Perjuangan Meraih Cita-cita
Matahari terik membakar ubun-ubun kepala. Senin pagi ini di SMA Negeri 1 Batangan telah berjejer rapi menghadap tiang bendera sekaligus pembina upacara hari ini. Pukul 08.00 pagi, belum terlalu siang. Tapi matahari seolah membakar kulit anak-anak yang terjemur di tengah lapangan upacara. Panasnya matahari pagi itu membuat konsentrasi anak-anak lebih kepada melindungi kulit mereka dari sengatan matahari daripada celotehan Pembina upacara mereka. Kalaupun mereka mendengar hanya sekadar mendengar, tidak menyerap dan mencerna isi dari celotehan bahkan hanya akan membuat panas suasana. Sudah hampir dua jam ratusan anak berdiri dengan wajah lelah melakukan kewajiban untuk negara mereka meskipun dilakukan dengan terpaksa. Waktu yang telah mereka tunggu bahkan sebelum upacara dimulai telah datang. Waktu dimana upacara berakhir. Entah ini kesalahan sekolah, orang tua atau anak-anak itu sendiri yang tidak memiliki jiwa patriotisme. Entahlah, tidak ada yang bisa dimintai pertanggung jawaban atas masalah ini. Anak-anak bubar menuju ke kelas mereka masing-masing. Bersiap menerima perang selanjutnya. Pelajaran-pelajaran yang akan menjejal penuh di kepala mereka. Ya! Mereka yang memang hanya sekolah karena perintah orang tua, mereka yang hanya sekolah hanya karena teman-teman merekapun melakukannya. Mereka yang sekolah hanya karena tidak ada kerjaan lain selain itu. Tapi, tidak untuk seorang gadis manis berjilbab yang selalu mendapat juara sejak ia masih kecil. Lusi. Lusiana Emawati atau yang akrab disapa Lusi ini adalah salah satu siswa kelas dua belas yang cukup rajin dibandingkan teman-temannya yang lain. Tidak heran jika ia selalu mendapat juara umum selama mengenyam pendidikan di SMA ini. Kerajinannya selama ini bukanlah tanpa
alasan, ia sangat ingin bisa menggapai cita-citanya menjadi seorang dokter. Terlebih dokter spesialis kanker, mengingat kakak perempuan satu-satunya meninggal akibat penyakit menyeramkan tersebut. Sejak saat itulah ia bertekad ingin mengobati pasien-pasien sakit terutama yang mengidap kanker supaya tidak ada lagi orang yang merasakan sakitnya kehilangan seperti apa yang ia rasakan. Satu-satunya kakak sekaligus satu-satunya saudara yang ia punya tidak lagi bisa menemaninya. Lusi merasa rindu dengan semangat kakaknya yang juga memiliki cita-cita yang sama dengannya. Memiliki semangat belajar yang sama tinggi dengannya. Memiliki rasa kasih yang sama besar dengannya. Banyak hal yang dapat ia pelajari dari kakaknya. Dari tabah menghadapi setiap cobaan, sabar dalam menempuh kehidupan hingga sikap rajin yang juga ia cermini dari kakaknya hingga ia mendapatkan beasiswa untuk bisa sekolah di SMA yang termasuk sekolah favorit ini. Lusi selalu menikamati setiap pelajaran yang diberiakan guru. Ia selalu mudah menyerap ilmu yang diberikan. Tak heran banyak guru yang menyukainya. Meskipun begitu tak pernah ada sikap angkuh yang hinggap didirinya. Jangankan menjadi kebiasaan, membayangkannya saja ia tak pernah. Ia selalu bersikap seolah ia sama seperti anak-anak lain. Apalagi, ia hanya sekolah bermodalkan beasiswa, berbeda dengan anak-anak yang lain. Teman-temannya yang membayar sekolah dengan uang orang tua mereka, ditambah uang jajan yang pastinya juga tidak sedikit. Sedangkan ia, bisa sekolah saja ia sudah sangat bersyukur. Itupun alasan lain kenapa ia harus belajar giat. Ya! Demi mendapat beasiswa. Mendapat beasiswa agar ia bisa menjadi apa yang ia inginkan sejak dulu. Dokter! Lusi selalu belajar dengan giat. Waktu istirahat yang oleh anak-anak lain digunakan untuk meloloskan beban pikiran dari pelajaran-pelajaran yang menyesakkan kepala digunakan oleh Lusi membaca berbagai buku yang sempat ia baca selama istirahat di perpustakaan. Seolah
