Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris 12 Maret 2015 Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
1
Ecology of Language and Literature : Seminar Proceedings Editor: Sainul Hermawan, Fatchul Mu’in, dan Sirajuddin Kamal 248 halaman, 15.5 x 23 cm Katalog dalam Terbitan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia ISBN: 978-602-0950-07-5
Cetakan I: Maret 2015
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak tanpa izin penulis atau penerbit.
Penerbit: Scripta Cendekia Banjarbaru, Kalimantan Selatan L: www.scripta.co E:
[email protected] H: 087814060800
2
Daftar Isi Pengantar | 5 Makalah Peranan Bahasa Ibu sebagai Pilar Sastra Hijau Menggali Filosofi Kearifan Lokal Pelindung Bumi Kalimantan Selatan Naning Pranoto | 9 Ekolinguistik vs Ekolinguistik Kritis : Kajian Awal Mirsa Umiyati | 25 Kerusakan Hutan sebagai Pengetahuan Bersama dalam Perspektif Sosiokognitif Teun A. Van Dijk (Analisis Wacana Kritis Kumpulan Puisi “Konser Kecemasan” Karya Penyair Kalimantan Selatan) Dewi Alfianti | 45 Kejeniusan Ekologi dalam Pemali Banjar Hatmiati | 67 Ekologi Manusia Banjar dalam Puisi-puisi Berbahasa Banjar Karangan Para Penyair Kalsel Tajuddin Noor Ganie | 81 Ritus Ekologis Tradisi Lisan Balamut Sainul Hermawan | 107 Ekokritik : Ritual dan Kosmis Alam Bali dalam Puisi Saiban Karya Oka Rusmini Puji Retno Hardiningtyas | 125 Adat Istiadat Berladang Masyarakat Bumi Serasan Sekate : Kajian Antropolinguistik Linny Oktovianny | 137 Dialektika Kebudayaan dalam Puisi-Puisi Air Hajriansyah: Sebuah Refleksi Filsafati Sumasno Hadi | 149
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
3
Tradisi Kealaman Etnik Tionghoa dalam Novel Indonesia Fatchul Mu’in | 97 Masha and the Bear, Edukasi Mengenai Hubungan Alam, Manusia, dan Binatang Sebuah Tinjauan Ekokritik Rasiah | 167 Alam dan Femininitas dalam Kumpulan Puisi Mantra Rindu Karya Kalsum Belgis Nailiya Nikmah | 185 Representasi Alam dalam Puisi Dinullah Rayes: “Bulan di Pucuk Embun” Nining Nur Alaini | 203 Analisis Video Animasi tentang Sosialisasi Lupus sebagai Video Animasi Lingkungan Berkonteks Global: Studi Kasus Program Care for Lupus, “Lupus is My Name, Call Me Luppy” Dewi Nastiti L. | 213 Pengekspresian Pulau Pinus Aranio Banjarbaru melalui Penulisan Kreatif Sastra Mahasiswa Dwi Wahyu Candra Dewi | 227 Pemakalah | 241
4
Daftar Isi
Pengantar Seminar sehari tentang ekologi bahasa dan sastra dan pelatihan penulisan kreatif sastra hijau yang diselenggarakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin pada 12 Maret 2015 mendapat respons yang baik dari para pemakalah dan peserta. Seminar ini bertujuan untuk menghimpun pemikiran ilmiah tentang kebahasaan dan kesastraan yang berhubungan dengan penyebaran gagasan tentang pentingnya kesadaran untuk berpartisipasi menjaga kelestarian lingkungan hidup yang sehat bagi kehidupan masyarakat dan berkelanjutan. Makalah interdisipliner dalam buku ini menunjukkan bahwa alam adalah tanda yang multitafsir dan dapat didekati dari beragam perspektif yang berbeda-beda. Dalam makalah tentang bahasa ibu sebagai pilar sastra hijau, Naning Pranoto menyinggung deforestasi di Kalimantan. Ia siap dengan kemungkinan akan adanya pihak yang beranggapan bahwa visi dan misi makalahnya hanya suatu utopia belaka, mengingat deforestasi di Pulau Kalimantan sangat marah. Tapi dalam keyakinannya jika kita berpikir positif, melalui sastra hijau (baca: kekuatan kata-kata) paling tidak akan mereduksi eko-anarkisme seperti yang telah terbukti di Amerika Serikat, Perancis, Inggris dan Rusia dan Brazil. Perlawanan terhadap eko-anarkisme yang mereka lakukan bukan dengan kekerasan, senjata api atau benda-benda tajam, melainkan dengan kekuatan dan keindahan kata-kata. Makalah interdisipliner tersebut menunjukkan beragam hubungan gagasan meskipun setiap pemakalah berhadapan dengan objeknya sendiri. Alam tampak menjadi penghubung utama dari keseluruhan makalah tersebut. Tajuddin Noor Ganie dalam makalahnya tentang puisi modern berbahasa Banjar melihat puisi-puisi itu sebagai aspirasi para penyair Kalsel terhadap fakta-fakta ekologi daerah Kalsel yang bersifat kasat mata, baik dalam hal keasriannya, maupun dalam hal kerusakannya, dan aspirasi pribadi yang diungkapkan oleh masingmasing penyair Kalsel dimaksud dapat dijadikan sebagai bahan renungan atau bahkan sebagai bahan periksa yang faktual bagi para pejabat pemerintah di provinsi, kota, dan kabupaten di Kalsel, yang Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
5
karena tugas pokok dan fungsi instansinya wajib mengupayakan kebijakan formal agar ekologi daerah Kalsel tetap terjaga keasriannya, dan tidak rusak akibat kegiatan-kegiatan eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam yang bersifat masif sehingga melampaui batas-batas yang dapat ditoleransi. Sainul Hermawan melengkapi gagasan di atas dengan mendiskusikan tradisi lisan balamut, tradisi lisan orang Banjar yang sudah sangat langka. Dengan menggunakan teori ekologi bahasa, sastra, dan budaya, Sainul menemukan bahwa tradisi balamut berhubungan dengan lingkungan hidup melalui dua cara: verbal dan non-verbal. Kehadiran piduduk dan sesaji merupakan simbol determinasi lingkungan hidup Banjar terhadap ada dan tiadanya tradisi ini. Sedangkan ekspresi verbal dalam cerita balamut menekankan pentingnya menjaga keharmonisan antara manusia dengan lingkungannya. Empat puluh satu macam kue tradisional yang disimbolkan sebagai persembahan untuk para leluhur dapat dibaca sebagai tanda untuk mengingat bahwa alam telah banyak memberikan kebaikan kepada manusia. Manusia wajib beradaptasi sebisa mungkin agar pangan yang tersaji itu tetap ada. Diskusi tentang hubungan bahasa, sastra, dan tradisi lisan tradisional diperkaya oleh diskusi ekologi bahasa dan sastra dalam refleksi filsafati oleh Sumasno Hadi mengenai puisi modern karya penyair Kalimantan Selatan, Hajriansyah. Sumasno melihat “puisi-puisi air” Hajriansyah sangat kukuh mempersoalkan hubungan dialektis antara tradisionalitas dengan modernitas. Melalui puisi-puisinya, entitas air sebagai unsur dasar kosmos adalah konsep yang diusung sebagai lokalitas masyarakat Banjar yang punya citra “budaya sungai”. Pada puisinya itu, degradasi nilai-nilai tradisi beserta realitas lingkungan alam merupakan akibat kontradiksi atas modernitas. Secara kritis, puisi-puisi air Hajriansyah mempersoalkan makin hilangnya eksistensi-habitat sungai akibat penetrasi pembangunan dan industrialisai sebagai bentuk modernitas. Tradisi kealaman orang Tionghoa dalam beberapa novel Indonesia didiskusikan oleh Fatchul Mu’in. Dalam novel yang dikajinya, Fatchul menemukan adanya perilaku orang Tionghoa terhadap alam dan pelestarian alam. Dalam tradisi Tionghoa, alam dan bumi dipandang sebagai tempat hidup manusia dan makhluk hidup lain. Tubuh manusia berasal dari unsur-unsur kimiawi yang berasal dari bumi. Dengan perkataan lain, tubuh manusia berasal dari bumi dan mendapatkan 6
Pengantar
makanan dari bumi, sedangkan roh manusia diperoleh dari Tuhan. Manusia mempunyai roh dan raga, oleh karena itu, manusia wajib menjaga kelestarian alam agar sumber kehidupannya tidak habis. Dalam hal tertentu, ada kemiripan gagasan antara tradisi orang Tionghoa dalam novel dan orang Banjar yang memiliki tradisi balamut, dalam memandang hubungan antara diri mereka dengan alam. Diskusi ekologi bahasa dan sastra meluas. Tidak hanya mendiskusikan teks lisan dan tulisan tetapi juga audio visual. Rasiah menganalisis film Masha and the Bear. Menurutnya film Masha and the Bear muncul untuk memberikan sebuah edukasi mengenai hubungan alam, manusia, dan binatang dalam sebuah kehidupan ekologis. Komponen ekologis ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan masingmasing memiliki peranan dalam menopang kelangsung hidup alam. Olehnya itu, ia mengajarkan bagaimana manusia dalam membangun relasi dengan alam dengan cara memanfaatkannya sekaligus melestarikannya. Kemajuan teknologi bukan merupakan alasan untuk mengekploitasi alam, sebaliknya teknologi tidak selalu berbenturan dengan alam. Teknologi dan alam dapat berjalan seiring sejalan dalam memenuhi fungsinya dalam kehidupan. Di samping itu, sikap menyayangi binatang juga salah satu sikap untuk menjaga kelangsungan ekologis. Manusia dan binatang apapun jenisnya memiliki fungsi dan manfaat dalam kehidupan ekologis. Menjaga mereka sama dengan menjaga keseimbangan ekologis. Masha and the Bear merupakan kritik terhadap sikap manusia terhadap alam dewasa ini. Teknologi selalu menjadi alasan kerusakan lingkungan tanpa memikirkan cara mengantisipasinya. Film ini menawarkan kepada kita beberapa alternatif untuk kita pilih dalam mewujudkan kecintaan terhadap alam. Demikianlah beberapa gambaran umum gagasan penting terkait dengan tema utama seminar dari beberapa makalah yang terhimpun dalam buku ini.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
7
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memungkinkan acara ini dapat terlaksana dengan baik. Kami mohon maaf atas kekurangnyamanan selama kegiatan ini berlangsung. Segala kritik dan saran akan kami jadikan bekal untuk berbuat lebih baik pada kegiatan ilmiah di masa depan. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Banjarmasin, 12 Maret 2015 Panitia Sirajuddin Kamal
8
Pengantar
PERANAN BAHASA IBU SEBAGAI PILAR SASTRA HIJAU MENGGALI FILOSOFI KEARIFAN LOKAL PELINDUNG BUMI KALIMANTAN SELATAN Naning Pranoto Abstrak Bahasa Ibu adalah bahasa pertama yang dipelajari oleh seorang anak. Bahasa ibu membentuk identitas pribadi, kemampuan kognitif, sosial dan budaya. Bahasa ibu sangat beragam, mengacu pada suatu etnis tertentu. Berdasarkan catatan SIL (the Summer Institute of Linguistics, Inc) International AS, ada sekitar 6.000 bahasa ibu di seluruh dunia. Yang terbanyak di Papua Nugini 800 bahasa ibu. Indonesia berada pada urutan kedua. Diperkirakan mempunyai 746 bahasa ibu. Jumlah yang terbanyak terdapat di Papua (Barat), hampir 200 jumlah bahasa ibu yang ada di sana. Tapi, yang baru terteliti belum ada 100 ragam bahasa ibu. Di Pulau Kalimantan terdapat sekitar 140 bahasa ibu berdasarkan rumpun terdiri dari: Malayic Dayak (10); Bahasa Barito (20); Bahasa Borneo Kayan Murik/Bahasa Borneo Utara (17); Bahasa Borneo Dayak Darat (16); Bahasa Borneo Timur Laut (84); Bahasa Borneo Punan Nibong (2) dan Bahasa Malayic (Bahasa Banjar termasuk di dalamnya). Makalah ini membahas tentang peranan bahasa ibu sebagai pilar sastra hijau, untuk melindungi Bumi Kalimantan dari tindakan green anarchism (eko-anarkisme) – perusakan lingkungan khususnya hutan melalui deforestasi. Sangat mungkin akan ada pihak yang beranggapan visi dan misi makalah ini hanya suatu utopia belaka, mengingat deforestasi di Pulau Kalimantan sangat marah. Tapi sebaiknya mari kita berpikir positif, melalui sastra hijau (baca: kekuatan kata-kata) paling tidak akan mereduksi eko-anarkisme seperti yang telah terbukti di Amerika Serikat, Perancis, Inggris dan Rusia dan Brazil. Perlawanan terhadap eko-anarkisme yang mereka lakukan bukan dengan kekerasan, senjata api atau benda-benda tajam, melainkan dengan kekuatan dan keindahan kata-kata. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
9
Paparan Sastra Hijau Sastra Hijau – Green Literature, istilah ini masih jarang digunakan. Di kalangan akademisi menggunakan istilah ecocriticismn yang dicetuskan oleh William Rueckert tahun 1978 dalam tulisannya berjudul Literature and Ecology: An Experiment in Ecocriticism, dimuat di Iowa Review Volume 9 Tahun I di halaman 71-86. Tulisannya ini menarik perhatian dan engundang diskusi bersifat pro dan kontra. Yang jelas, seiring bergulirnya waktu ecocriticism diakui dan memberi inspirasi banyak orang, khususnya di AS dan Inggris menulis bertopik dan bertema penyelamatan bumi. Bahkan Dr. Dana Phillips He has published articles on literature and the environment, and on Walt Whitman, Cormac McCarthy, Don DeLillo, Henry David Thoreau, and Ralph Waldo Emerson. dari Towson University AS menerbitkan artikel tentang sastra dan lingkungan dengan melakukan penelitian atas karya Walt Whitman, Cormac McCarthy, Don DeLillo, Henry David Thoreau, dan Ralph Waldo Emerson. Kemudian artikel-artikel tersebut dibukukan His book The Truth of Ecology: Nature, Culture, and Literature in America was published by Oxford University Press in 2003; berjudul The Truth of Ecology: Nature, Culture, and Literature in Amerika diterbitkan oleh Oxford University Press pada tahun 2003 dan mendapat penghargaan dari Modern Language Association’s Prize it won the Modern Language Association’s prize for best book by an independent scholar in 2004, and was republished by Oxford Scholarship Online in 2007.. Buku ini kemudian dijadikan acuan karya-karya Sastra Hijau. Dari hasil penelitian Dana Phillips antara lain dapat ditemukan ‘kriteria’ apa saja yang layak disebut sebagai Sastra Hijau pada sebuah karya tulis baik prosa maupun puisi. Pertama-tama, bahasa yang digunakan banyak menggunakan diksi ekologi, isi karya dilandasi ‘rasa cinta pada bumi’, ‘rasa kepedihan bumi yang hancur’, ungkapan kegelisahan dalam menyikapi penghancuran bumi, melawan ketidakadilan atas perlakuan sewenang-wenang terhadap bumi dan isinya (pohon, tambang, air dan udara serta penghuninya – manusia), ide pembebasan bumi dari kehancuran dan implementasinya. Jadi, tidak hanya sekadar satire. Melainkan harus ada actionnya melalui ide-ide yang dapat mempengaruhi pola pikir dan sikap masyarakat terhadap penghancuran bumi. Sastra Hijau memiliki visi dan misi penyadaran dan pencerahan yang diharapkan dapat mengubah gaya hidup perusak menjadi pemelihara merawat bumi (go green). Menurut Dr. Laurence Coupe dari Manchester Metropolitan University Inggris bahwa genre Sastra Hijau adalah sastra tematik yang 10
Naning Pranoto
mengacu pada lingkungan secara fisik akan membosankan pembacanya jika tidak dibumbui daya tarik. Maka tahun 2000 ia menerbitkan buku berjudul The Green Studies Reader: From Romanticism to Ecocriticism dan tahun 2013 terbit buku terbarunya berjudul Kenneth Burke From Myth to Ecology. Dari preview kedua bukunya ini dapat dibaca bahwa Coupe menyajikan ide-ide untuk penyempurnaan proses kreatif karya Sastra Hijau dengan memasukkan berbagai unsur menarik. Antara lain kisahkisah (legenda) cinta yang ada kaitannya dengan lingkungan yang diceritakan, asal-usual suatu tempat yang jadi obyek cerita, mitos-mitos yang dipercayai masyarakat setempat, kepercayaan pada ruh-ruh halus hingga Tuhan Yang Maha Sejati, pergulatan bisnis dan sebagainya. Dengan demikian karya-karya yang dilahirkan akan menjadi cerita yang menarik. Ia terinspirasi oleh (antara lain) sejumlah epik klasik berbumbu mitos seperti Lord of the Rings karya J.R.R. Tolkien dan karya Shakespeare. ‘Rumah’ Hutan Hujan di Bumi Kalimantan Bumi Kalimantan merupakan bagian dari Pulau Kalimantan yang secara administrasi politik ‘dihuni’ oleh tiga negara yaitu: bagian yang terluas adalah wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), wilayah Negara Malaysia dan bagian yang terkecil wilayah Negara Brunei Darussalam. Pulau Kalimantan yang dikenal pula dengan nama Borneo terkenal di seluruh dunia bukan karena berada di urutan ketiga – seluas 743.330 Km2, sebagai pulau terbesar di dunia. Melainkan, luas hutannya sekitar 40,8 juta hektar tersohor manfaatnya sebagai salah satu paru-paru dunia. Selain itu juga sebagai ‘rumah’ hutan hujan (rainforest) terluas di Asia. Sayangnya, rumah hutan hujan ini menurut Greenpeace tinggal tersisa 25,5 juta hektar pada tahun 2010. Berikut ini kondisi peta hutan di Kalimantan dari masa ke masa. Warna hijau merupakan hutan yang tersisa:
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
11
Kita ketahui bersama deforestasi berdampak: (1) Hilangnya ekosistem di dalam hutan korban eko-anarkisme tersebut; (2) Musnahnya keanekaragaman hayati antara lain species tumbuhan dan hewan langka dan (3) Berkurangnya persediaan cadangan makanan bagi manusia dan makhluk lainnya. Efek samping dari deforestasi adalah bencana besar bagi umat manusia yaitu banjir bandang, tanah longsor dan ancaman pemanasan global karena hutan tak mampu lagi menyerap emisi karbon. Semua orang telah merasakan akibat dari ekonarkisme, apalagi bagi orang-orang yang bermukim di Bumi Kalimantan. Dalam kesempatan, mari kita cari solusinya untuk mereduksi deforestasi di Bumi Kalimantan yang tidak hanya ‘kehilangan’ hutan, tapi juga lahan-lahan pertambangan, keanekaragaman hayati, nilai ekonomi, budaya, transportasi (di dalam termasuk DAS – Daerah Aliran Sungai), pariwisata dan lainnya. Bumi Kalimantan kondisinya benarbenar mengkhawatirkan dan harus diselamatkan. Kekuatan bahasa ibu sebagai mediumnya yang akan kita gunakan. Singkirkan dulu perasaan utopia, untuk diganti dengan semangat yang penuh energi optimitis. Hal ini memang tak mudah untuk meyakinkan akan terwujud , tapi perjuangan demi perjuangan tentu akan membuahkan hasil.
12
Naning Pranoto
Manapak Banyu di Apar Manusia adalah pendominasi penghuni bumi. Tapi, manusia pula yang merusak lingkungan. Ironisnya, manusia yang tak melakukan ekoanarkisme harus ikut menanggung akibatnya. Dalam bahasa Banjar Kuala mempunyai pepatah: Manapak banyu di apar, yang artinya bumerang, terkena diri sendiri. Pepatah ini sangat tepat untuk melukiskan kondisi perusakan lingkungan atau eko-anarkisme pada umumnya, di Bumi Kalimantan khususnya. ‘Lahirnya’ Revolusi Industri dianggap sebagai biang keladi eko-anarkisme karena melahirkan kapitalis – yang dijuluki pula sebagai ‘binatang ekonomi’. Yaitu kelompok yang hanya berpikir tentang keuntungan sebanyakbanyaknya dengan cara ‘memperkosa bumi’ dan memeras keringat manusia tanpa memikirkan dampak negatifnya dan nasib para korbannya. Maka, gerakan sastra hijau pun timbul di Amerika Serikat, Rusia, Perancis, Inggris, Spanyol – pada awal Abad 19 untuk melawannya melalui ‘pena hijau’. Tokoh-tokoh pena hijau diberi gelar sebagai pelopor naturis antara lain: Henry David Thoreau dan Ralph Waldo Emerson (Amerika Serikat), Elisee Reclus, Henri Zisly dan Emile Gravelle (Perancis), Kirwin R. Schaffer (Kuba), Isaac Puente (Spanyol) dan Leo Tolstoy (Rusia). Bila disimpulkan mereka ini punya prinsip yang sama, yaitu mempertahankan kondisi bumi sebagai ‘desa besar yang ramah’ – menciptakan kehidupan harmonis antara manusia dan alam. Menciptakan keharmonisan hidup antara manusia dan alam merupakan pilar filosofi kearifan nenek-moyang semua suku bangsa di dunia, termasuk Indonesia tentunya. Berdasarkan hasil sensus Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, tahun 2010 mencatat bahwa Indonesia dihuni 1.340 suku bangsa. Masing-masing suku bangsa memiliki kearifan lokal untuk menjaga lingkungannya. Dalam makalah ini penulis memfokuskan materi tentang kearifan lokal dalam menjaga lingkungan yang dilakukan oleh Suku Banjar di Kalimantan Selatan, yang menggunakan bahasa ibu Bahasa Banjar. Bicara tentang Suku Banjar pada mulanya mendiami hampir seluruh wilayah Propinsi Kalimantan Selatan. Sejalan dengan perkembangan perekonomian, Suku Banjar pun memencar ke berbagai wilayah Kalimantan hingga ke Negeri Jiran. Secara ekologi bahasa, pemencaran tersebut menjadikan kedudukan Bahasa Banjar sebagai lingua franca. Di samping itu mengangkat Bahasa Banjar sebagai 10 besar bahasa daerah yang banyak penuturnya dengan posisi sebagai berikut: (1) Bahasa Jawa; (2) Bahasa Melayu Indonesia; (3) Bahasa Sunda; (4) Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
13
Bahasa Madura; (5) Bahasa Batak; (6) Bahasa Minangkabau; (7) Bahasa Bugis; (8) Bahasa Aceh; (9) Bahasa Bali dan (10) Bahasa Banjar.
Peta Penutur Bahasa Banjar Kuala (yang bertanda hijau)
Secara dialek, Bahasa Banjar terdiri dari Bahasa Kuala dan Bahasa Banjar Hulu Sungai yang disebut pula dengan nama Bahasa Banjar Hulu. Bahasa Banjar Kuala penuturnya penduduk asli sekitar Banjarmasin Kota, Martapura dan Pelaihari. Sesuai dengan sebutannya Bahasa Banjar Hulu digunakan di luar ketiga wilyah peta penutur Bahasa Banjar Kuala, antara dituturkan di wilayah Hulu Sungai misalnya di Kabupaten Tapin, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara serta Tabalong. Bicara soal sungai, Bumi Kalimantan merupakan ‘rumah’ sungai dan ada tiga sungai yang termasuk 10 terpanjang di Indonesaia. Yaitu Sungai Kapuas (panjang 1.143 Km) di Propinsi Kalimantan Barat, Sungai Mahakam (panjang 920 Km) di Propinsi Kalimantan Timur dan Sungai Barito (panjang 909 Km) di Propinsi Kalimantan Tengah dan Propinsi Kalimantan Selatan. Dari paparan tersebut Studi Sosiolinguistik membuktikan bahwa kondisi ekologi berpengaruh terhadap bahasa yang digunakan oleh penduduk setempat dan juga sumber matapencahariannya. Kalimantan Selatan salah satu buktinya di mana Bahasa Banjar memiliki kosa kata banyu - serapan dari kata bahasa Jawa banyu yang artinya air – air sungai. Maka tak heranlah apabila ibukota Propinsi Kalimantan Selatan, Banjarmasin disebut sebagai Kota Seribu Sungai – kota yang berlimpahan dengan air dan ditandai adanya Pasar Terapung yang ada sejak tahun 1526.
14
Naning Pranoto
Kata banyu ini relatif banyak digunakan dalam pepatah yang lahir dari kearifan lokal Suku Banjar yang hidup dilingkupi sungai-sungai dan yang terbesar Sungai Barito. Bahkan mereka ini juga secara alamiah menemukan sistem pertanian lahan rawa dan lebak yang dikenal dengan nama Banjarese System (Sistem Orang Banjar) yang kini jadi percontohan. Orang Banjar bertani di lahan-lahan rawa, juga di lahan lebak dan lahan gambut. Mereka melakukan reklamasi, pengelolaan dan pengembangan lahan rawa dan lebak telah berabad-abad tanpa merusak lingkungan. Satu kuncinya ‘menjinakkan’ banyu dengan cara arif juga lingkungan hutan sekitarnya. Mereka mendapat hasil pertanian tanpa harus melakukan eko-anarkis. Bahkan mereka tidak hanya bertani tapi juga vegetasi dan pelestarian hewan. Hasil panenan yang mereka peroleh tidak hanya padi, tapi juga sayuran, buah-buahan dan berbagai jenis ikan – sekaligus melakukan penghijauan. Banjarese System merupakan pemanfaat lahan secara berganda (multiple use) dan ini jelas menguntungkan. Manangis Kada Babanyu Air Mata Banjarese System warisan kearifan lokal nenek moyang Suku Banjar tidaklah berlebihan bila disebut sebagai monumen kemegahan pelestarian lingkungan. Generasi muda berkewajiban menjaga kesinambungannya agar lestari mengada. Cara menjaganya melalui sastra hijau dengan memasukkan unsur bahasa ibu sebagai pilarnya. Misalnya, kita mulai dengan mengambil beberapa pepatah yang mengggunakan kosa kata berkaitan dengan lingkungan dan diresapi secara mendalam maknanya: 1. Manangguk di banyu karuh – artinya: Hanya mencari keuntungan untuk diri sendiri pada waktu orang sedang kesusahan. Pepatah ini bisa digunakan untuk ide menuliskan tentang bencana alam yang menimpa penduduk setempat, kemudian ada oknum yang memanfaatkan untuk keuntungan diri sendiri. Perlu direnungkan peringatan Peter Benchley – Novelis Amerika Serikat, “Jika manusia tidak belajar memperlakukan hutan dan hutan tropis dengan baik, maka manusia akan punah.” 2. Manangis kada babanyu air mata – artinya: Terlalu sedih tidak lagi ada airmata yang keluar. Pepatah ini bisa dijadikan ide menulis puisi atau prosa tentang kepedihan deforestasi, pencemaran DAS dan penghancuran lingkungan lahan penambangan emas maupun batubara. Rene Dubos, Aktivis Lingkungan Perancis Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
15
berseru,”Ingat, alam tak diam. Ia selalu menyerang kembali. Maka, jangan perlakukan dia dengan tindak kekerasan untuk mendapatkan kemenangan palsu.” 3. Wani manimbai wani manajuni – artinya: Berani berbuat berani tanggung-awab. Pepatah ini bisa diterapkan bagi siapa yang saja yang merambah hutan atau lahan pertambangan, haruslah bertanggung-jawab. Yaitu, tidak hanya mengambil keuntungan saja akan tetapi juga harus ikut memulihkan kondisinya. Seperti yang dilakukan para petani penggarap lahan rawa, lebak, lahan gambut dan hutan sekitarnya. Misalnya, menebang kayu di hutan harus diimbangi dengan reboisasi. Para penambang setelah mengambil hasil tambang wajib memperbaiki lingkungannya (tidak dibiarkan rusak, mengerikan). 4. Awak randah sangkutan tinggi – artinya: Harus mengukur kemampuan diri sebelum bertindak. Pepatah ini berkaitan dengan Nomor 3, jika kita tidak mampu mempertanggungjawabkan perbuatan kita dalam ‘mengambil’ hasil bumi, sebaiknya jangan melakukannya. Karena akan berakibat buruk – antara lain mendatangkan bencana alam yang banyak menelan korban. 5. Banyak muntung kena bagawi kada manuntung – artinya: Jangan banyak bicara karena akan banyak pekerjaan yang terbebengkalai. Pepatah ini sungguh tepat diterapkan oleh para aktivis penyelamat lingkungan. Hendaknya jangan terlalu banyak bicara, tapi lebih baik bertindak. Seperti yang dikatakan Ross Perot – Politisi Amerika Serikat, “Aktivis penyelamat lingkungan bukanlah orang-orang yang mengatakan sungai itu kotor. Tapi, mereka harus membersihkan sungai itu.” 6. Ditinggal manawak, dibawa malinggang – artinya: Orang yang selalu mengganggu ketentraman orang lain. Pepatah ini dapat diterapkan untuk menyebut para pelaku eko-anarkis yang rakus akan materi. Layaklah apabila William Rickett – Pematung dan Penyair Australia memberi peringatan, “Bumi adalah ibu kita, mengapa kita memperkosanya? Apakah kita benar-benar anak durhaka?” 7. Iya kandang iya babi – artinya: Orang yang diberi kepercayaan tapi berkhianat. Pepatah ini dapat mengacu pada oknum pejabat kehutanan dan yang terkait, yang menyelewengkan wewenang-
16
Naning Pranoto
nya memberi izin HPH (Hak Pengusahaan Hutan) secara tidak tepat. 8. Waja sampai kaputing – artinya: Semangat yang besar, pantang menyerah. Pepatah ini sangat elok bila maknanya diresapi oleh para aktivis penyelamat lingkungan. Karena memang tidak mudah berhadapan dengan para pelaku eko-anarkis yang sangat mungkin memiliki ‘senjata’ kuat untuk terus bertahan melakukan aksinya. Tak heran jika datang pula berbagai ancaman yang menteror para aktivis. Tapi, waja sampai kaputing harus tetap dijadikan prinsip untuk menyelamatkan bumi. 9. Satu karya dua gawi – artinya: Dua pekerjaan dapat dikerjakan sekaligus dengan hasil memuaskan. Pepatah ini kiranya bisa dijadikan motivasi bagi aktivis sastra hijau. Di mana mereka berkarya sastra, sekaligus untuk melestarikan eksistensi bumi. Perlu kita renungkan kata-kata Pablo Picasso – Pelukis Agung dari Spanyol: “Seniman adalah ruang bagi emosi yang tiba dari semua tempat: dari langit, dari bumi, dari secarik kertas, dari bentuk yang lembut hingga seliat sarang laba-laba.” 10. Kaya siput dipais – artinya: Pendiam, tidak mau banyak bicara takut salah. Pepatah ini mengandung nilai positif, tapi juga ada sisi negatifnya. Karena bila seseorang terlalu ‘diam’ dan terlalu ‘takut’ akan sia-sia hidupnya. Sebaiknya, isilah hidup dengan bersikap realistis agar bermanfaat, khususnya untuk menyelamatkan bumi. Jangan takut menyuarakan kebenaran asalkan disampaikan dengan bijak. Hindari kekerasan. Mari kita mendalami pendapat yang disampaikan John Luboock, seorang arkeolog, penulis dan juga penyelamat lingkungan, “Bumi, langit, hutan, ladang, danau, sungai dan gunung adalah guru yang mengajarkan pada kata, tentang banyak hal kearifan yang tidak ada di dalam buku.” – mari kita kalimat ini. Masih banyak lagi pepatah yang lahir dari kearifan tradisi nenekmoyang. Tidak hanya untuk menyelamatkan bumi, tapi juga sebagai bekal hidup. Hindari ‘membunuh’ Bahasa Ibu Bahasa ibu di Indonesia yang telah berhasil diteliti ada 546, demikian data yang ada di Badan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Diharapkan, angka tersebut akan menjadi 600 bahasa ibu di tahun 2014. Penelitian terus berlangsung. Diperkirakan ada Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
17
puluhan bahasa ibu yang telah mati. Penyebab kematiannya, karena bahasa itu tidak dipergunakan lagi. Baik sebagai bahasa lisan (tutur) maupun bahasa tulis. Ironisnya, ‘pembunuh’ bahasa ibu adalah para ibu – yang empunya bahasa ibu. Alat pembunuhnya bukan senapan atau belati, tapi gaya hidup dan pola pikir. Dampaknya secara sosiologis dan psikologis, mengikis – bahkan melumpuhkan daya kemampuan kognitif anak. Dampaknya si anak akan kehilangan jatidiri atau kehilangan ‘akar’ dari leluhurnya. Anak menjadi ‘manusia baru’ semacam hibrida di lingkungannya. Kasus memprihatinkan ini tidak hanya melanda anakanak yang diajak berubanisasi atau bermigrasi oleh orangtua mereka. Tapi juga melanda anak-anak ‘desa baru’ (orang desa yang bergaya hidup metropolitan karena pengaruh televisi atau tertular sanak saudaranya yang merantau ke kota). Tragedi ini tidak hanya melanda Indonesia, tapi juga menjadi epidemi global. Bicara tentang bahasa ibu di Kalimantan Selatan, baik itu Bahasa Banjar Kuala maupun Bahasa Banjar Hulu hendaknya dijaga agar tidak punah. Maka sudah saatnya Bahasa Banjar dimunculkan untuk menulis Sastra Hijau sebagai ‘medium indah dan bermakna’ diperkokoh dengan Bahasa Indonesia. Sebagai lingua franca – bahasa ‘pengantar’ atau bahasa untuk menjembatani ‘pergaulan’, sangat mungkin Bahasa Banjar lebih banyak dilisankan dari pada ditulis. Kasus ini dialami oleh hampir semua bahasa ibu di Indonesia, mengingat budaya nenek moyang kita adalah budaya lisan bukan budaya menulis. Kondisi ini menjadi penghambat perkembangan budaya menulis sastra maupun akademis. Di samping itu, eksistensi pengarang maupun penulis masih kurang dihargai. Baik oleh masyarakat maupun pemerintah. Stigma menjadi penulis dan pengarang itu tidak bisa sukses dalam materi, membuat orangtua apriaori jika anak-anaknya memilih profesi tersebut. Faktor-faktor ini yang membuat Indonesia menjadi ketinggalan dibandingkan dengan negara-negara lain yaitu ‘miskin’ penulis maupun ‘miskin’ pengarang. Sastra Hijau pada dasarnya memang ‘pena perjuangan’ bukan untuk mencetak uang. Bahkan sangat mungkin akan ‘dimusuhi’ oleh para pelaku eko-anarkis yang mengeksploitasi hutan demi keuntungan pribadi. Maka tak heran apabila sastrawan agung Amerika Serikat yang juga naturis, Henry David Thoreau pernah mengatakan, “Jika aku disuruh memilih uang, pangkat atau kebenaran untuk menyelamatkan bumi, aku pilih yang ketiga. Uang dan pangkat aku tak perlu, yang kuperlukan menyelamatkan manusia dari kehancuran bumi. Bagiku itu kepuasan yang juga prestasi hidup.”
18
Naning Pranoto
Henry David Thoreau (1817-1862)
Chief Joseph (1840-1904)
Sungguh mulia pernyataan Thoreau dan ini dijadikan pegangan komitmen bagi para aktivis lingkungan. Masing-masing aktivis punya latar belakang budaya (etnis) yang berbeda dan mereka ini banyak yang menggunakan bahasa ibu untuk menyelamatkan lingkungannya. Sebagai contoh, Chief Joseph – aktivis lingkungan Amerika Serikat berdarah tulen Indian memperkenalkan kiat menyelamatkan bumi dengan bahasa ibunya dan mendunia setelah diterjemahkan ke berbagai bahasa (termasuk Indonesia) menjadi “Bumi adalah Ibu semua manusia” Kalimantan Selatan mempunyai tiga orang pejuang lingkungan dan memperoleh penghargaan Kalpataru pada Hari Lingkungan Hidup 2012. Mereka adalah adalah Galuh Sally dari Kabupaten Balangan. Ia penangkar jenis pohon langka - pohon gaharu sejak tahun 2007, jumlahnya lebih dari dua juta pohon yang bisa dipanen sekitar 30 tahun mendatang. Sedangkan Madroji dari Kabupaten Banjar melakukan rehabilitasi dan penghijauan pada lahan kritis seluas delapan hektar dengan cara pelestarian sumber daya air dan keanekaragaman hayati. Ia bertani dengan mengadopsi kearifan lokal yaitu menggunakan pupuk organik yang diolah dari sampah. Muhammad Syamsudin dari Kota Banjarmasin membibit puluhan ribu pohon. Ketiganya melakukannya dengan tulus tanpa mengharapkan penghargaan. Bagi mereka merupakan panggilan hidup: menyelamatkan lingkungan dan keanekaragaman hayati. Ketiga tokoh pejuang lingkungan ini merupakan sumber tulisan yang menarik untuk dijadikan tulisan genre sastra hijau. Apalagi dengan menggunakan bahasa ibu sebagai sebagai ungkapan metaforisnya dan kearifan lokal sebagai ruhnya.Dengan Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
19
demikian, karya sastra bisa diwujudkan sekaligus menghidupkan bahasa ibu. Implementasi Bahasa Ibu sebagai Pilar Sastra Hijau Sastra hijau adalah bagian dari sastra Indonesia yang ditulis dengan menggunakan bahasa Indonesia. Bagaimana jika bahasa ibu diimplentasikan ke dalamnya. Jawabannya adalah, tidak masalah. Dengan adanya bahasa ibu dalam suatu karya yang disajikan dalam bahasa Indonesia menurut penulis merupakan nilai plus. Karena, berarti pengarangnya kembali ke akar untuk memekarkan karyanya (dari lokal ke nasional). Selain itu, Indonesia memang multikultural – dihuni 1.340 suku demikian hasil penelitian BPS. Jadi, justru elok karena sastra Indonesia memberi ruang berkembangnya sastra lokal yang justru ‘murni’ memiliki jati diri (kearifan lokal). Elemen tersebut memberikan bobot pada sajian karya sastra Indonesia Tapi implementasi yang dimaksud harus berdasarkan kaidah penulisan karya sastra baik yang berupa puisi maupun fiksi (cerita mini, cerita pendek, cerita panjang, novel pendek dan novel panjang). Dalam karya fiksi, bahasa ibu dapat dijadikan: (1) Judul yang bersifat simbolik atau metaforis; (2) Bagian dalam dialog antar tokoh yang memberi penegasan identitas masing-masing tokoh; (3) Frasa untuk mengekspresikan ‘greget’ perasaan, emosi dan kecerdasan yang tidak bisa digantikan dengan bahasa lain seperti bahasa ibu; (4) Memasukkan unsur-unsur salah satu di antaranya: filosofis, melankolis, patriotis, magis yang menjadi ‘ruh’ sebuah karya dan (5) Pengejawantahan budaya dengan berbagai pesannya secara implisit kepada pembaca. Implentasi bahasa ibu untuk menulis puisi sebetulnya lebih rumit dibandingkan dengan menulis fiksi. Tapi jika penyairnya memahami makna, tanda dan pesan yang tersirat maupun tersurat pada suatu frasa yang digunakan maka akan dengan mudah mampu mencipta puisi. Menurut penyair Sides Sudyarto DS, seorang penyair perlu modal yaitu 7 (tujuh) cinta: Pertama, Cinta manusia (Humanity). Penyair adalah manusia yang mencintai manusia, menghargai setinggi-tingginya hak asasi manusia
20
Naning Pranoto
Kedua, Cinta ilmu pengetahuan (Knowledge) Penyair adalah sosok manusia yang cinta ilmu. Sebab dengan ilmu ia bisa meringankan beban hidup sesama manusia. Ketiga, Cinta kebijaksanaan (Wisdom) Penyair adalah manusia yang mencintai kebijaksanaan. Bijaksana berarti menghormati kenyataan, keadialan dan kebenaran. Kebijaksanaan tertinggi adalah kebajikan, yakni mengabdikan diri untuk kehidupan masyarakat luas. Keempat, Cinta kesenian (Arts) Seorang penyair adalah seorang sastrawan, memilih seni astra sebagai panggilan hidupnya. Namun seorang penyair juga tidak mungkin jauh dengan berbagai cabang kesenian: seni drama,seni tari, seni lukis, seni musik, dan sebagainya. Sebab setiap cabang seni mempunyai kaitan nilai dengan seni lainnya. Kelima, Cinta kebudayaan (Culture) Penyair dengan sedirinya seorang budayawan. Ia memahami kebudayaan, mencintai kebudayaan dan ikut merawat kesuburan hidup kebudayaan. Perlu diingat bahwa sastra adalah juga bagian dari kebudayaan. Keenam, cinta agama (Religion) Dengan ilmu, kehidupan manusia yang berat bisa diperingan. Dengan agama kehidupan manusia bias lebih terang hingga selamat dunia akhirat. Maka penyair pun bisa bersyiar, menaburkan nilai-nilai keagamaan. Ketujuh, Cinta Tuhan Yang Maha Cinta (Believe in the God) Cinta kepada Tuhan memungkinkan penyair mencintai segala ciptaan Tuhan, dari alam tumbuhan, alam hewan hingga umat manusia dan jagat raya. Mencintai seni adalah mencintai keindahan. Dan Tuhan adalah sumber dari segala keindahan.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
21
Dalam penulisan karya sastra Indonesia, bahasa ibu tidak bisa dijadikan narasi karena akan sulit dipahami pembacanya di luar penutur bahasa ibu yang terkait. Selain itu karya yang ditulis itu tak layak lagi disebut sastra Indonesia karena tidak ditulis dengan bahasa Indonesia. Sastra hijau adalah sastra tematik, bertendens – mengandung sebuah pesan (ajakan) untuk merawat bumi. Deforestasi atau segala bentuk eco-anarkis yang terjadi di Bumi Kalimantan bisa di-share melalui sastra hijau. Di lain pihak, hal-hal yang positif tentang pelestarian lingkungan warisan kearifan nenek moyang juga perlu dishare agar bisa diimplementasikan di wilayah luar Bumi Kalimantan – misalnya pertanian Banjarese System maupun keberhasilan Galuh Shally seorang ibu yang dengan tulus melakukan pembibitan pohon langka – pohon gaharu lebih dari dua juta pohon. Ini suatu kisah nyata yang sangat inspiratif, bisa digarap sebagai kisah nyata yang difiksikan. Betapa tidak? Para pelaku eko-anarkis terus merusak hutan dengan ganas, sementara itu tangan-tangan kecil Galuh Shally dengan penuh kasih menghidupkan ‘pohon-pohon yang hampir punah’. Sebagai putri Banjar tentu ia punya berbagai alasan mengapa melakukan tindak mulia itu. Perlu dicermati dan digali, sejauh apa ia belajar atau menjadi ‘role model’ dari kearifan nenek-moyangnya dalam menyelamatkan hutan. Daftar Rujukan
Buku Buell, Lawrence. The Environmental Imagination: Thoreau, Nature Writing and the Formation of American Culture. Cambridge, MA and London, England: Harvard University Press, 1995. Coupe, Laurence, ed. The Green Studies Reader: From Romanticism to Ecocriticism. London: Routledge, 2000. Grant, Edward. A History of Natural Philosophy (Terjemahan: Filsafat Alam), Yogyakarta: Mitra Sejati, 2011. Larson, C.R & Rubenstein, R. Worlds of Fiction. New York: Macmilan Publishing Company, 1993. Panggabean Maruli. Bahasa, Pengaruh dan Peranannya. Jakarta: Pustaka Obor, 1981 Phililips, Dana. The Truth of Ecology: Nature, Culture and Literature in America. Oxford: Oxford University Press, 2003 Pranoto, Naning. Seni Menulis Cerita Pendek. Jakarta: Oppus, 2015 22
Naning Pranoto
Pranoto, Naning, Sides Sudyarto DS dan Soesi Sastro. Seni Menulis Sastra Hijau. Bogor: Rayakultura Press, 2013 Pranoto, Naning. 33 KISS Metode Menulis Fiksi dan Fiksi. Bogor: Rayakultura, 2014
Rueckert, William. “Literature and Ecologi: An Experiment in Ecocriticism” Iowa Review 9.I (1978): 71 - 86 Internet: www.fao.org/forestry/international-day-of-forests/en: http://id.wikipedia.org/wiki/Bahasa_Banjar http://id.wikipedia.org/wiki/Daftar-bahasa-di-kalimantan http://en.wikipedia.org/wiki/Green_anarchism http://en.wikipedia.org/wiki/Kalimantan http://cpasru,nl/node/9285 http://ulunbanjarese.blogspot.com/2011/11/peribahasa http://www.menlh.go.id/peringatan-hari-lingkungan
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
23
24
Naning Pranoto
EKOLINGUISTIK VS EKOLINGUISTIK KRITIS: KAJIAN AWAL Mirsa Umiyati
Abstrak Studi ekolinguistik yang dikembangkan dalam 10 tahun terakhir di Indonesia, memberikan kontribusi yang sangat signifikan terhadap produktivitas sejumlah penelitian dan karya ilmiah. Namun, kontribusi positif dimaksud disertai dengan sisi ‘negatif’. ‘Sisi negatif’ dimaksud adalah kenyataan bahwa studi ekolinguistik yang telah dilakukan menjadi kehilangan arah. Selain itu, di sejumlah makalah, batas antara kajian ekolinguistik dengan kajian ekolinguistik kritis menjadi ambigu dan tidak jelas. Hasil analisis dalam artikel ini mampu memberikan batas yang jelas antara keduanya. Analisis ini juga memberikan gambaran pengembangan studi ekolinguistik kritis, yaitu kajian ekosintaksis. Hasil kajian teori ekolinguistik dalam makalah ini juga mampu menguraikan kontribusi ekolinguistik terhadap pengajaran dan pembelajaran bahasa Indonesia. Kata kunci: ekolinguistik, leksikon, konstruksi ramah lingkungan Pendahuluan Dalam telaah linguistik diakronis, Saussure (1961) menjabarkan bahwa bahasa seharusnya dipelajari tidak hanya pada satu waktu tertentu namun dipelajari dari waktu ke waktu untuk menghindari kepunahannya. Disamping pembelajaran bahasa berkelanjutan dimaksud, kepunahan suatu bahasa juga bisa diantisipasi dengan melestarikan sejumlah leksikon yang dimilikinya, terutama leksikon alam yang sangat rentan dengan kepunahan akibat minimnya penggunaan sejumlah leksikon tersebut di era modernisasi seperti Sekarang ini. Kajian ekolinguistik mampu mewadahi usaha pelestarian leksikon alam dimaksud dengan konsep-konsep yang ditawarkannya.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
25
Kajian ekolinguistik yang merupakan kajian interdisipliner yang menempatkan bahasa dan komunitas penuturnya sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan bersama organisme-organisme lainnya, menjadi bingkai dari makalah ini. Tautan antara ekologi (ekosistem) dan linguistik (ilmu bahasa) yang sudah sangat jelas menjadi batasan kajian ekolinguistik yang membedakannya dari kajian linguistik terapan lainnya, mulai terusik akibat perkembangan 10 tahun terakhir ini yang memunculkan istilah kajian ekolinguistik kritis. Dibutuhkan pemikiran yang sangat serius untuk memberikan batasan-batasan kajian ‘hijau’ yang dimaksud dalam ekolinguistik dengan kajian ‘hijau’ dalam disiplin ilmu yang lain. Pemikiran yang sangat serius juga diperlukan untuk membatasi kajian ekolinguistik yang sudah mengarah pada pengembangan kajian ekolinguistik kritis atau sebaliknya. HAsil yang diharapkan dari usaha tersebut adalah dirumuskannya sekat-sekat dan batasan yang jelas yang membedakannya dari kajian ekolinguistik murni. Permasalahan itulah yang menjadi fokus pembahasan tulisan singkat ini, suatu kajian awal, dalam jabaran berikut. Konsep Beberapa konsep ekolinguistik yang digunakan untuk mengupas tulisan singkat ini akan menjelaskan sejumlah konsep yang dipakai dalam tulisan ini. Konsep dimaksud adalah konsep sustainability keberlanjutan, konsep Diversity Keberagaman, konsep Interrelation, interaction and interdependence Kesalinghubungan, interaksi dan salingketergantungan, konsep masyarakat beresiko dan konsep Environment Lingkungan. Kesemuanya dijabarkan sebagai berikut. (1) Konsep Sustainability Keberlanjutan Keberlanjutan yang dipahami dalam kajian ekolinguistik dimaknai sebagai suatu konsep dan usaha untuk menjaga gejala ketercerabutan generasi baru dari akar lokal (rootlessnes) secara tradisi dan ekologis. Usaha untuk menghilangkan kesenjangan dan ketimpangan pengetahuan, pemahaman, dan penggunaan energi kebahasaan bahasabahasa etnik antara generasi tua dan muda juga termasuk dalam usahausaha keberlanjutan dalam kajian ekolinguistik. Lebih daripada itu, usaha-usaha yang mengarah pada mempertahankan kelestarian frekuensi penggunaan bahasa etnik sebagai bahasa ibu juga dimaknai sebagai usaha keberlanjutan.
26
Mirsa Umiyati
(2) Konsep Diversity Keberagaman Keberagaman dimaknai sebagai realitas yang merupakan isi dari lingkungan (environment), baik suatu realitas yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata, yang hidup (biotik) maupun yang tidak hidup (abiotik), semuanya terangkum dalam konsep keberagaman. Keberagaman secara fisik di suatu lingkungan hidup manusia tampak sangat jelas. Pada lingkungan hidup tertentu, diversity atau keberagaman tidak hanya meliputi pembahasan tentang suatu ras, suatu etnik, jenis kelamin dan gender, namun diversity dimaknai dan dihadirkan dalam wujud yang lebih kompleks yaitu menghadirkan keberagaman budaya. (3) Konsep Interrelation, interaction and interdependence Kesalinghubungan, interaksi dan salingketergantungan Konsep interelasi, interaksi dan interdependensi dalam ekolinguistik sangat erat hubungannya dengan konsep parameter lingkungan dan keberagaman. Konsep ini tidak hanya dimaknai sebagai suatu interelasi, interaksi dan interdependensi dengan sesama mahluk manusia, tetapi juga dimaknai sebagai suatu upaya menjalin proses tersebut dengan alam, fauna, flora, air, bebatuan, pasir, udara dan dengan waktu. Dengan adanya interelasi, interaksi dan interdependensi tersebut, manusia dapat menata waktu sehingga ada satuan-satuan waktu fungsional dalam rekaman verbal yang kaya dan beragam secara leksikal-gramatikal. (4) Konsep Masyarakat Beresiko George Ritzer dalam Dwi Susilo (2008:17) menyebut paradigma sosiologi dengan membaginya atas: paradigma fakta sosial, definisi sosial, pertukaran sosial dan paradigma terpadu. Sementara itu, Gibson Burrell dan Gareth Morgan (1979) lebih suka menggunakan istilah fungsionalisme, interpretatif, humanisme radikal dan strukturalisme radikal. Lebih lanjut dikatakan bahwa setidak-tidaknya, ada tiga watak dominan manusia yang perlu dipelajari secara lebih mendalam, yaitu: (a) manusia sebagai mahluk penakluk lingkungan; (b) manusia sebagai pejuang lingkungan; (c) manusia sebagai perancang keberlangsungan lingkungan. Kaitannya dengan landasan teori dari beberapa ahli tersebut di atas, manusia sebagai mahluk sosial yang multifungsi, bertanggung jawab untuk melakukan kajian-kajian berikut:
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
27
1) Ilmu pengetahuan modern yang bertanggung jawab 2) Memahami aliran Antroposentrisme secara lebih baik sehingga bisa menjelaskan mengenai perilaku, nilai dan kebiasaan masyarakat yang merusak lingkungan 3) Melembagakan kembali kearifan-kearifan lokal tradisional. (5) Environment Lingkungan Menyelami kajian ekolinguistik secara mendalam akan menempatkan bahasa dan komunitas penuturnya sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan bersama organisme-organisme lainnya (Mbete,2009:2). Dengan menempatkan bahasa berekosistem setara dengan organisme-organisme lain diharapkan kearifan-kearifan lokal budaya yang melandasi bahasa menjadi kajian tersendiri di dalam ekolinguistik. Hasil akhir nanti yang diharapkan adalah, adanya refleksi positif dari keberadaan bahasa dalam lingkungannya karena secara kreatif, potensi itu mutlak ada sejalan dengan fungsi bahasa sebagai perekam pengalaman dan perefleksi kenyataan yang ada dalam lingkungan. Lebih daripada itu, dalam perspektif ekolinguistik, tataran komunitas bahasa tidaklah sebatas dalam penggunaanya semata, melainkan juga termasuk di dalamnya dikaji pemproduksi bahasa secara kreatif dan adaptif sesuai dengan perubahan sosio-ekologinya (Mbete, 2009:5). Kerangka Teori Kajian ekolingistik ini pertama kali dikenalkan oleh Einar Haugen dalam tulisannya yang bertajuk Ecology of language tahun 1972. Haugen lebih memilih istilah ekologi bahasa (ecology of language) dari istilah lain yang bertalian dengan kajian ini. Pemilihan tersebut karena pencakupan yang luas di dalamnya. Kajian ini merupakan kajian interdisipliner yang melihat tautan antara ekologi (ekosistem) dan linguistik (ilmu bahasa). kajian ini melibatkan kajian-kajian lain, diantaranya sosiologi, antropologi, psikologi dan ilmu politik. Selain aspek sosial, ekolinguistik mempertimbangkan aspek ekologis bahasa yang dipakai penutur dalam sebuah masyarakat (Einar Haugen, 1972 dalam Gayoni, 2010). Lebih lanjut dijelaskan bahwa, aspek sosialekologis inilah yang diharapkan mampu mempengaruhi terpeliharanya keseimbangan lingkungan dan terwarisinya lingkungan yang sehat bagi generasi mendatang. Hal itu diupayakan dengan cara memasukkan kearifan-kearifan ekologis lokal dalam bahasa tersebut. Unsur-unsur 28
Mirsa Umiyati
bahasa dimaksud adalah eko-fonologi, eko-morfologi, eko-sintaksis dan eko-semantik yang menjadi bagian dari wacana lingkungan (Muhlhausler, 1995 dalam Al Gayoni, 2009: 6). Lebih lanjut dijabarkan Haugen dalam Mbete (2009: 11-12), ada sepuluh ruang kajian yang termasuk didalam kajian ekologi bahasa, yaitu linguistik historis komparatif, linguistik demografi, sosiolinguistik, dialinguistik, dialektologi, filologi, linguistik preskriptif, glotopolitik, etnolinguistik dan tipologi. Dalam ruang kajian linguistik historis komparatif, bahasa-bahasa yang masih berkerabat adlam satu lingkungan geografis dikaji untuk mendapatkan relasi historis genetis dari masing-masing bahasa berkerabat tersebut. Sedangkan dalam ruang kajian linguistik demografi, fokus pengkajian terarah pada kuantitas penggunaan bahasa tertentu dalam suatu komunitas termasuk di dalamnya pembahasan mengenai register beserta ranahranah dan ragam dari bahasa tersebut. Dalam ruang sosiolinguistik, kajian dimainkan pada ranah variasi semantik yang terjadi antara struktur bahasa dan struktur masyarakat penuturnya. Adapun ruang kaji dialinguistik lebih terfokus pada dinamikadinamika bahasa yang digunakan dengan dialek-dialek yang ada kaitannya dengan dinamika ekologinya serta jangkauan dari dialekdialek tersebut. Lebih spesifik dalam ruang kaji dialektologi, memfokuskan pada kajian pemetaan variasi-variasi internal sistem bahasa. Selanjutnya dalam ruang kaji filologi, ekologi bahasa disandingkan dalam fokus kajian potensi budaya dan tradisi tulisan, kaitan maknawi dengan kepudaran budaya dan tradisi tulisan lokal. Adapun dalam ruang glotopolitik, fokus pada pemberdayaan wadah, atau lembaga-lembaga penanganan masalah-masalah bahasa secara khusus pada otonomi daerah, otonomi khusus maupun kantor pendamping dari lembaga terkait tersebut. Dua ruang lingkup kaji terakhir yaitu etnolinguistik dan tipologi, pada etnolinguistik, kajian fokus di ranah pembedahan pilih-memilih penggunaan bahasa, cara, gaya, pola penggunaan bahasa, bahasa-bahasa ritual yang berbasis bahasa lokal, sedangkan pada ruang tipologi, fokus kajian diarahkan pada derajat keuniversalan dan keunikan yang dimiliki oleh bahasa. Berkaitan erat dengan penempatan bahasa sebagai bagian dari kajian ekolinguistik sekaligus bagian dari dirinya sendiri sebagai produk sosial dari aktivitas manusia, bahasa selalu mengalami perubahan akibat dari perubahan aktivitas dari manusia itu sendiri. Dengan kata lain dikatakan bahwa kegiatan dan aktivitas manusia serta dominasi Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
29
manusialah yang memberikan warna dalam perubahan bahasa yang terjadi, dengan satu kondisi yang dipersyaratkan yaitu pembicaraan dimaksud berada dalam koridor pembicaraan hubungan secara dialektika (LindØ&Bundsgaard, 2000: 10). Disini menjadi jelas bahwa ada hubungan secara dialektika antara bahasa dan dominasi/kekuasaan bahasa serta dengan dominasi manusia. Keterkaitan ketiga unsur tersebut tergambar dalam diagram berikut. ,GHRORJLFV
VRFLRORJLFV
^ŝƚƵĂƚŝŽŶ͗dŽƉŽƐ
^
^
^ϯ
K
ELRORJLFV
Diagram tiga dimensi dari dominasi sosial di atas menunjukkan bahwa bahasa merupakan kesatuan dari ketiga dimensi tersebut yang tidak dapat dipisahkan dengan kedua dimensi yang lain. Dimensidimensi yang berada diluar konteks namun memberikan andil yang sangat significant dalam diagram ini adalah: (a) dimensi ideo-logical yang mengacu pada individual and collective mental, cognitive, ideological and psychic systems; (b) dimensi socio-logical yang mengacu pada cara kita mengkoordinasi interrelasi kita untuk menjaga kolektifitas secara pribadi maupun individu; (c) dimensi bio-logical yang menyangkut kolektifitas dan koeksistensi antara kita manusia dengan spesies yang lain. Kajian ekolinguistik semestinya tidak sekedar megkaitkan kajian ekologi dengan bahasa (linguistik), namun lebih daripada itu, kajian ekolinguistik juga harus menyatu dengan lingkungan alam sekitar, adat dan budaya serta muatan lokal (kearifan lokal) budaya setempat yang menjadi tempat penelitian. Sebagai studi kasus yang dilakukan Umiyati (2011: 167) pada Bahasa Bima dalam penelitian kepunahan leksikon kepadian pada masyarakat Bima, bahasan perihal di maksud dikaitkan dengan adat istiadat dan budaya yang melatarbelakangi kegiatan pertanian. Adat istiadat dan kebudayaan dimaksud sangat lekat dalam masyarakat di Bima karena pertanian bagi masyarakat di sana, bidang 30
Mirsa Umiyati
pertanian merupakan sistem mata pencarian yang sudah turun temurun dalam masyarakat setempat. Hal ini disebabkan oleh adanya pemindahan warisan akan areal persawahan atau kebun serta ladang antar generasi. Meskipun pertanian, perniagaan juga berbagai profesi pekerjaan menjadi alternatif mata pencaharian di sana, namun secara keseluruhan, mayoritas Guyub Tutur Bahasa Bima mempunyai mata pencaharian yang disebut laluru mori di bidang pertanian atau kanggihi kanggama. Secara pengertian, kanggihi artinya bercocok tanam, dan kanggama atrinya memelihara sehingga yang ditanam tadi memberikan hasil (Sarifudin, 2009:48). Haugen dalam Mbete (2009: 11-12), ada sepuluh ruang kajian yang termasuk di dalam kajian ekologi bahasa, yaitu linguistik historis komparatif, linguistik demografi, sosiolinguistik, dialinguistik, dialektologi, filologi, linguistik preskriptif, glotopolitik, etnolinguistik dan tipologi. Dalam ruang kajian linguistik historis komparatif, bahasabahasa yang masih berkerabat dalam satu lingkungan geografis dikaji untuk mendapatkan relasi historis genetis dari masing-masing bahasa berkerabat tersebut. Sedangkan dalam ruang kajian linguistik demografi, fokus pengkajian terarah pada kuantitas penggunaan bahasa tertentu dalam suatu komunitas termasuk di dalamnya pembahasan mengenai register beserta ranah-ranah dan ragam dari bahasa tersebut. Dalam ruang sosiolinguistik, kajian dimainkan pada ranah variasi semantik yang terjadi antara struktur bahasa dan struktur masyarakat penuturnya. Adapun ruang kaji dialinguistik lebih terfokus pada dinamika-dinamika bahasa yang digunakan dengan dialek-dialek yang ada kaitannya dengan dinamika ekologinya serta jangkauan dari dialekdialek tersebut. Lebih spesifik dalam ruang kaji dialektologi, memfokuskan pada kajian pemetaan variasi-variasi internal sistem bahasa. Selanjutnya dalam ruang kaji filologi, ekologi bahasa disandingkan dalam fokus kajian potensi budaya dan tradisi tulisan, kaitan maknawi dengan kepudaran budaya dan tradisi tulisan lokal. Adapun dalam ruang glotopolitik, fokus pada pemberdayaan wadah, atau lembaga-lembaga penanganan masalah-masalah bahasa secara khusus pada otonomi daerah, otonomi khusus maupun kantor pendamping dari lembaga terkait tersebut. Dua ruang lingkup kaji terakhir yaitu etnolinguistik dan tipologi, pada etnolinguistik, kajian difokuskan pada ranah pembedahan pilihmemilih penggunaan bahasa, cara, gaya, pola penggunaan bahasa, bahasa-bahasa ritual yang berbasis bahasa lokal, sedangkan pada ruang Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
31
tipologi, fokus kajian diarahkan pada derajat keuniversalan dan keunikan yang dimiliki oleh bahasa. Kesemua ruang lingkup yang dijabarkan Haugen di atas lah yang menjadi cikal bakal munculnya konsep kajian ekolinguistik kritis pada 10 tahun terakhir ini di Indonesia. Dari kesemua ruang lingkup kajian ekolinguistik kritis dimaksud, Haugen menjabarkan bahwa kritis yang dimaksud pada kajian ekolinguistik berarti mampu menyoalkan teksteks yang berkenaan dengan lingkungan, atau yang kerap digunakan aktivis-aktivis lingkungan.Teks-teks tersebut mencoba menyingkap gambaran ideologis masyarakat setempat terkait konsep-konsep ekologis baik yang menyehatkan lingkungan, maupun yang merusak lingkungan. Lebih lanjut dijabarkan bahwa wacana eko-kritis tidak terbatas pada pengaplikasian analisis wacana kritis terhadap teks yang berkenaan dengan lingkungan dan pihak-pihak yang terlibat dalam lingkungan dalam pengungkapan ideologi-ideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian ini menyertakan pula penganalisisan berbagai wacana yang berdampak besar terhadap ekosistem mendatang. Misalnya, wacana ekonomi non-liberal disharmoni hubungan dari konstruksi konsumerisme, gender, pertanian dan alam. Disamping itu wacana kritis bukan sebatas menfokuskan pada penelusuran ideologiideologi yang berpotensi merusak, melainkan mencari representasi diskursif yang dapat berkontribusi terhadap keberlangsungan masyarakat secara ekologis (Wikipedia dalam Gayoni, 2009: 5). Kajian Ekolinguistik Kritis Konsep ekolinguistik kritis menyoalkan teks-teks yang berkenaan dengan lingkungan, atau yang kerap digunakan aktivis-aktivis lingkungan. Teks-teks tersebut mencoba menyingkap gambaran ideologis masyarakat setempat terkait konsep-konsep ekologis baik yang menyehatkan lingkungan, maupun yang merusak lingkungan. Wacana eko-kritis tidak terbatas pada pengaplikasian analisis wacana kritis terhadap teks yang berkenaan dengan lingkungan dan pihakpihak yang terlibat dalam lingkungan dalam pengungkapan ideologiideologi yang mendasari teks tersebut, tetapi kajian ini menyertakan pula penganalisisan berbagai wacana yang berdampak besar terhadap ekosistem mendatang. Misalnya, wacana ekonomi non-liberal disharmoni hubungan dari konstruksi konsumerisme, gender, pertanian dan alam. Disamping itu wacana kritis bukan sebatas menfokuskan pada 32
Mirsa Umiyati
penelusuran ideologi-ideologi yang berpotensi merusak, melainkan mencari representasi diskursif yang dapat berkontribusi terhadap keberlangsungan masyarakat secara ekologis yang diwujudkan melalui kearifan lokal dalam teks-teks rakyat (Wikipedia dalam Gayoni, 2009: 5). Unsur yang Harus Ada pada Kajian Ekolinguistik dan Ekolinguistik Kritis Siapapun boleh mengatakan bahwa penelitian atau suatu tulisan yang dihasilkannya menggunakan teori ekolinguistik sebagai landasan teori, sebagai paying dan sebagai dasar pijakan. Namun dari sejumlah kecil peneliti yang mengklaim hal dimaksud, hanya segelintir yang benar-benar menjadikan prinsip-prinsip utama kajian ekolinguistik dalam penelitiannya. Sebagai suatu ilustrasi, mengambil contoh data kebahasaan dalam Bahasa Bima yang meneliti perihal kepunahan leksikon pertanian Masyarakat Bima (Umiyati, 2011: 187). Suatu penelitian kebahasaan bisa dikatakan sebagai penelitian berbasis kerangka teori ekolinguistik dengan kondisi, (a) pelestarian leksikon pertanian yang hampir punah dan pengelompokannya dalam kategori dan fungsi yang sama didasari pada pengetahuan adat istiadat dan budaya Bima yang cukup. Tanpa adanya hal tersebut, kesalahan dalam menganalisa suatu leksikon yang ditemukan, rentan menjadi salah analisis. Dalam masyarakat Bima, bidang pertanian (yang selanjutnya menghasilkan sejumlah leksikon pertanian yang menjadi obyek dalam tulisan ini) sebagai salah satu sistem matapencaharian yang dikembangkan pada masyarakat Bima merupakan sistem mata pencarian yang sudah turun temurun dalam masyarakat setempat. Hal ini disebabkan oleh adanya pemindahan warisan akan areal persawahan atau kebun serta ladang antargenerasi. Meskipun pertanian, perniagaan juga berbagai profesi pekerjaan menjadi alternatif mata pencaharian di sana, namun secara keseluruhan, mayoritas masyarakat Bima mempunyai mata pencaharian yang disebut laluru mori di bidang pertanian atau kanggihi kanggama. Secara harfiah, kanggihi artinya bercocok tanam, dan kanggama atrinya memelihara sehingga yang ditanam tadi memberikan hasil (Sarifudin, 2009:48). Kedua, pemahaman tradisi suatu daerah secara cukup. Bila kita kembali pada contoh data kebahasaan masyarakat Bima,pemahaman tradisi dimaksud kaitannya dengan pelestarian leksikon pertanian pada Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
33
masyarakatnya adalah memahami cara tertentu dalam menentukan musim tanam dan cara menentukan waktu bercocok tanam. Dalam masyarakat Bima, menentukan musim tanam dilakukan dengan cara perhitungan bulan yang disebut bilangan bulan. Bilangan bulan dimaksud meliputi : nggica, ndua, ntolu, nggupa, lima, nggini, mpidu, mbaru, nciwi, puru, ica doda dan dua doda. Bilangan bulan ini tidak sama jatuhnya dengan bulan kalender tahun masehi, tetapi kalau disejajarkan dengan bulan menurut kalender tahun masehi, maka keadaannya seperti tabel berikut. Tabel 4. Bilangan Bulan dalam Menentukan Musim Tanam %LODQJDQ%XODQ 1JJLFD 1GXD 1WROX 1JJXSD /LPD 1JJLQL 0SLGX 0EDUX 1FLZL 0SXUX ,FDGRGD 'XDGRGD
.DOHQGHU7DKXQ0DVHKL -XQL²$JXVWXV $JXVWXV$JXVWXV $JXVWXV²6HSWHPEHU 6HSWHPEHU²2NWREHU 2NWREHU²1RYHPEHU 1RYHPEHU²'HVHPEHU 'HVHPEHU²)HEUXDUL )HEUXDUL²0DUHW 0DUHW²0DUHW 0DUHW²$SULO $DSULO²0HL 0HL²-XQL
/DPD:DNWX KDUL KDUL KDUL KDUL KDUL KDUL KDUL KDUL KDUL KDUL KDUL KDUL
(Sumber : Dokumen pribadi H. Abubakar H. Muhammad +DUL dalam Syafruddin, 2009)
-DP 0LQJJX
6HQLQ
6HODVD
5DEX
2
6HODPDW
&HODND
6HODPDW 6HODPDW
5HMHNL
.DPLV
-XP DW
6DEWX
%DLN
+DODQJDQ
Beberapa indikasi yang digunakan oleh +DODQJDQ masyarakat terutama 2 &HODND +DODQJDQ 5DKPDW .HDLEDQ &HODND 6HODPDW untuk2masyarakat yang belum bisa menulis dan membaca dalam 5HMHNL .RVRQJ .HDLEDQ .RVRQJ +DODQJDQ 6HODPDW &HODND menentukan dan mengetahui secara detail bulan-bulan yang berkenaan 2 +DODQJDQ &HODND .RVRQJ 6HODPDW .HDLEDQ +DODQJDQ 5HMHNL agar kegiatan turun ke sawah tepat pada waktunya adalah dengan KDODQJDQ 6HODPDW 5DKPDW 5DKPDW .RVRQJ 5HMHNL .RVRQJ mempergunakan indikasi-indikasi alam sekitar atau dengan 5HMHNL .HDLEDQ +DODQJDQ .HDLEDQ 6HODPDW &HODND 5HMHNL memperhatikan peredaran bintang di langit. Indikasi-indikasi tersebut &HODND .RVRVQJ 5DKPDW .RVRQJ +DODQJDQ 6HODPDW &HODND adalah: (1)5DKPDW Indikasi alam sekitar yang memperhatikan kondisi 6HODPDW &HODND 6HODPDW 5HMHNL .HDLEDQ beberapa 5DKPDW atau gejala alam +DODQJDQ yang berupa masa &HODND rontoknya kayu di &HODND .RVRQJ (a)6HODPDW &HODNDdaun-daun &HODND hutan (ini.RVRVQJ adalah5DKPDW pertanda wura 5HMHNL nggica dan wura ndua);.RVRQJ (b) masa mulai &HODND 5DKPDW 5HMHNL tumbuhnya pucuk-pucuk daun atau bersemi dan mulai tumbuhnya 5DKPDW &HODND 5DKPDW 5HMHNL 6HODPDW +DODQJDQ 5DKPDW umbi-umbi dalam5DKPDW tanah (ini adalah pertanda ntolu;+DODQJDQ (c) masa mulai +DODQJDQ +DODQJDQ 5DKPDW .RVRQJ wura 6HODPDW berbunganya kayu-kayu yang mempunyai buah (ini adalah pertanda wura nggupa); (d) bila terjadi turunnya ifu atau mbenggo, ini menandakan musim mulai beralih dari musim hujan ke musim panas dan beralih pula matahari dan bulan ke utara dan ke selatan; (2) Indikasi bintang. Dengan memperhatikan peredaran bintang-bintang di langit, mereka juga dapat menentukan waktu secara pasti. Untuk itu ada beberapa 34
Mirsa Umiyati
bintang atau antara gugusan bintang yang mereka pakai sebagai indikasi penunjuk waktu atau musim seperti gugusan bintang yang disebut fumpu dan gugusan bintang yang disebut nggala. Selanjutnya, masih terkait pemahaman tradisi dan masih pada kasus data kebahasaan dalam masyarakat Bima, pemahaman yang cukup perihal tradisi bercocok tanam juga seyogyanya dilanjutkan dengan mendapatkan pengetahuan yang cukup perihal penentuan waktu bercocok tanam.Masyarakat Bima masih mempunyai kebiasaan menghitung masa turun ke sawah atas dasar pedoman perhitungan bulan yang telah disebutkan di atas, yaitu (1) 1. Masa Persiapan turun ke sawah. Masa persiapan ke sawah yaitu pada wura ntolu,seluruh masyarakat, para orang tua dan Panngita So mulai mengadakan mbolo weki atau musyawarah untuk mempersiapkan para petani mulai turun ke sawah. Untuk memperoleh hasil pertanian yang melimpah ruah dan terhindar dari segala gangguan berupa wabah dan bencana kegiatan kanggihi kanggama dilaksanakan beberapa ketentuan yang disebut lamparawi kanggihi yang merupakan tata cara atau aturan bercocok tanam, yang terdiri atas: (1) Raba ra Lapa; (2) Kuta ra Nciri; (3) Dei ra Mpori; (4) Mura ra Mbonto; (5) Jaga ra Sandaka. Bila memasuki wura ntolu, maka masa persiapan turun ke sawah dimulai. Dalam masa ini, petani menurut kebiasaannya akan mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan pengolahan lahan sawah atau ladang, seperti cau, maco, perlengkapan bajak serta kerbau yang dilepas jauh di hutan yang akan menarik bajak ditangkap dan diambil. Selanjutnya, Masa Persiapan ke sawah. Untuk keberhasilan usaha pertanian, masyarakat Bima melakukan persiapan lapangan dengan urutan sebagai berikut : 1. Raba ra lapa, adalah mempersiapkan dan memperbaiki dam dan lapa atau parit. Kegiatan ini harus dilaksanakan pada wuru nggupa. Persiapan ini dimaksudkan agar ketika hujan turun, maka air akan tersalurkan ke sawah. 2. Kuta ra nciri, adalah pembuat pagar atau memperbaiki pagar yang rusak. Hal ini dilakukan untuk menjaga tanaman dari gangguan binatang. Persiapan ini dilakukan pada wura lima. 3. Dei ra pari, adalah menurunkan atau menebar bibit. Kegiatan ini dilakukan pada wura nggini. 4. Mura ra mbonto, adalah melakukan penanaman padi pada areal sawah yang dilakukan pada wura mpidu.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
35
5. Jaga ra Sandaka, adalah kegiatan pemeliharaan terhadap tanaman padi untuk menghasilkan hasil yang melimpah, yang meliputi beberapa kegiatan, seperti memberi dan menyalurkan air yang cukup, melakukan penyiangan dan pemupukan, pemberantasan hama, mencegah dari gangguan hewan. pada kawasan tempat kanggihi kanggama berlangsung, disediakan atau dibangun salaja, yang berfungsi sebagai tempat tinggal sementara ketika musim tanam dan musim panen, karena pada saat itu, masyarakat %LODQJDQ%XODQ /DPD:DNWX kadang tinggal beberapa hari.DOHQGHU7DKXQ0DVHKL sampai proses tanam dan panen selesai. 1JJLFD -XQL²$JXVWXV KDUL Selain itu juga dibangun jompa yang berfungsi sebagai lumbung padi. 1GXD $JXVWXV$JXVWXV KDUL 1WROX
$JXVWXV²6HSWHPEHU
KDUL
'XDGRGD
0HL²-XQL
KDUL
1JJXSDBima juga mengenal 6HSWHPEHU²2NWREHU KDUL Masyarakat Pembagian Hari Menurut Baik/LPD 2NWREHU²1RYHPEHU KDUL dan Buruknya. Dalam tradisi masyarakat Bima, mereka meyakini 1JJLQL 1RYHPEHU²'HVHPEHU KDUL menjalankan0SLGX aktivitas kegiatan terutama yang menyangkut orang 'HVHPEHU²)HEUXDUL KDUL KDUL banyak dan 0EDUX yang berhubungan)HEUXDUL²0DUHW dengan kegiatan mata pencaharian, 1FLZL 0DUHW²0DUHW KDUL selalu diawali dengan penghitungan hari-hari baik yang dapat dilihat 0SXUX 0DUHW²$SULO KDUL pada tabel berikut. ,FDGRGD $DSULO²0HL KDUL
Tabel 6. Pembagian Hari Menurut Baik-Buruknya
+DUL
-DP 0LQJJX
6HQLQ
6HODVD
5DEX
.DPLV
-XP DW
6DEWX
2
5HMHNL
6HODPDW
&HODND
6HODPDW 6HODPDW
%DLN
+DODQJDQ
2
&HODND
+DODQJDQ 5DKPDW
.HDLEDQ &HODND
+DODQJDQ 6HODPDW
2
5HMHNL
.RVRQJ
.HDLEDQ
.RVRQJ
2
+DODQJDQ &HODND
.RVRQJ
6HODPDW .HDLEDQ
+DODQJDQ 5HMHNL
KDODQJDQ 6HODPDW
5DKPDW
5DKPDW .RVRQJ
5HMHNL
.RVRQJ
5HMHNL
.HDLEDQ
+DODQJDQ .HDLEDQ 6HODPDW
&HODND
5HMHNL
&HODND
.RVRVQJ
5DKPDW
.RVRQJ
5DKPDW
6HODPDW
&HODND
6HODPDW 5HMHNL
.HDLEDQ
5DKPDW
&HODND
+DODQJDQ .RVRQJ
6HODPDW &HODND
&HODND
&HODND
.RVRVQJ
5DKPDW
&HODND
5HMHNL
5DKPDW
5HMHNL
.RVRQJ
5DKPDW
&HODND
5DKPDW
5HMHNL
6HODPDW
+DODQJDQ 5DKPDW
+DODQJDQ 5DKPDW
+DODQJDQ 6HODPDW
+DODQJDQ 6HODPDW
+DODQJDQ 5DKPDW .RVRQJ
6HODPDW
&HODND
&HODND
+DODQJDQ
(Sumber : Syafruddin, 2009)
Berdasarkan pedoman pembagian hari menurut baik-buruk seperti tersebut di atas, masyarakat Bima menjalani kegiatan sehari-hari dengan mengikuti pedoman tersebut, suatu pedoman yang telah mereka yakini dan jalankan bertahun-tahun secara turun temurun. Khususnya di bidang aktivitas pertanian, pedoman ini digunakan sebagai penentu memulai masa penggarapan sawah sampai masa panen. 36
Mirsa Umiyati
Keseluruhan tradisi adat istiadat dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat Bima terjabarkan di atas tadi merupakan keunikan yang dimaksud pada tulisan ini. Unik karena tidak dimiliki dan berbeda dengan adat istiadat masyarakat lain dan lebih daripada itu kegiatan pertanian ‘kanggihi ro kanggama’ pada masyarakat ini ternyata dijalankan dengan mengacu dan menerapkan budaya setempat secara totalitas, dipatuhi dan dijalankan oleh masyarakatnya sampai sekarang. Prosesi kegiatan pertanian ini ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan sebelumnya, tapi diawali oleh tahapan demi tahapan sebelum masa tanam sampai masa panen datang. Menentukan musim tanam dengan cara perhitungan bulan menjadi adat istiadat pertama yang dijalankan dalam tahapan dimaksud yang kemudian dilanjutkan dengan menentukan waktu bercocok tanam dengan berpedoman pada indikasi alam dan indikasi bintang, yaitu gugusan bintang fumpu dan gugusan bintang nggala, sungguh luar biasa. Tidak sebatas itu saja, masa persiapan turun ke sawah, dan masa persiapan ke sawah juga diatur dan dijabarkan dalam adat istiadat budaya masyarakat ini. Tata cara atau aturan bercocok tanam mereka yang selalu mengedepankan kelestarian lingkungan dan keselamatan ekosistem di sekitarnya yang tercermin dalam kegiatan kuta ra nciri dan jaga ra sandaka merupakan ekspresi dari pendalaman ekolinguistik kritis. Ekosintaksis: Upaya ke Arah Ekolinguistik Kritis Konstruksi yang ramah lingkungan yang ditelusuri dari teori Gaia dan versi Hallidays. Hasil pemikiran dan tawaran konsep dari Gian (2010) tentang green grammar dengan mengadopsi fenomena kebahasaan Bahasa Inggris ‘menggelitik’ penulis untuk menambahkan parameter penentu akan adanya konstruksi ramah lingkungan di sejumlah bahasa. Parameter dimaksud diantaranya, adakah adopsi leksikon khas daerah asal suatu bahasa dalam membentuk konstruksinya? dan apakah keberadaan agen yang disamarkan (dalam konsep Gian) mampu meminimalisir efek negatif terhadap lingkungan dan pasien sebagai objek penderita dalam konstruksi?.Hasil analisis makalah ini menunjukkan bahwa bahasa Indonesia memiliki keunikan khas dari konstruksi ramah lingkungan yang ada, yang berbeda dengan konstruksi yang sama dalam bahasa Inggris versi Hallidays. Dengan kata lain, secara lintas bahasa, ketiganya bisa masuk dalam kelompok tipologi bahasa yang berbeda dengan bahasa Inggris karena kepemilikan fitur gramatikal yang tidak sama. Sebagai simpulan akhir, penulis ingin menyampaikan bahwa konstruksi ramah lingkungan di setiap bahasa memiliki keunikan yang berbeda tergantung sejauh mana Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
37
keanekaragaman leksikon khas lingkungan asal suatu bahasa diadopsi dan seberapa dalam dikaji dalam perspektif ekolinguistik. Halliday (1975) menjelaskan bahwa terdapat 9 (sembilan) fungsi bahasa, dan fungsi bahasa sebagai pengontrol lingkungan terdapat dalam salah satu dari kesembilan fungsi bahasa dimaksud, khususnya fungsi instrumental bahasa. Fungsi bahasa yang terkait erat dengan lingkungannya tersebut, mengantar kita pada pembahasan suatu konstruksi dalam kajian ekolinguistik. Ekolinguistik merupakan ilmu interdisiplin yang lebih melihat adanya keterkaitan antara ekosistem yang merupakan bagian dari sistem kehidupan manusia (ekologi) dengan bahasa yang dipakai manusia dalam berkomunikasi dalam lingkungannya. Dalam perspektif ekolinguistik kritis, penggunaan bahasa dilaksanakan dengan mempertimbangkan keseimbangan lingkungan sekitar bahasa dituturkan. Penggunaan bahasa juga diarahkan untuk hal-hal yang bersifat konstruktif daripada yang bersifat destruktif. Hasil akhir yang diharapkan adalah terjalinnya hubungan yang harmonis terkait perubahan ekologis terhadap bahasa, sehingga perubahanperubahan ekologis yang terjadi tidak memberikan ‘kekacauan’ nilai, ideologi dan budaya sebagai bagian dari identitas keetnikan sebuah masyarakat. Pilihan ada di tangan kita, apakah kita akan menggiring magnet bahasa untuk dapat berimplikasi positif terhadap lingkungan ataukah sebaliknya, ‘aura’ bahasa kita akan berimplikasi negatif pada lingkungan sehingga terjadi perubahan, ketidakseimbangan dan kerusakan ekosistem? Sejalan dengan makin gencarnya kampanye lingkungan di segala aspek kehidupan yang menawarkan sejumlah konsep hijau, mulai dari arsitektur hijau, bisnis ramah lingkungan dan sejumlah konsep hijau dalam aspek kehidupan yang lain, sejalan dengan itu pulalah, konsep akan kajian linguistik yang lebih hijau atau yang lebih akrab dikenal dengan istilah kajian ekolinguistik kembali menggeliat. Berbagai hasil pemikiran dan konsep lokal maupun yang dihembuskan para linguist internasional beramai-ramai menawarkan sejumlah konsep terkait kajian dan cakupan dari ekolinguistik. Gaia (2010) yang merupakan salah satu pelopor dicetuskannya konsep green grammar mengklaim merumuskan bentuk konkrit dari suatu konstruksi yang lebih hijau. Dalam klaimnya, sejumlah linguist memberikan sejumlah parameter yang dijadikan penentu dari konstruksi ramah lingkungan. sayangnya, ketika konsep tersebut diaplikasikan pada sejumlah bahasa 38
Mirsa Umiyati
yang menjadi sampel data makalah ini, termasuk bahasa Indonesia, predikat konstruksi ramah lingkungannya tidak muncul secara jelas. Mengapa demikian?. Bila kita cermati parameter yang ditawarkan para peneliti sebelumnya, disebut konstruksi yang ramah lingkungan apabila (a) adanya agen palsu yang mampu meminimalisir efek samping dari perbuatan agen terhadap alam/lingkungan? Dan (b) adanya there dan it yang ditawarkan menjadi ‘perantara’ terciptanya tujuan dalam poin (a). Dengan mencermati bahasa selain bahasa Inggris, khususnya bahasa Indonesia, harusnya parameter tersebut disempurnakan. Kenapa? Karena belum bisa menjawab, adakah adopsi leksikon khas daerah asal suatu bahasa dalam membentuk konstruksinya? dan apakah keberadaan agen yang disamarkan (dalam konsep green grammar) mampu meminimalisir efek negatif terhadap lingkungan dan pasien sebagai objek penderita dalam konstruksi? Merumuskan Green Grammar dari Teori GAIA Pengembangan kajian ekolinguistik pada tataran sintaksis yang menghasilkan konsep green grammar dilatar belakangi oleh penerapan teori fisika versi Gaia pada konsep ini. Selanjutnya, penelusuran konsep konstruksi ramah lingkungan difokuskan pada pengamatan terhadap konsep transitivitas untuk menemukan parameter dari suatu konstruksi yang diklaim lebih ramah lingkungan. Konsep-konsep transitivitas dipilih sebagai dasar penentuan parameter-parameter konstruksi green grammar karena dalam transitivitas, proses dan tindakan manusia di dunia menjadi penentu pola-pola kalimat yang dihasilkannya. Terdapat 4 (empat) fokus pengamatan transitivitas dalam membedah konstruksi ramah lingkungan, yaitu (a) pengamatan terhadap ada tidaknya pembagian partisipan agen dalam suatu konstruksi, khususnya pada fungsi partisipan dan keadaan (circumstance), (b) pengamatan terhadap fungsi agen dan membedakannya dengan fungsi affected participant, khususnya pada pengamatan ada tidaknya hubungan sebab akibat pada kedua fungsi tersebut, (c) pengamatan terhadap fungsi agen, affected participant dan keadaan, dan (4) pengamatan terhadap kategorisasi suatu keadaan menjadi hubungan proses. Secara kongrit, kajian ekosintaksis yang mengarah pada perumusan konstruksi ramah lingkungan yang dibedakan sepenuhnya dari konstruksi kalimat yang tidak ramah lingkungan, akan dihubungkan dengan kajian gramatikal suatu metafora yang Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
39
mengadopsi sejumlah leksikon alam khas suatu bahasa tertentu, ketika konsep-konsep dasar transitivitas itu dibedah secara keseluruhan. Potensi makna yang terkandung dalam suatu metafora akan diuji dengan sejumlah sumber-sumber semantik yang tersedia dalam sistem transitivitas dan ergativitas. Davidse (1992) memberikan model penjabaran dalam tabel sebagai berikut.
