Industri Periklanan dan Fungsi Media yang Terlupakan Rahmatsyam Lakoro
ABSTRAK Posisi media dalam peta komunikasi massa menjadi penting ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa media memiliki fungsi informatif, fungsi edukatif, fungsi hiburan dan fungsi mempengaruhi. Pada prakteknya seringkali tidak semua fungsi dapat terfasilitasi. Dalam industri periklanan, kesenjangan itu semakin mudah ditemui karena iklan lebih cenderung berorientasi pada kepentingan produsen. Masyarakat lebih terlihat sebagai sekumpulan objek yang akan dipengaruhi. Potensi iklan sebagai medium ideologis yang mampu dibaca masyarakat dan diidentifikasi sebagai bentuk kebutuhan tertentu akan komunikasi massa dengan tujuan persuasif seringkali hanya dibaca sebagai alat perayu belaka. Pada tahap tertentu, pesan dalam iklan tak lebih dari pesan dagang dengan mengabaikan bahwa masyarakatpun berkembang dalam praktek komunikasinya, mulai bisa mengapresiasi bahwa apa yang dilihatnya di media dapat dijustifikasi sesuai nilai-nilai yang diyakini.
PENDAHULUAN Komunikasi dalam iklan memiliki banyak persimpangan nilai. Bila meninjau fungsi utama media untuk komunikasi massa persuasif, komunikasi iklan berada di dua sisi. Di satu sisi sebuah pesan harus menyampaikan hal-hal yang berdasarkan fakta, apa adanya dan tidak menimbulkan penafsiran ganda. Sisi lain yang diembannya adalah sebagai pembawa pesan titipan produsen, sebagai pihak yang memiliki kepentingan terhadap pencitraan produknya. Di situasi seperti ini banyak produsen tidak memperhatikan prinsip komunikasi persuasif bermedia. Orientasi pesan seringkali hanya berpihak pada otoritas produsen,
masyarakat hanya sekedar penerima, padahal perencanaan komunikasi dan mengenal pihak yang nantinya menerima pesan adalah hal yang penting bagi suatu komunikasi massa. Proses untuk sampai ke tahap persuasif salah satunya dengan memasuki nilainilai yang dipahami oleh penerima pesan. Media yang akan diamati adalah media iklan populer khususnya televisi dan majalah, karena bagi masyarakat ‘modern’ kedua media iklan tersebut paling mudah untuk melihat pencitraan budaya massa. Dalam fungsi-fungsi idealnya, iklan seringkali mampu memfasilitasi fungsi informasi, hiburan, mempengaruhi, tapi banyak pula yang tidak mampu memfasilitasi fungsi edukatif suatu komunikasi massa.
TUJUAN Tulisan ini memiliki tujuan melakukan tinjauan kritis terhadap praktek industri periklanan dan komunikasi pada desain iklan dengan mengangkat beberapa kasus dari periklanan Indonesia.
Secara lebih terinci, tujuan penulisan ini
adalah mengangkat kesenjangan fungsi media di masyarakat. Manfaat dari penulisan ini adalah membuat kerangka acuan yang nantinya digunakan sebagai metode dalam mengapresiasi dan menginterpretasi hasil karya desain komunikasi visual, khususnya iklan.
METODE Metoda yang digunakan dalam penulisan ini adalah kaji pustaka mengenai teoriteori
dasar
komunikasi
dan
desain
modern.
Kajian
diarahkan
pada
pembandingan antara fungsi-fungsi ideal media massa dengan realita industri iklan. Kajian juga diarahkan pada kecenderungan komunikasi massa di masyarakat. Uraian akan dilakukan dengan deskripsi mengenai fenomena iklan berdasarkan teori-teori komunikasi massa dan desain komunikasi visual.
TINJAUAN PUSTAKA Mengamati hubungannya dengan pelayanan pada masyarakat, media memiliki fungsi yang signifikan bagi pemberdayaan masyarakat. Harold D. Laswell yang dikenal di dunia komunikasi massa lewat rumusan strategi komunikasinya: who says what in which channel to whom with what effect menguraikan proses komunikasi di masyarakat menunjukan 3 fungsi : 1.
Pengamatan terhadap lingkungan (the surveillance of the environment),
penyingkapan
ancaman
dan
kesempatan
mempengaruhi nilai masyarakat dan bagian-bagian unsur di dalamnya. 2.
Korelasi unsur-unsur masyarakat ketika menanggapi lingkungan (correlation of the component of societyin making response to the environment).
3.
