PERJUANGAN MERAIH KEBEBASAN PERS PADA ERA KOLONIAL
Makalah Non Seminar
Dara Rahmania 1006710546
Departemen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia 2014
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
ABSTRAK Pers Indonesia yang berdiri di tengah masa penjajahan Belanda dikekang oleh sejumlah peraturan. Peraturan ini mengancam media dan para jurnalis yang berseberangan dengan Pemerintah Hindia Belanda. Haatzaai Artikelen, Persbreidel Ordonnantie, UU 1856, dan UU 1906 menjadi senjata Pemerintah Hindia Belanda untuk membredel dan menahan penentangnya. Namun, di tengah kekangan tersebut masih ada celah untuk menyampaikan aspirasi masyarakat yang berseberangan dengan Pemerintah. Salah satu pelopor pejuang cikal bakal kebebasan pers di Indonesia adalah Ernest François Eugene Douwes Dekker. Kata kunci:
Bredel; EFE Douwes Dekker;Kebebasan Pers; Kolonial; Pers Indonesia.
ABSTRACT Indonesian press, which was established in the middle of Dutch's colonialism era, was restrained by some rules. These rules threatened media and journalists that were opposite to the Hindian-Dutch Government. Haatzaai Artikelen, Persbreidel Ordonnantie, act 1856, and act 1906 were used by the government to ban and restrain its opposition. In spite of those restrictions, there was still a chance to deliver the people aspirations who opposed to the government. One of the pioneer of Indonesian press independence was Ernest Francois Douwes Dekker. Keywords:
Banning; Colonial; EFE Douwes Dekker; Indonesian Press; Press Independence.
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
PENDAHULUAN Perkembangan pers di masa kolonial Belanda mengalami banyak rintangan. Sebagai daerah jajahan, yang diutamakan adalah kepentingan penduduk Belanda. Sifat pemerintah kompeni Belanda yang otoriter dan mempertahankan sistem kasta, membuat media massa tidak diizinkan untuk terbit.. Orang Belanda yang tinggal di Hindia Belanda sampai akhir masa kolonial tidak lebih dari 300.000 orang. Mereka dilayani oleh surat kabar demi kepentingan ekonominya. Pada masa kolonial, terdapat 19 Surat Kabar dengan total tiras 60.000 eksemplar (Surjomihardjo, 2002: 37). Tempat terbit dan penyebaran media massa terbatas pada kota-kota besar, yang penting bagi administrasi atau pun sebagai pusat perdagangan perusahaanperusahaan Belanda. Pada awal abad ke-20, beberapa pers Belanda mewakili orientasi politik tertentu, yang walaupun ada perbedaan, namun bercorak mempertahankan hubungan kolonial di Indonesia. Sejarah mencatat, surat kabar Bataviase Nouvelles lahir pada 1745, saat masa kepemimpinan Gubernur Jenderal Van Imhoff. Menurut Hill (1994: 25) surat kabar ini menjadi surat kabar modern pertama di Indonesia, atau 136 tahun setelah surat kabar tertua di dunia, yaitu Avisa Relation oder Zeitung di Strassbourg pada 1609. Bataviase Nouvelles hanya bertahan 2 tahun karena Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) melarangnya terbit. VOC khawatir saingannya akan mendapat keuntungan dari iklan yang dimuat di surat kabar ini. Pria asal Rotterdam yang membawa alat percetakan pertama ke Indonesia, W. Bruining, menjadi ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda. Bruining ditawari sejumlah uang untuk segera kembali ke Nederland. Ia dilarang menggunakan alat cetak tersebut. Namun, Bruining menolak tawaran itu. Ia pun menerbitkan surat kabar mingguan Het Bataviasch Advertentie Blad. Mingguan ini hanya berisi iklan dan berita umum lain yang dikutip dari penerbitan resmi di Nederland (Staatscourant) dan untuk berita di daerah jajahan dari Javasche Courant (Surjomihardjo, 2002: 26).
