayah yang mempunyai kegiatan utama pertanian, termasuk pengelolaan sumber daya alam
38
dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Hayami dan Kikuchi (1987) mengartikan desa sebagai tempat orang hidup
dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dengan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi hasil keputusan keluarga secara bersama. Pengertian ini lebih mengacu pada cara hidup masyarakat desa secara keseluruhan. Pemahaman lebih lanjut tentang unsur-unsur desa dijelaskan oleh Bintarto (1983) sebagai berikut: 1) daerah, dalam arti tanah-tanah yang produktif dan yang tidak beserta penggunaannya, termasuk juga unsur lokasi, luas dan batas yang merupakan lingkungan geografi setempat, 2) penduduk, adalah hal yang meliputi jumlah, persebaran dan mata pencaharian penduduk desa setempat, 3) tata kehidupan, dalam hal ini pola atau tata pergaulan dan ikatan-ikatan pergaulan warga desa. Jadi menyangkut seluk-beluk kehidupan masyarakat desa (rural society).Unsur-unsur desa merupakan sesuatu yang penting sehingga tidaklah berlebihan jika desa telah diberi predikat sebagai sendi negara. Sedangkan Ndraha (1984) mengemukakan bahwa unsur-unsur desa merupakan komponen pembentuk desa sebagai satuan ketatanegaraan dan komponen-komponen tersebut meliputi wilayah desa, penduduk atau masyarakat desa dan pemerintahan desa. Pandangan di atas menunjukkan bahwa unsur-unsur desa merupakan perekat utama dalam memposisikan desa sebagai hasil perpaduan antara kehidupan manusia dengan lingkungannya. Koestoer et al. (1995) mengemukakan bahwa hasil perpaduan itu ialah suatu wujud atau kenampakan di muka bumi yang ditimbulkan oleh unsur-unsur fisiografi, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang saling berinteraksi. Kecirian fisik ditandai oleh pemukiman yang tidak padat, sarana transportasi yang langka, penggunaan lahan persawahan dan kecirian lain berupa unsur-unsur sosial pembentuk desa yaitu penduduk dan tata kehidupan. Dalam kerangka itu, Ndraha (1984) mengungkapkan bahwa memahami desa secara komprehensif dapat dilakukan melalui wilayah, aspek yuridis, sosiokultural dan aspek kegotong-royongan. Kesemua aspek tersebut banyak mewarnai substansi dan eksistensi desa.
39
Unsur-unsur desa merupakan elemen utama pembentuk desa. Perpaduan unsur-unsur tersebut yang pada akhirnya membentuk suatu karakteristik tersendiri yang membedakan desa secara umum dengan kota, dan secara khusus membedakan antara desa yang satu dengan lainnya. Unsur-unsur desa tersebut terbentuk dari berbagai unsur yang mewarnai kehidupan desa, seperti unsur sosial, fisiografi, ekonomi, politik dan budaya yang saling berinteraksi. Terkait dengan pembangunan desa, berbagai definisi telah dikemukakan oleh para ahli. Secara tradisional, Mosher (1974) mendefinisikan pembangunan perdesaan sebagai pembangunan usahatani atau pembangunan pertanian. Menurut Hansen (1981) pembangunan perdesaan merupakan upaya meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Senada dengan hal tersebut, Collier et al. (1996) mengartikan pembangunan perdesaan sebagai perubahan orientasi dari pertanian produksi ke bisnis seluas-luasnya. Hafsah (2006) menyatakan bahwa tujuan filosofi dari pembangunan perdesaan adalah meningkatkan motivasi masyarakat dalam membangun dan memobilisasi dirinya untuk bekerjasama dalam pencapaian tujuan bersama serta meningkatkan kapasitasnya dalam melaksanakan pembangunan, baik dalam aspek fisik, politik maupun ekonomi. Karena itu tujuan praktis dari pembangunan perdesaan ini adalah : a. Meningkatkan produktivitas ekonomi perdesaan seperti dengan inovasi teknologi (modernisasi pertanian) dan mengintroduksikan perubahanperubahan sosial dan kelembagaan yang berkaitan dengan pemilikan tanah, organisasi masyarakat (kelompok tani, asosiasi petani dan koperasi), perencanaan pemerintah dan administrasi pemerintah. b. Meningkatkan kesempatan kerja dan pendistribusian kesejahteraan yang lebih merata. c. Mengembangkan sistem pelayanan sosial dengan menyediakan sistem pelayanan terpadu yang ekonomis dan efektif serta komprehensif. d. Meningkatkan kapasitas politik dan administrasi melalui peningkatan kapasitas masyarakat dalam mengorganisir dirinya. Dalam konteks pendekatan pembangunan perdesaan ini, Misra dan Bhooshan (1981) mengidentifikasi beberapa pendekatan dan strategi yang telah
40
dilaksanakan oleh berbagai negara sedang berkembang dalam mengatasi masalah keterbelakangan perdesaan. Pendekatan dan strategi tersebut adalah: 1) migrasi ke daerah baru; 2) pembangunan pertanian; 3) industrialisasi perdesaan; 4) pendekatan kebutuhan dasar; 5) pembangunan perdesaan terpadu; 6) strategi pusat pertumbuhan dan 7) pendekatan agropolitan. Selanjutnya menurut Jamal (2009) secara sederhana terdapat tiga kutub pemikiran
yang
berkembang
di
Indonesia
terkait
dengan
pendekatan
pembangunan perdesaan. Kelompok pertama melihat wilayah perdesaan dan masyarakatnya sebagai sesuatu yang khas dan spesifik, dan dalam menggerakan pembangunan di wilayah perdesaan, pendekatan yang digunakan adalah dengan sedikit mungkin campur tangan pemerintah. Untuk itu perlunya dilakukan transformasi kekuasan politik dan penguasaan alat-alat produksi kepada lapisan masyarakat yang memiliki potensi produksi terbesar, tetapi berada dalam kedudukan yang lemah. Kelompok ini mensyaratkan perlunya dilakukan pengaturan kembali struktur penguasaan atas tanah, sistem hubungan penguasaan, pemilikan, sakapmenyakap sebagai dasar dalam modernisasi perdesaan. Kegiatan industri akan berkembang sebagai akibat surplus dari pertanian, dan kelebihan tenaga kerja dari pertanian secara bertahap akan diserap sektor pengolahan hasil pertanian dan industri. Selanjutnya, kelompok kedua cenderung melihat desa sebagai sesuatu yang homogen dan perlu digerakkan dengan campur tangan pemerintah yang maksimal. Pemikiran inilah yang melandasi disusunnya berbagai cetak biru pembangunan perdesaan dan ditetapkannya berbagai peraturan perundangan yang menjadikan desa sebagai suatu wilayah yang homogen dan steril dari kegiatan politik praktis, serta menjadi 'alat pemerintah' dalam pembangunan. Kelompok ketiga mencoba menyeimbangkan kekuatan masyarakat perdesaan dan negara dalam menentukan arah dan tujuan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat perdesaan. Menurut kelompok ini, sistem cetak biru dalam pembangunan perdesaan akan membuat pembangunan efisien, namun tidak menumbuhkan partisipasi dari masyarakat. Sejak Pelita III berbagai pendekatan pembangunan telah dirancang untuk mempercepat kemajuan desa di antaranya adalah: 1) pendekatan kawasan perdesaan
41
yang mempunyai komoditas unggulan dalam satuan wilayah ekonomi; 2) mengintervensi desa melalui pengembangan infrastruktur pertanian secara terpadu (penyediaan saprotan, kelembagaan ekonomi, pendampingan); 3) kegiatan membangun kawasan perdesaan menjadi kota-kota pertanian (Wibowo et al. 2006). Terkait dengan pendekatan-pendekatan tersebut beberapa program pembangunan yang telah dilaksanakan di antaranya adalah: a. Program Bimas dan Inmas, Insus, Supra Insus dan Kredit Usaha Tani (KUT). Merupakan program yang dirancang dalam konteks percepatan pemenuhan kebutuhan pokok (swasembada pangan) sekaligus membangun infrastruktur pertanian sebagai titik awal modernisasi pertanian dan kawasan perdesaan. b. Program Unit Desa Karya Pembangunan (UDKP). Dalam sistem ini, perencanaan,
pelaksanaan,
pengendalian
dan
evaluasi
pembangunan
dilaksanakan di wilayah kecamatan. c. Program Inpres Desa Tertinggal (IDT). Suatu program yang dirancang untuk mengatasi kemiskinan di wilayah perdesaan yang sekaligus sebagai upaya mengembangkan modal sosial melalui kelompok-kelompok usaha sebagai pilar utama kemajuan desa. d. Program Pengembangan Kawasan Agropolitan. Dalam kerangka mewujudkan keterkaitan desa-kota
telah dikembangkan berbagai program dengan
mengintroduksi sistem agribisnis dan rancang wilayah perdesaan menjadi pusat kegiatan/kawasan produksi yang bernuansa perkotaan melalui pengembangan Kawasan Sentra Produksi (KSP) dan Kawasan Agropolitan. e. Program Pengembangan Kecamatan (PPK). Merupakan kelanjutan program IDT untuk menanggulangi kemiskinan. Terlepas dari berbagai pendekatan dan program tersebut, pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan pembangunan yang bersifat multi aspek. Karenanya perlu dianalisis secara lebih terarah serta keterkaitannya dengan berbagai sektor, dan aspek di luar perdesaan (fisik dan non fisik, ekonomi dan non ekonomi, sosbud dan non spasial). Menurut Esman dan Uphoff (1988), terdapat empat jenis pembangunan perdesaan, yakni: 1) yang berbasis pertanian; 2) yang berbasis multisektor; 3) yang berbasis sumber daya alam dan lingkungan; dan 4)
42
yang berbasiskan pelayanan jasa-jasa sosial berupa kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Mosher (1974) mengemukakan agar desa dapat berkembang menjadi lebih pogresif, harus memiliki beberapa komponen akselerator, yaitu: 1) desa harus mempunyai kota-kota pasar (market town); 2) perlu dibangun jalan-jalan perdesaan untuk memperluas dan menekan biaya serta mempermudah penyaluran informasi dan jasa; 3) di desa harus ada percobaan-percobaan pengujian lokal (local verification trials) untuk memilih cara berusaha yang paling sesuai dengan keadaan setempat; 4) harus ada aparat penyuluhan di mana penduduk dapat belajar tentang teknologi baru dan bagaimana mempergunakan teknologi baru tersebut; dan 5) tersedia fasilitas-fasilitas kredit untuk membiayai produksi dan pemasaran hasil. Pemikiran Mosher tersebut dikembangkan oleh beberapa pakar di Indonesia dengan memasukkan aspek sosial dan kelembagaan. Soewandi (1976) mengemukakan bahwa untuk tercapainya proses modernisasi perdesaan ada dua hal utama yang perlu diperhatikan yaitu 1) mengembangkan kelembagaankelembagaan baru dalam masyarakat desa sebagai pendukung terhadap sistem perekonomian dinamis, yang mampu melibatkan sebanyak-banyaknya warga desa dalam sistem perekonomiannya, 2) mendorong perkembangan sektor-sektor nonpertanian untuk menyerap kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian. Siagian (1995) mengemukakan untuk mengembangkan masyarakat desa harus dilakukan melalui beberapa pendekatan yaitu 1) memenuhi kebutuhan dasar (basic need approach); 2) mengembangkan inspirasi dan partisipasi masyarakat (bottom up approach); 3) menggerakkan dan menghidupkan aktivitas ekonomi rakyat (property approach); 4) membangun organisasi dan kelembagaan yang dikelola oleh masyarakat sendiri (participation approach); 5) menyediakan teknologi tepat guna (appropriate approach) serta 6) membangun integrasi desakota (rural-urban linkage community development). Sejalan dengan hal tersebut, Sumodiningrat (1996) menyatakan paling tidak harus terdapat tiga aspek yang perlu mendapat perhatian dalam membangun masyarakat perdesaan yaitu 1) menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat dapat berkembang; 2) memperkuat potensi ekonomi atau sumber daya yang dimiliki
43
oleh masyarakat (pendidikan, modal, teknologi, informasi, lapangan kerja dan pasar) serta 3) pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan ekonomi rakyat. Selanjutnya Prabowo (1995) mengemukakan bahwa diperlukan adanya diversifikasi usaha perdesaan yang selain mampu mendorong produksi pertanian tradisional, juga mampu memacu pertumbuhan kegiatan ekonomi rakyat perdesaan
yang
dapat
menjadi
landasan
bagi
pertumbuhan
yang
berkesinambungan dan pemerataan. Murdoch (2000) juga mengemukakan bahwa dalam pembangunan masyarakat desa, selain perlu membangun keterkaitan vertikal juga perlu membangun keterkaitan horisontal dengan memperkuat produksi lokal yang bermanfaat bagi ekonomi perdesaan secara keseluruhan dengan mengintegrasikannya ke dalam perekonomian yang lebih luas. Dalam hal ini, pembangunan masyarakat desa bukan hanya sektor pertanian (produksi) tetapi juga sektor pertanian yang berkaitan dengan ekonomi daerah perkotaan. Sebagai suatu proses untuk meningkatkan keberdayaan dalam meraih masa depan yang lebih baik, pembangunan meliputi upaya untuk memperbaiki keberdayaan masyarakat. Prinsip pemberdayaan masyarakat adalah menempatkan masyarakat sebagai aktor utama dalam seluruh rangkaian pembangunan. Pemberdayaan masyarakat sebagai subjek untuk mengenali permasalahan dan ikut dalam perencanaan program akan menghasilkan kemandirian yang tinggi (Sajogyo 1982). Menurut Surjadi (1995), pembangunan masyarakat desa adalah sebagai suatu proses di mana
anggota-anggota
masyarakat desa
pertama-tama
mendiskusikan dan menentukan keinginan mereka, kemudian merencanakan dan mengerjakan bersama untuk memenuhi keinginan mereka tersebut. Pembangunan masyarakat desa pada dasarnya adalah bertujuan untuk mencapai suatu keadaan pertumbuhan dan peningkatan jangka panjang dan sifat peningkatan akan lebih bersifat kualitatif terhadap pola hidup warga masyarakat, yaitu pola yang dapat mempengaruhi perkembangan aspek mental, fisik, intelegensia (kecerdasan) dan kesadaran bermasyarakat dan bernegara. Dalam perspektif tersebut, (Horton dan Hunt 1982) mengemukakan pembangunan masyarakat perdesaan diartikan sebagai pembangunan masyarakat tradisional menjadi manusia modern.
44
Terkait dengan pendekatan dalam pembangunan masyarakat desa ini, Jamal (2009) mengemukakan seharusnya pendekatan yang digunakan tergantung pada homogenitas kebutuhan individu serta ragam keperluan bagi kebersamaan masyarakat desa dalam pembangunan itu sendiri. Pada tataran ini, pendekatan komando didefinisikan sebagai pendekatan instruktif, di mana inisiatif pemerintah sangat dominan dan masyarakat berperan sebagai pihak yang digerakkan. Pendekatan semipartisipatif merupakan pendekatan yang memadukan inisiatif masyarakat dan campur tangan pemerintah, sedangkan pendekatan partisipatif lebih mengedepankan inisiatif masyarakat dan meminimalkan campur tangan pemerintah. Pendekatan-pendekatan tersebut diberikan pada Tabel 6. Tabel 6 Pendekatan pembangunan perdesaan berdasarkan tingkat perkembangan kebutuhan individu dan keperluan kebersamaan sebagai suatu komunitas Keperluan kebersamaan Kebersamaan masyarakat untuk mendukung inisiatif pemerintah
Tingkat perkembangan kebutuhan Individu Mulai Sangat Homogen heterogen heterogen Pendekatan Pendekatan Pendekatan komando komando semi partisipatif
Kebersamaan masyarakat sebagai partner Pendekatan pemerintah dalam pembangunan komando Kebersamaan masyarakat sebagai penggerak utama pembangunan perdesaan
Pendekatan Pendekatan semi partisipatif partisipatif
Pendekatan Pendekatan semi Pendekatan partisipatif semi partisipatif partisipatif
Sumber: Jamal (2009)
Dari berbagai perspektif pemikiran tersebut dapat disimpulkan bahwa pembangunan desa dan masyarakat perdesaan tidak hanya semata-mata pada produksi atau usaha taninya saja. Pertanian harus dikembangkan dalam konteks pengembangan agribisnis secara utuh yang melibatkan berbagai infrastruktur penunjang, sistem ekonomi, sosial dan kelembagaan serta memiliki keterkaitan secara sektoral maupun regional. Didefinisikan secara lengkap agribisnis adalah kegiatan yang berhubungan dengan penanganan komoditi pertanian dalam arti luas, yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata rantai produksi, pengolahan masukan dan keluaran produksi (agroindustri), pemasaran masukan-keluaran pertanian dan kelembagaan penunjang kegiatan. Yang dimaksud dengan berhubungan adalah kegiatan usaha
45
yang menunjang kegiatan pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian (Downey & Steven 1987; Saragih 2010). Mata rantai kegiatan tersebut dapat dipilah menjadi empat subsistem yaitu: 1) subsistem produksi (on-farm); 2) subsistem pengolahan (agroindustri hulu dan hilir) (off-farm); 3) subsistem pemasaran/perdagangan (off-fram); dan 4) subsistem lembaga penunjang (off-farm). Keempat subsistem ini mempunyai kaitan yang erat, sehingga gangguan pada salah satu subsistem atau kegiatan akan berpengaruh terhadap subsistem atau kelancaran kegiatan dalam bisnis. Subsistem usahatani atau produksi adalah penggerak utama agribisnis. Jika subsistem produksi (usahatani) dikembangkan atau dimodernisasi, maka akan timbul kaitan ke belakang (backward linkages) berupa peningkatan kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Kaitan kebelakang ini mengundang pelaku
lainnya
(perorangan
pemasaran/perdagangan
input
atau produksi
perusahaan) (usahatani).
untuk
menangani
Keberhasilan
dalam
menangani pemasaran/perdagangan input produksi ini, akan sangat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga penunjang agribisnis, seperti angkutan, ketersediaan lembaga kredit dan peraturan-peraturan yang berlaku. Produk pertanian tergantung pada musim, menyita banyak ruangan untuk menyimpannya dan tidak tahan lama. Oleh karenanya perlu diolah
menjadi
produk yang dapat disimpan. Pengolahan produk disebabkan juga oleh permintaan konsumen yang semakin menuntut persyaratan kualitas dan diversifikasi produksi olahan bila pendapatan mereka meningkat. Jadi modernisasi sektor produksi (usahatani) akan menimbulkan kaitan ke depan dalam bentuk industri pertanian. Berpijak dari pemahaman bahwa pembangunan perdesaan dilakukan melalui pengembangan sistem agribisnis, maka dapat digeneralisir faktor-faktor yang mempengaruhi pengembangan sistem agribisnis sekaligus sebagai faktor yang mempengaruhi pembangunan perdesaan dan masyarakat desa berikut: Kelembagaan Secara definisi, Uphoff (1992) dan Fowler (1992) mengartikan kelembagaan sebagai “a complex of norm and behavior that persist overtime by serving some socially valued purpose”. Makna kelembagaan lebih mengandung aspek “isi”,
46
tidak hanya pada “bentuk luar” atau fisiknya (Lauer 1982, diacu dalam Pranadji 2002). Peningkatan produktivitas ekonomi perdesaan terutama bidang pertanian memerlukan kelembagaan yang mengakar di tingkat masyarakat (Pranoto 2005). Dalam konteks yang berbeda, Saptana et al. (2004) mengemukakan penyebab utama rapuhnya perekonomian rakyat di perdesaan, adalah rapuhnya kelembagaan yang mendukungnya. Beberapa persoalan utama yang dihadapi kelembagaan ekonomi tradisional di perdesaan adalah kemampuan yang lemah dalam menggalang jaringan kerja sama dengan kelembagaan modern, rendahnya kapasitas internal untuk dapat bersaing di bidang ekonomi, dan menghadapi tekanan dari luar (di bidang gaya hidup, ekonomi, politik, social dignity dan budaya kota dan manca negara). Kelembagaan lokal dapat dirinci dalam enam kategori, yaitu: administrasi lokal, pemerintah lokal, organisasi-organisasi yang beranggotakan komunitas setempat, organisasi kerja sama usaha, organisasi-organisasi pelayanan, dan bisnis swasta (Uphoff 1986). Senada dengan hal tersebut, Saptana et al. (2004) mengemukakan dalam kehidupan masyarakat perdesaan, terdapat tiga lembaga penopang, yaitu kelembagaan komunitas lokal (communal institutions) atau tradisional, kelembagaan pasar (private sector) karena keterbukaan dengan ekonomi luar, dan kelembagaan sistem politik atau sistem pengambilan keputusan di tingkat publik (public sector). Dalam konteks kelembagaan ini, telah dikembangkan pemikiran yang terkenal dengan istilah Induced Innovation Model (Ruttan & Hayami 1984; Hayami dan Kikuchi 1986). Dalam model tersebut dijelaskan adanya keterkaitan antara empat faktor , yaitu: 1) resource endowment, 2) cultural endowment, 3) technology, dan 4) institutions. Mereka mengatakan bahwa keberhasilan pencapaian pertumbuhan produktivitas secara kontinu merupakan suatu dinamika proses adjustment kepada kekayaan sumber daya alam dan kepada akumulasi sumber daya. Proses tersebut juga melibatkan respon adaptif sebagai bagian dari respon sosial, politik, kelembagaan ekonomi dalam upaya untuk merealisasikan potensi pertumbuhan yang dibuka oleh inovasi teknologi baru. Selain itu, terjadinya perubahan-perubahan kelembagaan dengan mengusahakan bentuk-bentuk
47
yang baru yang lebih menguntungkan untuk diciptakan pada dasarnya didorong oleh faktor-faktor ekonomi termasuk di dalamnya yang dimiliki masyarakat perdesaan seperti penyediaan dalam teknologi dan sumber daya. Oleh karenanya, mengacu
pada hal tersebut maka dalam pengembangan kelembagaan di perdesaan haruslah mempertimbangkan keterkaitan ke empat hal pokok di atas. Infrastruktur Pengertian infrastruktur terdiri dari infrastruktur fisik dan jasa layanan yang diperoleh darinya untuk memperbaiki produktivitas ekonomi dan kualitas hidup seperti transportasi, telekomunikasi, kelistrikan, dan irigasi. Infrastruktur memiliki peran yang cukup signifikan dalam perkembangan suatu wilayah. Berbagai studi telah banyak dilakukan untuk membuktikan hubungan kuat antara pembangunan infrastruktur dengan pengembangan wilayah. Peran penting infrastruktur tersebut dalam pengembangan suatu wilayah terutama terletak pada fungsinya sebagai input dalam proses produksi. Khususnya infrastruktur jaringan jalan, dalam pembangunan perdesaan dikembangkan keluar dalam fungsinya sebagai penghubung ke pusat kegiatan yang lebih tinggi (forward linkage) untuk keperluan pemasaran maupun akses terhadap sumber daya eksternal serta pemenuhan kebutuhan kawasan. Sedangkan jaringan di dalam kawasan harus dapat memfasilitasi kebutuhan pergerakan antar sub-kawasan untuk kebutuhan pengumpulan dan penyaluran produksi hasil pertanian dan perkebunan yang ada (backward linkage). Kualitas Sumber daya Manusia Akselerasi pembangunan desa adalah segala upaya yang dilakukan untuk membuat proses pembangunan di desa lebih cepat, sehingga manfaatnya dapat segera dilaksanakan oleh masyarakat desa tersebut. Percepatan pembangunan tersebut mengandung maksud menciptakan situasi dan kondisi yang kondusif bagi cepatnya pertumbuhan dan perkembangan pembangunan di desa. Salah satu unsur penting dalam suksesnya suatu pembangunan adalah adanya kualitas sumber daya manusia yang berkompeten. Dalam upaya menumbuhkan kemandirian masyarakat desa dalam pembangunan filosofinya adalah masyarakat desa menjadi subjek pembangunan dan bukan menjadi obyek pembangunan itu sendiri.
48
Salah satu ukuran kualitas sumber daya manusia adalah tingkat pendidikan. Dalam Human Capital Theory dijelaskan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin tinggi tingkat pendapatan. Semakin tinggi tingkat pendapatan maka semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan. Dengan semakin tinggi keterampilan dan pengetahuan maka semakin tinggi tingkat produktivitas. Dengan adanya keterampilan dan pengetahuan yang tinggi maka mendorong tingginya tingkat pendapatan. Hal ini menandakan bahwa kualitas sumber daya manusia memegang peranan penting dalam sukses atau tidaknya suatu pembangunan. Peningkatan kualitas sumber daya manusia ini dapat dicapai melalui pendidikan dan pelatihan. Pendidikan selain berfungsi untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, juga berfungsi untuk menyiapkan masyarakat desa dalam menghadapi perubahan yang akan terjadi sebagai konsekuensi dari adanya pembangunan di desa tersebut. Hal ini sangat penting, mengingat adanya pembangunan akan berpotensi atau dapat menyebabkan terjadinya perombakan sosial-kultural dalam masyarakat. Jika masyarakat tidak siap, pembangunan justru dapat menyebabkan terjadinya proses yang tidak terkendali, misalnya meningkatnya budaya konsumtif di masyarakat. 2.5 Indikator Perkembangan Desa Dalam rangka mengetahui gambaran potensi dan tingkat perkembangan desa dan kelurahan, Kementerian Dalam Negeri telah menyusun data profil desa dan kelurahan, melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan. Dalam peraturan menteri tersebut dinyatakan bahwa tingkat perkembangan
desa
dan
kelurahan
yang
mencerminkan
keberhasilan
pembangunan desa dan kelurahan setiap tahun dan setiap lima tahun diukur dari laju kecepatan perkembangan: a) ekonomi masyarakat; b) pendidikan masyarakat; c) kesehatan masyarakat; d) keamanan dan ketertiban; e) kedaulatan politik masyarakat; f) peranserta masyarakat dalam pembangunan; g) lembaga kemasyarakatan; h) kinerja pemerintahan desa dan kelurahan; dan i) pembinaan dan pengawasan. Hasil evaluasi keberhasilan kegiatan pembangunan setiap tahun akan
49
menentukan laju perkembangan desa dan kelurahan dalam kategori cepat berkembang, berkembang, lamban berkembang, dan kurang berkembang. (1) Kategori Cepat Berkembang, jika perolehan total skor pengukuran mencapai lebih dari 90 persen dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap tahun. (2) Kategori Berkembang, jika total skor mencapai 60 persen sampai 90 persen dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap tahun. (3) Kategori Lamban Berkembang, jika total skor mencapai 30 persen sampai 60 persen dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap tahun. (4) Kategori Kurang Berkembang, jika total skor mencapai kurang dari 30 persen dari total skor maksimal tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap tahun. Hasil analisis laju perkembangan desa dan kelurahan setiap tahun digunakan untuk mengukur tingkat perkembangan desa dan kelurahan setiap lima tahun dalam klasifikasi desa dan kelurahan swasembada, swakarya, dan swadaya. (1) Tingkat Perkembangan Swasembada, jika nilai total skor yang diperoleh mencapai lebih dari 80 persen dari skor maksimal tingkat perkembangan setiap lima tahun. (2) Tingkat Perkembangan Swakarya, jika nilai total skor yang diperoleh mencapai 60 persen sampai 80 persen dari skor maksimal tingkat perkembangan setiap lima tahun. (3) Tingkat Perkembangan Swadaya, jika nilai total skor yang diperoleh mencapai kurang dari 60 persen dari skor maksimal tingkat perkembangan setiap lima tahun. Analisis terhadap klasifikasi tingkat perkembangan desa dan kelurahan swasembada, swakarya dan swadaya, menghasilkan klasifikasi status kemajuan desa dan kelurahan dalam kategori mula, madya dan lanjut. (1) Klasifikasi status kemajuan Swasembada Kategori Mula, apabila perolehan total skor peubah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan masyarakat kurang dari 90 persen dari total skor maksimal ketiga peubah
50
selama lima tahun. (2) Klasifikasi status kemajuan Swasembada Kategori Madya sebagaimana, jika perolehan total skor peubah keamanan dan ketertiban, kedalulatan politik masyarakat, peran serta masyarakat dalam pembangunan dan lembaga kemasyarakatan mencapai kurang dari 90 persen dari total skor maksimal keempat peubah selama lima tahun. (3) Klasifikasi status kemajuan Swasembada Kategori Lanjut apabila perolehan total skor peubah kinerja pemerintahan desa dan kelurahan serta peubah pembinaan dan pengawasan mencapai kurang dari 90 persen dari total skor maksimal kedua peubah selama lima tahun. (4) Klasifikasi status kemajuan Swakarya Kategori Mula apabila perolehan total skor peubah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan masyarakat kurang dari 70 persen dari total skor maksimal ketiga peubah selama lima tahun. (5) Klasifikasi status kemajuan Swakarya Kategori Madya sebagaimana jika perolehan total skor peubah keamanan dan ketertiban, kedaulatan politik masyarakat, peran serta masyarakat dalam pembangunan dan lembaga kemasyarakatan kurang dari 70 persen dari total skor maksimal keempat peubah selama lima tahun. (6) Klasifikasi status kemajuan Swakarya Kategori Lanjut apabila perolehan total skor peubah kinerja pemerintahan desa dan kelurahan serta peubah pembinaan dan pengawasan kurang dari 70 persen dari total skor maksimal kedua peubah selama lima tahun. (7) Klasifikasi status kemajuan Swadaya Kategori Mula apabila perolehan total skor peubah ekonomi masyarakat, kesehatan masyarakat dan pendidikan masyarakat kurang dari 50 persen dari skor maksimal ketiga peubah selama lima tahun. (8) Klasifikasi Desa dan Kelurahan Swadaya Kategori Madya jika perolehan skor total keamanan dan ketertiban, kedaulatan politik masyarakat, peranserta masyarakat dalam pembangunan dan lembaga kemasyarakatan kurang dari 50 persen dari total skor maksimal keempat peubah selama lima tahun. (9) Klasifikasi Desa dan Kelurahan Swadaya Kategori Lanjut apabila perolehan
51
skor total peubah kinerja pemerintahan desa dan kelurahan serta peubah pembinaan dan pengawasan kurang dari 50 persen dari total skor maksimal kedua peubah selama lima tahun. Berkaitan dengan pengentasan kemiskinan, beberapa upaya telah dilakukan oleh BPS di antaranya melakukan penghitungan desa tertinggal. Dalam menentukan desa tertinggal pada tahun 1993, BPS menggunakan 33 peubah. Sementara pada tahun 1994 untuk pelaksanaan proram Inpres Desa Tertinggal (IDT) tahun 1995/1996, BPS menggunakan 17 peubah untuk perkotaan dan 18 peubah untuk perdesaan. Indikator tersebut disusun berdasarkan metode skor. Pada tahun 2005, BPS kembali melakukan penentuan desa-desa tertinggal dengan membuat indeks komposit ketertinggalan desa berdasarkan pada data Potensi Desa Sensus Pertanian (Podes-ST) 2003. Berbeda dengan periode sebelumnya, pada tahun 2005 BPS menggunakan dua sumber data yaitu PodesST 2003 dan Survai Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2002, dengan menggunakan 45 peubah. Penentuan desa tertinggal tahun 2005 menggunakan indikator pengeluaran per kapita penduduk desa yaitu pengeluaran per kapita penduduk desa yang berada di bawah garis kemiskinan. Namun, ukuran kemiskinan yang didasarkan pada
indikator
moneter
(pendapatan/pengeluaran)
tidak
menggambarkan
kemiskinan sebenarnya. Banyak orang yang mungkin tidak tergolong miskin dari segi moneter dapat dikategorikan miskin atas dasar kurangnya akses terhadap pelayanan dasar serta rendahnya indikator-indikator pembangunan manusia. Mengingat sangat luas dan beragamnya wilayah Indonesia, perbedaan antardaerah merupakan ciri mendasar dari kemiskinan di Indonesia. Desa tertinggal berkaitan dengan beberapa faktor di antaranya: faktor alam, faktor sarana/prasarana dan akses, dan faktor sosial-ekonomi (BPS 2005). Di antara faktor satu dengan faktor lainnya saling berhubungan. Disamping itu faktor-faktor tersebut seringkali tidak dapat diukur secara langsung, sehingga dibutuhkan metode yang mampu menyelesaikan permasalahan tersebut. Data indikator primer pembangunan daerah tertinggal diberikan pada Tabel 7 berikut:
52
Tabel 7 Data indikator primer pembangunan daerah tertinggal No
Indikator
Satuan
Ekonomi 1 2 3 4 5 6 7 8
Jumlah penduduk (pertengahan tahun) Jumlah keluarga Jumlah keluarga Prasejahtera dan Sejahtera I Jumlah penduduk miskin PDRB Persentase penduduk miskin Persentase ke dalaman kemiskinan IKK
Orang KK KK Ribu org Milyar Rp % % indeks
9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Sumber daya Manusia Jumlah Angkatan Kerja Jumlah penduduk menganggur Persentase jumlah penduduk menganggur Jumlah desa Angka Harapan Hidup Rata-rata jarak pelayanan prasarana kesehatan Jumlah puskesmas Jumlah puskesmas pembantu Jumlah poliklinik desa Jumlah desa yang jarak fasilitas kesehatan > 5 km Jumlah desa yang jarak fasilitas pendidikan > 3 km Angka melek huruf Angka melek huruf 15 - 24 Angka melek huruf 15 - 55
Orang Orang % desa indeks km Buah Buah Buah Desa Desa % % %
23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Infrastruktur Sosial Dasar, Transportasi dan Ekonomi Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan aspal/beton Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan diperkeras Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan tanah Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan lainnya Jumlah desa dengan jenis permukaan jalan yang dapat dilalui mobil Persentase keluarga pengguna listrik Persentase keluarga pengguna telepon Jumlah Bank Umum Jumlah Bank Perkreditan Rakyat Jumlah desa yang mempunyai pasar dengan bangunan permanen Jumlah desa yang mempunyai pasar tanpa bangunan permanen Jumlah desa yang jarak fasilitas pasar > 3 km Jumlah prasarana kesehatan per 1000 penduduk Jumlah dokter per 1000 penduduk Jumlah SD dan SMP per 1000 penduduk
desa desa desa desa desa % % Buah Buah desa desa desa buah orang buah
38 39
Keuangan Daerah Celah fiskal Pendapatan Asli Daerah
Juta Rp Juta Rp
53
Tabel 7 Lanjutan No
Indikator
Satuan
40 41 42 43
Aksesibilitas Rata-rata jarak pelayanan prasarana kesehatan Rata-rata jarak bagi desa/kelurahan tanpa SD dan SMP Rata-rata jarak dari kantor desa/kelurahan ke kantor kabupaten yg membawahi Waktu tempuh ke pusat pelayanan pemerintah
km km km menit
44 45 46 47 48 49 50
Karakteristik Daerah Persentase Desa Gempa Bumi Persentase Desa Tanah Longsor Persentase desa banjir Persentase desa di kawasan lindung Persentase desa berlahan kritis Persentase desa konflik dalam satu tahun terakhir Daerah pesisir
% % % % % % %
Sumber: BPS (2005)
Terkait dengan daerah perkotaan, secara eksplisit BPS telah menetapkan tiga kriteria utama dalam menetapkan suatu daerah sebagai daerah perkotaan yaitu (Tribudhi dan Said 2001) : 1. Kegiatan utama bukan pertanian, % rumah tangga pertanian < 25 % 2. Kepadatan penduduk > 5000 jiwa/km2 3. Memiliki fasilitas umum paling tidak 8 dari 16 fasilitas, yaitu: a. SD dan sederajat b. SLTP dan sederajat c. SLTA dan sederajat d. Gedung Bioskop e. Rumah Sakit f. Rumah Sakit Bersalin g. Puskesmas/Klinik/Balai Pengobatan h. Jalan yang dapat dilalui kendaraan bermotor roda tiga dan empat i. Pesawat telpon/Kantor Pos/Kantor Pos Pembantu j. Pasar dengan bangunan k. Kelompok pertokoan (pusat perdagangan) l. Bank m. Pabrik n. Restoran/Rumah Makan o. Listrik Umum (PLN/Non PLN) p. Usaha penyewaan alat-alat keperluan pesta dll Selanjutnya, dalam konteks menggambarkan potensi desa, BPS juga telah melaksanakan pendataan desa-desa di Indonesia. Berdasarkan pendataan potensi
54
desa/kelurahan pada Tahun 2008, indikator-indikator yang digunakan adalah sebagai berikut: I. Penduduk dan Ketenagakerjaan 1. Penduduk dan Keluarga a. Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin b. Jumlah keluarga c. Persentase keluarga pertanian d. Jumlah keluarga yang anggotanya menjadi buruh tani 2. Sumber penghasilan utama sebagian besar penduduk 3. Jumlah penduduk yang sedang bekerja sebagai TKI di luar negeri II. Perumahan dan Lingkungan Hidup 1. Jumlah keluarga pengguna listrik 2. Penerangan jalan utama desa/kelurahan 3. Bahan bakar yang digunakan oleh sebagian besar keluarga untuk memasak 4. Tempat membuang sampah penduduk 5. Tempat buang air besar keluarga 6. Penggunaan air sungai 7. Jumlah keluarga yang tinggal di bantaran sungai 8. Jumlah keluarga yang bertempat tinggal di bawah jaringan listrik tegangan tinggi 9. Jumlah pemukiman kumuh 10. Pencemaran lingkungan hidup setahun terakhir 11. Pembakaran ladang/kebun setahun terakhir 12. Ada/tidaknya lokasi penggalian golongan C di desa/kelurahan III. Bencana Alama dan Penanganan Bencana 1. Bencana alam dalam tiga tahun terakhir yang menyebabkan kerugian/kerusakan 2. Asal dan jenis bantuan penanganan bencana 3. Upaya yang dilakukan/telah tersedia di desa/kelurahan untuk mengantisipasi bencana alam 4. Sumber bantuan untuk mengantisipasi bencana alam IV. Pendidikan dan Kesehatan 1. Jumlah lembaga pendidikan menurut jenjang 2. Jumlah lembaga pendidikan keterampilan menurut jenis 3. Pemberantasan buta aksara fungsional dalam tiga tahun terakhir 4. Jumlah sarana kesehatan menurut jenis 5. Kegiatan posyandu setahun terakhir 6. Jumlah tenaga kesehatan yang tinggal di desa/kelurahan 7. Wabah penyakit selama setahun terakhir 8. Jumlah penderita gizi buruk dalam tiga tahun terakhir 9. Jumlah keluarga menerima kartu ASKESKIN dalam setahun terakhir 10. Jumlah surat miskin/SKTM yang dikeluarkan desa dalam setahun terakhir 11. Pengetahuan tentang desa siaga
55
12. Sumber air minum/masak V. Sosial Budaya 1. Agama/kepercayaan yang dianut oleh penduduk desa/kelurahan 2. Mayoritas pemeluk agama/kepercayaan di desa/kelurahan 3. Jumlah tempat ibadah menurut jenis 4. Jenis lembaga/organisasi kemasyarakat yang ada di desa/kelurahan 5. Jumlah penyandang cacat menurut jenis 6. Ada atau tidaknya penduduk desa/kelurahan yang berjudi 7. Suku/etnis mayoritas penduduk desa/kelurahan VI. Hiburan dan Olahraga 1. Ada/tidak gedung bioskop dan jarak terdekatnya 2. Ada/tidaknya pub/diskotik/tempat karaoker dan jarak terdekatnya 3. Ada atau tidaknya lapangan olahraga serta kelompok kegiatannya menurut jenis VII. Angkutan, Komunikasi dan Informasi 1. Sarana dan prasarana transportasi antar desa/kelurahan 2. Jarak, waktu tempuh dan jenis angkutan umum yang digunakan penduduk untuk mencapai ibukota kecamatan, ibukota kabupaten/kota dan ibukota kabupaten/kota lain terdekat 3. Jumlah keluarga yang berlangganan telepon kabel 4. Ada/tidaknya telepon umum koin/kartu yang masih aktif 5. Ada/tidaknya wartel/kiospon/warpostel/warparpostel 6. Ada/tidaknya warung internet 7. Ada/tidaknya kantor pos dan jarak terdekat 8. Ada/tidaknya pos keliling 9. Jenis program TV yang dapat diterima di desa/kelurahan 10. Ada/tidak/lemah/kuatnya sinyal telepon genggam di desa/kelurahan VIII. Penggunaan Lahan 1. Struktur penggunaan lahan 2. Perubahan/konversi lahan pertanian menjadi non-pertanian dalam tiga tahun terakhir IX. Ekonomi 1. Jumlah kios sarana produksi pertanian 2. Jumlah industri kecil menurut jenis 3. Ada/tidaknya kelompok pertokoan dan jarak terdekat 4. Ada/tidaknya pasar dengan bangunan permanen/semi permanen dan jarak terdekat 5. Jumlah unit pasar tanpa bangunan 6. Jumlah unit mini market 7. Jumlah unit restoran/rumah makan 8. Jumlah unit warung/kedai makanan/minuman 9. Jumlah unit toko/warung kelontong 10. Jumlah unit hotel 11. Jumlah unit penginapan 12. Jumlah koperasi menurut jenisnya
56
13. Jumlah fasilitas perkreditan yang diterima penduduk setahun terakhir menurut jenisnya X. Keamanan 1. Jumlah dan jenis perkelahian massal yang terjadi selama setahun terakhir 2. Penyelesaian dan inisiator penyelesaian perkelahian massal tersebut 3. Jenis kejahatan yang terjadi setahun terakhir 4. Ada/tidaknya agen yang beroperasi mencari TKS 5. Ada/tidaknya lokalisasi prostitusi 6. Jenis upaya warga menjaga keamanan selama setahun terakhir 7. Jenis sarana keamanan, jarak terdekat dan kemudahan akses mencapainya 8. Jumlah anggota hansip/linmas, Babinsa dan Polisi Pelayanan Masyarakat XI. Otonomi Desa dan Program Pengentasan Kemiskinan 1. Sumber keuangan desa dan penggunaannya 2. Jenis program/kegiatan penanggulangan kemiskinan dalam tiga tahun terakhir
2.6 Sejarah Transmigrasi di Indonesia Sejarah transmigrasi di Indonesia dapat dibagi atas beberapa masa pemerintahan dan kekuasaan, mulai dari masa pemerintah kolonial Belanda sampai pada era reformasi atau otonomi daerah. Masing-masingnya memiliki tujuan, arah kebijakan dan paradigma ketransmigrasian yang berbeda. 2.6.1 Era Pemerintah Kolonial Belanda dan Pendudukan Jepang Pada era pemerintah kolonial Belanda, transmigrasi dikenal dengan istilah kolonisasi. Diawali pada Tahun 1905 dengan dipindahkannya penduduk dari Bagelen Karesidenan Kedu yang ditempatkan di Gedong Tataan Lampung (Ramadhan et al. 1993). Kebijakan kolonisasi penduduk dari Pulau Jawa ke luar Jawa dilatarbelakangi oleh: (1) Melaksanakan salah satu program politik etis, yaitu emigrasi untuk mengurangi jumlah penduduk Pulau Jawa dan memperbaiki taraf kehidupan yang masih rendah; (2) Pemilikan tanah yang makin sempit di Pulau Jawa akibat pertambahan penduduk yang cepat telah menyebabkan taraf hidup masyarakat di Pulau Jawa semakin menurun; dan (3) Kebutuhan pemerintah kolonial Belanda dan perusahaan swasta akan tenaga kerja di daerah-daerah perkebunan dan pertambangan di luar Pulau Jawa.
57
Penyelenggaraan kolonisasi dapat dibagi atas tiga periode (Yudohusodo 1997). Pertama, periode kolonisasi dengan bantuan pemerintah (1905 – 1911). Pada periode ini, setiap kepala keluarga mendapatkan uang premi sebesar 20 Gulden, biaya transportasi ditanggung pemerintah (diperkirakan sebesar 50 Gulden per keluarga) dan sumbangan biaya hidup sebesar 0,4 Gulden per hari selama masa penyiapan tanah. Jumlah biaya langsung diperkirakan 300 gulden per keluarga yang mencakup premi, biaya transportasi, biaya makan 150 gulden, biaya bangunan rumah 65 gulden, pembelian alat-alat 13,5 gulden, ditambah 0,7 hektar tanah sawah dan 0,3 hektar tegalan serta pekarangan (Dixon 1980) Kedua, periode Bank Rakyat Lampung,
The Lampongsche Volksbank
(1911–1928). Pada periode ini Pemerintah Hindia Belanda hanya mensubsidi biaya transportasi sebesar 22,5 Gulden. Selanjutnya untuk kebutuhan hidup dan modal usaha tani, kolonis mendapat pinzaman dari Bank Rakyat Lampung sebesar 200 Gulden dengan bunga 9 persen per tahun, dengan cicilan selama 10 tahun dan grace period 3 tahun. Pada tahun 1927, Bank Rakyat Lampung mengalami kebangkrutan, sehingga tidak mampu membiayai pinzaman para kolonis. Bank tersebut dilikuidasi dan program kolonisasi dengan kredit bank dihentikan. Ketiga, periode bawon (1923–1942). Sejalan dengan kesulitan ekonomi yang dialami oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai dampak depresi ekonomi dunia, sementara minat masyarakat Jawa untuk ikut kolonisasi cukup tinggi, pemerintah akhirnya mengubah pola kolonisasi untuk menekan biaya dengan sistem bawon. Pemukim kolonisasi terdahulu diharapkan memakai tenaga kerja pemukim baru dengan prinsip tolong-menolong dan gotong-royong. Pemekaran daerah kolonisasi baru tidak jauh dari kolonisasi lama. Penempatan pemukim baru dilakukan pada bulan Februari-Maret saat menjelang musim panen padi di pemukiman lama, sehingga mereka bisa ikut bawon. Bagian hasil bawon pemukim baru di Lampung dibuat lebih besar dengan perbandingan 1:7 atau 1:5, artinya buruh mendapatkan satu bagian setiap tujuh atau lima bagian pemilik. Pada saat itu sistem bawon di Pulau Jawa umumnya menggunakan perbandingan 1:10. Pada ketiga periode tersebut, Pemerintah kolonial Belanda hanya mampu memindahkan penduduk Pulau Jawa sebanyak 60.155 KK atau 232.802 jiwa (Kemenakertrans 2012). Namun demikian, jika dilihat dari aspek peningkatan
58
kesejahteraan peserta kolonisasi, tingkat kehidupannya lebih baik dibandingkan saat berada di daerah asal (Dixon 1980). Selanjutnya, pada masa pendudukan Jepang (1942 – 1945) pemindahan penduduk dari Pulau Jawa bertujuan hanya untuk kepentingan pembangunan prasarana militer secara kerja paksa dengan istilah Romusha (Keyfiz dan Nitisastro 1955, diacu dalam Saleh 1982). Diperkirakan selama kekuasaan Jepang, penduduk Pulau Jawa yang berhasil dipindahkan ke luar Jawa melalui transmigrasi sekitar 2.000 orang. 2.6.2 Masa Orde Lama Setelah kemerdekaan, istilah kolonisasi kemudian diubah menjadi transmigrasi (Djojoprapto 1995). Pelaksanaan transmigrasi pada masa orde lama diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 1958 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaran Transmigrasi (dan perubahannya melalui PP No. 13 Tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi), Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 29
Tahun 1960
tentang Pokok-Pokok
Penyelenggaraan Transmigrasi, Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1965 tentang Gerakan Nasional Transmigrasi. Tujuan transmigrasi pada masa orde lama adalah untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, mengurangi tekanan penduduk di daerah-daerah padat penduduk, membuka sumber-sumber alam, meningkatkan kegiatan pembangunan ekonomi terutama produksi pangan, memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, serta meningkatkan keamanan dan ketahanan bangsa. Pelaksanaan transmigrasi pada orde lama dimulai Tahun 1948 ketika pemerintah Republik Indonesia membentuk panitia untuk mempelajari program serta pelaksanaan transmigrasi. Namun pemberangkatan transmigran baru dilaksanakan bulan Desember 1950.
Pelaksanaannya
ditangani Jawatan
Transmigrasi di bawah Kementerian Sosial. Baru Tahun 1960 Jawatan Transmigrasi menjadi departemen yang digabung dengan urusan perkoperasian dengan nama Departemen Transmigrasi dan Koperasi (Heeren 1979). Pada zaman orde lama (Pra Pelita Tahun 1950 – 1968) ditetapkan target pemindahan penduduk yang dikenal dengan “Rencana 35 Tahun Tambunan”. Targetnya adalah pada Tahun 1987 jumlah penduduk Pulau Jawa berkurang
59
menjadi 31 juta jiwa dari kondisi pada Tahun 1952 yang sebanyak 54 juta jiwa (Heeren 1979). Namun demikian, mengingat sulitnya pencapaian target tersebut, maka dilakukan revisi target transmigran secara lebih realistis. Selama lima tahun, antara Tahun 1956-1960 direncanakan pemindahan penduduk Jawa sebanyak 2 juta orang, atau rata-rata 400 ribu orang per tahun. Pada rencana delapan tahun selanjutnya, yaitu antara Tahun 1961-1968, Jawatan Transmigrasi menurunkan lagi targetnya menjadi 1,56 juta orang, atau rata-rata 195 ribu orang per tahun. Menurut Wijst (1985), target-target ambisius tersebut tidak mampu dicapai karena meningkatnya anggaran untuk memberangkatkan transmigran. Pada periode rencana delapan tahun, muncul kebijakan Transmigrasi Gaya Baru. Konsepnya memindahkan kelebihan fertilitas total yang diperkirakan mencapai angka 1,5 juta orang per tahun. Pada kebijakan ini, muncul ide untuk melaksanakan transmigrasi swakarya, artinya transmigran baru ditampung oleh transmigran lama seperti yang pernah dilakukan pada zaman Belanda dengan sistem bawon, kemudian membuka hutan, membangun rumah, dan membuat jalan sendiri, sehingga tanggungan pemerintah tidak terlampau besar. Pada zaman orde lama, transmigrasi dikategorikan dalam sistem transmigrasi umum, transmigrasi khusus, transmigrasi sedaerah, dan transmigrasi spontan. Transmigrasi Umum adalah transmigrasi dari daerah-daerah tingkat I yang padat ke daerah tingkat I yang lain dan diselenggarakan oleh pemerintah. Dalam sistem ini segala keperluan transmigran, sejak pendaftaran sampai di lokasi menjadi tanggungan pemerintah. Pemerintah juga menanggung biaya hidup selama delapan bulan pertama, bibit tanaman, serta alat-alat pertanian. Transmigrasi khusus adalah transmigrasi dari daerah tingkat I ke daerah tingkat I yang lain, yang diselenggarakan oleh Daerah Otonom yang bersangkutan. Transmigrasi sedaerah adalah transmigrasi dalam wilayah satu daerah tingkat I yang diselenggarakan oleh daerah tersebut. Transmigrasi spontan adalah transmigrasi atas usaha dan biaya sendiri dari yang bersangkutan. Selain jenis-jenis transmigrasi sebagaimana yang diatur dalam perundangundangan tersebut, dalam pelaksanaannya pada orde lama ini juga terdapat jenis transmigrasi lainnya sebagaimana yang dikemukakan Handayani (1994) yaitu transmigrasi keluarga dan transmigrasi biaya sendiri.
Transmigrasi Keluarga
60
merupakan sistem transmigrasi beruntun, artinya jika transmigran ingin mengajak keluarganya yang masih tinggal di Pulau Jawa bertransmigrasi, maka transmigran lama harus menanggung biaya hidup dan perumahan transmigran baru. Sistem ini tidak berjalan, karena terlalu memberatkan peserta transmigrasi, sehingga tidak dilaksanakan lagi sejak 1959. Transmigrasi Biaya Sendiri, mengharuskan calon transmigran mendaftar di tempat asal, kemudian berangkat ke lokasi dengan ongkos sendiri. Di lokasi mereka mendapatkan lahan dan subsidi seperti transmigran umum. Transmigrasi biaya sendiri ini sedikit berbeda dengan transmigrasi
spontan,
karena
mereka
tidak
harus
mengurus
sendiri
keberangkatannya tetapi diatur oleh pemerintah. Selama periode orde lama telah diberangkatkan sebanyak 98.631 kepala keluarga dengan jumlah jiwa 234.802 orang. Penempatan transmigran pada periode ini dilakukan pada 176 UPT (Kemenakertrans 2012). 2.6.3 Masa Orde Baru Penyelenggaraan transmigrasi pada masa orde baru diatur melalui UndangUndang No. 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi serta Peraturan Pemerintah No. 42 Tahun
1973 tentang Penyelenggaraan
Transmigrasi. Berdasarkan peraturan perundang-undangan tersebut tujuan transmigrasi adalah untuk: (a) peningkatan taraf hidup; (b) pembangunan daerah; (c) keseimbangan penyebaran penduduk; (d) pembangunan yang merata di seluruh Indonesia; (e) pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia; (f) kesatuan dan persatuan bangsa; dan (g) memperkuat pertahanan dan keamanan nasional. Pembukaan daerah transmigrasi diperluas ke wilayah Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi, bahkan sampai ke Papua. Daerah transmigran lama seperti Lampung, Jambi, Sumatera Selatan yang pada awalnya banyak sekali menerima transmigran, pada periode ini hanya menerima sekitar 52 persen dari total transmigran yang diberangkatkan. Jumlah yang dikirim ke Sulawesi sekitar 25 persen, sisanya ke pulau-pulau lain seperti Kalimantan dan Papua. Pada periode ini dikenal dua kategori yaitu transmigrasi umum dan transmigrasi spontan. Pada transmigrasi spontan pemerintah hanya mengorganisir perjalanan dari daerah asal ke tempat tujuan, ongkos-ongkos semua ditanggung
61
peserta. Sementara pada transmigrasi umum, semua ongkos ditanggung pemerintah, dan di lokasi memperoleh lahan seluas dua hektar, rumah, dan alatalat pertanian, serta biaya selama 12 bulan pertama untuk daerah tegalan, dan 8 bulan pertama untuk daerah pesawahan. Jumlah transmigran yang berhasil dipindahkan pada orde baru sebanyak 6.708.526 orang atau sekitar 1.827.099 keluarga (Kemenakertrans 2012). 2.6.4 Masa Reformasi atau Otonomi Daerah Jumlah penduduk yang berhasil dipindahkan dalam program transmigrasi, terus meningkat, namun tetap tidak bisa mengimbangi pertambahan jumlah penduduk di Pulau Jawa. Ini disebabkan fertilitas di Pulau Jawa jauh melebihi angka penduduk yang dapat dipindahkan ke luar Pulau Jawa (Setiawan 1997). Hal tersebut kemudian memunculkan paradigma baru transmigrasi seperti yang
tercantum
dalam
Undang-undang
No.
15
Tahun
1997
tentang
Ketransmigrasian dengan perubahannya berdasarkan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Dalam Undang-undang tersebut dinyatakan, bahwa tujuan
penyelenggaraan
transmigrasi
adalah
untuk:
(1)
meningkatkan
kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitar; (2) peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah; dan (3) memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa. Adapun sasarannya adalah meningkatkan kemampuan dan produktivitas masyarakat transmigrasi, membangun kemandirian, dan mewujudkan integrasi di permukiman transmigrasi sehingga ekonomi dan sosial budaya mampu tumbuh dan berkembang secara berkelanjutan. Dengan ketiga tujuan tersebut, transmigrasi diharapkan dapat memecahkan permasalahan demografi dan sosial, ekonomi, serta politik sekaligus (Soegiharto 2008). Program transmigrasi tidak semata-mata ditujukan pada penyeimbangan persebaran penduduk. Program ini juga diselenggarakan sebagai pendekatan untuk pencapaian tujuan sosial. Transmigrasi diarahkan untuk membagikan lahan kepada para petani tunakisma, meningkatkan pendapatan penduduk miskin dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Transmigrasi juga diarahkan pada tujuan pembangunan daerah baik daerah asal maupun daerah tujuan. Di daerah asal, penyelenggaraan transmigrasi
62
berkaitan dengan kebutuhan untuk mengatasi permasalahan ekologis di tempat asal para transmigran yang menyebabkan daerah itu menjadi miskin. Dari sisi daerah tujuan, sasaran akhir penyelenggaraan transmigrasi adalah untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antar daerah dengan melakukan pengembangan wilayah pada daerah-daerah terpilih. Wilayah-wilayah tertinggal dibangun antara lain dengan menjadikan lahan-lahan tidur menjadi lahan-lahan produktif,
menciptakan
kesempatan
kerja
bagi
para
penganggur
atau
meningkatkan persediaan pangan. Tujuan politik dapat dilihat dari alasan keamanan negara dan persatuan bangsa. Program transmigrasi juga strategis untuk kepentingan geopolitik bagi keamanan negara. Penempatan penduduk di daerah-daerah perbatasan yang jarang penduduk menjadi bagian dari rencana pengembangan daerah perbatasan. Tujuan politik juga dilaksanakan melalui upaya-upaya mengadakan penyerasian budaya dari bangsa yang heterogen dengan memukimkan penduduk dari beragam budaya pada daerah baru. Hal ini dapat dilihat sebagai strategi pertahanan dengan memperkokoh persatuan antar etnis. Dengan demikian, melalui transmigrasi memberi peluang untuk mengintegrasikan berbagai etnis dan budaya dalam suatu kehidupan sosial yang harmonis. Tujuan-tujuan tersebut diturunkan dalam Rencana Strategis Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tahun 2005–2009. Tujuan pertama diturunkan menjadi “Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja beserta keluarganya, masyarakat transmigrasi dan penduduk sekitar, serta meningkatkan jaminan sosial tenaga kerja”, dengan sasaran “Terselenggaranya pembinaan dan pemberdayaan terhadap 595 UPT (149.189 KK)”. Tujuan kedua dicapai dengan target: “(a) Terbangun dan termanfaatkannya potensi sumber daya wilayah perbatasan, menjadi permukiman transmigrasi yang layak (layak huni, layak usaha dan berkembang, dan layak lingkungan) dengan daya tampung 82.000 KK; dan (b) Terwujudnya
5
kawasan
sebagai
pusat
pertumbuhan.”
Tujuan
ketiga
direalisasikan dalam bentuk “Tercapainya kemandirian dan integrasi masyarakat di 353 UPT (85.115 KK) melalui penyesuaian, pemantapan dan pengembangan”.
Tabel 8 Pergeseran definisi, tujuan dan jenis transmigrasi menurut ketentuan peraturan perundang-undangan Peraturan Definisi Tujuan PP No.56/1958 Pemindahan rakyat ke daerah- a. mempertinggi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat, PP No.13/1959 daerah yang ditunjuk menurut dengan jalan membuka dan mengusahakan tanah secara ketentuan-ketentuan dalam teratur serta mengadakan lain-lain usaha pembangunan dalam dan/atau berdasarkan Peraturan segala lapangan; Pemerintah ini (Luar Pulau b. mengurangi tekanan penduduk di daerah-daerah yang padat Jawa, Madura, Bali dan penduduknya untuk mencapai tingkat penghidupan yang Lombok) layak dan mengisi daerah-daerah yang kosong atau tipis penduduknya, untuk pembukaan sumber-sumber alam; c. memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia; d. mencapai keamanan seluruh bangsa Indonesia serta memperbesar potensi pertahanan negara, dengan mengisi dan membangun daerah yang mempunyai arti vital; sehingga tercapai tingkat ketahanan yang lebih tinggi baik dalam lapangan sosial-ekonomi, persatuan dan kesatuan bangsa maupun pertahanan bagi daerah-daerah di seluruh wilayah Indonesia. PERPU No.29 Sama dengan PP No.56/1958 Tahun 1960 dan PP No. 13/1959
Jenis -Transmigrasi Umum -Transmigrasi Khusus -Transmigrasi sedaerah -Transmigrasi spontan
Mempertinggi taraf keamanan, kemakmuran dan kesejahteraan Sama dengan PP seluruh rakyat dan memperkokoh rasa persatuan dan kesatuan No.56/1958 dan PP bangsa Indonesia dengan jalan; No.13/1959 a. Membuka sumber-sumber alam dan mengusahakan tanah secara teratur; b. Mengurangi tekanan penduduk di daerah padat penduduk dan mengisi daerah-daerah yang jarang penduduknya; c. Mengisi dan membangun daerah-daerah yang mempunyai arti vital sehingga tercapainya tingkat ketahanan bangsa yang lebih tinggi dalam segala bidang penghidupan, dalam rangka pembentukan masyarakat sosialis Indonesia yang adil dan makmur.
64
Tabel 8 Lanjutan
Peraturan
Definisi
Tujuan
Jenis
PERPRES No. 5 Sama dengan PP No.56/1958 Memperkuat pertahanan dan keamanan revolusi dan Sama dengan PP Tahun 1965 dan PP No. 13/1959 meningkatkan kegiatan pembangunan ekonomi terutama No.56/1958 dan PP
produksi pangan.
No. 13/1959
UU No. 3 Tahun Pemindahan dan/atau kepin1972 dahan penduduk dari satu PP No.42/1973 daerah untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan di dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan Pembangunan Negara, karena bencana alam dan alasanalasan lain yang dipandang perlu oleh Pemerintah
Sasaran kebijaksanaan umum transmigrasi ditujukan kepada -Transmigrasi Umum terlaksananya transmigrasi Swakarsa (spontan) yang teratur -Transmigrasi dalam jumlah yang sebesar-besarnya untuk mencapai : Swakarsa (Spontan) a. peningkatan taraf hidup; b. pembangunan daerah; c. keseimbangan penyebaran penduduk; d. pembangunan yang merata di seluruh Indonesia; e. pemanfaatan sumber-sumber alam dan tenaga manusia; f. kesatuan dan persatuan bangsa : g. memperkuat pertahanan dan keamanan nasional.
UU No. 15 Perpindahan penduduk secara Tahun 1997 sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di Wilayah Pengembangan Transmigrasi atau Lokasi Permukiman Transmigrasi UU No. 29 Perpindahan penduduk secara Tahun 2009 sukarela untuk meningkatkan kesejahteraan dan menetap di kawasan transmigrasi yang diselenggarakan Pemerintah.
Penyelenggaraan transmigrasi bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, peningkatan dan pemerataan pembangunan daerah serta memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa.
-Transmigrasi Umum -Transmigrasi Swakarsa Berbantuan -Transmigrasi Swakarsa Mandiri
Sama dengan UU No.15/1997.
Sama dengan No.15/1997
Sumber: dirangkum dari berbagai peraturan perundang-undangan mengenai transmigrasi.
UU
2.7 Konsep Pembangunan Transmigrasi Pada dasarnya, konsep dan strategi pembangunan transmigrasi didasari oleh konsep pembangunan dengan pendekatan peubah kewilayahan. Konsep ini mengacu pada struktur wilayah pengembangan berdasarkan satuan wilayah ekonomi yang berasaskan distribusi simpul barang dan jasa (Hadjisarosa 1988). Meskipun demikian terdapat perbedaan konsep pembangunan transmigrasi sebelum dan setelah era otonomi daerah berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 dan Undang-Undang Nomor 15 Tahun1997 serta Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009. Secara diagramatis perbandingan konsep pembangunan transmigrasi sebelum dan setelah otonomi daerah diberikan pada Tabel 9 berikut. Tabel 9 Perbandingan konsep pembangunan transmigrasi sebelum dan setelah otonomi daerah Sebelum otonomi
Setelah otonomi
Padanan wilayah administrasi Desa atau bagian desa
Satuan Permukiman (SP) (maksimum 500 KK)
Permukiman Transmigrasi (PT) (300 – 500 KK)
Satuan Kawasan Permukiman (SKP) (5 – 7 SP)
Satuan Kawasan Pengembangan Kecamatan atau (SKP) (1800 – 2000 KK) bagian kecamatan
Wilayah Pengembangan Partial (WPP) (3 – 5 SKP)
Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT), (minimal 9000 KK). Bertujuan untuk membangun pusat pertumbuhan baru
Kecamatan atau bagian kecamatan
atau Lokasi Permukiman Transmigrasi Kecamatan (LPT) (Tidak ditentukan batasan bagian kecamatan minimal KK) Bertujuan untuk mendukung pusat pertumbuhan yang sudah ada Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) (beberapa WPP)
Kabupaten
Sumber: UU No. 3 Tahun 1972 dan UU No. 15/1997 serta UU No. 29/2009
2.7.1 Konsep Pembangunan Transmigrasi Sebelum Era Otonomi Pada masa sebelum otonomi, transmigrasi diselenggarakan sebagai pembangunan wilayah di daerah, oleh agen-agen pemerintah pusat (Kanwil dan Kandep). Pelaksanaan transmigrasi diwujudkan dalam pembangunan unit-unit permukiman penduduk secara hierarkis, dari satuan yang terkecil berupa SP
66
(Satuan Pemukiman) ke satuan yang lebih besar yaitu SKP (Satuan Kawasan Permukiman) dan WPP (Wilayah Pengembangan Parsial), yang saling menopang dan terintegrasi dalam simpul-simpul pusat produksi hingga membentuk suatu pusat pertumbuhan ekonomi dan administrasi wilayah (Priyono dan Fatimah 2010).
WPP
SWP
WPP WPP
Gambar 3 Konsep pembangunan transmigrasi sebelum otonomi daerah. Sumber: Modifikasi dari Priyono dan Fatimah (2010). Keterangan: SP= Satuan Permukiman; SKP=Satuan Kawasan Permukiman; WPP=Wilayah Pengembangan Parsial; SWP= Satuan Wilayah Pengembangan
Pada SP ditempatkan transmigran dengan jumlah penduduk paling banyak 500 KK. Kumpulan beberapa SP (5–7 SP) dinyatakan sebagai SKP. Pada SKP memungkinkan dilaksanakan perdagangan tingkat ritel, karena jumlah penduduk yang dilayani mencapai 1.500 KK. Kumpulan 3-5 SKP dinyatakan sebagai WPP dan salah satu SKP merupakan “kota” umumnya yang sudah berkembang serta mempunyai aksesibilitas tinggi, dan mempunyai orientasi sehingga mampu membentuk simpul jasa distribusi yang berfungsi sebagai pusat pengembangan (pusat WPP). Pada WPP memungkinkan pelaksanaan perdagangan tingkat grosir, mengingat jumlah masyarakat yang dilayani sudah semakin banyak (5.000 KK – 100.000 KK). Jika lokasi pusat WPP berada pada lokasi yang menguntungkan,
67
berarti cukup untuk berperan sebagai “simpul jasa distribusi” yang merupakan titik tumpu bagi tumbuh dan berkembangnya suatu kota (Poernomosidhi 1981). Adanya peran simpul tersebut, akan melibatkan kegiatan perdagangan dan angkutan, yang dengan sendirinya akan mengikutsertakan banyak peluang kegiatan penunjang lainnya disertai dengan aglomerasi kegiatan. Konsentrasi kegiatan dan manusia dengan segala potensi dan konsekuensinya akan membentuk
pola
kehidupan
kota.
Sedangkan
SWP
(Satuan
Wilayah
Pengembangan) merupakan beberapa WPP dengan salah satu kota berfungsi sebagai pintu gerbang simpul jasa distribusi serta memiliki posisi yang potensial, yang berperan sebagai gerbang masuk dan keluarnya ekspor impor ke WPP-WPP yang ada di sekitarnya. 2.7.2 Konsep Pembangunan Transmigrasi pada Era Otonomi Istilah-istilah pembangunan transmigasi pada era otonomi mencakup Permukiman Transmigrasi (PT), Lokasi Pemukiman Transmigrasi (LPT), Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) dan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) (Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997; Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999; Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009). Selain itu, melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: Kep. 214/MEN/V/2007 tentang Pedoman Umum Pembangunan dan Pengembangan Kota Terpadu Mandiri di Kawasan Transmigrasi, juga diperkenalkan konsep Kota Terpadu Mandiri (KTM). Pembangunan transmigrasi pada era otonomi, dirumuskan secara fleksibel dalam bentuk WPT sebagai suatu wilayah luas, dan atau dalam bentuk LPT yang berskala kecil. Alternatif ini mengingat keragaman potensi sumber daya lahan yang cenderung semakin terbatas di beberapa wilayah, dan perbedaan kebutuhan pembangunan daerah (Anharudin et al. 2008). Permukiman Transmigrasi (PT) PT adalah satu kesatuan permukiman atau bagian dari satuan permukiman yang diperuntukkan bagi tempat tinggal dan tempat usaha transmigran. Setiap PT mempunyai daya tampung 300 - 500 KK, yang dilengkapi sarana: 1) Warung atau koperasi; 2) Pasar; 3) Sekolah Dasar; 4) Balai pengobatan; 5) Balai desa; dan 6) Tempat ibadah.
68
Satuan Kawasan Pengembangan (SKP) SKP adalah suatu kawasan yang terdiri atas beberapa PT yang salah satu di antaranya merupakan permukiman yang disiapkan menjadi desa utama (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997). Perubahan berdasarkan UndangUndang Nomor 29 Tahun 2009, SKP adalah satu kawasan yang terdiri atas beberapa PT yang salah satu di antaranya disiapkan menjadi desa utama atau pusat kawasan perkotaan baru. Setiap SKP terdiri dari beberapa PT, dan mempunyai daya tampung 1.800 sampai dengan 2.000 Kepala Keluarga, yang dilengkapi sarana: 1) Industri kecil/industri rumah tangga; 2) Pasar harian; 3) Pertokoan; 4) Pelayanan jasa perbankan; 5) Perbengkelan; 6) Pelayanan pos; 7) Pendidikan tingkat pertama; 8) Puskesmas pembantu; dan 9) Pelayanan pemerintahan Lokasi Permukiman Transmigrasi (LPT) LPT adalah lokasi potensial yang ditetapkan sebagai permukiman transmigrasi untuk mendukung pusat pertumbuhan wilayah yang sudah ada atau yang sedang berkembang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (Pasal 1 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997). Perubahan berdasarkan UndangUndang Nomor 29 Tahun 2009, LPT adalah lokasi potensial yang ditetapkan sebagai permukiman transmigrasi untuk mendukung pusat pertumbuhan wilayah yang sudah ada atau yang sedang berkembang sebagai kawasan perkotaan baru sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Selanjutnya, berdasarkan UndangUndang Nomor 29 Tahun 2009, peruntukan kawasan sebagai rencana Lokasi Permukiman Transmigrasi harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Selain itu juga harus memenuhi syarat: (a) memiliki potensi untuk pengembangan usaha primer, sekunder, dan atau primer; (b) tersedia prasarana dan sarana permukiman; dan (c) tingkat kepadatan penduduk rendah. Tujuan pembangunan Lokasi Permukiman Transmigrasi adalah untuk mendukung percepatan pengembangan wilayah dan atau pusat pertumbuhan wilayah yang sedang berkembang. Selanjutnya pembangunan Lokasi Permukiman Transmigrasi dapat dilaksanakan melalui: (a) Pembangunan satu SKP; (b) Pembangunan SP; dan (c) Pembangunan bagian dari permukiman yang sudah ada.
69
Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) WPT adalah wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan permukiman transmigrasi untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah yang baru. Perubahan definisi berdasarkan UU No. 29/ 2009, WPT adalah wilayah potensial yang ditetapkan sebagai pengembangan permukiman transmigrasi yang terdiri atas beberapa satuan kawasan pengembangan yang salah satu di antaranya direncanakan untuk mewujudkan pusat pertumbuhan wilayah baru sebagai kawasan perkotaan baru sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Setiap WPT terdiri dari beberapa SKP, dan mempunyai daya tampung sekurang-kurangnya 9.000 Kepala Keluarga, yang dilengkapi dengan sarana: 1) Pusat kegiatan ekonomi wilayah; 2) Pusat kegiatan industri pengolahan hasil; 3) Pusat pelayanan jasa dan perdagangan; 4) Pusat pelayanan kesehatan; 5) Pusat pendidikan tingkat menengah; 6) Pusat pemerintahan. Kawasan yang diperuntukkan sebagai rencana Wilayah Pengembangan Transmigrasi harus sesuai dengan rencana tata ruang Wilayah/Daerah. Selain itu WPT harus memiliki potensi yang dapat dikembangkan sebagai produk unggulan yang memenuhi skala ekonomis; mempunyai kemudahan hubungan dengan kota atau wilayah yang sedang berkembang; dan tingkat kepadatan penduduk masih rendah.
LPT/SKP SP/PTB 300-500 KK PDS 300-500 KK
LPT/SKP
PTA 300-500 KK Sisipan 300-500 KK
SP/PTB 300-500 KK PDS 300-500 KK
PTA 300-500 KK Sisipan 300-500 KK
LPT/SKP 9000 KK 36000 jiwa PP 2/1999
SP/PTB 300-500 KK PDS 300-500 KK
PTA 300-500 KK
WPT
Sisipan 300-500 KK
Gambar 4 Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. Sumber: Modifikasi dari Priyono dan Fatimah (2010).
70
Keterangan: SP=Satuan Permukiman; PTB=Permukiman Transmigrasi Baru; PTA = Permukiman Transmigrasi yang Sudah Ada (eks unit permukiman transmigrasi); PDS = Permukiman Desa Setempat; Sisipan = Transmigrasi sisipan ke PTA atau PDS = Desa utama atau Pusat kawasan (antara SP/PTB atau PTA)
Kota Terpadu Mandiri (KTM) Pembangunan WPT dan LPT dimaksudkan untuk mewujudkan pusat-pusat pertumbuhan yang baru, yang berorientasi pada spatial economic growth. Untuk merealisasikan konsep pengembangan pusat pertumbuhan WPT dan LPT saat ini dapat dilaksanakan secara integratif dan diaplikasikan melalui pengembangan KTM di lokasi transmigrasi. KTM ini merupakan embrio pembangunan WPT dan LPT sebagaimana yang diamanahkan dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 dan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999. KTM adalah kawasan transmigrasi yang pembangunannya dirancang menjadi pusat pertumbuhan yang mempunyai fungsi perkotaan melalui pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. KTM dibangun berdasarkan prinsip-prinsip pengembangan wilayah yang dalam penerapannya diwujudkan dalam kerangka struktur tata ruang kawasan transmigrasi. Pembangunan KTM merupakan bagian atau hasil dari pengembangan WPT. Dari beberapa SKP yang ada dalam WPT, satu di antaranya ditentukan sebagai pusat pengembangan utama (pada tingkat WPT) dan kemudian dijadikan Pusat KTM (Manuwiyoto 2008). Fungsi perkotaan menurut Tarigan (2005) sebagai berikut: 1. Pusat perdagangan, yang tingkatannya dapat dibedakan melayani masyarakat kota sendiri, melayani masyarakat kota dan daerah pinggiran (daerah yang berbatasan), melayani beberapa kota kecil (pusat kabupaten), melayani pusat provinsi atau pusat perdagangan antarpulau atau ekspor di provinsi tersebut dan pusat beberapa provinsi sekaligus. 2. Pusat pelayanan jasa, baik jasa perorangan maupun jasa perusahaan. Jasa perorangan misalnya tukang pangkas rambut, salon ,tukang jahit, perbengkelan, reparasi alat elektronik, pengacara, dokter, notaris, atau warung kopi atau nasi. Jasa perusahaan misalnya perbankan, perhotelan, asuransi, pengangkutan pelayanan pos, tempat hiburan, dan jasa penyewaan peralatan.
71
3. Tersedianya prasarana perkotaan seperti sistem jalan kota yang baik, jaringan listrik, jaringan telepon, jaringan air minum, pelayanan sampah, sistem drainase, taman kota, dan pasar. 4. Pusat penyediaan fasilitas sosial seperti prasarana pendidikan (Universitas, Akademi, SMA, SMP, SD) termasuk berbagai macam kursus keterampilan, prasarana kesehatan, termasuk apotek, tempat ibadah, prasaran olahraga, dan prasarana sosial seperti gedung pertemuan. 5. Pusat pemerintahan, banyak kota yang merupakan lokasi pusat pemerintahan. Pusat pemerintahan turut mempercepat tumbuhnya suatu kota karena banyak masyarakat yang perlu datang ke tempat untuk urusan pemerintahan. 6. Pusat komunikasi dan pangkalan transportasi. 7. Lokasi permukiman yang tertata. Menurut Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, kawasan perkotaan adalah wilayah yang mempunyai kegiatan utama bukan pertanian dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat permukiman perkotaan, pemusatan dan distribusi pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial, dan kegiatan ekonomi. Kawasan perkotaan menurut besarannya dapat berbentuk kawasan perkotaan kecil, perkotaan sedang, perkotaan besar, metropolitan dan megapolitan. Kawasan perkotaan kecil adalah kawasan dengan jumlah penduduk yang dilayani 50.000-100.000 jiwa. Kawasan perkotaan sedang adalah kawasan dengan jumlah penduduk yang dilayani lebih dari 100.000 jiwa dan kurang dari 500.000 jiwa. Kawasan perkotaaan besar adalah dengan jumlah penduduk yang dilayani paling sedikit 500.000 jiwa. Kawasan metropolitan adalah kawasan yang terdiri atas sebuah kawasan perkotaan yang berdiri sendiri atau kawasan perkotaan inti dengan kawasan perkotaan di sekitarnya yang saling memiliki keterkaitan fungsional yang dihubungkan dengan sistem jaringan prasarana wilayah yang terintegrasi dengan jumlah penduduk secara keseluruhan sekurang-kurangnya 1.000.000 jiwa. Selanjutnya kawasan megapolitan adalah dua atau lebih kawasan metropolitan yang memiliki hubungan fungsional dan membentuk sebuah sistem. Selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2010 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang dinyatakan fungsi kawasan perkotaan sebagai:
72
1. Kawasan perkotaan kecil, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi berupa kegiatan perdagangan dengan jangkauan pelayanan kecamatan dan/atau antardesa. 2. Kawasan perkotaan sedang, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi berupa kegiatan jasa dan perdagangan dengan jangkauan pelayanan satu wilayah kabupaten dan/atau antarkabupaten. 3. Kawasan perkotaan besar, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi berupa kegiatan jasa, perdagangan, dan industri dengan jangkauan pelayanan satu wilayah provinsi dan/atau antarprovinsi. 4. Kawasan Metropolitan, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi berupa kegiatan
jasa,
perdagangan,
industri,
dengan
jangkauan
pelayanan
antarprovinsi dan/atau nasional. 5. Kawasan Megapolitan, memiliki dominasi fungsi kegiatan ekonomi berupa kegiatan jasa, perdagangan, industri, dengan jangkauan pelayanan regional antarnegara. Mengacu pada hal tersebut, khususnya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, dapat dikemukakan bahwa konsep KTM yang dirancang sebagai kawasan perkotaan relatif sulit untuk terpenuhi, terutama terkait kriteria jumlah penduduk minimal (50.000 jiwa) yang dilayani. Oleh karenanya konsep kawasan perkotaan dalam pembangunan transmigrasi harus ditinjau ulang dalam kerangka pembangunan transmigrasi yang lebih terarah. 2.8 Pemukiman Kembali di Negara-Negara Lain Migrasi adalah bentuk realokasi sumber daya modal manusia. Pada dasarnya, seperti sumber daya fisik, sumber daya modal manusia juga cenderung pindah (dialokasikan) pada daerah yang memberikan imbalan yang relatif tinggi. Migrasi adalah suatu mekanisme penyeimbang yang akan memindah modal manusia dari suatu tempat yang relatif kurang dimanfaatkan ke daerah yang relatif lebih dapat dimanfaatkan (Ananta 1986). Dalam teori ekonomi dinyatakan bahwa mekanisme pasar merupakan suatu alat yang murah dalam mengalokasikan sumberdaya secara efisien. Mekanisme pasar akan dengan cepat menunjukkan di mana terdapat kelebihan permintaan atau penawaran. Namun demikian, ketika mekanisme pasar gagal berada pada
73
arah yang benar, maka diperlukan campur tangan pemerintah agar mekanisme pasar memberikan hasil yang diinginkan. Dalam konteks alokasi sumber daya manusia, ketika migrasi berada pada arah yang tidak sesuai (misalnya pindahnya penduduk dari desa ke kota sedangkan kota sudah memiliki penduduk yang terlalu padat atau pindahnya penduduk dari daerah yang jarang ke daerah yang padat penduduk), maka perlu campur tangan pemerintah untuk membuat migrasi berjalan di arah yang benar. Salah satu bentuk campur tangan tersebut adalah melalui transmigrasi atau yang dikenal secara umum sebagai bentuk pemukiman kembali penduduk. Pemukiman kembali adalah terjemahan kata resettlement. Settlement berarti a place where people have come to live and make their homes, especially where few or no people lived before. Sedangkan to resettle adalah to go and live in a new country or area. Kata lain yang berkaitan dengan resettlement di antaranya adalah relocation,
movement, passage, exodus, immigration.
