PERS, KASUS UDIN DAN WACANA KEBEBASAN PERS DI INDONESIA
Oleh: SATRIA LOKA WIDJAYA NIM 109051100073
KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H/ 2016 M
Nama : Satria Loka Widjaya NIM : 109051100073
Pembimbing: Rubiyanah M.A.
ABSTRAK Pers, Kasus Udin, Dan Wacana Kebebasan Pers di Indonesia Kasus kematian Fuad Muhammad Syafrudin atau Udin, Wartawan Berita Nasional, belum menemukan titik terang. Kasus yang terjadi delapan belas tahun silam akan memasuki masa daluwarsa bila tidak selesai. Hal ini merujuk pada Pasal 78, ayat 1, angka 4, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Melihat fenomena itu Majalah Tempo membuat laporan khusus bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin “Bernas”. Uraian tersebut dapat menimbulkan beberapa petanyaan. Pertama Bagaimana Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers pada pemberitaan kasus Udin? Selanjutnya, Bagaimana Kognisi Sosial yang melatarbelakangi Majalah Tempo sehingga mewacanakan kebebasan pers dalam pemberitaan kasus Udin? Kemudian, Bagaimana Konteks Sosial Majalah Tempo pada pemberitaan kasus Udin? Dalam pemberitaannya, Majalah Tempo menilai bila kasus Udin tidak selesai maka akan menjadi ancaman terhadap kebebasan pers di Indonesia. Mereka berkilah pemberitaan yang mereka buat sebagai ikhtiar melawan lupa dan upaya menegakan keadilan serta kebebasan pers di Indonesia. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis dengan pendekatan kualitatif. Paradigma konstruktivis menilai bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan. Peneliti memertajam daya analisis menggunakan metode analisis wacana Teun A. Van Dijk. Analisis ini mengaitkan tiga dimensi: analisis teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Peneliti menganalisis pemberitaan mengenai Laporan Khusus, Bukti Baru Pembunuhan Udin “Bernas” Majalah Tempo edisi 10-16 November 2014. Kemudian menyimpulkan hasil temuan dari analisis pemberitaan tersebut. Hasil dari penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu memberikan gambaran tentang bagaimana Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers terkait kasus Udin. Berdasarkan hasil penelitian, pada tataran teks Majalah Tempo menggambarkan upaya mereka dalam membongkar kasus Udin. Mereka menemukan sebuah memo bertanda tangan Sri Roso Soedarmo, Bupati Bantul saat Udin tewas. Majalah Tempo secara tegas menyatakan berpihak pada Udin. Mereka menilai apa yang mereka lakukan sebagai wujud aspirasi suara wartawan dan masyarakat umum yang menolak segala bentuk kekerasan di Indonesia. Pada akhirnya peneliti mendapatkan adanya keberpihakan media pada suatu fenomena. Keberpihakan tersebut membuat media menggiring opini masyarakat melalui wacana yang mereka buat dalam rapat redaksi. Pada pemberitaan kasus Udin Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers di Indonesia dengan tetap menghadirkan fakta dan keseimbangan berita dalam pemberitaan mereka. Kata Kunci: Kebebasan Pers, Majalah Tempo, Wacana Teun A. Van Dijk
i
KATA PENGANTAR Puji syukur peneliti panjatkan atas kehadirat Allah SWT, karena atas berkat rahmat dan kuasa-Nya peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan kepada Nabi Besar Muhammad SAW, serta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Alhamdulillah, akhirnya peneliti dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pers dan Kebebasannya di Indonesia, Analisis Terhadap Laporan Khusus Bukti Baru Pembunuhan Udin “Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November 2014”. Penelitian ini merupakan persyaratan dalam memperoleh gelar Strata 1 (S1), di lingkungan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Peneliti secara khusus ingin mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua peneliti, Amin dan Budiyarti, yang selama ini selalu percaya bahwa anaknya pasti akan menyelesaikan pendidikan S1, meskipun terkadang cemas menanyakan kapan akan lulus. Selain itu mereka selalu mengajarkan agar peneliti menjadi manusia yang lebih baik, bermanfaat, dan bisa membanggakan. Terima kasih juga karena telah memberikan semangat dan kasih sayang yang tidak pernah ada hentinya. Semoga mereka selalu dalam lindungan Allah SWT dan selalu diberikan kesehatan oleh-Nya. Setelah berjuang beberapa bulan mengerjakan penelitian ini, Peneliti menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Peneliti yakin skripsi ini tidak akan berjalan baik dan lancar tanpa adanya bantuan dan motivasi dari pelbagai pihak. Oleh karena itu peneliti mengucapkan terima kasih kepada
ii
1.
Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Dr. H. Arief Subhan, M.A. Wakil Dekan I Bidang Akademik, Dr. Suparto, M. Ed, Ph.D. Wakil Dekan II Bidang Administrasi Umum, Drs. Jumroni, M.Si, serta Wakil Dekan III Bidang Kemahasiswaan, H. Sunandar, M.A.
2.
Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Kholis Ridho, M.Si. serta Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik Dra. Hj. Musfirah Nurlaily, M.A. yang selalu berkenan membantu peneliti dalam hal perkuliahan.
3.
Dosen Pembimbing, Rubiyanah M.A. Terimakasih peneliti ucapkan karena telah sabar dan meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, ilmu, dan motivasi hingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga selalu menjadi dosen yang membanggakan dan istimewa di hati mahasiswa.
4.
Segenap Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak memberikan ilmu serta pengalaman kepada peneliti selama menuntut ilmu di Jurusan Jurnalistik
5.
Seluruh staf dan karyawan Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah membantu peneliti dalam urusan administrasi selama perkuliahan dan penelitian skripsi.
6.
Redaksi Majalah Tempo yang dengan senang hati menjadi subjek peneliti. Terlebih kepada Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, yang telah meluangkan waktunya dan memberikan informasi kepada peneliti untuk menyelesaikan penelitian ini.
7.
Kakak Peneliti, Aliem Widjaya yang menjadi teman bertengkar peneliti.
8.
Arip Spd. Teman peneliti dalam berdiskusi dan mengutarakan pendapat
iii
9.
Forum Alumni PMR 169 Jakarta (FAPSES) tempat peneliti berorganisasi dan berkembang, terlebih kepada Elon Ruslan yang selalu menjadi penasihat peneliti dalam berdiskusi dan bertukar pikiran
10. Korps Suka Relawan (KSR) Unit Markas PMI Kota Jakarta Barat wadah menyalurkan hobi dan melaksankaan tugas kemanusiaan. 11. Abdurachman dan Nurmawa Zibali yang selalu mendukung peneliti dengan cara yang tidak biasa 12. Keluarga besar Korps Suka Relawan PMI Unit Perguruan Tinggi UIN Jakarta. 13. Rekan-rekan Unit Transfusi Darah Pusat (UTDP) PMI, tempat peneliti bekerja saat ini. Terlebih kepada dr Sri Hartaty M. Biomed Dahlia, Endang Dwi Astuti, Elia Rahmania, Nurodin, Enjang Kurniawan, dan Mas Dimyati rekan di Bidang Rekruitmen dan Pembinaan Donor. 14. Kepada Redaksi Majalah Muzakki, tempat peneliti mengaplikasikan Ilmu yang peneliti dapatkan di bangku kuliah. Terlebih Bapak Dedy dan Ibu Tinto 15. Biro Humas Markas Pusat PMI yang mendukung peneliti menyelesaikan penelitian ini. Khususnya Aulia Arriani, Indra Yogasara, Anggun Pemana Sidiq, Khaerul Shaleh yang memberikan akses, ilmu, dan tempat peneliti mempraktikan ilmu jurnalistik di lingkungan Markas Pusat PMI. 16. Rekan-rekan Posko Bencana Markas Pusat PMI yang memberikan peneliti akses menginap dan menggunakan sarana dan prasarana yang ada. 17. Teman-teman diskusi, bercanda, dan segalanya di Konsentrasi Jurnalistik B 2009 (Ilham Adiansyah, Hilman Fauzi, Ali Mansur, Khaerunuzulla, Sigit Lincah Hadmadi, Dewi Febrianti, M Fikri Halim, Bobby Alexander, Angga
iv
Bima, Yusuf Gandang P, Abdul Aziz, Putri Nurazizah, Mekar Ayu L, Putri Buana T D, Devit Rubianto, Samsul Arifin, Arintika, Fauziah Mursid, Adjri Septiani, Hilda Savitri, Ima Rahmawati, Dewi Rifqina, Turi Miasih, Andini Apriliana, Marisha Arianti A, Devi Cahyo P, Nur Fitriyani, Hafsa Tia A, Lindawati, Puti Hasanatu S), juga yang sudah gugur (Rian, Opang, Riski “cimeng”, Lulu, Akmal, Degam), dan seluruh teman sekelas termasuk Jurnalistik A. 18. Terakhir kepada Siti Yulianti Wanita yang akan peneliti jadikan istri dan pendamping hidup. Ia manusia yang sangat berjasa terhadap penyelesaian penelitian ini.
Akhirnya peneliti hanya mampu mengucapkan terimakasih dan semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka. Peneliti menyadari skripsi ini masih belum mencapai kesempurnaan namun peneliti telah berusaha semaksimal mungkin untuk dapat menyelesaikannya dengan baik. Peneliti memohon maaf apabila masih ada kesalahan dan kekurangan dalam penelitian ini. Peneliti berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca. Aamiin.
Jakarta, 16 Juni 2016
Satria Loka Widjaya Nim: 10905110007
v
DAFTAR ISI ABSTRAK ... .............................................................................................
i
KATA PENGANTAR ... ............................................................................
ii
DAFTAR ISI... ...........................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR .. ..............................................................................
viii
DAFTAR TABEL ... ..................................................................................
ix
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang Masalah
1
B.
Batasan dan Rumusan Masalah
5
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
6
D.
Tinjauan Pustaka
8
E.
Metodologi Penelitian
9
F.
Sistematika Penulisan
16
KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL A. Kajian Teoritis 1.
Konstruksi Sosial Atas Realitas
18
a.
Sejarah Teori Konstruksi
18
Teori Konstruksi Sosial
19
b. 2.
17
Konstruksi Realitas di Media Massa
B. Kerangka Konseptual 1.
C.
21 24
Analisis Wacana
24
a.
Teks
26
b.
Kognisi Sosial
28
c.
Konteks Sosial
29
Kebebasan Pers
31
1.
Pengertian Kebebasan Pers
31
2.
Kasus Kebebasan Pers di Indonesia
34
vi
D.
BAB III
BAB IV
Pers
46
1.
Definisi Pers dan Jurnalistik
46
2.
Perkembangan Pers di Indonesia
49
3.
Fungsi dan Peran Pers di Indonesia
54
GAMBARAN UMUM MAJALAH TEMPO A. Sejarah dan Perkembangan Majalah Tempo
57
B. Visi dan Misi Tempo Inti Media
59
C. Struktur Redaksi Majalah Tempo
60
TEMUAN DAN ANALISIS DATA A. Wacana Kebebasan Pers di Majalah Tempo
BAB V
70
1.
Analisis Teks “Memo Sebelum Malam Jahanam”
71
2.
Analisis Teks “Tamu-tamu Misterius di Patalan”
87
B. Analisis Kognisi Sosial
100
C. Analisis Konteks Sosial
109
D. Interpretasi Penelitian
112
PENUTUP A.
Kesimpulan
130
B.
Saran
133
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
vii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Struktur Wacana Model Teun A. Van Dijk
15
Gambar 2.1 Proses Terjadinya Konstruksi Media Massa
22
viii
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Struktur Teks Menurut Teun A. Van Dijk
28
Tabel 4.1 Kerangka Analisis Data “Memo Sebelum Malam Jahanam”
84
Tabel 4.2 Kerangka Analisis Data “Tamu-tamu Misterius di Patalan”
98
ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kasus Kematian Fuad Muhammad Syafruddin pada tahun 1996 kembali dirilis Majalah Tempo edisi 10-16 November 2014. Pada rubrik tersebut Majalah Tempo mengulas secara mendalam kejanggalan kasus penganiyaan berujung maut, Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan harian Bernas. Majalah yang terpuruk akibat arogansi rezim Orde Baru ini membuat 12 sub topik pada laporan khusus bertajuk, Bukti Baru Pembunuhan Udin. Menggunakan gaya bahasa lugas dan kritis, khas Tempo Media Group, Majalah ini juga memuat ilustrasi rangkaian pembunuhan ayah dua anak tersebut. Kasus pembunuhan Udin berbeda dengan kasus pembunuhan lainnya. Bila kasus pembunuhan lain karena beberapa faktor seperti pemerkosaan, perampokan, sakit hati, hutang-piutang, perselingkuhan, dan kekerasan, namun Udin dibunuh karena berita. Udin gugur dan menjadi tumbal rezim Orde Baru karena tulisannya mengusik Bupati Bantul, Kolonel Art Sri Roso Sudarmo. Jauh hari sebelum pembunuhannya, lima tahun sebelum Udin dianiaya hingga tewas, Ia kerap didatangi orang yang memintanya dengan halus agar ia tidak menulis suatu berita terlalu keras. 1 Udin dianiaya orang tidak dikenal di rumahnya, Dusun Gelangan Samaro, Jalan Parangtritis Km 13, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Selasa, 13 Agustus 1996, pukul 23.30 WIB. Ia menghembuskan nafas terakhirnya, Jumat, 16 Agustus 1996, pukul 16.50 WIB, setelah koma selama tiga hari dan menjalankan operasi otak di Rumah Sakit Bethesda Yogyakarta. Udin meninggal 1
Noorca M. Massardi, dkk, Udin Darah Wartawan: Liputan Menjelang Kematian, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h. 153.
x
2
akibat luka di kepala karena hantaman sebatang besi. Sejumlah pihak menduga kematian Udin memiliki keterkaitan dengan pemberitaan yang sering ia buat. Ia kerap menulis berita kritis tentang kebijakan pemerintah Orde Baru dan militer. Beberapa tulisan Udin yang fenomenal adalah “3 kolonel yang maju dalam bursa pencalonan Bupati Bantul”, “Soal Pencalonan Bupati Bantul: Banyak ‘Invisible Hand’ Pengaruhi Pencalonan”, ”Di Desa Karangtengah, Imogiri, Bantul, Dana IDT Hanya Diberikan Separo”, dan “Isak Tangis Warnai Pengosongan Parangtritis”. Sebelum dihabisi, ia berhasil membongkar kasus penyuapan Sri Roso Sudarmo kepada yayasan Dharmais yang dikelola oleh Keluarga Cendana, agar terpilih lagi menjadi Bupati Bantul. Kasus Pembunuhan Udin menambah perbendaharaan dosa rezim Orde Baru pada Pers di Indonesia. Bila kita melihat sejarah perjalanan Pers di Indonesia, sepak terjang rezim yang dipimpin oleh Soeharto secara nyata membelenggu pers. Pemerintah secara ketat mengawasi Pers melalui Departemen Penerangan. Agar tetap hidup, pers harus taat dan memberitakan hal-hal baik tentang pemerintahan orde baru. Bila ada media massa yang kritis dan berani menerbitkan berita-berita miring tentang pemerintah, peringatan keras dan ancaman pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) menjadi hadiahnya. Hal tersebut membuat Pers di Indonesia seperti dibawah ketiak pemerintah, tidak memiliki kemerdekaan dalam berpendapat. Angin segar perkembangan pers di Indonesia mulai terasa saat Presiden Abdurrahman Wahid membubarkan Departemen Penerangan pada masa kepemimpinannya. Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin
3
dan senantiasa diperjuangkan untuk diwujudkan.2 Sejak saat itu Pers di Indonesia mulai berkembang, begitu pula dengan kebebasan Pers. Meskipun demikian, tetap saja kasus pembunuhan Udin masih menyisakan misteri. Drama pembunuhan delapan belas tahun silam masih tak terungkap, wayang serta dalangnya pun tak tertangkap. Secara konsisten Majalah Tempo mengawal kasus pembunuhan Udin hingga penghujung akhir tahun 2014, tahun dimana kasus tersebut akan kedaluwarsa. Merujuk pada Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP), pasal 78, ayat 1, angka 4, tentang penghapusan tuntutan pidana karena daluwarsa terhadap kejahatan dengan pidana mati atau pidana seumur hidup, sesudah delapan belas tahun. Selain konsisten, pemilihan gaya bahasa yang mereka sajikan pun kritis dan tajam, sesuai jargon majalah tersebut “enak dibaca dan perlu”. Meskipun demikian, peneliti merasa perlu mengkaji, mengapa Majalah Tempo secara konsisten memberitakan kasus ini. Terlebih majalah itu pernah tersandung isu kebebasan pers. Selanjutnya, apakah seluruh laporan yang disajikan Majalah Tempo merupakan realitas di lapangan atau awak majalah tersebut melakukan konstruksi terhadap realitas dalam membingkai laporan tersebut. Eriyanto dalam bukunya mengatakan media adalah agen konstruksi, dimana media sengaja mengontruksi pesan yang ingin disampaikan kepada masyarakat. Eriyanto juga menjelaskan bahwa media adalah subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan bias dan pemihakannya. 3 Berdasarkan
2 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, (Bandung: Sibiosa Rekatama Media, 2005), h. 26. 3 Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media, (Yogyakarta: LKIS 2008), h. 22.
4
pandangan Eriyanto dapat kita katakan bahwa berita bukan refleksi dari realitas namun hasil konstruksi dari realitas. Meskipun demikian, realitas yang sama akan berbeda cara pemberitaannya, tergantung bagaimana media membingkai realitas tersebut. Pemilihan bahasa merupakan salah satu hal yang sangat krusial pada pemberitaan sebuah media massa. Bahasa adalah aspek sentral dari penggambaran sebuah subjek dan melalui bahasa sebuah ideologi terdapat di dalamnya. 4 Dalam memahami penggunaan bahasa tersebut, terdapat tiga pandangan besar yang dapat kita jadikan sebuah landasan. Terlebih saat kita menganalisa pemberitaan media massa. Pertama Kaum Positivis Empiris yang melihat bahasa sebagai penghubung antara manusia dengan objek diluar dirinya. Mereka menganggap manusia dapat mengekspresikan secara langsung pengalamanya melalui penggunaan bahasa tanpa adanya hambatan atau bias. Penggunaan bahasa tersebut harus logis, sintaksis, dan memiliki keterkaitan dengan pengalaman empiris. Salah satu ciri Pemikiran Kaum Positivis adalah terjadinya pemisahan antara penalaran dan realitas. Sementara itu yang kedua adalah kaum konstruksivis dengan paradigma konstruktivisme. Mereka menilai bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pernyataan.5 Kaum Konstruktivis berpendapat setiap manusia dapat menciptakan makna-makna tertentu dari setiap pernyataan atau tindakannya. Penciptaan makna tersebut berawal dari penggunaan bahasa yang dipilih. 4 5
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKIS 2009), h. 3. Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 5.
5
Selanjutnya adalah Pandangan Kritis yang memahami bahasa sebagai representasi yang berperan dalam membentuk subjek tertentu, tema-tema wacana tertentu, maupun strategi didalamnya. 6 Kaum Kritis menilai bahasa sebagai medium yang tidak netral. Mereka juga melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan dan berbagai tindakan yang terdapat dalam masyarakat. Berdasarkan latar belakang tersebut peneliti tertarik untuk mempelajari dan meneliti Majalah Tempo yang mengangkat Pembunuhan Udin delapan belas tahun silam. Oleh karena itu, Peneliti mengambil judul “Pers Kasus Udin, Dan Wacana Kebebasan Pers Di Indonesia”. Peneliti mengangkat judul tersebut karena Kebebasan Pers di Indonesia bagaikan oase di tengah gurun pasir. Berdasarkan data Reporters Sans Frontieres, organisasi pemantau kebebasan pers seluruh dunia yang bermarkas di Perancis, melalui website www.rsf.org, menjelaskan Indeks kebebasan Pers di Indonesia berada pada urutan 138 dari 180 negara tahun 2015 dengan indeks kebebasan pers 40.75, peringkat Indonesia turun enam peringkat . Kebebasan Pers di Indonesia masih dalam zona merah dan berada dalam situasi yang sulit meskipun kemerdekaan pers sudah dijamin dan diperjuangkan untuk diwujudkan. Belum terkuaknya kasus pembunuhan Udin hingga saat ini, menjadi salah satu penyebab organisasi tersebut mengategorikan indeks Kebebasan Pers di Indonesia masih rendah. B. Batasan dan Rumusan Masalah 1.
Batasan Masalah
Peneliti membatasi penelitian ini pada rubrik laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November 2014 bertajuk bukti baru pembunuhan Udin, pada dua 6
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 6.
6
artikel yaitu “Memo Sebelum Malam Jahanam” dan ”Tamu-Tamu Misterius di Patalan”. Hal tersebut peneliti kaitkan dengan wacana kebebasan pers di Indonesia. 2.
Rumusan Masalah Dari batasan masalah yang telah peneliti buat di atas maka peneliti memfokuskan perumusan masalah penelitian pada: a.
Bagaimana Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers di Indonesia pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas” bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, edisi 10-16 November 2014?
b.
Bagaimana konteks Majalah Tempo saat mewacanakan kebebasan pers di Indonesia pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas” bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, edisi 10-16 November 2014?
c.
Bagaimana kognisi sosial yang melatarbelakangi wacana yang dibentuk pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas” bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, edisi 10-16 November 2014?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.
Tujuan Penelitian Berdasarkan pokok permasalahan yang sudah peneliti jelaskan di atas maka penelitian ini memiliki beberapa tujuan yaitu: a.
Untuk mengetahui bagaimana wacana Kebebasan Pers diangkat oleh Majalah Tempo pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas” bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, edisi 10-16
7
November 2014 b.
Untuk mengetahui bagaimana konteks sosial Majalah Tempo yang digambarkan mengenai kekerasan terhadap pekerja media dalam kaitannya dengan kebebasan pers.
c.
Untuk mengetahui bagaimana kognisi sosial yang menjadi latar belakang wacana kebebasan pers pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas” di Majalah Tempo
2.
Manfaat Penelitian Peneliti berharap penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi pembaca berupa: a.
Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan memiliki fungsi dan manfaat secara akademis. Manfaat ini ditujukan pada pengembangan ilmu komunikasi dan mempelajari bagaimana media mengonstruksi sebuah berita untuk disampaikan kepada masyarakat. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sebuah informasi awal bagi siapa saja yang akan melakukan penelitian serupa di masa yang akan datang. b.
Manfaat Praktis
Adapun dari segi praktis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan informasi. Data yang tersedia dalam penelitian ini dapat digunakan oleh mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta atau perguruan tinggi lainnya untuk menunjang pengetahuan ilmu komunikasi. Dari penelitian ini diharapkan juga agar Majalah Tempo dapat lebih bermanfaat, menjadi bahan masukan dalam bidang informasi dan media penghubung antara masyarakat dan pemerintah. Selain itu Pembaca dapat mengetahui cara sebuah media massa
8
mewacanakan maksudnya dalam memberitakan sebuah peristiwa, khususnya Majalah Tempo. Pembaca dapat melihat hubungan antara media massa dengan ideologi, pemberitaan, komitmen media massa untuk menegakkan kebebasan pers di Indonesia, dan komitmen media massa dalam melindungi wartawannya. D. Tinjauan Pustaka Dalam menentukan judul penelitian ini, peneliti melaksanakan tinjauan pustaka di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Utama Universitas Indonesia, Perpustakaan Alisansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Perpustakaan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Setelah mendapatkan bahan bacaan berupa buku penelitian komunikasi, penelitian kualitatif, buku tentang pembunuhan Udin, karya ilmiah Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, karya ilmiah Mahasiswa Universitas Indonesia, dan buku teori analisis wacana, peneliti menetapkan diri untuk mengambil judul yang berkaitan antara kebebasan pers dengan pemberitaan sebuah media. Peneliti juga mendapatkan bahan pembelajaran dari media massa mengenai kasus pembunuhan Udin, khususnya Majalah Tempo edisi 10-16 November 2014, rubrik Laporan Khusus Udin Bernas. Peneliti menjadikan dua skripsi karya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai acuan dan pembanding. Peneliti mengacu pada Karya ilmiah bertajuk “Wacana Kekerasan Oknum Aparat Terhadap Wartawan Pada Harian Republika Edisi 17 Oktober 2012” milik Ana Aryati, mahasiswa UIN
9
Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan ilmu jurnalistik tahun 2009. Dalam penelitian tersebut Ana Aryati menjelaskan bagaimana Redaksi Harian Republika mewacanakan kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat terhadap wartawan, melalui pemberitaan pada edisi 17 Oktober 2012. Hasil penelitian tersebut bersifat deskriptif, dimana Ana memberikan gambaran tentang wacana kekerasan terhadap wartawan saat melaksanakan tugas jurnalistik. Kemudian menyimpulkan bahwa wacana kekerasan itu nampak dalam pemberitaan media cetak harian tersebut. Selain itu Peneliti juga mempelajari Skripsi milik Rahmaidah, mahasiswa Uin Syarif Hidayatullah Jakarta jurusan Ilmu Jurnalistik tahun 2011. Skripsi milik Rahma berjudul “Wacana Keterlibatan Anak-anak Dalam Kampanye Partai Keadilan Sejahtera Jelang Pemilu 2014 di Merdeka.com”. Skripsi itu berisi tentang situs berita online Merdeka.com yang gencar memberitakan tentang keterlibatan anak-anak dalam kampanye Partai Keadilan Sejahtera (PKS) jelang pemilu 2014. Dalam
penelitiannya
Rahma
menyimpulkan
bahwa
Merdeka.com
mewacanakan bahwa PKS melakukan pelanggaran dengan melibatkan anak-anak dalam kampanye mereka. Sementara itu selain PKS ada partai politik lain yang melakukan pelanggaran yang sama, membawa anak-anak dalam kampanye. Tetapi Merdeka.com hanya mengambil angle mengenai PKS dan memberikan porsi lebih pada pemberitaannya. E. Metodologi Penelitian 1.
Paradigma Penelitian Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan paradigma adalah
10
sebuah kerangka berpikir. Sementara itu Deddy Mulyana berpendapat paradigma adalah cara pandang untuk memahami kompleksitas dunia nyata. Ia juga mengutip pernyataan Anderson, paradigma merupakan ideologi dan praktik suatu komunitas ilmuwan yang menganut suatu pandangan yang sama atas realitas, memiliki seperangkat kriteria yang sama untuk menilai aktivitas penelitian, dan menggunakan metode serupa.7 Segala hal yang kita lakukan sangat dipengaruhi oleh tata dan cara pandang kita terhadap sesuatu. Hal tersebut menjadi acuan setiap manusia dalam memahami segala sesuatu yang terjadi. Peneliti menggunakan paradigma yang peneliti pahami dalam meneliti pemberitaan media massa. Peneliti menggunakan paradigma konstruktivisme karena peneliti menilai Majalah Tempo membentuk sebuah realitas melalui pemberitaan mereka. Alasan lainnya adalah paradigma Konstruktivisme memiliki posisi dan cara pandang tersendiri terhadap media dan teks berita yang dihasilkan. 8 Paradigma Konstruktivisme juga digunakan untuk menjelaskan sebuah teori yang dapat mengubah pandangan seseorang terhadap sebuah realitas. Kajian paradigma ini menempatkan posisi peneliti setara dengan subjeknya, berusaha memahami dan mengkonstruksikan sesuatu yang menjadi pemahaman subjek yang akan diteliti. Penelitian ini menggunakan pendekatan Penelitian Kualitatif karena pada penelitian kualitatif peneliti menjadi instrumen kunci. Terlebih jika peneliti menggunakan teknik pengumpulan data observasi patisipasi, peneliti terlibat sepenuhnya dalam kegiatan informan kunci yang menjadi 7
Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001), h. 9. 8 Burhan Bungin, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004), h. 204.
11
subjek penelitian dan sumber informasi penelitian.9 Peneliti mengumpulkan bahan penelitian dengan mencari data dari perpustakaan, media massa, berdiskusi dengan sejumlah wartawan Majalah Tempo dan Aliansi Jurnalis Independen terkait pembunuhan Udin. Penelitian Kualitatif merupakan perilaku artistik. Pendekatan filosofis dan aplikasi metode dalam kerangka penelitian kualitatif untuk memproduksi ilmu-ilmu “lunak”, seperti sosiologi, antropologi, dan komunikasi.10 Lexy J. Moleong menyimpulkan penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata, bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah.11 2.
Metode Penelitian Peneliti menggunakan metode analisis wacana model Teun A. Van Dijk
dalam penelitian ini. Peneliti meneliti dan menyimpulkan hasil temuan dari analisis pemberitaan Majalah Tempo rubrik laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November 2014 bertajuk bukti baru pembunuhan Udin. Hasil penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu memberikan bayangan tentang bagaimana Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers di Indonesia dalam kaitannya dengan Penganiayan Berujung Maut Udin Bernas. 3.
9
Subjek dan Objek Penelitian
Elvinaro Ardianto, Metodologi Penelitian untuk Public Relation kuantitatif dan kualitatif, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011), h. 58. 10 Elvinaro Ardianto, Metodologi Penelitian untuk Public Relation kuantitatif dan kualitatif, h. 59. 11 Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi (Bandung: PT Remaja Rosdakarya 2010), h. 6.
12
Peneliti menjadikan Wartawan di Majalah Tempo menjadi subjek pada penelitian ini. Sedangkan Objek penelitian ini adalah pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November 2014 bertajuk bukti baru pembunuhan Udin. Peneliti tertarik untuk meneliti majalah tersebut karena peneliti mencurigai terdapat maksud, pesan dan wacana tertentu yang ingin disampaikan Majalah Tempo melalui pemberitaan tersebut. 4.
Teknik Pengumpulan Data Penelitian kualitatif lebih menekankan pada persepsi peneliti dan
partisipan dalam menyikapi suatu fenomena. Sehingga keterlibatan peneliti sangat penting dalam pengumpulan data. Berdasarkan hal tersebut, peneliti harus terlibat langsung dalam pengumpulan data.12 a.
Observasi Dalam pengertian psikologik, observasi atau disebut dengan
pengamatan meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera.13 Observasi dapat juga kita katakan sebagai kegiatan mengamati sebuah fenomena yang terjadi. Observasi pada penelitian ini adalah kegiatan mengamati subjek penelitian, Wartawan Majalah Tempo, sedangkan objek penelitian, Majalah Tempo terkait rubrik laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November 2014. b.
Wawancara Menurut Kahn & Kannel, wawancara adalah diskusi antara dua
orang atau lebih dengan tujuan tertentu. Wawancara merupakan cara atau 12
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif :Dasar-Dasar, (Jakarta, Indeks: 2012), h. 43. Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 133. 13
13
teknik yang paling banyak digunakan untuk mengumpulkan data penelitian kualitatif. Dengan wawancara peneliti dapat memperoleh banyak data yang berguna bagi penelitiannya. 14 Pada penelitian ini peneliti melakukan wawancara dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo terkait pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November 2014. c. Dokumentasi Esterberg mendefinisikan dokumen adalah segala sesuatu materi dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh manusia. Dokumen dapat berbentuk
catatan
dalam
kertas
(hardcopy)
maupun
elektronik
(softcopy).15 Dalam penelitian ini, Peneliti mengumpulkan dan mempelajari data melalui literatur dan sumber bacaan. Data tersebut meliputi pemberitaan tentang pembunuhan Udin, opini sejumlah wartawan di internet terkait kasus udin. selain itu sejumlah data dan dokumen yang relevan dengan masalah yang dibahas untuk mendukung penelitian. 5.
Teknik Analisis Data Sebelum menganalisis data, peneliti terlebih dahulu menyusun data-data agar lebih sistematis, kemudian peneliti memilah data tersebut. Selanjutnya peneliti menganalisa sesuai dengan rumusan masalah dan
tujuan penelitian. Setelah itu peneliti menyajikan data tersebut dalam bentuk laporan ilmiah. Untuk menganalisia pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas”
14 15
Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif:Dasar-Dasar, h. 45. Samiaji Sarosa, Penelitian Kualitatif:Dasar-Dasar, h. 61.
14
bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin, di Majalah Tempo. Maka peneliti menggunakan metode kualitatif, yakni dengan menganalisa data berdasarkan informasi-informasi yang diperoleh dan studi dokumentasi. Peneliti menilai Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers pada pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November 2014, terkait penganiayaan berujung maut Udin. Kemudian Peneliti menggunakan metode analisis wacana model Teun A. Van Dijk untuk meneliti dan menganalisa pemberitaan majalah tersebut. Pada dasarnya, Analisis Wacana merupakan salah satu metode untuk membongkar kuasa yang ada disetiap proses bahasa seperti batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang harus digunakan, dan topik yang dibicarakan. Dalam arti yang sempit peneliti mendefinisikan analisis wacana adalah cara untuk mengungkapkan maksud tersembunyi pada sebuah pemberitaan media massa. Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi bagaimana juga pesan itu disampaikan. Lewat kata, frase, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan.16 Analisis wacana Teun A. Van Dijk merupakan salah satu model analisis wacana yang paling digemari dalam kajian media. Hal tersebut beralasan karena Van Dijk mengkolaborasi elemen-elemen wacana sehingga pengkaji media dapat menggunakan model ini secara praktis. Mereka sering menyebut model analisis ini sebagai pendekatan kognisi sosial. Kognisi Sosial adalah sebuah istilah yang mengadopsi pendekatan 16
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung: PT. Remaja Rosda Karya, 2006), h. 68.