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
Contoh tindakan penekanan pemerintah yang lain adalah pada Javasche Courant. Redaktur penerbit, Dr. H. van der Chis, mengusahakan agar berita dari Nederland langsung dikirmkan kepadanya melalui pos. Sehingga seringkali para pembaca di Betawi lebih dulu tahu dari pada Gubernur Jenderal di Bogor. Hal ini membuat van der Chijs mendapat peringatan keras dari Gubernur Jenderal. Dampak lainnya, keluar peraturan agar surat-surat pos dari Nederland harus dikirim dulu ke Bogor untuk dipilih berita yang cocok dimuat di Javasche Courant (Surjomihardjo, 2002: 27). Dalam bukunya, Surjomihardjo (2002: 27) menulis bahwa pada 1852 muncul Java Bode di Betawi sebagai pengganti Het Advertentie Blad yang terbit dwi mingguan. Pendirinya adalah W. Bruining, pria yang membawa alat percetakan pertama ke Indonesia. Ia dibantu HM van Dorp, WJ van Haren Norman dan G. Kolff. Sayangnya, 5 tahun kemudian HM van Dorp mengambil alih seluruh perusahaan. Tahun 1869, ia mengubahnya menjadi surat kabar harian. Isi Java Bode pun berada di bawah sensor pemerintah. Residen Betawi bertugas mengawasi perkembangannya. Redaktur pertama Java Bode adalah WL Ritter (sastrawan) dan seorang sarjana hukum LJA Tollens. Keduanya adalah redaktur majalah Warnasarie, Biang lala, dan Nederlandsh Indische Muzenalmanak. Dengan semboyan “NieuwsHandelen Advertentie-Blad voor Nederlandsch-Indie" (Koran berita, perdagangan dan iklan untuk Hindia Belanda), Java Bode sering digunakan untuk memasang berbagai macam iklan (Surjomihardjo, 2002: 27). Java Bode merupakan surat kabar resmi. Surat kabar yang berada di Jakarta ini selalu membela kebijaksanaan pemerintah. Untuk menunjang hal ini, Java Bode selalu mendapatkan berita-berita pemerintah secara khusus. Isinya adalah apa saja yang terjadi di kalangan pemerintah, seperti pengangkatan dan pemindahan pegawai, serta rencana-rencana peraturan pemerintah (Surjomihardjo, 2002: 33). Seiring berjalannya waktu, semakin banyak surat kabar yang bermunculan di kota lain. Seperti di Surabaya, Surakarta, Bandung, Semarang, Cirebon, Betawi,
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
Yogyakarta, Padang, Palembang, Makassar, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Tampak sekali bahwa penyebaran pers di Indonesia masih terbatas pada kotakota besar, yang penting bagi administrasi maupun perusahaan Belanda. Dalam bukunya, Surjomihardjo (2002: 29) menulis bahwa majalah-majalah bercorak teknis, yang terbit untuk kepentingan dan sumber keterangan tentang jalan trem dan kereta api, kegiatan ekspor-impor, perdagangan, pendidikan, industri, pertanian, kedokteran, dan olahraga mulai bermunculan. Hal ini disebabkan oleh perkembangan bidang ekonomi dan teknologi yang mulai masuk ke dalam masyarakat Indonesia yang bercorak pertanian di bawah kerajaan-kerajaan. Sehingga, semua penerbitan tersebut awalnya merupakan usaha masyarakat kolonial dalam beradaptasi dengan perkembangan dunia modern. Awalnya, pers hanya bagian dari usaha orang Belanda, namun kemudian menjadi pembawa kepentingan perusahaan perkebunan dan industri minyak. Masalah politik tidak diberitakan, karena diatur pemerintah Hindia Belanda. Walaupun begitu, masih ada pers yang tidak mengikuti aturan pemerintah (Surjomihardjo, 2002: 30). Awal abad ke-19, Daendels memberlakukan peraturan khusus yang berisi 19 pasal untuk menarik pajak dan mewajibkan redaktur Bataviaasche Nouvelles untuk menempatkan kepentingan pemerintah dalam surat kabarnya. Di salah satu pasal, Daendels mengubah nama Bataviaasche Nouvelles menjadi Bataviaasche Koloniale Courant. Pada masa pemerintahan Inggris, namanya berubah menjadi Java Government Gazette. Kemudian berubah kembali pada masa
pemerintahan
Belanda menjadi Javasche Courant yang tetap membawa suara pemerintah Hindia Belanda. Pada zaman Hindia Belanda, peraturan pertama mengenai pers dituangkan dalam Undang-Undang tahun 1856
dalam Reglement op de Drukwerken in
Nederlandsch-Indie, mengenai Barang-Barang Cetak. Isi RR 1856 (KB 8 April 1856 Ind.Stn.no.74) antara lain: Semua karya cetak sebelum diterbitkan, satu eksemplar harus dikirimkan dulu kepada kepala pemerintahan setempat, pejabat justisi dam
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