Dengan demikian
pemukiman kembali didefinisikan sebagai kegiatan memindahkan penduduk dari satu tempat ke tempat lain dengan tujuan menetap (Soegiharto et al. 2005) Pemukiman kembali atau penyelenggaraan perpindahan penduduk tidak hanya ada di Indonesia. Di Asia di antaranya Malaysia, Srilanka, Filipina, Thailand, Vietnam. Di Amerika Latin di antaranya Peru, Bolivia, Paraguay dan Mexico. Di Afrika di antaranya Ghana, Kenya dan Nigeria. Setiap negara memiliki latar belakang dan sasaran-sasaran yang berbeda, namun pada dasarnya sama yang mencakup kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, sosial, budaya dan hankam, bahkan pemantapan ideologi (Yudohusodo 1997) Soegiharto dan Saidin (2005) melalui kajian permukiman kembali di beberapa negara menemukan beberapa persamaan dan perbedaan dalam hal tujuan program pemukiman kembali tersebut. Secara ringkas diberikan pada Tabel 10 berikut:
74
Tabel 10 Komparasi tujuan program pemukiman kembali pada tujuh negara No 1
Persamaan Demografi (penyebaran penduduk, distribusi penduduk)
Negara Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil
2
Sosial (pengentasan kemiskinan, pengangguran, reformasi agraria)
Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil, Australia
3
Ekonomi (pembangunan daerah, pengembangan areal pertanian)
Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil
4
Politik (interaksi social budaya, geopolitik, integrasi politik) Keunikan Mengisi pembangunan pusat – pusat industri, jarak dekat
Thailand, Malaysia, Vietnam, Indonesia, Tunisia, Brazil, Australia Program, Negara Self Defence Villages, Thailand
2
Sosial Ekonomi, bukan cuma – cuma (non charity )
FELDA, Malaysia
3
Lintas etnis, interaksi sosial budaya
Zone Ekonomi Baru, Vietnam
4
Pembangunan infrastruktur dan pemukiman, skala kecil
Namatjira, Australia
5
Ekonomi skala kecil
Lembah Majerda, Tunisia
6
Pertahanan keamanan, reformasi agraria
Incra Precidencia, Brazil
No 1
Sumber: Soegiharto dan Saidin (2005)
Selanjutnya dalam konteks model penyelenggaraannya, juga terdapat beberapa perbedaan dan persamaannya dengan program transmigrasi di Indonesia. Model penyelenggaraan tersebut mencakup seleksi lokasi, seleksi calon pemukim, serta pemilihan komoditas dan pembagian lahan. 2.8.1 Seleksi Lokasi Pada umumnya, pemilihan wilayah didasarkan pada tujuan untuk mengurangi kepadatan penduduk. Namun terdapat variasi dalam hal pembagian wilayah-wilayah padat penduduk sebagai target daerah asal, dengan cakupan mulai dari provinsi hingga kecamatan. Terdapat juga pembagian wilayah berdasarkan pembagian wilayah bagian selatan dan utara, dataran tinggi dan dataran rendah, serta lainnya. Di Vietnam, pemindahan penduduk dilaksanakan dari Utara ke Selatan, dari kota ke desa, dan dari dataran rendah ke dataran tinggi, serta dari provinsi padat penduduk ke provinsi jarang penduduk. Di Malaysia, sasaran untuk pemerataan pendapatan antarwilayah lebih penting daripada pemerataan distribusi penduduk. Wilayah yang dipilih untuk menerima pemukim terdapat di enam negeri bagian,
75
tiga di antaranya adalah pada negeri bagian dengan pendapatan rendah yang terdapat di pantai timur (Kelantan, Pahang, dan Trengganu). Demikian pula dengan wilayah yang berada di bagian utara Kedah, yang merupakan wilayah berpenduduk jarang dibandingkan dengan negeri bagian yang ada di bagian barat semenanjung. Di negara-negara Amerika Latin, pada umumnya pemindahan penduduk merupakan pemukiman kembali penduduk dari wilayah dataran tinggi ke dataran rendah tropis, kecuali Peru di mana area gurun dipilih sebagai wilayah untuk kolonisasi pertanian. 2.8.2 Seleksi Calon Pemukim Faktor-faktor umum yang menjadi perhatian dalam seleksi calon pemukim, adalah latar belakang pemukim, keterampilan, dan keuletan, yang diimplikasikan dalam kriteria pemilihan seperti umur, latar belakang keluarga, pengalaman di bidang pertanian, dan motivasi mengikuti program. Secara garis besar, kriteria seleksi ini dapat dikelompokkan menjadi dua. Pertama, kriteria seleksi yang diaplikasikan pada kelompok penduduk yang paling tidak beruntung, misalnya penduduk miskin. Kedua, kriteria seleksi yang ditujukan pada sumber daya manusia yang lebih berkualitas dan memiliki inisiatif. Kedua cara seleksi ini menunjukan orientasi dari program yang dilaksanakan, apakah dalam kerangka tujuan sosial atau tujuan ekonomi. Seleksi Untuk Tujuan Sosial Di beberapa negara, tujuan sosial mendominasi penyelengaraan program pemukiman kembali. Skema pemukiman kembali di negara-negara ASEAN pada umumnya memberi peluang kepada penduduk yang berusia lebih tua dibandingkan usia migran spontan. Dalam hal pendidikan, peserta program pemukiman kembali memiliki tingkat pendidikan yang sama dengan penduduk dari daerah asal dibandingkan dengan tingkat pendidikan kaum migran spontan. Peserta transmigrasi di Indonesia memiliki tingkat pendidikan yang paling rendah dibandingkan dengan mereka yang mengikuti program serupa di negara-negara ASEAN lainnya. Di Thailand dan Malaysia, yang tidak mengutamakan tujuan demografis, sebagian besar pemukiman kembali bersifat intraprovinsi. Dengan sistim ini, kesamaan latar belakang dapat mengurangi potensi konflik antara pemukim baru
76
dengan penduduk setempat. Sebaliknya, di masa lalu pemukiman intra-propinsi jarang ditemui di Indonesia dan Philipina, karena dari tujuan demografis merupakan tujuan utama program pemukiman kembali di ke dua negara tersebut. Seleksi untuk tujuan ekonomi Hanya sebagian kecil penyelenggaraan pemukiman kembali dengan kriteria seleksinya lebih menekankan tujuan efisiensi ekonomi daripada pertimbangan kemanusiaan dan sosial. Contoh penerapannya pada skema FELDA(Federal Land Development Authority) di Malaysia. Seleksi pemukim diarahkan untuk memberikan kesempatan kepada mereka yang memiliki inisiatif, tidak untuk charity bagi mereka yang malas. Dimulai tahun 1961, skema FELDA menerapkan sistem seleksi yang juga memasukan persyaratan sebagai berikut: warga negara, tidak memiliki lahan atau memiliki kurang dari 2 acres (0.8 Ha), umur (18-35 tahun), status kawin, latar belakang pertanian, dan dalam kondisi fisik sehat. Dalam skema FELDA, pemukim harus petani yang baik, dan land settlement harus dibedakan dari penataan daerah kumuh (slum clearence). Sesuai dengan permintaan pemerintah, pensiunan pegawai negeri dapat mengisi jatah 20 persen pada program pemukiman kembali. Untuk pensiunan pegawai negeri, tidak diberlakukan aturan harus memiliki keterampilan bertani. 2.8.3 Pembagian Lahan dan Pemilihan Komoditas Di Thailand, setiap keluarga kolonis mendapat lahan maksimal 50 rai (8 acre). Di Malaysia, lahan dengan luas 8 hingga 10 acre bagi setiap peneroka merupakan batas minimum untuk tanaman karet, dan 12 acre untuk tanaman kelapa sawit. Di Vietnam, kesuburan tanah menjadi faktor penentu dalam penentuan luas lahan yang dibagikan. Luasan normal adalah 0.5 Ha untuk wilayah dengan lahan yang sangat subur, dan 1 hingga 2 Ha untuk wilayah hutan marjinal. Dalam program transmigrasi di Indonesia setiap transmigran mendapatkan lahan yang luasnya disesuaikan dengan pola usahanya. Luas lahan yang diterima transmigran berkisar antara 0,75 Ha sampai 2,0 Ha. Dalam
prosedur pembebasan tanah, pada tahun 1942 Thailand
mengeluarkan keputusan tentang alokasi lahan (the land alocation act) guna meningkatkan distribusi tanah negara kepada petani tuna kisma. Sementara itu,
77
program pemukiman kembali secara simultan dilaksanakan diantaranya oleh Departemen Sosial (Department of Public Welfare) dalam Kementerian Dalam Negeri (Ministry of the Interior), Departemen Pertanahan (the Department of Lands), Departemen Koperasi (Department of Cooperatives), dan Agricultural Land Reform Office dari Kementerian Pertanian dan Koperasi (Ministry of Agriculture and Cooperatives). Di Malaysia, konflik kepentingan antara pemerintah pusat dengan pemerintah federal membuat permasalahan land colonization menjadi kompleks. Oleh karena itu, tahun 1959 dibentuk Kementerian Pembangunan Desa (Ministry of Rural Development) untuk melakukan terobosan dalam struktur federal dengan mengambil alih kewenangan Pusat. Tahun 1961-1967, sebagai bagian dari mandat, FELDA diberi kewenangan untuk secara langsung membangun tanahtanah negara yang secara tradisional merupakan properti para sultan. Di Indonesia, prosedur pembebasan lahan dilaksanakan di lingkungan institusi pemerintahan yang terkait. Lahan untuk tujuan program transmigrasi ini dimiliki oleh pemerintah, yaitu berupa tanah negara atau lahan bebas. Selanjutnya, banyak variasi ditemui dalam pemilihan komoditi tanaman. Di beberapa negara, tujuan ekonomi pemukiman kembali adalah untuk meningkatkan produksi pangan, sedangkan di negara lain, prioritas utamanya adalah untuk meningkatkan produk tanaman ekspor. Di Malaysia, para peneroka (pembuka daerah atau tanah baru) tidak mempunyai pilihan lain untuk komoditi utama. Pemerintah telah menetapkan tanaman karet sebagai komoditi unggulan pada awal penyelenggaraan skema FELDA. Sebagai upaya diversifikasi disediakan lahan seluas 0.8 Ha untuk tanaman buah-buahan, sebagai tambahan dari lahan yang dibagikan dengan luas standar 2,4 Ha untuk tanaman karet. Pada tahun 1961 tanaman kelapa sawit diperkenalkan, dan secara cepat dapat mengungguli area untuk karet. Di Thailand, setiap lokasi pemukiman kembali memiliki tanaman campuran seperti jagung, padi, kacang-kacangan, nenas, tebu, kelapa dan kapas. Di Vietnam, awalnya penekanan diberikan pada produksi padi dan ubi kayu. Ketika Zone Ekonomi Baru di Vietnam dibuka, penggunaan lahan telah mengalami diversifikasi dengan karet, kopi, teh, kelapa, lada, buah-buahan.
78
Kegiatan selanjutnya adalah mempersiapkan lokasi pemukiman. Di beberapa negara, pemukim melakukan sendiri seluruh kegiatan penyiapan lahan, sedangkan di negara lainnya kegiatan pembukaan lahan (land clearing) dan pembangunan lahan seluruhnya dilakukan oleh pemerintah. Perbedaan terjadi karena perbedaan ketersediaan dana untuk penyiapan lahan. Variasi juga terjadi dalam kegiatan penyiapan lahan tergantung dari skala dan tujuan program pemukiman kembali. Pada skema self-help di Thailand para kolonis menanggung bagian yang cukup besar dari biaya pembangunan fisik. Model seperti self-help vilages ini juga ditemui di Vietnam. Di Vietnam, para tentara peserta program bekerja membersihkan lahan. Pada tahap selanjutnya, sekelompok pemuda sukarelawan mempersiapkan lahan dan membangun tempat tinggalnya. Malaysia, melalui skema FELDA menerapkan capital intensive schemes. FELDA melaksanakan sendiri kegiatan pembukaan lahan, pembangunan rumah, dan penanaman tanaman. Skema FELDA mengeluarkan biaya yang cukup tinggi untuk lahan yang dikembangkan. Namun cara ini diyakini telah meningkatkan daya tarik skema FELDA, serta mampu menahan para pemukim untuk tinggal menetap disana. Selain itu, FELDA juga menyediakan sarana infrastruktur. Di Indonesia, terdapat dua tipe skema pemukiman yaitu yang sepenuhnya disubsidi oleh Pemerintah (Transmigrasi Umum) dan yang dibiayai oleh Pemerintah, swasta, dan petani. Skema yang mirip dengan FELDA adalah program transmigrasi pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR-Trans). Pola ini mendapat bantuan pemerintah dalam hal membuka lahan, menyiapkan bibit non tanaman perkebunan, menanam dan memelihara tanaman sampai jangka waktu tertentu. Selanjutnya transmigran (sebagai petani plasma) didatangkan untuk menetap, mengelola kebun dan memanen hasil kebunnya serta membayar kredit, sedangkan pembinaan teknis perkebunan dan pemasaran hasil oleh swasta sebagai perusahaan inti. Berbeda dengan negara-negara lain, pemerintah Indonesia membersihkan sebagian atau seluruh lahan yang akan diberikan kepada transmigran. Bentuk penyiapan lokasi bervariasi tergantung dari kondisi lokasi dan jenis transmigrasi. Transmigrasi Umum menerima bantuan paling banyak dari pemerintah. Meskipun
79
termasuk fleksibel dalam hal luasan lahan yang dibagikan dan dalam pengunaan lahan, proporsi penggunaan lahan untuk pertanian subsisten pada transmigrasi masih lebih tinggi dibandingkan di negara-negara ASEAN lainnya. 2.9 Teori-Teori yang Mendasari Pembangunan Transmigrasi Dalam berbagai bidang pembangunan, agar suatu tujuan dapat tercapai secara efisien diperlukan alokasi sumberdaya secara optimal. Sumberdaya tersebut dapat berupa sumberdaya modal fisik, sumberdaya modal manusia dan sumberdaya alam. Dalam konteks ini, migrasi adalah suatu bentuk realokasi sumberdaya modal manusia (Ananta 1986). Model yang sering digunakan untuk menganalisis mobilitas penduduk di suatu wilayah adalah model dorong-tarik (push-pull factors), yang dikembangkan oleh Everett S. Lee. Model dorong-tarik ini menyatakan penyebab utama seseorang pindah ke daerah lain adalah karena kondisi sosial ekonomi di daerah asal yang tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya (needs). Karenanya, prasyarat utama yang akan mendorong seseorang untuk pindah adalah adanya perbedaan nilai kefaedahan wilayah (place utility) antara daerah asal dengan daerah tujuan. Daerah tujuan harus mempunyai nilai kefaedahan wilayah yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah asal. Dengan kata lain, jika dikaitkan dengan pembangunan, berdasarkan kerangka model ini dapat dikemukakan bahwa ketimpangan pembangunan antar daerah merupakan faktor yang menjadi pemicu mobilitas penduduk (Junaidi & Hardiani 2009). Terdapat empat kelompok faktor yang mempengaruhi orang mengambil keputusan untuk bermigrasi dan proses migrasi, yaitu
(Lee 1992): yaitu (1)
Faktor-faktor yang terdapat di daerah asal; (2) Faktor – faktor yang terdapat di daerah tujuan; (3) Penghalang antara; dan (4) Faktor – faktor pribadi. Tiga kelompok faktor yang pertama secara skematis dapat dilihat pada gambar 5. Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi orang untuk menetap di suatu daerah atau menarik orang untuk pindah ke daerah tersebut. Selain itu, terdapat juga faktor-faktor yang memaksa seseorang untuk meninggalkan daerah tersebut. Keseluruhan faktor-faktor ini ditunjukkan dalam Gambar 5 dengan tanda (+) dan (-). Faktor-faktor lain yang ditunjukkan dengan tanda (0) ialah faktor-faktor netral
80
yang tidak mempengaruhi keputusan seseorang untuk menetap atau pindah dari daerah tersebut. 0+-+ 0
0+-+ 0
+-+0-
+-+0-
0+-0+ ++0-Daerah Asal
0+-0+ Penghalang Antara
++0-Daerah Tujuan
Gambar 5 Faktor daerah asal dan daerah tujuan serta penghalang antara dalam migrasi. Sumber: Lee (1992).
Beberapa faktor mempunyai pengaruh yang sama terhadap beberapa orang, tetapi terdapat juga faktor yang berpengaruh berbeda terhadap seseorang. Oleh karenanya akan terdapat perbedaan sikap antara setiap migran dan calon migran terhadap faktor + dan -, yang terdapat baik di daerah asal maupun daerah tujuan. Sebagai contoh, bagi orang tua yang mempunyai banyak anak kecil, akan memberikan nilai + pada daerah dengan fasilitas pendidikan dan kesehatan yang bagus meskipun biaya hidup relatif mahal di daerah tersebut (misalnya karena harga/sewa rumah relatif mahal). Sementara bagi orang yang hidup sendiri mungkin tidak terpengaruh untuk tinggal di daerah tersebut, karena tidak ada anak yang harus disekolahkan. Keputusan bermigrasi dalam konteks ini merupakan hasil perbandingan faktor-faktor yang terdapat di daerah asal dan di daerah tujuan. Selain itu, diantara dua tempat tersebut selalu terdapat sejumlah rintangan yang dalam keadaankeadaan tertentu tidak terlalu berat, tetapi dalam keadaan-keadaan lain tidak dapat diatasi. Yang paling utama diantara rintangan-rintangan tersebut adalah jarak. Sejumlah rintangan yang sama dapat menimbulkan pengaruh yang berbeda-beda pada masing-masing individu, yang akan mempengaruhi keputusan migrasinya. Selain itu, masih banyak faktor pribadi yang berpengaruh terhadap seseorang yang akan pindah, faktor-faktor itu dapat mempermudah atau memperlambat migrasi.
81
Dari berbagai faktor tersebut, Todaro dan Smith (2008) mengemukakan bahwa motivasi utama seseorang untuk pindah adalah motif ekonomi, yakni karena adanya ketimpangan ekonomi antara berbagai daerah. Motif utama tersebut sebagai pertimbangan ekonomi yang rasional, dimana mobilitas mempunyai dua harapan, yaitu harapan untuk memperoleh pekerjaan dan harapan untuk memperoleh pendapatan yang lebih tinggi dari pada yang diperoleh di daerah asal. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa migrasi pada dasarnya adalah suatu mekanisme penyeimbang yang akan memindah manusia dari suatu tempat yang relatif kurang dimanfaatkan ke daerah yang relatif lebih dapat dimanfaatkan. Mekanisme pasar akan mengatur perpindahan atau alokasi sumberdaya modal manusia sehingga ketidakseimbangan antara permintaan dan penawaran dapat dikurangi. Meskipun demikian menurut Ananta (1986) mekanisme pasar memiliki kelemahan utama yaitu hanya tergantung pada visi individu, tanpa melihat visi dalam lingkup yang lebih luas yang akan menguntungkan masyarakat banyak (termasuk dirinya sendiri). Para migran tidak akan berpikir apakah kepindahannya ke suatu daerah akan membantu mengurangi kemiskinan di daerahnya atau bahwa berpindahnya akan mendorong pembangunan ekonomi di daerah yang dituju. Hal ini menjadi faktor penjelas fenomena terjadi migrasi dari desa ke kota atau daerah jarang penduduk ke daerah padat penduduk, meskipun di kota atau daerah padat penduduk belum tentu terdapat banyak peluang pekerjaan. Dalam konteks kegagalan mekanisme pasar, maka perlu campur tangan pemerintah untuk membuat migrasi berjalan di arah yang benar. Salah satu bentuk campur tangan tersebut adalah pelaksanaan program transmigasi. Campur tangan pemerintah dalam hal ini adalah memperbaiki tanda yang diberikan oleh mekanisme pasar dengan membangun daerah tujuan transmigrasi dengan berbagai fasilitas serta dukungan finansial dan non-finansial kepada transmigran sehingga calon migran tertarik untuk pindah ke daerah tujuan transmigrasi. Selanjutnya terkait dengan konsep pembangunan daerah tujuan transmigrasi (kawasan transmigrasi), secara umum, terdapat enam teori utama yang mendasarinya yaitu teori tempat sentral (central place theory), teori kutub pertumbuhan (growth pole theory), teori aglomerasi, teori kutub pembangunan
82
terlokalisasikan (localized poles of development), teori ekonomi geografi baru dan teori simpul-simpul jasa distribusi. Teori tempat sentral diturunkan dari karya Christaller pada Tahun 1933 (Rustiadi et al. 2009). Menurut teori tempat sentral, distribusi penduduk secara spasial tersusun dalam sistem pusat hierarki dan kaitan-kaitan fungsional ini. Teori tempat sentral menganggap bahwa ada hierarki tempat. Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumber daya (industri dan bahan baku). Tempat sentral merupakan pemukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya. Komponen dasar dari sistem tempat sentral adalah hierarki, penduduk ambang dan lingkup pasar. Penduduk ambang adalah jumlah minimum penduduk yang harus ada untuk dapat menopang kegiatan jasa. Lingkup pasar dari suatu kegiatan jasa adalah kesediaan orang untuk menempuh jarak tertentu untuk mencapai tempat penjualan jasa tersebut. Tingkat tempat sentral tergantung pada jasa yang tersedia di lokasi tersebut sehingga membentuk tingkat rendah sampai tingkat tinggi. Selanjutnya teori kutub pertumbuhan pertama kali diperkenalkan oleh Fancois Perroux pada Tahun 1949 (Mercado 2002). Kutub pertumbuhan didefinisikan sebagai “pusat dari pancaran gaya sentrifugal dan tarikan gaya sentripetal”. Salah satu unsur fundamental dalam pengembangan wilayah adalah keberadaan pusat. Dalam konteks ini, konsep titik pertumbuhan (growth point concept) merupakan mata rantai antara struktur daerah-daerah nodal yang berkembang dengan sendirinya dan perencanaan fisik dan regional. Selanjutnya menurut Haruo (2000), dalam rangka mendorong pertumbuhan di negara-negara berkembang, maka disarankan strategi pengembangan wilayah dalam bentuk pengkonsentrasian investasi pada sejumlah kutub pertumbuhan yang terbatas. Terkait dengan titik pertumbuhan ini, Friedman dan Alonso (1964) diacu dalam Stimson et al. (2002) melahirkan konsep yang dikenal dengan sebutan interaksi antara inti dan tepi (core and periphery interaction). Pembangunan berawal dari sejumlah relatif sedikit pusat-pusat perubahan (centre of change) yang terletak di titik-titik interaksi yang berpotensi tinggi dalam batas atau bidang
83
jangkauan komunikasi. Daerah-daerah inti (core regions) tersebut merupakan pusat-pusat utama dari pembaharuan. Sementara wilayah-wilayah teritorial lainnya merupakan daerah-daerah tepi/pinggiran (periphery regions) yang berada jauh dari pusat perubahan, yang tergantung kepada daerah-daerah inti. Dengan demikian konsep titik pertumbuhan itu merupakan mata rantai penghubung antara struktur wilayah-wilayah nodal yang berkembang dengan sendirinya dengan perencanaan fisik dan wilayah. Akan tetapi, kutub pertumbuhan tidak hanya merupakan lokalisasi dari industri-industri inti. Kutub pertumbuhan harus juga mendorong ekspansi yang besar di daerah sekitar, dan karenanya efek polarisasi strategi adalah lebih menentukan dari pada perkaitanperkaitan antarindustri. Pendapatan di daerah pertumbuhan secara keseluruhan akan mencapai maksimum apabila pembangunan dikonsentrasikan pada titik-titik pertumbuhan dibandingkan jika terpencar di seluruh daerah. Dengan demikian, interaksi antara masing-masing titik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya adalah unsur yang panting dalam teori ini. Interaksi ini mempunyai beberapa aspek sebagai berikut: Pertama, interaksi ini akan menimbulkan ketidak seimbangan struktural di daerah yang bersangkutan. Jika suatu titik pertumbuhan digandengkan dengan pembangunan suatu kompleks industri baru, maka kompleks tersebut akan ditempatkan di sekitar titik pertumbuhan. Memang harus diakui industri-industri penyuplai di daerah pengaruh tentu akan ikut terdorong berkembang, tetapi perbedaan yang besar dalam kemakmuran antara titik pertumbuhan dan daerah yang mengitarinya akan tetap terdapat. Selanjutnya di luar perbatasan daerah pengaruh, tingkat pendapatan dapat mengalami stagnasi dan daerah mengalami kemunduran. Kedua, industri-industri penggerak (propulsive industries) di kutub pertumbuhan adalah industri-industri ekspor yang melayani pasar-pasar ekstra regional. Teori titik pertumbuhan secara implisit bersumber pada konsep basis ekspor tetapi dengan memberinya dimensi ruang, karena industri-industri inti (key industries) berlokasi pada titik pertumbuhan sedangkan industri-industri suplai, tenaga kerja, bahan-bahan mentah dan pelayanan-pelayanan dapat terpencarpencar di seluruh daerah pengaruh. Pendapatan yang terima di daerah pengaruh
84
bersal dari penerimaan faktor terutama upah yang diperoleh para pekerja yang tinggal di daerah pengaruh tetapi bekerja di titik pertumbuhan. Salah satu perbedaan antara titik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya adalah bahwa titik pertumbuhan dapat dianggap sebagai pasar tenaga kerja sentral dan daerah pengaruhnya sebagai daerah sumber tenaga kerja. Ketiga, fungsi tempat sentral dari titik pertumbuhan dapat memperjelas hubungan antartitik pertumbuhan dan daerah pengaruhnya. Tersedianya pelayanan sentral adalah salah satu keuntungan aglomerasi yang penting pada titik pertumbuhan. Tetapi, secara konsepsional, titik pertumbuhan dan tempat sentral tidaklah identik. Tempat-tempat sentral banyak sekali dan tersusun dalam suatu hierarki, sedangkan titik pertumbuhan hanya sedikit dan dalam beberapa hal hanya satu di suatu daerah. Konsep kutub pertumbuhan pada dasarnya mempunyai pengertian tata ruang secara abstrak. Suatu kutub berarti suatu pengelompokan atau konsentrasi unsurunsur dan Perroux menganggap tata ruang secara abstrak yang menekankan karakteristik regional tata ruang ekonomi. Terkait dengan hal tersebut, Boudeville (1961) diacu dalam Adisasmita (2008) mengemukakan teori kutub pembangunan yang terlokalisasikan (localized poles of development). Menurut Boudeville tata ruang ekonomi tidak dapat dipisahkan dari tata ruang geografis. Teori Boudeville berusaha menjelaskan mengenai impak pembangunan dari adanya kutub-kutub pembangunan yang terlokalisasikan pada tata ruang geografis. Ia mendefinisikan kutub pertumbuhan wilayah sebagai seperangkat industri-industri sedang berkembang yang berlokasi di suatu daerah perkotaan dan mendorong pertumbuhan lebih lanjut perkembangan ekonomi melalui wilayah pengaruhnya. Teori Boudeville ini juga dianggap mampu menjembatani teori-teori tempat sentral dan teori kutub pertumbuhan. Teori tempat sentral hanya menjelaskan adanya pola pusat-pusat tertentu pada tata ruang geografis dan tidak membahas adanya perubahan pola-pola tersebut. Teori kutub pertumbuhan lebih menjelaskan pembangunan industri dan perubahan-perubahan pada tata ruang industri. Dengan kata
lain lebih melihaat perubahan-perubahan struktural tetapi kurang
menjelaskan pengelompokan pada tata ruang geografis. Dalam konteks ini, teori
85
Boudeville menjelaskan tidak hanya mengenai pengelompokan geografis semata tetapi juga peristiwa-peristiwa geografis dan transmisi pembangunan diantara pengelompokan-pengelompokan tersebut. Hal ini berkaitan dengan hirarkie wilayah yang selanjutnya dapat digunakan sebagai landasan untuk memahami pusat-pusat kota dan saling ketergantungannya. Pengkonsentrasian investasi pada sejumlah titik pertumbuhan yang terbatas, pada dasarnya mengacu pada konsep aglomerasi. Konsep aglomerasi industri pertama kali dibahas secara eksplisit oleh Alfred Weber pada tahun 1909 dalam analisis teori lokasi industri. Weber berusaha menetapkan lokasi industri yang optimal dalam arti pemilihan lokasi yang mempunyai biaya minimal. Lokasi dengan biaya minimal tersebut mungkin berorientasi pada tersedianya tenaga kerja atau transportasi ataupun ditentukan oleh keuntungan-keuntungan yang ditimbulkan oleh aglomerasi. Kekuatan aglomerasi terdiri atas minimum besarnya pabrik yang efisien dan keuntungan-keuntungan eksternal (Adisasmita 2008). Malmberg dan Maskell (1997) mengemukakan aglomerasi berkaitan dengan konsentrasi spasial dari penduduk dan kegiatan-kegiatan ekonomi. Ini sejalan dengan yang dikemukakan oleh Montgomery (1988) bahwa aglomerasi adalah konsentrasi spasial dari aktivitas ekonomi di kawasan perkotaan karena penghematan akibat lokasi yang berdekatan (economies of proximity) yang diasosiasikan dengan kluster spasial dari perusahaan, para pekerja dan konsumen. Keuntungan-keuntungan konsentrasi spasial sebagai akibat dari ekonomi skala disebut dengan ekonomi aglomerasi (agglomeration economies) (Mills & Hamilton 1989). Ekonomi aglomerasi juga berkaitan dengan eksternalitas kedekatan geografis dari kegiatan-kegiatan ekonomi, dan ekonomi aglomerasi merupakan suatu bentuk dari eksternalitas positif dalam produksi yang merupakan salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya pertumbuhan kota (Bradley & Gans 1998). Ekonomi aglomerasi diartikan sebagai penurunan biaya produksi karena kegiatan-kegiatan ekonomi berlokasi pada tempat yang sama. Alfred Marshall menggunakan istilah localized industry sebagai pengganti istilah ekonomi aglomerasi. Hoover juga membuat klasifikasi ekonomi aglomerasi menjadi 3 jenis yaitu large scale economies merupakan keuntungan yang diperoleh perusahaan karena membesarnya skala produksi perusahaan tersebut
86
pada suatu lokasi, localization economies merupakan keuntungan yang diperoleh bagi semua perusahaan dalam industri yang sama dalam suatu lokasi dan urbanization economies merupakan keuntungan bagi semua industri pada suatu lokasi yang sama sebagai konsekuensi membesarnya skala ekonomi dari lokasi tersebut. Berbeda dengan pendapat para ahli ekonomi yang lain, O’Sullivan (2009) membagi ekonomi aglomerasi menjadi dua jenis yaitu ekonomi lokalisasi dan ekonomi urbanisasi. Dalam hal ini ekonomi aglomerasi adalah eksternalitas positif dalam produksi yaitu menurunnya biaya produksi sebagian besar perusahaan sebagai akibat dari produksi perusahaan lain meningkat. Dalam konteks teori ekonomi geografi baru, dapat dikemukakan bahwa dalam jangka waktu yang lama, para ekonom telah mengabaikan konsep semacam jarak, ruang dan biaya transportasi dalam analisis-analisisnya terhadap ketidakmerataan pembangunan secara regional. Pada Tahun 1950an dan 1960an, Myrdal, Hirschman, Kaldor dan lainnya menjelaskan mengenai pembangunan spasial yang tidak merata melalui konsep cumulative causation (O‘Hara 2002; Mac.Kinnon 2008). Ekonomi geografi Marxist pada 1980-an mengemukakan ketidakmerataan pembangunan regional sebagai proses historis. Massey (1984) mengemukakan pembagian tenaga kerja secara spasial
terutama disebabkan
adanya transformasi dan perebutan dalam politik, lebih dari sekedar faktor perekonomian. Ketidakmerataan pembangunan secara regional ini menurut model ekonomi geografi baru memiliki elemen-elemen berikut. Pertama, penekanan penyebab konsentrasi yang tidak berhubungan dengan sumber daya alam bawaan (natural endowment).
Kedua, penekanan interaksi antara pasar yang berbeda, antara
perusahaan, supplier dan konsumennya, dan peranan ganda dari pekerja sebagai faktor produksi dan konsumen. Ketiga, kekuatan sentripetal yang mendorong konsentrasi geografis lebih lemah dibandingkan kekuatan sentrifugal. Keempat, pentingnya fondasi mikro. Khususnya, ekternalitas positif tidak diasumsikan, tetapi diturunkan dari saling mempengaruhi antara biaya transportasi, peningkatan skala pengembalian dan mobilitas faktor. Dalam teori ekonomi geografi baru, terdapat dua kekuatan utama penyebab aktivitas ekonomi terkonsentrasi secara geografis, yaitu kekuatan sentripetal dan
87
sentrifugal (Krugman 1998). Menurut Belke dan Heine (2004) kekuatan ini memiliki dampak signifikan terhadap keputusan faktor produksi yang begerak (mobil) untuk beraglomerasi atau deglomerasi secara geografi. Kekuatan sentripetal atau sentrifugal ini ditentukan oleh derajat integrasi, atau lebih tepatnya oleh besarnya biaya transportasi. Sumber kekuatan sentripetal adalah efek ukuran pasar (keterkaitan atau linkages), pasar kerja yang besar dan ekonomi eksternal murni (pure external economies). Pasar lokal yang besar menciptakan backward linkages (pasar yang besar adalah tempat yang lebih disukai untuk produksi barang karena skala ekonomi) dan forward linkages (pasar yang besar mendukung produksi lokal untuk barang-barang antara (intermediate goods), menurunkan biaya untuk industri hilir. Konsentrasi industri didukung oleh pasar kerja yang besar, terutama untuk keahlian khusus, sehingga tenaga kerja lebih mudah menemukan pekerjaan dan sebaliknya. Konsentrasi aktivitas ekonomi ini akan menciptakan lebih banyak (atau lebih sedikit) ekonomi eksternal murni melalui ketersediaan informasi. Selanjutnya, sumber kekuatan sentrifugal adalah faktor-faktor yang tidak bergerak (immobile factors), harga/sewa lahan (land rents) dan ekonomi dis-eksternal murni (pure external diseconomies). Faktor-faktor yang tidak bergerak (tanah dan sumber daya alam, dan dalam konteks internasional adalah penduduk) menghalangi konsentrasi produksi, baik dari sisi penawaran (beberapa produksi harus berlokasi di tempat pekerjanya) dan dari sisi permintaan (faktor yang terpisah-pisah menciptakan suatu pasar yang terpisah-pisah, dan beberapa produksi memiliki insentif untuk berlokasi dekat konsumen). Konsentrasi aktivitas ekonomi menciptakan peningkatan permintaan lahan, meningkatkan harga lahan dan dengan demikian menyebabkan suatu disinsentif untuk konsentrasi ke depan. Konsentrasi aktivitas ekonomi dapat menyebabkan lebih banyak (atau lebih sedikit) ekonomi dis-eksternal murni seperti kemacetan (congestion). Selanjutnya, dalam konteks perekonomian dan perdagangan internasional, teori ekonomi geografi baru mengemukakan bahwa perbedaan antara negara industri dan non-industri, dapat dijelaskan sebagai hasil dari proses penurunan biaya perdagangan. Suatu konsep dasar diperkenalkan oleh Krugman dan
88
Venables (1995). Keduanya berasumsi bahwa semua faktor adalah bersifat tidak dapat bergerak antarnegara. Proses akumulasi terjadi melalui perbedaan antara pengembalian hasil tetap (constant-return) sektor pertanian dengan pengembalian hasil yang meningkat (increasing-return) sektor industri, baik yang menggunakan maupun menghasilkan input antara. Ide dasarnya adalah produsen barang-barang antara dalam suatu daerah dengan sektor industri yang besar akan memiliki akses yang besar ke pasar yang besar yang diberikan oleh industri hilir (backward linkage), sementara produsen ini (industri hilir) sebaliknya akan memiliki keuntungan akses yang lebih baik ke barang-barang antara yang dihasilkan di negara mereka sendiri (forward linkage). Dalam contoh kasus, misalnya di dunia hanya ada dua negara yang identik dalam hal biaya transportasi barang-barang industri antarnegara tersebut. Jika biaya transportasi tinggi, masing-masing negara akan mencukupi dirinya sendiri. Tetapi jika terjadi penurunan biaya transportasi, akan meningkatkan kemungkinan perusahaan untuk mengekspor ke negara lain. Karenanya, negara yang memiliki sektor manufaktur yang lebih besar, akan mendapatkan keuntungan akses lebih baik, baik ke pasar maupun supplier. Jadi ketika biaya transpor turun, akan terjadi proses diferensiasi antara negara, dengan negara yang memiliki konsentrasi industi akan menjadi inti (core), sedangkan negara dengan produksi primer akan terdegradasi menjadi pinggiran (periphery). Model yang sama memprediksi penurunan yang berlanjut dalam biaya transpor akan menghasilkan pembalikan nasib. Alasannya, daerah periphery memiliki keuntungan kompetitif dalam bentuk upah murah. Keuntungan ini lebih diimbangi oleh akses yang kuat dari negara maju terhadap pasar (backward linkage) dan input (forward linkages). Namun, penurunan biaya transportasi menyebabkan penurunan juga dari pentingnya keterkaitan ini. Jadi, terdapat titik kritis kedua di mana industri menemukan keuntungan untuk bergerak ke lokasi upah yang lebih murah. Untuk menjelaskan ketidakseimbangan regional pada negara-negara berkembang, model ini juga dapat digunakan. Dalam mengkonversi analisis coreperiphery dalam perbedaan regional, maka pekerja diasumsikan sebagai faktor yang bisa berpindah-pindah seperti kapital dan tenaga kerja trampil, dan
89
mengasumsikan bahwa pekerja tidak terampil adalah relatif faktor yang tidak bergerak. Dengan skala ekonomi yang besar dan biaya transpor yang tinggi, akan menghasilkan keseimbangan core-periphery yang dapat memiliki perbedaan yang besar dari upah faktor-faktor yang tidak bergerak. Melalui perspektif geografi ekonomi, Bank Dunia dalam laporan pembangunan dunia Tahun 2009 (WB 2009) menyoroti ketimpangan melalui tiga dimensi yang dikenal dengan istilah 3D, yaitu konsentrasi kegiatan ekonomi (density), aspek jarak (distance) dan pembagian/pemisahan geografis sebagai faktor penghalang terjadinya integrasi ekonomi (division). Kepadatan atau densitas menunjuk pada massa atau agregat ekonomi per unit lahan, atau kepadatan geografis ekonomi. Kepadatan adalah tingkat output yang diproduksi (dan karenanya pendapatan yang diperoleh) per unit lahan. Nilainya tertinggi di kota-kota besar di mana aktivitas ekonomi terkonsentrasi dan lebih rendah di lingkungan-lingkungan pedalaman. Mengingat kepadatan ekonomi yang tinggi membutuhkan konsentrasi tenaga kerja dan modal secara geografis, kepadatan ekonomi terkait erat dengan pekerjaan dan kepadatan penduduk. Oleh karenanya, kepadatan populasi kadang kala digunakan sebagai nilai pengganti dari kepadatan ekonomi ini. Jarak mengukur seberapa mudah modal mengalir, tenaga kerja berpindah, barang diangkut, dan layanan disediakan antara dua lokasi.
Jarak dalam
pengertian ini merupakan sebuah konsep ekonomi, bukan semata-mata fisik. Terkait dengan jarak ekonomi, maka jarak mengukur seberapa mudahnya menjangkau pasar. Ini menentukan akses terhadap kesempatan. Daerah yang jauh dari pusat-pusat yang ekonominya padat di suatu negara biasanya lebih tertinggal. Untuk perdagangan barang dan jasa, jarak mencakup waktu dan biaya moneter. Penempatan dan kualitas infrastruktur transportasi dapat mempengaruhi jarak ekonomi antara dua area, meskipun jarak euclidean (garis-lurus) antara area tersebut adalah sama. Selanjutnya untuk mobilitas tenaga kerja, jarak juga mencakup “biaya fisik” karena keterpisahan dari wilayah yang sudah dikenalnya. Seperti pada perdagangan, jarak ekonomi untuk migrasi terkait, tetapi tidak sama artinya, dengan jarak fisik. Hambatan-hambatan yang dibuat manusia, termasuk
90
kebijakan, juga dapat meningkatkan jarak, seperti pungutan liar dan “uang keamanan”. Wilayah yang maju memiliki kepadatan ekonomi tinggi, sementara daerah yang tertinggal mempunyai jarak yang jauh ke kepadatan. Suatu area punya kemungkinan lebih besar untuk menjadi daerah tertinggal jika ia semakin jauh dari wilayah maju, karena
jarak yang semakin jauh dari kepadatan
mengimplikasikan kurangnya integrasi ke dalam ekonomi wilayah maju. Selanjutnya pembagian/pemisahan (division) antarnegara-bangsa membuat proses geografi ekonomi terpecah-pecah menjadi skala nasional dan regional. Laporan Bank Dunia tersebut menunjukkan bagaimana pembagian semacam ini mempengaruhi pembangunan ekonomi, bagaimana geografi dan sejarah budaya menyumbang pada pembagian ini dan bagaimana negara membangun penghalang bagi terjadinya interaksi yang produktif dengan negara-negara tetangga dan warga dunia lainnya. Sementara kepadatan dan jarak berkaitan erat dengan geografi manusia dan geografi fisik, pembagian lebih mengacu pada geografi sosiopolitik. Perbedaan antara jarak dan pembagian ini adalah bahwa jarak mengatur akses pada peluang ekonomi dan suatu cara yang lebih kontinu – suatu jarak pasti akan berkurang seiring dengan waktu. Ini dapat dilihat sebagai jarak ekonomi atau waktu tempuh yang makin meningkat untuk satu satuan jarak fisik (atau jarak Euclidian). Sebaliknya, pembagian menghadirkan hambatan-hambatan yang berlainan terhadap akses dan integrasi ekonomi. Seperti teori tempat sentral (Christaller), kutub pertumbuhan (Perroux), teori daerah inti (Friedmann dan Alonso), kutub pembangunan (Boudeville), aglomerasi (Weber), dan ekonomi geografi baru, Hadjisarosa (1982) menekankan pula pentingnya peranan pusat-pusat pengembangan. Pusat-pusat pengembangan ini selanjutnya diidentifikasikan sebagai "simpul-simpul jasa distribusi". Menurut Hadjisarosa, pengembangan wilayah dimungkinkan oleh adanya pertumbuhan modal, yang bertumpu pada pengembangan sumber daya manusia dan sumber daya alamnya. Pengembangan kedua jenis sumber daya tersebut berlangsung sedemikian sehingga menimbulkan arus barang. Bahan mentah diangkut dari daerah penghasil ke lokasi pabrik dan barang hasilnya diangkut dari produsen ke konsumen.
91
Arus barang dianggap sebagai salah satu gejala ekonomi yang paling menonjol. Arus barang merupakan wujud fisik perdagangan antardaerah, antarpulau, ataupun antarnegara. Arus barang didukung langsung oleh jasa perdagangan dan jasa pengangkutan serta distribusi. Dengan demikian jasa distribusi merupakan kegiatan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan pembangunan secara fisik, terutama jika ditinjau pengaruhnya dalam penentuan lokasi tempat berkelompoknya berbagai kegiatan usaha dan kemudahankemudahan, demikian pula fungsinya dalam proses berkembangnya wilayah. Di simpul-simpul terdapat berbagai kemudahan, yang diartikan sebagai kesempatan untuk memenuhi berbagai kebutuhan manusia. Semakin tinggi tingkat kemudahan pada suatu tempat, semakin kuat daya tariknya mengundang manusia dan kegiatan ekonomi untuk datang ke tempat tersebut. Di antara kemudahankemudahan tersebut jasa distribusi merupakan unsur yang sangat penting. Pusat kegiatan usaha distribusi ini selanjutnya oleh Hadjisarosa disebut "simpul jasa distribusi". Ada dua faktor penting yang harus diperhatikan dalam pemahaman peranan simpul-simpul, yaitu mengenai fungsi-fungsi simpul dan hierarki simpul dalam sistem spasial. Fungsi primer suatu simpul adalah sebagai pusat pelayanan jasa distribusi bagi wilayah pengembangannya, sedangkan fungsi sekundernya adalah kehidupan masyarakat di simpul yang bersangkutan (bersifat ke dalam). Perbedaan fungsi simpul tersebut mencerminkan pula perbedaan dalam jenis dan kapasitas fasilitas yang tersedia di masing-masing simpul. Hierarki dari tiap simpul ditentukan oleh kedudukannya dalam hubungan fungsional antar simpul yang dicerminkan berdasarkan mekanisme arus distribusi barang. Pada simpul-simpul yang lebih tinggi ordenya tersedia fasilitas jasa distribusi yang lebih lengkap bila dibandingkan dengan simpul-simpul yang lebih rendah ordenya. Antara simpul-simpul tersebut, baik antarsimpul yang mempunyai tingkatan orde distribusi yang sarna ataupun yang berbeda terdapat keterhubungan
dan
ketergantungan.
Keterhubungan
dan
ketergantungan
antarsimpul dapat diketahui dari data arus barang dari tempat asal ke tempat tujuan.
92
Menurut Adisasmita (2008) terdapat perbedaan yang mendasar antara teori simpul-simpul jasa distribusi dengan teori aglomerasi (Weber), teori tempat sentral (Cristaller dan Losch), kutub pertumbuhan (Perroux). Perbedaan tersebut mencakup sebaran dari unit produksi dan unit pasar. Dalam konsep simpul jasa distribusi, bahan-bahan mentah tersebar tempatnya dan setelah mengalami proses pemurnian, pengolahan, perakitan ataupun pembungkusan, barang-barang hasil produksi tersebut dipasarkan kepada para konsumen akhir yang tempatnya tersebar juga. Terkait dengan konsep dan strategi pembangunan transmigrasi pada dasarnya mengacu pada konsep pembangunan dengan pendekatan peubah kewilayahan. Konsep ini mengacu pada struktur wilayah pengembangan berdasarkan satuan wilayah ekonomi yang berasaskan distribusi simpul barang dan jasa. Hadjisarosa (1988) mengemukakan bahwa konsep pembangunan transmigrasi dalam bentuk outputnya dengan hierarki-hierarki mulai dari hierarki terkecil yaitu Satuan Permukiman (SP) sampai sampai hirarkie terbesar yaitu Wilayah Pengembangan Parsial (WPP) hanya dapat dideteksi melalui aplikasi teori Simpul Jasa Distribusi. Dalam konsep pembangunan transmigrasi, unit produksi berasal dari berbagai Satuan Permukiman (SP) yang
kemudian berkumpul pada Satuan
Kawasan Permukiman (SKP) ataupun Wilayah Pengembangan Parsial (WPP) yang berperan sebagai simpul jasa distribusi perdagangan ke luar kawasan. Sebaliknya SKP ataupun WPP juga berperan sebagai simpul jasa distribusi perdagangan aliran barang dari luar kawasan untuk kemudian didistribusikan ke hierarki-hierarki di bawahnya. Selanjutnya,
dalam
konteks
transmigrasi
sebagai
suatu
bentuk
pengembangan wilayah, pada dasarnya terdapat dua strategi yang dapat digunakan yaitu supply side strategy dan demand side strategy (Rustiadi et al. 2009). Strategi supply side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang terutama diupayakan melalui investasi modal untuk kegiatan-kegiatan produksi yang berorientasi ke luar. Kegiatan produksi terutama ditujukan untuk ekspor yang akan meningkatan pendapatan lokal. Selanjutnya, hal ini akan menarik kegiatan lain untuk datang ke wilayah tersebut.
93
Strategi demand side adalah suatu strategi pengembangan wilayah yang diupayakan melalui peningkatan barang-barang dan jasa setempat melalui kegiatan produksi lokal. Tujuan pengembangan wilayah secara umum adalah meningkatkan taraf hidup penduduknya. Tarigan dan Ariningsih (2007) juga mengemukakan bahwa pengembangan subsistem pengolahan (dalam hal ini agroindustri) yang merupakan kelanjutan dari subsistem produksi juga dapat berperan sebagai bagian dari strategi sisi permintaan ini. Bentuk lain dari demand side strategy ini dikembangkan oleh pemerintah Philipina dalam rangka mengatasi kelaparan dan meningkatkan keamanan pangan. Melalui Accelerated Hunger Mitigation Program (AHMP) pemerintah Philipina menggunakan tiga komponen kebijakan yaitu: 1) memberikan bantuan kepada penduduk miskin (pelatihan, kredit mikro, distribusi lahan); 2) meningkatkan gizi melalui pemahaman penduduk tentang jenis-jenis makanan sehat dan 3) pengaturan populasi (Edillon 2008). Lebih lanjut Anwar (2005) mengemukakan bahwa ketidakseimbangan pembangunan inter-regional disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional menjadi suboptimal, dan juga pada gilirannya sering menurunkan sampai meniadakan sumber-sumber pertumbuhan pembangunan agregat (makro). Oleh karena itu interaksi pembangunan inter-regional memerlukan kinerja yang komplementer
dan
mengurangi
sejauh
mungkin
terjadinya
persaingan
(competitive) diantara satu wilayah dengan wilayah lainnya, sehingga akan menimbulkan kondisi wilayah-wilayah yang sinergis (saling memperkuat) dan diharapkan dapat menimbulkan sumbangan kepada ekonomi makro yang positif dan berkelanjutan. Untuk itu perlu adanya strategi pembangunan wilayah dari sisi pendekatan produksi (supply) yang dihasilkan oleh suatu wilayah pada akhirnya harus dapat mengatasi dampak terjadinya keterbatasan (demand trap) dari sisi permintaan baik secara domestik maupun dari luar wilayah. Untuk mencapai maksud tersebut, strategi pembangunan wilayah juga harus dikembangkan atas dasar strategi pengembangan sisi permintaan (demand side strategy). Strategi ini dapat dikembangkan melalui upaya-upaya
yang mendorong tumbuhnya
permintaan akan barang dan jasa secara domestik melalui peningkatan
94
kesejahteraan, khususnya yang menyangkut peningkatan tingkat pendapatan, pendidikan, sosial budaya dan lain-lain masyarakat wilayah. Program transmigrasi selain didasarkan pada lima teori utama tersebut, dari sisi strategi didekati melalui demand side strategy, dengan tujuan utama meningkatkan taraf hidup penduduk melalui kegiatan produksi lokal. Rustiadi et al. (2009) menghipotesiskan stadia pengembangan kawasan transmigrasi atas enam stadia: 1. Stadia Sub-Subsisten. Pada tahap pertama ini transmigran masuk dalam stadia sub-subsisten selama satu tahun. Pemerintah memberikan subsidi untuk kebutuhan hidup (jadup) dan produksi. Pada tahap ini pemerintah juga membangun berbagai fasilitas/ infrastruktur dasar dan pertanian. 2. Stadia Subsisten. Transmigran masuk dalam stadia subsisten dengan bermodal lahan pekarangan dan Lahan Usaha I. Pada tahap kedua ini, transmigran diharapkan
dapat berproduksi sehingga
dapat
memenuhi kebutuhan
pangannya sendiri (subsisten). 3. Stadia Marketable Surplus. Dengan adanya peningkatan sistem produksi diharapkan transmigrasi akan memasuki stadia marketable surplus (hasil usaha tani telah melebihi kebutuhan keluarganya) terutama setelah dapat diusahakannya Lahan Usaha II. 4. Stadia Industri Pertanian. Surplus hasil pertanian yang dicapai pada tahap ketiga memerlukan pengembangan industri pengolahan terutama untuk memenuhi permintaan barang-barang olahan utama. Adanya industri hasil pertanian skala kecil meningkatkan permintaan hasil pertanian, sehingga tidak perlu jauh-jauh menjual ke kota. 5. Stadia Industri Non-Pertanian. Peningkatan pendapatan transmigran yang diperoleh dari tahap 4 akan meningkatkan konsumsi produk-produk pertanian. Hal ini akan mendorong tumbuhnya industri-industri non-pertanian skala kecil. 6. Stadia Industrialisasi Perdesaan atau Urbanisasi Kota Kecil/Menengah. Pada tahap ini, peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan barang mewah. Oleh karenanya akan berkembang industri-industri umum. Stadia-stadia tersebut secara diagramatis diberikan sebagai berikut:
95
Urbanisasi Kota Kecil/ Menengah
Stadia Industrialisasi Perdesaan
Stadia Industri Non-Pertanian
Demand luxurious goods Investasi pemerintah fasilitas2 urban
Stadia Industri Pertanian
Ekspor Demand barang sekunder dan tersier Pendapatan, modal, investasi Investasi pemerintah untuk prasarana sistem industri
Stadia Marketable Surplus
Surplus Produksi Demand barang sekunder dan tersier Pendapatan, modal, investasi sektor non pertanian
Berkembangnya sektor non-pertanian Diversifikasi usaha
Stadia Subsisten
Stadia Sub-Subsisten
Subsidi pemerintah untuk kebutuhan hidup dan produksi Investasi fasilitas/infrastruktur dasar dan pertanian
Gambar 6 Hipotesis stadia-stadia pengembangan wilayah melalui demand side strategi untuk kawasan transmigrasi. Sumber: Rustiadi et al. (2009)
Mengacu pada stadia-stadia ini terlihat pada dasarnya daerah perdesaan umumnya dan kawasan transmigrasi khususnya tidak hanya tergantung sektor pertanian saja. Namun demikian, dalam kenyataannya, situasi perkembangan pembangunan kawasan transmigrasi yang tidak berkembang tertahan sampai pada stadia II dan III. Strategi demand side membutuhkan waktu yang lama karena berhubungan dengan transformasi teknologi, transformasi struktur kelembagaan, dan yang paling penting proses ini membutuhkan evolusi/perombakan cara berpikir. Meskipun demikian, keunggulan dari strategi ini umumnya berjalan stabil dan tidak mudah terpengaruh oleh perubahan di luar wilayah. Stabilitas ini berkaitan dengan perubahan-perubahan struktur kelembagaan yang mantap.
96
2.10 Indikator Pengembangan Kawasan Transmigrasi Usaha-usaha
untuk
menentukan
indikator
pengembangan
kawasan
transmigrasi telah pernah ditetapkan baik melalui berbagai keputusan maupun melalui kajian-kajian yang dilakukan oleh Puslitbang Ketransmigrasian. Menurut Tjiptoherijanto (1984,2005) diacu dalam Soegiharto (2008), program transmigrasi harus selalu dikaitkan dengan pembangunan daerah, dan menjadi bagian integral dari pola pembangunan daerah serta terkait dengan kegiatan ekonomi. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka tolok ukur utama keberhasilan transmigrasi adalah pencapaian dalam hal: 1. Keseimbangan penyebaran penduduk, dengan tolok ukur: a) keberhasilan program keluarga berencana yang ditunjukkan dengan menurunnya tingkat kelahiran penduduk tempat transmigran berdiam; b) menurunnya tingkat kematian anak balita. 2. Pengembangan sumber daya manusia, dengan tolok ukur: a) kesempatan kerja tersedia dengan cukup; b) tingkat perkembangan AKAD di daerah transmigrasi atau provinsi yang menampung para transmigran. 3. Untuk memanfaatkan sumber alam dan tenaga manusia perlu ditumbuhkan transmigran yang produktif, yang hanya bisa dihasilkan oleh tenaga kerja yang berpendidikan. Tolok ukurnya yaitu: a) rasio jumlah tenaga pengajar terhadap murid khususnya tingkat SD dan SLTP; b) pengembangan pendidikan diarahkan pada keahlian kejuruan yang akan menghasilkan tenaga-tenaga siap pakai. 4. Perdagangan regional, dengan tolok ukur: a) meningkatnya volume perdagangan antar daerah khususnya di provinsi-provinsi daerah transmigrasi, secara tidak langsung memberikan indikasi sarana komunikasi dan transportasi di daerah tersebut semakin membaik, sehingga kelancaran pelayanan pengangkutan akan mempermudah hubungan antar daerah 5. Sosial, dengan tolok ukur: a) Tingkat kriminalitas sebelum dan sesudah adanya transmigrasi di suatu daerah; b) Tingkat perselisihan dan ketegangan sosial, baik antar suku, agama dan lokasi Pada tahun 1984 melalui Keputusan Menteri Transmigrasi Republik Indonesia No. KEP.269/MEN/1984 tentang Kriteria Tingkat Perkembangan
97
Minimal Unit Permukiman Transmigrasi dalam garis besarnya menggunakan sembilan kriteria pokok untuk menilai tingkat perkembangan suatu permukiman, yaitu (1) pendapatan per kapita; (2) koperasi/KUD; (3) prasarana/aksesibilitas; (4) komunikasi dan daya tarik; (5) pendidikan; (6) kesehatan dan keluarga berencana; (7) agama/mental spiritual; (8) latihan keterampilan; dan (9) perangkat pemerintah desa. Mengingat kriteria tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan transmigrasi, maka dikeluarkan yaitu Keputusan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Republik Indonesia Nomor: KEP.06/MEN/ 1999 tentang Tingkat Perkembangan Permukiman Transmigrasi dan Kesejahteraan Transmigrasi. Dalam keputusan ini dinyatakan bahwa tingkat perkembangan permukiman transmigrasi dan kesejahteraan transmigran meliputi tingkat penyesuaian, pemantapan dan pengembangan (Pasal 2 Ayat 1). Tingkat Penyesuaian adalah kondisi perkembangan permukiman di mana trasmigrannya sedang beradaptasi di lingkungan baru (sosial ekonomi, budaya dan fisik) untuk mampu melaksanakan kehidupan di lokasi baru. Tingkat Pemantapan adalah kondisi perkembangan permukiman di mana transmigrannya telah berkemampuan mengelola asset produksi secara optimal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Tingkat Pengembangan adalah kondisi perkembangan permukiman di mana transmigrannya telah mandiri dalam arti mampu mengembangkan potensi diri dan masyarakatnya dalam bentuk partisipasi aktif guna mengembangkan usaha dan kehidupannya secara berkelanjutan (Pasal 1). Perhitungan tingkat perkembangan ini menggunakan indikator ekonomi, sosial dan budaya, integrasional serta keaktifan dan pelayanan lembaga sosial (Pasal 2 Ayat 3). Keputusan menteri tersebut kemudian diperbaharui lagi dengan Peraturan Menteri
Tenaga
Kerja
dan
Transmigrasi
Republik
Indonesia
Nomor
PER.25/MEN/IX/2009 tentang Tingkat Perkembangan Permukiman Transmigrasi dan Kesejahteraan Transmigran. Dalam peraturan menteri ini, perkembangan permukiman transmigrasi juga dibagi tiga yaitu tingkat penyesuaian, tingkat pemantapan dan tingkat pengembangan dengan pengertian yang sama dengan Keputusan Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan Republik Indonesia Nomor: KEP.06/MEN/ 1999.
98
Tabel 11 Indikator tingkat perkembangan permukiman transmigrasi dan kesejahteraan transmigran Tingkat penyesuaian
Standar Tingkat pemantapan
Tingkat pengembangan
Kg setara beras % % %
1600 0.75
2400 0.25 10 1.00
3000 0.25 10 1.10
% %
30
0.5 50
0.5 80
% Kali/tahun % % 0/00 % 0/00 %
8 40 40 200 0.5 900 4 40
3 3 50 50 150 0.3 875 4 65
2 2 80 80 100 0.1 850 4 90
kali %
5 -
3 10
2 20
1. Tingkat keaktifan perangkat pemerintah desa % 2. Kemampuan pelayanan aparat permukiman % transmigrasi Sumber: Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor PER.25/MEN/IX/2009
20
80 10
80 5
No
Parameter
Indikator
Satuan
A
EKONOMI a. Pendapatan b. Pemerataan c. Ketenagakerjaan d. Kontribusi permukiman transmigrasi e. Keberhasilan Koperasi Unit Desa/ Tempat Pelayanan Koperasi
1. Pendapatan per KK per tahun 2. Gini Ratio 3. Rasio setengah pengangguran 4. Rasio pendapatan per kapita terhadap pendapatan per kapita kabupaten/kota 5. Rentabilitas 6. Tingkat pelayanan
B
SOSIAL DAN BUDAYA a. Kebetahan b. Keamanan c. Pendidikan d. Kesehatan dan Keluarga Berencana
e. Partisipasi masyarakat C
INTEGRASIONAL
D
KEAKTIFAN DAN PELAYANAN LEMBAGA SOSIAL a. Keaktifan lembaga sosial
1. Transmigran meninggalkan lokasi 2. Perbuatan tindak kejahatan/pelanggaran 3. Angka Partisipasi Pendidikan 4. Angka Melek Huruf 5. Prevalensi penyakit 6. Rasio kematian balita 7. Rasio anak balita dengan wanita 8. Gotong royong perbaikan fasilitas lingkungan 9. Kerjasama kelompok tani/KUB 1. Tingkat konflik suku, agama, ras, golongan 2. Rasio pedagang penduduk lokal dengan pedagang transmigran di pasar
99
Pada tahun 2004, Puslitbang Ketransmigrasian juga telah menyusun Indeks Pembangunan Transmigrasi (IPT) yang dapat mencerminkan pencapaian tujuan transmigrasi yaitu kesejahteraan transmigran dan masyarakat sekitarnya, pemerataan pembangunan dan persatuan kesatuan. Penghitungan IPT dilakukan melalui tiga tahap yaitu penghitungan indeks masing-masing indikator, penentuan goalpost, dan penentuan indeks komposit (Najiyati 2008). 1. Penghitungan Indeks masing-masing Indikator a. Rumus berikut digunakan untuk menghitung : 1) Indeks
Angka
Melek
Huruf
(atau
disebut
Indeks
Pendidikan
Transmigran). 2) Indeks UPT Lepas Bina (atau disebut Indeks Pemerataan Pembangunan). Apabila indikator UPT lepas bina lebih dari 20 persen, tetap dihitung 20 persen. 3) Indeks Transmigran dari Kecamatan Setempat (disebut Indeks Persatuan dan Kesatuan) dengan nilai indikator kurang atau sama dengan 50 persen.
I 1
( X n X n min) ( X n maks X n min)
Keterangan I = Indeks ke n Xn =: Nilai riil indikator ke- n Xn min = Nilai minimum (Goalpost) indikator ke- n Xn maks = Nilai maksimum (Goalpost) indikator ke- n b. Rumus berikut digunakan untuk menghitung: 1) Indeks Transmigran tanpa Akses Sarana Kesehatan (atau disebut Indeks Kesehatan Transmigran) 2) Indeks Transmigran Miskin (disebut Indeks Perekonomian Transmigran) 3) Indeks Penduduk Kecamatan tanpa Akses Sarana Kesehatan (atau disebut Indeks Kesejahteraan Masyarakat Sekitar)
I 1
( X n X n min) ( X n maks X n min)
100
Keterangan I = Indeks ke- n Xn =: Nilai riil indikator ke- n Xn min = Nilai minimum (Goalpost) indikator ke- n Xn maks = Nilai maksimum (Goalpost) indikator ke- n c. Indeks Transmigran dari Kecamatan Setempat dengan nilai indikator lebih besar dari 50 persen, dihitung dengan rumus sebagai berikut:
I 1
( X n X n min) X n maks
Keterangan I = Indeks ke n Xn = Nilai riil indikator ke n Xn maks = Nilai maksimum (Goalpost) indikator ke n 2. Goalpost Goalpost adalah angka perkiraan minimum dan maksimum yang dapat dicapai oleh suatu indikator. Goalpost minimum dan maksimum masing-masing indikator dapat dilihat dalam Tabel 12 berikut: Tabel 12 Goalpost untuk indikator indeks pembangunan transmigrasi No Dimensi 1
Kesejahteraan transmigran a. Kesehatan b. Pendidikan c. Ekonomi
2 3
Indikator
Transmigran tanpa akses sarana kesehatan Angka Melek Huruf Transmigran miskin
Satuan
Goalpost Min Maks
%
0
100
% %
25 5
100 80
Kesejahteraan masyarakat sekitar
Penduduk kecamatan tanpa akses sarana kesehatan
%
0
75
Pemerataan pembangunan Persatuan dan kesatuan
UPT Lepas Bina
%
0
20
Transmigran dari Kecamatan Setempat
%
0
50
Sumber: Najiyati (2008)
3. Penghitungan Indeks Komposit IPT komposit dihitung dengan rumus sebagai berikut
101
IPT
I1 I 2 I 3 I 4 I 5 I 6 6
Keterangan: I1 = Indeks Kesehatan Transmigran I2 = Indeks Pendidikan Transmigran I3 = Indeks Perekonomian Transmigran I4 = Indeks Kesejahteraan Masyarakat Sekitar I6 = Indeks Persatuan Dan Kesatuan n = Banyaknya Indikator Terpilih IPT= Indeks Pembangunan Transmigrasi Kategori IPT dimaksudkan sebagai patokan atau standar nilai yang dikatakan baik, sedang, dan kurang. Kategori IPT yang dianjurkan seperti pada Tabel 13 berikut: Tabel 13 Kategori indeks pembangunan transmigrasi No Nilai IPT
Kategori
1
> 0.9 – 1.0
Baik sekali
2
> 0.8 – 0.9
Baik
3
> 0.6 – 0.8
Sedang
4
> 0.5 – 0.6
Kurang
5
<= 0.5
Buruk
Sumber: Najiyati (2008)
Pada tahun 2007 melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. Kep 214/Men/V/2007 tentang Pedoman Umum Pembangunan dan Pengembangan Kota Terpadu Mandiri di Kawasan Transmigrasi, dikemukakan bahwa pengembangan KTM dirancang berdasarkan perubahan fungsi-fungsi perkotaan menuju terwujudnya KTM. Parameter fungsi-fungsi perkotaan adalah: komoditas unggulan, kelembagaan pasar, kelembagaan petani, kelembagaan penyuluh, serta adanya sarana dan prasarana sosial dan ekonomi seperti diberikan pada Tabel 14 berikut.
102
Tabel 14 Indikator perkembangan fungsi perkotaan menuju terwujudnya kota terpadu mandiri Desa-desa Komoditas Unggulan Produksi komoditas unggul
Pra KTM Komoditas Unggulan Penanganan pasca panen dan pengolahan hasil Industri kecil/Rumah Tangga
KTM Komoditas Unggulan Industrialisasi pengolahan hasil dan diversifikasi produk Pusat Kegiatan Industri Pengolahan Hasil
Industri kecil/Rumah Tangga
Pusat kegiatan industri pengolahan hasil
Kelembagaan Pasar 1. Pasar (menampung hasil dari sebagian kecil kawasan) 2. Warung/Koperasi
Kelembagaan Pasar 1. Pasar (menampung hasil dari sebagian besar kawasan) 2. Pasar Harian 3. Pertokoan
Kelembagaan Pasar 1. Pasar (Menampung hasil dari kawasan KTM dan luar kawasan KTM) 2. Pusat kegiatan ekonomi wilayah
Kelembagaan Penyuluh Pertanian
Kelembagaan Petani
Kelembagaan Petani
Berperan dalam penyediaan sarana pertanian, pengolahan dan pemasaran
Berperan dalam penyediaan sarana pertanian, pengolahan dan pemasaran kebutuhan masyarakat
Kelembagaan Penyuluh Agribisnis
Kelembagaan Penyuluh Pembangunan
Sarana dan Prasarana 1. Akses ke/dari sentra produksi kondisi cukup 2. Sarana dan prasarana umum a. Pelayanan jasa b. Perbankan c. Perbengkelan d. Pelayanan Pos e. Pelayanan pemerintah kondisi cukup 3. Sarana dan Prasarana Kesejahteraan Sosial a. SLTP/SLTA b. Pustu kondisi cukup
Sarana dan Prasarana 1. Akses ke/dari sentra produksi kondisi baik 2. Sarana dan prasarana umum a. Pelayanan jasa b. Perbankan c. Perbengkelan d. Pelayanan Pos dan telekomunikasi e. Listrik f. Pelayanan pemerintah kondisi baik 3. Sarana dan Prasarana Kesejahteraan Sosial a. SLTA/Perguruan tinggi b. Pusat Pelayanan Kesehatan kondisi baik
Sarana dan Prasarana 1. Akses ke/dari sentra produksi kondisi sedang 2. Sarana dan prasarana umum a. Pelayanan Pos b. Pelayanan pemerintahan; Persiapan pembentukan pemerintahan desa 3. Sarana dan Prasarana Kesejahteraan Sosial a. Sekolah dasar b. Balai Pengobatan kondisi sedang
Sumber: Soegiharto (2008)
Selanjutnya indikator keberhasilan KTM adalah: 1. Meningkatnya pendapatan masyarakat/transmigran dari kegiatan berbasis komoditi unggulan. 2. Meningkatnya kesempatan kerja dan peluang berusaha, yang sebagian besar kegiataan didominasi oleh kegiatan agribisnis, termasuk di dalamnya adalah usaha-usaha industri (pengolahan) pertanian, perdagangan hasil pertanian, jasa pelayanan dan lain-lain yang dapat meningkatkan daya tarik Transmigrasi Swakarsa Berbantuan dan Transmigrasi Swakarsa Mandiri.
103
3. Meningkatnya infrastruktur fisik (jalan, telekomunikasi, listrik, air bersih, irigasi). 4. Meningkatnya fasilitas dan pelayanan sosial budaya. 5. Meningkatnya produktivitas masyarakat. 6. Meningkatnya investasi untuk kegiatan agribisnis dan Pendapatan Asli Daerah. 7. Struktur tata ruang kawasan berwawasan lingkungan. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam menetapkan indikatorindikator tersebut mengacu pada kerangka sistem penyelenggaraan transmigrasi yaitu suatu konsep manajemen yang memperhatikan hubungan input, proses, output bagi seluruh aspek manajemen ketransmigrasian. Sistem penyelenggaraan transmigrasi
mencakup
subsistem
penyiapan
pemukiman,
pengerahan,
penempatan dan pembinaan. Dari keempat output subsistem penyelenggaraan transmigrasi, output subsistem pembinaan merupakan akumulasi dari seluruh rangkaian kinerja penyelenggaraan transmigrasi. Karenanya, output pembinaan transmigrasi diartikan sebagai komponen utama spektrum hasil penyelenggaraan transmigrasi, yang kemudian dirumuskan outcome yang diukur dalam menilai keberhasilan penyelenggaraan transmigrasi dalam skala UPT (Wibowo 2001). 2.11 Penelitian-Penelitian Sebelumnya 2.11.1 Dampak Kawasan Transmigrasi Terhadap Pembangunan Daerah Dari sisi keberhasilan, dapat dikemukakan bahwa program transmigrasi telah berhasil mengembangkan sekitar 3.000-an Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) dengan berbagai infrastrukturnya, 945 di antaranya telah berkembang menjadi desa baru. Desa-desa baru tersebut sekarang dihuni oleh kurang lebih 12 juta jiwa dan telah tumbuh mendorong terbentuknya kecamatan dan kabupaten baru. Data eks UPT yang telah mendorong perkembangan daerah menjadi pusat pemerintahan sebanyak 240 kecamatan dan 97 kabupaten (Kemenakertrans 2011). Beberapa di antara kawasan transmigrasi seperti Kurotidur di Bengkulu Utara, Metro di Lampung, Sangkala di Kalimantan Timur bahkan di tetapkan sebagai kawasan Agropolitan. Lokasi yang demikian biasanya menjadi daya tarik transmigran swakarsa yang memiliki bekal dan keterampilan sejak dari daerah asal.
104
Sebagian desa transmigrasi juga telah berkembang menjadi hinterland bagi pusat-pusat kegiatan ekonomi di daerah. Kebutuhan akan jenis pangan tertentu di beberapa perkotaan dicukupkan oleh hasil usaha tani transmigran. Beras, sayur, dan ternak unggas merupakan bentuk produk pertanian yang banyak dihasilkan transmigran untuk konsumsi penduduk perkotaan (Soegiharto dan Najiyati 2004). Transmigrasi juga telah berhasil menciptakan perluasan kesempatan kerja di daerah tujuan. Pembangunan permukiman transmigrasi secara langsung telah menciptakan kesempatan kerja sebanyak jumlah persil lahan pertanian yang dibagikan, ditambah dengan kebutuhan tenaga kerja sebesar 1,04 orang untuk mengolah 2 hektar persil tersebut. Secara tidak langsung tercipta pula kesempatan kerja tambahan dikegiatan hulu dan hilir yang turut berkembang sejalan dengan kemajuan usaha tani transmigran. Perluasan kesempatan kerja akan berlanjut karena pendapatan transmigran dan pekerja lainnya menciptakan permintaan akan barang dan jasa (consumption efect). Menurut Soegiharto et al. (2002), kesempatan yang tercipta terdiri atas 83 persen diisi oleh kepala keluarga yang ditempatkan sesuai jumlah persil lahan pertanian yang dibagikan, ditambah 7 persen tenaga kerja yang diperlukan transmigran membantu mengolah usaha taninya dan 10 persen kesempatan kerja yang tercipta secara tidak langsung di berbagai kegiatan ekonomi lainnya seperti perdagangan, jasa, dan industri rumah tangga yang turut berkembang sejalan dengan pertumbuhan produksi pertanian di permukiman transmigrasi. Selanjutnya berdasarkan penelitian yang dilakukan Najiyati et al. (2005) menemukan bahwa jumlah tenaga kerja yang tercipta pada setiap KK transmigran yang ditempatkan pada permukiman transmigrasi pola pangan adalah sebesar 1,893 orang/KK dan pada pola perkebunan sebesar 2,065 orang/KK. Dengan kata lain, jumlah kesempatan kerja yang tercipta lebih banyak dibandingkan transmigran yang diberangkatkan. Dalam
hal
pengembangan
akses
terhadap
faktor-faktor
produksi,
transmigrasi telah membangun sarana fisik transportasi berupa jalan, jembatan, gorong-gorong dan saluran drainase yang telah membuka isolasi wilayah yang selama ini tidak tersentuh pertumbuhan. Penyebaran penyediaan prasarana transportasi diyakini mampu membuka isolasi terhadap faktor produksi dan
105
menyeimbangkan distribusi pendapatan antarkelompok penduduk. Transmigrasi memberikan sumbangan pada perluasan jaringan jalan di beberapa provinsi, dengan besaran sekitar 20 persen di kepulauan luar Jawa, Madura dan Bali dan bahkan mencapai 50 persen di empat provinsi yaitu Lampung, Kalbar, Kalteng dan Kaltim (WB 1986). Perluasan jaringan jalan tersebut berupa jalan masuk ke lokasi permukiman transmigrasi. Di bidang pendidikan, transmigrasi telah membangun ribuan sekolah dasar. Selain bangunan fisik, juga dilengkapi dengan peralatan dan penempatan tenaga pengajar. Demikian pula di bidang kesehatan, transmigrasi telah membangun ribuan unit balai pengobatan disertai dengan penempatan tenaga para medis dan distribusi obat-obatan selama masih dalam pembinaan. Penyediaan fasilitas sosial untuk pelayanan pendidikan, kesehatan, dan peribadatan di permukiman transmigrasi tersebut tidak dimaksudkan untuk dinikmati secara eksklusif oleh transmigran. Fasilitas sosial semacam itu bisa dimanfaatkan oleh semua penduduk sehingga turut mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Meskipun demikian, beberapa fakta juga menunjukkan adanya fenomena kegagalan program ini. Menurut laporan Bank Dunia tahun 1986, 50 persen keluarga transmigran hidup di bawah garis kemiskinan. Diperkirakan, pendapatan mereka 540 dolar AS per tahun, sementara 20 persen transmigran lainnya berada di bawah garis subsisten (sangat miskin) (WB 1986). Pada akhir tahun 1980-an, survei yang dilakukan oleh pemerintah Prancis menyatakan 80 persen dari daerah transmigrasi di Indonesia gagal memperbaiki standar kehidupan transmigran (Marr 1990). Selain itu, Monbiot (1989) juga mengemukakan kegagalan program transmigrasi dalam mengembangkan sistem pertanian yang berkelanjutan yang mengakibatkan pada beberapa pemukiman banyak keluarga meninggalkan tempat transmigran setelah dua sampai tiga tahun menjadi peladang berpindah atau penebang liar. Kondisi paling buruk terjadi di Irian Jaya. Kota-kota di Irian Jaya -Merauke dan Jayapura – akhirnya dipenuhi pengungsi yang berasal dari daerah transmigran yang gagal. Fenomena pengungsi itu membuat komposisi penduduk di Merauke pun berubah. Di Merauke, penduduk asli Irian hanya sepertiga dari total jumlah penduduk kota tersebut. Sementara itu, bekas transmigran di Merauke
106
akhirnya bernasib sama seperti penduduk miskin di Jawa, menjadi pekerja seksual dan pelinting rokok. Studi lain juga membenarkan fakta ini. Merujuk pada studi yang disusun oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan bekerja sama dengan Lembaga Pengkajian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Internasional pada tahun 1985, mengemukakan bahwa sekitar 300.000 orang transmigran hidup di daerah pemukiman yang tidak layak huni (Dephut 1985). 2.11.2 Indikator Tingkat Perkembangan Permukiman Transmigrasi Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan perkembangan unit pemukiman transmigrasi. Pada tahun 1997, Pusdatin Transmigrasi dan Institut Pertanian Bogor mengukur perkembangan permukiman transmigrasi dengan unit analisis UPT. Sampel yang diambil sebanyak 597 UPT. Metode pendekatan yang digunakan adalah model RRA dengan dukungan data statistik. Peubah utama berupa lingkungan fisik sosial (LSF) dan pendapatan masyarakat. LSF terdiri dari demografi, permasalahan sosial, syarat pokok pembangunan, permasalahan atau gangguan yang bersumber dari kualitas lingkungan fisik. Selanjutnya kedua kelompok faktor tersebut didistribusikan dalam kuadran Q1, Q2, Q3 dan Q4. Konsep kuadran mendukung simulasi antara ke dua kelompok faktor tersebut yang selanjutnya didiferiansiasi sebagai rumusan tingkat perkembangan permukiman.
Hasil penelitian tersebut
membagi kondisi
permukiman transmigrasi dalam empat kuadran sebagai berikut: a. Q1 menggambarkan kondisi wilayah di mana tingkat pendapatan mencapai tingkat dan kondisi LSF baik b. Q2 menggambarkan kondisi wilayah di mana tingkat pendapatan tidak terlalu baik (tidak mencapai target), tetapi kondisi LSF baik c. Q3 menggambarkan kondisi wilayah di mana tingkat pendapatan tidak mencapai target dan kondisi LSF kurang baik d. Q4 menggambarkan kondisi wilayah di mana tingkat pendapatan mencapai target dan kondisi LSF kurang baik Wibowo et al. (2000) melakukan penelitian pemetaan potensi unit permukiman transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan ekonomi. Unit analisis penelitian adalah UPT yang masih dibina pada empat provinsi yaitu Kalimantan
107
Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Dalam penyusunan indikator ditetapkan dua kelompok faktor yaitu parameter fisik, parameter sosial ekonomi dan faktor ekonomi eksternal. Parameter fisik terdiri dari dua indikator yaitu: 1. Produktivitas padi (sawah dan ladang) 2. Produktivitas palawija (jagung, kedelai, ketela). Parameter sosial ekonomi terdiri dari: 1. Faktor sosial a. jumlah penduduk b. tingkat pendidikan c. mata pencaharian d. jumlah dan macam sekolah e. fasilitas kesehatan f. angkatan kerja 2. Faktor Ekonomi a. tersedianya pasar aktif b. toko dan kios saprodi dan saprotan c. pemilikan ternak besar d. industri e. lembaga masyarakat petani (KUD, kelompok tani) f. sarana dan prasarana jalan ekonomi g. produksi tanaman pertanian/produktivitas lahan h. komoditas unggulan. 3. Faktor ekonomi eksternal a. Panjang jalan dan kondisi jalan dari pusat UPT ke UPT lain, UPT ke kota kecamatan, dan UPT ke kota kabupaten b. Jarak tempuh pemasaran komoditas (padi dan palawija) dari UPT ke kota kecamatan/kabupaten c. Banyaknya industri pengolahan bahan, di mana bahan bakunya dari UPT yang terdekat, dengan kota kecamatan/kabupaten d. Frekuensi kendaraan atau jenis kendaraan yang menghubungkan antar UPT maupun kota kecamatan/kabupaten e. Kios dan toko (pusat perdagangan sarana produksi pertanian yang ada di kota kecamatan) f. Lembaga perbankan/perkreditan yang tersedia g. Banyaknya pasar aktif di sekitar UPT maupun di kota kecamatan/kabupaten h. Komoditas unggulan UPT yang memiliki pasar di kota kecamatan/kabupaten i. Peranan teknologi dan penyuluh pertanian dalam peningkatan pertumbuhan ekonomi UPT j. Jalur pemasaran komoditas dari UPT ke kota kecamatan/kabupaten Indikator tersebut selanjutnya dibagi atas lima kategori mulai dari sangat rendah sampai sangat tinggi. Berdasarkan analisisnya ditemukan hal-hal sebagai berikut:
108
a. Propinsi Kalimantan Timur dari 30 UPT, 11 UPT (36,67 persen) sangat tinggi, 11 UPT (36,67 persen) tinggi, 11 UPT (36,67 persen) sedang, 2 UPT (6,67 persen) rendah dan 4 UPT (13,33 persen) sangat rendah b. Propinsi Kalimantan Barat dari 14 UPT, 1 UPT (7,14 persen) sangat tinggi, 3 UPT (21,43 persen) tinggi, 4 UPT (28,57 persen) sedang, 3 UPT (21,43 persen) rendah dan 3 UPT (21,43 persen) sangat rendah c. Propinsi Kalimantan Selatan dari 19 UPT, 2 UPT (10,53 persen) sangat tinggi, 3 UPT (15,79 persen) tinggi, 6 UPT (31,58 persen) sedang, 6 UPT ( 31,58 persen) rendah dan 2 UPT (10,53 persen) sangat rendah d. Propinsi Kalimantan Tengah dari 85 UPT, 4 UPT (4,71 persen) sangat tinggi, 14 UPT (16,47 persen) tinggi, 38 UPT (44,71 persen) sedang, 21 UPT (24,71 persen) rendah dan 8 UPT (9,41 persen) sangat rendah 2.11.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengembangan Pemukiman/ Kawasan Transmigrasi Berbagai
penelitian
telah
dilakukan
mengenai
faktor-faktor
yang
mempengaruhi perkembangan permukiman/kawasan transmigrasi. Pada tahun 1980, lembaga Studi Dinamika Perdesaan Survey Agro Ekonomi (SDP-SAE), melakukan penelitian terhadap transmigran yang ditempatkan di Sulawesi Tenggara.
Dengan
membandingkan
antarlokasi
penempatan
transmigran
disimpulkan bahwa tingkat keberhasilan program transmigrasi antara lain dipengaruhi oleh: (1) potensi ekonomi daerah; (2) transmigran yang ditempatkan; (3) faktor pelayanan komunikasi dan pemasaran; dan (4) umur daerah penempatan (Saleh, 1982). Adiatmojo (2008) meneliti mengenai model kebijakan pengembangan kawasan transmigrasi berkelanjutan di lahan kering dengan mengambil lokasi penelitian di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Kabupaten Kutai Timur. Dengan menggunakan teknik analisis MDS (Multi Dimensional Scalling) yang digabungkan dengan analisis prospektif ditemukan bahwa faktor-faktor kunci yang menentukan keberlanjutan pengembangan kawasan transmigrasi lahan kering di Kaliorang adalah: luas lahan yang ditanami dengan komoditi pertanian unggulan; kemitraan usahatani dalam mendukung kegiatan agribisnis komoditi pertanian unggulan; sarana jalan penghubung; iklim investasi; prasarana dan
109
sarana kawasan; teknologi budidaya pertanian; dan kualitas sumber daya manusia khususnya petani dan pelaku usaha tani. Terkait dengan komoditas pertanian unggulan di kawasan transmigrasi, penelitian Najiyati (2003) pada permukiman transmigrasi pola tanaman pangan (UPT Pagar Banyu) menemukan bahwa ternyata komoditas padi dan tanaman pangan lainnya bukan merupakan komoditas unggulan yang bisa diandalkan transmigran. Meskipun transmigrasi dibangun dengan pola tanaman pangan, tetapi transmigran lebih menyukai tanaman tahunan untuk dikelola secara kooperatif pada lahan usaha II (LU II). Padi dan tanaman pangan lainnya dinilai sebagai komoditas sosial yang cukup diproduksi untuk memenuhi kebutuhan sendiri. Kesimpulan yang sama juga dikemukakan oleh Priyono et al. (2002). Dalam penelitian yang dilakukan di Mesuji SP6, Ipuh, Jilatan Alur dan Rimba Ayu SP7, transmigran belum mengusahakan LU II untuk tanaman pangan karena menunggu investor ataupun bantuan pemerintah untuk pengembangan komoditas tanaman tahunan. Ruswana et al. (1993) mengemukakan bahwa kendala pengembangan kawasan transmigrasi dalam mencapai sasaran-sasaran pokoknya terdiri dari kendala intern maupun ekstern. Beberapa faktor intern yang menjadi kendala perkembangan kawasan transmigrasi antara lain: a. Produktivitas pertanian rendah karena kesuburan lahan dan serangan hama b. Keterbatasan kemampuan sebagian besar transmigran untuk mengolah dan memanfaatkan seluruh tanah yang menjadi haknya (terutama untuk menggarap lahan usaha II pada pola usaha tani tanaman pangan) c. Kondisi sarana dan prasarana yang kurang dan dalam kondisi rusak, terutama sarana transportasi d. Belum berfungsinya secara penuh fasilitas umum baik pendidikan, kesehatan maupun pasar e. Belum berfungsinya lembaga ekonomi seperti KUD f. Penggunaan sarana produksi pertanian yang tidak tepat seperti penggunaan pupuk dan pestisida
110
Selanjutnya, beberapa faktor ekstern yang menjadi kendala perkembangan kawasan transmigrasi antara lain: a. Rendahnya aksesibilitas lokasi-lokasi UPT terhadap pusat kegiatan maupun pusat pemasaran yang disebabkan jarak pencapaian jauh dan atau kondisi jalur jalan penghubungan yang rusak b. Kawasan UPT yang dikembangkan umumnya agak terisolir c. Belum terkaitnya pada investor untuk mengembangkan ursaha tani daerah transmigrasi d. Belum
dikaitkannya
pengembangan
kawasan
UPT
dengan
pengembangan daerah secara umum dalam lingkup yang lebih luas Hasil kajian Depnakertrans menyatakan penyebab kegagalan di berbagai unit permukiman transmigrasi. Di antaranya adalah pelaksanaan program transmigrasi hanya
mengejar
kepentingan ekonomi sesaat dan
kurang
mempertimbangkan aspek lingkungan dan aspek sosial budaya setempat (Adiatmojo 2008). Ahmad et al. (1998) menyatakan bahwa hal yang paling menentukan keberhasilan pembangunan permukiman transmigrasi khususnya untuk pola usaha tanaman pangan adalah 1) kesuburan tanah yang baik untuk pertanian, 2) terdapat saluran irigasi yang dapat menyediakan air sepanjang tahun, 3) akses ke pusat ekonomi lancar, 4) sumber daya manusia yang baik sehingga perlu proses seleksi baik secara alami maupun oleh pemerintah, 5) tumbuhnya kelembagaan sosial dan ekonomi, 6) adanya penggerak masyarakat/inovator. Sejalan dengan hal tersebut Najiyati et al. (2006 dalam penelitian mengenai faktor keberhasilan permukiman transmigrasi menjadi sentra produksi pangan menyimpulkan faktor-faktor (1) ketersediaan lahan yang layak; (2) ketersediaan infrastruktur yang memadai berupa sarana tata air (irigasi dan drainase) dan jalan penghubung hingga jalan usaha tani, serta pencetakan sawah sejak awal penempatan; (3) adanya sarana usaha yang diperlukan dalam pengembangan sentra produksi; (4) adanya kelembagaan petani/sosial, dan yang perlu dikembangkan di antaranya kelompok tani, P3A (khusus lahan pasang surut atau beririgrasi), koperasi atau lembaga permodalan agar transmigran dapat mempuk kekuatan permodalan; (5) pendampingan, pelatihan dan diseminasi teknologi sejak awal penempatan; dan
111
(6) kemitraan usaha dengan investor/badan usaha dapat meningkatkan perkembangan sentra produksi pangan. Belajar dari berbagai kisah sukses transmigasi, Soegiharto (2008) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan transmigrasi atas tiga tingkatan, yaitu pada tingkatan individu (transmigran), unit permukiman transmigrasi (UPT) dan kawasan. Ketiga tingkatan ini saling saling mengkait dan memperkuat untuk terwujudnya keberhasilan transmigrasi. Pada tingkatan individu
faktor keberhasilan terdiri atas 1) motivasi, 2)
modal dan 3) pendidikan dan keterampilan. Ketiga faktor tersebut mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya dalam mewujudkan transmigran sukses. Berdasarkan hal tersebut, untuk mendukung keberhasilan transmigran terlihat adanya suatu pola yang perlu mendapat perhatian. Transmigran sebaiknya adalah orang-orang yang memiliki semangat keja dan modal. Calon transmigran sebaiknya juga memiliki latar belakang pendidikan yang cukup, minimal SMP atau sederajat. Mereka juga perlu dibekali keterampilan berusaha mandiri disamping pengetahuan tentang pertanian. Transmigran yang telah menunjukkan kemampuan mengembangkan usaha produktif, perlu segera mendapat dukungan permodalan untuk mempercepat perkembangan usahanya. Dalam memanfaatkan dan mengembangkan potensi yang ada di lokasi transmigrasi, diperlukan tenaga pendamping guna memotivasi dan membantu masyarakat. Pada tingkatan UPT, faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan transmigrasi adalah 1) kesuburan tanah, 2) infrastruktur pertanian, 3) aksesibilitas (akses ke pusat ekonomi), 4) kelembagaan sosial, 5) kelembagaan ekonomi, 6) investor, pendamping dan penggerak swadaya masyarakat. Selanjutnya pada skala kawasan, berkembangnya kawasan transmigrasi sebagai pusat pertumbuhan dipengaruhi oleh: 1) luas wilayah (kawasan skala ekonomi), 2) dikembangkan berdasarkan
perencanaan
yang
berbasis
feasibility
study,
3)
kegiatan
pengembangan bersifat multi years dan dalam jangka panjang (15–20 tahun), 4) terdapat tenaga pendamping yang terjamin keberadaannya di lokasi, serta 5) ada kebijakan dan regulasi untuk penetapan dan pengaturan ruang kawasan.