Dalam tabel di atas, terlihat bahwa penelusuran konstruksi ramah lingkungan melalui teori Newton, menjabarkan segala kejadian yang dialami manusia dalam ruang yang berbeda, yang dibedakan menjadi kejadian sebagai suatu aksi, kejadian sebagai suatu proses, kejadian yang disebabkan oleh ‘ulah’ agen serta kejadian yang menyebabkan affected participant (yang terkena dampak) menderita akibat perbuatan agen. Dalam penjabaran selanjutnya dikonsepkan bahwa transitif yang dimaksud dalam kajian ekosintaksis adalah konstruksi yang menunjukkan adanya ‘keadaan yang rusak’. Sebaliknya, konstruksi yang masih bisa menunjukkan kemungkinan-kemungkinan suatu keadaan yang lebih baik, lebih matang secara gramatikal dan dapat tetap mengarah pada tujuan sehingga bisa meminimalisir efek negatif dari perbuatan manusia, dikonsepkan intransitif dalam pandangan ekosintaksis. Pendekatan Halliday pada Konsep Green Grammar Berbeda dengan pendekatan di atas yang mencoba merumuskan konsep konstruksi ramah lingkungan dari penerapan teori Gaia, Halliday melakukan pengamatan pada adanya struktur middle ambient yang mengakomodir adanya dummy subject (SUBJ palsu) dalam suatu konstruksi untuk dapat menjadikan suatu konstruksi lebih ramah 40
Mirsa Umiyati
lingkungan. Dengan mengambil contoh struktur bahasa Inggris, Halidday memaparkan 2 (dua) personal pronoun (kata ganti) untuk dapat meminimalisir efek negatif perbuatan manusia dalam konstruksi transitif, seperti yang dicontohkan Hallidays berikut. (1) Birds are flying in the sky diubah menjadi it’s winging (2) Someone in the family has died diubah menjadi There’s been a death in the family Terlihat dalam dua contoh data di atas, Hallidays ingin memperkenalkan kemungkinan tentang menerima kejadian sebagai kesatuan tanpa membedakan partisipan dan keadaan dari prosesproses. Daripada mengatakan “birds are flying in the sky” kita mungkin telah mengatakan seperti “it’s winging”. Lebih daripada itu, kita biasa mengatakan “it’s raining”. Apa yang dijabarkan Halidays di atas, itulah yang disebut sebagai middle ambient oleh Davidse pada gambar tabel (1992:130). Lebih lanjut Davidse mengatakan bahwa konstruksi yang memunculkan subjek palsu menyamarkan adanya ibjek penderita dalam suatu kalimat, akan menyamarkan kemunculan middle ambient karena middle ambient menyatu dengan proses meteorologi turunnya hujan. Parameter Penentu Konstruksi ‘Ramah Lingkungan’ vs Konstruksi ‘Tak Ramah Lingkungan’ Dari sejumlah jabaran di atas, parameter dan contoh kongrit yang akhirnya menjadi tolak ukur suatu konstruksi yang lebih hijau dan atau sebaliknya, dirumuskan dalam tabel berikut. 1R
*UHHQJUDPPDU
1RQ*UHHQ*UDPPDU
7KHUH·VEHHQDGHDWKLQWKHIDPLO\
6RPHRQHLQWKHIDPLO\KDVGLHG
$GD SDUWLFLSDQW DFWRUPHGLXP WDQJ GLVHEXW GXPP\68%-PLGGOHDPELHQW
3HQHNDQDQSDGDPDWHULREMHNWLYLWDV
,W·VZLQJLQJ
0HPEHGDNDQ PDQD SDUWLFLSDQW PDQD NHDGDDQ 0HQHULPD NHMDGLDQ VHEDJDL NHVDWXDQ WDQSD GDQSURVHVNHMDGLDQ PHPEHGDNDQSDUWLVLSDQGDQNHDGDDQGDULSURVHV
7LGDNDGD
7LGDNDGD %LUGVDUHIO\LQJLQWKHVN\
Rumusan parameter di atas, kenyataannya tidak cukup mampu 1R *UHHQ*UDPPDU 1RQ*UHHQ*UDPPDU mengakomodir yang dinamakan konstruksi hijau dalam Bahasa Indo7LGDNDGD 7HUGDSDWLQWHUHODVLLQWHUDNVLGDQLQWHUGHSHQGHQVL GHQJDQ OHNVLNRQ DODP IORUD IDXQDDLU EHEDWXDQ nesia, sehingga direkomendasikan tambahan parameter ketika suatu SDVLUXGDUDGDQZDNWX konstruksi yang tidak ramah lingkungan dibedakan dengan konstruksi $GDQ\D UHNDPDQ YHUEDO \DQJ ND\D GDQ EHUDJDP 7LGDNDGD yang ramah lingkungan. Rekomendasi parameter tambahan dimaksud VHFDUDOHNVLNDOJUDPDWLNDO terjabarkan dalam tabel berikut. .HEHUDJDPDQ NHWHUJDQWXQJDQ ELRWLN GDQ DELRWLN 7LGDNDGD MXJDNHEHUDJDPDQEXGD\DORNDO
Makalah Ekologi Bahasa 7LGDNDGD dan Sastra
.DGDQ\DSHUXEDKDQVRVLDOHNRORJL0EHWH
$GDQ\D NHND\DDQ ORNDOPXDWDQ ORNDO GDODP WHNV YHUEDO SHSDWDK SDQWXQ FHULWD UDN\DWODJX GDQ
7LGDNDGD
41
3HQHNDQDQSDGDPDWHULREMHNWLYLWDV
,W·VZLQJLQJ
7LGDNDGD
0HPEHGDNDQ PDQD SDUWLFLSDQW PDQD NHDGDDQ 0HQHULPD NHMDGLDQ VHEDJDL NHVDWXDQ WDQSD GDQSURVHVNHMDGLDQ PHPEHGDNDQSDUWLVLSDQGDQNHDGDDQGDULSURVHV
%LUGVDUHIO\LQJLQWKHVN\
1R
*UHHQ*UDPPDU
1RQ*UHHQ*UDPPDU
7HUGDSDWLQWHUHODVLLQWHUDNVLGDQLQWHUGHSHQGHQVL GHQJDQ OHNVLNRQ DODP IORUD IDXQDDLU EHEDWXDQ SDVLUXGDUDGDQZDNWX
7LGDNDGD
$GDQ\D UHNDPDQ YHUEDO \DQJ ND\D GDQ EHUDJDP VHFDUDOHNVLNDOJUDPDWLNDO
7LGDNDGD
.HEHUDJDPDQ NHWHUJDQWXQJDQ ELRWLN GDQ DELRWLN MXJDNHEHUDJDPDQEXGD\DORNDO
7LGDNDGD
.DGDQ\DSHUXEDKDQVRVLDOHNRORJL0EHWH
7LGDNDGD
$GDQ\D NHND\DDQ ORNDOPXDWDQ ORNDO GDODP WHNV YHUEDO SHSDWDK SDQWXQ FHULWD UDN\DWODJX GDQ ODLQODLQ
7LGDNDGD
0HPLQLPDOLVLU SHUXEDKDQ EXUXN DNLEDW WLPEDO EDOLNDQWDUDOLQJNXQJDQGDQEDKDVD
7LGDNDGD
Suatu konstruksi bahasa Indonesia akan dianalisis dan dijabarkan dalam konstruksi yang lebih ramah lingkungan dengan menggabungkan keseluruhan parameter di atas. Kalimat Saya mengemudikan sebuah mobil akan lebih hijau apabila muncul dalam bentuk kalimat, mobil itu berjalan; mobil itu melaju atau mobil itu melintas. Dalam tawaran bentuk konstruksi yang kedua, sejumlah efek negatif dari perbuatan mengendarai mobil tidak sepenuhnya menjadi kesalahan manusia karena faktanya ada mobil yang sedang melaju, atau melintas atau berjalan, tanpa keterangan jelas siap pengendaranya. Lebih daripada itu, leksikon verba mengemudikan akan memberikan efek negative yang lebih keras terhadap objek penderita dibandingkan dengan leksikon verba melaju, atau melintas atau berjalan. Menjadi bahan pertanyaan sekaligus renungan, bukankah ketika mobil melaju, atau melintas atau berjalan, akan keluar sulfur dioksida yang akan menghasilkan nitrogen oksida yang sangat memicu terjadinya pemanasan global yang sangat berpengaruh buruk terhadap kesehatan manusia?. Bukankah efek itu akan sama dengan efek dari konstruksi kalimat saya mengemudikan sebuah mobil?. Simpulan Sesuai dengan masalah yang diangkat dalam tulisan singkat analitik yang dibedah menggunakan teori ekolinguistik ini, simpulan yang dirumuskan dijabarkan ke dalam 3 (tiga) butir yang secara berturut-turut dipaparkan sebagai berikut. Batasan kajian ekolinguistik dan ekolinguistik ktiris Berdasarkan hasil jabaran analisis, diperoleh sekat Pembatas antara kajian ekolinguistik murni dengan ekolinguistik kritis. Pada 42
Mirsa Umiyati
kajian ekolinguistik, tautan antara lingkungan (ekologi) dan ilmu bahasa (linguistik) sudah terangkai harmonis namun belum melangkah ke pengembangannya dengan menyertakan disiplin ilmu lain sedangkan dalam tataran ekolinguistik kritis, hal itu telah dilakukan secara jelas dan Menghasilkan suatu rumusan baru hasil dari perpaduan ekolinguistik pada disiplin ilmu tertentu. Konsep konstruksi ramah lingkungan tidak sekedar menunjukkan adanya pengurangan efek dari perbuatan agen (manusia) terhadap lingkungan pengguna bahasa namun lebih daripada itu, konsep konstruksi ramah lingkungan harus pula bisa mengadopsi kekayaan leksikon alam khas bahasa yang dituturkan. Lebih daripada itu, tuntutan konsep konstruksi ramah lingkungan juga mewajibkan penggunaannya yang konsisten. Kedua, menambahkan konsep dan teori konstruksi ramah lingkungan dengan mengadopsi leksikon alam khas suatu daerah dan konsisten menggunakannya terbukti efektif membentuk konstruksi ‘ramah lingkungan’ versi setiap bahasa. Daftar Rujukan Al-Gayoni, Yusradi Usman. 2009. “Konsep Sosio-Ekologis Masyarakat Gayo dalam Pemeliharaan Ekosistem. www.gayoline.com (24 desember 2009) diakses 2 april 2011 Anin, Ahmad. 1971. Sejarah Bima, Sejarah Pemerintahan, dan Serba-serbi Kebudayaan Bima Dwi Susilo, Rachmad K. 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Press Ditjarahnitra. 1991. Kerangka Acuan Kearifan Tradisional Masyarakat Pedesaan Dalam Pemeliharaan Lingkungan Hidup. Jakarta Departemen Pertanian. 1974. Bercocok Tanam Padi di Sawah. Buku I. Jakarta : Direktorat Jendral Pertanian dan Pengendalian Bimas Fill, A dan Muhlhausler, P (eds). 2001. The Ecolinguistics Reader : Language, Ecology and Environment. London and New York : Continuum Halliday, M.A.K.1978. Language as Social Semiotic : The Social Interpretation of Language and Meaning. London : Edward Arnold Halliday, M.A.K & Hasan, R. 1992. Bahasa, konteks dan Teks : Aspekaspek Bahasa dalam pandangan Semiotik Sosial. Terjemahan oleh Barori Tou. Yogyakarta : Gajah Mada University Press Haugen, Einar. 1972. The Echology of Language. Stanford, CA : Stanford University Press
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
43
Jauhari,Edi. 2000. Pasivisasi dan Alternasi Argumen Inti dalam Bahasa Bima. Tesis. Denpasar : Universitas Udayana Kencana, I Kadek Surya. 2011. Polisi Hutan Mempertahankan Prinsip Ekologis. Bali Post edisi 2 februari 2011 Keraf, Sony. 2002. Etika Lingkungan. Jakarta : Penerbit Buku Kompas Koentjaningrat. 1981. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Gramedia Lundo, A.V.& Bundasgaard, J. (eds). 2000. Dialectical Echolinguistics : Three Essays for The Symposium 30 years of Language and Ecology. Odense :University of Odense Mbete, Aron Meko. 2009. “Selayang Pandang Tentang Ekolinguistik : Perspektif Kelinguistikan Yang Prospektif”. Bahan untuk Berbagi Pengalaman Kelinguistikan dalam Matrikulasi Program Magister Linguistik Program Pasca Sarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2009 Mbete, Aron Meko. 2009. “Refleksi Ringan Tentang Problemantika Keetnikan dan Kebahasaan dalam Perspektif Ekolingistik”. Makalah Seminar Nasional Budaya Etnik III, USU Medan, 25 April 2009 Preziosi, Donald. 1984. Relations Between Environment and Linguistic Structure dalam Fawcett et.al (eds). 1984. The Semiotocs of Culture and Language. London : Frances Pinter Rachman H.A, Abd,dkk. 1985. Sistem Morfologi Kata Kerja Bahasa Bima. Jakarta : Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Santoso, Anang. 2006. Jejak Haliday dalam Linguistik Kritis dan Analisis Wacana Kritis.Malang: Universitas Negeri Malang Tahir Alwi, Muhammad. 1994. Kamus Bima Indonesia Inggris. Bima: Karsa Mandiri Utama Tjahnono, M. 1983. Lingkungan Hidup. Jakarta: Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah, Depdikbud Zahar. 1949. Bercocok tanam Padi di Indonesia. Jakarta: Groningur
44
Mirsa Umiyati
KERUSAKAN HUTAN SEBAGAI PENGETAHUAN BERSAMA DALAM PERSPEKTIF SOSIOKOGNITIF TEUN A. VAN DIJK ANALISIS WACANA KRITIS KUMPULAN PUISI ‘KONSER KECEMASAN’ KARYA PENYAIR KALIMANTAN SELATAN Dewi Alfianti Abstrak Makalah ini bertujuan untuk menguraikan bagaimana pengetahuan yang dimiliki individu penyair tentang kondisi hutan, mempengaruhi deskripsi mereka tentang hutan itu sendiri dalam puisinya. Makalah ini juga akan melihat bagaimana pengetahuan individu para penyair mengenai kondisi hutan menjadi bagian dari pengetahuan bersama, sehingga apa yang disampaikan penyair dalam puisinya dapat dipahami dengan baik oleh pembacanya. Penelitian ini menggunakan Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk yang menekankan pada bagaimana kognisi sosial yang dimiliki masyarakat dan ideologi yang berperan di balik kognisi sosial yang dimiliki masyarakat tersebut. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua puisi yang diteliti mendeskripsikan tentang kerusakan hutan dan siapa yang bertanggungjawab atas kerusakan itu. Kondisi hutan dan siapa yang bertanggungjawab atas kondisi tersebut sebenarnya merupakan pengetahuan bersama yang dimiliki tidak hanya oleh penyair, namun juga oleh masyarakat Kalimantan Selatan pada umumnya. Namun, meski begitu, pengetahuan tersebut tak serta merta membuat masyarakat melakukan perlawanan karena mereka yang yang bertanggungjawab atas kerusakan tersebut adalah pihak-pihak yang memiliki akses pada kekuasaan dan secara ideologis mengendalikan masyarakat. Dari hasil pembahasan dapat disimpulkan bahwa diksi dan pilihan kata yang dipakai para penyair dalam kumpulan puisi Konser Kecemasan, mendukung deskripsi para penyair tentang kondisi hutan Kalimantan Selatan yang dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini berada dalam kondisi memprihatinkan dan mendekati situasi kritis. Apa yang dituliskan oleh para penyair tentang kondisi hutan saat ini dalam puisi-puisi tersebut sebenarnya merupakan pengetahuan pengetahuan Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
45
bersama yang juga dimiliki masyarakat Kalimantan Selatan tentang hutan. Kata Kunci: kerusakan hutan, sosiokognitif, analisis wacana kritis Pendahuluan Kalimantan memiliki hutan hujan terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Republik Demokratik Kongo. Bahkan, sudah menjadi kelaziman saat menyebut Borneo (Kalimantan), orang-orang di seluruh dunia cenderung mengasosiasikannya dengan hutan. Kedudukan Kalimantan di mata dunia pun pernah begitu terhormat, dinobatkan sebagai paru-paru dunia hanya karena Allah Yang Maha Kuasa menganugerahi pulau ini dengan hutan yang menutupi hampir seluruh daratannya. Maka ketika Kalimantan kehilangan 40% hutannya, seluruh dunia pun menjadi geram dan panik. Deforestasi hutan Kalimantan pada akhirnya jelas memberikan implikasi yang bersifat global. Kemudian, banyak pihak mulai membicarakan cara menyelamatkan hutan Kalimantan, baik orang perorang, komunitas-komunitas, organisasi non pemerintah dan pemerintah itu sendiri. Kebijakan pun dibuat, aturan ditetapkan, namun laju deforestasi tak menunjukkan tanda-tanda melambat. Berdasarkan prediksi tren 10 tahunan, dari luas Kalimantan yang mencapai 59 juta hektar, laju kerusakan hutan (deforestasi) telah mencapai 864 ribu hektar pertahun atau 2,16%. Sementara Provinsi Kalimantan Selatan, memiliki laju kerusakan paling cepat dibanding provinsi lain, meski luasnya relatif kecil. Tercatat seluas 66,3 ribu hektar hutan musnah pertahun dari total luas wilayah hutan sekitar 3 juta hektar, (Anonim. Daring. diakses 15 januari 2015) Namun, yang cukup ironis di antara hal tersebut adalah, sikap penghuni pulau Kalimantan sendiri. Puluhan juta penduduknya, tak memiliki cukup kepedulian, bahkan saat ancaman akibat negatif deforestasi itu sudah mereka rasakan. Banjir, misalnya, yang tiap tahunnya datang dengan skala yang lebih besar, tak menyurutkan niat penduduk untuk tetap membangun rumah di tanah rawa dengan mengurug tanah. Banjir, yang puluhan tahun silam hampir tak pernah terjadi dalam skala masif, kini terjadi tiap tahun karena lahan hutan sebagai daerah resapan air kini telah gundul.
46
Dewi Alfianti
Di lain pihak, pemerintah daerah yang memerintah di beberapa wilayah di Kalimantan, justru menjadi bagian dari ketidakpedulian tersebut. Lebih jauh lagi, malah menjadi pihak yang memperparah kerusakan hutan. Di Kalimantan Selatan misalnya, Perda Reklamasi Pasca Tambang atau Perda Kebakaran Hutan hanya bersifat normatif. Tidak pernah mendapatkan realisasi yang sesuai harapan di lapangan. Meski begitu, di tengah ketidakpedulian yang ditunjukkan mayoritas manusia penghuni pulau Kalimantan, tak dapat dipungkiri, masih cukup banyak pihak yang benar-benar peduli. Baik itu kepedulian yang dicurahkan secara parsial dan sementara waktu oleh orang perorang atau komunitas, maupun yang dilakukan secara terfokus, terorganisir dan bersifat permanen seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang fokus pada penyelamatan lingkungan atau komunitas sejenis. Kepedulian yang cukup efektif untuk membangkitkan kesadaran kolektif untuk menyelamatkan hutan kalimantan yang sekarang tak seberapa banyak lagi ini. Selain kampanye untuk membangkitkan kesadaran kolektif masyarakat, khususnya masyarakat Kalimantan, terhadap kondisi hutan Kalimantan, di mana dengan bangkitnya kesadaran ini maka usaha lebih masif terkait penyelamatan (sisa) hutan diharapkan dapat terlaksana, bentuk kepedulian lain yang diupayakan adalah usaha mengkritisi pihak-pihak yang bertanggungjawab terhadap kerusakan hutan. Upaya mengkritisi ini dilaksanakan, baik dalam level cukup moderat seperti opini di media, hingga perjuangan melawan pihakpihak yang merusak hutan melalui jalur hukum. Termasuk usaha mengkritisi ini, di kalimantan Selatan, telah terbit satu kumpulan puisi yang secara khusus mengangkat tema lingkungan. Dan dengan mudah didapatkan di dalamnya puisi-puisi yang berbicara tentang hutan, sebagai refleksi dari lingkungan yang mengelilingi Kalimantan Selatan. Dengan lebih khusus pula, ada beberapa puisi yang dengan cukup jelas melancarkan kritik terhadap pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab atas kerusakan hutan. Kumpulan puisi ini diberi judul ‘Konser Kecemasan’, dieditori oleh Micky Hidayat, merupakan salah satu penyair yang puisinya terdapat dalam kumpulan puisi tersebut. Buku ini diterbitkan oleh Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Banjarmasin bekerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Kalimantan Selatan, pada April 2010. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
47
Buku kumpulan puisi ini berisi 100 puisi dari 53 penyair. Seorang penyair memuat 1-3 buah puisi. Rentang pembuatan puisi-puisi dalam buku ini dapat dilacak dari sejumlah puisi yang mencantumkan tanggal pembuatan puisi. Pemakalah menemukan puisi yang ditulis pada tahun 1974 oleh Sahdi Anak Hamid, dan rentang paling baru adalah puisipuisi yang ditulis tahun 2007. Makalah ini, secara singkat, akan membicarakan sejumlah puisi di dalam buku kumpulan puisi tersebut. Bagaimana penggambaran kerusakan hutan Kalimantan di dalam puisi tersebut. Lebih jauh, makalah ini juga akan menganalisis struktur dan kondisi sosial yang berperan dalam produksi teks puisi tersebut. Tinjauan Pustaka Ekologi, sebagai sebuah gerakan ideologis, telah muncul pada abad ke-19 sebagai antitesis dari Revolusi Industri yang menimbulkan impikasi lingkungan yang luas. Para kritikus era Victorian di Inggris saat itu misalnya, telah mengontraskan kawasan pedesaan yang hijau dan natural dengan kawasan perkotaan yang jorok dan terungkung polusi. Namun, sebagai sebuah kekuatan politik yang menjadi pihak oposisi terhadap kekuatan politik dominan yang hari ini telah secara sistematis mendukung aktivitas kaum kapitalis, Gerakan Ekologi mulai mendapatkan kekuatannya pada pertengahan abad ke-20. Meski konsep Ekologi terkait ilmu Biologi tentang bagaimana makhluk hidup berinteraksi dan hidup bersama dalam suatu lingkungan, namun gerakan Ekologi bukan gerakan para ahli Biologi. Gerakan Ekologi adalah gerakan orang-orang yang menganggap ide ekologi memiliki implikasi sosial dan politik yang besar terhadap cara manusia hidup dan berpikir. Gerakan ini secara politis dimulai dengan kelompok-kelompok kecil dan partai-partai lokal di beberapa negara. Partai politik nasional yang pertama, yang bernama ‘Values Party’ dibentuk di Selandia Baru tahun 1972. Partai Hijau Inggris dibentuk pada tahun berikutnya. Di Inggris, partai ini pada awalnya bernama ‘PEOPLE’, yang kemudian berganti nama menjadi ‘Ecological Party’ dan akhirnya tahun 1985 berubah menjadi ‘Green Party’. (Adams, terj. Noerzaman, hal. 410) Adalah para Ekolog Jerman yang mulai menyebut diri mereka dengan nama ‘Kelompok Hijau’ (Die Grunen) dan nama ini sekarang hampir diterima secara umum. Gerakan Hijau sekarang telah menyebar 48
Dewi Alfianti
ke seluruh dunia, di mana hampir semua negara memiliki partai Hijau. Yang peling berhasil secara politik (dalam pengertian sempit menang dalam pemilu) adalah Hijau jerman. Meskipun baru didirikan tahun 1981, partai ini telah memukau komunitas Eropa tahun 1983 dengan memenangkan 28 kursi di Bundestag maupun memegang kursi di banyak wilayah dan majelis lokal. Maka partai ini menjadi kekuatan besar di Jerman, bangsa Eropa yang paling kuat ekonominya dalam waktu singkat. Partai Hijau Jerman memperoleh 8,3% suara dan 42 kursi dalam pemilu tahun 1987. (Adams, terj. Noerzaman, hal. 410) Meski belakangan gerakan politik Ekologi dengan Partai Hijau tidak ada yang benar-benar secara signifikan sangat berpengaruh dalam politik suatu negara, namun mereka tetap merupakan gerakan yang secara politis memiliki pengaruh. Adalah salah bila mengatakan partai Hijau merupakan faktor besar dalam politik dunia, tetapi tak dapat dipungkiri bahwa gerakan Ekologi secara keseluruhan, termasuk ‘sayap’ politik mereka, telah menempatkan lingkungan secara tetap di dalam agenda politik dunia. Lebih jauh, ternyata gerakan Ekologi juga menyentuh bidangbidang lain yang diperlukan, memasukkan agenda lingkungan dalam tiap bidang itu. Penyesuaian dilakukan, hingga akhirnya Ekologi sendiri menjadi suatu yang bersifat interdisiplin. Sastra, termasuk bidang di mana Ekologi menjadi sebuah pendekatan dalam memahami teks-teks sastra. Tentunya, pendekatan ekologi dalam memahami teks sastra bertujuan agar pemaknaan terhadap teks-teks sastra bisa memperhatikan kearifan ekologis dan tujuan perjuangan gerakan ekologi itu sendiri. Terkait sastra dan ekologi, muncullah apa yang disebut sebagai Ekokritisisme (Ecocriticism). Secara sederhana, Ekokritisisme (Ecocriticism) dipahami sebagai study of literature and environment from an interdisciplinary point of view where literature scholars analyze the environment and brainstorm possible solutions for the correction of the contemporary environmental situation and examine the various ways literature treats the subject of nature, (Wikipedia, daring, diakses 15 Januari 2015) dari pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa Ekokritisisme adalah studi sastra dan Emkologi sebagai sebuah interdisiplin ilmu yang memungkinkan kita untuk menganalisis lingkungan dan mencari solusi dari persoalan ekologi dalam konteks kesusastraan.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
49
Ekokritisisme diilhami oleh (juga sebagai sikap kritis dari) gerakangerakan lingkungan modern. Greg Garrard menelusuri perkembangan gerakan itu dan mengeksplorasi konsep-konsep yang terkait tentang ekokritik, sebagai berikut: (a) pencemaran (pollution), hutan belantara (wilderness), bencana (apocalypse), perumahan/tempat tinggal (dwelling), binatang (animals), dan bumi (earth), (Mu’in, daring, diakses 15 Januari 2015). Analisis Wacana Kritis Teun A. Van Dijk Dalam Analisis Wacana Kritis, teks yang dianalisis tidak cuma dilihat sebagai teks otonom yang berdiri sendiri lepas dari hal ihwal di luar teks. Namun lebih jauh, proses produksi teks dianggap sebagai proses dialektis antara teks dengan situasi, institusi maupun struktur sosial di mana teks tersebut diproduksi. Teun Van Dijk, seorang ilmuwan bahasa yang mengkhususkan diri pada analisis wacana, khususnya pada apa yang disebutnya sebagai studi wacana kritis –dengan cakupan yang lebih komprehensif daripada analisis wacana kritis. Dalam studinya ini, Van Dijk merumuskan apa yang disebutnya sebagai Segitiga Wacana – Pengetahuan – Kondisi Sosial (Discourse Cognition Society Triangle). Menurut Van Dijk pengetahuan yang dimiliki seseorang takkan lepas dari konteks sosial yang melingkupinya. Kognisi (pengetahuan), menurut Van Dijk, mengacu tidak hanya pada apa yang dimiliki individu secara personal namun juga individu dalam masyarakatnya. Kognisi menurut Van Dijk adalah, 1. Pemikiran (mind): adalah, sebagai contoh, fungsi utama dari otak manusia 2. Pengetahuan (cognition): sejumlah fungsi pemikiran seperti akal, persepsi dan representasi 3. Ingatan (memory): memori jangka pendek dan memori jangka panjang 4. Episodik (episodic): ingatan personal dan ingatan sosiokultural, semantik 5. Model Mental Semantik (Semantic Mental Models): representasi subjektif dari kejadian dan pengamatan atas situasi, mengacu pada wacana (teks atau lisan) 6. Tujuan-tujuan (Goals): model mental yang disadari dengan aksi
50
Dewi Alfianti
7. Model Konteks Pragmatik (Pragmatic Context Models): model mental spesifik dari representasi subjektif dari situasi komunikasi yang relevan, mengontrol proses wacana, dan mengadaptasi wacana ke dalam lingkungan sosial sehingga terlihat wajar. 8. Pengetahuan (knowledge) dan perangkatnya: bagian kepercayaan sosiokultural yang dijamin oleh kriteria atau standar pengetahuan masyarakat 9. Ideologi (ideology): bagian fundamental dan kepercayaan aksiomatik dari grup sosial khusus (sosialisme, neoliberalisme, feminisme, antirasisme, fasisme, dan lainnya) 10. Sikap (attitudes): sebagai bagian dari sosial, secara ideologis berdasarkan opini (kepercayaan normatif) tentang isu sosial yang khusus yang diperdebatkan atau diperjuangkan (aborsi, perceraian, eutanasia, imigran, dan lainnya) Proses Kognitif (cognitive process): seperti produksi dan pemahaman tentang wacana/ interaksi pada model mental khusus, dikontrol oleh model konteks dan berdasarkan pengetahuan dan ideologi (VanDijk, daring, akses 15 Januari 2015) Dari 10 cakupan di atas, dapat kita pahami bahwa, kognisi yang dimiliki individu juga tak lepas dari pengetahuan yang dimiliki oleh orang lain yang ada di lingkungannya. Bahwa ternyata, lingkungan juga membentuk pengetahuan yang dimiliki oleh individu. Lebih lanjut Van Dijk mengatakan, We have argued that, within our sociocognitive approach, the role of context in the production and understanding of discourse is fundamental. Since knowledge is part of the context, each level of discourse structure depends on the knowledge of the participants, as explained above. In this section we analyse how the structures of discourse are controlled by the knowledge of the language users, (Van Dijk, daring, akses 15 Januari 2015). Menurut Van Dijk, konteks dalam memproduksi dan memahami wacana sangat fundamental. Semenjak pengetahuan merupakan bagian dari konteks, tiap level struktur wacana bergantung pada pengetahuan partisipannya. Hingga dapatlah dianalisis bagaimana struktur wacana dikontrol oleh pengetahuan pengguna bahasanya. Analisis model Van Dijk meneliti teks dalam tiga dimensi. Dimensi teks, kognisi sosial dan analisis sosial. Dalam dimensi teks, yang diteliti adalah struktur teks. Pada teks puisi, maka yang akan diteliti adalah Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
51
diksi dan metafor yang digunakan, untuk menjelaskan dan memaknai teks tersebut. Kognisi sosial merupakan dimensi untuk menjelaskan bagaimana suatu teks diproduksi oleh individu/ kelompok pembuat teks. Sedangkan analisis sosial melihat bagaimana teks dihubungkan lebih jauh dengan struktur sosial dan pengetahuan yang berkembang dalam masyarakat atas suatu wacana (Eriyanto, 2005: 225) Pembahasan Di dalam buku kumpulan puisi Konser Kecemasan, terdapat 100 puisi dari sejumlah penyair (daftar terlampir), sedangkan puisi yang khusus membicarakan tentang hutan berjumlah 54 puisi. Di antara 54 puisi tersebut, puisi yang khusus membicarakan tentang hutan pegunungan Meratus yang memang terdapat di Kalimantan Selatan, berjumlah 27 puisi, sedangkan yang membicarakan hutan secara umum berjumlah 27 puisi. Makalah ini sendiri akan fokus untuk menganalisis 54 puisi yang khusus mengangkat tema tentang hutan dengan hanya menghadirkan cuplikan puisi untuk kepentingan analisis. Karena keterbatasan ruang, 54 puisi tersebut tidak dilampirkan secara utuh. Dalam bagian pembahasan ini, akan diuraikan tentang diksi dan metafor yang dipilih para penyair di dalam mendeskripsikan hutan. Selanjutnya akan dianalisis secara umum kondisi sosiokognitif para penyair saat membuat puisi-puisi tersebut. Uraian tentang sosiokognitif para penyair diharapkan pada akhirnya akan turut menjelaskan struktur sosial bahkan ideologis masyarakat Kalimantan Selatan khususnya, dan masyarakat Indonesia umumnya terkait pandangan yang menyeluruh tentang hutan. Teks Pada teks sastra, diksi maupun rangkaiannya yang dipilih penyair menjadi sangat penting karena struktur dalamnya yang padat makna. Satu kata bisa memiliki makna yang melampaui kata tersebut. 54 puisi yang secara khusus membicarakan hutan, menyertakan sejumlah diksi yang membangun deskripsi tentang hutan yang cukup representatif. Sejumlah diksi adalah material yang merupakan bagian dari hutan. Diksi yang digunakan untuk menggambarkan hutan, meski ditulis oleh penyair berbeda dengan waktu penciptaan puisi yang juga bervariasi, beberapa di antaranya ternyata sama. Ada beberapa kosakata yang dipakai dalam sejumlah puisi yang berbeda misalnya: rimba, tanah, pohon, dan daun. 52
Dewi Alfianti
Meski diksi yang digunakan sama namun konteks pemakaiannya bergantung pada maksud penyair, bernada positif atau negatif. Namun, jika melihat keseluruhan puisi, kata-kata tersebut cenderung digunakan untuk memberikan gambaran negatif. Kita bisa melihatnya dari sejumlah kutipan puisi berikut. 1. Rimba ... canda fauna di rimba belantara ikan yang berenang di kolam rasa geliat buaya di rawa penantian masa ... (Prasasti Kehancuran Alam, A Rahman Al Hakim, hal. 3) ... dan siapa yang menjadikan suka atas kesengsaraan ini, jeritan yang dikirim angin kemari ke rimba-rimba yang terusir ... (Requiem Meratus, Ajamuddin Tifani, hal. 21)
Pada kutipan pertama, rimba menjadi bagian dari kosakata yang menjelaskan tentang harmoni kehidupan hutan, sedangkan pada puisi kedua, rimba merepresentasikan sebuah tempat di mana kesengsaraan bermukim. Namun, didapati, kata rimba, lebih sering digunakan untuk deskripsi yang bersifat negatif. Hal itu bisa dilihat dari kutipan puisi berikut, … bayang-bayang petaka pun lampus terbenam di selangkang rimba dan pada dingin lumut di tebing-tebing andesit … (Lembah Meratus, Maman S. Tawie, hal. 108) Di lembah dan gunung-gunung Yang kehilangan denyut rimba Entah, apakah Tuhan tengah marah? … (Pagi yang Menangis, Rahmatiah, hal. 136) 2. Tanah hutan-hutan tiada huma-huma tiada Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
53
tanah-tanah rekah mengalirkan nanah ... (Konser Kecemasan, Burhanuddin Soebely, hal. 48-49) … Ketika pohon terakhir telah kering Ketika hutan itu telah lenyap dan air pun sirna Tanah mengering dan menjadi debu … (Meratus, Lisa Yuliani, hal. 107) Tidak ada lagi pohon yang dipeluk tidak ada lagi bunga yang dicium hanya tinggal tanah yang retak di musim panas dan bencana banjir di musim hujan (Hutan, M. Syarkawie Mar’ie, hal. 125)
Dalam tiga puisi di atas, kata tanah digunakan untuk menggambarkan hutan secara negatif. Memberikan deskripsi, betapa mengenaskannya kondisi hutan dengan tanahnya yang kering, retak, rekah. 3. Pohon ... demam dahulu panasnya kemudian setelah itu hutan hutan kebakaran pohon-pohon kehilangan daunan tumpah harapan Ritus meratus kembali merajut kenangan pada hutan yang kehilangan biji-bijian ... (Ritus Meratus, Hardiansyah Asmail, hal. 86) ... Kabut asap liar menggumpal dan menari-nari Batu-batu merintih Pohon dan satwa pun bersedih (Reportase dari Kaki Pergunungan Meratus, Micky Hidayat, hal. 114) Kidung apa lagi yang kau tembangkan hutanku, Ketika berpuluh gergaji mengusik rimbunan Pohon dari barisan hutan larangan (Nyanyian Hutan Larangan, Roeck Syamsuri Saberi, hal. 139)
54
Dewi Alfianti
Kata pohon dalam kutipan tiga puisi di atas digunakan untuk menegaskan kerusakan yang telah dialami hutan. Pohon yang merupakan elemen mendasar dari hutan digambarkan sebagai sesuatu yang terusik, bersedih dan lebih jauh, hilang. Dalam sejumlah puisi lainnya, pohon digambarkan tak jauh berbeda dari gambaran tiga puisi di atas. 4. Daun salam pada meratus, yang menyimpan riwayat perjalanan dan burung-burung yang tertindas, yang sayapnya patah di sana-sini; nafas perih pada laskar, masih berdesir di dedaunan yang berjaga di empat sudut alam prasangka; makanya, jangan curangi tanah meratus yang segera (adalah cepat membakar kapas, ini lebih dari itu) (Madah Meratus, Ajamuddin Tifani, hal. 23) mengibas cahaya matahari yang tembus di daun pecah Batang-batang pohon besar-besar Bercacar. Tegap kukuh bagai menyumbat langit bakal runtuh (Hutan, D. Zauhidhie, hal. 58) Airmatamu turun di ujung daun Ranting dan batang pohon Membanjiri akar tunjang Humus dan tanah rawa ... (Air Mata Rimba, Y.S. Agus Suseno, hal. 165)
Kosakata lainnya yang juga sering muncul adalah daun. Serupa dengan tiga kata sebelumnya, kata daun pun digunakan untuk menguatkan gambaran negatif tentang kondisi hutan dalam puisi-puisi tersebut. Selain tiga kata di atas, ada satu lagi kata yang sering muncul dalam sejumlah puisi dalam kumpulan puisi ini yaitu kata ‘batubara’. Batubara jelas bukan hiponim hutan, tidak seperti rimba, pohon atau daun. Namun, dalam konteks hutan Kalimantan, batubara sangat erat kaitannya dengan hutan Kalimantan. Ia adalah materi yang mengisi tempat-tempat di dalam tanah di mana hutan Kalimantan tegak berdiri. Ia adalah materi yang menarik begitu banyak perhatian. Karena bernilai tinggi, ia dikeluarkan dari dalam tanah, dalam praktiknya, dengan caracara yang menyebabkan kerusakan tanah yang ada di permukaannya. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
55
Karena hal yang diakibatkan keberadaannya, batubara cenderung mendapatkan kesan negatif. Hal ini juga tercermin dari puisi-puisi berikut, … Dan janganlah dangsanak bikin Pertambangan batubara di tanah banyu etam Karena dangsanak menciptakan wabah bumburaya Yang bertaring babi hutan Yang mengaduk ladang kehidupan etam Yang membongkar kubur kehidupan etam … (Etam Sayang Gunung, Arsyad Indradi, hal. 37) … Jangan tinggalkan meratus, Cuma setangkup jantung kita Ketika semua jatuh hati tergoda batubara Meratus rumah kita, jendela dan air mata rumah balai … (Meratus Rumah Kita, Eza Thabry Husano, hal. 70) Gunung-gunung pergi jauh bersama barisan panjang truk malam segelap batu bara (Gunung-gunung Pergi Jauh, Hajriansyah, hal. 75)
Sebagai bentuk representasi, akhirnya, dapat disimpulkan bahwa keempat kata yang sering digunakan dalam berbagai puisi di kumpulan puisi ini menjadi bagian uuntuk mendeskripsikan hutan Kalimantan Selatan hari ini yang kondisinya memprihatinkan. Dalam menggambarkan hutan Kalimantan Selatan, khususnya hutan pegunungan Meratus, dari 54 puisi, hampir semua bernada negatif, penuh kesedihan dan kepesimisan. Sebagai sebuah pola, secara umum, hutan akan digambarkan dengan cukup puitis untuk kemudian diceritakan kondisi terakhirnya, yang berada di ambang kerusakan dan kehancuran, baik oleh penebangan hutan ilegal, penambangan batubara, dan bencana lainnya. Hal ini seperti nostalgia pada keindahan hutan yang sudah tak lagi ada, berganti kenyataan hari ini bahwa hutan Kalimantan Selatan di ambang kehancurannya. Dalam tiap puisi tentang hutan di buku kumpulan puisi ini, terkandung keresahan yang sama, keluhan yang sama, tentang kondisi
56
Dewi Alfianti
hutan yang memprihatinkan. Kita dapat melihatnya dari kutipan berikut, Lalu datang tahun-tahun yang menghumbalangkanmu gelegar gigir cakar keserakahan mencerabuti akar pijakmu ada sungai yang meluapkan air mata membanjiri tiap-tiap hati, tiap-tiap dada (Kayu-kayuku Hutan-hutanku, Adjim Arijadi, hal. 12) Lalu tanah-tanah, hutan-hutan, gunung-gunung, lembah dan sungai-sungainya sudah habis diangkut ke atas sana Propaganda kemakmuran itu terus saja dan tak pernah berhenti sampai kini (Warisan yang tersisa, Bakhtiar Sanderta, hal. 44) Kita menyaksikan dunia kecil paru-paru dunia dihapuskan dari peta dunia kita pun melawannya karena kita sedang dipersiapkan dalam sebuah kubangan padang ketiadaan kuburan peradaban (Meratus Berduka, Eko Suryadi, WS, hal. 61) Bukankah semua hutan Telah dipenuhi bibit air mata Yang ditanam Bengis ekskavator gila (Ke mana Harus Kami Tanam, Isuur Loeweng, hal. 99) Dada kami, bumi ini telah lama dicabik-cabik Bukit dan gunung-gunung kami digunduli Hutan-hutan kami ditebangi Sungai-sungai kami dicemari (Siapakah Lagi yang Peduli, Roestam Effendi Karel, hal. 141)
Kognisi Sosial 54 puisi bertemakan hutan dalam kumpulan puisi Konser Kecemasan, ditulis dalam kurun waktu antara tahun 1974 sampai 2007. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
57
Meski mencapai lebih dari 30 tahun, namun persoalan yang dikemukakan masih sama: kerusakan hutan akibat tambang, penebangan ilegal, dan bencana lainnya. Hal itu membuktikan bahwa eksploitasi hutan sendiri sudah berlangsung selama kurun waktu tersebut. Ketika penyair Kalimantan Selatan mendapatkan inspirasi untuk menulis puisi tentang hutan, maka persoalan yang sama juga ada di sana. Selama lebih dari 30 tahun, hutan Kalimantan Selatan hanya dijadikan arena kerukan. Di era Orde Baru, kayu-kayu di hutan kalimantan Selatan dieksploitasi sedemikian rupa hingga akhirnya sekarang justru mengalami krisis kayu. Hingga 1995/1996, ada 11 buah izin Hak Penguasaan Hutan (HPH) yang dikeluarkan pemerintah sebegai akses pihak tertentu mengeksploitasi habis-habisan kayu di hutan Kalimantan Selatan, (Anonim, Jatam, 2010) Di awal tahun 2000-an, perkebunan kelapa sawit mulai marak. Cadangan luas lahan yang bisa dikembangkan untuk perkebunan kelapa sawit mencapai 955.085 hektar, tersebar di 8 kabupaten. Hingga 2004 telah dikembangkan sebesar 318.551 hektar yang telah meringsek ke kawasan hutan. Tercatat, 431. 125,47 hektar kawasan hutan dipakai sektor perkebunan kelapa sawit. Itu termasuk 6.219,67 hektar kawasan Suaka Alam dan 5.385,67 hektar kawasan hutan lindung. Tentu saja termasuk hutan pegunungan Meratus. (Anonim, Jatam, 2010) Saat ini, hutan Kalimantan Selatan terancam oleh penambangan batubara. Kalimantan Selatan sendiri saat ini adalah provinsi kedua produsen batubara terbesar di Indonesia, setelah Kalimantan Timur. Hingga tahun 2008, terdapat 280 perusahaan pemegang izin KP (Kuasa Pertambangan) di kawasan hutan dengan konsesi seluas t553.812 hektar. Ini belum termasuk KP yang masih dalam proses pinjam pakai kawasan hutan (terdapat 97 perusahaan). (Anonim, Jatam, 2010) Eksploitasi hutan secara terus-menerus dalam berbagai bentuk telah menjadi pengetahuan di dalam pikiran para penyair, yang menjadi dasar dalam memandu puisi-puisi mereka tentang hutan Kalimantan Selatan. Hingga puisi-puisi yang lahir akan cenderung mengungkit masalah kondisi hutan yang kritis, meski diawali dengan gambaran ideal hutan Kalimantan yang dulu pernah begitu disanjung sebagai paru-paru dunia. Hal ini adalah pengetahuan sosiokultural yang mengikut pada pikiran para penyair. Pemahaman bahwa dikenang seindah apapun, 58
Dewi Alfianti
pada akhirnya kenyataan yang harus dihadapi adalah ancaman kehilangan hutan yang tak bisa ditawar-tawar lagi. Pengetahuan umum tentang betapa cepatnya hutan habis dari hari ke hari adalah pengetahuan yang menjadi pemahaman bersama masyarakat Kalimantan Selatan sendiri, termasuk di dalamnya para penyair. Sudah menjadi pengetahuan bersama pula, bahwa penduduk pulau Kalimantan ini setiap harinya berada dalam ketakutan yang sama, hutan yang habis, hilang, hutan yang tak lagi ada, 10-20 tahun ke depan. Dan sebuah paradoks pula, bahan dengan pengetahuan itu, masyarakat tak mampu –atau mau- berbuat lebih banyak untuk menyelamatkan sisa hutan mereka. Hal lainnya, 54 puisi yang membicarakan tentang hutan ini mendeskripsikan tentang kerusakan dan keadaan kritis hutan, hanya ada beberapa puisi yang membicarakan tentang siapa yang bertanggungjawab atas kerusakan tersebut. Dalam puisi-puisi tersebut pihak-pihak yang dianggap bertanggungjawab itu disebut dengan ‘kau’ atau ‘mereka’. Dalam posisinya sebagai teks sastra, khususnya puisi yang strukturnya padat makna, pilihan kata ‘kau/ dia/ dangsanak’ atau ‘mereka/ tuan-tuan’ sesungguhnya memberi ruang interpretasi yang terlampau luas bagi para pembaca untuk bisa menduga-duga. Meskipun begitu, ‘kau’ dan ‘mereka’ ini tak lepas dari struktur pengetahuan yang dimiliki secara kolektif oleh masyarakat itu sendiri. Para pembaca mungkin bisa dengan mudah menduga-duga, siapakah ‘kau’ dan ‘mereka’ ini. Sesungguhnya, dengan pengetahuan bersama yang dimiliki masyarakat, para pembaca bahkan sudah mengetahui siapa ‘kau’ dan ‘mereka’ ini. Kita bisa melihat ‘kau’ dan ‘mereka’ ini dalam kutipan berikut, Yulan ya lalalin Hutan beratus tahun Dibabat habis Batubara dikikis Untuk kekayaan tuantuan Kami tercampak Ke lembah-lembah pengasingan Terusir ke padangpadang perburuan (Dundang Duka Seribu Burung, Arsyad Indradi, hal. 40) Apakah para pewaris cuma dia, cuma mereka, cuma orang-orang itu Ketika rakus dan tamak bersembunyi di balik panggung birokrasi Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
59
Duh, lelahnya generasi-generasi didik supaya bisa digiring Sambil mulut dibungkam, lalu Meratus pun digadaikan dan seisinya, seludesnya diangkut ke sana ... (Warisan yang Tersisa, Bakhtiar Sanderta, hal. 44) Oo... mengapa kita tiba-tiba menjadi harimau di antara sesama Mengapa engkau tiba-tiba menjadi raksasa super rakus tak cukup memakan daun-daun malah menelan pohon-pohon tak kenyang oleh pohon-pohon malah bumi sendiri tempat berpijak kau gadaikan pada matahari lain ... (Meratus Berduka, Hardiansya Asmail, hal. 82)
Para penyair yang menulis puisi-puisi ini jelas mengetahui siapa ‘kau’ dan ‘mereka’ yang dimaksud, meski begitu, para penyair ini menyerahkan penafsiran tersebut kepada para pembaca dengan asumsi, sebagai pengetahuan bersama, pembaca juga bisa dengan mudah memahami siapa kau dan mereka yang dimaksud. Namun, ada satu puisi yang dengan gamblang menyebutkan ‘mereka’ dengan ‘nama aslinya’. Adjim Arijadi dalam puisinya Balada Arutmin di Yaumil Akhir, menyebutkan Arutmin, yaitu satu dari tiga perusahaan tambang terbesar di Kalimantan Selatan selain Adaro dan Baramarta (Jatam, 2010: 15). Kita bisa melihat dari kutipan puisi tersebut, Arutmin oh Arutmin kau angkut pusaka karun nini datu turunan dikemas dipajang di pasaran seantero bumi North Pulau Laut Coal Terminal Keren dan Wangi semerbak cendana orang mati (Balada Arutmin di Yaumil Akhir, Adjim Arijadi, hal.16-17)
Meski puisi ini tampak seperti anomali di antara keseluruhan puisi yang memanfaatkan pengetahuan bersama para pembaca dalam memahami siapa ‘aku’ dan ‘mereka’ yang menjadi pihak yang bertanggungjawab dalam merusak hutan. Namun, puisi ini tak menepiskan pengetahuan bersama yang dimiliki para pembaca, hanya saja dengan lugas menyebutkan ‘nama asli’ membuat puisi ini memiliki nilai perlawanan yang lebih kuat daripada yang lain. Dengan 60
Dewi Alfianti
menyebutkan ‘nama asli’, puisi ini mengkritik secara langsung dan terbuka salah satu perusahaan Kalimantan Selatan. C. Analisis Sosial Dari bahasan sebelumnya, muncullah pertanyaan, mengapa pengetahuan bersama yang dimiliki individu dan masyarakat tentang kondisi hutan Kalimantan Selatan dan siapa yang bertanggungjawab atas kerusakan itu, tidak membawa masyarakat kita pada perlawanan yang lebih signifikan demi menjaga kelestarian hutan itu sendiri? Indonesia telah dikaruniai sumber daya alam yang melimpah, mulai dari hasil laut, sungai, hutan, dan tambang. Segala kemudahan dalam mengakses sumber daya alam itulah yang di kemudian hari menciptakan kondisi psikologis yang membahayakan bangsa ini. Karena sumber daya alam berlimpah, masyarakat dan pengelola negara cenderung menganggap enteng pihak-pihak yang mengeksploitasi sumber daya alam tersebut. Sikap ini pada akhirnya memudahkan para pendukung kapitalisme sekaligus sebagai pihak yang mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, termasuk Kalimantan Selatan, untuk mengambil keuntungan. Ketika masyarakat tidak terlalu peduli dengan apa yang terjadi pada sumber daya alamnya yang dianggap selalu banyak dan selalu tersedia itu, maka para pendukung kapitalisme akan mendorong pemerintah sebagai pembuat regulasi yang memudahkan mereka mengeksploitasi sumber daya alam Indonesia, termasuk hutan. Di sinilah terjadi persekutuan antara para pengeksploitasi dengan ideologi kapitalisme yang berkeinginan besar untuk mengeruk sampai tiada bersisa sumber daya alam Indonesia termasuk hutannya, dengan pembuat regulasi yaitu pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah. Para pengeksploitasi itu pada akhirnya cenderung dibiarkan melakukan apa yang mereka mau. Tak ada hukum yang tegas untuk menindak mereka. Yang terjadi selanjutnya justru upaya untuk saling menguntungkan antara pembuat regulasi dan pengeksploitasi, tentunya tanpa melibatkan masyarakat. Kemudahan regulasi yang tidak diiringi kontrol dan pengawasan yang memadai menyebabkan eksploitasi itu dilakukan dengan semena-mena. Sumber daya alam diperas sampai nyaris tak bersisa. Hingga saat sumber daya itu benarbenar nyaris habis, baru kita sebagai masyarakat akan panik. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
61
Maka, jawaban dari pertanyaan di atas pun akhirnya menyentuh persoalan yang sangat mendasar, bahwa mereka yang bertanggungjawab atas kerusakan hutan juga adalah mereka yang memiliki akses pada kekuasaan yang tak bisa dilawan begitu saja oleh masyarakat. Mereka adalah pemegang kuasa, sekali lagi, bukan secara represif namun secara struktural. ‘Mereka’ ini memiliki akses pada regulasi yang mengatur masyarakat, ‘mereka’ ini adalah pihak yang juga menafkahi sebagian rumah tangga di wilayah Kalimantan Selatan ini. ‘Mereka’ juga pihak yang secara ideologis mengendalikan masyarakat. Jika sudah seperti ini, maka perlawanan terbuka adalah hal sulit dilakukan. Hingga menulis puisi pun dirasa cukup dan memadai. Penutup Simpulan Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa diksi dan pilihan kata yang dipakai para penyair dalam kumpulan puisi Konser Kecemasan, mendukung deskripsi para penyair tentang kondisi hutan Kalimantan Selatan yang dalam kurun waktu 30 tahun terakhir ini berada dalam kondisi memprihatinkan dan mendekati situasi kritis. Apa yang dituliskan oleh para penyair tentang kondisi hutan saat ini dalam puisi-puisi tersebut sebenarnya merupakan pengetahuan pengetahuan bersama yang juga dimiliki masyarakat Kalimantan Selatan tentang hutan. Pada dasarnya, masyarakat Kalimantan Selatan tahu bagaimana kondisi hutan hari ini sekaligus juga memiliki pengetahuan bersama tentang siapa yang menyebabkan kerusakan itu. Namun, dengan pengetahuan itu, tak serta merta muncul perlawanan yang sifatnya frontal. Hal ini disebabkan bahwa mereka yang bertanggungjawab atas kerusakan hutan juga adalah mereka yang memiliki akses pada kekuasaan yang tak bisa dilawan begitu saja oleh masyarakat. Saran Dari uraian makalah di atas dapat diketahui bahwa puisi adalah media yang representatif untuk memberikan kritik sosial sekaligus melakukan pembelaan (advokasi) terkait persoalan apa saja, termasuk masalah kerusakan hutan. Maka tradisi ini hendaknya terus berlanjut. Puisi bahkan bisa menjadi media penyadaran sekaligus media perlawanan yang efektif. Puisi bisa memosisikan dirinya sebagai wacana perlawanan dalam konteks pertarungan kekuasaan. Jika puisi bisa 62
Dewi Alfianti
meyakinkan khalayak, bukan tak mungkin ia mengambil alih kekuasaan yang dewasa ini tidak lagi dalam bentuk hegemoni represif, namun lebih pada kontrol pada akses dalam memproduksi kebenaran. Lampiran Daftar Penyair dan Puisinya pada Antologi Puisi Konser Kecemasan 1DPD3HQ\DLU $5DKPDQ$O+DNLP
$EGXUUDKPDQ(O+XVDLQL $GMLP$ULDGL
$KPDG)LWLULDGL) $MDPXGGLQ7LIDQL
$OL6\DPVXGLQ$UVL
$QGL-DPDOXGGLQ$5$. $QWXQJ.XVDLUL $ULD3XWUDMD\D $UV\DG,QGUDGL
%DNKWLDU6DQGHUWD %XUKDQXGGLQ6RHEO\ 'ZL3XWUL$QDQGD '=DXKLGLH (DVW6WDU)URP$VLD (GG\:DK\XGGLQ63 (NR6XU\DGL:6
(]D7KDEU\+XVDQR
)LWUL\DQL +0XKDPPDG +DMULDQV\DK +DPDPL$GDE\ +DUGLDQV\DK$VPDLO
-
3XLVL 0XVLP$ODP7HU]KROLP6DQJ:DNWX 3UDVDVWL.HKDQFXUDQ$ODP 7XEXK$ODP7HUFDELN 1HJHUL$VDSGDQ.LQL$NXDGDODK/HODNLPX 0HQXQJJX+XMDQ7XPSDKGDODP3XLVLNX .D\XND\XNX+XWDQKXWDQNX $UXV%DULWR %DODGD$UXWPLQGL
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
63
+DULH,QVDQL3XWUD +LMD]
<6$JXV6XVHQR
64
Dewi Alfianti
-
0HUDWXV%HUGXND &HULWDGDUL+XOX6XQJDL 5LWXV0HUDWXV .HPXVQDKDQ3HUDGDEDQ%XNLW 'DODP3HVDZDW 5LZD\DW -HPEDWDQ$VDS 0HUDWXV%HUWXWXU 3HUDZDQNX7HODK3HUJL 2K3HGLK1LDQ .HPDQD+DUXV.DPL7DQDP ,EX6HEHQDUQ\D+XWDQ,QL0LOLN6LDSD" 6XUDWGDUL.RWD 0HQDQJLVL$LUPDWDPX 0HUDWXV 'L/HPEDK0HUDWXV 'DUL%DOXQDQNH/HPEDK0DQWDU +XWDQGL0DWDNX 5HSRUWDVHGDUL.DNL3HJXQXQJDQ0HUDUWXV 7LQJJDO%HUVDPD0DQLDN 7RQJNDQJ(PDV+LWDP -XUQDO.HFLOWHQWDQJ3HUMDODQDQGL+XWDQ0HUDWXV :DMDK7HODQMDQJ +XWDQ6XUJDZL\DQJ/XND +XWDQ +DQ\D&HUPLQ 6DMDNWHQWDQJ6XQJDL 3DGD6HEXDK)RUXP 5LQGX3HUL 6HNWRUGL/XDU6WDWLVWLN 9LJQHW.DOLPDQWDQ $LUPDWD\DQJ+LODQJ 3HUJL\DQJ0HQDQJLV 1\DQ\LDQ+XWDQ/DUDQJDQ 5DMD*XQGXO 6LDSDNDK/DJL\DQJ3HGXOL +XWDQ%HUWXWXU 6DDW+XMDQ%HUWHPX3DVDQJ 5XPDKNX5DZDNX 6DMDN6HEDWDQJ3RKRQ.DUHW
Daftar Rujukan Anonim. Tiga penguasa Kalimantan Selatan. Jatam. 2010 Anonim. Serangan terhadap Hutan Lindung meratus Kalimantan Selatan. Jatam. 2010 Anonim. Tentang Hutan Kalimantan. Anonim. http://www.profauna.net/ id/kampanye-hutan/hutan-kalimantan/tentang-hutankalimantan#.VObCpY6ZHIU (diakses 15 januari 2015) Adams, Ian. Ideologi Politik Mutakhir, terj. Ali Noerzaman. Jogjakarta: Qalam. 2004 Eriyanto. Analisis Wacana. Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LkiS. 2005 Hidayat, Micky (Ed). Konser Kecemasan. KSI Banjarmasin: Banjarmasin. 2010 Mu’in, Fatchul. Ekokritisme: kajian Ekologi dalam Sastra. https:// fatchulfkip.wordpress.com/ (diakses 15 Januari 2015) Van Dijk, Teun A. Critical Discourse Studies, A Sociocognitive Approach http:/ /www.discourses.org/OldArticles/Critical%20discourse% 20studies.pdf (diakses 15 Januari 2015) Van Dijk, Teun A. Discourse and knowledge. http://www.discourses.org/ OldArticles/Discourse%20and%20Knowledge.pdf (diakses 15 Januari 2015) Wikipedia. Ecocritism. http://en.wikipedia.org/wiki/Ecocriticism (diakses 15 januari 2015)
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
65
66
Dewi Alfianti
KEJENIUSAN EKOLOGI DALAM PEMALI BANJAR Hatmiati
Abstrak Pemali merupakan ungkapan larangan/tabu yang paling halus dalam bahasa Banjar. Pada masa-masa masyarakat tradisional, pemali menjadi sebuah aturan tak tertulis yang ditaati oleh masyarakat Banjar. Pemali mengkontruksikan budaya masyarakat Banjar. Pemali juga memiliki fungsi secara ekologis untuk menjaga keseimbangan ekosistem lingkungan dalam masyarakat Banjar. Dengan demikian penelitian ini berfokus pada fungsi pemali yang berhubungan dengan ekologi lingkungan. Penelitian ini termasuk penelitian kualitatif-interpretatif dengan teori budaya, folklor, dan ekologi. Data pemali yang sudah ditemukan kemudian diintrepretasikan sesuai dengan ancangan teori yang telah ditentukan. Data penelitian bersumber dari pemali-pemali yang ditemukan di dalam masyarakat Banjar yang masih dipakai sampai sekarang. Dari analisis data yang dilakukan terhadap kejeniusan ekologi yang tergambar dalam pemali masyarakat Banjar, ditemukan fungsi pemali yang meliputi: (a) fungsi dalam melestarikan lingkungan, (b) fungsi dalam menghargai hak hidup binatang, dan (c) fungsi dalam etika hidup dengan masyarakat. Temuan penelitian yang terdapat dalam pemali mereprentasikan kehidupan masyarakat Banjar. Temuan penelitian ini diharapkan dapat berguna secara teoritis dan praktis. Dalam prespektif teoritis, hasil penelitian ini dapat memberikan model suatu pola ancangan teoritis yang dapat diaplikasikan untuk penelitian tradisi lisan, kajian wacana budaya, dan kajian ekologi. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini bermanfaat untuk sumber pembelajaran muatan lokal bahasa Banjar di Kalimantan Selatan sekaligus sebagai pendidikan karakter bagi masyarakat Banjar. Kata kunci: pemali, masyarakat Banjar, ekologi
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
67
Pendahuluan Masyarakat Banjar atau dikenal pula dengan Masyarakat Banjar berada di Kalimantan Selatan. Masyarakat ini merupakan mayoritas yang tinggal di Kalimantan Selatan, selain Masyarakat Dayak yang banyak tinggal di hunjuran gunung Meratus. Selain dua masyarakat tersebut sebagai masyarakat utama yang tinggal di Kalimantan selatan, ada pula masyarakat Jawa yang menjadi transmigrasi dan sudah menyatu pula dengan masyarakat Banjar, masyarakat Bugis yang banyak tersebar di wilayah Kotabaru, dan masyarakat-masyarakat lainnya yang berada di kalimantan selatan sebagai pendatang. Pemali merupakan salah satu jenis tradisi lisan yang berkembang dan dimiliki oleh masyarakat Banjar di Kalimantan Selatan. Pemali sebagai tradisi lisan masyarakat Banjar ada dan dikenal oleh masyarakat Banjar Hulu, masyarakat Banjar Kuala, maupun masyarakat Banjar Pesisir. Asmuni (2014: 1) secara geografis menjelaskan bahwa, Banjar Hulu meliputi, Kabupaten Tapin, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kabupaten Balangan, dan Kabupaten Tabalong. Banjar Kuala meliputi Kota Banjarmasin, Banjarbaru, Kabupaten Banjar, dan Kabupaten Barito Kuala. Banjar pesisir meliputi Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Tanah Bumbu, dan Kabupaten Kotabaru. Pembagian wilayah ini juga berhubungan dengan bahasa daerah yang digunakan, apabila yang menggunakan orang-orang yang tinggal di wilayah Banjar Hulu, maka mereka disebut menggunakan bahasa Banjar Hulu, yang tinggal di wilayah Banjar Kuala disebut menggunakan bahasa Banjar Kuala, sedangkan yang tinggal di wilayah pesisir bahasa Banjar lebih banyak dipengaruhi oleh bahasa Bugis. Tuturan pemali terjadi karena adanya interaksi di masyarakat baik secara sosial budaya maupun interkasi dengan lingkungan sekitar. Meskipun demikian, tuturan pemali dalam masyarakat Banjar mulai jarang dilakukan, hal ini dapat terjadi karena banyaknya pergeseran nilai-nilai kehidupan akibat pengaruh globalisasi dalam masyarakat Banjar. Hal ini mengancam keberadaan tradisi lisan yang mengantarkannnya menuju kepunahan. Ali dalam Sukatman (2000:1314) menyatakan bahwa kepunahan tradisi lisan disebabkan oleh (1) dampak keberhasilan pembangungan (misalnya listrik masuk desa) diiringi merambahnya media pandang dengar sehingga membuat anakanak melupakan tradisi lisan, (2) ridak ada alih cerita dan penutur generasi tua sudah banyak yang meninggal, (3) kurangnya kesadaran dari pemerintah maupun masyarakat akan pentingnya fungsi tradisi 68
Hatmiati
lisan sebagai sarana pendidikan, yakni sebagai penyampai nilai luhur bangsa. Oleh karena itu, sekarang susah sekali menggunakan pemali untuk remaja maupun anak-anak, padahal dahulu ketika orang tua mengatakan pemali terhadap sesuatu, maka dengan patuhnya anakanak menaati pemali tersebut, meskipun kadang-kadang pemali yang digunakan orang tua terasa mengada-ada. Pemali yang berhubungan dengan kejeniusan lingkungan (ekologi) memberikan kesadaran kepada masyarakat Banjar untuk memahami lingkungan yang menjadi tempat tinggalnya sekarang. Lingkungan yang terkonstruksi dalam pemali ini memberikan gambaran sebagai aturan tak tertulis yang harus ditaati. Lingkungan yang menjadi acuan dalam makalah ini mengacu kepada lingkungan alamiah dan lingkungan sosial budaya masyarakat Banjar. Konstruksi pemali ini dilihat dari simbol verbal berupa tuturan pemali yang digunakan dalam ruang ekologi tertentu yang menjadi dasar untuk memaknai pemali yang secara konteks berperan penting dalam pelestarian lingkungan. Selain itu, pemali sebagai tradisi lisan masyarakat Banjar merupakan buah pikiran masyarakat tradisional yang berfungsi sebagai aturan tak tertulis untuk membentuk moral dan prilaku dan dapat berfungsi sebagai pedoman atau tata nilai yang berada di masyarakat untuk mengontrol tingkah laku seseorang apakah melanggar atau mematuhi pemali tersebut, acuan untuk menyebut seseorang itu baik atau tidak sesuai dengan kepatuhannya terhadap pemali tersebut, salah satu alternatif pendidkan bagi masyarakat Banjar untuk membentuk karakter yang sesuai dengan norma yang diberlakukan dalam kehidupan sosial budaya masyarakat Banjar, dan bentuk larangan paling halus dalam tradisi Banjar. Pemali yang digunakan oleh masyarakat Banjar juga menuntun masyarakat untuk berlaku arif terhadap alam dan lingkungan tempat tinggalnya. Landasan Teori Budaya Masyarakat Banjar Budaya yang ada dalam masyarakat Banjar tidak lepas dari nilainilai yang mendasar yang melatarbelakangi kehidupan masyarakat Banjar, baik dalam kehidupan sebagai individu maupun sebagai makhluk sosial. Budaya masyarakat Banjar lebih banyak berhubungan dangan sungai, hutan, dan pertanian. Hal ini terjadi karena kehidupan masyarakat Banjar jaman dahulu yang menjadikan Sungai sebagai urat nadi kehidupan dan menggerakkan perekonomian, politik, dan budaya. Hutan yang sangat luas juga membuat sebagian masyarakat Banjar juga Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
69
menjadikan hutan sebagai tempat untuk mencari penghasilan, selain itu, alam yang sangat subur juga memberikan kehidupan yang layak bagi para petani, beras-beras unggulan yang dihasilkan seperti beras unus, siam, dan lain-lain menjadi bukti bahwa pertanian juga menjadi prioritas pekerjaan. Sedangkan kehidupan sosial budaya juga hadir melalui persinggungan budaya masyarakat Banjar dengan masyarakat Dayak, Jawa, Bugis, Madura, Cina, Arab, dan masyarakat-masyarakat lainnya yang menjadi pendatang di Tanah kalimantan Selatan. Budaya dalam pemali masyarakat Banjar berfungsi sebagai pedoman dalam kehidupan bermasyarakat yang sulit diterangkan secara rasional. Koentjaraningrat (2009:153) berpendapat bahwa walaupun nilai budaya berfungsi sebagai pedoman hidup manusia dalam masyarakat, tetapi sebagai konsep, suatu nilai budaya itu bersifat sangat umum, mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, dan biasanya sulit diterangkan secara rasional dan nyata. Namun, justru karena sifatnya yang umum, luas, dan tidak konkret itu, maka nilai-nilai budaya dalam suatu kebudayaan berada dalam daerah emosional dari alam jiwa para individu yang menjadi warga dan kebudayaan bersangkutan. Selain itu, para individu tersebut sejak kecil telah diresapi dengan nilai budaya yang hidup dalam masyarakatnya sehingga konsep-konsep itu sejak lama telah berakar dalam alam jiwa mereka. Pemali Masyarakat Banjar Pemali yang digunakan oleh masyarakat Banjar tidak bisa dihubungkan dengan kata haram dalam hukum Islam, meskipun masyarakat Banjar dikenal sebagai masyarakat yang religius. Pemali semata-mata sebuah tradisi lisan yang sudah berurat berakat dalam masyarakat Banjar. Pemali dapat berupa tuturan verbal dan perilaku yang dilakukan oleh masyarakat Banjar yang memiliki keyakinan terhadap pemali tersebut. Menurut Hapip (2008:132), pemali berarti tabu atau pantangan, misalnya; pemali mambanam acan basanjaan (tabu membakar terasi pada senja hari). Pemali sebagai sebuah tradisi lisan dalam masyarakat Banjar menyebar melalui tutur tular di masyarakat. Tradisi lisan menurut Endraswara (2009:26) bercirikan: (a) verbal, berupa kata-kata, (b) tanpa tulisan, (c) milik kolektif rakyat, (d) memiliki makna fundamental, ditransmisikan dari generasi ke generasi. Tradisi lisan akan bertahan dalam ingatan setiap orang selama memori otaknya mengingat tentang tradisi tersebut. Tradisi lisan ini juga akan bertahan lebih lama apabila 70
Hatmiati
orang yang bersangkutan memang menggunakan tradisi lisan tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Tradisi lisan menurut Finnegan (1992:7) menyiratkan bahwa tradisi yang dimaksud memiliki beberapa cara, 1) lisan atau 2) tidak tertulis (belum tentu hal yang sama), kadang-kadang juga atau sebaliknya 3) milik ‘orang’ atau ‘rakyat’, biasanya dengan konotasi nonterdidik, non-elite, dan/atau 4) fundamental dan dihargai, sering diduga ditularkan dari generasi ke generasi, mungkin oleh masyarakat atau ‘rakyat’ daripada aksi individu sadar. Folklor Tradisi lisan sebagai sebuah budaya berhubungan dengan folklor yang hidup dan berkembang di masyarakat. Sejalan dengan hal itu, Bayle, dalam Endraswara (2009:33) berpendapat bahwa folklor sebagai ekspresi budaya. Folklor sebagai hasil cipta rakyat secara tradisional, primitif, dan beradab. Di dalamnya menggunakan sarana kata secara metrik dan prosa. Ada juga folklor yang berupa kepercayaan rakyat (takhayul), kebiasaan, pertunjukan, tari tradisional, ilmu rakyat, dan puisi rakyat tradisional. Pemali sebagai sebuah tradisi lisan dalam masyarakat Banjar juga dapat digolongkan ke dalam folklor, hal ini dapat dilihat dari pendapat Zaidan., Rustafa., dan Hani’ah (2007:74) yang menyatakan bahwa folklor memuat semua tradisi rakyat, seperti kepercayaan, warisan kebudayaan, dan adat-istiadat yang tradisional; istilah ini berasal dari tradisi Anglo Saxon folk ‘rakyat’ dan lore ‘pelajaran’; biasanya hanya mencakup bahan-bahan yang disebarkan secara lisan, tetapi sekarang meliputi sumber tertulis tentang tradisi, pandangan hidup, dan kebiasaan rakyat, balada rakyat, dongeng, mitos, peribahasa, pepatah; tradisi lisan. Sejalan dengan pendapat tersebut, pemali sebagai sebuah tradisi lisan juga merupakan folklor yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat Banjar. Ekologi Ekologi secara etimogi berasal dari bahasa Yunani. Penggabungan dari oikos yang berarti habitat, merujuk kepada sebuah sistem kehidupan yang kompleks, ekosistem dan logos yang berarti ilmu. Pada tahun 1869 ilmuan asal Jerman Ernest Heackel melontarkan gagasan ekologi yang menjelaskan bahwa ekologi merupakan ilmu tentang Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
71
hubungan makhluk hidup dan makhluk hidup lain dengan lingkungan sekitar. Sebagai sebuah ilmu ekologi lebih dikenal dalam bidang biologi. Meskipun demikian, ekologi dalam pengertian yang lebih luas sudah mencakup rangkaian ilmu alam, ilmu sosial, filsafat, dan pengetahuan secara menyeluruh. Pendekatan holistiknya membuat ilmu ini semakin luas. Pokok utamanya adalah saling ketergantungan semua mahkluk hidup (Croall dan Rankin, 1997: 126). Ekologi merupakan konsekuensi logis dari keberadaan dan keadaan lingkungan yang semakin memerlukan perhatian manusia. Ketidakseimbangan lingkungan menimbulkan berbagai permasalahan di masyarakat, mulai dari pemanasan global, pembalakkan hutan, perdagangan gelap satwa langka di pasar internasional, banjir, longsor, sampai dengan kabut asap akibat dari pembakaran hutan. Hal-hal tersebut menimbulkan keprihatinan yang berujung pada tujuan untuk mengatasi persoalan-persoalan tersebut demi keberlangsungan kehidupan seluruh makhluk di bumi. Alam merupakan sumber daya yang harus dipelihara, dikelola, dan dimanfaatkan sebaik mungkin. Manusia sebagai pemakai lingkungan harus bisa memberikan kontribusi agar lingkungan yang sehat dapat dinikmati selamanya. Hal ini sejalan dengan piagam dunia untuk alam yang diterbitkan PBB tahun 1982 yang berbunyi, “Nature shall be respected and its essential processes shall not be disrupled” (alam harus dihormati dan proses-proses alamiahnya tidak boleh dirusak). Pembahasan Fungsi Pemali dalam Melestarikan Lingkungan Pemali yang berkembang dan dipakai oleh masyarakat Banjar yang berhubungan dengan pelestarian lingkungan berimbas pada sikap dan perilaku masyarakat tradisional Banjar dalam memperlakukan alam. Hal ini dapat terjadi karena pemali memiliki beberapa fungsi yang berhubungan dengan kehidupan, adat istiadat, dan perilaku sosial dalam masyarakat Banjar. Fungsi ini sejalan dengan pendapat Bascom dalam Danandjaja (2002:32) folklor lisan pada umumnya memiliki fungsi sebagai sistem proyeksi, alat pengesahan pranata-pranata dan lembaga kebudayaan, alat pendidikan anak dan masyarakat, alat pemaksa dan pengawas norma masyakarat agar selalu dipatuhi.
