Makalah Sejarah Sastra Indonesia Angkatan 1945
Dosen Pembimbing : Ismalinar, SS
Oleh: Ahmad Ubaydillah
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH TANGERANG Jl. Perintis Kemerdekaan I No. 33 Cikokol – Tangerang Telp. / Fax : (021) 5539532 2013
Kata Pengantar
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT dzat yang Maha Sempurna , pencipta dan penguasa segalanya. Karena hanya dengan ridho- Nya kami dapat menyelesaikan tugas makalah ini sesuai dengan apa yang diharapkan yaitu makalah tentang “ SASTRA ANGKATAN 1945 ”. Dengan harapan semoga tugas makalah ini bisa berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amiin. Tak lupa pula kami samapaikan terima kasih kepada semua pihak yang turut berpartisipasi dalam proses penyusunan tugas makalah ini, karena kami sadar sebagai makhluk sosial yang tidak bisa berbuat banyak tanpa ada interaksi dengan orang lain dan tanpa adanya bimbingan, serta rahmat dan karunia - Nya. Akhirnya walaupun kami telah berusaha dengan secermat mungkin. Namun sebagai manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa. Untu itu kami mengharapkan koreksi dan sarannya semoga kita selalu berada dalam lindunganNya
Tangerang. 9 Desember 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar................................................................................................. Daftar Isi............................................................................................................ A. BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar belakang...................................................................................... 1.2 Rumusan Masalah................................................................................ 1.3 Tujuan Masalah.................................................................................... 1.4 Metode Penulisan................................................................................. B. BAB II. PEMBAHASAN 2.1 Sejarah Sastra Indonesia Angkatan 1945............................................ 2.2 Aliran Angkatan 1945........................................................................... 2.3 Proses Kelahiran angkatan 1945......................................................... 2.4 Konsepsi Estetik angkatan 1945.......................................................... 2.5 Ciri – ciri Karya sastra Indonesia Angkatan 1945................................. 2.6 Nama-nama lain sastra angkatan 1945................................................ 2.7 Tokoh – tokoh Sastra Angkatan 1945................................................... a) Chairil Anwar .................................................................................. b) Asrul Sani........................................................................................ c) Sitor Situmorang.............................................................................. d) Idrus................................................................................................. e) Hamzah Fansuri .............................................................................. f) Rivai Apin......................................................................................... g) Achdiat Karta Mihardja..................................................................... h) Pramoedya Ananta Toer.................................................................. i) Mukhtar Lubis................................................................................... j) Utuy Tatang Sontani......................................................................... k) Usmar Ismail..................................................................................... l) El Hakim............................................................................................ m) Maria Amin........................................................................................ n) Rosihan Anwar.................................................................................. 2.8 Karakteristik Karya Angkatan 1945.......................................................... 2.9 Fenomena Karya Angkatan 1945............................................................ 2.10 Beberapa Pendapat Tentang Angkatan 1945....................................... C. BAB III. PENUTUP........................................................................................ 3.1 Kesimpulan.............................................................................................. 3.2 Saran....................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA
i ii
1 1 1 2 3 5 6 8 9 9 9 9 10 10 11 11 11 12 12 12 13 13 13 14 14 14 15 15 16 16 16
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah angkatan sastra tak lepas dari kaitannya dengan penulisan sejarah sastra Indonesia atau penulisan sejarah sastra Indonesia tak lepas dari pembicaraan masalah angkatan dan periodisasi. Angkatan sastra haruslah dihubungkan dengan adanya persamaan ciri – ciri instrinsik sekumpulan karya sastra yang dihasilkannya. Kehadiran karya sastra merupakan sebuah manifestasi atas kebudayaan yang ada pada saat itu. Terbentuknya karya sastra angkatan 45 yang kita baca dan ketahui pada saat sekarang ini bukanlah ada dengan sendirinya. Karya – karya tersebut merupakan imajinasi para sastrawan yang terdesak oleh tantangan zaman pada masa itu. Yaitu masa pendudukan Jepang dan masa revolusi di Indonesia. Sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa bangsa Jepang adalah bangsa terakhir yang menjajah negara kita Indonesia sampai akhirnya Indonesia merdeka. Para sastrawan yang ada pada masa itu selain ikut berjuang dengan fisik dalam perang kemerdekaan, mereka juga menyibukan diri untuk mencoba merumuskan dan mencari orientasi pada berbagai kemungkinan bangunan kebudayaaan bagi Indonesia kedepannya. Setelah merdeka Indonesia memasuki era revolusi, yakni masa pembaharuan baik dari segi pemerintahan, sosial, kebudayaan dan kenegaraan. Hal ini tentu memberi dampak pada sastrawan dan hasil karya sastra mereka pada saat itu. Sehingga angkatan 45 memiliki konsepsi estetik tersendiri. Untuk mengetahui konsepsi dan sejarah sastra angkatan 45, kita perlu mengetahui proses kelahiran angkatan 45 itu sendiri. 1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah yang terdapat dalam makalah ini yaitu sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Bagaimana sejarah sastra Indonesia angkatan 45? Bagaiman proses terbentuknya sastra Indonesia angkatan 45? Seperti apa konsepsi estetik angkatan 45? Apa ciri – ciri karya sastra Indonesia angkatan 45? Siapa saja tokoh – tokoh dalam sastra Indonesia angkatan 45? Apa saja karya sastra Indonesia angkatan 45?