112
III KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS 3.1 Kerangka Pemikiran Pembangunan perdesaan pada dasarnya merupakan upaya meningkatkan produksi dan produktivitas pertanian serta kesejahteraan masyarakat perdesaan. Dalam konteks tersebut, pembangunan perdesaan tidak hanya diarahkan pada aspek usaha tani saja, tetapi juga pada pada pengembangan agribisnis secara utuh. Pengembangan agribisnis mencakup mata rantai produksi, pengolahan masukan dan keluaran produksi (agroindustri), pemasaran masukan-keluaran pertanian dan kelembagaan penunjang kegiatan. Mata rantai kegiatan tersebut dapat dipilah menjadi empat subsistem yaitu: (1) subsistem produksi (usaha tani); (2) subsistem pengolahan (agroindustri hulu dan hilir); (3) subsistem pemasaran/perdagangan; dan (4) subsistem lembaga penunjang. Subsistem produksi adalah penggerak utama agribisnis. Berkembangnya produksi akan menimbulkan kaitan ke belakang (backward linkages) berupa kegiatan pengadaan dan penyaluran sarana produksi. Kaitan kebelakang ini mengundang pelaku lainnya
untuk menangani pemasaran/perdagangan input
produksi (usahatani). Keberhasilan dalam pemasaran/perdagangan input produksi ini, dipengaruhi oleh lembaga-lembaga penunjang agribisnis, seperti angkutan, ketersediaan lembaga kredit dan peraturan-peraturan yang berlaku. Produk pertanian juga memerlukan pengolahan lebih lanjut karena bersamaan dengan peningkatan pendapatan mereka, konsumen juga akan semakin menuntut persyaratan kualitas dan diversifikasi produksi olahan. Karenanya, modernisasi sektor produksi (usahatani) akan menimbulkan kaitan ke depan dalam bentuk industri pertanian. Berdasarkan pola pikir ini, maka pengembangan agribisnis dalam pembangunan perdesaan tidak hanya akan meningkatkan produktivitas pertanian dan kesejahteraan masyarakat perdesaan tetapi juga akan menumbuhkan berbagai aktivitas non-pertanian baik pada industri pertanian, industri non-pertanian, perdagangan dan jasa lainnya. Bersamaan dengan berkembangnya berbagai aktivitas tersebut maka desa pertanian akan berkembang menjadi desa industri atau desa urban (urbanisasi kota kecil/menengah).
114
Pentingnya aktivitas non-pertanian dalam pembangunan perdesaan juga terkait dengan perluasan kesempatan kerja (untuk menghasilkan pendapatan) agar masyarakat mampu mempertahankan gaya hidup perdesaan mereka. Dalam perspektif masyarakat perdesaan hal tersebut pada dasarnya mengacu pada konsep pembangunan berkelanjutan khususnya pembangunan ekonomi berkelanjutan. Selanjutnya, dalam konteks memahami perkembangan perdesaan secara umum tersebut, penelitian ini mengambil kasus program transmigrasi sebagai program pembangunan desa pada wilayah baru. Penyelenggaraan transmigrasi dilaksanakan dalam tiga tahap yaitu tahap persiapan, tahap penempatan dan tahap pembinaan. Pada tahap persiapan dilakukan pemilihan lokasi penempatan pemukiman transmigrasi, komoditas yang akan dikembangkan serta pola transmigrasinya, penyiapan sarana-prasana pemukiman serta penyiapan calon transmigrasi termasuk penyeleksian calon transmigrasi dan pembekalan pelatihan. Setelah tahap persiapan, tahap berikutnya adalah tahap penempatan transmigran di lokasi terpilih. Selanjutnya adalah tahap pembinaan yang terbagi atas tiga sub-tahap yaitu tahap penyesuaian, pemantapan dan pengembangan. Pada sub-tahap penyesuaian, transmigran dibina untuk dapat segera beradaptasi di lingkungan baru (sosial ekonomi, budaya dan fisik) untuk mampu melaksanakan kehidupan di lokasi barunya tersebut. Pada sub-tahap pemantapan, transmigran dibina agar memiliki kemampuan mengelola asset produksi secara optimal untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Pada sub-tahap pengembangan, transmigran dibina agar mampu mandiri dalam arti mampu mengembangkan potensi diri dan masyarakatnya dalam bentuk partisipasi aktif guna mengembangkan usaha dan kehidupannya secara berkelanjutan. Dengan demikian, pada pasca pembinaan, transmigran sudah berada pada kondisi mampu memenuhi kebutuhan hidupnya secara mandiri dan siap untuk memasuki tahapan marketable surplus. Dalam konteks sistem transmigrasi, ini juga berarti transmigran sudah secara optimal memanfaatkan lahan pekarangan dan lahan usaha I (LU I). Tahapan-tahapan dalam penyelenggaraan transmigrasi tersebut akan berdampak pada kondisi sistem agribisnis di permukiman transmigrasi. Tahapan penyelenggaraan transmigrasi ini juga akan mempengaruhi pola dan sifat
115
keterkaitan permukiman transmigrasi dengan wilayah sekitarnya, yang pada tahap selanjutnya juga mempengaruhi kondisi sistem agribisnis di permukiman transmigrasi. Ini juga berarti bahwa output dari tahap penyelenggaraan transmigrasi juga dapat menentukan kuat atau lemahnya keterkaitan antara permukiman transmigrasi dengan wilayah sekitarnya. Konsep pembangunan transmigrasi merupakan konsep pembangunan dengan pendekatan peubah kewilayahan, yang mengacu pada struktur wilayah pengembangan berdasarkan satuan wilayah ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, permukiman transmigrasi kemudian dirancang secara hirarkis, yang saling menopang dan terintegrasi dalam simpul-simpul pusat produksi serta distribusi barang dan jasa hingga membentuk suatu pusat pertumbuhan ekonomi dan administrasi wilayah. Namun demikian, keberhasilan konsep ini sangat tergantung pada tingkat keterkaitan secara fungsional (dalam bentuk supply-demand) antara kondisi infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan yang terbangun pada wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi dengan kondisi yang ada di permukiman transmigrasi. Jika pembangunan permukiman transmigrasi tidak berjalan searah dengan pembangunan yang dilaksanakan pada desa-desa setempat (di luar permukiman transmigrasi), pembangunan transmigrasi hanya akan menghasilkan kawasan enclave yang
tidak berdampak optimal pada desa-desa di luar
permukiman transmigrasi. Oleh karenanya, tingkat keterkaitan ini juga sangat ditentukan kemampuan lembaga terkait dalam berkoordinasi khususnya Kementerian Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah, baik dalam hal perencanaan, pengalokasian anggaran maupun pelaksanaan pembangunannya. Kondisi sistem agribisnis ini juga ditentukan kinerja perekonomian makro wilayah. Keterkaitan ini dapat dipandang dari sisi permintaan terhadap produk pertanian dan olahannya, sebagai output dari agribisnis. Peningkatan permintaan pada dasarnya bersumber dari peningkatan pendapatan masyarakat, dan peningkatan pendapatan merupakan hasil kinerja makro perekonomian wilayah.
116
PEMBANGUNAN PERDESAAN Pengembangan Agribisnis Industrialisasi Perdesaan/ Urbanisasi Desa
Desa Pertanian
Penyelenggaraan Transmigrasi
Seleksi Lokasi Trans
Tahap Persiapan Komoditas & Pola Penyiapan Sarana Trans Prasarana
Penyiapan Calon Transmigran
Tahap Penempatan
Penyesuaian
Tahap Pembinaan Pemantapan
KINERJA MAKRO WILAYAH Pertumbuhan Ekonomi Kesempatan kerja
Pengembangan
POLA TRANSMIGRASI KE DEPAN
PEMBELAJARAN PEMBANGUNAN DESA
Pembangunan ekonomi berkelanjutan
KETERKAITAN DENGAN WILAYAH SEKITARNYA KONDISI SISTEM AGRIBISNIS
Kinerja Pasca Pembinaan
STADIA DESA
KATEGORI INDIKATOR
Kesejahteraan Penduduk Aktivitas Pertanian Aktivitas Non-Pertanian
Peningkatan Sistem Produksi
Marketable Surplus
I
Peningkatan Pendapatan
Industri Pertanian
II
Permintaan brg sekunder
Industri NonPertanian
III
Permintaan brg tersier
Industrialisasi Perdesaan Urbanisasi Kota Kecil/Menengah
Gambar 7 Kerangka pemikiran penelitian
IV
117
Pada tahap selanjutnya, kondisi sistem agribisnis menjadi faktor penentu dari kinerja permukiman transmigrasi pasca pembinaan (desa-desa eks transmigrasi). Untuk mengukur kinerja, penelitian ini menggunakan stadia pengembangan
wilayah perdesaan
Rustiadi
et
al. (2009). Dalam stadia
pengembangan wilayah tersebut dinyatakan terdapat enam stadia, namun demikian dalam penelitian ini hanya akan menggunakan empat stadia. Dua stadia awal (yaitu stadia sub-subsisten dan stadia subsisten) diasumsikan telah dilewati oleh desa eks transmigrasi pasca pembinaan. Pada
pasca
pembinaan,
dengan
berkembangnya
sistem
agribisnis,
transmigran mulai mengusahakan lahan usaha II (LU II). Lahan usaha II sebagai jatah lahan cadangan dimaksudkan untuk pengusahaan yang mampu memberikan pendapatan jangka panjang dengan nilai yang memadai. Mekanisme dan pola pengusahaan lahan usaha sangat ditentukan oleh dan terintegrasi dengan perkembangan sistem agribisnis di permukiman transmigrasi. Peningkatan produksi karena pengusahaan lahan usaha II ini membawa transmigran pada stadia marketable surplus (hasil usaha tani telah melebihi kebutuhan keluarganya) (Stadia I). Surplus hasil pertanian ini memerlukan pengembangan industri pengolahan terutama untuk memenuhi permintaan atas barang-barang olahan utama. Berkembangnya industi hasil pertanian skala kecil menandakan masuknya desa-desa eks transmigrasi pada stadia industri pertanian (Stadia II). Berkembangnya industri pertanian akan meningkatkan permintaan hasil pertanian. Ini berdampak pada peningkatan pendapatan transmigran. Peningkatan pendapatan transmigran akan meningkatkan permintaan terhadap produk-produk non-pertanian terutama barang-barang sekunder Hal ini akan mendorong tumbuhnya industri-industri non-pertanian skala kecil, sehingga desa-desa eks transmigrasi masuk pada stadia industri non-pertanian (Stadia III) Berkembangnya aktivitas industri tidak hanya berfungsi menampung surplus hasil produksi pertanian, tetapi juga menampung surplus tenaga kerja di sektor pertanian agar tetap menjaga tingkat pendapatan yang tinggi di sektor pertanian.
118
Berlanjutnya peningkatan pendapatan transmigran akan meningkatkan permintaan barang-barang tersier (barang-barang mewah). Ini akan meningkatkan permintaan barang mewah. Oleh karenanya akan berkembang industri-industri umum, sehingga desa-desa eks transmigrasi masuk pada tahap industrialisasi perdesaan ataupun urbanisasi kota kecil/menengah (Stadia IV). Melalui pemahaman tahap-tahap penyelenggaraan transmigrasi dan proses perkembangan yang terjadi pada desa-desa transmigrasi saat ini, selain dapat menjadi dasar pengembangan program transmigrasi juga diharapkan akan dapat menjadi dasar dalam merancang dan merumuskan kebijakan untuk pembangunan perdesaan secara keseluruhan. 3.2 Hipotesis 3.2.1 Hipotesis 1 Sebagai suatu pengembangan wilayah baru yang dikembangkan berdasarkan demand side strategy, maka desa-desa transmigrasi diduga mengalami perkembangan dari desa pertanian ke arah desa industri atau desa urban. Khususnya terhadap desa-desa eks transmigrasi, diduga terdapat empat stadia perkembangan yaitu Stadia Marketable Surplus, Stadia Industri Pertanian, Stadia Industri Non-Pertanian dan Stadia Industrialisasi Perdesaan/Urbanisasi Kota Kecil-Menengah. Perubahan-perubahan yang terjadi pada empat stadia tersebut selain dalam bentuk perubahan kesejahteraan juga dalam bentuk perubahan aktivitas pertanian dan aktivitas non-pertanian. 3.2.2 Hipotesis 2 Perkembangan desa-desa eks transmigrasi ditentukan oleh faktor-faktor yang tercakup dalam tahapan penyelenggaraan transmigrasi yaitu seleksi lokasi yang menentukan jarak lokasi permukiman terhadap pusat-pusat kegiatan, saranaprasarana (terutama sarana jalan), komoditas utama transmigrasi, karakteristik transmigran (dari proses seleksi transmigran), lamanya penempatan transmigran, serta faktor-faktor kinerja makro wilayah kabupaten. Secara terperinci hipotesis ini dinyatakan sebagai berikut: - Seleksi lokasi menentukan jarak desa-desa eks transmigrasi ke pusat-pusat pertumbuhan yang ada (didekati dalam pengertian ibukota kabupaten). Semakin dekat jarak pemukiman ke pusat-pusat pertumbuhan yang ada, maka akan
119
semakin tinggi perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Jarak yang dekat ke pusat-pusat pertumbuhan menyebabkan semakin tinggi akses terhadap pasar dan terhadap faktor-faktor produksi. Ini akan meningkatkan efisiensi dan produktivitas usaha di desa-desa eks transmigrasi. - Semakin baik kondisi jalan menuju desa (didekati melalui jenis permukaan jalan), maka akan semakin tinggi perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Jalan yang semakin baik akan meningkatkan aksesibilitas dalam hal waktu tempuh relatif menuju pusat-pusat pertumbuhan. - Desa-desa eks transmigrasi dengan tanaman perkebunan memiliki tingkat perkembangan yang lebih tinggi dibandingkan komoditas tanaman lainnya. Tanaman perkebunan memiliki nilai pasar produk yang relatif stabil dibandingkan tanaman pangan. Selain itu, sifat tanaman perkebunan yang merupakan tanaman tahunan, memiliki peluang untuk pewarisan ke generasi berikutnya. Ini menyebabkan generasi berikutnya dari transmigran tanaman perkebunan lebih memiliki jaminan kesejahteraan dibandingkan generasi berikutnya dari transmigran tanaman pangnan. - Semakin lama penempatan transmigran, semakin tinggi tingkat perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Lama penempatan terkait dengan proses penyesuaian transmigran terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta kemampuan untuk menemukan peluang untuk peningkatan kesejajteraam. - Terdapat perbedaan tingkat perkembangan desa-desa eks transmigrasi berdasarkan dominasi daerah asalnya - Semakin tinggi pertumbuhan ekonomi kabupaten, semakin tinggi tingkat pencapaian perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Hal ini disebabkan pertumbuhan ekonomi terkait erat dengan peluang usaha dan bekerja. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi menunjukkan tingginya peluang usaha dan bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk di desa-desa eks transmigrasi. - Semakin banyak unit usaha/industri terhadap penduduk, maka semakin tinggi tingkat pencapaian perkembangan desa-desa eks tranmsigrasi. Jumlah unit usaha/industri terkait erat dengan peluang usaha dan bekerja. Banyaknya unit usaha/industri menunjukkan tingginya peluang usaha dan bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk di desa-desa eks transmigrasi.
120
3.2.3 Hipotesis 3 Keterkaitan desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah sekitarnya dipengaruhi oleh karakteristik transmigran dan keluarganya serta karakteristik desa. Dalam hal ini keterkaitan desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah sekitarnya secara khusus didekati melalui perjalanan untuk berbagai kegiatan dengan penekanan khusus untuk kegiatan bekerja dan belanja antara di desa dan luar desa. Penekanan terhadap perjalanan untuk kegiatan bekerja dan belanja ini karena perjalanan untuk kedua kegiatan ini merupakan hasil dari bentuk keterkaitan fungsional antarwilayah. Secara terperinci, hipotesis ini diberikan sebagai berikut: Hipotesis 3.1 Perjalanan untuk Bekerja Perilaku perjalanan untuk
bekerja antara di desa dengan luar desa
dipengaruhi oleh umur individu, jenjang pendidikan, status pekerjaan, status dalam keluarga, daerah asal, luas lahan perkapita dalam keluarga, dan karakteristik desa. - Semakin tua umur individu maka semakin kecil peluang untuk bekerja di luar desa. Hal ini terkait dengan kemampuan fisik dan kemampuan untuk menghadapi persaingan untuk mendapatkan peluang kerja di luar desa. - Semakin tinggi pendidikan maka semakin besar peluang untuk bekerja di luar desa. Pendidikan yang semakin tinggi menyebabkan semakin tinggi kemampuan untuk bersaing mendapatkan peluang kerja di luar desa. - Terdapat perbedaan lokasi pekerjaan berdasarkan status pekerjaan. Pekerjaan sampingan relatif lebih banyak dilakukan di luar desa dibandingkan pekerjaan utama. - Terdapat perbedaan lokasi pekerjaan berdasarkan status keluarga. Anggota keluarga relatif lebih banyak melakukan pekerjaan yang berlokasi di luar desa dibandingkan kepala keluarga. - Terdapat perbedaan lokasi pekerjaan berdasarkan daerah asal dari individu yang bekerja di desa-desa eks transmigrasi. Daerah asal (suku) pada dasarnya tekait dengan kebiasaan dan etos kerja. - Semakin sempit lahan perkapita dalam keluarga maka semakin besar peluang untuk bekerja di luar desa. Hal ini disebabkan dengan semakin sempitnya lahan,
121
maka curahan jam kerja untuk usaha tani di desa juga akan semakin sedikit, sehingga individu memiliki kesempatan untuk mencari peluang kerja lain di luar desa. - Terdapat perbedaan perilaku individu dalam bekerja antara di desa dengan luar desa berdasarkan stadia perkembangan desanya. Penduduk di desa-desa stadia rendah cenderung bekerja di luar desa karena relatif terbatasnya kesempatan kerja di dalam desa. Hipotesis 3.2 Perjalanan untuk Belanja Perilaku perjalanan untuk belanja antara di desa dengan luar desa dipengaruhi oleh umur kepala keluarga, pendidikan kepala keluarga, umur istri, pendidikan istri, umur anak (tertua), pendidikan anak (tertua), pendapatan perkapita keluarga, daerah asal dan karakteristik desa. - Semakin tua umur kepala keluarga dan istri, maka semakin kecil peluang untuk belanja di luar desa. Hal ini terkait dengan kemampuan fisik untuk belanja di luar desa. - Semakin dewasa anak, maka semakin besar peluang untuk belanja di luar desa. Semakin dewasa maka semakin tinggi kemampuannya untuk melakukan perjalanan belanja yang relatif lebih jauh (di luar dewasa). Selain itu, semakin dewasa anak juga menyebabkan semakin banyak kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi di dalam desa. - Semakin tinggi pendidikan kepala keluarga, istri, dan anak maka semakin besar peluang untuk bekerja di luar desa. Pendidikan individu yang semakin tinggi menyebabkan semakin tinggi kebutuhan individu untuk berbagai jenis barang, yang tidak dapat dipenuhi di desa sendiri. - Terdapat perbedaan lokasi belanja berdasarkan daerah asal dari individu. Daerah asal (suku) pada dasarnya tekait dengan kebiasaan dan kebutuhan hidup. - Terdapat perbedaan perilaku individu dalam belanja antara di desa dengan luar desa berdasarkan perkembangan desanya. Penduduk di desa-desa stadia rendah cenderung berbelanja di luar desa karena ketersediaan fasilitas belanja yang relatif terbatas di dalam desa.
122
IV METODE PENELITIAN 4.1 Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jambi. Pemilihan Provinsi Jambi sebagai lokasi penelitian didasarkan pada pertimbangan: 1 Penempatan transmigran di Provinsi Jambi telah memiliki kurun waktu yang panjang, dimulai dari tahun 1940 dan terus berlanjut sampai saat ini. 2 Sejak Tahun 1940 hingga Tahun 2011 jumlah transmigran di Provinsi Jambi telah mencapai 83.422 KK, yang tersebar pada 209 UPT di 8 (delapan) dari 10 (sepuluh) kabupaten/kota yang ada di Provinsi Jambi (BPS Jambi 2011; Kemenakertrans 2012). Dengan jumlah tersebut telah menjadikan Provinsi Jambi sebagai salah satu daerah utama penempatan transmigran. 3 Tingkat kepadatan penduduk yang masih rendah, yang memungkinkan pembangunan transmigrasi di daerah ini dalam rangka memanfaatkan potensi sumber daya alamnya. 4.2 Unit Analisis Unit analisis pada penelitian ini terdiri dari tiga tingkatan, yaitu pada tingkatan individu, rumah tangga dan Desa. Individu dalam hal ini adalah anggota rumah tangga. Rumah tangga adalah rumah tangga yang berada di desa sampel. Desa dalam hal ini adalah desa-desa eks transmigrasi yaitu unit-unit permukiman transmigrasi yang telah menjadi desa definitif. 4.3 Jenis Data dan Instrumen Pengumpulan Data yang digunakan dalam penelitian terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan pada tingkat rumah tangga sampel yang dikumpulkan menggunakan instrumen kuesioner dan wawancara terstruktur. Data sekunder yang digunakan adalah data yang bersumber dari PODES (Potensi Desa) 2008, PPLS (Pendataan Program Perlindungan Sosial) 2008, SE (Sensus Ekonomi) 2006, Provinsi Jambi dalam Angka, Kabupaten dalam Angka dan Kecamatan dalam Angka. Selain itu juga data yang berasal dari instansi dan
124
lembaga terkait di tingkat nasional, tingkat provinsi, kabupaten, kecamatan, dan desa. Data pokok yang dikumpulkan antara lain: 1 Data karakteristik wilayah yang meliputi data geografi, potensi dan kesesuaian lahan pertanian, demografi, ekonomi-sosial-budaya, dan aksesibilitas wilayah. 2 Data ketransmigrasian pada tingkat kabupaten dan provinsi yang mencakup lokasi transmigrasi, perkembangan jumlah peserta transmigrasi berdasarkan daerah asal dan tahun penempatan, dan jenis komoditas tanaman yang dikembangkan di daerah transmigrasi 4.4 Alat Analisis Alat analisis yang digunakan dalam rangka menjawab permasalahan dan tujuan penelitian adalah sebagai berikut: 4.4.1 Stadia Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi Dalam menentukan stadia perkembangan desa-desa eks transmigrasi dilakukan langkah-langkah sebagai berikut: Kerangka Teoritis Penyusunan Indikator Indikator yang disusun didasarkan pada hipotesis tahapan perkembangan transmigrasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Rustiadi et al. (2009). Dalam hipotesis tersebut, transmigrasi dipandang sebagai strategi pengembangan wilayah dengan pendekatan demand side strategy. Dalam pendekatan demand side strategy tujuan pengembangan wilayah dilakukan dengan berbagai upaya untuk meningkatkan taraf hidup penduduk (kesejahteraan penduduk) di suatu wilayah. Peningkatan taraf hidup penduduk diharapkan akan meningkatkan permintaan terhadap barang-barang non-pertanian. Adanya peningkatan permintaan tersebut akan meningkatkan perkembangan sektor industri dan jasa-jasa yang akan lebih mendorong perkembangan wilayah tersebut. Oleh karenanya, sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, maka indikator perkembangan desa-desa eks transmigrasi dalam hal ini dibangun berdasarkan pemikiran (definisi konsep): “bahwa proses perkembangan desa-desa eks transmigrasi dapat dianalisis dalam tiga kategori penting yaitu kesejahteraan penduduk, aktivitas pertanian dan aktivitas non-pertanian (industri dan jasa-jasa)”.
125
Kesejahteraan Penduduk Kesejahteraan dalam konteks ini mengacu pada konsep kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan nonmaterial. Midgley et al. (2000) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “…a condition or state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal dan pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari risiko-risiko utama yang mengancam kehidupannya. Berdasarkan konsep ini, kesejahteraan penduduk secara konseptual dapat diukur berdasarkan lima sub-kriteria utama yaitu: (1) Derajat Kesehatan; (2) Derajat Pendidikan; (3) Kualitas Perumahan; (4) Pendapatan Masyarakat; dan (5) Keamanan. Derajat kesehatan diukur dari empat indikator tunggal sebagai berikut: Rasio tenaga kesehatan tingkat desa (bidan) terhadap jumlah penduduk Ketersediaan fasilitas kesehatan tingkat desa (Poskesdes, Polindes dan Posyandu) Kedua indikator adalah indikator dalam ukuran input kesehatan. Derajat pendidikan diukur dari ketersediaan fasilitas sekolah pada jenjang pendidikan TK, SD, dan SLTP. Indikator-indikator tersebut adalah indikator dalam ukuran input pendidikan. Kualitas Perumahan diukur dengan satu indikator yaitu proporsi perumahan dengan tipe permanen. Pendapatan masyarakat diukur dengan menggunakan indikator proxy, karena tidak tersedianya data pendapatan masyarakat di tingkat desa. Indikator proxy yang digunakan adalah Persentase keluarga miskin. Indikator merupakan indikator dalam ukuran output pendapatan. Keamanan diukur dengan menggunakan tiga indikator tunggal. Ketiga indikator tersebut merupakan indikator dalam ukuran input, yaitu: Rasio anggota hansip/linmas terhadap penduduk Rasio polisi Bantuan Bintara Desa terhadap penduduk Rasio Polisi Pelayanan Masyarakat terhadap penduduk
126
Aktivitas Pertanian Aktivitas pertanian secara konseptual dapat diukur berdasarkan aktivitas penduduk pada usaha pertanian dan perkebunan, perikanan, peternakan dan kehutanan. Dalam penelitian ini aktivitas pertanian diukur dengan menggunakan dua indikator tunggal, yaitu: Persentase keluarga pertanian Persentase lahan pertanian dari total luas lahan Kedua indikator merupakan indikator input untuk mencerminkan tingkat aktivitas pertanian pada suatu desa. Aktivitas Non-Pertanian Aktivitas non-pertanian dalam hal ini mencakup aktivitas industri dan jasajasa baik jasa perdagangan maupun non-perdagangan. Aktivitas non-pertanian diukur dari empat indikator tunggal. Keempat indikator tersebut merupakan indikator dalam ukuran input, yaitu: Rasio unit industri pertanian terhadap penduduk Rasio unit industri non-pertanian terhadap penduduk Rasio unit perdagangan terhadap penduduk Rasio unit jasa-jasa lainnya (non-perdagangan) terhadap penduduk Dari berbagai indikator tersebut terlihat bahwa indikator yang diajukan dibatasi pada indikator sosial dan ekonomi dan tidak melibatkan indikator lingkungan (ekologi) sebagai bagian dari indikator pembangunan berkelanjutan. Hal ini disebabkan keterbatasan ketersediaan data ekologi pada tingkat desa sebagai unit analisis. Selain itu, menurut Freshwater (2000) meskipun tidak mempertimbangkan faktor lingkungan, dari perspektif masyarakat perdesaan, pembangunan berkelanjutan seharusnya lebih menekankan pada bagaimana masyarakat menghasilkan pendapatan untuk mempertahankan gaya hidup perdesaan mereka. Tetapi dalam kenyataannya, baik di perkotaan maupun perdesaan, kondisi ekonomi mengalami perubahan yang sangat cepat. Ini menyebabkan dalam konteks pembangunan berkelanjutan, berbagai jenis kesempatan kerja (untuk menghasilkan pendapatan) juga bergerak dinamis mengikuti perubahan kondisi ekonomi. Berdasarkan hal tersebut, indikatorindikator yang diajukan dengan menganalisis perubahan-perubahan aktivitas
127
ekonomi
di
perdesaan
menjadi
relevan
dengan
konsep
pembangunan
berkelanjutan. Data yang Digunakan Data yang digunakan dalam penyusunan indikator ini bersumber dari data hasil Potensi Desa, PPLS dan Sensus Ekonomi. Rincian data yang digunakan diberikan pada Tabel 15 berikut. Tabel 15 Rincian jenis data yang digunakan sebagai indikator tingkat perkembangan desa eks transmigrasi Kriteria/SubKriteria
Indikator
Kesejahteraan Penduduk Derajat Rasio tenaga kesehatan tingkat desa(bidan) kesehatan terhadap jumlah penduduk Rasio KK terhadap Posyandu
Jenis indikator
Sumber data
Input
PODES
Input
PODES
Derajat Rasio TK terhadap 1000 penduduk pendidikan Rasio SD terhadap 1000 penduduk Rasio SMP terhadap 1000 penduduk
Input Input Input
PODES PODES PODES
Kualitas Proporsi perumahan dengan tipe permanen perumahan
Output
PODES
Output
PPLS BPS
Input
PODES
Input
PODES
Input
PODES
Input Input
PODES PODES
Input
SE 06
Input
SE 06
Input Input
SE 06 SE 06
Pendapatan Persentase keluarga miskin masyarakat Keamanan Rasio anggota hansip/linmas terhadap penduduk Rasio polisi Bantuan Bintara Desa terhadap penduduk Rasio Polisi Pelayanan Masyarakat terhadap penduduk Aktivitas Persentase keluarga pertanian pertanian Persentase lahan pertanian dari total luas lahan Aktivitas non- Rasio unit industri pertanian terhadap pertanian penduduk Rasio unit industri non-pertanian terhadap penduduk Rasio unit perdagangan terhadap penduduk Rasio unit jasa terhadap penduduk
Keterangan: PODES=Potensi Desa; SE=Sensus Ekonomi; PPLS=Pendataan Program Perlindungan Sosial
128
Pengujian Data Pengujian Normalitas Data. Pengujian normalitas data dilakukan melalui uji signifikansi dari skewness sebaran data. Dalam pengujian nilai critical ratio (cr) atau z-statistik dibandingkan dengan z-tabel pada tingkat α = 5%. Rumus zskewness sebagai berikut:
z skew
SK 6/n
di mana: SK = nilai skewness =
n xi x (n 1)( n 2)
3
σ = standar deviasi
n = banyaknya data Pengujian Data Pencilan. Pengujian data pencilan (outlier) dilakukan dengan menggunakan dua pengujian yaitu pengujian univariate outlier dan pengujian multivariate oulier. Pengujian univarite outlier dilakukan dengan menstandarisasi data dengan nilai z. Data pencilan adalah data dengan nilai z >= ±3. Rumus z sebagai berikut: z
x x
Pengujian multivariate outlier dilakukan dengan menggunakan kriteria Jarak Mahalanobis pada tingkat p<0,001. Jarak mahalanobis dievaluasi dengan menggunakan nilai mahalanobis d-squared. Mahalanobis d-squared digunakan untuk mengukur jarak skor hasil observasi terhadap nilai centroidnya. Rumus jarak mahalanobis sebagai berikut:
2 ( X )T 1 ( X ) di mana:
2 Jarak mahalanobis 1 Matrik kovarians
( X ) T Transpose vektor Analisis Faktor Dari indikator-indikator yang telah disusun sebelumnya, selanjutnya dilakukan analisis faktor. Analisis faktor dilakukan dalam rangka mereduksi atau
129
meringkas peubah yang banyak menjadi sedikit peubah (yang disebut faktor), tetapi masih memuat sebagian besar informasi yang terkandung dalam peubah asli. Tahapan-tahapan yang dilakukan dalam analisis faktor adalah: 1. Menguji peubah-peubah yang telah ditentukan. Prinsip pengujian adalah menentukan peubah-peubah yang dianggap layak untuk dimasukkan dalam analisis selanjutnya. Kelayakan suatu peubah adalah jika peubah tersebut memiliki kecenderungan mengelompok dan membentuk sebuah faktor. Hal ini dapat dilihat dari korelasi yang cukup tinggi peubah tersebut dengan peubah lainnya. Untuk pengujian ini dilakukan dengan metode Bartlett test of sphericity, pengukuran MSA (Measure of Sampling Adequacy) serta pengukuran KeiserMeyer-Olkin (KMO). Rumus Bartlett Test sebagai berikut: 2 p 5 B ln R n 1 6
di mana: R nilai determinan
n = jumlah data p = jumlah peubah Hasil uji Bartlett test merupakan hasil uji atas hipotesis: Ho: matriks korelasi = matrik identitas Ha: matriks korelasi matriks identitas Pengujian dengan membandingkan nilai Barlett test dengan nilai Tabel chisquare. Kriteria pengujian: Tolak H0 jika nilai Bartlett test > nilai Tabel chisquare. Rumus MSA sebagai berikut:
ri MSA
2 ij
j 1
r
j 1 i j
2
j 1 aij
2
di mana: r = koefisien korelasi a = koefisien korelasi parsial Kriteria pengujian untuk kelayakan suatu peubah adalah jika nilai MSA > 0.5
130
Rumus KMO sebagai berikut:
KMO
rii j
2
j 1
r
ij
j 1
2
a
2 ij
j 1
Kriteria pengujian untuk kelayakan suatu peubah adalah jika nilai KMO > 0.5 2. Proses Factoring dan Rotasi Proses factoring bertujuan untuk mengesktrak satu atau lebih faktor dari peubah-peubah yang telah lolos uji pada uji peubah sebelumnya. Dalam konteks proses factoring ini, akan digunakan metode Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis=PCA). Analisis komponen utama merupakan analisis data yang dilakukan dengan tujuan untuk menyederhanakan peubah yang diamati dengan menyusutkan atau mereduksi dimensinya. Reduksi dimensi dilakukan dengan menghilangkan korelasi antarpeubah melalui transformasi peubah-peubah asal ke peubah-peubah baru yang tidak saling berkorelasi. Peubah baru (y) disebut sebagai komponen utama yang merupakan hasil transformasi dari peubah asal x. Komponen utama adalah kombinasi linear terbobot peubah asal yang dapat menerangkan keragaman data dalam proporsi tertentu. Setelah satu atau lebih dari faktor terbentuk, dengan sebuah faktor berisi sejumlah peubah, kemungkinan sebuah peubah diragukan apakah layak atau tidak untuk dimasukkan dalam faktor yang terbentuk. Untuk mengatasi tersebut maka pada tahap selanjutnya dilakukan proses rotasi. Proses rotasi bertujuan untuk memperjelas posisi sebuah peubah dalam suatu faktor. Dalam penelitian ini, proses rotasi yang digunakan adalah metode Obligue Rotation. Pemilihan metode ini didasarkan pertimbangan untuk mendapatkan faktor yang sesuai dengan teori atau dengan kriteria/sub-kriteria indikator yang telah dikemukakan sebelumnya. Pemilihan Surrogate Variable Analisis faktor yang dilakukan pada tahapan sebelumnya, pada dasarnya dapat digunakan sebagai analisis antara maupun analisis akhir. Sebagai analisis antara, analisis faktor bermanfaat untuk menghilangkan multikolinearitas atau untuk mereduksi peubah yang berukuran besar ke dalam peubah baru yang
131
berukuran sederhana. Untuk analisis akhir, analisis faktor digunakan untuk mengelompokkan peubah-peubah penting dari suatu bundel peubah besar untuk menduga suatu fenomena, sekaligus memahami struktur dan melihat hubungan antarpeubah. Dalam konteks penelitian ini, analisis faktor dijadikan sebagai analisis antara. Dengan kata lain, hasil dari reduksi peubah tersebut akan digunakan untuk analisis lebih lanjut. Pada tahap analisis faktor sebelumnya akan menghasilkan factor loading. Factor loading merupakan bobot masing-masing peubah pada suatu faktor. Semakin tinggi bobot suatu peubah maka semakin tinggi kemampuan peubah tersebut mewakili faktor yang terbentuk. Untuk analisis lebih lanjut, dilakukan pemilihan surrogate variable atau peubah pengganti dari faktor yang terbentuk. Surrogate variable atau peubah pengganti ini adalah peubah asli. Pemilihan surrogate variable didasarkan pada faktor peubah dengan factor loading tertinggi pada faktor bersangkutan. Dengan demikian, pada tahap analisis selanjutnya, digunakan peubah dengan nilai asli bukan dalam skor faktor, tetapi dengan jumlah peubah yang lebih sedikit. Penyeragaman Dimensi Peubah yang digunakan (dalam hal ini surrogate variable hasil analisis sebelumnya), adalah peubah-peubah dengan dimensi pengukuran yang berbeda. Oleh karenanya pada tahap selanjutnya dilakukan penyeragaman dimensi pengukuran pada surrogate variable. Metode yang digunakan dalam penyeragaman dimensi ini adalah Min-Max Method, dengan rumus sebagai berikut:
IX i
X i Ximin Ximax Ximin
Di mana: IXi = peubah X untuk desa i yang telah dinormalisasi Xi = nilai peubah untuk desa i Xmin = nilai terendah dari peubah X Xmax = nilai tertinggi dari peubah X
132
Pembobotan dan Agregasi Setelah penyeragaman dimensi dan mendapatkan peubah dalam ukuran yang sama, selanjutnya dilakukan pembobotan. Pembobotan dilakukan dalam rangka mendapatkan besaran proporsi untuk masing-masing peubah dalam penetapan indikator komposit. Pembobotan masing-masing peubah dengan membagi Explained Variance dari factor loading masing-masing faktor peubah dengan Total Explained Variance, dengan rumus: WX
Fx var Fvar
Di mana: WX = bobot peubah X Fxvar = Explained Variance Factor Loading X ΣFvar = Total Explained Variance Factor Loading Selanjutnya untuk mendapatkan indeks komposit dilakukan agregasi dengan menggunakan metode linear agregation aditif dengan menggunakan rumus:
CI i Wx.Ix i Di mana: CIi = indeks komposit desa i Wx = bobot peubah (indikator) X Ixi = peubah X untuk desa i yang telah dinormalisasi Klasterisasi Desa Setelah mendapatkan nilai indeks komposit untuk masing-masing desa dari tahapan sebelumnya,
selanjutnya
dilakukan
diseminasi dalam
kerangka
mengelompokkan desa atas stadia perkembangannya. Perkembangan desa dikelompokkan atas empat hierarki. Pengelompokan atas empat stadia ini menggunakan asumsi yang didasarkan hipotesis stadia pengembangan kawasan transmigrasi yang dikemukan Rustiadi (2009), khususnya pada stadia setelah masa pembinaan pemukiman transmigrasi. Pengelompokkan pada empat stadia menggunakan metode K-Mean Cluster.
133
Analisis Diskriminan Stadia Untuk menentukan peubah yang membedakan kategori stadia serta untuk mengevaluasi keakuratan klasifikasi dari klaster yang terbentuk pada proses sebelumnya, dilakukan analisis diskriminan. Peubah yang digunakan adalah peubah-peubah yang lolos uji pada tahapan analisis faktor sebelumnya. 4.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi Untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan desadesa eks transmigrasi, peubah tak bebas (dependent variable) yang digunakan adalah pengkategorian stadia perkembangan desa eks transmigrasi yang diperoleh dari tahapan sebelumnya. Selanjutnya, peubah bebas (independent variable) yang digunakan terdiri dari dua kelompok peubah yaitu peubah-peubah yang berasal dari model penyelenggaraan transmigrasi (khususnya dalam kelompok seleksi lokasi, komoditas tanaman utama dan seleksi calon transmigrasi) dan peubahpeubah yang berasal dari kinerja wilayah kabupaten. Mengingat stadia perkembangan dikategorikan atas empat kategori yang berjenjang (ordinal), maka model yang digunakan adalah model regresi ordinal logit. McCullagh dan Nelder 1992 mengemukakan, model ordinal logit adalah model regresi logistik dengan peubah tak bebas dalam bentuk peubah ordinal/kategori dengan tiga atau lebih tingkatan berurutnya. Model determinan perkembangan desa eks transmigrasi sebagai berikut:
ln( j ) 1 X1 2.D1 X 2.D1 2.D2 X 2.D2 3.D1 X3.D1 3.D2 X3.D2 4 X 4
5.D1 X5.D1 5.D2 X5.D2 5.D3 X5.D3 6 X6 7 X7 e di mana: j = stadia perkembangan permukiman transmigrasi j1
0 = stadia IV; 1 = stadia I
j2
0 = stadia IV; 1 = stadia II
j3
0 = stadia IV; 1 = stadia III
Θj = probabilitas (skor ≤ j)/(1 – probabilitas (skor ≤ j)) α = konstanta persamaan; β1…β7 = koefisien peubah dalam model e = error term X1 = Jarak desa dari ibukota kabupaten
134
X2 = Permukaan jalan antar desa terluas X2.D1 0 = Aspal; 1 = Tanah X2.D2 0 = Aspal; 1 = Perkerasan X3 = Komoditi asal tanaman utama transmigran X3.D1 0 = Karet; 1 = Pangan X3.D2 0 = Karet; 1 = Kelapa Sawit X4 = Rata-rata lama penempatan transmigran di desa tersebut (dalam tahun) X5 = Dominasi daerah asal transmigran (lebih dari 50 persen penempatan) X5.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah X5.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat X5.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur X6 = Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten penempatan transmigrasi (10 tahun terakhir) X7 = Rasio perusahaan/usaha (menengah/besar) per 1000 penduduk pada kabupaten penempatan transmigrasi
1, 2.D1, 2.D2, 3.D1, 3.D2 < 0; 5.D1, 5.D2, 5.D3 0;
4, 6, 7 > 0
Pendugaan koefisien model menggunakan metode Generalized Linear Model (GLM). Sedangkan pengujian model secara keseluruhan menggunakan likelihood ratio, yaitu rasio fungsi kemungkinan modelUR lengkap terhadap fungsi kemungkinan modelR (Ho benar), dengan statistik uji G, dan pengujian secara parsial masing-masing koefisien menggunakan statistik uji Wald (Juanda 2009). 4.4.3 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk di Desa-Desa Eks Transmigrasi Untuk mengetahui kondisi sosial ekonomi penduduk di desa-desa eks transmigrasi dilakukan analisis pada data keluarga sampel. Kondisi sosial ekonomi mencakup pada karakteristik kepala keluarga, struktur dan kegiatan anggota keluarga, karakteristik tempat tinggal, kepemilikan keluarga terhadap lahan pertanian dan pendapatan keluarga. Analisis dilakukan secara deskriptif dengan membandingkan kondisi pada masing-masing desa. Untuk kepentingan tersebut dilakukan survai dengan mengambil sampel pada tingkat rumah tangga. Lokasi yang dipilih enam desa eks transmigrasi. Masing-masingnya dua desa (satu desa stadia tertinggi dan satu desa stadia
135
terendah dari hasil analisis sebelumnya) pada desa eks transmigrasi berbasis tanaman pangan, berbasis perkebunan kelapa sawit dan perkebunan karet. Pada masing-masing desa ditetapkan sampel keluarga sebesar 5 persen dari total populasi keluarga. Pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana dengan sampling frame berupa data KK yang ada pada kantor desa. 4.4.4 Interaksi Antarwilayah Untuk memenuhi kebutuhan hidup, penduduk dalam suatu wilayah sering harus memenuhinya dari wilayah lain. Oleh karenanya penduduk harus melakukan perjalanan ke wilayah lain sehingga membentuk struktur hubungan antarwilayah. Hubungan ini secara ekonomi dapat digambarkan sebagai proses permintaan (demand) dan penawaran (supply). Sebagaimana yang dikemukakan oleh Douglas (1998), salah satu bentuk keterkaitan antar wilayah adalah perjalanan penduduk baik untuk bekerja, bersekolah, belanja, berkunjung ataupun menjual barang dan jasa. Hubungan antarwilayah dapat disebut sebagai keterkaitan antarwilayah. Hubungan antarwilayah tersebut dapat juga diartikan sebagai interaksi. Prosesproses interaksi dibentuk oleh keterkaitan-keterkaitan di antara permukiman. Secara umum, penelitian ini menganalisis pergerakan penduduk dari desadesa eks transmigrasi (desa sampel) untuk berbagai aktivitas sosial ekonomi yang mencakup aktivitas bekerja, belanja, penjualan produk, keuangan, pendidikan, kesehatan rekreasi dan agama. Pergerakan penduduk untuk berbagai aktivitas sosial ekonomi tersebut akan dianalisis secara deskriptif berdasarkan pergerakan penduduk pada desa sampel. Khusus pergerakan penduduk untuk aktivitas bekerja dan belanja dilakukan pemodelan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhinya. Pemilihan dua kelompok perjalanan untuk aktivitas ini selain karena pertimbangan tingkat rutinitasnya, juga dengan pertimbangan bahwa perjalanan untuk kedua kelompok aktivitas ini terkait langsung dengan aspek demand-supply yang menjadi dasar interaksi antarwilayah.. Model pergerakan penduduk untuk bekerja Model perjalanan untuk kegiatan bekerja ini menggunakan data pada tingkat individu baik kepala keluarga maupun anggota keluarga (istri dan anak) yang
136
bekerja, baik pekerjaan utama maupun pekerjaan sampingan. Peubah tak bebas yang digunakan adalah lokasi bekerja antara desa dan luar desa sedangkan peubah bebasnya adalah karakteristik individu, keluarga dan stadia desa. Mengingat peubah tak bebas terdiri dari dua kategori, maka model yang digunakan adalah model regresi binary logit. Model tersebut diberikan sebagai berikut: g ( x ki ) 0 1 X 1 2. D1 X 2. D1 2. D 2 X 2. D 2 3 X 3 .4 X 4 5. D1 X 5. D 1 5 . D 2 X 5. D 2 5. D 3 X 5 . D 3 5 . D 4 X 5. D 4 6 X 6 7 X 7 e
di mana: g(xki) = peluang lokasi bekerja (0 = di desa; 1 = di luar desa) X1 = Umur (dalam tahun) X2 = Jenjang pendidikan formal X2.D1
0 = SD ke bawah; 1 = SLTP
X2.D2
0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X3 = Status Pekerjaan ( 0 = pekerjaan utama; 1 = pekerjaan sampingan) X4 = Status dalam keluarga (0 = kepala keluarga; 1 = anggota keluarga) X5 = Daerah asal X5.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah X5.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat X5.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur X5.D4 0 = Jambi; 1 = Lainnya X6 = Luas lahan perkapita dalam keluarga (ha/jiwa) X7 = Stadia Desa (0 = Rendah 1 = Tinggi)
1, 4, 6 , 7 < 0;
5.D1, 5.D2, 5.D3 0;
2.D1, 2.D2, 3, 4 > 0
Model pergerakan penduduk untuk belanja Pemodelan perjalanan untuk kegiatan belanja menggunakan data pada tingkat keluarga mengingat kegiatan belanja umumnya dilakukan bersama-sama antara kepala keluarga dan anggota keluarga. Peubah tak bebas dalam hal ini adalah proporsi jenis belanja di luar desa terhadap total jenis belanja keluarga yang dikategorikan atas proporsi rendah dan proporsi tinggi. Kategori rendah atau tinggi dikelompokkan dengan menggunakan K-Mean Cluster. Peubah bebas yang digunakan adalah karakteristik individu, keluarga dan stadia desa.
137
Mengingat peubah tak bebas terdiri dari dua kategori, maka model yang digunakan adalah model regresi binary logit. Model tersebut diberikan sebagai berikut: g ( x mi ) 0 1 X 1 2. D1 X 2. D1 2. D 2 X 2. D 2 3 X 3 .4. D1 X 4. D1 4. D 2 X 4. D 2 5 X 5 6. D1 X 6. D1 6. D 2 X 6. D 2 7 X 7 8. D1 X 8. D1 8. D 2 X 8. D 2 8. D 3 X 8. D 3 8. D 4 X 8. D 4 9 X 9 e
dimana: g(xmi) = peluang proporsi belanja di luar desa (0 = rendah; 1 = tinggi) X1 = Umur Kepala Keluarga (tahun) X2 = Jenjang pendidikan formal Kepala Keluarga X2.D1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP X2.D2
0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X3 = Umur Istri (tahun) X4 = Jenjang pendidikan formal Istri X4.D1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP X4.D2
0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X5 = Umur Anak Tertua (tahun) X6 = Jenjang pendidikan formal Anak Tertua X6.D1
0 = SD ke bawah; 1 = SLTP
X6.D2
0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X7 = Pendapatan perkapita keluarga (Rp 000 perbulan) X8 = Daerah asal X8.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah X8.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat X8.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur X8.D4 0 = Jambi; 1 = Lainnya X9 = Stadia Desa (0 = Rendah;
1 = Tinggi)
1, 3, 9, < 0; 8.D1, 8.D2, 8.D3, 8.D4 0 2.D1, 2.D2, 4.D1, 4.D2, 5, 6.D1, 6.D2, 7 > 0 Selanjutnya, alir rancangan penelitian menurut tujuan dan alat analisis yang digunakan diberikan pada Gambar 7 sedangkan keterkaitan tujuan, alat analisis, unit analisis, peubah dan sumber data diberikan pada Tabel 16 berikut.
138
TUJUAN 1 Kriteria /Sub Kriteria /Indikator Perkembangan Desa
Pengujian Data Normalitas (zskewness) Univariate Outlier (zscore) Multivariate Outlier (Mahalanobis)
Analisis Faktor Uji Kelayakan Peubah (Bartlett,MSA, KMO) Factoring (PCA) Rotasi (Obligue Rotasi)
Pemilihan Surrogate Variable (Peubah dg Factor Loading tertinggi pd faktor bersangkutan)
Gambar 8 Alir rancangan penelitian
TUJUAN 2 Faktor-Faktor yg Mempengaruhi (Ordinal Logit)
Klasterisasi Desa (K Mean Cluster)
INDEKS KOMPOSIT
Pembobotan & Agregasi Pembobotan (Variance factor loading) Agregasi (linear aditif)
Penyeragaman Dimensi (Metode Min-Max)
TUJUAN 3 STADIA DESA
Evaluasi Keakuratan (Analisis Diskriminan)
Pemilihan desa sampel
Pemilihan keluarga sampel
Analisis Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk (Deskriptif)
TUJUAN 4 Model Pergerakan Penduduk - Bekerja - Belanja (BinaryLogit)
139
Tabel 16 Kaitan tujuan, alat analisis, unit analisis, peubah dan sumber data No. 1.
Tujuan penelitian Alat analisis Unit analisis Menganalisis kinerja desa-desa Evaluasi dan Pengujian Desa eks transmigrasi Data Analisis Faktor dan Tahapannya Analisis Diskriminan
Peubah/Parameter Derajat kesehatan Derajat pendidikan Pendapatan masyarakat Keamanan Aktivitas pertanian Aktivitas non-pertanian 2. Menganalisis faktor-faktor yang Ordinal Logit Desa Jarak Desa dari ibukota kabupaten mempengaruhi kinerja desa Permukaan jalan antar desa terluas desa eks transmigrasi Komoditi asal tanaman utama transmigran Rata-rata lama penempatan transmigran Dominasi daerah asal transmigran Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten Rasio perusahaan/usaha per 1000 pddk 3. Menganalisis kondisi sosial Deskriptif Kuantitatif Keluarga Karakteristik Kepala Keluarga ekonomi penduduk desa-desa Struktur dan Kegiatan Anggota Keluarga eks transmigrasi Karakteristik Tempat Tinggal Kepemilikan Lahan dan Pendapatan 4. Menganalisis faktor-faktor yang Binary Logit Individu Umur mempengaruhi keterkaitan (perjalanan bekerja) Jenjang pendidikan formal desa-desa eks transmigrasi Status Pekerjaan terhadap wilayah sekitarnya status dalam keluarga Daerah asal Luas lahan perkapita dalam keluarga Stadia Desa Binary Logit Keluarga Umur Kepala Keluarga (tahun) (perjalanan belanja) Jenjang pendidikan Kepala Keluarga Umur Istri (tahun) Jenjang pendidikan Istri Umur Anak Tertua (tahun) Jenjang pendidikan Anak Tertua Pendapatan perkapita keluarga Daerah asal Stadia Desa Keterangan: PODES=Potensi Desa; SE=Sensus Ekonomi; PPLS=Pendataan Program Perlindungan Sosial
Sumber data Podes 2008 SE 2006 Kecamatan dalam Angka PPLS BPS Depnakertrans Kecamatan dalam Angka Kabupaten dalam Angka SE 2006 Survai
Survai
Survai
140
V GAMBARAN UMUM TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI 5.1 Sejarah dan Perkembangan Transmigrasi di Provinsi Jambi Transmigrasi di Provinsi Jambi telah dimulai pada masa kolonisasi. Keberhasilan kolonisasi di Lampung yang pada mulanya merupakan daerah percobaan terutama dalam penyediaan pangan, telah memotivasi Pemerintah Belanda untuk meningkatkan produksi pangan tersebut dengan mengembangkan daerah kolonisasi termasuk ke daerah Jambi. Pada masa kolonisasi, Provinsi Jambi (dulu berstatus Karesidenan Jambi) termasuk wilayah Sumatera Tengah. Pelaksanaan program kolonisasi dimulai pada tahun 1940 yang ditandai dengan pengiriman 506 kepala keluarga (KK) dengan 1.945 jiwa dari Pulau Jawa menuju daerah Bangko-Tabir dekat Rantau Panjang yang sekarang dikenal dengan kampung 1 s/d Kampung 12 di Desa Margoyoso. Kolonisasi pada masa tersebut bersifat kolonisasi pertanian, yaitu penyediaan buruh murah untuk pembangunan pertanian dalam jangka panjang. Selanjutnya, kegiatan perpindahan penduduk dari daerah asal dilanjutkan setelah masa kemerdekaan Indonesia yang dikenal dengan istilah transmigrasi. Penempatan transmigrasi pertama dilaksanakan pada tahun 1967 (periode Pra Pelita) pada UPT Rantau Rasau I Kabupaten Tanjung Jabung Timur (sebelum pemekaran Tahun 1999 berstatus sebagai Kabupaten Tanjung Jabung). Jumlah penempatan pada periode pertama transmigasi ini sebanyak 249 KK (1208 Jiwa). Pada Pelita I (1969/1970-1973/1974), jumlah transmigran yang ditempatkan sebanyak 2.450 KK (11.371 jiwa), pada 4 lokasi (UPT). Keseluruhan lokasi tersebut berada di Kabupaten Tanjung Jabung Timur sebagai kelanjutan dari UPT Rantau Rasau I yaitu UPT Rantau Rasau II, III, IV dan V. Pada Pelita II (1974/1975 – 1978/1979), jumlah transmigran yang telah ditempatkan sebanyak 13.476 KK (61.161 jiwa) pada 33 lokasi (UPT). Lokasi penempatan juga telah mengalami penyebaran pada tiga kabupaten lain selain Kabupaten Tanjung Jabung Timur, yaitu Kabupaten Bungo, Sarolangun dan Tebo. Selanjutnya, pada Pelita III (1979/1980 – 1983/194) telah ditempatkan transmigran sebanyak 22.741 KK (94.485 jiwa) pada 47 lokasi (UPT). Selain pada kabupaten-kabupaten penerima transmigrasi pada Pra Pelita, Pelita I dan II, pada
142
Pelita III ini lokasi pemukiman transmigrasi juga berada di Kabupaten Batang Hari, Merangin dan Muaro Jambi. Pada Pelita IV (1984/1985 – 1988/1989), jumlah transmigran mengalami penurunan dari periode sebelumnya, yaitu sebanyak 11.141 KK (47.136 jiwa) yang ditempatkan pada 27 lokasi (UPT). Meskipun demikian, pada periode ini lokasi transmigrasi semakin menyebar dengan masuknya Kabupaten Tanjung Jabung Barat (sebelum pemekaran pada Tahun 1999 berstatus sebagai Kabupaten Tanjung Jabung) sebagai lokasi penerima transmigrasi. Penempatan transmigran kembali mengalami peningkatan pada Pelita V (1989/1990 – 1993/1994). Pada periode ini ditempatkan transmigran sebanyak 17.411 KK (71.676 jiwa) pada 43 lokasi (UPT). Kabupaten penerima transmigrasi tidak mengalami perubahan jika dibandingkan pada Pelita sebelumnya. Pada Pelita VI (1994/1995-1998/1999) penempatan transmigran mengalami penurunan menjadi 9.710 KK (41.871 jiwa) yang ditempatkan pada 27 lokasi (UPT). Kabupaten penerima transmigran adalah Kabupaten Bungo, Sarolangun, Tebo Batang Hari, Merangin dan Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Barat. Penurunan ini berlanjut di era otonomi daerah. Pada periode 2000 – 2004, penempatan transmigran sebanyak 4.050 KK (17.028 jiwa) pada 15 lokasi (UPT). Kabupaten penerima transmigran pada periode ini adalah Kabupaten Batang hari, Bungo, Muaro Jambi, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat dan Tebo. Pada periode 2005 – 2009 ditempatkan sebanyak 2.030 KK (7.790 jiwa) pada 11 lokasi (UPT). Pada periode ini kabupaten penerima transmigran adalah Kabupaten Batang hari, Bungo, Kerinci, Muaro Jambi dan Sarolangun. Selanjutnya pada periode 2010 2011 ditempatkan sebanyak 164 KK (588 jiwa) pada 1 lokasi. Khususnya di era otonomi daerah ini, penyelenggaraan transmigrasi di Provinsi Jambi dilaksanakan dalam model kerja sama antardaerah, yaitu kerja sama antara daerah pengirim transmigrasi dan daerah penerima transmigrasi (dalam hal ini Provinsi Jambi). Pada tanggal 17 Desember 2002, Provinsi Jambi telah membuat kesepakatan kerja sama dengan lima provinsi pengirim transmigran yaitu D.I Yogyakarta, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
143
Ruang lingkup kerja sama mencakup pada Komunikasi, Informasi dan Edukasi; Survei Potensi Kawasan; Penyediaan Areal; Perencanaan Tata Ruang Permukiman Transmigrasi; Penyiapan Permukiman Transmigrasi; Pengerahan dan Penempatan Transmigran serta Perberdayaan Masyarakat. Selanjutnya dalam penyelenggaran transmigrasi berdasarkan konsep kerja sama antardaerah, biaya penyelenggaraannya dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara; Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi pengirim transmigran; Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi Jambi; Anggaran Pendapatan Belanja Daerah Kabupaten/Kota yang terkait dengan pelaksanaan Kesepakatan Bersama ini serta sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat. Berdasarkan penempatan transmigran dari periode Pra Pelita sampai tahun 2011, jumlah transmigran yang telah ditempatkan di Provinsi Jambi sebanyak 83.422 KK (354.284 jiwa) pada 209 lokasi (UPT). Secara terperinci diberikan pada Tabel 17 dan Gambar 8. Tabel 17 Perkembangan penempatan transmigran di Provinsi Jambi dari periode Pra Pelita sampai dengan tahun 2011 No.
Periode penempatan (a)
UPT/ LPT b)
Penempatanb) KK
Jiwa
Rata-rata per tahun KK Jiwa
1
Pra Pelita (1950 - 1968)
1
249
1208
14
67
2
Pelita I (1969/70 - 1973/74)
4
2450
11371
490
2274
3
Pelita II (1974/75 - 1978/79)
33
13476
61161
2695
12232
4
Pelita III (1979/80 - 1983/84)
47
22741
94485
4548
18897
5
Pelita IV (1984/85 - 1988/89)
27
11141
47136
2228
9427
6
Pelita V (1989/90 - 1993/94)
43
17411
71676
3482
14335
7
Pelita VI (1994/95 - 1998/99)
27
9710
41871
1942
8374
8
2000 - 2004
15
4050
17028
810
3406
9
2005 - 2009
11
2030
7790
406
1558
10
2010 - 2011
1
164
558
82
279
209
83422
354284
1368
5808
Jumlah
Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010; Kemenakertrans 2012. Keterangan: a) berdasarkan tahun awal penempatan b) jumlah sampai akhir periode penempatan
144
20000
18000
16000
KK atau jiwa
14000
12000
10000
8000
6000
4000
2000
0 Pra Pelit a 1950-1968
Pelit a I 69/70-73/ 74
Pelit a II Pelita III Pelita IV Pelita V Pelit a VI 2000 - 2004 2005 - 2009 74/ 75-78/ 79 79/80-83/ 84 84/85-88/89 89/ 90-93/94 94/95-98/99
2010 - 2011
Periode penempatan KK
Jiwa
Gambar 9 Rata-rata penempatan transmigrasi dari Pra-Pelita sampai era otonomi daerah di Provinsi Jambi. Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010; Kemenakertrans 2012.
Dari total jumlah UPT di Provinsi Jambi yang sebanyak 209 UPT, 8 UPT diantaranya masih merupakan UPT Binaan. UPT Binaan tersebut tersebar pada 5 kabupaten di Provinsi Jambi, yang merupakan transmigrasi dari tahun penempatan 2004 – 2011, dengan jumlah penempatan sebanyak 1350 KK (5254 jiwa). Tabel 18 UPT binaan Provinsi Jambi tahun 2011 Tahun penempatan
Jumlah penempatan KK Jiwa
No
Kabupaten
Kecamatan
Lokasi UPT
1
Batang Hari
Rantau Pandan
Tebing Jaya III
2007
200
781
2
Batang Hari
Rantau Pandan
Tebing Jaya IV
2008
150
576
3
Muaro Jambi
Kumpeh Ulu
Gd.Karya, S. Aur
2009
200
717
4
Bungo
Rantau Pandan
Rantau Pandan V
2004
210
849
5
Bungo
Rantau Pandan
Rantau Pandan X
2008
200
720
6
Bungo
Pelepat
Pelepat II
2006
190
811
7
Sarolangun
Pauh
Lamban Sigatal
2009
100
420
8
Kerinci
Siulak
Sei Bernas
2009
100
380
Jumlah Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010; Kemenakertrans 2012.
1350
5254
145
Penempatan transmigrasi di Provinsi Jambi dari segi pembiayaannya merupakan bentuk transmigrasi umum (TU) dan transmigrasi swakarsa berbantuan (TSB). Transmigrasi umum adalah transmigrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pasal 7 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009), sedangkan transmigrasi swakarsa berbantuan adalah transmigrasi yang dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah dengan mengikutsertakan badan usaha sebagai mitra usaha transmigran. Selain TU dan TSB ini, di Provinsi Jambi juga terdapat transmigrasi swakarsa mandiri (TSM). Transmigrasi swakarsa mandiri adalah transmigrasi yang dilaksanakan oleh transmigran yang bersangkutan secara perseorangan atau kelompok, baik bekerja sama maupun tidak bekerja sama dengan badan usaha, atas arahan, layanan dan bantuan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah (Pasal 9 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009). TSM dapat dikatakan sebagai transmigrasi “bebas biaya pemerintah”. Meskipun demikian, dalam pelaksanaannya tetap bersentuhan dengan biaya pemerintah. Artinya TSM tidak sepenuhnya bebas biaya pemerintah, hanya saja dibandingkan dengan TU dan TSB, subsidi (dana) pemerintah untuk TSM jauh lebih sedikit. Mengacu pada Undang-Undang Nomor 29 tahun 2009 pasal 15, transmigrasi swakarsa mandiri berhak memperoleh bantuan dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berupa: a) pengurusan perpindahan dan penempatan di Permukiman Transmigrasi; bimbingan untuk mendapatkan lapangan kerja atau lapangan usaha atau fasilitasi mendapatkan lahan usaha; b) lahan tempat tinggal dengan status hak milik; dan c) bimbingan, pengembangan, dan perlindungan hubungan kemitraan usaha. TSM di Provinsi Jambi terdiri dari dua bentuk yaitu TSM Penataan dan TSM Murni. TSM penataan yang diselenggarakan dari tahun 1990/1991 sampai 1993/1994 dan TSM Murni yang diselenggarakan mulai tahun 1994/1995 sampai Tahun 2009. Dari tahun 1990/1991 sampai 2009, telah ditempatkan TSM di Provinsi Jambi sebanyak 14.304 KK (45.469 KK), yang terdiri dari TSM penataan sebanyak 4.250 KK (12.853 jiwa) dan TSM Murni sebanyak 10.054 KK (32.616 jiwa). Penempatan TSM selama ini masih terbatas di lokasi-lokasi unit
146
permukiman/desa eks transmigrasi yang telah ada (PTA) untuk memanfaatkan sisa cadangan areal yang belum digunakan. Perkembangan Transmigrasi Swakarsa Mandiri di Provinsi Jambi diberikan pada Tabel 19 berikut. Tabel 19 Perkembangan Transmigrasi Swakarsa Mandiri (TSM) di Provinsi Jambi tahun 1990/1991 - 2009 Penataan
Murni
Total
No.
Tahun penempatan
1
1990/1991
400
1240
0
0
400
1240
2
1991/1992
1600
3895
0
0
1600
3895
3
1992/1993
1250
4349
0
0
1250
4349
4
1993/1994
1000
3369
0
0
1000
3369
5
1994/1995
0
0
2100
7156
2100
7156
6
1995/1996
0
0
2025
6085
2025
6085
7
1996/1997
0
0
2550
7987
2550
7987
8
1997/1998
0
0
2899
9722
2899
9722
9
1998/1999
0
0
153
417
153
417
10
2000
0
0
127
464
127
464
11
2009
0
0
200
785
200
785
4250
12853
10054
32616
14304
45469
Total
KK
Jiwa
KK
Jiwa
KK
Jiwa
Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010.
5.2. Transmigrasi Berdasarkan Daerah Asal dan Daerah Penempatan Lokasi transmigrasi di Provinsi Jambi tersebar pada hampir seluruh wilayah kabupaten di Provinsi Jambi kecuali Kota Jambi dan Kota Sungai Penuh. Berdasarkan sebarannya, penempatan terbanyak adalah di Kabupaten Muaro Jambi dengan proporsi sebesar 17,14 persen (14.268 KK) diikuti oleh Kabupaten Merangin sebesar 15,78 persen (13.134 KK), Bungo sebesar 13,74 persen (11.440 KK), Tanjung Jabung Timur sebesar 13,04 persen (10.859 KK), Tebo sebesar 11,98 persen (9.974 KK), Sarolangun sebesar 11,20 persen (9.324 KK), Tanjung Jabung Barat sebesar 8,88 persen (7.396 KK), Batang Hari sebesar 8,12 persen (6.763 KK) dan Kerinci sebesar 0,12 persen (100 KK) (Tabel 20 dan Gambar 9).
147
Tabel 20 Sebaran transmigran di Provinsi Jambi berdasarkan daerah asal dan kabupaten penempatan (kepala keluarga) tahun 2009 Kabupaten penempatan
Daerah asal JABAR JATENG JATIM
DKI
Jumlah DIY
TPS
Batang Hari
245
1309
1181
816
428
2784
6763
Bungo
167
2130
3815
1814
756
2758
11440
50
2094
5173
2909 1220
1688
13134
607
2338
2253
2411 1275
5384
14268
94
2201
2297
1463 1280
1989
9324
Tanjung Jabung Barat
398
1021
1541
1077
685
2674
7396
Tanjung Jabung Timur
20
2060
3431
3236 1279
833
10859
Tebo
68
520
7212
588
406
1180
9974
0
25
25
0
0
50
100
1649
13698
26928
14314
7329 19340
83258
Merangin Muaro Jambi Sarolangun
Kerinci Jumlah
Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010.
Tebo 12%
Kerinci Bt.Hari 0% 8% B ungo 14%
Tanjabtim 13%
Tanjabbar 9%
Sarolangun 11%
M erangin 16%
M a.Jambi 17%
Gambar 10 Sebaran transmigran menurut kabupaten penempatan di Provinsi Jambi tahun 2009 (persentase KK). Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010.
Selanjutnya berdasarkan daerah asalnya, proporsi terbesar (32,34 persen atau 26.928 KK) berasal dari Provinsi Jawa Tengah, diikuti oleh transmigran asal
148
penduduk setempat (TPS) sebesar 23,23 persen (19.340 KK), Provinsi Jawa Timur sebesar 17,19 persen (14.314 KK), Provinsi Jawa Barat sebesar 16,45 persen (13.698 KK), Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebesar 8,80 persen (7.329 KK) dan Provinsi Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta sebesar 1,98 persen (1.649 KK). Penempatan transmigran asal Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur telah berlangsung sejak periode Pra Pelita, sedangkan transmigran dari DIY dimulai sejak Pelita I, dan transmigran dari DKI dimulai sejak Pelita III (Tabel 20 dan Gambar 10).
DKI 2% TPS 23 %
Jabar 16%
DIY 9%
Jat eng 33% Jat im 17%
Gambar 11 Sebaran transmigran menurut daerah asal di Provinsi Jambi tahun 2009 (persentase KK). Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010.
Khusus untuk transmigran asal penduduk setempat (TPS) di Provinsi Jambi terdiri dari beberapa kelompok masyarakat yaitu: 1. Transmigran Alokasi Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi (APPDT) adalah mereka yang berasal dari penduduk yang terkena areal lokasi transmigrasi dan penduduk desa sekitar di kabupaten yang bersangkutan.
149
2. Transmigran asal Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) adalah mereka yang bertransmigrasi karena termasuk dalam wilayah TNKS guna mensukseskan program menjaga paru-paru dunia. 3. Transmigran asal Kota Jambi adalah transmigrasi yang dilaksanakan untuk kepentingan pembangunan daerah khususnya di Kota Jambi. 4. Transmigran asal pensiunan PNS dan purnawirawan ABRI. 5. Transmigran yang berasal dari penduduk pengungsi (PSI). Proporsi transmigran TPS di Provinsi Jambi lebih besar dari norma 20 persen dari total penempatan transmigran. Hal ini disebabkan, mulai tahun 1992/1993 Menteri Transmigrasi dan PPH memberikan kebijakan penempatan transmigran TPS di Provinsi Jambi sebesar 50 persen dari target penempatan setiap tahun. Pertimbangannya untuk menampung penduduk dari kawasan kumuh Kota Jambi, perambah hutan/peladang berpindah dari kawasan Taman Nasional Kerinci Sebelat (TNKS) yang jumlahnya cukup besar serta memperkecil kesenjangan sosial antara transmigran dari daerah asal dan penduduk setempat. Dari lima kelompok masyarakat tersebut, proporsi TPS terbesar adalah untuk kelompok APPDT dengan proporsi mencapai 75,86 persen (14.671 KK) dari total TPS. Proporsi terbesar kedua adalah TNKS sebesar 17,89 persen (3.460 KK) diikuti oleh KODYA sebesar 3,53 persen (682 KK), ABRI sebesar 1,51 persen (293 KK), Pengungsi (PSI) sebesar 0,79 persen (153 KK) dan PNS sebesar 0,42 persen (81 KK). Penempatan kelompok APPDT dimulai sejak Pelita II dan terus berlangsung sampai pada periode penempatan tahun 2005 – 2009. Penempatan kelompok masyarakat TNKS mulai dilaksanakan pada Pelita IV, namun demikian pada periode 2005 – 2009 tidak terdapat lagi penempatan untuk kelompok masyarakat ini. Penempatan untuk kelompok masyarakat asal Kota Jambi, Pensiunan PNS dan Purnawirawan ABRI berlangsung selama periode Pelita V dan VI, sedangkan untuk penempatan kelompok masyarakat pengungsi hanya berlangsung pada periode 2000 – 2004. Secara terperinci, sebaran transmigran asal penduduk setempat (TPS) ini diberikan pada Tabel 21 berikut:
150
Tabel 21 Sebaran TPS di Provinsi Jambi berdasarkan kelompok masyarakat dan kabupaten penempatan (KK) tahun 2009 Kabupaten penempatan Batang Hari Bungo Merangin Muaro Jambi Sarolangun Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Timur Tebo Kerinci Jumlah
APPDT
Kelompok Masyarakat TNKS KODYA ABRI
PNS
PSI
Jumlah
2026 2693 1577 3338 1584 1510 833 1060 50
666 20 33 1477 375 839 0 50 0
53 0 0 366 0 242 0 21 0
19 0 0 183 0 51 0 40 0
20 0 0 20 0 32 0 9 0
0 45 78 0 30 0 0 0 0
2784 2758 1688 5384 1989 2674 833 1180 50
14671
3460
682
293
81
153
19340
Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010. Keterangan: APPDT= Transmigran Alokasi Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi; TNKS= Transmigran dari Taman Nasional Kerinci Sebelat; KODYA= Transmigran dari Kota Jambi; ABRI= Transmigran dari ABRI; PNS = Transmigran dari pegawai negeri sipil; PSI = Transmigran Pengungsi.
Proporsi TPS tidak merata berdasarkan kabupaten penempatannya. Kabupaten Kerinci menempatkan TPS dengan proporsi terbesar yang mencapai 50,00 persen, diikuti oleh Kabupaten Batang Hari sebesar 41,17 persen, Muaro Jambi sebesar 37,73 persen, Tanjung Jabung Barat sebesar 36,15 persen, Bungo sebesar 24,11 persen, Sarolangun sebesar 21,33 persen, Merangin sebesar 12,85 persen, Tebo sebesar 11,83 persen dan Tanjung Jabung Timur sebesar 7,67 persen. Tabel 22 Sebaran TPS di Provinsi Jambi berdasarkan kelompok masyarakat dan kabupaten penempatan tahun 2009 (Jiwa) Kabupaten Penempatan
APPDT
Kelompok Masyarakat TNKS KODYA ABRI
Batang Hari Bungo Merangin Muaro Jambi Sarolangun Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Timur Tebo Kerinci
10197 13508 7732 16767 7249 7278 3877 5810 194
3094 79 132 6979 1724 3755 0 195 0
327 0 0 1969 0 1382 0 101 0
123 0 0 814 0 322 0 143 0
Jumlah
72612
15958
3779
1402
Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010 Keterangan: Lihat Tabel 21
PNS
PSI
Jumlah
126 0 0 193 0 336 109 0 0 117 167 0 0 0 52 0 0 0
13867 13780 8200 26638 9090 12904 3877 6301 194
454
94851
646
151
5.3. Pola Transmigrasi di Provinsi Jambi Dalam pelaksanaannya, transmigrasi di Provinsi Jambi memiliki beberapa pola. Secara umum pola-pola tersebut yaitu: (1) Transmigrasi Umum baik dalam bentuk Transmigrasi Umum Lahan Kering (TULK) maupun Transmigrasi Umum Lahan Basah (TULB); (2) Transmigrasi Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR); (3) Transmigrasi
Pengembangan
Desa
Potensial
(TRANSBANGDEP);
(4)
Transmigrasi dalam Proyek Peningkatan Program Permukiman Perambah Hutan melalui Dana Reboisasi (P4HDR); (5) Pola Transmigrasi Hutan Tanaman Industri (HTI-Trans); dan (6) Transmigrasi Hutan Tanaman Rakyat (Trans-HTR). Tabel 23 Pola transmigrasi berdasarkan jumlah UPT, jumlah KK dan jiwa penempatan di Provinsi Jambi tahun 2009 UPT
Jumlah KK Penempatan
Jumlah Jiwa Penempatan
127
51329
219757
PIR
65
28963
121736
TRANSBANGDEP
10
1406
5172
P4HDR
4
900
4202
HTI - Trans
2
600
2439
Trans-HTR
1
100
420
209
83258
353726
Pola Transmigrasi Transmigrasi Umum
Total
Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010 Keterangan: PIR = Perkebunan Inti Rakyat; TRANSBANGDEP = Transmigrasi Pengembangan Desa Potensial; P4HDR = Proyek Peningkatan Program Permukiman Perambah Hutan melalui Dana Reboisasi; HTI-Trans = Pola Transmigrasi Hutan Tanaman Industri; Trans-HTR= Transmigrasi Hutan Tanaman Rakyat
Tabel 24 Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT) berdasarkan pola dan daerah penempatannya di Provinsi Jambi tahun 2009 Me- Muaro SaroPola Batang Bungo Transmigrasi Hari rangin Jambi langun Trans. Umum 7 28 28 6 11 PIR 11 5 0 26 5 TRANSBANGDEP 0 1 4 0 0 P4HDR 0 1 0 0 3 HTI - Trans 0 0 0 0 1 Trans-HTR 0 0 0 0 1 Total 18 35 32 32 21 Sumber: Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010 Keterangan: Lihat Tabel 21
Tanjab Barat 2 13 5 0 0 0 20
Tanjab Tebo Timur 22 21 0 5 0 0 0 0 0 1 0 0 22 27
Kerinci 1 0 0 0 0 0 1
152
Transmigrasi Umum Transmigrasi umum merupakan pola transmigrasi yang utama di Provinsi Jambi. Dari total lokasi permukiman transmigrasi yang sebanyak 208 UPT, 126 UPT (60,58 persen) merupakan transmigrasi umum, dengan jumlah transmigran yang ditempatkan sebanyak 51.329 KK (atau 61,65 persen dari total KK transmigran). Pola ini juga merupakan pola yang digunakan pada awal penempatan transmigrasi di Provinsi Jambi dan masih berlangsung sampai saat ini (tahun 2009). Dari segi lokasi, penempatan transmigrasi umum tanaman ini menyebar di seluruh kabupaten penempatan transmigrasi di Provinsi Jambi. Perkebunan Inti Rakyat (PIR) Pola PIR pertama kali dilaksanakan di Provinsi Jambi pada tahun 1982 dan berakhir pada tahun 2002. Jumlah UPT PIR sebanyak 65 UPT atau 31,10 persen dari total UPT di Provinsi Jambi dengan jumlah transmigran yang ditempatkan sebanyak
28.963 KK (atau 34,77 persen dari total KK transmigran). Lokasi
transmigrasi dengan pola ini menyebar pada enam kabupaten yaitu Kabupaten Batang Hari, Bungo, Muaro Jambi, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat dan Tebo. Transmigrasi Pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) merupakan pengembangan pola perkebunan dengan program transmigrasi yang dikembangkan pemerintah. Perkebunan Inti Rakyat dibedakan dua macam yaitu: - PIR berbantuan luar negeri yang sering dinamakan NES (Nucleus Estate and Smallholder Development Project), sebagian besar dananya diperoleh dari luar negeri. - PIR Swadana, yang seluruh dananya diperoleh dari dalam negeri. PIR swadana yang dikembangkan di sekitar kebun besar yang telah ada dengan mengikut sertakan penduduk setempat/lokal disebut PIR Lokal, sedang apabila petani pesertanya sebagian besar (80 persen) transmigran (terutama transmigrasi swakarsa) disebut PIR khusus. Terdapat empat pertimbangan yang melatarbelakangi diterapkannya pola PIR yaitu untuk meningkatkan produksi komoditas nonmigas, meningkatkan pendapatan
petani,
membantu
pengembangan
wilayah,
dan
menunjang
keberhasilan program transmigrasi. Pola PIR adalah pola pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti
153
yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerja sama yang saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan. Perusahaan Inti adalah perusahaan perkebunan besar, baik milik Swasta maupun milik Negara, lengkap dengan fasilitas pengolahannya yang dibangun (dikembangkan) dan dimiliki oleh perusahaan inti Wilayah Plasma adalah wilayah pemukiman dan usaha tani yang dikembangkan oleh petani peserta dalam rangka pelaksanakan proyek PIR yang meliputi pekarangan, perumahan, dan kebun plasma. Kebun Plasma adalah areal Wilayah Plasma yang dibangun oleh perusahaan inti dengan tanaman perkebunan. Peserta PIR-Trans sebagaimana disebutkan dalam Surat Keputusan (SK) Menteri Pertanian nomor 333/Kpts/KB.510/6/1986 adalah sebagai berikut: a. Transmigran (ditetapkan oleh Menteri Transmigrasi) b. Penduduk setempat, termasuk para petani yang tanahnya termasuk dalam proyek PIR-Trans (ditetapkan oleh pemerintah daerah). c. Petani atau peladang berpindah dari kawasan hutan terdekat yang dikenakan untuk proyek (ditetapkan oleh pemerintah daerah). Perusahaan inti berhak atas lahan perkebunan inti. Lahan tersebut merupakan tanah Hak Guna Usaha (HGU) untuk jangka waktu 35 tahun. Pada waktu akan berakhir dapat diperpanjang maksimal 25 tahun. Lahan kebun inti dimanfaatkan untuk kebun inti, emplasemen (satuan bangunan), dan pabrik pengolahan. Biaya untuk pengembangan kebun inti, termasuk fasilitas pengolahannya menjadi tanggung jawab perusahaan inti. Petani peserta berhak atas lahan pekarangan, termasuk rumah seluas 0,5 ha dan lahan kebun plasma seluas 2 ha. Lahan pekarangan dapat dimanfaatkan untuk rumah dan pengusahaan tanaman pangan. Lahan pekarangan diserahkan apabila telah siap diolah dan rumah selesai dibangun di atasnya. Sementara lahan kebun diserahkan apabila tanaman yang diusahakan telah mencapai umur menghasilkan dan memenuhi standar fisik yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perkebunan, serta petani peserta telah menandatangani kredit dari bank pemerintah. Lahan kebun plasma dan pekarangan merupakan hak milik petani peserta. Namun sertifikatnya disimpan di bank sebagai agunan.
154
Untuk PIR-Trans kelapa sawit, pada tahap permulaan produksi yaitu pada tahun keempat, perbandingan antara luas kebun inti dengan kebun plasma dapat dimulai dengan 40:60. Dalam waktu selambat-lambatnya 10 tahun, secara bertahap perbandingan keduanya harus mencapai 20:80. Selanjutnya perusahaan inti memiliki kewajiban sebagai berikut: a. Membangun perkebunan inti, lengkap dengan fasilitas pengolahannya untuk menampung hasil perkebunan inti dan plasma. b. Melaksanakan pembangunan kebun plasma sesuai dengan petunjuk dan standar fisik yang telah ditetapkan Direktur Jenderal Perkebunan. c. Bertindak sebagai pelaksana penyiapan lahan pekarangan rumah petani peserta sesuai dengan petunjuk teknis dari Departemen Transmigrasi. d. Memberikan petunjuk teknis budi daya kepada petani peserta. e. Membeli seluruh hasil kebun plasma dengan harga beli yang layak sesuai pedoman yang telah ditetapkan oleh Menteri Pertanian. f. Membantu proses pengembalian kredit petani peserta. Sedangkan kewajiban petani peserta PIR-Trans adalah: a. Mengganti biaya pembangunan kebun plasma. Untuk itu petani peserta mendapat kredit lunak jangka pangjang dari pemerintah. b. Mengusahakan kebun plasma sesuai dengan petunjuk teknis budi daya yang diberikan oleh perusahaan inti. c. Menjual seluruh hasil kebun plasma kepada perusahaan inti. TRANSBANGDEP Pelaksanaan pola TRANSBANGDEP di Provinsi Jambi hanya pada tahun 1991, 1992 dan 1994. Jumlah UPT TRANSBANGDEP sebanyak 10 UPT atau 4,81 persen dari total UPT di Provinsi Jambi dengan jumlah transmigran yang ditempatkan sebanyak 1.406 KK (atau 1,69 persen dari total KK transmigran). Lokasi transmigrasi dengan pola ini berada di tiga kabupaten yaitu Kabupaten Bungo, Merangin dan Tanjung Jabung Barat. TRANSBANGDEP, singkatan dari Transmigrasi Pengembangan Desa Potensial, merupakan upaya penataan dan pengembangan desa di daerah transmigrasi
yang masih
dikembangkan.
memiliki potensi
TRANSBANGDEP
merupakan
sumber upaya
daya untuk
alam
untuk
melakukan
155
penyebaran penduduk di suatu daerah yang jumlah penduduk aslinya tidak begitu besar, tetapi memiliki sejumlah lahan yang potensial untuk dikembangkan. Program ini merupakan program penempatan transmigran berdasarkan kerja sama Departemen Transmigrasi dan Departemen Dalam Negeri. P4HDR Dalam penyelenggaraan transmigrasi mulai tahun anggaran 1995/1996 sampai dengan tahun anggaran 1998/1999, telah juga dilaksanakan penempatan para perambah hutan melalui Proyek Peningkatan Program Pemukiman Perambah Hutan melalui Dana Reboisasi (P4HDR). Pelaksanaan pola P4HDR di Provinsi Jambi hanya dilaksanakan pada tahun 1995, 1996, 1997 dan 2000. Jumlah UPT TP4HDR sebanyak 4 UPT atau 1,92 persen dari total UPT di Provinsi Jambi dengan jumlah transmigran yang ditempatkan sebanyak 900 KK (atau 1,08 persen dari total KK transmigran). Lokasi transmigrasi dengan pola ini berada di dua kabupaten yaitu Kabupaten Bungo (1 UPT) dan Kabupaten Sarolangun (3 UPT). HTI-Trans Pembangunan Hutan Tanaman Industri Transmigrasi (HTI Trans) yang merupakan pengembangan HTI yang dipadukan dengan program transmigrasi mulai diperkenalkan pada Repelita V. Pelaksanaan Hutan Tanamanan Industri Transmigrasi (HTI-Trans) didasarkan pada Keputusan Bersama Menteri Transmigrasi dan Menteri Kehutanan Nomor SKB 81/MEN/1990 376/KPTSII/1990 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembangunan Transmigrasi Hutan Tanaman Industri. HTI merupakan hutan tanaman yang dibangun sebagai satuan usaha pengelolaan hutan secara komersil, yang secara ekonomis dapat mandiri untuk menghasilkan bahan baku industri perkayuan, sedangkan HTI-Trans merupakan kerja sama antara swasta pemegang Hak Penguasahan Hutan (HPH) dengan transmigran sebagai pemasok tenaga kerja. Pola HTI-Trans ini dilaksanakan di Provinsi Jambi pada Tahun 1993, dan tidak terdapat keberlanjutan setelah itu. Hanya ada dua UPT dengan pola ini yang masing-masingnya satu unit berada di Kabupaten Sarolangun dan Tebo dengan
156
jumlah transmigran yang ditempatkan sebanyak 600 KK (atau 0,72 persen dari total KK transmigran). Trans-HTR Berdasarkan Peraturan Bersama Menakertrans dan Menhut Nomor Per. 23/MEN/X/2OO7
dan
Nomor
52/MENHUT-II/20O7,
pemerintah
mengembangkan program Transmigrasi Hutan Tanaman Rakyat (Trans-HTR). Program Trans-HTR adalah keterpaduan kegiatan dalam pelaksanaan program transmigrasi dengan pembangunan Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang dikembangkan Kementerian Kehutanan. Program HTR merupakan hutan tanaman pada hutan produksi yang dibangun perseorangan atau koperasi untuk meningkatkan kualitas hutan produksi dengan menerapkan silvikultur dalam rangka
menjamin
kelestarian
sumber
daya
hutan.
