UNIVERSITAS INDONESIA
Perempuan Samurai: Sejarah yang Terlupakan
MAKALAH NON-SEMINAR
PUSPITA CIRANA 1006715004
FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA PROGRAM STUDI JEPANG DEPOK JANUARI 2014
1 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
2 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
3 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
Perempuan Samurai: Sejarah yang Terlupakan Puspita Cirana dan Endah H. Wulandari Program Studi Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia
[email protected]
Abstrak Pemikiran bahwa perempuan merupakan bawahan dari laki-laki, merupakan sebuah faktor yang menghalangi masyarakat Jepang untuk menghormati perempuan. Perempuan memiliki stereotip sebagai makhluk yang lemah, berkepribadian buruk dan sebagainya. Stereotip inilah yang membuat perempuan Jepang mencoba untuk mematahkan konstruksi masyarakatnya. Perempuan dalam masyarakat Jepang, seperti yang tercatat dalam sejarah Jepang, hanya berada di dalam rumah atau di balik layar, peran mereka hanya sebagai ibu rumah tangga, janda, pelacur, ibu dan sebagai anak. Dikatakan bahwa perempuan telah dipisahkan dari perang, pemerintahan dan pendidikan. Di sisi lain, laki-laki selalu berada di barisan depan, memegang tanggung jawab yang besar dan mengatur sebuah negara. Hasilnya, perempuan telah dijauhkan dari sejarah dan dianggap tidak penting. Meskipun demikian, studi belakangan menunjukan bahwa ada peran perempuan sebagai samurai. Kisah mereka telah disembunyikan dan telah lama terlupakan, tetapi eksploitasi dari beberapa samurai terkenal seperti Tomoe Gozen dan Myorin-ni, membuka beberapa perempuan yang telah melindungi istana maupun melawan pasukan kekaisaran menjadi samurai terkenal dalam sejarah Jepang, dan kecerdasan dan keberanian mereka dikenal di seluruh dunia.
Samurai Women: The Forgotten History Abstract The thought of Women were in all ways subordinate to men, is a factor which prevented Japanese society to respect women. Women was being stereotype as weak, ill-nature and more. These kind of stereotype makes Japanese women tried to break such construction. Women in Japanese Society as recorded in history of Japan, have been influential both on the household and behind the scenes, their roles are only as a house wives, widows, prostitute, mother, and daughter. It is said that women has been excluded from war, government, and education. On the other party, men has been always on the first line, doing a great deals of responsibility and being in charge of managing a country. As a result, women has been isolated from history and being considered as unimportant things. Even so studies reveals there are female role in samurai warfare. Their story used to be hidden and long forgotten, but the exploits of famous female warriors such as Tomoe Gozen and Myorin-ni, uncovering several womens who defended castles and fighting the imperial forces became the most famous female samurai warriors in the whole of Japanese history and widely known all over the world for their bravery and intelligence. Keynotes: Japanese; Samurai; Society; Stereotype; Women
4 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
Pendahuluan “Negeri Sakura”, begitulah sebutan dari sebuah negara di benua Asia yang sangat maju, yaitu Jepang. Keberhasilan Jepang dalam bidang teknologi, membuat produk dari negara ini dikenal dan dipakai di seluruh dunia. Dewasa ini, bila kita menyebut Jepang, banyak hal yang terlintas di pikiran kita, mulai dari bunga sakuranya yang terkenal dengan keindahannya; film animasi Jepang yang menyebar di seluruh dunia; mobil dan motor produksi Jepang, seperti Toyota, Honda, dan sebagainya. Bila Amerika membuat sosok hero seperti
Superman dan Batman , Jepang tetap
mempertahankan sosok hero tradisionalnya seperti Samurai dan Ninja. Sampai sekarang, banyak film Jepang menggunakan sosok Samurai sebagai karakter utamanya, sebagai contoh film The Last Samurai, Seven Samurai, Kagemusha, 13 Assassins, dan sebagainya. Tokoh pemegang pedang tersebut menaikan popularitas film di Jepang, dan beberapa di antaranya telah berhasil meraih penghargaan di luar negeri. Bila dilihat dari sisi etimologinya, samurai berasal dari kata saburau yang berarti melayani. Kata ini digunakan pada zaman dahulu untuk menyebut pelayan pribadi. Hal ini kemungkinan dikaitkan dengan jiwa kesetiaan samurai kepada tuannya. Hubungan tuan besar dengan pengikut ini sangat mirip dengan ikatan tuan dengan budak pada zaman feodal. (Varley, 1970: xiii). Kata Samurai kemudian berkembang dan memiliki arti prajurit bersenjata yang mengabdi pada kaum bangsawan. Sumber lain menyatakan bahwa, samurai disebut sebagai mono-no-fu atau bushi, yang secara harfiah berarti lelaki yang berurusan dengan benda, benda yang dimaksud adalah senjata. Kata ini muncul sejak zaman Heian. (Kure, 2002: 7). Samurai menjalankan kehidupan sesuai dengan konsep bushido atau yang dikenal sebagai “jalan samurai”. Ajaran tersebut merupakan kehormatan dan kebebasan dari ketakutan akan kematian. Para samurai akan bertarung tanpa rasa takut dan rela mati demi mempertahankan kehormatannya sebagai seorang Samurai. Mereka bahkan rela membunuh dirinya sendiri, karena akan dianggap lebih terhormat dibandingkan harus menyerah kepada musuhnya. Salah satu cara bunuh diri yang dilakukan samurai dikenal sebagai seppuku, yaitu dengan cara memotong dan mengeluarkan isi perut, istilah lain dari seppuku dikenal sebagai hara-kiri. Awalnya hara-kiri dilakukan untuk menghindari penangkapan oleh pihak musush dalam peperangan. Para samurai 5 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