1.3 Tujuan Masalah Adapun tujuan yang ingin dicapai penulis dalam penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5.
Untuk memenuhi penilaian tugas mata kuliah Sejarah Sastra. Untuk mengetahui sejarah sastra Indonesia angkatan 45. Untuk mengetahui proses terbentuknya sastra Indonesia angkatan 45. Agar memahami konsepsi estetik angkatan 45. Untuk mengetahui ciri – ciri karya sastra Indonesia angkatan 45.
6. Untuk mengetahui tokoh – tokoh dalam sastra Indonesia angkatan 45. 7. Untuk mengetahui karya sastra Indonesia angkatan 45. 1.4 Metode Penulisan Dalam penyusuna makalah ini, pengumpulan data merupakan salah satu hal yang harus dilakukan guna mencapai tujuan penulisan. Adapun meteode penulisan data yang kami gunakan dalam makalah ini adalah: a. Study Pustaka Yaitu usaha pengumpulan data informasi yang relevan dengan topik dan masalah yang akan sedang dibahas atau diteliti. 2. Melalui media buku Buku adalah suatu sumber ilmu yang tak terbatas untuk itu kami jadi kan buku sebagai sumber informasi dalam bahasan penulisan makalah ini. 3. Melalui media internet. Globalisasi yang terjadi pada masa saat ini membawa dampak yang baik untuk kita dalam hal media informasi melalui elektronika yaitu dengan media internet kita dapat mendapatkan informasi yang sangat cepat sebagi bahan kajian.
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Sejarah Sastra Indonesia Angkatan 45 Jika diruntut berdasarkan periodesasinya, sastra Indonesia Angkatan ‘45 bisa dikatakan sebagai angkatan ketiga dalam lingkup sastra baru Indonesia, setelah angkatan Balai Pustaka dan angkatan Pujangga Baru. Munculnya karya-karya sastra Angkatan ‘45 yang dipelopori oleh Chairil Anwar ini memberi warna baru pada khazanah kesusastraan Indonesia. Bahkan ada orang yang berpendapat bahwa sastra Indonesia baru lahir dengan adanya karya-karya Chairil Anwar, sedangkan karya-karya pengarang terdahulu seperti Amir Hamzah, Sanusi Pane, St.Takdir Alisjahbana, dan lain-lainnya dianggap sebagai karya sastra Melayu. Pada mulanya angkatan ini disebut dengan berbagai nama, ada yang menyebut Angkatan Sesudah Perang, Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan, dan lain-lain. Baru pada tahun 1948, Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan ‘45. Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi. Meskipun namanya sudah ada, tetapi sendi-sendi dan landasan ideal angkatan ini belum dirumuskan. Baru pada tahun 1950 “Surat Kepercayaan Gelanggang” dibuat dan diumumkan. Ketika itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepecayaan itu ialah semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan “Selayang Seniman Merdeka”. Masa Chairil Anwar masih hidup. Angkatan ‘45 lebih realistik dibandingkan dengan Angkatan Pujangga Baru yang romantik idealistik. Semangat patriotik yang ada pada sebagian besar sastrawan Angkatan ‘45 tercermin dari sebagian besar karya-karya yang dihasilkan oleh parasastrawan tersebut. Beberapa karya Angkatan ‘45 ini mencerminkan perjuangan menuntut kemerdekaan. Banyak pula di antaranya yang selalu mendapatkan kecaman, di antaranya Pramoedya Ananta Toer. Pramoedya dengan keprofesionalannya masih eksis menghasilkan karya-karya terutama mengenai perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bahkan sampai saat ini karya-karya Pramoedya masih digandrungi khususnya oleh penikmat sastra. Sebegitu banyak orang yang memproklamasikan kelahiran dan membela hak hidup Angkatan ‘45, sebanyak itu pulalah yang menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan ‘45 ini hanyalah lanjutan belaka dari apa yang sudah dirintis oleh angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru. Sutan Takdir Alisyahbana pun berpendapat demikian. Rosihan Anwar dalam sebuah tulisannya dimajalah Siasat tanggal 9 Januari 1949, memberikan nama angkatan 45 bagi pengarang-pngarang yang muncul pada tahun 1940-an. Yakni sekitar penjajahan Jepang, zaman Proklamasi dan berikutnya. Diantara mereka yang lazim digolongkan sebagai pelopornya adalah Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Pramudya, Usmar Ismail dsb. Nmaun sesungguhnya, tidak hanya itu saja saja alasan untuk memasukkan mereka kedalam angkatan yang lebih baru dari Pujanga Baru. Jelasnya, terlihat sekali pada karya-karya Chairil dimana ia telah membebaskan diri dari kaidah-kaidah tradisional kita dalam bersajak. Lebih dari itu, “jiwa” yang terkandung dalam sajak-sajaknya terasa adanya