Berbeda
dengan
program/gerakan menanam yang selama ini digalakkan dalam menghadapi isu pemanasan global, pada program Trans-HTR setiap transmigran tidak hanya sekedar menanam pohon, tetapi juga memeliharanya sehingga pohon tersebut bisa tumbuh besar dan bisa cepat dipanen. Pada tahap awal, telah dikembangkan program Trans-HTR pada dua Kota Terpadu Mandiri (KTM). Salah satu KTM itu berada di Provinsi Jambi yaitu KTM Pauh-Mandiangin di Kabupaten Sarolangun, sedangkan satu KTM lagi berada di Padauloyo Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi Sulawesi Tengah. Pada tahap awal ini, transmigran program Trans-HTR yang ditempatkan di Provinsi Jambi adalah sebagai 100 KK ( atau 0,12 persen dari total KK transmigran).
VI. KINERJA DESA-DESA EKS TRANSMIGRASI DI PROVINSI JAMBI 6.1 Komparasi Kinerja Desa-Desa Eks Transmigrasi dan Desa-Desa NonTransmigrasi Pada bagian ini akan dianalisis kinerja desa-desa eks transmigrasi dan perbandingannya dengan desa-desa non-transmigrasi (desa penduduk setempat). Analisis kinerja didasarkan pada tiga kelompok indikator utama yaitu kesejahteraan penduduk, aktvitas pertanian dan aktivitas non-pertanian. 6.1.1 Kesejahteraan Penduduk Analisis kelompok indikator kesejahteraan penduduk terbagi atas subkelompok kinerja kesehatan, pendidikan, keamanan dan pendapatan masyarakat. Kinerja Kesehatan Salah satu komponen pokok yang berkaitan langsung dengan kualitas sumber daya manusia sekaligus juga terkait dengan tingkat kesejahteraan adalah derajat kesehatan masyarakat. Masyarakat yang sehat akan memiliki kualitas sumber daya manusia yang lebih baik dan mampu hidup secara lebih produktif. Oleh karena itu, kualitas sumber daya manusia dan tingkat kesejahteraan selalu diupayakan peningkatannya melalui peningkatan kesehatan penduduk. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan ditetapkan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Dalam konstitusi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tahun 1948 disepakati antara lain bahwa diperolehnya derajat kesehatan yang setinggi-tingginya adalah suatu hak yang fundamental bagi setiap orang tanpa membedakan ras, agama, politik yang dianut dan tingkat sosial ekonominya. Dalam konteks penilaian terhadap kinerja kesehatan desa-desa eks transmigrasi ini menggunakan dua indikator kesehatan. Pertama, rasio kepala keluarga terhadap Pos Pelayanan Keluarga Berencana–Kesehatan Terpadu (Posyandu) dan yang kedua adalah rasio bidan per 1000 penduduk. Posyandu adalah kegiatan kesehatan dasar yang diselenggarakan dari, oleh dan untuk masyarakat yang dibantu oleh petugas kesehatan. Posyandu merupakan
158
kegiatan swadaya dari masyarakat di bidang kesehatan dengan penanggung jawab kepala desa. Pelayanan kesehatan terpadu (yandu) adalah bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan yang dilaksanakan di suatu wilayah kerja Puskesmas. Tempat pelaksanaan pelayanan program terpadu di balai dusun, balai kelurahan, RW, dan sebagainya disebut dengan Pos pelayanan terpadu (Posyandu). Persyaratan pembentukan Posyandu 1. Penduduk RW tersebut paling sedikit terdapat 100 orang balita 2. Terdiri dari 120 kepala keluarga 3. Disesuaikan dengan kemampuan petugas (bidan desa) 4. Jarak antara kelompok rumah, jumlah KK dalam satu tempat atau kelompok tidak terlalu jauh 5. Pembentukan Posyandu sebaiknya tidak terlalu dekat dengan Puskesmas agar pendekatan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat lebih tercapai. Posyandu terutama untuk melayani balita (imunisasi, timbang berat badan) dan orang lanjut usia (Posyandu Lansia), dan lahir melalui suatu Surat Keputusan Bersama antara Menteri Dalam Negeri RI (Mendagri), Menteri Kesehatan (Menkes) RI, Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) dan Ketua Tim Penggerak (TP) Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) dan dicanangkan pada sekitar tahun 1986. Legitimasi keberadaan Posyandu ini diperkuat kembali melalui Surat Edaran Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah tertanggal 13 Juni 2001 yang antara lain berisikan “Pedoman Umum Revitalisasi Posyandu” yang antara lain meminta diaktifkannya kembali Kelompok Kerja Operasional (POKJANAL) Posyandu di semua tingkatan administrasi pemerintahan. Rata-rata rasio KK per Posyandu di desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi adalah 254, sedangkan pada desa-desa non transmigrasi adalah sebesar 305. Angka yang lebih rendah menunjukkan jumlah Posyandu di desa-desa eks transmigrasi lebih banyak dibandingkan desa-desa non-transmigrasi berdasarkan rasionya terhadap jumlah KK. Hal ini terutama terlihat pada Kabupaten Batanghari, Bungo, Merangin, Muaro Jambi, dan Tanjung Jabung Barat.
159
Dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat, peranan tenaga kesehatan di tingkat desa utamanya bidan sangat penting pada daerah-daerah yang sulit mengakses fasilitas kesehatan maupun sebagai penolong pertama dalam penanganan kesehatan sebelum pemberian penanganan pada tingkatan pelayanan kesehatan yang lebih tinggi. Selain itu, keberadaan bidan juga menjadi penting sebagai upaya peningkatan pola hidup sehat dalam masyarakat di perdesaan. Terkait dengan tenaga bidan ini dapat dikemukakan bahwa rata-rata rasio bidan per 1000 penduduk di desa-desa eks transmigrasi adalah sebesar 0,61, dalam artian untuk setiap 1000 penduduk terdapat 0,61 bidan. Secara umum, jumlah bidan ini juga relatif lebih banyak pada desa-desa eks transmigrasi dibandingkan desa-desa non-transmigrasi. Rasio bidan per 1000 penduduk pada desa-desa non-transmigrasi adalah sebesar 0,59. Tabel 25 Perbandingan indikator kinerja kesehatan desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 No Kabupaten/Kota
Desa eks transmigrasi Posyandu Bidan
Desa non-transmigrasi Posyandu
Bidan
1 Batanghari
249
0.84
259
0.64
2 Bungo
250
0.44
350
0.58
3 Merangin
224
0.54
281
0.81
4 Muaro Jambi
230
0.69
316
0.76
5 Sarolangun
272
0.38
232
0.66
6 Tanjung Jabung Barat
235
0.79
339
0.39
7 Tanjung Jabung Timur
255
0.75
248
0.76
8 Tebo
326
0.64
292
0.58
-
-
364
0.38
-
-
264
0.49
254
0.61
305
0.59
9 Kerinci 10 Kota Jambi Provinsi Jambi Sumber: PODES 2008
Fasilitas dan tenaga kesehatan merupakan faktor input yang dapat dijadikan sebagai dasar dalam menilai derajat kesehatan penduduk di suatu daerah. Dengan kondisi fasilitas dan tenaga kesehatan yang lebih pada desa-desa eks transmigrasi maka dapat dikemukakan bahwa derajat kesehatan penduduk di desa-desa eks transmigrasi juga relatif lebih baik dibandingkan desa-desa non-transmigrasi.
160
Pendidikan Pendidikan merupakan proses pemberdayaan sumber daya manusia dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, kualitas pendidikan yang lebih baik memiliki keterkaitan langsung dengan kesejahteraan masyarakat. Peningkatan kualitas pendidikan penduduk tidak terlepas dari ketersediaan sarana dan prasarana pendidikan dalam jumlah yang relatif cukup dan memadai. Terkait dengan hal tersebut, dapat dikemukakan bahwa 84,36 persen desa-desa eks transmigrasi telah memiliki fasilitas pendidikan jenjang Taman Kanak-Kanak (TK), seluruh desa telah memiliki fasilitas pendidikan jenjang Sekolah Dasar (SD),
dan 67,04 persen telah memiliki fasilitas pendidikan jenjang Sekolah
Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Kondisi ketersediaan fasilitas pendidikan di desa-desa eks transmigrasi relatif lebih baik terutama jika dibandingkan dengan desa-desa non-transmigrasi. Di desa-desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi, hanya kurang separuh (48,84 persen) desa-desa yang memiliki fasilitas pendidikan TK, masih terdapat desa yang belum memiliki fasilitas SD (96,26 persen yang memiliki SD), dan hanya 38,61 persen yang memiliki SLTP. Lebih baiknya kondisi ketersediaan fasilitas pada semua jenjang pendidikan di desa-desa eks transmigrasi ini juga terlihat sama jika diperinci lebih lanjut berdasarkan kabupaten penempatan transmigran. Tidak satupun kabupaten penempatan di mana desa-desa non-transmigrasi yang menunjukkan kondisi keberadaan fasilitas pendidikan yang lebih baik jika dibandingkan dengan desadesa eks transmigrasi baik pada jenjang pendidikan TK, SD maupun SLTP. Dengan kata lain, kondisi ini paling tidak juga sekaligus mencerminkan relatif lebih rendahnya kualitas sumber daya manusia sekaligus kesejahteraan masyarakat di desa-desa non- transmigrasi dibandingkan desa-desa eks transmigrasi. Secara terperinci gambaran keberadaan fasilitas pendidikan ini diberikan pada Tabel 26 dan Gambar 11 berikut:
161
Tabel 26
Persentase kepemilikan fasilitas pendidikan pada desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 Desa eks transmigrasi TK SD SLTP
Desa non-transmigrasi TK SD SLTP
1 Batanghari
92.31
100.00
76.92
42.00
100.00
40.00
2 Bungo
81.48
100.00
55.56
30.77
98.29
35.04
3 Merangin
93.10
100.00
75.86
57.82
97.96
36.05
4 Muaro Jambi
89.29
100.00
64.29
51.43
99.05
44.76
5 Sarolangun
94.12
100.00
82.35
70.18
99.12
41.23
6 Tanjung Jabung Barat
73.68
100.00
47.37
42.86
100.00
67.35
7 Tanjung Jabung Timur
47.62
100.00
57.14
30.56
100.00
47.22
100.00
100.00
80.00
43.75
100.00
45.00
-
-
-
44.96
87.77
22.66
-
-
-
79.03
98.39
64.52
84.36
100.00
67.04
48.84
96.26
38.61
No Kabupaten/Kota
8 Tebo 9 Kerinci 10 Kota Jambi Provinsi Jambi Sumber: PODES 2008
100 90
Persentase Desa
80 70 60 50 40 30 20 10 0 TK
SD
SLTP
Sarana Pendidikan
Eks transmigrasi
Non transmigrasi
Gambar 12 Perbandingan indikator pendidikan desa eks transmigrasi dan desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. Sumber: PODES 2008
162
Kualitas Perumahan Berdasarkan indikator kualitas perumahan, terlihat bahwa kondisi desa-desa eks transmigrasi secara umum lebih baik dibandingkan desa non- transmigrasi. Rata-rata persentase rumah permanen pada desa eks transmigrasi sebesar 34,93 persen sedangkan pada desa-desa non- transmigrasi adalah sebesar 32,56 persen. Selain itu, jika diamati berdasarkan daerah penempatan transmigran, dari delapan daerah hanya pada tiga daerah kondisi perumahan desa-desa non- transmigrasi relatif lebih baik yaitu di Kabupaten Batanghari, Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Barat. Tabel 27 Perbandingan persentase perumahan permanen desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008 Desa eks transmigrasi
Desa non-transmigrasi
1 Batanghari
23.44
24.59
2 Bungo
51.15
47.67
3 Merangin
49.74
31.54
4 Muaro Jambi
16.91
17.01
5 Sarolangun
33.86
29.83
6 Tanjung Jabung Barat
18.01
30.35
7 Tanjung Jabung Timur
16.48
15.88
8 Tebo
55.43
38.12
-
38.09
-
67.48
34.93
32.56
No Kabupaten/Kota
9 Kerinci 10 Kota Jambi Provinsi Jambi Sumber: PODES 2008
Pendapatan Masyarakat Dalam pengukuran kinerja pendapatan masyarakat digunakan hasil Pendataan Program Perlindungan Sosial (PPLS) yang dilaksanakan oleh BPS. Pendataan tersebut dilaksanakan dalam rangka penyusunan database untuk semua program anti kemiskinan dengan menggunakan satuan rumah tangga sebagai basis pengukuran. Adapun kriteria rumah tangga sasaran yang digunakan sebagai berikut:
tersebut adalah
163
1. Luas lantai bangunan tempat tinggal, kurang dari 8 M2. 2. Jenis lantai bangunan tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/rumbia/ kayu murahan. 3. Jenis dinding tempat tinggal terbuat dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah. 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama-sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindungi/sungai/ air tanah. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu pasang pakaian baru dalam setahun. 10. Hanya sanggup makan satu/dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar pengobatan di puskesmas/poliklinik. 12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah petani dengan luas lahan 0,5 ha buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan atau pekerjaan lainnya dengan pendapatan dibawah Rp. 100.000,- perbulan. 13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD. 14. Tidak memiliki tabungan/barang yang mudah dijual dengan nilai minimal Rp. 500.000,- seperti : sepeda motor (kredit/non kredit), emas, ternak, kapal motor atau barang modal lainnya. Rumah tangga sasaran dalam PPLS dikategorikan atas tiga kelompok yaitu hampir miskin, miskin dan sangat miskin. Terkait dengan hal tersebut, untuk penyusunan indikator kinerja desa-desa eks transmigrasi hanya digunakan rumah tangga dengan kriteria miskin dan sangat miskin. Berdasarkan PPLS tersebut, rata-rata persentase rumah tangga miskin di desa-desa eks transmigrasi adalah sebesar 6,55 persen. Angka ini jauh lebih kecil (hampir separuh) jika dibandingkan dengan rata-rata persentase rumah tangga miskin desa-desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi yang mencapai 12,08 persen.
164
Lebih rendahnya persentase rumah tangga miskin di desa-desa eks transmigrasi ini terlihat di seluruh kabupaten penempatan transmigrasi. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan masyarakat di desa-desa eks transmigrasi lebih baik dibandingkan tingkat kesejahteraan masyarakat desa-desa non-transmigrasi. Gambaran rumah tangga miskin di desa eks transmigrasi dan desa-desa nontransmigrasi diberikan pada Tabel 28 berikut. Tabel 28 Perbandingan persentase rumah tangga miskin desa-desa transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 No
Kabupaten/Kota
Desa eks transmigrasi
Desa non-transmigrasi
1
Batanghari
5.24
10.67
2
Bungo
6.10
7.74
3
Merangin
8.05
12.29
4
Muaro Jambi
2.28
10.55
5
Sarolangun
14.16
16.89
6
Tanjung Jabung Barat
2.99
12.30
7
Tanjung Jabung Timur
12.92
21.50
8
Tebo
2.93
8.58
9
Kerinci
-
11.75
Kota Jambi
-
10.59
6.55
12.08
10
Provinsi Jambi
eks
Sumber: PPLS 2008
Keamanan Kesejahteraan masyarakat mempunyai hubungan yang erat dengan keamanan. Tingkat keamanan yang kondusif akan menjadi faktor yang mendukung aktivitas ekonomi dan sosial individu dan masyarakat. Hal ini juga menjadi dasar sehingga dalam pengukuran keberhasilan pembangunan desa, salah satu indikator yang digunakan aspek keamanan. Terkait dengan tingkat keamanan ini, digunakan tiga indikator input yang diasumsikan menjadi indikator yang mampu menggambarkan tingkat keamanan masyarakat desa yaitu rasio hansip/linmas per 1000 penduduk, rasio Babinsa per 1000 penduduk dan rasio Polisi Pelayanan Masyarakat (PPM) per 1000 penduduk.
165
Secara terperinci, gambaran masing-masing indikator diberikan pada Tabel 29 dan Gambar 12 berikut. Tabel 29 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 Desa eks transmigrasi Rasio Rasio Rasio Hansip Babinsa PPM
Kabupaten
Desa non-transmigrasi Rasio Rasio Rasio Hansip Babinsa PPM
Batanghari
6.69
0.67
1.44
4.30
0.69
0.58
Bungo
6.12
0.33
0.20
4.46
0.53
0.67
Merangin
6.49
0.48
0.22
3.14
0.59
0.37
Muaro Jambi
4.69
0.52
0.58
3.85
0.65
0.79
Sarolangun
7.77
0.28
0.08
3.85
0.51
0.20
Tanjung Jabung Barat
7.03
0.46
0.67
1.59
0.29
0.45
Tanjung Jabung Timur
6.43
0.54
0.83
4.13
0.47
0.90
Tebo
8.26
0.34
0.94
4.43
0.47
0.50
Kerinci
-
-
-
4.17
0.49
0.49
Kota Jambi
-
-
-
0.55
0.20
0.31
6.59
0.44
0.57
3.72
0.51
0.51
Provinsi Jambi Sumber: PODES 2008
7
Rasio per 1000 penduduk
6 5 4 3 2 1 0 Hansip
Babinsa
PPM
Indikator Keamanan
Eks transmigrasi
Non transmigrasi
Gambar 13 Perbandingan indikator tingkat keamanan desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2008. Sumber: PODES 2008
166
Dua dari tiga indikator keamanan menunjukkan kondisi yang lebih baik pada desa-desa eks transmigrasi dibandingkan desa-desa non-transmigrasi, yaitu rasio hansip dan rasio PPM dengan nilai masing-masingnya sebesar 6,59 dan 0,57 per 1000 penduduk untuk desa-desa eks transmigrasi dan 3,72 dan 0,51 untuk desa-desa di luar transmigrasi. Sebaliknya untuk indikator rasio Babinsa menunjukkan kondisi yang lebih baik di desa non-transmigrasi (rasio 0,51) dibandingkan desa-desa eks transmigrasi (rasio 0,44). Berdasarkan hal tersebut dapat dikemukakan secara umum derajat keamanan di desa-desa eks transmigrasi lebih baik dibandingkan desa-desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi. 6.1.2. Aktivitas Pertanian Aktivitas pertanian diukur dengan indikator persentase keluarga tani terhadap total keluarga dan persentase lahan pertanian terhadap total lahan. Kedua indikator ini diperkirakan dapat menggambarkan tingkat aktivitas pertanian pada masing-masing desa yang dianalisis. Berdasarkan hal tersebut, terlihat bahwa secara umum aktivitas pertanian di desa-desa eks transmigrasi lebih tinggi dibandingkan desa-desa non-transmigrasi di Provinsi Jambi. Hal ini terlihat dari fakta persentase keluarga tani dan lahan pertanian yang lebih besar di desa-desa eks transmigrasi dibandingkan desa-desa non-transmigrasi, dimana untuk desa-desa eks transmigrasi secara berturut-turut adalah 86,49 persen dan 84,67 persen sedangkan desa non-transmigrasi adalah 78,25 persen dan 79,98 persen (Tabel 30). Relatif lebih besarnya proporsi keluarga tani ini terlihat hampir di seluruh kabupaten penempatan. Hanya di Kabupaten Tanjung Jabung Timur yang memperlihatkan kondisi dimana desa-desa eks transmigrasi memiliki rata-rata persentase rumah tangga tani yang lebih rendah dibandingkan desa-desa nontransmigrasi. Sebaliknya dari sisi persentase lahan pertanian, meskipun secara rata-rata menunjukkan persentase yang lebih tinggi, tetapi hanya tiga dari delapan kabupaten yang menunjukkan persentase lahan pertanian desa-desa eks transmigrasi yang lebih besar dibandingkan desa-desa non-transmigrasi yaitu Kabupaten Muaro Jambi, Tanjung Jabung Barat dan Tanjung Jabung Timur.
167
Tabel 30 Perbandingan indikator aktivitas pertanian desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi tahun 2008 Kabupaten Batanghari Bungo Merangin Muaro Jambi Sarolangun Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Timur Tebo Kerinci Kota Jambi Provinsi Jambi
Desa eks transmigrasi % keluarga % lahan tani tani 87.31 89.97 90.56 82.05 83.90 89.22 86.21 88.74 88.88 83.11 80.05 91.85 85.24 71.27 89.28 81.77
86.49
Desa non-transmigrasi % keluarga % lahan tani tani 78.58 95.05 82.47 88.12 83.84 91.05 82.07 77.62 81.22 91.29 72.88 77.06 85.26 68.98 83.91 87.84 83.34 77.89 10.47 11.64
84.67
78.25
79.98
Sumber: PODES 2008
Selanjutnya jika ditelusuri pola penggunaan lahan pertaniannya, umumnya merupakan lahan pertanian non-sawah. Hal tersebut terlihat baik di desa eks transmigrasi maupun desa-desa non-transmigrasi. Meskipun demikian, secara rata-rata persentase lahan non-sawah terhadap total lahan pertanian ini relatif besar di desa eks transmigrasi dibandingkan dengan desa non-transmigrasi. Pola ini terlihat sama hampir di semua kabupaten penempatan. Tabel 31
Perbandingan persentase lahan pertanian non-sawah desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non transmigrasi tahun 2008 Desa Eks Transmigrasi
Desa Non-Transmigrasi
Batanghari Bungo Merangin Muaro Jambi Sarolangun Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Timur Tebo Kerinci Kota Jambi
99.57 97.73 98.90 96.33 99.16 95.18 63.55 92.76 -
91.51 96.43 93.50 92.84 96.42 90.66 75.23 88.91 59.29 70.72
Provinsi Jambi
93.00
83.11
Kabupaten
Sumber: PODES 2008
168
6.1.3. Aktivitas Non-Pertanian Berkembangnya
aktivitas
non-pertanian
merupakan
dampak
dari
perkembangan aktivitas pertanian yang mampu meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Dalam menggambarkan aktivitas non-pertanian pada digunakan empat indikator yaitu industri pertanian, industri non-pertanian, perdagangan dan jasa lainnya (jasa non-perdagangan). Keempat indikator tersebut diukur dari rasio unit usaha per 1000 penduduk. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa baik industri pertanian, industri non-pertanian maupun perdagangan relatif lebih berkembang di desa-desa eks transmigrasi dibandingkan desa non-transmigrasi. Untuk aktivitas jasa lainnya kondisi desa-desa non-transmigrasi relatif lebih baik, tetapi hal tersebut terutama disebabkan oleh perkembangan akktivitas jasa yang pesat di Kota Jambi (sebagai ibu kota Provinsi Jambi) serta Kabupaten Kerinci. Gambaran aktivitas non-pertanian pada desa-desa eks transmigrasi dan desa-desa non-transmigrasi diberikan pada Tabel 32 dan Gambar 14 berikut. Tabel 32 Indikator aktivitas non-pertanian di desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006 Kabupaten
Industri pertanian ET NT
Industri non-pertanian ET NT
Perdagangan
Jasa lainnya
ET
NT
ET
NT
Batanghari
1.19
1.57
1.24
4.37
19.84
24.47
11.35
16.67
Bungo
1.63
0.74
5.35
2.24
23.93
22.91
14.00
10.76
Merangin
2.74
1.58
4.18
3.43
29.94
25.48
19.07
13.27
Muaro Jambi
1.01
0.74
1.64
4.59
16.38
17.06
11.97
10.10
Sarolangun
3.20
0.87
3.84
2.66
24.97
20.97
9.80
9.69
Tanjab Barat
0.98
2.55
1.87
3.86
22.18
23.32
14.75
13.83
Tanjab Timur
5.08
4.88
5.06
3.08
20.43
23.92
12.24
8.93
Tebo
1.27
0.80
3.18
1.94
22.96
18.88
10.76
7.93
Kerinci
-
4.09
-
5.08
-
20.17
-
16.00
Kota Jambi
-
1.30
-
3.13
-
23.22
-
21.80
2.10
1.91
3.39
3.06
23.09
22.04
13.15
14.22
Provinsi Jambi
Sumber: Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: ET = Desa Eks Transmigrasi, NT= Desa Non-Transmigrasi
169
Rasio per 1000 penduduk
25
20
15
10
5
0 Industri pertanian
Industri non-pertanian
Perdagangan
Jasa lainnya
Aktivitas non pertanian
Eks transmigrasi
Non transmigrasi
Gambar 14 Perbandingan indikator aktivitas non-pertanian desa-desa eks transmigrasi dan non-transmigrasi di Provinsi Jambi tahun 2006. Sumber: Sensus Ekonomi 2006
6.2 Penyusunan Indikator Stadia Perkembangan Desa Eks Transmigrasi 6.2.1 Uji Normalitas Sebaran Data Jumlah kasus yang digunakan dalam penyusunan indikator stadia perkembangan desa ini adalah sebanyak 176 desa. Desa-desa tersebut merupakan desa definitif yang terbentuk sebelum tahun 2008 dari eks pemukiman transmigrasi. Pengujian normalitas data dilakukan melalui uji signifikansi dari kemencengan data (skewness). Hasil perhitungan skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah yang diajukan dalam pengukuran indikator kinerja transmigrasi tersebut diberikan pada Tabel 33. Pengujian terhadap kemencengan data (skewness) memperlihatkan seluruh peubah yang digunakan untuk penyusunan indikator berdistribusi tidak normal. Terlihat dari nilai Zhitung Skewness yang lebih besar dari Z(0.05) yaitu sebesar 1.96. Karena data tidak berdistribusi normal, dilakukan transformasi untuk menormalkan data. Histogram data diberikan pada Lampiran 1. Berdasarkan
170
tampilan grafik histogram seluruh peubah berdistribusi tidak normal. Empat belas peubah memiliki kecenderungan menceng ke kiri (positive skewness) yaitu (a) moderate positive untuk peubah SMP, RUMAH, HANSIP, PPM, IP, INP, DAN JS; (b) substansial positive untuk peubah BIDAN, POSYANDU, TK, SD, RTM, PD; (c) severe positive untuk peubah BABINSA. Dua peubah lainnya memiliki kecenderungan menceng ke kanan (negative skewness) yaitu peubah LAHAN (substansial negative) dan peubah KK (severe negative). Tabel 33 Skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah dalam indikator kinerja desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi Peubah
Nama peubah
1
Rasio Bidan per 1000 penduduk
BIDAN
0.89
4.86
2
Rasio KK per Posyandu
POSYANDU
0.86
4.71
3
Rasio TK per 1000 penduduk
TK
0.46
2.49
4
Rasio SD per 1000 penduduk
SD
1.13
6.14
5
Rasio SMP per 1000 penduduk
SMP
0.58
3.16
6
Persentase Rumah Permanen
RUMAH
0.40
2.20
7
Persentase Rumah Tangga Miskin
RTM
1.45
7.90
8
Rasio Hansip per 1000 penduduk
HANSIP
1.22
6.63
9
Rasio Babinsa per 1000 penduduk
BABINSA
1.16
6.34
10
Rasio PPM per 1000 peduduk
PPM
1.54
8.39
11
Persentase Keluarga Pertanian
KK
-1.15
-6.26
12
Persentase Lahan Pertanian
LAHAN
-1.67
-9.11
13
Rasio Unit Industri Pertanian per 1000 penduduk
IP
1.60
8.72
14
Rasio Unit Indusri Non-Pertanian per 1000 penduduk
INP
1.70
9.28
15
Rasio Unit Perdagangan per 1000 penduduk
PD
1.40
7.61
16
Rasio Unit Jasa per 1000 penduduk
JS
1.48
8.05
No
Skewness
Zhitung skewness
Berdasarkan kecenderungan distribusi data tersebut, selanjutnya dilakukan transformasi data sesuai dengan jenis kecenderungan distribusinya. Tabel 34 berikut memberikan kecenderungan distribusi data, jenis transformasi dan perhitungan skewness dan zskewness masing-masing peubah hasil transformasi.
171
Tabel 34 Hasil perhitungan skewness dan Zhitung skewness peubah-peubah transformasi Jenis transSkewZhitung No Peubah Bentuk histogram skewness formasi ness 1 BIDAN Substansial Positive Ln(x+c) 0.27 1.45 2 POSYANDU Substansial Positive Ln(x) 0.11 0.62 Substansial Positive Ln(x+c) -0.28 -1.54 3 TK 4 SD Substansial Positive Ln(x) 0.14 0.79 Moderate Positive SQRT (x) -0.28 -1.50 5 SMP 6 RUMAH Moderate Positive SQRT (x) -0.03 -0.17 7 RTM Substansial Positive Ln(x+c) 0.07 0.40 8 HANSIP Moderate Positive SQRT (x) -0.36 -1.95 9 BABINSA Severe Positive 1/(x+c) 0.13 0.72 10 PPM Moderate Positive SQRT (x) 0.33 1.78 11 KK Severe Negative SQRT (k-x) 0.35 1.90 Substansial Negative Ln (k-x) -0.36 -1.94 12 LAHAN 13 IP Moderate Positive SQRT (x) 0.34 1.87 14 INP Moderate Positive SQRT (x) 0.30 1.66 15 PD Substansial Positive Ln(x) -0.34 -1.87 16 JS Moderate Positive SQRT (x) 0.11 0.58 Keterangan: k = konstanta yang berasal dari setiap skor dikurangkan sehingga skor terkecil adalah 1. c adalah 1
Tabel 34 memperlihatkan berdasarkan pengujian terhadap kemencengan data seluruh peubah transformasi sudah berdistribusi normal. Hal ini terlihat dari nilai Zhitung Skewness nya yang lebih kecil dari nilai Z(0.05) yaitu sebesar 1.96. 6.2.2. Pengujian Data Pencilan Pengujian data pencilan dilakukan dengan menggunakan dua pengujian yaitu pengujian univariate outlier dan pengujian multivariate oulier. Pengujian univariate outlier dengan menstandarisasi data dengan nilai z. Data pencilan adalah data dengan nilai z >= ±3 (pada kasus sampel besar (lebih dari 80 kasus)). Selanjutnya, pengujian multivariate outlier dilakukan dengan menggunakan kriteria Jarak Mahalanobis D2 (mahalanobis d-squared) pada tingkat p<0,001. Hasil pengujian univariate outlier diberikan pada Lampiran 2 - 4. Berdasarkan pengujian univariate outlier (dengan nilai Z ±3), dapat dikemukakan bahwa terdapat dua kasus yang mengandung univariate outlier pada peubah PD yaitu kasus Desa Bukit Subur dan kasus Desa Pulau Kerakap (lihat Lampiran 2). Dengan menghilangkan kedua kasus tersebut, dilakukan pengujian ulang terhadap data, dan ternyata masih terdapat satu kasus univariate outlier pada peubah PD
172
yaitu pada kasus Desa Baru Pelepat (lihat Lampiran 3). Dengan menghilangkan kasus tersebut, maka terlihat seluruh kasus dan peubah tidak lagi mengandung univariate outlier (lihat Lampiran 4). Pada tahap selanjutnya adalah pengujian multivariate outlier. Hasil pengujian multivariate outlier dapat dilihat pada Lampiran 5. Dari Lampiran 5 terlihat bahwa terdapat satu kasus yang mengandung multivariate outlier yaitu kasus Desa Pulau Bayur dengan nilai D (Mahalanobis) sebesar 40,07. Nilai ini lebih besar dibandingkan Jarak Mahalanobis dengan DF=16 pada tingkat p<0,001 yang sebesar 39,25. Dengan menghilangkan kasus Desa Pulau Bayur, selanjutnya dilakukan pengujian multivariate outlier (hasilnya pada Lampiran 6). Berdasarkan Lampiran 6 data tidak lagi mengandung unsur multivariate outlier. 6.2.3. Analisis Faktor Pengujian Peubah-Peubah yang Telah Ditentukan Pengujian dilakukan dengan metode Keiser-Meyer-Olkin (KMO) measure adequacy, Bartlett test of sphericity dan pengukuran MSA (Measure of Sampling Adequacy). Kesimpulan layak tidaknya analisis faktor dilakukan baru sah secara statistic dengan uji KMO measure adequacy dan Bartlett Test of Sphericiy. Jika nilai KMO berkisar antara 0,5 sampai 1, maka analisis faktor layak dilakukan. Sebaliknya, jika KMO di bawah 0,5 maka analisis faktor tidak layak dilakukan. Bartlett Test merupakan uji statistik untuk menguji apakah betul peubahpeubah yang dilibatkan berkorelasi, dengan hipotesis: H0 : Tidak ada korelasi antarpeubah H1: Ada korelasi antarpeubah Kriteria uji dengan melihat p-value (signifikansi) : Terima H0, jika sig. > 0.05 atau tolak H0 jika Sig. < 0.05 Selanjutnya analisis MSA bertujuan untuk melihat kelayakan masingmasing peubah untuk dapat dimasukkan dalam analisis faktor. Angka MSA berkisar antara 0 sampai 1, dengan kriteria: MSA = 1, peubah tersebut dapat diprediksi tanpa kesalahan oleh peubah lain MSA > 0,5, peubah tersebut masih bisa diprediksi dan bisa dianalisa lebih lanjut MSA =< 0.5, peubah tidak bisa diprediksi dan tidak bisa dianalisis lebih lanjut, atau dikeluarkan dari peubah lainnya.
173
Perhitungan KMO dan Bartlett Test dari indikator-indikator yang digunakan diberikan pada Tabel 35 berikut. Tabel 35 KMO and Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. Bartlett's Test of Sphericity
.575
Approx. Chi-Square
471.929
df
120
Sig.
.000
Dari Tabel 35 terlihat nilai KMO adalah sebesar 0,575. Dengan demikian analisis faktor dengan menggunakan peubah-peubah yang dikemukakan layak dilakukan. Berdasarkan Bartlett’s Test of Sphericity dapat dilihat bahwa nilai ChiSquare adalah 471.929 dengan derajat bebas sebesar 120 dan p-value (sig) sebesar 0.000. Karena p-value (0.000) < 0.05 maka H0 ditolak. Artinya, benar-benar terdapat korelasi antarpeubah yang digunakan. Selanjutnya pengukuran MSA (Measure of Sampling Adequacy) diberikan pada Tabel 36 berikut: Tabel 36 Pengukuran MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi No.
Peubah
Nilai MSA
Keterangan
1 BIDAN 2 POSYANDU
0.777 * 0.477
Layak Dikeluarkan
3 TK 4 SD
0.442 0.672 *
Dikeluarkan Layak
5 6 7 8
0.388 0.658 * 0.396 0.289
Dikeluarkan Layak Dikeluarkan Dikeluarkan
9 BABINSA 10 PPM
0.650 * 0.486
Layak Dikeluarkan
11 KK 12 LAHAN
0.265 0.757 *
Dikeluarkan Layak
13 IP 14 INP
0.651 * 0.736 *
Layak Layak
15 PD 16 JS
0.580 * 0.497
Layak Dikeluarkan
SMP RUMAH RTM HANSIP
Sumber: Lihat Print-out SPSS (Lampiran 7).
174
Berdasarkan kriteria yang telah dikemukakan sebelumnya, terlihat bahwa dari 16 peubah yang dianalisis, hanya 8 peubah yang memiliki nilai MSA > 0.5. Peubah-peubah tersebut adalah BIDAN, SD, RUMAH, BABINSA, LAHAN, IP, INP, dan PD. Sedangkan 8 peubah lainnya yang memiliki nilai MSA =< 0.5 adalah POSYANDU, TK, SMP, RTM, HANSIP, PPM, KK dan JS. Dengan mengeluarkan 8 peubah tersebut, dilakukan pengujian ulang terhadap pengukuran MSA. Berdasarkan pengujian ulang MSA terlihat bahwa semua peubah memiliki nilai MSA > 0.5. Tabel 37 Pengukuran ulang MSA peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi BIDAN Anti-image Covariance
BIDAN SD
.815 -.149
-.149 .777
RUMAH
.117
BABINSA
.103
RUMAH
BABINSA LAHAN
.117 .166
.103 .145
-.009 .136
.166
.769
-.127
.145
-.127
.822
-.009
.136
-.038
IP
.026
-.028
INP
.115
.033
PD
.004
-.033
.793(a) -.187
RUMAH BABINSA
IP
INP
PD
.026 -.028
.115 .033
.004 -.033
-.038
.139
-.105
-.128
-.060
-.106
-.033
.047
-.060
.905
-.089
-.021
-.059
.139
-.106
-.089
.739
-.238
-.183
-.105
-.033
-.021
-.238
.708
-.152
-.128
.047
-.059
-.183
-.152
.805
-.187 .733(a)
.147 .214
.126 .181
-.011 .162
.033 -.037
.152 .045
.005 -.042
.147
.214
.691(a)
-.159
-.045
.185
-.143
-.163
.126
.181
-.159
.772(a)
-.069
-.136
-.043
.058
-.011
.162
-.045
-.069
.792(a)
-.109
-.027
-.070
IP
.033
-.037
.185
-.136
-.109
.615(a)
-.329
-.237
INP
.152
.045
-.143
-.043
-.027
-.329
.729(a)
-.202
PD
.005
-.042
-.163
.058
-.070
-.237
-.202
.707(a)
LAHAN
Anti-image Correlation
SD
BIDAN SD
LAHAN
Pengujian ulang juga dilakukan untuk KMO dan Bartlett Test. Berdasarkan pengujian ulang memperlihatkan bahwa nilai KMO (0,721) > 0,5 dan nilai ChiSquare adalah 181,081 dengan derajat bebas 28 dan p-value (0.000) < 0.05. Dengan demikian, matrik korelasi yang terbentuk menunjukkan benar-benar terdapat korelasi antar peubah yang digunakan. Tabel 38 Pengujian ulang KMO dan Bartlett's Test peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy.
Bartlett's Test of Sphericity
Approx. Chi-Square df Sig.
.721 182.829 28 .000
175
Proses Factoring dan Rotasi Proses factoring bertujuan untuk mengesktrak satu atau lebih faktor dari peubah-peubah yang telah lolos uji pada uji peubah sebelumnya. Dalam konteks proses factoring ini, digunakan metode Analisis Komponen Utama (Principal Components Analysis=PCA). Dalam penentuan jumlah faktor, penelitian ini menetapkan jumlah faktor sebanyak tiga, dengan asumsi masing-masing faktor mewakili indikator kesejahteraan, aktivitas pertanian dan aktivitas non-pertanian. Dengan kata lain, analisis faktor dalam hal ini bertujuan untuk Confirmatory Factor Analysis yaitu untuk menguji atau mengkonfirmasi apakah suatu konstruk yang telah dibentuk dapat dikonfirmasikan dengan data empirisnya. Setelah satu atau lebih dari faktor terbentuk, dengan sebuah faktor berisi sejumlah peubah, kemungkinan sebuah peubah diragukan apakah layak atau tidak untuk dimasukkan dalam faktor yang terbentuk. Untuk mengatasi tersebut maka pada tahap selanjutnya dilakukan proses rotasi. Proses rotasi bertujuan untuk memperjelas posisi sebuah peubah dalam suatu faktor. Dalam penelitian ini, proses rotasi yang digunakan adalah metode Obligue Rotation. Pemilihan metode ini didasarkan pertimbangan untuk mendapatkan faktor yang sesuai dengan teori atau dengan kriteria/sub-kriteria indikator yang telah dikemukakan sebelumnya (Ghozali 2009). Analisis Communalities Analisis ini pada dasarnya menentukan jumlah varians (dalam persentase) dari suatu peubah mula-mula yang bisa dijelaskan oleh faktor yang ada. Besaran nilainya antara 0.00 hingga 1.00. Semakin besar nilainya semakin erat hubungannya dengan faktor yang terbentuk. Merujuk pada Tabel 39, dapat dikemukakan bahwa nilai varians terbesar adalah untuk lahan tani sebesar 0,854. Ini berarti bahwa 85,4 persen varians dari peubah ini bisa dijelaskan oleh faktor-faktor yang terbentuk pada rotated component matrix. Sedangkan nilai varians terkecil adalah untuk peubah Babinsa yaitu sebesar 0,413, yang berarti bahwa 41,3 persen varians dari vaiabel ini yang dijelaskan oleh faktor-faktor yang terbentuk pada rotated component matrix.
176
Tabel 39 Analisis communalities peubah indikator stadia desa eks transmigrasi Nomor
Peubah
Varians
1 2
BIDAN SD
.515 .585
3 4
RUMAH BABINSA
.545 .413
5 6
LAHAN IP
.854 .657
7 8
INP PD
.624 .540
Selanjutnya jika ke 8 peubah tersebut diringkas menjadi satu faktor, maka varians yang bisa dijelaskan oleh satu faktor tersebut adalah (2.457/8) x 100% = 30.714% (lihat Tabel 40). Jika ke 8 peubah tersebut diekstrak menjadi 2 faktor maka varians faktor pertama adalah 30.714 persen dan varians faktor kedua adalah (1.352/8) x 100% = 16.899%, sehingga varians kumulatif yang dapat dijelaskan oleh kedua faktor tersebut adalah sebesar 47,613 persen. Jika ke 8 peubah tersebut diringkas menjadi tiga faktor, maka varians faktor pertama sebesar 30,714 persen, varians faktor kedua 16,899 persen dan varians faktor ketiga adalah (0.924/8) x 100% = 11,553%. Dengan kata lain juga, dengan mengekstrak delapan peubah indikator kinerja desa eks transmigrasi atas 3 faktor, maka kumulatif varians yang mampu dijelaskan oleh ketiga faktor tersebut adalah sebesar 59,166 persen. Perhitungan Total Variance Explained diberikan pada Tabel 40 berikut. Tabel 40 Total variance explained peubah indikator stadia desa eks transmigrasi Component
Initial Eigenvalues
Total 1 2 3 4 5 6 7 8
2.457 1.352 .924 .843 .721 .622 .594 .487
% of Cumulative Variance % 30.714 30.714 16.899 47.613 11.553 59.166 10.533 69.699 9.015 78.713 7.771 86.484 7.424 93.908 6.092 100.000
Extraction Sums of Squared Loadings % of Cumulative Variance % 2.457 30.714 30.714 1.352 16.899 47.613 .924 11.553 59.166
Total
Rotation Sums of Squared Loadings Total 2.072 1.879 1.121
177
Analisis Factoring dan Rotasi Berdasarkan matriks komponen yang terbentuk (Tabel 41), terlihat bahwa semua peubah memiliki koefisien (factor loading) yang signifikan (> 0.5). Ini menunjukkan bahwa peubah-peubah yang ada mampu mewakili faktor yang ada. Tabel 41 Matriks komponen peubah indikator stadia desa eks transmigrasi Peubah
Komponen 2 .264
BIDAN
1 -.585
3 .321
SD
-.568
.495
-.132
RUMAH
.575
-.392
-.246
BABINSA
.566
-.286
.101
LAHAN
.442
.005
.812
IP
.498
.632
.099
INP
.667
.372
-.201
PD
.503
.514
-.153
Selanjutnya mengacu pada factor loading terbesar, terlihat bahwa faktor 1 terbentuk oleh peubah BIDAN, SD, RUMAH, BABINSA, dan INP. Faktor 2 terbentuk oleh peubah IP dan PD sedangkan faktor 3 terbentuk oleh peubah LAHAN. Fakta ini menunjukkan bahwa pengelompokan peubah dalam faktor pada component matrix ini belum sesuai dengan pengelompokan yang secara teoritis telah dikemukakan sebelumnya. Hal ini terlihat terutama pada peubah INP yang secara teoritis berada pada kelompok IP dan PD (aktivitas non pertanian) tetapi ternyata berada pada kelompok kesejahteraan masyarakat (BIDAN, SD, RUMAH DAN BABINSA). Model awal dari matriks faktor
ini secara
teoritis sulit untuk
diinterpretasikan. Oleh karenanya dilakukan rotasi faktor dengan metode Oblique. Hasil rotasi faktor tersebut diberikan pada Tabel 42. Mengacu pada matriks struktur (Tabel 42) terlihat bahwa delapan peubah yang diajukan mengelompok pada tiga kelompok, dengan kelompok pertama adalah BIDAN, SD, RUMAH DAN BABINSA. Kelompok kedua adalah IP, INP dan PD, sedangkan kelompok ketiga adalah LAHAN. Berdasarkan peubah pembentuknya, faktor 1 merupakan faktor kesejahteraan, faktor 2 adalah aktivitas non-pertanian dan faktor 3 adalah aktivitas pertanian.
178
Tabel 42 Matriks struktur peubah-peubah indikator stadia desa eks transmigrasi Komponen Peubah 1 2 3 BIDAN
-.682
-.268
.079
SD RUMAH
-.709 .730
-.028 .160
-.349 -.006
BABINSA LAHAN
.599 .203
.179 .195
.310 .915
IP INP
.043 .379
.777 .755
.242 .034
PD
.159
.733
.014
Pemilihan Surrogate Variable Untuk analisis lebih lanjut, dilakukan pemilihan surrogate variable atau peubah pengganti dari faktor yang terbentuk. Surrogate variable atau peubah pengganti ini adalah peubah asli. Pemilihan surrogate variable didasarkan pada faktor peubah dengan factor loading tertinggi pada faktor bersangkutan. Dengan demikian, pada tahap analisis selanjutnya, digunakan peubah dengan nilai asli bukan dalam skor faktor, tetapi dengan jumlah peubah yang lebih sedikit. Selanjutnya, berdasarkan hasil dari structure matrix sebelumnya, maka terpilih surrogate variable yaitu persentase rumah permanen sebagai wakil dari indikator kesejahteraan, industri pertanian sebagai wakil dari aktivitas non-pertanian dan persentase lahan tani sebagai wakil dari indikator aktivitas pertanian. Penyeragaman Dimensi Peubah yang digunakan (dalam hal ini surrogate variable hasil analisis sebelumnya), adalah peubah-peubah dengan dimensi pengukuran yang berbeda. Untuk menyeragamkan dimensi pengukuran dilakukan dengan Min-Max Method, dan hasilnya dapat dilihat pada Lampiran 8. Pembobotan dan Agregasi Pembobotan dilakukan dalam rangka mendapatkan besaran proporsi untuk masing-masing peubah dalam penetapan indikator komposit. Pembobotan masingmasing peubah dengan membagi Explained Variance dari factor loading masingmasing faktor peubah dengan Total Explained Variance Pembobotan untuk masing-masing peubah diberikan sebagai berikut:
179
Tabel 43 Pembobotan indikator stadia desa eks transmigrasi Indikator
Explained Variance
Bobot Indikator
Rumah IP
30.714 16.899
0.519 0.286
Lahan
11.553
0.195
Total Explained Variance
59.166
Pembobotan terbesar adalah untuk indikator rumah yaitu sebesar 0,519 persen, diikuti oleh IP sebesar 0,286 persen dan lahan sebesar 0,195 persen. Berdasarkan pembobotan tersebut, selanjutnya didapatkan indeks komposit untuk masing-masing desa (dapat dilihat pada Lampiran 8). Indeks komposit yang terbentuk memiliki nilai maksimum 0,86 (dari nilai tertinggi 1 dan nilai minimum 0,05 (dari nilai terendah 0). Rentang antara nilai maksimum dengan minimum adalah sebesar 0,81 dengan rata-rata indeks sebesar 0,42 dan standar deviasi 0,18. Relatif jauhnya jarak antara nilai maksimum dan minimum menunjukkan terdapatnya perbedaan yang sangat mencolok dalam hal perkembangan antardesa eks transmigrasi di Provinsi Jambi. Setelah mendapatkan nilai indeks komposit untuk masing-masing desa, selanjutnya dilakukan diseminasi dalam kerangka mengelompokkan desa atas stadia perkembangannya. Perkembangan desa dikelompokkan atas empat hierarki. Pengelompokan atas empat stadia ini menggunakan asumsi yang didasarkan hipotesis stadia pengembangan kawasan transmigrasi yang dikemukan Rustiadi (2009), khususnya pada stadia setelah masa pembinaan pemukiman transmigrasi. Pengelompokkan pada empat stadia menggunakan metode K-Mean Cluster. Hasil pengelompokkan tersebut diberikan pada Tabel 44 berikut. Tabel 44 Distribusi desa eks transmigrasi menurut stadianya di Provinsi Jambi No
Stadia Desa
Indeks Komposit
Jumlah Desa
Persentase
1 2
Stadia I Stadia II
0.05 – 0.29 0.30 – 0.45
54 51
31.40 29.65
3 4
Stadia III Stadia IV
0.46 – 0.63 0.64 – 0.86
44 23
25.58 13.37
172
100.00
Total
180
Dari Tabel 44 terlihat bahwa 31,40 persen desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi berada pada stadia I, 29,65 persen pada stadia II, 25,58 persen pada stadia III dan 13,37 persen pada stadia IV. Selanjutnya, stadia desa-desa eks transmigrasi berdasarkan kabupaten penempatan diberikan pada Tabel 45 berikut. Tabel 45 Distribusi stadia desa eks transmigrasi berdasarkan kabupaten Kabupaten
Stadia I
Stadia II
Stadia III
Stadia IV
Jumlah
Batanghari
5 (38.46) 1 (4.17) 1 (3.57) 18 (69.23) 3 (17.65) 13 (68.42) 8 (40.00) 5 (20.00) 54 (31.40)
6 (46.15) 8 (33.33) 8 (28.57) 6 (23.08) 9 (52.94) 4 (21.05) 8 (40.00) 2 (8.00) 51 (29.65)
1 (7.69) 11 (45.83) 12 (42.86) 2 (7.69) 4 (23.53) 1 (5.26) 4 (20.00) 9 (36.00) 44 (25.58)
1 (7.69) 4 (16.67) 7 (25.00) 0 (0.00) 1 (5.88) 1 (5.26) 0 (0.00) 9 (36.00) 23 (13.37)
13 (100.00) 24 (100.00) 28 (100.00) 26 (100.00) 17 (100.00) 19 (100.00) 20 (100.00) 25 (100.00) 172 (100.00)
Bungo Merangin Muaro Jambi Sarolangun Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Timur Tebo Provinsi Jambi
Pencapaian stadia perkembangan desa-desa eks transmigrasi relatif beragam antarkabupaten dalam Provinsi Jambi. Dari delapan kabupaten, enam diantaranya memiliki desa-desa eks transmigrasi dengan capaian stadia IV yaitu Kabupaten Batanghari, Kabupaten Bungo, Merangin, Sarolangun, Tanjung Jabung Barat dan Tebo. Sebaliknya tidak satupun desa-desa eks transmigrasi di Kabupaten Muaro Jambi dan Tanjung Jabung Timur yang mencapai stadia IV. 6.3. Analisis Diskriminan Stadia Desa Untuk menentukan peubah yang membedakan kategori stadia desa serta untuk mengevaluasi keakuratan klasifikasi dari klaster yang terbentuk pada proses sebelumnya, dilakukan analisis diskriminan. Peubah yang digunakan adalah sebanyak delapan peubah yang lolos uji pada analisis faktor sebelumnya.
181
Pemasukan peubah dalam fungsi diskriminan menggunakan metode stepwise. Mahalanobis distances yang digunakan dalam prosedur stepwise ditujukan untuk menentukan peubah yang memiliki kekuatan terbesar dalam mendiskriminasi. Prosedur stepwise dimulai dengan memasukkan peubah yang akan memaksimumkan Mahalanobis distance antarkelompok. Dalam hal ini minimum significant value sebesar 0,05 digunakan sebagai syarat memasukkan peubah dan Mahalanobis D2 digunakan untuk memilih peubah. Prosedur stepwise tersebut diberikan pada Tabel 46 berikut: Tabel 46 Prosedur stepwise dalam pembentukan fungsi diskriminan Tahap
Toleransi
Sig. of F to Remove
Min. D Squared
1
Rumah
1.000
.000
2
Rumah
.711
.000
.009
.711
.000
.845
.588
.000
.123
.599
.000
1.083
.795
.000
2.491
IP 3
Rumah IP Lahan
Antar kelompok
Stadia II dan Stadia III Stadia III dan Stadia IV Stadia II dan Stadia III Stadia III dan Stadia IV Stadia III dan Stadia IV
Dari Tabel 46 terlihat bahwa pada tahap pertama, nilai maksimum Mahalanobis D2 adalah pada peubah RUMAH, sedangkan pada tahap kedua pada peubah IP dan pada tahap ketiga pada peubah LAHAN. Dengan kata lain, hasil stepwise menunjukkan ada tiga peubah yang signifikan yang mampu membedakan stadia yaitu RUMAH, IP dan LAHAN. Ketiga peubah ini sesuai dengan surrogate variable yang terpilih pada tahapan analisis faktor sebelumnya. Berdasarkan angka Wilk’s Lambda, proses pemasukkan ketiga peubah tersebut diberikan pada Tabel 47. Wilk’s Lambda pada prinsipnya adalah varians total dalam diskriminan yang tidak bisa dijelaskan oleh perbedaan diantara kelompok yang ada. Pada tahap 1 dengan hanya menggunakan persentase rumah permanen, menghasilkan nilai Lambda sebesar 0,228. Ini berarti bahwa 22,8 persen varians tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan antar stadia. Pada tahap 2 dengan menambahkan peubah rasio industri pertanian, angka Wilks’ Lambda
182
turun menjadi 0,146 dan pada tahap ketiga dengan memasukkan peubah persentase lahan pertanian, angka Wilks Lambda menjadi 0,120. Dengan kata lain, hanya 12,0 persen varians tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan antarstadia. Dari kolom F dan signifikansinya terlihat bahwa baik pada pemasukan peubah Rumah, IP dan kemudian LAHAN, semuanya adalah signifikan secara statistik. Hal ini berarti ketiga peubah tersebut memang berbeda untuk keempat kategori stadia. Tabel 47 Proses pemasukan peubah dilihat dari angka Wilk’s Lambda Tahap
Jumlah peubah
1 2 3
1 2 3
Lambda
df1
df2
df3
.228 .146 .120
1 2 3
3 3 3
168 168 168
Exact F/ Approximate F Statistic
df1
df2
Sig
189.685 90.237 62.269
3 6 9
168 334 404
.000 .000 .000
Dengan menggunakan ketiga peubah tersebut, fungsi diskriminan yang terbentuk adalah sebagai berikut: Tabel 48 Canonical discriminant function coefficients Peubah
Fungsi 1
RUMAH LAHAN IP (Konstanta)
Fungsi 2
1.038 -.501 1.189 -5.762
Fungsi 3 -.094 -.689 1.045 .884
-.071 .822 .626 -2.229
Selanjutnya berdasarkan ketiga peubah tersebut, fungsi diskriman memiliki tingkat kebenaran klasifikasi yang cukup tinggi yaitu sebesar 90,1 persen. Stadia I mampu diklasifikasi secara benar sebesar 90,1 persen, stadia II sebesar 86,3 persen, stadia III sebesar 90,9 persen dan stadia IV sebesar 95,7 persen. Tabel 49 Hasil klasifikasi analisis diskriminan stadia desa Stadia
Stadia I
Prediksi kelompok Stadia II Stadia III
Stadia IV
Total
Frek.
Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV
49 3 0 0
5 44 1 0
0 4 40 1
0 0 3 22
54 51 44 23
%
Stadia I Stadia II Stadia III Stadia IV
90.7 5.9 .0 .0
9.3 86.3 2.3 .0
.0 7.8 90.9 4.3
.0 .0 6.8 95.7
100.0 100.0 100.0 100.0
Keterangan: 90,1% kasus dikelompokkan secara tepat.
183
6.4. Profil Desa Berdasarkan Stadianya Berdasarkan kelompok indikator-indikator kesejahteraan (yang terdiri dari sub-indikator kesehatan, pendidikan, pendapatan, dan keamanan), aktivitas pertanian dan aktivitas non-pertanian, secara umum dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi stadia desa maka semakin tinggi tingkat kesejahteraan dan semakin tinggi aktivitas pertanian dan non-pertanian. Profil stadia yang dianalisis berdasarkan peubah-peubah dalam analisis faktor sebelumnya serta beberapa peubah pendukung lainnya diberikan pada Tabel 50. Mengacu pada peubahpeubah yang signifikan secara linear, terlihat bahwa peningkatan stadia diikuti dengan kecenderungan penurunan pelayanan kesehatan dasar tetapi diikuti oleh peningkatan pelayanan kesehatan menengah dan tinggi. Rasio bidan per 1000 penduduk menunjukkan penurunan dan rasio KK per Posyandu menunjukkan peningkatan (yang berarti juga terdapat penurunan jumlah Posyandu per KK). Sebaliknya untuk pelayanan-pelayanan kesehatan tingkat menengah dan tinggi menunjukkan peningkatan. Persentase desa dengan ketersediaan praktek dokter mengalami peningkatan bersamaan dengan peningkatan stadia. Selain itu, juga dapat dikemukakan bahwa desa-desa dengan stadia lebih tinggi cenderung memiliki jarak ke fasilitas-fasilitas kesehatan (rumah sakit, rumah sakit bersalin dan poliklinik) yang relatif lebih dekat. Hal yang sama juga terlihat dari aspek pendidikan. dan persentase desa dengan ketersediaan fasilitas SLTA cenderung mengalami peningkatan bersamaan dengan peningkatan stadia. Selain itu, ketersediaan lembaga-lembaga pendidikan keterampilan (bahasa asing, komputer, montir, tata busana, kecantikan dan lainnya) juga cenderung lebih banyak di desa dengan stadia yang lebih tinggi. Sebagai catatan, rasio SD per seribu penduduk cenderung menurun signifikan bersamaan dengan peningkatan stadia tetapi bukan menunjukkan kekurangan jumlah SD pada desa-desa stadia tinggi, tetapi lebih menunjukkan tingkat optimalisasi penggunaan sekolah. Selanjutnya untuk rasio SLTP per seribu penduduk tidak menunjukkan kecenderungan yang signifikan. Sebagai faktor input, tingkat ketersediaan/aksesibilitas sarana kesehatan dan pendidikan menunjukkan derajat kesehatan dan pendidikan penduduk. Dengan
184
kata lain, derajat kesehatan dan pendidikan penduduk di desa-desa stadia tinggi lebih baik dibandingkan stadia rendah. Tabel 50 Profil stadia desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi INDIKATOR
Stadia Stadia Stadia Stadia I II III IV
Sig.
KESEJAHTERAAN Kesehatan Rasio bidan per 1000 penduduk Rasio KK per posyandu
0.43
.000a
224.31 248.33 277.85 308.14
.002a
0.74
0.58
0.50
9.26
11.76
22.73
30.43 .009b
Jarak terdekat ke Rumah Sakit (Km)
55.11
47.29
38.52
39.98
.002a
Jarak terdekat ke RS Bersalin (Km)
57.42
55.31
46.52
39.81
.009a
Jarak terdekat ke Poliklinik (Km)
49.36
47.50
41.56
28.68
.016a
Rasio SD per 1000 penduduk
1.31
1.15
1.01
0.77
.000a
Rasio SMP per 1000 penduduk
0.32
0.37
0.31
0.31
.707a
14.81
39.22
36.36
60.87 .000b
1.89
13.73
15.00
26.67 .005b
8.18
25.63
58.07
76.20
.000a
6.41
8.45
6.21
3.77
.140a
5.98
6.41
6.90
8.59
.014a
% Keluarga Pertanian
85.85
88.92
86.61
85.98
.993a
Persentase Lahan Pertanian
83.53
87.31
86.01
90.27
.041a
Rasio Industri Pertanian per 1000 Penduduk
1.10
2.29
1.97
3.15
.000a
Rasio Industri Non-pertanian per 1000 Penduduk
2.38
2.66
3.78
4.84
.001a
Rasio Perdagangan per 1000 Penduduk
20.39
21.05
23.56
27.84
.002a
Rasio Jasa per 1000 Penduduk
12.85
12.92
13.55
16.74
.150a
Persentase ketersediaan praktek dokter
Pendidikan
% ketersediaan SLTA % ketersediaan lembaga keterampilan Kualitas Perumahan Persentase Rumah Permanen Pendapatan Persentase rumah tangga miskin Keamanan Rasio hansip per 1000 penduduk AKTIVITAS PERTANIAN
AKTIVITAS NON-PERTANIAN
Sumber : PODES 2008 dan Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: a) Uji Linearitas ANOVA b) Uji Linearitas Chi-Square
185
Dari sisi kualitas perumahan terlihat bahwa terdapat kecenderungan peningkatan persentase rumah permanen bersamaan dengan peningkatan stadia. Ini berarti bahwa desa-desa dengan stadia lebih tinggi cenderung memiliki kualitas perumahan yang lebih baik dibandingkan desa-desa stadia yang rendah. Dari sisi pendapatan yang dicerminkan oleh persentase rumah tangga miskin terlihat bahwa desa-desa stadia tertinggi (stadia IV) memiliki persentase rumah tangga miskin yang lebih kecil dibandingkan desa stadia di bawahnya. Meskipun demikian, pola linearitasnya tidak signifikan terutama terlihat antara desa stadia I sampai stadia III. Selanjutnya untuk indikator keamanan, terlihat bahwa rasio Hansip per 1000 penduduk cenderung mengalami peningkatan. Ketersediaan Hansip sebagai tenaga pengamanan umumnya berasal dari swadaya masyarakat. Ini menunjukkan bahwa tingkat kemandirian masyarakat akan kebutuhan keamanan semakin tinggi bersamaan dengan peningkatan stadia. Selain itu juga, ketersediaan tenaga hansip ini juga sekaligus dapat menjadi gambaran dari kondisi modal sosial dalam masyarakat. Dalam hal indikator aktivitas pertanian, meskipun persentase keluarga pertanian tidak menunjukkan pola linear yang signifikan, tetapi persentase lahan pertanian cenderung meningkat bersamaan dengan peningkatan stadia. Ini menunjukkan juga bahwa aktivitas pertanian relatif tinggi pada stadia-stadia yang lebih tinggi. Untuk
aktivitas
non-pertanian
dapat
dikemukakan
bahwa
terlihat
kecenderungan peningkatan rasio industri pertanian dan industri non-pertanian, perdagangan bersamaan dengan peningkatan stadia (meskipun rasio jasa menunjukkan pola linear yang sama tetapi secara statistik tidak signifikan). Ini menunjukkan bahwa desa-desa dengan stadia yang lebih tinggi selain memiliki aktivitas pertanian tinggi juga memiliki aktivitas non-pertanian yang semakin tinggi. Dengan kata lain, untuk menjamin keberlangsungan kesejahteraan masyarakat perdesaan, peningkatan aktivitas non-pertanian harus diikuti juga dengan peningkatan aktivitas pertanian. Hasil penelitian ini juga mempertegas pernyataan Rustiadi (2011) bahwa struktur perekonomian perdesaan secara perlahan namun pasti akan terus bergeser
186
ke sektor-sektor hilir (sekunder dan tersier) dicirikan semakin dominannya pekerja perdesaan yang pekerjaan utamanya di sektor off-farm dan semakin banyaknya petani yang juga memiliki pekerjaan off-farm. Tetapi, meskipun terus terjadi diversifikasi hulu-hilir, sistem ekonomi perdesaan akan tetap dicirikan oleh sistem produksi atau industri yang berbasis sumber daya lokal (agribisnis dan pengelolaan sumber daya alam). Hasil ini juga menunjukkan bahwa meskipun asumsi awal menyatakan bahwa
perkembangan
aktivitas
non
pertanian
tumbuh
sebagai
akibat
berkembangnya aktivitas pertanian dan peningkatan pendapatan masyarakat, tetapi
proses ini juga dapat dilakukan arah yang berlawanan yaitu dengan
mendorong perkembangan aktivitas non-pertanian, yang diharapkan akan dapat mendorong berkembangnya aktivitas pertanian, dan sekaligus pendapatan masyarakat. Selain itu, berkembangnya aktivitas non-pertanian diharapkan juga dapat menyerap kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian sehingga dapat meningkatkan produktivitas per tenaga kerja di bidang pertanian yang pada tahap selanjutnya meningkatkan pendapatan penduduk. Senada dengan hal tersebut, Utomo (2005) mengemukakan agar kawasan transmigrasi mampu berkembang dengan baik serta sekaligus mampu memacu pertumbuhan wilayah, selain meningkatkan produktivitas pertanian juga perlu dikembangkan pusat-pusat agroindustri/industri perdesaan. Pentingnya aktivitas non-pertanian dalam kerangka penciptaan kesempatan kerja dan menyerap kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian merupakan kondisi yang diperlukan (necessary condition) untuk terjadinya pembangunan ekonomi. Menurut Freshwater (2000) pembangunan ekonomi berkelanjutan tidak akan mungkin tanpa tersedianya peluang kerja yang memadai. Derajat kohesi sosial masyarakat mungkin meningkat. Mereka mungkin dapat meningkatkan kualitas lingkungan lokalnya dan mereka mungkin mampu mengembangkan infrastruktur fisik dan tingkat sumber daya manusianya, tetapi jika tidak terdapat peluang kerja, maka masyarakat tidak akan mampu bertahan. Dalam jangka pendek, transfer payment dari pemerintah kepada pendapatan masyarakat akan dapat membantu keberadaan ekonomi lokal, tetapi tanpa adanya basis ekonomi yang kuat dalam
187
penciptaan pendapatan masyarakat, maka pembangunan jangka panjang tidak akan dapat tercapai. Terkait
dengan
aktivitas
non-pertanian
ini
Rondinelli
(1985)
mengemukakan bahwa daerah perdesaan tidak dapat mereplikasi ekonomi perkotaan karena diperlukan konsentrasi penduduk untuk menjustifikasi produksi berbagai macam barang dan jasa untuk memenuhi seluruh kebutuhan masyarakat perdesaan. Yang justru disarankan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi perdesaan yang berkelanjutan adalah spesialisasi pada komoditas-komoditas unggulan di mana daerah tersebut memiliki keunggulan komparatif. Spesialisasi akan meningkatkan kemampuan kompetitif, namun ini baru bermanfaat apabila ada aktivitas perdagangan. Oleh karena itu, daerah perdesaan harus meningkatkan konektivitas dengan jaringan pasar untuk memperoleh manfaat dari spesialisasi. Selanjutnya, jika dilihat lebih jauh dari berbagai aktivitas non-pertanian yang berkembang pada masing-masing stadia dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut: Industri Pertanian Secara umum, industri pertanian yang berkembang di desa-desa eks transmigrasi dapat dikelompokkan atas kategori hulu dan hilir. Industri hulu pertanian yaitu industri yang bersifat mengolah hasil pertanian untuk bahan makanan sedangkan industri hilir pertanian adalah industri yang bersifat mengolah hasil pertanian untuk makanan jadi. Kelompok industri hulu ini terdiri dari antara lain penggilingan padi dan penyosohan beras, industri penggilingan dan pembersihan padi-padian lainnya, pembuatan
berbagai
macam
tepung
dari
padi-padian/biji-bijian/kacang-
kacangan/umbi-umbian, industri minyak mentah dari nabati dan hewani. Sedangkan kelompok industri hilir terdiri dari antara lain pembuatan tempe dan tahu, pembuatan makanan dari kedele dan kacang-kacangan selain kecap, tempe dan tahu, pembuatan kerupuk, keripik dan sejenisnya dari ubi dan pisang, pengasinan/pemanisan buah-buahan dan sayur-sayuran seperti asinan buahbuahan dan selai pisang. Secara keseluruhan, berdasarkan rata-rata unit usaha industri di desa terlihat bahwa industri makanan jadi dari pengolahan hasil pertanian lebih dominan
188
dibandingkan industri pengolahan hasil pertanian untuk bahan makanan/industri. Rata-rata unit industri per desa pada industri makanan jadi
sebesar 4,08
sedangkan pada industri pengolahan untuk bahan makanan/industri sebesar 1,62. Berdasarkan stadia desa terlihat bahwa semakin tinggi stadia desa maka semakin banyak rata-rata unit usaha industri makanan jadi di desa. Sebaliknya industri pengolahan untuk bahan makanan atau industri mengalami peningkatan sampai stadia III, dan menurun pada stadia IV. Pola ini juga berlaku sama jika dilihat berdasarkan proporsi industrinya (Tabel 52). Meningkatnya
pendapatan
menyebabkan
meningkatnya
daya
beli
masyarakat terhadap produk-produk makanan jadi yang mendorong tumbuhnya berbagai industri makanan di desa tersebut. Sebaliknya pada pendapatan masyarakat yang masih rendah, kebutuhan makanan dihasilkan sendiri dalam rumah tangga, dan kelebihan produksi pertanian diolah menjadi produk bahan makanan (seperti tepung) yang dijual di luar desa. Berdasarkan hal tersebut, dalam kasus desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi terlihat bahwa pendapatan masyarakat yang sudah relatif tinggi pada desa-desa stadia IV cenderung lebih mendorong pertumbuhan industri makanan jadi, sehingga mengurangi dominasi industri pengolahan untuk bahan makanan atau industri. Tabel 51 Unit, jenis usaha serta rata-rata tenaga kerja industri pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi Uraian
Stadia Desa
RataRata
I
II
III
IV
Unit Usaha per Desa Pengolahan hasil pertanian untuk bahan makanan atau industri
1.06
1.78
2.75
0.43
1.62
Makanan jadi dari pengolahan hasil pertanian
1.28
3.06
4.95
11.26
4.08
Rata-Rata Unit Usaha
2.33
4.84
7.70
11.70
5.70
12
20
21
13
26
2.17
2.26
2.32
2.56
2.34
Jumlah Jenis Industri Rata-Rata TK Sumber : Sensus Ekonomi 2006
Dari ragam jenis industri dan rata-rata tenaga kerja terlihat bahwa sampai sampai stadia III ragam industri mengalami peningkatan, tetapi pada stadia IV mengalami penurunan. Sebaliknya dari skala usaha (dilihat dari rata-rata tenaga
189
kerja per unit usaha) mengalami peningkatan sampai stadia IV. Ini menunjukkan bahwa pada stadia IV industri-industri pertanian yang ada cenderung lebih terkonsentrasi pada jenis-jenis industri pertanian tertentu dan skala usaha yang semakin besar. Tabel 52 Persentase industri pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi Kelompok industri Pengolahan hasil pertanian untuk bahan makanan atau industri Makanan jadi dari pengolahan hasil pertanian Rata-Rata Persentase
Stadia Desa I
II
III
IV
RataRata
18.01
37.93
39.46
4.60
100.00
7.92
24.05
26.17
41.87
100.00
10.64
27.79
29.75
31.82
100.00
Sumber : Sensus Ekonomi 2006
Industri Non-Pertanian Terdapat berbagai jenis industri non-pertanian yang berkembang di desadesa eks transmigrasi. Industri-industri tersebut adalah pengolahan tanah liat (seperti pembuatan genteng dan batu bata), barang-barang dari kayu, rotan, bambu dan sejenisnya (seperti moulding dan komponen bahan bangunan, penggergajian kayu, anyaman dari bambu), furnitur, industri barang-barang dari logam lainnya (seperti cangkul, sabit, pisau, parang/golok), industri barang-barang dari semen, kapur dan batu (seperti genteng semen, tiang teras, patung, pot kembang), barangbarang dari logam siap pasang (seperti teralis, pagar), industri percetakan (seperti percetakan undangan, sablon, spanduk, fotokopi). Dari berbagai kelompok industri ini, terdapat tiga kategori industri nonpertanian dengan dominasi tertinggi di desa-desa eks transmigrasi yaitu industri pengolahan tanah liat, furnitur dan barang-barang dari kayu, rotan, bambu dan sejenisnya. Ketiga kelompok industri ini pada dasarnya tidak hanya mencirikan industri non-pertanian yang berkembang di desa-desa eks transmigrasi, tetapi juga daerah perdesaan pada umumnya. Hal ini disebabkan ketersediaan bahan baku untuk ketiga kategori industri ini yang relatif banyak tersedia di daerah perdesaan. Dengan kata lain juga dapat dikemukakan bahwa pengembangan ketiga kelompok
190
industri non-pertanian ini dapat dijadikan dasar dalam pengembangan aktivitas industri non-pertanian di perdesaan. Berdasarkan rata-rata unit usaha industri per desa, dapat dikemukakan bahwa semakin tinggi stadia semakin banyak jumlah unit usaha di desa. Hal ini terlihat pada semua jenis industri non-pertanian yang berkembang di desa eks transmigrasi. Selanjutnya berdasarkan kecenderungan proporsi menurut stadia desa, penelitian ini membagi industri non-pertanian (termasuk juga perdagangan dan jasa lainnya yang dibahas pada bagian berikutnya) atas tiga pola. Pola pertama adalah industri non-pertanian/perdagangan/jasa yang berkembang sampai stadia I atau II dan selanjutnya menurun pada stadia III dan IV. Pola kedua adalah industri non-pertanian/perdagangan/jasa yang berkembang sampai stadia III dan menurun pada stadia IV. Pola ketiga adalah industri non-pertanian/perdagangan/jasa yang berkembang sampai stadia IV. Mengacu pada pengelompokan pola ini maka dapat dikemukakan bahwa untuk jenis usaha industri non-pertanian kecenderungan yang ada hanya pada pola kedua dan ketiga. Pada pola kedua terdiri dari industri pengolahan tanah liat, barang-barang dari kayu, rotan, bambu dan sejenisnya, furnitur dan barang-barang logam lainnya, sedangkan pola ketiga terdiri dari barang-barang dari semen, kapur dan batu, barang-barang logam siap pasang dan industri percetakan. Berdasarkan produk yang dihasilkan pada kelompok industri tersebut, terlihat bergesernya kebutuhan masyarakat mengikuti peningkatan stadia. Pada stadia tinggi dengan kesejahteraan masyarakat yang lebih tinggi, kebutuhan barang-barang sekunder dan tersier semakin meningkat (seperti pagar dan teralis untuk memperindah rumah, percetakan dan sablon). Sebaliknya pada stadia rendah dengan kesejahteraan masyarakat yang lebih rendah, kebutuhan primer masih dominan (seperti untuk membangun rumah yang membutuhkan batu bata dan genteng dari tanah liat, kunsen, kerangka kayu, cangkul, parang dan lainnya untuk alat pertanian). Pergeseran kebutuhan ini mendorong tumbuhnya jenis industri yang berbeda
bersamaan
dengan
peningkatan
stadia.
Industri-industri
yang
191
menghasilkan kebutuhan barang-barang sekunder dan tersier semakin meningkat pada stadia-stadia yang lebih tinggi. Tabel 53 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja industri non-pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi Uraian
Stadia Desa I
II
III
Unit Usaha per Desa Pengolahan Tanah Liat
1.33
2.65
6.02
7.43
3.74
Furnitur
1.07
1.61
3.43
6.30
2.53
Barang-barang dari Kayu, Rotan, Bambu
0.74
0.90
1.32
2.35
1.15
Barang-barang dari logam lainnya
0.44
0.49
0.82
1.35
0.67
Barang-Barang dari Semen,Kapur dan Batu
0.13
0.20
0.41
1.17
0.36
Barang-barang logam siap pasang
0.04
0.14
0.30
0.65
0.22
Percetakan
0.02
0.02
0.16
0.78
0.16
Industri Lainnya
0.39
0.16
0.11
0.48
0.26
Rata-Rata Unit Usaha
4.13
6.14
12.55
20.52
9.09
26
26
32
35
56
1.88
2.41
2.57
3.33
2.68
Jumlah Jenis Industri Rata-Rata TK Sumber : Sensus Ekonomi 2006
IV
RataRata
Tabel 54 Persentase industri non-pertanian menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi Kelompok Industri
Stadia Desa I
II
III
IV
RataRata
Pola 2 Barang-barang dari Kayu, Rotan, Bambu
20.20
23.23
29.29
27.27
100.00
Barang-barang dari logam lainnya
20.69
21.55
31.03
26.72
100.00
Furnitur
13.30
18.81
34.63
33.26
100.00
Pengolahan Tanah Liat
11.20
21.00
41.21
26.59
100.00
5.41
18.92
35.14
40.54
100.00
11.29
16.13
29.03
43.55
100.00
3.70
3.70
25.93
66.67
100.00
Rata-Rata Persentase 14.26 20.01 35.29 30.18 Sumber : Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: tidak termasuk industri lainnya karena polanya tidak dapat diklasifikasi
100.00
Pola 3 Barang-barang logam siap pasang Barang-Barang dari Semen, Kapur, Batu Percetakan
192
Perdagangan Berdasarkan rata-rata unit usaha perdagangan yang ada, terlihat bahwa dua jenis usaha perdagangan utama di desa-desa eks transmigrasi adalah perdagangan makanan, minuman, tembakau dan hasil pertanian. Rata-rata unit usaha kedua jenis usaha perdagangan ini menunjukkan peningkatan bersamaan dengan peningkatan stadia. Jenis-jenis usaha perdagangan lainnya meskipun dengan jumlah unit usaha yang relatif kecil juga menunjukkan peningkatan bersamaan dengan peningkatan stadia. Selanjutnya berdasarkan kecenderungan proporsinya, terdapat tiga pola (kelompok) jenis usaha perdagangan ini. Kelompok pertama adalah usaha perdagangan yang berkembang pada stadia I kemudian mengalami penurunan pada stadia-stadia berikutnya. Kelompok kedua adalah jenis usaha perdagangan yang meningkat sampai stadia III dan menurun pada stadia IV. Kelompok ketiga adalah unit usaha perdagangan yang terus mengalami peningkatan sampai stadia IV. Kelompok pertama adalah perdagangan alat dan bahan pertanian. Kelompok kedua terdiri dari perdagangan makanan, minuman dan tembakau, hasil pertanian, bahan bakar, alat rumah tangga dan bahan bangunan. Kelompok ketiga terdiri dari perdagangan tekstil, pakaian jadi, alas kaki dan keperluan pribadi lainnya, alat transportasi dan suku cadang, alat elektronik dan listrik, alat tulis menulis dan hasil percetakan. Sebagaimana halnya pada industri, pergeseran dominasi jenis usaha perdagangan yang terjadi berdasarkan stadia desa ini juga pada dasarnya mencerminkan pergeseran dalam hal kebutuhan masyarakat dari kebutuhankebutuhan primer ke arah kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier. Hal ini terlihat dari pergeseran dominasi jenis usaha dari perdagangan makanan, minuman, hasil pertanian serta alat dan bahan pertanian ke perdagangan pakaian, alat transportasi, alat elektronik, alat tulis menulis dan hasil pencetakan. Dari ragam jenis perdagangan dan skala usaha terlihat juga mengalami peningkatan bersamaan dengan peningkatan stadia.
193
Tabel 55 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha perdagangan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi Uraian
Stadia Desa I
II
III
IV
RataRata
Unit Usaha per Desa Makanan,minuman dan tembakau Hasil pertanian Teksil, pakaian jadi, alas kaki dan keperluan pribadi lainnya Bahan bakar Bahan bangunan Alat transportasi dan suku cadang Alat rumah tangga Alat dan bahan pertanian Alat elektronik dan listrik Alat tulis menulis dan hasil pencetakan Perdagangan lainnya
24.20 4.60
31.79 8.86
47.20 14.46
62.99 19.94
37.45 10.44
1.50 1.61 0.48 0.48 0.70 0.81 0.29 0.18 0.53
2.02 2.00 0.68 0.75 0.94 0.58 0.40 0.25 0.30
5.15 2.84 1.79 1.79 1.77 0.90 1.07 0.49 0.74
11.93 3.24 4.52 4.36 2.76 1.36 3.00 1.60 2.32
4.01 2.25 1.43 1.43 1.32 0.83 0.90 0.48 0.76
Rata-Rata Unit Usaha Jumlah Jenis Perdagangan
35.37 60
48.57 66
78.20 74
118.04 88
61.30 102
Rata-Rata TK Sumber : Sensus Ekonomi 2006
2.13
2.05
2.35
2.48
2.23
Tabel 56 Persentase usaha perdagangan menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi Kelompok Industri
Stadia Desa I
II
III
IV
RataRata
Pola 1 Alat dan bahan pertanian
30.32
20.78
27.46
21.83
100.00
Pola 2 Makanan,minuman dan tembakau Bahan bakar Alat rumah tangga Hasil pertanian
20.29 22.48 16.53 13.82
25.17 26.33 21.16 25.17
32.24 32.31 34.24 35.43
22.49 19.27 27.97 25.54
100.00 100.00 100.00 100.00
Pola 3 Teksil, pakaian jadi, alas kaki dan keperluan pribadi lainnya Alat transportasi dan suku cadang Bahan bangunan Alat elektronik dan listrik Alat tulis menulis dan hasil pencetakan
11.74 10.47 10.47 10.27 12.08
14.90 15.67 14.10 13.11 15.27
32.81 32.09 32.09 30.69 26.47
39.75 40.89 42.39 44.84 45.01
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
18.12 23.49 32.64 25.75 100.00 Rata-Rata Persentase Perdagangan Sumber : Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: tidak termasuk perdagangan lainnya karena polanya tidak dapat diklasifikasi
194
Jasa Lainnya Berdasarkan rata-rata unit usaha jasa lainnya yang ada, terlihat bahwa dua jenis usaha jasa utama di desa-desa eks transmigrasi adalah penyediaan makananminuman dalam bentuk kedai/warung/restoran serta pemeliharaan dan reperasi sepeda motor dan mobil. Kedua kelompok usaha jasa ini bersamaan dengan jenisjenis usaha jasa lainnya cenderung meningkat bersamaan dengan peningkatan stadia. Selanjutnya berdasarkan proporsinya, terdapat tiga kelompok (pola) jenis usaha jasa ini. Kelompok pertama adalah usaha jasa yang meningkat sampai stadia II dan kemudian mengalami penurunan pada stadia III dan stadia IV. Kelompok kedua adalah jenis usaha perdagangan yang meningkat sampai stadia III dan menurun pada stadia IV. Kelompok ketiga adalah unit usaha perdagangan yang terus mengalami peningkatan sampai stadia IV. Kelompok pertama terdiri dari persewaan mesin/peralatan pertanian dan angkutan umum. Penurunan persewaan mesin/peralatan pertanian mulai pada stadia III terkait dengan karakteristik komoditi tanaman utama pada masingmasing stadia. Persewaan mesin pertanian dalam hal ini terutama adalah mesin perontok padi dan hal tersebut secara umum menjadi kebutuhan utama pada desadesa stadia I dan II (yang sebagian besar memiliki komoditi tanaman pangan – padi. Lihat Tabel 61). Sedangkan penurunan jasa angkutan umum diduga karena semakin meningkatnya kesejahteraan menyebabkan meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memiliki kendaraan pribadi.
Selanjutnya kelompok kedua
adalah penyediaan akomodasi makanan pada warung/restoran makanan/minuman. Kelompok ketiga terdiri dari pemeliharaan/reparasi sepeda motor/mobil, penjahiran, kesehatan dan kebugaran, persewaan alat pesta, olahraga dan hiburan, komunikasi dan telekomunikasi, perantara keuangan, salon kecantikan dan pangkas rambut, sewa perumahan dan penginapan. Pergeseran-pergeseran yang terjadi dalam dominasi usaha jasa ini pada dasarnya juga mencerminkan pergeseran kebutuhan masyarakat dari kebutuhankebutuhan primer
ke
kebutuhan-kebutuhan
sekunder
dan
tersier.