meyakini bahwa tertangkap dalam peperangan merupakan hal yang hina, sehingga mereka melakukan ritual hara-kiri tersebut. Tetapi, dalam perkembangan lain, yaitu sejak abad ke-17, hara-kiri menjadi salah satu vonis hukuman yang dijatuhkan kepada samurai yang kalah dari musuhnya atau melanggar hukum (Varley, 1970: 35). Dengan demikian, istilah samurai identik dengan laki-laki. Namun, dalam penelitian yang belakangan, “muncul” bahwa samurai ternyata tidak identik dengan kaum laki-laki semata, karena ternyata perempuan pun bisa menjadi samurai. Penulisan Jurnal ini bermaksud untuk mengungkap eksistensi perempuan samurai dalam sejarah Jepang. Metodologi Penelitian Metodologi penelitian yang digunakan dalam penulisan Jurnal ini adalah dengan analisis data sekunder,
dengan
mempelajari,
menganalisa
hasil
penelitian
yang
sudah
ada
dan
menginterpretasikan kembali. Pengumpulan data dilakukan dengan studi kepustakaan. Sumber bacaan yang digunakan yaitu buku, artikel, jurnal, dan sumber yang diunduh dari internet. Data yang terkumpul akan dianalisa dengan memfokuskan pada teori gender struktural-fungsional, yaitu teori yang berangkat dari asumsi bahwa suatu masyarakat terdiri atas beberapa bagian yang saling memengaruhi. Teori ini mencari unsur mendasar yang berpengaruh di dalam suatu masyarakat, mengidentifikasi fungsi setiap unsur, dan menerangkan bagaimana fungsi unsurunsur tersebut sesuai dengan posisi seseorang dalam sistem masyarakat. (Marzuki, 2007: 4). Pengikut teori ini merujuk pada masyarakat pra industri yang terintegrasi di dalam suatu sistem sosial. Laki-laki berperan sebagai pemburu dan lebih banyak berada di luar rumah serta bertanggung jawab untuk membawa makanan kepada keluarga. Disisi lain, kaum perempuan bertugas sebagai peramu yang terbatas di sekitar rumah saja, dan membesarkan anak. Pembagian kerja seperti ini telah berfungsi dengan baik dan berhasil menciptakan kelangsungan masyarakat yang stabil. Dalam masyarakat ini stratifikasi peran gender sangat ditentukan oleh jenis kelamin. Berkaitan dengan pemikiran Joan Kelly, yang menyatakan bahwa, sepanjang sejarah, perempuan selalu dipisahkan dari aktivitas perang, politik, kesejahteraan, dan pengetahuan, sebaliknya kaum laki-laki difungsikan dalam aktivitas tersebut. (Kelly, 1996: 810).
6 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
Muncul dan Berkembangnya Kelas Samurai: dari periode muromachi sampai periode Edo Munculnya samurai dimulai dengan lahirnya kelas masyarakat Jepang yang memiliki keahlian sebagai prajurit, yang dikembangkan setelah reformasi Taika1 di tahun 646. Dalam Reformasi Taika di tahun 645, Kaisar Kotoku dibantu Fujiwara no Kamatari melakukan pembaharuan dengan mengeluarkan peraturan yang berkiblat kepada kebudayaan Cina, antara lain menghapus kepemilikan tanah pribadi, membagi wilayah menjadi bagian daerah dan pusat, mendata jumlah penduduk dan membuat Koseki 2 , dan memperbarui sistem pajak. Peraturan baru ini membuat banyak petani yang menjual tanahnya dan bekerja hanya sebagai petani penggarap tanah orang lain (Sansom, 1963: 57). Selanjutnya, sejak menyebarnya dengan cepat agama Budha yang dimulai dari Nara pada tahun 550, mengkhawatirkan Kaisar Kanmu. Dengan semakin menguatnya pengaruh agama Buddha di Nara, dan untuk menghindari dominasi agama Budha tersebut, maka pada tahun 794, Ibu kota Jepang dipindahkan dari Nara ke Kyoto (Henshall, 2004: 27). Pada saat itu terdapat empat keluarga terkemuka yaitu Minamoto, Taira, Fujiwara dan Tachibana. Pada periode Heian 3 tersebut, keluarga Fujiwara memegang peranan besar dalam dinsati kekaisaran. Dalam periode tersebut, dibawah rezim kekaisaran, kehidupaan kaum bangsawan di pusat kekuasaan, mengalami kemakmuran, tetapi sebaliknya, pemerintah daerah yang dikirim dari pusat selalu menindas masyarakat setempat. (Sansom, 1963: 99). Mereka melakukan kebijakan yang antara lain menaikan pajak tanah telah membuat pemilik tanah setempat merasa tertekan, pada akhirnya terjadi ketegangan antara kaum bangsawan istana dengan tuan tanah setempat, dan memicu pemberontakan di berbagai daerah. Para pemilik tanah kemudian mempersenjatai petani, pengrajin dan penduduk kota untuk melindungi tanah-tanah mereka. Pembentukan pam swakarsa inilah awal lahirnya kelas prajurit yang nantinya dikenal sebagai samurai.
1
Reformasi yang dilakukan pada tahun 645 untuk merubah Jepang agar berkiblat ke Cina, dan mencontoh sistem masyarakat dan pemerintahan di Cina 2 Daftar keluarga / Kartu Keluarga 3 Periode Heian dimulai ketika pusat ibukota yang menjadi pusat pemerintahan dipindahkan dari Nara ke Kyoto, dan pada saat itu Jepang mulai dikuasai oleh keluarga bangsawan (794-1185).