72
Hatmiati
Pemali dalam masyarakat tradisional Banjar banyak memberikan pengajaran dalam memperlakukan alam untuk menjaga keseimbangan ekosistema. Hal tersebut tergambar dalam pemali berikut ini. 1) Pemali manabang kayu nang masih lantur pas dinaiki. “Pantang menebang pohon yang masih lentur (masih goyang ke kiri atau ke kanan) ketika dinaiki”. Pemali ini mengajarkan masyarakat Banjar dalam memperlakukan hutan sebaik-baiknya. Pelarangan terhadap penebangan pohon yang masih muda semata-mata untuk membuat hutan tetap lestari. Pemali tersebut juga mengandung kepedulian yang sangat tinggi terhadap pemeliharaan hutan. Menebang pohon pada hakikatnya artinya memutus rantai ekosistem di alam dan ini secara otomatis akan mengganggu keberlangsungan makhluk hidup. Tetapi, kadang-kadang manusia yang menganggap dirinya majulah yang sering menjadi predator lingkungan, sedangkan manusia-manusia yang dianggap primitif, suku-suku pedalaman yang memelihara alam dengan baik mereka dianggap terkebelakang dan juga kuno tidak tahu perkembangan jaman. Padahal, merekalah yang memperlakukan alam sebagai sahabat, mereka menjaga dan melestarikan alam untuk generasi berikutnya. Kondisi hutan Kalimantan saat ini sungguh memprihatinkan sehingga banyak akibat dari kondisi hutan kalimantan yang tidak sehat ini, salah satunya ada banjir pada musim penghujan dan musim kemarau yang sangat panjang. Tajuk pada Banjarmasin Post (13 Februari 2015) yang berjudul Saatnya Bersahabat dengan Alam mengulas tentang keprihatinan yang terjadi akibat perlakuan yang tidak manusiawi kepada alam. Selain itu juga, pembangunan kawasan pemukiman yang tidak ramah lingkungan. 2) Pemali maulah rumah sabukuan ulin kaina bisa panasan. “Pantang membuat rumah dari kayu ulin/kayu besi seluruhnya (tiang, dinding, lantai, dan lain-lain kecuali atap) karena yang tinggal di rumah itu tidak kerasan”. Pantangan dalam membuat rumah terbuat dari kayu ulin Kayu ulin atau kayu besi itu sebenarnya adalah bentuk bentuk pelestarian kayu ulin yang saat ini sudah langka di hutan Kalimantan. Pantangan tersebut mengkonstruksikan bahwa masyarakat tradisional Banjar sudah mengatur sedemikian rupa agar hutan Kalimantan tetap terjaga. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
73
Pemali dalam masyarakat Banjar juga mengajarkan bahwa menebang satu pohon harus menaman pohon yang masih kecil sebagai cikal bakal pohon tersebut. Kejeniusan ekologi yang tergambar dalam pemali mengajarkan agar alam dan lingkungan diperlakukan secara arif dan bijaksana agar tetap lestari. Hal ini sejalan dengan pendapat Poerwanto (2008:50) yang menyatakan bahwa berbagai gagasan, termasuk gagasan untuk melestarikan lingkungan dapat dikomunikasikan kepada orang lain dalam bentuk lambang-lambang vokal berupa bahasa, baik lisan maupun (tulisan). Hal tersebut terkait dengan sikap hidup dan polapola tindakan dalam pelestarian lingkungan yang dilihat dari pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan lingkungan.. Bagaimana keadaan hutan Kalimantan sekarang? Ternyata, kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan telah membuat hutan hujan tropis di Kalimantan hampir terbabat habis. Hal itu terjadi karena pertambangan seperti batubara dan migas, penebangan hutan illegal, pembakaran hutan, bahkan pembebasan lahan demi perluasan pemukiman penduduk. Kondisi seperti itu juga mengakibatkan tanah kekurangan resapan air sehingga masyarakat kekurangan air bersih, kalau musim kemarau, cuaca menjadi sangat panas, kabut asap yang menyebabkan berbagai penyakit, sedangkan kalau musim hujan, banjir terjadi di mana-mana. Masyarakat tradisional Banjar juga dikenal memiliki kepedulian yang sangat tinggi dalam melestarikan lingkungan pertanian. Hal ini tergambar dalam tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat Banjar, misalnya pada kegiatan menanam dan memanen padi. Dalam masyarakat Banjar dikenal dengan istilah baririan/baarian (kegiatan gotong royong pada kegiatan menanam dan memanen padi yang dilakukan oleh masyarakat). Sikap ini juga tergambar dalam pemali sebagai bentuk larangan terhadap sesuatu yang diyakini bertentangan dengan dengan adat istiadat setempat. Paparan fungsi pemali dalam melestarikan lingkungan pertanian ini dapat dilihat pada contoh berikut. 1) Pemali bakalayangan musim mangatam kaina bisa hilang sumangat banih. “Pantang main layang-layang musim panen padi karena bisa mengakibatkan padi rusak/hampa”. Pemali di atas menjelaskan bahwa pada saat masyarakat Banjar sedang bergotong royong dalam memanen padi, maka bermain layanglayang jelas akan mengganggu kesibukan orang lain. Bermain layang74
Hatmiati
layang diperbolehkan ketika musim panen telah selesai. Sedangkan yang dimaksud hilang sumangat banih karena bermain layang-layang jarang memperhatikan kondisi sekitarnya, mereka hanya fokus pada layang-layang sehingga kadang-kadang terinjak padi yang siap dipanen. Pemali juga mengajarkan bahwa menghargai hasil pertanian juga merupakan keharusan bagi masyarakat Banjar. Hal ini tergambar dalam pemali berikut ini. 2) Pemali mambuang sisa nasi kaina ada masalah lawan kuluarga/kaluarga “Pantang membuang sisa nasi karena bisa menyebabkan masalah dalam keluarga”. Masyarakat tradisional Banjar memiliki kepercayaan bahwa membuang sisa nasi pantang/tabu dilakukan. Kalau pemali ini dilanggar, maka akan terjadi masalah dalam keluarga. Dalam bentuk berbeda tetapi dengan makna yang sama tergambar dalam pemali yang ditulis oleh Sudarni (2012:64) pemali membuang nasi. Kepercayaan ini masih dipegang sangat kuat oleh masyarakat Banjar di pedesaan terutama masyarakat petani. Membuang nasi sisa yang baik itu sangat dilarang karena itu suatu perbuatan yang mubazir. Sebaiknya nasi itu diberikan kepada ternak ayam atau itik, atau disimpan dulu setelah basi baru dibuang. Masyarakat tradisional Banjar memiliki keyakinan bahwa nasi itu memiliki atma/jiwa. Oleh karena itu, kalau dia dibuang atau disia-siakan dia akan sedih dan menangis. Orang yang menyia-nyiakan nasi nantinya akan jatuh miskin tak mampu lagi membeli beras hingga kelaparan. Kepekaan pemali dalam yang berhubungan dengan sungai juga tergambar dalam pemali mariwas/manabas sungai wan parang kaina bisa paluka (pantang menebas sungai dengan benda tajam dalam hal ini bisa pedang karena dapat mengikibatkan terluka). Konteks pemali ini dapat dipahami bahwa parang (pedang) bukan alat untuk bermain-main, apalagi digunakan untuk menebas-nebas sungai. Perilaku ini tidak mencerminkan sikap yang tidak bijak dalam menggunakan benda karena digunakan tidak sesuai dengan peruntukannya. Fungsi Pemali dalam Menghargai Hak Hidup Binatang Pemali sebagai bentuk kejeniusan ekologi masyarakat tradisional Banjar juga memiliki kepekaan terhadap keberlangsungan hidup binatang. Hal ini tergambar dalam tradisi yang sering dilakukan oleh masyarakat Banjar, misalnya pada kegiatan menangkap ikan atau Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
75
memancing. Pada kegiatan memancing dikenal istilah mangacar (memancing khusus untuk ikan gabus). Dalam masyarakat Banjar pantang memancing ikan gabus yang sedang beranak. Sikap ini merupakan cara agar ikan gabus itu tetap dapat mengasuh anakanaknya sampai besar. Hal ini terjadi karena apabila ikan tersebut tidak ada induknya maka mereka akan mati akibat dimangsa oleh ikan lainnya. Paparan pantangan pemali yang berhubungan dengan keberlangsungan hidup binatang juga dapat dilihat pada contoh berikut. 1) Pemali mamacah hintalu kuduk kaina batakuk. “Pantang merusak telur kodok karena bisa menyebabkan penyakit gondok”. 2) Pemali maambil hintalu pipit kaina basawan. “Pantang mengambil telur burung pipin karena bisa berakibat bisulan”. 3) Pemali mamisah anakan wan indungnya kaina saurang tapisah jua pas masih susuan. “Pantang mengambil anak ikan yang masih kecil (memisahkan dari induknya) karena bisa berakibat Anda juga akan terpisah (meninggal) dengan anak saat masih menyusui. Pemali tersebut semakin menjelaskan bahwa masyarakat tradisional Banjar begitu mengharigai kehidupan binatang. Pantangan merusak dan mengambil telur binatang atau mengambil anak-anak ikan memberikan pemahaman bahwa setiap orang harus menghargai hak hidup dari binatang. Hal tersebut harus dilakukan agar ekosistem yang selama ini terbangun secara harmonis tetap terjaga. Terlepas dari ancaman yang terdapat dalam pemali itu tidak masuk akal, itu hanya merupakan penanaman sikap sejak dini sebagai bentuk pendidikan karakter. Masyarakat tradisional Banjar beranggapan bahwa merusak kehidupan alam dalam konteks ini ‘binatang’ sama dengan merusak kehidupan sendiri karena ada karma dari setiap perbuatan atau tindakan yang dilakukan. Hubungan ekologi dengan perilaku dan sikap masyarakat Banjar yang tergambar dalam tuturan pemali yang diterapkan secara priskologis akan memberikan kesadaran terhadap perlakuan kepada alam. Alam tidak akan bisa berubah, tetapi bagaimana sikap dan perilaku terhadap alam itu sendiri yang harus diubah. Kejeniusan ekologi yang 76
Hatmiati
ada dalam pemali menjadi sebuah alternatif secara alami agar memperlakukan alam dan lingkungan secara manusiawi. Hal ini juga menjadi perhatian dari Poerwanto (2008:51), yang menyatakan bahwa berbagai cara hidup manusia, termasuk cara mengelola lingkungan, tercermin dalam pola-pola tindakan (action) dan tingkah laku (behavior) masyarakat. Fungsi Pemali dalam Etika Hidup dengan Masyarakat Kejeniusan ekologi pemali juga berkembang dalam mengatur pola kehidupan yang berhubungan dengan etika hidup bermasyarakat. Kejeniusan ekologi itu tercermin dari (a) fungsi sosial, (b) fungsi mendidik, (c) fungsi informasi. Fungsi Sosial Masyarakat Banjar dikenal memiliki kepedulian yang sangat tinggi dalam menjalin relasi sosial dengan orang lain. Sikap sosial masyarakat Banjar ini juga tergambar dalam pemali sebagai bentuk larangan terhadap sesuatu yang diyakini bertentangan dengan dengan adat istiadat setempat. Paparan fungsi sosial dalam pamali dapat dilihat pada contoh berikut. 1) Pamali bacacatuk paku ari malam kaina mangiau kamularatan. “Pantang memukul-mukul paku di malam hari karena mengakibatkan kesialan”. Memukul-mukul paku pada malam hari akan mengakibatkan suara keras yang mengganggu ketenangan orang yang sedang beristirahat. Hal sangat tidak pantas dilakukan, oleh karena itu pemali ini mengandung kepedulian sosial terhadap ketenangan orang lain. 2) Pamali manumpang piring urang balum ampihan makan kaina bisa diambil urang bini/laki. “Pantang menumpang piring orang belum selesai makan karena bisa mengakibatkan suami/istri diambil orang”. Pemali di atas mengajarkan sikap saling menghargai dan peduli terhadap orang lain. Ketika sedang makan bersama-sama maka sangat tidak pantas ketika orang belum selesai makan piring-piringnya sudah mau dibersihkan. Sedangkan, maksud dari suami/istri diambil orang Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
77
karena tindakan membersihkan sesuatu ketika orang lain belum selesai sama dengan mengambil hal orang lain dan itu nantinya akan berakibat kepada dirinya sendiri. Fungsi Mendidik Pemali dalam masyarakat Banjar juga memiliki nilai yang sifatnya mendidik. 1) Pamali guring imbah sumbayang subuh kaina mawaris kamiskinan “Pantang tidur setelah shalat subuh karena akan mewaris kemiskinan”. Pemali di atas bermakna bahwa setelah shalat subuh seseorang harusnya beraktivitas, seperti bersiap-siap berangkat bekerja atau sudah pergi bekerja seperti “penyadap karet” yang biasanya dilaksanakan setelah shalat subuh. Pemali ini bermakna mendidik setiap orang untuk tidak melakukan perbuatan yang sia-sia. 2) Pamali bahira sambil bapandir kaina kada parajakian. “Pantang buang air besar sambil berbicara karena mengakibatkan seret rezeki”. Masyarakat Banjar beranggapan bahwa buang air besar tidak sepantasnya sambil berbicara. Fungsi Informasi Sebagai sebuah tradisi lisan, pemali juga memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi. Hal ini tergambar dalam pamali berikut ini. 1) Pamali maulah rumah batinggi padu, kaina tulak buahan. “Pantang membuat rumah tinggi di bagian belakang karena mengakibatkan rumah tidak nyaman untuk ditempati”. Masyarakat Banjar memiliki kepercayaan bahwa posisi dapur itu harus lebih rendah dari ruang depan seperti ruang tamu dan kamar tidur atau minimal posisinya sama. Pemali ini mengandung informasi tentang tata cara membuat rumah yang baik. 2) Pamali mambaca sambil barabah kaina lakas kaur. “Pantang membaca buku sambil berbaring karena mata cepat rabu”.
78
Hatmiati
Membaca buku sebaiknya dilakukan sambil duduk bukan dalam kondisi berbaring. Secara kesehatan juga dianjurkan untuk membaca dalam keadaan duduk karena kalau berbaring itu akan berakibat mata menjadi cepat rusak (rabun). Pemali ini mengandung informasi dari segi kesehatan mata. Penutup Krisis ekologi yang terjadi sekarang ini merupakan masalah moral yang berhubungan dengan sikap dan perilaku manusia kepada alam. Oleh karena itu, pemali sebagai bentuk kejeniusan ekologi yang hidup dan berkembang di masyarakat memiliki fungsi yang mengatur hubungan dengan alam, manusia, dan binatang. Ketaatan terhadap pemali yang berhubungan dengan alam akan memberikan dampak positif bagi keberlangsungan kehidupan ekosistem yang lebih baik. Dengan demikian, pemali menjadi alternatif dalam mengatur cara pandang dan pedoman juga tata nilai yang berada di masyarakat untuk mengontrol tingkah laku seseorang dalam memperlakukan alam, manusia, juga binatang. Pemali juga bisa menjadi tolak ukur untuk menyebut seseorang itu baik atau tidak sesuai dengan kepatuhannya terhadap pemali. Selain itu, pemali menjadi alternatif pendidikan masyarakat Banjar untuk membentuk karakter yang sesuai dengan norma kehidupan sosial budaya masyarakat Banjar. Daftar Rujukan Asmuni, Fahruraji. 2014. Sastra Lisan Banjar Hulu. Amuntai: Hemat Publishing. Banjarmasin Post. 13 Februari 2015. Saatnya Bersahabat dengan Alam (tajuk). Hal. 13. Croall, Stephen dan William Rankin. 1997. Mengenal Ekologi. Bandung: Mizan. Alih bahasa oleh Zulfahmi Andri dan Nelly Nurlaeli Hambali. Danandjaja, James. 2002. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti. Endraswara, Suwardi. 2009. Metodologi Penelitian Folklor. Yogyakarta: Media Pressindo Finnegan, Ruth. 1992. Oral traditions and the verbal arts A guide to research practices. London and New York: Routledge. Hapip, Abdul Djebar. 1996. Kamus Bahasa Banjar-Indonesia. Banjarmasin: PT Grafika Wangi Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
79
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta. Poerwanto, Hari. 2008. Kebudayaan dan Lingkungan dalam Perspektif Antoropolog. Cetakan Keempat. Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Sudarni. 2012. Pelangi Kalimantan Selatan. Amuntai: Hemat Publishing. Sukatman. 2009. Butir-Butir Tradisi Lisan Indonesia. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo. Zaidan, AR, Rustafa, AK, & Hani’ah. 2007. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
80
Hatmiati
EKOLOGI MANUSIA BANJAR DALAM PUISI-PUISI BERBAHASA BANJAR KARANGAN PARA PENYAIR KALSEL Tajuddin Noor Ganie
Abstrak Ekologi manusia Banjar merujuk kepada hubungan timbal balik yang ada antara orang Banjar dengan makhluk hidup lainnya, dan bendabenda mati lainnya yang ada atau berada di sekitar tempat hidupnya, yakni daerah Kalsel. Orang Banjar dengan akal pikiran yang ada padanya mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi terapan (mulai dari yang sangat sederhana hingga yang relatif canggih) yang dapat digunakannya untuk mengeksploitasi dan mengeksplorasi kekayaan alam yang ada di daerah Kalsel. Hasil eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam dimaksud kemudian diolah sedemikian rupa sehingga dapat dimanfaatkan secara efektif dan konstruktif untuk menunjang kehidupan keseharian orang Banjar yang hidup di seantero daerah Kalsel. Di antara orang Banjar yang tinggal di daerah Kalsel itu pastilah ada orang-orang yang memiliki potensi lain yang dalam teori ekologi manusia disebut potensi kalbu, yakni potensi yang membuatnya mampu mengekspresikan pikiran dan perasaannya secara tertulis dalam bahasa Banjar yang puitis tentang aspek-aspek ekologi daerah Kalsel. Hasil olah pikir dan olah rasa mereka itu secara umum disebut sebagai puisi modern berbahasa Banjar. Hasil penelitian yang dituangkan dalam makalah ini adalah: (1) Mendeskripsikan ekologi daerah Kalsel yang masih asri sebagai objek lihatan yang dipuja-puji dalam puisi-puisi modern berbahasa Banjar karangan para penyair Kalsel, dan (2) Mendeskripsikan ekologi daerah Kalsel yang sudah rusak sebagai objek lihatan yang dikeluh-kesahkan dalam puisi-puisi modern berbahasa Banjar karangan para penyair Kalsel. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai: (1) barometer teoretis menyangkut aspirasi para penyair Kalsel terhadap fakta-fakta ekologi daerah Kalsel yang bersifat kasat mata, baik dalam hal keasriannya, maupun dalam hal kerusakannya, dan (2) aspirasi pribadi yang diungkapkan oleh masing-masing penyair Kalsel dimaksud dapat Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
81
dijadikan sebagai bahan renungan atau bahkan sebagai bahan periksa yang faktual bagi para pejabat pemerintah di provinsi, kota, dan kabupaten di Kalsel, yang karena tugas pokok dan fungsi instansinya wajib mengupayakan kebijakan formal agar ekologi daerah Kalsel tetap terjaga keasriannya, dan tidak rusak akibat kegiatan-kegiatan eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam yang bersifat masif sehingga melampaui batas-batas yang dapat ditoleransi. Kata Kunci: Ekologi Manusia, Manusia Banjar, dan Puisi Berbahasa Banjar Latar Belakang Secara etimologi istilah ekologi berasal dari bahasa Latin oikos dan logos. Oikos artinya rumah atau tempat menjalani kehidupan dan logos artinya ilmu (Soemarwoto, 1988:19, dalam Mufid, 2010:8). Dalam definisi yang dikemukakan oleh Soerjani (1987:2) ekologi adalah ilmu tentang hubungan timbal-balik antara makhluk hidup dengan sesama makhluk hidup lainnya, dan dengan benda-benda mati yang ada atau berada di sekitar rumah tangganya (tempat hidupnya) (dalam Mufid, 2010:8). Di antara makhluk hidup yang berumah tangga atau bertempat hidup di lingkungan yang secara generik disebut ekologi itu, maka manusia sudah barang tentu adalah makhluk hidup yang menjadi aktor utamanya. Posisi manusia dalam proses ekosistem, baik yang alami maupun yang nonalami (artifisial atau buatan) adalah bersifat imanen (entitas yang secara struktural menyatu dengan alam). Manusia tidak semula jadi dilengkapi dengan alat pertahanan diri dari berbagai ancaman keganasan alam, seperti: suhu udara yang sangat ekstrim (sangat dingin atau sangat panas), hantaman badai yang dahsyad, air bah, arus air sungai yang sangat deras, gelombang pasang lautan, gempa bumi, tsunami, terkena paparan racun yang mematikan, tertusuk duri-duri yang tajam, dan aneka bentuk ancaman mematikan lainnya (diolah kembali berdasarkan paparan Mufid, 2010:57-58). Selanjutnya, manusia tidak memiliki insang dan sirip seperti ikan, sehingga manusia tidak bisa bernafas di dalam air, tidak pandai berenang, pendek kata manusia tidak bisa hidup di air sebagaimana layaknya ikan. Manusia tidak pula memiliki bisa atau racun seperti ular, sehingga manusia tidak bisa membunuh mangsanya atau musuh-musuh
82
Tajuddin Noor Ganie
alaminya dengan cara mematuk atau menggigit seperti ular (diolah kembali berdasarkan Mufid, 2010:58). Namun, di atas semuanya itu, Allah Swt membekali manusia dengan akal pikiran (noosper) yang membuatnya mampu memproduksi alat-alat pertahanan diri yang sesuai dengan tingkat keganasan alam yang dihadapinya dari masa ke masa. Akal pikiran (noosfer) yang ada padanya membuat manusia dapat mengambil jarak dengan memilih posisi sebagai penyeimbang di antara entitas ekologi lainnya, yakni: (1) lingkungan hidup yang alami, (2) lingkungan hidup artifiasial (buatan), dan (3) lingkungan hidup social. Potensi akal pikiran itu juga membuat manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang dapat dimanfaatkannya secara efektif untuk mengeksploitasi, mengeksplorasi, dan mengolah kekayaan alam semesta yang berguna untuk menunjang kelangsungan hidupnya di di dunia ini. Supaya tidak kedinginan, manusia menciptakan baju tebal yang hangat dari kulit binatang atau tenunan benang. Terhadap sengatan matahari yang terik, manusia menciptakan alat pelindung diri semacam payung, atau pakaian yang dapat melindungi kulitnya dari paparan langsung sinar ultra violet yang dipancarkan matahari. Manusia membangun tempat perlindungan diri di gua-gua, atau membangun rumah bertiang tinggi di daerah-daerah yang selalu digenangi air, dilanda banjir musiman, dan dilanda air pasang yang datang dari lautan baik secara periodek, maupun yang nonpriodek (dadakan). Selanjutnya, dengan dengan akal pikirannya, manusia dapat menemukan dan menciptakan serum-serum yang berguna sebagai antibisa atau antiracun yang masuk ke dalam tubuhnya karena terluka akibat tergigit binatang berbisa (ular, kalajengking, atau semut rangrang), atau karena terhirup melalui udara ketika ia mengambil nafas melalui hidungnya. Supaya bisa mengarungi sungai, danau, dan lautan, manusia menciptakan perahu, kapal laut, atau bahkan kapal selam. Supaya dapat melintas di udara manusia menciptakan pesawat udara. Supaya dapat berpindah tempat dengan cepat di darat, manusia menciptarakan gerobak sapi, kereta kuda, sepeda, sepeda motor, mobil, dan kereta api. Selain dibekali dengan potensi akal pikiran, Allah Swt juga membekali manusia secara semula jadi dengan sejumlah potensi lain yang tidak kalah fungsionalnya, yakni: (1) potensi tubuh, (2) potensi Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
83
hidup, dan (3) potensi kalbu. Potensi tubuh memungkinkan manusia memiliki kemampuan dan keterampilan teknis. Potensi hidup memungkinkan manusia memilki kemampuan untuk beradaftasi, sehingga dapat mempertahankan hidupnya (survive), dan sekaligus juga dapat mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan situasi dan kondisi alam yang dihadapinya sebagai makhluk hidup. Sementara itu, potensi kalbu memungkinkan manusia untuk memiliki kemampuan moral, estetika, etika, nilai-nilai spiritual, dan merasakan kebesaran Allah Swt sebagai pencipta alam semesta (diolah kembali berasarkan paparan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1990:16, dalam Mufid, 2010:57). Potensi kalbu yang melekat sebagai bekal yang bersifat semula jadi (bakat bawaan) membuat ada sejumlah orang menjadi piawai dalam merangkai kata, menuangkan atau mengekspresikan pikiran dan perasaannya berkaitan dengan masalah-masalah ekologi, memuja-muja keindahannya yang masih terjaga, atau sebaliknya meratapinya dalam bentuk keluh kesah atas kerusakannya akibat faktor-faktor alamiah (bencana alam) atau karena faktor-faktor nonalamiah, yakni akibat ulah tangan-tangan manusia yang destruktif, yakni berbuat aniaya terhadap ekologi alam semesta yang ada di sekitarnya. Mereka, orang-orang yang piawai menuliskan pikiran dan perasaannya dalam bentuk puisi puja-puji ekologi atau sebaliknya dalam bentuk puisi elegi ekologi disebut sebagai penulis puisi (penyair), penulis cerpen (cerpenis), penulis novel (novelis), dan penulis naskah drama. Melalui berbagai genre/jenis karya sastra yang ditulisnya, mereka memuja-muji keindahan alam yang masih asri, atau sebaliknya mengeluh-kesahi kerusakan alam yang parah, baik karena faktor-faktor alamiah atau karena factor-faktor nonalamiah. Salah satu genre/jenis karya sastra yang relatif menarik untuk dikaji dalam konteks tematis ekologi manusia Banjar di Kalsel adalah puisi-puisi yang ditulis dalam bahasa Banjar oleh para penyair Kalsel (lahir di Kalsel atau tidak lahir di Kalsel, tetapi pernah tinggal di Kalsel).
84
Tajuddin Noor Ganie
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ekologi daerah Kalsel yang masih asri sebagai objek lihatan dipuja-puji dalam puisi-puisi modern berbahasa Banjar karangan para penyair Kalsel? 2. Bagaimana ekologi daerah Kalsel yang sudah rusak sebagai objek lihatan dikeluhkesahkan dalam puisi-puisi modern berbahasa Banjar karangan para penyair Kalsel? Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mendeskripsikan ekologi daerah Kalsel yang masih asri sebagai objek lihatan yang dipuja-puji dalam puisi-puisi modern berbahasa Banjar karangan para penyair Kalsel, dan 2. Mendeskripsikan ekologi daerah Kalsel yang sudah rusak sebagai objek lihatan yang dikeluh-kesahkan dalam puisi-puisi modern berbahasa Banjar karangan para penyair Kalsel. Puisi-puisi Puji-puji Ekologi Daerah Kalsel Sosok manusia menjadi tema sentral dalam pemikiran ekologi, karena manusialah yang dominan dalam konteks pemanfaatan kekayaan alam yang ada dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya (Mufid, 2010:52). Bahkan, ketika manusia melakukan eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam untuk tujuan dimanfaatkan sebagai sarana penunjang kehidupannya, manusia tidak jarang berbuat aniaya terhadap alam semesta, dan akibatnya terjadilah kerusakan alam lingkungan hidup di sana-sini. Terhadap lingkungan hidup yang masih asri para penyair sering tergerak hatinya untuk menulis puisi yang berisi puja-puji terhadap keindahan atau kepermaian alam yang lansekapnya tersaji secara utuh dan nyata di depan matanya. Ekologi daerah Kalsel yang masih asri antara lain pernah diekspresikan oleh Syamsiar Seman, Hardiansyah Asmail, dan Iberamsyah Barbary dalam kutipan teks puisi mereka di bawah ini:
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
85
AMUN LANGSAT BABUAH LABAT (kaganangan pahin kakanakan) Amun langsat babuah labat Rambai pakuiannya mirangrang tadung Alahai hati ganal kakanakan kampung Ka kabun parak tulak bajurut Nahap limbai basisiut hangkui Kami pacul baju tatinggal salawar Mandakap batang langsat badadahuluan Mamutik buahnya nang ramba-ramba Alahai kawan si Inur nang di bawah Timbai! Pakuiannya nang batundun Rami barabut barubuhan Amun langsat babuah labat Pakuiannya nang batundun kuning Manisnya buah tahun masak di puhun Alahai kawan si Inur nang mahadang Manis langsat maulah dandaman Syamsiar Seman, 1976:32. Antologi Puisi Bahasa Banjar Tanah Habang, Penerbit Bina Budaya Banjar, Banjarmasin.
Pohon langsat yang berbuah lebat merupakan lansekap alam yang identik dengan keasrian. Tanah tempat pohon langsat tumbuh masih subur, dan pohon langsat itu sendiri tidak ditebang karena tanahnya tidak dialihfungsikan untuk kemudian digali sebagai lahan tambang batubara oleh pemilik konsesi yang baru atas tanah milik orang kampung di daerah hulu sungai sana. Kecerian anak kecil yang hidup di kampung-kampung masa lalu (1976) digambarkan dengan sangat polaroid oleh Syamsiar Seman. Kecerian yang khas anak-anak yang hidup di lingkungan alam yang masih asri (Alahai hati ganal kakanakan kampung, dan Nahap limbai basisiut hangkui) LOKSADO Tanah nang tinggi nangkaya bamimpi Mimpinya mangalir matan sasala waktu Matan balai ka pdang-padang jambu Di sini kita baulih saganggam harapan Nangkaya hijau kayuan di kantauan Kaya putihnya batuan haratai 86
Tajuddin Noor Ganie
Loksado kaya intan bujang mandaring Kur sumagat intanku intan papikat Hambur kambang di balai patilarahan Kumbah sagala gamalan sambur lawan sapah habang Sanggul kakanakan banua handak badatang Mambawa gandang basapuh habang Oiii bubuhan damang Kumpulakan kakanakan banua Hamburakan intan pikatan di dadanya Limbah itu bisikakan Tantang baladang nang bapindah-pindah Lawan pandulangan wayah ari malam Bila matahari sudah cagat Hambur kambang di paramasan Tajak bandira di pucuk kantauan Silahakan bailang bubuhan bujang subarang Kami tarima lawan dada nang lapang Hardiansyah Asmail, 1994:3. Antologi Puisi Bersama 10 Besar Puisi Banua Penerbit HIMSI Kalsel, Banjarmasin.
Kepermaian alam Loksado yang masih asri digambarkan oleh Hardiansyah Asmail di Bait II puisinya ini. Loksado kaya intan bujang mandaring/Kur sumagat intanku intan papikat/Hambur kambang di balai patilarahan/Kumbah sagala gamalan sambur lawan sapah habang/ Sanggul kakanakan banua handak badatang/Mambawa gandang basapuh habang. Alam yang masih asri membuat hati anak negeri menjadi terbuka dengan para pendatang, tidak ada rasa curiga para pendatang akan menjadi actor antogonis yang bakal merusak keasrian alam Loksado (Silakan bailing bubuhan bujang subarang/Kami tarima lawan dada nang lapang). . SUNGAI MARTAPURA Di sasala pasang surut landasan waktu Dahulu di tahun 1960-1970-an Mun pasang pindua Banyu tanang jaranih pang hati mamandang Maapung riang ilung bakambang Ungu muda cahaya jaranihmu Bahias kacipak kayuh tambangan Jukung manjual lalapan, buah saraba buah wan pacarakinan Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
87
Hilir mudik tawar manawar tupang Lanting ka lanting titian ka titian, hiyaw barucaw rami bajualan, batatukat sapanjang sungay uhuy… sabingkay gambar kahidupan nang bungas di bubungan langit kuta saribu sungay ruhui rahayunya warna bakakambangan bungas bataut di tawing kanangan di baisukan nang mahindaw, mahancap tarang basinar kukus mangapul hangat manyingkap hintip barucawlah batang banyu manyambut guliat nang santun kakanakan bagayaan galuh wan nanang bakacibung bakunyung manyibak landas arus umbak nang mandabur sarung bahalay pisit di dada bubuhan babinian bamandiyan batatapas putih-putih mancarunung mata tahangkup tiring, kasisipuan sintup di hati putih kuning mahambur pandang di batang-batang Maapung gagayaan Timbul tinggalam 50 tahunan nang lalu Arus tarus mangalir ka muhara tahun 2011 Tacaragal aku di atas jambatan Kalayan wan Pakapuran Tabing dihikam, wajah luas batang banyu Wayah damini kipit bahimpit wan tihang kahada tahu dibasa rumah-rumah baagak batajak mahuding diri (damiya kalu panghuni bapikir, nangini alih Gurung-gurung wadah manimbay ratik-ratik nang supan) Kasian mambari maras, hati naya umpat luluh Nang diharapakan, tapi jua nag disia-siakan Ditimbayi nang kahada karuan ratik wan Limbah manyandang duka Lagi garing lahay, rinyut Darah mengalir maangkut karuh kahirang-hirangan Bakakambangan limbah palastik Putih kusam warna-warni Aku yakin, baumu pun mandingur Kaya jin gila nang lawas kahada di puja Tatanggapun udah babal baling wan bau Manyimpan bau bajuta biang panyakit
88
Tajuddin Noor Ganie
Badimapa lahay wan anak sungay nang lainnya (Dugaanku umpat mangalir) Ajinaay landas banyunya kahada bakutayap ringkih Di sasala tanah urukan Baubah ujut jadi gut nang kipit hibak pucirin Wadah sagalaan mahluk nyamuk baulah sarang wan bahintalu Kuta saribu sungay rinyut arus landasmu, mamaraki muhara kamatian Muhara laut hudah surut, baluluk wan babusa Wadah bakumpul saluruh kasia-siaan manusia Jangan hampay ulak landasmu muyak Laluay bala mailangi kuta Banjarbaru, 2011 Iberamsyah Barbary, 2013:209-211. Antologi Puisi Pribadi Balahindang Yayasan Kamar Sastra Nusantara, Banjarbaru.
Potret kepermaian alam di Sungai Martapura yang membelah kota Banjarmasin pada tahun 1960-1970-an (Bait I-III) sangat kontras dengan potret polaroid atas lokasi yang sama yang dipotret penyairnya pada tahun 2011 dst (Bait IV-VII). Puisi-puisi Keluh-kesah Ekologi Daerah Kalsel Selain mampu memproduksi alat-alat pertahanan diri untuk melawan keganasan alam, manusia juga dapat menjadi aktor antagonis dengan perilaku buruk yang sangat destruktif dalam merusak ekologi alam semesta. Akibat ulah manusia yang destruktif maka terjadilah kerusakan ekologi di mana-mana. Semua entitas ekologi terpapar dampak negative ulah manusia: air, tanah, dan uaranya semuanya tercemar di atas ambang batas yang dapat ditoleransi oleh pancaindera manusia. Kerusakan ekologi terjadi sebagai dampak ikutan dari ulah manusia yang mengeksploitasi dan mengeksplorasi kekayaan alam untuk memenuhi kebutuhan konsumtifnya, seperti: pangan, sandang, papan, logam, minyak, dan lain-lain. Menurut Beale (1980:20, dalam Mufid, 2010:70) pengelolaan lingkungan hidup lebih dimaksudkan untuk mengenadalikan kegiatan manusia dalam memenuhi kebutuhan hajat hidup konsumtifnya agar jangan sampai melampaui batas-batas yang dapat ditoleransi oleh daya dukung alam itu sendiri.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
89
Terhadap lingkungan hidup yang masih asri, para penyair terinspirasi untuk menulis puisi yang berisi puja-puji terhadap keindahan alam yang lansekapnya tersaji secara nyata di depan matanya. SWebaliknya, terhadap lingkungan hidup yang sudah mengalami degradasi (sudah rusak parah), para penyair akan menuliskan keluh kesahnya dalam bentuk puisi yang bernada duka (eligi) atau bahkan berisi kutukan garang kepada para pelaku pengrusakan lingkungan hidup itu. Dalam konteks ini para penyair akan menempatkan diri mereka sebagai korban dan pihak lain sebagai pelaku antogonisnya. Pelaku antagonis adalah manusia perusak lingkungan hidup, yakni mereka yang demi kepentingan diri sendiri atau demi kepentingan kelompoknya telah melalukan eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam yang ada. Dalam puisi Manyanggar Banua karangan Erika Adriani di bawah ini para pelaku perusakan lingkungan hidupnya itu ditudingnya sebagai tukang bulangkir banua. Hukuman untuk mereka adalah dibunuh dengan cara dihumbalang, diriwas, atau didamak (disumpit dengan anak sumpitan beracun). MANYANGGAR BANUA tumatan subalah gunung di Hulu Banyu tandik balian mahantak balai kanjar wan babangsai mamasung malam garincing galang hyang mangariau alam patilarahan uu, bubuhan dangsanak malapas kukus dupa baharum banua umai, manyanggar banua di bawah hindau bulan di bawah garirap ribuan bintang di palinjangan Garuntung Manau, basuluh undayang manggantar alam mambang hutan-hutan takurijat sungai-sungai manguliat angin mangaji daun kadap mangaji ambun karasmin gaib di alam bumi lamah mamang mambasuh wisa gamal panjulang mamajah bara andak sasaji di langgatan, banih wan lamang supaya alam banua daham rusak supaya hidup tarasa nyaman
90
Tajuddin Noor Ganie
Cuh! bajauh tukang bulangkir banua daham barurusak lagi di sia kaina kami humbalang kaina kami riwas kaina kami damak kami handak jua guring nyanyak kami handak jua manyambung hinak Banjarmasin, 30 Juli 2010 Keterangan 1. Hulu Banyu : nama lain kawasan hunian suku Dayak Maratu 2. Kanjar : tarian yang dibawakan kaum laki-laki 3. Babangsai : tarian yang dibawakan kaum perempuan 4. Galang hyang : gelang keramat untuk upacara adat 5. Patilarahan : alam roh para nenek moyang 6. Manyanggar : upacara agar terhindar dari musibah dan rasa syukur diberikan rezeki serta keselamatan 7. Garuntung Manau : seorang datuk sakti pembasmi kejahatan dalam kepercayaan suku dayak Meratus 8. Mamang : do’a, mantera 9. Panjulang : penabuh gendang 10. Langgatan : tempat meletakkan sesaji Erika Adriani, 2010:7-8. Bunga Rampai Puisi dan Cerita Pendek Bahasa Banjar Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII Kabupaten Tabalong 2010 berjudul Manyanggar Banua.
Ungkapan garang yang sama dan hukuman ekstrim yang sama (hukum bunuh) disuarakan oleh penyair East Star From Asia dalam kutipan teks puisinya di bawah ini: MARATUS (Hagan pian, nang mangaku maangkat dangsanak Put lalak, kaputingannya mahantak) DI BANUA. Habar nang manggaliwayang. Saban malam Jumahat, imbah sanja kuning marimis. Di tambang nangitu, kadangaran puhun kayu pukah. Kadangaran buldozer ngaur-ngaur mahambur tanah. Tagal kadada siapa-siapa. Di lain. Sabab malam Jumahat, imbah sanja kuning marimis, di kanturan ganal nangitu. Kadangaran batu dihawar bagadangkar. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
91
Kadangaran urang kajar. Kada lawas tadangar urang kuciak papar. Tagal kadada siapa-siapa. Saban malam Jumahat, imbah sanja kuning marimis. Kadangan di kanturan ganal nangitu. Hiii. (Rak-rak gui, bincul mumui Akayah. Nangapa banua dilincai kumpai?) Amun batang kayu pahabisan hudah habis Banyu mata baah kada habis-habis Amun batu bara pahabisan hudah habis Biar banyu mata darah kada habis-habis Dalas balangsar dada nangapa nang handak dikais? Sabakas sayup, salawasan siup Pian handak baisian kahandak Ulun takutan baisian katakutanan Dangsanak kada dangsanak mun balum anyak Kibit urang sakit saurang (Pung pang halu, tapangkung waru! Akayah. Wani maambangun wani manyambut) Amun hutanan pahabisan hudah habis Banyu baah kada habis-habis Amung gunung pahabisan hudah hudah habis Labar kabun pahumaan bagai kada habis-habis Dalas bahantak batis nangapa nang handak dipais Sabakas sayup, salawasan siup Ulun handak baisian kahandak Pian takutan baisian katakutan Damak kada damak mun balum disumpitakan Siapa manyurung apinulat dicancang Ulun itihi, pian kalumpanan Ulun tagur, pian kapiragahan Ulun haga, pian karusakan Amun pahatian pahabisan hudah habis Muar ulun kada habis-habis Kuluh baribu kuluh Dibulihakan manatak cakang, pian manabang puhun kayu Dibulihakan manabang puhun kayu, pian manabas hutanan Dibulihakan manabas hutanan, pian mahambur gunung Dibulihakan mahambur gunung, pian mangipai bubuhan kulaan 92
Tajuddin Noor Ganie
Pina baadat kada baadat, baadat musti baadat Amun muha aasaan batampungas, ulun kada aasaan manapas Handak gantung sarinditkah? Handak tundikkah? Handak balah saribukah? Ulun, ulun, ulun kawa maulah parang maya Cah, pian urang manakah. Urang badahikah. Urang haratkah! Amun di banua tapakai kupiah purun Ulun amparakan tikar purun Nang kada kawa dikukut sabarataan Daham dikuluh sabarataan (Pus pus mura, bubus bakul purun Akayah. Umbayang gin dipatuk mun tajajak) Amun muar pahabisan hudah habis Banyu tawar sambur kada habis-habis Amun sabar pahabisan hudah habis Biar mata luka darah kada habis-habis Dalas batimpas jual siapa nang handak manukari? Sabakas sayup, salawasan siup Ulun handak baisian kahandak Pian takutan wan katakutanan Cuh, cuh! Ulun ludahi talapak tangan Talunjuk manunjuk langit rakungan “Aku tahu asal ikam, sangiang gararak. Hai urang jauh, lanah lunuh Kusumpit sumangat rabah rubuh Sumpit ka batu, batu manggarapak Sumpit ka angin, angin tacandak Sumpit ka awak, awak ramak Parang maya, tarabang bang. Tarabang tuju ka ampun buldozer di manakah Ina ana abu dana, puaah! (Nuna nuni, lampah turung di agung! Akayah. Tambang mati bungkam gunung). DI BANUA. Habar nang manggaliwayang. Saban malama Jumahat, imbah sanja kuning marimis. Di tambang nangitu kadangaran puhun kayu pukah. Kadangaran buldozer ngaur-ngaur mahambur tanah. Tagal kadada siapa-siapa.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
93
Di lain. Saban malam Jumahat, imbah sanja kuning marimis, di kanturan ganal nangitu. Kadangaran batu dihawar bagadangkar. Kadangaran urang kajar. Kada lawas tadangar urang kuciak papar. Tagal kadada siapa-siapa. Isuk ari saikung nang tatuhanya kadapatan kana wisa. Hiii… Keterangan 1. Rak-rak gui, pung pung, pus pus, cucuh cuh dan puah puaaah (kata tiruan bunyi) 2. Akayah, cah (kata seru) 3. Sangiang (dari kata Sang Hyang) dan put (dari karamput) 4. Apinulat (kata sumpah serapah, kualat) 5. Ina ana abu dana dan nuna nuni (mantra guna-guna). East Star From Asia, 2010:13-16 Bunga Rampai Puisi dan Cerita Pendek Bahasa Banjar Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII Kabupaten Tabalong 2010 Manyanggar Banua.
Penutup Apa yang dipaparkan dalam makalah ini merupakan barometer yang masih berada di tataran wacana yang masih bersifat teoretis menyangkut aspirasi para penyair Kalsel terhadap fakta-fakta ekologi daerah Kalsel yang bersifat kasat mata, baik dalam hal keasriannya, maupun dalam hal kerusakannya. Aspirasi pribadi yang diungkapkan oleh masing-masing penyair Kalsel dimaksud dapat dijadikan sebagai bahan renungan atau bahkan sebagai bahan periksa yang faktual bagi para pejabat pemerintah di provinsi, kota, dan kabupaten di Kalsel, yang karena tugas pokok dan fungsi instansinya wajib mengupayakan kebijakan formal agar ekologi daerah Kalsel tetap terjaga keasriannya, dan tidak rusak akibat kegiatan-kegiatan eksploitasi dan eksplorasi kekayaan alam yang bersifat masif sehingga melampaui batas-batas yang dapat ditoleransi. Daftar Rujukan Adriani, Erika. 2010. Manyanggar Banua. Bunga Rampai Puisi dan Cerita Pendek Bahasa Banjar Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII Kabupaten Tabalong, Tanjung, 2010. Asia, East Star From. 2010. Manyanggar Banua. Bunga Rampai Puisi dan Cerita Pendek Bahasa Banjar Pemenang Lomba Aruh Sastra Kalimantan Selatan VII Kabupaten Tabalong, Tanjung, 2010. Asmail, Hardiansyah. 1994. Antologi Puisi Bersama 10 Besar Puisi Banua Banjarmasin: Penerbit HIMSI Kalsel. 94
Tajuddin Noor Ganie
Barbary, Iberamsyah. 2013. Antologi Puisi Pribadi Balahindang. Banjarbaru: Yayasan Kamar Sastra Nusantara Kalimantan Selatan. Hapip, Abdul Jebbar. 2001. Kamus Banjar Indonesia. Banjarmasin: Penerbit Grafika Wangi Kalimantan. Cetakan Ulang Edisi III. Mufid, Sofyan Anwar. 2010. Ekologi Manusia dalam Perspektif Sektor Kehidupan dan Ajaran Islam. Bandung: Penerbit PT Remaja Rosdakarya. Cetakan I. Seman, Syamsiar, 1976. Antologi Puisi Bahasa Banjar Tanah Habang, Banjarmasin: Penerbit Bina Budaya Banjar. Cetakan I.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
95
96
Tajuddin Noor Ganie
TRADISI KEALAMAN ETNIK TIONGHOA DALAM NOVEL INDONESIA Fatchul Mu’in
Abstrak Makalah ini membahas perilaku kealaman etnik Tionghoa sebagaimana terungkap dalam novel Indonesia. Penulis menggunakan pendekatan memisis dengan metode penelitian sosiologi sastra. Penelitian sosiologi sastra menunjukkan bahwa peneliti melakukan pembacaan karya sastra secara heuristik dalam proses pengumpulan data, dan melakukan analisis secara hermeneutik, dengan menghubungkaitkan antara fakta imaginatif dan fakta sosial-budaya masyarakat Tionghoa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Tionghoa memiliki perilaku penghormatan terhadap alam. Alam merupakan bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Pengantar Dalam kehidupan masyarakat terdapat banyak persoalan. Walaupun dalam kenyataannya tak dapat dipisahkan satu dengan yang lain –untuk kemudahan pemahaman- persoalan-persoalan dalam kehidupan ini dapat digolongkan dalam tiga hal: (a) persoalan manusia secara personal, (b) persoalan antar manusia yang satu dengan yang lainnya, termasuk dengan alam sekitarnya, dan (c) persoalan manusia dengan Tuhan (Nurgiyantoro, 1998 : 323). Kajian karya sastra dapat dilakukan dengan beraneka macam pendekatan. Pemanfaatan pendekatan kajian karya sastra tergantung dari mana karya sastra itu dipandang, apakah ia dipandang dari sisi sebagai karya yang otonom? Apakah ia dipandang sebagai produk pengarang? Apakah ia dipandang sebagai representasi dari masyarakatnya? Atau ia dipandang dari sudut pandang pembacanya? Ekokritik merupakan salah satu dari pendekatan yang dapat digunakan dalam kajian karya. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
97
Ekokritik memiliki paradigma dasar bahwa setiap objek dapat dilihat dalam jaringan ekologis dan ekologi dapat dijadikan itmu bantu datam pendekatan kritik tersebut. Kemuncutan ekokritik tampaknya merupakan konsekuensi togis dari keberadaan ekologis yang makin memertukan perhatian manusia. Selama dalam dominasi orientasi kosmosentris, teosentris, antroposentris, dan logosentris, keberadaan ekologis terlalu jauh dari pusat orientasi pemikiran dan bahkan terpinggirkan sehingga pada akhirnya terlupakan. Kondisi demikian disebabkan oleh ketidakseimbangan dominasi budaya yang terlalu eksploitatif terhadap alam. Hal ini tampaknya berpangkat dari pota pikir dikotomis natural culture (alam/budaya). Kebudayaan melawan alam. Kita mungkin saja menyaksikan bahwa manusia merasa tersingkirkan baik secara fisik maupun budaya akibat kemajuan ilmu dan teknologi, yang mendorong dengan amat kuat munculnya industrialisasi. Industralisasi mendorong munculnya kapitalisme. Dunia industri yang dipelopori kaum kapitalis itu mampu menggeser kebudayaan dan peradaban yang telah mapan (established) sejak nenek moyang. Sebagai contoh, masyarakat petani yang selama ini mengandalkan tanah pertanian sebagai sumber mata pencaharian, harus merelakan tanahnya dibeli dengan ‘agak memaksa’ oleh pemilik modal untuk keperluan industri atau usahanya. Mereka harus menyingkir ke daerah-daerah pinggiran atau melibatkan diri dalam industri dan/atau usaha pemilik modal. Dengan demikian, bagi mereka yang meninggalkan pertanian, berarti mereka teralienasi secara budaya, yakni, antara lain, bergeser pola hidupnya: dari pola hidup sederhana ala petani ke pola hidup konsumeris (mengikuti pola hidup orang-orang di sekitarnya). Teori ekokritik bersifat multidisiplin. Di satu sisi ekokritik menggunakan teori sastra dan di sisi lain menggunakan teori ekologi. Teori sastra merupakan teori yang mulidisiptin begitu pula teori ekologi. Datam sudut pandang teori sastra, teori ekokritik dapat dirunut datam paradigma teori mimetik yang memiliki asumsi dasar bahwa kesusastraan memiliki keterkaitan dengan kenyataan. Paradigma teori mimetik yang dapat digunakan, misalnya paradigma imitasi dari Plato atau rekreasi, yang kemudian dikembangkan oleh M.H. Abrams dengan teori Universe-nya. Perilaku Kealaman Dalam tradisi Tionghoa, terdapat konsep tiga alam: alam langit, alam bumi dan alam baka. Konsep tiga alam itu adalah inti dari kepercayaan tradisional Tionghoa. Leluhur orang Tionghoa percaya 98
Fatchul Mu’in
bahwa tiga alam ini mempunyai peranannya masing-masing dalam menjaga keseimbangan alam semesta ini. Ketiga alam ini tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri tanpa kedua alam lainnya. Alam dan bumi adalah tempat hidup manusia dan makhluk hidup lain. Tubuh manusia berasal dari unsur-unsur kimiawi yang berasal dari bumi. Dengan perkataan lain, tubuh manusia berasal dari bumi dan mendapatkan makanan dari bumi, sedangkan roh manusia diperoleh dari Tuhan. Manusia mempunyai roh dan raga, oleh karena itu, manusia wajib menjaga kelestarian alam agar sumber kehidupannya tidak habis. Perilaku Penghormatan terhadap Benda-Benda Suci Etnik Tionghoa memiliki tradisi kepercayaan bahwa benda-benda suci yang dipercayai memiliki kekuatan supernatural dan oleh karena itu mereka memberikan penghormatan benda-benda suci, seperti hia, chiou-pou, daun padi muda, daun beringin, dan sebuah kuecang, serta benda yang disakralkan. dengan benang merah dia gantung seikat dedaunan yang dibeli di pasar pada kusen pintu, yakni daun sudamala alias hia, daun deringo alias chiou-pou, daun padi muda, daun beringin, serta sebuah kuecang (sejenis bacang, terbuat dari ketan tanpa isi) yang kecil. Gabungan dari semua benda tersebut dipercaya ampuh untuk menangkal dan mengusir jenis binatang berbisa dan siluman jahat yang suka mengganggu ketemteraman hidup seisi rumah (Novel Bonsai, hal. 91).. Bs/kekuatan-benda-sakral/99 “….ketika kayu itu dijemur, ia bermimpi bahwa kayu tersebut “minta dirawat”. Maka, ia pun membuatkan sebuah gubuk sederhana dengan tiang-tiang bambu dan diberi atap rumbia sebagai tempat penyimpanan kayu tersebut. Kini kayu keramat itu didampingi perahu Papak Hijau yang terbelah sebagai tanda penghormatan orang-orang Cina Benteng kepada benda yang disakralkan. Selanjutnya, orang-orang menyebut tempat itu beserta isinya Empek Pe-Cun. (Novel Bonsai, hal. 91)..