Jasa
pemeliharaan dan reparasi sepeda motor dan mobil, jasa penjahitan, jasa kesehatan dan kebugaran, persewaan alat pesta, olahraga/musik dan hiburan, jasa
195
komunikasi dan telekomunikasi, perantara keuangan salon kecantikan dan pangkas rambut serta sewa perumahan dan penginapan meningkat bersamaan peningkatan stadia. Sebaliknya jasa angkutan umum mengalami peneningkatan sampai stadia II kemudian mengalami penurunan pada stadia III dan IV. Penurunan jasa angkutan umum ini disebabkan semakin meningkatnya kesejahteraan masyarakat menyebabkan meningkatnya kepemilikan kendaraan pribadi sehingga kebutuhan akan kendaraan umum mengalami penurunan. Hal yang sama terlihat pada jasa persewaaan mesin pertanian dan peralatannya di mana sampai stadia II terjadi peningkatan tetapi pada stadia III dan IV menunjukkan penurunan. Dari ragam jenis usaha jasa dan rata-rata tenaga kerja terlihat bahwa ragam jasa dan skala usaha mengalami peningkatan bersamaan dengan peningkatan stadia. Ini menunjukkan bahwa bersamaan dengan peningkatan stadia, selain berkembangnya berbagai jenis usaha jasa, skala usaha dari jasa yang ada juga semakin lebih besar. Tabel 57 Unit, jenis usaha dan rata-rata tenaga kerja usaha jasa lainnya pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi Uraian
Stadia Desa I
II
III
IV
RataRata
Unit Usaha per Desa Warung/Restoran Makanan/ Minuman Pemeliharaan/reparasi sepeda motor/ mobil Angkutan Umum Penjahitan Kesehatan dan Kebugaran Persewaan alat pesta, olahraga dan hiburan Komunikasi dan telekomunikasi
7.4 3.9 4.0 1.9 0.9 0.7 0.4
9.5 5.4 5.8 2.7 1.3 1.0 0.7
15.1 8.3 4.7 4.1 2.0 2.3 1.6
23.2 13.6 6.8 8.5 3.8 3.6 2.6
12.1 6.8 5.0 3.6 1.7 1.6 1.1
Perantara Keuangan Salon kecantikan dan pangkas rambut Persewaan mesin/peralatan pertanian Sewa Perumahan dan Penginapan Jasa Lain-Lain
0.5 0.4 0.1 0.1 2.0
0.8 0.5 1.1 0.1 0.9
1.3 1.2 0.4 0.5 3.5
2.3 2.2 0.0 1.0 3.3
1.1 0.9 0.4 0.4 2.2
22.3
29.8
45.0
71.0
36.8
59 2.42
63 3.06
74 3.27
78 3.79
105 3.39
Rata-Rata Unit Usaha Jumlah Jenis Jasa Lainnya Rata-Rata TK Sumber : Sensus Ekonomi 2006
196
Tabel 58 Persentase usaha jasa lainnya menurut stadia desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi Kelompok jasa
Stadia Desa I
II
III
IV
RataRata
Pola 1 Angkutan Umum Persewaan mesin/peralatan pertanian Pola 2
25.40 5.55
34.25 76.40
24.24 23.08
18.26 1.49
100.00 100.00
Warung/Restoran Makanan/Minuman Pola 3
19.17
23.23
31.87
25.71
100.00
Kesehatan dan Kebugaran Perantara Keuangan Pemeliharaan/reparasi sepeda motor mobil Penjahitan Salon kecantikan dan pangkas rambut
17.31 15.54 18.07 16.09 13.75
21.81 23.50 23.47 21.94 17.55
29.53 28.88 26.76 29.17 33.32
30.48 31.34 31.45 31.50 33.45
100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
36.46 36.47 39.55 25.77
100.00 100.00 100.00 100.00
Persewaan alat pesta, olahraga dan hiburan 12.82 19.13 30.26 Komunikasi dan telekomunikasi 11.17 19.51 31.29 Sewa Perumahan dan Penginapan 9.32 11.75 35.82 19.00 23.99 31.23 Rata-Rata Persentase Jasa Sumber : Sensus Ekonomi 2006 Keterangan: tidak termasuk jasa lain-lain karena polanya tidak dapat diklasifikasi
6.5 Determinan Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi 6.5.1 Deskripsi Peubah Lama penempatan transmigran (usia desa sejak awal penempatan transmigran) menunjukkan pola yang linear terhadap pencapaian stadia desa. Lama penempatan terkait dengan proses penyesuaian transmigran terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta kemampuan untuk menemukan peluang untuk peningkatan kesejahteraan. Tabel 59 memperlihatkan bahwa desa-desa transmigrasi baru mencapai stadia III dan IV dalam kisaran 30 tahun setelah penempatan. Dikaitkan dengan kondisi stadia desa yang sebagian besar tertahan pada stadia I dan II (Tabel 44) terlihat bahwa perkembangan desa-desa transmigrasi relatif lambat. Terdapat dua faktor yang diperkirakan menjadi penyebab lambatnya perkembangan desa-desa transmigrasi ini. Pertama, kondisi lahan awal penempatan transmigrasi yang kurang mendukung/tidak layak, menyebabkan lambatnya desa-desa transmigrasi untuk mencapai stadia marketable surplus atau memenuhi kriteria desa definitif.
197
Data yang ada menunjukkan bahwa hanya 47,80 persen permukiman transmigrasi di Provinsi Jambi yang mampu menjadi desa definitif dalam kurun waktu 5 – 6 tahun sesuai dengan target yang dicanangkan dalam pembangunan transmigrasi. Sebagian besar lainnya baru mampu mencapai desa definitif setelah 7 – 11 tahun. Kedua, tidak terdapatnya pembinaan lanjutan pada desa-desa eks transmigrasi setelah masa pembinaan. Desa-desa eks transmigrasi berkembang secara sendirinya tanpa adanya intervensi yang terpola baik dari pemerintah maupun pihak swasta dalam mengarahkan perkembangan desa-desa tersebut. Sebagaimana halnya dengan lama penempatan, jarak desa ke ibukota kabupaten (sebagai pusat pertumbuhan kegiatan) juga memiliki pola yang linear dengan capaian stadia. Desa stadia tinggi memiliki jarak yang relatif dekat ibukota kabupaten dibandingkan desa stadia rendah. Tabel 59 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan aksesibilitas dan lama penempatan Uraian
Stadia I
Stadia III
Stadia IV
21.76
25.73
29.66
31.57
26.27
103.74
69.37
53.66
45.09
72.90
Lama penempatan (tahun) Rata-rata jarak desa ke ibukota kabupaten (km)
Ratarata
Stadia II
Sumber: Diolah dari berbagai sumber
Kondisi infrastruktur jalan desa juga menunjang pencapaian stadia yang lebih tinggi. Hanya 1,56 persen desa permukaan jalan tanah yang mencapai stadia IV, sebaliknya 13,11 persen desa permukaan jalan perkerasan dan 29,79 persen desa jalan aspal yang mampu mencapai stadia IV. Tabel 60 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan jenis permukaan jalan Permukaan Jalan Aspal Perkerasan Tanah Jumlah Sumber : PODES 2008.
Stadia I 9 (19.15) 15 (24.59) 30 (46.88) 54 (31.40)
Stadia II 8 (17.02) 19 (31.15) 24 (37.50) 51 (29.65)
Stadia III 16 (34.04) 19 (31.15) 9 (14.06) 44 (25.58)
Stadia IV 14 (29.79) 8 (13.11) 1 (1.56) 23 (13.37)
Jumlah 47 (100.00) 61 (100.00) 64 (100.00) 172 (100.00)
198
Selanjutnya berdasarkan komoditi tanaman utama yang dikembangkan, terlihat bahwa komoditi perkebunan lebih memberikan kesejahteraan pada transmigran dibandingkan komoditi tanaman pangan. Tidak terdapat desa-desa eks transmigrasi dengan komoditi tanaman pangan yang berada pada stadia IV, sebaliknya terdapat 15,13 desa eks transmigrasi dengan komoditi tanaman perkebunan yang berada pada stadia tersebut. Desa eks transmigrasi komoditi tanaman pangan yang mencapai stadia III juga hanya 20,00 persen sedangkan pada tanaman perkebunan mencapai 26,32 persen. Dirinci lebih jauh untuk tanaman perkebunan, dapat dikemukakan bahwa stadia desa tanaman karet lebih baik dibandingkan tanaman kelapa sawit. Hal ini disebabkan desa-desa eks transmigrasi perkebunan kelapa sawit relatif baru dari sisi lama penempatannya dibandingkan dengan desa-desa eks transmigrasi perkebunan karet. Relatif rendahnya perkembangan desa-desa eks transmigrasi dengan komoditi tanaman pangan pada dasarnya mendukung hasil penelitian yang ditemukan Haryati et al. (2006). Dalam penelitiannya di enam lokasi transmigrasi yang telah berkembang menjadi pusat pertumbuhan, ditemukan bahwa khususnya pada kawasan transmigrasi yang dikembangkan dengan
berbasis komoditas
tanaman pangan, pertumbuhannya relatif lambat dibandingkan kawasan yang berbasis komoditas perkebunan. Kawasan Pasir Pangarayan (Provinsi Riau) dan kawasan Padang Jaya (Provinsi Bengkulu), berkembang secara nyata justru ketiga di kawasan tersebut terdapat investasi perkebunan, utamanya perkebunan kelapa sawit dan karet. Pada awalnya, kedua kawasan tersebut dikembangkan dengan komoditas tanaman pangan (padi dan palawija). Hal yang senada juga dikemukakan Subroto et al. (2005), diacu dalam Soegiharto (2008) yang disarikannya dari berbagai hasil penelitian menemukan di kawasan transmigrasi Batumarta yang dibangun diantara Kota Baturaja dan Martapura Provinsi Sumatera Selatan, menunjukkan bahwa Batumarta yang awalnya dibangun dengan konsep usaha tanaman pangan di lahan kering (tanpa irigasi) yang kemudian dipadukan dengan pemeliharaan ternak sapi, pada pelaksanaannya berubah. Ternyata usaha tanaman pangan tidak memberi hasil. Usaha pangan memerlukan banyak input dan tenaga kerja serta resiko
199
kegagalannya terlalu besar bagi keluarga transmigran. Demikian juga dengan memelihara sapi, yang memerlukan tenaga laki-laki (anak laki-laki atau kepala keluarga) untuk mencari pakan dan memberi makan di kandang. Pembinaan yang cukup baik dari PTP X untuk pengusahaan perkebunan rakyat tanaman karet memberikan hasil yang signfikan terhadap produksi karet. Akhirnya usaha pangan dan peternakan ditinggalkan, dan transmigran berfokus pada berkebun tanaman karet yang lebih menjanjikan dalam hal pendapatan. Persoalan lain dalam produksi pertanian tanaman pangan ini adalah terkait dengan pemasaran kelebihan hasil produksi. Pada saat panen raya, melimpahnya hasil produksi tanpa adanya dukungan industri pengolahan yang memadai menyebabkan harga jual menjadi turun. Tabel 61 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan komoditi tanaman utama dan stadia desa Komoditi Tanaman
Stadia I
Stadia II
Stadia III
Stadia IV
Jumlah
Pangan
9 (45.00)
7 (35.00)
4 (20.00)
0 (0.00)
20 (100.00)
Perkebunan
45 (29.61)
44 (28.95)
40 (26.32)
23 (15.13)
152 (100.00)
Karet
7 (15.22)
13 (28.26)
15 (32.61)
11 (23.91)
46 (100.00)
Kelapa Sawit
38 (35.85)
31 (29.25)
25 (23.58)
12 (11.32)
106 (100.00)
Jumlah
54 (31.40)
51 (29.65)
44 (25.58)
23 (13.37)
172 (100.00)
Sumber : Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010
Dari dominasi daerah asal menunjukkan bahwa desa dengan dominasi asal Jambi (transmigran lokal) relatif memiliki kinerja yang lebih rendah dibandingkan desa dengan dominasi daerah asal Pulau Jawa. Desa-desa dengan dominasi daerah asal Jambi hanya mampu mencapai stadia III, dan sebagian besar (70,45 persen) tertahan pada stadia I. Hasil penelitian ini juga mendukung penelitian yang dilakukan Safrial (2004) pada pada 6 desa dalam 3 kabupaten penerima proyek transmigrasi Perusahaan Inti Rakyat Transmigrasi (PIR-Trans) dengan komoditas kelapa sawit di Provinsi Jambi. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa transmigran lokal memiliki kondisi ekonomi yang lebih rendah dibandingkan
200
transmigran non-lokal. Hal tersebut terutama disebabkan oleh tingkat pendidikan, etos kerja dan kekosmopolitanan. Selanjutnya jika dilihat secara terperinci pada daerah asal Pulau Jawa terlihat bahwa desa-desa dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah cenderung memiliki tingkat capaian stadia tinggi yang lebih baik sedangkan desa-desa dominasi daerah asal Jawa Barat cenderung memiliki kinerja yang relatif rendah. 22,34 persen desa dominasi asal Jawa Tengah berada pada Stadia IV sedangkan untuk untuk desa-desa dominasi daerah asal Jawa Barat hanya 5,00 persen. Rendahnya kinerja transmigran asal Jawa Barat ini juga mendukung pernyataan Soewardi (2001) yang menyatakan bahwa karsa (etos kerja) orang Sunda relatif lemah. Kelemahkarsaan orang Sunda sangat menonjol pada sifat cepat menyerah. Selain cepat menyerah, orang Sunda juga sering dikatakan sebagai tidak disiplin, gampang melanggar aturan, cepat bosan dan cepat meninggalkan pekerjaan. Karena itu, kinerja orang Sunda di daerah transmigrasi terbilang buruk. Tabel 62 Distribusi desa eks transmigrasi berdasarkan dominasi daerah asal dan stadia desa Daerah Asal
Stadia I
Stadia II
Stadia III
Stadia IV
Jumlah
Jawa Tengah
17 (18.09)
23 (24.47)
33 (35.11)
21 (22.34)
94 (100.00)
Jawa Barat
3 (15.00)
11 (55.00)
5 (25.00)
1 (5.00)
20 (100.00)
Jawa Timur
3 (21.43)
7 (50.00)
3 (21.43)
1 (7.14)
14 (100.00)
Jambi
31 (70.45)
10 (22.73)
3 (6.82)
0 (0.00)
44 (100.00)
Jumlah
54 (31.40)
51 (29.65)
44 (25.58)
23 (13.37)
172 (100.00)
Sumber : Disosnakertrans Pemprov Jambi 2010
6.5.2 Model Determinan Perkembangan Desa-Desa Eks Transmigrasi Model regresi ordinal logit untuk determinan stadia perkembangan desadesa eks transmigrasi diberikan sebagai berikut:
ln( j ) 1 X1 2.D1 X 2.D1 2.D2 X 2.D2 3.D1 X3.D1 3.D2 X3.D2 4 X 4
5.D1 X5.D1 5.D2 X5.D2 5.D3 X5.D3 6 X6 7 X 7 e
201
di mana: j = stadia perkembangan permukiman transmigrasi j1
0 = stadia IV; 1 = stadia I
j2
0 = stadia IV; 1 = stadia II
j3
0 = stadia IV; 1 = stadia III
Θj = probabilitas (skor ≤ j)/(1 – probabilitas (skor ≤ j)) α = konstanta persamaan; β1…β7 = koefisien peubah dalam model e = error term X1 = Jarak desa dari ibukota kabupaten X2 = Permukaan jalan antar desa terluas X2.D1 0 = Aspal; 1 = Tanah X2.D2 0 = Aspal; 1 = Perkerasan X3 = Komoditi asal tanaman utama transmigran X3.D1 0 = Karet; 1 = Pangan X3.D2 0 = Karet; 1 = Kelapa Sawit X4 = Rata-rata lama penempatan transmigran di desa tersebut (dalam tahun) X5 = Dominasi daerah asal transmigran (lebih dari 50 persen penempatan) X5.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah X5.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat X5.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur X6 = Rata-rata pertumbuhan ekonomi kabupaten penempatan transmigrasi (10 tahun terakhir) X7 = Rasio perusahaan/usaha (menengah/besar) per 1000 penduduk pada kabupaten penempatan transmigrasi
1, 2.D1, 2.D2, 3.D1, 3.D2 < 0 5.D1, 5.D2, 5.D3 0 4 , 6 , 7 > 0 Uji Multikolinearitas Uji asumsi klasik (normalitas, heterokedastistas dan autokorelasi) dalam regresi metode OLS tidak dibutuhkan dalam regresi logistik. Meskipun demikian, uji multikolinearitas antarpeubah bebas tetap diperlukan untuk menghindari bias dalam estimasi koefisien.
202
Uji multikolinearitas antar peubah bebas dari model dengan menggunakan korelasi diberikan pada Lampiran 9. Dari Lampiran 9 terlihat bahwa nilai korelasi peubah bebas relatif rendah (di bawah 0,85 (Widarjono 2009)). Dengan kata lain, tidak terdapat masalah multikolinearitas dalam model. Uji Overall Model Fit Uji statistik untuk mengetahui apakah semua peubah bebas di dalam regresi logistik secara serentak mempengaruhi peubah terikat sebagaimana uji F dalam regresi linear didasarkan pada nilai statistik -2LL (-2Log Likelihood) atau nilai LR. Uji serentak model logistik dihitung dari perbedaan nilai -2LL antara model dengan hanya terdiri dari konstanta (intercept) dan model yang diestimasi yang terdiri dari konstanta dan peubah bebas. Hasil uji overall model fit dapat dilihat pada Tabel 63 berikut: Tabel 63 Model fitting information stadia desa-desa eks transmigrasi Model
-2 Log Likelihood
Hanya Konstanta
458.897
Konstanta dan Model
326.717
Chi-Square
df
Sig.
132.180
11
.000
Dari Tabel 63 memperlihatkan bahwa model hanya dengan konstanta menghasilkan nilai -2LL sebesar 458,897, sedangkan jika peubah bebas X1 – X7 dimasukkan maka nilai -2LL turun menjadi 326,717 dan penurunan ini signifikan pada 0,00 yang berarti model dengan peubah bebas lebih baik dibandingkan model dengan konstanta saja. Dengan demikian juga dapat disimpulkan bahwa secara bersama-sama peubah bebas mempengaruhi peubah terikat. Estimasi Parameter dan Uji Parsial Model Uji parsial dalam model logit (uji parsial koefisien regresi) menggunakan uji statistika Wald, yang mengikuti distribusi Chi Square (χ2). Estimasi parameter regresi model diberikan pada Tabel 64 berikut:
203
Tabel 64 Estimasi parameter model determinan stadia desa eks transmigrasi Estimasi
Std. Error
Wald
df
Sig.
Exp(B)
J1
1.001
1.771
0.320
1
0.572
2.721
Stadia I
J2
3.244
1.806
3.227
1
0.072
25.639
Stadia II
J3
5.513
1.831
9.067
1
0.003
247.891
Stadia III
X1
-0.018
0.006
9.927
1
0.002
0.983
Jarak Desa
X2.D1
-1.127
0.473
5.683
1
0.017
0.324
Jalan Tanah
X2.D2
-1.380
0.412
11.239
1
0.001
0.252
Jalan Perkerasan
X3.D1
-1.933
0.682
8.043
1
0.005
0.145
Komoditi Pangan
X3.D2
-0.023
0.418
0.003
1
0.956
0.977
Komoditi Sawit
X4
0.108
0.041
6.982
1
0.008
1.114
Lama penempatan
X5.D1
1.404
0.611
5.278
1
0.022
4.070
Dominasi asal Jateng
X5.D2
0.637
0.680
0.880
1
0.348
1.892
Dominasi asal Jabar
X5.D3
-0.169
0.793
0.045
1
0.831
0.844
Dominasi asal Jatim
X6
-0.096
0.220
0.192
1
0.661
0.908
Pert.ekonomi
X7
1.308
0.486
7.259
1
0.007
3.700
Rasio usaha
Peubah
Keterangan Peubah
Jarak desa ke ibukota kabupaten menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Semakin jauh jarak maka akan
semakin
menurunkan
probabilitas
desa
tersebut untuk
mencapai
perkembangan stadia tertinggi. Dengan mengamati odd ratio dari Tabel 64 dapat dikemukakan bahwa desa dengan jarak ke ibukota kabupaten 1 km lebih jauh dari desa lainnya memiliki probabilitas 0,983 kali untuk mencapai stadia tertinggi dibandingkan desa yang lebih dekat. Dengan kata lain, desa-desa yang berjarak lebih jauh memiliki peluang yang lebih rendah dalam pencapaian stadia tertinggi. Kondisi permukaan jalan yang menghubungkan desa memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pencapaian stadia tertinggi. Desa-desa yang memiliki permukaan jalan tanah (X2.D1) memiliki probabilitas 0,324 kali sedangkan desadesa dengan permukaan jalan perkerasan (X2.D2) memiliki probabilitas 0,252 kali untuk mencapai stadia tertinggi jika dibandingkan dengan desa-desa dengan permukaan jalan aspal (referensi). Dengan kata lain, desa dengan permukaan jalan tanah dan perkerasan memiliki peluang yang lebih rendah dalam pencapaian stadia tertinggi dibandingkan desa dengan permukaan jalan aspal. Hasil ini menunjukkan bahwa lokasi-lokasi dengan tingkat keterkaitan yang kuat dengan pusat pertumbuhan/kegiatan (yang secara umum digambarkan oleh
204
jarak yang relatif dekat) dan memiliki tingkat kemudahan (aksesibilitas) tinggi menuju lokasi desa memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai stadia/kinerja tinggi. Sebagaimana yang dikemukakan Priyono et al. (2002), berkembangnya lokasi permukiman transmigrasi sangat dipengaruhi oleh kondisi prasarana jalan dan jarak ke pusat-pusat perekonomian baik di ibukota kecamatan, kabupaten maupun provinsi. Apabila kondisi jalan baik akan sangat membantu dalam pemasaran hasil-hasil produksi lokasi transmigrasi dan menekan tingginya harga kebutuhan masyarakat, sehingga kawasan akan lebih cepat berkembang. Selanjutnya, tidak terdapat perbedaan peluang untuk mencapai stadia tertinggi antara desa dengan komoditi tanaman utama karet (X3.D2) dengan komoditi tanaman utama kelapa sawit (referensi). Ini ditunjukkan oleh tidak signifikannya koefisien dalam model. Namun demikian, peluang tersebut berbeda secara signifikan dengan desa komoditi tanaman pangan (X3.D1). Dari odds rationya memperlihatkan bahwa peluang desa-desa dengan komoditi tanaman pangan adalah 0,145 kali untuk mencapai stadia tertinggi dibandingkan desa dengan komoditi utama kelapa sawit. Dengan kata lain, peluang desa dengan komoditi tanaman pangan untuk mencapai stadia tertinggi lebih rendah dibandingkan desa dengan komoditi kelapa sawit. Dibandingkan dengan tanaman perkebunan, hasil-hasil pertanian tanaman pangan memiliki nilai jual produk yang relatif kurang menguntungkan dibandingkan tanaman perkebunan (karet dan kelapa sawit). Ini menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat di desa-desa dengan komoditi tanaman pangan juga relatif lebih rendah dibandingkan desa-desa dengan komoditi tanaman perkebunan. Kondisi ini juga diperburuk oleh kenyataaan tingkat perawatan sistem pengairan (khususnya pada tanaman padi) serta banyaknya lokasi desadesa tanaman pangan yang dilanda banjir (sebagian desa-desa ini berada di dataran rendah). Lama penempatan transmigran (X4) berpengaruh signifikan positif terhadap pencapaian stadia tertinggi. Desa dengan penempatan yang lebih lama memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai stadia tertinggi. Dengan mengamati odds ratio dapat dikemukakan bahwa desa dengan penempatan lebih lama satu
205
tahun memiliki probabilitas 1,114 kali untuk mencapai stadia tertinggi dibandingkan dengan desa dengan penempatan yang lebih baru. Lama penempatan ini terkait dengan proses penyesuaian transmigran terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta kemampuan untuk menemukan peluang untuk peningkatan kesejahteraan. Semakin lama transmigran di lokasi, maka semakin besar proses penyesuaian diri yang dilakukannya. Tidak terdapat perbedaan peluang antara desa dengan dominasi daerah asal Jawa Barat (X5.D2) dan Jawa Timur (X5.D3) dalam hal pencapaian stadia tertinggi jika dibandingkan desa dengan dominasi daerah asal Jambi (referensi). Hal ini ditunjukkan oleh tidak signifikannya koefisien kedua peubah tersebut. Namun demikian, desa-desa dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah (X5.D1) memiliki peluang lebih tinggi 4,070 kali dibandingkan desa-desa dengan dominasi daerah asal Jambi. Selanjutnya dalam hal kinerja wilayah kabupaten, terlihat bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari pertumbuhan ekonomi (X6) terhadap perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Sebaliknya rasio perusahaan/usaha per 1000 penduduk (X7) memperlihatkan pengaruh yang signifikan positif. Ini menunjukkan bahwa semakin banyak perusahaan/usaha yang berkembang di kabupaten lokasi desa eks transmigrasi akan meningkatkan peluang untuk mencapai perkembangan stadia tertinggi. Dengan mengamati odds ratio dapat dikemukakan bahwa kabupaten dengan rasio perusahaan/usaha per 1000 penduduk lebih banyak 1 satuan dibandingkan kabupaten lainnya, maka peluang desa-desa eks transmigrasi di wilayahnya memiliki probabilitas 3,700 kali untuk mencapai stadia tertinggi dibandingkan desa-desa di kabupaten lainnya tersebut. Keberadaan perusahaan/usaha di suatu daerah pada dasarnya terkait dengan peluang usaha dan bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk. Semakin banyak perusahaan/usaha pada semakin besar peluang penduduk untuk mendapatkan pekerjaan dan semakin tinggi kesejahteraan mereka.
206
VII. KONDISI SOSIAL EKONOMI PENDUDUK DAN KETERKAITAN DESA EKS TRANSMIGRASI DENGAN WILAYAH SEKITARNYA 7.1 Gambaran Umum Desa Sampel Penelitian Berdasarkan perhitungan stadia desa-desa eks transmigrasi
yang telah
dikemukakan sebelumnya, maka ditetapkan enam sampel desa, yaitu masingmasing satu sampel desa untuk stadia terendah dan tertinggi pada masing-masing komoditi tanaman utama. Pengambilan sampel dilakukan dalam rangka mendapatkan gambaran kondisi sosial-ekonomi penduduknya
dan keterkaitan
desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah sekitarnya . Desa sampel dan jumlah keluarga sampel diberikan pada Tabel 65 berikut: Tabel 65 Distribusi sampel keluarga pada desa penelitian, Tahun 2011 No
Nama Desa/Kel
Kecamatan
Kabupaten
Komoditi Utama
Stadia
Jumlah Keluarga
Jumlah Sampel
1
Mekar sari
Kumpeh Ilir
Muaro Jambi
Padi
Rendah (I)
749
38
2
Bandar Jaya
Rantau Rasau
Tanjab Timur
Padi
Tinggi (III)*
1048
52
3
Bukit Mas
Sungai Bahar
Muaro Jambi
Kelapa Sawit
Rendah (I)
384
19
4
Rasau
Renah Pamenang
Merangin
Kelapa Sawit
Tinggi (IV)
765
38
5
Sungkai
Bajubang
Batanghari
Karet
Rendah (I)
272
14
6
Rimbo Mulyo
Rimbo Bujang
Tebo
Karet
Tinggi (IV)
1660
83
Jumlah 4878 244 Keterangan: * = berdasarkan perhitungan stadia desa pada bab sebelumnya, stadia tertinggi untuk desa komoditi tanaman pangan hanya mencapai stadia III
7.1.1 Desa Mekar Sari Desa Mekar Sari merupakan salah satu dari sebelas desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Kumpeh Ilir Kabupaten Muaro Jambi Provinsi Jambi. Luas wilayah Desa Mekar Sari adalah 23,2 km2 dengan batas-batas administratif: - Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Betung - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Pulau Mentaro dan Desa Puding
208
- Sebelah Barat berbatasan dengan Tangkit Baru (Kec.Kumpeh Ulu), Pemunduran (Kec.Kumpeh Ulu) Teluk Raya (Kec. Kumpeh Ulu) - Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Rukam. Lokasi penelitian Desa Mekar Sari diberikan pada Gambar 14 berikut:
TANJABTIM
Mekar Sari
Gambar 15 Lokasi penelitian Desa Mekar Sari. Dari sisi aksesibilitas, desa ini berjarak sekitar 75 km dari ibukota Kabupaten Muaro Jambi (Sengeti) dan berjarak sekitar 45 km dari ibukota Provinsi Jambi (Kota Jambi). Selanjutnya, berdasarkan sejarah ketransmigrasiannya, Desa Mekar Sari merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT) Kumpeh yaitu Unit II Kumpeh. Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini adalah pada Tahun 1984, dengan jumlah penempatan sebanyak 500 kepala keluarga (KK) dengan 2693 jiwa. Transmigran tersebut berasal dari Jawa Barat (54 KK), Jawa Tengah (70 KK), Jawa Timur (70 KK) dan APPDT (306 KK) Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di Desa Mekar Sari adalah tanaman padi (Transmigrasi Umum Tanaman Pangan). Namun demikian, pada saat ini sebagian sudah beralih fungsi ke tanamantanaman perkebunan seperti karet, sawit dan cokelat. Penyebab utamanya selain
209
karena harga produk pertanian (padi) yang tidak memadai, desa ini setiap tahun selalu dilanda banjir sehingga penduduk tidak dapat melakukan aktivitas bertanam. Pada saat penelitian dilakukan, lahan-lahan yang masih berfungsi sebagai lahan sawah sudah terendam banjir sejak tujuh bulan yang lalu. Desa Mekar Sari menjadi desa definitif pada Tahun 1992. Jumlah penduduk pada saat ini sebanyak 2802 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 749 KK. Dengan kata lain, jumlah KK di daerah ini telah berkembang satu setengah kali lipat dibandingkan dengan jumlah KK penempatan. Penambahan ini selain disebabkan karena pecahan KK (dari generasi kedua transmigran yang telah menikah dan memiliki keluarga sendiri), juga disebabkan adanya pendatang yang menetap dan bekerja di desa ini. Fasilitas pendidikan yang tersedia di daerah ini baru pada jenjang pendidikan TK dan SD, dan belum terdapat fasilitas untuk pendidikan SLTP dan SLTA. Untuk mencapai SLTP terdekat, siswa di desa ini harus menempuh jarak sekitar 3 km, sedangkan untuk mencapai SLTA terdekat harus menempuh jarak sekitar 6 km. Selanjutnya, fasilitas kesehatan yang tersedia berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan, Poskesdes, Polindes dan Posyandu. Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia relatif terbatas. Fasilitas yang ada hanyalah koperasi dan warung/toko di sekitar permukiman penduduk dan belum tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen), kelompok pertokoan maupun kios sarana produksi pertanian. 7.1.2 Kelurahan Bandar Jaya Kelurahan Bandar Jaya merupakan salah satu dari sebelas desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Rantau Rasau Kabupaten Tanjung Jabung Timur Provinsi Jambi, dan sekaligus berfungsi sebagai ibukota kecamatan. Daerah ini merupakan daerah dataran rendah dan pasang surut dengan ketinggian 1 – 2 meter dari permukaan laut. Luas wilayah Kelurahan Bandar Jaya adalah 18 km2 dengan batas-batas administratif: - Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Rantau Rasau II dan Desa Pematang Mayan - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Rawasari (Kec.Berbak)
210
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Marga Mulya - Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bangun Karya dan Desa Harapan Makmur. Peta lokasi penelitian Kelurahan Bandar Jaya diberikan pada Gambar 15 berikut:
Bandar Jaya
Gambar 16 Lokasi penelitian Kelurahan Bandar Jaya. Dari sisi aksesibilitas, Kelurahan Bandar Jaya berjarak sekitar 60 km dari ibukota Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Muara Sabak) dengan waktu tempuh sekitar 120 menit, dan berjarak sekitar 200 km dari ibukota Provinsi Jambi (Kota Jambi) dengan waktu tempuh sekitar 160 menit. Daerah ini berada di seberang Sungai Batanghari dari ibukota kabupaten maupun provinsi, sehingga untuk mencapai ibukota kabupaten maupun provinsi harus menggunakan campuran moda transportasi darat dan sungai. Berdasarkan
sejarah
ketransmigrasiannya,
Kelurahan
Bandar
Jaya
merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT) Rantau Rasau yaitu Unit III Rantau Rasau.Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini adalah pada Tahun 1970, dengan jumlah penempatan sebanyak 573 KK (2693 jiwa).
211
Transmigran tersebut berasal dari Jawa Barat (125 KK), Jawa Tengah (322 KK), DIY (125 KK), dan Jawa Timur (1 KK). Awalnya,
komoditi
tanaman
utama
yang
dikembangkan
program
transmigrasi di daerah ini adalah tanaman pangan padi (Transmigrasi Umum Tanaman Pangan). Namun demikian, karena kerusakan yang terjadi pada fungsi pengairan, berkurangnya kesuburan lahan, terjadinya bencana alam berupa kebakaran lahan gambut di daerah ini serta faktor harga produk pertanian (padi) yang tidak memadai menyebabkan pertanian tanaman padi dirasakan penduduk tidak lagi layak secara ekonomis. Oleh karenanya sejak Tahun 2001 penduduk mulai beralih ke komoditi perkebunan yaitu tanaman karet, kelapa sawit dan pinang. Pada saat penelitian, hampir tidak ditemukan lahan padi sawah di desa ini. Kelurahan Bandar Jaya berkembang menjadi desa definitif pada Tahun 1980. Jumlah penduduk pada saat ini sebanyak 4078 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 1048 KK. Dengan kata lain, jumlah KK di daerah ini telah berkembang hampir dua kali lipat (1,83 kali) dibandingkan dengan jumlah KK penempatan. Perkembangan daerah ini juga terlihat dari ketersediaan berbagai fasilitas yang mendukung kebutuhan penduduk. Di bidang pendidikan, terdapat fasilitas mulai dari jenjang pendidikan TK sampai SMU. Di bidang kesehatan, terdapat sarana kesehatan berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan dan posyandu. Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia berupa kios sarana produksi pertanian, koperasi, dan warung/toko di sekitar permukiman penduduk. Belum tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen) maupun kelompok pertokoan. 7.1.3 Desa Bukit Mas Desa Bukit Mas merupakan salah satu dari dua puluh empat desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Sungai Bahar Kabupaten Muaro Jambi. Luas wilayah Desa Bukit Mas adalah 13,58 km2 dengan batas-batas administratif: - Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Marga - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Trijaya - Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Batanghari - Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Bukit Makmur dan Desa Rantau Harapan. Peta lokasi penelitian Desa Bukit Mas diberikan pada Gambar 16 berikut:
212
Bukit Mas
Gambar 17 Lokasi penelitian Desa Bukit Mas. Dari sisi aksesibilitas, desa ini berjarak sekitar 110 km dari ibukota Kabupaten Muaro Jambi (Sengeti), dan berjarak sekitar 90 km dari ibukota Provinsi
Jambi
(Kota
Jambi).
Selanjutnya,
berdasarkan
sejarah
ketransmigrasiannya, Desa Bukit Mas merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT) Sungai Bahar yaitu Unit XVIII Sungai Bahar.Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini adalah pada Tahun 1995, dengan jumlah penempatan sebanyak 550 KK (2367 jiwa). Transmigran tersebut berasal dari DKI Jakarta (82 KK), Jawa Barat (48 KK), Jawa Tengah (47 KK), DIY (65 KK), Jawa Timur (33 KK), APPDT (108 KK) TNKS (110 KK), Kota Jambi (44 KK), dan ABRI (13 KK). Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di Desa Bukit Mas adalah tanaman kelapa sawit (PIRTRANS Kelapa Sawit). Sampai saat ini, penduduk masih mengusahakan tanaman karet sebagai komoditi utama di desanya. Desa Bukit Mas berkembang menjadi desa definitif pada Tahun 2005. Jumlah penduduk pada saat ini sebanyak 1324 jiwa dengan jumlah KK sebanyak
213
384 KK. Dengan kata lain, jumlah KK di desa ini telah berkurang dibandingkan dengan jumlah awal penempatan yang sebanyak 550 KK. Daerah ini relatif kurang berkembang jika dilihat dari ketersediaan fasilitas pendukung kebutuhan penduduknya. Di bidang pendidikan umum, di daerah ini baru terdapat fasilitas setingkat SD. Meskipun demikian, untuk sekolah agama sudah tersedia setingkat SLTP (MTs). Untuk mencapai SLTP umum terdekat, siswa di desa ini harus menempuh jarak sekitar 4 km, sedangkan untuk mencapai SLTA terdekat harus menempuh jarak sekitar 12 km. Selanjutnya, fasilitas kesehatan yang tersedia berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan dan Posyandu. Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia berupa koperasi, dan warung/toko di sekitar permukiman penduduk (dengan jumlah yang sangat terbatas). Di desa ini belum tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen) maupun kelompok pertokoan maupun kios sarana produksi pertanian. 7.1.4 Desa Rasau Desa Rasau merupakan salah satu dari empat desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Renah Pamenang Kabupaten Merangin Provinsi Jambi. Luas wilayah Desa Rasau adalah 16,8 km2 dengan batas-batas administratif: - Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Rejosari (Kec. Pamenang) - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Lantak Seribu dan Desa Tambang Mas (Kec. Pamenang Selatan) - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Meranti - Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Pinang Merah (Kec. Pamenang Barat) dan Desa Sialang (Kec. Pamenang). Peta lokasi penelitian Desa Rasau diberikan pada Gambar 17 berikut:
214
Rasau
Gambar 18 Lokasi penelitian Desa Rasau. Dari sisi aksesibilitas, desa ini berjarak sekitar 30 km dari ibukota Kabupaten Merangin (Bangko), dan berjarak sekitar 220 km dari ibukota Provinsi Jambi (Kota Jambi). Selanjutnya berdasarkan sejarah ketransmigrasiannya, Desa Rasau merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT) Pamenang yaitu Unit IV Pamenang. Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini adalah pada Tahun 1979, dengan jumlah penempatan sebanyak 415 KK (1899 jiwa). Transmigran tersebut berasal dari Jawa Tengah (373 KK), APPDT (42 KK) dan Jawa Timur (26 KK) Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di daerah ini adalah tanaman kelapa sawit (Transmigrasi Umum Pola Perkebunan). Sampai saat ini, penduduk masih mengusahakan tanaman sawit sebagai komoditi utama di desanya. Desa Rasau berkembang menjadi desa definitif pada Tahun 1987. Jumlah penduduk pada saat ini sebanyak 2724 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 765 KK. Dengan kata lain, jumlah KK di daerah ini telah berkembang hampir dua kali lipat (1,84 kali) dibandingkan dengan jumlah KK penempatan.
215
Di bidang pendidikan, di desa ini terdapat fasilitas mulai dari jenjang pendidikan TK sampai SLTA. Di bidang kesehatan, terdapat sarana kesehatan berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan, poskesdes, dan Posyandu. Selanjutnya, di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia berupa pasar, kelompok pertokoan, kios sarana produksi pertanian, koperasi, dan warung/toko di sekitar permukiman penduduk. 7.1.5 Desa Sungkai Desa Sungkai merupakan salah satu dari sembilan desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari Provinsi Jambi. Luas wilayah Desa Sungkai adalah 42,2 km2 dengan batas-batas administratif: - Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Muaro Jambi - Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Bungku - Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bungku - Sebelah Utara berbatasan dengan berbatasan dengan Desa Mekar Jaya, Pompa Air dan Ladang Peris. Peta lokasi penelitian Desa Sungkai diberikan pada Gambar 18 berikut:
Sungkai
Gambar 19 Lokasi penelitian Desa Sungkai.
216
Dari sisi aksesibilitas, daerah ini berjarak sekitar 30 km dari ibukota Kabupaten Batanghari (Muara Bulian) dan berjarak sekitar 90 km dari ibukota Provinsi Jambi (Kota Jambi). Selanjutnya berdasarkan sejarah ketransmigrasiannya, Desa Sungkai merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT) Kilangan yaitu Unit II Kilangan.Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini adalah pada Tahun 1984, dengan jumlah penempatan sebanyak 265 KK (1283 jiwa). Transmigran tersebut berasal dari Jawa Tengah (47 KK), Jawa Timur (59 KK) dan APPDT (159 KK) Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di daerah ini adalah tanaman karet (Transmigrasi Umum Tanaman Perkebunan). Sampai saat ini, penduduk masih mengusahakan tanaman karet sebagai komoditi utama di desanya. Desa Sungkai menjadi desa definitif pada Tahun 1992. Jumlah penduduk pada saat ini sebanyak 935 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 272 KK. Dengan kata lain, jumlah KK di daerah ini relatif sama dengan kondisi pada saat penempatan. Fasilitas pendidikan yang tersedia di Desa Sungkai adalahadalah pada jenjang SD dan SLTP, dan tidak terdapat fasilitas untuk pendidikan TK dan SLTA. Untuk mencapai TK dan SLTA terdekat, siswa di desa ini harus menempuh jarak sekitar 15 km. Selanjutnya, fasilitas kesehatan yang tersedia berupa Puskesmas Pembantu dan Posyandu. Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia relatif terbatas. Fasilitas yang ada hanyalah koperasi dan warung/toko di sekitar permukiman penduduk dan belum tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen), kelompok pertokoan maupun kios sarana produksi pertanian, 7.1.6 Desa Rimbo Mulyo Desa Rimbo Mulyo merupakan salah satu dari delapan desa/kelurahan yang ada di Kecamatan Rimbo Bujang Kabupaten Tebo Provinsi Jambi. Luas wilayah Desa Rimbo Mulyo adalah 55,5 km2 dengan batas-batas administratif: - Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Tirta Kencana, Sapta Mulia dan Pematang Sapat - Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Bungo
217
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Suka Maju (Kec. Rimbo Ulu) - Sebelah Utara berbatasan dengan Kelurahan Wirotho Agung dan Desa Suka Damai (Kec.Rimbo Ulu). Peta lokasi penelitian Desa Rimbo Mulyo diberikan pada Gambar 19 berikut:
Rimbo Mulyo
Gambar 20 Lokasi penelitian Desa Rimbo Mulyo. Dari sisi aksesibilitas, Desa Rimbo Mulyo berjarak sekitar 112 km dari ibukota Kabupaten Tebo (Muara Tebo), dan berjarak sekitar 320 km dari ibukota Provinsi Jambi (Kota Jambi). Secara geografis, pada dasarnya desa ini relatif lebih dekat ke ibukota Kabupaten Bungo (kabupaten induk dari Kabupaten Tebo sebelum pemekaran) yaitu hanya sekitar 25 km. Berdasarkan sejarah ketransmigrasiannya, Desa Rimbo Mulyo merupakan salah satu unit pemukiman transmigrasi (UPT) Rimbo Bujang yaitu Unit III Rimbo Bujang. Tahun awal penempatan transmigran di lokasi ini adalah pada Tahun 1976, dengan jumlah penempatan sebanyak 500 KK (2135 jiwa). Transmigran tersebut berasal dari Jawa Tengah (474 KK) dan Jawa Timur (26 KK)
218
Komoditi tanaman utama yang dikembangkan program transmigrasi di desa ini adalah tanaman karet (Transmigrasi Umum Pola Perkebunan). Sampai saat ini, penduduk masih mengusahakan tanaman karet sebagai komoditi utama di desanya. Desa Rimbo Mulyo berkembang menjadi desa definitif pada Tahun 1981. Jumlah penduduk pada saat ini sebanyak 6080 jiwa dengan jumlah KK sebanyak 1660 KK. Dengan kata lain, jumlah KK di daerah ini telah berkembang lebih dari tiga kali lipat (3,32 kali) dibandingkan dengan jumlah KK penempatan. Di bidang pendidikan, di daerah ini terdapat fasilitas mulai dari jenjang pendidikan TK sampai SLTP, sedangkan untuk SLTA terdekat berjarak sekitar 6 km dari desa. Selanjutnya, di bidang kesehatan, di daerah ini terdapat sarana kesehatan berupa Puskesmas Pembantu, praktek bidan, poskesdes, dan posyandu. Di bidang perekonomian, fasilitas yang tersedia berupa kios sarana produksi pertanian, kelompok pertokoan, koperasi, dan warung/toko di sekitar permukiman penduduk. Di desa ini belum tersedia pasar (permanen ataupun non-permanen). 7.2 Kondisi Sosial Ekonomi Penduduk 7.2.1 Karakteristik Kepala Keluarga Perilaku dan keputusan-keputusan yang diambil keluarga pada dasarnya merupakan hasil interaksi pribadi-pribadi yang ada dalam keluarga. Meskipun demikian, dalam satu keluarga, peranan kepala keluarga sangat besar dalam menentukan perilaku dan pengambilan keputusan dalam keluarga. Karenanya dapat dipahami bahwa karakteristik kepala keluarga dapat mempengaruhi pola hidup keluarganya, yang kemudian juga dapat mempengaruhi kesejahteraan mereka. Berdasarkan hal tersebut, untuk memberikan pemahaman mengenai kondisi sosial ekonomi penduduk pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, berikut ini diberikan karakteristik kepala keluarga sebagai berikut: Daerah Asal Menurut daerah asal, sebagian besar kepala keluarga berasal dari Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Dari total sampel, 61,48 persen adalah kepala keluarga yang berasal dari Jawa Tengah dan DIY, diikuti oleh kepala keluarga yang berasal dari Provinsi Jambi (22,54 persen). Sisanya
219
adalah mereka yang berasal dari Jawa Barat (6,56 persen), Jawa Timur (5,33 persen) dan daerah-daerah lainnya (4,10 persen) seperti Bali, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat dan Sumatera Utara. Dominasi kepala keluarga yang berasal dari Jawa Tengah dan DIY ini pada dasarnya sesuai dengan karakteristik awal daerah asal penempatan transmigran di Provinsi Jambi umumnya dan khususnya pada keenam desa sampel penelitian. Selanjutnya, secara terperinci gambaran daerah asal kepala keluarga pada masing-masing desa diberikan pada Tabel 66 berikut: Tabel 66 Persentase kepala keluarga menurut daerah asal pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Provinsi asal
Stadia rendah (Stadia I) Mekar Bukit RataSungkai Sari Mas rata
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
Jawa Barat
10.53
10.53
0.00
8.45
15.79
7.69
0.00
5.78
6.56
Jawa Tengah
47.37
36.84
64.29
47.89
60.53
55.77
77.11
67.05
61.48
Jawa Timur
0.00
10.53
14.29
5.63
0.00
9.62
4.82
5.20
5.33
42.11
26.32
21.43
33.80
15.79
23.08
15.66
17.92
22.54
0.00
15.79
0.00
4.23
7.89
3.85
2.41
4.05
4.10
38
52
19
71
38
14
83
173
244
Jambi Lainnya N (sampel)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Dikaitkan dengan pencapaian stadia dapat dikemukakan bahwa desa-desa dengan stadia tinggi (Bandar Jaya, Rasau dan Rimbo Mulyo) cenderung memiliki transmigran lokal (asal Jambi) yang lebih sedikit dibandingkan desa-desa dengan stadia rendah (Mekar Sari, Bukit Mas dan Sungkai). Secara total ketiga desa stadia tinggi tersebut memiliki proporsi transmigran lokal hanya 17,92 persen sedangkan pada desa stadia rendah mencapai 33,81 persen. Ini menunjukkan bahwa proses transfer teknologi dan budaya kerja dari transmigran asal Jawa pada transmigran lokal (transmigran asal Jambi) tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan, sehingga desa-desa dengan lebih banyak transmigran asal Jambi cenderung tertahan pada stadia yang rendah. Selain itu, penelitian lapangan menunjukkan bahwa banyak transmigran lokal (transmigran asal Jambi) ketika sudah mulai berhasil, tidak lagi bertempat tinggal
di
lokasi
transmigran
Umumnya
mereka
pindah
ke
ibukota
kabupaten/provinsi dan menyerahkan pengelolaan lahannya pada buruh tani.
220
Status Ketransmigrasian Berdasarkan status ketransmigrasian kepala keluarga yang dibedakan atas generasi pertama (transmigran awal) dengan generasi kedua (anak-anak transmigran) ataupun penduduk pendatang non transmigran, dapat dikemukakan bahwa hanya kurang separuh (40,16 persen) dari kepala keluarga pada desa-desa eks-transmigrasi yang merupakan generasi pertama. Sebagian besar lainnya (59,89 persen) merupakan generasi kedua atau penduduk non-transmigran. Kondisi ini disebabkan sudah relatif lamanya penempatan transmigran pada desa-desa sampel yang mencapai rata-rata 30 Tahun, sehingga banyak transmigran awal yang sudah meninggal. Selain itu, terdapat juga transmigran awal yang kembali ke daerah asal baik karena ketidakmampuan menghadapi kondisi di daerah transmigrasi maupun mereka yang berhasil dan kemudian kembali ke daerah asal untuk berinvestasi. Status ketransmigrasian kepala keluarga di desa-desa eks transmigrasi diberikan pada Tabel 67 berikut: Tabel 67 Persentase kepala keluarga menurut status ketransmigrasian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Status transmigrasi
Stadia rendah (Stadia I) Mekar Bukit RataSungkai Sari Mas rata
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
Generasi Pertama
57.89
68.42
57.14
60.56
31.58
34.62
30.12
31.79
40.16
Generasi Kedua
42.11
31.58
42.86
39.44
68.42
65.38
69.88
68.21
59.84
71
38
52
83
173
244
N (sampel) 38 19 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
14
Selanjutnya, jika dilihat secara lebih terperinci, desa-desa dengan stadia tinggi umumnya ditempati oleh generasi kedua/pendatang non-transmigran, dengan proporsi mencapai 68,21 persen. Ketiga desa yang tergolong stadia tinggi ini memang merupakan desa dengan penempatan yang paling lama dibandingkan desa-desa sampel lainnya. Penempatan transmigran di Bandar Jaya dimulai pada Tahun 1970, di Rimbo Mulyo Tahun 1976 dan Desa Rasau Tahun 1979. Sebaliknya, proporsi generasi kedua/pendatang non-transmigran pada desa-desa stadia rendah hanya 39,44 persen. Penempatan transmigran pada desa-desa stadia rendah ini relatif lebih baru dibandingkan desa-desa stadia tinggi. Penempatan
221
transmigran di Desa Bukit Mas ini dimulai pada Tahun 1995 sedangkan Mekar Sari dan Sungkai pada Tahun 1984. Umur Umur berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap perilaku dan pola pengambilan keputusan individu. Pengaruh umur ini dapat dikaitkan dari sisi pengalaman maupun dari sisi kedewasaan berpikir yang menyertai peningkatan umur seseorang. Rata-rata umur kepala keluarga pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi relatif bervariasi, dengan rata-rata umur 42.4 Tahun. Dilihat dari kelompok umurnya, dapat dikemukakan bahwa kepala keluarga berada pada usia-usia produktif. Hanya 9,43 persen yang berada pada usia tidak produktif (60 Tahun ke atas). Selain itu, dari sisi umur sebagian besar kepala rumah tangga sudah berada pada kelompok usia yang cukup matang di dalam menghadapi kehidupan rumah tangga, terutama ditinjau dari pengalaman berumah tangga. Tabel 68 Persentase kepala keluarga menurut kelompok umur pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Kelompok umur (tahun)
Stadia rendah (Stadia I) Mekar Sari
Stadia tinggi (Stadia III dan IV)
Bukit Sungkai Mas
Ratarata
Rasau
Bandar Jaya
Rimbo Mulyo
Ratarata
Ratarata
20 - 29
18.42
15.79
0.00
14.08
10.53
21.15
13.25
15.03
14.75
30 - 39
28.95
31.58
50.00
33.80
26.32
17.31
34.94
27.75
29.51
40 - 49
15.79
21.05
14.29
16.90
34.21
28.85
24.10
27.75
24.59
50 - 59
23.68
26.32
21.43
23.94
18.42
25.00
19.28
20.81
21.72
60+
13.16
5.26
14.29
11.27
10.53
7.69
8.43
8.67
9.43
38
52
19
71
38
14
83
173
244
Rata-Rata Umur 42.2 40.9 42.5 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
41.9
43.9
43.1
41.7
42.6
42.4
N (sampel)
Pendidikan Pendidikan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi keputusan seseorang dalam berbagai hal bidang kehidupan. Semakin tinggi pendidikan kepala keluarga maka semakin tinggi juga kemampuannya dalam
222
mengambil keputusan dalam memanfaatkan berbagai sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan pendapatan. Secara keseluruhan pendidikan kepala keluarga pada desa-desa eks transmigrasi relatif rendah. Hal ini terlihat dari kenyataan bahwa 73,77 persen diantaranya hanya berpendidikan tamat SLTP ke bawah. Sebaliknya, kepala rumah tangga yang berpendidikan SLTA ke atas hanya 26,13 persen. Pencapaian stadia tinggi untuk desa-desa eks transmigrasi juga terlihat dipengaruhi oleh pendidikan kepala keluarga. Pada desa-desa stadia tinggi, tingkat pendidikan kepala keluarga relatif lebih baik (50,29 persen berpendidikan SLTP ke atas)
dibandingkan desa-desa dengan stadia rendah (47,89 persen
berpendidikan SLTP ke atas). Tabel 69 Persentase kepala keluarga menurut tingkat pendidikan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Pendidikan
Stadia rendah (Stadia I) Mekar Bukit RataSungkai Sari Mas rata
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
Tdk sekolah
5.26
0.00
7.14
4.23
5.26
3.85
2.41
3.47
3.69
Tdk tmt SD
18.42
15.79
7.14
15.49
5.26
13.46
9.64
9.83
11.48
SD
34.21
26.32
35.71
32.39
23.68
23.08
50.60
36.42
35.25
SLTP
15.79
26.32
28.57
21.13
21.05
25.00
25.30
24.28
23.36
SLTA
21.05
31.58
14.29
22.54
31.58
17.31
10.84
17.34
18.85
5.26
0.00
7.14
4.23
13.16
17.31
1.20
8.67
7.38
19
71
38
14
83
173
244
Akad/ PT
N (sampel) 38 52 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Karakteristik Pekerjaan Dari sisi lapangan pekerjaan utama, bagian terbesar (62,70 persen) kepala keluarga berstatus sebagai petani dan sisanya (37,30 persen) adalah kepala keluarga dengan lapangan pekerjaan utama sebagai buruh tani, buruh/pekerja nonpertanian, dan usaha sendiri (wiraswasta) baik pada perdagangan maupun industri kecil. Selanjutnya berdasarkan stadia desa terlihat bahwa secara rata-rata kepala keluarga pada desa stadia tinggi relatif lebih dominan sebagai petani pemilik dibandingkan pada desa-desa stadia rendah. Pada desa stadia tinggi, 65,90 persen
223
dari kepala keluarga berstatus sebagai petani pemilik sedangkan pada desa stadia rendah sebesar 54,93 persen. Selain itu, Tabel 66 juga memperlihatkan relatif lebih tingginya persentase kepala keluarga yang bekerja sebagai buruh tani dan pekerja non-pertanian pada desa stadia rendah dibandingkan desa stadia tinggi. Ini merupakan implikasi dari kenyataan relatif rendahnya kepemilikan dan sempitnya
lahan yang dimiliki
keluarga pada desa-desa stadia rendah (lihat Tabel 73). Pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan baik di desa sendiri maupun di luar desa. Sebaliknya pada desa stadia tinggi memperlihatkan relatif tingginya kepala keluarga yang berwiraswasta (memiliki usaha sendiri). Kecenderungan ini terjadi karena untuk memiliki usaha sendiri membutuhkan modal yang umumnya relatif lebih tersedia pada keluargakeluarga di desa stadia tinggi. Tabel 70 Persentase kepala keluarga menurut lapangan pekerjaan utama pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Pekerjaan utama
Stadia rendah (Stadia I) Mekar Bukit RataSungkai Sari Mas rata
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
Petani
50.00
57.89
64.29
54.93
55.26
78.85
62.65
65.90
62.70
Buruh Tani
10.53
31.58
21.43
18.31
10.53
0.00
28.92
16.18
16.80
Pekerja NonPertanian
36.84
10.53
7.14
23.94
18.42
13.46
2.41
9.25
13.52
Wiraswasta
2.63
0.00
7.14
2.82
15.79
7.69
6.02
8.67
6.97
N (sampel)
38
52
19
71
38
14
83
173
244
Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Selain memiliki pekerjaan utama, sebagian kepala keluarga juga memiliki pekerjaan tambahan/sampingan. Terdapat lebih seperempat (28,28 persen) dari kepala keluarga yang memiliki pekerjaan tambahan/sampingan. Pekerjaan tambahan/sampingan ini diperlukan keluarga karena penghasilan yang diperoleh dari pekerjaan utamanya, tidak dapat memenuhi kebutuhan hidup minimal keluarga. Selain itu, pekerjaan tambahan/sampingan juga dibutuhkan keluarga karena sebagian dari pekerjaan-pekerjaan utama mereka (sebagai petani/buruh tani) relatif rentan terhadap faktor musim. Pada musim-musim tertentu (misalnya musim hujan), petani/buruh tani tidak dapat bekerja sehingga mereka sama sekali kehilangan sumber pendapatan dari mata pencaharian ini.
224
Kepemilikan pekerjaan sampingan ini lebih dominan pada desa-desa stadia rendah dibandingkan stadia tinggi. Pada desa stadia rendah ini, terutama di Desa Mekar Sari, lebih separuh (60,53 persen) kepala keluarga di desa ini memiliki pekerjaan sampingan. Hal ini disebabkan, lahan pertanian (sawah) yang dimiliki sering mengalami banjir sehingga mereka tidak beraktivitas pada lahan tersebut. Sebagai catatan, pada saat penelitian, lahan sawah di desa ini sudah terendam banjir lebih dari tujuh bulan terakhir. Secara terperinci, gambaran distribusi lapangan pekerjaan sampingan kepala keluarga di di daerah penelitian diberikan pada Tabel 71 berikut: Tabel 71 Persentase kepala keluarga menurut kepemilikan pekerjaan sampingan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Pekerjaan sampingan
Stadia rendah (Stadia I) Mekar Bukit RataSungkai Sari Mas rata
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
Memiliki
60.53
26.32
0.00
39.44
36.84
26.92
15.66
23.70
28.28
Tidak Memiliki
39.47
73.68
100.0
60.56
63.16
73.08
84.34
76.30
71.72
71
38
14
83
173
244
N (sampel) 38 52 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Berdasarkan
19
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2003
tentang
Ketenagakerjaan, dinyatakan bahwa waktu kerja normal adalah sampai dengan 40 jam seminggu. Berdasarkan klasifikasi ini, dapat dikemukakan bahwa terdapat 40,20 persen kepala keluarga yang bekerja di atas jam kerja normal. Tabel 72 Persentase kepala keluarga menurut kelompok jam kerja pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Jam kerja < 14
Stadia rendah (Stadia I) Mekar Bukit RataSungkai Sari Mas rata
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
5.26
21.05
0.00
8.45
5.26
0.00
3.61
2.89
4.51
14 - 34
18.42
26.32
57.14
28.17
21.05
63.46
31.33
38.73
35.66
35 - 40
0.00
26.32
28.57
12.68
18.42
19.23
25.30
21.97
19.26
41 - 54
60.53
21.05
14.29
40.85
39.47
9.62
32.53
27.17
31.15
55+
15.79
5.26
0.00
9.86
15.79
7.69
7.23
9.25
9.43
19
71
38
14
83
173
244
N (sampel) 38 52 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
225
Besarnya proporsi kepala keluarga yang bekerja di atas jam kerja normal ini merupakan strategi yang diambil terutama oleh buruh tani ataupun pemilik lahan sempit (dan bekerja sampingan sebagai buruh tani pada lahan petani lain) untuk bertahan hidup. Secara keseluruhan, strategi alokasi jam kerja panjang ini terutama terlihat di desa-desa stadia rendah, di mana lebih dari separuh kepala keluarga memiliki jam kerja di atas jam kerja normal. Fakta ini juga terkait dengan lapangan pekerjaan utama kepala keluarga di desa stadia rendah ini, dengan proporsi relatif kecil sebagai petani pemilik lahan. 7.2.2 Struktur dan Kegiatan Utama Anggota Keluarga Besar kecilnya jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap beban tanggungan keluarga. Jumlah anggota keluarga yang banyak memerlukan fasilitas dan kebutuhan yang banyak pula dan berdampak pada biaya yang harus ditanggung. Keluarga dengan jumlah anggota sedikit relatif lebih sejahtera dari keluarga dengan jumlah anggota besar. Rata-rata jumlah anggota rumah keluarga (termasuk kepala keluarga) di desa eks-transmigrasi adalah 3,5 jiwa. Dari sisi rasio jenis kelamin menunjukkan bahwa jumlah anggota laki-laki pada keluarga di desa-desa eks transmigrasi lebih banyak dibandingkan anggota rumah tangga perempuan. Dengan rasio jenis kelamin 115, yang berarti terdapat 115 laki-laki untuk setiap 100 perempuan. Selanjutnya jika dilihat struktur umur anggota keluarga berdasarkan usia produktif (15 – 64 Tahun) dan belum/tidak produktif (0 – 14 dan 65 Tahun ke atas), dapat dihitung angka beban tanggungan yang menunjukkan tanggungan anggota keluarga usia produktif terhadap anggota keluarga usia belum/tidak produktif. Berdasarkan hal tersebut angka beban tanggungan keluarga pada desadesa eks transmigrasi adalah 42. Ini berarti setiap 100 anggota rumah tangga usia produktif menanggung 42 anggota rumah tangga usia tidak/belum produktif. Membandingkan angka beban tanggungan antara desa-desa stadia tinggi dengan stadia rendah terlihat bahwa angka beban tanggungan relatif lebih besar pada desa-desa stadia rendah. Ini juga menunjukkan bahwa keluarga-keluarga pada stadia rendah memiliki peluang yang lebih kecil dalam meningkatkan kesejahteraannya.
226
Tabel 73 Struktur anggota keluarga pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Stadia rendah (Stadia I) Mekar Bukit RataSungkai Sari Mas rata
Uraian Rata-rata ART (jiwa) Seks rasio %) Beban tanggungan (%)
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
3.7
3.5
3.3
3.6
3.3
3.3
3.6
3.4
3.5
118
105
133
117
97
104
128
114
115
45
36
55
45
57
29
41
41
42
19
71
38
14
83
173
244
N (sampel) 38 52 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Selanjutnya, secara umum, dari berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa salah satu strategi lain dari keluarga (terutama keluarga miskin) dalam mempertahankan hidup adalah dengan mengerahkan anggota rumah tangga untuk bekerja dalam pencaharian nafkah. Pengerahan anggota rumah tangga tersebut kadang-kadang
sedemikian
kuatnya
sehingga
seringkali
mengancam
keberlanjutan pendidikan anak-anak. Anak-anak dalam usia sekolah dalam anggota rumah tangga miskin terpaksa harus bekerja membantu orang tua mencari nafkah sehingga terpaksa meninggalkan bangku sekolah. Namun demikian, fakta tersebut tidak ditemukan pada keluarga di desa-desa eks transmigrasi. Proporsi keterlibatan anggota keluarga dalam bekerja dan mencari pekerjaan relatif kecil yaitu hanya 6,84 persen dari total anggota keluarga. Kegiatan utama anggota keluarga lainnya adalah sekolah (38,93 persen), mengurus rumah tangga (34,85 persen) mencari pekerjaan (5,70 persen), dan kegiatan lainnya (13,68 persen). Tabel 74 Persentase anggota keluarga menurut kegiatan utama pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Kegiatan Utama
Stadia rendah (Stadia I) Mekar Bukit RataSungkai Sari Mas rata
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
Bekerja
4.85
4.35
14.71
6.33
6.90
0.00
9.38
6.17
6.23
Mencari Pekerjaan
5.83
2.17
2.94
3.58
3.45
12.05
5.80
6.37
5.28
Sekolah
35.92
39.13
32.35
36.83
39.08
3.65
40.63
29.63
32.46
URT
34.95
36.96
26.47
34.43
35.63
0.91
33.48
24.71
28.53
Lainnya 18.45 17.39 23.53 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
18.83
14.94
3.35
10.71
9.40
13.10
227
Temuan di lapangan menunjukkan ada dua faktor penyebab rendahnya keterlibatan anggota keluarga dalam bekerja pada keluarga di di desa-desa eks transmigrasi. Pertama, tingginya kesadaran pendidikan orang tua dalam menyekolahkan anak-anaknya, yang ditunjukkan oleh besarnya proporsi anggota keluarga dengan kegiatan utama sekolah. Kedua, keterbatasan peluang kerja yang menyebabkan rendahnya harapan untuk mendapatkan pekerjaan. Ini terlihat dari kenyataan besarnya proporsi anggota keluarga dengan kegiatan utama mengurus rumah tangga dan lainnya, sedangkan di sisi lain proporsi dengan kegiatan utama mencari pekerjaan relatif kecil. Perlu dicatat bahwa kegiatan utama mengurus rumah tangga merupakan pilihan yang akan diambil angkatan kerja perempuan ketika lapangan pekerjaan tersedia di pasar kerja relatif terbatas untuk mereka. 7.2.3 Status Kepemilikan dan Kondisi Rumah Berdasarkan atas kepemilikan rumah, 86,48 persen keluarga memiliki rumah berstatus milik sendiri, 10,66 persen adalah milik orang tua/keluarga dan 2,87 persen lainnya adalah berstatus sewa/kontrak. Kelurahan Bandar Jaya menempati proporsi terbesar keluarga yang memiliki rumah sendiri yaitu 96,15 persen, sedangkan Desa Sungkai dengan kepemilikan rumah sendiri terkecil yaitu 71,43 persen. Di Desa Sungkai, lebih seperempat (28,57 persen status kepemilikan rumah adalah berstatus milik orang tua/keluarga. Tabel 75 Persentase keluarga menurut status kepemilikan rumah pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Status rumah
Milik sendiri Milik orang tua Kontrak/ Sewa
Stadia rendah (Stadia I) Mekar Bukit RataSungkai Sari Mas rata
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
84.21
89.47
71.43
83.10
86.84
130.45
83.13
87.86
86.48
15.79
5.26
28.57
15.49
7.89
0.00
14.46
8.67
10.66
0.00
5.26
0.00
1.41
5.26
5.22
2.41
3.47
2.87
19
71
38
14
83
173
244
N (sampel) 38 52 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Selanjutnya, berdasarkan kondisi bangunan rumah yang dilihat dari konstruksi lantai, dinding dan atapnya dapat dikemukakan bahwa 57,38 persen bangunan terkategori rumah permanen, 28,69 persen semi permanen dan 13,93
228
persen
lainnya
berkategori
tidak
permanen.
Desa-desa
stadia
tinggi
memperlihatkan proporsi kepemilikan rumah permanen yang jauh lebih besar dibandingkan desa-desa stadia rendah. Tabel 76 Persentase keluarga menurut kondisi rumah pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Kategori fisik
Permanen Semi permanen Nonpermanen
Stadia rendah (Stadia I) Mekar Bukit RataSungkai Sari Mas rata
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
10.53
26.32
21.43
16.90
86.84
62.61
85.54
73.99
57.38
23.68
68.42
64.29
43.66
13.16
62.61
12.05
22.54
28.69
65.79
5.26
14.29
39.44
0.00
10.44
2.41
3.47
13.93
71
38
14
83
173
244
N (sampel) 38 52 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
19
7.2.4 Kepemilikan Lahan Pertanian Di desa penelitian pembagian lahan pertanian per KK relatif bervariasi. Untuk Desa Mekar Sari dan Bandar Jaya masing-masing 2 hektar, Desa Bukit Mas seluas 2,5 ha, Desa Rasau seluas 3,5 hektar, Desa Sungkai seluas 3,25 hektar dan Desa Rimbo Mulyo seluas 5 hektar.
Kebijakan pembagian lahan pada
penyelenggaraan transmigrasi memang menyatakan bahwa setiap KK transmigran mendapatkan pemberian tanah sekurang-kurangnya 2 hektar. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar PokokPokok Agraria dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang menyatakan minimum luas tanah yang harus dimiliki oleh petani supaya ia mendapat penghasilan yang cukup untuk hidup layak bagi diri sendiri dan keluarganya. Namun demikian, pada saat survai terlihat bahwa tidak semua keluarga di desa-desa eks transmigrasi yang memiliki lahan. Terdapat 17,62 persen keluarga yang tidak memiliki lahan pertanian sendiri dan umumnya adalah pendatang nontransmigran maupun generasi kedua transmigran. Secara rata-rata, desa-desa dengan stadia tinggi (Bandar Jaya, Rasau dan Rimbo Mulyo) cenderung memiliki proporsi keluarga dengan kepemilikan lahan yang lebih tinggi yaitu 84,97 persen sedangkan pada desa stadia rendah adalah
229
sebesar 76,06 persen. Selanjutnya jika dilihat dari rata-rata kepemilikan lahannya (rata-rata dari yang memiliki lahan) terlihat bahwa kepemilikan lahan di Desa Bandar Jaya paling luas dibandingkan desa-desa yang lainnya yaitu mencapai 3,30 hektar. Sebaliknya, rata-rata kepemilikan lahan paling kecil ada di Desa Bukit Mas yaitu hanya 1,53 hektar. Tabel 77 Persentase keluarga menurut kepemilikan lahan pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Kepemilikan Tidak memiliki Memiliki Rata-rata luas (ha)
Stadia rendah (Stadia I) Mekar Bukit RataSungkai Sari Mas rata
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
18.42 81.58
31.58 68.42
28.57 71.43
23.94 76.06
18.42 81.58
3.85 96.15
31.33 68.67
15.03 84.97
17.62 82.38
1.80
1.53
2.13
2.36
2.58
3.30
2.00
2.96
2.80
14
71
38
52
83
173
244
N (sampel) 38 19 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Dari luas lahan yang dimiliki, terlihat bahwa besarnya fenomena fragmentasi lahan yang terjadi di desa-desa eks transmigrasi. Hasil observasi di lapangan menunjukkan bahwa fragmentasi yang terjadi tidak hanya pada lahan pekarangan saja tetapi termasuk lahan usaha I (LU I) dan lahan usaha II (LU II) Lebih separuh (61,46 persen) keluarga tidak lagi memiliki luasan lahan sesuai dengan ukuran pada awal penempatan pada masing-masing desa. Desa dengan fragmentasi lahan paling tinggi yaitu di Desa Rimbo Mulyo yang mencapai 91,23 persen sedangkan yang paling rendah adalah di Desa Bukit Mas yaitu hanya 15,38 persen. Selanjutnya berdasarkan stadia perkembangan desa, terlihat bahwa secara rata-rata desa stadia tinggi memiliki fenomena fragmentasi lahan yang lebih kuat dibandingkan desa-desa stadia rendah. Fragmentasi
lahan
atau
penyusutan
kepemilikan
lahan
pertanian
menyebabkan menurunnya skala usaha petani. Lahan yang sempit akan menyulitkan dalam aplikasi teknologi. Karena teknologi tidak sungguh-sungguh netral luas usaha. Beberapa teknologi tidak efisien jika diterapkan pada lahan yang kurang dan manajemen usaha juga menjadi kurang ekonomis. Selain itu, dalam konteks petani padi, Sajogyo (1974) juga menyebutkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat perdesaan dalam pengembangan perekonomian padi yang
230
didasarkan pada penerapan bibit unggul hanya terbatas pada lapisan elit desa atau pemilik lahan luas. Golongan inilah yang secara akumulatif lebih banyak menikmati serangkaian kebijakan intensifikasi padi sawah yang didukung pemberian bantuan kredit berbunga rendah. Penurunan skala usaha ini juga akan berdampak semakin banyaknya petanipetani tanpa lahan. Penurunan skala usaha akan mengakibatkan lahan semakin tidak produktif, dan ini akan mendorong petani untuk menjual lahannya. Terjadinya
fragmentasi
lahan merupakan dampak dari kelemahan
transmigrasi yang selama ini hanya mengandalkan pada pertanian. Hal ini akan mempunyai konsekuensi pembagian lahan yang makin sempit pada generasi kedua yang akan menimbulkan kesulitan dan dalam jangka panjang akan menyebabkan berulangnya fenomena kemiskinan. Oleh karenanya, dalam jangka panjang perlu pengembangan pola usaha yang tidak semata-mata berbasis pertanian tetapi lebih berfokus pada aktivitasaktivitas non-pertanian yang mampu menciptakan perluasan kesempatan kerja di daerah transmigrasi. Lebih khususnya perlu mengembangakan industri yang mengolah hasil pertanian yang menyediakan dan meningkatkan lapangan kerja di luar sektor pertanian. Dengan kata lain, perlu dikembangkan agricultural industry oriented
pada
desa-desa
transmigasi,
misalnya
pabrik
pupuk,
pabrik
penggergajian kayu, pabrik tepung tapioka dan lainnya. Tabel 78 Persentase keluarga menurut luas lahan saat ini dibandingkan kondisi awal penempatan pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Luas Lahan
Stadia rendah (Stadia I) Mekar Bukit RataSungkai Sari Mas rata
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
Kurang
25.81
15.38
70.00
31.48
80.65
48.00
91.23
73.19
61.46
Sesuai
61.29
38.46
0.00
44.44
6.45
38.00
8.77
18.84
26.04
Lebih
12.90
46.15
30.00
24.07
12.90
14.00
0.00
7.97
12.50
N (sampel) 31 13 10 54 31 50 57 138 192 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011 Ket.: Lahan penempatan awal untuk Mekar Sari dan Bandar Jaya = 2 ha, Bukit Mas = 2,5 ha, Rasau = 3,5 ha, Sungkai 3,25 ha dan Rimbo Mulyo = 5 ha
Selain fragmentasi lahan, juga terlihat adanya keluarga dengan kepemilikan lahan yang bertambah luas dibandingkan awal penempatannya. Penambahan ini
231
terjadi baik karena terjadinya konsentrasi pemilikan lahan (membeli lahan dari penduduk di desa sendiri) dan pembelian lahan di desa-desa non-transmigrasi sekitarnya. Keluarga-keluarga yang memiliki lahan yang lebih luas ini terutama terlihat di Desa Bandar Jaya dan Rantau Rasau. Secara keseluruhan terdapat 12,50 persen keluarga dengan kepemilikan lahan yang lebih luas dibandingkan lahan penempatan awal. Desa Bukit Mas menunjukkan fenomena konsentrasi pemilikan lahan yang paling tinggi. Di desa ini hampir separuh (46,15 persen) keluarga memiliki lahan lebih luas dibandingkan pada awal penempatan. Transmigran yang sukses ini juga memiliki juga memiliki kemampuan untuk membeli kendaraan seperti truk untuk membantu usahanya mengangkut hasil panen. Terdapat juga diantara mereka yang membuka usaha perdagangan. Kelompok ini juga mendapat kepercayaan dari bank karena memiliki sertifikat lahan dan kemampuannya mengembalikan cicilan kredit.
Tabel 79 Persentase keluarga menurut jenis tanaman lahan pertanian pada desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Tanaman
Mekar Sari
Desa Bandar Bukit Mas Rasau Jaya
Sungkai
Rimbo Mulyo
Ratarata
Padi sawah
45.16
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
7.29
Karet
12.90
34.00
0.00
0.00
100.00
100.00
45.83
Sawit
6.45
40.00
100.00
100.00
0.00
0.00
34.38
Coklat
16.13
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2.60
Sayuran
0.00
4.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.04
Keramba
6.45
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.04
Karet-Coklat
12.90
0.00
0.00
0.00
0.00
0.00
2.08
Karet-Sawit
0.00
18.00
0.00
0.00
0.00
0.00
4.69
Sawit-Pinang
0.00
4.00
0.00
0.00
0.00
0.00
1.04
31
50
13
31
10
57
192
N (sampel)
Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
Selanjutnya, dari sisi komoditi tanaman utama, pada empat desa masih sesuai dengan kondisi awal penempatan transmigrasi yaitu tanaman karet untuk Desa Bukit Mas dan Rasau serta tanaman kelapa sawit untuk Desa Sungkai dan Rimbo Mulyo. Meskipun demikian, untuk dua desa lainnya yaitu Desa Mekar Sari
232
dan Bandar Jaya, kondisi saat ini sudah tidak sesuai dengan kondisi awal transmigrasi yaitu tanaman padi sawah. Di Desa Mekar Sari, hanya kurang separuh (45,16 persen) yang masih memiliki lahan padi sawah. Bagian terbesar lainnya beralih komoditi ke tanaman karet, sawit dan coklat serta keramba ikan. Di Desa Bandar Jaya sebagian besar beralih ke komoditi karet dan sawit dan sebagian kecil lainnya ke komoditi pinang, coklat dan tanaman sayuran. Tanaman komoditas pangan merupakan jenis tanaman yang sangat memerlukan keahlian penanganan dengan perlakuan dan perawatan yang rumit, di samping itu juga memerlukan permodalan serta sangat bergantung dengan cuaca, hama penyakit dan kesuburan tanah. Kondisi ini berpengaruh sangat berarti terhadap fluktuasi antara keuntungan dan kerugian yang selalu tidak pasti. Secara ekonomi petani selalu mempunyai ekspektasi untuk memperoleh keuntungan dan memperkecil kerugian dalam setiap usahanya. Keuntungan dan kerugian tidak berarti harus berupa biaya, tetapi opportunity cost dalam bentuk waktu dan tenaga. Naluri ini ditunjukkan dengan adanya pembelajaran terhadap daerah sekitarnya, mempelajari karakteristik lahan, tanaman komoditas andalan, serta hasil-hasil pemasaran yang lebih banyak menghasilkan keuntungan. Wawancara mendalam dengan penduduk di desa-desa eks transmigrasi yang diteliti menunjukkan bahwa telah terjadi tarik-ulur antara kepentingan lahan dengan kebutuhan ekonomi petani. Pengalihan peruntukan lahan dari usaha pertanian ke usaha perkebunan semata-mata hanya atas pertimbangan ekonomi. Mereka mengharapkan keuntungan sebesar-besarnya atas biaya yang semurahmurahnya. Petani terpaksa melakukan pengalihan peruntukan lahan pertanian menjadi lahan perkebunan lebih banyak karena desakan ekonomi. Di samping itu mereka mempertimbangkan kondisi lahan yang memang tidak mendukung dan akan memerlukan banyak input untuk dijadikan lahan pertanian, sementara jika dialihkan ke lahan perkebunan, penanganannya relatif tidak memerlukan banyak perlakuan teknis dan biaya. 7.2.5 Pendapatan Rata-rata pendapatan keluarga di desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi adalah sebesar Rp 3.070.000 per bulan. Meskipun demikian, pendapatan ini
233
tidak merata antardesa. Rata-rata pendapatan keluarga di Desa Mekar hanya Rp 1.770.000 perbulan, sedangkan Desa Rasau mencapai Rp 4.516.000 perbulan, atau lebih 2,5 kali lipat dari rata-rata pendapatan Desa Mekar Sari. Selanjutnya membagi terhadap jumlah anggota keluarga, rata-rata pendapatan per kapita keluarga pada desa-desa eks transmigrasi adalah sebesar Rp 866.000 per bulan. Sebagaimana halnya dengan rata-rata pendapatan keluarga, pendapatan per kapita ini juga terlihat paling tinggi di Desa Rasau (yaitu sebesar Rp. 1.373.000 per bulan) dan paling rendah di Desa Mekar Sari yaitu hanya Rp 477.000 per bulan. Membandingkan antara desa-desa stadia rendah dengan stadia tinggi terlihat bahwa baik pendapatan total maupun pendapatan perkapita keluarga relatif lebih tinggi di desa-desa stadia tinggi. Selain itu, dari kontribusi pendapatan sampingan dan pendapatan anggotra rumah tangga juga relatif lebih tinggi pada desa-desa stadia tinggi dibandingkan desa-desa stadia rendah. Menggunakan konsep garis kemiskinan absolut Bank Dunia sebesar USD 1 perkapita perhari terlihat bahwa seluruh desa sudah berada di atas garis kemiskinan absolut. Meskipun demikian, dengan menggunakan garis kemiskinan menengah Bank Dunia yaitu sebesar USD 2 perkapita perhari terlihat bahwa ratarata pendapatan perkapita di Desa Mekar Sari masih berada di bawah garis kemiskinan tersebut. Tabel 80 Pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Pendapatan Total perbulan (Rp Ribu)
Stadia rendah (Stadia I) Mekar RataBukit Mas Sungkai Sari rata 1,770
2,809
2,373
2,167
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
4,516
3,070
2,668
2,980
3,224
Perkapita per bulan (Rp Ribu) 477 797 554 578 1,373 811 822 940 866 Pendapatan perkapita perhari (USD) 1.8 3.0 2.1 2.2 5.2 3.1 3.1 3.6 3.3 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011 Keterangan: konversi Rp ke USD menggunakan kurs tengah rata-rata Tahun 2011 sebesar Rp 8.780 (diolah dari www.bi.go.id)
Pendapatan keluarga bersumber dari penghasilan kepala keluarga baik dari lapangan pekerjaan utama maupun sampingan serta dari penghasilan anggota
234
rumah tangga yang bekerja. Berdasarkan Tabel 81 terlihat bahwa kontribusi penghasilan dari pekerjaan sampingan terhadap total pendapatan kepala keluarga sebesar 16,61 persen. Kontribusi terbesar terlihat di Desa Rasau yang mencapai 25,17 persen. Sumbangan pendapatan anggota keluarga relatif kecil terhadap total pendapatan keluarga. Dari total pendapatan keluarga, hanya sebesar 6,66 persen merupakan sumbangan dari pendapatan anggota keluarga. Kecilnya sumbangan pendapatan angggota keluarga ini terutama disebabkan relatif rendahnya proporsi keterlibatan anggota rumah tangga dalam bekerja. Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, berdasarkan kegiatan utama anggota keluarga, hanya 6,23 persen yang berada dalam status bekerja. Tabel 81 Karakteristik pendapatan keluarga di desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Pendapatan (Ribu Rp perbulan)
Stadia rendah (Stadia I) Mekar Bukit RataSungkai Sari Mas rata
Stadia tinggi (Stadia III dan IV) Bandar Rimbo RataRasau Jaya Mulyo rata
Ratarata
KK Utama
1,365
2,177
2,155
1,738
3,233
1,960
2,487
2,492
2,389
340
346
0
275
1,088
448
296
516
476
65
286
218
154
196
260
197
216
204
Total 1,770 2,809 2,373 Kontribusi Sampingan Terhadap 19.94 13.69 0 Total (%) Kontribusi pendapatan ART (%) 3.67 10.19 9.2 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
2,167
4,516
2,668
2,980
3,224
3,070
14.34
25.17
18.6
10.63
16.22
16.61
6.51
4.35
9.75
6.62
7.06
6.66
Sampingan ART
7.3 Perjalanan Penduduk di Desa-Desa Eks Transmigrasi 7.3.1 Perjalanan Penduduk Berdasarkan Tujuan dan Lokasi Sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, untuk mendapatkan gambaran interaksi antarwilayah (yaitu antara desa-desa eks transmigrasi dengan wilayah sekitarnya) didekati melalui aspek aliran orang dalam bentuk perjalanan untuk berbagai kegiatan. Kegiatan-kegiatan tersebut mencakup berbagai aktivitas ekonomi seperti bekerja, belanja, penjualan produk, keuangan, dan berbagai aktivitas sosial seperti pendidikan, kesehatan, rekreasi dan agama.
235
Desa Mekar Sari Penduduk di Desa Mekar Sari umumnya bekerja di desa sendiri dan Kota Jambi. Dirinci berdasarkan status keluarga, dapat dikemukakan bahwa 81,97 persen kepala keluarga bekerja di desa sendiri dan 18,03 persen lainnya di Kota Jambi. Sebaliknya untuk anggota keluarga, 40,00 persen bekerja di desa sendiri dan 60,00 persen lainnya di Kota Jambi. Kota Jambi adalah ibukota Provinsi Jambi yang berjarak sekitar 45 km dari Desa Mekar Sari dengan jarak tempuh sekitar 60 menit. Kondisi jaringan jalan relatif baik dan dapat dilalui kendaran bermotor roda empat dengan lancar. Antara desa ini dengan Kota Jambi juga tersedia angkutan umum penumpang. Akses transportasi yang lancar serta tingginya berbagai aktivitas ekonomi yang ada di Kota Jambi sebagai pusat perekonomian Provinsi Jambi dimanfaatkan penduduk Desa Mekar Sari untuk beraktivitas dalam pencaharian nafkah. Umumnya mereka bekerja di Kota Jambi sebagai pekerja pada usaha-usaha industri, perdagangan serta pekerjaan-pekerjaan bebas non-pertanian seperti tukang bangunan. Sebaliknya, meskipun Kota Sengeti sebagai ibu kota Kabupaten Muaro Jambi (secara administratif Desa Mekar Sari berada di wilayah kabupaten ini) juga tumbuh pesat dengan berbagai aktivitas ekonominya, tidak terdapat penduduk Desa Mekar Sari yang memanfaatkan peluang tersebut. Hal ini disebabkan jarak yang relatif jauh yaitu sekitar 75 km, dan untuk mencapai Kota Sengeti juga harus melewati Kota Jambi. Relatif sulitnya (dalam jarak maupun biaya transportasi) akses tersebut menyebabkan terbatasnya interaksi penduduk Desa Mekar Sari dengan ibukota kabupatennya, tidak hanya dalam hal aktivitas bekerja tetapi juga untuk aktivitas lainnya. Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan, terdapat tiga lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Pulau Mentaro dan Kota Jambi. Desa Pulau Mentaro adalah desa asli (non-transmigrasi) yang berbatasan dengan Desa Mekar Sari. Di desa ini terdapat pasar non-permanen yang berlokasi di persimpangan jalan ke Desa Mekar Sari. Pasar ini tumbuh dan berkembang sejak adanya permukiman transmigrasi di Desa Mekar Sari Dalam hal belanja makanan, 85,81 persen dipenuhi penduduk Desa Mekar Sari di desa
236
sendiri, 9,85 persen di Desa Pulau Mentaro dan 4,34 lainnya di Kota Jambi. Untuk belanja bukan makanan, 54,30 persen dipenuhi di desa sendiri, 12,73 persen di Desa Pulau Mentaro dan 32,98 persen lainnya di Kota Jambi. Selanjutnya untuk kebutuhan pekerjaan, khususnya untuk alat-alat pertanian dan pupuk di desa sendiri, sedangkan untuk obat-obat pertanian (pestisida/herbisida) serta alat dan bahan non-pertanian seluruhnya dipenuhi di Kota Jambi. Tabel 82 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Mekar Sari, Tahun 2011 Maksud Perjalanan Bekerja
Belanja
Uraian Kepala Keluarga
Lokasi Desa Mekar Sari Kota Jambi
Persentase 81.97 18.03
Anggota Keluarga
Desa Mekar Sari Kota Jambi
40.00 60.00
Desa Mekar Sari Desa Pulau Mentaro Kota Jambi Desa Mekar Sari Desa Pulau Mentaro Kota Jambi
85.81 9.85 4.34 54.30 12.73 32.98
Desa Mekar Sari Desa Mekar Sari Kota Jambi Kota Jambi Desa Mekar Sari Desa Kasang Pudak Desa Teluk Raya Kota Jambi Kota Jambi Kota Jambi Desa Mekar Sari Desa Puding Desa Mekar Sari Kota Jambi
100.00 100.00 100.00 100.00 76.47 11.77 5.88 5.88 100.00 100.00 83.33 16.67 100.00 100.00
Kebutuhan Keluarga Makanan
Bukan Makanan
Penjualan Produk
Kebutuhan Pekerjaan Alat Pertanian Pupuk Obat-obatan Pertanian Alat & Bhn Non-Pertanian Pertanian
Keuangan Sosial
Non-Pertanian Simpan/Pinjam Pendidikan Kesehatan Rekreasi
Sumber: Penelitian lapangan 2011
Untuk keperluan penjualan produk, khususnya produk-produk pertanian, sebagian besar adalah di desa sendiri (76,47 persen) dan sebagian lainnya yaitu di Desa Kasang Pudak (11,77 persen) Desa Teluk Raya (5,88 persen) dan Kota
Mekar Sari 100 %
Kota Jambi 100 %
Kesehatan
Rekreasi
Kota Jambi 100 %
Pendidikan
Pudidng 16.67 %
Mekar Sari 83.33 %
237
Mekar Sari 81.97 %
Ksg.Pudak 11.77 %
Sosial
Keuangan
Mekar Sari 76.47 %
Pertanian Tlk.Raya 5.88 %
KK Kota Jambi 18.03 %
Kota Jambi 5.88 % Perjalanan
Bekerja
Penjualan Produk
Mekar Sari 40.00 % ART
Kota Jambi 100 %
Non-Pertanian
Bukan Makanan
Mekar Sari 54.30 %
P. Mentaro 12.73%
Kota Jambi 32.98 %
Alat/bhn non pertanian
Kota Jambi 4.34 %
Obat2 pertanian
P. Mentaro 9.85 %
Pupuk
Makanan
Belanja
Alat pertanian
Mekar Sari 85.81 %
Kebutuhan Pekerjaan
Kebutuhan Keluarga
Kota Jambi 60.00 %
Kota Jambi 100 %
Mekar Sari 100 %
Mekar Sari 100 %
Kota Jambi 100 %
Gambar 21 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Mekar Sari, Tahun 2011.