Algemene Secretarie. Pengiriman ini harus dilakukan oleh pihak pecetak atau penerbitnya dengan ditandatangani (Surjomihardjo, 2002: 171-172). Jika peraturan tersebut tidak dipatuhi oleh media, maka karya cetak tersebut akan disita. Tindakan ini bisa disertai dengan penyegelan percetakan atau tempat penyimpanan barang-barang cetakan itu (Surjomihardjo, 2002: 172). Peraturan ini kemudian diperbarui tahun 1906 karena disesuaikan dengan “tuntutan keadaan”. Antara lain akibat tekanan dari unsur-unsur demokratis dan karena memang dirasa repotnya sistem sensor reprentif. Perbedaannya adalah UU 1856 bersifat pengawasan preventif, sedangkan UU 1906 bersifat pengawasan represif (Surjomihardjo, 2002: 12-13). Menurut Sujomihardjo (2002: 172), dalam perubahan yang dilakukan tahun 1906 (KB 19 Maret 106 Ind.Stb No. 270), ketentuan yang bersifat preventif dihapuskan. Sehingga penyerahan eksemplar kepada pejabat-pejabat tersebut dilakukan dalam waktu 24 jam setelah barang cetakan itu. Ketentuan bahwa pada karya cetak tersebut harus dicantumkan nama dan tempat tinggal si pencetak dan penerbitnya masih tetap berlaku. Namun, pelanggaran terhadap ketentuan itu tidak akan mengakibatkan penyitaan, melainkan denda antara f10-f100 (Surjomihardjo, 2002: 172). Dalam bukunya, Atmakusumah (1981: viii) mengungkapkan bahwa selama zaman kolonial, pers Indonesia senantiasa menghadapi undang-undang yang populer disebut sebagai “ranjau-ranjau pers”. Tindakan terhadap pers berdasarkan Haatzaai Artikelen, yaitu pasal-pasal 154 - 157 Wetboek van Strafrecht dapat dengan ampuh digunakan pemerintah Hindia Belanda untuk memberangus pers. Haatzaai Artikelen berlaku pada 1918. Haatzaai Artikelen berisi ancaman hukuman terhadap siapa pun yang menyebarkan
perasaan
permusuhan,
kebencian,
atau
penghinaan
terhadap
pemerintah Nederland atau Hindia Belanda (pasal 154 dan 155) dan terhadap sesuatu atau sejumlah kelompok penduduk di Hindia Belanda (pasal 156 dan 157). Dimaksudkan dengan kelompok-kelompok penduduk adalah “perbedaan” penduduk
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
berdasarkan ras, agama, kebangsaan, keturunan, dan suku (Surjomihardjo, 2002: 173). Haatzaai Artikelen dikenal sebagai “pasal-pasal karet” (yang dapat ditafsir menurut keperluan penguasa kolonial). Ada dua kelompok dalam pasal Haatzaai Artikelen, yaitu pasal-pasal yang berhubungan dengan tuduhan melakukan “Kejahatan Melanggar Ketertiban Umum”, dan tindakan melakukan “Kejahatan Melanggar Kekuasaan Umum” (Surjomihardjo, 2002: 173). Surjomihardjo (2002: 172-173) juga mengungkapkan bahwa selain Haatzaai Artikelen, pemerintah kolonial juga menetapkan undang-undang yang dikenal sebagai Persbreidel Ordonnantie (7 September 1931). Isinya, Gubernur Jenderal berhak melarang penerbitan tertentu yang dinilainya bisa “mengganggu ketertiban umum” paling lama 8 hari. Jika setelah terbit, surat kabar tersebut dinilai “mengganggu” lagi, maka larangan terbit bisa menjadi lebih lama. Meskipun tidak lebih dari 30 hari berturut-turut (pasal 2). Jika tulisan-tulisan itu dianggap melunak, penunjukan tersebut bisa dicabut. Jika pencabutan penunjukan tidak dilakukan, artinya penunjukan ini berlaku untuk 1 tahun (pasal 1). Salah satu corong Pemerintah Hindia Belanda adalah Kantor Berita ANETA. Di tengah-tengah situasi Perang Dunia I, Kantor Berita ANETA (Algemeen Nieuws En Telegraaf Agentschap = Keagenan Berita Umum dan Telegrap) berdiri. Pendirinya adalah mantan pegawai kantor telegrap yang pernah bekerja untuk Bataviaasch Nieuwsblad dan Java Bode, D.W. Beretty. Seperti yang ditulis oleh Surjomihardjo (2002: 38) dalam bukunya, ANETA mengabarkan berita-berita penting dari medan pertempuran dalam waktu 24 jam setelah kejadian berlangsung. Namun kemudian dilakukan blokade terhadap berita perang. Dalam waktu singkat, ANETA berkembang pesat menjadi kantor berita yang besar. ANETA menjadi pusat pengirim dan penerima berita dari berbagai penjuru dunia. ANETA mendukung kepentian kaum pengusaha serta pemerintah Belanda. Hal ini karena saham ANETA dimiliki oleh perusahaan Belanda seperti KPM, perusahaan perkebunan, dan lainnya. Karena ANETA menguasai pasar, kantor berita
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
ini menjadi pemegang monopoli dalam penyebaran dan pembagian berita (Surjomihardjo, 2002: 39). Selain itu, ANETA juga merambah bidang periklanan. ANETA “menyerang” lawan-lawannya melalui mingguan yang diterbitkannya. Isinya “tidak sopan” karena berita tersebut bertujuan menghancurkan lawan-lawannya (Surjomihardjo, 2002: 40).