semacam pemberontakan. Kendatipun demikian tak lepas dari pilihan kata-kata yang jitu, yang mengena, sehingga terasa sekali daya tusuknya. Dibidang Prosa, Idrus dianggap sebagai pendobraknya dan sebagai pelanjut dari Pujangga Baru, bersama kawan-kawannya ia berkumpul dalam Angkatan 45.Landasan yang digunakan adalah humanisme universal yang dirumuskan HB Jassin dalam Suat kepercayaan Gelanggang. Jadi angkatan 45 merupakan gerakan pembaharuan dalam bidang sastra Indonesia, dengan meninggalkan cara-cara lama dan menggantikannya dengan yang lebih bebas, lebih lugas tanpa meninggalkan nilai-nilai sastra yang telah menjadi kaidah dalam penciptaan sastra. Tahun 1942 (9 Maret = pengambilalihan kekuasaan Jepang di Indonesia) merupakan tahun yang sangat penting dalam sejarah kebudayaan Indonesia, termasuk kesusastraannya. Sejak tahun itu terjadilah perubahan besar-besaran, revolusi kebudayaan dimulai tahun itu. Segala hal yang mengingatkan budaya Barat harus dilenyapkan. Bahasa Belanda tidak boleh dipergunakan lagi. Sebagai gantinya dipakai bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi di kantor-kantor dan surat-surat keputusan. Pada tahun itu Pujangga Baru berhenti karena Jepang tidak menginginkan sifatnya yang kebaratbaratan. Sastra Balai Pustaka juga terhenti karena pemerintah Belanda (sebagai pendukung kesusastraan ini) telah tumbang. Kemudian muncullah angkatan sastra baru, Angkatan 45, yang didahului dengan masa pertunasan (sastra zaman Jepang). Angkatan 45 melahirkan karya-karya sastra yang bersifat romantis realistik (berbeda dengan Pujangga Baru yang bersifat romatis idealistik = HB Jassin). Dalam waktu yang singkat, Indonesia menghasilkan banyak karya sastra besar pada angkatan ini. Sajak-sajak Chairil Anwar, roman-roman Pramoedya Ananta Toer, Mochtar Lubis dan Achdiat Kartamihardja merupakan tonggak-tonggak penting dalam perjalanan sastra Indonesia. Pengalaman kehidupan nyata merekalah yang membuat karya-karya angkatan ini menjadi besar. Angkatan 45 rata-rata terganggu pendidikan formalnya. Kaum sastrawan Angkatan 45 masih termasuk golongan masyarakat menengah, terdidik, dan kaum muda pada zamannya. Sastra Indonesia menemukan identitas dirinya sejak angkatan ini.
Sastra Zaman Jepang
Pada bulan April 1943 terbentuklah Keimin Bunka Shidoso atau Kantor Pusat Kebudayaan. Dalam badan ini duduk berbagai seniman dari segala lapangan. Dalam zaman Jepang terbitlah majalah-majalah baru yang dikelola oleh Pusat Kebudayaan: Jawa Baru (1943—1945) dan Kebudayaan Timur (1943—1945), di samping Panji Pustaka yang merupakan peninggalan Balai Pustaka, hanya dipergunakan demi kepentingan Jepang. Para sastrawan dalam Pusat Kebudayaan diminta menciptakan karya-karya sastra yang mengandung cita-cita cinta tanah air, mengobarkan semangat kepahlawanan dan semangat bekerja. Karya sastra harus membimbing masyarakat. Indonesia harus memihak kebudayaan Timur, menjauhi kebudayaan Barat. Banyak sajak dan cerpen dihasilkan pada masa ini.
Dua roman yang dihasilkan pada masa ini (Cinta Tanah Air oleh Nur Sutan Iskandar dan Palawija oleh Karim Halim) lebih cenderung sebagai propaganda Jepang. Banyak sastrawan seperti Armijn Pane, Nur Sutan Iskandar, Karim Halim, Usmar Ismail yang bersemangat membantu Jepang. Merekalah sastrawansastrawan “resmi” zaman Jepang. Ada sejumlah sastrawan yang menentang Jepang seperti Chairil Anwar, Idrus, dan Amal Hamzah. Ada juga yang lebih kompromistis seperti karya-karya Maria Amin. Ada juga yang bimbang seperti Bakri Siregar. Sastrawan yang banyak menulis pada zaman Jepang: Usmar Ismail Amal Hamzah Rosihan Anwar Bakri Siregar Anas Ma’ruf M.S. Ashar Maria Amin Nursyamsu HB Jassin Abu Hanifah (El Hakim) Kotot Sukardi Idrus
Kelahiran Angkatan Baru
Sejak kekalahan Jepang kepada Sekutu (14 Agustus 1945) dan kemerdekaan Indonesia, kehidupan kegiatan kebudayaan (termasuk sastra) mempunyai tonggak yang penting. Suasana jiwa dan penciptaan yang sebelumnya terkekang, kini mendapatkan kebebasan yang nyata. Para sastrawan Indonesia merasakan sekali kemerdekaan dan tanggung jawab untuk mengisinya. Individualitas yang diidamkan oleh Pujangga Baru (Sutan Takdir Alisjahbana) dilaksanakan penuh konsekuen oleh Angkatan 45. 2.2 Aliran Angkatan ’45. Ekspresionisme merupakan aliran seni yang berkembang setelah kemerdekaan diproklamasikan. Ekspresionisme yang mendasari Angkatan 45 sebenarnya sudah berkembang lama di Eropa (penghujung abad ke-19) seperti Baudelaire, Rimbaud, Mallarme (Prancis), F.G. Lorca (Spanyol), G. Ungaretti (Italia), T.S Eliot (Inggris), G.Benn (Jerman), dan H. Marsman (Belanda). Aliran ekspresionisme timbul sebagai reaksi terhadap aliran impresionisme. Dalam sastra Indonesia, Pujangga Baru bersifat impresionistik dan Angkatan 45 mereaksinya dengan aliran ekspresionistik.