238
Jambi (5,88 persen). Pilihan penduduk terhadap lokasi untuk penjualan produk pertanian ini selain tergantung pada jarak ke lokasi juga ditentukan oleh ketersediaan fasilitas penampungan dan harga jual di lokasi tersebut. Dalam penjualan produk non pertanian, penduduk melakukan perjalanan ke Kota Jambi. Produk pertanian yang dijual adalah padi, coklat, karet dan kelapa sawit, dan produk non-pertanian adalah hasil industri rumah tangga (makanan). Untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), seluruh penduduk melakukan perjalanan ke Kota Jambi, karena belum adanya lembaga keuangan perbankan dan non-perbankan di desa tersebut. Untuk aktivitas sosial, dalam hal pendidikan, 83,33 persen di desa sendiri dan 16,67 persen di Desa Puding, aktivitas kesehatan dan agama di desa sendiri dan untuk rekreasi ke Kota Jambi.
Kelurahan Bandar Jaya Penduduk di Kelurahan Bandar Jaya umumnya bekerja di desa sendiri, Desa Bangun Karya, Desa Sungai Dusun, dan Desa Rantau Rasau I. Dirinci berdasarkan status keluarga, 83,33 persen kepala keluarga bekerja di desa sendiri, 6,06 persen di Desa Bangun Karya dan 10,61 persen di Desa Sungai Dusun. Sebaliknya untuk anggota keluarga, 33,33 persen bekerja di desa sendiri dan 66,67 persen bekerja di desa lain yaitu di Desa Rantau Rasau I. Ketiga lokasi tempat bekerja di luar desa tersebut adalah lokasi-lokasi yang masih berada dalam satu kecamatan dengan Kelurahan Bandar Jaya
yaitu
Kecamatan Rantau Rasau. Desa Bangun Karya dan Desa Rantau Rasau I adalah desa-desa eks transmigrasi, sedangkan Desa Sungai Dusun adalah desa asli (non transmigrasi). Desa Bangun Karya dan Rantau Rasau I berbatasan dengan Kelurahan Bandar Jaya, sedangkan Desa Sungai Dusun berjarak sekitar 10 km dari Kelurahan Bandar Jaya. Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan, terdapat beberapa lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Bangun Karya, Kelurahan Nipah Panjang II dan Kota Jambi. Dalam hal belanja makanan, 34,69 persen dipenuhi penduduk Desa Mekar Sari di desa sendiri, 65,31 persen
239
lainnya di Desa Bangun Karya. Untuk belanja bukan makanan, 42,51 persen dipenuhi di desa sendiri, 56,05 persen di Desa Bangun Karya, 1,30 persen di Kelurahan Nipah Panjang II dan 0,14 persen di Kota Jambi. Selanjutnya untuk belanja kebutuhan pekerjaan, khususnya untuk pupuk dan obat-obatan pertanian seluruhnya dipenuhi di Desa Bangun Karya, sedangkan untuk alat pertanian serta alat dan Bahan non-pertanian dipenuhi diantara desa sendiri dan Desa Bangun Karya. Tingginya perjalanan belanja penduduk ke Desa Bangun Karya karena di desa tersebut terdapat pasar yang menjadi pasar pusat untuk kecamatan. Selain itu terdapat juga penduduk yang melakukan perjalanan belanja ke Kelurahan Nipah Panjang II. Kelurahan ini merupakan ibukota Kecamatan Nipah Panjang yang merupakan kecamatan asal dari Kecamatan Rantau Rasau sebelum pemekaran. Tidak terdapat penduduk yang melakukan perjalanan untuk keperluan belanja ke ibukota kabupaten (Kota Muara Sabak sebagai ibukota Kabupaten Tanjung Jabung Timur). Hal ini disebabkan jarak tempuh yang relatif jauh (yaitu sekitar 60 km) dengan akses transportasi yang relatif sulit (sehingga dengan jarak tersebut, waktu tempuhnya mencapai sekitar 120 menit). Selain itu, Kota Muara Sabak sampai saat ini perkembangannya juga masih terbatas untuk mampu memenuhi kebutuhan belanja penduduk. Sebaliknya masih terdapat penduduk yang melakukan kegiatan belanja (khususnya non-makanan) ke Kota Jambi sebagai ibukota provinsi meskipun jaraknya lebih jauh dibandingkan ke ibukota kabupaten (sekitar 200 km dengan waktu tempuh sekitar 160 menit) karena ketersediaan kebutuhan yang relatif lengkap di daerah ini. Untuk keperluan penjualan produk (tidak termasuk mereka yang bekerja sebagai pedagang, karena sudah tercakup pada lokasi aktivitas bekerja), khususnya produk-produk pertanian, sebagian besar adalah di desa sendiri (83,33 persen) dan sebagian lainnya yaitu di Desa Harapan Makmur (13,89 persen) dan Kota Muara Sabak (2,78 persen). Modus penjualan di desa sendiri dalam bentuk pedagang pengumpul mendatangi petani untuk membeli hasil pertanian mereka. Sebaliknya untuk penjualan produk non-pertanian seluruhnya di lakukan di desa sendiri. Produk-produk pertanian yang dijual adalah karet dan kelapa sawit,
240
sedangkan produk non-pertanian adalah hasil industri rumah tangga (makanan dan non makanan). Tabel 83
Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Kelurahan Bandar Jaya, Tahun 2011
Maksud Perjalanan Bekerja
Kegiatan Kepala Keluarga
Lokasi Kel. Bandar Jaya
Persentase 83.33
Desa Bangun Karya Desa Sungai Dusun
6.06 10.61
Kel. Bandar Jaya Desa Rantau Rasau I
33.33 66.67
Kel. Bandar Jaya Desa Bangun Karya
34.69 65.31
Kel. Bandar Jaya Desa Bangun Karya Kel. Nipah Panjang II Kota Jambi
42.51 56.05 1.30 0.14
Kel. Bandar Jaya Desa Bangun Karya
42.86 57.14
Pupuk
Desa Bangun Karya
100.00
Obat-obatan Pertanian
Desa Bangun Karya
100.00
Alat & Bhn Non-Pertanian
Kel. Bandar Jaya Desa Bangun Karya Kota Jambi
14.29 42.86 42.86
Pertanian
Kel. Bandar Jaya Desa Harapan Makmur Kota Muara Sabak
83.33 13.89 2.78
Non-Pertanian
Kel. Bandar Jaya
100.00
Keuangan
Simpan/Pinjam
Kel. Nipah Panjang II
100.00
Sosial
Pendidikan
Kel. Bandar Jaya
100.00
Kesehatan
Kel. Bandar Jaya
100.00
Rekreasi
Kota Jambi
100.00
Anggota Keluarga Belanja
Kebutuhan Keluarga Makanan Bukan Makanan
Kebutuhan Pekerjaan Alat Pertanian
Penjualan Produk
Untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), seluruh penduduk melakukan perjalanan ke Kota Jambi. Di daerah ini belum ada lembaga keuangan perbankan
241
dan non-perbankan sehingga penduduk melakukan transaksi keuangan di lembaga
Bamdar Jaya 100 %
Bamdar Jaya 100 %
Kota Jambi 100 %
Kesehatan
Rekreasi
N.Panjang II 100 %
Pendidikan
perbankan yang ada di Kelurahan Nipah Panjang II Kecamatan Nipah Panjang.
KK
Keuangan
Bgn.Karya 6.06 %
Bandar Jaya 83.33 % Sosial
Bandar.Jaya 83.33 %
Hr.Makmur 13.89 %
Pertanian
Sei.Dusun 10.61 %
Ma.Sabak 2.78 % Perjalanan
Bekerja
Penjualan Produk
Bandar Jaya 33.33 % ART
Non-Pertanian
Makanan
Bgn. Karya 56.05%
N.Panjang II 1.30 %
Kota Jambi 0.14 %
Alat/bhn non pertanian
Bgn. Karya 100 %
Bandar Jaya 42.86% Bgn. Karya 57.14 %
Bandar Jaya 42.51 %
Obat2 pertanian
Bgn. Karya 65.31 %
Pupuk
Bukan Makanan
Belanja
Alat pertanian
Bandar Jaya 34.69 %
Bandar Jaya 100 %
Kebutuhan Pekerjaan
Kebutuhan Keluarga
R. Rasau I 66.67 %
Bandar Jaya 14.29 % Bgn. karya 100 %
Bgn. Karya 42.86 % Kota Jambi 42.86 %
Gambar 22 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Bandar Jaya, Tahun 2011
242
Untuk aktivitas sosial, dalam hal pendidikan, kesehatan dan agama, seluruhnya dilakukan di desa sendiri. Sebaliknya untuk rekreasi seluruhnya dilakukan di Kota Jambi. Desa Bukit Mas Penduduk di Desa Bukit Mas umumnya bekerja di desa sendiri dan Desa Bukit Makmur. Dirinci berdasarkan status keluarga, 87,50 persen kepala keluarga bekerja di desa sendiri dan 12,50 persen lainnya di Desa Bukit Makmur. Sebaliknya untuk anggota keluarga, 50,00 persen bekerja di desa sendiri dan 50,00 persen lainnya di Desa Bukit Makmur. Desa Bukit Makmur adalah desa eks transmigrasi yang berjarak sekitar 10 km dari desa Bukit Mas dan berada dalam satu kecamatan yang sama (Kecamatan Sungai Bahar). Di Desa Bukit Makmur terdapat pabrik pengolahan kelapa sawit, sehingga sebagian penduduk Desa Bukit Mas memanfaatkan peluang untuk bekerja sebagai buruh/pekerja pabrik,
baik sebagai pekerjaan utama maupun
pekerjaan sampingan. Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan, terdapat tiga lokasi perjalanan penduduk yaitu di desa sendiri, Desa Suka Makmur dan Kota Jambi. Desa Suka Makmur adalah desa eks transmigrasi yang menjadi pusat perdagangan untuk wilayah Kecamatan Sungai Bahar dan berjarak sekitar 20 km dari Desa Bukit Mas, sedangkan Kota Jambi sebagai ibukota provinsi berjarak sekitar 90 km. Dalam hal belanja makanan, 69,36 persen dipenuhi penduduk Bukit Mas di desa sendiri, 30,64 persen di Desa Suka Makmur. Untuk belanja bukan makanan, 21,74 persen dipenuhi di desa sendiri, 76,33 persen di Desa Suka Makmur dan 1,93 persen lainnya di Kota Jambi. Selanjutnya untuk belanja kebutuhan pekerjaan, baik pertanian maupun non-pertanian secara keseluruhan dipenuhi di Desa Suka Makmur. Untuk keperluan penjualan produk (tidak termasuk mereka yang bekerja sebagai pedagang, karena sudah tercakup pada lokasi aktivitas bekerja), baik produk pertanian maupun non-pertanian secara keseluruhan dilakukan di desa sendiri. Selanjutnya, untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), 70,00 persen penduduk melakukan di Desa Bukit Mulya dan 30,00 persen lainnya di Desa Suka
243
Makmur. Hal ini dikarenakan belum adanya lembaga keuangan perbankan dan non-perbankan di desa tersebut. Untuk aktivitas sosial, dalam hal pendidikan, 90,00 persen di desa sendiri dan 10,00 persen di Desa Bukit Mulya. Untuk aktivitas kesehatan, 86,36 persen di desa sendiri, 4,55 persen di Desa Marga (ibukota Kecamatan Sungai Bahar), dan 9,09 persen di Kota Jambi. Untuk aktivitas rekreasi seluruhnya dilakukan di Kota Jambi sedangkan untuk aktivitas agama seluruhnya dilakukan di desa sendiri. Tabel 84 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Bukit Mas, Tahun 2011 Maksud Perjalanan Bekerja
Kegiatan Usaha Kepala Keluarga
Lokasi Desa Bukit Mas Desa Bukit Makmur
Persentase 87.50 12.50
Usaha Anggota Keluarga
Desa Bukit Mas Desa Bukit Makmur
50.00 50.00
Desa Bukit Mas Desa Suka Makmur
69.36 30.64
Desa Bukit Mas Desa Suka Makmur Kota Jambi
21.74 76.33 1.93
Kebutuhan Pekerjaan Alat Pertanian
Desa Suka Makmur
100.00
Pupuk
Desa Suka Makmur
100.00
Obat-obatan Pertanian
Desa Suka Makmur
100.00
Alat &Bhn Non-Pertanian
Desa Suka Makmur
100.00
Pertanian
Desa Bukit Mas
100.00
Non-Pertanian
Desa Bukit Mas
100.00
Keuangan
Simpan/Pinjam
Sosial
Pendidikan
Desa Bukit Mulia Desa Suka Makmur Desa Bukit Mas Desa Bukit Mulia
70.00 30.00 90.00 10.00
Kesehatan
Desa Bukit Mas Desa Marga Kota Jambi
86.36 4.55 9.09
Rekreasi
Kota Jambi
Belanja
Kebutuhan Keluarga Makanan Bukan Makanan
Penjualan Produk
100.00
Bukit Mas 87.50 %
Kota Jambi 100 %
Kota Jambi 9.09 %
Rekreasi
Kesehatan
Marga 4.55 %
Bkt.Mas 86.36 %
Bkt.Mulia 10.00 % Pendidikan Sosial
Keuangan
Bkt.Mulia 70.00 %
S. Makmur 30.00 %
Bukit Mas 90.00 %
244
Bukit Mas 100 %
Pertanian
KK Bkt.Makmur 12.50 % Perjalanan
Bekerja
Penjualan Produk
Bukit Mas 50.00 % ART
Bukit Mas 100 %
Non-Pertanian
Bukan Makanan
Makanan
Kota Jambi 1.93 %
Alat/bhn non pertanian
S.Makmur 76.33%
Obat2 pertanian
S. Makmur 30.64 %
Pupuk
Bukit Mas 21.74 %
Belanja
Alat pertanian
Bukit Mas 69.36 %
Kebutuhan Pekerjaan
Kebutuhan Keluarga
Bkt.Makmur 50.00 %
S.Makmur 100 %
S.Makmur 100 %
S.Makmur 100 %
S. Makmur 100 %
Gambar 23 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Bukit Mas, Tahun 2011.
245
Desa Rasau Penduduk Desa Rasau umumnya bekerja di desa sendiri, Desa Tambang Mas dan Desa Pinang Merah. Dirinci berdasarkan status keluarga, dapat dikemukakan bahwa 78,85 persen kepala keluarga bekerja di desa sendiri, 5,77 persen di Desa Tambang Mas dan 15,38 persen di Desa Pinang Merah. Sebaliknya untuk anggota keluarga, 33,33 persen bekerja di desa sendiri dan 66,67 persen lainnya di Desa Tambang Mas. Desa Pinang Merah adalah desa eks transmigrasi yang secara administratif berada di Kecamatan Pamenang Barat (berbeda kecamatan dengan Desa Rasau yang berada di Kecamatan Renah Pamenang) dan berjarak sekita 6 km dari Desa Rasau. Aktivitas pekerjaan yang dilakukan penduduk Desa Rasau di desa ini selain sebagai buruh tani juga sebagai petani yang memiliki lahan di daerah tersebut. Desa Tambang Mas juga adalah desa eks-transmigrasi dan berstatus sebagai ibukota Kecamatan Pamenang Selatan. Jarak antara Desa Rasau ke Desa Tambang Mas adalah sekitar 5 km. Aktivitas pekerjaan utama yang dilakukan penduduk Desa Rasau di daerah ini adalah usaha-usaha jasa dan perdagangan, dengan memanfaatkan berbagai aktivitas perekonomian yang berkembang di daerah tersebut. Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan, terdapat beberapa lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Tambang Mas, Desa Pinang Merah, Kelurahan Pasar Pamenang, Kota Bangko dan Kota Jambi. Kelurahan Pasar Pamenang adalah ibukota Kecamatan Pamenang. Di daerah ini terdapat pasar yang menjadi pusat perdagangan kawasan transmigrasi Pamenang (yang saat ini terbagi menjadi empat kecamatan yaitu Kecamatan Pamenang, Pamenang Barat, Renah Pamenang dan Pamenang Selatan). Dalam hal belanja makanan, 96,28 persen dipenuhi penduduk Rasau di desa sendiri, 2,20 persen di Desa Tambang Mas dan 1,52 persen lainnya di Kota Bangko (ibukota Kabupaten Merangin). Untuk belanja bukan makanan, 51,04 persen dipenuhi di desa sendiri, 4,56 persen di Desa Pinang Merah, 8,30 persen di Kelurahan Pasar Pamenang, 35,81 persen di Kota Bangko dan 0,21 persen lainnya di Kota Jambi. Selanjutnya untuk belanja kebutuhan pekerjaan, khususnya untuk
246
pupuk dan obat-obatan pertanian secara keseluruhan dipenuhi di desa sendiri, sedangkan untuk alat-alat pertanian dan pupuk dilakukan di desa sendiri, sedangkan untuk alat pertanian dan alat serta bahan non-pertanian dipenuhi diantara desa sendiri dan Kota Bangko. Untuk keperluan penjualan produk, khususnya produk-produk pertanian, sebagian besar adalah di desa sendiri (96,88 persen) dan sebagian lainnya yaitu di Desa Meranti (3,13 persen). Demikian juga untuk produk non pertanian, sebagian besar (78,00 persen) di desa sendiri dan 22,00 persen di Desa Meranti. Desa Meranti adalah ibukota Kecamatan Renah Pamenang yang secara administratif Desa Rasau berada di wilayah ini. Untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), 18,18 persen melakukan di desa sendiri, 9,09 persen melakukan perjalanan ke Desa Tambang Mas dan 72,73 persen ke Kota Bangko. Selanjutnya untuk aktivitas sosial, dalam hal pendidikan, 78,26 persen di desa sendiri, 8,70 persen di Desa Meranti dan 13,04 persen di Desa Pinang Merah. Untuk aktivitas kesehatan, 87,88 persen di desa sendiri, 3,03 persen di Desa Meranti, 6,06 persen di Kota Bangko dan 3,03 persen di Kota Muaro Bungo (ibukota Kabupaten Bungo). Dalam hal perjalanan untuk aktivitas kesehatan secara keseluruhan dilakukan ke Kota Bangko dan untuk aktivitas agama secara keseluruhan di desa sendiri. Dibandingkan dengan desa-desa sampel lainnya, Desa Rasau relatif lebih memiliki keterkaitan yang kuat kepada ibukota kabupatennya (Kota Bangko). Hal ini disebabkan oleh jarak antara Desa Rasau dengan ibukota kabupaten yang relatif dekat (sekitar 30 km) dan akses transportasi yang mudah. Selain itu juga, aktivitas perekonomian di Kota Bangko sebagai ibukota Kabupaten Merangin juga relatif lebih tinggi dibandingkan ibukota kabupaten lainnya (yang tercakup dalam desa sampel).
247
Tabel 85 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rasau, 2011 Maksud Perjalanan Bekerja
Kegiatan Usaha Kepala Keluarga
Usaha Anggota Keluarga Belanja
Kebutuhan Keluarga Makanan
Bukan Makanan
Kebutuhan Pekerjaan Alat Pertanian
Lokasi Desa Rasau
Persentase 78.85
Desa Tambang Mas Desa Pinang Merah
5.77 15.38
Desa Rasau Tambang Mas
33.33 66.67
Desa Rasau Desa Tambang Mas Kota Bangko
96.28 2.20 1.52
Desa Rasau Desa Pinang Merah Kel. Psr. Pamenang Kota Jambi Kota Bangko
51.04 4.56 8.30 0.21 35.89
Desa Rasau Kota Bangko
95.92 4.08
Pupuk
Desa Rasau
100.00
Obat-obatan Pertanian
Desa Rasau
100.00
Alat & Bhn Non-Pertanian
Desa Rasau Kota Bangko
56.25 43.75
Pertanian
Desa Rasau Desa Meranti
96.88 3.13
Non-Pertanian
Desa Rasau Desa Meranti
78.00 22.00
Keuangan
Simpan/Pinjam
Desa Rasau Desa Tambang Mas Kota Bangko
18.18 9.09 72.73
Sosial
Pendidikan
Desa Rasau Desa Meranti Desa Pinang Merah
78.26 8.70 13.04
Kesehatan
Desa Rasau Desa Meranti Kota Bangko Kota Muaro Bungo
87.88 3.03 6.06 3.03
Rekreasi
Kota Bangko
Penjualan Produk
100.00
KK
Bangko 100 %
Ma.Bungo 3.03 %
Bangko 6.06 %
Meranti 3.03 %
Rasau 87.88 %
Pn. Merah 13.04 %
Meranti 8.70 %
Rekreasi
Kesehatan
Bangko 72.73 %
Pendidikan
Rasau 96.88 %
Sosial
Tb. Mas 5.77 %
Keuangan
Rasau 78.85 %
Tb.Mas 9.09 %
Rasau 18.18 %
Rasau 78.26 %
248
Pertanian Meranti 3.13 %
Pn. Merah 15.38 % Perjalanan
Bekerja
Penjualan Produk
Rasau 33.33 %
Rasau 78.00 % ART
Non-Pertanian Meranti 22.00 %
Bukan Makanan
Alat/bhn non pertanian
Rasau 95.92 %
K. Bangko 1.52 %
Obat2 pertanian
Tb. Mas 2.20 %
Pupuk
Makanan
Belanja
Alat pertanian
Rasau 96.28 %
Kebutuhan Pekerjaan
Kebutuhan Keluarga
Tb. Mas 66.67 %
Rasau 100 %
Bangko 4.08 % Rasau 56.25 % Rasau 51.04 %
P. Merah 4.56%
Psr. Pmng 8.30 %
Bangko 35.89 %
K. Jambi 0.21 %
Rasau 100 %
Bangko 43.75 %
Gambar 24 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Rasau, Tahun 2011.
249
Desa Sungkai Penduduk di Desa Sungkai umumnya bekerja di desa sendiri dan Desa Pompa Air. Dirinci berdasarkan status keluarga, 78,57 persen kepala keluarga bekerja di desa sendiri dan 21,43 persen lainnya di Desa Pompa Air. Sebaliknya untuk anggota keluarga, 20,00 persen bekerja di desa sendiri dan 80,00 persen lainnya di Desa Pompa Air. Desa Pompa Air adalah desa asli (non-transmigrasi) yang berjarak sekitar 12 km dari Desa Sungkai dan memiliki aktivitas perekonomian yang relatif lebih berkembang dibandingkan Desa Sungkai. Di Desa Pompa Air juga terdapat pasar mingguan yang berkembang karena adanya permukiman transmigrasi di Desa Pompa Air. Untuk kegiatan belanja kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan, terdapat tiga lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Sungkai dan Kota Muara Bulian. Kota Muara Bulian adalah ibukota Kabupaten Muaro Jambi (secara administratif Desa Sungkai berada di wilayah ini) dan berjarak sekitar 30 km dari Desa Sungkai. Dalam hal belanja makanan, 40,99 persen dipenuhi penduduk Desa Sungkai di desa sendiri, 11,26 persen di Desa Pompa Air dan 47,75 lainnya di Kota Muara Bulian. Untuk belanja bukan makanan, 12,03 persen dipenuhi di desa sendiri, 8,23 persen di Desa Pompa Air dan 79,75 persen lainnya di Kota Muara Bulian. Selanjutnya untuk belanja kebutuhan pekerjaan, khususnya pupuk, obat-obatan petanian dan alat serta bahan non-pertanian seluruhnya dipenuhi di Kota Muara Bulian, sedangkan untuk alat pertanian sebagian dipenuhi di desa sendiri dan sebagian lainnya di Kota Muara Bulian. Untuk keperluan penjualan produk baik untuk produk pertanian maupun non-pertanian seluruhnya dilakukan di desa sendiri, sedangkan untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), 75,00 persen penduduk melakukan perjalanan ke Kota Muara Bulian dan 25,00 persen lainnya ke Kota Jambi. Untuk aktivitas sosial, dalam hal pendidikan dan agama, keseluruhannya dilakukan di desa sendiri. Untuk kesehatan, 81,82 di desa sendiri dan 18,18 persen di Kota Muara Bulian, sedangkan untuk aktivitas rekreasi, 75,00 persen di Kota Muara Bulian dan 25,00 persen di Kota Jambi.
250
Tabel 86 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Sungkai, Tahun 2011 Maksud Perjalanan Bekerja
Kegiatan Usaha Kepala Keluarga
Lokasi Desa Sungkai Desa Pompa Air
Persentase 78.57 21.43
Usaha Anggota Keluarga
Desa Sungkai Desa Pompa Air
20.00 80.00
Desa Sungkai Desa Pompa Air Kota Ma. Bulian
40.99 11.26 47.75
Desa Sungkai Desa Pompa Air Kota Ma. Bulian
12.03 8.23 79.75
Desa Pompa Air Kota Ma. Bulian
15.00 85.00
Pupuk
Kota Ma. Bulian
100.00
Obat-obatan Pertanian
Kota Ma. Bulian
100.00
Alat & Bhn Non-Pertanian
Kota Ma. Bulian
100.00
Pertanian
Desa Sungkai
100.00
Non-Pertanian
Desa Sungkai
100.00
Keuangan
Simpanan/Pinzaman
Kota Ma. Bulian Kota Jambi
Sosial
Pendidikan
Desa Sungkai
Kesehatan
Desa Sungkai Kota Ma. Bulian
81.82 18.18
Rekreasi
Kota Ma. Bulian Kota Jambi
75.00 25.00
Belanja
Kebutuhan Keluarga Makanan
Bukan Makanan
Kebutuhan Pekerjaan Alat Pertanian
Penjualan Produk
75.00 25.00 100.00
Sungkai 78.57 %
Kota Jambi 25 %
Rekreasi
Kesehatan
Ma.Bulian 75 %
Ma.Bulian 18.18 %
Sungkai 81.82 %
Pendidikan Sosial
Keuangan
Ma.Buli
Kota Jambi 25 %
75 %
Mekar Sari 100 %
251
Sungkai 100 %
Pertanian
KK Pompa Air 21.43 % Perjalanan
Bekerja
Penjualan Produk
Sungkai 20.00 % ART
Sungkai 100 %
Non-Pertanian
Bukan Makanan
Makanan
Alat/bhn non pertanian
Obat2 pertanian
Ma.Bulian 47.75 %
Pupuk
Pompa Air 11.26 %
Belanja
Alat pertanian
Sungkai 40.99 %
Kebutuhan Pekerjaan
Kebutuhan Keluarga
Pompa Air 80.00 %
Ma.Bulian 100 %
Pompa Air 15 % Ma.Bulian 85 %
Sungkai 12.03 %
Pompa Air 8.23%
Ma.Bulian 79.75 %
Ma.Bulian 100 %
Ma.Bulian 100 %
Gambar 25 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Sungkai, Tahun 2011.
252
Desa Rimbo Mulyo Penduduk Desa Rimbo Mulyo bekerja di desa sendiri, Desa Tirta Kencana, Wirotho Agung dan Suka Maju. Dirinci berdasarkan status keluarga, 89,58 persen kepala keluarga bekerja di desa sendiri, 7,29 persen di Desa Tirta Kencana, 2,08 persen di Kelurahan Wirotho Agung dan 1,04 persen di Desa Suka Maju. Sebaliknya untuk anggota keluarga, 66,67 persen bekerja di desa sendiri, 19,05 persen di Desa Tirta Kencana serta 14,29 persen lainnya di Kelurahan Wirotho Agung. Desa Tirta Kencana, Desa Suka Maju dan Kelurahan Wirotho Agung adalah desa-desa eks transmigrasi yang secara administratif berada dalam satu kecamatan dengan Desa Rimbo Mulyo yaitu Kecamatan Rimbo Bujang. Desa Tirta Kencana berjarak sekitar 12 km dari Desa Rimbo Mulyo sedangkan Desa Suka Maju berjarak sekitar 1 km. Selanjutnya Kelurahan Wirotho Agung adalah ibukota Kecamatan Rimbo Bujang dan berjarak sekitar 7 km dari Desa Rimbo Mulyo. Di Kelurahan Wirotho Agung ini terdapat pasar yang menjadi pusat aktivitas perdagangan kecamatan. Aktivitas pekerjaan yang dilakukan penduduk Desa Rimbo Mulyo pada luar desa tersebut mencakup baik sebagai buruh tani, pekerja non-tani maupun di bidang perdagangan. Dalam kegiatan belanja untuk kebutuhan keluarga dan kebutuhan pekerjaan, terdapat tiga lokasi perjalanan penduduk yaitu desa sendiri, Desa Suka Maju dan Kelurahan Wirotho Agung. Secara proporsi, dalam hal belanja makanan, 86,37 persen dipenuhi penduduk Desa Rimbo Mulyo di desa sendiri, 2,31 persen di Desa Suka Maju dan 2,31 persen lainnya di Kelurahan Wirotho Agung. Untuk belanja bukan makanan, 23,80 persen dipenuhi di desa sendiri, 1,47 persen di Desa Suka Maju dan 74,73 persen lainnya di Kelurahan Wirotho Agung. Selanjutnya untuk belanja kebutuhan pekerjaan, baik untuk alat pertanian, pupuk, obat-obatan pertanian dan alat serta bahan non-pertanian sebagian dipenuhi di desa sendiri dan sebagian lainnya di Kelurahan Wirotho Agung. Untuk keperluan penjualan produk, untuk produk-produk pertanian, keseluruhannya dilakukan di desa sendiri, sedangkan untuk produk non-pertanian, 66,67 persen di desa sendiri dan 33,33 persen lainnya di Kelurahan Wirotho Agung. Selanjutnya untuk keperluan keuangan (simpan-pinjam), keseluruhan dilakukan di Kelurahan Kelurahan Wirotho Agung. Untuk aktivitas sosial, dalam hal agama,
253
keseluruhannya dilakukan di desa sendiri. Untuk kesehatan, 44,64 di desa sendiri, 50,00 persen di Kelurahan Kelurahan Wirotho Agung, 1,79 persen di Desa Tirta Kencana dan 3,57 persen di Kota Muaro Bungo, sedangkan untuk aktivitas rekreasi, 75,00 persen di Kota Muaro Bungo dan 25,00 persen di Kota Jambi. Tabel 87 Perjalanan penduduk untuk berbagai kegiatan di Desa Rimbo Mulyo, Tahun 2011 Maksud Perjalanan Bekerja
Kegiatan Usaha Kepala Keluarga
Usaha Anggota Keluarga
Belanja
Kebutuhan Keluarga Makanan
Bukan Makanan
Kebutuhan Pekerjaan
Alat Pertanian Pupuk Obat-obatan Pertanian Alat & Bhn Non-Pertanian
Penjualan Produk
Pertanian Non-Pertanian
Keuangan Sosial
Simpan/Pinjam Pendidikan Kesehatan
Rekreasi
Lokasi Desa Rimbo Mulyo Desa Tirta Kencana Kel. Wirotho Agung Desa Suka Maju Desa Rimbo Mulyo Desa Tirta Kencana Kel.Wirotho Agung
Persentase 89.58 7.29 2.08 1.04 66.67 19.05 14.29
Desa Rimbo Mulyo Desa Suka Maju Kel. Wirotho Agung Desa Rimbo Mulyo Desa Suka Maju Kel. Wirotho Agung Desa Rimbo Mulyo Kel. Wirotho Agung Desa Rimbo Mulyo Kel. Wirotho Agung Desa Rimbo Mulyo Kel. Wirotho Agung Desa Rimbo Mulyo Kel. Wirotho Agung Desa Rimbo Mulyo Desa Rimbo Mulyo Kel.Wirotho Agung Kel. Wirotho Agung Desa Rimbo Mulyo Kel. Wirotho Agung Desa Rimbo Mulyo Kel. Wirotho Agung Desa Tirta Kencana Kota Muaro Bungo Kota Muaro Bungo Kota Jambi
86.37 2.31 2.31 23.80 1.47 74.73 74.29 25.71 75.00 25.00 92.86 7.14 81.24 18.76 100.00 66.67 33.33 100.00 50.00 50.00 44.64 50.00 1.79 3.57 75.00 25.00
KK W.Agung 2.08 %
Kota Jambi 25 %
Rekreasi
Ma.Bungo 75 %
Ma.Bungo 3.57 %
Kesehatan
Tirta K. 1.79 %
W.Agung 50 %
Sosial
Keuangan
Tirta K. 7.29 %
Rb.Mulyo 44.64 %
Pendidikan
W.Agung 100 %
Rb.Mulyo 89.58 %
W.Agung 50.00 %
Rb.Mulyo 50.00 %
254
Rb.Mulyo 100 %
Pertanian
S. Maju 1.04 % Perjalanan
Bekerja
Penjualan Produk Rb.Mulyo 66.67 %
Rb.Mulyo 66.67 % ART
Non-Pertanian
Tirta K. 19.05 %
Bukan Makanan
W.Agung 74.73 %
Rb.Mulyo 74.29 %
Rb.Mulyo 92.86 %
W.Agung 25.71 %
W.Agung 7.14 %
Alat/bhn non pertanian
S.Maju 1.47%
W.Agung 2.31 %
Obat2 pertanian
Rb.Mulyo 23.80 %
S.Maju 2.31 %
Pupuk
Rb.Mulyo 86.37 %
Belanja
Alat pertanian
Makanan
W.Agung 14.29 %
Kebutuhan Pekerjaan
Kebutuhan Keluarga
W.Agung 33.33 %
Rb.Mulyo 75 %
Rb.Mulyo 81.24 %
W.Agung 25 %
W.Agung 18.76 %
Gambar 26 Diagram Tujuan Perjalanan Penduduk untuk Berbagai Aktivitas di Desa Rimbo Mulyo, Tahun 2011.
255
7.3.2. Perjalanan Penduduk Berdasarkan Klasifikasi Lokasi Tujuan Lokasi perjalanan penduduk pada masing-masing desa penelitian yang telah dibahas sebelumnya pada dasarnya dapat dibedakan atas beberapa klasifikasi yaitu di desa sendiri, di luar desa tetapi masih merupakan desa-desa eks transmigrasi, di luar desa yang merupakan desa asli (non-transmigrasi), ke ibukota kabupaten dan ke ibukota provinsi. Rangkuman perjalanan penduduk berdasarkan klasifikasi lokasi tujuan tersebut diberikan pada Tabel 88 berikut. Tabel 88 Persentase perjalanan penduduk menurut lokasi tujuan perjalanan pada desa-desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi, Tahun 2011 Stadia rendah (Stadia I)
Stadia tinggi (Stadia III dan IV)
Klasifikasi Lokasi
Mekar Bukit Sung- RataBandar Rimbo RataRasau Sari Mas kai rata Jaya Mulyo rata
Desa Sendiri
66.85
Ratarata
43.88 34.13
54.25
76.50
43.32 57.27 57.30 56.71 51.60 40.34 36.46 30.48
Desa Eks Transmigrasi Lain
0.00
53.23
0.00
14.24
7.29
Desa Non Transmigrasi
5.55
0.00
8.96
4.74
0.07
2.50
1.79
1.63
2.41
Ibukota Kabupaten
0.00
0.00 55.72
10.99
16.08
0.06
0.03
3.56
5.57
27.60
2.89
1.19
15.78
0.06
2.52
0.57
1.04
4.83
100
100
100
100
100
100
100
100
100
N (sampel) 38 Sumber: Penelitian Lapangan, 2011
52
19
71
38
14
83
173
244
Ibukota Provinsi Jumlah
Di lokasi penelitian terlihat bahwa 56,71 persen perjalanan dilakukan penduduk di desa sendiri dan 43,29 persen di luar desa baik untuk aktivitas belanja kebutuhan pekerjaan, belanja, penjualan produk, keuangan dan kebutuhan-kebutuhan sosial lainnya. Secara umum fakta ini menunjukkan bahwa interaksi penduduk desa-desa eks transmigrasi relatif tinggi dengan wilayah di luar desa. Namun demikian, ditelusuri lebih jauh ternyata interaksi tersebut masih dalam kisaran desa-desa eks transmigrasi lain, yaitu mencapai 30,48 persen dari total perjalanan. Dengan kata lain, dari total perjalanan yang dilakukan penduduk desa-desa eks-transmigrasi, 87,19 persen dilakukan di lokasi permukiman transmigrasi (desa sendiri dan desa-desa eks-transmigrasi lainnya). Sebaliknya hanya 2,41 persen dari total perjalanan yang dilakukan ke desa-desa nontransmigrasi, 5,57 persen ke ibukota kabupaten dan provinsi.
4,83 persen ke ibukota
256
Desa dengan interaksi paling tinggi terhadap wilayah di luar lokasi transmigrasi adalah Desa Sungkai. Hanya 34,13 dari total aktivitas perjalanan penduduk desa ini yang dilakukan di desa sendiri (dan tidak terdapat perjalanan ke desa-desa eks transmigrasi lainnya), sedangkan sebagian besar lainnya (65,87 persen) dilakukan di luar lokasi transmigrasi. Dari perjalanan ke luar desa ini, bagian terbesar dilakukan ke ibukota kabupaten (mencapai 55,72 persen), selanjutnya ke desa-desa non-transmigrasi (8,96 persen) dan ke ibukota provinsi (1,19 persen). Besarnya proporsi perjalanan ke ibukota kabupaten disebabkan relatif dekatnya jarak desa ini ke ibukota kabupaten yaitu hanya sekitar 30 km. Selain itu relatif tingginya interaksi dengan desa-desa non transmigrasi (paling tinggi dibandingkan desa-desa lainnya) disebabkan Desa Sungkai merupakan lokasi transmigrasi yang tidak terpisah (berbatasan langsung) dengan desa-desa non transmigrasi. Fenomena yang sama juga terlihat pada Desa Mekar Sari. Sekitar sepertiga bagian perjalanan (33,15 persen) dari penduduk dilakukan di luar desa (juga tidak terdapat perjalanan yang dilakukan ke desa eks transmigrasi lainnya). Pada Desa Mekar Sari, perjalanan terbesar ke luar desa dilakukan ke ibukota provinsi (mencapai 27,60 persen) disebabkan jarak yang relatif dekat ke ibukota provinsi yaitu sekitar 45 km (tidak terdapat perjalanan ke ibukota kabupaten karena jarak yang relatif jauh mencapai yaitu sekitar 75 km). Selain itu, interaksi desa ini dengan desa non-transmigrasi juga relatif tinggi dibandingkan rata-rata desa lainnya, karena Desa Mekar Sari juga berbatasan langsung dengan desa-desa nontransmigrasi. Selain faktor jarak ke desa-desa non-transmigrasi dan ke pusat pertumbuhan (ibukota kabupaten maupun provinsi), faktor terpenting lainnya yang menentukan interaksi ini adalah ketersediaan sarana dan prasarana ekonomi di desa (ataupun desa eks transmigrasi lainnya yang berdekatan). Desa Rasau memiliki interaksi paling rendah dengan wilayah sekitarnya (76,50 persen perjalanan dilakukan di desa sendiri) karena dibandingkan desa-desa penelitian lainnya, desa ini memiliki sarana-prasarana sosial ekonomi yang relatif lebih lengkap.
257
Di Desa Bandar Jaya, Bukit Mas dan Rimbo Mulyo, meskipun interaksi ke luar desa relatif tinggi, tetapi dilakukan pada desa-desa eks transmigrasi lainnya yang berdekatan. Hal ini terutama dipicu oleh keberadaan pasar di desa eks transmigrasi lainnya yang jaraknya relatif dekat. Keberadaan pasar tidak hanya akan membangkitkan perjalanan belanja, tetapi juga akan memberikan peluang usaha dan bekerja bagi masyarakat sekitar. Fenomena ini sejalan dengan hukum gravitasi Newton yang dikembangkan dalam interaksi sosial-ekonomi dimana dinyatakan bahwa interaksi antara dua tempat dipengaruhi oleh besarnya aktivitas sosial dan produksi yang dihasilkan oleh masyarakat di dua tempat tersebut, jarak antara dua tempat tersebut dan besarnya pengaruh jarak dua tempat tersebut. Senada dengan hal tersebut Rustiadi et al. (2009), juga menyatakan terdapat dua prinsip dari interaksi yaitu: (1) mesin penggerak dari pergerakan dan interaksi adalah kekuatan dan dorong-tarik dari supply-demand; dan (2) penghambat pergerakan dan interaksi adalah pengaruh friction of distance. Relatif jauhnya jarak permukiman transmigrasi dan tidak terbangunnya sistem transportasi yang menghubungkan desa transmigrasi dengan desa sekitarnya menjadi faktor yang menghambat terjadinya interaksi. Di sisi lain, tidak terbangunnya berbagai fasilitas dan tidak tumbuhnya aktivitas produksi di desa-desa sekitar permukiman transmigrasi yang terkait secara fungsional (dalam bentuk supply-demand) dengan desa-desa transmigrasi menyebabkan tidak terbentuknya mesin penggerak dari interaksi tersebut. Terkait dengan hal tersebut, Yulia (2005) juga mengemukakan bahwa kebijaksanaan operasional dalam pembangunan kawasan transmigrasi hendaknya perlu dilakukan dalam bentuk: (a) mendorong terwujudnya pengembangan permukiman transmigrasi dalam satuan kawasan dengan memberikan pelayanan dan subsidi untuk kebutuhan pemberdayaan di tingkat kawasan yang efektif bagi pertumbuhan UPT dan desa setempat sebagai bagian dari kawasan; dan (b) keterkaitan fungsional dengan kawasan sekitarnya. Pembangunan fasilitas dan infrastruktur yang tidak berimbang ini juga mulai memunculkan fenomena yang biasanya dikenal dalam keterkaitan desa kota, yaitu backwash effect. Meningkatnya sumber daya ekonomi di desa-desa eks
258
transmigrasi tidak secara otomatis diiringi peningkatan aksesibilitas masyarakat desa-desa sekitarnya terhadap sumber daya ekonomi tersebut. Bahkan sebaliknya yang terjadi adalah meningkatnya potensi masyarakat di desa-desa eks transmigrasi dalam memanfaatkan dan mengeksploitasi sumber daya desa-desa sekitarnya. Fenomena ini terlihat dari mulai ditemukannya penduduk di desa-desa eks transmigrasi yang diteliti yang memiliki lahan pertanian yang bersumber dari pembelian lahan penduduk desa sekitarnya. Selain faktor tersebut, rendahnya interaksi antara desa-desa eks transmigrasi dengan desa sekitarnya juga disebabkan masih lemahnya upaya-upaya pengembangan modal sosial pada tingkat komunitas. Menurut Woolclock (1998), diacu dalam Rustiadi (2009) salah satu ciri penting modal sosial pada tingkat komunitas adalah keterkaitan (linkage) dalam suatu jaringan (network). Berdasarkan unsur networking, modal sosial dapat dibedakan menjadi tiga tipe yaitu (1) bonding social capital yang dicirikan oleh kuatnya ikatan (pertalian) seperti antara anggota keluarga atau antara anggota dalam kelompok etnis tertentu, yang terbangun dengan thick trust karena adanya rasa percaya antar kelompok orang yang saling mengenal; (2) bridging social capital yang dicirikan oleh semakin banyaknya ikatan antarkelompok misalnya asosiasi bisnis, kerabat, teman dari berbagai kelompok etnis yang berbeda, yang terbangun dengan thin trust, rasa percaya terhadap sekelompok orang yang belum dikenal; dan (3) lingking social capital, yang dicirikan oleh hubungan antara berbagai tingkat kekuatan dan status sosial yang berbeda seperti antarindividu dari berbagai kelas yang berbeda. Lemahnya pengembangan modal sosial ini khususnya dalam konteks bridging social capital terlihat dari fakta di desa penelitian tidak terdapatnya forum-forum ataupun lembaga/perkumpulan/organisasi yang dikembangkan yang melibatkan secara bersama-sama masyarakat di desa transmigrasi dan masyarakat di sekitar desa transmigrasi. Di desa penelitian sebagai contoh, kelompok tani, koperasi, arisan warga, kelompok pengajian, perkumpulan olahraga terbentuk secara terpisah antara desa transmigrasi dengan desa sekitarnya. Fakta ini muncul dan diperkuat dengan kebijakan yang menjadikan desa-desa eks transmigrasi
259
sebagai desa administratif baru yang terpisah dari desa induknya maupun desa setempat. Selain itu, pada tahap pembinaan (sub-tahap penyesuaian), perlakuan hanya diberikan kepada transmigran untuk bisa beradaptasi dengan lingkungannya baik secara sosial ekonomi, budaya dan fisik, dan tidak ada perlakuan yang sama kepada masyarakat di sekitar desa transmigrasi. Ini menyebabkan rendahnya proses penyesuaian masyarakat di sekitar desa transmigrasi terhadap budaya baru dari pendatang dan pada tahap selanjutnya tidak berkembangnya rasa percaya antar penduduk setempat dengan transmigran pendatang. 7.3.3 Pemodelan Perjalanan untuk Kegiatan Bekerja Model perjalanan bekerja dirumuskan sebagai berikut: g ( x ki ) 0 1 X 1 2. D1 X 2. D1 2. D 2 X 2. D 2 3 X 3 .4 X 4 5. D1 X 5. D 1 5 . D 2 X 5. D 2 5. D 3 X 5 . D 3 5 . D 4 X 5. D 4 6 X 6 7 X 7 e
di mana: g(xki) = peluang lokasi bekerja (0 = di desa; 1 = di luar desa) X1 = Umur ( dalam tahun) X2 = Jenjang pendidikan formal X2.D1
0 = SD ke bawah; 1 = SLTP
X2.D2
0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X3 = Status Pekerjaan ( 0 = pekerjaan utama; 1 = pekerjaan sampingan) X4 = Status dalam keluarga (0 = kepala keluarga; 1 = anggota keluarga) X5 = Daerah asal X5.D1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah X5.D2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat X5.D3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur X5.D4 0 = Jambi; 1 = Lainnya X6 = Luas lahan perkapita dalam keluarga (ha/jiwa) X7 = Stadia Desa (0 = Rendah 1 = Tinggi)
1, 4, 6 , 7 < 0; 5.D1, 5.D2, 5.D3 0;
2.D1, 2.D2, 3, 4 > 0
Uji multikolinearitas antarpeubah bebas dari model dengan menggunakan korelasi diberikan pada Lampiran 10. Dari Lampiran 10 terlihat bahwa nilai korelasi peubah bebas relatif rendah. Dengan kata lain, tidak terdapat masalah
260
multikolinearitas dalam model sehingga seluruh peubah bisa dan layak digunakan dalam model Selanjutnya uji Overall Model Fit dari model tersebut diberikan pada Tabel 89. Berdasarkan Omnibus Test of Model Coefficients didapatkan nilai statistik Chi_Square sebesar 122,697 dengan probabilitas signifikansi (p) = 0.000. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peubah bebas dalam model secara bersamabersama mempengaruhi keputusan dan perilaku individu dalam keluarga untuk bekerja di desa atau di luar desa. Berdasarkan uji Hosmer dan Lemeshow didapatkan nilai Chi-Square sebesar 9,220 dengan nilai p sebesar 0,324. Karena Chi_Square tidak signifikan (p > 0,05), maka dapat disimpulkan probabilitas yang diprediksi sesuai dengan probabilitas yang diobservasi. Dengan kata lain tidak ada perbedaan antara model dengan data sehingga model dapat dikatakan fit. Tabel 89 Uji Overall Model Fit untuk model perjalanan bekerja
Omnibus Test of Model Coefficients Step Block Model Hosmer and Lemeshow Test
Chi-square
df
Sig.
122.697 122.697 122.697 9.220
11 11 11 8
.000 .000 .000 .324
Selanjutnya dari Tabel klasifikasi 2 x 2 memperlihatkan seberapa baik model mengelompokkan kasus ke dalam dua kelompok baik yang bekerja di desa maupun di luar desa. Keakuratan prediksi secara keseluruhan sebesar 89,9 persen sedangkan keakuratan prediksi yang bekerja di luar desa kategori rendah dan tinggi masing-masing 96,8 persen dan 53,7 persen. Tabel 90 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan bekerja Prediksi Observasi Kategori
Rendah Tinggi Persentase Keseluruhan
Kategori Rendah Tinggi 275 9 25 29
Persentase Benar 96.8 53.7 89.9
Estimasi parameter dan uji parsial dalam model binari logit untuk perjalanan bekerja diberikan pada Tabel 91. Berdasarkan hasil estimasi memperlihatkan
261
bahwa umur (X1) berpengaruh signifikan negatif terhadap peluang bekerja antara di desa dan luar desa. Semakin tua umur maka akan semakin menurunkan probabilitas individu bekerja di luar desa. Dengan mengamati odds ratio dapat dikemukakan bahwa individu yang berumur lebih tua satu tahun memiliki probabilitas 0,991 kali untuk bekerja di luar desa dibandingkan dengan individu berumur lebih muda. Tabel 91 Estimasi parameter model perjalanan bekerja Peubah
B
S.E.
Wald
df
Sig.
-.093
.024
X2.D1 X2.D2
.223 1.749 .727 2.520
.625 .509 .470 .513
X5.D1 X5.D2 X5.D3 X5.D4
2.037 3.945 2.774 3.024 -.083 -.926 -1.145
.702 .925 1.007 1.051 .445 .425 1.111
14.957 15.010 .127 11.808 2.395 24.105 19.791 8.430 18.175 7.583 8.271 .035 4.740 1.063
1 2 1 1 1 1 4 1 1 1 1 1 1 1
.000 .001 .721 .001 .122 .000 .001 .004 .000 .006 .004 .852 .029 .302
X1 X2
X3 X4 X5
X6 X7 Konstanta
Exp(B) Keterangan Peubah .911 1.250 5.749 2.068 12.433 7.667 51.665 16.028 20.572 .920 .396 .318
Umur Pendidikan SLTP SLTA Pek. sampingan Anggota keluarga Daerah asal Jateng Jabar Jatim Lainnya Lahan Stadia Tinggi
Tidak terdapat perbedaan peluang untuk bekerja di luar desa antara individu yang berpendidikan SLTP (X2.D1) dengan yang berpendidikan SD ke bawah (referensi). Hal ini ditunjukkan oleh koefisien dalam model yang tidak signifikan. Namun demikian, koefisien pada kelompok pendidikan SLTA ke atas (X2.D2) signifikan positif. Ini menunjukkan bahwa individu dengan pendidikan SLTA ke atas memiliki peluang yang lebih tinggi untuk bekerja di luar desa dibandingkan dengan individu berpendidikan SD ke bawah. Dari nilai odds ratio memperlihatkan bahwa peluang individu yang berpendidikan SLTA ke atas untuk bekerja di luar desa memiliki peluang 5,749 kali untuk bekerja di luar desa dibandingkan individu yang berpendidikan SD ke bawah. Status pekerjaan sampingan (X3.D1) tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan. Ini berarti bahwa peluang untuk bekerja di luar desa adalah sama antara individu yang bekerja dalam status pekerjaan sampingan dengan yang
262
bekerja dalam status pekerjaan utama (referensi). Sebaliknya, individu yang berstatus sebagai anggota keluarga (X4.D1) menunjukkan pengaruh signifikan positif. Ini berarti terdapat perbedaan peluang bekerja di luar desa antara anggota keluarga dengan kepala keluaga (referensi). Dari nilai odds ratio terlihat bahwa peluang anggota keluarga untuk bekerja di luar desa adalah 12,433 kali dibandingkan kepala keluarga. Terdapat perbedaan peluang individu yang berasal dari Jawa Tengah (X5.D1), Jawa Barat (X5.D2), Jawa Timur (X5.D3) dan daerah lainnya (X5.D4) untuk bekerja di luar desa dibandingkan dengan individu yang berasal dari Jambi (referensi). Dengan mengamati odds ratio, peluang bekerja di luar desa untuk individu dari Jawa Tengah 7,667 kali dibandingkan yang berasal dari Jambi, sedangkan untuk individu dari Jawa Barat 51,665 kali, dari Jawa Timur 16,028 kali dan dari daerah lainnya 20,572 kali dibandingkan yang berasal dari Jambi. Luas lahan perkapita (X6) tidak berpengaruh signifikan terhadap peluang bekerja di luar desa. Ini berarti tidak terdapat perbedaan peluang bekerja di luar desa antara individu yang memiliki lahan luas maupun sempit. Terdapat perbedaan peluang individu yang berada di desa-desa stadia tinggi (X7) untuk bekerja di luar desa dibandingkan individu yang berada di desa-desa stadia rendah (referensi). Dari odds ratio terlihat bahwa peluang individu di desadesa stadia tinggi adalah 0,318 kali dibandingkan individu yang berada di desadesa stadia rendah. Dengan kata lain, peluang individu untuk bekerja di luar desa pada individu di desa-desa stadia tinggi lebih rendah dibandingkan individu di desa-desa stadia rendah. 7.3.4 Pemodelan Perjalanan untuk Kegiatan Belanja Model perjalanan untuk kegiatan belanja dirumuskan sebagai berikut: g ( x mi ) 0 1 X 1 2. D1 X 2. D1 2. D 2 X 2. D 2 3 X 3 .4. D1 X 4. D1 4. D 2 X 4. D 2 5 X 5 6. D1 X 6. D1 6. D 2 X 6. D 2 7 X 7 8. D1 X 8. D1 8. D 2 X 8. D 2 8. D 3 X 8. D 3 8. D 4 X 8. D 4 9 X 9 e
di mana: g(xmi) = peluang proporsi belanja di luar desa (0 = rendah; 1 = tinggi) X1 = Umur Kepala Keluarga (tahun)
263
X2 = Jenjang pendidikan formal Kepala Keluarga X2.1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP X2.2
0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X3 = Umur Istri (tahun) X4 = Jenjang pendidikan formal Istri X4.1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP X4.2
0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X5 = Umur Anak Tertua (tahun) X6 = Jenjang pendidikan formal Anak Tertua X6.1 0 = SD ke bawah; 1 = SLTP X6.2
0 = SD ke bawah; 1 = SLTA ke atas
X7 = Pendapatan perkapita keluarga (Rp 000 perbulan) X8 = Daerah asal X8.1 0 = Jambi; 1 = Jawa Tengah X8.2 0 = Jambi; 1 = Jawa Barat X8.3 0 = Jambi; 1 = Jawa Timur X8.4 0 = Jambi; 1 = Lainnya X9 = Stadia Desa (0 = Rendah;
1 = Tinggi)
1, 3, 9, < 0 8.D1, 8.D2, 8.D3, 8.D4 0 2.D1, 2.D2, 4.D1, 4.D2, 5, 6.D1, 6.D2, 7 > 0 Uji multikolinearitas antarpeubah bebas dari model dengan menggunakan korelasi antar peubah diberikan pada Lampiran 11. Dari Lampiran 11 terlihat bahwa terdapat korelasi positif yang relatif tinggi ( > 0,85) antara umur kepala keluarga (suami) dengan umur isteri. Oleh karenanya, dalam pengembangan modelnya digunakan alternatif peubah rata-rata umur suami dan istri (X1_3) sebagai pengganti peubah X1 (umur KK) dan X3 (umur istri). Selanjutnya, uji Overall Model Fit dari model tersebut diberikan pada Tabel 92. Berdasarkan Omnibus Test of Model Coefficients didapatkan nilai statistik Chi_Square sebesar 71,808 dengan probabilitas signifikansi (p) = 0.000. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa peubah bebas dalam model secara bersamabersama mempengaruhi keputusan dan perilaku keluarga berbelanja di luar desa.
264
Berdasarkan uji Hosmer dan Lemeshow didapatkan nilai Chi-Square sebesar 3,996 dengan nilai p sebesar 0,857. Karena Chi_Square tidak signifikan (p > 0,05), maka dapat disimpulkan probabilitas yang diprediksi sesuai dengan probabilitas yang diobservasi. Dengan kata lain tidak ada perbedaan antara model dengan data sehingga model dapat dikatakan fit. Tabel 92 Uji Overall Model Fit untuk perjalanan belanja Omnibus Test of Model Coefficients Step Block Model Hosmer and Lemeshow Test
Chi-square
df
Sig.
71.808 71.808 71.808 3.996
14 14 14 8
.000 .000 .000 .857
Tabel Klasifikasi 2 x 2 juga memperlihatkan tingginya tingkat keakuratan prediksi model. Keakuratan prediksi secara keseluruhan sebesar 84,1 persen sedangkan keakuratan prediksi untuk keluarga dengan proporsi kategori rendah dan tinggi dalam hal berbelanja di luar desa masing-masing sebesar 93,7 persen dan 41,7 persen. Tabel 93 Tabel klasifikasi 2 x 2 untuk model perjalanan belanja Observasi Kategori
Rendah Tinggi Persentase Keseluruhan
Prediksi Kategori Rendah Tinggi 149 10 21 15
Persentase Benar 93.7 41.7 84.1
Estimasi parameter dan uji parsial model perjalanan untuk kegiatan belanja diberikan pada Tabel 94. Berdasarkan Tabel 94 terlihat bahwa rata-rata umur suami-istri (X1_3) menunjukkan pengaruh yang signifikan negatif terhadap proporsi belanja di luar desa. Semakin tua umur maka akan semakin menurunkan probabilitas keluarga tersebut untuk berada pada kategori keluarga dengan proporsi tinggi dalam hal belanja di luar desa. Dengan mengamati odds ratio dapat dikemukakan bahwa keluarga dengan rata-rata umur suami-istri yang lebih tua (satuan 1 Tahun) memiliki probabilitas 0,638 kali untuk mencapai kategori
265
keluarga dengan proporsi tinggi dalam hal belanja di luar desa dibandingkan keluarga dengan rata-rata suami-istri yang berumur lebih muda. Tabel 94 Estimasi parameter model untuk perjalanan belanja B X1_3 X2
S.E.
-.449
.108
X2.D1 X2.D2
-1.060 -1.006
.686 .749
X4.D1 X4.D2
1.779 1.886 .358
.647 .780 .106
X6.D1 X6.D2
-25.438 2.498 .001
4666.804 1.028 .000
X8.D1 X8.D2 X8.D3 X8.D4
.726 1.013 1.449 -.494 .542 7.149
.624 1.019 1.177 1.475 .560 2.281
X4
X5 X6
X7 X8
X9 Konstanta
Wald 17.150 2.815 2.387 1.806 8.582 7.558 5.843 11.394 5.906 .000 5.906 4.660 2.732 1.353 .990 1.515 .112 .940 9.824
df
Sig. 1 2 1 1 2 1 1 1 2 1 1 1 4 1 1 1 1 1 1
.000 .245 .122 .179 .014 .006 .016 .001 .052 .996 .015 .031 .604 .245 .320 .218 .737 .332 .002
Exp(B) .638 .346 .366 5.926 6.591 1.431 .000 12.153 1.001 2.066 2.755 4.257 .610 1.720 1273.090
Pendidikan kepala keluarga (X2.D1 dan X2.D2) tidak berpengaruh terhadap perilaku belanja di luar desa, namun demikian pendidikan istri menunjukkan pengaruh signifikan positif. Keluarga dengan istri berpendidikan SLTP (X4.D1) memiliki peluang belanja di luar desa sebesar 5,926 kali dan yang berpendidikan SLTA (X4.D2) sebesar 6,591 kali dibandingkan dengan yang berpendidikan SD ke bawah (referensi). Umur anak (tertua) (X5) berpengaruh positif yang menunjukkan bahwa semakin tinggi umur anak tertua maka semakin besar peluang keluarga tersebut berbelanja di luar desa. Sebaliknya pendidikan anak tertua (X6) tidak berpengaruh signifikan. Ini berarti juga tidak ada perbedaan perilaku berbelanja di luar desa pada keluarga dengan berbagai tingkatan pendidikan anak. Pendapatan per kapita keluarga (X7) berpengaruh signifikan positif terhadap proporsi belanja di luar desa. Semakin besar pendapatan per kapita keluarga maka
266
akan semakin meningkatkan probabilitas keluarga tersebut untuk berada pada kategori keluarga dengan proporsi tinggi dalam hal belanja di luar desa. Dengan mengamati odds ratio dapat dikemukakan bahwa keluarga yang dengan pendapatan per kapita lebih tinggi (satuan Rp 1000) memiliki probabilitas 1,001 kali untuk mencapai kategori keluarga dengan proporsi tinggi dalam hal belanja di luar desa dibandingkan keluarga dengan pendapatan per kapita lebih rendah. Berdasarkan daerah asal kepala keluarga, tidak terdapat perbedaan peluang dalam berbelanja di luar desa antara keluarga dengan kepala keluarga yang berasal dari Jawa Tengah (X8.D1), Jawa Barat (X8.D2), Jawa Timur (X8.D3) dan daerah lainnya (X8.D4) dibandingkan dengan kepala keluarga yang berasal dari Jambi (referensi). Ini ditunjukkan oleh tidak signifikannya nilai koefisien pada masing-masing peubah. Selanjutnya, estimasi parameter model memperlihatkan bahwa tidak terdapat perbedaan peluang berbelanja di luar desa antara desa stadia rendah (referensi) dengan desa stadia tinggi (X9) Ini berarti perilaku keluarga dalam berbelanja di luar desa relatif sama antara desa-desa stadia tinggi dengan stadia rendah.
VIII. STADIA PERKEMBANGAN DESA DAN POLA PENGEMBANGAN KAWASAN TRANSMIGRASI KE DEPAN
8.1. Model Baru Stadia Perkembangan Desa: Pengembangan atas Hipotesis Rustiadi Melalui sudut pandang demand side strategy, Rustiadi et al. (2009) mengemukakan stadia perkembangan desa khususnya pada stadia pengembangan kawasan transmigrasi yang dirujuk dalam penelitian ini. Stadia-stadia tersebut adalah: 1. Stadia Sub-Subsisten. Pada tahap pertama ini transmigran masuk dalam stadia sub-subsisten selama satu tahun. Pemerintah memberikan subsidi untuk kebutuhan hidup (jadup) dan produksi. Pada tahap ini pemerintah juga membangun berbagai fasilitas/ infrastruktur dasar dan pertanian. 2. Stadia Subsisten. Transmigran masuk dalam stadia subsisten dengan bermodal lahan pekarangan dan Lahan Usaha I. Pada tahap kedua ini, transmigran diharapkan
dapat berproduksi sehingga
dapat
memenuhi kebutuhan
pangannya sendiri (subsisten). 3. Stadia Marketable Surplus. Dengan adanya peningkatan sistem produksi diharapkan transmigrasi akan memasuki stadia marketable surplus (hasil usaha tani telah melebihi kebutuhan keluarganya) terutama setelah dapat diusahakannya Lahan Usaha II. 4. Stadia Industri Pertanian. Surplus hasil pertanian yang dicapai pada tahap ketiga memerlukan pengembangan industri pengolahan terutama untuk memenuhi permintaan barang-barang olahan utama. Adanya industri hasil pertanian skala kecil meningkatkan permintaan hasil pertanian, sehingga tidak perlu jauh-jauh menjual ke kota. 5. Stadia Industri Non-Pertanian. Peningkatan pendapatan transmigran yang diperoleh dari tahap 4 akan meningkatkan konsumsi produk-produk pertanian. Hal ini akan mendorong tumbuhnya industri-industri non-pertanian skala kecil. 6. Stadia Industrialisasi Perdesaan atau Urbanisasi Kota Kecil/Menengah. Pada tahap ini, peningkatan pendapatan akan meningkatkan permintaan barang mewah. Oleh karenanya akan berkembang industri-industri umum.
268
Urbanisasi Kota Kecil/ Menengah
Stadia Industrialisasi Perdesaan
Stadia Industri Non-Pertanian
Stadia Industri Pertanian
Stadia Marketable Surplus
Stadia Subsisten
Stadia Sub-Subsisten
Gambar 27 Model Awal hipotesis stadia perkembangan desa. Sumber: Rustiadi et al. (2009)
Merujuk pada stadia perkembangan desa tersebut, dan berdasarkan pengujian dan konfirmasi data, penelitian ini menemukan suatu pola baru stadia perkembangan desa sebagai bentuk pengembangan hitotesis stadia perkembangan desa Rustiadi et al. (2009) tersebut. Pengembangan dilakukan terutama setelah berada pada stadia marketable surplus (asumsi dasar ketika permukiman transmigrasi telah lepas bina dan diserahkan ke pemerintah daerah). Setelah stadia marketable surplus, desa eks transmigrasi masuk pada stadia awal industri primer. Stadia ini ditandai oleh mulai berkembangnya industri hulu pertanian yaitu industri yang bersifat mengolah hasil pertanian untuk bahan makanan atau industri. Jenis industri pada kelompok ini antara lain penggilingan padi dan penyosohan beras, industri penggilingan dan pembersihan padi-padian lainnya, pembuatan berbagai macam tepung dari padi-padian/biji-bijian/kacangkacangan/umbi-umbian, industri minyak mentah dari nabati dan hewani. Selain itu, pada stadia ini juga mulai berkembangnya industri-industri non pertanian primer seperti industri pengolahan tanah liat, barang-barang dari kayu, rotan,
269
bambu dan sejenisnya, furnitur dan barang-barang logam lainnya. Kedua kelompok industri ini merupakan industri-industri yang tumbuh karena didorong kebutuhan-kebutuhan primer masyarakat. Selanjutnya, pada stadia awal industri primer, aktivitas perdagangan dan jasa masih bertumpu pada perdagangan dan jasa yang ditujukan untuk alat dan bahan pertanian. Berkembangnya industri ini akan meningkatkan pendapatan masyarakat baik sebagai akibat meningkatnya permintaan hasil pertanian (untuk bahan industri) maupun peluang kerja yang tercipta dengan adanya industri tersebut. Peningkatan masyarakat akan semakin meningkatkan daya beli masyarakat, oleh karenanya industri hulu pertanian dan industri non-pertanian primer ini juga akan semakin berkembang. Saat ini desa-desa masuk pada stadia lanjut industri primer. Pada stadia lanjut industri primer ini juga mulai berkembang aktivitas perdagangan dan jasa untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer penduduk . Berkembangnya aktivitas perdagangan dan jasa ini selain disebabkan oleh berkembangnya industri juga menjadi faktor keberlanjutan perkembangan aktivitas industri itu sendiri. Berlanjutnya peningkatan masyarakat akan meningkatkan permintaan barang-barang sekunder dan tersier. Ini menyebabkan tumbuhnya industri hilir pertanian dan industri non-pertanian sekunder/tersier. Industri hilir pertanian adalah industri yang bersifat mengolah hasil pertanian untuk makanan jadi yang antara lain pembuatan tempe dan tahu, pembuatan makanan dari kedele dan kacang-kacangan selain kecap, tempe dan tahu, pembuatan kerupuk, keripik dan sejenisnya dari ubi dan pisang, pengasinan/pemanisan buah-buahan dan sayursayuran seperti asinan buah-buahan dan selai pisang. Oleh karenanya pada tahap ini desa-desa masuk pada stadia industri sekunder/tersier. Stadia ini juga menandakan masuknya desa-desa pada tahapan urbanisasi kota kecil/menengah. Pada stadia ini, juga ditandai dengan berkembangnya aktivitas perdagangan dan jasa untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier penduduk. Tahapan perkembangan desa eks transmigrasi di Provinsi Jambi
ini
mungkin bervariasi pada provinsi-provinsi daerah tujuan transmigrasi lainnya di Indonesia, sehingga diperlukan pengujian lebih lanjut untuk menjadikan model ini
270
sebagai model umum dalam menganalisis perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Meskipun demikian, mengingat kebijakan pengembangan industri di perdesaan yang relatif sama pada berbagai daerah di Indonesia, diperkirakan bahwa kondisi tidak terjadinya stadia industrialisasi perdesan juga akan berlaku sama pada daerah-daerah lainnya. Secara diagramatis, model baru stadia perkembangan desa berdasarkan hasil temuan penelitian ini diberikan sebagai berikut:
Urbanisasi Kota Kecil/ Menengah
Stadia Industri Sekunder/Tersier
Perdagangan dan jasa untuk kebutuhan sekunder/ tersier
Stadia Lanjut Industri Primer
Perdagangan dan jasa untuk kebutuhan primer
Stadia Awal Industri Primer
Perdagangan dan jasa alat/bahan pertanian
Stadia Marketable Surplus Stadia Subsisten Stadia Sub-Subsisten
Gambar 28 Model baru stadia perkembangan desa. 8.2 Menuju Pola Pengembangan Kawasan Transmigrasi ke Depan Sebagaimana yang dikemukakan sebelumnya, pembangunan permukiman transmigrasi dirancang secara hirarkis dari satuan terkecil berupa SP (Satuan Pemukiman) ke satuan yang lebih besar yaitu SKP (Satuan Kawasan Pemukiman)/ LPT (Lokasi Permukiman Transmigrasi) dan WPP (Wilayah Pengembangan Parsial)/ WPT (Wilayah Pengembangan Transmigrasi), yang saling menopang dan terintegrasi dalam simpul-simpul pusat produksi serta distribusi barang dan jasa hingga membentuk suatu pusat pertumbuhan ekonomi dan administrasi wilayah.
271
Kumpulan beberapa SP (5–7 SP) dinyatakan sebagai LPT/SKP. Pada era setelah otonomi daerah LPT tidak hanya terdiri dari SP/PTB (satuan permukiman/permukiman transmigrasi baru), tetapi juga PTA (permukiman transmigrasi yang sudah ada atau desa-desa eks transmigrasi), PDS (desa setempat) dan Sisipan (Transmigrasi sisipan ke PTA atau PDS). Selanjutnya, mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997, salah satu satuan permukiman dalam SKP disiapkan menjadi desa utama atau pusat kawasan perkotaan baru. Dalam konteks desa utama ini, meskipun tidak terdapat batasan yang tegas, tetapi kecenderungannya adalah ditempatkan pada SP/PTB atau PTA. Kumpulan 3-5 LPT/SKP dinyatakan sebagai WPT dan salah satu LPT/SKP merupakan “kota” umumnya yang sudah berkembang serta mempunyai aksesibilitas tinggi, dan mempunyai orientasi sehingga mampu membentuk simpul jasa distribusi yang berfungsi sebagai pusat pengembangan (pusat WPT). Pusat WPT berfungsi sebagai pintu gerbang simpul jasa distribusi, yang berperan sebagai gerbang masuk dan keluarnya ekspor impor ke WPT-WPT yang ada di sekitarnya.
LPT/SKP SP/PTB 300-500 KK PDS 300-500 KK
LPT/SKP
PTA 300-500 KK Sisipan 300-500 KK
SP/PTB 300-500 KK PDS 300-500 KK
PTA 300-500 KK Sisipan 300-500 KK
LPT/SKP 9000 KK 36000 jiwa PP 2/1999
SP/PTB 300-500 KK PDS 300-500 KK
PTA 300-500 KK
WPT
Sisipan 300-500 KK
Gambar 29 Konsep pembangunan transmigrasi setelah otonomi daerah. Sumber: Priyono dan Fatimah (2010) Keterangan: SP=Satuan Permukiman; PTB=Permukiman Transmigrasi Baru; PTA = Permukiman Transmigrasi yang Sudah Ada (eks unit permukiman transmigrasi); PDS = Permukiman Desa Setempat; Sisipan = Transmigrasi sisipan ke PTA atau PDS = Desa utama atau Pusat kawasan (antara SP/PTB atau PTA)
272
Pembangunan kewilayahan transmigrasi secara hirarkie tersebut pada dasarnya mengacu pada teori tempat sentral yang menyatakan adanya hirarkie tempat di mana setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumber daya (industri dan bahan baku). Pembangunan transmigrasi tersebut juga pada dasarnya mengacu pada teori pusat pertumbuhan yang terlihat dari tujuan pembangunan transmigrasi untuk membangun pusatpusat pertumbuhan baru di daerah. Dengan berkembangnya permukiman transmigrasi diharapkan akan menjadi pusat-pusat pertumbuhan yang dapat mendorong ekspansi yang besar di daerah sekitarnya melalui perkaitan antarindustri serta perkaitan fungsional demand-supply. Namun dalam prakteknya hal tersebut tidak berlangsung sesuai dengan konsep yang direncanakan, karena wilayah di luar permukiman transmigrasi yang diskenariokan sebagai pusat pelayanan proses produksi (penyedia input, jasa keuangan, pengolahan hasil dan pemasaran) tidak dapat berperan sebagaimana yang diharapkan. Hal ini disebabkan tidak tersedianya infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan yang memadai untuk mendukung peran sebagai pusat pelayanan pada wilayah-wilayah di luar permukiman transmigrasi. Tidak terbangunnya berbagai infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan sehingga tidak tumbuhnya berbagai aktivitas produksi di sekitar permukiman transmigrasi yang terkait secara fungsional (dalam bentuk supply-demand) dengan permukiman transmigrasi disebabkan lemahnya
koordinasi pembangunan
antarlembaga yang terkait khususnya Kementerian Transmigrasi dan Kementerian Dalam Negeri atau Pemerintah Daerah. Rancangan pembangunan kawasan transmigrasi setelah otonomi daerah pada dasarnya tidak hanya melibatkan desadesa transmigrasi tetapi juga desa-desa eks transmigrasi dan desa setempat (yang berada dalam kewenangan Kementerian Dalam Negeri). Namun demikian, tidak terdapat
koordinasi
pembangunan
dalam
permukiman
hal
pelaksanaan
transmigrasi
tidak
pembangunannya berjalan
searah
sehingga dengan
pembangunan yang dilaksanakan pada desa-desa setempat yang berada dalam kawasan transmigrasi tersebut. Pada dasarnya, aplikasi konsep pusat pertumbuhan dalam pembangunan wilayah tidak akan dapat menghasilkan ekspansi yang besar ke daerah sekitarnya
273
jika tidak terdapat interaksi yang kuat antara core (pusat pertumbuhan) dengan daerah tepi (periphery). Oleh karenanya dalam pembangunan pusat pertumbuhan harus diikuti dengan kebijakan/intervensi pemerintah untuk menumbuhkan interaksi antara core dan periphery ini. Selain itu, dalam kasus pembangunan transmigrasi yang salah satu tujuannya adalah memperkukuh persatuan kesatuan bangsa, maka interaksi yang dibangun tidak hanya mencakup interaksi demand-supply secara ekonomi, tetapi juga harus melibatkan interaksi sosial antara permukiman transmigrasi (penduduk pendatang) dengan desa setempat. Interaksi sosial yang kuat diharapkan dapat meminimalkan potensi konflik yang mungkin terjadi antara pendatang dengan budaya yang berbeda terhadap penduduk setempat. Interaksi sosial juga akan menjadi faktor pendukung ke pencapaian interaksi demand-supply yang kuat. Potensi konflik ini juga dapat diminimalkan dengan menempatkan pembangunan transmigrasi sebagai bagian dari pembangunan daerah dan tidak ekslusif hanya sebagai bentuk pembangunan kawasan transmigrasi. Dengan menempatkan pembangunan kawasan transmigrasi sebagai bentuk pembangunan daerah juga memungkinkan untuk meningkatkan koordinasi lembaga terkait dalam pelaksanaan pembangunannya. Berdasarkan hal tersebut, maka pola pembangunan kawasan transmigrasi ke depan yang sesuai adalah pembangunan transmigrasi dengan pendekatan kutub pertumbuhan yang terintegrasi secara sosial-fungsional-spasial. Sebagaimana konsep pembangunan kawasan transmigrasi yang sudah berjalan saat ini, konsep baru ini juga menggunakan pendekatan struktur wilayah pengembangan berdasarkan satuan wilayah ekonomi. Perbedaan yang mendasar adalah terletak pada unit permukiman (desa) yang tercakup di dalamnya. Satuan Kawasan Permukiman (SKP) dalam konsep ini bisa terdiri dari gabungan hanya satuan permukiman transmigrasi (SP/PTB), tetapi bisa juga terdiri dari campuran dari satuan
permukiman
transmigrasi (SP/PTB),
desa-desa
eks
permukiman
transmigrasi (PTA), desa setempat (PDS) dan sisipan serta bisa juga terdiri gabungan hanya desa-desa setempat (PDS). Oleh karenanya, konsep ini tidak menggunakan
istilah
Lokasi
Permukiman
Transmigrasi
menggunakan istilah SKP (satuan kawasan permukiman).
(LPT)
tetapi
274
WPD SKP
SKP SP/PTB 300-500KK
PDS 300-500KK
PTA 300-500KK
Sisipan 300-500KK
9000 KK 36000 jiwa
PDS 300-500 KK
PDS 300-500 KK
PDS 300-500KK
PDS 300-500 KK
SKP SP/PTB 300-500 KK
SP/PTB 300-500KK
SP/PTB 300-500 KK
SP/PTB 300-500 KK
Gambar 30 Konsep baru pembangunan kawasan transmigrasi dengan pendekatan kutub pertumbuhan yang terintegrasi secara sosial-fungsionalspasial. .Keterangan: SP=Satuan Permukiman; PTB=Permukiman Transmigrasi Baru; PTA = Permukiman Transmigrasi yang Sudah Ada (eks unit permukiman transmigrasi); PDS = Permukiman Desa Setempat; Sisipan = Transmigrasi sisipan ke PTA atau PDS; WPD = Wilayah Pengembangan Desa = Desa utama atau Pusat kawasan (satu dalam satu kawasan)
Unit-unit desa pada masing-masing SKP saling berinteraksi secara sosialfungsional-spasial. Pengembangan interaksi secara sosial dilakukan melalui pendekatan pengembangan modal sosial dalam masyarakat khususnya dalam konteks bridging social capital. Pengembangan interaksi fungsional dilakukan melalui pembangunan infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan yang terkait secara fungsional antardesa. Pengembangan interaksi spasial dilakukan melalui pengembangan keterkaitan fisik yang kuat antardesa.
275
Pentingnya
pengembangan
modal
sosial,
infrastruktur,
fasilitas,
kelembagaan dan keterkaitan fisik ini menjadi penting dalam kerangka peningkatan interaksi antara desa transmigrasi dengan desa sekitarnnya. Hal ini didasarkan dari hasil penelitian ini yang menunjukkan bahwa keseluruhan faktor tersebut di atas menjadi faktor penyebab utama rendahnya interaksi penduduk di desa transmigrasi dengan desa sekitarnya. Selanjutnya pada masing-masing SKP terdapat satu lokasi yang menjadi desa utama atau pusat kawasan. Pusat kawasan dapat dirancang untuk ditempatkan pada desa-desa setempat, desa eks transmigrasi, desa sisipan maupun permukiman transmigrasi baru (PTB). Dengan kata lain, pusat kawasan tidak hanya harus ditempatkan pada desa-desa transmigrasi. Pusat kawasan yang ada pada suatu SKP juga memiliki keterkaitan dengan pusat kawasan pada SKP yang lain baik secara sosial-fungsional-spasial. Gabungan dari beberapa SKP membentuk Wilayah Pengembangan Desa (WPD) dan gabungan dari beberapa WPD akan membentuk Wilayah Pengembangan Parsial (WPP). Kerangka perencanaan dan penetapan WPD dan WPP harus diletakkan dalam kerangka pengembangan wilayah di daerah secara utuh. Oleh karenanya pembangunan transmigrasi dalam konsep menjadi satu bagian yang tidak ekslusif dan tidak terpisah dengan pembangunan kewilayahan di daerah dengan memperhatikan rencana tata ruang wilayah yang sudah ada.
276
IX. KESIMPULAN DAN SARAN
9.1 Kesimpulan Dari pembahasan pada bab-bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Perkembangan desa-desa eks transmigrasi dapat ditentukan berdasarkan kesejahteraan penduduk, aktivitas non-pertanian dan aktivitas pertanian. Ketiga indikator tersebut pada dasarnya tidak hanya bermanfaat untuk desadesa eks transmigrasi, tetapi juga dapat digunakan untuk menentukan tahapan perkembangan desa secara umum. Perkembangan aktivitas non pertanian, baik pada sektor sekunder (industri) maupun sektor tersier (jasa) tidak identik dengan kemunduran aktivitas pertanian. Fakta dari penelitian ini menemukan bahwa berkembangnya aktivitas pertanian semakin mendorong berkembangnya aktivitas non pertanian, yang sekaligus juga meningkatkan pendapatan masyarakat perdesaan. Berkembangnya industri-industri di perdesaan merupakan faktor penting untuk
menjamin
keberlangsungan
kesejahteraan
masyarakat.
Industri
perdesaan selain meningkatkan permintaan dan harga jual produk-produk pertanian juga mampu meningkatkan produktivitas pertanian melalui penyerapan kelebihan tenaga kerja di bidang pertanian. Selanjutnya, bersamaan dengan berkembangnya industri juga akan berkembang aktivitasaktivitas perdagangan dan jasa lainnya sebagai aktivitas pendukung tumbuhnya aktivitas industri. Terkait dengan aktivitas non-pertanian ini, selain peningkatan dalam jumlah unit usaha industri, perdagangan dan jasa, bersamaan dengan peningkatan stadia perkembangan desa juga terjadi pergeseran dalam aktivitas nonpertanian tersebut. Jenis-jenis usaha industri, perdagangan dan jasa berkembang dari pemenuhan untuk kebutuhan-kebutuhan primer ke arah pemenuhan kebutuhan-kebutuhan sekunder dan tersier penduduk. 2. Perkembangan desa-desa eks transmigrasi ini ditentukan oleh jarak lokasi permukiman terhadap pusat-pusat kegiatan, sarana-prasarana (terutama sarana
278
jalan), komoditas utama transmigrasi, karakteristik transmigran (dari proses seleksi transmigran), lamanya penempatan transmigran, serta faktor-faktor kinerja makro wilayah kabupaten. Desa-desa yang berjarak relatif jauh dari pusat kegiatan ekonomi (dalam hal ini ibu kota kabupaten) serta memiliki kualitas jalan yang kurang memadai cenderung memiliki perkembangan yang lebih lambat (berada pada stadia rendah). Ini menunjukkan bahwa lokasi-lokasi transmigrasi dengan tingkat keterkaitan yang kuat dengan pusat pertumbuhan/kegiatan (yang secara umum digambarkan oleh jarak yang relatif dekat) dan memiliki tingkat kemudahan (aksesibilitas) tinggi menuju lokasi desa akan memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai perkembangan yang tinggi. Komoditi tanaman utama yang dikembangkan di desa juga menunjukkan pengaruh terhadap perkembangan desa. Desa dengan komoditi tanaman pangan cenderung memiliki perkembangan yang lambat dibandingkan tanaman perkebunan (karet dan kelapa sawit). Dibandingkan dengan tanaman perkebunan, hasil-hasil pertanian tanaman pangan memiliki nilai jual produk yang relatif kurang menguntungkan dibandingkan tanaman perkebunan (karet dan kelapa sawit). Ini menyebabkan tingkat kesejahteraan masyarakat di desa-desa dengan komoditi tanaman pangan juga relatif lebih rendah dibandingkan
dengan desa-desa dengan
komoditi tanaman perkebunan. Kondisi ini juga diperburuk oleh kenyataaan tingkat perawatan sistem pengairan (khususnya pada tanaman padi) serta banyaknya lokasi desa-desa tanaman pangan yang dilanda banjir (sebagian desa-desa ini berada di dataran rendah). Desa-desa dengan penempatan yang lebih lama memiliki peluang yang lebih besar untuk mencapai stadia tertinggi. Lama penempatan ini terkait dengan proses penyesuaian transmigran terhadap kondisi lingkungan sekitarnya serta kemampuan untuk menemukan peluang untuk peningkatan kesejahteraan. Semakin lama transmigrasn di lokasi, maka semakin besar proses penyesuaian diri yang dilakukannya. Berdasarkan daerah asal terlihat bahwa kinerja transmigran dari Jawa Tengah lebih baik dibandingkan daerah-daerah lainnya. Hal ini terlihat dari kenyataan
279
bahwa desa-desa eks transmigrasi dengan dominasi daerah asal Jawa Tengah cenderung memiliki perkembangan yang lebih baik. Selanjutnya,
kinerja
makro
wilayah
juga
menjadi
faktor
penentu
perkembangan desa-desa eks transmigrasi. Semakin banyak perusahaan/usaha yang berkembang di kabupaten lokasi desa eks transmigrasi meningkatkan peluang desa-desa tersebut untuk mencapai perkembangan yang lebih baik. Keberadaan perusahaan/usaha di suatu daerah pada dasarnya terkait dengan peluang usaha dan bekerja yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk. Semakin banyak perusahaan/usaha pada semakin besar peluang penduduk untuk mendapatkan pekerjaan dan semakin tinggi kesejahteraan mereka. 3. Pada tingkat individu/keluarga pencapaian kesejahteraan yang lebih baik pada transmigran dipengaruhi oleh budaya (etos) kerja, pendidikan, beban tanggungan keluarga dan kemampuan mempertahankan kepemilikan lahan. Etos kerja yang lebih tinggi pada transmigran asal Jawa menyebabkan mereka lebih sejahtera dibandingkan transmigran lokal (asal Jambi). Bersamaan dengan etos kerja ini, pendidikan transmigran juga mempengaruhi pencapaian perkembangan stadia tertinggi. Desa-desa stadia tinggi cenderung memiliki kepala keluarga dengan pendidikan yang lebih baik dibandingkan desa-desa stadia rendah. Dari struktur keluarga menunjukkan adanya pengaruh beban tanggungan keluarga terhadap kesejahteraan transmigran sekaligus pencapaian stadia desa. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa desa-desa stadia tinggi umumnya memiliki angka beban tanggungan keluarga yang lebih rendah dibandingkan desa-desa stadia rendah. Faktor lainnya yang terkait dengan kesejahteraan transmigran adalah kemampuan dalam mempertahankan kepemilikan lahan. Desa-desa stadia tinggi cenderung memiliki proporsi keluarga dengan kepemilikan lahan yang lebih besar dibandingkan desa-desa dengan stadia rendah. 4. Hasil penelitian menemukan rendahnya interaksi desa-desa eks transmigrasi dengan desa non-transmigrasi. Rendahnya interaksi ini disebabkan tidak terbangunnya berbagai fasilitas dan tidak tumbuhnya aktivitas produksi di desa-desa sekitar permukiman transmigrasi yang terkait secara fungsional
280
(dalam bentuk supply-demand) dengan desa-desa transmigrasi. Di sisi lain, relatif jauhnya jarak permukiman transmigrasi dan tidak terbangunnya sistem transportasi yang menghubungkan desa transmigrasi dengan desa sekitarnya menjadi faktor yang menghambat terjadinya interaksi. Selain faktor tersebut, rendahnya interaksi antara desa-desa eks transmigrasi dengan desa sekitarnya juga disebabkan masih lemahnya upaya-upaya pengembangan modal sosial pada tingkat komunitas, dimana salah satu ciri pentingnya adalah keterkaitan dalam suatu jaringan Lemahnya pengembangan modal sosial ini khususnya dalam konteks bridging social capital terlihat dari fakta di desa penelitian tidak terdapatnya forumforum ataupun lembaga/perkumpulan/organisasi yang dikembangkan yang melibatkan secara bersama-sama masyarakat di desa transmigrasi dan masyarakat di sekitar desa transmigrasi. Selain itu, pada tahap pembinaan (sub-tahap penyesuaian), perlakuan hanya diberikan kepada transmigran untuk bisa beradaptasi dengan lingkungannya baik secara sosial ekonomi, budaya dan fisik, dan tidak ada perlakuan yang sama kepada masyarakat di sekitar desa
transmigrasi.