Permasalahan Sebagai pers yang berada di daerah jajahan, pers di Indonesia tentu sangat dibatasi oleh pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda menyadari bahwa pers dapat memberikan informasi dan membuka mata masyarakat. Hal itu dianggap sebagai ancaman bagi pemerintah Hindia Belanda. Hal ini membuat Pemerintah Hindia Belanda membuat peraturan yang membatasi kebebasan pers. Muncul lah Haatzaai Artikelen dan Persbreidel Ordonnantie. Kedua peraturan ini membuat Pemerintah Hindia Belanda dapat bertindak sewenang-wenang terhadap pers, terutama yang berseberangan dengan pemerintah. Di tengah-tengah pemerintah kolonial yang otoriter, masih adakah media yang dapat menyuarakan aspirasi di luar kepentingan kolonial? Apakah ada media yang berbeda pendapat dengan pemerintah kolonial dan pro terhadap bumi putera?
Tujuan Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui dan memahami perjuangan media pers di masa kolonial yang berbeda pendapat dengan pemerintah kolonial dan menyuarakan
aspirasi
masyarakat.
Terutama
perjuangan
Ernest
François Eugene Douwes Dekker atau Danudirdja Setia Budi.
Metode Penelitian Data yang digunakan untuk menyusun tulisan ini diperoleh melalui studi dokumen. Studi dokumen atau biasa disebut kajian dokumen merupakan teknik
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
pengumpulan data yang tidak langsung ditujukan kepada subjek penelitian dalam rangka memperoleh informasi terkait objek penelitian. Dalam studi dokumentasi, peneliti biasanya melakukan penelusuran data historis objek penelitian. Dalam hal ini, penulis berpedoman pada buku-buku dan penelitian sebelumnya mengenai kebebasan pers di zaman kolonial Belanda. Penulis melakukan studi dokumentasi terhadap buku-buku mengenai kondisi pers dan perjuangan meraih kebebasan pers di zaman kolonial Belanda. Buku-buku tersebut ditulis berdasarkan pengamatan, wawancara, studi dokumentasi, dan pengalaman penulis buku tersebut pada masa perjuangan kebebasan pers. Objek yang menjadi pengamatan penulis adalah media yang berseberangan dengan kepentingan Pemerintah Hindia Belanda dan gerakan yang dilakukan Douwes Dekker pada periode tahun 1800 sampai tahun 1938.
LANDASAN TEORI “When it is left to me to decide whether we should have a government without newspapers, or newspapers without government, I should not hesitate to prefer the latter,” kata negarawan terkenal Amerika, Thomas Jefferson, pada 1787. Pernyataan mantan Presiden Amerika ini menjadi semacam acuan klasik bila masyarakat dunia membicarakan mengenai kebebasan pers (Armada, 1993: 37). Pemikiran tentang kebebasan pers pertama kali muncul di Eropa Barat sekitar abad ke-18. Pemikiran ini muncul ketika masyarakat sedang dalam masa transisi dari masyarakat feodal, masyarakat yang ditandai oleh kekuasaan mutlak para raja, beralih ke masyarakat demokrasi (Mustoffa, 1978: 17). Kebebasan pers, menurut tokoh pusat persuratkabaran Fleet Street di London, Robert Sinclair dalam buku Atmakusumah (1981: 148), bukanlah semacam kebebasan mengobrol, bernyanyi, dan menulis. Tetapi lebih menyerupai kebebasan membangun satu pabrik, atau daerah perumahan, atau menjalankan kereta api, atau membuat jalan by-pass. Bukan satu hak pribadi, melainkan privilese sosial yang dimungkinkan oleh peradaban. Semacam hak berkumpul atau berserikat – yang sebetulnya dimiliki oleh warga negara mana pun juga.