Benda-benda suci, sebagaimana dipaparkan di atas, dipelihara secara baik karena suatu saat dapat dimanfaatkan sebagai jimat untuk menangkal gangguan binatang buas; benda yang disakralkan tidak boleh disia-siakan dan harus dirawat secara baik karena diyakini memiliki kekuatan sebagai pelindung umat manusia dari segala marabahaya.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
99
Perilaku Etnik Tionghoa terhadap Kelestarian Alam Perilaku etnik Tionghoa terhadap kelestarian alam didasarkan pada ajaran leluhur. Penanaman pepohonan pada umumnya, dan penanaman bonsai pada khususnya merupakan upaya untuk berperan serta dalam pelestarian alam. Menanam bonsai berarti menciptakan karya seni dan sekaligus mengamalkan falsafah hidup, yakni : cinta sejati, kesetiaan, keteguhan, kesabaran, ketabahan, kerendahan hati, dan umur panjang Sebatang pohon itu harus menciptakan atmosfer hutan kecil. Ia harus mewujudkan sebuah pohon raksasa dalam sosok yang terpulau sendirian di dalam pot (Novel Bonsai, hal. 45). Seni membikin kate tumbuh-tumbuhan di Tiongkok disebut pen-jing, yaitu seni membikin kerdil tanaman yang ilhamnya berasal dari panorama alam. Ibarat kata, tanaman itu suatu lukisan alam yang hidup dan elok dipandang dalam bentuk yang mungil tanpa mengurangi pesona alamiahnya (Novel Bonsai, hal. 55)
Menanam pepohonan merupakan perwujudan salah satu pokok ajaran leluhur Tionghoa, yaitu menciptakan keseimbangan dan keharmonisan manusia dengan alamnya. Atas dasar ajaran itu, orang Tionghoa memiliki kesadaran untuk melestarikan kondisi ekologis di lingkungan sekitarnya. Salah satu upaya untuk ikut melestarikan ekologi itu adalah dengan cara menanam tanaman dalam pot dalam bentuk bonsai. Selain memancarkan keindahan, bonsai mengimplikasikan falsafah hidup, yakni “ cinta sejati, kesetiaan, keteguhan, kesabaran, ketabahan, kerendahan hati, dan umur panjang. Semua itu adalah nilai-nilai luhur yang seiring sejalan dengan ajaran yang merupakan pedoman leluhur dalam menjalani hidup di dunia fana ini” (Novel Bonsai, hal. 45 dan 55). Perilaku dalam penghargaan etnik Tionghoa terhadap alam ditunjukkan dengan tidak memakan binatang atau hewan. Sebagai gantinya, sebagaian dari mereka memakan hasil bumi. Orangorang ini disebut vegetarian. Vegetarian secara umum ialah orang yang tidak mengonsumsi daging, baik daging sapi, ayam, kambing hingga ikan, dan hanya memakan sayur-sayuran, buah-buahan maupun bahan nabati lainnya. Aku mencintai alam dan menghargai makhluk hidup. Jadi, menurutku, memakan binatang sama dengan pelecehan kepada alam itu sendiri. Alam telah menyediakan sayur-sayuran yang sehat untuk tubuh manusia (Novel Dimsum Terakhir, 136).
100
Fatchul Mu’in
Upaya yang dapat dilakukan manusia untuk bisa hidup sehat tanpa meninggalkan dunia modern yang dijalaninya adalah dengan berusaha menyelaraskan diri dengan alam. Menjadi seorang vegetarian, adalah salah satu cara yang dapat ditempuh untuk menyelaraskan diri dengan alam. Sisi lain dari perilaku terhadap kelestarian alam ditunjukkan dalam data berikut, bahwa manusia harus menghargai sesama manusia dan makhluk lain. Kita mesti peduli bukan cuma kepada sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk yang lain, seperti kepada binatang, tetumbuhan, batu dan debu sekalipun.”….”Dalam kerangka uraiannya seakan-akan ia melihat manusia yang tidak berdiri dengan angkuh, melainkan menyatu dengan lingkungan hidupnya. Suatu konstelasi yang bersikap saling menghormati, saling menjaga (Novel Bonsai, hal.128).
Perilaku etnik Tionghoa terhadap lingkungan didasarkan pada sistem ekologi yang diwarisi dari leluhur mereka, bahwa manusia itu manyatu dengan lingkungan sosial-budaya dan lingkungan fisik. Manusia harus memandang lingkungan sebagai bagian dar kehidupannya, dan oleh karena itu, ia harus menghargai dan memiliharanya. Perilaku ini didasarkan ajaran leluhur, yakni prinsip Yin-Yan. Perilaku dalam Mendirikan Bangunan Tradisi Tionghoa menunjukkan bahwa mendirikan bangunan, khususnya, tempat ibadah (kelenteng) terlebih dahulu dipertimbangkan berdasarkan pada hong-sui. Eng Kiat memaparkan bahwa ketiga kelenteng itu dibangun dengan fondasi teknis disertai pertimbangan hong-sui. Dia ungkapkan bahwa, sesungguhnya, pemilihan lokasi ketiga bangunan peribadatan itu didasarkan atas suatu perhitungan geometris yang tidak mudah dipahami. Kendati semuanya berdiri di tepi sungai yang berkelokkelok, masing-masing bangunan secara disiplin terletak pada satu garis lurus nyaris tanpa cacat geometris. Di ujung garis terdapat Boen San Bio. Sedangkan pada titik tengah adalah Boen Tek Bio. Di ujung yang lain Boen Hay Bio (Novel Bonsai, hal. 127).
Hong-sui adalah warisan berharga dan tradisi orang Tionghoa. Hong-sui secara harfiah berarti angin dan air. Angin melambangkan arah, air melambangkan kekayaan. Hong-sui diyakini dapat meningkatkan kehidupan dan keberuntungan. Berdasarkan pada perhitungan hong-sui itu, dalam membangun tempat ibadah, orang Tionghoa mampu membangun tiga kelenteng dengan jarak berjauhan Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
101
antara satu dengan yang lainnya berada dalam garis lurus. Tiga kelenteng yang dibangun dalam satu garis lurus itu diyakini memiliki satu roh sehingga tidak dapat dipisahkan satu dari yang lainnya, dan menghadirkan kebajikan setinggi gunung, seluas lautan (Novel Bonsai, hal. 128). Diskusi Temuan Perilaku Kealaman Pandangan terhadap Kelenteng, Benda Suci, Kelengkapan Upacara Keagamaan, dan Aneka Warna Hiasan Temuan penelitian menunjukkan adanya perilaku penghormatan terhadap rumah ibadah yang disebut kelenteng. Kelenteng merupakan tempat yang disucikan, berfungsi untuk melakukan kontak spiritual atau menyembah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta alam semesta. Terkait dengan rumah tempat ibadah ini masing-masing agama mempunyai nama sendiri-sendiri seperti : gereja, masjid, pura, vihara dan klenteng. Klenteng dalam hal ini dapat diartikan sebagai sebuah bangunan suci yang digunakan untuk melakukan kegiatan berbagai upacara bagi etnik Tionghoa khususnya bagi mereka yang menganut agama Tri Dharma yaitu Budha, Tao, dan Kong Hu Chu. Sarana upacara yang digunakan dalam persembahyangan adalah berupa patung dewa, serta peralatan lain di antaranya lilin besar dan kecil, lampu minyak kelapa, bun pwee, ciam, vas atau jambangan besar berisi pasir halus untuk menancapkan dupa atau hio dan sebagainya. Sesaji yang dipersembahkan adalah beraneka buah-buahan (apel, mangga, anggur, pisang emas, pir), kue ku, kue moho, dan tumpeng wajik. Masyarakat etnik Tionghoa mempunyai komunitas yang terkenal dengan sebutan daerah Pecinan, dalam kehidupan sehari-hari diwarnai dengan budaya bernafaskan Tionghoa. Mereka sangat taat dan terikat dengan budaya tanah leluhur, mereka akan berbondong-bondong datang ke klenteng untuk melakukan peribadatan, yaitu sembahyang atau berdoa kepada para dewa maupun kepada para leluhur yang mereka amat sucikan. Hiasan pada klenteng umumnya terdapat pada bubungan, gording kerangka konstruksi bagian dalam klenteng, juga di beberapa dinding. Hiasan pada bubungan berupa dua ekor naga (liong) berhadapan seolah sedang berebut bola merah. Naga merupakan simbol dari Kaisar dan bola melambangkan simbol matahari yang artinya sumber penghidupan. Bagi masyarakat Tionghoa, naga diyakini sebagai wujud 102
Fatchul Mu’in
binatang mistik dengan sifat-sifat baiknya dapat melindungi manusia dari segala bencana. Terkait dengan hiasan yang menyerupai hewan ini, Mulyono dan Thamrin menyatakan sebagai berikut: Hewan-hewan yang paling banyak ditemukan adalah naga, burung phoenix, kelelawar, kura-kura dan singa. Ada 4 hewan yang memiliki posisi cukup kuat dalam tradisi kebudayaan Cina (four Intelligents-sze ling): (1) Unicorn atau kilin yang bisa juga disimbolkan sebagai harimau atau beruang. Mahluk ini duduk di posisi barat; (2) Phoenix /feng huang. Mahluk ini menduduki posisi selatan; (3) Kura-kura/gui atau Ular yang menduduki posisi utara; (4) Naga/lung yang duduk di posisi timur. Keempat binatang tersebut biasanya dihubungkan pula dengan lima elemen dalam tradisi cina: kayu, api, tanah, metal, air. Kelima usur tersebut biasanya disimbolkan dengan naga biru, phoenix merah, naga kuning, harimau putih, dan ular hitam. Lima hal tersebut biasanya dihubungkan pula dengan 5 kaisar: Fu-His, Shen-Nung,Huang-ti, Shaohao dan Chuan-hsu. (Mulyono dan Thamrin, 2008 : 1).
Selain hiasan naga yang sedang merebutkan bola mustika, terdapat pula yang tidak kalah penting adalah sembilan patung dewa-dewa yang masing-masing mengendarai seekor binatang yang aneh bentuknya. Patung dewa-dewa ini bagi masyarakat Tionghoa diyakini memiliki kekuatan untuk menjaga klenteng dari gangguan makhluk jahat. Pada gording dan kuda-kuda terdapat hiasan burung hong yang dikombinasikan dengan ornamen tumbuh-tumbuhan yang menjalar, sehingga mengesankan nilai seni yang amat tinggi dan agung. Burung hong diyakini sebagai simbol kebajikan, yaitu ketulusan hati, keadilan, kejujuran, kesetiaan, dan kemanusiaan. Menurut kepercayaan masyarakat Tionghoa, burung hong hanya muncul bila keadaan negara diperintah oleh raja atau kaisar yang bijaksana dalam keadaan makmur dan sejahtera. Patung utama yang dipuja dalam klenteng Tay Kak Sie adalah patung Dewi Kwam Im Po Sat yang disebut pula dengan nama Dewi Welas Asih. Patung ini dipuja sebagai Budhisatwa Amitaba (manusia Budha). Upacara bisa dilakukan secara kelompok besar ataupun secara pribadi. Upacara yang bersifat pribadi atau perorangan dilakukan tanpa pemimpin agama atau biksu. Waktu persembahyangan perorangan umumnya dilakukan setiap sore hari dengan membawa persembahan buah-buahan maupun aneka macam kue-kue dan dupa sebagai pengantar doa. Sementara upacara yang bersifat massal atau besar Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
103
selalu dipimpin oleh para biksu, misalnya dalam upacara tahun baru Imlek, menyambut kedatangan Cheng Toa Pek Kong naik, upacara pengantar roh naik (Sang Sin), upacara Toa Pek turun (menyambut kembali roh), upacara Cap Go Me (setiap tanggal 15 bulan Imlek), dan upacara Poo Seng Tay Tee, serta upacara lainnya. Pandangan terhadap Alam dan Kelestariannya Temuan penelitian menunjukkan adanya perilaku terhadap alam dan pelestarian alam. Dalam tradisi Tionghoa, alam dan bumi dipandang sebagai tempat hidup manusia dan makhluk hidup lain. Tubuh manusia berasal dari unsur-unsur kimiawi yang berasal dari bumi. Dengan perkataan lain, tubuh manusia berasal dari bumi dan mendapatkan makanan dari bumi, sedangkan roh manusia diperoleh dari Tuhan. Manusia mempunyai roh dan raga, oleh karena itu, manusia wajib menjaga kelestarian alam agar sumber kehidupannya tidak habis. Dalam kepercayaan orang Tionghua zaman purba, bumi dijaga oleh Malaikat Bumi, disebut Fu De Zheng Shen, artinya dewa yang memberi rejeki dan menjaga perilaku kebajikan manusia. Pemujaan terhadap Malaikat Bumi ini tetap dilestarikan oleh agama Khonghucu. Mitos Malaikat Bumi ini menyangkut dua kepentingan yaitu menjaga kelestarian alam dan menjaga perilaku manusia. Sampai sekarang banyak kelenteng dibuat oleh masyarakat penganut agama Khonghucu untuk menghormati Malaikat Bumi (Arif dalam http://www.gentanusantara.com). Menurut Taoisme, keyakinan terhadap Yin Yang meski harus terus dipertahankan sebab tuntutan terhadap keberadaan manusia akhirakhir ini sering merasa terancam dengan perilaku yang dilakukannya sendiri. Semangat Yin Yang adalah back to nature sebab manusia adalah bagian dai penyeimbang alam itu sendiri. Manusia merupakan sebuah mikrokosmos dalam hubungannya dengan makrokosmos atau alam semesta. Sebagai bagian pelengkap yang penting, manusia seharusnya tunduk pada hukum-hukum kosmos yang sama. Keseluruhan susunan alam semesta terbentuk dari keseimbangan yang sempurna antara kekuatan Yang dan Yin . Kejenuhan orang terhadap berbagai macam terapan kimiawi dan bebagai macam rekayasa genetika membuat prinsip Yin Yang yang terus berinteraksi dengan alam semakin mengukuhkan dirinya sebagai hal yang patut didalami, dikembangkan dan implementasikan oleh manusia (https://www.academia.edu/) Konfusianisme juga disebut humanisme, yang mengajarkan bahwa tujuan hidup yang hendak dicapai adalah kesejahteraan manusia dalam hubungan yang harmonis dengan masyarakatnya. Kodrat manusia menurut konfusius adalah “pemberian langit”, yang berarti bahwa 104
Fatchul Mu’in
dalam hal tertentu ia berada di luar piliham manusia. Kesempurnaan manusia terletidak dalam pemenuhannya sebagai manusia yang seharusnya. Moralitas merupakan realisasi dari rancangan yang ada dalam manusia. Oleh karena itu, tujuan manusia yang paling tinggi adalah menemukan petunjuk sentral bagi moral yang mempersatukan manusia dengan seluruh isi alam semesta. Bagi Konfusius, manusia adalah baian dari konstitutif dai seluruh isi alam semesta. Manusia harus berhubungan secara indah dan harmonis dengan harmoni alam di luarnya (Sen, 2010 : 39 – 41). Dalam skala kecil, menanam bonsai dipandang sebagai upaya untuk mencintai alam. Kata bonsai yang dipakai oleh bangsa Jepang berasal kata pen-zai. Dalam bahasanya sendiri mereka menyebut tanaman kate ini hachi-no-ki yang artinya sama juga, yaitu tanaman atau menanam pohon di dalam pot. Yang pasti, bonsai berasal dari negeri Tiongkok. Seni membikin kate tumbuhtumbuhan di Tiongkok disebut pen-jing, yaitu seni membikin kerdil tanaman yang ilhamnya berasal dari panorama alam (Bs/SeniMenanam Pohon/55). Sementara itu, dalam skala besar orang seperti ini akan mencintai dan memelihara lingkungan ekologis di lingkungan sekitarnya. Dalam tradisi Tionghoa, manusia dan alam tidak dapat dipisahkan; manusia harus menghormati, menjaga, dan memelihara alam. Perilaku Etnik Tionghoa terhadap Teknologi Agama Khonghucu mengajarkan agar masyarakat mempelajari sifat-sifat benda yang berada di bumi, dan dapat memanfaatkannya untuk meringankan beban hidup. Agama Khonghucu mengajarkan sebagai berikut “Karena manusia sudah dapat membuat perahu maka tidak perlu menyeberangi sungai dengan berenang. Orang melakukan perjalanan jauh tidak perlu berjalan kaki karena sudah ada kereta yang ditarik kuda”.. Itu artinya agama Khonghucu sangat menghargai teknologi karena dapat meringankan pekerjaan manusia. Teknologi berkaitan dengan ilmu pengetahuan alam, yaitu memanfaatkan sumber daya alam, air, angin, dan hasil tambang untuik meringankan hidup manusia (Arif dalam http://www.gentanusantara.com). Kelenteng sebagai bangunan untuk peribadatan dan pemujaan dewa-dewa Tao, Confusius dan Budha, dibangun sesuai dengan konsep feng shui. Feng shui adalah metode pengaturan tata ruang baik interior maupun eksterior, yang berpedoman pada keseimbangan lingkungan dan alam. Feng shui merupakan ilmu untuk menganalisis sifat, bentuk, kondisi dan situasi bumi yang menjadi lokasi/tempat manusia berada. Analisis Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
105
tersebut kemudian dijadikan dasar untuk menghitung dan merumuskan keharmonisan lokasi tersebut dengan penghuninya (Dian, 1996 : 13) Penutup Studi yang menghubungkan sastra dan alam atau lingkungan hidup memang belum banyak dibahas dan diayomi benar-benar. Belum banyak kegiatan yang menjadikan lingkungan sebagai pokok persoalan yang digulirkan. Kalau pun ada, hanya sebagai bungkus. Memang baik melakukan hal-hal yang demikian, tetapi permasalahan lingkungan hidup tak bisa diselesaikan hanya dengan seremonial belaka. Kesungguhan dan kerja nyata telak diperlukan. Sastra dan lingkungan ibarat bayi yang baru lahir. Ia sedang berusaha untuk tumbuh; semoga tak ada aral melintang untuk membuatnya dewasa. Sastra telah banyak berhutang pada lingkungan yang secara lingusitik mengonstruksi kehidupan sosial. Dengan kata lain, alam menjadi sesuatu yang bermakna ketika pengarang memberikan makna atasnya setelah ia mengadakan semacam “persinggungan” dengan keberadaan-nya. Daftar Rujukan Arif dalam http://www.gentanusantara.com. Barry, Peter. 2002. Beginning theory : An introduction to literary and cultural theory.Second edition. Aberystwyth, Dyfed SY23 3DY, Wales, UK: University Press. Clara NG. 2012. Dimsum Terakhir. Cetakan ketiga. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Dian. 1996. Logika Feng Shui. Seni Mencapai Hidup Harmonis & Bahagia Dalam Keberuntungan Bumi (Buku Satu). Jakarta : Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia Duranti, Alessandro. 2000. Linguistic Anthropology. Reprinted. Cambridge : Cambridge University Press Fatchul Mu’in. 2009. Maungkai Budaya. Banjarbaru: Scripta Cendekia Garrard, Greg. 2004. Ecocriticism. New York: Routledge Koentjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi. Cetakan kedelapan. Jakarta : PT Rineka Cipta. Koentjaraningrat. 2007. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Edisi kedua puluh dua. Jakarta: Djambatan Lembahmata, Pralampita. 2011. Bonsai, Hikayat Satu Keluarga Cina Benteng. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama 106
Fatchul Mu’in
RITUS EKOLOGIS TRADISI LISAN BALAMUT Sainul Hermawan
Abstrak Makalah ini bertujuan untuk menginterpretasi ekspresi non-verbal yang menyertai pertunjukan balamut pengobatan versi M. Jamhar Akbar dan ekpresi verbalnya yang relevan dengan semangat menjaga harmoni manusia dengan alam. Dengan kata lain, makalah ini menjelaskan bagaimana relasi tradisi lisan balamut dan lingkungan alamnya. Makalah ini ditulis berdasarkan pertunjukan M. Jamhar Akbar pada 15-16 Januari 2012, di rumah keluarga Juhairi, Kelurahan Tanjung Pagar, Banjarmasin Selatan dalam rangka ritual lamut tatamba atau pengobatan. Dengan menggunakan teori ekologi bahasa, sastra, dan budaya, makalah ini menemukan bahwa tradisi balamut berhubungan dengan lingkungan hidup melalui dua cara: verbal dan non-verbal. Kehadiran piduduk dan sesaji merupakan simbol determinasi lingkungan hidup Banjar terhadap ada dan tiadanya tradisi ini. Sedangkan ekspresi verbal dalam cerita balamut menekankan pentingnya menjaga keharmonisan antara manusia dengan lingkungannya. Empat puluh satu macam kue tradisional yang disimbolkan sebagai persembahan untuk para leluhur dapat dibaca sebagai tanda untuk mengingat bahwa alam telah banyak memberikan kebaikan kepada manusia. Manusia wajib beradaptasi sebisa mungkin agar pangan yang tersaji itu tetap ada. Kata kunci: ekokritik, balamut, sesaji, ekosemiotik, kearifan lokal, ekosentris, geosentris. Latar Belakang Tradisi lisan balamut di Kalimantan Selatan, merupakan ekspresi kebudayaan sebagian orang Banjar dalam mensyukuri manfaat yang telah diberikan alam kepada mereka dan memohon maaf kepada Tuhan Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
107
dan para arwah leluhur ketika mereka melalaikan tradisi ini.1 Jelas bahwa tradisi ini tidak menempatkan manusia sebagai pengendali alam tetapi sebagai bagian dari sistem kerja alam. Namun, tradisi ini tidak pernah dipandang sebagai ekspresi ekologis dari kearifan lokal orang Banjar tentang betapa pentingnya menjaga keseimbangan alam. Label religius yang sering disandangkan untuk orang Banjar turut mempengaruhi sikap para pembuat kebijakan untuk tidak melestarikan tradisi ini karena balamut dinilai sebagai bentuk ritual animism peninggalan masa silam, terutama dalam kasus balamut hajat atau tatamba (pengobatan). Oleh karena itu, makalah ini ingin melihat tradisi balamut hajat sebagai sebuah ritus ekologis. Tradisi balamut hajat bisanya diselenggarakan oleh orang Banjar yang percaya pada tradisi ini sebagai jalan kultural untuk mencapai harapannya. Harapan atau hajat itu bermacam-macam, tetapi yang umum biasanya mengharapkan kesejahteraan, kesehatan, dan ketentraman. Tradisi ini biasanya dilakukan pada malam hari seusai awal orang salat Isya. Pertunjukan balamut bisa sampai menjelang waktu salat Subuh atau hanya sampai tengah malam, tergantung permintaan tuan rumah. Dalam pelaksanaannya, palamutan mengisahkan cerita Lamut sambil menabuh tarbang Lamut (sejenis rebana besar). Di hadapannya tersaji sajian dan sebuah wadah dupa yang mengepulkan asap. Dengan demikian, tradisi ini menyajikan dua medan simbolik, yakni simbol verbal (cerita) dan simbol non-verbal (sesaji). Bagaimana kedua simbol tersebut menjelaskan paradigma orang Banjar tentang hubungan antara manusia dengan alam?
1
Orang Banjar sangat majemuk secara sosial dan kultural. Secara historis mereka terbentuk dari proses panjang silang genetik dan budaya, antara orang Dayak, Melayu, Jawa, Arab, dan Cina. Tradisi Balamut sangat dekat dengan sebagian orang Banjar yang tinggal di tepi sungai yang bekerja sebagai petani dan pedagang.
108
Sainul Hermawan
Gambar 1 Palamutan M. Jamhar Akbar, ritual balamut tatamba (15-16/1/2012)
Sampai saat ini, masih ada 6 palamutan atau juru cerita lamut di dua kabupaten dan satu kota, yaitu M. Jamhar Akbar dan Gusti Hanfiah di Kota Banjarmasin, Kurdi dan Ahmad di Kabupaten Banjar, dan Mar’i dan Santang di Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Cerita lamut beragam karena faktor sejarah pewarisan yang mereka alami dan faktor dialek dan ideolek setiap palamutan. Makalah ini ditulis berdasarkan pertunjukan M. Jamhar Akbar pada 15-16 Januari 2012, mulai pukul 20:00 sampai 02.30 wita, di rumah keluarga Juhairi, warga Jl. Simpang Limau, Kelurahan Tanjung Pagar RT 20, RW 03, Banjarmasin Selatan dalam rangka ritual lamut tatamba atau pengobatan. Ritual ini digelar sebagai upaya keluarga untuk mengharapkan kesembuhan putrinya yang telah lama sakit. Putrinya berkali-kali telah masuk rumah sakit tetapi belum menemukan kesembuhan. Supian (45), tetangga belakang rumahnya menyarankan untuk melaksanakan ritual lamut karena anak Juhairi yang pertama beberapa tahun silam pernah mengalami hal serupa dan mendapatkan kesembuhannya setelah dipergelarkan lamut oleh palamutan dari Kampung Melayu, Banjarmasin. Kelurahan Tanjung Pagar juga dikenal sebagai kampung Teluk Kubur yang angker dalam pengertian kriminal pada tahun 1980-an. Kedatangan Jamhar ke kampung ini adalah yang pertama. Meskipun demikian, warga setempat tampak antusias membawa anakanak mereka untuk mendapatkan tapung tawar. Mereka tampak yakin bahwa tapung tawar dari palamutan dapat melindungi anak-anak mereka dari malapetaka. Mereka pun membawa air dalam botol tanpa tutup dengan harapan berkah doa palamutan masuk ke air itu dan Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
109
mereka dapat menggunakannya untuk beragam harapan, mulai dari sebagai air penyembuh sampai air pelaris dagangan. Cerita yang dibawakan oleh Pak Jamhar adalah cerita Bujang Jaya. Pada bagian cerita yang mengisahkan anak dalam ayunan, palamutan meminta anak yang sakit itu diletakkan dalam ayunan. Itu terjadi sekitar pukul 2:30 wita. Palamutan kini menjadi semacam spesies langka yang perlu diselamatkan dari kepunahan. Konservasi budaya ini harus dimulai dengan mendamaikan pandangan agama dan ekologis agar tradisi ini dapat diterima sebagai produk budaya kreatif yang memiliki hak untuk bertahan hidup dan berkembang sebagai salah satu khasanah kekayaan budaya orang Banjar. Ekologi: Dari Biologi ke Budaya Ekologi, sebagai disiplin ilmiah lahir sekitar pertengahan abad ke19, ketika istilah itu dipakai oleh ahli Biologi Jerman Ernst Haeckel untuk menjelaskan totalitas hubungan antarorganisme. Pada awalnya, ekologi merupakan kajian dan tata kelola lingkungan atau ekosistem yang khusus. Namun dewasa ini, ekologi juga digunakan untuk menunjukkan pandangan dunia yang sepenuhnya berbeda dari pandangan ilmiah atau rasional yang diwariskan oleh Descartes dan beberapa pengikut kontemporernya, yang berasumsi bahwa hak dan takdir manusialah untuk mengendalikan dan mengeksplotasi bumi dan seluruh sumber daya hewani dan yang non-hewani (inilah yang disebut dengan pandangan dunia antroposentris). Bedanya, pandangan ekologis atau ekosentris atau geosentris berasumsi bahwa manusia bagian dari tata alam raya, atau bahkan sistem kehidupan yang besar. Pandangan ekologi ini disebut ekologi mendalam, yang oleh filsuf Norwegia Arne Naess dibedakan dengan ekologi dangkal (shallow ecology) yang mengkaji cara-cara mengendalikan ekosistem dan pengelolaannya (van Lier, 2004:3). Ekologi mendalam (deep ecology) merupakan sistem etis yang menempatkan nilai pada spesies lain dan alam, sehingga dengan demikian ekologi ini memiliki dasar epistemologis dalam ilmu ekologi, yang berupaya menemukan hubungan antarspesies dan meneliti saling ketergantungannya dalam kehidupan (Wall, 1994:85) Pandangan dunia tersebut juga diserap oleh ilmu bahasa dan sastra. Dalam kajian sastra, penggunaan ekologi sebagai perspektif kajian dikenal dengan istilah ekokritik (ecocritism). Ekokritik adalah kajian tentang hubungan antara sastra dan lingkungan fisik. Kalau kritik feminis mengkaji bahasa dan sastra dari perspektif berkesadaran gen110
Sainul Hermawan
der, dan kritik Marxis membawa kesadaran tentang modus-modus produksi dan kelas ekonomi untuk membaca teks, ekokritik memilih pendekatan yang terpusat pada kajian sastra (Glotfelty, 1996: xviii). Para kritikus ekologis biasanya mempersoalkan masalah-masalah sebagai berikut: Bagaimana alam direpresentasikan dalam sastra? Peran apa yang dimainkan oleh latar fisik dalam plot sebuah novel? Apakah nilai-nilai yang diekspresikan dalam drama konsisten dengan kearifan ekologis? Bagaimana metafora tentang tanah mempengaruhi cara kita memperlakukan tanah? Bagaimana kita mengenali ciri-ciri tulisan alam sebagai sebuah genre? Apakah tempat bisa menjadi kategori kritis tambahan bagi ras, kelas, dan gender? Dengan cara apa kesastraan sendiri berdampak pada hubungan antara manusia dan alam? Bagaimana konsep kebuasan berubah sepanjang waktu? Dengan cara apa dan untuk efek apa krisis lingkungan diserap ke dalam sastra kontemporer dan budaya populer? Pandangan alam apa yang memberikan informasi kepada pemerintah, perusahaan iklan, dan untuk memberikan efek retorika apa? Hubungan apa yang mungkin dimiliki ilmu ekologi terhadap kajian sastra? Bagaimana ilmu itu sendiri terbuka bagi analisis sastra? Perkawinan silang apa yang mungkin terjadi antara kajian sastra dan wacana lingkungan hidup dalam kaitannya dengan disiplin terkait, seperti sejarah, filsafat, psikologi, sejarah seni, dan etika? (Glotfelty, 1996: xix). Semua kritik ekologis memiliki premis dasar yang sama bahwa budaya manusia terhubung dengan dunia fisik, mempengaruhi dan dipengaruhinya. Subjek kajian ekokritik adalah keterkaitan antara alam dan kebudayaan, khususnya artifak kebudayaan yang berupa bahasa dan sastra. Sebagai sebuah pijakan kritis, satu kakinya berpijak pada sastra dan kaki yang lain di bumi, dan sebagai wacana teoretis, ekokritik menegosiasikan antara manusia dan yang bukan manusia (Glotfelty, 1996: xix). Teori sastra pada umumnya mengkaji hubungan antara penulis, teks, dan dunia. Dalam banyak teori sastra “dunia” ini sinonim dengan masyarakat (social sphere). Ekokritik memperluas pandangan tentang “dunia” untuk mencakup seluruh ecosphere. Jika hukum pertama ekologi versi Barry Commoner (1972), bahwa “segalanya terkoneksi dengan segala yang lain,” dapat disepakati, maka dapat disimpulkan bahwa sastra tidak mengawang-awang di atas dunia materi dalam estetikanya tetapi turut terlibat dalam sistem global yang rumit dalam interaksi energi dan gagasan (Glotfelty, 1996: xix). Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
111
Ekokritik belum terkodifikasi atau terinstitusi dengan memadai untuk menresepkan bagaimana kritik tersebut sebaiknya dilakukan. Banyak Ekokritik yang memberikan perhatian pada tulisan tentang alam. Namun, batas tersebut akhirnya dilampaui juga sehingga pada perkembangannya ekokritik bisa memberikan perhatian pada antitesis yang tidak terelakkan antara alam dan budaya, antara nature dan culture (Egan, 2006: 34). Berdasarkan pandangan tersebut, tradisi lisan balamut yang di dalamnya terdapat sastra lisan lamut, akan dipandang sebagai sistem tanda ekologis yang bermakna. Tradisi balamut bukan sekadar fakta estetik dan ritual tetapi juga fakta untuk memahami gagasan-gagasan ekologis. Dengan demikian tradisi ini merupakan local genius orang Banjar dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Relasi Ekologis Balamut Tujuan makalah ini adalah menjelaskan bagaimana relasi tradisi lisan balamut dan lingkungan alamnya. Relasi tersebut tampak pada dua tataran simbolik, yaitu simbol-simbol non-verbal dan simbol-simbol verbal. Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian latar belakang, penjelasan ini didasarkan pada pertunjukan tradisi lisan balamut tatamba M. Jamhar Akbar. Berbeda dari balamut hiburan, balamut tatamba mensyaratkan adanya air (kembang), tapung tawar, piduduk, dan sesaji. Unsur-unsur ini dalam makalah ini disebut sebagai simbol-simbol nonverbal yang memiliki relasi dengan alam. Sedangkan unsur-unsur cerita Lamut yang merepresentasikan relasi tokoh dan alam disebut sebagai simbol-simbol verbal. Ekologi Tapung Tawar, Piduduk, dan Sesaji Balamut tatamba tak bisa dilaksanakan tanpa dipenuhinya ketiga ini: tapung tawar, piduduk, dan sesaji. Tapung tawar bukan hanya menghubungan tradisi ini dengan alam tetapi juga dengan lingkungan kebudayaan lokal dan nasionalnya. Secara lokal, tapung tawar antara lain juga bagian dari tradisi baayun mulud, sementara piduduk menjadi syarat dalam upacara baayun mulud (Abbas, dkk., 1994/1995: 20-21), dan sesaji (sajen) yang relatif sama juga ada dalam upacara tradisi orang Banjar yang lain, antara lain dalam upacara Manyanggar Padang di Kabupaten Hulu Sungai Selatan (Sjarifuddin, 1987/1988), upacara bamandi-mandi pengantin atau badudus (Sjarifuddin, 1991/1992: 12), upacara mamaradak atau manugal (Sjarifuddin, 1992/1993), dan upacara 112
Sainul Hermawan
mandi tian mandaring (Sjarifuddin, 1993/1994). Pelaku upacara itu secara melihat piduduk dan sesaji itu sebagai persembahan untuk kekuasaan yang tidak terlihat, antara lain para leluhur dalam mitologi mereka. Mereka mungkin tidak pernah mempersoalkan mengapa unsur piduduk dan sesaji tersebut berupa bahan-bahan yang berasal dari alam? Sabhan dan Muriyat (2011: 4) mengilustrasikan keberadaan piduduk dan sesaji dalam balamut hajat dengan ungkapan sebagai berikut: Selain cacampan, dipersiapkan juga peralatan lain berupa pedupaan untuk membakar kemenyan. Bau dan asap kemenyan selalu mengepul menimbulkan suasana khusuk dan mistik bagi penonton. Bau demikian dihadirkan dalam rangkaian “komunikasi” dengan makhluk gaib yang hadir dalam pertunjukan itu. Sebagai wujud komunikasi dengan roh yang hadir, sering juga disediakan dua gelas kopi (pahit dan manis), air putih dan rokok. Kalau pertunjukan itu untuk nazar, tuan rumah biasanya menyediakan bermacam kue yang disebut “kue empat puluh macam”. Karena untuk nazar, seperti penyembuhan suatu penyakit atau maksud lain, disediakan pula piduduk. Isi piduduk berupa: beras ketan, kelapa, telur ayam, gula merah, benang hitam, jarum, dan uang perak sekadarnya.
Gambar 2 Piduduk dan Sesaji balamut tatamba (12/9/2012)
Dalam perspektif komunikasi mistis, semua bahan yang ada di hadapan palamutan dipandang sebagai persembahan untuk dunia atas. Namun dalam perspektif ekologis semua itu dapat dimaknai sebagai Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
113
refleksi tentang pentingnya semua itu tetap ada di bumi menjadi unsur utama pembangun harmoni kehidupan. Aroma wangi dupa adalah ungkapan universal bahwa manusia secara naluriah menyukai segala aroma yang harum. Aroma dupa hanyalah representasi tentang pentingnya mengharumkan bumi, bukan meracuninya dengan bau menyengat yang beracun. Demikian pula dengan kehadiran kopi, air, dan rokok merepresentasikan kehadiran kebun kopi, ladang tembakau, dan sumber air. Karena kopi dan tembakau bukan produk utama Kalimantan Selatan, keduanya dapat dimaknai sebagai oposisi ekologis dari air. Air harus diselamatkan dari pencemaran yang manis, pahit, dan atau yang beracun. Ekologi Hundang-hundang Penuturan cerita Lamut dalam balamut hajat selalu diawali dengan bahundang-hundang. Secara ekologis bahundang-hundang merupakan ekspresi untuk menyampaikan salam, keselamatan dan kedamaian kepada alam semesta. Ayangilah... Tukang, Ki Dalang bahundang-hundang di alam syukrani, yaitu Sanghyang Terbang diinjam, bahundang-hundang. Ujar kita, batabib, badadukun. Sanghyang Terbang baundang di alam syukrani. Maka Sanghyang Terbang mambakar kukus manyan, dupa bapangkih, harum semerbak di tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit. Kukusnya maliputi semesta alam. Lagi pulang, Sanghyang Terbang manitikan amas baturai, amas bakikir, nur injaman manik-manik gading suryadana. Ujar, apa ngarannya, Sanghyang Terbang. Assalamualaikum. Assalamualaikum, ya nur manutupi, ya nur manatapi. Ya nur siti hitam, bumiku tergantung, barzah alam, nur alam, suca alam, roh alam, syir alam, api, badrul alam. Barmula nur siti hitam itu tanahku, tagantung itu langit, nur alam itu bulan, barzah alam itu bintang, suca alam itu ambun, roh alam itu angin, syir alam itu, yaitu ambun, api, badru alam yaitu matahari. Hai air urang suci alam yang manggaduh mujahat alam empat persangka. Salam salih banda ruqyah. Assalamualaikum ya Jibril. Assalamualaikum ya Mikail. Assalamualaikum ya Israfil. Assalamualaikum ya Izrail. Waalaikum salam.
114
Sainul Hermawan
Pertama-tama, hundang-hundang menyerukan salam pada alam raya yang terdiri atas tanah, bulan, bintang, angin, embun, dan matahari. Menyerukan salam pada tanah antara lain ditegaskan dengan merawat kelestariannya yang memungkinkan piduduk dan sesaji hadir dalam ruang dan waktu yang sama. Keenam unsur untuk saling tergantung. Salam untuk keenam unsur alam itu berarti menjaga keeimbangan. Alam yang tak seimbang adalah alam yang kehilangan salam, yakni keselamatan dan kedamaian. Kedua, dalam sistem keimanan Muslim, malaikat Israfil, Mikail, Jibril dan Izrail adalah empat malaikat Allah yang utama. Kepada keempat Malaikat itu Allah menyerahkan segala urusan para makhluk yang berada di alam semesta. Malaikat Jibril bertugas sebagai penyampai wahyu dan risalah, Mikail sebagai pengatur hujan dan pembagi rizki, Izrail bertugas sebagai pencabut nyawa dan Israfil sebagai peniup sangkakala.2 Memberikan salam dimaknai sebagai mempercepat atau melancarkan wahyu dan rejeki dan menunda maut dan malapetaka. Di samping itu dalam bagian lain dari bahundang-hundang itu sang palamutan menjelaskan makna piduduk dan sesaji yang ada di hadapannya. “Apa jar kacukupannya?” jar Labay “Nyiur,” jar Lamut, “Ganti kepala, intalu ganti mata, baras ganti daging, benang ganti urat, jarum ganti tulang. Kalangkapan di sini cukup.” ‘Kekoleh habang ganti hati. Kekoleh putih ganti jantung, ula-ula, parut lili. Madu kasrat ganti sumsum, sarikaya ganti utak. Banyu gula ganti darah, banyu santan ganti lamak. Apa,” jar Lamut, “Lagi. Banyak. Nasi kuning gunung amas, Nasi putih gunung intan. Cingkaruk batu gunung tembaga. Cingkaruk bacurai gunung perak. Cukup dodol, wajik, lamang, cucur, tapai, cincin. Ininya maadaakan, ya tadi nang lamak, nang manis, nang uduk, nyaman. Na di sini kabaikannya,” jar Lamut, “Amelda. Ia membayar hajat, nazar hutangnya. Na, nang dipinta,” jar Lamut, “Kada papa, unda lawan nyawa.” “Apa?” jar Labay, Anglung, Anggasinga. “Jangan lagi menggoda mana, mamipit, manyenggol, mangibit jar urang Banjar. Jangan lagi. Karena inya membayar utang sudah punah. Bapunahan sudah,” jar Lamut, “Dan jangan diumpati dipamakannya, 2
“Malaikat yang Mulia” dalam http://mukjizatrasulullah.blogspot.com/2012/02/ malaikat-yang-mulia.html (diakses pada 25 Desember 2014)
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
115
dipanciumnya, dipangrasanya, dipanjanaknya. Jangan,” jar Lamut, “Jikalau razakinya nang di langit turun di bumi, atau nang di bumi naik ka langit. Jangan disambar. Anjurakan ka dalam tangan sidin, ka dalam rumah tangga sidin. “Iih,” jar Labay, Anglung, Anggasinga, “Insya Allah, unda anjurakan kena. “Na, bajanji,” jar Lamut, “Na, lah. Jangan lagi lah. Apabila sudah manarima kada bulih bulik. Ayu kapinggiran,´ jar Lamut, “Dahulu.” Labay, Anglung, Anggasinga sudah manarima barataan.
Dialog antara Lamut dengan Labay, Anglung, dan Anggasina ini dituturkan oleh palamutan. Lamut merinci piduduk dan sesaji yang dipersembahkan oleh yang punya hajat untuk mereka agar mereka berhenti mengganggu. Lamut menyebutkan isi piduduk yang berupa bahan-bahan mentah, seperti buah kelapa (nyiur), telur, beras, benang, dan jarum. Benda-benda ini oleh palamutan dipandang sebagai representasi tubuh: kelapa sebagai pengganti kepala, telur sebagai mata, beras sebagai daging, benang sebagai urat, dan jarum sebagai tulang. Dalam catatan sejarah lingkungan Borneo antara 1600-1880, kelapa dan beras merupakan dua serangkai yang pernah menyertai sejarah hidup orang Banjar dalam menghadapi ketakpastian alam. Sistem pertanian kelapa-padi mulai dikenal sekitar 1885 yang mendapatkan inspirasi dari orang Banjar perantauan di Riau, Sumatera (Knapen, 2001: 245). Dengan demikian, kelapa dan beras merupakan simbol ekologis bagi konsep ketahanan pangan orang Banjar. Piduduk yang menyertai ritus lain orang Banjar tak harus selalu dimaknai sebagai upah bagi sang juru upacara atau persembahan bagi roh leluhur agar berhenti mengganggu, tetapi juga bisa dimaknai sebagai pengingat dan ekspresi budaya tentang pentingnya ketahanan pangan bagi orang agraris yang memiliki lingkungan sendiri yang khas. Konsep ketahanan pangan diperkuat dengan simbol 41 macam wadai atau kue tradisional Banjar. Keseluruhan macam wadai itu tidak harus ada dalam waktu bersamaan tetapi kehadiran simbolik beberapa wadai yang masih dapat ditemukan di lingkungan sekitar merupakan indikasi bahwa orang Banjar dan lingkungan hidupnya masih ada meskipun mungkin sudah dalam kondisi yang tidak baik. Kelapa, beras, dan ketan merupakan bahan dasar dari kue tradisional tersebut. Dengan demikian, tradisi balamut merupakan ekspresi budaya untuk melestarikan lingkungan yang berkaitan dengan ketahanan pangan. Sesaji merupkan ekspresi simbolik mereka untuk mengingat bahwa alam sebagai representasi Tuhan telah memberikan banyak kelapangan pangan bagi manusia. Manusia perlu menjaga kelestariannya. Oleh karena itu, dalam sesaji tak boleh hadir 116
Sainul Hermawan
kue modern produk massal pabrik. Dengan demikian, 41 wadai tradisional itu adalah simbol pemertahanan identitas dan keyakinan tentang makanan yang aman dan sehat. Ekologi Cerita Episode cerita Bujang Jaya dimulai dengan memperkenalkan silsilah keluarga negara Palinggam, mulai Prabu Awang Slenong yang menurunkan Raden Bungsu dan Indra Bayu. Setelah Slenong tiada, Radeng Bungsu jadi penggantinya. Setelah Raden Bungsu tiada, Kasan Mandi menggantikannya. Setelah Kasan Mandi, tahta diganti oleh Bujang Maluwala. Bujang Maluwala punya 3 anak dari 3 istri, yaitu Bujang Sakti, Bujang Laut dan Bujang Busur. Bujang Busur. Bujang Busur menggantikan tahta kerajaan. Dia pun punya anak 3 dari 3 istri juga, yaitu: Bujang Laut, Bujang Sakti, dan Bujang Jaya. Bujang Jaya adalah anak Bujang Busur dari perkawinannya dengan Nyonya Parlente dari Negeri Belanda. Pada awal cerita kemakmuran negeri Palinggam dikisahkan. Ada pernyataan bahwa Palinggam itu Indonesia. Disingging pula pengelolaan batubara yang menyengsarakan rakyat. Bujang Busur memerintahkan agar anaknya bertapa di Gunung Cemara Bugam daripada hanya tinggal dan bermalas-malasan di istana. Mereka patuh dan melaksanakan titah ramanya. Kayangan Jumbring Salaka di bawah pimpinan Pramusti Guru Dewa Alam, goncang saat mereka bertapa di gunung itu. Pramesti Guru Dewa Alam bertanya kepada penasihatnya Aji Narada tentang sebab gempa itu. Narada minta bantuan Hanyar Parang Wasi Gulu yang bisa memperlihatkan apa yang terjadi di bumi lewat tangan bajunya. Setelah tahu yang bertapa adalah putra dari keturunan Palinggam, Batara Narada diminta turun untuk menghentikan tapa mereka. Mereka diminta untuk berguru kepada Lamut. Pesan Narada, turunan Wisnu tidak boleh bertapa berkali-kali. Cukup sekali. Saat disampaikan bahwa mereka harus berguru kepada Lamut Dewata, semua merasa tak mengenalnya padahal Lamut telah menjadi abdi di Palinggam sejak Kasan Mandi, kemudian Bujang Maluala, dan Bujang Busur. Tepi pertanyaan seperti ini tak perlu jika kehadirannya dipahami hanya dalam cerita ini. Bujang Busur seperti tak mengenalnya, padahal Lamutlah yang mengajarkan kesaktian yang dimilikinya. Cerita ini menjelaskan bahwa Lamut adalah Sangiang Brajanaya, bukan Semar. Semar itu namanya Ismaya. Bujang Busur dikisahkan tak mengenal kedigjayaan Lamut. Hidaran Bulanlah, istri Bujang Busur, Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
117
yang meminta Lamut. Lamut memenuhi permintaannya. Setelah semua ilmu kesaktiaan diajarkan, ketiga putra itu diajari membaca kalimah tahuhid, yang disebutnya sebagai ilmu kesempurnaan. Dala, sesi pengajaran ilmu ini, mantra yang relevan dengan keinginan audiens disampaikan. Ini pun jadi satu daya tarik mengapa masyarakat datang menonton pertinjukan lamut. Setelah ilmu lahir-batin diajarkan, ketiga putra itu ingin mengembara, menambah ilmu, dan mengenal tata krama di negeri lain. Di tengah jalan pengembaraan, Bujang Jaya mengajak berpisah menuju arah masing-masing. Bujang Jaya menuju Barat, Bujang Laut ke Timur, Bujang Sakti tak tentu arah. Kemudian yang diceritakan hanya Bujang Jaya sampai di kota Pagar Basi Gandilaya yang rajanya bernama Maha Prabu Kartatuwangga. Panglima perangnya bernama Layang Terbang Marapati Ombak Kapitu. Raja tersebut memiliki satu putri, Raden Galuh Gambar Melayu. Putri itu didampingi amban atau pembantu bernama Saraba Bisa yang mengubah ke berbagai rupa, seperti jadi lelaki atau kodok. Ibunya telah lama tiada, meninggal dunia. Tidak diceritakan siapa nama ibunya. Kecantikan Gambar Melayu digambarkan dengan syair yang dilagukan. Kecantikan Gambar Melayu terkabar ke seluruh penjuru negeri. Para putra datang ke negeri Pagar Basi Gandilaya untuk memperebutkannya. Mereka yang datang dengan jalan berlayar, digambarkan dengan syair berlagu. Sampai di sini, cerita dialihkan ke negeri Tanjung Lelayun yang rajanya bernama Maha Prabu Sukmapati. Patihnya bernama Mega Saun Duta Pengarak. Raja itu bermimpi kawain dengan Gambar Melayu. Raja itu mengutus patihnya untuk berangkat ke Negeri Pagar Basi untuk melamar Gambar Melayu. Raja Kertatiwangga memberikan tempo 15 tahun sampai putrinya telah matang. Lamaran diterima tetapi harus menunggu 15 tahun. Mega Saun kembali untuk melaporkan hasilnya kepada Prabu Sukmapati. Setelah mendengar laporan Mega Saun, Prabu Sukmapati mengajaknya terbang ke mahligai Gampar Melayu untuk memagari sekeliling mahligai dengan garis api supaya tak ada maling yang berani mencurinya. Di paseban alun-alun terlihat para pendatang berkemah menunggu waktu Gambar Melayu matang untuk menjadi istri. Sampai di sini, cerita beralih ke Bujang Jaya yang terus berjalan sampai ke rumah Bangbang Mangkuparja, mantan panglima di Banua Pagar Basi Gandilaya yang sekarang jadi penjual kembang, bertani, dan berkebun. Ia bersama dengan istrinya Sari Binduga alias Suria Bidani. Bujang Jaya 118
Sainul Hermawan
numpang menginap di rumah mereka. Dari mereka ia tahu bahwa di Pagar Basi Gandilaya ada putri yang jadi rebutan. Pada malam hari, saat mereka tidur, Bujang Jaya mengoleskan minyak Bungkas Pagar si Buang Anak ke rentengan kembang yang akan ia bawa ke mahligai putri itu. Ada inkonsistensi, tentang dayang yang mendampingi Gambar Melayu. Pada bagian awal disebutkan ia didampingin amban Sarab Bisa, tetapi ketika Suria Bidani datang untuk mengantarkan bunga, disebutkan bahwa dayang yang mendampinginya adalah dayang Nuramin dan dayang Nurelah. Kembang yang diolesi mantra pengasihan sampai di mahlihai dibawa oleh Suria Bidani. Bunga itu berpantun di malam hari, menggoda Gambar Melayu. Ada nama ambar buru yang muncul, amban Suri. Apakah memang Gambar Melayu memang memiliki empat dayang? Pada malam kedua, bayangan Bujang Jaya benar-benar hadir di dalam kamar Gambar Melayu. Dia memperkenalkan diri sebagai orang dari Banua Palinggam. Lantas tiba-tiba menghilang. Tampak ada penyebutan Junjung Masari yang tidak tepat. Mungkin karen faktor lupa. Pada bagian ini, palamutan mengeluarkan matra pengasihan. Untuk bisa ikut penjual kembang ke mahligai Gambar Melayu, Bujang Jaya mengubah dirinya menjadi anak-anak perempuan yang bertelanjang bulat, hanya ditutupi daun pisang. Anak itu dinamai Raden Galuh Siti Mardaka. Gambar Melayu jatuh hati sejak pertama kali melihatnya. Gambar Melayu mengatur siasat agar bisa mencilik Siti Mardaka dan membawanya ke kamar. Di hadapan anak itu Gambar Melayu lupa diri. Akhirnya, Suria Bidani tahu dan membawanya kembali pulan ke rumahnya di bukit. Malam harinya Gambar Melayu tak bisa tidur. Besoknya ia minta dikawal untuk menemui Siti Mardaka. Akhirnya ia tahu kalau ternyata Siti Mardaka itu laki-laki dan dia malu telah telanjang di hadapannya. Dia kembali ke mahligainya sambil menangis karena malu. Bujang Jaya berhenti menyamar. Ia pergi menyusul Gambar Melayu yang pulang karena malu. Saat akan menyelinap masuk, ia terperangkap pagar pelindung Prabu Sukmapati. Gambar Melayu melihatnya dan iba. Ia menyuruh dayang menyelamatkannya dan membawanya masuk ke mahligai dan disembuhkan oleh amban Nuramin dengan air mawar poncodrio. Setelah Bujang Jaya sadar, ia dan Gambar melalu saling merayu dengan pantun.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
119
Mega Saun tahu ada Bujang Jaya dalam mahligai, ia mengajaknya bertarung memperbutkan Gambar Melayu. Adu senjata, saling berubah wujud, dll. Bujang Jaya kewalahan, ia pergi ke kayangan untuk menambah ilmu. Di perjalanan ia melihat bidadari mandi. Ia mengambil satu baju bidadari itu, baju Dewa Sukarba. Bujang Jaya bertarung dengan Dewa Sukarba. Dewa Sukarba berhasil mengurungnya dengan kurungan api. Tetapi ia bisa lepas dari jebakan itu. Bujang Jaya menjampi Dewa Sukarba. Dewa Sukarba tergila-gila pada Bujang Jaya. Ketika Batara Sukma memburunya dia berubah jadi Kembang Jaya Perwangi. Dewa Sukarba membawanya terbang ke Surgaluka. Di Surgaluka mereka memadu kasih dan mengguncang Surgaluka. Bidadari yang lain pun ingin menjadi madu Bujang Jaya. Bujang Jaya menjelaskan bahwa tak ada yang dimadu dalam satu saudara. Karena menolak permintaannya, Bujang Jaya dilaporkan oleh Mayangsari kepada Pramesti Guru Dewa Alam di Jumbring Salaka bahwa Dewi Sukarba telah main gila dengan Bujang Jaya. Pramesti Guru Dewa Alam memerintahkan agar Batara Kumajaya menangkap Dewa Sukarba dan menghukumnya karena telah berzinah di Surgaluka. Rindu Sejati juga diperintahkan menangkap Bujang Jaya agar dirajam di tengah alunalun. Tetapi Rindu Sejati tidak berani karena merasa bukan tandingannya. Akhirnya Batara Kumajaya harus menangkap keduanya. Mereka ditangkap tanpa cerita perlawanan dan dirajam di tengah alunalun. Siapa saja yang lewat diijinkan untuk menyakiti mereka. Nun di sana telinga Lamut mendengung, gelisah, susah tidur. Lamut mendengar tangisan Bujang Jaya. Lamut terbang ke Suralaya. Lamut meminta penjelasan. Lamut meminta siksaan dihentikan dan dinikahkan. Jika tidak, Suralaya akan dibalik oleh Lamut. Semua ketakukan karena Lamut adalah kepala dari segala Dewa. Setelah Dewa Sukarba hamil, Bujang Jaya teringat dengan Gambar Melayu. Bujang Jaya berpesan kalau anaknya lahir laki-laki, agar dinamai Bangbang Aria Teja Kasuma. Sampai di Pagar Basi, Bujang Jaya bertarung lagi dengan Prabusukmapati dan Mega Saun Duta Pengarak dan kalah lagi lalu dijebloskan ke penjara beracun. Air matanya terbang ke Palinggam Jatuh di telapak tangan Bujang Busur. Bujang Busur meminta bantuan Bujang Maluwala dan Kasan Mandi tetapi mereka kalah semua dan masuk penjara. Sampai di sini kisah beralih ke cerita tentang Dewi Sukarba yang akan melahirkan. Di sini dukun membaca mantra pelancar persalinan dalam bentuk mantra, syair, dan pantun. Dewi Sukarba melahirkan 120
Sainul Hermawan
burung gagak. Gagak langsung bisa bicara dan meminta makanan. Karena tak ada yang bisa memenuhi keinginannya, gagak itu menyambar ibunya dan membawanya terbang ke arah matahari. Ibunya membujuk agar diturunkan. Ketika turun di alun-alun, Lamut datang. Lamut meminta agar ia melepaskan ibunya. Burung yang memanggil paman pada Lamut, sangat takut. Lamut memberinya nama Gagak Surawijaya. Lamut menyuruh terbang ke Pagar Basi jika mau makan sambil melepaskan ramanya dan keluarga Palinggam yang terpenjara. Gagak Surawijaya sangat besar. Jika terbang, matahari sebagian tertutup. Di negeri Pagar Basi ia mengamuk, memakan semua yang ada di depannya. Prabu Sukmapati menyerah dan menyerahkan Gambar Melayu, melepaskan semua tahanan dari negeri Palinggam. Ketika Bujang Jaya tak mengakui gagak itu sebagai anaknya, ia mematuk pinggang Bujang Jaya dan membawanya terbang mendekati matahari sampai ia merasa sangat kepanasan dan mau mengakuinya. Saat turun Lamut menunjukkan tempat hinggap yang tepat baginya di tengah laut yang disebut poros tengah dunia. Bujang Jaya dikawinkan dengan Gambar Melayu oleh Maharaja Kartatiwangga. Gambar melayu hamil dan kemudian melahirkan anak kembar, satu laki-laki dan satu perempuan. Siapa namanya? belum disebutkan. Dewa Sukarba sakit hati karena ditinggalkan Bujang Jaya terlalu lama. Ia turun ke Banua Pagar Basi Gandilaya dan menculik anak Gambar Melayu. Satu dilempar ke barat dan satu ke timur. Gambar Melayu menangis karena kehilangan anak. Yang laki-laki bernama Bangbang Teja Aria dan yang perempuan bernama Raden Galuh Duta Kasmaran. Bujang Jaya pergi mencari anaknya yang hilang. Sampai di sini, cerita beralih ke kisah Gagak Surawijaya di tengah lautan yang bertarung naga Cakar Geni. Perkelahian mereka dilerai oleh Datu Batara Gangga. Datu itu melarang berkelahi karena naga itu adalah kembaran Gagak Surawijaya. Datu itu menyarankan agar menolong Bujang Jaya yang sedang mencari anaknya yang hilang, adik-adik mereka dari ibu yang lain. Ternyata kedua anak yang dilempar tadi belum jatuh ke tanah. Gagak itu menyambar keduanya dan menyelamatkannya dan dipeliharanya di pohon Janggi. Lalu gagak terbang mencari Bujang Jaya. Kedua anaknya dikembalikan. Bujang Jaya menetap di Banua Pagar Basi Gandi Laya. Keluarga Palinggam diterbangkan oleh Gagak Surawijaya. Setelah Maharaja Kartatiwangga tua, kerajaan diserahkan kepada Bujang Jaya. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
121
Bujang Jaya tak kunjung kembali ke Suralaya. Lupa. Dewa Sukarba tambah marah. Dia turun ke kerajaannya menyamar sebagai kumbang. Wajah Bujang diusapnya. Ia jadi kembang gelap dan dibawanya terbang ke Suralaya. Gambar Melayu menangis merindukan suaminya. Air matanya terbang mendatangi Lamut di Palinggam. Air mata yang bening dan indah jadi tulisan di tangan Lamut. Gambar Melayu mohon bantuan. Lamut mengubah dirinya menjadi burung paksi menyura, terbang menuju rumah Gambar Melayu. Gambar Melayu minta Lamut untuk menunjukkan posisi Bujang Jaya saat itu. Lamut membakar dupa, menabur beras kuning, Dalam pejaman matanya, posisi Bujang Jaya diketahui dan mengharapkan Gambar Melayu bersabar. Gambar Melayu menyadari kesalahannya, yaitu tidak mengingatkan Bujang Jaya untuk menjenguk Dewa Sukarba dan menginat jasa Gagak Surawijaya, dia hanya meminta Lamut untuk menjemputnya. Lamut naik ke Suralaya dan mengabarkan keadaan Gambar Melayu. Lamut membawa Bujang Jaya yang disekap dalam kembang gandap pewangi tanpa sepengetahuan Dewa Sukarba. Lamut menasihati Bujang Jaya tentang tata krama berpoligami. Setelah itu mengajak untuk mengayun anak. Syair mengayun anak dilagukan. Dewa Sukarba mengira, kembang ciptaan Lamut masih menyimpan Bujang Jaya. Cerita berakhir sampai di sini. *** Ringkasan kisah di atas menunjukkan bahwa cerita lamut tidak menunjukkan narasi ekologis secara khusus. Cerita peperangan yang menjadi bagian yang paling ditunggu oleh audiensnya membatasi cerita ini untuk tidak terlalu banyak memberikan ruang bagi narasi ekologis. Meskipun demikian, ada bagian-bagian cerita yang dapat ditafsirkan memiliki nuansa ekologis. Misalnya, cerita pernikahan antara manusia dan dewa yang melahirkan burung di satu sisi melambangkan kemungkinan terjadinya hubungan yang intim antara bumi dan langit, antara manusia dan non-manusia. Hubungan tersebut dipastikan hanya berpotensi kebaikan (menolong, harmoni alam), tetapi juga mengancam (gagak raksasa yang buas). Simpulan Sebagai sebuah produk kebudayaan, tradisi balamut terbuka pada beragam penafsiran sebagaimana tradisi ini bisa beradaptasi pada beragam keinginan penanggapnya. Keberadaan beberapa palamutan 122
Sainul Hermawan
yang menolak balamut untuk keperluan hiburan tidak berarti sikap tersebut merupakan sikap yang paling benar dalam memahami balamut karena secara historis, tradisi ini bersifat dinamis dan adaptif. Dengan demikian, kehadiran sesaji tidak hanya absah ketika dinilai dari sudut pandang agama, tetapi juga absah pula ketika ditafsirkan dari sudut pandang ekologi. Pandangan ekologis dan agama tidak perlu dipertentangkan tetapi bisa disandingkan dan saling melengkapi. Dengan demikian, tradisi balamut berhubungan lingkungan hidup melalui dua cara: verba dan non-verbal. Kehadiran piduduk dan sesaji merupakan simbol determinasi lingkungan hidup Banjar terhadap ada dan tiadanya tradisi ini. Sedangkan ekspresi verbal dalam cerita balamut menekankan pentingnya menjaga keharmonisan antara manusia dengan lingkungannya. Empat puluh satu macam kue tradisional yang disimbolkan sebagai persembahan untuk para leluhur dapat dibaca sebagai tanda untuk mengingat bahwa alam telah banyak memberikan kebaikan kepada manusia. Manusia wajib beradaptasi sebisa mungkin agar pangan yang tersaji itu tetap ada. Daftar Rujukan Abbas dan Prayogo, Ikhlas Budi, Wahyuhadi, Rahmad. 1994/1995. Upacara Baayun Mulud di Banua Halat Kabupaten Tapin. Laporan Penelitian. Banjarbaru: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Direktorat Permuseuman. Museum Negeri Lambung Mangkurat. Propinsi Kalimantan Selatan. Commoner, Barry. 1972. The Closing Circle: Nature, Man, and Technology. New York: Bantam Books. Egan, Gabriel. 2006. Green Shakespeare: From Ecopolitics to Ecocriticism. London dan New York: Routledge. Van Lier, Leo. 2004. The Ecology and Semiotics of Language Learning: A Sociocultural Perspective. Boston: Kluwer Academic Publishers. Finnegan, Ruth. 1992. Oral Traditions and Verbal Arts: A Guide to Research Practices. London and New York: Routledge. Glotfelty, Cheryll and Harold Fromm. 1996. The The Ecocriticism Reader. Athen and London: The University of Georgia Press. Jarkasi, Djantera Kawi, dan Zainuddin Hanafi. 1997. Struktur Sastra Lisan Lamut. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Knapen, Han. 2001. Forests of Fortune? The Environmental History of Southeast Borneo, 1600-1880. Leiden: KITLV Press. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
123
Sabhan dan Muriyat, Suwarno. 2011. Lamut dan Karungut: Seni Pertunjukan Tradisi Lisan Kalimantan. Banjarbaru: Scripta Cendekia. Sanderta, Bakhtiar dan Thaha, M. 2000. Pantun, Madihin, Lamut. Banjarmasin; Dinas Pendidikan dan Kebudayaan dan Dewan Kesenian Kalimantan Selatan. Sjarifuddin. 1987/1988. Upacara Tradisional Manyanggar Padang di Desa Bangkau. Laporan Penelitian. Banjarbaru: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendnerala Kebudayaan. Direktorat Permuseuman. Museum Negeri Lambung Mangkurat. Propinsi Kalimantan Selatan. ——. 1991/1992. Upacara Tradisional Bamandi-mandi Penganten Banjar. Laporan Penelitian. Banjarbaru: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendnerala Kebudayaan. Direktorat Permuseuman. Museum Negeri Lambung Mangkurat. Propinsi Kalimantan Selatan. ——. 1992/1993. Upacara Tradisional Mamaradak (Manugal) di Desa Balai Amas, Kandangan. Laporan Penelitian. Banjarbaru: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Direktorat Permuseuman. Museum Negeri Lambung Mangkurat. Propinsi Kalimantan Selatan. ——. 1993/1994. Ucapara Tradisional Mandi Tian Mandaring. Laporan Penelitian. Banjarbaru: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Direktorat Permuseuman. Museum Negeri Lambung Mangkurat. Propinsi Kalimantan Selatan. Wall, Derek. 1994. Green History: A Reader in Environmental Literature, Philosophy and Politics. London and New York: Routledge.