15
psikologi sosial. Pendekatan ini membantu memetakan bagaimana produksi teks yang melibatkan proses yang rumit dapat dipelajari dan dijelaskan. Model wacana yang dikemukakan oleh Van Dijk ini memiliki tiga dimensi/bangunan: teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Pusat dari analisis Van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi wacana tersebut ke dalam satu kesatuan analisis. Struktur wacana model Van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut.17 GAMBAR 1.1 Struktur Wacana Model Teun A. Van Dijk
Teks Kognisi Sosial Konteks Saat berada dalam bangunan teks, hal yang dapat diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang digunakan untuk menegaskan suatu tema tertentu. Kemudian pada bangunan kognisi sosial dapat dipahami bahwa proses produksi suatu teks berita melibatkan kognisi individu dari wartawan. Selanjutnya pada level konteks hal yang dapat dipelajari adalah bangunan wacana yang berkembang dalam suatu masyarakat akan suatu masalah. 6.
Pedoman Penelitian Peneliti mengacu pada buku Pedoman Penelitian Karya Ilmiah (Skripsi,
Tesis, dan Desertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan oleh CeQDA 17
Alex Sobur, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing , h. 74
16
(Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007 dalam melaksanakan penelitian. F. Sistematika Penelitian BAB I PENDAHULUAN Bab ini memaparkan mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penelitian. BAB II KAJIAN TEORI Bab ini menguraikan kajian teoritis mengenai, Sejarah Pers di Indonesia, Kebebasan Pers, Pelbagai kasus yang menimpa kebebasan pers di Indonesia teori kontruksi sosial, dan analisis wacana model Teun A. Van Dijk. BAB III GAMBARAN UMUM Bab ini memaparkan mengenai sejarah singkat, visi dan misi Majalah Tempo, struktur dewan redaksi Majalah Tempo. BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA Bab ini berisikan tentang temuan dan analisis wacana pemberitaan rubrik laporan khusus Udin “Bernas” edisi 10-16 November 2014, Majalah Tempo. BAB V PENUTUP Bab ini berisi mengenai kesimpulan dan saran peneliti terkait hal yang telah dibahas pada penelitian ini.
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN KERANGKA KONSEPTUAL A. Kajian Teoritis Media massa merupakan solusi yang cukup efektif untuk menyampaikan pesan secara masif, Terlebih pada era globalisasi seperti masa kini. Pelbagai karya Jurnalistik di media massa seperti audio, cetak, audio visual, dan siber, semakin banyak dijadikan sebagai objek studi. Khususnya pada studi bidang sosial dan komunikasi. Secara umum penelitian komunikasi di Indonesia menggunakan tiga paradigma besar yakni Positivis, Konstruksi, dan Kritis. Dani Vardiansah dalam bukunya mengutarakan paradigma adalah cara pandang orang terhadap diri dan lingkungan keilmuan yang akan mempengaruhi dalam berpikir, bersikap, dan bertingkah laku dalam upaya mencari dan menemukan pengetahuan ilmu dan kebenaran.
18
Peneliti menyimpulkan bahwa penelitian komunikasi sangat
dipengaruhi oleh paradigma yang digunakan. Paradigma Positivis merupakan cara pandang yang menilai bahwa komunikan bersifat pasif pada sebuah pemberitaan media massa. Paradigma ini melihat bahwa media hanya sebagai alat penyampai pesan. Sehingga pesan yang disampaikan melalui perantara media akan sama dengan pesan yang diterima. Dalam pandangan kaum positivis pemberitaan media massa adalah informasi yang diwartakan kepada masyarakat sebagai representasi kenyataan. Berbeda dengan paradigma positivis yang menilai komunikan bersifat pasif, paradigma konstruksi melihat komunikan bersifat aktif. Kaum konstruksionis
18
Dani Vardiansyah, Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar, (Jakarta: Indeks, 2008), h.
50.
17
18
menilai media adalah agen konstruksi. Sehingga pesan yang disampaikan media melalui pemberitaannya merupakan realitas yang dibuat oleh media itu sendiri. Dalam pandangan kaum konstruksionis berita bukan refleksi dari realitas namun hasil konstruksi dari realitas. Paradigma kritis menilai sebuah wacana di masyarakat adalah hasil dari budaya dominan. Budaya tersebut seolah-olah menjadi pembenaran dari tindakan dan realitas di masyarakat. Paradigma kritis digunakan untuk membongkar dominasi yang ada dalam setiap proses pembuatan berita di media massa. Kaum kritis menilai ada pihak yang memiliki kuasa penuh atas sebuah pemberitaan di media massa. Pengusaha sebagai pemegang modal, pemerintah atau dewan redaksi. 1.
Konstruksi Sosial atas Realitas a.
Sejarah Teori Konstruksi
Penggunaan istilah konstruksi mulai berkembang sejak Peter L. Berger dan Thomas Luckmann melihat bahwa proses sosial dimulai melalui interaksi dan tindakan.19 Peter L. Berger dan Thomas Luckmann kali pertama memperkenalkan istilah konstruksi realitas pada tahun 1966 melalui bukunya The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociological of Knowledge. Mereka menjelaskan bagaimana individu secara intens menciptakan suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.20 Jika menelisik jauh kebelakang serbenarnya teori konstruksi berakar pada seorang epistomolog berkebangsaan Italia, Giambatissta Vico. Gagasan-gagasan 19 Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, (Jakarta: Kencana, 2008), h. 13. 20 Yearry, “Komunikasi dan Konstruksi Sosial Atas Realitas,” artikel diakses pada 14 Mei 2015 dari https://yearrypanji.wordpress.com/2008/06/04/komunikasi-dan-konstruksi-sosial-atas-realitas/
19
pokok konstruktivisme dan pemikiran alumni University of Naples Federico II inilah yang menjadi cikal bakal teori konstruksi. Burhan Bungin dalam bukunya, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, menjelaskan gagasan konstruktivisme yang memiliki keterkaitan dengan Filsafat hadir sejak Socrates menemukan konsep jiwa dalam tubuh manusia. Pemikiran Socrates itu diperkuat oleh Plato yang menemukan konsep akal budi dan ide. Socrates mengatakan bahwa, manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dibuktikan kebenarannya, bahwa kunci pengetahuan adalah logika dan dasar pengetahuan adalah fakta.21 Ia juga mengenalkan kata yang fenomenal, “Cogoto, ergo sum” atau “saya berfikir karena itu saya ada”, kata fenomenal tersebut merupakan pondasi yang kuat bagi perkembangan pokok pemilikiran konstruktivisme hingga sekarang. b.
Teori Konstruksi Sosial
Teori konstruksi sosial memiliki benang merah dengan dengan teori fakta sosial dan teori definisi sosial. Dalam struktur kajian komunikasi teori konstruksi sosial berada di antara teori fakta sosial dan teori definisi sosial. Dalam pandangan teori fakta sosial manusia adalah produk dari masyarakat. Tindakan dan persepsi manusia sangat dipengaruhi oleh aturan yang ada dalam masyarakat. Sedangkan menurut teori definisi sosial manusia melakukan pemaknaan dan membentuk masyarakat. Manusia yang membentuk realitas, menyusun institusi dan norma yang ada. Teori konstruksi sosial berada di antara 21
Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, h. 13.
20
keduanya.22 Pokok pikiran teori konstruksi sosial adalah anggapan bahwa manusia dan lingkungan saling memengaruhi. Ada masa ketika manusia memengaruhi lingkungan, begitu pula sebaliknya, ada kalanya manusia dipengaruhi oleh lingkungannya. Dari bayangan tersebut dapat kita katakan terdapat benang merah antara teori konstruksi sosial, teori fakta sosial, dan teori definisi sosial. Bahkan teori konstruksi sosial memersatukan kedua teori tersebut. Peter L. Berger dan Thomas Luckmann dalam teorinya mengungkapkan proses konstruksi sosial atas realitas terbagi dalam tiga tahap. Ketiga tahapan yang terjadi
secara
simultan
tersebut
adalah eksternalisasi,
objektivasi,
dan
Internalisasi. Eksternalisasi adalah rangkaian upaya yang dilakukan oleh manusia untuk beradaptasi dengan lingkungan tempat tinggalnya. Upaya adaptasi itu berbentuk pemikiran (mental) maupun tenaga (fisik). Pada fase ini manusia berperan sebagai pembentuk di lingkungannya. Selanjutnya adalah objektivasi yang merupakan hasil yang dicapai baik mental maupun fisik dari kegiatan eksternalisasi manusia tersebut. 23 Hasil dari ekternalisasi tersebut meliputi kegiatan saling memengaruhi antara manusia dengan lingkungannya. Sementara itu Internalisasi adalah keadaan dimana manusia terpengaruh oleh lingkungannya. Baik lingkungan yang masih alami maupun yang sudah terpengaruh oleh manusia. Dalam hal ini Berger mengungkapkan internalisasi sebagai proses penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian 22 23
Eriyanto, Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 13. Eriyanto, Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 14.
21
rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh struktur dunia sosial.24 Dalam kehidupan masyarakat hubungan tersebut dapat peneliti lihat dari proses lahirnya sebuah norma atau aturan. Awalnya norma adalah hasil pemikiran manusia. Kemudian manusia merealisasikan norma tersebut dalam kehidupan sosial. Selanjutnya norma yang sudah direalisasikan itu menjadi sebuah sistem, mengatur tata cara dan menjadi aturan. Pada akhirnya setiap manusia akan mematuhi dan beradaptasi dengan norma tersebut. Berkaca dari proses lahirnya sebuah norma, benar adanya bila manusia dan lingkungannya saling memengaruhi. Pada awalnya manusia memengaruhi lingkungannya kemudian manusia juga terpengaruh oleh lingkungan yang dibuatnya. Ada kalanya manusia mempengaruhi lingkungannya dan dipengaruhi oleh lingkungannya. Hal tersebut terus berlangsung hingga sekarang. Fenomena tersebut yang menguatkan Berger yang berpendapat tentang manusia dan lingkungannya yang saling memengaruhi. Hal itu pun yang mendasari teori konstruksi sosial atas realitas Peter L. Berger dan Thomas Luchmann 2.
Konstruksi Realitas di Media Massa
Pada dasarnya hasil liputan sebuah peristiwa di media massa adalah konstruksi realitas. Media menyusun realitas dari sebuah peristiwa secara sistematis hingga menjadi sebuah cerita yang memiliki makna. Berdasarkan sifat dan fakta di lapangan pekerjaan media massa adalah menceritakan peristiwa, maka kesibukan utama media massa adalah mengkonstruksi berbagai realitas. Sehingga isi media merupakan realitas yang telah dikonstruksikan dalam bentuk wacana yang
24
Eriyanto, Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 15.
22
bermakna.25 Burhan Bungin dalam bukunya, Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckmann, menjelaskan bagaimana proses terjadinya konstruksi di media massa. Ia menggambarkan proses tersebut dalam sebuah skema. GAMBAR 2.1 Proses Terjadinya Konstruksi Media Massa
Peneliti melihat bahwa proses komunikasi di media memerlukan beberapa tahapan berdasarkan skema tersebut. Agar komunikasi tersebut berjalan sempurna ada lima tahapan yang terjadi dalam proses komunikasi di media massa. Bungin menganalisa dan mengelompokan tahapan itu menjadi beberapa bagian seperti sumber penyampai pesan (source), pesan atau informasi (message), media yang digunakan (channel), penerima pesan (receiver) dan berakhir pada efek yang dihasilkan (effects). Pada gambar tersebut terlihat bahwa sumber penyampai pesan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu eksternalisasi, objektivasi, dan internalisasi. Dalam kaitannya dengan media massa sumber penyampai pesan tersebut adalah jurnalis. Sebagai orang pertama yang bersentuhan dengan peristiwa, pola pandang dan 25
Ibnu Hamad, Konstruksi realitas politik dalam media massa:sebuah studi critical discourse analysis terhadap berita-berita politik, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2004), h. 11-12.
23
pengalaman jurnalis sangat memengaruhi cara ia memaknai dan meliput peristiwa tersebut. Proses selanjutnya adalah jurnalis memberikan pesan atau hasil liputannya kepada dewan redaksi. Pada fase ini dewan redaksi juga memiliki peran dalam mengontruksi realitas, salah satu contohnya adalah saat rapat redaksi penentuan berita mana yang diangkat atau tidak. Dalam mengolah sebuah pemberitaan jurnalis tidak bekerja sebagai individu melainkan bekerja dalam sebuah tim dan institusi media. Kepentingan dan keberpihakan dewan redaksi dan intitusi media sangat memengaruhi hasil akhir produk jurnalistik yakni sebuah pemberitaan. Fase Selanjutnya adalah media memainkan fungsi dan perannya dengan menyebarluaskan sebuah peristiwa melalui pemberitaannya, lengkap dengan pesan yang telah mereka konstruksi sebelumnya. Berita yang merupakan hasil konstruksi menyebar dengan cepat dan masif di masyarakat. Sesuai dengan sifat media massa yang dapat menyebarkan pesan secara cepat, masif, dan spontan. Sehingga hasil konstruksi tersebut dengan mudah dapat menyebar di tengah-tengah masyarakat. Meskipun berita hasil konstruksi media massa sudah berada di masyarakat, belum tentu masyarakat menerima informasi yang terkonstruksi begitu saja. Hal itu bisa terjadi karena setiap individu memiliki penerimaan yang berbeda terhadap informasi. Beberapa faktor seperti latar belakang budaya, ekonomi, pendidikan, dan politik, memengaruhi penerimaan itu. Masyarakat secara individu yang menentukan konstruksi itu berhasil atau tidak. Jika masyarakat menerima hasil konstruksi tersebut maka konstruksi realitas oleh media berhasil. Masyarakat akan terkonstruksi oleh realitas imajiner yang
24
ditampilkan media. Selanjutnya masyarakat akan memberikan umpan balik terhadap realitas yang telah dikonstruksi oleh media massa. B. Kerangka Konseptual 1.
Analisis Wacana
Analisis Wacana merupakan salah satu metode untuk membongkar kuasa yang ada disetiap proses bahasa seperti batasan apa yang diperkenankan menjadi wacana, perspektif yang harus digunakan, dan topik yang dibicarakan. Dalam arti yang sempit kita dapat mendefinisikan analisis wacana adalah cara untuk mengungkapkan maksud tersembunyi pada sebuah pemberitaan media massa. Teun A. Van Dijk menyatakan penelitian atas wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis atas teks semata. Ia berpendapat teks hanyalah hasil dari suatu praktik produksi yang harus diamati. Kita meski melihat bagaimana suatu teks diproduksi, sehingga kita memperoleh suatu pengetahuan kenapa teks bisa seperti itu. Bagi Van Dijk teks bukan sesuatu yang turun dari langit, bukan juga suatu ruang hampa yang mandiri. Akan tetapi teks dibuat dalam suatu praktik diskursus, sebuah praktik pembentukan wacana. Teks hadir dan bagian dari representasi yang menggambarkan kondisi masyarakat yang dominan. Pada dasarnya setiap teks memiliki dua bagian yaitu elemen mikro dan elemen makro. Setiap bagian memiliki fungsi dan perannya masing-masing dalam masyarakat. Jika elemen mikro berperan sebagai pembentuk wacana dalam sebuah berita maka elemen makro adalah struktur sosial dalam masyarakat. Van Dijk menghubungkan kedua elemen tersebut sehingga menghasilkan sebuah dimensi, kemudian Ia menyebutnya dengan nama Kognisi Sosial.
25
Kognisi sosial yang dikenalkan oleh Van Dijk bagaikan koin yang memiliki dua mata sisi. Pada sisi pertama model ini menunjukan bagaimana wartawan membuat sebuah teks. Sedangkan sisi kedua merefleksikan bagaimana nilai-nilai masyarakat yang dominan itu menyebar, kemudian diserap oleh daya pikir wartawan. Selanjutnya wartawan menggunakan hasil penyerapan itu menjadi teks berita. Van Dijk melalui kognisi sosial ini lebih memfokuskan perhatiannya pada studi tentang rasialisme. Hal tersebut tergambar dari banyak karyanya tentang studi analisis pemberitaan yang mengarah pada bentuk rasialisme. Salah satunya adalah saat Van Dijk dan rekannya menganalisis bagaimana wacana media menguatkan rasialisme yang ada dalam masyarakat, di Universitas Amsterdam. Mereka menemukan banyak rasialisme yang tercipta dan digambarkan melalui teks berita. Masyarakat Barat pada umumnya tidak sadar bahwa pikiran mereka diliputi oleh pikiran-pikiran yang rasis, memandang rendah, dan memandang berbeda kelompok minoritas, dalam kehidpuan sehari-hari. Kondisi yang berulang dan terakumulasi ini menghasilkan pikiran dan kognisi yang memandang rendah kelompok minoritas. Selanjutnya rasialisme itu diperkuat dan dimapankan dalam teks berita. Hal itu yang membuat bahwa rasialisme terlihat sebagai sebuah kewajaran. Bentuk rasialisme itu menurut Van Dijk bisa saja berasal dari percakapan sehari-hari, wawancara kerja, rapat pengurus, debat di parlemen, propaganda politik, periklanan, artikel ilmiah, editorial, berita, foto, film, dan sebagainya. Melalui berbagai teks tersebut, kelompok bawah dan minoritas digambarkan secara buruk dan tidak sebagaimana mestinya, yang dinyatakan dengan cara yang
26
meyakinkan, tampak sebagai kewajaran, masuk akal, alamiah, dan terlihat/tampak sah.26 Van Dijk tidak hanya berpatokan pada analisis teks semata terhadap model wacana yang ia buat. Ia juga melihat bagaimana struktur sosial, dominasi, dan kelompok kekuasaan yang ada dalam masyarakat berpengaruh terhadap teks tertentu. Selain itu ia juga melihat bagaimana kognisi, pikiran, dan kesadaran yang Membentuk dan memengaruhi pada sebuah teks pilihan. Van Dijk menggambarkan model wacananya dalam tiga struktur bangunan: teks, koginisi sosial, dan konteks sosial. Kemudian ia menggabungkan ketiga bangunan tersebut dalam kesatuan analisis. Analisis model Van Dijk menghubungkan analisis tekstual – yang memusatkan perhatian hanya pada teks – ke arah analisis yang komprehensif bagaimana teks berita itu diproduksi, baik dalam hubungannya dengan individu wartawan maupun dari masyarakat.27 a.
Teks
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mendefinisikan teks adalah naskah yang berupa kata-kata asli dari pengarang, kutipan dari kitab suci untuk pangkal ajaran atau alasan, bahan tertulis untuk dasar memberikan pelajaran, berpidato, dsb. Selain itu KBBI juga mengartikan teks sebagai wacana tertulis. Secara teori bahasa teks adalah himpunan huruf yang membentuk kata dan kalimat yang dirangkai dengan sistem tanda yang disepakati oleh masyarakat. 28 Sehingga masyarakat dapat memahami dan mengungkapkan makna yang
26
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 223 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 224 28 Alex Subour, Analisis Teks Media; Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, h. 54 27
27
terkandung dalam teks itu ketika membacanya. Menurut Teun A. Van Dijk teks adalah refleksi dari kognisi sosial, dimana kesadaran mental wartawan memiliki kuasa penuh atas berita yang dibuat. Kemudian Van Dijk menilai suatu teks terdiri atas beberapa struktur atau tingkatan yang masing-masing bagian saling mendukung. 29 Dalam melaksanakan penelitian terhadap teks Van Dijk membaginya dalam tiga tingkatan. Pertama, struktur makro, yang merupakan makna global/umum dari suatu teks yang dapat diamati dengan melihat topik atau tema yang dikedepankan dalam suatu berita. Kedua, superstruktur, yang merupakan struktur wacana yang berhubungan dengan kerangka suatu teks, bagaimana bagian-bagian teks tersusun ke dalam berita secara utuh. Ketiga, struktur mikro, yang merupakan makna wacana yang dapat diamati dari bagian kecil dari suatu teks yakni kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.30 Meskipun terdiri atas berbagai elemen, seluruh elemen tersebut merupakan satu kesatuan yang utuh. Mereka saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Makna global dari suatu teks (tema) didukung oleh kerangka teks dan pada akhirnya pilihan kata dan kalimat yang digunakan. Struktur wacana adalah cara yang efektif untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seseorang menyampaikan pesan. Kata-kata tertentu mungkin dipilih untuk mempertegas pilihan dan sikap, membentuk kesadaran politik, dan sebagainya. Berikut adalah elemen-elemen wacana Van Dijk
29 30
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 225 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h 226
28
TABEL 2.1 Struktur Wacana Teun A. Van Dijk Struktur Wacana Struktur Makro
Hal yang Diamati Tematik (apa yang dikatakan)
Elemen Topik
Superstruktur
Skematik (bagaimana pendapat disusun dan dirangkai)
Skema
Struktur Mikro
Semantik (makna yang ingin ditekankan dalam teks berita)
Struktur Mikro
Sintaksis (bagaimana pendapat disampaikan)
Struktur Mikro
Stilistik (pilihan kata apa yang dipakai)
Leksikon
Struktur Mikro
Retoris (bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan)
Grafis, Metafora Ekspresi
Latar, detail, maksud, pra anggapan, nominalisasi Bentuk kalimat, koherensi, kata ganti
Van Dijk memahami pemakaian kata, kalimat, retorika tertentu oleh media sebagai sebuah strategi wartawan. Hal tersebut tidak hanya dipandang sebagai cara berkomunikasi saja namun sebagai politik berkomunikasi. Suatu cara untuk mempengaruhi pendapat umum, menciptakan dukungan, memperkuat legitimasi, dan menyingkirkan lawan atau penentang. Setiap elemen-elemen dalam analisis teks tersebut akan menunjukkan hal-hal yang ditonjolkan dalam pemberitaan. Penggiringan opini publik akan terlihat karena setiap elemen-elemen tersebut merupakan satu kesatuan yang saling mendukung dan berkaitan. Pada dasarnya struktur wacana adalah cara yang efektif untuk melihat proses retorika dan persuasi yang dijalankan ketika seseorang menyampaikan pesan. b.
Kognisi Sosial
Elemen kedua pada model analisis wacana Teun A. Van Dijk adalah kognisi
29
sosial. Pada elemen ini Van Dijk mengutarakan dalam kajian media massa diperlukan sebuah teknik untuk membongkar cara kerja dan pola pikir wartawan ketika memproduksi sebuah teks berita. Van Dijk mengenalkan kognisi sosial sebagai kesadaran mental wartawan dalam membentuk teks berita. Misalnya wacana kebebasan pers pada pemberitaan kasus pembunuhan Udin “Bernas”. Kita memerlukan penelitian mengenai kesadaran mental wartawan Majalah Tempo dalam memandang kasus itu. Van Dijk mengatakan untuk membongkar makna tersembunyi dari teks, kita membutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu penelitian atas representasi kognisi dan strategi wartawan dalam memproduksi suatu berita. 31 Pendekatan kognitif didasarkan pada asumsi bahwa teks tidak mempunyai makna, tetapi makna itu diberikan oleh pemakai bahasa, atau lebih tepatnya proses kesadaran mental dari pemakai bahasa. Pada dasarnya setiap teks berita dihasilkan melalui kesadaran, pengetahuan, prasangka tertentu atas sebuah peristiwa. Wartawan sebagai individu yang netral, tetapi individu yang mempunyai bermacam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari kehidupannya dalam menyusun teks berita. Melalui kognisi sosial ini kita dapat mengetahui makna yang disembunyikan oleh wartawan Majalah Tempo dalam membuat laporan khusus tentang terbunuhnya Udin “Bernas” delapan belas tahun silam. c.
Konteks Sosial
Sebagai salah satu dimensi penting dari analisis wacana model Van Dijk banyak pihak yang menyebutkan konteks sosial adalah analisis sosial. Pada
31
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 260
30
dimensi ini Van Dijk mengatakan bahwa untuk menganalisa wacana yang berkembang dalam masyarakat kita harus melakukan analisis intertekstual. Bentuk analisis itu dengan meneliti bagaimana wacana tentang suatu hal diproduksi dan dikonstruksi dalam kehidupan masyarakat. Analisis semacam ini memerlukan pemahaman tentang praktik kekuasaan dan akses. Van Dijk mendefinisikan praktik kekuasaan sebagai kekuatan atau pengaruh yang dimiliki oleh suatu kelompok untuk mengontrol dan memengaruhi kelompok lain. Pada umumnya kekuasaan ini bersandar pada kepemilikan atas sumber daya yang bernilai seperti uang, status, dan pengetahuan. Selain itu Van Dijk juga memahami kekuasaan sebagai bentuk persuasif, yaitu tindakan seseorang untuk secara tidak langsung mengontrol dengan jalan mempengaruhi kondisi mental, seperti kepercayaan, sikap, dan pengetahuan.32 Dominasi yang ada di masyarakat turut memberikan sumbangsih besar pada praktik-praktik kekuasaan tersebut. Dominasi pada akhirnya bermuara pada bentuk-bentuk diskriminasi dari kelompok kuat terhadap kelompok lemah. Salah satu contohnya adalah pembantaian simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh masyarakat, tentara, dan pesantren pada masa Orde Baru berkuasa. Diskriminasi terjadi karena akses yang dimiliki oleh kelompok kuat dalam pelbagai hal, termasuk media massa. Sementara itu simpatisan PKI sebagai kelompok lemah tidak memiliki akses, layaknya kelompok kuat. Hal itu berdampak pada kehidupan kelompok lemah tersebut. Mereka mendapatkan perlakuan dan stigma buruk dari masyarakat akibat wacana tentang komunisme dari pemerintah.
32
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 272
31
Pada kasus tersebut Pemerintah memiliki akses yang luas dalam menjangkau masyarakat dibandingkan simpatisan atau keturunan pengikut PKI. Pemerintah dapat menentukan wacana mengenai komunisme melalui lembaga maupun institusi pemerintahan seperti sekolah dan birokrasi. Pada akhirnya masyarakat yang tidak memiliki akses akan menjadi konsumen wacana yang telah ditentukan. Kemudian mereka menyebarkanya melalui percakapan dengan keluarga, teman, kerabat, teman sebaya, dan sebagainya. 33 Oleh karena itu, mereka yang lebih berkuasa mempunyai kesempatan lebih besar untuk mempunyai akses pada media dan kesempatan lebih besar untuk mempengaruhi kesadaran khalayak. C. Kebebasan Pers 1.
Pengertian Kebebasan Pers
Jakob Oetama dalam bukunya, Pers Indonesia: Berkomunikasi Dalam Masyarakat Tidak Tulus, mengatakan kebebasan pers berkaitan dengan paham politik dan konstitusi, yakni jaminan atas hak untuk bebas menyatakan pendapatnya secara lisan dan tertulis. Kebebasan pers sekaligus juga fungsional, melekat pada lembaga pers. 34 Maestro Pers Indonesia itu secara gamblang menyebutkan bahwa pers dan kebebasannya merupakan suatu kesatuan yang utuh. John C. Merril, wartawan asal Amerika, menyebutkan, kebebasan pers sebagai kondisi yang memungkinkan para pekerja pers memilih, menentukan dan mengerjakan tugas mereka sesuai keinginan mereka. Sementara itu, Nurudin mendefinisikan kebebasan pers sebagai kebebasan yang dimiliki pers untuk menyiarkan kebijakan redaksinya tanpa ada pihak lain yang memaksa untuk 33
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 274 Jakob Oetama, Pers Indonesia: berkomunikasi dalam masyarakat tidak tulus, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001), hlm. 21. 34
32
berbuat di luar keinginan pers.35 Kebebasan pers memerlukan sebuah otonomi khusus yang dimiliki oleh pers dalam mengambil langkah-langkah konkret agar bebas dari pengawasan pihak lain di luar pers. Ketika pers telah memiliki otonominya sendiri maka kebebasan pers bisa dilaksankan. Kebebasan pers memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengontrol dan menyuarakan pendapatnya kepada Pemerintah. Selain itu roda pembangunan dan pemerintahan akan berjalan secara transparan. Hal tersebut bisa memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat bukan mengorbankan kehidupan mereka. Indonesia sebagai negara berhaluan demokrasi turut mengakui adanya kebebasan pers. Hal itu sejalan dengan konstitusi kita yang mengakui kebebasan pers sebagai hak asasi manusia. Secara tegas perubahan (kedua) UUD 1945 Bab XA tentang “Hak Asasi Manusia” Pasal 28 F menyebutkan: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyapaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Jelas terlihat dari pasal tersebut jika konstitusi kita menghargai kebebasan pers bahkan mengakuinya sebagai hak asasi manusia. Hal itu terbukti dengan penempatan kalimat “hak untuk berkomunikasi” serta “dengan segala jenis saluran yang tersedia” (dalam hal ini pers) sebagai sebuah pengakuan.36 Negara membuat iklim kebebasan pers di Indonesia semakin kondusif dengan
35
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hlm. 296
36
Sedia Wiling Barus, Jurnalistik; petunjuk teknis menulis berita, (Jakarta: Erlangga, 2010), h.
225
33
pengesahan UU Pers No. 40 tahun 1999. Kebebasan Pers menurut UU Pers No. 40 tahun 1999 terdapat dalam pasal 4 yang berbunyi: 1. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara. 2. Terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan atau pelarangan penyiaran. 3. Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. 4. Dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak. Pemerintah juga memuat ketentuan pidana pada pasal 18 yang berhubungan dengan ketentuan pada pasal 4 yakni “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000 (Lima ratus juta rupiah)” untuk menjamin kebebasan pers. 37 Melalui aturan tersebut negara hadir dalam menjamin kebebasan pers di Indoensia. Hal itu merupakan komitmen pemerintah dalam mewujudkan kedaulatan rakyat. Kebebasan pers menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam lingkup negara demokratis. Meskipun demikian kebebasan pers di Indonesia bukannya tanpa aturan. Negara kita memiliki sistem dan aturan yang berlaku terhadap pers di seluruh penjuru nusantara. Indonesia menganut sistem kebebasan pers berlandaskan 37 Rine Araro, “Kebebasan Pers Perspektif Hukum,” artikel diakses pada 17 Agustus 2015 dari http://manado.tribunnews.com/2013/04/28/kebebasan-pers-perspektif-hukum?page=2/
34
pancasila, sesuai ideologi negara kepualauan ini. Sistem kebebasan pers dengan asas Pancasila mengharuskan pers memiliki tanggung jawab atas segala karya jurnalistik yang dihasilkan. Pada sistem ini kebebasan tidak diartikan sebagai kebebasan yang mutlak, namun kebebasan yang bersyarat. Pers Pancasila digambarkan sebagai pers yang menjalankan hak kebebasannya tetap memerhatikan tata nilai yang hidup dalam masyarakat, antara lain kehidupan gotong royong dan bukan mencita-citakan kehidupan masyarakat yang individualis.38 Pemakaian istilah kebebasan pers diganti menjadi kemerdekaan pers mulai disepakati pada saat proses pembahasan Rancangan Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers di DPR. Istilah “kemerdekaan pers yang profesional” diperkenalkan oleh Fraksi Persatuan Pembangunan di Komisi I. Paradigma “kemerdekaan pers yang profesional” dipakai untuk menggantikan paradigma “kebebasan pers yang bertanggung jawab”. Kedua paradigma ini dinilai memiliki makna yang sangat berbeda. Dari aspek konstitusi, kata “kemerdekaan pers” dinilai lebih sesuai dengan Undang-Undang Dasar, khususnya pasal 28 yang menjamin “kemerdekaan” setiap orang untuk menyampaikan pikiran dan pendapatnya, baik lisan maupun tulisan.39 2.