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
Hubungan antara kebebasan pers dan perlindungan atas hak-hak dasar warga negara dirumuskan oleh Mahkamah Agung Amerika Serikat ketika mengadili perkara Curtis Publishing Co melawan Butts dan Associated Press melawan Walker: “Kenyataan bahwa penyebarluasan informasi dan pendapat tentang masalah yang menyangkut kepentingan umum merupakan kegiatan yang dilindungi oleh hukum bukan berarti kegiatan itu dapat dilakukan bebas dari sanksi hukum yang dibuat untuk melindungi kepentingan sah pihak lain. Sebagai suatu bisnis, pers tidak memiliki imunitas hukum semata-mata karena ia adalah pers. Penerbitan pers tidak memiliki hak istimewa berupa kekebalan terhadap penerapan hukum yang berlaku. Pers pun tidak memiliki hak istimewa untuk mencampuri hak-hak dan kebebasan orang lain” (Lesmana, 2005: 199). Di Indonesia, ide pemikiran kebebasan pers datang dari Eropa Barat bersama dengan ilmu dan teknologi modern hasil revolusi Perancis tahun 1789. Saat itu, unsur-unsur bangsa Indonesia yang masih terpisah berusaha memerdekakan dirinya dan mengusir penjajah. Para pejuang bangsa Indonesia kala itu melihat kemungkinan menggunakan pers sebagai sarana yang ampuh untuk mempersatukan dan menggerakkan bangsa Indonesia agar berjuang bersama (Mustoffa, 1978: 17). Kebebasan pers dapat diukur dari dua faktor. Pertama, jika tidak ada tekanan terhadap pers. Kedua, jika tidak ada tekanan terhadap jurnalis. Kebebasan pers yang berlaku di Indonesia bukanlah kebebasan pers yang mutlak dari aliran liberalisme, tidak pula kebebasan pers aliran komunis yang membawah-perintahkan pers kepada garis partai komunis (Mustoffa, 1978: 28). Menurut Mustoffa (1978: 31) dalam buku Kebebasan Pers Fungsional, tidak ada kebebasan pers yang mutlak di dunia ini. Artinya tidak ada kebebasan pers yang berlaku untuk sembarang waktu, segala masyarakat, segala tempat atau negeri. Kebebasan pers pun tunduk pada hukum lingkungan. Dan yang ada ialah kebebasan pers untuk suatu masyarakat tertentu pada masa tertentu. Untuk Indonesia, kebebasan pers yang berlaku ialah kebebasan pers yang memenuhi kebutuhan pergaulan masyarakat Indonesia pada waktu ini. Pada masa kolonial Belanda, pers dan kebebasan pers Indonesia bersifat destruktif, menghancurkan kekuatan kolonial Belanda. Namun di sisi lain ia bersifat
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
positif dan konstruktif jika dilihat dari sudut kepentingan perjuangan bangsa Indonesia. Berita pers nasional kala itu tidak hanya bersifat “obyektif, tidak memihak”, melainkan secara aktif membantu perjuangan bangsa Indonesia (Mustoffa, 1978: 31). Sumono Mustoffa (1978) menulis bahwa untuk memungkinkan pers memainkan perannya sebagai “pers pejuang” maka wartawan hendaknya “bebas dari ketakutan kemungkinan kesewenang-wenangan tiap badan administratif, dan bertanggungjawab pada hukum yang berlaku dan idealisme tertinggi bangsa” (hlm. 33). Pada masa penjajahan Belanda, jelas dari sudut dasar peraturannya sendiri, di Indonesia memang sudah tidak ada kebebasan bagi pers Indonesia. tahun 1856 pemerintah penjajah Belanda mengeluarkan Undang Undang yang dijuluki “ciptaan kegelapan” (Drukpersreglement) di Belanda, tetapi karena saat itu asas hukum Indonesia yang mengikuti Belanda (konkordansi), UU itu juga berlaku di Indonesia. sisinya adalah pembatasan terhadap ruang gerak pers yang sangat ketat. Undang Undang itu sempat diubah dalam tahun 1906, sebelum diubah lagi pada tahun 1932 dengan Persbreidel Ordonantie. Lalu tahun 1938 lahirlah Undang Undang Pers Bredel di tanah jajahan Belanda. Semua aturan itu merupakan tekanan dan pengekangan terhadap kebebasan pers. Sanksinya cukup berat, selain pencabutan penerbitan pers itu, juga ganjaran penjara bagi pelakunya (Armada, 1993:51).
Analisis Menurut Surjomihardjo (2002: 30), secara keseluruhan, isi majalah dan surat kabar Hindia Belanda menganut politik netral. Sejak akhir abad 19, muncul mingguan yang bercorak program politik. Lalu, tulisan-tulisan di surat kabar mulai bersikap kritis terhadap politik kolonial Belanda di Indonesia. Contohnya, Bondsblad (1897) yang terbit sebagai pembawa suara perkumpulan Indo-Belanda yang memperjuangkan Hindia Belanda sebagai tanah airnya dan menginginkan perlakuan politik yang sama bagi mereka. Ada pula Java Post (1902), surat kabar mingguan Katolik yang terbit di Bogor. Sementara penganut Kristen Protestan
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
menerbitkan De Banier (1909).