Penyebaran
warisan
sosial
(transmission
of
the
social
inheritance). Institusi pendidikan formal maupun keluarga berperan mewariskan warisan sosial sebagai bagian dari proses belajar. Menurut Laswell pula, dalam menilai efisiensi komunikasi pada suatu ketika,
perlu
diperhitungkan
pertaruhan
nilai-nilai
dan
identitas
kelompok yang dikaji. Dalam hubungannya dengan industri periklanan, memahami target market yang disasar dalam komunikasi persuasifnya adalah kemampuan produsen yang bekerjasama dengan biro iklan untuk memetakan demografi, psikografi, gaya hidup dan nilai-nilai yang diyakini audiens sebagai pintu masuk merencanakan suatu pesan. Joseph R Dominick, seorang guru besar Universitas Georgia menguraikan fungsi komunikasi massa sebagai: 1. Pengawasan
(surveillance),
dimana
media
massa
menyajikan
informasi yang diperoleh dari hasil pengawasannya yang tidak dapat dilakukan masyarakat. Lebih lanjut fungsi ini dibagi lagi menjadi: pengawasan peringatan (warning surveillance) seperti pengawasan
yang disampaikan media mengenai informasi yang berhubungan dengan ancaman tertentu, seperti bencana alam, krisis ekonomi, inflasi militer atau ancaman ledakan pengangguran, dan pengawasan instrumental (instrumental surveillance) yang berkaitan dengan informasi yang berguna bagi kehidupan sehari-hari, seperti informasi tentang harga bahan kebutuhan, produk-produk hingga publikasi pengetahuan. 2. Interpretasi (interpretation), media massa tidak hanya menyajikan fakta dan data tetapi juga interpretasi mengenai suatu berita tertentu. 3. Hubungan (linkage), media mampu menghubungkan unsur-unsur yang terdapat dalam masyarakat yang tidak dapat dilakukan secara langsung oleh saluran perseorangan. Misalnya iklan, menghubungkan kebutuhan dengan produk-produk penjual. 4. Sosialisasi,
bahwa
sosialisasi
merupakan
transmisi
nilai-nilai
(transmission of values) yang mengacu pada cara-cara individu mengadopsi perilaku dan nilai-nilai dari suatu kelompok. 5. Hiburan (entertainment), media mampu menyajikan hal-hal yang menghibur bagi audiensnya. Fungsi-fungsi itu kemudian disederhanakan kembali oleh Onong Uchyana (1986), dengan menyebutkan bahwa fungsi utama komunikasi massa adalah memberikan informasi (to inform), mendidik masyarakat (to educate), menyajikan hiburan (to entertain) dan mempengaruhi masyarakat (to influence). Dalam iklan seringkali fungsi satu dengan yang lain saling tumpang tindih, antara informasi produk, cara penyajian yang menghibur dan mempengaruhi konsumen tertentu dalam keputusan membeli. Bagaimana dengan fungsi edukasinya?
Iklan sebagai pembacaan tanda di masyarakat
Dalam beberapa kasus, iklan dapat digunakan sebagai media untuk membaca masyarakat. Kecenderungan bahasa, trend fashion, nilai-nilai sosial bahkan tokoh yang sedang jadi buah bibir. Iklan, selain dibaca sebagai sebuah fungsi komunikasi produsen ke konsumen mengenai produk, dapat pula menangkap ekspresi kekinian di masyarakat. Tanda ini tidak muncul secara mandiri. Beberapa tanda lain menyertai kemunculannya. Roland Barthez menganalisis iklan dengan beberapa sistem tanda: 1. Pesan linguistik Dalam memunculkan sebuah pesan seringkali berangkat dari tanda-tanda yang dapat dibaca audiens lewat keseluruhan kata. Memahami sebuah kredo/ jargon produk minuman ringan seperti “kutahu yang kumau” dapat menggiring audiens pada pemaknaan tertentu pada kelompok usia tertentu dalam peta psikologi sosial. Bahwa usia remaja merupakan usia yang diwarnai pencarian jatidiri dan minat individu terhadap suatu hal. Termasuk dalam memilih apa-apa yang disukai dan tidak disukai. Di celah ini, produk – secara halus - masuk sebagai sesuatu yang “dimaui” oleh remaja. 2. Pesan ikonik terkodekan
Mengangkat konotasi dari suatu tatanan elemen visual yang dapat diterjemahkan audiens, misalnya energi seringkali dimunculkan dengan visualisasi semacam aliran listrik karena masyarakat diasumsikan dapat memahami bahwa listrik itu mengandung kodifikasi yang serupa dengan