Kasus-kasus Kebebasan Pers di Indonesia
Meskipun negara sudah menjamin kemerdekaan pers di Indonesia namun tetap saja upaya pembelengguan terhadap pers kerap terjadi. Salah satu bentuknya adalah pelarangan terbit atau pemberedelan terhadap pers. Pembredelan tersebut 38
Sedia Wiling Barus, Jurnalistik; petunjuk teknis menulis berita, h. 237. Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia, (Jakarta: Panitia Hari Pers Nasional 2014 dan Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, 2014) h. 25. 39
35
pun beragam, ada yang bersifat sementara dan ada yang selamanya. Selain pemberedelan bentuk pembelengguan lainnya adalah ancaman, teror, pengerusakan kantor atau alat, pelarangan liputan, sensor, gugatan perdata maupun pidana, pengerahan massa, kekerasan fisik, bahkan pembunuhan. Hal tersebut terjadi pada seluruh perangkat pers seperti Pemimpin Redaksi, Sekretaris Redaksi, Redaktur, Editor, hingga Reporter. Sejarah mencatat kebebasan pers di Indonesia sudah mengalami kendala saat negara ini sejak berusia muda. Bahkan pada era pendudukan Belanda upaya penggembosan terhadap pers sudah ada. Koran pertama di Indonesia, Bataviasche Nowvelles, menemukan ajalnya pada tahun kedua koran itu terbit. Tanggal 20 Juni 1746 surat kabar itu resmi dibubarkan setelah Pemimpin tertinggi VOC, De Heeren XVII, mengeluarkan surat keputusan larangan terbit terhadap Bataviasche Nowvelles, 20 November 1744 di Negeri Belanda. Alasan yang mendasari pelarangan tersebut adalah De Heeren XVII tidak suka dengan koran yang terbit sejak 7 Agustus 1744 itu. Kemudian pemerintahan kolonialisme terus mengeluarkan aturan ketat yang membuat pers semakin tercekik. Bahkan Koran milik pemerintahan, Bataviasche Koloniale Courant, tidak menerima perlakuan khusus. Surat Kabar plat merah itu tetap disensor. Koran yang pertama kali terbit pada 5 Januari 1810 itu beredar setiap hari Jumat. Penyensoran terjadi sehari sebelumnya, saat pemerintah melihat seluruh isi surat kabar itu. Memasuki
era
1900
pemerintahan
kolonialisme
masih
melakukan
penyensoran dan pemberangusan terhadap pers. Terlebih sejak 1910 pers di Indonesia yang merupakan pers perjuangan mulai menjamur. Surat kabar di
36
Indonesia kala itu mengalami pasang surut; hidup dan mati surat kabar menjadi hal yang biasa. Ketika pemerintah Belanda melarang pers di suatu wilayah, muncul pers di wilayah lain. Melihat hal tersebut “kegilaan” pemerintah Belanda semakin menjadi-jadi. Demi memertahankan daerah jajahannya pemerintahan kolonialisme tidak hanya melarang pers untuk terbit. Mereka juga membuang pemilik atau pemimpin redaksi pers yang kritis dan menyuarakan pesan perjuangan. Salah satunya adalah Haji M. Misbach, pengasuh media berkala Medan Muslimin. Pemerintah membuang Haji Misbach di Kabupaten Boven Digoel, Papua. Kemudian Kompeni juga membuang Raden Mas Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hadjar Dewantara, seseorang yang kritis menentang kolonialisme. Ia dibuang ke Belanda akibat tulisannya di surat kabar De Exprees, Bandung berjudul Als ik eens Nenderlander. Isi tulisannya menyentil kerajaan Belanda yang akan merayakan 100 tahun kemerdekannya di daerah jajahanan. Tulisan itu berbuah pada pemberedelan surat kabar De Express. Sedikitnya, tidak kurang dari 27 surat kabar nasionalis dibredel dalam kurun waktu 1931 hingga pertengahan tahun 1936 saat Belanda menjajah Indonesia. Lepas dari masa kolonialisme secercah harapan bagi pers perjuangan muncul ketika Jepang memukul mundur dan mengusir Belanda dari Indonesia. Negeri Matahari Terbit itu seolah-olah mendukung perjuangan melalui pers. Hal itu tercermin dari sikap radio Jepang yang mengumandangkan lagu Indonesia Raya setiap malam, sebelum melakukan siaran berbahasa Indonesia. Sikap itu tentu saja menarik simpati bangsa Indonesia terhadap Jepang termasuk kalangan pers. Setelah mendapatkan simpati, tujuan asli Jepang masuk Indonesia terlihat.
37
Mereka menguras dan menjadikan bumi pertiwi ini menjadi darerah Jajahan. Negeri Samurai itu juga menutup seluruh surat kabar Belanda dan Cina sejak 9 Maret 1942. Jepang memonopoli dan mengambil alih semua usaha penerbitan. Dalam segi publikasi mereka membuat aturan yang menyatakan setiap jenis barang cetakan harus memiliki izin terbit. Selain itu, aturan tersebut juga melarang semua penerbitan yang memusuhi Jepang. Kemudian Jepang membuat ketentuan mengenai sensor preventif untuk meredam pers perjuangan yang semakin gencar menyuarakan kemerdekaan Indonesia. Bentuk penyensoran itu serupa dengan era kolonialisme Belanda, semua barang cetakan harus melewati bagian sensor tentara Jepang sebelum terbit. Kantor-kantor sensor itu berada di Jakarta, Bandung, Solo, Yogyakarta, dan Surabaya. Tindakan lain Tentara Dai Nippon terhadap pers dengan menempatkan seorang penasehat yang bertugas melakukan kontrol langsung terhadap pers. Selain itu, tidak jarang pula “para penasehat” Jepang menulis sendiri artikel-artikelnya, dengan menggunakan nama para anggota redaksi. 40 Mereka juga melakukan penyegelan terhadap radio yang digunakan untuk alat propaganda. Pada masa itu pers hanya digunakan sebagai alat pemerintah Jepang. Kemerdekaan yang diraih 70 tahun silam tidak serta-merta membuat pers kala itu benar-benar bebas. Pasalnya pemberedelan terhadap pers tetap terjadi, terutama paska pemberlakuan keadaan darurat atau SOB (Staat van Oorlog en Deleg), warisan penjajah Belanda. Pada saat itu sistem pemerintahan Indonesia menganut sistem demokrasi terpimpin dan masih bertindak “kejam” terhadap pers.
40
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, h. 41.
38
Banyak surat kabar yang dibredel oleh pemerintah sedangkan para wartawan banyak yang ditangkap dan ditahan tanpa proses hukum. Duka bagi kebebasan pers di Indonesia dimulai sejak 1 Oktober 1958, pada tanggal tersebut Penguasa Perang Daerah (Peperda) Djakarta Raya Jaya memberlakukan Surat Izin Terbit (SIT) terhadap pers. Artinya pimpinan surat kabar atau majalah wajib mengajukan permohonan izin agar medianya bisa beredar di masyarakat. Sebelumnya Peperda megeluarkan surat keputusan terkait penerbitan pers. Isi surat tersebut mewajibkan seluruh penerbitan surat kabar dan majalah mendaftarkan diri sebelum 1 Oktober 1957. Matinya kebebasan pers pada masa pemerintahan Orde Lama dimulai sejak saat itu. Surat kabar yang masih terbit setelah tanggal itu harus mengikuti kehendak penguasa. Jika ada pers yang berani bertindak “nakal” versi penguasa maka pencabutan SIT bisa terjadi kapan saja. Hal itu membuat wartawan selalu dibayangi ketakutan pencabutan SIT saat menjalankan tugasnya. Saat itu, tak ada lagi pers yang kritis. Selama tahun 1958 tercatat 42 peristiwa yang dialami pers seperti pembredelan, penahanan, bahkan penganiayaan wartawan.41 Sebelum kasus pembredelan terhadap pers terjadi, pada dasawarsa 1950 – 1059 Presiden Soekarno menggunakan sistem demokrasi Liberal untuk memimpin bangsa ini. Sistem demokrasi itu membuat pers memanfaatkan kebebasannya secara leluasa namun cenderung kebablasan. Munculnya pers di bawah kendali partai politik membuat pers tidak kritis. Pers lebih berfungsi sebagai kendaraan partai politik dan petinggi partai. Isi pemberitaan Pers lebih banyak saling mencaci, memfitnah lawan politik, tidak
41
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, h. 46.
39
jarang pula pers hanya mengejar tiras dengan berita sensasi dan megarah pada pornografi. Pada akhirnya masyarakat pembaca kehilangan kepercayaan terhadap surat kabar. Padahal letak kekuatan suatu surat kabar adalah pada kepercayaan masyarakat terhadapnya sebagai sumber informasi. Kondisi politik yang panas serta tidak menentu menyebabkan rezim orde lama yang dinahkodai oleh sang proklamator, Soekarno, karam dan tenggelam. Kemudian Tampuk kepemimpinan bangsa ini berganti pada orde Baru dibawah nanungan Soeharto. Perubahan pimpinan bangsa ini juga membuat sistem pers ikut berubah. Meskipun pada awal kepemimpinan Soeharto pers mendapat perlakuan istimewa, tetap saja pembredelan terhadap pers yang kritis tetap terjadi. Dalih menjaga keamanan dan ketertiban pencabutan SIT bisa terjadi kapan dan dimana saja. Sejarah mencatat rezim Orde Baru merupakan pemimpin dengan tingkat pengekangan pers paling banyak. Selama 32 tahun menjadi penguasa rezim bentukan Soeharto ini membatalkan izin terbit sebanyak 237 perusahaan pers. Penguasa berdalih perusahaan pers tersebut mengganggu stabilitas nasional sehingga pembatalan bahkan hingga pencabutan izin terbit menjadi “hadiah” yang setimpal. Salah satu yang fenomenal adalah dibongkarnya kasus korupsi Pertamina oleh surat kabar Indonesia Raya pimpinan Mochtar Lubis. 42 Sikap surat kabar Indonesia Raya yang mengedepankan independensi dan memancarkan sifat partisan tanpa kompromi terhadap “hal-hal yang merugikan kepentingan umum” membuat media ini menjadi incaran rezim Orde Baru. Kesabaran penguasa terhadap surat kabar ini mencapai tapal batasnya setelah 42
Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia., h. 146.
40
peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari). Lima hari setelah peristiwa Malari, 20 Januari 1974, Surat kabar Indonesia Raya mendapat hadiah berupa pencabutan surat izin cetak dan surat izin terbit. Sejak saat itu Indonesia Raya Tamat sedangkan Mochtar Lubis ditahan oleh rezim Orde Baru selama 2,5 Bulan. Setelah itu rezim Orde Baru mulai melakukan pembatasan terhadap kebebasan pers, dalam bentuk pemberedelan terhadap beberapa surat kabar di Jakarta dan beberapa daerah. Orde Baru memiliki banyak cara yang efektif dalam membungkap sikap pers yang kritis. Salah satu cara pembungkaman itu dengan melakukan kerja sama antara pemerintah dengan lembaga Pers. Dalam kerja sama itu Pemerintah memberikan dukungan dalam bentuk bantuan dan fasilitas. Meskipun demikian pemberian bantuan dan fasilitas itu dibarengi dengan beberapa persyaratan yang harus dipatuhi lembaga pers. Bentuk persyaratan itu meliputi pemberitaan buruk tentang keluarga Cendana; media tidak menyinggung Dwifungsi ABRI; media tidak boleh menulis hal-hal yang berkaitan dengan masalah SARA. Pembatasan kebebasan pers pada era itu juga dilakukan dengan “cara-cara lain” seperti “imbauan pejabat pemerintah” untuk tidak memuat suatu fakta yang menurut pemerintah menimbulkan dampak terhadap keamanan, walaupun menurut kaidah jurnalistik mempunyai nilai berita yang tinggi. Imbauan dilakukan antara lain melalui chief editors meeting, atau melalui telepon oleh pejabat ke dewan redaksi.
43
Salah satu media yang merasakan “dibredel” melalui
sambungan telepon adalah Harian Kompas. Surat Kabar bentukan Jakoeb Oetama dan Petrus Kanisius Ojong itu berhenti 43
Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia., h.149.
41
terbit untuk kedua kalinya, Sabtu, 21 Januari 1978. Pelarangan terbit itu berdasarkan sambungan telepon Kepala Dinas Penerangan Laksuda Jaya kepada dewan redaksi Kompas, Jumat, 20 Januari 1978, sekira 20.25 WIB. Pembredelan itu memiliki benang merah dengan Tajuk Rencana Kompas, 16 Januari 1978, berjudul “Aspirasi Mahasiswa” ditulis Jakob Oetama. Pada intinya isi tajuk rencana itu berpendapat bahwa aksi-aksi unjuk rasa para mahasiswa pada tahun 1977 hingga 1978 perlu mendapat perhatian dan diakomodir.44 Selain kompas terdapat 11 koran dan majalah lain yang merasakan hal serupa, dibredel melalui telepon. Berbagai tekanan terhadap kebebasan pers mengakibatkan media menjadi lebih pragmatis, konten media menjadi mandul, dan lebih eufimistis dalam melakukan kritik terhadap penguasa. Selain itu tindakan represif pemerintah terhadap pers juga berdampak pada kondisi psikologis penggiat media massa. Saat melaksanakan tugas jurnalisme wartawan mendapatkan kesulitan dalam menentukan berita yang boleh dan terlarang. Sumber berita pun merasa tidak pasti, karena takut memberikan informasi. 45 Hal itu menyebabkan timbulnya rasa ketidakpastian dalam profesi wartawan. Selama rezim Orde Baru berkuasa, kebebasan mengemukakan pendapat sebagai manifestasi dari social control function, tidak diperoleh sama sekali.46 Kebebasan pers pada masa kepemimpinan monolitik Orde Baru hanya lebih banyak
memunculkan
kisah
sedih.
Bahkan
hingga
penghujung
masa
Daniel, “Hari Bersejarah yang Menentukan "Kompas" Bisa Eksis Sampai Sekarang”, artikel diakses 25 Agustus 2015 dari http://www.kompasiana.com/danielht/hari-bersejarah-yang-menentukan-kompas-bisa-eksis-sampai -sekarang_5590aec87a937325048b4567 45 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD), Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas) h. 202. 46 Naungan Harahap Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia., h.149. 44
42
kekuasaannya Pembatasan hingga pembredelan terhadap pers terus berlangsung. Akibatnya Pers di Indonesia menjadi Pers Tiarap dan menggunakan Jurnalisme Kepiting. Lepas dari cengkraman Orde Baru pers Indonesia menatap harapan baru ketika Orde Reformasi memegang kendali penuh atas negeri ini. Pembubaran Departemen Penerangan, malaikat pencabut nyawa pers Indonesia, oleh Presiden Abdurrahman Wahid menjadi tonggak baru pers Indonesia yang lebih merdeka dan kritis. Kelonggaran yang diberikan oleh pemerintah membuat pers memiliki euforia dalam pemberitaannya bahkan cenderung kebablasan. Bila pada masa Orde Baru pers tidak bebas dan bertanggung jawab, pers Orde Reformasi adalah pers yang bebas tetapi tidak bertanggung jawab.47 Oleh karena itu, menegakkan kebebasan pers di Indonesia bukan perkara yang mudah. Kendatipun secara politik pers sudah memperoleh kebebasannya, dalam arti hilangnya pengawasan pemerintah, tetapi hambatan nonpolitik berupa tekanan publik/oknum pemerintah masih dialami oleh pers Indonesia.48 Selain itu tekanan dan ancaman terhadap jurnalis berupa intimidasi dan kekerasan fisik masih kerap terjadi. Fenomena lain yang perlu mendapat perhatian kalangan pers adalah munculnya tuntutan publik melalui jalur hukum, yang selama era Orde Lama maupun Orde Baru jarang terjadi.49 Pada era ini banyak kasus pidana terkait pers tidak menggunakan UU Pers sebagai Lex Specialis, namun menggunakan KUHP.
47
Hanif Suranto, Pers Indonesia Pasca Suharto, (Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Aliansi Jurnalis Indonesia, Jakarta, 1999), h. 2. 48 Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia., h. 152. 49 Naungan Harahap, Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia., h. 153
43
Salah satunya adalah kasus Tomy Winata melawan majalah Tempo. Akibat pemberitaan Majalah Tempo edisi 3-9 Maret 2013 di halaman 31 memuat tulisan berjudul “Ada Tomy di Tenabang?” Tomy menuduh Majalah Tempo melanggar KUHP dengan mengajukan tuntutan 100 miliar sebagai kerugian material dan 100 miliar pula sebagai kerugian imaterial. Tidak itu saja, sebelumnya ratusan massa menyerbu kantor redaksi majalah Tempo di Jalan Proklamasi, Jakarta Pusat, Sabtu, 8 Maret 2003. Selain menyerbu ratusan preman tersebut juga menganiaya wartawan Tempo, Ahmat taufik, Karaniya, dan pemimpin redaksi Bambang Haryumukti, ironisnya penganiayayan terjadi hingga di kantor Polres Jakarta Pusat. Selain itu Saudara kandung Majalah Tempo, Koran Tempo, juga merasakan hal yang sama, dilaporkan oleh Tomy Winata yang merasa nama baiknya dicemarkan. Tomy melaporkan Koran Tempo menggunakan KUH Perdata yakni pelanggaran Pasal 1365 KUHP dan 1372 KUH perdata.50 Selain itu, Harian Rakyat Merdeka juga pernah diancam oleh para supir taksi, karena beritanya merugikan mereka. Termasuk Harian Jawa Pos yang pernah diduduki oleh banser NU, karena kasus dugaan korupsi yang dilakukan Presiden Abdurrahman Wahid. Saat menjelang pemilu presiden 2014 penyerangan juga melanda kantor redaksi Tv One di Pulo Gadung, oleh segerombolan orang, karena pemberitaannya yang menyudutkan salah satu pasangan calon presiden. Kriminalisasi terhadap awak media pun kerap terjadi salah satunya menimpa pemimpin Redaksi The Jakarta Post Meidyatama Suryodiningrat. Kasus ini bermula ketika The Jakarta Post edisi 3 Juli 2014 memublikasikan karikatur
50
Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, h. 302.
44
bertulisan Arab yang mereka kutip dari sebuah media internasional, Alquds. Karikatur tersebut membuat Majelis Tabligh dan Dakwah Korps Mubaligh Jakarta (KMJ) tersinggung dan melaporkan Meidyatama ke polisi, 15 Juli 2014. Kemudian Pemimpin Redaksi harian berbahasa Inggris itu dijerat Pasal 156 ayat (a) KUHP tentang penistaan agama. Meskipun negara
sudah menjamin kebebasan pers melalui aturan
perundang-undangan, pers di Indonesia belum sepenuhnya bebas berekspresi. Hingga saat ini, masih terdapat berbagai bentuk intimidasi dan kekerasan fisik terhadap pekerja pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat terjadinya 565 kasus kekerasan terhadap pekerja pers yang terjadi selama 17 tahun Era Reformasi bergulir. Jumlah tersebut belum termasuk tindak kekerasan yang tidak dilaporkan. Kekerasan terhadap pers disebabkan masih kurangnya pemahaman penegak hukum, pejabat, masyarakat dan pihak lainnya terhadap kebebasan pers. Berdasarkan Data AJI Kekerasan terhadap jurnalis dilakukan oleh beragam kelompok, mulai dari polisi, tentara, pejabat publik seperti gubernur atau kepala dinas, anggota legislatif, maupun aparat penegak hukum lain seperti jaksa dan hakim. Bentuk-bentuk kekerasan tersebut meliputi kriminalisasi, penculikan, penganiayaan, pembunuhan, ancaman, telepon gelap, teror, pelecehan, pemukulan, pengusiran, pelarangan liputan, perusakan kantor, dan perampasan kamera.51 Pasca kebebasan pers tahun 1999, jumlah kekerasan termasuk pembunuhan terhadap wartawan di Indonesia terus meningkat. Bahkan sejak 1996 sedikitnya sudah terjadi 13 kasus pembunuhan wartawan, tiga di antaranya terjadi di masa Aliansi Jurnalis Independen, “Data Kekerasan”, Data diakses pada 26 Agustus 2015 dari http://advokasi.aji.or.id/index/data-kekerasan/1/10.html 51
45
Orde Baru. Praktik impunitas nyata-nyata dijalankan aparat penegak hukum dengan pembiaran bahkan perusakan barang bukti kasus pembunuhan wartawan, demi melindungi para pelaku. Hingga kini tercatat, sedikitnya ada delapan jurnalis dibunuh yang kasusnya terbengkalai dan para pelakunya belum diadili. Delapan kasus pembunuhan jurnalis itu adalah kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syarifuddin alias Udin (Harian Bernas di Yogyakarta, 16 Agustus 1996), Naimullah (Harian Sinar Pagi di Kalimantan Barat, ditemukan tewas pada 25 Juli 1997), Agus Mulyawan (Asia Press di Timor Timur, 25 September 1999), Muhammad Jamaluddin (TVRI di Aceh, ditemukan tewas pada 17 Juni 2003), Ersa Siregar (RCTI di Nangroe Aceh Darussalam, 29 Desember 2003), Herliyanto (Tabloid Delta Pos Sidoarjo di Jawa Timur, ditemukan tewas pada 29 April 2006), Adriansyah Matra’is Wibisono (TV lokal di Merauke, Papua, ditemukan pada 29 Juli 2010), dan Alfred Mirulewan (Tabloid Pelangi, Maluku, ditemukan tewas pada 18 Desember 2010).52 Sejak pembredelan pers tidak berlaku lagi, kini masih ada cara untuk membungkam pers yaitu membunuh wartawan atau membangkrutkan perusahaan medianya. Perilaku aparatur negara yang abai terhadap perlindungan jurnalis juga mengakibatkan semakin banyaknya masyarakat umum yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis yang bekerja. Pergeseran zaman Orde Baru ke reformasi mengakibatkan ancaman yang besar bagi jurnalis. Betapa tidak, di era reformasi kekerasan terhadap pers justru semakin meningkat. Penyebabnya pemerintah dan aparat keamanan belum sepenuhnya memberikan perhatian dan rasa aman terhadap pers. Undang-undang sudah ada tapi Iman D. Nugroho, “Jurnalis Diintai Maut” Artikel diakses pada 26 Agustus 2015 dari http://aji.or.id/read/berita/271/Hari-Kebebasan-Pers-Internasional-3-Mei-2014.html 52
46
belum dijalankan dengan baik. Akibatnya, muncul tindakan anarkis yang dilakukan pihak yang merasa dirugikan oleh pemberitaan media massa. Pada masa kini upaya penggerusan terhadap kebebasan pers tidak hanya dari segi kekerasan. Terlebih industri pers yang berkembang menjadi konglomerasi pers menjadi ancaman dari dalam tubuh pers itu sendiri, terkait Independensi dan idealisme pers sebagai “anjing penjaga”. Keadaan media yang cenderung berubah ke arah liberalisasi memberikan keleluasaan dalam pemilikan media. Para pemilik modal memanfaatkan kesempatan tersebut untuk menanamkan investasi secara maksimal sebagai bagian dari kegiatan bisnis yang strategis dan menguntungkan. Akibatnya, tidak semua media penyiaran melaksanakan tugas jurnalistik. Bahkan kegiatan jurnalistik atau unsur jurnalisme hanya sebagian kecil saja dari aneka ragam program media penyiaran. D. Pers 1.
Definisi Pers dan Jurnalistik
Dalam pandangan masyarakat awam pers dan jurnalistik itu sama. Sesungguhnya keduanya itu berbeda namun tidak dapat dipisahkan. Berita, salah satu produk jurnalistik, dicetak pada kertas dengan mesin cetak press, maka istilah “pers” juga digunakan untuk menyebut kegiatan yang sama dengan jurnalistik. 53 Pers dan Jurnalistik bagaikan dua sisi mata koin yang berbeda tapi menyatu. Pers tidak hanya karya jurnalistik yang tertuang dalam media cetak saja, namun termasuk segala jenis media elektronik seperti radio, televisi, bahkan internet. Kata pers berasal dari bahasa Belanda “persen” atau press dalam bahasa
38
Ahmad Y. Samantho, Jurnalistik Islami; Panduan Praktis bagi Para Aktivis Muslim, (Bandung: Mizan, 2002), h. 44.
47
Inggris. Kedua kata tersebut memiliki arti menekan atau mengepres.54 Secara harfiah kata pers atau press menstimulasi orang pada mesin cetak kuno yang harus ditekan sehingga menghasilkan karya cetak. Saat ini banyak orang menganggap kedua kata tersebut sebagai kegiatan jurnalistik, seperti mencari, mengumpulkan dan membuat berita, baik oleh wartawan media elektronik maupun media cetak. Sementara itu Frank Jeffkins, pakar dan praktisi kehumasan di Inggris dan Amerika, mengatakan pers adalah upaya untuk mempublikasikan suatu pesan atau informasi yang maksimum untuk menciptakan pengetahuan dan pemahaman bagi khalayak yang dilakukan oleh organisasi atau perusahaan.55 Secara yuridis formal yang berlaku di Indonesia dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pokok Pers No. 40/1999, pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.56 Dari beberapa penjelasan tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa Pers adalah media massa tempat karya jurnalistik disebarluaskan kepada masyarakat. Layaknya Pers, Jurnalistik juga memiliki beberapa pengertian dan pandangan para ahli. Secara epistomologi jurnalistik berasal dari bahasa Inggris “Journalistic”. Kata itu memiliki makna kewartawanan atau hal-hal terkait
39
Hikmat Kusumaningrat & Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik: Teori dan Praktik, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), h. 17. 40 Suf Kasman, Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia; Analisis Isi Pemberitaan Harian Kompas dan republika, (Jakarta: Balai Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010), h. 54. 56 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 31.
48
pemberitaan. Jurnalisitik memiliki kata dasar berbahasa Perancis “Journ” yang bermakna catatan atau laporan harian. Kata dasar Jurnalistik sendiri merupakan serapan dari bahasa Latin “diurnal” yang berarti harian atau setiap hari. Dalam kamus, Jurnalistik diartikan sebagai kegiatan untuk menyiapkan, mengedit, dan menulis surat kabar, majalah, dan media massa lainnya. Sementara itu menurut beberapa pakar seperti Mac Dougall, Onong Uchjana Efendi, F. Fraser Bond, dan Djen Amar memiliki sudut pandang yang hampir sama dalam mendefinisikan Jurnalistik. Mac Dougall menyebutkan Jurnalistik adalah kegiatan menghimpun berita, mencari fakta, dan melaporkan peristiwa. Selanjutnya Onong Uchjana Efendi mengatakan jurnalistik merupakan teknik mengelola
berita mulai
dari
mendapatkan bahan hingga tahap menyebarluaskannya kepada masyarakat. Fraser Bond dalam bukunya An Introduction to Journalism menyatakan “Journalism ambrace all the forms in which and trough wich the news and moment on the news reach the public.” Jurnalistik adalah segala bentuk yang membuat berita dan ulasan mengenai berita sampai pada kelompok pemerhati. Sementara itu Djen Amar mengungkapkan, jurnalistik merupakan kegiatan mengumpulkan,
mengolah,
dan
menyebarkan
berita
kepada
khalayak
seluas-luasnya dan secepat-cepatnya. Dari beberapa literasi tersebut dapat kita menyimpulkan bahwa Jurnalistik adalah kegiatan proses mencari, menggali, mengumpulkan, mengolah, memuat, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada masyarakat dengan waktu yang singkat. Sedangkan pers adalah media massa tempat berita itu dipublikasikan. Jadi dapat kita pahami bahwa jurnalistik bukan pers. Jurnalistik
49
lebih merujuk pada proses kegiatan sedangkan pers berhubungan dengan media atau media itu sendiri. 2.
Perkembangan Pers di Indonesia
Masa kolonialisme Belanda di Indonesia ternyata memiliki peran terhadap dunia pers di tanah air. Berdasarkan sejumlah literasi, surat kabar sudah ada di Indonesia tahun 1744 saat Gubernur Jenderal Van Imhoff memimpin Jakarta. Pada era itu orang-orang Belanda mengelola surat kabar di Jakarta dengan nama Bataviasche Nowvelles. Surat kabar tersebut hanya mampu bertahan selama dua tahun. Kemudian pada 1776, penguasa Belanda menerbitkan Vendu Niews di Batavia yang menjadi ibukota VOC pada masa itu. Koran kedua di Indonesia yang terbit hingga tahun 1809 itu lebih fokus pada berita pelelangan. Penduduk Betawi menyebut koran itu sebagai surat lelang hingga tahun 1860. Memasuki abad 19 surat kabar milik Belanda masih menjadi surat kabar utama di Indonesia. Surat kabar berbentuk koran tersebut sudah jelas membawakan suara pemerintahan kolonial Belanda. Para pembaca koran-koran tersebut adalah orang Belanda dan beberapa kelompok kecil bangsa pribumi yang mengerti bahasa Belanda.57 Sementara itu surat kabar milik kaum pribumi mulai terbit pada 1854 melalui majalah Bianglala di Weltevreden-Batavia). Selanjutnya di kota Surakarta Bromartani mulai beredar pada tahun 1885. Kemudian pada tahun 1856 Soerat Kabar Bahasa Melajoe terbit di Kota Pahlawan, Surabaya. Surat Kabar pertama milik bangsa Indonesia adalah Medan Prijaji yang terbit tahun 1907 di Kota Bandung. Awalnya surat kabar bentukan R.M. Tirtoadisuryo
57
Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 19.
50
ini berbentuk mingguan, kemudian berubah menjadi harian sejak 1910. Medan Prijaji hanya mampu bertahan selama lima tahun, 1907 hingga 1912. Pada masa jayanya, ketika sudah terbit harian, surat kabar yang menjadi pelopor pers nasional ini dapat mencapai tiras hingga 2.000 eksemplar. Pendirinya, Tirtoadisuryo, dianggap sebagai orang pertama yang meletakkan dasar-dasar jurnalistik modern di Indonesia.
58
Pers nasional makin berkembang setelah lahir organisasi massa serta gerakan kebangsaan dan keagamaan. Setiap organisasi dan gerakan tersebut turut menerbitkan media yang menjadi alat perjuangan mereka. Hal itu juga membuat para pemimpin bangsa ini pernah berkecimpung dalam dunia pers. Salah satunya adalah Abdoel Rivai. Tulisannya sangat terkenal tajam mengkritik penjajahan Belanda, dan oleh Adinegoro, Rivai diberi gelar sebagai “Bapak Jurnalistik Indonesia”.59 Media massa pada masa sebelum kemerdekaan memang menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia. Hal itu yang menyebabkan pers di masa penjajahan mendapat tekanan dari pemerintah kolonial Belanda. Proklamasi kemerdekaan Indonesia, Jumat, 17 Agustus 1945, menjadi babak baru perkembangan pers di Tanah Air. Pada awal kemerdekaan Indonesia pers nasional semakin jelas menunjukan jati dirinya sebagai pers perjuangan. Bagi pers saat itu, tak ada tugas paling mulia kecuali mengibarkan merah putih setinggi-tingginya.60 Pers nasional menikmati kemerdekaan dengan bebas dari berbagai tekanan 58 Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 20. 59 Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (Ciputat: Kalam Indonesia, 2005) h. 18. 60 Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 20.
51
pada awal kemerdekaan. Hal itu menstimulasi munculnya surat kabar baru di beberapa kota besar di Indonesia seperti Merdeka, terbit di Jakarta pada 1 oktober 1945. Selain itu di Kota Pelajar, Yogyakarta, Kedaulatan Rakyat tahun 1945. Selanjutnya di Kota Surabaya terbit Jawa Pos tahun 1949 dan Surabaya Post tahun 1953. Kemudian di Semarang terbit Suara Merdeka tahun 1950. Sedangkan di Kota Bandung terbit Pikiran Rakyat tahun 1956, dan sebagainya. 61 Suasana bebas kehidupan pers pada era itu membuat partai politik berlomba-lomba menerbitkan media. Sejak 1950 muncul media Harian Abadi yang berkiblat pada Masjumi, selain itu ada Suluh Indonesia milik PNI. Kemudian Duta Masyarakat milik Partai Nahdlatul Ulama, Pedoman milik PSI, dan Harian Rakjat milik Partai Komunis Indonesia. Hal itu membuat pers Indonesia lebih banyak memerankan diri sebagai corong kepentingan partai politik. Masa itu adalah masa dimana pers Indonesia dengan sadar menjadi juru bicara dan berperilaku seperti partai politik. Dalam era tersebut, pers terjebak dalam pola sektarian. Secara filosofis pers tidak mengabdi kepada kebenaran untuk rakyat, melainkan kepada kemenangan untuk para pejabat partai. Suasana bebas kehidupan pers tersebut hanya berlangsung selama 14 tahun, selama masa demokrasi liberal (1945-1959). Pada masa itu pers Indonesia disebut juga pers merdeka. Pergolakan politik Indonesia tahun 1959 hingga 1965 juga berpengaruh pada pers Indonesia. Kala itu sistem Demokrasi Indonesia berhaluan pada sistem Demokrasi Terpimpin sehingga terjadi pembatasan terhadap kehidupan pers. Masa kemerdekaan pers yang bebas berubah menjadi sistem pers
61
Sudirman Tebba, Jurnalistik Batu, h. 19.