Pada awal abad ke-20, sebuah surat kabar
berbahasa Inggris, Java Times, terbit di Hindia Belanda (Surjomihardjo, 2002: 3031). Hingga abad ke-19, pers terus berjuang untuk mendapat kebebasan pers. Pada saat itu, banyak jurnalis yang dituntut pengadilan, menerima hukuman badan, dan mendapat ancaman pembuangan hanya karena para jurnalis itu menuliskan isi pikirannya (Surjomihardjo, 2002: 31). Salah satu tokoh yang berjuang melawan otoritas Belanda dalam pengekangan kebebasan pers adalah Ernest François Eugene Douwes Dekker atau Danudirdja Setia Budi. Dalam buku pelajaran sejarah di pendidikan Indonesia, Douwes Dekker sering rancu dalam penyebutannya. Ia sering disamakan dengan saudara kakeknya, Eduard Douwes Dekker. Meski sama-sama berasal dari klan Douwes dan Dekker, keduanya berbeda. Eduard Douwes Dekker adalah penulis buku yang menceritakan penderitaan rakyat Indonesia selama penjajahan, berjudul Max Havelaar. Eduard Douwes Dekker dikenal
dengan
nama pena Multatuli.
Sedangkan
yang
akan
dibahas
adalah Ernest Douwes Dekker, peletak dasar nasionalisme Indonesia, pendiri Indische Partij, yang kemudian dikenal dengan nama Danudirdja Setiabudi. Pria kelahiran Pasuruan, 8 Oktober 1879 ini adalah orang yang menentang kebijakan Pemerintah Belanda. Di masa perjuangan, ia dikenal sebagai orang yang pertama kali mencanangkan semboyan 'Indie Los Van Holland' (Indonesia lepas dari Negeri Belanda). Dekker membantu menghindari kaum lemah dari penindasan golongan penguasa dengan cara terjun ke dunia jurnalistik dan menggunakan media untuk menyebarkan gagasan-gagasannya. Tahun 1907, Douwes Dekker menjadi redaktur Bataviaasch Nieuwsblad. Pengalamannya dalam dunia pers didapat selama ia bekerja di Locomotief. Kemudian, ia juga bekerja di Soerabajaasch Handelsblad. Douwes Dekker adalah seorang wartawan berbakat, memiliki pikiran yang lincah, berbakat untuk menangkap sesuatu dengan cepat, dan dapat mengolah kesan-kesan dengan segera (Surjomihardjo, 2002: 33).
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
Douwes Dekker juga menyimpan sakit hati pada Belanda. Pengalamannya menjadi wartawan di Locomotief memperdalam pengetahuannya. Akhirnya, ia menyimpulkan bahwa penyebab kemelaratan kaum Indo adalah tata susunan eksploitasi modal kolonial. Oleh karena itu, menurutnya hubungan kolonial harus dihancurkan. Dalam bukunya, Surjomihardjo (2002: 40) menulis bahwa pada masa Perang Dunia I, terdapat sebuah kantor berita ANETA yang berkuasa dan menjadi corong Pemerintah Hindia Belanda. Meskipun ANETA sangat berkuasa, ada pula yang dapat melepaskan diri dari jeratan kantor berita tersebut. Di antaranya adalah Locomotief (Semarang) dan Indische Courant (Surabaya). Bataviaasch Nieuwsblad (1885-1935) merupakan salah satu surat kabar dengan tiras terbesar pada masa kolonial, yakni antara 6.000 hingga 9.000 eksemplar (Surjomihardjo, 2002: 37). Menurut Surjomihardjo (2002), pemimpin redaksinya ialah F.K.H. Zaalberg, seorang Indo-Belanda yang dapat menanjak dengan kekuatan sendiri dari pembantu korektor sampai menjadi pemimpin redaksi. Ia pandai menulis, terutama dalam mencerminkan perasaan kaum Indo. Tulisan Zaalberg tersebut membuat Bataviaasch Nieuwsblad berwatak (hlm. 33). Ketika Douwes Dekker menjadi redaktur di Bataviaasch Nieuwsblad, tulisantulisannya menjadi semakin pro kaum Indo dan pribumi. Dua seri artikel yang tajam dibuatnya pada tahun 1908. Seri pertama artikel dimuat Februari 1908 di surat kabar Belanda Nieuwe Arnhemsche Courant setelah versi bahasa Jermannya dimuat di koran Jerman Das Freie Wort, "Het bankroet der ethische principes in Nederlandsch Oost-Indie" ("Kebangkrutan prinsip etis di Hindia Belanda"), kemudian pindah di Bataviaasche Nieuwsblad. Sekitar tujuh bulan kemudian (akhir Agustus), seri tulisan panas berikutnya muncul di surat kabar yang sama, "Hoe kan Holland het spoedigst zijn koloniën verliezen?" ("Bagaimana caranya Belanda dapat segera kehilangan koloni-koloninya?", versi Jermannya berjudul "Hollands kolonialer Untergang").