Penyair ekspresionis tidak ditentukan oleh alam, justru penyairlah yang menentukan gambaran alam. Kritikus pertama yang dapat memahami sajak-sajak Chairil Anwar ialah HB Jassin. Kritikus ini pulalah yang membela dan menjelaskan karya-karya Chairil yang bersifat ekspresionis itu. Berbeda dengan Pujangga Baru yang beraliran romantik impresionistik sehingga melahirkan sajak-sajak yang harmonis, Angkatan 45 melahirkan sajaksajak yang penuh kegelisahan, pemberontakan, agresif dan penuh kejutan. Vitalisme dan individualisme melahirkan sajak-sajak penuh pertentangan semacam itu. Karya-karya Penting Angkatan 1945 : 1. 2. 3. 4.
Deru Campur Debu, Kerikil Tajam (Chairil Anwar) Atheis (Achdiat Kartamihardja) Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis) Keluarga Gerilya (Pramoedya Ananta Toer)
2.3 Proses Kelahiran Angkatan 1945 Angkatan 1945 tidak dapat dilepaskan dari lingkungan kelahirannya, yakni masa penduduk Jepang dan masa revolusi Indonesia. Perjuangan bangsa yang mencapai titik puncak pada Proklamasi 17 Agustus 1945 beserta gejolak politik yang mengawali maupun mengikutinya, memberi pengaruh sangat besar pada corak sastra. Generasi yang aktif pada masa revolusi 1945 dipaksa oleh keadaan untuk merumuskan diri dan tampil menjawab tantangan-tantangan zaman yang mereka hadapi. Selain ikut berjuang secara fisik dalam perang kemerdekaan, mereka juga menyibukkan diri untuk merumuskan dan mencari orientasi pada berbagai kemungkinan bangunan kebudayaan bagi Indonesia kedepan. Latar belakang perubahan politik yang sangat mendadak pada masa pendudukan Jepang (1942-1945) menjadi awal kelahiran karya sastra Angkatan 45. Kehadiran Angkatan 45 serta karya sastra Angkatan 45 meletakkan pondasi kokoh bagi sastra Indonesia, karena angkatan sebelumnya dinilai tidak memiliki jati diri keIndonesiaan. Jika Angkatan Balai Pustaka dinilai tunduk pada “Volkslectuur”, lembaga kesustraan kolonial Belanda, dan Angkatan Pujangga Baru dinilai menghianati identitas bangsa karena terlalu berkiblat ke Barat, maka Angkatan 45 adalah reaksi penolakan terhadap ankatan-angkatan tersebut. Sebagai salah satu hasil dari pergolakan, karya sastra Angkatan 45 menjadi sebuah karya yang lahir dengan identitas baru yang penuh kontroversia. Kehadirannya sebagai pendobrak nilai-nilai serta aturan-aturan sastra terdahulu membuat karya sastra Angkatan 45 menjadi pusat perhatian para sastrawan. Para sastrawan penggerak karya sastra angkatan 45 adalah mereka yang menaruh perhatian besar pada karya sastra Indonesia. Mereka seolah ingin lepas dari pengaruh asing yang saat itu masih kuat pengaruhnya terhadap karya sastra Indonesia.Nama angkatan 45 sendiri dimunculkan oleh Rosihan Anwar pertama kali pada lembar kebudayaan “Gelanggang”. Sejak itu, penamaan yang dibuat Rosihan Anwar diakui dan disepakati banyak kalangan sebagai nama angkatan sastra periode-40-an.
Angkatan 1945 memperoleh saluran resmi melalui penerbitan majalah kebudayaan Gema Suasana, Januari 1948. Majalah ini diasuh oleh dewan redaksi yang terdiri dari Asrul Sani, Chairil Anwar, Mochtar Apin, Riva’I Apin dan Baharudin. Majalah ini dicetak dan diterbitkan oleh percetakan Belanda Opbouw (Pembangun). Dalam konfrotasi dengan Belanda, mereka kemudian pindah ke “Gelanggang”, sebuah suplemen kebudayaan dari jurnal mingguan, siasat yang muncul pertama kali pada Februari 1948 dengan redaktur Chairil Anwar dan Ida Nasution. Disuplemen inilah mereka kemudian menerbitkan kredo Angkatan 45, yang dikenal luas dengan nama “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Nama “Angkatan 45” baru diberikan pada tahun 1949 oleh Rosihan Anwar, meski tidak disetujui banyak sastrawan. Keberatan itu karena nama itu kurang pantas ditujukan pula kepada para pengarang, yang notabene berbeda dengan para pejuang kemerdekaan (yang diberi predikat sebelumnya sebagai Angkatan 45). Ada 4 tokoh utama yang sering dianggap sebagai pelopor Angkatan 45: Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus. Chairil seorang individualis dan anarkhis. Asrul aristokrat dan moralis. Idrus penuh dengan sinisme. Rivai lebih dikenal sebagai nihilis. Surat Kepercayaan Gelanggang adalah pernyataan sikap dari beberapa sastrawan Indonesia yang kemudian hari dikenal sebagai Angkatan '45. Di antara para sastrawan ini yang paling menonjol adalah Chairil Anwar, Asrul Sani dan Rivai Apin. Surat ini diterbitkan oleh majalah Siasat pada tanggal 22 Oktober 1950. Surat Kepercayaan Gelanggang berbunyi sebagai berikut: Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur-baur dari mana dunia baru yang sehat dapat dilahirkan. Keindonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam atau tulang pelipis kami yang menjorok ke depan, tetapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kami tidak akan memberi kata ikatan untuk kebudayaan Indonesia, kami tidak ingat akan melap-lap hasil kebudayaan lama sampai berkilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudayaan baru yang sehat. Kebudayaan Indonesia ditetapkan oleh kesatuan berbagai-bagai rangsang suara yang disebabkan oleh suara yang dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Kami akan menentang segala usaha yang mempersempit dan menghalangi tidak betulnya pemeriksaan ukuran nilai. Revolusi bagi kami ialah penempatan nilai-nilai baru atas nilai-nilai usang yang harus dihancurkan. Demikian kami berpendapat, bahwa revolusi di tanah air kami sendiri belum selesai. Dalam penemuan kami, kami mungkin tidak selalu asli; yang pokok ditemui adalah manusia. Dalam cara kami mencari, membahas, dan menelaahlah kami membawa sifat sendiri.