52
otoriter. Setelah Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959 pemerintah secara berkala membuat peraturan yang lebih mengetatkan pengawasan terhadap pers. Terlebih saat pihak penguasa mewajibkan seluruh surat kabar dan majalah di Indonesia memiliki surat ijin terbit (SIT). Akibatnya sejumlah surat kabar menghentikan penerbitannya, seperti Harian Abadi, Harian Pedoman, Nusantara, Kengpo, Pos Indonesia, dan lain-lain. Kondisi pengekangan terhadap pers mengendur ketika Orde Baru lahir tahun 1966. Angin kebebasan pers bisa dirasakan karena Pemerintah sangat bersahabat dengan pers. Meskipun demikian masa indah yang dirasakan pers saat itu hanya bersifat sementara. Sejarah tidak pernah alpa, terlebih saat mencatat peristiwa pembredelan mingguan Mahasiswa Indonesia dan 11 penerbitan pers umum, paska peristiwa malapetaka lima belas Januari (Malari) tahun 1974. Pembredelan dilakukan dengan cara mencabut surat izin cetak (SIC) oleh Komando pemulihan keamanan dan ketertiban (Kopkamtib) dan surat izin terbit (SIT) oleh Kementerian Penerangan, terjadi setelah peristiwa itu: Harian Nusantara pada 16 Januari; Harian Suluh Berita di Surabaya 19 Januari; Mingguan dari Bandung, Mahasiswa Indonesia, 20 Januari; Harian KAMI, Indonesia Raya, Abadi, The Jakarta Times, serta Mingguan Wenang dan Pemuda Indonesia 21 Januari; Harian Pedoman serta Mingguan Ekspres 24 Januari; dan Harian Indonesia Pos di Makassar pada 2 Februari.62 Pers Pancasila merupakan sebutan bagi pers Indonesia saat Orde Baru berkuasa selama 32 tahun. Pers Pancasila meupakan gabungan antara teori pers Tim Tempo, “Usai Malari, Banyak Media Dibredel,” artikel diakses pada 27 Juli 2015 dari http://nasional.tempo.co/read/news/2014/01/15/078544903/usai-malari-banyak-media-dibredel/ 62
53
bebas dan teori pers tanggung jawab sosial. Hal itu diperkuat dengan pengesahan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966. Selanjutnya pers yang bebas dan bertanggung jawab ditetapkan dalam Garis Besar Haluan Negara (GBHN) Tap MPR Nomor IV Tahun 1973 dan TAP MPR Nomor III 1983. Tumbangnya pemerintahan Orde Baru, Kamis, 21 Mei 1998, pukul 12.00 WIB, menjadi akhir cerita era pers tiarap Orde Baru. Penyerahan jabatan presiden oleh Soeharto kepada wakilnya, Baharudin Jusuf Habibie, disamput sukacita oleh seluruh rakyat Indonesia, begitu pula pers Indonesia. Sejak Orde Reformasi bergulir kebebasan pers berubah menjadi kemerdekaan pers. Departemen Penerangan sebagai malaikat pencabut nyawa pers, dengan serta-merta dibubarkan.63 Dalam era reformasi, kemerdekaan pers benar-benar dijamin dan senantiasa diperjuangkan untuk diwujudkan. Semua komponen bangsa memiliki komitmen yang sama: pers harus hidup dan merdeka. Secara kuantitatif dalam lima tahun pertama era reformasi 1998 hingga 2003, jumlah perusahaan penerbitan pers mengalami pertumbuhan sangat pesat. Dalam kurun waktu tersebut tercatat 600 perusahaan penerbitan pers baru. Kecenderungan maraknya penerbitan pers sebagai dampak langsung reformasi ternyata tidak berlangsung lama. Mereka hanya dapat bertahan selama dua tahun, saat memasuki tahun ketiga
sebanyak 70 persen perusahaan tersebut
gulung tikar. Selanjutnya pada tahun keempat sebanyak 20 persen tutup layar. Hanya 10 persen saja yang mampu bertahan melewati tahun kelima.64
63 Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 25. 64 Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 26
54
Kenyataan tersebut menunjukan, kemerdekaan yang diraih secara ideologis dan politis dalam era reformasi sejak 1998 di Indonesia, tidak serta merta mengantarkan pers nasional pada zaman keemasan. Bila dianalisis, mereka belum memiliki tiang penyangga utama yang kokoh sebagai syarat mutlak pendirian bangunan pers: idealisme, komersialisme, profesionalisme.65 3.
Fungsi dan Peran Pers di Indonesia
Secara gamblang peneliti telah menjelaskan sejarah perkembangan pers di Indonesia sejak masa kolonialisme Belanda hingga era reformasi saat ini. Saat pergantian rezim sistem yang berlaku terhadap pers di Indonesia pun turut berganti. Pers memiliki beberapa peran dan fungsi melalui medianya baik cetak, audio, audio visual, maupun portal berita berbasis internet. Fungsi tersebut meliputi lima elemen yakni informasi, edukasi, koreksi, rekreasi, dan mediasi. Kelima fungsi tersebut dapat kita temukan pada negara yang menganut paham demokrasi. Fungsi pertama pers adalah menyampaikan informasi secara cepat kepada masyarakat. Meskipun demikian informasi yang dipublikasikan harus memenuhi kriteria seperti benar, akurat, aktual, faktual, penting atau menarik, lengkap, jelas, jujur, relevan, etis, bermanfaat dan wajib berimbang (cover both side). Fungsi kedua adalah sebagai sarana pembelajaran sehinga pelbagai informasi yang disebrluaskan pers hendaknya dalam kerangka mendidik. Sebagai pilar keempat demokrasi kehadiran pers memiliki fungsi sebagai pengawas atau mengontrol keekuasan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebagai penganut paham demokrasi pers di Indonesia mengemban tugas sebagai pengawas
65
Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h. 27
55
pemerintah dan masyarakat (watchdog function). Pers senantiasa menyalak ketika melihat berbagai penyimpangan dan ketidakadilan dalam suatu masyarakat atau negara. Meskipun demikian pers bukan hakim yang berhak memvonis atau jaksa yang berhak melakukan tuntutan dan dakwaan. Dalam menjalankan fungsi kontrol sosial pers harus tunduk pada aturan yang berlaku. Pers tidak kebal hukum dan bukan sebagai hukum itu sendiri.66 Fungsi keempat pers adalah menghibur. Pers di Indonesia harus memerankan dirinya sebagai wahana rekreasi bagi seluruh lapisan masyarakat. Hal tersebut memiliki makna apa pun pesan rekreatif yang disajikan tidak boleh bersifat negatif. Pers harus jadi sahabat setia pembaca yang menyenangkan. Fungsi terakhir pers di Indonesia sesusai literatur komunikasi dan jurnalistik yang berlaku secara universal adalah mediasi atau penghubung. Pers mampu menghubungkan berbagai peristiwa yang terjadi di berbagai belahan bumi lain dengan kita. Karena pers kita dapat mengetahui aneka peristiwa yang terjadi dalam waktu yang singkat, bahkan bersamaan.67 Sementara itu kita telah mengetahui pers di Indonesia terbagi dalam beberapa periode seperti masa sebelum kemerdekaan, masa orde lama, orde baru, dan orde reformasi. Pada masa sebelum kemerdekaan pers di Indonesia kental dengan nafas perjuangan, ketika itu pers menjadi alat perjuangan bangsa Indonesia. Hal itu terus terjadi pada awal kemerdekaan Indonesia. Memasuki tahun 1950 euforia kebebasan pers berujung pada terjebaknya pers
66 Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h.. 34 67 Haris Sumardiria, Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional, h.35
56
dalam pergulatan politik. Pada era itu Pers di Indonesia berperan sebagai juru bicara partai politik dalam menjalankan kepentingannya. Hal tersebut merupakan buntut pemberitaan pers yang terlalu tajam mengkritik kebijakan pemerintah.
BAB III GAMBARAN UMUM MAJALAH TEMPO A. Sejarah dan Perkembangan Majalah Tempo Majalah Tempo merupakan majalah mingguan yang terbit setiap selasa. Awalnya pendiri majalah Tempo, Goenawan Muhammad beserta beberapa rekannya mendirikan Majalah Ekspres tahun 1969. Perbedaan prinsip dan idealisme antara pemilik modal utama dan dewan redaksi membuat perpecahan di tubuh Majalah Ekspress. Alhasil Goenawan CS keluar dari Ekspres satu tahun setelah majalah itu terbit. Paska keluar dari Majalah Ekspres Goenawan Mohamad, Fikri Jufri, Christanto Wibisono, Bur Rayuanto, Yusril Djanilus, dan Putu Wijaya, dan Ciputra secara mufakat membentuk Majalah bernama Tempo di Jalan Senen Raya Nomor 83, Jakarta Pusat. Sementara itu Majalah Tempo, dibawah Bendera PT. Grafiti Pers, terbit untuk pertama kalinya, Sabtu, 6 Maret 1971. Saat pertama kali hadir, banyak orang menilai Tempo mengikuti majalah ternama di Amerika bernama Time. Selain pengertiannya yang sama bentuk logonya pun serupa. Oleh karena itu pihak Time pernah menggugat Tempo karena masalah ini. Akan tetapi masalah dapat terselesaikan dengan cara yang damai. Goenawan Mohamad juga menjelaskan pemberian nama Tempo karena Majalah yang terbit berkala setiap pekan ini akan lebih mudah diucapkan, terlebih oleh para pengecer.68 Majalah Tempo tampil dengan bahasa yang lugas lengkap dengan prosa yang menarik dan jenaka. Masyarakat menerima dengan tangan terbuka majalah yang berani tampil beda pada masa awal kepemimpinan orde baru. Ketika itu pengelola 68
https://korporat.tempo.co/tentang/sejarah artikel diakses pada 27 Juli 2015
57
58
tempo yang merupakan aktivis mahasiswa tahun 1965/1966 yang ikut menggulingkan Soekarno, hal itu membuat idealisme menjadi faktor utama jalannya media ini. Mereka mengedepankan peliputan berita yang jujur dan berimbang dalam menjalankan Majalah Tempo. Dalam perjalanannya Majalah Tempo kerap berjumpa dengan pelbagai hambatan. Tajamnya daya krtitik Tempo kepada rezim Orde Baru dan kendaraan politiknya, Golkar, berbuah pada pembredelan untuk pertama kalinya pada tahun 1982.
Isi
pemberitaan
mengidentifikasikan
Tempo
kecurangan
Edisi, pemilu
Sabtu,
13
tahun
1981
Maret
1982
menjadi
yang
biangnya.
Pemerintah melarang Tempo terbit selama dua bulan. Pelarangan itu dicabut ketika Pemimpin Redaksi Tempo, Goenawan Mohamad, menandatangani semacam "janji" di atas kertas segel dengan Ali Moertopo, Menteri Penerangan saat itu. Pembredelan kedua pada masa kepemimpinan Soeharto kembali terjadi melalui Menteri Penerangan Harmoko. Lagi-lagi Tempo dibredel karena daya kritiknya yang terlalu tajam terhadap pemerintah. Tempo dinilai terlalu keras mengkritik Habibie dan Soeharto ihwal pembelian kapal kapal bekas dari Jerman Timur. Pencabutan ijin terbit selama empat tahun itu terkait sebuah artikel pada edisi Sabtu, 11 Juni 1994. Selepas Soeharto turun dari singasananya, Mei 1988, sejumlah wartawan yang pernah bekerja di Tempo dan tercerai berai akibat pemberedelan bertemu kembali. Pertemuan itu menghasilkan kesepakatan mengenai keharusan Majalah Tempo terbit kembali. Masa paceklik dan mati suri itu sirna, seirama dengan munculnya kembali Majalah Tempo, Senin, 12 Oktober 1998, mewarnai khazanah dunia
59
jurnalisme di Indonesia, lengkap dengan jargon mereka “enak dibaca dan perlu”. Perkembangan Tempo mulai bergeliat paska rezim Soeharto tumbang. Selanjutnya untuk meningkatkan skala dan kemampuan penetrasi dalam bidang bisnis media, maka tahun 2001, Perseroan Terbatas (PT) Arsa Raya Perdanago public menjual sahamnya ke publik kemudian lahirlah PT. Tempo Inti Media Tbk. (PT.TIM) sebagai penerbit majalah Tempo yang baru. Kemudian, Senin, 2 April 2001 Koran Tempo dengan sirkulasi 100.000 mulai terbit. Sayap bisnis PT TIM Tbk, terus berkembang dengan munculnya produk-produk baru seperti majalah Tempo Edisi Bahasa Inggris, Travelounge (2009) dan Tempo Interaktif, kemudian menjadi tempo.co serta Tempo News Room (TNR), kantor berita yang berfungsi sebagai pusat berita media Group Tempo. Tempo juga mencoba menembus bisnis televisi dengan mendirikan Tempo TV, kerja sama dengan kantor berita radio KBR68H. Kemudiaan Kelompok Tempo Media adalah juga melakukan ekspansi bisnis pada dunia percetakan dengan PT Temprint. Percetakan ini mencetak produk-produk Kelompok Tempo dan produk dari luar. B. Visi dan Misi Tempo Inti Media Visi: Menjadi acuan dalam usaha meningkatkan kebebasan publik untuk berpikir dan berpendapat serta membangun peradaban yang menghargai kecerdasan dan perbedaan. Misi: 1. Menghasilkan produk multimedia yang independen dan bebas dari segala tekanan dengan menampung dan menyalurkan secara adil suara yang berbeda-beda.
60
2. Menghasilkan produk multimedia bermutu tinggi dan berpegang pada kode etik. 3. Menjadi tempat kerja yang sehat dan menyejahterakan serta mencerminkan keragaman Indonesia. 4. Memiliki proses kerja yang menghargai dan memberi nilai tambah kepada semua pemangku kepentingan. 5. Menjadi lahan kegiatan yang memperkaya khazanah artistik, intelektual, dan dunia bisnis melalui pengingkatan ide-ide baru, bahasa, dan tampilan visual yang baik. 6. Menjadi pemimpin pasar dalam bisnis multem C. Struktur Redaksi Koran Tempo Majalah Tempo merupakan majalah minguan yang diterbitkan oleh PT. Tempo Inti Media Tbk. (PT.TIM). Kantor Redaksi Majalah Tempo terletak di Kebayoran Center Blok A11-A15 Jalan Kebayoran Baru Mayestik, Jakarta 12240. Nomor telepon (021) 755625, faksimili (021) 7255645 atau (021) 7255650, dan email
[email protected]. Sementara itu alamat perusahaan, proses produksi, dan Percetakan oleh PT Temprint berada di Jalan Palmerah Barat No. 8, Jakarta 12210, Nomor telepon (021) 5360409.
Dewan Redaksi Kelompok Tempo Media PEMIMPIN REDAKSI/PENANGGUNG JAWAB: Arif Zulkifli REDAKTUR EKSEKUTIF: Budi Setyarso
61
DEWAN EKSEKUTIF Arif Zulkifli (Ketua), Daru Priyambodo, Gendur Sudarsono, Yuli Ismartono, Hermien Y. Kleden, Wahyu Muryadi, Budi Setyarso, Burhan Sholikin, Lestantya.R. Baskoro, M. Taufiqurohman NASIONAL DAN HUKUM REDAKTUR PELAKSANA Setri Yasra REDAKTUR UTAMA Bagja Hidayat, Jajang Jamaludin, S. Qaris Tajudin REDAKTUR Agoeng Wijaya, Anton Aprianto, Jobpie Sugiharto, Purwanto STAF REDAKSI Ahmad Nurhasim, Anton Septian, Anton William, Febriyan, Rusman Paraqbueq, Yuliawati REPORTER Ananda Wardhiati Theresia, Aryani Kristanti (nonaktif), Francisco Rosarians Enga
Geken, I Wayan Agus Purnomo, Indra Wijaya, Ira Guslina Sufa, Istman
Musaharun Pramadiba, Linda Novi Trianita, Mitra Tarigan, Muhammad Muhyiddin, Muhamad Rizki, Prihandoko, Reza Aditya Ramadhan, Riky Ferdianto, Singgih Soares, Syailendra Persada, Tika Primandari EKONOMI DAN MEDIA REDAKTUR UTAMA Y. Tomi Aryanto
62
REDAKTUR Agus Supriyanto, Efri Nirwan Ritonga, Retno Sulistyowati STAF REDAKSI Abdul Malik, Akbar Tri Kurniawan, Fery Firmansyah, Rachma Tri Widuri, RR Ariyani Yakti Widyastuti, Setiawan Adiwijaya REPORTER Ali Ahmad Noor Hidayat, Amandra Megarani (non aktif), Amirullah, Angga Sukma Wijaya, Ayu Prima Sandi, Bernadette Christina, Faiz Nasrillah, Gustidha Budiartie,
Martha Ruth Thertina, Jayadi Supriadin, Khairul Anam, Pingit Aria
Mutiara Fajrin, Tri Artining Putri INTERNASIONAL DAN NUSA REDAKTUR PELAKSANA Purwanto Setiadi REDAKTUR UTAMA Yudono Yanuar REDAKTUR Abdul Manan, Dwi Arjanto, Eni Saeni, Mustafa Ismail, Raju Febrian STAF REDAKSI Eko Ari Wibowo, Harun Mahbub, Hayati Maulana Nur (nonaktif), Istiqomatul Hayati, Natalia Santi, Sita Planasari REPORTER Baiq Atmi Sani Pertiwi, Rosalina JAWA TIMUR, BALI Zacharias Wuragil (Koordinator Liputan), Endri Kurniawati, Jalil Hakim, Zed
63
Abidin JAWA TENGAH Ali Nur Yasin (Koordinator Liputan), L.N. Idayanie, R. Fadjri JAWA BARAT, BANTEN Rina Cahyani (Koordinator Liputan). SULAWESI SELATAN Sapto Yunus (Koordinator Liputan) SENI & INTERMEZO REDAKTUR PELAKSANA Seno Joko Suyono REDAKTUR Dody Hidayat, Nurdin Kalim, Nunuy Nurhayati STAF REDAKSI Dian Yuliastuti REPORTER Ananda Wardhana Badudu, Ratnaning Asih SAINS, SPORT & KOLOM REDAKTUR PELAKSANA Yos Rizal Suriaji REDAKTUR UTAMA Idrus F. Shahab REDAKTUR Clara Maria Tjandra Dewi H., Hari Prasetyo, Irfan Budiman
64
STAF REDAKSI Agus Baharudin, Angelus Tito Sianipar (nonaktif), Dwi Riyanto Agustiar, Kelik M. Nugroho, Mahardika Satria Hadi, Martha Warta Silaban, Untung Widyanto REPORTER Aditya Budiman, Agita, Amri Mahbub, Erwin Prima Putra Z., Gabriel Titiyoga, Gadi Kurniawan Makitan, Rina Widiastuti, Satwika Gemala Movementi, Tri Suharman METRO DAN PRELUDE REDAKTUR PELAKSANA Bina Bektiati REDAKTUR Juli Hantoro, Rini Kustiani STAF REDAKSI Ali Anwar, Aliya Fathiyah, M.C., Suseno REPORTER Aditya Budiman, Afrilia Suryanis, Amirullah, Arie Firdaus, Choirul Aminudin, Dimas Indra Buana Siregar, Erwan Hermawan, Linda Hairani, Maya Nawangwulan
R., Mohammad Andi Perdana, Ninis Chairunnisa, Nur Alfiyah
BT Tarkhadi, Praga Utama G AYA H I D U P & K O R A N T E M P O M I N G G U REDAKTUR PELAKSANA Tulus Wijanarko
65
REDAKTUR Ahmad Taufik (nonaktif), Dwi Wiyana, M. Reza Maulana, TB. Firman D. Atmakusumah STAF REDAKSI Cheta Nilawati Prasetyaningrum, Heru Triyono REPORTER Isma Savitri, Ismi Wahid Rohmataniah Maulid (nonaktif), Kartika Candra Dwi Susanti, Mitra Tarigan, Retno Endah Dianing Sari, Subkhan INVESTIGASI REDAKTUR PELAKSANA I G Wahyu Dhyatmika REDAKTUR UTAMA Philipus Parera REDAKTUR Stefanus Teguh Edi Pramono, Sukma Loppies, Yandhrie Arvian STAF REDAKSI Agung Sedayu, Mustafa Silalahi P USAT P ELIP UTAN KEPALA Elik Susanto REDAKTUR Agustina Widiarsi, Bobby Chandra, Grace Samantha Gandhi, Kodrat Setiawan, Kurniawan, Maria Rita Ida Hasugian, Nurdin Saleh, Sunudyantoro
66
STAF REDAKSI Budi Riza, Hadriani Pudjiarti, Muhammad Iqbal Muhtarom, Nieke Indrietta Baiduri, Nur Haryanto PENGEMBANGAN PRODUK DIGITAL KEPALA Yosep Suprayogi REDAKTUR Ngarto Februana REPORTER Dwi Oktaviane, Ferdinand Akbar, Ryan Maulana MOBILE & WEB DEVELOPER KEPALA Handy Dharmawan PROGRAMER Radja Komkom Siregar (Koordinator), Anugerah Trihatmojo, Muhammad Khoirul Fatah Zain, Abdul Ghani Hikmawan (Indonesiana) DESAIN Unay Sunardi (Infografer tempo.co) TEMPO ENGLISH SECTION EDITOR SENIOR Richard Bennet EDITOR Lucas Edward (Tempo English Weekly) EDITOR KOORDINATOR Purwani Dyah Prabandari
67
EDITOR Mahinda Arkiyasa, Petir Garda Bhwana (en.tempo.co) STAF REDAKSI Sadika Hamid REPORTER Syari Fani, Amanda T. Siddharta KOORDINATOR PRODUKSI Dewi Pusfitasari TEMPO TV MANAJER PEMBERITAAN Nur Hidayat PRODUSER EKSEKUTIF Diah Ayu Candra Ningrum KREATIF & FO TO REDAKTUR KREATIF Gilang Rahadian REDAKTUR DESAIN Eko
Punto
Pambudi,
Fitra
Moerat
Ramadhan
Sitompul,
Yuyun
Nurrachman DESAINER SENIOR Ehwan Kurniawan, Imam Yunianto, Kendra H. Paramita DESAINER Aji Yuliarto, Ary Setiawan Harahap, Deisy Rikayanti Sastroadmodjo, Djunaedi,
Edward Ricardo Sianturi, Fransisca Hana, Gatot Pandego, Munzir
68
Fadly, Rizal Zulfadli PENATA LETAK Achmad Budy, Agus Darmawan Setiadi, Agus Kurnianto, Ahmad Fatoni, Arief Mudi Handoko, Imam Riyadi Untung, Kuswoyo, Mistono, Rudy Asrori, Tri Watno Widodo, Wahyu Risyanto REDAKTUR FOTO Rully Kesuma (Koordinator), Ijar Karim, Mahanizar Djohan PERISET FOTO Fardi Bestari, Gunawan Wicaksono, Jati Mahatmaji, Nita Dian Afianti, Ratih Purnama Ningsih, Wahyu Setiawan FOTOGRAFER Aditia Noviansyah, Amston Probel, Subekti BAHASA REDAKTUR BAHASA Uu Suhardi (Koordinator), Hasto Pratikto, Sapto Nugroho STAFF SENIOR Iyan Bastian STAF BAHASA Aeni Nur Syamsiah, Edy Sembodo, Fadjriah Nurdiarsih, Hadi Prayuda, Hardian
Putra Pratama, Heru Yulistiyan, Michael Timur Kharisma,
Mochamad Murdwinanto, Rasdi Darma, Sekar Septiandari, Suhud Sudarjo P U S AT DATA D A N A N AL I S A T EM P O KOORDINATOR Priatna
69
RISET M. Azhar, Megel Jeckson, Indra Mutiara PUSAT DATA Dina Andriani, Ismail REDAKTUR SENIOR Amarzan Loebis, Bambang Harymurti, Edi Rustiadi M., Fikri Jufri, Goenawan Mohamad, Leila S. Chudori, Putu Setia, Toriq Hadad KEPALA PEMBERITAAN KORPORAT Toriq Hadad KEPALA BIRO EKSEKUTIF DAN PENDIDIKAN M. Taufiqurohman (Kepala), Yos Rizal Suriaji
BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA A. Analisis Struktur Teks Rubrik Laporan Khusus Bukti Baru Pembunuhan Udin ”Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November 2014 Analisis wacana model Teun A. Van Dijk memiliki karakter khusus, yakni mempunyai tiga dimensi, yakni; teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Hal yang mendasari analisis model ini adalah penggabungan ketiga dimensi wacana menjadi kesatuan analisis. Eriyanto menjelaskan dalam bukunya, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, hal yang dapat kita teliti dalam dimensi adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu.69 Majalah Tempo dalam produk jurnalismenya, laporan khusus Udin ”Bernas”, menjelaskan secara gamblang bagaimana ikhtiar pasukan mereka melawan lupa terhadap kasus itu. Meskipun berlangsung 18 tahun silam, perkara pembunuhan keji itu tidak boleh didiamkan begitu saja. Terlebih dua organisasi wartawan dunia, International Federation of Journalists dan Committe to Protect Journalist, menuntut pengungkapan kasus pembunuhan terhadap wartawan di seluruh dunia. Kasus Udin salah satu yang disorot oleh organisasi tersebut. Tempo menggambarkan pemberitaan itu dengan bahasa khas mereka yang menggigit,
renyah,
langsung,
dan
menjelaskan
secara
detil.
Secara-terang-terangan mereka menggunakan bahasa yang mengarah pada bentuk konstruksi sebuah realita. Sebagai media yang berharap pada kemerdekaan Pers Tempo merasa memiliki tanggung jawab moril terhadap independensi pers di Indonesia, terlebih pada keamanan wartawan yang bertugas tanpa harus dibayangi 69
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 224.
70
71
pembelengguan. Bentuk penggambaran realita itu secara jelas terlihat pada pemilihan narasumber, hingga pembentukan tim pencari fakta yang berhasil menemuan sebuah memo Sri Roso kepada bawahannya untuk “menyelesaikan” Udin. Selain itu, pada akhir artikel Tempo juga mengajak pembaca untuk tidak melupakan sebuah kejahatan karena bagi mereka melupakan kejahatan adalah kejahatan itu sendiri. Pada bab ini peneliti akan menjelaskan analisa wacana kebebasan pers pada pemberitaan Majalah Tempo pada Rubrik Laporan Khusus Udin “Bernas” Bukti Baru Pembunuhan Udin. Peneliti menggunakan analisa wacana model Teun A. Van Dijk yang melihat suatu teks terdiri dari beberapa stuktur atau tingkatan yang bagian-bagiannya saling mendukung satu sama lain. 1.
Analisis Artikel “Memo Sebelum Malam Jahanam” a.
Tematik
Dalam Analisis Wacana Van Dijk Tema yang merupakan makna global dari suatu teks berada dalam tingkatan pertama. Van Dijk menyebut tingkatan ini sebagai struktur makro. Pada struktur ini tema didukung oleh kerangka teks yang pada akhirnya terjadi pemilihan kata dan kalimat yang akan digunakan dan ditonjolkan dalam suatu berita. Sedangkan menurut Eriyanto, tema menunjukan konsep dominan, sentral, dan paling penting dari isi suatu berita.70 Tema yang terkandung dalam artikel “Memo Sebelum Malam Jahanam” adalah: “Sri Roso juga memerintahkan anak buahnya menyiapkan tuntutan ke redaksi Bernas atau sumber berita. Ia meminta 70
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media h. 229.
72
semua hal disiapkan seceara rapi dan mewanti-wanti ihwal ini selesai sebelum 17 Agustus 1996. Menurut Asril, tulisan tangan dalam memo itu cocok dengan tulisan tangan Sri Roso.” (Paragraf 13). Peneliti mengangkat tema itu berdasarkan salinan dokumen yang merupakan memo tulisan tangan Bupati Sri Roso Sudarmo tertanggal 27 Juli 1996. Inti dari memo diatas sebuah surat dari Camat Imogiri Hardi Purnomo adalah perintah Sri Roso untuk menuntaskan kasus Udin sebelum 17 Agustus 1996. Bupati Bantul itu geram atas pemberitaan Udin di Bernas tanggal 26 Juli 1996 yang berjudul “Di Desa Karangtengah, Imogiri, Bantul, Dana IDT Hanya Diberikan Separo” Sementara itu berdasarkan bukti-bukti, dana yang diberkan hanya Rp 1 Juta dari yang seharusnya Rp 2 Juta. Berdasarkan tema ini, peneliti ingin menyampaikan kepada pembaca tentang reka ulang yang dilakukan oleh Tempo. Mereka mendapatkan fakta penting: memo Sri Roso kepada bawahannya untuk “menyelesaian” Udin. Selain itu, isi pesan dan alasan pembuatan memo itu juga menjadi alasan pengambilan tema tersebut. b. Skematik Skematik atau superstuktur dalam wacana model Van Dijk berperan untuk menjelaskan alur atau kronologis dari sebuah berita. Pada umumnya sebuah teks wacana memiliki sebuah skema yang tersusun rapih, mulai dari pendahuluan, isi, hingga akhir teks wacana tersebut. Pada akhirnya skema itu akan menunjukan bagaimana teks disusun sehingga menyimpan sebuah makna yang tersirat maupun tersurat. Umumnya sebuah pemberitaan di media massa memiliki dua bentuk skema besar, yakni Summary dan story. Summary pada umumnya terbagi menjadi elemen
73
judul (headline) dan teras (lead). Pada kedua elemen inilah, wartawan menyampaikan ide dasar atau tema artikelnya kepada masyarakat. Eriyanto memandang elemen ini menjadi hal terpenting dari sebuah artikel atau berita. Sementara itu elemen story adalah isi berita atau artikel secara keseluruhan. Skema Summary pada salah satu artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” ini mengangkat judul “Memo Sebelum Malam Jahanam” kemudian berlanjut pada teras artikel “Bupati Sri Roso Sudarmo menggelar rapat muspida membahas berita yang ditulis Udin. Ia minta soal berita Udin selesai sebelum 17 Agustus.” Skema selanjutnya, Story, adalah uraian situasi kejadian yang muncul setelah teras artikel. Wartawan Tempo menceritakan bagaimana sepak terjang Pemerintah Kabupaten Bantul yang dinahkodai Bupati Sri Roso Sudarmo menanggapi pemberitaan Bernas tentang dana Inpres Desa tertinggal (IDT) di Desa Karangtengah, Kecamatan Imogiri dan Desa Bawuran, Kecamatan Pleret. Selanjutnya, pada artikel itu tertulis jelas bahwa Pemerintah Kabupaten Bantul saat itu berencana memperkarakan berita yang Udin tulis secara hukum. Berdasarkan dokumen otentik yang diperlihatkan oleh Siti Asfijah, mantan Kepala Bagian Hukum dan Pemerintahan Kabupaten Bantul, kepada wartawan Tempo, terdapat disposisi agar ada pengusutan terhadap wartawan yang menulis atau ke kantor Bernas. Pada bagian akhir artikel wartawan Tempo memasukan hasil wawancara dengan Sri Roso Sudarmo, orang yang dituduh sebagai dalang atas kematian Udin. Mantan Bupati Bantul itu berpeluh kesah terhadap pemberitaan media massa yang kerap menyudutkan dirinya. Ia berdalih kematian Udin tidak ada kaitannya
74
dengan dirinya, bisa saja ia meninggal karena masalah asmara, hutang-piutang atau masalah lainnya. “Sri Roso Sudarmo menampik tudingan terlibat dalam pembunuhan Udin. Kepada Tempo yang menemuinya di rumahnya di Sleman, Yogyakarta, September lalu, Sri Roso menyatakan selama ini telah menjadi korban pemberitaan media massa. Ia menyebutkan polisi belum bisa membuktikan pembunuhan itu. Maka, kata dia, tak selayaknya tudingan mengarah padanya. “Dia (Udin) itu punya persoalan di luar kewartawanannya”, Ujar Sri Roso.” (Paragraf 16). Tempo memuat hasil wawancaranya dengan Sri Roso Sudarmo demi menjaga keseimbangan berita dan prinsip cover both side. Meskipun demikian hanya sebagian kecil ruang yang tersedia untuk artikel pembelaan Sri Roso atas kematian Udin. c. Latar Van Dijk mengemukakan bahwa setiap wartawan biasanya menjabarkan latar belakang dari sebuah peristiwa yang ia tulis. Latar yang dipilih oleh wartawan pada akhirnya akan menggiring sudut pandang khalayak yang membacanya. Hal itu dapat terjadi karena setiap berita memiliki bagian yang dapat memengaruhi arti dan makna yang ditampilkan. Van Dijk meletakan bagian tersebut, latar, pada tingkat analisis struktur mikro yaitu semantik. Latar pada salah satu artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk “Memo Sebelum Malam Jahanam” terdapat pada paragraf kedua artikel tersebut. Inti paragraf itu adalah sebuah gedung di Jalan Gajah Mada 10, tempat koordinasi Pemerintah Kabupaten Bantul membahas berita yang ditulis Udin, sebelum ia dibunuh. “Bendera merah putih berkibar di pucuk tiang. Pipa besi bercat putih menopang bendera di halaman gedung tua yang
75
sepi dan muram itu, Rabu petang pekan ketiga September lalu. Gedung berwarna kuning memudar ini berada di Jalan Gajah Mada 10, tak jauh dari alun-alun Kabupaten Bantul. Di sinilah, dulu, dilakukan rapat koordinasi Pemerintah Kabupaten Bantul untuk membahas berita-berita yang ditulis wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, sebelum ia dibunuh”. (Paragraf 2).