Kembali
kebijakan politik
etis dikritiknya.
membuatnya mulai masuk dalam radar intelijen penguasa.
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
Tulisan-tulisan
ini
Tahun 1910 Douwes Dekker menerbitkan majalah Het Tajdeschrift di Bandung yang menjelaskan cita-cita politiknya. Majalah ini mendapat sambutan cukup luas. Tanggal 1 Maret 1912 ia menerbitkan De Express yang terkenal bernada tajam dan tidak jemu-jemu menyerang dan menentang politik penjajahan Belanda. Harian itu menjadi sarana bagi pemuda-pemuda Indonesia untuk mengemukakan buah pikiran mereka mengenai perjuangan membebaskan bangsa dan penjajahan. Douwes Dekker menulis laporan tentang pemberontakan petani Tangerang. Para petani memberontak karena mereka merasa ditindas dan diperlakukan secara tidak adil di tanah partikelir (tanah yang dimiliki orang-orang swasta Belanda dan orang-orang pribumi yang mendapat hadiah tanah karena dianggap berjasa kepada Belanda). Sejak abad ke-18, Gubernur Jenderal van Imhoff menjual tanah partikelir tersebut kepada para pihak partikelir. Hal ini membuat para ‘tuan tanah’ merasa dapat memperlakukan penduduk semena-mena (Surjomihardjo, 2002: 34). Douwes Dekker ditangkap dan ditahan Pemerintah Hindia Belanda karena menulis karangan yang isinya menyanjung Tjipto Mangunkusumo. Kala itu, Tjipto Mangunkusumo sudah dipenjarakan karena tulisannya dalam De Express yang berjudul "Kracht of Vress" (Kekuatan dan Ketakutan) membuat Pemerintah Belanda gempar. Kemudian, Tjipto dan Douwes Dekker dijatuhi hukuman buang di alam negeri dan berdasarkan permintaan mereka diubah dibuang ke negeri Belanda. Surjomihardjo (2002: 31) mengungkapkan, dalam abad ke-19, tercatat namanama wartawan Belanda yang telah dibuang: Bisschop Grooff (1845), L. van Vliet (1846), H.J. Lion (1851), S.E.W. Roorda van Eisinga (1864), J.J Nosse (1864), dan Dr.I.C.P.K. Winckel (1873). Muncul lah sebuah ungkapan yang terkenal, “Seorang redaktur surat kabar di daerah jajahan ini selalu bekerja dengan satu kakinya di penjara,”. Maksudnya, redaktur sebuah surat kabar harus siap jika tiba-tiba dijebloskan ke penjara karena tulisan di surat kabarnya (Surjomihardjo, 2002: 31).
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
Jika kita lihat dalam konteks ini, hal-hal yang dilakukan Douwes Dekker sudah termasuk cikal-bakal tindakan memperjuangkan kebebasan pers. Tindakan ini termasuk upaya meraih kebebasan pers, karena gerakan Douwes Dekker ini adalah gerakan untuk meraih kebebasan seperti kebebasan berkumpul, berserikat, dan berpendapat. Bukan satu hak pribadi, melainkan privilese sosial yang dimungkinkan oleh peradaban. Semacam hak berkumpul atau berserikat – yang sebetulnya dimiliki oleh warga negara mana pun juga. Walaupun begitu, ini belum cukup disebut sebagai kebebasan pers. Hal ini karena kebebasan pers dapat diukur dari dua faktor. Pertama, jika tidak ada tekanan terhadap pers. Kedua, jika tidak ada tekanan terhadap jurnalis. Sementara, pada masa itu Douwes Dekker dan pers lainnya masih mendapat tekanan dan ancaman pembredelan dan penahanan. Pada masa kolonial Belanda, pers dan kebebasan pers Indonesia bersifat destruktif, menghancurkan kekuatan kolonial Belanda. Namun di sisi lain ia bersifat positif dan konstruktif jika dilihat dari sudut kepentingan perjuangan bangsa Indonesia. Berita pers nasional kala itu tidak hanya bersifat “obyektif, tidak memihak”, melainkan secara aktif membantu perjuangan bangsa Indonesia (Mustoffa, 1978: 31). Gerakan Douwes Dekker melalui media pers ini menginspirasi pergerakan nasional. Buktinya, bersama dengan Dr.Tjipto Mangunkusumo dan Suwardi Suryaningrat, mereka mendirikan
Indische Partij pada 25 Desember 1912.