aliran listrik (secara semantik). Seorang ulama yang muncul dalam penampilan khasnya di media tentu akan berbeda ketika dimunculkan dengan penampilan yang tidak dikenal audiens. Dengan itu pula produk akan lekat dengan citra islami. Masyarakat bisa jadi memberi respon dengan menolak (atau bahkan menerima) penampilan yang tidak pernah terekspos sebelumnya. Presenter menjadi identifikasi diri bagi masyarakat (audiens), bahwa keluarga ideal adalah seperti iklan produk a, remaja gaul bisa dilihat di iklan b, pria kosmopolitan bergaya hidup a la iklan c, dst. 3. Pesan ikonik tak terkodekan
Mengarah pada pemahaman langsung atas gambar dan pesan iklan, tanpa mempertimbangkan kode sosial yang lebih luas. Dipilihnya seorang pembawa pesan sangat berhubungan dengan reputasinya baik di dunia profesinya maupun kehidupan pribadinya. Figur dipilih pula yang dapat menggiring citra positif produk di mata masyarakat. Bila reputasi presenter direspon negatif oleh masyarakat, seringkali iklan mengubah presenter yang lain. Iklan produk puyer, ketika modelnya mengalami masalah dengan kepolisian, mengganti iklannya dengan model lain meskipun model yang pertama telah mampu mengidentikkan diri dengan produk. Ketika si model selesai menjalani masa hukumannya, model itu kembali digunakan. Lebih detail lagi, citraan dapat dibangun melalui penampilan presenter.
1. Media dan Penyimpangan Fungsi pada Media Mengamati program-program media, sebut saja televisi, dapat dilihat betapa proporsi antar masing-masing fungsi tidak berjalan seimbang. Sebagai ilustrasi, televisi sebagai media komunikasi massa, menyajikan program informasi, edukasi dan hiburan. Dalam 24 jam televisi menyajikan tayangan hiburan dan informasi yang lebih banyak, sementara program pendidikan sendiri hanya ditumpangkan dari fungsi-fungsi itu. Barita Siregar (1993) pada penelitian di Bandung menemukan perbandingan antara hiburan : informasi : edukasi adalah 52 : 24 : 14. Angka-angka tersebut tentu saja berubah seiring berkembangnya budaya komunikasi massa lewat televisi. Media sebagai alat komunikasi massa mengemban beberapa fungsi pelayanan pada masyarakat (public service), tapi berapa persen program televisi diisi sinetron, acara musik atau infotainment? Berapa banyak pula iklan ditayangkan disetiap acara (dengan asumsi lebih dari 25% dari acara berdurasi 30 menit adalah iklan), dan pertanyaan selanjutnya bagaimana
iklan
berinteraksi
dengan
masyarakat
dan
tidak
sekedar
menganggap masyarakat sebagai objek yang akan dijejali pesan-pesan penjualan? Mengandaikan semua fungsi ideal berjalan tentu tak lebih sulit dibandingkan dengan proses yang sebenarnya berlangsung di praktik industri iklan. Program-program hiburan tentu dapat dikatakan tulang punggung agar industri televisi tetap berdiri sebab bagaimanapun tidak mungkin mencerabut naluri hedonistik publik untuk menemukan hiburan di ikon budaya pop ini. Masalahnya, dalam mengemas program edukatif seringkali terlalu mengabaikan kebutuhan tersebut sehingga usaha semacam ini seringkali gagal. Siapa yang dapat melupakan usaha TPI mengemas paket-paket pendidikan ke layar kaca, tapi toh aspek-aspek yang berorientasi pada audiens - misalnya aspek psikologis dalam proses belajar audiens, aspirasi dan kebutuhan akan hiburan - diabaikan. Positioning untuk menjadi televisi pendidikan pertama di Indonesia tidak didukung dengan pemahaman audiens yang holistik. Beberapa tahun kemudian positioning ini digeser menjadi televisi keluarga Indonesia. Dan sejak itu dominasi fungsi hiburan lebih dominan. Selain porsi hiburan, tak kalah serunya turut mengubur program-program edukatif adalah fungsi-fungsi informasi dan
influens. Masyarakat modern yang disebut-sebut oleh Al Ries dan Jack Trout sebagai masyarakat yang over komunikasi - karena menerima informasi yang kurang lebih sama dari banyak sumber - harus menerima kenyataan ini. Demikian pula iklan yang memiliki ‘wewenang’ menyusup di acara sekhidmat apapun, memperlihatkan kuasanya dalam ‘memaksakan’ influens produknya dilihat publik. Kalaupun ada ditemukan fungsi edukatif pada iklan tapi tetap saja tak mampu membendung tujuan utamanya dalam melancarkan persuasi produsen pada konsumen.