Wartawan yang menuliskan artikel tersebut menampilkan latar dan mengarahkan pembaca untuk mengetahui bentuk fisik sebuah bangunan dekat alun-alun Kabupaten Bantul, tempat yang digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul untuk membahas berita yang ditulis Udin, sebelum ia dibunuh. Wartawan Majalah Tempo mendeskripsikan secara rinci kondisi bangunan, berawal dari bendera merah putih yang berkibar dan ditopang oleh pipa besi bercat putih di halaman gedung tua yang sepi serta muram, Rabu petang pekan ketiga September lalu. Keberadaan bendera yang berkibar di depan halaman gedung menandakan bahwa bangunan itu milik pemerintahan atau pernah digunakan untuk kegiatan pemerintahan. d.
Detil
Elemen wacana selanjutnya yang peneliti bahas adalah detil. Elemen detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya dengan cara yang implisit. 71 Van Dijk menyebutkan detil memiliki hubungan erat dengan fungsi kontrol informasi yang diberikan oleh komunikator. Pada dasarnya komunikator akan menjelaskan secara rinci, lengkap, dan memberikan informasi lebih terhadap sesuatu yang ia tonjolkan. Hal tersebut sengaja dilakukan untuk menciptakan citra tertentu terhadap khalayak.
71
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks, h. 238.
76
Wartawan Majalah Tempo secara implisit ingin mengekspresikan sikapnya dalam artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk “Memo Sebelum Malam Jahanam” dengan menampilkan secara mendetail rentetan waktu terkait kematian Udin. Rentetan waktu itu meliputi Rapat koordinasi Pemerintah Kabupaten Bantul, penganiayaan Udin hingga sekarat, dan berakhir pada kematian Wartawan Bernas itu. “Rapat koordinasi itu berlangsung pada 5 Agustus 1996. Udin dianiaya hingga sekarat pada 13 Agustus malam dan meninggal pada 16 Agustus 1996. Dulu Gedung ini merupakan Kantor bagian hukum Pemerintah Kabupaten Bantul. Sekarang kantor bagian hukum itu sudah menjadi satu dengan kantor Bupati Bantul. “Kami menempati gedung itu karena kantor bupati sedang dalam renovasi,” kata mantan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Bantul Siti Asfijah di rumahnya di Badegan, Bantul, 7 September lalu. Siti Asfijah sudah pensiun dan membuka toko kelontong di sebelah rumahnya.” (Paragraf 3). Pada bagian itu Wartawan Majalah Tempo juga menjelaskan pernyataan Siti Asfijah terkait penggunaan gedung karena kantor bupati sedang dalam renovasi. Gedung tersebut digunakan oleh Pemerintah Kabupaten Bantul untuk membahas berita yang ditulis Udin, sebelum penganiayaan berujung maut itu terjadi. e.
Maksud
Elemen Maksud menurut Van Dijk memiliki kesamaan dengan elemen detil. Meskipun demikian terdapat perbedaan yang mendasar antara dua elemen komunikator terurai secara eksplisit dan jelas. Sedangkan informasi yang merugikan komunikator akan diuraikan secara tersembunyi, tersamar, dan implisit. Dalam penulisan artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk “Memo Sebelum Malam Jahanam” elemen maksud terdapat pada rangkaian kalimat yang
77
menjelaskan gedung yang menjadi tempat koordinasi Pemerintah Kabupaten Bantul membahas berita yang ditulis Udin, saat ini menjadi kantor organisasi yang memiliki benang merah dengan TNI dan Polri. “Kini gedung itu menjadi kantor empat organisasi yang berhubungan dengan keluarga Tentara Nasional Indonesia dan Polisi. Organisasi itu adalah Forum Komunikasi Putra-Putri purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri atau FKPPI, Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Pebabri, Persatuan Istri Purnawirawan YNI-Polri atau Perip, serta Persatuan Istri Veteran Republik Indonesia atau Piveri” (Paragraf 4).
Dalam paragraf tersebut wartawan Majalah Tempo memaparkan secara jelas bahwa gedung, tempat rapat koordinasi Pemerintah Kabupaten Bantul untuk membahas berita Udin, saat ini telah digunakan oleh Organisasi FKPPI, PEBABRI, PERIP, dan PIVERI. Organisasi tersebut merupakan organisasi yang terkait dengan TNI dan Polri. Sementara itu Sri Roso Sudarmo, Bupati Bantul saat Udin dibunuh, seorang purnawirawan TNI berpangkat Kolonel. f.
Pra-Anggapan
Salah satu elemen yang penting dalam Analisis Wacana Model Teun Van Dijk adalah Pra-Anggapan. Wartawan media massa sering menggunakan elemen wacana ini sebagai upaya untuk mendukung makna dalam suatu teks. Upaya tersebut dengan memasukan pernyataan dalam teks yang mereka buat. Elemen ini memiliki kesamaan dengan elemen latar. Meskipun demikian terdapat perbedaan yang mendasar antar kedua elemen tersebut. Jika elemen latar adalah upaya mendukung sebuah pendapat dengan cara memberi latar belakang pada teks, maka pra-anggapan adalah upaya mendukung
78
pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. 72 Bagian pra-anggapan pada artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk Memo Sebelum Malam Jahanam” terdapat pada paragraf sembilan, yang menjelaskan: “Rapat koordinasi juga menugasi Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Bantul Sumantri Widodo melayangkan surat resmi ke Persatuan Wartawan Indonesia tentang berita yang dibikin Udin. Surat resmi itu akan dikirim ke PWI jika ternyata Inspektorat tak menemukan penyelewengan dalam penyaluran dana IDT dan duit pembangunan desa “Dalam rapat, kami tidak pernah membicarakan rencana memukul atau bahkan membunuh Udin,” Kata Siti.” (Paragraf 9).
Dari paragraf itu terlihat secara jelas bahwa rapat koordinasi itu hanya membahas langkah-langkah yang akan ditempuh oleh Pemerintah Kabupaten Bantul dalam mengklarifikasi hasil karya jurnalisme Udin. Pemerintah Kabupaten juga telah menyiapkan surat resmi untuk PWI jika Inpektorat tidak menemukan adanya penyelewengan anggaran dana. Siti juga menjelaskan secara gamblang bahwa rapat tersebut murni hanya untuk mengklarifikasi berita, bukan untuk menghabisi bahkan membunuh wartawannya. g.
Koherensi
Van Dijk dalam teorinya wacananya mengatakan dua buah peristiwa yang terjadi dapat dihubungkan sehingga terlihat memiliki benang merah, meskipun kedua peristiwa itu sebenarnya tidak berhubungan atau berbeda. Van Dijk menyebutnya sebagai elemen wacana Koherensi. Ia juga menyebutkan Koherensi sebagai elemen yang menggambarkan bagaimana sebuah peristiwa dihubungkan
72
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks, h. 256.
79
dan dipandang saling terpisah oleh wartawan.73 Melalui koherensi peneliti melihat bagaimana seseorang secara strategis menggunakan wacana untuk menjelaskan suatu fakta atau peristiwa. Bentuk koherensi pada artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk Memo Sebelum Malam Jahanam” terdapat pada paragraf enam. “Berdasarkan dokumen asli itu, Pemerintah Kabupaten Bantul Menyatakan berkeberatan terhadap pemberitaan tentang penyunatan dana IDT yang dimuat Bernas pada 16 Juli.” (Paragraf 6). Pada kalimat diatas wartawan Majalah Tempo menggunakan kata hubung (konjungsi) yang menyatakan hubungan sebab-akibat yakni “terhadap”. Kedua kalimat tersebut berasal dari dua fakta yang berbeda yaitu “Pemerintah Kabupaten Bantul menyatakan keberatan”
dan
“Pemberitaan tentang tentang penyunatan dana IDT yang dimuat Bernas pada 16 Juli.” Penggunaan konjungsi “terhadap” membuat kedua kalimat yang berbeda serta tidak berkaitan itu menjadi terhubung dan koheren. h.
Bentuk Kalimat
Dalam wacana Van Dijk terdapat elemen yang membahas tentang cara wartawan menyusun dan membentuk sebuah struktur kalimat pada rangkaian teks. Struktur atau bentuk kalimat dapat dibuat secara aktif maupun pasif, namun inti dari sebuah kalimat biasanya berada pada awal kalimat tersebut. Pada dasarnya bentuk kalimat yang tertulis dalam sebuah teks menentukan apakah subjek diekspresikan secara eksplisit maupun implisit pada teks tersebut. Hal itu sesuai dengan pendapat Van Dijk yang mengatakan bahwa bentuk kalimat adalah segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip
73
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks, h. 243.
80
kausalitas.74 “Bupati Sri Roso Sudarmo menggelar rapat muspida membahas berita yang ditulis Udin. Ia minta soal berita Udin selesai sebelum 17 Agustus.” (Paragraf 1). Kumpulan kata pada artikel merupakan bentuk kalimat aktif. Hal itu dapat dibuktikan dengan adanya kata predikat, menggelar, yang menunjukan kata kerja aktif. Bupati Sri Roso di tampuk menjadi subjek dalam teks artikel ini. Pada tahap ini wartawan Majalah Mingguan Tempo ingin menunjukan pada tingkatan mana inti kalimat mendapat perhatian khusus. Bagian yang difokuskan adalah Bupati Sri Roso menggelar rapat muspida membahas berita yang ditulis Udin. Kalimat tersebut merupakan bentuk sikap Bupati Sri Roso Sudarmo yang gerah terhadap karya jurnalistik Udin di Harian Bernas, sebelum Ia dihabisi hingga gugur. i. Kata Ganti Elemen kata ganti merupakan bagian pada wacana Van Dijk yang berguna untuk memanipulasi bahasa dengan menciptakan sebuah komunitas imajinatif. Wartawan menggunakan elemen ini untuk menunjukan dimana posisi seseorang dalam wacana. Elemen wacana Kata ganti pada artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk Memo Sebelum Malam Jahanam” “Dalam rapat, kami tidak pernah membicarakan rencana memukul atau bahkan membunuh Udin,” Kata Siti. Penggunaan kata ganti “kami” dalam penggalan kalimat itu terkesan menciptakan jarak antara wartawan dan khalayak yang tidak sependapat dengan wartawan. Hal tersebut menurut Van Dijk cukup beralasan bila merujuk pada
74
Eriyanto, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks, h. 251
81
artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk Memo Sebelum Malam Jahanam”, karena wartawan Tempo memposisikan diri tidak sependapat dengan Pemerintah Kabupaten Bantul yang menggelar rapat terkait karya jurnalistik Udin. Van Dik juga menjelaskan dalam mengungkapkan sikapnya wartawan menggunakan kata ganti “saya” atau “kami” yang menggambarkan bahwa sikap itu merupakan sikap resmi komunikator semata-mata. 75 Hal tersebut senada dengan sikap wartawan Tempo yang menolak dengan keras segala bentuk kekerasan terhadap wartawan. j.
Leksikon
Elemen Wacana selanjutnya menjelaskan tentang bagaimana seseorang memilih dan menggunakan sebuah kata meskipun terdapat padanan kata yang lainnya. Ketika seseorang memilih sebuah kata dari padanan kata yang tersedia, maka pemilihan kata tersebut bukan sebuah kebetulan semata. Pilihan kata-kata yang digunakan menunjukan sebuah sikap dan ideologi tertentu. 76 Secara ideologis pemilihan kata tersebut menunjukan bagaimana pemaknaan seseorang terhadap fakta. Van Dijk menyebut elemen wacana ini dengan nama Leksikon. Pemilihan kata atau leksikon pada artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk Memo Sebelum Malam Jahanam” terdapat pada: 1.
Kata Jahanam pada kalimat: Memo sebelum malam jahanam. Kata jahanam memiliki persamaan kata terkutuk.
2.
Kata menyodorkan dan didisposisikan pada kalimat: Kepada Tempo, Siti menyodorkan dokumen otentik surat disposisi dari Bupati Sri Roso kepada sekretaris wilayah daerah, yang kemudian didisposisikan lagi
75 76
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 253 Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 255
82
kepada bagian hukum. Kata menyodorkan memiliki padanan kata memberikan, kata didisposisikan memiliki arti lain diteruskan. 3.
Kata mempersilakan dan sekilas dalam kalimat: Ia juga hanya mempersilakan Tempo membaca sekilas. Kata mempersilakan memiliki arti mengizinkan sedangkan sekilas memiliki padanan kata sesaat.
4.
Kata berkeberatan dan penyunatan pada kalimat: Berdasarkan dokumen asli itu, Pemerintah Kabupaten Bantul menyatakan berkeberatan terhadap pemberitaan tentang penyunatan dana IDT yang dimuat Bernas pada 16 Juli. Kata berkeberatan memiliki sinonim kata menolak, sedangkan penyunatan memiliki arti pengurangan.
5.
Kata duit pada kalimat: Adapula berita perihal duit administrasi pembangunan desa. Kata duit memiliki padanan kata uang.
6.
Kata melayangkan dan dibikin pada kalimat: Rapat koordinasi juga menugasi kepala bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Bantul Sumantri Widodo melayangkan surat resmi ke Persatuan Wartawan Indonesia tentang berita yang dibikin Udin. Pada kalimat tersebut kata melayangkan memiliki persamaan makna dengan mengirimkan sedangkan dibikin memiliki padanan kata dibuat.
7.
Kata berkawan pada kalimat: Sahlan berkawan dekat dengan Udin karena sering mengobrol berdua. Kata berkawan memiliki padanan kata bersahabat.
8.
Kata Ihwal, dokumen, jurnalis, dan investigasi pada kalimat: Ihwal rapat muspida membahas berita Udin ini cocok dengan dokumen yang disodorkan jurnalis yang menginsvestigasi kasus Udin, Berchman
83
Heroe. Kata ihwal memiliki persamaan kata perihal, sedangkan dokumen adalah arsip, selanjutnya jurnalis memiliki padanan kata wartawan. Sementara menginvestigasi adalah menyelidiki. 9.
Kata cocok dalam kalimat; Menurut Asril, tulisan tangan dalam memo itu cocok dengan tulisan tangan Sri Roso. Kata cocok memiliki padanan kata sesuai.
10. Kata Tudingan pada kalimat: Sro Roso menampik tudingan terlibat dalam pembunuhan Udin. Kata tudingan memiliki padanan kata tuduhan. k. Grafis Van Dijk menyebut elemen grafis dalam analisis wacananya sebagai bagian yang digunakan untuk memeriksa sebuah hal yang diberi penekanan atau ditonjolkan oleh seseorang ketika mengamati sebuah teks. Penekanan itu dapat terjadi karena terdapat hal yang dianggap penting pada bagian tersebut. Grafis dalam wacana berita, biasanya muncul melalui bagian tulisan yang dibuat lain. Pemakaian huruf tebal, huruf miring, pemakaiaan garis bawah, huruf yang dibuat besar. Termasuk di dalamnya adalah pemakaiaan caption, raster, grafik, gambar, table, dan pemakaian angka untuk mendukung arti sebuah pesan.77 Elemen grafis itu juga muncul dalam bentuk foto, gambar, atau tabel yang digunakan untuk mendukung sebuah gagasan atau untuk bagian lain yang tidak ingin ditonjolkan. Melalui citra, foto, tabel, penempatan teks, tipe huruf atau elemen grafis lain, pendapat ideologis yang muncul dapat di manipulasi oleh wartawan atau komunikator. Dalam artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” bertajuk Memo Sebelum Malam Jahanam” unsur grafis yang muncul terlihat dengan jelas pada penempatan 77
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media, h. 257-258
84
dua buah foto pada artikel tersebut. Foto pertama yang muncul adalah sebuah memo bertuliskan tangan Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, di atas surat Camat Imogiri, Hardi Purnomo. Surat bertanggal 26 Juli 1996 itu berisi penjelasan dana IDT Desa Karangtengah 2, sedangkan memo bertuliskan tangan Sri Roso bertanggal 27 Juli 1996. Foto kedua yang termuat dalam artikel adalah frame yang menggambarkan suasana saat Kepala Bagian Hubungan Masyrakat Pemerintah Kabupaten Bantul, Sumantri Widodo, memberikan keterangan pers, membantah keterlibatan Sri Roso pada kasus Udin. Tabel 4. 1 Kerangka Analisis Data Artikel Laporan Khusus Udin “Bernas” Memo Sebelum Malam Jahanam” Struktur Elemen Wacana
Makro
Superstruktur
Keterangan
Sri Roso juga memerintahkan anak buahnya Topik atau menyiapkan tuntutan ke redaksi Bernas atau sumber berita. Ia meminta semua hal disiapkan seceara rapi dan Tema mewanti-wanti ihwal ini selesai sebelum 17 Agustus 1996. Menurut Asril, tulisan tangan dalam memo itu cocok dengan tulisan tangan Sri Roso. Skema
Berawal dari judul artikel Teras artikel Story: 1. Sepak terjang Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, dalam merespon pemberitaan Udin di harian Bernas tentang tentang dana Inpres Desa tertinggal (IDT) di Desa Karangtengah, Kecamatan Imogiri dan Desa Bawuran,
85
Kecamatan Pleret. 2. Pemerintah Kabupaten Bantul saat itu berencana memperkarakan berita yang Udin tulis secara hukum, terdapat disposisi dari Bupati agar ada pengusutan terhadap wartawan yang menulis atau ke kantor Bernas 3. Pada bagian akhir artikel wartawan Tempo memasukan hasil wawancara dengan Sri Roso Sudarmo. Ia berpeluh kesah terhadap pemberitaan media massa yang kerap menyudutkan dirinya. Paragraf 2
Struktur Latar Mikro
“Bendera merah putih berkibar di pucuk tiang. Pipa besi bercat putih menopang bendera di halaman gedung tua yang sepi dan muram itu, Rabu petang pekan ketiga September lalu. Gedung berwarna kuning memudar ini berada di Jalan Gajah Mada 10, tak jauh dari alun-alun Kabupaten Bantul. Di sinilah, dulu, dilakukan rapat koordinasi Pemerintah Kabupaten Bantul untuk membahas berita-berita yang ditulis wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin atau Udin, sebelum ia dibunuh”.. Paragraf 3
Detil
“Rapat koordinasi itu berlangsung pada 5 Agustus 1996. Udin dianiaya hingga sekarat pada 13 Agustus malam dan meninggal pada 16 Agustus 1996. Dulu Gedung ini merupakan Kantor bagian hukum Pemerintah Kabupaten Bantul. Sekarang kantor bagian hukum itu sudah menjadi satu dengan kantor Bupati Bantul. “Kami menempati gedung itu karena kantor bupati sedang dalam renovasi,” kata mantan Kepala Bagian Hukum Pemerintah Kabupaten Bantul Siti Asfijah di rumahnya di Badegan, Bantul, 7 September lalu. Siti Asfijah sudah pensiun dan membuka toko kelontong di sebelah rumahnya.”
86
Paragraf 4
Maksud
Pra-Angg apan
“Kini gedung itu menjadi kantor empat organisasi yang berhubungan dengan keluarga Tentara Nasional Indonesia dan Polisi. Organisasi itu adalah Forum Komunikasi Putra-Putri purnawirawan dan Putra-Putri TNI-Polri atau FKPPI, Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri Angkatan Bersenjata Republik Indonesia atau Pebabri, Persatuan Istri Purnawirawan YNI-Polri atau Perip, serta Persatuan Istri Veteran Republik Indonesia atau Piveri” Paragraf 9 “Rapat koordinasi juga menugasi Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Pemerintah Kabupaten Bantul Sumantri Widodo melayangkan surat resmi ke Persatuan Wartawan Indonesia tentang berita yang dibikin Udin. Surat resmi itu akan dikirim ke PWI jika ternyata Inspektorat tak menemukan penyelewengan dalam penyaluran dana IDT dan duit pembangunan desa “Dalam rapat, kami tidak pernah membicarakan rencana memukul atau bahkan membunuh Udin,” Kata Siti.” Paragraf 6
Koherensi “Berdasarkan dokumen asli itu, Pemerintah Kabupaten Bantul Menyatakan berkeberatan terhadap pemberitaan tentang penyunatan dana IDT yang dimuat Bernas pada 16 Juli.” Paragraf 1 Bentuk Kalimat
“Bupati Sri Roso Sudarmo menggelar rapat muspida membahas berita yang ditulis Udin. Ia minta soal berita Udin selesai sebelum 17 Agustus.” Bagian yang difokuskan adalah “menggelar”, kata tersebut merupakan bentuk sikap Bupati Sri Roso Sudarmo yang gerah terhadap karya jurnalistik Udin di Harian Bernas, sebelum Ia dihabisi hingga gugur. Paragraf 9
Kata Ganti
“Dalam rapat, kami tidak pernah membicarakan rencana memukul atau bahkan membunuh Udin,” Kata Siti.
87
Leksikon
Grafis
1. Kata jahanam pada judul artikel 2. Kata menyodorkan pada paragraf 6 3. Kata didisposisikan pada paragraf 6 4. Kata mempersilakan pada paragraf 6 5. Kata sekilas pada paragraf 6 6. Kata berkeberatan pada paragraf 7 7. Kata penyunatan pada paragraf 7 8. Kata duit pada paragraf 7 9. Kata melayangkan pada paragraf 9 10. Kata dibikin pada paragraf 9 11. Kata berkawan pada paragraf 10 12. Kata dokumen pada paragraf 12 13. Kata jurnalis pada paragraf 12 14. Kata investigasi pada paragraf 12 15. Kata cocok pada paragraf 12 16. Kata Tudingan pada paragraf 17 Terdapat dua buah foto yang terletak dibawah judul dan teras artikel, foto itu berada pada bagian kiri bawah pada halaman pertama artikel dan foto kedua berada pada bagian kanan atas halaman kedua artikel “Memo Sebelum Malam Jahanam” Foto pertama merupakan sebuah memo bertuliskan tangan Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, di atas surat Camat Imogiri, Hardi Purnomo. Surat bertanggal 26 Juli 1996 itu berisi penjelasan dana IDT Desa Karangtengah 2, sedangkan memo bertuliskan tangan Sri Roso bertanggal 27 Juli 1996. Foto Kedua menggambarkan suasana saat Kepala Bagian Hubungan Masyrakat Pemerintah Kabupaten Bantul, Sumantri Widodo, memberikan keterangan pers, membantah keterlibatan Sri Roso pada kasus Udin.
2.
Analisis Artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” a.
Tematik
Struktur makro dapat diamati dengan melihat tema atau topik pemberitaan yang dikedepankan dalam berita. Tema didukung oleh kerangka teks melalui pemilihan kata dan kalimat untuk digunakan dan ditonjolkan dalam suatu berita.
88
Pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” Wartawan Tempo mengangkat tema tentang peristiwa-peristiwa tidak biasa sebelum malam pembantaian Fuad Muhammad Syafruddin. Pada artikel ini secara tersurat dan tersirat Wartawan Majalah Tempo menyampaikan tema melalui keseluruhan isi artikel adalah betapa janggal dan tidak wajar hari-hari yang dirasakan oleh orang-orang yang berada di sekitar Udin sebelum malam jahanam itu. Kejanggalan itu meliputi, dua orang berbadan tegap yang mencari Udin setiap malam sebelum Udin gugur, munculnya penjual jagung di perempatan Bakulan sebelum Udin dianiaya, Terpakirnya sebuah sedan Honda Civic Excellent biru tua saat malam pembantaian, dan peristiwa mencurigakan lainnya. Hal lain yang ingin disampaikan adalah meskipun kejadian itu sudah 18 tahun berlalu Majalah Tempo tetap menyuarakan kebenaran fakta tersebut dengan harapan perkara ini tidak menguap begitu saja. Mereka berharap ikhtiar menguak kebenaran mereka selama ini dapat menjadi dorongan Presiden Joko Widodo untuk memprioritaskan masalah ini. Kemudian masyarakat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negeri ini ikut menyuarakan kebebasan pers di Indonesia. Terlebih Kasus Udin menjadi sorotan dua organisasi wartawan dunia, International Federation of Journalists dan Committe to Protect Journalist. b.
Skematik
Skematik umumnya menjelaskan alur atau kronologis dari sebuah berita. Sebuah teks wacana memiliki sebuah skema yang tersusun rapih, mulai dari pendahuluan, isi, hingga akhir teks wacana tersebut. Pada akhirnya skema itu akan menunjukan bagaimana teks disusun sehingga menyimpan sebuah makna yang
89
tersirat maupun tersurat. Pada sebuah skema terdapat penekanan untuk memunculkan bagian mana yang terlebih dahulu kemudian bagian lainnya. Hal tersebut merupakan strategi wartawan mendahulukan atau menyembunyikan informasi penting Skema yang terlihat pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” berawal pada teras artikel atau paragraf pertama artikel tersebut: “Kejadian Janggal beruntun menjelang Udin dianiaya. Beberapa orang memiliki ciri yang sama” Skema selanjutnya ada Story, uraian situasi kejadian yang muncul setelah teras artikel. Wartawan majalah Tempo menceritakan suasana dan runtutan kejanggalan saat malam penganiayaan Udin, pada awal artikel. Kemudian mereka mengisahkan penuturan Nur Sulaiman, wanita paruh baya, tetangga Udin, yang merasakan kejanggalan di sekitar rumah Udin sebelum 13 Agustus 1996. “Tak berhenti di situ kejadian-kejadian aneh yang diamati Sujarah. Bertepatan dengan hari Udin dianiaya, Jalan parangtritis, tepatnya di kilometer 13,5, ketika itu terlihat lengang. Padahal baru memasuki isya. Sebuah sedan Honda Civic Excellent biru tua terparkir tak jauh dari rumah Udin. “kehadiran mobil ini juga tidak lazim,” Sujarah menduga-duga.” (Paragraf 21). Kemudian pada pertengahan artikel, hari-hari yang janggal masih menghiasi isi artikel. Kali ini wartawan mengemas isi berita dengan penuturan sejumlah orang-orang dekat Udin mengenai peristiwa yang mencurigakan menjelang malam pembantaian Udin. Selain itu kejanggalan juga terjadi di kantor harian Bernas. Beberapa rekan Udin melihat peristiwa yang tidak biasa sebelum Ia dihajar. “Rupanya, bukan hanya lelaki yang kini menjadi Ketua RT
90
16 Dusun Samalo itu yang merasakan berbagai keganjilan sebelum peristiwa tragis itu terjadi. Di kantor Udin, haran Benas, teman-temannya mengalami hak serupa. Mereka melihat gelagat mencurigakan sebelum Udin dianiaya. Beberapa ancaman secara langsung sudah diterima Udin” (Paragraf 22). Selanjutnya pada bagian penutup artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” berisi tentang pandangan wartawan Majalah Tempo tentang kasus Udin ini. Mereka juga mengutip perkataan mantan Ketua Mahamah Agung, Bagir Manan, pada pertengahan Oktober yang meminta Presiden Jokowi memprioritaskan masalah Udin. Kemudian mereka memasukan penuturan Nur Sulaiman yang menyatakan senang bila pelaku pembunuhan Udin ditangkap. Pada akhir artikel ini Wartawan majalah Tempo menginformasikan kepada pembaca dan masyarakat bila kasus 18 tahun lalu ini sangat penting untuk diselesaikan. c.
Latar
Elemen latar biasanya menjabarkan latar belakang dari sebuah peristiwa yang ditulis oleh wartawan. Latar belakang tersebut akan menggiring sudut pandang khalayak yang membacanya. Hal itu dapat terjadi karena setiap berita memiliki bagian yang dapat memengaruhi arti dan makna. Latar yang muncul dalam artikel “Tamu-tamu misterius di Patalan” terdapat pada paragraf empat dan lima. Isi paragraf tersebut adalah penuturan Ponikem, tetangga Udin, yang mengisahkan peristiwa secara rinci sebelum Udin diserang oleh orang tidak dikenal. “Dalam bahasa Jawa, lelaki yang terlihat kekar dan tinggi besar itu bertanya apakah Udin sudah pulang. Udin yang dimaksudnya adalah Fuad Muhammad Syafruddin, yang rumah kontrakannya berada di seberang jalan warung bakmi Nur Sulaiman.” (Paragraf 4).
91
“Ponikem menjawab bahwa Udin belum pulang. Pria itu lantas pergi. Ia menghampiri seorang lelaki yang menunggunya di sebelah selatan warung. Berboncengan, mereka tancap gas. “Kendelan le nunggang motor (berani naik motor dengan laju cepat). Mereka pergi ke utara,” kata Nur ketika ditemui Tempo, awal September lalu. Kisah perempuan 65 tahun itu adalah peristiwa sebelum Udin dianiaya pada Selasa malam, 13 Agustus 1996” (Paragraf 5). Wartawan majalah Tempo berusaha menyampaikan latar pada artikel tersebut agar pembaca dapat memahami keganjilan yang terjadi menjelang Udin dianiaya pada Selasa, 13 Agustus 1996. Mereka berhasil melakukan wawancara dengan para narasumber yang merasakan langsung hari-hari yang janggal menjelang malam jahanam itu. Penuturan para saksi sejarah ada dalam artikel sehingga pembaca merasakan bahwa terdapat peristiwa yang mencurigakan menjelang penyeragan terhadap Fuad Muhammad Syafruddin. d.
Detil
Elemen detil memiliki hubungan erat dengan fungsi kontrol informasi yang diberikan oleh komunikator. Pada dasarnya komunikator akan menjelaskan secara rinci, lengkap, dan memberikan informasi lebih terhadap sesuatu yang ia tonjolkan. Detil merupakan strategi bagaimana wartawan mengekspresikan sikapnya. Detil yang disampaikan oleh Wartawan Majalah Tempo melalui artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” berada pada paragraf tujuh dan delapan. Inti dari paragraf itu adalah ketika penulis artikel menjelaskan secara rinci bentuk fisik tamu di rumah Udin. Morfologi pria yang ditemui oleh Marsiyem, istri mendiang Udin, mengarah pada profesi orang dengan bentuk otot yang kekar. Selain itu pria itu sempat menunjukan sebatang besi kepada Marsiyem. Udin meninggal akibat
92
hantaman benda tumpul. “Seorang lelaki dengan ikat kepala merah berdiri di ambang pintu. Ia mengaku teman suaminya dan hendak minta tolong memperbaiki sepeda motor. Sebatang besi sebesar jempol dengan panjang sekitar 50 sentimeter diperlihatkan “ Ini lho, Mbak, mau dimasukkan ke knalpot tapi tidak bisa” Katanya.” (Paragraf 7). “Ketika mata mereka bersirobok, Marsiyem serasa pernah berjumpa dengan tamu berbadan kekar dan tinggi tersebut. Namun dia tidak ingat dimana. Marsiyem masuk lagi ke dalam rumah dan memberi tahu suaminya.” (Paragraf 8). Pada bagian tersebut penulis artikel menguraikan cir-ciri pria yang dijumpai oleh Marsiyem di rumahnya pada hari kejadian penganiayaan. Sosok tubuh kekar dan tinggi dengan membawa sebilah besi berukuran 50 sentimeter. Besi tersebut diduga sebagai senjata untuk menghajar Udin. Kehadiran pria dengan tubuh tegap, tinggi, dan kekar dinilai memiliki keterkaitan dengan posisi Bupati Bantul saat itu, Sri Roso Sudarmo, tentara berpangkat kolonel. Sebelum dihajar, karya jurnalistik Udin sempat membuat Bupati Bantul meradang. e.
Maksud
Pada Elemen maksud informasi yang menguntungkan komunikator terurai secara eksplisit dan jelas. Sedangkan informasi yang merugikan komunikator akan diuraikan secara tersembunyi, tersamar, dan implisit. Tujuan akhirnya adalah publik hanya mengetahui informasi yang menguntungkan komunikator78 Elemen maksud yang pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” terdapat pada teks yang menjelaskan paska kejadiaan naas tersebut sejumlah pemuda datang dengan mengendarai kendaraan roda empat dan roda dua. Kehadiran para pemuda itu untuk mengevakuasi Udin yang telah tergeletak di pinggir jalan. 78
Eriyanto, Analisis Wacana : Pengantar Analisis Teks Media, h. 240
93
“Tak berselang lama, satu rombongan pemuda Bakulan datang dari arah utara. Empat orang, yakni Yuniari, Sigit Bambang Suryanto, Yanadi, dan Akung Prastowo, mengendarai Jip Hardtop. Dua orang lainnya, Sigit Prasetyo Wibowo dan Sri Kuncoro alias Kuncung, naik sepeda motor. Oleh warga disana, Kuncung biasa dipanggil Pak Aman karena Kepala Urusan Keamanan Desa Patalan. Kuncoro adalah keponakan Bupati Bantul ketika itu, Sri Roso Sudarmo.” (Paragraf 12). Dalam teks tersebut wartawan Tempo menggambarkan bagaimana keganjilan paska penyerangan terjadi. Pasalnya tidak lama setelah Udin diserang sejumlah pemuda datang dari arah utara, arah yang sama dengan penyerang Udin. Selanjutnya hadirnya Kuncoro sebagai Kepala Urusan Keamanan Desa Patalan bersama sejumlah pemuda. Ia gagal menjaga rasa aman warga akibat penyerangan kepada salah satu warga desa Patalan tersebut. Wartawan Tempo juga menulis bahwa Kuncoro adalah keponakan Sri Roso Sudarmo dalam artikel itu. Sebelum penyerangan itu terjadi Udin sempat membuat paman Kuncoro kebakaran jenggot akibat karya jurnalismenya yang menyinggung Pemerintah Kabupaten Bantul. f.