7 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
Akibat pemberontakan ini, Kaisar secara perlahan mulai kehilangan pengaruhnya di berbagai daerah. Kemudian, para samurai yang memiliki kekuatan pun mengisi kekosongan kekuasaan, sampai akhirnya pada tahun 1156 samurai mulai menguasai politik dan militer di berbagai daerah tersebut (Sansom, 1963: 150). Dalam waktu yang hampir bersamaan muncul dua klan samurai besar yang saling bertikai dan memperebutkan kekuasaan, yaitu klan Minamoto4 dan klan Taira5 (Sansom, 1963: 234). Kompetisi ini akhirnya pecah menjadi perang hebat yang disebut perang Gempei6. Dalam perang Gempei Keluarga Taira yang dipimpin oleh Kiyomori, berhasil mengalahkan keluarga Minamoto yang dipimpin oleh Yoshitomo. Selanjutnya, bahkan keluarga Taira menyingkirkan keluarga Fujiwara dari lingkungan kekaisaran Jepang. Seluruh keluarga Minamoto dibunuh, kecuali Yoritomo dan Yoshitsune, karena ibu Yoshitsune dijadikan selir oleh Kiyomori. Namun secara diam-diam Yoritomo dan Yoshitsune membentuk pasukan untuk membalas kekalahan dari keluarga Taira. Akhirnya keluarga Taira dapat dikalahkan oleh Yoshitsune (Sansom, 1963: 289-305). Berikutnya, karena takut akan kehebatan saudaranya, Yoritomo pun membunuh Yoshitsune dan Sembilan pengikutnya dengan 30.000 pasukan miliknya (Varley, 1970: 85). Setelah itu, Yoritomo menobatkan diri sebagai penguasa baru dan dimulailah masa keshogunan7 dalam sejarah Jepang. Pada masa ini, posisi shogun tepat dibawah Kaisar, dan bertindak sebagai penguasa. Yoritomo menggunakan sistem pemerintahan militer atau Bakufu. Ia juga memberikan tanah kepada kaum militer yang dijadikan pengikut. Sebagai shogun, Yoritomo menghapuskan shoen 8 yang membuat para shugo 9 mulai menguasai daerah propinsi sebagai daimyo 10 . Para daimyo ini kemudian membentuk prajurit bersenjata sendiri di daerah kekuasaan mereka, yang membuat pemerintahan Bakufu atau pemerintahan feudal pertama dalam sejarah Jepang semakin melemah.
4
Dikenal sebagai Klan Genji yang merupakan keluarga keturunan Kaisar Seiwa Dikenal sebagai Klan Heike yang merupakan keluarga keturunan Kaisar Kanmu 6 Perang yang terjadi pada tahun 1180-1185, dikarenakan adanya perebutan kekuasaan antara klan Genji dengan Klan Heike 7 Masa saat pemerintahan dikuasai oleh Shogun, yang posisinya berada tepat dibawah Kaisar dan memiliki kendali atas Kaisar. 8 Tanah milik pribadi 9 Polisi daerah 10 Jabatan untuk seseorang yang memiliki kekuasaan di suatu wilayah dan juga sebagai pemilik tanah. 5
8 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
Di saat pemerintahan bakufu melemah, kaisar Daigo mengangkat Ashikaga Takauji sebagai shogun dan mendirikan bakufu kedua di Kamakura. Selanjutnya pada saat Ashikaga Yoshimitsu, cucu dari Takauji, diangkat sebagai shogun, ia berhasil mendamaikan daerah utara dan selatan, yang tadinya sempat berselisih. Tetapi, saat kematiannya, Jepang kembali berselisih. Berikutnya, pada masa pemerintahan shogun Ashikaga Yoshimasa, konflik pemerintah pusat dengan para daimyo semakin memuncak, dan akhirnya pecah perang yang disebut sebagai perang Onin. Perang onin tersebut terjadi di perbatasan Kyoto, dan inilah awal dari zaman peperangan dalam negeri atau disebut sengoku jidai11. Pada tahun 1565 Oda Nobunaga, seorang daimyo terkuat saat itu mengambil kesempatan untuk menjatuhkan keluarga Ashikaga dengan membunuh Shogun Ashikaga Yoshiteru. Selanjutnya pada tahun 1573, Oda Nobunaga mengusir anak dari Yoshiteru, yaitu Ashikaga Yoshiaki keluar dari Kyoto. Untuk selanjutnya kepemimpinan dipegang oleh Oda Nobunaga. Di masa pemerintahannya, Nobunaga memerintahkan Toyotomi Hideyoshi untuk menundukan para daimyo di bagian barat dan memerintahkan Tokugawa Ieyasu untuk mengurus bagian timur dan utara. Namun pada tahun 1582, Nobunaga sendiri dibunuh oleh pengikutnya, yaitu Akechi Mitsuhide. Nobunaga kemudian digantikan oleh Toyotomi Hideyoshi. Ketika Hideyoshi meninggal di tahun 1598, ia meninggalkan anaknya yang baru berusia 5 tahun dan tentu saja belum dapat memegang kekuasaan. Akibatnya, terjadi perebutan kekuasaan kembali, peristiwa ini dikenal sebagai Sekigahara12. Perang ini dimenangkan oleh Tokugawa Ieyasu, yang kemudian memindahkan ibu kota ke Edo, dan dimulai periode Edo Bakufu. Di bawah keshogunan Tokugawa, dibuat aturan baru untuk mengontrol para daimyo yang disebut sankin kotai 13 . Selanjutnya, dinasti Tokugawa juga melakukan politik sakoku 14 . Tahun 1646, Jepang mengalami krisis ekonomi 15 dan menyebabkan para daimyo jatuh miskin. Mereka
11
Zaman terjadinya perang dalam negeri dengan munculnya perang Onin yang dimulai pada tahun 1467-1573. Perang yang terjadi pada tahun 1600, dalam perebutan kekuasaan antara Tokugawa Ieyasu melawan Ishida Mitsunari. 13 Peraturan yang mewajibkan para daimyo untuk mengunjungi Edo dan menetap beberapa waktu. 14 Penutupan Jepang sejak tahun 1639-1854 yang melarang masyarakat Jepang pergi ke luar Jepang, dan melarang orang asing masuk ke Jepang, dengan tujuan mempertahankan kebudayaan dan nasionalisme negara Jepang.. 15 Krisis yang terjadi saat Jepang di pimpin oleh Tokugawa Tsunayoshi yang memakai uang negara secara berlebihan untuk hal yang tidak penting, seperi membangun kuil, membangun istana untuk istri-istrinya dan sebagainya, sehingga Jepang mengalami krisis ekonomi. 12