Penghargaan kami terhadap keadaan keliling (masyarakat) adalah penghargaan orang-orang yang mengetahui adanya saling pengaruh antara masyarakat dan seniman. Angkatan 45 tidak hanya terdiri dari kaum sastrawan, tetapi juga seniman lain, termasuk para pelukis seperti: S. Sudjojono, Affandi, Henk Ngantung, Mochtar Apin, Baharuddin; juga para musikus seperti: Binsar Sitompul dan Amir Pasaribu. Karya-karya sastra kala itu masih diterbitkan bersama dengan sketsa para pelukis, partitur musik, esai musik-lukis-drama-tari. Hal ini menunjukkan bahwa para sastrawan memiliki wawasan luas dalam bidang seni dan budaya pada umumnya. Perkembangan Angkatan 45 Melalui majalah-majalah : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j. k.
Panca Raya (1945—1947) Pembangunan (1946—1947) Pembaharuan (1946—1947) Nusantara (1946—1947) Gema Suasana (1948—1950) Siasat (1947—1959) dgn lampiran kebudayaan: Gelanggang Mimbar Indonesia (1947—1959) dgn lampiran: Zenith Indonesia (1949—1960) Pujangga Baru (diterbitkan lagi 1948; berganti Konfrontasi: 1954) Arena (di Yogya, 1946—1948) Seniman (di Solo 1947—1948)
2.4 Konsepsi Estetik angkatan 45 Konsepsi estetik Angkatan 45 tergambar dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Dengan “Surat Kepercayaan Gelanggang” inilah para penyair Angkatan 45 mendefenisikan diri dan konsep estetik budayanya. Pendefenisian ini dilakukan sastrawan Angkatan 45 lewat “pemisahan diri” dan kritik keras terhadap generasi sastra sebelumnya, khususnya kritik dan pemisahan diri dengan visi budaya yang ditegakkan Sutan Takdir Alisjahbana. Yang menjadi fokus pemisahan diri disini adalah pada ideologi yang digunakan serta orientasi budaya. Pemisahan konsep sastra dan visi inilah yang kemudian dijadikan banyak pengamat sastra sebagai ciri utama angkatan 45 dibanding angkatan sebelumnya. H.B. Jassin dalam banyak tulisannya mengemukakan terhadap pemisahan yang tegas antara konsepsi sastrawan Pujangga Baru dengan konsepsi sastrawan generasi 45. Andaian ini pulalah yang dianut dan dipercayai banyak sastrawan angkatan 45. Karya sastra Angkatan 45 memiliki kedekatan yang intim dengan realitas politik. Ini sangat berbeda dengan karya sastra Angkatan Pujangga Baru yang cenderung romantik-idealistik. Karena lahir dalam lingkungan yang keras dan memprihatikan karya sastra Angkatan 45 lebih terbuka, pengaruh unsur sastra asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya, isinya bercorak realis dan naturalis, meninggalkan corak romantis, sastrawan periode lebih individualisme, dinamis dan
kritis, adanya penghematan kata dalam karya, lebih ekspresif dan spontan, terlihat sinisme dan sarkasme, didominasi puisi dan prosa berkurang. Pada periode Angkatan 45 berkembang jenis-jenis sastra puisi, cerita pendek, novel dan drama. Keadaan perang pada saat itu mempengaruhi penciptaan sastra dalam permasalahan dan gayanya. Ada beberapa ciri stuktur estetik Angkatan 45 baik pada karya sastra puisi maupun prosa. Pada karya sastra puisi ciri struktur estetiknya yaitu, pertama, puisinya bebas, tidak terikat pada pembagian bait, jumlah baris dan persajakan. Kedua, gaya alirannya ekspresionisme dan realisme. Ketiga, pilihan kata (diksi) untuk mencerminkan pengalaman batin yang dalam dan untuk intensitas arti. Ketiga, bahasa kiasannya dominan metafora dan simbolik, kata, frasa dan kalimatnya ambigu sehingga multitafsir. Keempat, gaya sajaknya prismatis dengan kata-kata yang ambigu dan simbolik, hubungan baris-baris dan kalimatkalimat implisit. Kelima, gaya pernyataan pikiranya berkembang yang nantinya menjadi gaya sloganis. Keenam, gaya ironi dan sinisme menonjol. Pada karya sastra prosa, ciri stuktur estetiknya adalah banyak alur sorot balik, walaupun ada juga alur lurus, digresi dihindari sehingga alurnya padat, pada penokohan analisis fisik tidak dipentingkan, yang ditonjolkan analisis kejiwaan, tetapi tidak dengan analisis langsung melainkan dengan cara dramatik melalui arus kesadaran dan percakapan antar tokoh, banyak menggunakan gaya ironi dan sinisme, gaya realisme dan naturalisme, menggambarkan kehidupan sewajarnya secara mimetik. Inilah ciri struktur estetik dari karya sastra puisi dan prosa Angkatan 45, yang membuat karya sastra Angkatan 45 menjadi karya sastra yang fenomenal dalam sejarah sastra Indonesia.