Ini
menyebabkan
rendahnya
proses
penyesuaian
masyarakat di sekitar desa transmigrasi terhadap budaya baru dari pendatang dan pada tahap selanjutnya tidak berkembangnya rasa percaya antar penduduk setempat dengan transmigran pendatang. 9.2 Saran Kebijakan Dari kesimpulan yang diberikan, terdapat dua saran kebijakan yang dapat dikembangkan dalam pembangunan perdesaan secara umum dan pengembangan transmigrasi ke depan yaitu: 1. Pentingnya industri perdesaan dalam meningkatkan aktivitas dan produktivitas pertanian
serta
keberlangsungan
kesejahteraan
masyarakat
perdesaan
menunjukkan indikasi perlunya intervensi faktor eksternal baik dari pihak pemerintah maupun pihak swasta dalam mengembangkan industri perdesaan. Intervensi tersebut dapat berupa pengembangan keterampilan, bantuan permodalan, maupun penciptaan iklim investasi agar industri perdesaan dapat berkembang dengan baik. Selain itu, perlu dikembangkan kebijakan dalam
281
pengintegrasian industri perdesaan dengan industri perkotaan dalam bentuk penyusunan jalur kesinambungan atau processing berkesinambungan. 2. Dalam pengembangan transmigrasi sebagai program pembangunan perdesaan dan pembangunan daerah, penelitian ini menyarankan pola pembangunan kawasan transmigrasi dengan pendekatan kutub pertumbuhan yang terintegrasi secara
sosial-fungsional-spasial.
Pengembangan
interaksi secara sosial
dilakukan melalui pendekatan pengembangan modal sosial dalam masyarakat khususnya dalam konteks bridging social capital. Pengembangan interaksi fungsional dilakukan melalui pembangunan infrastruktur, fasilitas dan kelembagaan yang terkait secara fungsional antardesa. Pengembangan interaksi spasial dilakukan melalui pengembangan keterkaitan fisik yang kuat antardesa. Kerangka perencanaan dan penetapan kawasan transmigrasi harus diletakkan dalam kerangka pengembangan wilayah di daerah secara utuh. Oleh karenanya pembangunan transmigrasi dalam konsep menjadi satu bagian yang tidak ekslusif dan tidak terpisah dengan pembangunan kewilayahan di daerah. Untuk itu diperlukan perkuatan koordinasi antarinstansi terkait dalam perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kawasan transmigrasi tersebut. 9.3 Saran Penelitian Lanjutan 1. Model pengukuran perkembangan desa ini dapat diterapkan untuk melihat tahapan perkembangan desa secara umum. Oleh karenanya, disarankan untuk penelitian lanjutan adalah menggunakan peubah-peubah yang digunakan pada penelitian ini pada desa-desa non-transmigrasi agar dapat dibandingkan perbedaaan/persamaan proses yang terjadi dengan desa-desa eks transmigrasi. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan terkait dengan unsur-unsur potensial yang dapat digunakan untuk mengembangkan modal sosial antara permukiman transmigrasi dengan desa sekitarnya, khususnya pada aspek interaksi.
282
DAFTAR PUSTAKA Abdullah P, Alisjahbana A, Effend N, Boediono. 2002. Daya Saing Daerah: Konsep dan Pengukurannya di Indonesia. Yogyakarta: BPFE-UGM. Adiatmojo GD. 2008. Model Kebijakan Pengembangan Kawasan Transmigrasi Berkelanjutan di Lahan Kering (Studi Kasus di Kawasan Transmigrasi Kaliorang Kabupaten Kutai Timur [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Adisasmita R. 2006. Membangun Desa Partisipatif. Yogyakarta: Graha Ilmu. Adisasmita R. 2008. Pengembangan Wilayah: Konsep dan Teori. Jakarta: Graha Ilmu. Alkadri. 2001. Manajemen Teknologi Untuk Pengembangan Wilayah. Jakarta: BPPT. Alkadri, Muchdie, Suhandojo. 2001. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah: Sumberdaya Alam, Sumber daya Manusia dan Teknologi. Jakarta: BPPT Ahmad R. et al. 1998. Membangun Desa-Desa Transmigrasi (Membangun UPT Model). Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Departemen Transmigrasi dan Permukiman Perambah Hutan RI. Ananta A. 1986. Transmigrasi: Suatu Analisis Ekonomi. Di dalam: Swasono SE, Singarimbun M, editor. Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1904 – 1985. Jakarta: UI-Press Anharudin, Dewi RN, Anggraini R. 2006 Membidik Arah Kebijakan Transmigrasi Pasca Reformasi. Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans. Anharudin, Priyono, Susilo SRT. 2008. Transmigrasi di Era Kabinet Indonesia Bersatu. Jakarta: Bangkit Daya Insana Anwar A. 2005. Peranan Perencanaan Inter-Regional yang Mendukung Pertumbuhan Ekonomi. Di dalam Ahmad WM, editor. Ketimpangan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Bogor: P4W Press. [Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2003. Model Pengelolaan dan Pengembangan Keterkaitan Program Dalam Pengembangan Ekonomi Daerah Berbasis Kawasan Andalan. Jakarta: Bappenas. [Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2005. Laporan Hasil Evaluasi Program Pengembangan Wilayah Strategis dan Cepat Tumbuh (Sub Program Transmigrasi). Jakarta: Bappenas. [Bappenas] Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional. 2006. Keterpaduan Kebijakan Antar Sektor dan Antar Daerah dalam Peningkatan Daya Saing Kawasan Andalan dan Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal. Jakarta: Bappenas.
284
Belke A, Heine J. 2004. Specialisation Pattern and the Synchronicity of Regional Employment Cycles in Europe. Discussion Paper No.1439: Institute for the Study of Labor. IZA . Bonn: Institute for the Study of Labor. IZA Bintarto. 1983. Interaksi Desa-Kota dan Permasalahannya. Jakarta: Ghalia Indonesia Blair JP. 1991. Urban and Regional Economics. Boston: Richard D. Irwin, Inc. Boar BH. 1993. The Art of Strategic Planning for Information Technology, Crafting Strategy for The 90s. New York. John Wiley & Sons, Inc. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2005. Identifikasi dan Penentuan Desa Tertinggal Tahun 2002. Jakarta: Badan Pusat Statistik [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Perkembangan Beberapa Indikator Utama Sosial Ekonomi Indonesia. Jakarta: BPS. [BPS Jambi] Badan Pusat Statistik Provinsi Jambi. 2011. Jambi dalam Angka 2011. Jambi: BPS Bradley R, Gans JS. 1998. Growth in Australian Cities. Economic Record 74: 266-278 Budiharsono S. 2001. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lautan. Jakarta: Pradnya Paramita. Collier WL, Santoso K, Soentoro, Wibowo R. 1996. Pendekatan Baru dalam Pembangunan Perdesaan di Jawa: Kajian Perdesaan Selama Dua Puluh Lima Tahun. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Darnela, L. 2007. Sustainable Development: Paradigma Baru dalam Kebijakan Bank Dunia. SOSIO-RELIGIA 6 (5): 1-21 Deni R, Djumantri M. 2002. Pergeseran Pendekatan dalam Perencanaan Pengembangan Wilayah/Kawasan di Indonesia. Di dalam: Winarso H et al. editor. Pemikiran dan Praktek Perencanaan dalam era Transformasi di Indonesia. Bandung. Departemen Teknik Planologi ITB. [Deptrans & PPH] Departeman Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan. 1999. Visi, Misi, dan Paradigma Baru Pembangunan Transmigrasi. Seminar Ketransmigrasian. Bandung. PPK-UNPAD. Direktorat Pengembangan Kawasan Ditjen Penataan Ruang Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. 2002. Pendekatan dan Program Pengembangan Wilayah. Bulletin Kawasan 2. [Disosnakertrans Pemprov Jambi] Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pemerintah Provinsi Jambi. 2010. Buku Selayang Pandang Penyelenggaraan Transmigrasi Provinsi Jambi. Jambi: Disosnakertans Pemprov Jambi Dixon JA. 1980. Biaya-biaya Pemukiman Atas Areal Tanah dan Alternatifalternatifnya. Prisma 8(5): 68-83
285
Djojoprapto T. 1995. Perkembangan penyelenggaraan transmigrasi. Di dalam Utomo M, Ahmad R. editor. 90 tahun Kolonisasi, 45 tahun Transmigrasi: Redistribusi penduduk di Indonesia. Jakarta: Penebar Swadaya. Douglass M. 1998. A Regional Network Strategy for Reciprocal Rural-Urban Linkages: An Agenda for Policy Research with Reference to Indonesia. Third World Planning Review 20(1): 1-22 Downey W, Steven PE. 1987. Agribusiness Management. New York. Mc Graw Hill Book Company. Edillon RG. 2008. Social Protection to Secure the Right to Food of Everi Filipino. Manila: FAO Fiat Panis. Esman MJ, Uphoff NT. 1988. Local Organizations: Intermediaries in Rural Development, Itacha dan London: Cornell University Press Fearnside PM. 1997. Transmigration in Indonesia: Lesson from its Enviromental and Social Impacts. Enviromental Management 21(4): 553-570 Fowler A. 1992. Prioritizing Institutional Development: A New Role for NGO. Centres for Study and Development. Sustainable Agriculture Programe. London: International Institute for Environment Environment and Development. Freshwater D. 2000. The Promotion of Employment and Economic Development. Makalah di presentasikan dalam Rural21. Postdam, Germany: Juni 4 – 8, 2000 Fu CL. 1981. Rural-Urban Relations and Regional Development. Singapore: Huntsmen Offset Printing Pte Ltd. Ghozali I. 2009. Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Semarang: BP Undip. Hadjisarosa P. 1988. Regional Development. Di dalam Birowo et al. editor. Settlement Concept As An Integrated Part of Regional and Rural Development. Jakarta: Mercu Buana University. Hadjisarosa P. 1982. Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia. Jakarta: BP PU. Hafsah MJ. 2006. Pembangunan Perdesaan. Di dalam: Rustiadi E, Hadi S, Ahmad WM, editor. Kawasan Agropolitan, Konsep Pembangunan Desa-Kota Berimbang. Bogor: Crestpent Press. hlm. 68-72. Handayani SA. 1994. Transmigrasi di Indonesia dalam Perspektif Sejarah. Jember: Universitas Jember. Hansen GE. 1981. Agricultural and Rural Development in Indonesia. Colorado: Wetview Press. Harmantyo D. 2007. Pemekaran Daerah dan Konflik Keruangan: Kebijakan Otonomi Daerah dan Implementasinya di Indonesia. Makara Sains 11 (1): 16-22
286
Haruo N. 2000. Regional Development in Third World Countries: Paradigms and Operational Principles. Tokyo: The International Development Journal Co.Ltd. Haryati, Soegiharto S, Priyono, Wibowo DP, Purbandini L, Warsono SH. 2006. Studi Pembangunan Pusat Pertumbuhan. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Hayami Y, Kikuchi M. 1987. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Terjemahan dari: Asian Village Economy at the Crossroads: An Economic Approach to Institutional Change Heeren HJ. 1979. Transmigrasi di Indonesia. Jakarta: Gramedia. Hilhorst JGM. 1971. Regional Planning: A System Approach. Rotterdam: Rotterdam University Press. Horton PB, Hunt CL. 1982. Sociology. New York: Mc. Graw Hill Jamal E. 2009. Membangun Momentum Baru Pembangunan Perdesaan di Indonesia. Jurnal Litbang Pertanian 28(1):7-13 Jayadinata JT. 1986. Tata Guna Tanah dalam Perencanaan Perdesaan, Perkotaan dan Wilayah. Bandung: Penerbit ITB. Juanda B. 2009. Ekonometrika: Pemodelan dan Pendugaan. Bogor: IPB Press. Junaidi, Hardiani. 2009. Dasar-Dasar Teori Ekonomi Kependudukan. Bogor: Hamada Prima Kemenakertrans. 2011. UPT Menjadi Pusat Pemerintahan 2010. http://www.depnakertrans.go.id/pusdatin.html,110,16,ptrans [5 Januari 2011] Kemenakertrans. 2012. UPT Penempatan Transmigrasi dari Era Kolonisasi s/d Tahun 2011. http://www.depnakertrans.go.id/pusdatin.html,8,352,ptrans [24 Januari 2012] [Kemendagri] Kementerian Dalam Negeri. 2007. Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 12 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan. Jakarta: Kemendagri Koestoer, Hendro R, Yanti. 1995. Perspektif Lingkungan Desa Kota: Teori dan Kasus. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia Krugman P, Venables AJ. 1995. Globalization and Ineequality of Nations. Quarterly Journal of Economics 60: 857-880 Krugman P. 1998. The Role of Geography in Development. Paper prepared for the Annual World Bank Conference on Development Economics. Washington D.C. April 20-21 1998 Lee ES. 1992. Teori Migrasi. Yogyakarta: PPK-UGM Mac.Kinnon D. 2008. Evolution, Path Depedence and Economic Geography. Geography Compass 2: 1449-1463
287
Malmberg A, Maskell P. 1997. Towards an Explanation of Industry Agglomeraion and Regional Spezialitation. European Planning Studies 5(1): 25-41. Manuwiyoto M. 2008. Transformasi Paradigma Baru Pembangunan Transmigrasi. Jakarta: Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Marr C. 1990. Uprooting People, Destroying Cultures, Indonesia's Social Transmigration Program. Multinational Monitor Oktober 1990: 12-15. Massey D. 1984. Spatial Division of Labour: Social Structure and The Geography of Production. London: Hogarth McCullagh P, Nelder JA. 1992. Generalized Linear Models. London. Chapman & Hall. Mercado RG. 2002. Regional Development in The Philippine: A Review of Experience, State of The Art and Agenda for Research and Action. Discussion Paper Series. Phillipine: Institute for Development Studies. Midgley J, Tracy MB, Livermore M. 2000. Introduction Social Policy and Social Welfare. Di dalam: Midgley J, Tracy MB, Livermore M, editor. The Handbook of Social Policy. London: Sage Mills Edwin S, Hamilton Bruce W. 1989. Urban Economic. 4th edition. New York: Harper Collin. Misra RP, Bhoosan BS. 1981. Rural Development: National Policies and Experiences. Nagoya: UNCRD Monbiot G. 1989. Poisoned Arrows. London: Michael Joseph. Montgomery MR. 1988. How Large is too Large? Implication of the City Size Literature for Population Policy and Research, Economic Development and Cultural Change 36: 691-720. Mosher AT. 1974. Creating A Progressive Rural Structure. New York: Agriculture Development Council Inc. Mulyanto 2007. Pengembangan dan Pengukuran Indikator Pembangunan Daerah di Era Otonomi dan Desentralisasi. Region 2(1). 53-66 Munasinghe M. 1993. Enviromental Economics and Sustainable Development. World Bank Enviromental Paper No. 3. The World Bank. Washington DC, Washington Murdoch J. 2000. Network–a new paradigm of rural development. Journal of Rural Studies 16: 407-419. Najiyati S. 2003. Peluang Pengembangan Koorporasi Usaha Pertanian di Permukiman Transmigrasi Pola Tanaman Pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian 1: 37 - 54 Najiyati S, Purbandini L, Warsono SH, Manurung NP, Yodrio, Saidin S, Ernawati L, Ratim, Slamet. 2005, Studi Pengembangan Kebijakan Perluasan Kesempatan Kerja di Kawasan Transmigran. Jakarta: Puslitbang Ketransmigrasian.
288
Najiyati S et al. 2006. Studi Kontribusi Transmigrasi Terhadap Ketahanan Pangan. Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans. Najiyati S. 2008. Uji Coba Penghitungan Indeks Pembangunan Transmigrasi (IPT). Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans. Najiyati S, Wasono SH, Manurung L, Anharudin, Kuswandari D. 2008. Transmigrasi dan Pengembangan Masyarakat Desa Sekitar. Jakarta: Bangkit Daya Insana. Nasoetion LI, Tadjudin D. 1985. Teori Titik Balik Evaluasi Menuju Adaptasi Perencanaan Pembangunan dengan Pendekatan dari Bawah. Bogor: Zona HIPIPWI. Ndraha T. 1984. Dimensi-Dimensi Pemerintahan Desa. Jakarta: Bina Aksara Nugroho I, Dahuri R. 2004. Pembangunan Wilayah, Perspektif Ekonomi, Sosial, dan Lingkungan. Jakarta: LP3ES. O'Hara PA. 2002. The Contemporary Relevance of Thorstein Veblen's Institutional-Evolutionary Political Economy. History of Economics Review - Electronic Archive 35: 78-103 O’ Sullivan A 2009. Urban Economic. 7th ed. New York: McGraw-Hill Irwin. [Dephut] Departemen Kehutanan. 1985. A Review of Policies Affecting Sustainable Development of Forest Lands in Indonesia. Di dalam: Dephut editor. Forest Policies in Indonesia: The Sustainable Development of Forest Lands. Jakarta: Departemen Kehutanan Poernomosidhi H. 1981. Konsepsi Dasar Pengembangan Wilayah di Indonesia. Makalah dalam Pertemuan Antara Ilmuwan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Jakarta: 24 Juni 1981 Prabowo D. 1995. Diversifikasi Perdesaan. Jakarta: UI-Press. Pradhan PK. 2003. Manual for Urban Rural Linkage and Rural Development Analysis. Kirtipur Kathmandu: New Hira Books Enterprises. Pranadji T. 2002. Reformasi Aspek Sosio-Budaya Untuk Kemandirian Perekonomian Perdesaan. Seminar Nasional: Menggalang Masyarakat Indonesia Baru Yang Berkemanusiaan. Makalah. Ikatan Sosiologi Indonesia (ISI) Tanggal 28-29 Agustus 2002 di Bogor-Jawa Barat. Pranoto S. 2005. Pembangunan Perdesaan Berkelanjutan Melalui Model Pengembangan Agropolitan [Disertasi]. Bogor: Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Priyono et al. 2002. Studi Manajemen Pemberdayaan Kawasan Transmigrasi Umum Tanaman Pangan Lahan Kering dan Lahan Basah. Jakarta: Puslitbang Depnakertrans. Priyono dan Fatimah S. 2010. Konsep Kawasan Transmigrasi Lokasi Pemukiman Transmigrasi (LPT) dan Wilayah Pengembangan Transmigrasi (WPT) sebagai Alat Pembangunan Daerah. http://www.depnakertrans.go.id/ litbang.html,19,trans [14 Januari 2010]
289
[Pusdatin Trans, IPB] Pusat Data dan Informasi Transmigrasi, Institut Pertanian Bogor. 1998/1999. Pengkajian Informasi dan Analisis Tingkat Perkembangan UPT dan Tingkat Kesejahteraan Transmigran. Jakarta: Pusdatin Transmigrasi. [Puslitbangtrans] Pusat Penelitian dan Pengembangan Ketransmigrasian Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2004. Telaahan Kesempatan Kerja di Permukiman Transmigrasi. Jakarta: Puslitbang Depnakertrans. [RI] Republik Indonesia. 1958. Peraturan Pemerintah No. 56 Tahun 1958 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaran Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara. [RI] Republik Indonesia. 1959. Peraturan Pemerintah No. 13 Tahun 1959 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara. [RI] Republik Indonesia. 1960. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 29 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Penyelenggaraan Transmigrasi [RI] Republik Indonesia. 1960. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agragia. Jakarta: Sekretariat Negara. [RI] Republik Indonesia. 1960. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Jakarta: Sekretariat Negara. [RI] Republik Indonesia.1965. Peraturan Presiden No. 5 Tahun 1965 tentang Gerakan Nasional Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara. [RI] Republik Indonesia. 1999. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara. [RI] Republik Indonesia. 1972.Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1972 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Transmigrasi. Jakarta: Sekretariat Negara. [RI] Republik Indonesia. 1997. Undang-undang No. 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Jakarta: Sekretariat Negara. [RI] Republik Indonesia. 2004. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Jakarta: Sekretariat Negara. [RI] Republik Indonesia. 2005. Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 2005 tentang Desa. Jakarta: Sekretariat Negara. [RI] Republik Indonesia. 2007. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Jakarta: Sekretariat Negara. [RI] Republik Indonesia. 2009. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1997 tentang Ketransmigrasian. Jakarta: Sekretariat Negara. Ramadhan KH, Jabbar H, Ahmad R. 1993. Transmigrasi Harapan dan Tantangan. Jakarta: Departemen Transmigrasi Riyadi DS. 2002. Pengembangan Wilayah: Teori dan Konsep Dasar. Di dalam : Ambardi UM, Prihawantoro S, editor. Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah: Kajian Konsep dan Aplikasi. Jakarta: Pusat Pengkajian Kebijakan Teknologi Pengembangan Wilayah BPPT.
290
Rondinelli DA. 1985. Applied Methods of Regional Analysis – The Spatial Dimention of Development Policy. London: Westview Press, Inc. Rosenfeld SA. 2002. Creating Smart System: A Guide Cluster Strategies in Less Favoured Regions. Carrboro, North Carolina: The Directorate General For Regional Policy and Cohesion of the European Commission. Rustiadi E, Hadi S. 2004. Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Pembangunan Berimbang. Makalah Workshop dan Seminar Nasional Pengembangan Agropolitan sebagai Strategi Pembangunan Perdesaan dan Wilayah secara Berimbang. Bogor: P4W Rustiadi E, Saefulhakim S, Panuju DR. 2009. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Jakarta: Crestpent Press dan Yayasan Obor Indonesia. Rustiadi E. 2011. Penataan Ruang dan Penguatan Infrastruktur Desa dalam Mendukung Konsep Agropolitan. Di dalam: Satria A, Rustiadi E, Purnomo AM, editor. Menuju Desa 2030. Bogor: Crestpent Press. hlm 219-246. Ruswana E, Setiabudhi A, Widodo WD, Susanto H, Nindyantoro, Suryadi Y, Susiyanto, Sahanaya YD, Heldi Y. 1993. Pekerjaan Penyusunan Rencana Umum Satuan Kawasan Pengembangan (RUSKP) Lokasi Jujuhan I, II, III – WPP I/SKP-C Provinsi Jambi. Jakata: Direktorat Bina Program Direktorat Jenderal Pengerahan dan Pembinaan Departemen Transmigrasi Ruttan VW, Hayami Y. 1984. Toward a Theory of Induced Institutional Innovation. Journal of Development Studies (20): 203-222 Saefulhakim et al. 2002. Studi Penyusunan Wilayah Pengembangan Strategis (Strategic Development Regions). Bogor: IPB dan Bapenas. Safrial. 2004. Pengaruh Faktor Internal terhadap Kondisi Ekonomi dan Sosial Budaya Transmigran Lokal non Lokal Pada Proyek Transmigrasi Perkebunan Sawit di Provinsi Jambi [disertasi]. Bandung: Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran. Saptana, Pranadji T, Syahyuti, Elizabeth R. 2004. Transformasi Kelembagaan Guna Memperkuat Ekonomi Rakyat di Perdesaan: Kasus di Kabupaten Tabanan, Bali. SOCA 4 (1): 10 -26 Saleh AK. 1982. Peranan Transmigrasi dalam Pembangunan Kabupaten Luwu Propinsi Sulawesi Selatan [Disertasi]. Bogor: Fakultas Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Sajogyo. 1974. Modernization without Development in Rural Java. A Paper Contributed to the Study on Changes in Agrarian Structure, FAO of UN, 1972-1973. Bogor: Bogor Agricultural University. Sajogyo. 1982. Bunga Rampai Perekonomian Desa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia Saragih B. 2010. Agribisnis: Paradigma Baru Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian. Bogor: IPB Press
291
Setiawan N. 1997. Profil Kependudukan Jawa Barat 1996-1997. Jakarta: Kantor menteri Negara Kependudukan/BKKBN. Siagian T. 1995. Pendayagunaan Sistem UDKP dalam Pelaksanaan Kebijakan Bangga Suka Desa. Ditjen Pembangunan Masyarakat Desa. Jakarta: Depdagri. Siswono Y. 2003. Transmigrasi – Kebutuhan Negara Kepulauan Berpenduduk Heterogen dengan Persebaran yang Timpang. Jakarta: PT. Jurnalindo Aksara Grafika. Soegiharto S et al. 2002, Arah Kebijakan Ketransmigrasian tahun 2004-2009, Jakarta: Puslitbang Ketransmigrasian. Soegiharto S, Saidin S. 2005. Tinjauan Komparatif Pemukiman Kembali di Beberapa Negara. Jakarta: Puslitbang Ketransmigrasian. Soegiharto S. 2008. Transmigrasi: Belajar dari Kisah Sukses. Jakarta: PT. Pustaka Sinar Harapan. Soetardjo K. 1984. Desa. Jakarta: Balai Pustaka Soewandi. 1976. Respon Masyarakat Desa Terhadap Modernisasi Produksi Pertanian. Yogyakarta: The Gadjah Mada Press. Soewardi H. 2001. Etos Kerja Orang Sunda. Makalah pada Konferensi Internasional Budaya Sunda I. Bandung: 22 – 25 Agustus. Stimson RJ, Stough RR, Roberts BH. 2002. Regional Economic Development: Analysis and planning Strategy. Berlin: Springer Sumodiningrat G. 1996. Pembangunan Daerah dan Pemberdayaan Masyarakat. Jakarta: PT. Bina Rena Pariwara Surjadi. 1995. Pembangunan Masyarakat Desa. Bandung: Mandar Maju Tarigan R. 2005. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: Bumi Aksara. Tarigan H, Ariningsih E. 2007. Peluang dan Kendala Pengembangan Agroindustri Sagu di Kabupaten Jayapura. Prosiding Seminar Nasional Dinamika Pembangunan Pertanian dan Perdesaan: Mencari Alternatif Arah Pengembangan Ekonomi Rakyat. Jakarta: LIPI. 135-140 Tarigan R. 2008. Ekonomi Regional, Teori dan Aplikasi. Jakarta: Bumi Aksara. Todaro MP, Smith SC. 2008. Pembangunan Ekonomi. Jilid 1. Ed ke-9. Jakarta: Erlangga Tribudhi B, Said A. 2001. Konsep Desa Perkotaan: Keterbandingan Antar Sensus. Di dalam: Imawan W, Irawan PB, Said A, editor. Pedoman Analisis Sensus Penduduk 2000. Jakarta: BPS. Triutomo. 1999. Pengembangan Wilayah Melalui Pembentukan Kawasan Ekonomi Terpadu. Di dalam: AlKadri, editor. Tiga Pilar Pengembangan Wilayah. Jakarta: BPPT. [UN] United Nations. 2007. Indicators of Sustainable Development: Guidelines and Methodologies. Third Edition. New York: United Nations.
292
Uphoff N. 1986. Local Institutional Development: An Analytical Sourcebook with Cases. West Hartford,Connecticut: Kumarian Press. Uphoff N. 1992. Local Institutions and Participation for Sustainable Development. London: International Institute for Environment Environment and Development. Utomo M. 2005. Tinjauan Kritis Kebijakan dan Implementasi Penyelenggaraan Transmigrasi. Makalah pada semiloka Transmigrasi dan Penguatan NKRI. DPP Partai Golkar Korbid Nakertrans. Jakarta: 30 November 2005 [WB] World Bank. 1986. Indonesia Transmigration Sector Review. Washington D.C: World Bank [WB] World Bank. 2009. Laporan Pembangunan Dunia 2009: Menata Ulang Geografi Ekonomi. Sunardi D, Sungkono C, penerjemah. Jakarta: Penerbit Salemba Empat. Terjemahan dari: World Development Report: Reshaping Economic Geography. Wibowo DP et al. 2000. Penelitian Pemetaan Potensi Unit Permukiman Transmigrasi sebagai Pusat Pertumbuhan Ekonomi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Badan Administrasi Kependudukan dan Mobilitas Penduduk. Wibowo DP et al. 2001. Penelitian Penetapan Kriteria Keberhasilan Kawasan Transmigrasi. Jakarta: Puslitbangtrans Depnakertrans. Wibowo DP, Diana E, Delam J, Fatimah S, Susilo SRP. 2006. Studi Kebijakan Pengembangan Desa Potensial Melalui Program Transmigrasi. Jakarta: Puslitbang Ketransmigrasian Widarjono A. 2009. Ekonometrika: Pengantar dan Aplikasinya. Yogyakarta: Penerbit Ekonosia. Wijst T. 1985. Transmigration in Indonesia: An Evaluation of Population Redistribution Policy. Population Research and Policy Review 4(1): 1-30 Yudohusodo S. 1997. Refleksi Sejarah dan Arah Kebijaksanaan Transmigrasi di Masa Mendatang. Di dalam Utomo M, Ahmad R, editor. 90 Tahun Kolonisasi 45 Tahun Transmigrasi. Jakarta: Puspa Swara Yulia E. 2005. Rencana Pengembangan Kawasan Transmigrasi. Pusat Data dan Informasi Ketransmigrasian. Jakarta: Badan Penelitian, Pengembangan dan Informasi Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Yuniarti L, Wibowo DP, Priyono, Nushah. 2008. Kebijakan dan Pembangunan KTM di Kawasan Transmigrasi. Jakarta: Bangkit Daya Insana. Yunus HS. 1991. Konsepsi Wilayah dan Pewilayahan. Yogyakarta: Hardana.
LAMPIRAN
295
Lampiran 1. Histogram peubah-peubah dalam penyusunan indikator kinerja desa transmigrasi
296
Lampiran 1 lanjutan
297
Lampiran 1 lanjutan
299
Lampiran 2. Nilai Z Variabel Indikator (Tahap 1) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36
Nama Desa PINANG MERAH MAMPUN BARU LANTAK SERIBU RASAU MERANTI BUKIT BUNGKUL SIALANG TANJUNG BENUANG TAMBANG EMAS SUNGAI PUTIH BUKIT BERINGIN PAUH MENANG PEMATANG KANCIL TANAH ABANG SUNGAI SAHUT BUNGA ANTOI MUARA DELANG SINAR GADING BUNGA TANJUNG SUNGAI BULIAN SRI SEMBILAN BUKIT SUBUR RAWA JAYA SUNGAI BENTENG PAYO LEBAR BUKIT MURAU SUNGAI MERAH PERDAMAIAN BATU PUTIH PEMATANG KULIM PETIDURAN BARU GURUH BARU BUTANG BARU JATI BARU MERANTIH BARU BUKIT SUBAN
Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS -0.79 0.04 -1.03 -0.34 0.83 0.81 0.97 -0.21 1.62 0.14 -0.17 0.29 2.08 0.82 2.35 2.27 -0.19 0.32 0.52 -0.63 0.09 1.13 -0.05 0.41 1.62 -1.09 -0.91 -0.37 0.22 -0.23 0.61 0.03 -0.69 -1.21 0.18 -0.13 0.28 0.68 0.91 0.84 0.15 0.20 -0.30 0.52 -1.40 -0.80 0.83 -0.20 -0.51 -0.39 0.52 0.21 0.43 1.52 0.27 0.56 -0.06 0.32 0.08 0.60 0.86 1.02 0.83 1.13 -0.57 -0.47 -0.76 -0.72 0.38 1.49 0.52 0.55 0.01 0.28 0.30 -0.02 1.25 0.78 0.09 0.63 -0.72 -0.54 -0.95 -1.04 0.26 0.48 0.52 0.43 0.19 0.18 -0.58 -0.71 0.86 0.25 0.70 0.88 0.67 -0.02 -0.54 1.04 -1.32 1.07 -0.24 0.91 -0.18 0.39 0.30 -0.22 -0.60 -0.66 0.04 0.54 -0.57 -0.99 -0.76 0.14 0.38 0.57 -0.07 0.78 0.01 0.28 -0.58 0.97 -0.66 -1.67 0.80 0.41 -0.95 0.11 -0.32 -0.11 0.06 0.79 -0.92 0.84 0.46 0.02 -0.17 0.74 1.62 0.67 1.54 1.34 -0.42 1.93 -0.57 -0.44 -1.32 0.83 0.11 0.46 -0.15 -1.09 -1.58 -0.39 -0.61 0.04 0.31 0.67 -0.51 -1.27 -0.68 0.82 -1.32 1.09 1.68 1.06 -0.06 0.32 -0.17 -0.72 -1.40 -0.16 0.06 -0.38 -0.24 0.61 -0.36 -1.59 0.63 0.82 -0.46 -0.34 -0.34 0.48 1.70 0.62 2.26 1.59 2.36 2.79 1.03 -1.00 1.24 -0.01 0.69 0.64 -1.18 0.55 -0.42 0.53 0.41 0.50 -1.40 0.07 -0.71 -0.99 -0.72 0.74 0.15 -1.00 0.26 0.17 0.06 -0.19 0.19 0.18 2.06 0.64 0.28 0.35 0.98 0.02 -0.69 1.38 1.08 -0.97 0.28 0.64 0.25 0.21 0.15 0.20 2.13 0.14 0.30 -0.60 0.13 0.05 -0.95 -0.35 1.05 -0.75 0.06 0.82 -0.28 -0.16 0.46 0.02 1.32 0.47 0.66 0.82 0.94 1.16 1.41 -1.28 -0.61 -1.93 -0.03 0.93 -0.35 -0.30 0.59 -0.05 1.70 0.69 1.01 0.30 1.41 1.28 0.16 0.41 0.15 -1.00 -1.32 0.92 -0.16 -0.51 0.15 -1.09 1.70 0.63 -0.03 -0.80 -1.66 -0.92 0.00 -0.72 1.51 -0.37 0.20 0.54 0.46 -0.09 0.26 0.14 -0.17 0.14 1.52 2.49 1.92 1.61 -0.24 -1.27 -0.36 -0.13 0.63 1.57 0.65 1.06 -0.34 -1.09 -0.17 -0.24 -1.40 -0.92 -0.03 -0.40 0.41 -0.91 0.46 -0.69 -1.32 1.11 0.77 0.99 -0.96 0.86 -0.17 0.16 -0.35 -0.05 0.14 -0.56 0.24 -1.80 0.24 -0.90 0.98 -0.54 1.36 1.01 -0.80 -1.09 -0.17 1.01 1.89 0.98 2.49 2.54 -0.66 -0.66 0.21 -0.94 0.31 0.16 0.64 0.38 0.12 0.22 2.13 -0.78 -0.19 -0.15 1.11 0.55 -0.95 -0.32 -0.39 -0.20 0.06 1.19 1.18 -0.35 0.46 -1.09 0.71 1.34 -0.08 -0.38 2.31 -0.06 -0.13 1.54 0.55 -0.01 0.12 1.13 0.64 0.89 0.38 0.07 0.41 -1.35 2.16 2.35 1.31 1.01 -0.45 0.00 -0.61 -0.50 -0.03 1.39 0.95 -0.30 0.59 -1.09 -0.17 0.28 -0.84 -1.17 -0.52 -1.09 1.75 0.34 0.37 0.66 1.05 0.49 0.22 -0.47 0.05 -1.09 -0.17 0.60 -1.40 -0.37 -0.43 -1.61 -0.82 0.07 -0.05 -0.39 0.17 1.30 1.41 -1.11 0.30 -1.09 -0.17 0.36 -0.09 -0.51 -0.67 -1.34 -0.16 0.35 1.24 -0.01 0.69 -0.49 0.22 1.01 -0.42 -1.09 -0.17 0.87 -1.40 0.39 0.22 -0.75 -0.60 0.38 1.31 0.65 0.36 0.37 -1.16 0.36 0.05 -1.09 -0.44 0.77 -0.37 1.15 0.83 -0.82 -0.08 -1.77 -0.15 1.52 0.75 0.07 1.55 0.94 1.62 -1.09 0.41 -0.01 0.61 -0.28 1.18 0.84 -0.51 -1.29 -0.68 -0.61 1.15 -0.12 0.83 0.35 -0.06 -1.09 -0.17 -0.32 -0.33 -0.71 -0.54 -0.47 -1.80 -1.22 0.27 -0.87 -1.32 -0.51 1.11 -0.02 -0.83 -1.09 0.89 0.02 0.60 -0.41 1.07 -0.66 -1.80 -1.67 1.75 -1.04 0.91 -0.81 1.18 2.12 -0.71 -1.09 -0.17 -0.27 0.27 0.76 0.95 1.00 -1.80 -1.20 0.92 0.57 1.36 -1.13 1.25 0.78 1.62 -1.09 -0.91 -1.10 1.33 -0.21 -0.17 -0.24 -0.85 1.97 -0.18 0.06 -1.32 -0.01 1.57 -0.13 0.34 0.09 -0.91 0.04 -1.40 0.64 -0.59 -0.22
300
Lampiran 2. lanjutan No 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72
Nama Desa MENTAWAK BARU PEMATANG KABAU TERENTANG BARU DURIAN LUNCUK JANGGA BARU BULIAN BARU MEKAR JAYA BULIAN JAYA KEHIDUPAN BARU KARYA MUKTI BUKIT HARAPAN BELANTI JAYA TAPAH SARI BUKIT KEMUNING RAMIN MEKAR SARI PANCA MULYA SUKA MAKMUR MARGA MULYA MARGA RANTAU HARAPAN TALANG BUKIT BUKIT SUBUR TRIJAYA TANJUNG HARAPAN BERKAH SUMBER MULYA MATRA MANUNGGAL BUKIT MULYA BUKIT MAKMUR BAHAR MULYA TANJUNG MULYA BUKIT MAS SUMBER JAYA ADIPURA KENCANA BUKIT JAYA
Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS -0.30 1.96 -0.43 -1.68 0.59 0.69 1.77 2.33 -0.28 0.45 -0.91 1.64 2.22 0.78 0.82 0.41 0.43 0.89 0.49 0.17 0.41 -0.31 1.48 -0.62 -0.02 0.30 -0.17 -1.91 0.57 0.53 -1.44 -0.01 -0.45 -1.30 0.66 0.93 0.48 -0.11 -0.66 -0.42 -0.12 -1.09 1.15 0.08 -0.62 -0.47 0.05 -0.37 0.97 1.79 -0.29 -1.50 1.49 1.30 0.02 0.30 -0.39 2.12 0.89 0.12 -1.40 -0.90 0.70 0.25 2.25 -0.74 -0.84 0.02 1.03 1.19 -0.58 1.54 0.08 0.24 1.88 -0.52 0.21 -0.76 -0.18 -0.68 0.06 -1.61 0.02 0.27 0.85 -0.87 0.35 1.19 -0.63 -1.09 -0.17 -0.71 -0.08 0.20 0.48 -0.30 0.29 -1.22 2.05 2.03 1.01 -0.35 0.48 -0.14 -0.85 0.79 0.41 -1.06 0.63 0.35 0.63 0.81 0.91 1.93 -0.36 -0.13 0.63 -1.07 -0.16 -0.20 -0.34 0.48 -0.17 -0.95 0.84 -0.92 0.17 0.73 0.73 0.33 0.86 -0.32 -1.32 -0.24 -0.76 0.74 -1.23 1.05 -1.58 0.85 0.59 0.10 0.13 1.52 0.73 -0.38 0.86 1.12 -1.32 -1.48 -0.09 -1.76 -1.23 1.05 -1.58 0.50 0.23 0.10 0.54 -0.26 -0.54 1.88 -0.72 -0.66 1.12 0.13 -0.23 -0.52 -0.02 0.30 -0.44 0.72 -0.65 -1.00 -1.69 -0.18 0.43 -1.42 0.49 -0.66 1.12 -1.13 -0.16 0.46 -0.98 0.88 -0.91 0.73 -0.34 -0.73 -0.76 -0.55 0.86 -1.07 1.03 -0.18 1.42 -0.80 1.41 -0.34 -1.34 1.12 0.19 0.81 -1.40 -1.67 -0.47 -1.88 1.05 -0.09 1.26 0.02 -1.32 -0.19 0.34 -0.23 -1.49 1.23 -1.10 -1.34 -0.16 -1.67 -1.61 -1.29 1.84 1.15 -2.30 1.57 -1.32 -1.02 0.21 -1.45 -2.03 1.67 0.89 0.09 -1.40 -1.67 1.05 -0.37 -0.54 -0.43 -0.72 0.75 -1.32 -0.75 1.41 0.21 -0.02 0.30 -0.17 1.16 0.03 -0.05 -0.79 -1.09 -0.33 0.57 -0.46 -0.30 1.34 -0.92 -1.20 -1.76 -0.25 0.43 -0.17 -0.56 0.01 -0.94 0.15 -0.20 -0.10 0.99 -0.18 0.06 0.15 0.95 -0.82 -0.19 0.34 -1.09 -0.17 0.10 0.49 -0.41 1.72 0.54 -0.69 -0.17 0.15 -0.16 0.28 0.68 -1.04 -0.69 0.15 0.20 2.13 -0.67 -1.40 -0.80 -2.22 -0.86 0.67 0.65 -0.54 0.44 0.52 -0.32 -1.46 -0.47 -0.18 0.39 0.41 0.10 -0.02 0.34 -0.37 -0.01 0.26 0.24 0.27 -0.87 0.33 0.60 -1.06 -0.63 0.08 0.24 -0.91 0.52 -0.40 -0.77 -1.59 -0.22 -0.39 -0.71 0.75 -0.42 0.52 -0.44 -1.14 -1.02 -0.18 0.39 -0.17 0.45 -0.60 -0.44 -0.13 -0.08 -0.45 -0.40 -0.61 -0.50 0.48 -0.95 -1.43 0.95 -0.12 0.36 -0.17 0.09 -1.40 -1.67 -3.18 -2.61 1.65 -1.20 2.00 1.40 -1.32 -0.79 -1.14 0.00 -0.83 0.78 -0.17 0.25 1.62 0.34 -0.77 -0.37 0.08 -1.73 0.05 1.15 0.87 -0.94 -0.15 -0.49 -0.66 0.68 1.32 -1.19 -0.07 -1.67 -0.68 0.98 1.41 -0.99 0.08 1.18 0.89 -0.58 -1.19 0.63 -0.68 1.43 0.89 -0.48 -0.44 -0.82 -2.61 -0.41 0.24 -1.78 0.24 -0.90 -1.32 -0.11 -1.32 0.11 -0.80 0.76 -0.17 -0.65 -0.40 -0.78 -1.71 -0.49 0.50 -1.27 0.58 0.85 -1.32 -0.93 -1.02 -0.16 -1.04 0.92 -0.17 -0.19 -1.40 -1.67 -0.69 0.28 0.91 -0.87 1.08 -0.13 1.45 -1.09 -1.02 0.89 -1.37 1.15 0.19 -0.49 0.29 -0.60 0.41 2.28 1.20 -1.61 -0.12 0.15 0.77 -1.32 0.63 -0.14 -0.53 1.84 -1.10 0.56 -1.40 -0.27 -0.53 0.79 0.38 1.03 2.22 -0.72 -1.32 -0.94 -1.11 -0.43 -0.94 0.85 -0.17 0.00 0.08 -0.06 -0.31 -0.58 0.38 1.14 0.43 -0.72 1.08 -1.48 -0.86 0.09 -0.94 0.85 -0.17 0.63 0.07 -0.07 -0.25 1.28 -0.54 -0.67 -0.72 -0.66 0.41 -1.20 -1.56 -1.43 -0.02 0.30 -0.17 -1.15 -1.40 -0.04 -2.35 -0.13 -1.80 -0.04 0.18 -0.97 -1.32 -1.46 -1.76 -1.00 -0.76 0.74 -0.17 0.78 -0.01 -0.80 -0.26 -0.61 0.38 -0.14 0.43 -0.72 1.08 -1.48 -1.18 0.55 -0.94 0.85 -0.17 -1.63 -0.36 0.60 -0.84 0.60 0.16 -0.14 0.15 -1.00 -1.32 -1.42 -1.76 -0.09 -0.73 0.72 -0.58 -0.97 0.29 0.27 -1.38 0.01
301
Lampiran 2. lanjutan No 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110
Nama Desa TANJUNG SARI PETALING JAYA SUMBER AGUNG RANTAU RASAU I RANTAU RASAU II BANDAR JAYA BANGUN KARYA HARAPAN MAKMUR RANTAU JAYA RANTAU MAKMUR RANTAU INDAH JATI MULYO SIDO MUKTI CATUR RAHAYU RAWASARI LAMBUR I LAMBUR II PANDAN JAYA PANDAN MAKMUR PANDAN LAGAN SUKA MAJU KOTA BARU RANTAU KARYA PURWODADI SRI AGUNG LAMPISI TANJUNG BENANAK BUKIT HARAPAN ADI PURWA PINANG GADING DUSUN MUDO TANJUNG TAYAS BADANG KAMPUNG BARU RANTAU BADAK BUKIT INDAH KEMANG MANIS
Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS -0.33 0.41 -0.46 -1.72 0.57 -1.30 -1.06 -0.53 -0.25 0.43 -0.17 0.87 -0.58 0.11 -0.25 1.12 0.38 0.95 0.43 -1.18 -0.24 0.08 0.44 -1.32 0.86 -1.09 -0.91 0.03 0.14 0.41 0.27 0.29 -0.39 0.92 -0.54 -1.82 0.52 0.11 -0.05 -0.46 1.62 -1.09 -0.17 -0.24 -1.40 -0.96 -1.19 0.51 0.78 -0.20 -2.30 1.15 -1.32 -0.99 1.30 -1.12 1.62 -1.09 -0.30 0.87 1.67 2.46 0.02 -0.79 2.20 -0.11 -0.54 0.44 -1.32 0.44 0.63 -1.17 -0.18 -1.09 1.99 1.81 2.16 0.98 0.49 1.63 -0.88 0.87 -0.18 1.19 0.73 -0.24 0.74 0.10 0.38 1.99 0.80 0.92 2.14 2.27 0.45 -0.03 -0.33 0.57 -2.30 1.57 -1.32 -1.22 0.72 -1.13 -0.25 1.05 1.70 1.82 2.14 0.50 2.14 1.42 -0.48 0.07 -2.30 2.05 -1.32 -1.28 0.98 0.48 -0.09 0.34 0.19 1.82 1.48 1.16 -0.36 0.31 1.07 0.51 -0.80 1.79 0.36 -0.14 0.34 0.12 0.05 -1.09 -0.17 1.81 1.00 2.35 -0.07 -0.05 -0.63 0.48 0.27 1.02 1.00 -0.62 1.19 -1.21 0.08 -1.09 -1.91 1.20 1.85 -0.40 0.14 1.07 -0.48 0.02 -0.65 -0.09 0.45 -0.77 0.47 1.29 1.62 -0.08 0.89 1.15 1.36 0.07 -1.07 -0.58 2.15 -0.43 -2.30 1.00 -1.32 -0.71 0.48 0.48 -2.21 -1.09 0.08 1.77 -1.40 -1.67 -1.03 -2.61 -0.48 0.97 -0.65 0.30 0.45 0.45 0.98 0.78 1.62 -1.09 -0.17 0.17 0.48 -0.30 -1.45 -1.27 0.06 -1.35 0.02 1.70 0.85 0.36 0.94 -0.35 -0.63 -1.09 2.13 0.21 0.89 -0.49 0.14 -0.61 1.84 -1.78 -2.30 2.17 -1.32 -1.66 1.28 0.28 -2.03 -1.09 -1.58 1.22 0.08 -1.67 -1.32 -2.61 -0.36 1.01 -0.50 0.51 0.54 -1.22 0.82 -1.14 -0.22 1.03 -0.44 -0.76 1.93 1.02 0.06 -0.50 -0.79 1.50 -1.03 0.29 0.20 -1.53 1.16 0.28 0.26 0.14 -0.74 -0.02 2.17 -0.11 0.24 0.68 0.29 -0.72 -1.28 0.21 0.59 -0.67 1.41 -1.74 0.50 2.18 0.89 1.70 -0.39 -0.77 0.55 0.32 0.31 -0.13 -2.30 0.62 -1.32 -1.07 1.68 0.86 -0.87 0.81 -0.74 -1.31 0.63 -0.10 -1.32 -1.36 0.29 -0.60 0.30 0.59 1.01 -1.42 0.84 -0.71 -0.85 0.79 -0.17 -1.37 -1.40 2.26 -0.75 -0.45 -0.19 1.77 -0.29 0.75 -1.32 -0.69 1.94 1.58 -0.39 1.68 -0.91 -1.76 -0.19 -0.59 -0.87 -1.31 0.24 -0.07 0.24 -0.90 0.98 -0.64 1.52 0.53 -0.80 2.12 -0.17 -1.57 0.01 -1.67 -0.19 -0.08 1.87 -0.64 -2.30 0.77 -1.32 -0.99 1.10 1.60 -2.05 1.69 -1.32 -1.86 1.19 -1.67 -1.01 -1.69 -0.63 0.57 -0.84 -0.84 -0.13 1.38 -0.05 0.17 0.72 0.79 0.41 -1.12 -0.27 -0.11 0.85 0.49 -0.08 0.89 -0.15 -0.50 -1.32 -1.17 -0.60 -0.78 0.34 0.09 0.89 0.12 0.27 -0.28 -0.21 -1.10 -0.27 1.66 1.00 -0.20 0.61 -0.41 -0.31 -0.01 -0.31 0.47 -0.17 0.85 -0.22 -0.38 -0.63 0.26 0.29 -0.23 0.30 1.41 1.01 0.94 -0.35 0.58 -0.85 0.79 -0.91 -0.19 -1.40 0.53 0.02 0.96 0.46 0.88 0.52 -0.63 1.14 -0.19 -0.07 0.32 1.62 -1.09 2.13 -0.09 0.10 0.23 -0.23 0.17 1.33 -0.92 1.61 1.71 -1.32 -0.91 -1.45 1.11 1.62 1.39 0.41 0.59 0.48 -1.67 0.27 0.10 1.43 -1.68 1.73 0.37 -1.32 -0.82 0.45 0.02 -1.76 1.44 -1.58 0.92 -1.40 0.43 1.23 2.55 1.65 -1.24 -2.30 1.99 -1.32 0.09 -0.83 -0.52 -0.83 2.16 1.70 -1.89 -1.40 -0.77 0.53 1.31 1.82 -0.50 -2.30 2.16 -1.32 -1.00 -1.76 1.10 -2.01 1.66 0.89 -1.93 0.08 -0.35 1.54 -0.38 -1.80 -1.09 1.11 1.33 1.47 -0.98 -0.39 1.09 -1.39 1.16 2.13 -2.23 -1.40 0.97 0.06 0.27 -0.05 1.58 -0.12 0.98 -1.32 -1.15 -1.55 -0.75 -0.53 0.60 0.41 -1.22 -0.49 -0.52 1.05 0.13 -0.13 0.57 1.26 0.85 0.71 -0.20 0.24 -1.67 -0.45 -1.09 1.32 -1.68 0.12 0.68 0.04 -0.31 0.21 -0.29 0.21 0.49 0.96 -1.13 -1.15 0.38 1.62 -1.09 1.85 -1.37 -0.41 -0.15 -0.39 0.61 2.29 -0.79 -2.30 1.11 -1.32 -0.88 -1.46 -0.43 1.62 1.05 1.07 -0.26 0.22 -0.65 0.02 1.69
302
Lampiran 2. lanjutan No 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147
Nama Desa INTAN JAYA SUKA DAMAI ADI JAYA BRASAU PERINTIS KELURAHAN WIROTHO AGUNG RIMBO MULYO PURWO HARJO TEGAL ARUM TIRTAKENCANA SAPTA MULIA SUKA DAMAI SUKA MAJU WANAREJA SUMBER SARI SIDO RUKUN SUNGAI PANDAN SIDO REJO KARANG DADI GIRI PURNO SUMBER AGUNG SARI MULYA GIRIWINANGUN PINANG BALAI SEKUTUR JAYA NAPAL PUTIH Sungai Karang BANGUN SARANTEN SUNGAI JERNIH BUKIT SARI SARI MULYA PURWOSARI LEMBAH KUAMANG SUMBER HARAPAN DAYA MURNI SUMBER MULIA MAJU JAYA
Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 0.50 -1.46 0.58 0.85 1.17 -1.01 -0.22 0.82 1.62 -1.09 1.70 -0.59 -0.32 -1.67 0.74 -0.41 -0.13 0.26 -0.22 0.04 0.71 -0.47 0.49 -1.18 -0.45 0.55 -0.17 1.06 0.13 -0.88 -0.99 0.47 0.13 -0.57 0.11 -1.04 -1.32 -1.66 -0.68 0.30 -0.71 0.71 0.89 0.25 -1.40 0.05 -1.85 -0.09 0.73 -0.90 0.86 -0.32 -1.32 -0.31 0.77 2.00 -1.23 1.05 -0.17 0.13 0.59 -0.65 -0.50 -0.61 -0.48 1.43 0.21 -0.94 0.12 1.42 -0.65 -0.38 0.91 -0.25 -0.17 0.58 -0.07 0.63 0.39 0.17 -0.22 1.17 -0.54 -1.25 0.52 1.41 -0.77 -0.60 1.22 -0.48 1.32 -0.29 0.19 1.73 1.36 0.40 -0.63 0.24 -0.22 -1.41 -0.13 1.55 -1.21 -0.23 0.72 -0.13 -0.17 0.60 0.74 0.45 1.10 0.28 -1.02 0.30 1.36 -0.37 0.00 1.11 -1.30 -0.57 0.54 -0.03 -0.17 0.93 -0.41 0.16 0.96 -0.06 -1.26 0.26 0.02 -1.14 0.23 1.42 -1.17 0.35 0.86 -0.22 -0.17 -0.05 -0.25 0.16 -0.02 -0.46 -1.30 0.54 -0.65 -1.98 0.12 1.52 -1.39 0.11 0.91 -0.25 -0.17 1.10 -0.78 -0.01 -0.15 -0.33 -1.02 -0.04 0.21 -0.37 0.00 0.75 -1.36 1.88 0.54 -0.03 -0.17 0.64 0.21 0.65 0.37 0.08 0.48 0.20 0.55 -0.61 0.59 1.07 -0.51 -0.41 0.81 2.13 0.41 0.27 0.26 -0.02 0.05 -0.18 -1.12 1.24 0.46 -0.22 0.41 1.09 -0.95 -0.13 0.67 -1.09 0.08 0.21 -0.49 -0.26 -0.74 -0.64 -1.34 0.65 0.55 -0.61 -0.32 0.69 -1.58 0.12 0.96 -0.29 -0.91 0.02 -0.02 0.53 -0.07 -0.37 -1.16 1.19 0.37 -0.32 0.36 1.07 -0.42 0.21 0.72 -0.13 -0.91 1.19 0.22 1.99 -0.32 -0.47 -1.05 1.37 1.73 -0.47 -0.03 1.19 -1.05 0.28 0.59 -0.05 -0.17 0.07 -0.04 0.11 -0.47 -0.27 0.41 -0.31 0.46 0.72 1.10 0.54 0.28 1.21 -0.96 -1.09 -0.91 -1.69 -1.40 -0.35 -0.22 -1.32 -1.80 1.43 0.30 0.57 -1.32 1.24 -0.84 2.09 -0.85 0.79 -1.10 0.29 1.79 0.34 -0.66 -0.46 -0.54 -1.48 -0.72 -0.63 1.14 1.29 -1.76 2.62 -0.02 0.30 -1.32 0.17 0.10 0.34 -0.39 0.31 1.03 1.93 -0.25 -1.45 0.69 1.51 -1.58 1.10 -0.42 0.53 0.89 -0.99 0.35 -0.32 -1.32 -1.29 -0.16 1.83 -0.25 0.82 -1.32 1.16 -1.57 1.59 -0.42 0.53 -1.58 -1.11 1.08 0.80 0.01 0.08 -0.60 1.39 -0.80 -0.81 0.36 1.19 -1.06 1.11 0.05 0.26 -1.58 -1.40 -0.38 0.03 -0.38 0.23 -0.98 1.26 -0.43 -0.25 0.03 1.54 -0.86 0.41 0.50 1.08 -1.10 -0.29 -0.09 -0.39 -0.06 -0.60 0.84 -0.96 1.00 -0.20 -1.32 -1.51 0.83 -0.61 1.62 -1.09 -1.58 -1.28 -0.22 0.69 -0.03 1.25 1.63 -0.63 1.98 0.56 1.95 -0.99 -1.76 0.14 1.62 1.55 -1.58 -0.94 0.61 -0.40 -0.24 1.29 2.32 -0.73 2.85 1.13 -1.32 -1.66 -0.24 0.23 -2.31 -1.09 -1.58 -1.10 -1.40 -0.22 0.71 -0.60 0.43 0.85 0.49 -0.66 1.12 -1.66 2.05 0.61 1.62 -1.09 2.13 1.68 -0.34 -1.67 0.01 -1.69 0.53 0.88 -0.65 0.29 0.45 -0.49 -0.25 -1.23 -1.69 2.10 -0.17 1.01 -0.63 0.38 0.49 0.30 -0.33 0.66 -0.46 -0.27 -1.32 -0.78 -0.43 -0.06 -0.25 0.43 1.70 1.01 -0.24 0.12 0.25 -0.53 -0.51 -0.28 -0.68 -0.63 -1.32 1.38 1.30 0.25 -0.06 -1.09 -0.17 0.15 -0.09 0.23 0.12 -0.29 -1.80 1.14 -0.88 -0.09 0.31 -1.41 1.52 0.76 0.12 -1.09 -1.58 -0.50 1.12 -0.59 0.24 -0.10 -0.05 1.46 -0.12 -1.29 0.38 1.55 -0.52 -0.20 0.01 2.13 0.89 0.01 0.62 1.41 2.08 1.38 -0.60 1.05 -0.80 -0.78 -1.32 1.46 -1.12 0.14 1.62 -1.09 0.41 0.05 0.23 2.05 0.29 -0.24 -1.80 0.90 -0.68 -0.61 -1.32 0.41 0.08 0.34 -0.06 -1.09 -0.17 1.77 0.11 1.83 0.40 0.07 -1.80 0.83 -0.54 -1.82 -1.32 1.19 -0.49 0.04 1.62 -1.09 -0.17 1.78 -0.60 1.32 0.81 -0.43 0.46 1.13 0.52 0.81 1.14 0.84 -0.30 0.63 1.62 -1.09 0.41 0.26 -0.34 1.18 0.20 -0.07 -1.80 -0.52 -0.12 0.14 -1.32 1.06 -0.17 0.23 -0.53 -1.09 -0.17 0.08 -0.12 2.28 0.33 0.64
303
Lampiran 2. lanjutan No 148 149 150 151 152 153 154 155 156 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177 178
Nama Desa TIRTA MULIA LINGGA KUAMANG KUNING GADING KUAMANG JAYA KARYA HARAPAN MUKTI GAPURA SUCI MULIA BAKTI MULIA JAYA KOTA RAJA TUO LIMBUR TEBO JAYA SEKAR MENGKUANG DATAR TALANG PEMESUN PULAU KERAKAP BARU PELEPAT PULAU BAYUR Sungai Kapas NALO BARU NALO GEDANG AIR BATU SEKO BESAR TAMAN BANDUNG SUNGKAI Arang arang UJUNG TANJUNG Cinta Damai TIMBOLASI CILODANG BANGUN HARJO
Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS -0.36 -0.24 -0.50 -0.37 -1.32 0.32 0.07 0.08 -0.22 -1.09 -0.17 1.71 1.26 1.37 0.88 0.78 -0.57 1.00 0.40 -2.15 0.38 0.95 0.15 0.08 0.01 -1.09 -0.17 1.66 -0.37 0.68 0.25 0.74 -0.42 -0.46 -0.57 -1.87 0.50 1.25 -0.79 -0.89 -0.15 -1.09 -0.04 0.36 0.52 1.12 0.05 0.63 0.46 -0.36 0.52 -0.63 -1.32 1.17 -1.30 2.87 1.62 -1.09 -0.17 0.88 0.10 2.00 -0.23 0.53 -0.54 -0.09 0.49 0.17 -1.32 1.22 -1.14 -1.12 1.62 -1.09 -0.17 -0.03 -1.40 1.07 -0.40 -1.15 0.13 0.23 -0.95 -2.47 0.26 0.92 0.72 -0.20 1.62 -1.09 0.89 0.92 -0.44 0.60 0.43 0.45 2.18 0.16 -0.08 -1.25 0.79 1.18 -0.19 0.27 1.62 -1.09 -0.17 -0.48 -0.49 0.16 0.39 0.04 -1.80 -1.24 0.24 -0.90 -1.32 -0.01 1.21 0.52 -0.80 -1.09 0.41 0.65 0.00 1.26 1.64 1.44 0.76 -1.03 0.89 -0.30 -1.32 0.30 1.25 -2.84 -1.25 -1.09 -0.17 0.32 0.91 1.75 1.40 2.81 0.41 1.24 0.46 1.58 1.10 0.59 -0.67 -0.63 -0.96 0.86 -1.91 0.57 0.95 -0.05 1.06 1.78 0.21 -1.12 0.21 1.91 0.96 0.79 -0.56 -0.77 -0.78 -1.09 -1.91 0.71 -1.40 -0.43 -0.98 0.30 -1.80 1.48 0.02 1.13 0.85 1.29 -0.58 -0.86 -0.63 0.66 -1.91 0.33 -0.46 -0.83 -0.88 -0.87 1.41 -1.61 1.71 1.78 1.80 0.38 0.66 -0.30 -1.74 -1.09 -0.17 -0.91 0.94 0.03 0.57 -0.26 0.53 -0.91 0.60 0.88 1.18 0.69 1.05 -0.56 1.62 -1.09 -1.91 1.17 -1.40 -1.67 -0.89 0.86 0.06 -0.21 0.02 0.30 -1.32 -1.39 -0.90 -2.84 -0.63 -1.09 -1.58 0.90 -1.40 -1.67 -3.12 -2.61 0.21 -0.42 0.21 0.51 0.96 -0.03 1.04 -0.56 1.62 -1.09 -0.17 -1.85 -1.40 -1.67 -2.89 -2.00 2.37 0.41 -2.30 1.17 -1.32 -1.56 0.57 -2.84 1.62 -1.09 -1.58 -2.37 -1.40 -1.67 0.60 -0.86 -0.95 -0.01 -1.24 -0.72 0.06 1.41 0.74 -0.31 0.46 0.02 1.70 0.25 0.40 0.40 0.31 0.28 0.34 1.32 0.37 2.08 1.05 -0.32 1.38 -2.84 -0.89 -1.09 -0.17 -2.08 -1.40 -0.75 -0.59 -1.98 0.46 -0.62 0.52 0.80 1.14 -0.63 1.56 -0.84 -1.00 -1.09 -0.91 -2.26 -0.34 -0.03 -0.24 -0.76 -0.30 0.19 -0.43 0.60 0.59 -0.21 1.04 -2.84 -0.28 -1.09 -0.17 -1.52 0.04 0.14 0.48 -0.05 0.24 0.65 0.24 -0.90 0.98 -1.65 1.04 0.52 1.62 -1.09 -1.32 0.24 2.04 0.31 -0.13 -0.41 -1.80 0.48 -2.30 1.24 -1.32 -1.58 1.95 -2.84 1.62 -1.09 1.32 -0.48 0.65 0.16 0.44 -0.30 1.20 -1.12 1.44 1.58 1.65 -1.07 0.72 0.36 -1.59 1.31 0.41 -2.10 -1.40 0.32 0.35 0.25 1.16 -0.67 -0.15 0.12 0.75 -1.08 -0.91 -1.64 -0.50 0.58 2.13 1.45 -1.40 -1.67 -0.90 -1.25 1.26 -0.10 1.51 0.21 -1.32 -1.45 -0.55 0.17 -0.58 0.63 -0.17 0.05 -0.09 -0.02 -0.31 -0.56 1.50 -0.06 1.82 0.44 -1.32 -0.99 -0.22 0.06 1.62 -1.09 -0.17 -1.38 -1.40 -1.67 0.56 0.57 -1.80 -1.66 1.24 1.41 1.54 0.85 1.88 -0.25 -1.47 1.22 -0.04 -2.08 -1.40 -1.67 0.36 -1.53 -1.80 -0.41 -0.15 -1.33 -1.32 0.08 0.20 -0.26 1.62 -1.09 -0.17 -0.25 0.81 1.11 -0.04 1.11 -0.33 -0.41 -0.46 -0.30 -1.32 0.06 -0.80 0.12 1.62 -1.09 -0.17 -0.10 1.30 0.74 -0.62 -0.54
304
Lampiran 3. Nilai Z Variabel Indikator (Tahap 2) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Nama Desa PINANG MERAH MAMPUN BARU LANTAK SERIBU RASAU MERANTI BUKIT BUNGKUL SIALANG TANJUNG BENUANG TAMBANG EMAS SUNGAI PUTIH BUKIT BERINGIN PAUH MENANG PEMATANG KANCIL TANAH ABANG SUNGAI SAHUT BUNGA ANTOI MUARA DELANG SINAR GADING BUNGA TANJUNG SUNGAI BULIAN SRI SEMBILAN BUKIT SUBUR RAWA JAYA SUNGAI BENTENG PAYO LEBAR BUKIT MURAU SUNGAI MERAH PERDAMAIAN BATU PUTIH PEMATANG KULIM PETIDURAN BARU GURUH BARU BUTANG BARU JATI BARU MERANTIH BARU BUKIT SUBAN MENTAWAK BARU
Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS -0.78 0.04 -1.03 -0.34 0.83 0.80 0.96 -0.23 1.61 0.13 -0.18 0.30 2.08 0.81 2.44 2.32 -0.19 0.32 0.51 -0.63 0.08 1.12 -0.06 0.41 1.61 -1.09 -0.93 -0.36 0.20 -0.25 0.61 0.00 -0.69 -1.21 0.17 -0.13 0.28 0.67 0.90 0.85 0.15 0.20 -0.31 0.52 -1.42 -0.82 0.84 -0.24 -0.51 -0.39 0.51 0.21 0.42 1.51 0.26 0.56 -0.06 0.32 0.07 0.60 0.85 1.01 0.84 1.14 -0.57 -0.48 -0.76 -0.72 0.38 1.49 0.51 0.55 0.01 0.28 0.29 -0.01 1.25 0.77 0.06 0.62 -0.72 -0.54 -0.95 -1.03 0.25 0.46 0.51 0.43 0.18 0.18 -0.59 -0.70 0.85 0.24 0.70 0.88 0.66 -0.02 -0.54 1.03 -1.32 1.06 -0.25 0.92 -0.19 0.39 0.29 -0.21 -0.62 -0.69 0.00 0.52 -0.57 -0.98 -0.76 0.13 0.38 0.55 -0.09 0.78 0.01 0.28 -0.59 0.97 -0.68 -1.70 0.81 0.40 -0.95 0.11 -0.32 -0.11 0.06 0.78 -0.94 0.84 0.45 0.02 -0.18 0.74 1.61 0.66 1.58 1.35 -0.42 1.91 -0.57 -0.44 -1.32 0.82 0.10 0.46 -0.16 -1.09 -1.59 -0.38 -0.63 0.03 0.29 0.67 -0.51 -1.26 -0.68 0.82 -1.32 1.08 1.67 1.07 -0.06 0.32 -0.18 -0.71 -1.42 -0.18 0.02 -0.42 -0.24 0.61 -0.36 -1.58 0.62 0.81 -0.48 -0.36 -0.34 0.48 1.70 0.63 2.26 1.59 2.45 2.86 1.03 -1.00 1.23 -0.01 0.69 0.63 -1.20 0.55 -0.42 0.53 0.40 0.50 -1.42 0.05 -0.79 -1.06 -0.72 0.73 0.14 -1.00 0.25 0.15 0.04 -0.20 0.18 0.18 2.05 0.65 0.26 0.34 0.99 -0.01 -0.69 1.37 1.07 -0.97 0.28 0.63 0.24 0.20 0.15 0.20 2.12 0.14 0.28 -0.63 0.10 0.02 -0.95 -0.35 1.04 -0.75 0.06 0.81 -0.29 -0.17 0.45 0.02 1.31 0.47 0.65 0.81 0.95 1.17 1.40 -1.28 -0.61 -1.92 -0.04 0.92 -0.36 -0.32 0.58 -0.06 1.70 0.69 1.00 0.28 1.45 1.30 0.16 0.41 0.14 -1.00 -1.32 0.91 -0.18 -0.53 0.15 -1.09 1.70 0.63 -0.04 -0.83 -1.79 -0.98 0.00 -0.72 1.50 -0.37 0.20 0.53 0.44 -0.10 0.26 0.13 -0.18 0.15 1.52 2.49 1.99 1.64 -0.24 -1.26 -0.36 -0.13 0.62 1.56 0.63 1.07 -0.34 -1.09 -0.18 -0.23 -1.42 -0.95 -0.07 -0.44 0.40 -0.91 0.45 -0.69 -1.32 1.10 0.76 1.00 -0.96 0.86 -0.18 0.16 -0.37 -0.07 0.11 -0.61 0.23 -1.79 0.24 -0.90 0.97 -0.56 1.35 1.02 -0.80 -1.09 -0.18 1.02 1.89 0.97 2.59 2.60 -0.66 -0.66 0.21 -0.93 0.30 0.15 0.63 0.38 0.11 0.22 2.12 -0.77 -0.20 -0.17 1.14 0.54 -0.95 -0.32 -0.39 -0.20 0.06 1.18 1.17 -0.37 0.45 -1.09 0.70 1.34 -0.09 -0.40 2.40 -0.09 -0.13 1.53 0.54 -0.01 0.11 1.12 0.63 0.90 0.37 0.07 0.40 -1.34 2.16 2.35 1.34 1.02 -0.45 0.00 -0.61 -0.50 -0.04 1.38 0.93 -0.32 0.58 -1.09 -0.18 0.28 -0.86 -1.20 -0.59 -1.16 1.74 0.34 0.36 0.66 1.04 0.48 0.21 -0.49 0.04 -1.09 -0.18 0.61 -1.42 -0.39 -0.49 -1.70 -0.82 0.07 -0.05 -0.39 0.17 1.29 1.40 -1.14 0.30 -1.09 -0.18 0.36 -0.11 -0.53 -0.74 -1.42 -0.16 0.35 1.23 -0.01 0.69 -0.50 0.20 1.02 -0.42 -1.09 -0.18 0.87 -1.42 0.37 0.19 -0.80 -0.60 0.37 1.30 0.65 0.35 0.36 -1.18 0.36 0.04 -1.09 -0.45 0.77 -0.39 1.14 0.84 -0.88 -0.08 -1.77 -0.15 1.52 0.75 0.06 1.54 0.94 1.61 -1.09 0.40 -0.01 0.59 -0.31 1.21 0.84 -0.51 -1.29 -0.68 -0.60 1.15 -0.13 0.82 0.34 -0.06 -1.09 -0.18 -0.31 -0.35 -0.74 -0.61 -0.52 -1.80 -1.21 0.27 -0.87 -1.32 -0.53 1.10 -0.03 -0.83 -1.09 0.88 0.02 0.59 -0.43 1.10 -0.72 -1.80 -1.67 1.74 -1.03 0.90 -0.83 1.17 2.16 -0.71 -1.09 -0.18 -0.26 0.26 0.75 0.97 1.01 -1.80 -1.20 0.91 0.57 1.35 -1.15 1.24 0.79 1.61 -1.09 -0.93 -1.09 1.32 -0.23 -0.22 -0.28 -0.85 1.95 -0.19 0.05 -1.32 -0.03 1.56 -0.14 0.33 0.09 -0.93 0.05 -1.42 0.63 -0.66 -0.26 -0.30 1.95 -0.43 -1.67 0.58 0.68 1.76 2.37 -0.28 0.44 -0.93 1.64 2.21 0.77 0.83 0.39
305
Lampiran 3. Nilai Z Variabel Indikator (Tahap 2) No 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76
Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS PEMATANG KABAU 0.43 0.88 0.48 0.17 0.40 -0.33 1.47 -0.65 -0.03 0.30 -0.18 -1.89 0.56 0.52 -1.56 -0.05 TERENTANG BARU -0.45 -1.30 0.66 0.93 0.47 -0.12 -0.67 -0.44 -0.13 -1.09 1.14 0.09 -0.64 -0.49 0.02 -0.41 DURIAN LUNCUK 0.96 1.77 -0.29 -1.49 1.49 1.29 0.01 0.29 -0.40 2.11 0.88 0.12 -1.42 -0.93 0.70 0.23 JANGGA BARU 2.23 -0.74 -0.84 0.01 1.03 1.18 -0.59 1.56 0.08 0.24 1.88 -0.51 0.19 -0.79 -0.23 -0.74 BULIAN BARU 0.05 -1.60 0.01 0.26 0.84 -0.89 0.34 1.21 -0.64 -1.09 -0.18 -0.70 -0.09 0.18 0.47 -0.35 MEKAR JAYA 0.28 -1.21 2.04 2.02 1.01 -0.37 0.47 -0.16 -0.85 0.79 0.40 -1.05 0.62 0.33 0.63 0.81 BULIAN JAYA 0.90 1.91 -0.36 -0.13 0.62 -1.09 -0.17 -0.22 -0.34 0.48 -0.18 -0.94 0.83 -0.95 0.14 0.72 KEHIDUPAN BARU 0.73 0.32 0.85 -0.32 -1.32 -0.26 -0.78 0.75 -1.23 1.04 -1.59 0.85 0.58 0.09 0.09 1.54 KARYA MUKTI 0.73 -0.38 0.85 1.11 -1.32 -1.49 -0.11 -1.81 -1.23 1.04 -1.59 0.50 0.21 0.09 0.54 -0.30 BUKIT HARAPAN -0.54 1.86 -0.72 -0.66 1.11 0.12 -0.25 -0.54 -0.03 0.30 -0.45 0.73 -0.67 -1.03 -1.82 -0.22 BELANTI JAYA 0.43 -1.41 0.48 -0.66 1.11 -1.15 -0.17 0.46 -0.98 0.87 -0.93 0.73 -0.36 -0.75 -0.85 -0.60 TAPAH SARI 0.86 -1.06 1.02 -0.18 1.42 -0.81 1.40 -0.36 -1.34 1.12 0.18 0.81 -1.42 -1.70 -0.54 -1.98 BUKIT KEMUNING 1.05 -0.09 1.25 0.01 -1.32 -0.21 0.32 -0.24 -1.48 1.22 -1.12 -1.33 -0.17 -1.70 -1.74 -1.36 RAMIN 1.83 1.14 -2.30 1.57 -1.32 -1.04 0.19 -1.49 -2.02 1.67 0.88 0.10 -1.42 -1.70 1.07 -0.42 MEKAR SARI -0.54 -0.44 -0.72 0.75 -1.32 -0.76 1.40 0.20 -0.03 0.30 -0.18 1.16 0.01 -0.07 -0.88 -1.16 PANCA MULYA -0.33 0.56 -0.46 -0.30 1.34 -0.93 -1.22 -1.80 -0.25 0.43 -0.18 -0.55 0.00 -0.97 0.12 -0.23 SUKA MAKMUR -0.11 0.99 -0.19 0.05 0.14 0.94 -0.84 -0.21 0.33 -1.09 -0.18 0.11 0.47 -0.44 1.78 0.53 MARGA MULYA -0.69 -0.17 0.14 -0.16 0.28 0.67 -1.05 -0.72 0.15 0.20 2.12 -0.66 -1.42 -0.83 -2.39 -0.92 MARGA 0.66 0.65 -0.54 0.44 0.52 -0.33 -1.47 -0.49 -0.19 0.39 0.40 0.11 -0.04 0.32 -0.42 -0.05 RANTAU HARAPAN 0.26 0.23 0.27 -0.87 0.33 0.59 -1.07 -0.65 0.08 0.24 -0.93 0.52 -0.41 -0.80 -1.72 -0.26 TALANG BUKIT -0.39 -0.71 0.74 -0.42 0.52 -0.45 -1.16 -1.05 -0.19 0.39 -0.18 0.46 -0.62 -0.47 -0.18 -0.11 TRIJAYA 1.64 -1.20 1.99 1.39 -1.32 -0.81 -1.16 -0.01 -0.83 0.77 -0.18 0.25 1.61 0.32 -0.86 -0.42 TANJUNG 0.08 -1.72 0.05 1.14 0.86 -0.95 -0.16 -0.51 -0.66 0.67 1.31 -1.18 -0.08 -1.70 -0.76 0.98 HARAPAN BERKAH 1.40 -0.99 0.08 1.17 0.88 -0.59 -1.20 0.63 -0.69 1.42 0.88 -0.47 -0.46 -0.84 -2.80 -0.46 SUMBER MULYA 0.23 -1.77 0.24 -0.90 -1.32 -0.12 -1.33 0.11 -0.80 0.76 -0.18 -0.64 -0.42 -0.81 -1.85 -0.54 MATRA 0.50 -1.26 0.57 0.85 -1.32 -0.94 -1.03 -0.18 -1.04 0.91 -0.18 -0.18 -1.42 -1.70 -0.76 0.26 MANUNGGAL BUKIT MULYA 0.90 -0.87 1.07 -0.13 1.45 -1.11 -1.03 0.90 -1.37 1.14 0.18 -0.48 0.28 -0.63 0.39 2.33 BUKIT MAKMUR 1.19 -1.61 -0.12 0.15 0.77 -1.33 0.62 -0.15 -0.53 1.83 -1.12 0.56 -1.42 -0.29 -0.60 0.79 BAHAR MULYA 0.38 1.02 2.21 -0.72 -1.32 -0.95 -1.13 -0.45 -0.94 0.84 -0.18 0.01 0.06 -0.08 -0.37 -0.63 TANJUNG MULYA 0.38 1.13 0.42 -0.72 1.08 -1.50 -0.88 0.08 -0.94 0.84 -0.18 0.63 0.05 -0.09 -0.30 1.30 BUKIT MAS -0.54 -0.67 -0.72 -0.66 0.40 -1.22 -1.58 -1.47 -0.03 0.30 -0.18 -1.14 -1.42 -0.06 -2.52 -0.16 SUMBER JAYA -1.80 -0.04 0.17 -0.97 -1.32 -1.48 -1.77 -1.03 -0.76 0.73 -0.18 0.78 -0.03 -0.82 -0.32 -0.66 ADIPURA 0.38 -0.14 0.42 -0.72 1.08 -1.49 -1.20 0.55 -0.94 0.84 -0.18 -1.62 -0.38 0.59 -0.92 0.59 KENCANA BUKIT JAYA 0.16 -0.14 0.14 -1.00 -1.32 -1.44 -1.77 -0.10 -0.73 0.72 -0.59 -0.96 0.27 0.26 -1.50 -0.02 TANJUNG SARI -0.33 0.40 -0.46 -1.72 0.56 -1.32 -1.08 -0.56 -0.25 0.43 -0.18 0.87 -0.60 0.10 -0.30 1.13 PETALING JAYA 0.38 0.94 0.42 -1.18 -0.25 0.07 0.42 -1.36 0.85 -1.09 -0.93 0.04 0.13 0.39 0.25 0.27 SUMBER AGUNG -0.39 0.91 -0.54 -1.81 0.52 0.10 -0.06 -0.48 1.61 -1.09 -0.18 -0.24 -1.42 -0.99 -1.30 0.50
306
Lampiran 3. Lanjutan No 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 97 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115
Nama Desa RANTAU RASAU I RANTAU RASAU II BANDAR JAYA BANGUN KARYA HARAPAN MAKMUR RANTAU JAYA RANTAU MAKMUR RANTAU INDAH JATI MULYO SIDO MUKTI CATUR RAHAYU RAWASARI LAMBUR I LAMBUR II PANDAN JAYA PANDAN MAKMUR PANDAN LAGAN SUKA MAJU KOTA BARU RANTAU KARYA PURWODADI SRI AGUNG LAMPISI TANJUNG BENANAK BUKIT HARAPAN ADI PURWA PINANG GADING DUSUN MUDO TANJUNG TAYAS BADANG KAMPUNG BARU RANTAU BADAK BUKIT INDAH KEMANG MANIS INTAN JAYA SUKA DAMAI ADI JAYA
Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 0.77 -0.20 -2.30 1.14 -1.32 -1.01 1.29 -1.15 1.61 -1.09 -0.31 0.87 1.66 2.47 -0.02 -0.85 2.19 -0.11 -0.54 0.44 -1.32 0.43 0.62 -1.21 -0.19 -1.09 1.98 1.81 2.16 0.97 0.47 1.66 -0.88 0.86 -0.19 1.19 0.73 -0.25 0.73 0.09 0.37 1.99 0.79 0.92 2.14 2.28 0.43 -0.06 -0.33 0.56 -2.30 1.57 -1.32 -1.24 0.71 -1.17 -0.25 1.04 1.70 1.82 2.14 0.49 2.23 1.44 -0.48 0.07 -2.30 2.04 -1.32 -1.30 0.97 0.48 -0.09 0.33 0.18 1.81 1.47 1.15 -0.42 0.29 1.07 0.50 -0.80 1.78 0.35 -0.16 0.33 0.12 0.04 -1.09 -0.18 1.81 0.99 2.36 -0.11 -0.09 -0.63 0.48 0.27 1.02 0.99 -0.63 1.18 -1.24 0.08 -1.09 -1.92 1.20 1.85 -0.43 0.11 1.08 -0.48 0.01 -0.65 -0.09 0.45 -0.78 0.45 1.31 1.61 -0.08 0.88 1.15 1.35 0.05 -1.17 -0.63 2.14 -0.43 -2.30 0.99 -1.32 -0.73 0.47 0.48 -2.21 -1.09 0.07 1.77 -1.42 -1.70 -1.13 -2.73 -0.48 0.96 -0.65 0.30 0.45 0.44 0.97 0.78 1.61 -1.09 -0.18 0.17 0.47 -0.32 -1.58 -1.35 0.05 -1.34 0.01 1.69 0.84 0.35 0.92 -0.37 -0.64 -1.09 2.12 0.21 0.88 -0.51 0.11 -0.67 1.83 -1.77 -2.30 2.16 -1.32 -1.67 1.27 0.27 -2.02 -1.09 -1.59 1.22 0.07 -1.70 -1.43 -2.73 -0.36 1.00 -0.50 0.50 0.54 -1.23 0.81 -1.18 -0.22 1.03 -0.45 -0.75 1.93 1.02 0.02 -0.55 -0.78 1.49 -1.03 0.28 0.20 -1.55 1.15 0.27 0.26 0.13 -0.75 -0.01 2.17 -0.13 0.22 0.68 0.28 -0.72 -1.28 0.21 0.58 -0.69 1.40 -1.79 0.50 2.17 0.88 1.70 -0.41 -0.80 0.54 0.30 0.31 -0.14 -2.30 0.61 -1.32 -1.09 1.67 0.87 -0.87 0.80 -0.75 -1.30 0.62 -0.12 -1.43 -1.44 0.28 -0.60 0.30 0.58 1.01 -1.44 0.83 -0.74 -0.85 0.79 -0.18 -1.36 -1.42 2.26 -0.83 -0.50 -0.19 1.76 -0.29 0.75 -1.32 -0.70 1.93 1.60 -0.40 1.67 -0.93 -1.75 -0.20 -0.61 -0.96 -1.39 0.23 -0.07 0.24 -0.90 0.97 -0.66 1.51 0.53 -0.80 2.11 -0.18 -1.56 -0.01 -1.70 -0.24 -0.12 1.86 -0.64 -2.30 0.76 -1.32 -1.01 1.09 1.63 -2.04 1.68 -1.33 -1.85 1.18 -1.70 -1.11 -1.78 -0.63 0.56 -0.84 -0.84 -0.14 1.37 -0.07 0.16 0.71 0.79 0.40 -1.11 -0.28 -0.13 0.86 0.48 -0.08 0.88 -0.15 -0.50 -1.32 -1.19 -0.61 -0.80 0.33 0.09 0.88 0.12 0.26 -0.31 -0.26 -1.17 -0.27 1.65 0.99 -0.20 0.60 -0.42 -0.32 -0.02 -0.31 0.46 -0.18 0.85 -0.24 -0.40 -0.70 0.24 0.28 -0.23 0.30 1.41 1.01 0.93 -0.36 0.58 -0.85 0.79 -0.93 -0.18 -1.42 0.52 -0.01 0.96 0.45 0.88 0.51 -0.63 1.13 -0.20 -0.08 0.32 1.61 -1.09 2.12 -0.08 0.09 0.21 -0.28 0.15 1.32 -0.92 1.60 1.70 -1.32 -0.93 -1.46 1.12 1.61 1.38 0.40 0.59 0.47 -1.70 0.25 0.07 1.42 -1.67 1.72 0.37 -1.32 -0.84 0.44 0.01 -1.75 1.43 -1.59 0.92 -1.42 0.41 1.27 2.61 1.64 -1.24 -2.30 1.98 -1.32 0.08 -0.84 -0.55 -0.83 2.15 1.70 -1.87 -1.42 -0.80 0.53 1.32 1.81 -0.50 -2.30 2.15 -1.32 -1.01 -1.77 1.11 -2.01 1.66 0.88 -1.92 0.06 -0.38 1.59 -0.42 -1.80 -1.09 1.10 1.32 1.46 -0.99 -0.40 1.11 -1.39 1.15 2.12 -2.22 -1.42 0.96 0.03 0.25 -0.05 1.56 -0.12 0.98 -1.32 -1.16 -1.57 -0.77 -0.53 0.59 0.40 -1.21 -0.51 -0.55 1.07 0.10 -0.13 0.57 1.25 0.85 0.71 -0.21 0.23 -1.72 -0.45 -1.09 1.31 -1.67 0.11 0.67 0.00 -0.35 0.21 -0.30 0.21 0.49 0.96 -1.15 -1.17 0.38 1.61 -1.09 1.84 -1.36 -0.43 -0.17 -0.45 0.60 2.28 -0.79 -2.30 1.10 -1.32 -0.90 -1.47 -0.45 1.61 1.04 1.06 -0.25 0.21 -0.67 -0.01 1.72 0.50 -1.45 0.57 0.85 1.16 -1.02 -0.23 0.82 1.61 -1.09 1.70 -0.59 -0.34 -1.70 0.74 -0.45 -0.13 0.25 -0.22 0.03 0.71 -0.49 0.48 -1.21 -0.45 0.54 -0.18 1.06 0.11 -0.91 -1.08 0.45 0.13 -0.57 0.11 -1.03 -1.32 -1.67 -0.69 0.29 -0.71 0.70 0.88 0.25 -1.42 0.03 -2.00 -0.13
307
Lampiran 3. Lanjutan No 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152
Nama Desa BRASAU PERINTIS KELURAHAN WIROTHO AGUNG RIMBO MULYO
Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 0.73 -0.90 0.85 -0.32 -1.32 -0.33 0.76 2.03 -1.23 1.04 -0.18 0.13 0.58 -0.67 -0.57 -0.66 -0.48 1.42 0.21 -0.93 0.11 1.41 -0.66 -0.40 0.90 -0.26 -0.18 0.59 -0.09 0.62 0.37 0.14 -0.22 1.16 -0.54 -1.25 0.52 1.40 -0.78 -0.63 1.21 -0.48 1.31 -0.28 0.17 1.73 1.40 0.39 -0.63 0.24 -0.22 -1.41 -0.14 1.54 -1.23 -0.25 0.71 -0.14 -0.18 0.60 0.73 0.43 1.13 0.26 PURWO HARJO -1.02 0.30 1.35 -0.37 -0.01 1.09 -1.31 -0.59 0.54 -0.03 -0.18 0.93 -0.43 0.14 0.97 -0.09 TEGAL ARUM -1.26 0.25 0.01 -1.14 0.22 1.41 -1.19 0.34 0.85 -0.23 -0.18 -0.05 -0.26 0.14 -0.06 -0.51 TIRTAKENCANA -1.30 0.53 -0.65 -1.97 0.11 1.51 -1.41 0.11 0.90 -0.26 -0.18 1.10 -0.80 -0.03 -0.20 -0.37 SAPTA MULIA -1.02 -0.04 0.21 -0.37 -0.01 0.74 -1.38 1.91 0.54 -0.03 -0.18 0.64 0.19 0.64 0.36 0.05 SUKA DAMAI 0.48 0.19 0.54 -0.60 0.58 1.06 -0.52 -0.43 0.80 2.12 0.40 0.27 0.25 -0.04 0.01 -0.21 SUKA MAJU -1.12 1.23 0.45 -0.22 0.40 1.08 -0.97 -0.15 0.67 -1.09 0.07 0.22 -0.50 -0.28 -0.82 -0.70 WANAREJA -1.33 0.65 0.54 -0.60 -0.33 0.68 -1.59 0.11 0.95 -0.29 -0.93 0.03 -0.04 0.52 -0.11 -0.42 SUMBER SARI -1.15 1.18 0.36 -0.32 0.35 1.06 -0.43 0.21 0.71 -0.14 -0.93 1.19 0.21 1.99 -0.38 -0.51 SIDO RUKUN -1.05 1.36 1.72 -0.47 -0.04 1.18 -1.07 0.28 0.58 -0.06 -0.18 0.08 -0.06 0.09 -0.54 -0.31 SUNGAI PANDAN 0.40 -0.31 0.45 0.72 1.10 0.53 0.26 1.23 -0.96 -1.09 -0.93 -1.68 -1.42 -0.38 -0.27 -1.40 SIDO REJO -1.80 1.42 0.30 0.57 -1.32 1.23 -0.85 2.12 -0.85 0.79 -1.12 0.30 1.78 0.33 -0.74 -0.51 KARANG DADI -0.54 -1.47 -0.72 -0.63 1.13 1.28 -1.77 2.66 -0.03 0.30 -1.33 0.18 0.08 0.32 -0.45 0.29 GIRI PURNO 1.03 1.91 -0.25 -1.45 0.69 1.51 -1.59 1.11 -0.42 0.53 0.88 -0.98 0.33 -0.34 -1.43 -1.37 SUMBER AGUNG -0.16 1.81 -0.25 0.82 -1.32 1.15 -1.58 1.61 -0.42 0.53 -1.59 -1.10 1.07 0.79 -0.03 0.06 SARI MULYA -0.60 1.38 -0.80 -0.81 0.35 1.18 -1.07 1.12 0.04 0.26 -1.59 -1.39 -0.40 0.01 -0.44 0.21 GIRIWINANGUN -0.98 1.25 -0.43 -0.25 0.02 1.53 -0.87 0.41 0.50 1.08 -1.12 -0.28 -0.11 -0.41 -0.10 -0.66 PINANG BALAI 0.84 -0.96 0.99 -0.20 -1.32 -1.53 0.82 -0.64 1.61 -1.09 -1.59 -1.27 -0.24 0.67 -0.07 1.26 SEKUTUR JAYA 1.62 -0.63 1.97 0.55 1.95 -1.01 -1.77 0.13 1.61 1.55 -1.59 -0.94 0.59 -0.43 -0.29 1.31 NAPAL PUTIH 2.31 -0.73 2.83 1.13 -1.32 -1.67 -0.25 0.22 -2.30 -1.09 -1.59 -1.09 -1.42 -0.24 0.71 -0.65 Sungai Karang 0.43 0.84 0.48 -0.66 1.11 -1.67 2.04 0.61 1.61 -1.09 2.12 1.68 -0.36 -1.70 -0.03 -1.78 BANGUN 0.52 0.88 -0.65 0.28 0.45 -0.51 -0.26 -1.27 -1.69 2.09 -0.18 1.01 -0.65 0.36 0.48 0.28 SARANTEN SUNGAI JERNIH -0.33 0.65 -0.46 -0.27 -1.32 -0.80 -0.45 -0.07 -0.25 0.43 1.70 1.01 -0.26 0.10 0.23 -0.58 BUKIT SARI -0.51 -0.28 -0.68 -0.63 -1.32 1.37 1.29 0.24 -0.06 -1.09 -0.18 0.16 -0.11 0.21 0.09 -0.33 SARI MULYA -1.80 1.13 -0.87 -0.09 0.30 -1.42 1.51 0.77 0.11 -1.09 -1.59 -0.49 1.11 -0.61 0.22 -0.13 PURWOSARI -0.05 1.45 -0.12 -1.29 0.38 1.54 -0.53 -0.22 0.01 2.12 0.88 0.01 0.61 1.41 2.16 1.40 LEMBAH -0.60 1.04 -0.80 -0.78 -1.32 1.45 -1.14 0.13 1.61 -1.09 0.40 0.05 0.21 2.05 0.27 -0.28 KUAMANG SUMBER HARAPAN -1.80 0.89 -0.68 -0.60 -1.32 0.40 0.07 0.34 -0.06 -1.09 -0.18 1.77 0.10 1.83 0.38 0.04 DAYA MURNI -1.80 0.83 -0.54 -1.81 -1.32 1.18 -0.50 0.03 1.61 -1.09 -0.18 1.78 -0.62 1.32 0.82 -0.48 SUMBER MULIA 0.45 1.13 0.51 0.80 1.13 0.82 -0.32 0.63 1.61 -1.09 0.40 0.26 -0.35 1.17 0.17 -0.10 MAJU JAYA -1.80 -0.52 -0.12 0.13 -1.32 1.05 -0.18 0.23 -0.53 -1.09 -0.18 0.09 -0.14 2.29 0.31 0.64 TIRTA MULIA -0.36 -0.24 -0.50 -0.37 -1.32 0.31 0.05 0.08 -0.22 -1.09 -0.18 1.71 1.25 1.36 0.89 0.78 LINGGA KUAMANG -0.57 0.99 0.39 -2.14 0.38 0.94 0.13 0.07 0.01 -1.09 -0.18 1.66 -0.38 0.67 0.23 0.73 KUNING GADING -0.42 -0.47 -0.57 -1.87 0.49 1.24 -0.81 -0.92 -0.16 -1.09 -0.05 0.36 0.51 1.11 0.01 0.62
308
Lampiran 3. Lanjutan No 153 154 155 156 158 159 161 162 164 165 166 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177
Nama Desa KUAMANG JAYA KARYA HARAPAN MUKTI GAPURA SUCI MULIA BAKTI MULIA JAYA KOTA RAJA TUO LIMBUR TEBO JAYA SEKAR MENGKUANG DATAR TALANG PEMESUN BARU PELEPAT PULAU BAYUR Sungai Kapas NALO BARU NALO GEDANG AIR BATU SEKO BESAR TAMAN BANDUNG SUNGKAI Arang arang UJUNG TANJUNG Cinta Damai TIMBOLASI CILODANG BANGUN HARJO
Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 0.45 -0.37 0.51 -0.63 -1.32 1.16 -1.32 2.92 1.61 -1.09 -0.18 0.88 0.09 2.00 -0.28 0.52 -0.54 -0.09 0.48 0.17 -1.32 1.21 -1.16 -1.16 1.61 -1.09 -0.18 -0.03 -1.42 1.07 -0.46 -1.23 0.13 0.23 -0.95 -2.46 0.25 0.91 0.71 -0.21 1.61 -1.09 0.88 0.92 -0.45 0.59 0.41 0.43 2.17 0.16 -0.09 -1.25 0.79 1.17 -0.21 0.26 1.61 -1.09 -0.18 -0.47 -0.50 0.14 0.37 0.01 -1.80 -1.24 0.24 -0.90 -1.32 -0.02 1.20 0.52 -0.80 -1.09 0.40 0.66 -0.01 1.25 1.70 1.46 0.75 -1.03 0.88 -0.30 -1.32 0.29 1.24 -2.91 -1.25 -1.09 -0.18 0.33 0.90 1.74 1.44 2.88 0.40 1.23 0.45 1.57 1.10 0.58 -0.69 -0.65 -0.96 0.86 -1.92 0.57 0.94 -0.07 1.08 1.81 0.21 -1.12 0.21 1.90 0.96 0.78 -0.57 -0.80 -0.78 -1.09 -1.92 0.72 -1.42 -0.45 -1.07 0.28 -1.80 1.46 0.01 1.13 0.84 1.28 -0.59 -0.89 -0.64 0.65 -1.92 0.34 -0.48 -0.86 -0.97 -0.93 1.40 -1.60 1.69 1.77 1.80 0.36 0.65 -0.32 -1.74 -1.09 -0.18 -0.90 0.93 0.01 0.56 -0.30 0.52 -0.91 0.60 0.87 1.18 0.68 1.04 -0.58 1.61 -1.09 -1.92 1.17 -1.42 -1.70 -0.98 0.86 0.21 -0.42 0.21 0.50 0.96 -0.05 1.03 -0.58 1.61 -1.09 -0.18 -1.84 -1.42 -1.70 -3.10 -2.10 2.35 0.41 -2.30 1.16 -1.32 -1.57 0.56 -2.91 1.61 -1.09 -1.59 -2.35 -1.42 -1.70 0.59 -0.92 -0.95 -0.02 -1.24 -0.72 0.06 1.40 0.73 -0.33 0.45 0.02 1.70 0.26 0.39 0.39 0.29 0.26 0.33 1.31 0.36 2.07 1.04 -0.33 1.37 -2.91 -0.89 -1.09 -0.18 -2.07 -1.42 -0.78 -0.66 -2.08 0.45 -0.62 0.51 0.79 1.13 -0.64 1.55 -0.87 -1.00 -1.09 -0.93 -2.25 -0.35 -0.05 -0.29 -0.82 -0.30 0.18 -0.43 0.60 0.58 -0.23 1.03 -2.91 -0.28 -1.09 -0.18 -1.51 0.02 0.12 0.47 -0.09 0.23 0.64 0.24 -0.90 0.97 -1.67 1.03 0.52 1.61 -1.09 -1.33 0.25 2.03 0.29 -0.18 -0.45 -1.80 0.48 -2.30 1.23 -1.32 -1.60 1.94 -2.91 1.61 -1.09 1.31 -0.47 0.64 0.14 0.43 -0.35 1.19 -1.12 1.43 1.57 1.65 -1.09 0.71 0.36 -1.59 1.30 0.40 -2.08 -1.42 0.30 0.33 0.22 1.15 -0.67 -0.15 0.11 0.75 -1.10 -0.92 -1.69 -0.51 0.58 2.12 1.45 -1.42 -1.70 -0.99 -1.33 1.25 -0.10 1.50 0.21 -1.32 -1.47 -0.56 0.16 -0.58 0.62 -0.18 0.05 -0.11 -0.04 -0.37 -0.61 1.49 -0.06 1.81 0.44 -1.32 -1.01 -0.23 0.05 1.61 -1.09 -0.18 -1.37 -1.42 -1.70 0.55 0.56 -1.80 -1.65 1.23 1.41 1.53 0.84 1.87 -0.27 -1.47 1.21 -0.05 -2.07 -1.42 -1.70 0.35 -1.62 -1.80 -0.42 -0.15 -1.33 -1.32 0.06 0.19 -0.28 1.61 -1.09 -0.18 -0.25 0.79 1.10 -0.08 1.12 -0.33 -0.42 -0.46 -0.30 -1.32 0.05 -0.82 0.12 1.61 -1.09 -0.18 -0.09 1.29 0.72 -0.69 -0.59
309
Lampiran 4. Nilai Z Variabel Indikator (Tahap 3) No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
Nama Desa PINANG MERAH MAMPUN BARU LANTAK SERIBU RASAU MERANTI BUKIT BUNGKUL SIALANG TANJUNG BENUANG TAMBANG EMAS SUNGAI PUTIH BUKIT BERINGIN PAUH MENANG PEMATANG KANCIL TANAH ABANG SUNGAI SAHUT BUNGA ANTOI MUARA DELANG SINAR GADING BUNGA TANJUNG SUNGAI BULIAN SRI SEMBILAN BUKIT SUBUR RAWA JAYA SUNGAI BENTENG PAYO LEBAR BUKIT MURAU SUNGAI MERAH PERDAMAIAN BATU PUTIH PEMATANG KULIM PETIDURAN BARU GURUH BARU BUTANG BARU JATI BARU MERANTIH BARU BUKIT SUBAN MENTAWAK BARU
Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS -0.78 0.04 -1.03 -0.34 0.83 0.80 0.97 -0.23 1.63 0.13 -0.18 0.29 2.08 0.80 2.49 2.33 -0.19 0.31 0.51 -0.63 0.09 1.12 -0.05 0.41 1.63 -1.10 -0.92 -0.38 0.20 -0.26 0.60 -0.01 -0.69 -1.21 0.17 -0.13 0.28 0.67 0.90 0.84 0.16 0.19 -0.31 0.52 -1.44 -0.84 0.85 -0.25 -0.50 -0.39 0.51 0.21 0.43 1.50 0.26 0.55 -0.05 0.31 0.07 0.59 0.84 1.00 0.84 1.14 -0.56 -0.48 -0.76 -0.71 0.38 1.48 0.52 0.55 0.02 0.27 0.29 -0.02 1.24 0.77 0.04 0.61 -0.72 -0.54 -0.95 -1.03 0.26 0.46 0.51 0.43 0.19 0.17 -0.59 -0.72 0.85 0.23 0.70 0.88 0.66 -0.02 -0.53 1.03 -1.31 1.06 -0.24 0.91 -0.18 0.38 0.29 -0.22 -0.63 -0.70 -0.01 0.52 -0.56 -0.98 -0.76 0.14 0.38 0.55 -0.08 0.78 0.02 0.27 -0.59 0.97 -0.69 -1.72 0.81 0.39 -0.94 0.10 -0.32 -0.11 0.06 0.77 -0.93 0.84 0.47 0.01 -0.18 0.74 1.60 0.65 1.61 1.36 -0.41 1.91 -0.57 -0.44 -1.31 0.82 0.11 0.46 -0.15 -1.10 -1.59 -0.39 -0.64 0.02 0.28 0.66 -0.50 -1.26 -0.68 0.82 -1.31 1.08 1.68 1.06 -0.05 0.31 -0.18 -0.73 -1.44 -0.19 0.00 -0.44 -0.24 0.60 -0.36 -1.57 0.63 0.81 -0.47 -0.37 -0.33 0.47 1.69 0.62 2.26 1.59 2.50 2.87 1.02 -1.00 1.23 0.00 0.69 0.63 -1.19 0.55 -0.42 0.52 0.40 0.49 -1.44 0.04 -0.82 -1.08 -0.72 0.73 0.14 -0.99 0.26 0.15 0.05 -0.20 0.19 0.17 2.04 0.64 0.26 0.33 1.00 -0.02 -0.69 1.37 1.07 -0.96 0.28 0.62 0.24 0.20 0.16 0.19 2.11 0.13 0.28 -0.64 0.08 0.01 -0.94 -0.35 1.04 -0.74 0.06 0.81 -0.29 -0.17 0.47 0.01 1.31 0.47 0.65 0.80 0.96 1.17 1.40 -1.27 -0.61 -1.91 -0.03 0.92 -0.36 -0.32 0.59 -0.06 1.69 0.68 0.99 0.27 1.47 1.30 0.16 0.40 0.14 -0.99 -1.31 0.91 -0.17 -0.53 0.16 -1.10 1.69 0.62 -0.05 -0.85 -1.86 -1.00 0.00 -0.72 1.50 -0.36 0.20 0.52 0.45 -0.11 0.27 0.13 -0.18 0.14 1.51 2.50 2.02 1.64 -0.24 -1.26 -0.36 -0.13 0.63 1.56 0.64 1.07 -0.33 -1.10 -0.18 -0.24 -1.44 -0.96 -0.09 -0.46 0.40 -0.91 0.45 -0.68 -1.31 1.09 0.77 0.99 -0.95 0.85 -0.18 0.15 -0.38 -0.08 0.09 -0.63 0.23 -1.79 0.24 -0.90 0.98 -0.56 1.35 1.01 -0.80 -1.10 -0.18 1.01 1.88 0.97 2.64 2.61 -0.66 -0.66 0.21 -0.93 0.31 0.15 0.63 0.37 0.12 0.21 2.11 -0.79 -0.21 -0.18 1.15 0.53 -0.94 -0.32 -0.39 -0.20 0.06 1.17 1.17 -0.37 0.47 -1.10 0.69 1.34 -0.10 -0.41 2.45 -0.11 -0.13 1.53 0.54 0.00 0.12 1.11 0.64 0.89 0.38 0.06 0.40 -1.36 2.16 2.36 1.36 1.01 -0.44 -0.01 -0.61 -0.49 -0.03 1.38 0.94 -0.32 0.59 -1.10 -0.18 0.28 -0.87 -1.22 -0.63 -1.19 1.74 0.33 0.36 0.66 1.05 0.48 0.21 -0.49 0.05 -1.10 -0.18 0.60 -1.44 -0.41 -0.52 -1.73 -0.81 0.06 -0.05 -0.39 0.18 1.28 1.41 -1.14 0.31 -1.10 -0.18 0.35 -0.12 -0.54 -0.78 -1.45 -0.16 0.34 1.23 0.00 0.69 -0.50 0.21 1.02 -0.42 -1.10 -0.18 0.87 -1.44 0.37 0.18 -0.82 -0.59 0.37 1.30 0.65 0.36 0.35 -1.17 0.36 0.05 -1.10 -0.45 0.77 -0.40 1.14 0.84 -0.90 -0.08 -1.76 -0.15 1.52 0.75 0.06 1.54 0.94 1.63 -1.10 0.40 -0.02 0.59 -0.32 1.23 0.84 -0.50 -1.29 -0.68 -0.60 1.15 -0.13 0.82 0.34 -0.05 -1.10 -0.18 -0.32 -0.36 -0.76 -0.64 -0.54 -1.79 -1.21 0.27 -0.86 -1.31 -0.53 1.10 -0.04 -0.82 -1.10 0.88 0.01 0.58 -0.45 1.11 -0.74 -1.79 -1.66 1.74 -1.03 0.91 -0.82 1.17 2.15 -0.70 -1.10 -0.18 -0.28 0.25 0.74 0.97 1.00 -1.79 -1.20 0.91 0.57 1.36 -1.14 1.25 0.78 1.63 -1.10 -0.92 -1.11 1.31 -0.24 -0.24 -0.29 -0.85 1.95 -0.18 0.06 -1.31 -0.03 1.57 -0.15 0.35 0.08 -0.92 0.04 -1.44 0.62 -0.70 -0.28 -0.30 1.94 -0.43 -1.66 0.59 0.67 1.77 2.36 -0.27 0.44 -0.92 1.64 2.21 0.76 0.83 0.39
310
Lampiran 4. Lanjutan No 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75
Nama Desa Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS PEMATANG KABAU 0.43 0.88 0.48 0.17 0.41 -0.33 1.48 -0.65 -0.02 0.29 -0.18 -1.92 0.55 0.51 -1.62 -0.06 TERENTANG BARU -0.44 -1.30 0.66 0.93 0.48 -0.12 -0.67 -0.44 -0.12 -1.10 1.14 0.08 -0.65 -0.51 0.00 -0.43 DURIAN LUNCUK 0.96 1.77 -0.29 -1.49 1.49 1.29 0.02 0.29 -0.39 2.11 0.88 0.11 -1.44 -0.94 0.70 0.22 JANGGA BARU 2.23 -0.74 -0.83 0.02 1.03 1.18 -0.59 1.55 0.09 0.23 1.87 -0.52 0.19 -0.80 -0.25 -0.76 BULIAN BARU 0.05 -1.60 0.01 0.27 0.85 -0.89 0.34 1.20 -0.63 -1.10 -0.18 -0.72 -0.10 0.17 0.46 -0.36 MEKAR JAYA 0.28 -1.21 2.03 2.02 1.01 -0.37 0.48 -0.16 -0.84 0.78 0.40 -1.07 0.61 0.33 0.63 0.80 BULIAN JAYA 0.90 1.91 -0.36 -0.13 0.63 -1.09 -0.17 -0.22 -0.33 0.47 -0.18 -0.96 0.82 -0.96 0.13 0.72 KEHIDUPAN BARU 0.73 0.32 0.85 -0.32 -1.31 -0.26 -0.77 0.74 -1.23 1.04 -1.59 0.85 0.57 0.08 0.08 1.54 KARYA MUKTI 0.73 -0.38 0.85 1.12 -1.31 -1.49 -0.10 -1.81 -1.23 1.04 -1.59 0.49 0.21 0.08 0.53 -0.32 BUKIT HARAPAN -0.53 1.86 -0.72 -0.66 1.12 0.12 -0.24 -0.54 -0.02 0.29 -0.45 0.72 -0.68 -1.05 -1.89 -0.24 BELANTI JAYA 0.43 -1.41 0.48 -0.66 1.12 -1.14 -0.16 0.45 -0.97 0.87 -0.92 0.73 -0.37 -0.77 -0.89 -0.62 TAPAH SARI 0.86 -1.06 1.02 -0.18 1.42 -0.81 1.40 -0.36 -1.33 1.11 0.18 0.81 -1.44 -1.72 -0.57 -2.01 BUKIT KEMUNING 1.05 -0.09 1.25 0.02 -1.31 -0.21 0.33 -0.25 -1.48 1.22 -1.11 -1.35 -0.18 -1.72 -1.81 -1.39 RAMIN 1.83 1.13 -2.29 1.56 -1.31 -1.03 0.20 -1.49 -2.02 1.66 0.88 0.09 -1.44 -1.72 1.08 -0.44 MEKAR SARI -0.53 -0.44 -0.72 0.75 -1.31 -0.76 1.41 0.20 -0.02 0.29 -0.18 1.16 0.01 -0.08 -0.92 -1.19 PANCA MULYA -0.33 0.56 -0.46 -0.29 1.34 -0.93 -1.21 -1.80 -0.24 0.42 -0.18 -0.56 -0.01 -0.99 0.11 -0.25 SUKA MAKMUR -0.11 0.98 -0.18 0.06 0.15 0.94 -0.83 -0.21 0.35 -1.10 -0.18 0.10 0.47 -0.45 1.81 0.52 MARGA MULYA -0.69 -0.17 0.14 -0.15 0.28 0.67 -1.05 -0.72 0.16 0.19 2.11 -0.67 -1.44 -0.85 -2.47 -0.95 MARGA 0.66 0.64 -0.53 0.44 0.52 -0.33 -1.47 -0.49 -0.18 0.38 0.40 0.10 -0.04 0.31 -0.45 -0.06 RANTAU HARAPAN 0.26 0.23 0.27 -0.86 0.33 0.58 -1.07 -0.65 0.09 0.23 -0.92 0.51 -0.42 -0.82 -1.78 -0.27 TALANG BUKIT -0.39 -0.71 0.74 -0.41 0.52 -0.45 -1.15 -1.05 -0.18 0.38 -0.18 0.45 -0.63 -0.48 -0.20 -0.12 TRIJAYA 1.63 -1.20 1.99 1.39 -1.31 -0.80 -1.15 -0.02 -0.82 0.77 -0.18 0.24 1.61 0.31 -0.90 -0.44 TANJUNG 0.08 -1.72 0.05 1.14 0.87 -0.95 -0.16 -0.51 -0.65 0.66 1.31 -1.20 -0.09 -1.72 -0.80 0.98 HARAPAN BERKAH 1.40 -0.99 0.08 1.17 0.89 -0.59 -1.20 0.63 -0.68 1.42 0.88 -0.49 -0.47 -0.86 -2.89 -0.47 SUMBER MULYA 0.23 -1.77 0.24 -0.90 -1.31 -0.12 -1.33 0.10 -0.80 0.75 -0.18 -0.66 -0.43 -0.82 -1.91 -0.56 MATRA 0.50 -1.26 0.57 0.85 -1.31 -0.94 -1.03 -0.18 -1.04 0.91 -0.18 -0.20 -1.44 -1.72 -0.80 0.25 MANUNGGAL BUKIT MULYA 0.90 -0.87 1.07 -0.13 1.45 -1.10 -1.03 0.90 -1.37 1.13 0.18 -0.49 0.27 -0.64 0.38 2.35 BUKIT MAKMUR 1.19 -1.60 -0.12 0.16 0.77 -1.33 0.63 -0.16 -0.53 1.83 -1.11 0.56 -1.44 -0.30 -0.64 0.79 BAHAR MULYA 0.38 1.01 2.20 -0.71 -1.31 -0.95 -1.12 -0.46 -0.93 0.84 -0.18 0.00 0.05 -0.09 -0.40 -0.65 TANJUNG MULYA 0.38 1.13 0.42 -0.71 1.08 -1.49 -0.87 0.08 -0.93 0.84 -0.18 0.63 0.04 -0.10 -0.32 1.30 BUKIT MAS -0.53 -0.67 -0.72 -0.66 0.41 -1.21 -1.57 -1.47 -0.02 0.29 -0.18 -1.16 -1.44 -0.07 -2.61 -0.18 SUMBER JAYA -1.79 -0.04 0.17 -0.96 -1.31 -1.47 -1.77 -1.03 -0.75 0.72 -0.18 0.78 -0.04 -0.84 -0.34 -0.68 ADIPURA 0.38 -0.14 0.42 -0.71 1.08 -1.49 -1.19 0.55 -0.93 0.84 -0.18 -1.64 -0.39 0.58 -0.97 0.58 KENCANA BUKIT JAYA 0.16 -0.14 0.14 -0.99 -1.31 -1.44 -1.77 -0.11 -0.73 0.71 -0.59 -0.98 0.27 0.25 -1.56 -0.04 TANJUNG SARI -0.33 0.40 -0.46 -1.71 0.57 -1.31 -1.07 -0.56 -0.24 0.42 -0.18 0.87 -0.61 0.09 -0.32 1.13 PETALING JAYA 0.38 0.93 0.42 -1.17 -0.24 0.07 0.43 -1.36 0.86 -1.10 -0.92 0.03 0.12 0.38 0.24 0.26 SUMBER AGUNG -0.39 0.90 -0.53 -1.81 0.52 0.10 -0.06 -0.48 1.63 -1.10 -0.18 -0.25 -1.44 -1.00 -1.35 0.49
311
Lampiran 4. Lanjutan No 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113
Nama Desa RANTAU RASAU I RANTAU RASAU II BANDAR JAYA BANGUN KARYA HARAPAN MAKMUR RANTAU JAYA RANTAU MAKMUR RANTAU INDAH JATI MULYO SIDO MUKTI CATUR RAHAYU RAWASARI LAMBUR I LAMBUR II PANDAN JAYA PANDAN MAKMUR PANDAN LAGAN SUKA MAJU KOTA BARU RANTAU KARYA PURWODADI SRI AGUNG LAMPISI TANJUNG BENANAK BUKIT HARAPAN ADI PURWA PINANG GADING DUSUN MUDO TANJUNG TAYAS BADANG KAMPUNG BARU RANTAU BADAK BUKIT INDAH KEMANG MANIS INTAN JAYA SUKA DAMAI ADI JAYA
Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 0.77 -0.20 -2.29 1.14 -1.31 -1.00 1.29 -1.15 1.63 -1.10 -0.31 0.87 1.66 2.47 -0.03 -0.87 2.18 -0.11 -0.53 0.44 -1.31 0.43 0.63 -1.21 -0.18 -1.10 1.98 1.81 2.15 0.97 0.47 1.67 -0.88 0.86 -0.18 1.19 0.73 -0.25 0.73 0.09 0.38 1.98 0.79 0.92 2.13 2.28 0.43 -0.07 -0.33 0.56 -2.29 1.56 -1.31 -1.23 0.72 -1.17 -0.24 1.04 1.69 1.82 2.13 0.48 2.27 1.44 -0.47 0.07 -2.29 2.04 -1.31 -1.30 0.98 0.47 -0.08 0.33 0.18 1.82 1.47 1.15 -0.45 0.28 1.07 0.50 -0.79 1.77 0.36 -0.16 0.34 0.11 0.05 -1.10 -0.18 1.82 0.98 2.36 -0.13 -0.10 -0.62 0.47 0.27 1.02 1.00 -0.63 1.18 -1.24 0.09 -1.10 -1.92 1.20 1.85 -0.44 0.10 1.08 -0.47 0.01 -0.64 -0.09 0.45 -0.78 0.46 1.30 1.63 -0.09 0.88 1.15 1.35 0.04 -1.22 -0.65 2.13 -0.43 -2.29 0.99 -1.31 -0.73 0.48 0.47 -2.21 -1.10 0.07 1.78 -1.44 -1.72 -1.18 -2.77 -0.47 0.96 -0.64 0.30 0.45 0.44 0.97 0.78 1.63 -1.10 -0.18 0.16 0.46 -0.33 -1.63 -1.37 0.05 -1.34 0.01 1.69 0.85 0.35 0.93 -0.37 -0.63 -1.10 2.11 0.20 0.87 -0.53 0.10 -0.69 1.83 -1.77 -2.29 2.15 -1.31 -1.67 1.27 0.27 -2.02 -1.10 -1.59 1.22 0.06 -1.72 -1.49 -2.77 -0.36 1.00 -0.50 0.51 0.54 -1.23 0.81 -1.18 -0.21 1.02 -0.45 -0.77 1.93 1.01 0.00 -0.56 -0.78 1.48 -1.03 0.29 0.20 -1.54 1.16 0.27 0.27 0.13 -0.75 -0.02 2.17 -0.14 0.20 0.67 0.28 -0.72 -1.27 0.21 0.59 -0.68 1.41 -1.79 0.51 2.17 0.88 1.70 -0.42 -0.81 0.53 0.29 0.31 -0.14 -2.29 0.62 -1.31 -1.08 1.68 0.86 -0.87 0.80 -0.75 -1.32 0.61 -0.13 -1.49 -1.46 0.28 -0.61 0.30 0.59 1.01 -1.44 0.84 -0.74 -0.84 0.78 -0.18 -1.38 -1.44 2.27 -0.87 -0.52 -0.19 1.75 -0.29 0.75 -1.31 -0.70 1.94 1.60 -0.39 1.67 -0.92 -1.77 -0.21 -0.63 -1.00 -1.42 0.23 -0.07 0.24 -0.90 0.98 -0.65 1.52 0.53 -0.80 2.11 -0.18 -1.58 -0.02 -1.72 -0.27 -0.13 1.86 -0.64 -2.29 0.76 -1.31 -1.01 1.09 1.62 -2.04 1.68 -1.33 -1.87 1.18 -1.72 -1.15 -1.81 -0.62 0.56 -0.83 -0.83 -0.13 1.36 -0.06 0.16 0.72 0.78 0.40 -1.13 -0.29 -0.14 0.86 0.47 -0.08 0.88 -0.15 -0.49 -1.31 -1.18 -0.60 -0.81 0.35 0.08 0.88 0.11 0.25 -0.32 -0.29 -1.19 -0.27 1.65 0.99 -0.20 0.61 -0.42 -0.32 -0.02 -0.30 0.45 -0.18 0.85 -0.25 -0.41 -0.74 0.23 0.28 -0.23 0.30 1.41 1.01 0.93 -0.36 0.58 -0.84 0.78 -0.92 -0.19 -1.44 0.51 -0.03 0.96 0.45 0.87 0.51 -0.63 1.14 -0.20 -0.07 0.32 1.63 -1.10 2.11 -0.09 0.08 0.20 -0.30 0.14 1.32 -0.92 1.60 1.70 -1.31 -0.92 -1.46 1.11 1.63 1.37 0.40 0.59 0.46 -1.72 0.24 0.06 1.42 -1.67 1.71 0.37 -1.31 -0.83 0.44 0.00 -1.75 1.43 -1.59 0.92 -1.44 0.41 1.28 2.62 1.63 -1.24 -2.29 1.98 -1.31 0.08 -0.84 -0.55 -0.82 2.14 1.69 -1.90 -1.44 -0.82 0.52 1.32 1.81 -0.50 -2.29 2.15 -1.31 -1.01 -1.77 1.10 -2.01 1.65 0.88 -1.94 0.05 -0.39 1.62 -0.44 -1.79 -1.09 1.10 1.32 1.47 -0.99 -0.40 1.10 -1.38 1.15 2.11 -2.24 -1.44 0.95 0.01 0.24 -0.05 1.56 -0.12 0.98 -1.31 -1.16 -1.56 -0.78 -0.53 0.59 0.40 -1.23 -0.52 -0.56 1.08 0.09 -0.13 0.56 1.25 0.85 0.71 -0.21 0.24 -1.72 -0.44 -1.10 1.31 -1.70 0.10 0.66 -0.02 -0.37 0.21 -0.30 0.21 0.49 0.96 -1.14 -1.16 0.37 1.63 -1.10 1.83 -1.38 -0.44 -0.18 -0.48 0.60 2.27 -0.79 -2.29 1.10 -1.31 -0.89 -1.47 -0.45 1.63 1.04 1.06 -0.27 0.20 -0.69 -0.03 1.72 0.50 -1.45 0.57 0.85 1.17 -1.02 -0.22 0.82 1.63 -1.10 1.69 -0.60 -0.35 -1.72 0.74 -0.47 -0.13 0.25 -0.22 0.04 0.71 -0.48 0.48 -1.21 -0.44 0.54 -0.18 1.06 0.11 -0.93 -1.13 0.45 0.13 -0.58 0.11 -1.03 -1.31 -1.67 -0.69 0.29 -0.70 0.69 0.88 0.24 -1.44 0.02 -2.07 -0.14
312
Lampiran 4. Lanjutan No 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150
Nama Desa BRASAU PERINTIS KELURAHAN WIROTHO AGUNG RIMBO MULYO
Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 0.73 -0.90 0.85 -0.32 -1.31 -0.33 0.76 2.02 -1.23 1.04 -0.18 0.12 0.57 -0.69 -0.60 -0.68 -0.47 1.42 0.21 -0.93 0.12 1.40 -0.65 -0.40 0.91 -0.26 -0.18 0.58 -0.10 0.61 0.36 0.13 -0.21 1.16 -0.53 -1.24 0.52 1.39 -0.78 -0.63 1.22 -0.49 1.31 -0.29 0.17 1.73 1.42 0.38 -0.62 0.23 -0.22 -1.40 -0.13 1.54 -1.22 -0.25 0.72 -0.14 -0.18 0.59 0.73 0.43 1.14 0.25 PURWO HARJO -1.01 0.29 1.35 -0.36 0.00 1.09 -1.31 -0.60 0.55 -0.04 -0.18 0.92 -0.44 0.13 0.98 -0.11 TEGAL ARUM -1.26 0.25 0.01 -1.13 0.23 1.41 -1.19 0.34 0.86 -0.23 -0.18 -0.06 -0.27 0.13 -0.08 -0.53 TIRTAKENCANA -1.29 0.53 -0.64 -1.96 0.12 1.51 -1.40 0.10 0.91 -0.26 -0.18 1.10 -0.81 -0.04 -0.22 -0.39 SAPTA MULIA -1.01 -0.04 0.21 -0.36 0.00 0.74 -1.37 1.90 0.55 -0.04 -0.18 0.64 0.19 0.63 0.35 0.04 SUKA DAMAI 0.48 0.19 0.54 -0.60 0.59 1.05 -0.52 -0.44 0.82 2.12 0.40 0.26 0.24 -0.05 -0.01 -0.23 SUKA MAJU -1.11 1.23 0.45 -0.22 0.41 1.08 -0.96 -0.15 0.68 -1.10 0.07 0.21 -0.51 -0.30 -0.86 -0.71 WANAREJA -1.33 0.64 0.54 -0.60 -0.32 0.67 -1.59 0.11 0.96 -0.30 -0.92 0.02 -0.04 0.51 -0.13 -0.44 SUMBER SARI -1.15 1.18 0.36 -0.32 0.36 1.05 -0.43 0.20 0.72 -0.14 -0.92 1.19 0.20 1.99 -0.41 -0.53 SIDO RUKUN -1.05 1.36 1.71 -0.47 -0.03 1.17 -1.06 0.27 0.59 -0.06 -0.18 0.07 -0.07 0.08 -0.57 -0.33 SUNGAI PANDAN 0.40 -0.31 0.45 0.72 1.10 0.53 0.27 1.22 -0.95 -1.10 -0.92 -1.70 -1.44 -0.39 -0.29 -1.43 SIDO REJO -1.79 1.42 0.30 0.57 -1.31 1.23 -0.85 2.11 -0.84 0.78 -1.11 0.29 1.78 0.32 -0.78 -0.52 KARANG DADI -0.53 -1.47 -0.72 -0.63 1.14 1.27 -1.77 2.65 -0.02 0.29 -1.33 0.17 0.08 0.31 -0.48 0.28 GIRI PURNO 1.02 1.91 -0.25 -1.44 0.69 1.50 -1.59 1.11 -0.42 0.52 0.88 -1.00 0.33 -0.35 -1.49 -1.40 SUMBER AGUNG -0.16 1.81 -0.25 0.82 -1.31 1.14 -1.58 1.61 -0.42 0.52 -1.59 -1.12 1.06 0.78 -0.05 0.05 SARI MULYA -0.59 1.37 -0.79 -0.80 0.36 1.17 -1.07 1.12 0.05 0.25 -1.59 -1.41 -0.41 0.00 -0.47 0.20 GIRIWINANGUN -0.98 1.25 -0.43 -0.24 0.03 1.52 -0.87 0.41 0.51 1.07 -1.11 -0.29 -0.12 -0.43 -0.12 -0.68 PINANG BALAI 0.84 -0.96 0.99 -0.20 -1.31 -1.52 0.82 -0.64 1.63 -1.10 -1.59 -1.29 -0.25 0.67 -0.09 1.26 SEKUTUR JAYA 1.62 -0.63 1.97 0.55 1.95 -1.01 -1.77 0.13 1.63 1.54 -1.59 -0.95 0.59 -0.44 -0.32 1.31 NAPAL PUTIH 2.30 -0.73 2.82 1.13 -1.31 -1.67 -0.24 0.22 -2.30 -1.10 -1.59 -1.11 -1.44 -0.25 0.71 -0.67 Sungai Karang 0.43 0.83 0.48 -0.66 1.12 -1.67 2.05 0.61 1.63 -1.10 2.11 1.68 -0.37 -1.72 -0.05 -1.81 BANGUN 0.52 0.87 -0.64 0.29 0.45 -0.51 -0.26 -1.27 -1.68 2.08 -0.18 1.01 -0.66 0.35 0.47 0.27 SARANTEN SUNGAI JERNIH -0.33 0.65 -0.46 -0.27 -1.31 -0.80 -0.44 -0.08 -0.24 0.42 1.69 1.01 -0.27 0.09 0.22 -0.60 BUKIT SARI -0.50 -0.28 -0.68 -0.63 -1.31 1.36 1.30 0.24 -0.05 -1.10 -0.18 0.15 -0.12 0.21 0.08 -0.35 SARI MULYA -1.79 1.13 -0.87 -0.09 0.31 -1.42 1.52 0.76 0.12 -1.10 -1.59 -0.51 1.11 -0.63 0.20 -0.15 PURWOSARI -0.05 1.44 -0.12 -1.28 0.38 1.54 -0.53 -0.22 0.02 2.12 0.88 0.00 0.60 1.40 2.19 1.41 LEMBAH -0.59 1.04 -0.79 -0.77 -1.31 1.45 -1.13 0.13 1.63 -1.10 0.40 0.04 0.21 2.06 0.26 -0.29 KUAMANG SUMBER HARAPAN -1.79 0.88 -0.68 -0.60 -1.31 0.39 0.07 0.33 -0.05 -1.10 -0.18 1.77 0.09 1.83 0.37 0.02 DAYA MURNI -1.79 0.82 -0.53 -1.81 -1.31 1.18 -0.50 0.03 1.63 -1.10 -0.18 1.78 -0.63 1.31 0.82 -0.49 SUMBER MULIA 0.45 1.12 0.51 0.81 1.14 0.82 -0.31 0.63 1.63 -1.10 0.40 0.25 -0.36 1.17 0.16 -0.11 MAJU JAYA -1.79 -0.52 -0.12 0.14 -1.31 1.05 -0.18 0.22 -0.53 -1.10 -0.18 0.08 -0.14 2.29 0.30 0.63 TIRTA MULIA -0.36 -0.24 -0.50 -0.36 -1.31 0.31 0.06 0.07 -0.21 -1.10 -0.18 1.71 1.25 1.36 0.89 0.77 LINGGA KUAMANG -0.56 0.98 0.39 -2.13 0.38 0.93 0.14 0.07 0.02 -1.10 -0.18 1.66 -0.39 0.67 0.21 0.73 KUNING GADING -0.41 -0.47 -0.57 -1.86 0.50 1.23 -0.80 -0.92 -0.15 -1.10 -0.05 0.36 0.50 1.11 -0.01 0.61
313
Lampiran 4. Lanjutan No 151 152 153 154 155 156 158 159 160 161 162 165 166 167 168 169 170 171 172 173 174 175 176 177
Nama Desa KUAMANG JAYA KARYA HARAPAN MUKTI GAPURA SUCI MULIA BAKTI MULIA JAYA KOTA RAJA TUO LIMBUR TEBO JAYA SEKAR MENGKUANG DATAR TALANG PEMESUN PULAU BAYUR Sungai Kapas NALO BARU NALO GEDANG AIR BATU SEKO BESAR TAMAN BANDUNG SUNGKAI Arang arang UJUNG TANJUNG Cinta Damai TIMBOLASI CILODANG BANGUN HARJO
Z_bidan Z_Posyandu Z_TK Z_SD Z_SMP Z_Rumah Z_RTM Z_Hansip Z_Babinsa Z_PPM Z_KK Z_Lahan Z_IP Z_INP Z_PD Z_JS 0.45 -0.37 0.51 -0.63 -1.31 1.16 -1.31 2.91 1.63 -1.10 -0.18 0.88 0.08 2.00 -0.30 0.51 -0.53 -0.09 0.48 0.17 -1.31 1.20 -1.15 -1.16 1.63 -1.10 -0.18 -0.04 -1.44 1.06 -0.49 -1.25 0.13 0.23 -0.95 -2.45 0.26 0.91 0.72 -0.22 1.63 -1.10 0.88 0.92 -0.46 0.58 0.40 0.42 2.17 0.16 -0.08 -1.24 0.79 1.16 -0.20 0.26 1.63 -1.10 -0.18 -0.49 -0.51 0.13 0.37 0.00 -1.79 -1.24 0.24 -0.90 -1.31 -0.02 1.21 0.52 -0.80 -1.10 0.40 0.65 -0.02 1.25 1.72 1.47 0.75 -1.03 0.88 -0.29 -1.31 0.29 1.25 -2.91 -1.25 -1.10 -0.18 0.32 0.90 1.74 1.46 2.90 0.40 1.22 0.45 1.57 1.10 0.57 -0.68 -0.66 -0.95 0.85 -1.92 0.56 0.94 -0.08 1.09 1.82 0.21 -1.12 0.21 1.90 0.96 0.78 -0.56 -0.80 -0.78 -1.10 -1.92 0.71 -1.44 -0.47 -1.12 0.27 -1.79 1.46 0.01 1.13 0.85 1.27 -0.59 -0.89 -0.63 0.65 -1.92 0.33 -0.49 -0.87 -1.01 -0.95 1.40 -1.60 1.69 1.77 1.80 0.36 0.65 -0.32 -1.74 -1.10 -0.18 -0.91 0.92 0.00 0.56 -0.32 0.52 -0.91 0.60 0.87 1.19 0.67 1.04 -0.58 1.63 -1.10 -1.92 1.17 -1.44 -1.72 -1.02 0.86 2.35 0.40 -2.29 1.16 -1.31 -1.57 0.56 -2.91 1.63 -1.10 -1.59 -2.38 -1.44 -1.72 0.59 -0.94 -0.94 -0.02 -1.23 -0.71 0.06 1.39 0.74 -0.33 0.47 0.01 1.69 0.25 0.38 0.38 0.28 0.25 0.33 1.31 0.36 2.07 1.05 -0.33 1.38 -2.91 -0.89 -1.10 -0.18 -2.09 -1.44 -0.80 -0.69 -2.11 0.45 -0.62 0.51 0.79 1.14 -0.64 1.56 -0.88 -1.00 -1.10 -0.92 -2.27 -0.36 -0.06 -0.32 -0.84 -0.30 0.18 -0.43 0.60 0.59 -0.23 1.03 -2.91 -0.27 -1.10 -0.18 -1.53 0.01 0.11 0.46 -0.10 0.23 0.64 0.24 -0.90 0.98 -1.67 1.04 0.52 1.63 -1.10 -1.33 0.24 2.03 0.28 -0.20 -0.47 -1.79 0.47 -2.29 1.23 -1.31 -1.59 1.95 -2.91 1.63 -1.10 1.31 -0.49 0.63 0.13 0.42 -0.36 1.19 -1.12 1.43 1.57 1.65 -1.08 0.71 0.35 -1.59 1.30 0.40 -2.11 -1.44 0.29 0.32 0.21 1.15 -0.67 -0.15 0.12 0.75 -1.09 -0.92 -1.69 -0.50 0.57 2.11 1.45 -1.44 -1.72 -1.04 -1.35 1.24 -0.10 1.50 0.21 -1.31 -1.46 -0.56 0.16 -0.58 0.62 -0.18 0.04 -0.12 -0.05 -0.40 -0.63 1.49 -0.07 1.81 0.44 -1.31 -1.01 -0.23 0.04 1.63 -1.10 -0.18 -1.39 -1.44 -1.72 0.55 0.55 -1.79 -1.65 1.23 1.41 1.54 0.83 1.87 -0.27 -1.47 1.20 -0.05 -2.09 -1.44 -1.72 0.34 -1.65 -1.79 -0.42 -0.15 -1.32 -1.31 0.06 0.20 -0.28 1.63 -1.10 -0.18 -0.26 0.79 1.10 -0.10 1.12 -0.33 -0.42 -0.46 -0.29 -1.31 0.05 -0.81 0.11 1.63 -1.10 -0.18 -0.10 1.29 0.72 -0.73 -0.61
315
Lampiran 5. Pengujian Multivariate Outlier (Tahap 1) No
Nama Desa
D2
No
Nama Desa
D2
1
PULAU BAYUR
40.59
88
DAYA MURNI
14.42
2
TANJUNG TAYAS
33.41
89
SUKA DAMAI
14.20
3
Sungai Karang
32.30
90
AIR BATU
14.17
4
KOTA RAJA
32.23
91
LAMBUR I
14.03
5
BADANG
31.40
92
MAJU JAYA
13.94
6
ADI PURWA
31.21
93
BUKIT JAYA
13.64
7
RAWASARI
31.20
94
ADIPURA KENCANA
13.54
8
JATI MULYO
30.51
95
LAMBUR II
13.52
9
NAPAL PUTIH
30.42
96
BANGUN SARANTEN
13.47
10
TIMBOLASI
30.38
97
PANCA MULYA
13.41
11
RANTAU RASAU II
29.64
98
SUNGAI BENTENG
13.35
12
RANTAU KARYA
29.09
99
KUNING GADING
13.33
13
PINANG GADING
28.31
100
BUNGA TANJUNG
13.32
14
DUSUN MUDO
28.28
101
TANJUNG SARI
13.29
15
SEKUTUR JAYA
27.40
102
SUNGAI SAHUT
13.18
16
TALANG PEMESUN
27.33
103
PEMATANG KULIM
13.16
17
TAMAN BANDUNG
26.89
104
TANJUNG BENANAK
13.14
18
RANTAU RASAU I
26.84
105
BUKIT HARAPAN
13.04
19
PANDAN LAGAN
26.33
106
SUNGAI MERAH
13.02
20
Cinta Damai
26.08
107
BRASAU
12.99
21
KEMANG MANIS
25.01
108
TANJUNG MULYA
12.98
22
NALO BARU
24.62
109
SUMBER MULIA
12.96
23
RAMIN
24.41
110
NALO GEDANG
12.93
24
SUKA MAJU
24.03
111
RANTAU INDAH
12.91
25
BANGUN KARYA
23.45
112
BATU PUTIH
12.81
26
BANDAR JAYA
23.21
113
SUNGAI PANDAN
12.74
27
PANDAN JAYA
22.75
114
MEKAR JAYA
12.60
28
MENTAWAK BARU
22.67
115
BUKIT HARAPAN
12.48
29
BUKIT SUBUR
21.84
116
GAPURA SUCI
12.45
30
DATAR
21.71
117
CILODANG
12.44
31
SIDO REJO
21.46
118
BULIAN JAYA
12.38
32
PINANG BALAI
21.43
119
SARI MULYA
12.02
33
TRIJAYA
21.33
120
KEHIDUPAN BARU
11.86
34
RANTAU JAYA
21.22
121
TANJUNG BENUANG
11.82
35
SUMBER JAYA
21.21
122
SUMBER HARAPAN
11.47
36
KUAMANG JAYA
21.11
123
SRI SEMBILAN
11.21
37
HARAPAN MAKMUR
21.00
124
BELANTI JAYA
11.19
38
TEBO JAYA
20.95
125
LEMBAH KUAMANG
11.19
316
Lampiran 5. Lanjutan No
Nama Desa
D2
No
D2
39
DURIAN LUNCUK
20.82
126
Nama Desa KELURAHAN WIROTHO AGUNG
40
KARANG DADI
20.75
127
SUKA MAKMUR
41
BUKIT MAS
20.55
128
BANGUN HARJO
10.83
42
JATI BARU
20.37
129
SIDO MUKTI
10.67
43
GIRI PURNO
20.24
130
MATRA MANUNGGAL
10.60
44
TUO LIMBUR
19.67
131
SIALANG
10.60
45
SEKAR MENGKUANG
19.65
132
SUNGAI BULIAN
10.45
46
MERANTIH BARU
19.64
133
SUMBER SARI
10.38
47
RANTAU MAKMUR
19.45
134
LINGGA KUAMANG
10.23
48
BUKIT SUBAN
19.17
135
BULIAN BARU
10.21
49
SEKO BESAR
19.10
136
PEMATANG KANCIL
10.15
50
INTAN JAYA
18.93
137
PERDAMAIAN
10.12
51
TAPAH SARI
18.54
138
LANTAK SERIBU
9.96
52
SARI MULYA
18.33
139
PURWO HARJO
9.59
53
JANGGA BARU
18.09
140
MEKAR SARI
9.45
54
SINAR GADING
18.09
141
TIRTAKENCANA
9.44
55
BUTANG BARU
18.08
142
GIRIWINANGUN
9.34
56
BUKIT KEMUNING
17.75
143
UJUNG TANJUNG
9.27
57
BUKIT MAKMUR
17.55
144
RAWA JAYA
9.15
58
PAUH MENANG
17.49
145
SUKA DAMAI
8.90
59
Arang arang
17.38
146
SUNGAI JERNIH
8.82
60
BUKIT INDAH
17.37
147
SRI AGUNG
8.69
61
SUMBER AGUNG
17.11
148
LAMPISI
8.61
62
MARGA MULYA
17.01
149
RIMBO MULYO
8.57
63
MUARA DELANG
16.97
150
SIDO RUKUN
8.43
64
BERKAH
16.90
151
TERENTANG BARU
8.31
65
KAMPUNG BARU
16.83
152
RANTAU HARAPAN
8.19
66
ADI JAYA
16.67
153
GURUH BARU
8.17
67
SUNGKAI
16.61
154
BUKIT SARI
8.09
68
MULIA BAKTI
16.57
155
PURWODADI
8.00
69
16.55
156
TAMBANG EMAS
7.92
70
PANDAN MAKMUR KARYA HARAPAN MUKTI
16.47
157
Sungai Kapas
7.91
71
BUKIT BERINGIN
16.45
158
PETALING JAYA
7.88
72
MULIA JAYA
16.43
159
BUKIT MURAU
7.72
73
CATUR RAHAYU
16.38
160
MERANTI
7.72
74
PURWOSARI
16.33
161
TIRTA MULIA
7.50
75
PAYO LEBAR
16.14
162
SAPTA MULIA
7.37
76
KOTA BARU
15.97
163
WANAREJA
7.29
11.15 10.84
317
Lampiran 5. Lanjutan No
Nama Desa
D2
No
Nama Desa
D2
77
PEMATANG KABAU
15.79
164
BUKIT BUNGKUL
7.26
78
KARYA MUKTI
15.64
165
TANAH ABANG
7.12
79
SUNGAI PUTIH
15.56
166
SUKA MAJU
7.10
80
SUMBER AGUNG
15.15
167
MAMPUN BARU
7.05
81
BUKIT MULYA
15.10
168
TALANG BUKIT
6.63
82
PETIDURAN BARU
15.09
169
RASAU
6.10
83
TANJUNG HARAPAN
15.08
170
BUNGA ANTOI
6.01
84
SUMBER MULYA
14.80
171
TEGAL ARUM
5.86
85
BAHAR MULYA
14.78
172
MARGA
5.54
86
PINANG MERAH
14.71
173
PERINTIS
4.35
87
RANTAU BADAK
14.51
318
Lampiran 6. Pengujian Multivariate Outlier (Tahap 2) No
Nama Desa
D2
No
Nama Desa DAYA MURNI
D2
1
TANJUNG TAYAS
34.17
87
14.43
2
BADANG
32.34
88
RANTAU BADAK
14.40
3
Sungai Karang
32.11
89
MAJU JAYA
14.11
4
KOTA RAJA
32.07
90
SUKA DAMAI
14.10
5
RAWASARI
31.49
91
LAMBUR I
14.07
6
ADI PURWA
31.05
92
PANCA MULYA
13.89
7
NAPAL PUTIH
30.75
93
SUNGAI SAHUT
13.71
8
JATI MULYO
30.48
94
BUKIT JAYA
13.58
9
TIMBOLASI
30.22
95
ADIPURA KENCANA
13.47
10
RANTAU RASAU II
29.60
96
LAMBUR II
13.45
11
RANTAU KARYA
29.49
97
BANGUN SARANTEN
13.39
12
DUSUN MUDO
28.89
98
NALO GEDANG
13.38
13
TAMAN BANDUNG
28.22
99
SUNGAI BENTENG
13.37
14
PINANG GADING
28.15
100
BRASAU
13.36
15
RANTAU RASAU I
27.84
101
BUNGA TANJUNG
13.27
16
Cinta Damai
27.73
102
KUNING GADING
13.25
17
SEKUTUR JAYA
27.60
103
TANJUNG SARI
13.21
18
TALANG PEMESUN
27.39
104
SUNGAI MERAH
13.18
19
KEMANG MANIS
26.31
105
TANJUNG BENANAK
13.17
20
PANDAN LAGAN
26.20
106
RANTAU INDAH
13.12
21
NALO BARU
25.69
107
PEMATANG KULIM
13.09
22
RAMIN
25.52
108
TANJUNG MULYA
13.05
23
SUKA MAJU
23.96
109
BUKIT HARAPAN
12.98
24
BANDAR JAYA
23.76
110
SUMBER MULIA
12.86
25
BANGUN KARYA
23.31
111
BATU PUTIH
12.82
26
MENTAWAK BARU
23.25
112
MEKAR JAYA
12.78
27
PINANG BALAI
22.91
113
SUNGAI PANDAN
12.77
28
PANDAN JAYA
22.72
114
BULIAN JAYA
12.59
29
SIDO REJO
22.66
115
GAPURA SUCI
12.56
30
BUKIT SUBUR
21.82
116
BUKIT HARAPAN
12.42
31
DATAR
21.62
117
CILODANG
12.40
32
TRIJAYA
21.52
118
SARI MULYA
12.12
33
KUAMANG JAYA
21.19
119
KEHIDUPAN BARU
11.90
34
RANTAU JAYA
21.17
120
TANJUNG BENUANG
11.77
35
JATI BARU
21.15
121
SUMBER HARAPAN
11.62
36
SUMBER JAYA
21.08
122
11.28
37
HARAPAN MAKMUR
21.06
123
LEMBAH KUAMANG KELURAHAN WIROTHO AGUNG
11.28
319
Lampiran 6. Lanjutan No
Nama Desa
D2
No
Nama Desa
D2
38
KARANG DADI
20.84
124
SRI SEMBILAN
11.20
39
TEBO JAYA
20.83
125
BELANTI JAYA
11.17
40
DURIAN LUNCUK
20.70
126
SUKA MAKMUR
11.14
41
BUKIT MAS
20.57
127
BANGUN HARJO
10.94
42
GIRI PURNO
20.20
128
SIDO MUKTI
10.60
43
TUO LIMBUR
19.56
129
MATRA MANUNGGAL
10.54
44
SEKAR MENGKUANG
19.55
130
SIALANG
10.53
45
MERANTIH BARU
19.53
131
SUMBER SARI
10.49
46
RANTAU MAKMUR
19.34
132
SUNGAI BULIAN
10.39
47
SEKO BESAR
19.32
133
LINGGA KUAMANG
10.35
48
BUKIT SUBAN
19.13
134
PEMATANG KANCIL
10.21
49
INTAN JAYA
19.07
135
BULIAN BARU
10.16
50
TAPAH SARI
18.45
136
PERDAMAIAN
10.10
51
SARI MULYA
18.38
137
LANTAK SERIBU
9.91
52
SINAR GADING
18.22
138
PURWO HARJO
9.53
53
JANGGA BARU
18.00
139
MEKAR SARI
9.45
54
BUTANG BARU
17.97
140
GIRIWINANGUN
9.39
55
PAUH MENANG
17.69
141
TIRTAKENCANA
9.30
56
MULIA BAKTI
17.67
142
UJUNG TANJUNG
9.22
57
BUKIT KEMUNING
17.67
143
RAWA JAYA
9.12
58
BUKIT MAKMUR
17.51
144
SUKA DAMAI
8.93
59
KAMPUNG BARU
17.48
145
LAMPISI
8.84
60
BUKIT INDAH
17.34
146
SUNGAI JERNIH
8.84
61
BERKAH
17.31
147
SRI AGUNG
8.80
62
Arang arang
17.27
148
SIDO RUKUN
8.63
63
MARGA MULYA
17.27
149
RIMBO MULYO
8.59
64
SUMBER AGUNG
17.01
150
PETALING JAYA
8.58
65
16.93
151
TERENTANG BARU
8.29
66
MUARA DELANG KARYA HARAPAN MUKTI
16.87
152
PURWODADI
8.21
67
ADI JAYA
16.77
153
GURUH BARU
8.14
68
CATUR RAHAYU
16.73
154
RANTAU HARAPAN
8.14
69
PANDAN MAKMUR
16.69
155
BUKIT SARI
8.05
70
MULIA JAYA
16.59
156
Sungai Kapas
7.94
71
SUNGKAI
16.51
157
TAMBANG EMAS
7.92
72
BUKIT BERINGIN
16.31
158
MERANTI
7.89
73
PURWOSARI
16.23
159
BUKIT MURAU
7.81
74
PAYO LEBAR
16.09
160
SAPTA MULIA
7.55
75
KARYA MUKTI
16.00
161
TIRTA MULIA
7.52
320
Lampiran 6. Lanjutan No
Nama Desa
D2
No
Nama Desa
D2
76
KOTA BARU
15.89
162
MAMPUN BARU
7.46
77
SUNGAI PUTIH
15.80
163
BUKIT BUNGKUL
7.31
78
PEMATANG KABAU
15.70
164
WANAREJA
7.27
79
SUMBER AGUNG
15.43
165
TANAH ABANG
7.22
80
BUKIT MULYA
15.31
166
SUKA MAJU
7.09
81
AIR BATU
15.28
167
TALANG BUKIT
6.59
82
PETIDURAN BARU
15.06
168
RASAU
6.53
83
TANJUNG HARAPAN
15.05
169
BUNGA ANTOI
6.35
84
PINANG MERAH
14.83
170
TEGAL ARUM
5.82
85
BAHAR MULYA
14.72
171
MARGA
5.53
86
SUMBER MULYA
14.72
172
PERINTIS
4.34
87
PEMATANG KABAU
14.82
175
PERINTIS
4.34
88
TANJUNG HARAPAN
14.81
321 Lampiran 7. Pengujian MSA (Tahap 1) Anti-image Matrices bidan Anti-image Covariance
bidan posyandu TK SD SMP Rumah RTM hansip babinsa PPM KK lahan IP INP PD JS bidan posyandu TK SD SMP Rumah RTM hansip babinsa PPM KK lahan IP INP PD JS
0.768 0.059 0.002 -0.152 0.031 0.092 0.089 -0.015 0.070 -0.033 -0.061 -0.015 0.015 0.113 0.036 -0.060 Anti-image 0.777 Correlation 0.078 0.002 -0.208 0.038 0.126 0.117 -0.019 0.099 -0.047 -0.075 -0.018 0.021 0.163 0.055 -0.097 a Measures of Sampling Adequacy(MSA)
posyandu 0.059 0.729 0.089 0.138 -0.022 -0.081 0.100 0.183 -0.112 -0.142 0.140 0.019 -0.122 -0.081 -0.031 0.154 0.078 0.477 0.116 0.194 -0.027 -0.115 0.135 0.232 -0.162 -0.205 0.179 0.024 -0.177 -0.120 -0.050 0.254
TK
SD
SMP
0.002 0.089 0.805 0.062 -0.216 0.080 0.154 -0.039 0.055 0.076 0.138 0.094 0.098 -0.069 -0.051 -0.013 0.002 0.116 0.442 0.082 -0.261 0.107 0.198 -0.048 0.076 0.104 0.167 0.113 0.136 -0.096 -0.076 -0.021
-0.152 0.138 0.062 0.699 -0.013 0.118 -0.036 0.104 0.073 -0.034 0.100 0.138 -0.051 -0.018 -0.079 0.127 -0.208 0.194 0.082 0.672 -0.016 0.170 -0.050 0.135 0.107 -0.050 0.130 0.178 -0.075 -0.028 -0.127 0.214
0.031 -0.022 -0.216 -0.013 0.857 -0.098 -0.125 0.010 -0.064 -0.025 -0.086 0.087 0.010 0.114 0.046 -0.084 0.038 -0.027 -0.261 -0.016 0.388 -0.127 -0.156 0.012 -0.085 -0.033 -0.101 0.101 0.013 0.155 0.067 -0.127
Rumah 0.092 -0.081 0.080 0.118 -0.098 0.690 0.119 -0.145 -0.062 0.066 0.033 -0.038 0.125 -0.091 -0.136 0.047 0.126 -0.115 0.107 0.170 -0.127 0.658 0.165 -0.189 -0.092 0.097 0.044 -0.049 0.188 -0.138 -0.221 0.079
RTM 0.089 0.100 0.154 -0.036 -0.125 0.119 0.753 0.049 0.065 0.145 0.086 0.018 -0.112 0.040 -0.148 0.117 0.117 0.135 0.198 -0.050 -0.156 0.165 0.396 0.061 0.092 0.205 0.108 0.022 -0.160 0.059 -0.229 0.190
hansip
babinsa
-0.015 0.183 -0.039 0.104 0.010 -0.145 0.049 0.855 -0.027 -0.104 0.135 0.059 -0.147 -0.006 -0.014 0.102 -0.019 0.232 -0.048 0.135 0.012 -0.189 0.061 0.289 -0.036 -0.138 0.159 0.068 -0.198 -0.008 -0.021 0.156
0.070 -0.112 0.055 0.073 -0.064 -0.062 0.065 -0.027 0.659 0.267 -0.133 -0.025 -0.078 0.022 0.067 -0.083 0.099 -0.162 0.076 0.107 -0.085 -0.092 0.092 -0.036 0.650 0.404 -0.178 -0.033 -0.119 0.034 0.112 -0.143
PPM
KK
-0.033 -0.142 0.076 -0.034 -0.025 0.066 0.145 -0.104 0.267 0.661 -0.093 0.067 -0.024 0.118 0.050 -0.142 -0.047 -0.205 0.104 -0.050 -0.033 0.097 0.205 -0.138 0.404 0.486 -0.125 0.088 -0.036 0.183 0.082 -0.245
-0.061 0.140 0.138 0.100 -0.086 0.033 0.086 0.135 -0.133 -0.093 0.844 0.022 0.005 -0.020 -0.167 0.117 -0.075 0.179 0.167 0.130 -0.101 0.044 0.108 0.159 -0.178 -0.125 0.265 0.025 0.007 -0.028 -0.245 0.178
Lahan -0.015 0.019 0.094 0.138 0.087 -0.038 0.018 0.059 -0.025 0.067 0.022 0.863 -0.077 -0.007 -0.049 0.006 -0.018 0.024 0.113 0.178 0.101 -0.049 0.022 0.068 -0.033 0.088 0.025 0.757 -0.103 -0.010 -0.071 0.009
IP 0.015 -0.122 0.098 -0.051 0.010 0.125 -0.112 -0.147 -0.078 -0.024 0.005 -0.077 0.646 -0.181 -0.070 -0.101 0.021 -0.177 0.136 -0.075 0.013 0.188 -0.160 -0.198 -0.119 -0.036 0.007 -0.103 0.651 -0.284 -0.117 -0.177
INP
PD
JS
0.113 -0.081 -0.069 -0.018 0.114 -0.091 0.040 -0.006 0.022 0.118 -0.020 -0.007 -0.181 0.628 -0.036 -0.131 0.163 -0.120 -0.096 -0.028 0.155 -0.138 0.059 -0.008 0.034 0.183 -0.028 -0.010 -0.284 0.736 -0.061 -0.232
0.036 -0.031 -0.051 -0.079 0.046 -0.136 -0.148 -0.014 0.067 0.050 -0.167 -0.049 -0.070 -0.036 0.551 -0.266 0.055 -0.050 -0.076 -0.127 0.067 -0.221 -0.229 -0.021 0.112 0.082 -0.245 -0.071 -0.117 -0.061 0.580 -0.504
-0.060 0.154 -0.013 0.127 -0.084 0.047 0.117 0.102 -0.083 -0.142 0.117 0.006 -0.101 -0.131 -0.266 0.506 -0.097 0.254 -0.021 0.214 -0.127 0.079 0.190 0.156 -0.143 -0.245 0.178 0.009 -0.177 -0.232 -0.504 0.497
323
Lampiran 8. Normalisasi Variabel, Indeks Komposit dan Diseminasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47
Nama Desa PINANG MERAH MAMPUN BARU LANTAK SERIBU RASAU MERANTI BUKIT BUNGKUL SIALANG TANJUNG BENUANG TAMBANG EMAS SUNGAI PUTIH BUKIT BERINGIN PAUH MENANG PEMATANG KANCIL TANAH ABANG SUNGAI SAHUT BUNGA ANTOI MUARA DELANG SINAR GADING BUNGA TANJUNG SUNGAI BULIAN SRI SEMBILAN BUKIT SUBUR RAWA JAYA SUNGAI BENTENG PAYO LEBAR BUKIT MURAU SUNGAI MERAH PERDAMAIAN BATU PUTIH PEMATANG KULIM PETIDURAN BARU GURUH BARU BUTANG BARU JATI BARU MERANTIH BARU BUKIT SUBAN MENTAWAK BARU PEMATANG KABAU TERENTANG BARU DURIAN LUNCUK JANGGA BARU BULIAN BARU MEKAR JAYA BULIAN JAYA KEHIDUPAN BARU KARYA MUKTI BUKIT HARAPAN
Rumah 0.62 0.77 0.56 0.97 0.96 0.48 0.74 0.51 0.61 0.63 0.75 0.62 0.55 0.37 0.54 0.62 0.67 0.67 0.50 1.00 0.76 0.16 0.36 0.80 0.77 0.90 0.49 0.85 0.18 0.44 0.33 0.27 0.17 0.11 0.05 0.31 0.57 0.22 0.28 0.85 0.80 0.09 0.21 0.06 0.24 0.01 0.35
Lahan 0.91 0.20 0.00 0.38 0.53 0.38 0.05 0.04 0.68 0.05 0.00 1.00 0.00 0.21 0.22 0.32 0.43 0.14 0.64 0.00 0.08 0.81 0.11 0.13 0.95 0.02 0.00 0.13 0.00 0.08 0.30 0.09 0.30 0.21 0.55 0.00 0.98 0.29 0.05 0.00 0.19 0.13 0.31 0.37 0.30 0.20 0.04
IP 0.79 0.90 0.73 0.71 0.85 0.93 0.88 0.57 0.66 0.90 0.93 0.70 0.74 0.69 0.82 0.74 0.68 0.70 0.82 0.88 0.82 0.55 0.94 0.38 0.97 0.79 0.70 0.77 0.61 0.65 0.85 0.89 0.84 0.88 0.96 0.84 0.17 0.99 0.83 0.82 0.91 0.93 0.96 0.95 0.62 0.74 0.67
Indeks 0.73 0.63 0.43 0.75 0.81 0.54 0.57 0.39 0.64 0.51 0.57 0.75 0.43 0.38 0.50 0.56 0.61 0.52 0.60 0.69 0.58 0.42 0.40 0.53 0.86 0.63 0.39 0.63 0.21 0.38 0.42 0.34 0.34 0.29 0.37 0.32 0.60 0.39 0.32 0.60 0.65 0.27 0.38 0.32 0.33 0.21 0.33
Diseminasi 3 3 2 4 4 3 3 2 3 3 3 3 2 2 3 3 3 3 3 3 3 2 2 3 4 3 2 3 1 2 2 2 2 2 2 2 3 2 2 3 3 2 2 2 2 1 2
324
Lampiran 8. Lanjutan No 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94
Nama Desa BELANTI JAYA TAPAH SARI BUKIT KEMUNING RAMIN MEKAR SARI PANCA MULYA SUKA MAKMUR MARGA MULYA MARGA RANTAU HARAPAN TALANG BUKIT TRIJAYA TANJUNG HARAPAN BERKAH SUMBER MULYA MATRA MANUNGGAL BUKIT MULYA BUKIT MAKMUR BAHAR MULYA TANJUNG MULYA BUKIT MAS SUMBER JAYA ADIPURA KENCANA BUKIT JAYA TANJUNG SARI PETALING JAYA SUMBER AGUNG RANTAU RASAU I RANTAU RASAU II BANDAR JAYA BANGUN KARYA HARAPAN MAKMUR RANTAU JAYA RANTAU MAKMUR RANTAU INDAH JATI MULYO SIDO MUKTI CATUR RAHAYU RAWASARI LAMBUR I LAMBUR II PANDAN JAYA PANDAN MAKMUR PANDAN LAGAN SUKA MAJU KOTA BARU RANTAU KARYA
Rumah 0.05 0.11 0.25 0.07 0.12 0.09 0.68 0.56 0.22 0.53 0.19 0.11 0.08 0.15 0.28 0.08 0.06 0.03 0.08 0.01 0.04 0.01 0.01 0.02 0.03 0.34 0.35 0.07 0.47 0.24 0.04 0.03 0.27 0.15 0.11 0.12 0.47 0.44 0.00 0.04 0.01 0.13 0.06 0.02 0.13 0.14 0.07
Lahan 0.08 0.00 0.12 0.00 0.15 0.15 0.27 0.00 0.14 0.08 0.05 0.68 0.13 0.07 0.07 0.00 0.21 0.00 0.16 0.16 0.00 0.14 0.08 0.21 0.05 0.18 0.00 0.70 0.95 0.94 0.94 0.62 0.43 0.79 0.57 0.00 0.26 0.39 0.16 0.83 0.95 0.08 0.31 0.00 0.11 0.15 0.50
IP 0.66 0.63 0.97 0.83 0.48 0.92 0.83 0.93 0.83 0.73 0.75 0.80 0.96 0.91 0.93 0.87 0.91 0.72 0.84 0.70 0.96 0.65 0.98 0.95 0.61 0.84 0.88 0.61 0.01 0.59 0.00 0.01 0.01 0.46 0.49 0.05 0.81 0.80 0.45 0.94 0.85 0.11 0.97 0.97 0.99 0.98 0.99
Indeks 0.18 0.18 0.35 0.20 0.20 0.27 0.59 0.47 0.31 0.44 0.26 0.41 0.27 0.28 0.35 0.21 0.27 0.16 0.25 0.19 0.21 0.17 0.22 0.26 0.15 0.39 0.35 0.36 0.51 0.51 0.29 0.20 0.26 0.39 0.32 0.07 0.48 0.50 0.13 0.44 0.44 0.11 0.31 0.20 0.29 0.31 0.37
Diseminasi 1 1 2 1 1 2 3 2 2 2 2 2 2 2 2 1 2 1 2 1 1 1 1 2 1 2 2 2 3 3 2 1 2 2 2 1 2 2 1 2 2 1 2 1 2 2 2
325
Lampiran 8. Lanjutan No 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141
Nama Desa PURWODADI SRI AGUNG LAMPISI TANJUNG BENANAK BUKIT HARAPAN ADI PURWA PINANG GADING DUSUN MUDO TANJUNG TAYAS BADANG KAMPUNG BARU RANTAU BADAK BUKIT INDAH KEMANG MANIS INTAN JAYA SUKA DAMAI ADI JAYA BRASAU PERINTIS KELURAHAN WIROTHO AGUNG RIMBO MULYO PURWO HARJO TEGAL ARUM TIRTAKENCANA SAPTA MULIA SUKA DAMAI SUKA MAJU WANAREJA SUMBER SARI SIDO RUKUN SUNGAI PANDAN SIDO REJO KARANG DADI GIRI PURNO SUMBER AGUNG SARI MULYA GIRIWINANGUN PINANG BALAI SEKUTUR JAYA NAPAL PUTIH Sungai Karang BANGUN SARANTEN SUNGAI JERNIH BUKIT SARI SARI MULYA PURWOSARI LEMBAH KUAMANG
Rumah 0.90 0.05 0.19 0.68 0.25 0.09 0.10 0.34 0.07 0.08 0.05 0.25 0.05 0.09 0.07 0.18 0.00 0.22 0.92 0.91 0.99 0.76 0.92 0.97 0.59 0.74 0.75 0.57 0.74 0.80 0.51 0.82 0.85 0.97 0.78 0.80 0.98 0.01 0.07 0.00 0.00 0.17 0.11 0.90 0.02 0.99 0.94
Lahan 0.10 0.21 0.10 0.00 0.17 0.26 0.00 0.00 0.16 0.00 0.06 0.17 0.07 0.20 0.09 0.17 0.00 0.30 0.13 0.19 0.34 0.07 0.10 0.03 0.19 0.21 0.06 0.14 0.20 0.14 0.00 0.76 0.17 0.23 0.46 0.08 0.13 0.10 0.30 0.00 0.08 0.04 0.10 0.13 0.48 0.30 0.20
IP 0.96 0.82 0.62 0.87 0.86 0.71 0.59 0.99 0.99 1.00 0.97 0.99 0.97 0.88 0.92 0.53 0.80 0.82 0.71 0.89 0.71 0.59 0.85 0.51 0.69 0.79 0.80 0.84 0.46 0.83 0.99 0.79 0.81 0.95 0.96 0.97 0.89 0.97 0.95 0.96 0.13 0.55 0.55 0.82 0.91 0.84 0.84
Indeks 0.68 0.24 0.25 0.52 0.35 0.26 0.17 0.37 0.28 0.23 0.23 0.37 0.24 0.28 0.24 0.25 0.16 0.36 0.65 0.70 0.75 0.53 0.67 0.61 0.50 0.60 0.56 0.50 0.53 0.61 0.45 0.80 0.65 0.75 0.72 0.63 0.72 0.22 0.31 0.19 0.05 0.21 0.19 0.66 0.32 0.77 0.71
Diseminasi 3 1 2 3 2 2 1 2 2 1 1 2 1 2 1 1 1 2 3 3 4 3 3 3 2 3 3 2 3 3 2 4 3 4 3 3 3 1 2 1 1 1 1 3 2 4 3
326
Lampiran 8. Lanjutan No 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152 153 154 155 156 157 158 159 160 161 162 163 164 165 166 167 168 169 170 171 172
Nama Desa SUMBER HARAPAN DAYA MURNI SUMBER MULIA MAJU JAYA TIRTA MULIA LINGGA KUAMANG KUNING GADING KUAMANG JAYA KARYA HARAPAN MUKTI GAPURA SUCI MULIA BAKTI MULIA JAYA KOTA RAJA TUO LIMBUR TEBO JAYA SEKAR MENGKUANG DATAR TALANG PEMESUN Sungai Kapas NALO BARU NALO GEDANG AIR BATU SEKO BESAR TAMAN BANDUNG SUNGKAI Arang arang UJUNG TANJUNG Cinta Damai TIMBOLASI CILODANG BANGUN HARJO
Rumah 0.45 0.80 0.63 0.73 0.42 0.68 0.83 0.79 0.81 0.67 0.79 0.31 0.41 0.52 0.61 0.85 0.44 0.57 0.91 0.22 0.14 0.25 0.00 0.01 0.06 0.06 0.02 0.07 0.64 0.34 0.33
Lahan 0.17 0.05 0.08 0.12 0.53 0.08 0.28 0.17 0.00 0.07 0.06 0.15 0.40 0.41 0.00 0.07 0.41 0.00 0.24 0.00 0.08 0.15 0.88 0.31 0.00 0.00 0.13 0.00 0.00 0.36 0.54
IP 0.05 0.04 0.79 0.83 0.10 0.15 0.77 0.61 0.85 0.59 0.91 0.69 0.78 0.72 0.67 0.78 0.95 0.47 0.80 1.00 1.00 0.98 0.80 0.91 1.00 0.31 0.84 0.97 1.00 0.88 0.86
Indeks 0.29 0.44 0.51 0.58 0.39 0.41 0.66 0.58 0.59 0.48 0.61 0.34 0.48 0.53 0.45 0.61 0.53 0.39 0.70 0.31 0.29 0.36 0.41 0.27 0.23 0.09 0.21 0.23 0.52 0.45 0.50
Diseminasi 2 2 3 3 2 2 3 3 3 2 3 2 2 3 2 3 3 2 3 2 2 2 2 2 1 1 1 1 3 2 2
327 Lampiran 9 Korelasi Antar Variabel Model Determinan Stadia Desa-Desa Eks Transmigrasi
Stadia
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
1.00
-0.43
0.38
0.30
0.48
-0.52
0.21
0.45
X1
-0.43
1.00
-0.14
-0.09
-0.59
0.36
0.01
-0.26
X2
0.38
-0.14
1.00
0.26
0.13
-0.18
0.48
0.41
X3
0.30
-0.09
0.26
1.00
-0.02
-0.02
0.30
0.29
X4
0.48
-0.59
0.13
-0.02
1.00
-0.69
-0.02
0.09
X5
-0.52
0.36
-0.18
-0.02
-0.69
1.00
-0.10
-0.15
X6
0.21
0.01
0.48
0.30
-0.02
-0.10
1.00
0.44
X7
0.45
-0.26
0.41
0.29
0.09
-0.15
0.44
1.00
Stadia
328 Lampiran 10 Korelasi Antar Variabel Model Perjalanan Bekerja Lokasi Bekerja
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
1.00
-0.30
0.32
0.04
0.37
0.20
-0.09
-0.13
X1
-0.30
1.00
-0.32
0.02
-0.22
0.23
0.35
0.01
X2
0.32
-0.32
1.00
0.13
0.07
0.10
0.02
-0.01
X3
0.04
0.02
0.13
1.00
-0.14
-0.01
0.05
-0.08
X4
0.37
-0.22
0.07
-0.14
1.00
0.04
-0.04
0.03
X5
0.20
0.23
0.10
-0.01
0.04
1.00
0.02
0.08
X6
-0.09
0.35
0.02
0.05
-0.04
0.02
1.00
0.07
X7
-0.13
0.01
-0.01
-0.08
0.03
0.08
0.07
1.00
Lokasi Bekerja
329
Lampiran 11 Korelasi Antar Variabel Model Perjalanan Belanja
Kel.Belanja
X1
X2
X3
X4
X5
X6
X7
1.00
-0.27
0.12
-0.29
0.20
-0.13
-0.07
0.18
-0.07
0.03
X1
-0.27
1.00
-0.35
0.88
-0.39
0.78
0.64
-0.01
0.26
0.03
X2
0.12
-0.35
1.00
-0.31
0.51
-0.32
-0.11
0.35
0.08
0.02
X3
-0.29
0.88
-0.31
1.00
-0.37
0.70
0.60
0.00
0.22
0.04
X4
0.20
-0.39
0.51
-0.37
1.00
-0.39
-0.18
0.15
-0.03
-0.11
X5
-0.13
0.78
-0.32
0.70
-0.39
1.00
0.67
0.00
0.14
0.00
X6
-0.07
0.64
-0.11
0.60
-0.18
0.67
1.00
0.03
0.19
-0.05
X7
0.18
-0.01
0.35
0.00
0.15
0.00
0.03
1.00
0.03
0.17
X8
-0.07
0.26
0.08
0.22
-0.03
0.14
0.19
0.03
1.00
0.03
X9
0.03
0.03
0.02
0.04
-0.11
0.00
-0.05
0.17
0.03
1.00
Kel.Belanja
X8 X9