124
Sainul Hermawan
EKOKRITIK: RITUAL DAN KOSMIS ALAM BALI DALAM PUISI SAIBAN KARYA OKA RUSMINI Puji Retno Hardiningtyas
Abstrak Paradigma nature-nurture-culture dalam kesusastraan merupakan bagian dari ekosfer dapat dikaji saling bergantung dengan alam, budaya, dan pemeliharaannya. Dalam konteks ekologi, puisi Saiban karya Oka Rusmini memperlihatkan persoalan ritus, produksi bahan sesaji dari alam, dan persembahan kepada kosmis menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan 1) citra dan realita alam Bali dalam puisi Saiban; 2) ritus dan kosmis alam Bali puisi Saiban. Penelitian ini menggunakan metode deskripsi analitik, pendekatan wacana dan pendekatan realita, serta teori ekokritik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bali dan alamnya merepresentasikan kondisi kultural dan kepercayaan masyarakatnya. Adanya keterkaitan masalah lingkungan dengan tradisi di Bali, baik persamaan maupun perbedaan antara keadaan tekstual dan faktual menunjukkan bahwa Saiban merupakan perwujudan sastra dan lingkungan. Bahkan, upacara— melibatkan alam—untuk manusia dan alam tampak jelas pada Saiban memberikan peran yang penting sebagai pengembang ekowisata dan ekobudaya di Bali. Dengan demikian, persoalan lingkungan dan ekologi, khususnya bias mimesis dan semiosis sastra dengan realitas referesialnya dapat dilihat melalui puisi Saiban. Kata kunci: puisi, ekokritik, ritual, kosmis, alam Bali Pendahuluan Ekokritik memiliki objek kajian yang luas, yaitu sastra, seni, dan budaya. Dalam paradigma kesusastraan, ekokritik merupakan ekosfer yang dapat dikaji kesalingketergantungannya dengan alam, budaya, dan pemeliharaan. Ekokritik yang akan dijadikan bahan kajian adalah kesusastraan dalam paradigma nafure-nurture-culture (Harsono, 2008: 36). Kondisi alam dan manusia sebagai objek representasi ekologi terwakili dalam puisi Saiban karya Oka Rusmini. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
125
Puisi Saiban merupakan lukisan dan bentuk nyata masyarakat Bali dengan budayanya. Kehadiran puisi Saiban ini menyuguhkan tradisi yang sangat lekat dengan kepercayaan— mitologi, sakralisasi, dan mistifikasi—dalam memandang dunia dan segala isinya sebagai bentuk syukur kepada Tuhan. Bukan saja tradisi Bali yang unik, tetapi realitas mitos Bali tersebut termanifestasi dalam bentuk ritual. Saiban 1 merupakan contoh model keberadaan alam dan lingkungan bagi umat Hindu di Bali. Oleh karena itu, pembicaraan puisi dan lingkungan— saiban—menjadi topik menarik manakala dilihat dari pemikiran intelektual, hasil akulturasi tradisi dan alam yang berorientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan Tuhan. Permasalahan penelitian ini membicarakan 1) citra dan realita alam Bali dalam puisi Saiban; 2) ritus dan kosmis alam Bali puisi Saiban. Tujuan penelitian ini adalah mengungkapkan dan mendeskripsikan citra dan realita alam Bali dalam puisi Saiban dan ritus dan kosmis alam Bali puisi Saiban. Manfaat yang diharapkan adalah memberikan wawasan dan sumbangan positif terhadap perkembangan ilmu kesusastraan di Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode deskripsi analitik, pendekatan wacana dan pendekatan realita, serta teori ekokritik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Bali dan alamnya merepresentasikan kondisi kultural dan kepercayaan masyarakatnya. Manusia secara ontologis adalah bagian integral dari alam. Pertanggungjawaban moral terhadap alam tidak saja bersifat antroposentris egoistis, melainkan juga kosmis—kosmis untuk menjaga alam itu sendiri—menjaga keseimbangan dan keutuhan ekosistem, termasuk dengan menyuguhkan saiban Beberapa konsep yang perlu dibicarakan adalah puisi, ekokritik, ritual, kosmis, dan alam Bali. Puisi dapat dibaca sebagai pengungkapan kata-kata yang dibetuk oleh satuan makna tertentu, baik pengungkapan kata maupun satuan tata bahasa (Muhtarom, 2013: 57). Menurut Glotfelty (1996: xix) ekokritik sastra adalah studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan fisik. Ritual menurut Winnick2 (dalam Syam, 2005: 16) adalah seperangkat tindakan yang selalu melibatkan agama atau magi, yang dimantapkan melalui tradisi. Sementara itu, kosmis merupakan perasaan sepenanggungan dengan alam dan sesama 1
Saiban berarti sajen berupa sejumput nasi dan lauk yang dipersembahkan sehabis memasak (lihat Ruddyanto, 2008: 610).
2
Winnick (1977) berpendapat bahwa ritual “a set or seriesof acts, usually involving religion or magic, with the sequence establish by tradition…they often stem from the daily life….”
126
Puji Retno Hardiningtyas
makhluk hidup lain (Wibowo, dkk. 2012: 29). Menurut Wiana (1993: 46) alam Bali berdasarkan pandangan agama Hindu merupakan pelestarian lingkungan dengan keseimbangan dan keharmonisan alam, hubungan antara bhuana alit (manusia) dan bhuana agung (alam semesta). Manusia Bali hidup di alam dan memanfaatkan alam, termasuk melestarikan tumbuh-tumbuhan. Kajian Pustaka dan Landasan Teori Kajian Pustaka Penelitian tentang puisi Saiban belum pernah dilakukan oleh peneliti lain. Penelitian ini bertolok ukur dari pandangan peneliti lain, terutama berkaitan dengan ritual, alam, dengan teori ekokritik. Penelitian tersebut pernah dilakukan oleh Siswo Harsono berjudul “Ekokritik: Kritik Sastra Berwawasan Lingkungan” (makalah, 2008); Ika Mustika dengan “Kearifan Lingkungan dalam Priangan Si Jelita Ramadhan K.H. Analisis Sastra dengan Perspektif Ekokritik” (makalah, 2014). Penelitian tersebut menjadi kerangka berpikir dan acuan makalah ini, terutama pada konsep ekokritik dengan fokus kajian ritual dan kosmis alam Bali dalam puisi Saiban. Landasan Teori Teori ekokritik dalam asas teori sastra, dapat dirunut dalam paradigm pendekatan mimetik yang memiliki asumsi dasar bahwa kesusastraan memiliki keterkaitan dengan kenyataan. Hal ini terlihat sejak zaman Yunani hingga kini, paradigma pendekatan mimetik mengalami berbagai peralihan, baik mitasi Plato, rekreasi Aristotetes, refleksi Stendhat, refraksi Levin, defteksi Trotsky, difraksi Baudrittard, maupun paradigma deformasi. Di samping itu, ekokritik dapat dirunut dalam paradigma triade Taine tentang ras, momen dan mitieu yang menjelaskan bagaimana proses kreasi digerakan oleh faktor sosial, iklim, dan biologis (Wellek dan Warren, 1989: 126—127). Lahirnya teori ekokritik tidak dapat dimungkiri dari keberadaan ekologi. Menurut Odum (1996: 5) dalam paradigma biologi, ekologi dibagi menjadi dua bidang, yaitu autekologi— membahas kajian individu organisme atau spesies dengan menekankan sejarah hidup dan perltaku sebagai cara penyesuaian diri terhadap lingkungan—dan synekologi yang membahas kajian golongan atau kumpulan yang berasosiasi bersama sebagai satu satuan.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
127
Garrard (2004: 4) menyebutkan bahwa ekokritik dapat membantu menentukan, mengeksplorasi, dan menyelesaikan masalah ekologi dalam pengertian yang lebih luas. Dalam fungsinya sebagai media representasi sikap, pandangan dan tanggapan masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya. Sementara itu, ekologi dalam sastra berpotensi mengungkapkan gagasan tentang lingkungan, termasuk nilai-nilai kearifan lokal dan lingkungan. Dengan demikian, sangat beralasan jika penerapan teori ekokritik dalam sastra memberikan keleluasaan analisis, mengingat sastra tumbuh, berkembang, dan bersumber dari lingkungan masyarakat dan lingkungan alam. Metodologi Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis. Sumber data ini adalah puisi Saiban karya Oka Rusmini, tebal 56 halaman, terbit 2014, dan penerbit Kompas Gramedia. Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode interpretasi dan pemahaman (hermeneutik dan verstehen). Teknik pengumpulan data mengunakan metode studi pustaka, data yang telah terkumpul selanjutnya dianalisis dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Data kualitatif yang dikumpulkan akan diinterpretasikan dengan triangulasi teori, yaitu membandingkan dan memadukan analisis dengan teori ekokritik. Sementara itu, teknik analisis data yang digunakan penelitian ini adalah teknik analisis konten (content analysis). Hasil analisis penelitian ini menerapkan konsep ekokritik dengan paparan keterkaian sastra dengan alam uang diimplikasikan secara utuh dalam puisi Saiban. Hasil dan Pembahasan Citra dan Realita Alam Bali Puisi Saiban Secara garis besar masyarakat Bali sangat mempercayai keberadaan alam sebagai simbol kehidupan mereka. Lebih jelas lagi Picard (2006: 18) berpendapat bahwa penduduk Bali meskipun hidup di sebuah pulau sama sekali tidak berorentasi ke laut, melainkan ke gunung. Hal ini disebabkan oleh ruang sosial Bali diatur oleh sebuah kosmos yang tersusun secara hierarkis, berdasarkan atas pertentangan yang saling melengkapi antara “dunia atas” (kaja)—arah gunung dan khususnya Gunung Agung dan Gunung Batur—sebagai gunung suci. Bagi masyarakat Bali, gunung merupakan sumber kesuburan dan kehidupan, persemayaman para dewata dan leluhur yang didewakan dan “dunia 128
Puji Retno Hardiningtyas
bawah” (kelod)—yaitu arah laut, tempat para setan, ditandai penyakit dan maut. Namun, pemikiran Picard tersebut berbalikan dengan puisi Saiban ini, justru laut sebagai simbol kekuatan melepaskan status seseorang. Aku pernah dinikahkan dengan laut. Ketika tubuh kanak-kanaku mengelupas, upacara besar digelar. Sesaji, bunga, tujuh mata air diurapkan ke tubuh kurusku. Mataku dirajah. Ubun-ubun ditancapi mantra. Kepala bertabur aneka bunga. Kulitku dibakar cairan kuning. Dengan tubuh dililit kain-kain kuno, Aku menjelma bidadri. Berenang di rimba semesta. Seorang perempuan meninggalkan anaknya di altar Ditemani sebatang pohon. Udara dingin dan senyap Tak henti menyuapkan api. Membakar kakiku. Tak ada lelaki dan perempuan yang menyusui tubuhku. Kemana ibuku? Di mana bapakku? Perempuan-perempuan bertubuh batu memahat tulangku. Meniupkan darah ke jantungku. Siapa yang mengirimku Ke ladang tandus ini? Penyapu pura dan pemetik bunga kamboja mengabarkan: Ibuku hilang. Bapakku sibuk mendekap Perempuan bercadar. Perempuan berambut ular. Hatinya panah beracun. Kulitnya pandan berduri. Dari manakah datangnya makhluk ini? Seorang lelaki berdiri di depanku dengan sekerat taman bunga. Kata-katanya manis. Kedua lengannya selalu siap Menyentuh kulit kanak-kanaku. Apakah aku jatuh cinta kepdanya? Matanya sebiru laut. Kadang aku mengambil lokan Dari telapak tanganya. Kubuat cincin, kaung, dan anting-anting.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
129
Aku bermandi buih laut. Kulitku digosok biji pasir. Siapakah lelaki itu. Orang –orang tak pernah bisa mengupas otakku. Mereka takut menatap mataku yang bulat bertabur nanah dan racun. Mata yang mampu membunuh siapa pun yang menyentuhku. Pagi-pagi, orang-orang mengantarku. Mereka tak lagi punya mata. Tubuhku dibalut bunga-bunga dan air mata. Mereka mendudukan aku di pantai. Angin laut menjatuhkan sekuntum bunga Di kepalaku. Matahari masih padam. Cuaca gelap Para perempuan membacakan mantra. Para pemangku menghidupkan dupa, bunga, dan sesaji. Orang-orang memejamkan mata dan mengulang-ngulang mantra. Aku diam. Menunggu mereka selesai meleburku dengan laut. Kuharap seorang lelaki muncul. Dan aku akan jatuh cinta kepdanya. Berlindung di dadanya yang bidang. Akan kuusap rambutnya yang tajam. Kucium matanya dan kuhirup ubun-ubunnya. Dan kuceritakan kepadanya rahasia perjalanan darah tubuhku. Kubayangkan ia muncul dari buih laut. Membacakan sajak-sajak erotik Yang menyumbat sembilan lubang tubuhku. Entah apa yang dicari orang-orang padaku. Subuh merayap. Tetapi kau Tak juga datang menjemputku. Aku kuyup diguyur tirta dan bunga-bunga yang mulai busuk. Mungkin aku segera menjelma jadi bangkai. Aku pernah dinikahkan dengan laut. (Saiban, bagian 1, hlm. 3—5)
130
Puji Retno Hardiningtyas
Keberadaan alam yang dikemukakan Oka Rusmini merupakan tanggung jawab moral, bukan saja bersifat antropologi egoistis manusia Bali, melainkan juga sebab kosmis. Ungkapan citra alam Bali terlihat pada //laut//, //tujuh mata air//, //di rimba semesta//, //di altar//, //sebatang pohon//, //ke ladang tandus//, //sekerat taman bunga// , //sebiru laut//, //buih laut//, //biji pasir//, //dibalut bunga-bunga/ /, //di pantai //, //sekuntum bunga//, //meleburku dengan laut //, dan //diguyur tirta//, mencerminkan konsep nature tentang alam di Bali. Pencitraan laut dalam puisi Saiban merupakan bentuk mutlak kearifan lokal masyarakat Bali. Gunung-laut (adri-sagara) beserta hutannya, dalam Lontar Purana Bali (Wiana, 1993: 33) merupakan ciptaan Tuhan sebagai unsur sad kerti (enam unsur kerahayuan) yang sangat penting peranannya dalam kehidupan manusia dan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dalam konsepsi Hindu, gunung (adri, giri) merupakan lingga3-acala (lingga yang tidak bergerak). Sementara itu, samudra (segara) adalah simbol yoni (alas dari lingga). Gunung (adri, giri) dan laut (sagara) merupakan simbol dari lingga-yoni (purusa-pradhana). Oleh karena itu, dalam kehidupan masyarakat Bali khusunya yang beragama Hindu, gunung dan laut adalah tempat yang disucikan untuk penyelenggaraan upacara-upacara suci keagamaan. Sebagai pencitraan alam, keberadaan laut harus dipelihara kelestariannnya, baik secara nyata maupun tidak nyata. Oka Rusmini memperlihatkan kenyataan bahwa //Aku pernah dinikahkan dengan laut//, // Ketika tubuh kanak-kanaku mengelupas, upacara besar digelar// adalah perempuan Bali sebagai representasi kekuatan. Sementara itu, pencitra sebagai posisi pelaku untuk mempertanggungjawabkan kosmis adalah //Perempuan-perempuan bertubuh batu memahat tulangku//, //Penyapu pura dan pemetik bunga kamboja mengabarkan//, dan //Para pemangku menghidupkan dupa, bunga, dan sesaji// yang mewakili habitat ekokritik saiban. Sebagai kajian ekokritik, puisi Saiban merupakan representasi ekologi Bali. Catatan peristiwa perjalanan pelepasan manusia memperlihatkan citra dan pencitra alam, memberikan peluang penyairnya mengekspresikan //Aku pernah dinikahkan dengan laut//. Masyarakat Bali menghormati laut sebagai tempat para dewa dan sumber pemujaan yang menjadi acuan religi dan budaya orang Bali. 3
Lingga adalah tempat istana Dewa Siswa (Tuhan Yang Mahaesa) saat dilaksanakan pemujaan. Bentuk lingga dalam perkembangannya sekarang berbentuk padmasana.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
131
Keterkaitan puisi Oka Rusmini dengan lingkungan tampak jelas, dari 29 puisi dalam Saiban memberikan warna tentang laut, pohon, bunga-bunga, bahkan sawah. Pengetahuan tentang nature, nurture, dan culture di Bali juga terwakili pada puisi lainnya yang mengungkapkan lingkungan alam, //Kau ingat pohon pisang yang kautanam di kebun?/ / (lihat Saiban bagian 2, hlm. 6—7); //Lelaki itu mendongengkan hewan, pohon-pohon, sepasang keksaih tenggelam di laut, menjelma jadi buih dan pasir// (lihat Saiban bagian 2, hlm. 8); //…orang-orang berbicara tentang asal muasal pohon, dan getir gesekan rerumputan yang membuatku enggan pulang// (lihat Saiban bagian 2, hlm. 9). Dari beberapa contoh tesebut memberikan gambaran bahwa tanggung jawab karena panggilan kosmis untuk menjaga alam itu sendiri, keseimbangan, dan keutuhan ekosistem merupakan hal penting yang harus dilakukan di Bali. Ritus dan Kosmis Alam Bali Puisi Saiban Masyarakat Bali dengan budayanya sangat lekat sekali dengan kepercayaan yang penuh dengan mitologisasi (memitoskan), sakralisasi (mengkeramatkan), dan mistifikasi (memandang sesuatu sebagai misteri). Kesemuanya itu merupakan mitologi yang dapat ditemukan pada orang, tempat, waktu dan peristiwa. Hal terlihat dalam nama, kelahiran, waktu, huruf, angka dan keberuntungan. Realitas mitos Bali tersebut termanifestasi melalui bentuk upacara ritual, orientasi spiritual dan mental untuk berhubungan dengan Tuhan. Bentuk ritual tersebut terlihat puisi Saiban tersebut. Kontek kajian ritus dan kosmis terbentuk menjadi satu kesatuan. Perhatikan kutipan puisi Saiban bagian 1 berikut. … Para pemangku menghidupkan dupa, bunga, dan sesaji. Orang-orang memejamkan mata dan mengulang-ngulang mantra. Aku diam. Menunggu mereka selesai meleburku dengan laut. …(Saiban, bagian 1, hlm. 3—5).
Untuk memperoleh keselamatan seseorang, berbagai upacara dilakukan mulai dari upacara lingkaran hidup, upacara kelenderikal, upacara tolak balak, dan upacara hari-hari penting. Kutipan puisi tersebut merupakan upacara pergantian status seseorang di Bali dianggap penting dilakukan. Fungsi ritus penyucian manusia untuk kembali mengenali diri sendiri, seperti kutipan //Aku kuyup diguyur tirta dan bunga-bunga yang mulai busuk//. 132
Puji Retno Hardiningtyas
Jika menelisik pada kemunculan ekokritik tampaknya merupakan konsekuensi logis dari keberadaan ekologis yang makin memerlukan perhatian manusia. Selama dalam dominasi orientasi kosmosentris, teosentris, antroposentris, dan logosentris, keberadaan ekologis terlalu jauh dari pusat orientasi pemikiran, bahkan terpinggirkan sehingga pada akhirnya terlupakan. Kondisi demikian disebabkan oleh ketidakseimbangan dominasi budaya yang terlalu eksploitasi terhadap alam. Hal ini tampaknya berpangkat dari pota pikir dikotomis natureculture (alam-budaya). Kebudayaan melawan alam. Menurut Rousseau, pelopor zaman romantik, manusia justru terasingkan dari dirinya sendiri oteh kemajuan ilmiah dan oleh kebudayaan pada umumnya dan untuk menjadi sembuh dari alienasi ini, manusia harus kembali ke keadaan alamiah (Croatt dan Rankin, 1997: 30—34; Harsono, 2008: 33— 34). Ini hari ke-210 Kalikan 7 agar genap wujud manusiaku Bersama pohon sepanjang jalan ke rumahku, upacara harus dimulai. Bungkuslah tubuh pohonku dengan selembar kain poleng. Sekumpulan orang menyiapkan tiga piring kecil dari daun kelapa yang ditaruh pada ubun-ubunku. Selembar demi selembar roh disusun di atas kepalaku Tambahkan lumatan daun dadap. dan tepung beras yang ditumbuk nenekmu di ujung dapur. Siapkan 200 uang kepeng bolong hitam. ikatkan sehelai benang pada pergelangan tangan kananku. Mari mulai upacara ini. Sucikan tubuhku. kerik maksiat. ambil pisau pahat di jineng, tempat para perempuan menyimpan padi. Kerat seluruh tubuhku. jangan takut. Empat penjagaku—sang garga, sang metri, sang kurusa dan sang pretanya—telah kuaduk dalam kantung kain putih.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
133
Jangan panggil mereka pulang. Kerat tubuhku dengan pisau pahat kakeku. Ini hari le-210 Saatnya aku datang pada-nya. buka pintu Telah kukumpulkan beragam bunga dan warna benang. Biarkan aku masuk selagi mereka mengupacari keris mereka. Jangan tancapkan ke dadaku sebelum aku bertemu dengan-nya. (Saiban bagian 26, hlm. 48)
Kutipan puisi tersebut, memberikan gambaran bahwa sudut pandang ekologi, adanya bekerja sama secara harmonis dengan alam, baik alam fisik maupun metafisik, merupakan bentuk perilaku kosmis. Berkaitan dengan alam fisik ‘dijaga’ dengan cara mengolah sekaligus memeliharanya. Sementara itu, alam psikis ‘dijaga’ melalui penghormatan terhadap roh manusia yang meninggalkan statusnya. Keseluruhan perilaku kosmis ini merefleksikan pandangan kosmis manusia Bali. Artinya, etika bagi kehidupan manusia Bali sebagai tolok ukur menghargai keberadaan penyucian kembali lingkungan alam. upacara harus dimulai. Bungkuslah tubuh pohonku dengan selembar kain poleng. Sekumpulan orang menyiapkan tiga piring kecil
Ritual tumpek uduh atau tumpek pengatag ini dilakukan di Bali sebagai bentuk pelestarian alam. Upacara terhadap pohon-pohon besar yang dipasangi saput poleng dan dikelilingi pagar khusus dari bambu, lengkap dengan sesajen Bali yang khas. Realitas tersebut bukan untuk ‘menyeram-nyeramkan’ atau membuat seolah-olah pohon itu ‘berpenghuni’. Puisi tersebut menunjukkan cara masyarakat Bali peduli terhadap lingkungan, selain dengan memelihara secara nyata lingkungan tersebut. Pada dasarnya, manusia mempunyai kewajiban moral dan tanggung jawab terhadap alam. Mayarakat Bali menyadari bahwa keberadaan alam dan tumbuhan tidak akan merugikan mereka. Sikap tidak mengganggu keberadaan sesama makhluk hidup merupakan salah satu wujud nilai toleransi manusia. Nilai tenggang rasa berkaitan dengan kemampuan menghormati, menjaga keberadaan, dan keadaan sesama manusia, tidak dirugikan dan merugikan, tidak membuat susah 134
Puji Retno Hardiningtyas
dan menjadi susah, seperti kutipan //Kerat seluruh tubuhku. jangan takut//, //Empat penjagaku—sang garga, sang metri, sang kurusa//, //dan sang pretanya—telah kuaduk dalam kantung kain putih//. Dalam tradisi keagamaan di Bali, konteks pelesteraian lingkungan—pohon besar—sejak lama sudah diajarkan para leluhurnya. Ajaran untuk hidup serasi dengan sesama manusia, lingkungan hidup, dan Tuhan (tri hita karana) merupakan cerminan kearifan ekologis yang harus dilestarikan di Bali. Penerapan ajaran ini, terutama menyangkut hubungan antara manusia dan lingkungannya, salah satunya dengan melilitkan saput poleng (kain kotak putih hitam) pada pohon besar // Bungkuslah tubuh pohonku//, //dengan selembar kain poleng//. Bukti kutipan puisi tersebut, secara idealnya mempunyai tujuan positif, yaitu upaya konservasi lingkungan. Simpulan Fenomena tentang ritual dan kosmis dalam kehidupan masyrakat Bali, tidak dapat dimungkiri lahir kearifan lokal dalam kehidupan keberagamaan adalah suatu keniscayaan, mengingat dalam sistem budaya masyarakat terdapat suatu sistem dan keyakinan tertentu pada diri mereka. Citra dan alam Bali dapat ditelusuri dengan saksama melalui kehadiran ekokritik. Puisi Saiban menggambarkan citra yang tampak terlihat dari visualisasi kata-kata yang dihadirkan oleh pengarangnya. Selain itu, sastra—puisi—menyimpan pengetahuan ekologis, kosmis, dan ritual yang dapat dijadikan pedoman berperilaku ekologis dan arif terhadap lingkungan. Usaha mengonkretkan pengertian filsafat tentang ritus dan kosmis tidak dapat sembarangan dilakukan. Dengan beberapa contoh puisi Saiban ini, paling tidak, perwujudan ketenangan dan keselarasan kosmis, terlihat sikap harmonis antara manusia dan alam lingkungannya. Sikap ini terwujud melalui sikap rukun, sikap yang tidak saling mengusik atau tidak saling mengganggu antarelemen kosmis. Dengan demikian, menjaga kerukunan kosmis merupakan perwujudan sikap kasih sayang dan menjaga keberlanjutan kosmis, alam, dan manusianya. Puisi Saiban ini menggambarkan tradisi yang kuat tentang spiritualitas alam berpadu dengan tradisi dan nuansa religius Hindu menjadi salah satu nilai kearifan lingkungan masyarakat Bali.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
135
Daftar Rujukan Croatt, Stephen dan Wittiam Rankin. 1997. Mengenal Ekologi. Terjemahan Zutfahmi Andri dan Nelly Nurlaeli Hambali. Bandung: Mizan. Harsono, Siswo. 2008. “Ekokritik: Kritik Sastra Berwawasan Lingkungan”. Makalah Kajian Sastra Jurnal Bidang Kebahasaan dan Kesastraan. Vol. 32 No. 1, Januari, hlm. 31—50, e-journal.undip.ac.id. Semarang: Universitas Diponegoro. Garrard, Greg. 2004. Ecocriticism. New York: Routledge. Glothfelty, C dan H. Froom (eds.). 1996. The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology. London: University of Goergia Press. Keraf, Sonny A. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Muhtarom, Imam. 2013. “Ekspedisi Puitik Ekspedisi Waktu”. Dalam Kumpulan Esai Kulminasi, Teks, Konteks, dan Kota. Yogyakarta: Kasim Press. Mustika, Ika. 2014. “Kearifan Lingkungan dalam Priangan Si Jelita Ramadhan K.H. Analisis Sastra dengan Perspektif Ekokritik”. Dipublikasikan dalam Peran Bahasa, Sastra, dan Pembelajarannya dalam Membangun Karakter Generasi Muda, Vol. I No. I, Tanggal 17 Desember 2014. Bandung: STKIP Siliwangi. Ruddyanto, Caesarius. 2008. Kamus Bali—Indonesia. Yogyakarta: Balai Bahasa Denpasar bekerja sama dengan Yayasan Pustaka Nusantara. Odum, Eugene P. 1996. Dasar-Dasar Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Syam, Nur. 2005. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS. Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani Budianta. Jakarta: Gramedia. Wiana, I Ketut. 1993. “Pura Besakih dan Pembangunan Spiritual”. Dalam Gunung Agung, Pura Agung Besakih dan Kita. Denpasar: DPD Tingkat I Bali Peradah Indonesia. Wibowo, Hendro Ari, Wasino, dan Dewi Lisnoor Setyowati. 2012. “Kearifan Lokal dalam Menjaga Lingkungan Hidup (Studi Kasus Masyarakat di Desa Colo Kecamatan Dawe Kabupaten Kudus)”. Journal of Educational Social Studies, JESS 1 (1) (2012), Vol. I, Juni, hlm. 25—30. Semarang: PPS Universitas Negeri Semarang. Winnick. 1977. Islam in Java: Normative Piety and Myticism. Tucson: University of Arizona Press. 136
Puji Retno Hardiningtyas
ADAT ISTIADAT BERLADANG MASYARAKAT BUMI SERASAN SEKATE: KAJIAN ANTROPOLINGUISTIK Linny Oktovianny
Abstrak Di tengah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, suatu budaya dimungkinkan untuk ditinggalkan masyarakat pendukungnya. Masyarakat Serasan Sekate, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan sejak dulu memiliki Adat istiadat yang banyak dan beragam. Setiap aspek kehidupan diwarnai dengan adat istiadat yang bermacammacam. Salah satu budaya yang tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat Bumi Serasan Sekate, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan adalah adat istiadat berladang. Berladang mencakup nerawas, nebas nebang, nyejah, ngetam, meladung, tungkal, celake ume, dan lain-lain. Adat istiadat berladang ini mengharap ridha dan rasa syukur kepada Allah SWT serta mampu membangun semangat kebersamaan dalam masyarakat. Sangat disayangkan, akhir-akhir ini adat istiadat yang dimiliki masyarakat Bumi Serasan Sekate semakin jarang disaksikan bahkan mungkin mulai dilupakan. Data diambil langsung dari informan yang mengetahui seluk-beluk adat berladang masyarakat Bumi Serasan Sekate. Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasannya, menunjukkan dengan mempelajari suatu adat istiadat akan ditemukan kosa kata, nilai, dan norma budaya serta kearifan lokal. Kosakata Sebagai sarana pengembangan kebudayaan, bahasa haruslah mampu menyerap atau merepresentasikan unsur-unsur atau pun nilai-nilai baru yang merupakan hasil dari proses perkembangan budaya ke dalam simbolsimbol kebahasaan, baik verbal maupun tertulis. Dalam keadaan seperti ini, bahasa haruslah mampu menampung konsep-konsep baru dari segala bidang kehidupan. Pendidikan karakter yang memumpunkan nilai dan norma budaya merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
137
dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Pendidikan karakter itu mencakup tiga komponen karakter (components of good character) yaitu pengetahuan tentang moral (moral knowing), perasaan tentang moral (moral feeling), dan perbuatan bermoral (moral actions). Kata Kunci: berladang, Serasan Sekate, kosakata, nilai dan norma budaya, karakter bangsa. antropolinguistik. Pendahuluan Masyarakat serasan sekate sejak dulu memiliki beragam adat istiadat. Salah satu adat istiadat itu adalah berladang. Berladang bagi masyarakat Kabupaten Musi Banyuasin merupakan hal yang sudah dilakukan sejak turun temurun. Kabupaten Musi Banyuasin merupak salah satu kabupaten yang ada di Sumatera Selatan. Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) berada di antara 1½ derajat sampai 4 derajat lintang selatan dan 103 derajat bujur timur : Sebelah Utara berbatasan dengan propinsi Jambi. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Muara Enim. Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Musi Rawas. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Bangka, Kabupaten Ogan Komering Ilir , dan Kota Palembang. Kabupaten Muba memiliki sembilan kecamatan. Penduduk Kabupaten Musi Banyuasin tersebar di sembilan kecamatan: 1R
.HFDPDWDQ
/XDV.P3HUVHJL
3HQGXGXN
3HU.PSHUVHJL
%DEDW7RPDQ
%DWDQJ+DUL/HNR
6DQJD'HVD
6XQJDL.HUXK
6HND\X
/DLV
6XQJDL/LOLQ
.HOXDQJ
%D\XQJ/LQFLU
138
Linny Oktovianny
Iklim Muba adalah iklim tropis basah dengan curah hujan antara 1800—2700mm. Setiap tahun ditemukan bulan-bulan kering dengan variasi 24—32 derajat Celcius sedangkan kelembaban bervariasi antara 75—80% setiap tahun. Tanah di pantai timur terdiri dari rawa-rawa dan payau yang dipengaruhi oleh pasang surut. Vegetasinya berupa tumbuh-tumbuhan nipah dan lebak lebih ke dalam lagi tanahnya semakin tinggi dan bergelombang. Penduduk Kabupaten Musi Banyuasin bertambah dengan cepat disebabkan banyak transmigrasi yang ditempatkan di negara ini,baik dari Jawa,Bali dan sejak dahulu sudah banyak transmigrasi spontan dari Sulawesi yang menempati lahan pasang surut ataupun lahan kering. Daerah pasang surut contohnya adalah Kecamatan Bayung Lincir, dan daerah lahan kering contohnya adalah seperti Kecamatan Sungai Lilin,kecamatan Babat Tomang, Sekayu, Sungai keruh dan sebagainya. Berladang dalam masyarakat Bumi Serasan Sekate, Kabupaten Muba mencakup izin berladang, nerawas, nebas nebang, nunu be, nyejah, sedekah bunga padi, ngetam, meladung, dan sedekah bungah padi. Adat istiadat berladang ini mengharap ridha dan rasa syukur kepada Allah SWT serta mampu membangun semangat kebersamaan dalam masyarakat. Sangat disayangkan, akhir-akhir ini adat istiadat yang dimiliki masyarakat Bumi Serasan Sekate semakin jarang disaksikan bahkan mungkin mulai dilupakan. Data diambil langsung dari informan yang mengetahui selukbeluk adat berladang masyarakat Bumi Serasan Sekate. Tulisan ini memumpunkan adat istiadat berladang masyarakat Bumi Serasan Sekate ditinjau dari kajian antropolinguistik. 1. Hasil dan Pembahasan Adat istiadat merupakan bagian dari tradisi lisan. Tradisi lisan, karena bagian dari folklore memiliki ciri-ciri folklore, yaitu (1) penyebaran dan pewarisannya dilakukan secara lisan, (2) bersifat tradisional, (3) memiliki berbagai versi, (4) bersifat antonim, (5) mempunyai bentuk rumus dan berpola, (6) mempunyai kegunaan atau fungsi dalam kehidupan bersama suatu masyarakat budaya, (7) bersifat pralogis, (8) merupakan milik bersama, (9) bersifat polos dan lugu sehingga bersifat kasar dan terlalu spontan (Danandjaja, 1984:3—5). Antropologi adalah studi bahasa dalam kerangka kerja antropologi, studi kebudayaan dalam kerangka kerja linguistik dan studi aspek lain Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
139
kehidupan manusia dalam kerangka kerja bersama antropologi dan linguistik (Sibarani, 2004:50). Dalam studi bahasa, budaya, dan aspek lain kehidupan manusia akan ditemukan norma-norma dan kearifan lokal. Nilai adalah konsepsi ( tersurat atau tersirat, yang sifatnya membedakan individu atau ciri-ciri kelompok) dari apa yang diinginkan, yang mempengaruhi tindakan pilihan terhadap cara, tujuan antara dan tujuan akhir sedangkan Norma adalah petunjuk tingkah laku yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan dalam hidup sehari-hari, berdasarkan suatu alasan (motivasi) tertentu dengan disertai sanksi. Sanksi adalah ancaman/akibat yang akan diterima apabila norma tidak dilakukan (O. Kattsoff, 2004:27) Menurut Gunawan (2008:27) kearifan lokal (local genius/local wisdom) merupakan pengetahuan lokal yang tercipta dari hasil adaptasi suatu komunitas yang berasal dari pengalaman hidup yang dikomunikasikan dari generasi ke generasi. Proses regenerasi kearifan lokal dilakukan melalui tradisi lisan (cerita rakyat). Menurut Diknas ada 18 nilai-nilai kearifan lokal, yaitu: (1) Religius: Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain; (2) Jujur: Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan; (3) Toleransi: Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya; (4) Disiplin: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan; (5) Kerja Keras: Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan; (6) Kreatif: Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki; (7) Mandiri: Sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas; (8) Demokratis: Cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain; (9) Rasa Ingin Tahu: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar; (10) Semangat Kebangsaan: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan 140
Linny Oktovianny
kelompoknya; (11) Cinta Tanah Air: Cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya; (12) Menghargai Prestasi: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain; (13) Bersahabat/Komunikatif: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain; (14) Cinta Damai: Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain; (15) Gemar Membaca: Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya; (16) Peduli Lingkungan: Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi; (17) Peduli Sosial: Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan; dan (18) Tanggung Jawab: Sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. Izin Berladang Setiap orang yang akan membuka ladang harus minta izin kepada Pesirah (kepala Marga) dan Kerio (Kepala Desa) dan harus membayar biaya sewa bumi (pancung atas). Jika sudah berladang, sudah panen tidak menanami ladang tersebut dengan tanaman keras atau buah-buahab, dan bekas ladang ditinggalkan menjadi repuh, maka bekas ladang itu menjadi milik Marga. Jika ada warga lain yang hendak berladang menumpang berladang lain dusun dan lain Marga harus meminta izin kepada Pesirah atau Kerio setempat. Jika orang yang numpang berladang tersebut pindah meninggalkan ladang maka semua tanamannya menjadi milik pemilik tanah. Jika ada yang akan membuka ladang nyurung di tepi sungai maka harus meminta izin. Sebab tanah nyurung itu milik Marga. Jika seseorang sudah mendapat izin membuka ladang maka dia harus mencari daerah hutan yang belum ada pemiliknya atau tanah Marga, bukan hutan lindung maupun hutan larangan. Untuk mencari hutan tersebut dilakukan bersama-sama oleh warga. Karena mereka Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
141
khawatir tersesat, ada binatang luas, maupun ada setan imbe atau kesumai yang sering menyesatkan orang-orang. Kearifan lokal yang diajarkan dalam izin berladang ini adalah sikap peduli lingkungan, demokrasi, semangat kebangsaan, dan cinta kepada tanah air. Nerawas Jika sudah ditemukan lokasi yang bagus untuk berladang dan tidak memiliki celake ume, maka mulailah nerawas. Nerawas artinya mengukur atau yang disebut mengekar ume untuk lokasi berladang dengan menentukan batas-batas hutan yang akan dijadikan berladang. Batasbatas tersebut diberi patok yang membatasi bakal ladang masingmasing. Mematok ini yang disebut nerawas. Jika nerawas sudah dilakukan, maka tiap-tiap penjuru lokasi didirikan param-aram, yaitu berbentuk sebuah pondok kecil. Begitu pula di tengah-tengah lokasi yang masuk dalam areal hutan yang akan dibuka menjadi ladang, didirikan pula param-aram. Waktu nerawas atau ngekar hutan yang akan dijadikan ladang, jika memiliki ciri-ciri celake ume atau termasuk daerah angker maka ada penangkal jangan sampai diganggu setan rimba dengan jampian berikut. Aku tahu asal mulo menjadi rimbo Tahtum namomu rimbo Rasau balau bungkau nahnu daro nidaro Kemudian membaca: Kamu raje jin raje setan Jangan lagi engkau berduduk di tempat ikak Kami hendak berdiam di tempat ikak Sebelum keduduk oger jadi sialang Kamu jangan mengulang ke sikak
‘ ‘
Kearifan lokal yang diajarkan dalam nerawas ini mengandung sikap peduli lingkungan, suka kerja keras, kreatif, menghargai, jujur, dan cinta kepada tanah air. Nebas Nebang Jika hutan lebat atau rimba raya dengan kayunya yang besar-besar dan tinggi-tinggi, maka terlebih dahulu dilakukan pekerjaan nebad dan sesudah nebas barulah dilakukan nebang. Nebas artinya memotong dan 142
Linny Oktovianny
membersihkan semak belukar atau pohon-pohon kecil yang terdapat di antara atau di bawah pohon-pohon kayu yang besar-besar, sedangkan nebang adalah memotong kayu yang besar-besar yang ada di hutan itu. Jika hutannya bukan hutan rimba yang lebat, tidak ada kayu yang besar-besar, maka nebang dan nebas dilakukan bersamaan. Sebelum dilakukan nebang maka diadakan selamatan dengan kenduri kecilkecilan dengan menyediakan makanan berupa nasi pujung, serambi, dan lain-lain dengan mengucapkan mantera berikut. Payuh kamu yang punya tanah tani ikak Amon ade belantik, amon ade jerat tinje mintek bingkaske dulu Amon ade ternak ingonan, itik, kerbau, ayam, sapi, kambing Amon ade anak cucu kamu yang bungkuk, yang pelituk, yang pendek Mintek singkerke dulu Karena kami hendak nebas nebang Esok hari, bila buruk batang bersalin tunggul Engkau boleh mengulang lagi Selanjutnya membaca: Tunggu lebak tunggu lebung Tunggu segalek ulu tulung Kami hendak ba-ume tempat ikak Kalu ada hal nyingkir dulu Jangan saling ganggu Kamu cari makan, kami cari rezeki
Mantera ini diucapkan sebagai minta izin kepada penghuni hutan atau makhluk halus yang menjadi penunggu hutan tersebut. Setelah membaca mantera ini barulah mulai menebang. Kearifan lokal yang terdapat dalam nebas nebang ini mengandung sikap peduli lingkungan, toleransi. Kreatif, tanggung jawab, dan kerja keras. Membakar atau Nunu Be Bilamana nebas dan nebang sudah selesai, maka batang-batang yang ditebang tersebut (disebut dengan be) dihamparkan merata sambung menyambung antara satu dengan yang lain. Dengan dihamparkan merata sambung menyambung itu, maka be tersebut menjadi kering dan mudah dibakar serta mudah menjalar ke sana kemari. Memang sudah menjadi tradisi membakar tersebut, padahal tanah tersebut akan merusak humus tanah itu.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
143
Ada kalanya saat membakar be akan bertiup angin yang kencang maka khawatir apinya akan menjalar atau merambat ke lokasi orang lain atau ladang orang lain maka diadakan usaha untuk membalikkan angin. Dengan diadakan membalikkan angin ini maka angin akan berubah arah. Maka dibacakanlah mantera tumbal api yang berbunyi sebagai berikut. Tung-tung tanah abang Lebak di luar tidak mutung Kene kapa ucap sawe
Mantera ini diucapkan atau dijampikan ke pasir, kemudian pasir tersebut dilebarkan berderet sepanjang batas yang dikhawatirkan dijalari oleh api. Kearifan lokal yang diajarkan dalam menugal/nyejak ini mengandung sikap peduli lingkungan, suka kerja keras, kreatif, dan cinta kepada tanah air. Menepungtawari Padi Benih Ladang sudah bersih, maka akan mulai menanam atau menunggal padi, bibit atau benih padi diambilkan dari padi yang usang, yaitu padi hasil panen tahun lalu. Sebelum menugal, maka benih padi itu ditepungtawari lebih dahulu, maksudnya supaya benih itu menjadi berkat, tumbuh subur, berbuah banyak lagi bernas. Cara menepungtawari benih padi itu ialah dengan membacakan mantera pada benih padi tersebut. Tamparan namamu bumi Mengkasa namamu langit Terjeli namamu siang Tersandung namamu malam Kala bumi lagi setapak miring Langit lagi segiring dulang Aku numpang nitipke Raje Sri Semiang Sri Raje Semiang Sri Padi Di dalam lima bulan sepuluh hari Hai kelengak kelengok Kedulang karang panggung Tolong piaroke Raja Sri Semiang Sri Di dalam lima bulan Sepuluh hari
144
Linny Oktovianny
Maksud mantera ini adalah Si Petani menitipkan dan minta dipeliharakan padinya pada Dewi Sri. Si Petani minta Dewi Sri agar memelihara padinya selama lima bulan sepuluh hari, yaitu selama seumur padi, dari masa menanam sampai masa panen. Mantera juga dibacakan ketika benih akan dimasukkan ke dalam lubang tugal yang berbunyi: Sri Dongamala Sri Dongamali Hendak anak sembilan bulan Segala inang segala pengasuh Jangan beri sakit, jangan beri demam Jangan beri ngilu dan pening Kecil menjadi besar, tua menjadi muda Yang tak kejab diperkejap Yang tak sama dipersama Yang tak hijau diperhijau Yang tinggi dipertinggi Hijau seperti air laut Tinggi seperti bukit Kap
Di dalam mantera tersebut diminta kepada Dewi Sri agar mengirimkan inang pengasuh untuk memelihara padi, jangan sampai ada penyakit atau hama, sejak padi tumbuh sampai berbuah dan agar sama rata tumbuhnya, tingginya, hijaunya, dan suburnya, dan hijaunya. Kemudian benih padi tersebut dimasukkan ke dalam wadah khusus untuk benih padi yang disebut bunang benih. Bunang benih ini dimasukkan di dalam lingkaran batang puar dan akar kebasau. Di dalam bunang benih itu diisi dengan sebuah sisir, kaca pengilon (kaca kecil untuk berhias) sebuah lading (pisau), dan sebuah kayu sekit (kayu untuk nasi dalam periuk). Kearifan lokal yang terkandung dalam menepungtwari ini mengandung sikap peduli lingkungan, peduli lingkungan, dan tanggung jawab. Menugal atau Nyejak Sesudah benih padi ditepungtawari, maka mulailah menanam atau menugal padi di ladang. Di beberapa daerah di Musi Banyuasin dinamakan bato-ok. Menugal ialah melubangi tanah dengan tugal yang terbuat dari sebatang kayu yang diruncingkan ujungnya sepaya mudah Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
145
mencacahkannya di tanah. Setelah dilubangi diisi dengan benih padi. Terkadang manugal dilakukan bersama-sama secara bergotong-royong. Gotong royong seperti ini disebut denfan bowan atau bawe. Bowan atau bawe ini dilakukan di areal beberapa ladang yang tidak jauh satu sama lainnya. Saat bowan atau bawe ini biasanya dihadiri oleh para gadis dan para bujang. Kadang-kadang dihadiri juga oleh para gadis dan para bujang dari dusun lain. Sambil menugal biasanya bujang gadis tersebut bersahut-sahutan pantun. Mereka berpantun dengan gelak tawa dan canda, atau saling menyindir. Bujang menugal, gadis mengisi lubang tugal dengan padi. Biasanya dilakukan sore hari saat matahari semakin condong ke ufuk barat. Kearifan lokal yang diajarkan dalam menugal atau nyejak ini mengandung sikap religius, peduli sosial, dan semangat kebangsaan. Sedekah Bunga Padi Ketika padi mulai berbunga, maka diadakan sedekah bunga padi. Ketika bunga padi mulai berbuah disebut dengan istilah keluar. Kalau keluarnya baru sedikit disebut dengan istilah mericik. Jika keluarnya sudah banyak atau merata disebut dengan istilah deras. Jika bunga padi telah mulai keluar tersebut diadakan sedekah bunga pagi. Untuk itu dibuatkan makanan berupa bubur nasi dengan tiga warna; putih, kuning, dan merah diletakkan dalam lingkaran kebasau. Dalam upacara sedekah bunga padi diadakan pembakaran kemenyan dan meminta keselamatan dari Dewi Sri dengan mengeluselus batang padi dan membaca mantera: Oh Raje Semiang Sri Raja Semiang Sri Padi Numpang ngusuk panau kamu Numpang memegang awak kamu
Kearifan lokal yang berupaya ditanamkan dalam sedekah bunga padi ini adalah religius, bersahabar, dan peduli lingkungan. Mengetam atau Menuai Padi Jika padi sudah separuh masak (kuning) disebut dengan kuning ujung. Jika rata-rata masih hijau disebut dengan ngampo matah. Jika kuning semua disebut dengan ngampo masak. Sebelum mulai mengetam 146
Linny Oktovianny
atau menuai padi, lebih dahulu diadakan sedekah mata tuai. Tuai adalah alat untuk mengetam padi, disebut juga dengan ani-ani. Mula-mula diketam terlebih dahulu beberapa tangkai padi seperlunya. Kemudian dijemur dan dijadikan beras, lalu dimasak untuk dimakan pada waktu sedekah mata tuai. Makanan pada waktu sedekah mata tuai, berupa nasi gurih atau nasi lemak atau nasi pujung dengan telur rebus. Setelah hampir selesai mengetam maka orang yang punya ladang melambaikan tangan seperti orang memanggil atau mengajak datang kepadanya sambil membacakan: Ayunlah segalek padi Yang bungkuk yang pelituk Mintek datang ke ladang kami
Maksud yang punya ladang mengajak padi-padi yang ada di sekitarnya supaya berkumpul jadi satu dengan padi yang ada di ladangnya, karena pekerjaan mengetam padi hampir selesai dan jangan sekali-kali ada padi yang tertinggal. Ketika akan kembali mengetam padi, maka dibacakanlah: Ayulah padi, kumpullah semua ke dalam lingkaran Kita hendak balik dari bedagang untung Jung tujuh setali-tali Kitek hendak menjenguk gedong kitek Tangge emas belantai intan Undur-undur gangsa dituang
Kearifan lokal yang diajarkan dalam mengetam atau menuai padi ini mengandung demokrasi, kerja keras, tanggung jawab, dan peduli sosial. Meladung Padi Padi yang diketam di ladang kemudian diangkut dengan kiding lalu dimasukkan ke dalam lumbung (yang disebut dengan bilik padi). Di dalam bilik padi padi disusun dengan rapi, tangkainya di sebelah atas, dan padinya menjurai ke bawah. Memasukkan padi ke dalam lumbung disebut dengan meladung padi. Agar tikus tidak bersarang di dalam lumbung padi, maka diadakan penangkalnya. Tangkalnya dengan mengambil arang kayu sebuku, kemudian sebuku arang tersebut disepitkan di dubur. Sudah itu dibawa masuk ke dalam lumbung. Di dalam lumbung tegak sebentar, kemudian keluar lagi dari dalam Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
147
lumbung dan tiba di luar sebuku arang tersebut dilepaskan dengan jalan merenggangkan duburnya. Kearifan lokal yang terkandung dalam meladung padi ini adalah kerja keras, dan toleransi. Sedekah Habis Panen Padi Sedekah habis panen padi ini disebut dengan Sedekah Rame atau Sedekah Bumi.Sedekah ini diadakah sehabis panen atau diwaktu-waktu tertentu. Sedekah Rame ini maksudnya sedekah bersama. Kearifan lokal yang ada dalam sedekah habis panen padi ini adalah religius, peduli lingkungan, dan peduli sosial. Kesimpulan Masyarakat Bumi Serasan Sekate sejak dulu memiliki adat istiadat. Salah satu adat istiadat tersebut adalah berladang. Adat istiadat berladang ini memuat kearifan lokal. Kearifan lokal tersebut memiliki nilai-nilai religius, jujur, toleransi, kerja keras, demokratis, semangat kebangsaan, cinta tanah air, bersahabat, tanggung jawab, peduli lingkungan, dan peduli sosial. Daftar Rujukan Danandjaja, James. 1984. Folklore Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti. Gunawan, Restu. 2008. “Kearifan Lokal dalam Tradisi Lisan dan Karya Sastra” dalam Makalah Kongres Bahasa, Jakarta, 28—31 Oktober 2008. O. Kattsoff, Louis, (Alih Bahasa: Soejono Soemargono), (2004), Pengantar Filsafat, Yogyakarta, Tiara Wacana Yogya. Pusat Kurikulum, Departemen Pendidikan Nasional. 2010. Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi Pembelajaran Berdasarkan Nilai-nilai Budaya untuk Membentuk Daya Saing dan Karakter Bangsa.
148
Linny Oktovianny
DIALEKTIKA KEBUDAYAAN DALAM PUISI-PUISI AIR HAJRIANSYAH: SEBUAH REFLEKSI FILSAFATI Sumasno Hadi
Abstrak Hajriansyah, penyair Kalimantan Selatan, dalam “puisi-puisi air”-nya sangat kukuh mempersoalkan hubungan dialektis antara tradisionalitas dengan modernitas. Melalui puisi-puisinya, entitas air sebagai unsur dasar kosmos adalah konsep yang diusung sebagai lokalitas masyarakat Banjar yang punya citra “budaya sungai”. Pada puisinya itu, degradasi nilai-nilai tradisi beserta realitas lingkungan alamnya merupakan akibat kontradiksi-kontradiksi modernitas. Secara kritis, puisi-puisi air Hajriansyah mempersoalkan makin hilangnya eksistensi-habitat sungai akibat penetrasi pembangunan dan industrialisasi sebagai bentuk modernitas. Aktualitas puisi-puisi air Hajriansyah yang mengusung konsep dialektika kebudayaan ini sangat jelas saat dihadapkan pada realitas masyarakat Banjar (Kalsel) kekinian dalam geliat pembangunannya. Dan melalui perspektif dialektika Hegelian, puisipuisi air Hajriansyah yang menyimpan tema kontradiksi dalam dialektika kebudayaan bisa dimaknai sebagai realitas yang berproses dan masih bergerak “menjadi”. Kata kunci: Hajriansyah, tradisionalitas, modernitas, dialektika, kebudayaan, Hegel Pembuka Tempus mutantur et nos mutamur in illis (waktu berubah, dan kita pun juga berubah di dalamnya)
Begitulah bunyi pepatah Latin kuno yang bernilai didaktik. Meskipun kuno, tapi jelas-jelas maknanya tak akan pernah menjadi kuno. Sebagaimana makna proposisi filsafat alam yang cukup masyhur dari filsuf Yunani pra-sokratik, Herakleitos (540—480 SM), bahwa alam Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
149
ini akan terus-menerus berada dalam perubahan. “Segala hal terus mengalir, tiada yang tetap” kata Herakleitos dari Ephesus. Memang, bisa dimengerti bahwa “yang tetap” adalah prinsip perubahan itu sendiri. Pun di dalam kebudayaan bersama dengan subjek manusianya yang dinamis itu, perubahan demi perubahan (dialektika) kebudayaan akan tetap berlangsung. Mengajukan prinsip perubahan di dalam gerak besar kehidupan tentulah tak serta-merta mengecilkan gejala nilai-nilai normatif yang punya sifat statis (ketetapan). Dalam perspektif aksiologi normatifesensial misalnya, “yang baik”, di mana dan kapan pun akan berlaku sebagai kebaikan dan tidak pernah berubah menjadi “tidak baik”. Tarikmenarik antara keduanya (prinsip perubahan dengan ketetapan) inilah yang kemudian telah melahirkan dinamika kebudayaan sedemikian rupa peliknya, sedemikian kompleksnya. Kata “budaya” atau “kebudayaan” (culture) menurut kritikus kebudayaan Raymond Williams pun adalah satu dari tiga kata paling kompleks penggunaannya dalam bahasa Inggris (Sutrisno & Hendar Putranto, 2005: 7). Maka, ketika membincangkan kompleksitas tema kebudayaan sebagaimana maksud penulisan makalah ini, perhatian saya memilih untuk condong kepada perihal prinsip perubahan (dinamika) sebagai aksentuasinya. Bukan alasan metodologis, tapi simplifikasi subjektif saya saja. Terkait dengan puisi,—khususnya puisi-puisi Hajriansyah yang akan dibahas kemudian—sebagai salahsatu pencapaian budaya manusia (kebudayaan) yang punya ragam maknanya, “kacamata” filsafat tentu saja bisa dipakai untuk melihat dan mengeksplorasi puisi dalam posisinya sebagai karya sastra. Perspektif (objek formal) filsafat ini akan saya coba pakai untuk memaknai, juga merefleksikan secara kritis puisipuisi Hajriansyah, dan diusahakan pula untuk menariknya ke dalam diskursus dialektika kebudayaan. Objek material yang dijadikan tinjauan (refleksi) filsafati ini adalah puisi-puisi Hajriansyah yang terdapat dalam buku Nun, Kota (di) Tanah Rawa (selanjutnya ditulis: Nun). Sebuah buku kumpulan puisi Hajriansyah bersama dua penyair Kalimantan Selatan (Kalsel) lainnya: Sandi Firly dan M. Nahdiansyah Abdi. Buku ini diterbitkan oleh penerbit Tahura Media pada Juni 2014. Micky Hidayat, seorang penyair ternama Kalsel, dalam Kata Pengantar buku ini menyatakan bahwa puisi-puisi Hajriansyah memiliki kecenderungan untuk mempersoalkan dunia yang kontradiktif (Nun, 150
Sumasno Hadi
2014: 24). Demikian, Hajriansyah memang sangat kukuh dalam mempersoalkan fenomena kontradiksi itu, khusunya hubungan dialektis atau benturan-benturan antara tradisionalitas dengan modernitas. Pada modernitas, kerap disikapinya sebagai fenomena budaya yang selain punya nilai kontradiktif juga penuh absurditas nilai. Tema dan suara-suara macam ini banyak disuarakan dalam puisipuisinya. Hal tersebut nampaknya berdiri di atas keberpihakan serta keyakinannya pada kekuatan tradisi masyarakat lokal. Kekuatan itu dipakai Hajriansyah untuk terus mengritisi fenomena modernitas, dalam konteks dinamika kebudayaan-masyarakat lokal (Banjar). Hal ini saya pikir cukup menarik untuk dijadikan dasar penulisan makalah ini. Makanya tulisan ini berusaha merefleksikan secara filsafati puisi-puisi Hajriansyah yang bermuatan kritis, dalam konteks problematika lingkungan alam masyarakat lokal Kalsel, serta kaitannya dengan benturan antara tradisionalitas dengan modernitas itu, sebagai fenomena dialektika kebudayaan. Kesaksian Sungai atas Pembelahan Alam dan Budaya Tema-tema kritis pada puisi-puisi Hajriansyah sebagaimana disinggung di atas dapat ditemukan, misalnya pada puisi-puisinya yang mempersoalkan makin menghilangnya eksistensi-habitat (lingkungan) masyarakat tradisional akibat penetrasi kekuatan industri-kapitalisme global. Dalam puisi berjudul “Perahu-Perahu Menuju Hulu”, Hajriansyah telah menghadirkan realitas sungai, gunung, batubara, dan kayu hutan sebagai “harta” paling berharga dari masyarakatnya (Kalsel). Tiada lain, harta itu adalah lingkungan alam yang dimiliki masyarakat Kalsel. Rupanya, harta itu telah direnggut secara serakah oleh tamu-tamu industri-kapitalis. Dan posisi masyarakat lokal yang cenderung lemah secara struktural, nampak dijadikan sebab kekalahan atas tekanan kaum kapitalistik yang lebih punya kekuatan, baik secara politis maupun ekonomis. Hal ini seperti sebuah kekalahan dalam suatu arena perang kebudayaan (culture wars). Berikut puisi “Perahu-Perahu Menuju Hulu” yang menyiratkan kekalahan itu (Nun, 2014: 66—67). Berbaringlah di sini Di sungai, di muara ramai Lihatlah di sana Di kapal-kapal penuh sangsai Naikkan pengayuhmu Tenggelam saja melarut banyu Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
151
Lalu kita selami kedalaman penuh buaya Penuh ikan, tenggelam ke rumah datu-datu Datu-datu penjaga ulaknya banyu Kabarkan tentang minyak tentang batu-batu Kabarkan kesedihan anak cucu Anak cucu mengelap rupa-rupa tamu-tamu Menaiki angin cepat mengejar mimpi Mimpi gunung terbelah, rumah terbelah, dada terbelah Dan, lihatlah lagi sungai ke hulu-hulu Gunung terbelah, rumah terbelah, dada terbelah Gunung-gunung hitam setongkang-tongkang menyeberang Batang-batang coklat sekontainer-kontainer menyeberang Lalu apa yang tersisa di hulu-hulu, kecuali rumahmu Perahumu tak berkayuh, terus dipacu hingga jemu Di jalan pos yang dibangun gergasi sebelahmu Engkau diburu, diburu menuju hulu Sungai-sungaimu
Melalui diksi “sungai”, puisi di atas digunakan oleh sang penyair untuk bersaksi dan menyampaikan kegelisahannya atas fenomena penghancuran lingkungan alamnya. Bertongkang-tongkang “gunung hitam” sebagai kekayaan alam terus saja diangkut entah menuju ke mana, dan untuk kepentingan siapa. Eksploitasi dan penjarahan alam ini sudah menjadi pemandangan umum di Kalsel yang kaya akan sumber “emas hitam”. Di sela ketakjelasan tersebut, nilai kejelasannya adalah, bahwa tamu-tamu itu tak bisa ditolak dan tak bisa dihentikan kedatangannya untuk terus menguras kekayaan alam masyarakat lokal. Hal ini menjadi terasa miris ketika masyarakat lokal tak mendapatkan kompensasi secara adil, baik secara ekonomi maupun secara sosial. Jelas, yang menikmati sumber kekayaan alam hanyalah segelintir elit atau penguasa saja. Satu gambaran kemirisan tersebut pernah diungkapkan oleh Arif Fiyanto, seorang juru Kampanye Iklim dan Energi di Greenpeace Indonesia. Dalam kunjungan dan pantauannya di daerah Asam-Asam, Kabupaten Tanah Laut pada tahun 2013, ia sangat terperangah atas ulah korporasi-perusahaan tambang batubara yang merusak lingkungan alam dan tak mau bertanggungjawab. Ia pun melukiskannya demikian (Fiyanto, 2014, Daring).
152
Sumasno Hadi
Berbekal peta konsesi dari dokumen AMDAL PT. Arutmin, kami mengelilingi wilayah tersebut, sejauh mata memandang yang saya saksikan adalah puluhan bahkan ratusan lubang-lubang bekas tambang beragam ukuran yang ditinggalkan begitu saja, setelah batubaranya dikeruk habis. Lubang-lubang tambang tersebut berubah menjadi danau-danau dengan beragam warna, ada yang berwarna hijau, biru toska, cokelat atau hitam. Dari kejauhan, lubang-lubang bekas tambang beragam warna tersebut tampak indah, padahal air di dalamnya mengandung limbah beracun, yang sangat berbahaya bagi lingkungan dan masyarakat sekitar. Bahwa alam sebagai rumah yang telah dibelah dan dikuras isinya oleh kepentingan tamu-tamu yang rakus itu jelas sangat berbahaya secara fisik-meterial lingkungan. Namun demikian, secara kultural pun masih lebih berbahaya, yakni dari terbelahnya nilai-nilai (rumah) masyarakatnya, sebagai jiwanya manusia. Keterbelahan ini tentu bermakna tercerabutnya manusia atas rumah budayanya yang masih diperparah lagi dengan kenyataan pedih. Kenyataan akan ketiadaan daya tawar atau bahkan daya tanding terhadap si pembelah. Kenyataan macam itulah yang menjadi pesan Hajriansyah dalam puisi-puisinya dengan menghadirkan kenyataan tradisi masyarakat lokal yang tergilas oleh roda modernitas. Kelemahan daya ini direnungkannya dengan menyebutkan adanya habitat manusia sebagai “objek perburuan”. Dan keterdesakan untuk terus masuk ke hulu sungai itu menjadi arah “persembunyian” masyarakat tradisional atas desakan-desakan industrialisasi sebagai kepanjangan tangan modernitas. Tema persembunyian yang kerap disiratkan Hajriansyah dalam puisi-puisinya ini, ketika dirunut sumber-determinannya memang berada pada proses dialektika kebudayaan yang “tidak sehat” bahkan tidak adil antara budaya lokal (tradisionalitas) dengan budaya global (modernitas). Maka, kesan Hajriansyah yang gelisah merasakan sinyalsinyal pembelahan budaya melalui pembelahan kehancuran lingkungan alam itu menjadi dapat dipahami. Akan hal ini, Micky Hidayat (Nun, 2014: 24 & 28) melihat puisi-puisi Hajriansyah yang cenderung menengok pada akar (masyarakat) tradisi adalah penjelasan dari ketidakberdayaan sang penyair—dan beberapa penyair Kalsel lainnya— dalam proses internalisasi dirinya terhadap fenomena modernitas. Namun demikian, pada asasnya saya bisa melihatnya sebagai sebuah “kejujuran budaya”. Yakni kesaksian Hajriansyah atas ketidakberdayaan masyarakatnya sebagai subjek tradisi. Bahwa dengan segala kelemahan strukturalnya, manusia-manusia sebagai subjek tradisi itu Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
153
telah kalah, dan hanya bisa memandang proses pembelahan budaya yang terus berlangsung. Pada puisi berjudul “Wantilan” (Nun, 2014: 79) berikut ini menyiratkan pandangan makna itu. Batang-batang yang digulingkan naik ke punggungmu dari sungai-sungai yang jauh Melepas kulit menumpuk daki menyiring sungai Perahu-perahu yang menggandeng menali klotok Bersusun-susun melaju menjejaki ombak Nun di sana, asap membumbung Mengantar gelondong-gelondong ditarik crane diantar sampai jauh Ya, ayah: kulihat jejakmu tersapu gelombang meniti barito memuarai laut : Lautmu!
Kontradiksi-Kontradiksi dan Ancaman Modernitas Kepergian harta berupa kayu-kayu hutan yang diangkut perahu ke luar daerah sebagaimana disuarakan puisi “Wantilan” adalah citra khusus yang bisa ditarik pada yang umum. Bahwa tercerabutnya pohon dari hutannya untuk kepentingan kapitalisme-industri bisa menggambarkan pula, tercerabutnya nilai budaya masyarakat atas pegangan hidupnya. Tentu saja hal ini adalah fenomena umum, sebagaimana proses modernisasi di pelbagai lingkungan masyarakat. Dan perkembangan industri-kapitalistik sebagai penyokong utama gerak modernitas, pada satu sisinya memang bisa menjadi ancaman bagi masyarakat. Misalnya pada masyarakat pertanian-agraris yang belum memiliki “suspensi budaya” untuk menghadapi tekanan-tekanan industrialisasi-modern. Hajriansyah telah menangkap gejala ini dan mengekspresikannya pada puisi “Tugboat” (Nun, 2014: 80) sebagaimana berikut. Yang menambat di tepian sungai adalah tugboat seberat bukit bergemuruh talitali yang melilit palka tunggul di sisi rumah kami Sungai ini, di bawah malam biru pekat adalah arus menggerus pasir menggerus lumpur di kedalaman menuju ke muara 154
Sumasno Hadi
Dan lihatlah di sana gergasi berbaju baja membawa gelombang mengancam rumah kita!