9 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
menyalahkan pemerintah atas kejadian ini. Disisi lain, berkembangnya kapitalisme Barat, memaksa mereka untuk membuka isolasi Jepang. Akhirnya tahun 1868 dimulailah serangkaian reformasi ekonomi, sosial dan budaya yang disebut restorasi Meiji. Serangkaian kebijakan baru ini benyak memojokan kaum samurai, dan menimbulkan keresahan di kalangan samurai, yang akhirnya mucul berbagai pemberontakan dari kaum samurai. Pada tahun 1877 pecah pemberontakan samurai terbesar di Satsuma, yang dipimpin oleh Saigo Takamori. Pemerintah “baru” kemudian berhasil memadamkan pasukan pemberontakan tersebut, sehigga berakhirlah era samurai. Setelah membaca sejarah singkat Jepang di atas, samurai selalu diidentikkan sebagai seorang prajurit laki-laki yang gagah berani dalam menghadapi segala hal. Tetapi, apakah benar bahwa samurai ini identik dengan laki-laki? Selama ini, penulisan sejarah dibangun dalam kacamata laki-laki semata, perempuan dalam sejarah hanya ditampilkan sebagai pelengkap, yang perannya hanya dalam ranah domestic. Joan Kelly mengatakan bahwa, “Throughout historical time, women have been largely excluded from making war,…” (Kelly, 1996: 810), sepanjang periode sejarah, perempuan telah dipisahkan dari kegiatan berperang. Hal ini lah yang membuat banyak masyarakat mengira bahwa perempuan tidak pernah ikut serta dalam perang. Hampir seluruh peristiwa yang tertulis dalam sejarah sangat didominasi oleh laki-laki sebagai pemeran utamanya. Tetapi, sebenarnya ada bagian yang terlupakan dalam sejarah Jepang, yaitu peran perempuan sebagai samurai. Mengapa hal ini terlewatkan? Faktor apa yang membuatnya demikian? Kedudukan Perempuan di Jepang Ellis Amdur menyatakan, bahwa peran perempuan dalam kisah-kisah Jepang hanyalah sekedar peran-peran romantis; peran tragis saat perempuan melakukan bunuh diri atas kematian suaminya; istri setia yang ditangkap sebagai tawanan; ibu yang membesarkan anak laki-lakinya untuk membalas dendam bagi kematian ayahnya; perempuan penyayang yang “lemah” dan “feminism”; dan ada juga perempuan penggoda prajurit yang sedang bertugas, sehingga prajurit tersebut lalai dalam tugasnya. Selain itu, ada pula kisah mengenai kaum perempuan yang dibunuh secara masal, atau ditangkap sebagai pampasan perang perang, bahkan dijadikan pemuas nafsu dan akhirnya akan dibunuh (Amdur,Ellis.Journal of Asian Martial Arts, vol. 5, no. 2, 1996).
10 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
Nasib perempuan Jepang pada saat itu, tidak semuanya seperti yang dinyatakan oleh Ellis Amdur diatas. Ada banyak kisah perempuan yang melakukan tindakan kepahlawanan, hanya saja, kisahkisah mereka tampaknya tidak dipublikasikan, atau mungkin dirahasiakan. Jepang dikenal dengan patrinialismenya, laki-laki yang mengendalikan segala urusan, dan perempuan hanya melakukan pekerjaan rumah, suatu pekerjaan yang dianggap tidak penting yang tidak bernilai. Sejak lama perempuan Jepang merupakan kaum tertindas yang dianggap tidak berguna. Hal ini sesuai dengan pemikiran Joan Kelly yang menyatakan bahwa, sepanjang sejarah, perempuan selalu dipisahkan dari perang, politik, kesejahteraan, dan pengetahuan, sebaliknya kaum laki-laki difungsikan dalam aktivitas tersebut. Selain itu terdapat beberapa faktor yang membuat penulisan sejarah perempuan terabaikan, diantaranya yaitu: paradigma yang keliru tentang sejarah perempuan, yang menganggap masalah perempuan adalah persoalan domestic; metodologi perspektif yang keliru tentang dunia perempuan, yaitu perempuan dianggap berurusan dengan persoalan pribadi, sedangkan laki-laki berurusan dengan persoalan publik. (Fatimah, 2008: 385) Di masa Meiji, seorang pemikir terkenal, yaitu Fukuzawa Yukichi dalam bukunya yang berjudul Japanese Women, menyatakan “…Japanese women were not born useless; there is a cause which makes them so,…”. Perempuan Jepang tidak lahir dalam keadaan tidak berguna, tetapi ada “hal” yang membuat mereka seperti itu. (Yukichi, 1988: 38-39). Disadari oleh Fukuzawa bahwa para perempuan yang hidup di Jepang terikat dalam suatu “hal” yang membuat mereka tidak memiliki keistimewaan dalam masyarakat. Sejak dahulu, perempuan memiliki stereotipe sebagai makhluk yang tidak memiliki kekuatan dan tidak memiliki kepintaran. Fukuzawa juga menyatakan bahwa, kesetaraan perempuan dilakukan dengan cara menghormati perempuan, pendidikan bagi perempuan, posisi perempuan (terutama dalam pekerjaan), dan mengubah pola pikir pria yang merendahkan perempuan sehingga posisi perempuan dalam masyarakat Jepang naik. (Yukichi, 1988:xv). Hal seperti inilah yang harus dipertimbangkan masyarakat Jepang, terutama oleh para laki-laki Jepang yang menganggap kaumnya lebih eksklusif. Dari berbagai sumber, diketahui bahwa Jepang di masa kuno sangat menjunjung tinggi perempuan. Perempuan dianggap sebagai cenayang yang memiliki hubungan dengan para dewa. Tetapi, saat masuknya ajaran Konfusianisme 16 dan Budhisme 17 dari Cina, terjadi perubahan 16
Paham yang diajarkan oleh Konfusius mengenai akhlak, moral dan etika. Ajaran ini masuk ke Jepang pada abad ke-6. Di saat para cendekiawan Jepang kembali dari Cina. 17 Ajaran mengenai cinta dan kasih sayang yang masuk ke Jepang pada abad ke-6, dan menyebar dengan cepat.