Pra-Anggapan
Elemen pra-anggapan adalah elemen yang digunakan untuk mendukung pendapat dengan memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. Pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” elemen ini terdapat pada pertengahan artikel. “Tak berhenti di situ kejadian-kejadian aneh yang diamati Sujarah. Bertepatan dengan hari Udin dianiaya, Jalan parangtritis, tepatnya di kilometer 13,5, ketika itu terlihat lengang. Padahal baru memasuki isya. Sebuah sedan Honda Civic Excellent biru tua terparkir tak jauh dari rumah Udin. “kehadiran mobil ini juga tidak lazim,” Sujarah menduga-duga.” (Paragraf 21).
94
Berdasarkan teks tersebut bagian pra-anggapan mengarahkan pembaca pada kejadian janggal saat malam penganiayaan Udin. Peneliti membuat pra-anggapan tersebut untuk mendukung penuturan Sujarah sehingga pembaca tidak perlu mempertanyakan lagi bagaimana dan seperti apa kondisi saat penyerangan Udin oleh orang tidak dikenal pada malam itu. g.
Koherensi Kondisional
Elemen koherensi kondisional memiliki ciri dengan pemakaian anak kalimat sebagai penjelas. Anak kalimat tersebut menjadi cermin kepentingan komunikator karena ia dapat meberikan keterangan yang baik atau buruk terhadap suatu pernyataa.79 Sebagai penjelas, ada atau tidaknya anak kalimat tidak memengaruhi arti kalimat. Bentuk koherensi kondisional artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” terdapat pada kalimat di paragraf ke-17: “Marjo pula yang pada malam kejadian menutup ceceran darah Udin dengan tanah, padahal polisi belum melakukan olah tempat kejadian perkara.” (Paragraf 17). Pada paragraf tersebut wartawan Majalah Tempo menggunakan anak kalimat “padahal polisi belum melakukan olah tempat kejadian perkara” sebagai penjelas dari induk kalimatnya. Kalimat tersebut seolah-oleh menjelaskan kepada pembaca bahwa Marjo melakukan hal yang salah karena menutup ceceran darah Udin, sebagai barang bukti, sebelum polisi menggelar olah kejadian perkara. Perbuatan Marjo ditengarai sebagai upaya untuk menghilangkan barang bukti. Penyertaan anak kalimat tersebut dalam artikel merupakan koherensi kondisional. h.
Bentuk Kalimat
Bentuk kalimat merupakan segi sintaksis yang berhubungan dengan cara berpikir logis, yaitu prinsip kausalitas. Pada dasarnya bentuk kalimat yang tertulis 79
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. h. 244
95
dalam sebuah teks menentukan apakah subjek diekspresikan secara eksplisit maupun implisit pada teks tersebut. Meskipun demikian bentuk kalimat dapat dibuat secara aktif maupun pasif, namun inti dari sebuah kalimat biasanya berada pada awal kalimat tersebut. “Bagi Sujarah, keterangan Marsiyem tentang dua tamu pada malam itu mengingatkannya pada peristiwa-peristiwa mencurigakan beberapa hari sebelumnya.” (Paragraf 14). Deretan kata yang tersusun pada artikel tersebut merupakan bentuk kalimat aktif. Hal itu dapat kita lihat dengan adanya kata predikat, mengingatkannya, yang menunjukan kata kerja aktif. Sujarah menjadi subjek dalam teks artikel ini. Pada tahap ini bagian yang mendapat perhatian khusus adalah “mengingatkannya”, kata tersebut merupakan bentuk sikap Sujarah, kerabat Udin, yang merasakan sejumlah kejadian janggal sebelum malam kelabu itu. i.
Kata Ganti
Elemen kata ganti merupakan media yang digunakan oleh Komunikator untuk memanipulasi bahasa dan menunjukan dimana posisi seseorang dalam teks wacana. Kata ganti pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” terdapat pada paragraf ke 16, yang menjelaskan: “Mereka berdiri di sebelah utara rumah kakek itu, 50 meter dari kontrakan Udin. “Dua orang itu berbadan tegap tinggi, dan memakai celana Jins” Kata Sujarah kepada Tempo, akhir Agustus lalu.” (Paragraf 16) Penggunaan kata “mereka” pada kalimat itu seolah-olah menciptakan jarak antara Sujarah, kerabat Udin, dengan dua orang berbadan tegap dan tinggi. Dua orang tersebut disangka sebagai pelaku pemukulan terhadap Udin. Wartawan Tempo dengan sengaja menciptakan sebuah batasan antara pembaca dengan dua orag tersebut. Batasan itu sebagai bentuk penolakan kekerasan kepada wartawan.
96
j.
Leksikon
Leksikon adalah elemen wacana yang membahas bagaimana seseorang memilih dan menggunakan sebuah kata walaupun masih ada padanan kata lainnya. Ketika seseorang memilih sebuah kata dari berbagai kemungkinan kata yang tersedia, maka pemilihan kata tersebut bukan sebuah kebetulan semata. Pilihan kata-kata yang digunakan menunjukan sebuah sikap dan ideologi tertentu. Elemen Leksikon atau upaya pemilihan kata pada artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan” terdapat pada: 1.
Kata janggal dalam kalimat: Kejadian Janggal beruntun menjelang Udin dianiaya. Kata janggal memiliki padanan kata aneh. Kedua kata tersebut bermakna peristiwa yang tidak biasa.
2.
Kata kekar dalam kalimat: Dalam bahasa jawa, lelaki yang terlihat kekar dan tinggi besar itu bertanya apakah Udin sudah pulang. Kata kekar memiliki arti lain tegap kuat.
3.
Kata bersirobok dalam kalimat: Ketika mata mereka bersirobok, Marsiyem serasa pernah berjumpa dengan tamu berbadan kekar dan tinggi tersebut. Kata bersirobok memiliki sinonim saling berpapasan.
4.
Kata sekelebat pada kalimat: Sekelebat ia melihat orang yang ditemuinya lari ke utara. Kata Sekelebat memiliki padanan kata sesaat.
5.
Kata keponakan dalam kalimat: Kuncoro adalah keponakan Bupati Bantul ketika itu, Sri Roso Sudarmo. Kata keponakan memiliki padanan kata kemenakan.
6.
Kata angkat tangang dalam kalimat: Di Rumah Sakit Bantul itu, dokter angkat tangan lantaran peralatan medisnya tak memadai. Kata angkat
97
tangan memiliki kata lain menyerah. 7.
Kata Ahad pada kalimat: Misalnya, pada Ahad malam, 11 Agustus 1996, dia melihat dua orang mengendarai sepeda motor GL Pro mendatangi warung bakmi milik Nursulaiman. Kata Ahad memiliki persamaan kata Minggu.
8.
Kata ngobrol pada kalimat: Pada malam harinya, dia kembali melihat seseorang yang mirip dengan lelaki yang ngobrol dengan Mbah Marjo. Kata ngobrol memiliki persamaan kata berbincang.
9.
Kata gelagat dalam kalimat: Mereka melihat gelagat mencurigakan sebelum Udin dianaya. Kata gelagat memiliki persamaan kata gerak-gerik.
10. Kata tudingan dalam kalimat: Namun, karena belum ada tersangka setelah Dwi Sumaji alias Iwik dibebaskan pengadilan dari tudingan pembunuhan Udin, pengusutan kasus itu bisa diteruskan. Kata tudingan memiliki persamaan kata tuduhan.
Tabel 4.2 Kerangka Analisis Data Artikel Tamu-tamu Misterius di Patalan
98
Struktur Elemen Wacana
Keterangan
Kejanggalan yang dirasakan oleh orang-orang di sekitar Udin sebelum malam jahanam itu. Kejanggalan itu meliputi, dua orang berbadan tegap yang mencari Udin Makro Topik atau Tema setiap malam sebelum Udin gugur, munculnya penjual jagung di perempatan Bakulan sebelum Udin dianiaya, Terpakirnya sebuah sedan Honda Civic Excellent biru tua saat malam pembantaian, dan peristiwa mencurigakan lainnya. Berawal dari judul artikel Superstruktur Skema Teras artikel Story: 1. Suasana dan runtutan kejanggalan saat malam penganiayaan Udin dan Penuturan Nur Sulaiman, wanita paruh baya, tetangga Udin, yang merasakan kejanggalan di sekitar rumah Udin sebelum 13 Agustus 1996. 2. Penuturan sejumlah orang-orang dekat Udin mengenai peristiwa yang mencurigakan menjelang malam pembantaian Udin. Selain itu kejanggalan juga terjadi di kantor harian Bernas. Beberapa rekan Udin melihat peristiwa yang tidak biasa sebelum Ia dihajar 3. Pada bagian akhir artikel berisi tentang pandangan wartawan Majalah Tempo tentang kasus Udin. Paragraf 4 Struktur Latar Mikro
“Dalam bahasa Jawa, lelaki yang terlihat kekar dan tinggi besar itu bertanya apakah Udin sudah pulang. Udin yang dimaksudnya adalah Fuad Muhammad Syafruddin, yang rumah kontrakannya berada di seberang jalan warung bakmi Nur Sulaiman.” Paragraf 5
99
“Ponikem menjawab bahwa Udin belum pulang. Pria itu lantas pergi. Ia menghampiri seorang lelaki yang menunggunya di sebelah selatan warung. Berboncengan, mereka tancap gas. “Kendelan le nunggang motor (berani naik motor dengan laju cepat). Mereka pergi ke utara,” kata Nur ketika ditemui Tempo, awal September lalu. Kisah perempuan 65 tahun itu adalah peristiwa sebelum Udin dianiaya pada Selasa malam, 13 Agustus 1996” Paragraf 7
Detil
“Seorang lelaki dengan ikat kepala merah berdiri di ambang pintu. Ia mengaku teman suaminya dan hendak minta tolong memperbaiki sepeda motor. Sebatang besi sebesar jempol dengan panjang sekitar 50 sentimeter diperlihatkan “ Ini lho, Mbak, mau dimasukkan ke knalpot tapi tidak bisa” Katanya.” Paragraf 8 “Ketika mata mereka bersirobok, Marsiyem serasa pernah berjumpa dengan tamu berbadan kekar dan tinggi tersebut. Namun dia tidak ingat dimana. Marsiyem masuk lagi ke dalam rumah dan memberi tahu suaminya Paragraf 12
Maksud
“Tak berselang lama, satu rombongan pemuda Bakulan datang dari arah utara. Empat orang, yakni Yuniari, Sigit Bambang Suryanto, Yanadi, dan Akung Prastowo, mengendarai Jip Hardtop. Dua orang lainnya, Sigit Prasetyo Wibowo dan Sri Kuncoro alias Kuncung, naik sepeda motor. Oleh warga disana, Kuncung biasa dipanggil Pak Aman karena Kepala Urusan Keamanan Desa Patalan. Kuncoro adalah keponakan Bupati Bantul ketika itu, Sri Roso Sudarmo.” Paragraf 21
Pra-Anggapan
“Tak berhenti di situ kejadian-kejadian aneh yang diamati Sujarah. Bertepatan dengan hari Udin dianiaya, Jalan parangtritis, tepatnya di kilometer 13,5, ketika itu terlihat lengang. Padahal baru memasuki isya. Sebuah
100
sedan Honda Civic Excellent biru tua terparkir tak jauh dari rumah Udin. “kehadiran mobil ini juga tidak lazim,” Sujarah menduga-duga. Koherensi Kondisional
Bentuk Kalimat
Paragraf 17 “Marjo pula yang pada malam kejadian menutup ceceran darah Udin dengan tanah, padahal polisi belum melakukan olah tempat kejadian perkara.” Paragraf 14 “Bagi Sujarah, keterangan Marsiyem tentang dua tamu pada malam itu mengingatkannya pada peristiwa-peristiwa mencurigakan beberapa hari sebelumnya.” Paragraf 16
Kata Ganti
Leksikon
“Mereka berdiri di sebelah utara rumah kakek itu, 50 meter dari kontrakan Udin. “Dua orang itu berbadan tegap tinggi, dan memakai celana Jins” Kata Sujarah kepada Tempo, akhir Agustus lalu.” 1. Kata janggal pada paragraf 1 2. Kata kekar pada paragraf 4 3. Kata bersirobok pada paragraf 8 4. Kata sekelebat pada paragraf 10 5. Kata keponakan pada paragraf 12 6. Kata angkat tangan pada paragraf 13 7. Kata ahad pada paragraf 14 8. Kata ngobrol pada paragraf 18 9. Kata gelagat pada paragraf 23 10. Kata tudingan pada paragraf 27 11. Kata Tudingan pada paragraf 17
B. Analisis Kognisi Sosial Rubrik Laporan Khusus Bukti Baru Pembunuhan Udin ”Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November 2014 Dimensi kedua dalam analisis wacana model Teun A. Van Dijk adalah kognisi sosial. Dimensi ini biasa digunakan oleh peneliti untuk menganalisa bagaimana dan sejauh mana pengetahuan wartawan dalam memahami fenomena yang akan disebarluaskan kepada masyarakat. Van Dijk mengenalkan kognisi sosial sebagai
101
kesadaran mental wartawan dalam membentuk teks berita. Menurut Van Dijk, analisis wacana tidak terbatas pada struktur teks, karena struktur wacana memiliki sejumlah makna, pendapat, dan ideologi. Oleh karena itu, untuk membongkar makna tersembunyi dari teks tersebut kita membutuhkan suatu analisis kognisi dan konteks sosial. Sebuah teks memiliki makna terselubung karena diberikan oleh pemakai bahasa. Sehingga sebuah teks tidak terbentuk dengan sendiri namun ada yang membuatnya. Setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa, maka disini wartawan tidak dianggap sebagai individu yang netral, tetapi individu yang mempunyai bermacam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari kehidupannya. Hal yang sama juga terlihat pada teks, karya jurnalistik Majalah Tempo, laporan khusus Bukti Baru Pembunuhan Udin “Bernas”. Laporan khusus tersebut berisi tentang wacana kebebasan pers terkait penghilangan nyawa Udin karena berita yang ia tulis. Dalam pembuatan setiap teks laporan khusus tersebut, wartawan memiliki peran yang sangat penting dalam memberitakannya. Peneliti ini lebih memfokuskan karya ilmiah ini pada bagaimana proses penentuan isu dan pemilihan teks yang digunakan sebagai karya jurnalistik Majalah Tempo. Peneliti melaksanakan wawancara dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, beliau juga menulis pemberitaan pada rubrik laporan khusus bukti baru pembunuhan Udin “Bernas”. Selama 18 tahun Majalah Tempo konsisten mengawal kasus pembunuhan Wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin. Jajang Jamaludin mengatakan Majalah Tempo memiliki alasan dan latar belakang yang membuat mereka
102
mewartakan kasus tersebut. Menurut Jajang mendiamkan sebuah kejahatan adalah kejahatan itu sendiri. Secara gamblang Redaktur Utama Majalah Tempo itu mengatakan “Bagi Majalah Tempo Kasus Udin tidak boleh dilupakan begitu saja. kasus Udin tidak boleh stagnan tanpa penyelesaian. Hal itu yang membuat kami menulis kasus Udin setiap tahunnya. Khusus tahun 2014, perkara kasus tersebut sudah berusia 18 tahun. Banyak pihak yang mewacanakan kasus itu akan kadaluwarsa, merujuk pada Pasal 78, ayat 1, angka 4 KUHP. Meskipun demikian bagi kami kasus Udin tidak akan kadaluwarsa. Kasus pembunuhan yang kadaluwarsa bila tersangka sudah jelas ada namun karena sesuatu hal dia tidak tersentuh hukum atau kabur maka setelah 18 tahun akan kadaluwarsa. Aparat tidak dapat menemukan siapa pembunuh Udin. Iwik sendiri pada akhirnya terbukti tidak bersalah. Maka menurut kami kasus Udin tidak bisa kadaluwarsa. Kami berdiskusi dengan Komnas Ham dan Dewan Pers terkait kasus ini. Selanjutnya kami membuat kontra opini kepada masyarakat bahwa kasus Udin tidak akan kadaluwarsa. Kemudian hal lain yang membuat kami menulis kasus Udin adalah ketika dua organisasi jurnalis dunia, International Federation of Journalists dan Committe to Protect Journalist, menggelar bulan kebebasan pers Internasional. Mereka memfokuskan pada kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam kampanye mereka. Kemudian Mereka juga menyoroti kasus kematian Udin agar segera diselesaikan.80 Berdasarkan
penjelasan
Jajang
tersebut,
Majalah
Tempo
membuat
pemberitaan khusus kasus Udin karena terdapat kejanggalan yang mereka rasakan. Selanjutnya mereka ingin menyampaikan kepada Pemerintah dan khalayak luas bahwa kasus kematian Udin tidak akan kadaluwarsa meskipun KUHP Pasal 78, ayat 1, angka 4 mengatur tentang jangka waktu sebuah kasus pembunuhan kadaluwarsa. Pada kasus Udin, Jajang menyatakan bahwa sampai saat ini aparat belum dapat menemukan pembunuh Udin. Oleh karena itu kasus pembunuhan Udin tidak kadaluwarsa secara hukum yang berlaku di Indonesia. 80
Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2 Juni 2016
103
Wartawan Majalah Tempo terlihat sangat menguasai duduk persoalan dan kasus tersebut, merujuk pada hasil wawancara dengan Jajang Jamaludin. Pada ranah analisis wacana, Van Dijk mengatakan sebuah peristiwa dipahami berdasarkan sebuah skema. Ia juga menyebutkan skema itu sebagai sebuah model. Menurut Van Dijk model menunjukan pengetahuan dan pandangan individunya ketika melihat dan menilai sebuah persoalan. Model itu sendiri adalah sesuatu yang unik dan bersifat subjektif. Model juga menampilkan pengetahuan serta pendapat ketika wartawan memandang sebuah persoalan.81 Pemberitaan mengenai keganjilan kasus Udin tidak terlepas dari presdisposisi terhadap suatu pihak, sehingga pada akhirnya muncul keberpihakan. Pada pemberitaan kasus Udin Majala Tempo seolah-oleh ingin menyampaikan pesan, pandangan, dan nilai-nilai kepada para pembacanya. Redaktur Utama Majalah Tempo, Jajang Jamaludin, menyampaikan nilai-nilai yang ingin Majalah Tempo sampaikan pada pemberitaan tersebut adalah: “Nilai yang ingin kami sampaikan adalah bagaimana ikhtiar kami melawan lupa terhadap kasus Udin. Jangan sampai kasus yang terjadi pada tahun 1996 menguap begitu saja. Karena jika didiamkan maka sampai kapan pun kebebasan pers di Indonesia akan terus dibungkam. Selain itu Tempo tidak hanya sekadar meliput tentang pembunuhan, melainkan bagaimana sosok seorang Udin di mata kerabat, tetangga, dan istrinya. Hal tersebut merupakan nilai yang bersifat abadi dan harus di praktikan oleh wartawan sampai kapan pun. Jurnalis harus mampu memertahankan nilai Independensinya apapun yang terjadi. Udin pada situasi yang represif saja mau dan berani apalagi kita yang hidup dalam era yang bebas. Hal itulah pesan impisit yang ingin Majalah Tempo sampaikan. Selanjutanya pesan kepada pihak yang tidak menginginkan kebebasan pers di Indonesia, sampai kapan pun anda melakukan pembungkaman terhadap wartawan yang independen dan profesional maka akan mendapat perlawanan dari masyarakat bukan hanya dari wartawan. Bentuk perlawanannya adalah dengan membawa 81
Eriyanto, Analisis Wacana; Pengantar Analisis Teks Media, h.261.
104
pada ranah hukum.”82 Melalui penjelasan tersebut semakin menegaskan bahwa seandainya kasus Udin kadaluwarsa maka bahasa besar akan mengintai pers di Indonesia. Pasalnya menurut Jajang jika kasus Udin menguap begitu saja, maka pembungkaman terhadap kebebasan pers di Indonesia akan terus terjadi. Kemudian ia menganalogikan independensi dan keberanian wartawan ketika masa orde baru berkuasa dan masa demokrasi sekarang. Saat Orde baru berkuasa Udin teguh dan bersikeras menjaga independensinya sebagai wartawan, meskipun pemerintah bersikap represif. Sementara pada masa demokrasi seperti ini Ia berharap independensi wartawan tetap terjaga sehingga pers dapat menjalankan fungsinya dengan kebebasan pers yang menaunginya. Majalah Tempo memiliki tujuan dalam rangka membuat pemberitaan laporan khusus bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin. Pada saat penulis melaksanakan wawancara dengan Jajang Jamaludin, secara jelas Ia mengatakan: “Tujuan kami memberitakan kasus Udin, untuk mengingatkan Pemerintah dan Aparat bahwa mereka masih memiliki hutang kepada Kerabat Udin bahkan masyarakat untuk menuntaskan kasus tersebut. Wartawan Udin gugur ketika Orde Baru berkuasa, masa dimana aktor-aktor demokrasi, media, kebebasan berpendapat di bungkam oleh pemerintah. Sering kali ketika mereka menjadi korban, tidak banyak yang berani menyuarakan. Saat ini sudah lima kali ganti presiden namun kasus ini belum terungkap. Kejadian ini pun masih menjadi misteri karena belum ada pelaku maupun otak serangan terhadap udin yang tertangkap dan bertanggung jawab atas perilakunya.”83 Kasus pembunuhan wartawan Udin sarat hubungannya dengan beragam berita yang Ia tulis. Ada indikasi Udin dibunuh karena ada pejabat yang marah 82 Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2 Juni 2016 83 Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2 Juni 2016
105
ihwal pemberitaan yang Ia tulis. Kini kasus pembunuhan wartawan Bernas tersebut masih menjadi misteri yang terpendam rapat-rapat. Meskipun rezim Orde baru sudah tidak berkuasa namun kasus ini masih gelap. Majalah Tempo menilai pemerintah dan aparat penegak hukum memiliki hutang kepada masyarakat untuk menuntaskan kasus Udin. Pemimpin negeri ini sudah mengalami pergantian selama lima kali, seharusnya kasus ini menjadi prioritas utama. Karena menyangkut dengan rasa keadilan bagi keluarga Udin dan terwujudnya independensi wartawan ketika kebebasan pers sudah benar-benar bebas. Hal yang menjadi sorotan utama Majalah
Tempo
mewartakan
kasus
ini
karena
timbulnya
wacana
mengkadaluwarsakan kasus ini. Pelbagai pihak merujuk pada KUHP Pasal 78, ayat 1, angka 4 untuk melupakan kasus pembunuhan keji tersebut. Menurut Majalah Tempo Kasus Udin merupakan kejahatan kemanusiaan. Hal tersebut berdasarkan pada kecurigaan pelbagai pihak yang menduga pembunuhan Udin terstruktur dan rapih. Tujuan pembunuan itu untuk mengancam kebebasan pers di Indonesia. Menurut mereka kasus Udin tidak akan kadaluwarsa. Kasus kekerasan terhadap insan pers di Indonesia setelah orde reformasi kerap teradi di pelbagai wilayah di Indonesia. Organisasi Aliansi Jurnalis Indepenen (AJI) mencatat terjadinya 565 kasus kekerasan terhadap pekerja pers yang terjadi selama 17 tahun Era Reformasi bergulir. Jumlah tersebut belum termasuk tindak kekerasan yang tidak dilaporkan. Melihat data dan fakta tersebut, Majalah Tempo menilai meskipun Pemerintah tidak bersikap represif terhadap pers namun kekerasan kerap terjadi. Dari maraknya kasus yang menimpa pekerja pers dan dikaitkan dengan rubrik
106
pemuatan berita kasus Udin dalam rubrik Laporan Khusus Majalah Tempo. Jajang mengatakan Majalah Tempo tidak hanya terfokus pada pembunuan terhadap Udin. Tempo juga mewartakan sejumlah kekerasan terhadap pekerja media. Jajang menjelaskan: “Tidak hanya Udin, ada beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis kami tulis, salah satunya kasus yang menimpa reporter Sun TV, Ridwan Salamun. Tempo juga menulis tentang kekerasan dan pembunuhan terhadap jurnalis di Indonesia. Meskipun demikian, Udin sudah menjadi ikon dalam memperjuangkan anti kekerasan terhadap jurnalis dan perjuangan untuk kebebasan pers di Indonesia. Selain itu Organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga melaksanakan Udin Award, penghargaan kepada individu jurnalis/ kelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya secara profesional. Selain itu, untuk menghormati jurnalis/kelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan, Udin Award juga diselenggarakan untuk mengingatkan masyarakat bahwa masih ada ancaman bagi kebebasan pers.” 84 Peneliti menilai pemberitaan Majalah Tempo pada Rubrik Laporan Khusus Udin Bernas terkesan lebih membela mendiang wartawan Udin. Saat peneliti melakukan klarifikasi dengan Jajang terkait pembelaan tersebut. Ia tidak menampik bahwa Majalah Tempo membela Udin. Jajang menuturkan ihwal pembelaan Majalah Tempo kepada Udin. “Udin layak untuk dibela, sebagai Jurnalis kami pun membela sesuai dengan fakta bukan pembelaan yang semata-mata tanpa alasan. Pada akhirnya kewajiban sebagai jurnalis untuk menyuarakan yang tidak tersuarakan harus dijalankan oleh jurnalis itu sendiri atau oleh media. Dalam konteks ini, suara Udin, keluarga, dan kerabatnya tidak tersalurkan. Maka kami menulis kasus Udin agar suara mereka tersampaikan. Oleh karena itu Udin layak dan harus kita bela.”85 Berdasarkan penjelasan tersebut kita dapat memahami bahwa Pembelaan 84 Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2 Juni 2016 85 Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2 Juni 2016
107
Majalah Tempo terhadap Udin berdasarkan fakta yang mereka temukan dan konstruksikan. Sebagai Jurnalis mereka perlu mewartakan suara yang tidak tersalurkan, dalam hal ini keluarga Udin yang meminta kasus itu diselesaikan demi keadilan. Bagi mereka membela Udin sebagai sebuah keharusan terlebih kapasitas mereka sebagai jurnalis, bentuk pembelaan mereka dengan mereka ulang setiap jengkal dan menit kejanggalan kasus Udin menjadi sebuah pemberitaan. Pada pemberitaan rubrik laporan khusus tersebut Majalah Tempo secara terang-terangan membela wartawan Udin namun mereka tidak abai pada prinsip dan etika jurnalistik, cover both side. Sebagai media yang sudah malang melintang dalam dunia jurnalistik di Indonesia Majalah Tempo tetap seimbang dalam setiap pemberitaan, termasuk pada kasus Udin. “Awak Majalah Tempo senantiasa menggunakan disiplin verifikasi dan menjunjung tinggi prinsip cover both side dalam setiap pemberitaannya. Jadi kami selalu mencari sumber berita dari pelbagai sumber, seperti pada pemberitaan Udin. Kami mencari rumah Sri Roso dan menunggu kesempatan wawancara dengan beliau hingga beberapa pekan. Kami mencari alamat rumah beliau, ketika sudah dapat kami menunggu dan bertanya kepada tetangga tentang Sri Roso. Setelah menunggu beberapa waktu kami bertemu dengan sosok pria paruh baya yang sedang menyirami bunga. Kami dapat memastikan bahwa pria tersebut adalah Sri Roso Soedarmo, lalu kami meminta waktu untuk melaksanakan wawancara. Awalnya beliau menolak namun setelah awak Tempo menjelaskan pentingnya keberimbangan berita akhirnya beliau memberikan kesempatan dan waktu untuk wawancara. Sri Roso mengakhiri puasa berbicara kepada media selama 18 tahun terkait pemberitaan tentang Udin.”86 Jajang Jamaludin mengisahkan bagaimana perjuangan Majalah Tempo untuk melaksankan wawancara dengan Sri Roso Soedarmo, Bupati Bantul saat Udin dibunuh. Mereka mencari alamat rumah Sri Roso dan menunggu hingga beberapa 86
Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2 Juni 2016
108
pekan demi keseimbangan nilai berita. Hal itus sesuai dengan prinsip Majalah Tempo dan independensi wartawannya, Mereka menjunjung tinggi prinsip cover both side dalam setiap pemberitaan yang mereka buat. Media massa harus tetap adil dan berimbang dalam mewartakan informasi kepada masyarakat, apapun isi pemberitaannya. Majalah Tempo juga selektif dalam memilih narasumber untuk setiap pemberitaan mereka. Hal itu mereka lakukan demi menjaga independensi
dan
kelayakan pemberitaan. Majalah Tempo membagi tiga lapis narasumber yang akan mereka pilih sebagai sumber berita yang akan mereka verifikasi. Lebih jauh Jajang menjelaskan kepada peneliti: “Majalah Tempo sangat selektif dalam memilih narasumber, kami menyebutnya dengan gradasi narasumber. Ketika seseorang kita pilih menjadi seorang narasumber maka otomatis narasumber tersebut adalah orang mengalami langsung peristiwa yang akan diberitakan, bisa saja narasumber tersebut adalah korban dan pelaku. Orang yang mengalami peristiwa tersebut berada pada lapis pertama. Jika reporter tidak mendapatkan narasumber yang sesuai pada lapis pertama (karena sakit atau telah meninggal) maka akan mencari narasumber lapis kedua. Pada level ini narasumber adalah orang terdekat (suami, istri, anak, tetangga, kerabat terdekat, saksi mata) yang mengalami peristiwa tersebut. Selanjutnya pada lapis ketiga adalah aparat yang menangani peristiwa tersebut, pemerintah yang menangani peristiwa tersebut. Penjelasan
tersebut
semakin
menegaskan
bahwa
Majalah
Tempo
mengerahkan daya dan upaya untuk membuat pemberitaan yang jujur, berdasarkan fakta yang ada di lapangan. Sebagai Majalah ternama di jagat industri media massa di Indonesia, Majalah Tempo senantiasa bersikap netral terhadap fenomena yang terjadi. Terlebih pada kasus Udin, meskipun mereka menyatakan dukungan dan keberpihakan terhadap Udin mereka tetap menjaga kenetralan.