2.5 Ciri – ciri Karya sastra Indonesia Angkatan 1945 o o o o o o o o o
Terbuka. Pengaruh unsur sastra asing lebih luas dibandingkan angkatan sebelumnya. Bercorak isi realis dan naturalis, meninggalkan corak romantic. Sastrawan periode ini terlihat menonjol individualismenya. Dinamis dan kritis, berani menabrak pakem sastra yang mapan sebelumnya. Penghematan kata dalam karya. Lebih ekspresif dan spontan. Terlihat sinisme dan sarkasme. Didominasi puisi, sedangkan bentuk prosa tampak berkurang.
2.6 Nama-nama lain untuk angkatan sastra periode ini adalah:
Angkatan Kemerdekaan Angkatan Chairil Anwar Angkatan Perang Angkatan Sesudah Perang Angkatan Sesudah Pujangga Baru Angkatan Pembebasan Generasi Gelanggang
2.7 Tokoh – tokoh Sastra Angkatan 45. Para sastrawan yang menjadi motor dan pelopor Angkatan 45 adalah para pencipta karya sastra Angkatan 45 yang begitu fenomenal di dunia sastra. Mereka adalah: a) Chairil Anwar Chairil Anwar lahir di Medan, 22 Juli 1922. Sekolahnya hanya sampai MULO (SMP) dan itu pun tidak tamat. Kemudian ia pindah ke Jakarta. Ia merupakan orang yang banyak membaca dan belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat berisi. Chairil Anwar berusaha memperbarui penulisan puisi. Puisi yang diubahnya berbentuk bebas, sehingga disebut puisi bebas. Ia diakui sebagai pelopor Angkatan ‘45 di bidang sebagai alat untuk mencapai isi. Chairil Anwar termasuk penyair yang penuh vitalitas (semangat hidup yang menyalanyala) dan individualistis (kuat rasa akunya). Puisi gubahannya berirama keras (bersemangat), tetapi ada juga yang bernafas ketuhanan seperti “Isa” dan “Do’a”. Karya-karya Chairil Anwar antara lain: Deru Campur Debu (kumpulan puisi) Tiga Menguak Takdir (kumpulan puisi karya bersama Rivai Apin dan Asrul Sani) Kerikil Tajam dan Yang Terhempas dan Yang Putus (kumpulan puisi) Pulanglah Dia Si Anak Hilang (terjemahan dari karya Andre Gide) Kena Gempur (terjemahan dari karya Steinbeck) b) Asrul Sani Asrul Sani lahir di Rao, Sumatera Barat, 10 Juni 1926. Ia seorang dokter hewan. Pernah memimpin majalah Gema dan harian Suara Bogor. Tulisannya berpegang pada moral dan keluhuran jiwa. Asrul Sani adalah seorang sarjana kedokteran hewan, yang kemudian menjadi direktur Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), juga pernah duduk sebagai anggota DPRGR/MPRS wakil seniman. Asrul Sani juga dikenal sebagai penulis skenario film hingga sekarang. Karya-karya Asrul Sani antara lain:
Sahabat Saya Cordiaz (cerpen) Bola Lampu (cerpen) Anak Laut (sajak) On Test (sajak) Surat dari Ibu (sajak)
c) Sitor Situmorang Lahir di Tapanuli Utara, 21 Oktober 1924. Ia cukup lama bermukim di Prancis. Sitor juga diakui sebagai kritikus sastra Indonesia. Karya-karya Sitor Situmorang antara lain:
Surat Kertas Hijau (1954) Jalan Mutiara (kumpulan drama) Dalam Sajak (1955) Wajah Tak Bernama (1956) Zaman Baru (kumpulan sajak) Pertempuran dan Salju di Paris Peta Pelajaran (1976) Dinding Waktu (1976) Angin Danau (1982) Danau Toba (1982)
d) Idrus Lahir di Padang, 21 September 1921. Idrus dianggap sebagai salah seorang tokoh pelopor Angkatan ‘45 di bidang prosa, walaupun ia selalu menolak penamaan itu. Karyanya bersifat realis-naturalis (berdasarkan kenyataan dalam alam kehidupan) dengan sindiran tajam. Karya-karyanya antara lain:
Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (novel) A K I (novel) Hikayat Puteri Penelope (novel, terjemahan) Anak Buta (cerpen) Perempuan dan Kebangsaan Jibaku Aceh (drama) Dokter Bisma (drama) Keluarga Surono ( drama ) Kereta Api Baja (terjemahan dari karya Vsevold Iyanov, sastrawan Rusia)