11 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
pemikiran. Perempuan dianggap sebagai makhluk yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. Konfusianisme yang memberikan penghormatan tinggi terhadap laki-laki telah melahirkan sanjukun atau tiga kepatuhan yang harus dilakukan oleh kaum perempuan, yaitu saat ia muda ia diharuskan mematuhi ayahnya, setelah ia menikah ia juga harus mematuhi suaminya dan setelah ia menjanda ia harus mematuhi anak laki-lakinya. (Okamura, 1983: 6). Selanjutnya, ajaran Budhisme juga menyebutkan bahwa perempuan merupakan makhluk yang kotor, berdosa dan pendusta. Meskipun demikian, salah satu sekte ajaran Budha yaitu amidisme18 mengajarkan bahwa kehidupan setelah mati nanti tidak akan ada perbedaan antara perempuan dan laki-laki, kaya dan miskin, ataupun yang lemah dan yang kuat. Tetapi disisi lain, ternyata ada juga sebuah aliran ajaran Budha, yang merendahkan derajat perempuan. Ajaran Budha dari sekte Teratai 19 mengajarkan bahwa perempuan tidak akan menyentuh surga kecuali jiwa tersebut terlahir kembali menjadi laki-laki, baru ia dapat menyentuh surga. (Kurihara: 97). Dengan demikian, doktrin-doktrin agama telah memberikan legalitas yang merendahkan kedudukan perempuan Jepang. Hanya sebagian kecil kisah-kisah Jepang yang ada selama ini yang mengagungkan nama perempuan, sisanya tertutup dan menghilang seiring berjalannya waktu. Kemudian dari kisah dan sejarah Jepang yang tertulis, kita juga dapat melihat nasib perempuan Jepang pada zaman dahulu terbagi menjadi dua tipe, yaitu perempuan kelas atas dan bawah. Perempuan yang berasal dari keluarga kelas atas kurang memiliki kebebasan. Keluarganya yang akan memilih calon suaminya, dan biasanya bertujuan untuk menyatukan dua klan agar menjamin kemakmuran kedua klan tersebut. Setelah menikah, sang istri harus melahirkan anak laki-laki untuk meneruskan keluarganya. Bila sang istri melahirkan anak perempuan, maka ia harus mengajari anak perempuannya membaca, menulis, menjahit baju, dan cara bersikap yang baik. Bahkan pada era Tokugawa, perempuan dilarang memiliki harta benda, dan terdapat kebebasan membunuh istrinya apabila sang istri tidak menuruti kemauan suami atau bermalas-malasan. Perempuan hanya diperbolehkan mempelajari tulisan hiragana, dan dilarang membaca tulisan bisnis, politik dan karya besar, yang ditulis dengan menggunakan aksara kanji. Sebaliknya, perempuan dari kelas rendah dianggap lebih memiliki kebebasan dibandingkan perempuan dari 18 19
Sekte Budha Mahayana, yang mengagungkan amida dan mempercayai tanah suci di barat. Ajaran Nichiren, yang menganggap perempuan sebagi makhluk yang tidak suci dan dijauhkan dari tanah suci.
12 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
kalangan atas. Hal ini tertulis dalam buku kurikulum Samurai Sisters: Early Feudal Japan Sample Activity. Perempuan dan laki-laki bekerja secara berdampingan di sawah dan memiliki hak atas harta benda mereka. Kaum perempuan kelas bawah dapat menikah secara bebas dan pernikahannya pun lebih harmonis, karena para lelaki membutuhkan tenaga perempuan untuk membantunya bekerja di sawah. Meskipun demikian, tidak semua perempuan kelas rendah memiliki kebebasan yang disebutkan sebelumnya. Banyak pula kisah-kisah pilu di kalangan kaum perempuan dari keluarga bersahaja. Misalnya, di saat pajak mulai tinggi, banyak keluarga miskin yang menjual anak perempuannya ke okiya 20 dan menjadi geisha 21 . Pendapatan mereka sangat membantu keluarganya dalam membayar hutang dan pajak yang sangat tinggi, serta mengurangi beban keluarga dalam mengurus anak lainnya. Keluarga-keluarga ini percaya bahwa anak perempuan yang mereka jual akan diurus dengan baik di rumah geisha. Meskipun konotasi nya “dijual”, tetapi fakta mengejutkan lainnya adalah, para geisha mengakui bahwa mereka memiliki lebih banyak kebebasan dibandingkan sebelumnya. Para geisha memiliki hak untuk tidak menikah dan hanya menjadi selir. Dengan menjadi selir, mereka masih memiliki kebebasan, mendapat uang yang cukup banyak, dan diperlakukan sama dengan istri-istri lainnya. Konstruksi perempuuan dalam masyarakat Jepang, tergambar dalam aksara kanji. Aksara kanji yang
mengandung
elemen
“perempuan”
(onna)
[ 女 ]
memiliki
makna
yang
merendahkan/peyoratif, di antaranya kanji (wazaogi) [妓] terdiri dari kanji (onna) [女] dengan kanji (sasaeru) [ 支 ] yang berarti “mendukung”, seharusnya memiliki arti perempuan yang mendukung, tetapi sebaliknya kanji ini memiliki arti perempuan penghibur yang memiliki konotasi negatif dan sering dikaitkan dengan perempuan prostitusi yang banyak terjadi di zaman dulu. Selanjutnya, kanji (samatageru) [妨] terdiri dari kanji (onna) [女] dan kanji (kata) [方] yang berarti “seseorang”, memiliki arti pengganggu. Kanji ini jelas memiliki stereotip bahwa perempuan adalah seseorang yang mengganggu. Kanji (mekake) [妾] terdiri dari kanji (tatsu) [立] yang memiliki arti “berdiri” dan kanji (onna) [女], memiliki arti selir. Mungkinkah kanji ini bermakna perempuan yang “diinjak”, yang mengacu pada selir-selir kaisar zaman dahulu? Bila dibandingkan dengan kanji laki-laki (otoko) [男], kanji ini terdiri dari kanji ladang (ta) [田] dan 20 21
Rumah Geisha Perempuan penghibur
13 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