109
Bagi Majalah Tempo, hal tersebut mereka lakukan demi menjaga kebenaran dan keadilan. Ikhitiar mereka untuk melawan lupa dan menjaga kebebasan pers dengan membuat pemberitaan berdasarkan fakta dan realita di lapangan. Menyuarakan suara yang tidak tersampaikan merupakan salah satu fungsi media massa, hal itu yang kami lakukan di Tempo. Wartawan Majalah Tempo senantiasa menggunakan disiplin verifikasi dan menjunjung tinggi prinsip cover both side dalam setiap pemberitaannya, tutup Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo. Hal tersebut Ia sampaikan saat peneliti melaksanakan wawancara di kantor redaksi Tempo Inti Media (TIM) group, Jalan Palmerah Barat, No. 8, Palmerah, Jakarta Barat, 2 Juni 2016. C. Analisis Konteks Sosial Rubrik Laporan Khusus Bukti Baru Pembunuhan Udin ”Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November 2014 Dimensi ketiga dalam wacana model Van Dijk adalah analisis sosial. Selain itu banyak pihak yang menyebutkan dimensi ini sebagai konteks sosial. Pada dimensi ini Van Dijk mengatakan bahwa untuk menganalisa wacana yang berkembang dalam masyarakat kita harus melakukan analisis intertekstual. Bentuk analisis itu dengan meneliti bagaimana sebuah wacana diproduksi dan dikonstruksi dalam kehidupan masyarakat. Van Dijk juga mengungkapkan bahwa analisis sosial memerlukan pemahaman tentang praktik kekuasaan (power) dan akses (acces). Dalam pemberitaan kasus pembunuhan Fuad Muhammad Syafruddin, Majalah Tempo berusaha menguak misteri yang selama ini masih terpendam. Dalang dan Aktor perbuatan keji 19 tahun silam hingga kini belum terungkap. Hal itu membuat dukungan terhadap kebebasan pers di Indonesia semakin mengalir
110
dari dunia Internasional. Bahkan menurut anggota Dewan Pers, Imam Wahyudi, Kasus pembunuhan wartawan Bernas Udin 19 tahun silam akan dibawa ke forum internasional oleh dewan pers.87 Dukungan masyarakat terhadap penuntasan kasus Udin terus bergulir hingga saat ini. Setiap tahunnya pelbagai organisasi pers di Indonesia turut menyuarakan tuntutan mereka melalui aksi simpatik untuk mendukung pengungkapan kasus Udin Bernas. Salah satunya adalah serangkaian kegiatan peringatan sembilan belas tahun terbunuhnya Udin oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Pers Mahasiswa (Persma) Se-Yogyakarta, komunitas Street Art Yogyakarta dan Koalisi Masyarakat untuk Udin (K@MU) pada Ahad, 16 Agustus 2015. 88 Bentuk dukungan lain terhadap pengungkapan kasus Udin juga datang dari media massa. Seperti Majalah Tempo berbagai media massa cetak maupun elektronik memberitakan kasus Udin. Tujuan mereka agar pemerintah terus berupaya mengungkap kejahatan terhadap pekerja media dan menjaga stabilitas kebebasan pers di Indonesia. Meskipun pemerintah hadir melalui lembaga dewan pers namun upaya pengkerdilan kebebasan pers kerap terjadi. Pemerintah melalui Pasal 15 UU No.40/1999 membentuk Dewan Pers yang independen. Pembentukan lembaga pemerintah yang menaungi pers itu sebagai upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Hal tersebut merupakan bentuk nyata bahwa pemerintah hadir dalam kehidupan pers nasional. Switzy Sabandar, “Pembunuhan Wartawan Udin Kasus Udin Dibawa Ke Forum Internasional,” artikel ini diakses pada 21 April 2016 dari http://www.harianjogja.com/baca/2015/08/22/pembunuhan-wartawan-udin-kasus-udin-dibawa-keforum-internasional-635227 88 Sunudyantoro, “AJI Yogyakarta Desak Jokowi Dorong Penuntasan Kasus Udin ,” artikel ini diakses pada 21 April 2016 dari https://m.tempo.co/read/news/2015/08/16/078692437/aji-yogyakarta-desak-jokowi-dorong-penunt asan-kasus-udin 87
111
Kekerasan terhadap wartawan kerap terjadi meskipun negara telah menjamin kebebasan pers dalam pasal 4 UU No.40/1999, Kemerdekaan Pers dijamin seagai hak asasi warga negara. Selanjutnya, pasal 8 UU No.40/1999, Dalam melaksanakan profesinya wartawan mendapat perlindungan hukum. Negara juga menguatkan bentuk perlindungan terhadap kebebasan pers di Indonesia melalui pasal 18 UU No.40/1999 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap orang yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan tindakan yang berakibat menghambat atau menghalangi pelaksanaan ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah)”. Berdasarkan uraian Undang-Undang No. 40 tahun 1999 itu, sudah jelas bahwa upaya pengkerdilan kebebasan pers merupakan bentuk pelanggaran hukum dan sudah ada sanksi tegas berupa hukuman kurungan badan serta denda. Terlebih pada kasus Udin, pelaku pembunuhan Udin tidak saja melanggar UU No. 40 tahun 1999 melainkan pelanggaran KUHP tentang pembunuhan berencana dengan sanksi terberat adalah hukuman mati. Majalah Tempo secara konsisten mengawal kasus pembunuhan wartawan ini sebagai sikap mereka untuk menentang segala bentuk pembelengguan terhadap kebebasan pers. Sementara itu Aliansi Jurnalis Independen mencatat dalam satu dekade ini, Januari 2005 hingga Desember 2015, telah terjadi 502 kasus kekerasan terhadap insan pers nasional. Kerumunan massa merupakan pelaku terbanyak yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis. Ketika pers mendapat tekanan sebenarnya bukan hanya pers secara lembaga yang tertekan, namun kedaulatan rakyat juga ikut tertindas. Pada dasarnya
112
kebebasan pers merupakan unsur yang sangat penting dalam menciptakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dalam lingkup negara demokratis. Dalam konteks ini ketika pers mendapatkan intimidasi maka dapat dipastikan bahwa pers tidak bisa berjalan secara sehat. Kebebasan pers memberikan ruang kepada masyarakat untuk mengontrol dan menyuarakan pendapatnya kepada Pemerintah. Selain itu roda pembangunan dan pemerintahan akan berjalan secara transparan. Hal tersebut bisa memberikan manfaat yang luas bagi masyarakat. Seperti yang tertuang dalam pasal 2 UU No. 40 Tahun 1999 tentang pers yang berbunyi “Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum”. Ketika pers sehat maka rakyat akan berdaulat. D.
Interpretasi Penelitian Paska melaksanakan analisa terhadap Rubrik Laporan Khusus Bukti Baru
Pembunuhan Udin ”Bernas” di Majalah Tempo Edisi 10-16 November 2014, peneliti menangkap sebuah kesan bahwa Majalah Tempo berusaha menjelaskan adanya upaya intimidasi terhadap kebebasan pers dalam kaitannya dengan tewasnya Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan Harian Bernas. Selain itu, peneliti menangkap pesan bahwa Majalah Tempo menghawatirkan wacana penghentian kasus Udin oleh pelbagai pihak. Kesan tersebut peneliti dapatkan setelah melaksanakan wawancara dengan narasumber, Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo. Narasumber merupakan inisiator dan wartawan yang terjun langsung di lapangan dalam pembuatan rubrik Laporan Khusus Udin Bernas di Majalah Tempo. Berdasarkan hasil wawancara tersebut, Majalah Tempo memiliki sejumlah
113
alasan dan landasan dalam mewartakan kasus Udin sebagai rubrik laporan khusus. Jajang Jamaludin mengungkapkan, hal yang Majalah Tempo lakukan adalah sebuah ikhtiar untuk melawan lupa terhadap pembunuhan keji tersebut. Meskipun sudah berlangsung cukup lama kejadian itu tidak boleh didiamkan begitu saja. Terlebih dua organisasi wartawan dunia, International Federation of Journalist dan Committee to Protect Journalist menuntut pengungkapan kasus pembunuhan terhadap wartawan di seluruh dunia, termasuk kasus Udin. “Bagi Majalah Tempo Kasus Udin tidak boleh dilupakan begitu saja. kasus Udin tidak boleh stagnan tanpa penyelesaian. Hal itu yang membuat kami menulis kasus Udin setiap tahunnya. Khusus tahun 2014, perkara kasus tersebut sudah berusia 18 tahun. Banyak pihak yang mewacanakan kasus itu akan kadaluwarsa, merujuk pada Pasal 78, ayat 1, angka 4 KUHP. Meskipun demikian bagi kami kasus Udin tidak akan kadaluwarsa”.89 Majalah Tempo secara konsisten memberitakan kasus penganiayaan berujung maut Fuad Muhammad Syafruddin meskipun peristiwa itu sudah terjadi sembilan belas tahun silam. Majalah Tempo menyusuri kembali pembunuhan dan pengadilan kasus itu dalam menulis laporan khusus ini. Selain itu Majalah Tempo juga mengejar sejumlah narasumber seperti Iwik, Marsiyem, jaksa pengusut kasus Udin, hingga sejumlah pegiat “dunia hitam” Yogya
yang selama ini memiliki
informasi tetang kasus itu. Sri Roso, sumber sangat penting, yang selama ini diduga memiliki keterkaitan erat dengan pembunuhan Udin juga mereka wawancarai. Pada pemberitaan Rubrik Laporan khusus Udin Bernas, Majalah Tempo menempatkan kejanggalan kasus pembunuhan tersebut sebagai sebuah objek pembahasan. Melalui penelitian ini, Peneliti ingin melihat bagaimana Majalah 89
Wawancara Langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo, Jakarta, 2 Juni 2016
114
Tempo membangun wacana kebebasan pers dalam pemberitaan Rubrik Laporan khusus Udin Bernas Edisi 10-16 November 2014. Peneliti menyatukan teknik pembelajaran teks (study text) dengan kajian fenomenologi dalam menyelesaikan penelitian ini. Kajian fenomenologi merupakan sebuah metode analisis yang mengamati gejala-gejala yang terjadi pada masyarakat ketika sebuah fenomena dihadirkan dalam masyarakat itu. Pada liputan yang bersifat reguler, Majalah Tempo memiliki rapat yang dinamakan rapat perencanaan mingguan, setiap Jumat petang. Pada rapat tersebut isu-isu yang beredar di masyarakat ditentukan, kemudian pada rapat tersebut pemberitaan untuk pekan berikutnya ditentukan. Bahkan saat ini tempo menargetkan dua pekan yang sudah direncanakan. Pada masa rapat itulah penyeleksian tema ditentukan. Sedangkan urutan proses produksi sebuah berita hingga naik cetak di Majalah Tempo berawal dari rapat kompartemen pada masing-masing desk atau bidang, setiap Jumat sekira 13.30 WIB. Pada tingkat ini rapat mencari usulan awak Majalah Tempo atau peserta rapat. Setiap peserta boleh menyampaikan usulan pada rapat tersebut. Meskipun demikian setiap usulan harus memiliki kelayakan untuk diangkat menjadi berita, data awal yang kuat, data pendukung yang lengkap, argumen yang kuat, dan cukup penting untuk diwartakan. Kemudian usulan tersebut akan diuji pada rapat kompartemen. Setelah lulus pada rapat kompartemen usulan tersebut diuji kembali pada rapat pleno sekira 16.00 WIB. Rapat pleno dihadiri oleh seluruh redaksi Majalah Tempo, Pemimpin Redaksi, Redaktur, Reporter, dan Fotografer. Jika ada seseorang yang mengusulkan sebuah usulan namun tidak memiliki data awal yang kuat, argumen
115
yang jelas, maka isu tersebut akan gugur pada rapat pleno, siapapun yang mengusulkan termasuk pimpinan redaksi. Jika pada rapat pleno mendapat persetujuan dari seluruh peserta rapat maka selanjutnya adalah pembagian tugas untuk menggarap usulan tersebut. Setelah pembagian tugas maka setiap wartawan menjalankan perannya sesuai tugas yang telah dibagikan. Reporter mencari sumber berita, menghubungi narasumber, dan menulis artikel pemberitaan tersebut. Fotografer mencari gambar dan lainnya. Ketika penugasan mengharuskan ke daerah atau keluar dari Jakarta, maka seluruh perencanaan disusun secara matang. Sehingga menjadi sebuah pemberitaan yang siap diwartakan. Sebelum naik cetak, redaksi menggelar rapat pengecekan (checking) pada hari Rabu. Pada rapat ini seluruh data dan bahan yang terkumpul diperiksa. Jika terdapat bahan yang belum lengkap maka dalam waktu dua hari harus diselesaikan. Jika dalam waktu dua hari tidak dapat terselesaikan maka usulan tersebut akan dibatalkan atau disimpan untuk edisi selanjutnya. Ketika dalam rapat checking bahan dan data sudah terkumpul maka redaktur dan reporter akan memverivikasi ulang kepada sumber berita dan melihat kondisi di lapangan. Jika sesuai maka usulan tersebut dapat naik cetak dan diproduksi. Jadi seluruh pemberitaan yang ada di Majalah Tempo telah melewati tahap seleksi yang ketat dari tingkat kompartemen, rapat pleno, hingga rapat checking. Pada proses penentuan isu semua dapat terlibat mulai dari Reporter, Fotografer, Redaktur, Hingga Pimpinan Redaksi. Siapa saja dapat menentukan arah dan kebijakan Pemberitaan di Majalah Tempo, selama arah dan pemberitaannya memiliki argumen yang kuat. Majalah Tempo mengedepankan proses demokrasi
116
termasuk dalam rapat redaksi sehingga siapa saja boleh mengusulkan pendapat dan menentukan arah pemberitaan. Sementara itu proses produksi rubrik laporan khusus pada dasarnya sama namun yang berbeda adalah waktu rapat penyusuna rencana rubrik tersebut. Salah satunya adalah Pemberitaan kasus Udin yang merupakan laporan khusus. Rapat perencanaan untuk rubrik laporan khusus dilaksanakan pada akhir tahun, sekira bulan Desember. Pada rapat itu redaksi Majalah Tempo merencanakan pembuatan laporan khusus dalam satu tahun kedepan. Termasuk kasus Udin karena timbulnya wacana dari pelbagai pihak untuk membuat kasus Udin kadaluwarsa. Jika kasus Udin tidak ditulis (mengingatkan) maka Majalah Tempo khawatir kasus ini akan benar-benar kadaluwarsa. Sehingga mulai saat itu kasus Udin masuk dalam rubrik laporan khusus tahunan Majalah Tempo pada tahun 2014. Setiap redaksi Majalah Tempo mulai merencanakan apa saja yang akan mereka investigasikan. Kemudian setiap awak Majalah Tempo diberikan kesempatan untuk berbicara namun harus disertai argumen yang kuat. Sama halnya pada pemberitaan kasus Udin, setelah mereka megumpulkan data awal, melaksanakan rapat kompartemen, rapat pleno, dan rapat checking, laporan khusus bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin dapat naik cetak dan mereka publikasikan kepada masyarakat. Pada tahap kognisi sosial terkait pemberitaan rubrik laporan khusus, Bukti Baru Pembunuhan Udin, Majalah Tempo mengatakan dengan lugas pembelaannya kepada mendiang wartawan Udin. Pembelaan itu berdasarkan fakta yang mereka temukan dan konstruksikan. Sebagai Jurnalis mereka perlu mewartakan suara
117
yang tidak tersalurkan, dalam hal ini keluarga Udin yang meminta kasus itu diselesaikan demi keadilan. Bagi mereka membela Udin adalah sebuah keharusan terlebih kapasitas mereka sebagai jurnalis. Bentuk pembelaan mereka dengan mereka ulang setiap jengkal dan menit kejanggalan kasus Udin menjadi sebuah pemberitaan. Meskipun demikian Mereka tidak melupakan prinsip cover both side sebagai syarat mutlak sebuah berita dan untuk memenuhi etika jurnalistik. Memasuki fase Konteks Sosial, pemberitaan ini mendapatkan kecaman keras dari insan pers, masyarakat, media massa, mahasiswa, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), bahkan dua organisasi wartawan dunia, International Federation of Journalist dan Committee to Protect Journalist. Kasus pembunuhan Udin dapat menimbulkan perspektif negatif dalam upaya penegakan kebebasan pers di Indoensia. Bentuk penghancuran kebebasan pers di Indonesia tetap terjadi meskipun sanksi tegas, pembayaran denda hingga kurungan badan, telah diatur dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang pers. Kebebasan pers bukan hanya milik media semata melainkan milik masyarakat juga, ketika pers sehat maka rakyat berdaulat. Oleh karena itu, tanggung jawab untuk menjaga kebebasan pers tidak hanya berlaku pada lembaga media dan pemerintah saja, namun kewajiban masyarakat juga. Ketika masyarakat bersatu dan menjaga kebebasan pers, maka kasus Udin dapat tertungkap. Sehingga dalang dan aktor pembunuhan keji tersebut tertangkap. Selain itu, ketika masyarakat menyadari pentingnya kebebasan pers bagi mereka, maka aksi kekerasan terhadap pekerja media seharusnya tidak terjadi lagi. Meskipun demikian, kebebasan pers bukan sesuatu yang tanpa batas.
118
Wartawan sebagai profesi yang berharap akan terwujudnya kebebasan pers di Indonesia harus menjaga kepercayaan masyarakat. Pasalnya, saat ini tidak sedikit oknum wartawan yang memergunakan kebebasan pers sebagai kedok bahkan alat untuk memeras sejumlah instansi pemerintahan maupun swasta. Kebebasan pers yang seharusnya digunakan oleh wartawan sebagai perlindungan, nyatanya banyak yang menyalahgunakan. Hasilnya banyak masyarakat yang menjadi skeptis bahkan menilai buruk profesi wartawan. Jika hal itu terus terjadi maka aksi kekerasan terhadap pekerja media akan terus terjadi. Kebebasan pers dapat terwujud jika semua elemen bersatu dan wartawan dapat memanfaatkannya untuk menjalankan tugas jurnalistik. Bukan sebagai alat untuk melakukan tindak pidana. Karena bisnis media merupakan bisnis kepercayaan. Wartawan sebagai pekerja media wajib menjaga kepercayaan itu. Sementara itu, melihat fenomena dunia jurnalisme di Indonesia dewasa ini, Peneliti berdiskusi dengan sejumlah wartawan yang masih aktif bekerja di media massa. Selain itu peneliti juga bertukar pikiran dengan sejumlah dosen Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi yang memiliki latar belakang wartawan. Peneliti berdiskusi dengan Iman D. Nugroho, video editor CNN Indonesia, mengenai perkembangan dan kondisi jurnalisme di Indonesia saat ini. Iman menjelaskan, dewasa ini perkembangan pers di Indonesia sangat signifikan. Ketika orde baru tumbang, banyak media baru bermunculan. Kebebasan media dalam bersuara lebih terasa dibandingkan saat orde baru berkuasa. Terlebih saat Menteri Penerangan teakhir, Yunus Yosfiah, menandatangani Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang pers. Meskipun demikian kebebasan pers memiliki persfektif tersendiri. Kebebasan
119
pers yang ada hanya bersifat partly free atau sebagian. Kebebasan pers tidak hanya sebatas karya jurnalistik bisa terbit, namun bagaimana proses penerbitan, bagaimana proses wartawan mencari informasi. Contohnya banyak wartawan asing yang kesulitan melaksanakan liputan di Indonesia, salah satunya di Papua. Banyak wartawan dari luar negeri yang harus menandatangani sejumlah dokumen dan persyaratan dalam membuat karya jurnalistik. Selain itu, masih ada media yang tidak boleh menerbitkan karya jurnalistik dengan konten tertentu karena terafiliasi kelompok politik tertentu. Selain itu terdapat juga media yang membatasi diri atau melakukan self censorhip pada konten berita karena terafiliasi kelompok ekonomi tertentu. Bahkan media yang menjadi corong politik, ada partai yang menggunakan televisi untuk sosialisasi dengan memutarkan hymne partai meskipun belum memasuki masa kampanye. Selain itu hal yang terpenting saat ini adalah saat terjadi kasus kekerasan yang menimpa pekerja media, hanya sebagian kecil yang selesai. Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini menjelaskan pada hakikatnya kehidupan jurnalisme di Indonesia diatur pada dua hal, yakni Undang-undang Pers No 40, tahun 1999 dan kode etik jurnalistik. Ketika jurnalis tidak taat pada dua hal tersebut maka ia tidak paham dengan pekerjaanya. Bahkan jurnalis yang cenderung melanggar kode etik jurnalistik seperti menerima amplop, menjadikan narasumber sebagai majikan, tidak melakukan disiplin verifikasi dalam melakukan liputan, memasukan opini pribadi, memihak, dan lainnya. Iman menyoroti banyak pemilik modal yang terafiliasi dalam kelompok politik. Hal itu berdampak pada keberpihakan media massa yang mereka pimpin. Tidak sedikit para pemilik modal yang menggunakan media massa untuk
120
kepentingan politik mereka, hal itu sangat bertentangan dengan kaidah media massa sebagai ruang publik. Tahun 2014 Aji mengeluarkan pernyataan sikap dengan merilis musuh bersama kebebasan pers. Dalam rilisnya AJI mengklasifikasikan musuh kebebasan pers adalah pengelola, pemimpin editorial, bahkan pemimpin redaksi yang menggunakan media sebagai partisan. Pada masa itu media massa sendiri yang menjadi musuh kebebasan pers, karena melanggar Kode Etik Jurnalistik dan UU Pers. Dampak fenomena itu adalah tingkat kepercayaan masyarakat kepada media massa. Banyak masyarakat yang berburuk sangka pada media massa karena dianggap terlalu memihak. Kemudian ada segelintir kelompok yang sengaja memprovokasi masyarakat sehingga membahayakan media itu sendiri. “Ketika Pemilu Presiden, terjadi pengerusakan kantor TV ONE karena kelompok yang tidak setuju dengan arah pemberitaan mereka”.90 Pemahaman dan penilain publik yang tidak merata terhadap konten pemberitaan mengakibatkan publik mudah diprovokasi. Masyarakat digiring untuk menyalahkan media massa. Hal itu menjadi pelanggaran serius karena membahayakan wartawan di lapangan. Fenomena itu adalah akibat media yang tertumpangi kepentingan politik tertentu. Pelanggaran berat lainnya adalah ketika jurnalis menjadi juru kampanye, seharusnya mereka wajib berhenti dan tidak lagi berativitas. Karena hal tersebut sangat bertentangan dengan kode etik jurnalistik Iman menyetujui ungkapan jurnalis adalah pekerjaan yang suci. Alasannya adalah karena wartawan wajib mewartakan dan memihak pada kebenaran yang 90
Wawancara langsung dengan Iman D. Nugroho, Video Editor CNN Indonesia, Jakarta, 25 April 2017
121
sesuai fakta. Jurnalis harus benar dan jujur dalam membuat karya jurnalisme. Jurnalis tidak boleh kehilangan integritas dan idelisme mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai watch dog. Bagi Iman tingkah laku dan kehidupan pribadi jurnalis tidak berpengaruh pada karya jurnalisme mereka. Karena jurnalistik memiliki karateristik sendiri. Selama jurnalis berpegang teguh pada kode etik dan UU Pers dia dikatakan baik secara jurnalisme. Jurnalis yang tidak memihak, melakuakan disiplin verivikasi, tidak memasukan opini pribadi, merupakan jurnalis yang baik dalam jurnalistik. Karena tingkah laku dan karya jurnalistik berbeda dan memiliki ukuran tersendiri. Terkait Udin, Iman mengatakan bahwa kasus Udin merupakan pekerjaan rumah paling besar dari dunia pers di Indonesia. Penyebabnya adalah kasus yang terjadi puluhan tahun lalu namun hingga saat ini belum tuntas. Seandainya Aparat penegak hukum dan pemerintah mau menyelesaikan kasus ini, seharusnya sudah tuntas. Pasalnya, sejumlah orang yang seharusnya bertanggung jawab dan terlibat pada saat itu, masih ada hingga sekarang, termasuk Bupati Sri Roso Soedarmo. Kasus Udin seperti dilupakan oleh waktu.
Kemudian Peneliti bertukar pikiran dengan Isfari Hikmat, Jurnalis yang bekerja sebagai Redaktur di media Detik TV. Isfari menilai kehidupan jurnalisme dewasa ini di Indonesia menunjukan kebebasan sebuah kemajuan. Saat ini media lebih kritis dan lebih mendapat kebebasan dalam berekspresi. Meskipun demikian, kebebasan yang didapat oleh pers dewasa kini bukanlah kebebasan yang tanpa batas. Pers perlu bertanggung jawab atas pemberitaan yang mereka hasilkan. Terlebih saat ini tidak sedikit media massa yang dimiliki oleh
122
aktor politik. Menurut mantan jurnalis Sindo ini, saat ini masyarakat semakin cerdas dan ktitis terhadap pemberitaan media massa. Terlebih ketika media pemberitaan massa bersinggungan dengan kegiatan politik praktis. Media seharusnya menjaga integritas mereka dalam setiap pemberitaan meskipun aktor politik memiliki saham terbesar mereka. Selain itu, hal lain yang harus diperhatikan oleh media adalah jika jurnalis mereka menjadi tim sukses. Jika itu terjadi maka akan sangat berbahaya karena jurnalis tersebut dapat membentuk opini publik melalui pemberitaan mereka. Meskipun demikian, Isfari menegaskan hingga saat ini tidak ada jurnalis yang masih aktif bekerja sekaligus menjadi tim sukses. Sepengetahuan saya tidak ada jurnalis yang masih aktif bekerja dan menjadi tim sukses pasangan calon kepala daerah. Jika ada, mungkin ia sudah tidak aktif menjadi jurnalis atau sudah pensiun. 91 Ia juga menambahkan jika peneliti mengetahui atau menemukan jurnalis aktif yang menjadi juru kampanye atau tim sukses, maka peneliti harap memberitahukan kepada isfari. Isfari juga mengkritisi sejumlah pemilik media yang kerap mementingkan profit dan syahwat politik semata. Mereka kerap mengorbankan idealisme dan kredibilitas media demi kepentingan pribadi. Jika hal itu terus terjad maka jurnalis di lapangan yang mendapat imbasnya. Banyak aksi kekerasan terhadap pekerja media kerap terjadi akibat pemberitaan yang sesuai dengan kaidah jurnalistik. Selain itu, resistensi dan kepercayaan publik yang menurun terhadap media massa menjadi dampak yang nyata. Isfari menganalogikan profesi jurnalis layaknya guru di sekolah dan 91
Wawancara langsung dengan Isfari Ikmat, Redaktur Detik TV, Jakarta, 28 Oktober 2016
123
masyarakat luas adalah muridnya. Seorang guru memiliki tanggung jawab untuk mencerdaskan peserta didik mereka. Terkadang siswa di sekolah tidak mengetahui problematika yang dihadapi oleh pengajar mereka. Guru harus memberi pelajaran secara terbuka, jujur, dan apa adanya. Hal yang sama dengan jurnalis, terdapat tanggung jawab moral dalam benak jurnalis untuk mencerdaskan masyarakat melalui karya jurnalisme yang dihasilkan. Jurnalis harus tetap memberikan berita yang jujur, faktual, dan memenuhi kaidah jurnalistik, meskipun kehidupan mereka sebagai manusia tidak lepas dari permasalahan. Masyarakat tidak memerdulikan hal tersebut, jurnalis harus tetap mempulikasikan berita yang benar. Kemudian peneliti berbincang dengan Bernard Wahyu Wiyanta, mantan Jurnalis Tempo dan pendiri Majalah Flona. Menurut Bernard Kasus Udin merupakan masalah kebijakan pemerintah saja. Ia menilai Pemerintah memiliki keinginan untuk menyelesaikan atau tidak. Jika kebijakan pemerintah mau menyelesaikan maka dengan kemampuan Kepolisian, kasus tersebut tidak akan memakan waktu berbulan-bulan. Namun karena banyak “orang penting” yang terlibat maka kasus tersebut berlarut hingga saat ini. Kemudian menurut Bernard semasa orde baru, kebebasan pers di Indonesia diatur dan digiring untuk mengikuti kebijakan dan arah pemerintah. Namun, ada sisi positifnya, yaitu pers menjalankan kode etik pers dengan baik. Kala itu Pers sangat berhati-hati dalam menurunkan berita dan foto. Filter diberlakukan, dan selalu melaksankan cross check terhadap laporan jurnalistik yang akan dipublikasikan. Memasuki era reformasi kebebasan pers mulai terasa nyata bagi media di
124
Indonesia. Penggiringan opini pemerintah pada masa orde baru tidak terjadi lagi. Meskipun demikian ia mengkritisi kehidupan pers masa kini yang ia nilai sudah kebablasan. Celakanya, saat ini, setelah diberlakukan kebijakan kebebasan pers yang kemudian didukung dengan perkembangan teknologi kebebasan pers diterjemahkan dengan sangat salah.92 Ia menambahkan, semua orang dengan device di genggaman tangannya sekarang bisa menjadi seorang jurnalis dan mengirimkan berita ke seluruh penjuru dunia. Kemudian bisa dilihat oleh siapapun hanya dalam hitungan detik. Disini, baik jurnalis resmi maupun citizen journalis akhirnya sama-sama sudah tidak patuh dengan kode etik jurnalistik. Hal yang sering terjadi adalah tidak adanya cross check terhadap berita baik tulisan maupun foto yang akan diturunkan ke medianya. Saat ini, berita, kabar burung, dan gosip susah dibedakan dan tidak jelas kebenarannya. Bahkan sekelas jurnalis surat kabar nasional pun, baik cetak, elektronik maupun online bisa menulis berita dengan sekejap berdasarkan gosip. Pada akhirnya Kondisi jurnalisme di Indonesia saat ini sudah dinodai dengan berita online yang yang mengaburkan jurnalisme sesungguhnya. Sekarang masyarakat sulit membedakan antara berita, gosip, hoax. Semua bisa membuat berita dan tidak ada tindakan nyata dari dewan pers dan pemerintah. Selain itu Framing pemberitaan media terutama dunia politik saat ini sudah tidak sehat dalam mendidik masyarkat. Banyak wartawan yang menulis berita berdasarkan pesanan, terlebih pemilik media yang berafiliasi dengan partai politik. Bernard juga menyoroti pemilik modal media massa yang berafiliasi dengan 92
2016
Wawancara langsung dengan Bernard Wahyu, Pendiri Majalah Flora, Jakarta, 30 Oktober
125
dunia politik. Baginya hal semacam ini sudah lumrah karena sejak Indonesia belum merdeka hal ini sudah ada. Penjajah Belanda dan Jepang, ketika itu mempunyai surat kabar untuk propaganda masing-masing. Juga partai politik yang baru tumbuh di Indonesia. Sebagai contoh, pada awal pergerakan, dulu Syariat Islam mempunyai media sebagai corongnya yang ikut dibidani oleh Tirto Adhi Soeryo. Saat ini, dengan semakin mudah dan murahnya teknologi, maka semua orang dan organisasi mempunyai medianya masing-masing. Bahkan beberapa media besar, termasuk televisi pun banyak yang menjadi corong dari partai politik. Media semacam ini tentu saja tidak akan berimbang dalam menurunkan berita. Tapi, jika dana dari partai kemudian berkurang, maka media semacam ini akan tumbang karena tidak mendapat kepercayaan dari masyarakat. 93 Melihat fenomena tersebut ia mengatakan, Jurnalis seharusnya terikat dengan kode etik jurnalistik. Menjadi juru kampanye jelas-jelas sudah melanggar kode etik jurnalistik. Seorang jurnalis harus netral. Jika sudah tidak netral, atau menjadi juru kampanye maka itu bisa disebut sebagai pelecehan terhadap profesi jurnalistik, seharusnya dewan pers atau organisasi yang mewadahi jurnalis tersebut memberi sanksi. Hal tersebut beralasan karena tingkah laku dan kehidupan jurnlis tentu saja berpengaruh pada karya jurnalisme yang dihasilkan. Hal itu berlaku sebaliknya, karya jurnalisme yang dihasilkan seorang jurnalis juga bisa berpengaruh atau merubah tingkah laku dan kehidupan jurnalis. Selanjutnya Bernard juga mengamini ungkapan pekerjaan jurnalis merupakan pekerjaan yang suci. Bagi mantan Jurnalis Majalah Tempo ini, harusnya memang 93
2016
Wawancara langsung dengan Bernard Wahyu, Pendiri Majalah Flora, Jakarta, 30 Oktober
126
seperti itu. Meskipun demikian kesucian jurnalis di abad sekarang sudah mulai luntur. Dulu orang tua saya seorang jurnalis yang jujur dan tetap miskin. Masyarkat menghormati, pejabat korup takut dan menjadi tidak korup, penjahat minggir dan beritanya selalu membuat perubahan untuk masyarkat. Jurnalis jaman dulu, miskin tetapi ditempatkan di strata atas di kalangan masyarkat. Jurnalis sekarang, kesuciannya sudah luntur dengan tuntuan ekonomi. Bahkan sekelas media besar yang tirasnya merajai Indonesia dengan group medianya yang merajalela, sekelas pemimpin redaksinya pernah menerima suap untuk tidak menaikkan headline tentang Lapindo misalnya. 94 Selanjutnya peneliti berdiskusi dengan Anastasia Eugenia Ika Wulandari mengenai kasus yang melanda Udin Bernas. Bagi mantan Jurnalis Indonesia Investor Daily ini, dalam kasus Udin, persoalannya tak cuma menyangkut penguasa. Lebih dari itu, Udin adalah manusia. Dan menghilangkan nyawa manusia, dari segi manapun, adalah kejahatan. Ia juga mengungkapkan Fuad Muhammad Syafruddin meninggal akibat luka-luka aniaya, lembaga peradilan Indonesia tak kunjung menjadikan kasus ini gamblang. Padahal, masa-masa Orde Baru, era terjadinya kasus ini, telah lama lewat. Jika mengingat keterbukaan yang dijanjikan pemerintah kini, kasus Udin sudah semestinya dituntaskan. Ika juga membandingkan ketika masih akif bekerja sebagai jurnalis pembungkaman terjadi dimana-mana, dan kebebasan yang dirasakan oleh pers sangat terbatas. Berbeda dengan kebebasan pers dewasa ini, Ika merasa saat ini pers lebih fleksibel dalam mengutarakan peristiwa dan dapat mengeklporasi sebuah fenomena dari sudut pandang yang lebih luas. 94
2016
Wawancara langsung dengan Bernard Wahyu, Pendiri Majalah Flora, Jakarta, 30 Oktober
127
Selanjutnya, Ika juga berpendapat saat maraknya media massa yang berafiliasi dengan salah satu aktor politik. Baginya, Afiliasi tak bisa dihindari, bagaimanapun, media massa tak bisa lepas dari kecenderungan-kecenderungan.95 Mungkin bukan sehat atau tidak sehat, melainkan “seberapa objektif” media-media massa sekarang. Untuk memahami seberapa objektif, mesti dikembalikan ke masyarakat umum. Kemudian Ika juga merisaukan framing pemberitaan di media massa yang berafiliasi dengan aktor politik atau partai politik. Arah dan framing pemberitaan media-media tersebut cenderung subjektif, tidak objektif. Hal itu bergantung terhadap kecenderungan-kecenderugan memihak media yang bersangkutan. Pada akhirnya kecenderungan itu akan membahayakan kinerja jurnalistk. Karena konflik kepentingan dapat memengaruhi kerja jurnalistik. Peneliti berbincang dengan Fauzan Lutsa, mantan Jurnalis Rajawali TV, RCTI, Pos Metro, dan Global TV. Bagi Fauzan Perkembangan secara kualitas pers dewasa ini sangat menggembirakan. Perumpamaan yang pas untuk kehidupan pers dewasa ini adalah pers dari masa kegelapan menjadi masa yang terang benderang seperti saat ini. Saat ini masyarakat bisa mendapatkan hak informasi secara utuh. Masyarakat bisa memiliki pilihan-pilihan pemberitaan yang disajikan oleh media. Kondisi saat ini memang menggembirakan namun pada sisi lainnya kebebasan itu cenderung menakutkan. Kebebasan yang berlebihan menghasilan penyalahgunaan jurnalistik seperti munculnya media yang kurang akurat melakukan verifikasi berita. Fauzan mendukung langkah Dewan Pers melaksankan uji kompetensi 95
Wawancara langsung dengan Anastasia Eugenia Ika Wulandari, Mantan Jurnalis Indonesia Investor Daily, Tangerang, 13 November 2016
128
wartawan dan verifikasi media sebagai alat guna membendung munculnya media-media yang tidak jelas. Selain itu langkah Dewan Pers merupakan cara yang cukup ampuh untuk menjaga kebebasan pers di Indonesia. Pada akhirnya hak masyarakat untuk mendapatkan informasi yang bermutu tetap terjaga. Munculnya media-media yang terafiliasi dengan kelompok politik memang Keith Rupert Murdoch tidak dapat terhindarkan. Pasalnya fenomena tersebut juga terjadi di luar negeri, seperti Keith Rupert Murdoch yang memiliki banyak koran melalui News Corporation. Meskipun demikian seharusnya media yang terafiliasi kelompok politik hanya pada media cetak saja, bukan media elektronik seperti radio dan televisi. Mereka tidak layak berafiliasi dengan kelompok politik karena mendapatkan hak frekuensi publik secara gratis. Mereka memiliki tanggung jawab moral memberitakan hal yang berimbang karena memanfaatkan fasilitas tersebut. Dalam hal tertentu karya jurnalistik media yang terafiliasi dengan kelompok politik menjadi tidak sehat. Contohnya media yang tergabung dalam MNC Group, I News TV, Okezone pastinya tidak akan berbicara negatif tentang PERINDO. Meskipun framing pemberitaan pada karya jurnalistik menjadi hak mutlak sebuah media massa. Seharusnya mereka tidak membuat framing berita yang mengamankan pemilik modal karena pada akhirnya masyarakat yang akan dirugikan. Ketika hal ini terjadi seharusnya Komisi Penyiaran Indonesia memainkan perannya secara tegas. “Hal yang menjadi persoalan fundamental hingga saat ini adalah kesejahteraan dan jurnalis yang meninggalkan mazhab tanda tanya”.96 Mazhab tanda tanya adalah sebuah terminologi Fauzan mengenai fenomena jurnalis yang mengerjakan
96
Wawancara langsung dengan Fauzan Lutsa, mantan jurnalis RCTI, 25 April 2017.