e) Hamzah Fansuri Dalam karya-karyanya tampak pengaruh dari kakaknya, Amir Hamzah dan R. Tarogo. Karya-karyanya antara lain:
Teropong (cerpen) Bingkai Retak (cerpen) Sine Nomine (cerpen) Buku dan Penulis (kritik) Laut (sajak) Pancaran Hidup (sajak)
f) Rivai Apin Penyair yang seangkatan Chairil Anwar, yang bersama-sama mendirikan “Gelanggang Seniman Merdeka” ialah Asrul Sani dan Rival Apin. Ketiga penyair itu, Chairil-Asrul-Rivai, dianggap sebagai trio pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan ‘45. Ketiga penyair itu menerbitkan kumpulan sajak bersama, Tiga Menguak Takdir. Rivai Apin menulis tidak selancar Asrul Sani. Selain menulis sajak, ia pun menulis cerpen, esai, kritik, skenario film, menerjemahkan, dan lain-lain. Tahun 1954 ia sempat mengejutkan kawan-kawannya, ketika keluar dari redaksi Gelanggang dan beberapa waktu kemudian ia masuk ke lingkungan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), serta beberapa waktu sempat memimpin majalah kebudayaan Zaman Baru yang menjadi organ kebudayaan PKI. Setelah terjadi G 30 S/PKI, Rivai termasuk tokoh Lekra yang karya-karyanya dilarang. g) Achdiat Karta Mihardja Ia menguasai ilmu politik, tasawuf, filsafat, dan kemasyarakatan. Pernah menjadi staf Kedubes RI di Canberra, Australia. Karya-karyanya antara lain:
Atheis (roman) Bentrokan Dalam Asmara (drama). Polemik Kebudayaan (esai) Keretakan dan Ketegangan (kumpulan cerpen) Kesan dan Kenangan (kumpulan cerpen)
h) Pramoedya Ananta Toer Lahir di Blora, 2 Februari 1925. Meskipun sudah mulai mengarang sejak jaman Jepang dan pada awal revolusi telah menerbitkan buku Kranji dan Bekasi Jatuh (1947), namun baru menarik perhatian dunia sastra Indonesia pada tahun 1949, yaitu ketika cerpennya Blora, yang ditulis dalam penjara diumumkan, serta ketika romannya Perburuan (1950) mendapat hadiah sayembara mengarang yang diselenggarakan oleh Balai Pustaka. Karya-karyanya antara lain:
Bukan Pasar Malam (1951) Di Tepi Kali Bekasi (1951) Gadis Pantai Keluarga Gerilja (1951) Mereka yang Dilumpuhkan (1951) Perburuan (1950) Tjerita dari Blora (1963)
i) Mukhtar Lubis Lahir di Padang, 7 Maret 1922. Sejak jaman Jepang ia sudah bekerja di bidang penerangan. Idenya bersifat kritik-demokrasi-konstruktif (membangun). Di bidang kewartawanan ia pernah mendapat hadiah Ramon Magsay-say dari Filipina. Karyanya banyak menggambarkan perjuangan pada masa revolusi, terutama aksi polisional Belanda. Karya-karyanya antara lain:
Tak Ada Esok (roman) Jalan Tak Ada Ujung (roman jiwa) Tanah Gersang (novel) Si Jamal (cerpen) Perempuan (cerpen) Kisah dari Eropah (terjemahan) Manusia Indonesia Maut dan Cinta (novel) Penyamun Dalam Rimba (novel)
j) Utuy Tatang Sontani Pada saat-saat pertama Jepang menginjakan kaki di bumi Indonesia, pengarang kelahiran Cianjur tahun 1920 ini, telah mulai menulis beberapa buah buku dalam bahasa Sunda, di antaranya sebuah roman yang berjudul Tambera (1943). Karya-karyanya antara lain:
Suling (1948) Bunga Rumah Makan (1948) Awal dan Mira (1952) Manusia Iseng Sayang Ada Orang Lain Di Langit Ada Bintang Saat yang Genting Selamat Jalan Anak Kufur
k) Usmar Ismail Selain dikenal sebagai sastrawan, Usmar Ismail juga dikenal sebagai sutradara film. Tahun 1950 ia mendirikan Perfini. Karyanya bernafas ketuhanan sejalan dengan pendapatnya bahwa seni harus mengabdi kepada kepentingan nusa, bangsa, dan agama.