2. Desain iklan sebagai komunikasi yang membujuk “….Komunikasi adalah proses penyampaian suatu pesan oleh orang kepada orang lain untuk memberi tahu atau untuk mengubah sikap, pendapat atau perilaku, baik langsung secara lisan, maupun tak langsung melalui media….” (Uchyana, 1986)
Suatu desain iklan dibuat seringkali diawali oleh kebutuhan akan komunikasi dari pengirim pesan kepada penerimanya. Hal itu menyebabkan posisi desainer menjadi komunikator agar pesan yang dikirim sampai dengan setepat mungkin pada audiens. Pesan yang dikirim tidak selau sama dengan pesan yang diterima karena adanya bias dalam komunikasi yang disebabkan oleh persepsi yang salah baik dari komunikan, komunikator hingga media. Ketika terjadi keberjarakan
makna antara komunikan, komunikator dan media komunikasi maka tidak ada yang bisa diharapkan dari sebuah komunikasi yang tidak komunikatif. Setidaknya sebuah iklan dapat memberikan informasi, bila tidak mempersuasi audiensnya. Sesuai tuntutan peradaban, teknik komunikasi persuasif ini dikembangkan terus menerus untuk menemukan bentuk yang paling adaptif terhadap perubahan pola komunikasi yang dibutuhkan masyarakat. Iklan yang dahulu berangkat dari citraan-citraan yang stereotip dalam gender, keluarga ideal, status quo mulai menggali sisi unik yang lebih humanis. Dengan tataan komunikasi tertentu, sebuah iklan ponsel jadi begitu menggoda pemilik ponsel baru sekalipun. Sebuah bujukan yang sulit ditolak bahkan oleh masyarakat konsumen budaya massa.
Bujukan tersebut menjadi lebih menyengat saat
dialirkan melalui media-media yang tepat, dengan strategi media yang terencana. Masyarakat sebagai konsumen akan dikepung oleh pesan yang sudah disusun produsen.
3. Fenomena komunikasi dalam masyarakat modern Salah satu ciri berkembangnya kebudayaan pop adalah berkembangnya industri media yang menyebarluaskan ikon-ikon kebudayaan ke publik. Itu semua memperlihatkan bagaimana teknologi terlibat di dalamnya. Seperti yang diungkap Alvin Toffler, setiap jenis teknologi melahirkan lingkungan teknologi atau Teknosfer yang khas. Bisa dikatakan teknosfer merupakan sebuah cara di lingkungan
tertentu
mengantisipasi
kemunculan
teknologi.
Pada
tahap
selanjutnya ini akan mempengaruhi Infosfer, budaya pertukaran informasi dalam masyarakat. Selalu ada yang berubah saat teknologi baru ditemukan, sesuai konsep teknologi sendiri, efektifitas dan efisiensi, meskipun seringkali berakibat pada perumitan. Tahap selanjutnya adalah berubahnya Sosiosfer, norma-norma sosial dan pola-pola interaksi hingga organisasi kemasyarakatan. Perubahan pada sosiosfer ini akan mengubah cara berpikir, merasa dan berperilaku makhluk sosial di dalamnya. Sampai tiba saat –dalam istilah Alfin Toffler –sebagai gelombang ketiga yaitu perubahan pada Psikosfer karena akselerasi dalam teknologi informasi. Makhluk sosial dalam sebuah lingkungan
menjadi diri yang lain karena dirinya sendiri akhirnya dibentuk oleh citraancitraan yang disebarkan teknologi informasi lewat media. Bagaimana tampil menawan a la Britney Spears, bagaimana artis Hollywood merawat kulit, apa yang dibeli pejabat di Indonesia saat belanja di supermarket, dst merupakan ilustrasi bagaimana media menyebarkan berita yang sangat sugestif pada masyarakat. Masyarakat yang awalnya memiliki fungsi kontrol, tapi karena jaraknya dengan sumber media malah menjadi objek komodifikasi. Justru para produsen, para penguasa media -pihak yang memanfaatkan jasa media untuk menyebarluaskan pesan produknya pada masyarakat – berperan sebagai pengendali. Tentu ini sebuah prasangka yang masuk akal bahwa akhirnya fungsi kontrol masyarakat justru menjadi sekumpulan individu yang dibentuk seleranya oleh komoditas tertentu, dikendalikan hingga menjadi sangat konsumtif.