129
sebuah isu pemberitaan tanpa menyeluruh, tanpa melihat latar belakang, pembaruan selanjutnya mengenai pemberitaan tersebut tidak ada. Hasilnya banyak masyarakat yang mendapatkan informasi kurang menyeluruh dan bermutu. Fauzan menyetujui ungkapan jurnalis adalah pekerjaan yang suci. Baginya Jurnalis merupakan sebuah jembatan penghubung antara sumber informasi dan masyarakat. Ketika jurnalis melaksanakan tugasnya secara jujur dan mematuhi kode etik jurnalisme maka kualitas jembatan itu akan meningkatkan. Saat masih bekerja di RCTI, Fauzan melihat bagaimana dahsyatnya pola pikir seorang produser dalam membingkai sebuah pemberitaan. Pengetahuan dan keyakinan mereka akan tercermin dari berita yang mereka hasilan. Sehingga baginya tingkah laku dan pola pikir berpengaruh pada produk jurnalistik. Jurnalis yang menjadi juru kampanye masih menjadi perdebatan yang sangat sengit bagi para praktisi media. Pada fenomena itu terdapat hal yang multi dimensi seperti kesejahteraan, idealisme, dan lainnya. Seharusnya jurnalis yang menjadi juru kampanye mengambil cuti dan terbebas dari aktivitas jurnalistik karena produk yang mereka hasilkan akan bias. Pemberitaan yang bias akan membuat masyarakat menjadi korban.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Majalah Tempo mewacanakan kebebasan pers melalui karya jurnalisme mereka, rubrik laporan khusus bukti baru pembunuhan Udin “Bernas”, berdasarkan rapat redaksi (rapat kompartemen, rapat pleno, dan rapat checking) majalah mingguan tersebut. Pada rapat itu seluruh penerbitan isu, usulan, rencana pemberitaan diuji dan disusun oleh seluruh wartawan Majalah Tempo. Selain itu, mereka juga memetakan perkembangan isu di masyarakat dan menilai kondisi di lapangan. Kemudian mereka juga menampilkan isi pemberitaan di Koran Tempo dan media daring, Tempo.co untuk memberitakan pembunuhan Udin. Meskipun demikian terdapat perbedaan porsi pemberitaan yang diwartakan. Pemberitaan pada koran dan media daring hanya berupa peristiwa terbaru mengenai kasus Udin seperti aksi tabur bunga rekan-rekan jurnalis di Yogya, napak tilas pembunuhan kasus Udin dan kegiatan lainnya. Sedangkan Pemberitaan yang lebih rinci dan mendalam mereka wartakan melalui Majalah Tempo. Hal tersebut mereka lakukan agar masyarakat luas lebih memahami kejanggalan pembunuhan Udin dan mendukung upaya penuntasan kasus tersebut. Bagi mereka rubrik laporan khusus bertajuk Bukti Baru Pembunuhan Udin adalah karya jurnaslime yang mereka gunakan untuk melawan lupa. Majalah Tempo mengangkat kasus pembunuhan Udin pada November 2014, setelah dua organisasi wartawan dunia, International Federation of Journalist dan Commite to Protect Journalists mencanangkan bulan itu sebagai bulan kampanye
130
131
menuntut pengungkapan pembunuhan wartawan di seluruh dunia, termasuk kasus Udin. Terlebih kasus pembunuhan tersebut telah memasuki masa 18 tahun, sehingga jika kasus ini tidak terungkap maka akan kadaluwarsa. Mereka menganggap pembunuhan keji tersebut tidak bisa didiamkan begitu saja. Bagi mereka melupakan kejahatan merupakan kejahatan itu sendiri. Terlebih banyak yang menduga kasus pembunuhan Udin memiliki benang merah terhadap karya jurnalistik yang ia hasilkan. Tindakan itu secara nyata mengancam kebebasan pers di Indonesia. Wartawan Majalah Tempo mengurai kembali pembunuhan dan peradilan kasus Udin. Usaha melawan lupa yang mereka lakukan berbuah manis ketika bekas Bupati Bantul, Sri Roso Sudarmo, berhasil mereka wawancarai. Sri Roso menjadi sumber penting dalam pemberitaan ini. Selama 18 tahun Ia memilih bungkam seribu bahasa terhadap media, setelah kasus pembunuhan wartawan Bernas itu menjadi sorotan publik Majalah Tempo tetap menjaga keseimbangan berita dengan melakukan wawancara dengan Sri Roso Soedarmo. Selain itu mereka juga mendatangi sejumlah narasumber yang terkait dengan kekerasan terhadap Udin. Dalam penulisan artikel tersebut kognisi sosial wartawan Majalah Tempo memiliki pengaruh yang besar. Mereka memberikan data dan fakta melalui karya jurnalistik yang mereka hasilkan dalam rubrik Laporan Khusus Bukti Baru Pembunuhan Udin Bernas. Seluruh personil Majalah Tempo dengan tegas menolak segala bentuk dan upaya kekerasan terhadap wartawan, terlebih pada pembunuhan Udin. Mereka juga secara terang-terangan menyatakan pembelannya kepada Udin. Hal tersebut menyebabkan pengaruh yang besar pada bentuk dan isi
132
artikel rubrik Laporan Khusus Bukti Baru Pembunuhan Udin Bernas. Pemberitaan pada rubrik tersebut digunakan oleh wartawan Majalah Tempo untuk memberitahu masyarakat tentang kejanggalan pada kematian wartawan Udin. Mereka menilai kematian Udin memiliki benang merah dengan karya jurnalistik sebelum ia gugur. Alasan tersebut membuat Majalah Tempo mengkonstruksi teks berita yang menggambarkan kejanggalan bahkan setelah Udin meninggal. Mereka membuka tabir yang selama ini tersimpan rapat kepada publik melalui pemberitaan tersebut. Pada tahap konteks sosial secara tersirat apa yang dilakukan oleh Majalah Tempo merupakan wujud aspirasi suara wartawan dan masyarakat umum yang menolak segala bentuk kekerasan di Indonesia. Hal itu tercermin dari isi berita yang mengangkat beberapa pendapat kerabat Udin, akademisi, wartawan, Pemerintah Kabupaten Bantul, dan Mantan Bupati Bantul, Sri Roso Soedarmo. Intinya, mereka meminta kasus pembunuhan wartwaan Udin dapat terungkap. Ketika kasus pembunuhan Udin tidak terungkap maka akan muncul persepsi buruk masyarakat terhadap sistem peradilan di Indonesia. Selain itu jika kasus itu tidak terungkap maka akan timbul kekhawatiran terhadap aksi serupa terhadap wartawan, pada akhirnya kebebasan pers di Indonesia terbelenggu. Mereka juga khawatir pada wacana untuk melupakan kasus Udin oleh beberapa pihak yang tidak menghendaki adanya kebebasan pers. Menurut Majalah Tempo Kasus Udin merupakan kejahatan kemanusiaan. Hal tersebut berdasarkan pada kecurigaan pelbagai pihak yang menduga pembunuhan Udin terstruktur dan rapih. Tujuan pembunuan itu untuk mengancam kebebasan pers di Indonesia.
133
B. Saran 1.
Saran Akademis: a.
Adanya peneletian sejenis yang lebih rinci dan mendalam terhadap kasus kekerasan terhadap Jurnalis dan kebebasan pers di Indonesia.
b.
Pembuatan Jurnal mengenai kekerasan terhadap jurnalis dan kebebasan pers oleh para akademisi dan praktisi.
c.
Adanya seminar, loka karya, maupun pemuatan di media massa mengenai aksi kekerasan terhadap jurnalis dan kebebasan pers di sejumlah universitas, sekolah maupun lembaga pers
2.
Saran Praktis: a.
Majalah Tempo tetaplah menulis karya Jurnalistik dengan lugas dan tegas
b.
Kasus Udin harus tetap dikawal sampai ada pengungkapan kasus tersebut.
c.
Para pemerhati pers di Indonesia lebih menyuarakan kebebasan pers di Indonesia.
d.
Ikhtiar melawan lupa yang digagas oleh Majalah Tempo hendaknya terus dilakukan oleh masyarakat terlebih para jurnalis.
e.
Jurnalis dapat berperan seperti Udin yang mampu menyuaraan hal yang tidak tersuarakan
f.
Sudah selayaknya jurnalis masa kini yang hidup pada era yang lebih bebas dapat menjaga independensinya. Berpikir skepstis karena itulah jiwa seorang jurnalis.
g.
Berkurangnya kasus Kekerasan terhadap jurnalis
DAFTAR PUSTAKA Sumber Buku: Ardianto, Elvinaro. Metodologi Penelitian untuk Public Relation kuantitatif dan kualitatif. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2011. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta, 2002. Barus, Sedia Wiling, Jurnalistik; petunjuk teknis menulis berita. Jakarta: Erlangga, 2010 Bungin, Burhan. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2004. Bungin, Burhan. Konstruksi Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklak Televisi, dan Keputusan Konsimen serta Kritik Terhadap Peter L. Berger dan Thomas Luckman. Jakarta: Kencana, 2008. Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKIS, 2008. Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS, 2009. Hamad, Ibnu. Konstruksi realitas politik dalam media massa:sebuah studi critical discourse analysis terhadap berita-berita politik. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004. Hanif Suranto, Pers Indonesia Pasca Suharto, Jakarta: Lembaga Studi Pers dan Pembangunan, Aliansi Jurnalis Indonesia. Jakarta, 1999 Harahap, Naungan. Bisnis Media vs Kemerdekaan Pers; Dalam Kajian Hukum Praktik Monopoli & Persaingan Usaha di Indonesia. Jakarta: Panitia Hari Pers Nasional 2014 dan Persatuan Wartawan Indonesia Pusat, 2014
134
Kasman, Suf. Pers dan Pencitraan Umat Islam di Indonesia; Analisis Isi Pemberitaan Harian Kompas dan republika. Jakarta: Balai Litbang dan Diklat Kementrian Agama RI, 2010 Kusumaningrat, Hikmat & Purnama Kusumaningrat, Jurnalistik: Teori dan Praktik, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005 Massardi, Noorca M. dkk. Udin Darah Wartawan: Liputan Menjelang Kematian. Bandung: Penerbit Mizan, 1997. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif: Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2010. Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2001. Nurudin, Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Pers, 2009 Oetama, Jakob. Pers Indonesia: berkomunikasi dalam masyarakat tidak tulus. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2001 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KTD), Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia, Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Samantho, Ahmad Y. Jurnalistik Islami; Panduan Praktis bagi Para Aktivis Muslim, Bandung: Mizan, 2002. Sarosa, Samiaji. Penelitian Kualitatif: Dasar-Dasar. Jakarta: Indeks, 2012. Sumadiria, Haris. Jurnalistik Indonesia: Menulis Berita dan Feature Panduan Praktis Jurnalis Profesional. Bandung: Sibiosa Rekatama Media, 2005.
135
Sobur, Alex. Analisis Teks Media (Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Ciputat: Kalam Indonesia, 2005 Vardiansyah, Dani. Filsafat Ilmu Komunikasi: Suatu Pengantar. Jakarta: Indeks, 2008. Sumber Internet Aliansi
Jurnalis
Independen,
“Data
Kekerasan”,
http://advokasi.aji.or.id/index/data-kekerasan/1/10.html. 26 Agustus 2015 Daniel, “Hari Bersejarah yang Menentukan "Kompas" Bisa Eksis Sampai Sekarang”, http://www.kompasiana.com/danielht/hari-bersejarah-yang-menentukan-k ompas-bisa-eksis-sampai-sekarang5590aec87a937325048b4567.
25
Agustus 2015 Iman
D.
“Jurnalis
Nugroho,
Diintai
Maut”
http://aji.or.id/read/berita/271/Hari-Kebebasan-Pers-Internasional-3-Mei-2 014.html. 26 Agustus 2015 https://korporat.tempo.co/tentang/sejarah. 27 Juli 2015 Rine
Araro,
“Kebebasan
Pers
Perspektif
Hukum
http://manado.tribunnews.com/2013/04/28/kebebasan-pers-perspektif-huk um?page=2/. 17 Agustus 2015 Sunudyantoro, “AJI Yogyakarta Desak Jokowi Dorong Penuntasan Kasus Udin,” https://m.tempo.co/read/news/2015/08/16/078692437/aji-yogyakarta-desak -jokowi-dorong-penuntasan-kasus-udin. 21 April 2016
136
Switzy Sabandar, “Pembunuhan Wartawan Udin Kasus Udin Dibawa Ke Forum Internasional,”http://www.harianjogja.com/baca/2015/08/22/pembunuhanwartawan-udin-kasus-udin-dibawa-ke-forum-internasional-635227.
21
April 2016 Tim
Tempo,
“Usai
Malari,
Banyak
Media
Dibredel
http://nasional.tempo.co/read/news/2014/01/15/078544903/usai-malari-ba nyak-media-dibredel/. 27 Juli 2015 Yearry,
“Komunikasi
dan
Konstruksi
Sosial
Atas
Realitas,”
https://yearrypanji.wordpress.com/2008/06/04/komunikasi-dan-konstruksisosial-atas-realitas/. 14 Mei 2015 Skripsi Ana Aryati “Wacana Kekerasan Oknum Aparat Terhadap Wartawan Pada Harian Republika Edisi 17 Oktober 2012” Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2013. Rahmaidah “Wacana Keterlibatan Anak-anak Dalam Kampanye Partai Keadilan Sejahtera Jelang Pemilu 2014 di Merdeka.com”. Skripsi S1 Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2014. Wawancara Wawancara langsung dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama, MajalahTempo, Jakarta, 2 Juni 2016
137
Lampiran Hasil Wawancara Narasumber
: Jajang Jamaludin
Jabatan
: Redaktur Utama Majalah Tempo
Hari / Tanggal
: Kamis / 2 Juni 2016
Waktu
: 20.00 - 21.30 WIB
Tempat
: Kantor Redaksi Majalah Tempo, Palmerah, Jakarta Barat
1.
Apa yang melatarbelakangi Majalah Tempo tertarik mengangkat isu Pembunuhan Udin pada tahun 1996? Jawab: Ikhtiar awak Majalah Tempo untuk melawan lupa, bagi Majalah Tempo Kasus Udin tidak boleh dilupakan begitu saja. Selain itu bukan hanya karena Sebagai sesama jurnalis namun rekan-rekan pegiat hak asasi juga memiliki pendapat yang sama, kasus Udin tidak boleh stagnan tanpa penyelesaian. Hal itu yang membuat kami menulis kasus Udin setiap tahunnya. Khusus tahun 2014, perkara kasus tersebut sudah berusia 18 tahun. Banyak pihak yang mewacanakan kasus itu akan kedaluwarsa, merujuk pada Pasal 78, ayat 1, angka 4 KUHP. Meskipun demikian bagi kami kasus Udin tidak akan kedaluwarsa. Kasus pembunuhan yang kedaluarsa bila tersangka sudah jelas ada namun karena sesuatu hal dia tidak tersentuh hukum atau kabur maka setelah 18 tahun akan kedaluarsa. Aparat tidak dapat menemukan siapa pembunuh Udin. Iwik sendiri pada akhirnya terbukti tidak bersalah. Maka menurut kami kasus Udin tidak bisa kedaluwarsa. Maka dari itu kami berdiskusi dengan Komnas Ham dan Dewan
138
Pers terkait kasus ini. Selanjutnya kontra opini bahwa kasus Udin tidak akan kedaluwarsa Kemudian ada dua organisasi jurnalis dunia, International Federation of Journalists dan Committe to Protect Journalist, menggelar bulan kebebasan pers Internasional. Mereka memfokuskan pada kasus kekerasan terhadap jurnalis dalam kampanye mereka. Kemudian Mereka juga menyoroti kasus kematian Udin agar segera diselesaikan. 2.
Dari sekian banyak Kasus kekerasan terhadap pers di Indonesia. Apakah pemberitaan Majalah Tempo hanya memfokuskan pada Udin saja? Jawab: Tidak hanya Udin, ada beberapa kasus kekerasan terhadap jurnalis kami tulis, salah satunya kasus yang menimpa reporter Sun TV, Ridwan Salamun. Majalah Tempo juga menulis tentang kekerasan dan pembunuhan terhadap jurnalis di Indonesia. Meskipun demikian, Udin sudah menjadi ikon dalam memperjuangkan anti kekerasan terhadap jurnalis dan perjuangan untuk kebebasan pers di Indonesia. Selain itu Organisasi seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI) juga melaksanakan Udin Award, penghargaan kepada individu jurnalis/ kelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan dalam menjalankan tugas jurnalistiknya secara profesional. Selain itu, untuk menghormati jurnalis/kelompok jurnalis yang menjadi korban kekerasan, Udin Award juga diselenggarakan untuk mengingatkan masyarakat bahwa masih ada ancaman bagi kebebasan pers.
3.
Apa pertimbangannya sehingga kasus Udin mendapat tempat lebih di Majalah Tempo? Jawab: Pada masanya Kasus Udin mendapat perhatian yang luas dari masyarakat. Hal itu dapat terjadi karena terbunuhnya Udin merupakan kasus yang besar. Selain itu hingga saat ini banyak organisasi dari berbagai pihak
139
meminta aparat dan pemerintah untuk membuka serta menuntaskan kasus Udin. 4.
Apa tujuan Majalah Tempo memberitaan kasus Udin? Jawab: Untuk mengingatkan Pemerintah dan Aparat bahwa mereka masih memiliki hutang kepada Kerabat Udin bahkan masyarakat untuk menuntaskan kembali kasus Udin. Wartawan Udin gugur ketika Orde Baru berkuasa, masa dimana aktor-aktor demokrasi, media, kebebasan berpendapat di bungkam oleh pemerintah. Sering kali ketika mereka menjadi korban, tidak banyak yang berani menyuarakan. Saat ini sudah lima kali ganti presiden namun kasus ini belum terungkap. Kejadian ini pun masih menjadi misteri karena belum ada pelaku maupun otak serangan terhadap udin yang tertangkap dan bertanggung jawab atas perilakunya.
5.
Bagaimana proses penentuan atau penyeleksian suatu tema di Majalah Tempo sehingga dapat diangkat menjadi pemberitaan? Jawab: Liputan yang bersifat reguler, Majalah Tempo memiliki rapat yang dinamakan rapat perencanaan mingguan, setiap Jumat petang. Pada rapat tersebut isu-isu yang beredar di masyarakat di tentukan, kemudian pada rapat tersebut pemberitaan untuk pekan berikutnya ditentukan. Bahkan saat ini tempo menargetkan 2 pekan yang sudah direncanakan. Pada masa rapat itulah penyeleksian tema ditentukan.
6.
Siapa sajakah yang terlibat dalam rapat redaksi, dan siapa yang dapat menentukan arah serta kebijakan dalam pemberitaan?
140
Jawab: Semua dapat terlibat mulai dari Reporter, Fotografer, Redaktur, Hingga Pimpinan Redaksi. Siapa saja dapat menentukan arah dan kebijakan Pemberitaan di Majalah Tempo, selama arah dan pemberitaannya memiliki argumen yang kuat. Awalnya orang yang mengajukan ide menyuarakan pendapatnya pada rapat tingkat kompartemen (bagian atau job desk). Pada tingkat itu rapat untuk mencari usulan dari awak Majalah Tempo. Isu yang sudah di data dan di kumpulkan pada tingkat kompartemen diujikan kembali pada rapat pleno. Rapat tersebut dihadiri seluruh awak redaksi Majalah Tempo (Reporter, Fotografer, Redaktur, dan Pimpinan Redaksi). Tempo mengedepankan proses demokrasi termasuk dalam rapat redaksi sehingga siapa saja boleh mengusulkan pendapat dan menentukan arah pemberitaan. 7.
Apakah
terdapat
kriteria-kriteria
narasumber
ketika
akan
diwawancarai? Jawab: Majalah Tempo sangat selektif dalam memilih narasumber, kami menyebutnya dengan gradasi narasumber. Ketika seseorang kita pilih menjadi seorang narasumber maka otomatis narasumber tersebut adalah orang mengalami langsung peristiwa yang akan diberitakan, bisa saja narasumber tersebut adalah korban dan pelaku. Orang yang mengalami peristiwa tersebut berada pada lapis pertama. Jika reporter tidak mendapatkan narasumber yang sesuai pada lapis pertama (karena sakit atau telah meninggal) maka akan mencari narasumber lapis kedua. Pada level ini narasumber adalah orang terdekat (suami, istri, anak, tetangga, kerabat terdekat, saksi mata) yang mengalami peristiwa
141
tersebut. Selanjutnya pada lapis ketiga adalah aparat yang menangani peristiwa tersebut, pemerintah yang menangani peristiwa tersebut. 8.
Nilai- nilai apa yang Majalah Tempo ingin disampaikan kepada pembaca melalui Laporan Khusus Udin “Bernas”? Jawab: Nilai yang ingin kami sampaikan adalah bagaimana ikhtiar kami melawan lupa terhadap kasus Udin. Jangan sampai kasus yang terjadi pada tahun 1996 menguap begitu saja. Karena jika didiamkan maka sampai kapan pun kebebasan pers di Indonesia akan terus dibungkam.
9.
Isu apakah yang ingin difokuskan oleh Majalah Tempo terkait Laporan Khusus Udin “Bernas”? Jawab: Isu yang ingin Majalah Tempo sampaikan melalui laporan khusus tersebut adalah kebebasan pers. Selain itu, secara jelas pesan implisit yang ingin kami sampaikan adalah bekerja sebagai jurnalis tidak bebas resiko. Kemudian Udin adalah contoh bagi kita, dia adalah wartawan dari daerah yang hanya lulus SMA namun mampu bekerja sebagai jurnalis. Awalnya beliau belajar dan mencoba-coba menjadi fotografer hingga membuka studio foto di rumahnya, kemudian menjadi wartawan. Dengan keterbatasan yang ia miliki namun ia mampu menjadi penyambung lidah rakyat. Karya jurnalisme Udin lebih menyuarakan suara hati masyarakat bawah seperti isu IDT, penyimpangan dana bantuan, dan lainnya. Meskipun ia hanya wartawan lokal yang kurang dikenal namun ia berani dan tidak gentar terhadap ancaman terhadapnya. Ia hidup di zaman Orde Baru dimana kekuasaan sangat mutlak pada saat itu. Keberanian Udin dalam
142
mengungkapkan penyimpangan yang harus di contoh oleh jurnalis sampai kapan pun.Ketegasan beliau dapat kita jadikan sebagai suri tauladan. Tempo tidak hanya sekadar meliput tentang pembunuhan, melainkan bagaimana sosok seorang Udin di mata kerabat, tetangga, dan istrinya. Hal tersebut merupakan nilai yang bersifat abadi dan harus di praktikan oleh wartawan sampai kapan pun. Jurnalis harus mampu memertahankan nilai Independensinya apapun yang terjadi. Udin pada situasi yang represif saja mau dan berani apalagi kita yang hidup dalam era yang bebas. Hal itulah pesan impisit yang ingin Majalah Tempo sampaikan. Selanjutanya pesan kepada pihak yang tidak menginginkan kebebasan pers di Indonesia, sampai kapan pun anda melakukan pembungkaman terhadap wartawan yang independen dan profesional maka akan mendapat perlawanan dari masyarakat bukan hanya dari wartawan. Bentuk perlawanannya adalah dengan membawa pada ranah hukum. 10. Bagaimana cara Majalah Tempo agar tetap seimbang terhadap pelbagai pemberitaan yang akan disampaikan kepada pembaca? Jawab: Awak Majalah Tempo senantiasa menggunakan disiplin verifikasi dan menjunjung tinggi prinsip cover both side dalam setiap pemberitaannya. Jadi kami selalu mencari sumber berita dari pelbagai sumber, seperti pada pemberitaan Udin. Kami mencari rumah Sri Roso dan menunggu kesempatan wawancara dengan beliau hingga beberapa pekan. Kami mencari alamat rumah beliau, ketika sudah dapat kami menunggu dan bertanya kepada tetangga tentang Sri Roso. Setelah menunggu beberapa
143
waktu kami bertemu dengan sosok pria paruh baya yang sedang menyirami bunga. Kami dapat memastikan bahwa pria tersebut adalah Sri Roso Soedarmo, lalu kami meminta waktu untuk melaksanakan wawancara. Awalnya beliau menolak namun setelah awak Tempo menjelaskan pentingnya keberimbangan berita akhirnya beliau memberikan kesempatan dan waktu untuk wawancara. Sri Roso mengakhiri puasa berbicara kepada media selama 18 tahun terkait pemberitaan tentang Udin. 11. Bagaimana proses produksi sebuah berita sehingga bisa naik cetak di Majalah Tempo? Jawab: Usulan yang cukup penting memiliki kelayakan untuk diangkat menjadi berita, data awal, dan data pendukung yang dimiliki, seluruhnya akan di uji pada rapat kompartenen. Setelah lulus pada rapat kompartemen usulan tersebut di uji pada rapat pleno. Jika ada seseorang yang mengusulkan sebuah isu namun tidak memiliki data awal yang kuat, argumen yang jelas, maka isu tersebut akan gugur pada rapat pleno tersebut, siapapun yang mengusulkan, termasuk pimpinan redaksi. Jika pada rapat pleno mendapat persetujuan maka selanjutnya pembagian tugas untuk menggarap usulan tersebut. Setelah pembagian tugas maka setiap awak menjalankan perannya sesuai tugas yang telah dibagikan. Reporter mencari sumber berita dan narasumber. Terlebih jika penugasan yang mengahruskan ke daerah, maka seluruh perencanaan disusun secara matang. Sehingga menjadi sebuah pemberitaan yang siap diwartakan. Kemudian sebelum naik cetak, redaksi menggelar rapat pengecekan (checking) pada hari Rabu. Pada rapat ini seluruh data dan bahan yang
144
terkumpul di periksa. Jika terdapat bahan yang belum lengkap maka dalam waktu dua hari harus diselesaikan. Jika dalam waktu dua hari tidak dapat terselesaikan maka usulan tersebut akan dibatalkan atau disimpan untuk edisi selanjutnya. Jika dalam rapat checking bahan dan data sudah terkumpul maka redaktur dan reporter akan memverivikasi ulang kepada sumber berita dan melihat kondisi di lapangan jika sesuai maka usulan tersebut dapat naik cetak dan di produksi. Jadi seluruh pemberitaan yang ada di Majalah Tempo telah melewati tahap seleksi dari tingkat kompartemen, rapat pleno, hingga rapat checking. 12. Apakah ada kaitan berita Laporan Khusus Udin Bernas antara Majalah Tempo, Tempo.co dan Koran Tempo? Jawab: Ada keterkaitan, namun jika pemberitaan pada koran dan media daring hanya berupa peristiwa terbaru mengenai kasus Udin seperti aksi tabur bunga rekan-rekan jurnalis di Yogya, napak tilas pembunuhan kasus Udin dan kegiatan lainnya. Jika pemberitaan lebih mendalam dan rinci akan diwartakan melalui Majalah Tempo. 13. Kenapa Majalah Tempo terkesan lebih membela mendiang Udin? Jawab: Karena Udin layak untuk di bela, sebagai Jurnalis kami pun membela sesuai dengan fakta bukan pembelaan yang semata-mata tanpa alasan. Pada akhirnya kewajiban sebagai jurnalis untuk menyuarakan yang tidak tersuarakan harus dijalankan oleh jurnalis itu sendiri atau oleh media. Dalam konteks ini, suara Udin, keluarga, dan kerabatnya tidak tersalurkan. Oleh karena itu Udin layak dan harus kita bela.
145
14. Apa peran redaksi dalam Laporan Khusus Udin Bernas? Jawab: Pemberitaan kasus Udin merupakan laporan khusus, rapat perencanaan untuk rubrik laporan khusus dilaksanakan pada akhir tahun, sekira bulan Desember. Pada rapat itu redaksi Majalah Tempo merencanakan pembuatan laporan khusus dalam satu tahun kedepan. Termasuk kasus Udin karena timbulnya wacana dari pelbagai pihak untuk membuat kasus Udin kedaluwarsa. Jika kasus Udin tidak ditulis (mengingatkan) maka kami mengkhawatirkan kasus ini akan benar-benar kedaluwarsa. Sehingga mulai saat itu kasus Udin masuk dalam rubrik laporan khusus tahunan Majalah Tempo pada tahun 2014. Kami merencanakan apa saja yang akan kami investigasikan. Kemudian setiap awak Majalah Tempo diberikan kesempatan untuk berbicara namun harus disertai argumen yang kuat. Sama halnya pada pemberitaan kasus Udin, ketika kami telah megumpulkan data awal, melaksanakan rapat kompartemen, rapat pleno, dan rapat checking sehingga laporan khusus Udin bisa naik cetak dan kami publikasikan. 15. Apakah Majalah Tempo akan memberitakan Kasus Pembunuhan Udin kembali, mengingat kasus tersebut sudah bergulir 18 tahun silam? Jawab: Jika suatu hari kami menemukan hal dan fakta terbaru maka kami akan menulis kembali kasus Udin. Tapi tidak menjadi rutinitas bahwa setiap tahun Majalah Tempo akan menulis kasus Udin. Jika hanya berupa peristiwa-peristiwa maka penulisan tentang Udin menggunakan media daring (tempo.co) dan koran tempo.
146
Lampiran Artikel “Memo Sebelum Malam Jahanam”
147
148
Lampiran Artikel “Tamu-tamu Misterius di Patalan”
149
150
Lampiran Foto Dengan Jajang Jamaludin, Redaktur Utama Majalah Tempo
151
Lampiran Foto Wawancara dengan Fauzan Lutsa, Mantan Jurnalis Rajawali TV, Global TV, dan RCTI
152
Lampiran Foto Wawancara dengan Isfari Hikmat, Redaktur Detik TV
153
Lampiran Foto Wawancara dengan Iman D. Nugro, CNN Indonesia dan Ketua Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen
154
Lampiran Foto Wawancara dengan Bernard Wahyu Wiyanta, Mantan Jurnalis Tempo, Pendiri Majalah Flona
155
Lampiran Foto Wawancara dengan Anastasia Eugenia Ika Wulandari, Jurnalis Indonesia Investor Daily
156