Karya-karyanya antara lain:
Permintaan Terakhir (cerpen) Asokamala Dewi (cerpen) Puntung Berasap (kumpulan puisi) Sedih dan Gembira (kumpulan drama yang terdiri atas: “Citra”, “Api”, dan “Liburan Seniman”) Mutiara dari Nusa Laut (drama) Tempat Yang Kosong Mekar Melati Pesanku (sandiwara radio) Ayahku Pulang (saudara dari cerita Jepang)
l) El Hakim El Hakim merupakan nama samaran dari Dr. Abu Hanifah. Karyanya bernuansa ketuhanan dan kesusilaan. Di bidang kebudayaan ia berpendapat bahwa Timur yang idealis harus berkombinasi dengan Barat, tanpa menghilangkan ketimurannya. Karya-karyanya antara lain:
Taufan di Atas Asia (kumpulan) Dokter Rimbu (roman) Kita Berjuang Soal Agama Dalam Negara Modern
m) Maria Amin Hasil karya pengarang wanita ini bercorak simbolik. Karyanykaryanya antara lain: Tinjaulah Dunia Sana Penuh Rahasia ( puisi ) Kapal Udara ( puisi ) n) Rosihan Anwar Rosihan Anwar dikenal juga sebagai jurnalis (wartawan). Banyak tulisannya tentang tanggapan sosial, yaitu mengupas masalah yang timbul dalam kehidupan. Ia pernah memimpin harian Merdeka Asia Raya dan Mingguan Siasat. Karya-karyanya antara lain:
Radio Masyarakat (cerpen) Raja Kecil, Bajak Laut di Selat Malaka (roman) Manusia Baru (sajak) Lukisan (sajak) Seruan Nafas (sajak)
2.8 Karakteristik Karya Angkatan ’45. o Bercorak lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga Baru yang romantik-idealistik. o Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya mewarnai karya sastrawan Angkatan ’45. o Bahasanya lugas, hidup dan berjiwa serta bernilai sastra. o Sastrawannya lebih berjiwa patriotik. o Bergaya ekspresi dan revolusioner (H.B.Yassin). o Bertujuan universal nasionalis. o Bersifat praktis. o Sikap sastrawannya “tidak berteriak tetapi melaksanakan”. o Revolusioner dalam bentuk dan isi. Membuang tradisi lama dan menciptakan bentuk baru sesuai dengan getaran sukmanya yang merdeka. o Mengutamakan isi dalam pencapaian tujuan yang nyata. Karena itu bahasanya pendek, terpilih, padat berbobot. Dalam proses mencari dan menemukan hakikat hidup. Seni adalah sebagai sarana untuk menopang manusia dan dunia yang sedalam-dalamnya. o Ekspresionis, mengutamakan ekspresi yang jernih. o Individualis, lebih mengutamakan cara-cara pribadi 2.9
Fenomena Karya Angkatan ‘45. Dalam menuangkan karyanya, Chairail Anwar menggunakan bahasa Indonesia yang terbebas dari pola bahasa Melayu. Ia menciptakan bahasa yang lebih demokratis. Sebagai contoh, ia tidak lagi menyatakan “beta” seperti dalam puisi salah satu penyair Pujangga Baru, tetapi menyebut dirinya “aku”. Hal ini dapat kita lihat dalam sajak Aku yang benar-benar bercorak baru. Meski puisinya banyak diilhami puisi asing, namun puisi-puisinya memiliki gaya khas yang hanya dimiliki oleh Chairil Anwar.
2.10 Beberapa Pendapat Tentang Angkatan ’45. Menurut : 1) Armijn Pane. Pujangga Baru menentang adanya Angkatan menganggap bahwa tak ada yang disebut Angkatan ‘45.
‘45
dan
2) Sutan Takdir Alisyahbana. Angkatan ‘45 merupakan sambungan dari Pujangga Baru. 3) Teeuw. Memang berbeda Angkatan ‘45 dengan Angkatan Pujangga Baru, tetapi ada garis penghubung, misalnya Armijn Pane dengan Belenggunya. (puncak-puncak kesusastraan Indonesia).
4) Sitor Situmorang. Pujangga Baru masih terikat oleh zamannya, yaitu zaman penjajahan, sedangkan Angkatan ‘45 dalam soal kebudayaan tidak membedakan antara Barat dan Timur, tetapi yang penting hakikat manusia. Perjuangan Pujangga Baru baru mencapai kepastian dan ilmu pengetahuan. 5) Pramoedya Ananta Toer. Angkatan Pujangga Baru banyak ilmu pengetahuannya tetapi tidak banyak mempunyai penghidupan (pengalaman). Angkatan ‘45 kurang dalam ilmu pengetahuan (karena perang) tetapi sadar akan kehidupan.
BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan Karya sastra Angkatan 1945 lahir pada masa peralihan bangsa yaitu dari masa penjajahan Jepang menuju kemerdekaan. Pada Angkatan 1945 karya sastra didominasi oleh puisi, prosa tampak berkurang. Konsepsi estetik Angkatan 1945 tergambar dalam “Surat Kepercayaan Gelanggang”. Karya Angkatan 1945 memiliki kedekatan yang intim dengan realitas politik. Ini sangat berbeda dengan Angkatan Pujangga Baru yang cenderung romantikidealistik. Lahir dalam lingkungan yang sangat keras dan memprihatinkan Pengalaman hidup dan gejolak sosial-politik-budaya telah mewarnai karya sastrawan Angkatan 1945. Karya sastra angkatan ini lebih realistik dibanding karya Angkatan Pujangga baru yang romantik-idealistik. Para penggerak Angkatan 1945 yaitu para sastrawan yang ada pada masa itu seperti Chairil Anwar, Idrus, Asrul Sani, Sitor Situmorang, Muhammad Ali, Toto Sudarto Bachtiar. Para sastrawan Angkatan 1945 ini memiliki ciri khas masingmasing.
3.2 Saran Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk melengkapi bahan pengetahuan dari makalah “Sejarah Sastra Angkatan 1945” ini. Agar materi yang disampaikan menjadi lebih lengkap dan jelas. Kemudian menambahkan jika ada kekurangan yang mungkin perlu untuk di diskusikan lebih lanjut.