perpustakaan menjadi kelas keduanya baginya. Lusi selalu memiliki ruang khusus bagi ilmu pengetahuan yang baru. Tidak ada pelajaran yang tidak ia sukai. Hampir semua mata pelajaran ia kuasai dengan lancar terutama di bidang ilmu pasti. Hidupya selalu dipenuhi dengan belajar seolah belajar adalah hobi utamanya sebagai pelajar. Baginya, belajar adalah hal yang paling menyenangkan yang sering ia lakukan. Mendapat ilmu baru, adalah hal yang paling menyenangkan. Orang tua Lusi selalu mendukung apa yang dilakukan oleh anaknya. Mereka berusaha keras demi mewujudkan cita-cita anak yang saat ini menjadi anak semata wayangnya ini untuk menjadi dokter. Bekerja apapun asalkan itu halal dan menghasilkan akan mereka lakukan demi kebahagiaan anaknya. Mereka tidak ingin keinginan Lusi terbuang sia-sia hanya karena orang tuanya tidak memiliki biaya untuk menyekolahkannya. Cukup mereka yang tidak dapat mengenyam pendidikan tinggi, jangan anak-anaknya. Karena itu pulalah, Lusi semakin semangat untuk belajar demi membanggakan orang tuanya. Tidak ada yang dapat ia lakukan selain belajar dengan rajin. Tidak ada yang dapat ia lakukan selain meraih prestasi emas untuk membuat orang tuanya menitikkan air mata bahagia. Musim ujian mulai merayap mendekati siswa-siswa kelas dua belas SMA. Lusi mulai sibuk dengan pelajaran. Hari-hari yang biasanya sudah dihabiskan demi mengonsumsi pelajaran yang mungkin bagi orang lain mampu membuat kepala mereka pecah, justru bagi Lusi inilah caranya refreshing. Apalagi saat ini adalah waktu menjelang ujian seperti ini. Hidupnya seakan sudah dideklarasikan untuk pelajaran-pelajaran yang bagi orang lain adalah bencana. Lusi terlalu mensortir tubuhnya untuk belajar. Ia hamper tidak tidur atau tidurnya menjelang pagi hanya untuk belajar. Ia tidak mementingkan lagi apa yang akan terjadi pada dirinya jika ia terlalu memaksakan diri.
Sebelum ini, bahkan sejak masuk kelas dua belas, ia sudah mulai begadang hanya demi memahami pelajaran-pelajaran sekolahnya. Apalagi, saat ini adalah masa dimana orang lain mulai belajar giat, sedangkan ia memasuki fase pemaksaan diri. Memang secara batin ia merasa tidak terbebani. Tapi, ia tidak memikirkan apa yang akan diterima oleh tubuhnya bila hanya untuk istirahat saja tubuhnya tidak sempat. Otaknya yang meskipun terbiasa dengan hal-hal yang berbau eksak, tapi ia juga butuh istirahat. Sebulan sebelum perang bagi anak-anak kelas dua belas mulai membuat anak-anak semakin, entah antusias karena ingin segera melepas jabatan siswa dan menggantinya menjadi mahasiswa. Menggapai angan-angan yang memang sudah mereka rajut sejak dini. Ataukah hanya sekadar muak dengan apa yang mereka hadapi selama bertahun-tahun sekolah. Sudah mulai malas dengan pelajaran-pelajaran yang sejak kecil sudah menjejal sesak otak mereka. Ahh entahlah, siapa yang tahu? Sebulan sebelum itu pula, selama satu minggu Lusi dengan terpaksa harus meninggalkan hobi belajarnya. Karena, akibat dari kebiasaanya itulah, ia harus mendekam di rumah selama empat hari dan istirahat dirumah selama dua hari. Tapi, bahkan disaat semua organ-organ tubuhnya memberontak untuk istirahatpun, ia masih menyempatkan diri untuk belajar. “Masih kurang tiga minggu lagi, Bun. Lusi sudah gak bisa ikut TO terakhir yang diadakan sekolah. Jadi, Lusi harus belajar sendiri, latihan soal sendiri.” Jawabnya ketika ibunya menyarankan untuk istirahat. Entah disebut apa sikapnya ini. Pekerja keras atau keras kepala atau gabungan dari keduanya pekerja keras yang keras kepala. Pikirannya benar-benar terpaku pada cita-citanya yang ia yakini hanya dapat ia capai dengan belajar keras. Lusi merasa sembuh, atau ia tidak pernah menganggap dirinya sakit. Lusi tidak pernah tahu bahwa hampir setengah dari tabungan kedua orang tuanya habis untuk pengobatannya