kanji kekuatan (chikara) [力], yang dikaitkan dengan laki-laki yang kuat untuk bekerja di ladang. Selain itu, ada pula kanji keberanian (isamu) [勇], yang mengandung kanji (otoko) [男]. Setelah melihat beberapa kanji di atas, dan melakukan perbandingan, dapat disimpulkan bahwa posisi perempuan di dalam masyarakat Jepang sangat rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Faktor di atas inikah yang membuat perempuan menjadi terlupakan dalam sejarah Jepang? Faktanya sejak dahulu kaum perempuan Jepang telah berani melakukan berbagai hal yang dapat membantu keluarga dan bangsa mereka, tetapi konstruksi perempuan dalam masyarakat Jepang yang sangat merendahkan perempuan, membuat mereka berjuang untuk mempertahankan eksistensi mereka, sehingga muncul tokoh-tokoh perempuan yang mencoba keluar dari konstruksi tradisional mereka. Di antaranya muncul perempuan samurai, yang dengan gagah berani melindungi bangsanya. Perempuan Samurai Munculnya perempuan samurai diperkirakan bermula saat periode Sengoku seperti yang telah dijelaskan di atas, saat kaum perempuan Jepang yang tinggal di rumah menunggu suaminya pulang. Dengan kondisi zaman yang tidak aman, para perempuan ini selalu membawa pisau kecil untuk melindungi diri mereka dari bahaya. Mengenai hal ini Inazo Nitobe menyatakan, bahwa saat perempuan menginjak usia remaja, mereka akan dibekali pisau belati yang diselipkan di baju bagian atas mereka, untuk melindungi diri dan keluarga mereka (Turnbull, 2010: 22). Di zaman Sengoku, seluruh masyarakat dari seluruh kelas ikut serta dalam perang. Artinya perempuan yang selama ini diketahui hanya melakukan tugas rumah tangga semata, ikut terlibat dalam perang tersebut, mereka diikut-sertakan untuk melindungi kota dan istana kaisar sehingga munculah perempuan samurai. Karena kebanyakan perempuan ini ditugaskan untuk melindungi kota mereka, mereka dilatih untuk dapat menggunakan senjata yang dapat mengenai musuh dalam jarak jauh. Para perempuan samurai ini dilatih dengan naginata22 karena senjata ini sangat fleksibel untuk menghadapi segala musuh. Tetapi apakah perempuan samurai ini hanyalah sekedar pengawal dan pelindung istana; atau juga diturut-sertakan dalam perang? Banyak bukti arkeologi yang menemukan jasad perempuan dalam tanah bekas lokasi peperangan, salah satunya
22
Tombak panjang yang berujung mata pisau katana
14 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
tempat terjadinya perang Senbon Matsubaru23 . Tes DNA membuktikan bahwa dari 105 jasad yang ditemukan, 35 nya adalah jasad perempuan. Kesimpulannya, Perempuan samurai tidak hanya ikut perang tetapi perang juga menghampiri mereka. Mereka bertarung dengan keahlian dan gagah berani. (Turnbull, 2010: 6). Meskipun berjuang layaknya samurai, penampilan dari perempuan samurai sangatlah khas. Tidak seperti laki-laki samurai, perempuan samurai tidak menggunakan pelindung kepala. Mereka menggunakan Hakama yaitu celana besar seperti rok yang terbelah dua, sehingga bentuk badan perempuannya tidak terlihat. Bila samurai laki-laki dilengkapi dengan roku gusoku24, perempuan samurai hanya menggunakan haidate25 di kedua pahanya, kote 26 di tangan kirinya, dan dou27 , sehingga senjata apapun tidak dapat menembus ke tubuhnya. Perempuan samurai yang berasal dari keluarga kelas atas juga memakai jinbaori28 yang bermotifkan lambang keluarganya, dan mon29 keluarganya. Senjata yang digunakan para perempuan samurai ini juga berbeda. Biasanya samurai laki-laki membawa katana 30 , tetapi perempuan samurai membawa naginata, yang bentuknya seperti tombak panjang, dengan pedang di ujungnya. Selain naginata, perempuan samurai juga membawa tanto31 sebagai persenjataannya. Berikut ini, beberapa kisah yang terungkap tentang perempuan samurai, mereka adalah tokoh yang telah berjasa melindungi negaranya. a. Tomoe Gozen Tomoe Gozen merupakan keponakan dari Minamoto Yoritomo, tetapi ia pengikut dari Minamoto Yoshinaka. Ia digambarkan memiliki keterampilan dalam mengayunkan pedang dan memanah, sehingga ia dikatakan dapat menghadapi 1000 prajurit sekalipun. Banyak pertempuran yang ia ikuti dan selalu dimenangkannya. Kisah keberaniannya dimulai dari pertempuran di Awazu 32
23
Perang yang terjadi antara Takeda Katsuyori dengan Hojo Ujinao pada tahun 1580. Enam peralatan pelindung perang yang biasa dipakai oleh para Samurai. 25 Pelindung Paha. 26 Pelindung Tangan. 27 Pelindung Dada. 28 Rompi Perang. 29 Lambang/ Emblem Keluarga. 30 Pedang yang dipakai Samurai secara umum dengan panjang sekitar 70cm-80cm. 31 Pedang Kecil berukuran 25cm. 32 Pertempuran di tahun 1184 antara Minamoto no Yoshinaka melawan Minamoto no Yoritomo. 24
15 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
pada tahun 1184 yang ditulis dalam Heike Monogatari33. Pada pertempuran di Awazu ini, banyak yang mati terbunuh, tetapi Tomoe berada diantara 7 orang yang selamat. Aksi menakjubkan lainnya yaitu, saat 7 orang yang selamat ini semakin berkurang menjadi hanya 5 orang, Tomoe diperintahkan untuk melarikan diri oleh Yoshinaka. Yoshinaka juga berniat untuk melakukan hara-kiri karena melihat keadaan yang semakin buruk. Meskipun demikian, Tomoe masih ingin berjuang sedikit lagi. Dengan gagah berani ia menunggang kudanya, dan pergi menuju musuhnya yang kuat dan berani, Onda no Hachiro, beserta 30 pengikutnya. Tomoe mendekati dan melompat ke arah Onda, kemudian memegangnya erat-erat, dan memenggal kepala Onda. Setelah melakukan hal itu, Tomoe langsung melepaskan pakaian perangnya dan pergi ke provinsi bagian utara. Dalam perjalanannya ia bertemu dengan Wada Yoshimori, yang merupakan pengikut dari Minamoto Yoritomo, dan menjadikan Tomoe sebagai selirnya. Tomoe melahirkan anak laki-laki, tetapi dibunuh pada tahun 1213 saat keluarga Hojo menghancurkan keluarga Wada. Setelah itu, Tomoe menjadi bikuni dan meninggal di usia 91 tahun. b. Ueno Tsuruhime Di tahun 1577, Oda Nobunaga bersama dengan Toyotomi Hideyoshi melakukan operasi militer dengan tujuan menundukan keluarga Mori yang memiliki kekuasaan besar di daerah Tsuneyama. Keluarga Mimura adalah salah satu keluarga yang bergabung dengan Nobunaga dalam operasi tersebut. Salah seorang perempuan dari keluarga Mimura bernama Tsuruhime, menikah dengan Ueno Takanori. Suatu hari, kediaman Tsuruhime dan suaminya dikepung oleh samurai keluarga Mori, dan suami Tsuruhime pun meninggal dalam serangan tersebut. Kemudian, para ibu dan anak dari keluarga Mori dipaksa untuk melakukan bunuh diri. Tsuruhime memutuskan bahwa, seandainya ia harus mati, kematiannya tidak dilakukan dengan tangannya sendiri. Ia pun bergegas mengumpulkan perempuan lain untuk bertarung melawan keluarga Mori. Pada awalnya, mereka sangat takut akan kepercayaan, bahwa perempuan yang bertempur akan dihukum di kehidupan setelah mati nanti, tetapi Tsuruhime meyakinkan mereka bahwa hal itu tidak akan terjadi, karena bila meninggal dalam peperangan, maka Amida Budha akan menuntun mereka ke surga di barat.