Dari tigabelas puisi Hajriansyah yang terdapat dalam buku Nun, lebih dari separuhnya adalah “puisi-puisi air”. Maksudnya, puisi-puisi yang menggunkan diksi-diksi bernuansa lingkungan (ekologi) air. Entitas air yang menjadi salahsatu unsur dasar kosmos, dihadirkannya secara tepat dan kontekstual sebagai konsep lokalitas Banjar(masin) yang punya citra budaya sungai. Ini nampak pada kesukaan Hajriansyah dalam mengolah puisi-puisinya dengan diksi-diksi seperti: “sungai”, “rawa”, “laut”, “pantai”, “ombak”, “perahu”, “kapal”, “klotok”, “jukung”, “hulu”, “muara”, “ikan”, “buaya”, dll. Judul-judul puisi-puisi air itu adalah: “Perahu-perahu Menuju Hulu”, “Tanah Rawa”, “Balai Malaris”, “Tumbukan Matahari”, “Wantilan”, “Tugboat”, juga puisi “Gamelan”. Puisi-puisi air macam inilah yang menurut saya punya daya kritis, aktual dan bernilai reflektif. Satu puisi Hajriansyah yang cukup menarik dan masih punya frekuensi kuat tentang tema tradisionalitas adalah puisi berjudul “Gamelan” (Nun, 2014: 70). Di dalam empat bait puisi Gamelan, Hajriansyah terasa sekali sedang meliriskan suatu absurditas hidup dengan menggunakan idiom seni tradisi: “gamelan”. Gamelan dijadikan simbol keluhuran budaya yang mempunyai daya tarik transendental melalui bunyi. Daya ini adalah kekuatan esoterik musik (gamelan) yang hadir dalam keselarasan bunyi babun, kenong, dan sarun. Kekuatan musik ini bermakna sebagai representasi dunia ideal atau tatanan masyarakat madani (meminjam istilah yang pernah dipopulerkan Nurcholish Madjid) yang selalu menjadi impian masyarakat. Dan absurditas dunia adalah ungkapan atas arti hidup yang dihadapi dan diterima manusia dengan segala lapisan makna yang tidak semuanya bisa terpahami. Maka kebingungan yang berujung mimpi adalah konsekuensinya. Berikut puisinya itu. Lentik jemarimu yang menari dihembusi angin Diiringi gamelan: babun kenong dan sarun Dedaun hijau bergoyang-goyang Seirama hidup yang tak kalah bimbang Dari ujung ke ujung hidupmu beriring bimbang Menyaru hidup yang lain tak kalah bingung
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
155
Gemetar kaca jendela bergesek angin Gemeletar hidupmu menahan angin Huma-huma rawa kering Nyamuk dan dingin Saat hujan turun tak kenal musim Ataukah pergeseran musim tak lagi dikenal ‘nusia Di sisi gamelan si pemimpi duduk sendiri Berharap gelombang bunyi menariknya mabuk dan terhempas ke daratan sempurna Dan, di sisi senja mimpi-mimpi lalu lindap Ke arah jingga yang tak bisa diharap
Ketika saya melihat puisi-puisi Hajriansyah sebagai suatu kritisisme terhadap gerak kontradiktif modernitas yang menerpa segala penjuru masyarakat hingga sudut-sudut habitat budaya manusianya, di sini, dialektika sebagai metode filsafat dirasa cukup punya peran untuk menyumbang abstraksi pemaknaan. Problem persinggungan dan pertentangan antar-unsur pembentuk kebudayaan pun bisa dijadikan landasan analisis konseptual. Di atas landasan seperti ini, puisi-puisi Hajriansyah telah menghadirkan realitas dinamika masyarakatnya berupa tegangan-tegangan budaya antara tradisionalitas dengan modernitas. Dan tegangan ini bisa diartikan sebagai suatu konsep dialektika kebudayaan. Untuk memperdalam tema ini, kiranya perlu diajukan tinjauan singkat tentang konsep kebudayaan berikut ini. Konsep Kebudayaan Jika kebudayaan itu diandaikan sebagai “sekolah” umat manusia, maka kebudayaan sebenarnya adalah proses pendidikan sepanjang hayat atau pembelajaran yang berlangsung terus-menerus. Begitu pendapat C.A. van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan (1988: hal. 24). Ini berarti bahwa manusia sebagai pelaku utama (subjek) kebudayaan akan terus menjalankan aktivitas-kehidupannya untuk terus mencapai sesuatu yang berharga baginya, bagi kemanusiaannya. Di dalam buku Filsafat Kebudayaan (1984) karya J.W.M. Bakker, ia melihat kebudayaan sebagai alam kodrat manusia dalam kebutuannya untuk realisasi diri. Di sini, kedudukan manusia dalam kebudayaan adalah sentral. Artinya, manusia bukan sebagai orang, tetapi sebagai pribadi. Kepada pribadi manusianyalah segala kegiatan yang kemudian bermakna kebudayaan itu diarahkan sebagai tujuannya. Dari konsepsi dua filsuf kebudayaan itu, terasa sekali abstraksi pemikiran yang 156
Sumasno Hadi
bernapaskan humanisme, atau bahkan eksistensialisme. Yakni, penempatan manusia sebagai subjek utama atau pusat realitas (antroposentris). Dari pemikiran Bakker, menarik untuk melihat salahsatu tema penting (unsur) dalam kebudayaan, yakni agama (1984: hal. 47—50). Menurutnya, untuk menghindarkan kerancuaan, kebudayaan harus dibedakan dengan agama. Ia melihat agama sebagai salahsatu unsur dalam apa yang disebutnya sebagai kebudayaan objektif (benda), atau bentuk-materialitas atas kebudayaan subjektif (batin). Dan dengan perspektif filsafat kebudayaan, ia menolak pemahaman para antrososiolog deskriptif yang mendaftarkan agama sebagai unsur kebudayaan yang bernilai insani saja. Agama sejauh dapat melingkupi usaha manusia, menurutnya memang masih termasuk ke dalam syarat-syarat kebudayaan. Yakni agama sebagai sesuatu yang spesifik insani dan terealisasi dari bawah, bukan dari atas (Tuhan). Hal ini karena menurut Bakker, yang diharapkan dari agama belum tentu termuat dalam realitas kebudayaan, begitu juga sebaliknya. Secara filsafati, jelas bahwa pemikiran Bakker ini menguatkan posisi kebudayaan dalam pengertiannya yang antroposentis, khas manusia atau insani. Perspektif filsafat sebagai disiplin yang melakukan refleksi-ilmiah, memang cenderung melihat kebudayaan untuk mencari nilai metafisisnya. Artinya, filsafat mengabstraksikan ragam kebudayaan yang unik, sebagaimana bisa dideskripsikan secara etnografis oleh bidang sosio-antropologi. Maka, biasanya filsafat kebudayaan akan menyelidiki hakikat kebudayaan yang terwujud dalam suatu kebudayaan. Terkait dengan definisi kebudayaan yang sudah begitu banyaknya dirumuskan oleh para ahli, saat ini setidaknya terdapat 160 definisi. Yakni definisi yang telah berhasil didaftar oleh dua antropolog kenamaan, A. Kroeber dan C. Kluckhohn. Dari usaha menginventarisasi definisi tersebut, setidaknya ada 6 pokok atau kategori definisi kebudayaan yang bisa dirumuskan, yaitu definisi secara: deskriptif, historis, normatif, psikologis, struktural, dan genetis (Sutrisno dan Hendar Putranto, 2005: 8). Definisi kebudayaan secara ketegoris tersebut, dalam pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana (Hadi, 2011: 13—14) dirumuskan pula ke dalam apa yang dinamakannya 6 gugus nilai. Yakni nilai-nilai: teoritis (pengetahuan), ekonomis, religius (agama), estetis (seni), politis (kuasa), dan solidaritas (sosial). Dari kedua jenis “enam matriks” kebudayaan tersebut,
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
157
oleh Bakker (1984: 27—28) dijelaskannya ke dalam tujuh pengertian dengan menggunakan basis disiplin keilmuan seperti berikut. 1. Sosiolog memaknai kebudayaan sebagai keseluruhan kecakapan yang meliputi adat, akhlak, kesenian, ilmu, dan lain-lain yang dimiliki manusia sebagai subjek masyarakat. 2. Sejarawan menekankan pertumbuhan kebudayaan dan mendefinisikan kebudayaan sebagai warisan sosial yang menjadi tradisi. 3. Filsuf menekankan aspek normatif, kaidah kebudayaan, dan pembinaan nilai serta realisasi cita-cita. 4. Antropolog melihat kebudayaan sebagai tata-hidup, way of life, dan kelakuan. 5. Psikolog mendekati kebudayaan dari segi penyesuaian manusia kepada alam sekelilingnya, kepada syarat-syarat hidup. Sejumlah ahli psikologi menguraikan bawah sadar kebudayaan secara psiko-analisis. Strukturalis di antara mereka menyoroti fenomen pola dan organisasi. 6. Ilmu bangsa-bangsa gaya lama dan petugas museum menaksir kebudayaan atas hasil artefak dan kesenian. 7. Pendefinisian istimewa sebagai: dialectic of challenge dan response (Toynbee): superstruktur ideologis yang mencerminkan pertentangan kelas (Marx); gaya hidup feodal aristokratis (alFarabi); kebudayaan sebagai comfort (Montagu). Ketika meninjau konsep kebudayaan melalui ragam definitifnya, secara preskriptif normatif, menurut saya memang harus ditujukan para dimensi yang esensial, yang paling mendasar. Jadi betapapun luas dan terangnya definisi yang ada, tapi tak ada yang bisa mengganti sisi kedalaman pemaknaan mengenai apa itu kebudayaan, selain pada makna hakikat (filsafat) kebudayaan itu sendiri. Dari tinjauan teoritik-deskriptif pada kategori definisi dan konsep kebudayaan di atas, saya mengikuti makna hakikat kebudayaan dari Bakker. Bahwa telah ia menggarisbawahi, saat membicarakan kebudayaan sebenarnya lebih kepada usaha mengajukan persoalanpersoalan tentang penciptaan, pengolahan, dan penertiban nilai-nilai kemanusiaan/insani (Bakker, 1984: 22). Dari sini terlihat jelas, bahwa yang menjadi subjek kebudayaan tiada lain adalah nilai-nilai kemanusiaan. Ini seperti halnya pemikiran Alisyahbana yang melihat 158
Sumasno Hadi
inti atau keutamaan kebudayaan berada pada hubungan antara etika dengan sistem nilai (Hadi, 2011: 15) sebagai ranah kemanusiaan. Artinya, secara reflektif, konsep kebudayaan merupakan dialektika nilai-nilai kemanusiaan (insani), atau hubungan antara yang ideal dan yang formal. Dialektika dalam Tinjauan Filsafat Di dalam disiplin ilmu filsafat, pada awalnya dialektika (Yunani: dialektike) diartikan sebagai sebuah metode debat atau tanya-jawab untuk mencapai kejelasan dan kejernihan dalam mencari kebenaran filsafati (Hartoko, 1995: 18). Metode dialektika awal ini sudah diajarkan oleh filsuf etis Yunani Klasik dari Athena, Sokrates (470—399 SM). Muridnya, Plato (428—347 SM), lebih mengartikan dialektika sebagai diskusi logika. Dan Aristoteles (384—322 SM) lebih mengartikan sebagai perbincangan bersama-sama dalam mencari kebenaran. Namun, jauh ke belakang, filsuf Yunani lainnya seperti Zeno (sekitar 490—430 SM) dan juga Protagoras (481—420 SM) dalam pemikiran kosmologisnya sudah menyertakan metode dialektika. Hanya saja beda aksentuasinya dengan pengertian dari Sokrates. Secara umum, dialektika ala filsuf Yunani Klasik itu berada dalam konsep logika. Yaitu konsep berpikir yang mengajarkan tentang kaidahkaidah dan metoda-metoda penuturan dan analisis sistematik tentang ide-ide. Dialektika berbeda dengan dualisme, karena dualisme membicarakan dua pikiran yang saling berlawanan dan tidak dapat dipadukan, sedangkan dialektika berbicara tentang dua pikiran yang saling berlawanan (mengasikan) namun dapat saling direlasikan dan diproseskan. Dan dalam perkembangan pemikiran filsafat, metode dialektika ini bisa dilihat pada tiga jenis yaitu: dialektika metafisis, dialektika materialis, dan dialektika idealis. Dialektika metafisis, dialektika ini muncul pertamakali dalam tulisan Plato mengenai Sokrates dan Eutyphiro. Di sini, dialektika berdiri di atas pemahaman bahwa manusia memiliki pengertian tentang pertentangan antara konsep kebaikan yang berada di dalam dunia fisik (konkret) maupun metafisika (abstrak). Dalam ajaran Tiongkok (Cina), konsep ini mewujud dalam falsafah yin-yang, sebagai pemaknaan harmoni kehidupan yang dipenuhi oleh dualitas yang bertentangan: baik-jahat, putih-hitam, hidup-mati dll. Secara teologis, ajaran Islam mengenal konsep dualitas ini, namun dalam pemaknaan yang bernilai
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
159
komplementer, bukan kontradiktif atau pertentangan. Yaitu ungkapan “saling berpasang-pasangan”. Mengenai dialektika materialis, metode ini dikembangkan oleh filsuf Jerman, Karl Marx (1818—1883). Dalam dialektika materialis, Marx melihat realitas sosiologis berisi kaum kapitalis (uang) yang memiliki modal banyak dan selalu menginjak-injak kaum buruh (tenaga) dengan kuasa modal-kapital yang dimilikinya. Dalektika materialisme sebenarnya memiliki arah untuk menuju tatanan kehidupan sosial yang lebih baik. Yakni usaha memroses kekuatan uang dan tenaga secara dialektis untuk mencari suatu keseimbangan sosial. Selain dua konsep dialektika filsafati tersebut, saya akan lebih banyak meninjau dialektika yang ketiga. Yakni dialektika idealis dari filsuf Jerman J.W.F Hegel (1770– 1831), pendahulu dan yang sangat menginspirasi Marx. Dialektika Idealis Hegel: Sebuah Filsafat “Menjadi” Bertrand Russell, matematikawan yang filsuf empirisisme, pernah menyatakan bahwa di antara para filsuf besar, Hegel adalah filsuf yang paling sulit untuk dipahami filsafatnya (Russel, 1974: 701). Namun demikian, ada gagasan penting di antara kerumitan filsafatnya itu. Dan gagasan itu setidaknya bisa dipahami dari karakter umum logikanya sebagai sebuah metode berpikir, yaitu metode dialektika idealis. Konsep dialektika dalam pandangan filsafat Hegel sering dipahami sebagai suatu metode triadik (tiga bentuk tahapan) filsafati: tesis, antitesis dan sintesis. Tesis, dimaknai sebagai suatu bangunan pernyataan tertentu, sedangkan antitesis adalah suatu pernyataan argumentatif yang menolak tesis. Dan sintesis, adalah upaya untuk mendamaikan tegangan antara tesis dan antitesis. Dalam pemikiran filsafat Hegel, ia sebenarnya tidak secara langsung menyebut konsepnya sebagai dialektika tesisantitesis-sintesis, tapi lebih pada penggunaan logika yang kurang lebih sama dengan prinsip dialektika triadik itu (Russel, 1974: 702). Menurut Wattimena (2009), konsep logika Hegel itu juga muncul dalam istilah lainnya: abstrak-negatif-konkret (abstract-negative-concrete) yang dipakai untuk melukiskan cara berpikir dialektisnya tentang realitas, juga konsep tentang: langsung-tidak langsung-konkret (immediate-mediated-concrete). Pada rumusan Hegel tentang abstrak-negatif-konkret, di dalamnya sudah diandaikan bahwa tesis sebagai yang abstrak memiliki kelemahan. Yakni bahwa abstrak (tesis) adalah konsep tahapan yang belum diuji oleh realitas, belum memiliki aspek pengalaman. Di dalam 160
Sumasno Hadi
tahap negatif (antitesis), abstrak tadi dimaknai sudah mengalamai (masuk ke dalam realitas) dan berinteraksi dengan negativitas yang seringkali muncul di dalam pengalaman. Baru setelah itu, abstrak dan negatif mengalami sintesis dan menjadi konkret. Tahapan konkret ini baru bisa dicapai jika tahapan negatif dan abstrak sudah “dilampaui”. Inilah esensi dari metode dialektis yang dapat ditemukan di dalam dialektika idealis Hegel. Dan mengenai konsep pelampauan atas negatif dan abstrak itu, Hegel menyebutnya aufhebung (Jerman: diangkat) yang juga berarti “melampaui’ (overcoming). Artinya, di dalam sintesis (tidak berlakunya tesis dan antitesis) tidak hanya terjadi peniadaan dan pembatalan oposisi antara tesis dengan anitesis, tapi keduanya diangkat kepada posisi yang lebih tinggi (Hardiman, 2007: 181). Metode dialektika Hegel juga memiliki penekanan yang kuat pada konsep kontradiksi. Bahwa setiap tahap perkembangan realitas mulai dari tesis, antitesis, dan sintesis itu, muncul dari kontradiksi di dalam tiap tahapan sebelumnya. Contoh yang bisa menggambarkan konsep kontradiksi di dalam dialektika Hegel ini adalah sejarah politik. Hampir seluruh sejarah peradaban dunia adalah sejarah dialektika dan kontradiksi. Dahulu, sistem politik-pemerintahan yang ideal adalah monarki absolut yang bersifat monolitik. Monarki absolut diketahui mendasarkan sistem pemerintahannya pada dua asumsi. Pertama, legalitas perbudakan untuk memperoleh tenaga kerja manusia murah, dan asumsi kedua, bahwa rakyat adalah orang bodoh yang tidak mampu memimpin atau membuat keputusan untuk dirinya sendiri. Cara pandang macam ini tentu saja mengalami kontradiksi. Jika asumsi itu terwujud, maka Negara ideal justru tidak akan berkembang. Oleh karenanya, bentuk pemerintahan ideal yang muncul selanjutnya adalah demokrasi, dengan mengacu pada warganegara yang punya kebebasan dan kecerdasan (Wattimena, 2009). Dalam pejelasan Snijder (2006: 71) dan Bartens (1998: 69), contoh politik itu disebut dengan istilah lain yaitu sistem diktator sebagai tesis, anarkis sebagai antitesis, dan demokrasi konstitusional sebagai sintesis. Mengambil contoh di atas dapatlah disimpulkan, bahwa kontradiksi tidaklah muncul dari luar tesis, melainkan justru dari dalamnya. Artinya, antitesis sudah selalu terkandung (serta-merta) di dalam tesis. Lanjutan logisnya, sintesis sudah selalu terkandung di dalam tesis dan antitesis yang saling bernegasi. Hal ini dalam pemikiran bahasa logika metafisika Hegel diungkapkan bahwa: di dalam “ada” dan “ketiadaan” sudah selalu terkandung “menjadi”. Maka dasar metode dialektika idelais Hegel ini berada pada sebuah proses. Proses ini Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
161
memosisikan seluruh tahapan sebagai entitas dan realitas yang bernilai. Dalam hal ini, nilai kebenaran berada pada keseluruhan. Artinya, hakikat keseluruhan itu berada pada perkembangannya yang terus “menjadi” (Hegel, 1977: 24) Demikian, berdasarkan tinjauan filsafati pada dialektika idealis Hegel ini, sebenarnya nilai refleksif yang bisa dipetik adalah mengenai ajaran untuk selalu melihat realitas kebudayaan sebagai suatu proses (yang “menjadi”). Dan manusia, yang menurut Hegel (1977: 26) akan menjadi aktual atau “nyata” sejauh kualitas penempatan perubahan dirinya, secara kosmologis tak bisa menghindar dari posisi sebagai bagian dari ekologinya. Ketika ia, manusia, tak mampu berdialektika dengan alamnya, maka sebenarnya ia bukanlah manusia yang aktual. Refleksi Kritis Pada diskursus filsafat dialektika idealis Hegel, dipahami bahwa tesis adalah proposisi pengetahuan tertentu yang punya potensi kebenarannya sendiri. Sedangkan antitesis adalah proposisi sanggahan atau bahkan negasi atas tesis yang sudah ada. Dan perjumpaan keduanya, kemudian akan mengandaikan lahirnya suatu proposisi kebenaran baru sebagai sintesis. Ini adalah pendamaian atas suatu tegangan-tegangan kontradiktif dari tesis dengan negasinya (antitesis). Satu hal, meskipun metode dialektika Hegelian ini lebih banyak dimaknai sebagai tahapan triadik/triad, namun saya lebih menyetujui interpretasi dari Franz Magnis-Suseno (2005: 83) yang menganggapnya sebagai tahapan diadik/dual: tesis dan antitesis. Karena sintesis, pada asasnya adalah tesis baru yang sudah secara logis ada ketika tegangan antara tesis dan antitesis itu muncul. Jadi sintesis adalah tesis lanjutan yang menuntut atau mengandaikan lahirnya antitesisnya. Relevansinya dengan persoalan tegangan antara tradisionalitas (tesis) dengan modernitas (antitesis), maka tahapan ketiga sebagai sintesis tidak perlu dimaknai dalam posisi tahapan khusus sebagaimana posisi tesis dan antitesis. Kembali pada konteks kritisisme puisi-puisi Hajriansyah, habitat masyarakat tradisi-lokal (tradisionalitas) yang telah memiliki nilai kemapanan (kebenaran) sosial tertentu, dalam kajian ini diidentifikasi sebagai tesis. Konsekuensi logika dialektika idealisnya adalah, pada tradisionalitas itu sendiri telah menyimpan tuntutan negasi dan bahkan kontradiksinya. Bahwa negativitas dalam bentuk fenomena modernitas, dengan segala pengetahuan saintifik dan teknologi industri, adalah 162
Sumasno Hadi
jawaban konseptual kontradiksi tradisionalitas, sebagai konsep kebudayaan masyarakat pramodern dengan segala kekurangannya. Lantas, pada modernitas itu sendiri, alih-alih negasi dari tradisionalitas yang mau meringankan dan mengefektifkan hidup manusia, malahan menghancurkan sisi kemanusiaannya. Kerusakan ekologi masyarakat Kalsel akibat ulah korporasi tambang batubara adalah penjelasan sederhana atas implementasi modernisasi yang kontradiktif. Terkait aktualitas pada puisi-puisi air Hajriansyah yang bernilai kritis, terlihat pada sikapnya yang bisa dikatakan selalu mempertanyakan modernitas dalam dinamika masyarakatnya. Di sini, Hajriansyah berada pada kenyataan bahwa ia adalah bagian dari masyarakat tradisi yang harus menghadapi tekanan modernitas. Pada sudut tertentu, ia menangkap keterdesakan posisi nilai-nilai tradisi lokal atas fenomena modernisasi itu. Masyarakat Banjar (Kalsel) sebagai suatu unikum kebudayaan, memang masih dan terus bergerak “menjadi”. Ketika fenomena modernitas itu berhadap-hadapan dengan tradisionalitas, maka strategi kebudayaan tertentu perlu diambil untuk mendamaikan dan mencari sintesis yang mungkin dan rasional. Dan pertanyaan kontekstualnya, secara rasional apakah kemajuan teknologi dan gemerlapnya materialisme sebagai wajah modernitas itu harus diterima, ditolak, atau dilawan? Terkait pertanyaan di atas, fenomena perubahan infrastruktur masyarakat yang cenderung berorientasi pada basis kebudayaan kontinental (daratan; agraris) bisa diajukan sebagai kasus aktual. Konkretnya, adalah hadirnya bangunan-bangunan mal/pusat perbelanjaan, hotel, komplek perumahan, jalan beton, jembatan layang, mesin-mesin kendaraan darat, teknologi komunikasi, dan deretan wujud modernitas lainnya di atas tanah Kalsel. Lalu pertanyaan kritisnya adalah, ketika macam-macam infrastruktur itu hadir di Kalsel, apakah orientasi pembangunan budaya yang sangat berbasis daratan itu relevan dengan realitas budaya lokalnya? Ketika modernitas yang selalu berwajah materialistik-industrial terjadi di mana-mana sebagai fenomena yang tunggal dan seragam, maka kontradiksi muncul ketika gerak modernitas itu dikenakan pada pembangunan infrastruktur yang menafikan basis kebudayaan masyarakat yang unik dan plural. Hal ini nampak, misalanya di kota Banjarmasin, juga daerah lain di Kalsel yang punya basis kebudayaan sungai-air. Daerah air yang “dipaksa” untuk “ditanahkan” ini harus menanggung kontradiksi dengan alasan modernitas itu. Gerak modernitas yang mau memudahkan kehidupan manusia, sayanganya tapi malah merusaknya. Barangkali inilah Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
163
penjelasan lain dari suatu kecemasan yang ada dalam puisi-puisi Hajriansyah seperti yang disebut Micky Hidayat dalam Kata Pengantar Nun. Melalui bahasa saussurian, satu makna yang bisa diajukan setelah merefleksikan puisi-puisi air Hajriansyah adalah sebagai berikut: sebagai tanda, puisi-puisi air Hajriansyah telah menghadirkan suatu penanda, yakni kritisisme. Lalu, penanda itu mengarahkan objek kritisismenya pada diskursus dialektika kebudayaan sebagai petandanya. Sebuah petanda tantang tegangan-tegangan antara tradisionalitas sebagai tesis dan modernitas sebagai antitesisnya. Kemudian, nilai kontradiksi pada modernitas yang banyak disoroti Hajriansyah melalui keterdesakan posisi masyarakat tradisi, hingga keterbelahan alam dan budayanya, bermakna bahwa modernitas sebagai negasi atas tradisionalitas juga berada dalam “lingkaran abadi” dialektis. Negasi akan selalu dinegasikan kembali, kritik harus melahirkan kritik ulang, demikian bahasa Hegel menyatakan. Sampai di sini, puisi-puisi Hajriansyah yang bernada kritis terhadap tema kontradiksi pada modernitas, sekaligus perhatiannya pada lingkungan alam beserta masyarakat tradisinya itu, kiranya perlu dikembalikan pada dimensi reflektifnya. Dan dengan mendasarkan pada dialektika idealis Hegel, tradisionalitas dan modernitas sebagai dua entitas dinamika kebudayaan itu harus dipandang sebagai tuntutan rasionalitas pada dialektika kebudayaan yang tak bisa dihindari. Keduanya saling menegasikan, namun sekaligus saling mengafirmasi untuk menuju sintesis yang lebih maju. Dan karena nilai kemajuan dalam konsep dialektika Hegel ini bukanlah suatu kondisi (kebenaran) yang absolut-statis (tapi dinamis), maka tradisionalitas sebagai entitas kebudayaan perlu untuk berkaca-diri, tanpa selalu apatis dan sinis kepada modernitas. Sebaliknya, modernitas juga harus selalu mengoreksi diri sekaligus berusaha menyelami nilai-nilai kebenaran di luar dirinya, berusaha memahami nilai pengetahuan tradisi (nonilmiah). Penutup Barangkali secara filsafati, berkaca-diri (mawas-diri) ini adalah sintesis dini dari proses tegangan-tegangan budaya yang melelahkan itu. Berkait dengan hal itu, saya ingin mengajukan sebuah terma sebagai konsep sintesis mawas-diri itu, yakni: kesadaran intelektual. Konsep ini mau mengimplementasikan nilai “kebebasan” sebagai wujud 164
Sumasno Hadi
“kesadaran” yang menjadi pokok sejarah universal dalam pemikiran filsafat sejarah Hegel (2002: 24—25). Kesadaran ini dimaksudkan sebagai bentuk kecerdasan dan kepekaan reflektif terhadap dua potensi dinamika kebudayaan: tradisionalitas dan modernitas. Secara intelektual, manusia sebagai subjek kebudayaan harus rasional dalam menyikapi tradisinya yang menyejarah. Pun dalam gerak sejarah, ia harus selalu kritis dalam menyikapi segala macam kemudahan dan kenikmatan wujud modernitas. Dan kesadaran macam itu tidak boleh paripurna atau selesai. Sebagaimana dialektika idealis Hegel yang memosisikan “kebenaran absolut” sebagai sintesis itu berada pada tataran yang dinamis, terus bergerak atau berproses. Artinya, dialektika kebudayaan adalah arus panjang dari tegangan, konflik, kritik maupun penyangkalan berdasarkan sisi-sisi kemanusiaan, yang kesemuanya berada pada pengertian untuk saling memajukan kualitas sejarah. Pada titik ini, hakikat kebudayaan yang menunjuk manusia sebagai makhluk berkemungkinan untuk mencipta, mengolah dan menertibkan lingkungan-alamnya menuntut untuk diaktualisasikan secara strategis. Sebelum kekuatan alam itu sendiri yang akan “menertibkan” manusianya! Akhirnya untuk menutup makalah ini—meskipun penulisan makalah ini bukan pada bulan April, tapi Februari— saya mau mengutip sepenggal puisi Hajriansyah yang berjudul “Rumput Bulan April; Kenangan” (Nun, hal. 78). Menurut saya, ini relevan dengan tegangan antara tradisionalitas dengan modernitas sebagai tema refleksi: “...Kita berdua saling berhadapan, tapi tak saling/ berpandangan// Ya, bukankah kita telah sama lelah/ Menguraikan kenangan jadi rumputan. Sumber Rujukan Bakker, J.W.M. 1984. Filsafat Kebudayaan: Sebuah Pengantar. Kanisius: Yogyakarta. Bartens, K. 1998. Ringkasan Sejarah Filsafat. Cetakan Ke-15. Kanisius: yogyakarta. Firly, Sandi, Hajriansyah dan M. Nahdiansyah Abdi. 2014. Nun, Kota (di) Tanah Rawa: Kumpulan Puisi Sandi, Hajri, Nahdi. Tahura Media: Banjarmasin. Fiyanto, Arif. “Batubara dan Kehancuran Bentang Alam di Asam-asam, Kalimantan Selatan”. Daring: http://www.greenpeace.org/ seasia/id/blog/batubara-dan-kehan-curan-bentang-alam-diasam-/blog/51565/. Dipublikasikan: 3 Desember 2014. Diakses: 16 Februari 2015. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
165
Hegel, G.W.F., 2002. Filsafat Sejarah. Cetakan Ke-2. Terjemahan Cuk Ananta Wijaya dari The Philosophy of History (Dover Publication Inc.: 1956). Pustaka Pelajar: Yogyakarta. _____ , 1977. Phenomenology of Spirit. Translated by A.V. Miller from Phänomenologie des Geistes (Suhrkamp, Frankfurt a.M, 1807). Clarendon Press: Oxford. Hadi, Sumasno. 2011. “Pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana tentang Nilai, Manusia, dan Kebudayaan”. Jurnal Filsafat Wisdom, Vol. 21 No. 02. Fakultas Filsafat UGM: Yogyakarta. Hardiman, F. Budi. 2007. Filsafat Modern: Dari Machiavelli Sampai Nietzsche. Cetakan Ke-2. PT Gramedia Pustaka Utama: Jakarta. Hartoko, Dick. 1995. Kamus Populer Filsafat. Cetakan Kedua. PT. RajaGrafindo Persada: Jakarta. Magnis-Suseno, Franz. 2005. Pijar-Pijar Filsafat. Kanisus: Yogyakarta. Peursen, C.A. van. 1988. Strategi Kebudayaan. Kanisius: Yogyakarta. Russel, Bertrand. 1974. History of Western Philosophy. Sevent Impression. Unwin University Books: London. Snijders, Adelbert. 2006. Manusia dan Kebenaran: Sebuah Filsafat Pengetahuan. Kanisius: Yogyakarta. Sutrisno, Mudji & Putranto, Hendar (Ed.). 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Kanisius: Yogyakarta. Wattimena, Reza A.A. “Hegel dan Dialektika”. Daring rumahfilsafat.com/2009/08/16/-hegel-dan-dialektika/. Dipublikasikan: 16 Agustus 2009. Diakses: 16 Februari 2015.
166
Sumasno Hadi
MASHA AND THE BEAR Edukasi Mengenai Hubungan Alam, Manusia, dan Binatang (Sebuah Tinjauan Ekokritik) Rasiah
Abstract This paper analyzed the film-television series Masha and the Bear through the eyes of Ecocriticism. Phenomena that appeared in this film are the relationship between humans and animals, which lived in an ecological community and interacted each others. Each component could not be separated and each has a role in sustaining life of nature. It showed us that living in an ecological environment should be having affection to all creatures, animals, wild, and tame. They are same to humans in feeling. Another point we could exposed from this film is, technology is not a reason to exploit nature, otherwise technology is not always in conflict with nature. Technology and nature can go hand in hand to fulfill its function in life. In addition, the attitude of being love animals also an attitude to maintain ecological sustainability. Humans and animals have function and ecological benefits in life. Protecting them is similar to maintain the ecological balance. After all, Masha and the Bear is a critique towards human attitudes to nature today. Technology has always been a reason for damaging the environment without thinking about how to anticipate its concequences. This film offered us some alternatives to select in realizing our love for nature . Key words: Masha and The Bear, Education, Relation Nature, Humans, and Animals. Latar Belakang Di tengah pesatnya perkembangan industri, teknologi, dan ilmu pengetahuan dewasa ini, kecenderungan manusia untuk menghayati kehidupan ekologi meningkat dalam banyak hal, bukan hanya ditemukan dalam cara hidup sehari-hari, tetapi juga ditemukan dalam cita rasa seni. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
167
Dalam produksi sastra dan budaya populer, seperti film misalnya, keinginan untuk menghayati kehidupan ekologi dapat ditemukan dalam produksi film-film populer yang mengangkat tema alam, lingkungan, serta relasi kehidupan manusia dan binatang dalam satu ekosistem. Film-film tersebut kebanyakan bergenre animasi dan menjadi tontonan anak-anak, sebut saja film Ice Age, Finding Nemo, drama televisi Upin Ipin, Masha and The Bear, Sponge Boob, Dora the Explorer, dan yang lainnya. Produser memadukan unsur alam, teknologi, manusia, dan binatang dalam sebuah kehidupan ekologis, melalui fantasi yang tinggi yang dibangun melalui representasi yang rasional, serta kombinasi yang cerdas dari konvensi dan invensi untuk menarik minat penonton (Adi, 2012). Seni termasuk film tidak hadir dalam kekosongan. Kehadirannya dimuati oleh berbagai kepentingan, yang bisa secara eksplisit ditemukan atau membutuhkan interpretasi tertentu, karena seni umumnya merupakan secondary modeling system (Lotman, 1977), yang maknanya membutuhkan interpretasi. Artinya untuk mendapatkan maknanya kita perlu untuk menginterpretasi, dan hasil interpretasi tergantung dengan cara apa kita melihatnya. Seni pada umumnya berkaitan dengan citra estetis, ilmu pengetahuan, manfaat pragmatis, nilai ekonomis, dan nilai dokumentasi (Ratna, 2007, hal. 280). Dari kepentingan-kepentingan ini, maka seni, baik sastra maupun film, dapat memberikan manfaat tidak saja menghibur karena citra estetisnya, tetapi juga dapat memberikan informasi mengenai banyak hal, sehingga menambah wawasan yang dapat menggerakkan hati dan pikiran audience, salah satunya yang berhubungan dengan alam dan ekologis. Film merupakan salah satu produk dari budaya populer. Sebagai produk budaya, film tidak akan terlepas dari masyarakat yang menciptakan serta meng-konsumsinya. Film adalah refleksi dari budaya masyarakat penciptanya dalam bentuk narasi imajiner (Adi, 2008, hal. xv). Meskipun film dan novel merupakan dua jenis seni yang berbeda, namun keduannya memiliki banyak kesamaan. Jinks (1974, hal. 4) mengatakan bahwa: “No one would argue that film and literature are the same medium or even the same kind of experience. The primary thrust of literature is linguistic, hence direct, while the impetus of film is imagistic and immediate. And yet, despite the obvious differences separating theses two narrative forms, there are some rather stratling resemblances between them.” 168
Rasiah
Pandangan Jinks menggarisbawahi perbedaan sekaligus persamaan dari sastra dan film. Perbedaannya terletak pada medium, sastra bermedium linguistik dan efek yang tidak segera, sedangkan film mediumnya audiovisual/ imagistic dan efek segera. Akan tetapi, disamping perbedaan tersebut, keduanya memiliki kesamaan, semua orang mengakui bahwa film dan sastra merupakan medium yang sama untuk menyampaikan pesan. Sama halnya dengan sastra, film mewujudkan fungsinya sebagai alat komunikasi dengan cara memanipulasi cerita, yakni merangkai sebuah cerita yang bersifat fiktif untuk menyampaikan pesan. Umberto Eco (Chamamah, 2001) menyatakan bahwa pemanipulasian bahasa (dan cerita) sastra (hemat saya—film) sesungguhnya dalam upaya mewujudkan sastra (dan film) sebagai sarana komunikasi yang padat informasi. Artinya bahwa produk seni, baik sastra maupun film memiliki kekuatan (power) untuk menggerakan hati, pikiran, dan tingkahlaku audience melalui stratagei manipulasi tersebut, sehingga audience dapat berkontemplasi mengenai apa yang disajikan dalam cerita tersebut. Bahkan menurut Ratna (2014) seni, (baik sastra dan film) dapat berperan dalam pendidikan karakter. Pendidikan karakter ini dapat dilihat dalam penyajian produk tersebut memiliki kemampuan untuk mengevokasi sekaligus mengubah prilaku anak didik maupun masyarakat, salah satunya mengenai kesadaran tentang alam dan lingkungan. Tulisan ini membicarakan tentang salah satu film serial televisi animasi anak-anak yang ditayangkan disalah satu TV swasta nasional. Film tersebut adalah Masha and the Bear, yang menceritakan kehidupan yang berlatar belakang kehidupan alam di kutup. Masha and the Bear (dalam Bahasa Rusia tertulis Маша и Медведь ) adalah sebuah serial animasi Rusia yang diproduksi oleh Animaccord Studios. Serial animasi ini menceritakan pertualangan seorang gadis kecil yang bernama Masha dan seekor Beruang sahabatnya yang bernama Mischa. Film tersebut mengangkat latar belakang kehidupan alam Rusia yang bersalju dan hidup berbagai binatang yang menjalin relasi satu sama lain. Film ini sangat fenomenal dan populer tidak saja di negeri Rusia, tetapi juga di Indonesia. Jangkauan audiences-nya bukan saja dikalangan anak-anak, tetapi juga orang dewasa. Dan sambutannya pun tidak saja terlihat dalam kapasitas penonton, tetapi juga disambut dalam berbagai produk lain, seperti baju anak-anak, sampul buku, boneka, dan produk-produk lainnya.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
169
Yang menarik dari film ini adalah paras lingkungan yang ditampilkan yang memuat nilai-nilai kearifan ekologis. Film ini mengesankan bahwa manusia juga dapat dipandang sebagai makhluk ekosentris—manusia dapat hidup dan berkembang secara utuh tidak hanya dalam komunitas sosial, tetapi juga dalam komunitas ekologis. Glofelty (1996) menyatakan bahwa dalam komunitas ekologis, tidak ada pemisahan ontologis antara manusia dan bukan manusia (alam) antara diri yang universal (alam) dengan diri yang partikular (manusia). Seperti halnya sastra, film juga memiliki nilai-nilai logis dan pesan moral sebagai substansi hakikat film yang cenderung dilihat, dianggap, dan sikapi sebagai acuan standar ideal perilaku manusia dalam kehidupannya sebagai makluk ekologis, sehingga film juga dapat ditinjau melalui sudut pandang ekokritik. Fenomena ekologi yang muncul dalam film Masha and The Bear adalah adanya sebuah kehidupan yang dibangun oleh manusia yang hidup bersama dengan komunitas ekologi lainnya, dan saling berinteraksi layaknya sebuah komunitas sosial dalam masyarakat. Manusia dengan binatang, baik binatang buas seperti beruang, serigala, dan harimau, maupun binatang jinak seperti kelinci, tupai, babi, domba, anjing, burung, bahkan ikan digambarkan hidup bersama dan menjadi bagian dari kehidupan masyarakat. Dari fenomena ini, kita dapat mengambil satu edukasi yang dapat dijadikan pemikiran bagi kita semua mengenai hubungan antara alam, manusia, dan binatang. Di antara ketiganya dibangun dalam situasi yang harmonis dan saling mendukung satu sama lain. Edukasi seperti terutama dapat membentuk mindset anak-anak mengenai pentingnya menjaga hubungan dengan alam dan segala isinya. Jika selama ini, binatang seperti beruang selalu dihadirkan dalam sosok yang ganas, maka dalam Masha and The Bear digambarkan sebaliknya. Ia memiliki sifat-sifat yang dimiliki oleh manusia, yang memiliki banyak keterampilan, pandai memasak, mengajar, suka merawat rumah pohonnya yang berada di tengah hutan, memiliki peternakan lebah madu dan pekarangannya digarap menjadi lahan pertanian sayur mayur dan buah-buahan segar. Hal ini menadai paras ekologis yang ditampilkan dalam film ini yang mengandung nilai-nilai kearifan ekologis. Dengan demikian, masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah (1) bagaimana hubungan alam, manusia, dan binatang di representasikan dalam film Masha and The Bear? (2) Nilai-nilai apa saja yang diungkapkan dalam film tersebut berkaitan dengan kearifan ekologis (ecological wisdom)? 170
Rasiah
Teori dan Metode Analisis Untuk membedah masalah dalam tulisan ini, maka penulis menggunakan teori ekokritik. Jika ditinjau dari istilah yang digunakan, maka Ekokritik berasal dari gabungan dua istilah yakni ekologi (ecology) dan kritik (criticism). Ekologi dapat diartikan sebagai kajian ilmiah tentang pola hubungan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan manusia terhadap satu sama lain dan terhadap lingkungan-lingkungannya. Sedangkan kritik dapat diartikan sebagai bentuk dan ekspresi penilaian tentang kualitas-kualitas baik atau buruk dari sesuatu. Jadi, ekokritik dapat dipahami sebagai kritik yang berwawasan lingkungan. Glotfelty (1996, hal. xix) menyatakan bahwa Ekokritik sastra adalah studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan fisik. Meskipun Ekokritik sesungguhnya dipakai untuk menelaah sastra, namun sastra dan film memiliki kesamaan dalam sifat dan fungsi, yaitu fiksi dan berfungsi untuk menyampaikan pesan (hanya objeknya saja yang berbeda), maka teori ekokritik dapat juga dipakai dalam menelaah film. Garrand (2004) mengatakan bahwa ekokritisisme mengeksplorasi caracara mengenai bagaimana kita membayangkan dan menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam segala bidang hasil budaya. Garrard kemudian mengeksplorasi konsep-konsep yang terkait tentang ekokritik, yaitu: pencemaran (pollution), hutan belantara (wilderness), bencana (apocalypse), perumahan atau tempat tinggal (dwelling), binatang (animals), dan bumi (earth). Sementara itu, Kerridge (1998) merujukkan definisinya pada ekokritisisme kultural. Menurutnya, ekokritik menggarap gagasan-gagasan dan representasi-representasi lingkungan di mana saja muncul dalam berbagai ruang budaya yang luas. Menurut Glofelty (1996) sejumlah topik yang dapat dianalisis melalui paradigma ekokrtik, antara lain: representasi alam dalam sastra, ilmu pengetahuan terbuka terhadap analisis sastra, manfaat timbal balik antara kajian sastra dan wacana lingkungan dalam disiplin-disiplin seperti sejarah, psikologi, sejarah seni dan etika, serta analisis budaya pada etika moral and agenda politik. Dalam hubungan ini, ekokritisisme berhubungan erat dengan pengembangan dalam teori filsafat dan politik yang berorientasikan pada lingkungan. Di pihak lain, Garrard (2004) menelaah urgensi ekokritisisme dapat secara nyata menyorot permasalahan seperti; representasi alam dalam karya sastra (film), peranan latar fisik (lingkungan) dalam sebuah novel (film), nilai-nilai yang diungkapkan dalam sebuah karya sastra, novel, Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
171
drama atau film itu konsisten dengan kearifan ekologis (ecological wisdom), metafor-metafor tentang daratan (bumi) mempengaruhi cara kita memperlakukannya, karakterisasi tulisan tentang alam sebagai suatu genre (sastra), kaitan dengan ras, kelas, dan gender selayaknya berposisi menjadi kategori kritis baru, dan efek kritis lingkungan memasuki sastra kontemporer dan sastra populer. Selain itu, ekokritik juga memuat pertanyaan-pertanyaan yang mempertimbangkan hubungan antara alam dan sastra. Fondasi dasarnya adalah bahwa karya sastra memiliki hubungan dengan lingkungan (alam), sehingga ekokritisisme menjadi jembatan bagi keduanya. Berdasarkan penjabaran konsep dan objek dalam telaah ekokritik, dapat disimpulkan bahwa kajian sastra melalui sudut pandang ekokritik dapat menjangkau banyak hal, bisa melibatkan gender, ras, dan kelas sosial, genre sastra, hubungan sastra dan lingkungan, dan representasi alam. Namun demikian, tulisan ini membatasi diri pada pengungkapan mengenai edukasi hubungan alam, manusia dan binatang dalam film ini. Asumsinya bahwa film Masha and the Bear yang mengangkat latar belakang alam dan komunitas ekologis yang di dalamnya merepresentasikan hubungan manusia dan binantang yang saling berelasi. Gambaran relasi ini sesungguhnya hendak mengungkapkan pesan mengenai pentingnya menjaga keharmonisan dan keseimbangan alam, serta menyayangi binatang sebagai bagian dari masyarakat ekologis. Masalah penelitian ini kemudian dianalisis secara kualitatif dengan fokus analisis tekstual dimana data didekati melalui cara interpretatif dengan melibatkan analisis semiotik. Metz (1974b, hal. 129—140) mengatakan bahwa film merupakan potongan-potongan (fragments) yang mencerminkan penandaan budaya, sehingga ia bisa didekati melalui analisis semiotik untuk mengkonkritkan maknanya. Sumber utama data dalam tulisan ini adalah film Masha and the Bear dan diperkaya oleh data-data sekunder dari sumber-sumber lain yang dapat menyempurnakan pembahasan masalah dalam tulisan ini.
172
Rasiah
Pembahasan 1. Deskripsi singkat mengenai Film Masha and the Bear
Gambar 1 Beberapa tokoh dalam cerita Masha and The Bear (Masha, Mischa, Panda, Kelinci, dan Pinguin)
Masha and the Bear bercerita tentang seorang gadis kecil pra sekolah bernama Masha berambut pirang dengan poni dan selalu mengenakan kerudung yang hidup dalam sebuah komunitas lingkungan eksotik bersama binatang-binatang lainnya. Ia dipastikan satu-satunya pemeran manusia di film tersebut (meskipun ada juga Dasha, sepupu Masha yang mirip dengannya—namun kemunculannya hanya sekali). Masha adalah bocah perempuan yang hiperaktif, usil, dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Karakter utama lain adalah Mischa, beruang pemburu sahabat Masha. Beruang ini memiliki banyak keterampilan, pandai memasak, suka merawat rumah pohonnya yang berada di tengah hutan. Memiliki peternakan lebah madu dan pekarangannya digarap menjadi lahan pertanian sayur. Selain dua karakter utama di atas masih ada karakter lain yang juga kadang-kadang muncul. Seperti Dipper-beruang betina tetangga Mischa, kumpulan serigala yang tinggal di sekitar mobil ambulans di atas bukit, kelinci pencuri wortel, landak dan tupai yang tinggal di sekitar rumah Mischa, serta ayam, babi dan kambing yang biasa muncul di pekarangan rumah Masha dekat rel kereta api. Juga ada karakter khusus yang muncul pada episode-episode tertentu seperti panda, kerabat Mischa dan Sinterklas yang gemar membagi hadiah. Dalam film tersebut Mischa, si Beruang, digambarkan suka menghabiskan waktunya untuk merawat rumah dan pertaniannya (kebun di pekarangan), memasak, bersantai, mengisi TTS dan kegiatankegiatan untuk menyenangkan dirinya sendiri. Tapi kesenangannya selalu terganggu dengan kedatangan Masha ke rumahnya. Tapi Mischa tidak pernah marah. Dia dengan sabar meladeni Masha yang memiliki Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
173
rasa ingin tahu yang tinggi dan selalu mau bermain dengannya. Sepintas lalu, film ini hanya bersifat komedi, lucu-lucuan untuk menghibur penontonnya yang anak-anak. Namun jika dicermati lebih seksama, film ini memiliki kekuatan yang sekaligus jadi pelajaran yang bisa dipetik dari interaksi antara Masha, beruang dan karakter lainnya, serta setting film yang bernuansa alam. Hubungan Masha dan sekelompok binatang yang hidup dalam sebuah masyarakat di lingkungan alam eksotik menandakan film ini sarat dengan pesan lingkungan, sekaligus dapat dikatakan sebagai bentuk politik film dalam mempropagandakan kesadaran mengenai lingkungan. 2. Hubungan Alam, Manusia, dan Binatang Masha and the Bear sangat jelas merepresentasikan hubungan alam yang eksotik dengan manusia dan binatang. Ketiga komponen ini digambarkan berada dalam situasi yang seimbang. Alam menyediakan makhluk hidup sebuah lingkungan yang asri, dimana, pepohonan yang hijau, bunga-bunga yang mekar, tanaman dan tumbuhan pengasil buah dan sayur menjadi penopang kehidupan, serta kewajiban makluk hidup adalah menjaga keseimbangan tersebut. Paras lingkungan yang ditampilkan dalam film ini sangat dominan dan menjadi daya tarik sendiri bagi penonton. Di sini kita dapat melihat betapa lingkungan yang indah dapat memberikan kenyamanan di hati penghuninya. Mischa, tokoh beruang, dalam film sangat menikmati kehidupannya di alam yang eksotik tersebut. Ia menghabiskan waktu dengan berkebun, menanami pekarangannya yang asri dengan sayursayuran, seperti wortel, tomat, dan buah-buahan seperti apel, strawberry, dan bunga-bunga yang indah, serta mengolah hasil kebunnya dengan aneka makanan yang sehat. Pekarangan Mischa dan isinya dapat dilihat dalam gambar berikut.
Gambar 2 Kondisi Pekarangan rumah Mischa Hijau dan Indah 174
Rasiah
Gambar ini memberikan petunjuk kepada kita mengenai cara mengelola lingkungan agar bermanfaat bagi manusia sekaligus bagi alam. Kombinasi tanaman di pekarangan dengan penataan yang rapi memanjakan mata tidak saja membuat paras alam indah, tetapi juga memberikan manfaat bagi manusia. Alam tidak saja memberikan kita kesejukan, kenyamanan, serta keindahan, tetapi juga menyediakan kita sumber daya untuk memanfaatkannya agar manusia mendapatkan keuntungan; kesehatan dan ekonomi. Masha and the Bear menggambarkan kondisi ini secara rasional, betapa alam memberikan semua hal untuk manusia, asalkan manusia menjaganya.
Gambar 3 Buah-buahan dan Sayuran Segar
Di film ini, baik Masha maupun Mischa digambarkan selalu mengkonsumsi makanan segar yang bersumber dari alam, serta langsung didapatkan di pekarangan. Makanan tersebut berupa Strawberry, apel, wortel, anggur, dan beberapa buah-buahan yang segar jauh dari bahan kimia. Hasilnya, tubuh keduannya menjadi sehat dan kuat. Sepanjang film, tubuh Masha yang selalu mengkonsumsi makanan sehat dan segar itu, tidak pernah menunjukkan kondisi sakit atau lemah, bahkan dia tampak sangat kuat. Hal ini dapat menunjukkan kepada anak-anak mengenai pentingnya makan makanan sehat. Makanan yang sehat adalah modal untuk membangun tubuh yang sehat. Masha yang doyan makan buah-buahan terlihat sehat dan kuat, mampu mengendong tubuh Mischa si beruang besar, serta memiliki semangat dan keberanian melampaui usianya. Film ini juga menggambarkan kehidupan ekologis dimana manusia dan binatang, baik binatang dan buas dan jinak saling berinteraksi satu sama lain. Gambar berikut merupakan salah satu scene yang Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
175
menampilkan keindahan lingkungan serta interaksi anggota komunitasnya dalam latar film tersebut.
Gambar 3 Mischa, Masha, dan Panda
Gambar 3 di atas, adalah adegan perkenalan yang terjadi antara Panda kecil yang merupakan sepupu jauh Mischa dengan Masha di sebuah kebun bunga matahari yang sedang bermekaran. Scene ini dapat dimaknai sebagai simbol persaudaraan yang terjalin antara mansia dan binatang dalam komunitas ekologi. Binatang buas seperti beruang ditampilkan sebagai sepupu dari Panda yang dikategorikan bukan binatang buas, sementara Masha adalah manusia sebagai sahabat karib Masha yang sejati. Mereka merupakan bagian dari komunitas ekologi tersebut tanpa batas dan dapat berkomunikasi layaknya manusia. Walaupun dalam film ini banyak karakter yang berbeda tapi mereka semua bersahabat dengan caranya masing-masing. Mischa si beruang, tidak bisa berbicara menggunakan bahasa manusia. Tapi antara dia dan Masha bisa saling memahami bahasa satu sama lain. Film ini secara tidak langsung mengajarkan kepada anak-anak untuk membangun rasa persaudaraan dengan siapa pun tanpa memandang satatus sosial, juga dapat menyayangi binatang pada sisi yang lain. Berikut ini akan dipaparkan jenis-jenis persaudaraan yang terjalin antara binatang dan manusia dalam film Masha dan the Bear.
176
Rasiah
Gambar 4 Masha dan Bayi Pinguin
Persahabatan Masha dan Bayi Pinguin diawali dengan penemuan sebuah telur besar yang kemudian diselamatkan oleh Masha dengan cara menyerahkan kepada Mischa si beruang untuk dierami. Sikap Masha yang menyelamatkan telur tersebut menunjukkan sebuah sikap solidaritas terhadap mahkluk hidup serta mengajarkan kita tentang arti menyayangi binatang serta makhluk lainnya, sehingga terhindar dari kepunahan. Berkat tindakan Masha dan Mischa dalam menyelamatkan telur pinguin, maka satu spesies burung/binatang selamat dari kepunahan.
Masha juga menjalin persahabatan dengan binatang lain seperti kelinci dan harimau. Meskipun kelinci dipandang sangat usil dalam mencuri tanaman sayuran si Mischa, namun si kelinci kadang-kadang juga mendatangkan manfaat buat hidup Masha, misalnya ketika musim salju turun, kelinci mengajak Masha untuk bermain ski dan mengajarkan cara berjalan di atas salju. Sikap ini memberikan contoh menyayangi binatang, yang kadang sangat bermanfaat buat kehidupan manusia.
Gambar 5 Masha dan kelinci Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
177
Persahabatan Masha dengan binatang juga tampak dalam pertemuannya dengan harimau, teman Mischa yang ahli bermain sirkus. Harimau dalam realitas adalah binatang yang sangat buas dan berbahaya bagi manusia, namun dalam Masha and the Bear ia digambarkan sangat baik dan bertalenta, meski pada awalnya terjadi kesalahpahaman di antara mereka, namun pada akhirnya kedua jenis makluk yang berbeda itu dapat bersahabat. Bahkan Masha dan Harimau membuat kesepakatan untuk bermain bersama dalam sirkus, dan mendapatkan keuntungan ekonomi. Gambaran ini menunjukkan bahwa binatang buas kadangkala dapat memiliki perasaan seperti manusia. Binatang buas bisa dimanfaatkan menjadi sahabat yang sangat setia atau bahkan bisa menguntungkan secara ekonomi dengan memanfaatkan tenaganya. Selain Harimau, ada dua karakter binatang buas lainnya yang biasa mengancam Masha, yaitu dua Serigala yang tinggal di mobil ambulance. Namun keduanya tidak pernah bisa menyakiti Masha, mereka selalu gagal, bahkan akhirnya bersahabat, dan memberikan manfaat bagi Masha.
Gambar 6 Masha dan Harimau
Film ini juga menghadirkan persahabatan Masha dengan ikan koi yang ajaib. Ikan koi dalam realitas merupakan salah jenis ikan yang memiliki kandungan vitamin yang penting bagi pertumbuhan otak anak. Dalam kegiatan memancing bersama Mischa, Masha beruntung mendapatkan ikan koi yang digambarkan ajaib. Namun Masha tidak melakukan apapun terhadap ikan itu, ia hanya meminta satu permen yang tidak habis dimakan. Tindakan Masha ini dapat dimaknai sebagai cara untuk melestarikan ikan yang bisa mendatangkan manfaat bagi manusia. Ikan koi dapat menjadi sumber makanan sehat yang penting untuk pertumbuhan dan perkembangan otak anak, sehingga eksploitasi 178
Rasiah
ikan jenis ini secara berlebihan dan tanpa budi daya dapat mengancam bukan saja kepunahannya, tetapi juga kehilangan sumber makanan sehat. Jadi, Masha mengajarkan kita untuk tidak mengeksploitasi alam secara berlebihan, tetapi kita butuh melestarikannya untuk kelansungan hidup di masa yang akan datang.
Gambar 7 Masha dan Ikan Koi
3. Nilai Kearifan Ekologis Beberapa nilai-nilai yang mencerminkan kearifan ekologis dapat dimaknai dari film Masha and the Bear adalah; pertama, persahabatan dengan alam. Persahabatan dengan alam adalah cara kita bisa menghayati kehidupan di alam semesta ini. alam memberikan kita sumber kehidupan; tempat tinggal, makanan, dan lingkungan yang sehat. Jika hal ini tidak dijaga oleh manusia, maka alam pun tidak akan menjaga kita. Ada hukum sebab akibat yang berlaku secara alamiah, ketika alam dieksploitasi tanpa memikirkan dan mengantisipasi akibatnya, maka bencana alam pun tidak akan dihindarkan. Olehnya, itu film Masha and the Bear mengajarkan kita bagaimana memperlakukan alam, dan bagaimana mengambil manfaat darinya. Keduanya harus berjalan seimbang agar manusia mengambil lebih banyak manfaat. Fenomena global warming yang melanda dunia saat ini menjadi sebuah ancaman nyata untuk warga dunia, sehingga kita perlu menanamkan kesadaran mengenai pentingnya menjaga alam serta menghayati nilainilai ekologis untuk menjaga kelangsungan hidup alam dan manusia. Edukasi mengenai kearifan ekologis sangat penting ditanamkan sejak dini kepada anak-anak sebagai pewaris kelangsungan hidup alam dan generasi. Film Masha and the Bear merupakan salah satu sarana untuk mempropagandakan pentingnya melestarikan alam. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
179
Gambar 8 Beruang Mischa dengan kebun Strawberry-nya
Dalam peradaban barat, potret mengenai sosok anak-anak sebagai pembawa sifat innocent sekaligus pemilik masa depan diungkapkan dalam berbagai cara. Menurut Kern (1999, hal. 49) posisi dan makna anak-anak dan remaja dalam kehidupan sosial, politik, dan kultural sangat luar biasa. Dikatakanya bahwa anak-anak dijalanan, di ruang kelas, ataupun yanga dan dalam kelompok-kelompok diskusi khsusus telah menjadi bagian dari aktivitas politik. Melalui jiwa kanak-kanaknya kita dapat menanamkan berbagai hal yang dapat membentuk pola pikirnya hingga dewasa, termasuk pola pikir mengenai alam dan kehidupan ekologis. Harapan anak-anak adalah investasi masa depan kita dan juga mengendalikan opini hari ini. Oleh karena itu, film Masha and the Bear juga merupakan salah satu cara untuk mempropagandakan kesadaran lingkungan yang dibalut melalui cerita menarik berlatar lingkungan eksotis yang disukai anak-anak. Nilai kearifan ekologis yang kedua yang dapat dipetik dari film Masha and the Bear adalah, bahwa alam tidak selalu berbenturan dengan teknologi, sebaliknya, alam dapat seiring sejalan dengan perkembangan teknologi. Hal ini ditunjukkan dalam kehdupan Mischa dan Masha di lingkungan eksotik dengan perangkat teknologi yang cukup canggih. Mischa, misalnya, dalam rumahnya dilengkapi dengan peralatan teknologi yang sama dengan peralatan rumah yang ada di kota-kota besar; kulkas, televisi, bahkan telepon genggam dimunculkan dalam film itu. di bagian lain muncul rel ketera api sebagai sarana transportasi menghubungkan daerah satu dengan yang lainnya. Hal ini dapat dimaknai bahwa tinggal dilingkungan yang eksotik tidak menghambat arus informasi dan transportasi. Televisi memberikan hiburan dan informasi kepada Mischa dan Masha, bahkan untuk siaran-siaran penting dan favorit tetap dapat disaksikan. Begitu juga transportasi kereta api yang dapat menyambungkan dari daerah satu dengan daerah 180
Rasiah
lain, serta sarana telepon genggam yang kian memperlancar arus komunikasi, membuat keduanya tidak ketinggalan informasi mengenai dunia. Artinya bahwa pengadaan sarana dan prasarana yang berteknologi tinggi tidak harus dengan cara mengeksploitasi alam. Manusia dapat menyiasati dengan cara-cara tertentu untuk tetap menjaga alam di satu sisi, dan teknologi juga tetap dinikmati di sisi lain.
Gambar 9 Teknologi tidak selalu berbenturan dengan Alam
Masha and the Bear juga menampilkan kearifan ekologis yang lain, yang berkaitan dengan pemanfaatan sumber alam sebagai sarana hidup manusia yang menyehatkan manusia. Dalam film itu ditampilkan bagaimana sumber alam seperti kayu dimanfaatkan sebagai bahan membuat rumah, menghindari penggunaan besi dan alminium. Rumah Masha dan Mischa adalah contoh dari ini. Mischa membuat rumah dua lantai dengan desain modern, tetapi menggunakan bahan berasal dari alam. Bahkan ia tidak menebang pohon sebagai dasar pembuat rumahnya, serta menafaatkan pekarangan untuk menanami berbagai tumbuhan yang dapat berguna bagi manusia. Hal ini dapat dimaknai sebagai kritik kepada manusia zaman sekarang yang selalu mengeploitasi alam ketika mendirikan rumah dan atau bangunan lainnya. Penebangan pohon, tanah yang di flur dengan semen di halaman rumah, menjadikan air tidak diserap oleh tanah, sehingga banjir terjadi dimana-mana ketika hujan mulai turun. Film ini memberikan kita alternatif untuk memikirkan kembali cara kita dalam mengelola lingkungan mulai dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar. Adegan lain ditunjukkan dalam film adalah pengunaan buahbuahan sebagai sarana pendidikan. Apel yang dijadikan Mischa untuk mengajari Masha berhitung dapat dipadang sangat arif terhadap Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
181
ekologis. Apel menggantikan sarana berhitung yang lain yang biasanya terbuat dari plastik atau bahan lain yang mengandung kimia dan berbahaya bagi manusia. Alam sesungguhnya telah memberikan banyak sumber kehidupan bagi manusia, hanya manusia terkadang lupa untuk memanfaatkannya. Manusia sibuk mengejar cara hidup modern yang tidak arif dengan lingkungan sebagai simbol hidup masa kini, tanpa memikirkan efek yang akan ditimbukannya.
Gambar 10 Sarana pendidikan yang alamiah (alternatif plastik yang berbahaya)
Kesimpulan Berdasarkan pembahasan di atas, maka tulisan ini menyimpulkan bahwa film Masha and the Bear muncul untuk memberikan sebuah edukasi mengenai hubungan alam, manusia, dan binatang dalam sebuah kehidupan ekologis. Komponen ekologis ini tidak bisa dipisahkan satu sama lain, dan masing-masing memiliki peranan dalam menopang kelangsung hidup alam. Olehnya itu, ia mengajarkan bagaimana manusia dalam membangun relasi dengan alam dengan cara memanfaatkannya sekaligus melestarikannya. Kemajuan teknologi bukan merupakan alasan untuk mengekploitasi alam, sebaliknya teknologi tidak selalu berbenturan dengan alam. Teknologi dan alam dapat berjalan seiring sejalan dalam memenuhi fungsinya dalam kehidupan. Di samping itu, sikap menyayangi binatang juga salah satu sikap untuk menjaga kelangsungan ekologis. Manusia dan binatang apapun jenisnya memiliki fungsi dan manfaat dalam kehidupan ekologis. Menjaga mereka sama dengan menjaga keseimbangan ekologis. Masha and the Bear merupakan kritik terhadap sikap manusia terhadap alam dewasa ini. Teknologi selalu menjadi alasan kerusakan lingkungan 182
Rasiah
tanpa memikirkan cara mengantisipasinya. Film ini menawarkan kepada kita beberapa alternatif untuk kita pilih dalam mewujudkan kecintaan terhadap alam. Daftar Rujukan Adi, I. R. (2008). Mitos Di Balik Film Laga Amerika . Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada Press. ——————. (2012). Popularizing Epic Narrative in George RR Martin’s A Game of Thrones. Humaniora , 24 (3), 303-314. Chamamah, S. (2001). Pengkajian Sastra dari Sisi pembaca: satu Pembicaraan Metodologi. Dalam J. (ed), Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Handinita. Garrand, G. (2004). Ecocriticism. New York: Routledge . Glotfelty, C. &. ( 1996). The Ecocriticism Reader: Landmarks in Literary Ecology. London: University of Goergia Press. Iser, W. (1978). The Act Of Reading: A Theory of Aesthetic Response. USA: The John Hopkins University Press. Jackson, K. (1986). Images of Children in American Film: A Sociocultural Analysis. London, New York, dan Metuchen: The Scarecrow Press, Inc. Jinks, W. (1974). The Celluliod Literature in the Humanities. Beverly Hills : Glencoe Press. kern, G. (1999). The Triumph of Teen-prop: terminator II and the end of History. Dalam w. &. (ed), Nursery Realms: Children in the worlds of science Fictions, fantasy, and Horror (hal. 49-57). Athens & London: University of Georgia Press. Kerridge, R. &. (1998). Writing the Environment. London: Zed Books. Lotman, J. (1977). the Structure of teh Artistic Text. Michigan: University of Michigan. Metz, C. (1974b). Language and Cinema. USA: The Hague Mouton. Metz, C. (1974b). Language and Cinema. The Hague : Mouton. Ratna, N. (2014). Peranan Karya sastra, Seni, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ——————. (2007). Sastra dan Cultural Studies. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
183
184
Rasiah
ALAM DAN FEMININITAS DALAM KUMPULAN PUISI MANTRA RINDU KARYA KALSUM BELGIS Nailiya Nikmah
Abstrak Gerakan feminis new age berkeyakinan kuat bahwa dominasi terhadap perempuan sudah berjalan lama, sama tuanya dengan dominasi terhadap bumi (alam). Menurut Sukidi (2001:10) relasi bumi-perempuan yang sama-sama menjadi objek eksploitasi ini dapat dilacak misalnya dari berbagai mitos, legenda, pendapat yang menyimbolkan bumi sebagai “ibu” dan “perempuan”. Dalam gerakan tersebut diyakini paradigma sains yang holistik dan ekologis. Gerakan tersebut mengintegrasikan kesadaran spiritualitas feminis dengan kesadaran ekologis. Inilah yang selanjutnya disebut dengan ecofeminism. Menurut Maimunah (2013:233) ecofeminism adalah sebuah ideologi yang membangun teori dan praktik berdasarkan pandangan bahwa terdapat hubungan yang erat antara isu lingkungan dan gender. Opresi terhadap alam diyakini berkaitan dengan opresi terhadap perempuan. Dari sisi linguistik sering ditemui unsur-unsur yang meng’alam’kan perempuan atau mem’feminin’kan perempuan, misalnya frase “pemerkosaan hutan” atau “penggarapan tanah”. Hal tersebut terdapat pula dalam kumpulan puisi Mantra Rindu karya Kalsum Belgis yang dipilih sebagai sumber data makalah ini. Mantra Rindu adalah kumpulan puisi yang banyak mengungkapkan fenomena kerusakan alam. Buku ini diterbitkan oleh Mingguraya Press, Januari 2012. Kalsum Belgis adalah salah satu dari sedikit penyair perempuan Kalimantan Selatan yang cukup intens dalam berkarya. Pertanyaan utama penelitian ini adalah bagaimana hubungan alam dan femininitas ditampilkan dalam puisi dengan landasan teori ecofeminism. Kata Kunci: Ecofeminism, Femininitas, Perempuan dan Alam, Mantra Rindu, Kalsum Belgis
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
185
Pendahuluan Sastra sering dilihat sebagai segala sesuatu yang berhubungan dengan hidup dan kehidupan manusia sehingga yang menjadi fokus kajiannya adalah manusia. Cara pandang seperti ini yang disebut dengan antroposentris, menekankan manusia sebagai makhluk yang memiliki kemampuan untuk mengatur dan memberdayakan alam untuk kepentingannya. Lama-kelamaan, manusia cenderung mengeksploitasi alam tanpa memikirkan apa yang selanjutnya akan terjadi dengan alam di masa depan. Isu global warming pun menjadi isu dunia internasional. Cara pandang tentang hubungan manusia dan alam mulai diperbaiki. Kajian hijau atau ekokritisisme muncul di Amerika Serikat pada akhir 1980an dan di Inggris pada awal 1990-an (Barry dalam Mu’in, 2013). Selanjutnya, Mui’n mengutip dari Glotfelty (1996) menyebut ekokritisisme secara sederhana dapat diartikan sebagai sebuah studi tentang hubungan antara sastra dan lingkungan hidup. Dalam metode analisisnya, ekokritisisme mengkaji persoalan politik, ekonomi, gender, ras dan kolonialisme yang menyebabkan ketidakadilan lingkungan. Ketidakadilan ini, dengan kata lain adalah produk dari struktur ekonomi dan politik yang akhirnya menyebabkan ekosistem menjadi tidak seimbang (Berry dalam Maimunah, 2013:233). Sebagai sebuah kajian dari ekokritisisme, persoalan gender erat kaitannya dengan gerakan feminis. Salah satu gerakan feminis yang dimaksud adalah gerakan feminis new age. Gerakan feminis new age berkeyakinan kuat bahwa dominasi terhadap perempuan sudah berjalan lama, sama tuanya dengan dominasi terhadap bumi (alam). Menurut Sukidi (2001:10) relasi bumi-perempuan yang sama-sama menjadi objek eksploitasi ini dapat dilacak misalnya dari berbagai mitos, legenda, pendapat yang menyimbolkan bumi sebagai “ibu” dan “perempuan”. Dalam gerakan tersebut diyakini paradigma sains yang holistik dan ekologis. Gerakan tersebut mengintegrasikan kesadaran spiritualitas feminis dengan kesadaran ekologis. Inilah yang selanjutnya disebut dengan ekofeminisme. Menurut Maimunah (2013:233) ekofeminisme adalah sebuah ideologi yang membangun teori dan praktik berdasarkan pandangan bahwa terdapat hubungan yang erat antara isu lingkungan dan gender. Opresi terhadap alam diyakini berkaitan dengan opresi terhadap perempuan. 186
Nailiya Nikmah
Mengombinasikan kesadaran spiritual feminis dengan kesadaran ekologis menjadi trend kuat dari gerakan spiritualistas ekofeminisme. Jika feminisme modern (feminisme liberal, marxis, sosialis, dan bahkan radikal) melihat manusia sebagai individu otonom dan tak terkait dengan lingkungan akibat dari paradigma sains modern CartesianNewtonian-Descartesian, maka spiritualitas ekofeminisme yang trend dalam konteks gerakan new age justru sebaliknya, melihat manusia secara lebih holistik dan ekologis (Sukidi, 2001:12). Etika ekofeminis berupaya menyingkirkan pandangan yang maskulin yang berorientasi pada model-model penguasaan atau dominasi. Menyamakan perempuan dengan alam, pada dasarnya ibarat pisau bermata dua. Perempuan dan alam ‘disanjung’ dan pada saat yang sama ‘ditindas’ (Arivia dalam Maimunah, 2013:233). Sebagai sebuah karya sastra, puisi tidak lepas dari hal tersebut. Ini terjadi tidak saja karena persoalan alam dan perempuan menyajikan keindahan-keindahan secara diksi dan isi tapi juga karena ia menyimpan beragam problema yang menarik untuk dikaji. Persoalan utama makalah ini adalah bagaimana alam dan femininitas ditampilkan dalam kumpulan puisi Mantra Rindu karya Kalsum Belgis, serta hubungan keduanya yang dikaji dengan landasan teori ekofeminisme dan teknik analisis deskriptif. Antara Feminisme dan Femininitas Seluruh teori penindasan jender menggambarkan situasi wanita sebagai akibat dari hubungan kekuasaan langsung antara lelaki dan wanita. Lelaki mempunyai kepentingan mendasar dan konkret untuk mengendalikan, menggunakan, menaklukkan dan menindas wanita, yakni untuk melaksanakan dominasi. Dominasi yang dimaksud dalam teori ini adalah setiap hubungan dimana pihak (individu maupun kolektif) yang disubordinasikan sebagai alat kemauannya dan menolak untuk mengakui kebebasan subjektivitas pihak yang disubordinasikan. Atau sebaliknya, apabila dilihat dari sudut pandang pihak yang disubordinasikan, dominasi merupakan hubungan penempatan pihak yang disubordinasikan hanyalah sebagai alat kemauan pihak yang dominan (Lengermann dan Niebrugge dalam Ritzer (2008:427). Pola penindasan ini masuk dalam organisasi masyarakat yang terdalam dan paling meresap dalam struktur dominasi mendasar yang disebut patriarki. Patriarki adalah struktur kekuasaan primer yang dilestarikan dengan maksud yang disengaja. Menurut kebanyakan teori penindasan, Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
187
perbedaan dan ketimpangan jender adalah hasil sampingan sistem patriarki. Feminisme adalah teori tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan di bidang pollitik, ekonomi dan sosial; atau kegiatan terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan perempuan (Goefe dalam Sugihastuti, 20013:18). Gamble (2004: 297-298) menyatakan feminisme adalah pandangan bahwa perempuan dihargai lebih sedikit dibanding laki-laki di dalam masyarakat yang menggolongkan perempuan dan laki-laki ke dalam perbedaan ruang-ruang politik, ekonomi dan budaya. Feminisme menyatakan bahwa ketimpangan-ketimpangan ini bukanlah seuatu yang ditetapkan atau ditentukan secara permanen, tetapi perempuan sendiri dapat mengubah tatanan sosial, ekonomi, budaya dan politik melalui tindakan kolektif. Dengan demikian, tujuan feminisme adalah keinginan aktif untuk mengubah posisi perempuan di dalam masyarakat. Sebuah aforisme yang terkenal adalah di mana dikatakan bahwa seseorang tidak dilahirkan sebagai, tetapi lebih kepada menjadi seorang perempuan. Keperempuanan adalah konsekuensi biologis, yang merupakan bawaan alamiah dari ketubuhan perempuan. Tetapi feminitas berasal dari dalam struktur bermasyarakat. Dengan demikian, femininitas adalah seperangkat peraturan yang mengatur perilaku dan penampilan perempuan, tujuan akhirnya adalah akan membuat perempuan menyesuaikan diri dengan daya pikat seksual yang diinginkan laki-laki. Penyamaran sebagai keperempuanan “alami” adalah sesuatu yang benar-benar dibebankan kepada perempuan, walaupun fakta bahwa tekanan untuk menyesuaikan diri dengan definisi feminin dominan yang secara kultur diinternalisasikan pada tingkatan bahwa perempuan secara efetif menyesuaikan diri mereka pada definisi feminin “ideal” tersebut. Femininitas adalah sebuah area teoritis yang merepresentasikan semua yang dimarginalkan dalam tatanan patriarkal, dan dengan demikian merupakan sebuah istilah yang menggambarkan suatu posisi yang diduduki oleh subjek feriferal (Hollows, 2000). Jadi, femininitas adalah kerangka realitas perempuan yang diinginkan untuk terjadi oleh paham budaya patriarkal. Feminin adalah segala sesuatu yang tidak maskulin. (Prahitaningtyas.blogspot.com/2011/06/antara-feminis-danfeminin.html/). 188
Nailiya Nikmah
Keraf mengutip pendapat Karren J Warren menyebutkan kerangka konseptual androsentrisme yang menindas memiliki 3 ciri utama, yaitu (1) berpikir tentang “nilai-secara-hierarkis” yang menempatkan nilai dengan strata yang lebih tinggi, (2) dualisme nilai, yang melakukan penilaian moral dalam kerangka dualistis (laki-laki dilawankan dengan perempuan, manusia dilawankan dengan alam) untuk memberi nilai yang lebih tinggi pada yang satu sambil menilai rendah pada yang lain, (3) logika dominasi, yaitu struktur dengan cara berpikir yang cenderung membenarkan dominasi dan subordinasi (2010:151). Semua ekofeminis setuju bahwa ada kaitan penting antara dominasi perempuan dan dominasi alam; suatu pemahaman yang sangat krusial terhadap feminisme, environmentalisme dan filosofi lingkungan (Gamble, 2010:285). Selanjutnya, baik ekologi sosial maupun ekofeminisme melihat problem sosial berupa dominasi yang begitu kuat dalam relasi antara satu kelompok manusia dengan kelompok lain, juga mempengaruhi relasi manusia dengan alam. Relasi sosial yang ditandai oleh dominasi satu kelompok terhadap kelompok yang lain ini, bukan saja menimbulkan problem sosial, melainkan juga problem ekologis. Karena pola relasi yang sama – yaitu yang kuat (laki-laki) mendominasi dan mengontrol yang lemah (perempuan) – diteruskan pula dalam relasi antara manusia (yang kuat) terhadap alam (yang lemah) (Keraf, 2010:153). Karren J Warren dalam Maimunah (2013:233) menyatakan bahwa opresi patriarki terhadap alam dan perempuan disebabkan oleh pandangan bahwa alam/perempuan adalah sesuatu yang feminin, tidak berdaya dan pantas untuk dikuasai. Politik othering ini didasarkan pada cara berpikir maskulin bahwa alam = perempuan. Dari sisi linguistik sering ditemui unsur-unsur yang meng’alam’kan perempuan atau mem’feminin’kan perempuan, misalnya frase “pemerkosaan hutan” atau “penggarapan tanah”. Pembahasan Puisi merupakan sebuah karya yang menyimpan banyak makna. Puisi bukanlah sesuatu yang kosong walau kadang terkesan ‘main-main’, hal ini disebabkan puisi ditentukan oleh kepiawaian penyair dalam memainkan kata-kata. Karena menyimpan banyak makna, sebuah puisi kadang tidak bisa dicerna dalam sekali pembacaan. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
189
Puisi mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Semua itu merupakan sesuatu yang penting, yang direkam, dan diekspresikan, dinyatakan dengan menarik dan memberi kesan. Puisi merupakan rekaman dan interpretasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan (Pradopo, 2000:7). Dalam Kamus Istilah Sastra disebutkan “Puisi adalah gubahan dalam bahasa yang bentuknya dipilih dan ditata secara cermat sehingga mempertajam kesadaran orang akan pengalaman dan membangkitkan tanggapan khusus lewat penataan bunyi, irama, dan makna khusus” (Zaidan, dkk., 2000:159-160). Dengan demikian, puisi dapat mempertajam kesadaran orang dan memunculkan tanggapan-tanggapan tertentu terhadap puisi berdasar pengalamannya membaca puisi tersebut. Munculnya tanggapantanggapan tersebut tentunya disebabkan oleh bahasa yang sudah dipilih bentuknya dan ditata dengan cermat. Kumpulan puisi Mantra Rindu karya Kalsum Belgis yang dipilih sebagai sumber data makalah ini. Mantra Rindu adalah kumpulan puisi yang banyak mengungkapkan fenomena kerusakan alam. Buku ini diterbitkan oleh Mingguraya Press, Januari 2012. Kalsum Belgis adalah salah satu dari sedikit penyair perempuan Kalimantan Selatan yang cukup intens dalam berkarya. Kalsum Belgis lahir di Martapura, Kalimantan Selatan. Ia menghabiskan masa kecilnya di Banjarmasin, menuntut ilmu di kota intan Martapura, menjalani masa remaja di Bandung. Kalsum Belgis menelusuri Jakarta, mengasah diri di Institute Kesenian Jakarta (IKJ). Ia pernah bergabung di Teater Mblink Kuningan di bawah pimpinan Abimanyu. Belgis berkiprah di dunia seni dengan bermain di beberapa film pada 1994, serta mengikuti Pendidikan Asosiasi Artis Indonesia BKS Kostrad di bawah naungan Lim Kampay di Jakarta. Selain menulis puisi dan menggeluti teater, Belgis juga menulis cerpen. Pada waktu yang bersamaan, Belgis juga menerbitkan kumpulan puisinya yang lain, yaitu Mantra Petapa. Dalam Mantra Petapa, Kalsum Belgis menulis sebuah puisi yang dari judulnya sudah menggunakan diksi yang sangat identik dengan meng-alam-kan perempuan. Berikut puisinya:
190
Nailiya Nikmah
Selaput Dara Diamku adalah kesumat hempasan napas murka kusemburkan melalui lubang tenggorokan emosiku meremas rejam Kejam Aku telah meludah dengan nanah amarah emosi melumat habis sumpah serapah serakah! Durjana! kau telah merampas selaput dara pagiku kau telah memecahkan perawan hutan lembahku telah kau keruk pedaringan alamku Dan kau tersenyum rapi di gantungan dasi merahmu hempasan kepuasan kau semburkan laksana lembu pejantan sehabis melepaskan syahwatmu Dan Aku marah! Martapura, Desember 2011 (Mantra Petapa, 2012:40-41)
Dibaca secara keseluruhan, puisi Selaput Dara merupakan puisi yang bertema lingkungan/alam. Pokok pikiran puisi ini adalah kemarahan aku lirik terhadap para perusak lingkungan. Ini adalah kisah kekayaan alam yang dikeruk, tentang hutan yang dibabat oleh pengusaha (berdasi). …//Kau telah merampas/ Selaput dara pagiku/ Kau telah memecahkan/ Perawan hutan lembahku./ ‘Selaput dara’ Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
191
dipakai sebagai ungkapan yang menunjukkan betapa sesuatu yang vital telah dirusak dengan sengaja. Selaput dara dalam konteks ‘manusia’ merupakan lipatan membran yang menutup sebagian luar alat vital perempuan. Sudah menjadi kesepakatan dalam masyarakat bahwa selaput dara merupakan penentu keperawanan sehingga ketika selaput dara ‘dirampas’ yang terjadi adalah pecahnya keperawanan. …Telah kau keruk pedaringan alamku// Dan// Kau tersenyum rapi/ Di gantungan dasi merahmu/ Hempasan kepuasan kau semburkan/ Laksana lembu pejantan/ Sehabis melepaskan syahwatmu//…. Pada saat ‘Lembu pejantan’ dan ‘melepaskan syahwat’ digunakan dalam puisi ini, pada saat itu pula alam/hutan menjadi feminin atau difemininkan. Lembu pejantan, dasi merah, menjadi simbol pemilik kekuasaan yang tentu saja sangat maskulin. Di sinilah perempuan didominasi oleh lakilaki, alam didominasi oleh manusia yang selanjutnya akan menimbulkan kerusakan alam/lingkungan. Alam dan Femininitas dalam Kumpulan Puisi Mantra Rindu Karya Kalsum Belgis Seperti yang disebutkan diatas, Menurut Maimunah (2013:233) ekofeminisme adalah sebuah ideologi yang membangun teori dan praktik berdasarkan pandangan bahwa terdapat hubungan yang erat antara isu lingkungan dan gender. Opresi terhadap alam diyakini berkaitan dengan opresi terhadap perempuan. Etika ekofeminis berupaya menyingkirkan pandangan yang maskulin yang berorientasi pada model-model penguasaan atau dominasi. Menyamakan perempuan dengan alam, pada dasarnya ibarat pisau bermata dua. Perempuan dan alam ‘disanjung’ dan pada saat yang sama ‘ditindas’ (Arivia dalam Maimunah, 2013:233). Kumpulan puisi Mantra Rindu karya Kalsum Belgis banyak bicara tentang romantisme dan alam yang telah rusak. Dari sekian puisi, puisipuisi berikut yang dipilih untuk dikaji bagaimana alam dan femininitas dalam puisi-puisi Kalsum Belgis. Selain pengungkapannya tentang alam, akan dilihat hubungannya dengan femininitas. Mantra Sakti Coba kau lihat di lingkaran bulan ada sebait sajak cinta yang kutoreh untukmu mengapa kau masih tak sanggup percaya pada nyanyian ombak 192
Nailiya Nikmah
sedang kepak camar tak pernah letih senandung mantra mantra sakti. Ikrar cinta di pucuk buih laut pasir pantai pilu menangisi ciuman sejenak ombak matahari menyetubuhi ujung samudea keperkasaan menyingkap tirai puisi di gelas arak kaca panas menjilati seluruh bibir langit dalam kenikmatan senyum perawan berkerudung biru malam taman lampu Martapura, 16 Februari 2011 (Mantra Rindu, 2012: 17)
Puisi tersebut tentang aku lirik yang mempertanyakan keraguan seseorang terhadap cintanya yang diungkapkan melalui sajak cinta. Penyair menggunakan alam dan suasana alam sebagai citraannya, yaitu lingkaran bulan, nyanyian ombak, kepak camar, buih laut, pasir pantai, matahari dan langit. Pada bait kedua ditemukan ciuman sejenak ombak, matahari menyetubuhi ujung samudera, keperkasaan menyingkap, panas menjilati seluruh bibir langit, kenikmatan senyum perawan berkerudung biru malam taman lampu. Dalam hal ini alam itu sendiri digambarkan sebagai maskulin sekaligus feminin. Matahari dihubungkan dengan sifat-sifat maskulin yang dilawankan dengan langit. Sementara ombak dilawankan dengan pasir pantai. Jadi, yang difemininkan dalam puisi ini adalah langit dan pasir pantai. Penyair menggunakan diksi ‘perawan’ untuk langit biru malam. Dominasi matahari pada alam yang tergambar pada puisi tersebut membuat kegelapan di ujung samudera. Manusia bisa menguasai laut dan pantai tetapi tidak matahari dan ombak. Meski kepak camar tak pernah henti menyenandungkan mantra-mantra saktinya, kekuasaan matahari tidak akan bisa dikalahkan, begitu pula ombak. Puisi ini menyiratkan dibalik kekuasaan atau dominasi makhluk (manusia) terhadap alam ada hal-hal dari alam tersebut yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia. Ini semacam isu pemanasan global yang dipaparkan secara halus dan kemungkinan bencana di laut (tsunami dan lain-lain). Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
193
Ladang Gandum Belahan bumi mana tersembunyi tiap helai daun ilalang, kutulisi pesan cinta pulanglah dalam kelambu kasih seribu nusa jelajah pandang terbang di kepak camar tarian buih laut pecah di lidah karang bagi sejuta ribu debu terbang buyar. Di setiap tangkai gandum menjulai ukiran ayat hati tersembur bersama kabar angin harap. Pulanglah ke ladang cinta gandum belungka padang mengering di kaki tajam belalang garang menghisap peluh dan air mata kita. Pulanglah kekasihku ladang basah kerontang kemarau panjang hanguskan pusat bumi moyang kita. Pulanglah layang-layang kuning kerangka rumbia belum bekertas tergantung lapuk di gerobak jerami. Pulanglah cinta pualamku kita basahi kembali ladang gandum yang di setiap bulirnya nyanyikan sperma kehidupan segera kita setubuhi bumi dituangan peluh cinta. Martapura, 17 Februari 2011 (Mantra Rindu, 2012:18)
Puisi ini mengungkapkan harapan aku lirik akan kepulangan orang yang dicintainya. Aku lirik mempunyai alasan yang kuat untuk meminta kekaksihnya pulang. Alasan tersebut dapat di lihat pada bait 3 dan 4. Pulanglah ke ladang cinta/ gandum belungka padang mengering di kaki tajam/ belalang garang menghisap peluh dan air mata kita.// Pulanglah kekasihku/ ladang basah kerontang kemarau panjang hanguskan/ pusat bumi moyang kita.// Puisi ini bercerita tentang lahan pertanian yang dilanda kekeringan. Kemarau panjang menyebabkan kekeringan di ladang gandum. Tidak hanya itu, hama pun melanda. Hal ini membuat pusat bumi warisan nenek moyang dilanda bencana.