selama ia di rumah sakit. Biaya rumah sakit yang mahal dan obat-obatan yang juga menguras kantong orang tuanya membuat kedua orang tua Lusi harus bekerja lebih giat untuk mendapatkan rezeki yang lebih. Orang tua Lusi sadar bahwa cita-cita anak mereka membutuhkan biaya yang sangat banyak. Mereka pernah mendengar bahwa untuk menjadi dokter, biaya kuliahnya sangat tinggi. Bahkan hingga ratusan juta, materi yang hanya bahkan membayangkan saja mereka tidak berani, apalagi menjadikannya itu nyata. Harus butuh berpuluh-puluh tahun mungkin mereka yang pada kenyataannya hanya bekerja sebagai buruh untuk bisa mendapatkan uang yang nol-nya banyak. Belum berhenti sampai disana cobaan untuk keluarga Lusi. Seminggu sebelum Ujian Nasional, ayah Lusi masuk rumah sakit. Berkurang lagi tabungan yang rencananya akan digunakan sebagai biaya kuliah Lusi. Selama ini, Lusi memang dilarang untuk ikut campur tentang keuangan keluarga. Jadi, ia tidak tahu-menahu perihal kondisi tabungan keluarganya yang mulai sekarat. Lusi tetap belajar sambil menjaga ayahnya yang sudah dua hari menetap di rumah sakit. Ayahnya yang sudah sejak lama mengidap penyakit kanker paru-paru karena kebiasaan merokok beliau. Sebenarnya, kebiasaan merokok tersebut sudah dikurangi semenjak Lusi masuk rumah sakit karena demi menekan pengeluaran keluarga mereka dan demi menambah tabungan yang cukup terkuras. Tapi, karena memang penyakit yang sudah lama bersarang di paru-paru yang lama tidak mendapat perhatian itulah akhirnya menjadi semakin parah. Semakin hari, keadaan ayah Lusi semakin parah. Tiga hari menjelang UN, akhirnya ayah Lusi pergi meninggalkan keluarganya. Lusi merasakan lagi bagaimana rasanya kehilangan, parahnya lagi oleh penyakit yang sama. Kanker! Itu membuatnya semakin membenci kanker dan bertekad untuk menjadi dokter. Bagaimanapun caranya, ia harus bisa mewujudkan cita-citanya.
Ia ingin membuat kakak dan ayahnya tersenyum dari surga demi melihat Lusi dapat meraih citacita terbesarnya. Ia juga ingin membuat ibunya merasa bangga memiliki seorang anak yang akhirnya sukses. Ujian Nasional yang akhirnya telah terlewat, membuat Lusi semakin disibukkan dengan acara mendaftar di Universitas Negeri yang ia impikan sejak kecil agar dapat menjadikannya menjadi seorang dokter. Ia juga mengajukan beasiswa agar biaya kuliahnya menjadi lebih ringan, atau kalau memungkinkan ia akan berusaha keras agar ia mendapat beasiswa yang membuatnya tidak perlu membayar sepeserpun. Beberapa bulan penantiannya perihal pengumuman UN, diterimanya sebagai PTN keinginannya dan sebuah beasiswa yang ia ajukan berangsur-angsur memberikan respon positif. Nilai UNnya cukup memuaskan, ia tetap menjadi juara umum di sekolahnya. Belajarnya selama ini membuahkan hasil yang maksimal. Tidak sia-sia sampai ia harus mendekam di rumah sakit. Minggu berikutnya, ia diterima di PTN impiannya sekaligus beasiswa yang juga ia ajukan meloloskan namanya dari banyaknya nama yang mendaftar. Hal itu yang nantinya akan membawanya menuju gerbang kesuksesan. Sayang, ayah dan kakaknya tidak bisa menyaksikan langsung awal kesuksesannya yang ia perjuangkan selama ini. Ibu Lusi menangis terharu karena selain nilai anaknya yang memang cukup membuatnya bangga dengan anaknya, pula ia merasa bangga karena ananknya mampu membuka gerbang impiannya sendiri bahkan tanpa biaya yang berarti. Perasaan haru menyelimuti keluarga Lusi. Lusi bersyukur pada Tuhan. Tidak sia-sia selama ini keyakinannya bahwa Tuhan tidak akan meninggalkannya.