33
Sebuah karya sastra Jepang yang menceritakan pertempuran Klan Heike dengan Klan Genji.
16 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
Akhirnya Tsuruhime beserta 33 perempuan pengikutnya, berlari ke medan pertempuran dan membuat samurai keluarga Mori terkejut melihatnya dan hampir tidak percaya. Tsuruhime menuju ke salah satu jenderal perang dan menantangnya, tetapi ia diabaikan karena samurai tidak dipersiapkan untuk membunuh perempuan. Tsuruhime yang merasa kecewa karena tidak bisa mati dalam peperangan, mundur dari medan pertempuran. Ia dan pengikutnya melakukan bunuh diri sambil mengucapkan nenbutsu34. c. Myorin-ni Di tahun 1586, Myorin-ni berkontribusi dalam perlindungan istana dari penyerangan yang dilakukan oleh klan Shimazu dari Satsuma yang ingin menguasai Istana Funai, Tsurusaki, dan Usuki. Saat tiga panglima perang Shimazu hendak menyerang istana Tsurusaki, mereka terkejut melihat samurai yang muncul untuk melindungi istana tersebut adalah seorang perempuan. Myorin-ni muncul dengan baju perang dan naginata, dan turun ke medan pertempuran. Pertempuran ini
ternyata seimbang, sehingga mereka melakukan negosiasi. Myorin-ni
ditawarkan emas dan perak apabila ia mau menyerahkan istananya. Meskipun demikian, Myorinni menolak, ia akan tetap melindungi istananya sampai mati. Myorin-ni juga dikenal dengan penyerangannya bersama dengan Toyotomi hideyoshi melawan Shimazu. Mereka berpura-pura membantu Otomo dan menyiapkan strategi untuk penyerangan di Kyushu. Myorin-ni berhasil membunuh 63 penyerang dari Satsuma dan hanya kehilangan satu prajuritnya. Salah satu panglima perang dari Shimazu yang bernama Nomura, melihat Myorin-ni dengan rasa hormat atas keberaniannya. Nomura pun membawa Myorin-ni yang saat itu terluka parah ke istana Takashiro, dimana suaminya meninggal saat terjadinya perang di Mimigawa35., akhirnya Myorin-ni juga meninggal ditempat yang sama dengan suaminya. Ketangguhan Myorin-ni membuat Hideyoshi terkagum, ia merasa bahwa Myorin-ni merupakan perencana serangan Kyushu yang hebat dan menyebabkan kekalahan bagi klan Shimazu. Ini merupakan salah satu penyerangan terhebat yang direncanakan oleh seorang perempuan. d. Perempuan Hondo
34
Menyebut nama Amida Buddha Perang yang dilakukan oleh Klan Shimazu untuk menaklukan Klan Otomo dan memperluas wilayahnya di daerah ke Provinsi Higo dan Hizen
35
17 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
Tahun 1589 Konishi Yukinaga dan Kato Kiyamasa melakukan ekspedisi melawan Istana Shiki dan Istana Hondo. Saat mengetahui akan dilakukan penyerangan ke Istana Hondo, beberapa ratus perempuan yang kebanyakan dari mereka telah kehilangan suaminya, menyiapkan diri untuk ikut dalam peperangan demi melindungi kampung halamannya. Agar memudahkan mereka dalam perang, para perempuan ini memotong rambut mereka, memakai pakaian perang, menyelipkan banyak pisau dan pedang ke ikat pinggang, ada juga yang memegang tombak dan senjata lainnya. muculnya beberapa ratus perempuan dari pintu istana, mengejutkan penyerang mereka. Para perempuan ini sangat kuat dan tangguh, bahkan mereka banyak membunuh prajurit laki-laki yang dipimpin oleh Toranosuke, bawahan dari Kiyamasa. Karena Toranosuke kesal akan kenyataan bahwa prajuritnya telah dibunuh oleh perempuan dan anak-anak, akhirnya ia pun melakukan serangan brutal. Serangan ini menyebabkan kekalahan pasukan perempuan Hondo dan hanya dua yang selamat. e. Perempuan Pelindung Istana Omori Di saat Toyotomi Hideyoshi berkuasa, ia berusaha untuk mengambil alih beberapa daerah yang dikuasai oleh keluarga pemilik tanah. Hideyoshi berhasil menguasai daerah Shimazu dan Kyushu, bahkan menaklukan Istana Hojo yang kuat. Pada tahun 1598, ia berusaha untuk menaklukan daerah Tohoku dan mengirim Otani Yoshitsugu untuk mengurus pengambilan tanah, tetapi kedatangan Otani, tidak disukai oleh Keluarga Onodera. Tahun 1599, Onodera Yasumichi akhirnya berhadapan dengan pasukan Otani di depan benteng Istana Omori. Seluruh masyarakat lokal tentunya mendukung keluarga Onodera dan membantunya untuk melawan Otani. Di saat itu, daerah Tohoku sedang musim dingin, meskipun demikian para perempuan pun ikut turut serta dalam melindungi Istana Omori. Para perempuan pemberani ini dengan mengenakan baju seadanya, ke luar dari pintu istana dengan melompati pagar runcing untuk berhadapan langsung dengan pasukan Otani. Sebagian dari mereka melempari pasukan Otani dengan batu-batu dari dalam istana. Tindakan ini ternyata memiliki pengaruh besar, beberapa prajurit Otani meninggal dan terluka parah. f. Samurai Perempuan dari Aizu Restorasi Meiji di tahun 1868 masih menyelesaikan beberapa masalah dari periode Tokugawa Bakufu yang masih tertinggal. Setelah menguasai beberapa daerah selatan di Jepang, pemerintah 18 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