194
Nailiya Nikmah
…//Pulanglah cinta pualamku/ kita basahi kembali ladang gandum/ yang di setiap bulirnya nyanyikan sperma kehidupan/ segera kita setubuhi bumi dituangan peluh cinta.// Bait terakhir ini menggambarkan masih ada harapan untuk memperbaiki keadaan. Terdapat dualisme makna dalam bait tersebut. Pertama, bait ini mengandung makna kerinduan jasmani antara sepasang manusia. Kedua, bait ini mengandung makna manusia yang ingin memperbaiki alamnya kembali. ‘sperma kehidupan’ memunculkan dominasi laki-laki dalam puisi ini. Di lain sisi, ia juga merupakan simbol kekuasaan manusia yang dengan kemampuan yang ia miliki dapat memperbaiki alam. Akan tetapi, ‘segera kita setubuhi bumi’ membuat puisi ini semakin jelas memperlihatkan betapa bumi adalah sesuatu yang dikuasai dan didominasi oleh para manusia. Maka tidak menutup kemungkinan, manusia akan berbuat sesuka hatinya kepada bumi. Lubang Hati Bumi Sehari di cempaka luruh padang Takjub pada dulang berputar Timbulkan kecipak pusaran air Pasir tanah liat keruh air bercampur peluh Hancur mulus tanah perawan Di kilau sebiji intan Burai air di pinggir dulang Irama harapan Tergali mimpi di dalam lubang galian Geliat para cacing gambaran Protes lemah rumahku hancur Di makan linggis beringas Di tak lembut galian Wanita berkebaya nyanyikan Irama di rantang nasi Lelaki penggali intan Bersisa noda perawan lembah bukit Kilau intan harapan periuk nasi Luka bumi tertutup gelap Dalam cembung dulang kayu alaban Tak ada tangis tak ada tawa Hanya erangan duka Rumput tercabut Sehari di pendulangan
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
195
Sisakan miris tanya Akankah tertutup lubang hati bumi. Martapura,25 Februari 2011 (Mantra Rindu, 2012: 20-21)
Puisi Lubang Hati Bumi mengisahkan suasana di pendulangan intan Cempaka. Cempaka merupakan salah satu lokasi pendulangan intan terbesar di Kalimantan Selatan yang terkenal hingga ke mancanegara. Intan-intan berukuran besar pernah ditemukan di sana. Puisi tersebut menggambarkan pendulangan intan memberi harapan dan mimpi bagi para pendulangnya. Pendulangan tersebut dilakukan dengan cara tradisonal, yaitu memakai linggis sebagai alat penggali. ../Hancur mulus tanah perawan/ Di kilau sebiji intan/…/ Dimakan linggis beringas/ Di tak lembut galian/. ‘Tanah perawan’ merupakan peng’alaman’ perempuan, alam difemininkan, alam menjadi sesuatu yang dikuasai/didominasi oleh manusia (pendulang intan). Meski dalam puisi tersebut digambarkan pendulangan dilakukan dengan cara tradisional, sesungguhnya di Cempaka telah dilakukan pendulangan secara modern. Tentu saja hal ini menimbulkan dampak terhadap lingkungan sekitarnya. Wanita berkebaya nyanyikan/ Irama di rantang nasi/ Lelaki pendulang intan/ Bersisa noda perawan lembah bukit.// Cuplikan bagian akhir bait ke-2 memperlihatkan yang berperan sebagai pendulang intan adalah laki-laki. ‘Noda perawan lembah bukit’ yang melekati laki-laki pasca mendulang intan adalah sisa-sisa kotoran sehabis berkubang dalam lumpur. Pada bagian ini terdapat peng’alaman’ perempuan, alam difemininkan. Alam disamakan dengan perempuan (perawan) yang dikuasai oleh manusia (lelaki pendulang intan). ‘Linggis beringas’ dan ‘Di tak lembut galian’ memperkuat suasana dominasi manusia terhadap alam. Sementara ‘Wanita berkebaya nyanyikan’ dan ‘Irama di rantang nasi’ memperlihatkan peran perempuan di dapur, yaitu memasak. Selanjutnya dapat ditelusuri pada bait ke-3, ‘Kilau intan harapan periuk nasi’. Intan adalah cara untuk tetap bisa memperoleh nasi, intan adalah cara untuk tetap hidup. Dalam hal ini, perempuan tidak memiliki peran lebih terhadap alam, apalagi sebagai penyelamat alam. Maka yang tinggal hanyalah sebuah pertanyaan besar, / Luka bumi bertutup gelap/ …/ Akankah tertutup lubang hati bumi.//
196
Nailiya Nikmah
Pesan Kutitip pesan pada tebaran debu Hentikan kegilaan itu ! Lalu kutulisi emosi di jalan becek berlubang Sudahi perusakan alam moyangku ! Lantang teriakan di sela gigi gemelutuk Hentikan ! jangan lagi kau rampas Isi perut bumiku ! Cukuplah hijau hutan kau tebas Dalam murka serakah Lalu kenapa batu-batu gunung Turut kau perkosa Dalam periuk nasimu sendiri Aku marah !!!! Martapura, 24 Februari 2011 (Mantra Rindu, 2012: 22).
Puisi Pesan mengungkapkan kemarahan aku lirik terhadap perusak alam. Aku meminta para perusak agar menghentikan perbuatannya yang disebutnya sudah pada taraf ‘kegilaan’. ‘Jalan becek berlubang’, ‘kau rampas isi perut bumi’, hijau hutan kau tebas’, dan ‘batu gunung’ itulah beberapa kegilaan yang diprotes oleh aku lirik. ‘Sudahi perusakan alam moyangku!’ teriaknya dengan jelas. Yang membuat aku lirik tambah marah adalah ketika para perusak itu juga merambah batubatu gunung. …/Lalu kenapa batu batu gunung/ Turut kau perkosa/, bait ini juga memperlihatkan peng’alam’an perempuan, alam difemininkan. Batubatu gunung merupakan perwujudan alam yang dikuasai oleh manusia. …/Dalam periuk nasimu sendiri/ menengaskan bahwa penguasaan alam dalam puisi ini digambarkan sebagai cara manusia ‘gila’ untuk memenuhi kebutuhan primernya, untuk mempertahankan hidupnya. Tarian Debu Dulu moyangku menggantung Senandung, di puncak hijau gunung Mantra mantra sacral berkumandang di setiap mulut lembah Doa puja puji lagu nina bobo
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
197
Burung dan hewan hutanku Di bening air batu hitam Moyangku berkaca Menghitung berapa banyak kerutan di pinggir mata Lalu menciduk sejuk embun di batang berlumut Nyanyian gunung tarian hutan Dalam irama bening gemerisik air Hari ini moyangku merintih Di batu nisan amblas dalam galian pasir Terhumbalang pekik mesin Merobek gunung lembah hijau Patah kepak burung burung cici madu Hamparan lembah berpose lebar jalan Tarian debu sorak gempita di raung Mesin truk pengangkut emas hitam Hitam negeriku Hitam gunungku Hitam harapanku Putih cemerlang dunia Dalam putih kertas bertulis berita Martapura, 30 Maret 2011 (Mantra Rindu, 2012:43-44).
Puisi Tarian Debu secara umum menggambarkan perbandingan keadaan alam zaman dulu dan sekarang. Dulu, alam masih terjaga keasriannya. Ini diungkapkan pada bait ke-1 dengan //Dulu moyangku menggantung/ Senandung, di puncak gunung/ Mantra mantra sakral berkumandang di setiap mulut lembah/ Doa puja puji lagu nina bobo.// Ini adalah masa ketika manusia masih menjaga alam dan tradisinya. Manusia masih memperhatikan kearifan lokal dalam memperlakukan alamnya. Manusia masih pandai bersyukur, sehingga kehidupan masih tenang dan damai. Ekosistem masih terjaga dengan baik, burung dan binatang hutan lainnya, air yang bening, gunung dan hutan digambarkan di bait ke-2 hingga baris awal bait ke-3. Waktu pun berlalu. Bumi menua. ‘Kerutan di pinggir mata’ menjadi simbol menuanya alam tempat tinggal manusia. Puisi ini kemudian bicara tentang pengerukan alam melalui aktivitas tambang batu bara. ‘Tarian Debu’ adalah debu-debu yang memenuhi kawasan tambang batu bara. Yang terjadi sekarang dapat dilihat pada bait ke-3 dan ke-4. 198
Nailiya Nikmah
‘Moyangku merintih, ‘batu nisan amblas’, ‘galian pasir’, ‘terhumbalang pekik mesin’, ‘merobek gunung’, ‘patah kepak burung’, ‘tarian debu’, ‘mesin truk pengangkut emas hitam’, ‘hitam negeriku’, ‘hitam gunungku, ‘hitam harapanku’. Frase-frase tersebut memperlihatkan keadaan alam sekarang yang dikuasai dan didominasi dengan cara yang tidak arif. Inilah keadaan alam dalam puisi Tarian Debu. Penambangan batu bara seringkali menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan, seperti polusi udara, tanah dan air disamping dampak buruk lainnya. //Moyangku berkaca/ Menghitung berapa banyak kerutan di pinggir mata/…. Pada bagian tersebut moyangku (:alam) difemininkan dengan melakukan perbuatan yang pada umumnya sering dilakukan oleh perempuan yaitu berkaca dan menghitung kerutan di pinggir mata akibat penuaan. Bagian ini menggambarkan alam yang semakin menua dan akan menjadi tidak berdaya oleh perbuataan orang-orang yang menguasainya (manusia). Selain terdapat pada puisi-puisi yang dikaji di atas, beberapa diksi dan frase serupa juga ditemukan pada puisi lainnya dalam kumpulan Mantra Rindu. Misalnya, ‘terkoyak keperawanan langit di belah bibir puji cakrawala’ (Hujan Menjeratku dalam Lingkar Waktu (Belgis, 2012:48)). ‘aku cemburu pada lekuk sungai berbatu, ‘…awan dalam kegenitan hujan’(Mahkota Malam, (Belgis, 2012:53)), ‘Kusenggama bulan jingga dalam kucuran peluh serakah’(Belah Bibir Cakrawala (Belgis, 2012:126)). Starhawk menafsirkan ekofeminisme sebagai gerakan spiritual, di dalamnya tercakup transformasi nilai kultural dan ekologis. Ia mempopulerkan kata kunci “spiritualitas ekofeminis” yang disandarkan pada bumi dan ekologi. Kebangkitan gerakan feminisme yang melindungi hutan dengan cara merangkul hutan yang akan di-bulldozer seperti gerakan Chipko Andolan di India, dan beberapa gerakan lain yang tergabung dalam New Age, Moral Majority, Happiness of Womanhood di AS merupakan contoh gerakan spiritual ekofeminisme yang ramah dan sadar-ekologis (Sukidi, 2001:12). Bagaimana dengan puisi Kalsum Belgis? Adakah puisi berikut sejalan dengan gerakan tersebut? Jelantah Jariku tak lentik lagi Terlalu kaku untuk menulis Letih onggak otak semrawut Peringatan keluh kesah Kujunjung alamku pilu Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
199
Tangisan angin isak rusak jiwa serakah Hentikan! Aku telah letih dalam peringatan Jangan lagi keruhkan hati kami Dengan genangan lumpur Belum cukupkah hati bumi kau cabut Lalu kenapa sawah kami kau ganti warna Kami kaum pemakan nasi Bukan peminum minyak samin jelantah sawit Hentikan! Martapura, 01 April 2011 (Mantra Rindu, 2012:123)
Pada puisi Jelantah, Belgis secara eksplisit menyuarakan dirinya dengan peran yang melekati dirinya dan keperempuananya yang diwakili oleh ‘jariku tak lentik lagi’. Satu sisi ‘jari lentik’ menggambarkan dirinya sebagai seorang perempuan yang pada umumnya memiliki jemari yang lentik, pada sisi yang lain, dihubungkan dengan baris selanjutnya ‘terlalu kaku untuk menulis’. Kekakuan yang disebabkan oleh keletihan memberi peringatan kepada perusak alam dan lingkungan. Ini menyiratkan pemberian peringatan itu tidak sekali dua kali saja. Ini berarti Belgis sebagai perempuan telah melakukan perannya sesuai dengan kompetensi yang ia miliki sebagai seorang penulis. …/Lalu kenapa sawah kami kau ganti warna/ Kami kaum pemakan nasi/ Bukan peminum minyak samin jelantah sawit/ Hentikan!// Khusus dalam puisi Jelantah, Belgis menggambarkan ketidakrelaannya terhadap pengalihfungsian lahan persawahan menjadi industri perkebunan kelapa sawit yang lebih banyak menguntungkan pengusaha dan pemilik industri tetapi merugikan masyarakat. Belgis mengingatkan bahwa masyarakat memerlukan persawahan dengan menyebut ‘kami kaum pemakan nasi bukan peminum minyak samin jelantah sawit’. Pengalihfungsian lahan sawah menjadi lahan sawit akan mempengaruhi banyak hal seperti ketahanan pangan, budaya masyarakat setempat, struktur tanah dan sebagainya.
200
Nailiya Nikmah
Puisi inipun tidak menggunakan diksi yang merujuk pada peng’alam’an perempuan atau alam yang difeminininkan. Hal positif lainnya, dalam puisi ini penyair lebih tegas. Dengan lantang ia mengatakan, ‘hentikan!’. Simpulan Para penyair memiliki ‘litentia poetica’ dalam berkarya. Pilihan diksi yang digunakan untuk menyampaikan makna dengan cermat merupakan satu hal penentu bagi pembaca untuk bisa mengalami puisi dan memunculkan tanggapan-tanggapan terhadap puisi. Tanggapan tersebut tidak lepas dari pemaknaan konvensional yang berlaku di masyarakat. Sebagai sebuah karya yang merupakan hasil perenungan mendalam kreatornya, kreasi dan imajinasi yang tertuang dalam puisi tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pengarangnya. Ada tanggung jawab moral yang ‘membebani’ pengarang/penyair ketika ia memutuskan untuk memilih diksi tertentu untuk menyampaikan makna yang ia maksud. Menurut Arivia dalam Maimunah (2013:233), dalam kerangka pemikiran ekofeminisme, etika ekofeminiseme berupaya menyingkirkan pandangan yang maskulin yang berorientasi pada model-model penguasaan atau dominasi. Berdasarkan etika ekofeminisme ini, penelitian yang penulis lakukan terhadap beberapa puisi dalam Mantra Rindu karya Kalsum Belgis memperlihatkan bahwa dalam kumpulan puisi tersebut terdapat beberapa puisi yang memiliki kecenderungan menyamakan perempuan dengan alam atau alam yang difemininkan. Penguasaan dan dominasi terhadap alam dan perempuan tergambar dengan jelas dari diksi yang digunakan oleh penyair. Puisi-puisi tersebut mengungkapkan kerusakan alam dan lingkungan khususnya di Kalimantan Selatan. Selain karena faktor musim kemarau yang menyebabkan kekeringan, kerusakan alam dan lingkungan itu justru lebih banyak terjadi karena dominasi atau penguasaan manusia terhadap alam. Manusia melakukan perbuatan yang semena-mena terhadap alam yang sudah memberinya sumber kehidupan. Manusia melakukan pembabatan hutan, penambangan intan dan batu bara besar-besaran, pengerukan batu-batu gunung, dan pengalihfungsian lahan persawahan menjadi perkebunan kelapa sawit.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
201
Puisi-puisi tersebut menyuarakan ketidaksetujuan dan kemarahan penyair terhadap kerusakan alam yang terjadi. Salah satu puisi yang memperlihatkan satu sikap perempuan terhadap kerusakan alam dalam kumpulan puisi Mantra Rindu karya Kalsum Belgis adalah puisi Jelantah. Daftar Rujukan Belgis, Kalsum. 2012. Mantra Petapa. Banjarbaru: Muthiara Enterprise. ——————. 2012. Mantra Rindu. Banjarbaru: Mingguraya Press. Gamble, Sarah (Ed). 2010. Pengantar Memahami Feminisme dan Postfeminisme (Terjemahan). Yogyakarta: Jalasutra. Keraf, A. Sonny. 2010. Etika Lingkungan Hidup. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara. Maimunah. “Representasi Ecofeminism dalam Novel Panggil Aku Sakai” dalam Prosiding, Literatur and Nation Character Building, The 23rd HISKI Conference on Literature Lambung Mangkurat University, Banjarmasin, November 6-9, 2013, 231-242. Mu’in, Fatchul. “Ekokritisisme: Kajian Ekologis dalam Sastra” dalam Prosiding, Literatur and Nation Character Building, The 23rd HISKI Conference on Literature Lambung Mangkurat University, Banjarmasin, November 6-9, 2013, 295-306. Pradopo, Rachmat Djoko. 2000. Pengkajian Puisi: Analisis Strata Norma dan Analisis Struktural dan Semiotik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Prahitaningtyas. 2011. Antara Feminisme dan Femininitas. Prahitaningtyas.blogspot.com/2011/06/antara-feminis-danfeminin.html/ (diakses pada Senin, 16 Februari 2015). Ritzer, George dan Douglas J. Goodman (dialihbahasakan oleh Alimandan). 2008. Teori Sosiologi Modern Edisi Ke-6. Jakarta: Kencana Prenada Media Group. Sukidi. 2001. “Spiritualitas Feminis dalam Gerakan New Age” dalam Jurnal Perempuan, No.20, 2001, 7-21. Sugihastuti dan Suharto. 2013. Kritik Sastra Feminis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Zaidan, dkk. 2000. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.
202
Nailiya Nikmah
REPRESENTASI ALAM DALAM PUISI DINULLAH RAYES: “BULAN DI PUCUK EMBUN” Nining Nur Alaini
Abstrak Alam telah menjadi bagian dari sastra. Ini terbukti dengan tidak sedikitnya sastrawan, khususnya dari kalangan penyair, yang menggunakan diksi ombak, laut, angin, pohon, belantara dan lain-lain dalam karya mereka. Alam merupakan salah satu sumber inspirasi bagi penyair untuk menciptakan karyanya. Salah satu penyair yang banyak ‘bersentuhan’ dengan alam melalui karya-karyanya adalah Dinullah Rayes. Lahir di desa Kalabeso, Buer, Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, Dinullah Rayes telah aktif menulis sejak tahun 1959. Selain menulis puisi, ia juga menulis cerpen, esai, naskah drama, serta artikel kesenian dan kebudayaan. Salah satu karyanya berupa kumpulan puisi berjudul “Bulan di Pucuk Embun”. Karya-karya Dinullah Rayes yang terangkum dalam kumpulan puisi ini menggambarkan kedekatan Dinullah dengan alam. Lahir dan besar di tengah lingkungan alam yang murni, membuat Dinullah Rayes dekat dengan alam. Tidaklah mengherankan jika karya-karyanya merefleksikan alam yang berpadu dengan landskap batin manusia. Sajak-sajak Dinullah Rayes mempertautkan keindahan alam dengan kiprah manusia di tengah alam tersebut. Representasi alam yang muncul dalam karya sastra ini mendorong berkembangnya kajian ekokritik. Teori ekokritik bersifat multidisiplin. Di satu sisi ekokritik menggunakan teori sastra dan di sisi lain menggunakan teori ekologi. Teori sastra merupakan teori yang mulidisiplin begitu pula teori ekologi. Dalam sudut pandang teori sastra, teori ekokritik dapat dirunut dalam paradigma teori mimetik yang memiliki asumsi dasar bahwa kesusastraan memiliki keterkaitan dengan kenyataan. Melalui kajian ekoktritisisme, kajian ekologis dalam sastra, tulisan ini akan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan 1) bagaimana alam direpresentasikan dalam puisi-puisi Dinullah Rayes Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
203
yang terangkum dalam kumpulan puisinya “Bulan di Pucuk Embun”, 2) peranan yang dimainkan oleh latar alam dalam kumpulan puisi tersebut, serta 3) nilai-nilai yang berkaitan dengan kearifan ekologis yang diungkapkan dalam kumpulan puisi tersebut. Kata kunci: puisi, alam, ekokritisisme, kearifan ekologis Pendahuluan Karya sastra merupakan suatu produk ciptaan seorang sastrawan, di dalamnya ada yang ingin disampaikan kepada pembacanya. Karya sastra ditulis atau diciptakan oleh sastrawan bukan untuk dibaca sendiri, melainkan ada ide, gagasan, pengalaman, dan amanat yang ingin disampaikan kepada pembaca. Dengan harapan, apa yang disampaikan itu menjadi masukan, sehingga pembaca dapat mengambil kesimpulan dan menginterpretasikannya sebagai sesuatu yang dapat berguna bagi perkembangan hidupnya. Hal ini dapat membuktikan bahwa karya sastra dapat mengembangkan kehidupan dan kebudayaan masyarakat. Salah bentuk karya sastra adalah puisi. Karya sastra, termasuk puisi, pada hakikatnya merupakan sebuah tanggapan seseorang atau pengarang terhadap situasi di sekelilingnya. Puisi sebagai karya sastra merupakan refleksi atau cerminan kehidupan dalam masyarakat, yang diamati oleh pengarang, yang berpadu dengan imajinasi dan kreatifitas pengarang. Puisi sebagai bentuk sastra merupakan sarana pengungkapan apa yang disaksikan, yang dialami, yang direnungkan seorang pengarang mengenai segi-segi kehidupan yang paling menarik minat secara langsung dan kuat dan ‘dikemukakan kembali’ melalui bahasa (Hardjana, 1981 : 10). Salah satu karya puisi yang merupakan tanggapan pengarang terhadap sekelilingnya adalah kumpulan puisi “Bulan di Pucuk Embun” karya Dinullah Rayes. Karya-karya Dinullah Rayes yang terangkum dalam kumpulan puisi ini menggambarkan kedekatan Dinullah dengan alam. Karya-karyanya merefleksikan alam yang berpadu dengan landskap batin manusia. Sajak-sajak Dinullah Rayes mempertautkan keindahan alam dengan kiprah manusia di tengah alam tersebut. Melalui kajian ekoktritisisme, kajian ekologis dalam sastra, tulisan ini akan menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan 1) bagaimana alam direpresentasikan dalam puisi-puisi Dinullah Rayes yang terangkum dalam kumpulan puisinya “Bulan di Pucuk Embun”, 2) peranan yang dimainkan oleh latar alam dalam kumpulan puisi tersebut, serta 3) nilai-nilai yang berkaitan dengan kearifan ekologis yang diungkapkan dalam kumpulan puisi tersebut. 204
Nining Nur Alaini
Konsep dan Landasan Teori Puisi Samuel Taylor Coleridge mengatakan bahwa puisi adalah kata-kata terindah dalam susunan terindah. Penyair memilih kata-kata yang setepatnya dan disusun secara sebaik-baiknya, misalnya seimbang, simetris, antara satu unsur dengan unsur lain sangat erat hubungannya, dan sebagainya. Sementara Carlyle menyatakan bahwa puisi merupakan pemikiran yang bersifat musical. Dalam mencipkan puisi, penyair memilih bunyi yang merdu seperti music, kata-kata disusun sedemikian rupa sehingga yang menonjol adalah rangkaian bunyinya yang merdu seperti musik, dengan menggunakan orkestrasi bunyi (Shahnon Ahmad, 1978: 3). Puisi terdiri dari unsur-unsur emosi, imajinasi, pemikiran, ide, nada, irama, kesan pancaindera, susunan kata, kata-kata kiasan, kepadatan, dan perasaan yang bercampur baur. Tiga unsur pokok puisi meliputi pertama pemikiran, ide, atau emosi, kedua, bentuknya, dan yang ketiga adalah kesannya. Semua unsure tersebut diungkapkan dengan media bahasa. Puisi mengekspresikan pemikiran yang membangkitkan perasaan, yang merangsang imajinasi panca indera dalam susunan yang berirama. Puisi merupakan rekaman dan interprestasi pengalaman manusia yang penting, digubah dalam wujud yang paling berkesan (Shahnon Ahmad, 1978: 3—4). Puisi merupakan bentuk pengucapan bahasa yang memperhitungkan adanya aspek bunyi-bunyi di dalamnya, yang mengungkapkan pengalaman imajinatif, emosional, dan intelektual penyair yang ditimba dari kehidupan individual dan sosialnnya, yang diungkapkan dengan teknik pilihan tertentu, sehingga puisi itu mampu membangkitkan pengalaman tertentu pula dalam diri pembaca atau pendengar-pendengarnya (Sayuti, 2002: 3—4). Maka membicarakan puisi dan segala hal yang berkaitan dengannya tidak dapat dilepaskan dengan puisi dan penyairnya. Tetapi pengertian puisi selalu berubah-ubah sesuai dengan evolusi selera dan perubahan konsep estetiknya. Puisi tidak akan dapat dipahami secara sepenuhnya tanpa mengetahui dan menyadari bahwa puisi merupakan karya estetis yang bermakna, yang mempunyai arti, bukan hanya sesuatu yang kosong tanpa makna. Kajian Ekokritis Berdasarkan etimologinya, ekokritik berasal dari kata ecology dan criticism. Ekologi merupakan kajian ilmiah tentang pola hubunganhubungan tumbuh-tumbuhan, hewan-hewan, dan manusia terhadap Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
205
satu sama lain dan terhadap lingkungan-lingkungannya. Ekokritisisme mengeksplorasi cara-cara mengenai bagaimana kita membayangkan dan menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam segala bidang hasil budaya. Ekokritisisme itu sendiri dapat dibatasi sebagai studi tentang hubungan antara karya sastra dan lingkungan fisik. Hal-hal yang berkaitan dengan ekokritisisme antara lain adalah 1) bagaimana alam direpresentasikan dalam puisi, 2) peranan apa yang dapat dimainkan oleh latar fisik (lingkungan) dalam alur sebuah novel, 3) nilai-nilai yang diungkapkan dalam sebuah puisi, novel atau drama itu konsisten dengan kearifan ekologis (ecological wisdom), 4) metaformetafor tentang daratan (bumi), 5) bagaimana kita dapat mengkarakterisasikan tulisan tentang alam sebagai suatu genre (sastra), 6) dalam kaitan dengan ras, kelas, dan gender selayaknya berposisi menjadi kategori kritis baru, 7) dengan cara-cara apa dan pada efek apa kritis lingkungan memasuki sastra komtemporer dan sastra populer? dan 8) pertanyaan-pertanyaan yang mempertimbangkan hubungan antara alam dan sastra. Fondasi dasarnya adalah bahwa karya sastra memiliki hubungan dengan lingkungan (alam). Dengan demikian, ekokritisisme menjadi jembatan bagi keduanya (Mu’in, 2013: 1—3). Kajian Strata Norma Roman Ingarden Karya sastra bukanlah sebuah sistem norma yang tunggal, melainkan terdiri atas beberapa strata (lapis) norma. Demikian juga puisi, sebagai salah satu bentuk karya sastra, memiliki strata norma yang berlapis-lapis. Puisi merupakan sebuah struktur yang kompleks, maka untuk memahaminya perlu dianalisis sehingga dapat diketahui bagian-bagian serta jalinannya secara nyata. Analisis yang bersifat dikotomis, yaitu pembagian dua bentuk dan isi belumlah dapat memberi gambaran yang nyata dan tidak memuaskan (Wellek dan Warren, 1968: 140). Roman Ingarden menganalisis norma-norma sebagai berikut. Lapis norma pertama adalah lapisan bunyi (sound stratum). Bila orang membaca puisi, maka yang terdengar itu ialah rangkaian bunyi yang dibatasi jeda pendek, agak panjang, dan panjang. Tetapi suara-suara itu bukanlah suara yang tidak berarti. Suara-suara yang sesuai dengan konvensi bahasa, disusun begitu rupa sehingga menimbulkan arti. Dengan adanya satuan-satuan suara itu orang menangkap artinya. Maka, lapis bunyi akan menjadi dasar timbulnya lapis kedua, yaitu lapis arti (Pradopo, 2012: 15).
206
Nining Nur Alaini
Lapis arti (units of meaning) berupa rangkaian fonem, suku kata, kata, frase, dan kalimat. Semua yang bersangkutan dengan rangkaian unsur-unsur tersebut merupakan satuan arti. Rangkaian kalimat menjadi alinea, bab, dan keseluruhan cerita atau keseluruhan sajak. Rangkaian kesatuan arti ini menimbulkan lapis ketiga, yaitu berupa latar, pelaku, objek-objek yang dikemukakan, dan dunia pengarang yang berupa cerita atau lukisan. Selain itu, Roman Ingarden mengemukakan dua lapis norma lagi, yaitu lapis dunia dan lapis metafisis. Wellek mengkategorikan kedua lapis yang dikemukakan oleh Ingarden tersebut dalam lapis ketiga. Lapis dunia yang dipandang dari titik pandang tertentu tidak perlu dinyatakan, tetapi terkandung di dalamnya (implied). Sebuah peristiwa dalam sastra dapat dikemukakan atau dinyatakan terdengar atau terlihat, bahkan peristiwa yang sama, dapat memperlihatkan aspek luar yang sama tetapi watak dalam yang berbeda. Lapis metafisis, berupa sifat-sifat metafisis (yang sublime, tragis, mengerikan atau menakutkan, dan yang suci), dengan sifat-sifat ini, seni dapat memberikan renungan (kontemplasi) kepada pembaca. Tidak semua karya sastra memiliki lapis metafisis ini (Pradopo, 2012: 15) Metode Penelitian Objek Penelitian Puisi-puisi Dinullah Rayes yang terhimpun dalam kumpulan puisinya “Bulan di Pucuk Embun” yang dijadikan objek dalam kajian ini adalah sebagai berikut. 1. Kali Kecil Kali Tersayang 2. Eksekusi 3. Capung Ramping 4. Kemarau Hari Ini Metode Pengolahan Data Data yang telah ditentukan sebagai objek kajian, selanjutnya akan dianalisis berdasarkan strata norma yang dikemukakan oleh Roman Ingarden. Kajian ini dilakukan untuk menemukan makna puisi-puisi Dinullah Rayes yang menjadi objek kajian yang berkaitan dengan bagaimana alam direpresentasikan dalam puisi-puisi Dinullah Rayes, peranan yang dimainkan oleh latar alam dalam kumpulan puisi tersebut, Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
207
serta nilai-nilai yang berkaitan dengan kearifan ekologis yang diungkapkan dalam kumpulan puisi tersebut. Pembahasan Biografi Penyair Dinulah Rayes Dinullah Rayes dilahirkan di Kalabeso, Kecamatan Buer, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat pada tahun 1939. Dinullah Rayes pernah bertugas sebagai guru SD selama beberapa tahun, kemudian beralih tugas ke Kabin Kebudayaan Kabupaten Sumbawa di Sumbawa Besar, dan selanjutnya dipercaya sebagai Kepala Seksi Kebudayaan Kandep Dikbud Kabupaten Sumbawa. Puisi-puisi Dinullah Rayes selalu akrab dengan warna-warni alam, iman, dan keagungan Tuhan. Dinullah Rayes lahir dan tumbuh dalam kedekatan dengan alam pedesaan Sumbawa. Puisi-puisinya melukiskan keakrabannya dengan alam dan kekuatan rasa ketuhannya. Alam pedesaan yang belum terjamah teknologi di Sumbawa menyajikan aneka bahan perlambangan bagi seorang Dinullah Rayes. Dinullah Rayes banyak menyajikan tema-tema kecil dengan suasana alam desa yang sepi dan bersahaja, dengan sikap kemasyarakatan yang khas dan peka. Puisi Dinullah Rayes dikemas dalam bahasa yang bersahaja dan lugas membuat ekspresi puisinya jujur dan polos (Piek Ardijanto, Putu Arya Tirtawirya, Korrie Layun rampan dalam Beranda Cahaya, 2001). Puisi Dinullah Rayes tersebar dalam 62 buku, baik karya sendiri maupun dengan penyair lain. Karya-karya itu terentang dari tahun 1974 hingga tahun 2011. Jejak langkah yang panjang dan tak kenal lelah. Dinullah Rayes mulai menggeluti dunia tulis-menulis sejak tahun 1956, ketika bertugas menjadi guru sekolah dasar di Sumbawa. Dinullah Rayes menulis cerpen, puisi, artikel kesenian dan kebudayaan, naskah drama serta esai. Tapi puisilah yang akhirnya mengangkat nama Dinullah Rayes di tingkat nasional maupun internasional. Karya-karya Dinullah Rayes dimuat di media internasional, nasional dan lokal, seperti Dewan Sastra Malaysia, Bahasa Brunei Darussalam, Horison, Abadi, Pelita, dan sebagainya. Dinullah Rayes juga aktif mengikuti sejumlah forum puisi, baik di dalam maupun di luar negeri. Kumpulan Puisi Bulan di Pucuk Embun Kumpulan puisi ini terdiri dari kumpulan puisi Bulan di Pucuk Embun yang berisi 38 sajak yang tercipta mulai tahun 1997 sampai 2007, 208
Nining Nur Alaini
dan kumpulan puisi “Pintu Arang” yang terdiri atas 33 sajak yang ditulis antara tahun 2006 sampai 2007. Sajak Pintu Arang ini merupakan refleksi peristiwa kebakaran yang dialami oleh Dinullah Rayes. Pada tanggal 9 Juli 2006, rumah Dinullah Rayes yang berlokasi di jalan Mawar, Sumbawa Besar terbakar hangus. Dalam peristiwa ini, Dinullah Rayes banyak kehilangan benda-benda berharganya, ribuan buku, kliping, surat-surat berharga, dan buku-buku lokal. Kumpulan puisi “Bulan di Pucuk Embun” merupakan saksi zaman, lahir sebagai reaksi perjalanan kepenyairan saya selama setengah abad, ekspresi atas kehidupan yang dialami oleh seorang Dinullah Rayes. Sajak-sajak Dinullah Rayes dalam kumpulan puisinya ini berbicara tentang apa, siapa, dan bagaimana kehidupan seorang Dinullah Rayes. Representasi Alam dalam “Bulan Di Pucuk Embun” Sajak-sajak Dinullah Rayes pada umumnya mengambil tema alam, Tuhan, sepi, keterasingan, dan hal-hal kontemporer yang disauk dari peristiwa sehari-hari. Sebagai penyair yang lahir di lingkungan alam murni, Dinullah sangat akrab dengan alam. Sajak-sajaknya merefleksikan alam nyata yang dikombinasikan dengan landskap batin manusia. Sajak-sajak Dinullah Rayes selalu aktual karena mempertautkan keindahan alam dengan kiprah manusia di tengah alam. Hubungan manusia dengan alam dan hubungan alam dengan kehidupan dilantunkan dalam lirik-lirik yang plastis membuat sajaksajaknya yang bersahaja terasa hidup dan membiaskan pikiran yang dimunculkan dari tema-tema manusia rural agraris. Hubungan alam dengan suasana tertentu sering direkam Dinullah Rayes melalui impresi-impresi yang subtil dengan menggunakan kias alam benda dengan situasi yang monumental. Nuansa religius yang muncul dalam tema-tema Ketuhanan merupakan mainstream puisi penyair Dinullah Rayes di samping lukisan alam dan dunia desa (Korrie Layun Rampan, 2011). Kumpulan puisi “Bulan di Pucuk Embun” banyak menggunakan kias alam untuk menampilkan suasana tertentu. Lukisan alam seringkali muncul dalam puisi-puisinya. Lukisan alam ini tertuang dalam lariklarik puisi Dinullah Rayes: pucuk perdu tepi telaga, capung ramping, capung terbang (Capung Ramping), kali kecil, desa kalahiran, (Kali Kecil Kali Tersayang), luka bumi, rerumputan, pepohonan, burung-burung (Eksekusi), kemarau, daun-daun perdu (Kemarau Hari Ini). Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
209
Puisi yang berjudul “Kali Kecil Kali Tersayang” merupakan ungkapan kegelisahan penyair terhadap rusaknya lingkungan alam di sekitarnya, yang digambarkan sebagai kali kecil kali tersayang. Kali kecil kali tersayang melintasi desa kelahiran, kehadiran riak-riak sedang meniup balon-balon mainan sebelum sampai di tangan sang bocah buih-buih beningpun pecah kosong dan sepi.
Dalam budaya masyarakat Samawa, dimana Dinullah Rayes lahir dan dibesarkan, sungai tidak hanya memiliki fungsi ekonomis semata, tetapi mempunyai fungsi sosial budaya yang tinggi. Sungai merupakan tempat yang sangat berarti dalam proses pewarisan nilai-nilai dan budaya masyarakat Samawa. Sambil melakukan kegiatan sehari-hari di sungai, seperti mandi, mencuci dan kebutuhan lainnya, di sungai tersebut juga terjadi proses pewarisan nilai-nilai sosial dan budaya masyarakat Samawa kepada generasi penerus. Manakala sungai sebagai tempat pewarisan nilai-nilai tidak terjaga kelestariannya, maka proses pewarisan nilai-nilai yang biasanya terjadi di dalamnya juga akan terputus. Ketika proses pewarisan ini terputus, digambarkan dengan buih-buih bening yang pecah sebelum sampai ke tangan bocah yang merupakan generasi penerus”riak-riak sedang meniup balon-balon mainan, sebelum sampai di tangan sang bocah, buih-buih beningpun pecah, maka yang terjadi adalah “kosong dan sepi, lenyapnya nilai-nilai dan budaya masyarakat Samawa. Kegamangan dan kemirisan penyair terhadap terputusnya pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat setempat diungkapkan dengan lambang rasa berupa vokal bersuara berat a dan o, serta vokal tinggi i. Kedalaman rasa terhadap kegamangan ini terwakili melalui aliterasi r dan s, tersayang, melintas, sepi, riak-riak, sebelum, sampai, sampai, kelahiran, kehadiran Kegamangan dan kemirisan penyair terhadap terputusnya pewarisan nilai-nilai budaya masyarakat setempat diungkapkan puisi Capung ramping. Ketika nilai-nilai itu terputus, maka dia hanyalah tinggal lukisan, kenangan dalam perjalanan hidup manusia. Capung Ramping hinggap di pucuk perdu tepi telaga betapa nikmat duduk santai di atas sofa dielus angin surga 210
Nining Nur Alaini
sementara asyik bercermin di kaca alam gempa waktu meretakannya sang capung terbang ke kanvas lukisan
Puisi “Eksekusi” menghadirkan nuansa religius yang tergambar melalui lukisan-lukisan alam. Lirik-lirik yang berupa lukisan alam, luka bumi, tanah pijakan, kehilangan rerumputan, daunnya lepas meranggas, gerhana, langit hati, burung-burung dalam sangkar besi, merupakan sarana ekspresi yang menggambarkan keimanan dan kedekatan penyair dengan Sang Khalik. luka bumi semakin meruyak tanah pijakan kehilangan rerumputan daunnya lepas meranggas gerhana matahari di langit hati gerhana bulan di sekujur lahan badan burung-burung dalam sangkar besi menunggu hari esksekusi
Munculnya aliterasi s dalam larik-larik puisi tersebut membangun suasana resah. Suasana tersebut diperkuat dengan bunyi-bunyi yang parau, bunyi konsonan tidak bersuara k, p, t, s yang muncul dari awal sampai akhir larik, luka, semakin meruyak, pijakan kehilangan rerumputan, matahari di langit hati, lepas meranggas, sangkar besi, esksekusi. Kombinasi bunyi-bunyi kakofoni yang parau menghadirkan suasana resah dan gelisah yang intens. Kegamangan dan keresahan penyair terhadap menipisnya rasa Ketuhanan, ibarat luka yang semakin meruyak, tanah pijakan yang kehilangan rerumputan, dan meranggasnya dedaunan. Manakala rasa Ketuhan dan keimanan semakin menipis, jiwa dan hati manusia ibarat gerhana bulan dan matahari, kehilangan cahaya Ketuhanan dan diselimuti kegelapan dan ketersesatan sehingga diibaratkan sebagai daun yang lepas dan meranggas. Tema serupa juga muncul dalam puisi yang berjudul “Kemarau Bumi”. Larik-larik puisi yang didominasi vokal-vokal berat a dan u, menghadirkan rasa berat, gundah, dan gelisah. Lukisan alam dalam puisi ini digunakan penyair untuk merefleksikan kegelisahan jiwa yang kecil dan resah, perdu, dan kembali kepada Sang Penciptalah jalan untuk mendapatkan ketenangan jiwa, mencium kaki-Mu.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
211
Kemarau Bumi daun-daun perdu daun-daun kalbu sembah sujud mencium kaki-Mu
Kesimpulan Sajak-sajak Dinullah Rayes seringkali mengambil tema tentang alam dan Tuhan. Karya-karyanya merefleksikan alam yang berpadu dengan landskap batin manusia. Sajak-sajak Dinullah Rayes mempertautkan keindahan alam dengan kiprah manusia di tengah alam tersebut. Keempat karya Dinullah Rayes yang terkumpul dalam “Bulan di Pucuk Embun”, Capung Ramping, Kali Kecil Kali Tersayang, Eksekusi, dan Kemarau Hari Ini, menampilkan alam untuk menggambarkan kiprah manusia di dalamnya, serta suasana batin manusia dalam hubungan dengan penciptanya. Daftar Rujukan Djoko Pradopo, Rachmat. 2012. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Mu’in, Fatchul. 2013. “Kajian Ekologis dalam Sastra”. Sayuti. Suminto. 2002. Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media Rayes, Dinullah. 2011. Bulan di Pucuk Embun. Yogyakarta: Penerbit Ombak ____. 2001. Beranda Cahaya. Mataram: Yayasan Mitra Sastra Mataram
212
Nining Nur Alaini
ANALISIS VIDEO ANIMASI TENTANG SOSIALISASI LUPUS SEBAGAI VIDEO ANIMASI LINGKUNGAN BERKONTEKS GLOBAL: STUDI KASUS PROGRAM CARE FOR LUPUS, “ LUPUS IS MY NAME, CALL ME LUPPY” Dewi Nastiti L. Abstrak Dalam makalah ini dibahas mengenai video animasi yang bertujuan untuk menyosialisasikan dan mengedukasi penyakit lupus melalui video yang berdurasi lebih kurang enam menit. Video ini sudah dapat diunggah melalui laman youtube yang diproduksi oleh Yayasan Syamsi Dhuha. Lupus yang merupakan penyakit bukan menular memiliki dampak yang sangat besar bagi penyandang dan lingkungan di sekitarnya. Tujuan video ini adalah untuk membuka mata dan hati masyarakat tentang apa itu lupus dan cara mengatasinya agar nantinya mereka dapat menyosialisasikannya. Sebuah pesan melalui bahasa tidak akan berjalan efektif jika visual isinya sendiri tidak menyampaikan apa yang disampaikan. Visualisasi saling mendukung dalam penyampaian suatu pesan. Secara visual, tandatanda dalam video ini juga dapat dipahami dengan cara yang sama oleh audiensnya. Oleh karena itu, program ini dipilih untuk dianalisis sebagai video berkonteks global Care for Lupus yang dapat diterima secara umum karena penggunaan tanda-tanda di dalamnya. Kajian ekolinguistik melalui keilmuan semiotika dan hermeneutika digunakan untuk menganalisis video animasi ini. Kata kunci: video animasi lupus, semiotik, hermeneutika Pendahuluan Manusia pada dasarnya makhluk sosial yang diciptakan Tuhan untuk mencapai kehidupan yang selaras, seimbang, dan harmonis bersama-sama dengan lingkungan yang mengitarinya. Kebutuhan akan kesehatan secara jasmani sangat memengaruhi masyarakat untuk saling membantu satu dan lainnya dikarenakan mereka makhluk sosial. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
213
Di negara kita, terdapat penyakit menular dan tidak menular yang tersebar di kalangan masyarakat. Penyakit menular tentu berdampak secara fisik oleh penyandang dan lingkungan di sekitarnya akibat penyakit atau virus yang dibawa oleh penyakit itu sediri. Sementara itu, penyakit tidak menular secara fisik, memengaruhi penyandangnya. Namun, secara immaterial, lingkungan juga terpengaruh oleh penyakit yang tidak menular tersebut seperti faktor penyakit menahun yang dirasakan baik oleh penyandang maupun keluarga dan masyarakat yang mengelilinginya. Salah satu penyakit yang tidak menular adalah SLE (Systemic Lupus Erythematosus) atau yang lebih akrab disebut lupus. Penyakit lupus merupakan penyakit autoiumun yang menyerang kebanyakan wanita berusia produktif. Penyakit ini tergolong penyakit tidak menular dan bukan penyakit keturunan. Meski demikian, penyakit ini berdampak besar pada keluarga penyandang. Pasalnya, penyakit yang tergolong serius penangannnya ini membuat para penyandang beserta keluarganya menghabiskan anggaran dana untuk berobat, mengingat belum ditemukan obat khusus lupus; yang ada saat ini adalah obatobatan untuk mengurangi gejala lupus saja dan itu pun harus diminum secara rutin serta dalam jangka waktu lama. Secara finansial baik keluarga maupun masyarakat memiliki peran untuk membantu penyandang. Perlu diingat bahwa, kelangsungan perikehidupan dan tingkat kesejahteraan manusia salah satunya diukur dari kualitas hidupnya. Semakin bagus kualitas hidup manusia, maka semakin sejahtera, sebaliknya semakin menurun kualitas hidup manusia, maka semakin munurun pula tingkat kesejahteraannya. Di Indonesia sendiri ada lebih kurang 400 ribu jiwa penyandang lupus. Bila dilihat dari faktor lamanya penyandang mengidap lupus maka secara tidak langsung hal itu dapat memengaruhi kualitas hidup penyandangnya. Semakin menurunnya kualitas hidup penyandang lupus dan tingkat pemahaman masyarakat akan penyakit lupus, menyebabkan kebutuhan akan peningkatan kesadaran masyarakat terhadap penyakit lupus sangat penting. Sosialisasi penyakit lupus akan terikat oleh berbagai unsur, seperti pemerintah, perguruan tinggi, masyarakat, Lembaga Swadaya Masyarakat, Organisasi Nonpemerintah, organisasi massa lainnya dan seluruh lapisan masyarakat. Kementerian Kesehatan selaku kepanjangan tangan dari pemerintah, belum memiliki banyak program yang relevan untuk meningkatkan kualitas hidup penyandang lupus atau disingkat dengan odapus (Orang dengan Lupus). 214
Dewi Nastiti L.
Ada dua organisasi peduli lupus terbesar, yaitu Yayasan Lupus Indonesia dan Syamsi Dhuha Foundation (SDF). Dalam kajian ini, penulis mengkaji suatu produk dari SDF, yayasan nirlaba ini. Beberapa bentuk kerja dari Organisasi NonPemerintah ini adalah penelitian, sosialisasi, dan kampanye dan kepedulian masyarakat terkait penyakit lupus. Kegiatan komunikasi yang efektif untuk menyampaikan pesan tentang kepedulian masyarakat terhadap penyakit lupus adalah dengan menggunakan berbagai media agar masyarakat memiliki ketertarikan tentang medis dan upaya penanggulangannya. Salah satu produk layanan yang telah dibuat lembaga tersebut untuk sosialisasi adalah video animasi. Konsep media yang menjadi kajian ini adalah media audio visual. Selain media, bahasa penyampai yang digunakan sebagai penghubung pesan adalah bahasa yang sederhana bukan bahasa medis yang memakai istilah-istilah kedokteran. Melalui media video animasi, diharapkan seluruh kepentingan stakeholders dalam upaya-upaya untuk meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap penyakit lupus. Kajian kecil ini dilakukan dengan menganalisis video animasi yang berjudul “Lupus is My Name, Call Me Luppy” yang berkaitan dengan gambar, teks, dan suara melalui semiotika dan hermeneutika. Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan gambaran mengenai pemaknaan video animasi atas isu penanganan penyakit tidak menular seperti lupus. Video Animasi “Lupus is My Name, Call Me Luppy” Sebagai media penyampai, video animasi yang berkomposisikan teks, gambar, dan suara memiliki peran yang sangat penting bagi komunikan untuk mengetahui maksud dari komunikator. Video edukasi animasi yang dikaji ini sangat menyerupai Iklan Layanan Masyarakat, seperti yang dikemukakan oleh Kasali (1993:210) yang menyatakan bahwa Iklan Layanan Masyarakat (ILM) menyajikan pesan-pesan sosial yang dimaksudkan untuk membangkitkan kesadaran dan kepedulian masyarakat terhadap kondisi yang dapat mengancam keserasian dan kehidupan umum. Crampton dan Lamb dalam Kasali (1993:201) mendefinisikan ILM sebagai sebuah pengumuman yang tidak dikenakan biaya untuk mempromosikan program, kegiatan atau jasa pemerintah atau organisasi nirlaba sebagai bentuk pelayanan kepedulian masyarakat. Dapat dikatakan bahwa ILM dibuat atas permintaan pemerintah atau lembaga swadaya masyarakat tanpa dikenai biaya untuk membangkitkan kepedulian masyarakat atas isuMakalah Ekologi Bahasa dan Sastra
215
isu tertentu. Namun secara durasi, video ini memiliki waktu lama, lebih kurang 6 menit. Oleh karena itu, penulis memasukkannya ke dalam video animasi seperti yang sudah diunggah ke dalam laman youtube berikut https://www.youtube.com/watch?v=OmCerL-g3EU . Ekolinguistik melalui Kajian Semiotik Mbete (2009:2): Dalam prespektif ekolinguistik, bahasa dan komunitas penuturnya dipandang sebagai organisme yang hidup secara bersistem dalam suatu kehidupan, bersama organisme-organisme lainnya. Fill (1993:126) dalam Lindo dan Simonsen (2000:40) menyatakan bahwa ekolinguistik merupakan sebuah payung bagi semua penelitian mengenai bahasa yang ditautkan dengan ekologi: “ecolinguistics is an umbrella term for ... all approaches in which study of language (and language) is in any way combined with ecology”. Kajian interdisipliner yang mengaitkan ekologi dan linguistik diawali pada tahun 1970-an ketika Einar Haugen (1972) menciptakan paradigma “ekologi bahasa”. Dalam pandangan Haugen, ekologi bahasa adalah kajian tentang interaksi bahasa dan lingkungannya. Dalam konteks ini, Haugen menggunakan konsep lingkungan bahasa secara metaforis, yakni lingkungan dipahami sebagai masyarakat pengguna bahasa, sebagai salah satu kode bahasa. Bahasa berada hanya dalam pikiran penuturnya dan oleh karenanya bahasa hanya berfungsi apabila digunakan untuk menghubungkan antarpenutur dan menghubungkan antarpenutur dan penutur dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial maupun lingkungan alam. Dengan demikian, ekologi bahasa ditentukan oleh orang-orang yang mempelajari, menggunakan, dan menyampaiakan bahasa tersebut kepada orang lain. Kajian kecil ini bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan tentang penyampaian tentang penyakit lupus kepada masyarakat yang disampaikan dengan teknik melalui animasi dan bahasa yang sederhana hingga mudah dimengerti di kalangan yang awam. Beberapa bagian gambar tentang sosialisasi lupus ini terdiri atas pengenalan penyakit lupus, jumlah penyandang lupus, pengobatan yang sesuai dengan kondisi penyandang, pengendalian lupus, kelompok pendukung (support group), dan usaha-usaha dampingan pengobatan medis seperti penelitian tentang suplemen berbahan alam. 216
Dewi Nastiti L.
Tujuan pembuatan video animasi ini seperti yang sudah disampaikan di bagian pendahuluan adalah untuk membuka mata masyarakat tentang penyakit lupus dan mereka bisa menyosialisasikannya ke masyarakat lain yang belum mengetahui penyakit ini. Seperti yang diketahui dari beberapa sumber bahwa penyakit lupus merupakan penyakit yang bukan menular, tapi dampak dari penyakit ini memengaruhi keadaan keluarga dan lingkungan penyandang. Banyak faktor psikis yang dialami oleh penyandang lupus, yang dimulai dari fase penyangkalan, kecemasan, kemarahan, hingga keberterimaan. Kajian ini menggunakan metode semiotik dan lebih condong ke arah hermeneutik. Penulis menggunakan metode hermeneutik menggunakan Ricoeur. Secara etimologis semiotik berarti tanda. Secara semiotik atau semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda. Secara terminologis, semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang beruhubungan dengan tanda, seperti tanda dan proses yang berlaku bagi tanda (Zoest via Rubiyantoro, 1993:1). Zoest mengartikan semiotik sebagai “ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Terkait semiotik, banyak tanda yang didapat dari video animasi tersebut. Berikut penjelasan tanda atau simbol yang ada dalam video tersebut dan juga maknanya.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
217
1R
7DQGDDWDXVLPERO
0DNQD
.XSXNXSX
3HQ\DNLWOXSXV\DQJPHPLOLNLJHMDODNOLQLVEHUXSDUXDP PHUDKDWDXEHUFDNPHUDKSDGDNHGXDSLSLRGDSXV VHSHUWLEHQWXNVD\DSSDGDNXSXNXSX.XSXNXSXVXGDK ODPDGLMDGLNDQVLPEROSHQ\DNLWOXSXVNDUHQDPHPLOLNL VLPERO\DQJVDPDGHQJDQJHMDODNOLQLVSDGDZDMDK SHQ\DQGDQJOXSXV
3HWD,QGRQHVLD
3HWD,QGRQHVLD\DQJPHQJJDPEDUNDQWHQWDQJHVWLPDVL MXPODKSHQ\DQGDQJOXSXVGLVHOXUXK,QGRQHVLD
.XSXNXSXPHQ\HUDQJ SXQJJXQJVHRUDQJZDQLWD
.XSXNXSXPHUXSDNDQVLPEROGDULOXSXV\DQJVHGDQJ PHQ\HUDQJRGDSXVELODPHUHNDWLGDNELVD PHQGDPDLNDQQ\D0DNVXGPHQGDPDLNDQOXSXVGLVLQL DGDODKGHQJDQPHQJHQGDOLNDQQ\D6HUDQJDQOXSXVELVD PHUXVDNEHUEDJDLRUJDQ\DQJDGDGLGDODPWXEXK RGDSXV
.XSXNXSXGLJHQGRQJVHRUDQJ .XSXNXSX\DQJPHUXSDNDQVLPEROGDULSHQ\DNLWOXSXV ZDQLWD LQLGDSDWPHQMDGLWHPDQEDJLSDUDSHQ\DQGDQJOXSXV
/DERUDWXULXPGDQSDVLHQ\DQJ VHGDQJGLSHULNVDGRNWHU
3HQJREDWDQGDQWHUDSLPHGLV\DQJGLKDUDSNDQSDUD SHQ\DQGDQJOXSXVDGDODKSHQJREDWDQGHQJDQKDUJD WHUMDQJNDX+DOLQLPHQJLQJDWNDQEDKZDKDUJDREDW REDWDQXQWXNPHQJXUDQJLJHMDODOXSXVVDQJDWODKPDKDO ELODWLGDNDGDMDPLQDQNHVHKDWDQXQWXNPDV\DUDNDW \DQJNXUDQJPDPSX
%HEHUDSDRUDQJSHQ\DQGDQJ \DQJWHUJDEXQJGDODP NHORPSRNSHQGXNXQJ
.HORPSRNSHQGXNXQJGLVLQLVDQJDWEHUSHUDQSHQWLQJ EDJLSHQJREDWDQSHQ\DQGDQJOXSXVNKXVXVQ\DGDODP SHPXOLKDQSVLNLVSDUDSHQ\DQGDQJQ\DPHQJLQJDWVDODK VDWXIDNWRUWLPEXOQ\DOXSXVEHUHDNVLGDODPWXEXK RGDSXVDGDODKVWUHV6WUHVGDSDWPHPLFXWLPEXOQ\D HPRVL\DQJGDSDWPHQLPEXONDQKRUPRQHNVWURJHQGDQ GDSDWPHQ\HEDENDQNHWLGDNVHLPEDQJDQSDGDVLVWHP NHNHEDODQWXEXKRGDSXVVHKLQJJDOXSXVGDSDW PHQ\HUDQJWXEXKSHQ\DQGDQJOXSXVRGDSXV
%HEHUDSDNHJLDWDQ SHQ\DQGDQJOXSXV\DQJ WHUJDEXQJGDODPNHORPSRN SHQGXNXQJ
.HJLDWDQSHQ\DQGDQJOXSXV\DQJVXGDKEHUMDODQVHSHUWL LQLWHUEXNWLDPSXKXQWXNPHQLQJNDWNDQNXDOLWDVKLGXS ELVDGLZXMXGNDQGDODPEHUEDJDLNHJLDWDQVHSHUWL NXQMXQJDQUXPDKGDQNXQMXQJDQUXPDKVDNLW.HGXD NHJLDWDQLQLPHUXSDNDQNHJLDWDQUXWLQXQWXNPHPEXDW VHPDQJDWEDUXEDJLSDUDRGDSXVGDODPPHQJKDGDSL XMLDQVDNLW0HUHNDVDOLQJPHQ\HPDQJDWLDQWDURGDSXV GDQNHOXDUJDQ\D
.XSXNXSXPHQJDQJNDWWRSL
.XSXNXSX\DQJPHUXSDNDQVLPEROSHQ\DNLWOXSXV GDSDWGLMDGLNDQWHPDQEDJLSDUDSHQ\DQGDQJQ\D/XSS\ VHEXWDQNXSXNXSXLWXDNDQPHPEHULNDQGRURQJDQGDQ VHPDQJDWEDJLSDUDSHQ\DQGDQJGHQJDQPHPEHULNDQ
218
Dewi Nastiti L.