Iklan, sebagai usaha produsen menyebarkan citra (positif) produk pada masyarakat, selalu mengandaikan bahwa perencanaan komunikasi tertentu pada pesan komersialnya itu akan diarahkan untuk mempengaruhi konsumen dalam keputusan membeli.
Dengan demikian, iklan dapat pula dikatakan
sebagai agen komodifikasi dan konsumerisme.
4. Iklan dan mitos-mitos titipan produsen Sebagai sekelompok “tanda” yang bermakna kebudayaan (Sachari, Sunarya, 1998) desain ‘tanda’ itu dapat dipahami sebagai sejumlah perubahan dan
pergeseran dunia gagasan desain yang mempengaruhi dan dipengaruhi gaya hidup dan gerak peradaban. Faktor ini yang kemudian memunculkan keterlibatan produsen – mengingat desain diproduksi dalam jumlah massal – dalam rantai desain – produksi – konsumsi – umpan balik. Produsen pula yang akhirnya banyak memiliki kepentingan dalam isi sebuah pesan. Produsen adalah pihak yang meniscayakan mitos-mitos mengenai produknya pada konsumen dengan menggunakan iklan. Ketika desain dimunculkan di masyarakat maka semua pihak yang terlibat itu mengandaikan adanya umpan balik baik berupa apresiasi atau tindakan praksis yang diharapkan produsen dari konsumen, membeli. Artinya konsep desain yang dual coding (Jencks,1977) dapat berjalan dengan baik dimana transmitter dan receiver berada dalam frekuensi komunikasi yang sama. Masalah yang cukup klasik adalah ketika produsen mengambil alih otoritas pesan. Maka desainer dalam posisi ini hanya meneruskan mitos-mitos yang dibangun produsen. Korbannya tentu masyarakat yang mengkonsumsi media.
SIMPULAN Praktek periklanan yang terjadi di Indonesia banyak sekali mengakomodasi kepentingan produsen. Sebagai medium ideologis, iklan dapat mengusung makna-makna ideologis yang memiliki kepentingan dengan akumulasi modal, yang berarti memungkinkan membangun makna yang diinginkan produsen. Bertentangan dengan itu, iklan yang biayanya dibebankan pada konsumen pada setiap produk yang dibeli, justru tidak digunakan sebagai alat mendidik intelektual dan selera masyarakat, khususnya dalam komunikasi massa berbasis sosio kultural. Produsen memproduksi tanda-tanda yang berangsur-angsur bergeser dari nilai sebenarnya, menuju nilai komersil yang diinginkan produsen. Fungsi-fungsi komunikasi massa tidak semuanya dapat diakomodasi dengan proporsional, meskipun iklan sendiri seharusnya mampu melakukan itu. Tanggung jawabnya dapat diminta pada produsen sebagai pihak pemilik pesan, biro iklan yang men-encode pesan itu untuk masyarakat, pemain media massa yang menyebarluaskan pesan.
DAFTAR PUSTAKA EFFENDY,
ONONG UCHYANA. Dinamika Rosdakarya Bandung, 1992
Komunikasi.
Penerbit
Remaja
EFFENDY, ONONG UCHYANA. Ilmu Komunikiasi, Teori dan Praktek. Penerbit Remaja Rosdakarya Bandung, 1998 JEFKINS, FRANK. Periklanan . Penerbit Erlangga, Jakarta, Cetakan pertama, 1996 MALIK, DEDY DJAMALUDDIN & IDI SUBANDY IBRAHIM, Ideologi Iklan dan Patologi Modernitas, Hegemoni Budaya, Penerbit Bentang,1997 RAKHMAT, JALALUDDIN. Generasi Muda di Tengah Arus Perkembangan Informasi, Ekstasy Gaya Hidup. Penerbit Mizan Bandung, 1997 SACHARI,
AGUS & YANYAN SUNARYA, Modernisme, Perkembangan Desain, Penerbit ITB, 1998
Tinjauan
Historis
SARWONO, SARLITO WIRAWAN. Psikologi Sosial Individu dan Teori-Teori Psikologi Sosial. Penerbit Balai Pustaka Jakarta, 1997 SOBUR, ALEX. Semiotika Komunikasi. Penerbit Remaja Rosdakarya Bandung, 2003 SURYAWAN, FARAH T. Dampak Tayangan Televisi Terhadap Prestasi Belajar Anak. Makalah Seminar Sehari Peran Televisi Terhadap Perkembangan Anak, Penerbit Yayasan Suryakanti Bandung, 2000