Meiji mengalami kesulitan dalam menaklukan daerah utara Jepang. Namun dengan pasukan modern yang dimiliki, pemerintah berhasil menguasai daerah utara Jepang dan berencana untuk menaklukan daerah Aizu. Aizu dikenal dengan kaum perempuannya yang dilatih untuk memegang naginata dan pedang sejak kecil, untuk melindungi daimyo dan keluarga mereka. Sekelompok samurai perempuan yang disebut Joushitai yang dipimpin oleh Nakano Takeko, ikut serta dalam perang melawan pemerintahan Meiji. Lawan mereka sudah menggunakan senjata modern, tetapi mereka tidak takut. Dalam pertempurannya, Nakano berhasil melawan musuhnya dengan naginata miliknya, sampai akhirnya sebuah peluru mengenai dirinya. Ia memohon pada saudaranya yang ikut perang, Masako, untuk memenggal kepalanya. Ia tidak ingin ditangkap oleh pihak musuh, karena itu adalah hal yang memalukan bagi samurai. Masako pun melakukannya, dan membawa kepala Nakano ke kuil setempat. Kesimpulan Dalam sejarah Jepang, perempuan pada kenyataannya telah berupaya untuk memperjuangkan posisinya dalam masyarakat yang ketika itu masih dikuasai oleh kaum samurai --laki-laki--. Mereka mulai melatih diri mereka untuk mempelajari bela diri untuk perlindungan dan melawan musuhnya. Ketangguhan mereka tidak kalah dari laki-laki, bahkan banyak dari mereka yang berhasil mengalahkan musuh mereka yang kebanyakan laki-laki Samurai. Perempuan Samurai mulai muncul sejak Perang Genpei. Meskipun demikian, kisah keberanian mereka dianggap kurang penting dan dilupakan oleh masyarakat Jepang. Seharusnya kisah mengenai keberanian perempuan ini diapresiasi oleh masyarakat Jepang. Terlebih lagi, tidak banyak kisah-kisah perempuan berjasa yang diungkap dan dijadikan pahlawan negara. Struktur masyarakat Jepang, mendekati teori struktural-fungsional, yaitu sistem masyarakat yang membagi fungsi seseorang berdasarkan gender; laki-laki bekerja dan perempuan di rumah. Perempuan dalam masyarakat Jepang, termasuk dalam kelas yang tertekan dan posisinya di bawah kaum laki-laki. Hal ini mendukung pernyataan Fukuzawa Yukichi, yang mengatakan bahwa ada “hal” yang membuat perempuan dianggap tidak berguna. Perempuan, berdasarkan pernyataan Joan Kely, juga dijauhkan dari berbagai hal yang berkaitan dengan negara, seperti politik, pengetahuan, dan perang. Paradigma yang keliru tentang sejarah perempuan, yang menganggap masalah perempuan adalah persoalan domestic dan perempuan dianggap berurusan 19 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
dengan persoalan pribadi, sedangkan laki-laki berurusan dengan persoalan publik, juga merupakan penyebab hilangnya jejak kaum perempuan dalam dokumen dan catatan sejarah Jepang. Sehingga kisah heroisme mereka pun menjadi sejarah yang terlupakan. Daftar Referensi: Books: Henshall, Kenneth G.(2004).A History from Japan from Ston Age to Super Power (2nd Edition). New York: Palgrave Macmilla Kazuo, Kasahara.(1995).Nihon no Rekishi.Kodansha Tokyo Kure, Mitsuo. (2002). Samurai: An Illustrated History. Boston:Tuttle Publishing Okamura, Masu. (1983). Peranan Wanita Jepang. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Sansom, George. (1963). A History of Japan (3 Volumes). Singapore: Tuttle Publishing Turnbull, Stephen. (2010). Samurai Women 1184-1877. Singapore:Osprey Publishing Varley, Paul.(1970). Samurai. New York: Dell Publishing House Journal Articles: Fatimah, Siti. Perspektif Jender dalam Historiografis Indonesia: Pentingnya Penulisan Sejarah Androginious. Titik Balik Historiografi di Indonesia (2008) Hal 383-392 Kelly, Joan. (1996). The Social Relation of Sexes: Methodological Implications of Women’s History. Signs, Vol.1, No.4, pp 809-823 Kurihara, Toshie.A History of Women in Japanese Buddhism: Nichiren’s Perspectives on the Enlightenment of Women. The Journal of Oriental Studies, vol. 13, pp 94-118 Marzuki.
Kajian Awal Tentang Teori-Teori Gender.
Jurnal
Civics: Media
Kajian
Kewarganegaraan Vol. 4 No. 2, Desember 2007
20 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014
Online document: Friedman, Seth. (1992). Women in Japanese Society: Their Changing Roles. Accesed on September 7, 2013 from http://www2.gol.com/users/friedman/writings/p1.html Military History Magazine (2006). Accesed on August 24, 2013 from http://www.historynet.com/satsuma-rebellion-satsuma-clan-samurai-against-the-imperialjapanese-army.htm Masayoshi, Shimazu. (2003). The Battle of Aizu. Accesed on November 17, 2013 from http://www.bakumatsu.ru/lib/Shimazu_Masayoshi_The_Battle_of_Aizu.pdf Samurai Sisters: Early Feudal Japan. Accesed on November 21, 2013 from http://www.womeninworldhistory.com/sample-08.html The Editors of Encyclopedia Britannica. Amidism. Accesed on September 21, 2013 from http://global.britannica.com/EBchecked/topic/20586/Amidism
21 Perempuan samurai ..., Puspita Cirana S, FIB UI, 2014