DSUHVLDVLEHUXSDSHQJKDUJDDQ3HQJKDUJDDQLQL GLZXMXGNDQGHQJDQDNVLGDPDLQ\D/XSS\\DQJWLGDN PHQJJDQJJXEHEHUDSDRUJDQSDUDSHQ\DQGDQJOXSXV /XSS\WLGDNDNDQPHQ\HUDQJRGDSXVELODRGDSXV WHUVHEXWGDSDWPHQJHQGDOLNDQOXSXVQ\D
7DQJDQ\DQJPHPEHQWXN KXUXI&)/
%HQWXNKXUXI&)GDQ/PHUXSDNDQLQLVLDOGDULNDWD NDWD\DQJWHUVXVXQGDUL&DUHIRU/XSXV\DQJPHUXSDNDQ \HO\HOGDULVDODKVDWXNHORPSRNSHQGXNXQJSHQ\DNLW OXSXV\DQJEHUDGDGL%DQGXQJ6\DPVL'KXKD )RXQGDWLRQ,VL\HO\HOQ\D&DUHIRU/XSXV
Tidak semua orang yang menduduki status sosial tinggi mempergunakan gaya yang sama dalam aktivitas bahasanya. Mereka akan mempergunakan beberapa macam variasi pilihan kata sesuai dengan kesempatan yang dihadapinya. Pilihan kata dalam hubungan dengan kesempatan yang dihadapi seseorang dapat dibagi menjadi beberapa macam kategori yang sesuai dengan penggunaannya. Salah satu di antaranya adalah kata-kata ilmiah yang beroposisi dengan kata populer (Keraf, 2002:105). Kata ilmiah sering dipakai oleh sebagian kalangan atas dan juga terpelajar. Pada tulisan ini kata-kata ilmiah yang dimaksud adalah katakata kedokteran yang mengarah ke penyakit lupus. Banyak sekali kata ilmiah yang digunakan untuk menjelaskan gejala klinis yang timbul pada penyakit lupus dan juga untuk menjelaskan tentang hal-hal yang berkaitan dengan penyakit tersebut. Namun pada kajian kecil ini, bahasa yang digunakan dalam video animasi bukan menggunakan kata-kata ilmiah mengingat sasaran yang dituju untuk diberikannya informasi adalah kalangan masyarakat yang awam dengan istilah medis pada penyakit lupus. Berdasarkan latar belakang tersebut, kelompok pendukung peduli lupus Syamsi Dhuha Foundation (SDF) membuat layanan video masyarakat untuk menyosialisasikan penyakit lupus agar masyarakat dapat membuka mata dan hatinya untuk peduli lupus. SDF memberikan beberapa istilah yang tidak ilmiah untuk mengenalkan tentang lupus kepada masyarakat. Lembaga ini memberikan beberapa bahasa yang mudah dicerna, seperti kata slang. Kata-kata slang (Keraf, 2002:108) adalah semacam kata percakapan yang tinggi atau murni. Kata slang adalah kata-kata nonstandar yang informal yang disusun secara khas atau kata-kata biasa yang diubah secara arbitrer; atau kata-kata kiasan yang khas dan jenaka yang sering Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
219
dipakai dalam percakapan. Artinya, slang merupakan ragam bahasa tak resmi yang dipakai oleh kelompok-kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern sebagai usaha supaya orang-orang kelompok lain tidak mengerti; berupa kosakata yang serba baru dan berubah-ubah. Berikut pilihan kata yang digunakan dalam video animasi tersebut. 1R
3LOLKDQ.DWD'LNVL GDODP /D\DQDQ9LGHR0DV\DUDNDW
DNX
OXSS\
OKR
WHPDQ
QJLQWLS
WLGDNEHUGD\D
GHK
GDSDWGLNHQGDOLNDQ
EHNHQ
.HWHUDQJDQ 3HPLOLKDQNDWD´DNXµEXNDQ´VD\DµPHQXQMXNNDQ EDKZDYLGHRDQLPDVLLWXEHUWXMXDQXQWXN PHQJDNUDENDQGLULXQWXNPHQJHQDONDQQDPD SHQ\DNLW\DQJEHOXPWHUNHQDOGLPDV\DUDNDW /XSS\PHUXSDNDQVHEXWDQGDULSHQ\DNLWOXSXV\DQJ VHULQJWHUGHQJDUGLWHOLQJDRGDSXV1DPXQVHEXWDQLQL KDQ\DDGDGDQVXGDKDNUDEGLNDODQJDQSHQ\DQGDQJ OXSXV 3HPLOLKDQNDWD´OKRµPHQXQMXNNDQEDKZDQDPD SHQ\DNLW\DQJPHQHJDVNDQSHUQ\DWDDQWHQWDQJ GLULQ\DGHQJDQVHEXWDQ\DQJDNUDEDJDUPXGDK GLNHQDOLGLNDODQJDQPDV\DUDNDW ´7HPDQµ\DQJPHUXSDNDQEHQWXNNLDVDQXQWXN PHQ\HEXWSHQ\DNLWOXSXV'DODPKDOLQLSHQ\HEXWDQ NDWDWHPDQEHUWXMXDQDJDUSHQ\DQGDQJOXSXVELVD PHQJHWDKXL\DQJEROHKGDQWLGDNGDODP SHQDQJDQDQQ\D 3HPLOLKDQNDWD´QJLQWLSµEXNDQ´PHOLKDWµPHUXSDNDQ LVWLODK\DQJGLJXQDNDQSHQ\DNLWOXSXVXQWXNWHUXV PHQGHNDWNDQGLULGHQJDQEHEHUDSDNHJLDWDQ SHQGXNXQJ\DQJGLZXMXGNDQROHK/60 ´7LGDNEHUGD\DµPHUXSDNDQEHQWXNNLDVDQGDULHIHN SHQ\DNLWLQL%DQ\DNRGDSXV\DQJVHULQJNDPEXKGDUL SHQ\DNLWOXSXVLQL 3HPLOLKDQNDWD´GHKµVDPDKDOQ\DGHQJDQNDWDµOKRµ \DQJPHQHJDVNDQWHQWDQJSHUQ\DWDDQSHQ\DNLWLQL DJDUSHQ\DQGDQJOXSXVGDQPDV\DUDNDWGDSDW PHQHULPDQ\DGHQJDQEDLN ´'DSDWGLNHQGDOLNDQµGLSLOLKDJDUHIHN\DQJ GLWLPEXONDQGDULSHQ\DNLWLQLGDSDWGLDWXUVHVXDL GHQJDQNRQGLVLPDVLQJPDVLQJSHQ\DQGDQJOXSXV DWDXRGDSXV+DOLQLPHQJLQJDWNRQGLVLPDVLQJPDVLQJ RGDSXVEHUEHGDDQWDUDVDWXGHQJDQODLQQ\D ´%HNHQµ\DQJGLSLOLKGDODPYLGHRLQLEXNDQ ´WHUNHQDOµNDUHQDSHQ\DNLWLQLPHPEXWXKNDQ VRVLDOLVDVL0HODOXLNDWDNDWDVODQJLQLSHPEXDWYLGHR DQLPDVLPHQJKDUDSNDQSXEOLN\DQJDZDPWHQWDQJ PHGLVPHPLOLNLNHLQJLQWDKXDQWHQWDQJSHQ\DNLW OXSXV
Analisis Video Animasi melalui Hermeneutik Ala Ricoeur Hermeneutik menurut Hoed (2007:83) adalah ilmu yang mengembangkan metode pemahaman makna melalui penafsiran. Secara prinsip hermeneutik menolak model pendekatan ilmiah baik induktif maupun deduktif yang masing-masing sifatnya satu arah. 220
Dewi Nastiti L.
Hermeneutik ingin memahami suatu teks, misalnya dengan memahami tidak hanya kata-kata di dalamnya, tetapi keseluruh teks itu sebagai karya. Hermeneutik harus selanjutnya memahami hubungan antara teks itu dengan pemroduksi, yakni seluruh mentalitas dan perkembangan pemroduksi teks itu dalam prespektif sejarahnya atau lebih lebih tepat, diakronis. Ini digambarkan sebagai sebuah lingkaran yang disebut “lingkaran hermeneutik”. Kalau deduksi adalah suatu proses pemahaman dari kaidah/konsep ke empiri, dan induksi adalah suatu proses pemahaman dari empiri ke kaidah/konsep atau generalisasi maka abduksi merupakan suatu proses pemahaman yang bersifat dialogis antara objek yang dikaji dan pemerhati/peneliti/ penafsiran. Dari dialog ini akan terbangun suatu pemahaman. Hermeneutik melihat teks sebagai polisemis, sehingga penafsiran menjadi masalah sentral. Jadi hermeneutik bertujuan untuk memahami melalui metode abduksi, bukan hanya menafsirkan. Interpretasi (penafsiran) selalu merupakan rekonstruksi makna sebuah teks atau menurut istilah Ricoeur, reproduksi. Ricoeur menempatkan teks pada tempat yang sentral. Teks merupakan perwujudan dari apa yang disebutnya “speech” (bahasa lisan) yang merupakan konsep secara semiotis dapat diwujudkan ke dalam teks. Menurut Ricoeur, teks merupakan turunan (derivat) dari “speech”. “Speech” mempunyai sistem acuan yang berbeda dengan teks, yakni terbatas secara spasiotemporal. Speech terikat pada konteks “aku, di sini, sekarang”. Begitu speech menjadi teks, maka sistem acuannya pun berubah dan menjadi milik pembaca. Teks tidak lagi teriat oleh konteks spasiotemporal tunggal (Hoed, 2007:84). Menurut Ricoeur (Hoed, 2007:84) teks harus dipahami dengan memahami kaitannya dengan penulis (pemroduksi teks), lingkungannya (fisik, sosial budaya), dan dengan teks lain (intertekstualitas). Makna teks juga harus dipahami dalam konteks dialog antara pembaca dan teks yang dibacanya itu. Dengan demikian, hal yang menonjol dalam hermeneutik ialah pengertian bahwa teks itu pada dasarnya polisemis sehingga tidak mungkin mempunyai hanya satu makna. Jadi maknanya tergantung dari berbagai faktor tersebut di atas. Artinya model hermeneutik Ricoeur tersebut mencari pemahaman melalui penjelasan dan interpretasi melalui teks sebagai pusat kajiannya. Ricoeur selalu mengembalikan fokus analisis pemahaman teks kepada teks itu sendiri. Ini tidak berarti bahwa faktor di luar teks tidak Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
221
penting, tapi menurutnya jika objektivitas penafsiran ingin dicapai paling tidak secara relatif kita harus kembali bertumpu pada teks agar dia berbicara sendiri. Bila kita kembali pada teks video yang telah dianalisis secara semiotis tadi maka jika ingin kita teruskan analisisnya dengan hermeneutik, hal-hal berikut harus terlihat dalam proses analisisnya. 1. Makna unsur-unsur pembentukan teks (bahasa);lingkungan teks itu terdiri atas beberapa jenis, sebagai berikut. a. Pertama, gambar animasi seekor kupu-kupu yang bernama luppy, kupu-kupu sebagai ikon penyakit lupus dan di sampingnya ada seorang wanita yang sedang sakit lupus di tempat tidur. b. Kedua yang dapat diamati di sini adalah kupu-kupu adalah simbol penyakit lupus yang digambarkan dengan kedua kepak sayapnya juga merupakan simbol dari gejala klinis yang dialami penyandang lupus berupa malar rash atau ruam-ruam merah. c. Ketiga, wanita yang digambarkan sebagai penyandang lupus. Kenapa bukan laki-laki? Karena hampir sebagian besar penyandang lupus dialami oleh wanita aktif produktif dan juga karena sistem imun tubuh yang berlebih.
d. Keempat, ada gambar peta Indonesia yang menggambarkan jumlah penyandang lupus sebesar 5 juta di dunia dan di Indonesia sebesar lebih kurang empat ratus ribu orang serta deskripsi tentang penyakit lupus yang belum diketahui penyebabnya.
222
Dewi Nastiti L.
Namun ditegaskan dalam video tersebut bahwa lupus bisa menyerang kapan pun tergantung kondisi penyandang lupus yang bersangkutan. e. Kelima, ada gambar rumah yang bertuliskan BPJS dan ada ASKES, JAMKESMAS, dan JAMKESDA dan ada beberapa orang yang berbondong-bondong masuk ke dalam rumah tersebut. Maksud dari gambar ini adalah pemerintah juga ikut memperjuangkan obat-obat murah lupus agar semua odapus di Indonesia dapat berobat. 2. Makna teks berdasarkan latar belakang pemroduksi teks; Teks ini adalah teks video animasi yang bertujuan agar masyarakat mengetahui tentang seluk beluk penyakit lupus dan cara penanganannya. Makin banyak masyarakat yang mengetahui penyakit ini, makin banyak pula masyarakat yang dapat mendeteksi dini penyakit lupus. Sebagai unsur budaya, video animasi “Lupus is My Name, Call Me Luppy” merupakan budaya pemikiran lembaga peduli lupus, Syamsi Dhuha Foundation (SDF) yang sudah menunjukkan manfaat bagi para penyandang lupus. 3. Makna teks berdasarkan lingkungan teks (termasuk gambar dan suasana serta kelompok sasaran); a. gambar/foto tentang lupus yang dipresentasikan dengan gambar kupu-kupu yang merupakan simbol dari penyakit lupus. b. beberapa durasi pada video animasi ini yang terdiri atas gambar dan kata-kata yang mudah diingat dan menunjukkan bahwa video ini memiliki keuntungan bagi masyarakat tanpa adanya Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
223
benefit yang ingin diraihnya meski pembuat video adalah Lembaga Swadaya Masyarakat atau NGO yang pendanaanya bukan berada dari institusi pemerintah. c. beberapa cuplikan gambar dan kata menunjukkan bahwa pembuat video ingin mengedukasi masyarakat dengan penyakit lupus dan komunikasi yang digunakan pembuat video tidaklah formal. Budaya yang diangkat dalam video animasi ini adalah sesuai dengan visi dan misi yayasan lupus yakni, menjadi ladang amal kita bersama. 4. Makna teks berdasarkan kaitan dengan teks lain; Dalam hal ini kaitan dengan teks lain adalah unsur bahasa yang lain yang di dalam teks yang sama atau di luarnya, khususnya video animasi, maka teks ini dapat dilihat kaitan-kaitannya sebagai berikut. a. Kaitan antara teks yang berhuruf kapital yang menggunakan jenis huruf nonformal b. Kaitan antara teks yang bersangkutan dan berbagai teks lain dalam acara yang membicarakan edukasi penyakit lupus c. Teks itu juga berkaitan dengan gambar dalam video lain yang mendukung, misalnya dalam sebuah video lain yang bertujuan untuk membuka mata dan hati tentang lupus. 5. Makna teks berdasarkan dialog teks dengan pembaca; yang semuanya itu dilihat dalam perspektif sinkronis dan diakronis yang akan mendukung sebagai metode penafsiran atas teks. Ada konvensi budaya yang yang menguasai penonton video, misalnya yang memberikan makna tertentu terhadap video animasi tersebut, yakni tentang kepedulian lupus yang dijadikan dasar untuk mengajak para masyarakat bersosialisasi. Selain itu pula, ada juga dialog lain antara penonton video dan teks, yaitu pembaca merasa menjadi pribadi yang dapat memberikan manfaat bagi orang-orang di sekitarnya dengan mengedukasi penyakit lupus. Dialog di sini dimaksudkan karena berbagai makna yang timbul pada diri pembaca tidak terjadi sesekali, tetapi merupakan proses yang berulang dan berkelanjutan. Artinya, makna teks berkembang dari waktu ke waktu setiap kali pembaca melihatnya, baik itu karena pengaruh pengalaman individual maupun karena pengaruh prinsip-prinsip yang berkembang dalam kehidupan kolektif bermasyarakat. 224
Dewi Nastiti L.
Penutup Kajian ekolinguistik melalui semiotik dan hermeneutik mengajak kita memahami teks sebagai fenomena lingkungan budaya pada masyarakat terkait isu-isu tentang penyakit lupus dengan memberikan tekanan pada teksnya sendiri dalam memahami makna sebuah teks. Ini menjadi menarik sebagai sebuah kajian awal yang nantinya dapat dilanjutkan dengan meresepsi teks pada video animasi tersebut untuk mengukur tingkat pemahaman audiens dan pada akhirnya dapat menjadi bahan evaluasi kesesuaian tujuan program Care for Lupus dalam mengkampanyekan isu penyakit lupus, dilihat dari pemaknaan video animasi tersebut Daftar Rujukan Haugen, E. (1972). “The Ecology of Language” dalam Dil, A.S. (ed) The Ecology of Language: Essays by Einar Haugen. Stanford: Stanford University Press. Hoed, Benny. 2007. Semiotika dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Keraf, Gorys. 2002. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Kasali, Rhenald.1993. Manajemen Periklanan. Jakarta : Erlangga. Lindø, Anna Vibeke and Simon S. Simonsen. 2000. “The Dialectics and Varieties of Agency-the Ecology of Subject, Person, and Agent. Dialectical Ecolinguistics Three Essays for the Symposium 30 Years of Language and Ecology in Graz December 2000. Austria: Univerisity of Odense Research Group for Ecology, Language and Ecology. Mbete, Aron Meko. 2009. “Selayang Pandang Tentang Ekolinguistik: Perspektif Kelinguistikan yang Prospektif.” Bahan Untuk Berbagi Pengalaman Kelinguistikan dalam Matrikulasi Program Magister Linguistik Program Pascasarjana Universitas Udayana, 12 Agustus 2009. Miles Rubiyantoro, Wenni. 2011.”Analisis Semiotik Iklan Nutrisari” dalam Jurnal LOA Vol.11 No.2, 141—148 https://www.youtube.com/watch?v=OmCerL-g3EU. Diunduh pada bulan Januari 2015
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
225
226
Dewi Nastiti L.
PENGEKSPRESIAN PULAU PINUS ARANIO BANJARBARU MELALUI PENULISAN KREATIF SASTRA MAHASISWA Dwi Wahyu Candra Dewi
Abstrak Kegiatan menulis merupakan kegiatan memupuk kemampuan berbahasa. Pengekspresian kemampuan berbahasa dapat dilihat dari hasil tulisan. Kegiatan menulis dapat dilakukan oleh siapapun termasuk mahasiswa. Mahasiswa dapat menambah wawasannya dengan membaca dan dapat berbagi wawasan dengan tulisan. Kegiatan menulis sastra pun juga dapat dikembangkan. Sikap kreatif dalam menulis perlu dipupuk dengan memperbanyak latihan. Perkembangan teknologi yang kian marak seharusnya dapat dimanfaatkan oleh mahasiswa dengan hal positif. Hal itu ditandai berkembangnya media sosial yang dapat diakses oleh semua orang termasuk mahasiswa, Facebook salah satunya. Setiap peristiwa apapun yang dialami oleh mahasiswa biasanya dituliskan di media sosial tersebut. Dari hal yang sepele sampai hal-hal yang berkaitan dengan hal yang riskan untuk dituliskan. Tanpa mereka sadari, sebenarnya mereka sudah berani mengungkapkan ide dalam bentuk tulisan yang bernilai sastra. Keindahan bunyi, pilihan kata yang tepat dan itu merupakan bentuk ekspresi. Oleh karena itu, sikap kreatif dalam menulis terutama penulisan sastra dapat dilakukan dengan mengekspresikan lingkungan sekitar. Aranio salah satu tempat Pulau Pinus berada yang selama ini jauh dari perhatian dapat dijadikan objeknya. Kegiatan dapat dilakukan dengan santai, terarah dan cermat yaitu re-kreasi dan observasi. Kata Kunci: sastra, penulisan kreatif, pengekspresian Pendahuluan Hasil pemikiran manusia dapat dituangkan dalam berbagai cara, salah satunya dalam bentuk tulisan. Kegiatan menulis yang dilakukan seseorang bukan sekedar mencantumkan susunan huruf dan kata. Huruf dapat menjadi kata dan kalimat apabila penulis memberikan makna. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
227
Makna yang terdapat dalam kata dan kalimat tersebut merupakan pemikiran dari penulis. Kemampuan penulis menuangkan ide/gagasan dalam bentuk tulisan merupakan salah satu cara berekspresi. Kegiatan berekspresi secara tidak disadari oleh mahasiswa sudah sering dilakukan, yaitu menuangkan perasaannya pada media sosial facebook. Perasaan suka, duka, gundah gulana dan benci pun tak luput dari tulisan mereka. Dari hasil tulisan mereka di media sosial, dapat disimpulkan bahwa mereka memiliki kemampuan menulis hanya saja masih perlu adanya latihan dalam aspek bahasa dan sastra untuk disebut sebagai kegiatan menulis yang produktif dan kreatif. Ide atau gagasan penulis dalam kegiatan menulis dapat muncul apabila ada hal yang merangsang pemikiran. Rangsangan atau stimulus yang penulis dapatkan akan direspon, baik berupa respon positif maupun negatif. Respon dari seseorang dapat muncul berdasarkan kepekaan terhadap rangsang/stimulus. Mahasiswa dalam kesehariannya masih tergolong memiliki ketidakpedulian terhadap lingkungan. Hal itu terlihat dengan seiring majunya alat komunikasi elektronik (gadget). Sebagian besar mahasiswa sibuk dengan gadget mereka tanpa memperdulikan keadaan sekitar. Dengan begitu, mereka kurang dapat memanfaatkan lingkungan sekitar sebagai objek kajian. Mereka lebih mempedulikan pandangan orang mengenai penampilan. Adanya budaya elektronik yang merajalela menyebabkan minat terhadap sastra yang serius kian berkurang (Rosidi, 1995: 261) Sebenarnya mereka dapat memanfaatkan fasilitas yang ada termasuk gadget dalam menggali kemampuan dan pengetahuannya. Ketidakpekaan mahasiswa makin hari makin terlihat. Kepekaan terhadap lingkungan, sesama makhluk ciptaan Tuhan dan kepekaan terhadap kemampuan diri pun juga berkurang. Ketika mahasiswa mendapatkan tugas, tak banyak dari mereka yang menyatakan diri memiliki ide/gagasan. Justru mereka lebih tertutup sehingga potensi yang seharusnya dapat dikembangkan tidak terlihat. Begitu juga yang terjadi pada suatu wilayah di ujung kota Banjarbaru, Aranio. Salah satu danau, tempat yang di kelilingi sungai dan mengagumkan bagi beberapa orang tapi tidak untuk banyak orang. Belum adanya perhatian khusus dari pemerintah setempat dan banyak orang itulah yang menjadikan Desa Aranio perlu dipandang dari berbagai sudut. Oleh karena itu, kegiatan-kegiatan berkaitan dengan penggalian potensi diri dan kepekaan terhadap seluruh ciptaan Tuhan perlu dilaksanakan terutama dalam kegiatan menulis.
228
Dwi Wahyu Candra Dewi
Hal-hal yang ditangkap oleh pancaindera dapat diekspresikan melalui tulisan, yaitu tulisan sastra. Pernyataan tersebut dikuatkan oleh pendapat Endraswara (2013:153) bahwa mengenal suasana alam, menghayati lingkungan dan menangkap hal-hal ghaib melalui wisata merupakan cara belajar sastra yang komprehensif. Mahasiswa sebagai masyarakat terpelajar yang memiliki pengalaman lebih dibandingkan siswa diharapkan memiliki pandangan (pemikiran) yang luas. Perspektif mereka mengenai suatu hal akan beragam apabila dapat melatih kepekaannya terhadap rangsangan (peristiwa maupun masalah). Keprihatinan muncul dari berkurangnya kecintaan mahasiswa dalam menulis. Mahasiswa lebih suka kegiatan mengkonsumsi informasi tanpa ada keinginan untuk membuat informasi. Apabila kebiasaan ini yang berkembang maka mahasiswa mudah mendapat pengaruh negatif dari oknum mengenai suatu ajaran yang tidak bertanggung jawab. Mahasiswa yang kreatif dalam menuangkan ide-idenya memiliki kecenderungan lebih peka dibanding yang kurang atau tidak kreatif. Kejelian, kepekaan akan menghasilkan pemikiran yang lebih kritis dan kreatif. Hal tersebut dapat dijelaskan karena dari objek yang tak berharga akan menjadi sesuatu yang istimewa apabila seorang penulis mencoba memberikan berbagai pandangan dari hal yang dimaksudkan. Misal, dari peristiwa hujan dapat dipandang dari sudut pandang sebenarnya (eksplisit) dan implisit. Hujan tidak hanya peristiwa jatuhnya air dari langit tetapi bisa diartikan basah, sejuk, menggigil ataupun mendapat anugerah oleh penulis. Sastra Sastra adalah suatu kegiatan kreatif, sebuah karya seni (Warren dan Wellek, 1993:3). Disebut sebagai suatu kegiatan kreatif karena aspek dalam penciptaan sastra yaitu penggabungan ide, situasi dan kondisi serta bahasa. Dikatakan sebagai seni karena mengandung unsur keindahan. Indah dalam bahasanya, bunyinya ataupun bentuknya. Hasil cipta rasa manusia terhadap suatu hal dan disampaikan melalui bahasa dapat disebut sebagai karya sastra. Menurut Kuntowijoyo (1999: 127) karya sastra sebagai simbol verbal memiliki beberapa peranan diantaranya sebagai cara pemahaman (mode of comprehension), cara perhubungan (mode of comunication), dan cara penciptaan (mode of of creation). Karya sastra dapat digunakan untuk melatih kemampuan pemahaman karena kata-kata dalam karya sastra belum tentu dapat dimaknai secara langsung. Hal ini terjadi disebabkan penulis dalam menyampaikan ide/gagasan memiliki gaya dalam berbahasa yang Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
229
berbeda-beda. Ada yang suka menggunakan simbol (kata abstrak) dan ada yang lebih suka menggunakan kata-kata konkret. Definisi-definisi tentang sastra menurut Luxemburg (1992:4-6) antara lain: a. Sastra merupakan ciptaan atau kreasi b. Sastra bersifat otonom c. Sastra memiliki ciri koherensi/ keselarasan antara bentuk dan isinya d. Sastra menyuguhkan sintesa antara hal yang bertentangan e. Sastra berusaha mengungkapkan hal yang ta terungkap. Berdasarkan definisi-definisi tersebut, sastra menjadi yang lebih menarik sebagai bahan diskusi dan kajian. Menurut Warren dan Wellek (1993:109), sastra mempunyai fungsi sosial yang tidak sepenuhnya bersifat pribadi. Karya sastra diciptakan dimaksudkan untuk dipahami dan diapresiasi oleh pembaca. Isi dari karya sastra tersebut berkenaan dengan pengalaman pribadi si penulis dalam merasakan atau pun mengamati perihal yang menjadi inspirasi. Pengamatan yang dilakukan berdasarkan pengalaman orang lain itulah yang dimaksudkan bahwa sastra memiliki fungsi sosial. Selain itu, fungsi sosial dimaksudkan juga bahwa karya sastra dapat dinikmati oleh semua khalayak dan diambil nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Berkaitan dengan fungsi sosial, sastra juga menyajikan kehidupan yang terdiri dari kenyataan sosial (meniru alam) dan bersifat subjektif (Warren dan Wellek, 1999: 109). Hal tersebut diperkuat oleh pendapat Pradopo (2009, 141) yang menyatakan bahwa sastra merupakan ekspresi suatu sikap yang umum terhadap kehidupan. Jadi, sastra berkaitan erat dengan kehidupan manusia. Inspirasi, imajinasi, konflik, karakter, bahkan nilai-nilai yang terkandung di dalam sastra bersumber dari kehidupan manusia dan lingkungannya. Menurut Wicaksono (2014:5), suatu tulisan disebut sebagai teks sastra apabila: 1) Teks tersebut tidak melulu disusun untuk tujuan komunikatif praktis atau sementara waktu 2) Teks tersebut mengandung fiksi 230
Dwi Wahyu Candra Dewi
3) Teks tersebut menyebabkan pembaca mengambil jarak 4) Ide/bahan diolah secara istimewa 5) Mempunyai keterbukaan penafsiran Artinya, teks sastra memiliki perbedaan dengan teks yang lainnya. Teks sastra bersifat khayal, terdapat nilai seni/estetika, dan bahasa yang digunakan khas. Penulisan Kreatif Sastra Kemampuan berbahasa yang dimiliki seseorang, salah satunya yaitu menulis. Menulis, menurut Akhadiah (1995:2) yaitu: 1. Suatu bentuk komunikasi 2. Proses pemikiran yang dimulai dengan pemikiran tentang gagasan yang akan disampaikan 3. Bentukkomunikasi yang berbeda 4. Ragam komunikasi yang dilengkapi dengan alat-alat penjelas serta ejaan dan tanda baca 5. Bentuk komunikasi untuk menyampaikan gagasan penulis kepada khalayak pembaca yang dibatasi oleh jarak, tempat dan waktu. Seorang penulis dalam menciptakan karyanya akan berusaha menggali ide atau gagasannya. Pernyataan tersebut sesuai dengan pendapat Widyamartaya (1992:4) bahwa gagasan atau ide dapat diekpresikan oleh seseorang melalui bentuk tulisan. Kegiatan menulis merupakan kegiatan mengembangkan daya pikir atau nalar seseorang dalam mengumpulkan fakta dan menghubungkannya untuk memperoleh simpulan. Dengan demikian, kegiatan menulis merupakan kegiatan produksi karena menghasilkan suatu karya. Hal tersebut berdasarkan pendapat Tarigan (1985:3-4) yang menyatakan bahwa kegiatan menulis adalah kegiatan produktif dan kreatif. Menulis berarti menuangkan gagasan, ketika gagasan sudah dikemukakan maka disitulah kegiatan produksi telah dilaksanakan. Produksi berupa tulisan tersebut akan menarik perhatian pembaca apabila dikemas secara kreatif oleh penulis. Jadi dalam kegiatan menulis, seseorang harus betulbetul bekerja keras menuangkan ide untuk dapat dipahami oleh pembaca. Walau demikian, kegiatan menulis dapat dilaksanakan secara langsung sesuai keinginan penulis (Abbas, 2012: 108). Keinginan yang Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
231
dimaksud merupakan gairah, hasrat, atau mood dalam menulis. Ide/ gagasan tidak dicari tetapi ketika muncul sebaiknya segera ditulis. Oleh karena itu, ketika melaksanakan kegiatan menulis tidak perlu memikirkan hal-hal berat tetapi lebih kepada rasa ingin mengungkapkan suatu hal dalam tulisan. Seseorang perlu memiliki keterampilan bahasa dalam kegiatan menulis (Wibowo, 2012:1). Kemampuan bahasa tersebut dimanfaatkan untuk mengkomunikasikan ide. Kemampuan bahasa seseorang dapat dikembangkan dengan menambah kosakata, menambah penguasaan kaidah bahasa, dan mengembangkan penguasaan makna. Hal tersebut dapat disebut sebagai kegiatan yang kreatif karena mengorganisasi ide/ gagasan dan bahasa kemudian menuangkannya dalam bentuk tulisan (Wicaksono, 2014:10). Sepanjang sejarah, kreativitas manusia ditentukan dari kehidupan mereka dalam berorganisasi sosial, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi serta proses simbolis (Kuntowijoyo, 1999: 3). Kegiatan manusia dalam kesehariannya memiliki keterkaitan dengan kreativitas manusia itu sendiri. Kehidupan manusia yang tak lepas dari masalah itulah yang menyebabkan manusia mampu hidup lebih kreatif. Hal tersebut termasuk dalam kegiatan menulis. Aspek kehidupan yang mempengaruhi kegiatan menulis seseorang termasuk proses simbolis. Artinya, kehidupan yang dialami manusia meskipun nyata tetap ada simbol-simbol yang memiliki makna di dalamnya. Kegiatan menulis yang sering kita lakukan dapat memberikan dampak positif, yaitu kita akan dengan mudah menyelesaikan masalah, memberikan dorongan agar kita sebagai penulis lebih aktif, dan dapat menjadikan kita terbiasa dalam berpikir dan berbahasa yang tertib. Penulisan kreatif dalam bidang kesastraan tidak hanya dibekali dengan kemampuan bahasa tetapi juga memerlukan bekal kemampuan sastra. Menurut Jabrohim dkk (2003:67) menulis kreatif sastra merupakan kegiatan seorang intelektual yang menuntut kemampuan berpikir cerdas, berbahasa yang tepat, berwawasan luas dan memiliki kepekaan rasa. Oleh karena itu, ketika seseorang mencoba mengungkapkan ide/gagasannya tak lepas dari proses berpikir kemudian berbahasa. Selanjutnya agar dapat dinikmati oleh pembaca dan penyimak maka ide dan bahasa tersebut dikaitkan dengan wawasan dan rasa yang dimiliki. Tingkat kemampuan menulis kreatif seseorang dapat dilihat dari sering tidaknya seseorang tersebut berlatih. Hal itu disebabkan, kemampuan menulis dapat diperoleh dengan cara praktik yang teratur (Tarigan, 1983: 3-4).
232
Dwi Wahyu Candra Dewi
Kegiatan menulis kreatif dapat diajarkan di sekolah ataupun perguruan tinggi berkaitan dengan menulis sastra. Menurut Wicaksono (2014:91) proses kreatif dapat dilakukan melaui 5 tahap, yaitu: a. Persiapan b. Inkubasi c. Inspirasi d. Penulisan e. Revisi Tahap persiapan yang dimaksud yaitu tahap mencari ide/bahan. Ide/bahan dapat disesuaikan dengan keperluan atau niat yang akan diwujudkan. Pada tahap inkubasi, yang akan dilakukan penulis yaitu merencanakan tujuan dalam menulis. Seseorang yang mengalami kesulitan dalam menulis biasanya melupakan tujuan dalam menulis setelah mendapat ide. Tahap selanjutnya yaitu inspirasi, tahap perencanaan yang sudah matang dari tahap inkubasi. Pada tahap tersebut, sebaiknya segala ide yang sudah siap dipublikasikan segera dituangkan. Berikutnya yaitu tahap penulisan, penuangan ide tersebut disusun dalam bentuk tulis. Ketika karya berupa tulisan sudah ada, tahap selanjutnya yaitu revisi. Tahap revisi dimaksudkan guna memperbaiki dan menyunting tulisan dalam hal isi dan bahasa. Pengekspresian Sastra Ekspresi seseorang merupakan bentuk perwujudan dari kegiatan apresiasi terhadap suatu hal. Kegiatan ekspresi menitikberatkan pada diri penulis (Pradotokusuma, 2005: 63). Penulis yang memandang suatu hal (alam semesta) akan memberikan penilaian baik secara lisan maupun tulisan. Pernyataan lisan dan tulisan tersebut menjadi hasil sang penulis dan dapat dinikmati oleh pembaca ataupun penyimak. Berikut alur terciptanya suatu karya yang berdasarkan alam semesta oleh seorang pencipta sehingga dapat dinikmati oleh pembaca.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
233
ƵŶŝǀĞƌƐĞ ͚ƐĞŵĞƐƚĂ͛
ǁŽƌŬ ͚ŬĂƌLJĂ͛
ĂƌƚŝƐƚ ͚ƉĞŶĐŝƉƚĂ͛
ĂƵĚŝĞŶĐĞ ͚ƉĞŵďĂĐĂ͛
Gambar 1: Alur Penciptaan Karya Sastra
Apresiasi dan ekspresi seseorang terhadap yang suatu hal dapat ditingkatkan dalam semua aspek kehidupan (Firman, 2013:92). Hal tersebut dimaksudkan bahwa kemampuan orang dalam memberikan apresiasi dan ekspresi dapat dipelajari seiring dengan perkembangan kehidupan. Dalam hal ini termasuk pada kecerdasan intelektual seseorang. Ketika kecerdasan intelektual seseorang meningkat maka kemampuan untuk memberikan tanggapan terhadap suatu hal pun juga meningkat. Manusia dalam menjalani kehidupan tak lepas dari kegiatan apresiasi dan ekspresi. Ekspresi yang ditunjukkan merupakan perwujudan dari apresiasi terhadap suatu hal. Kegiatan berekspresi dapat dilaksanakan oleh seseorang ketika mereka memiliki keberanian mengungkapkan pemikiran. Keberanian tersebut dapat dimiliki dari suatu pembelajaran. Dalam hal ini yang dimaksud yaitu pembelajaran sastra. Pengekspresian sastra merupakan kegiatan berekspresi berdasarkan inspirasi dan proses imajinatif berdasarkan realita. Berekspresi melalui tulisan kreatif dapat bersumber dari kehidupan manusia secara langsung melalui rekaan dan bahasa sebagai medianya (Winarni, 2009:7). Kegiatan berekspresi dapat dilakukan dengan mengamati budaya dan sistem sosial tempat individu tinggal. Budaya dan sistem sosial tempat tinggal seseorang dapat dijadikan sebagai inspirasi penulisan sastra. Penulis dapat merahasiakan emosi-emosi 234
Dwi Wahyu Candra Dewi
tertentu, cara seperti apa emosi tersebut yang akan dimunculkan, ditujukan kepada siapa, kapan waktunya dan dimana (Ekman dalam Kurniawan dan Hasanat, 1992:2). Oleh karena itu, karya sastra yang diciptakan oleh penulis memiliki makna yang tersirat. Penulisan teks sastra lebih tepat disebut sebagai pengekspresian (Mahmudi, 2011:1). Lebih tepatnya yaitu pengekspresian dalam bentuk tulisan. Tulisan dari seseorang merupakan bentuk ekspresi sesuai dengan pengalaman pribadi. Kegiatan mengekspresikan pikiran dan perasaan terkait pengalaman dapat mengurangi trauma (Seerly dkk dalam Eka, 2008: 1). Keberanian mengekspresikan perasaan dan pikiran dapat membebaskan seseorang dari pengalaman yang buruk. Keberanian seseorang untuk berekspresi dapat dilatih. Menurut Kuntowijoyo (1999: 15), hal terpenting dalam karya sastra yaitu temanya yang berkaitan dengan peradaban. Tumbuh dan berkembangnya karya sastra seiring dengan perkembangan peradaban, termasuk kemajuan teknologi dan ekonomi. Langkah Pengekspresian Objek dalam Penulisan Kreatif Sastra Kemampuan menulis dapat dipelajari karena kemampuan menulis bukanlah suatu keturunan. Menulis merupakan kegiatan yang dapat dilaksanakan melalui proses belajar, begitu juga dengan menulis sastra. Kegiatan bersastra tidak dapat dipisahkan dari kegiatan berbahasa. Kegiatan tersebut meliputi penguasaan pengetahuan, pengalaman dan perasaan. Dalam pembelajaran sastra kegiatan penguasaan pengetahuan, pengalaman dan perasaan perlu adanya pendampingan (pembimbingan). Proses pembimbingan dimulai dari penyiapan lingkungan belajar. Pada proses pembelajaran tingkat perguruan tinggi, lingkungan belajar dapat disiapkan bersama-sama sesuai kesepakatan antara dosen dan mahasiswa. Pengalaman belajar sastra mahasiswa dapat diperoleh dari proses pembimbingan dan kerjasama dengan teman sejawat. Bagi mahasiswa, pengetahuan sebaiknya diperoleh secara mandiri. Kegiatan selanjutnya yaitu menyepakati langkah-langkah membuat karya sastra. Langkah-langkah tersebut meliputi: a. Menentukan latar belakang penulisan karya sastra b. Mencatat semua ide yang muncul c. Berimajinasi untuk menentukan tema Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
235
d. Menentukan judul e. Membuat narasi f. Memberikan makna g. Mengedit/menyunting Langkah pertama merupakan penentu untuk langkah selanjutnya. Penulis dalam menentukan latar belakang karya sastra dapat melihat dari alasan yang melatarbelakangi penulisan. Hal ini dapat juga disebutkan asal-usul niat dari menulis. Setiap melaksanakan kegiatan perlu diawali dengan niat. Penulis disebut memiliki suatu keberanian karena berani menuangkan ide/gagasannya. Setelah niat dan alasan mengapa harus menulis, seseorang harus peka terhadap potensi diri dengan mencatat semua ide/gagasan yang muncul. Misal dalam keadaan terdesak, penulis merasa sangat lemah dan muncul ide maka segeralah ditulis dalam catatan, laptop, handphone, gadget, meski hanya satu kata, satu kalimat. Kata-kata yang dihasilkan secara sengaja ataupun tidak tersebut, sebaiknya diorganisasi dalam imajinasi agar didapatkan tema tulisan. Berdasarkan tema yang sudah ditentukan maka penulis dapat menentukan judul. Langkah selanjutnya yaitu menjabarkan judul berdasarkan tema (membuat narasi). Seorang penulis karya sastra sebaiknya memiliki kemampuan berbahasa dan bersastra. Hal itu dimaksudkan untuk merangkai ide-ide agar karya tersebut memiliki kesatuan dan kepaduan. Narasi yang disampaikan dapat dipahami oleh pembaca apabila terdapat makna di dalam karya. Setiap tulisan mengandung makna bagi penulis. Mengenai makna, pembaca memiliki hak penuh dalam menginterpretasikan. Akan tetapi, tetap ada makna yang sudah disampaikan oleh penulis. Akhirnya, jika ide sudah dinarasikan maka penulis wajib menyunting karyanya. Proses penyuntingan dapat dilakukan oleh penulis secara mandiri dan bisa juga oleh orang lain yang memiliki kompeten dalam bidang penyuntingan. Pembelajaran mata kuliah Menulis Kreatif Sastra (MKS) diberikan kepada mahasiswa agar mahasiswa memiliki kepercayaan diri, berhatihati dalam mengungkapkan ide dan menjadi manusia yang kreatif. Sesuai dengan tujuan pembelajaran MKS, hasil akhir dari perkuliahan tersebut adalah adanya karya sastra yang dihasilkan oleh mahasiswa. Karya sastra yang dimaksud dapat berupa puisi, prosa (cerpen) dan drama. Dalam pembelajaran MKS, mahasiswa dilatih untuk lebih peka terhadap lingkungan. Latihannya dapat dilakukan di dalam kelas, yaitu mengamati ruang perkuliahan dengan berbagai benda di dalamnya. 236
Dwi Wahyu Candra Dewi
Kemudian mereka diminta menyepakati objek khusus apa yang akan dijadikan sumber inspirasi dan imajinasi. Berdasarkan satu objek tersebut, mahasiswa diminta untuk memberikan sudut pandang yang berbeda. Hasil yang diperoleh dari proses latihan tersebut menunjukkan bahwa mahasiswa mampu menuangkan pandangan mereka dalam sebuah karya sastra yang ditulis. Pembelajaran MKS dilanjutkan dengan teknik re-kreasi dan observasi. Kegiatan tersebut merupakan pengembangan dari pembelajaran MKS. Teknik re-kreasi dan observasi dipilih berdasarkan kebiasaan mahasiswa yang menunjukkan kekurangpedulian mereka terhadap lingkungan sekitar. Tim dosen mencoba menawarkan kepada mahasiswa untuk mengadakan pembelajaran MKS di luar kelas dengan memilih Pulau Pinus di Desa Aranio Banjarbaru. Ternyata mahasiswa menerima dengan senang hati dan antusias melakukan observasi lapangan dan perizinan. Pembelajaran MKS dimulai dengan penyampaian tujuan pembelajaran menggunakan teknik re-kreasi dan observasi. Kemudian disampaikan langkah-langkah yang harus dilakukan oleh mahasiswa sebelum, pada saat dan setelah pembelajaran di lapangan dilaksanakan.
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
237
dƵũƵĂŶƉĞŵďĞůĂũĂƌĂŶD<^ĚŝůĂƉĂŶŐĂŶŵĞŶŐŐƵŶĂŬĂŶƚĞŬŶŝŬƌĞͲŬƌĞĂƐŝ ĚĂŶŽďƐĞƌǀĂƐŝ͗ dĞƌĐŝƉƚĂŶLJĂŬĂƌLJĂƐĂƐƚƌĂĚĞŶŐĂŶŽďũĞŬWƵůĂƵWŝŶƵƐƌĂŶŝŽĂŶũĂƌďĂƌƵ
<ĞŐŝĂƚĂŶ ƐĞďĞůƵŵŬĞWƵůĂƵ WŝŶƵƐ͗ ͲDĂŚĂƐŝƐǁĂ ĚŝŵŝŶƚĂ ŵĞŵĂŚĂŵŝ ƚƵũƵĂŶ͘ ͲDĂŚĂƐŝƐǁĂ ĚŝŵŝŶƚĂ ŵĞŶĞŶƚƵŬĂŶ ũĞŶŝƐŬĂƌLJĂƐĂƐƚƌĂ LJĂŶŐĂŬĂŶĚŝƚƵůŝƐ͘ ͲŵĂŚĂƐŝƐǁĂ ĚŝŵŝŶƚĂŬĞŵďĂůŝ ŵĞŵƉĞůĂũĂƌŝ ŬŽŶƐĞƉƚĞŶƚĂŶŐ ũĞŶŝƐŬĂƌLJĂƐĂƐƚƌĂ LJĂŶŐĚŝƉŝůŝŚ
<ĞŐŝĂƚĂŶƉĂĚĂƐĂĂƚĚŝ WƵůĂƵWŝŶƵƐ͗ ͲDĂŚĂƐŝƐǁĂĚŝďĞƌŝŬĂŶ ƉĞŶŐĂƌĂŚĂŶƵŶƚƵŬ ŵĞŵĂŶĨĂĂƚŬĂŶǁĂŬƚƵ ͲDĂŚĂƐŝƐǁĂĚŝŵŝŶƚĂ ŵĞŵŝůŝŚƐĂƚƵƚŝƚŝŬƵŶƚƵŬ ŵĞŶĐĂƌŝŝŶƐƉŝƌĂƐŝ ;ŵĞƌĞŶƵŶŐ͕ďĞƌƚĂŶLJĂ͕ĚĂŶ ŵĞŶŐĂŵĂƚŝͿ ͲDĂŚĂƐŝƐǁĂŵĞŶƵůŝƐŬĂŶ͕ ŵĞŶŐŽƌŐĂŶŝƐĂƐŝ ŝĚĞͬŐĂŐĂƐĂŶ ͲDĂŚĂƐŝƐǁĂŵĞŵďƵĂƚ ŬŽŶƐĞƉŬĂƌLJĂƐĂƐƚƌĂ ͲDĂŚĂƐŝƐǁĂĚŝďĞƌŝŬĂŶ ŬĞƐĞŵƉĂƚĂŶƵŶƚƵŬ ŵĞŶLJĞůĞƐĂŝŬĂŶŬĂƌLJĂŶLJĂ ƉĂĚĂƐĂĂƚŝƚƵĂƚĂƵŶĂŶƚŝ ƉĂĚĂƐĂĂƚƐƵĚĂŚŬĞŵďĂůŝ ŬĞŬĂŵƉƵƐ
<ĞŐŝĂƚĂŶƐĞƚĞůĂŚ ĚĂƌŝƌĂŶŝŽ͗ ͲDĂŚĂƐŝƐǁĂ ŵĞŶLJĂŵƉĂŝŬĂŶ ŚĂƐŝůďĞůĂũĂƌŶLJĂ ͲDĂŚĂƐŝƐǁĂ ĚŝďĞƌŝŬĂŶ ŬĞƐĞŵƉĂƚĂŶ ŵĞŶLJĞůĞƐĂŝŬĂŶ ďĂŐŝLJĂŶŐďĞůƵŵ͘ ͲDĂŚĂƐŝƐǁĂ ŵĞŶLJƵŶƚŝŶŐ ŬĂƌLJĂŶLJĂ Ͳ<ĂƌLJĂƐĂƐƚƌĂ ƐĞůĞƐĂŝĚŝĐŝƉƚĂŬĂŶ
ͲDĂŚĂƐŝƐǁĂĚŝŵŝŶƚĂ ďĞƌŬƵŵƉƵůŬĞŵďĂůŝƵŶƚƵŬ ŵĞŶLJĂŵƉĂŝŬĂŶƐŝŵƉƵůĂŶ
Gambar 2: Tahapan Pembelajaran MKS
Pembelajaran MKS yang dilaksanakan di Pulau Pinus Desa Aranio bermanfaat bagi pengenalan dan pelestarian lingkungan. Desa tersebut termasuk desa yang jauh dari perhatian masyarakat lain. Jarak desa yang harus ditempuh menggunakan perahu Klotok menjadikan perkembangan desa tersebut termasuk kurang maju. Sekolah yang terletak di sana hanya ada dua, milik pemerintah tingkat sekolah dasar dan sebuah taman pendidikan Alquran. Anak-anak penduduk di Aranio khususnya Pulau Pinus harus melanjutkan tingkat pendidikan di daerah yang lebih maju.
238
Dwi Wahyu Candra Dewi
Melihat keadaan tersebut, mahasiswa mulai berpikir, melakukan renungan dan pengamatan selanjutnya. Dengan begitu, kepekaan mereka sudah mulai muncul untuk mau mengenal lingkungannya. Pulau Pinus memiliki potensi untuk dikenalkan kepada khalayak karena tempat tersebut masih asri (hijau) dan aliran sungainya pun masih bersih. Meskipun Pulau Pinus sudah menjadi salah satu objek wisata, tetapi keberadaannya masih jarang diketahui orang. Hal itu sesuai dengan pendapat para penjaja makanan ringan yang merupakan penduduk asli Pulau Pinus. Hasil karya cipta mahasiswa merupakan perwujudan dari kepekaan mereka terhadap lingkungan. Dengan demikian, mahasiswa telah berani menuangkan ide/gagasan mereka dalam bentuk tulisan yang didasarkan pada realita kehidupan di Pulau Pinus Aranio. Penutup Kepekaan seseorang terhadap suatu hal dapat dipupuk melalui proses belajar. Hasil pengamatan, perenungan dan pemikiran dari mahasiswa berdasarkan objek merupakan perwujudan suatu kepekaan. Kepekaan mereka dapat disebut sebagai ide/gagasan yang dapat disampaikan secara tertulis. Kegiatan menulis merupakan kegiatan produktif oleh seorang intelektual. Dalam kegiatan tersebut diperlukan pengorganisasian ide, kemampuan bahasa dan kemampuan bersastra. Oleh karena itu, kegiatan menulis perlu dikembangkan pada pembelajaran di sekolah. Guru, siswa dan penikmat sastra lainnya dapat melakukan kegiatan menulis sastra sesuai tahapan. Daftar Rujukan Abbas, Ersis Warmansyah. 2012. Suer, Nulis Itu Mudah!. Jakarta: Gramedia. Akhadiah, dkk. 1995. Menulis. Jakarta: Depdikbud Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Ekman dalam Kurniawan dan Hasanat. 1992. Jurnal Psikologi, Volume 34 No. 1, 1-17, ISSN: 0215-8884 Fakultas Psikologi UGM. Endraswara, Suwardi. 2013. Proceedings: Literature an Nation Character Building. Banjarmasin: HISKI dan UNLAM. Jabrohim, dkk. 2003. Cara Menulis Kreatif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Kuntowijoyo. 1999. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Luxemburg, Mieke Bal, W.G. Weststeijn. 1986. Pengantar Ilmu Sastra. Jakarta: Gramedia. Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
239
Mahmudi. 2011. Pembelajaran Naskah Drama. www.respository.upi.edu/ 8506 diakses pada tanggal 17 Februari 2015. Pradopo, Rachmat Djoko. 2009. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Pradotokusumo, Partini Sardjono. 2005. Pengkajian Sastra. Jakarta: Gramedia. Rosidi, Ajib. 1995. Sastera dan Budaya: Kedaerahan Dalam Ke Indonesiaan. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya. Serly, dkk dalam Eka. 2008. Tindakan Pengekspresian. www. forum.psikologi.ugm.ac.id/index.php?topic:660 diakses pada tanggal 17 Februari 2015. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Menulis Sebagai Suatu Keterampilan Berbahasa. Bandung: Angkasa Wicaksono, Andri. 2014. Menulis Kreatif Sastra dan Beberapa Model Pembelajarannya. Yogyakarta: Garudhawaca. Widyamartaya. 1992. Seni Membaca untuk Studi. Yogyakarta: Kanisius. Winarni, Retno. 2009. Kajian Sastra. Salatiga: Widya Sari Press. Wellek, Rene dan Warren, Austin. 1993. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
240
Dwi Wahyu Candra Dewi
Pemakalah Naning Pranoto meraih gelar sarjana di bidang bahasa dan sastra dari Universitas Nasional, Jakarta (1986). Tahun 1985 studi di Sekolah Tinggi Publisistik Jakarta. Mendapat gelar masternya (MA) di bidang Chinese Studies dari Bond University Australia (2001). Mendalami bahasa Inggris di English Language Centre Monash University. Juga belajar Academic Writing and Creative Writing di University of Western Sydney Australia (1999). Belajar tentang Sastra Hijau di Parque Ecologico Tatui Porangaba Brazil (1994-1995) dan belajar Penanganan Anak-anak Terlantar di Makati Filipina (1997). Sebelum produktif menulis fiksi, ia lebih dahulu berkecimpung di dunia pers. Karirnya dimulai di Majalah Mutiara Sinar Harapan Grup (1977-78). Selanjutnya ia bekerja di Majalah Ananda Kartini Grup (1978-1980). Tahun 1981-1982, ia sebagai Pemimpin Redaksi Majalah Jakarta-Jakarta. Setelah itu merambah ke bidang penulisan naskah sandiwara radio untuk Radio BBC-London dengan produser Sanggar Pratiwi (1985-1990). Lebih jauh ia menjadi sutradara film dokumenter, menulis skenario film, skrip film-video, dokumenter dan berbagai iklan komersial maupun iklan layanan masyarakat. Tahun 2003 Naning Pranoto mendirikan Yayasan Garda Budaya Indonesia(GBI) bersama Sides Sudyarto DS. GBI bergerak di bidang kebudayaan. Kini ia sebagai Pembina Rayakultura, divisi dari GBI. Melalui Rayakultura itulah Naning dan Sides Sudtarto DS memberikan pelatihan menulis kreatif (creative writing) dan menulis ilmiah (academic writing) kepada ribuan siswa tingkat TK,SD, SLTP, SLTA, Perguruan Tinggi maupun para guru di berbagai kota di Tanah Air. Ia telah menulis 22 judul novel, 42 judul buku anak-anak, 28 textbook dan puluhan judul karya tulis ilmiah. Juga menulis ratusan judul cerpen yang dimuat di berbagai media massa. Novelnya yang berjudul Wajah Sebuah Vagina tercatat sebagai bestseller 2005. Novel Miss Lu mendapat penerimaan hangat dari masyarakat luas sebagai novel asimilasi. Novelnya Mumi Beromak Minyak Wangi dan Miss Lu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan Jerman. E-mail:
[email protected]. Mirsa Umiyati sangat tertarik pada kajian kebahasaaan sejak masih duduk di bangku SMA dengan mengambil jurusan Bahasa. Jebolan Universitas Diponegoro Semarang tahun 2002 ini meraih gelar magister ilmu linguistik di Universitas Nusa Cendana NTT tahun 2009 dan Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
241
meraih gelar doktor Linguistik di Universitas Udayana Bali pada penghujung tahun 2013. Karya ilmiah berupa tesis dihasilkan tahun 2009 berjudul Konstruksi Pasif Bahasa Jawa : Analisis Tata Bahasa Leksikal Fungsional dan disertasi dihasilkan tahun 2013 dengan judul Tipologi Perilaku Gramatikal Adjektiva Bahasa Indonesia. Mengawali karier sebagai dosen luar biasa di Universitas Nusa Cendana tahun 2009 - 2010, kemudian menjadi dosen luar biasa di Universitas Udayana sejak 2011sekarang, akhirnya ‘berlabuh’ di Universitas Warmadewa sejak 2013 sampai sekarang. Mengampu sejumlah mata kuliah pada Prodi Magister Linguistik, di antaranya tipologi bahasa, sintaksis dan language documentation. Dosen tetap pasca Unwar ini mewujudkan keinginannya mengembangkan ekolinguistik dengan membentuk group diskusi dan menjadi pimpinan group diskusi ekolinguistik tersebut. Bersama group diskusi sedang mengembangkan kajian ekosintaksis yang menjadi bagian dari analisis ekolinguistik kritis. Mirsa Umiyati juga memiliki ketertarikan yang kuat pada kajian tipologi bahasa terutama pada tipologi sintaksis. Prestasi akademis yang diraihnya adalah menjadi lulusan berpredikat Cumlaude pada jenjang magister dan doktoral. Adapun prestasi keorganisasian yang sudah diraihnya adalah (1) Ketua Himpunan Mahasiswa Jurusan pada masa studi S1; (2) Ketua Dewan Redaksi (Editor Utama) Jurnal Retorika (jurnal ilmu bahasa – kerjasama Prodi Magister Linguistik dengan HPI Bali) sejak 2014 – sekarang dan (3) Ketua MLI (Masyarakat Linguistik Indonesia) Cabang Propinsi Sulawesi Tenggara sejak 2014 - sekarang. E-mail: mir_zha78 @yahoo.co.id Dewi Alfianti lahir di Banjarmasin, 25 November 1983. Menyelesaikan pendidikan Strata 1 dan Magister di Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Lambung Mangkurat. Pernah menjadi aktivis mahasiswa, pengurus BEM tingkat Fakultas dan Universitas, pendiri komunitas teater kampus, dan pengurus Lembaga Pers Mahasiswa tingkat fakultas. Beberapa kali menjuarai lomba penulisan, diantaranya: Juara Harapan 3 Penulisan Naskah Teater se-Kalsel tahun 2000;, juara 10 Besar Non Peringkat Lomba Penulisan Puisi Aruh sastra kalsel tahun 2006, juara 1 Lomba Penulisan Puisi tingkat Unlam 2006, juara 10 Besar Non Peringkat Lomba Penulisan Puisi Aruh sastra Kalsel 2009, juara 1 Lomba Penulisan Cerpen Aruh Sastra Kalsel 2009, juara 1 Lomba Penulisan Naskah Pidato Gubernur Kalsel 2012 dan juara 1 dan juara harapan 2 penulisan esai Aruh Sastra Kalsel tahun 2013. Sekarang sebagai tenaga pendidik di almamaternya. E-mail:
[email protected] 242
Pemakalah
Hatmiati dilahirkan di Paran, sebuah desa kecil di Kabupaten Balangan, 6 April 1975. Sekarang tinggal di Kabupaten Hulu Sungai Utara. Beberapa cerpennya terbit di koran lokal, seperti Media Kalimantan, Radar Banjarmasin, dan Banjarmasin Post. Sedangkan untuk tulisan ilmiah, pernah menjadi juara 1 tingkat provinsi dalam lomba menulis karya ilmiah untuk guru tahun 2005 dan pada tahun yang sama menjadi juara 3 tingkat nasional, mengikuti seminar Internasional LAMAS III yang di adakan Universitas Diponegoro tahun 2013. Menempuh pendidikan S1 pendidikan Bahasa Indonesia di Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin tahun 1999, S2 jurusan pendidikan Bahasa Indonesia diselesaikan di Universitas Negeri Malang tahun 2004, sedangkan saat ini masih menjalani program S3 kerja sama Universitas Lambung Mangkurat dengan Universitas Negeri Malang pada Jurusan Pendidikan Bahasa Indonesia. Pekerjaan tetapnya sebagai PNS Dinas Pendidikan Kabupaten Hulu Sungai Utara. Sebelumnya menjadi guru di SMP Negeri 7 Amuntai, kemudian pada tahun 2008-2013 menjadi anggota KPU kabupaten Hulu Sungai Utara. Selain itu, juga menjadi dosen honorer pada beberapa perguruan tinggi, seperti STAI Rakha Amuntai mulai tahun 2005 sampai sekarang, STKIP PGRI Banjarmasin mulai tahun 2008 sampai sekarang, menjadi tutor UT mulai tahun 2005 sampai sekarang. E-mail:
[email protected] Tajuddin Noor Ganie (TNG), lahir di Banjarmasin, 1 Juli 1958. Sarjana S.1 PBSID STKIP PGRI Banjarmasin (2002) dan Sarjana S.2 FKIP Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin (2005). Dosen PBSID STKIP PGRI Banjarmasin untuk mata kuliah: (1) Penulisan Kreatif Sastra, (2) Pendekatan Kajian Sastra, (3) Penelitian Sastra dan Pengajarannya, (4) Kajian Sastra Banjar, (5) Kajian Puisi, (6) Kajian Prosa Fiksi, dan (7) Kajian Drama. Penerima Anugerah Pemuda Pelopor Bidang Sastra dari Menteri Negera Pemuda dan Olahraga (Ir. H. Akbar Tanjung, 1991), Hadiah Seni Bidang Sastra dari Gubernur Kalsel (Ir. H. Gusti Hassan Aman, 1998), Anugerah Astraprana sebagai Sastrawan Banjar dari Kesultanan Banjar (Sultan Haji Khairul Salleh Al Mu’tashim Billah, 2014), Anugerah Budaya dari Gubernur Kalsel (Drs. H. Rudy Ariffin, MM, 2014), dan Sastrawan Kalsel Berprestasi dari Walikota Banjarbaru (Drs. H. Ruzaidin Noor, 2014). E-mail:
[email protected] Rasiah, lahir di Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara pada tanggal 6 September tahun 1980. Pada tahun 1998-2003 menempuh program pendidikan S1 di Universitas Halu Oleo Kendari, jurusan pendidikan Bahasa Inggris. Kemudian pada tahun 2003 melanjutkan pendidikan S2 di Universitas Gadjah Mada mengambil jurusan Ilmu Sastra dan selesai Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
243
tahun 2005. Dan pada tahun 2013 kembali melanjutkan pendidikan S3 di Universitas Gadjah Mada pada program studi pengkajian Amerika (American Studies). Sekarang ini penulis mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Halu Oleo, Kendari. E-mail:
[email protected]. Fatchul Mu’in, lahir pada 4 Maret 1961 di Blitar, Jawa Timur. Pendidikan Dasar dan Menengah dilaluinya di Sekolah Dasar Islam Wahid Hasyim di kampung tempat kelahirannya, Tanjungsari (lulus tahun 1974) dan Pendidikan Guru Agama 4 Tahun di Kota Blitar (lulus tahun 1979), dan Madrasah Aliyah Negeri di Tlogo, Kanigoro, Kabupaten Blitar (lulus tahun 1981). Gelar kesarjanaannya (S-1) diperoleh dari Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, Fakultas Sastra, Universitas Diponegoro, Semarang (masuk tahun 1982 dan lulus tahun 1987). Menjadi staf pengajar pada Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin mulai tahun 1989 hingga sekarang. Pada tahun 1998, dia melanjutkan studi ke Program Pascasarjana (S-2) Kesusastraan Amerika, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta dan lulus tahun 2001. Tesisnya “Richard Wright’s Native Son: A Study of White Domination and Its Effects on African-Americans” diterbitkan menjadi buku dengan “White Racism in Native Son, AfricanAmericans in the United States of America”. Persoalan rasisme masih dia tekuni dan diwujudkan dalam disertasinya dengan tajuk “Perilaku Budaya Etnik Tionghoa dalam Wacana Novel Indonesia”. Karya-karyanya berupa artikel, esai dan makalah banyak bersinggungan dengan masalah bahasa, sastra, seni, pendidikan, dan politik. Buku–bukunya berjudul “Sociolinguistics: An Introduction” (ditulis bersama Sirajuddin Kamal) dan “Introduction to Linguistics” (ditulis bersama Nanik Mariani). Menjadi penyunting “FKIP in Waiting (bersama Sainul Hermawan). Sejak 2007 menjadi Ketua Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Lambung Mangkurat Banjarmasin. Sejumlah artikel dan esainya juga bisa dibaca dalam “Maungkai Budaya, Esai-esai Kontemplatif tentang Bahasa, Sastra, Seni, Pendidikan dan Politik. E-mail:
[email protected] Sainul Hermawan, staf pengajar di Program Studi pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP), Universitas Lambung Mangkurat (Unlam), Banjarmasin, Kalimantan Selatan sejak 2005. Menyelesaikan pendidikan sarjananya di Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Islam Malang, Jawa Timur (1997) dan pasca-sarjananya di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2003). Kandidat
244
Pemakalah
doktor dalam bidang Kajian Tradisi Lisan di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat. E-mail;
[email protected]. Puji Retno Hardiningtyas, lahir di Kabupaten Grobogan, 9 Maret 1981. Menyelesaikan pendidikan S-1 pada Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang tahun 2004 dan S-2 pada Program Studi Konsentrasi Wacana Sastra, Jurusan Linguistik, Pascasarjana, Universitas Udayana tahun 2012. Tahun 2006—hingga sekarang, bekerja sebagai peneliti muda di Balai Bahasa Provinsi Bali. E-mail:
[email protected]. Linny Oktovianny, lahir di Palembang, 31 Oktober 1972. Alumni S2 FKIP Pendidikan Bahasa, Universitas Sriwijaya. Sekarang bekerja di Balai Bahasa Provinsi Sumatera Selatan. Publikasi ilmiah nasionalnya antara lain: “Bengkel Sastra: Salah Satu Upaya Peningkatan Apresiasi Sastra, Seminar Nasional dan Temu Alumni Bahasa dan Sastra”, universitas Sriwijaya (2006), “Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia: Peluang dan Tantangan”, Seminar dan Lokakarya Pengujian Bahasa, Jakarta (2010), dan “Implementasi Pembelajaran bahasa Indonesia Berbasis Teks dalam Kurikulum 2013, Seminar Nasional Bahasa Indonesia dan Kurikulum 2013”, Universitas Islam Ogan Ilir, Kayuagung, Kabupaten Ogan Komering Ilir (2014). Publikasi ilmiah internasionalnya antara lain: “Syaraf Al Anam: Dari Naskah Menjadi Tradisi” Manassa X (2006), “Sistem Sapaan Bahasa Besemah”, Atma Djaja (2009), “Cerita Puyang Sumatera Selatan: Citra, Identitas, Mitos, dan Filosofi sebagai Kekuatan Sosial Budaya”, Austronesia, Universiti Sain Malaysia, pulau Penang (2010), “Situasi Kebahasaan di Palembang: Antara Bebaso dan Baso Palembang Seari-ari”, Austronesia, Univ. Udayana, Denpasar (2010), dan “Dulmuluk dari Syair Menjadi Seni Pertunjukan”, International Conference on Islam Nusantara, UIN Jakarta (2014). Email: linnyoktovianny @yahoo.com Sumasno Hadi, lahir di Metro, Lampung, 8 Maret 1983. Alumni S1 Pendidikan Seni Musik, Fakultas Bahasa daan Seni, UNY. S2 Master Ilmu Filsafat, Fakultas Filsafat, UGM. Bekerja sebagai dosen pada Prodi Pendidikan Sendratasik FKIP Unlam, dosen Filsafat di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan IAIN Antasari, dan Instruktur di Sekolah Musik Senada Musika Indonesia Banjarmasin. Publikasi Ilmiahnya antara lain: “Hakikat Bahasa”, Majalah Horison Online, Dipublikasikan pada 7 Juni 2011; “Pemikiran Sutan Takdir Alisyahbana tentang Nilai, Manusia dan Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
245
Kebudayaan”, Jurnal Filsafat Wisdom UGM, Vol. 21 No. 02 Tahun 2011; “Konsep Humanisme Yunani Kuno dan Perkembangannya”, Jurnal Wisdom Fakultas Filsafat UGM, Vol. 22 No. 02 Tahun 2012; “Ujian Nasional dalam Tinjauan Filsafat Pendidikan Pragmatisme”, Jurnal Al Adzka Jurusan PGMI IAIN Antasari, Vol. IV No. 01, Januari 2014. Email:
[email protected] Nailiya Nikmah lahir di Banjarmasin, 9 Desember 1980. Sejak kecil menyukai sastra dan menggemari baca tulis. Nailiya pernah aktif di Komunitas Sastra Indonesia (KSI) Cabang Banjarmasin dan Forum Lingkar Pena (FLP) Wilayah Kalimantan Selatan. Studi terakhirnya di Program Pascasarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah. Sekarang ia menjadi pengajar Bahasa Indonesia di Politeknik Negeri Banjarmasin, sering menjadi pembicara pada seminar, pelatihan, workshop, diskusi, bedah buku seputar kesusastraan dan keterampilan berbahasa. Nailiya menulis artikel ilmiah, cerpen, puisi, esai dan novel. Beberapa karyanya yang telah dibukukan adalah Nyanyian Tanpa Nyanyian (Antocer bersama-9 penulis perempuan Kal-Sel, 2007), Menulis itu Mudah (esai bersama, 2008), Konser Kecemasan (Kumpulan Puisi Lingkungan Hidup/Puisi bersama, 2010), Rindu Rumpun Ilalang (antocer sendiri, 2010), cerpennya “Dongeng dalam Becak” termasuk dalam buku Kalimantan dalam Prosa Indonesia (2011). Buku lainnya, yaitu Pelangi di Pelabuhan (kumcer bersama FLP Kalimantan Selatan, 2011), Antologi Bersama-Puisi Religius Indonesia “Para Kekasih” (2011), Ketika Api Bicara (antocer HSU, 2011), Senja di Teluk Wandoma (antocer nasional bersama, 2011) dan Kiat Menulis dan Cerpen Pilihan (antologi bersama penulis HSU, 2012). Cerpennya “Mangadap Langit” pernah terpilih sebagai juara harapan III Lomba Menulis Cerpen Bahasa Banjar Se-Kalimantan Selatan, Disbudpar. Cerpen ini terdapat dalam buku antologi kisdap Malam Kumpai Batu (2012). Beberapa Puisi Nailiya juga ada dalam Antologi Aruh Sastra 2013 Tadarus Rembulan. Puisinya “Romansa Tanah Basah” termasuk dalam 15 nominasi lomba menulis puisi Aruh Sastra Kalsel 2013 sedangkan novelnya Sekaca Cempaka terpilih sebagai novel unggulan dalam lomba menulis novel Aruh Sastra Kalimantan Selatan 2013. Juli 2014, Sekaca Cempaka diterbitkan oleh Quanta. E-mail:
[email protected] Nining Nur Alaini lahir di Kediri, 10 Agustus 1973. Bekerja di Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat. E-mail:
[email protected]
246
Pemakalah
Dewi Nastiti L., lahir di Jakarta, 23 September 1980. Bekerja di Kantor Bahasa Provinsi Nusa Tenggara Barat sejak 2005 hingga sekarang sebagai peneliti bahasa. Menyelesaikan Program Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Negeri Jakarta pada 2003 dan menamatkan Program Magister Pendidikan Bahasa di Universitas yang sama pada 2010. Tahun 2007, menjadi relawan penyakit lupus di Yayasan Syamsi Dhuha Foundation dan pada tahun 2012 bersama penyandang lupus dan dokter pemerhati lupus di NTB, mendirikan Komunitas Penyakit Lupus, Bale Kupu. E-mail:
[email protected] Dwi Wahyu Candra Dewi, lahir di Desa Betekan yang terkenal dengan Hutan Jati, Kabupaten Blora, pada tahun 1983. Alumni FKIP PBSID UNS Surakarta (2005) dan Pascasarjana Pendidikan Bahasa Indonesia UNNES Semarang (2009). Hijrah ke Banjarmasin pada 2009 untuk bergabung di PBSI FKIP UNLAM sebagai tenaga pengajar. Mata kuliah yang diampu: Sejarah Sastra, Teori Sastra, Sanggar Sastra, dan Menulis Kreatif Sastra. Pernah membawakan artikel “Mamanda Sebagai Sarana Pemasyarakatan Bahasa” dalam pertemuan ilmiah PIBSI XXIII (2011) di Semarang. Penelitian sastra yang pernah dilakukan: “Fungsi Cucupatian (teka-teki) Banjar (2012), Tinjauan Etmonologi Musik Kuriding Suku Dayak Bakumpai Kabupaten Barito Kuala Kalimantan Selatan (2013)”. Ketertarikan untuk menggali potensi generasi muda dalam sastra diterapkan dalam pembelajaran formal dan informal sebagai pembimbing mata kuliah dan pembina teater. E-mail:
[email protected].
Makalah Ekologi Bahasa dan Sastra
247
248
Pemakalah