Tujuannya ialah mempersatukan bangsa dan mencapai kemerdekaan. Dekker merumuskan program kerja sama penduduk bumiputra dengan kaum Indo dan golongan lain untuk membina “Bangsa Hindia” (Indiers). Di Jakarta, rumah Douwes Dekker menjadi menjadi tempat pertemuan para pelajar School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (Stovia). Salah satu pelajar Stovia adalah Soetomo, salah seorang pendiri Budi Utomo. Semarang juga menjadi kota perjuangan pers masa kolonial Belanda. Di kota ini, Indische Partij dan Sarekat Islam memiliki banyak pengikut (Surjomihardjo, 2002: 33).
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
Kemudian, berdirilah Budi Utomo pada 28 Oktober 1928 dan Sarekat Islam. Ketiganya menerbitkan media persnya sendiri. Hubungan perkembangan pers Indonesia dengan pergerakan nasional semakin nyata. Pemerintah Hindia Belanda menyadari ancaman yang disebabkan oleh pergerakan pers Indonesia. Sejarah membuktikan, walaupun dipimpin oleh pemerintah yang otoriter, masih ada celah yang dibuat oleh media untuk masyarakat yang berseberangan dengan kepentingan/kebijakan pemerintah. Seketat-ketatnya pemerintah otoriter, jika masyarakat ingin bersuara, akan tetap ada saja celah walau sempit. Dalam hal ini, pada akhirnya aspirasi masyarakat tadi akan berujung pada pergerakan nasional.
PENUTUP Kesimpulan Meskipun pemerintah kolonial Belanda sangat membatasi pergerakan pers di Indonesia, masyarakat dan pers tidak tinggal diam. Bangsa Indonesia yang saat itu masih terpisah-pisah dan belum mendapatkan informasi yang terbuka sangat memerlukan media pers untuk pencerahan. Para tokoh nasional Indonesia menyadari bahwa pers dapat memberikan pencerahan bagi bangsa Indonesia. Pers dapat menjadi alat untuk menyatukan bangsa Indonesia dengan menyuarakan kebenaran tanpa melalui filter Pemerintah Hindia Belanda. Walaupun Pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan berbagai peraturan yang mengungkung kebebasan pers seperti Haatzaai Artikelen dan Persbreidel Ordonnantie, para awak pers tidak gentar. Mereka tetap menulis berita yang tajam dan membuat panas telinga Pemerintah Hindia Belanda. Meskipun kebebasan pers tidak ada, namun masih ada celah. Celah itu bisa terbuka
jika
ada
pelopor.
Salah
satu
pelopornya
adalah
Ernest
François Eugene Douwes Dekker atau Danudirdja Setia Budi. Tindakan Douwes Dekker ini dapat dikatakan sebagai cikal bakal perjuangan meraih kebebasan pers. Walaupun pada masa itu kebebasan pers belum dapat diperoleh karena masih pers masih mendapat tekanan.
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014
Daftar Pustaka Armada, Wina. 1993. Menggugat Kebebasan Pers. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Assegaff, Djafar. 2002. Perlawanan dalam Kungkungan. Jakarta: Spora Pustaka. Atmakusumah. 1981. Kebebasan Pers dan Arus Informasi di Indonesia. Jakarta: Lembaga Studi Pembangunan. Budyatna, Mochamad. 1994. Analisa dan Evaluasi Hukum Tertulis Tentang Asas Kebebasan Pers yang Bertanggung Jawab. Jakarta: Departemen Kehakiman. Hill, David. 2007. The Press In New Order Indonesia. Jakarta: Equinox Publishing. Lesmana, Tjipta. 2005. Pencemaran Nama Baik dan Kebebasan Pers. Jakarta: Metro Offset. Mustoffa, Sumono, 1978, Kebebasan Pers Fungsional, Jakarta:Yayasan Idayu. Sen, Khrisna dan Hill, David T. Media, Culture, and Politics in Indonesia, 2006. Jakarta: Equinox Publishing. Sukarno, 1986. Pers Bebas Bertanggung Jawab, Jakarta: Departemen Penerangan RI.
Perjuangan meraih ..., Dara Rahmania, FISIP UI, 2014